(1) Kisah Seorang Bhikkhu Muda
(2) Kisah Raja Suddhodana
(3) Kisah Lima Ratus Bhikkhu
(4) Kisah Pangeran Abhaya
(5) Kisah Sammajjana thera
(6) Kisah Angulimala Thera
(7) Kisah Gadis Penenun
(8) Kisah Tiga Puluh Bhikkhu
(9) Kisah Cincamanavika
(10) Kisah Pemberian Dana Yang Tiada Taranya
(11) Kisah Kala, Putra Anathapindika
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
(1) Kisah Seorang Bhikkhu Muda
Suatu saat seorang bhikkhu muda menemani seorang bhikkhu tua menuju ke rumah Visakha. Setelah menerima dana makanan, bhikkhu tua pergi ke tempat lain, meninggalkan bhikkhu muda di rumah Visakha. Cucu perempuan Visakha sedang menyaring air untuk bhikkhu muda. Ketika ia melihat bayangannya sendiri pada panci besar ia tersenyum. Melihat ia tersenyum, bhikkhu muda menatapnya dan balas tersenyum. Ketika ia melihat bhikkhu muda itu menatapnya dan tersenyum padanya, ia menjadi marah, dan menangis lalu berkata,
"Kamu, kepala gundul! Mengapa kau tersenyum padaku ?"
Sang bhikkhu muda menjawab,
"Dirimu adalah kepala gundul; ayah dan ibumu juga berkepala gundul !"
Kemudian, mereka bertengkar, dan sang gadis dengan bercucuran air mata pergi kepada neneknya.
Visakha datang dan berkata kepada bhikkhu muda,
"Tolong janganlah marah kepada cucu saya. Bukankah seorang bhikkhu memang berkepala gundul, kuku tangan dan kakinya dipotong, dan memakai jubah yang terbuat dari potongan-potongan kain, bepergian untuk menerima dana makanan dengan sebuah mangkuk yang bundar. Apa yang telah dikatakan oleh gadis muda ini benar ?"
Sang bhikkhu muda menjawab,
“Itu memang benar, tapi mengapa ia harus memaki saya karena hal tersebut ?"
Kemudian bhikkhu yang lebih tua datang kembali, tetapi mereka berdua, Visakha dan bhikkhu tua gagal mendamaikan bhikkhu muda dan sang gadis.
Tidak lama kemudian, Sang Buddha tiba dan mempelajari tentang pertengkaran tadi. Sang Buddha tahu bahwa sudah saatnya bagi bhikkhu muda untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Dalam usaha untuk membuat bhikkhu muda lebih mendengarkan kata-kata-Nya, Beliau nampaknya berpihak kepadanya dan berkata kepada Visakha,
"Visakha ada alasan apakah bagi cucumu untuk menegur putra-Ku sebagai seorang berkepala gundul hanya karena ia memiliki kepala yang gundul ? Bagaimanapun, ia menggunduli kepalanya untuk mengikuti-Ku, bukan ?"
Mendengar kata-kata ini, bhikkhu muda berlutut, memberi hormat kepada Sang Buddha, dan berkata,
"Bhante, hanya Bhante yang mengerti saya; bukanlah guru saya atau pun dermawan kaya dari vihara ini yang mengerti saya."
Sang Buddha tahu bahwa sang bhikkhu kemudian mau menerima dan Beliau berkata,
"Tersenyum dengan penuh hawa nafsu adalah tercela, adalah tidak benar dan tidak pantas untuk memiliki pikiran-pikiran jahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 167 berikut :
Janganlah mengejar sesuatu yang rendah, janganlah hidup dalam kelengahan. Janganlah menganut pandangan-pandangan salah, dan janganlah menjadi pendukung dunia.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Ketika Sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu untuk pertama kalinya Beliau tinggal di Vihara Nigrodharama. Di sana Beliau menjelaskan dhamma kepada sanak saudaranya. Raja Suddhodana berpikir bahwa Buddha Gotama, yang adalah anaknya sendiri, tidak akan pergi ke tempat lain, tetapi pasti akan datang di istananya untuk menerima dana makanan pada hari berikutnya; tetapi ia tidak dengan resmi mengundang Sang Buddha datang untuk menerima dana makanan. Bagaimanapun, pada hari beriutnya, ia menyediakan dana makanan untuk dua puluh ribu bhikkhu. Pada pagi hari itu Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan bersama dengan rombongan para bhikkhu, seperti kebiasaan semua Buddha.
Yasodhara, istri Pangeran Siddhattha sebelum Beliau meninggalkan hidup keduniawian, melihat Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan dari jendela istana. Dia memberitahukan ayah mertuanya, Raja Suddhodana, dan sang raja tergesa-gesa menghampiri Sang Buddha. Raja memberitahukan Sang Buddha bahwa untuk seorang anggota keluarga kerajaan Khattiya, berkeliling meminta makanan dari pintu ke pintu adalah memalukan. Kemudian Sang Buddha menjawab bahwa itu merupakan kebiasaan semua Buddha untuk berkeliling menerima dana makanan dari rumah ke rumah, dan oleh karena itu adalah benar dan layak bagi Beliau untuk tetap menjaga tradisi itu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 168 dan 169 berikut :
Bangun ! Jangan lengah ! Tempuhlah kehidupan benar. Barangsiapa menempuh kehidupan benar, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.
Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma dan tak menempuh cara-cara jahat. Barangsiapa hidup sesuai dengan Dhamma, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.
Ayah Buddha Gotama mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Pada suatu saat, lima ratus bhikkhu, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, pergi masuk ke hutan untuk melatih meditasi. Tetapi mereka mendapat kemajuan yang sangat sedikit, sehingga mereka kembali kepada Sang Buddha untuk menanyakan obyek meditasi yang lebih cocok. Dalam perjalanan menghadap Sang Budda, mereka melihat fatamorgana, kemudian bermeditasi tentang hal itu. Segera setelah mereka memasuki halaman vihara, terjadi angin besar, hujan besar turun, gelembung-gelembung terbentuk di permukaan tanah dan segera menghilang. Melihat gelembung-gelembung tadi, para bhikkhu merenung,
"Tubuh kami ini tidak kekal seperti gelembung-gelembung tadi,"
dan merasakan ketidak-kekalan dari kumpulan-kumpulan itu (khandha).
Sang Buddha melihat mereka dari kamar-Nya yang harum dan terus menerus memancarkan cahaya, serta menerangi batin mereka.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 170 berikut :
Barangsiapa dapat memandang dunia ini seperti ia melihat busa atau seperti ia melihat fatamorgana, maka Raja Kematian tidak dapat menemukan dirinya.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Suatu waktu, Pangeran Abhaya pulang kembali dengan kemenangan setelah berhasil memberantas sebuah pemberontakan di perbatasan negara. Raja Bimbisara sangat senang kepadanya sehingga selama tujuh hari, Abhaya yang telah memberikan kejayaan dan kemuliaan negara mendapat sambutan dan hiburan, bersama seorang gadis penari untuk menghiburnya. Pada hari terkahir, ketika si penari sedang menghibur pangeran dan teman-temannya di taman, penari itu terkena stroke yang hebat, dia terjatuh dan meninggal dunia seketika. Pangeran terkejut dan amat sangat sedih. Dengan sedih, Pangeran pergi menemui Sang Buddha untuk mencari pelipur lara. Kepadanya Sang Buddha berkata,
"O Pangeran, air mata yang engkau cucurkan melalui kelahiran yang berulang-ulang tidak dapat diukur. Kumpulan-kumpulan dunia ini (khandha) adalah tempat di mana orang bodoh terlelap di dalamnya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 171 berikut :
Marilah, pandanglah dunia ini yang seperti kereta kerajaan yang penuh hiasan, yang membuat orang bodoh terlelap di dalamnya. Tetapi bagi orang yang mengetahui, maka tak ada lagi ikatan dalam dirinya.
Sammajjana Thera mempergunakan sebagian besar waktunya untuk menyapu halaman vihara. Pada waktu itu, Revata Thera juga tinggal di vihara, tetapi tidak seperti Sammajjana, Revata Thera mempergunakan sebagian besar waktunya untuk bermeditasi atau pemusatan batin secara mendalam. Melihat kebiasaan Revata Thera, Sammajjana Thera berpikir bahwa thera-thera yang lain hanya bermalas-malasan saja menghabiskan waktunya.
Suatu hari Sammajjana pergi menemui Revata Thera dan berkata,
"Kamu sangat malas, hidup dari pemberian makanan yang diberikan dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati, tidakkah kamu berpikir kamu sewaktu-waktu harus membersihkan lantai, halaman, atau tempat-tempat lain ?"
Revata Thera menjawab,
"Teman, seorang bhikkhu tidak seharusnya menghabiskan seluruh waktunya untuk menyapu. Ia harus menyapu pagi-pagi sekali, kemudian pergi untuk menerima dana makanan. Setelah menyantap makanan, sambil merenungkan kondisi tubuhnya ia harus berusaha untuk menyadari kesunyataan tentang kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha), atau lainnya, membaca buku-buku pelajaran sampai malam tiba. Kemudian ia dapat melakukan lagi pekerjaan menyapu jika ia menginginkannya."
Sammajjana Thera dengan tekun mengikuti saran yang diberikan oleh Revata Thera dan tidak lama kemudian Sammajjana mencapai tingkat kesucian arahat.
Bhikkhu-bhikkhu lain mengetahui sampah yang tertimbun di halaman. Mereka bertanya kepada Sammajjana, mengapa ia tidak menyapu seperti biasanya, Sammajjana menjawab,
"Ketika saya tidak sadar, saya setiap saat menyapu, tetapi sekarang saya tidak lagi tidak sadar."
Ketika para bhikkhu mendengar jawaban tersebut, mereka menjadi sangsi, sehingga mereka pergi menghadap Sang Buddha, dan berkata,
"Bhante, Sammajjana Thera secara tidak benar mengatakan dirinya sendiri telah menjadi seorang arahat, ia mengatakan hal yang tidak benar."
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab,
"Sammajjana telah benar-benar mencapai tingkat kesucian arahat, ia mengatakan hal yang sebenarnya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 172 berikut :
Barang siapa yang sebelumnya pernah malas, tetapi kemudian tidak malas, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
Angulimala adalah putra seorang kepala pendeta di istana Raja Pasenadi dari Kosala. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Ketika dia sudah cukup umur, ia dikirim ke Taxila, sebuah universitas besar yang terkenal. Ahimsaka sangat pandai dan juga patuh kepada gurunya. Oleh karena itu ia disenangi oleh guru maupun istri gurunya.
Murid-murid yang lain menjadi iri hati kepadanya. Mereka pergi kepada gurunya dan dengan berbohong melaporkan bahwa Ahimsaka terlibat hubungan gelap dengan istri gurunya. Mulanya, sang guru tidak mempercayai mereka, tetapi setelah disampaikan beberapa kali dia mempercayai mereka. Dia bersumpah untuk mengenyahkan Ahimsaka.
Untuk melenyapkan anak tersebut harus dengan cara yang sangat kejam, sehingga dia memikirkan sebuah rencana yang lebih buruk daripada pembunuhan. Dia mengajarkan Ahimsaka untuk membunuh seribu orang lelaki ataupun wanita dan setelah kembali dia berjanji untuk memberikan kepada Ahimsaka pengetahuan yang tak ternilai.
Anak itu ingin memiliki pengetahuan ini, tetapi sangat segan untuk membunuh. Terpaksa dia menyetujui untuk melaksanakan apa yang telah diajarkan kepadanya.
Ahimsaka melakukan pembunuhan manusia, dan tidak pernah lalai menghitung. Dia merangkai setiap jari dari setiap orang yang dibunuhnya. Oleh karena itu dia terkenal dengan nama Angulimala, dan menjadi pengacau daerah itu.
Raja mendengar perihal perbuatan Angulimala, dan ia membuat persiapan untuk menangkapnya. Mantani, ibu dari Angulimala, mendengar maksud raja. Karena cinta pada anaknya, ia memasuki hutan, dan berusaha untuk menyelamatkan anaknya. Pada waktu itu, kalung jari di leher Angulimala telah mencapai sembilan ratus sembilan puluh sembilan jari, dan tinggal satu jari akan menjadi seribu.
Pagi-pagi sekali pada hari itu, Sang Buddha melihat Angulimala dalam penglihatan-Nya, dan berpikir bahwa jika Beliau tidak menghalangi Angulimala, yang sedang menunggu orang terakhir untuk memperoleh seribu jari, akan melihat ibunya dan bisa membunuhnya.
Karena hal itu, Angulimala akan menderita di alam neraka (niraya) yang tiada akhirnya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan di mana Angulimala berada.
Angulimala, setelah lama tidak tidur siang dan malam, sangat letih dan lelah. Pada saat yang sama, dia sangat cemas untuk membunuh orang terakhir agar jumlah seribu jari terpenuhi, dan menyempurnakan tugasnya.
Dia memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya. Ketika sedang menunggu, tiba-tiba dia melihat Sang Buddha dan mengejar-Nya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat dikejar sehingga dirinya sangat lelah. Sambil memperhatikan Sang Buddha, dia menangis,
"O bhikkhu, berhenti! Berhenti!"
dan Sang Buddha menjawab,
"Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti."
Angulimala tidak mengerti arti dari kata-kata Sang Buddha, sehingga dia bertanya,
"O bhikkhu ! Mengapa engkau berkata bahwa engkau telah berhenti dan saya belum berhenti ?"
Kemudian Sang Budddha berkata kepadanya,
"Aku berkata bahwa Aku telah berhenti, karena Aku telah berhenti membunuh semua makhluk, dan karena Aku telah mengembangkan diri-Ku dalam cinta kasih yang universal, kesabaran, dan pengetahuan yang tanpa cela. Tetapi, kamu belum berhenti membunuh atau menyiksa makhluk lain dan kamu belum mengembangkan dirimu dalam cinta kasih yang universal dan kesabaran. Karena itu, kamulah orang yang belum berhenti."
Begitu mendengar kata-kata ini dari mulut Sang Buddha, Angulimala berpkir,
"Ini adalah kata-kata orang yang bijaksana. Bhikkhu ini amat sangat bijaksana dan amat sangat berani, dia pasti adalah pemimpin para bhikkhu. Tentu, dia pasti adalah Sang Buddha sendiri ! Dia pasti datang kemari khusus untuk membuat saya menjadi sadar."
Dengan berpikir demikian, dia melemparkan senjatanya dan memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Kemudian di tempat itu juga, Sang Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu.
Ibu Angulimala mencari anaknya di dalam hutan dengan menyebut-nyebut namanya, tetapi gagal menemukannya. Ia kembali ke rumah. Ketika raja dan para prajuritnya datang untuk menangkap Angulimala, mereka menemukannya di vihara Sang Buddha.
Mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan perbuatan jahatnya dan menjadi seorang bhikkhu, raja dan para prajuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin dan tekun melatih meditasi, dalam waktu yang singkat dia mencapai tingkat kesucian arahat.
Pada suatu hari ketika Angulimala sedang berjalan untuk menerima dana makanan, dia melewati suatu tempat di mana terjadi pertengkaran antara sekumpulan orang.
Ketika mereka saling melemparkan batu-batu, beberapa batu mengenai kepala Angulimala dan melukainya. Dia berjalan pulang menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya,
"Angulimala anak-Ku ! Kamu telah melepaskan perbuatan jahat. Bersabarlah. Saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan. Perbuatan-perbuatan jahat itu bisa menyebabkan penderitaan yang tak terkira lamanya dalam alam neraka (niraya)."
Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana).
Para bhikkhu yang lain bertanya kepada Sang Buddha di manakah Angulimala akan bertumimbal lahir, Sang Buddha menjawab,
"Anak-Ku telah merealisasi kebebasan akhir (parinibbana)."
Mereka hampir tidak mempercayainya. Sehingga mereka bertanya lagi kepada Sang Buddha apakah mungkin seseorang yang sudah begitu banyak membunuh manusia dapat mencapai parinibbana. Terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab,
"Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan jahat karena dia tidak memiliki teman-teman yang baik. Tetapi kemudian, dia menemukan teman-teman yang baik dan dengan bantuan mereka serta nasehat yang baik dia telah dengan mantap dan penuh perhatian melaksanakan Dhamma. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan jahatnya telah disingkirkan oleh kebaikan (arahatta magga)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 173 berikut :
Barangsiapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan dengan jalan berbuat kebajikan, maka ia akan menerangi dunia ini bagai bulan yang bebas dari awan.
Pada akhir upacara pemberian dana makanan di Alavi, Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan dari kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha). Pada hari itu Sang Buddha menekankan hal utama yang dapat dijelaskan seperti di bawah ini :
"Hidup-Ku adalah tidak pasti; bagi-Ku, hanya kematianlah satu-satunya yang pasti. Aku pasti mati; hidup-Ku berakhir dengan kematian. Hidup tidaklah pasti; kematian adalah pasti."
Sang Buddha juga menasehati orang-orang yang mendengarkan Beliau agar selalu sadar dan berusaha untuk memahami kesunyataan tentang kelompok kehidupan (Khandha). Beliau juga berkata,
"Seperti seseorang yang bersenjatakan tongkat atau tombak telah bersiap untuk bertemu dengan musuh (misal seekor ular berbisa), demikian pula halnya seseorang yang selalu sadar terhadap kematian akan menghadapi kematian dengan penuh kesadaran.Kemudian ia akan meninggalkan dunia ini untuk mencapai tujuan kebahagiaan (sugati)."
Banyak orang yang tidak memperhatikan penjelasan di atas dengan serius, tetapi seorang gadis penenun muda berusia enam belas tahun mengerti makna penjelasan tersebut. Setelah memberikan khotbah, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana.
Selang tiga tahun kemudian, ketika Sang Buddha melihat dunia kehidupan, Beliau melihat penenun muda, dan mengetahui bahwa sudah saatnya bagi gadis itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sehingga Sang Buddha datang ke negara Alavi untuk menjelaskan Dhamma untuk kedua kalinya.
Ketika sang gadis mendengar bahwa Sang Buddha telah tiba beserta lima ratus bhikkhu, dia ingin pergi dan mendengarkan khotbah yang akan diberikan oleh Sang Buddha.
Tetapi, ayahnya juga meminta kepadanya untuk menggulung beberapa gulungan benang yang dibutuhkan dengan segera, sehingga dia dengan cepat menggulung beberapa gulungan dan membawanya kepada ayahnya.
Dalam perjalanan menuju ke tempat ayahnya berada, dia berhenti untuk sementara di samping orang-orang yang telah tiba untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha.
Ketika itu Sang Buddha mengetahui bahwa gadis penenun muda akan datang untuk mendengarkan khotbah-Nya; Beliau juga mengetahui bahwa sang gadis akan meninggal pada saat dia pergi ke tempat penenunan.
Oleh karena itu, sangatlah penting baginya untuk mendengarkan Dhamma dalam perjalanan menuju ke tempat penenunan dan bukan pada saat dia kembali. Jadi, ketika gadis penenun muda itu muncul dalam kumpulan orang-orang, Sang Buddha melihatnya.
Ketika dia melihat Sang Buddha menatapnya, dia menjatuhkan keranjangnya dan dengan penuh hormat mendekati Sang Buddha. Kemudian, Sang Buddha memberikan empat pertanyaan kepadanya dan dia menjawab semua pertanyaan tersebut. Pertanyaan dan jawaban diberikan seperti di bawah ini :
Pertanyaan 1, Dari mana asalmu ?
Jawaban 1, Saya tidak tahu.
Pertanyaan 2, Ke mana kamu akan pergi ?
Jawaban 2, Saya tidak tahu.
Pertanyaan 3, Tidakkah kau tahu ?
Jawaban 3, Ya, saya tahu.
Pertanyaan 4, Tahukah kamu ?
Jawaban 4, Saya tidak tahu, Bhante.
Mendengar jawaban itu, orang-orang berpikir bahwa gadis penenun muda sangat tidak hormat. Kemudian, Sang Buddha meminta untuk menjelaskan apa maksud jawabannya, dan diapun menjelaskan.
"Bhante! Engkau tahu bahwa saya datang dari rumah saya; saya mengartikan pertanyaan pertama anda, anda bermaksud untuk menanyakan dari kehidupan yang lampau manakah saya datang. Karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu."
Maksud pertanyaan kedua, pada kehidupan yang akan datang manakah akan saya tempuh setelah ini; oleh karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu."
Maksud pertanyaan ketiga, apakah saya tidak tahu bahwa suatu hari saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, "Ya, saya tahu."
Maksud pertanyaan terakhir apakah saya tahu kapan saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu."
Sang Buddha sangat puas dengan penjelasannya dan berkata kepada orang-orang hadir,
"Banyak dari kalian yang mungkin tidak mengerti dengan jelas maksud dari jawaban yang diberikan oleh gadis penenun muda. Mereka yang bodoh berada dalam kegelapan, seperti orang buta."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 174 berikut :
Dunia ini terselubung kegelapan, dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dengan jelas. Bagaikan burung-burung kena jerat, hanya sedikit yang dapat melepaskan diri; demikian pula hanya sedikit orang yang dapat pergi ke alam surga.
Gadis penenun muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat penenunan. Ketika dia sampai di sana, ayahnya tertidur di atas kursi peralatan tenun.
Saat ayahnya terbangun dengan tiba-tiba, dia dengan tidak sengaja menarik gulungan dan ujung gulungan menusuk tepat di dada sang gadis. Gadis penenun muda meninggal dunia di tempat itu juga, dan ayahnya sangat sedih.
Dengan berlinangan air mata ayah gadis itu pergi menghadap Sang Buddha dan memohon agar Sang Buddha menerimanya sebagai bhikkhu. Kemudian, ia menjadi seorang bhikkhu, dan tidak lama setelah itu mencapai tingkat kesucian arahat.
Suatu saat tiga puluh bhikkhu datang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka masuk, Y.A. Ananda, yang berada di samping Sang Buddha, meninggalkan ruangan dan menunggu di luar. Setelah beberapa waktu, Ananda Thera masuk, tetapi dia tidak menemukan seorang bhikkhu pun.
Sehingga, dia bertanya kepada Sang Buddha ke mana para bhikkhu itu telah pergi. Kemudian Sang Buddha menjawab,
"Ananda, kesemua bhikkhu itu, setelah mendengar khotbah saya, telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan dengan kemampuan batin luar biasa, mereka meninggalkan ruang ini dengan terbang di udara."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 175 berikut :
Kawanan angsa terbang menuju matahari, orang-orang yang memiliki kekuatan gaib terbang di udara. Orang bijaksana berjalan menuju kesucian setelah menaklukkan Mara beserta bala tentaranya.
Pada saat Sang Buddha pergi mengajarkan dhamma, banyak orang datang berduyun-duyun kepada-Nya. Pertapa keyakinan lain mengetahui bahwa para pengikut mereka menjadi berkurang. Mereka menjadi sangat marah, sehingga mereka membuat sebuah rencana yang akan merusak nama baik Sang Buddha.
Mereka memanggil Cincamanavika yang sangat cantik, murid kesayangan mereka, dan berkata kepadanya,
"Jika dalam hatimu terdapat keyakinan pada kami, tolonglah kami. Buatlah Samana Gotama menjadi malu."
Cincamanavika menyetujui untuk melaksanakan.
Pada malam itu, dia mengambil beberapa bunga dan pergi berkunjung ke Vihara Jetavana. Ketika orang-orang bertanya padanya ke mana dia akan pergi, dia menjawab,
"Apa gunanya kalian tahu ke mana saya akan pergi ?"
Dia lalu bermalam di tempat para pertapa lain yang berada dekat Vihara Jetavana, dan dia akan kembali pagi-pagi sekali agar kelihatan bahwa dia telah bermalam di vihara Jetavana. Ketika ditanya, dia akan menjawab,
"Saya menghabiskan malam hari dengan Samana Gotama di kamar yang harum di Vihara Jetavana."
Setelah lewat tiga atau empat bulan, dia membungkus perutnya dengan kain agar dia kelihatan hamil. Setelah delapan atau sembilan bulan, dia membungkus perutnya dengan memasukkan papan kayu tipis ke dalamnya; ia juga memukuli paha dan kakinya agar kelihatan bengkak, berpura-pura merasa lelah dan lesu.
Dengan demikian, ia menggambarkan seorang wanita hamil yang sungguh-sungguh dalam kehamilan yang besar. Kemudian, pada malamnya, ia pergi ke Vihara Jetavana untuk menghadap Sang Buddha.
Sang Buddha sedang menjelaskan Dhamma kepada sekumpulan bhikkhu dan umat awam. Melihat Beliau mengajar di atas mimbar, ia menuduh Sang Buddha demikian,
"O kamu Samana besar ! Kamu hanya berkhotbah kepada orang lain. Saya sekarang hamil karena kamu, dan kamu tidak melakukan apa-apa untuk persalinan saya. Kamu hanya tahu bagaimana menyenangkan dirimu sendiri !"
Sang Buddha menghentikan khotbahnya untuk sementara dan berkata kepadanya,
"Saudari, hanya kamu dan saya yang tahu apakah kamu berkata yang sebenarnya atau tidak,"
dan Cincamanavika menjawab,
"Ya, kamu benar, bagaimana orang lain tahu apa yang hanya kamu dan saya ketahui ?"
Pada saat itu juga, Sakka, raja para dewa, mengetahui masalah yang terjadi di Vihara Jetavana, sehingga ia mengirim empat orang dewanya dalam bentuk tikus-tikus besar. Keempat ekor tikus tersebut pergi ke bawah pakaian Cincamanavika dan menggigit putus benang yang mengikat erat papan kayu di sekeliling perutnya.
Pada saat benang tersebut putus, papan kayu terjatuh, memotong bagian depan kakinya. Akhirnya, tipu muslihat Cincamanavika terbongkar, dan banyak orang yang berkerumun berteriak dengan marah,
"Oh kamu perempuan jahat ! Seorang pembohong dan penipu ! Beraninya kamu menuduh Guru Agung kami !"
Beberapa dari mereka meludahinya dan menggiringnya keluar. Ia lari secepat yang ia bisa, dan ketika ia telah pergi agak jauh bumi terbelah dan retak, ia tertelan masuk ke dalam bumi.
Pada hari berikutnya, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang Cincamanavika, Sang Buddha mendekati mereka dan berkata,
"Para bhikkhu, seseorang yang tidak takut untuk berkata bohong, dan seseorang yang tidak peduli apa yang akan terjadi pada kehidupan yang akan datang, tidak akan ragu-ragu untuk berbuat jahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 176 berikut :
Orang yang melanggar salah satu Dhamma (sila keempat, yang selalu berkata bohong), yang tidak mempedulikan dunia mendatang, maka tak ada kejahatan yang tidak dilakukannya.
(10) Kisah Pemberian Dana Yang Tiada Taranya
Suatu saat raja memberi dana makanan kepada Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya dalam jumlah besar. Saingan-saingannya, yang bersaing dengannya, telah mengatur upacara pemberian dana yang lainnya dalam jumlah yang lebih besar dari raja. Jadi, raja dan para saingannya bersaing dalam pemberian dana.
Akhirnya, Ratu Mallika memikirkan sebuah rencana. Untuk melaksanakan rencana ini, ia meminta raja membangun sebuah paviliun besar. Berikutnya, ia meminta lima ratus buah payung putih dan lima ratus ekor gajah jinak. Kelima ratus ekor gajah tersebut akan menahan kelima ratus buah payung putih memayungi lima ratus bhikkhu.
Di tengah paviliun, mereka membuat sepuluh perahu yang telah diisi dengan wewangian dan dupa. Di sana juga terdapat dua ratus lima puluh orang putri, yang akan mengipasi kelima ratus orang bhikkhu tersebut.
Sedangkan saingan-saingan raja tidak memiliki putri-putri, payung-payung putih, ataupun gajah-gajah, mereka tidak lagi dapat bersaing dengan raja. Ketika semua persiapan telah selesai dilaksanakan, dana makanan diberikan. Setelah bersantap raja mempersembahkan seluruh benda yang berada di paviliun, yang seharga empat belas crores.
Pada saat itu, dua menteri raja hadir. Salah seorang yang bernama Junha sangat senang dan memuji kemurahan hati raja atas pemberian dana kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Ia juga mengingatkan bahwa pemberian yang sebesar itu hanya dapat dilakukan oleh seorang raja. Ia sangat senang karena raja akan membagi kebaikan atas perbuatan baiknya kepada seluruh makhluk.
Dengan kata lain, menteri Junha bergembira atas kemurahan hati raja yang tiada taranya. Di lain pihat, menteri Kala berpikir bahwa raja hanya menghambur-hamburkan uang, dengan memberikan empat belas crores dalam sehari, dan karena setelah itu para bhikkhu akan kembali ke vihara dan tidur.
Setelah bersantap, Sang Buddha menatap kepada orang-orang yang hadir dan mengetahui bagaimana perasaan menteri Kala. Kemudian, Beliau berpikir bahwa jika ia menyampaikan khotbah panjang tentang pengertian, Kala akan bertambah kecewa, dan akibatnya akan lebih menderita dalam kehidupannya yang akan datang.
Jadi, dengan perasaan kasihan terhadap Kala, Sang Buddha hanya menyampaikan khotbah singkat dan kembali ke Vihara Jetavana. Raja mengharapkan khotbah panjang tentang pengertian, oleh karena itu ia menjadi sangat sedih karena Sang Buddha hanya memberikan khotbah singkat. Raja berpikir bahwa ia telah gagal melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, dan akhirnya ia pergi ke vihara.
Begitu melihat raja, Sang Buddha berkata,
"Raja yang agung ! Anda seharusnya bergembira karena berhasil mempersembahkan dana yang tiada taranya (asadisadana). Sebuah kesempatan yang jarang sekali datangnya; dan datang hanya sekali selama kemunculan setiap Buddha. Tetapi menteri Kala merasa bahwa hal itu hanyalah sebuah pemborosan, dan sama sekali tidak berharga. Jadi, jika Saya memberikan sebuah khotbah panjang, ia akan menjadi sangat kecewa dan tidak senang, dan akibatnya, ia akan sangat menderita pada kehidupannya yang sekarang maupun pada kehidupan-kehidupan berikutnya. Itulah mengapa Saya berkhotbah sangat singkat sekali."
Kemudian Sang Buddha menambahkan,
"Raja yang agung ! Adalah suatu kebodohan tidak bergembira atas kemurahan hati yang telah diberikan oleh orang lain dan akan pergi ke alam yang rendah. Orang bijaksana bergembira atas kemurahan hati orang lain, dan melalui pengertian, mereka saling membagi keuntungan kebaikan dengan yang lainnya dan akan pergi ke tempat kediaman para dewa."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 177 berikut :
Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa. Orang bodoh tidak memuji kemurahan hati. Akan tetapi orang bijaksana senang dalam memberi, dan karenanya ia akan bergembira di alam berikutnya.
(11) Kisah Kala, Putra Anathapindika
Kala, putra Anathapindika, selalu menghindar ketika Sang Buddha dan para bhikkhu rombongannya datang berkunjung ke rumahnya. Anathapindika khawatir jika putranya tetap bersikap seperti itu, ia akan terlahir kembali di salah satu alam yang rendah (apaya). Ia membujuk putranya dengan menjanjikannya sejumlah uang.
Anathapindika berjanji untuk memberikan sejumlah uang jika putranya berkenan pergi ke vihara dan berdiam di sana selama sehari pada saat hari uposatha. Putranya pergi ke vihara dan pulang kembali pada esok pagi harinya, tanpa mendengarkan khotbah-khotbah. Ayahnya memberikan nasi kepadanya, tetapi daripada mengambil makanannya, ia terlebih dahulu menuntut untuk diberi uang.
Pada hari berikutnya, sang ayah berkata pada putranya,
"Putraku, jika kamu mempelajari sebait syair dari Sang Buddha, saya akan memberimu sejumlah uang yang lebih banyak pada saat kau kembali."
Kemudian Kala pergi ke vihara, dan mengatakan kepada Sang Buddha bahwa ia ingin mempelajari sesuatu. Sang Buddha memberikannya sebuah syair pendek untuk dihafal luar kepala; dalam waktu yang singkat Beliau merasa bahwa si pemuda tidak mudah mengingatnya. Jadi, si pemuda harus mengulangi satu syair berulang kali. Karena ia harus mengulanginya berulang kali, pada akhirnya ia mengerti penuh tentang Dhamma dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Pagi-pagi sekali pada hari berikutnya, ia mengikuti Sang Buddha dan para bhikkhu menuju ke rumah orang tuanya. Tetapi pada hari itu, ia dengan diam-diam berharap,
"Saya berharap ayahku tidak akan memberikan kepadaku sejumlah besar uang pada saat kehadiran Sang Buddha nanti. Saya tidak berharap Sang Buddha mengetahui bahwa saya berdiam di vihara hanya demi uang."
Ayahnya memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu, dan juga kepadanya. Kemudian, ayahnya membawa sejumlah besar uang, dan menyuruh Kala untuk mengambil uang tersebut. Dengan terkejut Kala menolak. Ayahnya memaksa Kala untuk menerima uang itu tetapi Kala tetap menolak. Kemudian, Anathapindika berkata kepada Sang Buddha,
"Bhante, putra saya benar-benar berubah; sekarang ia berkelakuan sangat menyenangkan."
Kemudian ia menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia membujuk putranya dengan uang agar putranya berkenan pergi ke vihara dan berdiam di sana pada hari uposatha, serta untuk mempelajari beberapa syair Dhamma.
Sang Buddha menjawab,
"Anathapindika ! Hari ini, putramu telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, yang lebih baik daripada kekayaan kerajaan duniawi atau alam para dewa maupun alam para brahma."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 178 berikut :
Ada yang lebih baik daripada kekuasaan mutlak atas bumi, daripada pergi ke surga, atau daripada memerintah seluruh dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang suci yang telah
Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb13.htm
Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar