Rabu, 22 Agustus 2007

Bab 14

BUDDHA [buddha vagga]

(1) Kisah Tiga Putri Mara
(2) Kisah Kembalinya Sang Buddha Dari Surga Tavatimsa

(3) Kisah Raja Naga Erakapatta

(4) Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Oleh Ananda Thera

(5) Kisah Seorang Bhikkhu Muda Yang Tidak Puas

(6) Kisah Aggidatta

(7) Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Oleh Ananda Thera

(8) Kisah Banyak Bhikkhu

(9) Kisah Stupa Emas Buddha Kassapa

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 179 dan 180

(1) Kisah Tiga Putri Mara

Brahmana Magandiya dan istrinya tinggal di kerajaan Kuru bersama dengan Magandiya, putri mereka yang amat cantik. Begitu cantiknya putrinya itu sehingga ayahnya dengan keras menolak semua pelamarnya. Suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Sang Buddha meninjau sekeliling dunia, Beliau mengetahui bahwa sudah saatnya bagi brahmana Magandiya dan istrinya untuk mencapai tingkat kesucian anagami. Sambil membawa mangkuk dan jubah-Nya, Sang Buddha berangkat ke tempat di mana sang brahmana biasanya melakukan pengorbanan dengan api.

Begitu melihat Sang Buddha, sang brahmana dengan seketika memutuskan bahwa Sang Buddha adalah orang yang layak menjadi suami putrinya. Ia meminta Sang Buddha untuk menunggu di sana dan dengan terburu-buru ia pergi menjemput istri dan putrinya.

Sang Buddha meninggalkan jejak kaki-Nya dan pergi ke tempat lain, yang berada di dekatnya. Ketika sang brahmana dan keluarganya tiba, mereka hanya menemukan jejak kaki. Melihat jejak kaki Sang Buddha, istri brahmana berkata bahwa itu adalah jejak kaki dari seseorang yang telah terbebas dari keinginan-keinginan hawa nafsu. Kemudian, sang brahmana melihat Sang Buddha dan menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh Sang Buddha.

Sang Buddha tidak menerima ataupun tidak menolak penawaran itu, tetapi pertama kali Beliau menceritakan kepada sang brahmana bagaimana putri-putri Mara menggoda-Nya pada saat Beliau baru saja mencapai ke-Buddha-an. Kepada putri-putri Mara yang cantik, Tanha, Arati dan Raga, Sang Buddha berkata,

"Tidak ada gunanya menggoda seseorang yang telah terbebas dari keinginan, kemelekatan dan nafsu, karena ia tidak lagi dapat terpikat oleh godaan apapun juga."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 179 dan 180 berikut ini :

Beliau yang kemenangannya tak dapat dikalahkan lagi, yang nafsunya telah diatasi dan tidak mengikutinya lagi, Sang Buddha yang tiada bandingnya, yang tanpa jejak nafsu, dengan cara apa akan kaugoda Beliau ?

Beliau yang tak terjerat dan terlibat nafsu keinginan yang menyebabkan kelahiran, Sang Buddha yang tiada bandingnya, yang tanpa jejak nafsu, dengan cara apa akan kaugoda Beliau ?

Kemudian, Sang Buddha melanjutkan,

"Brahmana Magandiya, walaupun saya melihat putri-putri Mara yang tiada bandingnya, saya tidak merasakan hawa nafsu dalam diri saya. Lagipula, apakah tubuh putrimu ini ? Hanya penuh dengan air kencing dan kotoran. Saya tidak ingin menyentuhnya walaupun dengan kaki saya !"

Begitu mendengar kata-kata Sang Buddha tersebut, mereka berdua, sang brahmana dan istrinya, mencapai tingkat kesucian anagami. Kemudian, mereka bergabung dengan bhikkhu yang lainnya dan akhirnya mereka berdua mencapai tingkat kesucian arahat.

Syair 181

(2) Kisah Kembalinya Sang Buddha Dari Surga Tavatimsa

Pada suatu saat, ketika berada di Savatthi, Sang Buddha memperlihatkan keajaiban ganda dalam menjawab tantangan para pertapa dari berbagai sekte. Setelah itu, Sang Buddha pergi ke surga Tavatimsa; ibu-Nya yang telah lahir di surga Tusita sebagai dewa yang dikenal sebagai Santusita juga datang ke surga Tavatimsa. Di sana Sang Buddha menjelaskan tentang Abhidhamma kepada para dewa dan brahma selama tiga bulan masa vassa. Hasilnya, dewa Santusita mencapai tingkat kesucian sotapatti; begitu pula dengan banyak dewa dan brahma.

Selama masa itu Sariputta Thera menghabiskan vassa di Sankassanagara, tiga puluh yojana dari Savatthi. Selama ia tinggal di sana, seperti yang telah dianjurkan secara tetap oleh Sang Buddha, ia mengajarkan Abhidhamma kepada lima ratus orang bhikkhu yang tinggal bersamanya dan menutup keseluruhan ceramah pada saat berakhirnya masa vassa.

Menjelang akhir masa vassa, Maha Moggallana Thera pergi ke surga Tavatimsa untuk menjenguk Sang Buddha. Kemudian, ia diberitahu bahwa Sang Buddha akan kembali ke dunia manusia pada saat bulan purnama di akhir masa vassa di tempat di mana Sariputta Thera melaksanakan masa vassa.

Seperti yang telah dijanjikan, Sang Buddha datang dengan sinar enam warna yang terus-menerus bersinar dari tubuh-Nya ke gerbang kota Sankassanagara, pada malam hari di bulan purnama di bulan Assayuja ketika bulan bersinar dengan terangnya. Beliau ditemani oleh sekumpulan besar dewa di satu sisi dan sekumpulan besar brahma di sisi yang lainnya. Sekumpulan besar orang yang dipimpin oleh Sariputta Thera menyambut kedatangan Sang Buddha ke dunia ini; dan seluruh kota diterangi cahaya. Sariputta Thera terpesona oleh keagungan dan kemuliaan dari seluruh pemandangan kembalinya Sang Buddha.

Ia dengan hormat mendatangi Sang Buddha dan berkata,

"Bhante ! Kami tidak pernah melihat ataupun mendengar kemuliaan yang begitu indah dan gemerlapan. Sungguh, Bhante dicintai, dihormati, dan dipuja oleh para dewa brahma dan manusia!"

Kepadanya Sang Buddha berkata,

"Anakku Sariputta, seorang Buddha yang memiliki sifat-sifat unik sesungguhnya dicintai oleh manusia dan para dewa."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 181 berikut :

Orang bijaksana yang tekun bersamadhi, yang bergembira dalam kedamaian pelepasan, yang memiliki kesadaran sejati dan telah mencapai Penerangan Sempurna, akan dicintai oleh para dewa.

Kelima ratus orang bhikkhu yang merupakan murid-murid dari Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian arahat, dan banyak sekali dari kumpulan-kumpulan orang yang hadir di sana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 182

(3) Kisah Raja Naga Erakapatta

Ada seekor raja naga yang bernama Erakapatta. Dalam salah satu kehidupannya yang lampau selama masa Buddha Kassapa ia telah menjadi seorang bhikkhu untuk waktu yang lama. Karena gelisah (kukkucca) ia telah melakukan pelanggaran-pelanggaran kecil selama itu, dan ia terlahir sebagai seekor naga. Sebagai seekor naga, ia menunggu munculnya seorang Buddha baru. Erakapatta memiliki seorang putri yang cantik, dan ia memanfaatkannya untuk tujuan menemukan Sang Buddha. Ia membuat putrinya terkenal sehingga siapapun yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sang putri berhak memperistrinya. Dua kali dalam sebulan, Erakapatta membuat putrinya menari di udara terbuka dan mengumandangkan pertanyaan-pertanyaannya. Banyak pelamar yang datang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan berharap memilikinya, tetapi tak seorangpun dapat memberikan jawaban yang benar.

Suatu hari, Sang Buddha melihat seorang pemuda yang bernama Uttara dalam pandangannya. Beliau juga mengetahui bahwa si pemuda akan mencapai tingkat kesucian sotapatti, sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh putri Erakapatta, sang naga. Pada saat itu si pemuda telah siap dalam perjalanannya untuk bertemu dengan putri Erakapatta. Sang Buddha menghentikannya dan mengajarinya bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi pelajaran, Uttara mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia tidak lagi memiliki keinginan terhadap putri Erakapatta. Bagaimanapun, Uttara tetap pergi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk kebaikan bagi banyak makhluk.

