Sabtu, 10 Mei 2008

Miyamoto Musashi, Buku 5-3


Cerita Novel Musashi buku 5, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar] [lihat: Cerita Sebelumnya]


“Oh, jadi Anda masih ingat?”

“Masih. Anda yang rupanya sudah lupa.”

“Sama sekali tidak. Tapi karena begini sibuk, tak ada kesempatan saya untuk pergi ke Shimosa.”

“Oh, kalau menurut pendapat Anda, Anda sudah menemukan orang yang tepat, Anda mesti meluangkan waktu. Saya heran, Sado, bahwa Anda menunda soal yang begitu penting, sampai ada soal lain yang mengharuskan Anda ke sana. Anda tidak seperti biasanya.”

“Maaf. Terlalu banyak orang yang mencari kedudukan. Saya pikir Anda sudah melupakannya. Dan saya kira saya mesti mengemukakannya lagi.”

“Memang Anda mesti mengemukakannya lagi. Tak mesti saya menerima usulan orang lain, tapi saya ingin melihat, siapa saja yang menurut Bapak Tua Sado cocok. Mengerti?”

Sado meminta maaf lagi sebelum meninggalkan tempat itu. Ia langsung pulang ke rumahnya sendiri, dan tanpa macam-macam lagi memerintahkan orang memasang pelana kudanya, lalu berangkatlah ia ke Hotengahara.

“Apa ini bukan Hotengahara?”

Sato Genzo, pembantu Sado, menjawab, “Saya kira memang begitu. Ini bukan tempat liar. Di mana-mana ada sawah sekarang. Tempat yang dulu hendak mereka kembangkan itu tentunya lebih dekat pegunungan.­

Mereka sudah jauh melewati Tokuganji, dan segera akan sampai jalan raya ke Hitachi. Waktu itu sudah larut sore. Bangau-bangau putih yang berkecipak di tengah sawah menyebabkan air kelihatan seperti tepung. Sepanjang tepi sungai, dan dalam bayangan bukit-bukit kecil, tumbuh berpetak-petak rami dan gandum yang mengombak.

“Lihat ke sana itu, Pak,” kata Genzo.

“Ada apa?”

“Rombongan petani.”

“Betul juga. Kelihatannya mereka membungkuk satu per satu ke tanah, ya?”

“Kelihatannya seperti upacara agama.”

Genzo menyentakkan kendalinya, dan menyeberangi sungai lebih dulu untuk meyakinkan bahwa Sado dapat mengikuti dengan aman.

“Hei, yang ada di sana itu!” seru Genzo.

Petani-petani itu tampak terkejut, kemudian membubarkan diri dari lingkaran dan menghadapi para tamu. Mereka berdiri di depan sebuah pondok kecil, dan Sado melihat bahwa barang yang disembah sebelum itu adalah sebuah tempat suci kecil dari kayu, tak lebih besar dari sangkar burung. Seluruhnya terdapat sekitar lima puluh orang. Rupanya mereka dalam perjalanan pulang kerja, karena semua peralatan sudah mereka cuci.

Seorang pendeta maju ke depan, katanya, “Oh, kalau tak salah, Pak Nagaoka Sado. Sungguh kejutan yang menyenangkan!”

“Dan Anda dari Tokuganji, ya? Saya yakin Anda yang dulu mengantar saya ke desa itu, sesudah serbuan bandit-bandit.”

“Betul, apa Bapak datang berkunjung ke kuil?”

“Kali ini tidak. Saya akan langsung kembali. Apa boleh saya bertanya, di mana saya dapat bertemu dengan ronin yang namanya Miyamoto Musashi itu?”

“Dia tak lagi di sini. Dan dia pergi mendadak sekali.”

“Pergi mendadak sekali? Kenapa begitu?”

“Suatu hari, bulan lalu, penduduk desa memutuskan untuk berlibur dan merayakan kemajuan yang sudah dicapai di sini. Bapak dapat melihat sendiri, betapa hijaunya sekarang daerah ini. Nah, pagi harinya, Musashi dan anak yang bernama Iori itu lenyap.” Pendeta itu menoleh sekeliling, seakan-akan setengah berharap Musashi akan muncul dari langit.

Atas desakan keras dari Sado, pendeta itu bercerita sampai sekecil-­kecilnya. Sesudah desa itu memperkuat pertahanannya di bawah pimpinan Musashi, para petani begitu bersyukur ada harapan akan hidup damai, hingga mereka praktis mendewakannya. Bahkan orang-orang yang pernah paling kejam mengejek-ejeknya, datang membantu proyek pembangunan.

Musashi memperlakukan mereka semua dengan adil dan sama rata, pertama-tama dengan meyakinkan mereka bahwa tidak ada gunanya hidup seperti binatang. Kemudian ia mencoba meyakinkan mereka, betapa penting­nya mengerahkan usaha lebih banyak lagi, supaya anak-anak mereka ber­kesempatan hidup lebih baik. Ia katakan pada mereka, untuk menjadi manusia sejati, mereka harus bekerja demi keturunan mereka.

Dengan empat puluh atau lima puluh orang desa yang setiap hari menyingsingkan lengan baju, di musim gugur mereka berhasil mengendalikan banjir. Datang musim dingin, mereka membajak. Pada musim semi, mereka menimba air dari parit-parit pengairan yang baru, dan menanam benih padi. Awal musim panas, padi tumbuh pesat, sedang di ladang kering, rami dan gandum sudah setinggi satu kaki. Tahun mendatang, panen akan berlipat dua, dan tahun sesudah itu tiga kali lipat.

Orang-orang desa mulai mampir ke pondok Musashi untuk menyatakan hormat dan berterima kasih secara tulus. Kaum perempuan juga datang membawa sayur-sayuran. Pada hari perayaan itu, orang-orang lelaki datang membawa guci-guci besar berisi sake, dan semua ambil bagian dalam tarian suci dengan iringan genderang dan suling.

Ketika penduduk desa berkumpul di sekitarnya, Musashi meyakinkan mereka bahwa yang berjasa bukanlah kekuatannya, tapi kekuatan mereka. “Yang saya lakukan cuma menunjukkan pada kalian, bagaimana mengguna­kan tenaga yang kalian punyai.”

Kemudian ia ajak pendeta ke sini dan ia katakan, sesungguhnya ia prihatin melihat orang-orang desa itu mengandalkan diri pada seorang pengembara seperti dia. “Tanpa saya,” katanya, “mereka mesti memiliki keyakinan pada diri sendiri dan menjaga kesetiakawanan.” Ia kemudian mengeluarkan patung Kannon yang telah ia pahat sendiri, dan memberikannya kepada pendeta.

Pagi hari sesudah perayaan itu, desa heboh.

“Dia hilang!”

“Tak mungkin!”

“Ya, dia lenyap. Pondok itu kosong.”

Karena sangat sedih, tak seorang pun dari para petani pergi ke ladang hari itu. Mendengar itu, pendeta mencela mereka dengan tajam karena sikap mereka yang tak kenal terima kasih. Ia mendesak mereka untuk ingat akan apa yang telah diajarkan kepada mereka, dan secara halus membujuk mereka untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dimulai.

Kemudian penduduk desa membangun tempat suci kecil dan meletakkan patung Kannon yang mereka hargai itu di dalamnya. Mereka menyatakan hormat kepada Musashi, pagi dan petang, dalam perjalanan pulang-pergi ke sawah.

Sado mengucapkan terima kasih kepada pendeta atas penjelasan itu, tapi menyembunyikan kenyataan bahwa ia sendiri merasa sedih sesedih-sedihnya.

Ketika kudanya membawanya kembali menempuh kabut petang akhir musim semi, terpikir olehnya dengan perasaan tak enak, “Mestinya aku tidak menangguhkan kedatanganku. Aku lalai dalam menjalankan tugas. dan sekarang aku gagal memenuhi permintaan tuanku.”

Lalat-Lalat

DI pinggir timur Sungai Sumida, di mana jalan dari Shimosa bertemu de­ngan cabang jalan raya Oshu, berdiri pintu rintangan besar dengan gerbang yang mengesankan. Suatu bukti nyata kokohnya kekuasaan Aoyama Tadanari, hakim baru Edo.

Musashi ikut antre, dan menganggur menanti giliran. Iori di sampingnya. Ketika ia melewati Edo tiga tahun yang lalu, memasuki atau meninggalkan kota itu mudah sekali. Dari jarak sejauh ini, ia dapat melihat bahwa di kota itu terdapat jauh lebih banyak rumah daripada sebelumnya, sebaliknya lebih sedikit tempat-tempat terbuka.

“Hei, ronin. Giliranmu.”

Dua pejabat yang mengenakan hakama kulit mulai menggeledah Musashi dengan penuh ketelitian, sedang pejabat ketiga menatapnya dan mengajukan pertanyaan.

“Apa urusan Anda di ibu kota?”

“Tak ada yang khusus.”

“Tak ada urusan khusus, ya?”

“Ya, saya seorang shugyosha. Saya kira, dapat dikatakan urusan saya adalah belajar menjadi samurai.”

Orang itu terdiam. Musashi menyeringai. “Di mana Anda dilahirkan?”

“Di desa Miyamoto, daerah Yoshino, Provinsi Mimasaka.”

“Majikan Anda?”

“Tak punya.”

“Siapa yang menyediakan uang perjalanan Anda?”

“Tidak ada. Saya mengukir patung dan membuat lukisan. Kadang­-kadang saya menukarkannya dengan makanan dan penginapan. Sering kali saya tinggal di kuil. Sekali-sekali saya memberi pelajaran main pedang. Dengan berbagai cara, saya dapat hidup.”

“Anda datang dari mana?”

“Dua tahun terakhir, saya bertani di Hotengahara, Shimosa. Tapi sudah saya putuskan bahwa saya takkan melakukannya selama hidup, karena itu saya datang kemari.”

“Anda punya tempat kediaman di Edo? Tak seorang pun boleh masuk kota, kalau tidak punya sanak keluarga atau tempat tinggal.”

“Punya,” jawab Musashi seketika itu juga. Ia mengira, jika ia me­ngemukakan keadaan sebenarnya, percakapan itu takkan ada akhirnya. “Siapa?”

“Yagyu Munenori, Yang Dipertuan dari Tajima.” Mulut pejabat itu ternganga.

Musashi merasa bersyukur melihat reaksi orang itu. Bahaya tertangkap karena berbohong tidak begitu menggelisahkannya. Ia merasa bahwa Keluarga Yagyu pasti sudah mendengar tentang dirinya dari Takuan. Rasanya kurang kemungkinannya mereka merasa tak kenal dengannya, jika ditanya. Bahkan ada kemungkinan sekarang ini Takuan ada di Edo. Kalau demikian halnya, Musashi akan mendapat jalan untuk memperkenalkan diri. Memang sudah terlambat untuk melakukan pertarungan dengan Sekishusai, tapi ia ingin sekali bertarung dengan Munenori, pengganti ayahnya dalam Gaya Yagyu dan juga guru pribadi shogun.

Nama yang disebutnya itu seperti mendatangkan keajaiban. “Ya, ya,” kata pejabat itu bersahabat. “Kalau Anda punya hubungan dengan Keluarga Yagyu, saya minta maaf telah mengganggu Anda. Seperti tentunya Anda ketahui, di jalan ini ada segala macam samurai. Kami mesti sangat hati-hati terhadap orang yang kelihatannya seorang ronin. Anda tahu sendiri, itu perintahnya.” Sesudah beberapa pertanyaan formal lagi, katanya, “Anda boleh jalan sekarang.” Ia sendiri mengawal Musashi ke gerbang.

“Pak,” tanya Ion ketika mereka sudah berada di sisi kota, “kenapa mereka begitu hati-hati menghadapi ronin, bukan yang lain?”

“Mereka berhati-hati terhadap mata-mata musuh.”

“Siapa mata-mata tolol yang begitu bodohnya mau datang ke sini sebagai ronin? Pejabat-pejabat itu tolol benar, pertanyaan-pertanyaan mereka juga! Mereka bikin kita ketinggalan kapal sekarang.”

“Sst! Mereka bisa mendengarmu. Jangan kuatir soal kapal tambang itu. Kita bisa mengagumi Gunung Fuji, sementara menanti kapal berikut. Apa kau tahu bahwa kita bisa melihatnya dari sini?”

“Lalu kenapa? Kita dapat juga melihatnya dari Hotengahara.”

“Betul, tapi dari sini lain.”

“Lain bagaimana?”

“Fuji tak pernah sama. Dia tampak berlainan tiap hari, tiap jam.”

“Buat saya sama saja.”

“Tidak bisa. Dia berubah-ubah, tergantung waktu, cuaca, musim, tempat dari mana kau melihatnya. Dan dia berlainan juga, tergantung orang yang memandangnya, tergantung hatinya.”

Iori tidak terkesan oleh ucapan itu. Ia memungut batu pipih dan meluncurkannya di permukaan air. Sesudah beberapa menit lamanya meng­hibur diri dengan cara itu, ia kembali mendapatkan Musashi dan tanyanyal “Apa kita betul-betul akan pergi ke rumah Yang Dipertuan Yagyu?”

“Mesti kupikirkan dulu hal itu.”

“Tapi Bapak mengatakan begitu pada pengawal, kan?”

“Ya. Aku bermaksud pergi ke sana, tapi soal itu tidak begitu mudah. Dia seorang daimyo.”

“Mestinya dia itu penting sekali, ya? Saya ingin jadi orang penting macam itu, kalau sudah besar.”

“Penting?”

“Ya.”

“Mestinya kau memasang cita-cita yang lebih tinggi dari itu.”

“Maksud Bapak?”

“Lihat Gunung Fuji itu.”

“Saya takkan seperti Gunung Fuji.”

“Daripada kau ingin ini atau itu, lebih baik jadikan dirimu raksasa yang diam tak bergerak-gerak. Seperti gunung. Jangan buang waktu buat mencoba memesona orang. Kalau kau bisa menjadi orang yang pantas dihormati orang banyak, mereka akan menghormatimu, biarpun kau tidak melakukan sesuatu.”

Kata-kata Musashi itu tak sempat mengendap, karena justru waktu itu Iori berseru, “Lihat, kapal datang,” dan ia berlari mendahului naik kapal.

Sungai Sumida penuh dengan kontras, di sana-sini lebar, di tempat­-tempat lain sempit, di sini dangkal, dan di sana dalam. Pada waktu banjir, ombak yang membasahi tepi-tepinya berwarna lumpur. Kadang-kadang muaranya membengkak menjadi dua kali lebarnya yang biasa. Lokasi penyeberangan kapal tambang itu sebetulnya merupakan ceruk di dalam teluk.

Langit terang, air jernih. Ketika menoleh ke samping, Ion melihat kelompok-kelompok ikan kecil yang tak terhitung jumlahnya berlomba ke sana kemari. Di antara bebatuan ia melihat juga sisa-sisa sebuah topi baja tua yang sudah berkarat. Sama sekali tidak ia dengarkan percakapan orang di sekitarnya.

“Bagaimana pendapatmu? Apakah akan tetap damai seperti sekarang?”

“Aku sangsi.”

“Barangkali kau benar. Cepat atau lambat akan terjadi pertempuran. Aku tidak mengharapkan, tapi apa lagi yang dapat terjadi?”

Para penumpang lain menyimpan saja pikiran mereka dan menatap air dengan wajah masam, karena takut seorang pejabat yang mungkin menyamar akan mendengar ucapan mereka, lalu menghubungkannya dengan para pembicara itu. Mereka yang bersedia menanggung risiko itu rupanya men­dapat kenikmatan dari bermain api dengan mata dan telinga hukum yang ada di mana-mana.

“Kita dapat mengatakan dari cara mereka memeriksa tiap orang, bahwa kita menghadapi peperangan. Baru-baru ini saja mereka mengadakan pe­meriksaan keras macam itu. Dan banyak kita dengar bisik-bisik tentang mata-mata di Osaka.”

“Kita dengar juga tentang pencuri-pencuri yang masuk rumah-rumah daimyo itu, biarpun mereka mencoba menyembunyikannya. Tentunya me­malukan sekali bahwa mereka dirampok, padahal mereka pelaksana hukum dan ketertiban.”

“Kalau orang mau menempuh risiko macam itu, tentulah sasarannya bukan sekadar uang. Mereka itu tentunya mata-mata. Tak ada bajingan biasa yang berani berbuat begitu.”

Ketika menoleh ke sekitar, baru Musashi tersadar bahwa kapal itu mengangkut berbagai golongan masyarakat Edo. Seorang penebang pohon dengan pakaian kerja berlumur serbuk gergaji, dua geisha murahan yang kemungkinan datang dari Kyoto, satu-dua bajingan berbahu lebar, seke­lompok penggali sumur, dua pelacur yang terang-terangan bertingkah kenes, seorang pendeta, seorang biarawan pengemis, dan seorang ronin lain seperti dirinya.

Ketika kapal sampai di daerah Edo dan semua penumpang turun, se­orang lelaki pendek gempal memanggil Musashi. “Hei, ronin! Ini milikmu ketinggalan.” Ia mengulurkan sebuah kantung brokat kemerahan yang sudah demikian tua, hingga kotoran yang menempel di situ seolah bersinar lebih terang daripada benang emas yang masih tinggal.

Musashi menggelengkan kepala, katanya, “Bukan milik saya. Mestinya milik penumpang lain.”

Tapi Iori menyahut, “Itu saya punya!” dan segera merampas kantung ter­sebut dari tangan orang itu, lalu memasukkannya ke dalam kimononya.

Orang itu menjadi marah. “Apa pula kau, menyerobot macam itu? Bawa sini! Dan kalau sudah, kau mesti membungkuk tiga kali, sebelum kau men­dapatkan kantung itu kembali. Kalau tidak, kau mesti dilempar ke sungai.”

Musashi mencampuri dengan meminta orang itu memaafkan kekasaran Iori, sebab anak itu masih muda.

“Lalu siapa kau ini?” tanya orang itu kasar. “Saudara? Atau majikan? Siapa namamu?”

“Miyamoto Musashi.”

“Apa?” seru bajingan itu sambil menatap tajam wajah Musashi. Sebentar kemudian, ia berkata pada Iori, “Kau lebih balk hati-hati dari sekarang.” Kemudian ia membalik, seakan mau melarikan diri.

“Sebentar,” kata Musashi.

Kelembutan nada bicaranya membuat orang itu terkejut. Ia memutar badan, tangannya memegang pedang. “Apa maumu?”

“Siapa namamu?”

“Apa gunanya buatmu?”

“Kau tanya namaku. Untuk kesopanan, kau mesti menyebutkan namamu.”

“Aku orang Hangawara. Namaku Juro.”

“Baik. Kau boleh pergi,” kata Musashi mendorongnya.

“Aku takkan lupa!” Juro terhuyung beberapa anak tangga, sebelum akhirnya berdiri tegak dan melarikan diri.

“Sudah setimpal buat pengecut itu,” kata Iori. Puas karena sudah dibela, ia menengadah dengan sikap kagum ke wajah Musashi dan mendekatkan diri kepadanya.

Selagi mereka berjalan masuk kota, Musashi berkata, “Iori, kau mesti sadar, hidup di sini tidak seperti hidup di desa. Di sana tetangga kita cuma rubah dan bajing. Di sini banyak orang. Kau mesti lebih hati-hati dengan kelakuanmu.”

“Ya, Pak.”

“Kalau orang banyak hidup bersama dengan serasi, bumi ini bisa serasa surga,” sambung Musashi sungguh-sungguh. “Tapi tiap orang memiliki segi baik dan buruknya. Ada masanya yang keluar cuma kejelekan itu. Lalu dunia bukan menjadi surga, tapi neraka. Kau mengerti kata-kataku ini?”

“Ya, saya pikir begitu,” kata Iori, yang sekarang lebih tunduk.

“Ada sebabnya kenapa kita mempunyai tata krama dan sopan santun. Keduanya itu menjaga agar kita tidak mengutamakan kejelekan, dan memajukan ketertiban sosial. Inilah tujuan undang-undang pemerintah.” Musashi berhenti. “Caramu bertindak tadi… itu memang soal kecil, tapi sikapmu itu bagai­manapun membuat orang marah. Aku sama sekali tak senang dengan itu.”

“Baik, Pak.”

“Aku belum tahu, ke mana kita pergi sekarang. Tapi di mana pun kita berada, lebih baik kau ikuti peraturan dan bertindak sopan.”

Anak itu mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali dan membungkuk kaku sedikit. Mereka terus berjalan dalam diam.

“Apa Bapak bisa membawakan kantung uang saya ini? Saya tak mau kehilangan lagi.”

Musashi menerima kantong brokat kecil itu, memeriksanya baik-baik, ke­mudian memasukkannya ke dalam kimononya. “Apa ini peninggalan ayahmu itu?”

“Ya, Pak. Saya menerimanya kembali dari Tokuganji awal tahun ini. Pendeta tidak mengurangi uang itu. Bapak bisa memakainya sebagian, kalau perlu.”

“Terima kasih,” kata Musashi ringan. “Akan kujaga uang itu.”

“Dia punya bakat yang tidak kupunyai,” renung Musashi, ingat dengan sesal hati akan sikap masa bodohnya terhadap keuangan pribadi. Kebijak­sanaan anak itu mengajarkan kepadanya makna ekonomi. Ia menghargai kepercayaan anak itu, dan dari hari ke hari ia makin suka pada Iori. Ingin sekali ia melaksanakan tugas membantu anak ini mengembangkan kecerdasan alamiahnya.

“Di mana kau ingin menginap malam ini?” tanyanya.

Iori sudah memandang lingkungannya yang baru itu dengan penuh rasa ingin tahu, dan ujarnya, “Saya lihat banyak kuda di sana. Kelihatannya seperti pasar kota ini.” Bicaranya seakan ia baru bertemu dengan teman yang lama hilang di negeri asing.

Mereka telah sampai di Bakurocho. Di sana terdapat berbagai-macam warung teh dan penginapan yang melayani orang-orang yang pekerjaannya berkaitan dengan kuda, penjual, pembeli, kusir gerobak, tukang kuda, macam-macam pelayan rendahan. Kelompok-kelompok kecil orang bertawar­menawar dan mengoceh dengan dialek campur aduk, tapi yang paling menonjol adalah bahasa Edo yang kedengaran tajam dan marah.

Di tengah rakyat jelata itu, tampak seorang samurai berpendidikan yang sedang mencari kuda yang baik. Dengan wajah tak puas, katanya, “Mari pulang. Tak ada yang lain di sini, kecuali kuda tua. Tak ada yang pantas diajukan pada Yang Dipertuan.”

Dengan langkah besar-besar, orang itu berjalan di antara binatang-binatang itu, dan tiba-tiba saja sudah berhadap-hadapan dengan Musashi; ia mengedip, undur selangkah dengan keheranan, “Anda Miyamoto Musashi, kan?”

Musashi memandangnya sebentar, kemudian menyeringai. Orang itu adalah Kimura Sukekuro. Sekalipun kedua orang itu hampir beradu pedang di Benteng Koyagyu, sikap Sukekuro ramah-tamah. Kelihatan ia tidak menyimpan dendam akibat pertemuan sebelumnya.

“Betul-betul tak saya sangka dapat bertemu Anda di sini,” katanya. “Apa sudah lama Anda di Edo?”

“Saya baru datang dari Shimosa,” jawab Musashi. “Bagaimana dengan tuan Anda? Sehat?”

“Ya, terima kasih, tapi tentu saja, seumur Sekishusai itu… Saya tingggal dengan Yang Dipertuan Munenori. Anda mesti datang berkunjung. Dengan senang saya akan memperkenalkan Anda. Dan, ada hal lain lagi.” Ia melontarkan pandang penuh arti, dan tersenyum. “Kami menyimpan harta cantik milik Anda. Anda harus datang selekasnya.”

Sebelum Musashi dapat bertanya, apa yang dimaksud dengan “harta cantik” itu, Sukekuro sudah membungkuk sedikit dan cepat-cepat pergi, diikuti oleh pembantunya.

Tamu-tamu yang tinggal di penginapan-penginapan murah di Bakurocho kebanyakan adalah pedagang kuda dari provinsi-provinsi lain. Musashi memutuskan mengambil kamar di sana, dan bukan di bagian lain kota itu, yang tarifnya kemungkinan besar lebih tinggi. Seperti penginapan-penginapan lain, penginapan yang dipilihnya itu memiliki sebuah kandang besar, begitu besar, hingga kamar-kamar di situ lebih kelihatan sebagai tambahan saja. Namun sesudah kerja keras di Hotengahara, penginapan kelas tiga ini masih terasa mewah juga olehnya.

Tapi, walaupun merasa sejahtera di penginapan itu, Musashi melihat bahwa lalat-lalat yang ada di situ sangat mengganggunya, dan ia mulai mengomel.

Pemilik penginapan mendengarnya mengomel. “Akan saya tukar kamar Anda,” katanya menawarkan. “Di tingkat dua, lalat tidak begitu banyak.”

Tapi begitu pindah, Musashi merasa matahari barat langsung menyorot kepadanya, dan ia ingin mengomel lagi. Beberapa hari sebelum itu, matahari sore masih merupakan sumber kegembiraan, cahaya terang harapan yang menganugerahkan kehangatan kepada padi dan menandakan akan datangnya cuaca baik keesokan harinya. Soal lalat, apabila keringatnya menarik mereka selagi bekerja di ladang, ia hanya menganggap mereka sedang melaksanakan pekerjaan, sama seperti dirinya. Ia bahkan menganggap lalat-lalat itu sebagai kawan sesama makhluk. Kini, sesudah menyeberangi sungai lebar dan me­nerjunkan diri dalam kancah simpang-siur kota, ia merasakan panas mata­hari itu sebagai hal yang tidak menyenangkan, dan lalat-lalat sebagai hal yang menjengkelkan.

Nafsu makan menyebabkannya lupa akan hal-hal yang tak mengenakkan. Ia memandang Iori, dan ia pun melihat gejala-gejala kelesuan dan kerakusan yang sama pada wajah anak itu. Tak begitu mengherankan, karena rombongan di kamar sebelah telah memesan satu kuali besar makanan yang masih mengepul, dan sekarang mereka sedang melahapnya dengan rakus sekali, diiringi percakapan, tawa, dan minuman.

Mi soba, itulah yang ia inginkan! Di desa, kalau orang menginginkan soba, ia mesti menanamnya dahulu di awal musim semi, mengamat-amati­nya sewaktu berkembang pada musim panas, mengeringkan bijinya pada musim gugur, dan menumbuk tepungnya pada musim dingin. Baru ia dapat membuat soba Mi. Tapi di sini, orang tinggal menepukkan tangan, dan makanan terhidang.

“Iori, bagaimana kalau kita memesan soba?”

“Baik,” terdengar jawaban penuh minat.

Pemilik penginapan datang dan mengambil pesanan mereka. Sambil menunggu, Musashi menopangkan sikunya ke ambang jendela dan meneduhi matanya. Di sudut seberang jalan ada papan bertulisan: Di sini jiwa digosok. Zushino Kosuke, Ahli Gaya Hon’ami.

Iori melihatnya juga. Sesaat ia memperhatikan dengan bingung. Katanya, “Papan itu mengatakan ‘Jiwa digosok’. Usaha apa itu?”

“Nah, di situ disebutkan juga orang itu bekerja dengan Gaya Hon’ami, jadi kukira dia tukang gosok pedang. Rasanya perlu juga aku minta pedangku digosok.”

Soba itu lambat datangnya, karenanya Musashi membaringkan badan di tatami untuk tidur. Tetapi suara-suara di kamar sebelah meningkat dan ber­ubah menjadi pertengkaran. “Iori,” katanya sambil membuka sebelah matanya, “coba suruh orang-orang sebelah itu sedikit tenang.”

Hanya shoji yang memisahkan kedua kamar itu, tapi Iori bukannya membuka shoji, melainkan pergi ke lorong. Pintu menuju kamar lain itu terbuka. “Jangan ribut-ribut!” teriaknya. “Guru saya mau tidur.”

“Ha?” Percekcokan tiba-tiba berhenti. Orang-orang itu menoleh dan menatapnya dengan marah.

“Kau omong apa, anak cebol?”

Sambil cemberut karena mendapat sebutan itu, Iori berkata, “Kami pindah ke atas karena di bawah banyak lalat. Sekarang kalian teriak-teriak, sampai dia tak bisa istirahat!”

“Kau ini jalan sendiri apa disuruh tuanmu?”

“Disuruh.”

“Begitu, ya. Tapi buat apa aku membuang-buang waktu bicara dengan bajingan kecil macam kau? Bilang sama tuanmu sana, Kumagoro dari Chichibu akan kasih jawaban nanti. Pergi sana!”

Kumagoro adalah orang yang kasar luar biasa, sedangkan dua-tiga orang lainnya lebih kecil darinya. Karena takut ancaman yang tercermin pada mata mereka, Iori cepat mundur. Sementara itu, Musashi sudah jatuh tertidur. Karena tak hendak mengganggunya, Iori duduk di dekat jendela.

Tak lama kemudian, salah seorang pedagang kuda itu membuka celah dalam shoji dan mengintip Musashi. Terdengar tawa riuh, diiringi kata-kata keras mengejek.

“Dia pikir siapa dia itu, berani-berani mencampuri rombongan kita? Ronin goblok! Tak ketahuan pula dari mana datangnya. Datang saja nye­lonong, dan lagaknya macam pemilik tempat ini.”

“Terpaksa kita kasih pelajaran sama dia.”

“Ya, mesti kita kasih pelajaran, biar dia tahu, siapa pedagang kuda dari Edo ini.”

“Omongan saja tak bakal bikin jelas. Mari kita seret dia ke luar dan kita tuang seember kencing kuda ke mukanya.”

Kumagoro angkat bicara. “Tunggu. Biar aku yang tangani. Aku mesti dapat permintaan maaf tertulis dari dia, atau kita basuh mukanya dengan kencing kuda. Nikmati sana sake-mu. Serahkan semua padaku.”

“Oh, bagus,” kata satu orang ketika Kumagoro mengencangkan obi sambil menyeringai yakin.

“Saya minta maaf,” kata Kumagoro sambil membuka shoji. Tanpa berdiri lebih dulu, ia masuk kamar Musashi, sambil berlutut.

Soba yang terdiri atas enam porsi dalam kotak pernis akhirnya datang. Musashi sudah duduk, dan sedang menggunakan sumpit untuk porsi pertama.

“Lihat, mereka masuk,” Iori berbisik, sambil bergerak sedikit menyingkir.

Kumagoro duduk di kiri belakang Iori, bersila, sikunya diletakkan di atas lutut. Sambil mencerca seru, katanya, “Kau bisa makan nanti. Jangan sembunyikan takutmu dengan duduk memainkan makanan.”

Musashi menyeringai, tapi tidak memperlihatkan tanda-tanda sedang mendengarkan. Ia gerakkan soba dengan sumpitnya untuk memisah-misahkan untaian mi, kemudian ia angkat segumpal, dan ia lahap dengan bunyi sedotan meriah.

Nadi di dahi Kumagoro hampir menggelembung. “Turunkan mangkuk itu!” katanya marah.

“Dan siapa kau ini?” tanya Musashi ringan, tapi tak bergerak untuk menuruti permintaan orang itu.

“Kau tak tahu siapa aku? Orang di Bakurocho yang tak pernah dengar namaku cuma sampah dan orang-orang buta-tuli.”

“Aku memang sedikit tuli. Bicaralah dan sebutkan siapa kau, dan dari mana.”

“Aku Kumagoro dari Chichibu, pedagang kuda terbaik di Edo. Kalau anak-anak melihatku datang, mereka begitu takut, sampai tak bisa nangis.”

“Oh, begitu. Jadi, kau berdagang kuda?”

“Tentu. Aku menjual kuda kepada para samurai. Lebih baik kauingat itu, kalau kau punya urusan denganku.”

“Kalau begitu, aku punya urusan apa denganmu?”

“Kau menyuruh anak ini mengeluh soal suara kami. Kaupikir di mana kau itu? Ini bukan penginapan kesukaan daimyo, yang enak, tenang, dan semuanya itu. Kami, pedagang kuda, suka suara!”

“Aku mengerti.”

“Kalau begitu, kenapa kaucoba bertengkar dengan rombongan kami? Aku menuntut permintaan maaf.”

“Permintaan maaf?”

“Ya, tertulis! Kau bisa mengalamatkannya pada Kumagoro dan teman­-teman. Kalau tidak kudapat permintaan maaf itu, akan kami keluarkan kau dan kami beri kau satu-dua pelajaran.”

“Yang kaukatakan itu menarik juga.”

“Huh!”

“Maksudku, caramu bicara itu menarik juga.”

“Hentikan omong kosong itu! Kami akan dapat permintaan maaf atau tidak? Ha?” Suara Kumagoro sudah berubah dari geraman menjadi raungan, dan keringat di dahinya yang merah tua berkilat-kilat dalam matahari petang. Tampak ia sudah siap untuk meledak. Ia buka dadanya yang ber­bulu, dan ia keluarkan belati dari kantung depannya.

“Nah, putuskan! Kalau aku tidak segera mendengar jawabanmu, kau akan mendapat kesulitan besar.” Ia lepaskan silangan kakinya dan ia pegang belati itu tegak lurus di samping kotak pernis, dengan ujung menyentuh lantai.

Terpaksa Musashi menahan rasa gembiranya, dan katanya, “Lalu bagaimana aku mesti menjawabnya?”

Ia turunkan mangkuk, lalu ia ulurkan sumpit, mengambil bintik hitam dari soba yang ada di dalam kotak, dan membuangnya ke luar jendela.

Sambil terus diam, ia ulurkan lagi sumpitnya dan ia ambil bintik hitam lain lagi, kemudian yang lain lagi.

Kumagoro terbelalak. Napasnya terhenti.

“Banyak sekali mereka ini, ya?” ujar Musashi asal saja. “Nah, Iori, sana cuci sumpit ini, yang bersih.”

Ketika Iori keluar, Kumagoro diam-diam menghilang, kembali ke kamarnya sendiri, dan dengan suara tertekan ia menceritakan pada teman­temannya pemandangan mustahil yang baru saja disaksikannya. Semula ia salah mengira bintik-bintik hitam dalam soba itu kotoran, tapi kemudian ia sadar bahwa bintik-bintik itu adalah lalat hidup. Lalat itu demikian cekatan ditangkap, hingga tak sempat lagi meloloskan diri. Dalam beberapa menit saja, ia dan teman-temannya pun memindahkan pesta kecil mereka ke kamar yang lebih terpisah, dan ketenangan pun bertakhta.

“Nah, lebih enak sekarang, kan?” kata Musashi kepada Iori. Keduanya saling menyeringai.

Begitu mereka selesai makan, matahari sudah terbenam dan bulan bersinar pudar di atas atap toko “penggosok jiwa”.

Musashi berdiri dan meluruskan kimononya. “Kupikir ada baiknya kubawa pedangku ke sana,” katanya.

Ia ambil senjata itu, tapi ketika ia hendak berangkat, pemilik penginapan sudah setengah jalan mendaki tangga yang menghitam itu, serunya, “Surat buat Tuan.”

Heran karena orang begitu cepat mengetahui tempat ia berada, Musashi turun, menerima surat itu, tanyanya, “Apa pembawanya masih di sini?”

“Tidak. Dia langsung pergi.”

Di sampul surat hanya tertulis kata Suke, yang menurut dugaan Musashi singkatan untuk Kimura Sukekuro. Ketika dibukanya, bunyinya, Saya sudah menyampaikan kepada Yang Dipertuan Munenori bahwa saya bertemu Anda pagi tadi. Rupanya beliau senang mendengar kabar tentang Anda, sesudah begitu lama tak ada kabar. Beliau memerintahkan saya menulis surat dan bertanya, kapan Anda dapat mengunjungi kami.

Musashi terus menuruni anak tangga selebihnya, dan pergi ke kantor untuk meminjam tinta dan kuas. Ia duduk di sudut, dan ia tulis di bela­kang surat Sukekuro, Dengan senang hati saya akan mengunjungi Yang Di­pertuan Munenori, kapan saja beliau bersedia bertarung dengan saya. Sebagai prajurit, tak ada maksud lain pada saya untuk mengunjunginya. Ia tanda tangani surat itu dengan “Masana”, nama resmi yang jarang dipergunakannya.

“Iori,” panggilnya dari bawah tangga. “Kau mau aku suruh?”

“Baik, Pak.”

“Sampaikan surat ini pada Yang Dipertuan Yagyu Munenori.”

“Baik, Pak.”

Pemilik penginapan mengatakan tiap orang tahu di mana Yang Dipertuan Munenori tinggal, tapi ia memberikan petunjuk juga. “Ikuti saja jalan utama itu, sampai kau bertemu jalan raya. Lalu ikuti jalan itu sampai Nihombashi. Lalu belok ke kiri, dan ikuti sungai sampai kau mencapai Kobikicho. Itulah tempatnya, tak salah lagi.”

“Terima kasih,” kata Iori yang sudah mengenakan sandal. “Saya yakin dapat menemukannya.” Ia senang mendapat kesempatan pergi, terutama karena tujuannya adalah rumah seorang daimyo. Tanpa berpikir lagi, ia pun cepat berjalan sambil mengayunkan tangan dan menegakkan kepala dengan bangga.

Ketika Musashi melihatnya membelok, pikirnya, “Anak itu sedikit terlalu yakin akan dirinya.”

Penggosok Jiwa

“SELAMAT malam,” seru Musashi.

Dalam rumah Zushino Kosuke tak ada hal yang menunjukkan bahwa rumah itu rumah usaha. Di depan tak ada jeruji seperti terdapat di ke­banyakan toko, dan tidak ada barang yang dipajang. Musashi berdiri di gang berlantai tanah yang menuju samping kiri rumah. Di sebelah kanannya terdapat bagian lantai yang ditinggikan, ditutup tatami, dan disekat dari kamar di sebelahnya.

Orang yang tidur di tatami, dengan tangan di atas peti besi, mirip dengan guru Tao yang pernah dilihat Musashi dalam sebuah lukisan. Wajah kurus panjang itu berwarna keabu-abuan, seperti warna tanah liat. Pada wajah itu, Musashi tidak melihat ketajaman otak yang menurutnya biasa dipunyai pandai pedang.

“Selamat malam,” ulang Musashi, sedikit lebih keras.

Akhirnya suaranya menembus ketumpulan Kosuke, dan tukang itu meng­angkat kepalanya pelan sekali, hingga seolah baru terbangun dari tidur ber­abad-abad lamanya.

Sambil menghapus ludah dari dagunya dan duduk tegak, tanyanya lesu. “Bisa saya tolong?” Kesan Musashi, orang macam itu bisa membuat pedang atau jiwa jadi lebih tumpul. Namun ia ulurkan juga senjatanya, dan ia jelaskan kenapa ia datang.

“Coba saya lihat.” Bahu Kosuke menegak tangkas. Ia letakkan tangan kiri ke lutut, dan ia ulurkan tangan kanan untuk mengambil pedang, dan bersamaan dengan itu membungkukkan kepala ke arah pedang.

“Makhluk aneh,” pikir Musashi. “Dia hampir tidak mengakui hadirnya seorang manusia, tapi membungkuk sopan pada pedang.”

Sambil menggigit secarik kertas, Kosuke pelan-pelan menghunus pedang itu dari sarungnya. Ia dirikan pedang itu tegak lurus di depannya, dan ia periksa dari gagang sampai ujung. Matanya berkilau-kilau terang, meng­ingatkan Musashi pada mata kaca dalam patung Budha dari kayu.

Kosuke memasukkan kembali senjata itu ke dalam sarungnya dan me­mandang Musashi dengan nada bertanya. “Silakan duduk,” katanya sambil mundur memberikan tempat, dan menawarkan bantalan pada Musashi. Musashi melepaskan sandal dan melangkah masuk kamar.

“Apa pedang ini sudah beberapa angkatan menjadi milik keluarga Anda?”

“Oh, tidak,” kata Musashi. “Pedang ini bukan karya pandai pedang ter­kenal atau yang setarafnya.”

“Anda sudah menggunakannya dalam pertempuran, atau Anda mem­bawanya untuk tujuan biasa?”

“Saya belum menggunakannya dalam pertempuran. Tak ada yang khusus dengan pedang ini. Paling-paling yang dapat kita katakan tentangnya, lebih baik daripada tak ada sama sekali.”

“Hm.” Sambil memandang langsung mata Musashi, Kosuke bertanya, “Lalu mau digosok bagaimana pedang ini?”

“Mau digosok bagaimana? Maksud Anda?”

“Anda menghendaki ditajamkan, supaya dapat memotong dengan baik?”

“Namanya saja pedang. Makin bagus dapat memotong, makin baik.”

“Saya kira memang begitu,” kata Kosuke sependapat, disertai keluhan putus asa.

“Apa ada yang aneh? Urusan pandai pedang menajamkan pedang supaya dapat memotong dengan baik, kan?” Sambil bicara, Musashi menatap wajah Kosuke dengan sikap ingin tahu.

Orang yang menyatakan dirinya penggosok jiwa itu menampik senjata Musashi, dan katanya, “Tak ada yang bisa saya lakukan untuk Anda. Bawa pedang ini pada orang lain.”

Aneh sekali orang ini, pikir Musashi. Tak bisa ia menyembunyikan ke­kesalannya, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Kosuke sendiri hanya me­ngatupkan bibirnya erat-erat, tak mau memberikan penjelasan. .

Selagi mereka masih duduk diam saling pandang, seorang lelaki dari sekitar tempat itu melongokkan kepala ke pintu. “Kosuke, apa kau punya joran? Ada banjir sekarang, dan ikan berlompat-lompatan. Kalau kaupinjami aku joran, kita bagi dua nanti hasilnya.”

Kosuke jelas menganggap orang itu sebagai beban lain lagi yang tak mau ia tanggung. “Pinjam saja di tempat lain,” jawabnya parau. “Aku tak per­caya manfaat pembunuhan, dan aku tak punya alat pembunuh di rumahku.”

Orang itu pun lekas pergi, sementara Kosuke tampak lebih uring-­uringan daripada sebelumnya.

Orang lain barangkali sudah mundur dan pergi, tapi karena rasa ingin tahunya, Musashi tak juga pergi. Ada yang menarik pada orang ini, bukan akal atau kecerdasannya, tapi kebaikan alamiahnya yang masih asli, seperti kebaikan guci sake Karatsu atau cambung teh Nonko. Seperti halnya barang keramik yang biasanya mengandung cacat akibat kedekatan pada tanah, Kosuke pun memiliki sejenis luka pada pelipisnya yang setengah botak, yang ditutupnya dengan salep.

Musashi berusaha menyembunyikan rasa tertariknya yang semakin ber­tambah, katanya, “Kenapa Anda tak mau menggosok pedang saya? Apa mutunya begitu jelek, hingga Anda tak dapat menajamkannya?”

“Tentu saja bukan. Anda pemiliknya. Anda dan saya tahu, pedang ini pedang Bizen yang betul-betul bagus. Saya juga tahu, Anda ingin menajam­kannya untuk tujuan memotong orang.”

“Tapi apa salahnya?”

“Itulah yang dikatakan mereka semua, apa salahnya minta saya menajam­kan pedang, supaya dapat memotong dengan lebih baik? Kalau pedang itu dapat memotong, mereka bahagia.”

“Tapi orang yang membawa pedangnya untuk digosok, dengan sendirinya ingin… “

“Tunggu dulu.” Kosuke mengangkat tangan. “Butuh waktu untuk men­jelaskan ini. Pertama, saya ingin Anda melihat sekali lagi tanda di depan toko saya.”

“Tertulis di situ ‘jiwa digosok’, atau paling tidak, begitulah saya kira. Apa ada cara lain untuk membaca huruf-huruf itu?”

“Tidak. Anda lihat di situ, tak ada kata yang menyatakan menggosok pedang. Urusan saya menggosok jiwa-jiwa samurai yang datang ke sini, bukan pedangnya. Orang tak mengerti, tapi itulah yang diajarkan pada saya, ketika saya belajar menggosok pedang.”

“Oh, begitu,” kata Musashi, meskipun ia belum begitu mengerti.

“Karena saya mencoba mematuhi ajaran-ajaran guru saya, saya menolak menggosok pedang milik samurai yang kesenangannya membunuh orang.”

“Dalam hal itu, Anda betul. Tapi apa boleh saya mengetahui, siapa guru Anda itu?”

“Namanya tertulis di papan itu juga. Saya belajar pada Keluarga Hon’ami, di bawah pengawasan Hon’ami Koetsu sendiri.” Kosuke membidangkan dadanya dengan bangga ketika mengucapkan nama gurunya itu.

“Menarik. Kebetulan saya pernah berkenalan dengan guru Anda dan ibunya yang baik sekali, Myoshu.” Selanjutnya Musashi menceritakan bagai­mana ia berjumpa dengan mereka di ladang dekat Rendaiji, dan kemudian tinggal beberapa hari lamanya di rumah mereka.

Kosuke kaget, dan memperhatikan Musashi baik-baik sebentar. “Apa kebetulan Anda ini yang bikin heboh besar di Kyoto beberapa tahun lalu, dengan mengalahkan Perguruan Yoshioka di Ichijoji? Miyamoto Musashi namanya, saya yakin.”

“Itu memang nama saya.” Wajah Musashi memerah sedikit.

Kosuke bergerak sedikit ke belakang dan membungkuk hormat, katanya, “Maafkan saya. Mestinya saya tidak menguliahi Anda. Sama sekali saya tak menduga, bahwa saya sedang berbicara dengan Miyamoto Musashi yang terkenal.”

“Tak usah itu dipikirkan lagi. Kata-kata Anda itu mengandung pelajaran. Watak Koetsu tampak dalam pelajaran-pelajaran yang diajarkannya pada murid-muridnya.”

“Saya yakin Anda tahu Keluarga Hon’ami mengabdi kepada para shogun Ashikaga. Dari waktu ke waktu, mereka juga dipanggil untuk menggosok pedang-pedang kaisar. Koetsu selalu mengatakan bahwa pedang Jepang diciptakan bukan untuk membunuh atau melukai orang, tapi untuk mem­pertahankan kekuasaan kaisar dan melindungi bangsa, untuk menundukkan setan-setan dan mengusir kejahatan. Pedang adalah jiwa samurai. Samurai membawa pedang bukan untuk tujuan lain selain mempertahankan martabat­nya sendiri. Pedang adalah peringatan yang selalu hadir bagi penguasa untuk berusaha mengikuti Jalan Hidup. Sudah sewajarnya kalau tukang yang menggosok pedang harus juga menggosok semangat pemain pedang.”

“Benar sekali,” kata Musashi mengiakan.

“Koetsu mengatakan bahwa melihat pedang yang baik, berarti melihat sinar suci, melihat semangat perdamaian dan ketenangan bangsa int. Dia benci menyentuh pedang yang jelek. Berdekatan saja bisa membuatnya muak.”

“Begitu. Maksud Anda, apakah terasa sesuatu yang jahat dalam pedang saya?”

“Tidak, sama sekali tidak. Saya cuma sedikit kesal. Semenjak datang di Edo, saya sudah menggarap sejumlah senjata, tapi tak ada seorang pun di antara pemiliknya yang punya bayangan tentang makna sejati pedang. Saya kadang-kadang merasa jiwa mereka itu perlu digosok. Yang mereka pikirkan cuma bagaimana menyobek-nyobek orang atau membelah kepalanya, topi baja, dan segalanya itu. Mengesalkan sekali. Itu sebabnya saya memasang papan baru beberapa hari yang lalu. Tapi rupanya tak banyak juga hasilnya.”

“Dan saya pun datang untuk meminta hal yang sama, ya? Saya mengerti perasaan Anda.”

“Yah, itu sudah suatu permulaan. Persoalan dengan Anda mungkin akan sedikit berbeda. Tapi terus terang, ketika melihat pedang Anda, saya sungguh terguncang. Semua torehan dan noda itu diakibatkan oleh daging manusia. Tadinya saya pikir Anda cuma ronin tak berarti juga, yang bangga karena telah melakukan sejumlah pembunuhan tak berujung-pangkal.”

Musashi menundukkan kepala. Kata-kata itu suara Koetsu, yang keluar dari mulut Kosuke. “Saya ucapkan terima kasih atas pelajaran ini,” katanya. “Saya sudah membawa pedang sejak masih kanak-kanak, tapi belum pernah saya benar-benar memikirkan semangat yang bersemayam di dalamnya. Di masa depan, saya akan memperhatikan apa yang Anda katakan ini.”

Kosuke tampak puas sekali. “Kalau demikian, akan saya gosokkan pedang Anda. Atau barangkali mesti saya katakan sebagai orang di bidang ini, saya merasa mendapat hak istimewa dapat menggosok jiwa seorang samurai seperti Anda.”

Senja menghilang, dan lampu-lampu telah dinyalakan. Musashi memutus­kan sudah waktunya pergi.

“Tunggu,” kata Kosuke. “Apa Anda punya pedang lain, sementara saya menggarap yang ini?”

“Tidak. Saya cuma punya satu pedang panjang itu.”

“Kalau demikian, bagaimana kalau Anda mengambil gantinya? Saya takut tak ada yang baik sekali di antara pedang yang saya miliki, tapi silakan melihat.”

Ia mengantar Musashi masuk kamar belakang, dan di situ ia keluarkan beberapa bilah pedang dari dalam lemari, dan ia jajarkan di atas tatami. “Anda boleh ambil mana saja di antara semua pedang ini,” katanya me­nawarkan.

Walaupun dengan rendah hati pandai pedang itu telah mengingkari, tapi sesungguhnya semua senjata itu memiliki mutu sangat bagus. Musashi mengalami kesulitan dalam memilih kumpulan pedang yang memesona itu, tapi akhirnya la pilih satu, dan ia pun segera jatuh cinta kepadanya. De­ngan menggenggamnya saja, ia sudah dapat merasakan pengabdian pem­buatnya. Ketika ia mencabut pedang itu dari sarungnya, terasa bahwa kesannya itu benar. Pedang itu sungguh hasil karya pertukangan yang indah, yang barangkali berasal dari zaman Yoshino di abad empat belas. Karena sangsi kalau-kalau pedang itu terlalu anggun baginya, dibawanya pedang itu ke dekat cahaya dan diperiksanya, dan ia merasa tangannya enggan melepaskannya lagi.

“Boleh saya ambil ini?” tanyanya. Tak dapat ia memaksa dirinya meng­gunakan kata “pinjam”.

“Anda sungguh bermata ahli,” ujar Kosuke, sementara ia menyingkirkan pedang-pedang lain.

Hanya sekali itu dalam hidupnya, Musashi tenggelam dalam ketamakan. Ia tahu, akan sia-sia ia menyebutkan ingin membeli pedang itu. Harganya pasti tidak terjangkau olehnya. Tapi ia tak dapat lagi menahan dirt.

“Saya kira Anda takkan mau mempertimbangkan menjual pedang ini pada saya, kan?” tanyanya.

“Kenapa tidak?”

“Berapa yang Anda minta?”

“Anda boleh ambil dengan harga pembeliannya.”

“Berapa harga belinya?”

“Dua puluh keping emas.”

Suatu jumlah yang hampir tak terbayangkan oleh Musashi. “Lebih baik saya kembalikan pedang ini,” katanya ragu-ragu.

“Kenapa?” tanya Kosuke dengan pandangan heran. “Saya pinjamkan ini pada Anda, terserah Anda sampai kapan. Ambillah.”

“Tidak, itu akan bikin saya merasa lebih tidak keruan lagi. Sekarang saja saya sudah begitu menginginkannya. Kalau saya memakainya hanya sementara waktu, nanti berpisah dengannya akan merupakan siksaan buat saya.”

“Apa Anda betul-betul menyukainya?” Kosuke memandang pedang itu, kemudian kepada Musashi. “Baiklah, saya berikan pedang itu pada Anda, seperti semacam jodoh saja. Tapi saya mengharapkan hadiah yang pantas sebagai ganti.”

Musashi jadi bingung, ia sama sekali tak punya apa-apa untuk ditawarkan.

“Saya mendengar dari Koetsu bahwa Anda suka mengukir patung. Saya merasa mendapat kehormatan, kalau Anda dapat membuatkan saya patung Kannon. Cukuplah itu untuk pembayar pedang.”

Patung Kannon terakhir yang diukir Musashi adalah yang ditinggalkannya di Hotengahara. “Saya tak menyimpan apa-apa sekarang,” katanya. “Tapi dalam beberapa hari, saya dapat mengukirnya untuk Anda. Jadi, saya boleh ambil pedang ini?”

“Tentu. Saya bukannya mengharapkan pembayaran sekarang juga. Dan omong-omong, daripada menginap di penginapan itu, apa tidak lebih baik kalau Anda tinggal dengan kami? Di sini ada satu kamar yang tidak kami gunakan.”

“Oh, itu baik sekali,” kata Musashi. “Kalau saya pindah besok, saya dapat langsung mulai membuat patung itu.”

“Silakan melihat kamar itu sekarang,” desak Kosuke yang juga senang dan bersemangat.

Musashi mengikutinya menyusuri gang luar. Di ujung gang itu terdapat tangga yang terdiri atas setengah lusin anak tangga. Terselip di antara lantai pertama dan kedua, tapi tidak termasuk yang pertama atau kedua, terdapat sebuah kamar berukuran delapan tikar. Lewat jendela, Musashi dapat melihat daun-daun pohon aprikot yang sarat oleh embun.

Kosuke menunjuk atap yang tertutup kulit-kulit tiram, katanya, “Di sana itu bengkel saya.”

Seakan diundang oleh isyarat rahasia, istri pandai pedang datang membawa sake dan makanan kecil. Sesudah kedua orang itu duduk, perbedaan antara tuan rumah dan tamu seakan-akan menguap. Mereka bersantai dengan kaki diselonjorkan, dan saling membuka hati, lupa akan kendali yang biasanya dipaksakan oleh sopan santun. Pembicaraan dengan sendirinya tertuju pada pokok soal yang menjadi kegemaran mereka.

“Setiap orang bermulut manis tentang pedang,” kata Kosuke. “Siapa saja bicara bahwa pedang adalah jiwa samurai. Mereka mengatakan bahwa pedang adalah satu dari tiga kekayaan suci negeri ini. Tetapi cara orang­-orang itu memperlakukan pedang sungguh memalukan. Yang saya maksud adalah para samurai dan pendeta, begitu juga orang kota. Berturut-turut saya sudah mengunjungi tempat-tempat suci dan rumah-rumah tua, di mana pernah disimpan koleksi pedang-pedang indah. Bisa saya sampaikan pada Anda, bahwa situasinya sungguh mengejutkan.”

Pipi Kosuke yang pucat itu kini kemerahan. Matanya menyala karena gairah, dan air ludah yang berkumpul di sudut-sudut mulutnya kadang-­kadang menyemprot langsung ke wajah teman bicaranya.

“Hampir tak ada pedang terkenal dari masa lalu yang dipelihara dengan baik. Di Tempat Suci Suwa, Provinsi Shinano, ada lebih dari tiga ratus pedang. Pedang-pedang itu dapat digolongkan pusaka, tapi hanya lima pedang yang saya temukan tidak berkarat. Tempat Suci Omishima terkenal karena koleksi tiga ribu pedang yang berasal dari beberapa ratus tahun silam. Tapi, sesudah tinggal di sana sebulan, saya temukan hanya sepuluh yang dalam keadaan baik. Sungguh memuakkan!” Kosuke menarik napas, melanjutkan, “Soalnya, makin tua dan terkenal pedang itu, makin cenderung pemiliknya berusaha menyimpannya di tempat aman. Tapi akibatnya tak seorang pun dapat menjangkaunya untuk mengurusinya, dan pedang pun makin lama makin berkarat.

“Para pemilik pedang itu seperti orangtua yang melindungi anak-anaknya dengan penuh perasaan cemburu, hingga anak-anak itu tumbuh menjadi orang-orang tolol. Kalau anak, akan terus ada yang dilahirkan, jadi tak apa­apa kalau ada sedikit yang bodoh. Tapi pedang…”

Ia berhenti untuk menelan ludah, kemudian mengangkat bahunya yang tipis lebih tinggi lagi, dan ujarnya dengan mata berkilau-kilau, “Kita sudah memiliki pedang-pedang terbaik yang pernah ada. Selama berlangsungnya perang saudara, pandai-pandai pedang sudah bertindak sembrono, bahkan ceroboh! Mereka lupa akan teknik, dan sejak itu pedang-pedang mengalami kemerosotan.

“Satu-satunya yang mesti kita lakukan adalah menjaga dengan lebih baik pedang-pedang masa lalu. Tukang-tukang sekarang boleh saja mencoba meniru pedang lama, tapi mereka takkan dapat menghasilkan pedang yang sama baiknya. Apa ini tidak bikin Anda marah?”

Sekonyong-konyong ia berdiri, dan katanya, “Coba saja lihat ini.” Ia mengeluarkan pedang yang panjang luar biasa, dan ia letakkan untuk diperiksa tamunya. “Ini senjata yang indah sekali, tapi penuh dengan karat yang paling buruk jenisnya.”

Jantung Musashi serasa melompat. Pedang itu, tak sangsi lagi, adalah Galah Pengering milik Sasaki Kojiro. Maka banjir kenangan pun melandanya.

Sambil mengendalikan emosinya, katanya tenang, “Betul-betul panjang, ya? Tentunya samurai hebat saja yang dapat menggunakannya.”

“Saya pikir juga begitu,” kata Kosuke menyetujui. “Tak banyak pedang macam ini.” Ia ketuarkan pedang itu dari sarungnya, ia ulurkan bagian belakangnya kepada Musashi, dan ia serahkan pada gagangnya. “Coba lihat,” katanya. “Pedang ini hebat sekali karatnya, di sini, dan di sini. Tapi dia tetap menggunakannya.”

“Begitu.”

“Pedang ini hasil kecakapan yang jarang ada. Barangkali ditempa di zaman Kamakura. Butuh kerja keras, tapi barangkali saya bisa merapikannya. Pada pedang-pedang kuno ini, karat hanya merupakan lapisan yang relatif tipis. Kalau pedang ini masih baru, takkan sanggup saya membersihkan kotorannya. Pada pedang-pedang baru, noda karat itu seperti luka jahat. Dia langsung memakan hati logam.”

Musashi membalikkan kedudukan pedang itu, hingga bagian belakangnya mengarah pada Kosuke, dan berkata, “Boleh saya bertanya, apa pemilik pedang ini membawanya sendiri kemari?”

“Tidak. Saya kebetulan ada urusan di rumah Yang Dipertuan Hosokawa, dan salah seorang abdinya yang sudah tua, Iwama Kakubei, minta saya singgah di rumahnya dalam perjalanan pulang. Saya singgah, dan dia mem­berikan pedang ini untuk digarap. Katanya pedang ini milik tamunya.”

“Kelengkapannya baik juga,” ujar Musashi, sementara matanya masih tertuju pada senjata itu.

“Ini pedang tempur. Orang itu sampai sekarang biasa menaruhnya di punggung, tapi dia ingin menaruh di pinggang, karena itu saya diminta mencocokkan sarungnya. Orang itu tentunya besar sekali badannya. Kalau tidak, barangkali tangannya terlatih sekali.”

Kosuke sudah mulai terpengaruh sake. Lidahnya mulai terasa sedikit tebal. Musashi memutuskan sudah tiba waktunya untuk pergi, dan ia pun pergi, tanpa banyak upacara lagi.

Hari ternyata lebih larut dari yang ia duga. Di sekitar tempat itu tak ada lampu. Begitu sampai di penginapan, ia meraba-raba dalam gelap, mencari tangga, dan naik ke tingkat dua. Dua kasur sudah dihamparkan, tapi ke­duanya kosong. Tidak hadirnya Iori membuatnya merasa tak enak, karena ia menduga anak itu tersesat di jalan-jalan kota besar yang tak dikenalnya ini.

Ia kembali turun dan membangunkan penjaga malam. “Dia belum pulang?” tanya orang itu, yang rupanya lebih heran daripada Musashi. “Saya pikir dia bersama Bapak tadi.”

Karena tahu ia cuma akan menatap langit-langit sebelum Iori kembali, Musashi keluar menuju malam yang hitam kelam, dan berdiri melipat tangan di bawah tepian atap.

Rubah

“APA ini Kobikicho?”

Walaupun berkali-kali dibenarkan, Iori masih juga sangsi. Lampu-lampu yang tampak di keluasan tanah itu adalah lampu gubuk-gubuk darurat milik pekerja kayu dan tukang batu, dan gubuk itu hanya sedikit jumlahnya dan terpencar-pencar. Di kejauhan sana, yang terlihat olehnya hanyalah ombak putih yang membusa di dalam teluk.

Di dekat sungai terdapat timbunan batu dan tumpukan kayu. Sekalipun Iori tahu bahwa gedung-gedung dibangun dengan cepat sekali di seluruh Edo, ia merasa tidak mungkin bahwa Yang Dipertuan Yagyu akan mem­bangun tempat kediaman di daerah seperti ini.

“Ke mana lagi sekarang?” pikirnya patah hati, seraya duduk di atas kayu. Kedua kakinya sudah lelah dan panas. Untuk mendinginkannya, ia meng­gosok-gosokkan jari kakinya ke rumput yang berembun. Tak lama kemudian, ketegangan yang dialaminya surut dan keringatnya mengering, tapi se­mangatnya tetap patah.

“Semua ini kesalahan perempuan itu,” gerutunya pada diri sendiri. “Dia salah memberi petunjuk jalan.” Ia pun terkenang akan saat ia tadi ternganga melihat-lihat daerah teater di Sakaicho.

Hari sudah larut, dan di sekitar situ tidak ada orang yang dapat ia tanyai arah. Namun ia merasa tak enak juga kalau mesti menginap di lingkungan yang tidak dikenalnya ini. Ia mesti melaksanakan suruhan dan kembali ke penginapan sebelum matahari terbit, sekalipun akan terpaksa membangunkan salah seorang pekerja.

Ketika menghampiri gubuk terdekat yang berlampu, ia melihat seorang perempuan berkerudung anyaman seperti syal. “Selamat malam, Bi,” katanya polos.

Perempuan itu mengira Iori pembantu warung sake yang tak jauh dari tempat itu; ia menatap Iori dan dengusnya, “Oh, kau ya? Kau yang me­lempari aku dengan batu tadi, lalu lari, kan, anak nakal?”

“Bukan saya,” protes Iori. “Belum pernah saya melihat Bibi!”

Perempuan itu menghampirinya ragu-ragu, kemudian pecahlah tawanya. “Oh, bukan,” katanya, “bukan kau. Tapi apa pula kerja anak sekecil dan semanis kau malam-malam begini berkeliaran di sini?”

“Saya disuruh menyampaikan surat, tapi saya tak dapat menemukan rumah yang saya cari.”

“Rumah siapa itu?”

“Yang Dipertuan Yagyu dari Tajima.”

“Kau berkelakar, ya?” Perempuan itu tertawa. “Yang Dipertuan Yagyu itu seorang daimyo dan guru shogun. Kaupikir dia akan mau buka pintu buat kamu?” Ia tertawa lagi. “Atau barangkali kau punya kenalan di bagian pelayan?”

“Saya bawa surat.”

“Untuk siapa?”

“Untuk samurai yang namanya Kimura Sukekuro.”

“Itu tentunya salah seorang abdinya. Tapi kau ini lucu sekali, enak saja menyebut nama Yang Dipertuan Yagyu, seolah kau kenal dia.”

“Saya cuma mau menyampaikan surat ini. Kalau Bibi tahu di mana rumahnya, tolong katakan.”

“Rumahnya di seberang parit. Kalau kau seberangi jembatan di sana itu, kau akan sampai di depan rumah Yang Dipertuan Kii. Di sebelahnya ada­lah Yang Dipertuan Kyogoku, lalu Yang Dipertuan Kato, kemudian Yang Dipertuan Matsudaira dari Suo.” Dengan jarinya ia menghitung gudang-­gudang kokoh di tepi seberang itu. “Aku yakin, yang di belakangnya itulah yang kaucari.”

“Kalau sudah saya seberangi parit itu, apa saya masih ada di Kobikicho?”

“Tentu saja.”

“Bodoh sekali…”

“Hei, jangan begitu bicaramu. Hmm, kau manis sekali. Biar kuantar kau, dan kutunjukkan tempat Yang Dipertuan Yagyu.”

Perempuan itu pun berjalan di depan Iori, berkerudung anyaman. Bagi Iori, ia tampak agak menyerupai hantu.

Sampai di tengah jembatan, seorang lelaki yang berpapasan dengan mereka menyenggol lengan kimono perempuan itu dan bersuit. Orang itu berbau sake. Sebelum Iori tahu apa yang terjadi, perempuan itu sudah membalik dan menghampiri orang mabuk itu. “Aku kenal kau,” kicau perempuan itu. “Jangan lewat begitu saja. Itu tidak baik.” Ia tangkap lengan baju orang itu, lalu beranjak ke suatu tempat, yang menuju ke bawah jembatan.

“Lepaskan aku,” kata lelaki itu.

“Kau tak mau pergi denganku?”

“Tak ada uang.”

“Ah, aku tak peduli.” Sambil menempelkan diri seperti lintah pada lelaki itu, perempuan itu menoleh pada Iori yang keheranan, katanya, “Lari sana sekarang. Aku ada urusan dengan orang ini.”

Iori hanya memandang kebingungan, ketika kedua orang itu saling tarik. Beberapa waktu kemudian, perempuan itu tampaknya dapat mengunggulinya, dan mereka menghilang ke bawah jembatan. Masih terheran-heran, Ion pergi ke susuran jembatan dan melayangkan pandang ke tepi sungai yang berumput.

Sambil menengadah, perempuan itu berteriak, “Hei, dungu!” dan me­mungut sebuah batu.

Dengan napas terengah-engah, Iori menghindari lemparan batu itu dan pergi ke ujung jembatan. Selama bertahun-tahun tinggal di dataran tandus Hotengahara itu, belum pernah ia melihat hal yang begitu menakutkan seperti wajah putih perempuan yang marah di tengah gelap itu.

Di seberang sungai, ia ternyata berhadapan dengan sebuah gudang. Di sampingnya ada pagar, kemudian gudang lain, kemudian pagar lagi, dan begitu seterusnya, menyusur jalan. “Tentunya ini,” katanya, ketika ia sampai di bangunan kelima. Pada tembok yang putih berkilau terdapat lambang berbentuk topi perempuan bertingkat dua. Itulah lambang Keluarga Yagyu. seperti ia kenal dari kata-kata sebuah lagu populer.

“Siapa di situ?” terdengar suara dari dalam gerbang.

Ia menjawab sekeras-kerasnya, “Saya murid Miyamoto Musashi. Saya bawa surat.”

Penjaga itu mengucapkan beberapa patah kata yang tak dimengerti Ion. Pada pintu gerbang terdapat pintu kecil, dan lewat pintu itu orang dapat masuk atau keluar tanpa membuka pintu gerbang besar. Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka pelan-pelan, dan orang itu bertanya curiga, “Apa kerjamu di sini, malam-malam begini?”

Iori menyodorkan surat itu ke wajah si pengawal. “Tolong saya menyam­paikan ini. Kalau ada jawabannya, akan saya bawa sekalian.”

“Hmm,” renung orang itu sambil mengambil surat tersebut. “Untuk Kimura Sukekuro, ya?”

“Ya, Pak.”

“Tapi dia tak ada di sini.”

“Di mana dia?”

“Dia ada di rumah di Higakubo.”

“Hah? Tapi semua orang bilang, dia ada di rumah kediaman Yang Dipertuan Yagyu di Kobikicho.”

“Memang orang selalu bilang begitu, tapi di sini cuma ada gudang­ gudang betas, kayu, dan beberapa barang lain.”

“Yang Dipertuan Yagyu tidak tinggal di sini?”

“Tidak.”

“Berapa jam ke tempat yang lain itu—Higakubo?”

“Cukup jauh juga.”

“Tapi di mana itu?”

“Di perbukitan luar kota, di Desa Azabu.”

“Tak pernah saya dengar nama itu.” Iori mengeluh kecewa, tapi rasa tanggung jawab mencegahnya untuk menyerah. “Bisa Bapak membuatkan petanya?”

“Jangan bodoh. Biarpun kau tahu jalannya, sepanjang malam baru kau bisa sampai di sana.”

“Tidak apa.”

“Di Azabu banyak rubah. Kau tak ingin ditenung rubah, kan?”

“Tidak.”

“Apa kau kenal baik dengan Sukekuro?”

“Guru saya yang kenal.”

“Begini saja. Karena sekarang sudah larut, bagaimana kalau kau tidur dulu di lumbung sana itu, dan baru besok pagi berangkat?”

“Lho, di mana aku?” seru Iori sambil menggosok matanya. Ia melompat berdiri dan berlari ke luar. Matahari siang membuatnya pening. Sambil me­ngedipkan mata ke sinar menyilaukan itu, ia pergi ke pos gerbang, di mana penjaga sedang makan siang.

“Jadi, akhirnya bangun juga kau.”

“Ya, Pak. Bisa Bapak membuatkan peta itu sekarang?”

“Buru-buru, ya, tukang tidur? Lebih baik kau makan dulu. Makanan ini cukup buat kita berdua.”

Sementara anak itu mengunyah dan menelan, si penjaga membuat peta kasar dan menjelaskan cara pergi ke Higakubo. Mereka selesai bersamaan. Karena merasa tugasnya penting sekali, Iori segera berlari tanpa pikir lagi, bahwa ada kemungkinan Musashi menguatirkan ketidakpulangannya ke penginapan.

Cukup cepat juga ia melewati jalan-jalan ramai itu, sampai tiba di daerah Benteng Edo. Rumah-rumah indah para daimyo terkemuka berdiri di tanah yang terletak di tengah silang-siurnya parit. Sementara memandang sekeliling, ia melambatkan jalannya. Kanal-kanal penuh dengan kapal barang. Kubu batu pada benteng itu sendiri setengah tertutup perancah dari balok, yang dari jauh mirip dengan terali bambu yang biasa dipergunakan untuk rambatan tumbuhan jalar morning glory “kemuliaan pagi”.

Beberapa waktu lamanya ia habiskan di dataran luas bernama Hibiya, di mana detak-detik pahat dan ketak-ketuk kapak membubungkan lagu pujaan tak selaras mengenai kekuasaan shogun baru. Iori berhenti, terpesona oleh pemandangan di hadapannya: para pekerja yang menyeret batu-batu besar, tukang-tukang kayu dengan serut dan gergajinya, dan samurai itu, samurai gagah yang berdiri dengan bangga, mengawasi semua itu. Oh, ingin sekali ia lekas besar dan menjadi seperti mereka!

Suatu lagu yang penuh semangat berkumandang dari tenggorokan orang­orang yang menyeret batu itu.

Kita kan memetik bunga

Di Wang Musashi

Bunga gentian, loncengan,

Bunga-bunga liar yang bertebaran

Berkacau-balau.

Tapi gadis manis itu,

Bunga yang tak terpetik itu,

Yang basah oleh embun

Ia hanya akan melembapkan lenganmu,

Seperti air mata yang tercurah.

Ia berdiri terpesona. Tanpa disadarinya, air parit sudah mulai berwarna kemerahan, dan suara-suara burung gagak petang mulai terdengar oleh telinganya.

“Ah, matahari sudah hampir tenggelam,” katanya mengecam diri sendiri. Ia berlari, dan beberapa waktu lamanya ia berlari terus sekencang-kencangnya, tanpa memperhatikan apa pun kecuali peta yang dibuat oleh pengawal itu. Baru kemudian disadarinya bahwa ia sudah mendaki jalan yang menuju Bukit Azabu yang demikian rimbun ditumbuhi pepohonan, hingga kelihatan seolah hari sudah tengah malam. Namun, ketika ia sampai di puncak bukit itu, dilihatnya matahari masih ada di atas sana, sekalipun letaknya sudah rendah di kaki langit.

Di atas bukit itu sendiri hampir tidak terdapat rumah, sedangkan desa Azabu hanyalah merupakan tebaran perladangan dan rumah-rumah pertanian di dalam lembah di bawah. Iori berdiri di tengah lautan rumput dan pohon-pohon tua, mendengarkan sungai-sungai kecil yang bergemerecik menuruni sisi bukit. Letihnya terasa hilang, berganti dengan kesegaran yang aneh. Samar-samar ia menyadari bahwa tempat ia berdiri adalah tempat bersejarah, sekalipun ia tidak tahu mengapa demikian. Sesungguhnya itulah tempat kelahiran sederetan prajurit besar dari Keluarga Taira dan Minamoto di masa lalu.

Ia mendengar dentam-dentam keras genderang sedang ditabuh, jenis genderang yang sering kali dipergunakan dalam perayaan-perayaan Shinto. Di bawah bukit, di tengah hutan, tampak kayu palang yang kokoh pada bubungan tempat suci. Iori tidak tahu bahwa itulah Kuil Agung ligura yang pernah dipelajarinya, yaitu bangunan terkenal yang suci bagi dewi matahari dari Ise.

Kuil itu berbeda sekali dengan benteng mahabesar yang baru saja ia lihat, bahkan berbeda dari gerbang-gerbang megah milik para daimyo. Dalam kesederhanaannya, kuil itu hampir tak dapat dibedakan dengan rumah-rumah pertanian di sekitarnya, dan Iori merasa heran juga, kenapa orang berbicara dengan lebih takzim tentang keluarga Tokugawa daripada tentang dewa-dewa yang paling suci. Apakah dengan begitu Keluarga Tokugawa itu lebih agung daripada dewa matahari? Ia bertanya-tanya. “Aku akan bertanya pada Musashi soal itu nanti, kalau aku pulang.”

Ia keluarkan peta itu, ia pelajari baik-baik, kemudian la perhatikan keadaan sekitar, dan akhirnya ia amati lagi peta itu. Namun belum juga kelihatan tanda-tanda rumah kediaman Yagyu.

Kabut petang yang menyebar di atas tanah mendatangkan perasaan ngeri kepadanya. ia pernah mendapat perasaan serupa itu, ketika berada dalam sebuah kamar dengan shoji tertutup. Sinar matahari yang sedang tenggelam waktu itu bermain di kertas dinding, sehingga suasana dalam kamar seolah menjadi lebih terang, sementara suasana di luar menjadi gelap. Tentu saja itu cuma khayal senja, tapi ia merasakannya demikian kuat, dalam beberapa kelebat, hingga ia menggosok matanya, seakan hendak menghapus khayal sinar itu. Ia tahu bahwa ia tidak bermimpi, dan ia memandang ke sekitarnya dengan sikap curiga.

“Oh, bajingan licik kau!” teriaknya sambil melompat ke depan dan me­lecutkan pedangnya. Dengan pedang itu pula la menebas serumpun rumput tinggi di depannya.

Seekor rubah meloncat dari tempat persembunyiannya dan melejit diiringi raungan kesakitan, ekornya berkilau-kilau oleh darah dari luka di bagian belakang tubuhnya.

“Binatang setan!” Iori mengejar. Rubah itu berlari kencang. Ion demikian juga. Ketika makhluk yang sudah pincang itu terhuyung-huyung, Iori menerjang, karena yakin akan mendapat kemenangan, namun rubah itu menyelinap dengan gesitnya, untuk kemudian menyembul lagi beberapa meter di depan. Betapapun cepatnya Iori menyerang, tiap kali binatang itu berhasil meloloskan diri.

Di pangkuan ibunya, Iori pernah mendengarkan dongeng yang tak ter­hitung jumlahnya, tentang rubah yang memiliki kekuatan untuk memesona dan menyusupi manusia. Iori suka pada sebagian besar binatang lain, ter­masuk babi hutan dan kuskus yang berbau busuk, tapi ia benci dan takut pada rubah. Pada pikirnya, menemukan makhluk licik ini sedang bersem­bunyi di rumput, cuma berarti satu hal: binatang itulah yang harus diper­salahkan, bahwa ia sampai tersesat. Ia yakin binatang itu makhluk peng­khianat dan jahat, yang sudah mengikutinya semenjak malam kemarin, dan yang baru saja melontarkan sihir jahat kepadanya. Kalau ia tidak membunuh binatang itu sekarang, pasti ia akan diguna-gunai lagi. Iori hendak mengejar binatang buruannya itu sampai ke ujung dunia, tapi ternyata rubah itu berhasil meloncati tepi jurang dan hilang dari pemandangan, masuk ke dalam semak.

Embun bercahaya berkilauan di atas bunga-bunga jelatang dan tumbuhan labah-labah. Karena kehabisan tenaga dan kering tenggorokan, Iori men­jatuhkan diri ke tanah dan menjilati air pada dedaunan. Dengan bahu naik-turun, akhirnya ia dapat mengambil napas dalam-dalam, dan keringat pun bercucuran dari dahinya. Jantungnya berdetak keras. “Ke mana rubah itu tadi?” tanyanya antara jeritan dan cekikan.

Kalau memang sudah pergi, memang lebih baik, tapi Iori tidak yakin mana yang hendak dipercayainya. Karena ia sudah melukai binatang itu, pastilah binatang itu akan membalas dendam, entah dengan cara bagaimana. Dengan sikap pasrah ia duduk diam dan menanti.

Justru ketika ia mulai merasa lebih tenang, suatu suara mengerikan me­nyusupi telinganya. Dengan mata membelalak ia memandang ke sekitarnya. “Pasti rubah itu,” katanya sambil menguatkan diri jangan sampai tersihir. Sambil cepat berdiri, ia membasahi alisnya dengan ludah, suatu gerak tipu yang menurut keyakinan dapat menangkal pengaruh rubah.

Tidak jauh dari tempat itu, datang seorang perempuan seperti mengapung melintasi kabut petang, wajahnya setengah tertutup kerudung sutra tipis. Ia duduk miring di atas pelana kuda, kendali kuda tergantung bebas menyilang tunas pelana yang rendah. Pelana itu terbuat dari kayu berpernis dan ber­hiaskan indung mutiara.

“Dia sudah berubah menjadi perempuan,” pikir Iori. Bayangan yang mengenakan kerudung, memainkan suling, dan muncul dengan latar belakang sinar tipis matahari petang ini tak mungkin makhluk dari dunia ini.

Sementara berjongkok di rerumputan, seperti kodok, Iori mendengar suara dari dunia lain yang memanggil “Otsu”, dan ia yakin suara itu datang dari salah satu teman rubah itu.

Si pengendara kuda sudah hampir mencapai belokan di mana ada sebuah jalan menyimpang ke selatan. Bagian atas tubuhnya bersinar kemerah­merahan. Matahari yang sedang tenggelam di belakang Bukit Shibuya tampak dilingkari awan.

Kalau ia membunuh perempuan itu, ia dapat mengungkapkan bentuknya yang sebenarnya, yaitu bentuk rubah. Ia mengetatkan pegangan atas pedang­nya dan meneguhkan diri. Pikirnya, “Untung binatang itu tidak tahu aku sembunyi di sini.” Seperti semua orang yang kenal hakikat rubah, ia tahu bahwa nyawa binatang itu terletak beberapa kaki di belakang bentuk manusianya. Napas Iori sudah terengah-engah karena menantikan bayangan itu berjalan dan membelok ke selatan.

Tapi, ketika kuda itu sampai di belokan, perempuan itu berhenti bermain, memasukkan sulingnya ke dalam bungkus kain, dan menyelipkannya ke dalam obi-nya. Ia singkapkan kerudungnya, lalu meninjau sekitarnya dengan mata menyelidik.

“Otsu!” terdengar suara itu memanggil lagi.

Senyuman menyenangkan tersungging pada wajah perempuan itu ketika ia membalas, “Aku di sini, Hyogo. Di atas sini.”

Iori melihat seorang samurai mendaki jalan dari dalam lembah. “Oh, oh!” gagapnya, ketika melihat bahwa orang itu pincang sedikit jalannya.

Inilah rubah yang telah dilukainya itu, tidak sangsi lagi! Ia menyamar bu­kan sebagai seorang penggoda yang cantik, tapi sebagai samurai tampan. Hantu itu membuat Iori ngeri. Tubuhnya gemetar hebat dan basah kuyup.

Sesudah perempuan dan samurai itu bercakap-cakap sebentar, si samurai memegang kekang kuda itu dan menuntunnya lewat tempat Iori bersem­bunyi.

“Sekarang saatnya!” demikian Iori memutuskan, namun tubuhnya tak mau bergerak.

Si samurai melihat gerak sedikit itu dan memandang ke sekitar. Pandang­annya tepat ke wajah Iori yang ketakutan. Sinar yang keluar dan mata samurai itu seolah lebih berkilau daripada tepi matahari yang sedang tenggelam. Iori meniarapkan diri dan membenamkan wajahnya ke rumput. Belum pernah selama hidupnya yang empat belas tahun, ia mengalami rasa takut seperti itu.

Hyogo tak melihat ada yang menguatirkan pada anak itu, dan berjalan terus. Lereng di tempat itu terjal, dan ia harus berdiri agak condong ke belakang untuk dapat terus mengendalikan kuda itu. Ia menoleh pada Otsu, dan tanyanya lembut, “Kenapa begitu terlambat pulang? Sudah dari tadi engkau berangkat, dan hanya untuk ke kuil, lalu kembali. Pamanku jadi kuatir dan menyuruhku mencarimu.”

Otsu meloncat turun, tanpa mengatakan sesuatu.

Hyogo berhenti. “Kenapa turun? Apa ada yang salah?”

“Tidak, tapi kurang tepat kalau seorang perempuan naik kuda, sedangkan seorang lelaki berjalan. Mari kita jalan sama-sama. Kita bisa sama-sama pegang kendali.” Ia menempatkan diri di sisi lain kuda itu.

Mereka turun ke dalam lembah yang gelap, dan melewati sebuah papan bertulisan Akademi Pendeta Sendan’en Sekte Zen Soda Langit penuh dengan bintang, dan suara Sungai Shibuya terdengar di kejauhan. Sungai itu mem­bagi lembah menjadi Higakubo Utara dan Higakubo Selatan. Karena per­guruan yang didirikan oleh biarawan Rintatsu itu terletak di lereng utara, para pendeta di situ biasa disebut “kawan-kawan dari utara”. “Kawan-kawan dari selatan” adalah orang-orang yang mempelajari permainan pedang di bawah pimpinan Yagyu Munenori, yang bangunan kediamannya terletak tepat di seberang lembah.

Sebagai anak emas di tengah anak-anak dan cucu-cucu Yagyu Sekishusai, Yagyu Hyogo memiliki status istimewa di antara “kawan-kawan dari selatan”. Ia sendiri sudah terkenal. Pada umur dua puluh tahun, ia sudah dipanggil oleh Jenderal Kato Kiyomasa yang terkenal itu, dan mendapat kedudukan di Benteng Kumamoto di Provinsi Higo, dengan penghasilan lima belas ribu gantang. Hat itu belum pernah terjadi pada orang semuda itu. Tapi, sesudah Pertempuran Sekigahara, Hyogo mulai memikirkan kembali statusnya, karena ia merasakan bahayanya berpihak pada golongan Tokugawa ataupun Osaka. Tiga tahun sebelum itu, dengan alasan kakeknya sakit, ia meninggal­kan Kumamoto dan kembali ke Yamato. Sesudah itu ia mengadakan perjalanan ke pedesaan beberapa waktu lamanya. Alasannya, ia membutuhkan lebih banyak latihan.

Ia dan Otsu secara kebetulan bertemu tahun lalu, ketika ia datang ke rumah pamannya. Selama lebih dari tiga tahun sebelum itu, Otsu menempuh hidup yang menyedihkan. Tidak pernah ia dapat melepaskan diri dari Matahachi yang menyeret-nyeretnya ke mana-mana, dan dengan licinnya menyatakan kepada para calon majikannya bahwa Otsu adalah istrinya. Sekiranya ia mau bekerja sebagai magang tukang kayu, tukang plester, atau tukang batu, ia tentu sudah mendapat pekerjaan pada hari ia tiba di Edo, tapi ia lebih suka membayangkan diri mereka melakukan pekerjaan yang lebih halus bersama-sama, Otsu sebagai pembantu rumah tangga barangkali, sedangkan ia sendiri sebagai kerani atau akuntan.

Karena tidak menemukan orang yang mau menerima tawarannya, mereka hidup dari kerja serabutan. Bulan-bulan berlalu. Dengan maksud membuai penyiksanya agar merasa nyaman, Otsu menyerah saja kepadanya dalam segala hal, terkecuali menyerahkan tubuhnya.

Kemudian, pada suatu hari, ketika sedang berjalan, mereka bertemu dengan arak-arakan seorang daimyo. Bersama semua orang yang lain, mereka pun minggir ke tepi jalan dan menunjukkan sikap hormat.

Joli-joli dan peti-peti besi tampak mengenakan lambang Yagyu. Otsu mengangkat mata, hingga dapat melihatnya. Maka kenangan tentang Sekishusai dan hari-hari bahagia di Benteng Koyagyu membanjiri hatinya. Oh, alangkah enaknya kalau sekarang ia dapat kembali ke Yamato yang damai itu! Tapi karena Matahachi ada di sampingnya, ia hanya dapat menatap kosong ke arah rombongan yang lewat itu.

“Lho, ini Otsu, kan?” sebuah caping ilalang hampir-hampir menutupi wajah samurai itu, tapi ketika ia mendekat, Otsu melihat bahwa orang itu Kimura Sukekuro, orang yang diingatnya dengan rasa kasih dan hormat. Sekiranya orang itu sang Budha sendiri, yang dikelilingi sinar ajaib belas kasihannya yang tak terbatas itu, ia takkan merasa lebih heran atau berterima kasih dari itu. Ia menyelinap dari sisi Matahachi dan bergegas mendapatkan Sukekuro, dan Sukekuro pun segera menawarkan diri membawa Otsu pulang.

Matahachi membuka mulut untuk memprotes, tapi Sukekuro mengatakan dengan tegas, “Kalau ada yang hendak Anda katakan, datang saja ke Higakubo dan katakan nanti di sana.”

Matahachi menahan lidahnya, karena tak berdaya menghadapi Keluarga Yagyu yang bermartabat tinggi itu. Ia menggigit bibir bawahnya dengan penuh kecewa, bercampur kemarahan, melihat hartanya yang berharga itu lepas dari tangannya.

Surat Mendesak

PADA umur tiga puluh delapan tahun, Yagyu Munenori dianggap pemain pedang terbaik di antara mereka semua. Tetapi hal itu tidak mencegah ayahnya merasa terus kuatir dengan anak kelimanya itu. “Dia harus dapat mengendalikan kebiasaan kecil itu,” demikian ia sering berkata pada dirinya sendiri. Atau, “Dapatkah orang sekeras kepala itu memegang jabatan tinggi?”

Sampai sekarang, sudah empat belas tahun berlalu sejak Tokugawa Ieyasu memberikan perintah pada Sekishusai untuk menyediakan guru pribadi bagi Hidetada. Sekishusai melewati saja anak-anak lainnya, cucu-cucu, dan kemenakan-kemenakannya. Munenori memang tidak terlalu cemerlang dan tidak pula terlalu jantan, tapi ia memiliki pertimbangan yang baik dan mantap, orang yang praktis dan kemungkinan tidak bakal terlalu terbenam dalam lamunan. Ia memang tidak setaraf ayahnya yang menjulang atau sejenius Hyogo, tapi ia dapat diandalkan, dan yang paling penting, ia memahami asas utama Gaya Yagyu, yaitu bahwa nilai sejati Seni Perang terletak dalam penerapannya di dalam pemerintahan.

Sekishusai tidak salah tafsir mengenai harapan-harapan Ieyasu. Jenderal penakluk itu tidak suka bahwa seorang pemain pedang hanya mengajarkan keterampilan teknis kepada ahli warisnya. Beberapa tahun sebelum Per­tempuran Sekigahara, Ieyasu sendiri telah belajar di bawah pimpinan seorang pemain pedang ahli bernama Okuyama, dengan tujuan-seperti sering dikatakannya sendiri-untuk “memperoleh mata yang dapat mengawasi negeri.”

Namun Hidetada sekarang seorang shogun, dan tidak tepatlah kalau instruktur shogun kalah dalam pertarungan yang sebenarnya.

Seorang samurai dengan kedudukan seperti Munenori itu diharapkan dapat mengalahkan semua penantang, dan dapat memperlihatkan bahwa permainan pedang Yagyu tidak ada taranya. Munenori juga merasa bahwa ia selalu diperhatikan dan dicoba. Orang-orang lain menganggapnya beruntung terpilih menduduki tempat terhormat itu, padahal ia sendiri sering kali merasa iri kepada Hyogo, dan ingin dapat hidup seperti kemenakannya itu.

Hyogo sendiri sekarang ini sedang menyusuri gang luar yang menuju kamar pamannya. Rumah itu memang besar dan menghampar luas, tapi bentuknya tidak anggun dan perlengkapannya tidak mewah. Munenori tidak mempekerjakan tukang-tukang kayu dari Kyoto untuk menciptakan rumah kediaman yang anggun dan manis, melainkan dengan sengaja mempercayakan pekerjaan itu kepada para pembangun setempat, yaitu orang-orang yang terbiasa dengan gaya Kamakura yang spartan dan gagah. Sekalipun pohon di sini relatif jarang dan bukit-bukit tidak terlalu tinggi, Munenori memilih gaya arsitektur yang kasar dan pejal, seperti ditunjukkan oleh Rumah Utama yang sudah tua di Koyagyu itu.

“Paman,” kata Hyogo lembut dan sopan, ketika ia berlutut di beranda, di luar kamar Munenori.

“Hyogo, ya?” tanya Munenori tanpa mengalihkan mata dari halaman. “Apa boleh saya masuk?”

Sesudah mendapat izin, Hyogo masuk kamar dengan berlutut. Ia sebetul­nya bersikap cukup bebas dengan kakeknya, yang cenderung memanjakannya, tapi ia tidak berani berbuat demikian dengan pamannya. Munenori memang bukan orang yang keras tata tertibnya, tapi ia biasa berpegang teguh pada sopan santun. Sekarang pun, seperti biasanya, ia duduk dengan gaya resmi yang keras itu. Kadang-kadang Hyogo kasihan kepadanya.

“Otsu?” tanya Munenori, yang seakan diingatkan kepada Otsu karena kedatangan Hyogo itu.

“Sudah kembali. Dia cuma pergi ke Tempat Suci Hikawa, seperti sering kali dilakukannya. Dalam perjalanan pulang, dia biarkan kudanya berkeliling sesuka hati sebentar.”

“Engkau pergi mencarinya?”

“Betul, Paman.”

Munenori diam saja beberapa waktu lamanya. Cahaya lampu lebih menegaskan raut mukanya, dengan bibirnya yang dirapatkan itu. “Aku prihatin juga ada wanita muda tinggal di tempat ini tanpa batas waktu. Kita tidak tahu, apa yang mungkin terjadi. Aku sudah minta Sukekuro mencari kesempatan untuk menyarankannya pergi ke tempat lain.”

Dengan nada sedikit merenung, Hyogo berkata, “Saya diberi tahu, dia tidak tahu mau ke mana.” Perubahan sikap pamannya ini mengherankannya, karena ketika Sukekuro membawa pulang Otsu dan memperkenalkannya sebagai wanita yang pernah melayani Sekishusai dengan baik, Munenori menerimanya dengan hangat dan mengatakan Otsu bebas untuk tinggal di situ semaunya. “Apa Paman tidak kasihan kepadanya?” tanyanya.

“Ya, tapi pertolongan kita kepada orang lain itu ada batasnya.”

“Tadinya saya kira Paman punya pandangan baik tentang dia.”

“Oh, ini tak ada hubungannya dengan itu. Kalau seorang wanita muda tinggal di rumah yang penuh pemuda, banyak lidah akan bergoyang. Dan kedudukan orang-orang lelaki jadi sukar. Seorang dari mereka bisa saja melakukan hal ceroboh.”

Kali ini Hyogo terdiam, tapi bukan karena ia menerima ucapan pamannya itu secara pribadi. Ia berumur tiga puluh tahun, dan seperti samurai muda lain, ia masih lajang, tapi ia percaya benar bahwa perasaannya terhadap Otsu terlampau murni, untuk diragukan mat baiknya. Ia sudah cukup berhati-hati meniadakan perasaan waswas pamannya itu, dengan membukakan rahasia tentang rasa sayangnya kepada Otsu. Dan tidak hanya sekali ia pernah mengungkapkan bahwa perasaannya terhadap Otsu itu melebihi persahabatan.

Hyogo merasa masalah itu mungkin ada hubungannya dengan pamannya sendiri. Istri Munenori berasal dari keluarga yang sangat terhormat dan berkedudukan baik. Sejenis keluarga yang menyerahkan anak-anak perempuan mereka kepada suami masing-masing di hari pernikahan dengan menaikkan mereka dalam joli bertabir, agar orang luar tak dapat melihat. Kamar-­kamarnya dan kamar-kamar wanita lain terletak di bagian rumah yang terpencil, hingga hampir tak seorang pun tahu apakah hubungan antara tuan rumah dan istrinya selaras. Tidak sukar dibayangkan, kalau nyonya rumah bisa suram pandangannya jika melihat perempuan-perempuan muda, cantik, dan memenuhi syarat berada begitu dekat dengan suaminya.

Hyogo memecahkan kesunyian itu dengan berkata, “Serahkan saja soal itu pada Sukekuro dan saya, Paman. Kami akan mencari pemecahan yang takkan memberatkan Otsu.”

Munenori mengangguk, katanya, “Lebih cepat lebih baik.”

Justru pada waktu itu Sukekuro memasuki kamar depan. Ia meletakkan kotak surat di atas tatami, berlutut, dan membungkuk. “Yang mulia,” katanya hormat.

Sambil menoleh ke kamar depan, kata Munenori, “Apa itu?” Sukekuro maju dengan berlutut.

“Seorang kurir dari Koyagyu baru datang dengan kuda cepat.”

“Kuda cepat?” tanya Munenori cepat, tapi tidak terkejut.

Hyogo menerima kotak dari Sukekuro dan menyerahkannya kepada pamannya. Munenori membuka surat yang dikirim oleh Shoda Kizaemon. Surat itu ditulis dengan tergesa-gesa, dan bunyinya, Yang Dipertuan Tua mendapat serangan lagi, lebih parah daripada sebelumnya. Kami kuatir beliau takkan bisa bertahan lama lagi. Beliau berkeras menyatakan bahwa penyakitnya bukan alasan cukup bagi Anda untuk meninggalkan tugas. Namun sesudah membicarakan soal ini sendiri, kami para abdi memutuskan untuk menulis surat dan menyampaikan keadaannya pada Anda.

“Keadaan beliau gawat,” kata Munenori.

Hyogo mengagumi kemampuan pamannya untuk selalu tetap tenang. Ia menduga Munenori tahu pasti apa yang akan dilakukannya, dan sudah mengambil keputusan-keputusan yang perlu.

Sesudah beberapa menit diam, kata Munenori, “Hyogo, bisakah kau pergi ke Koyagyu atas namaku?”

“Tentu, Paman.”

“Hendaknya kau yakinkan Ayah, tak ada yang perlu dikuatirkan di Edo. Dan jagalah beliau olehmu sendiri.”

“Baik, Paman.”

“Kukira semuanya ada di tangan dewa-dewa dan sang Budha sekarang. Yang terbaik bagimu adalah bertindak segera, dan mencoba tiba di sana sebelum terlambat.”

“Saya akan berangkat malam ini, Paman.”

Dari kamar Yang Dipertuan Munenori, Hyogo segera pergi ke kamarnya sendiri. Dalam waktu singkat, selagi ia mempersiapkan barang-barang yang akan diperlukannya, berita buruk itu sudah menyebar ke segenap penjuru rumah.

Otsu diam-diam masuk ke kamar Hyogo. Hyogo heran, karena Otsu mengenakan pakaian perjalanan. Mata Otsu basah. “Ajaklah aku ke sana,” mohonnya. “Aku memang tak bisa mengharapkan dapat membalas kebaikan Yang Dipertuan Sekishusai karena sudah menerimaku di rumahnya, tapi aku ingin berada di sampingnya sekarang. Barangkali aku dapat membantu-­bantu. Kuharap kau tidak menolak.”

Hyogo beranggapan ada kemungkinan pamannya menolak permintaan Otsu, tapi ia sendiri tak sampai hati menolaknya. Barangkali suatu berkah bahwa kesempatan untuk membawa pergi Otsu dari rumah di Edo itu kini datang dengan sendirinya.

“Baik,” katanya menyetujui, “tapi kita mesti jalan cepat.”

“Aku janji tak akan menghambat.” Otsu mengeringkan air matanya dan membantu Hyogo merapikan barang-barangnya, kemudian pergi menyatakan hormat kepada Yang Dipertuan Munenori.

“Oh, jadi kau akan menemani Hyogo?” kata Munenori, sedikit kaget. “Kuucapkan terima kasih. Aku yakin Ayah akan senang sekali melihatmu.” Ia memberikan uang jalan yang besar jumlahnya pada Otsu, juga kimono baru sebagai hadiah perjalanan. Ia yakin kepergian Otsu merupakan hal terbaik, namun hal itu membuatnya sedih juga.

Otsu membungkuk meninggalkan Munenori. “Jaga dirimu baik-baik,” kata Munenori dengan penuh perasaan, ketika Otsu sampai di kamar depan.

Para pengikut dan pembantu berbaris sepanjang jalan menuju pintu gerbang, untuk mengantar mereka berdua. Sesudah Hyogo mengucapkan “Selamat tinggal”, mereka pun berangkat.

Otsu melipatkan kimononya ke bawah obi, sehingga tepi kimono itu hanya lima betas sentimeter di bawah lututnya. Ia kenakan topi perjalanan yang bertepi lebar dan berpernis, dan ia pegang tongkat dengan tangan kanan. Sekiranya bahunya dihiasi bunga-bunga, akan cocoklah ia untuk gambaran Gadis Wisteria yang demikian sering kelihatan pada cap balok kayu.

Karena Hyogo memutuskan untuk menyewa kendaraan di pos-pos sepanjang jalan raya, sasaran mereka malam itu adalah kota penginapan Sangen’ya di selatan Shibuya. Dan sana rencananya mereka akan menyusuri jalan raya Oyama ke Sungai Tama, mengambil perahu tambang di seberang, kemudian mengikuti Sungai Tokaido ke Kyoto.

Di tengah kabut malam itu, topi Otsu yang berpernis tampak berkilau karena basah. Sesudah berjalan melintasi lembah sungai yang berumput, sampailah mereka di sebuah jalan yang agak lebar, yang semenjak zaman Kamakura merupakan salah satu jalan paling penting di daerah Kanto. Malam hari suasana tenang dan sepi. Pohon-pohon tumbuh rimbun di kedua tepi jalan.

“Gelap, ya?” kata Hyogo sambil tersenyum, dan sekali lagi melambatkan langkahnya yang memang panjang-panjang itu, agar Otsu dapat mengejarnya. “Ini Lereng Dogen. Biasanya banyak bandit di sekitar tempat ini,” tambahnya.

“Bandit?” Dalam suara Otsu terasa kekuatiran yang membuat Hyogo ter­tawa.

“Tapi itu dulu. Orang yang namanya Dogen Taro dan masih ada hubungan keluarga dengan pemberontak Wada Yoshimori, kabarnya menjadi kepala gerombolan pencuri yang tinggal di gua-gua sekitar tempat ini.”

“Jangan bicarakan hal itu.”

Suara tawa Hyogo menggema dalam kegelapan; mendengar suara itu, ia merasa bersalah, karena telah berbuat sembrono. Namun ia sendiri tak dapat menahannya. Sekalipun sedih, ia senang juga, karena berharap akan bersama-sama Otsu selama beberapa hari.

“Oh!” pekik Otsu sambil mundur beberapa langkah.

“Ada apa?” Dan secara naluriah tangan Hyogo pun merangkum bahu Otsu.

“Ada orang di sana.”

“Di mana?”

“Seorang anak, duduk di tepi jalan sana, bicara sendiri dan menangis. Anak kecil yang malang!”

Ketika sudah cukup dekat, Hyogo mengenali anak yang petang kemarin dilihatnya bersembunyi dalam rumput di Azabu.

Iori meloncat berdiri dengan napas tergagap. Sejenak kemudian, ia sudah menyumpah dan menuding Hyogo dengan pedangnya. “Rubah!” teriaknya, “Itulah kau, rubah!”

Otsu menghela napas dan membungkam jeritannya sendiri. Wajah Iori tampak liar, hampir-hampir seperti setan, seakan-akan anak itu kesurupan roh jahat. Bahkan Hyogo pun ikut mundur dengan hati-hati.

“Rubah!” teriak Ion lagi. “Kuhabisi kalian!” Suaranya terdengar parau, seperti suara perempuan tua. Hyogo menatapnya heran, tapi hati-hati ia menghindari pedang anak itu.

“Bagaimana kalau begini?” teriak Iori sambil menebas puncak sebuah rumpun tinggi, tak jauh dari sisi Hyogo. Kemudian ia runtuh ke tanah, kehabisan tenaga akibat perbuatannya itu. Dengan napas kembang-kempis, tanyanya, “Apa pikirmu, rubah?”

Sambil menoleh kepada Otsu, Hyogo berkata sambil menyeringai, “Anak kecil yang malang. Dia rupanya kesurupan rubah.”

“Barangkali kau benar. Matanya buas.” “Seperti mata rubah.”

“Apa tak bisa kita menolongnya?”

“Kata orang, tak ada obat untuk orang gila atau bodoh, tapi kukira ada obat untuk penyakit anak ini.” Ia mendekati Iori dan menatapnya garang.

Sambil menengadah, anak itu lekas-lekas memegang pedangnya lagi. “Kau masih di sini, ya?” teriak Iori. Tapi, sebelum ia dapat berdiri kembali. telinganya sudah terserang jeritan ganas dari dalam perut Hyogo.

“H-o-o-o!”

Iori rupanya ketakutan setengah mati. Hyogo menangkap pinggangnya dan mengangkatnya, lalu sambil menggendong anak itu, ia berjalan menuruni bukit, ke jembatan. Ia tunggingkan anak itu, ia pegang tumitnya, dan ia gantungkan di luar susuran jembatan.

“Tolong! Ibu! Tolong, tolong! Sensei, tolong aku!” Jeritan itu lambat laun berubah menjadi lolongan.

Otsu bergegas datang menolong. “Sudah, Hyogo. Lepaskan dia. Jangan kejam begitu!”

“Kukira cukup sudah sekarang,” kata Hyogo sambil menurunkan anak itu baik-baik di jembatan.

Iori sudah tak keruan sikapnya, berteriak-teriak dan tercekik-cekik, karena yakin tak ada manusia di dunia ini yang dapat menolongnya. Otsu pergi ke sampingnya dan memeluk bahunya yang menguncup itu dengan rasa sayang. “Di mana kau tinggal, Nak?” tanyanya pelan.

Di tengah sedu-sedannya, Iori menggagap, “Di sana,” dan menudingkan jarinya.

“Apa maksudmu di sana itu?”

“B-ba-bakurocho.”

“Lho, Bakurocho itu berkilo-kilometer jauhnya dari sini. Bagaimana kau bisa sampai di sini?”

“Saya disuruh. Saya tersesat.”

“Kapan itu?”

“Saya berangkat dari Bakurocho kemarin.”

“Dan kau berkeliaran saja sepanjang malam dan hari ini?” Iori setengah meng-gelengkan kepala, tapi tidak mengatakan apa-apa. “Oh, ini mengerikan. Coba katakan, ke mana kau mesti pergi?”

Karena sudah sedikit tenang sekarang, Iori dapat menjawab cepat, seakan­akan ia memang sudah menantikan pertanyaan itu. “Ke rumah kediaman Yang Dipertuan Yagyu Munenori dari Tajima.” Ia meraba-raba ke bawah obi-nya, mencengkeram surat yang sudah kusut itu, dan mengibarkannya dengan bangga di depan mukanya. Sambil mendekatkannya ke mata, katanya, “Surat ini buat Kimura Sukekuro. Saya mesti menyampaikan dan menunggu balasannya.”

Otsu melihat bahwa Iori menanggapi tugas itu dengan sangat sungguh­sungguh, dan siap melindungi surat itu dengan hidupnya. Iori memang bertekad tidak menunjukkan surat itu pada siapa pun, sebelum ia sampai pada yang dituju. Baik Otsu maupun Iori tak menduga ironi keadaan itu. Suatu kesempatan yang datangnya salah. Suatu peristiwa yang lebih jarang terjadi daripada pertemuan Anak Gembala dan Gadis Pemintal di seberang Sungai Langit.

Sambil menoleh kepada Hyogo, Otsu berkata, “Dia rupanya membawa surat buat Sukekuro.”

“Tapi dia sudah salah arah, kan? Untung tidak begitu jauh.” Lalu ia panggil Iori dan ia beri petunjuk. “Ikuti saja sungai ini, sampai persimpangan jalan yang pertama, kemudian ke kiri dan naik bukit. Kalau kau sampai di tempat bertemunya tiga jalan, di situ akan kaulihat sepasang pohon pinus besar di sebelah kananmu. Rumah itu ada di sebelah kiri, di seberang jalan.”

“Dan hati-hati, jangan sampai kesurupan rubah lagi,” tambah Otsu.

Iori memperoleh kembali rasa percaya dirinya. “Terima kasih,” serunya, sesudah itu ia berlari menyusuri sungai. Sampai di persimpangan jalan, ia setengah menoleh, teriaknya, “Dari sini ke kiri?”

“Betul,” jawab Hyogo. “Jalan itu gelap, jadi mesti hati-hati.” Sampai semenit-dua menit, Hyogo dan Otsu masih berdiri memperhatikan dari jembatan. “Anak aneh,” kata Hyogo.

“Ya, tapi kelihatannya cukup cerdas.” Diam-diam Otsu pun memban­dingkannya dengan Jotaro yang hanya sedikit lebih besar dari Iori, ketika terakhir kali mereka bertemu. Jotaro mestinya sudah tujuh belas tahun sekarang, renungnya. Ingin juga ia mengetahui, seperti apa Jotaro sekarang, dan tak terhindarkan lagi, ia pun merasa rindu pada Musashi. Sudah bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar tentang Musashi! Walaupun kini ia terbiasa hidup dengan penderitaan yang dituntut oleh cinta, toh ia berharap bahwa dengan meninggalkan Edo, ia akan bertambah dekat dengan Musashi, dan bahkan mungkin bertemu dengan Musashi di tengah perjalanan itu.

“Ayo jalan terus,” kata Hyogo cepat, ditujukan sekaligus pada dirinya sendiri dan Otsu. “Tak ada yang mesti kita lakukan malam ini, tapi kita mesti hati-hati, agar tidak membuang-buang waktu lagi.”

Bakti Seorang Anak

“SEDANG apa, Nek, latihan nulis, ya?” Wajah Juro si Tikar Buluh itu me­nunjukkan ekspresi kagum bercampur heran.

“Oh, kau,” kata Osugi, sedikit kesal.

Sambil duduk di sampingnya, Juro bergumam, “Menyalin kitab sutra Budha, ya?” Pertanyaan itu tak dijawab. “Nenek kan sudah tua. Apa masih perlu berlatih menulis? Atau Nenek bermaksud jadi guru kaligrafi di dunia sana?”

“Diam kau! Untuk menyalin kitab suci, orang perlu suasana tenang. Kesunyian adalah yang terbaik. Bagaimana kalau kau pergi saja?”

“Padahal aku buru-buru pulang buat menceritakan apa yang kualami hari ini!”

“Soal itu bisa menunggu.”

“Kapan Nenek akan selesai?”

“Mesti kumasukkan semangat pencerahan sang Budha ke dalam setiap huruf yang kutulis ini. Untuk membuat satu salinan, kubutuhkan tiga hari.”

“Sabar sekali Nenek, kalau begitu.”

“Tiga hari apa artinya? Musim panas ini akan kubuat beberapa lusin salinan. Aku bersumpah akan membuat seribu salinan, sebelum mati. Akan kutinggalkan kepada orang-orang yang tidak menaruh cinta yang wajar kepada orangtua mereka.”

“Seribu salinan? Banyak sekali.”

“Itu sumpahku yang suci.”

“Ah, saya tidak begitu bangga dengan itu, tapi saya kira, saya memang tidak begitu hormat pada orangtua saya, seperti halnya semua orang yang ada di sini ini. Mereka sudah lama melupakan orangtua mereka. Satu-satu­nya yang masih ingat ibu dan bapaknya adalah majikan kita itu.”

“Sungguh menyedihkan dunia tempat hidup kita ini.”

“Ha, ha. Nenek benar. Tentunya Nenek punya anak yang tidak berbakti juga.”

“Menyesal harus kukatakan bahwa anakku itu memang sudah banyak menimbulkan kesedihan padaku. Itu sebabnya aku bersumpah. Ini kitab Sutra tentang Cinta Agung Orangtua. Semua orang yang tidak memperlakukan ibu dan ayah mereka dengan benar, mesti dipaksa membacanya.”

“Nenek betul-betul akan memberikan salinan… apa namanya itu… pada seribu orang?”

“Orang bilang, dengan menanam satu benih pencerahan, kita dapat memenangkan seratus orang, dan kalau satu tunas pencerahan dapat menye­diakan tempat untuk seratus hati, berarti sepuluh juta jiwa akan dapat diselamatkan.” Osugi meletakkan kuasnya, mengambil satu salinan yang sudah selesai, dan menyerahkannya kepada Juro. “Nah, kau boleh ambil ini. Coba kaubaca, kalau ada waktu.”

Osugi tampak begitu saleh, hingga tawa Juro hampir pecah, tapi ia dapat mengendalikan diri. Ditahannya dirinya untuk tidak menjejalkan saja kertas itu ke dalam kimononya, seperti kertas lap yang lain; sebaliknya di­angkatnya kertas itu dengan penuh hormat ke dahinya, lalu diletakkannya di pangkuan.

“Jadi, Nenek benar-benar tak ingin tahu tentang apa yang terjadi hari ini? Barangkali kepercayaan Nenek kepada sang Budha itu ada hasilnya. Saya sudah bertemu dengan orang yang agak khusus hari ini.”

“Siapa pula itu?”

“Miyamoto Musashi. Saya lihat dia di Sungai Sumida, sedang turun dari perahu tambang.”

“Kau melihat Musashi? Kenapa tidak kaukatakan dari tadi?” Didorongnya meja tulis itu sambil bersungut-sungut. “Apa betul itu? Di mana dia seka­rang?”

“Nah, nah, tenang dulu, Nek. Juro tua ini tidak biasa melakukan sesuatu setengah-setengah. Sesudah saya ketahui siapa dia, saya ikuti dia tanpa sepengetahuannya. Dia pergi ke sebuah penginapan di Bakurocho.”

“Oh, dia tinggal dekat sini?”

“Ya, tidak dekat sekali.”

“Mungkin buatmu tidak dekat, tapi buatku, ya. Aku sudah pergi ke mana-mana di negeri ini, mencari dia.” Osugi serentak berdiri, pergi ke lemari pakaian, dan mengeluarkan pedang pendek yang sudah beberapa angkatan disimpan keluarganya.

“Bawa aku ke sana,” perintahnya.

“Sekarang?”

“Tentu saja sekarang.”

“Tadinya saya kira Nenek ini punya banyak kesabaran tapi… kenapa Nenek mesti pergi sekarang?”

“Aku selalu siap menjumpai Musashi, kalau perlu seketika itu juga. Kalau aku terbunuh, kau dapat mengirimkan tubuhku pada keluargaku di Mimasaka.”

“Apa Nenek tak bisa menunggu sampai majikan pulang? Kalau kita pergi macam ini, saya bisa didamprat gara-gara menemukan Musashi.”

“Tapi kita tidak tahu, kapan Musashi akan pergi ke tempat lain lagi.”

“Nenek jangan kuatir. Saya sudah mengirimkan orang buat mengamat­ amati tempat itu.”

“Kau bisa jamin Musashi takkan pergi?”

“Ha? Saya sudah menolong Nenek, tapi Nenek mau mengikat saya dengan kewajiban? Tapi baiklah, saya jamin betul-betul. Nah, sekarang ini Nenek mesti tenang, duduklah menyalin kitab sutra atau kegiatan se­macamnya.”

“Di mana Yajibei?”

“Dia dalam perjalanan ke Chichibu, dengan kelompok agamanya. Saya tak tahu pasti, kapan dia kembali.”

“Tak bisa aku menunggu.”

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita undang Sasaki Kojiro? Nenek bisa membicarakan soal itu dengannya.”

Pagi harinya, sesudah menghubungi mata-matanya, Juro memberitahu Osugi bahwa Musashi sudah pindah dari penginapan, ke rumah seorang penggosok pedang.

“Nah, apa kataku!” ujar Osugi. “Tak bisa kita mengharapkan dia tinggal diam selamanya di satu tempat. Tahu-tahu nanti dia sudah pergi lagi.” Osugi duduk menghadap meja tulis, tapi sepanjang pagi itu ia tidak menulis satu patah kata pun.

“Tapi Musashi tak bersayap,” Juro menandaskan. “Tenanglah. Koroku akan menjumpai Kojiro hari ini.”

“Hari ini? Bukannya tadi malam kau mengirim orang ke sana? Coba katakan sekarang, di mana Kojiro tinggal. Aku akan pergi sendiri.”

Ia bersiap-siap pergi, tapi tiba-tiba Juro sudah menghilang, hingga Osugi terpaksa minta petunjuk pada sejumlah anak buah lain. Karena jarang meninggalkan rumah selama lebih dari dua tahun di Edo itu, Osugi tidak kenal betul dengan kota tersebut.

“Kojiro tinggal dengan Iwama Kakubei,” kata orang kepadanya.

“Kokubei adalah pengikut Keluarga Hosokawa, tapi rumahnya sendiri ada di jalan raya Takanawa.”

“Jaraknya sekitar setengah perjalanan mendaki Bukit Isarago. Semua orang bisa menunjukkan tempat itu.”

“Kalau Nenek ada kesulitan, tanyakan Tsukinomisaki. Itu nama lain untuk Bukit Isarago.”

“Rumah itu mudah dikenal, karena gerbangnya bercat merah terang. Itu satu-satunya tempat yang pakai gerbang merah di sana.”

“Baiklah, aku mengerti,” kata Osugi tak sabar, dengan perasaan benci karena secara tak langsung orang menganggapnya pikun atau bodoh.

“Rasanya tidak begitu sukar, karena itu lebih baik aku jalan. Jaga semuanya selagi aku pergi. Hati-hati dengan api. Kita tak ingin tempat ini terbakar, selagi Yajibei pergi.” Ia mengenakan zori, memeriksa apakah benar pedang pendeknya sudah di pinggangnya, lalu memegang erat tongkatnya dan berangkat.

Beberapa menit kemudian, Juro kembali dan bertanya di mana Osugi. “Dia tanya kami, bagaimana pergi ke rumah Kakubei, lalu pergi sendiri.”

“Yah, apa yang bisa kita lakukan dengan perempuan tua yang keras kepala?” Kemudian Juro berteriak ke arah kamar orang-orang lelaki,

“Koroku!”

Koroku meninggalkan judinya dan seketika menjawab panggilan itu. “Kau mau ketemu Kojiro tadi malam, tapi kau undurkan. Sekarang lihat apa yang terjadi. Perempuan tua itu sudah pergi sendiri.”

“Betul?”

“Kalau nanti majikan datang, perempuan itu pasti buka mulut.”

“Betul. Dan dengan lidahnya yang brengsek itu, kita bisa celaka dibuat­nya.”

“Yah. Kalau jalannya sama dengan bicaranya, itu baik saja, tapi badan sekurus belalang begitu! Kalau dia ditubruk kuda, matilah dia. Aku tak suka menyuruhmu, tapi lebih baik susullah dia, dan jaga supaya dia sampai di sana dalam keadaan utuh.”

Koroku pun lari. Juro merenungkan brengseknya keadaan itu, dan duduk di sudut kamar para pemuda. Kamar itu besar, barangkali sepuluh kali tiga belas meter luasnya. Lantainya tertutup tikar tipis dari anyaman halus. Berbagai macam pedang dan senjata lain bertebaran di mana-mana. Pada beberapa paku tergantung sapu tangan, kimono, pakaian dalam, topi kebakaran, dan barang-barang lain yang biasa diperlukan gerombolan ban­dit. Dan ada dua barang yang tak pantas ada di sana. Yang pertama, kimono perempuan berwarna terang dengan pelipit sutra merah. Yang lain, gagang cermin bersepuh emas, tempat menggantungkan kimono itu. Kedua barang itu diletakkan di sana atas perintah Kojiro. Diterangkan oleh Kojiro kepada Yajibei secara agak misterius, bahwa kalau sekelompok lelaki hidup bersama di satu kamar, tanpa ada sesuatu yang sifatnya perempuan, orang­orang itu akan cenderung tak terkendalikan dan saling berkelahi, bukan sebaliknya, menyimpan tenaga untuk pertempuran yang bermakna.

“Curang kau, bangsat!”

“Siapa yang curang? Gila kau!”

Juro melontarkan pandangan menghina kepada para penjudi itu, dan berbaring menyilangkan kaki seenaknya. Karena adanya keributan itu, tak mungkin ia tidur, tapi ia tak hendak merendahkan diri dengan ikut salah satu permainan kartu atau dadu itu. Tak ada saingan, seperti dilihatnya.

Ketika la memejamkan mata, terdengar satu suara kesal mengatakan, “Sial hari ini-sama sekali tak ada untung!” Orang yang kalah itu menjatuhkan bantal ke lantai, dengan mata sedih orang yang kalah besar, dan membaringkan diri di samping Juro. Sesudah itu disusul orang lain, lalu yang lain-lain juga.

“Apa ini?” tanya seorang dari mereka, sambil mengulurkan tangan untuk memegang kertas yang jatuh dari kimono Juro. “Aku akan… Iho, ini dari kitab sutra! Apa pula gunanya orang hina macam kau membawa-bawa kitab sutra?”

Juro membuka sebelah matanya yang mengantuk, dan katanya malas, “Oh, itu ya? Perempuan itu yang menyalin. Dia bilang, dia sudah bersumpah akan membuat seribu lembar.”

“Coba kulihat,” kata yang lain, dan merebut kertas itu. ”Tahu apa sih kau ini! Oh, tulisan ini manis dan jelas. Tiap orang bisa membacanya.”

“Maksudmu, kau bisa membacanya?”

“Tentu. Ini permainan anak-anak.”

“Baiklah, mari kita dengar sebagian. Coba nyanyikan yang baik. Nyanyimu macam pendeta.”

“Kau bercanda, ya? Ini bukan lagu pop.”

“Aah, apa bedanya? Dulu orang biasa menyanyikan kitab sutra. Begitulah mulanya lagu pujaan Budha itu. Kita kenal lagu pujaan, karena kita men­dengarnya, kan?”

“Tak bisa kita menyanyikan kata-kata ini dengan lagu pujaan.” “Kalau begitu, pakai lagu apa saja yang kau suka.”

“Nyanyikan, Juro.”

“Karena terdorong oleh semangat orang-orang lain itu, sambil terus menelentang Juro membuka kitab sutra di atas wajahnya, dan memulai,

“Sutra tentang Cinta Agung Orangtua.

Demikianlah yang pernah kudengar. Sekali, ketika sang Budha berada Di Puncak Burung Nasar yang Suci Di Kota penuh Istana Kerajaan,

Dan berkhotbah kepada para bodhisatwa dan murid, Berkumpullah massa biarawan, Biarawati dan orang awam, lelaki dan perempuan, Seluruh rakyat dari sekalian langit, Dewa-dewa naga dan jin,

Mendengarkan Hukum yang Suci.

Mereka berkumpul sekitar takhta bertatah permata Dan menatap dengan mata nyalang Ke arah wajah yang suci… “

“Apa maksudnya semua itu?”

“Kalau di situ dikatakan ‘biarawati’, apa itu maksudnya gadis-gadis yang kita namakan biarawati itu? Soalnya, kudengar biarawati-biarawati Yoshiwara sudah mulai membedaki mukanya sampai putih, dan mau memberikannya pada kita dengan bayaran lebih murah daripada di rumah pelacuran…”

“Diam kau!”

“Pada waktu itu sang Budha Mengkhotbahkan Hukum sebagai berikut: ‘Hai, kalian lelaki dan wanita yang baik, Akuilah utangmu atas belas kasih ayahmu, Akuilah utangmu atas kemampuan ibumu. Demi kehidupan manusia di dunia ini, Milikilah karma sebagai asas pokok, Dan milikilah orangtua sebagai sumber terdekat nasabmu.”

“Ah, isinya cuma bagaimana bersikap baik kepada ibu dan bapak. Kita sudah sejuta kali mendengarnya.”

“Ssst!”

“Ayo nyanyikan lagi. Kami akan diam.”

“Tanpa ayah, anak takkan lahir. Tanpa ibu, anak takkan diberi makan. Semangat berasal dari benih ayah; Tubuh tumbuh di dalam rahim ibu’”

Juro berhenti untuk mempersiapkan diri kembali dan mengorek hidung­nya, kemudian mulai lagi.

“Karena hubungan ini,

Maka perhatian seorang ibu kepada anaknya Sungguh tiada bandingannya di dunia ini…, “

Melihat orang-orang lain diam, Juro bertanya, “Kalian mendengarkan, tidak?”

“Ya. Teruskan.”

“Semenjak ia menerima anak di dalam rahimnya,

Maka sembilan bulan lamanya,

Selagi pergi, datang, duduk, dan tidur, Ia selalu dikunjungi penderitaan,

Ia tak lagi mencintai makanan, minuman, atau pakaian seperti biasa,

Dan hanya memprihatinkan keselamatan kelahiran. “

“Capek aku,” keluh Juro. “Sudah cukup, kan?”

“Belum. Ayo terus nyanyi. Kami mendengarkan.”

“Bulannya pun penuh, dan harinya mencukupi.

Pada saat kelahiran, angin karma mendorong, Tulang sang ibu diamuk rasa nyeri. Sang ayah menggigil takut.

Sanak keluarga dan pembantu kuatir dan merana. Dan ketika anak lahir dan jatuh ke atas rumput, Kegembiraan sang ayah dan ibu tak terbatas, Bandingannya perempuan pelit Yang menemukan permata ajaib mahakuasa. Ketika sang anak memperdengarkan bunyi-bunyi pertama,

Sang ibu merasa ia sendiri lahir kembali. Dadanya menjadi tempat istirahat sang anak, Pangkuannya menjadi tempat mainnya,

Dan buah dadanya menjadi sumber makanannya Cinta sang ibu, itulah hidupnya.

Tanpa sang ibu, sang anak tak dapat mengenakan atau menanggalkan pakaian. Walaupun sang ibu lapar.

Ia ambil makanan dari mulutnya sendiri dan ia berikan kepada anaknya.

Tanpa sang ibu, sang anak tak dapat makan…. “

“Ada apa? Kenapa berhenti?”

“Tunggu dulu sebentar!”

“Hei, coba lihat itu. Dia nangis seperti bayi.”

”Diam kau!”

Semua tadi dimulai secara iseng untuk melewatkan waktu, hampir-ham­pir sebagai kelakar, tapi makna kata-kata sutra itu ternyata berhasil meng­endap. Tiga-empat orang, di luar si pembaca, memperlihatkan wajah tanpa senyum, dengan mata menerawang jauh.

“Sang ibu pergi ke kampung yang bertetangga untuk bekerja. Ia menimba air, membuat api, Menumbuk beras, membuat tepung. Malam hari, ketika ia kembali, Sebelum ia sampai rumah, ia dengar bayinya menangis, Dan hatinya penuh cinta.

Dadanya naik-turun, hatinya memekik, Air susu memancar, tak dapat ia menahan.

Ia lari ke rumab. Melihat ibunya mendekat dari jauh. Sang bayi menggerakkan otak, menggoyangkan kepala, Dan melolong memanggil ibunya. Ibunya membungkuk, Mengangkat kedua tangan anak itu, Meletakkan bibirnya ke bibir anaknya. Tak ada cinta yang lebih besar dari ini. Bila anak itu berumur dua tahun, la meninggalkan dada ibunya.

Tapi tanpa ayahnya, tak mungkin ia tahu api dapat membakar. Tanpa ibunya, tak mungkin ia tahu pisau dapat mengiris jari. Bila ia berumur tiga tahun, ia disapih dan belajar makan. Tanpa ayahnya, tak mungkin ia tahu racun dapat membunuh. Tanpa ibunya, tak mungkin ia tahu obat dapat menyembuhkan.

Apabila orangtua pergi ke rumah-rumah lain Dan mendapat makanan lezat, Mereka tidak memakannya, tapi memasukkannya ke kantung Dan membawanya pulang untuk anak itu, agar ia girang…. “

“Kau mewek lagi, ya?”

“Tak tahan aku. Teringat sesuatu.”

“Hentikan. Kau bisa bikin aku nangis juga.”

Sifat sentimental dalam hubungan dengan orangtua adalah tabu keras bagi para warga masyarakat tersingkir ini, karena menyatakan rasa cinta sebagai anak akan mengundang tuduhan lemah, keperempuan-perempuanan, atau lebih buruk lagi dari itu. Tapi hati Osugi yang sudah tua itu pasti akan senang sekali bila melihat mereka sekarang. Pembacaan kitab sutra itu telah mencapai inti hidup mereka, kemungkinan karena kesederhanaan bahasanya.

“Sudah habis, ya? Tak ada lagi?”

“Oh, masih banyak lagi.”

“Nah?”

“Tunggu sebentar dong!” Juro berdiri, membuang ingus keras-keras, lalu duduk untuk melagukan sisanya.

“Anak itu semakin besar.

Sang ayah membawa pakaian untuk dikenakannya. Sang ibu menyisir ikal rambutnya. Mereka berdua memberikan segala yang indah dari milik mereka, Sedang untuk mereka sendiri hanya yang sudah tua dan usang. Akhirnya anak itu mengambil istri Dan membawa orang asing itu masuk rumah. Orangtua itu menjadi lebih jauh. Suami-istri yang baru itu akrab satu dengan yang lain.

Mereka diam di kamar mereka sendiri, dan mengobrol bahagia berdua. “

“Memang begitu itu,” sela satu suara.

“Orangtua menjadi tua.

Semangat mereka melemah, kekuatan mereka menghilang. Hanya anak tumpuan mereka, Hanya istrinya bekerja untuk mereka.

Tetapi sang anak tidak lagi mendatangi mereka. Malam hari maupun siang hari. Kamar mereka dingin.

Tiada lagi pembicaraan menyenangkan. Mereka seperti tamu yang kesepian di sebuah penginapan.

Datang saat gawat, dan mereka memanggil anaknya. Sembilan dari sepuluh, sang anak tidak datang, Tidak juga ia melayani mereka. Ia jadi marab dan mencerca mereka, katanya, lebih baik mati daripada hidup terus tanpa guna di dunia ini. Orangtua mendengarkan, dan hatinya penub keberangan. Sambil menangis, kata mereka, ketika kau kecil,

Tanpa kami, tak akan kau lahir. Tanpa kami, tak akan kau tumbuh. Ah! Betapa kami…”

Juro mendadak berhenti dan melemparkan teks itu. “Oh, aku… aku tak bisa. Yang lain saja yang baca.”

Tapi tak seorang pun menggantikan tempatnya. Mereka semua menangis seperti anak hilang. Ada yang berbaring menelentang, ada yang tengkurap, ada yang duduk bersilang kaki, dengan kepala menunduk di antara kedua lututnya. Mereka berurai air mata, seperti anak-anak yang tersesat.

Ke tengah suasana yang hampir tak mungkin terjadi ini masuklah Sasaki Kojiro.

Hujan Musim Semi yang Merah

“Yajibei tak ada di sini?” tanya Kojiro keras.

Para penjudi begitu tenggelam dalam permainan, dan orang-orang yang menangis sedang tenggelam dalam kenangan tentang masa kecil mereka, hingga tak seorang pun menjawab.

Ia pergi mendapatkan Juro yang sedang menelentang dengan mata tertutup tangan, katanya, “Boleh aku tanya, apa yang terjadi di sini?”

“Oh, saya tidak tahu Anda yang datang tadi.” Di sana-sini, orang-orang buru-buru menghapus mata dan membuang ingus, ketika Juro dan lain­lainnya bangkit berdiri dan membungkuk malu-malu kepada guru pedang mereka.

“Kau menangis?” tanya Kojiro.

“Ya, ya. Maksud saya… tidak.”

“Aneh sekali kau ini.”

Yang lain-lain pergi menjauh, dan Juro bercerita tentang peristiwa yang dialaminya, bertemu dengan Musashi. Ia merasa senang ada pokok soal yang dapat mengalihkan perhatian Kojiro dari keadaan di kamar para pemuda itu. “Karena majikan pergi,” katanya, “kami tidak tahu apa yang mesti dilakukan, dan Osugi memutuskan pergi sendiri untuk bicara dengan Anda.”

Mata Kojiro menyala-nyala. “Musashi menginap di penginapan Bakurocho?”­

“Betul, tapi sekarang dia tinggal di rumah Zushino Kosuke.”

“Oh, ini peristiwa kebetulan yang menarik.”

“Apa betul begitu?”

“Kebetulan aku mengirimkan Galah Pengeringku pada Zushino buat digarap. Sebetulnya sekarang ini harus selesai. Aku datang kemari hari ini buat mengambilnya.”

“Anda sudah pergi ke sana?”

“Belum. Kupikir, aku singgah beberapa menit dulu ke sini.”

“Untung sekali. Kalau mendadak memperlihatkan diri, Musashi bisa me­nyerang Anda.”

“Aku tidak takut padanya. Tapi bagaimana mungkin aku bicara dengan wanita tua itu, kalau dia tak ada di sini?”

“Saya kira dia belum sampai Isarago. Akan saya kirim pelari yang baik, buat mem-bawanya kembali.”

Dalam sidang perang yang diadakan malam itu, Kojiro mengemukakan pendapat bahwa tak ada alasan untuk menanti kembalinya Yajibei. Ia sendiri akan bertindak selaku pembantu Osugi, hingga Osugi akhirnya dapat melakukan balas dendam. Juro dan Koroku minta ikut, tapi lebih banyak untuk gengsi daripada untuk membantu. Sekalipun sadar akan reputasi Musashi sebagai petarung, tak pernah mereka membayangkan bahwa ia sebanding dengan guru mereka yang gemilang itu.

Namun mereka tak bisa berbuat apa-apa malam itu. Osugi memang bersemangat sekali, tapi ia sangat lelah dan mengeluh sakit punggung. Maka mereka memutuskan melaksanakan rencana mereka itu malam beri­kutnya.

Sore keesokan harinya, Osugi mandi air dingin, menghitamkan gigi, dan mencat rambutnya. Senja hari itu, ia melakukan persiapan menghadapi pertempuran, mula-mula mengenakan jubah dalam putih yang dibelinya untuk pakaian mati dan sudah dibawa ke mana-mana bertahun-tahun lamanya itu. Ia sudah mencapkan jubah itu, demi nasib baik, di setiap tempat suci dan kuil yang ia kunjungi-Sumiyoshi di Osaka, Oyama Hachiman dan Kiyomizudera di Kyoto, Kuil Kannon di Asakusa, dan berlusin-lusin bangunan keagamaan yang kurang menonjol di berbagai bagian negeri ini. Cap-cap suci yang tertera di jubah itu sudah membuatnya menyerupai kimono celup ikat. Osugi merasa lebih aman dengan jubah itu daripada, misalnya, dengan baju besi.

Dengan hati-hati ia sisipkan surat kepada Matahachi ke dalam sabuk di bawah obi-nya, bersama satu salinan Sutra tentang Cinta Agung Orangtua. Juga sepucuk surat lain yang selalu disimpannya dalam kantung uang kecil. Surat itu berbunyi, Walaupun aku sudah tua, sudah menjadi nasibku me­ngembara di seluruh negeri ini, dalam usaha melaksanakan satu harapan besar. Tak mungkin aku mengetahui kesudahannya, tapi aku mungkin terbunuh oleh musuh bebuyutanku, atau mati karena penyakit di pinggir jalan. Sekiranya ini nasib yang menimpa, kuminta para pejabat dan orang-orang yang ber­kemauan baik menggunakan uang dalam kantung ini untuk mengirim tubuhku pulang. Osugi, janda Hon’iden, Kampung Yoshino, Provinsi Mimasaka.

Sesudah pedang terletak pada tempatnya, tulang kering sudah terbungkus kain pembalut kaki warna putih, tangan sudah mengenakan sarung tangan tanpa jari, dan obi yang berjahit kasar sudah erat mengikat kimononya yang tak berlengan itu, maka persiapan yang dilakukannya hampir sempurna. Sebuah mangkuk berisi air diletakkannya di meja tulis, lalu ia berlutut di depannya, dan katanya, “Aku pergi sekarang.” Kemudian ia memejamkan mata dan duduk tak bergerak-gerak, menujukan seluruh pikirannya kepada Paman Gon.

Juro membuka shoji sedikit dan mengintip. “Sudah siap, Nek?” tanyanya. “Sudah waktunya kita berangkat. Kojiro menunggu.”

“Aku siap.”

Ia menggabungkan diri dengan yang lain-lain, memasuki tempat ke­hormatan yang mereka sediakan di depan ceruk kamar. Koroku mengambil mangkuk dari meja, meletakkannya ke tangan Osugi, dan dengan hati-hati mengisinya dengan sake. Kemudian dituangkannya juga untuk Kojiro dan Juro. Ketika keempat orang itu sudah minum, lampu mereka padamkan, dan mereka berangkat.

Beberapa orang Hangawara minta dibawa serta, tapi Kojiro menolak, karena rombongan besar tidak hanya akan menarik perhatian, tapi juga membebani mereka nanti dalam pertempuran.

Ketika mereka sedang keluar dari pintu gerbang, seorang anak muda berseru kepada mereka untuk menunggu. Ia kemudian menyalakan api dengan batu api, sebagai tanda nasib baik. Di luar itu, di bawah langit yang kelam oleh awan mendung, burung-burung bulbul menyanyi.

Selagi mereka menempuh jalan-jalan gelap dan sunyi, anjing-anjing mulai menyalak, kemudian menyingkir, barangkali karena secara naluriah mereka merasa keempat manusia itu sedang melaksanakan misi yang me­nakutkan.

“Apa itu?” tanya Koroku sambil menatap ke belakang, ke arah jalan sempit.

“Apa kau melihat sesuatu?”

“Ada orang mengikuti kita.”

“Barangkali salah seorang dari rumah kita,” kata Kojiro. “Mereka semua begitu ingin ikut kita.”

“Mereka lebih suka cekcok daripada makan.”

Mereka mengikuti belokan jalan, dan Kojiro berhenti di bawah tepian atap sebuah rumah, katanya, “Toko Kosuke di sekitar sini, kan?” Suara mereka beralih menjadi bisikan.

“Di jalan ini, di pinggir sana.”

“Apa yang mesti kita lakukan sekarang?” kata Koroku.

“Terus seperti rencana. Kalian bertiga sembunyi dalam bayangan. Aku masuk toko.”

“Bagaimana kalau Musashi menyelinap keluar dari pintu belakang?”

“Jangan kuatir. Kurang kemungkinannya dia lari dariku, seperti aku juga dari dia. Kalau dia lari, habislah riwayatnya sebagai pemain pedang.”

“Tapi barangkali kita mesti menempatkan diri di kedua sisi yang ber­hadapan sekitar rumah itu, buat berjaga-jaga.”

“Baik. Nah, seperti kita setujui, akan kubawa Musashi ke luar, dan aku akan berjalan bersamanya. Kalau nanti kami sampai dekat Osugi, aku akan mencabut pedang dan mengejutkannya. Itulah saatnya Osugi keluar dan menyerang.”

Osugi sampai lupa diri karena bersyukur. “Terima kasih, Kojiro. Kau begitu baik terhadapku. Kau tentunya inkarnasi Hachiman yang Agung.” Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, seakan-akan ia ber­hadapan dengan dewa perang sendiri.

Dalam hati, Kojiro sepenuhnya yakin bahwa apa yang ia lakukan itu benar. Rasanya manusia biasa takkan bisa membayangkan betapa besar perasaan benar diri yang dimiliki Kojiro saat ia naik menuju pintu Kosuke itu.

Semula, ketika Musashi dan Kojiro masih muda belia, penuh semangat, dan berhasrat memperlihatkan keunggulan, sebetulnya tidak ada alasan yang dalam untuk terjadinya permusuhan di antara mereka. Memang benar ada persaingan, tapi hanya pergesekan yang biasa muncul antara dua petarung yang kuat perkasa dan hampir sebanding. Tetapi, yang kemudian menyayat hati Kojiro, adalah karena Musashi lambat laun memperoleh kemasyhuran sebagai pemain pedang. Dari pihak Musashi sendiri, ia menghormati keterampilan Kojiro yang luar biasa itu, terkecuali wataknya, dan ia selalu menghadapi Kojiro dengan cukup hati-hati. Namun tahun-tahun berlalu, dan mereka mendapati diri mereka saling berselisih mengenai berbagai soal Keluarga Yoshioka, nasib Akemi, peristiwa janda Hon’iden. Sekarang sudah tak mungkin lagi untuk berdamai.

Dan kini, ketika Kojiro memutuskan untuk menjadi pelindung Osugi, jalannya peristiwa sudah menjadi nasib yang tak terelakkan lagi.

“Kosuke!” Kojiro mengetuk-ngetuk pintu dengan pelan. “Apa kau masih jaga?” Cahaya lampu menerobos sebuah celah, tapi tak ada tanda kehidupan lain di dalam rumah.

Beberapa saat kemudian, terdengar pertanyaan. “Siapa?”

“Iwama Kakubei menggosokkan pedangku padamu. Aku datang meng­ambilnya.”

“Pedang yang besar panjang itu?”

“Buka dulu, biar aku masuk.”

“Tunggu sebentar.”

Pintu terbuka, dan kedua orang itu saling pandang. Kosuke menghalangi jalan, katanya singkat, “Pedang itu belum selesai.”

“Oh, begitu.” Kojiro mendesak melewati Kosuke, dan duduk di anak tangga yang menuju toko. “Kapan selesainya?”

“Nah, coba ya….” Kosuke menggosok dagunya dan menarik sudut-sudut matanya ke bawah, membuat wajahnya jadi tampak lebih sedih lagi.

Kojiro merasa dirinya dipermainkan. “Apa menurutmu tidak terlalu lama kau menggarap pedangku?”

“Sudah saya katakan dengan terang sekali pada Kakubei, saya tak bisa menjanjikan kapan selesainya.”

“Aku tak bisa lagi tanpa pedang itu.”

“Kalau begitu, Anda ambillah kembali.”

“Apa pula ini?” Kojiro tercengang. Tukang tidak biasa bicara demikian kepada samurai. Tapi Kojiro tidak mencoba mencari ketegasan mengenai apa yang melatarbelakangi sikap orang itu, melainkan langsung mengambil kesimpulan bahwa kunjungannya itu sudah diketahui terlebih dulu. Karena menurut pendapatnya ia mesti bertindak cepat, maka katanya, “Omong-­omong, kudengar Miyamoto Musashi dari Mimasaka tinggal di sini dengan­mu.”

“Dari mana Anda dengar itu?” kata Kosuke, tampak waspada. “Kebetulan dia memang tinggal dengan kami.”

“Bisa tolong panggilkan dia? Sudah lama aku tidak ketemu dia, sejak kami di Kyoto.”

“Siapa nama Anda?”

“Sasaki Kojiro. Dia tahu siapa aku.”

“Akan saya sampaikan bahwa Anda di sini, tapi saya tak tahu apakah dia mau menjumpai Anda.”

“Tunggu sebentar.”

“Ya?”

“Barangkali lebih baik kujelaskan. Kebetulan aku mendengar di rumah Yang Dipertuan Hosokawa bahwa orang yang wajahnya seperti Musashi tinggal di sini. Aku datang dengan maksud mengundang Musashi ke luar, untuk minum dan bicara sedikit.”

“Saya mengerti.” Kosuke membalikkan tubuh dan pergi ke belakang rumah.

Kojiro menimbang-nimbang, apa yang akan dilakukannya kalau Musashi menaruh kecurigaan dan menolak menjumpainya. Dua-tiga muslihat terpikir olehnya, tapi sebelum sempat mengambil keputusan, ia sudah dikejutkan oleh jeritan panjang menghebohkan.

Ia melompat seperti orang yang baru ditendang dengan kasar. Ia salah perhitungan. Strateginya telah diketahui—tidak hanya diketahui, melainkan telah berbalik menge-nainya. Musashi tentu telah menyelinap dari pintu belakang, menikung ke depan, dan menyerang. Tapi siapa yang menjerit tadi? Osugi? Juro? Koroku?

“Kalau begini jadinya…,” pikir Kojiro muram ketika ia berlari ke luar. Otot-ototnya menegang, darahnya berpacu, dan dalam sekejap ia sudah siap menghadapi segalanya. “Biar bagaimana, cepat atau lambat aku mesti bertempur dengannya,” pikirnya. Ia tahu itu, semenjak terjadinya peristiwa di celah Gunung Hiei. Sekarang tibalah waktunya! Kalau Osugi sudah di­robohkan, Kojiro bersumpah, darah Musashi akan menjadi persembahan bagi kedamaian abadi jiwa orang tua itu.

Baru saja melewati jarak sekitar sepuluh langkah, ia mendengar namanya dipanggil dari sisi jalan. Suara yang terdengar kesakitan itu seolah meng­hentikan larinya.

“Koroku, ya?”

“S-saya ke-kena!”

“Juro! Di mana Juro?”

“D-dia juga!”

“Di mana dia?” Sebelum datang balasan, Kojiro sudah melihat sosok Juro yang basah kuyup oleh darah, sekitar dua puluh meter jauhnya. Seluruh tubuhnya lalu siap siaga menjaga keselamatan dirinya. Tuturnya, “Koroku! Ke mana perginya Musashi?”

“Bukan… bukan… Musashi!” Koroku menggelengkan kepalanya ke kiri­ke kanan, karena tak mampu mengangkatnya.

“Apa katamu? Kaubilang bukan Musashi yang menyerangmu?”

“Bukan… bukan… Musa…”

“Siapa itu tadi?”

Pertanyaan itu tidak terjawab oleh Koroku.

Dengan pikiran kacau, Kojiro berlari mendekati Juro dan menariknya berdiri pada kerah kimononya yang merah lengket. “Juro, coba katakan, siapa itu tadi? Ke mana perginya?”

Tetapi Juro bukannya menjawab, melainkan meratap dengan napas terakhir yang berurai air mata, “Ibu… maafkan… mestinya tak…”

“Apa yang kau omongkan itu?” dengus Kojiro sambil melepaskan pakaian yang basah oleh darah itu.

“Kojiro! Kojiro! Kau itu, ya?”

Kojiro berlari ke arah suara Osugi, dan di situ dilihatnya perempuan tua itu tergeletak tanpa daya di selokan, wajah dan rambutnya penuh dengan jerami dan kupasan sayuran. “Keluarkan aku dari sini,” mohonnya.

“Apa kerja Ibu di air kotor itu?”

Suara Kojiro lebih terdengar marah daripada bersimpati. Direnggutkannya Osugi dengan serta-merta ke jalan, dan di situ Osugi roboh seperti gombal. “Ke mana perginya orang itu?” tanya Osugi, mendahului kata-kata yang akan diucapkan Kojiro.

“Orang yang mana? Siapa yang menyerang Ibu tadi?”

“Aku tidak tahu betul kejadiannya, tapi aku yakin orang yang mengikuti kita tadi itu.”

“Apa dia menyerang tiba-tiba?”

“Ya! Entah dari mana, macam tiupan angin. Tak sempat lagi bicara. Dia melompat dari tempat gelap, dan menyerang Juro dulu. Begitu Koroku menarik pedang, dia sudah luka juga.”

“Ke mana dia pergi?’

“Dia dorong aku ke samping, jadi aku tak melihatnya, tapi langkah kakinya ter-dengar ke sana.” Osugi menuding ke sungai.

Kojiro berlari melintasi lapangan kosong, tempat orang biasa menye­lenggarakan pasar kuda, dan sampai di tanggul Yanagihara. Di situ ia berhenti dan menoleh ke sekitar. Tak jauh dari situ, ia melihat beberapa tumpukan kayu, lampu, dan orang. Ketika sudah dekat, ia lihat orang-orang itu adalah pemikul joli. “Dua teman saya dipukul orang di jalan cabang, tak jauh dari sini,” katanya. “Tolong ambil mereka dan bawa ke rumah Hangawara Yajibei di daerah tukang kayu. Bersama mereka ada seorang perempuan tua. Bawa dia juga.”

“Apa mereka diserang penyamun?”

“Apa di sekitar sini ada penyamun?”

“Banyak sekali. Kami sendiri mesti hati-hati.”

“Mestinya tadi ada orang lari dari sudut sana. Apa kalian tak melihatnya?”

“Maksud Tuan, baru saja?”

“Ya.”

“Saya berangkat sekarang,” kata pemikul joli itu. la dan teman-temannya mengangkat tiga joli dan bersiap berangkat. “Bagaimana bayarannya?” tanya seorang. “Minta saja kalau sudah sampai sana.”

Kojiro cepat memeriksa tepi sungai dan sekitar tumpukan kayu. Sambil memeriksa, ia memutuskan untuk kembali ke rumah Yajibei. Tak banyak gunanya bertemu dengan Musashi tanpa Osugi. Dan lagi kurang bijaksana menghadapi orang itu dalam keadaan pikiran seperti sekarang.

Ia kembali dan sampai di sebuah tempat terbuka yang sempit. Salah satu sisi tempat terbuka itu ditumbuhi sebaris pohon paulownia. Ia meman­dangnya sebentar, kemudian, ketika membalik, ia melihat kilas pedang di antara pepohonan itu. Sebelum ia menyadarinya, setengah lusin daun sudah runtuh. Pedang itu diarahkan ke kepalanya.

“Pengecut tak punya hati!” teriaknya.

“Bukan!” terdengar balasannya, ketika pedang untuk kedua kalinya me­nebas dari kegelapan.

Kojiro berpusing dan melompat balik sejauh tiga meter penuh. “Kalau kau Musashi, kenapa tidak pakai cara…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pedang itu sudah menyerang lagi. “Siapa kau!” teriaknya. “Apa kau tidak salah sasaran?”

Tebasan ketiga dapat ia elakkan dengan baik. Si penyerang terengah-­engah. Sebelum mencoba menebas untuk keempat kalinya, sadarlah ia bahwa usaha yang dilakukannya sia-sia saja. Ia mengubah taktik dan mulai mendesak ke depan, sambil menyorongkan pedang. Matanya memancarkan api. “Diam kau!” teriaknya. “Tak ada yang salah sama sekali! Tapi akan menyegarkan ingatanmu kalau kau tahu namaku. Aku Hojo Shinzo.”

“Oh, jadi kau salah seorang murid Obata?”

“Kau sudah menghina guruku dan membunuh beberapa kawanku.”

“Tapi, menurut sopan santun prajurit, kau bebas menantangku terang-­terangan, kapan saja. Sasaki Kojiro tak biasa main petak umpet.”

“Kubunuh kau.”

“Silakan, coba saja.”

Sambil memperhatikan orang itu makin mendekat-empat meter, diam-diam Kojiro pun melonggarkan bagian atas kimononya dan melekatkan tangan kanannya ke pedang. “Ayo!” teriaknya.

Tantangan itu ternyata menimbulkan keraguan pada Shinzo, kesangsian sesaat. Tubuh Kojiro membungkuk ke depan, lengannya mendetak seperti busur, dan terdengar dering logam. Detik berikutnya pedangnya sudah mendetak tajam, masuk kembali ke sarungnya. Yang tampak tadi hanya sebaris kilasan cahaya.

Shinzo masih berdiri, kakinya terbuka lebar. Tidak ada darah yang keluar, tapi jelas ia sudah terluka. Walaupun pedangnya masih terulur se­tinggi mata, tangan kirinya dengan refleks sudah memegang leher.

“Oh!” Terdengar suara tergagap dari depan dan belakang Shinzo—dari Kojiro dan dari orang yang berlari mendekat dari arah belakang Shinzo. Bunyi langkah kaki dan suara itu menyebabkan Kojiro lari ke dalam gelap.

“Apa yang terjadi?” teriak Kosuke. la menggapai untuk membantu Shinzo, tapi tubuh orang itu roboh dengan seluruh bobotnya ke tangannya.

“Oh, gawat ini!” teriak Kosuke, “Tolong! Hei! Tolong!”

Sekeping daging yang tak lebih besar dari kerang remis jatuh dari leher Shinzo. Darah menyembur, semula membasahi lengan Shinzo, kemudian tepi kimononya, dan terus ke kakinya.

Potongan Kayu

BLUK. Satu lagi buah prem yang masih hijau jatuh dari pohon di kebun gelap di luar. Musashi tidak menghiraukannya, itu pun kalau ia men­dengarnya. Dalam cahaya lampu yang terang namun bergoyang-goyang itu. rambutnya yang kusut tampak berat dan tegak, kelihatan kering dan kemerahan.

“Bukan main sukarnya anak ini!” demikian ibunya dulu sering mengeluh. Watak keras kepala yang demikian sering menyebabkan si ibu mencucurkan air mata itu masih melekat padanya, sama teguhnya dengan bekas luka di kepalanya. Sisa sebuah bisul besar selagi ia kecil dulu.

Kenangan tentang ibunya kini mengapung di dalam angannya. Sekali-­sekali, wajah yang sedang diukirnya mirip sekali dengan wajah ibunya.

Beberapa menit sebelum itu, Kosuke datang ke pintunya. Setelah ragu­-ragu sebentar, ia berseru, “Anda masih kerja? Ada orang datang. Namanya Sasaki Kojiro. Katanya ingin ketemu. Dia menunggu di bawah. Anda mau bicara dengannya, atau saya katakan saja Anda sudah tidur?”

Musashi hanya samar-samar menyadari bahwa Kosuke sudah mengulang­-ulang pesan itu, tapi ia sendiri tak yakin apakah sudah menjawab.

Meja kecil, lutut Musashi, dan lantai di sekitar itu sudah penuh serpihan kayu. Ia sedang berusaha menyelesaikan patung Kannon yang ia janjikan pada Kosuke sebagai ganti pedang itu. Tugas itu lebih menantang lagi. karena merupakan pesanan khusus dari Kosuke, orang yang jelas sekali sikap suka atau tidak sukanya.

Ketika pertama kali Kosuke mengeluarkan potongan kayu sepanjang duapuluh lima sentimeter dari sebuah lemari, dan pelan-pelan menyerahkan kepadanya, Musashi melihat bahwa kayu itu mestinya sudah enam atau tujuh ratus tahun umurnya. Kosuke memperlakukan kayu itu seperti pusaka, karena kayu itu berasal dari sebuah kuil abad delapan di kubur ­Pangeran Shotoku di Shinaga.

“Waktu itu saya melakukan perjalanan ke sana,” Kosuke menjelaskan, “ketika mereka sedang membetulkan bangunan-bangunan tua itu. Beberapa biarawan dan tukang kayu bodoh mengampaki balok-balok tua itu untuk kayu api. Saya tak tahan melihat kayu itu disia-siakan demikian, karena itu saya minta mereka memotongkan kayu ini buat saya.”

Urat kayu itu baik, begitu juga sentuhan kayu itu pada pisau, tapi karena Kosuke demikian tinggi menilai hartanya itu, Musashi jadi gugup. Kalau ia membuat kesalahan sedikit saja, pasti ia merusak bahan yang tak tergantikan lagi itu.

Ia mendengar debam keras yang kedengarannya seperti angin meng­empaskan gerbang sampai terbuka di pagar halaman. Ia menengadah dari pekerjaannya, barangkali untuk pertama kalinya semenjak ia mulai mengukir, dan pikirnya, “Apa mungkin Iori?” Ia menelengkan kepala, menanti.

“Kenapa berdiri menganga saja?” teriak Kosuke pada istrinya. “Apa kau tidak lihat, orang ini luka parah? Tak ada bedanya kamar yang mana!”

Di belakang Kosuke, orang-orang yang mengangkut Shinzo sibuk me­nawarkan pertolongan.

“Ada minuman keras buat membasuh luka? Kalau tak ada, saya akan pulang mengambil.”

“Saya akan memanggil dokter.”

Sesudah keributan itu mereda sedikit, kata Kosuke, “Saya ucapkan terima kasih kepada Anda sekalian. Saya pikir kita sudah menyelamatkan hidupnya. Tak perlu kuatir lagi.” Ia membungkuk rendah kepada masing-­masing orang itu, ketika mereka meninggalkan rumah.

Akhirnya mulai sadarlah Musashi bahwa ada sesuatu yang telah terjadi, dan Kosuke terlibat dalam kejadian itu. Ia mengibaskan serpihan kayu dari pangkuannya, menuruni tangga yang tersusun dari peti-peti penyimpanan yang bertingkat-tingkat, dan pergi ke kamar tempat Kosuke dan istrinya sedang berdiri menekuri orang yang terluka itu.

“Oh, Anda masih jaga?” tanya si penggosok pedang, sambil menyingkir memberikan tempat pada Musashi.

Musashi duduk dekat bantal orang itu, memperhatikan wajahnya baik­baik, dan tanyanya. “Siapa dia?”

“Saya sendiri terkejut bukan main. Saya tidak mengenalinya, sampai kami sudah membawanya kemari. Ini Hojo Shinzo, anak Yang Dipertuan Hojo dari Awa. Dia pemuda yang sangat berbakti, yang beberapa tahun lamanya belajar di bawah pimpinan Obata Kagenori.”

Hati-hati Musashi mengangkat ujung pembalut putih di sekitar leher Shinzo, memeriksa luka yang sudah dibakar, dan kemudian dicuci dengan alkohol. Gumpal daging sebesar kerang remis itu teriris rapi sekali, hingga kelihatan nadi lehernya yang berdetik-detik. Maut sudah demikian dekat.

“Siapa?” Musashi bertanya-tanya dalam hati. Melihat bentuk lukanya, ada kemungkinan pedangnya sedang mengayun ke atas dalam pukulan layang-layang terbang. Pukulan layang-layang terbang? Ini ciri khas Kojiro.

“Anda tahu kejadiannya?” tanya Musashi.

“Belum.”

“Saya juga tidak tahu, tentu saja, tapi saya dapat mengatakan ini.” Ia mengangguk-kan kepala, penuh keyakinan. “Ini ulah Sasaki Kojiro.”

Sampai di kamarnya sendiri, Musashi berbaring di atas tatami, berbantal­kan tangan, tanpa menghiraukan barang-barang yang berantakan di sekitar­nya. Kasurnya telah dihamparkan, tapi tak dihiraukannya, sekalipun ia sudah lelah.

Hampir empat puluh delapan jam berturut-turut ia bekerja membuat patung itu. Karena ia bukan pematung, maka ia tak punya keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah-masalah sulit, dan ia juga tidak dapat membuat goresan-goresan cekatan untuk mengoreksi ke­salahan. Tak ada yang menjadi pegangannya, kecuali gambaran Kannon yang disimpannya dalam hati. Satu-satunya teknik baginya adalah bagaimana menjernihkan otaknya dari pikiran-pikiran sampingan, dan berusaha keras untuk secara tulus memindahkan gambaran itu ke dalam kayunya.

Sejenak ia mengira patung itu sudah berbentuk, tapi ternyata bentuk itu salah. Gambaran dalam pikirannya salah dituangkan oleh kerja belati di tangannya. Kali lain ia merasa mendapat kemajuan lagi, tapi kembali ukiran itu meleset. Sesudah berkali-kali membuat kesalahan, potongan kayu kuno itu pun surut, tinggal sepanjang sepuluh senti.

Ia mendengar burung bulbul berbunyi dua kali, dan ia tertidur selama sekitar satu jam. Ketika terbangun, tubuhnya yang kuat kembali meng­gelembung penuh kekuatan, dan pikirannya jernih sejernih-jernihnya. Ia bangkit, dan pikirnya, “Kali ini pasti berhasil.” Ia pergi ke sumur di belakang rumah, membasuh wajah, dan meneguk air banyak-banyak. Dengan badan segar kembali, ia duduk di samping lampu lagi dan mulai bekerja dengan tenaga baru.

Pisau itu sekarang terasa lain. Melalui urat kayu, ia rasakan sejarah ber­abad-abad termuat dalam potongan kayu itu. Ia tahu bahwa kalau kali ini ukirannya salah lagi, takkan ada yang tertinggal kecuali timbunan serpihan kayu yang tak berguna. Beberapa jam berikutnya, ia memusatkan perhatian dengan saksama. Tidak sekali pun punggungnya ditegakkan, dan ia juga tidak berhenti untuk minum air. Langit menjadi terang, burung-burung mulai menyanyi, dan semua pintu rumah itu dibuka agar rumah dapat dibersihkan, tapi pintu Musashi sendiri tetap tertutup. Perhatiannya terus terpusat pada ujung pisaunya.

“Musashi, Anda tak apa-apa?” tanya tuan rumah dengan nada kuatir, ketika ia membuka shoji dan masuk kamar.

“Tidak bagus,” keluh Musashi. Ia menegakkan badan dan melemparkan belati ke samping. Potongan kayu itu tinggal seukuran ibu jari manusia. Kayu di sekitar kakinya bertebaran seperti saiju.

“Tidak bagus?”

“Tidak bagus.”

“Bagaimana kayunya?”

“Habis…. Tak dapat saya menampilkan bentuk bodhisatwa itu.” Ia meletakkan tangan di belakang kepala, dan baru merasa dirinya kembali ke bumi, sesudah tergantung-gantung di antara khayal dan pencerahan dalam jangka waktu tak menentu. “Betul-betul tidak bagus. Sudah waktunya melupakan dan bersemedi.”

Ia berbaring menelentang, memejamkan mata, dan gangguan-gangguan terasa menyingkir, digantikan oleh kabut yang membutakan. Lambat laun pikirannya terisi oleh gagasan tunggal tentang kehampaan tak terbatas.

Kebanyakan tamu yang meninggalkan penginapan pagi itu adalah pe­dagang kuda. Mereka pulang sesudah berakhirnya pasar empat hari pada hari sebelumnya. Selama beberapa minggu mendatang, penginapan tidak akan mendapat banyak pengunjung.

Melihat Iori menaiki tangga, pemilik penginapan memanggilnya dari kantor.

“Ada apa?” tanya Iori. Dan tempat yang menguntungkan itu, ia dapat melihat bagian botak yang disamarkan dengan baik di kepala perempuan itu.

“Mau ke mana kau?”

“Ke atas, ke tempat guru saya. Apa ada yang salah?”

“Lebih dari itu,” jawab perempuan itu dengan pandangan jengkel. “Kapan kau meninggalkan tempat ini?”

Iori menghitung dengan jari, dan menjawab, “Hari sebelum kemarin dulu, saya pikir.”

“Jadi, tiga hari yang lalu?”

“Betul.”

“Kau berlambat-lambat, ya? Apa yang terjadi? Apa ada rubah menenungmu?”

“Bagaimana kau bisa tahu? Kau sendiri mestinya rubah.” Ion pun mengikik mendengar kata-kata tangkisannya sendiri, kemudian mulai naik lagi.

“Gurumu tak ada di situ lagi.”

“Aku tak percaya.” la lari mendaki tangga, tapi segera berbalik dengan pandangan cemas. “Apa dia ganti kamar?”

“Ada apa denganmu ini? Sudah kukatakan, dia sudah pergi.”

“Betul-betul pergi?” Dalam suara Iori terdengar nada panik. “Kalau kau tak percaya, lihat saja dulu rekeningnya. Lihat, tidak?”

“Tapi kenapa? Kenapa dia pergi sebelum aku pulang?”

“Karena kau pergi terlalu lama.”

“Tapi… tapi…” Iori menangis. “Ke mana dia pergi? Ayolah, kasih tahu.”

“Dia tidak bilang ke mana perginya. Kurasa dia meninggalkanmu karena kau begitu tak berguna.”

Wajah Iori berubah warha, dan ia menyerbu ke jalan. la melihat ke timur, ke barat, kemudian ke langit. Air matanya bercucuran.

Sambil menggaruk kepalanya yang botak dengan sisir, pecahlah tawa garau perempuan itu. “Jangan nangis lagi,” serunya. “Aku cuma mem­bohongimu. Gurumu tinggal di rumah penggosok pedang di sana itu.” Baru saja ia selesai bicara, sebuah ladam jerami melayang masuk kantor itu.

Dengan takut-takut, Iori duduk bersila di dekat Musashi, dan dengan suara ditekan melaporkan, “Saya sudah kembali.”

Ia melihat suasana murung menyelimuti rumah. Serpihan kayu belum dibersihkan, dan lampu yang sudah padam masih terletak di tempatnya semalam.

“Saya sudah kembali,” ulang Iori, tapi tidak lagi keras seperti tadi. “Siapa ini?” gumam Musashi, sambil pelan-pelan membuka mata. “Iori.”

Musashi cepat duduk. Ia merasa lega melihat anak itu kembali dengan selamat, tapi satu-satunya yang diucapkannya adalah, “Oh, kau, ya?”

“Minta maaf, begitu lama saya pergi.” Kata-kata itu tak terbalas. “Maafkan saya.” Permintaan maaf maupun bungkukan sopan tidak mendatangkan balasan.

Musashi mengetatkan obi-nya, katanya, “Buka jendela-jendela, dan bersih­kan kamar.”

Ia keluar kamar, dan baru Iori sempat berkata, “Baik, Pak.” Musashi pergi ke kamar bawah di belakang, dan bertanya pada Kosuke, bagaimana keadaan si sakit pagi itu.

“Kelihatannya sudah bisa beristirahat lebih baik.”

“Anda mestinya lelah. Apa saya mesti kembali sesudah makan pagi. supaya Anda dapat beristirahat?”

Kosuke menjawab tak ada perlunya. “Ada satu hal yang perlu dilakukan.” tambahnya. “Saya pikir, kita mesti kasih tahu Perguruan Obata tentang ini. tapi tak ada orang yang bisa saya suruh.”

Musashi menawarkan pergi sendiri atau menyuruh Iori, kemudian ia kembali ke kamarnya sendiri, yang kini sudah rapi. Ia duduk, dan katanya. “Iori, apa ada balasan suratku?”

Karena lega tidak dimarahi, anak itu tersenyum. “Ya, saya membawa balasan. Ada di sini.” Dengan wajah penuh kemenangan, ia mengambil surat dari dalam kimononya.

“Bawa sini.”

Iori maju berlutut dan meletakkan kertas lipatan itu ke tangan Mushasi yang diulurkan.

Dengan permintaan maaf, terpaksa saya sampaikan, tulis Sukekuro, bahwa Yang Dipertuan Munenori sebagai guru shogun tidak dapat melakukan pertarungan dengan Anda, sebagaimana Anda kehendaki. Namun kalau Anda datang berkunjung dengan tujuan lain, ada kemungkinan Yang Dipertuan menyambut Anda di dojo. Kalau Anda masih merasa ingin sekali mencoba tangan Anda melawan Gaya Yagyu, saya pikir yang terbaik adalah Anda menghadapi Yagyu Hyogo. Namun dengan menyesal perlu saya sampaikan bahwa ia berangkat ke Yamato kemarin, untuk mendampingi Yang Dipertuan Sekishusai yang sakit keras. Karena demikian keadaannya, terpaksa saya mohon Anda mengundurkan kunjungan Anda sampai lain hari. Pada waktu lain, saya senang dapat mengatur segala sesuatunya.

Sambil pelan-pelan menggulung kembali gulungan panjang itu, Musashi tersenyum. Karena merasa lebih aman, Iori melunjurkan kakinya dengan enak, katanya, “Rumah itu bukan di Kobikicho, tapi di tempat yang namanya Higakubo. Rumah itu besar sekali, bagus sekali, dan Kimura Sukekuro memberi saya banyak makanan yang enak-enak.”

Dengan alis melengkung, yang menyatakan tak setuju dengan sikap akrab itu, Musashi berkata muram, “Iori.”

Kaki anak itu cepat bergerak kembali pada kedudukan yang wajar, yaitu bersimpuh di bawahnya, “Ya, Pak.”

“Biarpun kau tersesat, apa tiga hari itu tidak terlalu lama menurutmu? Apa yang terjadi?”

“Saya kena tenung rubah.”

“Rubah?”

“Ya, Pak, rubah.”

“Bagaimana mungkin anak macam kau, yang lahir dan dibesarkan di desa, kena tenung rubah?”

“Saya tidak tahu, tapi setelah itu saya tak ingat, di mana tadinya saya berada selama setengah hari setengah malam.”

“Hmm. Aneh sekali.”

“Ya, Pak. Tap pikir saya sendiri begini. Barangkali rubah di Edo lebih dendam kepada orang banyak daripada yang ada di kampung.”

“Kukira benar begitu.” Melihat sikap sungguh-sungguh anak itu, Musashi tak sampai hati memakinya, tapi ia merasa perlu mengejar maksudnya. “Tapi kukira,” sambungnya, “kau waktu itu akan melakukan sesuatu yang tak semestinya.”

“Tapi rubah itu mengikuti saya, dan supaya dia tidak menenung saya, saya lukai dia dengan pedang saya. Dan akibatnya dia menghukum saya.”

“Ah, tak mungkin.”

“Tak mungkin, ya?”

“Tidak. Bukan rubah yang menghukummu. Itu hati nuranimu sendiri yang tidak kelihatan. Sekarang duduklah di situ, dan pikirkan hal itu sebentar. Kalau nanti aku kembali, ceritakan padaku, apa arti semua itu menurutmu.”

“Baik, Pak. Apa Bapak mau pergi sekarang?”

“Ya, ke suatu tempat dekat Tempat Suci Hirakawa, di Kojimachi.”

“Bapak kembali petang hari, kan?”

“Ha, ha. Tentunya, kecuali kalau rubah menangkapku.”

Musashi berangkat, meninggalkan Iori untuk merenungkan hati nuraninya. Di luar, langit digelapkan oleh awan suram, awan musim hujan di tengah musim panas.

Guru yang Ditinggalkan

HUTAN di sekitar Tempat Suci Hirakawa Tenjin itu riuh oleh suara jangkrik. Seekor burung hantu berbunyi, sementara Musashi berjalan dari pintu gerbang ke pendopo rumah Obata.

“Selamat siang,” serunya, tetapi salamnya itu memantul kembali, seakan-­akan dari gua yang kosong.

Beberapa waktu kemudian, didengarnya langkah-langkah kaki. Samurai muda yang muncul mengenakan dua bilah pedang itu jelas bukan sekadar bawahan yang ditugaskan menerima tamu.

Tanpa repot-repot berlutut, ia bertanya, “Boleh saya tahu nama Anda?” Umurnya tak lebih dari dua puluh empat atau dua puluh lima tahun, tapi ia memberikan kesan sebagai orang yang mesti diperhitungkan.

“Nama saya Miyamoto Musashi. Apakah benar dugaan saya, bahwa ini akademi pengetahuan militer Obata Kagenori?”

“Ya, betul,” terdengar jawabannya dengan nada pendek-pendek. Dari tingkah laku samurai itu, jelaslah ia mengharap Musashi akan menjelaskan, bagaimana ia berkelana untuk menyempurnakan pengetahuannya dalam seni perang, dan seterusnya.

“Salah seorang siswa perguruan Anda terluka dalam perkelahian,” kata Musashi. “Dia sekarang dirawat oleh penggosok pedang Zushino Kosuke yang, saya yakin, Anda kenal. Saya datang kemari atas permintaan Kosuke.”

“Oh, tentunya Shinzo!” Selintas samurai muda itu tampak terkejut, tapi ia dapat memulihkan dirinya kembali dengan cepat. “Maafkan saya. Saya anak tunggal Kagenori, Yogoro. Saya ucapkan terima kasih atas jerih payah Anda datang menyampaikan berita ini kemari. Apakah hidup Shinzo dalam bahaya?”

“Kelihatannya lebih baik tadi pagi, tapi masih terlalu dini baginya untuk dipindahkan. Saya pikir lebih bijaksana kalau dia tinggal sementara waktu di rumah Kosuke.”

“Saya mohon Anda menyampaikan terima kasih kami kepada Kosuke.”

“Dengan senang hati.”

“Sebenarnya, semenjak ayah saya terbaring di tempat tidur, Shinzo menggantikan tempatnya dalam memberikan kuliah, sampai musim gugur lalu, ketika tiba-tiba dia pergi. Seperti Anda lihat, hampir tak ada orang sekarang di sini. Saya menyesal tak dapat menerima Anda sepantasnya.”

“Hal itu tak penting. Tapi kalau boleh bertanya, apakah ada perseteruan antara perguruan Anda dan Sasaki Kojiro?”

“Ya. Saya sedang tak ada di rumah ketika permusuhan itu dimulai, karena itu saya tidak tahu detailnya, tetapi rupanya Kojiro menghina ayah saya. Tentu saja murid-murid marah. Mereka memutuskan sendiri untuk menghukum Kojiro, tetapi Kojiro berhasil membunuh beberapa orang di antara mereka. Menurut penilaian saya, Shinzo pergi karena akhirnya dia menyimpulkan bahwa dia sendiri harus membalas dendam.”

“Begitu. Kalau demikian, mulai jelas soalnya. Tapi, kalau boleh, saya ingin memberikan sedikit nasihat kepada Anda. Jangan perangi Kojiro. Dia tak dapat dikalahkan dengan teknik-teknik pedang yang biasa, Dan dia lebih tak mempan lagi oleh strategi yang rumit. Sebagai petarung, pembicara, Dan ahli strategi, dia tak ada bandingannya, termasuk di antara ahli-ahli paling besar yang hidup sekarang.”

Penilaian ini menimbulkan ledakan api kemarahan di mata Yogoro. Dan melihat ini, Musashi merasa bijaksana kalau ia mengulangi peringatannya. “Biarlah orang angkuh itu berjaya,” tambahnya. “Tak ada artinya menentang bencana hanya karena keluhan tak berarti. Jangan layani pikiran yang menyatakan bahwa kekalahan Shinzo mengharuskan Anda mengadakan perhitungan. Kalau Anda berbuat demikian, Anda hanya akan menyusul langkahnya. Dan itu bodoh, bodoh sekali.”

Sesudah Musashi tidak kelihatan lagi, Yogoro menyandarkan diri ke dinding dengan tangan terlipat. ia menggerutu pelan, dengan suara sedikit menggeletar, “Keadaan sudah begini parah. Shinzo gagal!” Sambil menatap kosong ke langit-langit, ia memikirkan surat Shinzo yang ditinggalkan untuknya. Dalam surat itu, Shinzo mengatakan tujuan kepergiannya adalah membunuh Kojiro, dan kalau tidak berhasil, Yogoro barangkali takkan melihatnya lagi dalam keadaan hidup.

Sekarang Shinzo ternyata tidak mati, tapi itu tidak menyebabkan ke­kalahannya terasa kurang hina. Karena perguruan terpaksa menangguhkan kegiatannya, orang banyak pada umumnya menyimpulkan bahwa Kojiro benar—akademi Obata adalah perguruan para pengecut, atau paling tidak untuk kaum teoretikus yang tak punya kemampuan praktis. Hal ini telah menyebabkan perginya sejumlah murid. Lain-lainnya, yang merasa prihatin dengan penyakit Kagenori atau merosotnya Gaya Koshu, telah beralih pada Naganuma yang menjadi saingan mereka. Hanya dua-tiga orang yang masih tinggal.

Yogoro memutuskan untuk tidak menyampaikan kepada ayahnya berita tentang Shinzo. Agaknya satu-satunya langkah yang dapat diambilnya adalah melayani orang tua itu sebaik-baiknya, sekalipun dokter berpendapat bahwa penyembuhan tidaklah mungkin.

“Yogoro, di mana kau?”

Yogoro tak habis-habisnya merasa kagum, bahwa sekalipun ayahnya itu sudah berada di ambang maut, suaranya terdengar sebagai suara orang yang betul-betul sehat, manakala ia ingin memanggil anaknya.

“Ya.” Ia lari ke kamar si sakit, berlutut, dan katanya, “Bapak memanggil?”

Seperti sering dilakukannya apabila lelah berbaring menelentang, Kagenori bertumpu pada sikunya di dekat jendela, dan mengistirahatkan lengannya di bantal. “Siapa samurai yang baru saja keluar dari gerbang?” tanyanya.

“Hh,” kata Yogoro, sedikit bingung. “Oh, dia. Bukan orang penting. Cuma suruhan.”

“Suruhan dari mana?”

“Yah, rupanya Shinzo mengalami kecelakaan. Samurai itu datang memberi­tahukan pada kita. Dia mengatakan namanya Miyamoto Musashi.”

“Mm. Dia bukan kelahiran Edo, ya?”

“Bukan. Saya dengar dia dari Mimasaka. Seorang ronin. Apa Bapak mengenalnya?”

“Tidak,” jawab Kagenori, disertai gelengan keras jenggotnya yang putih jarang. “Tak ingat aku, apa pernah melihat dan mendengar tentang dia. Tapi ada sesuatu yang istimewa pada dirinya. Dalam hidupku, sudah banyak aku bertemu orang hebat, di medan pertempuran maupun dalam kehidupan biasa. Ada yang sangat hebat, dan mereka itu orang-orang yang sangat kuhargai. Tapi orang yang dapat kuanggap samurai murni dalam arti sebenar-benarnya sedikit sekali jumlahnya. Orang itu tadi—Musashi, kata­mu?—menarik perhatianku. Aku ingin bertemu dengannya, omong-omong sedikit. Coba suruh dia kembali kemari.”

“Baik, Pak,” jawab Yogoro patuh. Tapi, sebelum bangkit berdiri, ia meneruskan dengan nada sedikit heran. “Menurut Bapak, apa yang istimewa padanya? Bapak hanya melihatnya dari jauh.”

“Kau takkan mengerti. Dan pada saat kau mengerti nanti, kau pasti sudah tua dan layu macam aku.”

“Tapi tentunya ada apa-apanya.”

“Aku mengagumi kewaspadaannya. Dia tak mau ambil risiko, biarpun di depan orang tua yang sudah sakit macam aku. Waktu masuk gerbang, dia berhenti dan melihat ke sekitarnya, ke arah susunan rumah ini, ke arah jendela-jendela, terbuka atau tertutup, ke arah jalan yang menuju halaman ­semuanya. Dia lakukan semua itu dengan sekali pandang. Tidak ada yang luar biasa dalam hal itu. Siapa pun akan menyimpulkan dia cuma berhenti sebentar sebagai tanda hormat. Aku kagum.”

“Kalau demikian, apa Bapak mengira dia samurai sejati?”

“Barangkali. Aku yakin dia orang yang memesona untuk diajak bicara. Coba panggil dia.”

“Bapak tidak takut akan jelek akibatnya?” Kagenori sudah demikian ber­semangat, dan Yogoro teringat nasihat dokter bahwa ayahnya tak boleh bicara terlalu lama.

“Jangan bebani kepalamu dengan soal kesehatanku. Sudah bertahun­-tahun aku menanti bertemu dengan orang macam itu. Aku mempelajari ilmu militer selama ini bukan untuk kuajarkan pada anak-anak. Kuakui, teori-teori ilmu militerku disebut Gaya Koshu, tapi teori-teori itu bukan sekadar kelanjutan dari rumus-rumus yang dipakai oleh para Prajurit Koshu ternama. Gagasan-gagasanku berlainan dengan gagasan Takeda Shingen, Uesugi Kenshin, Oda Nobunaga, ataupun jenderal-jenderal lain yang berjuang untuk menguasai negeri ini. Tujuan ilmu militer sudah berubah sejak itu. Teoriku tertuju ke arah pencapaian perdamaian dan kemantapan. Kau tahu sebagian dart hal-hal ini, tapi persoalannya adalah pada siapa aku dapat mempercayakan gagasan ini.”

Yogoro terdiam.

“Anakku, banyak hat yang ingin kusampaikan padamu, tapi kau masih belum matang, terlalu belum matang untuk mengenali nilai-nilai menonjol pada orang yang baru saja kaujumpai tadi.”

Yogoro menundukkan matanya, tetapi menerima kecaman itu dengan diam.

“Memang aku cenderung membenarkan semua yang kau lakukan, tapi melihatmu belum matang, tak ada kesangsian dalam hatiku. Kau belum menjadi orang yang dapat meneruskan kerjaku, karena itu aku harus men­cari orang yang tepat dan mempercayakan masa depanmu kepadanya. Selama ini aku menanti datangnya orang yang tepat itu. Ingat, apabila bunga sakura jatuh berguguran, dia serahkan tugas pada angin untuk me­nyebarkan tepung sarinya.”

“Bapak jangan jatuh dulu. Bapak harus terus hidup.”

Orang tua itu menatap, dan mengangkat kepalanya. “Bicara macam itu membuktikan bahwa kau masih kanak-kanak! Sekarang pergilah, kejar samurai itu!”

“Baik, Pak!”

“Jangan desak dia. Katakan saja apa yang kukatakan padamu, dan bawa dia kemari.”

“Baik, Pak!”

Yogoro berangkat dengan berlari. Begitu sampai di luar, mula-mula ia mencoba menempuh arah yang menurut penglihatannya diambil oleh Musashi. Kemudian ia periksa seluruh pekarangan tempat suci, bahkan ia berlari ke luar, ke jalan utama lewat Kojimachi, tapi sia-sia.

Namun ia tidak terlalu gelisah, karena sesungguhnya ia tidak begitu yakin akan keunggulan Musashi sebagaimana diungkapkan ayahnya, dan ia pun tidak merasa berterima kasih atas peringatan Musashi. Kata-kata ten­tang kemampuan luar biasa Kojiro, tentang bodohnya “menanggung risiko bencana hanya untuk keluhan tak berarti” itu tak sanggup ia terima. Se­akan-akan kunjungan Musashi itu hanya untuk menyanyikan pujian kepada Kojiro.

Selagi mendengarkan kata-kata ayahnya dengan sikap tunduk tadi, ia sudah berpikir sendiri, “Aku tak semuda dan sementah yang dikira ayahku.” Kenyataannya waktu itu ia betul-betul tak peduli dengan pendapat Musashi.

Kedua, mereka hampir sebaya. Sekalipun misalnya bakat Musashi luar biasa, toh apa-apa yang diketahui dan bisa dilakukan Musashi ada batasnya. Di masa lalu, Yogoro pernah pergi setahun, dua tahun, atau bahkan tiga tahun, untuk menempuh hidup sebagai shugyosha pertapa. Ia pernah tinggal dan belajar sebentar di perguruan ahli militer lain, dan ia mempelajari agama Zen di bawah seorang guru yang keras. Namun toh ayahnya mengemukakan hal yang menurut dugaannya hanya pendapat yang dibesar­-besarkan tentang nilai seorang ronin yang tak dikenal itu, padahal ayahnya hanya melihat orang itu selintas. Bukan itu saja, ayahnya bahkan menyaran­kan agar ia mengambil Musashi sebagi model.

“Lebih baik aku kembali,” pikirnya sedih. “Kukira tak ada cara untuk meyakinkan orang tua bahwa anaknya sudah bukan anak kecil lagi.” Ia ingin sekali suatu hari nanti Kagenori memperhatikannya dan tiba-tiba menyadari bahwa anaknya sudah dewasa dan sekaligus seorang samurai yang berani. Ia sangat sedih bahwa mungkin ayahnya sudah meninggal sebelum datangnya hari itu.

“Hei, Yogoro! Ini Yogoro, kan?”

Yogoro memutar tumitnya, dan melihat bahwa kata-kata itu diucapkan oleh Nakatogawa Handayu, seorang samurai dari Keluarga Hosokawa.

Akhir-akhir ini mereka tidak pernah bertemu, tetapi Handayu pernah mengikuti kuliah Kagenori secara teratur.

“Bagaimana dengan kesehatan guru kita yang terhormat? Tugas-tugas resmi menyibukkan saya, hingga tak ada waktu untuk berkunjung.”

“Hampir sama saja keadaannya, terima kasih.”

“Hei, saya dengar Hojo Shinzo menyerang Sasaki Kojiro, dan dikalahkan.”

“Kau sudah mendengar?”

“Ya, orang-orang membicarakan hal itu tadi pagi, di rumah Yang Dipertuan Hosokawa.”

“Kejadiannya baru tadi malam.”

“Kojiro adalah tamu Iwama Kakubei. Kakubei tentunya sudah me­nyebarkan berita itu. Bahkan Yang Dipertuan Tadatoshi mengetahuinya.”

Yogoro terlalu muda, hingga tidak bisa masa bodoh saja mendengarkan kata-kata itu, tapi ia segan memperlihatkan kemarahan karena dorongan yang tak terkendalikan. Maka ia tinggalkan Handayu selekas-lekasnya, dan bergegas pulang. Pikirannya sudah bulat.

Buah Bibir Orang Kota

ISTRI Kosuke sedang berada di dapur, membuat bubur untuk Shinzo, ke­tika Iori masuk.

“Buah prem itu sudah kuning,” katanya.

“Kalau buah prem hampir masak, artinya jangkrik-jangkrik akan segera berbunyi,” jawab istri Kosuke iseng.

“Apa Ibu tidak bikin acar buah prem?”

“Tidak. Tak banyak orang di sini, sedangkan untuk mengacar semua buah prem itu dibutuhkan beberapa kilo garam.”

“Garam takkan terbuang sia-sia, tapi buah prem akan terbuang kalau Ibu tidak mengacarnya. Dan kalau ada perang atau banjir, buah prem akan berguna, kan? Karena Ibu sibuk merawat orang luka, bagaimana kalau saya yang membuat acar untuk Ibu?”

“Oh, lucu sekali kau ini, menguatirkan banjir dan segalanya itu. Pikiranmu macam orang tua.”

Iori sudah mengeluarkan ember kayu kosong dari lemari dinding. Sambil membawa ember, ia pergi ke halaman dan menengadah ke pohon prem. Sayang sekali, walaupun ia cukup dewasa hingga menguatirkan masa depan, namun ia masih terlalu muda, hingga mudah saja perhatiannya menyeleweng pada seekor jangkrik yang sedang berbunyi. Ia pun mendekat, menangkapnya, dan menyekap jangkrik itu dengan tangannya, hingga jangkrik itu menjerit seperti perempuan tua ketakutan.

Iori mengintip lewat kedua ibu jarinya, dan ia memperoleh perasaan yang lain dari yang lain. Serangga mestinya tidak berdarah, tapi kenapa jangkrik terasa hangat? Barangkali jangkrik pun mengeluarkan panas tubuhnya kalau berhadapan dengan bahaya maut. Tiba-tiba ia diliputi campuran rasa takut dan kasihan. Dibukanya telapak tangannya, ia lemparkan jangkrik itu ke udara, dan ia lihat jangkrik itu terbang ke arah jalan.

Pohon prem yang sangat besar itu merupakan tempat kediaman satu khalayak yang besar juga-ulat-ulat gemuk berbulu indah, kepik-kepik tutul, kodok-kodok biru kecil yang bersembunyi di bawah-bawah daun, kupu-kupu malam kecil, dan lalat-lalat ternak yang suka menari-nari. Memandang dengan asyik ke arah sudut kecil kerajaan binatang ini, ia merasa tidak berperikemanusiaan sekiranya membikin ketakutan tuan-tuan dan nyonya-nyonya ini dengan mengguncangkan sebuah dahan. Hati-hati ia menggapai, memetik satu buah prem, dan menggigitnya. Kemudian pelan-pelan ia mengguncang-kan dahan terdekat, tapi ia heran, karena buah itu tidak juga jatuh. Ia mengulurkan tangan, memetik beberapa buah prem, dan menjatuhkannya ke ember di bawah.

“Hei!” teriak Iori. Tiba-tiba ia melemparkan tiga-empat buah prem ke jalan sempit di samping rumah. Galah jemuran pakaian antara rumah dan pagar ambruk ke tanah dengan bunyi berderak, dan langkah-langkah kaki terdengar bergegas menyingkir dari jalan kecil itu, ke jalan besar.

Wajah Kosuke muncul di antara jeruji bambu jendela kamar kerjanya. “Bunyi apa itu?” tanyanya. Matanya membelalak heran.

Sambil melompat turun dari pohon, Iori berteriak, “Ada orang sembunyi dalam gelap, jongkok di jalan kecil sana. Saya lempar dengan buah prem, lalu dia lari.”

Kosuke keluar dan menghapus tangannya dengan handuk. “Orang macam apa?”

“Bromocorah.”

“Orang Hangawara?”

“Saya tidak tahu. Kenapa orang-orang itu mengintai di sini?”

“Mereka cari kesempatan menyerang Shinzo lagi.”

Iori melihat ke kamar belakang, tempat orang yang terluka itu sedang menyelesaikan makan bubur. Lukanya sudah sembuh dan tidak perlu dibalut lagi.

“Kosuke,” panggil Shinzo.

Yang dipanggil pergi ke ujung beranda dan bertanya, “Bagaimana perasaan Anda?”

Shinzo menyingkirkan nampannya dan mengubah letak duduknya agar lebih resmi. “Saya ingin minta maaf karena sudah banyak menyulitkan.”

“Tidak apa-apa. Saya juga minta maaf karena terlalu sibuk, hingga tak dapat berbuat lebih banyak.”

“Saya lihat, disamping menguatirkan diri sava. Anda juga diganggu penjahat-penjahat Hangawara. Makin lama saya tinggal di sini, makin banyak bahayanya; mereka akan menganggap Anda sebagai musuh juga. Saya pikir saya mesti pergi dari sini.”

“Jangan pikirkan dahulu.”

“Seperti Anda lihat, keadaan saya sudah jauh lebih balk. Saya sudah siap pulang.”

“Hari ini?”

“Ya.”

“Jangan terburu-buru begitu. Setidaknya, tunggu sampai Musashi kembali.”

“Saya pikir lebih baik tidak, tapi tolong sampaikan terima kasih saya kepadanya. Dia besar juga jasanya pada saya. Saya sudah bisa jalan seka­rang„

“Anda rupanya tak mengerti. Orang-orang Hangawara mengawasi rumah ini siang-malam. Mereka akan segera menerkam Anda, begitu Anda me­langkah ke luar. Saya kira tak bisa saya membiarkan Anda pergi sendiri.”

“Saya punya alasan untuk membunuh Kojiro. Kojiro yang memulai semua ini, bukan saya. Tapi kalau mereka mau menyerang saya, biar mereka menyerang.”

Shinzo berdiri dan siap pergi. Karena merasa tak bisa lagi menahannya, Kosuke dan istrinya pergi ke depan toko untuk mengantarnya pergi.

Justru pada waktu itu Musashi muncul di pintu, dahinya yang terbakar matahari basah oleh keringat. “Mau pergi?” tanyanya. “Mau pulang?… Saya senang melihat Anda merasa cukup sehat, tapi berbahaya kalau Anda pergi sendiri. Akan saya temani.”

Shinzo mencoba menolak, tapi Musashi bersikeras. Beberapa menit ke­mudian, mereka berangkat bersama.

“Tentunya sukar berjalan, sesudah berbaring begitu lama.”

“Rasanya tanah ini lebih tinggi daripada sebenarnya.”

“Hirakawa Tenjin itu jauh dari sini. Bagaimana kalau kita sewa joli buat Anda?”

“Mestinya saya menyampaikannya dari tadi. Saya tidak akan kembali ke perguruan saya.”

“Oh? Lalu ke mana?”

Sambil menunduk, Shinzo menjawab, “Agak memalukan juga, tapi saya pikir saya akan pulang ke rumah ayah saya sebentar. Tempatnya di Ushigome.”

Musashi menghentikan sebuah joli, dan benar-benar memaksa Shinzo masuk. Pemikul-pemikul joli mendesak Musashi untuk naik joli juga, tapi ia menolak, dan ini mengecewakan orang-orang Hangawara yang mengawasi dari sekitar sudut di depan.

“Lihat, dia suruh Shinzo masuk joli.”

“Aku lihat dia memandang kemari.”

“Masih terlalu pagi buat bertindak.”

Sesudah joli membelok ke kanan, lewat parit luar, mereka menaikkan rok, menyingsingkan lengan kimono, dan mengikuti dari belakang dengan mata berkilat-kilat, seakan-akan mata itu bakal meloncat dan meluncur ke punggung Musashi.

Ketika Musashi dan Shinzo sampai di kitaran Ushigafuchi, sebuah batu mengenai pikulan joli dan terlontar. Pada saat itu juga, segerombolan orang mulai berteriak-teriak dan bergerak mengepung korbannya.

“Tunggu!” seru seorang di antaranya.

“Jangan bergerak, bajingan!”

Karena ketakutan, para pemikul joli menjatuhkan joli dan melarikan diri. Shinzo merangkak keluar dari joli, tangannya memegang pedang. Sesudah berhasil berdiri, ia memasang jurus dan berteriak, “Aku yang kalian suruh tunggu?”

Musashi melompat ke depannya dan berteriak, “Sebutkan urusan kalian!”

Para penjahat itu maju dengan hati-hati, selangkah demi selangkah, seakan-akan meraba jalan di air yang dangkal.

“Kau tahu apa yang kami kehendaki!” kata seorang dari mereka, sambil meludah. “Serahkan pengecut yang kau lindungi itu, dan jangan coba melakukan yang aneh-aneh. Kalau tidak, kau akan mati juga.”

Terdorong oleh sesumbar itu, kemarahan mereka semakin menggelegak dan bernada haus darah, tapi tak seorang pun maju menyerang dengan pedang. Api dalam mata Musashi sudah cukup membuat mereka mengambil sikap tetap bertahan. Mereka hanya menggonggong dan memaki dari jarak yang aman.

Musashi dan Shinzo menatap dengan diam. Beberapa saat berlalu, ke­mudian tanpa disangka-sangka Musashi berteriak kepada mereka, “Kalau Hangawara Yajibei ada di antara kalian, suruh dia maju.”

“Majikan tak ada di sini. Tapi kalau ada yang mau kaukatakan, katakan padaku, Nembutsu Tazaemon, dan aku akan sediakan waktu buat men­dengarkan.” Orang tua itu melangkah maju. Ia mengenakan kimono resmi putih dan berkalung manik-manik tasbih Budha.

“Apa urusanmu dengan Hojo Shinzo?”

Sambil membidangkan dada, Tazaemon menjawab, “Dia membunuh dua orang kami.”

“Menurut Shinzo, dua orang kalian sudah membantu Kojiro membunuh beberapa siswa Obata.”

“Itu satu hal. Yang ini lain. Kalau kami tidak melakukan perhitungan dengan Shinzo, kami akan ditertawakan orang di jalan.”

“Begitulah barangkali kebiasaan di dunia kalian,” kata Musashi dengan nada ber-damai. “Tapi lain halnya di dunia samurai. Di antara kaum prajurit, kita tak bisa menyalahkan orang yang berusaha dan kemudian melakukan balas dendam yang sudah semestinya. Seorang samurai boleh membalas dendam demi keadilan, atau untuk mempertahankan kehormatannya, tapi bukan untuk memuaskan dendam perorangan. Itu tidak jantan. Dan apa yang hendak kalian lakukan sekarang ini tidak jantan.”

“Tidak jantan? Kau menuduh kami tidak jantan?”

“Kalau Kojiro maju dan menantang kami atas namanya sendiri, itu tidak apa-apa. Tapi kami tak mau terlibat dalam pertengkaran yang ditimbulkan oleh antek-antek Kojiro.”

“Nah, kau berkhotbah seenakmu sendiri, seperti samurai lainnya. Bicaralah semaumu, tapi kami mesti melindungi nama kami.”

“Kalau samurai dan orang-orang di luar hukum bertengkar tentang per­aturan siapa yang berlaku, jalanan-jalanan akan penuh dengan darah. Satu­-satunya tempat buat menyelesaikan urusan adalah kantor hakim. Bagaimana, Nembutsu?”

“Omong kosong! Kalau soal ini dapat diselesaikan hakim, tak bakal kami ada di sini.”

“Coba dengar, berapa umurmu?”

“Apa urusannya itu denganmu?”

“Menurutku, kau sudah cukup tua, hingga mestinya tahu, tak perlu memimpin gerombolan anak muda menuju maut yang tak ada artinya.”

“Ah, simpan saja itu buat dirimu sendiri. Aku belum terlalu tua buat berkelahi!” Tazaemon menarik pedang, dan penjahat-penjahat lain bergerak maju, berdesak-desakan sambil berteriak-teriak.

Musashi mengelakkan tusukan Tazaemon dan mencekal belakang kepalanya yang sudah ubanan. Dengan langkah lebar, ia bergegas ke parit yang jauh­nya sekitar sepuluh langkah, dan dengan cepat mendorong orang itu ke parit tersebut. Kemudian, ketika orang banyak itu menyerbu, ia bergegas berbalik, mengangkat Shinzo pada bagian pinggangnya, dan membawanya pergi.

Ia lari melintas ladang, menuju bagian tengah sebuah bukit. Di bawah mereka, sebuah sungai mengalir masuk parit, dan paya kebiruan tampak di dasar lerengnya. Sesudah setengah jalan mendaki, Musashi berhenti dan melepaskan Shinzo. “Nah, sekarang marl kita lari,” katanya. Shinzo ragu­-ragu, tapi Musashi mendesaknya supaya mulai lari.

Para penjahat, yang sudah sadar kembali dari keterkejutan mereka, melakukan pengejaran.

“Tangkap dia!”

“Tak punya malu!”

“Itu namanya samurai?”

“Tak bisa dia begitu saja melempar Tazaemon ke parit, lalu lari!”

Tanpa menghiraukan celaan dan cercaan, Musashi berkata pada Shinzo, “Jangan sekali-sekali terlibat dengan mereka. Lari! Ini satu-satunya cara dalam situasi macam ini.” Sambil menyeringai, tambahnya, “Berat juga me­nempuh medan macam ini, ya?” Mereka melewati tempat yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushigafuchi dan Bukit Kudan, tapi waktu itu tempat itu masih hutan lebat.

Begitu para pengejar tidak kelihatan lagi, wajah Shinzo sudah tampak pucat seperti mayat.

“Capek?” tanya Musashi dengan nada ingin membantu.

“Oh… oh, tidak terlalu.”

“Saya kira, sebenarnya Anda tak suka membiarkan mereka menghina seperti itu tanpa dilawan.”

“Yah…”

“Ha, ha! Tapi pikirkanlah hal itu baik-baik dengan tenang, dan nanti Anda akan mengerti kenapa demikian. Ada masanya kita merasa lebih baik lari. Di sana ada sungai: Berkumurlah, nanti saya antar Anda ke rumah ayah Anda.”

Dalam beberapa menit, hutan sekitar Tempat Suci Akagi Myojin sudah tampak. Rumah Yang Dipertuan Hojo letaknya di bawah.

“Saya harap Anda mau masuk menjumpai ayah saya,” kata Shinzo ketika mereka sampai di tembok tanah yang melingkari rumah itu.

“Lain kali saja. Istirahatlah baik-baik, dan jaga diri Anda.” Dengan kata-­kata itu, Musashi pun pergi.

Sesudah peristiwa itu, nama Musashi sangat sering terdengar di jalan­jalan Edo, jauh lebih sering daripada yang diharapkannya. Orang me­nyebutnya “orang palsu”, “paling pengecut di antara semua pengecut”, “tak kenal malu… aib buat golongan samurai. Kalau orang gadungan macam itu yang mengalahkan Keluarga Yoshioka di Kyoto, mereka tentunya sudah sangat lemah. Dia tentunya menantang mereka, karena tahu mereka sudah tak dapat melindungi diri. Dan kemudian barangkali dia melarikan diri sebelum benar-benar menghadapi bahaya. Yang ingin dilakukan orang lancung macam itu cuma menjual nama kepada orang banyak yang tak kenal permainan pedang.” Tak lama kemudian, tak mungkin lagi menemukan orang yang bicara baik tentangnya.

Penghinaan tertinggi bagi Musashi adalah papan-papan pengumuman yang dipasang di seluruh Edo, Ditujukan kepada Miyamoto Musashi yang sudah balik gagang dan lari. Janda Hon’iden ingin membalas dendam. Kami juga ingin melihat wajahmu, bukan punggungmu. Kalau engkau seorang samurai, keluarlah, dan berkelahilah. Persatuan Hangawara.


Cerita Novel Musashi buku 5, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp/?cat=72
[lihat: Lanjutan cerita]


0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar