Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Desember 2010

Bara di Ruang Waktu..


Ahh!!..barusan Ku liat Kau begitu gilang gemilang..cantik secantik-cantiknya yang Ku perlukan..kecantikan yang sama yang Ku perlukan ketika Kau terbangun di ranjang butut tempat kosku..ketika pertama kalinya Ku tiduri dirimu belasan tahun yang lampau..saat itu Ku pastikan Kau harus menjadi istriku..lekaslah sembuh sayangku..

Dari telepon koin, Ku tanya alamatmu dan Ku katakan Aku akan datang..Di tempat kosmu, seorang membukakan pintu..Mmmh, mahluk cantik lainnya pikirku. Ku perkenalkan diri dan Ku katakan Aku mencari seseorang..Mahluk cantik itu hanya tersenyum..senyum cantik yang menambah bingungku..perlahan nanti Ku sadari bahwa Kau adalah mahluk yang sama yang Ku liat di Rawamangun..di awal perkenalan..namun kali ini Kau jauh lebih cantik..Ahh, beruntungnya Aku..

Setelah puas teman-temanmu mengerjaiku berkenalan dengan memakai nama yang sama, perlahan-lahan Ku ingat bahwa Kaulah orangnya..Ahh, Kau terlebih cantik dari yang Ku ingat. Untunglah Ku berhasil membawamu pergi malam itu dan Ku juga tau bahwa sepulangmu dari Tokyo, jetleg masihlah berkuasa atasmu..Jadi Ku pikir, Bioskop adalah putusan tercerdas saat itu. Rupanya kaupun sependapat, sepanjang menit berikutnya, kau lebih sibuk terlelap dibahuku..

Ku ingat kau terbangun dengan sangat nyamannya di akhir pertunjukan. Kita lanjutkan berjam-jam kemudian dengan nongkrong berbagi cerita..Walau Kau tau Aku masihlah Ca-Peg namun tak Ku lihat hal itu mengusikmu yang 4 taunan lebih dulu di perusahaan kita. Saat itu, entah karena suasana malam ataukah karena geliat hormon lelakiku, yang Ku tau pasti, Kau makin terlihat cantik di tiap menitnya. Di menjelang pagi, Ku bawa Kau pulang..

Tak ingin segera ku sudahi malam itu! Sepanjang perjalanan berikutnya Kau hanya terlelap..Kau tak peduli. Di gerbang kosku, Ku bangunkan dirimu..menunggu reaksimu..Kau tak peduli. Diranjang butut itu, Ku gauli Kau untuk pertama kalinya. Ku saksi atas geliat tubuhmu terbangun dari tidurmu..Kau sungguh Gemilang! Ku tanya dirimu arah mana hendak kau mau..Kau jawab terserahmu. Tidak! jawablah dengan benar dan tetap Kau jawab terserahmu..

Ku khawatir kau tak tau apa mau mu dan belum tersadar akan arah yang hendak kau tempuh! Ku sampaikan bahwa kau bukan yang pertama dan bisa jadi bukan yang terakhir..bahwa Ku pernah menghamili beberapa gadis dan menggugurkannya..bahwa Ku lebih suka Kau di rumah dan hanya Aku yang bekerja berikut ku sampaikan paparan proyeksi keuangan ke depan yang super minus..Jadi bersamaku hidupmu penuh dengan kerikil tajam..Apa putusanmu? kau malah pilih untuk menikahiku..sinting!

Ketegasan sintingmu entah karena emosi ataukah rasio namun yang jelas Akupun tak ingin buang peluangku sendiri! Hidupku mencatat, lebih mudah mengajak wanita ke ranjangnya daripada melepas lajangnya untukku. Persetan jodoh ataupun tidak, segera setelah Kau terbang tugas ke Jeddah dengan tanpa jeda pula Ku pindahkan barang-barangmu ke kosku. Keadaan akan jauh lebih komplek bagi kita untuk menjilat ludah kembali. Sisanya, biar waktu yang akan bercerita.

Aku ingin sekali tahu reaksimu saat melihat barang-barangmu menumpuk di kamar kosku..ternyata Kau bahkan tak peduli. Baguslah! Sepanjang waktu kemudian, sejak Kau menjadi minat utamaku maka tak ada lagi dunia yang lebih menarik selain dirimu. Ya! walaupun Kau bukanlah yang tercantik yang pernah Ku pacari namun entah mengapa tak pernah dapat Ku temukan satu saja hal yang tak menarik darimu. Berkali-kali, Ku yakinkan diriku untuk tidak ikut sinting karenamu

Terlambat! Aku telah larut di pusaran pesonamu. Terlambat yang dahsyat itu kini berumur 14 tahun sudah. Waktu, yang walau telah berusaha mencuri percikan-percikan dirimu namun tetap tak mampu menyembunyikan indahnya guratan pesonamu. Saat tikaman jarum infus dan percikan merah darahmu membasahi lantai tetap tak nampak lintasan kecemasan di wajahmu. Ini sinar gemilang yang sama yang Ku ingat di awal bangun tidurmu..Ayo sayang, saatnya kita pulang..


'Relung Sebuah Asa
IRD, Puri Raharja
Desember 11-12, 2010


Gambar berasal dari sini, sini, sini, sini dan sini

Selasa, 13 Mei 2008

Kau Bukan Tuhanku

Allah,
rentang masa nan panjang
dalam denyut nadi dan detak jantungku

Kau Yang Maha Esa adalah Tuhanku,
Kau Yang Maha Pengasih adalah Tuhanku,
Kau Yang Maha Penyayang adalah Tuhanku,
Kau Yang Maha Segalanya adalah Tuhanku,

dari tutur moyangku
kuterima suci lisannya,
dan kukira Engkau Tuhanku
nyatanya...,
Kau tidak lebih dari sebuah dusta

walau Dikau punya sembilan puluh sembilan nama,
atau bahkan sejuta nama,
Kau tetap sebuah kedustaan

walau Kitab SuciMu bertutur tentang DiriMu,
Kau tidak lebih dari sebuah label

walau Dikau bertutur tentang DiriMu,
KalamMu yang suci tetap berjarak dengan realitas
Kau hakikatnya tak lebih dari Tuhan palsu

Kau ’tlah menyampahi ketauhidanku
ku tak sudi menyembahMu
kuabaikan keTuhananMu

maafkan aku
kini, kutinggalkan DiriMu

Puji syukur aku haturkan atas ijin”Mu”
’tuk tinggalkan Tuhan yang terbatas itu
kuhaturkan sembah sujud atas ridho”Mu”
’tuk lampaui Tuhan pikiran

Alhamdulillah,
aku telah bebas dari penjara syari’atMu
hatiku terbebas dari belenggu pikiran Si Tuhan Palsu

kini,
jalan lempang spiritual ’tlah terbuka lebar untukku
pintu”Mu” tlah terbuka lebar untukku
Mom,” I’m coming home...

I’m coming home...
I’m coming home...


Iwan Triyuwono (*)
Jakarta, 5 Desember 2007


Prof. Iwan Triyuwono, Ph.D.,

Ketua Program Doktor Ilmu Akuntansi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya

Diambil dari Milis SP, kiriman Dr Hudoyo Hupudio
http://groups.yahoo.com/group/milis-spiritual/message/25367


Minggu, 20 Januari 2008

Soeharto!

Cabut alat pernafasan itu
Aku sudah capai

Segera lepaskan jarum infus yang menggigit kulit keriputan

Aku sudah kau maafkan
Apalagi yang kau tunggu

Aku sudah kau bebaskan
Apalagi yang menghalangi moralmu
Untuk menuntaskan hidup yang sudah kujalanani di atas pembaringan

Capek deh!
----

Oleh:
Senggrutu Singomenggolo
Sat Jan 19, 2008 9:35 am

Sabtu, 19 Januari 2008

Hai Kau Keledai!

Aku memang memerintah dengan tanganbesi!
Namun juga Kuperintah dengan senyum!
Aku telah demonstrasikan arti memerintah pada kalian!
Telah Ku sajikan nasi goreng seharga Rp 300,-
Aku lakukan itu, karena aku tahu bagaimana Bangsaku!
Aku lakukan itu, karena aku tahu kemana Ku bawa Bangsaku!
Aku lakukan itu, karena aku tahu kalian tak tahu mau kemana!
Aku sudah berbuat banyak dalam hidupku
Aku sudah habiskan waktuku untuk kalian semua
Telah Ku sajikan nasi goreng seharga Rp 300,-
Aku tahu, banyak dari kalian menggerutu atas keputusan-keputusan ku..
Aku tahu, banyak dari kalian mengambil keuntungan saat dengan ku..
Aku tahu, banyak dari kalian yang berpikir masih butuh perlindunganku..

Sudah cukup hari ku untuk negara ini
Sudah kulihat karyaku untuk bangsa ini
Telah Ku sajikan nasi goreng seharga Rp 300,-
Ku tahu ada proses peradilan untuk ku, terserahlah apapun mau kalian!
Namun kutahu jelas bahwa ada Keledai yang terpilih setelahku,
Bahkan tak mampu mengelola Kedelai!
Apalagi membuat nasi goreng seharga Rp 300,-
Bukan cuma itu!
Ketika semua kroniku berpesta! Toh tak ada rakyatku yang kelaparan
Buat apa lagi kau usik hari-hari akhirku!
Lagi, lagi dan lagi!
Sungguh para Keledai dungu!
Tak mampu berbuat kecuali menggerutu!

’ Untuk Seorang Soeharto
Sabtu sore, 19 Jan 2008
(8 Juni 1921- 27 Januari 2008),
Memerintah 32 Tahun,
Dirawat 23 hari di RS Pertamina,
Meninggal jam 13.10 di Usia 87 tahun

Rabu, 16 Januari 2008

YANG SELALU TERAPUNG DI ATAS GELOMBANG


Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Kini simaklah sebuah kisah,


Seorang pegawai tinggi,
gajinya sebulan satu setengah juta rupiah,
Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam,
BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah.
Anaknya sekolah di Leiden , Montpelier dan Savannah .
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan
Macam Macam Indah,
Setiap semester ganjil,
isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura.
Setiap semester genap,
isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika,


Anak-anaknya pegang dua pabrik,
tiga apotik dan empat biro jasa.
Saudara sepupu dan kemenakannya
punya lima toko onderdil,
enam biro iklan dan tujuh pusat belanja,
Ketika rupiah anjlok terperosok,
kepleset macet dan hancur jadi bubur,
dia ketawa terbahak- bahak
karena depositonya dalam dolar Amerika semua.
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat,


Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri,
maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi.
Isinya masing-masing lima genggam beras,
empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi.
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi,
dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali,


Gelombang mau datang, datanglah gelombang,
setiap air bah pasang dia senantiasa
terapung di atas banjir bandang.
Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi,
lalu dia berkata begini,
"Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,"


Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah:
kekayaan misterius mau diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa,
kekayaan mau diperiksa,
kekayaan tidak diperiksa,
kekayaan harus diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa.
Bandul jam tua Westminster,
tahun empat puluh satu diproduksi,
capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri,


Kemudian ide baru datang lagi,
isi formulir harta benda sendiri,
harus terus terang tapi,
dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi,
karena ini soal sangat pribadi,
Selepas itu suasana hening sepi lagi,
cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali,
Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.


Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Bagaimana membuktikan bersalah,
kalau kulit tak dapat dijamah.
Menyentuh tak bisa dari jauh,
memegang tak dapat dari dekat,


Karena ilmu kiat,
orde datang dan orde berangkat,
dia akan tetap saja selamat,
Kini lihat,
di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania,
seraya menghirup teh nasgitel
dia duduk menerima telepon
dari isterinya yang sedang tur di Venezia,
sesudah menilai tiga proposal,
dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja,


Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way,
senandung lama Frank Sinatra
yang kemarin baru meninggal dunia,
ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta
dari sangkar tergantung di atas sana
dan tak habis-habisnya
di layar kaca jinggel bola Piala Dunia,

Go, go, go, ale ale ale...

'taufik ismail
1998

MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA


I

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini


II

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.


III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat- sangat-sangat- sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,

Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

'Taufik Ismail
1999
-------

lebih malu lagi "kita"
sepuluh tahun sejak reformasi
yang paling hebat
cuma nulis di email : bahwa agama saya yang paling BENAR
padahal korupsi, saat ini udah turun peringkatnya
jadi nomer 4 dunia
cobalah jadi seperti george adi condro
yang berani menguingkap kebatilan pada zaman ORBA dulu
tidak seperti kita
berlindung di email.
semoga berkenan
-----------------

Kiriman dari:
"Nala Prabata"
Thu Aug 2, 2007 12:05 am.

Rabu, 05 Desember 2007

Bangsa Kasihan dan Hidup Kasihan


Bangsa Kasihan

Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak dipanen, dan meminum anggur yang tidak memerasnya.

Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan, dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah mengangkat suara kecuali jika sedang berjalan diatas kuburan, tidak sesumbar kecuali direruntuhan, dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan terompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan menganggap dirinya sebagai bangsa.



'Khalil Gibran
cinta, keindahan kesunyian
yayasan bentang budaya
cetakan ke 7 oktober 1999


Hidup kasihan

Kasihan hidup, ketika saat pertolongan yang dibutuhkan, namun alasan-alasan yang diberikan.

Kasihan hidup ketika cinta dan persahabatan hanya sebatas kata tanpa makna.

Kasihan hidup, ketika raga berada ditengah khalayak namun saat kesesakan menghimpit dada tidak seorangpun yang bersedia.

Kasihan hidup, ketika kedekatan hanyalah eforia meminta dan berhitung namun menolak untuk memberi disaat genting.

Kasihan hidup, ketika berseru atas nama cinta untuk kebersamaan dalam senang, nilai tukar dan makanan namun membisu dan menjauh ketika satu kesetiaan dan kepedulian dibutuhkan

Kasihan hidup, ketika berada digaris depan hanya untuk sekumpulan ular, kalajengking, serigala dan burung pemakan bangkai.

Kasihan hidup, ketika menonton, terbahak, menusuk, mengigit, membuka kulit domba, membuang muka dan menutup hati justru saat berada diujung tanduk.

kasihan hidup, ketika habis manis sepah dibuang bukan eforia idiom namun nyata dalam hidup.


'Kamis, 05 Desember 2007
dikeramaian sunyi kesetiaan kumpulan serigala
[ludah yang kering dalam kisah membunuh angan]


Sabtu, 24 November 2007

Sekarang Saatnya!..



Kenikmatan dan Kesengsaraan bagaikan kabut morgana..
menggelitik kalbu..
menggoda kewaspadaan..
Bencana dan rejeki hanyalah bentukan lain..
Berserah atau tidak, toh ia akan datang..

Akankah tetap berserah untuk terus terjajah?..
Seperti dalam pusaran beliung..
Seperti mengikuti air mengalir..
Bukankah sekarang saatnya 'tuk melampaui..

Seperti burung laut..
Ya!..,
Terbang, berjalan dan menyelam sesuai kebutuhannya..
Tidak lagi hanya menunggu, melata, berjalan, berenang ataupun terbang saja..
Kini saatnya untuk terlepas..
Ya!..,
Kini saatnya untuk merdeka..

'September 2007
'Ludah yang kering dalam kisah membunuh angan


Sabtu, 20 Oktober 2007

Nyanyian Manusia


Aku ada disini sejak awal,
Dan aku masih ada di sini. Dan
Aku akan tetap di sini sampai kiamat, karena
Tak ada kata akhir bagi duka citaku yang getir

Aku berkelana ke angkasa raya yang tak terbatas, dan
Membumbung tinggi dalam dunia khayal,
Mengapung melewati cakrawala. Tapi
Inilah aku, tawanan ukuran.

Aku mendengar ajaran Confusius;
Aku mendengar kebijaksanaan;
Aku duduk disamping Buddha di bawah pohon pengetahuan.
Tapi aku masih disini bersama kebebalan
Dan kekafiran.

Aku ada di Sinai ketika Jehovah bertemu Musa;
Aku menyaksikan keajaiban Nazareth di Yordania;
Aku di Madinah ketika Muhammad hijrah.
Dan aku masih di sini, tawanan kebingungan.

Aku juga menyaksikan kebesaran Babilonia;
Aku mempelajari kejayaan Mesir;
Aku melihat perang besar di Roma.
Pelajaranku yang awal dulu masih memperlihatkan
Kelemahan dan prestasi yang memalukan

Aku berbincang dengan tukang-tukang sihir Ain Dour;
Aku berdebat dengan pendeta-pendeta Assyiria;
Aku belajar banyak dari nabi-nabi Palestina.
Tapi aku masih mencari kebenaran.

Aku mengumpulkan hikmat dari ketenangan India;
Aku menggali kekayaan zaman kuno dari Arabia;
Aku mendengar semua yang dapat didengar.
Tapi hatiku masih tuli dan buta.

Aku menderita karena penguasa-penguasa lalim
Aku diperbudak oleh para penakluk;
Aku menderita lapar karena tiran;
Tapi aku masih punya kekuatan dalam jiwa
Yang kuperjuangkan untuk menyambut hari-hariku

Pikiranku penuh, tapi hatiku kosong;
Tubuhku tua, tapi hatiku masih bayi.
Mungkin di masa muda hatiku akan tumbuh, tapi
Aku berdoa agar menjadi tua
Mencapai saat kembaliku pada Tuhan.

Aku telah ada disini sejak permulaan,
Dan aku masih ada di sini. Dan
Aku akan tetap disini sampai kiamat,
Karena tiada kata akhir bagi duka citaku yang getir.


'Kahlil Gibran,
"Cinta, Keindahan, Kesunyian",
Cetakan ke-7, Oktober 1999,
Penerbit Yayasan Bentang Budaya.

Terpuruk!



Saat ku ingin rasakan belaianmu dan hanya merajuk..
Kau justru merubuhkan sisa-sisa pertahananku terhadap Dunia..

Saat ku ingin hati yang berpihak dimana aku lelah dan lemah..
Kau justru berpaling dari duniaku
..

Saat aku ingin mengambil tanpa memberi dengan berbasa-basi palsu..
Kau justru membangun dinding tebal dengan duniaku

Ah, Hati yang keras...

Tak bisakahkah kau luluhkan hatimu tanpa syarat?

Ah, Nafas keduaku..

Tak bisakah kau hanya memberi?


Sungguh hampir lengkap sudah..

Fakir ini terkucil didunianya, membusuk, teriris dan terluka..
Apakah kau tahu?


'Di Reruntuhan Pondokan, 20 Oktober 2007
Ludah yang kering dalam kisah membunuh angan

Rabu, 17 Oktober 2007

Kembali ke tanah Silam..


Ah..! Petilasan itu ternyata masih ada..
Dan tiba-tiba saja serangan jutaan rasa menari liar dipanggung benak
Silih berganti hadir berebut peran..

Tak terasa puluhan tahun sudah mengalir deras
namun serasa hanya sekejap..
Mungkin kah ada geliat rasa yang lebih dahsyat menanti disurga?
Entahlah.....

Dan ujaran lawas-pun pernah bersabda
bahwa sangat sedikit yang mencapai pantai seberang
Selebihnya hanya hilir mudik di tepian..

Saat tersadar dari labirin rasa..
Ternyata diripun telah banyak berubah..
ilalang putih banyak bersemi diantara rerumputan hitam..

Sungguh semakin sedikit epos hidup yang dapat mengusik rasa
entah terbahak ataupun terkapar..
Diantara ganasnya berlalunya waktu dan lembutnya rasa mengharu biru
upas madu di relungan pun perlahan reda..

'Bandung, 16 Oktober 2007
Ludah yang kering dalam kisah membunuh angan.
[Bersinar terang ketika menjamah Bandung dan semakin redup saat terkapar santai di pijatan relaksasi di BSM, disela waktu menanti saat Bus menuju Jakarta]

Selasa, 09 Oktober 2007

Mentari Hidupku


Mentari hidupku..
Ku rasakan aku kian tenggelam...
Lekaslah kau raih aku
Selimuti aku dengan hatimu..

Peluklah aku dengan jiwa mu..
Tuntunlah aku dengan sabarmu..
Basuhlah aku dengan doamu..
Usaplah aku dengan gairahmu..

Mentari Hidupku..
Payungilah aku..
dari teriknya kebingungan..
dari derasnya morgana dunia..
dan janganlah pernah kau berani menyerah..
Sungguh aku tenggelam tanpamu..

'Juni 07
Ludah yang kering dalam "kisah membunuh Angan"

Sabtu, 15 September 2007

Kentut dan Seni


BANTUL MON AMOUR

Saut Situmorang, republika.co.id

TENTANG MEMBACA PUISI

Wirajhana eka,

di antara reruntuhan
tembok tembok rumah, di ujung
malam yang hampir sudah, kita hanyut
dipacu selingkuh kata kata, seperti bulan
yang melayari tepi purnama
di atas kepala. rambut kita
menari sepi di angin perbukitan
yang menyimpan sisa amis darah
dan airmata.

lalu laut menyapa
dengan pasir pantai dan cemburu
matahari pagi. tak ada suara
burung laut, para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu dan garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka.

aku menciummu
karena para dewa tidak
memberimu cinta sementara aku
cuma punya kata kata
yang berusaha melahirkan makna.

Yogkartaa 2007

Ah, besar kali gonggongannya..

saat melepas hak berkentut dan seni...
tegang dan girang bukan kepalang..
karena baunya mengusik surga..

banyaklah sudah yang menggeleng takjub
bahwa dubur dan mulut dapat berbau sama..
padahal sudah tercipta untuk berjauhan
diletakan berlawanan dipisahkan hati...

Bah, apa pedulinya..
mungkin inilah inti dari ilmu seberang itu..
letak bolehlah berjauhan.....
yang penting baunya sama.....
maka sibuklah ia menjelaskan....
dengan bahasanya....
gong...gongg...gongg..
gong...gongg...gong..

yang kurang lebih artinya:
apapun cerita kalian..
aku-lah yang benar..

2007


Maka, kentut-lah dengan tenang


_______________________________________

http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/64569
From: radityo djadjoeri

Horas bah! - Re: Sajak di Kompas Minggu

Bagus, bagus sekali Mas Anton. Saya suka alurnya, dan enak dibaca pula. Tak perlu dahi berkernyit. Yang jelas, lebih bagus daripada puisinya Saut Situmorang yang lagi bermasalah dengan umat Hindu karena mengejek Dewa dan pura mereka....:))


Anda layak dapat bintang!

Horas bah! Tak ada se(h)onggok beras, makanlah itu gabah!

-----
anton_djakarta <anton_djakarta@...> wrote:

Kok sastrawan pada berantem ya....mbok baca puisi sama-sama saja, sambil tertawa, toh dunia ini terlalu singkat untuk berjalan dalam api kemarahan....

Puisi Amatiran

Ketika kubuka pintumu
hanya api yang kau punya
ketika kubuka isi kepalamu
hanya dendam kau sisa
mana lagi kau simpan buat dunia
untuk sekedar kau guratkan satu garis lurus warna biru
Agar tenang lautmu
agar tak bergelombang baramu


(ANTON)
...keren nggak ya...hehehehe

_______________________________________

http://finance.groups.yahoo.com/group/mediacare/message/57777
From: radityo djadjoeri

TANGGAPAN

From: Bujang Kelana
E-mail: bujangkelanatua@...

Untuk seorang penulis pemula, bumbu-bumbu seks memang mujarab untuk mendongkrak popularitasnya. Mutu mungkin tak teraih darinya, tapi rumus semacam ini sering diresepkan. Hanya memang disayangkan jika redaktur koran/majalah juga kurang luas wawasannya maka loloslah sampah sampah demikian di halamannya.

Salam ......
Bujang Kelana

_______________________________________

From: Ahmad Su'ad, Jakarta
E-mail: ahmadsuad@...


Sebagai pembaca setia harian Republika saya amat sedih dengan termuatnya sajak porno yang murahan seperti itu. Apalagi dimuat menjelang Bulan Ramadhan yang bisa mengganggu ketenangan umat. Ditambah lagi, sajak tersebut mengganggu perasaan pemeluk agama lain. Semoga redaksi pengasuh rubrik tersebut cepat insyaf dan meminta maaf secara terbuka kepada para pembacanya. Ingat, Republika adalah bacaan umat bukan koran murahan.

Wassalam,
Ahmad Suad

____________________________________

From: Satrya Wibawa
E-mail: ketutsatrya@...

Kira-kira, apakah Republika akan memuat ini kalau kata-kata "pura" diganti "mesjid"?
Kemudian "dewa" diganti "malaikat" atau "nabi"?

_______________________________________

From: Halim HD, Solo (Jateng)
E-mail: halimhade@...

Saut, jangan tergoda dengan adu domba gaya spion Melayu yang pake segala cem-macem cara. Kasihan juga tuh 'minoritas' yang merasa 'dewa'-nya dituding oleh Saut. Tapi, yang paling kasihan adalah 'warga-minoritas' yang bisanya cuma terkaing-kaing
mengadu. Padahal 'dewa'-nya sendiri masa bodoh. Kenapa pula dia tak murka dengan penjualan 'patung-patung dewa' di negaranya, di Bali, yang kayak rombengan dan hanya sekedar untuk devisa.

hhd.
_______________________________________

From: Doel CP Allisah, Banda Aceh
E-mail: aliansisastrawan_aceh@...

Saudara Halim,
Kami sangat prihatin persoalan keyakinan menjadi suatu bahasa olok-olok, dan sangat tidak pantas kita bicara seperti itu. Kepada saudara-saudara di Bali khususnya, semoga tidak terpancing dengan suara-suara "asbun" tersebut!

Salam dari Aceh
Doel CP Allisah [kord-ASA]

_______________________________________

From: Halim HD, Solo (Jateng)
E-mail: halimhade@...

Silakan ajukan ke pengadilan jika memang saya menghina. Kenapa pula berbagai jenis patung dewa Bali dijual-perbelikan di art shop? Apa Anda buta? Atau Anda hanya ingin memanipulasi lantaran Anda tak mampu menghadapi saut situmorang yang seorang?

Apa Anda mau bikin forum publik secara langsung? Kapan saja, saya bersedia, bahkan di
Denpasar sekalipun.

hhd.
_______________________________________

From: Wayan Sunarta
E-mail: bukitvenus@...

Puisi Saut adalah parodi

Salam,
Masih saja ada orang-orang picik yang membela tuhannya dengan mengatasnamakan massa agama. Kalian, wahai orang-orang picik, ngerti puisi gak sih?

Puisi Saut itu yang kalian permasalahkan merupakan sebuah puisi plesetan atau parodi dari sebuah puisi berjudul �Aku Pelacur Para Dewa� karya Pranita Dewi (Ni Wayan Eka Pranita Dewi), seorang penyair Bali yang beragama Hindu asli dan cucu seorang pemangku di sebuah pura di desanya. Penyair itu telah menerbitkan buku puisinya berjudul �Pelacur Para Dewa�, silakan borong di toko-toko buku langganan kalian, kalo kalian memang suka dan mau baca puisi dengan benar!! Dan silakan simak puisi-puisinya yang lebih gila dan sadis ketimbang sajak Saut yang kalian tuding menghina agama Hindu-Bali itu!!!

Coba, bagian mananya sajak Saut menghina Hindu?? Apa karena ada kata �pura�? Atau kata �dewa�?? Kalian sama saja dengan kaum fundamentalis picik!!!

Memang di dunia ini ada saja oknum-oknum yang terjebak dalam pikiran picik fundamentalisme-agama.

Saya orang asli Bali dan merasa malu dengan tudingan-tudingan kalian pada karya sastra (puisi)!!!

Salam,
Wayan Sunarta

Tanya:
Apakah Bli Wayan Sunarta benar-benar asli Bali? Maaf saya kurang bergaul dengan para sastrawan asal Bali.

_______________________________________

From: TS Pinang
E-mail: tspinang@...

Wayan Sunarta adalah penyair muda dari Bali yang penting dalam sastra Indonesia mutakhir. Jika Anda tidak mengenal nama Wayan Sunarta, kelihatan sekali Anda tidak mengenal sastra (puisi) Indonesia. Dan Saut jelas bukan penulis pemula, kalau saja Anda memang mengikuti sastra Indonesia.

Kata "pura" dan "dewa" adalah kata-kata yang umum dan bukan monopoli agama tertentu. Juga kata "malaikat" dalam kasus di koran Pikiran Rakyat tempo hari.

Sastra, khususnya puisi, memiliki kode pemaknaannya sendiri yang tidak bisa begitu saja dihakimi secara harfiah, apalagi dengan hukum agama tertentu. Sayangnya, oknum-oknum yang mengatas namakan agama itu saya yakin belum mengetahui hakikat ajaran agama yang dibelanya. Sungguh memprihatinkan. Jangan sampai agama-agama yang mulia menjadi kering karena kepicikan penganutnya sendiri. Semoga Tuhan mencerahkan kalbu kita semua.
_______________________________________

Posted by: Hendi 004
E-mail: hendi0042000@...

Wah....wah....wah.... kok di Indonesia ini masih juga ada orang yang seperti HALIM HD ya? Kenapa gak mau menyadari dan introspeksi bahwa apa yang dikatakannya penuh muatan yang sifatnya mendiskreditkan kaum minoritas.............

Tolong bung, Anda berpikir bahwa di Indonesia ini ada 5 agama dan juga ada beberapa aliran. Tolong ya hargai mereka, jangan kayak pikiran picikmu.... yang mengatakan diadu domba itu. OK?

Belajarlah berpikir rasional saja, dan hargai orang lain.

_______________________________________

Posted by: Adi Djoko
E-mail: masadidjoko@...

Untuk Bung Halim HD, kehendak menjadi populer boleh saja, asal tidak saling menyinggung perasaan orang dan kelompok lain

_______________________________________

From: I Gede Junidwaja
E-mail: igjuni@...

OM Svastyastu,
Saya bisa melihatnya dari 2 sisi:

  1. Bahasa Sanskerta atau Budaya Hindu adalah bahasa terbaik untuk ekspresi seni. Sampai hari ini sulit dibantah, silakan hitung dengan word counter jumlah kosa kata terpakai dalam karya sastra.
  2. Sisi negatif: ternyata ada saja pihak luar yang sibuk mencari cara-cara mendiskreditkan Hindu. Bagi saya pribadi Hindu tidak memerlukan demo dan pembelaan jalanan, dia lebih memerlukan bukti dan karya nyata bagi penganutnya sendiri dan juga kemanusiaan.

_______________________________________

From: Ketut
E-mail: ketut@...


OM Svastyastu,
Pak De Juni, saya setuju kita tidak perlu demo atau pembelaan jalanan, apalagi bakar-bakar segala :).

Bekerja, menyumbangkan potensi terbaik bagi dunia dan kemanusiaan, adalah hal mulia dan sangat penting. Tetapi diam membisu ketika tetangga mengatakan dewa yang kita puja bercumbu dengan pelacur di altar pura, yang notabene tempat suci kita, juga rasanya terlau pasif. Lalu kapan kita akan mulai mengatakan "tidak?". Apakah menunggu telinga kita bengkak, atau menunggu mereka membawa berkarung-karung batu untuk menghancurkan pura kita?

santih,
_______________________________________

From: Satrya Wibawa
E-mail: ketutsatrya@...

Dan kenapa menyuarakan itu menjadi penting? Barangkali itu refleksi kelelahan untuk berdiam atau berdiri di balik kata toleransi. Boleh dong sesekali bersuara. Maaf. Cukup panjang. Sekadar keluh kesah.

satrya
_______________________________________

From: Ging Ginanjar
E-mail: ging.ginanjar@...

Saya mengerti kalau sejumlah orang Hindu merasa tersinggung. Lebih-lebih sajak itu ditulis bukan oleh orang Hindu sendiri.

Tidak sedikit memang penyair yang membutuhkan "setrum" puitisnya dari nada "keras" dan "radikal". Sebagaimana sajak Saut ini berkaitan kepercayaan Hindu. Atau sajak "Malaikat" karya Syaiful Badri yang sebetulnya lincah, jenaka dan jahil (Syaiful Bahri sendiri adalah seorang Muslim sangat salih, jadi ia bukan "orang luar")

Namun saya menjunjung hak kebebasan penyair. Kendati itu menyakitkan. Yang harus ditolak adalah jika misalnya saja penyair itu menyerukan hasutan kekerasan. Saya juga menyesalkan kalau misalnya ada Dewan Dakwah Hindu Dharma --misalnya, lho-- menuntut Republika dan penyairnya untuk minta maaf.

Biar sajalah. Hindu tak akan hancur oleh sebuah sajak Saut Situmorang. Para Dewa tak akan tercoreng martabatnya. Sebagaimana sebetulnya Islam tak akan tercoreng oleh sajak Malaikat dari Syaiful Bahri (sekali lagi: umatnya sendiri) atau Salman Rushdie
atau siapapun.

Saya mengerti kejengkelan Anda, Syatria, dan kaum Hindu. Namun santai sajalah. Santai.
_______________________________________

Posted by: Satrya Wibawa
E-mail: ketutsatrya@...

Mas Ging,
Ukuran ketersinggungan akan mejadi relatif. Saya pribadi tidak merasa tersinggung. Beberapa kawan lain juga mungkin berpendapat sama.

Tapi, persoalannya bagi saya, sama seperti isi email saya sebelumnya, apakah Republika akan memuat puisi yang sama jika kata-katanya diganti "mesjid", "nabi", atau "malaikat"?

Tat twam asi. Aku adalah kamu. Kamu melukai orang lain sama artinya dengan kamu melukai dirimu sendiri. Hormati dan hargai orang lain jika ingin dihormati dan dihargai orang lain. Sesimpel itu. Tapi mungkin Republika punya pemikiran dan konsep lain. Yah, mungkin Republika memang pantas dihargai seperti halnya cara mereka menghargai orang lain.

Kawan-kawan Hindu yang saya tahu memang terbelah dua, tersinggung dan tidak. Tapi merujuk pada satu pemahaman, ketersinggungan itu disuarakan. Apalagi yang memuatnya adalah media Islam.

Caranya bagaimana? cukup dengan surat pembaca. Saya kutipkan isi surat pembaca yang dikirim salah satu kawan ke Republika, entah dimuat apa tidak: Saya juga akan mengirim surat yang bernada sama.

Mencermati puisi BANTUL MON AMOUR yang dimuat Harian Republika Minggu, 26 Agustus 2007, khususnya bagian "para pelacur pun masih di kamarnya bergelut. dalam kabut alkohol aku biarkan kata kata menjebakku dalam birahi rima metafora. kemulusan kulit kupu kupumu dan garis payudaramu yang remaja membuatku cemburu pada para dewa yang, bisikmu, menggilirmu di altar pura mereka", saya menyatakan protes dan keberatan atas dimuatnya puisi tersebut.

Sebagai Umat Hindu saya menghargai karya-karya seni yang disampaikan dalam bahasa kesopanan dan kearifan, dan bahkan mengakui bahwa karya seni adalah salah satu barometer budaya manusia. Namun, membaca puisi tersebut yang secara jelas tersirat mengatakan "para dewa menggilir pelacur di altar pura" adalah sebuah penghinaan yang teramat dalam terhadap keyakinan saya. Apakah puisi ini sesuai dengan standar kualitas, moral, etika, dan standar nilai yang dianut oleh Republika sehingga dapat dimuat dalam salah satu halamannya?

Apakah menurut Republika, puisi-puisi semacam ini berguna dan berharga sebagai karya seni, sehingga dengan demikian, dapat dijadikan barometer kemajuan budaya manusia? Dan lebih lagi, apakah puisi ini berguna dalam memberikan sebuah nilai kepada masyarakat indonesia dalam kondisi bangsa yang carut marut seperti saat ini ?

Protes dan keberatan ini saya sampaikan sebagai pembaca, Umat Hindu, yang merasa keyakinannya dilecehkan oleh puisi tersebut. Semoga dapat dimuat sebagaimana Republika memberikan ruang pada puisi tersebut di salah satu halamannya.

_______________________________________

From: Nugraha Adijaya
E-mail: nugradi@...

Sudah sepantasnya pihak Pemda Bali mencekal Saut Situmorang yang berotak kotor agar tidak menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Lewat tulisannya yang penuh penghinaan kepada umat Hindu, ia jelas-jelas ingin memancing di air keruh. Apalagi baca komentar Halim HD di berbagai milis yang semakin mengukuhkan bahwa ia piaraan Saut Situmorang. Bisanya cuma membebek saja seperti kerbau dicucuk hidungnya.

Hai kalian berdua, kalau ingin namanya jadi populer, tolong jangan menginjak kaki orang lain dong. Berkaryalah dengan benar dan santun.

Yang juga amat sayangkan, kenapa sajak murahan itu dimuat di koran Republika yang katanya Islami? Kalau dimuat di koran Pos Kota, saya masih bisa memaklumi. Adakah agenda tersembunyi dari mereka?

_______________________________________

From: Dharsana Matratanaya
E-mail: dmatratanaya@...

Om Swastyastu
Saya pikir puisi semacam itu kita anggap sebagai angin lalu saja, tidak perlu direspons secara besar dan serius. Letakkan di parking lot. Tutup.

suksma,
dharsana
_______________________________________

From: I Gede Purwaka
E-mail: igdepurwa@...

Salam damai,

  1. Saudaraku Halim Hd. Saudaraku tidak dapat menyamakan atau men-setarakan tindakan menjual patung-patung dewa di artshop Bali dengan perbuatan menulis (dan menyebar luaskan) kata-kata yang memberi gambaran bahwa para dewa "menggilir" (meniduri perempuan secara bergiliran) di "altar pura". Menurut kenalan yang pernah berkunjung ke Jerusalam dan Lourdes, patung Yesus dan Bunda Maria juga dijual di toko-toko souvenir disana. Akan tetapi itu kan tidak berarti para pedagang dikedua tempat itu dapat disamakan dengan seorang yang mengatakan Yesus "menggilir" perempuan di Baitullah. Penjualan patung di toko souvenir itu malahan dapat dianggap sebagai usaha memperluas pengkhabaran iman Kristiani, yang dimanfaatkan oleh semangat perdagangan.
  1. Ada rekan yang mengatakan, sajak Saut Situmorang itu merupakan "plesetan" atau "parodi" terhadap sajak "Aku Pelacur Para Dewa" karya Pranita Dewi. Menurutku, alasan ini dicari-cari, sebab meskipun saya bukanlah pakar sastra, tetapi saya tahu harusnya di dalam parodi terdapat unsur humor dan ejekan terhadap yang diparodi. Sajak Saut Situmorang itu sama sekali tidak mengandung unsur humor dan tidak terdapat ejekan terhadap sajak Pranita Dewi tsb diatas. Sajak Saut Situmorang tersebut malahan cenderung bersifat jiplakan, atau percobaan meniru-niru akan tetapi hasilnya masih mentah seperti gerakan seorang penari yang masih ingusan. Dalam sajak "Aku Pelacur Para Dewa" kan terasa benar semangat "memberontak" berdasarkan pengalaman agamawi yang "authentic", akan tetapi dalam sajak Saut Situmorang pengalaman seperti itu tidak ada, mungkin karena pengarangnya bukan seoang Hindu, hanya terasa sebagai usaha mencari-cari efek keren, sok berani mengucapkan kata-kata kotor seperti yang biasa dilakukan anak puber.
  1. Saya tidak bermaksud mengatas-namakan umat Hindu Bali. Akan tetapi sejujurnya saya sebagai seorang Hindu Bali tersinggung. Saya jadi ingin bertanya: Apakah Harian Republika akan bersedia memuat sajak yang menyebut "Nabi Muhammad" atau bahkan "Allah" "menggilir" perempuan di mesjid? Mohon dijawab oleh redaktur budaya Republika.
  1. Meskipun saya tersinggung, tetapi saya tidak bemaksud me-somasi Saut Situmorang
    atau mendemonstrasi kantor Republika. Saya ingin bertanya kepada saudara Ging Ginanjar dan lain-lain dan juga para pembesar Republika, apa yang akan terjadi jikalau harian Bali Post memuat sajak yang mengatakan "Muhammad" berhubungan badan dengan "payudara" dan "kemulusan kulit"?
  1. Dalam bukan suci Ramadhan ini saya ingin mengucapkan selamat beribadah kepada umat Islam dan para pembesar Republika serta memohon maaf jika ada kata-kata saya yang menyinggung. Saya hanya memohon kejujuran dan "a sense of fairness" dari Anda.
  1. Kepada adikku Saut Situmorang saya dengan tulus menganjurkan agar supaya adikku sebagai penyair muda perlu belajar lebih banyak, supaya nanti dapat menghasilkan sajak-sajak yang bermutu. Kalau sudah sampai di taraf yang matang, adikku akan tidak perlu mencari sensasi dan gagah-gagahan seperti sekarang. Juga jikalau adikku tergoda untuk meniru, janganlah sampai memplagiat. Maju terus!

I.G. Purwaka

______________________________________

From: M. Sutjita
E-mail: msutjita@...

Puisi ini betul-betul menyinggung dan menyepelekan agama Hindu. Tidak tahu saya, kemana
melancarkan protes dan melepaskan uneg-uneg ini?

MS

Jawab:
Bli Sutjita, kirimkan via email ke penulisnya: sautsitumorang@...
dan ke redaksi harian Republika di Jakarta: sekretariat@...
c/c ke mediacare@...

_______________________________________

From: TS Pinang
E-mail: tspinang@...

Pemeluk suatu agama yang gampang tersinggung biasanya masih menjalani agamanya sebatas kulit dan baju saja. sensitif dan tidak percaya diri dengan apa yang diyakininya, lalu mudah sekali menganggap apa yang tidak diketahuinya sebagai 'serangan' kepada keyakinannya itu.

Kata 'pura' dan 'dewa' bukan monopoli agama tertentu (Hindu), sebagaimana kata 'malaikat' dalam kasus Pikiran Rakyat kemarin juga bukan monopoli umat Islam. dan sungguh menyedihkan ketika oknum2 yang tidak mampu membaca teks sastra (puisi) dengan mudahnya menuding karya tersebut sebagai sebuah pelecehan agama.

Seperti kata gus dur, soal jorok dan porno itu ada di benak orang yang mempersepsikannya demikian.

Buat bli Wayan dan teman-teman penyair Hindu Bali, mari kita doakan agar kawan-kawan kita pemeluk Hindu tidak tejebak dalam kepicikan dan semoga selalu dicerahkan kalbunya oleh Hyang Widhi.

rahayu,

TS Pinang
(pemeluk agama puisi)

_______________________________________

http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/64846
From: Saut Situmorang
Email: sautsitumorang@yahoo.com

NAH, GIMANA DENGAN PUISI INI, SAYANG, MENGHINA AGAMA SIAPA YA?!

saut kecil bicara dengan tuhan

bocah laki laki itu
duduk sendiri
di tanah kering
di belakang rumah

diangkatnya wajahnya
yang kuning langsat
ke langit
yang kebiru biruan

matanya yang hitam
tak terpejam
asyik mengikuti gumpalan gumpalan awan
yang dihembus angin pelan pelan

dia tahu tuhan tinggal di situ
di langit biru di balik awan awan itu
karena begitulah kata Ibu
tiap kali dia bertanya ingin tahu

bocah kecil itu
masih terus memandangi langit biru
matanya yang hitam
masih terus tak terpejam

tapi dia tak mengerti
kenapa kadang kadang turun hujan ke bumi
membuat becek jalan di depan rumah
membuat dia tak boleh main di luar rumah

kalau di atas ada langit
apakah yang ada di bawah tanah ini
bocah kecil itu bertanya tanya dalam hati

mungkin di bawah tanah ini
sama seperti di atas sini, serunya dalam hati
ada pohon ada rumah rumah
ada tanah lapang di mana orang
main layang layang
dan tentu mereka mengira
di atas sini tinggal tuhan mereka!

dia mulai tersenyum
dia tahu sekarang kenapa kadang kadang turun hujan

tentu saja hujan turun dari langit
karena di atas sana tuhan sedang pesta
dan air hujan itu
tentu air yang dipakai mencuci piring gelas
sehabis pesta
sama seperti Ibu waktu cuci piring gelas
dan airnya hilang masuk ke dalam tanah

senyumnya makin lebar sekarang
dibayangkanNya anak anak mandi hujan
di bawah sana!


-Saut Situmorang

_______________________________________

http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/64848
From: Saut Situmorang
Email: sautsitumorang@yahoo.com

PUISI 101

PUISI HARUS DIHORMATI TERUTAMA OLEH ORANG YANG CUMA MAMPU MEMBACA PUISI. PUISI HARUS DIHORMATI DALAM PEMBACAANNYA SEPERTI ORANG MENGHORMATI TEKS AGAMA, TEKS HUKUM PERCERAIAN, ATAU TEKS PANCASILA. KARENA PUISI ITU BAGIAN DARI SASTRA DAN SASTRA ITU DIPELAJARI DENGAN SANGAT TERHORMAT DI UNIVERSITAS DI SELURUH PLANET INI DALAM SEBUAH STUDI BERNAMA "FAKULTAS SASTRA". BAHKAN ADA JUTAAN SARJANANYA!

TIDAK SETIAP ORANG BERHAK UNTUK "MEMBACA" PUISI, SAMA DENGAN TIDAK SETIAP ORANG BERHAK MENJADI POLISI, PENGACARA, EKONOM ATAU DOKTER GIGI. SASTRA ADALAH PROFESI, BUKAN HOBI, MAKA HARUS DIHORMATI SAMA SEPERTI ORANG MENGHORMATI DOKTER GIGI!

TIDAR BENAR BAHWA "PENGARANG" ITU MATI SETELAH MENULISKAN KARYA SASTRANYA! ITU NAMANYA SADOMASOKISME! ITU NAMANYA PEMBUNUHAN! ITU NAMANYA OMONG KOSONG ORANG YANG SOK SUDAH BACA ROLAND BARTHES! ALASANNYA! MAKANYA PLAGIAT ITU HARAM HUKUMNYA!

MAKANYA SETIAP PENGARANG YANG KARYANYA MUNCUL DI KOMPAS MINGGU, MISALNYA, DISEBUT NAMANYA DAN DIKASIH HONOR BANYAK PULA! MAKANYA KARYANYA, WALAU JELEK GAK KAYAK KARYA SAUT SITUMORANG, DIKASIH ILUSTRASI PARA PERUPA MEMBLE PULA!

TIDAK SETIAP ORANG BERHAK MENGOMENTARI AGAMA.

TIDAK SETIAP ORANG BERHAK KEPUTUSAN PENGADILAN.

TIDAK SETIAP ORANG BERHAK MENCABUT GIGI NASKELENG YANG SUDAH BUSUK DI MULUTNYA YANG SUDAH BUSUK.

TIDAK SETIAP ORANG BERHAK UNTUK MEMBERIKAN PENDAPATNYA DI BIDANG YANG BUKAN PROFESINYA. SETIAP ORANG HARUS PUNYA RASA RENDAH DIRI DAN MALU ATAS KAPASITAS PENGETAHUAN YANG TIDAK DIMILIKINYA.

MUNGKINKAH ADA ORANG AWAM SOK PINTAR MENGOMENTARI "SALAH" DAN "MENGHINA" INTERPRETASI SEORANG ULAMA ATAS TEKS KITAB SUCINYA? LANTAS KENAPA DENGAN PUISI/SASTRA SETIAP ORANG MERASA DIA BERHAK/PUNYA PENGETAHUAN CUMA KARENA DIA BISA MEMBACA ABJAD, KALIMAT YANG ADA DI DEPAN MONCONGNYA?

TIDAK SETIAP ORANG BERANI "MEMBACA" DAN MEMBERI PENAFSIRAN ATAS ATAS LUKISAN KONTEMPORER! LANTAS KENAPA BEGITU SEWENANG-WENANG DENGAN PUISI/SASTRA? !

TIDAK SETIAP ORANG BERANI MENGAKU SEBAGAI SENIMAN RUPA, WALO BIAS MENGGAMBAR ATAU MEMBENTUK PATUNG? LANTAS KENAPA BEGITU BERANI MENYEBUT DIRI "PENYAIR" ATAU "SENIMAN" SASTRA?!

SASTRA SUDAH SANGAT LAMA DIHINA DI NEGERI YANG MENGHORMATI PARA KORUPTOR DAN PENJUAL AGAMA INI! SASTRA SUDAH LAMA CUMA DIANGGAP SEKUMPULAN KATA-KATA YANG DIRANGKAI JADI TULISAN BELAKA, WALO RIBUAN ORANG JADI SARJANA DAN DOSEN KARENA SASTRA! SASTRA TIDAK DIANGGAP PROFESI DI NEGERI YANG KONON PUNYA BUDAYA ADILUHUNG INI!

TAIK KUCING SEMUANYA ITU!

SUDAH WAKTUNYA PARA SASTRAWAN MENUNTUT BALIK ORANG-ORANG NON- SASTRAWAN YANG MEN-CAPNYA MACAM-MACAM, TERUTAMA MEREKA YANG SELALU MENGATASNAMAKAN AGAMANYA, WALO KEJAHATAN MEREKA MUNGKIN SUDAH MEMBUAT AGAMA DAN TUHAN MEREKA TERHINA DAN MUNTAH-MUNTAH! BANGSA YANG BESAR (SEPERTI BANGSA-BANGSA DI PERADABAN BARAT SANA)

ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI SASTRANYA DAN YANG MALU PADA KEBODOHANNYA. BANGSA YANG BESAR (SEPERTI BANGSA-BANGSA DI PERADABAN BARAT SANA) BUKAN BANGSA YANG MEMUJA-MUJA OLIMPIADE FISIKA!!!

BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENOLAK TAHYUL DALAM SEGALA BENTUKNYA. DENGAN SASTRA, BARU PENCERAHAN INI BISA DICAPAI. YANG TIDAK PERCAYA ADALAH ORANG-ORANG YANG AKAN MASUK NERAKA JAHANAM SELAMA-LAMANYA! !!

HAHAHA...

______________________________________

http://finance.groups.yahoo.com/group/mediacare/message/57878
From: I Gde Purwaka,
email: igdepurwa@...

Lanjutan perdebatan karya puisi Saut Situmorang yang mejeng di harian Republika


Saudara Saut,
Saudara ini rupanya meradang seperti anak kecil.

Saudara Saut menulis begini:

TIDAK SETIAP ORANG BERHAK UNTUK "MEMBACA" PUISI, SAMA DENGAN TIDAK SETIAP ORANG BERHAK MENJADI POLISI, PENGACARA, EKONOM ATAU DOKTER GIGI.

SASTRA ADALAH PROFESI, BUKAN HOBI, MAKA HARUS DIHORMATI SAMA SEPERTI ORANG MENGHORMATI DOKTER GIGI!

Saya akan bantah pendapat ini.

(1) -- “Membaca” puisi adalah hak setiap orang. Juga kalau mau menafsirkan puisi. Kakek saya yang petani suka membaca tembang yang merupakan puisi buah tangan peninggalan pujangga Bali. Lantas beliau mencoba menjelaskan artinya kepada teman-temannya di bale banjar apabila mereka sedang ngaso sehabis kerja

Apakah beliau dia tidak berhak? Kalau pendirian Saudara Saut seperti yang diumumkannya dengan huruf-huruf besar itu, maka ia pendukung kesusastraan yang jadi monopoli kelas elite.

Kalau dia berkuasa, dia akan jadi diktator, apalagi dia gemar menggunakan kata “harus”. Sastra “HARUS DIHORMATI”. Menurut pendapat saya, sastra boleh dihormati atau tidak, terserah kepada masyarakatnya. Sama halnya dengan dokter gigi.

Kalau dokter giginya serampangan mencabut gigi, ditambah dia suka marah-marah kalah bersaing dengan dokter gigi lain, mana mungkin dia akan dihormati?

Kalau karya sastranya dan tingkah laku sastrawannya seperti Saudara Saut, saya ragu apakah orang banyak dapat di-HARUS-kan menghormati.

(2) -- Logika Saudara Saut kacau sekali. Katanya,

TIDAK SETIAP ORANG BERHAK UNTUK "MEMBACA" PUISI, SAMA DENGAN TIDAK SETIAP ORANG BERHAK MENJADI POLISI, PENGACARA, EKONOM ATAU DOKTER GIGI.

Polisi, dokter gigi, pengacara, ekonom adalah profesi yang memakai syarat-syarat formal. Akan tetapi apakah syarat formal seorang pembaca puisi seperti kakek saya di desa? Ada ijazah atau sertifikatnya?

Bahkan sepanjang pengetahuan saya, kritikus sastra tidak perlu sertifikat.

Kalau dokter gigi dan pengacara, hasil keputusannya dapat diuji (gigi jadi sembuh atau tidak, pengacara diterima pembelaannya depan hakim atau tidak). Kalau “pembaca” puisi, misalnya kritikus?

Hasil pendapatnya diperdebatkan akan tetapi akhirnya tergantung kepada masing-masing. Kata pepatah, kepala sama berbulu pendapat berlainan. Kalau ada yang tidak menyukai mutu karya Saut Situmorang akan tetapi lebih menyukai karya Gunawan Mohammad, itu wajar saja. Saut tidak dapat iri hati dan Gunawan tidak dapat besar kepala.

Maka walaupun Saudara Saut tidak mau dinasihati, saya mau menyarankan supaya dia belajar memakai logika.

Damai,
I Gde Purwaka
igdepurwa@...

____________________________________________

Jumat, 31 Agustus 2007

Keadilan


Hukum adalah keadilan,
Keadilan adalah untuk si lemah,
Yang lemah selalu mencarinya,
Yang kuat tak membutuhkannya.

Bukankah pencari keadilan selalu lemah?
Bukankah yang mengabaikannya selalu kuat?

Kalau ingin keadilan,
Sehatkan diri,
Sejahterakan hidup,
Kuasa akan datang menghampiri,
Keadilan menyusul di belakangnya!
Kejujuran taruhannya!
Kebenaran landasannya!
Kesucian melepaskannya!


Oleh:Arhanty Arhanty



Dimana keadilan ditegakkan, disana tidak ada keadilan,
dimana ajaran ditegakkan, disana tidak ada ajaran...
dimana kesucian ditegakkan, disana tidak ada kesucian....
dimana kejujuran ditegakkan, disana tidak ada kejujuran....


Oleh: "Tirta D. Arief" <tidar@peter.petra.ac.id>


Pembela:
Atas nama KEADILAN, maka tertuduh harus dianggap tidak
bersalah sebelum dapat dibuktikan kesalahannya.
Artinya, penjahat harus dianggap tidak jahat sebelum
dapat dibuktikan kejahatannya. Hal ini berarti bahwa
orang jahat harus dianggap sebagai orang baik!

Jaksa:
Kalau begitu, atas nama PERSAMAAN Keadilan, maka orang
baik harus dianggap tidak baik sebelum dapat
dibuktikan kebaikannya! Artinya, orang baik harus
dianggap sebagai orang jahat!

Hakim:
Demi KESAMAAN Keadilan, penjahat adalah orang baik,
orang baik adalah penjahat!


Oleh: "Henry Dharsono" <hendhars@yahoo.com>



Sumber: BeCeKa Msg 2133


Minggu, 26 Agustus 2007

Kumpulan Puisi Politik

Ludah yang kering


Lihatlah!
masih adakah hati yang berisi?
ketika logika sudah berbau terasi
ketika nurani kian ter-erosi..
di kilatan hujan pesona yang tidak kunjung basi

Lihatlah!
Dendang-an birokrat dan wakil berdasi..
penuh kegiatan sinetron mengejar kursi
Ketika tikus sibuk pesta korupsi
kucing justru giat pamer gusi...
terbuai diempuknya jok mercy

Lihatlah!
Gempita riuhnya demokrasi
menumbuhkan nurani yang semakin membesi
saat Rakyat butuh nasi..
namun justru di kremasi

Ah, sudahlah!
ini bukan Demonstrasi. .
ini juga bukan mosi...
ini hanyalah puisi...
dari yang hidup namun sesungguhnya mati!

-----------------------
Serial Puisi-puisi Kritik Politik
Oleh Andrinof A Chaniago

Senjata
(untuk Dek Pendi alias Effendi Gazali di Republik
Mimpi)

Semenjak ranah politik tidak lagi berbau mesiu
rakyat memang tidak lagi perlu waspada pada desing
peluru
karena senjata tidak lagi leluasa membuat luka
ataupun menjemput nyawa

Tetapi janganlah lekas puas
hanya karena politik telah bebas senjata logam
Sebab, di tangan para pemburu harta dan kuasa ada
senjata yang lebih tajam
bunyinya tidak mendesing mebuat bulu kuduk merinding
juga tidak meledak membuat telinga kita pekak
bentuknya tidak runcing sehingga nyali bergeming
Tetapi senjata itu tetap tajam tatkala menghujam

Ranah politik memang sudah tidak lagi menumpahkan
darah
karena senjatanya kini tidak membuat luka atau
mencabut nyawa
tetapi ia membunuh nalar ajar
yang telah dibangun lewat program wajib belajar

Jangan cari senjata tajam itu di gudang peluru
Atau di kendaraan prajuritmu
Dia ada di genggamanmu
Yang pernah kau buka, kau lihat dan kau baca
Bentuknya adalah iklan setengah atau satu halaman
Kadang-kadang berisi angka-angka ekonomiterika dan
statiska
Kadang-kadang berisi potret orang cerdas berkacamata
Yang disertai kata-kata bergaya prosa
Itulah dia senjata di ranah politik kita

Senjata itu tidak menggores luka dan menumpahkan darah
Juga tidak langsung mencabut nyawa berbilang jumlah
Tetapi ia membuat kebodohan menjadi abadi
Kemiskinan massal menjadi tersembunyi
Politik hampa etika
di balik slogan gagah efisiensi dan demokrasi

Iklan setengah halaman atau satu halaman media massa
Dengan angka-angka ekonometrika dan statistika
Atau foto orang pintar berkaca mata
Itulah senjata para pemburu harta dan kuasa

Dampak senjata itu nyata
ketika harga BBM naik
rakyat kecil tercekik
ramalan pemilik senjata itu terbalik
menjanjikan angka kemiskinan akan turun menukik
ternyata malah melonjak naik

Dampak senjata itu masih terasa
ketika pilkada rampung
suara rakyat selesai ditelikung
sementara pemburu kuasa dan harta kembali berhitung
untuk membagi untung

Senjata itu adalah iklan dengan sedikit dusta
anak kandung perselingkuhan modal dan tahta
yang kini menular dalam spanduk-spanduk di ruang
terbuka
di bawah lindungan sistem demokrasi pura-pura
ditemani sistem ekonomi pasar yang tidak sempurna
yang melahirkan korban dalam jumlah berjuta
mereka yang tidak kelebihan harta dan tidak ikut
berkuasa

(Suatu pagi di jalan Kemangi, 24/08/07)

Sang Birokrat

Sang Birokrat
berbaju cokelat
sepatu sedikit mengkilat
kerja dari rapat ke rapat
berlomba mengejar naik pangkat

Sang Birokrat
jarang berkeringat
merasakan nikmat
dari persembahan hormat
dapat jaminan hidup sepanjang hayat
tapi lupa daulat rakyat

Kampus UI, 24/08/2007.

Puisi untuk Wakil Rakyat
Oleh Andrinof A Chaniago

Di masa pemilu dahulu
Kami lihat gerak bola matamu seperti radar angkatan
perang
Yang dapat melacak suara jangkrik di waktu siang
Sehingga, kami sempat percaya bahwa Tuan-tuan tahu apa
yang kami mau
Kami pun sempat percaya bahwa Tuan-tuan akan menjadi
pelindung kami
dari orang-orang yang hanya ingin memperkaya diri
sendiri
yang hanya ingin menjadikan kuasa dan harta sebagai
senjata

Lewat retorikamu di saat kampanye dulu
Kami percaya Tuan-tuan akan akan bersiaga untuk kami
sepanjang waktu
Menunggu keluh kesah rakyatmu
Menampung dan merundingkan aneka kehendak kami
diantara sesama para politisi

Tetapi setelah masa kampanye jauh berlalu
Kursi berputar menyambut sibukmu
Rumah rakyat yang sejuk mememelukmu
Birokrasi menjadi penyaring tamu-tamumu
Kita pun berjarak seperti tak pernah saling tahu

Jauh di luar ruang kerjamu
ada pagar kekar berteralis baja
Di sana kami berdiri berharap akan sapaanmu
dan bersiap dengan pertanyaan:
Mengapa diammu bukan lagi perenungan?
Mengapa tidurmu bukan lagi jeda pengabdian?
Mengapa retorikamu menjadi tanpa logika?

Di kejauhan pun kami mendengar
Suara tinggi mu menggelegar
menggertak usulan rakyatmu sendiri
yang tengah berharap tegaknya demokrasi sejati
lewat Pemilu dan Pilkada yang bisa menghasilkan
pemimpin sejati
(Kami pun bertanya, “Mengapa tuan-tuan tidak berkenan
ketika ada orang ingin menjadi pemimpin sejati negeri
ini?”)
Dengan sigap tuan-tuan berujar,
“Calon perorangan merusak sistem!”
“Calon perorangan harus didukung 15% suara sah!”
Dan seterusnya.. dan seterusnya…

Kami menjadi teringat ketika berjalan menuju ruangan
kantormu
Di sana kami melintasi para penjaga berseragam bak
bala tentara Kaisar Romawi
Yang sigap menyuruh kami memarkir kendaraan jauh dari
halaman parkirmu
Sehingga kami harus berlari menghindari sengatan terik
matahari

Masih bisakah kami percayai janjimu
Ketika acungan telunjukmu bukan lagi tanda janji
Tetapi pengawal ucapanmu
bahwa wakil rakyat adalah pemilik kekuasaan legislasi

Kami pun mulai sadar
bahwa wakil rakyat di zaman kini
sudah membedakan antara penyalur aspirasi dan
kekuasaan legislasi
sudah membedakan antara kompetisi dan demokrasi

Di media massa kami membaca
Retorika-retorika barumu yang merobek makna
dan jawaban-jawabanmu yang makin jauh dari logika
mencampuradukkan energi sekumpulan partai dengan
energi seorang manusia
yang tidak ada contohnya di mancanegara

Kini kami merasa seperti orang-orang yang ditinggal
pergi
Oleh Tuan-tuan yang dulu mengaku ingin menjadi
wakil-wakil kami
dan dulu pernah memberi janji
bahwa engkau akan menampung suara hati kami
Tetapi ternyata waktu itu kami hanya bermimpi

Retorika dan olah mimikmu tentu saja membuat banyak
orang terpesona
melumpuhkan niat orang-orang muda yang akan
berdemonstrasi
Bahkan membuat para lansia mengangguk-angkuk sambil
tertawa
Yang memberi pertanda bahwa akal sehat tidak lagi
berdaya

Karena logika menjadi tidak berguna
Sementara politik dilanda krisis etika
dan kebijakan-kebijakan tercerabut dari kedaulatan
rakyat
maka hari ini kami menyapamu dengan puisi

Depok, 21 Agustus 2007