Rabu, 22 Agustus 2007

Bab 19

ORANG ADIL [dhammattha vagga]


(1) Kisah Para Hakim
(2) Kisah Kelompok Enam Bhikkhu
(3) Kisah Arahat Ekudana

(4) Kisah Bhaddiya Thera
(5) Kisah Beberapa Bhikkhu

(6) Kisah Bhikkhu Hatthaka

(7) Kisah Seorang Brahmana

(8) Kisah Para Pertapa Bukan Pengikut Sang Buddha

(9) Kisah Seorang Nelayan Bernama Ariya

(10) Kisah Beberapa Bhikkhu

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 256 dan 257

(1) Kisah Para Hakim

Suatu hari, beberapa bhikkhu sedang berjalan pulang dari menerima dana makanan, ketika hujan turun dan mereka berteduh di suatu gedung pengadilan. Saat berada di sana, mereka melihat bahwa beberapa orang hakim, setelah menerima uang suap, membebaskan suatu perkara.

Mereka melaporkan masalah ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata, "Para bhikkhu ! Dalam memutuskan suatu perkara, jika seseorang terpengaruh oleh rasa kasihan atau pertimbangan keuangan, dia tidak dapat disebut sebagai ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’. Jika seseorang menimbang bukti-bukti dengan teliti dan memutuskan suatu kasus secara tidak memihak, maka ia disebut ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 256 dan 257 :

Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa tidak dapat dikatakan sebagai orang yang adil. Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang benar dan mana yang salah.

Orang yang mengadili orang lain dengan tidak tergesa-gesa, bersikap adil dan tidak berat sebelah, yang senantiasa menjaga kebenaran, pantas disebut orang yang adil.

Syair 258

(2) Kisah Kelompok Enam Bhikkhu

Suatu ketika, terdapat kelompok enam bhikkhu yang selalu membuat keributan di tempat makan, baik di vihara maupun di desa. Suatu hari, ketika beberapa samanera sedang makan dana makanan yang mereka dapatkan, kelompok enam bhikkhu itu datang dan membual kepada para samanera, "Lihat ! Hanya kamilah orang yang bijaksana." Kemudian mereka melempar-lemparkan benda-benda ke sekeliling, meninggalkan tempat makan dalam keadaan kacau.

Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu ! Aku tidak menyebut orang yang banyak bicara, mencaci dan menggertak orang lain sebagai seorang bijaksana. Hanya mereka yang bebas dari kebencian dan tidak merugikan orang lainlah yang merupakan orang bijaksana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 258 berikut :

Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana hanya karena ia banyak bicara. Tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci dan tanpa rasa takut dapat disebut orang bijaksana.

Syair 259

(3) Kisah Arahat Ekudana

Bhikkhu ini hidup di sebuah hutan kecil di dekat Savatthi. Ia dikenal dengan nama Ekudana, sebab ia hanya hafal satu bait saja dari Kitab Udana. Tetapi thera tersebut mengerti sepenuhnya makna Dhamma yang terkandung dalam bait tersebut. Pada setiap hari uposatha, dia mendesak orang lain untuk mendengarkan Dhamma, dan dia sendiri akan mengucapkan satu-satunya syair yang dihafalnya itu. Setiap kali ia selesai mengucapkan bait itu, para dewa dalam hutan itu memujinya dan meyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah.

Pada suatu hari uposatha, dua thera yang terpelajar, yang benar-benar menguasai semua pelajaran Dhamma, diiringi oleh lima ratus bhikkhu datang ke tempat itu. Ekudana meminta kedua thera tersebut untuk memberikan khotbah Dhamma. Mereka bertanya apakah banyak yang ingin mendengarkan Dhamma di tempat yang terpencil itu. Ekudana membenarkan dan juga menceritakan kepada mereka bahwa bahkan para dewa dalam hutan itu biasanya datang, dan mereka selalu memuji dan bertepuk tangan pada akhir khotbah.

Maka, kedua thera terpelajar itu mulai memberikan khotbah Dhamma, tetapi ketika khotbah mereka berakhir, tidak ada tepuk tangan dari para dewa dalam hutan itu. Kedua thera tersebut menjadi bingung dan bahkan meragukan kata-kata Ekudana. Tetapi Ekudana bersikeras bahwa para dewa biasanya datang dan selalu bertepuk tangan pada akhir setiap khotbah.

Kedua thera itu kemudian mendesak Ekudana untuk berkhotbah. Ekudana memegang kipas di hadapannya dan mengucapkan bait yang biasa diucapkannya. Setelah selesai mengucapkan bait itu, para dewa bertepuk tangan seperti biasa. Para bhikkhu yang mengiringi kedua thera terpelajar itu menuduh bahwa para dewa yang berdiam dalam hutan itu sangat berat sebelah.

Mereka melaporkan masalah itu kepada Sang Buddha pada kunjungannya di Vihara Jetavana. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Aku tidak mengatakan bahwa seorang bhikkhu yang telah belajar banyak dan berbicara banyak tentang Dhamma adalah seseorang yang mengetahui Dhamma (Dhammadhara).

Seseorang yang belajar sangat sedikit dan hanya mengetahui satu bait dari Dhamma, tetapi memahami sepenuhnya ‘Empat Kesunyataan Mulia’ dan selalu sadar, adalah orang yang sesungguhnya mengetahui Dhamma."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 259 berikut :

Seseorang bukan ‘pendukung Dhamma’ hanya karena ia banyak bicara. Namun seseorang yang walaupun hanya belajar sedikit tetapi batinnya melihat Dhamma dan tidak melalaikannya, maka sesungguhnya ia adalah seorang ‘pendukung Dhamma’.

Syair 260 dan 261

(4) Kisah Bhaddiya Thera

Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi ketiga puluh bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Maka Beliau bertanya kepada mereka apakah mereka telah melihat seorang thera saat mereka memasuki ruangan. Mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat seorang thera tetapi mereka hanya melihat seorang samanera muda ketika mereka masuk.

Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu ! Orang tersebut bukanlah samanera, ia adalah seorang bhikkhu senior walaupun bentuk tubuhnya kecil dan sangat sederhana. Aku mengatakan bahwa seseorang tidak dapat disebut thera hanya karena ia berusia tua dan tampak seperti seorang thera; hanya ia yang memahami ‘Empat Kesunyataan Mulia’ dan tidak menyakiti orang lain yang dapat disebut seorang thera."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 260 dan 261 berikut ini :

Seseorang tidak disebut thera hanya karena rambutnya telah memutih. Biarpun usianya sudah lanjut, dapat saja ia disebut ‘orang tua yang tidak berguna’.

Orang yang memiliki kebenaran dan kebajikan, tidak kejam, terkendali dan terlatih, pandai dan bebas dari noda-noda, sesungguhnya ia patut disebut Thera.

Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 262 dan 263

(5) Kisah Beberapa Bhikkhu

Pada suatu vihara, para bhikkhu muda dan samanera mempunyai kebiasaan mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lebih tua yang merupakan guru mereka. Mereka mencuci dan mencelup jubah, atau melakukan pelayanan kecil lain bagi guru mereka.

Beberapa bhikkhu lain yang melihat hal ini merasa iri hati kepada para bhikkhu senior, dan mereka memikirkan suatu rencana yang akan menguntungkan mereka secara material. Rencana mereka adalah mengusulkan kepada Sang Buddha bahwa para bhikkhu muda dan samanera harus diminta datang kepada mereka untuk diberi perintah dan petunjuk lebih lanjut walaupun mereka telah diajar oleh guru mereka masing-masing.

Sang Buddha, yang mengetahui sepenuhnya tujuan mereka, menolak usul itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Aku tidak mengatakan bahwa engkau baik hati hanya karena engkau mampu berbicara dengan fasih. Hanya dia yang telah menyingkirkan sifat iri hati dan semua kejahatan dengan mencapai ‘Jalan Kesucian Arahat’ (arahatta magga) yang dapat disebut orang yang baik hati."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 262 dan 263 berikut ini :

Bukan hanya karena pandai bicara dan bukan pula karena memiliki penampilan yang baik seseorang dapat menyebut dirinya orang yang baik hati, apabila ia masih bersifat iri, kikir dan suka menipu.

Orang yang telah memotong, mencabut dan memutuskan akar sifat iri hati, kekikiran serta dusta; maka orang bijaksana yang telah menyingkirkan segala keburukan itulah yang sesungguhnya dapat disebut orang yang baik hati.

Syair 264 dan 265

(6) Kisah Bhikkhu Hatthaka

Bhikkhu Hatthaka mempunyai kebiasaan menantang para pertapa bukan pengikut Sang Buddha agar menjumpainya di suatu tempat tertentu untuk berdebat mengenai masalah-masalah keagamaan. Kemudian ia akan pergi seorang diri ke tempat yang telah dijanjikan. Jika tidak seorang pun muncul ia akan membual, "Lihat, pertapa-pertapa pengembara itu tidak berani menjumpaiku, mereka telah kukalahkan !" dan hal-hal semacam lainnya.

Sang Buddha memanggil Hatthaka, dan berkata, "Bhikkhu ! Mengapa engkau bertingkah laku demikian ? Orang yang mengatakan hal-hal semacam itu tidak dapat menjadi seorang samana sekalipun kepalanya gundul. Hanya orang yang telah menyingkirkan semua kejahatan dari dirinya yang dapat disebut seorang samana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 264 dan 265 berikut ini :

Seseorang yang tidak memiliki disiplin dan suka berdusta tidak dapat disebut seorang pertapa (samana) walaupun ia berkepala gundul. Mana mungkin orang yang penuh dengan keinginan serta keserakahan dapat menjadi seorang samana ?

Barang siapa dapat mengalahkan semua kejahatan, baik yang kecil maupun yang besar, maka ia patut disebut seorang samana karena ia telah mengatasi semua kejahatan.

Syair 266 dan 267

(7) Kisah Seorang Brahmana

Suatu ketika, ada seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berkeliling untuk menerima dana makanan. Suatu hari, ia berpikir, "Samana Gotama telah menyatakan bahwa orang yang hidup dengan cara menerima dana makanan adalah seorang bhikkhu. Dengan demikian, saya juga dapat disebut seorang bhikkhu." Dengan berpikir seperti itu, ia menghadap Sang Buddha, dan berkata bahwa ia (brahmana itu) dapat juga disebut seorang bhikkhu, karena ia juga pergi menerima dana makanan.

Kepadanya Sang Buddha berkata, "Brahmana, aku tidak berkata bahwa engkau seorang bhikkhu hanya karena engkau pergi mengumpulkan dana makanan. Orang yang menganut kepercayaan yang salah dan bertindak sesuai dengan hal itu tidak dapat disebut seorang bhikkhu. Hanya orang yang melaksanakan perenungan tentang ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan keadaan tanpa inti dari gabungan unsur-unsur yang dapat disebut seorang bhikkhu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 266 dan 267 berikut ini :

Seseorang tidak dapat disebut bhikkhu hanya karena ia mengumpulkan dana makanan dari orang lain. Selama ia masih bertingkah laku seperti seorang perumah tangga dan tidak mentaati peraturan, maka ia belum pantas disebut bhikkhu.

Dalam hal ini, seseorang yang telah mengatasi kebaikan dan kejahatan, yang menjalankan kehidupan suci dan melaksanakan perenungan tentang kelompok-kelompok khandha, maka sesungguhnya ia dapat disebut seorang bhikkhu.

Syair 268 dan 269

(8) Kisah Para Pertapa Bukan Pengikut Sang Buddha

Terhadap orang yang mempersembahkan makanan atau benda-benda lain kepada para pertapa itu, mereka akan mengucapkan kata-kata pemberkahan. Mereka akan berkata, "Semoga engkau bebas dari bahaya, semoga engkau menjadi makmur dan kaya, semoga engkau panjang umur," dan sebagainya. Pada waktu itu, para bhikkhu murid Sang Buddha tidak mengucapkan apa pun setelah menerima sesuatu persembahan dari murid awam mereka.

Hal ini karena selama masa dua puluh tahun pertama setelah Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, para bhikkhu tetap berdiam diri pada saat menerima persembahan. Karena para pengikut Sang Buddha tetap berdiam sedangkan para pertapa bukan pengikut Sang Buddha mengucapkan hal-hal yang menyenangkan bagi murid-murid mereka, orang-orang mulai membandingkan kedua kelompok tersebut.

Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau mengizinkan para bhikkhu mengucapkan kata-kata pemberkahan kepada murid-murid mereka setelah menerima persembahan. Akibatnya, semakin banyak orang yang mengundang para pengikut Sang Buddha untuk menerima dana makanan.

Kemudian para pertapa dari ajaran lain berkata dengan menghina, "Kami taat pada praktek pertapaan dan berdiam diri, tetapi pengikut Samana Gotama berbicara banyak sekali di tempat makan." Mendengar kata-kata yang merendahkan itu, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Ada orang yang tetap berdiam karena mereka bodoh dan takut, dan ada yang tetap berdiam karena mereka tidak mau membagi pengetahuan mereka yang mendalam kepada orang lain. Jadi, orang tidak menjadi seorang pertapa hanya dengan tetap berdiam. Hanya orang yang telah mengatasi kejahatan yang dapat disebut seorang pertapa."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 268 dan 269 berikut ini :

Tidak hanya karena berdiam diri seseorang menjadi orang suci (muni), apabila ia dungu dan bodoh. Bagaikan memegang sepasang neraca, orang bijaksana melaksanakan sesuatu yang baik dan menghindari yang jahat.

Karena seseorang dapat memilih apa yang baik dan menghindari apa yang buruk, maka ia disebut orang suci. Demikianlah, ia yang telah mengerti kedua kelompok (batin maupun jasmani), patut disebut orang suci.

Syair 270

(9) Kisah Seorang Nelayan Bernama Ariya

Suatu ketika, ada seorang nelayan yang tinggal di gerbang utara kota Savatthi. Suatu hari, melalui kemampuan batin luar biasa, Sang Buddha melihat bahwa telah tiba saatnya bagi nelayan itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Maka dalam perjalanan pulang dari berpindapatta Sang Buddha bersama dengan para bhikkhu, berhenti di dekat tempat di mana Ariya sedang menangkap ikan. Ketika nelayan itu melihat Sang Buddha, ia melemparkan alat penangkap ikannya kemudian datang dan berdiri di dekat Sang Buddha. Sang Buddha mulai menanyakan nama-nama para bhikkhu di hadapan si nelayan, dan akhirnya, Beliau menanyakan nama nelayan itu.

Ketika si nelayan menjawab bahwa namanya adalah Ariya, Sang Buddha berkata bahwa para orang mulia (Ariya) tidak melukai makhluk hidup apa pun, tetapi karena si nelayan membunuh ikan-ikan maka ia tidak layak menyandang nama Ariya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 270 berikut :

Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia) apabila masih menyiksa makhluk hidup. Ia yang tidak lagi menyiksa makhluk-makhluk hiduplah yang dapat dikatakan mulia.

Nelayan Ariya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 271 dan 272

(10) Kisah Beberapa Bhikkhu

Suatu ketika, ada beberapa bhikkhu yang memiliki kebajikan; beberapa di antara mereka dengan ketat menjalankan latihan-latihan keras (dhutanga), beberapa orang mempunyai pengetahuan yang luas tentang Dhamma, beberapa orang telah mencapai pencerapan mental (jhana). Beberapa orang telah mencapai tingkat kesucian anagami, dan lain-lain. Mereka semua berpikir bahwa karena mereka telah mencapai banyak hal, akan cukup mudah bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Dengan pikiran seperti ini mereka pergi menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha bertanya kepada mereka, "Para bhikkhu, sudahkah engkau mencapai tingkat kesucian arahat ?" Mereka menjawab bahwa mereka berada dalam keadaan sedemikian sehingga tidak akan sulit bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat sewaktu-waktu.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Hanya karena engkau telah memiliki moralitas (sila), hanya karena engkau telah mencapai tingkat kesucian anagami, engkau tidak boleh puas dan berpikir bahwa hanya tinggal sedikit lagi yang harus dikerjakan; kecuali jika engkau telah menghapuskan semua kekotoran batin (asava). Engkau tidak boleh berpikir bahwa engkau telah mencapai kebahagiaan sempurna tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 271 dan 272 berikut ini :

Bukan hanya karena sila dan tekad, bukan pula karena banyak belajar ataupun karena telah mencapai perkembangan dalam samadhi, atau juga karena berdiam diri di tempat yang sepi;

Lalu ia berpikir, ‘Aku telah menikmati kebahagiaan dari pelepasan yang tidak dapat dicapai oleh orang duniawi.’ O para bhikkhu, janganlah engkau merasa puas sebelum mencapai penghancuran semua kekotoran batin.

Semua bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb19.htm


Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada

0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar