Tampilkan postingan dengan label Renungan Sosio Ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan Sosio Ekonomi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 September 2007

Nasionalisme Ala Geger

Oleh : Anton

Seorang Revolusioner adalah seorang yang harus memihak – ada kawan ada lawan. Revolusi adalah permusuhan. Ia menghendaki kekerasan sikap karena orang harus bergulat. Ia menghendaki penyempitan pandang, karena orang harus membidik.
(Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir Tempo 4 Juli 1981)

Goenawan Mohammad adalah manusia kontemplatif, dia orang Batang yang punya alam pikiran Barat baginya Revolusi adalah bagaimana memilih posisi dan posisi paling tragis adalah ketika Hatta dan Liu Shaoqi mundur dari sejarahnya atau Bani Sadr dan Bazargan menjadi habis karena tidak memilih berpihak. Tapi bagaimanapun cita-cita besar harus memihak bukan?

Amerika Serikat tak akan sebesar sekarang bila tidak ada George Washington yang kepala batu, Putin tidak akan mendapat keagungan sejarah Russia bila tidak ada Lenin, Stalin sampai Breznev. Russia kini menjadi harapan besar bagi negara-negara yang sudah sebal lihat kelakuan buas Bush cs. Jepang tidak akan semodern sekarang bila Kaisar Meiji tidak bertindak tegas terhadap masa lalu dimana kultur `Samurai' dihabisi diganti kultur barat yang rasionil, RRC tidak akan semegah sekarang bila tidak sikap dari Mao yang banyak dikutuki oleh pembenci-nya dan Vietnam tidak akan berlari kencang secepat cheetah bila tidak ada keteguhan Paman Ho dan jutaan
gerilyawan yang mati bertempur lawan Perancis di Dien Bien Phu, dan menghancurkan Amerika di Saigon. Apakah Indonesia akan ada tanpa kenekatan dari anak-anak PETA dan pemimpin yang berani mati model Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka atau Amir Sjarifudin?

Memang pada akhirnya keteguhan melihat tujuan kadang-kadang digoda oleh kegenitan intelektual atas nama kemanusiaan, atas nama humanisme. Tapi tak jarang kegenitan itu mengundang kabut yang menghalangi visi. Dan membuka lowong bagi kekuatan jahat yang mengkhianati tujuan negara. Dan itulah yang terjadi di Indonesia.

Seperti yang diberitakan oleh Geger Hariyanto pada artikelnya di Kompas (Sabtu, 8/9/07) tentang Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang menjadi eksil di tanah seberang karena tak sepaham dengan garis politik Sukarno. Apakah Geger tak melihat apa yang dilakukan STA, Des Alwi, Soemitro Djojohadikusumo dan banyak pelarian politik lainnya justru menabur benih orang-orang macam Oejeng Soewargana? Apakah STA, Des Alwi, Soemitro Djojohadikusumo sama dengan Munir yang pahlawan kemanusiaan itu..oh tidak, mereka berpihak pada politik yang diyakininya mereka bukan membela kemanusiaan hanya semata-mata pada kemanusiaan. Justru yang jauh lebih terhormat adalah kesadaran Hatta dan Sjahrir dalam menerima realitas politik dibanding pelarian politik jaman Bung Karno yang memang sudah memberontak dan melakukan subversi secara terang-terangan (PRRI 1958). Apa yang dikatakan Hatta adalah perasaan Nasionalisme- nya yang maha besar "Saya akan memberi kesempatan pada Sukarno" atau pesan Sjahrir pada kadernya Soebadio Sastrosatomo "Kalau Sukarno perlu kamu, bantulah dia.." padahal Sjahrir sedang dalam posisi sulit di jaman Bung Karno. Kemudian Sjahrir berkata `Bagaimanapun Bung Karno telah berjasa besar menyatukan bangsa ini" inilah nasionalisme yang sebenar-benarnya mereka tidak melawan walaupun tidak berpihak, tidak lari ke luar negeri dan membangun konspirasi. Karena mereka tahu apa yang dilakukan Bung Karno adalah untuk kebesaran bangsa Indonesia. Pelacur-pelacur Intelektual di jaman Orde Baru sering menyebutkan bahwa Sukarno bergelimang kekuasaan tapi mereka tidak pernah menggambarkan sedikit pun beban tanggung jawab yang maha besar dari seorang Sukarno untuk membesarkan bangsa.

Keberanian melawan kekuasaan jangan dianugerahi pada segerombolan pengecut yang lari ke luar negeri dan mengkhianati tujuan besar bangsa Indonesia, tapi pada pemberani-pemberani yang menentang kekuasaan yang tidak benar dan menempuh jalan mati dengan sikap tenang. Pledoi Sudisman adalah bentuk keteguhan hati, keberanian Amir Biki menantang tentara di Tanjung Priok atau Wiji Thukul seorang tukang becak sederhana atau Munir dengan kerongkongannya yang bersimbah arsenik. Pramoedya Ananta Toer itulah yang layak dijadikan role model rasa cintanya pada nasionalisme bangsa walaupun bangsanya menyakitinya, teman-temannya mengutuki hanya untuk cari selamat sambil diam melihat pesta pora Orde Baru. Apakah anak-anak mantan menteri perikanan dan kelautan Rokhmin Dahuri yang ingin mencabut kewarganegaraan Indonesia dan berniat beralih menjadi warga negara Kanada karena kecewa dengan pengadilan Indonesia bisa disebut Nasionalis? Betapa manja benar mereka, apakah Geger misalnya melawan pemerintah otoriter lalu atas nama humanisme menjadi warga negara Kanada dan melupakan Indonesia? Apa anda tidak malu dengan anak-anak yang bapak ibunya dibantai karena tuduhan terlibat G 30 S, tapi dia tetap mencintai Indonesia dengan sangat bekerja di ladang-ladang rakyat tanpa pamrih. Dokter Ribka Tjiptoning tetap melayani masyarakat kecil dengan segala kesulitan hidup tapi ia tidak mendendam pada Indonesia yang dilawannya adalah kekuasaan dengan semua kepentingan- kepentingan yang melekat. Atau Ibarurri Aidit yang sangat mencintai Indonesia walau nggak jelas Bapaknya diapain oleh tentara? Bagaimanapun ke Indonesia-an membutuhkan sakralitas yang secara implisit diremehkan oleh Geger atas nama Humanisme, Nasionalisme Manusia yang pada titik lemahnya kemudian menjerembabkan negara ketangan orang-orang yang tidak benar.

Amerika Serikat, Inggris, Perancis atau Jerman sedemokrasi apapun sistem politik mereka pasti memiliki tangan negara yang sangat kuat demi kepentingan mereka sendiri. AS boleh teriak sampai serak tentang demokrasi liberal tapi ketika kepentingan negara mereka terganggu mereka lantas hajar habis itu negara. Begitu juga dengan negara-negara yang maju, mereka butuh pemerintahan kuat dan nasionalisme yang menggelegar. Mantan Presiden Perancis Jacques Chirac bahkan meninggalkan sebuah pertemuan karena mendengar salah seorang menterinya bicara pakai bahasa Inggris, sementara orang Indonesia merasa lebih pintar bila berbicara campur-campur Indonglish, Indonesia-English, bahasa Inggris dianggap bahasa Dewa. Humanisme yang genit dan diselubungi rasa inferior adalah lawan dari tujuan besar bangsa, cita-cita besar bersama. Humanis yang genit dan membutakan realitas malah melahirkan sebuah generasi baru yang dungu seperti Orde Baru.

Dan menciptakan belantara konspirasi seperti Oejeng Soewargana. Apa yang dilakukan Oejeng? Beginilah Rosihan Anwar menceritakannya dalam buku Sejarah Kecil Indonesia (Le Petite Histoire) yang mengutip dari buku Oltmans `Mijn Vriend Soekarno' di hal. 147 Oltmans mengatakan :

"Pak Oejeng yang ramah itu seorang pengkhianat kelas satu, kacung pembawa pesan Jenderal Nasution untuk dinas intel Amerika CIA di Washington". Rosihan kemudian melanjutkan narasinya tentang cerita Oltmans. Oltmans menulis tentang tahun 1964 di New York ketika dia berkenalan dengan penyair WS Rendra, dan cukup banyak orang Indonesia menginap di rumahnya. Oejeng adalah tamu tetap Oltmans. Dia berjumpa secara kebetulan di Toko Swalayan Macy. Pada kesempatan lain Oltmans sedang sibuk mengetik di kantor atase pertahanan KBRI di Washington, Mayjen Surjo Sularso. Oejeng menggunakan fasilitas pemerintah Sukarno untuk bersama CIA melakukan konspirasi terhadap pemerintah yang sah di Jakarta. Saat itu Oejeng mengeluarkan ucapan yang ternyata akan terwujud antara tahun 1967 dan meninggalnya Sukarno tanggal 21 Juni 1970. Oejeng berkata, "Kami akan kucilkan (Isoleren) Soekarno dan membiarkannya mati bagaikan sebuah bunga yang tak lagi memperoleh air" Ini memang persis sekali dengan perlakuan yang diberikan rezim Soeharto kepada Soekarno".

Dan Goenawan Mohamad melanjutkan kontemplasinya pada catatan pinggirnya. "Revolusi toh sudah sering dikhianati"

---------------------<<>
Wirajhana:

Terima kasih atas tulisannya..

malam paling menjemukan ini akhirnya saya mengalami "cuci darah" kembali..

cilakanya darah ku dicuci tentang kisah kucuran pengorbanan tanpa henti...

cilakanya, saat hendak berpikir:

"ah, masih ada koq nasionalisme yang tidak geger"...malah jadi terbungkam teler

terbungkam oleh bayangan semua yang merangkak naik kecuali kesejahteraan rakyat dan harga diri bangsa..

terbungkam betapa stabilnya kesejahteraan rakyat dan harga diri bangsa merangkak loyo, ngesot dan perlahan menjadi merayap.

ngomong2 rayap...jadi terbayang bahwa mereka "makan" dari dalam menggerogoti pelan2 hingga terang2an membuat rapuh dan mati...

ngomong2 ngesot jadi terbayang fungsi yang salah kaprah bahwa yang seharusnya membuat "adem" karena ia hadir untuk merawat menjadi kalang kabut membuat derita kesusahan..

ngomong2 merangkak loyo...jadi miris mengingat eforia harapan saat pesta koar-koar mengusung slogan "berilah kami kempatan", rupanya sudah berubah menjadi menjepit kami yang memberi...

yah sudahlah...melayani itu ternyata tidak pernah mengalami revolusi ia hanya bermutasi dari satu jaman ke jaman dengan model ilmu katak yang sama!

berenang keatas dengan menghentakan kaki kebawah...mencari celah keatas dengan meninjak apapun..

Toh, mungkin sekarang bukan cuma revolusi yang sudah dikhianati..
nasionalisme-pun juga sudah dikhianati, ketika penguasa lebih memilih penguasa, ketika kawan karena kepentingan, ketika kekerasan sikap hanya untuk membela kawan pat gulipat, ketika menyempitkan pandangan hanya untuk membidik tahun setelah 2009.

Apakah Indonesia masih ada? ataukah sudah berubah menjadi Indon di asia?

Melek Finansial, Melek Kapital dan Melek Sosial

Oleh : ANTON

Kejadian yang wajar banget bila mahasiswa bingung apa beda Reksa Dana dengan Danareksa karena secara bahasa-nya juga aneh. Saya tidak tahu bahasa sanskrit menggunakan kaidah DM apa MD tapi kata Reksa Dana dan Danareksa kalau dalam makna bahasa Indonesia artinya sama-sama menjaga uang, Reksa=menjaga (sing mbaurekso) Dana = Harta. Jadi menjaga harta tapi kalau orang yang hidup di jaman Gajah Mada pasti heran karena Reksadana dan Danareksa jadi dua arti yang berbeda. Yang satu `Jaga dana' yang lain `dana Jaga' jadi mana yang benar?

Danareksa yang berdiri tahun 1977 dan kemendannya JA Sereh, jago tua Pasar Modal itu yang awalnya ngendon di bangunan tua Kebon Sirih samping kantor Gubernuran Jakarta Dulu kata orang Danareksa didirikan untuk bikin Reksadana Saham sebagai counterpart dari pendirian Bursa Efek yang kantornya berbentuk gedung dengan tiang bulet-bulet ngikutin gaya Bursa Efek di Taiwan, -(tapi sekarang malah sok jadi bangunan gaya Gothik). Dikemudian hari Danareksa menjadi gurita besar Pasar Modal Indonesia bidang kerjanya banyak banget, dari Brokerin saham sampai ngasih kredit utangan (katanya sekarang nggak lagi), dari IPO sampe bikin produk Reksadana. (Komisaris Danareksa sekarang aneh Dino Patti Djalal - ngerti apa
dia dengan Pasar Modal? – apa cuman alat SBY untuk ngangkangi Danareksa saja, setelah Lin Chen Wei terdepak...) . Daripada Dino kenapa nggak ngangkat Jojon sekalian aja biar tambah lucu.

Beda lagi dengan Reksa Dana, nah instrumen ini sebenernya bukan barang baru sudah dikenalkan sejak tahun 70-an dan mulai beredar di tahun 80-an. Tapi baru booming setelah tahun 1997 gara-gara Tito Sulistio sama Titiek Prabowo rajin kampanye Pasar Modal dan Reksa
Dana. Tapi tahun 1998 bangkrut lagi tuh perputaran uang di Reksa Dana kemudian sesuai siklus ekonomi Indonesia yang baik terjadi booming Reksa Dana terutama yang berkonten Obligasi. Bahkan banyak Manajer Investasi yang bermain di Indonesia berpendapat Nilai Aktiva Bersih Obligasi selalu bertumbuh jadi variabel resiko habis dan masuk dalam wilayah return free market di titik itu mereka koar-koar ke investor awam...sampai disini semua orang masih terbahak-bahak banyak Investor datang dan menggelembungkan pundi-pundinya. Tapi pertukulan reksadana (tukul=tumbuh) kayak balon gas yang meledak di UI dan melukai banyak pelari pagi, amblas. Bank Global untung besar gara-gara ngeluarin Reksa Dana bodong, Reksa Dana BNI juga bermasalah. Kehancuran total itu disebabkan oleh ketidaktahuan dari
orang-orang MI sendiri tentang faktor resiko sehingga resiko penurunan nilai dikelabui dari pikiran publik, dan publik kadung menganggap Reksa Dana mirip-mirip Deposito yang dananya dijamin oleh negara, padahal orang yang belajar tentang hukum Kapital mana-mana juga ngerti semangkin tinggi ekspektasi return, semangkin tinggi daripada resiko. Kalo ndak percaya tanya sama tukang kredit panci sana....Hancurnya obligasi ditahun 2005 akhir lalu itu benar-benar bikin ngakak investor asing, dan investor kecil yang nangis bombay banyak banget.

Jadi bila nanya apa beda Reksa Dana dengan Danareksa sama mahasiswa yang mau bikin skripsi wajar aja kalo nggak tahu, lha Manajer Investasi-Manajer Investasi kita juga masih bingung apa yang dimaksud Reksadana. Liat aja buat ngindarin pajak setiap lima tahun mereka bubarkan produk reksadana dan bikin yang baru, atau untuk ngindarin pembelian pajak keuntungan obligasi para dedengkot kapital bikin reksadana supaya nggak kena 20% pajak final. Reksadana tidak dijadikan alat pertumbuhan nilai sejati sesuai kaidah-kaidah keuangan.

Kalau mau bicara melek finansial kita harus bicara melek spectacle. Spectacle secara harafiah diartikan sebagai `tontonan' dan merupakan bentuk pendangkalan dari pemaknaan. Misalnya saya pakai peci putih, baju koko maka sontak saya menjadi alim dan bisa mendiktekan norma-norma kebenaran saya, kalau saya ingin dianggap pemberontak cukup pakai baju gambar Che Guevara yang dominan warna merahnya, kalau saya ingin dikatakan seperti kyai pujaan dan banyak penggemar cukup cantumkan kata A'a di depan nama saya sukur-sukur
bisa memperistri artis kemudian masuk TV dan mendakwahkan pemahaman agama saya, kalau saya ingin dibilang kaya tidak usah saya punya uang milyaran di Bank atau portofolio saham-saham bagus di Pasar Modal, cukup kredit mobil baru dan pakai baju bermerk maka saya sudah kaya. Budaya Spectacle merupakan budaya yang menghilangkan pendalaman dan melebih-lebihkan penampilan. Akar dari budaya tontonan ini adalah pengelembungan kapital yang fantastik. Semakin memiliki kadar nilai tukar tinggi semakin fantastik nilainya tanpa diikuti utilitas nilai guna. Jadi ketika saya naik Mercedes maka secara nilai tukar saya lebih tinggi daripada saya naik Honda atau Toyota, karena penggelembungan nama Mercedes –penganut kapitalis menyebutnya Branded – Jadi komoditi yang pada dasarnya berbentuk realitas kemudian secara holahop berubah ke dalam alam gaib dan mempengaruhi naluri.

Spectacle juga mempengaruhi relasi-relasi antara manusia dengan lingkungannya, ketika saya memakai berambut panjang maka saya direlasikan sebagai penggemar musik Metal lalu tatkala saya menggunakan asesoris anak dugem maka saya sontak menjadi bagian dari kaum Dugem. Kalau saya pakai baju merah dan ada gambar banteng gemuknya, maka saya bagian dari `wong cilik' kalau saya pakai baju kuning dan ada gambar `Ringin Kurungnya' maka saya adalah pecinta status quo, minimal anak bekas pejabat Orde Baru. Dan ketika baju saya ada gambar Palu Arit...maka tahu sendiri akibatnya

Relasi-relasi yang kemudian dipengaruhi oleh spectacle ini kemudian membentuk niat awalnya, yaitu : Modal.

Modal-lah yang kemudian menciptakan spectacle-spectacle dan bertransformasi menjadi alam realitas, menjadi sebuah keharusan supaya kita menjadi bagian dari komunitas. Misalnya seorang anak dikabarkan gantung diri karena orang tuanya tidak membelikannya handphone, disini HP bagi si anak bukan lagi merupakan alat fungsional dimana tanpa HP ia tidak bisa berkomunikasi, tapi lebih merupakan spectacle bagi dirinya, dengan HP secara dangkal ia mendapatkan eksistensinya, dengan HP dia menemukan jati dirinya di tengah pergaulan. Ketika realitasnya orang tuanya tidak membelikan HP maka hancurlah eksistensinya, dan penghancuran eksistensi itu merupakan kiamat bagi pembentukan esensi kemanusiaannya maka tak ada lagi bagi pikirannya kecuali menempuh jalan mati.

Begitu juga seorang wanita kenapa mereka bisa banyak dikibuli oleh laki-laki, karena penampilan, karena spectacle yang kemudian menciptakan romantika di dalam pikirannya, setelah menikah barulah ia mendapati kesejatian sang laki-laki pujaannya yang ternyata bias-
nya jauh sekali dari jalur romantika yang dia impikan. Dunia kaum wanita adalah dunia paling rentan untuk dirasuki budaya spectacle. Karena sejak dulu wanita adalah objek bagi kepentingan alam pikiran laki-laki, budaya agraris mengenal wanita sebagai alat reproduksi
juga tampilan erotis maka muncullah Dewi Sri atau Ronggeng Sri Kanthil, dalam budaya feodal wanita ditampilkan sebagai penambah nilai untuk legitimasi kekuasaan, disini wanita harus ditampilkan sebagai `yang agung' atau `yang suci' dan bisa memancarkan `wahyu kedaton dan wahyu cakraningrat' maka dari dalam betis Ken Dedes muncul sinar wahyu kedaton dalam alam pikiran Ken Arok, maka memperistri Pembayun adalah sebuah bentuk pengakuan kekuasaan dari Ki Ageng Mangir Wonoboyo terhadap Panembahan Senopati. Atau ageman Ibu Tien Suharto yang masih kerabat Mangkunegaran bagi Suharto yang hanya anak ulu-ulu.

Dalam spectacle ciptaan Kapitalis wanita dikonstruksikan lebih dahsyat lagi. Apa yang ada pada diri wanita harus memenuhi kaidah-kaidah penambahan kapital bagi pencipta komoditi dan perangkai imaji dimana tujuan mereka adalah mereproduksi Kapital. Kaum wanita mau tidak mau diasingkan dari kewanitaannya dan hanya menjadi objek tampilan pada dunia – yang disangka wanita korban spectacle itu adalah kehendak laki-laki dan aturan tak tertulis- . Apa yang menjadi kiamat bagi kaum wanita urban Indonesia saat ini adalah ketika ia tidak lagi memenuhi kaidah-kaidah tampilan kapitalis. Kaum Kapital merekonstruksi kecantikan sesuai dengan imaji yang diciptakan. Saat ini di Indonesia kecantikan selalu diartikan: keturunan Indo-Eropa, Berambut pirang, tinggi diatas 165 cm, berdada sedang dan memiliki kaki jenjang diatas semuanya adalah : kulit putih bersih ala Eropa. Hal ini selain merupakan bagian inferior compleks orang Indonesia yang selalu memandang barat di atas segalanya, juga adalah produksi imaji yang diciptakan oleh kaum produsen komoditi kecantikan yang memang berpusat di Eropa. Kecantikan dimulai dari sana. Citra kecantikan bukan lagi pada Gusti Nuril bangsawan puteri Mangkunegaran yang dulu terkenal cantik jelita tapi pada Nadine Chandrawinata yang sudah sempurna memenuhi kecantikan-kecantik an ala barat.

Ketika Spectacle itu sudah menjadi bagian dari kehidupan terpenting dan merupakan prakondisi bagi terciptanya eksistensi kemanusiaan seseorang maka dibentuklah permainan finansial dimana korbannya adalah memang orang yang sudah terjajah oleh aturan-aturan yang dihidupkan oleh kaum Kapitalisme.

Melek Finansial hanya mengajarkan bagaimana kita bisa mengatur keuangan dan menjaga nilai uang kita atau kalau bisa menumbuhkannya. Tapi tidak mengajari bagaimana memahami lebih jauh spectacle yang merupakan tuntutan kebudayaan. Seorang yang biasa bergaul ketika
pulang kerja di cafe-cafe dan meminum minuman yang harganya 40 kali lebih mahal dari seharusnya, jika tidak mengikuti acara minum-minum maka dia akan tersisih secara sosial dan diisolir kemampuannya berbudaya dimana komunitas nongkrong di kafe merupakan bagian dari
budaya urban. Saat ini profesional yang berusia 25-29 tahun katakanlah memiliki gaji 15-25 juta sebulan, namun di akhir bulan uang yang tersisa hanyalah sekitar 600 ribu, atau malah hutang.
Banyak profesional sekarang setiap bulan harus membacai lembar- lembar kartu kredit, karena Bank-Bank sebagai komprador Kapitalis itu melemparkan candu-nya berupa utang lalu dengan pesona-pesona spectacle mereka menggunakan titik-titik tipuannya seakan-akan utang itu adalah bagian dari asset mereka, bagian dari penghasilan mereka dan kemudian oleh nilai-nilai fantastik yang dijual di mall-mall mewah para korban spectacle kartu kredit menggadaikan nilai masa depan penghasilan mereka untuk mendapatkan barang-barang yang tidak dibutuhkan bahkan tidak punya nilai guna sama sekali naluri-lah yang membuat mereka membeli barang itu. Melek Finansial hanya tahu bagaimana aliran uang berjalan, rasio-rasio antara utang dan asset, pertumbuhan nilai uang dan pemanfaatan dari pertumbuhan tersebut. Dari semuanya melek Finansial adalah cara terbaik bagaimana menciptakan egoisme.

Melek Kapital adalah tahap lebih lanjut dari Melek Finansial. Melek Kapital ini biasanya sangat dekat dengan budaya dan merupakan pemenang dari pertarungan dunia kapital saat ini. Di kebudayaan Indonesia kelompok yang sudah menyadari melek Kapital adalah keturunan Cina, Kelompok yang sudah terpengaruh kapital barat (ningrat-ningrat pribumi yang paham bagaimana modal bekerja dan menguasai kemanusiaan) dan kaum pedagang yang sudah tau susahnya bagaimana memutar uang. Dulu engkong-engkong Cina yang ngerti gimana caranya ngumpulin modal selalu nyaranin buat cucu-cucunya "kalo lu belum kaya, lu jangan makan nasi...makan bubur" beda dengan priyayi Jawa "dadi wong aja nganti nduwe ati saudagar, ora ilok" (jadi orang jangan punya hati saudagar tidak baik). Jadilah peranakan Cina mengakumulasi modalnya sedemikian rupa apalagi yang sudah mendapatkan keuntungan dari siklus politik. Namun sekarang melek kapital bukan hanya milik peranakan Cina thok tapi juga milik pribumi seperti : anak turun Ahmad Bakrie atau keluarga Kalla, yang dapat prestise politiknya, dapat pula gengsi modalnya, perkara kasus Lapindo belum beres, thoh dengan kekuatan spectacle dia bisa buat Universitas Bakrie untuk melambungkan popularitas wajah humanisme-nya (termasuk Bakrie Award) dengan langkah awalnya memberikan beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu, tapi cuek pada anak- anak yang tidur di los-los pasar gara-gara lumpur sialan itu. Itulah kekuatan modal membentuk spectacle.

Orang yang melek Kapital biasanya tidak memperdulikan spectacle bagi dirinya, dia hanya peduli bagaimana Kapital ini bisa tumbuh secara ajaib. Misalnya bagaimana bisa membeli saham-saham kinclong model BUMI atau TMPI yang naiknya ribuan persen cuman dalam waktu kurang dari 1 tahun. Orang seperti ini mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan mempertaruhkan dananya dengan lambungan luar biasa. Ia tidak mau menjadi analis portofolio yang pengecut - (yang bisanya hanya bicara sok ilmiah dengan model-model keuangan yang rumit tapi tingkat pengembalian portofolio investasinya sama ibu-ibu yang doyan nongkrong di Gallery Sekuritas aja kalah) -, Ia anti Diversifikasi jargon "Don't put all your eggs in one basket" adalah kata-kata pendosa dimata penumpuk Kapital, Ia lebih memilih konsentrasi modal untuk itu dengan nalurinya ia bisa memilih instrumen investasi yang tepat. Kemudian memegang kendali dunia. Orang jenis ini adalah Peter Lynch, Mario Gabbeli atau George Soros. Soros sendiri punya uang trilyunan tapi lebih memilih naik trem daripada naek taksi, karena ia tahu lebih praktis naek trem listrik ketimbang naek taksi di Budapest. Beda dengan orang-orang yang sok kaya di Sudirman, biar utangnya bejibun dia tidak mau naik busway tapi lebih memilih naik taksi atau mobil pribadi untuk jarak kurang dari satu kilometer. Karena ia tidak membutuhkan nilai praktisnya tapi lebih pada nilai spectacle-nya. Atau naik bus bersimbah keringat tapi limaratus meter dari kantornya dia naik taksi supaya dibukakan pintu oleh satpam. Disinilah Spectacle mendapat lambungan nilai tukar alias harga. Orang yang melek Kapital adalah orang yang paham bagaimana memperbudak kemanusiaan untuk kepentingan lambungan nilai tukar Kapitalnya.

Melek sosial, orang yang paham melek sosial ini juga paham bagaimana rangkaian modal bekerja dan membelenggu masyarakat. Mereka tidak lagi bermain di tataran keshalihan sosial hanya untuk spectacle, tapi mencari akarnya kenapa masyarakat menjadi manusia terbelenggu yang jauh dari kemanusiaannya? . Ada yang menemukan akarnya itu dari sistem Kapitalis, ia membedah sistem kapitalistik sampai pada tingkatan atomistik lalu eureka! Mereka menemukan intinya. Orang jenis ini adalah Hatta, M. Yunus dan Hernando De Soto.

Hatta dengan landasan Marxian menyatakan bahwa untuk menghindari adanya kesulitan akses bagi borjuis-borjuis menengah-kecil maka dibentuklah koperasi sebagai kapal penyelamat dari bisnis yang dijalankan para borjuis itu. M. Yunus lebih dalam lagi daripada Hatta, ia membalikkan alur gerak kapitalis dari mencari modal menjadi mendapat modal. Menurut Yunus konsep alur kapitalis konvensional merugikan bagi orang yang tidak berpunya maka untuk menyelamatkan kehidupan manusia ia memberikan modal dan memancing kaum tak berpunya itu menjalankan bisnisnya. Kalau Hernando De Soto, ditengah-tengah antara Hatta dan M. Yunus. Bagi De Soto yang layak diberi modal adalah pengusaha kecil yang sudah berjalan layak tapi tidak memiliki akses modal untuk memperbesar usaha, disinilah perlunya legalisasi kemajuan usaha sebagai jaminan kemajuan bisnis. Ketiga-tiganya berusaha mengenalkan prinsip Kapitalisme kepada akar rumput.

Melek Sosial bagi penolak apapun yang berbau Kapital adalah Karl Marx sampai orang-orang Post Marxism. Intinya mereka menolak segala bentuk transformasi nilai tukar yang kemudian memperbudak kemanusiaan, kerja bukan lagi dimaknai sebagai bentuk praksis tapi ditipu oleh kaum kapitalis sebagai bentuk fantastik yang pada gilirannya membelenggu kemanusiaan. Dan kaum sosialis anti Kapital menolak bentuk penipuan seperti itu.

Bagaimanapun konsep-konsep ekonomi datang dan pergi sejarah masyarakat terus bergerak....

yang nulis: anton_djakarta

Selasa, 28 Agustus 2007

India dan Pakistan: Sekulerisme VS Islam (Untuk yang Syariah Islam Minded!)

http://www.6thcolumnagainstjihad.com/jthomas_p7.htm#twostates
A Tale of Two States: India & Pakistan
Komentar dan kiriman: made pande made_sepultura@yahoo.com:
Disunting ulang oleh: Eka.W

Baru2 ini saya membaca artikel dalam kwtanweer.com dengan judul:
“Al-Hind wa Pakistan … al-‘Ilmaniyya’ Tantaser” (India & Pakistan … Kemenangan-kemenangan Sekularisme. )

Tulisan ini ditulis oleh seorang Muslim Arab intelektual, yang membandingkan sejarah kedua negara sejak merdeka dari Inggris tahun 1947, dan menyimpulkan bahwa India menjadi sebuah success story, sementara keadaan Pakistan amat menyedihkan.

Berikut cuplikan dari artikel tersebut disusul analisa dan komentar saya.
“Saat kami membandingkan negara Hindu sekuler India dengan Negara Islam Pakistan, kami kaget dengan kontras besar diantara keduanya. Presiden India sekarang adalah seorang Muslim (sebelum presiden sekarang yaitu wanita), yang menunjukkan bahwa agamanya bukan penghalang bagi jabatan tinggi di sebuah negara mayoritas Hindu.

Kita harus ingat bahwa sang presiden juga memainkan peran besar dalam pengembangan program nuklir India. Belum lagi kemajuan India dibidang teknologi, ekonomi, agrikultur dan pendidikan. IndIa mencapai tingkat demokrasi yang menakjubkan.

Bandingkan itu dengan keterbelakangan memalukan Negara Islam Pakistan, sistim pendidikannya, sistim ekonominya yang kembang kempis, meningkatnya terorisme dan kekuasaan ulama di negeri itu. Perbandingan antara India & Pakistan membuat seorang pengamat independen pedih melihat pemerintah Pakistan dan rakyat Muslimnya. India, setelah mengadopsi sistim pemerintahan sekuler, berhasil menyelamatkan diri dari berbagai masalah.

Memang India juga tidak bebas dari fanatisme Hindu, sistim kasta, dan ledakan penduduk. Namun dengan sistim pemerintahan sekuler yang demokratis, India memiliki posisi lebih baik untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, dibanding dengan negara-negara seperti Pakistan dan Mesir.

Dengan mengembangkan rejim sekuler, India sukses menciptakan sebuah way of life baru, baik dalam pemerintahan maupun dalam masyarakat. Warga India, terlepas dari agama atau etnisitasnya, berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. India bebas dari madrasah-madrasah yang membawa dampak negatif bagi sistim politik Pakistan. Di India, peran ulama Hindu terbatas pada lingkup sosial; mereka tidak diijinkan mencampuri urusan legislatif.

Dan walau India sekuler, politisi-politisnya bebas memeluk agama apapun selama urusan agama berhenti dipintu politik, ekonomi, edukasi & budaya; dalam arti bahwa sebuah keputusan politik tidak tergantung kepada pengaruh agama. ini juga yang menempatkan India pada tempat terhormat di panggung dunia.

Lewat pendidikan, India menciptakan manusia India [baru] yang didasarkan atas pemisahan agama & negara. Identitas agama diganti dengan identitas kewargaan.

Sementara itu, Pakistan, sebagai negara Islam, gagal (note: secara pribadi saya lebih menyukai menggunakan kata: berhasil) mengimplementasi prinsip-prinsip agama Islam, sepertt kesetiaan dan kepercayaan yang memungkinkan kesuksesan pemerintah dan masyarakatnya. Tendensi kesukuan dalam masyarakat Pakistan, dengan membengkokkan (note: saya lebih suka menggunakan kata: menerapkan) nilai2 Islam, menciptakan tempat subur bagi aktivitas teroris dan lain lain problema.

Sambil merenungkan deteriorasi parah dalam kehidupan Pakistan, pertanyaannya adalah: bukankah sekularisme bisa menyelamatkan Pakistan dari krisis-krisisnya yang tidak berkesudahan ?”

ANALISA
Sang penulis menyimpulkan satu hal sederhana: Sekularisme (‘Ilmaniyya') menjadi dasar sukses India, baik secara domestik maupun internasional. Sementara itu, Pakistan yang bertujuan menciptakan sebuah model negara Islam, semakin jeblog dalam 60 tahun belakangan ini, dirasuki oleh problema domestik dan internasional yang semakin berlarut-larut.

KOMENTAR
Pengkajian sejarah India dan Pakistan sejak tahun 1947 menunjukkan bukti-bukti kuat bahwa upaya menciptakan “negara Islam murni” seperti yang dibayangkan Muslim India hanyalah sebuah resep bagi kehancuran politik, sosial dan ekonomi.

Mari kita tinjau sejarah.
Kerajaan Mughal (moghul, 1526-1857) Islam menjajah India selama 300 tahun sebelum dikuasai Inggris. Sebelum Inggris mempersiapkan untuk angkat kaki, Liga Muslim dibawah pimpinan ‘Allama Iqbal, tahun 1909, menuntut bagi terciptanya sebuah negara yang Islam murni, terpisah dari India.

Th 1940, pemimpin Liga Muslim, Muhammad Ali Jinnah, bersikeras bahwa setelah hengkangnya Inggris, negara itu harus dibagi dua. Keduanya terpisah pada tanggal 15 Agustus 1947. Pakistan kemudian terpisah oleh dua bagian: Pakistan Timur dan Pakistan Barat, yang dipisahkan oleh kawasan India sebesar 1.000 mil !

Semua ini untuk apa? Untuk sebuah kotak hitam di Saudi ??
http://www.sacw.%20net/partition/

Hindu yang tinggal di daerah-daerah yang kemudian menjadi milik Pakistan harus lari ke daerah-daerah di India. Sementara Muslim-muslim yang tinggal di daerah Hindu juga menyingkir ke daerah-daerah Muslim. Adegan demi adegan pembunuhan mewarnai kedua daerah perbatasan. Belum lagi masalah Kashmir; penguasanya yang orang India memilih untuk ikut India, walau mayoritasnya adalah Muslim. Pakistan tidak pernah mengakui legalitas keputusan itu bahkan sampai sekarang problema Kashmir terus menghantui keduanya.

Terlepas dari problema di atas, India maju pesat dalam berbagai front dan kini dianggap sebagai demokrasi terbesar di dunia. Kontras dengan Pakistan yang terus terkena kerusuhan politik dan ketidakstabilan sosial. Tahun 1971, Pakistan Timur, yang tidak suka dengan kepemimpinan Pakistan Barat di Punjab, dengan bantuan tentara India memisahkan diri dan menjadi Negara Bangladesh.

Anehnya, sang penulis yang mendukung 'Ilmaniyya’ (sekularisme), juga mengatakan bahwa Pakistan

“gagal mengimplementasi prinsip2 agama Islam, seperti kesetiaan dan kepercayaan yang memungkinkannya mencapai sukses dalam pemerintahan dan masyarakatnya.”

Faktanya adalah: Prinsip-prinsip agama itulah yang bertanggung jawab atas kegagalan mereka. Seperti yang dikatakan V. S. Naipaul, pemenang hadiah Nobel literatur dan pakar masalah-masalah India, dalam bukunya “Beyond Belief: Islamic Excursions Among the Converted Peoples” :

“Kecurigaan Muslim mengakibatkan dibentuknya Pakistan. Ide itu dibarengi dengan gambaran kejayaan di masa lalu, yaitu para penjajah (Penyerangan Turki, Muhammad Kilji tahun 1193, yang diteruskan oleh kerajaan Mughal) menyerbu dari utara, menyapu kuil-kuil Hindustan dan memaksakan kepercayaan mereka kepada sang kafir. Fantasi itu masih hidup; dan bagi Hindu yang menjadi Muslim, itulah awal mula neurosis mereka, karena sang mualaf baru lupa siapa atau apa dia dan ia-pun menjadi seorang pelanggar (kemanusiaan) ". hal. 247

“Wilayah India telah dipisahkan secara berdarah untuk membentuk negara Pakistan. Jutaan orang mati, dicabut dari tanah air mereka. Lebih dari 100 juta Muslim lari dari kawasan India, namun semua Hindu dan Sikh diusir dari Pakistan.” P. 290

Bukannya malah membawa damai dan kesejahteraan bagi Pakistan, Islam menjadi sumber segala kesulitannya. Artikel dalam Tanweer di atas menyimpulkan bahwa ‘Ilmaniyya’ adalah jawabannya, karena terbukti sukses di India. Namun bagimana mungkin Pakistan mengadopsi model sekuler, mengingat bahwa raison d’etre, alasan pembentukannya, MEWAJIBKAN SEBUAH SISTIM ISLAM ????

Saya tutup tulisan ini dengan pepatah Naipaul dari Pendahuluan bukunya: “Islam dalam bentuk aslinya adalah sebuah agama Arab. Siapapun yang bukan Arab dan menjadi Muslim adalah seorang mualaf. Islam bukan hanya masalah kepercayaan pribadi. Islam membuat tuntutan imperial. “

It makes imperial demands.
Pandangan dunia sang mualaf-pun berubah, tempat sucinya kini pindah ke tanah Arab; bahasanya adalah Arab. Pengetahuan sejarahnya juga berubah. Ia menolak sejarah nenek moyangnya; dan ia menjadi -entah suka atau tidak- bagian dari cerita sejarah Arab. Sang mualaf harus meninggalkan apapun yang diwariskan nenek moyangnya. Gangguan yang disebabkan bagi masyarakat sangat besar, bahkan setelah 1000 tahun hal ini terulang terus; orang harus terus menerus meninggalkan, mencampakkan peninggalan nenek moyangnya. Mereka membentuk fantasi-fanasi tentang apa dan siapa mereka; dan dalam Islam milik negara-negara yang ditundukkan, ada sebuah elemen neurosis dan nihilisme. Negara2 macam ini dengan mudah bisa meledak.” P. Xi
------------

Note :
V. S. Naipaul has written two books on contemporary Islam:
Among the Believers: An Islamic Journey (Random House, 430 pp. 1981)

Beyond Belief: Islamic Excursions Among the Converted Peoples (Random House, 408 pp. 1998)

Kamis, 09 Agustus 2007

Catatan Perjalanan: Dongeng Dari Jepang

Oleh : Yuli Setyo Indartono
Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala; namun berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah air. Meski Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan universal terealisir yang menarik untuk disimak dan diaplikasikan di tanah air tercinta. Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di Jepang.
Kantor pemerintahan dan pelayanan public
Anda pernah melihat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus.
Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat.
Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.
Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal, pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau tidak. Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb. Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran. Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus sangat efisien.
Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang beruntung.
Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta untuk menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. Ambil jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.
Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat. Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah kesalahan yang tidak umum di negeri ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan kesalahan tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut.
Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon dari rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik slip tagihan. Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenalmenyertai kartu nama petugas tersebut. Saya hanya berharap, waktu itu, bahwa petugas pencatat yang keliru tidak akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam bekerja, secara umum, menyangkut kehormatan di negara ini.
Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor walikota (shiyakusho). Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja -versi Jepang.Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian
Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah-buahan dengan bandrol murah; favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga murah yang disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut, penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali memastikan niat kami membelinya. Sembari tersenyum, tentu saja kami mengatakan "daijobu" (tidak apa-apa), karena kami sudah melihatnya dari awal. Beberapa kawan kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini berarti sikap jujur tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka mengerti betul bahwa kejujuran adalahprasyarat utama keberhasilan dalam berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat dalam jumlah besar, bila nantinya akan kehilangan pelanggan.
Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima uang kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera pada slip pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen sebagai pengganti nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek berdagang yang baik ini, kami sekaligus kagum dengan sistem perbankan Jepang yang mampu menyediakan uang recehan untuk pedagang dan vending machine (mesin penjual otomatis) di se-antero Jepang. Meski bagi sebagian kalangan, uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa menyebabkan ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli.Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan" anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan bisa meluncur ke lantai.
Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah akibat keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan buah yang mudah penyok. Pada semua kejadian tersebut, petugas supermarket melihat dan segera mengganti barang-barang tersebut dengan yang baru. Padahal kami datang dengan wajah lelah dan pasrah untuk membayarnya, karena kami menyadari benar bahwa iniadalah kelalaian kami. Bahkan pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat kami menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak kami, dengan ramah petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak apa-apa).
Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk sebuah konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas supermarket di Jepang. Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah barang, maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada anda, namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa dengan barang yang dicari; dan petugas baru akan meninggalkan anda setelah memastikan bahwa everything is ok. Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas supermarket di Jepang demikian banyaknya hingga mereka berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar dengan kebutuhan, dan mereka selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah toko elektronik, seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi computer yang anda tanyai adalah juga kasir tempat anda membayar serta petugas yang melakukan packing akhir terhadap komputer yang anda beli.
Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi
Kami sempat terheran-heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe demi melihat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah dibandingkan dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan metafora. Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi kota besar seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang, posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai di jalan-jalan Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila saya mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya serupa benar dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau. Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek terbang tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang - mirip dengan petugas pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak atau mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah saya melihat ada diantaranya yang berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara dengan sistem network yang sangat baik ini.
Ke mana pun anda lari, kesitu pula polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa polisi di sini lebih pada fungsi kontrol dan pengambilan keputusan (decision maker) - kedua fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot dan berisi. Tak heran saya melihat mas-mas polisi muda berkacamata melakukan patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu melihat, mengawasi, dan mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan bekerja.
Lingkungan hidup dan transportasi
Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini hampir separuh populasi Republik tercinta. Di sisi lain, wilayah negara ini didominasi oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan melekat pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah penduduk terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni, dan tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan kebersihan. Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda memandang, maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi.
Orang Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan, bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa ruang (space) yang mereka miliki tidak luas, sehingga semuanya harus rapi dan tertata. Sepatu dan alas kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk digunakan pada saat kita keluar ruangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik mereka yang senantiasa well-prepared dalam berbagai hal. Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang pasien yang sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu dari kawan yang belajar di bidang kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang mempersiapkan dialog dengan dokternya.
Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus, kereta (lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di Jepang membuat anda tidak perlu berkeinginan untuk memiliki kendaraan sendiri - kecuali bila anda tinggal di country-side yang tidak memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta dan shinkansen (kereta antar kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas kereta di Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat.
PLTN sebagai salah satu sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena, praktis, PLTN tidak mengemisikan CO2.Nasehat "tengoklah duru kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan" mungkin tidak sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang telah disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambing pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah anda akan selamat sampai ke seberang - tanpa perlu menengok kiri dan kanan. Saat berkesempatan mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hamper terserempet motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup di kota ini.

Kesehatan dan rumah sakit
Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu memajukan bangsa dan negaranya. Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe University, wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah. Sebagai orang asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan untuk mengikuti program asuransi nasional. Dengan mengikuti program ini, kami hanya perlu membayar 30% dari biaya berobat. Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan mendapatkan tambahan potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi 35%) dari Kementrian Pendidikan Jepang.
Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi per-bulan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari laporan rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya bahwa ongkos berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi nasional, datang ke rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di Jepang. Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau klinik swasta akan memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu asuransi – apalagi untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga tidak mampu. Para dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak berkurang serta prosedur yang sama sederhananya. Keramahan di sini berarti keramahan yang sebenar-benarnya.
Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit di Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri melahirkan di rumah sakit pemerintah di Ashiya, saya disodori formulir yang berisi opsi pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran di hari dia harus keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah kami mendapatkan keringanan biaya melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari itu, tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi dari pemerintah) juga baru datang dua bulan kemudian. Saling percaya adalah kuncinya.
--------------------------------------------------------------------------------
Yuli Setyo Indartono. Mahasiswa S3 di Graduate School of Science and Technology, Kobe University, Japan.
Peneliti Istecs dan Ketua Teknologi Energi INDENI www.indeni.org.
E-mail: indartono@yahoo. com