Keempat pertanyaan pertama adalah sebagai berikut :

  1. Siapakah penguasa ?
  2. Apakah seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran moral dapat disebut sebagai seorang penguasa ?
  3. Penguasa apakah yang bebas dari kekotoran moral ?
  4. Orang yang seperti apakah yang disebut tolol ?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut :

  1. Ia yang mengontrol keenam indera adalah seorang penguasa.
  2. Seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran moral tidak dapat disebut seorang penguasa; ia yang bebas dari kemelekatan disebut seorang penguasa.
  3. Penguasa yang bebas dari kemelekatan adalah yang bebas dari kekotoran moral.
  4. Seseorang yang menginginkan kesenangan-kesenangan hawa nafsu adalah yang disebut tolol.

Mendapat jawaban yang benar seperti di atas, putri naga meneriakkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan arus hawa nafsu, kehidupan berulang-ulang, pandangan-pandangan salah, dan kebodohan, dan bagaimana mereka ditanggulanginya. Uttara menjawab pertanyaan-pertanyaan ini seperti yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.

Ketika Erakapatta mendengar jawaban-jawaban ini ia tahu bahwa seorang Buddha telah muncul di dunia ini. Sehingga ia meminta kepada Uttara untuk mengantarkannya menghadap Sang Buddha. Saat melihat Sang Buddha, Erakapatta menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah menjadi seorang bhikkhu selama masa Buddha Kassapa, bagaimana ia tidak sengaja menyebabkan sebilah pisau rumput patah ketika sedang melakukan perjalanan di atas perahu, dan bagaimana ia sangat khawatir bahwa kesalahan kecil yang telah diperbuatnya akan menggagalkan usaha pembebasan dirinya, dan akhirnya bagaimana ia terlahir sebagai seekor naga.

Setelah mendengarnya, Sang Buddha mengatakan kepada sang naga, betapa sulit untuk dilahirkan di alam manusia, dan untuk dilahirkan pada saat munculnya para Buddha atau selama para Buddha mengajar.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 182 berikut :

Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, sungguh sulit kehidupan manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar, begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.

Kotbah di atas bermanfaat bagi banyak makhluk. Erakapatta sebagai seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Syair 183, 184 dan 185

(4) Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Oleh Ananda Thera

Pada suatu saat, Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha apakah pelajaran-pelajaran dasar yang diberikan kepada para bhikkhu oleh para Buddha terdahulu adalah sama seperti pelajaran Sang Buddha sendiri sekarang. Kepadanya Sang Buddha menjawab bahwa pelajaran-pelajaran yang dibabarkan oleh seluruh Buddha adalah seperti yang diberikan pada syair 183, 184, dan 185 berikut ini :

Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha.

Kesabaran adalah praktek bertapa yang paling tinggi. "Nibbana adalah yang tertinggi," begitulah sabda Para Buddha. Dia yang masih menyakiti orang lain sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).

Tidak menghina, tidak menyakiti, dapat mengendalikan diri sesuai dengan peraturan, memiliki sikap madya dalam hal makan, berdiam di tempat yang sunyi serta giat mengembangkan batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.

Syair 186 dan 187

(5) Kisah Seorang Bhikkhu Muda Yang Tidak Puas

Suatu saat, ada seorang bhikkhu muda di Vihara Jetavana, suatu hari gurunya mengirim bhikkhu itu ke vihara lain untuk belajar. Ketika ia sedang pergi, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia tanpa diketahui bhikkhu muda itu. Tetapi ayahnya meninggalkan uang seratus kahapana kepada saudara lelakinya, paman bhikkhu muda itu. Pada saat bhikkhu muda kembali, pamannya menceritakan tentang kematian ayahnya dan tentang uang seratus kahapana yang ditinggalkan untuknya. Mulanya, ia berkata bahwa ia tidak memerlukan uang tersebut. Kemudian, ia berpikir bahwa mungkin lebih baik kembali pada kehidupan berumahtangga, dan akibatnya ia menjadi tidak puas dengan kehidupan seorang bhikkhu. Pelan-pelan ia mulai kehilangan ketertarikan pada hidupnya dan juga kehilangan berat badannya. Ketika para bhikkhu yang lain tahu tentang hal ini, mereka membawanya menghadap Sang Buddha.

Sang Buddha bertanya kepadanya apakah benar bahwa ia merasa tidak bahagia dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu dan apakah ia memiliki modal untuk memulai kehidupan sebagai orang berumahtangga.

Ia menjawab benar dan ia memiliki uang seratus kahapana untuk memulai kehidupannya. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepadanya bahwa ia akan membutuhkan makanan, pakaian, perabotan rumah tangga, dua ekor lembu jantan, bajak-bajak, pangkur-pangkur, pisau-pisau, dan lain sebagainya, sehingga uang tunai seratus itu akan sangat sulit menutupi biaya-biaya tersebut.

Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya bahwa bagi kehidupan manusia tidak akan pernah cukup, tidak terkecuali juga bagi kehidupan raja dunia yang dapat mendatangkan hujan uang atau mutiara atau sejumlah kekayaan lainnya dan harta karun pada setiap saat.

Lebih lanjut, Sang Buddha menceritakan sebuah cerita tentang Mandatu, raja dunia, yang menikmati kebahagiaan hidup surgawi di alam surga Catumaharajika dan Tavatimsa secara bersamaan untuk waktu yang lama. Setelah menghabiskan waktu yang lama di surga Tavatimsa, suatu hari Mandatu berkeinginan untuk menjadi satu-satunya penguasa surga Tavatimsa, daripada membagi kekuasaan dengan Sakka. Tapi saat itu, keinginannya tidak dapat dipenuhi dan serta merta ia menjadi tua dan lemah, ia kembali ke alam manusia dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 186 dan 187 berikut ini :

Bukan dalam hujan uang emas dapat ditemukan kepuasan nafsu indria. Nafsu indria hanya merupakan kesenangan sekejap yang membuahkan penderitaan. Bagi orang bijaksana yang dapat memahami, hal itu tidak membuatnya bergembira bila mendapat kesenangan surgawi sekalipun. Siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna bergembira dalam penghancuran nafsu-nafsu keinginan.

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 188, 189, 190, 191, dan 192

(6) Kisah Aggidatta

Aggidatta adalah seorang kepala pendeta selama pemerintahan Raja Mahakosala, ayah dari Raja Pasenadi. Setelah kematian Raja Mahakosala, Aggidatta mendanakan kekayaannya, dan meninggalkan rumah menjadi seorang pertapa non-Buddhis. Ia tinggal bersama dengan sepuluh ribu orang pengikutnya di sebuah tempat dekat perbatasan antara tiga kerajaan Anga, Magadha dan Kuru, tidak jauh dari sebuah bukit pasir, di mana tinggal seekor naga yang buas. Kepada pengikut-pengikutnya dan orang-orang di ketiga kerajaan ini, Aggidatta mendesak,

"Sembahlah hutan-hutan, gunung-gunung, kebun-kebun dan taman-taman, serta pohon-pohon; dengan melakukan ini, kamu akan terbebas dari segala penyakit di dunia ini."

Suatu hari, Sang Buddha melihat Aggidatta dan para pengikutnya dalam pandangan-Nya dan menyadari bahwa sudah tiba saatnya bagi mereka untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha mengutus Maha Mogallana Thera menemui Aggidatta dan para pengikutnya serta mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri akan menjadi pengikutnya.

Maha Moggallana Thera pergi ke tempat Aggidatta dan para pengikutnya serta meminta mereka untuk memberikannya tempat menginap semalam. Mulanya mereka menolak permintaannya, tetapi akhirnya mereka setuju untuk membiarkannya bermalam di bukit pasir, rumah dari sang naga. Sang naga sangat tidak menyukai Maha Moggallana Thera, dan kemudian yang terjadi adalah adu kekuatan antara naga dan thera, pada dua sisi, terdapat tontonan kesaktian pancaran asap dan lidah api. Bagaimanapun juga, akhirnya sang naga dapat ditaklukkan. Ia menggulung dirinya mengitari bukit pasir tersebut, dan menegakkan kepalanya serta melebarkannya seperti sebuah payung di atas Maha Moggallana Thera, menunjukkan rasa hormat kepadanya.

Pagi-pagi sekali, Aggidatta dan para pertapa lainnya datang ke bukit pasir untuk mengetahui apakah Maha Moggallana Thera masih hidup, mereka berharap melihatnya sudah meninggal dunia. Ketika mereka mengetahui sang naga telah jinak, dan tanpa perlawanan membiarkan kepalanya seperti sebuah payung di atas tubuh Maha Moggallana Thera, mereka amat sangat terkejut.

Sesaat kemudian, Sang Buddha tiba dan Maha Moggallana Thera berdiri dari tempat duduknya di bukit pasir dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Kemudian Maha Moggallana Thera mengumumkan kepada para pertapa,

"Inilah Guru saya, Sang Buddha Yang Maha Suci, dan saya adalah murid yang rendah dari Guru Agung ini !"

Mendengarnya, para pertapa yang sangat terkesan oleh kesaktian Maha Moggallana Thera terpesona oleh kesaktian Sang Buddha. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Aggidatta apa yang telah diajarkannya kepada pengikut-pengikutnya dan para penduduk yang saling bertetangga. Aggidatta menjawab bahwa ia telah mengajarkan kepada mereka untuk memberi penghormatan kepada gunung-gunung, hutan-hutan, kebun-kebun dan taman-taman, serta pohon-pohon, dan dengan melakukan hal tersebut, mereka akan terbebas dari segala penyakit di dunia ini.

Jawaban Sang Buddha kepada Aggidatta adalah,

"Aggidatta, orang-orang pergi ke gunung-gunung, hutan-hutan, taman-taman dan kebun-kebun, serta pohon-pohon untuk mengungsi ketika mereka terancam oleh bahaya, tetapi benda-benda ini tidak dapat memberikan perlindungan. Hanya mereka yang berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha akan terbebas dari proses lingkaran kehidupan (samsara)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 188, 189, 190, 191, dan 192 berikut ini :

Karena rasa takut, banyak orang pergi mencari perlindungan ke gunung-gunung, ke arama-arama (hutan buatan), ke pohon-pohon dan ke tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.

Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman, bukanlah perlindungan yang utama. Dengan mencari perlindungan seperti itu, orang tidak akan bebas dari penderitaan.

Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia yaitu :

Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan yang menuju pada akhir dukkha.

Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan.

Pada akhir khotbah Dhamma itu, Aggidatta dan seluruh pengikutnya mencapai tingkat kesucian arahat. Mereka semua menjadi bhikkhu. Pada hari itu, ketika para murid Aggidatta dari Anga, Magadha dan Kuru datang untuk memberi penghormatan kepadanya, mereka melihat gurunya dan para pengikutnya berpakaian bhikkhu, mereka menjadi bingung dan heran,

"Siapa yang lebih sakti ? Guru kami atau Samana Gotama ? Guru kami pasti lebih sakti karena Samana Gotama telah datang kepada guru kami."

Sang Buddha tahu apa yang sedang mereka pikirkan, Aggidatta juga merasa bahwa ia harus menenangkan pikiran mereka. Maka ia menghormati Sang Buddha di hadapan murid-muridnya, dan berkata,

"Bhante, Andalah guru saya ! Saya hanyalah seorang murid-Mu."

Seluruh muridnya yang hadir menyadari kemuliaan Sang Buddha.

Syair 193

(7) Kisah Pertanyaan Yang Diajukan Oleh Ananda Thera

Suatu hari, Ananda Thera merenung demikian,

"Guru kami mengatakan kepada kami bahwa keturunan-keturunan gajah hanya akan terlahir di antara keturunan-keturunan Chaddanta dan Uposatha, keturunan-keturunan kuda hanya akan terlahir di antara keturunan Sindh, keturunan-keturunan lembu hanya akan terlahir di antara keturunan Usabha. Jadi, Beliau telah mengatakan kepada kami hanya tentang keturunan-keturunan gajah, kuda, dan lembu, tetapi tidak tentang orang-orang yang mulia (purisajanno)."

Setelah merenung demikian, Ananda Thera pergi menghadap Sang Buddha, dan menanyakan tentang orang-orang mulia. Kepadanya Sang Buddha menjawab,

"Ananda, orang-orang mulia tidak akan terlahir di manapun, ia hanya akan terlahir di antara Khattiyamahasala dan Brahmanamahasala, kaum hartawan dari Khattiya dan Brahmana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 193 berikut :

Sukar untuk berjumpa dengan manusia yang mempunyai kebijaksanaan Agung. Orang seperti itu tidak akan dilahirkan di sebarang tempat. Tetapi di manapun orang seperti itu dilahirkan, maka keluarganya akan hidup bahagia.

Syair 194

(8) Kisah Banyak Bhikkhu

Suatu saat lima ratus bhikkhu sedang mendiskusikan pertanyaan,

"Apakah yang merupakan kebahagiaan ?"

Bhikkhu-bhikkhu ini berpendapat bahwa ujud kebahagiaan berbeda-beda bagi setiap orang. Jadi, mereka berkata,

"Untuk beberapa orang memiliki kekayaan dan kemuliaan seperti seorang raja adalah kebahagiaan, untuk beberapa orang pemuasan terhadap nafsu indria adalah kebahagiaan, tetapi untuk yang lainnya memiliki makanan nasi dan daging adalah kebahagiaan."

Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Sang Buddha menghampirinya. Setelah mengetahui masalah yang sedang mereka perbincangkan, Sang Buddha berkata,

"Para bhikkhu, segala kesenangan yang telah kalian sebutkan tidak akan membuatmu keluar dari proses lingkaran kehidupan. Dalam dunia ini, hal-hal yang merupakan kebahagiaan adalah munculnya seorang Buddha, kesempatan untuk mendengarkan Ajaran Kebenaran Mulia, dan keharmonisan di antara para bhikkhu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 194 berikut :

Kelahiran Para Buddha merupakan sebab kebahagiaan. Pembabaran Ajaran Benar merupakan sebab kebahagiaan. Persatuan Sangha merupakan sebab kebahagiaan. Dan usaha perjuangan mereka yang telah bersatu merupakan sebab kebahagiaan.

Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 195 dan 196

(9) Kisah Stupa Emas Buddha Kassapa

Suatu saat, ketika Sang Buddha dan para pengikutnya sedang dalam perjalanan ke Baranasi mereka tiba di sebuah tanah lapang di mana terdapat sebuah stupa suci. Tidak jauh dari kuil tersebut, seorang brahmana sedang membajak ladang, melihat sang brahmana, Sang Buddha memanggilnya.

Ketika ia tiba, sang brahmana memberi penghormatan kepada stupa tersebut tetapi bukan kepada Sang Buddha. Kepadanya Sang Buddha berkata,

"Brahmana, dengan memberikan penghormatan kepada stupa tersebut engkau telah melakukan sebuah perbuatan yang terpuji."

Hal itu membuat sang brahmana gembira. Setelah membuat keadaan batinnya tenang, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, memunculkan stupa emas Buddha Kassapa dan membuatnya tetap tampak di langit. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada sang brahmana dan para bhikkhu yang hadir bahwa terdapat empat golongan orang yang patut dibuatkan stupa.

Mereka adalah : Para Buddha (Tathagata) yang patut dihormati dan telah mencapai Penerangan Sempurna dengan usahanya sendiri. Para Paccekabuddha, Para Murid-murid Ariya, dan Raja Dunia.

Beliau juga mengatakan kepada mereka tentang tiga macam stupa yang patut dibangun untuk menghormati empat golongan orang itu. Stupa-stupa tempat di mana relik sisa-sisa jasmani disimpan, dikenal dengan nama Sariradhatu-cetiya; stupa-stupa dan bentuk-bentuk yang dibuat menyerupai orang-orang tersebut di atas, dikenal dengan nama Uddissa-cetiya; dan stupa-stupa tempat menyimpan barang-barang seperti jubah, mangkuk, dan lain sebagainya dikenal dengan nama Paribhoga-cetiya. Pohon Bodhi juga termasuk dalam Paribhoga-cetiya. Sang Buddha menekankan pentingnya memberi penghormatan kepada mereka yang patut dihormati.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 195 dan 196 berikut ini :

Ia yang menghormati mereka yang patut dihormati, yakni Para Buddha atau siswa-siswa-Nya yang telah dapat mengatasi rintangan-rintangan, akan bebas dari kesedihan dan ratap tangis.

Ia yang menghormati orang-orang suci yang telah menemukan kedamaian dan telah bebas dari ketakutan; maka jasa perbuatannya tak dapat diukur dengan ukuran apapun.

Sang brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Stupa Buddha Kassapa masih dengan jelas tertampak lebih dari tujuh hari, dan masyarakat tetap berdatangan ke stupa tersebut untuk memberikan penghormatan dan bersujud. Pada akhir hari ke tujuh, seperti yang telah dikatakan oleh Sang Buddha, stupa tersebut menghilang, dan di tempat di mana stupa tersebut tertampak dengan kekuatan batin, muncul keajaiban berupa sebuah stupa batu yang besar.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb14.htm


Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada

0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar