Lima puluh orang buta sedang duduk di sebuah Dharmashala. Mereka semua, terlahir buta. Mereka berhasrat untuk pergi ke suatu tempat jauh untuk berjiarah, untuk melaksanakan Tirthayatra. Empat orang buta lainnya datang, untuk kemudian bergabung dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka juga akan pergi ke tempat yang sama.
“Kawan-kawanku,” kata pemimpin dari kelimapuluh orang buta itu, “kami semua buta, dan tidak menemukan jalan menuju ke tempat suci itu. Bisakah kalian menuntun kami kesana? Apakah mata kalian awas?”, demikian tanyanya kepada empat orang buta yang datang belakangan. Tentu saja si pemimpin itu tak melihat kalau merekapun sebetulnya buta.
“Ya, kawan-kawanku terkasih,” sahut kelompok empat ini, “kami telah mendengar banyak tentang kota suci itu berikut jalan untuk mencapainya. Kami punya suatu gambaran mental yang jelas tentang rutenya. Kendati kami tidak melihat dengan mata kepala sendiri, kami merasa cukup yakin kalau kami, tidak hanya mencapai tujuan kita bersama itu, namun mampu membimbing kalian juga bersama kami ke sana. Ikutilah kami.”
Mereka lalu mengikat diri mereka satu dengan yang lainnya menggunakan tali yang cukup panjang. Yang terbaik di antara kelompok empat ini, menjadi pemimpin di depan. Ia punya suatu gagasan mental tentang jalan; ini tidak perlu diragukan lagi.
Namun, hanya bermodalkan sekedar gagasan mental saja, rupanya tak banyak manfaatnya. Ia salah jalan. Tak lama kemudian ia jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Terikat padanya serta tak tahu kemana akan dibawa olehnya, orang-orang buta lainpun satu-per-satu jatuh ke jurang yang sama. Mereka semua habis tertelan jurang itu.
“Kawan-kawanku,” kata pemimpin dari kelimapuluh orang buta itu, “kami semua buta, dan tidak menemukan jalan menuju ke tempat suci itu. Bisakah kalian menuntun kami kesana? Apakah mata kalian awas?”, demikian tanyanya kepada empat orang buta yang datang belakangan. Tentu saja si pemimpin itu tak melihat kalau merekapun sebetulnya buta.
“Ya, kawan-kawanku terkasih,” sahut kelompok empat ini, “kami telah mendengar banyak tentang kota suci itu berikut jalan untuk mencapainya. Kami punya suatu gambaran mental yang jelas tentang rutenya. Kendati kami tidak melihat dengan mata kepala sendiri, kami merasa cukup yakin kalau kami, tidak hanya mencapai tujuan kita bersama itu, namun mampu membimbing kalian juga bersama kami ke sana. Ikutilah kami.”
Mereka lalu mengikat diri mereka satu dengan yang lainnya menggunakan tali yang cukup panjang. Yang terbaik di antara kelompok empat ini, menjadi pemimpin di depan. Ia punya suatu gagasan mental tentang jalan; ini tidak perlu diragukan lagi.
Namun, hanya bermodalkan sekedar gagasan mental saja, rupanya tak banyak manfaatnya. Ia salah jalan. Tak lama kemudian ia jatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam. Terikat padanya serta tak tahu kemana akan dibawa olehnya, orang-orang buta lainpun satu-per-satu jatuh ke jurang yang sama. Mereka semua habis tertelan jurang itu.
***
Sama halnya dengan kelompok-kelompok spiritual yang semakin menjamur akhir-akhir ini. Mereka mendengar tentang Tanah Kebahagiaan, Tanah dimana Kesucian dan Keilahian bersemayam. Akan tetapi mereka tak tahu jalannya.
Mereka menunggu untuk dibimbing ke sana. Sementara itu, beberapa ‘orang buta’ lainnya baru saja tiba. Mereka pernah mendengar tentang Kerajaan Tuhan itu. Mereka punya pemahaman intelektual yang sangat baik tentangnya. Dan merekapun beranggapan bahwa mereka mengetahui jalannya; tidak hanya itu, mereka juga merasa mampu mengantar mereka ke sana. Mereka adalah para saintis dan filsuf.
Mereka berjanji untuk membimbing massa peminat spiritual menuju Kerajaan-Nya, atau menuju Kebahagiaan Abadi. Publik yang percayapun berhasil dibuatnya berbondong-bondong mengikuti mereka.
Para pemimpin ini memang punya intelektualitas yang mengagumkan, namun mereka tanpa pengendalian- diri dan tak punya pengalaman spiritual. Mereka pergi kemana angan-angan, Vasana-vasana dan keinginan-keinginan mereka membimbingnya. Merekapun terjatuh ke dalam ‘sebuah selokan bencana’ keindriawian, materialisme, dan musnah. Semua pengikutnyapun juga ikut tertelan musnah.
Dengarlah, wahai umat manusia; janganlah secara ceroboh mengikuti para pemimpin spiritual keliru. Ikutilah para suciwan yang punya ‘mata’ intuisi, dan capailah Istana Kebahagiaan Tertinggi!
~ Sri Swami Sivananda.
~~~~~~~~~~~~ ~~~~~~~~~ ~~~~~~~~
Dari: “PARABLES OF SIVANANDA”.
Pernah diposting ke beberapa milis pada hari Jumat, 5 Desember 2003.
"""""""""""" """"""""" """"""""" """"""""" """"""""" """"""""
Yang selama ini kita sebut sebagai “konflik batin” tiada lain dari konflik antara pikiran dengan perasaan, antara rasio dengan emosi. Keduanya menuntut untuk dimenangkan, tidak ada yang mau mengalah. Segera setelah mereka bisa didamaikan, konflikpun mereda.
~anonymous '05.
"""""""""""" """"""""" """"""""" """"""""" """"""""" """""""""
(From: Berkas Cahaya Kesadaran cahayakesadaran@yahoo.com)