ORANG BODOH [bala vagga]
(1) Kisah Seorang Pemuda
(2) Kisah Murid yang Tinggal Bersama Mahakassapa Thera
(3) Kisah Ananda, Seorang Hartawan
(4) Kisah Dua Orang Pencopet
(5) Kisah Udayi Thera
(6) Kisah Tiga Puluh Bhikkhu dari Paveyyaka
(7) Kisah Suppabuddha, Penderita Kusta
(8) Kisah Seorang Petani
(9) Kisah Sumana, Penjual Bunga
(10) Kisah Uppalavanna Theri
(11) Kisah Jambuka Thera
(12) Kisah Ahipeta
(13) Kisah Satthikutapeta
(14) Kisah Citta, Seorang Perumah Tangga
(15) Kisah Samanera Tissa Yang Berdiam di Hutan
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
Syair 60
(1) Kisah Seorang Pemuda
Suatu hari Raja Pasenadi dari Kosala sedang berjalan-jalan di kota. Secara tidak sengaja beliau melihat seorang wanita muda berdiri dekat jendela rumahnya dan beliau langsung jatuh cinta. Raja mencoba untuk menemukan berbagai cara dan kesempatan untuk mendapatkannya. Setelah mengetahui bahwa wanita muda itu telah menikah, Raja memanggil suami wanita muda tersebut dan dijadikan pelayan di istana.
Suatu ketika raja memerintahkan suami wanita muda itu untuk melakukan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Pemuda itu diperintahkan untuk pergi ke suatu tempat, satu yojana (dua belas mil) jauhnya dari Savatthi, serta membawa pulang beberapa bunga teratai Kumuda dan sedikit tanah merah yang dikenal dengan nama Arunavati, tanahnya Naga, dan kembali ke Savatthi pada sore yang sama, pada waktu raja mandi.
Tujuan raja adalah untuk membunuh suami wanita muda tersebut jika ia gagal kembali pada waktu yang telah ditentukan, dan mengambil wanita muda itu sebagai istrinya.
Pemuda itu mengambil ransum makanan dari istrinya dengan tergesa-gesa, dan segera berangkat untuk melaksanakan perintah raja. Di perjalanan, pemuda itu membagi bekal makanannya kepada seorang pengembara. Dia juga melemparkan sedikit nasi ke dalam air dan berteriak: "O, makhluk-makhluk penjaga dan naga-naga penghuni sungai ini ! Raja Pasenadi telah menyuruhku untuk mengambil beberapa bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati untuk beliau. Hari ini aku telah membagi makananku dengan seorang pengembara; aku juga memberi makanan buat ikan-ikan di sungai; sekarang aku juga membagi manfaat perbuatan baikku yang telah aku lakukan hari ini denganmu. Berilah aku bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati." Raja Naga mendengarnya. Dengan menyamar sebagai orang tua memberikan bunga teratai dan tanah merah yang diharapkan.
Sore hari Raja Pasenadi yang cemas seandainya pemuda tersebut datang kembali tepat pada waktunya telah memerintahkan untuk menutup gerbang kota lebih awal. Setelah mengetahui bahwa pintu gerbang kota telah ditutup maka pemuda tadi meletakkan tanah merah pada dinding kota dan menempelinya dengan bunga teratai.
Kemudian dia menyatakan dengan keras: "O, para warga kota ! Jadilah saksiku ! Hari ini aku telah memenuhi tugasku tepat pada waktunya seperti yang telah diperintahkan oleh Raja. Raja Pasenadi, tanpa ada keadilan, merencanakan untuk membunuhku."
Setelah itu pemuda tadi menuju Vihara Jetavana untuk mencari perlindungan dan menghibur dirinya di tempat yang penuh kedamaian tersebut.
Di lain pihak Raja Pasenadi yang digoda oleh nafsu seksualnya, tidak dapat tidur, dan terus memikirkan bagaimana menyingkirkan suami wanita muda itu dan memperistrinya. Tengah malam beliau mendengar suara-suara aneh; yang sesungguhnya merupakan suara-suara yang menyayat hati dari empat makhluk menderita di alam Lohakumbhi Niraya. Sang Raja sangat ketakutan mendengar suara-suara yang mengerikan tersebut. Keesokan paginya Raja Pasenadi mengunjungi Sang Buddha, seperti yang disarankan oleh Ratu Mallika.
Kemudian Sang Buddha menjelaskan tentang empat suara yang didengar raja pada malam hari, beliau mengatakan bahwa suara-suara itu merupakan suara-suara empat makhluk, yang merupakan putra dari seorang hartawan yang hidup pada masa Buddha Kassapa, dan sekarang mereka menderta di Lohakumbhi Niraya sebab mereka telah melakukan perzinaan dengan istri-istri orang lain.
Raja akhirnya menyadari perbuatan buruk dan akibat yang akan diperoleh. Raja berjanji tidak akan menginginkan istri orang lain lagi. "Kejadian itu sama dengan nafsu keinginanku untuk memiliki istri orang lain yang membuatku tersiksa dan tidak dapat tidur," pikir beliau.
Kemudian Raja Pasenadi mengatakan kepada Sang Buddha, "Bhante, sekarang saya menyadari bagaimana lamanya malam untuk seseorang yang tidak dapat tidur." Pemuda tadi juga mengatakan,"Bhante, saya telah melakukan perjalanan penuh satu yojana kemarin, saya juga mengetahui bagaimana panjangnya satu yojana bagi seseorang yang lelah."
Sang Buddha kemudian membabarkan syair 60 dengan menggabungkan kedua pernyataan di atas seperti berikut ini :
Malam terasa panjang bagi orang yang berjaga, satu yojana terasa jauh bagi orang yang lelah; sungguh panjang siklus kehidupan bagi orang bodoh yang tak mengenal Ajaran Benar.
Pemuda tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 61
(2) Kisah Murid yang Tinggal Bersama Mahakassapa Thera
Ketika Mahakassapa Thera bersemayam dekat Rajagaha, beliau tinggal bersama dua orang bhikkhu muda. Salah satu bhikkhu tersebut sangat hormat, patuh, dan taat kepada Mahakassapa Thera. Tetapi bhikkhu yang satu lagi tidak seperti itu. Ketika Mahakassapa Thera mencela kekurangtaatan melaksanakan tugas-tugas murid yang belakangan, murid tersebut sangat kecewa.
Pada suatu kesempatan, ia pergi ke salah satu rumah umat awam siswa Mahakassapa Thera, dan membohongi mereka bahwa Sang Thera sedang sakit. Ia mendapatkan beberapa makanan dari mereka untuk Mahakassapa Thera. Tetapi ia makan makanan tersebut di perjalanan. Ketika sang thera menasehati tentang kelakuannya itu, bhikkhu tersebut menjadi sangat marah.
Keesokan harinya ketika Mahakassapa Thera pergi keluar untuk berpindapatta, bhikkhu muda yang bodoh ini tidak ikut. Ia memecahkan tempat air dan kuali, serta membakar vihara.
Seorang bhikkhu dari Rajagaha menceriterakan peristiwa itu kepada Sang Buddha, Sang Buddha mengatakan lebih baik Mahakassapa Thera tinggal sendirian daripada tinggal bersama orang bodoh.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 61 berikut :
Apabila dalam pengembaraan seseorang tak menemukan sahabat yang lebih baik atau sebanding dengan dirinya, maka hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Janganlah bergaul dengan orang bodoh.
Bhikkhu dari Rajagaha tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 62
(3) Kisah Ananda, Seorang Hartawan
Tinggallah seorang hartawan yang sangat kaya bernama Ananda di Savatthi. Meskipun dia memiliki delapan crore, dia tidak mau memberikan sesuatu apapun untuk berdana. Kepada anaknya Mulasiri, dia sering mengatakan, "Jangan berpikir bahwa kekayaan yang kita miliki saat ini cukup banyak. Jangan berikan sesuatu apapun yang kau punyai, untukmu buatlah semakin bertambah. Jika tidak, kekayaanmu akan semakin berkurang."
Orang kaya ini memiliki lima guci berisi emas yang dikubur di dalam rumahnya dan ia meninggal dunia tanpa memberitahukan tempat penyimpanan guci itu kepada putranya.
Ananda, orang kaya yang telah meninggal tadi, dilahirkan kembali di sebuah perkampungan pengemis, tidak jauh dari Savatthi. Waktu ibunya sedang mengandung, penghasilan dan keberuntungan para pengemis menurun. Penduduk perkampungan itu berpikir bahwa ada seseorang yang tidak beruntung dan menyebabkan kesialan di antara mereka. Dengan membagi mereka ke dalam kelompok-kelompok, mereka mengambil kesimpulan bahwa pengemis wanita yang sedang mengandung itu mendatangkan kesialan bagi mereka.
Ia diusir keluar dari desa. Ketika anaknya lahir, anaknya sangat jelek dan menjijikkan. Jika pengemis wanita itu pergi mengemis sendirian ia akan memperoleh hasil seperti biasa, tetapi jika ia pergi bersama putranya ia tidak mendapatkan apa-apa. Maka, ketika putranya bertambah dewasa dan dapat berjalan sendiri, ibunya memasang tanda di tangannya dan kemudian meninggalkannya.
Ketika pengemis muda itu berkelana ke Savatthi, ia mengingat rumahnya dan kehidupannya yang lampau. Ia mengunjungi rumah tersebut. Anak-anak dari putranya, Mulasiri, melihatnya. Mereka sangat ketakutan melihat penampilannya yang buruk. Pelayan-pelayan kemudian memukulinya dan mendorongnya keluar rumah.
Sang Buddha yang sedang melakukan pindapatta melihat peristiwa itu dan meminta Y.A. Ananda untuk mengundang Mulasiri. Ketika Mulasiri datang, Sang Buddha memberitahukan bahwa pengemis muda tadi adalah ayahnya sendiri pada kehidupan yang lampau. Tetapi Mulasiri tidak mempercayainya.
Maka Sang Buddha menyuruh pengemis muda itu untuk menunjukkan di mana lima buah guci emas tersebut dikubur. Akhirnya Mulasiri menerima kenyataan yang ada dan sejak saat itu ia menjadi umat awam pengikut Sang Buddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 62 berikut :
"Anak-anak ini milikku, kekayaan ini milikku," demikianlah pikiran orang bodoh. Apabila dirinya sendiri sebenarnya bukan merupakan miliknya, bagaimana mungkin anak dan kekayaan itu menjadi miliknya?
Syair 63
(4) Kisah Dua Orang Pencopet
Suatu ketika dua orang pencopet bersama-sama dengan sekelompok umat awam pergi ke Vihara Jetavana. Di sana Sang Buddha sedang memberikan khotbah. Satu di antara mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Tetapi pencopet satunya lagi tidak memperhatikan khotbah yang disampaikan karena ia hanya berpikir untuk mencuri sesuatu. Ia mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang dari salah seorang umat.
Setelah khotbah berakhir mereka pulang dan memasak makan siangnya di rumah pencopet kedua, pencopet yang sudah mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang tersebut. Istri dari pencopet kedua mencela pencopet pertama: "Kamu sangat tidak bijaksana, mengapa kamu tidak mempunyai sesuatu untuk dimasak di rumahmu."
Mendengar pernyataan tersebut, pencopet pertama berpikir,"Orang ini sangat bodoh, dia berpikir bahwa dia menjadi sangat bijaksana." Kemudian bersama-sama dengan keluarganya, ia menghadap Sang Buddha dan menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 63 berikut :
Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya, maka ia dapat dikatakan bijaksana; tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana, sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh.
Semua keluarga pencopet pertama tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Udayi Thera sering mengunjungi, dan duduk di atas tempat duduk, di mana para thera terpelajar duduk pada waktu menyampaikan khotbah. Pada suatu kesempatan, beberapa bhikkhu tamu menyangka bahwa ia adalah seorang thera yang terpelajar, dan mereka mengajukan beberapa pertanyaan tentang lima kelompok unsur khandha. Udayi Thera tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebab beliau tidak mengerti sama sekali tentang Dhamma.
Para bhikkhu tamu sangat terkejut menemukan seseorang yang tinggal dalam satu vihara dengan Sang Buddha hanya mengetahui sedikit saja tentang khandha dan ayatana (dasar indria dan objek indria).
Kepada para bhikkhu tamu itu Sang Buddha menerangkan keadaan Udayi Thera dalam syair 64 berikut ini :
Orang bodoh, walaupun selama hidupnya bergaul dengan orang bijaksana, tetap tidak akan mengerti Dhamma, bagaikan sendok yang tidak dapat merasakan rasa sayur.
Syair 65
(6) Kisah Tiga Puluh Bhikkhu dari Paveyyaka
Suatu ketika, tiga puluh orang pemuda dari Paveyyaka bersenang-senang dengan seorang pelacur di hutan. Ketika mereka lengah, pelacur itu mencuri beberapa perhiasan dan melarikan diri.
Pemuda-pemuda tersebut mencari pelacur yang lari, di hutan mereka bertemu dengan Sang Buddha dalam perjalanan. Sang Buddha menyampaikan suatu khotbah kepada para pemuda tersebut dan mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mereka semuanya bergabung dengan Sang Buddha dan ikut ke Vihara Jetavana.
Ketika tinggal di vihara, mereka berlatih dengan sungguh-sungguh hidup sederhana atau melaksanakan latihan keras (dhutanga). Akhirnya ketika Sang Buddha menyampaikan ‘Anamatagga Sutta’ (Khotbah tentang Keberadaan Hidup yang Tak Terhitung), seluruh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.
Ketika bhikkhu-bhikkhu yang lain memberikan komentar bahwa bhikkhu-bhikkhu dari Paveyyaka sangat cepat mencapai tingkat kesucian Arahat, Sang Buddha menjawab dalam syair 65 berikut ini :
Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan orang bijaksana, namun dengan segera ia akan dapat mengerti Dhamma, bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur.
Syair 66
(7) Kisah Suppabuddha, Penderita Kusta
Suppabuddha, penderita kusta, suatu ketika duduk di bagian belakang kumpulan orang dan mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ketika kerumunan orang tersebut sudah membubarkan diri, ia mengikuti Sang Buddha ke vihara. Ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha tentang pencapaiannya.
Sakka, raja para dewa, berkeinginan untuk menguji keyakinan orang kusta tersebut kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, menampakkan dirinya dan berkata:"Kamu hanya seoang miskin, hidup dari meminta-minta, tanpa seorang pun yang mendekati kamu. Saya dapat memberi kamu kekayaan yang sangat besar jika kamu mengingkari Buddha, Dhamma, dan Sangha dan katakan pula bahwa kamu tidak bermanfaat bagi mereka."
Suppabuddha menjawab,"Sesungguhnya saya bukanlah orang miskin, tanpa seorang pun yang percaya. Saya orang kaya; saya meyakini tujuh ciri yang dimiliki oleh para ariya; saya mempunyai keyakinan (saddha), kesusilaan (sila), malu berbuat jahat (hiri), takut akan akibat perbuatan jahat (ottappa), pengetahuan (suta), murah hati (caga), dan kebijaksanaan (panna)."
Kemudian Sakkha menghadap Sang Buddha mendahului Suppabuddha dan menceritakan percakapannya dengan Suppabuddha. Sang Buddha menjawab bahwa tidaklah mudah meskipun seratus atau seribu Sakka untuk membujuk Suppabuddha meninggalkan Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Dalam perjalanan pulangnya dari Vihara Jetavana, Suppabuddha mati berlumuran darah diseruduk seekor sapi yang sedang marah, yang sesungguhnya adalah satu raksasa yang menyamar sebagai seekor sapi. Raksasa ini tidak lain adalah pelacur yang dibunuh oleh Suppabuddha pada kehidupannya yang lampau dan yang telah memenuhi keinginannya untuk membalas dendam.
Ketika berita kematian Suppabuddha sampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, di mana Suppabuddha dilahirkan kembali dan Sang Buddha menjawab bahwa Suppabuddha dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa. Sang Buddha juga menerangkan kepada para bhikkhu bahwa Suppabuddha dilahirkan sebagai seorang kusta karena pada salah satu kelahirannya yang lampau, ia pernah meludahi seorang Paccekabuddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 66 berikut :
Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya memperlakukan diri sendiri seperti musuh; ia melakukan perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang pahit.
Syair 67
(8) Kisah Seorang Petani
Suatu hari beberapa pencuri setelah mencuri benda-benda berharga dan sejumlah uang dari rumah orang kaya melarikan diri ke suatu ladang. Di sana mereka membagi hasil curian dan berlari berpisah. Tetapi sebuah bungkusan yang berisi uang yang berjumlah banyak terjatuh dari tangan salah seorang pencuri, dan tertinggal di belakang. Tidak ada yang memperhatikan.
Keesokan paginya Sang Buddha yang sedang mengamati dunia dengan penglihatan supranaturalnya, melihat bahwa ada seorang petani sedang bekerja dekat ladang tersebut, akan mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Segera Sang Buddha pergi ke sana, ditemani oleh Y.A. Ananda. Petani tersebut ketika melihat Sang Buddha memberi hormat, kemudian melanjutkan kembali membajak sawah.
Sang Buddha melihat bungkusan uang tersebut dan berkata,"Ananda, lihatlah seekor ular yang sangat berbisa." Ananda menjawab, "Ya, Bhante, itu benar-benar seekor ular yang sangat berbisa!" Kemudian Sang Buddha dan Ananda melanjutkan perjalanannya.
Petani itu mendengarkan percakapan tersebut di atas, ia pergi mencari apakah benar ada seekor ular, dan menemukan bungkusan yang berisi uang. Ia mengambil bungkusan itu dan menyembunyikannya di suatu tempat.
Pemilik barang yang dicuri datang ke ladang mencari jejak para pencuri. Ia menemukan jejak kaki petani, kemudian ia menemukan bungkusan uang. Ia menangkap petani itu dengan dakwaan sebagai pencuri dan menghadapkannya kepada raja.
Raja memerintahkan orang kaya itu untuk membunuh petani. Ketika dibawa ke pemakaman, tempat petani akan dibunuh, petani itu mengulang kalimat: "Ananda, lihatlah ada seekor ular yang sangat berbisa. Bhante, saya melihat ular; sungguh-sungguh seekor ular yang sangat berbisa!"
Ketika pegawai Raja mendengar percakapan antara Sang Buddha dan Ananda diulang-ulang selama dalam perjalanan, mereka kebingungan, dan membawanya menghadap Raja. Raja menyangka bahwa petani itu memanggil Sang Buddha untuk dijadikan saksi; beliau kemudian meminta kehadiran Sang Buddha.
Setelah mendengar segala keterangan apa yang terjadi pagi hari itu dari Sang Buddha, raja mengatakan, "Apabila ia tidak dapat memanggil Sang Buddha sebagai saksi yang menyatakan ia tidak bersalah, orang ini akan dibunuh."
Kepada petani itu, Sang Buddha berkata,"Orang bijaksana seharusnya tidak melakukan sesuatu yang akan membuatnya menyesal setelah melakukannya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 67 berikut :
Bilamana suatu perbuatan setelah selesai dilakukan membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu tidak baik. Orang itu akan menerima akibat perbuatannya dengan ratap tangis dan wajah yang berlinang air mata.
Petani tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 68
(9) Kisah Sumana, Penjual Bunga
Seorang penjual bunga, bernama Sumana, harus mengirimkan bunga melati kepada Raja Bimbisara dari Rajagaha setiap pagi. Suatu hari, ketika ia akan pergi ke istana, ia melihat Sang Buddha, dengan pancaran sinar aura sangat terang, datang ke kota untuk berpindapatta dengan diikuti oleh beberapa bhikkhu.
Melihat Sang Buddha yang sangat agung, penjual bunga Sumana sangat ingin mendanakan bunganya kepada Sang Buddha, pada saat itu dan di tempat itu pula. Ia memutuskan, meskipun raja akan mengusirnya dari kota atau membunuhnya, ia tidak akan memberikan bunganya kepada raja pada hari itu.
Kemudian ia melemparkan bunganya ke samping, ke belakang, ke atas dan di atas kepala Sang Buddha. Bunga-bunga itu menggantung di udara; di atas kepala Sang Buddha membentuk seperti payung dari bunga-bunga. Di belakang dan di sisi-sisi Beliau membentuk seperti dinding. Bunga-bunga ini terus mengikuti Sang Buddha kemana saja Beliau berjalan, dan ikut berhenti ketika Beliau berhenti.
Ketika Sang Buddha berjalan, dikelilingi oleh dinding-dinding dari bunga, dan dipayungi oleh bunga, dengan enam sinar yang memancar dari tubuhnya, diikuti oleh kelompok besar, ribuan orang dari dalam maupun dari luar kota Rajagaha. Mereka keluar dari rumahnya dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Bagi Sumana sendiri, seluruh tubuhnya diliputi dengan kegiuran batin (piti).
Istri Sumana kemudian menghadap raja dan berkata bahwa ia tidak ikut campur dalam kesalahan suaminya, karena suaminya tidak mengirim bunga kepada raja hari ini. Raja yang telah mencapai tingkat kesucian sotapanna, merasa sangat berbahagia. Ia keluar istana untuk melihat pemandangan yang indah itu dan memberikan hormat kepada Sang Buddha.
Raja juga mengambil kesempatan untuk memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya. Setelah makan siang, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana dan raja mengikutinya sampai beberapa jauh.
Dalam perjalanan pulang raja memanggil Sumana dan memberikan penghargaan kepadanya yang berupa delapan ekor gajah, delapan ekor kuda, delapan orang budak laki-laki, delapan orang budak wanita, delapan orang anak gadis, dan uang delapan ribu.
Di Vihara Jetavana, Y.A. Ananda bertanya kepada Sang Buddha apa manfaat yang akan diperoleh Sumana dari perbuatan baik yang telah dilakukannya pada pagi hari itu. Sang Buddha menjawab bahwa Sumana, yang telah memberikan dana kepada Sang Buddha tanpa memikirkan hidupnya, tidak akan dilahirkan di empat alam yang menyedihkan (Apaya) untuk beratus-ratus ribu kehidupan yang akan datang. Dan ia akan menjadi seorang Paccekabuddha. Setelah itu, Sang Buddha memasuki Gandhakuti, dan bunga-bunga itu jatuh dengan sendirinya.
Malam harinya, pada akhir khotbah Sang Buddha membabarkan syair 68 berikut ini :
Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan tidak membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu adalah baik. Orang itu akan menerima buah perbuatannya dengan hati gembira dan puas.
Syair 69
(10) Kisah Uppalavanna Theri
[Kisah ini mempunyai kelanjutan dengan Bab 26, syair 401]
Ada seorang putri hartawan di Savatthi yang sangat cantik, dengan wajah yang sangat lembut dan manis, seperti bunga teratai biru. Ia diberi nama "Uppalavanna", teratai biru. Kecantikannya tersohor sampai ke mana-mana, dan banyak pemuda yang ingin melamarnya. Pangeran, orang kaya dan yang lainnya. Tetapi ia memutuskan bahwa lebih baik dia menjadi seorang bhikkhuni, murid wanita Sang Buddha yang hidup tidak berkeluarga.
Suatu hari setelah menyalakan sebuah lampu, dia memusatkan pikirannya pada nyala lampu, dan bermeditasi dengan obyek api, beliau segera mencapai pandangan terang magga dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.
Beberapa waktu kemudian ia pindah ke ‘Hutan Gelap’ (Andhavana) dan hidup dalam kesunyian. Ketika Uppalavanna sedang keluar untuk menerima dana makanan, Nanda, putra dari pamannya, datang mengunjungi vihara tempat ia tinggal dan memukul-mukulkan dirinya ke bawah tempat duduk Uppalavanna.
Nanda telah jatuh cinta kepada Uppalavanna sebelum ia menjadi seorang bhikkhuni; dan sangat ingin memilikinya dengan paksa. Ketika Uppalavanna datang, ia melihat Nanda dan berkata,"Kamu bodoh! Jangan menyakiti dirimu sendiri. Jangan menganiaya dirimu sendiri." Tetapi Nanda tidak mau berhenti. Setelah puas menyakiti dirinya, Nanda meninggalkan Uppalavanna.
Segera setelah ia melangkahkan kakinya ke tanah, tanah itu langsung membelah dan ia masuk ke dalamnya, akibat dari perbuatannya mengganggu orang suci.
Mendengar hal itu Sang Buddha membabarkan syair 69 berikut ini:
Selama buah dari suatu perbuatan jahat belum masak, maka orang bodoh akan menganggapnya manis seperti madu; tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak, maka ia akan merasakan pahitnya penderitaan.
Beberapa orang mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Sang Buddha selanjutnya mengundang Raja Pasenadi dari Kosala dan berkata kepada beliau tentang bahayanya seorang bhikkhuni tinggal di hutan menghadapi orang-orang tidak bertanggung jawab yang dibutakan oleh nafsu seksualnya. Sang Raja berjanji hanya akan membangun vihara-vihara untuk para bhikkhuni di kota-kota atau dekat dengan kota.
Syair 70
(11) Kisah Jambuka Thera
Jambuka adalah putra seorang hartawan di Savatthi. Berkaitan dengan perbuatan buruk yang dilakukannya di masa lampau ia harus dilahirkan dengan kelakuan yang sangat aneh.
Ketika masih anak-anak, ia tidur di lantai tanpa alas kasur, dan memakan kotorannya sendiri sebagai ganti nasi. Ketika ia bertambah dewasa, orang tuanya mengirim kepada Ajivaka, pertapa telanjang. Ketika pertapa itu mengetahui kebiasaan makannya yang aneh, mereka mengirim Jambuka pulang ke rumah. Setiap malam ia makan kotoran manusia. Setiap hari berdiri dengan satu kaki, dan membiarkan mulutnya terbuka.
Ia selalu mengatakan bahwa ia membiarkan mulutnya terbuka sebab ia hidup dari udara dan ia berdiri dengan satu kaki sebab akan memberatkan bumi untuk mengangkatnya. "Saya tidak pernah duduk, saya tidak pernah tidur," ia berbangga diri, dan oleh karena itu ia dikenal dengan nama Jambuka, orang congkak.
Beberapa orang mempercayainya dan beberapa orang mau datang kepadanya untuk berdana makanan. Jambuka akan menolak dan berkata, "Saya tidak menerima makanan selain udara." Ketika dipaksa, dia menerima sedikit dana makanan tersebut, kemudian ia akan memberikan segenggam rumput kusa kepada orang yang berdana makanan itu dan berkata: "Sekarang pergilah, semoga ini dapat memberikan kebahagiaan bagi anda."
Dengan cara ini, Jambuka hidup selama lima puluh lima tahun, telanjang, dan hanya makan kotoran manusia.
Suatu hari Sang Buddha melihat bahwa Jambuka akan mencapai tingkat kesucian arahat dengan segera. Maka suatu sore Sang Buddha pergi ke tempat tinggal Jambuka dan menanyakan di mana tempat bermalam.
Jambuka menunjukkan sebuah gua yang ada di gunung tidak jauh dari lempengan batu tempat tinggalnya.
Selama malam pertama, kedua, dan ketiga, dewa-dewa Catumaharajika, Sakka, dan Mahabrahma datang untuk memberikan penghormatan secara bergantian kepada Sang Buddha. Pada ketiga kesempatan tersebut, hutan itu terang benderang dan Jambuka menyaksikan ketiga cahaya tersebut.
Pagi harinya, ia mengunjungi Sang Buddha dan bertanya tentang cahaya tersebut.
Ketika diberitahu bahwa dewa-dewa, Sakka dan Mahabrahma datang memberikan hormat pada Sang Buddha, Jambuka sangat tertarik dan berkata kepada Sang Buddha: "Anda pasti benar-benar orang besar bagi para dewa, Sakka, dan Mahabrahma sehingga mereka datang dan memberikan hormat kepadamu. Tidak seperti saya, meskipun saya telah berlatih hidup sederhana selama 55 tahun, hidup dari udara dan berdiri dengan satu kaki, tidak satu dewa pun, tidak juga Sakka, Mahabrahma mengunjungiku."
Sang Buddha berkata kepadanya, "O, Jambuka! Kamu dapat menipu orang lain, tetapi kamu tidak dapat menipuKu. Saya tahu bahwa selama 55 tahun kamu telah makan kotoran dan tidur di tanah."
Lebih jauh Sang Buddha menerangkan kepadanya bagaimana kehidupannya yang lampau pada masa Buddha Kassapa, Jambuka telah menghalangi seorang thera untuk berkunjung ke rumah umat awam yang ingin berdana makanan dan bagaimana ia telah melemparkan semua makanan yang dikirimkan untuk thera tersebut. Karena kejahatannya itu Jambuka sekarang makan kotoran dan tidur di tanah. Mendengar penjelasan tersebut, Jambuka sangat terkejut dan menyesal telah berbuat jahat dan telah menipu orang lain.
Ia berlutut di hadapan Sang Buddha, dan Sang Buddha memberinya selembar kain untuk dikenakan. Sang Buddha memberikan khotbah; dan pada akhir khotbah, Jambuka mencapai tingkat kesucian arahat serta menjadi murid Sang Buddha.
Murid-murid Jambuka dari Anga dan Magadha datang dan mereka sangat terkejut melihat Jambuka bersama Sang Buddha. Jambuka menjelaskan kepada mereka bahwa ia telah menjadi murid Sang Buddha.
Kepada mereka Sang Buddha berkata meskipun guru mereka telah hidup dengan sederhana dengan makan makanan yang sangat sederhana, hal itu tidak bermanfaat walaupun seperenambelas bagian dari latihan dan perkembangannya saat ini.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 70 berikut :
Biarpun bulan demi bulan orang bodoh memakan makanannya dengan ujung rumput kusa, namun demikian ia tidak berharga seperenam belas bagian dari mereka yang telah mengerti Dhamma dengan baik.
Murid utama Sang Buddha, Maha Moggallana Thera sedang dalam perjalanan untuk menerima dana makanan bersama Lakkhana Thera di Rajagaha. Ketika melihat sesuatu, beliau tersenyum tetapi tidak mengatakan apa-apa.
Setelah tiba di vihara, Maha Moggallana Thera memberitahu Lakkhana Thera bahwa beliau tersenyum karena beliau melihat makhluk peta dengan kepala manusia dan bertubuh ular.
Sang Buddha berkata bahwa Beliau sendiri telah melihat makhluk peta pada saat Beliau mencapai Penerangan Sempurna. Sang Buddha juga menerangkan bahwa beberapa waktu yang lampau, ada seorang Paccekabuddha, yang dihormati oleh banyak orang. Orang-orang pergi ke vihara melewati suatu ladang. Pemilik ladang tersebut khawatir ladangnya akan rusak disebabkan oleh banyak orang lalu lalang pergi ke vihara, kemudian ia membakar vihara itu. Akibatnya Paccekabuddha harus berpindah ke tempat lain. Murid-murid Paccekabuddha menjadi sangat marah kepada pemilik ladang tersebut, mereka memukuli dan membunuhnya.
Pemilik ladang itu dilahirkan kembali di neraka Avici. Kelahirannya saat sekarang ini sebagai makhluk setan merupakan akibat dari perbuatan buruk yang telah ia lakukan pada masa lampau.
Pada akhir penjelasannya, Sang Buddha berkata,"Sebuah perbuatan buruk tidak langsung berbuah, tetapi akan selalu mengikuti pembuat kejahatan. Tidak ada yang dapat bebas dari akibat perbuatan jahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 71 berikut :
Suatu perbuatan jahat yang telah dilakukan tidak segera menghasilkan buah, seperti air susu yang tidak langsung menjadi dadih; demikianlah perbuatan jahat itu membara mengikuti orang bodoh, seperti api yang ditutupi abu.
Syair 72
(13) Kisah Satthikutapeta
Murid utama Maha Moggallana melihat makhluk setan (Peta) yang sangat besar ketika sedang menerima dana makanan bersama Lakkhana Thera.
Berkenaan dengan hal ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa makhluk itu bernama Satthikuta, pada salah satu kehidupannya yang lampau, adalah seorang yang sangat berbakat melempar batu. Pada suatu hari, dia minta izin dari gurunya untuk menguji ketrampilannya. Gurunya berkata agar tidak melempar seekor sapi, atau manusia, yang akan menyebabkan dia harus membayar kerugian kepada pemiliknya atau saudara-saudaranya. Tetapi disarankan untuk mencari sasaran yang tidak ada pemiliknya atau tidak dijaga.
Ketika melihat seorang Paccekabuddha, orang bodoh itu, berpikir bahwa Paccekabuddha, tidak mempunyai pemilik atau penjaga, adalah sasaran yang tepat. Maka dia melempar sebuah batu kepada Paccekabuddha yang sedang berpindapatta. Batu itu masuk ke dalam satu telinga Paccekabuddha dan keluar pada telinga satunya. Paccekabuddha itu meninggal dunia begitu sampai di vihara. Pelempar batu itu mati dibunuh oleh pengikut-pengikut Paccekabuddha, dan ia dilahirkan kembali di neraka Avici.
Setelah itu, dia dilahirkan kembali sebagai makhluk setan dan sejak itu dia mengalami akibat dari perbuatan buruk yang telah dilakukan, sebagai makhluk setan dengan kepala yang sangat besar dan selalu dipukul dengan palu yang membara.
Pada akhir penjelasan, Sang Buddha berkata,"Bagi orang bodoh, ketrampilan atau pengetahuan tidak ada gunanya; hanya akan membahayakan dirinya sendiri."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 72 berikut :
Orang bodoh mendapat pengetahuan dan kemashuran yang menuju kepada kehancuran. Pengetahuan dan kemashurannya itu akan menghancurkan semua perbuatan baiknya dan akan membelah kepalanya sendiri.
Syair 73 dan 74
(14) Kisah Citta, Seorang Perumah Tangga
Citta, seorang perumah tangga, suatu hari berjumpa dengan Mahanama Thera, salah seorang dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggiya), yang sedang berpindapatta, dan mengundang thera tersebut ke rumahnya.
Di sana, ia mendanakan makanan kepada thera tersebut dan setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Mahanama Thera, Citta mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian, Citta membangun sebuah vihara di kebun mangganya. Di sana, ia memenuhi kebutuhan semua bhikkhu yang datang ke viharanya dan bhikkhu Suddhamma tinggal di tempat itu.
Suatu hari, dua orang murid utama Sang Buddha, Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha Moggallana, datang ke vihara tersebut. Setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Y.A. Sariputta, Citta mencapai tingkat kesucian anagami.
Kemudian, ia mengundang dua murid utama Sang Buddha tersebut ke rumahnya untuk menerima dana makan esok hari. Ia juga mengundang bhikkhu Suddhamma, tetapi beliau menolak dengan marah dan berkata,"Kamu mengundangku setelah mengundang dua bhikkhu tersebut."
Citta mengundang kembali undangannya, tetapi undangan tersebut ditolak. Walaupun demikian, bhikkhu Sudhamma pergi ke rumah Citta pagi-pagi keesokan harinya. Ketika dipersilakan masuk, Sudhamma menolak dan berkata bahwa dia tidak akan duduk karena dia sedang berpindapatta.
Ketika dia melihat makanan yang didanakan kepada dua orang murid utama Sang Buddha, dia sangat iri dan tidak dapat menahan kemarahannya. Dia mencaci Citta dan berkata, "Aku tidak ingin tinggal lebih lama di viharamu!", dan meninggalkan rumah tersebut dengan penuh kemarahan.
Dari sana, dia mengunjungi Sang Buddha dan melaporkan segala yang telah terjadi. Kepadanya, Sang Buddha berkata,"Kamu telah menghina seorang umat awam yang berdana dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati. Kamu lebih baik kembali ke sana dan mengakui kesalahanmu." Sudhamma melakukan apa yang telah dikatakan oleh Sang Buddha, tetapi Citta tidak menghiraukan; maka dia kembali menghadap Sang Buddha untuk kedua kalinya. Sang Buddha, mengetahui bahwa kesombongan Sudhamma telah berkurang pada waktu itu. Kemudian Beliau berkata, "Anakku, seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak mempunyai ikatan; seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak terikat dengan berkata, ‘ini adalah viharaku, ini tempatku, dan ini adalah muridku,’ dan sebagainya, dengan berpikir demikian keterikatan dan kesombongan akan bertambah."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 73 dan 74 berikut ini :
Seorang bhikkhu yang bodoh menginginkan ketenaran yang keliru, ingin menonjol di antara para bhikkhu, ingin berkuasa dalam vihara-vihara, dan ingin dihormati oleh semua keluarga.
"Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal ini hanya dilakukan olehku; dalam semua pekerjaan besar atau kecil mereka menunjuk diriku," demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu; dan keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.
Setelah khotbah Dhamma itu berakhir, Sudhamma pergi ke rumah Citta, dan pada saat itu mereka dapat berdamai. Dalam waktu tidak beberapa lama, Sudhamma mencapai tingkat kesucian arahat.
Syair 75
(15) Kisah Samanera Tissa Yang Berdiam di Hutan
Tissa adalah seorang putra hartawan dari Savatthi. Ayahnya biasa memberi dana makanan kepada Murid Utama Sang Buddha, Sariputta Thera di rumahnya.
Ketika masih kecil Tissa sering berjumpa dengan Murid Utama pada setiap kesempatan. Pada umur 7 tahun ia menjadi seorang samanera di bawah bimbingan Sariputta Thera. Ketika ia tinggal di Vihara Jetavana, banyak teman dan saudara-saudaranya yang mengunjunginya, membawa pemberian/hadiah dan dana. Samanera berpikir bahwa kunjungan ini sangat menjemukan.
Setelah mempelajari salah satu obyek meditasi, ia pergi ke sebuah vihara yang terletak di dalam hutan. Setiap kali penduduk mendanakan sesuatu, Tissa hanya berkata " Semoga kamu berbahagia, bebas dari penderitaan," (Sukhita hotha, dukkha muccatha), dan kemudian ia berlalu.
Ketika tinggal di vihara dalam hutan, ia tekun dan rajin berlatih meditasi, dan pada akhir bulan ketiga ia mencapai tingkat kesucian arahat.
Setelah selesai masa vassa, Y.A. Sariputta ditemani oleh Y.A. Maha Moggallana dan beberapa orang bhikkhu senior datang mengunjungi Samananera Tissa, dengan seizin Sang Buddha.
Seluruh penduduk desa hadir untuk menyambut Y.A. Sariputta bersama rombongan 4.000 bhikkhu. Mereka juga memohon agar Y.A. Sariputta berkenan menyampaikan khotbah, tetapi murid utama tersebut meminta muridnya, Samanera Tissa, untuk menyampaikan khotbah kepada penduduk desa.
Para penduduk desa, berkata bahwa guru mereka, Samanera Tissa, hanya dapat berkata, "Semoga anda berbahagia, bebas dari penderitaan," dan mohon kepada Y.A. Sariputta untuk menugaskan bhikkhu yang lain.
Tetapi Y.A. Sariputta tetap meminta Samanera Tissa untuk memberikan khotbah Dhamma, dan berkata kepada Tissa, "Tissa, berkatalah kepada mereka tentang Dhamma dan tunjukkan kepada mereka bagaimana mencapai kebahagiaan dan bagaimana bebas dari penderitaan."
Untuk memenuhi permintaan gurunya, Samanera Tissa pergi ke tempat khusus untuk menyampaikan khotbah Dhamma. Ia menjelaskan kepada para penduduk desa, arti kelompok kehidupan (khandha), landasan indria dan obyek indria (ayatana), faktor-faktor menuju Penerangan/Pencerahan Sempurna (Bodhipakkhiya Dhamma), jalan menuju kesucian arahat dan nibbana, dan sebagainya. Akhirnya, ia menjelaskan,"Siapa saja yang mencapai tingkat kesucian arahat akan terbebas dari semua penderitaan dan mencapai ‘kedamaian sempurna’; sementara yang lainnya masih berputar-putar pada lingkaran tumimbal lahir (samsara)."
Y.A. Sariputta memuji Tissa telah menyampaikan khotbah Dhamma dengan baik.
Fajar mulai menyingsing ketika ia menyelesaikan uraiannya, dan seluruh penduduk desa sangat terpesona. Beberapa dari mereka terkejut karena Samanera Tissa memahami Dhamma dengan baik, tetapi mereka juga merasa tidak puas karena pada awalnya ia hanya sedikit mengajarkan Dhamma kepada mereka; sedangkan yang lain merasa bahagia mengetahui samanera tersebut sangat terpelajar dan merasa bahwa mereka sangat beruntung Samanera Tissa berada di antara mereka.
Sang Buddha, dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, melihat dari Vihara Jetavana bahwa timbul dua kelompok penduduk desa, kemudian Beliau menampakkan diri; untuk menjernihkan kesalahpahaman yang ada.
Sang Buddha hadir ketika para penduduk desa sedang menyiapkan makanan untuk para bhikkhu. Maka, mereka mempunyai kesempatan untuk berdana makanan kepada Sang Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha berkata kepada para penduduk desa,"O umat awam, kamu semua sangat beruntung memiliki Samanera Tissa di antara kalian. Karena dengan kehadirannya di sini, Aku, murid-murid utama-Ku, bhikkhu-bhikkhu senior dan banyak bhikkhu lainnya saat ini hadir mengunjungi kalian." Kata-kata ini menyadarkan para penduduk desa bagaimana beruntungnya mereka bersama Samanera Tissa dan mereka sangat puas.
Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah kepada para penduduk desa dan para bhikkhu, dan pada akhirnya, beberapa dari mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Selesai menyampaikan khotbah, Sang Buddha pulang kembali ke Vihara Jetavana. Sore harinya, para bhikkhu memuji Samanera Tissa di hadapan Sang Buddha, "Bhante, Samanera Tissa telah melakukan sesuatu yang tidak mudah; meskipun ia telah memperoleh pemberian dan dana dari orang-orang Savatthi, tetapi meninggalkannya dan pergi hidup sederhana di dalam hutan."
Kepada mereka Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, seorang bhikkhu, apakah ia tinggal di desa ataupun di kota, seharusnya hidup tidak mengharapkan pemberian dan dana. Jika seorang bhikkhu meninggalkan semua keuntungan keduniawian dan rajin melaksanakan Dhamma, maka ia pasti akan mencapai tingkat kesucian arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 75 berikut :
Ada jalan lain menuju pada keuntungan duniawi, dan ada jalan lain yang menuju ke Nibbana. Setelah menyadari hal ini dengan jelas, hendaklah seseorang bhikkhu siswa Sang Buddha tidak bergembira dalam hal-hal duniawi, tetapi mengembangkan pembebasan diri.
Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb5.htm
Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar