Masyarakat Adat Masih Terpinggirkan
Kompas/Reinhard Nainggolan |
Warga adat Kajang tengah istirahat sepulang dari ladang. |
"Populasi masyarakat adat di Indonesia berkisar antara 40 juta sampai 50 jutaan jiwa dan sebagian besar belum bisa menikmati hak yang seharusnya mereka dapat sebagai warga negara," kata Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Adon Nababan pada peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan beberapa kebijakan sektoral pemerintah tak berdampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat adat dan justru membuat masyarakat adat secara perlahan kehilangan identitas dan sebagian habitat hidup mereka.
Pemaksaan penerapan sistem kolonisasi dengan membentuk desa mengacu pada struktur pemerintahan di Jawa membuat kekuatan sistem adat di daerah lain meluntur, ujarnya.
"Beberapa aturan perundangan seperti undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang kehutanan, undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan dan undang-undang investasi yang baru juga justru membuat mereka kehilangan hak atas wilayah adatnya," jelas Adon.
Kebijakan sektoral pemerintah, katanya, membuat wilayah-wilayah adat dimasuki dan dieksploitasi secara paksa oleh berbagai proyek, pertambangan, dan berbagai keperluan tanpa musyawarah dengan masyarakat adat yang bersangkutan.
"Sekarang wilayah adat kami sebagian besar dikelola pemegang HPH sehingga kami tidak bisa lagi hidup dengan mengandalkan hutan dan tidak bisa minum dari sungai kami. Kami bingung sebenarnya kami ini bagian dari negara ini atau bukan," kata Selester, anggota suku Mentawai di Sumatera Barat.
Rasyid Tumonga (42), warga Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, juga mengatakan bahwa hingga kini masyarakat adat di wilayah tempat tinggalnya belum bisa melepaskan diri dari isolasi geografis karena infrastruktur jalan dan jembatan belum banyak terbangun.
"Kalau mau beli keperluan ke kota kita harus jalan kaki selama tiga hari. Syukur belakangan ada jalan sudah diperbaiki sehingga motor bisa lewat, tapi sayangnya belum semua bagus sehingga kadang bukannya kita yang naik motor tapi motor yang naik kita," ujar bapak dari tiga anak itu.
Ia menjelaskan, dari daerah yang berada pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut itu sampai ibukota kabupaten warga paling tidak harus mengeluarkan biaya Rp400 ribu untuk membayar ojek.
Tak hanya isolasi yang belum terbuka, komunitas masyarakat adat yang masih menganut kepercayaan nenek moyang mereka, juga masih mengalami kesulitan untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Fatmawati misalnya. Perempuan dari suku Dayak di Kalimantan yang menganut kepercayaan Kaharingan itu kesulitan mengurus KTP karena agama yang dia peluk tidak termasuk agama yang diakui pemerintah.
"Karena susah akhirnya saya minta dicantumkan sebagai pemeluk agama katholik dalam KTP. Padahal saya pemeluk agama Kaharingan dan tidak tahu apa-apa tentang agama katholik," katanya.
Masyarakat adat yang memeluk agama atau kepercayaan yang tidak diakui oleh pemerintah, menurut Adon, juga mengalami kesulitan yang sama dengan Fatmawati.
"Mereka dipaksa mengikuti satu nilai yang ditetapkan pemerintah dan hanya memeluk agama yang diakui saja," demikian Adon.
Sumber: AntaraPenulis: jodhi
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar