Senin, 16 Mei 2011

Selangkangan..



Saat ini, 70 negara [termasuk termasuk Taiwan] telah melegalkan Prostitusi.

Untuk negara Muslim, maka Kyrgyzstan adalah negara muslim pertama yang melegalkan prostitusi sedangkan negara muslim lainnya, walaupun tidak tercantum dalam list negara tersebut mereka masih malu-malu melegalkannya dan menyebutkan prostitusi dalam istilah lain, misalnya: Arab Saudi dengan nikah misyar-nya dan Iran dengan Nikah Mut'ah-nya.

Pengkhotbah populer Muslim Abu Ishaq al-Huwaini, murid pertama Syaikh al-Albani dengan bangga menyampaikan bagaimana Islam mengijinkan Muslim membeli dan menjual wanita kafir taklukkannya, sehingga "Ketika Aku ingin budak seks, Aku pergi ke pasar memilih dan membeli perempuan manapun yang aku inginkan.". Berikut rekaman dari Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini:

    Hanya jika kita dapat lakukan invasi jihad setidaknya setahun sekali atau jika memungkinkan dua/tiga kali, maka banyak orang di bumi akan menjadi Muslim. Dan jika seseorang mencegah Dakwah atau menghalangi jalan kita, maka kita harus membunuh mereka atau mengambil mereka sebagai sandera dan merampas harta, perempuan dan anak mereka. Pertempuran itu akan mengisi dompet para Mujahid yang kembali ke rumah dengan 3 atau 4 budak, 3 atau 4 budak wanita dan 3 atau 4 anak-anak. Ini dapat merupakan bisnis yang menguntungkan jika Anda kalikan per kepala dengan 300 atau 400 dirham. Ini menjadi seperti cadangan keuangan bagai seorang pen-jihad, di kala kebutuhan keuangan, dapat selalu menjual satu kepala (berarti budak)~[Rekaman dalam bahasa arab 18 tahunan lalu di sini dan penjelasan posisinya sekarang serta seluruh interviewnya di sini]
Tanggal 4 Juni 2011, Salwa al-Mutairi, seorang wanita muslim, aktivis politik dan mantan calon parlemen pemerintahan Kuwait, juga berusaha menghidupkan kembali lembaga perbudakan seks. seperti di lansir Kuwait Times:
    Para pria Muslim yang khawatir tergoda dan terayu untuk berperilaku amoral karena kecantikan pelayan perempuan mereka, atau bahkan para pelayan "memberikan mantra" pada mereka, akan lebih baik membeli perempuan melalui agen "perbudakan pembantu" untuk tujuan seksual. Ia [Mutairi] menyarankan bahwa kantor khusus dapat dibentuk untuk menyediakan selir dengan cara yang sama seperti yang dilakukan sekarang oleh agen perekrutan para pembantu rumah tangga. "Kita ingin para generasi muda terlindungi dari perzinahan," kata al-Mutairi, menyarankan bahwa para pembantu di peroleh sebagai tawanan perang dari negara-negara yang sedang dilanda perang seperti Chechnya yang dijual kepada para pedagang yang saleh.
Website pemberitaan Arab, Al Arabiya, memiliki rincian pemikirannya dan juga video Mutairi menangani hal ini, berikut ringkasannya:
    "..Itu tentu saja benar bahwa "nabi melegitimasi perbudakan seks.". Mutairi menceritakan bagaimana ketika dia berada di Mekah, kota suci Islam, dia bertanya pada berbagai syekh dan mufti (pemegang otoritas Islam) tentang legalitas perbudakan-seks menurut Syariah: mereka semua mengkonfirmasi bahwa ini halal; ulama Kuwait lebih lanjut menunjukkan bahwa orang-orang ekstra "jantan" sinonim dari "gila seks" "bejat", "menyimpang"-akan melakukannya dengan baik membeli budak-seks untuk memuaskan nafsu mereka tanpa berdosa.
    ...
    Sebuah negara Muslim haruslah [pertama2] menyerang negara Kristen -maaf, maksudku setiap negara non Muslim- dan mereka [para wanita, budak seks kelak] harus di tangkap dalam serangan itu. Apakah ini haram? Tidak sama sekali; menurut Islam, budak seks sama sekali tidak dilarang...Dia melanjutkan untuk memberikan saran konkret: "Sebagai contoh, dalam perang Chechnya, pasti ada para tawanan perempuan Rusia. Jadi beli mereka dan jual mereka di Kuwait, itu lebih baik daripada kaum lelaki kita melakukan hubungan seks yang haram. Aku ngga liat ada persoalan tentang ini, ngga masalah sama sekali."
Mutairi menyarankan gadis-gadis yang diperbudak minimal berusia 15 tahun.

Lebih lanjut mengenai institusi perbudakan seks yaitu dengan membangkitkan masa khalifah abad ke-8, Harun Rashid: "..Harun Al-Rasyid ketika wafat, dia punya 2.000 budak seks-ngga apa-apa, ngga ada salahnya dengan itu."~[disarikan dari tulisan Raymond Ibrahim, Direktur asosiasi Forum Timur Tengah, dari link ini, juga di SurabayaPost dan TempoInteraktif]

Mutairi 100% benar,
karena bahkan Allah-pun secara khusus telah menghalalkan perbudakan HANYA bagik kaum muslimin dan TIDAK bagi KAUM/NABI LAINNYA, misalkan:
  1. Riwayat Jabir bin Abdullah, Rasullullah SAW berkata: "Aku diberikan lima perkara yang mana belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku:..ghanimah dihalalkan untukku, namun tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelumku [Muslim no.810. Juga di: Bukhari 323, 419. Darimi no.328,1353. Ahmad no.2606, 13745, 20352, 20463]
  2. Riwayat Abu Huraira, Rasulullah SAW berkata: "Tidak dihalalkan ghonimah bagi orang-orang sebelum kalian..Sedangkan pada perang badar orang-orang bersegera untuk mendapatkan harta ghonimah, maka Allah Azza Wa Jalla pun menurunkan ayat: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik. (AQ 8.68-69)" [Ahmad no.7124. Tirmidhi no.3010 (Hasan Gharib)]
  3. Riwayat Abu Sa'id Kudri: Sa'd bin Mu'adh berkata: "Bunuh para pejuang mereka dan ambil keturunannya sebagai tawanan, ". Atas hal itu Nabi berkata, "engkau telah memutuskan sesuai keputusan Allah,"..[Bukhari 5.59.447]
Demikianlah dalam perolehan peperangan, selain harta, terkandung juga di dalamnya budak dan tawanan wanita.

Fungsi para tawanan wanita adalah untuk memuaskan hasrat seksual [Bukhari 8.77.600, 7.62.137; Muslim 8.3371, 8.3432-33, Muslim No.2599], yang juga dilakukan oleh Nabi misalnya dari perolehan perang di Hunayn, Nabi membagikan menantunya, Ali, seorang budak wanita bernama Baytab. Juga untuk Usman seorang budak wanita bernama Zaynab dan tidak ketinggalan pula untuk Umar [Ishaq:593]. Di bawah ini beberapa sample hadis berupa hadiah kenikmatan seksual sebagai hasil langsung dari harta rampasan perang:
  1. ‘Aku memasuki Mesjid, melihat Abu, duduk disebelahnya dan berbincang mengenai Sex. Abu Said berkata ‘Kami pergi bersama Nabi dan kami memperoleh budak-budak wanita diantara hasil tangkapan/jarahan. Kami menginginkan wanita-wanita itu dan kami suka sekali menyetubuhi mereka.[Bukhari 5.59.459]
  2. Jabir: Kami melakukan 'azl pada zaman Rasulullah SAW dan al-Qur'an masih diturunkan, jika ia merupakan sesuatu yang dilarang, niscaya al-Qur'an melarangnya pada kami. Muttafaq Alaihi (Bukhari dan Muslim). Menurut riwayat Muslim: Hal itu sampai kepada Nabi SAW dan beliau tidak melarangnya pada kami.
  3. riwayat Jabir: Kami tetap melakukan `azl di lakukan saat Alquran masih turun. Ishaq menambahkan: Sufyan berkata: Kalau ada sesuatu yang terlarang pasti Alquran telah melarang hal tersebut. [Sahih Muslim No.2608]
Sebagai Nabi pendiri ajaran ini, tentu saja beliaupun mempunyai budak-budak seks, berikut 4 Budak wanita yang biasa dipakai bersenang-senang melepas hasrat birahi Nabi:
  1. ..Namun jika ia maksudkan budak-budak yang Rasullullah biasa bersenang-senang (ya ta sarra behina), artinya meniduri mereka karena hak kepemilikan tangan kanannya? Dikatakan empat: Mariyah al-Qibtiyah, dan Rayhanah dari Bani Qurayza, dan yang ke-3 yang tidurinya selama ia diperbudak dan yg ke-4 diberikan oleh Zaynab bint Jahsh (Fatwa: 20780]
  2. ..Rasulullah SAW juga mempunyai 4 budak wanita. Hazrat Maria Qibtiyya..yang lainnya adalah, Hazrat Rayhaan binti Samoon; Hazrat Nafisa dan yang ke-4, namanya tidak tercatat dalam sejarah [Mufti Ebrahim Desai, Pertanyaan 17298 dari Afrika selatan: "what is the Islamic law with regard to slave-women? Was It permissible to have relations with these slave-women without a formal marriage ceremony?"]
  3. Di samping ini, Ia punya dua budak seksual. Pertama adalah Mariyah..Yang kedua adalah Raihanah bint Zaid An-Nadriyah atau Quraziyah..Abu 'Ubaidah membicarakan dua lagi budak, Jameelah, tawanan, dan seorang lagi..diberikan oleh Zainab bint Jahsh. [Za'd Al-Ma'ad 1/29] (Ar-Raheeq Al-Makhtum (THE SEALED NECTAR), Biography of the Noble Prophet, Saif-ur-Rahman al-Mubarakpuri [Maktaba Dar-us-Salam Publishers & Distributors, First Edition 1995], "The Prophetic Household", hal. 485]
Dulu Islam masih membedakan antara seseorang yang bersatus sebagai tawanan VS seseorang yang berstatus sebagai budak, di mana, seorang tawanan bukanlah budak:
    Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [AQ 8.67, turun setelah perampokan Badar, 2H/624 Masehi]

    Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. [AQ 47.4, turun setelah perampokan di Badar 2H/624 M]

    Tafsir Jalalyn menyatakan AQ 47.4 mengabrogasi AQ 8.67, namun Ibn kathir menyatakan sebaliknya.
5 tahun berlalu sejak peristiwa itu dan kemudian terjadilah perang di Awtas (630 Masehi). Di perang ini, para muslim rupanya tidak sabar untuk menyetubuhi tawanan-tawanan wanita yang mereka dapatkan dan juga enggan menyetubuhi tawanan wanita yang masih bersuami. Allah yang maha pemurah mendengar keluh kesah selangkangan mereka ini dan menurunkan ayat suci melegalkan perkosaan terhadap tawanan wanita yang telah bersiami. Sejak ayat ini turun maka setiap tawanan statusnya menjadi sama saja dengan budak:
    "Diharamkan atas kamu..dan wanita yang bersuami (waalmuhsanaatu), KECUALI MA malakat aymanukum (APA yang tangan kananmu miliki).." [An Nisa 4:24]

    Note:
    namun "muhsanaatu" (AQ 5.5) TIDAK diartikan wanita yang bersuami tapi wanita yang menjaga kehormatan, juga kata "muhashshanatin" (AQ 59.14) = benteng. Pada variasi dari akar yang sama, misal: "tuhsinuuna" (AQ 12:48) = "simpan"; "lituhsinakum" (AQ 21.80) = melindungi; "ahsanat" (AQ 21.91; 66:12) = memelihara kehormatan; "tahashshunan" (AQ 24:33) = kehormatan.

    Tangan Kanan = Budak (Muslim dan Kafir) + Binatang milik (Binatang + kafir + Tawanan wanita yang bersuami kafir)

    Orang Kafir = Ahli kitab dan Orang Musyrik (AQ 98.1,6) + Fatwa: muslim "..yang tidak mengkafirkan orang kafir setelah ditegakkan hujjah baginya, maka ia kafir" (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’, Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, wakil: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Anggota: Syaikh Bakr Abu Zaid dan Syaikh Shalih Al Fauzan, Fatwa no. 19402, 12: 275-284).

    Orang musyrik itu NAJIS (AQ 9.28. Surat ini turun di: sebelum, sedang dan setelah perang Tabuk, 9 H). KAUM Kafir adalah BINATANG YANG PALING BURUK (AQ 8.22,25), SEBAGAI BINATANG TERNAK ("kaal-an'aami"AQ 7.179; 25.43-44) ayat ini BUKAN perumpamaan, tidak ada kata "Matsal/amtsaal" di situ
Tafsir Ibn Kathir menjelaskan bahwa bagian dari ayat ini diturunkan Allah sebagai IJIN MEMPERKOSA tawanan wanita:
    Koleksi Imam Ahmad (no.11266, 11370) bahwa Abu Sa`id Al-Khudri berkata, "Kami TANGKAP BEBERAPA PEREMPUAN di area Awtas yang TELAH MENIKAH dan kami TIDAK SUKA melakukan SEKS dengan mereka karena mereka TELAH MEMPUNYAI SUAMI. Jadi KAMI TANYA pada NABi tentang hal ini, DAN AYAH INI DITURUNKAN,

    "وَالْمُحْصَنَـتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَا مَلَكْتَ أَيْمَـنُكُمْ".

    Konsekuensinya, KAMI MELAKUKAN HUBUNGAN SEKS dengan wanita2 ini. Ini ada di koleksi At-Tirmidhi (no.1051, 2942-43) An-Nasa'i (no.3281), Ibn Jarir dan Muslim (8.3342-3343/no.2643-44) di sahihnya (juga di Abu Dawud no.1841/11.2150).

    Note:
    Walaupun dalam tafsir tertulis agar dipastikan dulu bahwa mereka yang diperkosa ini tidak sedang hamil, namun Islam JELAS menyebutkan waktu tunggu Iddah untuk menggauli harusnya adalah 4 bulan 10 hari.

Juga scan tafsir Tabari, hal.694-695, untuk AQ 4.24 yang juga menyampaikan izin dari Allah SWT untuk memperkosa tawanan wanita yang telah bersuami.

Sample hadis yang juga menyampaikan IZIN memperkosa tawanan wanita yang telah bersuami :
    Riwayat 'Abd bin Humaid - Habban bin HIilal - Hammam bin Yahya - Qatadah - Abu Al Khalil - Abu 'Alqamah Al Hasyimi - Abu Sa'id Al Khudri;
    "Ketika terjadi perang Authas, KAMI MENGGAULI PARA WANITA (tawanan) YANG MEMILIKI SUAMI KAUM MUSYRIKIN, maka sebagian orang diantara kami membenci mereka. Lalu Allah menurunkan ayat: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. QS An-Nisa`: 24. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. [Tirmidhi no.2942]

    Riwayat Abdurrazzaq - Sufyan - Utsman Al Batti - Abu khalil - Abu Sa'id Al Khudri:
    "KAMI MENDAPATKAN WANITA-WANITA TAWANAN DARI AWTAS, KAMI TIDAK INGIN MENGGAULI MEREKA KARENA MEREKA TELAH BERSUAMI, kami bertanya kepada Nabi SAW, lalu turunlah ayat: "dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki..". Abu Sa'id: "MAKA KAMIPUN DENGAN AYAT MENGHALALKAN KEMALUAN-KEMALUAN MEREKA" [Ahmad no.11266]
Priaku seksual di atas, yang bagi masyarakat normal dikategorikan sebagai tindakan biadab, namun dalam Islam, tindakan ini BUKAN biadab dan BUKAN ZINA karena telah diperkenankan Allah dan Nabinya. Konteks Zina adalah perbuatan seksual yang haram yaitu:
  1. jika pria melakukan seksual SELAIN: Istri-istrinya, gundik-gundiknya dan "apa yang tangan kanannya miliki" maka itu adalah zina (perbuatan seksual seperti yang disampaikan hadis-hadis di atas bukanlah zina dan melakukan dengan wanita non muslim yang bersuami juga bukan Zina)
  2. Jika wanita melakukan seksual SELAIN suaminya maka itu adalah Zina (terdapat pengecualian lain yang akan di elaborasi lebih lanjut di bawah).
Kata "zina" disebutkan di Qur'an [AQ 17.32, "الزِّنَى" (alzzinâ), Ibrani: zonah "ניאוף"; Pelakunya (AQ 24:2,3) tidak dibedakan apakah bikr/perawan atau thayyib/pernah menikah atau mukhsan/menikah, semuanya disebut Zaanii (pelaku zina Pria, Jamak: yaznuuna)dan Zaaniyah (pelaku zina wanita, Jamak: yaznīna) AQ 25.8, 68 dan AQ 60:12]. Tindakan zina dikategorikan sebagai perbuatan keji "فَاحِشَةً" (fahishah)

Apakah hukuman bagi penzina?
    Dan mereka (waallaatii) yang melakukan (yatiina) perbuatan keji (alfaahisyata) dari (min) para wanitamu (nisaa-ikum) maka datangkanlah saksi-saksi (fa-is'tashhiduu, maskulin) terhadap mereka ('alayhinna) 4 (arba'atan) diantara kalian (minkum). Dan jika (fa-in) mereka telah bersaksi (syahiduu, maskulin), MAKA KURUNGLAH MEREKA (fa-amsikuuhunna) di rumah mereka (fii albuyuuti) HINGGA (hattaa) mereka menemui ajalnya (yatawaffaahunna almawtu) ATAU (aw) dijadikan Allah (yaj'ala allaahu) untuk mereka (lahunna) suatu jalan (sabīlan). [AQ 4.15]

    Dan dua orang (waalladzaani) yang melakukan (yatiyānihā) di antara kalian (minkum), maka berilah hukuman kepada keduanya (faaadzuuhumaa) dan jika (fa-in) bertaubat (taabaa) dan memperbaiki diri (wa-ashlahaa), biarkanlah (berpalinglah dari) keduanya (anhumaa). Sesungguhnya (inna) Allah (allaaha) adalah (kaana) Penerima taubat pengampun (tawwaaban rahiimaan)
Kalimat "Atau dijadikan Allah untuk mereka suatu jalan" menunjukan hukuman ini bukanlah hukuman wajib dan masih terdapat alternatif hukuman lainnya yang juga dapat memberikan jalan bagi pelaku untuk dapat tetap hidup untuk memperbaiki diri dan bertaubat.

Untuk itu, sebagai alternatif lain, adakah HUKUMAN WAJIB bagi para penzina? ADA
    satu surat [suuratun] Kami turunkan [anzalnaahaa] DAN KAMI WAJIBKAN [wafaradhnaahaa] dan Kami turunkan [wa-anzalnaa] di dalamnya [fiihaa] ayat ayat [aayaatin] YANG JELAS [bayyinātin], agar kamu dapat [la'allakum] MENGINGATNYA [tadzakkaruuna] [24.1]

    Apa hukuman wajibnya?

    Wanita penzina (alzzaaniyatu) dan (wa) pria penzina (alzzaanii), maka cambuklah (fa-ijliduu) tiap (kulla) seorang (waahidin) dari mereka (minhumaa) 100 (mi-ata) cambukan (jaldatin), dan jangan (walaa) menjadikanmu (takhudh'kum) pada mereka (bihima) kasihan (rafatun) di jalan Allah (fii diini allaahi) jika (in) kamu (kuntum) beriman (tu'minūna) pada Allah dan hari akhir (biallaahi waalyawmi al-aakhiri) dan hendaklah hukuman mereka disaksikan sekumpulan orang beriman. [AQ 24.2]

    ..Para wanita menikah (muḥ'ṣanātin) SELAIN (ghayra) wanita penzina (musāfiḥātin. Untuk Pria: musāfiḥīna) dan bukan (wala) wanita yang mengambil (muttakhidhāti, Untuk pria: muttakhidhī) gundik/piaraan (akhdānin, jenis kelamin: pria); dan jika (fa-idzaa) KAWIN [uhsinna, arti: dijaga, tapi di AQ 5.5 kata muchshinîna artinya mereka yang mengawini], dan jika (fa-in) mereka melakukan (atayna, perempuan) perbuatan keji (bifāḥishatin, sering diartikan zina), maka UNTUK MEREKA (fa'alayhinna, perempuan) 1/2 (niṣ'fu) APA (maa) terhadap/atas ('alaa) WANITA-WANITA YANG BERSUAMI (baca: waalmuhsanaatu di ayat 4.24 juga diartikan wanita2 bersuami tidak menggunakan kata tambahan "merdeka") dari (mina) hukuman (al'adzaabi). Itu (dzaalika), UNTUK SIAPAPUN (liman) yang takut (khasyiya) susah/sulit (al'anata) di antara kalian (minkum), dan itu (wa-an) kamu bersabar (tashbiruu) itu lebih baik (khayrun) bagimu (akum). dan Allah (waallaahu) pengampun (ghafuurun) penyangan (rahiimun)[AQ 4.25]

    Kalimat ini jelas menyampaikan bahwa hukuman dari wanita menikah adalah 100 cambukan, selain itu 50 cambukan. Ini mengindikasikan bahwa PRIA menerima 100 cambukan baik (menikah maupun tidak).

    Kemudian, di AQ 5.5 terdapat kalimat, "pria yang mengambil (muttakhidhī) gundik pria (akhada)", ini adalah tindak homo seksual. Di kisah luth, para pelaku homo seksual mengusir luth dan para pelaku menerima hukuman langsung dari tuhan berupa hujan (mataran) [AQ 7.80-83; 26.165-175 dan 27.54-57]

    Apakah masih ada hukuman wajib tambahan lainnya? YA.

    Seorang pria penzina (alzzaanii) TIDAK AKAN (laa) mengawini (yankihu) SELAIN (illaa): Seorang Wanita penzina (zaaniyatan, jamak) atau (aw) seorang wanita musyrik (musyrikatan, jamak); dan PARA PENZINA PEREMPUAN (waalzzaaniyatu) TIDAK AKAN (Laa) dikawini (yankihuhaa) SELAIN (ilaa) SEORANG PENZINA LELAKI (zaanin) atau (aw) seorang musyrik (musyrikun), dan diharamkan (wahurrima) itu (dzaalika) atas/terhadap ('alaa) para MUKMIN (almu/miniina) [AQ 24.2]

    Ayat ini menunjukan bahwa para penzina ini hanya dapat di kawini oleh penzina lainnya atau oleh para kaum musyrik.

    Apakah masih ada lagi hukuman wajib lainnya di surat ini dan/atau di surat lainnya? TIDAK ADA.
Semua ketentuan dan persyaratan untuk pelaksanaan hukuman pada tuduhan Fahishah (zina), mewajibkan syarat keberadaan 4 (empat) saksi [AQ 24:4,13 dan AQ 4:15 merujuk pada saksi Pria, jika tidak ada saksi pria maka 2 wanita = 1 pria sebagai mana bunyi,"Jika tak ada 2 orang lelaki, maka 1 lelaki dan 2 orang perempuan.." AQ 2.282]. Kegagalan pemenuhan pada syarat kesaksian maka si penuduh akan dihukum 80 x cambukan [AQ 24:24].

Tidak ada satupun ayat di Qur'an yang menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku tindakan keji dilakukan dengan cara rajam (hingga mati). Namun menariknya, pelaksanaan hukuman rajam terdapat di hadis dan juga tafsir Ibn Kathir untuk surat AQ 4:16-17:
    Ibn `Abbas berkata, "Aturan di awal-awal dilakukan dengan hukuman kurungan, hingga Allah menurunkan AQ 24:2, yang mengabrogasi hukuman tersebut menjadi cambukan atau rajam", dilaporkan serupa oleh `Ikrimah, Sa`id bin Jubayr, Al-Hasan, `Ata' Al-Khurasani, Abu Salih, Qatadah, Zayd bin Aslam dan Ad-Dahhak. Di Musnad Imam Ahmad, `Ubadah bin As-Samit berkata, "Ketika wahyu turun pada Nabi Muhammad, Itu mempengaruhinya dan wajahnya terlihat mengejang. Suatu hari, Allah menurunkan wahyu padanya dan ketika telah lepas dari kekejangannya itu, Nabi berkata,

    خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا،..،الثَّــيِّبُ جَلْدُ مِائَةٍ، وَرَجْمٌ بِالْحِجَارَةِ، وَالْبِكْرُ جَلْدُ مِائَةٍ ثُمَّ نَفْيُ سَنَة[..]

    [..]Bawa Aku, Allah telah memberi mereka jalan,..,yang menikah dicambuk dan dihukum rajam hingga mati, sementara yang belum menikah mendapatkan 100 cambukan dan di usir selama 1 tahun. [Hadis Muslim dan beberapa kolektor hadis memuat ini; Tirmidzi menyatakan "Hasan Sahih"]. Kemudian, Ibn `Abbas dan Sa`id bin Jubayr menyatakan pula bahwa hukumannya termasuk: mengutuk, mempermalui mereka dan memukuli mereka dengan sendal. Aturan ini kemudian Allah ganti dengan cambuk atau rajam.
Tafsir Ibn Kathir utk surat AQ 24:1-2 sebagai berikut:
    (AQ 24.2, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina") Dalam ayat ini terkandung aturan hukum bagi mereka yang melakukan perbuatan seks yang ilegal. Orang tertentu menikah/tidak jika melakukan perbuatan tersebut diresepkan hukuman sebesar 100 x cambukan. Sebagai tambahan, Ia (lelaki) akan diusir keluar selama 1 tahun, sebagaimana dituliskan di 2 sahih yang berasal dari Abu Hurayrah dan Zayd bin Khalid Al-Juhani dalam hadis tentang dua orang badui yang datang kepada Nabi. Satu dari mereka berkata,

    "Oh, utusan Allah, anakku ini dipekerjakan oleh lelaki ini, dan melakukan Zina dengan Istrinya. Aku telah membayar uang tebusan menggantikan anakku dengan 100 kambing dan 1 orang budak, namun ketika aku tanya pada para ulama, mereka menyatakan bahwa anakku harus di hukum 100 cambukan dan di buang setahun, dan istri orang ini di rajam hingga tewas."

    Nabi berkata:
    «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ تَعَالى، الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ، وَعَلى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ إِلَى امْرَأَةِ هذَا،فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا»

    (Atas nama yang pemilik jiwaku ada ditangannya, Aku akan menjadi hakim diantara kalian menurut Kitab Allah. Ambilah kembali budak wanita dan domba tebusan, dan anakmu akan diberikan 100 x cambukan dan diusir selama 1 tahun. O Unais (dari suku Aslam), pergilah ke istri lelaki ini dan jika ia mengaku, maka rajamlah ia hingga tewas). Unais kemudian menjalankan perintah, wanita itu mengaku dan di hukum rajam hingga tewas. Ini mengindikasikan bahwa jika seseorang berzina adalah perawan dan belum menikah, Ia dibuang dan ditambah hukuman 100x cambukan. Namun jika ia menikah, bukan budak, dewasa dan waras, ia dihukum rajam hingga mati.
Membaca sampai di sini, apakah telah anda lihat keganjilannya?

Ya! TIDAK adanya JEDA WAKTU untuk PEMANTAUAN PRILAKU sebagaimana diamanatkan AQ 4:16, ".. maka berilah hukuman kepada keduanya (faaadzuuhumaa) dan jika (fa-in) bertaubat (taabaa) dan memperbaiki diri (wa-ashlahaa), biarkanlah (berpalinglah dari) keduanya (anhumaa). Sesungguhnya (inna) Allah (allaaha) adalah (kaana) Penerima taubat pengampun (tawwaaban rahiimaan).".

Butuh orang hidup untuk dapat bertobat, bukan?!

Padahal Ayah dari lelaki yang berzina dan juga Suami dari wanita yang berzina ini telah berkonsultasi kepada para AHLI KITAB dan juga NABI, namun sangat mengherankan tidak terdapat saran untuk: menerima hukuman cambuk dan bertobat untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Jika membaca quran 24.1-2, TIDAK ADA hukuman wajib lanjutan berupa di rajam hingga mati! (pun bahkan jika terjadi pengulangan perbuatan keji ini berkali-kali sekalipun, Quran tidak mengindikasikan mereka harus dirajam, karena perajaman hingga wafat, menutup ruang pertobatan bagi pelaku sedangkan dikatakan bahkan Allah saja maha menerima ampun!)

Ada "MISSING LINK" di sini, ada KETIDAK-SINGKRONAN antara QURAN VS (HADIS dan Tafsir)!

Tafsir Ibn Kathir untuk surat AQ 24:1-2, memberikan suatu keterangan yang sangat mengejutkan:
    Imam Malik merekam bahwa 'Umar, berdiri, memuji dan mengagungkan Allah, kemudian berkata; "Wahai masyarakat! Allah mengirim Muhammad dengan kebenaran dan menurunkan Kitab padanya. Satu dari sekian banyak yang diturunkan adalah ayat tentang merajam hingga mati, yang mana itu telah kita resitalkan dan mengerti. Rasullullah yang membawakan hukum rajam, setelah beliau, begitu pula kita, namun saya khawatir bahwa dengan berlalunya waktu, beberapa akan menyatakan bahwa MEREKA TIDAK MENEMUKAN AYAT RAJAM DI QURAN, mereka menjadi tersesat karena mengabaikan satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah turunkan. Rajam adalah sesuatu yang AQ resepkan untuk --laki/perempuan-- yang melakukan persetubuhan illegal, jika telah menikah, terbukti, atau jika kehamilan terjadi karenanya, atau mereka mengaku" [Lihat juga: Bukhari no.6327, 6328, 6778. Muslim no.3021. Abu Dawud no.3835. Tirmidhi no.1351, 1352. Ibn Majjah no.2543. Malik no.1295, 1297. Darimi no.2219. Ahmad no. 265, 313, 368. Di Ahmad no.192 (juga di no.333) bahkan telak sekali terdapat pengakuan dari Umar: "Orang-orang mengatakan apakah ada hukum rajam? Padahal di dalam kitabullah hanya ada hukum cambuk" -> Ini membuktikan bahwa di ZAMAN UMARPUN quran tidak berisi ayat rajam!]

    [yang dibawah ini masih di Tafsir ibn kathir AQ 24.2, juz 18 hal.4 di buku: Tafsir Ibnu Katsir, Vol.6, Dr. 'Abdullah]

    Al-Hafizh Abu Ya'la al-Mushili meriwayatkan dari Muhammad -yakni Ibnu Sirin-, ia mengatakan bahwa Ibnu 'Umar H berkata: "Katsir bin Shalt bercerita kepada kami: 'Ketika kami bersama Marwan, turut hadir di situ Zaid bin Tsabit, Zaid berkata: 'Dahulu, kami membaca ayat: 'Rajamlah lelaki tua dan wanita tua apabila mereka berzina.' Marwan berkata: 'Mengapa tidak anda tuliskan ayat itu dalam mush-haf?' Kami pun memperbincangkan masalah tersebut, di tengah-tengah kami hadir 'Umar bin al-Khaththab , ia berkata: 'Aku akan menjelaskan kepada kalian tentang masalah ini.' 'Bagaimana itu ?' kami bertanya. Umar menuturkan: “Seorang lelaki datang menemui Rasullullah SAW. Beliau pun menyebutkan beberapa perkara. Termasuk diantaranya tentang rajam. Lelaki itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tuliskan untukku ayat rajam’. Beliau menjawab: ‘Aku tidak bisa menuliskannya sekarang
Informasi ada sejumlah ayat quran yang tidak ada dalam kitabullah dan alasan kehilangannya:
    Riwayat Abu Salamah Yahya bin Khalaf - Abdul A'la - Muhammad bin Ishaq - [Abdullah bin Abu Bakr - Amrah DAN dari jalur lain: Ibnul qasim - bapaknya] - 'Aisyah: "Telah turun ayat berkenaan hukum rajam, dan ayat persusuan orang yang telah dewasa itu sebanyak 10 x. Lembaran ayat itu ada di bawah kasurku, ketika Rasulullah SAW wafat kami tersibukkan dengan jasad beliau hingga dajin masuk dan memakannya."[Ibn Majah no.1934/3.9.1944 (arabic)]

    Note:
    kata dajin/Dajnun, "دَاجِنٌ", di hadis ini, secara "istimewa" diterjemahkan "burung-burung" , padahal software kitab 9 hadis LIDWA sendiri dari 7x menterjemahkan, 6x nya diterjemahkan = "kambing ternak" (bukhari no.2181, 3793. muslim no.3800. Ahmad no.12565, 14743. Darimi no.45). Kamus Lane-Lexicon: "the first (داجن) occurs in a trad. as meaning a sheep or goat home-fed; that is fed by men in their places of abode"].

    Kemudian, tentang hadis ini:

    1. Hafiz Zubair Ali Zai: Narasi Hasan/Baik [Sunan Ibn Maja, 3/156, Kitab Nikah, bab Menyusui Orang Dewasa (رضاع الکبیر), terjemahan: Ata ullah Sajid, Penelitian oleh Hafiz Abu Tahir Zubair Ali Zai, dicetak: Darussalam];
    2. Albani: Hasan [Sahih sunan Ibnu Maja, Syeikh Albany, 2/148]
    3. Sheikh Hussein Saleem Asad dalam penelitian tentang Musnad Abu Ya'la, dan ia sebutkan salah satu rantai: Hasan dan Ia sebutkan rantai perawi di Musnad Ahmad: Sahih/otentik [Musnad Abu Ya'la, penelitian oleh Sheikh Hussein Saleem Asad, 8/64]
    4. Ibnu Hazm: Sahih [al Mohalli, 11/235, kata-katanya:"لقد نزلت آية الرجم والرضاعة, فكانتا في صحيفة تحت سريري, فلما مات رسول الله صلى الله عليه وسلم تشاغلنا بموته, فدخل داجن فأكلها.
      قال أبو محمد (ابن حزم): وهذا حديث صحيح"
    5. Klaim Zamkhashri (dalam tafsir, AQ 33.1.3):
      "وأما ما يحكى: أن تلك الزيادة كانت في صحيفة في بيت عائشة رضى الله عنها فأكلتها الداجن فمن تأليفات الملاحدة والروافض" (Adapun yang dikabarkan: Bahwa ini adalah tambahan dari sebuah halaman di rumah Aisyah dan dimakan kambing. Ini merupakan penyusunan dari kaum ateis dan syiah), Ibn hajjar mengatakan:"قلت: بل راويها ثقة غير متهم" (saya katakan: semua perawi diriwayat ini thiqah (dapat dipercaya) dan tidak ada satupun tertuduh
    6. Ahmad Bayhaqi: Ini adalah bagaimana kita dapatkan riwayat ini, dan ini benar-benar terjadi, Aisyah sampaikan insidennya tanpa memberikan kelanjutan apapun, Yang pasti, ayat Rajam diketahui antara sahabat, dan mereka tahu bacaannya dan keberadaannya di Quran telah di ABROGASI (diubah), dan hanya pelasanaannya yang ada. dan itu adalah saat Nabi (saw) didekati Umar dan tidak membolehkannya untuk menuliskan...[Maariat kami Sunnan wa al Athaar, Behqi, 13/22]
    7. Kemudian, di software lidwa sendiri, pendapat para ulama untuk perawi Muhammad bin Ishaq, yaitu: Ahmad bin Hanbal: Hasanul Hadis, Yahya bin Ma'in + Al 'Ajli + Ibn Hibban: Tsiqah, Madini: shalih Wasath

    Jadi kaum muslim yang tidak mampu menerima hadis ini, dapatlah kita labeli: tak dapat menerima kenyataan pahit dan mengingkari kepercayaannya sendiri :)

    Riwayat Ya'qub - Ayahku - Ibnu Ishaq - Abdullah bin Abu Bakr - Amrah binti Abdurrahman - Aisyah: "Sungguh, ayat rajam telah turun dan menyusui anak dewasa itu 10 x. Hal itu terdapat di kertas di bawah tempat tidur di rumah ku. Ketika Rasulullah SAW sakit dan kami disibukkan olehnya, rayap masuk ke rumah kami dan memakan kertas itu."[Ahmad no.25112, semua perawi di gunakan juga di Bukhari dan Muslim, jadi tidak ada alasan menolak hadis ini, kecuali perbedaan narasi yang memakan ayatnya: Kambing vs rayap]

    Riwayat Abdullah - Wahab bin Baqiyah - Khalid bin Abdullah Ath Thahan - Yazid bin Abu Ziyad - Zir bin Hubaisy - Ubay bin Ka'b : "Berapa ayat kalian membaca surat Al Ahzab (AQ 33)?" Zir bin Hubaisy: "70 ayat lebih." Ubay: "Sungguh aku telah membacanya bersama Rasulullah SAW seperti surat Al Baqarah (AQ 2) atau lebih banyak darinya, dan di dalamnya terdapat surat tentang hukum rajam." [Ahmad no.20260, seluruh perawi di hadis ini juga di pakai oleh Bukhari dan Muslim. Kemudian, tentang Yazid bin Abu Ziyad, pendapat ulama: Yahya bin Ma'in + Abu Hatim + An Nasa'i: laisa bi qowi. Abu Zur'ah: Layyin. Ibnu Sa'd + Ibn Qani' + Ibnu Hajar al 'Asqalani: dla'if. Adz Dzahabi: Shaduuq, syi'ah]

    Abdullah - Khalaf bin Hisyam - Hammad bin Zaid - Ashim bin Bahdalah - Zir - Ubay bin Ka'ab :" Berapa ayat kalian membaca surat Al Ahzab (AQ 33)?" Zir bin Hubaisy menjawab, "73 ayat." Dia (Ubay) Berkata, "Sungguh aku melihat bahwa ia sebanding dengan surat Al Baqarah (AQ 2), dan di dalamnya kami membaca (ayat): 'Orang yang sudah tua baik laki-laki atau pun perempuan jika berzina maka rajamlah keduanya sebagai pelajaran dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Bijaksana'" [Ahmad no.20261]
Tampaknya Qur'an MEMANG SUDAH TIDAK LENGKAP LAGI BAHKAN KETIKA UMAR MASIH HIDUP [Sumber lainnya: di sini, di sini, di sini dan di sini, atau "Klaim Quran Terpelihara, Tidak bertambah, berkurang dan berubah]

Memperhatikan beberapa kejadian turunnya ayat seputaran rajam:
    Riwayat Ishaq - Khalid - Asy Syaibani -'Abdullah bin Abi Auwfa: "Pernahkah Rasulullah SAW merajam? ' 'ya pernah' jawabnya. Saya bertanya lagi; 'apakah sebelum surat an-Nur diturunkan atau sesudahnya? ' dia menjawab; 'saya tidak tahu.' [Bukhari no.6315]

    Riwayat Musa bin Isma'il - Abdul Wahid - Asy Syaibani - 'Abdullah bin bin Abi Awfa tentang rajam, ia menjawab; Nabi SAW pernah merajam. Kemudian saya bertanya lagi; 'Itu terjadi sebelum diturunkan surat An Nur ataukah sesudahnya? ' Ia menjawab; 'Saya tidak tahu'. hadits ini diperkuat oleh 'Ali bin Mushir, Khalid bin Abdullah, Al Muharibi, Abidah bin Humaid dari Asy Syaibani dan mengatakan; 'Sebagian mereka mengatakan surat Al maidah (AQ 5), dan yang pertama (surat An nur) lebih sahih.' [Bukhari no.6335, dalam bab: Hukum ahli dzimmah dan pernikahan mereka jika berzina dan dilaporkan imam]

    Riwayat Abu Kamil Al Jahdari - Abdul Wahid - Sulaiman Asy Syaibani - Abdullah bin Abu Aufa. (dalam jalur lain disebutkan: Abu Bakar bin Abu Syaibah - Ali bin Mushir - Abu Ishaq Asy Syaibani - Abdullah bin Abu Aufa): Apakah Rasulullah SAW pernah melaksanakan hukuman rajam?" dia menjawab, "Ya, benar." Aku bertanya, "Apakah beliau melakukan hal itu setelah turunnya surat An Nuur atau sebelumnya?" dia menjawab, "Aku tidak tahu." [Muslim no.3214, dalam bab: Orang yahudi yang menjadi ahli dzimmah dirajam karena berbuat zina]

    Riwayat Husyaim - Asy Syaiban- Ibnu Abu Aufa, "Apakah Rasulullah SAW telah melakukan hukum rajam?" ia menjawab, "Ya. yaitu dua orang Yahudi laki-laki dan perempuan." Saya bertanya lagi, "Apakah setelah turunnya surat An Nur ataukah sebelumnya?" ia menjawab, "Saya tidak tahu." [Ahmad no.18338]

    Riwayat Ibnu Lahi'ah - Abu Az-Zubair - Jabir, apakah Rasulullah SAW pernah melakukan rajam?, dia menjawab 'Ya, beliau pernah merajam seorang laki-laki dari Aslam dan seorang laki-laki dari Yahudi dan seorang wanita. Dan bersabda kepada orang Yahudi, "Kami menghukumi kalian pada hari ini." [Ahmad no.14618]
Surat AQ 24 (An Nuur), ada yang mengatakan turun berkenaan tuduhan Hilal Ibn Ummayyah pada Istrinya (AQ 24:6) namun terlebih banyak lagi yang pendapat bahwa AQ 24.1-26, berkaitan dengan TUDUHAN perselingkuhan Aisah di perjalanan pulang seusai berakhirnya perang Bani Mushtaliq (Muhammad mendapatkan Juwariyah, 6H) [menurut Sulaiman bin Muhammad, "Slwa al-Hazin, Qashash Waqi’iyyah Mu’atstsirah"; Muhammad Husein Haikal, Syauqi Abu Khalil, "Athlas Hadits" yang di kutip Ar-Raudh al-Mi’thar & Mu’jam al-Buldan].

Surat AQ 4 (An Nisaa) diturunkan setelah perang Uhud (3/4 H), misal untuk AQ 4.22, pada peristiwa Abu Qais bin Al-Aslat wafat dan anaknya meminta ijin Nabi untuk mengawini janda Ayahnya. Namun tidak semua turun di tahun tersebut, Ada juga yang turun di 1 tahunan sebelum wafatnya muhammad misal untuk AQ 4.24 (ayat ini turun saat perang Huynan 631 M, di mana Allah memberikan izin untuk memperkosa tawanan wanita di Awtas)

Berdasarkan hal itu, maka raibnya ayat rajam dan yang tersisa hanya hukum cambuk terjadi DISETELAH TUDUHAN PERSELINGKUHAN AISYAH!

Tafsir Ibn kathir untuk AQ 4.15 dan 24.2, menyebutkan kata "ABROGRASI (membatalkan)". Berikut kutipan tulisan Syaikh Manna Khalil al-Qattan, seorang ulama, mantan Ketua Mahkamah Tinggi Riyadh, pengajar Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh Arab Saudi, yang tulisannya itu dikutip oleh Ahmad von Denffer, seorang muslim, peneliti dan warga negara Jerman:
    Apa yang dibatalkan?
    Menurut beberapa ulama, Qur'an hanya membatalkan Qur'an. Pandangan mereka bersandar pada AQ 2.106 dan 16.101. Menurut mereka, Qur'an tidak membatalkan sunah juga sunnah tidak membatalkan Al-Qur'an. Pandangan ini khususnya dari Mazhab Syafi'i. [Untuk rinciannya lihat Kitab al-Risalah, Kairo, nd, pp.30-73, terjemahan bahasa Inggris oleh M. Khadduri, op.cit., hal. 12345,. Untuk ringkasan singkat pandangan Ash-Syafi'i lihat juga Seeman, K., Ash-Shafi'is Risala, Lahore, 1961, pp.53-85] Lainnya berkeyakinan bahwa Qur'an dapat membatalkan Qur'an dan sunnah. Pandangan mereka bersandar pada pada AQ 53.34. Terdapat juga pandangan bahwa ada empat kategori naskh:

    1. Qur'an membatalkan Qur'an
    2. Qur'an membatalkan sunnah
    3. Sunnah membatalkan Qur'an.
    4. Sunnah membatalkan sunnah.

    [Qattan, mabahith It 'ulum al-qur'an, Riyadh. 1971, hal. 201-2.]
Di atas, sunnah menyampaikan bahwa hukum rajam tidak ada di Quran, Dikatakan pelaksanaannya telah dilakukan di jaman Nabi, namun laporan hadispun tidak konsisten dan saling membatalkan satu sama lainnya:
  1. Yahudi Pria dan Wanita

    Bagaimana Muhammad mengetahui peristiwa ini?

    Muhammad DIDATANGI dan DISERAHI untuk mengadili [Bukhari no.6320, 1243, 4190, 6787, 6988. Muslim no.3211. Abu Dawud 3856, 3859, 3860, 3862. Malik no.1288. Ahmad no.4269, 4437]
    VS
    Muhammad KEBETULAN LEWAT dan MENEGUR PELAKSAAN hukuman zina BUKAN di rajam YANG SEDANG BERJALAN [Muslim no. 3212. Abu Dawud no.3857, 3858. Nasai no.2548. Ahmad no.17794]

    Apakah PENZINA ini TELAH menerima hukuman lain, SEBELUM dirajam?

    LANGSUNG di HUKUM RAJAM [Bukhari 3363, 3212. Abu Dawud no.3859, 3860, 3862. Malik no.1288. Ahmad no.4269, 4437]
    VS
    SETELAH hukuman LAIN DIJALANKAN (hukum cambuk dengan cat hitam + diarak dengan muka menghadap bokong tunggangan) betemu Muhammad dan ditambah di RAJAM [Bukhari No. 6320, 1243, 4190, 6336. Muslim 3211, Abu Dawud no. 3857, 3858. Nasai no.2548. Ahmad 17794]

    Kitab Taurat merajam penzina (TIDAK DIBEDAKAN menikah/tidak: ULANGAN 22.22-23), mengapa kaum Yahudi area itu TIDAK melaksanakannya?

    SENGAJA MENUTUP-NUTUPI bagian rajam di taurat namun diketahui dan ditegur.

    Siapa yang menegur?

    Abdullah bin Salam:
    Hukum apa yang kalian temukan dalam kitab suci kalian?" Mereka menjawab; 'Biarawan-biarawan kami biasanya menghukum mereka dengan menghitami wajahnya, kemudian dinaikkan keatas kendaraan, dengan punggung saling membelakangi.' Abdullah bin Salam menyela; 'ya Rasulullah, ajaklah mereka untuk berhukum dengan kitab taurat.' Kitab taurat pun didatangkan, kemudian salah seorang dari mereka menutupi ayat-ayat yang menetapkan hukum rajam dengan tangannya sehingga yang ia baca hanyalah tulisan sebelum atau sesudahnya, maka Abdullah bin Salam menegur; 'angkat tanganmu! ' Maka ayat yang berisi perintah rajam pun kelihatan dibawah tangannya." [Bukhari no.6320, 6336, 3363, 4190. Muslim no.3211. Abu Dawud no.3856. Malik no.1288]
    VS
    Muhammad SAW:
    "Hukuman apa biasa kalian lakukan terhadap keduanya? ' Mereka menjawab, 'Kami biasanya menghukum mereka dengan menghitami wajah keduanya dan menghinakannya.' Lantas nabi bersabda (dengan mengutip ayat): '(Maka datangkanlah Taurat dan bacalah, jika kalian orang-orang yang benar) ', (AQ 3.93), lantas mereka datang dan mereka katakan kepada seseorang yang mereka percayai, 'Hai A'war bacalah! Lantas A'war membaca hingga sampai ayat (yang berkenaan hukum perzinaan), dengan terburu-buru ia menutupi dengan tangannya, maka Nabi menegur: 'Hai, angkatlah tanganmu! ' Maka ia angkat tangannya. Dan ternyata yang ia tutupi adalah ayat rajam" [Bukhari no.6988, Ahmad no.4269: Abu suriya yang menutupi tanganya pada taurat]

    VS

    TIDAK MENUTUP-NUTUPI:

    Siapa yang menyampaikan?

    Disampaikan seorang ulama yahudi lainnya (BUKAN Abu salam):
    "Beginikah hukuman zina yang kalian dapati dalam kitab Taurat kalian?" mereka menjawab, "Ya benar." Lalu beliau memanggil seorang laki-laki yang tergolong dari ulama mereka, beliau bertanya: "Aku mengharap kamu mau bersumpah dengan nama Allah yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa, betulkah begini caranya hukuman zina yang kalian dapati dalam kitab tauratmu?" dia menjawab, "Tidak, seandainya anda tidak menyumpahku dengan nama Allah, aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya kepada anda. Dan yang kami ketahui dalam kitab Taurat, hukumannya adalah rajam, akan tetapi biasanya hukuman itu tidak berlaku bagi pembesar-pembesar kami, jika yang tertangkap itu dari pembesar, maka kami biarkan begitu saja, akan tetapi jika yang tertangkap rakyat kecil maka kami tegakkan hukum sesuai Taurat. Akhirnya kami bermusyawarah, membicarakan hukum yang dapat kami tegakkan bagi pembesar dan rakyat biasa. Lalu kami putuskan untuk membuat hitam tubuh dan mencambuk pelaku zina sebagai pengganti hukum rajam." Setelah laki-laki itu selesai bicara, maka Rasulullah SAW bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya akulah orang yang pertama-tama menghidupkan kembali sunnah-Mu setelah mereka hapus perintah tersebut." Setelah itu, beliau memerintahkan supaya Yahudi yang berzina itu dihukum rajam [Muslim no. 3212. Abu Dawud no.3857, 3858. Nasai 2548. Ahmad no.17794]
    VS
    Disampaikan 2 orang anak Suriya:
    "Hukuman apa yang kalian dapatkan dalam kitab Taurat berkenaan dengan kedua pezina ini?" keduanya menjawab, "Kami mendapatkan dalam kitab taurat; jika ada 4 ORANG SAKSI yang MENYATAKAN bahwa MEREKA MELIHAT kemaluan si pria masuk ke kemaluan perempuan seperti pena celak masuk ke botolnya, maka mereka harus dirajam." Beliau bertanya lagi: "Lalu apa yang menghalangi kalian untuk merajam mereka berdua?" keduanya menjawab, "Kekuasaan kami telah hilang, maka kami takut untuk dibunuh." Rasulullah SAW lantas meminta di DATANGKAN BEBERAPA ORANG SAKSI, mereka lalu datang dengan membawa 4 ORANG SAKSI yang kemudian menyatakan kesaksiannya, BAHWA MEREKA MELIHAT kemaluan si lelaki masuk ke kemaluan perempuan layaknya pena celak masuk ke dalam botolnya. Maka, Rasulullah SAW kemudian memerintahkan untuk merajam keduanya." [Abu Dawud no.3862, dan ada Riwayat Wahb bin Baqiyyah - Husyaim - Mugirah - Ibrahim dan Asy Sya'bi - Nabi SAW sebagaimana hadits tersebut. TIDAK disebutkan, 'beliau lalu minta didatangkan empat orang saksi, lalu mereka pun bersaksi."]

    Padahal, kalimat Quran: "Katakanlah: "maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar." [AQ 3.93]. adalah untuk urusan MAKANAN HARAM/HALAL, namun dihadis, ayat itu malah berubah jadi urusan perselangkangan [Bukhari no.6988, Ahmad no.4269]

    Dengan begitu banyaknya kontradiktif dan saling bertentangan di dalam sunnah, maka dapat dikatakan kisah perajaman Yahudi ini adalah FIKTIF.

  2. Ma'iz bin Khalid bin Malik [Ahmad no.15004], seorang dari suku Aslam:

    Ia seorang Muslim [Ahmad no.9484, 9486. Muslim no.3202]; DiShalati [Bukhari no.6321: tapi dari riwayat Yunus dan Ibnu Juraij dari Az Zuhri tidak mengatakan "beliau menyalatinya"]
    VS:
    TIDAK dishalati (Ia bukan muslim??) [Abu Dawud no.3838, 3844. Nasai no.1930, 1934. Tirmidhi no.1349]

    Seorang Yatim yang diasuh Nu'aim bin Hazzal [Abu Dawud no.3886]
    VS:
    BUKAN Yatim: Setelah itu datanglah seorang laki-laki menanyakan perihal pemuda yang dirajam itu..Dan ternyata laki-laki yang baru datang itu adalah bapak dari pemuda tersebut.." Ini adalah hadits riwayat Abdah [Abu Dawud no.3848, di kitab hukum rajam bagi ma'iz bin malik]

    Dalam didikan Nu'aim bin Hazzal [Ahmad no.20885]
    VS:
    Di sewa Hazzal, Ayah dari Nu'main bin Hazzal [Ahmad no.20886]

    Bagaimana kejadian perzinaannya?

    Yazid bin Nu'aim bin Hazzal: Ma'iz menggauli seorang budak wanita kampung [Ahmad no.20885, Abu Dawud no.3886: "dari suatu kampung"] -> budak ini tidak disebut nama dan hubungan dengan keluarganya sehingga ini bukan budak keluarga mereka
    VS:
    Nu'aim bin Hazzal:
    Hazzal memiliki seorang budak wanita bernama Fathimah, budak wanita ini bertugas menggembala kambing milik mereka dan Ma'iz menyetubuhinya [Ahmad no.20886]

    Siapa yang melaporkan perzinaan?

    Ma'iz, tapi karena anjuran orang lain:
    Saran dan itikad tulus Nu'main:
    Yazid bin Nu'main bin Hazzal: "Datangilah Rasulullah SAW dan beritahukan kepada beliau apa yang telah kau perbuat mudah-mudahan beliau memintakan ampunan untukmu. Ayah saya menginginkan hal itu karena berharap ada jalan keluarnya [Ahmad no.20885, Dawud no.3886]
    VS
    Saran dan itikad buruk Hazzal:
    Hazzal mengelabuhinya dan berkata, "Pergilah ke Nabi SAW dan beritahukan pada beliau, mudah-mudahan turun Al Qur`an berkenaan denganmu [Ahmad no.20886]
    VS:
    Hazzal menyuruh Ma'iz untuk mendatangi nabi [Abu Dawud no.3805]

  3. Ma'iz yang ditipu Kaumnya:
    Jabir bin Abdullah: ketika kami merajamnya, dia merasakan perihnya lemparan batu hingga dia berkata; 'Wahai kaumku, kembalikan saya kepada Rasulullah SAW, kaumkulah yang membunuhku dan merekalah menipu diriku'." Orang-orang berkata; ' Rasulullah SAW tidak membunuhmu'. Mereka berkata; kami terus merajamnya hingga kami selesai darinya.[Ahmad no.14557]

    Inisiatif Ma'iz sendiri:
    mengetahui resiko bahwa Ia akan di rajam jika melaporkan: [Ahmad no.40, 9433, 15004. Malik no.1291, Malik no.1289 -> disini namanya "Al Akhir". Nasai no.1930. Tirmidhi no.1348 (Hasan), 1349 (hasan sahih), Abu dawud no. 3844, Abu Dawud no.3838. Bukhari no.6321, Muslim 3202]
    VS:
    Berani mengaku karena dikabarkan Muhammad tidak membunuhnya: Jabir bin Abdullah: "Mereka kabarkan kepadaku bahwa Rasulullah SAW tidak akan membunuhku" [Abu Dawud no.3887]

    Muhammad menerima laporan orang:
    Abdullah bin Abbas "Apakah benar kabar yang sampai kepadaku tentangmu" [Ahmad no.2871, 2092, Tirmidhi no.1347 (hasan), Dawud no. 3840. Muslim no.3205]

    Muhammad menerima laporan satu orang yang mendatangkan 4 saksi:
    Abu Dhar: Pernah kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, lalu seorang laki-laki datang menemui beliau dan berkata, "Orang yang terakhir (dalam rombongan) Telah berzina." Namun beliau mengingkarinya, laki-laki itu lalu mendatangkan saksi ke tiga dan keempat. Maka Nabi SAW pun turun, beliau bertanya sekali dan orang yang berzina itu pun mengakuinya, dan ia mengulangi jawabannya hingga empat kali. Beliau kemudian turun dan memerintahkan kamu untuk membuat lubang yang tidak terlalu lebar, lalu pezina itu pun dirajam. [Ahmad no.20574]

    Ma'iz tidak melaporkan, tapi diciduk:
    Ma'iz bin Malik seorang yang memiliki kain sarung yang pendek dan tidak memakai selendang dihadapkan kepada Nabi SAW, sementara Rasulullah SAW bersandar pada bantal di sisi kirinya [Darimi no.2213]. "Pada suatu hari, seorang laki-laki bertubuh pendek dihadapkan kepada Rasulullah SAW, dia terlihat kusut, dekil dan mengenakan kain sarung [Muslim no. 3204]

    Bagaimana proses pengakuan Ma'iz?
    Harusnya 4 saksi pria berbeda BUKAN 4x pengakuan dari orang yang sama. Jika tidak ada pria, 1 pria = 2 wanita - AQ 2.282.

    Langsung kepada muhammad
    Tanpa Jeda waktu:
    di bawah 4x mengakui [Muslim no. 3204]
    VS:
    4x mengakui [Ahmad no. 20871, 9433, 9486. Darimi no.2544. Nasai no.1930. Tirmidhi no.1349 (hasan sahih), 1347 (Hasan). Abu Dawud no.3884, 3888. Bukhari no.6321, 4885, 6325]

    Ada jeda waktu:
    Tirmidhi no.1348 (Hasan); Muslim no.3207; Muslim 3208 (Prosesnya berhari-hari); [Ahmad no.40, sempat di sarankan Abu Bakar tidak meneruskan untuk ke-4x]

    Sebelum ke Muhammad, Ma'iz akui ke 2 orang:
    seorang pemuda Aslam menemui Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab, Rasulullah SAW. Ia sampaikan, "Al Akhir berzina! " Sa'id kembali menceritakan; "Rasulullah SAW berpaling darinya sampai 3x kali. Setiap dia mengatakan maka beliau berpaling darinya, sampai beberapa kali. [Malik no.1289]

    Di Mana posisi muhammad saat itu?

    Di Suatu tempat [Ahmad no.2871], sedang duduk [Ahmad no.40]
    VS:
    Di mesjid [Ahmad 9486, Tirmidhi no.1349, Bukhari 4885, 6317, 6325. Muslim no.3202]
    VS:
    Antara Makkah dan Madinah [Ahmad no. 15990, 16027, 22091]
    VS:
    Di atas Kuda dalam suatu perjalanan bersama rombongan[Ahmad no. 20574]

    Apakah Muhammad bertanya ke orang lain, setelah Ma'iz mengakui?

    Hanya bertanya kepada Ma'is saja:
    beliau bertanya: "Apakah kamu punya sakit gila?" ia menjawab; "Tidak, " beliau bertanya lagi: "Apakah kamu telah menikah?" ia menjawab; "Ya, " maka Rasulullah SAW bersabda: "bawa lelaki ini dan rajamlah." [Ahmad 9486. Nasai no.1930. Tirmidhi no.1349. Abu dawud no.3844, Bukhari no.6321, 4885, 6325, Muslim 3202]
    VS:
    Hanya kepada keluarganya saja:
    Muhammad bertanya pada keluarganya: "Rasulullah SAW lalu mengutus kepada keluarganya dan bertanya: "Apakah dia suka mengadu atau dia memang sudah gila?" Mereka berkata: "Ya Rasulullah, demi Allah dia adalah orang yang sehat." Rasulullah SAW bersabda: "Apakah dia masih bujang atau sudah menikah?" mereka menjawab; "Sudah menikah, wahai Rasulullah." Maka beliau memerintahkan untuk merajamnya." [Malik no. 1289]
    VS:
    Hanya kepada kaumnya saja:
    Beliau lantas bertanya kepada kaumnya (Ma'iz): "Apakah ia orang gila?" mereka menjawab, "Dia tidak ada masalah." [Dawud no.3838. Juga di Muslim no.3206 dari perkataan Abu Sa'id, tapi tidak didetailkan. Juga di Muslim 3207 (Muhammad mengutus orang bertanya ke pada kaumnya Ma'iz, lebih dari 1x), juga Muslim no.3208]
    VS:
    Kepada beberapa orang yang ada di saat pengakuan Ma'iz [Muslim no.3207]

    Apakah Ma'iz HANYA DICAMBUK tidak dirajam, ataukah DICAMBUK dan DIRAJAM, ataukah DIRAJAM TANPA DICAMBUK?

    HANYA DICAMBUK tidak DIRAJAM:
    Riwayat Utsman bin Abu Syaibah - Thalq bin Ghannam - Abdussalam bin Hafsh - Abu Hazim - Sahl bin Sa'd - Nabi SAW: ada seorang laki-laki yang datang menemui beliau dan mengaku telah berzina dengan seorang wanita yang namanya ia sebutkan kepada beliau. Rasulullah SAW lalu MEMANGGIL WANITA ITU dan bertanya kepadanya tentang kebenaran dari pengakuan laki-laki itu. Namun wanita tersebut TIDAK MENGAKUINYA, maka Nabi MENCAMBUK laki-laki itu dan MEMBIARKAN WANITA tersebut." [Abu Dawud no.3849, di bab hukum rajam Ma'iz bin malik]

    LANGSUNG DI RAJAM TANPA DICAMBUK:
    (Bahz dan 'Affan) - Hammad bin Salamah - Simak - Jabir bin Samurah: Rasulullah SAW merajam Ma'iz bin Malik dan Jabir tidak menyebutkan bila ia dicambuk" [Ahmad no.19951, 19983]
    Riwayat Abdullah - Al Hasan bin Yahya bin Rabi' yaitu Ibnu Abu Rabi' Al Jurjani - Abdushamad bin Abdul Warits - Hammad - Simak - Jabir bin Samurah: Rasulullah SAW merajam Ma'iz bin Malik tanpa menyebutkan bila ia dicambuk" [Ahmad no.19996]

    Abu dawud menyampaikan kisah di bawah ini dalam Chapter Hukum rajam bagi Ma'iz bin Malik [Kitab HUDUD: Buku 39.4405-4425, Ch 24 (Inggris) atau Buku no.40.69-89 (Arab) atau kitab 9 hadis no.3836-3851], sehingga kisah ini adalah kisah Ma'iz bin Malik:
    Riwayat Abdah bin Abdullah dan Muhammad bin Dawud bin Shabih - Harami bin Hafsh - Muhammad bin Abdullah bin Ulatsah - Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz - Khalid Ibnul Lajlaj: bahwa Lajlaj bapaknya Khalid pernah memberitahunya; ia pernah duduk sambil bekerja di pasar lalu ada seorang perempuan lewat dengan membawa anak kecil. Orang-orang mencela perempuan itu, aku pun ikut mencela perempuan tersebut. Aku lalu membawa perempuan itu ke hadapan Nabi SAW, beliau bertanya: "Siapa bapak dari anak yang kamu bawa ini?" perempuan itu diam. Seorang laki-laki yang ada di sisinya berkata, "Wahai Rasulullah, akulah bapaknya." (pada Ahmad no.15369, perempuan ini 2x diam ketika ditanya lalu ada seorang laki-laki yang berdiri di sampingnya, "Wahai Rasulullah, sungguh perempuan ini masih belum cukup umur dan orang baru YANG TERMASUK PEMBAYAR JIZYAH (harusnya kata ini baru ada setelah turunnya AQ.9.29, setelah 8H), dia belum bisa memberitahukan hal itu pada anda, Wahai Rasulullah. Saya bapak dari bayi tersebut"). Beliau kembali berpaling ke perempuan itu dan bertanya: "Siapa bapak dari anak yang kamu bawa ini?" pemuda itu terus saja menjawab, "Wahai Rasulullah, akulah bapaknya." Rasulullah SAW kemudian menghadap ke khalayak ramai, beliau bertanya kepada mereka tentang pemuda itu, mereka menjawab, "Kami tidak mengenal pemuda itu kecuali orang yang baik-baik." Beliau lalu bertanya kepada pemuda itu: "Apakah kamu pernah menikah?" ia menjawab, "Ya." Beliau LALU MEMERINTAHKAN UNTUK MERAJAMNYA, MAKA IA PUN DI RAJAM." Lajlaj berkata, "Kami lalu membawa pemuda itu dan membuat lubang untuknya, kemudian kami melemparinya dengan batu hingga ia tidak bergerak lagi.".." [Abu Dawud 3848, di bab hukum rajam bagi Ma'iz bin malik]

    DICAMBUK dan DIRAJAM:
    Riwayat [Qutaibah bin Sa'id atau Riwayat Ibnu As Sarh] - Abdullah bin Wahb - Ibnu Juraij - Abu Az Zubair - Jabir bin Abdullah: "Ada seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, maka Nabi SAW memerintahkan untuk melaksanakan hukuman. Ia pun DICAMBUK sebagai hukuman had, kemudian Nabi diberi kabar bahwa laki-laki itu telah menikah, maka Nabi MEMERINTAHKAN UNTUK MERAJAMNYA." Abu Dawud berkata, "Hadis ini di riwayat Muhammad bin Bakr Al Bursani - Ibnu Juraij secara mauquf, yakni pada sahabat Jabir. Abu Ashim - Ibnu Juraij seperti hadits Ibnu Wahb, namun ia tidak menyebutkan Nabi SAW. Ia (Ibnu Wahb) berkata, "Seorang laki-laki berzina namun belum diketahDui apakah ia telah menikah atau belum, ia lalu dicambuk. Kemudian diketahui bahwa ia telah menikah, maka ia pun dirajam." [Dawud no. 3850, di bab hukum rajam Ma'iz bin malik. Semua perawi di 4 rantai perawi ini di gunakan di Bukhari dan muslim (kecuali Ahmad bin bin 'Amru As Sarh tidak digunakan Bukhari, tapi ada di Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah dan Nasai)]
    Riwayat Muhammad bin 'Abdurrahim Abu Yahya Al Bazzaz - Abu Ashim - Ibnu Juraij - Abu Az Zubair - Jabir Bin Abdullah: "Seorang laki-laki berzina dengan perempuan, namun belum diketahui apakah ia telah menikah atau belum, LALU IA DICAMBUK. Setelah itu diketahui bahwasanya ia telah menikah, MAKA IAPUN DiRAJAM." [Dawud no.3851, di bab hukum rajam Ma'iz bin malik. Semua perawi di pakai oleh Bukhari dan Muslim (kecuali Muhammad bin Abdurarrahim tidak dipakai Imam Muslim tapi ada di Bukhari, Abu Dawud, Tirmidhi, Ahmad)]

    Apakah ketika Ma'iz dirajam, apakah dibuatkan lubang untuk merajam?

    Tidak .[Muslim no.3206, Abu Dawud no.2845 Ahmad no.11160 (Demi Allah, kami tidak membuat lubang ataupun mengikat Ma'iz akan tetapi ia berdiri menghadap kami hingga kami melemparinya), dari pertakaan Abu Sa'id]; Hasan bin Ali:"sebagian mereka berkata, "Ikat saja di batang pohon," sedangkan yang lain berkata, "Suruh berdiri" [Dawud no. 3843]
    VS:
    Ya. "memerintahkan kamu untuk membuat lubang yang tidak terlalu lebar [Ahmad no.20574]; maka beliau memerintahkan untuk membuat lubang ekskusi bagi Ma'iz. [Muslim no.3208]; Kami lalu membawa pemuda itu dan membuat lubang untuknya, kemudian kami melemparinya dengan batu hingga ia tidak bergerak lagi." [Abu Dawud no.3848, masih dalam kitab hukum rajam bagi ma'iz bin malik]

    APAKAH Ma'iz melarikan diri?

    Ma'iz sempat Kabur, ditangkap Abdullah bin Unais [atau: Unais bin Nadiyah] dan dilanjutkan perajamannya hingga tewas [Diantaranya di Bukhari no.6317, 6325], pertanyaan Muhammad atas insiden ini:

    "Kenapa tidak kalian biarkan dia?". [Ahmad no.9433, 15004, 15990, 16027, 22091. Darimi no.2251, 2544. Tirmidhi 1348] atau "Kenapa kalian tidak membiarkannya, siapa tahu ia bertaubat dan Allah menerima taubatnya." [Abu Dawud no. 3886. Ahmad no.20885, 20887]
    VS
    Jabir bin Abdullah: "Mengapakah kalian tidak meninggalkannya, lalu mendatangkannya kepadaku?", hanyasanya Rasulullah SAW bermaksud untuk memperjelas perkara Ma'iz. [Ahmad no.14557]

    Apakah Ma'iz dipuji? Dicela? Dimintakan ampunan?:

    Dipuji dan dimintakan ampunan:
    Setelah itu jenazah Ma'iz dihadapkan kepada beliau, beliau pun bertahmid dan memuji Ma'iz [Ahmad no.20075, juga di Bukhari no.6321; Nabi SAW berkomentar kebaikan terhadapnya dan tidak menshalatkannya [Nasai 1930]; Rasulullah SAW bersabda kepadanya: "Bagus [Tirmidhi no.1349]; Nabi SAW, "Ia dalam kebaikan." [Abu Dawud no.3844]; beliau bersabda: "Mintakanlah ampun bagi Ma'iz bin Malik." Lalu mereka memohonkan ampun untuknya, "Semoga Allah mengampuni Ma'iz bin Malik." Kemudian Rasulullah SAW: "Sungguh Ma'iz telah betaubat dengan sempurna, dan seandainya taubat Ma'iz dapat dibagi di antara satu kaum, pasti taubatnya akan mencukupi mereka semua." [Muslim 3207]; Demi Dzat Yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh sekarang ini sahabat kalian (yang dirajam) tengah berada di antara sungai-sungai surga di berenang di dalamnya. [Abu Dawud no.3843]; Nabi SAW: "Sungguh di sisi Allah pemuda itu lebih harum dari minyak kesturi"[3848, masih dalam kitab hukum rajam bagi ma'iz bin malik]

    Tidak dipuji, tidak dicela, tidak dimintakan ampunan:
    Abu Sa'id: "Maka beliau tidak memintakan ampun untuknya dan tidak pula mencacinya." [Muslim 3206]; Abu Kamil berkata, "Tidak ada seorang pun yang beristighfar untuknya, sebagaimana tidak ada seorang pun yang mencelanya." [Abu Dawud no.3845]; "Para sahabat mencelanya, namun Nabi melarang. Ia berkata; Lalu mereka memintakan ampun untuknya, namun beliau juga melarang"[Dawud no.3845]

    Dicela:
    salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, "Lihatlah kepada laki-laki ini, Allah telah menutupi dirinya, namun dirinya tidak mau diam, maka ia pun dirajam layaknya anjing [Abu Dawud 3843]; Beliau lantas bersabda: "Ia adalah seorang laki-laki yang berbuat dosa, dan Allah yang akan menghisabnya." [Dawud no.3845]

    Begitu banyaknya ruang kontradiktif, penuh dengan ketidakkonsistan dan/atau saling bertabrakan antara satu dengan lainnya, bukan?

  4. ABU DAWUD dalam chapter hukum rajam untuk Juhainah [Kitab Hudud: buku 39.4426-4430 Ch.25 (Ingris) atau buku 40.90-95 atau di kitab 9 hadis no.3852-3855] menyampaikan 2 kelompok kisah yang saling bertautan dengan kisah perajaman Ma'iz di Ch.25, yaitu:

    Kisah 2 orang yang menghadap Muhammad, salah satunya dari Arab Badui (seperti yang ada di tafsir Ibn kathir di atas):

    Riwayat Abdullah bin Maslamah Al Qa'nabi - Malik - Ibnu Syihab - Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud - Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al juhani: Ada dua orang laki-laki bersengketa dan mengadu kepada Rasulullah SAW. salah seorang dari mereka berkata, "Wahai Rasulullah, berilah putusan kepada kami sesuai dengan Kitabullah. Kemudian yang lainnya -dan ia yang lebih paham di antara keduanya- berkata, "Benar, wahai Rasulullah, berilah putusan kepada kami sesuai dengan Kitabullah. Dan berilah kesempatan kepadaku untuk berbicara." Beliau bersabda: "Berbicaralah." Laki-laki itu lalu berkata, "Anakku kerja kepada orang ini, lalu anakku berzina dengan isterinya. Kemudian orang-orang memberi kabar kepadaku bahwa anakku harus dirajam, maka aku menebusnya dengan 100 kambing dan seorang budak wanita kepunyaanku. Setelah itu aku bertanya kepada ulama, mereka memberi kabar kepadaku bahwa anakku harus dicambuk 100x dan diasingkan selama 1 tahun, sementara wanita tersebut harus dirajam." Rasulullah SAW: "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh aku akan memberi putusan kepada kalian sesuai dengan Kitabullah. Kambing dan pembantu wanita milikmu akan dikembalikan kepadamu." Beliau lalu mencambuk putera laki-laki itu dan MENGASINGKANNYA SELAMA 1 TAHUN. Kemudian memerintahkan Unais Al Aslami untuk mendatangkan wanita tersebut, jika ia mengakui maka akan dirajam, wanita itu pun mengakuinya dan akhirnya dirajam. [Note: Pembuktian pada tuduhan ini malah tidak dengan 4 saksi berbeda dan/atau tidak dengan 4x pengakuan sepihak, jika aturan 1 pria = 2 wanita, maka perempuan ini harus dibuat mengaku 8x!)" [Abu dawud 3855, Muslim no.3210, Bukhari no.6143]

    Point kontradiktif kisah ini adalah:

    1. Orang ke-2 (yang dikatakan lebih pintar bicara dan ilmu) mengatakan anaknya adalah pekerja (Muslim no.3210, Bukhari no.6143, 2326, 6353, 6718. Abu Dawud no.3855. Nasai no.5315, 2539. Malik no.1293. Ahmad no.16427)
    2. Arab badui, orang ke-1 mengatakan anaknya adalah pekerja [Bukhari no.2498, 2523, 6656. Ahmad no.16423]<
    3. tidak jelas antara ke-1 atau yang ke-2 yang anaknya adalah pekerja [Bukhari no.6332, 6337. Tirmidhi no.1352. Nasai no.5316]

    Kisah Juhainah atau Ghammid atau Bariq (nama berbeda tapi 1 orangnya sama). Abu Daud berkata lagi, "Al Ghassani berkata, "Juhainah, Ghamid dan Bariq itu sama.." [Abu Dawud no. 3854]. Imam Muslim menyampaikan kisah Ma'iz bin Malik dan Wanita dari Ghammid ini dalam 1 nomor Hadis yang sama yang berasal dari riwayat Buraidah [Muslim no.3208], perempuan Ghamidiyyah ini menyebutkan nama Ma'iz bin Malik, "Wahai Rasulullah, kenapa anda menolak pengakuanku? Sepertinya anda menolak pengakuan aku sebagaimana pengakuan Ma'iz" [Abu Dawud no.3853, Muslim no.3208. Ahmad no.21871]. Suku Ghamid merupakan bagian suku Azd dan cabangnya salah satunya merupakan suku Arab Badui

    Point kontradiktif kisah Juhainnah ini:

    1. Juhainah ada di sebelah Muhammad saat menyampaikan ia berzina [Tirmidhi no.1355]
      VS:
      Juhainah menemui muhammad [Malik no.1292. Ahmad no.19015, 19056, 19079, 190106. Muslim no.3208, 3209, 21871]
      VS:
      Sukunya yang mengantarkan Juhainah kepada Muhammad dan posisi Muhammad saat itu ada di atas tunggangannya [Ahmad no.19541]

    2. Wali dari Juhainnah diminta membawa Juhainah kembali kepada Muhammad setelah Juhainah melahirkan [Muslim no.3209, Abu Dawud no.3852. Tirmidhi no.1355. Ahmad no.19015, 19056, 19078, 190106]
      VS:
      Juhainah lah yang datang sendiri menghadap Muhammad setelah melahirkan [Muslim no.3208. Abu Dawud no.3853. Malik no.1292, 21871]

    3. Muhammad ikut membuat lubang perajaman [Abu Dawud no.3854. Ahmad 19484]
      VS:
      Para perempuanlah yang menggali lubang perajaman [Ahmad 19541]
      VS:
      Orang lain yang menggali lubang [Ahmad no.21871]
Memperhatikan kontroversi hadis-hadis di atas, maka kisah-kisah di atas, jelas MENGADA-ADA.



BESTIALITY [Bersetubuh Dengan Hewan/Binatang]
Quran:
    Dijadikan indah untuk manusia kecintaan hawa-nafsunya (al-shahawaati: AQ 4.27 & 19.59 dan "syahwatan"/nafsu yang terkait selangkangan: AQ 7.81 & 27.55), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).[AQ 3:14]

    Dalam kamus fiqih, halal adalah segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan
Pada AQ 4.3, terdapat kata-kata, fawāḥidatan [Maka kawini seorang saja].. [apa] malakat [milik] aymānukum [tangan kanan kalian]. Selain di ayat tersebut, frase "mā malakat aymānu+kum/hum/hunna atau yamīnika" juga ada di 14 surat (diantaranya di AQ 4.24, 23.6, 24.31, 33.52, dst). Kata "ayman/yamin" = tangan kanan. Frase tersebut arti literalnya adalah: "apa (yang) tangan kanan+mu/kalian miliki" namun kerap diartikan "budak-budak yang mereka miliki".

Adalah ganjil bagaimana para budak wanita dirujuk dengan kata "mā". Karena dalam bahasa Arab, ketika merujuk pada mahluk yang berpikir (contoh: manusia), kata yang digunakan adalah "man" (siapa). Sedangkan, "mā" (apa) digunakan untuk benda-benda misal: pohon, binatang, batu. Serupa dengan penggunaan kata ganti orang ke-3 dalam bahasa inggris "it", sehingga, jika memang hanya dimaksudkan untuk jenis manusia saja, maka SEHARUSNYA bahasa arab yang digunakan adalah "man malakat aymānu+kum/hum/hunna atau yamīnika" atau "Siapa (yang) tangan kanan+mu/kalian miliki".

Al-Qurtubi (w.1273) menyatakan bahwa anggota ras manusia seharusnya dirujuk dengan "man: siapa", di mana hanya "benda tak bergerak" atau "binatang buas" dirujuk dengan "mā" (apa). (Tafsir Qur'annya vol. 5, p.12)]. Sejumlah hadis menempatkan wanita dan binatang pada kategori yang sama. Musnad Ibn Hanbal (vol. 2, p. 2992), sebagai contoh, merekam bahwa Nabi mengatakan "Wanita, Anjing, dan Keledai membatalkan Pria yang shalat" Malahan dalam Tafsir Qurtubi yang sama (vol.15, p.172), setelah meneliti hadis-hadis, Ia menulis, "Seorang wanita persamaannya adalah seperti domba-bahkan sapi atau unta-yang merupakan tunggangan" [Diambil dari Raymond Ibrahim, "Are Slave-Girls in Islam Equivalent to Animals?". Raymond Ibrahim adalah seoang imigran Koptik Mesir, yang fasih Arab dan Inggris, Spesialis bahasa Arab untuk Seksi Timur jauh pada "The Library of Congress"]
    Note:
    Di Quran terdapat frase: "..min anfusikum azwājan.." (AQ 16.72; 30.21; 42.11] dan kata ini diterjemahkan paksa menjadi "isteri-isteri dari jenismu sendiri". Terjemahan ini menyesatkan dan keliru, karena arti "anfusi/nafs" adalah "jiwa, diri, nafas" BUKAN "sesama jenis", juga karena pada frase:

    "min anfusikum hal lakum" (AQ 30.28) + "min anfusihim wa-azwaajuhu" (AQ 33.6) + "tunbitu al-ardhu wamin anfusihim" (AQ 36.36) + "watatsbiitan min anfusihim" (AQ 2.265),

    kata "min anfusi" di atas, tidak diterjemahkan "jenis sendiri".

    Oleh karenanya, arti seharusnya dari frase "min anfusikum azwājan" adalah: "pasangan-pasangan dari diri kalian"

    Pasangan dari diri sendiri, seharusnya hanya terjadi pada kasus Adam, karena Hawa diciptakan dari rusuknya, sehingga, setelah Adam, tidak bisa lagi, kecuali Ia ber-onani/martubasi. frase juga tidak berlaku untuk menyetubuhi anak sendiri (dan juga menantunya, karena AQ 4.23 menyebutkan demikian). Oleh karenanya, pasangan dari diri sendiri didapat melalui:

    ex istri anak angkat (kasus Zainab binti Jash yang merupakan ex istri anak angkat Muhammad, yaitu: Zayd bin Muhammad/bin Haritha. Tidak diketahui apakah zayd pernah menghisap puting susu istrinya saat bersetubuh),
    ex istri/suami angkat (jika tidak pernah menghisap puting susu istri bapak angkat) atau
    dengan memberikan ganti rugi pada pemilik sebelumnya berupa: mahar, mendapat bagian dari hasil peperangan atau dari sewa/beli.

    Sehingga pasangan yang dimaksudkan adalah manusia maupun binatang (karena Quran telah menyebutkan dengan frase "maa malakat aymanukum")
Karena persetubuhan terhadap binatang juga dibenarkan dalam Islam, Untuk itu, terdapat nasihat agar berdoa dulu bagi mereka yang hendak bersetubuh ("afaada ahada") dengan perempuan atau abdinya atau Hewan:
    Riwayat Muhammad bin Yahya dan Shalih bin Muhammad bin Yahya Al Qaththan - Ubaidullah bin Musa - Sufyan - Muhammad bin 'Ajlan - 'Amru bin Syu'aib - Bapaknya (Syu'aib bin 'Abdullah) - Kakeknya (Abdullah bin Amru) - Nabi SAW:

    "Apabila seorang dari kalian mengambil manfaat dari seorang PEREMPUAN (bersetubuh), atau PEMBANTU atau HEWAN, hendaklah ia pegang ubun-ubunnya sambil mengucapkan, 'ALLAHUMMA INNI AS`ALUKA MIN KHAIRIHAA WA KHAIRI MAA JUBILAT 'ALAIHI WA A'UUDZU BIKA MIN SYARRIHAA WA SYARRI MAA JUBILAT 'LAIHI' (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Mu dari kebaikannya dan kebaikan yang telah Engkau berikan kepadanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang Engkau berikan kepadanya)"

    [Sunan Ibn MajjahKITAB NIKAH, Bab: "Apa yang diucapkan oleh seorang laki-laki jika isterinya ("أهله", ahlahu) masuk menemuinya", Derajat hadis:HASAN (albani), hadis no: 3.9.1918/no.1908. Narasi seperti ini ada juga di Tabarani, Mustadrak, Bayhaqi, dll. Lihat: di sini (ARAB). Kalimat arab: "idha (jika) afaada (mengambil manfaat) ahadukum ("seorang dari kalian", namun kata kerja "ahada" artinya: menyatu/menjadi satu) amraata (perempuan merdeka) aw (atau) khaadima (pembantu/budak perempuan) aw (atau) daabaata (hewan)...". Hadis dengan narasi tanpa kata hewan namun menggunakan kata unta betina/bahira, salah satunya ada di Sunan Abu Dawud dalam KITAB NIKAH, Bab: "orang YANG BERSETUBUH", hadis no.1845: "..إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً أَوْ اشْتَرَى خَادِمً ... وَإِذَا اشْتَرَى بَعِيرًً" (Idha Tazawaaja ahadukum amraata aw ashtara khadima ... waidha ashtara bahiira../ "jika diantara kalian menikahi PEREMPUAN atau BUDAK PEREMPUAN belian...dan jika unta BETINA belian..")]
TAK ADA HUKUMAN BAGI YANG MENYETUBUHI HEWAN
Dalam buku "PUNISHMENT FOR ADULTERY IN ISLAM: A Detailed Examination", Dr. Ahmad Shafaat, menyampaikan bahwa di kumpulan hadis Muwatta, Bukhari ataupun Muslim tidak ada hukuman bagi pelaku seks dengan binatang. Di buku Abu Da`ud, Tirmidhi, Ibn Majah, dan Ahmad terdapat hadis-hadis seperti di bawah ini:
    Riwayat Abdullah bin Muhammad An Nufaili - Abdul Aziz bin Muhammad - AMRU BIN ABU AMRU - Ikrimah - Ibnu Abbas: "Rasulullah SAW bersabda:

    "Barangsiapa menyetubuhi binatang maka bunuhlah ia beserta binatang tersebut." Ibnu Abbas berkata, "Aku lantas bertanya kepada Rasulullah, "Apa salah binatang tersebut?" IBN ABBAS BERKATA, "AKU TIDAK MELIHAT BELIAU MENGATAKAN BEGITU KECUALI KARENA SEBAB BAHWA BELIAU TIDAK SUKA jika BINATANG YANG TELAH DISETUBUHI itu DIMAKAN DAGINGNYA." Abu Dawud berkata, "NAMUN DERAJAT HADIS INI TIDAK KUAT." [Abu Da`ud no. 3871]
Sunan Abu Da`ud mengatakan hadis ini tidak kuat, alasan lain beliau adalah ditakutkan kalo binatang ini jadi bunting dan kemudian melahirkan anak separo manusia dan separo binatang :). Alasan ini tentunya berlaku jika prianya yang melakukan hubungan seks dengan binatang betina [Komentar dari Shams al-Haqq ‘Azimabadi]

Variasi lainnya di Tirmidhi:
    Riwayat Muhammad bin Amr As Sawwaq - Abdul Aziz bin Muhammad - AMRU BIN ABU AMRU - Ikrimah - Ibnu Abbas; Rasulullah SAW:

    "Barangsiapa yang kalian dapati menggauli binatang, maka bunuhlah ia dan bunuhlah binatangnya." DITANYAKAN KEPADA IBN ABBAS: ADA APA DENGAN BINATANG ITU?: IA (IBN ABBAS) menjawab; AKU TIDAK MENDENGAR SESUATUPUN DARI RASULLULLAH SAW TENTANG HAL ITU, tetapi aku melihat Rasulullah SAW membenci untuk dimakan dagingnya atau memanfaatkannya, dan hal itu telah dilakukan. Abu Isa berkata; Hadits ini tidak kami ketahui kecuali dari Hadits Amr bin Abu Amr - Ikrimah - Ibnu Abbas - Nabi SAW. [Tirmidhi no.1374. Juga di Ibn Majah no.2554. Musnad Ahmad no.2294, 2591]
Narasi mereka semua berasal dari:
    Amru bin Abu ‘Amru - ‘Ikrimah - Ibn ‘Abbas.
Narasi Musnad Ahmad berasal dari
    Abbad bin Mansur - ‘Ikrimah - Ibn ‘Abbas.
Dinarasinya tidak disebut berasal dari nabi tapi dari kata-kata Ibn 'Abbas:
    ‘Abd al-Wahhab - ‘Abbad bin Mansur - ‘Ikrimah - dari Ibn ‘Abbas berkenaan dengan seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang Ia katakan: "Bunuh yang fa`il dan maf`ul bihi”. (Ahmad no.2597)
Namun di al-Hakim,
Narasi yang berasal dari rantai perawi yang sama [‘Abbad bin Mansur <- ‘Ikrimah], ucapan Ibn ‘Abbas BERUBAH MENJADI HADIS NABI:
    ‘Abbad bin Mansur - ‘Ikrimah - dari Ibn ‘Abbas, Ia menyebutkan (dhakara) Nabi berkenaan dengan seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang Ia katakan: "Bunuh yang fa`il dan maf`ul bihi" (Al-Hakim, di quote dari ‘Awn al-Ma‘bud no.3869)
Perhatikan bahwa narasi ini sama persis dengan yang berasal dari Musnad Ahmad kecuali kata-kata, "Bahwa Ia menyebutkan Nabi". kata-kata ini adalah janggal dan kabur, tidak jelas menyatakan bahwa hukuman mati diresepkan Nabi. Mereka malu-malu dengan usahanya untuk membengkokkan yaitu dari pandangan Ibn Abbas untuk kemudian diubah menjadi hadis Nabi.

Ibn ‘Abbas sendiri bahkan mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda:
    Ahmad bin Yunus - Sharik, Abu al-Ahwas dan Abu Bakr bin ‘Ayyash - ‘Asim (bin Bahdalah Abi al-Najud) - Abu Razin - Ibn ‘Abbas berkata:

    "Orang yang mensetubuhi binatang TIDAK ADA hukuman hadnya". Abu Da`ud berkata: "‘Ata juga mengatakan demikian." Al-Hakam juga berkata: "Ku pikir pelakunya [He] seharusnya di cambuki, namun jumlah cambukannya seharusnya lebih sedikit dari Zina (100 cambukan)". Al-Hasan berkata: "Ia seperti al-zan" Adu Da`ud berkata: “HADIS DARI ‘Asim bin Bahdalah Abi al-Najud MELEMAHKAN HADIS DARI ‘Amru bin ‘Amru" (Abu Da`ud no. 3872)
    Note:
    Dan Sufyan Ats Tsauri - 'Ashim - Abu Ruzain - Ibnu Abbas bahwa ia pernah berkata;

    Barangsiapa menggauli binatang maka TIDAK ADA HUKUMAN ATASNYA. TELAH MENCERITAKAN DENGAN HADIS ITU kepada kami Muhammad bin Basysyar - Abdurrahman bin Mahdi - Sufyan Ats Tsauri, hadits ini LEBIH SAHIH dari hadits pertama. HADIS INI MENJADI PEDOMAN AMAL MENURUT PARA ULAMA, INI MENJADI PENDAPAT AHMAD dan ISHAQ [Tirmidhi no.1375]

    -> Terdapat 2 jalur perawi yang menyatakan hadis ini (Jalur ke-1: Dan Sufyan Ats Tsauri... vs Jalur ke-2: Muhammad bin basysyar...), maka yang dari jalur ke-2 yang lebih sahih]
Fakta-fakta mengenai narasi-narasi di atas, bila di satukan, maka nyaris tanpa keraguan dapat di katakan bahwa hadis yang menyatakan hukuman mati bagi pelaku seksual adalah pemalsuan yang berasal dari beberapa kesalahan atau sama sekali palsu:
  1. Pertama, Narasi hadis dari generasi pertama, hanya berasal dari Ibn 'Abbas [wafat 68H]. Dari generasi ke-2, hanya berasal dari ‘Ikrimah [w.104 H] & kebanyakan berasal dari generasi ke-3, ‘Amr bin Abi ‘Amr [w.144H] & Jarang yang berasal dari ‘Abbad bin Mansur (w. 152H). Imam Malik, Bukhari, Muslim BAHKAN tidak tahu & TIDAK MEMPERCAYAI.
  2. Kedua, Narasi dari generasi ke-3 ‘Amr bin Abi ‘Amr & ‘Abbad bin Mansur, TIDAK DAPAT DIPERCYA. Abu Zur‘ah al-Razi menyatakan ‘Amr bin Abi ‘Amr sebagai "thiqah" dan Abu Hatim, Ibn ‘Adi & Ahmad mengatakan, "la bas bi hi". Namun Al-Nasa`i menyatakan ia "munkar" dan tidak kuat. Bukhari menyatakan ‘Amr bin Abi ‘Amr bisa dipercaya TAPI KELIRU beberapa kali mengalamatkan hadis kepada ‘Ikrimah. Yahya bin Ma‘in & al-‘Ajli juga mengatakan ia "thiqah" namun menolak hadis yang ia narasikan dari ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas. Pandangan Ulama ttg ‘Abbad bin Mansur bahkan lebih negatif. lebih dari itu, bahkan dinyatakan sebagai "hadis da‘if" oleh Abu Hatim, "laysa bi shay" oleh Yahya bin Ma‘in, "layyin" oleh al-Razi & "hadis munkar" oleh Qadri, "mudallis" oleh Ahmad.
  3. Ketiga, Satu narasi di Musnad Ahmad, yang juga berasal dari ‘Ikrimah yang berasal dari Ibn ‘Abbas, ternyata merupakan perkataan Ibn ‘Abbas dan BUKAN perkataan Nabi. Jadi, opini Ibn ‘Abbas berubah jadi kata nabi yang dilakukan oleh perawi belakatangan seperti ‘Amr bin Abi ‘Amr.
  4. Keempat, SANGAT MERAGUKAN bahwa Ibn ‘Abbas mempunyai pandangan ada hukuman mati bagi PELAKU sex dgn BINATANG, krn di hadis lainnya Ibn ‘Abbas JELAS menyatakan, "ngga hukuman apapun bagi PELAKU sex dgn binatang".
  5. Kelima, Sebagaimana tercatat di 'Awn al-Ma‘bud, 4 ajaran fiqh SUNNI secara BULAT menyatakan ngga ada HUKUMAN MATI pelaku SEX dgn binatang, tapi MUNGKIN ada hukuman lain (yu‘azzar wa la yuqtal).
Dr. Ahmad Shafaat juga menyampaikan bahwa sumber hadis "hukuman" di atas mencontek Imanat 20:15, "Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itupun harus kamu bunuh juga". Kemudian beliau menyampaikan:
    KITA harus berani mengatakannya itu HADIS PALSU..Jika kita tdk mendeklare hadis ini PALSU maka kita tdk bebaskan diri dari KESALAHAN & KEBOHONGAN muslim2 masa lalu yang tdk JUJUR dgn yang ALLAH & NABI ajarkan [Dr. Ahmad Shafaat adalah Professor pada Universitas Concordia, Montreal, Quebec, Canada. Ia juga merupakan ulama Islam yang telah mempublikasikan beberapa artikel dan karya tulis]
Rupanya DI ISLAM, bersetubuh dengan binatang jauh lebih baik daripada berzina dan daripada menyetubuhi paksa para tawanan wanita yang telah bersuami

Beberapa malah memalsukan hadis nabi bahwa penyetubuh binatang akan mendapat kemurkaan dan dibenci allah, misalnya:
    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَرْبَعَةٌ يُصْبِحُونَ فِي غَضِبِ اللَّهِ ويُمْسُونَ فِي سَخِطَ اللَّهِ. قُلْتُ: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ، وَالَّذِي يَأْتِي الْبَهِيمَةَ، وَالَّذِي يَأْتِي الرِّجَالَ
    "Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw: "Empat golongan orang yang akan mendapatkan kemurkaan Allah dan dibenci oleh Allah', aku bertanya: "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "mereka adalah lelaki2 yang menyerupai para wanita, wanita2 yang menyerupai para lelaki, orang yang menyetubuhi hewan dan lelaki yang menyetubuhi sesama lelaki". (Mu'jam Al-Ausath, Thabrani dan pada bagian bawah tertulis: "لم يرو هذا الحديث عن محمد بن سلا م الخزاعي إلا ابن أبي فديك"/Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Salam Khuzai kecuali Ibnu Abi Fadaik)

    Di Majma al-Zawa'id, Ali ibn Abu Bakr al-Haythami, terdapat komentar BUKHARI untuk hadis Thabarani di atas ini: (قال البخاري : لا يتابع على حديثه هذا)/lā yutabie alā hadithih hadha (Ia tinggalkan hadis ini), sebagai isyarat hadis yang mungkar:

    وعن أبي هريرة عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال : " أربعة يصبحون في غضب الله ، ويمسون في سخط الله " . قلت : من هم يا رسول الله ؟ قال : " المتشبهون من [ ص: 273 ] الرجال بالنساء ، والمتشبهات من النساء بالرجال ، والذي يأتي البهيمة ، والذي يأتي الرجال " .
    رواه الطبراني في الأوسط من طريق محمد بن سلام الخزاعي عن أبيه ، قال البخاري : لا يتابع على حديثه هذا
Juga beberapa variasi hadis bermasalah yang berasal dari riwayat 'Amru bin Abu 'Amru - Ikrimah - Ibnu Abbas - Nabi SAW bahwa Allah melaknat/terlaknat orang yang: mengubah batas-batas tanah, mencaci orang tuanya, menyembelih untuk selain Allah, menguasai orang yang bukan budaknya, menyesatkan orang buta dari jalanan, menyetubuhi binatang dan melakukan perbuatan kaum Luth . Tercantum dalam:
  1. Ahmad no. 2763. Perawi Abdur Rahman bin Abi Az Zinad 'Abdullah bin Dzakwan menurut Ahmad bin Hanbal: mudltharribul hadits/para perawinya berselisih dalam hal sanad dan matan, tidak mungkin melakukan kompromi dan tarjih; Sedangkan Yahya bin Ma'in dan An Nasa'i menyatakan tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.
  2. Ahmad no. 2764, Ahmad no.1779 dan Tirmidhi no.1376. Perawi Muhammad bin Ishaq bin Yasar menurut Ibn Hajar al Asqalani walaupun shaduq/benar tapi yudalis/sering menyamarkan hadis/sanad atau melakukan tadlis
  3. Juga, Abu Dawud berkata bahwa "HADIS DARI ‘Asim bin Bahdalah Abi al-Najud MELEMAHKAN HADIS DARI ‘Amru bin ‘Amru" (Abu Da`ud no. 3872, tentang ucapan Ibn Abbas bahwa tidak ada had bagi yang bersetubuh dengan binatang)
Biarpun demikian, Nabi TIDAKLAH MEMERINTAHKAN untuk menjauhi mereka. Terdapat jenis terlaknat lain yang Nabi PERINTAHKAN UNTUK DIJAUHI yaitu hadis dari riwayat Ismail bin Ja'far - al-Ala' - bapaknya - Abu Hurairah - Rasulullah SAW:
    "Kalian jauhilah La'anaini (terlaknat)". Para sahabat: "Wahai Rasulullah, siapa La'anini itu?" Nabi: menjawab: "Orang yang buang hajat di jalan atau di tempat berteduh" [Muslim no. 397. Abu Dawud no.23. Ahmad no.8498]
Kemudian,
Syaikhul Islam Yahya ibn Sharaf al-Nawawi menyampaikan komentarnya untuk hadis Muslim no.525 (Nawawi adalah 1 diantara 7 orang yang bergelar SYAIKHUL ISLAM. Gelar ini hanya diberikan kepada mereka yang ilmu Islamnya luar biasa luas dan tingginya).

Pada bagian tengah ada penjelasan:
قال أصحابنا : ولو غيب الحشفة في دبر امرأة ، أو دبر رجل ، أو فرج بهيمة ، أو دبرها ، وجب الغسل سواء كان المولج فيه حيا أو ميتا ، صغيرا أو كبيرا ، وسواء كان ذلك عن قصد أم عن نسيان ، وسواء كان مختار ا أو مكرها

"[..] Para sahabat berkata: walaupun tidak tampak kepala penis di dubur wanita atau dubur pria atau vagina binatang atau duburnya (walau ghayb alhushfa fi dubur imra'atan, aw dubur rajul, aw faraj bahima, aw dubraha) maka perlu di cuci baik yang dipenetrasi itu hidup atau mati atau tua atau muda atau dilakukan dengan sengaja atau dalam keadaan linglung atau dilakukan dengan persetujuan atau dengan paksa.[..]"

Pada bagian paling bawah ada penjelasan:
ولو استدخلت المرأة ذكر بهيمة وجب عليها الغسل ،...

"[..] Jika seorang wanita memasukan [kedalam vaginanya] penis binatang (ذكر بهيمة/zakar bahima), Ia wajib mencucinya,.."

[Komentar Yahya ibn Sharaf al-Nawawi untuk hadis Muslim no.525, lihat di: sini dan sini]

Mengapa narasi hadis muslim, "Apabila seorang lelaki duduk di antara empat bagian tubuh betina/wanita, kemudian menekannya maka Ia wajib mandi", perlu diberikan penjelasan lanjutan oleh Nawawi?

Karena ada frase "شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ", yaitu: ("شُعَبِهَا"/shu'abihaa (jamak dari shu'b/"شعب", bagian/cabang) dan ("الْأَرْبَعِ"/ạlạảrbaʿi, empat), ragam pendapat meliputi maksud: 4 kaki binatang atau 2 lengan dan 2 kaki orang. Untuk itu, Nawawi menyampaikan bahwa persenggamaan ini termasuk juga melalui "فرج بهيمة ، أو دبرها"/ (faraj/vagina binatang atau duburnya).

Fatwa SUNNI Bersetubuh Dengan Binatang:

"[..]ولو وطئ بهيمة لا يفسد حجه"

"Jika Ia melakukan hubungan seksual dengan binatang, tidak membuat hajinya batal" [Imam Sunni Abu Bakar al-Kashani (w. 587 H) di 'Badaye al-Sanae' Vol.2 hal.216, Answering-Ansar]

"Sex dengan binatang, mayat dan masturbasi tidak akan membatalkan puasa selama tidak terjadi ejakulasi" [Ulama Hanafi: Allamah Hassan bin Mansoor Qadhi Khan, Fatawa, hal.820]

Beberapa kutipan di bawah ini di ambil dari "Sayf Muhammadi" dari Shaykh Junagri, "Haqiqatu Fiqh" dari Shaykh Jepuri, "Zafar Al-Mubin fi Rad Aghlat Muqalidin" dari Abul Hasan As-Silakoti, murid dari Imam Nadheer Husayn Ad-Dehlawi:

    "Jika seseorang melakukan wati [hubungan seksual] dengan wanita yang belum balighah [bukan wanita dewasa], atau dengan mayat atau dengan binatang, maka tidak ada hadd [hukuman]" [umm-ul-qura.org: Durul Mukhtar kitab hudud]

    "Jika seseorang memasukan penis binatang pada vagina/dubur wanita, ghusl [mandi] tidaklah wajib" [Dar Mukhtar Kitab Taharah Masail Ghusl]

    "Jika seseorang melakukan Jima (intercourse) dengan binatang atau dengan mayat atau dengan wanita yang belum baligh dan tidak terjadi inzal (ejakulasi), maka Ghusl (wadhu/mandi] tidak diwajibkan" [umm-ul-qura.org: Durul Mukhtar Kitab Taharah, Masail Ghusl, juga Alamgiri, Kitab Taharah]

    "Jika seseorang melakukan wati [intercourse] di dubur [anal sex] binatang atau pada anusnya dan tidak terjadi inzal [ejakulasi], maka Ghusl [mandi] tidaklah wajib [obligatory]" [Hidayah kitab taharah]

"Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar" adalah kitab abad ke-19 karangan ulama hanafi Ibn Abidin. Sebuah komentar pada Durr al-Mukhtar-nya Imam al-Haskafi, biasanya hanya disebut sebagai 'Radd al-Muhtar' saja. Sebuah kompilasi dari fatwa2 dan Hidayah Imam Abu Hanifa, Juridis hanafiah terkenal karya Burhan-ud-din Ali bin Abi Bakr al-Marghinani (1152-1197) yang dipandang luas dan terhormat sebagai autoritas Figh kalangan muslim Asia Tengah, Afganistan dan India.

Syiah:
    Tahrirolvasyleh adalah versi iran dengan judul arabnya 'Tahrir al Wasilah', merupakan Fiqh [Yurisprudensi Islam] karya Khomeini, salah satu isinya memuat:

    "Seorang pria dapat melakukan hubungan seksual dengan binatang seperti domba, sapi, onta dan sebagainya. namun, ia mesti membunuh binatang itu sesudahnya. Ia seharusnya tidak menjual dagingnya pada penduduk di areanya sendiri, namun menjual dagingnya pada tetangga areanya jika itu bijaksana/layak/pantas."

    "Daging dari kuda, bagal/keledai, tidak di sarankan. Adalah sangat terlarang jika binatang yang disodomi ketika hidup oleh seseorang. Untuk itu, bintang mesti dibawa keluar kota dan di jual"

    [sumber: The little green book, II.10 Makanan dan minuman]. juga perhatikan persamaannya dengan aturan no.2640 di sini]

    357. Jika seseorang telah bersetubuh dengan binatang dan sperma keluar dari tubuhnya. cukup untuk mandi baginya, dan jika tidak keluar sperma dan ia dalam keadaan wudhu ketika melakukan hal tak normal itu bahkan mandi saja cukup. Namun, jika ia tidak dalam keadaan wudhu maka langkah pencegahan adalah ia mesti mandi dan juga melakukan wudhu. Hal yang sama berlaku jika seseorang melakukan sodomi dengan seseoang lelaki atau anak kecil. [Jurisprudensi Islam dari Ayatullah Khoei, oleh Ayatullah Sayyid Abulqasim al-Khoei, Diterbitkan: Islamic Seminary Publications, translasi: Muhammad Fazal Haq. Note: Dalam terjemahan Inggrisnya, ada tambahan kata di dalam kurung (god forbid!) di tengah kalimat 357. Jika..seseorang]

    Dari tanya jawab dengan al-Uzma Seyyid Ali al-Sistani:
    Nama: Ali Akbar Mandni
    Subject: Bersetubuh dengan binatang

    Tanya:
    Salam alikum wa rahmatullahi wa barakatuh
    [..]Saya seorang bujang dan penggembala..Saya telah bersetubuh dengan 2 domba, 1 kambing dan anak sapi...Apakah di ijinkan bersetubuh dengan binatang, guru? Karena saya dengar dari orang-orang ini adalah halal. Terima kasih

    Jawab:
    لقد كانت نكاح الحيوانات قبل البعثه منتشره وتروى كثير من الروايات انها حلال لكنها مكروه والاحوط

    Bersetubuh dengan binatang sebelum misi (Islam) luas tersebar dan banyak narasi menyebutkan bahwa ini halal namun makruh [tidak disukai]..[Gift2shias.com]
Berikut ini sample berita persetubuhan dengan hewan yang terjadi di berbagai negara Muslim (Arab, Palestina, Pakistan, Sudan dan Maroko)

The Arabs, according to Kocher, chiefly practice bestiality with goats, sheep and mares. [Studies in the Psychology of Sex, Volume 5, Oleh Havelock Ellis; note: 52, kutipan yang berasal dari Schurig, Gynæcologia, pp. 280-387; Bloch, sect.II, Cap.VII, 270-277. Atau lihat di sini]

“Unnatural Vices”
[..]He writes that bestiality occurs mostly among villagers although it is not heard of with women and animals...(I).

The other officers are less comprehensive. Dr. Hamzeh concurs with his colleague that there is sodomy among schoolchildren. He points to their “imprisonment...in schools day and night, where most of them reach puberty and find no other ways to satisfy their newly developing sexual appetite” (II)

He comments, “in the villages there seems to be curiously little feeling against bestiality which I have heard admitted in a very airy way on more than one occasion. Sodomy is considered disgraceful but not I think more so than ordinary immorality” (III). [Jerusalem Quarterly File, Issue 10, 2000, "Unnatural Vices" or Unnatural Rule? The Case of a Sex Questionnaire and the British Mandate, Ellen L. Fleischmann]

Soldier caught with his pants down
March 16, 2004

An Afghan soldier was detained by police after being caught having sex with a donkey in southeastern Afghanistan, a police officer told AFP. The soldier was discovered with the donkey in an abandoned house in a small village of Gardez, the capital of Paktia province, last week, a local police officer said.

"He was caught in the act by a small boy who immediately told police about what he had seen and police arrested him in action," the Gardez-based officer told AFP, requesting anonymity.

The soldier claimed he committed the act because he did not have enough money to get married. [Sumber: The Age]

After being caught with the donkey in a village about 100km south of the capital Kabul, he was jailed for four days and then released without charge.

Sudan man forced to 'marry' goat
Friday, 24 February 2006, 17:37 GMT

A Sudanese man has been forced to take a goat as his "wife", after he was caught having sex with the animal. The goat's owner, Mr Alifi, said he surprised the man with his goat and took him to a council of elders. They ordered the man, Mr Tombe, to pay a dowry of 15,000 Sudanese dinars ($50) to Mr Alifi.

"We have given him the goat, and as far as we know they are still together," Mr Alifi said. [..] [sumber: BBC]

Mengawini Kambing Betina
Seorang muslim New York bernama Yousef Al-Khattab telah MENIKAHI KAMBINGNYA dengan UPACARA TRADISIONAL MUSLIM di MESJID UTAMA NEWYORK. Tampaknya, ada risalah quran yang mendukung praktek aneh ini, yang merujuk pada waktu ketika muhammad bersembunyi dari para pencelanya di padang pasir saudi arabia. kekurangan persediaan wanita yang mengganggu hasrat kebutuhan sesual dan seleranya, Nabi menyatakan kambing betina halal di nikahi muslim pria, tapi kambing jantan tidak.. Nabi tegas melarang penyetuan dalam homoseksual. [Sumber: di sini]

Beberapa sample mereka yang menyetubuhi binatang TAPI bukan miliknya
Seorang muslim albania tertangkap kamera sedang menggagahi seekor anjing [lihat: di sini] atau contoh lainnya misalnya seseorang muslim yang saking semangatnya menggagahi kuda hingga berakibat ia perlu dioperasi [lihat: di sini]

COMMENT: Desegregation of the sexes and promiscuity — Ishtiaq Ahmed
Tuesday, June 27, 2006

[..]Fatima Mernissi has demonstrated in her studies of Arab societies in general and Morocco in particular that sodomy and bestiality are widespread, especially in the rural communities because of the segregation of men and women. My younger brother, who worked for years in the Pakistan Agricultural Supplies and Services Corporation (PASSCO), told me that in southern Punjab, much of NWFP, Sindh and Balochistan sodomy and bestiality are common among rural youths. In fact, he caught two boys trying to rape a goat in the vicinity of the mazar of Hazrat Sultan Bahu. The punishment meted out to them was 10 blows with a chhittar (shoe) each on their butts. They protested however that in many rural areas having sex with an animal was considered a rite of passage on the way to becoming full members of the male society! [Sumber: daily times]

Di Islam, ketahuan berzina dengan manusia ternyata jauh lebih menakutkan daripada ketahuan bersetubuh dengan binatang.



INSES (Bersetubuh dengan Saudara Kandung)
Ini adalah juga perbuatan Zina:
    Muhammad bin Rafi‘ - Ibn Abi Fudayk - Ibrahim bin Isma’il ibn Abi Habibah - Da`ud bin al-Husayn - ‘Ikrimah - Ibn ‘Abbas - Nabi berkata: "Jika seseorang mengatakan yang lainnya [Muslim] "O Yahudi!" cambuk dia 20x; Jika seseorang menyatakan orang lain "O, Banci/Bencong", cambuk dia 20 x; dan siapapun yang bersetubuh dengan mahram (keluarga sedarah), bunuh dia" [Tirmidhi no.1382]. Note: Seorang banci yang mencat kuku kaki dan tangan juga diperintahkan agar dihukum oleh Nabi [Abu Dawud no.4280. Hadis Abu Dawud ini disahihkan Albani tapi didhaifkan Ali Zai]
Narasi dari Ahmad dan Ibn Majjah:
    Abu al-Qasim bin Abi al-zinad - (Ibrahim bin Isma’il) ibn Abi Habibah - Da`ud bin al-Husayn - ‘Ikrimah - Ibn ‘Abbas - Nabi berkata: Bunuhlah seseorang yang melakukan perbuatan seperti kaum Luth, (Bunuh) binatang dan yang bersetubuh dengan binatang dan sipapaun yang bersetubuh dengan sedarah, Bunuh dia (Ahmad 2591)

    ‘Abd al-Rahman bin Ibrahim al-Dimashqi - Ibn Abi Fudayk - Ibrahim bin Isma’il ibn Abi Habibah <- Da`ud bin al-Husayn - ‘Ikrimah - Ibn ‘Abbas - Nabi berkata: Siapapun yang bersetubuh dengan yang sedarah dengannya (mahram), bunuh dia dan siapapun yang bersetubuh dengan binatang bunuh dia dan bunuh binatangnya (Ibn Majah 2554)
Hadis-hadis di atas adalah lemah dengan alasan:
  1. Pertama, Narasi di atas, hanya 1 berasal dari generasi ke-4, yaitu Ibn ‘Abbas yang dikatakan narasi tersebut berasal dari Nabi. hanya ‘Ikrimah dikatakan mendapatkan narasi dari Ibn Abbas...dan hanya Ibrahim bin Isma‘il yang mendapatkannya dari Da`ud. Karena Ibrahim bin Isma‘il wafat disekitar tahun 165 H, maka selama sekitar 1.5 abad setelah wafatnya Nabi, pengetahuan mengenai hadis ini hanya terbatas pada sangat sedikit orng! Terlebih karena Malik, Bukhari, Muslim, Abu Da`ud, dan mungkin juga al-Nasa`i mengabaikan atau bahkan tidak percaya pada hadis ini dan membiarkan hadis ini tetap dalam kecurigaan hingga berabad kemudian
  2. Kedua, satu sumber dari Isnadnya yaitu Ibrahim bin Isma‘il, jauh dari dapat di percaya. Yahya bin Ma‘in, Tirmidhi dan al-Nasa`i menyatakan dia "da‘if" sementara Bukhari dan Abu Hatim menyatakan dia "munkar". Sulit menemukan ulama yang berkata positif mengenai dirinya
Dr. Shafaat menyimpulkan Hadis tersebut di atas adalah pemalsuan yang berasal dari kesalahan atau kebohongan pada Nabi dan menolak hadis ini dan hadis2 lemah lain yang serupa.

Berkomentar pada hadis di atas, Tirmidhi berkata:
    "Kita tidak akan tau hadis ini kecuali melalui ratai ini (wajh) dan Ibrahim bin Isma'il dikatakan lemah dalam hadis. Telah disampaikan Nabi melalui rantai narasi berbeda yaitu oleh al-Bara` ibn ‘Azib dan Qurrah ibn Iyas al-Muzanni berkenaan dengan seorang pria yang menikahi istri ayahnya dan Nabi memerintahkan ia di hukum mati. Ini berdasarkan kejadian nyata diantara rekan-rekan kita. Mereka berkata: ‘Siapapun yang diketahui telah bersetubuh dengan mahram layak di hukum mati'. Ahmad berkata: 'Siapapun yang mengawini Ibunya ia harus di bunuh'. Ishaq berkata: ‘Siapapun yang bersetubuh dengan mahram ia harus di bunuh'" (Tirmidhi 1382)
Namun, di appendiks 1 dari Dr. Ahmad Shafaat, anda akan temukan bahwa BAHKAN dari narasi yang berhubungan dengan al-Bara` ibn ‘Azib-pun, baik itu berasal dari Mutarrif maupun 'Adi, sebagaimana tercantum di Abu Da`ud (3864, 3865) Musnad Ahmad (17867, 17868, 17877), Darimi 2141, Nasa`i (3279, 3280), Tirmidhi (1282) ternyata kontradiktif, isnadnya terpotong, dan lain sebagainya.

Demikianlah, para ulama pendukung hukuman mati bagi Inses melakukannya tidak berdasarkan hadis Ibn ‘Abbas, yang juga dinyatakan "lemah", namun berdasarkan tradisi penghukuman yang dilakukan nabi pada pria yang mengawini Istri ayahnya (setelah Ayahnya mati dan menceraikannya).

Terakhir, Dr Shafaat menyatakan bahwa sumber-sumber sumber hadis "hukuman" tersebut di atas adalah mencontek isi Imanat 20:11-12,14 dan 17
, "Bila seorang laki-laki tidur dengan seorang isteri ayahnya, jadi ia melanggar hak ayahnya, pastilah keduanya dihukum mati, dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. Bila seorang laki-laki tidur dengan menantunya perempuan, pastilah keduanya dihukum mati; mereka telah melakukan suatu perbuatan keji, maka darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri...Bila seorang laki-laki mengambil seorang perempuan dan ibunya, itu suatu perbuatan mesum; ia dan kedua perempuan itu harus dibakar, supaya jangan ada perbuatan mesum di tengah-tengah kamu...Bila seorang laki-laki mengambil saudaranya perempuan, anak ayahnya atau anak ibunya, dan mereka bersetubuh, maka itu suatu perbuatan sumbang, dan mereka harus dilenyapkan di depan orang-orang sebangsanya; orang itu telah menyingkapkan aurat saudaranya perempuan, maka ia harus menanggung kesalahannya sendiri."

Malah,
Imam Qurtuby, seorang ulama mufassir, muhaddith dan faqih terkenal dari mazhab maliki, memberikan tafsir untuk AQ 4.23 dan 25.54, yang menunjukan bahwa ISLAM MENGHALALKAN seorang Pria MENIKAHI anak perempuannya sendiri yang terlahir akbit hasil ZINA-nya.

Tafsir Qurtuby untuk AQ 4.23:
Para ulama punya perbedaan pada permasalahan larangan berhubungan seksual dengan seseorang yang lahir dari perzinahan. Mayoritas ulama yang berpengetahuan menyatakan jika seorang pria melakukan perzinahan dengan seorang wanita, Tindakan tersebut tidak melarangnya untuk menikahi wanita tersebut.

Demikian pula, Pria sang wanita tidak terlarang baginya berzinah dengan ibu wanita itu dan putri si wanita. Ini sudah cukup baginya menerima putusan hukuman (berdasarkan Syariah), maka ia di mungkinkan untuk berhubungan intim dengan istrinya.

Jika seorang pria melakukan perzinahan dengan seorang wanita kemudian ingin menikahi ibu si wanita atau putri si wanita, mereka tidak terlarang baginya atas tindakan ini.

Kelompok lain berkata (untuk pernikahan) terlarang baginya. Pendapat ini dilaporkan oleh Amran Ibnu Husain, serta Al-Shu'bi dan 'Atta, Al Hassan, Sufyan Al-Thuri, Ahmad, Ishaq dan mereka dengan pendapat tersebut.

Dilaporkan oleh Malik bahwa perzinahan terlarang (hubungan keduanya) ibu/anak dan tindakan ini (dari perzinahan) punya larangan yang sama seperti pada perkawinan yang sah. Ini juga yang dikatakan oleh masyarakat Irak. namun, (satu-satunya) bagian yang benar dari larangan yang malik katakan adalah tidak di atur untuk hasil perbuatan zina. Untuk yang Allah sampaikan di AQ 4:23, "ibu-ibu isterimu," TIDAK MENGATAKAN, "Ia yang berzina dengan ibu-ibu Istrimu" atau tidak juga dengan putrinya yang terlahir melalui perzinahan." Ini adalah pendapat Al-Syafi'i dan Abu Thuri ...

... Abdul Malik Ibnu Al-Maj-shun berkata untuk pernikahan (antara seorang pria dan putrinya yang terlahir melalui perzinahan) DIPERBOLEHKAN, yang mana ini adalah pemahaman yang benar atas yang Allah katakan di AQ 25:54, "Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia hubungan silsilah dan perkawinan," merujuk pada sebuah perkawinan yang syah disetujui. Hal ini akan dijelaskan dalam Surah 25 ...

... Para ulama punya pendapat berbeda untuk kasus hubungan badan homoseksual. Bagi Malik, Al-Syafi'i, Abu Hanifah dan sahabat mereka mengatakan bahwa perkawinan yang sah tidak terlarang disebabkan (HOMOSEKSUAL) sodomi. Namun, Al-Thuri berkata, "Jika seorang laki-laki muda yang dianiaya, maka ibu anak itu dilarang menikah dengan penganiaya-nya." Ini juga yang dikatakan Ahmad Ibn Hanbal yang berkata, "Jika seorang pria menyodomi anak seorang wanita yang telah dinikahinya atau melakukan tindakan ini dengan bapak dan/ atau saudara wanita ini, maka wanita ini terlarang bagi pria itu." Al-Awzaghi berkata, "Jika seseorang menyodomi seorang pria, dan pria yang disodomi ini melahirkan seorang putri di waktunya, maka putri ini dilarang menikah dengan si pelanggar karena ia akan menjadi putri dari orang yang telah disetubuinya"

Tafsir Qurtuby untuk AQ 25.54:
نَسَبًا وَصِهْرًا
النَّسَب وَالصِّهْر مَعْنَيَانِ يَعُمَّانِ كُلّ قُرْبَى تَكُون بَيْن آدَمِيَّيْنِ . قَالَ اِبْن الْعَرَبِيّ : النَّسَب عِبَارَة عَنْ خَلْط الْمَاء بَيْن الذَّكَر وَالْأُنْثَى عَلَى وَجْه الشَّرْع ; فَإِنْ كَانَ بِمَعْصِيَةٍ كَانَ خَلْقًا مُطْلَقًا وَلَمْ يَكُنْ نَسَبًا مُحَقَّقًا , وَلِذَلِكَ لَمْ يَدْخُل تَحْت قَوْله : " حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتكُمْ وَبَنَاتكُمْ " [ النِّسَاء : 23 ] بِنْته مِنْ الزِّنَى ; لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِبِنْتٍ لَهُ فِي أَصَحّ الْقَوْلَيْنِ لِعُلَمَائِنَا وَأَصَحّ الْقَوْلَيْنِ فِي الدِّين ; وَإِذَا لَمْ يَكُنْ نَسَب شَرْعًا فَلَا صِهْر شَرْعًا فَلَا يُحَرِّم الزِّنَى بِنْت أُمّ وَلَا أُمّ بِنْت , وَمَا يَحْرُم مِنْ الْحَلَال لَا يَحْرُم مِنْ الْحَرَام ; لِأَنَّ اللَّه اِمْتَنَّ بِالنَّسَبِ وَالصِّهْر عَلَى عِبَاده وَرَفَعَ قَدْرهمَا , وَعَلَّقَ الْأَحْكَام فِي الْحِلّ وَالْحُرْمَة عَلَيْهِمَا فَلَا يَلْحَق الْبَاطِل بِهِمَا وَلَا يُسَاوِيهِمَا . قُلْت : اِخْتَلَفَ الْفُقَهَاء فِي نِكَاح الرَّجُل اِبْنَته مِنْ زِنًى أَوْ أُخْته أَوْ بِنْت اِبْنه مِنْ زِنًى ; فَحَرَّمَ ذَلِكَ قَوْم مِنْهُمْ اِبْن الْقَاسِم , وَهُوَ قَوْل أَبِي حَنِيفَة وَأَصْحَابه , وَأَجَازَ ذَلِكَ آخَرُونَ مِنْهُمْ عَبْد الْمَلِك بْن الْمَاجِشُونِ , وَهُوَ قَوْل الشَّافِعِيّ , وَقَدْ مَضَى هَذَا فِي " النِّسَاء " مُجَوَّدًا

Silsilah dan hubungan melalui perkawinan adalah dua istilah yang menggambarkan hubungan pribadi yang mungkin ada di antara manusia. Ibnu Al-Arabi berkata, "silsilah adalah ekspresi mengacu pada campuran cairan antara laki-laki dan perempuan dari sudut pandang legal hukum agama.

Namun, jika persatuan (antara laki-laki dan perempuan) terjadi melalui ketidaktaatan (percabulan) maka anak yang dihasilkan tidak dianggap sebagai bagian dari garis keturunan benar seseorang ITULAH MENGAPA ANAK PEREMPUAN yang LAHIR DARI PERZINAHAN TIDAK DISEBUTKAN DALAM UCAPAN ALLAH, 'Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan' (QS. 4:23) karena TIDAK TERMASUK ANAK PEREMPUANNYA menurut ajaran paling asli dari para ulama kita (Islam) dan ajaran paling asli dari agama kita (islam)

Jika bukan keturunan sah maka tidak ada hubungan sah; Untuk perziahan adalah tidak haram (untuk mengawini) anak perempuan dari ibu (yang anda berzina dengan) juga tidak para ibu dari perempuan (yang anda berzina dengan). APA yang sah terpenuhi larangannya TIDAK JUGA terlarang akibat dosa, karena Allah telah menganugerahkan silsilah dan hubungan melalui pernikahan pada hamba-Nya dan menjunjung tinggi hubungan ini. Allah juga telah menyampaikan aturan mengidentifikasi apa yang legal dan apa yang dilarang, yang tidak sama satu sama lain, sehingga kepalsuan tak dapat menjadi bagian dari aturan-aturan ini."

Aku (Qurtubi) katakan: Para ulama telah berbeda pendapat tentang diperbolehkannya seorang pria menikahi putrinya yang merupakan hasil dari hubungan berzinah, atau dalam hal menikahi adiknya atau cucu yang merupakan hasil dari perzinahan. Beberapa yang melarang jenis hubungan ini di antaranya adalah pandangan dari Abu Hanifah dan para sahabatnya. Namun yang lain, membolehkan jenis pernikahan ini seperti Abdul Malik Al Maj'shun, yang juga merupakan perkataan Al Syafi'i. Hal ini rinci dalam penjelasan Surah 4 (Al Nisa ').(Sumber dan lanjutan lihat: di sini)
    Note:
    AQ 4.22-23: "walaa TANKIHUU maa nakaha abaukum mina al nisai" (Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini bapak kalian), "illā mā qad salafa" (kecuali telah (masa) lalu) "innahu kāna fāḥishatan wamaqtan wasāa sabīlan" (Sesungguhnya perbuatan itu keji dan dibenci dan jalan yang buruk) "ḥurrimat alaykum" (haram bagi kalian):

    1. ibu-ibumu dan yang menyusuimu
    2. anak-anakmu yang perempuan dan anak2 perempuan dari saudaramu yang laki dan perempuan
    3. "warabāibukumu" (dan anak-anak tirimu) "allātī fī ḥujūrikum" (yang dalam pemeliharaanmu) "min nisāikumu allātī dakhaltum bihinna" (dari perempuan2mu yang TELAH KAMU CAMPURI (SYARI) mereka), "fa-in lam takūnū dakhaltum bihinna" (tetapi jika kamu BELUM campur (SYARI) mereka), "falā junāḥa ʿalaykum" (maka tidak berdosa kamu mengawininya)
    4. saudara-saudaramu yang perempuan, dan yang sepersusuan
    5. saudara-saudara bapa/ibumu yang perempuan
    6. Ibu-ibu Istrimu/mertuamu
    7. isteri-isteri anak kandungmu/menantumu
    8. dua perempuan yang bersaudara

    no.3 di atas adalah karena sebab perkawinan SYARI. Masalahnya ZINA ADALAH BUKAN perkawian SYARI. Jadi, Ia BUKAN MAHRAM. Status MAHRAM didapat melalui 3 cara, yaitu persusuan, KAWIN SYARI dan NASAB. Oleh karenanya, anak hasil zina TIDAK bernasabkan ke BAPAKNYA. Ini sesuai bunyi AQ 25.54: "Dan Dia yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan SYARI)"

    Terdapat 3 mazhab yang punya jawaban berbeda mengenai 2 pertanyaan ini:

    1. Apakah perkawinan terlarang bagi ayah dengan anak perempuan hasil zinanya?
    2. Apakah NASAB dapat diberikan meskipun zina?

    Jawaban:
    Mazab Hanafi (699-767): 1). Ya, 2). TIDAK.
    Mazhab Hanbali (780-855): 1). Ya, 2). Ya.
    Mazhab Syafii (767-820) dan Maliki (711-795) [juga imam Qurtubi 1214-1273]: 1). TIDAK, 2). TIDAK

    Alasan mazhab syafii,
    nikah adalah KONTRAK walaupun tanpa dicampuri, mengacu AQ 33.49: "Hai orang2 beriman, apabila kamu menikahi perempuan2 BERIMAN, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya..", oleh karenanya, AQ 4.22 "walaa TANKIHUU maa nakaha abaukum mina al nisai" (Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian), hanya dapat diterapkan SETELAH adanya kontrak kawin dan oleh karenanya pula, frase "dakhaltum bihinna"/atau dukhul bi haa" bukan menyetubuhi secara umumtapi terkait urusan kontrak kawin karena objeknya adalah istri2mu (nisakum), konsekuensinya adalah NASAB. Argument Syafii, sebagaimana disebutkan Qurtubi, bersandar hadis nabi: "لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ"/la yuharrim al haram al halal" (yang haram tidak mengharamkan yang halal: ibnu majjah no.2005 dan dari Baihaqi) [hanya] apa yang dalam pernikahan dilarang" dan hadis dari [Muhammad bin Rafi' dan Abd bin Humaid] - 'Abdur Razaq - Ma'mar - Az Zuhri - [Ibnu Musayyab dan Abu Salamah] - Abu Hurairah- Rasulullah SAW: "Seorang anak adalah untuk pemilik ranjang/ibunya (firash), sedangkan orang yang menzinahi (ibunya) tidak mempunyai hak atasnya (rugi)." [Muslim no.2646]. Untuk hadis terakhir, Syafii mengutip khalifah Umar bahwa ada beda antara nuftah/ayah biologi vs firash.

    Bagi Mazhab Hanafi,
    untuk AQ 33.49, menyatakan bahwa NIKAH punya 2 aspek yaitu kontrak dan menyetubuhi dengan merujuk pada "persatuan 2 hal", sehingga AQ 4.22 dan 23, mencakup zina maupun syari. Hanafi menolak prinsip "la yuharrim al haram al halal" karena menganggap hadis itu cacat.

    Bagi Mazhab Hanbali,
    untuk AQ 33.49 nikah adalah menyetubuhi, sehingga dahkhala di AQ 4.23 berlaku bagi Zina dan bukan. Pengikut mazhab hanbali diantaranya: Qudamah, Ibn taymiyya dan Qayyim.

    Ibn Taymiyya, ketika ditanya bagaimana jika lelaki yang menzinahi wanita, lalu lelaki itu wafat dan anak lelaki yang berzina ini menikahi wanita yang dizinai ayahnya? Ia berkata bahwa IMAM MALIK membolehkannya dan ini juga pendapat Al Syafi'i (sunni) [Ibn Taymiya dalam Majmu 32/143]

    Di atas telah kita ketahui bahwa Qurtubi membolehkan anak perempuan hasil Zina dan dikawini bapak yang menzinahinya dengan pendapat:

    "Jika bukan keturunan sah maka tidak ada hubungan sah; Untuk perziahan adalah tidak haram (untuk mengawini) anak perempuan dari ibu (yang anda berzina dengan) juga tidak para ibu dari perempuan (yang anda berzina dengan). APA yang sah terpenuhi larangannya TIDAK JUGA terlarang akibat dosa, karena Allah telah menganugerahkan silsilah dan hubungan melalui pernikahan pada hamba-Nya dan menjunjung tinggi hubungan ini. Allah juga telah menyampaikan aturan mengidentifikasi apa yang legal dan apa yang dilarang, yang tidak sama satu sama lain, sehingga kepalsuan tak dapat menjadi bagian dari aturan-aturan ini."
Kemudian,
Bagaimana jika sesorang ingin dapat bersetubuh tanpa zina, tanpa masturbasi, tanpa berada dalam lembaga perkawinan yang permanen karena akan terbebani kewajiban finansial, tempat tinggal dan tetek bengek lainnya, tapi bisa menggauli siapapun dan sebanyak apapun yang kita mau. Apakah ada jalan yang halal berkenaan dengan hal itu?

Ada! So, jika yang dibutuhkan adalah sate dan gule kambing, mengapa perlu membeli dan/atau memelihara kambing?

Dunia Islam sudah lama telah memberikan solusi pada problematika perselangkangan di atas, Produk klasiknya dinamakan Nikah Mutah dan Inovasi terbarunya adalah Nikah Misyar.

Namun, sebelum membahas itu, simaklah terlebih dahulu video propaganda para musuh kalangan Syi'ah yang berjudul, "The Scandal of Muta (temporary marriage) in Shiism فضيحة المتعة عند الشيعة" ke-1, 2, 3 dan 4. Kawan-kawan dari Musuh kalangan Syiah, sebenarnya juga telah mengeluarkan produk selangkangan tandingan, yaitu Nikah Misyar.



Nikah Mut’ah dan Nikah Misyar
Kata 'nikah' merupakan comotan kata dari bahasa arab yang artinya berhubungan seksual atau bersetubuh:
    Kamus ungkapan Al-Quran dan maknanya, Sheik Mousa Ben Mohammed Al Kaleeby, Kairo, Maktabat Al Adab, 2002:

    Definisi "Nikah" adalah penetrasi satu hal dengan yang lain. Contohnya seperti mengatakan benih di dalam tanah. Ini juga dapat berarti dua benda melilit satu dengan yang lain. Sebuah contoh mengatakan pohon (berangkulan) satu sama lainnya, berarti mereka terjalin satu sama lain.

    Kitab Al Nikah. Komentar Imam Ahmed Ben Ali Ben Hagar Al Askalani, Beirut, Dar Al Balaghah, 1986:

    Secara linguistik, "Nikah" berarti berangkulan atau penetrasi. Jika dilafalkan "Nokh" ini berarti vagina wanita. Hal ini terutama digunakan dalam konteks "melakukan hubungan seksual." Ketika itu digunakan dalam referensi mengawini itu karena seks diperlukan dalam perkawinan. Al Fassi berkata, "Jika seseorang mengatakan seorang lelaki tertentu (N) seorang wanita tertentu, itu berarti dia mengawininya, dan jika ia mengatakan seorang pria (N) istrinya, itu berarti dia telah berhubungan seksual dengannya." Kata ini juga dapat digunakan secara metaforis sebagai dengan ekspresi: hujan (N) tanah, atau, tidur (N) mata, atau, benih (N) tanah, atau, kerikil (N) kuku unta. Ketika itu digunakan dalam konteks perkawinan itu karena hubungan seksual adalah tujuan pernikahan. Hal ini diperlukan dalam pernikahan untuk "mencicipi madu" (ekspresi Islam berarti hubungan literal). Ini adalah bagaimana kata ini umumnya digunakan dalam Qur'an kecuali di ayat yang mengatakan, "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur (N)" Sura 4: 6. Dalam hal yang berkaitan dengan usia pubertas. Mazhab yurisprudensi Shafia dan Hanafi menegaskan bahwa kata Nikah digunakan sebagai fakta menyampaikan bahwa hubungan seksual telah terjadi. Dan bila digunakan pembicaraan itu menandakan perkawinan. Alasan variasi ini karena kasar menyebutkan kata "hubungan seksual," jadi kata kiasan digunakan untuk menggantikannya. [Dua definisi di atas diambil dari: Islam Watch - "The meaning of Nikah" by Mohammad Asghar]

    Jurists are in unanimous agreement on the fact that nikah means SEXUAL INTERCOURSE and that it is used to denote the marriage contract as a figure of speech because the marriage contract is the legal means for having intercourse.(2) Nikah is permissible only after the marriage contract, concluded between the bridegroom and the bride (al-`aqidan), and the bride's guardian in the presence of at least two witnesses. [The Position of Women in Islam, Hamdun Dagher, ch.4, Marriage]

    Kata (nikah) berasal dari bahasa Arab نكح - ينكح - نكاحا, yang secara etimologi berarti: التزوج (menikah); الاختلاط (bercampur); dalam bahasa Arab, lafaz “nikah” bermakna العقد (berakad), الوطء (bersetubuh) dan الاستمتاع (bersenang-senang) [Mustafa al-Khin, dkk, Al-Fiqh al-Manhaji, IV:11]

    Al-Qur’an menggunakan kata "nika'h" yang mempunyai makna "perkawinan", disamping -secara majazi (metaphoric)- diartikan dengan "hubungan seks". Selain itu juga menggunakan kata زوج dari asal kata ﺍﻟﺰﻭﺝ, yang berarti "pasangan" untuk makna nikah. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. [M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Cetakan ke-6, Bandung: Mizan, 1997., Hal. 191]

    Secara lugawi, nikah berarti bersenggama atau bercampur, sehingga dapat dikatakan terjadi perkawinan antara kayu-kayu apabila kayu-kayu itu saling condong dan bercampur antara yang satu dengan yang lain. Dalam pengertian majazi, nikah disebutkan untuk arti akad, karena akad merupakan landasan bolehnya melakukan persetubuhan. Dengan akad nikah suami memiliki hak untuk memiliki. Namun hak milik itu hanya bersifat milk al-Intifa’(hak milik untuk menggunakan), bukan milk al-muqarabah (hak milik yang bisa dipindahtangankan seperti kepemilikan benda) dan bukan pula milk al-manfa’ah (kepemilikan manfaat yang bisa dipindahkan) [Mutawally, Abdul Basit, Muhadarah fi al-Fiqh al-Muqaran, Mesir: t.p.,t.t., Hal. 120]
Islam mengenal jenis pernikahan Nikah Mut'ah dan Nikah Misyar:
  1. Misyar (sara, sira, sirah, tasayara, masar dan masirah artinya bermaksud, berjalan, bertamu dan perjalanan) dimaksudkan tidak tinggal lama di satu tempat [Yusuf al-Qaradawi, Hawl Zawaj al-Misyar, Majallah al-Mujtama’ al-Kuwaitiyyah, bil 1301, 26/5/1977, hlm. 31, Majallah al-Syariah, bil. 392, bertarikh: 8/8/1998.

    Pernikahan Misyar adalah Pemberian hak seorang Pria untuk menyetubuhi Wanita secara halal dengan kelengkapan syarat: Pembayaran mahar dan kehadiran 2 orang saksi yang ditetapkan mereka sendiri. Pengantin pria tidak menetap, kedatangan pria adalah sekehendak keperluannya. Istri tidak berhak menuntut berbagi suami [jika sang pria telah beristri], jumlah istri tidak dibatasi. Pria tidak berkewajiban membiayai hidup dan tempat tinggal (sehingga istri dapat tinggal dirumah orang tuannya dan dihidupi oleh orang tuannya) Berakhirnya pernikahan adalah kapanpun pria tersebut mau mengahiri atau jika sang wanita meminta dan sang pria memberikan ijin cerai. Keuntungan seorang Wanita di sini adalah adanya secarik kertas.

  2. Mut'ah artinya bersenang-senang. Pernikahan Mut'ah adalah Pemberian hak sementara kepada seorang pria untuk menyetubuhi wanita secara halal dengan kelengkapan syarat: Pembayaran mahar dan lamanya waktu yang diperlukan disepakati oleh keduanya. Berakhir pernikahan adalah ketika waktu kesepakatan berakhir. Tidak ada talak dan tidak ada kewajiban apapun setelahnya. Pernikahan ini dapat dilakukan berkali-kali dengan orang yang sama tanpa waktu jeda apapun dan dapat dengan banyak wanita tanpa batasan jumlah selama memenuhi kesepakatan waktu dan mahar.
Nikah Mut’ah disebutkan di Ayat An Nisaa 4:24. Ayat ini turun saat perang Huynan 631 M [Hadis sahih Muslim 008.3432]:
    Kata istamtaˤtum bihi, memiliki akar kata yang sama dengan Mut‘ah, yaitu MTĦ, yaitu ‘jangka waktu yang tertentu/kontrak’ sebagaimana dimaksud Tabari dalam Al-Kabir, tafsir Qudsi: dari Abu Nadhra, Ibn Abbas, dari Said bin Jubayr dan Ubay Ibn Ka’ab

    Kata ujūrahunna, diturunkan dari ajr "Kompensasi/pembayaran " kata ujūrahunna juga disebutkan pada ayat AQ 33:50 dan kata Mut’ah disebutkan di AQ 33:49, sehingga maksud dari kata itu sudah terjelaskan dengan baik di ayat AQ 4:23 yaitu berarti kompensasi/pembayaran, karena ayat AQ 4:24 diturunkan belakangan
kondisi dowry/Mahar ini tidak sama dengan nikah yang disebutkan di ayat An Nisa 4:4:
    kata saduqātihinnadi ayat AQ 4:4 tidak merujuk pada penggunaan arti yang sama yang sama seperti kata ujurahunna di ayat AQ 4:24, Translasi versi shakir menyatakan aduqātihinna berarti ‘sebagai hadiah’.
Apakah Mut'ah mengalami abrogasi di Qur'an?

Menurut Mufti Muhammad Shafi, Dr. Ahmad 'Abdullah Salamah, "the Shi'ah Concept of Temporary Marriage (Mut'ah)" dan Abu Ruqqaya dalam artikel "the illegitimacy of temporary marriage in Islam" menyatakan bahwa Al Mu'minuun 23:1-6, menyetop Mut'ah karena bukan menikah permanen dan bukan budak milik.

AQ 23:1-6 merupakan surat-surat Sebelum Hijrah [Al Makiyya], Jadi sejak surat itu turun, maka Mut'ah tidak diperkenankan.

Namun berdasarkan tafsir di bawah ini, Mut'ah sesungguhnya tidak pernah diabrogasi/dibatalkan [lebih detailnya, lihat di sini]:
  1. Tafsir Kashaf Vol.3 hal.76, untuk Surah Mu'minun:
    Jika engkau tanya: "Adakah bukti (dalam ayat ini) bahwa Mutah dilarang?"
    Saya akan jawab: "TIdak, karena perempuan yang nikah secara Mutah juga merupakan Istri"

  2. Tafseer Qurtubi Vol.5 hal.3, Surah Nisa:

    وقال الجمهور‏:‏ المراد نكاح المتعة الذي كان في صدر الإسلام

    "Mayoritas berkata yang berkenaan dengan nikah mutah bahwa ini telah dilakukan sejak mulainya Islam"

    juga

    قال أبو عمر‏:‏ لم يختلف العلماء من السلف والخلف أن المتعة نكاح

    "Abu Umer berkata: "Semua Ulama awal dan saat ini sepakat bahwa mutah adalah nikah" [Tafsir Qurtubi, Vol 5 hal. 115, AQ 4:24]

  3. Tafseer Baydhawi Vol.2 hal.9:

    وهي النكاح المؤقت بوقت معلوم

    "Mutah adalah nikah dalam jangka waktu tertentu".

    Juga pada tafsir-tafsir di mana Mut'ah diijinkan dan mutah adalah Muhakam yaitu lengkap tanpa abrogasi apapun [Tafsir Fatah ul Qadeer, Vol.1 hal.14; Tafseer Khazan, Vol.1 hal.23; Tafseer Mu'alim al Tanzeel, Vol.1 hal.63; Tafseer Tabari hal.5 bag.15; Tafseer Kashaf, Vol.1 hal.20; Tafseer Gharaib al Qur'an hal.4 bag.5; Tafseer Kabeer, Vol.3 hal.9; Tafseer Manar, Vol.5 hal.15 oleh Rashed Manar; Umdah' tul Qari, Vol.17 hal.246]

  4. jika ini tidak termasuk NIKAH, maka para Imam dan Ulama pengarang buku-buku hadis sahih dan Sunan, TIDAK AKAN menggunakan kata "nikah mutah" dalam Judul/Bab/sub topiknya [Sahih Muslim, Ch.3; Sahih Bukhari, Ch.32; Sunan Tirmidhi,Ch.28; Sunan Abu Dawud, Ch.14; ibn Majah, ch.44; Malik in Muwatta: Ch.18]Mereka juga menyatakan itu dengan kata "azwaj" plural dari "zaujah" yang artinya: "Istri-istri" dan BUKAN "Mamtu`ah" (wanita dalam kontrak) di [Sahih al Bukhari Vol.7 hal. 2; Sahih Muslim, Vol. 2 no.3253; Fatah ulBari Vol.9 hal.91; Umdah tul Qari Sharh Sahih Bukhari, Vol. 9 hal.362]

  5. Menikah sementara [Mut'ah]juga merujuk ke AQ 5:87 yang disampaikan Nabi ketika memerintahkan para pejuangnya melakukan itu dan melarang mereka mengebiri diri sebagaimana di catat dalam Sahih Bukhari Vol.7 hadis 13a:

  6. Narasi dari 'Abdullah Ibn Masud: "kami biasa ikut alam perang suci yang dipimpin Nabi dan tidak membawa istri. Kamii berkata, 'Apakah kami harus mengebiri diri?'. Nabi melarang itu dan mengijinkan kami mengawini wanita secara sementara dan menyampaikan ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas."(AQ 5.87)[Translation Urdu Sahih al Bukhari, Vol. 2 hal 774: "Pergi dan temukan wania yang sepakat dan kawini dia selama beberapa hari", ini juga di rekam dalam narasi Ibn Abbas di Musnad Ibn Hanbal Vol. 7 hal. 93]
Kemudian,
mari kita simak variasi klaim hadis yang saling bertentangan bahwa Nabi telah melarang Mut'ah hingga kiamat [Lebih detailnya, lihat di sini dan di sini]:

  1. Di Khaibar (6/7 Hijriah), berasal dari Ali [Sahih Muslim 008.3265, 3266, 3267] dan berasal dari Ibn Umar [Hadis Kathayma bin Suleman Vol 1 hal.68]

    Namun tidak kurang banyaknya hadis-hadis yang mencatat bahwa di Khaibar bukan tentang pelarangan nikah Mut'ah NAMUN pelarangan makan daging keledai:

    Hadis sahih Bukhari ch. 155, yang berasal: dari Anas bin Malik [No.668/669]; dari Ibn Omar [No.684/685/687, juga melarang bawang]; dari Jabir bin Abdullah ansari [No.688]; dari Ibn Aufa [No.689/690]; dari Bara' bin Azib [No.693]; dari Ibn Abbas [No.694]; dari Jabir bin Abdullah ansari [Bukhari 5.59.530/7.67.429/433]
    Hadis sahih Muslim, yang berasal: dari Abu Tha'la [no.4440/4765]; dari Abu Aufa [No.4768/4769]; dari Adi Ibn Thabit, Bara' dan Abdullah bin Aufa [No.4770/4771/4772/4773]; dari Salma bin Akwa' dan Ibn Abbas [No. 4774/4775]; dari Yazid bin Ubaid [No.4776]; dari Jabir bin Abdullah Ansari [Muslim 21.4779/4780]
    Sunan Nisai- vol.7 pg. 205 dimana 8 hadis menyatakan larangan makan daging keledai saja.
    Dari Ali [kutipan Abu Awaanah di Fatah ul Bari, Vol.9 hal.145; Nail al Autaar, Vol.6 hal.146; Sunan Baihaqi, Vol.7 hal.201; Subul Islam, Vol.4 hal.485; Zaad al Maad Vol.1 hal.443]

  2. Di Umarahtul Qadha (7 Hijriah), berasal dari Hasan dan Sabra bin M'abad [Imam Ibn Hajar al-Asqalani, "Talkhees al-Habeer", Vol 4 hal.277 no.1063; Abdul Razzaq dan Sahih Ibn Habban]

  3. Di tahun kemenangan Mekkah (8 Hijriah), berasal dari Sabra al-Juhani [Sahih Muslim 008.3253/3255/3262] dan berasal dari Abdullah Ibn Umar [Nasikh al-Hadith wa Mansukh oleh Ibn Shahin, Vol.2 hal.96 no.451]

  4. Di Hunain (9 Hijriah), dicatat dalam Nisai dan Darqutni sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibn Hajar Asqalani, "Talkhees al-Habeer", Vol.4 hal.278 no.1603]; berasal dari Salama bin al-Akwa [Sahih Muslim 008.3251]; berasal dari Ibn Umar.

    UMAR yang diklaim sebagai penyampai bahwa nabi menyatakan melarang Mut'ah sudah tercord di 3 tempat yang berbeda, yaitu di: Khaibar [6-7 Hijriah]; tahun kemenangan di Mecca (7-8 Hijriah) dan Hunain (8 Hijirah)!

  5. Di Tabuk (9 Hijriah), berasal dari Jabir bin Abdullah Ansari [Silsila Sahiyah Vol.3 hal.8 no.1010; Ahkam-ul-Quran al-Jasas, Vol 3 hal.101; Mua'jam al-Awsat, Tabrani, Vol 2 hal.450 no.951]; berasal dari Ali Ibn Abi Talib [Al-Tamheed, Ibn Abdul Barr no.1567; Tarikh Ibn Abi Kathayman no. 3158]

  6. Di Hujjat-ul-Widda (10 Hijriah), berasal dari Sabra al-Juhani dengan rantai penyampaian berbeda [Sunnan Abu Dawud no.1778; Mustakhraj Abi 'Awana no.3241; Sunnah Ibn Majah, Kitab al-Nikah, no.1952] dan berasal dari Ali bin Abi Talib [Kanz al Ummal, Vol. 16 hal.527 no.45751]

    ALI yang diklaim sebagai penyampai bahwa nabi menyatakan melarang Mut'ah sudah terecord di 3 tempat yang berbeda, yaitu di: Khaibar (6-7 Hijriah), Tabuk (9 Hijriah) dan Hujjat-ul-Widda (10 Hijriah)!
Wow, penuh pertentangan di kalangan sendiri, bukan?!...Lantas bagaimana tradisi yang telah dijalankan hingga kemudian?
  1. Jaman Khalifah Abu Bakar, kawin Mut’ah tidak dilarang, anaknya sendiri yaitu Asma melakukan nikah mut’ah dengan Zubayr ibn al-Awwam.
  2. Jaman Khalifah Umar, ada 2 tipe Mut'ah [wanita dan Haji] telah berlangsung di jaman Nabi juga jaman Abu Bakar, namun sejak jaman UMAR baru dilarang. Sehingga dikatakan bukan Allah yang mengharamkan namun Umar.
  3. Jaman Khalifah Ali, tidak dilarang dan hingga saat ini tradisi nikah mut'ah diteruskan di kalangan Syi'ah, juga oleh Ibn Abbas dan murid-muridnya serta para keturunan Ali [Imam Hasan yang masyhur dengan Kawin Mut’ahnya dan bandingkan juga dengan jumlah istri Imam Husain]
[Sahih Bukhari 6.60.43; Sahih Muslim 007.2801/2814/2828; Musnad Ibn Hanbal Vol.5 hal.228, vol.1 hal.52. no.369; Sunan Saeed bin Mansur Vol.1 hal.218 no.852; Imam Sarkhasi; Kanz al-Ummal no.45715; Imam Fakhr ul-Razi, "Tafseer Kabeer" hal. 42 & 43; Musnad al-Shamyeen oleh al-Tabarani, Vol. 3 hal. 320 no.2399; Kanz ul-Umal, Vol.5 hal.164 no. 12477; Tafseer Dur al-Manthur Vol.2 hal.41->AQ 4:24 dan page 486; Al-Isaba by Ibn Hajar, vol.4 Hal.568; al-Rawyani, Vol. 2 hal.259-260;Ibn Shabah, "Tareekh al-Madina", Vol.2 hal.717 ;dst]

Saya ajak anda untuk memikirkan sejenak apa yang membuat perkawinan Mu’tah berbeda dari prostitusi/pelacuran? Kecuali adanya keterlibatan ayat-ayat suci maka jawabannya adalah tidak ada.

Namun janganlah khawatir..

Apapun kejahatan yang anda dilakukan tidak serta merta membuat anda masuk neraka. Bahkan untuk persoalan inipun, dunia Islam telah bersiap dengan solusinya, yaitu selama sebelum wafat menyembah ALLAH maka teteplah akan masuk surga.
    Riwayat Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar - Muhammad bin Ja'far - Syu'bah - Washil al-Ahdab - al-Ma'rur bin Suwaid - Abu Dzar Nabi SAW:
    "Jibril mendatangiku lalu memberikan kabar gembira kepadaku, bahwa orang yang meninggal dari umatmu dalam keadaan tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu apa pun niscaya masuk surga." Maka aku bertanya: "Meskipun dia berzina dan mencuri?" Jibril menjawab, "Walaupun dia berzina dan mencuri." [Muslim: no.137/1.171, 138/1.172. Bukhari: no.1161, no.2983, no.5379/7.72.717, no.6933/9.93.579].

    Note:
    Walaupun demikian, terdapat batasan quota maksimum surgawan/wati yang dijanjikan allah pada Muhammad: 70.000 (tanpa hisab) + per-1000nya (dari 70.000) membawa 70.000 orang lagi (4.9 juta) = 4.97 juta orang. Allah juga berfirman, jika jumlah itu tidak terpenuhi, Allah akan mengisinya dari ARAB BADUI [lihat: di sini]
Kenapa?

Semua perbuatan buruk selain syirik yang anda lakukan hanyalah mencederai manusia dan lingkungannya dan jelas belum menyakiti "perasaan" Allah, namun jika anda bersetubuh dengan Tuhan lainnya, Maka wajarlah surga tidak lagi berhak anda tempati.