(1) Kisah Bodhirajakumara
(2) Kisah Upananda Sakyaputta Thera
(3) Kisah Padhanikatissa Thera
(4) Kisah Ibu dari Kumarakassapa
(5) Kisah Upasaka Mahakala
(6) Kisah Devadatta
(7) Kisah Perpecahan Sangha
(8) Kisah Kala Thera
(9) Kisah Upasaka Culakala
(10) Kisah Attadattha Thera
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
Suatu ketika Pangeran Bodhi membangun sebuah istana yang sangat indah untuk tempat tinggalnya. Ketika istana tersebut selesai dibangun, ia mengundang Sang Buddha untuk berdana makanan.
Untuk acara istimewa ini, ia menghias bangunan dengan memberi pengharum ruangan empat macam wangi-wangian dan dupa. Juga, kain yang panjang dilembarkan di lantai untuk alas, mulai dari ambang pintu sampai ke dalam ruangan. Karena ia tidak mempunyai anak, Pangeran membuat harapan dan tebakan yang sungguh-sungguh, dengan berkata dalam hati,
"Bila Sang Buddha berjalan di atas kain tersebut, semoga aku akan mempunyai anak!"
Ketika Sang Buddha tiba, Pangeran Bodhi dengan hormat memohon kepada Beliau sebanyak tiga kali untuk memasuki ruangan. Tetapi Sang Buddha tidak beranjak, hanya melihat pada Ananda. Ananda mengerti dan meminta kepada Pangeran Bodhi untuk memindahkan kain dari ambang pintu. Dan Sang Buddha pun masuk ke dalam istana.
Setibanya di dalam istana, pangeran mempersembahkan makanan yang enak dan terpilih kepada Sang Buddha. Selesai makan, pangeran bertanya,
"Bhante, mengapa Bhante tidak mau berjalan di atas kain alas?"
Sang Buddha bertanya balik kepada pangeran,
"Bukankah pangeran membentangkan kain itu dengan harapan agar dikaruniai anak apabila Aku berjalan di atas kain itu ?"
Pangeran membenarkan pertanyaan itu. Kepadanya Sang Buddha mengatakan bahwa ia dan istrinya tidak akan memperoleh anak akibat perbuatan jahat yang mereka lakukan di masa yang lampau. Sang Buddha kemudian menceritakan kisah masa lalu mereka.
Pada salah satu kehidupan mereka yang lampau, Pangeran dan istrinya adalah satu-satunya orang yang selamat dari bencana kapal Mereka terdampar pada pulau yang tidak berpenduduk. Mereka hidup dengan memakan telur-telur burung, anak-anak burung, dan burung, tanpa perasaan menyesal sepanjang waktu. Untuk perbuatan jahat itu, mereka tidak dikaruniai anak. Jika mereka mempunyai rasa sesal atas perbuatan mereka pada saat itu, mereka akan mempunyai seorang atau dua orang anak pada kehidupan sekarang.
Kembali kepada Pangeran, Sang Buddha berkata,
"Seseorang yang mencintai dirinya sendiri harus menjaga dirinya sendiri dalam seluruh tingkat kehidupan, atau sedikitnya dalam satu tahap kehidupannya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 157 berikut :
Bila orang mencintai dirinya sendiri, maka ia harus menjaga dirinya dengan baik. Orang bijaksana selalu waspada selama tiga masa dalam kehidupannya.
Bodhirajakumara mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(2) Kisah Upananda Sakyaputta Thera
Upananda adalah seorang pengkhotbah yang sangat pandai. Ia memberikan pelajaran kepada orang lain untuk tidak tamak, dan hanya memiliki sedikit keinginan. Iapun berbicara dengan fasih tentang manfaat kepuasan, kehematan, dan praktek hidup sederhana. Akan tetapi ia tidak pernah mempraktekkan apa yang diajarkannya kepada orang lain. Ia mengambil untuk dirinya sendiri seluruh jubah dan keperluan-keperluan lain yang diberikan oleh umat.
Suatu ketika Upananda pergi ke sebuah vihara desa sesaat sebelum tiba masa vassa. Beberapa bhikkhu muda terkesan oleh kepandaiannya memberi khotbah, dan meminta kepadanya untuk bervassa di vihara mereka. Ia menanyakan kepada mereka berapa jubah biasanya yang diterima setiap bhikkhu sebagai dana pada saat akhir masa vassa di vihara mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka biasanya menerima satu jubah untuk tiap bhikkhu. Maka ia tidak jadi menetap di vihara tersebut, tetapi ia meninggalkan sandalnya di vihara tersebut.
Pada vihara berikutnya, ia mengetahui bahwa para bhikkhu menerima dua jubah untuk masing-masing bhikkhu sebagai dana pada akhir masa vassa. Di sana ia meninggalkan tongkatnya. Pada vihara berikutnya, para bhikkhu menerima tiga jubah masing-masing bhikkhu sebagai dana pada akhir masa vassa, di sana ia meninggalkan botol airnya. Akhirnya, di vihara di mana masing-masing bhikkhu menerima empat jubah, ia memutuskan untuk tinggal selama masa vassa.
Pada akhir masa vassa, ia menuntut bagian jubahnya di vihara-vihara di mana ia meninggalkan barang-barang pribadinya. Kemudian ia mengumpulkan semua barang-barangnya dalam sebuah kereta dan kembali ke vihara lamanya. Dalam perjalanan ia bertemu dua bhikkhu muda yang sedang berdebat perihal pembagian dua buah jubah dan sebuah selimut dari beludru yang ada pada mereka. Karena mereka tidak memperoleh kesepakatan bersama, mereka bertanya kepada Upananda bagaimana pemecahan masalah itu. Upananda memberi mereka masing-masing sebuah jubah dan ia mengambil selimut beludru yang berharga sebagai penggantinya.
Dua bhikkhu muda tersebut merasa tidak puas dengan keputusan tersebut tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan perasaan tidak puas dan murung, mereka menemui Sang Buddha dan memberitahukan kejadian tersebut. Kepada mereka Sang Buddha berkata,
"Seseorang yang mengajar orang lain, seharusnya mengajar dirinya sendiri terlebih dahulu dan berkelakuan sebagaimana yang ia ajarkan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 158 berikut :
Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan diri sendiri dalam hal-hal yang patut, dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela.
Dua bhikkhu muda tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(3) Kisah Padhanikatissa Thera
Padhanikatissa Thera, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, tinggal di hutan bersama 500 bhikkhu lainnya. Di sana, ia memberitahu pada bhikkhu agar menjaga perhatian dan tekun berlatih meditasi. Setelah memperingatkan bhikkhu yang lain, ia sendiri berbaring dan tidur. Bhikkhu-bhikkhu muda melatih meditasi seperti yang diberitahukan kepada mereka. Mereka berlatih meditasi selama saat jaga pertama.
Ketika tiba saat tidur bagi mereka, Padhanikatissa bangun, dan memberitahu mereka agar kembali berlatih meditasi. Ketika mereka selesai berlatih meditasi saat jaga kedua dan ketiga, Padhanikatissa juga mengatakan hal yang sama kepada mereka.
Selama ia bertingkah laku dengan cara tersebut di atas, bhikkhu-bhikkhu muda tidak pernah merasa tenteram, dan mereka juga tidak dapat berkonsentrasi pada saat latihan meditasi atau bahkan dalam melafalkan bacaan.
Suatu hari, mereka memutuskan untuk menyelidiki apakah guru mereka benar-benar rajin dan berjaga seperti yang dikemukakan oleh dirinya. Ketika mereka mengetahui bahwa guru mereka Padhanikatissa hanya pandai menasehati orang lain tetapi ia sendiri tidur sepanjang hari, mereka mengatakan,
" Kita tertipu, guru kita hanya tahu bagaimana mengajari kita, tetapi ia sendiri hanya membuang-buang waktu tanpa melakukan apapun."
Pada saat itu bhikkhu-bhikkhu tidak mendapatkan istirahat yang cukup, mereka capai dan letih. Alhasil tidak seorang bhikkhupun yang memperoleh kemajuan dalam latihan meditasinya.
Pada akhir masa vassa, mereka kembali ke Vihara Jetavana dan melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Buddha. Kepada mereka Sang Buddha berkata,
"Para bhikkhu! Seseorang yang akan mengajar orang lain seharusnya terlebih dahulu mengajar dirinya sendiri dan memperlakukan dirinya dengan tepat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 159 berikut :
Sebagaimana ia mengajari orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat. Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang lain. Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri.
Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(4) Kisah Ibu dari Kumarakassapa
Suatu ketika, seorang wanita muda yang telah menikah meminta izin kepada suaminya untuk menjadi seorang bhikkhuni. Karena ketidaktahuannya, ia bergabung dengan bhikkhuni-bhikkhuni yang menjadi pengikut Devadatta. Wanita ini sedang mengandung sebelum ia menjadi bhikkhuni, tetapi pada saat itu ia tidak takut akan akibatnya.
Dengan berjalannya waktu, kehamilannya terlihat oleh bhikkhuni-bhikkhuni lain. Mengira ia telah melakukan perbuatan yang melanggar vinaya, mereka membawa permasalahan itu kepada guru mereka, Devadatta.
Devadatta menyuruh wanita itu kembali ke hidup berumah-tangga. Kemudian wanita muda ini mengatakan kepada bhikkhuni-bhikkhuni lainnya,
"Saya tidak berniat menjadi bhikkhuni muridnya Devadatta, saya datang kemari merupakan suatu kesalahan. Tolong antarkan saya ke Vihara Jetavana, bawa saya menghadap Sang Buddha."
Kemudian ia datang menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha mengetahui kalau ia telah mengandung sebelum ia menjadi bhikkhuni, oleh karena itu ia tidak bersalah. Tetapi Sang Buddha tidak ingin mengatasi masalah tersebut sendiri. Sang Buddha mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anathapindikha, orang kaya terkenal, dan Visakha, dermawan terkenal Vihara Pubbarama dan banyak orang lainnya. Kemudian Beliau menyuruh Upali untuk menjernihkan persoalan tersebut pada masyarakat.
Visakha membawa wanita muda tersebut ke belakang tirai. Ia memeriksa dan melaporkan kepada Upali Thera bahwa wanita tersebut telah hamil sebelum menjadi bhikkhuni. Upali Thera kemudian mengumumkan kepada hadirin bahwa wanita tersebut tidak bersalah dan oleh karena itu ia tidak melanggar peraturan ke-bhikkhuni-an (sila).
Setelah beberapa lama melatih diri sebagai bhikkhuni, wanita itu melahirkan seorang putra. Anak tersebut diadopsi oleh Raja Pasenadi dan diberi nama Kumarakassapa. Pada saat anak tersebut berusia tujuh tahun, ia mengetahui bahwa ibunya adalah seorang bhikkhuni, kemudian ia menjadi seorang samanera di bawah bimbingan Sang Buddha. Setelah ia dewasa, ia diterima dalam pasamuan bhikkhu.
Sebagai bhikkhu, ia mendapat pelajaran meditasi dari Sang Buddha dan pergi ke hutan. Di sana, ia melatih meditasi dengan tekun dan sungguh-sungguh dan dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian arahat. Walaupun demikian, ia melanjutkan hidup di hutan selama lebih dari dua belas tahun.
Selama dua belas tahun itu pula, ibu dari Kumarakassapa tidak pernah bertemu dengan anaknya, padahal ia sangat rindu untuk menemuinya. Suatu hari, ketika melihat anaknya, ibu yang bhikkhuni itu tak dapat menahan dirinya lagi. Dengan penuh emosi ia berlari mendekati anaknya, menangis dan memanggil-manggil nama anaknya.
Melihat ibunya, Kumarakassapa berpikir, jika ia berbicara dengan lembut kepada ibunya, ibunya masih akan memiliki kemelekatan kepadanya, dan masa depan ibunya akan tidak berkembang. Jadi demi masa depan ibunya, agar dapat memperoleh kebebasan (merealisasi nibbana) ia dengan sengaja berbicara keras kepada ibunya,
"Bagaimana anda sebagai anggota Sangha yang menjalankan peraturan, tidak dapat memutuskan ikatan terhadap anaknya ?"
Ibunya berpikir bahwa anaknya sangat keras kepadanya, dan ia bertanya apa maksudnya ? Kumarakassapa mengulangi apa yang ia ucapkan sebelumnya.
Mendengar jawabannya, Ibu Kumarakassapa membalas,
"Ya, dua belas tahun aku cucurkan air mata, untuk anakku. Dua belas tahun pula aku memendam rindu, ingin melihat senyum dan mendapat sapaan yang hangat dari darah dagingku. Namun, apa yang terjadi sekarang ? Bukannya sapaan yang halus dan senyum bahagia karena bertemu dengan ibunya, malahan jawaban ketus yang kuterima. Apa gunanya ikatanku kepadamu ?"
Kerinduan kepada anaknya mendadak menghilang. Kemudian, kemelekatan yang sia-sia terhadap anaknya mulai jelas baginya. Ia memutuskan untuk memotong kemelekatan kepada anaknya. Dengan memotong seluruh kemelekatan, Ibu Kumarakassapa mencapai tingkat kesucian arahat pada hari itu.
Suatu hari, pada saat pertemuan, beberapa bhikkhu berkata pada Sang Buddha,
"Bhante, jika Ibu dari Kumarakassapa mengikuti Devadatta, ia dan putranya tidak akan menjadi arahat. Tentunya, Devadatta telah melakukan kesalahan besar terhadap mereka, tetapi Bhante telah menjadi tempat berlindung bagi mereka."
Kepada mereka Sang Buddha berkata,
"Para bhikkhu, dalam perjuangan untuk mencapai alam dewa, atau mencapai tingkat kesucian arahat, kalian tidak bisa tergantung pada orang lain, kalian harus berusaha keras sendiri."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 160 berikut :
Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya. Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.
Pada suatu hari uposatha, Mahakala pergi ke Vihara Jetavana. Hari itu ia melaksanakan delapan peraturan moral (atthasila) dan mendengarkan khotbah Dhamma sepanjang malam. Pada malam itu juga beberapa pencuri menyusup masuk ke dalam sebuah rumah. Pemilik rumah terbangun dan mengejar para pencuri. Pencuri-pencuri itu berlarian ke segala arah. Beberapa pencuri berlari ke arah vihara. Mereka berlari mendekat vihara.
Pada saat itu Mahakala sedang mencuci muka di tepi kolam dekat vihara. Pencuri-pencuri itu meninggalkan barang curiannya di depan Mahakala dan kemudian mereka berlari pergi. Ketika pemilik barang tiba di tempat itu, mereka melihat Mahakala dengan barang curian. Mengira bahwa Mahakala adalah salah seorang pencuri, mereka berteriak ke arahnya, mengancamnya dan memukulnya dengan keras.
Mahakala meninggal dunia di tempat itu. Pada pagi harinya, ketika beberapa bhikkhu muda dan samanera-samanera dari vihara pergi ke kolam untuk mengambil air, mereka melihat mayat itu dan mengenalinya. Sekembali mereka ke vihara, mereka melaporkan hal yang telah dilihatnya kepada Sang Buddha.
"Bhante, seorang upasaka di vihara yang telah mendengarkan khotbah Dhamma sepanjang malam ditemukan meninggal dunia secara tidak pantas."
Kepada mereka Sang Buddha menjawab,
"Para bhikkhu, jika kalian hanya mengetahui perbuatan baik yang telah ia lakukan pada kehidupan saat ini, tentunya ia tidak akan ditemukan meninggal dunia secara tidak layak. Tetapi kenyataannya, ia harus menerima akibat perbuatan jahat yang telah ia lakukan pada kehidupan lampaunya. Pada salah satu kehidupan lampaunya, ketika ia sebagai seorang anggota istana sebuah kerajaan, ia jatuh cinta pada istri orang lain dan memukul suami wanita tersebut sehingga suami itu meninggal dunia. Oleh karena perbuatan jahatnya, pasti akan membuat seseorang menderita, bahkan dapat mengakibatkan kelahiran kembali dalam salah satu dari empat alam penderitaan (apaya)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 161 berikut :
Kejahatan yang dilakukan oleh diri sendiri, timbul dari diri sendiri serta disebabkan oleh diri sendiri, akan menghancurkan orang bodoh, bagaikan intan memecah permata yang keras.
Suatu hari beberapa bhikkhu sedang bercakap-cakap di antara mereka sendiri, kemudian Sang Buddha tiba dan bertanya apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka menjawab bahwa mereka sedang berbicara tentang Devadatta dan kemudian mereka melanjutkan,
"Bhante, Devadatta adalah sungguh seorang yang tidak mempunyai moralitas, ia juga sangat serakah. Ia berusaha memperoleh keterkenalan dan keberuntungan dengan mengambil kepercayaan Ajatasattu dengan cara tidak jujur. Ia juga berusaha meyakinkan Ajatasattu bahwa dengan membebaskan diri dari ayahnya, ia akan menjadi raja besar. Hasutan Devadatta dapat mempengaruhi Ajatasattu, sehingga Ajatasattu membunuh ayahnya, raja yang mulia, Bimbisara. Devadatta juga telah mencoba tiga kali untuk membunuh-Mu, Guru kami yang mulia. Devadatta adalah benar-benar sangat jahat dan tidak dapat diperbaiki."
Setelah mendengarkan para bhikkhu, Sang Buddha mengatakan pada mereka bahwa Devadatta telah mencoba membunuhnya tidak hanya pada kehidupan sekarang tetapi juga pada kehidupan yang lampau. Sang Buddha kemudian menceritakan cerita tentang pemburu rusa.
Saat itu, ketika Raja Brahmadatta berkuasa di Baranasi, Buddha yang sekarang ini hidup sebagai seekor rusa, dan Devadatta saat itu adalah seorang pemburu rusa. Suatu hari pemburu rusa melihat jejak kaki rusa di bawah sebatang pohon. Kemudian ia mengambil sebatang bambu pada pohon tersebut dan menunggu dengan tombak yang diarahkan ke rusa. Rusa tersebut datang tetapi ia datang dengan hati-hati. Pemburu rusa melihatnya ragu-ragu, dan melempari beberapa buah-buahan untuk membujuknya. Tetapi hal itu membuat rusa waspada. Ia terlihat lebih hati-hati dan mengetahui ada pemburu rusa pada dahan pohon. Rusa itu pura-pura tidak melihat pemburu tersebut dan berbalik dengan lambat. Dari jarak tertentu, rusa berseru,
"Oh pohon, kamu selalu menjatuhkan buah-buahmu secara vertikal, tetapi hari ini kamu telah menentang hukum alam dan telah menjatuhkan buah-buahmu secara miring. Sejak kamu menentang hukum alam dari pohon, saya akan meninggalkanmu untuk berpindah ke pohon lain."
Melihat rusa tersebut berbalik pergi, pemburu melempar tombaknya ke tanah dan berkata,
"Ya, kamu sekarang dapat berpindah, untuk hari ini saya telah salah perhitungan."
Rusa tersebut yang adalah calon Buddha menjawab,
"O pemburu, kamu benar-benar salah perhitungan hari ini, tetapi perbuatan (kamma) burukmu tidak akan keliru, hal itu akan selalu mengikutimu."
"Jadi, Devadatta tidak saja mencoba membunuhku sekarang tetapi juga di masa lalu, tetapi ia tidak pernah berhasil. “
Kemudian Sang Buddha melanjutkan,
"Para bhikkhu ! Seperti tanaman menjalar mengelilingi pohon tempat ia berada, demikian juga ia yang tidak mempunyai moral, akan dikuasai oleh nafsu keinginan, akhirnya akan terlempar ke alam neraka (niraya)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 162 berikut :
Orang yang berkelakuan buruk adalah seperti tanaman menjalar maluva yang melilit pohon sala. Ia akan terjerumus sendiri, seperti apa yang diharapkan musuh terhadap dirinya.
Pada suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang memberikan khotbah di Vihara Veluvana, Devadatta datang kepadanya dan menyarankan bahwa Sang Buddha kini telah menjadi tua, seharusnya tugas-tugas kepemimpinan Sangha diserahkan kepada Devadatta.
Tetapi Sang Buddha menolak permintaannya, menegurnya, dan menyebutnya "penjilat lidah" (khelasika). Sejak saat itu, Devadatta sangat membenci Sang Buddha. Ia bahkan berusaha membunuh Sang Buddha sebanyak tiga kali, tetapi selalu gagal. Kemudian Devadatta mencoba taktik lain. Kali ini ia datang ke hadapan Sang Buddha dan mengajukan lima peraturan untuk para bhikkhu untuk dilakukan sepanjang hidupnya. Ia mengajukan :
- Para bhikkhu harus tinggal di hutan.
- Para bhikkhu harus hidup dengan makanan yang hanya diterima pada saat pindapatta.
- Mereka harus mengenakan jubah yang hanya terbuat dari potongan kain yang diperoleh dari tumpukan sampah.
- Mereka harus berdiam di bawah pohon dan
- Mereka tidak boleh memakan ikan atau daging.
Sang Buddha tidak menolak terhadap peraturan tersebut dan tidak keberatan terhadap siapa yang sanggup melakukannya, tetapi dengan berbagai pertimbangan yang benar, Beliau tidak menetapkan peraturan itu untuk para bhikkhu secara keseluruhan.
Devadatta menuntut bahwa peraturan yang diajukannya lebih baik daripada peraturan yang telah ada, dan beberapa bhikkhu baru sepakat dengannya.
Suatu hari, Sang Buddha bertanya kepada Devadatta apakah benar bahwa ia berusaha membuat perpecahan dalam Sangha, dan ia mengakui bahwa hal itu benar. Sang Buddha memperingatkannya bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan buruk yang serius, tetapi Devadatta tidak mempedulikan peringatan itu. Setelah itu Devadatta bertemu dengan Ananda Thera pada saat berpindapatta di Rajagaha, Devadatta berkata kepada Ananda Thera,
"Ananda mulai hari ini, saya akan melakukan kegiatan uposatha, dan menjalankan tugas-tugas Sangha secara terpisah, tidak tergantung kepada Sang Buddha dan pasamuan bhikkhu-bhikkhu."
Sekembalinya dari pindapatta, Ananda Thera memberitahu Sang Buddha apa yang telah dikatakan oleh Devadatta. Mendengar hal itu, Sang Buddha menjelaskan,
"Devadatta melakukan kesalahan yang sangat serius, pebuatan itu akan menyebabkan ia terlahir ke alam neraka Avici. Bagi orang yang bersifat baik, sangatlah mudah melakukan perbuatan baik dan sulit berbuat jahat, tetapi orang yang jahat sangatlah mudah berbuat jahat dan sulit melakukan perbuatan baik. Memang, dalam hidup ini adalah mudah untuk melakukan suatu yang tidak bermanfaat, tetapi sulit untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 163 berikut :
Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tak bermanfaat, tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri.
Kemudian pada hari Uposatha, Devadatta diikuti oleh lima ratus bhikkhu-bhikkhu suku Vajji, memisahkan diri dari pasamuan Sangha, dan pergi ke Gayasisa.
Akan tetapi ketika dua murid utama, Sariputta dan Maha Moggallana pergi menemui para bhikkhu pengikut Devadatta, dan berbicara kepada mereka. Mereka menyadari kesalahannya, sehingga banyak di antara mereka yang kembali bersama dua murid utama kepada Sang Buddha.
Di Savatthi ada seorang wanita tua yang melayani seorang Thera bernama Kala seperti putranya sendiri. Suatu hari, wanita tua ini mendengar dari tetangganya mengenai kebaikan hati Sang Buddha, ia sangat berharap untuk pergi ke Vihara Jetavana dan mendengarkan khotbah Sang Buddha.
Lalu ia mengatakan kepada Kala Thera tentang harapannya tersebut, tetapi Kala Thera menasehatinya untuk tidak melakukan hal itu. Tiga kali wanita tersebut mengatakan kepada Kala Thera mengenai keinginannya tersebut, tetapi Kala Thera selalu mencegahnya.
Pada suatu hari, dengan tidak mengindahkan larangannya, wanita itu memutuskan untuk pergi ke vihara. Setelah meminta putrinya untuk menyediakan kebutuhan Kala Thera, ia meninggalkan rumahnya.
Ketika Kala Thera datang saat berkeliling pindapatta, ia mengetahui wanita tersebut telah pergi ke Vihara Jetavana. Kemudian ia berpikir,
"Kemungkinan wanita di rumah ini telah hilang kepercayaannya kepada saya."
Lalu dengan cepat dan tergesa-gesa ia menyusul wanita tersebut ke vihara. Di sana ia menemukan wanita itu sedang mendengarkan khotbah yang diberikan oleh Sang Buddha. Ia mendekati Sang Buddha dengan perasaan hormat dan berkata,
"Bhante, wanita ini sangat bodoh, ia tidak akan mengerti Dhamma yang tinggi, tolong ajari ia hanya mengenai pemberian (dana) dan kesusilaan (sila)."
Sang Buddha mengetahui dengan baik bahwa Kala Thera sedang membicarakan kegusarannya dan mempunyai maksud yang tersembunyi. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Kala Thera,
"Bhikkhu! Karena kamu bodoh dan berpandangan salah, kamu merendahkan ajaran-Ku. Kamu membuat hancur dirimu sendiri, kenyataannya, kamu hanya mencoba untuk menghancurkan dirimu sendiri."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 164 berikut :
Karena pandangan yang salah orang bodoh menghina ajaran orang mulia, orang suci dan orang bajik. Ia akan menerima akibatnya yang buruk, seperti rumput kastha yang berbuah hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Wanita tua itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.
Culakala adalah seorang upasaka yang sangat mentaati peraturan uposatha pada hari-hari tertentu dan tinggal sepanjang malam di Vihara Jetavana, untuk mendengarkan uraian Dhamma. Keesokan pagi harinya, ketika ia mencuci muka di kolam dekat vihara, beberapa pencuri meninggalkan seberkas barang curian di dekatnya.
Pemilik barang melihat Culakala berada dekat barang-barangnya yang dicuri. Mengira Culakala adalah pencurinya, ia memukulnya dengan keras. Untunglah beberapa pelayan wanita yang datang untuk mengambil air dan menyatakan bahwa mereka mengenalinya, bahwa ia bukanlah pencuri. Kemudian Culakala dilepaskan. Ketika Sang Buddha mendengar hal tersebut, Beliau berkata kepada Culakala,
"Kamu dilepaskan tidak hanya karena pelayan-pelayan wanita berkata bahwa kamu bukanlah pencuri, tetapi juga karena kamu tidak mencuri dan oleh sebab itu kamu tidak bersalah. Barang siapa yang berbuat jahat akan ke alam neraka (niraya), tetapi barang siapa yang berbuat baik akan terlahir kembali di alam sorga (dewa) atau merealisir kebebasan mutlak (nibbana)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 165 berikut :
Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorangpun yang dapat mensucikan orang lain.
Upasaka Culakala mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa Beliau akan mencapai parinibbana dalam waktu 4 bulan lagi, banyak bhikkhu puthujjana (bhikkhu-bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian) merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa, lalu mereka berusaha dekat dengan Sang Buddha.
Attadattha, meskipun tidak pergi ke hadapan Sang Buddha, bertekad untuk mencapai tingkat kesucian arahat selama Sang Buddha masih hidup, berusaha keras dalam latihan meditasi. Bhikkhu-bhikkhu lain tidak memahaminya, membawanya di hadapan Sang Buddha dan berkata,
"Bhante, bhikkhu ini tidak terlihat mencintai dan memuja-Mu seperti yang kami lakukan, ia hanya menyendiri."
Attadattha Thera kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa ia sedang berusaha untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha mencapai parinibbana, dan itulah alasannya mengapa ia tidak berada dekat Sang Buddha. Sang Buddha kemudian berkata kepada para bhikkhu,
"Para bhikkhu, barang siapa yang mencintai dan menghormati-Ku seharusnya berkelakuan seperti Attadattha. Kalian tidak menghormat saya hanya dengan memberikan bunga-bunga, wangi-wangian, dupa, atau datang menjenguk-Ku. Kalian memberi penghormatan kepada saya bila mempraktekkan Dhamma yang telah Kuajarkan kepada kalian seperti Lokuttara Dhamma."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 166 berikut :
Lain lalu seseorang melalaikan kesejahteraan sendiri. Setelah memahami tujuan akhir bagi diri sendiri, hendaklah ia teguh melaksanakan tugas kewajibannya.
Atthadattha Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb12.htm
Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar