Rabu, 22 Agustus 2007

Bab 21

BUNGA RAMPAI [pakinnaka vagga]


(1) Kisah Perbuatan Lampau Sang Buddha
(2) Kisah Wanita Yang Memakan Habis Telur-telur dari Seekor Ayam

(3) Kisah Bhikkhu-Bhikkhu Baddiya

(4) Kisah Bhaddiya Thera, Si Orang Pendek

(5) Kisah Anak Laki-laki Penebang Kayu

(6) Kisah Seorang Bhikkhu dari Negeri Kaum Vajji

(7) Kisah Citta, Si Perumah Tangga

(8) Kisah Culasubhadda

(9) Kisah Thera yang Berdiam Seorang Diri

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 290

(1) Kisah Perbuatan Lampau Sang Buddha

Suatu ketika, musibah kelaparan melanda kota Vesali, diawali dengan musim kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir semua panen gagal dan banyak orang meninggal dunia karena kelaparan. Hal ini diikuti oleh penyebaran wabah penyakit. Karena masyarakat tidak lagi mampu menangani pembuangan mayat-mayat, maka bau busuk di udara menyebar ke mana-mana. Bau busuk ini menarik perhatian para raksasa. Penduduk Vesali menghadapi musibah kehancuran yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit, dan juga kehadiran para raksasa. Dalam kesedihan dan penderitaannya, mereka mencoba mencari perlindungan. Mereka berpikir untuk mencari bantuan dari berbagai sumber, namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.

Serombongan utusan dipimpin oleh Mahali, seorang pangeran suku Licchavi, dan putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara untuk memohon Sang Buddha berkenan melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong mereka yang sedang dalam musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa kunjungan ini akan membawa manfaat bagi banyak orang, maka Beliau menyetujui untuk pergi ke Vesali.

Mendengar Sang Buddha bersama para bhikkhu akan mengadakan muhibah ke negara tetangga, Raja Bimbisara memperbaiki jalan dari Rajagaha sampai ke tepi sungai Gangga. Ia juga membuat persiapan-persiapan lain dan mendirikan tempat-tempat beristirahat khusus pada jarak-jarak tertentu dalam setiap yojana.

Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha berangkat menuju Vesali bersama lima ratus bhikkhu. Raja Bimbisara juga menyertai Sang Buddha. Pada hari ke lima mereka sampai di tepi sungai Gangga dan Raja Bimbisara mengirim kabar pada pangeran-pangeran Licchavi.

Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi telah memperbaiki jalan dari tepi sungai itu menuju kota Vesali, dan telah membangun tempat-tempat beristirahat seperti yang telah dilakukan oleh Raja Bimbisara di sisi sungai wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan diiringi pangeran-pangeran Licchavi namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi sungai wilayahnya.

Segera setelah Sang Buddha mencapai tepi seberang sungai, hujan lebat turun dengan deras, sehingga membersihkan kota Vesali. Sang Buddha dipersilakan beristirahat dalam rumah peristirahatan yang khusus dipersiapkan untuk Beliau di pusat kota.

Sakka, Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang menghormat kepada Sang Buddha. Melihat kedatangan para dewa, para raksasa melarikan diri.

Pada sore hari yang sama, Sang Buddha membabarkan Khotbah Permata (Ratana Sutta) dan meminta Y.A. Ananda untuk berjalan mengelilingi dinding kota yang berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi sambil mengulang sutta tersebut.

Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika syair-syair perlindungan (Paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit menjadi sembuh dan mengikuti Y.A. Ananda berjalan menuju tempat Sang Buddha berada.

Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan mengulanginya selama tujuh hari. Pada akhir hari ke tujuh, segala sesuatunya di kota Vesali menjadi normal kembali. Para pangeran Licchavi dan penduduk Vesali merasa terbebas dari musibah dan sangat bersuka cita. Mereka juga sangat berterima kasih kepada Sang Buddha dan melakukan persembahan kepada-Nya dalam jumlah yang sangat besar dan mewah. Mereka juga mengiringi Sang Buddha dalam perjalanan pulang sampai di tepi sungai Gangga di akhir hari ke tiga.

Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara sedang menunggu Sang Buddha, demikian pula para dewa, brahma, dan raja para naga bersama rombongannya masing-masing. Mereka semua menghormat dan melakukan persembahan kepada Sang Buddha. Para dewa dan brahma datang menghormat dengan payung, bunga, dll, dan melagukan syair pujian kepada Sang Buddha. Para naga datang dengan perahu yang terbuat dari emas, perak, dan rubi mengundang Sang Buddha ke tempat kediaman para naga. Mereka juga menaburi permukaan air dengan lima ratus jenis teratai. Inilah satu di antara tiga kesempatan dalam hidup Sang Buddha, kesempatan manusia, dewa, dan brahma datang bersama-sama untuk melakukan penghormatan kepada Beliau.

Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan kekuatan dan keagungan Beliau dengan keajaiban ganda; memancarkan cahaya api dan mengeluarkan air dari tubuh Beliau.

Kedua, saat Sang Buddha kembali dari alam dewa Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Abhidhamma di sana.

Sang Buddha ingin menghargai para naga, kemudian Beliau melakukan kunjungan ke tempat kediaman para naga diiringi oleh para bhikkhu. Sang Buddha dan rombongan pergi dengan lima ratus perahu yang dibawa para naga. Setelah berkunjung ke tempat kediaman para naga, Sang Buddha kembali ke Rajagaha diiringi Raja Bimbisara. Mereka tiba di Rajagaha pada hari kelima.

Dua hari setelah kedatangan mereka di Rajagaha, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang kehebatan dan keagungan yang mengagumkan dari perjalanan dari dan ke Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.

Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati sedemikian tinggi oleh brahma, dewa, dan manusia dan bahwa mereka melakukan persembahan kepada-Ku dengan jumlah yang sedemikian besar dan mewah pada kesempatan ini bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki. Itu hanyalah karena Saya telah melakukan beberapa perbuatan baik yang kecil dalam salah satu kehidupan yang lampau, sehingga Saya sekarang menikmati manfaat sedemikian besarnya." Kemudian Sang Buddha menjelaskan kisah salah satu dari kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau menjadi seorang brahmana bernama Sankha.

Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang hidup di kota Taxila. Ia mempunyai seorang putra bernama Susima. Ketika Susima berumur enam belas tahun, ia dikirim oleh ayahnya pada brahmana lain untuk belajar ilmu perbintangan. Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya dipelajari, tetapi Susima tidak sepenuhnya puas. Karena itu gurunya memerintahkan agar ia mendekati para Paccekabuddha yang sedang berdiam di Isipatana. Susima pergi ke Isipatana, tetapi para Paccekabuddha mengatakan kepadanya bahwa ia harus menjadi seorang bhikkhu terlebih dahulu. Karena itu ia menjadi seorang bhikkhu, dan diberi pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang bhikkhu. Susima berlatih meditasi dengan rajin, ia segera memahami ‘Empat Kebenaran Mulia’, mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang Paccekabuddha. Tetapi sebagai akibat perbuatan lampaunya, Susima tidak berumur panjang, ia meninggal, mencapai parinibbana segera setelah itu.

Sankha, ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya, tetapi ia hanya menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan. Brahmana itu menjadi sangat terpukul karena kehilangan anak laki-lakinya. Ia menghampiri stupa itu, membersihkan halaman, membersihkan rumput liar, kemudian ia menutup tanah tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan air. Kemudian, ia pergi ke dalam hutan dekat daerah itu untuk mencari bunga-bunga liar dan menancapkannya di tanah basah tersebut. Dengan cara tersebut, ia mempersembahkan pelayanannya dan memberi penghormatan kepada Paccekabuddha yang dulu adalah putranya. Karena perbuatan baik yang dilakukan pada kehidupan lampaunya itu maka Sang Buddha mendapat manfaat, bahwa ia dilimpahi dengan persembahan mewah, ia dihormat demikian tinggi, dan ia memperoleh bakti demikian besar pada kesempatan khusus itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 290 berikut :

Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar, maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu, guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.

Syair 291

(2) Kisah Wanita Yang Memakan Habis Telur-telur dari Seekor Ayam

Suatu ketika hiduplah seorang wanita di suatu desa dekat Savatthi. Ia mempunyai seekor ayam betina dalam rumahnya; setiap kali ayam itu bertelur, ia memakannya. Ayam itu sangat terluka hatinya dan marah serta bertekad membalas dendam kepada wanita tersebut, sehingga ayam itu membuat suatu keinginan agar dilahirkan sebagai makhluk dengan posisi yang dapat membunuh keturunan wanita itu. Keinginan ayam itu terpenuhi karena ia terlahir kembali menjadi seekor kucing, dan si wanita terlahir kembali sebagai seekor ayam betina di rumah yang sama. Kucing itu memakan habis telur-telur si ayam. Dalam kehidupan mereka berikutnya, ayam betina menjadi seekor harimau dan kucing menjadi seekor rusa. Harimau memakan rusa beserta keturunannya. Dengan demikian, permusuhan berlangsung terus selama lima ratus kali kehidupan kedua makhluk tersebut.

Pada masa kehidupan Sang Buddha, salah satu dari mereka terlahir kembali sebagai seorang wanita dan yang satu lagi sebagai raksasa wanita.

Dalam suatu kesempatan, wanita tersebut sedang kembali dari rumah orang tuanya menuju rumahnya sendiri dekat Savatthi. Suaminya dan anak laki-lakinya yang masih balita juga bersamanya. Ketika mereka sedang beristirahat dekat dengan suatu kolam di tepi jalan, suaminya pergi untuk mandi di kolam tersebut. Pada saat itu si wanita melihat raksasa wanita dan mengenalinya sebagai musuh lamanya. Dengan membawa anaknya, ia melarikan diri menjauhi raksasa wanita itu, menuju ke Vihara Jetavana di mana Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Ia meletakkan anaknya di kaki Sang Buddha.

Raksasa wanita yang mengejar wanita itu tiba di pintu vihara, namun makhluk halus penjaga pintu gerbang vihara tidak mengizinkannya untuk masuk. Ketika melihat hal itu Sang Buddha menyuruh Y.A. Ananda untuk membawa masuk raksasa wanita ke hadapan Beliau. Ketika raksasa itu datang, Sang Buddha menegur baik wanita maupun raksasa wanita, perihal rantai permusuhan yang panjang di antara mereka.

Beliau mengatakan, "Jika kamu berdua tidak datang kepada-Ku hari ini, permusuhanmu akan berlangsung tanpa akhir. Permusuhan tidak dapat diredakan oleh permusuhan, permusuhan hanya dapat diredakan oleh cinta kasih."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 291 berikut :

Barang siapa menginginkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menimbulkan penderitaan pada orang lain, maka ia tidak akan terbebas dari kebencian; ia akan terjerat dalam kebencian.

Pada saat khotbah Dhamma berakhir, raksasa wanita menyatakan berlindung dalam Tiga Permata, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha; sedangkan wanita itu mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Syair 292 dan 293

(3) Kisah Bhikkhu-Bhikkhu Baddiya

Suatu saat bhikkhu-bhikkhu, yang berdiam di Baddiya sibuk membuat sandal-sandal yang penuh hiasan berbagai macam alang-alang dan rumput. Ketika Sang Buddha diberitahu tentang hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu, kamu seharusnya memasuki Pasamuan Bhikkhu (Sangha) untuk mencapai ‘Hasil Kesucian Arahat’ (Arahatta Phala). Namun, kamu sekarang sedang berusaha keras hanya dalam membuat sandal dan menghiasinya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 292 dan 293 berikut ini :

Orang yang melakukan yang seharusnya tak dilakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran batin akan terus bertambah dalam diri orang yang sombong dan malas seperti itu.

Mereka yang selalu giat melatih perenungan terhadap badan jasmani, tidak melakukan apa yang seharusnya tak dilakukan, dan selalu melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kekotoran-kekotoran batin akan lenyap dari diri mereka yang memiliki kesadaran dan pandangan terang seperti itu.

Bhikkhu-bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 294 dan 295

(4) Kisah Bhaddiya Thera, Si Orang Pendek

Suatu ketika beberapa bhikkhu datang berkunjung dan memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika mereka bersama Sang Buddha, Lakundaka Bhaddiya kebetulan lewat tidak jauh dari mereka.

Sang Buddha meminta mereka untuk memperhatikan Thera yang pendek itu dan berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, lihatlah kepada Thera itu. Ia telah membunuh kedua ayah dan ibunya, dan setelah membunuh orang tuanya ia pergi tanpa penderitaan lagi."

Para bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah diucapkan oleh Sang Buddha. Karena itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan Beliau berkenan menjelaskan artinya.

Pernyataan di atas dibuat oleh Sang Buddha berkaitan dengan kehidupan arahat, yang telah melenyapkan nafsu keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan kemelekatan pada indria dan obyek indria. Sang Buddha telah membuat pernyataan metaforis. Istilah ‘ibu’ dan ‘ayah’ digunakan untuk menunjukkan nafsu keinginan dan kesombongan. Kepercayaan/pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan kepercayaan/pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya dua raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indria serta obyek indria seperti halnya sebuah kerajaan.

Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka, Sang Buddha membabarkan syair 294 dan 295 berikut ini :

Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria) bersama dengan para menterinya (kemelekatan), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.

Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan batin), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.

Para bhikkhu yang datang berkunjung mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 296, 297, 298, 299, 300, dan 301

(5) Kisah Anak Laki-laki Penebang Kayu

Suatu ketika di Rajagaha, seorang penebang kayu pergi ke dalam hutan dengan anak laki-lakinya untuk mencari kayu. Waktu kembali ke rumah pada sore hari, mereka berhenti dekat suatu pemakaman untuk makan. Mereka juga melepaskan kuk dari dua lembu jantannya sehingga lembu-lembu bisa merumput di sekitar tempat itu. Tetapi kedua lembu jantan itu pergi tanpa mereka sadari. Segera setelah mereka sadar bahwa dua ekor lembunya telah hilang, penebang kayu pergi mencarinya, meninggalkan anaknya dengan kereta berisi kayu bakar. Sang ayah memasuki kota, mencari lembunya. Ketika ia kembali pada anaknya, ternyata ia sudah terlambat, gerbang kota telah ditutup. Karena itu anak laki-lakinya terpaksa tidur sendiri di bawah kereta.

Anak laki-laki penebang kayu itu, meskipun usianya muda, selalu penuh perhatian dan mempunyai kebiasaan merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha.

Malam itu dua raksasa datang untuk menakut-nakuti dan ingin membuatnya celaka. Ketika salah satu raksasa menarik kaki anak laki-laki itu, ia berteriak, "Saya menghormat kepada Sang Buddha !" (Namo Buddhassa).

Mendengar kata-kata dari anak itu, raksasa-raksasa menjadi ketakutan dan juga merasa harus melindungi anak itu. Sehingga salah satu dari kedua raksasa itu tetap berada dekat anak itu, menjaganya dari semua bahaya. Raksasa lainnya pergi ke istana raja dan membawa nampan berisi makanan Raja Bimbisara. Kedua raksasa memberi akan kepada anak itu bagaikan anaknya sendiri. Di istana raja, raksasa meninggalkan pesan tertulis perihal nampan makanan istana, dan pesan ini hanya terbaca oleh sang Raja.

Pada pagi hari, pegawai Raja menemukan bahwa nampan makanan istana telah hilang, mereka sangat putus asa dan ketakutan. Raja menemukan pesan yang ditinggalkan oleh raksasa dan menunjukkan pegawainya tempat di mana ia harus mencari. Pegawai raja menemukan nampan makanan istana di antara kayu bakar di dalam kereta. Mereka juga menemukan anak laki-laki yang masih tidur di bawah kereta. Ketika ditanya, anak itu menjawab bahwa ayahnya datang kepadanya untuk memberi makan pada malam hari dan ia tidur pulas, tanpa takut setelah memakan makanannya. Anak itu hanya mengetahui sampai di situ, tidak lebih.

Raja menghadapkan kedua orang tuanya bersama dengan anak itu kepada Sang Buddha. Raja waktu itu telah mendengar bahwa anak tersebut selalu penuh perhatian merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dan juga ia telah meneriakkan ‘Namo Buddhassa’, ketika raksasa menarik kakinya di malam hari.

Raja bertanya kepada Sang Buddha, "Apakah penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Sang Buddha adalah satu-satunya Dhamma yang dapat memberi perlindungan kepada seseorang terhadap kemalangan dan mara bahaya, ataukah penuh perhatian terhadap sifat-sifat mulia Dhamma sama manfaat dan kuatnya ?"

Sang Buddha menanggapi, "O Raja, siswaKu ! Terdapat enam hal, apabila penuh perhatian terhadapnya akan merupakan perlindungan yang baik mengatasi kemalangan dan mara bahaya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 296, 297, 298, 299, 300, dan 301 berikut ini :

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Dhamma dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat mulia Sangha dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka selalu merenungkan sifat-sifat badan jasmani dengan penuh kesadaran.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka bergembira dalam keadaan bebas dari kekejaman.

Para siswa Gotama telah bangun dengan baik dan selalu sadar, sepanjang siang dan malam mereka bergembira dalam ketenteraman semadi.

Pada saat khotbah Dhamma berakhir, anak itu beserta kedua orang tuanya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian mereka bergabung dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha) dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.

Syair 302

(6) Kisah Seorang Bhikkhu dari Negeri Kaum Vajji

Pada malam bulan purnama di bulan Kattika, penduduk Vesali merayakan festival perbintangan (nakkhatta) secara besar-besaran. Seluruh kota bersinar, dan ada banyak hiburan, dengan nyanyian, tarian, dll. Ketika itu ada seorang bhikkhu yang sedang melihat ke arah kota, sambil berdiri sendiri di vihara. Bhikkhu itu merasa kesepian dan tidak puas dengan keadaannya. Perlahan, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Tidak ada seorang pun yang keadaannya lebih buruk dariku." Saat itu juga, makhluk halus penjaga hutan menghampirinya dan berkata, "Makhluk-makhluk di alam neraka (niraya) iri hati terhadap keadaan makhluk-makhluk di alam dewa; demikian pula orang-orang iri hati dengan keadaan mereka yang hidup sendiri di dalam hutan." Mendengar kata-kata ini, bhikkhu tersebut menyadari kebenaran kata-kata itu dan ia menyesal bahwa ia telah berpikir sedemikian sempit terhadap keadaan seorang bhikkhu.

Pagi-pagi buta pada keesokan harinya, bhikkhu tersebut pergi menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian itu. Dalam jawaban Beliau, Sang Buddha menceritakan kepadanya tentang betapa sulitnya kehidupan semua makhluk.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 302 berikut :

Sungguh sukar untuk menempuh kehidupan tanpa rumah (Pabbajja); sungguh sukar untuk bergembira dalam menempuh kehidupan tanpa rumah. Kehidupan rumah tangga adalah sukar dan menyakitkan. Tinggal bersama mereka yang tidak sesuai sungguh menyakitkan. Hidup mengembara dalam proses tumimbal lahir (Samsara) juga menyakitkan. Karena itu janganlah menjadi pengembara (dalam samsara), atau menjadi pengejar penderitaan.

Bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma berakhir.

Syair 303

(7) Kisah Citta, Si Perumah Tangga

Citta, setelah mendengarkan Dhamma yang diuraikan oleh Yang Ariya Sariputta, mencapai tingkat kesucian anagami. Suatu hari, Citta mengisi penuh lima ratus keretanya dengan makanan dan persembahan lainnya untuk diberikan kepada Sang Buddha serta murid-murid Beliau. Ia berangkat menuju Savatthi bersama rombongan pengikutnya yang berjumlah tiga ribu orang. Mereka berjalan menempuh jarak satu yojana setiap hari, dan tiba di Savatthi pada akhir bulan. Kemudian Citta pergi bersama lima ratus pengiringnya menuju Vihara Jetavana. Ketika ia sedang memberi penghormatan kepada Sang Buddha, bunga-bunga berjatuhan dengan menakjubkan dari atas seperti hujan. Citta tinggal di vihara itu selama sebulan penuh, mempersembahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu, serta memberi makanan kepada rombongannya yang berjumlah tiga ribu orang. Setiap kali, dewa-dewa mengisi kembali persediaan makanan dan persembahan lainnya.

Pada malam hari sebelum perjalanan pulang, Citta meletakkan semua yang telah dibawanya di ruangan-ruangan vihara sebagai persembahan kepada Sang Buddha. Kemudian dewa-dewa mengisi kembali kereta-kereta yang kosong itu dengan berbagai macam barang tak ternilai harganya. Y.A. Ananda, melihat bagaimana kekayaan Citta diisi kembali, bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, apakah hanya bila Citta datang kepada Bhante saja ia akan diberkahi dengan semua kekayaan ini ? Apakah ia diberkahi dengan hal yang sama bila ia pergi ke lain tempat ?" Sang Buddha menjawab, "Ananda, siswa ini penuh diberkahi dengan keyakinan dan kemurahan hati; ia juga bersusila, dan nama baiknya menyebar jauh dan luas. Orang seperti ini pasti akan dihormati dan dihujani dengan kekayaan kemanapun ia pergi."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 303 berikut :

Bagi orang yang memiliki keyakinan dan sila yang sempurna, akan memperoleh nama harum dan kekayaan, pergi ke tempat manapun ia akan selalu dihormati.

Syair 304

(8) Kisah Culasubhadda

Anathapindika dan Ugga, orang kaya dari Ugga, belajar di bawah bimbingan guru yang sama ketika mereka berdua masih muda. Ugga mempunyai seorang anak laki-laki dan Anathapindika mempunyai seorang anak perempuan. Ketika anak-anak mereka telah cukup dewasa, Ugga meminta persetujuan Anathapindika untuk menikahkan kedua anak mereka. Dengan demikian pernikahan diadakan, dan Culasubhadda, anak perempuan Anathapindika, harus tinggal di rumah mertuanya.

Ugga dan keluarganya adalah pengikut pertapa bukan murid Sang Buddha. Suatu saat mereka mengundang pertapa tersebut ke rumahnya. Pada kesempatan itu, Ugga meminta Culasubhadda untuk memberi penghormatan kepada para pertapa telanjang bukan murid Sang Buddha tersebut, tetapi ia selalu menolak untuk memenuhinya. Sebaliknya, ia bercerita kepada ibu mertuanya tentang Sang Buddha dan sifat-sifat mulia Beliau.

Ibu mertua Culasubhadda sangat ingin bertemu dengan Sang Buddha, setelah ia diberitahu tentang Sang Buddha oleh menantu perempuannya. Ia bahkan menyetujui permintaan Culasubhadda mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan di rumahnya.

Culasubhadda menyiapkan makanan dan mengumpulkan persembahan lainnya untuk Sang Buddha beserta murid-murid Beliau. Kemudian ia naik ke tempat yang paling tinggi di rumahnya dan melihat ke arah Vihara Jetavana. Ia membuat persembahan bunga serta dupa dan merenungkan sifat-sifat dan kebajikan mulia Sang Buddha. Ia kemudian mengucapkan keinginannya, "Bhante ! Semoga hal ini membuat Bhante berkenan datang, bersama dengan murid-murid Bhante, ke rumah kami esok hari. Saya, umat awam yang berbakti, dengan penuh hormat mengundang Bhante. Semoga permohonanku diketahui oleh Bhante melalui lambang dan sikap seperti ini."

Kemudian ia mengambil delapan genggam bunga melati dan menebarkannya ke langit. Bunga-bunga itu mengambang di udara menuju Vihara Jetavana dan terletak menggantung pada langit-langit ruang pertemuan di mana Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Pada akhir khotbah Beliau, Anathapindika, ayah Culasubhadda, mendekati Sang Buddha untuk mengundang menerima dana makanan di rumahnya pada esok hari.

Sang Buddha menjawab bahwa ia telah menerima undangan Culasubhadda untuk esok hari. Anathapindika bingung dengan jawaban Sang Buddha dan berkata, "Tetapi, Bhante ! Culasubhadda tidak tinggal di Savatthi di sini, ia tinggal di Ugga yang berjarak seratus dua puluh yojana dari sini." Kepadanya Sang Buddha berkata, "Benar, perumah tangga, tetapi kebaikannya jelas terlihat nyata seakan-akan hadir meskipun hal itu mungkin berada pada jarak jauh."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 304 berikut :

Meskipun dari jauh, orang baik akan terlihat bersinar bagaikan puncak pegunungan Himalaya. Tetapi, meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat, bagaikan anak panah yang dilepaskan pada malam hari.

Hari berikutnya, Sang Buddha datang ke rumah Ugga, ayah mertua Culasubhadda. Sang Buddha diiringi dengan lima ratus bhikkhu dalam perjalanan ini, mereka semua datang melalui udara dalam perahu penuh dekorasi yang diciptakan atas perintah Sakka, Raja para dewa. Melihat Sang Buddha dalam kemegahan dan keagungannya, ayah mertua Culasubhadda sangat terkesan dan mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Untuk tujuh hari berikutnya, Ugga dan keluarganya memberi dana makanan dan membuat persembahan kepada Sang Buddha beserta murid-murid Beliau.

Syair 305

(9) Kisah Thera yang Berdiam Seorang Diri

Ekavihari Thera tidak banyak bergaul dengan bhikkhu-bhikkhu lain. Ia biasa berdiam seorang diri. Ia akan tidur, berbaring, berdiri, atau berjalan seorang diri. Bhikkhu-bhikkhu lain berprasangka buruk terhadap Ekavihari dan berkata kepada Sang Buddha tentang dirinya. Tetapi Sang Buddha tidak menyalahkannya. Sebaliknya Beliau berkata, "Ya, sesungguhnya anak-Ku telah berkelakuan baik, karena seorang bhikkhu seharusnya berdiam dalam kesunyian dan kesendirian."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 305 berikut :

Ia yang duduk sendiri, tidur sendiri, berjalan sendiri tanpa rasa jemu serta selalu membina diri, akan gembira berdiam di dalam hutan.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb21.htm


Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada

0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar