Oleh : Anton
Seorang Revolusioner adalah seorang yang harus memihak – ada kawan ada lawan. Revolusi adalah permusuhan. Ia menghendaki kekerasan sikap karena orang harus bergulat. Ia menghendaki penyempitan pandang, karena orang harus membidik.
(Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir Tempo 4 Juli 1981)
Goenawan Mohammad adalah manusia kontemplatif, dia orang Batang yang punya alam pikiran Barat baginya Revolusi adalah bagaimana memilih posisi dan posisi paling tragis adalah ketika Hatta dan Liu Shaoqi mundur dari sejarahnya atau Bani Sadr dan Bazargan menjadi habis karena tidak memilih berpihak. Tapi bagaimanapun cita-cita besar harus memihak bukan?
Amerika Serikat tak akan sebesar sekarang bila tidak ada George Washington yang kepala batu, Putin tidak akan mendapat keagungan sejarah Russia bila tidak ada Lenin, Stalin sampai Breznev. Russia kini menjadi harapan besar bagi negara-negara yang sudah sebal lihat kelakuan buas Bush cs. Jepang tidak akan semodern sekarang bila Kaisar Meiji tidak bertindak tegas terhadap masa lalu dimana kultur `Samurai' dihabisi diganti kultur barat yang rasionil, RRC tidak akan semegah sekarang bila tidak sikap dari Mao yang banyak dikutuki oleh pembenci-nya dan Vietnam tidak akan berlari kencang secepat cheetah bila tidak ada keteguhan Paman Ho dan jutaan
gerilyawan yang mati bertempur lawan Perancis di Dien Bien Phu, dan menghancurkan Amerika di Saigon. Apakah Indonesia akan ada tanpa kenekatan dari anak-anak PETA dan pemimpin yang berani mati model Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka atau Amir Sjarifudin?
Memang pada akhirnya keteguhan melihat tujuan kadang-kadang digoda oleh kegenitan intelektual atas nama kemanusiaan, atas nama humanisme. Tapi tak jarang kegenitan itu mengundang kabut yang menghalangi visi. Dan membuka lowong bagi kekuatan jahat yang mengkhianati tujuan negara. Dan itulah yang terjadi di Indonesia.
Seperti yang diberitakan oleh Geger Hariyanto pada artikelnya di Kompas (Sabtu, 8/9/07) tentang Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang menjadi eksil di tanah seberang karena tak sepaham dengan garis politik Sukarno. Apakah Geger tak melihat apa yang dilakukan STA, Des Alwi, Soemitro Djojohadikusumo dan banyak pelarian politik lainnya justru menabur benih orang-orang macam Oejeng Soewargana? Apakah STA, Des Alwi, Soemitro Djojohadikusumo sama dengan Munir yang pahlawan kemanusiaan itu..oh tidak, mereka berpihak pada politik yang diyakininya mereka bukan membela kemanusiaan hanya semata-mata pada kemanusiaan. Justru yang jauh lebih terhormat adalah kesadaran Hatta dan Sjahrir dalam menerima realitas politik dibanding pelarian politik jaman Bung Karno yang memang sudah memberontak dan melakukan subversi secara terang-terangan (PRRI 1958). Apa yang dikatakan Hatta adalah perasaan Nasionalisme- nya yang maha besar "Saya akan memberi kesempatan pada Sukarno" atau pesan Sjahrir pada kadernya Soebadio Sastrosatomo "Kalau Sukarno perlu kamu, bantulah dia.." padahal Sjahrir sedang dalam posisi sulit di jaman Bung Karno. Kemudian Sjahrir berkata `Bagaimanapun Bung Karno telah berjasa besar menyatukan bangsa ini" inilah nasionalisme yang sebenar-benarnya mereka tidak melawan walaupun tidak berpihak, tidak lari ke luar negeri dan membangun konspirasi. Karena mereka tahu apa yang dilakukan Bung Karno adalah untuk kebesaran bangsa Indonesia. Pelacur-pelacur Intelektual di jaman Orde Baru sering menyebutkan bahwa Sukarno bergelimang kekuasaan tapi mereka tidak pernah menggambarkan sedikit pun beban tanggung jawab yang maha besar dari seorang Sukarno untuk membesarkan bangsa.
Keberanian melawan kekuasaan jangan dianugerahi pada segerombolan pengecut yang lari ke luar negeri dan mengkhianati tujuan besar bangsa Indonesia, tapi pada pemberani-pemberani yang menentang kekuasaan yang tidak benar dan menempuh jalan mati dengan sikap tenang. Pledoi Sudisman adalah bentuk keteguhan hati, keberanian Amir Biki menantang tentara di Tanjung Priok atau Wiji Thukul seorang tukang becak sederhana atau Munir dengan kerongkongannya yang bersimbah arsenik. Pramoedya Ananta Toer itulah yang layak dijadikan role model rasa cintanya pada nasionalisme bangsa walaupun bangsanya menyakitinya, teman-temannya mengutuki hanya untuk cari selamat sambil diam melihat pesta pora Orde Baru. Apakah anak-anak mantan menteri perikanan dan kelautan Rokhmin Dahuri yang ingin mencabut kewarganegaraan Indonesia dan berniat beralih menjadi warga negara Kanada karena kecewa dengan pengadilan Indonesia bisa disebut Nasionalis? Betapa manja benar mereka, apakah Geger misalnya melawan pemerintah otoriter lalu atas nama humanisme menjadi warga negara Kanada dan melupakan Indonesia? Apa anda tidak malu dengan anak-anak yang bapak ibunya dibantai karena tuduhan terlibat G 30 S, tapi dia tetap mencintai Indonesia dengan sangat bekerja di ladang-ladang rakyat tanpa pamrih. Dokter Ribka Tjiptoning tetap melayani masyarakat kecil dengan segala kesulitan hidup tapi ia tidak mendendam pada Indonesia yang dilawannya adalah kekuasaan dengan semua kepentingan- kepentingan yang melekat. Atau Ibarurri Aidit yang sangat mencintai Indonesia walau nggak jelas Bapaknya diapain oleh tentara? Bagaimanapun ke Indonesia-an membutuhkan sakralitas yang secara implisit diremehkan oleh Geger atas nama Humanisme, Nasionalisme Manusia yang pada titik lemahnya kemudian menjerembabkan negara ketangan orang-orang yang tidak benar.
Amerika Serikat, Inggris, Perancis atau Jerman sedemokrasi apapun sistem politik mereka pasti memiliki tangan negara yang sangat kuat demi kepentingan mereka sendiri. AS boleh teriak sampai serak tentang demokrasi liberal tapi ketika kepentingan negara mereka terganggu mereka lantas hajar habis itu negara. Begitu juga dengan negara-negara yang maju, mereka butuh pemerintahan kuat dan nasionalisme yang menggelegar. Mantan Presiden Perancis Jacques Chirac bahkan meninggalkan sebuah pertemuan karena mendengar salah seorang menterinya bicara pakai bahasa Inggris, sementara orang Indonesia merasa lebih pintar bila berbicara campur-campur Indonglish, Indonesia-English, bahasa Inggris dianggap bahasa Dewa. Humanisme yang genit dan diselubungi rasa inferior adalah lawan dari tujuan besar bangsa, cita-cita besar bersama. Humanis yang genit dan membutakan realitas malah melahirkan sebuah generasi baru yang dungu seperti Orde Baru.
Dan menciptakan belantara konspirasi seperti Oejeng Soewargana. Apa yang dilakukan Oejeng? Beginilah Rosihan Anwar menceritakannya dalam buku Sejarah Kecil Indonesia (Le Petite Histoire) yang mengutip dari buku Oltmans `Mijn Vriend Soekarno' di hal. 147 Oltmans mengatakan :
"Pak Oejeng yang ramah itu seorang pengkhianat kelas satu, kacung pembawa pesan Jenderal Nasution untuk dinas intel Amerika CIA di Washington". Rosihan kemudian melanjutkan narasinya tentang cerita Oltmans. Oltmans menulis tentang tahun 1964 di New York ketika dia berkenalan dengan penyair WS Rendra, dan cukup banyak orang Indonesia menginap di rumahnya. Oejeng adalah tamu tetap Oltmans. Dia berjumpa secara kebetulan di Toko Swalayan Macy. Pada kesempatan lain Oltmans sedang sibuk mengetik di kantor atase pertahanan KBRI di Washington, Mayjen Surjo Sularso. Oejeng menggunakan fasilitas pemerintah Sukarno untuk bersama CIA melakukan konspirasi terhadap pemerintah yang sah di Jakarta. Saat itu Oejeng mengeluarkan ucapan yang ternyata akan terwujud antara tahun 1967 dan meninggalnya Sukarno tanggal 21 Juni 1970. Oejeng berkata, "Kami akan kucilkan (Isoleren) Soekarno dan membiarkannya mati bagaikan sebuah bunga yang tak lagi memperoleh air" Ini memang persis sekali dengan perlakuan yang diberikan rezim Soeharto kepada Soekarno".
Dan Goenawan Mohamad melanjutkan kontemplasinya pada catatan pinggirnya. "Revolusi toh sudah sering dikhianati"
Wirajhana:
Terima kasih atas tulisannya..
malam paling menjemukan ini akhirnya saya mengalami "cuci darah" kembali..
cilakanya darah ku dicuci tentang kisah kucuran pengorbanan tanpa henti...
cilakanya, saat hendak berpikir:
"ah, masih ada koq nasionalisme yang tidak geger"...malah jadi terbungkam teler
terbungkam oleh bayangan semua yang merangkak naik kecuali kesejahteraan rakyat dan harga diri bangsa..
terbungkam betapa stabilnya kesejahteraan rakyat dan harga diri bangsa merangkak loyo, ngesot dan perlahan menjadi merayap.
ngomong2 rayap...jadi terbayang bahwa mereka "makan" dari dalam menggerogoti pelan2 hingga terang2an membuat rapuh dan mati...
ngomong2 ngesot jadi terbayang fungsi yang salah kaprah bahwa yang seharusnya membuat "adem" karena ia hadir untuk merawat menjadi kalang kabut membuat derita kesusahan..
ngomong2 merangkak loyo...jadi miris mengingat eforia harapan saat pesta koar-koar mengusung slogan "berilah kami kempatan", rupanya sudah berubah menjadi menjepit kami yang memberi...
yah sudahlah...melayani itu ternyata tidak pernah mengalami revolusi ia hanya bermutasi dari satu jaman ke jaman dengan model ilmu katak yang sama!
berenang keatas dengan menghentakan kaki kebawah...mencari celah keatas dengan meninjak apapun..
nasionalisme-pun juga sudah dikhianati, ketika penguasa lebih memilih penguasa, ketika kawan karena kepentingan, ketika kekerasan sikap hanya untuk membela kawan pat gulipat, ketika menyempitkan pandangan hanya untuk membidik tahun setelah 2009.
Apakah Indonesia masih ada? ataukah sudah berubah menjadi Indon di asia?