BRAHMANA [brahmana vagga]
(1) Kisah Brahmana Yang Memiliki Keyakinan Kuat
(2) Kisah Tiga Puluh Bhikkhu
(3) Kisah Mara
(4) Kisah Brahmana Tertentu
(5) Kisah Ananda Thera
(6) Kisah Seorang Pertapa Brahmana
(7) Kisah Sariputta Thera
(8) Kisah Mahapajapati Gotami Theri
(9) Kisah Sariputta Thera
(10) Kisah Jatila, Seorang Brahmana
(11) Kisah Seorang Brahmana Penipu
(12) Kisah Kisagotami
(13) Kisah Seorang Brahmana
(14) Kisah Uggasena, Anak dari Seorang Hartawan
(15) Kisah Dua Brahmana
(16) Kisah Brahmana Bersaudara yang Kasar
(17) Kisah Sariputta Thera
(18) Kisah Uppalavanna Theri
(19) Kisah Seorang Brahmana Tertentu
(20) Kisah Khema Theri
(21) Kisah Tissa Thera
(22) Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu
(23) Kisah Empat Samanera
(24) Kisah Mahapanthaka Thera
(25) Kisah Pilindavaccha Thera
(26) Kisah Thera Tertentu
(27) Kisah Sariputta Thera
(28) Kisah Maha Moggallana Thera
(29) Kisah Samanera Revata
(30) Kisah Candabha Thera
(31) Kisah Sivali Thera
(32) Kisah Sundarasamudda Thera
(33) Kisah Jatila Thera
(34) Kisah Jotika Thera
(35) Kisah Nataputtaka Thera
(36) Kisah Nataputtaka Thera
(37) Kisah Vangisa Thera
(38) Kisah Dhammadinna Theri
(39) Kisah Angulimala
(40) Kisah Devahita, Seorang Brahmana
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
Syair 383
(1) Kisah Brahmana Yang Memiliki Keyakinan Kuat
Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan Ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memperlakukan mereka seperti arahat dan dengan hormat mempersilakan mereka untuk memasuki rumahnya. Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.
Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.
Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "O, para bhikkhu, jika engkau tidak merasa bangga dan senang ketika diperlakukan seperti arahat, maka engkau tidak bersalah melanggar peraturan disiplin para bhikkhu yang manapun. Kenyataan brahmana tersebut memperlakukan engkau demikian karena ia sangat setia kepada para arahat. Jadi, murid-Ku, engkau harus berjuang keras mengurangi nafsu keinginan dan mencapai tingkat kesucian arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 383 berikut :
O, brahmana, berusahalah dengan tekun memotong arus keinginan dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria. Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi, O brahmana, engkau akan merealisasi nibbana, 'Yang Tidak Terciptakan'.
Syair 384
(2) Kisah Tiga Puluh Bikkhu
Pada suatu kesempatan, tiga puluh bhikkhu datang memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Y.A. Sariputta, yang mengetahui bahwa waktu itu adalah saat yang matang dan sesuai bagi para bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat, mendekati Sang Buddha dan bertanya, semata-mata hanya untuk kepentingan para bhikkhu tersebut. Pertanyaannya berbunyi demikian, "Apakah yang dimaksud dengan dua Dhamma ?"
Terhadap pertanyaan demikian, Sang Buddha menjawab, "Sariputta ! 'Meditasi Ketenangan dan Meditasi Pandangan Terang' adalah dua Dhamma tersebut."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 384 berikut :
Bila seorang brahmana telah mencapai akhir daripada dua jalan semadi (pelaksanaan Meditasi Ketenangan dan Pandangan Terang), maka semua belenggu akan terlepas dari dirinya. Karena mengerti dan telah memiliki pengetahuan, ia bebas dari semua ikatan.
Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 385
(3) Kisah Mara (Setan/Jin)
Pada suatu kesempatan, Mara datang menemui Sang Buddha, menampakkan diri berujud manusia dan bertanya kepada Beliau, "Bhante ! Anda sering mengucapkan kata 'param'. Apakah arti dari kata tersebut ?"
Sang Buddha, yang mengetahui bahwa Mara-lah yang bertanya tersebut, lalu menegurnya, "O, Mara yang jahat ! Kata 'param' dan 'aparam' tidak berarti apapun bagimu. 'Param' berarti 'pantai seberang' yang hanya dapat dicapai oleh para arahat yang telah terbebas dari kekotoran batin."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 385 berikut :
Seseorang yang tidak lagi memiliki pantai sini (enam landasan indria dalam) atau pantai sana (enam obyek indria luar), ataupun kedua-duanya (pantai sini dan pantai sana), tidak lagi bersedih dan tanpa ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 386
(4) Kisah Brahmana Tertentu
Suatu hari, seorang brahmana berpikir sendiri. "Buddha Gotama menyebut para pengikutnya dengan 'brahmana'. Saya adalah seorang brahmana jika dilihat dari kasta saya. Tidakkah saya juga dapat disebut seorang brahmana ?" Setelah berpikir, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengutarakan pendapat tersebut.
Kepadanya, Sang Buddha menjawab, "Aku tidak menyebut seseorang sebagai brahmana karena kastanya. Aku hanya menyebut seseorang sebagai brahmana jika ia telah mencapai tingkat kesucian arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 386 berikut :
Seseorang yang tekun bersemadi, bebas dari noda, tenang, telah mengerjakan apa yang harus dikerjakan, bebas dari kekotoran batin dan telah mencapai tujuan akhir (nibbana), maka ia Kusebut seorang brahmana.
Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Saat itu adalah hari purnama sidhi di bulan ke tujuh (Assayuja), ketika Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala datang menemui Sang Buddha. Raja tampak gemerlapan dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang megah. Pada waktu itu, Kaludayi Thera juga sedang berada pada ruangan yang sama dan duduk pada ujung kerumunan. Beliau sedang dalam keadaan pencerapan kesadaran yang dalam (jhana). Tubuhnya bersinar terang, dan berwarna keemasan. Dari langit, Y.A. Ananda memperhatikan bahwa matahari sedang tenggelam dan bulan baru saja muncul, baik matahari maupun bulan memancarkan cahayanya.
Y.A. Ananda memandang gemerlapnya cahaya dari raja, sang thera, dan cahaya matahari dan bulan. Akhirnya, Y.A. Ananda melihat Sang Buddha, dan tiba-tiba merasa bahwa cahaya yang bersinar dari Sang Buddha jauh melampaui cahaya yang lainnya. Karena melihat Sang Buddha bersinar dalam kedamaian dan kemegahan Beliau, Y.A. Ananda segera menghampiri Sang Buddha, dan menyambut dengan sorak sorai, "O, Bhante ! Cahaya dari tubuh-Mu yang mulia jauh melampaui cahaya dari raja, cahaya dari sang thera, cahaya dari matahari dan cahaya dari bulan."
Kepada Ananda, Sang Buddha membabarkan syair 387 berikut :
Matahari bersinar di waktu siang. Bulan bercahaya di waktu malam. Ksatria gemerlapan dengan seragam perangnya. Brahmana bersinar terang dalam semadi. Tetapi, Sang Buddha (Ia yang telah mencapai Penerangan Sempurna) bersinar dengan penuh kemuliaan sepanjang siang dan malam.
Syair 388
(6) Kisah Seorang Pertapa Brahmana
Suatu ketika hiduplah seorang pertapa di Savatthi. Suatu peristiwa berkesan pada dirinya, ketika Sang Buddha menggunakan istilah panggilan bagi semua bhikkhu pengikutNya yang meninggalkan keduniawian dengan kata : 'pabbajita'.
Karena ia juga seorang pertapa, maka ia seharusnya disebut juga seorang pabbajita (yang meninggalkan keduniawian). Jadi ia pergi menemui Sang Buddha dan bertanya mengapa ia tidak disebut seorang pabbajita.
Jawaban Sang Buddha terhadap pertanyaannya adalah demikian : "Hanya karena seseorang adalah pertapa, seseorang tidak dapat begitu saja disebut seorang pabbajita; seorang pabbajita juga harus mempunyai persyaratan lain."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 388 berikut :
Karena telah membuang kejahatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'; karena tingkah lakunya tenang, maka ia Kusebut seorang 'pertapa' (samana); dan karena ia telah melenyapkan noda-noda batin, maka ia Kusebut seorang 'pabbajjita' (orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga).
Pertapa tadi mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 389 dan 390
(7) Kisah Sariputta Thera
Y.A. Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa membicarakannya demikian : "Guru kita adalah orang yang memiliki kesabaran yang tinggi dan pengendalian diri yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar."
Karena pembicaraan mengenai Y.A. Sariputta ini sering terjadi, seorang brahmana yang mempunyai pandangan salah mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahanY.A. Sariputta.
Pada saat Y.A. Sariputta sedang berpindapatta, muncullah brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan memukul punggung beliau dengan keras menggunakan tangan. Sang thera tidak berbalik untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, tetapi meneruskan perjalanannya seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut. Ia berlutut di kaki Y.A. Sariputta, mengakui bahwa ia telah bersalah memukul sang thera, dan meminta maaf. Brahmana itu kemudian melanjutkan, "Yang Ariya, hendaknya engkau memaafkanku, dengan senang hati datanglah ke rumahku untuk menerima dana makanan."
Sore harinya para bhikkhu lain memberitahu Sang Buddha bahwa Y.A. Sariputta telah pergi untuk menerima dana makanan ke rumah seorang brahmana yang telah memukulnya. Lebih lanjut, mereka menduga bahwa brahmana tersebut makin berani dan akan melakukan hal yang sama terhadap para bhikkhu yang lain.
Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian anagami." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 389 dan 390 berikut ini :
Janganlah seseorang memukul brahmana, juga janganlah brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya. Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana, tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang menjadi marah kepada orang yang telah memukulnya.
Tak ada yang lebih baik bagi seorang 'brahmana' selain menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan. Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahatnya, maka lebih cepat pula penderitaannya akan berakhir.
Syair 391
(8) Kisah Mahapajapati Gotami Theri
Mahapajapati Gotami adalah ibu tiri dari Buddha Gotama. Pada saat kematian Ratu Maya, tujuh hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha, Mahapajapati Gotami menjadi permaisuri dari Raja Suddohodana. Pada waktu itu, putra kandungnya sendiri, Nanda, baru berusia lima hari. Ia rela anak kandungnya sendiri diberi makan oleh pembantu, dan dirinya sendiri memberi makan Pangeran Siddhattha, calon Buddha. Maka, Mahapajapati Gotami telah melakukan pengorbanan besar bagi Pangeran Siddhattha.
Ketika Pangeran Siddhattha berkunjung ke Kapilavatthu setelah mencapai Ke-Buddha-an, Mahapajapati Gotami datang menemui Sang Buddha dan mohon agar kaum wanita juga diizinkan untuk memasuki pasamuan bhikkhuni. Tetapi Sang Buddha menolak memberi izin. Kemudian, Raja Suddhodana meninggal dunia setelah mencapai tingkat kesucian arahat. Ketika Sang Buddha sedang berjalan di hutan Mahavana dekat Vesali, Mahapajapati, disertai oleh lima ratus wanita, berjalan dari Kapilavatthu menuju Vesali. Mereka telah mencukur rambut mereka dan telah menggunakan jubah yang sudah dicelup. Di sana, untuk kedua kalinya, Mahapajapati memohon kepada Sang Buddha untuk menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni. Y.A. Ananda juga mendukung kehendak para wanita tersebut.
Akhirnya Sang Buddha memenuhi kehendak itu dengan syarat bahwa Mahapajapati hendaknya mematuhi delapan kewajiban khusus (garudhamma). Mahapajapati bersedia mematuhi garudhamma tersebut seperti yang diharapkan Sang Buddha. Kemudian Beliau menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni.
Mahapajapati adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Mahapajapati oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.
Setelah berlangsungnya waktu, terpikir oleh beberapa bhikkhuni bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak sah diterima sebagai seorang bhikkhuni karena ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Oleh karena itu Mahapajati bukanlah seorang bhikkhuni yang sesungguhnya. Berdasarkan pemikiran yang demikian, mereka berhenti melakukan upacara uposatha dan upacara vassa (pavarana) bersama Mahapajapati Gotami.
Mereka pergi menemui Sang Buddha, dan mengajukan permasalahan bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak dengan sah diterima dalam pasamuan bhikkhuni karena ia tidak mempunyai pembimbing.
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Mengapa kalian berkata demikian ? Saya sendiri memberikan delapan kewajiban khusus (garudhamma) kepada Mahapajapati, dan ia telah memahami serta melakukan garudhamma seperti yang Kuharapkan. Saya sendiri pembimbingnya dan adalah salah jika kalian mengatakan bahwa ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Kalian hendaknya tidak meragukan apapun yang dilakukan oleh seorang arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 391 berikut :
Seseorang yang tidak lagi berbuat jahat melalui badan, ucapan, dan pikiran, serta dapat mengendalikan diri dalam tiga saluran perbuatan ini, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 392
(9) Kisah Sariputta Thera
Yang Ariya Sariputta lahir dari orangtua brahmana dari desa Upatissa ; sehingga ia diberi nama Upatissa. Ibunya bernama Sari. Teman dekatnya adalah Kolita, seorang brahmana muda, anak dari Moggali. Kedua anak muda ini sedang mencari ajaran yang benar, yang akan mengantar mereka menuju kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Keduanya mempunyai keinginan yang kuat untuk memasuki kelompok religius.
Pertama-tama, mereka pergi kepada Sanjaya, tetapi mereka tidak puas dengan ajarannya. Kemudian mereka mengembara ke seluruh Jambudipa mencari seorang guru yang dapat menunjukkan mereka jalan menuju ke keadaan yang tanpa kematian. Tetapi pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Setelah beberapa waktu, mereka berpisah dengan kesepakatan bahwa siapa yang menemukan dhamma sejati terlebih dahulu akan memberitahu yang lain.
Pada suatu saat Sang Buddha tiba di Rajagaha, dengan rombongan para bhikkhu, termasuk Assaji Thera, salah satu dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggi). Ketika Assaji Thera sedang berjalan menerima dana makanan, Upatissa melihat sang thera, ia sangat terkesan dengan wajah dan penampilan thera yang mulia. Sehingga Upatissa dengan penuh hormat mendekati sang thera dan bertanya siapakah gurunya, ajaran apakah yang diajarkannya, dan juga mohon secara singkat mengajarkan ajarannya kepada dirinya.
Assaji Thera menjawab Upatissa tentang kedatangan Sang Buddha dan perjalananNya di Vihara Veluvana dekat Rajagaha. Sang thera juga mengutip satu bait yang terdapat dalam 'Empat Kebenaran Mulia'.
Syair itu demikian :
Ye dhamma hetuppa bhava
Tesam hetum tahtagato aha
Tesanca yo nirodho
Evam vadi maha samano
Yang berarti :
Sang Tathagata telah menjelaskan sebab dan juga terhentinya semua fenomena yang muncul dari suatu sebab. Ini adalah ajaran yang telah disampaikan oleh Pertapa Agung.
Ketika saat pertengahan syair ini diucapkan, Upatissa mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Seperti telah dijanjikan bersama, Upatissa pergi menemui temannya Kolita untuk memberitahukan bahwa ia telah menemukan Dhamma sejati. Kemudian dua sahabat tersebut, disertai dengan dua ratus lima puluh pengikutnya, pergi menemui Sang Buddha yang waktu itu berada di Rajagaha. Ketika mereka tiba di Vihara Veluvana, mereka mohon izin untuk memasuki pasamuan bhikkhu, dan keduanya, Upatissa dan Kolita, beserta dua ratus lima puluh pengikutnya, diterima sebagai bhikkhu. Upatissa, anak dari Sari, dan Kolita, anak dari Moggali, kemudian dikenal sebagai Sariputta dan Moggallana.
Segera setelah penerimaan mereka dalam pasamuan bhikkhu, Sang Buddha menjelaskan Dhamma secara terperinci kepada mereka. Moggallana dan Sariputta mencapai tingkat kesucian Arahat masing-masing pada akhir hari ke tujuh dan hari ke limabelas.
Y.A. Sariputta selalu mengingat bahwa ia telah dapat bertemu dengan Sang Buddha, dan mencapai keadaan tanpa kematian melalui Y.A. Assaji. Jadi, ia selalu menghormat dengan cara membungkukkan badan ke arah di mana gurunya berada dan selalu tidur dengan kepala menghadap ke arah yang sama.
Bhikkhu-bhikkhu lain yang tinggal bersamanya di Vihara Jetavana salah mengartikan tindakannya dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante ! Y.A. Sariputta masih menyembah ke bermacam-macam arah, Timur, Selatan, Barat, Utara, Atas, dan Bawah, seperti yang dilakukannya sebagai seorang brahmana muda. Nampaknya ia belum meninggalkan kepercayaan lamanya."
Sang Buddha memanggil Yang Ariya Sariputta dan, Sariputta menjelaskan pada Sang Buddha bahwa ia hanya menghormat dengan membungkukkan badan kepada gurunya, Y.A. Assaji, dan ia tidak menyembah ke bermacam-macam arah. Sang Buddha puas dengan penjelasan yang diberikan oleh Y.A. Sariputta dan berkata kepada bhikkhu-bhikkhu yang lain, "Para bhikkhu ! Sariputta tidak menyembah ke bermacam-macam arah. Ia hanya menghormat dengan membungkukkan badan kepada gurunya, karena melalui dialah ia dapat mencapai 'Keadaan Tanpa Kematian'. Adalah hal yang benar dan tepat baginya untuk menghormat kepada guru seperti itu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 392 berikut :
Apabila melalui orang lain seseorang dapat mengenal Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha maka hendaklah ia menghormati orang tersebut, seperti seorang brahmana menghormati api sucinya.
Syair 393
(10) Kisah Jatila, Seorang Brahmana
Suatu ketika, seorang pertapa brahmana berpikir sendiri bahwa Sang Buddha menyebut pengikutnya 'brahmana' dan bahwa dirinya adalah brahmana karena kelahirannya, seharusnya juga disebut seorang 'brahmana'. Karena berpikir demikian, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengemukakan pandangannya. Tetapi Sang Buddha menolak pandangannya, dan berkata, "O brahmana, Aku tidak menyebut seseorang brahmana karena ia membiarkan rambutnya terjalin atau hanya karena kelahirannya. Aku menyebut seseorang brahmana; hanya jika ia secara penuh memahami 'Empat Kebenaran Mulia'."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 393 berikut :
Bukan karena rambut dijalin, keturunan, ataupun kelahiran, seseorang menjadi brahmana. Tetapi orang yang memiliki kejujuran dan kebajikan yang pantas menjadi seorang 'brahmana', orang yang suci.
Syair 394
(11) Kisah Seorang Brahmana Penipu
Suatu ketika, seorang brahmana penipu memanjat sebatang pohon dekat batas kota Vesali dan membiarkan dirinya tergantung terbalik seperti seekor kelelawar pada salah satu cabang/ranting pohon tersebut. Dari posisi yang sangat aneh ini, ia terus berkomat kamit, "O, manusia ! Bawakan aku seratus kepala sapi, banyak keping perak dan sejumlah budak. Jika kamu tidak membawakannya untukku, dan jika aku jatuh dari pohon ini dan meninggal dunia, maka kotamu ini pasti akan hancur." Orang-orang kota tersebut, karena takut bahwa kotanya akan hancur jika brahmana tersebut jatuh dan meninggal dunia, membawakan semua yang dimintanya dan memohon dengan sangat padanya untuk turun.
Para bhikkhu yang mendengar kejadian ini memberitahu Sang Buddha, dan Sang Buddha menjawab bahwa seorang penipu hanya dapat memperdayai orang-orang bodoh tetapi bukan orang-orang yang bijaksana.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 394 berikut :
Wahai orang bodoh, apa gunanya engkau menjalin rambutmu serta mengenakan pakaian kulit menjangan ? Engkau hanya membersihkan bagian luarmu, tetapi hatimu masih penuh dengan kekotoran.
Syair 395
(12) Kisah Kisagotami
Pada suatu kesempatan, Sakka, raja dewa, datang bersama dengan para pengikutnya untuk menghormat Sang Buddha. Pada saat yang bersamaan, Kisagotami Theri, dengan kemampuan batin luar biasa (kesaktian) yang dimilikinya datang melalui angkasa untuk menghormat Sang Buddha. Tetapi ketika ia melihat Sakka dan rombongannya sedang menghormat Sang Buddha, ia menarik diri.
Sakka, yang melihat wanita tersebut, bertanya kepada Sang Buddha siapakah wanita tersebut, dan Sang Buddha menjawab, "O, Sakka ! Ia adalah muridKu, Kisagotami. Suatu ketika, ia datang kepadaKu dengan dukacita dan penderitaan karena kehilangan anak laki-lakinya dan Aku membuatnya melihat kenyataan alamiah tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan dan ketanpaintian dari segala sesuatu yang berkondisi. Sebagai hasilnya ia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setelah masuk dalam pasamuan bhikkhuni, ia menjadi seorang arahat. Ia adalah salah satu dari pengikut wanita utama-Ku, dan tidak ada bandingnya dalam hasil latihan pertapaan, yang mengenakan jubah yang terbuat dari potongan-potongan kain tak terpakai."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 395 berikut :
Seseorang yang mengenakan jubah kain bekas (pamsukula), kurus, otot-otot terlihat pada seluruh tubuhnya, bersemadi seorang diri dalam hutan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 396
(13) Kisah Seorang Brahmana
Suatu ketika, seorang brahmana dari Savatthi berpikir bahwa karena Sang Buddha menyebut para pengikutnya 'brahmana', ia seharusnya juga disebut seorang 'brahmana' karena ia lahir dari orang tua brahmana. Ketika ia menceritakan hal ini kepada Sang Buddha, Sang Buddha memberi jawaban kepadanya, "O, brahmana ! Aku tidak menyebut seseorang sebagai seorang brahmana hanya karena ia dilahirkan oleh orang tua brahmana. Aku menyebutnya seorang brahmana hanya jika ia terbebas dari kekotoran batin dan telah memotong semua keterikatan pada kehidupan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 396 berikut :
Aku tidak menyebutnya seorang 'brahmana' hanya karena ia berasal dari keluarga brahmana atau karena ia lahir dari kandungan seorang ibu brahmana. Apabila dirinya masih penuh dengan noda, maka ia hanyalah seorang brahmana karena keturunan. Tetapi orang yang tanpa noda dan telah bebas dari semua ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 397
(14) Kisah Uggasena, Anak dari Seorang Hartawan
[Kisah ini merupakan kelanjutan kisah Bab XXIV nomor (6)]
Setelah menikah dengan seorang penari dari suatu rombongan sirkus, Uggasena dilatih oleh ayah mertuanya yang merupakan seorang pemain akrobat, sehingga ia menjadi sangat ahli di bidang akrobatik. Suatu hari ketika ia sedang mendemonstrasikan keahliannya, Sang Buddha datang ke tempat itu. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Uggasena mencapai tingkat kesucian arahat, ketika ia sedang melakukan atraksi yang hebat sekali di puncak dari sebatang galah bambu yang panjang.
Setelah itu, ia turun dari galah dan memohon dengan sangat kepada Sang Buddha untuk menerimanya sebagai seorang bhikkhu dan kemudian ia diterima dalam pasamuan bhikkhu.
Suatu hari, ketika pada bhikkhu yang lain menanyakan padanya apakah ia tidak mempunyai segala macam perasaan takut ketika sedang turun dari tempat yang amat tinggi (sekitar sembilan puluh kaki), ia mengatakan tidak. Para bhikkhu tersebut menanggapi dan mengartikan hal itu sebagai cara Uggasena untuk menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Oleh karena itu, mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante ! Uggasena menyatakan diri sebagai seorang arahat; dia pasti mengatakan suatu kebohongan." Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, seseorang yang telah memotong semua belenggu, seperti murid-Ku Uggasena, tidak lagi memiliki ketakutan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 397 berikut :
Ia telah memotong semua belenggu, tidak lagi gemetar, yang bebas dan telah mematahkan semua ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 398
(15) Kisah Dua Brahmana
Pada suatu ketika tinggallah di Savatthi dua orang brahmana, yang masing-masing mempunyai seekor sapi jantan. Masing-masing menyatakan bahwa sapi jantan miliknyalah yang lebih baik dan lebih kuat. Akhirnya, mereka setuju untuk membawa hewan milik mereka ke dalam suatu uji coba.
Mereka pergi ke tepi sungai Aciravati dan mengisi sebuah gerobak dengan pasir. Satu demi satu sapi-sapi jantan tersebut menarik gerobak tersebut, tetapi sia-sia, karena gerobak tersebut tidaklah bergerak dan hanya talinya yang putus.
Para bhikkhu yang melihat hal tersebut memberitahukannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu ! Adalah sangat mudah untuk memutuskan tali pengikat yang dapat engkau lihat dengan matamu; siapapun dapat memutuskannya atau memotongnya. Tetapi murid-Ku, seorang bhikkhu, seharusnya memotong ikatan dari itikad jahat, dan tali kulit dari nafsu keinginan yang ada di dalam dirimu dan yang mengikatmu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan yair 398 berikut :
Ia yang telah memotong sabuk kebencian, tali kulit nafsu keinginan dan tali rami pandangan keliru serta semua kekotoran batin laten (anusaya); ia yang telah menyingkirkan kayu penghalang (kebodohan) dan menyadari kebenaran, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 399
(16) Kisah Brahmana Bersaudara yang Kasar
Suatu ketika ada seorang brahmana, yang istrinya mempunyai kebiasaan latah/mengatakan tanpa berpikir terlebih dahulu beberapa kata-kata kapan saja ia bersin, atau ketika sesuatu/seseorang menyentuhnya tanpa sadar. Suatu hari, brahmana itu mengundang beberapa teman-temannya untuk makan dan tiba-tiba istri brahmana mengucapkan beberapa kata tanpa dipikir terlebih dahulu. Karena ia adalah seorang sotapanna, kata-kata "Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa" secara otomatis keluar dari mulutnya. Kata-kata pemuliaan bagi Sang Buddha ini sangat tidak disukai oleh suaminya, yang seorang brahmana. Sehingga, dalam kemarahannya, ia pergi menemui Sang Buddha berharap untuk mengajukan beberapa pertanyaan yang menantang Sang Buddha.
Pertanyaan pertamanya adalah, "Apakah yang harus kita bunuh untuk dapat hidup dengan bahagia dan damai ?" dan pertanyaan keduanya adalah, "Membunuh Dhamma yang mana Anda setujui ?"
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, "O, brahmana, untuk dapat hidup dengan bahagia dan damai, seseorang harus dapat membunuh kebencian (dosa). Membunuh kebencian seseorang adalah yang disenangi dan dipuji oleh para Buddha dan para arahat."
Setelah mendengar kata-kata Sang Buddha, brahmana tersebut menjadi sangat terkesan dan puas dengan jawaban tersebut, sehingga ia mohon untuk diijinkan masuk dalam pasamuan bhikkhu. Ia diterima masuk dalam pasamuan bhikkhu dan kelak ia menjadi seorang arahat.
Brahmana ini mempunyai seorang saudara laki-laki yang sangat terkenal karena kata-kata hinaannya dan dikenal sebagai Akkosaka Bharadvaja, Bharadvaja yang suka menghina/berkata kasar. Ketika Akkosaka Bharadvaja mendengar bahwa saudara laki-lakinya telah masuk dalam pasamuan bhikkhu, ia menjadi sangat marah. Ia langsung pergi ke vihara dan berkata kasar kepada Sang Buddha.
Sang Buddha pada gilirannya bertanya, "O, brahmana, kita misalkan, engkau menawarkan beberapa makanan kepada beberapa tamu dan mereka meninggalkan rumah tanpa mengambil makanan tersebut. Karena tamu tersebut tidak menerima makananmu itu, kemudian makanan itu menjadi milik siapa ?"
Brahmana tersebut menjawab, bahwa makanan itu menjadi miliknya.
Setelah menerima jawaban tersebut, Sang Buddha berkata, "Dengan cara yang sama, O brahmana, karena Aku tidak menerima hinaan/kata-kata kasarmu, maka hinaan tersebut akan kembali kepadamu."
Akkosaka Bharadvaja dengan segra menyadari kebijaksanaan dari kata-kata tersebut dan ia menaruh rasa hormat kepada Sang Buddha. Ia juga memasuki pasamuan bhikkhu, kemudian ia menjadi seorang arahat.
Setelah Akkosaka Bharadvaja memasuki kelompok, dua saudara laki-lakinya juga datang menemui Sang Buddha dengan tujuan yang sama yaitu menghina/berkata kasar kepada Sang Buddha. Mereka juga dibuat melihat cahaya Kebenaran oleh Sang Buddha dan mereka juga, pada gilirannya memasuki pasamuan. Akhirnya, mereka berdua juga menjadi arahat.
Suatu sore, pada saat berkumpulnya para bhikkhu, para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, "O betapa indahnya dan betapa agungnya kebajikan Sang Buddha ! Empat brahmana bersaudara datang kemari untuk menghina Sang Buddha, daripada berdebat dengan mereka; Beliau membuat mereka melihat cahaya, dan sebagai hasilnya, Sang Buddha telah menjadi pelindung bagi mereka."
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Karena Aku sabar dan menahan diri, dan tidak melakukan kesalahan kepada mereka yang melakukan kesalahan kepadaKu, Aku menjadi pelindung bagi banyak orang."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 399 berikut :
Seseorang yang tidak marah yang dapat menahan hinaan, penganiayaan, dan hukuman, yang memiliki senjata kesabaran, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 400
(17) Kisah Sariputta Thera
Ketika Sang Buddha sedang menetap di Vihara Veluvana, Y.A. Sariputta, disertai dengan lima ratus bhikkhu, memasuki desa Nalaka dan berdiri di muka pintu rumah ibunya sendiri untuk berpindapatta. Ibunya mengundang mereka masuk ke dalam rumah.
Ketika ia sedang memberikan makanan kepada anaknya, ia berkata, "O, kau pemakai barang yang tersisa, kau yang telah meninggalkan delapan puluh mata uang crore, untuk menjadi seorang bhikkhu, kau telah menghancurkan kami."
Kemudian ia memberikan makanan kepada para bhikkhu yang lain, dan berkata kepada mereka dengan kasar, "Kalian semua telah menggunakan anakku sebagai pembantu kalian; sekarang makanlah makananmu."
Y.A. Sariputta tidak berkata apapun ataupun menanggapinya tetapi beliau hanya dengan lembut hati mengambil mangkuk tempat makanan dan pulang kembali ke vihara.
Setelah tiba di vihara, para bhikkhu memberiahu Sang Buddha bagaimana Y.A. Sariputta dengan telah bersikap sabar, dan menahan diri terhadap kata-kata hinaan dari ibunya. Kepada mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa para arahat tidak pernah marah, mereka tidak pernah kehilangan kesabarannya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 400 berikut :
Seseorang yang telah bebas dari kemarahan, taat, bajik, bebas dari nafsu keinginan, terkendali dan yang memilki tubuh ini sebagai tubuh akhir, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 401
(18) Kisah Uppalavanna Theri
[Kisah ini merupakan kelanjutan kisah Bab V nomor (10)]
Suatu waktu beberapa bhikkhu sedang membicarakan tentang Arahat Uppalavanna Theri yang telah diganggu oleh Nanda muda, yang kemudian ditelan bumi. Dalam kaitan ini, mereka bertanya kepada Sang Buddha apakah arahat tidak menikmati kesenangan hawa nafsu karena mereka mempunyai susunan tubuh yang sama seperti layaknya orang lain.
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Para arahat tidak menikmati kesenangan hawa nafsu; mereka tidak menuruti kehendak dalam kesenangan hawa nafsu, karena mereka tidak lagi melekat pada obyek indria dan pada kesenangan hawa nafsu, seperti air yang tidak melekat pada daun teratai atau biji lada yang berada pada ujung jarum."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 401 berikut :
Seseorang yang tidak lagi melekat pada kesenangan-kesenangan indria, seperti air di atas daun teratai atau seperti biji lada di ujung jarum, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 402
(19) Kisah Seorang Brahmana Tertentu
Ada seorang budak muda milik seorang brahmana. Suatu hari, setelah melarikan diri dari rumah tuannya, ia memasuki pasamuan bhikkhu, dan pada saatnya ia mencapai tingkat kesucian arahat. Pada suatu kesempatan, ketika ia sedang pergi untuk berpindapatta dengan Sang Buddha, bekas tuannya dahulu, seorang brahmana melihat dan menariknya dengan kuat dengan menggunakan seutas tali. Ketika Sang Buddha menanyakan apa permasalahannya, brahmana tersebut menjelaskan bahwa bhikkhu muda tersebut pernah menjadi budaknya.
Kepadanya Sang Buddha berkata, "Bhikkhu ini telah meletakkan beban (dari khandha-khandha/kelompok-kelompok kehidupan)." Brahmana itu mencerna hal tersebut dan mengartikan bahwa budaknya telah menjadi seorang arahat. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bertanya kepada Sang Buddha apakah benar bahwa bhikkhu tersebut telah menjadi seorang arahat, dan Sang Buddha menegaskan pernyataan-Nya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 402 berikut :
Dalam dunia ini, seseorang yang telah menyadari akhir penderitaannya sendiri, yang telah meletakkan beban dan tak terikat, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 403
(20) Kisah Khema Theri
[Lihat juga syair 347 Bab XXIV nomor (5)]
Suatu malam, Sakka, raja dewa, datang dengan para pengikutnya untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka sedang bersama Sang Buddha, Khema Theri, dengan kemampuan batin luar biasanya, juga datang melalui angkasa untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Tetapi karena Sakka dan rombongannya berada di sana bersama Sang Buddha, ia hanya menyembah dengan membungkukkan badan kepada Sang Buddha, dan segera meninggalkan Beliau. Sakka bertanya kepada Sang Buddha siapakah bhikkhuni tadi dan Sang Buddha menjawab, "Ia adalah salah satu muridKu yang paling terkenal; ia dikenal sebagai Khema Theri. Ia tidak ada bandingnya di antara para bhikkhuni dalam hal kebijaksanaan, dan ia mengetahui bagaimana membedakan jalan yang benar dan jalan yang salah."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 403 berikut :
Seseorang yang pengetahuannya dalam, pandai, dan terlatih dalam membedakan jalan yang benar dan salah, yang telah mencapai tujuan tertinggi, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 404
(21) Kisah Tissa Thera
Tissa Thera, setelah menerima sebuah obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke suatu sisi gunung. Di sana, ia menemukan sebuah gua yang sesuai baginya dan ia memutuskan untuk menghabiskan waktu tiga bulan musim hujan (masa vassa) di dalam gua tersebut. Oleh karena tinggal di dalam gua, ia pergi ke desa untuk berpindapatta setiap pagi.
Di desa itu, terdapat seorang wanita yang usianya lebih tua yang secara teratur memberikan dana makanan kepadanya. Di dalam gua, juga hidup hantu penjaga gua. Karena sang thera memiliki latihan moral (sila) yang baik, hantu gua tersebut tidak berani untuk tinggal di dalam gua yang sama dengan sang thera. Selain itu, ia juga tidak mempunyai keberanian menyuruh sang thera untuk meninggalkan gua. Jadi ia memikirkan suatu rencana yang akan mampu membuatnya menemukan kesalahan sang thera; yang kemudian menyebabkan sang thera tersebut meninggalkan gua.
Hantu gua merasuki anak laki-laki dari wanita tua yang bertempat tinggal di rumah dimana sang thera biasanya pergi untuk menerima dana makanan. Ia menyebabkan anak tersebut bertingkah laku aneh, menolehkan kepalanya ke arah belakang, dan memutar-mutarkan matanya yang terbuka lebar. Ibu anak itu menjadi kebingungan dan menangis. Hantu gua, yang merasuki anak tadi, kemudian berkata, "Biarkan gurumu, sang thera mencuci kakinya dengan air dan menuangkan air tersebut pada kepala anakmu."
Pada hari berikutnya, ketika sang thera datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan, ia melakukan seperti yang telah dianjurkan oleh hantu gua tadi dan anaknya menjadi tenang dan damai.
Hantu gua kembali ke gua dan menunggu di lubang masuk kedatangan sang thera. Ketika sang thera tiba kembali dari berpindapatta, hantu gua menampakkan dirinya dan berkata, "Akulah hantu penjaga gua ini. O, kamu, tabib, tidak boleh memasuki gua ini."
Sang thera mengetahui bahwa ia telah hidup dalam kehidupan yang bersih sejak ia menjadi thera, jadi ia menjawab bahwa ia tidak ingat mempraktekkan ilmu ketabiban. Kemudian hantu gua menuduhnya bahwa pada pagi hari ia telah menyembuhkan seorang anak muda yang dirasuki oleh raksasa pada rumah wanita tua tersebut. Tetapi sang thera tersebut menyadari hal itu sesungguhnya bukan praktek ilmu ketabiban, dan ia menyadari bahwa bahkan hantu gua tidak dapat menemukan kesalahan yang lain padanya. Hal ini memberinya suatu kepuasan yang sangat menggembirakan (piti) pada dirinya sendiri, meninggalkan kegiuran (piti) dan konsentrasi keras menuju 'Meditasi Pandangan Terang' (Vipassana).
Ia kemudian mencapai tingkat kesucian arahat di sana, ketika ia sedang berdiri pada lubang masuk gua.
Karena sang thera sekarang telah menjadi seorang arahat, ia menasihati hantu gua untuk meninggalkan gua. Sang thera terus menetap di sana sampai akhir vassa, dan kemudian ia kembali menemui Sang Buddha. Ketika ia menceritakan kepada para bhikkhu lain tentang pertemuannya dengan hantu gua, mereka bertanya apakah ia tidak marah terhadap hantu gua ketika ia dilarang masuk ke dalam gua. Sang thera menjawab tidak, tetapi para bhikkhu yang lain tidak mempercayainya. Lalu mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Tissa Thera telah menegaskan dirinya sebagai seorang arahat; ia tidak berbicara yang sebenarnya."
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, murid-Ku Tissa berbicara yang sebenarnya ketika ia berkata bahwa ia tidak marah. Ia telah sungguh-sungguh menjadi seorang arahat. Ia tidak lagi melekat kepada siapapun; ia tidak mempunyai kesempatan untuk marah kepada siapapun atau pun kepada segala sesuatu yang berhubungan dengannya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 404 berikut :
Orang yang menjauhkan diri dari masyarakat umum maupun para pertapa, yang mengembara tanpa tempat tinggal tertentu dan sedikit kebutuhannya, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 405
(22) Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu
Seorang bhikkhu setelah menerima pelajaran obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke hutan untuk melatih meditasi. Setelah ia mencapai tingkat kesucian arahat, ia kembali menemui Sang Buddha untuk menyampaikan penghormatan yang besar dan mendalam kepada Beliau.
Dalam perjalanannya ia melewati sebuah desa. Baru saja ia melewati desa tersebut, seorang wanita yang baru saja bertengkar dengan suaminya, keluar dari rumahnya dan mengikuti sang bhikkhu. Sang suami yang berjalan mengikuti istrinya, melihat istrinya berada di belakang sang bhikkhu, berpikir bahwa bhikkhu ini akan membawa pergi istrinya. Ia berteriak pada sang bhikkhu dan mengancam akan memukulnya. Istrinya memohon dengan sangat pada sang suami untuk tidak memukul bhikkhu tersebut, tetapi hal itu membuatnya menjadi makin marah. Akibatnya, bhikkhu itu dipukul berulang kali sehingga mengalami luka parah oleh sang suami. Setelah memukuli bhikkhu tersebut sepuas hatinya, ia pergi bersama istrinya dan sang bhikkhu meneruskan perjalanannya.
Setibanya di Vihara Jetavana, para bhikkhu yang lain melihat luka-luka memar di seluruh tubuh sang bhikkhu, sehingga mereka merawat luka tersebut. Ketika mereka bertanya apakah ia tidak marah kepada orang yang memukulinya berulang kali, ia menjawab tidak. Oleh karena itu para bhikkhu yang lain pergi menemui Sang Buddha dan memberitahukan bahwa sang bhikkhu dengan cara seperti itu menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Para arahat telah menyisihkan/meninggalkan tongkat dan pedang. Mereka tidak lagi menjadi marah bahkan jika mereka dipukul." Demikian, Sang Buddha menegaskan bahwa bhikkhu tadi telah, benar-benar, menjadi seorang arahat.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 405 berikut :
Seseorang yang tidak lagi menganiaya makhluk-makhluk lain, baik yang kuat maupun yang lemah, yang tidak membunuh atau menganjurkan orang lain membunuh, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 406
(23) Kisah Empat Samanera
Suatu ketika, istri dari seorang brahmana menyuruh suaminya pergi ke Vihara Jetavana utnuk mengundang empat orang bhikkhu guna menerima dana makanan di rumah mereka. Ia memberitahu suaminya untuk khusus meminta para bhikkhu senior yang juga benar-benar brahmana asli. Tetapi empat samanera arahat berusia tujuh tahun, Samkicca, Pandita, Sopaka, dan Revata yang diutus ikut bersamanya.
Ketika istrinya melihat para samanera muda tersebut, ia menjadi tidak puas dan menyalahkan sang brahmana karena membawa samanera muda yang bahkan lebih muda dari pada cucu laki-lakinya.
Ia marah kepada suaminya, dan ia menyuruh suaminya kembali ke vihara untuk mengajak bhikkhu yang lebih tua. Dalam hal itu ia tidak memberikan tempat duduk lebih tinggi yang telah dipersiapkan bagi para bhikkhu. Mereka diberikan tempat duduk yang lebih rendah dan ia tidak memberi dana makanan kepada para samanera muda itu.
Ketika sang brahmana tiba di vihara, ia menemui Y.A. Sariputta dan mengundangnya datang ke rumahnya. Ketika Y.A. Sariputta tiba di rumah sang brahmana, ia melihat empat samanera arahat yang masih muda dan bertanya kepada mereka apakah mereka telah menerima dana makanan atau belum. Karena mengetahui bahwa para samanera arahat belum diberi dana makanan dan juga bahwa makanan telah disediakan hanya untuk empat orang, Y.A. Sariputta pulang kembali ke vihara tanpa menerima dana makanan dari rumah sang brahmana tadi.
Melihat hal itu, sang istri menyuruh sang suami kembali ke vihara untuk mengajak bhikkhu senior yang lain. Kali ini, Y.A. Maha Moggallana datang bersama sang brahmana, tetapi ia juga pulang kembali ke vihara tanpa menerima dana makanan ketika beliau mengetahui bahwa para samanera muda tidak diberi dana makanan, dan juga bahwa makanan telah disediakan hanya untuk empat orang.
Pada saat itu, para samanera sedang merasa lapar. Sakka, Raja Dewa, melihat hal ini, merubah dirinya menjadi seorang brahmana tua dan datang ke rumah tersebut. Sang brahmana dan istrinya memberi hormat kepada brahmana tua itu dan memberinya sebuah tempat duduk kehormatan, tetapi Sakka hanya duduk di tanah/lantai dan memberi hormat kepada empat samanera tersebut. Kemudian ia menyatakan dirinya bahwa ia adalah Sakka.
Melihat bahwa Sakka sendiri memberi hormat kepada para samanera muda itu, sepasang brahmana tersebut memberikan dana makanan kepada mereka berlima. Setelah selesai makan, Sakka dan para samanera menunjukkan kemampuan batin luar biasa mereka dengan terbang ke angkasa menerobos atap rumah. Sakka kembali ke tempat kediamannya di alam dewa, para samanera kembali ke vihara.
Ketika para bhikkhu yang lain bertanya kepada para samanera apakah mereka tidak marah ketika sepasang brahmana tersebut menolak untuk memberikan dana makanan kepada mereka, mereka menjawab, tidak. Para bhikkhu karena tidak percaya kepada mereka, lalu memberitahu kepada Sang Buddha bahwa keempat samanera telah dengan cara seperti itu menegaskan dirinya sebagai arahat.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, para arahat tidak lagi memiliki kebencian kepada mereka yang memusuhi mereka."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 406 berikut :
Orang yang tidak membenci di antara mereka yang membenci; damai di antara mereka yang kejam; dan tidak melekat di antara yang melekat, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 407
(24) Kisah Mahapanthaka Thera
[Lihat juga syair 25 Bab II nomor (3)]
Mahapanthaka Thera telah menjadi seorang arahat ketika adik laki-lakinya Culapanthaka masuk dalam pasamuan bhikkhu. Culapanthaka sejak lahir adalah seorang yang dungu karena ia pernah menertawakan seorang bhikkhu dungu pada salah satu kehidupannya terdahulu. Culapanthaka tidak dapat bahkan mengingat satu syair dalam waktu empat bulan. Mahapanthaka menjadi kecewa dengan adiknya dan menyuruhnya untuk meninggalkan vihara karena ia tidak ada gunanya berada dalam pasamuan bhikkhu.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, mengapa meskipun ia seorang arahat, mengusir adik laki-lakinya dari vihara. Mereka juga menambahkan, "Apakah para arahat masih kehilangan kesabarannya ? Apakah mereka masih mempunyai kekotoran batin seperti keinginan jahat dalam diri mereka ?"
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Para arahat tidak mempunyai keinginan jahat seperti nafsu dan kebencian dalam diri mereka. Murid-Ku Mahapanthaka melakukan hal seperti itu dengan pengertian demi keuntungan saudaranya dan bukan karena keinginan jahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 407 berikut :
Seseorang yang nafsunya, kebenciannya, kesombongannya dan kemunafikannya telah gugur, seperti biji lada yang jatuh dari ujung jarum, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 408
(25) Kisah Pilindavaccha Thera
Pilindavaccha Thera mempunyai cara yang kurang sopan dalam menegur orang. Ia sering berkata, "Kemari, kamu orang sial", atau "Ke sana, kamu orang sial", dan hal-hal lain seperti itu. Para bhikkkhu yang lain melaporkan tentang hal itu kepada Sang Buddha.
Sang Buddha mengundangnya, dan berbicara kepadanya tentang masalah itu. Kemudian dalam refleksi batin Sang Buddha, Beliau mengetahui bahwa sepanjang lima ratus kehidupannya yang lampau, sang thera selalu dilahirkan hanya dalam lingkungan keluarga brahmana, yang menghormati diri mereka sendiri sebagai yang terbaik di antara orang lain.
Maka Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, "Para bhikkhu ! Vaccha Thera menegur orang lain sebagai 'orang sial' hanya karena kekuatan dari kebiasaan yang diperoleh dalam masa lima ratus kelahirannya sebagai seorang brahmana, dan bukan karena kebencian. Ia tidak mempunyai maksud untuk melukai orang lain, karena seorang arahat tidak melakukan kejahatan kepada yang lain."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 408 berikut :
Seseorang yang mengucapkan kata-kata halus, yang mengandung Ajaran Kebenaran, yang tidak menyinggung siapapun juga, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 409
(26) Kisah Thera Tertentu
Suatu hari, seorang brahmana dari Savatthi meletakkan pakaian miliknya di luar rumah untuk mengangin-anginkannya. Seorang thera menemukan pakaian itu ketika ia akan pulang ke vihara. Setelah berpikir bahwa selembar pakaian tersebut telah dibuang oleh seseorang dan tentunya tidak ada yang memilikinya, sang thera mengambilnya. Sang brahmana yang melihat keluar lewat jendela rumahnya melihat sang thera mengambil pakaian tersebut, menghampiri sang thera, memaki-maki dan menuduhnya, "Kau, kepala gundul! Engkau mencuri pakaianku," katanya. Sang thera dengan cepat mengembalikan selembar pakaian tersebut kepada sang brahmana.
Setelah tiba kembali di vihara, sang thera menceritakan kejadian di atas kepada para bhikkhu yang lain, dan mereka menertawakannya dan dengan bergurau mereka bertanya kepadanya apakah pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus.
Atas pertanyaan ini sang thera menjawab, "Apakah pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus tidak menjadi masalah bagiku; Aku sama sekali tidak melekat pada hal itu."
Para bhikkhu yang lain kemudian memberitahu Sang Buddha bahwa sang thera itu dengan cara seperti itu untuk menegaskan dirinya sendiri sebagai seorang arahat.
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu ! Sang thera mengatakan yang sebenarnya; seorang arahat tidak mengambil apapun yang tidak diberikan kepadanya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 409 berikut :
Dalam dunia ini, seseorang yang tak mengambil apa yang tidak diberikan, baik yang panjang atau yang pendek, kecil atau besar, baik ataupun buruk, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 410
(27) Kisah Sariputta Thera
Suatu ketika, Sariputta Thera disertai dengan lima ratus bhikkhu pergi ke sebuah vihara dekat sebuah desa kecil untuk melewatkan masa vassa. Pada akhir masa vassa, Sariputta Thera membutuhkan jubah untuk bhikkhu muda dan samanera. Lalu ia berkata pada para bhikkhu, "Jika ada orang yang datang untuk memberikan jubah, ajak mereka datang padaku atau beritahu aku." Kemudian ia meninggalkan Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Para bhikkhu yang lain salah mengerti perintah Sariputta Thera, dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante! Sariputta Thera masih melekat pada barang-barang seperti jubah dan barang keperluan bhikkhu yang lain."
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Murid-Ku Sariputta tidak memiliki lagi nafsu keinginan dalam dirinya. Ia memberitahu kalian untuk membawa jubah kepadanya, agar kesempatan untuk melakukan perbuatan bermanfaat tidak akan menurun/berkurang bagi pengikut awam, dan kesempatan menerima apapun yang pantas mereka terima tidak berkurang demi kebutuhan para bhikkhu muda dan para samanera."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 410 berikut :
Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan terhadap dunia ini maupun dunia selanjutnya, yang telah bebas dari keinginan, dan tidak lagi melekat, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 411
(28) Kisah Maha Moggallana Thera
Pada suatu kesempatan, para bhikkhu memberitahu Sang Buddha tentang Maha Moggallana Thera hal yang sama yang telah mereka katakan tentang Sariputta Thera; bahwa ia masih mempunyai kemelekatan terhadap barang-barang duniawi. Kepada mereka Sang Buddha mengatakan bahwa Maha Moggallana Thera telah memusnahkan semua nafsu keinginan.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 411 berikut :
Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan lagi, yang telah bebas dari keragu-raguan karena memiliki Pengetahuan Sempurna, yang telah menyelami keadaan tanpa kematian (nibbana), maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 412
(29) Kisah Samanera Revata
Suatu hari, para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, "Revata mendapatkan banyak pemberian dari umat, ia menjadi terkenal dan beruntung. Meskipun demikian ia tinggal sendirian di hutan, melalui kemampuan batin luar biasa ia sekarang telah membangun lima ratus vihara untuk lima ratus bhikkhu."
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, murid-Ku Revata telah memusnahkan semua nafsu keinginan; ia telah melampaui kebaikan maupun kejahatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 412 berikut :
Seseorang yang telah mengatasi kebaikan, kejahatan, dan kemelekatan, yang tidak lagi bersedih hati, tanpa noda, dan suci murni, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 413
(30) Kisah Candabha Thera
Candabha Thera, dalam salah satu kehidupannya terdahulu, membuat persembahan kayu cendana kepada sebuah stupa di mana relik Buddha Kassapa diabadikan. Karena perbuatan baik ini, ia dilahirkan kembali dalam keluarga brahmana di Savatthi. Ia dilahirkan dengan tanda yang istimewa, yaitu sebuah lingkaran cahaya yang memancar dari sekitar pusarnya. Karena lingkaran cahaya ini menyerupai bulan ia dikenal sebagai Candabha. Beberapa brahmana, mengambil keuntungan dari keistimewaan yang jarang terjadi ini, memasukkannya ke dalam kereta dan membawanya keliling kota untuk pertunjukan dan hanya orang yang membayar seratus atau seribu yang boleh menyentuhnya. Pada suatu kesempatan, mereka berhenti pada suatu tempat antara kota dan Vihara Jetavana.
Kepada para pengikut Sang Buddha yang sedang berjalan ke Vihara Jetavana, mereka berkata, "Apa gunanya engkau pergi menemui Sang Buddha dan mendengarkan khotbah Beliau ? Tidak ada seorang pun yang sehebat Candabha. Seseorang yang menyentuhnya akan menjadi kaya; mengapa engkau tidak datang dan melihatnya ?" Para pengikut itu kemudian berkata kepada para brahmana, "Hanya guru kami yang hebat; ia tidak tersaingi dan tiada bandingnya."
Kemudian para brahmana membawa Candabha menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha. Tetapi ketika Candabha sedang bersama Sang Buddha, cincin cahaya itu hilang dengan sendirinya. Ketika Candabha dibawa jauh hilang dari pandangan Sang Buddha, cincin cahaya itu kembali lagi secara otomatis; cahaya itu hilang lagi ketika ia dibawa kembali ke hadapan Sang Buddha.
Candabha kemudian meminta Sang Buddha untuk memberinya mantra (kata-kata bermakna) yang akan membuat cincin cahaya itu hilang dari pusarnya. Sang Buddha memberitahu bahwa mantra tersebut hanya akan diberikan kepada anggota pasamuan. Candabha memberitahu para brahmana bahwa ia akan mendapatkan mantra dari Sang Buddha dan setelah menguasai mantra tersebut ia akan menjadi manusia terbesar di seluruh Jambudipa. Sehingga para brahmana tersebut menunggu di luar vihara.
Dalam hal itu, Candabha menjadi seorang bhikkhu. Ia diperintahkan untuk merenungkan tubuh, yaitu untuk menggambarkan betapa menjijikkannya dan kotornya tubuh ini terdiri dari tigapuluh dua unsur pokok tubuh. Dalam beberapa hari, Candabha mencapai tingkat kesucian arahat.
Ketika para brahmana yang menunggu di luar vihara datang untuk menanyakan apakah ia telah mendapatkan mantra tersebut, Candabha menjawab, "Engkau sebaiknya pulang kembali sekarang; karena aku tidak lagi berada pada pihak yang akan pergi bersamamu." Para bhikkhu, yang mendengarnya, pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Candabha dengan cara seperti itu menegaskan bahwa ia telah menjadi seorang arahat."
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Candabha mengatakan yang sebenarnya; ia telah memusnahkan semua kekotoran batin."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 413 berikut :
Seseorang yang tanpa noda, bersih, tenang, dan jernih batinnya seperti bulan purnama, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 414
(31) Kisah Sivali Thera
Putri Suppavasa dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan kemudian selama tujuh hari ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan anaknya. Ia terus merenungkan sifat-sifat khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Ia menyuruh suaminya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingannya dan untuk memberitahu Beliau tentang keadaannya.
Ketika diberitahu mengenai keadaan putri tersebut, Sang Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan; semoga ia melahirkan anak yang sehat dan mulia dengan selamat." Ketika kata-kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan anak di rumahnya. Pada hari itu juga, segera setelah kelahiran anak tersebut, Sang Buddha beserta beberapa bhikkhu diundang untuk datang ke rumahnya. Dana makanan diberikan di sana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air sudah disaring kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.
Untuk merayakan kelahiran bayi tersebut, orang tuanya mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari.
Ketika anaknya tumbuh dewasa, ia diterima dalam pasamuan dan sebagai bhikkhu ia dikenal dengan nama Sivali. Ia mencapai tingkat kesucian arahat segera setelah kepalanya dicukur. Kemudian, ia menjadi terkenal sebagai seorang bhikkhu yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar. Sebagai bhikkhu penerima dana, ia tidak terbandingkan.
Pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi seorang arahat, dilahirkan di dalam rahim ibunya selama tujuh tahun.
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu ! Dalam salah satu kelahirannya yang terdahulu, Sivali adalah anak dari raja yang kehilangan kerajaannya karena direbut oleh raja lain. Dalam usahanya untuk memperoleh kembali kerajaan mereka, ia (Sivali) telah mengepung kota kerajaan atas nasihat ibunya. Sebagai akibatnya, orang-orang di dalam kota itu kehabisan makanan dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat itulah, maka Sivali terkurung dalam rahim ibunya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang, Sivali telah sampai pada akhir dari semua dukkha/ penderitaan; ia telah merealisasi nibbana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 414 berikut :
Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya; yang telah menyeberang dan mencapai 'Pantai Seberang' (nibbana); yang selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan; yang tidak terikat pada sesuatu apapun dan telah mencapai nibbana, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 415
(32) Kisah Sundarasamudda Thera
Sundarasamudda adalah anak dari seorang hartawan dari Savatthi. Setelah memasuki pasamuan bhikkhu, ia pergi ke Rajagaha, yang empat puluh lima yojana jauhnya dari Savatthi, untuk berlatih meditasi.
Suatu hari, ketika beberapa perayaan sedang berlangsung di Savatthi, ayah Sundarasamudda merasa sangat kehilangan putranya. Mereka juga merasa kasihan pada putranya yang kehilangan semua kesenangan. Memikirkan hal itu mereka menangis. Ketika mereka sedang menangis, seorang pelacur datang pada mereka, dan menanyakan apa duduk persoalannya.
Setelah mendengar apa yang terjadi pada anak mereka, pelacur itu berkata, "Jika aku dapat membuat anakmu meninggalkan pasamuan dan kembali hidup sebagai orang biasa bagaimana engkau akan menghargaiku ?" Orang tua tersebut menjawab bahwa mereka akan membuatnya kaya raya. Pelacur tersebut kemudian meminta sejumlah besar uang dan pergi ke Rajagaha dengan sejumlah pengikutnya.
Di Rajagaha, ia menyewa sebuah rumah bertingkat tujuh pada rute jalan di mana Sundarasamudda berpindapatta. Ia menyiapkan makanan yang baik dan menunggunya. Pada beberapa hari pertama, ia memberikan dana makanan kepada Sundarasamudda di pintu rumahnya. Kemudian, ia mengundangnya untuk masuk ke dalam rumah. Ia memberi uang kepada beberapa anak untuk datang dan bermain di luar rumah pada saat kira-kira Sundarasamudda biasanya datang untuk menerima dana makanan.
Hal ini membuat keadaan tidak nyaman bagi Sundarasamudda menerima dana makanan karena halaman kotor dan berisik, sehingga ia mengundang Sundarasamudda untuk naik ke lantai atas dan menerima dana makanan di sana. Sang thera mengikutinya naik, dan segera setelah memasuki ruangan tersebut, sang pelacur menutup pintu. Kemudian ia mulai menggoda Sundarasamudda. Ia berkata kepada, "Yang Mulia! Marilah menjadi suamiku yang awet muda dan kuat, dan aku akan menjadi istrimu yang paling tercinta. Setelah kehidupan perkawinan kita yang panjang dan bahagia kita berdua dapat meninggalkannya untuk masuk dalam pasamuan dan berjuang sekuat tenaga untuk mencapai nibbana."
Ketika mendengar kata-kata itu, Sundarasamudda tiba-tiba menyadari kekeliruannya dan terkejut. Kemudian ia berkata pada dirinya sendiri, "Sungguh, karena kelalaian dan kurangnya perhatian aku telah membuat satu kekeliruan besar."
Pada saat itu, Sang Buddha memperhatikan dari kuti harum Beliau, apa yang sedang terjadi pada Sundarasamudda di Rajagaha. Ia memanggil Y.A. Ananda, dan berkata, "Ananda! Pada lantai atas sebuah rumah bertingkat di Rajagaha, sekarang sedang terjadi perlawanan antara Sundarasamudda dan seorang pelacur, tapi pada akhirnya Sundarasamudda yang akan menjadi pemenangnya." Setelah mengatakan hal ini kepada Ananda, Sang Buddha mengirimkan sinar kesucian kepada Sundarasamudda dan membuatnya merasakan kehadiran Beliau. Lalu Beliau berkata, "Murid-Ku! Putuskanlah dan buanglah rasa cinta terhadap kekayaan dan kesenangan-kesenangan nafsu keinginan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 415 berikut :
Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan nafsu indria akan ujud yang baru, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Pada akhir khotbah ini Sundarasamudda mencapai tingkat kesucian arahat dan dengan kemampuan batin luar biasanya ia menerobos atap rumah menuju angkasa, pergi menemui Sang Buddha.
Syair 416
(33) Kisah Jatila Thera
Segera setelah Buddha Kassapa mangkat (parinibbana), seorang arahat thera pergi berkeliling untuk mencari dana bagi pembangunan stupa emas dimana nantinya relik Buddha Kassapa akan diabadikan.
Sang thera datang ke rumah seorang pandai emas ketika pandai emas dan istrnya sedang dalam pertengkaran yang sengit. Si pandai emas tersebut berteriak kepada sang thera, "Kau sebaiknya melemparkan stupamu itu ke dalam air dan segera pergi."
Istrinya kemudian berkata kepada sang pandai emas, "Jika engkau marah kepadaku engkau seharusnya hanya boleh memakiku saja, engkau bahkan boleh memukulku jika engkau suka, tetapi mengapa engkau harus memaki Sang Buddha dan sang thera ? Tentu saja, engkau telah melakukan kesalahan yang menyedihkan !"
Mendengar kata-kata istrinya, sang pandai emas menyadari betapa besarnya kesalahan yang telah diperbuatnya dan ingin menebus kesalahan itu. Maka ia membuat bunga-bunga emas, meletakkannya ke dalam tiga pot emas dan memberikannya untuk diletakkan pada kamar relik stupa Buddha Kassapa.
Pada kelahirannya yang sekarang, ia dikandung di dalam rahim anak perempuan dari seorang hartawan yang telah mempunyai hubungan cinta gelap. Ketika anak itu dilahirkan, ia meletakkannya ke dalam pot dan mengapungkannya ke dalam aliran sungai.
Seorang wanita muda yang sedang mandi di sungai melihat anak di dalam pot tersebut dan membawanya bersamanya. Ia mengadopsi anak itu dan memberi nama Jatila. Karena nasihat dari salah seorang thera, wanita tersebut menyuruh Jatila pergi ke Taxila di mana ia akan mendapatkan pendidikan. Ketika Jatila berada di Taxila, sang thera mengaturnya untuk tinggal di rumah seorang pedagang yang merupakan muridnya. Setelah beberapa lama, Jatila menikah dengan anak perempuan dari pedagang tersebut. Segera setelah menikah, segundukan emas diberikan di halaman belakang dari rumah yang baru saja dibangun untuk pasangan ini. Lahirlah tiga anak dari pernikahan ini. Setelah itu, Jatila memasuki pasamuan bhikkhu dan mencapai tingkat kesucian arahat.
Pada suatu kesempatan, saat Sang Buddha pergi untuk berpindapatta bersama dengan lima ratus bhikkhu termasuk Jatila, mereka datang ke rumah dari anak-anak Jatila. Anak-anaknya memberi dana makanan kepada Sang Buddha dan para pengikutnya selama lima belas hari.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, para bhikkhu bertanya kepada Jatila apakah ia masih melekat kepada segundukan emas mliknya dan anak-anaknya, dan ia menjawab, bahwa ia tidak lagi mempunyai kemelekatan pada mereka. Para bhikkhu kemudian berkata kepada Sang Buddha, bahwa Jatila dengan cara seperti itu menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Jatila telah membuang nafsu keinginan dan kesombongan; ia telah benar-benar mencapai tingkat kesucian arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 416 berikut :
Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 416
(34) Kisah Jotika Thera
[Kisah nomor (33) dan (34) bab ini mempunyai syair sama]
Jotika adalah seorang hartawan yang terkenal dari Rajagaha. Ia tinggal di rumah besar yang megah bertingkat tujuh. Terdapat tujuh buah tembok yang mengelilingi rumah besarnya, masing-masing mempunyai pintu masuk yang dijaga oleh setan angkasa. Ketenaran kekayaannya menyebar jauh dan luas, dan banyak orang datang untuk melihat rumah besarnya.
Pada suatu kesempatan, Raja Bimbisara datang mengunjungi Jotika. Ia juga membawa anaknya, Ajatasattu, bersamanya. Ajatasattu, setelah melihat kemegahan rumah besar Jotika, berjanji bahwa ia tidak akan memperbolehkan Jotika untuk tinggal di rumah besar yang bagus sekali seperti ini kalau kelak ia menjadi Raja. Pada saat keberangkatan Raja dari rumahnya, Jotika memberi kenang-kenangan kepada Raja berupa sebuah batu delima besar yang tak ternilai harganya. Ini adalah kebiasaan Jotika untuk memberi hadiah kepada semua pengunjung yang datang untuk menemuinya.
Ketika Ajatasattu naik tahta, setelah membunuh ayahnya, ia datang dengan tentaranya untuk mengambil rumah besar milik Jotika dengan paksa. Tetapi karena semua gerbang dikawal ketat oleh para setan angkasa, Ajatasattu dan para pasukannya harus menarik diri.
Ajatasattu melarikan diri ke Vihara Veluvana dan menemukan Jotika sedang mendengarkan khotbah yang diberikan oleh Sang Buddha. Melihat Jotika yang berada pada kaki Sang Buddha, Ajatasattu berseru, "Setelah membuat pengawalmu bertarung melawanku, engkau sekarang berpura-pura untuk mendengarkan khotbah!"
Jotika menyadari bahwa raja telah pergi untuk mengambil alih tempatnya dengan paksa dan ia telah dipaksa untuk mundur.
Pada salah satu kelahirannya yang terdahulu, Jotika telah membuat hasrat yang sungguh-sungguh bahwa harta miliknya tidak boleh diambil darinya berlawanan dengan kehendaknya, dan kehendak ini telah dipenuhi. Jadi Jotika berkata kepada Raja Ajatasattu, 'O, Raja! Harta milikku tidak dapat diambil berlawanan dengan kehendakku."
Setelah berkata seperti ini, ia mengulurkan kesepuluh jari tangannya dan meminta sang Raja untuk mengambil dua puluh cincin yang sedang dipakainya pada jari-jari tangannya. Sang Raja berusaha keras untuk mengambilnya tetapi ia tidak berhasil. Kemudian Jotika menyuruh sang Raja untuk membentangkan selembar kain, dan ketika Jotika menaruh jari-jarinya pada kain tersebut, semua cincinnya dengan mudah terlepaskan.
Setelah memberikan semua cincinnya kepada Raja Ajatasattu, Jotika memohon kepada Sang Buddha supaya ia diijinkan masuk dalam pasamuan bhikkhu. Segera setelah memasuki pasamuan, Jotika mencapai tingkat kesucian arahat.
Suatu hari, ketika para bhikkhu yang lain bertanya kepadanya apakah ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan yang tersisa pada dirinya, kepada rumah besarnya, kekayaannya, dan istrinya? Ia menjawab bahwa ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan pada semuanya itu. Para bhikkhu kemudian pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Jotika Thera menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat; ia berkata tidak benar."
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Jotika berbicara yang sebenarnya; ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan di dalam dirinya. Ia sekarang adalah seorang arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 416 berikut :
Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 417
(35) Kisah Nataputtaka Thera
Suatu ketika, Nataputtaka, anak laki-laki dari seorang penari yang sedang pergi berkeliling menyanyi dan menari, memiliki kesempatan untuk mendengarkan khotbah yang diberikan oleh Sang Buddha. Setelah mendengarkan khotbah tersebut, ia masuk dalam pasamuan dan mencapai tingkat kesucian arahat tidak lama kemudian.
Suatu hari, ketika Sang Buddha dan para bhikkhu termasuk Nataputtaka sedang berjalan untuk menerima dana makanan, mereka menjumpai anak laki-laki dari penari lain yang sedang menari di jalanan. Melihat anak muda yang sedang menari, para bhikkhu bertanya kepada Nataputtaka apakah ia masih suka menari. Dan Nataputtaka menjawab, "Tidak, aku tidak." Para bhikkhu kemudian pergi menemui Sang Buddha dan menceritakan bahwa Nataputtaka dengan cara seperti itu ingin menegaskan bahwa dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Nataputtaka telah meninggalkan semua ikatan kemelekatan; ia telah menjadi seorang arahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 417 berikut :
Seseorang yang telah menyingkirkan ikatan-ikatan duniawi dan juga telah mengatasi ikatan-ikatan surgawi, yang benar-benar telah bebas dari semua ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 418
(36) Kisah Nataputtaka Thera
Seperti pada kisah sebelumnya, anak laki-laki dari seorang penari telah masuk dalam pasamuan dan telah mencapai tingkat kesucian arahat. Para bhikkhu lain pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau bahwa Nataputtaka menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Nataputtaka telah meninggalkan perasaan kesenangan pada semua hal."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 418 berikut :
Seseorang yang telah mengatasi rasa senang dan tidak senang dengan tidak menghiraukannya lagi, yang telah menghancurkan dasar-dasar bagi perwujudan, dan juga telah mengatasi semua dunia (kelompok kehidupan), maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 419 dan 420
(37) Kisah Vangisa Thera
Suatu ketika, di Rajagaha, terdapat seorang brahmana bernama Vangisa, yang dengan cara sederhana mengetuk-ngetuk tengkorak mayat seseorang yang telah meninggal dunia, dapat memberitahukan apakah orang tersebut lahir di alam dewa, atau di alam manusia, atau dalam salah satu dari empat alam rendah (apaya). Para brahmana membawa Vangisa menuju banyak desa dan orang-orang berkumpul karenanya dan membayarnya sepuluh, dua puluh, atau seratus untuk mencari informasi dimanakah saudaranya yang meninggal dunia dilahirkan kembali.
Pada suatu kesempatan, Vangisa dan kelompoknya datang ke suatu tempat yang tidak jauh dari Vihara Jetavana. Melihat beberapa orang datang menemui Sang Buddha, para brahmana mengundang mereka untuk datang menemui Vangisa yang dapat memberitahu mereka di mana saudara mereka yang sudah meninggal dunia dilahirkan kembali.
Tetapi para pengikut Sang Buddha berkata kepada mereka, "Guru kami adalah satu-satunya yang tanpa saingan, Ia adalah satu-satunya Yang Telah Mencapai Pencerahan."
Para brahmana mendengar perkataan seperti itu menganggap sebagai suatu tantangan dan membawa Vangisa menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha.
Sang Buddha, karena mengetahui maksud mereka, memerintahkan para bhikkhu untuk membawa tengkorak dari seseorang yang terlahir di niraya (alam neraka), dari seseorang yang terlahir di alam binatang, dari seseorang yang terlahir di alam manusia, dari seseorang yang terlahir di alam dewa dan juga dari seorang arahat. Kelima tengkorak tersebut diletakkan berurutan.
Kepada Vangisa diperlihatkan tengkorak-tengkorak itu. Ia dapat memberitahukan di mana pemilik dari empat tengkorak yang pertama itu dilahirkan; tetapi ketika ia menuju pada tengkorak dari seorang arahat, ia kehilangan jejak.
Kemudian Sang Buddha berkata, "Vangisa, tidakkah engkau tahu ? Aku tahu di mana pemilik tengkorak ini berada." Vangisa kemudian meminta Sang Buddha untuk memberi mantra gaib yang harus diketahuinya; tetapi Sang Buddha memberitahu bahwa mantra tersebut hanya dapat diberikan kepada seorang bhikkhu. Vangisa kemudian memberitahu para brahmana untuk menunggu di luar vihara sementara ia mendapat pelajaran mantra tersebut. Kemudian, Vangisa menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu, seperti yang dianjurkan Sang Buddha, ia merenungkan tiga puluh dua unsur pokok dari tubuh. Vangisa dengan tekun melatih meditasi seperti yang dianjurkan oleh Sang Buddha dan mencapai tingkat kesucian arahat pada waktu yang singkat.
Ketika para brahmana yang sedang menunggu di luar vihara datang untuk bertanya kepada Vangisa apakah ia telah mendapatkan mantra tersebut, Vangisa menjawab, "Kalian semua lebih baik pergi sekarang; karena bagiku, aku seharusnya tidak lagi pergi bersama kalian."
Para bhikkhu lain yang mendengarnya berpikir ia sedang mengatakan yang tidak sesungguhnya, sehingga mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Vangisa dengan cara seperti itu ingin menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat."
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Vangisa benar-benar mengetahui kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 419 dan 420 berikut ini :
Seseorang yang telah memiliki pengetahuan sempurna tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk, yang telah bebas dari ikatan, telah pergi dengan baik (Sugata) dan telah mencapai Penerangan Sempurna, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Orang yang jejaknya tak dapat dilacak, baik oleh para dewa, gandarwa, maupun manusia, yang telah menghancurkan semua kekotoran batin dan telah mencapai kesucian (arahat), maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 421
(38) Kisah Dhammadinna Theri
Suatu ketika, ada seorang pengikut awam Sang Buddha bernama visakha di Rajagaha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha berulang-ulang, Visakha mencapai tingkat kesucian anagami dan ia berkata kepada istrinya, "Terimalah semua hartaku; sejak hari ini aku tidak akan campur tangan apapun dalam urusan keluarga."
Istrinya, Dhammadinna, menjawab, "Siapa yang akan menelan air ludah yang telah engkau buang." Kemudian ia minta izin darinya untuk masuk dalam pasamuan dan menjadi seorang bhikkhuni. Setelah menjadi seorang bhikkhuni ia pergi ke sebuah vihara di suatu desa kecil bersama para bhikkhuni lain untuk melatih meditasi. Dalam waktu yang singkat, ia mencapai tingkat kesucian arahat dan kembali ke Rajagaha.
Visakha, setelah mendengar bahwa Dhammadinna telah kembali, pergi menemuinya dan bertanya kepadanya beberapa pertanyaan. Ketika Visakha bertanya kepadanya tentang tiga magga yang pertama; ia memberi jawaban kepadanya. Tetapi ketika Visakha memberikan pertanyaan kepadanya tentang 'Jalan' (magga) dan 'Hasil' (phala) arahat, ia berkata, "O pengikut awam! Masalah ini di luar batas kemampuan pengertianmu; jika engkau ingin tahu, engkau boleh pergi, dan bertanya kepada Sang Buddha."
Ketika Visakha bertanya kepada Sang Buddha, Sang Buddha berkata, "Dhammadinna telah menjawab petanyaanmu. Jika engkau bertanya kepada-Ku, Aku akan memberikan jawaban yang sama." Setelah berkata demikian, Sang Buddha menegaskan kenyataan bahwa Dhammadinna telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 421 berikut :
Orang yang tidak lagi terikat pada apa yang telah lampau, apa yang sekarang maupun yang akan datang, yang tidak memegang ataupun melekat pada apapun juga, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 422
(39) Kisah Angulimala
Pada suatu kesempatan, Raja Pasenadi dan Ratu Mallika memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu yang berjumlah lima ratus, dalam ujud suatu pemberian yang tidak dapat dilampaui oleh siapapun juga. Pada saat upacara berlangsung, setiap bhikkhu didampingi oleh seekor gajah yang memegang payung putih yang menutupi kepala bhikkhu tersebut dari sinar matahari. Namun demikian, mereka hanya mendapatkan empat ratus sembilan puluh sembilan gajah yang terlatih, sehingga mereka harus menggunakan seekor gajah yang tidak terlatih, dan gajah tersebut ditempatkan untuk memegang payung dekat Angulimala Thera. Setiap orang takut bahwa gajah yang belum terlatih itu mungkin menyebabkan kerusuhan, tetapi ketika dibawa dekat Angulimala Thera, ia menjadi jinak.
Berkaitan dengan kejadian ini para bhikkhu kemudian bertanya kepada Angulimala apakah ia tidak merasa takut atau tidak. Kepada pertanyaan ini Angulimala menjawab bahwa ia tidak merasa takut. Para bhikkhu kemudian menemui Sang Buddha dan berkata bahwa Angulimala Thera menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesuican arahat.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Adalah cukup jelas bahwa Angulimala tidak takut, mereka yang seperti dirinya juga tidak takut."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 422 berikut :
Ia yang mulia, agung, pahlawan, pertapa agung (mahesi), penakluk, orang tanpa nafsu, murni, telah mencapai penerangan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Syair 423
(40) Kisah Devahita, Seorang Brahmana
Pada suatu kesempatan, Sang Buddha menderita penyakit ringan pada lambung perut dan ia menyuruh Upavana Thera untuk mencari air panas dari Devahita, sang brahmana.
Sang brahmana sangat senang karena mempunyai kesempatan yang sangat langka untuk memberikan sesuatu kepada Sang Buddha. Maka sebagai tambahan dari sekedar air panas, ia memberi sirup gula kepada sang thera untuk Sang Buddha.
Di vihara, Upavana Thera memberikan air hangat untuk mandi kepada Sang Buddha. Setelah mandi ia memberi Sang Buddha campuran sirup gula dan air hangat. Setelah minum campuran tersebut Beliau segera merasa lega.
Sang brahmana kemudian datang dan bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante! Pemberian yang dilakukan kepada siapa yang memberikan manfaat terbesar bagi seseorang?"
Kepadanya Sang Buddha berkata, "Brahmana! Suatu pemberian yang dilakukan kepada seseorang yang telah meninggalkan semua kejahatan adalah yang paling bermanfaat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 423 berikut :
Seseorang yang mengetahui semua kehidupannya yang lampau, yang dapat melihat keadaan surga dan neraka, yang telah mencapai akhir kelahiran, telah mencapai kesempurnaan pandangan terang, suci, murni, dan sempurna kebijaksanaannya, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.
Pada akhir khotbah Dhamma itu, brahmana menjadi teguh keyakinannya terhadap 'Sang Tiga Permata' (Buddha, Dhamma dan Sangha), dan menjadi pengikut awam Sang Buddha yang berbakti.
Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb26.htm
Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar