JALAN [magga vagga]
(1) Kisah Lima Ratus Bhikkhu
(2), (3),(4) Kisah Yang Berhubungan Dengan Anicca, Dukkha, dan Anatta
(5) Kisah Tissa Thera, Bhikkhu Yang Malas
(6) Kisah Babi Peta
(7) Kisah Potthila Thera
(8) Kisah Lima Bhikkhu Tua
(9) Kisah Seorang Thera Yang Pernah Terlahir Sebagai Pandai Emas
(10) Kisah Mahadhana, Seorang Saudagar
(11) Kisah Kisagotami
(12) Kisah Patacara
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
Lima ratus bhikkhu, setelah mengikuti Sang Buddha ke sebuah desa, pulang ke Vihara Jetavana. Sore harinya mereka berbicara tentang perjalanannya, khususnya tentang keadaan tanah, apakah datar atau berbukit, lembek atau berbatu, dan lainnya.
Sang Buddha menghampiri mereka, seraya berkata, "Para bhikkhu, jalan yang kalian bicarakan adalah keadaan di luar diri kalian. Seorang bhikkhu seharusnya hanya terpusat pada ‘jalan utama’ (Jalan Ariya) dan berusaha keras berbuat sesuai dengan ‘Jalan Ariya’ yang membimbing kita merealisasi kedamaian abadi (nibbana)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 273 sampai dengan 276 berikut ini :
Di antara semua jalan, maka ‘Jalan Mulia Berfaktor Delapan’ adalah yang terbaik; di antara semua kebenaran, maka ‘Empat Kebenaran Mulia’ adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang ‘melihat’ adalah yang terbaik.
Inilah satu-satunya ‘Jalan’. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).
Dengan mengikuti ‘Jalan’ ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini pula yang Kutunjukkan setelah Aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).
Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan ‘Jalan’. Mereka yang tekun bersamadhi dan memasuki ‘Jalan’ ini akan terbebas dari belenggu Mara.
Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(2), (3), (4) Kisah Yang Berhubungan Dengan Anicca, Dukkha, dan Anatta
Setelah menerima pelajaran meditasi dari Sang Buddha, lima ratus bhikkhu pergi ke sebuah hutan untuk berlatih meditasi. Tetapi mereka mengalami sedikit kemajuan, sehingga mereka kembali kepada Sang Buddha dan menanyakan pelajaran meditasi lainnya yang akan membuat mereka mencapai hasil yang lebih baik. Dalam benak hati-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa pada masa Buddha Kassapa, bhikkhu-bhikkhu itu bermeditasi dengan obyek ketidakkekalan.
Kemudian Beliau berkata, "Para bhikkhu, semua keadaan yang berkondisi adalah subyek dari perubahan dan akan musnah, oleh karena itu tidaklah kekal."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 277 berikut :
Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Dukkha
Kisahnya sama dengan kisah Anicca. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu yang lain bermeditasi dengan obyek dukkha, sehingga Beliau berkata, "Para bhikkhu, segala perpaduan hidup adalah menderita dan tidak memuaskan, maka segala kelompok kehidupan (khandha) adalah dukkha."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 278 berikut :
Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucain arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Ketanpa-intian (Anatta)
Kisahnya sama dengan kisah Anicca dan kisah Dukkha. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu lain lagi bermeditasi dengan obyek Anatta, sehingga Beliau berkata, "Para bhikkhu, segalanya perpaduan hidup adalah tanpa inti/substansi. Hal tersebut bukan subyek keakuan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 279 berikut :
Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(5) Kisah Tissa Thera, Bhikkhu Yang Malas
Suatu ketika, lima ratus orang pemuda ditahbiskan menjadi bhikkhu, siswa Sang Buddha di Savatthi. Setelah menerima pelajaran meditasi dari Sang Buddha, para bhikkhu baru tersebut, kecuali satu bhikkhu, pergi ke hutan untuk berlatih meditasi. Mereka berlatih dengan tekun dan sungguh-sunguh sehingga dalam waktu singkat mereka semua mencapai tingkat kesucian arahat. Ketika mereka pulang ke vihara untuk memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau sangat gembira dan puas dengan pencapaian mereka. Bhikkhu Tissa, yang tertinggal, tidak berusaha keras sehingga ia tidak mencapai apa-apa.
Ketika Tissa tahu bahwa hubungan antara Sang Buddha dan para bhikkhu sangat baik dan dekat, ia merasa agak dilupakan dan menyesal karena ia telah menyia-nyiakan waktunya selama ini. Sehingga ia memutuskan untuk berlatih meditasi sepanjang malam. Ketika ia sedang berjalan dalam meditasinya di suatu malam, ia tersandung dan mengalami patah tulang di pahanya. Bhikkhu yang lain mendengar teriakannya, segera datang menolongnya.
Saat mendengar peristiwa itu Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, ia yang tidak berusaha keras pada saat harus berusaha, tetapi menyia-nyiakan waktunya, ia tidak akan mencapai jhana dan pandangan terang Sang Jalan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 280 berikut :
Walaupun seseorang masih muda dan kuat, namun bila ia malas dan tidak mau berjuang semasa harus berjuang, serta berpikir lamban; maka orang yang malas dan lamban seperti itu tidak akan menemukan Jalan yang mengantarnya pada kebijaksanaan.
Suatu ketika, saat Maha Moggallana Thera berjalan menuruni bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera, Beliau melihat sesuatu yang menyedihkan, yaitu makhluk peta kelaparan, dengan kepala berwujud babi dan berbadan manusia. Melihat makhluk peta tersebut, Maha Moggallana Thera tersenyum namun tak berkata sedikit pun. Pada saat tiba di vihara, Maha Moggallana Thera menghadap Sang Buddha, membicarakan tentang makhluk peta berwujud babi yang mulutnya penuh dengan belatung.
Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau juga pernah melihat makhluk tersebut saat Beliau baru saja mencapai Ke-Buddha-an, namun Beliau tidak mengatakan hal itu, karena orang-orang mungkin tidak akan percaya dan akan menyalahkan Beliau. Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah tentang makhluk peta babi tersebut.
Pada masa Buddha Kassapa, makhluk peta babi itu adalah seorang bhikkhu yang sering membabarkan Dhamma. Suatu ketika, ia mengunjungi sebuah vihara yang ditempati oleh dua bhikkhu. Setelah tinggal beberapa waktu bersama kedua bhikkhu tersebut, ia menyadari bahwa ia telah berbuat cukup baik karena orang-orang menyukai penjelasannya. Ia merasa akan lebih baik lagi bila ia dapat membuat kedua bhikkhu tersebut pergi dan vihara itu menjadi miliknya sendiri. Maka ia mencoba untuk mengadu domba mereka. Kedua bhikkhu tersebut bertengkar dan meninggalkan vihara menuju dua arah yang berlawanan. Akibat dari perbuatan buruk itu, bhikkhu tadi terlahir di alam neraka Avici dan ia harus menjalani sisa hidupnya dengan menderita sebagai makhluk peta yang berwujud babi dengan mulut dipenuhi belatung.
Sang Buddha pun melanjutkan, "Seorang bhikkhu haruslah tenang dan terkendali baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 281 berikut :
Hendaklah ia menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran dengan baik serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia memurnikan tiga saluran perbuatan ini, memenangkan ‘jalan’ yang telah dibabarkan oleh Para Suci.
Potthila adalah seorang bhikkhu senior yang memahami semua teori Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dengan baik dan sering mengajarkan Dhamma kepada lima ratus bhikkhu dengan bersungguh-sungguh. Pemahamannya itu menjadikan ia sangat sombong. Sang Buddha mengetahui kekurangan itu, dan menginginkan Potthila memperbaiki sikapnya serta mengarahkannya ke jalan yang benar.
Maka kapan pun Potthila datang untuk memberi hormat, Sang Buddha memanggilnya dengan ‘Potthila yang tak berguna’. Saat Potthila mendengar panggilan itu, ia merenungkan kata-kata Sang Buddha dan menyadari bahwa Sang Buddha menyebutnya demikian karena ia tidak pernah berusaha dengan serius dalam berlatih meditasi dan belum mencapai tingkat kesucian ataupun pencapaian jhana.
Lalu tanpa mengatakan kepada siapa pun, Potthila Thera pergi ke suatu tempat yang letaknya 20 yojana dari Vihara Jetavana. Di tempat itu terdapat 30 bhikkhu. Pertama, ia mendatangi bhikkhu yang paling senior dan memohonnya untuk menjadi penasehat, namun bhikkhu tersebut menyuruhnya pergi ke bhikkhu senior yang lain, yang terus menyuruhnya pergi ke bhikkhu yang lainnya lagi. Potthila terus berpindah dari satu bhikkhu ke bikkhu yang lain sehingga akhirnya ia menghadap seorang samanera arahat berusia 7 tahun. Samanera muda itu menerimanya sebagai murid dengan catatan bahwa Potthila harus mengikuti semua petunjuknya dengan penuh rasa hormat. Setelah diberi berbagai petunjuk oleh samanera itu, Potthila Thera membuat pikirannya benar-benar teguh pada kondisi alamiah badan jasmani, ia menjadi sangat rajin dan bersungguh-sungguh dalam bermeditasi.
Sang Buddha melihat Potthila melalui kemampuan penglihatan luar biasa serta kekuatan batin Beliau. Potthila merasakan kehadiran Beliau serta mendorongnya untuk tetap tabah dan rajin.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 282 berikut :
Sesungguhnya dari meditasi akan timbul kebijaksanaan; tanpa meditasi kebijaksanaan akan pudar. Setelah mengetahui kedua jalan bagi perkembangan dan kemerosotan batin, hendaklah orang melatih diri sehingga kebijaksanaannya berkembang.
Potthila Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Suatu ketika di Savatthi, terdapat 5 sahabat yang menjadi bhikkhu di saat usianya tidak muda lagi. Telah menjadi kebiasaan bagi 5 bhikkhu tersebut untuk bersama-sama menerima dana makanan tiap hari. Mantan istri salah satu dari mereka, merupakan seorang wanita istimewa, bernama Madhurapacika, sangatlah pandai memasak dan ia selalu melayani mereka dengan baik. Karena itu kelima bhikkhu tersebut sering mengunjungi rumahnya. Akan tetapi pada suatu hari, Madhurapacika jatuh sakit dan tiba-tiba meninggal dunia. Bhikkhu-bhikkhu tua itu menjadi sangat kehilangan dan bersama-sama mereka menangis, memuja kebaikannya, dan meratapi kepergiannya.
Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan berkata, "Para bhikkhu ! Kamu semua merasa sakit dan menderita karena kamu belum terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan (lobha, dosa, moha), seperti layaknya sebuah hutan. Tebanglah hutan itu dan kamu akan terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 283 dan 284 berikut ini :
O, para bhikkhu, tebanglah hutan nafsu itu, karena dari nafsu timbul ketakutan. Setelah menebang hutan dan belukar nafsu, jadilah orang yang tidak lagi memiliki nafsu.
Selama nafsu keinginan laki-laki terhadap wanita belum dihancurkan, betapapun kecilnya, maka selama itu pula seseorang masih terikat pada kehidupan, bagaikan seekor anak sapi yang masih menyusu pada induknya.
Kelima bhikkhu tua mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(9) Kisah Seorang Thera Yang Pernah Terlahir Sebagai Pandai Emas
Ada seorang pemuda tampan, anak dari seorang pandai emas, ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Sariputta Thera. Sariputta Thera memberikan sebuah perwujudan mayat yang menjijikkan sebagai obyek meditasi itu ia pergi ke sebuah hutan dan berlatih meditasi di sana; namun dia hanya mencapai sedikit kemajuan. Akhirnya ia kembali untuk kedua kalinya kepada Sariputta Thera untuk memohon petunjuk lebih lanjut. Meskipun demikian, ia masih saja belum mencapai kemajuan. Kemudian Sariputta Thera membawa bhikkhu muda itu menghadap Sang Buddha dan menceritakan semuanya tentang bhikkhu muda itu.
Sang Buddha mengetahui bahwa bhikkhu muda itu adalah anak dari seorang pandai emas, dan juga ia pernah terlahir di keluarga pandai emas selama 500 kali kehidupannya yang lampau. Kemudian Sang Buddha mengganti obyek meditasinya dari mayat yang menjijikkan menjadi obyek kesenangan. Dengan kekuatan batin Beliau, Sang Buddha menciptakan sekuntum bunga teratai yang sangat indah sebesar roda kereta dan meminta bhikkhu muda itu untuk menancapkannya pada gundukan tanah di luar vihara.
Bhikkhu muda tersebut memusatkan diri pada bunga teratai yang besar, indah dan harum, akhirnya ia pun dapat menyingkirkan segala rintangan. Ia dipenuhi dengan kepuasan yang menggembirakan (piti), dan selangkah demi selangkah ia mengalami perkembangan hingga mencapai pencerapan batin (jhana) ke empat.
Sang Buddha melihatnya dari kuti harum Beliau dan dengan kekuatan batin Beliau membuat bunga itu layu seketika. Melihat bunga itu layu dan berubah warna, bhikkhu tersebut memahami ketidak-kekalan alamiah bunga tersebut juga segala sesuatu termasuk semua makhluk. Hal tersebut menyebabkan timbulnya kesadaran terhadap ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tanpa inti dari semua hal yang berkondisi. Sesaat kemudian, Sang Buddha memancarkan sinar dan menampakkan diri di hadapan bhikkhu tersebut dan memberikan petunjuk agar segera memusnahkan nafsu keinginan (tanha).
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 285 berikut :
Patahkanlah rasa cinta terhadap diri sendiri, seperti memetik bunga teratai putih di musim gugur. Kembangkanlah jalan kedamaian Nibbana yang telah diajarkan oleh Sang Sugata (Beliau yang telah berlalu dengan baik, Buddha).
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(10) Kisah Mahadhana, Seorang Saudagar
Suatu ketika, seorang saudagar dari Banarasi akan menghadiri sebuah festival di Savatthi dengan membawa 500 kereta yang penuh dengan kain dan barang dagangan lainnya. Ketika tiba di tepi sebuah sungai dekat Savatthi, air sungai tersebut sedang meluap. Ia menunda perjalanannya selama tujuh hari karena hujan yang lebat dan air sungai yang tidak kunjung surut. Karenanya, ia menjadi terlambat mengikuti festival, sehingga tidak berguna lagi baginya untuk menyeberangi sungai itu.
Karena datang dari jauh, dia tidak ingin kembali ke rumah dengan barang dagangan yang masih utuh. Akhirnya ia memutuskan untuk menghabiskan musim hujan, musim dingin, dan musim panas di tempat itu, dan mengajak semua pelayannya untuk turut serta.
Saat Sang Buddha pergi berpindapatta, Beliau mengetahui keputusan itu dan tersenyum. Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum dan Sang Buddha pun menjawab, "Ananda, tahukah kau pedagang itu ? Dia mengira bahwa dia dapat tinggal di sini dan menjual semua barangnya sepanjang tahun. Dia tidak menyadari bahwa ia dapat meninggal dunia di sini dalam waktu tujuh hari. Apa yang harus dilakukan hendaknya dilakukan hari ini. Siapa dapat mengetahui seseorang akan meninggal dunia esok ? Kita tidak dapat berkompromi waktu dengan Raja Kematian. Orang yang selalu waspada tiap pagi dan malam, yang tidak terganggu oleh kekotoran batin, penuh semangat, yang hidup untuk hanya satu malam, adalah pengguna waktu yang baik."
Kemudian Sang Buddha menyuruh Ananda untuk mendatangi saudagar Mahadhana. Ananda menjelaskan kepada Mahadhana bahwa waktu terus berlalu dan bahwa ia harus meninggalkan kelalaian dan menjadi waspada. Memikirkan tentang kematian yang akan menyambutnya, Mahadhana menjadi sadar dan merasa takut. Sehingga, selama tujuh hari ia mengunjungi Sang Buddha dan para bhikkhu untuk berdana makanan. Pada hari ke tujuh, Sang Buddha berkhotbah tentang penghargaan dana (anumodana).
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 286 berikut :
Di sini aku akan berdiam pada musim hujan, di sini aku akan berdiam selama musim gugur, dan musim panas. Demikianlah pikiran orang bodoh yang tidak menyadari bahaya (kematian).
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, saudagar Mahadhana mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ia mengikuti Sang Buddha selama beberapa waktu sebelum akhirnya kembali. Saat perjalanan pulang ia terserang sakit kepala dan akhirnya meninggal dunia. Mahadhana terlahir kembali di alam dewa Tusita.
Kisagotami menghadap Sang Buddha karena ia dilanda kesedihan mendalam akibat kematian anak tunggalnya. Kepadanya Sang Buddha mengatakan, "Kisagotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan anak. Kematian menimpa semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpenuhi, kematian telah menjemputnya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 287 berikut :
Orang yang pikirannya melekat pada anak-anak dan ternak peliharaannya, maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya, seperti banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.
Kisagotami mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Patacara kehilangan suami dan dua putranya, sekaligus orang tua dan ketiga kakak laki-lakinya dalam waktu bersamaan. Ia menjadi hampir gila. Ketika ia mendekati Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, "Patacara, anak-anak tidak dapat merawatmu, bahkan meskipun mereka masih hidup, mereka tidak hadir untukmu. Orang bijaksana menjalankan moral (sila) dan menghancurkan rintangan pada jalan menuju nibbana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 288 dan 289 berikut ini :
Anak-anak tidak dapat melindungi, begitu juga ayah maupun sanak saudara. Bagi orang yang sedang menghadapi kematian, maka tidak ada sanak saudara yang dapat melindungi dirinya lagi.
Setelah mengetahui kenyataan ini, maka orang berbudi dan bijaksana tak akan menunda waktu dalam menempuh jalan menuju Nibbana.
Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb20.htm
Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar