Tampilkan postingan dengan label Kitab Dhammapada. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab Dhammapada. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Agustus 2007

Bab 4

BUNGA-BUNGA [puppha vagga]


(1) Kisah Lima Ratus Bhikkhu
(2) Bhikkhu Yang Memandang Tubuh Sebagai Suatu Bayangan

(3) Kisah Vitatubha

(4) Kisah Patipujika Kumari

(5) Kisah Kosiya, Orang Kaya yang Kikir

(6) Kisah Pertapa Paveyya

(7) Kisah Chattapani, Seorang Umat Awam

(8) Kisah Visakha

(9) Kisah Pertanyaan Ananda

(10) Kisah Mahakassapa Thera

(11) Kisah Godhika Thera

(12) Kisah Garahadinna

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 44 dan 45

(1) Kisah Lima Ratus Bhikkhu

Setelah mengikuti Sang Buddha ke suatu desa, lima ratus bhikkhu pulang kembali ke Vihara Jetavana. Sorenya, para bhikkhu tersebut membicarakan perjalanan yang baru dilakukan, khususnya kondisi desa tersebut, apakah berbukit-bukit, menanjak, tanahnya berlumpur, berpasir, merah atau hitam, dan sebagainya, Sang Buddha menghampiri mereka.

Mengetahui apa yang mereka bicarakan, Sang Buddha berkata, "Bhikkhu, bumi yang engkau bicarakan ada di luar tubuh ini. Sesungguhnya lebih baik meneliti diri sendiri dan mempersiapkan diri untuk berlatih meditasi."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 44 dan 45 berikut ini :

Siapakah yang akan menaklukkan dunia ini beserta alam Yama dan alam Dewa ? Siapakah yang akan menyelidiki Jalan Kebajikan yang telah diterangkan dengan jelas, seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga ?

Seorang Sekha (siswa yang masih berlatih) akan menaklukkan dunia ini beserta alam Yama dan alam Dewa. Seorang siswa yang masih berlatih ini akan menyelidiki jalan kebajikan yang telah diajarkan dengan jelas, seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga.

Sang Buddha menambahkan, bahwa dengan mengerti akan diri sendiri, seorang bhikkhu akan mengerti akan dunia ini, surga dan neraka. Ia juga akan dapat merealisasikan Dhamma yang Agung, seperti rangkaian bunga yang dirangkai oleh seorang ahli merangkai bunga.

Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 46

(2) Bhikkhu Yang Memandang Tubuh Sebagai Suatu Bayangan

Pada suatu kesempatan, setelah belajar bermeditasi dari Sang Buddha, seorang bhikkhu segera pergi ke hutan. Meskipun ia telah berusaha dengan keras, dia hanya mendapat kemajuan yang kecil dalam latihan meditasinya; sehingga ia memutuskan untuk kembali menemui Sang Buddha untuk belajar lebih jauh.

Dalam perjalanan pulang dia melihat sebuah bayangan, dimana hanya merupakan penampakan semua dari air. Segera ia menyadari bahwa tubuh ini juga semu seperti bayangan. Dengan tetap memelihara pikiran tersebut dia kembali ke muara sungai Aciravati. Ketika ia sedang duduk di bawah pohon dekat sungai, melihat ombak yang pecah, ia menyadari bahwa tubuh ini tidak kekal.

Kemudian Sang Buddha menampakkan diri dan berkata kepadanya: "Anak-Ku, apa yang kamu telah sadari bahwa tubuh tidak kekal seperti halnya busa, dan semu seperti halnya sebuah bayangan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 46 berikut:

Setelah mengetahui bahwa tubuh ini bagaikan busa, dan setelah menyadari sifat mayanya, maka hendaknya seseorang mematahkan bunga nafsu keinginan, dan menghilang dari pandangan raja kematian.

Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 47

(3) Kisah Vitatubha

Raja Pasenadi dari Kosala, yang berharap dapat menikah dengan seorang putri dari suku Sakya, mengirimkan beberapa utusan ke Kapilavatthu dengan suatu permohonan meminang salah seorang putri suku Sakya.

Tanpa bermaksud untuk menyakiti Raja Pasenadi, pangeran suku Sakya membalas bahwa mereka akan memenuhi permintaan tersebut, tetapi mereka tidak mengirimkan seorang putri melainkan seorang gadis cantik yang lahir dari Raja Mahanama dengan seorang budak wanita. Raja Pasenadi mengangkat gadis tersebut sebagai permaisuri, kemudian berputera dan diberi nama Vitatubha.

Ketika sang pangeran berusia 16 tahun, Raja Pasenadi mengirimnya untuk mengunjungi Raja Mahanama dan pangeran-pangeran suku Sakya. Di sana sang pangeran diterima dengan ramah.

Tetapi semua pangeran suku Sakya yang lebih muda dari Vitatubha telah pergi ke suatu desa, karena mereka tidak akan memberikan penghormatan kepada Vitatubha.

Setelah tinggal selama beberapa hari di Kapilavatthu, Vitatubha dan rombongannya berniat untuk pulang. Segera setelah sang Pangeran dan rombongannya pergi, seorang budak wanita mencuci tempat-tempat di mana Vitatubha duduk dengan susu. Dia juga mengutuk sambil berteriak : "Ini adalah tempat di mana putra seorang budak telah duduk, ….."

Waktu itu, salah seorang pengikut Vitatubha kembali untuk mengambil barang yang tertinggal, dan kebetulan mendengar apa yang diucapkan oleh gadis itu. Budak wanita itu juga mengatakan bahwa ibu Vitatubha, Vasabhakhattiya, adalah putri dari seorang budak wanita milik Mahanama.

Ketika Vitatubha diberi tahu tentang kejadian tersebut, dia menjadi sangat marah dan mengatakan bahwa suatu hari dia akan menghancurkan semua suku Sakya. Untuk membuktikan ucapannya, ketika Vitatubha menjadi raja, dia menyerbu dan membunuh semua suku Sakya, terkecuali beberapa orang yang bersama Mahanama.

Dalam perjalanan pulang, Vitatubha dan pasukannya berkemah di muara Sungai Aciravati. Akibat hujan turun dengan lebatnya di kota bagian atas pada malam yang gelap itu, sungai meluap dan mengalir ke bawah dengan derasnya menghanyutkan Vitatubha dan pasukannya ke samudera.

Mendengar dua kejadian tragis ini, Sang Buddha menerangkan kepada para bhikkhu bahwa saudara-saudaranya, pangeran-pangeran suku Sakya, pada kehidupan mereka sebelumnya, mereka menaruh racun ke dalam sungai untuk membunuh ikan-ikan. Kematian para pangeran suku Sakya dalam suatu pembantaian merupakan buah dari perbuatan yang telah mereka lakukan pada kehidupan sebelumnya.

Berkaitan dengan kejadian yang menimpa Vitatubha dan pasukannya, Sang Buddha mengatakan : "Bagaikan banjir besar menghanyutkan penduduk desa pada sebuah desa yang tertidur, demikian juga, kematian menghanyutkan semua makhluk yang memiliki nafsu keinginan kesenangan indria."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 47 berikut :

Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria, yang pikirannya kacau, akan diseret oleh kematian bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.

Syair 48

(4) Kisah Patipujika Kumari

Patipujika Kumari adalah seorang wanita dari Savatthi. Dia menikah pada usia 16 tahun dan mempunyai empat orang putra. Patipujika Kumari merupakan seorang wanita yang baik budi dan murah hati, suka memberikan dana makanan dan kebutuhan lain kepada para bhikkhu. Dia juga sering pergi ke vihara dan membersihkan halaman, mengisi tempat air, dan memberikan pelayanan lainnya.

Patipujika juga mempunyai kemampuan ‘jatissara’, yaitu kemampuan batin untuk mengingat kehidupannya yang lampau dimana dia adalah salah seorang istri Malabhari, yang tinggal di alam dewa Tavatimsa. Dia juga ingat bahwa dia telah meninggal dunia di alam dewa ketika para dewa sedang berjalan-jalan dan menikmati kesenangan di taman, dan memetik bunga-bunga.

Maka, setiap saat dia berdana kepada para bhikkhu atau melakukan perbuatan-perbuatan baik lainnya, dia berharap dapat dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari, suaminya dahulu.

Suatu hari, Patipujika jatuh sakit dan meninggal dunia pada sore itu juga. Seperti apa yang dia inginkan, dia dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari. Seratus tahun di alam manusia sama dengan satu hari di alam Tavatimsa, Malabhari dan istri-istrinya yang lain masih bermain-main di taman; dan kepergian Patipujika hampir tidak dirasakan oleh mereka. Maka, ketika dia kembali bergabung dengan mereka, Malabhari menanyakan ke mana Patipujika pagi hari tadi. Dia kemudian menceritakan kematiannya di alam Tavatimsa, dan kelahirannya kembali di alam manusia. Pernikahannya dengan seorang manusia dan juga tentang bagaimana dia telah mempunyai empat orang putra. Kematiannya di alam manusia dan lahir kembali di alam Tavatimsa.

Ketika para bhikkhu mendengar kematian Patipujika, mereka bersedih. Kemudian mereka menghadap Sang Buddha dan melaporkan kematian Patipujika, orang yang sering memberikan dana makanan pada pagi hari, telah meninggal pada sore hari.

Sang Buddha menjawab bahwa kehidupan suatu makhluk sangat singkat; dan sebelum mereka puas dengan kesenangan-kesenangan indrianya, kematian telah menguasainya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 48 berikut :

Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria, yang pikirannya kacau dan yang tak pernah puas, akan berada di bawah kekuasaan Sang Penghancur (kematian).

Syair 49

(5) Kisah Kosiya, Orang Kaya yang Kikir

Di desa Sakkara, dekat Rajagaha, tinggallah orang yang sangat kaya tetapi kikir, bernama Kosiya. Ia tidak suka memberikan sesuatu miliknya meskipun hanya sebagian kecil. Suatu hari, untuk menghindari membagi miliknya dengan orang lain, orang kaya dan istrinya tersebut membuat roti di bagian paling atas rumahnya di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat.

Suatu pagi, Sang Buddha dengan penglihatan supranatural-Nya, melihat orang kaya tersebut dan istrinya. Beliau mengetahui bahwa mereka akan dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti. Maka Sang Buddha mengirim Maha Moggallana ke rumah orang kaya tersebut, dengan petunjuk untuk membawa mereka ke Vihara Jetavana pada saat makan siang.

Murid Utama, Maha Moggallana, dengan kekuatan batin luar biasanya, secara cepat sampai di rumah Kosiya dan berdiri di jendela. Orang kaya tersebut melihat dan menyuruhnya pergi, Yang Ariya Maha Moggallana hanya berdiri di jendela tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Akhirnya, Kosiya berkata pada istrinya: "Buatkan roti yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu tersebut." Istrinya hanya mengambil sedikit adonan dan meletakkannya di panggangan roti, dan roti tersebut mengembang memenuhi panggangan. Kosiya berpikir bahwa istrinya pasti telah menaruh adonan terlalu banyak, maka dia hanya mengambil sedikit sekali adonan dan meletakkan di panggangan. Roti tersebut juga mengembang menjadi sangat besar. Hal ini terulang terus menerus, meskipun mereka hanya meletakkan sedikit adonan dalam panggangan, mereka tidak berhasil membuat roti yang kecil.

Akhirnya, Kosiya menyuruh istrinya untuk mendanakan satu roti dari keranjang tersebut kepada Maha Moggallana. Ketika istrinya mencoba untuk mengeluarkan sebuah roti dari keranjang, roti tersebut tidak dapat keluar karena telah menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Saat itu juga Kosiya kehilangan semua seleranya untuk menikmati roti tersebut dan menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggallana. Murid Utama Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah tentang kemurahan hati kepada orang kaya kikir beserta istrinya. Beliau juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu mereka dengan lima ratus bhikkhu di Vihara Jetavana, di Savatthi, 45 yojana dari Rajagaha.

Maha Moggallana, dengan kekuatan batin luar biasanya, membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti tersebut, untuk menghadap Sang Buddha. Di sana dia mendanakan roti tersebut kepada Sang Buddha dan lima ratus bhikkhu. Selesai makan siang, Sang Buddha menyampaikan khotbah mengenai kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Keesokan sore harinya, ketika para bhikkhu sedang bercakap-cakap dan memuji Maha Moggallana, Sang Buddha menghampiri mereka dan berkata, "Para bhikkhu, seharusnya kamu juga berdiam dan berkelakuan di desa seperti Maha Moggallana, menerima pemberian dari penduduk desa tanpa mempengaruhi keyakinan dan kemurahan hati mereka, atau kesejahteraan mereka."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 49 berikut :

Bagaikan seekor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya; demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.

Syair 50

(6) Kisah Pertapa Paveyya

Seorang wanita kaya berasal dari Savatthi telah mengangkat Paveyya, seorang pertapa, sebagai seorang anak dan memenuhi semua kebutuhannya. Ketika dia mendengar tetangganya memuji Sang Buddha, dia sangat berharap dapat mengundang Beliau ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Maka, Sang Buddha diundang ke rumah wanita kaya tersebut dan makanan terpilih telah disiapkan.

Ketika Sang Buddha sedang menyampaikan anumodana, Paveyya, yang berada di ruang sebelah, menjadi sangat murka. Dia menyalahkan dan mengutuk wanita tersebut karena menghormati Sang Buddha. Wanita tersebut mendengar kutukan serta teriakannya, menjadi sangat malu sehingga dia tidak dapat berkonsentrasi terhadap apa yang disampaikan oleh Sang Buddha. Sang Buddha berkata kepada wanita itu agar tidak usah memperhatikan kutukan-kutukan dan perlakuan tersebut, tetapi perhatikan saja perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dilakukan oleh dirinya sendiri.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 50 berikut :

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh orang lain. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.

Wanita kaya tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 51 dan 52

(7) Kisah Chattapani, Seorang Umat Awam

Seorang umat awam bernama Chattapani yang merupakan seorang anagami tinggal di Savatthi. Pada satu kesempatan, Chattapani menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana, mendengarkan khotbah Dhamma dengan penuh hormat dan penuh perhatian.

Ketika itu Raja Pasenadi juga sedang mengunjungi Sang Buddha. Chattapani tidak berdiri sebab dia berpikir bahwa berdiri berarti dia memberikan hormat kepada raja bukan kepada Sang Buddha. Raja menganggap hal ini adalah suatu penghinaan dan melanggar peraturan. Sang Buddha mengetahui pemikiran Raja Pasenadi; maka Beliau memuji Chattapani, yang sangat baik dalam Dhamma dan juga telah mencapai tingkat kesucian anagami.

Mendengar hal ini, Raja Pasenadi sangat terpesona dan memberikan penghormatan kepada Chattapani.

Pada pertemuan berikutnya, raja bertemu dengan Chattapani dan berkata, "Anda sangat pandai; dapatkah anda datang ke istana dan memberikan pelajaran Dhamma kepada kedua orang istriku ?" Chattapani menolak tetapi beliau menyarankan untuk meminta izin kepada Sang Buddha agar menugaskan seorang bhikkhu untuk memberikan pelajaran Dhamma. Raja menghampiri Sang Buddha dan menceritakan maksudnya. Sang Buddha memerintahkan Ananda untuk memberikan pelajaran Dhamma secara teratur kepada Ratu Mallika dan Ratu Vasabhakhattiya di istana.

Setelah beberapa waktu, Sang Buddha bertanya kepada Ananda tentang kemajuan dari kedua orang ratu tersebut. Ananda menjawab bahwa Ratu Mallika mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh, sedangkan Vasabhakhatiya tidak sungguh-sungguh belajar Dhamma. Mendengar ini Sang Buddha berkata bahwa Dhamma akan memberikan manfaat bagi seseorang yang mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, penuh hormat, dan penuh perhatian serta rajin mempraktekkan apa yang telah dipelajari.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 51 dan 52 berikut :

Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum; demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.

Syair 53

(8) Kisah Visakha

Seorang hartawan dari Bhaddiya bernama Danancaya, dari isterinya Sumanadevi mempunyai puteri yang dinamai Visakha. Visakha juga merupakan cucu dari Mendaka, salah seorang dari lima hartawan yang ada di wilayah kerajaan Raja Bimbisara. Ketika Visakha berusia tujuh belas tahun, Sang Buddha berkunjung ke Bhaddiya.

Pada suatu kesempatan hartawan Mendaka mengajak Visakha dan lima ratus pengawalnya untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Visakha, kakeknya dan semua lima ratus pengawalnya mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Ketika Visakha dewasa, dia menikah dengan Punnavaddhana, putra Migara, seorang hartawan dari Savatthi. Suatu hari, ketika Migara sedang makan siang, seorang bhikkhu berhenti untuk berpindapatta di rumah tersebut; tetapi Migara menolak bhikkhu tersebut.

Visakha melihat hal ini, kemudian berkata kepada bhikkhu tersebut: "Maafkan saya, teruslah berjalan Bhante, ayah mertua saya hanya makan makanan basi."

Mendengar hal itu, Migara menjadi sangat marah dan menyuruhnya untuk pergi. Tetapi Visakha mengatakan bahwa ia tidak akan pergi, dan dia akan memanggil delapan wali yang dikirim oleh ayahnya untuk menemaninya dan menasehatinya. Wali-wali tersebut akan memutuskan apakah Visakha bersalah atau tidak bersalah.

Ketika para wali telah berkumpul, Migara berkata: "Ketika saya sedang makan nasi dan susu dengan mangkuk emas, Visakha mengatakan bahwa saya makan makanan kotor dan basi. Untuk kesalahan itu, saya akan mengirimnya pulang."

Kemudian Visakha menjelaskan sebagai berikut : "Ketika saya melihat ayah mertua saya membiarkan seorang bhikkhu berdiri untuk berpindapatta. Saya berpikir bahwa ayah mertua saya tidak mau melakukan perbuatan baik pada saat ini, beliau hanya makan hasil dari perbuatan baiknya yang lampau. Maka, saya mengatakan, ayah mertua saya hanya makan makanan basi. Sekarang tuan-tuan, apakah anda pikir, saya bersalah ?" Para wali memutuskan bahwa Visakha tidak bersalah.

Visakha kemudian mengatakan bahwa dia salah seorang pengikut Buddha yang taat dan berkeyakinan kuat dan tidak dapat tinggal diam ketika para bhikkhu datang. Juga, apabila dia tidak diberikan izin untuk mengundang para bhikkhu untuk menerima dana makanan dan persembahan lainnya, dia akan meninggalkan rumah. Maka Visakha memperoleh izin untuk mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumahnya.

Keesokan harinya Sang Buddha dan murid-muridnya diundang kerumah Visakha. Ketika dana makanan telah disajikan, Visakha mengundang ayah mertuanya untuk bersama-sama mendanakan makanan tersebut. Tetapi ayah mertuanya tidak mau datang. Setelah makan siang berakhir, sekali lagi dia mengundang ayah mertuanya, kali ini dengan pesan agar ayah mertuanya datang untuk ikut mendengarkan khotbah yang akan segera diberikan oleh Sang Buddha. Ayah mertuanya merasa bahwa tidak seharusnya dia menolak untuk kedua kalinya. Tetapi, gurunya, pertapa Nigantha, tidak mengizinkan dia pergi. Mereka memutuskan untuk mendengarkan dari balik tirai. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Migara mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dia sangat berterima kasih kepada Sang Buddha dan juga menantunya.

Sebagai bentuk rasa terima kasihnya, ia menyatakan bahwa mulai sekarang Visakha akan menjadi ibunya, dan Visakha kemudian dikenal sebagai Migaramata.

Visakha mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan, dan masing-masing anak mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.

Visakha memiliki sebuah perhiasan yang dihiasi dengan permata-permata yang mahal harganya, pemberian ayahnya pada hari pernikahannya. Suatu hari Visakha pergi ke Vihara Jetavana bersama para pengikutnya. Saat tiba di vihara, ia merasa bahwa perhiasannya sangat berat. Maka, ia melepaskan perhiasannya dan membungkusnya dengan selendang, memberikan kepada pelayannya untuk dibawa dan dijaganya. Ternyata pelayan tersebut lupa ketika mereka meninggalkan vihara. Sudah menjadi kebiasaan Y.A. Ananda menyimpan barang-barang yang ditinggalkan oleh umat.

Visakha mengirim kembali pelayannya ke vihara: "Pergi dan lihatlah perhiasan permata itu, tetapi jika Y.A. Ananda telah menemukan dan menyimpannya di suatu tempat, jangan bawa pulang kembali; saya mendanakan perhiasan permata itu kepada Y.A. Ananda." Tetapi Y.A. Ananda tidak menerima dana tersebut.

Maka Visakha memutuskan untuk menjual perhiasan tersebut dan kemudian akan mendanakan hasil penjualannya. Tetapi tidak seorangpun yang mampu membeli perhiasan tersebut. Akhirnya Visakha membelinya sendiri seharga sembilan crore dan satu lakh. Dengan uang tersebut ia membangun sebuah vihara di bagian timur kota; vihara ini dikenal dengan nama Pubbarama.

Setelah upacara pelimpahan jasa ia mengundang seluruh keluarganya dan mengatakan kepada mereka bahwa semua keinginannya telah terpenuhi dan ia tidak lagi mempunyai keinginan. Kemudian sambil melantunkan lima syair kegembiraan ia berputar mengelilingi vihara.

Beberapa bhikkhu mendengarnya. Mereka berpikir bahwa kelakuan Visakha sangat berlebihan. Maka mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa Visakha tidak seperti sebelumnya, berkeliling vihara sambil menyanyi. Para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha: "Apakah itu berarti Visakha kehilangan akal sehatnya?"

Sang Buddha menjawab, "Hari ini, Visakha telah memenuhi semua keinginannya di masa lampau maupun saat ini dan atas usaha sendiri. Ia merasa gembira dan puas. Visakha sedang melantunkan beberapa syair kegembiraan; yang pasti ia tidak kehilangan akal sehatnya. Visakha, pada kehidupan lampau, selalu menjadi seorang pendana yang murah hati dan bersemangat mendukung ajaran-ajaran para Buddha. Ia juga berkecenderungan kuat melakukan perbuatan-perbuatan baik, dan telah melakukan hal-hal baik juga pada kehidupan lampaunya, seperti seorang ahli bunga menyusun banyak rangkaian bunga dari setumpuk bunga.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 53 berikut :

Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.

Syair 54 dan 55

(9) Kisah Pertanyaan Ananda

Di suatu senja, Y.A. Ananda sedang duduk sendiri. Dalam pikiran beliau timbul masalah yang berkaitan dengan bau dan wangi-wangian. Ia berpikir : "Harumnya kayu, harumnya bunga-bunga, dan harumnya akar-akaran semuanya menyebar searah dengan arah angin tetapi tidak bisa berlawanan dengan arah angin. Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat melawan arah angin ? Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat merebak ke seluruh dunia?"

Tanpa menjawab pertanyaannya sendiri, Y.A. Ananda menghampiri Sang Buddha dan meminta jawaban dari-Nya.

Sang Buddha mengatakan,"Ananda, andai saja, ada seseorang yang berlindung terhadap Tiga Permata (Buddha, Dhamma, Sangha), yang melaksanakan lima latihan sila, yang murah hati dan tidak kikir, seseorang yang sungguh bijaksana dan layak memperoleh pujian. Kebajikan orang tersebut akan menyebar jauh dan luas, dan para bhikkhu, brahmana dan semua umat akan menghormatinya dimanapun ia tinggal."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 54 dan 55 berikut ini :

Harumnya bunga tak dapat melawan arah angin. Begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan arah angin; harumnya nama orang bajik dapat menyebar ke segenap penjuru.

Harumnya kebajikan adalah jauh melebihi harumnya kayu cendana, bunga tagara, teratai maupun melati.

Syair 56

(10) Kisah Mahakassapa Thera

Setelah mencapai Nirodhasamapatti (pencerapan batin mendalam), Mahakassapa Thera memasuki suatu desa yang miskin di kota Rajagaha untuk berpindapatta. Beliau bermaksud untuk memberikan kesempatan bagi orang-orang miskin tersebut untuk memperoleh jasa baik sebagai hasil berdana kepada seseorang yang baru saja mencapai Nirodhasamapatti.

Sakka, raja para dewa, yang berharap mendapat kesempatan untuk berdana kepada Mahakassapa Thera, menyamar sebagai tukang tenun yang sudah tua dan miskin dan datang ke Rajagaha dengan istrinya Sujata yang menyamar sebagai wanita tua.

Mahakassapa Thera berdiri di depan pintu rumah mereka. Tukang tenun yang sudah tua itu mengambil mangkuk dari Mahakassapa Thera dan mengisi mangkuk tersebut penuh dengan nasi dan kari, dan harumnya kari tersebut menyebar ke seluruh kota. Kejadian ini menyadarkan Mahakassapa Thera bahwa orang tersebut bukan manusia biasa. Dia menghampiri untuk meyakinkan bahwa orang tersebut adalah Sakka.

Sakka mengakui siapa dia sebenarnya dan menyatakan bahwa dia juga miskin sebab dia jarang mempunyai kesempatan untuk mendanakan sesuatu kepada seseoang selama masa kehidupan para Buddha. Setelah mengatakan hal tersebut, Sakka dan istrinya meninggalkan Mahakassapa Thera; setelah memberikan penghormatan kepadanya.

Sang Buddha, dari vihara tempat Beliau tinggal, mengetahui bahwa Sakka dan Sujata telah pergi dan mengatakan kepada para bhikkhu tentang dana makanan dari Sakka kepada Mahakassapa Thera. Para bhikkhu kagum bagaimana Sakka mengetahui bahwa Mahakassapa Thera baru mencapai Nirodhasamapatti, dan merupakan waktu yang sangat tepat dan bermanfaat baginya untuk berdana kepada Sang Thera. Pertanyaan ini diajukan kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha menjawab, " Para bhikkhu, kebajikan seseorang seperti putraku, Mahakassapa Thera, menyebar luas dan jauh; bahkan mencapai alam dewa. Karena timbunan perbuatan baiknya, Sakka sendiri telah datang untuk berdana makanan kepadanya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 56 berikut :

Tidaklah seberapa harumnya bunga tagara dan kayu cendana; tetapi harumnya mereka yang memiliki sila (kebajikan) menyebar sampai ke surga.

Syair 57

(11) Kisah Godhika Thera

Godhika Thera, pada suatu kesempatan, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang, di atas lempengan batu di kaki gunung Isigili di Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana, beliau jatuh sakit; dan kondisi ini mempengaruhi latihannya. Dengan mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap berlatih dengan keras; tetapi setiap kali beliau mencapai kemajuan beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam kali. Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras hingga mencapai tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.

Tanpa beristirahat beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan memilih perasaan sakit sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai arahat, tepat sebelum beliau meninggal.

Ketika Mara mendengar bahwa Godhika Thera telah meninggal dunia, ia mencoba untuk menemukan dimana Godhika Thera tersebut dilahirkan tetapi gagal. Maka, dengan menyamar seperti laki-laki muda, Mara menghampiri Sang Buddha dan bertanya di mana Godhika Thera sekarang. Sang Buddha menjawab, "Tidak ada manfaatnya bagi kamu untuk mengetahui Godhika Thera. Setelah terbebas dari kekotoran-kekotoran moral ia mencapai tingkat kesucian arahat. Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh kekuatanmu tidak akan dapat menemukan ke mana para arahat pergi setelah meninggal dunia."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 57 berikut :

Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila, yang hidup tanpa kelengahan, dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.

Syair 58 dan 59

(12) Kisah Garahadinna

Ada dua orang sahabat bernama Sirigutta dan Garahadinna tinggal di Savatthi. Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha, pertapa yang memusuhi Sang Buddha.

Dalam hal berkaitan dengan Nigantha, Garahadinna seringkali berkata kepada Sirigutta, "Apa manfaat yang kamu dapatkan menjadi pengikut Buddha ? Kemarilah, jadilah pengikut guruku." Setelah berulang kali dibujuk, Sirigutta berkata kepada Garahadinna, "Katakan padaku, apa yang diketahui oleh gurumu?" Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat mengetahui segalanya. Dengan kekuatannya dia dapat mengetahui masa lampau, saat ini, dan masa depan dan juga dapat membaca pikiran orang lain. Maka, Sirigutta mengundang Nigantha untuk datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan.

Sirigutta ingin mengetahui kebenaran tentang Nigantha, apakah mereka benar-benar memiliki kekuatan untuk mengetahui pikiran seseorang, masa lampau, sekarang dan masa depan seseorang.

Maka ia membuat sebuah parit yang dalam dan panjang dan dipenuhi dengan sampah dan kotoran. Tempat duduk untuk Nigantha dan murid-muridnya ditempatkan dengan sembarangan di atas parit. Belanga-belanga kotor dan besar dibawa masuk dan ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatan seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.

Ketika pertapa-pertapa Nigantha tiba, mereka dipersilakan untuk masuk satu per satu, untuk berdiri di dekat tempat duduk yang telah disiapkan, dan langsung dipersilakan duduk. Ketika mereka telah duduk, penutup parit tadi pecah dan pertapa-pertapa Nigantha jatuh ke dalam parit yang kotor.

Kemudian Sirigutta bertanya kepada mereka, "Kenapa kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan ? Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain?" Semua pertapa-pertapa Nigantha merasa dijebak.

Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta dan menolak untuk berbicara dengannya selama dua minggu. Kemudian, ia memutuskan bahwa ia akan membalas perlakuan Sirigutta. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak marah lebih lama lagi.

Suatu hari ia menyuruh Sirigutta mengundang Sang Buddha dan lima ratus muridnya untuk berpindapatta. Maka Sirigutta menghadap Sang Buddha dan mengundangnya ke rumah Garahadinna. Ia mengatakan kepada Sang Buddha apa yang ia lakukan kepada pertapa-pertapa Nigantha, guru Garahadinna. Ia juga menunjukkan rasa takut bahwa undangan tersebut mungkin suatu jebakan.

Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui bahwa akan merupakan suatu kesempatan bagi dua sahabat itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dengan tersenyum Sang Buddha menyatakan undangan tersebut diterima.

Garahadinna membuat sebuah parit, dipenuhi dengan bara yang menyala dan ditutup dengan karpet. Dia juga meletakkan belanga-belanga kosong yang ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatannya penuh dengan nasi dan kari.

Keesokan harinya, Sang Buddha datang diikuti oleh lima ratus bhikkhu dalam satu rombongan. Ketika Sang Buddha melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala, karpet dan bara api tiba-tiba menghilang, dan lima ratus bunga teratai sebesar roda kereta, membentang untuk Sang Buddha dan murid-muridnya duduk.

Melihat keajaiban ini, Garahadinna sangat cemas dan dia mengatakan kepada Sirigutta: "Bantulah saya, teman. Bukan keinginan saya untuk membalas dendam. Saya telah melakukan perbuatan yang salah. Rencana buruk saya tidak ada yang berpengaruh terhadap semua gurumu. Periuk-periuk yang ada di dapur semuanya kosong. Tolonglah saya."

Sirigutta kemudian berkata kepada Garahadinna untuk pergi dan melihat periuk-periuk tersebut. Ketika Garahadinna melihat ke dapur semua periuk-periuknya telah berisi makanan. Ia menjadi sangat kagum. Pada waktu yang sama juga menjadi sangat lega dan gembira. Makanan tersebut kemudian disajikan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya.

Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana terhadap perbuatan baik itu dan beliau berkata, "Mereka yang tidak-tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kualitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 58 dan 59 berikut ini:

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan, tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.

Begitu juga di antara orang duniawi, siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb4.htm


Kembali ke daftar isi bab ini..

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada

Bab 3

PIKIRAN [citta vagga]


(1) Kisah Meghiya Thera
(2) Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu

(3) Kisah Seorang Bhikkhu yang Tidak Puas

(4) Kisah Samgharakkhita Thera

(5) Kisah Cittahattha Thera

(6) Kisah Lima Ratus Bhikkhu

(7) Kisah Putigattatissa Thera

(8) Kisah Nanda, Seorang Pengawas

(9) Kisah Soreyya

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 33 dan 34

(1) Kisah Meghiya Thera

Pada suatu waktu Meghiya Thera menghadap Sang Buddha dan tinggal beberapa waktu di sana. Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah menerima dana makanan, Meghiya Thera tertarik pada suatu hutan mangga yang menyenangkan dan indah.

"Hutan ini demikian indah dan tenang, cocok untuk tempat berlatih meditasi," demikian pikirnya. Setibanya di Vihara, ia segera menghadap Sang Buddha dan meminta ijin agar diperbolehkan segera pergi ke sana.

Mulanya, Sang Buddha meminta dia agar menundanya untuk beberapa waktu, karena dengan hanya menyenangi tempat saja tidak akan menolong memajukan meditasi.

Tetapi Meghiya Thera ingin segera pergi, lalu ia mengulangi dan mengulangi lagi permohonannya. Akhirnya Sang Buddha mengatakan agar melakukan apa yang dia inginkan.

Segera Meghiya Thera pergi ke hutan mangga, duduk di bawah pohon dan berlatih meditasi. Tetapi pikirannya berkeliaran terus, tanpa tujuan, dan sukar berkonsentrasi.

Sore harinya, dia kembali dan melapor kepada Sang Buddha mengapa sepanjang waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat dan pikiran kejam (kama vitakka, byapada vitakka, dan vihimsa vitakka).

Atas pertanyaan itu Sang Buddha kemudian membabarkan syair 33 dan 34 berikut ini :

Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap; pikiran susah dikendalikan dan dikuasai. Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.

Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke atas tanah, pikiran itu selalu menggelepar. Karena itu cengkeraman dari Mara harus ditaklukkan.

Meghiya Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 35

(2) Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu

Suatu ketika, enam puluh bhikkhu, setelah mendapatkan cara bermeditasi dari Sang Buddha, pergi ke desa Matika, di kaki sebuah gunung. Di sana, Matikamata, ibu dari kepala desa, memberikan dana makanan kepada para bhikkhu; Matikamata juga mendirikan sebuah vihara untuk para bhikkhu bertempat tinggal selama musim hujan.

Suatu hari Matikamata bertanya kepada para bhikkhu perihal cara-cara bermeditasi. Bhikkhu-bhikkhu itu mengajarkan kepadanya bagaimana cara bermeditasi dengan tiga puluh dua unsur bagian tubuh untuk menyadari kerapuhan dan kehancuran tubuh. Matikamata melaksanakannya dengan rajin dan mencapai tiga magga dan phala bersamaan dengan pandangan terang analitis dan kemampuan batin luar biasa, sebelum para bhikkhu itu mencapainya.

Dengan munculnya berkah magga dan phala ia dapat melihat dengan mata batin (dibbacakkhu). Ia mengetahui para bhikkhu itu belum mencapai magga. Ia juga tahu bahwa bhikkhu-bhikkhu itu mempunyai cukup potensi untuk mencapai arahat, tetapi mereka memerlukan makanan yang cukup dan penuh gizi, karena tubuh yang lemah akan mempengaruhi pikiran untuk berkonsentrasi.

Maka, Matikamata menyediakan makanan pilihan untuk mereka. Dengan makan makanan yang sesuai dan pengendalian yang benar, para bhikkhu dapat mengembangkan konsentrasinya dengan benar dan akhirnya mencapai arahat.

Akhir musim hujan, para bhikkhu kembali ke vihara Jetavana, tempat bersemayam Sang Buddha. Mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa mereka semua dalam keadaan kesehatan yang baik dan menyenangkan, mereka sudah tidak khawatir perihal makanan. Mereka juga menceritakan Matikamata mengetahui pikiran mereka dan menyediakan serta memberi mereka banyak makanan yang sesuai.

Seorang bhikkhu, yang mendengar pembicaraan mereka tentang Matikamata, memutuskan untuk melakukan hal yang sama pergi ke desa itu. Setelah memperoleh cara-cara meditasi dari Sang Buddha ia tiba di vihara desa. Di sana, ia menemukan bahwa segala yang diharapkannya sudah dikirim oleh Matikamata, umat yang dermawan.

Ketika bhikkhu itu mengharap Matikamata datang, ia datang ke vihara, dengan pilihan banyak makanan. Sesudah makan, bhikkhu itu bertanya kepada Matikamata apakah ia bisa membaca pikiran orang lain. Matikamata mengelak dengan pertanyaan balasan, "Orang yang dapat membaca pikiran orang lain berkelakuan semakin jauh dari ‘Sang Jalan’."

Dengan terkejut bhikkhu itu berpikir, "Mungkinkah saya, berkelakuan seperti perumah tangga yang terikat pikiran tidak suci, dan ia sungguh-sungguh mengetahuinya ?" Bhikkhu itu khawatir terhadap umat dermawan tersebut dan memutuskan kembali ke Vihara Jetavana.

Ia menyampaikan kepada Sang Buddha bahwa ia tidak dapat tinggal di desa Matika karena ia khawatir bahwa umat dermawan yang setia itu mungkin melihat ketidak-sucian pikirannya.

Sang Buddha kemudian berkata kepada bhikkhu itu untuk memperhatikan hanya pada satu hal, yaitu mengawasi pikiran. Beliau juga berkata kepada bhikkhu itu untuk kembali ke vihara desa Matika, tidak memikirkan sesuatu yang lain, tetapi hanya pada obyek meditasinya.

Bhikkhu tersebut kembali ke desa Matika. Umat dermawan itu tetap memberikan dana makanan yang baik kepadanya seperti yang dilakukannya kepada para bhikkhu lain, dan bhikkhu itu melaksanakan meditasi dengan tanpa rasa khawatir lagi. Dalam jangka waktu yang pendek, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat.

Berkenaan dengan bhikkhu itu, Sang Buddha membabarkan syair 35 berikut ini :

Sukar dikendalikan pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya. Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa kebahagiaan.

Para bhikkhu yang berkumpul pada saat itu mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 36

(3) Kisah Seorang Bhikkhu yang Tidak Puas

Ada seorang pemuda anak seorang bankir bertanya kepada seorang bhikkhu yang menghampiri rumahnya untuk berpindapatta, apakah yang harus dilakukan untuk membebaskan diri dari penderitaan dalam kehidupan saat ini.

Bhikkhu itu menyarankan untuk memisahkan tanahnya dalam tiga bagian. Satu bagian untuk mata pencahariannya, satu bagian untuk menyokong keluarga, dan satu bagian lagi untuk berdana.

Ia melakukan semua petunjuk itu, kemudian pemuda itu menanyakan lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Disarankan lebih lanjut; pertama, berlindung kepada Tiratana dan melaksanakan lima sila; kedua, melaksanakan sepuluh sila; dan ketiga, meninggalkan kehidupan keduniawian dan memasuki Pasamuan Sangha. Pemuda itu menyanggupi semua saran dan ia menjadi seorang bhikkhu.

Sebagai seorang bhikkhu, ia mendapat pelajaran Abhidhamma dari seorang guru dan vinaya oleh guru lainnya. Selama mendapat pelajaran ia merasa bahwa Dhamma itu terlalu berat untuk dipelajari, dan peraturan vinaya terlalu keras dan terlalu banyak, sehingga tidak banyak kebebasan, bahkan untuk mengulurkan tangan sekalipun.

Bhikkhu itu berpikir bahwa mungkin lebih baik untuk kembali pada kehidupan berumah tangga. Karena alasan ragu-ragu dan tidak puas, ia menjadi tidak bahagia dan menyia-nyiakan kewajibannya. Dia juga menjadi kurus dan kering.

Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui masalahnya, Beliau berkata, "Jika kamu hanya mengawasi pikiranmu, kamu tidak akan mempunyai apa-apa lagi yang akan diawasi; jadi jagalah pikiranmu sendiri."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 36 berikut :

Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus; pikiran bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.

Bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 37

(4) Kisah Samgharakkhita Thera

Suatu hari, tinggallah di Savatthi, seorang bhikkhu senior yang bernama Samgharakkhita. Ketika kakak perempuannya melahirkan anak laki-laki, ia memberi nama anaknya Samgharakkhita Bhagineyya. Keponakan Samgharakkhita, pada waktu itu, juga memasuki pasamuan Sangha.

Ketika bhikkhu muda tinggal di suatu vihara desa, ia diberi dua buah jubah, dan ia bermaksud memberikan satu jubah kepada pamannya, Samgharakkhita Thera. Akhir masa vassa, bhikkhu muda itu pergi ke pamannya untuk memberi hormat kepadanya dan memberikan jubah. Tetapi pamannya menolak untuk menerima jubah itu, dan berkata bahwa ia sudah mempunyai cukup. Walaupun bhikkhu muda mengulangi lagi permintaannya, pamannya tetap tidak mau. Bhikkhu muda itu merasa sakit hati dan berpikir bahwa sejak saat itu pamannya tidak sudi untuk berbagi kebutuhan dengannya. Akan lebih baik baginya untuk meninggalkan pasamuan Sangha dan hidup sebagai seorang perumah tangga.

Dari masalah itu, pikirannya mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Ia berpikir bahwa setelah meninggalkan pasamuan Sangha, ia akan menjual jubahnya dan membeli seekor kambing betina. Kambing betina itu akan segera melahirkan anak. Anak-anak kambing dijual dan segera ia akan mempunyai uang cukup untuk menikah. Isterinya akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia akan membawa isteri dan anaknya dengan sebuah kereta kecil untuk mengunjungi pamannya di vihara. Dalam perjalanan, ia akan berkata bahwa ia akan menggendong anaknya. Tetapi isterinya berkata kepadanya agar ia mengendarai kereta saja dan jangan mengurusi anak. Ia bersikeras dan merebut anak dari isterinya. Sewaktu terjadi perebutan, anak itu terjatuh dan terlindas roda kereta. Dengan marah ia memukul isterinya dengan cemeti.

Pada saat itu ia membelakangi pamannya dengan memegang kipas daun palem dan ia dengan tidak sengaja memukul kepala pamannya dengan kipasnya. Samgharakkhita tua mengetahui pikiran bhikkhu muda itu dan berkata, "Kamu tidak sanggup menghajar isterimu; mengapa kamu menghajar seorang bhikkhu tua ?" Samgharakkhita muda sangat terkejut dan malu atas kata-kata bhikkhu tua itu. Ia juga menjadi sangat ketakutan dan kemudian melarikan diri. Bhikkhu-bhikkhu muda lainnya dan penjaga vihara mengejarnya dan akhirnya membawanya ke hadapan Sang Buddha.

Ketika membicarakan seluruh kisah bhikkhu muda itu, Sang Buddha berkata bahwa pikiran memiliki kemampuan untuk berpikir pada suatu obyek yang berkepanjangan, dan seseorang seharusnya berusaha keras untuk bebas dari belenggu nafsu keinginan, kebencian, dan kegelapan batin.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 37 berikut ini :

Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati. Mereka yang dapat mengendalikannya, akan bebas dari jeratan Mara.

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 38 dan 39

(5) Kisah Cittahattha Thera

Seorang laki-laki yang berasal dari Savatti, ketika mengetahui lembu jantannya hilang, mencarinya ke dalam hutan. Yang dicari tidak juga diketemukan. Akhirnya ia merasa lelah dan sangat lapar. Ia singgah ke sebuah vihara desa, dengan harapan di situ ia akan mendapatkan sisa dari makanan pagi.

Pada saat makan, terpikir olehnya bahwa ia bekerja sangat keras setiap hari tetapi tidak mendapatkan cukup makanan. Para bhikkhu itu kelihatannya tak pernah bekerja, tetapi selalu mendapat makanan yang cukup. Bahkan berlebih. Maka muncul sebuah ide yang baik untuk menjadi seorang bhikkhu.

Kemudian ia bertanya kepada para bhikkhu untuk memperoleh izin memasuki pasamuan Sangha. Saat di vihara laki-laki itu melakukan tugas-tugasnya sebagai seorang bhikkhu dan di vihara terdapat banyak makanan, sehingga ia segera menjadi gemuk.

Sesudah beberapa waktu, ia bosan berpindapatta dan kembali pada kehidupan berumah tangga.

Beberapa waktu kemudian, ia merasa bahwa kehidupannya di rumah terlalu sibuk dan ia kembali ke vihara untuk diizinkan menjadi seorang bhikkhu untuk kedua kalinya.

Untuk kedua kalinya, ia meninggalkan pasamuan Sangha dan kembali menjadi perumah tangga.

Lagi, ia pergi ke vihara untuk ketiga kalinya dan kemudian lepas jubah lagi.

Proses ini terjadi enam kali, dan karena ia melakukan hanya menuruti kemauannya saja, maka ia dikenal sebagai Citahattha Thera.

Pada saat pulang balik antara rumahnya dan vihara, isterinya hamil. Sebenarnya ia belum siap menjadi bhikkhu, ia memasuki pasamuan bhikkhu hanya karena kesenangannya saja. Jadi, ia tidak pernah berbahagia, baik sebagai perumah tangga, maupun sebagai seorang bhikkhu.

Suatu hari, saat hari terakhir tinggal di rumah, ia masuk ke kamar tidur pada saat isterinya sedang tidur. Isterinya hampir telanjang, memakai pakaian yang sebagian terjulai jatuh. Isterinya juga mengorok dengan suara keras melalui hidung dan dari mulutnya keluar lendir dan ludah. Jadi dengan mulut yang terbuka dan perut yang gembung, ia terlihat hanya seperti mayat. Melihat keadaan isterinya, ia tiba-tiba merasa ketidakkekalan dan ketidakindahan tubuh jasmani, dan ia membayangkan: "Saya telah menjadi seorang bhikkhu beberapa kali dan hal ini hanya dikarenakan perempuan ini, yang menjadikan saya tidak dapat menjadi seorang bhikkhu……"

Kemudian ia mengambil jubah kuningnya, dan pergi meninggalkan rumahnya pergi ke vihara untuk ke tujuh kalinya. Karena ia dalam perjalanan mengulangi kata-kata "tidak kekal" dan "penderitaan" (anicca dan dukkha) dan dapat meresapi artinya, ia mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam perjalanan ke vihara.

Setelah tiba di vihara ia berkata kepada para bhikkhu agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha. Para bhikkhu menolak dan berkata, "Kami tidak dapat mengizinkanmu lagi menjadi seorang bhikkhu. Kamu berulangkali mencukur rambut kepalamu sehingga kepalamu seperti sebuah batu yang diasah."

Masih ia memohon dengan amat sangat agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha sekali ini dan mereka memenuhinya. Dalam beberapa hari bhikkhu Cittahattha mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis.

Bhikkhu lain kagum melihat dia sekarang dapat tetap tinggal dalam jangka waktu lama di vihara. Mereka bertanya apa sebabnya ? Terhadap hal itu, beliau menjawab, "Saya pulang ke rumah ketika saya masih memiliki kemelekatan dalam diri saya, tetapi kemelekatan itu sekarang telah terpotong."

Bhikkhu-bhikkhu yang tidak percaya kepadanya, menghadap Sang Buddha dan melaporkan hal itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata,"Bhikkhu Cittahattha telah berbicara benar; ia berpindah-pindah antara rumah dan vihara karena waktu itu pikirannya tidak mantap dan tidak mengerti Dhamma. Tetapi pada saat ini, Cittahattha telah menjadi seorang arahat; ia telah mengatasi kebaikan dan kejahatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 38 dan 39 berikut ini:

Orang yang pikirannya tidak teguh, yang tidak mengenal ajaran yang benar, yang keyakinannya selalu goyah, orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.

Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah mengatasi keadaan baik dan buruk, di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.

Syair 40

(6) Kisah Lima Ratus Bhikkhu

Lima ratus bhikkhu yang berasal dari Savatthi, setelah memperoleh cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, mengadakan perjalanan sejauh seratus yojana dari Savatthi dan tiba pada sebuah hutan yang besar, suatu tempat yang cocok untuk melaksanakan meditasi. Banyak makhluk halus yang berdiam pada pohon-pohon di hutan tempat para bhikkhu tinggal, para makhluk halus itu merasa tidak sesuai berdiam di pohon bersama-sama mereka.

Para makhluk halus itu kemudian turun dari pohon dan berpikir, "Ah, para bhikkhu itu hanya bermeditasi untuk satu malam saja. Biarlah aku mengalah dan menyingkir dari pohon." Tetapi, sampai dini hari para bhikkhu itu belum pergi juga.

"Celaka, jangan-jangan para bhikkhu itu akan tinggal di sini sampai akhir masa vassa. Maka aku dan keluargaku terpaksa harus tinggal di tanah dalam waktu yang lama." Pikir makhluk-makhluk halus itu lagi. Mereka segera berunding dan memutuskan untuk menakut-nakuti para bhikkhu tersebut pada malam harinya, dengan membuat suara-suara dan hal-hal aneh yang menakutkan. Mereka memperlihatkan tubuh tanpa kepala, kepala tanpa tubuh, kerangka-kerangka yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya.

Bhikkhu-bhikkhu sangat terganggu dengan tingkah laku mereka dan akhirnya meninggalkan tempat itu, kembali menghadap Sang Buddha, serta menceritakan segala yang terjadi.

Setelah mendengarkan laporan mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu terjadi karena mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Mereka harus kembali ke hutan itu dengan membawa sesuatu yang sesuai (cinta kasih). Kemudian Sang Buddha mengajarkan ‘Metta Sutta’ (Sutta Pengembangan Cinta Kasih) kepada mereka, diawali dengan syair berikut :

Karaniyamattha kusalena
Yanta santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suhuju ca
Hal-hal inilah yang perlu dilakukan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan dan bermanfaat mencapai ketenangan sempurna (Nibbana).
Ia harus tepat guna, jujur, sungguh jujur, rendah hati, lemah lembut, tiada sombong, dst.

Bhikkhu-bhikkhu diharapkan untuk mengulang kembali sutta itu pada saat mereka tiba di pinggir hutan dan berada di vihara.

Para bhikkhu pergi kembali ke hutan dan melakukan pesan Sang Buddha. Makhluk halus penunggu pohon mendapat pancaran cinta kasih dari bhikkhu-bhikkhu.

Mengetahui bahwa para bhikkhu sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka, para makhluk halus membalas dengan menyambut selamat datang dan tidak mengganggu lagi. Di hutan itu tidak ada lagi suara-suara dan penglihatan-penglihatan yang aneh. Dalam suasana damai bhikkhu-bhikkhu bermeditasi dengan obyek tubuh jasmani, dan mereka memperoleh perealisasian bahwa tubuh ini rapuh dan tidak kekal keberadaannya.

Dari Vihara Jetavana, Sang Buddha, dengan kekuatan batinnya, mengetahui kemajuan batin bhikkhu-bhikkhu itu dan mengirimkan cahaya agar membuat mereka merasakan kehadiran Beliau.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seperti apa yang kalian telah realisasikan, tubuh ini sungguh-sungguh tidak kekal dan rapuh seperti sebuah tempayan tanah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 40 berikut :

Dengan mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan. Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya, dan hidup tanpa ikatan lagi.

Lima ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 41

(7) Kisah Putigattatissa Thera

Sesudah mendapatkan cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, Tissa Thera rajin melaksanakan meditasi dalam keadaan menderita suatu penyakit. Bisul-bisul kecil nampak di seluruh tubuh dan bisul itu berkembang menjadi luka yang besar. Ketika luka ini pecah, jubah atas dan bawahnya menjadi lengket, dicemari nanah dan darah, seluruh tubuhnya berbau busuk. Karena hal itu, beliau dikenal dengan sebutan Putigattatissa, Tissa yang tubuhnya berbau.

Pada saat Sang Buddha memandang alam semesta dengan penglihatan batin sempurna, Tissa Thera nampak dalam penglihatannya. Beliau melihat kesedihan Tissa Thera, yang telah ditinggal sendirian oleh murid-muridnya karena tubuhnya berbau. Dalam waktu yang sama, Sang Buddha mengetahui bahwa Tissa dapat segera mencapai tingkat kesucian arahat.

Sang Buddha mengeluarkan pancaran api di dekat tempat tinggal Tissa. Di tempat itu, Sang Buddha mendidihkan air, kemudian Beliau datang ke tempat Tissa berbaring, memegang tepi dipan.

Hal ini membuat murid-murid Tissa Thera berkumpul mengelilingi gurunya. Sesuai petunjuk Sang Buddha, mereka mengangkat Tissa Thera mendekati tempat pancaran api. Di tempat tersebut Tissa Thera dibasuh dan dimandikan. Ketika ia masih dimandikan, jubah atas dan bawahnya dicuci dan dikeringkan. Sesudah mandi, tubuh dan pikiran Tissa Thera menjadi segar. Segera batinnya berkembang mencapai satu titik konsentrasi.

Berdiri pada kepala dipan, Sang Buddha berkata kepadanya bahwa dalam tubuh ini tidak ada inti seperti sebatang kayu yang terbujur di atas tanah.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 41 berikut:

Aduh, tak lama lagi tubuh ini akan terbujur di atas tanah, dibiarkan saja, tanpa kesadaran, bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna.

Tissa Thera mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pencapaian pandangan terang analitis setelah khotbah Dhamma itu berakhir, kemudian beliau meninggal dunia. Sang Buddha kemudian menyuruh murid-murid Tissa Thera untuk segera mengkremasikan tubuh gurunya.

Atas pertanyaan mengapa Tissa tubuhnya berbau, Sang Buddha menerangkan bahwa Tissa, pada salah satu kehidupannya yang lampau adalah penangkap unggas yang kejam. Setelah tertangkap, tulang kaki dan tulang sayap burung itu selalu dipatahkannya, agar tak bisa melarikan diri. Akibat perbuatan kejamnya itu, Tissa terlahir kembali dengan tubuh berbau.

Syair 42

(8) Kisah Nanda, Seorang Pengawas

Nanda adalah seorang pengawas yang bertugas mengurus sapi-sapi milik Anathapindika. Meskipun ia hanya seorang pengawas, tetapi ia telah bertindak seperti pemiliknya.

Pada kesempatan-kesempatan tertentu, ia pergi ke rumah Anathapindika dan di sana ia kadang-kadang bertemu Sang Buddha dan mendengarkan khotbah-Nya. Nanda memohon Sang Buddha untuk berkunjung ke rumahnya. Tetapi Sang Buddha menolaknya dengan alasan bahwa saatnya belum tepat.

Setelah beberapa waktu, ketika mengadakan perjalanan dengan pengikutNya, Sang Buddha akhirnya pergi mengunjungi Nanda. Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi Nanda untuk mendapatkan ajaran sebagaimana mestinya.

Nanda dengan hormat menerima Sang Buddha dan para pengikutNya. Ia menjamu para tamu dengan susu, produk susu, dan pilihan menu makanan lainnya selama tujuh hari. Pada hari terakhir, setelah mendengarkan khotbah yang diberikan Sang Buddha, Nanda mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian Sang Buddha mohon diri pada hari itu. Nanda membawakan mangkuk Sang Buddha, mengikuti Sang Buddha sampai dengan jarak tertentu, lalu menghormat Sang Buddha dan pulang kembali ke rumah.

Pada saat itu, seorang pemburu yang merupakan musuh lama Nanda, memanahnya. Bhikkhu-bhikkhu, yang mengikuti Sang Buddha, melihat Nanda mati terjatuh. Mereka melaporkan hal itu kepada Sang Buddha: "Bhante, karena kedatangan Bhante, Nanda yang telah memberikan banyak persembahan dan menyertai Bhante pulang telah dibunuh pada saat ia pulang kembali ke rumahnya."

Kepada mereka Sang Buddha menjelaskan,"Para bhikkhu, apakah saya datang kemari atau tidak, ia tidak dapat melarikan diri dari kematian, akibat dari kamma lampaunya. Seperti halnya pikiran yang diarahkan secara keliru akan menjadikan seseorang jauh lebih berat terluka daripada luka yang dibuat oleh musuh ataupun pencuri. Pikiran yang diarahkan secara benar, adalah satu-satunya jaminan bagi seseorang untuk menjauhkan diri dari bahaya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 42 berikut :

Luka dan kesakitan macam apapun dapat dibuat oleh orang yang saling bermusuhan atau saling membenci. Namun pikiran yang diarahkan secara salah akan melukai seseorang jauh lebih berat.

Syair 43

(9) Kisah Soreyya

Suatu hari Soreyya beserta seorang teman dan beberapa pembantu pergi dengan sebuah kereta yang mewah untuk membersihkan diri (mandi). Pada saat itu, Mahakaccayana Thera sedang mengatur jubahnya di pinggir luar kota, karena ia akan memasuki kota Soreyya untuk berpindapatta. Pemuda Soreyya, melihat sinar keemasan dari Mahakaccayana Thera, berpikir: "Bagaimana apabila Mahakaccayana Thera menjadi isteriku, atau bagaimana apabila warna kulit isteriku seperti itu." Karena muncul keinginan seperti itu, kelaminnya berubah menjadi seorang wanita.

Dengan sangat malu, ia turun dari kereta dan berlari, pada jalan menuju ke arah Taxila. Pembantunya kehilangan dia, mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya.

Soreyya, sekarang seorang wanita, memberikan cincinnya sebagai ongkos kepada beberapa orang yang bepergian ke Taxila, dengan harapan agar ia diizinkan ikut dalam kereta mereka. Setelah tiba di Taxila, teman-teman Soreyya berkata kepada seorang pemuda kaya di Taxila tentang perempuan yang datang bersama mereka. Pemuda kaya itu melihat Soreyya yang begitu cantik dan seumur dengannya, menikahi Soreyya.

Perkawinan itu membuahkan dua anak laki-laki; dan ada juga dua anak laki-laki dari perkawinan Soreyya pada waktu masih sebagai pria.

Suatu hari, seorang anak orang kaya dari kota Soreyya datang di Taxila dengan lima ratus kereta. Perempuan Soreyya mengenalinya sebagai seseorang yang telah diutus oleh teman lamanya. Laki-laki dari kota Soreyya itu merasa senang bahwa ia diundang oleh seorang perempuan yang tidak dikenalnya. Ia berbicara dengan Soreyya bahwa ia tidak mengenalnya, dan bertanya kepada Soreyya apakah Soreyya mengetahui dirinya. Soreyya menjawab bahwa ia tahu tentang dirinya dan menanyakan kesehatan keluarganya dan beberapa orang-orang di kota Soreyya. Laki-laki dari kota Soreyya berbicara tentang anak orang kaya yang hilang secara misterius ketika pergi ke luar kota untuk mandi. Soreyya mengungkapkan identitas dirinya dan menghubungkan semua apa yang telah terjadi, tentang pikiran salahnya kepada Mahakaccayana Thera, tentang perubahan kelamin, dan perkawinannya dengan orang kaya di Taxila.

Laki-laki dari kota Soreyya menasehatinya untuk meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera diundang ke rumah perempuan Soreyya dan menerima dana makanan darinya. Sesudah bersantap, perempuan Soreyya dibawa menghadap Mahakaccayana Thera, dan laki-laki dari kota Soreyya berbicara kepada Mahakaccayana Thera bahwa perempuan ini pada waktu dulu adalah seorang anak laki-laki orang kaya di kota Soreyya. Ia kemudian menjelaskan kepada Mahakaccayana Thera bagaimana Soreyya menjadi perempuan karena berpikiran jelek pada saat menghormati Mahakaccayana Thera. Perempuan Soreyya dengan hormat meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera berkata,"Bangunlah, saya memaafkanmu." Segera setelah kata-kata itu diucapkan, perempuan tersebut berubah kelamin menjadi seorang laki-laki. Soreyya kemudian merenungkan bagaimana dengan satu keberadaan diri dan dengan satu keberadaan tubuh jasmani ia telah berubah kelamin, bagaimana anak-anak telah dilahirkannya. Merasa sangat cemas dan jijik terhadap segala hal itu, ia memutuskan untuk meninggalkan hidup berumahtangga dan memasuki Pasamuan Sangha di bawah bimbingan Mahakaccayana Thera.

Sesudah itu ia sering ditanya,"Siapa yang kamu cintai, dua anak laki-laki pada saat ia sebagai seorang laki-laki atau dua anak lain pada saat ia sebagai seorang isteri ?" Terhadap hal itu ia menjawab bahwa cinta kepada mereka yang dilahirkan dari rahimnya adalah lebih besar. Pertanyaan ini sering kali muncul, ia merasa sangat terganggu dan malu. Kemudian ia menyendiri dan dengan rajin, merenungkan penghancuran dan proses tubuh jasmani.

Tidak terlalu lama kemudian, ia mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis. Ketika pertanyaan lama ditanyakan kepadanya, ia menjawab bahwa ia telah tidak mempunyai lagi kesayangan pada sesuatu yang khusus. Bhikkhu-bhikkhu lain yang mendengarnya berpikir bahwa ia pasti berkata tidak benar.

Pada saat dilapori dua jawaban berbeda Soreyya itu, Sang Buddha berkata, "Anak-Ku berkata benar, ia telah berbicara benar. Jawabannya sekarang lain karena ia sekarang telah mencapai tingkat kesucian arahat sehingga ia tidak lagi menyayangi sesuatu yang khusus. Dengan pikiran terarah benar anak-Ku telah membuat dirinya berada pada suatu kehidupan baik, yang bukan diberikan oleh ayah maupun ibu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 43 berikut :

Bukan dengan pertolongan ibu, ayah, ataupun sanak keluarga; namun pikiran yang diarahkan dengan baik yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang.

Banyak bhikkhu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb3.htm


Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada