NAFSU KEINGINAN [tanha vagga]
(1) Kisah Kapila dan Ikan
(2) Kisah Seekor Induk Babi Muda
(3) Kisah Seorang Bekas Bhikkhu
(4) Kisah Hukuman Penjara
(5) Kisah Khema Theri
(6) Kisah Uggasena
(7) Kisah Culadhanuggaha, Pemanah yang Trampil
(8) Kisah Mara
(9) Kisah Upaka
(10) Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Sakka
(11) Kisah Orang Kaya Yang Tidak Memiliki Anak
(12) Kisah Deva Ankura
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
Syair 334, 335, 336, dan 337
(1) Kisah Kapila dan Ikan
Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu bernama Kapila yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya, ia memperoleh kemashuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya apa yang pantas dan apa yang tidak pantas ia selalu saja menjawab dengan pedas, "Berapa banyak yang kau tahu ?" Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak dari pada bhikkhu-bhikkhu yang lain. Dengan demikian, lama kelamaan semua bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada di sekelilingnya.
Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang ‘Peraturan Pokok’ bagi para bhikkhu (Patimokkha), Kapila berkata, "Tidak ada apa yang dikatakan sebagai Sutta, Abhidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya apakah kamu mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha atau tidak," dan lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan Ajaran (Sasana).
Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di alam neraka (niraya) antara masa Buddha Kassapa dan Buddha Gotama. Setelah itu ia dilahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti disebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.
Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja. Kemudian Raja membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak dan menusuk hidung.
Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha menjelaskan, "O Raja ! Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, yang mengajarkan Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia dilahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai seekor ikan, ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong, dan memandang rendah orang lain; ia juga mengabaikan Peraturan Ke-bhikkhu-an (Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini, ia dilahirkan di alam neraka (niraya), dan sekarang, ia menjadi seekor ikan yang indah dengan mulut yang berbau busuk."
Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan bertanya apakah ia mengetahui ke mana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan yang akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam neraka (niraya) dan ia dipenuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagaimana diperkirakan, pada saat kematiannya, ikan tersebut dilahirkan kembali di alam neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lain.
Semua yang hadir mendengarkan kisah ikan tersebut menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan khotbah tentang manfaat mengkombinasikan antara belajar dengan praktek.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 334, 335, 336, dan 337 berikut ini :
Bila seseorang hidup lengah, maka nafsu keinginan tumbuh, seperti tanaman Maluwa yang menjalar. Ia melompat dari satu kehidupan ke kehidupan lain, bagaikan kera yang senang mencari buah-buahan di dalam hutan.
Dalam dunia ini, siapapun yang dikuasai oleh nafsu keinginan rendah dan beracun, penderitaannya akan bertambah seperti rumput Birana yang tumbuh dengan cepat karena disirami dengan baik.
Tetapi barangsiapa dapat mengatasi nafsu keinginan yang beracun dan sukar dikalahkan itu, maka kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya, seperti air yang jatuh dari daun teratai.
Kuberitahukan hal ini kepadamu : Semoga engkau sekalian yang telah datang berkumpul di sini memperoleh kesejahteraan ! Bongkarlah nafsu keinginanmu, seperti orang mencabut akar rumput Birana yang harum. Jangan biarkan Mara menghancurkan dirimu berulang kali, seperti arus sungai menghancurkan rumput ilalang yang tumbuh di tepi.
Syair 338, 339, 340, 341, 342, dan 343
(2) Kisah Seekor Induk Babi Muda
Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan Beliau tersenyum. Ketika ditanya oleh Ananda, Sang Buddha menjawab, "Ananda, babi ini dulunya adalah seekor ayam betina di masa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat ruang makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan khotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali sebagai seorang putri.
Suatu ketika, saat pergi ke kakus, sang putri melihat belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikkan dari tubuh. Ketika ia meninggal dunia, ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma puthujjana; tetapi kemudian karena beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan kembali sebagai seekor babi betina. Ananda ! Lihat, karena perbuatan baik dan perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 338 sampai dengan 343 berikut ini :
Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.
Apabila tiga puluh enam nafsu keinginan di dalam diri seseorang mengalir deras menuju obyek-obyek yang menyenangkan, maka gelombang pikiran yang penuh nafsu akan menyeret orang yang memiliki pandangan salah seperti itu.
Dimana-mana mengalir arus (nafsu-nafsu keinginan); dimana-mana tanaman menjalar tumbuh merambat. Apabila engkau melihat tanaman menjalar (nafsu keinginan) tumbuh tinggi, maka harus kau potong akar-akarnya dengan pisau (kebijaksanaan).
Dalam diri makhluk-makhluk timbul rasa senang mengejar obyek-obyek indria, dan mereka menjadi terikat pada keinginan-keinginan indria. Karena cenderung pada hal-hal yang menyenangkan dan terus mengejar kenikmatan-kenikmatan indria, maka mereka menjadi korban kelahiran dan kelapukan.
Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena terikat erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, maka mereka mengalami penderitaan untuk waktu yang lama.
Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak. Karena itu seorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan diri, hendaknya ia membuang segala nafsu-nafsu keinginannya.
Syair 344
(3) Kisah Seorang Bekas Bhikkhu
Sebagai seorang murid Y.A. Mahakassapa, bhikkhu ini telah mencapai empat tingkat pencerapan mental (jhana). Suatu hari, ketika ia pergi untuk menerima dana makanan di rumah pamannya, ia melihat seorang wanita dan merasa keinginan yang sangat kuat untuk memilikinya. Kemudian ia meninggalkan Pasamuan Bhikkhu (Sangha).
Sebagai seorang umat awam, ia mengalami kegagalan karena ia tidak bekerja keras. Pamannya mengusir bekas bhikkhu itu dari rumahnya. Kemudian ia berkawan dengan beberapa pencuri. Dalam salah satu aksinya, mereka semua ditangkap oleh yang berwajib dan dibawa ke makam untuk dihukum mati.
Y.A. Mahakassapa melihat bekas muridnya ketika sedang dibawa keluar, dan berkata kepadanya, "Muridku, jagalah pikiranmu teguh pada satu obyek meditasi." Seperti diperintahkan, ia berkonsentrasi dan membiarkan dirinya masuk ke dalam keadaan pencerapan mental yang dalam. Di makam, saat petugas hukuman mati sedang membuat persiapan untuk membunuhnya, bekas bhikkhu tersebut sangat tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau kegelisahan. Petugas tersebut serta para penonton terpesona dan sangat tertarik dengan keberanian dan ketenangan orang itu, kemudian mereka melaporkan tentang orang itu kepada Raja dan juga kepada Sang Buddha.
Raja memberi perintah untuk melepaskan orang itu. Sang Buddha ketika mendengar tentang kejadian tersebut mengirimkan sinar Beliau dan muncul di hadapan pencuri itu sehingga ia seperti berhadapan langsung dengan Sang Buddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 344 berikut :
Setelah bebas dari hutan keinginan (kehidupan rumah tangga), ia menemukan hutan kesucian (kehidupan pertapa). Tapi, walaupun telah bebas dari keinginan (akan kehidupan rumah tangga) ia kembali ke rumah lagi. Lihatlah orang seperti itu ! Setelah bebas, ia kembali pada ikatan itu lagi.
Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, pencuri yang teguh menjaga pikirannya pada timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi menyadari sifat ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tanpa inti dari segala sesuatu yang berkondisi. Ia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian ia pergi menghadap Sang Buddha di vihara Jetavana, di mana ia sekali lagi diterima masuk ke dalam Pasamuan Bhikkhu (Sangha) oleh Sang Buddha, dan ia dengan cepat mencapai tingkat kesucian arahat.
Syair 345 dan 346
(4) Kisah Hukuman Penjara
Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang ke Savatthi untuk berpindapatta. Ketika mereka sedang mengumpulkan dana makanan, mereka melihat beberapa tawanan sedang diangkut dengan kaki dan tangan terikat rantai. Ketika tiba kembali di vihara, setelah mengingat apa yang telah dilihat di pagi hari, mereka bertanya kepada Sang Buddha apakah ada ikatan lain yang lebih kuat daripada itu.
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu ! Ikatan ini tidak ada artinya dibandingkan dengan nafsu keinginan akan makanan dan pakaian, akan kekayaan, serta akan keluarga. Nafsu keinginan ribuan, ratusan ribu lebih kuat daripada rantai itu, borgol, dan kurungan. Itulah sebabnya mengapa orang bijaksana memotong nafsu dan meninggalkan keduniawian, serta memasuki pasamuan para bhikkhu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 345 dan 346 berikut ini :
Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu yang terbuat dari besi, kayu, ataupun rami tidaklah begitu kuat. Tetapi, ikatan terhadap anak-anak, isteri, dan harta benda, sesungguhnya merupakan belenggu yang jauh lebih kuat.
Orang bijaksana menyatakan bahwa belenggu seperti itu amat kuat, dapat melemparkan orang ke bawah, halus dan sukar untuk dilepaskan. Walaupun demikian, para bijaksana akan dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
Syair 347
(5) Kisah Khema Theri
[Kisah ini berhubungan dengan Bab 26 syair 403]
Ratu Khema merupakan isteri utama dari Raja Bimbisara. Ia sangat cantik dan juga sangat sombong. Raja menginginkannya untuk pergi ke Vihara Veluvana dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang Buddha selalu berbicara meremehkan kecantikan, dan karenanya ia mencoba untuk menghindar berjumpa dengan Sang Buddha. Raja mengerti sikapnya terhadap Sang Buddha, ia juga tahu betapa sombongnya ratu pada kecantikannya. Kemudian Raja memerintahkan grup musiknya untuk menyanyikan lagu pujian tentang Vihara Veluvana, tentang tempatnya yang menyenangkan dan suasananya yang damai, dan sebagainya. Mendengar hal itu, Ratu Khema menjadi tertarik dan memutuskan untuk pergi ke Vihara Veluvana.
Ketika Ratu Khema tiba di vihara, Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada para pendengar. Dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, Sang Buddha membuat penampakan seorang gadis muda yang sangat cantik muncul, duduk tidak jauh dari Beliau, dan sedang mengipasi Sang Buddha. Ketika Ratu Khema datang di ruang pertemuan, hanya ia sendiri yang melihat gadis cantik tersebut. Membandingkan kecantikan yang luar biasa dari gadis tersebut dengan kecantikannya, Khema menyadari bahwa kecantikannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan gadis tersebut. Ketika Ratu memperhatikan dengan seksama gadis tersebut, tiba-tiba kecantikan gadis itu mulai memudar sedikit demi sedikit. Akhirnya Ratu melihat seorang wanita tua jompo, yang kemudian berubah menjadi mayat, tubuhnya yang berbau busuk diserang belatung. Segera pada saat itu, Ratu Khema menyadari ketidakkekalan dan ketidakberhargaan kecantikannya.
Sang Buddha mengetahui keadaan pikiran Ratu Khema, kemudian Beliau berkata, "O Khema ! Lihatlah baik-baik pada tubuh lapuk ini yang terbalut di sekitar kerangka tulang, dan merupakan sasaran penyakit dan kelapukan. Lihatlah baik-baik tubuh ini yang dihargai sedemikian tinggi oleh orang bodoh. Lihatlah pada ketidakberhargaan kecantikan gadis muda ini." Setelah mendengar hal itu, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 347 berikut :
Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian arahat dan diterima dalam pasamuan bhikkhuni serta menjadi ‘murid utama wanita’ Sang Buddha.
[Kisah ini terdapat lanjutannya di Bab 26, syair 397]
Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke Rajagaha. Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan istana Raja Bimbisara selama tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.
Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan, jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan putranya untuk menikah dengan gadis tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan pemain akrobat maka ia benar-benar tidak berguna bagi rombongan tersebut. Sehingga saat rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia hanya membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.
Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari pasangan Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini : "O kamu, putera seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan ! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun !" Uggasena mendengar lagu itu. Ia mengetahui bahwa istrinya menujukan hal itu kepadanya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain akrobat yang trampil.
Suatu ketika, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum selama tujuh hari. Pada hari ke tujuh, sebatang galah yang panjang digunakan dan Uggasena berdiri di atasnya. Dengan tanda-tanda yang diberikan dari bawah, ia berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu. Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat.
Kemudian Sang Buddha memasuki kota Rajagaha, berusaha agar orang-orang (penonton) mengalihkan perhatiannya kepada Beliau, dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas galah, merasa sangat tidak puas dan tertekan.
Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (khandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 348 berikut :
Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang, maupun yang sekarang (kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan) dan capailah ‘Pantai Seberang’ (nibbana). Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu, maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.
Syair 349 dan 350
(7) Kisah Culadhanuggaha, Pemanah yang Trampil
Suatu ketika seorang bhikkhu muda menerima dana makanan pada salah satu tempat berteduh yang khusus dibuat untuk para bhikkhu di dalam kota. Setelah makan ia merasa ingin minum. Ia pergi ke suatu rumah dan meminta air minum, seorang gadis keluar untuk memberinya air minum. Begitu melihat bhikkhu muda tersebut, gadis itu jatuh cinta kepadanya. Ia mengundang bhikkhu muda itu untuk datang ke rumahnya bila merasa haus dengan harapan agar dapat membujuk bhikkhu muda tersebut.
Setelah beberapa waktu, ia mengundang bhikkhu muda tersebut ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Pada hari itu, ia berkata kepada bhikkhu muda itu bahwa ia mempunyai segala sesuatu yang ia inginkan dalam rumah, tetapi tidak ada lelaki yang merawatnya, dan sebagainya. Mendengar kata-kata ini, bhikkhu muda menangkap isyarat tersebut dan ia segera merasa makin terikat pada gadis yang menarik itu. Ia menjadi sangat tidak puas dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu dan menjadi kurus. Para bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada Sang Buddha.
Sang Buddha mengundang bhikkhu muda tersebut, dan berkata padanya, "Anak-Ku, dengarkan Aku. Gadis muda ini akan menyebabkan keruntuhanmu seperti yang telah dia lakukan padamu dalam kehidupanmu yang lampau.
Dalam salah satu kehidupanmu yang lampau kamu adalah seorang pemanah yang sangat trampil dan ia adalah istrimu. Pada suatu kesempatan, ketika kamu berdua sedang dalam perjalanan, kamu bertemu dengan sekelompok orang jalanan. Istrimu jatuh cinta dengan pemimpin kelompok itu. Ketika kamu dan pemimpin kelompok itu sedang terlibat dalam satu perkelahian, kamu berteriak pada istrimu agar memberikan pedangmu. Tetapi istrimu memberikan pedang itu pada pemimpin kelompok yang segera membunuhmu. Jadi, ia adalah penyebab kematianmu. Sekarang juga, ia akan menjadi penyebab kehancuranmu jika kamu mengikutinya dan meninggalkan pasamuan bhikkhu demi kepentingannya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 349 dan 350 berikut :
Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu, dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja, maka nafsu keinginannya akan terus bertambah. Sesungguhnya orang seperti itu hanya akan memperkuat ikatan belenggunya sendiri.
Orang yang bergembira dalam menenangkan pikiran, tekun merenungkan hal-hal yang menjijikkan (sebagai obyek perenungan dalam semadi) dan selalu sadar, maka ia akan mengakhiri nafsu-nafsu keinginannya dan menghancurkan belenggu Mara.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 351 dan 352
(8) Kisah Mara
Pada suatu waktu, sejumlah besar bhikkhu tiba di Vihara Jetavana. Untuk memberi tempat menginap bagi para bhikkhu tamu, Samanera Rahula harus pergi dan tidur dekat pintu, tepat di luar kamar Sang Buddha. Mara ingin mengganggu Sang Buddha melalui putranya, ia mengubah badan menjadi gajah, dan membelit kepala samanera itu dengan belalainya serta membuat suara keras dengan harapan untuk menakut-nakutinya. Tetapi Rahula tidak bergerak. Sang Buddha dari kamar-Nya mengetahui apa yang sedang terjadi dan berkata, "O, Mara licik ! Bahkan seratus sepertimu tidak akan mampu menakut-nakuti anak-Ku. Anak-Ku tidak takut, ia bebas dari nafsu, ia waspada, dan ia bijaksana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 351 dan 352 berikut ini :
Orang yang telah mencapai tujuan akhir, tidak lagi mempunyai rasa takut, noda batin serta nafsu keinginan, sesungguhnyalah ia telah mematahkan ruji-ruji kehidupan. Bagi orang suci (arahat) seperti itu, tubuhnya merupakan tubuh yang terakhir.
Orang yang telah bebas dari nafsu keinginan dan kemelekatan, pandai dalam menganalisa serta memahami ‘Ajaran’ beserta pasangan-pasangannya, maka ia patut disebut seorang ‘Pemilik Tubuh Terakhir’ (arahat), orang yang memiliki ‘Kebijaksanaan Agung’, seorang manusia agung.
Mendengar kata-kata di atas, Mara menyadari bahwa Sang Buddha mengetahui tipu muslihatnya dan segera menghilang.
Sang Buddha membabarkan syair 353 Kitab Suci Dhammapada, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Upaka, pertapa bukan Buddhis, ketika Sang Buddha sedang berjalan menuju Taman Rusa (Migadaya) tempat di mana Kelompok Lima Bhikkhu (Panca Vaggi) sedang berdiam. Sang Buddha menuju ke sana untuk membabarkan Dhammacakkappavattana Sutta pada Panca Vaggi itu, mitra lamanya, yaitu Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Assaji, dan Mahanama.
Ketika Upaka melihat Sang Buddha Gotama, ia sangat terkesan dengan pancaran sinar wajah Sang Buddha dan berkata kepada Beliau, "Teman, anda terlihat tenang dan murni; bolehkan saya tahu siapa guru anda ?" Kepadanya Sang Buddha menjawab bahwa Beliau tidak mempunyai guru.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 353 berikut :
Aku telah mengalahkan semuanya. Aku telah mengetahui semuanya. Aku telah bebas dari semuanya. Aku telah meninggalkan semuanya. Setelah menghancurkan nafsu keinginan, Aku benar-benar bebas. Setelah menyadari segala sesuatu melalui usaha sendiri, maka siapakah yang patut Ku-sebut Guru ?
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Upaka tidak memperlihatkan penerimaan ataupun penolakan, tetapi hanya mengangguk beberapa kali dan pergi.
Syair 354
(10) Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Sakka
Dalam suatu pertemuan para dewa di surga Tavatimsa, empat pertanyaan diajukan, tetapi para dewa gagal memperoleh jawaban yang benar. Akhirnya, Sakka membawa para dewa tersebut menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Setelah menjelaskan kesulitan mereka, Sakka mengajukan empat pertanyaan berikut :
- Di antara semua pemberian, manakah yang terbaik ?
- Di antara semua rasa, manakah yang terbaik ?
- Di antara semua kegembiraan, manakah yang terbaik ?
- Mengapa penghancuran nafsu dikatakan yang paling unggul ?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, "O Sakka, Dhamma adalah termulia dari semua pemberian, terbaik dari semua rasa, dan terbaik dari semua kegembiraan. Penghancuran nafsu untuk mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu terunggul dari segala penaklukan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 354 berikut :
Pemberian ‘Kebenaran’ (Dhamma) mengalahkan semua pemberian lainnya; rasa ‘Kebenaran’ (Dhamma) mengalahkan semua rasa lainnya; kegembiraan dalam ‘Kebenaran’ (Dhamma) mengalahkan semua kegembiraan lainnya. Orang yang telah menghancurkan nafsu keinginan akan mengalahkan semua penderitaan.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Sakka berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, jika pemberian Dhamma mengungguli semua pemberian, mengapa kami tidak diundang untuk berbagi jasa ketika pemberian Dhamma dilakukan ? Bhante, saya mohon, mulai sekarang, kami diberi pembagian jasa atas perbuatan baik yang telah dilakukan." Kemudian Sang Buddha meminta semua bhikkhu untuk berkumpul dan menasihati mereka untuk membagi jasa kepada semua makhluk atas semua perbuatan baik mereka.
Sejak saat itu, menjadi suatu kebiasaan untuk mengundang semua makhluk dari tiga puluh satu alam kehidupan (bhumi) untuk datang, dan berbagi jasa kapan pun suatu perbuatan baik dilakukan.
Syair 355
(11) Kisah Orang Kaya Yang Tidak Memiliki Anak
Suatu ketika, Raja Pasenadi dari Kosala datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa ia terlambat datang karena pada pagi hari itu seorang kaya telah meninggal dunia di Savatthi tanpa meninggalkan ahli waris, sehingga ia harus mengambil alih semua kekayaan orang itu. Raja berkata perihal orang itu, yang meskipun sangat kaya namun sangat kikir. Saat orang itu masih hidup, ia tidak pernah memberikan apapun sebagai ujud kemurahan hati. Ia menolak untuk membelanjakan uangnya bahkan untuk dirinya sendiri, dan karenanya, makan sangat hemat serta mengenakan pakaian dari kain yang kasar dan murah. Mendengar hal ini Sang Buddha menceritakan kepada raja serta para pengiringnya tentang orang itu pada saat kehidupannya yang lampau. Dalam kehidupannya itu ia juga seorang kaya.
Suatu hari ketika seorang Paccekabuddha datang dan berdiri untuk berpindapatta di depan rumahnya. Ia berkata pada istrinya untuk mempersembahkan sesuatu kepada Paccekabuddha. Istrinya berpikir sangat jarang suaminya memberi izin untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Maka istrinya mengisi penuh mangkok beliau dengan makanan. Orang kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha tersebut dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia melihat pada mangkuk makanannya. Mengetahui bahwa istrinya telah mempersembahkan makanan yang baik dalam jumlah banyak, ia berpikir, "Oh, bhikkhu ini hanya akan tidur nyenyak setelah makan enak. Akan lebih baik bila pelayan-pelayanku yang diberi makanan sebaik itu. Paling tidak, mereka akan memberiku pelayanan yang lebih baik." Dengan kata lain, ia menyesal bahwa ia telah menyuruh istrinya untuk mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha.
Orang ini mempunyai seorang kakak yang juga kaya. Kakaknya hanya mempunyai satu orang anak lelaki. Karena iri hati atas kekayaan kakaknya, ia telah membunuh keponakannya yang masih muda dan karenanya mewarisi secara tidak sah kekayaan kakaknya setelah meninggal dunia.
Karena orang tersebut telah mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha ia menjadi orang kaya dalam kehidupannya sekarang. Karena ia menyesal telah mendanakan makanan pada Paccekabuddha maka ia tidak punya keinginan untuk membelanjakan apapun bahkan untuk dirinya sendiri. Karena ia telah membunuh keponakannya sendiri untuk mendapatkan kekayaan kakaknya ia telah menderita dalam alam neraka (niraya) selama tujuh kali kehidupan. Perbuatan buruknya telah berakhir sehingga ia terlahir kembali ke alam manusia. Tetapi di sini ia juga tidak melakukan perbuatan baik.
Raja kemudian berkata, "Bhante, meskipun ia telah hidup di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah mempersembahkan apapun kepada Sang Buddha maupun murid-muridnya. Sesungguhnya ia telah kehilangan kesempatan yang sangat baik, ia sangat bodoh."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 355 berikut :
Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh, tetapi tidak menghancurkan mereka yang mencari ‘Pantai Seberang’ (nibbana). Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan, orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri, dan juga akan menghancurkan orang lain.
Syair 356, 357, 358, dan 359
(12) Kisah Deva Ankura
Sang Buddha mengunjungi alam dewa Tavatimsa untuk membabarkan Abhidhamma kepada Dewa Santusita, yang sebelumnya adalah ibu kandung Beliau. Selama masa itu, terdapat dewa yang bernama Indaka di alam dewa Tavatimsa. Indaka, dalam kehidupannya yang lampau adalah seorang pria, yang telah mempersembahkan sedikit dana makanan pada Anuruddha Thera. Karena perbuatan baik ini dilakukan kepada seorang Thera dalam masa keberadaan ajaran Buddha, maka ia mendapat pahala berlipat ganda. Kemudian, setelah kematian, ia dilahirkan kembali dalam alam Tavatimsa dan menikmati kemewahan alam dewa. Pada saat itu, terdapat dewa lain yang bernama Ankura di alam dewa Tavatimsa yang telah banyak memberikan dana; jauh lebih banyak daripada apa yang telah Indaka berikan. Tetapi dana itu dilakukan di luar masa keberadaan ajaran Buddha. Sehingga meskipun dananya besar dan banyak, ia menikmati pahala kehidupan dewa dalam ukuran yang lebih kecil daripada Indaka, yang telah mempersembahkan sangat sedikit dana.
Ketika Sang Buddha berada di Tavatimsa, Ankura bertanya kepada Beliau alasan ketidaksesuaian perolehan pahala itu. Kepadanya Sang Buddha menjawab, "O dewa! Ketika memberikan dana kamu seharusnya memilih kepada siapa kamu memberi, karena perbuatan dana seperti halnya menanam bibit. Bibit yang ditanam di tanah yang subur akan tumbuh menjadi pohon atau tanaman yang kuat dan hebat, serta akan menghasilkan banyak buah; tetapi kamu telah menebarkan bibitmu di tanah yang tandus, sehingga kamu memperoleh sangat sedikit."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 356 sampai dengan 359 berikut ini :
Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; nafsu indria merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari nafsu indria akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; kebencian merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari kebencian akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; ketidaktahuan merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari ketidaktahuan akan menghasilkan pahala yang besar.
Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang; iri hati merupakan bencana bagi manusia. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari iri hati akan menghasilkan pahala yang besar.
Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb24.htm
Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar