Sabtu, 10 Mei 2008

Miyamoto Musashi, Buku 2-1


Cerita Novel Musashi buku 2, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar] [lihat: Cerita Sebelumnya]


HIDUP hari ini, yang tak kenal hari esok….

Di Jepang, pada awal abad tujuh belas, kesadaran orang mengenai hidup yang hanya selintas terdapat pada orang kebanyakan maupun pada golongan elite. Jenderal terkenal Oda Nobunaga, yang telah meletakkan dasar-dasar bagi Toyotomi Hideyoshi dalam mempersatukan Jepang, menyimpulkan pandangan ini dalam sebuah sajak pendek:

Umur manusia yang lima puluh tahun Tidak lebih dari impian maya Dalam perjalanan lewat Perpindaban perpindahan abadi.

Kalah dalam suatu pertempuran kecil dengan salah seorang jenderalnya sendiri, yang menyerangnya secara mendadak dalam usaha balas dendam, Nobunaga bunuh diri di Kyoto pada umur empat puluh delapan.

Tahun 1605, sekitar dua dasawarsa kemudian, perang yang tak kenal henti antara para daimyo pada pokoknya sudah lewat. Tokugawa Ieyasu telah memerintah sebagai shogun dua tahun lamanya. Lentera di jalan-jalan Kyoto dan Osaka bersinar terang sebagaimana pada masa kejayaan zaman ke-shogun-an Ashikaga. Suasana umumnya riang dan penuh pesta.

Tapi hanya sedikit orang yang yakin bahwa perdamaian itu akan kekal. Perang saudara selama lebih dari seratus tahun telah demikian mewarnai pandangan hidup rakyat, hingga mereka beranggapan bahwa ketenangan yang sedang berlangsung itu rapuh belaka dan bakal berumur pendek. Ibu kota memang berkembang, tetapi ketegangan akibat tidak diketahuinya berapa lama keadaan itu akan berlangsung lebih merangsang keinginan rakyat untuk bersuka ria.

Sekalipun masih memegang kekuasaan, Ieyasu secara resmi sudah mengundurkan diri dari kedudukan shogun. Selagi masih cukup kuat untuk menguasai daimyo lain dan mempertahankan hak keluarga untuk berkuasa, ia menyerahkan gelarnya kepada anak lelakinya yang ketiga, Hidetada. Ada desas-desus bahwa shogun baru akan segera mengunjungi Kyoto untuk menyatakan hormatnya kepada Kaisar, tapi semua orang tahu bahwa perjalanannya ke barat itu akan lebih dari sekadar kunjungan kesopanan. Saingan terbesarnya yang potensial, Toyotomi Hideyori, adalah anak Hideyoshi, penerus Nobunaga. Hideyoshi telah berbuat sebisa-bisanya agar kekuasaan tetap berada di tangan keluarga Toyotomi sampai Hideyori cukup umur, tetapi pemenang di Sekigahara adalah Ieyasu.

Hideyori masih bersemayam di Puri Osaka. Meskipun Ieyasu tidak menying-kirkannya, malahan mengizinkannya menikmati penghasilan tahunan yang besar jumlahnya, ia sadar bahwa Osaka merupakan ancaman besar. Tempat ini bisa menjadi titik kumpul yang mungkin dipakai untuk perlawanan. Banyak penguasa feodal lainnya juga mengetahui hal ini. Mereka memasang taruhan yang jumlahnya sama untuk kemenangan kedua belah pihak. Mereka pun berbaik-baik dengan Hideyori maupun shogun untuk mengamankan diri. Sering orang mengatakan bahwa Hideyori memiliki cukup banyak puri dan emas hingga bisa membeli semua samurai tak bertuan atau ronin di negeri itu, jika ia mau.

Spekulasi kosong mengenai masa depan politik negeri itu merupakan bahan utama pergunjingan di udara Kyoto.

“Perang pasti pecah, cepat atau lambat.”

“Tinggal masalah waktu.”

“Lentera-lentera jalan ini bisa padam besok.” “Kenapa mesti pusing? Apa yang terjadi, terjadilah.” “Mari kita bersuka ria selagi bisa!”

Kehidupan malam yang sibuk dan tempat-tempat hiburan yang semakin meriah merupakan bukti nyata bahwa kebanyakan penduduk memang melakukannya.

Di antaranya adalah sekelompok samurai yang kini sedang berjalan membelok masuk Jalan Shijo. Di samping mereka berdiri tembok panjang berplester putih yang berakhir pada sebuah gerbang mengesankan dan beratap mengagumkan. Sebuah papan kayu yang sudah hitam warnanya karena usia, memuat tulisan yang hampir tak terbaca lagi:

Yoshioka Kempo dari Kyoto. Instruktur Militer bagi para Shogun Ashikaga.

Kedelapan samurai muda itu kelihatannya selesai berlatih pedang terus-menerus sepanjang hari. Sebagian mengenakan pedang kayo sebagai pelengkap pedang baja yang biasa, dan sebagian lagi membawa lembing. Mereka tampak kuat, jenis orang pertama yang melihat tumpahnya darah pada saat pertarungan senjata meletus. Wajah mereka sekeras batu dan mata mereka penuh ancaman, seakan selamanya berada di ambang letusan kemarahan.

“Ke mana kita pergi malam ini, Tuan Muda?” tanya mereka beramai-ramai sambil mengelilingi guru mereka.

“Ke mana lagi kalau bukan ke tempat kemarin malam?” jawab sang guru dengan muram.

“Ah! Perempuan-perempuan itu semuanya jatuh hati kepada Tuan! Mereka hampir tidak memandang kami.”

“Barangkali dia benar,” yang lain menyela. “Kenapa tidak kita coba tempat lain yang baru, di mana tak ada orang mengenal Tuan Muda atau salah seorang dari kita?” Sambil berteriak-teriak dan ribut tak keruan, tampaknya mereka benar-benar tenggelam dalam persoalan ke mana akan pergi minum dan melacur.

Mereka masuk daerah yang berpenerangan balk di sepanjang tepi Sungai Kamo. Bertahun-tahun tanah itu kosong dan penuh ditumbuhi rumput, benar-benar lambang kehancuran perang. Tetapi bersamaan dengan datangnya damai, nilainya pun melonjak. Rumah-rumah rapuh tersebar di sana-sini, tirai-tirai merah dan kuning pucat tergantung melengkung di pintu masuk. Di situ kupu-kupu malam menjalankan usahanya. Gadis-gadis dari Provinsi Tamba dengan muka berpupur sembarangan menyiuli calon pelanggan. Perempuan-perempuan malang yang dibeli secara berkelompok itu memetik shamisen, alat musik yang belum lama populer. Mereka menyanyikan lagulagu mesum clan tertawa-tawa antara sesamanya.

Nama tuan muda itu Yoshioka Seijuro. Kimono cokelat tua yang bagus potongannya menutup tubuhnya yang jangkung. Begitu mereka memasuki daerah pelacuran, ia menoleh ke belakang dan katanya kepada salah seorang dari kelompoknya, “Toji, belikan aku topi anyaman.”

“Yang dapat menyembunyikan wajah Anda?”

“Ya.”

“Anda membutuhkannya bukan untuk di sini, bukan?” jawab Gion Toji.

“Aku takkan minta kalau tidak membutuhkannya di sini!” decap Seijuro tak sabar. “Aku tak suka orang melihat anak Yoshioka Kempo berkeliaran di tempat seperti ini.”

Toji tertawa. “Tapi itu justru menarik perhatian. Semua perempuan di sini tahu bahwa kalau Anda menyembunyikan wajah dengan topi, tentunya Anda dari keluarga baik-baik, dan barangkali dari keluarga kaya. Tentu saja ada alasan lain kenapa mereka suka pada Anda, tapi itu salah satu di antaranya.”

Toji, sebagaimana biasa, sedang menggoda dan sekaligus menjilat tuannya. Ia menoleh dan memerintahkan salah seorang untuk mencari topi yang dimaksud, lalu ia berdiri menanti orang yang disuruh itu pergi melewati lentera-lentera dan orang-orang yang sedang bersuka ria. Ketika orang yang disuruh itu kembali, Seijuro mengenakan topi dan merasa lebih santai.

“Dengan topi itu,” ucap Toji, “Anda lebih tampak seperti orang yang tahu mode.” Sambil menoleh kepada yang lain-lain, ia melanjutkan jilatannya secara tak langsung.

“Lihat, perempuan-perempuan itu semua melongok dari pintu, supaya dapat benar-benar melihatnya.”

Tanpa jilatan Toji pun, Seijuro memang memiliki tubuh yang bagus. Dengan dua sarung pedang bersemir mengilat yang tergantung di sisinya, ia memancarkan kemuliaan dan kelas yang memang pantas bagi anak keluarga kaya. Maka tak ada topi jerami yang dapat menghentikan perempuanperempuan itu menegurnya ketika ia lewat.

“Hei, tampan! Kenapa sembunyi di bawah topi jelek?”

“Ayolah kemari! Saya ingin lihat yang di bawahnya.”

“Ayo, jangan malu-malu. Biar kami melihat.”

Seijuro menanggapi ajakan-ajakan menggoda ini dengan berusaha kelihatan lebih tinggi dan lebih mulia lagi. Sikap ini diambilnya belum lama setelah ia, untuk pertama kalinya, berhasil dibujuk Toji untuk menginjakkan kaki di daerah itu, dan ia masih malu dilihat orang di sana. Terlahir sebagai anak tertua pemain pedang terkenal, Yoshioka Kempo, tak pernah ia kekurangan uang, tapi sampai waktu belum lama berselang ia tak kenal dengan sisi buruk kehidupan ini. Perhatian yang ditunjukkan orang kepadanya membuat detak darahnya berpacu. Masih ada rasa malu yang disembunyikannya. Sebagai anak manja dari keluarga kaya, ia selalu suka pamer. Jilatan pengiringnya tak kalah ampuhnya dengan cumbuan perempuan, menyokong kesombongannya seperti racun yang manis. “Oh, itu tuan dari Jalan Shijo!” ujar salah seorang perempuan itu.

“Kenapa Anda menyembunyikan wajah? Anda tidak bisa mengecoh siapa pun.”

“Bagaimana perempuan itu bisa tahu siapa aku?” geram Seijuro kepada Toji, pura-pura tersinggung.

“Mudah sekali,” kata perempuan itu, sebelum Toji dapat membuka mulut. “Semua orang tahu, orang dari Perguruan Yoshioka suka memakai warna cokelat tua. Namanya ‘warna Yoshioka’. Warna itu populer sekali di sini.”

“Betul. Tapi seperti kaukatakan, banyak orang lain yang memakainya juga.”

“Ya, tapi mereka tidak mengenakan hiasan tiga lingkaran pada kimononya.”

Seijuro menunduk memandang lengan kimononya, “Aku mesti lebih hati-hati,” katanya. Saat itu juga sebuah tangan dari belakang kisi-kisi terulur dan menarik pakaian itu.

“Wah, wah,” kata Toji. “Menyembunyikan wajah, tapi tidak menyembunyikan hiasannya. Tentunya dia memang ingin dikenali. Jadi, saya kira, betul-betul tak mungkin sekarang untuk tidak singgah.”

“Semaumulah,” kata Seijuro yang tampak tak enak, “tapi suruh perempuan ini melepaskan lengan bajuku.”

“Lepaskan, perempuan!” raung Toji. “Beliau bilang, kami akan masuk!” Para siswa itu pun berkerumun masuk ke bawah tirai warung. Kamar yang mereka masuki itu, hiasannya tanpa selera sama sekali. Gambar-gambar kampungan dan bunga-bungaan disusun morat-marit, hingga sukar bagi Seijuro untuk merasa senang. Namun yang lain-lain tidak memperhatikan joroknya lingkungan.

“Keluarkan sake!” perintah Toji, yang juga memesan beberapa penganan pilihan.

Sesudah makanan datang, Ueda Ryohei yang menjadi tandingan Toji dalam permainan pedang berteriak, “Keluarkan perempuan!” Perintah itu diberikan dengan nada yang sama masamnya dengan nada yang dipakai Toji untuk memesan makanan dan minuman.

“Hei, Ueda tua bilang, keluarkan perempuan!” kata yang lain-lain serentak menirukan suara Ryohei.

“Aku tak suka disebut tua,” kata Ryohei, memberengutkan muka. “Memang aku lebih lama dari yang lain-lain belajar di perguruan ini, tapi kalian takkan menemukan uban dalam rambutku.”

“Kau menyemirnya barangkali.”

“Siapa yang mengatakan itu, maju ke depan dan minum satu sloki sebagai hukuman!”

“Susah-susah amat. Lemparkan ke sini!” Sloki sake pun melayang di udara.

“Dan ini balasannya.” Dan satu sloki lagi terbang. “He, siapa yang menari!”

Seijuro berseru, “Kau menari, Ryohei! Menarilah, dan tunjukkan kau masih muda.”

“Boleh. Lihat!” Ryohei pergi ke sudut beranda. Di situ diikatkannya celemek merah milik pelayan ke belakang kepalanya, ditusukkannya kembang prem ke dalam simpulnya, dan diambilnya sapu.

“Lihat! Dia mau menarikan tarian Perawan Hida! Mari kita dengarkan nyanyiannya juga, Toji!”

Ia mengajak mereka semua menggabungkan diri, dan mulailah mereka, mengetuk-ngetuk piring secara berirama dengan sumpitnya, sedangkan satu orang mendentang-dentangkan penjepit api ke pinggir anglo.

Di balik pagar bambu, pagar bambu, pagar bambu, Kulihat kimono berlengan panjang, Kimono berlengan panjang di salju….

Tenggelam dalam tepuk tangan sesudah bait pertama, Toji pun membungkuk, dan perempuan-perempuan melanjutkannya dengan iringan shamisen.

Gadis yang kulihat kemarin Tak ada lagi hari ini. Gadis yang kulihat hari ini

Takkan datang lagi esok hari.

Tak tahulah apa yang terjadi esok, Aku ingin mencumbunya hari ini

Di sebuah sudut, seorang siswa mengangkat mangkuk sake yang besar untuk rekannya. Katanya, “Bagaimana kalau minum ini sekali teguk?”

“Tidak, terima kasih.”

“Terima kasih? Katanya kau samurai, tapi tak bisa kau menghabiskan ini?”

“Tentu saja bisa. Tapi kalau aku minum, kau juga mesti!”

“Ya, itu adil!”

Pertandingan pun dimulai. Mereka minum seperti kuda di palungan, dan sake mengucur dart sudut-sudut mulut mereka. Kira-kira sejam kemudian, beberapa orang di antaranya sudah mulai muntah, sedang lain-lainnya tak bisa bergerak lagi dan hanya melotot kosong dengan mata merah.

Satu orang yang punya kebiasaan bicara keras, dan semakin lantang bicaranya kalau makin banyak minumnya, menyatakan, “Apakah di negeri ini, di luar Tuan Muda, ada yang benar-benar mengerti teknik-teknik Delapan Gaya Kyoto? Kalau ada-hik-ingin aku ketemu dengannya…. Hups!”

Seorang anggota perguruan yang duduk dekat Seijuro tertawa. Bicaranya tersendat-sendat, cegukan, “Dia mengumbar jilatan karena Tuan Muda ada di sini. Ada perguruan lain di samping delapan yang ada di Kyoto ini, dan Perguruan Yoshioka ini tidak lagi yang terbesar. Di Kyoto saja ada Perguruan Toda Seigen di Kurotani, dan Ogasawara Genshinsai di Kitano. Dan jangan lupa Ito Ittosai di Shirakawa, walaupun tidak menerima siswa.”

“Apa istimewanya mereka itu?”

“Maksudku, kita tidak boleh merasa kita ini satu-satunya pemain pedang di dunia.”

“Bajingan picik kamu!” seru seorang yang merasa tersinggung harga dirinya. “Maju!”

“Begini?” jawab si pengecam dengan tajam sambil bangkit.

“Kau anggota perguruan ini, tapi kau mengecilkan Gaya Yoshioka Kempo?”

“Aku tidak mengecilkannya! Sekarang ini tidak seperti dulu, ketika guru mengajar para shogun dan dianggap pemain pedang terbesar. Sekarang jauh lebih banyak orang yang mempraktekkan Jalan Pedang, tidak hanya di Kyoto, tapi juga di Edo, Hitachi, Echizen, provinsi-provinsi dalam, provinsiprovinsi barat, Kyushu-di seluruh negeri ini. Ketenaran Yoshioka Kempo tidak berarti Tuan Muda dan kita semua ini pemain-pemain pedang terbesar masa kini. Itu sama sekali tidak benar, kenapa pula mesti membohongi diri sendiri?”

“Pengecut! Kau pura-pura jadi samurai, tapi kau takut pada perguruan lain!”

“Siapa yang takut? Aku cuma ingin kita menjaga diri dari rasa puas diri.”

“Tapi siapa kau ini, berani-berani memberi peringatan?”

Murid yang tersinggung itu meninju dada lawannya hingga terjatuh.

“Kau ingin berkelahi?” geram orang yang jatuh.

“Ya. Ayo.”

Murid-murid senior, Gion Toji dan Ueda Ryohei, menengahi.

“Berhenti kalian!” Keduanya melompat, memisahkan yang berkelahi, dan mencoba meredakan kemarahan mereka. “Tenang!”

“Kami semua mengerti perasaan kalian.”

Beberapa sloki sake lagi dituangkan untuk mereka yang berkelahi, dan akhirnya keadaan normal kembali. Si penghasut sekali lagi memuji-muji dirinya dan lain-lainnya, sedang si pengecam, sambil menangis memeluk Ryohei, mempertahankan pendapatnya.

“Aku cuma mengemukakan pendapat untuk kebaikan perguruan ini,” sedannya. “Kalau orang terus menyemburkan jilatan, nama baik Yoshioka Kempo akhirnya akan runtuh. Percayalah, runtuh!”

Hanya Seijuro yang tetap paling tenang. Melihat ini, Toji berkata,

“Apakah Anda tidak menikmati pesta ini?”

“Ah. Apa mereka itu betul-betul menikmatinya? Rasanya tidak.”

“Tentu. Inilah cara mereka bergembira.”

“Aku tak percaya kalau kelakuan mereka seperti itu.”

“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang lebih tenang? Saya sendiri sudah bosan di sini.”

Seijuro tampak sangat lega dan segera saja setuju. “Aku ingin pergi ke tempat kemarin malam.”

“Maksud Anda Yomogi?”

“Ya.”

“Di sana memang jauh lebih baik. Tadinya saya kira Anda memang ingin pergi ke sana, tapi di sana cuma buang-buang uang saja kalau membawa gerombolan orang bebal ini. Itu sebabnya saya giring mereka kemari-murah.”

“Mari kita pergi diam-diam. Biar Ryohei mengurus orang-orang ini.”

“Anda pura-pura pergi ke belakang. Saya akan menyusul beberapa menit lagi.” Seijuro menghilang dengan lihainya. Tak seorang pun melihat.

Di luar rumah, tak jauh dari situ, seorang perempuan sedang berdiri berjinjit, mencoba menggantungkan kembali lentera ke pakunya. Angin mengembus lilin lentera itu, dan ia menurunkannya untuk menyalakannya kembali. Punggungnya tegak di bawah tepi atap, dan rambutnya yang baru dikeramas tergerai di sekitar wajahnya. Untaian rambut dan cahaya lentera menimbulkan bayang-bayang yang terus berubah-ubah di kedua tangannya yang terulur. Semerbak kembang prem mengambang di angin petang.

“Oko! Biar kugantungkan lampunya.”

“Oh, Tuan Muda,” kata Oko kaget.

“Tunggu.” Ketika orang itu mendekat ternyata bukan Seijuro, tapi Toji. “Cukup?” tanya Toji.

“Ya, bagus. Terima kasih.”

Tetapi Toji melirik lentera itu, menganggapnya miring, dan menggantungkannya kembali. Oko heran, kenapa sebagian lelaki bisa begitu suka menolong dan penuh perhatian bila sedang mengunjungi tempat seperti mi, padahal di rumah sendiri mereka sama sekali menolak mengulurkan tangan. Sering kali mereka membuka dan menutup jendela sendiri, mengeluarkan bantal-bantal sendiri, dan melakukan selusin pekerjaan kecil lain yang tak terbayang akan mereka lakukan di rumah sendiri.

Toji berpura-pura tidak mendengar, dan mempersilakan tuannya masuk. Begitu duduk, Seijuro berkata, “Tenang sekali di sini.”

“Saya buka pintu ke beranda,” kata Toji.

Di bawah beranda sempit itu berdesir air Sungai Takase. Di sebelah selatan, di seberang jembatan kecil di Jalan Sanjo, menghampar halaman luas Zuisenin, jajaran hitam Teramachi atau “Kota Kumpulan Kuil”, dan padang miskantus. Tempat ini berada dekat Kayahara. Di sini pasukan Toyotomi Hideyoshi membantai istri, gundik-gundik, dan anak-anak kemenakannya, regent Hidetsugu yang kejam. Suatu peristiwa yang masih segar tersimpan dalam kenangan banyak orang.

Toji jadi gugup. “Masih terlalu sepi di sini. Di mana saja perempuanperempuan sembunyi? Rupanya tak ada pelanggan lain malam ini.” la gelisah sedikit. “Saya heran, kenapa Oko lama betul. Dia malahan tidak membawakan kita teh.” Ketika akhirnya ketidaksabaran itu berubah jadi kegelisahan, ia tidak dapat lagi duduk tenang. Ia berdiri mencari tahu, kenapa teh tidak dihidangkan.

Waktu melangkah ke beranda, hampir saja ia bertumbukan dengan

Akemi yang sedang membawa baki berpernis emas. Giring-giring kecil pada obi-nya berdering ketika ia berseru, “Awas! Bisa tumpah teh ini!”

“Kenapa kau begitu lambat? Tuan Muda di sini. Kurasa kau suka dia.”

“Lihat, tumpah sebagian. Ini salahmu. Ayo ambilkan lap.”

“Ha! Lancang kamu, ya? Di mana Oko?”

“Berhias tentu saja.”

“Jadi, dia belum selesai?”

“Ya, siang hari kami sibuk sekali.”

“Siang? Siapa yang datang siang-siang?”

“Itu bukan urusanmu. Biarkan aku lewat.”

Toji minggir, dan Akemi masuk kamar menyalami tamunya. “Selamat malam. Terima kasih atas kedatangan Anda.”

Seijuro berpura-pura acuh tak acuh, memandang ke samping, dan katanya,

“Oh, kamu, Akemi. Terima kasih atas yang semalam.” Ia merasa jengah.

Dari baki itu Akemi menurunkan guci yang menyerupai pedupaan dan meletakkan di atasnya sebuah pipa yang bagian pengisap dan kepalanya terbuat dari keramik.

“Anda ingin merokok?” tanyanya sopan.

“Rasanya tembakau baru-baru ini dilarang.”

“Memang, tapi semua orang masih juga merokok.”

“Baiklah, aku akan merokok.”

“Saya nyalakan apinya.”

Akemi mengambil sejumput tembakau dari sebuah kotak kecil dari kerang mutiara dan memasukkannya ke dalam pipa dengan jari-jarinya yang mungil dan molek. Kemudian diselipkannya pipa itu ke mulut Seijuro. Karena tidak terbiasa, Seijuro memegang pipa itu dengan kaku.

“Hmm, pahit, ya!” katanya.

Akemi mengikik.

“Toji ke mana?”

“Barangkali di kamar Ibu.”

“Rupanya dia suka Oko. Paling tidak, begitulah kelihatannya. Kukira dia sering datang kemari tanpa aku. Betul?” Akemi tertawa, tapi tidak menjawabnya.

“Apanya yang lucu? Kupikir ibumu suka dia juga.”

“Saya betul-betul tidak tahu.”

“Tapi aku yakin! Betul-betul yakin! Pertemuan yang menyenangkan, ya? Dua pasangan bahagia-ibumu dengan Toji, kau dengan aku.”

Berusaha selugu mungkin, Seijuro meletakkan tangannya ke tangan Akemi yang terletak di pangkuan. Akemi menyingkirkan tangan itu dengan santun, tetapi tindakan ini malah membuat Seijuro menjadi lebih berani. Ketika Akemi berdiri, ia melingkarkan tangannya ke pinggang ramping Akemi dan menariknya.

“Tak usah lari,” katanya. “Aku tak akan menyakitimu.”

“Lepaskan!” protes Akemi.

“Baik, asalkan kau duduk lagi.”

“Sake…. Saya cuma mau ambil sake.”

“Aku tak mau sake.”

“Tapi kalau saya tidak ambil, Ibu marah.”

“Ibu di kamar lain, sedang asyik ngobrol dengan Toji.”

Seijuro mencoba menggosokkan pipinya ke wajah Akemi yang tertunduk, tapi Akemi mengelak dan berteriak-teriak meminta tolong. “Ibu! Ibu!” Seijuro melepaskannya, dan Akemi lari ke belakang rumah.

Seijuro jadi gundah. Ia kesepian, tapi tak ingin memaksakan kehendaknya pada gadis itu. Tak tahu apa yang hendak dilakukannya, ia menggerutu keras, “Aku pulang sekarang,” dan turun ke gang luar. Semakin jauh ia melangkah, semakin merah tua mukanya.

“Tuan Muda, mau ke mana? Tuan Muda belum mau pulang, kan?” Entah dari mana datangnya, Oko muncul begitu saja di belakangnya, berlari lewat ruang depan. Ia memeluk pinggang Tuan Muda, dan tampak rambut Oko sudah rapi dan riasannya sudah beres. Oko minta pertolongan Toji, dan bersama-sama mereka membujuk Seijuro untuk kembali duduk.

Oko membawakan sake dan mencoba menggembirakan Seijuro, kemudian Toji mendatangkan kembali Akemi ke kamar itu. Melihat betapa kecewanya Seijuro, gadis itu pun melontarkan senyuman.

“Akemi, tuang sedikit sake untuk Tuan Muda.”

“Ya, Bu,” kata Akemi patuh.

“Tuan lihat sendiri,” kata Oko. “Tingkahnya seperti anak kecil saja.”

“Itulah daya tariknya-dia masih muda,” kata Toji sambil menggeser bantalnya ke dekat meja.

“Tapi dia sudah dua puluh satu umurnya.”

“Dua puluh satu? Tak kukira sudah setua itu. Dia begitu kecil. Kelihatannya baru sekitar enam betas atau tujuh belas.”

Akemi tiba-tiba jadi kembali hidup seperti ikan, dan katanya, “Betul? Oh, saya senang sekali. Saya ingin tetap umur enam belas selamanya. Sesuatu yang indah terjadi, ketika saya umur enam betas.”

“Apa?”

“Oh,” katanya sambil menangkupkan tangannya ke dada. “Saya tak bisa menceritakan pada siapa pun. Tapi betul. Waktu itu tahun pertempuran di Sekigahara.”

Dengan pandangan mengancam, Oko berkata, “Tukang bual! Kau jangan bikin kami bosan di sini. Pergi sana ambil shamisen-mu.”

Sambil cemberut sedikit, Akemi berdiri dan pergi mengambil alat musiknya. Ketika kembali, ia mulai bermain dan menyanyi, tapi kelihatannya ia lebih cenderung menghibur diri sendiri daripada menyenangkan hati para tamu.

Malam ini,

Kalau berawan, Biarlah ia berawan, Menyembunyikan bulan

Yang hanya terlihat lewat air mataku.

Ia berhenti menyanyi, dan tanyanya, “Anda paham, Toji?”

“Aku tak yakin. Teruskanlah.”

Bahkan di malam yang tergelap pun Tak hilang jalanku. Tapi oh! Betapa kau memikatku!

“Yah, bagaimanapun dia memang sudah dua puluh satu tahun,” kata Toji. Seijuro yang selama ini duduk diam sambil menyandarkan dahi di tangan kini tergugah lagi, dan katanya, “Akemi, ayo minum sake sama-sama.”

Ia mengulurkan sloki pada Akemi dan mengisinya dari tempat pemanasannya. Akemi mereguknya tanpa menolak-nolak lagi dan cepat menyerahkan kembali sloki itu pada Seijuro.

Seijuro agak heran, katanya, “Bisa juga kau minum, ya?”

Selesai meneguk bagiannya, Seijuro menawarkan lagi pada Akemi, yang diteguk lagi dengan cekatan. Rupanya karena tak puas dengan ukuran sloki itu, ia mengambil sloki lain yang lebih besar, dan selama setengah jam sesudah itu ia terus menandingi Seijuro, sloki demi sloki.

Seijuro kagum. Gadis yang tampaknya berumur enam belas tahun, dengan bibir yang tidak pernah dicium dan mata yang memejam malu, ternyata dapat mereguk sake seperti lelaki. Ke mana saja perginya sake itu dalam tubuh mungil itu?

“Anda sebaiknya berhenti saja,” kata Oko pada Seijuro, “Entah kenapa, anak itu dapat minum semalam suntuk tanpa mabuk. Sebaiknya biarkan dia main shamisen saja.”

“Tapi ini benar-benar menyenangkan!” kata Seijuro yang kini betul-betul merasa senang.

Karena merasa suaranya sudah terdengar aneh, Toji bertanya, “Anda tak apa-apa? Tidak kebanyakan minum?”

“Tak apa-apa. Malam ini aku tidak pulang, Toji!”

“Bisa saja,” jawab Toji. “Anda dapat tinggal di sini selama Anda maubetul kan, Akemi?”

Toji mengedip pada Oko, kemudian menuntun Oko ke kamar lain, di mana ia mulai berbisik-bisik cepat. Ia mengatakan pada Oko bahwa kalau Tuan Muda sudah demikian bersemangat, berarti ia ingin tidur dengan Akemi. Akan susah jadinya kalau Akemi menolak. Tapi tentu saja perasaan seorang ibulah yang terpenting dalam hal-hal seperti itu-atau dengan kata lain, berapa bayarannya?

“Nah?” desak Toji mendadak.

Oko menempelkan jarinya ke pipi yang berbedak tebal itu, berpikir.

“Ya, ya, pikirlah!” desak Toji. Sambil semakin mendekati Oko, katanya, “Bukan pasangan yang jelek! Dia guru seni bela diri yang terkenal, dan keluarganya punya banyak uang. Ayahnya punya murid yang jumlahnya lebih banyak daripada murid siapa pun di negeri ini. Dan lagi, dia belum kawin. Dari segala segi, ini tawaran menarik.”

“Nah, aku juga pikir begitu, tapi…”

“Tak ada tapi-tapian. Pokoknya jadi! Kami berdua akan menginap disini. “

Tak ada penerangan di kamar itu. Dengan seenaknya Toji meletakkan tangan ke bahu Oko. Justru pada waktu itu terdengar suara keras di kamar sebelah, di belakang.

“Apa itu?” tanya Toji. “Ada langganan lain?”

Oko mengangguk, kemudian meletakkan bibirnya yang basah ke telinga Toji, bisiknya, “Nanti.” Keduanya lalu mencoba bersikap biasa saja dan kembali ke kamar Seijuro, dan mendapati Seijuro seorang diri, tidur nyenyak.

Toji mengambil kamar sebelahnya, merebahkan diri di kasur jerami. Ia berbaring di sana sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke tatami, menantikan Oko. Oko lama tidak juga muncul. Akhirnya pelupuk mata Toji menjadi berat dan berlayarlah ia ke alam mimpi. Sudah siang ketika ia bangun esok harinya, wajahnya masam.

Seijuro sudah bangun dan sedang minum di kamar yang menghadap sungai. Baik Oko maupun Akemi tampak cerah dan gembira, seolah-olah mereka telah lupa malam sebelumnya. Mereka sedang membujuk Seijuro agar mau berjanji.

“Jadi, Tuan akan ajak kami?”

“Baiklah, kita pergi. Siapkan beberapa kotak makan siang dan bawa juga sedikit sake.”

Mereka bicara tentang Kabuki Okuni yang sedang mengadakan pertunjukan di tepi sungai di Jalan Shijo. Kabuki adalah tarian jenis baru yang disertai kata-kata dan musik, yang sedang digemari orang di ibu kota. Diciptakan oleh seorang biarawati bernama Okuni di Kuil Izumo. Kepopulerannya menyebabkan banyak orang lain meniru. Di daerah ramai sepanjang sungai itu berdiri panggung berderet-deret. Di sana kelompok-kelompok pemain wanita berlomba-lomba memikat penonton. Masing-masing berusaha mencapai taraf kepribadian sendiri dengan menambahkan tari-tarian dan lagu-lagu daerah yang istimewa ke dalam repertoarnya. Para aktris itu sebagian besar mulai sebagai wanita malam. Namun kini sesudah naik panggung, mereka biasa dipanggil untuk mengadakan pertunjukan di rumahrumah orang paling kaya di ibu kota. Banyak di antara mereka menggunakan nama pria, mengenakan pakaian pria, dan mengadakan pertunjukan-pertunjukan yang menggetarkan sebagai prajurit yang gagah berani.

Seijuro duduk memandang ke luar pintu. Di bawah jembatan kecil di Jalan Sanjo perempuan-perempuan sedang mengelantang kain di sungai; pria-pria berkuda mondar-mandir di jembatan.

“Apa kedua orang itu belum juga siap?” tanyanya kesal. Sudah lewat tengah hari. Lebam karena minum dan lelah karena menanti, sudah tak ingin lagi ia melihat Kabuki.

Toji, yang merasa jengkel karena pengalaman malam sebelumnya, tidak bersemangat seperti biasanya. “Memang menarik membawa perempuan ke luar,” gerutunya, “tapi kenapa justru waktu kita sudah siap berangkat, tiba-tiba mereka mulai ribut soal apa rambutnya sudah benar atau obi-nya sudah lurus? Brengsek betul!”

Pikiran Seijuro melayang ke perguruannya. Ia seakan mendengar bunyi pedang kayu dan detak gagang-gagang lembing. Apa kata para siswanya tentang ketidakhadirannya? Tidak sangsi lagi, pasti adiknya, Denshichiro, mendecap mengecamnya.

“Toji,” katanya, “Aku tidak betul-betul ingin membawa mereka itu melihat Kabuki. Mari kita pulang.”

“Sesudah Tuan berjanji?”

“Yaaa…”

“Mereka sudah begitu gembira! Mereka akan marah besar kalau kita ingkar janji. Saya akan menyuruh mereka buru-buru.”

Dari gang rumah, Toji melayangkan pandang ke kamar tempat pakaian para wanita itu berserakan. Alangkah herannya ia, karena kedua wanita itu tidak kelihatan.

“Ke mana pula mereka itu?” tanyanya tak habis pikir.

Di kamar sebelah pun mereka tak ada. Di sebelahnya lagi terdapat kamar kecil yang suram, tidak tembus matahari dan berbau apak kain seprai. Toji membuka pintu, disambut oleh raungan kemarahan, “Siapa itu?”

Melompat mundur, Toji menatap ke dalam kamar sempit yang gelap itu; kamar itu beralas tikar rombeng, lain sekali dengan kamar-kamar depan yang menyenangkan, seperti malam dengan siang bedanya. Seorang samurai jorok tergeletak di lantai, pedangnya terletak sembarangan di atas perutnya; pakaian dan penampilannya tak bisa disangsikan lagi menunjukkan bahwa ia salah seorang ronin yang sering kelihatan bergelandangan di jalan-jalan. Telapak kakinya yang kotor menghadap muka Toji. Ia tidak berusaha bangun; terbaring saja di situ setengah sadar.

Toji berkata, “Oh, maaf. Saya tidak tahu di sini ada tamu.”

“Aku bukan tamu!” pekik orang itu ke langit-langit, memancarkan bau sake. Toji tidak tahu siapa orang itu, dan juga tak ingin berurusan dengannya.

“Maaf, mengganggu,” katanya cepat, dan membalik pergi.

“Tunggu!” kata orang itu dengan kasar sambil bangkit sedikit. “Tutup pintu!”

Kaget oleh kekasaran itu, Toji pun melakukan apa yang diminta, dan pergi.

Begitu Toji pergi, muncullah Oko. Dandanannya habis-habisan, jelas ingin kelihatan sebagai nyonya besar. Seakan-akan sedang mengomeli anak kecil, ia berkata pada Matahachi, “Nah, marah apa lagi sekarang?”

Akemi yang baru saja berdiri di belakang ibunya, bertanya, “Tak mau ikut kami?”

“Ke mana?”

“Lihat Kabuki Okuni.”

Mulut Matahachi mencibir muak. “Suami macam apa yang mau jalan bersama lelaki lain yang sedang mengejar-ngejar istrinya?” tanyanya pahit.

Oko merasa wajahnya bagai disiram air dingin. Matanya menyala marah, dan katanya, “Ini omongan apa? Apa maksudmu antara aku dan Toji ada apa-apa?”

“Siapa bilang ada apa-apa?”

“Kata-katamu itu yang bilang.”

Matahachi tidak menjawab lagi.

“Katanya kamu lelaki!” Walaupun Oko melontarkan kata-kata itu dengan penuh kejijikan, Matahachi tetap diam dengan muka cemberut. “Tapi kau membuatku muak!” desisnya. “Kau selalu cemburu tanpa alasan! Ayo, Akemi. Kita jangan buang-buang waktu untuk orang gila ini.”

Matahachi mengulurkan tangan, mencekal kimono Oko. “Siapa yang kausebut orang gila? Apa maksudmu bicara begitu pada suamimu?”

Oko melepaskan diri darinya. “Kenapa tidak?” katanya kejam. “Kalau kau seorang suami, kenapa tidak bertindak seperti suami? Siapa menurutmu yang memberimu makan, gelandangan tak berguna?”

“Heh!”

“Kau hampir tidak menghasilkan apa-apa sejak kita meninggalkan Provinsi Omi. Kau cuma menggantungkan diri padaku, minum sake dan malas-malasan. Mengeluh apa lagi?”

“Aku sudah bilang mau pergi dan kerja! Aku sudah bilang, menyeret batu pun aku mau buat dinding puri. Tapi itu tak cukup baik buatmu. Kaubilang tak bisa makan ini, tak bisa memakai itu, tak bisa tinggal di rumah kecil yang kotor-tak ada yang kausukai. Lalu tidak kaubolehkan aku melakukan kerja yang jujur, dan kau mulai membuka kedai minum yang busuk ini. Nah, tutup itu, ya, tutup itu!” pekiknya. Badannya pun mulai gemetar.

“Tutup apa?”

“Tutup kedai minummu.”

“Dan kalau kututup, mau makan apa besok?”

“Aku bisa dapat cukup uang untuk hidup kita, biar dengan menyeret batu karang. Cukup untuk kita bertiga.”

“Kalau ingin angkat batu atau potong kayu, kenapa tidak pergi saja? Sana, jadilah buruh, atau yang lain, tapi kalau begitu, hidup sendiri saja! Susahnya, kau dilahirkan sebagai orang goblok, dan selamanya kau akan jadi orang goblok. Mestinya kau tetap tinggal di Mimasaka! Percayalah, aku tidak minta kau tinggal terus di sini. Kau bebas pergi, kapan saja!”

Selagi Matahachi berusaha menahan air mata kemarahan, Oko dan Akemi berpaling meninggalkannya. Tapi lama sesudah mereka tidak kelihatan, ia masih juga menatap pintu. Ketika Oko menyembunyikannya di rumahnya dekat Gunung Ibuki dulu itu, ia merasa beruntung telah menemukan orang yang akan mencintai dan mengurusnya. Tapi sekarang rasanya sama saja seperti ditangkap musuh. Mana yang lebih baik? Menjadi tawanan, atau menjadi piaraan seorang janda jalang, dan tidak lagi menjadi lelaki sejati? Apakah lebih buruk merana di dalam penjara daripada menderita di sini, dalam kegelapan, dan selalu menjadi sasaran hinaan perempuan pemberang? Dulu ia pernah punya harapan besar pada masa depan, namun telah dibiarkannya sundal berbedak dan bernafsu garang ini menurunkan derajatnya hingga sama tingkatannya dengan dia.

“Sundal!” Matahachi menggigil karena berang. “Anjing betina busuk!”

Air mata meluap langsung dari dasar hatinya. Kenapa, oh, kenapakah ia dulu tidak kembali ke Miyamoto? Kenapa ia tidak kembali kepada Otsu? Ibunya ada di Miyamoto. Saudara perempuannya juga, iparnya juga, Paman Gon juga. Mereka semua begitu baik padanya.

Lonceng di Shippoji tentunya berdentang hari ini. Seperti dentangnya pada hari-hari lain. Dan Sungai Aida menghilir menyusuri alurnya, sepertibiasa. Bunga-bunga berkembang di tepi sungai dan burung-burung erkicau menyambut datangnya musim semi.

“Sungguh tolol aku ini! Sungguh aku si tolol gila, goblok!” Matahachi memukul-mukul kepalanya dengan tinjunya.

Di luar, ibu dan anak perempuannya, disertai kedua tamu yang bermalam itu sudah berjalan sambil mengobrol dengan riangnya.

“Kelihatannya sudah seperti musim semi!”

“Orang bilang shogun sebentar lagi akan datang ke ibu kota. Kalau dia datang nanti, kalian berdua tentunya dapat uang banyak, ya?”

“Ah, tidak, saya yakin tidak.”

“Kenapa? Apa samurai dari Edo tak suka main?”

“Mereka terlalu kurang ajar.”

“Ibu, bukankah itu musik Kabuki? Aku mendengar suara giring-giring. Juga suling.”

“Coba dengar anak ini! Dia selalu seperti itu. Dia pikir dia sudah di tempat pertunjukan.”

“Tapi, Bu, aku sudah mendengarnya.”

“Sudahlah. Bawakan topi Tuan Muda ini.”

Langkah-langkah kaki dan suara-suara orang itu mengambang sampai Yomogi. Dengan mata masih merah karena marah, Matahachi mencuri pandang dari jendela pada keempat orang yang bahagia itu. Ia merasa pemandangan itu sangat menghinanya, karena itu ia sekali lagi menjatuhkan diri di tatami di kamar yang gelap itu sambil mengutuki dirinya.

“Apa kerjamu di sini? Apa tak ada lagi harga dirimu? Bagaimana mungkin kau membiarkan segalanya seperti itu? Idiot! Lakukanlah sesuatu!” Kata-kata itu ditujukan pada diri sendiri, ia begitu marah pada kelemahannya sendiri yang seperti pengecut itu.

“Dia bilang pergi. Baiklah, aku pergi!” demikian kilahnya. “Buat apa duduk di sini menggemerutukkan gigi. Umurmu baru dua puluh dua. Kau masih muda. Pergilah dan lakukan sesuatu sendiri.”

Ia merasa tak bisa tinggal lebih lama lagi dalam rumah kosong dan lengang itu, tapi entah kenapa, tak mau ia berangkat. Kepalanya sakit karena bingung. Ia sadar bahwa cara hidupnya beberapa tahun belakangan ini telah membuatnya kehilangan kemampuan berpikir dengan jelas. Bagaimana ia dapat menahan diri? Istrinya menghabiskan malam-malamnya menghibur lelaki lain, menjual kepada mereka pesona yang dahulu dicurahkan kepadanya. Malam ia tak dapat tidur, sedang di siang hari tak ada semangat untuk pergi. Tinggal diam di dalam kamar gelap ini, tak ada yang dapat dilakukannya kecuali minum.

Dan semua itu demi sundal tua itu! pikirnya. Ia pun muak dengan dirinya sendiri. Ia tahu bahwa jalan satu-satunya untuk keluar dari hidup sekarat ini adalah meninggalkan segalanya dan kembali kepada aspirasi masa mudanya. Ia harus menemukan jalannya yang telah hilang.

Namun… namun…

Ada daya tarik ajaib yang mengikatnya. Jenis pesona jahat apakah yang mengikatnya di sini? Apakah perempuan itu setan yang menyamar? Perempuan itu bisa memakinya, menyuruhnya enyah, bersumpah bahwa ia cuma beban, tapi kemudian di tengah malam ia akan meleleh seperti madu dan mengatakan bahwa semua itu cuma gurauan dan ia sama sekali tidak bermaksud demikian. Lagi pula, sekalipun perempuan itu sudah hampir empat puluh tahun, bibirnya itu, oh… bibir merah cemerlang yang sama merangsangnya dengan bibir anaknya.

Namun ini belum cerita seluruhnya. Pada dasarnya Matahachi tak punya nyali untuk dilihat Oko dan Akemi bekerja sebagai buruh harian. Ia telah menjadi malas dan lembek; pemuda berpakaian sutra yang dari rasa saja dapat membedakan sake Nada dari bikinan setempat, berbeda sekali dengan Matahachi sederhana yang compang-camping, yang pernah ikut pertempuran di Sekigahara. Yang paling parah adalah bahwa hidupnya yang aneh dengan perempuan yang lebih tua itu telah merampas kebeliaannya. Dalam umur ia masih muda, tapi dalam semangat ia cabul dan pendengki, malas dan penggerutu.

“Tapi akan kulakukan!” janjinya. “Aku akan pergi sekarang!” Sesudah menjatuhkan pukulan kemarahan terakhir ke kepalanya, ia pun melompat bangkit, dan pekiknya, “Aku akan pergi dari sini hari ini juga!”

Ia mendengar sendiri suaranya tertahan karena menyadari bahwa tak ada orang lain yang akan menahannya pergi, dan tak ada sesungguhnya yang mengikatnya di rumah ini. Satu-satunya barang yang sungguh-sungguh miliknya dan tidak dapat ia tinggalkan adalah pedangnya, maka cepat-cepat ia selipkan pedang itu dalam obi-nya. Sambil menggigit bibir, ia berkata dengan penuh kepastian. “Biar bagaimana, aku seorang lelaki.”

Sebetulnya ia dapat menderap keluar lewat pintu depan, melambaikan pedang bagai seorang jenderal yang menang perang, tapi karena kebiasaan, ia sorongkan kaki ke sandalnya yang kotor dan keluar lewat pintu dapur.

Sejauh ini belum ada masalah. Ia sudah di luar rumah! Tapi mau apa sekarang? Kedua kaki itu berhenti. Ia berdiri tak bergerak-gerak dalam angin musim semi yang menyegarkan. Bukan cahaya menyilaukan yang menahannya. Persoalannya adalah, ke mana ia pergi?

Pada saat itulah terasa oleh Matahachi betapa dunia ini bagai lautan luas yang bergejolak, tiada pegangan tempat bergayut. Di luar Kyoto, penga-lamannya hanya meliputi kehidupan di kampung dan satu pertempuran. Selagi terombang-ambing oleh situasi, suatu pikiran lain mendadak datang dan membuatnya bergegas sepeti anak anjing, pulang kembali melalui pintu dapur.

“Aku butuh uang,” katanya pada diri sendiri. “Aku pasti akan butuh uang.”

Ia langsung menuju kamar Oko, digeledahnya kotak-kotak kosmetik, gagang cermin, peti laci, dan apa saja yang terpikir olehnya. Ia obrak-abrik tempat itu, tapi tak ada uang sama sekali. Tentu saja seharusnya ia sudah dapat mengira-ngira bahwa Oko bukanlah jenis perempuan yang tidak bakal mengambil tindakan berjaga-jaga terhadap hal-hal seperti ini.

Dengan kecewa Matahachi menjatuhkan diri ke atas pakaian yang masih tersebar di lantai. Bau Oko mengambang seperti kabut tebal di sekitar pakaian dalamnya yang terbuat dari sutra merah, di sekitar obi Nishijinnya, dan di sekitar kimononya yang celupan Momoyama. Terbayang olehnya, kini Oko sedang berada di lapangan pertunjukan di tepi sungai, menonton tari-tarian Kabuki di samping Toji. Ia pun membayangkan kulitnya yang putih dan wajahnya yang kenes merangsang.

“Sundal iblis!” teriaknya. Pikiran-pikiran pahit dan kejam bangkit langsung dari isi perutnya.

Kemudian, tanpa diduga-duga, timbul padanya kenangan pedih akan Otsu. Sesudah lama berpisah, barulah ia dapat memahami kemurnian dan bakti gadis ini, yang telah berjanji akan menantikannya. Dengan senang hati ia akan bersedia berlutut dan mengangkat tangan memohon di hadapannya jika kiranya gadis itu man memaafkannya. Tapi ia sudah putus dengan Otsu, menelantarkannya demikian rupa, hingga mustahil baginya untuk menemui gadis itu lagi.

“Semuanya gara-gara perempuan ini,” pikirnya sedih. Sekarang, ketika sudah terlambat, segalanya menjadi jelas baginya; mestinya ia tidak memberitahukan apa-apa tentang Otsu kepada Oko. Ketika Oko pertama kali mendengar tentang gadis itu, ia tersenyum kecil dan berpura-pura tidak acuh sama sekali, padahal sebetulnya ia sangat cemburu. Kemudian, apabila mereka bertengkar, ia selalu mengungkit soal itu dan mendesak agar Matahachi menulis surat untuk memutuskan pertunangannya. Dan ketika akhirnya Matahachi menyetujui dan melakukannya, perempuan itu secara tak tahu malu melampirkan satu surat dengan tulisannya sendiri yang jelas bergaya perempuan, dan tanpa perasaan sama sekali menyampaikan surat resmi itu melalui seorang pesuruh yang tidak dikenal.

“Lalu apa pikir Otsu tentang diriku?” rintih Matahachi dengan sedih. Bayangan wajah Otsu yang masih polos itu tergambar di depan matanyawajah yang penuh gugatan. Sekali lagi terbayang olehnya pegunungan dan sungai di Mimasaka. Ingin ia memanggil ibunya, sanak keluarganya. Mereka semua begitu baik. Tanah di sana pun kini agaknya hangat dan menyenangkan.

“Tak akan bisa lagi aku pulang!” pikirnya. “Aku sudah membuang semua itu untuk… untuk…” Kembali dilanda kemarahan, dikeluarkannya semua pakaian Oko dari peti-peti pakaian, dirobek-robeknya, kemudian serpihanserpihan dan sobekan-sobekan itu dihamburkannya di seluruh rumah.

Perlahan-lahan kemudian sadarlah ia bahwa ada orang memanggil dari pintu depan.

“Maafkan,” kata suara itu. “Saya dari Perguruan Yoshioka. Apakah Tuan Muda dan Toji ada di sini?”

“Bagaimana aku tahu?” jawab Matahachi pedas.

“Mereka tentunya di sini! Saya tahu, memang tidak pantas mengganggu mereka selagi sedang mencari kesenangan, tapi ada satu kejadian yang sangat penting. Ini menyangkut nama baik Keluarga Yoshioka.”

“Pergi sana! Jangan ganggu aku!”

“Tapi apa tak bisa setidak-tidaknya Anda menyampaikan berita ini pada mereka? Tolonglah katakan bahwa seorang pemain pedang bernama Miyamoto Musashi sudah datang di perguruan, dan yah, tak seorang pun dari kami dapat mengunggulinya. Dia menunggu Tuan Muda kembali dan menolak pergi sebelum mendapat kesempatan menghadapinya. Tolonglah sampaikan pada mereka supaya lekas-lekas pulang!”

“Miyamoto? Miyamoto?”

Roda Keberuntungan

HARI itu adalah hari aib yang tak terlupakan bagi Perguruan Yoshioka. Tak pernah sebelumnya pusat seni bela diri yang bernama besar ini menderita penghinaan yang begitu tandas.

Murid-murid yang biasanya bersemangat kini duduk berkeliling dalam keputusasaan yang mengenaskan; wajah mereka murung dan buku-buku jari mereka yang putih mencerminkan penderitaan dan frustrasi. Sebagian besar dari mereka ada di kamar depan yang berlantai kayu, sedangkan sebagian kecil di kamar samping. Hari sudah senja; biasanya mereka sudah berangkat pulang atau pergi minum. Tak seorang pun beranjak pergi. Senyap bagai kuburan. Suasana itu hanya dipecahkan oleh derit gerbang depan yang sesekali berbunyi.

“Diakah itu?”

“Apa Tuan Muda sudah kembali?”

“Belum.” Ini diucapkan oleh seorang lelaki yang sudah setengah sore itu bersandar putus asa pada tiang pintu masuk.

Dan setiap kali pula orang-orang itu lebih dalam lagi terbenam dalam rawa kemuraman. Lidah-lidah berdecap putus asa, dan pelupuk mereka melelehkan air mata pedih.

Dokter keluar dari kamar belakang dan berkata kepada orang yang bersandar di pintu masuk, “Saya tahu Seijuro tak ada di sini. Tapi apa Anda tidak tahu di mana dia?”

“Sedang dicari. Barangkali sebentar lagi kembali.” Dokter mendeham dan pergi.

Di depan perguruan itu, lilin altar pemujaan Hachiman dikitari lingkaran sinar yang melantunkan bencana.

Tak seorang pun akan membantah bahwa pendiri, dan guru pertama, Yoshioka Kempo, adalah orang yang jauh lebih besar daripada Seijuro atau adik lelakinya. Kempo memulai hidup hanya sebagai pedagang, seorang pencelup kain, tetapi dari tak henti-henti mengulang irama dan gerak pencelupan anti luntur, akhirnya ia menemukan cara baru memainkan pedang pendek. Sesudah mempelajari cara menggunakan tombak-kapak dari salah seorang prajurit-pendeta yang cakap di Kurama dan kemudian mendalami Delapan Seni Pedang Gaya Kyoto, ia pun menciptakan gaya yang sepenuhnya orisinal. Teknik pedang pendeknya kemudian dipergunakan oleh shogun-shogun Ashikaga yang mendatangkannya sebagai guru resmi. Kempo adalah seorang ahli besar, orang yang kearifannya setara dengan keterampilannya.

Sekalipun kedua anaknya, Seijuro dan Denshichiro, menerima latihan sekeras ayahnya, mereka telah mewarisi kekayaan yang besar dan kemasyhuran ayahnya, dan menurut pendapat beberapa orang itulah sebab dari kelemahan mereka. Seijuro biasa dipanggil “Tuan Muda”, tapi sebenarnya ia belum benar-benar mencapai taraf keterampilan yang dapat memikat banyak pengikut. Para siswa datang ke sekolah itu karena di bawah pimpinan Kempo, Gaya Yoshioka telah menjadi demikian termasyhur, hingga bisa masuk sekolah itu saja sudah berarti diakui oleh masyarakat sebagai prajurit terampil.

Sesudah runtuhnya ke-shogun-an Ashikaga tiga dasawarsa sebelum itu, Keluarga Yoshioka tidak lagi memperoleh tunjangan resmi, tetapi pada masa hidup Kempo yang hemat, keluarga itu sedikit demi sedikit telah berhasil memupuk kekayaan besar. Selain itu ia memiliki bangunan besar di Jalan Shijo, dengan siswa yang jumlahnya lebih besar daripada perguruan mana pun di Kyoto; Kyoto waktu itu adalah kota terbesar di negeri ini. Tetapi sebenarnya sekolah yang menduduki taraf puncak di bidang seni pedang itu tinggal namanya saja.

Dunia dl luar dinding perguruan yang putih besar ini telah berubah lebih dari yang disadari oleh kebanyakan orang di dalamnya. Bertahun-tahun mereka telah menepuk dada, bermalas-malasan, dan hanya bermain-main, dan waktu pun melangkahi mereka. Hari ini mata mereka terbuka oleh kekalahan yang memalukan, setelah bertanding dengan seorang pemain pedang pedesaan yang tak dikenal.

Menjelang tengah hari, salah seorang pesuruh datang ke dojo untuk melaporkan bahwa seorang yang menamakan dirinya Musashi berdiri di pintu, mohon diizinkan masuk. Ketika ditanya macam apa orang itu, pesuruh menjawab bahwa orang itu seorang ronin, datang dari Miyamoto di Mimasaka, umur dua puluh satu atau dua puluh dua, kira-kira 1,83 meter tingginya, dan kelihatannya agak bodoh. Rambutnya yang tidak disisir setidak-tidaknya satu tahun diikat sembarangan saja dengan kain gombal yang kemerah-merahan, sedangkan pakaiannya begitu kotor, hingga susah ditentukan hitam atau cokelatkah warnanya, poloskah atau berpola kembang. Pesuruh merasa mencium bau orang itu, tapi mengakui bahwa mungkin juga ia keliru. Tamu itu menyandang kantong kulit beranyam yang biasa disebut orang tas belajar prajurit; ini barangkali berarti ia seorang shugyosha, salah seorang dari para samurai yang banyak jumlahnya waktu itu, yang kerjanya mengembara dan menghabiskan waktu di luar tidurnya untuk mempelajari seni pedang. Namun demikian, kesan umum yang didapat pesuruh itu adalah bahwa orang yang namanya Musashi itu jelas janggal hadir di Perguruan Yoshioka tersebut.

Kalau orang itu hanya minta makan, tidak masalah. Tapi ketika orang-orang mendengar bahwa pengganggu bulukan itu datang ke gerbang besar untuk menantang Yoshioka Seijuro yang termasyhur itu bertanding, mereka pun terbahak-bahak. Beberapa orang berpendapat lebih baik mengusirnya saja tanpa banyak ribut, sedang yang lain-lain mengatakan mereka harus melihat dulu, gaya apa yang dipakainya dan siapa nama gurunya.

Pesuruh, yang sama merasa geli seperti yang lain-lain, pergi dan kembali lagi dengan kabar bahwa tamu itu sewaktu masih kanak-kanak belajar menggunakan pentung dari ayahnya, dan kemudian memungut pelajaran dari prajurit mana saja yang lewat di kampungnya. Meninggalkan rumah ketika berumur tujuh belas, dan “karena alasan-alasan pribadi” ia pun menenggelamkan diri dalam mempelajari ilmu pengetahuan pada umur delapan belas, sembilan belas, dan dua puluh. Sepanjang tahun sebelum itu, ia hanya sendirian tinggal di pegunungan, melulu berguru pada pepohonan dan keheningan gunung. Oleh karena itu, tidak dapat ia menyebutkan suatu aliran khusus atau nama seorang guru. Tapi di masa depan ia berharap akan mempelajari ajaran-ajaran Kiichi Hogen, ahli hakikat Delapan Gaya Kyoto, dan akan berusaha meniru Yoshioka Kempo yang agung dengan menciptakan gayanya sendiri, yang menurut keputusannya akan dinamakannya Gaya Miyamoto. Memang ia memiliki banyak kekurangan, tapi itulah tujuannya, dan untuk itulah ia berhasrat bekerja dengan sepenuh hati dan jiwanya.

Pesuruh mengakui bahwa semua itu merupakan jawaban yang jujur dan tidak dibuat-buat, tetapi orang itu beraksen kampung dan hampir tiap kata ia ucapkan dengan menggagap. Pesuruh dengan senang hati menirukannya untuk para pendengarnya, dan mereka pun sekali lagi terpingkal-pingkal.

Orang itu tentunya sudah sinting. Menyatakan tujuannya menciptakan gaya sendiri benar-benar gila. Untuk memberikan sedikit ajaran kepada orang sombong itu, para siswa menyuruh pesuruh keluar lagi, kali ini dengan pertanyaan apakah tamu itu sudah menunjuk orang untuk mengambil mayatnya sesudah pertandingan nanti.

Musashi memberikan jawaban, “Kalau kebetulan saya terbunuh, tak ada bedanya, apakah Anda membuang tubuh saya ke Gunung Toribe atau melemparkannya ke Sungai Kamo bersama sampah. Baik untuk yang pertama maupun yang kedua, saya berjanji tak akan menuntut balas.”

Menurut pesuruh, caranya menjawab kali ini sangat jelas, tidak mengandung kekakuan seperti jawaban-jawaban sebelumnya.

Sesudah ragu-ragu sebentar, akhirnya satu orang berkata, “Suruh dia masuk!”

Itulah awal mulanya; para siswa menyangka mereka akan berhasil menyayat pendatang baru itu sedikit, kemudian melemparkannya ke luar. Namun pada pertandingan pertama saja juara perguruanlah yang keluar sebagai pihak yang kalah. Tangannya putus. Hanya sedikit kulit yang masih menghubungkan pergelangan dengan tangan.

Satu demi satu yang lain-lain pun menerima tantangan orang asing itu, dan satu demi satu pula mereka kalah secara memalukan. Beberapa orang luka parah, dan pedang kayo Musashi bergelimang darah. Sesudah kekalahan kesekian kali, para siswa berubah jadi ingin membunuh; kalaupun mereka semua harus terbunuh, tak akan mereka membiarkan orang gila biadab ini pergi dalam keadaan hidup, membawa serta kehormatan Perguruan Yoshioka.

Musashi sendirilah yang mengakhiri pertumpahan darah itu. Sejak tantangannya diterima, tak ada rasa kuatir padanya tentang jatuhnya korban, tapi ia menyatakan, “Tak ada gunanya melanjutkan ini sebelum Seijuro kembali,” dan ia menolak untuk bertempur lagi. Karena tak ada pilihan lain, atas permintaannya sendiri ia dipersilakan masuk ke sebuah kamar untuk menunggu. Baru pada waktu itulah satu orang tersadar dan memanggil dokter.

Tak lama sesudah dokter pergi, suara-suara yang memekikkan nama dua orang yang terluka menyebabkan selusin orang masuk kamar belakang. Mereka mengerumuni kedua samurai itu dengan sikap tak percaya bercampur takjub; wajah mereka kelabu dan napas mereka tidak tetap. Kedua orang itu tewas.

Langkah-langkah kaki bergegas melintas dojo dan masuk ke kamar mati. Para siswa memberikan jalan bagi Seijuro dan Toji. Keduanya pucat, seakan-akan baru saja keluar dari air terjun yang dingin.

“Apa yang terjadi di sini?” tanya Toji. “Apa arti semua ini?” Nada bicaranya gusar seperti biasa.

Seorang samurai yang berlutut dengan wajah tercekam di camping bantal salah seorang kawannya yang mati melontarkan pandangan penuh tuduhan kepada Toji, dan katanya, “Kau yang mesti menjelaskan apa yang sedang terjadi. Kau yang membawa Tuan Muda minum-minum. Nab, kali ini kau sudah bertindak terlalu jauh.”

“Jaga lidahmu, atau kupotong nanti.”

“Ketika Tuan Kempo masih hidup, tak ada hari lewat tanpa dia ada di dojo”,

“Lantas mau apa? Tuan Muda ingin bersenang-senang sedikit, dan kami pergi ke Kabuki. Apa maksudmu bicara demikian di depannya? Kaupikir siapa kau ini?”

“Apa untuk melihat Kabuki saja dia mesti tinggal di luar sepanjang malam? Bisa-bisa Tuan Kempo bangkit dari kuburnya.”

“Cukup!” teriak Toji sambil menyerang orang itu.

Ketika yang lain-lain campur tangan pula dan mencoba memisahkan serta menenangkan kedua orang itu, satu suara berat karena beban sakit terdengar sedikit mengungguli suara percekcokan itu. “Kalau Tuan Muda sudah kembali, sudah waktunya menghentikan percekcokan. Terserah kepadanya untuk mengembalikan kehormatan perguruan. Ronin itu tidak boleh meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup.”

Beberapa di antara yang luka menjerit dan memukul-mukul lantai. Tindakan itu merupakan celaan yang seterang-terangnya terhadap mereka yang belum menghadapi pedang Musashi.

Bagi samurai zaman itu, yang terpenting di dunia ini adalah kehormatan. Sebagai golongan, mereka benar-benar saling berlomba mencari jalan untuk mati lebih dulu dalam mempertahankannya. Pemerintah sampai hari-hari terakhir terlampau sibuk dengan perang, hingga tak ada waktu untuk menyusun sistem administrasi yang memadai bagi suatu negeri yang damai, bahkan Kyoto pun hanya diatur dengan seperangkat peraturan yang longgar dan bersifat tambal sulam. Toh pentingnya kehormatan pribadi bagi golongan prajurit itu tetap dihargai, baik oleh kaum petani maupun orang-orang kota, dan ini besar artinya dalam menjamin ketenteraman. Pendapat umum mengenai mana tindakan terhormat dan mana yang tidak telah memungkinkan rakyat mengatur diri sendiri, sekalipun hanya dengan undangundang yang tidak memadai.

Sekalipun tidak terpelajar, orang-orang dari Perguruan Yoshioka sama sekali bukan orang-orang rendah yang tak kenal malu. Ketika mereka sadar kembali sesudah menderita guncangan kekalahan itu, hal pertama yang terpikir oleh mereka adalah kehormatan, yaitu kehormatan perguruan, kehormatan guru, kehormatan pribadi mereka sendiri.

Dengan menyingkirkan permusuhan perseorangan, sebagian besar dari mereka berkumpul di sekitar Seijuro, memperbincangkan apa yang harus diperbuat. Sayang sekali, kebetulan hari itu Seijuro sedang kehilangan semangat juangnya. Pada saat itu, ia yang seharusnya berada dalam keadaan prima, justru loyo, lemah, dan kehabisan tenaga.

“Di mana orang itu?” tanyanya seraya mengikatkan lengan kimononya dengan tali kulit.

“Dia di kamar kecil di samping kamar terima tamu,” kata seorang murid sambil menunjuk ke seberang kebun.

“Panggil dia!” perintah Seijuro. Mulutnya kering karena tegang. Ia pun duduk di tempat guru, sebuah mimbar kecil, dan bersiap-siap menerima salam dari Musashi. Dipilihnya salah satu pedang kayu yang disodorkan para muridnya, dan dipegangnya tegak di samping.

Tiga-empat orang menerima perintah dan mulai meninggalkan tempat, tetapi Toji dan Ryohei menyuruh mereka menanti.

Menyusullah bisik-bisik lama, jauh dari pendengaran Seijuro. Konsultasi diam-diam itu berpusat pada Toji dan murid-murid senior lain perguruan itu. Tak lama kemudian, para anggota keluarga dan beberapa orang lain menggabungkan diri, begitu banyak yang hadir di situ, hingga kerumunan itu terpecah dalam kelompok-kelompok. Meski berlangsung seru, perdebatan dapat diselesaikan dalam waktu cukup singkat.

Sebagian besar tidak hanya memprihatinkan nasib perguruan, melainkan juga menyadari benar kekurangan Seijuro sebagai seorang pejuang, dan mereka pun menyimpulkan bahwa tidak bijaksana membiarkannya menghadapi Musashi satu lawan satu, waktu itu juga dan di tempat itu juga. Dua orang sudah tewas dan beberapa orang terluka. Kalau Seijuro pun menderita kekalahan, krisis yang mengancam perguruan akan berat luar biasa. Itu tindakan yang terlampau riskan.

Kebanyakan orang itu berpendapat, walaupun tidak diucapkan, bahwa jika waktu itu Denshichiro hadir, tidak banyak yang perlu dikuatirkan. Pada umumnya ada anggapan bahwa ia lebih cocok untuk melanjutkan kerja ayahnya, tapi karena ia anak kedua dan tidak mempunyai tanggung jawab serius, maka ia pun menjadi orang yang berwatak sangat santai. Pagi itu ia sudah meninggalkan rumah dengan teman-temannya ke Ise, dan bahkan tidak merasa perlu berpesan kapan akan pulang.

Toji mendekati Seijuro, dan katanya, “Kami sudah mencapai kesimpulan.”

Mendengar laporan yang disampaikan dengan bisikan itu, Seijuro tampak semakin berang, sampai akhirnya ia pun tersengal-sengal dan hampir tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. “Mengakali dia?”

Toji mencoba meredakan dengan gerakan mata, tapi Seijuro tidak dapat diredakan. “Aku tak setuju dengan tindakan seperti itu! Itu pengecut. Bagaimana kalau sampai kedengaran orang bahwa Perguruan Yoshioka takut pada seorang prajurit tak dikenal, dan menyembunyikan diri, lalu menyergapnya?”

“Tenanglah,” Toji memohon, tapi Seijuro terus juga membangkang. Maka Toji pun mengungguli suaranya, dan katanya keras, “Serahkan pada kami. Kami yang akan mengurus.”

Namun Seijuro tak juga bisa menerima. “Apa menurutmu aku, Yoshioka Seijuro, akan kalah dengan si Musashi atau siapa pun namanya itu?”

“Oh, tidak, sama sekali tidak begitu,” kata Toji berbohong. “Cuma kami tak percaya Anda dapat memperoleh kehormatan dengan mengalahkan dia. Kedudukan Anda terlalu tinggi untuk menghadapi gelandangan kurang ajar seperti itu. Lagi pula, tidak ada alasan kenapa orang di luar rumah ini mesti tahu soal itu, bukan? Hanya satu yang penting, yaitu tidak membiarkan dia pergi dalam keadaan hidup.”

Belum selesai mereka beradu pendapat, jumlah orang yang berada di dalam ruangan sudah berkurang lebih dari setengahnya. Diam-diam, seperti kucing, mereka menghilang ke kebun, ke arah pintu belakang dan ke kamar-kamar dalam, dan secara hampir tidak kelihatan menghilang ke kegelapan.

“Tuan Muda, kita tak dapat menangguhkannya lagi,” kata Toji tegas, lalu memadamkan lampu. Ia pun melonggarkan pedang dalam sarungnya dan menaikkan lengan kimononya. Seijuro tetap duduk. Sekalipun dalam batas-batas tertentu ia puas karena tidak harus bertempur melawan orang asing itu, namun ia sama sekali tidak merasa senang. Menurut pengertiannya, dengan mengambil langkah itu, berarti para muridnya menilai rendah kemampuannya. Ia pun terkenang bagaimana ia telah mengabaikan latihan sejak meninggalnya ayahnya, dan ini membuatnya sangat sedih.

Rumah itu semakin dingin dan senyap seperti dasar sumur. Karena tak dapat duduk tenang, Seijuro pun bangkit dan berdiri dekat jendela. Lewat pintu-pintu kamar Musashi yang tertutup kertas ia dapat melihat cahaya lampu yang berkelap-kelip lembut. Itulah satu-satunya cahaya yang ada di sekitar tempat itu.

Banyak juga mata lain mengintip ke arah yang sama. Para penyerang meletakkan pedangnya di tanah di hadapan mereka, menahan napas dan mendengarkan baik-baik setiap bunyi yang dapat mengungkapkan kepada mereka sedang apakah Musashi.

Apa pun kekurangan Toji, ia telah memperoleh latihan sebagai seorang samurai. Mati-matian sekarang ia mencoba membayang-bayangkan apa yang mungkin diperbuat Musashi. “Dia sama sekali tak dikenal di ibu kota, tapi dia seorang pendekar hebat. Mungkinkah dia sekadar duduk diam di kamar itu? Pengepungan kami cukup hati-hati, tapi dia tentunya merasa bahwa orang banyak sedang mendesaknya sekarang. Setiap orang yang mencoba hidup sebagai prajurit pasti mengetahuinya; kalau tidak, dia sudah mati sekarang.

“Mm, barangkali dia sudah tertidur. Agaknya itulah yang terjadi. Memang sudah lama juga dia menanti.

“Di pihak lain, dia sudah membuktikan dirinya cerdik. Kemungkinan dia sedang berdiri di sana dalam keadaan siap tempur, membiarkan lampu menyala untuk membuat orang-orang ini kehilangan kewaspadaan dan tinggal menanti serangan pertama.

“Mestinya begitu. Betul begitu!”

Orang-orang itu menanti dengan gelisah, karena orang yang menjadi sasaran nafsu membunuh mereka juga sama inginnya membantai mereka. Mereka pun bertukar pandang, diam-diam saling menanyakan, siapa yang pertama-tama akan maju menyerbu dan mempertaruhkan nyawanya.

Akhirnya Toji yang licik dan persis berada di luar kamar Musashi, berseru, “Musashi! Maaf membiarkanmu lama menunggu! Boleh aku bertemu sebentar?”

Karena tak ada jawaban, Toji menyimpulkan bahwa Musashi memang sudah siap menanti serangan. Sambil bersumpah tak akan membiarkan Musashi meloloskan diri, Toji pun memberikan isyarat ke kanan dan ke kiri, kemudian menerjang ke arah pintu. Bagian bawah pintu bergeser sekitar dua kaki ke dalam kamar, terlepas dari lekuknya akibat hantaman itu. Mendengar bunyi itu, orang-orang yang seharusnya menyerbu ke dalam kamar secara tak sengaja mundur selangkah. Tapi dalam beberapa detik saja seseorang menyerukan serang, dan semua pintu lain dalam kamar itu pun gemerantang terbuka.

“Dia tak ada!”

“Kamar kosong!”

Suara-suara yang mencerminkan pulihnya keberanian pun terdengar menggerutu menyatakan tak percaya. Musashi masih duduk di sana sejenak sebelum itu, ketika seseorang membawakan lampu. Lampu masih menyala, bantalan yang tadi didudukinya masih di sana, anglo masih menyala dengan baik, dan masih ada cangkir teh yang belum disentuh. Tapi Musashi tak ada!

Satu orang berlari ke beranda, memberitahukan kepada yang lain-lain bahwa Musashi sudah pergi. Dari. bawah beranda dan dari tempat-tempat gelap di kebun para murid dan pesuruh pun berkumpul, mengentakkan kaki dengan marah dan memaki-maki orang yang menjaga kamar yang kecil itu. Namun para penjaga tetap menyatakan bahwa Musashi tak mungkin pergi. Ia memang pergi ke kamar kecil kurang dari sejam sebelum itu, tapi segera kembali ke kamarnya lagi. Tak ada jalan baginya untuk pergi tanpa terlihat.

“Apa maksudmu dia tidak kelihatan, seperti angin?” satu orang bertanya dengan nada mencemooh.

Tepat waktu itu satu orang yang selama itu celingukan di kamar kecil berseru, “Dari sini dia pergi! Lihat, papan-papan lantai ini sudah lepas.”

“Belum lama lampu itu tadi dirapikan. Tak mungkin dia sudah pergi jauh!”

“Kejar dia!”

Kalau Musashi memang melarikan diri, pasti dalam hatinya ia seorang pengecut! Jalan pikiran ini mengobarkan kembali semangat para pengejarnya yang beberapa lama sebelumnya sudah sangat kehilangan semangat. Baru saja mereka berduyun-duyun keluar dari gerbang depan, belakang, dan samping, satu orang memekik, “Itu dia!”

Dekat gerbang belakang, satu sosok melejit keluar dari bayangan, menyeberang jalan, dan masuk lorong gelap di sisi lain. Sosok itu berlari seperti kelinci, melenceng ke satu sisi ketika hampir mencapai dinding di ujung lorong. Dua-tiga orang murid berhasil mengejarnya antara Kuyado dan puing-puing kebakaran Honnoji.

“Pengecut!”

“Mau lari, ya?”

“Sesudah tindakanmu hari ini?”

Terdengar bunyi tonjokan dan tendangan keras, juga lolongan menantang. Orang yang terkepung itu memperoleh kembali kekuatannya dan membalik menghadapi para penangkapnya. Dalam sekejap ketiga orang yang menjambak tengkuknya terjerembap ke tanah. Pedang orang itu sudah mau ditebaskan kepada mereka, ketika orang keempat datang berlari dan berseru, “Tunggu! Salah! Ini bukan orang yang kita kejar.”

Matahachi menurunkan pedangnya, dan orang-orang itu pun berdiri.

“Hei, kau benar! Bukan Musashi!”

Selagi mereka berdiri di sana dengan kebingungan, Toji sampai di tempat kejadian. “Sudah kalian tangkap?” tanyanya.

“Uh, orang lain-bukan orang yang bikin ribut itu.”

Toji memperhatikan tangkapan itu dengan lebih saksama, dan katanya heran, “Ini orang yang kalian kejar?”

“Ya. Kau kenal dia?”

“Baru tadi siang aku melihatnya di Warung Teh Yomogi.”

Sementara mereka memandangnya dengan diam dan curiga, Matahachi tenang-tenang merapikan rambutnya yang kusut clan meratakan kimononya. “Apa dia pemilik Yornogi?”

“Tidak, nyonya rumah mengatakan padaku bukan. Rupanya dia cuma semacam benalu.”

“Kelihatannya memang mencurigakan. Apa kerjanya di dekat-dekat gerbang ini? Memata-matai?”

Tapi Toji sudah mulai bergerak. “Kalau kita menghabiskan waktu dengan dial kita akan kehilangan Musashi. Sekarang kita berpencar saja dan jalan. Paling tidak, kita bisa tahu di mana dia tinggal.”

Terdengar suara-suara mengiakan, dan mereka pun berangkat.

Menghadapi parit Honnoji, Matahachi berdiri diam dengan kepala menunduk, sementara orang-orang itu lewat berlarian. Ketika orang terakhir lewat, ia pun berseru kepadanya.

Orang itu berhenti. “Ada apa?” tanyanya.

Matahachi mendekatinya, dan tanyanya, “Berapa umur orang yang namanya Musashi itu?”

“Mana aku tahu?”

“Apa kira-kira seumurku?”

“Kira-kira begitu. Ya.”

“Apa dia dari Desa Miyamoto di Provinsi Mimasaka?”

“Ya.”

“Kukira ‘Musashi’ itu cara lain untuk membaca dua huruf yang bisa dipakai menuliskan ‘Takezo’, kan?”

“Kenapa kau menanyakan sernua itu? Apa dia temanmu?”

“Ah, tidak. Aku cuma heran.”

“Nah, lain kali apa tidak lebih baik kau jauh-jauh saja dari tempat-tempat yang bukan tempatmu? Kalau tidak, kau bisa mendapat kesulitan besar hari-hari ini.” Sesudah menyampaikan peringatan itu, orang itu pun lari.

Matahachi lalu berjalan pelan-pelan di samping parit gelap itu, dan sekali-sekali berhenti untuk memandang bintang-bintang. Ia rupanya tidak mempunyai tujuan khusus.

“Pasti dialah itu!” demikian kesimpulannya. “Dia tentunya sudah mengubah namanya menjadi Musashi dan menjadi pemain pedang. Boleh jadi dia lain sekali dengan dahulu.” Maka disurukkannya tangannya ke dalam obi, dan mulailah ia menendang-nendang sebuah batu dengan jari sandalnya. Tiap kali menendang, ia pun merasa melihat wajah Takezo di hadapannya.

“Ini bukan waktu yang tepat,” gumamnya. “Aku akan malu kepadanya kalau dia melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku cukup punya harga diri dan takkan membiarkan dia memandang rendah kepadaku…. Tapi kalau gerombolan Yoshioka itu berhasil mengejarnya, kemungkinan mereka akan membunuhnya. Di mana dia berada kira-kira? Paling tidak, ingin aku memperingatkannya.”

Berhadapan dan Mundur

SEPANJANG jalan setapak berbatu yang menuju Kuil Kiyomizudera berdiri sederetan rumah kumuh dengan atap papan yang tersusun seperti gigi rusak, demikian tuanya hingga lumut sudah menumbuhi tepi-tepi atapnya. Di bawah sinar matahari siang yang panas, jalan itu semerbak oleh bau ikan asin yang dibakar di atas arang.

Sebuah piring melayang keluar dari pintu salah satu gubuk bobrok itu dan pecah berantakan di jalan. Seorang lelaki umur sekitar lima puluh tahun, yang agaknya seorang pekerja tangan, menyusul terhuyung ke luar. Sekejap kemudian menyusul pula istrinya yang bertelanjang kaki, rambutnya awut-awutan dan payudaranya tergantung-gantung seperti tetek sapi.

“Apa kaubilang, orang udik?” jeritnya serak. “Kau pergi meninggalkan istri dan anak kelaparan, lalu datang lagi merangkak seperti cacing!”

Dari dalam rumah terdengar suara anak-anak menangis, dan tidak jauh dari situ seekor anjing menggonggong. Perempuan itu akhirnya berhasil mengejar suaminya, menangkap gelung rambutnya, dan mulai memukulinya.

“Sekarang mau pergi ke mana kamu, orang sinting tua?”

Para tetangga bergegas datang dan mencoba melerai.

Musashi tersenyum ironis dan membalikkan badan menuju toko barang tembikar. Beberapa waktu sebelum pecahnya pertengkaran keluarga itu, ia sudah berdiri di luar, mengamati para pembuat tembikar dengan kegairahan kanak-kanaknya. Dua lelaki yang ada di dalam tidak menyadari kehadirannya. Karena mata mereka terpaku kepada pekerjaan, mereka seakan-akan sudah menyatu dengan tanah liat itu. Konsentrasi mereka sungguh bulat.

Musashi sebetulnya ingin mencoba bekerja dengan tanah liat itu. Sejak kecil ia menyukai pekerjaan tangan; menurut pendapatnya, paling tidak ia akan dapat membuat mangkuk teh sederhana. Namun justru pada waktu itu salah seorang tukang tembikar yang umurnya hampir enam puluh tahun mulai membuat mangkuk teh. Melihat betapa cekatan orang itu menggerakkan jari-jarinya clan memainkan kape-nya, Musashi pun sadar bahwa ia terlalu tinggi menilai kemampuannya sendiri. “Ternyata diperlukan banyak teknik untuk membuat barang sederhana itu saja,” demikian kagumnya.

Hari-hari itu sering kali ia merasa amat kagum pada kerja orang lain. Ia merasa menghargai teknik, seni, bahkan kemampuan melakukan tugas yang sederhana dengan baik, terutama jika itu adalah keterampilan yang tidak dikuasainya.

Di sebuah sudut toko itu, di sebuah meja panjang darurat yang terbuat dari papan pintu tua, berderet-deret piring, sloki sake, clan kendi. Barangbarang itu dijual untuk tanda mata dengan harga dua puluh atau tiga puluh sen saja kepada orang-orang yang pergi atau datang dari kuil. Sesuatu yang bertentangan sekali dengan kesungguh-an para tukang tembikar pada pekerjaan mereka adalah hina-dinanya pondok papan mereka. Terpikir oleh Musashi, apakah mereka selalu dapat makan cukup. Hidup ini agaknya tidak semudah kelihatannya.

Memikirkan keterampilan, konsentrasi, dan kesetiaan yang dicurahkan untuk membuat barang-barang semurah itu, Musashi pun merasa jalannya sendiri masih panjang, jika ia ingat bagaimana ia mencapai taraf kesempurnaan dalam seni pedang yang diinginkannya itu. Pikiran itu sungguh pikiran yang menyadarkan, karena dalam tiga minggu terakhir itu ia telah mengunjungi pusat-pusat latihan terkenal lain di Kyoto disamping Perguruan Yoshioka, dan sempat bertanya-tanya kepada dirinya apakah ia tidak terlampau kritis terhadap diri sendiri semenjak dikurung di Himeji dulu. Keinginannya semula adalah melihat Kyoto sebagai tempat penuh orang yang telah menguasai seni bela diri. Bukankah kota itu ibu kota kekaisaran dan dahulu menjadi pusat ke-shogun-an Ashikaga, dan sudah lama menjadi tempat berkumpulnya jenderal-jenderal ternama dan prajurit-prajurit legendaris? Namun selama berada di sana, belum pernah ia menemukan satu pun pusat latihan yang mengajarkan kepadanya sesuatu yang benar-benar pantas diberi ucapan terima kasih. Sebaliknya, hanya kekecewaan yang diperolehnya di setiap perguruan itu. Sekalipun selalu memenangkan pertandingan, tak dapat ia menetapkan apakah itu disebabkan ia yang bagus atau lawan-lawannya yang jelek. Baik dalam hal yang pertama maupun kedua, kalau para samurai yang dijumpainya itu memang gambaran dari samurai masa kini, berarti negeri itu berada dalam keadaan memprihatinkan.

Tergugah oleh keberhasilannya, ia pun sampai kepada pemikiran untuk merasa bangga akan keahliannya. Tetapi sekarang, ingat akan bahaya puas diri, ia pun merasa bersalah dan patut dihukum. Dalam hati ia merasa sangat hormat kepada orang-orang tua bergelimang tanah liat yang sedang bekerja pada rodanya itu, dan mulailah ia mendaki lereng terjal Kiyomizudera.

Belum lagi jauh, terdengar suara memanggilnya dari bawah. “Hei, tuan yang di sana! Ronin!’

“Maksud Anda… saya?” tanya Musashi sambil menoleh.

Melihat pakaian katunnya yang berlapis, kakinya yang telanjang, dan tongkat yang dibawanya, orang itu adalah pemikul joli. Dari balik jenggotnya ia berkata, cukup sopan untuk orang yang kedudukannya serendah itu, “Tuan, apa nama Tuan Miyamoto?”

“Ya.”

“Terima kasih.” Orang itu pun membalik dan turun ke Bukit Chawan.

Musashi melihatnya memasuki rumah yang nampaknya warung teh. Sewaktu melewati daerah itu tadi, ia memang melihat satu rombongan besar kuli dan pemikul joli sedang berdiri di sana-sini di bawah sinar matahari. Tak dapat ia memperkirakan, siapa yang kini telah menyuruh salah seorang dari mereka itu untuk menanyakan namanya, tapi ia mengira, siapa pun yang telah menyuruh itu pasti akan segera datang menemuinya. Ia pun berdiri dulu di sana sebentar, tapi karena tak seorang pun muncul, ia kembali mendaki.

Di sepanjang jalan itu ia berhenti menjenguk kuil-kuil terkenal, dan di tiap kuil ia membungkukkan badan dan mengucapkan dua doa. Doa pertama: “Lindungilah kakak perempuanku dari bahaya.” Yang kedua: “Ujilah Musashi yang hina ini dengan kesulitan. Jadikanlah dia pemain pedang terbesar di negeri ini, atau biarlah dia mati.”

Sampai di tepi tebing karang ia jatuhkan topi anyaman yang dipakainya ke tanah dan duduk. Dari situ ia dapat memandang seluruh kota Kyoto. Sementara ia duduk merangkul lutut, bergejolaklah ambisi yang sederhana namun kuat dalam dadanya yang masih muda.

“Aku ingin menempuh hidup yang berarti. Aku mau menempuhnya, karena aku lahir sebagai manusia.”

Ia pernah membaca bahwa pada abad sepuluh, dua pemberontak bernama Taira no Masakado dan Fujiwara no Sumitomo yang sama-sama ambisius telah bergabung dan bersepakat, kalau menang perang, mereka akan membagi Jepang di antara mereka berdua. Sukar memastikan kebenaran cerita itu, tapi Musashi ingat, waktu itu ia berpendapat alangkah bodoh dan tidak realistis sekiranya mereka percaya bisa melaksanakan rencana gila-gilaan semacam itu. Namun sekarang ia merasa hal itu tidak lagi menggelikan. Impian yang dimilikinya lain jenisnya, tapi ada beberapa persamaan. Kalau orang muda tidak dapat menggantungkan cita-cita besar dalam jiwanya, siapa lagi yang dapat? Saat itu Musashi pun membayangkan bagaimana ia dapat menciptakan tempatnya sendiri di dunia ini.

Ia berpikir tentang Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi, tentang visi mereka untuk mempersatukan Jepang dan tentang banyak pertempuran yang telah mereka lakukan untuk mencapai tujuan itu. Tetapi jelas, jalan menuju kebesaran itu kini tidak lagi terletak dalam memenangkan perang. Sekarang rakyat hanya menginginkan perdamaian yang telah begitu lama mereka rindukan. Merenungkan perjuangan panjang yang harus ditempuh Tokugawa Ieyasu dalam mengubah keinginan itu menjadi kenyataan, Musashi pun sadar sekali lagi, betapa susahnya berpegang teguh pada cita-cita.

“Ini zaman baru,” pikirnya. “Sisa hidupku masih ada di hadapanku. Memang terlambat aku menempuh jalan yang dilalui Nobunaga atau Hideyoshi, tapi masih dapat aku memimpikan dunia yang harus kutaklukkan sendiri. Tak seorang pun dapat menghentikanku melakukan itu. Pemikul joli tadi pun mempunyai impiannya sendiri.”

Sesaat ia singkirkan gagasan-gagasan itu dari pikirannya dan mencoba meninjau keadaan dirinya secara objektif. Ia memiliki pedang, dan jalan Pedang adalah jalan yang telah dipilihnya. Kiranya bagus juga menjadi seorang Hideyoshi atau Ieyasu, tetapi zaman tidak lagi membutuhkan orang-orang dengan bakat seperti mereka. Ieyasu sudah mengatur segala hal; tidak lagi ada keperluan akan perang-perang berdarah. Di Kyoto yang terhampar di bawah sana kehidupan tidak lagi soal untung-untungan.

Bagi Musashi, yang penting sejak sekarang dan untuk seterusnya adalah pedangnya dan masyarakat sekitarnya, juga seni pedang yang dikuasainya dalam hubungan kehadirannya sebagai manusia. Pada saat memperoleh pemahaman mendalam itu, ia pun puas karena telah menemukan hubungan antara seni bela diri dan visinya mengenai kebesaran.

Sementara ia duduk tenggelam dalam pemikiran itu, wajah pemikul joli muncul kembali di bawah tebing karang. la menudingkan tongkat bambunya kepada Musashi, clan serunya, “Itu dia di sana!”

Musashi memandang ke bawah, ke arah kuli-kuli yang sedang bergerak ke sana kemari sambil berteriak-teriak. Mereka mulai mendaki bukit menuju ke arahnya. Ia pun bangkit; sambil mencoba mengabaikan mereka, ia berjalan terus mendaki bukit. Tetapi tak lama kemudian ia melihat jalannya tercegat. Dengan bergandengan tangan dan mengacung-acungkan tongkat, sejumlah besar orang telah mengepungnya dari jauh. Ketika ia menoleh, tampak olehnya orang-orang di belakangnya itu berhenti. Seorang dari mereka menyeringai memperlihatkan giginya dan memberitahukan kepada yang lain-lain bahwa Musashi rupanya “sedang memperhatikan tanda peringatan atau entah apa”.

Musashi yang kini berada di depan tangga Hongando memang sedang menengadah memperhatikan tanda peringatan yang sudah dimakan cuaca, yang tergantung pada blandar pintu masuk kuil. Ia merasa gelisah dan bertanya-tanya dalam hati apakah ia sebaiknya menakut-nakuti mereka dengan teriakan perang. Walaupun ia tahu dapat membereskan mereka dengan cepat, tak ada gunanya ribut dengan gerombolan pekerja kasar itu. Lagi pula, barangkali ada kekeliruan. Kalau demikian, lambat atau cepat mereka akan bubar. Ia pun berdiri saja di sana dengan sabar, sambil membaca dan membaca sekali lagi kata-kata pada tanda peringatan itu: “Kaul sejati”.

“Ini dia datang!” salah seorang kuli berteriak.

Mereka pun mulai bicara antara sesamanya dengan suara tertahan-tahan. Kesan Musashi adalah mereka sedang saling merangsang semangat. Pekarangan dalam gerbang barat kuil itu dengan segera penuh orang, dan sekarang para pendeta, peziarah, dan tukang jualan menajamkan mata untuk melihat apa yang sedang terjadi. Penuh rasa ingin tahu, mereka membentuk kelompok-kelompok di luar lingkaran kuli-kuli yang mengepung Musashi.

Dari arah Bukit Sannen kedengaran nyanyian berirama pengatur langkah oleh orang-orang yang membawa beban. Suara itu makin lama makin dekat, sampai akhirnya dua orang memasuki pekarangan kuil dengan menggendong seorang perempuan tua dan seorang samurai desa yang tampak agak lelah.

Dan punggung pengusungnya Osugi melambaikan tangan dengan gerakan cepat, dan katanya, “Di sini saja.” Si pengusung melipat kakinya dan Osugi pun melompat sigap ke tanah sambil mengucapkan terima kasih. Sembari menoleh kepada Paman Gon, ia berkata, “Kali ini kita takkan membiarkannya lepas, kan?” Pakaian dan sepatu kedua orang itu mengesankan seolah-olah mereka hendak menghabiskan sisa hidupnya dalam perjalanan.

“Mana dia?” seru Osugi.

Salah seorang kuli pikul menjawab, “Itu di sana,” dan menuding bangga ke arah kuil.

Paman Gon membasahi gagang pedangnya dengan ludah, dan kedua orang itu pun menerobos lingkaran manusia tersebut.

“Tenang saja,” salah seorang kuli pikul mengingatkan. “Orangnya tampak tangguh,” kata yang lain.

“Pastikan dulu apa Anda sudah betul-betul siap,” nasihat yang lain. Sementara para pekerja memberikan dorongan dan dukungan bagi Osugi, para penonton merasa cemas.

“Apa perempuan tua ini betul-betul mau menantang duel ronin itu?” “Kelihatannya begitu.”

“Tapi dia sudah begitu tua! Malah pengiringnya juga sudah goyah kakinya! Mestinya ada alasan kuat, mengapa mereka mencoba menghadapi orang yang begitu jauh lebih muda.”

“Tentulah sekitar permusuhan keluarga!”

“Lihat tuh! Dia memarahi lelaki tua itu. Ada memang nenek-nenek tua yang betul-betul gagah berani.”

Seorang kuli berlari datang membawa segayung air untuk Osugi. Sesudah minum seteguk besar, Osugi menyerahkan gayung itu kepada Paman Gon dan berkata tegas kepadanya, “Sekarang jaga jangan sampai kau bingung, sebab tak ada yang perlu dibingungkan. Takezo itu cuma manusia jerami. Bisa saja dia belajar sedikit cara memakai pedang, tapi tak mungkin dia belajar banyak. Tenang saja kamu!”

Untuk memelopori, ia pun langsung menuju tangga depan Hongando dan duduk di tangga, tak sampai sepuluh langkah dari Musashi. Tanpa memperhatikan Musashi atau orang banyak yang memandangnya, ia mengeluarka tasbihnya dan memejamkan mata, lalu mulai menggerak-gerakkan bibir. Diilhami oleh semangat keagamaannya, Paman Gon menangkupkan kedua tangannya dan berbuat demikian pula.

Pemandangan itu ternyata agak terlampau melodramatis, dan salah seorang penonton mulai tertawa terkekeh. Seketika itu juga salah seorang kuli memutar badan dan katanya menantang, “Siapa menganggap ini lucu? Ini bukan bahan tertawaan, orang sinting! Jauh-jauh perempuan tua ini datang dari Mimasaka untuk mencari manusia sampah yang melarikan istri anaknya. Saban hari selalu dia berdoa di kuil ini selama hampir dua bulan, dan akhirnya hari ini orang itu muncul.”

“Orang-orang samurai ini lain dengan kita,” kata kuli yang lain. “Pada umur seperti itu, perempuan tua ini mestinya dapat hidup senang di rumah, bermain dengan cucu-cucunya; tapi tidak, dia malah di sini menggantikan anaknya menuntut balas atas penghinaan terhadap keluarganya. Melulu karena itu saja patutlah dia kita hormati.”

Orang ketiga mengatakan, “Kita bukan membantu dia karena dia memberi kita uang. Dia punya semangat, sungguh! Sudah tua, tapi tidak takut berkelahi. Menurutku, kita mesti membantunya sedapat-dapatnya. Membantu pihak yang lemah itu benar! Kalau nanti dia kalah, mari kita hadapi sendiri ronin itu.”

“Kau benar! Tapi mari kita lakukan sekarang saja! Tak dapat kita berdiri saja di sini dan membiarkan dia terbunuh.”

Ketika orang banyak mengetahui sebab-sebab Osugi berada di situ, kegairahan pun meningkat. Beberapa penonton mulai mendorong kuli-kuli itu maju.

Osugi memasukkan tasbih ke dalam kimononya dan keheningan pun mencekam pekarangan kuil. “Takezo!” seru Osugi keras, sambil meletakkan tangan kirinya ke pedang pendek di pinggangnya.

Selama itu Musashi hanya berdiri tak bergerak. Bahkan ketika Osugi memanggil namanya pun ia berbuat seolah-olah tidak mendengarnya. Tak gentar oleh hal itu, Paman Gon yang berdiri di samping Osugi memilih saat itu untuk mengambil sikap menyerang, clan sambil mendongakkan kepala ke depan ia pun meneriakkan tantangan.

Sekali lagi Musahi tidak menjawab. Ia tak dapat menjawab. Betul-betul tak tahu ia bagaimana akan menjawab. Ia ingat peringatan Takuan di Himeji bahwa ia kemungkinan akan bertemu dengan Osugi. Sebetulnya ingin ia mengabaikan saja perempuan itu sama sekali, tapi ia sangat tersinggung oleh pembicaraan para kuli yang tersebar di tengah orang banyak itu. Lagi pula, sukarlah baginya mengekang kekesalan terhadap rasa benci yang disimpan keluarga Hon’iden terhadapnya selama ini. Seluruh perkara itu tidak lebih dari soal kecil Miyamoto, suatu salah paham yang dapat dengan mudah dijelaskan, jika saja Matahachi ada.

Namun demikian, ia sungguh bingung mengenai apa yang hendak diperbuat di sini, sekarang ini. Bagaimana kita mesti menjawab tantangan seorang perempuan tua yang sudah reyot dan seorang samurai yang sudah kisut wajahnya? Musashi tetap diam memandang, pikirannya serba ragu.

“Lihat bajingan itu! Dia takut!” seorang kuli berseru.

“Bersikaplah jantan! Beri kesempatan perempuan ini membunuhmu!” cemooh yang lain.

Tak satu orang pun tidak berada di pihak Osugi.

Perempuan itu mengedipkan mata dan menggelengkan kepala, kemudian memandang para pemikul dan mendecap merah. “Diam kalian! Kalian cuma saksi. Kalau kami berdua nanti terbunuh, kalian yang mengirim mayat kami kembali ke Miyamoto. Di luar itu aku tak butuh omongan kalian, juga bantuan kalian!” Sambil menarik pedang pendeknya setengah jalan dari sarungnya, ia pun bergerak beberapa langkah mendekati Musashi.

“Takezo!” katanya lagi. “Takezo itu selamanya namamu di kampung, jadi kenapa kamu tidak menjawab? Kudengar kau sudah mengambil nama baru yang bagus-Miyamoto Musashi, betul? Tapi bagiku tetap saja kamu Takezo! Ha, ha, ha!” Leher keriput itu menggetar selagi ia tertawa. Agaknya ia mau membunuh Musashi dengan kata-kata, sebelum pedang dihunus.

“Apa kaukira dapat mencegahku mencari jejakmu, hanya karena kau mengubah nama? Bodoh sekali! Dewa-dewa di langit sudah memimpinku menemukanmu, dan aku tahu dewa-dewa pasti berbuat begitu. Ayo sekarang berkelahi! Akan kita lihat, apa kubawa kepalamu pulang, atau kau berhasil lagi tetap hidup!”

Dengan suaranya yang sudah layu, Paman Gon pun mengeluarkan tantangannya sendiri, “Sudah empat tahun kau selalu meloloskan diri, dan kami selalu mencarimu selama ini. Sekarang doa kami di Kiyomizudera sudah memasukkanmu dalam genggaman kami. Memang aku sudah tua, tapi tak bakal aku kalah dengan orang macam kamu! Siap-siap saja kau mati!” Sambil menarik pedangnya ia pun berteriak kepada Osugi, “Minggir kau!”

Osugi menoleh kepadanya dengan marah, “Apa maksudmu, orang sinting tua? Kau sendiri yang menggigil!”

“Tidak apa! Bodisatwa kuil ini akan melindungi kita!”

“Betul, Paman Gon. Dan nenek moyang orang Hon’iden juga beserta kita! Tak ada yang perlu ditakutkan.”

“Takezo! Maju dan ayo berkelahi!”

“Apa yang kau tunggu?”

Musashi tidak beranjak. Ia berdiri saja seperti orang bisu-tuli, memandang dua orang tua itu dan pedang mereka yang sudah terhunus.

Osugi berteriak, “Ada apa, Takezo! Kau takut?”

Ia pun maju dengan badan dimiringkan dan siap menyerang, tapi tiba-tiba ia terantuk batu dan jatuh ke depan, mendarat tengkurap hampir di kaki Musashi.

Orang banyak terkesiap, dan seseorang menjerit, “Bisa terbunuh dia!” “Cepat selamatkan dia!”

Tetapi Paman Gon hanya menatap muka Musashi, terlalu takjub, hingga tak dapat bergerak.

Kemudian perempuan tua itu mengejutkan semua orang, karena ia mencekal lagi pedangnya dan berjalan kembali ke sisi Paman Gon, lalu kembali mengambil sikap menantang. “Kenapa kamu, orang udik?” teriak Osugi. “Apa pedang di tanganmu itu cuma hiasan? Apa tak tahu kamu menggunakannya?”

Wajah Musashi seperti topeng, tapi akhirnya ia pun berkata dengan suara mengguntur, “Aku tak dapat melakukannya.”

Mulailah ia berjalan ke arah mereka, dan Paman Gon dan Osugi pun seketika undur ke sisi masing-masing.

“Ke-ke mana kamu pergi, Takezo?”

“Tak bisa aku menggunakan pedangku.”

“Berhenti! Kenapa tidak berhenti dan berkelahi?”

“Sudah kukatakan! Tak bisa aku!”

Ia berjalan terus ke depan, tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan. Ia langsung melintasi orang banyak, tanpa sekali pun membelok.

Begitu tersadar kembali, Osugi pun berteriak, “Dia lari! Jangan biarkan dia lolos!”

Orang banyak pun sekarang bergerak mengepung Musashi, tapi ketika mereka kira telah mengimpitnya, ternyata ia tidak lagi di sana. Bukan main bingungnya mereka. Mata mereka menyala keheranan, tapi kemudian jadi tertegun.

Mereka pun memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dan terus juga hilir-mudik sampai matahari tenggelam, mencari dengan kalutnya di bawah lantai-lantai bangunan kuil dan di tengah hutan untuk menemukan mangsa mereka yang telah lenyap itu.

Kemudian, ketika orang pulang lewat lereng bukit-bukit Sannen dan Chawan yang gelap, seseorang bersumpah telah melihat Musashi melompat, ringan bagai kucing ke atas dinding setinggi hampir dua meter di gerbang barat dan menghilang.

Tak seorang pun percaya, terutama Osugi dan Paman Gon.

Peri Air

DI sebuah dusun sebelah barat laut Kyoto, dentam-dentam berat alu penumbuk padi menggetarkan bumi. Hujan salah musim menembus atap lalang. Tempat itu semacam tanah tak bertuan yang terletak antara kota dan daerah pertanian. Kemiskinannya demikian sarat, hingga waktu senja asap api dapur hanya mengepul dari beberapa rumah saja.

Sebuah topi anyaman tergantung di bawah tepian atap sebuah rumah kecil. Rumah itu bertuliskan huruf-huruf tebal dan kasar, menyatakan rumah itu sebuah penginapan, walau dari jenis yang termurah. Musafir yang berhenti di situ hanya orang-orang melarat yang cuma menyewa lantai. Untuk sewa kasur jerami, mereka harus bayar lagi. Hanya sedikit yang dapat membeli kemewahan itu.

Di dapur yang kotor lantainya, di samping pintu masuk, seorang anak lelaki melongok dengan tangan bertumpu pada tatami kamar sebelah yang lebih tinggi letaknya. Di tengah kamar itu terdapat perapian yang hampir man.

“Halo!… Selamat malam!… Ada orang di sini?” Ia anak suruhan toko minuman, sebuah tempat kotor lain di jalan itu.

Melihat orangnya, suara anak itu terlalu keras kedengarannya. Umurnya. tak lebih dari sepuluh atau sebelas tahun. Rambutnya yang basah oleh hujan dan menjurai menutupi telinga membuat ia tampak tak lebih besar dari peri air dalam lukisan khayal. Pakaiannya pun sesuai untuk peran itu: kimono yang hanya sampai paha dengan lengan berbentuk tabung, dan seutas tali besar pengganti obi. Lumpur yang memercik tidak mengotori punggung ketika ia berlari dengan bakiaknya.

“Kamu itu, Jo?” seru pak tua pemilik penginapan dari kamar belakang.

“Ya. Bapak mau menyuruh saya ambil sake?”

“Tidak hari ini. Tamuku belum kembali. Aku belum butuh.”

“Kalau dia kembali, tentunya dia perlu sake. Akan saya bawakan nanti, sejumlah biasanya.”

“Kalau dia kembali, nanti aku ambil sendiri.”

Enggan pergi tanpa membawa pesanan, anak itu pun bertanya, “Apa yang Bapak kerjakan?”

“Aku lagi nulis surat; akan kukirimkan lewat kuda beban ke Kurama besok. Tapi ini sedikit sukar. Dan punggungku pun sakit. Diamlah, jangan ganggu aku.”

“Oh, lucu juga. Bapak sudah begitu tua, sampai sudah mulai bungkuk, tapi masih belum bisa menulis!”

“Cukup! Kalau sampai kudengar kamu lancang lagi, kuambilkan pentung kayu api.”

“Mau saya tuliskan?”

“Sok bisa kamu!”

“Bisa,” ucap anak itu sambil masuk kamar. la memandang surat itu dari atas bahu orang tua itu, dan pecahlah tawanya. “Bapak mau nulis ‘kentang’, ya? Huruf yang Bapak tulis itu artinya ‘tongkat’.”

“Diam!”

“Saya akan diam, kalau Bapak suruh. Tapi tulisan Bapak itu salah. Bapak mau mengirim kentang atau tongkat kepada teman-teman Bapak?”

“Kentang.”

Anak itu pun membaca sedikit lebih lama, kemudian katanya, “Ah, ini kurang baik. Tak ada yang dapat menduga maksud surat ini, kecuali Bapak sendiri.”

“Nah, kalau kamu memang pintar, coba kamu yang tulis.”

“Baik. Sekarang katakan apa yang mau Bapak tuliskan.” Jotaro duduk dan mengambil kuas.

“Keledai kikuk kamu!” ucap orang tua itu.

“Kenapa Bapak sebut saya kikuk? Bapak sendiri yang tak bisa menulis!”

“Hidungmu menetesi kertas.”

“Oh, maaf. Tapi Bapak boleh berikan ini pada saya untuk bayarannya.” Ia membuang ingusnya dengan kertas yang sudah kotor itu. “Sekarang, apa yang mau Bapak katakan?” Dengan pegangan kuas yang mantap, anak itu menulis dengan lancarnya apa-apa yang didiktekan orang tua itu.

Baru saja surat itu selesai ditulis, tamu pulang, dan begitu saja melemparkan karung arang yang baru diambilnya di suatu tempat dan tadi dibawa di atas kepalanya.

Musashi berhenti di pintu dan memeras air dari lengan bajunya, dan gerutunya, “Kukira inilah akhir musim bunga prem.” Lebih dari dua puluh hari Musashi berada di situ. Penginapan itu telah terasa seperti rumahnya. Ia memandang ke luar, ke arah pohon di dekat gerbang depan. Bunga-bunga mesh muda menyambutnya tiap pagi semenjak ia datang. Daun bunga jatuh berserakan di lumpur.

Ketika masuk dapur, ia heran melihat anak toko sake itu duduk akrab dengan pemilik penginapan. Karena ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan, diam-diam ia berdiri di belakang orang tua itu dan mengintip dari atas bahunya.

Jotaro menengadah ke wajah Musashi, kemudian buru-buru menyembunyikan kuas dan kertas di belakangnya. “Tidak boleh memata-matai orang macam itu,” keluhnya.

“Lihat, dong,” kata Musashi mengganggu.

“Jangan,” kata Jotaro menggeleng.

“Ayolah tunjukkan,” kata Musashi.

“Asal Kakak mau beli sake.”

“Oh, jadi itu yang kamu mainkan, ya? Baik, aku beli.”

“Lima gelas?’

“Tidak sebanyak itu yang kubutuhkan.”

“Tiga gelas?”

“Masih kebanyakan.”

“Kalau begitu, berapa? Jangan kikir, ah!”

“Kikir? Kau tahu, aku cuma pemain pedang miskin. Kaukira aku banyak uang buat dihamburkan?”

“Balk. Saya yang menakarnya sendiri nanti. Saya beri seharga uangmu. Tapi janji, Kakak mesti mendongengkan beberapa cerita.”

Tawar-menawar berakhir. Jotaro berkecipak dengan riangnya menempuh hujan.

Musashi memungut surat itu dan membacanya. Sesaat-dua saat kemudian ia menoleh kepada pemilik penginapan, dan tanyanya, “Betul-betul dia yang menulis ini?”

“Ya. Mengagumkan, ya? Kelihatannya pintar sekali anak itu.”

Sementara Musashi pergi ke sumur, mandi air dingin dan mengenakan pakaian kering, orang itu menggantungkan kuali di atas api dan mengeluarkan acar serta mangkuk nasi. Musashi kembali dan duduk dekat perapian.

“Apa pula kerja bajingan kecil itu?” gerutu pemilik penginapan. “Lama sekali dia ambil sake.”

“Berapa umur anak itu?”

“Sebelas, kalau tak salah. Pernah dikatakannya.”

“Terlalu dewasa untuk anak seusianya, bukan?”

“Mm. Mungkin karena dia bekerja di toko sake ini sejak umur tujuh tahun. Di situ dia bertemu dengan segala macam orang-kusir kereta, pembuat kertas di ujung jalan sana, para musafir, dan siapa saja.”

“Saya heran, bagaimana dia bisa menulis begitu baik.”

“Apa memang baik betul?”

“Ya, tulisannya memang ada sifat kekanakannya, tapi ada juga-apa, ya, namanya-semacam sifat terus terang yang menggugah. Sekiranya saya sedang memikirkan seorang pemain pedang, bisa saya katakan tulisan itu memperlihatkan keluasan spiritual. Anak itu nantinya bisa jadi orang.”

“Maksud Anda?”

“Maksud saya, menjadi manusia sejati.”

“Oh?” Orang tua itu pun mengerutkan kening, mengangkat tutup kuali, dan meneruskan gerutuannya. “Belum juga kembali. Saya berani bertaruh, dia lagi ngeluyur sekarang.”

Baru saja ia hendak mengenakan sandal untuk pergi mengambil sake itu sendiri, Jotaro kembali.

“Ke mana saja kamu?” tanyanya pada anak itu. “Kau bikin tamuku ini lama menunggu.”

“Saya tak bisa apa-apa. Ada pembeli datang ke toko, mabuk sekali. Saya dipegangnya erat-erat, dan ditanyai macam-macam.”

“Pertanyaan apa?”

“Dia tanya tentang Miyamoto Musashi.”

“Dan kamu mengoceh, kan?”

“Tak ada salahnya, kalaupun saya ngoceh. Semua orang di sini tahu apa yang terjadi di Kiyomizudera hari itu. Perempuan sebelah rumah dan anak tukang pernis, keduanya ada di kuil hari itu. Mereka lihat sendiri kejadiannya.”

“Tak usah lagi kamu bicara itu!” kata Musashi, hampir-hampir dengan nada memohon.

Anak yang bermata tajam itu menaksir sikap Musashi, dan tanyanya,

“Boleh saya tinggal di sini sebentar dan bicara dengan Kakak?”

Dan mulailah ia membasuh kaki dan bersiap-siap masuk kamar perapian. “Aku sih boleh saja, kalau majikanmu tidak keberatan.”

“Oh, dia tidak butuh saya sekarang.”

“Baiklah.”

“Akan saya panaskan sake Kakak. Saya mahir sekali soal itu.” Ia memasukkan guci sake ke dalam abu hangat di sekitar api, dan tak lama kemudian ia pun menyatakan sudah siap.

“Cepat, ya?” kata Musashi dengan nada menghargai.

“Kakak senang sake?”

“Ya.”

“Tapi karena miskin, saya kira Kakak tak banyak minum, ya?”

“Betul.”

“Tadinya saya mengira orang yang pintar dalam seni bela diri dapat mengabdi tuan-tuan besar dengan gaji besar. Seorang pengunjung toko pernah bilang pada saya, Tsukahara Bokuden selalu berkeliling dengan tujuh puluh atau delapan puluh pesuruh, dan mendapat penggantian kuda dan burung elang juga.”

“Itu betul.”

“Dan saya mendengar prajurit kenamaan, bernama Yagyu, yang mengabdi Keluarga Tokugawa, mempunyai pendapatan lima puluh ribu gantang padi.”

“Itu betul juga.”

“Kalau begitu, kenapa Kakak begitu miskin?”

“Aku masih belajar.”

“Mesti umur berapa dulu, sebelum Kakak punya banyak pengikut?”

“Tak tahu aku, apa akan punya pengikut.”

“Kenapa? Apa Kakak kurang pandai?”

“Kamu sudah dengar apa yang dikatakan orang yang melihatku di kuil. Bagaimana juga kamu menilainya, aku lari waktu itu.”

“Itulah yang dikatakan semua orang; kata mereka, shugyosha di penginapan itu—yaitu Kakak—orang lemah. Tapi sungguh jengkel saya mendengarkan mereka itu.” Bibir Jotaro mengatup menjadi garis lurus.

“Ha, ha! Kenapa pula kamu risau? Mereka tidak bicara tentang dirimu.”

“Yah, tapi saya kasihan pada Kakak. Kakak tahu, anak pembuat kertas, anak tukang kaleng, dan beberapa pemuda itu kadang-kadang berkumpul di belakang toko pernis buat latihan main pedang. Kenapa Kakak tidak berkelahi dengan salah seorang dari mereka dan mengalahkannya?”

“Baiklah. Kalau itu yang kaukehendaki, akan kulakukan.” Musashi merasa sukar menolak apa saja yang diminta anak itu. Sebagian karena ia sendiri dalam banyak hal masih kanak-kanak dalam hatinya, dan karena itu bersimpati kepada Jotaro. Selamanya ia mencari, sebagian besar secara tak sadar, pengganti kasih sayang keluarga yang semenjak kanak-kanak tak pernah dimilikinya.

“Mari kita bicara soal lain saja,” katanya. “Di mana kamu lahir?”

“Di Himeji.”

“Oh, jadi kamu dari Harima.”

“Ya, dan Kakak dari Mimasaka, ya? Ada orang mengatakan demikian.”

“Betul. Apa kerja ayahmu?”

“Dia dulu samurai. Samurai yang betul-betul setia pada kebaikan!”

Semula Musashi tampak kaget, tapi baginya jawaban itu telah membikin jelas beberapa persoalan, walaupun sama sekali bukan soal betapa baiknya anak itu menulis. Ia menanyakan nama ayah anak itu.

“Namanya Aoki Tanzaemon. Dulu dia punya gaji dua ribu lima ratus gantang padi, tapi ketika saya umur tujuh tahun, dia tinggalkan kerjanya dan pergi ke Kyoto sebagai ronin. Sesudah semua uangnya habis, dia tinggalkan saya di toko sake itu dan pergi ke kuil untuk menjadi biarawan. Tapi saya tak man tinggal di toko itu. Saya ingin menjadi samurai seperti ayah saya, dan saya ingin belajar main pedang seperti Kakak. Apa bukan jalan terbaik menjadi samurai?”

Anak itu berhenti, kemudian melanjutkan dengan sungguh-sungguh. “Saya ingin menjadi pengikut Kakak—keliling negeri, belajar dengan Kakak. Apa Kakak tak mau mengajak saya jadi murid?”

Selesai mengungkapkan maksudnya itu, Jotaro pun memperlihatkan wajah yang jelas-jelas mencerminkan tekadnya untuk tidak mendapat jawaban tidak. Tentu saja ia tidak tahu bahwa orang tempatnya memohon itu adalah orang yang telah menjadi sebab ayahnya mendapat kesulitan bertubi-tubi. Adapun Musashi, ia tak dapat menolak permintaan itu mentah-mentah. Namun yang benar-benar dipikirkannya bukan soal mengatakan ya atau tidak, melainkan tentang Aoki Tanzaemon dan nasibnya yang tidak beruntung. Dalam hal ini tak bisa tidak ia bersimpati pada orang itu. Jalan Samurai memang perjudian tanpa henti, dan seorang samurai harus siap sepanjang waktu untuk membunuh atau dibunuh. Memikirkan contoh perubahan hidup ini, Musashi menjadi sedih dan efek sake yang diminumnya lenyap secara tiba-tiba. Ia merasa kesepian.

Jotaro mendesak terus. Ketika pemilik penginapan mencoba menyuruhnya meninggalkan Musashi, ia menjawab secara kurang ajar, lalu melipatgandakan usahanya. Dipegangnya pergelangan tangan Musashi erat-erat, kemudian dipeluknya, dan akhirnya ia berurai air mata.

Karena tak melihat jalan lain, Musashi pun berkata, “Baiklah, baiklah, cukup. Kau boleh menjadi pengikutku, asal kau pergi dan bicara dulu dengan majikanmu.”

Karena akhirnya terpenuhi keinginannya, Jotaro lari menderap ke toko sake.

Pagi berikutnya Musashi bangun pagi-pagi, berpakaian, dan berkata kepada pemilik penginapan, “Tolong siapkan kotak makan siang untuk saya. Saya senang tinggal di sini beberapa minggu ini, tapi saya pikir saya harus terus pergi ke Nara sekarang.”

“Begitu cepat?” tanya pemilik penginapan yang tidak mengharapkan tamunya pergi begitu mendadak. “Apa karena anak itu terus mendesak Anda?”

“Oh, tidak, bukan salah dia. Saya memang sudah lama bermaksud pergi ke Nara-bertemu dengan pemain-pemain tombak terkenal di Hozoin. Saya harap dia tidak terlalu menyulitkan Bapak, kalau dia tahu saya sudah pergi.”

“Jangan kuatir. Dia masih anak-anak. Dia akan menjerit dan memekik sebentar, kemudian akan melupakannya sama sekali.”

“Dan lagi, tak mungkin rasanya tukang sake itu akan mengizinkannya pergi,” kata Musashi ketika sudah turun ke jalan.

Badai sudah lewat, seakan-akan tersapu bersih, dan angin sepoi-sepoi mengelus kulit Musashi dengan lembut, berlainan sekali dengan angin ganas sehari sebelumnya.

Sungai Kamo naik, airnya berlumpur. Di salah satu ujung jembatan kayu di Jalan Sanjo, samurai memeriksa orang-orang yang datang dan pergi. Ketika Musashi bertanya kenapa ada inspeksi itu, ia mendapat jawaban, karena akan datang kunjungan shogun baru. Barisan depan kaum feodal berpengaruh dan juga feodal-feodal kecil sudah datang. Langkah-langkah sedang diambil untuk menyingkirkan samurai tak bertuan dan berbahaya ke luar kota. Musashi juga seorang ronin, tapi ia sudah menyiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dan ia dibolehkan lewat.

Pengalaman memaksanya memikirkan statusnya sendiri sebagai prajurit tak bertuan yang mengembara, tak terikat ikrar kepada Tokugawa ataupun para saingannya di Osaka. Ketika berangkat ke Sekigahara dan berpihak pada pasukan Osaka melawan kaum Tokugawa, itu soal warisan. Soalnya adalah kesetiaan ayahnya yang tidak pernah berubah semenjak ia mengabdi pada Yang Dipertuan Shimmen dari Iga. Toyotomi Hideyoshi sudah meninggal dua tahun sebelum pertempuran. Para pendukungnya, yang setia kepada anaknya, membentuk fraksi Osaka. Di Miyamoto, Hideyoshi dianggap pahlawan terbesar. Musashi ingat betapa dahulu ia duduk di dekat perapian, mendengarkan cerita-cerita tentang kegagahan prajurit besar itu semasa ia kanak-kanak. Gambaran ini semakin terbentuk di masa remajanya dan terus merasuk dalam dirinya. Sekarang pun, apabila didesak untuk mengatakan pihak mana yang dipilihnya, barangkali ia akan mengatakan Osaka.

Sejak itu Musashi mulai paham, dan sekarang ia menyadari bahwa tindakan-tindakannya pada umur tujuh belas itu kurang pertimbangan dan tanpa hasil. Untuk orang yang hendak mengabdi kepada tuannya dengan setia, tidaklah cukup hanya dengan melompat membabi-buta ke tengah keributan dan mengacungkan lembing. Ia harus melewati jalan panjang menuju maut.

“Kalau seorang samurai mati sambil mengucapkan doa bagi kemenangan tuannya, berarti dia telah melakukan sesuatu yang indah dan bermakna,” demikian jalan pikiran Musashi sekarang. Tetapi pada waktu itu ia maupun Matahachi tidak memiliki rasa setia. Yang mereka hausi hanyalah kemasyhuran dan kemuliaan, atau lebih tepat lagi, usaha memperoleh penghidupan tanpa pengorbanan.

Sungguh ganjil dulu mereka dapat berpikir seperti itu. Sesudah belajar dari Takuan bahwa hidup adalah permata yang harus ditimang-timang, Musashi sadar bahwa waktu itu mereka tidak hanya menyia-nyiakan, bahkan juga tanpa pikir panjang mengorbankan milik mereka yang paling berharga. Secara harafiah mereka mempertaruhkan segala yang dipunyai, dengan harapan akan memperoleh gaji tetap yang tak berarti sebagai samurai. Merenungkan masa lalu itu ia heran, bagaimana mungkin ia bertindak demikian tolol.

Musashi melihat bahwa kini ia sudah mendekati Daigo, bagian selatan kota. Karena keringatnya mengucur, ia memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.

Dari jauh didengarnya suara berseru-seru, “Tunggu! Tunggu!” Ketika menatap jalan gunung yang curam itu, tampaklah olehnya sosok si peri air kecil Jotaro, yang sedang berlari sekuat-kuatnya. Pandangan mata anak itu menghunjam marah ke mata Musashi.

“Kakak bohong!” seru Jotaro. “Kenapa Kakak lakukan itu!” Napasnya megap-megap karena berlari dan wajahnya merah. Ia berbicara dengan sikap bermusuhan, meski kelihatan hampir menangis.

Musashi hampir tertawa melihat pakaiannya. Anak itu membuang pakaian kerja sehari sebelumnya, dan menggantinya dengan kimono biasa. Tapi kimono itu dua kali lebih kecil dari badannya, hingga roknya hampir tak sampai lututnya dan lengannya hanya sampai siku. Pada pinggangnya tergantung pedang kayu yang lebih panjang dari tinggi badannya, dan di punggungnya tergantung topi anyaman sebesar payung.

Selagi masih berseru-seru kepada Musashi karena sudah meninggalkannya, ia berurai air mata. Maka Musashi mendekapnya dan berusaha menyenangkan hatinya, tapi anak itu terus juga rnelolong. Agaknya karena merasa bahwa di pegunungan tak ada orang, ia dapat melepaskan perasaannya.

Akhirnya Musashi berkata, “Kau senang berlaku seperti bayi cengeng?”

“Saya tak peduli!” sedan Jotaro. “Kakak orang dewasa, tapi Kakak membohongi saya. Kakak bilang mau menerima saya jadi pengikut, tapi Kakak meninggalkan saya. Apa orang dewasa memang suka begitu?”

“Maafkan aku,” kata Musashi.

Permintaan maaf yang sederhana ini mengubah tangis anak itu menjadi rengekan.

“Diam sekarang,” kata Musashi. “Aku tidak bermaksud berbohong padamu, tapi kamu kan masih ada ayah, dan kamu punya majikan? Aku tak bisa membawamu, kecuali kalau majikanmu menyetujui. Kuminta kamu pergi bicara dengannya, bukan? Kurasa waktu itu dia tak akan setuju.”

“Kenapa Kakak tidak tunggu sampai mendapat jawabannya, paling tidak?”

“Itu sebabnya aku minta maaf padamu sekarang. Apa betul kamu membicarakannya dengan dia?”

“Ya.” Jotaro mengendalikan sedu-sedannya, kemudian ia tarik dua lembar daun dari sebuah pohon. Dengan daun itu ia membuang ingusnya.

“Dan apa katanya?”

“Dia bilang saya boleh pergi.”

“Lalu?”

“Dia bilang, tak ada prajurit terhormat atau perguruan yang mau menerima anak seperti saya. Tapi karena samurai di penginapan itu orang lemah, tentunya dia orang yang tepat untuk saya. Katanya, barangkali saja Kakak dapat memakai saya untuk membawakan barang, dan dia memberi saya pedang kayu ini sebagai hadiah perpisahan.”

Musashi tersenyum mendengar jalan pikiran orang itu.

“Sudah itu,” kata anak itu melanjutkan, “saya pergi ke penginapan. Orang tua itu tak ada, jadi saya pinjam saja topinya dari sangkutannya di bawah pinggiran atap.”

“Tapi itu kan papan nama tempat itu? Di situ tertulis ‘Penginapan’.”

“Ah, biar saja. Saya butuh topi, siapa tahu hujan.”

Jelaslah dari sikap Jotaro bahwa segala janji dan sumpah yang diperlukan telah dilaksanakan. Sekarang ia menjadi murid Musashi. Merasakan hal ini, Musashi terpaksa menerima kenyataan bahwa ia kurang-lebih sudah terikat pada anak itu. Tapi terpikir juga olehnya bahwa ini semua demi kebaikan. Memang, ketika ia merenungkan peranannya sendiri dalam peristiwa hilangnya status Tanzaemon, ia menyimpulkan bahwa barangkali ia mesti berterima kasih atas kesempatan yang diperolehnya untuk membentuk masa depan anak ini. Itulah agaknya yang harus dilakukannya.

Sesudah tenang dan tenteram, Jotaro tiba-tiba ingat akan sesuatu dan merogoh kimononya. “Saya hampir lupa. Ada sesuatu untuk Kakak. Ini dia.” ia mengeluarkan sepucuk surat.

Memandang surat itu dengan rasa ingin tahu, Musashi bertanya, “Di mana kamu mendapatkannya?”‘

“Kakak ingat, tadi malam saya bilang ada seorang ronin minum di toko, dan mengajukan banyak pertanyaan.”

“Ya.”

“Waktu saya pulang, dia masih ada di sana. Dia terus juga bertanya tentang Kakak. Dia tukang minum juga-satu botol penuh sake diminumnya sendiri! Kemudian dia menulis surat ini dan minta saya memberikannya pada Kakak.”

Musashi menelengkan kepala keheranan, lalu membuka meterai surat tersebut. Mula-mula ia melihat bagian bawahnya, dan tahulah ia bahwa surat itu dari Matahachi yang memang dalam keadaan mabuk. Huruf-hurufnya pun tampak agak mabuk. Membaca gulungan itu, Musashi tercengkeram nostalgia dan kesedihan menjadi satu. Tidak saja karena tulisan itu kalut, tapi juga karena pesan yang disampaikannya pun melantur dan tidak pasti.

Sejak meninggalkanmu di Gunung Ibuki, aku tak lupa desa kita. Dan tak lupa aku pada teman lamaku. Kebetulan kudengar namamu di Perguruan Yoshioka. Waktu itu aku bingung dan tak bisa memutuskan, apa aku harus menjumpaimu. Sekarang aku di toko sake. Aku banyak minum.

Sampai di situ maknanya cukup jelas, tapi mulai dari situ surat itu sukar diikuti maksudnya.

Semenjak berpisah denganmu, aku terkurung dalam sangkar nafsu, dan kemalasan memakan tulangku. Lima tahun lamanya aku menghabiskan waktu dalam keadaan setengah sadar, tanpa melakukan sesuatu. Di ibu kota, kau sekarang terkenal sebagai pemain pedang. Aku minum untukmu! Beberapa orang mengatakan Musashi pengecut, bisanya cuma lari. Beberapa lagi bilang kau pemain pedang yang tak ada tandingannya. Tak peduli aku mana yang benar. Aku cuma senang bahwa pedangmu sudah bikin orang ibu kota bicara tentangmu. Kau cakap. Kau mesti bisa menempuh jalanmu lewat pedang. Tapi kalau aku menoleh ke belakang, aku heran dengan diriku, seperti sekarang ini. Aku memang orang sinting! Bagaimana mungkin orang sial macam aku ini bertemu dengan teman bijaksana seperti kamu tanpa mati karena malu?

Tapi nanti dulu! Hidup ini panjang, dan terlalu dini sekarang untuk dikatakan apa yang akan terjadi di masa depan. Aku tak ingin bertemu denganmu sekarang, tapi akan tiba waktunya, aku mau bertemu.

Aku berdoa untuk kesehatanmu.

Kemudian menyusul tambahan yang ditulis cepat bagai cakar ayam, yang isinya panjang-lebar, memberitakan kepadanya bahwa Perguruan Yoshioka memandang sangat serius kejadian yang baru lalu itu, dan bahwa mereka sedang mencarinya ke mana-mana; karena itu ia mesti hati-hati dengan tindakannya. Tambahan itu berakhir dengan: Kau tak boleh mati sekarang, karena kau baru mulai menciptakan nama. Kalau nanti aku pun sudah melakukan sesuatu untuk diriku, ingin aku bertemu denganmu dan bicara tentang masa lalu. Jagalah dirimu, tetaplah hidup, supaya kau bisa mengilhami diriku.

Tidak sangsi lagi Matahachi punya maksud baik, tapi ada sesuatu yang tak beres dengan sikapnya. Kenapa ia mesti menyanjung Musashi sedemikian rupa dan berikutnya bicara sedemikian rupa tentang kegagalan-kegagalan sendiri? “Yah,” Musashi heran, “apa tak bisa dia sekadar menulis bahwa sudah lama waktu berlalu, dan kenapa kita tidak bertemu dan ngobrol sepuasnya?”

“Jo, apa kau menanyakan alamat orang ini?”

“Tidak.”

“Apa dia sering datang ke sana?”

“Tidak, ini yang pertama kali.”

Terpikir oleh Musashi bahwa kalau ia tahu di mana Matahachi tinggal, pasti ia akan kembali ke Kyoto sekarang juga untuk bertemu dengannya. Ingin ia bicara dengan kawan masa kecilnya itu, mencoba menyadarkannya, membangkitkan kembali semangat yang pernah dimilikinya. Karena ia masih menganggap Matahachi sebagai temannya, ingin ia menariknya keluar dari suasana hatinya yang sekarang, yang jelas cenderung menghancurkan diri sendiri. Tentu saja ia juga ingin Matahachi menjelaskan kepada ibunya betapa salah perbuatan ibunya itu.

Kedua orang itu berjalan terus dalam diam. Mereka menuruni Gunung Daigo. Persimpangan Rokujizo sudah tampak di bawah mereka.

Mendadak Musashi menoleh kepada anak itu, clan katanya, “Jo, aku mau minta tolong.”

“Apa?”

“Menyampaikan pesanku.”

“Ke mana?”

“Kyoto.”

“Itu berarti balik kanan dan kembali ke tempat yang baru saja saya tinggalkan.”

“Betul. Aku ingin kamu menyampaikan suratku kepada Perguruan Yoshioka di Jalan Shijo.”

Dengan kecewa Jotaro menendang batu dengan jari kakinya.

“Tak mau, ya?” tanya Musashi sambil menatap anak itu.

Jotaro menggelengkan kepala tak menentu. “Saya tidak keberatan, tapi apa Kakak menyuruh saya ini buat menyingkirkan saya?”

Kecurigaan anak itu membuat Musashi merasa bersalah, karena bukankah ia sendiri yang telah menghilangkan kepercayaan itu pada orang dewasa?

“Tidak!” katanya tegas. “Seorang samurai tidak berbohong. Maafkan aku atas kejadian pagi tadi. Itu cuma kesalahan.”

“Baik, saya pergi.”

Mereka masuk warung teh di persimpangan yang dikenal dengan nama Rokuamida, memesan teh, dan makan siang. Kemudian Musashi menulis surat yang dialamatkan kepada Yoshioka Seijuro:

Saya mendapat kabar bahwa Anda dan murid-murid Anda sedang mencari saya. Sekarang saya berada di jalan raya Yamato, karena saya bermaksud mengadakan perjalanan keliling di kawasan Iga dan Ise sekitar setahun lamanya untuk melanjutkan pelajaran saya dalam ilmu pedang. Saya tak ingin mengubah rencana waktu ini, tapi karena saya sama kecewanya dengan Anda berhubung tidak dapat bertemu dengan Anda selama kunjungan saya ke perguruan Anda, maka ingin saya memberitahukan bahwa saya pasti akan kembali ke ibu kota pada bulan pertama atau kedua tahun depan. Dari sekarang sampai waktu itu saya berharap akan dapat memperbaiki teknik saya sebaik-baiknya. Saya percaya Anda sendiri tak akan mengabaikan latihan Anda. Akan merupakan aib besar jika Perguruan Yoshioka Kempo yang sedang mekar itu harus menderita kekalahan kedua seperti kekalahan di waktu lalu. Sebagai penutup, saya sampaikan harapan penuh hormat agar Anda selalu dalam keadaan sehat walafiat.

Shimmen Miyamoto Musashi Masana.

Surat itu memang sopan, namun jelas nampak keyakinan Musashi pada diri sendiri. Sesudah mengubah alamat surat itu agar tidak hanya mencakup Seijuro saja, melainkan juga semua murid di sekolah itu, ia letakkan kuasnya dan ia serahkan surat itu kepada Jotaro.

“Apa bisa saya masukkan saja surat ini di perguruan itu, lalu pergi?” tanya anak itu.

“Tidak. Kamu mesti menyapa dulu di pintu depan, lalu menyerahkan surat itu langsung kepada pembantu di sana.”

“Baik.”

“Ada hal lain lagi yang harus kamu lakukan, tapi barangkali agak sukar.” “Apa?”

“Apakah kamu dapat menemukan orang yang memberikan surat padamu itu? Namanya Hon’iden Matahachi. Dia teman lamaku.”

“Oh, itu sama sekali tidak sukar.”

“Betul? Bagaimana caramu?”

“Ah, saya tanyakan saja di semua toko minuman.”

Musashi tertawa. “Boleh juga pikiranmu itu. Tapi menurut surat Matahachi itu, dia kenal orang di Perguruan Yoshioka. Kupikir lebih cepat kalau tanya tentang dia di sana.”

“Apa yang harus saya lakukan kalau sudah menemukan dia?”

“Aku ingin kamu menyampaikan pesan. Katakan padanya, dari hari pertama sampai hari ketujuh tahun baru nanti, tiap pagi aku akan ke jembatan besar di Jalan Gojo menantikan dia. Suruh dia datang menemuiku pada salah satu hari itu.”

“Cuma itu?”

“Ya, tapi sampaikan juga kepadanya bahwa aku ingin sekali bertemu dengannya.”

“Baik, saya mengerti. Lalu Kakak ada di mana, kalau saya kembali nanti?” “Kuterangkan sekarang. Kalau nanti aku sampai Nara, akan kuatur supaya kamu dapat mengetahui tempatku dengan bertanya di Hozoin. Hozoin adalah kuil terkenal karena permainan lembingnya.”

“Sungguh?”

“Ha, ha! Kamu masih curiga, ya? Jangan kuatir. Kalau aku tidak memenuhi janjiku kali ini, boleh kamu memotong kepalaku.”

Musashi masih juga tertawa ketika meninggalkan warung teh. la berangkat menuju Nara, sedangkan Jotaro ke arah yang berlawanan, ke arah Kyoto.

Di persimpangan jalan itu bercampur aduk orang banyak yang mengenakan topi anyaman, burung layang-layang, dan kuda-kuda meringkik. Sementara melintasi gerombolan orang banyak itu, Jotaro menoleh ke belakang dan melihat Musashi masih berdiri di tempat semula dan memperhatikannya. Mereka tersenyum dari jauh sebagai tanda perpisahan, lalu masing-masing menempuh jalannya sendiri.

Angin Musim Semi

DI tepi Sungai Takase, Akemi mencuci sepotong kain sambil menyanyikan lagu yang dipelajarinya di Kabuki Okuni. Setiap kali ia menarik kain berpola kembang itu, tercipta bayangan bunga ceri yang terbang berputar-putar.

Angin cinta

Menyentak-nyentak lengan kimonoku.

Oh, lengan jadi terasa berat!

Apakah angin cinta itu berat?

Jotaro berdiri di atas tanggul. Matanya yang lincah mengamati pemandangan, dan ia tersenyum ramah, dan ia tersenyum ramah. “Bagus nyanyinya, Bi,” serunya.

“Apa?” tanya Akemi. Ia memandang anak yang seperti orang cebol mengenakan pedang kayu panjang dan topi anyaman besar itu.

“Kamu siapa?” tanyanya. “Dan apa maksudmu memanggilku Bibi? Aku masih muda!”

“Baik, gadis manis! Bagaimana kalau begitu?”

“Diam kamu!” kata Akemi tertawa. “Kau masih terlalu kecil buat merayu. Lebih baik kau buang ingusmu.”

“Saya cuma mau tanya sedikit.”

“Oh, oh!” teriak Akemi ketakutan. “Kainku!”

“Sebentar saya ambilkan.”

Jotaro mengejar kain itu dari tepi sungai, kemudian memancingnya dari air dengan pedangnya. Paling tidak, pedang ini bisa dipakai buat keadaan seperti ini, demikian pikirnya. Akemi mengucapkan terima kasih, lalu bertanya, apa yang hendak ditanyakan Jotaro.

“Apa ada warung teh di sekitar sini yang namanya Yomogi?”

Oh, ya, itu rumahku, di sana itu.”

“Oh, senang sekali aku mendengarnya! Lama sekali aku mencarinya.”

“Kenapa? Kamu datang dari mana?”

“Dari jalan itu,” jawab Jotaro sambil menuding tak jelas.

“Dari mana itu kira-kira?”

Jotaro ragu-ragu. “Aku sendiri tidak begitu yakin.”

Akemi terkikik. “Tak apalah. Tapi kenapa kamu tertarik pada warung teh kami?”

“Saya mencari orang yang namanya Hon’iden Matahachi. Orang Perguruan Yoshioka bilang, kalau saya pergi ke Yomogi, saya akan menemukannya.”

“Dia tidak di situ.”

“Bohong!”

“Tidak. Betul. Dulu dia memang tinggal dengan kami, tapi dia sudah pergi beberapa waktu lalu.”

“Ke mana?”

“Aku tidak tahu.”

“Tapi orang serumahmu pasti ada yang tahu.”

“Tidak. Ibuku juga tidak tahu. Dia minggat.”

“Oh.” Anak itu memerosotkan badannya dan menatap air dengan gelisah. “Sekarang apa yang mesti kulakukan?” keluhnya.

“Siapa yang menyuruhmu kemari?”

“Guruku.”

“Siapa gurumu?”

“Namanya Miyamoto Musashi.”

“Apa kamu membawa surat?”

“Tidak,” kata Jotaro sambil menggeleng.

“Bagus sekali kamu jadi suruhan! Tak tahu dari mana datang, dan tidak membawa surat pula.”

“Tapi saya membawa pesan.”

“Pesan apa itu? Barangkali orang itu tak akan kembali lagi, tapi kalau dia kembali akan kusampaikan pesanmu itu.”

“Saya kira tak boleh saya mengatakannya. Ya, kan?”

“Jangan tanya aku. Putuskan olehmu sendiri.”

“Kalau begitu, barangkali juga boleh. Dia bilang ingin sekali bertemu dengan Matahachi. Dia minta saya menyampaikan pada Matahachi bahwa dia akan menanti di jembatan besar Jalan Gojo tiap pagi, dari hari pertama sampai hari ketujuh tahun baru nanti. Matahachi mesti menjumpai dia di sana, di salah satu hari itu.”

Akemi pecah ketawanya, tak dapat dikendalikan lagi. “Tak pernah aku mendengar pesan seperti itu! Jadi, maksudmu, sekarang dia mengirim pesan, minta Matahachi menjumpainya tahun depan? Gurumu itu mestinya sama anehnya dengan kamu! Ha, Ha!”

Sikap mencemooh tampak pada wajah Jotaro, dan bahunya tegang karena marah. “Apanya yang lucu?”

Akhirnya Akemi berhasil menghentikan tawanya. “Jadi, sekarang kamu marah, ya?”

“Tentu saja. Saya minta tolong dengan sopan, tapi kamu ketawa seperti orang gila.”

“Maaf, aku betul-betul minta maaf. Aku tak akan ketawa lagi. Dan kalau Matahachi kembali, akan kusampaikan pesan itu kepadanya.

“Janji?”

“Ya, aku bersumpah.” Sambil menggigit bibir untuk menghindari senyum, Akemi bertanya, “Siapa namanya tadi? Orang yang menyuruhmu menyampaikan pesan itu?”

“Ingatanmu tidak begitu baik rupanya. Namanya Miyamoto Musashi.”

“Bagaimana kamu menuliskan Musashi itu?” Jotaro mengambil bilah bambu, lalu mengguratkan dua huruf di pasir.

“Lho, itu huruf-huruf yang bunyinya Takezo!” ucap Akemi.

“Namanya bukan Takezo, tapi Musashi.”

“Ya, tapi bisa juga dibaca Takezo.”

“Kamu keras kepala rupanya, ya?” decap Jotaro sambil melemparkan bilah bambu itu ke sungai.

Akemi menatap tajam-tajam huruf-huruf di pasir itu, dan tenggelam dalam renungan. Akhirnya ia menengadah memandang Jotaro, mengamat-amatinya dari kepala sampai jari kaki, lalu tanyanya dengan suara lembut,

“Apa ini bukan Musashi dari daerah Yoshino di Mimasaka?”

“Ya. Saya dari Harima. Dia dari Kampung Miyamoto di Provinsi Mimasaka, tak jauh dari sana.”

“Apa orangnya tinggi, kelihatan jantan? Dan apa bagian atas kepalanya tidak dicukur?”

“Ya. Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Aku ingat dia pernah cerita, ketika masih kecil dia bisulan di puncak kepalanya. Kalau dia mencukurnya seperti biasa dilakukan samurai, akan kelihatan bekas lukanya yang buruk.”

“Pernah cerita? Kapan?”

“Oh, sudah lima tahun lalu.”

“Jadi, kamu sudah begitu lama kenal guru saya?”

Akemi tidak menjawab. Kenangan hari-hari itu membangkitkan kenikmatan di dalam hatinya, hingga bicara pun jadi sukar. Yakin dari berita kecil vang disampaikan anak itu bahwa Musashi adalah Takezo, ia jadi tercengkeram hasrat untuk bertemu Musashi kembali. Ia sudah melihat cara hidup ibunya, dan ia juga sudah melihat Matahachi semakin memburuk perkembangannya. Sejak semula ia lebih menyukai Takezo. Dan semenjak itu semakin yakin ia akan benarnya pilihan atas Takezo. Ia gembira karena masih sendiri. Takezo. Ia begitu lain dari Matahachi.

Sering kali ia mengambil sikap tidak menghanyutkan diri dengan para leaki yang selalu minum di warung tehnya. Ia mencemooh mereka dan terus berpegang teguh pada gambarannya tentang Takezo. Jauh di lubuk hatinya ia selalu bermimpi akan menemukan Takezo kembali. Takezo, hanya Takezo-lah kekasih di dalam hatinya, ketika ia menyanyikan lagu-lagu cinta untuk dirinya sendiri.

Karena tugasnya selesai, Jotaro berkata, “Nah, lebih baik saya pergi sekarang. Kalau kamu bertemu dengan Matahachi, betul-betullah sampaikan apa yang sudah saya katakan tadi.” Ia pergi, menderap sepanjang puncak tanggul sempit itu.

Kereta sapi itu penuh bermuatan karung-karung yang barangkali berisi betas, kacang merah, atau hasil bumi setempat yang lain. Di puncak tumpukan ada tulisan yang menyatakan bahwa barang itu sumbangan kaum Budhis yang setia untuk Kofukuji yang agung di Nara. Jotaro kenal kuil itu karena namanya identik dengan Nara.

Wajah Jotaro menyala menyatakan kegembiraan kanak-kanaknya. Dikejarnya kendaraan itu, lalu naiklah ia ke atasnya. Jika ia menghadap ke belakang, masih ada cukup ruangan untuk duduk. Dan sebagai tambahan kenikmatan, ada pula karung-karung buat bersandar.

Di kiri-kanan jalan, bukit-bukit landai terselimut barisan semak teh yang rapi. Pohon-pohon ceri mulai berbunga, dan para petani sudah membajak gerst-sejenis gandum. Mereka pasti berharap agar tahun itu ladang terhindar dari pijakan para serdadu dan kuda. Perempuan-perempuan berlutut di pinggir kali, mencuci sayur-sayuran. Jalan raya Yamato terasa damai.

“Untung sekali!” pikir Jotaro sambil bersandar dan bersantai. Karena enaknya tempat itu, ia selalu tergoda untuk tidur, tapi ia harus berpikir dua kali. Karena takut kereta akan sampai di Nara selagi ia masih tidur, maka ia merasa bersyukur setiap roda kereta menggilas batu dan berguncang. Itu membantu matanya tetap terbuka. Tak ada yang lebih menyenangkan baginya daripada berjalan terus seperti ini menuju tujuannya.

Di luar sebuah kampung, Jotaro dengan malas meraih dan memetik selembar daun dari pohon kamelia. Diletakkannya daun itu di atas lidahnya dan mulailah ia menyiulkan sebuah lagu.

Kusir kereta menoleh ke belakang, tapi tidak melihat apa-apa. Karena siulan terus juga berbunyi, ia menoleh ke kiri, kemudian ke kanan, dan berkali-kali lagi. Akhirnya dihentikannya kereta, dan pergilah ia memutar ke belakang. Melihat Jotaro, ia marah bukan kepalang. Pukulan tinju yang dijatuhkannya demikian keras, hingga anak itu berteriak kesakitan.

“Apa kerjamu di sini?” gertaknya.

“Tak apa-apa, kan?”

“Enak saja kau!”

“Kenapa? Bapak kan tidak menariknya sendiri?”

“Oh, bajingan kurang ajar kamu!” seru tukang kereta sambil melontarkan Joraro ke tanah, seperti bola. Jotaro terpelanting dan kemudian terguling ke pangkal sebatang pohon. Kereta berjalan kembali, bunyi rodanya gemeretak, seakan-akan menertawakannya.

Ketika Jotaro sadar kembali, ia mulai mencari-cari dengan teliti di tanah sekitarnya. Ia sadar tabung bambu berisi jawaban dari Perguruan Yoshioka untuk Musashi hilang. Tadi barang itu Ia gantungkan di leher dengan seutas tali, tapi sekarang lenyap.

Ketika anak itu sangat kebingungan dan sedikit demi sedikit melebarkan wilayah pencariannya, seorang perempuan muda berpakaian perjalanan berhenti memperhatikannya; ia bertanya, “Kamu kehilangan sesuatu, ya?”

Jotaro memandang wajahnya yang sebagian tertutup topi bertepi lebar, mengangguk, dan kembali mencari.

“Kamu kehilangan uang?”

Karena terlampau asyik, Jotaro tidak begitu memperhatikan pertanyaan itu, dan hanya memperdengarkan gerutuan tak senang.

“Apa tabung bambu yang panjangnya kira-kira satu kaki dan bertali?” Jotaro tersentak. “Ya! Bagaimana Kakak bisa tahu?”

“Jadi, kamulah yang diteriak-teriaki kusir-kusir dekat Mampukuji tadi, karena mengganggu kuda mereka!”

“Ah-h-h… ya “

“Waktu kamu ketakutan dan lari, tali itu tentunya putus. Tabung itu jatuh di jalan, dan samurai yang sedang bicara dengan kusir-kusir tadi itu mengambilnya. Lebih baik kamu kembali menanyakan kepadanya.”

“Betul begitu?”

“Tentu.”

“Terima kasih.”

Tapi baru saja ia hendak berlari, perempuan muda itu memanggilnya. “Tunggu! Tak perlu kamu kembali ke sana. Kulihat samurai itu berjalan kemari. Itu, yang memakai hakama lapangan.” Ia menuding orang itu.

Jotaro berhenti dan menanti dengan mata terbuka lebar.

Samurai itu seorang lelaki yang mengesankan, berumur sekitar empat puluh tahun. Segala sesuatu yang ada padanya sedikit lebih besar dan yang biasa-tingginya, jenggotnya yang hitam legam, bahunya yang lebar, dadanya yang padat. la mengenakan kaus kaki kulit dan sandal jerami, dan apabila berjalan langkah-langkahnya yang mantap seakan memadatkan tanah. Dari pandangan sekilas, Jotaro merasa pasti bahwa orang itu prajurit besar yang mengabdi kepada salah seorang daimyo yang sangat penting, dan ia takut menyapanya.

Untunglah samurai itu yang bicara dulu memanggilnya. “Apa bukan kamu anak nakal yang menjatuhkan tabung bambu ini di depan Mampukuji?” tanvanva.

“Oh, betul! Tuan menemukannya!”

“Apa tak bisa kamu mengucapkan terima kasih?”

“Maaf. Terima kasih, Tuan!”

“Aku yakin ada surat penting di dalamnya. Kalau tuanmu menyuruh kamu, jangan kamu berhenti sepanjang jalan mengganggu kuda, membonceng-bonceng, atau bermalas-malas di pinggir jalan.”

“Ya, Tuan. Apa Tuan melihat isinya?”

“Sudah sewajarnya, kalau kita menemukan sesuatu, kita memeriksanya dan mengembalikannya kepada pemiliknya, tapi aku tidak merusak meterai surat itu. Sekarang, sesudah barang itu di tanganmu lagi, coba periksa dan lihat, apa masih baik keadaannya.”

Jotaro membuka tutup tabung dan melihat ke dalamnya. Puas karena surat itu masih ada, digantungkannya tabung itu kembali ke lehernya, dan ia bersumpah tak akan melepaskannya untuk kedua kali.

Perempuan muda itu tampak sama puasnya dengan Jotaro.

“Baik sekali Tuan telah menemukan barang itu,” katanya kepada si samurai, untuk memperbaiki sikap Jotaro yang tidak mampu menyatakan terima kasih dengan baik.

Samurai berjenggot itu mulai berjalan lagi bersama mereka berdua. “Apa anak itu bersamamu?” tanyanya kepada perempuan itu.

“Oh, tidak. Belum pernah saya bertemu dengan dia.”

Samurai itu tertawa. “Kupikir tadi kamu dan dia pasangan yang agak aneh. Anak itu seperti setan kecil yang lucu; apalagi ada kata ‘Penginapan’ pada topinya.”

“Barangkali kepolosan kanak-kanaknya itu yang membuat dia begitu menarik. Saya suka dia juga.” Sambil menoleh kepada Jotaro, ia bertanya, “Mau ke mana kamu?”

Karena berjalan bersama kedua orang itu, semangat Jotaro naik lagi. “Saya akan pergi ke Nara, ke Kuil Hozoin.” Sebuah benda panjang sempit yang terbungkus kain brokat emas dan tersimpan dalam obi gadis itu menarik perhatiannya. Sambil memperhatikannya, ia berkata, “Saya lihat Kakak membawa tabung surat juga. Hati-hati, jangan Kakak hilangkan.”

“Tabung surat? Apa maksudmu?”

“Itu, dalam obi Kakak.”

Gadis itu pun tertawa. “Ini bukan tabung surat, tolol! Ini suling.”

“Suling?” Dengan mata menyala-nyala karena rasa ingin tahu, tanpa malu-malu Jotaro melongokkan kepala ke pinggang gadis itu untuk memeriksa benda tersebut. Tiba-tiba suatu perasaan aneh datang kepadanya. Ia mundur dan seperti mengamat-amati gadis itu.

Anak-anak pun mempunyai selera terhadap kecantikan wanita, atau setidak-tidaknya mengerti secara naluriah, apakah wanita itu murni atau tidak. Jotaro terkesan sekali akan kecantikan gadis itu, dan ia menghargainya. Terasa olehnya sebagai keberuntungan tak terukir bahwa sekarang ia berjalan bersama orang yang begitu molek. Hatinya pun berdentum, dan ia merasa pusing.

“Oh. Suling… Apa Bibi bisa main suling?” tanyanya. Kemudian, karena ingat akan reaksi Akemi terhadap kata “Bibi” itu, ia cepat-cepat mengubah pertanyaannya, “Siapa nama Kakak?”

Gadis itu tertawa dan melemparkan pandangan senang kepada si samurai lewat kepala anak itu. Prajurit yang seperti beruang itu ikut tertawa, memperlihatkan barisan giginya yang putih kuat di belakang jenggotnya.

“Kamu anak baik, kan? Kalau kamu ingin tahu nama orang lain, yang sopan adalah kamu menyebutkan dulu namamu.”

“Nama saya Jotaro.”

Jawaban ini menimbulkan ketawa lebih banyak lagi.

“Itu tidak adil!” teriak Jotaro. “Tuan menyuruh saya menyebutkan nama saya, tapi saya belum tahu nama Tuan. Siapa nama Tuan?”

“Namaku Shoda,” kata samurai itu.

“Itu tentunya nama keluarga. Lalu nama Tuan yang lain apa?”

“Terpaksa aku minta diizinkan hanya menyebut nama itu.”

Dengan berani Jotaro menoleh kepada gadis itu, dan katanya, “Sekarang giliran Kakak. Kami sudah menyebutkan nama kami. Kurang sopan kalau Kakak tidak menyebutkan nama Kakak.”

“Nama saya Otsu.”

“Otsu?” Jotaro mengulang. la kelihatan puas sebentar, tapi kemudian mengoceh lagi. “Kenapa ke mana-mana Kakak menyimpan suling dalam obi?”

“Oh, aku butuh suling ini buat mencari makan.”

“Jadi, Kakak ini pemain suling?”

“Sebetulnya aku tidak yakin apa ada pemain suling profesional, tapi uang yang kudapat dengan main suling ini bisa buat melakukan perjalanan-perjalanan jauh macam ini. Bolehlah kamu menyebut itu pekerjaanku.”

“Apa musik yang Kakak mainkan seperti musik yang sudah saya dengar di Gion dan Kuil Kamo? Musik untuk tari-tarian suci?”

“Tidak.”

“Apa musik buat jenis tarian yang lain-misalnya Kabuki?”

“Tidak.”

“Kalau begitu, musik jenis apa?”

“Oh, lagu-lagu biasa saja.”

Sementara itu si samurai bertanya-tanya dalam hati mengenai pedang kayu panjang milik Jotaro itu. “Apa yang kamu pasang di pinggangmu itu?” tanyanya.

“Apa Tuan tak kenal pedang kayu kalau Tuan melihatnya? Saya pikir Tuan ini samurai.”

“Ya, aku memang samurai. Cuma aku heran melihat pedang begitu kamu bawa. Kenapa kamu membawanya?”

“Saya mau belajar ilmu pedang.”

“Oh, jadi kamu belajar sekarang? Apa kamu sudah punya guru?”

“Punya.”

“Apa dia yang akan menerima surat itu?” „

Ya. “

“Kalau dia itu gurumu, tentunya dia ahli yang sejati.”

“Dia sama sekali tidak sebaik itu.”

“Apa maksudmu?”

“Semua orang bilang dia lemah.”

“Apa kamu tidak keberatan punya guru lemah?”

“Tidak. Saya juga tidak pandai main pedang, jadi tak ada bedanya.”

Samurai itu hampir tak dapat menahan rasa geli. Mulutnya menggetar, seakan hendak pecah menjadi senyuman, tetapi matanya tetap muram. “Apa kamu sudah mempelajari beberapa teknik?”

“Belum bisa dikatakan begitu. Saya belum lagi belajar apa-apa.”

Tawa samurai itu pun akhirnya pecah berderai-derai, “Bicara dengan kamu ini bikin jalan lebih pendek. Lalu, Nona sendiri man pergi ke mana?”

“Ke Nara, tapi tepatnya Nara bagian mana, saya belum tahu. Ada seorang ronin yang sudah sekitar satu tahun saya cari, dan karena menurut pendengaran saya banyak ronin berkumpul di Nara sekarang ini, saya punya rencana ke sana, walaupun saya akui, tidak banyak berita yang terdengar.”

Jembatan Uji mulai tampak. Di bawah tepi atap sebuah warung teh, seorang tua yang sangat sopan memegang sebuah ketel teh besar. Ia sedang melayani para langganan yang duduk berkeliling di bangku. Melihat Shoda, ia menyalaminya dengan hangat, “Senang sekali bertemu dengan anggota Keluarga Yagyu!” serunya. “Silakan masuk, silakan!”

“Kami mau istirahat sebentar di sini. Bisa sediakan kue manis buat anak ini?”

Jotaro tetap berdiri, sementara teman-temannya duduk. Baginya duduk dan beristirahat itu membosankan. Begitu kue datang, ia segera mengambilnya dan larilah ia ke bukit rendah di belakang warung teh.

Sambil menghirup teh, Otsu bertanya kepada orang tua itu. “Apa Nara masih jauh dari sini?”

“Masih. Orang yang cepat jalannya pun barangkali takkan sampai lebih jauh dari Kizu sebelum matahari terbenam. Anak perempuan seperti Anda mesti menginap di Taga atau Ide.”

Shoda pun segera menyambung. “Nona ini sudah beberapa bulan mencari seseorang. Tapi terpikir juga oleh saya, apa menurut Bapak cukup aman hari-hari ini, kalau seorang wanita muda mengadakan perjalanan sendiri ke Nara, sedangkan dia belum tahu akan menginap di mana?”

Mendengar pertanyaan itu, orang tua itu membelalakkan matanya. “Oh, bahkan bermaksud saja jangan!” katanya pasti. Sambil menoleh ke Otsu, ia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah, dlan katanya, “Lupakan keinginan itu sama sekali. Kalau Nona yakin ada teman untuk tinggal di sana, itu lain soal. Kalau tidak, Nara bisa jadi tempat yang sangat berbahaya.”

Pemilik warung menuangkan secangkir teh untuk diri sendiri, lalu bercerita kepada mereka mengenai apa yang diketahuinya tentang keadaan Nara. Rupanya kebanyakan orang mendapat kesan bahwa ibu kota lama itu tempat yang tenang, damai, di mana banyak kuil berwarna-warni dan rusarusa jinak-sebuah tempat yang tidak terganggu oleh perang atau kelaparan. Padahal kenyataannya kota itu tidak lagi seperti itu. Sesudah Pertempuran Sekigahara, tak tahulah orang, berapa banyak ronin dari pihak yang kalah telah datang bersembunyi di sana. Kebanyakan anggota partisan Osaka dari Tentara Barat dan Osaka, samurai-samurai yang kini tak punya penghasilan dan sedikit saja punya harapan akan memperoleh pekerjaan lain. Dengan semakin berkembangnya kekuasaan ke-shogun-an Tokugawa dari tahun ke tahun, disangsikan apakah para pelarian itu akan dapat lagi memperoleh penghidupan terang-terangan dengan pedangnya.

Menurut perkiraan kebanyakan orang, 120.000 atau 130.000 orang samurai kehilangan jabatannya. Sebagai pemenang, orang-orang Tokugawa menyita tanah-tanah milik yang seluruhnya menghasilkan 33 juta gantang padi tiap tahun. Walau jika dihitung juga tuan-tuan tanah feodal yang semenjak itu diizinkan menetap kembali dengan gaya yang lebih sederhana, maka setidak-tidaknya ada delapan puluh daimyo dengan penghasilan seluruhnya sekitar dua puluh juta gantang yang telah dicabut hak miliknya. Kalau dihitung untuk setiap lima ratus gantang padi ada tiga samurai yang telah dihentikan dari tempat kerjanya dan dipaksa bersembunyi di berbagai provinsi lain-terhitung keluarga dan pesuruhnya-maka jumlah mereka seluruhnya tidak akan kurang dari 100.000 orang.

Wilayah sekitar Nara dan Gunung Koya penuh kuil, karena itu sukar bagi angkatan bersenjata Tokugawa untuk mengadakan perondaan. Juga, karena merupakan tempat sembunyi yang ideal, para pelarian berbondongbondong bergerak ke sana.

“Misalnya,” kata orang tua itu, “Sanada Yukimura yang terkenal itu bersembunyi di Gunung Kudo, lalu Sengoku Soya kabarnya berada di luar Horyuji, dan Ban Dan’emon di Kofukuji. Banyak lagi yang dapat saya sebutkan.” Semua itu orang-orang yang punya nama, orang-orang yang akan dibunuh dengan seketika kalau mereka menunjukkan diri. Satu-satunya harapan mereka untuk masa depan adalah kalau perang pecah lagi.

Menurut pendapat orang tua itu, keadaan tidak begitu jelek kalau hanya para ronin terkenal itu yang menyembunyikan diri, karena mereka semua sedikit banyak punya prestise dan dapat hidup sendiri dengan keluarganya. Tetapi yang mempersulit keadaan adalah para samurai miskin yang berkeliaran di jalan-jalan belakang kota; keadaan mereka demikian sulit, hingga kalau bisa pedang pun akan mereka jual. Setengahnya lalu mulai berkelahi, berjudi, atau mengganggu ketenteraman, dengan harapan kerusakan yang mereka datangkan itu akan membuat angkatan bersenjata Osaka bangkit dan mengangkat senjata. Kota Nara yang dahulu tenang itu kini berubah menjadi sarang penjahat nekat. Untuk gadis manis seperti Otsu, pergi ke sana sama halnya dengan menuangkan minyak ke kimono dan menceburkan dirt ke dalam api. Tergerak oleh ceritanya sendiri, pemilik warung teh menutup ceritanya dengan minta amat sangat pada Otsu untuk mengubah maksudnya.

Otsu kini merasa ragu-ragu dan duduk diam sebentar. Kalau sekiranya ada sedikit saja petunjuk bahwa Musashi kemungkinan berada di Nara, tak akan ia berpikir panjang mengenai bahayanya. Tapi sayangnya la betul-betul tak punya alasan untuk terus. la sekadar berjalan ke arah Nara-tak ada bedanya dengan pengembaraannya ke berbagai tempat lain, semenjak Musashi meninggalkannya di Jembatan Himeji.

Melihat kebingungan pada wajahnya, Shoda berkata, “Tadi kaubilang namamu Otsu, bukan?”

“Ya.”

“Nah, Otsu, aku memang ragu-ragu mengatakan ini, tapi kenapa tidak kau batalkan saja maksudmu pergi ke Nara itu, dan sebagai gantinya kau pergi denganku ke tanah Koyagyu?” Karena merasa wajib memberikan keterangan lebih banyak tentang dirinya, dan meyakinkan Otsu bahwa maksudnya itu terhormat, ia melanjutkan, “Nama lengkapku Shoda Kizaemon, dan aku mengabdi kepada Keluarga Yagyu. Kebetulan tuanku yang sudah berumur delapan puluh tahun tidak lagi aktif. Dia menderita kebosanan luar biasa. Ketika kau berkata kau hidup dari main suling, terpikir olehku, akan senang sekali dia kalau kamu ada di dekatnya dan sekali-sekali main untuknya. Apa kau suka kerja begitu?”

Orang tua itu segera menimpali dengan pernyataan setuju. “Kamu lebih baik ikut dia,” desaknya. “Barangkali kamu tahu, yang dipertuan dari Koyagyu yang sudah tua itu adalah Yagyu Muneyoshi yang agung. Sesudah pensiun, ia memakai nama Sekishusai. Segera setelah ahli warisnya, Munenori, yaitu Yang Dipertuan dari Tajima, pulang dari Sekigahara, dia langsung dipanggil ke Edo dan ditunjuk menjadi instruktur dalam rumah tangga shogun. Tidak ada keluarga yang lebih besar di Jepang ini daripada Keluarga Yagyu. Diundang ke Koyagyu saja sudah merupakan kehormatan. Jangan sampai tidak diterima tawaran itu!”

Mendengar bahwa Kizaemon adalah pejabat dalam Keluarga Yagyu yang termasyhur itu, Otsu merasa beruntung, karena besar dugaannya, orang itu bukanlah samurai biasa. Namun ia merasa sukar menjawab tawaran itu.

Melihat Otsu masih juga diam, Kizaemon bertanya, “Tak suka kamu ke sana?”

“Bukan itu soalnya. Tak ada tawaran lain yang lebih baik dari itu. Cuma saya takut, nanti permainan saya tidak cukup baik untuk orang seperti Yagyu Muneyoshi.”

“Jangan panjang-panjang kamu memikirkan soal itu. Keluarga Yagyu itu lain sekali dengan daimyo lain. Khususnya Sekishusai, dia ahli upacara minum teh yang berselera sederhana, tenang. Dia akan lebih terganggu oleh sifat malu-malumu itu daripada bayanganmu bahwa kamu kurang terampil.”

Otsu sadar bahwa pergi ke Koyagyu lebih memberikan harapan, berapa pun kecilnya, daripada berkeliaran tanpa tujuan ke Nara. Sejak meninggalnya Yoshioka Kempo, Keluarga Yagyu dianggap banyak orang sebagai eksponen terbesar dalam seni perang di negeri ini. Dapat dipahami kalau para pemain pedang dari seluruh negeri akan datang ke pintu gerbangnya; di situ bahkan akan ada daftar tamu. Alangkah bahagianya kalau dalam daftar itu dapat ia temukan nama Miyamoto Musashi!

Terutama karena memikirkan kemungkinan itu, ia berkata riang, “Kalau menurut pendapat Tuan tak ada halangan apa-apa, saya mau ke sana.”

“Kamu mau? Bagus sekali! Terima kasih sekali…. Hmm, tapi aku ragu, apa seorang perempuan dapat jalan sejauh itu sebelum malam datang. Apa kamu bisa naik kuda?”

“Bisa.”

Kizaemon membungkuk ke bawah tepi atap dan mengangkat tangan ke arah jembatan. Tukang kuda yang menanti di sana datang berlari-lari membawa kuda; Kizaemon menyuruh Otsu naik ke atasnya, sedangkan ia sendiri berjalan di sampingnya.

Jotaro melihat mereka dari bukit di belakang warung teh, dan serunya, “Apa sudah mau berangkat?

“Ya, kami berangkat.”

“Tunggu saya!”

Mereka sudah setengah jalan menyeberang Jembatan Uji ketika Jotaro menyusul. Kizaemon bertanya kepadanya, apa yang dilakukannya tadi, dan Jotaro menjawab bahwa di sebuah semak di bukit itu terdapat banyak orang sedang main. la tidak tahu nama permainan itu, tapi kelihatannya menarik.

Tukang kuda tertawa. “Itu ronin-ronin jembel yang sedang berjudi. Mereka tak punya cukup uang untuk makan, karena itu mereka memikat musafir untuk main dengan mereka dan mengakali segala milik mereka. Memalukan!”

“Oh, jadi mereka itu berjudi untuk mata pencaharian?” tanya Kizaemon.

“Yang berjudi itu termasuk yang baik-baik,” jawab tukang kuda. “Banyak lagi lainnya yang menjadi tukang culik dan peras. Mereka begitu kasar, sampai tak ada orang yang dapat berbuat sesuatu untuk menghentikan mereka.”

“Kenapa Yang Dipertuan daerah ini tidak menangkap atau mengusir mereka?”

“Jumlah mereka terlalu banyak-jauh lebih banyak daripada yang dapat dihadapi. Kalau semua ronin dari Kawachi, Yamato, dan Kii bergabung jadi satu, mereka bisa lebih kuat daripada pasukan Yang Dipertuan sendiri.”

“Saya dengar Koga juga penuh dengan mereka itu.”

“Ya. Mereka datang dari Tsutsui. Mereka bertekad bertahan terus sampai perang berikutnya.”

“Bapak ini begitu terus bicaranya tentang ronin,” sela Jotaro, “tapi di antara mereka tentunya ada orang-orang yang baik.”

“Betul,” kata Kizaemon menyetujui.

“Guru saya seorang ronin!”

Kizaemon tertawa, dan katanya, “Maka itu kamu membela mereka. Cukup setia juga kamu…. Kaubilang akan pergi ke Hozoin tadi, ya? Apa di sana gurumu tinggal?”

“Saya tidak tahu betul, tapi dia bilang, kalau saya pergi ke sana, orang akan menunjukkan pada saya, di mana dia.”

“Apa gaya gurumu itu?”

“Saya tidak tahu.”

“Kamu muridnya, tapi kamu tak tahu gayanya?”

“Tuan,” sela tukang kuda, “ilmu pedang itu sekarang cuma iseng-iseng. Semua orang mempelajarinya. Kita dapat bertemu dengan lima atau sepuluh orang dari mereka yang berkeliaran di jalan ini setiap hari. Itu semua karena jauh lebih banyak ronin yang mengajar dibanding dahulu.”

“Itu cuma sebagian sebabnya.”

“Mereka tertarik, karena entah dari mana mereka itu mendengar, bahwa jika orang cakap bermain pedang, daimyo akan berlomba-lomba menyewanya dengan bayaran empat atau lima ribu gantang setahun.”

“Jalan pintas untuk menjadi kaya, ya?”

“Tepat. Mengerikan kalau kita memikirkannya. Coba, anak sekecil ini pun sudah pegang pedang kayu. Barangkali dia mengira bahwa dia hanya harus belajar memukul orang dengan pedang itu untuk menjadi manusia sejati. Kita melihat banyak orang macam itu, dan sedihnya, akhir-akhirnya kebanyakan mereka itu akan kelaparan.”

Kemarahan Jotaro sekilas bangkit. “Apa ini? Coba, kalau berani mengatakan begitu!”

“Coba dengar! Masih seperti kutu membawa cungkil gigi, tapi sudah membayang-kan dirinya prajurit besar.”

Kizaemon tertawa. “Hei, Jotaro, jangan marah, nanti kamu kehilangan tabung bambu lagi.”

“Tidak lagi! Tak usah menguatirkan saya!”

Mereka berjalan terus. Jotaro merajuk diam. Yang lain-lain memandang matahari yang pelan-pelan tenggelam. Akhirnya mereka sampai di pangkalan perahu tambangan di Sungai Kizu.

“Di sini kita berpisah. Nah, sebentar lagi gelap, jadi lebih baik kamu buru-buru. Dan jangan buang waktu di jalan.”

“Otsu?” kata Jotaro, yang mengira Otsu akan pergi bersamanya.

“O ya, aku lupa bilang tadi,” kata Otsu. “Aku sudah memutuskan pergi dengan Tuan ini ke puri di Koyagyu.” Jotaro tampak terenyak. “Jaga baik-baik dirimu,” kata Otsu tersenyum.

“Mestinya sudah sejak tadi aku tahu bakal sendiri lagi.” Ia memungut sebuah batu dan dilemparkannya batu itu bersilantar di permukaan air.

“Tapi kita akan bertemu lagi hari-hari ini. Rumahmu jalanan, sedangkan aku sendiri banyak jalan.”

Jotaro kelihatan tak ingin bergerak. “Tapi siapa yang Kakak cari itu?” canyanya. “Orang macam apa?”

Tanpa menjawab, Otsu melambaikan selamat berpisah.

Jotaro berlari sepanjang tepi sungai, lalu melompat ke tengah perahu tambangan kecil. Ketika perahu yang menjadi merah warnanya oleh matahari petang itu sudah setengah jalan menyeberangi sungai, ia menoleh ke belakang. Masih dapat ia mengenali kuda Otsu dan Kizaemon di jalan Kuil Kasagi. Mereka berada di lembah, di sisi bagian sungai yang tiba-tiba menyempit, dan sedikit demi sedikit ditelan oleh awal bayang-bayang gunung.

Hozoin

MURID seni bela diri umumnya mengenal Hozoin. Yang berani menganggap dirinya murid serius, tapi menganggap tempat itu sama saja seperti kuil-kuil yang lain, sudah cukup untuk dianggap penipu. Tempat itu juga terkenal di antara penduduk setempat, sekalipun aneh juga bahwa hanya sedikit orang yang kenal Gudang Shosoin yang justru lebih penting karena koleksi benda-benda seni kuno yang tak ternilai harganya.

Kuil itu terletak di Bukit Abura, di tengah hutan kriptomeria yang luas dan lebat. Pendeknya, itulah tempat tinggal jin-jin. Di sini pula terdapat sisa-sisa kebesaran zaman Nara-reruntuhan sebuah kuil, yaitu Kuil Ganrin’in, dan reruntuhan rumah mandi umum raksasa yang dibangun oleh Ratu Komyo untuk orang miskin. Tetapi sekarang yang tertinggal dari semua itu hanyalah serakan batu pondasi yang mengintip dari balik lumut dan rerumputan.

Musashi tidak mengalami kesulitan mencari arah Bukit Abura, tapi begitu sampai di sana ia berdiri memandang ke sekitar dengan kagumnya, karena di sana terdapat kuil-kuil lain yang bersarang di tengah hutan. Pohon-pohon kriptomeria telah menempuh musim dingin dengan selamat, dan kini bermandikan hujan awal musim semi. Warna daun-daunnya sedang gelap-gelapnya. Bersamaan dengan tibanya senja, di atas pepohonan itu tampak lekuk-lekuk feminin Gunung Kasuga. Gunung-gunung di kejauhan masih terang oleh sinar matahari.

Sekalipun di antara kuil-kuil itu tak ada yang mirip dengan yang dicarinya, Musashi mendatangi setiap gerbang untuk memeriksa papan namanya. Pikiran Musashi demikian penuh oleh Hozoin, hingga ketika ia melihat papan nama Kuil Ozoin, mula-mula ia salah baca, karena hanya huruf pertama, yaitu “0, yang berlainan. Walaupun kemudian ia segera menyadari kesalahannya, pergi juga ia ke dalam untuk melihat. Ozoin rupanya milik Sekte Nichiren. Sepanjang pengetahuannya, Hozoin adalah kuil Zen yang tak ada hubungan-nya dengan Nichiren.

Selagi ia berdiri di sana, seorang biarawan muda yang baru kembali ke Ozoin melewatinya dan menatapnya penuh curiga.

Musashi melepas topi, dan katanya, “Boleh saya bertanya?”

“Tentang apa?”

“Kuil ini namanya Ozoin?”

“Ya, seperti yang tertulis di papan itu.”

“Kata orang, Hozoin ada di Bukit Abura. Betul?”

“Di belakang kuil ini. Anda mau ke sana buat bertanding?”

“Ya.”

“Kalau begitu dengarkan nasihat saya: Lupakan saja.”

“Kenapa?”

“Berbahaya. Saya bisa mengerti kalau orang yang dilahirkan pincang pergi ke situ untuk diluruskan kakinya, tapi saya tak melihat alasannya kalau orang yang anggota badannya baik dan lurus mesti pergi ke sana untuk dikutungi.”

Biarawan itu tegap tubuhnya, agak lain daripada biarawan Nichiren biasa. Menurut biarawan itu, jumlah calon prajurit telah mencapai angka yang oleh Hozoin pun sudah dianggap mengganggu. Kuil itu tempat suci untuk cahaya Hukum Sang Budha, seperti ditunjukkan oleh namanya. Perhatian utamanya terletak pada agama. Seni bela diri hanya sampingan, demikianlah kira-kira.

Kakuzenbo In’ei, kepala biara yang dulu, sering kali mengunjungi Yagyu Muneyoshi. Karena hubungannya dengan Muneyoshi dan dengan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, teman Muneyoshi, kepala biara itu tertarik pada seni bela diri dan akhirnya mulai belajar ilmu pedang sebagai pelengah waktu. Lalu ia mengembangkan cara-cara baru dalam menggunakan lembing, dan sepengetahuan Musashi inilah yang menjadi cikal-bakal Gaya Hozoin yang sangat dihargai orang.

In’ei sekarang berumur delapan puluh empat tahun dan sudah sepenuhnya pikun. Ia hampir tidak pernah menjumpai siapa pun. Pada waktu menerima tamu pun ia sudah tidak dapat melakukan percakapan. Ia hanya duduk dan membuat gerakan-gerakan yang tak dapat dimengerti dengan mulutnya yang sudah ompong. Kelihatannya ia tidak dapat menangkap apa pun yang dikatakan orang kepadanya. Soal lembing sudah dilupakannya sama sekali.

“Jadi, begitulah,” simpul biarawan itu sesudah menjelaskan semuanya, “tak banyak faedahnya Anda pergi ke sana. Anda barangkali tak dapat bertemu dengan gurunya, dan kalaupun Anda bertemu dengannya, tak dapat Anda mempelajari sesuatu.” Sikap kasar orang itu menunjukkan bahwa ia ingin Musashi lekas pergi.

Walaupun sadar dianggap enteng oleh orang itu, Musashi mendesak terus. “Saya sudah mendengar tentang In’ei, dan saya tahu bahwa yang Anda katakan itu benar. Tapi saya mendengar juga bahwa seorang pendeta yang namanya Inshun telah mengambil alih kedudukannya dan menggantikannya. Orang bilang dia masih belajar, tapi dia sudah paham semua rahasia Gaya Hozoin. Menurut yang saya dengar, walaupun dia sudah punya banyak murid, tidak pernah dia menolak memberikan pelajaran pada siapa pun yang datang kepadanya.”

“Oh, Inshun,” kata biarawan itu dengan nada menghina. “Tak ada apa-apanya desas-desus itu. Inshun sebetulnya murid kepala biara Ozoin. Sesudah In’ei mulai memperlihatkan tanda-tanda ketuaan, kepala biara kami merasa sayang jika reputasi Hozoin tersia-sia begitu saja. Karena itu dia mengajarkan pada Inshun rahasia-rahasia permainan lembing yang pernah dia pelajari dari In’ei, dan kemudian dia atur pula agar Inshun menjadi kepala biara.”

“Oh, begitu,” kata Musashi.

“Tapi Anda masih juga ingin ke sana?”

“Yah, sudah sejauh ini saya pergi….”

“Tentu.”

“Tadi Anda bilang tempatnya di belakang ini. Lebih baik memutar ke kiri atau ke kanan?”

“Tak perlu memutar. Jauh lebih cepat jalan terus lewat kuil kami ini. Takkan salah lagi.”

Sesudah mengucapkan terima kasih kepadanya, Musashi berjalan melewati dapur kuil itu ke belakang pekarangan. Di situ terdapat gudang kayu, gudang empleng kacang, dan kebun sayur-sayuran yang luasnya sekitar satu ekar, mirip sekali dengan wilayah di sekitar rumah seorang petani kaya. Di sebelah kebun itu ia melihat Hozoin.

Selagi berjalan di tanah lunak di antara baris-baris lobak, rades, dan bawang, ia lihat di satu sisi seorang tua yang sedang mencangkuli sayursayuran. Sambil membungkuk mencangkul, ia memandang baik-baik lempengan cangkulnya. Yang kelihatan oleh Musashi pada orang itu hanyalah sepasang alisnya yang putih saiju. Kecuali dentang cangkul yang mengenai batu-batuan, keadaan betul-betul sepi.

Musashi menyimpulkan bahwa orang tua itu biarawan Ozoin. la hampir berbicara, tapi orang tua itu rupanya demikian tenggelam dalam pekerjaannya, hingga rasanya kurang sopan mengganggunya.

Namun ketika Musashi berlalu tanpa mengucapkan sesuatu, tiba-tiba sadarlah ia bahwa orang itu sedang menatap kakinya dari sudut matanya. Walaupun orang itu tidak bergerak ataupun berbicara, Musashi merasa diserang dengan kekuatan yang mengerikan-suatu kekuatan yang seperti kilat membelah awan. Ini bukan mimpi di siang bolong. Ia benar-benar merasakan kekuatan misterius itu menghunjam tubuhnya, dan ia meloncat ketakutan ke udara. Seluruh tubuhnya terasa panas, seolah-olah baru saja lolos dari pukulan pedang atau tombak yang mematikan.

Ketika ia menoleh, dilihatnya punggung yang bungkuk itu masih menghadapnya dan cangkul itu masih juga meneruskan iramanya yang tak terputus-putus. “Apa arti semua ini?” demikian ia terheran-heran, kagum oleh kekuatan yang baru saja menyerangnya.

Akhirnya sampailah ia di depan Hozoin, namun rasa ingin tahunya masih belum reda. Sambil menanti munculnya seorang pembantu, ia berpikir, “Inshun mestinya masih muda. Biarawan muda itu tadi mengatakan In’ei sudah pikun dan sudah lupa sama sekali akan tombak, tapi aku ingin tahu…” Kejadian di halaman itu masih terus menghantui pikirannya.

Ia berseru dua kali lagi, tapi jawaban satu-satunya yang diperolehnya adalah gema dari pepohonan di sekitar. Melihat ada sebuah gong besar di samping pintu masuk, ia memukulnya. Hampir seketika itu juga teriakan jawaban terdengar dari dalam kuil.

Seorang pendeta datang ke pintu. Orangnya besar dan berotot. Sekiranya ia salah seorang prajurit pendeta Gunung Hiei, pasti ia komandan batalion. Karena dari hari ke hari terbiasa menerima kunjungan orang-orang seperti Musashi, ia hanya melontarkan pandangan selintas, dan katanya, “Anda shugyosha?”

“Ya.”

“Ada keperluan apa ke sini?”

“Saya ingin bertemu dengan Guru.”

Pendeta itu berkata, “Silakan masuk,” dan memberikan isyarat ke kanan pintu masuk; maksudnya secara tak langsung adalah supaya Musashi membasuh kakinya dulu. Di situ terdapat sebuah tong penuh air yang disalurkan lewat pipa bambu. Di kanan-kirinya terdapat sekitar sepuluh pasang sandal yang usang dan kotor.

Musashi mengikuti pendeta itu menyusuri lorong yang lebar dan gelap, dan dipersilakan masuk ke kamar tunggu. Di situ ia diminta menanti. Bau dupa mengambang di udara. Lewat jendela ia dapat melihat daun-daun lebar pohon pisang. Selain sikap kasar si raksasa yang telah mengantarnya masuk itu, menurut penglihatan Musashi tak ada suatu pun yang menunjukkan bahwa ada yang luar biasa di kuil yang satu ini.

Ketika muncul kembali, pendeta itu menyerahkan daftar tamu dan kotak tinta kepadanya. Katanya, “Silakan tulis nama Anda, di mana Anda pernah belajar, dan gaya apa yang Anda gunakan.” Bicaranya seolah-olah sedang mengajar seorang anak.

Judul buku tamu itu: “Daftar Orang-orang yang Mengunjungi Kuil Ini untuk Belajar Pramugara Hozoin.” Musashi membuka buku itu dan memperhatikan nama-nama di dalamnya. Masing-masing ditulis di bawah tanggal berkunjungnya seorang samurai atau murid. Menuruti gaya masukan yang terakhir, Musashi menuliskan keterangan yang diminta, tanpa menyebutkan nama gurunya.

Pendeta itu tentu saja sangat tertarik pada hal ini.

Jawaban Musashi sama dengan yang pernah diberikannya di Perguruan Yoshioka. la belajar menggunakan pentung dengan pimpinan ayahnya, “tapi tidak terlalu rajin mempelajarinya.” Karena ada maksud belajar dengan sungguh-sungguh, maka ia berguru pada segala yang ada di alam semesta ini, demikian juga contoh-contoh yang diberikan oleh para pendahulu di negeri ini. Ia menutupnya dengan mengatakan, “Saya masih dalam taraf belajar.”

“Mm. Anda barangkali sudah tahu, tapi semenjak zaman guru kami yang pertama, Hozoin terkenal di mana-mana karena permainan tombaknya. Pertarungan di sini berlangsung kasar, dan tidak ada perkecualian. Sebelum Anda melanjutkan, barangkali lebih baik Anda membaca dulu apa yang tertulis di awal buku tamu itu.”

Musashi mengambil buku itu, membukanya, dan membaca persyaratan yang tadi ia lewati. Bunyinya: Karena saya datang kemari dengan tujuan belajar, maka saya membebaskan kuil dari segala tanggung jawab, manakala saya mendapat cedera badaniah ataupun terbunuh.

“Saya setuju,” kata Musashi sambil menyeringai sedikit—memang itu sudah sewajarnya bagi orang yang berniat menjadi prajurit.

“Baiklah. Silakan.”

Dojo itu besar sekali. Para biarawan tentunya telah mengorbankan sebuah ruangan kuliah atau bangunan besar lain untuk membuat dojo itu. Belum pernah Musashi melihat tiang-tiang yang demikian besar kelilingnya, dan ia juga melihat bekas-bekas cat, kertas emas, dan cat dasar Cina putih pada kerangka lubang angin. Semua itu hal-hal yang tidak biasa ditemukan dalam ruang latihan biasa.

Ia bukan tamu satu-satunya di situ. Lebih dari sepuluh calon prajurit duduk di kamar tunggu. Di situ ada juga murid pendeta yang sama jumlahnya. Disamping itu ada beberapa samurai yang hanya menjadi peninjau. Semuanya dengan saksama memperhatikan dua pemain tombak yang sedang melakukan latihan pertandingan. Tak seorang pun melontarkan pandangan kepada Musashi, ketika ia duduk di sebuah sudut.

Menurut papan pemberitahuan di dinding, jika seseorang ingin bertarung dengan tombak bertulang, tantangan akan diterima, tetapi para murid yang kini duduk di lantai itu hanya menggunakan tongkat latihan dari kayu ek panjang. Namun pukulan di sini bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.

Salah seorang yang berlatih terlontar ke udara dan berjalan terpincangpincang kembali ke tempat duduk. Kalah. Musashi melihat pahanya membengkak sampai sebesar batang pohon. Orang itu tak dapat lagi duduk, dan menjatuhkan diri dengan susah payah pada sebelah lututnya. Kakinya yang luka dijulurkannya ke depan.

“Berikutnya!” terdengar panggilan orang yang duduk di lantai, seorang pendeta yang sikapnya angkuh luar biasa. Lengan jubahnya diikatkan ke belakang, dan seluruh tubuhnya-kaki, tangan, bahu, dan bahkan dahinya seolah terdiri atas otot-otot menggelembung. Tongkat kayu ek yang dipegangnya tegak lurus itu panjangnya paling tidak sepuluh kaki.

Satu orang yang agaknya salah seorang dari yang datang hari itu menyam-butnya. la mengikat lengan kimononya dengan tali kulit dan berjalan menuju tempat latihan. Pendeta berdiri tak bergerak ketika si penantang pergi ke dinding, memilih tombak-kampak, dan datang menghadapinya. Mereka membungkuk seperti kebiasaan, tapi baru saja mereka selesai menghormat, si pendeta sudah memperdengarkan raungan anjing liar, dan bersamaan dengan itu ia menjatuhkan tongkatnya sekuat-kuatnya ke tengkorak si penantang.

“Berikutnya,” serunya, kembali pada posisi semula.

Selesai sudah. Penantangnya sudah kalah. Ia belum mati, tapi mengangkat kepala dari lantai pun ia sudah tak sanggup. Dua murid si pendeta keluar dan menyeretnya pergi pada lengan dan pinggang kimononya. Di lantai yang ditinggalkannya berceceran ludah bercampur darah.

“Berikutnya!” seru si pendeta lagi, tetap dengan wajah masam.

Semula Musashi mengira orang itu Inshun, guru generasi kedua, tapi orang-orang yang duduk di sekitarnya mengatakan bukan. Orang itu Agon, salah seorang murid senior yang dikenal sebagai “Tujuh Pilar Hozoin”. Mereka bilang Inshun sendiri tidak pernah bertarung, karena para penantang selalu dapat dijatuhkan oleh salah seorang dari mereka ini.

“Tidak ada lagi?” lenguh Agon yang memegang tombak latihannya mendatar.

Pramugara berotot itu pun mencocokkan daftar tamu dengan wajah orang-orang yang sedang menanti. Ia menunjuk seorang di antaranya.

“Tidak, jangan hari ini…. Saya datang lagi nanti.”

“Bagaimana kalau Anda?”

“Kalau Anda tidak keberatan.”

“Apa pula itu artinya?”

“Artinya, saya sedia bertarung.”

Semua mata menatap Musashi ketika ia bangkit. Agon yang congkak itu telah menyingkir dari lantai dan waktu itu sedang bercakap-cakap dan tertawa bersemangat dengan sekelompok pendeta, tapi ketika penantang baru muncul, pandangan bosan tampak kembali pada wajahnya. Katanya malas, “Gantikan saya.”

“Teruskan saja,” desak mereka. “Tinggal seorang lagi.”

Agon mengalah, lalu berjalan acuh tak acuh ke tengah lantai. Ia mencengkeram tongkat kayu hitam mengilat itu, yang agaknya sudah dikenalnya betul. Dengan cepat ia mengambil sikap menyerang, membelakangi Musashi, dan menyerang ke jurusan lain.

“Yah-h-h!” Sambil memekik seperti burung garuda yang sedang berang, ia menderas ke arah dinding belakang dan dengan bengis menghunjamkan tombaknya ke bagian dinding yang dipergunakan untuk berlatih. Papan-papan di situ baru saja diganti, tapi sekalipun kayu baru itu liar, lembing Agon yang tidak bermata logam itu langsung melesak tembus.

“Yow-w-w!” Pekik kemenangannya menggema seram di seluruh ruangan ketika ia mencabut tombaknya dan mulai menari, bukan berjalan, kembali mendekati Musashi. Uap mengepul dari tubuhnya yang terselimut Ia mengambil posisi agak jauh. Ia menatap penantang terakhir itu dengan galak. Musashi maju bersenjatakan pedang kayu. Ia berdiri diam, kelihatan sedikit heran.

“Siap!” teriak Agon.

Terdengar tawa kering di luar jendela. Satu suara mengatakan, “Agon, jangan tolol! Lihat, orang bebal, lihat! Bukan papan yang kamu hadapi.”

Tanpa mengendurkan sikapnya, Agon memandang ke jendela. “Siapa kamu?” lenguhnya.

Tawa itu terdengar terus, kemudian tampak di ambang jendela kepala mengilat dan sepasang alis seputih salju, seakan-akan keduanya itu digantungkan di sana oleh seorang pedagang barang antik.

“Tak baik buatmu, Agon. Kali ini tidak. Biarkan saja orang itu menanti sampai lusa, jika Inshun sudah kembali.”

Musashi yang juga menoleh ke jendela itu, melihat bahwa wajah di jendela itu wajah orang tua yang tadi dilihatnya ketika menuju Hozoin. Tapi baru saja ia sadar, kepala itu sudah lenyap.

Peringatan orang tua itu hanya berpengaruh pada genggaman senjata Agon yang agak mengendur, tapi begitu matanya bertatap pandang dengan mata Musashi, ia menyumpah ke arah jendela yang kini kosong dan melupakan nasihat yang diterimanya.

Sementara Agon mengetatkan genggaman tombaknya, Musashi bertanya untuk basa-basi, “Anda siap?”

Basa-basi ini malah membikin Agon meradang. Otot-ototnya seperti baja, dan bila ia melompat, lompatannya bukan main ringannya. Kelihatan seolah kedua kakinya berada di lantai dan di udara sekaligus, menggeletar seperti cahaya bulan di atas gelombang samudra.

Musashi berdiri diam sepenuhnya, atau begitulah kelihatannya. Tak ada yang aneh pada sikapnya. Ia memegang pedang lurus ke depan dengan kedua belah tangannya, tapi karena hadannya sedikit lebih kecil dari lawannya dan tidak begitu berotot, ia tampak hampir biasa saja. Perbedaan terbesar adalah pada matanya. Mata Musashi setajam mata burung, sedangkan biji matanya seperti batu koral terang bergurat darah.

Agon menggelengkan kepala, barangkali untuk mengibaskan keringat yang mengucur dari dahinya, barangkali untuk mengibaskan kata-kara peringatan orang tua itu. Apakah kata-kata itu masih menempel? Apakah ia mencoba membuangnya ke luar pikirannya? Apa pun alasannya, ia tampak terganggu sekali. Berulang-ulang ia mengganti posisi dalam usaha memancing Musashi, tetapi Musashi tetap tak bergerak.

Sergapan yang dilancarkan Agon diiringi pekik tajam. Dalam sedetik yang menentukan itu Musashi menangkis dan sekaligus melancarkan serangan balasan.

“Apa yang terjadi?”

Para rekan pendeta Agon bergegas maju ke depan dan mengerumuninya dalam bentuk lingkaran hitam. Dalam suasana kacau-balau itu, beberapa orang menginjak tombak latihan dan jatuh tertelungkup.

Seorang pendeta bangkit berdiri, tangan dan dadanya berlumuran darah, dan serunya, “Obat! Ambil obat! Cepat!”

“Kalian tidak membutuhkan obat lagi.” Itu ucapan orang tua yang masuk dari pintu depan dan cepat menilai keadaan. Wajahnya masam. “Kalau obat dapat menyelamatkannya, tidak akan aku mencoba menghentikannya tadi. Goblok!”

Tak seorang pun memperhatikan Musashi. Karena tak ada lagi yang bisa dikerjakannya, Musashi berjalan ke pintu depan dan mengenakan sandalnya. Orang tua itu mengikutinya.

“Hai!” katanya.

Sambil menoleh Musashi menjawab, “Ya?”

“Saya mau bicara sedikit dengan Anda. Masuklah lagi.”

Ia mengantar Musashi ke sebuah kamar di belakang ruangan latihan, sebuah sel sederhana persegi empat. Pintu merupakan satu-satunya jalan ke luar.

Sesudah mereka duduk, orang tua itu berkata, “Sebetulnya lebih layak kalau Kepala Biara datang menyambut Anda, tapi dia sedang dalam perjalanan, dan baru kembali dalam dua atau tiga hari ini. Jadi, saya bertindak atas namanya.”

“Oh, Bapak sungguh baik hati,” kata Musashi membungkukkan kepala. “Saya berterima kasih atas latihan baik yang saya terima hari ini, tapi saya minta maaf atas terjadinya musibah tadi….”

“Kenapa? Hal seperti itu memang kadang-kadang terjadi. Anda harus siap menerimanya sebelum Anda mulai bertarung. Tak usah itu menggelisahkan Anda.”

“Bagaimana luka Agon?”

“Dia terbunuh seketika,” kata orang tua itu. Embusan napasnya terasa seperti angin dingin pada wajah Musashi.

“Dia mati?” Lalu kepada diri sendiri Musashi berkata, “Jadi, terjadi lagi sekarang.” Sekali lagi pedang kayunya membunuh orang. Ia memejamkan mata. Dalam hati ia menyerukan nama Sang Budha, seperti yang biasa dilakukannya dahulu dalam kejadian serupa.

“Anak muda!”

“Ya, Pak.”

“Apa namamu Miyamoto Musashi?”

“Betul.”

“Siapa gurumu belajar seni bela diri?”

“Saya tak pernah punya guru dalam arti biasa. Ayah saya mengajari saya menggunakan pentung ketika saya masih kecil. Sejak itu saya mengambil sejumlah pelajaran dari samurai yang lebih tua di berbagai provinsi. Saya juga menghabiskan sejumlah waktu mengitari pedesaan, belajar di gunung-gunung dan sungai-sungai. Saya menganggap semua itu guru juga.”

“Kamu rupanya memiliki sikap yang tepat. Tapi kamu begitu kuat! Terlalu amat kuat!”

Merasa sedang dipuji, wajah Musashi memerah, dan katanya, “Oh, tidak! Saya masih belum matang. Saya masih selalu berbuat kesalahan.”

“Bukan itu yang kumaksud. Kekuatanmu itulah yang menjadi masalah. Kau mesti mengendalikannya, mesti lebih lemah.”

“Bagaimana?” tanya Musashi bingung.

“Kau ingat, tadi kau lewat kebun sayur tempat aku bekerja?”

“Ya.”

“Ketika melihatku, kau melompat menyingkir, bukan?”

“Ya.”

“Kenapa begitu?”

“Wah, saya bayangkan waktu itu Bapak bisa menggunakan cangkul Bapak sebagai senjata dan menghantam kaki saya. Juga, walaupun perhatian Bapak kelihatannya terpusat ke tanah, seluruh tubuh saya terasa terpaku oleh pandangan Bapak. Saya merasa ada hawa pembunuhan dalam pandangan Bapak, seakan-akan Bapak sedang mencari tempat lemah dalam tubuh saya untuk diserang.”

Orang tua itu tertawa. “Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Kau masih lima puluh kaki jauhnya dariku, tapi sudah kutangkap apa yang dinamakan ‘hawa pembunuh’ itu di udara. Kurasakan itu di ujung cangkulku. Demikian kuat semangat juang dan ambisimu, sehingga muncul dalam setiap langkah yang kau ambil. Waktu itu aku merasa harus siap mempertahankan diri.

“Kalau yang lewat itu cuma salah seorang dari petani desa ini, aku sendiri tak akan lebih dari seorang tua yang sedang mengurus sayur-sayuran. Benar, kau merasakan sikap permusuhanku, tapi itu hanya pantulan sikapmu sendiri. “

Jadi, Musashi benar, ketika ia menduga orang itu bukan orang biasa, sekalipun mereka belum bersapa kata. Sekarang ia merasakan pendeta itu guru, dan ia sendiri murid. Sikapnya kepada orang tua bungkuk itu menjadi hormat.

“Saya mengucapkan terima kasih atas pelajaran yang Bapak berikan. Boleh saya menanyakan nama Bapak dan kedudukan Bapak di kuil ini?”

“Oh, aku bukan dari Kuil Hozoin. Aku Kepala Biara Ozoin. Namaku Nikkan.”

“Oh.”

“Aku teman lama In’ei, dan karena dia mempelajari seni tombak, kuputuskan untuk belajar bersamanya. Tapi belakangan aku punya pikiran lain. Sekarang tidak pernah lagi kusentuh senjata itu.”

“Jadi, Inshun yang jadi kepala biara ini murid Bapak.”

“Ya, dapat dianggap demikian. Tapi kaum pendeta tidak seharusnya menggunakan senjata, dan rasanya sayang bahwa Hozoin jadi terkenal justru karena seni bela dirinya, bukan karena semangat keagamaannya. Namun ada yang merasa sayang sekali kalau Gaya Hozoin itu lenyap. Karena itu aku mengajarkannya kepada Inshun. Tak ada orang lain lagi yang kuajari.”

“Kalau demikian, saya ingin tahu, apakah Bapak mengizinkan saya tinggal di kuil Bapak sampai Inshun kembali?”

“Apa kau berniat menantangnya?”

“Yah, selama saya berada di sini, ingin saya melihat bagaimana guru terkemuka itu memainkan tombak.”

Nikkan menggeleng mencela.

“Itu buang-buang waktu. Tak ada yang bisa dipelajari di sini.”

“Apa betul demikian?”

“Sudah kaulihat seni tombak Hozoin tadi, ketika menghadapi Agon. Apa lagi yang perlu disaksikan? Kalau ingin belajar lebih banyak, perhatikan aku. Pandang mataku.”

Nikkan menaikkan bahunya, memajukan sedikit kepalanya, dan menatap Musashi. Matanya seolah-olah melompat dari ceruknya. Sementara Musashi ganti memandangnya, biji mata Nikkan bersinar, mula-mula dengan nyala warna merah merjan, lalu berangsur-angsur berubah menjadi biru langit yang bening. Cahaya mata itu membakar dan menumpulkan pikiran Musashi. Ia melengos. Tawa Nikkan pun berderai-derai seperti derak papan sekering tulang.

Ia baru mengendurkan pandangannya ketika seorang pendeta muda masuk dan berbisik kepadanya. “Bawa sini,” perintahnya.

Segera pendeta muda itu kembali membawa baki dan wadah nasi dari kayu yang bulat bentuknya. Nikkan menyendok nasi dari wadah itu dan memasukkannya ke dalam mangkuk, lalu memberikannya kepada Musashi.

“Kusuguhkan nasi, teh, dan acar. Sudah biasa bagi Hozoin menyuguhkannya pada semua orang yang datang kemari untuk belajar, karena itu tak usah merasa telah merepotkan. Mereka membuat acarnya sendiri yang disebut acar Hozoin, yaitu mentimun yang diisi kemangi dan cabe merah. Kau akan merasakannya enak juga.”

Sementara Musashi mengambil sumpit, ia merasa mata Nikkan yang tajam itu terarah lagi kepadanya. Tapi kali ini tak dapat ia menyatakan apakah daya tembus mata itu berasal dari dalam diri si pendeta, ataukah jawaban atas sesuatu yang ia keluarkan sendiri. Baru ia menggigit acar itu, ada perasaan mencengkamnya bahwa tinju Takuan hendak menghantamnya lagi, atau barangkali tombak di dekat ambang pintu itu yang hendak melayang ke arahnya.

Ketika ia sudah menghabiskan semangkuk nasi dengan teh dan dua acar, Nikkan bertanya, “Mau lagi?”

“Tidak, terima kasih. Sudah cukup banyak.”

“Bagaimana rasa acarnya?”

“Enak sekali, terima kasih.”

Sesudah pergi pun sengatan cabe merah di lidah itulah yang terutama mengingatkan Musashi kepada rasa acar itu. Dan itu tidak merupakan satusatunya sengatan yang dirasakannya, karena ia meninggalkan tempat itu dengan keyakinan bahwa bagaimanapun ia sudah kalah. “Aku kalah,” demikian gerutunya ketika ia berjalan pelan-pelan melintasi rumpun kriptomeria. “Aku sudah diungguli!” Dalam cahaya remang-remang terlihat olehnya bayang-bayang sekejap melintasi jalannya. Bayang-bayang segerombolan kecil rusa yang ketakutan oleh langkah kakinya.

“Kalau bicara soal kekuatan fisik, aku menang, tapi aku tinggalkan tempat itu dengan perasaan kalah. Kenapa? Apa aku menang secara lahir, hanya untuk kalah secara batin?”

Tiba-tiba, karena ingat Jotaro, ia memutar langkah kembali menuju Hozoin, di mana lampu-lampu masih menyala. Ia menyebutkan namanya dan pendeta yang berjaga di pintu melongokkan kepala, dan katanya sambil lalu, “Ada apa? Ada yang lupa?”

“Ya. Besok atau lusa akan datang satu orang mencari saya kemari. Kalau dia datang, saya mohon disampaikan kepadanya bahwa saya tinggal di daerah Kolam Sarusawa. Dia harus menanyakan saya di rumah-rumah penginapan yang ada di sana.”

“Baik.”

Karena jawaban itu acuh tak acuh, Musashi merasa perlu menambahkan, “Yang datang itu anak lelaki. Namanya Jotaro. Dia masih kecil, karena itu tolong disampaikan pesan ini baik-baik kepadanya.”

Musashi kembali menempuh jalan yang tadi ditempuhnya sambil menggerutu, “Ini bukti aku kalah. Aku bahkan lupa meninggalkan pesan untuk Jotaro. Aku dikalahkan oleh kepala biara tua itu!” Kekesalan Musashi berlanjut terus. Walaupun ia sudah menang melawan Agon, namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya, yaitu kementahan yang dirasakannya di hadapan Nikkan. Bagaimana mungkin ia menjadi pemain pedang besar, yang terbesar dari semuanya? Itulah persoalan yang terus merundungnya siang dan malam. Pertemuan hari ini telah membuatnya betul-betul murung.

Selama sekitar dua puluh tahun terakhir ini, wilayah antara Kolam Sarusawa dan bagian hilir Sungai Sai telah dibangun dengan mantapnya. Di sana sekarang terdapat bangunan campur aduk, rumah-rumah penginapan, dan toko-toko baru. Baru-baru ini Okubo Nagayasu datang memerintah kota itu atas nama Keluarga Tokugawa dan mendirikan kantor-kantor pemerintahan di dekat sana. Di tengah kota berdiri bangunan milik seorang Cina yang kabarnya adalah turunan Lin Ho-ching. Usahanya berjualan bakpau maju pesat, dan waktu itu sedang berlangsung perluasan tokonya ke arah Kolam Sarusawa.

Musashi berhenti di tengah hutan lampu di daerah paling ramai. Ia bingung di mana mesti tinggal. Ada banyak rumah penginapan di sana, tapi ia harus hati-hati mengeluarkan uang. Lagi pula ia ingin memilih tempat yang tidak terlampau jauh dari jalan yang banyak ditempuh orang, agar Jotaro dapat menemukannya dengan mudah.

Ia baru saja makan di kuil, tapi ketika tercium olehnya bau bakpau itu, ia merasa lapar lagi. Ia masuk toko itu, duduk dan memesan satu piring penuh. Ketika pesanan datang, ia melihat bahwa nama Lin dicetakkan di bagian bawah kue. Berlainan dengan acar pedas di Hozoin, rasa kue itu dapat dinikmatinya dengan senang.

Gadis yang menuangkan tehnya bertanya sopan, “Di mana Tuan mau menginap malam ini?”

Karena tidak kenal daerah itu, Musashi segera memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menjelaskan keadaan dirinya dan sekalian minta nasihatnya. Gadis itu mengatakan bahwa salah seorang sanak pemilik toko itu mempunyai rumah pondokan. Di situ Musashi akan diterima dengan senang hati. Tanpa menantikan jawaban Musashi lagi, gadis itu sudah menderap pergi. Ia kembali lagi bersama seorang wanita yang masih agak muda. Alisnya yang dicukur menunjukkan bahwa ia sudah menikah; agaknya ia istri pemilik toko.

Rumah pondokan itu terdapat di lorong yang tenang, tidak jauh dari restoran. Agaknya itu tempat tinggal biasa yang kadang-kadang menerima tamu. Si nyonya tak beralis itu mengantar Musashi, mengetuk pintu pelanpelan, kemudian menoleh kepada Musashi, dan katanya pelan, “Ini rumah kakak perempuan saya, jadi tak usah susah-susah memberi tip atau apa pun.”

Pelayan keluar dari rumah, dan kedua orang itu saling berbisik beberapa waktu lamanya. Pelayan merasa puas dan mengantar Musashi ke lantai kedua.

Kamar dan perlengkapan kamar itu terlalu baik untuk sebuah rumah penginapan biasa, hingga Musashi merasa sedikit kurang enak. Ia heran, kenapa rumah sebaik itu menerima tumpangan. Maka ia bertanya kepada pelayan, tapi yang ditanya hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa. Sesudah makan, Musashi mandi dan pergi tidur, tapi persoalan itu masih terus terpikir olehnya, sampai ketika ia hampir tertidur.

Pagi berikutnya ia mengatakan kepada pelayan itu, “Akan ada orang datang mencari saya. Apa keberatan kalau saya menginap sehari-dua hari sampai dia datang?”

“Tentu saja tidak,” jawab pelayan tanpa bertanya lagi kepada nyonya rumah, yang segera datang sendiri berkunjung.

Nyonya rumah itu wanita berpakaian apik berumur sekitar tiga puluh tahun, berkulit indah, dan lembut. Ketika Musashi mencoba memuaskan rasa ingin tahunya dan bertanya kenapa nyonya itu menerima orang menginap, ia menjawab sambil tertawa, “Kalau mau terus terang, saya janda-suami saya dulu aktor No, namanya Kanze. Saya takut kalau tak ada lelaki di rumah ini. Maklum, banyak ronin yang kurang berpendidikan di sekitar sini.” Ia selanjutnya menjelaskan bahwa jalan-jalan penuh toko minuman dan pelacur. Banyak di antara samurai miskin tidak cukup puas dengan barang-barang hiburan itu. Mereka memeras keterangan dari pemudapemuda setempat dan menyerang rumah-rumah yang tak ada lelakinya. Operasi ini mereka namakan “kunjungan pada para janda.”

“Dengan kata lain,” kata Musashi, “Nyonya menerima orang seperti saya ini supaya saya dapat bertindak selaku pengawal, betul?”

“Yah,” kata nyonya itu tersenyum, “seperti saya katakan tadi, di rumah ini tak ada lelaki. Saya harap Tuan dapat merasa bebas tinggal di sini, selama Tuan suka.”

“Saya mengerti sepenuhnya. Saya harap Nyonya merasa aman, selama saya di sini. Hanya ada satu hal yang saya minta. Saya menantikan seorang tamu, karena itu apakah Nyonya dapat memasang tanda yang memuat nama saya di luar gerbang sana?”

Janda itu sama sekali tidak keberatan mengumumkan kepada orang banyak, bahwa ada lelaki di rumahnya, maka dengan patuhnya ia menuliskan nama “Miyamoto Musashi” pada secarik kertas yang kemudian ditempelkannya di tiang gerbang.

Jotaro tidak muncul hari itu, tapi hari berikutnya Musashi menerima kunjungan rombongan tiga samurai. Ketiganya memaksa masuk, walaupun diprotes oleh pelayan. Mereka langsung naik dan masuk ke kamar Musashi. Musashi segera tahu bahwa mereka sebagian dari orang-orang yang hadir di Hozoin ketika la membunuh Agon. Duduk di lantai mengitarinya, seolah-olah mereka telah mengenalnya sepanjang hidupnya, mereka mencurahkan kata-kata jilatan.

“Tak pernah saya melihat yang seperti itu dalam hidup saya,” kata yang seorang. “Saya yakin belum pernah hal semacam itu terjadi di Hozoin. Bayangkan saja! Seorang tamu tak dikenal datang, dan begitu saja dia langsung melumpuhkan salah satu dari Tujuh Pilar. Dan bukan orang biasa yang dilumpuhkannya, tapi Agon yang mengerikan itu sendiri. Sekali bentak saja dia sudah muntah darah. Jarang ada pemandangan seperti itu!”

Yang lain melanjutkan dengan nada yang sama. “Semua orang yang kami kenal bicara tentang itu. Semua ronin bertanya-tanya, siapa orang yang namanya Miyamoto Musashi ini. Hari itu hari buruk buat nama baik Hozoin.”

“Ya, Anda tentu pemain pedang terbesar di negeri ini!”

“Dan masih begitu muda lagi!”

“Tak sangsi lagi. Dan Anda akan menjadi lebih baik lagi nantinya.”

“Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin bertanya, kenapa dengan kecakapan Anda yang demikian Anda hanya jadi ronin? Suatu pemborosan bakat bahwa Anda tidak mengabdi kepada seorang daimyo!”

Mereka berhenti agak lama hanya waktu menghirup teh dan melahap kue dengan rakusnya, hingga remah-remahnya berceceran ke pangkuan mereka dan ke lantai.

“Masih. Orang yang cepat jalannya pun barangkali takkan sampai lebih jauh dari Kizu sebelum matahari terbenam. Anak perempuan seperti Anda mesti menginap di Taga atau Ide.”

Shoda pun segera menyambung. “Nona ini sudah beberapa bulan mencari seseorang. Tapi terpikir juga oleh saya, apa menurut Bapak cukup aman hari-hari ini, kalau seorang wanita muda mengadakan perjalanan sendiri ke Nara, sedangkan dia belum tahu akan menginap di mana?”

Mendengar pertanyaan itu, orang tua itu membelalakkan matanya. “Oh, bahkan bermaksud saja jangan!” katanya pasti. Sambil menoleh ke Otsu, ia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah, dlan katanya, “Lupakan keinginan itu sama sekali. Kalau Nona yakin ada teman untuk tinggal di sana, itu lain soal. Kalau tidak, Nara bisa jadi tempat yang sangat berbahaya.”

Pemilik warung menuangkan secangkir teh untuk diri sendiri, lalu bercerita kepada mereka mengenai apa yang diketahuinya tentang keadaan Nara. Rupanya kebanyakan orang mendapat kesan bahwa ibu kota lama itu tempat yang tenang, damai, di mana banyak kuil berwarna-warni dan rusarusa jinak-sebuah tempat yang tidak terganggu oleh perang atau kelaparan. Padahal kenyataannya kota itu tidak lagi seperti itu. Sesudah Pertempuran Sekigahara, tak tahulah orang, berapa banyak ronin dari pihak yang kalah telah datang bersembunyi di sana. Kebanyakan anggota partisan Osaka dari Tentara Barat dan Osaka, samurai-samurai yang kini tak punya penghasilan dan sedikit saja punya harapan akan memperoleh pekerjaan lain. Dengan semakin berkembangnya kekuasaan ke-shogun-an Tokugawa dari tahun ke tahun, disangsikan apakah para pelarian itu akan dapat lagi memperoleh penghidupan terang-terangan dengan pedangnya.

Menurut perkiraan kebanyakan orang, 120.000 atau 130.000 orang samurai kehilangan jabatannya. Sebagai pemenang, orang-orang Tokugawa menyita tanah-tanah milik yang seluruhnya menghasilkan 33 juta gantang padi tiap tahun. Walau jika dihitung juga tuan-tuan tanah feodal yang semenjak itu diizinkan menetap kembali dengan gaya yang lebih sederhana, maka setidak-tidaknya ada delapan puluh daimyo dengan penghasilan seluruhnya sekitar dua puluh juta gantang yang telah dicabut hak miliknya. Kalau dihitung untuk setiap lima ratus gantang padi ada tiga samurai yang telah dihentikan dari tempat kerjanya dan dipaksa bersembunyi di berbagai provinsi lain-terhitung keluarga dan pesuruhnya-maka jumlah mereka seluruhnya tidak akan kurang dari 100.000 orang.

Wilayah sekitar Nara dan Gunung Koya penuh kuil, karena itu sukar bagi angkatan bersenjata Tokugawa untuk mengadakan perondaan. Juga, karena merupakan tempat sembunyi yang ideal, para pelarian berbondongbondong bergerak ke sana.

“Misalnya,” kata orang tua itu, “Sanada Yukimura yang terkenal itu bersembunyi di Gunung Kudo, lalu Sengoku Soya kabarnya berada di luar Horyuji, dan Ban Dan’emon di Kofukuji. Banyak lagi yang dapat saya sebutkan.” Semua itu orang-orang yang punya nama, orang-orang yang akan dibunuh dengan seketika kalau mereka menunjukkan diri. Satu-satunya harapan mereka untuk masa depan adalah kalau perang pecah lagi.

Menurut pendapat orang tua itu, keadaan tidak begitu jelek kalau hanya para ronin terkenal itu yang menyembunyikan diri, karena mereka semua sedikit banyak punya prestise dan dapat hidup sendiri dengan keluarganya. Tetapi yang mempersulit keadaan adalah para samurai miskin yang berkeliaran di jalan-jalan belakang kota; keadaan mereka demikian sulit, hingga kalau bisa pedang pun akan mereka jual. Setengahnya lalu mulai berkelahi, berjudi, atau mengganggu ketenteraman, dengan harapan kerusakan yang mereka datangkan itu akan membuat angkatan bersenjata Osaka bangkit dan mengangkat senjata. Kota Nara yang dahulu tenang itu kini berubah menjadi sarang penjahat nekat. Untuk gadis manis seperti Otsu, pergi ke sana sama halnya dengan menuangkan minyak ke kimono dan menceburkan dirt ke dalam api. Tergerak oleh ceritanya sendiri, pemilik warung teh menutup ceritanya dengan minta amat sangat pada Otsu untuk mengubah maksudnya.

Otsu kini merasa ragu-ragu dan duduk diam sebentar. Kalau sekiranya ada sedikit saja petunjuk bahwa Musashi kemungkinan berada di Nara, tak akan ia berpikir panjang mengenai bahayanya. Tapi sayangnya la betul-betul tak punya alasan untuk terus. la sekadar berjalan ke arah Nara-tak ada bedanya dengan pengembaraannya ke berbagai tempat lain, semenjak Musashi meninggalkannya di Jembatan Himeji.

Melihat kebingungan pada wajahnya, Shoda berkata, “Tadi kaubilang namamu Otsu, bukan?”

“Ya.”

“Nah, Otsu, aku memang ragu-ragu mengatakan ini, tapi kenapa tidak kau batalkan saja maksudmu pergi ke Nara itu, dan sebagai gantinya kau pergi denganku ke tanah Koyagyu?” Karena merasa wajib memberikan keterangan lebih banyak tentang dirinya, dan meyakinkan Otsu bahwa maksudnya itu terhormat, ia melanjutkan, “Nama lengkapku Shoda Kizaemon, dan aku mengabdi kepada Keluarga Yagyu. Kebetulan tuanku yang sudah berumur delapan puluh tahun tidak lagi aktif. Dia menderita kebosanan luar biasa. Ketika kau berkata kau hidup dari main suling, terpikir olehku, akan senang sekali dia kalau kamu ada di dekatnya dan sekali-sekali main untuknya. Apa kau suka kerja begitu?”

Orang tua itu segera menimpali dengan pernyataan setuju. “Kamu lebih baik ikut dia,” desaknya. “Barangkali kamu tahu, yang dipertuan dari Koyagyu yang sudah tua itu adalah Yagyu Muneyoshi yang agung. Sesudah pensiun, ia memakai nama Sekishusai. Segera setelah ahli warisnya, Munenori, yaitu Yang Dipertuan dari Tajima, pulang dari Sekigahara, dia langsung dipanggil ke Edo dan ditunjuk menjadi instruktur dalam rumah tangga shogun. Tidak ada keluarga yang lebih besar di Jepang ini daripada Keluarga Yagyu. Diundang ke Koyagyu saja sudah merupakan kehormatan. Jangan sampai tidak diterima tawaran itu!”

Mendengar bahwa Kizaemon adalah pejabat dalam Keluarga Yagyu yang termasyhur itu, Otsu merasa beruntung, karena besar dugaannya, orang itu bukanlah samurai biasa. Namun ia merasa sukar menjawab tawaran itu.

Melihat Otsu masih juga diam, Kizaemon bertanya, “Tak suka kamu ke sana?”

“Bukan itu soalnya. Tak ada tawaran lain yang lebih baik dari itu. Cuma saya takut, nanti permainan saya tidak cukup baik untuk orang seperti Yagyu Muneyoshi.”

“Jangan panjang-panjang kamu memikirkan soal itu. Keluarga Yagyu itu lain sekali dengan daimyo lain. Khususnya Sekishusai, dia ahli upacara minum teh yang berselera sederhana, tenang. Dia akan lebih terganggu oleh sifat malu-malumu itu daripada bayanganmu bahwa kamu kurang terampil.”

Otsu sadar bahwa pergi ke Koyagyu lebih memberikan harapan, berapa pun kecilnya, daripada berkeliaran tanpa tujuan ke Nara. Sejak meninggalnya Yoshioka Kempo, Keluarga Yagyu dianggap banyak orang sebagai eksponen terbesar dalam seni perang di negeri ini. Dapat dipahami kalau para pemain pedang dari seluruh negeri akan datang ke pintu gerbangnya; di situ bahkan akan ada daftar tamu. Alangkah bahagianya kalau dalam daftar itu dapat ia temukan nama Miyamoto Musashi!

Terutama karena memikirkan kemungkinan itu, ia berkata riang, “Kalau menurut pendapat Tuan tak ada halangan apa-apa, saya mau ke sana.”

“Kamu mau? Bagus sekali! Terima kasih sekali…. Hmm, tapi aku ragu, apa seorang perempuan dapat jalan sejauh itu sebelum malam datang. Apa kamu bisa naik kuda?”

“Bisa.”

Kizaemon membungkuk ke bawah tepi atap dan mengangkat tangan ke arah jembatan. Tukang kuda yang menanti di sana datang berlari-lari membawa kuda; Kizaemon menyuruh Otsu naik ke atasnya, sedangkan ia sendiri berjalan di sampingnya.

Jotaro melihat mereka dari bukit di belakang warung teh, dan serunya, “Apa sudah mau berangkat?

“Ya, kami berangkat.”

“Tunggu saya!”

Mereka sudah setengah jalan menyeberang Jembatan Uji ketika Jotaro menyusul. Kizaemon bertanya kepadanya, apa yang dilakukannya tadi, dan Jotaro menjawab bahwa di sebuah semak di bukit itu terdapat banyak orang sedang main. la tidak tahu nama permainan itu, tapi kelihatannya menarik.

Tukang kuda tertawa. “Itu ronin-ronin jembel yang sedang berjudi. Mereka tak punya cukup uang untuk makan, karena itu mereka memikat musafir untuk main dengan mereka dan mengakali segala milik mereka. Memalukan!”

“Oh, jadi mereka itu berjudi untuk mata pencaharian?” tanya Kizaemon.

“Yang berjudi itu termasuk yang baik-baik,” jawab tukang kuda. “Banyak lagi lainnya yang menjadi tukang culik dan peras. Mereka begitu kasar, sampai tak ada orang yang dapat berbuat sesuatu untuk menghentikan mereka.”

“Kenapa Yang Dipertuan daerah ini tidak menangkap atau mengusir mereka?”

“Jumlah mereka terlalu banyak-jauh lebih banyak daripada yang dapat dihadapi. Kalau semua ronin dari Kawachi, Yamato, dan Kii bergabung jadi satu, mereka bisa lebih kuat daripada pasukan Yang Dipertuan sendiri.”

“Saya dengar Koga juga penuh dengan mereka itu.”

“Ya. Mereka datang dari Tsutsui. Mereka bertekad bertahan terus sampai perang berikutnya.”

“Bapak ini begitu terus bicaranya tentang ronin,” sela Jotaro, “tapi di antara mereka tentunya ada orang-orang yang baik.”

“Betul,” kata Kizaemon menyetujui.

“Guru saya seorang ronin!”

Kizaemon tertawa, dan katanya, “Maka itu kamu membela mereka. Cukup setia juga kamu…. Kaubilang akan pergi ke Hozoin tadi, ya? Apa di sana gurumu tinggal?”

“Saya tidak tahu betul, tapi dia bilang, kalau saya pergi ke sana, orang akan menunjukkan pada saya, di mana dia.”

“Apa gaya gurumu itu?”

“Saya tidak tahu.”

“Kamu muridnya, tapi kamu tak tahu gayanya?”

“Tuan,” sela tukang kuda, “ilmu pedang itu sekarang cuma iseng-iseng. Semua orang mempelajarinya. Kita dapat bertemu dengan lima atau sepuluh orang dari mereka yang berkeliaran di jalan ini setiap hari. Itu semua karena jauh lebih banyak ronin yang mengajar dibanding dahulu.”

“Itu cuma sebagian sebabnya.”

“Mereka tertarik, karena entah dari mana mereka itu mendengar, bahwa jika orang cakap bermain pedang, daimyo akan berlomba-lomba menyewanya dengan bayaran empat atau lima ribu gantang setahun.”

“Jalan pintas untuk menjadi kaya, ya?”

“Tepat. Mengerikan kalau kita memikirkannya. Coba, anak sekecil ini pun sudah pegang pedang kayu. Barangkali dia mengira bahwa dia hanya harus belajar memukul orang dengan pedang itu untuk menjadi manusia sejati. Kita melihat banyak orang macam itu, dan sedihnya, akhir-akhirnya kebanyakan mereka itu akan kelaparan.”

Kemarahan Jotaro sekilas bangkit. “Apa ini? Coba, kalau berani mengatakan begitu!”

“Coba dengar! Masih seperti kutu membawa cungkil gigi, tapi sudah membayang-kan dirinya prajurit besar.”

Kizaemon tertawa. “Hei, Jotaro, jangan marah, nanti kamu kehilangan tabung bambu lagi.”

“Tidak lagi! Tak usah menguatirkan saya!”

Mereka berjalan terus. Jotaro merajuk diam. Yang lain-lain memandang matahari yang pelan-pelan tenggelam. Akhirnya mereka sampai di pangkalan perahu tambangan di Sungai Kizu.

“Di sini kita berpisah. Nah, sebentar lagi gelap, jadi lebih baik kamu buru-buru. Dan jangan buang waktu di jalan.”

“Otsu?” kata Jotaro, yang mengira Otsu akan pergi bersamanya.

“O ya, aku lupa bilang tadi,” kata Otsu. “Aku sudah memutuskan pergi dengan Tuan ini ke puri di Koyagyu.” Jotaro tampak terenyak. “Jaga baik-baik dirimu,” kata Otsu tersenyum.

“Mestinya sudah sejak tadi aku tahu bakal sendiri lagi.” Ia memungut sebuah batu dan dilemparkannya batu itu bersilantar di permukaan air.

“Tapi kita akan bertemu lagi hari-hari ini. Rumahmu jalanan, sedangkan aku sendiri banyak jalan.”

Jotaro kelihatan tak ingin bergerak. “Tapi siapa yang Kakak cari itu?” canyanya. “Orang macam apa?”

Tanpa menjawab, Otsu melambaikan selamat berpisah.

Jotaro berlari sepanjang tepi sungai, lalu melompat ke tengah perahu tambangan kecil. Ketika perahu yang menjadi merah warnanya oleh matahari petang itu sudah setengah jalan menyeberangi sungai, ia menoleh ke belakang. Masih dapat ia mengenali kuda Otsu dan Kizaemon di jalan Kuil Kasagi. Mereka berada di lembah, di sisi bagian sungai yang tiba-tiba menyempit, dan sedikit demi sedikit ditelan oleh awal bayang-bayang gunung.

Hozoin

MURID seni bela diri umumnya mengenal Hozoin. Yang berani menganggap dirinya murid serius, tapi menganggap tempat itu sama saja seperti kuil-kuil yang lain, sudah cukup untuk dianggap penipu. Tempat itu juga terkenal di antara penduduk setempat, sekalipun aneh juga bahwa hanya sedikit orang yang kenal Gudang Shosoin yang justru lebih penting karena koleksi benda-benda seni kuno yang tak ternilai harganya.

Kuil itu terletak di Bukit Abura, di tengah hutan kriptomeria yang luas dan lebat. Pendeknya, itulah tempat tinggal jin-jin. Di sini pula terdapat sisa-sisa kebesaran zaman Nara-reruntuhan sebuah kuil, yaitu Kuil Ganrin’in, dan reruntuhan rumah mandi umum raksasa yang dibangun oleh Ratu Komyo untuk orang miskin. Tetapi sekarang yang tertinggal dari semua itu hanyalah serakan batu pondasi yang mengintip dari balik lumut dan rerumputan.

Musashi tidak mengalami kesulitan mencari arah Bukit Abura, tapi begitu sampai di sana ia berdiri memandang ke sekitar dengan kagumnya, karena di sana terdapat kuil-kuil lain yang bersarang di tengah hutan. Pohon-pohon kriptomeria telah menempuh musim dingin dengan selamat, dan kini bermandikan hujan awal musim semi. Warna daun-daunnya sedang gelap-gelapnya. Bersamaan dengan tibanya senja, di atas pepohonan itu tampak lekuk-lekuk feminin Gunung Kasuga. Gunung-gunung di kejauhan masih terang oleh sinar matahari.

Sekalipun di antara kuil-kuil itu tak ada yang mirip dengan yang dicarinya, Musashi mendatangi setiap gerbang untuk memeriksa papan namanya. Pikiran Musashi demikian penuh oleh Hozoin, hingga ketika ia melihat papan nama Kuil Ozoin, mula-mula ia salah baca, karena hanya huruf pertama, yaitu “0, yang berlainan. Walaupun kemudian ia segera menyadari kesalahannya, pergi juga ia ke dalam untuk melihat. Ozoin rupanya milik Sekte Nichiren. Sepanjang pengetahuannya, Hozoin adalah kuil Zen yang tak ada hubungan-nya dengan Nichiren.

Selagi ia berdiri di sana, seorang biarawan muda yang baru kembali ke Ozoin melewatinya dan menatapnya penuh curiga.

Musashi melepas topi, dan katanya, “Boleh saya bertanya?”

“Tentang apa?”

“Kuil ini namanya Ozoin?”

“Ya, seperti yang tertulis di papan itu.”

“Kata orang, Hozoin ada di Bukit Abura. Betul?”

“Di belakang kuil ini. Anda mau ke sana buat bertanding?”

“Ya.”

“Kalau begitu dengarkan nasihat saya: Lupakan saja.”

“Kenapa?”

“Berbahaya. Saya bisa mengerti kalau orang yang dilahirkan pincang pergi ke situ untuk diluruskan kakinya, tapi saya tak melihat alasannya kalau orang yang anggota badannya baik dan lurus mesti pergi ke sana untuk dikutungi.”

Biarawan itu tegap tubuhnya, agak lain daripada biarawan Nichiren biasa. Menurut biarawan itu, jumlah calon prajurit telah mencapai angka yang oleh Hozoin pun sudah dianggap mengganggu. Kuil itu tempat suci untuk cahaya Hukum Sang Budha, seperti ditunjukkan oleh namanya. Perhatian utamanya terletak pada agama. Seni bela diri hanya sampingan, demikianlah kira-kira.

Kakuzenbo In’ei, kepala biara yang dulu, sering kali mengunjungi Yagyu Muneyoshi. Karena hubungannya dengan Muneyoshi dan dengan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, teman Muneyoshi, kepala biara itu tertarik pada seni bela diri dan akhirnya mulai belajar ilmu pedang sebagai pelengah waktu. Lalu ia mengembangkan cara-cara baru dalam menggunakan lembing, dan sepengetahuan Musashi inilah yang menjadi cikal-bakal Gaya Hozoin yang sangat dihargai orang.

In’ei sekarang berumur delapan puluh empat tahun dan sudah sepenuhnya pikun. Ia hampir tidak pernah menjumpai siapa pun. Pada waktu menerima tamu pun ia sudah tidak dapat melakukan percakapan. Ia hanya duduk dan membuat gerakan-gerakan yang tak dapat dimengerti dengan mulutnya yang sudah ompong. Kelihatannya ia tidak dapat menangkap apa pun yang dikatakan orang kepadanya. Soal lembing sudah dilupakannya sama sekali.

“Jadi, begitulah,” simpul biarawan itu sesudah menjelaskan semuanya, “tak banyak faedahnya Anda pergi ke sana. Anda barangkali tak dapat bertemu dengan gurunya, dan kalaupun Anda bertemu dengannya, tak dapat Anda mempelajari sesuatu.” Sikap kasar orang itu menunjukkan bahwa ia ingin Musashi lekas pergi.

Walaupun sadar dianggap enteng oleh orang itu, Musashi mendesak terus. “Saya sudah mendengar tentang In’ei, dan saya tahu bahwa yang Anda katakan itu benar. Tapi saya mendengar juga bahwa seorang pendeta yang namanya Inshun telah mengambil alih kedudukannya dan menggantikannya. Orang bilang dia masih belajar, tapi dia sudah paham semua rahasia Gaya Hozoin. Menurut yang saya dengar, walaupun dia sudah punya banyak murid, tidak pernah dia menolak memberikan pelajaran pada siapa pun yang datang kepadanya.”

“Oh, Inshun,” kata biarawan itu dengan nada menghina. “Tak ada apa-apanya desas-desus itu. Inshun sebetulnya murid kepala biara Ozoin. Sesudah In’ei mulai memperlihatkan tanda-tanda ketuaan, kepala biara kami merasa sayang jika reputasi Hozoin tersia-sia begitu saja. Karena itu dia mengajarkan pada Inshun rahasia-rahasia permainan lembing yang pernah dia pelajari dari In’ei, dan kemudian dia atur pula agar Inshun menjadi kepala biara.”

“Oh, begitu,” kata Musashi.

“Tapi Anda masih juga ingin ke sana?”

“Yah, sudah sejauh ini saya pergi….”

“Tentu.”

“Tadi Anda bilang tempatnya di belakang ini. Lebih baik memutar ke kiri atau ke kanan?”

“Tak perlu memutar. Jauh lebih cepat jalan terus lewat kuil kami ini. Takkan salah lagi.”

Sesudah mengucapkan terima kasih kepadanya, Musashi berjalan melewati dapur kuil itu ke belakang pekarangan. Di situ terdapat gudang kayu, gudang empleng kacang, dan kebun sayur-sayuran yang luasnya sekitar satu ekar, mirip sekali dengan wilayah di sekitar rumah seorang petani kaya. Di sebelah kebun itu ia melihat Hozoin.

Selagi berjalan di tanah lunak di antara baris-baris lobak, rades, dan bawang, ia lihat di satu sisi seorang tua yang sedang mencangkuli sayursayuran. Sambil membungkuk mencangkul, ia memandang baik-baik lempengan cangkulnya. Yang kelihatan oleh Musashi pada orang itu hanyalah sepasang alisnya yang putih saiju. Kecuali dentang cangkul yang mengenai batu-batuan, keadaan betul-betul sepi.

Musashi menyimpulkan bahwa orang tua itu biarawan Ozoin. la hampir berbicara, tapi orang tua itu rupanya demikian tenggelam dalam pekerjaannya, hingga rasanya kurang sopan mengganggunya.

Namun ketika Musashi berlalu tanpa mengucapkan sesuatu, tiba-tiba sadarlah ia bahwa orang itu sedang menatap kakinya dari sudut matanya. Walaupun orang itu tidak bergerak ataupun berbicara, Musashi merasa diserang dengan kekuatan yang mengerikan-suatu kekuatan yang seperti kilat membelah awan. Ini bukan mimpi di siang bolong. Ia benar-benar merasakan kekuatan misterius itu menghunjam tubuhnya, dan ia meloncat ketakutan ke udara. Seluruh tubuhnya terasa panas, seolah-olah baru saja lolos dari pukulan pedang atau tombak yang mematikan.


Cerita Novel Musashi buku 2, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp//?cat=43
[lihat: Lanjutan cerita]


0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar