Sepuluh tahun setelah Suster Teresa meninggal, akhirnya sebuah buku yang memuat surat-surat Teresa dengan judul "Come Be My Light" diterbitkan. Dalam perjalanan spiritualnya, Teresa sampai pada akhir perjalanan spiritual yang justru sunyi dan kosong. Dalam beberapa suratnya, Teresa mengeluh, semakin ia menginginkan penyatuan mistis dengan Yesus, Yesus semakin menjauh berpaling darinya. Teresa juga acapkali menyebut Tuhan sebagai "the Absent One". Berikut adalah beberapa cuplilan surat-surat Teresa.
"Jesus has a very special love for you, but as for me - the silence and emptiness is so great - that I look and do not see, listen and do not hear"
Ujar Bunda Teresa kepada Pendeta Michael Van Der Peet, September 1979,
"The more I want Him, the less I am wanted. Such a deep longing for God - and ... repulsed - empty - no faith - no love - no zeal. The savings of souls hold no attraction - Heaven means nothing - pray for me please that I keep smiling at Him in spite of everything"
Surat Teresa kepada Perier, 1955
"What do I labour for? if there be no God - there can be no soul – if there is no soul then Jesus, You are else not true."
-- Teresa, 1959
Rahasia Kehidupan Suster Teresa
Surat-surat Suster Teresa yang mengungkapkan krisis iman dari seorang tokoh yang sangat dicintai publik selama lebih dari 50 tahun
Oleh: David Van Biema, Dimuat dalam majalah Times edisi 3 September 2007
DERITA SUSTER TERESA. Sepuluh tahun setelah Teresa meninggalkan dunia, surat-surat rahasianya mengungkapkan bahwa ia menghabiskan hampir 50 tahun dari hidupnya tanpa merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
Apakah makna pengalaman Suster Teresa mengajarkan kita nilai dari suatu kegoyahan iman?
Note penyunting:
atau harga yang dibayar dari mempertahankan keadaan?
”Yesus memiliki rasa cinta yang sangat khusus padamu. [Tapi] untukku – kesunyian dan kesunyaan (emptiness) begitu besar – aku memandang tapi tidak melihat, mendengarkan tetapi tidak mendengar [apapun]”, Bunda Teresa kepada Pendeta Michael Van Der Peet, September 1979
Pada tanggal 11 Desember 1979, Bunda Teresa, "Santa penolong orang miskin" dan pemilik dari organisasi kemanusiaan Missionary of Charity, pergi ke kota Oslo. dengan mengenakan pakaiannya yang khas, sari India dengan garis biru dan hanya mengenakan sandal walaupun suhu di bawah nol derajat, wanita yang memiliki nama asli Agnes Bojaxhiu menerima salah satu penghargaan dunia paling tinggi, Hadiah Perdamaian Nobel.
Bunda Teresa, telah berkembang dari seorang wanita yang dianggap kehilangan akal sehat di Calcutta pada tahun 1948 menjadi sebuah mercu suar dunia yang menyuarakan kegiatan kemanusiaan. Dalam pidatonya, Ia menyampaikan pesan kepada dunia mengenai apa yang dunia harapkan dari seorang Bunda Teresa.
"Tidaklah cukup bagi kita untuk berkata, Aku mencintai Tuhan, tetapi aku tidak mencintai tetanggaku", ujar Bunda Teresa,
“Sejak mengalami penderitaan di Salib, Tuhan Yesus telah menjadikan diriku menjadi "yang kelaparan" – "yang tidak memiliki pakaian" – "yang tidak memiliki tempat tinggal".
“Apa yang diharapkan Yesus dalam derita rasa laparNya”, ujar Bunda Teresa, “adalah apa yang harus ditemukan oleh kita semua, untuk mengurangi deritaNya.”
Teresa mengutuk aborsi dan generasi muda yang kecanduan obta-obatan, khususnya di Barat. Di penghujung pidatonya, Teresa menyarankan agar pada hari natal mendatang, kita seharusnya mengingatkan dunia bahwa "kebahagiaan yang memancar adalah nyata" karena Kristus ada di mana – mana – Kristus ada di dalam hati kita, Kristus datang sebagai orang miskin yang kita temui, Kristus dalam senyum yang kita berikan dan senyum yang kita terima.
Kembali ke tiga bulan sebelumnya, dalam sebuah surat kepada seorang kawan spiritualnya Pendeta Michael Van Der Peet, surat yang baru sekarang dibuka untuk publik, Teresa menulis dengan keakraban yang berbeda yang jenuh dengan Kristus. Kristus yang tidak hadir.
"Yesus memiliki rasa cinta yang sangat khusus padamu.", ujar Teresa kepada Van Der Peet."
“[Tapi] untukku – kesunyian dan kesunyaan (emptiness) begitu besar – aku memandang tapi tidak melihat, mendengarkan tetapi tidak mendengar [apapun] – lidahku bergetar [dalam doa] tetapi tidak berucap sepatah kata pun…… Aku ingin kau berdoa untukku, bahwa aku membiarkanNya memiliki tangan yang bebas.”
Kedua pernyataan tersebut hanya berbeda waktu 11 minggu namun sangatlah bertolak belakang. Pernyataan yang pertama adalah pernyataan tipikal dari seorang wanita sebagaimana dunia menilainya sedangkan pernyataan yang kedua seolah-olah muncul dari sebuah drama eksistensialis tahun 1950-an.
Kedua pernyataan ini menunjukkan suatu gambaran kontradiksi diri yang mengejutkan bahwa salah satu figur kemanusiaan terbesar dalam 100 tahun terakhir, yang tindakannya sangat mengharukan, yang begitu sering terlihat dalam kesunyian diri dan dalam doa yang begitu damai sungguh tampak sangat erat kedekatannya dengan Tuhan, namun dilain sisi, menjalani kenyataan spiritual yang berbeda, bagai menjalani hidup di gurun yang gersang di mana Sang Kuasa telah pergi.
Dan sesungguhnya, hal itu benar-benar terjadi!
Sebuah buku yang diberi judul Bunda Teresa: Datanglah Menjadi CahayaKu, merupakan kumpulan surat-surat antara Teresa dengan pastur pengakuan dosa selama periode lebih dari 66 tahun. Buku itu menceritakan pengalaman spiritual yang kontras dengan kehidupan yang dikenal dunia melalui perbuatannya.
Surat-surat tersebut, yang sebagian disimpan, walau tidak mendapatkan perkenan dari Teresa (Teresa telah meminta agar surat-suratnya dimusnahkan namun ditolak oleh otoritas gereja), mengungkapkan bahwa paruh terakhir dari hampir separuh abad hidupnya, Teresa tidak merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya - atau, sebagaimana ditulis oleh editor dan penghimpun surat-surat untuk buku tersebut, Pendeta Brian Kolodiejchuk, "[Teresa tidak merasakanNya] baik dalam hatinya maupun dalam ekaristi".
Hilangnya Tuhan dalam hidup Teresa tampaknya bermula sejak ia mulai melayani kaum miskin di Calcutta – kecuali untuk suatu masa 5 minggu pada tahun 1959 dan tidak pernah kembali.
Meskipun acapkali tampak gembira di depan publik, dalam surat-suratnya, Teresa hidup dengan penderitaan yang dalam dan tiada henti. Dalam lebih dari 40 surat yang belum pernah dipublikasikan, Teresa mengeluh akan "kekeringan", "kegelapan", "kesepian" dan "siksaan" yang dialaminya. Ia membandingkan penderitaannya dengan alam neraka yang pada suatu titik telah membuatnya ragu akan keberadaan surga, bahkan Tuhan.
Teresa sangat menyadari kesenjangan antara keadaan dirinya dan di hadapan publik. "Senyum itu", menurut Teresa, "adalah sebuah topeng atau sebuah jubah yang menutupi segalanya". Demikian pula, ia sering kali mempertanyakan dirinya apakah ia sedang menipu diri sendiri dengan kata-kata?
"Aku berucap seolah-olah hatiku sangat penuh cinta kepada Tuhan – cinta yang begitu halus dan pribadi", Ia menjelaskan kepada seorang penasihat.
"Jika anda berada [di sana], anda akan berkata, Begitu Munafik."
Menurut Pendeta James Martin, editor majalah Jesuit America dan pengarang buku My Life with the Saints, sebuah buku yang membahas keraguan Teresa pada tahun 2003 dalam uraiannya yang lebih singkat,
"Saya tidak pernah membaca kisah kehidupan seorang suci di mana “Sang Santa” menghadapi kegelapan batin yang begitu gulita. Tak seorangpun yang tahu betapa menderitanya Teresa."
Menurut Kolodiejchuk, editor Datanglah Menjadi CahayaKu,
"Saya membacakan satu surat kepada para Saudari [dari Missionary of Charity], dan mereka hanya dapat terpana. Ini akan memberikan seluruh dimensi baru akan pemahaman orang akan dirinya."
Buku tersebut bukanlah merupakan hasil karya beberapa wartawan investigasi yang tidak religius yang mengacak-acak tempat sampah untuk mencari berkas-berkas milik Teresa. Kolodiejchuk, anggota senior Missionary of Charity, adalah Postulator (Postulator adalah seseorang yang mengajukan seseorang untuk dinyatakan sebagai Santo dalam Gereja Katolik), yang bertanggung jawap atas petisi untuk pengangkatan Teresa sebagai Santa dan mengumpulkan materi pendukung. (Sampai sejauh ini, Teresa telah dinyatakan terberkati, satu langkah sebelum menjadi Santa). Surat –surat tersebut dikumpulkan dalam rangka proses tersebut.
“Gereja mengantisipasi periode-periode tanpa perkembangan spiritual tersebut.” Jelasnya,
“mistik spanyol Santo Yohanes Salib pada abad 16, menggunakan istilah "malam yang gelap" dari batin untuk menggambarkan suatu karakteristik dari tahapan dalam perkembangan para tokoh spiritual. Kegelapan batin Teresa mungkin merupakan kasus yang paling ekstensif yang pernah dicatat."
(periode kegelapan batin Santo Paulus Salib berlangsung selama 45 tahun, walau ia akhirnya terpulihkan.).
Note penyunting:
Paulus-pun merasakan derita yang sama menjelang akhir hayatnya.
Kolodiejchuk melihatnya dalam konteks Santo Yohanes, “kegelapan dalam iman. Teresa menemukan jalan, dimulai sejak awal tahun 1960, untuk hidup bersama hal itu dan Ia tidak mengabaikan kepercayaannya maupun pekerjaannya.” Kolodiejchuk menunjukkan bahwa buku tersebut merupakan bukti akan kegigihan yang diisi oleh iman, yang menurutnya, adalah tindakan Teresa yang paling heroik.
Note Penyunting:
Teresa, merasakan bagaikan berada dalam sebuah perahu tanpa layar terkembang yang terombang-ambing diterpa gelombang, tanpa dapat melepas kan diri dari libatan itu.
Dua tokoh Katolik yang sangat berbeda memprediksi bahwa buku ini akan menjadi buku yang sangat penting. Pendeta Matthew Lamb, chairman dari Universitas Ave Maria jurusan teologi di Florida, berpendapat bahwa buku ini akan sejajar dengan buku Pengakuan karya Santa Augustin dan Gunung Tujuh Tingkatan karya Thomas Merton , sebagai otobiografi kebangkitan spiritual. Pendeta James Martin, editor majalah Jesuit, yang lebih liberal, mengatakan buku tersebut sebagai bentuk pelayanan baru dari Bunda Teresa, sebuah pelayanan dari bagian dalam kehidupannya.", dan mengatakan,
"Buku ini akan diingat sama pentingnya dengan pelayannya bagi kaum miskin. Buku ini akan menjadi bentuk pelayanan bagi orang-orang yang mengalami keraguan, ketidakhadiran Tuhan dalam hidup mereka. Dan tahukan anda siapa mereka? Kita semua. Orang Ateis, orang yang ragu, pencari, orang yang percaya, semua orang."
Tidak semua penganut Ateis dan orang yang ragu akan setuju. Baik Kolodiejchuk maupun Martin mengasumsikan ketidakmampuan Teresa untuk melihat Kristus dalam hidupnya bukan berarti Kristus tidak hadir. Pada hakikatnya, mereka melihat ketidakhadiranNya sebagai bagian dari berkah ilahi yang memungkinkan Teresa melakukan pekerjaan besar.
Akan tetapi, bagi banyak penganut paham Ateis di Amerika Serikat, argumen ini tampak tidak masuk akal. Mereka akan melihat Teresa dalam buku ini lebih sebagai wanita yang sering digambarkan dalam lagu-lagu country dan daerah barat Amerika Serikat yang masih tetap setia menunggu suami mereka selama 30 tahun meskipun suami mereka pergi membeli rokok dan tidak pernah kembali. Menurut Christopher Hitchens, pengarang The Missionary Position, polemik seputar Teresa, dan perwujudan Atheisme yang sedang populer, buku bertajuk God Is Not Great,
Note penyunting:
Ia merasakan bahwa ia telah berada pada pusaran pertentangan antar belenggu, yaitu pujian keagungan dan rutinitas pekerjaan yang semakin melibatnya untuk memberikan yang terbaik sebagai balasan karena telah membesarkan namanya, kekhawatiran apa kata dunia dan juga rekan sejawatnya apabila ia melepaskan itu semua itu terus berputar. Hal itu berjalan dengan sangat memedihkan baginya sampai dengan akhir hayatnya.
"Teresa tidak dapat dikecualikan lagi dari kenyataan bahwa agama adalah rekaan manusia, ia tidak terkecuali dari orang lain, dan upayanya untuk memperoleh kesembuhan [spiritual] dengan cara memperdalam imannya hanya akan memperdalam lubang yang digali untuk dirinya sendiri."
Note Penyunting:
atau Teresa merasakan adanya kekosongan hat atas hasil pencapaian dari pekerjaan “besarnya” dan keagungan yang di pujikan kepada beliau
Di lain pihak, bagi orang-orang yang sudah terbiasa dengan semangat luar biasa Bunda yang tersenyum, dapat mendiagnosa kondisinya bukan sebagai berkah Tuhan tetapi sebagai upaya alam bawah sadar dalam bentuk kerendahan hati yang paling radikal: Teresa menghukum dirinya sendiri dengan figur yang lemah untuk menyeimbangkan keberhasilannya yang gemilang."
Datanglah Menjadi CahayaKu adalah sesuatu yang langka, sebuah otobiografi yang disusun setelah Teresa meninggal, yang dapat mengakibatkan pertimbangan ulang atas figur seorang publik – dengan satu cara atau lainnya. Buku itu membuka pertanyaan tentang Tuhan dan Iman, mesin penggerak di balik pencapaian yang gemilang, ketabahan dalam cinta, keilahian dan manusia.
Kenyataan bahwa surat-surat itu tidak disusun dalam bentuk yang terstruktur dan dengan maksud tertentu tetapi sebagai kumpulan catatan-catatan yang justru akan semakin meyakinkan pembaca bahwa surat-surat tersebut benar-benar asli – sangat mengejutkan, menyentuh kehidupan sejati dalam diri seorang Santa di jaman modern.
Kiriman: Ardhy Ryadi [ardhyryadi@gmail.com]
Disunting ulang oleh: Wirajhana.
Versi lain:
"Jesus has a very special love for you, but as for me - the silence and emptiness is so great - that I look and do not see, listen and do not hear"
Ujar Bunda Teresa kepada Pendeta Michael Van Der Peet, September 1979,
"The more I want Him, the less I am wanted. Such a deep longing for God - and ... repulsed - empty - no faith - no love - no zeal. The savings of souls hold no attraction - Heaven means nothing - pray for me please that I keep smiling at Him in spite of everything"
Surat Teresa kepada Perier, 1955
"What do I labour for? if there be no God - there can be no soul – if there is no soul then Jesus, You are else not true."
-- Teresa, 1959
Rahasia Kehidupan Suster Teresa
Surat-surat Suster Teresa yang mengungkapkan krisis iman dari seorang tokoh yang sangat dicintai publik selama lebih dari 50 tahun
Oleh: David Van Biema, Dimuat dalam majalah Times edisi 3 September 2007
DERITA SUSTER TERESA. Sepuluh tahun setelah Teresa meninggalkan dunia, surat-surat rahasianya mengungkapkan bahwa ia menghabiskan hampir 50 tahun dari hidupnya tanpa merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
Apakah makna pengalaman Suster Teresa mengajarkan kita nilai dari suatu kegoyahan iman?
Note penyunting:
atau harga yang dibayar dari mempertahankan keadaan?
”Yesus memiliki rasa cinta yang sangat khusus padamu. [Tapi] untukku – kesunyian dan kesunyaan (emptiness) begitu besar – aku memandang tapi tidak melihat, mendengarkan tetapi tidak mendengar [apapun]”, Bunda Teresa kepada Pendeta Michael Van Der Peet, September 1979
Pada tanggal 11 Desember 1979, Bunda Teresa, "Santa penolong orang miskin" dan pemilik dari organisasi kemanusiaan Missionary of Charity, pergi ke kota Oslo. dengan mengenakan pakaiannya yang khas, sari India dengan garis biru dan hanya mengenakan sandal walaupun suhu di bawah nol derajat, wanita yang memiliki nama asli Agnes Bojaxhiu menerima salah satu penghargaan dunia paling tinggi, Hadiah Perdamaian Nobel.
Bunda Teresa, telah berkembang dari seorang wanita yang dianggap kehilangan akal sehat di Calcutta pada tahun 1948 menjadi sebuah mercu suar dunia yang menyuarakan kegiatan kemanusiaan. Dalam pidatonya, Ia menyampaikan pesan kepada dunia mengenai apa yang dunia harapkan dari seorang Bunda Teresa.
"Tidaklah cukup bagi kita untuk berkata, Aku mencintai Tuhan, tetapi aku tidak mencintai tetanggaku", ujar Bunda Teresa,
“Sejak mengalami penderitaan di Salib, Tuhan Yesus telah menjadikan diriku menjadi "yang kelaparan" – "yang tidak memiliki pakaian" – "yang tidak memiliki tempat tinggal".
“Apa yang diharapkan Yesus dalam derita rasa laparNya”, ujar Bunda Teresa, “adalah apa yang harus ditemukan oleh kita semua, untuk mengurangi deritaNya.”
Teresa mengutuk aborsi dan generasi muda yang kecanduan obta-obatan, khususnya di Barat. Di penghujung pidatonya, Teresa menyarankan agar pada hari natal mendatang, kita seharusnya mengingatkan dunia bahwa "kebahagiaan yang memancar adalah nyata" karena Kristus ada di mana – mana – Kristus ada di dalam hati kita, Kristus datang sebagai orang miskin yang kita temui, Kristus dalam senyum yang kita berikan dan senyum yang kita terima.
Kembali ke tiga bulan sebelumnya, dalam sebuah surat kepada seorang kawan spiritualnya Pendeta Michael Van Der Peet, surat yang baru sekarang dibuka untuk publik, Teresa menulis dengan keakraban yang berbeda yang jenuh dengan Kristus. Kristus yang tidak hadir.
"Yesus memiliki rasa cinta yang sangat khusus padamu.", ujar Teresa kepada Van Der Peet."
“[Tapi] untukku – kesunyian dan kesunyaan (emptiness) begitu besar – aku memandang tapi tidak melihat, mendengarkan tetapi tidak mendengar [apapun] – lidahku bergetar [dalam doa] tetapi tidak berucap sepatah kata pun…… Aku ingin kau berdoa untukku, bahwa aku membiarkanNya memiliki tangan yang bebas.”
Kedua pernyataan tersebut hanya berbeda waktu 11 minggu namun sangatlah bertolak belakang. Pernyataan yang pertama adalah pernyataan tipikal dari seorang wanita sebagaimana dunia menilainya sedangkan pernyataan yang kedua seolah-olah muncul dari sebuah drama eksistensialis tahun 1950-an.
Kedua pernyataan ini menunjukkan suatu gambaran kontradiksi diri yang mengejutkan bahwa salah satu figur kemanusiaan terbesar dalam 100 tahun terakhir, yang tindakannya sangat mengharukan, yang begitu sering terlihat dalam kesunyian diri dan dalam doa yang begitu damai sungguh tampak sangat erat kedekatannya dengan Tuhan, namun dilain sisi, menjalani kenyataan spiritual yang berbeda, bagai menjalani hidup di gurun yang gersang di mana Sang Kuasa telah pergi.
Dan sesungguhnya, hal itu benar-benar terjadi!
Sebuah buku yang diberi judul Bunda Teresa: Datanglah Menjadi CahayaKu, merupakan kumpulan surat-surat antara Teresa dengan pastur pengakuan dosa selama periode lebih dari 66 tahun. Buku itu menceritakan pengalaman spiritual yang kontras dengan kehidupan yang dikenal dunia melalui perbuatannya.
Surat-surat tersebut, yang sebagian disimpan, walau tidak mendapatkan perkenan dari Teresa (Teresa telah meminta agar surat-suratnya dimusnahkan namun ditolak oleh otoritas gereja), mengungkapkan bahwa paruh terakhir dari hampir separuh abad hidupnya, Teresa tidak merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya - atau, sebagaimana ditulis oleh editor dan penghimpun surat-surat untuk buku tersebut, Pendeta Brian Kolodiejchuk, "[Teresa tidak merasakanNya] baik dalam hatinya maupun dalam ekaristi".
Hilangnya Tuhan dalam hidup Teresa tampaknya bermula sejak ia mulai melayani kaum miskin di Calcutta – kecuali untuk suatu masa 5 minggu pada tahun 1959 dan tidak pernah kembali.
Meskipun acapkali tampak gembira di depan publik, dalam surat-suratnya, Teresa hidup dengan penderitaan yang dalam dan tiada henti. Dalam lebih dari 40 surat yang belum pernah dipublikasikan, Teresa mengeluh akan "kekeringan", "kegelapan", "kesepian" dan "siksaan" yang dialaminya. Ia membandingkan penderitaannya dengan alam neraka yang pada suatu titik telah membuatnya ragu akan keberadaan surga, bahkan Tuhan.
Teresa sangat menyadari kesenjangan antara keadaan dirinya dan di hadapan publik. "Senyum itu", menurut Teresa, "adalah sebuah topeng atau sebuah jubah yang menutupi segalanya". Demikian pula, ia sering kali mempertanyakan dirinya apakah ia sedang menipu diri sendiri dengan kata-kata?
"Aku berucap seolah-olah hatiku sangat penuh cinta kepada Tuhan – cinta yang begitu halus dan pribadi", Ia menjelaskan kepada seorang penasihat.
"Jika anda berada [di sana], anda akan berkata, Begitu Munafik."
Menurut Pendeta James Martin, editor majalah Jesuit America dan pengarang buku My Life with the Saints, sebuah buku yang membahas keraguan Teresa pada tahun 2003 dalam uraiannya yang lebih singkat,
"Saya tidak pernah membaca kisah kehidupan seorang suci di mana “Sang Santa” menghadapi kegelapan batin yang begitu gulita. Tak seorangpun yang tahu betapa menderitanya Teresa."
Menurut Kolodiejchuk, editor Datanglah Menjadi CahayaKu,
"Saya membacakan satu surat kepada para Saudari [dari Missionary of Charity], dan mereka hanya dapat terpana. Ini akan memberikan seluruh dimensi baru akan pemahaman orang akan dirinya."
Buku tersebut bukanlah merupakan hasil karya beberapa wartawan investigasi yang tidak religius yang mengacak-acak tempat sampah untuk mencari berkas-berkas milik Teresa. Kolodiejchuk, anggota senior Missionary of Charity, adalah Postulator (Postulator adalah seseorang yang mengajukan seseorang untuk dinyatakan sebagai Santo dalam Gereja Katolik), yang bertanggung jawap atas petisi untuk pengangkatan Teresa sebagai Santa dan mengumpulkan materi pendukung. (Sampai sejauh ini, Teresa telah dinyatakan terberkati, satu langkah sebelum menjadi Santa). Surat –surat tersebut dikumpulkan dalam rangka proses tersebut.
“Gereja mengantisipasi periode-periode tanpa perkembangan spiritual tersebut.” Jelasnya,
“mistik spanyol Santo Yohanes Salib pada abad 16, menggunakan istilah "malam yang gelap" dari batin untuk menggambarkan suatu karakteristik dari tahapan dalam perkembangan para tokoh spiritual. Kegelapan batin Teresa mungkin merupakan kasus yang paling ekstensif yang pernah dicatat."
(periode kegelapan batin Santo Paulus Salib berlangsung selama 45 tahun, walau ia akhirnya terpulihkan.).
Note penyunting:
Paulus-pun merasakan derita yang sama menjelang akhir hayatnya.
Kolodiejchuk melihatnya dalam konteks Santo Yohanes, “kegelapan dalam iman. Teresa menemukan jalan, dimulai sejak awal tahun 1960, untuk hidup bersama hal itu dan Ia tidak mengabaikan kepercayaannya maupun pekerjaannya.” Kolodiejchuk menunjukkan bahwa buku tersebut merupakan bukti akan kegigihan yang diisi oleh iman, yang menurutnya, adalah tindakan Teresa yang paling heroik.
Note Penyunting:
Teresa, merasakan bagaikan berada dalam sebuah perahu tanpa layar terkembang yang terombang-ambing diterpa gelombang, tanpa dapat melepas kan diri dari libatan itu.
Dua tokoh Katolik yang sangat berbeda memprediksi bahwa buku ini akan menjadi buku yang sangat penting. Pendeta Matthew Lamb, chairman dari Universitas Ave Maria jurusan teologi di Florida, berpendapat bahwa buku ini akan sejajar dengan buku Pengakuan karya Santa Augustin dan Gunung Tujuh Tingkatan karya Thomas Merton , sebagai otobiografi kebangkitan spiritual. Pendeta James Martin, editor majalah Jesuit, yang lebih liberal, mengatakan buku tersebut sebagai bentuk pelayanan baru dari Bunda Teresa, sebuah pelayanan dari bagian dalam kehidupannya.", dan mengatakan,
"Buku ini akan diingat sama pentingnya dengan pelayannya bagi kaum miskin. Buku ini akan menjadi bentuk pelayanan bagi orang-orang yang mengalami keraguan, ketidakhadiran Tuhan dalam hidup mereka. Dan tahukan anda siapa mereka? Kita semua. Orang Ateis, orang yang ragu, pencari, orang yang percaya, semua orang."
Tidak semua penganut Ateis dan orang yang ragu akan setuju. Baik Kolodiejchuk maupun Martin mengasumsikan ketidakmampuan Teresa untuk melihat Kristus dalam hidupnya bukan berarti Kristus tidak hadir. Pada hakikatnya, mereka melihat ketidakhadiranNya sebagai bagian dari berkah ilahi yang memungkinkan Teresa melakukan pekerjaan besar.
Akan tetapi, bagi banyak penganut paham Ateis di Amerika Serikat, argumen ini tampak tidak masuk akal. Mereka akan melihat Teresa dalam buku ini lebih sebagai wanita yang sering digambarkan dalam lagu-lagu country dan daerah barat Amerika Serikat yang masih tetap setia menunggu suami mereka selama 30 tahun meskipun suami mereka pergi membeli rokok dan tidak pernah kembali. Menurut Christopher Hitchens, pengarang The Missionary Position, polemik seputar Teresa, dan perwujudan Atheisme yang sedang populer, buku bertajuk God Is Not Great,
Note penyunting:
Ia merasakan bahwa ia telah berada pada pusaran pertentangan antar belenggu, yaitu pujian keagungan dan rutinitas pekerjaan yang semakin melibatnya untuk memberikan yang terbaik sebagai balasan karena telah membesarkan namanya, kekhawatiran apa kata dunia dan juga rekan sejawatnya apabila ia melepaskan itu semua itu terus berputar. Hal itu berjalan dengan sangat memedihkan baginya sampai dengan akhir hayatnya.
"Teresa tidak dapat dikecualikan lagi dari kenyataan bahwa agama adalah rekaan manusia, ia tidak terkecuali dari orang lain, dan upayanya untuk memperoleh kesembuhan [spiritual] dengan cara memperdalam imannya hanya akan memperdalam lubang yang digali untuk dirinya sendiri."
Note Penyunting:
atau Teresa merasakan adanya kekosongan hat atas hasil pencapaian dari pekerjaan “besarnya” dan keagungan yang di pujikan kepada beliau
Di lain pihak, bagi orang-orang yang sudah terbiasa dengan semangat luar biasa Bunda yang tersenyum, dapat mendiagnosa kondisinya bukan sebagai berkah Tuhan tetapi sebagai upaya alam bawah sadar dalam bentuk kerendahan hati yang paling radikal: Teresa menghukum dirinya sendiri dengan figur yang lemah untuk menyeimbangkan keberhasilannya yang gemilang."
Datanglah Menjadi CahayaKu adalah sesuatu yang langka, sebuah otobiografi yang disusun setelah Teresa meninggal, yang dapat mengakibatkan pertimbangan ulang atas figur seorang publik – dengan satu cara atau lainnya. Buku itu membuka pertanyaan tentang Tuhan dan Iman, mesin penggerak di balik pencapaian yang gemilang, ketabahan dalam cinta, keilahian dan manusia.
Kenyataan bahwa surat-surat itu tidak disusun dalam bentuk yang terstruktur dan dengan maksud tertentu tetapi sebagai kumpulan catatan-catatan yang justru akan semakin meyakinkan pembaca bahwa surat-surat tersebut benar-benar asli – sangat mengejutkan, menyentuh kehidupan sejati dalam diri seorang Santa di jaman modern.
Kiriman: Ardhy Ryadi [ardhyryadi@gmail.com]
Disunting ulang oleh: Wirajhana.
Versi lain:
- Mother Teresa's Crisis of Faith
- New Book Reveals Mother Teresa's Struggle with Faith
- Letters Reveal Mother Teresa's Secret
Masa orang tidak boleh ngeluh..apalagi kepada rekan sejawat yang Ia percayai.
BalasHapusJuga tidak akan pernah terbesit dibenaknya bahwa orang/gereja ini akan menghianatinya dan mencari keuntungan dari surat/curahan hatinya.
Yah, namanya juga manusia...
Cape dehhh!!!!!
Btw, Blognya lumayan juga!
Dari perspektif yang berbeda, kita bisa coba memahami curhatan Karen Amstrong penulis History of God dalam otobiografinya. Atau bahkan pada curhatan terkenal Jesus, ketika merasa "ditinggalkan" sendirian.
BalasHapus