Rabu, 19 September 2007

Mundur Untuk Melangkah Maju

Zheng Ban Qiao (baca : cheng pan jiao) pada saat menjadi pejabat, adik-nya terlibat perselisihan dengan tetangga ketika sang adik membangun rumah, kedua belah pihak sama sekali tidak mau mengalah, sampai akhirnya keduanya masing – masing membangun tembok pembatas di bagian depan rumah mereka sehingga membuat jalan di depan rumah mereka tersebut buntu, tidak dapat dilalui lagi. Sang adik mengirim sepucuk surat kepada Zheng Ban Qiao, berharap agar sang kakak dapat membantunya untuk memenangkan persidangan kasus perselisihan ini. Namun Zheng Ban Qiao membalas surat tersebut dengan sebait puisi, yang berbunyi demikian :


Mengirim surat dari ribuan kilometer hanya demi sebidang tembok rumah, Apa sulitnya mengalah 3 kaki bagi tetangga itu, Tembok raksasa China yang hingga kini masih berdiri kokoh, Tetap tidak mampu membuat Raja Qin yang mendirikannya hidup abadi.


Para tetangga yang mengetahui hal itu sangat terharu, kedua belah pihak akhirnya saling mengalah selebar 3 kaki, yang kemudian justru menciptakan suatu kebaikan yang lebih agung bagi masyarakat sekitar, yakni di wilayah itu telah bertambah lagi satu jalan kecil/gang yang baru selebar 6 kaki.


Yang patut untuk dibahas adalah sikap Zheng Ban Qiao dalam menyelesaikan masalah ini, yang mengingatkan kita untuk: Mengalah selangkah de-ngan didasari kesabaran dan kebesaran hati, sekaligus juga tetap menjaga ketenangan dan ketentraman hati, niscaya pikiran kita akan menjadi jernih dan kebijakan tidak akan pernah luntur dari diri kita, perselisihan dan pertentangan baru dapat diselesaikan dengan baik, yang selanjutnya dapat memutar balikkan bahaya menjadi kedamaian.


Petani yang melangkah mundur dengan tubuh membungkuk sembari menancapkan bibit padi di petak sawah memberikan kita suatu pencerahan, suatu kesuksesan baru dapat diraih dengan menunduk dan melangkah mundur (menancapkan bibit padi dapat segera diselesaikan jika dilakukan de-ngan cara membungkuk sambil kita melangkah mundur). Selain itu, kiasan ini juga mengingatkan kita akan filosofi tingkat tinggi, bahwa mundur sesungguhnya adalah untuk maju.


Di dalam kehidupan manusia ada banyak kejadian yang kita alami yang sepertinya kita telah mengalah, sebenarnya kita justru telah melangkah maju. Kejadian Zheng Ban Qiao di atas merupakan suatu contoh yang terbaik untuk mengilustrasikan pernyataan ini.


Tang Yi Xuan

The Epoch Times/lin

Sumber: Erabaru News | Rabu 19 September 2007

Kiriman: jesse.rotinsulu@bp.pratamagroup.com

Artikel Bhikkhu Mettanando dari aliran Dhammakaya: BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT ?


Pengantar

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Buddha mencapai penerangan sempurna di usia 35 tahun dan selama 45 tahun menyebarkan Dharma tanpa setetes pertumpahan darah. Bertemu dengan Mara di sebelum menjadi Buddha, saat menjadi Buddha dan di menjelang wafatNya. Sebelum wafatnya, Beliau memberitahu murid-muridnya bahwa 3 bulan kemudian beliau Parinibanna dan disaat terakhirnya, sambil terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan nasehat terakhir: "handa dāni (dan sekarang) bhikkhave (Para Bhikkhu) āmantayāmi vo (Aku nasehati kalian): vayadhammā saṅkhārā (yang berkondisi tunduk pada kelapukan) appamādena (dengan kewaspadaan) sampādetha (capailah tujuan)" [DN16/Mahaparinibanna sutta].

Mungkin juga tidak banyak yang tahu bahwa siapapun dia, bahkan juga bagi seorang Buddha sekalipun, maka akan tetap merasakan hasil perbuatan yang pernah dilakukannya pada kehidupan-kehidupan sebelumnya,
    "Para bhikkhu, seorang yang menyatakan, 'Seperti apapun Kamma yang diperbuat seseorang, Demikian pula yang akan dialaminya, Jika demikian para bhikkhu, kehidupan suci tidak ada, tidak ada jalan mengakhiri Dukkha. TAPI para bhikkhu, seseorang yang menyatakan 'seperti apapun perasaan atas kamma yang diperbuat seseorang, Demikian pula hasil yang akan dialaminya, Jika demikian para bhikkhu, Kehidupan suci ada, ada jalan diberakhirnya Dukkha" [AN 3.99/lonapala Sutta]

    Aku tidak katakan, Para Bhikkhu, bahwa perbuatan disengaja selesai akumulasinya tanpa dialami penjelmaan menjadi berakhir baik itu di kehidupan saat ini, atau berikutnya, atau perjalanan kehidupan-kehidupan selanjutnya. JUGA tidak aku katakan, para bhikkhu, bahwa perbuatan disengaja selesai akumulasinya tanpa dialami diberakhirnya Dukkha. [AN 10.206/Sancetanika sutta]
Di bawah ini,
terdapat sebuah artikel karangan seorang Bhikkhu aliran Dhammakaya yang juga ahli medis. Beliau mengulas dari sisi ajaran dan medis mengenai dugaan-dugaan penyakit yang melanda Buddha Gautama yang dikaitkan dengan wafatnya. [Tulisan beliau, saya sajikan dalam garis miring dan warna biru].

Artikel ini menjadi subyek bahasan saya kali ini dan disela-sela tulisan beliau, saya sisipkan komentar saya.

Sebelumnya ada baiknya kita ketahui sekilas mengenai Dr Bhikkhu Mettanando:
Lahir di Bangkok, 17 May 1956, pada usia 26 tahun ditahbiskan menjadi Bhikkhu aliran Dhammakaya, di Wat Paknam Bhasecharoen, Bangkok (8 April 1982). Selama hampir 20 tahun (9 Juni 2531 BE/1988 M - 10 Oktober 2550 BE/2007 M) menjadi anggota Wat Phra Dhammakāya, Palang Tham Party dan menjadi orang lingkaran dalam aliran Dhammakaya, sebuah sekte yang menyimpang dari DhammaVinaya Buddhisme*) dan Ia merupakan satu diantara pemimpin utama sekte Dhammakaya. Ia juga pernah menjabat kepala Wat Dhammakaya California, USA yang pada tahun 1991-1994 aktif menggalang dana dan bantuan pembelaan untuk Johnathan Doody, yang membunuh 9 orang (6 bhikhu, 1 samanera, 1 biarawati, 1 umat awam di Wat Promkunaram Phoenix, 10 Aug 1991). Alasannya membela Doody pun unik: "Tidak ada saksi dari komunitas Thailand yang menceritakan di pengadilan aspek kultural dari fakta-fakta. Tidak terbayangkan bahwa seorang yang lahir dari orang tua Thailand mampu melakukan suatu tindak kejahatan seperti itu terhadap Bhikkhu", demikian dikatakannya saat itu. Setelah 25 tahun menjadi Bhikkhu, pada tahun 2007, Ia berhenti menjadi Bhikkhu dan berusaha berkarir seorang politikus namun gagal terpilih. Nama umat awamnya adalah Mano Laohavanich.

Bhagavant.com dalam catatan kakinya:
telah mengajar meditasi selama lebih dari tiga puluh tahun. Beliau mendapatkan gelar untuk sains dan gelar untuk dokter dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, dan menguasai bahasa Sanskerta dan kebudayaan agama India kuno berkat gelas Master yang diperolehnya dari Universitas Oxford. Gelar Master Theologi dari Havard Divinity School dan PhD. dari Universitas Hamburg, Jerman. Tesisnya difokuskan pada Meditasi dan Penyembuhan dari Tradisi Theravada di Thailand dan Laos. Saat ini (mengajar Agama Buddha dan Meditasi di Universitas Chulalongkorn dan Universitas Assumption, juga aktif di bidang pengobatan alternatif dalam hospice and palliative care, dan mengajar etika medis pada dokter dan perawat Thailand maupun secara internasional.

*) Contoh ajaran menyimpang aliran Dhammakaya misalnya tujuan buddhism bukan nibanna, deskripsi Nibanna sebagai tempat alam tertentu, terdapat mahluk pencipta Nibanna, dst :). Nah dari situlah sang Mantan Bhikkhu Mettanando mendapatkan ajarannya, ditahbiskan dan berdiam selama puluhan tahun :)

Selamat Membaca.

BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT

Judul asli: How The Buddha Died ? (Bangkok Post, May 15, 2001).
Terjemahan Indonesia: Bhagavant.com [
atau di sini]
Oleh: Dr. Bhikkhu Mettanando
-----

Selama hari Vesak, kita telah diberitahukan bahwa hari itu juga merupakan hari dimana Sang Buddha mencapai Parinibbana. Tetapi tidak banyak orang mengetahui bagaimana Sang Buddha wafat. Teks-teks kuno menampilkan dua kisah tentang wafatnya Sang Buddha. Apakah wafatnya Sang Buddha direncanakan dan merupakan kehendak Sang Buddha, atau apakah karena keracunan makanan, atau ada hal lain yang berkaitan satu sama dengan yang lain? Inilah jawabannya.

***

Mahaparinibbana Sutta, yang merupakan kotbah panjang dalam Tipitaka Pali, tidak diragukan lagi merupakan sumber yang paling dapat dipercaya untuk perincian atas wafatnya Siddhattha Gotama (563-483 SM), Sang Buddha.Mahaparinibbana Sutta disusun dalam bentuk naratif yang membiarkan para pembaca untuk mengikuti kisah hari-hari terakhir Sang Buddha, yang dimulai dari beberapa bulan sebelum Beliau wafat. Walaupun demikian, untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Sang Buddha adalah suatu hal yang tidak sederhana. Sutta, atau kotbah, melukiskan dua kepribadian Sang Buddha yang saling bertolak belakang, yang satu mengesampingkan yang lainnya.

Kepribadian Sang Buddha yang pertama adalah sebagai pembuat keajaiban yang menyeberangkan diriNya dan rombongan para bhikkhu ke seberang Sungai Gangga (D II, 89), Yang dengan mata batin melihat keberadaan para dewa di atas bumi (D II, 87), Yang dapat hidup sampai akhir dunia dengan syarat seseorang mengundangNya untuk melakukan hal itu (D II, 103), Yang menentukan waktu kemangkatanNya ( D II, 105), dan Yang kemangkatanNya dimuliakan dengan hujan bunga surgawi, serbuk kayu cendana dan musik surgawi (D II, 138).

Kepribadian Sang Buddha yang lainnya adalah sebagai layaknya makhluk berusia lanjut yang jatuh sakit (D II, 120), Yang hampir kehilangan hidupNya karena sakit yang teramat sangat selama masa vassaNya (retreat musim hujan) yang terakhir di Vesali (D II, 100), dan yang harus menghadapi penyakit dan kemangkatanNya yang tak didugaNya setelah mengkonsumsi hidangan khusus yang ditawarkan oleh penjamuNya yang dermawan.

Dua kepribadian ini bergantian muncul dalam bagian-bagian yang berbeda dari cerita naratif tersebut. Lebih dari itu, di dalamnya juga nampak dua penjelasan mengenai penyebab mangkatnya Sang Buddha:

Yang pertama,
kemangkatan Sang Buddha disebabkan oleh pengiringNya, Ananda, yang gagal mengundang Sang Buddha untuk tetap hidup sampai akhir dunia atau bahkan lebih lama dari itu (D II, 117).

Yang kedua,
Sang Buddha mangkat karena sakit yang mendadak yang dimulai setelah Beliau makan makanan yang dikenal sebagai "Sukara maddava" (D II, 127-157).


Kisah yang pertama mungkin suatu legenda, atau hasil dari suatu pergumulan politik di dalam komunitas Buddhist selama tahap transisi, sedangkan kisah yang terakhir terdengar lebih realistis dan akurat dalam menggambarkan situasi kehidupan nyata yang terjadi di dalam hari-hari terakhir Sang Buddha.

Sejumlah studi telah memusatkan perhatian pada asal-muasal hidangan khusus yang dimakan oleh Sang Buddha selama makanan terakhirNya sebagai penyebab kemangkatanNya. Bagaimanapun juga, ada pendekatan lain yang didasarkan pada deskripsi tentang gejala-gejala dan tanda- tanda yang diberikan dalam Sutta, yang bisa dijelaskan oleh pengetahuan medis modern.


Dalam salah satu lukisan dinding yang berada di Wat (Vihara) Ratchasittharam, Sang Buddha dalam keadaan mendekati ajalNya, tetapi Beliau masih menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh petapa Subhadda, yang menjadi siswa terakhirNya, yang setelah ditahbis menjadi anggota sangha, kemudian menjadi seorang Arahat.
    Note:
    Kemangkatan Sang Buddha adalah hal yang terencana, dimulai dari awal karir beliau, 45 tahun sebelumnya, di Uruvela, di tepi Sungai Nerañjarā, di bawah pohon Banyan Penggembala kambing, ketika baru saja mencapai Penerangan Sempurna, yaitu saat Mara memohonnya untuk mangkat hari itu juga, saat itu juga:

      Mahaparinibbana Sutta:
      Mara:
      ”Bhagavā, sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir”.

      Sang Buddha:
      “Mara Penggoda, Aku tidak akan mencapai Nibbāna akhir SEBELUM:

      • Para [bhikkhu, bhikkhuni, Upasaka/umat awam pria dan Upasika/umat awam wanita]-ku menjadi siswa yang sempurna, terlatih, terampil, menguasai Dhamma, terlatih dalam keselarasan dengan Dhamma, terlatih dengan baik dan berjalan di jalan Dhamma, yang telah lulus dari apa yang mereka terima dari Guru mereka, mengajarkan, menyatakan, mengukuhkan, membabarkan, menganalisa, menjelaskan; hingga mereka mampu menggunakan Dhamma untuk membantah ajaran-ajaran salah yang telah muncul, dan mengajarkan Dhamma yang memiliki hasil yang menakjubkan.
      • Kehidupan suci telah mantap dan berkembang, menyebar, dikenal luas, diajarkan baik di antara para deva dan manusia di mana-mana” [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]

    Secara bertahap beliau ajarkan kepada kalangan luar dan dalam tentang vayadhammo sankhara (yang berkondisi tunduk pada kelapukan).

    Penyakit yang diderita sang Buddha tidaklah sekonyong-konyong, sekurangnya di paruh ke-2 pencerahan (di atas tahun ke-20), sang Buddha terkena beberapa penyakit, di antaranya, di Rajagaha: terkena sembelit (Vinaya: Civara), di Kapilavatu, di Nalaka/Kosala. Di Pava/Malla: menderita sakit punggung (Thera Apadana no.292: piṭṭhidukkhaṃ dan MN 53/SN 35.243; AN 10.67,68; DN 33), di perbatasan antara Kosala-Kapilavatthu terkena sakit kepala (Thera Apadana no.292: sīsadukkhaṃ), selama musim vassa terakhir di Veluva dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan namun beliau menahannya tanpa mengeluh, kemudian beliau mengerahkan upaya menundukan penyakitnya dan penyakitnya mereda. Oleh karenanya sang Buddha mengatakan kepada Ananda bahwa tubuh beliau semakin rentan, “Ananda, Aku sekarang ini, menua semakin rapuh, menua menjadi usang, Aku hampir mencapai 80 tahun. Ananda, bagai sebuah kereta tua yang dapat jalan dengan diikat, demikian kira-kira tubuh Sang Tathāgata dapat hidup dengan disokong. Hanya ketika Sang Tathāgata tidak memperhatikan gambaran-gambaran, dengan lenyapnya perasaan-perasaan tertentu, pikiran terpusat tanpa gambaran, maka ketika itulah tubuh Sang Tathāgata keadaan baik [DN 16/Maha Parinibbana sutta, SN 47.9].

    Setelah musim Vassa terakhir, beliau masih menetap di sekitar vesali, di antaranya di Kutagarasala, Mahavana [Udana 6.1; SN 51.10 dan AN 8.70] kira-kira 3 bulan lamanya (yaitu: Parinibbana di musim Panas bulan Vesakha - 3 bulan di cetiya Capala – 3 bulan masa Vasa). Setelahnya ke cetiya Capala saat beliau MENOLAK permohonan Mara agar parinibbana hari itu juga dan berkata, “Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, 3 bulan lagi Sang Tathagata akan Parinibbana” [DN 16/Maha Parinibbana Sutta, Udana 6.1, SN 51.10 dan AN 8.70]

    Di hari terakhir dari batas 3 bulan yang beliau tetapkan itu, beliau pergi ke Pava untuk menerima dana makanan terakhir seperti yang dilakukan semua Buddha pada masa lalu, yaitu menerima dana makan terakhir sebelum parinibbana, setelahnya beliau kembali dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan, seperti yang dirasakan saat di Veluva, namun beliau menahannya tanpa mengeluh, melanjutkan perjalanan terakhir ke Kusinara untuk membabarkan DN 17/Maha Sudassana sutta, menahbiskan Subhada dan parinibbana [DN 16/MahaParinibbana Sutta, DN 17/Mahasudassana Sutta]

    Jadi ini bukan karena tidak diduga, bukan karena pemohonan Mara, bukan karena hidangan cunda, bukan karena hal lainnya, kecuali karena kegiatan yang harus dilakukannya.

    Salah Ananda?
    Selama 25 tahun melayani sang Buddha, di berbagai tempat dan kesempatan, sang Buddha kerap berkata seperti ini:

      Mahaparinibbana Sutta:
      "Ananda, di Rajagaha, ketika kita sedang berdiam di puncak Gijjhakuta, kami telah berkata kepadamu: 'Ananda, menyenangkan Rajagaha ini, menyenangkan pula puncak Gijjhakuta ini. Siapapun, Ananda yang telah mengembangkan empat landasan kekuatan, sering, membiasakannya, sebagai landasan latihan dan dilaksanakan dengan benar, Jika Ia ingin semestinya dan dapat bertahan hingga akhir Kappa. Sang Tathagata Ananda, telah mengembangkan empat landasan kekuatan, sering, membiasakannya, sebagai landasan latihan dan dilaksanakan dengan benar, Ananda, Jika sang Tathagatha inginkan semestinya dan dapat bertahan hingga akhir Kappa..”

      42. "Begitu pula ketika kami berdiam di Gotama Nigrodha, Rajagaha ... di Corapapato, Rajagaha ... di goa Sattapanni pada lereng gunung Vebhara, Rajagaha ... di Kalasila pada lereng gunung Isigali, Rajagaha ... di hutan Sitavana dalam goa gung Sappasondika, rajagaha ... di Tapodarama, Rajagaha ... di Veluvana Kalandaka, Rajagaha ... di Ambavana milik Jivaka, Rajagaha ... di taman rusa Maddakucchi, Rajagaha.

    Karena perkataan di atas sering didengar selama 25 tahun ini, maka ketika di cetiya Capala, ketika Ananda mendengarkan kembali wejangan ini, beliau juga TIDAK MERASAKAN bahwa itu adalah sebuah petunjuk untuk melakukan permohonan dan juga TIDAK TAHU bahwa cetiya Capala menjadi tempat terakhir petunjuk itu diberikan:

      Mahaparinibbana Sutta:
      2. Ketika Sang Bhagava tiba di cetiya Capala beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah Ananda duduk di salah satu sisi beliau lalu memberi hormat dengan hidmat. Sang Buddha bersabda kepadanya: "Sungguh menyenangkan Vesali ini Ananda karena banyak cetiyanya, yaitu Udana, Catamala, Sattamabaka, Bahuputta, Sarandada dan Capala."

      Siapapun, Ananda, yang telah mengembangkan empat landasan kekuatan, sering, membiasakannya, sebagai landasan latihan dan dilaksanakan dengan benar, Jika Ia ingin, kappaṃ vā tiṭṭheyya (semestinya dan dapat bertahan) kappāvasesaṃ vā (hingga akhir Kappa). Sang Tathagata Ananda, telah mengembangkan empat landasan kekuatan, sering, membiasakannya, sebagai landasan latihan dan dilaksanakan dengan benar, Ananda, Jika sang Tathagatha inginkan, kappaṃ vā tiṭṭheyya kappāvasesaṃ vā”ti (semestinya dan dapat bertahan hingga akhir Kappa)

      4. Tetapi Yang Mulia Ānanda, karena tidak mampu menangkap petunjuk jelas ini, isyarat jelas ini, tidak memohon kepada Sang Bhagavā dengan mengatakan: ‘Tiṭṭhatu Bhante Bhagavā kappaṁ tiṭṭhatu Sugato kappaṁ (Bertahanlah guru, Sang Bhaggawa semestinya bertahan di kappa berbahagia) demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi manfaat dan kebahagiaan para dewa dan manusia,’ yathā taṃ mārena pariyuṭṭhitacitto (pikirannya seperti teralihkan)

      5. Dan untuk ke dua kalinya ..., dan ke tiga kalinya ....

      6. Kemudian Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, pergilah, dan lakukanlah apa yang menurutmu baik.’ ‘Baiklah, Bhagavā,’ Ānanda menjawab dan, bangkit dari duduknya. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berbalik dengan sisi kanan menghadap Sang Bhagavā dan duduk di bawah sebatang pohon yang agak jauh

    Mengapa ini adalah yang terakhir kalinya?

      Mahaparinibbana Sutta:
      7-8. Segera setelah Ānanda pergi, māro pāpimā (Māra penggoda) mendatangi Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata: ‘Bhagavā, sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir. Karena Bhagavā pernah berkata:

      “pāpima, Aku tak akan mengakhiri hidupku, sebelum para [bhikkhu, bhikkhuni, Upasaka/umat awam pria dan Upasika/umat awam wanita] menjadi siswa yang sempurna, terlatih, terampil, menguasai Dhamma, terlatih dalam keselarasan dengan Dhamma, terlatih dengan baik dan berjalan di jalan Dhamma, yang telah lulus dari apa yang mereka terima dari Guru mereka, mengajarkan, menyatakan, mengukuhkan, membabarkan, menganalisa, menjelaskan; hingga mereka mampu menggunakan Dhamma untuk membantah ajaran-ajaran salah yang telah muncul, dan mengajarkan Dhamma yang memiliki hasil yang menakjubkan.

      'Dan sekarang, Bhagavā telah memiliki para [para bhikkhu, bhikkhuni, Upasaka/umat awam pria dan Upasika/umat awam wanita] menjadi siswa yang sempurna, terlatih, ...

      Sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang Jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir. Karena Bhagavā pernah berkata: “pāpima, Aku tidak akan mencapai Nibbāna akhir sampai kehidupan suci telah mantap dan berkembang, menyebar, dikenal luas, diajarkan baik di antara para deva dan manusia di mana-mana.”

      Dan semua ini telah terjadi. kehidupan suci telah mantap dan berkembang...

      Sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang Jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir.'

      9. Setelah hal ini diucapkan, Sang Bhagava berkata kepada māraṃ pāpimantaṃ (Mara papima): "Pāpima, jangan kau menyusahkan dirimu. Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, tiṇṇaṃ māsānaṃ accayena (tiga bulan lagi) Sang Tathagata akan Parinibbana.

      10 Demikianlah di cetiya Capala, Sang Bhagava sato sampajāno āyusaṅkhāraṁ ossaji (mengetahui sepenuhnya dalam perhatian melepaskan ikatan vitalitasnya). Ossaṭṭhe ca Bhagavatā āyusaṅkhāre mahābhūmicālo ahosi (Pelepasan ikatan vitalitas sang Bhagava menimbulkan gempa bumi) bhiṁsanako lomahaṁso, Devadundubhiyo ca phaliṁsu (menyeramkan membuat merinding dengan kilat gemuruh membelah). Dan Sang Bhagava melihat pentingnya hal ini mengucapkan kata-kata:

      "keberlangsungan yang terukur maupun tidak
      bentukan keberlangsungan telah sang muni potong
      Dalam kedamaian diri
      merobek segel keberlangsungan"

    Karena di cetiya Capala, sang Buddha telah menetapkan keputusan untuk hidup hanya sampai 3 bulan lagi:

      Mahaparinibbana Sutta:
      38. … Ananda lalu berkata kepada Sang Bhagava: "Bhante, semoga Sang Bhagava selalu berada di dunia ini; Semogalah Yang Berbahagia tetap di sini sepanjang masa, demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Kasihanilah dunia demi kebaikan mahluk-mahluk semuanya dan demi kebahagiaan para dewa serta manusia."

      39. Sang Bhagava lalu menjawab demikian: "Cukuplah Ananda, janganlah menahan Sang Tathagata, karena waktunya sudahlah terlambat, untuk permintaan semacam itu…tuyhevetaṃ dukkaṭaṃ, tuyhevetaṃ aparaddhaṃ (engkau telah salah bertindak, engkau telah keliru bertindak) dalam memahami saran yang sederhana dan bermakna serta dorongan yang berarti yang diberikan oleh Sang Tathagata.. Jika pada waktu yang lalu kamu memohon seperti itu, untuk ke-2x Sang Tathagata mungkin menolaknya, tetapi untuk yang ke-3xinya ia mungkinkan menyetujuinya. Ananda, oleh karena itu, engkau telah salah bertindak, engkau telah keliru bertindak, maka permohonanmu sekarang adalah sia-sia ...

      ..Ananda, bukanlah Aku telah mengatakan bahwa segala yang kita senangi dan menyenangkan pasti akan mengalami perubahan, berpisah dan berganti? Apapun yang dilahirkan, menjelma, tersusun, pasti mengalami kerusakan—bahwa ini tidak akan menjadi rusak adalah tidak mungkin. Dan bahwa apa yang telah dilepaskan, dihentikan, ditolak, dibuang, ditinggalkan. Sang Tathāgata telah melepaskan ikatan vitalitas. Sang Tathāgata pernah mengatakan satu kali: “'tak lama lagi adalah parinibananya sang Tathagata. Tiga bulan dari sekarang, Sang Tathāgata akan mencapai Nibbāna akhir.” Bahwa Tathāgata harus menarik kembali suatu pernyataan demi untuk hidup, itu adalah tidak mungkin'” [..].

    Bahkan Ananda sendiri baru tahu bahwa sang Buddha telah menetapkan sendiri batas waktu beliau untuk parinibbana, sehingga ketika Ananda baru menyadari bahwa ucapan-ucapan yang disampaikan sang buddha selama 25 tahun di berbagai tempat hingga cetiya Capala itu ternyata sebuah petunjuk untuk memohon, maka waktunya sudah tidak tepat lagi.

    Anda, saya dan juga mahluk apapun, mungkin juga tidak menyadari tentang hal tersebut, maka demikian pula dengan Ananda. Sehingga bagaimana mungkin ini menjadi salah Ananda?

Apa yang kita ketahui

Dalam Mahaparinibbana Sutta, kita diberitahukan bahwa Sang Buddha menderita sakit secara tiba-tiba setelah Beliau memakan suatu hidangan khusus yang lezat, Sukaramaddava, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai "daging babi lunak", yang telah disiapkan oleh penjamu dermawanNya, Cunda Kammaraputta. Nama dari hidangan tersebut menarik perhatian dari banyak sarjana, dan hal itu menjadi fokus dari riset akademis terhadap asal muasal makanan hidangan atau bahan baku yang digunakan di dalam memasak hidangan khusus ini.

Dalam Sutta sendiri selain menyediakan detil-detil yang berkaitan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala dari penyakit Sang Buddha, juga menyertakan beberapa informasi yang dapat diandalkan mengenai keadaan Sang Buddha selama empat bulan sebelumnya, dan uraian ini juga sangat berarti secara medis.

    Note:
    Mari kita lihat rekaman dari Mahaparinibbana Sutta saat beliau makan sukaramaddava:

      13. Setelah Sang Bhagava lama berdiam di Bhoganagara, beliau berkata kepada Ananda : "Ananda, marilah kita pergi ke Pava." "Baiklah, bhante," jawab Ananda. Demikian Sang Bhagava tinggal di Pava bersama sejumlah besar bhikkhu dan tinggal di Ambavana milik Cunda, pandai besi.

      14. Cunda pandai-besi, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagava telah tiba lalu berkata: "Sang Bhagava, telah tiba di Pava dan berdiam di Ambavana milikku." Cunda lalu menghadap Sang Bhagava, sesudah memberi hormat dengan khidmat kepada beliau, kemudian duduklah ia pada salah satu sisi. Sang Bhagava mengajarkan Cunda, pandai-besi, tentang dhamma yang telah membangkitkan semangatnya dan menyebabkan hatinya sangat gembira.

      15. Kemudian Cunda berkata kepada Sang Bhagava: "Dapatkah kiranya Sang Bhagava menerima undangan kami untuk makan esok pagi bersama dengan para bhikkhu?" Sang Buddha bersikap diam. Dengan sikapnya yang diam itu berarti Sang Bhagava menyetujui permohonan Cunda.

      16. Karena telah yakin akan persetujuan Sang Bhagava itu. Maka Cunda, pandai-besi, berdiri dari tempat duduknya. Menghormat dengan khidmat kepada Sang Bhagava lalu mengundurkan diri meninggalkan beliau.

      17. Cunda pandai-besi, sejak semalam telah membuat makanan yang keras serta yang lunak dan makanan yang terdiri dari Sūkara-maddava. Kemudian ia memberitahukan kepada kepada Sang Bhagava: "Bhante, silahkan. Makanan telah siap."

      18. Pada waktu pagi Sang Bhagava menyiapkan diri, membawa patta dan jubah, pergi dengan para bhikkhu ke rumah Cunda. Di sana beliau duduk di tempat yang telah disediakan, dan berkata kepada Cunda: "Hidangan Sūkara-maddava yang telah saudara sediakan, hidangkanlah itu untukku. Sedangkan makanan lain yang keras dan lunak, saudara dapat hidangkan kepada para bhikkhu."

      "Baiklah, bhante," jawab Cunda.

      Sūkara-maddava yang telah disediakannya, dihidangkannya untuk Sang Bhagava, sedangkan makanan keras dan lunak lainnya dihidangkannya kepada para bhikkhu.

    Apa arti Sūkara-maddava?
    Kata “Sūkara-Maddava” muncul di: DN 16/Mahaparinibbana Sutta, Ud 8.5/Cunda Sutta dan juga Milinda Panha. Kitab komentar menunjukan bahwa dikisaran abad ke-5 M, arti kata tersebut sudah bervariasi yaitu: daging, nasi campur, bambu, sejenis rasa, teknik membuat senang dan jamur:

      Sūkaramaddava adalah daging yang telah tersedia, yang tidak terlalu muda dan tua dari sebuah babi/kepala babi (Sūkaramaddavanti nātitaruṇassa nātijiṇṇassa ekajeṭṭhakasūkarassa pavattamaṃsaṃ), empuk (mudu) dan lembut/lentur adanya (Taṃ kira mudu ceva siniddhañca hoti), disiapkan dan dimasak dengan baik (taṃ paṭiyādāpetvā sādhukaṃ pacāpetvāti attho). Ada yang mengatakan 'Sūkaramaddava adalah nasi lembut yang diproses dengan kuah campuran lima produk dari sapi, ini semacam nama sebuah masakan' (Eke bhaṇanti – ‘sūkaramaddavanti pana muduodanassa pañcagorasayūsapācanavidhānassa nāmetaṃ, yathā gavapānaṃ nāma pākanāma’’nti). Lainnya mengatakan 'Sūkaramaddava adalah nama teknik (vidhi) untuk membuat senang (rasāyana). Jadi, didatangkan ahli pembuat senang (guru rasāyana), yaitu Cunda, 'agar membuat senang sehingga Parinibanna Sang Bhagawa tidak jadi' (Keci bhaṇanti – ‘sūkaramaddavaṃ nāma rasāyanavidhi, taṃ pana rasāyanasatthe āgacchati, taṃ cundena – ‘bhagavato parinibbānaṃ na bhaveyyā’ti rasāyanaṃ paṭiyatta’’nti). Di sana para deva empat benua besar (mahādīpa) dan dua ribu pengiring memasukkan nutrisi (oja) (Tattha pana dvisahassadīpaparivāresu catūsu mahādīpesu devatā ojaṃ pakkhipiṃsu.) [Mahāparinibbānasuttavaṇṇanā: Kammāraputtacundavatthuvaṇṇanā]

      Sukara maddava adalah bagian yang lunak dari daging babi yang sudah tersedia (Sūkaramaddavanti sūkarassa mudusiniddhaṃ pavattamaṃsa) seperti kata Maha-atthakata (mahāaṭṭhakathāyaṃ vuttaṃ). yang lain..katakan (Keci pana..vadanti) sukara maddava bukanlah daging babi, batang bambu yang telah diinjak-injak babi (sūkaramaddavanti na sūkaramaṃsaṃ, sūkarehi madditavaṃsakaḷīro). lainnya (Aññe) Jamur payung yang tumbuh dari gemburan tanah injakan babi (sūkarehi madditappadese jātaṃ ahichattaka), lainnya lagi..katakan (Apare pana..bhaṇiṃsu) Sukara maddava adalah nama suatu rasa (sūkaramaddavaṃ nāma ekaṃ rasāyana) [komentar dari Maha-atthakata (Dhammapala, 5 M) yang dikutip dalam Udāna-aṭṭhakathā, Pāṭaligāmiyavaggo: Cundasuttavaṇṇanā]

    Menurut ahli botani, komposisi jamur: 90% air, kurang dari 3% protein, kurang dari 5 % karbohidrat, kurang dari 1% lemak dan 1 % mineral, garam dan vitamin, Komposisi ini KURANG COCOK untuk keperluan energi yang besar, untuk sekelompok orang yang makan hanya 1x, apalagi telah diketahui, bahwa beliau sendiri akan parinibbana.

    Sangat mengherankan melihat hubungan yang dijelaskan di kitab komentar antara jamur dan binatang babi, tampaknya, alasan mengapa jamur menjadi terkait dengan binatang babi adalah karena untuk mendapatkan jamur tersebut, babi digunakan sebagai pelacaknya:

    • Kompas, ”Mengenal Jamur Pencabut Nyawa" sub: Babi pelacak, Rabu, 05 April 2006, 20:24 WIB: ‘[..] Kalau jenis jamur beracun dikerat, kemudian dilekatkan pada benda yang terbuat dari perak asli (misal pisau, sendok, garpu, atau cincin), maka pada permukaan benda tersebut akan ada warna hitam (karena xulfida) atau kebiruan (karena cianida)..para pemburu jamur di beberapa negara Eropa, terutama tradisi-tradisi di negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark, dan sebagainya)...biasanya akan membawa binatang "pelacak jamur" andalan. Bukan anjing, tapi babi yang sebelumnya sudah diberi latihan khusus...membedakan mana jamur yang bisa dimakan/tidak.’.

    • Cara Menghindari Kematian karena Makan Jamur Liar", H Unus Suriawiria, Senin, 31 Januari 2005: '(4) Kalau jenis jamur beracun dimasak/dipepes bersama nasi putih, nasi tersebut akan berubah warna menjadi coklat, kuning, merah, atau hitam...Bagi pemburu jamur di beberapa negara Eropa-misalnya, acara tradisi di negara-negara Skandinavia (Sweden, Norwegia, dan sebagainya)-kalau musimnya berburu jamur selalu akan membawa babi yang sudah terlatih, yang dapat membedakan mana jamur beracun dan mana yang tidak.'

    Seorang yang sangat berbakti, yang sedang mengundang sekelompok tamu yang sangat agung untuk makan dirumahnya, bagaimana mungkin dalam event yang sepenting itu, Ia akan menghidangkan makanan yang sangat beresiko tinggi? Oleh karenanya, kata sukara-maddava yang diartikan sebagai jamur adalah sangatlah meragukan.

    Disamping itu, di bahasa pali sendiri sudah ada kata tersendiri yang merujuk pada arti “jamur”, yaitu: "chattaka" atau "pappaṭaka". Sample: ahihattaka/ahichattaka" = jamur ‘payung ular’. Bahasa Hindi: 'sarpchatr'. Bahasa Bengali: 'byaner chata' atau ‘payung katak’ [lihat: Rhys Davis: hal.92, 274; Buddhadatta Mahatera: hal.45, 182]. Sementara kata “sūkara” = babi hutan/wild boar. Kata ini digunakan untuk membedakannya dengan babi/boar (varāha) [“Vedic Index of Names and Subjects”, Vol 2;Vol 5, Arthur Berriedale Keith, hal.461]. Kemudian kata “Maddava/Madhava” = lembut, empuk, halus.

    Prof. Rhys Davids, ketika menterjemahkan teks-teks Buddhist dan Milianda Panha, Ia terjemahkan kata itu sebagai `bagian daging babi yang empuk’ (“Milianda Panha”, buku ke-5, bab 3, hal 244, cat kaki.1). Miss I.B. Horner dalam terjemahan “Madhuratthavilāsinī” menyatakan: “..Oleh karenanya, bagian ini memberikan bukti bahwa sukara-maddava, makanan terakhir sang Buddha, seharusnya TIDAK diterjemahkan seperti yang kadang sebagai "jamur", namun lebih sebagai bagian yang lembut, 'maddava', dari (daging) babi hutan..” (..Therefore, this passage provides evidence that suukara-maddava, the Buddha Gotama’s last meal, should not be translated as sometimes it has been as “truffles”, but rather as tender, ‘maddava’, (flesh or meat) from a boar..) [Introduction hal. xxxix]

    Para kelompok vegetarian cenderung mengartikan kata ini sebagai jamur, namun sayangnya, Buddhisme BUKANLAH VEGETARIAN dan BOLEH makan daging, malah ada istilah sukaramamsa, yang berarti daging babi dan juga makanan terakhir semua Buddha dalam Buddhavamsa, jelas disebutkan makanan yang mengandung daging:

    • Terdapat 3 syarat untuk dapat mengkonsumsi daging, yaitu: TIDAK melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh, TIDAK Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh dan Mengetahui bahwa hidangan daging itu, TIDAK KHUSUS dibunuh agar dapat diberikan padanya [MN 55/Jivaka sutta].

    • Selain 3 syarat di atas, terdapat juga 10 macam daging yang tidak diperkenankan dikonsumsi oleh para bhikkhu, yaitu: daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena [Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka, Vol.3.58], sehingga selain 10 macam daging tersebut, boleh dikonsumsi para Bhikkhu

    • Seorang perumah tangga dari Vesali bernama Ugga yang menyajikan daging babi kepada Sang Buddha: "Di hadapan Guru, aku mendengar dan tahu dari Sang Bhagava sendiri bahwa seseorang yang memberikan hal menyenangkan, akan menerima kegembiraan, aku menyenangi daging babi (sūkaramaṃsaṃ) dengan sari buah jujube. Semoga sang Bhagava menerimanya dengan perasaan kasih. Dengan perasaan kasihnya Sang Buddha menerima" (Sammukhā metaṃ, bhante, bhagavato sutaṃ sammukhā paṭiggahitaṃ: ‘manāpadāyī labhate manāpan’ti. Manāpaṃ me, bhante, sampannakolakaṃ sūkaramaṃsaṃ; taṃ me bhagavā paṭiggaṇhātu anukampaṃ upādāyā”ti. Paṭiggahesi bhagavā anukampaṃ upādāya) [AN 5.44/Manāpadāyī sutta]

    • Buddhavamsa: Buddhapakiṇṇakakathā:
      Sabbabuddhānaṃ samattiṃsavidhā dhammatā (30 hal yang selalu terjadi pada para Buddha), di no.29 ada kalimat, parinibbānadivase maṃsarasabhojanaṃ (Di hari Parinibannanya makan makanan yang mengandung daging). Arti kata "maṃsa" adalah daging. [Detail lainnya, lihat: Vegetarian, Makanan Religius? Bukan! Ia Cuma Pilihan Selera Makan..Ngga Lebih Dari Itu!]

    Sehingga sūkara-maddava TIDAK TEPAT diartikan jamur, seharusnya “daging babi yang empuk”

    Cunda dan semua mengetahui bahwa Sang Buddha sudah tua dan di kondisi lemah, dari sisi pandangan awam makanan yang bernutrisi dan lembut adalah sangat tepat disajikan untuk itu daging babi muda sangatlah memenuhi kreteria ini.

    Mari kita lanjutkan detail Mahaparinibbana Sutta:

      [..]19. Sesudah itu Sang Bhagava berkata kepada Cunda: "Cunda, sisa-sisa sūkara-maddava yang masih tertinggal, tanamkanlah dalam sebuah lobang, karena kami lihat di dunia ini di antara para dewa, Mara, Brahmana, para samana atau Brahma, atau pun manusia, tidak ada seorang pun yang sanggup memakannya atau mencernakannya, kecuali Sang Tathagata sendiri."

      Cunda menjawab: "Baiklah, bhante."

      Demikianlah sisa sūkara-maddava yang tertinggal itu ditanamkannya dalam sebuah lobang. [..]

    Mengapa sisa sūkara-maddava perlu di tanam dalam sebuah lubang?

    Ini bukan tentang sūkara-maddava-nya, namun setiap makanan yang diperuntukan khusus kepada sang Buddha jika tidak habis adalah harus di kubur. Padanan tentang makanan yang diperuntukan khusus kepada sang Buddha jika tidak habis juga ada di Sn 1.4/KASIBHARADVAJA SUTTA, (tahun ke-11 kebuddhaan):

      [..]Kemudian Kasibharadvaja mengisikan nasi-susu ke dalam mangkuk emas yang besar dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha sambil berkata: 'Silakan Yang Mulia Gotama menyantap nasi susu ini. Engkau memang petani karena alasan pembajakan itu; memang hal itu memberikan buah kekekalan.'

      'Apa yang diperoleh lewat pembacaan mantra-mantra bukanlah makananku. O, brahmana, ini bukanlah praktek bagi mereka yang melihat dengan benar. Para Buddha menolak apa yang diperoleh lewat pembacaan mantra.'

      'Engkau harus mempersembahkan makanan dan minuman lain kepada pertapa agung yang telah mantap, yang telah bebas dari kekotoran mental dan penyesalan. Itu merupakan ladang bagi dia yang mencari jasa kebajikan.'

      'Kalau demikian, Yang Mulia Gotama, kepada siapakah saya harus memberikan nasi-susu ini?'

      O, brahmana, di dunia termasuk para dewa, Mara, Brahma, serta di antara para brahmana dan manusia, aku tidak melihat siapa pun kecuali Sang Tathagata

      Karena itu, O brahmana, sebaiknya engkau membuang nasi-susu ini di suatu tempat yang tidak ada rumputnya, atau membuangnya ke air di mana tidak ada makhluk hidupnya.'

      Maka Kasibharadvaja membuang nasi susu itu ke dalam air yang tidak mengandung kehidupan. Pada saat itu terdengar bunyi mendesis disertai banyak uap dan asap dari semua sisi, persis seperti mata bajak yang telah dipanaskan sepanjang hari lalu dicelupkan ke dalam air menghasilkan bunyi desis dan mengeluarkan uap serta asap di semua sisi.

      Kemudian Kasibharadvaja, dengan perasaan amat terpukau dan bulu kuduk berdiri, mendekati Sang Buddha dan meletakkan kepalanya di kaki Sang Buddha. Dia berkata: 'Sungguh menakjubkan, Yang Mulia Gotama, sungguh luar biasa, Yang Mulia Gotama![..]

    Juga di Samyutta nikaya SN 7.9/Sundarika Sutta atau di Sagatha-Vagga 7.1.9, yaitu makanan yang telah didanakan khusus kepada seorang Samma Sambuddha, tidak dapat dimakan oleh mahluk lain dan jika bersisa maka dibuang di tempat yang tidak ada rumputnya atau membuangnya ke air dimana tidak ada mahluk hidupnya. Salah satu alasan mengapa makanan tersebut tidak dapat dimakan mahluk lain, kitab komentar menyampaikan bahwa para deva ikut berpartisipasi pada dana makanan dengan memberikan nutrisi.

    Di Mahaparinibbana Sutta, kita ketahui letak nyeri yang di alami sang Buddha ternyata berada di pakkha (pectus, atau area antara leher dan abdominal) memerah (lohitapakhandika) tanpa adanya muntah-muntah dan/atau tanpa adanya mencret darah.

      Mahaparinibbana Sutta:
      Setelah itu ia kembali kepada Sang Bhagava memberi hormat dengan khidmat kepada beliau dan duduk pada salah satu sisi. Kemudian Sang Bhagava mengajarkan Cunda pandai-besi itu mengenai pelajaran yang membangkitkan semangat, yang berisi penerangan yang menggembirakan hatinya. Sesudah itu beliau bangun dari tempat duduknya pergi meninggalkan Cunda.

      20. Sesudah Sang Bhagava menyantap santapan yang dihidangkan oleh Cunda, pandai-besi itu, kharo ābādho uppajji (sakit keras melandanya), lohitapakkhandikā (Area antara dada - diagframa/abdomen memerah) pabāḷhā vedanā vattanti māraṇantikā (rasa sakit menusuk/terus menerus sangat mematikan). Tā sudaṃ bhagavā sato sampajāno adhivāsesi avihaññamāno (Sang Bhagava mengetahui sepenuhnya dalam memperhatikan selama kejadian tanpa mengeluh). Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, marilah kita ke Kusinara."

      "Kami telah mendengar: 'Ketika Sang Bhagava makan hidangan yang dihidangkan oleh Cunda, dengan ketabahan hati dan ketenangan beliau menahan penderitaan yang hebat.' Hal ini terjadi karena Sang Bhagava makan Sukaramaddava (daging babi berusia muda) yang dihidangkan oleh Cunda. Tetapi dengan tenang dan tabah beliau berhasil menahan rasa sakit yang datang sekonyong-konyong itu. 'Marilah kita ke Kusinara,' kata beliau dengan penuh kesabaran." [..]

      [Kata "kami telah mendengar", adalah para pembicara lainnya, yaitu mereka yang berada di konsili ke-1, yang terjadi 3 bulan setelah wafatnya sang Buddha.]

    Kalimat: "Lohitapakkhandikā pabāḷhā vedanā vattanti māraṇantikā.", dalam terjemahan kata perkata:

      Lohita/rahita: merah/darah. Kata darah dalam pali adalah Pupphaka/puppha/pubbaka.
      Pakkha: pectus (The part of the human torso between the neck and the diaphragm or the corresponding part in other vertebrates). Perlu di ketahui, kamus menyampaikan arti Pakkhandaka / pakkhandin / pak-khandikā: diare/dysentri dengan tambahan kata lohita, namun arti itu tanpa referensi jelas, kamus menyampaikannya seperti ini: "Ved. (?) praskandikā, BR. without refs". Pabāḷhā: tajam, keras (untuk sakit).
      Vedana: Perasaan.
      Vattanti: berkelanjutan/terus menerus.
      māraṇa: mati. antika: hampir di akhir.

      Sedangkan dalam bahasa pali dan sanskrit terdapat kata yang digunakan untuk arti diare/disentri: atisara [diare, untuk yang berdarah adalah rattatisara]. Sanskrit: Jvaratisara (diare dengan demam). Untuk disentri, sanskritnya adalah pakvatisara: Disentri yang kronis. Kata-kata atisara/rattatisara tidak digunakan di mahaparinibanna sutta
Sutta di awali dengan rencana Raja Ajatasattu untuk menaklukkan negara saingannya, kerajaan Vajji. Sang Buddha melakukan perjalanan ke Vajji untuk memulai vasssa (retreat musim hujan) terakhirNya. Dalam masa vassa ini Beliau jatuh sakit. Gejala dari penyakitNya adalah tiba-tiba dan sakit yang teramat sangat. Walau demikian, di dalam Sutta tidak diuraikan tentang ciri-ciri dan letak penyakitNya. Sutta itu hanya menyinggung sekilas penyakit Beliau, dan dikatakan penyakitnya sangat keras, dan hampir membunuhNya.
    Note:
    Maha Parinibbana Sutta mencatat 2x beliau dilanda sakit keras dengan rasa sakit yang menusuk terus menerus yang sangat mematikan, yaitu saat vassa terakhir dan juga saat parinibbananya namun TIDAK ADA dari semua itu dikatakan bahwa sakitnya hampir membunuhnya,
Sesudah itu, Sang Buddha dikunjungi oleh Mara, Dewa Kematian, yang mengundang Beliau untuk mangkat. Sang Buddha tidak menerima undangan dengan segera. Hanya setelah Ananda, pengiringNya, gagal untuk mengenali isyarat yang diberikanNya mengenai kemangkatan Beliau.

Sepotong pesan ini, meskipun terkait erat dengan mitos dan hal supernatural, memberikan kita beberapa informasi medis yang sangat berarti. Saat sutta ini disusun, penulisnya berada dalam keadaan terkesan bahwa Sang Buddha wafat bukan oleh karena makanan yang Beliau makan, tetapi dikarenakan Beliau telah memiliki penyakit yang serius dan akut serta memiliki gejala-gejala yang sama dengan penyakit yang pada akhirnya membuatNya mangkat.
    Note:
    Sang Buddha menolak undangan Mara untuk parinibbana hari itu juga, beliau katakan belum waktunya, karena beliau akan parinibbana 3 bulan lagi, karena masih ada urusan yang perlu dilakukannya selama 3 bulan itu, diantaranya memberitahukan pengikutnya, memberikan nasehat kepada Bhikkhu sangha. Dihari terakhir dari batas waktu 3 bulan yang telah ditetapkannya pergi ke Pava untuk menerima dana makanan terakhir seperti yang dilakukan semua buddha, kemudian pergi ke Kusinara untuk membabarkan DN 17/Maha sudassana sutta, dan bertemu Subadda, sebagai orang terakhir yang menerima Dhamma, ditahbiskan dan menjadi arahat dan setelahnya baru Parinibbana.

Waktu Kejadian

Umat Buddha tradisi Theravada berpegang pada asumsi bahwa Buddha Historis wafat pada malam bulan purnama dalam penanggalan bulan di bulan Visakha (yang kadangkala jatuh pada bulan Mei sampai Juni). Tetapi waktu tersebut bertolak belakang dengan informasi yang terdapat dalam Sutta, dimana secara jelas bahwa Sang Buddha segera mangkat setelah masa vassa (retreat musim hujan), kemungkinan besar adalah pada musim gugur atau pertengahan musim dingin, yaitu antara bulan November hingga Januari.

Uraian tentang keajaiban akan mekarnya daun-daun dan bunga-bungapada pohon-pohon sala ketika Sang Buddha berbaring di antaranya, menunjukkan periode waktu yang diberikan dalam sutta. Bagaimanapun juga, musim gugur dan musim dingin adalah musim yang tidak cocok untuk pertumbuhan jamur, yang menurut beberapa sarjana dipercaya sebagai sumber racun yang dimakan Sang Buddha selama memakan makanan terakhirNya.
    Note:
    Penulis tampaknya kurang jeli dalam membaca petunjuk-petunjuk yang ada di Mahaparinibbana Sutta dan juga dibeberapa sutta lainnya. Sebelum kita melihat petunjuk-petunjuk itu, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu musim dan bulan yang berlangsung di India:

    Vassāna/Musim Hujan (Jul-Nov):

    • Musim Hujan/Vassāna (Juli-Sept): Bulan Savana (Juli-Aug) dan Bulan Pottapada (Aug-Sept)
    • Musim Gugur/Sarada (Sept-Nov): Bulan Assayujja/Pubba kattika (Sept-Oct) dan Bulan Kattika/Paccima Kattika (Oct-Nov)

    Hemanta/Musim Salju (Nov-Mar):

    • Musim Salju/Hemanta (Nov-Jan): Bulan Māgasira (Nov-Des) dan Bulan Phussa (Des-Jan)
    • Musim Dingin/Sisira (Jan-Mar): Bulan Māgha (Jan-Feb) dan Bulan Phagguṇa (Feb-Mar)

    Gimhāna/Musim Panas (Mar-Jul):

    • Musim Semi/Vasanta (Mar-May): Bulan Citta/Rammaka (Mar-Apr) dan Bulan Vesākha (Apr-May)
    • Musim Panas/Gimha (May-Jul): Bulan Jettha (May-Jun) dan Bulan Asaḷha (Jun-Jul)

    Oleh karena Sutta dan Vinaya tidak menyatakan bulan Parinibbananya sang Buddha, maka terdapat beberapa variasi pendapat mengenai bulannya.

    1. Xuansang, seorang Biksu China abad ke-7 Masehi mencatat bahwa aliran Sarvastivada merayakan Parinibbana sang Buddha pada hari ke-8, minggu ke-2, di bulan Kattika (Oct-Nov). Pendapat ini beranggapan bahwa sang Buddha sakit di awal musim hujan dan sembuh tak lama kemudian, kemudian MASIH DI AWAL musim hujan, Sang Buddha pergi ke cetiya Capala (sutta TIDAK ADA menyebutkan ini terjadi di musim hujan), 3 bulan kemudian, beberapa hari setelah musim hujan berakhir, yaitu di buan Kattika, sang Buddha Parinibbana.

    2. Sang Buddha wafat 3 bulan setelah musim vassa usai, yaitu di bulan Magha (Jan-Feb). Pendapat ini beranggapan bahwa segera SETELAH masa vassa USAI, yaitu di bulan Kattika, sang Buddha pergi ke cetiya Capala (sutta juga TIDAK ADA menyebutkan ini terjadi di bulan Kattika), 3 bulan setelah bulan Kattika, yaitu bulan Magha, sang Buddha Parinibbana. Sample tradisi Mahayana Jepang, yaitu Nehan-e, di 15 Februari 468 SM (alasan penetapan tanggal ini bervariasi)

    3. Pendapat tradisional: Sang Buddha parinibbana 9 atau 10 bulan sejak dari permulaan vassa di Veluva, yaitu di bulan Vesakha (Apr-May). Pendapat ini tercantum dalam: Mahavamsa 3.2 (Buddha Parinibbana di bulan Vesakha). Mahavamsa 35.7 (Raja Vasabha/67 M – 111 M mengadakan 44x Festival Vesakha), Dipavamsa 1.24 dan 5.4 (Konsili ke-1 diadakan di bulan ke-2 musim Vassa, 4 bulan setelah Parinibbananya sang Buddha) juga Buddhaghosa dalam beberapa kitab komentarnya, (di antaranya dengan kalimat 10 bulan sebelum parinibbana bervasa di Beluva) dan lain sebagainya

    Bulan mana yang benar?


    Pertama-tama,
    VInaya telah menetapkan: TIDAK BEPERGIAN selama musim Vassa [Vinaya, Mahavagga 3.1-selesai]. Oleh karenanya, perjalanan sang Buddha dan rombongan para bhikkhunya, TIDAK DAPAT dilakukan selama musim hujan, di samping ini akan mengundang celaan masyarakat dan para petapa aliran lain, juga menjadi TIDAK KONSISTEN dengan aturan yang ditetapkan sang Buddha sendiri

    Sutta menyatakan di saat sang Buddha parinibbananya, pohon sala berbunga DILUAR MUSIMNYA

      ..pergi ke hutan Sala di daerah suku Malla, dekat Kusinara.. Setelah tiba, Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, tolong sediakan tempat berbaring di antara pohon-pohon Sala kembar itu, saya ingin berbaring."…Sang Bhagava membaring diri pada sisi kanan dengan sikap bagaikan singa, meletakkan salah satu kakinya pada kakinya yang lain..Pada saat itu tiba-tiba dua pohon Sala kembar itu berbunga walaupun BUKAN PADA MUSIMNYA untuk berbunga. Bunga-bunga itu jatuh bertaburan di atas tubuh Sang Tathagata … Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, pohon Sala kembar ini berbunga semerbak, meskipun sekarang BUKAN MUSIMNYA BERBUNGA [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]

      Pohon sala (Shorea robusta) mulai berbunga di MUSIM HUJAN [Juli - November] (Paradox of leaf phenology: Shorea robusta is a semi-evergreen species in tropical dry deciduous forests in India, hal, 1822). Pohon Sala sering keliru dianggap sebagai cannonball tree [termasuk kelompok Couroupita guianensis. Sering disebut Shiva linga dan Naga lingam. Pohon canonball mulai berbunga pada pertengahan musim panas (May-Juli) - sebelum musim hujan [Juli-Agustus], namun juga dikatakan pohon ini berbunga hampir di sepanjang tahun]

    Dengan informasi ini, jika parnibanna terjadi beberapa hari setelah musim hujan usai TIDAK KONSISTEN dengan informasi sutta. Disamping itu, sutta juga TIDAK MENYEBUTKAN adanya pelaksaaan Kathina yang dilakukan penduduk Vesali. Ini karena sang Buddha MASIH MENETAP SEKIAN LAMA di sekitar Vesali walaupun musim hujan telah usai, yaitu di kūṭāgārasālā, Mahavana dan setelahnya baru beliau dan rombongan pergi ke cetiya Capala:

      Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Kūṭā¬gāra¬sā, Mahāvana. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahNya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah berjalan menerima dana makanan di Vesālī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Bawalah alas duduk, Ānanda. Mari kita pergi ke cetiya Cāpāla .. “

      … Sang Bhagava berkata kepada Mara papima: "Pāpima, jangan kau menyusahkan dirimu. Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, tiga bulan lagi Sang Tathagata akan Parinibbana”
      [Udana 6.1, SN 51.10 dan AN 8.70]

    Berdasarkan beberapa alasan ini, maka pendapat sang Buddha wafat di bulan Kattika adalah TIDAK TEPAT

    Berapa lama sang Buddha di Kūṭāgārasālā, Mahavana sebelum ke cetiya Capala?
    Walaupun Sutta TIDAK MENYEBUTKAN kata, “yathābhirantaṃ (selama yang Beliau inginkan)” namun hanya menggunakan kata “viharati” (menetap) ketika berada di Kūṭāgārasālā, Mahavana namun lamanya waktu menetap dapat diketahui karena sutta juga memberikan indikasi jelas bahwa saat sang Buddha parinibbana adalah saat MUSIM PANAS:

    Ke-1,
    Di hari terakhir, dalam perjalanan dari Pava ke Kusinara, Sang Bhagava berhenti di bawah sebatang pohon. Beliau kehausan (pipāsito) dan meminta Ananda untuk mengambil air di sungai agar dapat beliau minum

      Sang Buddha:
      "Ananda tolonglah bawakan aku sedikit air, aku haus dan ingin minum."

      Ananda:
      "Bhante, baru saja sejumlah 500 pedati telah menyeberangi cakkacchinna udaka paritta/nadī cakkacchinnā parittā (aliran air yang dangkal/sungai dengan air yang sedikit), dan roda-rodanya telah mengeruhkan air sungai ini. Sebaiknya kita pergi ke sungai Kakutha yang tidak jauh dari sini. Air sungai itu sangat jernih, sejuk dan bening. Sungai itu mudah dicapai dan letaknya sangat baik. Di sana bhante dapat menghilangkan rasa haus dan menyegarkan tubuh

    Sungai dengan air yang sedikit hingga dapat diseberangi rombongan pedati sangat wajar terjadi di musim panas, bukan?

    Ke-2,
    Sang Buddha mandi 2x di sungai Kakhuda:

      .. Kemudian Sang Bhagava pergi ke sungai Kakuttha bersama dengan sekumpulan para bhikkhu. Setelah tiba di tepi sungai itu, Sang Bhagava mandi. Setelah Sang Bhagava mandi, Beliau pergi ke Ambavana. Di tempat ini Beliau berkata kepada Cundaka: "Cundaka tolonglah lipat jubah luarku, lipatlah dalam empat lipatan lalu letakkan di bawah tubuhku. Aku merasa lelah dan ingin beristirahat sebentar."… Kemudian setelah bangun, Sang Buddha pergi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah.. [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]

    Mandi sampai 2x sangat wajar jika terjadi di hari yang sangat panas, di musim panas, bukan?

    Ke-3,
    Bhikkhu Upavana mengipasi Sang Buddha

      Pada waktu itu Upavana sedang di hadapan Sang Bhagava, sambil mengipasi beliau.. [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]

    Mengipasi adalah kegiatan yang wajar terjadi di hari yang sangat panas, di musim panas, bukan?

    Ke-4,
    Di 1 minggu setelah wafatnya sang Buddha,

      "Pada saat itu seluruh Kusinara juga tumpukan sampah, tertutup bunga-bunga pohon koral (mandārava-puppha) hingga setinggi lutut." [DN 16] dan: "Saat itu seorang Ājīvaka (petapa telanjang) yang tengah memegang bunga pohon-koral berjalan dari Kusinārā menuju Pava. YM Kassapa melihatnya dari jauh dan ketika telah mendekat, beliau berkata kepadanya: ‘Sahabat, apakah engkau mengenal guru kami?’ ‘Ya, sahabat, aku mengenal Beliau. Hari ini adalah seminggu setelah Petapa Gotama Parinibbana. Oleh karenanya, Aku menggenggam bunga pohon-koral ini.’" [DN 16 dan Cullavaga Vinaya]

    Pohon koral berbunga di bulan Maret-April [Erythrina variegata, Indian coral tree; "A Manual of Gardening for Western India". 2nd ed., hal.68, "Floriculture in India". hal.216 dan "FORTY COMMON INDIAN TREES and How to Know Them", hal.3]. Bulan Vesakha (Diawali dan diakhiri bulan mati) adalah di April-May.

    Berdasarkan beberapa alasan ini, maka pendapat sang Buddha wafat di bulan Magha adalah TIDAK TEPAT, sehingga pendapat bahwa sang Buddha parinibbana di musim panas, di bulan Vesakha (April-May) sangat wajar untuk diterima.

    Kemudian tentang jamur,
    di India beberapa jamur dapat tumbuh dalam musim gugur dan musim dingin, contohnya jamur enoki atau jamur pangan (Flammulina velutipes). Jamur ini malah berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh, anti biotic dan anti tumor. Tampaknya mengenai jamur ini belum dikenal oleh penulis artikel

Diagnosa

Sutta menceritakan kepada kita bahwa Sang Buddha jatuh sakit dengan seketika setelah menyantap sukaramaddava. Karena kita tidak mengetahui segalanya tentang sifat dasar makanan ini, menjadi sukar bagi kita untuk mengatakannya sebagai penyebab langsung dari penyakit Sang Buddha. Tetapi dari uraian yang diberikan, diketahui bahwa serangan penyakit tersebut berlangsung cepat.
    Note:
    Hari itu adalah HARI TERAKHIR dari batas waktu 3 bulan yang telah ditetapkaNya di cetiya Capala, Jadi BAHKAN jika hari itu dihidangkan SUPLEMEN PENGUAT SUPER SEKALIPUN, kesehatan beliau TETAP SAJA akan menurun drastis. Jadi memang TIDAK ADA kaitannya dengan makanan yang hidangkan cunda
Ketika menyantap, Sang Buddha merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan makanan itu dan ia menyarankan penjamuNya untuk menguburkan makanan tersebut.
    Note:
    Kalimat ini spekulatif dan mengada-ada, karena di sutta lainnya, di tahun ke-11 kebuddhaan yaitu Sn 1.4/KASIBHARADVAJA SUTTA, telah juga disampaikan bagaimana perlakuan makanan yang tidak dimakan Buddha. juga di Sagatha-Vagga 7.1.9, yaitu makanan yang telah didanakan khusus kepada seorang Samma Sambuddha, tidak dapat dimakan oleh mahluk lain. Para deva juga berpartisipasi pada dana makanan dengan memberikan nutrisi- tambahan.

      "Sesudah itu Sang Bhagava berkata kepada Cunda: "Cunda, sisa-sisa sūkara-maddava yang masih tertinggal, tanamkanlah dalam sebuah lobang, karena kami lihat di dunia ini di antara para dewa, Mara, Brahmana, para samana atau Brahma, atau pun manusia, tidak ada seorang pun yang sanggup memakannya atau mencernakannya, kecuali Sang Tathagata sendiri."

    Jika benar "makanan itu tidak beres", maka Cunda tentunya melakukan GARUKA KAMMA [atau pelanggaran karma paling berat] yang berakibat akan terlahir di alam neraka. Namun ternyata tidak, karena sang Buddha sendiri menyampaikan di sutta seperti ini:

      42. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, kemungkinan ada orang akan menyesali dan menyalahkan Cunda, pandai besi, dengan berkata: "Sungguh sial kau Cunda, karena perbuatan kamu, Sang Tathagata telah makan santapan untuk terakhir kalinya." Dalam hubungan ini Ananda, tuduhan terhadap Cunda itu dapatlah dijelaskan sebagai berikut: "Suatu rahmat bagimu, Cunda dan ini benar-benar suatu berkah, bahwasanya karena kamulah Sang Tathagata memperoleh makanan sebagai dana yang terakhir dan setelah itu Beliau mangkat. Hal ini saudara, aku telah mendengar sendiri, langsung dari Sang Bhagava yang menyatakan:

      "Ada dua macam makanan, yang mempunyai pahala, yang mempunyai nilai kebaikan yang sama, yang melebihi nilai dari semua dana makanan yang lainnya.

      • Dana yang pertama adalah dana makanan yang pertama kalinya di makan oleh Sang Tathagata, setelah beliau mencapai penerangan sejati, dana ini tiada bandingannya.
      • Dana yang kedua ialah dana makanan terakhir yang dimakan oleh Sang Tathagata sebelum beliau parinibbana, di mana semua unsur-unsur ikatan tidak akan timbul lagi.

      Maka perbuatan yang telah dilakukan saudara Cunda adalah berkah yang mengakibatkan panjang umur, rupawan, kesejahteraan, kemuliaan, akan lahir di alam sorga dan mendapat kedudukan yang tinggi." Demikianlah Ananda, kau jelaskan tentang diri Cunda pandai besi itu.

      Sang Bhagava, karena mengerti masalah tersebut, lalu mengucapkan syair:

      Dengan memberi Jasa kebajikan bertambah;
      Dengan mengendalikan diri, kebencian dihentikan;
      Dengan yang bermanfaat kejahatan ditanggalkan;
      Dengan menghancurkan nafsu, kebencian dan kebodohan Ia terbebaskan.

    Jelas dan terang benderang bahwa makanan itu 100% BERES adanya
Segera setelah itu, Sang Buddha menderita sakit perut yang parah dan mengeluarkan darah dari rektumNya.
    Note:
    Tidak ada di sutta yang menyatakan bahwa hari itu, Sang Buddha mengeluarkan darah dari rektumNya ataupun juga ada indikasi BAB. Bahkan sutta menyatakan letak sakitnya pada kata Pakkha artinya: pectus (bagian dari batang tubuh manusia antara leher dan diaphragma/abdomen) yang disebutkan memerah (lohitapakkhandika) inilah bagian yang sakit terus-menerus.
Apakah makanan yang beracun sebagai penyebab dari penyakit itu? Sepertinya tidak demikian. Gejala-gejala yang diuraikan tidak mengindikasikan keracunan makanan, yang bisa sangat akut, tetapi dapat dipastikan menyebabkan diare dengan darah. Umumnya, makanan beracun disebabkan oleh bakteri yang tidak segera membelah diri, tetapi mengalami suatu masa inkubasi selama dua sampai 12 jam untuk membelah diri, umumnya disertai dengan diare dan muntah-muntah yang akut, bukan dengan pendarahan.
    Note:
    Spekulasi masa Inkubasi hanyalah imaginasi sang penulis, karena hari itu adalah HARI TERAKHIR dari batas waktu 3 bulan, BAHKAN jika hari itu dihidangkan SUPLEMEN PENGUAT SUPER SEKALIPUN, kesehatan beliau TETAP SAJA akan menurun drastis.
Kemungkinan yang lain adalah bahan kimia beracun, yang juga memiliki efek cepat, tetapi bukanlah hal yang biasa bagi bahan kimia beracun menjadi penyebab pendarahan usus yang sangat parah. Makanan yang beracun dengan pendarahan usus langsung hanya bisa disebabkan oleh bahan kimia yang bersifat menghancurkan (korosif) seperti asam cuka yang keras, yang dapat dengan mudah menimbulkan penyakit seketika. Tetapi bahan kimia yang bersifat menghancurkan tersebut sudah pasti akan menyebabkan pendarahan pada usus bagian atas, yang menimbulkan muntah darah. Tidak satupun tanda-tanda parah tersebut disebutkan dalam teks.
    Note:
    Sutta TIDAK ADA menyebutkan adanya pendarahan usus, juga TIDAK menyebutkan adanya muntah-muntah akibat makan hidangan itu. Seperti yang disampaikan di atas, hari itu adalah hari terakhirnya, Seluruh Buddha Masa lalu akan makan hidangan terakhir sebelum parinibbana jadi apapun makannya, bahkan jika itu suplemen super sekalipun tetap saja kesehatan beliau akan menurun drastis.
Penyakit-penyakit radang dinding lambung juga dapat diabaikan dari daftar penyakit tersebut. Kendati faktanya bahwa penyakit ini menyerang dengan cepat, penyakit ini jarang diikuti oleh kotoran (feces) berdarah. Radang lambung dengan pendarahan usus menghasilkan kotoran berwarna hitam ketika radang menembus suatu pembuluh darah. Tukak pada saluran pencernaan yang lebih atas akan lebih memungkinkan mengakibatkan muntah darah, bukan pendarahan melalui rektum. Bukti lain yang menyangkal kemungkinan ini adalah seorang pasien dengan radang lambung yang besar pada umumnya tidak mempunyai selera makan. Dengan menerima undangan untuk makan siang bersama sang penjamu, kita dapat berasumsi bahwa Sang Buddha merasa sesehat yang dirasakan orang manapun yang berada di awal usia 80nya. Dengan usiaNya yang demikian, kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa Sang Buddha tidak mempunyai suatu penyakit kronis, seperti TBC atau kanker atau suatu infeksi/peradangan tropis seperti penyakit tipus atau disentri, yang sangat lazim di jamanNya. Penyakit-penyakit ini bisa mengakibatkan pendarahan usus bawah, tergantung pada letaknya.
    Note:
    Menerima undangan makan terakhir TIDAK ADA HUBUNGANNYA dengan selera makan. Menerima dana makanan dan memakannya adalah dua hal berbeda. Menerima dana makanan, salah satu faktornya adalah untuk kesejahteraan pemberi derma, sementara makan berhubungan dengan kebutuhan tubuh, berhubungan dengan kebutuhan penunjang kehidupan. Apalagi menerima dana makanan terakhir merupakan tradisi seluruh Buddha masa lalu sebelum mereka parinibbana.
Penyakit-penyakit ini juga sesuai dengan sejarah dari penyakit awal Sang Buddha sepanjang masa vassa (retreat musim hujan).Tetapi penyakit-penyakit ini dapat dikesampingkan,karena pada umumnya penyakit-penyakit ini diikuti oleh gejala lain, seperti kelesuan, hilangnya selera makan, penurunan berat badan, busung atau buncit pada perut bagian bawah (abdomen). Tidak satupun gejala tersebut di sebutkan dalam sutta. Wasir besar dapat menyebabkan pendarahan parah pada daerah pembuangan, tetapi sepertinya wasir mustahil dapat menyebabkan sakit yang sangat parah pada perut bagian bawah (abdomen) kecuali jika tersumbat. Tetapi hal itu akan sangat mengganggu perjalanan Sang Buddha ke rumah penjamuNya, dan jarang sekali pendarahan wasir disebabkan oleh makanan.
    Note:
    TIDAK ADA di sutta bahwa ada pendarahan usus akut dan juga wasir selama hidup sang Buddha. Malah selama masa vassa terakhir di Veluva, walaupun beliau dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk yang sangat mematikan, juga TIDAK ADA pendarahan usus ataupun wasir
Mesenteric infarction
Penyakit yang sesuai dengan gejala-gejala yang yang telah dideskripsikan, yang disertai rasa sakit hebat pada perut bagian bawah (abdominal) dan mencret darah, umumnya ditemukan pada orang-orang usia lanjut, dan dipicu oleh makanan adalah mesenteric infarction (terganggunya jaringan pembuluh darah sekitar usus), yang disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah di mesentery. Hal ini sangat mematikan. Ischaemia Mesenteric akut (berkurangnya suplai darah ke mesentery) adalah suatu kondisi yang parah dengan resiko kematian yang tinggi. Mesentery adalah bagian dari dinding usus yang mengikat keseluruhan bidang usus sampai rongga abdominal. Terhambatnya suplai darah di sekitar usus biasanya menyebabkan kematian pada jaringan tisu di bagian besar dari saluran usus bagian akhir (intestinal tract), yang akan mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus bagian akhir. Secara normal hal ini menghasilkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen) dan mencret darah. Pasien pada umumnya meninggal karena kekurangan darah yang sangat parah. Kondisi ini sesuai dengan informasi yang diberikan dalam sutta.

    Note:
    Pasien mysentery ishemik seharusnya mengalami KEBINGUNGAN, nafas menjadi cepat dan juga dapat berakibat muntah-muntah dan mencret darah, namun hal-hal ini TIDAK ADA di Sutta. Lokasi nyeri yang disampaikan sutta sangatlah jelas yaitu di bagian antara leher dan diaphragma/abdomen (pakkha). Bagian tersebut memerah (lohita) degnan rasa sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan.
Hal ini juga dikuatkan kemudiannya ketika Sang Buddha meminta Ananda untuk mengambil sedikit air untukNya untuk diminum, yang menandakan Beliau sangat haus. Seperti yang dikisahkan, Ananda menolak, karena Ananda tidak menemukan sumber air bersih. Ananda berargumen dengan Sang Buddha bahwa aliran sungai yang terdekat telah dikeruhkan oleh rombongan kereta besar. Tetapi Sang Buddha meminta Ananda dengan tegas untuk mengambil air bagaimanapun juga. Sebuah pertanyaan muncul pada poin ini: Mengapa Sang Buddha tidak pergi sendiri saja ke sumber air, daripada mendesak Ananda yang enggan untuk melakukannya? Jawabannya sederhana. Sang Buddha sedang menderita shock yang disebabkan oleh kehilangan banyak darah. Beliau tidak mampu berjalan lagi, dan dari saat itu sampai ke tempat peristirahatan terakhirNya Beliau hampir dapat dipastikan berada dalam tandu

Jika situasinya memang demikian, sutta tidak mengisahkan tentang perjalanan Sang Buddha ke peristirahatan terakhirnya, kemungkinannya karena si penulis merasa bahwa hal itu akan memalukan Sang Buddha. Secara geografis, kita mengetahui bahwa jarak antara tempat yang di percaya sebagai rumah Cunda dengan tempat dimana Sang Buddha mangkat adalah sekitar 15 sampai 20 kilometer. Tidaklah mungkin bagi seorang pasien penderita penyakit yang mematikan seperti itu untuk berjalan kaki dengan jarak seperti itu. Lebih memungkinkan, apa yang terjadi adalah Sang Buddha dibawa dalam sebuah tandu oleh sekelompok bhikkhu ke Kusinara (Kushinagara).

    Note:
    Sutta TIDAK ADA menyatakan beliau mengalami pendarahan. Jarak Dari Pava - Kusinara adalah 3 gavuta (15 km/9.3 Mil). Seorang yang sehat jasmani, melakukan perjalanan siang hari pada musim panas sangat wajar kehausan. Apalagi jika orang yang menjalaninya kekuatan tubuhnya sedang menurun, maka memerlukan lebih banyak minum adalah SANGAT WAJAR.

      Mahaparinibbana Sutta:
      21. Kini, dalam perjalanan itu Sang Bhagava tidak melalui jalan raya dan kemudian berhenti di bawah sebatang pohon. Beliau bersabda kepada Ananda: "Lipatlah jubah luarku empat kali Ananda dan letakkan di bawahku. Aku sangat letih, aku mau beristirahat sebentar."

      "Baiklah, bhante," jawab Ananda dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Sang Bhagava.

    Sangatlah aneh seseorang yang sedang menderita sakit perut namun masih minum air yang keruh, bukan?! Ini membuktikan bahwa beliau sama sekali tidak sakit perut. Kemudian, Jika seseorang SUDAH TAHU dirinya akan wafat hari ini, maka TIDAK PENTING LAGI, apakah air yang diminumnya itu bersih atau keruh atau bahkan beracun sekalipun, sehingga Ananda yang 3x menolak permintaan dengan alasan airnya kotor adalah TIDAK RELEVAN, karena biar bagaimanapun, Sang Buddha toh tetap akan parinibbana hari itu juga.

    Alasan mengapa beliau tidak mengambil sendiri air ke sungai, yaitu ke-1, Karena Ananda telah menyediakan diri untuk menjadi pembantu beliau dan berjanji untuk mematuhi permintaan beliau, sehingga setelah beliau meminta dan Ananda tidak mengerjakannya, maka Ananda akan menyalahi janjinya. Tentu saja seorang Buddha tidak akan membiarkan Ananda sampai menyalahi janji. Alasan ke-2 adalah karena kebetulan beliau sendiri sedang lelah.

    Istirahat sejenak dari perjalanan siang hari di musim panas, bisa saja karena kehausan atau bisa juga karena ada hal lainnya
    Dalam perjalanan antara Pava-Kusinara, Sang Buddha dapat memilih untuk beristirahat di mana saja termasuk di sungai kakhuda seperti saran Ananda, Namun TIDAK BELIAU LAKUKAN. Mengapa? Karena beliau menunggu Pukkusa orang Malla bersama rombongannya. Akibat dari hal ini, Pukkusa dan rombongannya berkesempatan mendengarkan Dhamma. Pada beberapa Sutta menyampaikan bahwa selalu ada alasan mengapa Buddha melakukan sesuatu dan/atau berkunjung ke suatu tempat, yaitu membabarkan Dhamma kepada mereka yang mempunyai telah siap menerimannya

    Sutta TIDAK ADA menyatakan bahwa beliau berada dalam tandu setelah beristirahat. Jika memang benar imaginasi penulis bahwa sang Buddha harus di tandu dalam perjalanan, maka mengapa sampai perlu beristirahat, toh perjalanan hanya 15 km saja, bukan?

    Perjalanan ke Kusinara, beliau lakukan dengan berjalan kaki, termasuk ketika turun untuk mandi di sungai kakhuda

      Mahaparinibbana Sutta:
      41. Sang Buddha pergi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah. Sang Buddha yang dihormati dalam semua alam. Setelah selesai mandi dan minum, Sang Buddha lalu berjalan meliwati para bhikkhu yang kemudian mengiringnya. Sang Guru Jagat kemudian pergi ke Ambavana untuk membicarakan dhamma.

    Tercatat bahwa sang Buddha 2x berjalan turun ke sungai untuk mandi, tampaknya hari di musim panas itu bener-benar sedang sangat panas-panasnya. Juga tercatat Sang Buddha menuju keperistirahatannya di ambavana dengan berjalan kaki. Jadi sang BUDDHA memang tidak di tandu dalam perjalanannya
Yang menjadi point perdebatan adalah apakah Sang Buddha benar-benar bertekad untuk mangkat di kota ini (Kusinara), mengingat bahwa kota ini diperkirakan tidak lebih besar dari dari sebuah kota kecil. Dari arah perjalanan Sang Buddha yang diberikan dalam sutta, Beliau menuju ke utara dari Rajagaha. Ada kemungkinan Beliau tidak berniat untuk mangkat di sana, tetapi di kota tempat kelahiranNya dimana membutuhkan waktu tiga bulan untuk sampai ke sana
    Note:
    Ananda pun bertanya tentang hal yang sama. Namun Sang Buddha menerangkan parinibbana di tempat ini adalah hal yang baik, karena Kusinara dulunya tempat berdiamnya raja dunia Maha Suddassana. 6x kelahiran lampau beliau juga wafat di tempat ini.[DN 17/Sudassana sutta]. Disamping itu, tujuan utama sang Buddha ke Kusinara adalah untuk membabarkan DN 17/Maha Dassana Sutta, dan untuk bertemu Subhadda yang saat itu ada di Kusinara dan mendengar sang Buddha akan Parinibbana hari itu, membuatnya bergegas hendak bertemu dan karena bertemu, Subhadda mendapat dhamma, karena mendapat dhamma Subhadda menjadi siswa terakhirnya dan kemudian menjadi Arahat.

      Mahaparinibbana Sutta:
      23. Ketika itu seorang petapa pengembara bernama Subhadda sedang berdiam di Kusinara. Subhadda, petapa yang pengembara itu mendengar kabar : "Hari ini, malam jam terakhir, Parinibbana Sang Gautama akan terjadi." Karena itu timbullah pikirannya: "Aku pernah mendengar dari para petapa yang tua-tua dan mulia, dari para guru, bahwa munculnya para Tathagata Arahat Samma Sambuddha, adalah kejadian yang jarang sekali di dunia. Pada hari ini, pada jam terakhir malam ini juga Parinibbana Sang Gautama akan terjadi. Kini pada diriku ada suatu keragu-raguan dan dalam hal ini aku mempunyai kepercayaan pada petapa Gautama itu, ia akan dapat mengajarkan Dhamma kepadaku untuk menghilangkan keraguan-raguanku."

    Jadi kusinara adalah memang benar-benar tempat yang baik untuk Mangkat, bukan?
Dari sutta, sudah jelas bahwa Sang Buddha tidak mengantisipasi penyakit mendadakNya, jika tidak, Beliau tidak akan menerima undangan penjamuNya. Kusinara mungkin merupakan kota yang terdekat dimana Beliau bisa menemukan seorang dokter untuk merawat diriNya. Tidaklah sukar untuk membayangkan sekelompok bhikkhu dengan terburu-buru membawa Sang Buddha di atas sebuah tandu menuju ke kota yang terdekat untuk menyelamatkan hidupNya.
    Note:
    Sutta tidak mengajarkan MENOLAK sakit, karena sakit bagi manusia adalah HAL YANG WAJAR. Sutta mengajatkan untuk menerima apa adanya senang-susah, sehat-sakit. Disamping itu, Sang Buddha telah menyatakan sendiri batas waktu kehidupannya, yaitu 3 bulan lagi. Karena hari itu adalah dari terakhir batas waktu 3 bulan, maka tidak ada relevansinya mengkaitkan makanan dan penyakit, menerima atau menolak undangan, juga ada dokkter ataupun tidaknya, karena toh tetap saja akan parinibbana di hari itu.

    Kemudian, sutta DN 16/Mahaparinibbana sutta dan Udana 8.5 jelas menyatakan kebajikan yang tertinggi dari dana makanan hanya terjadi dalam 2 kejadian, yaitu saat mencapai KeBuddhaan dan saat Parinibbana. Juga komentar Buddhavamsa (Buddhapakiṇṇakakathā) menyatakan 30 fakta dari semua Buddha yang di antaranya adalah sebelum parinibbana mereka akan menerima dana makan terakhur yang mengandung daging (maṃsarasabhojanaṃ). Jadi, mengapa pula undangan makan Cunda, yang merupakan dana makan terakhir, akan ditolak Sang Buddha?
Sebelum mangkat, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda untuk tidak menyalahkan Cunda atas kemangkatanNya dan Beliau mangkat bukan disebabkan memakan Sukaramaddava. Pernyataan ini sangat penting. Makanan tersebut bukanlah penyebab secara langsung atas kemangkatanNya. Sang Buddha mengetahui bahwa gejala penyakit yang muncul merupakan gejala yang pernah Beliau alami beberapa bulan lebih awal, yang telah hampir membunuhNya. Sukaramaddava, apapun bahannya ataupun cara memasaknya, bukanlah penyebab langsung dari penyakit mendadakNya.
    Note:
    Jika Penulis juga tahu mengenai fakta sutta tentang ini, lantas apa perlunya masih berspekulasi, berimaginasi dan beropini tidak sesuai fakta dan sutta? Mengherankan…

Tahapan perkembangan penyakit

Mesenteric infarction adalah suatu penyakit yang biasanya ditemukan di antara orang lanjut usia, disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah utama yang menyuplai bagian tengah dinding saluran usus kecil bagian akhir dengan darah. Penyebab yang paling umum dari penyumbatan ini adalah melemahnya dinding pembuluh darah (vessel), pembuluh darah besar mesenteric, yang menyebabkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen), yang juga dikenal sebagai abdominal angina (keram perut).

Secara normal, rasa sakit dipicu oleh makanan yang berat (besar), yang memerlukan aliran darah lebih tinggi ke saluran pencernaan. Ketika penyumbatan terjadi, saluran usus kecil kehilangan persediaan darah nya, yang kemudian terjadi hambatan suplai darah, atau mati rasa setempat (gangrene), pada bagian saluran usus akhir (intestinal tract). Hal ini pada gilirannya mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus akhir, pendarahan yang sangat dalam pada saluran usus akhir, dan kemudian diare berdarah.

Penyakit menjadi tambah parah ketika cairan dan isi usus mengalir ke luar melalui rongga peritoneal, sehingga menyebabkan radang selaput perut atau radang dinding abdominal.

Ini sudah merupakan kondisi yang mematikan bagi si pasien, yang sering kali meninggal karena kehilangan darah dan cairan tubuh lainnya. Jika tidak diperbaikan dengan pembedahan, penyakit ini sering berkembang menjadi septic shock karena masuknya racun-racun bakteri ke dalam aliran darah.



Analisa Retrospektif (kebelakang)

Dari hasil diagnosa tersebut di atas, kita dapat lebih memastikan bahwa Sang Buddha menderita mesenteric infarction yang disebabkan oleh penyumbatan pada superior mesenteric artery. Inilah penyebab rasa sakit yang hampir saja merenggut ajal Beliau beberapa bulan lalu saat vassa (retret) musim hujan terakhirNya.

Dengan berkembangnya penyakit itu, sebagian dari selaput lender usus Beliau terkelupas, dan di sinilah yang menjadi menjadi asal muasal pendarahan tersebut. Arteriosclerosis, pengerasan dinding pembuluh darah akibat penuaan, merupakan penyebab dari tersumbatnya pembuluh darah, penyumbatan kecil yang tidak akan mengakibatkan diare berdarah, tapi merupakan gejala, yang juga kita kenal sebagai abdominal angina (keram perut).
    Note:
    Mengerikan sekali cara penulis yang juga dokter ini dalam memberikan hasil diagnosanya karena tidak sesuai dengan apa yang nyata terlihat. Karena sutta sendiri telah menyampaikan bahwa bagian tubuh yang sakit adalah di pakkha (pectus: area antara leher dan abdominal) yang memerah (lohita) dengar rasa sakit menusuk terus menerus yang mematikan tanpa adanya muntah-muntah dan/atau tanpa adanya mencret darah.
Beliau mendapat serangan kedua ketika sedangan makan Sukaramaddava. Pada awalnya rasa sakit itu tidak begitu hebat, tapi membuat Beliau merasa ada yang sesuatu yang tidak beres. Mempertanyakan akan makanan itu, Beliau lalu meminta tuan rumah untuk menguburkan makanan itu sehingga yang lain tidak akan menderita karenanya.
    Note:
    Di Parinibanna sutta, tidak pernah beliau mempertanyakan makanannya itu. Bahkan beberapa sutta, misal di Sn 1.4/KASIBHARADVAJA SUTTA dan di Sagatha-Vagga 7.1.9, menyampaikan dengan jelas alasannya mengapa makanan yang telah didanakan khusus kepada seorang Samma Sambuddha, tidak dapat dimakan oleh mahluk lain. dan bagaimana penanganan jika tersisa yaitu dengan cara menguburnya di tempat tertentu.

    Bahkan jikapun beliau makan bubur kacang hijau, atau nasi goreng atau Pizza atau beef atau suplemen super sekalipun, hari itu beliau akan tetap parinibbana, hari itu setelah makan makanan apapun, beliau akan dilanda sakit keras yang dirasakan sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan.

    Mengapa? Karena hari itu adalah batas akhir dari 3 bulan yang telah ditetapkannya, sehingga apapun makanannya, hari itu beliau tetap saja parinibbana
Segera, Sang Buddha menyadari bahwa penyakit itu serius, dengan adanya mencret darah yang disertai rasa sakit yang hebat pada bagian perut. Karena kehilangan banyak darah, Beliau mengalami shock. Tingkat dehidrasi atau kehilangan cairan darah sudah sedemikian parah sehingga Beliau tidak sanggup lagi mempertahankan diri dan harus berteduh di sebuah pohon di sekitar situ. Merasa sangat haus dan kelelahan, Beliau meminta Ananda untuk pergi mengambilkan air untuk diminumNya, walaupun Beliau mengetahui bahwa airnya keruh.
    Note:
    Sekali lagi, di sutta TIDAK ADA menyatakan Sang Buddha mengalami mencret darah, TIDAK ADA menyatakan sang Buddha shock, karena penderita Shock tidak mungkin bisa berjalan-jalan, memberikan ceramah panjang dengan mata awas dan pikiran terang.
    Seorang yang sehat jasmani, berjalan sejauh 15 KM, di siang hari pada musim panas sangat wajar kehausan. Apalagi jika orang yang menjalaninya kekuatan tubuhnya sedang menurun, maka memerlukan lebih banyak minum adalah SANGAT WAJAR.
    Sangatlah aneh seseorang yang sedang menderita sakit perut namun masih minum air yang keruh, bukan?! Ini membuktikan bahwa beliau sama sekali tidak sakit perut. Kemudian, Jika seseorang SUDAH TAHU dirinya akan wafat hari ini, maka TIDAK PENTING LAGI, apakah air yang diminumnya itu bersih atau keruh atau bahkan beracun sekalipun, sehingga Ananda yang 3x menolak permintaan dengan alasan airnya kotor adalah TIDAK RELEVAN, karena biar bagaimanapun, Sang Buddha toh tetap akan parinibbana hari itu juga.
    Alasan mengapa beliau tidak mengambil sendiri air ke sungai, yaitu ke-1, Karena Ananda telah menyediakan diri untuk menjadi pembantu beliau dan berjanji untuk mematuhi permintaan beliau, sehingga setelah beliau meminta dan Ananda tidak mengerjakannya, maka Ananda akan menyalahi janjinya. Tentu saja seorang Buddha tidak akan membiarkan Ananda sampai menyalahi janji. Alasan ke-2 adalah karena kebetulan beliau sendiri sedang lelah.

    Tidakkah aneh bila di dalam rombongan Bhikkhu tersebut tidak ada 1 pun yang membawa air minum? Ini bisa saja seluruh rombongan kehabisan air minum karena berjalan di siang hari di musim panas atau karena ada hal lain yang menyebabkan sang Buddha perlu untuk berhenti ditempat itu.
    Dalam perjalanan antara Pava-Kusinara, Sang Buddha dapat memilih untuk beristirahat di mana saja termasuk di sungai kakhuda seperti saran Ananda, Namun TIDAK BELIAU LAKUKAN. Mengapa? Karena beliau menunggu Pukkusa orang Malla bersama rombongannya. Akibat dari hal ini, Pukkusa dan rombongannya berkesempatan mendengarkan Dhamma. Pada beberapa Sutta menyampaikan bahwa selalu ada alasan mengapa Buddha melakukan sesuatu dan/atau berkunjung ke suatu tempat, yaitu membabarkan Dhamma kepada mereka yang mempunyai telah siap menerimannya
Di sanalah Beliau pingsan sehingga rombongan pengiring Nya membawa Beliau ke kota terdekat, Kusinara, dimana ada peluang untuk menemukan dokter atau penginapan untuk memulihkan diriNya.
    Note:
    Sutta TIDAK ADA menyebutkan beliau pingsan, beliau malahan menyempatkan diri membabarkan Dhamma pada rombongan Pukkusa dari Malla, memberikan wejangan agar tidak menyalahkan Cunda. Alasan melakukan parinibbana di Kusinara adalah karena di sana beliau akan membabarkan DN 17/Maha Sudassana Sutta dan juga bertemu Subhada yang akan menjadi orang terakhir ditahbiskan. Sutta menjelaskan selama di Kusinara belau tidak bertemu dokter, beliau juga tidak menginap dipenginapan, namun berbaring diantara 2 pohon sala dan parinibbana ditempat itu.
Mungkin benar Sang Buddha menjadi lebih baik setelah minum untuk menggantikan cairan tubuhNya yang hilang, dan beristirahat di atas tandu. Pengalaman dengan gejala-gejala yang sama memberitahukan Beliau bahwa penyakitNya yang tiba-tiba itu adalah serangan kedua dari penyakit yang sudah ada. Beliau memberitahukan Ananda bahwa bukan makanan itu sebagai penyebab penyakitNya, dan Cunda jangan di salahkan
    Note:
    Semua orang yang kehausan dan minum akan tergantikan cairan tubuhnya, apalagi saat itu siang hari di musim panas dan telah berjalan cukup jauh. Sutta TIDAK ADA menyebutkan beliau ditandu selama dalam perjalanan. Jika memang benar imaginasi penulis bahwa sang Buddha harus di tandu dalam perjalanan, maka mengapa sampai perlu beristirahat, toh perjalanan hanya 15 km saja, bukan?
Pasien yang mengalami shock, dehidrasi, dan kehilangan banyak darah biasanya merasa sangat dingin. Inilah sebabnya Beliau meminta pengiringNya untuk menyiapkan pembaringan yang dialasi dengan empat lembar Sanghati. Sesuai dengan disiplin monastic Buddhist (Vinaya), Sanghati adalah selembar kain panjang atau sprei, yang diijinkan oleh Sang Buddha untuk dipakai oleh para bhikkhu dan bhikkhuni pada musim dingin. Informasi ini mencerminkan betapa Sang Buddha merasa dingin karena kehilangan darahNya. Secara klinis, tidaklah memungkinkan bagi pasien yang sedang dalam keadaan shock dengan rasa sakit yang hebat di bagian perut, kemungkinan besar mengalami peritonitis atau peradangan pada dinding perut, pucat, dan sedang menggigil kedinginan, untuk bisa berjalan.
    Note:
    Buddha tidak menyatakan agar pembaringannya di alasi dengan ‘empat lembar sanghati’ namun Beliau meminta agar jubah luarnya ‘dilipat menjadi EMPAT LIPATAN’.

      Mahaparinibbana Sutta:
      39. Kemudian Sang Bhagava pergi ke sungai Kakuttha bersama dengan sekumpulan para bhikkhu. Setelah tiba di tepi sungai itu, Sang Bhagava mandi. Setelah Sang Bhagava mandi, Beliau pergi ke Ambavana. Di tempat ini Beliau berkata kepada Cundaka: "Cundaka tolonglah lipat jubah luarku, lipatlah dalam empat lipatan lalu letakkan di bawah tubuhku. Aku merasa lelah dan ingin beristirahat sebentar."

      "Baiklah, bhante." Cundaka pun melipat jubah itu dalam empat kali lipatan dan meletakkannya di bawah tubuh Sang Buddha.

      40. Sang Bhagava membaringkan tubuhnya pada sisi kanannya, dengan sikap seperti singa, dan meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang satu lagi, dengan sikap demikian Beliau selalu tetap sadar, penuh perhatian dan setiap saat dapat bangun dengan mudah. Cundaka menempatkan dirinya di depan Sang Bhagava.

      41. Sang Buddha pergi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah. Sang Buddha yang dihormati dalam semua alam. Setelah selesai mandi dan minum, Sang Buddha lalu berjalan meliwati para bhikkhu yang kemudian mengiringnya. Sang Guru Jagat kemudian pergi ke Ambavana untuk membicarakan dhamma. Di sana Beliau berkata kepada Cundaka, tolonglah lipat jubah luarku dalam empat lipatan, kemudian letakkan di bawah tubuhku.

      Dengan segera Cundaka mengerjakannya dengan rapi. Sesuai dengan permintaan Sang Bhagava. Setelah itu Sang Bhagava berbaring di atas alas itu. Sedangkan Cundaka duduk di hadapannya.

    Tampak jelas sutta memberikan informasi bahwa sang Buddha tidak pingsan, mampu berjalan baik, mampu pergi sendiri untuk mandi 2x, mampu mengajarkan dhamma, pikirannya jernih dan tidak shock.
    Bagaimana mungkin seorang yang dianggap habis pingsan, sedang shock, pucat, menggigil kedinginan malah mandi 2x di musim dingin (imaginasi penulis parinibbana terjadi dimusim dingin)? Lebih wajar jika ini dilakukan di musim panas, bukan?!
Kemungkinan terbesar Sang Buddha diistirahatkan di sebuah penginapan yang terletak di kota Kusinara, di mana Beliau dirawat dan diberi kehangatan. Pandangan ini juga sesuai dengan deskripsi tentang Ananda yang menangis, tidak sadarkan diri, dan berpegangan pada pintu penginapan setelah tahu Sang Buddha akan segera wafat.
    Note:
    Sutta menyatakan bahwa saat Buddha beristirahat ditempat terbuka yang letaknya di pinggiran sungai yang ada hutan kecil [Ambavana], jadi lokasi ini jelas bukan penginapan. Sebelum beristirahat dan sesudah beristirahat ia turun kesungai untuk mandi, jadi tidak benar bahwa beliau beristirahat di penginapan.

    Sutta TIDAK ADA menyatakan nanda menangis sampai tidak sadarkan diri. Disebutkan Ananda pergi sendiri pergi menuju Vihara menyendiri, sementara sang Buddha sedang berbaring di antara dua pohon sala di hutan milik suku Malla.

      Mahaparinibbana Sutta:
      13. kemudian Ananda menuju vihara, bersandar pada tiang pintu dan meratap (rodamāno): "Saya masih seorang siswa (savaka) dan masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Sungguh malang aku ini, Guru yang penuh kasih sayang padaku akan meninggal dunia."

      Kemudian Sang Bhagava bertanya kepada para bhikkhu: "Para bhikkhu, di manakah Ananda?"

      "Bhante, Ananda telah pergi ke vihara, bersandar pada tiang pintu dan meratap: 'Saya masih seorang siswa dan masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Sungguh malang aku ini, Guru yang penuh kasih sayang padaku akan meninggal dunia.'"

      Sang Bhagava menyuruh seorang bhikkhu untuk memanggil Ananda dengan berkata : "Bhikkhu, katakanlah kepada Ananda bahwa Sang Guru memanggilnya."

      "Baiklah bhante," jawab bhikkhu itu. Bhikkhu itu pergi menjumpai Ananda dan mengatakan apa yang diperintahkan oleh Sang Bhagava.

      Kemudian Ananda pergi menemui Sang Bhagava, bersujud kepada Sang Bhagava dan menempatkan diri pada tempat yang tersedia.

    Sutta itu 2 x menyebutkan kata kata ‘menuju vihara dan bersandar pada tiang pintu’. Jadi, lokasi Ananda bukan penginapan namun VIHARA dan Buddha tidak berada di penginapan namn berada di tempat terbuka di bawah 2 pohon sala.
Secara normal, pasien yang menderita mesenteric infarction dapat hidup 10 sampai dengan 20 jam. Dari sutta kita tahu Sang Buddha wafat sekitar 15 sampai 18 jam setelah serangan itu. Selama jangka waktu itu, para pengiringNya telah mengusahakan upaya terbaik mereka untuk menyamankan Beliau, misalnya, dengan menghangatkan kamar istirahatNya, atau dengan meneteskan beberapa tetes air ke mulut Beliau untuk menghilangkan rasa hausNya yang terus-menerus, atau dengan memberikan Beliau minuman herbal. Namun kecil sekali kemungkinannya pasien yang sedang mengigil kedinginan akan membutuhkan seseorang untuk mengipasi diriNya sebagaimana yang dideskripsikan dalam sutta.
    Note:
    Spekulasi penulis bertolak belakang dengan informasi Sutta yang jelas menyebutkan beliau mandi 2x di sungai dan bahkan Bikkhu Upavana tengah mengipasi Sang Buddha. Bagaimana mungkin seorang yang dianggap habis pingsan, shock, pucat, menggigil kedinginan malah mandi 2x dan juga dikipasi?
Beliau mungkin silih berganti pulih dari kondisi kelelahan sehingga memungkinkan diriNya untuk melanjutkan pembicaraan dengan beberapa orang. Kebanyakan kata-kata terakhir Beliau kemungkinan benar adanya, dan kata-kata tersebut dihafal dari satu generasi bhikkhu ke generasi bhikkhu lainnya hingga ditranskripkan. Tapi pada akhirnya,di malam yang semakin larut, Sang Buddha wafat saat septic shock kedua menyerang. Penyakit Beliau berasal dari sebab-sebab yang alami ditambah usia lanjut, sebagaimana yang bisa menimpa siapa saja.
    Note:
    TIDAK ADA sutta menyatakan bahwa Sang Buddha pingsan, mengeluarkan darah, mencret, shock, menggigil kedinginan, tidak mampu berjalan, di tandu, diam di penginapan.

    Aktifitas yang dilakukan seseorang berusia 80 tahun, yang wafat hari itu juga sangat luar biasa, disamping, menceritakan kebesaran Kusinara dimasa lalu, menenangkan Ananda, menerima semua orang dari suku Malla hingga jam pertama malam itu, menabiskan Subhadda sebagai Bikhhu terakhir, yang kelak menjadi Arahat, memberikan wejangan kepada para Bikkhu disana, menanti dengan sabar hingga 3 kali pertanyaan, dan detik-detik menjelang Parinibanna, sang Buddha sempat memberikan pesan, terakhir yaitu "vayadhammā saṅkhārā (Bentukan adalah tidak memuaskan) appamādena (dengan kewaspadaan) sampādetha (capailah tujuan)" dan keluar masuk jhana sebelum parinibbana

Kesimpulan

Hipotesisa yang secara garis besar di uraikan di atas menjelaskan beberapa kejadian dari kisah di dalam sutta, sebut saja, desakan agar Ananda pergi mengambilkan air, permintaan Sang Buddha agar tempat tidurnya dilapisi empat lembar kain, permintaan agar makanan itu dikubur, dan lain sebagainya.

Hipotesa ini juga menyingkap kemungkinan lain yaitu sarana transportasi yang digunakan oleh Sang Buddha untuk pergi ke Kusinara dan ranjang kemangkatanNya. Sukaramaddava, apapun sifat dasarnya, sepertinya bukanlah penyebab langsung dari penyakit Beliau. Sang Buddha wafat bukan karena keracunan mankanan. Melainkan, karena porsi makan, yang relatif terlalu besar untuk saluran pencernaanNya yang sudah bermasalah. Porsi makan inilah yang memicu serangan mesenteric infarction kedua yang mengakhiri hidupNya.

    Note:
    Spekulasi penulis tidak sesuai dan juga tidak mendekati keadaan yang disebutkan di sutta, karena sutta mengatakan hidangan yang diberikan sang Buddha masih bersisa dan juga jauh sekali dari gejala-gejala yang diduga sebagai mesenteric infarction

    Sutta (dan Vinaya) memberikan informasi bahwa mulai di tahun ke-20 kebuddhaannya beliau dilanda beberapa penyakit, kemudian, pada masa vassa terakhir beliau di Veluva, kurang lebih sekitar 10 bulanan sebelum parinibbana, beliau dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang mematikan namun beliau menerimanya tanpa mengeluh, kemudian beliau menundukan penyakitnya yang mengarah pada berlanjutnya kehidupan, beliau sampaikan pada ananda bahwa tubuh beliau semakin tua semakin rentan. Setelah masa vassa berakhir, beliau tetap menetap disekitar Vesali, yaitu di Kutagarasala, hingga kemudian beliau pergi ke cetiya Capala, beliau menetapkan bahwa 3 bulan kemudian beliau akan parinibbana.

    3 Bulan sebelum Parinibbana, beliau meninggalkan Vesali, berjalan secara bertahap menuju Kusinara. Pada hari terakhir dari batas 3 bulan yang telah beliau tetapkan, beliau berada di Pava untuk menerima dana makan terakhir yang menjadi tradisi para Buddha masa lalu sebelum parinibbana. Setelah berakhirnya dana makan, penyakit yang pernah melandanya di Veluva, menyerangnya kembali: bagian area antara leher – Abdomen memerah, dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang mematikan namun beliau menerimanya tanpa mengeluh, serta melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Kusinara, ditengah perjalanan beliau dan rombongan bhikkhu beristirahat di bawah pohon untuk menunggu kedatangan Pukkusa dari Mala beserta rombongannya yang akan menerima pengajaran dhamma dari beliau

    Setelahnya, beliau dan rombongan Bhikkhu berjalan sampai sungai Kakhuda dan beristirahat di sana, mandi 2x dan mengajarkan Dhamma pada Para bhikkhu, setelahnya memberikan arahan agar menyampaikan nasehat-nasehat pada Cunda untuk meredakan penyesalannya.

    Setelah sampai Kusinara, beliau mengajarkan DN 17/Maha Sudassana Sutta, berjalan menuju hutan Sala dan berbaring di bawah pohon Sala kembar, sambil dikipasi Bhikkhu Upavana, kemudian beliau meminta seorang bhikkhu agar memanggil Ananda dan beliau kemudian menasehati Ananda untuk menghilangkan kesedihannya, kemudian beliau menerima Subhadda dan menahbiskannya, juga menerima rombongan para penduduk Malla yang datang menemui beliau sebelum beliau Parinibbana hingga jam pertama malam itu, selanjutnya beliau memberikan nasehat dan dorongan pada Para Bhikkhu, setelahnya, beliau masuk-keluar jhana dan kemudian parinibbana

    Dari sekian banyak imaginasi yang ditulisnya, baik itu tulisan yang saling bertentangan sendiri atau pun bertentangan dengan Sutta, hanya satu hal yang benar yang dikatakan sang penulis, yaitu Sukaramaddava bukan penyebab kematian Sang Buddha.

Artikel Berkaitan Lainnya: