Sabtu, 10 Mei 2008

Miyamoto Musashi, Buku 3-2


Cerita Novel Musashi buku 3, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar] [lihat: Cerita Sebelumnya]


Ia menyampaikan pada Akemi apa yang telah terjadi. Namun ia gagal membangkitkan minat Akemi setitik pun.

“Kalian ini selalu saja mencari perkelahian!” kata Akemi dengan nada tidak sependapat.

“Bukannya kami suka berkelahi, tapi kalau kita biarkan dia lolos, dia dapat mendatangkan aib bagi perguruan yang menjadi pusat terbesar seni bela diri di negeri ini.”

“Dan bagaimana kalau benar begitu?”

“Kamu gila, ya?”

“Kalian orang-orang lelaki ini menghabiskan waktu dengan mengejar hal-hal paling tolol.”

“Hah?” Dan dengan mata menyipit ia memandang Akemi curiga. “Dan apa yang kamu lakukan di sini selama ini?”

“Aku?” Akemi menjatuhkan pandangan matanya ke pasir indah di sekitar kakinya, dan katanya, “Aku mencari kerang laut.”

“Buat apa mencarinya? Ada berjuta-juta kerang di seluruh tempat ini. Contoh yang tepat buatmu. Perempuan biasa menghamburkan waktu dengan cara-cara yang lebih gila daripada lelaki.”

“Tapi aku mencari jenis kerang yang sangat khusus. Namanya pelipur lara.”

“Oh? Dan apa betul ada kerang macam itu?”

“Ada! Tapi orang bilang kita hanya dapat menemukannya di sini, di pantai Sumiyoshi.”

“Aku berani bertaruh tak ada barang macam itu!”

“Ada! Kalau kamu tak percaya, ayo pergi denganku. Akan kutunjukkan nanti.”

Ditariknya pemuda yang enggan itu ke barisan pohon pinus, dan ia tunjuk sebuah batu berukiran sebuah sajak kuno.

Sekiranya kupunya waktu,

Akan kutemukan ia di pantai Sumiyosbi.

Orang bilang akan sampai ke sana

Kerang penyebabnya

Lupa akan cinta

Dengan bangga Akemi berkata, “Lihat! Bukti apa lagi yang kamu perlukan?”

“Ah, itu kan cuma dongeng, salah satu kebohongan tak berguna yang disampaikan dengan puisi.”

-Tapi di Sumiyoshi ada juga bunga yang bikin kita lupa, dan juga air.”

Nah, jika misalnya memang ada, keajaiban apa yang akan kaudapat?”

Mudah sekali. Kalau kita masukkan satu ke dalam obi atau lengan baju kita, kita dapat melupakan segalanya.”

Samurai itu tertawa. “Jadi, maksudmu kamu mau lebih lalai daripada sekarang

“Ya. Aku ingin melupakan semuanya. Ada beberapa hal yang tak dapat kulupakan, karena itu aku merasa tidak bahagia siang hari dan berbaring dengan mata melotot malam hari. Karena itulah aku mencarinya. Bagaimana kalau kamu tinggal saja di sini, membantu mencari?”

“Ah, ini bukan waktu untuk mainan anak-anak!” kata samurai itu mencela, kemudian tiba-tiba ia ingat akan kewajibannya, dan ia pun melesat sekencang-kencangnya.

Apabila sedang sedih, Akemi sering mengira bahwa persoalan yang dihadapinya akan terpecahkan jika saja ia dapat melupakan masa lalu dan menikmati masa kini. Pada waktu ini ia sedang merangkul lutut, dan merasa bimbang apakah akan berpegang teguh pada sejumlah kenangan yang didambakannya, ataukah pada keinginan untuk melontarkan kenangan itu ke laut. Jika sekiranya memang ada yang namanya kerang pelipur lara itu, demikian diputuskannya, bukan ia yang akan membawanya, melainkan akan diselipkannya ke dalam lengan baju Seijuro. Ia mengeluh, dan mem­bayangkan alangkah baiknya hidup ini, kalau saja Seijuro melupakan segala yang menyangkut dirinya.

Ingatan akan Seijuro itu saja membuat hatinya dingin. Ia cenderung yakin bahwa Seijuro ada di dunia ini semata-mata untuk meruntuhkan masa mudanya. Ketika Seijuro mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan cinta bercampur bujukan, ia menghibur diri dengan memikirkan Musashi. Tapi kenangan tentang Musashi yang sekali-sekali menjadi pelariannya sering juga menjadi sumber kesengsaraannya, karena kenangan itu mem­buatnya ingin lari dan meloloskan diri ke dunia impian. Ia ragu-ragu akan menyerahkan diri seluruhnya kepada khayal, karena tahu besar kemungkinan Musashi telah sama sekali melupakannya.

“Oh, alangkah baiknya kalau ada cara yang dapat kupakai untuk meng­hapus wajahnya itu dari pikiranku!” pikirnya.

Air Laut Pedalaman yang biru tiba-tiba tampak begitu memikat. Dan memandang laut itu, ia jadi ketakutan. Alangkah mudahnya berlari langsung masuk ke dalamnya, dan menghilang.

Ibu Akemi sama sekali tak mengira bahwa Akemi menyimpan pikiran­pikiran putus asa semacam itu, apalagi Seijuro. Semua orang di sekitarnya menganggap Akemi sangat bahagia, barangkali sedikit sembrono, tapi bagai­manapun masih kuncup yang belum berkembang, hingga belum dapat barangkali ia menerima cinta seorang lelaki.

Bagi Akemi, ibunya dan orang-orang lelaki yang datang ke warung teh itu sesuatu yang berada di luar dirinya. Pada waktu mereka hadir, ia tertawa berkelakar, menggemerincingkan giring-giringnya, dan mencibir bila perlu. Tapi bila sendirian, desah-desahnya muram dan gelap.

Pikiran-pikiran Akemi terganggu oleh datangnya seorang pembantu rumah penginapan. Melihat ia berada di dekat prasasti batu, pembantu datang berlari, dan katanya, “Oh, di mana Nona tadi? Tuan Muda memanggil-­manggil Nona, dan beliau kuatir sekali.”

Di rumah penginapan, Akemi menjumpai Seijuro sendirian meng­hangatkan kedua tangannya di bawah selimut merah yang menutup kotatsu. Kamar dalam keadaan tenang. Di halaman, angin lembut gemeresik lewat pohon-pohon pinus yang layu.

“Kau keluar dalam udara dingin begini?” tanya Seijuro.

“Apa maksudmu? Rasanya tidak dingin. Di pantai matahari terang.”

“Apa yang kaulakukan di sana?”

“Mencari kerang laut.”

“Kau ini macam anak kecil.”

“Aku memang anak kecil.”

“Berapa kaukira umurmu pada hari ulang tahun yang akan datang?”

“Tak ada artinya. Aku masih anak kecil. Apa salahnya?”

“Banyak salahnya. Kau mesti memikirkan rencana-rencana ibumu untuk­m u..

“Ibuku? Dia tidak memikirkan aku. Dia sendiri yakin, dia masih muda.”

“Coba duduk sini.”

“Aku tak mau. Nanti aku kepanasan. Ingat tidak, aku masih muda.”

“Akemi!” Seijuro menangkap pergelangan tangannya dan menariknya ke dirinya. “Tak ada orang lain di sini hari ini. Ibumu cukup bijaksana dengan kembali ke Kyoto.”

Akemi memandang mata Seijuro yang menyala, dan tubuhnya pun menegang. Secara tak sadar ia mundur, tapi Seijuro memegang pergelangan tangannya erat-erat.

“Kenapa mau lari?” tanya Seijuro menuduh.

“Aku tak mau lari.”

“Tak ada orang lain sekarang di sim. Ini kesempatan baik, bukan, Akemi?”

“Kesempatan apa?”

“Jangan keras kepala begitu! Sudah hampir setahun kita saling bertemu. Kau tahu perasaanku padamu. Oko sudah lama memberi izin. Dia bilang, kau tak mau menyerah karena caraku yang salah. Jadi, hari ini mari kita…”

“Berhenti! Lepaskan tanganku! Lepaskan, kataku!” Tiba-tiba Akemi membung-kuk dan merendahkan kepala dengan malunya.

“Jadi, biar bagaimana kamu tak mau?”

“Berhenti! Lepaskan!”

Sekalipun tangan Akemi sudah merah oleh cengkeramannya, Seijuro tetap tak mau melepaskannya. Tak mungkin gadis itu cukup kuat melawan teknik-teknik militer Delapan Perguruan Kyoto.

Hari ini Seijuro lain dari biasanya. Sering ia mencari kesenangan dan hiburan dengan sake, tapi hari ini ia tak minum apa pun. “Kenapa kauperlakukan aku seperti ini, Akemi? Kau mau menghina aku?”

“Tak mau aku bicara tentang itu! Kalau tidak kaulepaskan, aku menjerit!”

“Menjeritlah. Tak ada yang akan mendengarmu. Rumah besar terlalu jauh dari sini, dan lagi, aku sudah bilang pada mereka supaya kita jangan diganggu.”

“Aku mau pergi dari sini.”

“Takkan kubiarkan.”

“Tubuhku bukan milikmu!”

“Oh, jadi begitu perasaanmu? Lebih baik kautanyakan soal itu pada ibumu! Sudah cukup banyak aku membayar.”

“Oh, ibuku mungkin sudah menjualku, tapi aku belum menjual diriku! Lebih-lebih pada lelaki yang kupandang rendah, lebih dari maut sendiri!”

“Apa?” pekik Seijuro sambil melontarkan selimut merah ke atas kepala Akemi.

Akemi menjerit sekuat paru-parunya.

“Menjeritlah, anak anjing! Jeritkan semua yang kaumau! Tak seorang pun akan datang.”

Di atas shoji, sinar matahari pucat berbaur dengan bayangan resah pohon-pohon pinus, seakan-akan tak sesuatu pun terjadi. Di luar, segalanya tenang kecuali pukulan ombak di kejauhan dan cicit burung-burung.

Diam yang dalam mengiringi raungan Akemi yang teredam. Beberapa waktu kemudian, dengan wajah pucat seperti mayat, Seijuro muncul di lorong luar, tangan kanannya memegang tangan kiri yang baret-baret berdarah.

Tak lama sesudah itu pintu terbuka lagi dengan suara berdentam, dan Akemi muncul. Seijuro yang tangannya kini berbungkus handuk berseru kaget dan bergerak seakan hendak menghentikannya, tapi tidak cukup cepat. Gadis yang sudah setengah gila itu melarikan diri secepat kilat.

Wajah Seijuro mengerut gundah, tapi ia tidak mengejar Akemi, sementara Akemi menyeberang halaman dan masuk bagian lain rumah penginapan. Tak lama kemudian senyuman tipis jahat tersungging di bibirnya. Senyuman kepuasan yang amat sangat.

Berlalunya Seorang Pahlawan
Paman Gon!”

Apa?

Paman capek?”

Ya, sedikit.”

Kupikir begitu. Aku sendiri hampir mogok, tapi biara ini bagus sekali gedung-gedungnya, ya? Hei, apa ini bukan pohon jeruk yang disebut pohon rahasia Wakamiya Hachiman itu?”

Rupanya.”

Barangkali inilah barang pertama dari delapan puluh kapal upeti yang disampaikan Raja Silla kepada Maharani Jingu, ketika maharani itu me­naklukkan Korea.”

Lihat kandang kuda-kuda suci itu! Apa bukan binatang yang elok itu? Pasti dia dapat nomor satu dalam pacuan kuda tahunan di Kamo.”

“Maksudmu yang putih itu?”

Ya. Hmm, apa bunyi papan nama itu?”

“Katanya, air rebusan kacang yang dicampur makanan kuda kalau diminum bisa menghentikan teriakan dan kerotan gigi malam hari. Apa kau mau sedikit?”

Paman Gon tertawa. “Jangan berbuat tolol macam itu!” Dan sambil menoleh ia bertanya, “Apa yang terjadi dengan Matahachi?”

Rupanya ngeluyur.”

“Oh, itu dia, istirahat dekat panggung tarian suci.”

Wanita tua itu mengangkat tangan memanggil anaknya. “Kalau kita lewat jalan itu, kita dapat melihat Tori Agung yang asli, tapi mari kita pergi ke Lentera Tinggi.”

Matahachi mengikuti dari belakang dengan malasnya. Semenjak ibunya menangkapnya di Osaka, ia selalu bersama mereka-jalan, jalan, dan sekali lagi jalan. Kesabarannya mulai menipis. Lima atau sepuluh hari melihat-­lihat pemandangan mungkin bagus dan baik-baik saja, tapi ia takut me­mikirkan harus menyertai mereka membalas dendam. Sudah dicobanya meyakinkan mereka, bahwa berjalan bersama-sama seperti itu merupakan cara yang buruk. Lebih baik ia pergi mencari Musashi sendirian. Tapi ibunya tak hendak mendengarkan.

“Sebentar lagi Tahun baru,” ujarnya. “Dan Ibu ingin kau menyambutnya bersama Ibu. Sudah lama kita tidak bersama-sama merayakan Tahun Baru, dan ini barangkali kesempatan kita yang terakhir.”

Walaupun Matahachi tahu tak dapat menolak ibunya, ia telah membulatkan hati untuk meninggalkan mereka beberapa hari sesudah hari pertama Tahun Baru. Osugi dan Paman Gon barangkali kuatir takkan lama lagi hidup, karena itu mereka demikian tenggelam dalam agama, dan sedapat-dapatnya berhenti di setiap biara dan kuil dengan meninggalkan persembahan dan mengajukan permohonan panjang-panjang kepada para dewa dan Budha. Hampir seluruh hari ini mereka habiskan di Biara Sumiyoshi.

Matahachi sudah kalut oleh rasa bosan, ia berjalan menyeret kaki dan cemberut.

“Apa kamu tak bisa jalan lebih cepat?” tanya Osugi marah.

Langkah Matahachi tidak berubah. Ia jengkel sekali pada ibunya, sama seperti jengkel ibunya kepadanya, dan gerutunya, “Ibu ini terus saja menyuruhku cepat dan tunggu! Cepat dan tunggu, cepat dan tunggu!”

“Apa yang mesti Ibu lakukan pada anak lelaki macam kamu? Orang datang ke biara, sudah sewajarnya kalau dia berhenti dan berdoa kepada dewa-dewa. Belum pernah Ibu lihat kamu membungkuk kepada satu dewa atau Budha pun. Ingat-ingatlah kata-kata Ibu ini, kamu akan menyesal nanti. Kecuali itu, kalau kamu mau berdoa bersama kami, takkan lama kamu menunggu.”

“Menjengkelkan!” geram Matahachi.

“Siapa yang menjengkelkan?” teriak Osugi berang.

Dua-tiga hari pertama segalanya semanis madu antara mereka, tapi begitu Matahachi sudah terbiasa dengan ibunya lagi, mulailah ia tersinggung oleh segala yang dilakukan dan dikatakan ibunya. Ia memperolok-olok Osugi setiap kali ada kesempatan. Apabila malam tiba dan mereka kembali ke rumah penginapan, Osugi menyuruh Matahachi duduk di depannya dan kemudian mengkhotbahinya, yang membuat Matahachi jadi lebih murung lagi.

“Bukan main pasangan ini!” keluh Paman Gon sendiri, sambil mencari-­cari cara untuk meredakan kekesalan perempuan tua itu dan mengembalikan sedikit ketenangan pada wajah kemenakannya yang cemberut. Karena di­rasanya akan terdengar khotbah lagi, ia bergerak memintasinya. “Oh,” serunya riang. “Rasanya aku mencium bau enak! Orang menjual remis panggang di warung teh tepi pantai itu. Mari kita ke sana makan remis.”

Baik ibu maupun anak tidak memperlihatkan kegairahan, tapi Paman Gon berhasil membawa mereka ke warung tepi laut yang dipasangi kerai gelagah tipis itu. Sementara kedua orang itu duduk seenak-enaknya di bangku luar, Paman Gon masuk dan keluar lagi membawa sake.

Sambil menawarkan mangkuk pada Osugi, katanya ramah, “Ini akan membikin Matahachi riang sedikit. Barangkali kau sedikit terlalu keras kepadanya.”

Osugi memalingkan muka, tukasnya, “Aku tak ingin minum apa-apa.”

Terjerat oleh sarang labah-labahnya sendiri, Paman Gon menawarkan mangkuk pada Matahachi. Matahachi masih marah-marah, dan segera mengosongkan tiga guci sake secepat-cepatnya, karena tahu benar hal itu akan membuat ibunya pucat kelabu. Ketika ia meminta guci keempat kepada Paman Gon, Osugi sampai pada batas kesabarannya.

Sudah cukup kamu minum!” omelnya. “Ini bukan piknik, dan kita rancang kemari bukan untuk mabuk! Kamu juga jaga dirimu, Paman Gon! kamu lebih tua daripada Matahachi, mestinya tahu.”

Paman Gon menjadi malu, seolah-olah ia sendiri yang minum, dan mencoba menyembunyikan wajahnya dengan menggosokkan tangan ke wajah itu. “Ya, kau benar,” katanya menurut. Ia bangkit berdiri, lalu berjalan pergi beberapa langkah jauhnya.

Lalu semuanya terjadi dengan sangat seru. Matahachi sudah menyinggung sedalam-dalamnya cinta dan keprihatinan ibunya, rasa cinta yang dahsyat, walau rapuh. Osugi tak peduli lagi apakah harus menanti sampai mereka kembali ke rumah penginapan. Dimarahinya Matahachi dengan garang, tak peduli apakah orang lain mendengar atau tidak. Matahachi menatapnya dengan pandangan ingkar yang muram, sampai ibunya selesai.

Baik,” katanya. “Jadi, Ibu sudah menyimpulkan, aku orang dusun yang tak tahu terima kasih dan tak punya rasa hormat diri, kan? Betul?”

Betul! Apa yang sudah kamu lakukan sampai sekarang, yang me­nunjukkan kamu punya rasa bangga atau hormat diri?”

Ibu, aku bukan orang tak berharga seperti yang Ibu pikir, tapi Ibu takkan tahu soal itu.”

Oh, jadi Ibu tak bisa tahu? Coba dengar, Matahachi, tak seorang pun yang lebih mengenal anak daripada orangtuanya, dan kupikir hari ke­lahiranmu itulah hari buruk buat Keluarga Hon’iden!”

Lebih baik Ibu tunggu dan lihat! Aku masih muda. Suatu hari nanti, kalau Ibu sudah mati dan dikubur, Ibu akan menyesal sudah mengatakan itu.

Ha! Kuharap memang demikian, tapi aku sangsi apa akan bisa terjadi meski seratus tahun lagi. Sungguh menyedihkan, kalau dipikir-pikir.”

Kalau Ibu sedih sekali punya anak seperti aku, tak banyak lagi gunanya aku ada di sini. Aku pergi!” Mendidih karena marah, ia bangkit berdiri dan berjalan pergi dengan langkah-langkah panjang dan mantap.

Karena terkejut, perempuan tua itu mencoba memanggilnya kembali dengan suara bergetar memilukan. Tapi Matahachi tak menghiraukannya.

Paman Gon yang sebetulnya dapat berlari dan mencoba menghentikannya hanya berdiri memandang tajam ke laut, agaknya kepalanya disibukkan oleh pikiran-pikiran lain.

Osugi berdiri, kemudian duduk kembali. “Jangan mencoba menghenti­kannya,” katanya sia-sia kepada Paman Gon. “Tak ada gunanya.”

Paman Gon menoleh kepadanya, tapi bukan menjawab, melainkan me­ngatakan, “Gadis di sana itu aneh sekali gerak-geriknya. Tunggu di sini sebentar!” Belum habis kata-kata itu diucapkan, ia sudah melemparkan capingnya ke bawah tepi atap warung dan berlari secepat anak panah ke air.

“Goblok!!” teriak Osugi. “Ke mana kamu pergi? Matahachi…” Ia mengejar Paman Gon, tapi sekitar dua puluh meter dari warung itu kakinya terantuk gumpalan rumput laut dan ia jatuh tertelungkup. Sambil menggerutu marah ia bangun, wajah dan bahunya penuh dengan pasir. Ketika terlihat kembali Paman Gon, kedua matanya melotot seperti cermin.

“Hei, orang tua goblok! Ke mana kamu pergi? Sudah kehilangan akal, ya?” jeritnya. Ia begitu kalang kabut, hingga tampaknya ia sendiri sudah gila. Ia lari kencang-kencang mengikuti Paman Gon, namun terlambat. Paman Gon sudah masuk air sampai setinggi lutut, dan terus ke tengah.

Kelihatan la sudah hampir kesurupan, terselimut buih putih. Lebih jauh lagi di tengah laut kelihatan seorang gadis muda yang mati-matian berusaha masuk ke air dalam. Ketika Paman Gon pertama kali melihatnya, gadis itu masih berdiri dalam bayangan pohon-pohon pinus, memandang kosong ke laut, tapi kemudian tiba-tiba ia berlari menyeberang pasir dan masuk air, sementara rambutnya yang hitam berkibar di belakangnya. Air kini sudah sampai pinggangnya, dan dengan cepat ia mendekati titik terjal di dasar laut.

Sambil mendekatinya, Paman Gon berseru-seru kalut, tapi gadis itu terus dengan tekadnya. Tiba-tiba tubuhnya menghilang diiringi bunyi aneh, meninggal-kan pusaran di permukaan.

“Anak gila!” teriak Paman Gon. “Sudah nekat bunuh diri, ya?” Ia sendiri tenggelam ke bawah permukaan air, gelagapan.

Osugi berlari ke sana kemari di tepian. Ketika dilihatnya kedua orang itu tenggelam, jeritannya berubah menjadi seruan-seruan lantang minta tolong.

Sambil melambai-lambaikan tangan, berlari, dan jatuh-bangun ia me­merintahkan orang-orang di pantai untuk menolong, seakan-akan merekalah penyebab terjadinya kecelakaan. “Selamatkan mereka, goblok! Cepat, kalau tidak mereka tenggelam.”

Beberapa menit kemudian, beberapa nelayan membawa tubuh mereka dan meletakkannya di atas pasir.

“Bunuh diri karena cinta?” tanya seorang.

“Kau berkelakar?” kata yang lain tertawa.

Paman Gon berhasil mencekal obi gadis itu dan masih menggenggamnya, tapi baik ia maupun gadis itu sudah tidak bernapas lagi. Gadis itu menampilkan wajah aneh, karena sekalipun rambutnya kusut dan kacau, pupur dan lipstiknya tidak terhapus, dan ia tampak seakan masih hidup. Bahkan dengan giginya yang masih menggigit bibir bawah itu, mulutnya yang ungu seperti menampakan gerak tawa.

“Saya pernah melihat gadis ini,” seseorang berkata.

“Apa bukan dia yang cari kerang di pantai belum lama ini?”

“Ya, betul! Dia tinggal di penginapan sana itu.”

Dari arah rumah penginapan ada empat atau lima orang yang datang mendekat. Di antara mereka Seijuro yang dengan napas sesak menerobos kerumunan orang banyak itu.

“Akemi!” teriaknya. Wajahnya menjadi pucat, tapi ia berdiri saja.

“Apa bisa kita selamatkan dia?”

“Tidak bisa, kalau Tuan cuma berdiri melongo.”

Para nelayan melepaskan cekalan Paman Gon, meletakkan kedua tubuh itu berdampingan. Mereka mulai menampar-nampar punggung kedua orang itu dan menekan-nekan perutnya. Akemi cepat sekali kembali bernapas. Karena ingin sekali menghindari tatapan mata para penonton, Seijuro menyuruh orang-orang dari rumah penginapan membawa Akemi pulang.

“Paman Gon! Paman Gon!” panggil Osugi dengan mulut di telinga orang tua itu, berurai air mata. Akemi dapat kembali hidup karena ia masih muda, tapi Paman Gon… Ia tidak hanya tua, tapi ia pun telah minum sake cukup banyak sebelum menyelamatkan gadis itu. Napasnya terhenti untuk selamanya. Seberapa banyak pun usaha Osugi tak akan dapat membukakan matanya kembali.

Para nelayan menyerah, “Orang tua itu telah pergi.”

Osugi berhenti menangis cukup lama untuk berpaling kepada mereka, seakan-akan mereka musuh, bukan orang-orang yang telah membantu. “Apa maksud kalian? Kenapa dia mesti mati, sedangkan gadis muda itu dapat selamat?” Sikapnya menunjukkan seakan ia siap menyerang mereka secara fisik. Ditepiskannya orang-orang itu, dan katanya mantap, “Akan kuhidupkan dia kembali! Akan kutunjukkan pada kalian.”

Dan mulailah ia mencoba membangunkan Paman Gon dengan segala cara yang dapat dipergunakannya. Tekadnya itu menimbulkan air mata orang-orang yang menyaksikannya. Beberapa orang itu tinggal membantunya. Namun ia bukannya menghargai bantuan mereka, malahan memerintah mereka melakukan ini-itu seperti tenaga sewaan. Ia mengeluh bahwa mereka tidak menekan dengan cara yang benar, bahwa yang mereka lakukan takkkan ada hasilnya, ia memerintah mereka membuat api, dan ia menyuruh mereka pergi mencari obat. Apa pun yang ia lakukan, ia kerjakan dengan air muka semasam-masamnya.

Bagi orang-orang di pantai itu, ia bukan sanak ataupun teman, melainkan sekadar orang asing, karena itu akhirnya orang yang paling bersimpati kepadanya pun menjadi marah.

“Siapa sih perempuan tua jelek ini?” geram satu orang.

“Hm! Tak tahu bedanya orang pingsan dan orang mati. Kalau dia bisa menghidupkannya lagi, biar saja.”

Tak lama kemudian, tinggallah Osugi sendirian dengan mayat itu. Di tengah kegelapan yang mulai menyelimuti, kabut bangkit dari laut, dan yang tertinggal dari hari itu hanyalah barisan awan jingga di dekat kaki langit. Osugi membuat api dan duduk di dekatnya, memeluk tubuh Paman Gon erat-erat.

“Paman Gon. Oh, Paman Gon!” lolongnya.

Ombak laut menggelap. Ia mencoba dan mencoba lagi mengembalikan kehangatan tubuh yang telah mati itu. Pandangan wajahnya menunjukkan betapa ia berharap sebentar lagi Paman Gon membuka mulut dan bicara dengannya. Ia kunyah beberapa pil dari kotak obat dalam obi-nya dan ia pindahkan kunyahan itu ke mulut Paman Gon. Ia peluk Paman Gon dan ia guncang-guncangkan.

“Buka matamu, Paman Gon!” mohonnya. “Katakan sesuatu! Tak bisa kau pergi meninggalkan aku sendirian. Kita masih belum membunuh Musashi atau menghukum Otsu yang bejat itu.”

Di dalam rumah penginapan, Akemi terbaring dalam tidur yang resah. Ketika Seijuro mencoba membetulkan letak kepalanya yang demam itu di atas bantal, ia menggumam mengigau. Untuk sesaat Seijuro duduk di sampingnya, diam seribu bahasa, wajahnya lebih pucat daripada wajah Akemi. Ketika mengetahui penderitaan yang telah ditimpakannya kepada gadis itu, ia pun menderita.

Ia sendiri yang dengan nafsu binatangnya memangsa gadis itu dan memuaskan birahinya. Sekarang ia duduk murung dan kaku, prihatin dengan denyut nadi dan napas gadis itu, dan berdoa semoga hidup yang untuk beberapa waktu lamanya meninggalkan gadis itu bisa dipulihkan kembali. Dalam satu hari yang singkat saja ia sekaligus menjadi binatang dan manusia yang berperasaan belas kasihan. Tetapi bagi Seijuro yang cenderung kepada ekstremitas, tingkah lakunya itu tidak terasa tidak konsisten.

Matanya sedih dan sikap mulutnya rendah hati. Ia menatap Akemi dan berbisik, “Cobalah tenang, Akemi. Bukan cuma diriku seorang. Kebanyakan lelaki memang begitu…. Kau segera akan mengerti, walaupun kau tentunya dikejutkan oleh kekerasan cintaku.” Sukarlah ditentukan, apakah kata-kata ini benar-benar ditujukan kepada gadis itu ataukah dimaksudkan untuk menenang-kan dirinya sendiri. Tapi ia terus juga menyuarakan perasaan itu berulang-ulang.

Kegelapan dalam kamar itu pekat seperti tinta. Shoji yang tertutup kertas meredam bunyi angin dan ombak.

Akemi bergerak, kedua tangannya yang putih menyelinap keluar dari bawah selimut. Ketika Seijuro mencoba membetulkan letak selimut itu, Akemi meng-gumam, “Tanggal berapa ini?”

“Apa?”

“Berapa… berapa hari lagi… Tahun Baru?”

“Tinggal tujuh hari lagi. Kau pasti sembuh sebelum waktu itu, dan kita akan kembali ke Kyoto.” Direndahkannya wajahnya ke Akemi, tapi Akemi menolak-nya dengan telapak tangan.

“Berhenti! Pergi! Aku tak suka padamu.”

Seijuro menarik diri, tapi kata-kata setengah gila menyembur dari bibir Akemi.

“Orang tolol! Binatang!”

Seijuro tinggal diam.

“Kau binatang. Aku tak… aku tak ingin melihatmu.”

“Maafkan aku, Akemi, maafkan!”

“Pergi dari sini! Jangan bicara padaku.” Tangan Akemi melambai-lambai kacau dalam kegelapan. Seijuro menelan ludah dengan sedih, tapi terus juga me-mandanginya.

“Tanggal… tanggal berapa?”

Kali ini Seijuro tak menjawab.

“Apa ini belum Tahun Baru?… Antara Tahun Baru dan tanggal tujuh…. Tiap hari…. Dia bilang akan ada di jembatan…. Kabar dari Musashi…. Tiap hari…. Jembatan Jalan Gojo…. Tak lama lagi Tahun Baru…. Aku mesti kembali ke Kyoto…. Kalau aku pergi ke jembatan itu, dia akan ada di sana.”

“Musashi?” tanya Seijuro heran.

Gadis yang sedang mengigau itu terdiam.

“Apa Musashi ini … Miyamoto Musashi?”

Seijuro menatap wajah Akemi, tapi Akemi tidak mengatakan apa-apa lagi. Kelopak matanya yang biru menutup. Ia tidur lelap.

Daun-daun pinus kering mengetuk-ngetuk shoji. Seekor kuda meringkik. Cahaya muncul di seberang penyekat, dan suara seorang pelayan terdengar mengatakan, “Tuan Muda ada di sini.”

Buru-buru Seijuro masuk kamar sebelah, dengan hati-hati menutup pintu di belakangnya. “Siapa?” tanyanya. “Aku di sini.”

“Ueda Ryohei,” terdengar jawabannya. Ryohei masuk dan duduk, masih dalam pakaian perjalanan lengkap dan penuh debu.

Selagi mereka bertukar salam, Seijuro bertanya dalam hati, apa gerangan yang menyebabkan orang itu datang. Karena seperti halnya Toji, Ryohei salah seorang siswa senior yang diperlukan di rumah, maka Seijuro takkan membawanya dalam perjalanan mendadak.

“Kenapa datang kemari? Ada yang terjadi sepeninggalku?” tanya Seijuro.

“Ya, dan saya harus minta Anda segera kembali.”

“Ada apa?”

Ketika Ryohei memasukkan kedua tangannya ke dalam kimono dan meraba-raba, suara Akemi terdengar dari kamar sebelah. “Aku tak suka padamu!… Binatang!… Pergi!” Kata-kata yang diucapkan dengan jelas itu penuh nada takut. Siapa pun akan mengira ia sedang terjaga dan dalam bahaya besar.

Dengan terkejut Ryohei bertanya, “Siapa itu?”

“Oh, itu? Akemi jatuh sakit ketika pulang. Dia demam, sekali-sekali dia sedikit mengigau.”

“Itu Akemi?”

“Ya, tapi tak apalah. Aku ingin mendengar kenapa kau datang.”

Dari kantong perut di bawah kimononya akhirnya Ryohei mengeluarkan sepucuk surat dan menyerahkannya kepada Seijuro. “Ini,” katanya tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, kemudian mendekatkan lampu yang telah ditinggalkan oleh pelayan itu ke sisi Seijuro. “Hmm. Dari Miyamoto Musashi.”

“Ya!” kata Ryohei tegas.

“Kau sudah membukanya?”

“Ya. Saya sudah membicarakannya dengan yang lain-lain, dan kami memutus-kan bahwa kemungkinan surat ini penting, karena itu kami membuka dan mem-bacanya.”

Seijuro bukannya membaca sendiri isi surat itu, melainkan bertanya sedikit ragu, “Apa katanya?” Walau tak seorang pun berani menyebutkan persoalan kepadanya, namun di balik pikiran Seijuro sudah lama bersarang wujud Musashi. Walau demikian, ia sudah hampir meyakinkan dirinya bahwa ia tak akan bertemu lagi dengan orang itu. Surat yang tiba-tiba datang, tepat sesudah Akemi menyebut nama Musashi itu, membuat tulang punggung Seijuro panas dingin.

Ryohei menggigit bibir, marah. “Akhirnya datang juga dia. Ketika dia pergi dengan omongan besar musim semi lalu, saya yakin dia takkan menjejakkan kaki lagi di Kyoto, tapi… coba Tuan bayangkan ke­sombongannya! Teruslah baca surat itu! Isinya tantangan, dan dia punya nyali pula menunjukkan tantangan pada seluruh Keluarga Yoshioka, dan menandatanganinya hanya dengan namanya sendiri. Dia pikir dia dapat menghadapi kita semua sendirian!”

Musashi tidak menuliskan alamat untuk balasan surat, dan dalam surat pun tak ada isyarat tentang tempat ia berada. Tapi ia tidak melupakan janji yang telah ia tulis kepada Seijuro dan murid-muridnya, dan dengan surat kedua ini dadu telah dilemparkan. Ia mengumumkan perang pada Keluarga Yoshioka. Pertempuran akan terjadi, dan ini akan merupakan pertempuran habis-habisan-pertempuran di mana para samurai akan bertarung sampai mati untuk menjaga kehormatan dan memurnikan keterampilan mereka dengan pedang. Musashi mempertaruhkan hidupnya dan menantang Perguruan Yoshioka untuk melakukan hal yang sama. Apabila tiba waktunya, kata-kata dan keterampilan teknik yang mahir pun akan sedikit saja artinya.

Sumber bahaya terbesar adalah bahwa Seijuro masih belum memahami kenyataan ini. Ia tidak melihat bahwa hari perhitungan sudah tiba, dan bahwa sekarang bukanlah saat untuk membuang-buang waktu dengan kesenangan-kesenangan kosong.

Ketika surat itu tiba di Kyoto, di antara murid yang lebih teguh ada perasaan muak terhadap cara hidup Tuan Muda yang tidak berdisiplin itu. Mereka menggerutu marah karena ia tidak hadir justru pada saat yang demikian menentukan. Mereka gusar oleh penghinaan yang dilontarkan oleh ronin tunggal ini, dan menyesal bahwa Kempo tidak lagi hidup. Sesudah banyak membincang-kannya, mereka sepakat untuk menyampaikan keadaan itu kepada Seijuro dan memutuskan bahwa Seijuro mesti segera kembali ke Kyoto. Namun ketika surat sudah disampaikan sekarang, ternyata Seijuro hanya meletakkannya di pangkuan dan tak bergerak membukanya.

Dengan perasaan jengkel yang tampak jelas, Ryohei bertanya, “Apa Anda tak merasa perlu membacanya?”

“Apa? Oh, ini?” tanya Seijuro kosong. Ia membuka gulungan surat itu dan membacanya. Jari-jarinya mulai menggeletar tak terkendalikan lagi, suatu tanda ketidakmantapan yang disebabkan bukan oleh bahasa dan nada keras tantangan Musashi, melainkan oleh perasaan lemah dan perasaan rendah pada dirinya sendiri. Kata-kata penolakan kasar Akemi menghancur­kan harga dirinya sebagai samurai. Belum pernah ia merasa demikian tanpa daya. Surat Musashi sederhana dan langsung,

Apakah Anda dalam keadaan baik semenjak terakhir kali saya menyurati Anda. Sesuai dengan janji saya terdahulu, kini saya menulis untuk menanyakan di mana, pada hari apa, dan pada jam berapa kita akan bertemu. Saya tak punya pilihan khusus, dan saya bersedia melaksanakan pertandingan yang telah kita janjikan pada waktu dan tempat yang Anda tentukan. Saya mohon Anda memancangkan jawaban Anda di jembatan Jalan Gojo, sebelum hari ketujuh Tahun Baru.

Saya percaya Anda telah menggosok ilmu pedang Anda sebagaimana biasa. Saya sendiri merasa bahwa sampai batas-batas tertentu telah mencapai perbaikan.

Shimmen Miyamota Musashi.

Seijuro menjejalkan surat itu ke dalam kimononya, dan berdirl.

“Aku akan kembali ke Kyoto sekarang,” katanya.

Kata-kata ini diucapkannya lebih karena perasaan sudah demikian kalut, hingga ia tidak dapat lagi tinggal di tempat itu lebih lama; jadi, bukan karena ketabahan. Ia harus pergi dan segera mungkin melupakan seluruh hari mengerikan itu.

Disertai suasana hiruk-pikuk, pemilik rumah penginapan dipanggil dan diminta mengurus Akemi, suatu tugas yang diterimanya dengan perasaan enggan, sekalipun menerima uang Seijuro.

“Akan kupakai kudamu,” kata Seijuro pada Ryohei. Dan seperti seorang bandit yang sedang melarikan diri, ia melompat ke pelana dan melarikan kuda itu kencang-kencang melintasi baris-baris pohon gelap, meninggalkan Ryohei yang mengikutinya dengan berlari setengah mati.

Galah Pengering

“PEMUDA yang membawa monyet? Ya, dia memang kemari belum lama ini.

“Apa Anda lihat, ke mana perginya?”

“Ke sana, ke arah Jembatan Nojin. Tapi dia tidak menyeberangi jembat­an-sepertinya dia masuk bengkel pandai pedang.”

Setelah berunding sebentar, murid-murid Yoshioka berangkat beramai­-ramai, membuat orang yang memberikan keterangan itu menganga heran menyaksikan segala keributan tersebut.

Walaupun waktu itu sudah lewat saat tutup bagi toko-toko sepanjang Parit Timur, toko pedang masih buka. Seorang dari orang-orang itu masuk, mengadakan pembicaraan dengan magang toko, kemudian keluar sambil berseru, “Temma! Dia menuju Temma!” Dan ke sanalah mereka berduyun­duyun.

Magang mengatakan bahwa ketika ia baru akan menutup daun jendela menjelang malam, seorang samurai berjambul panjang menurunkan monyet di dekat pintu depan, duduk di bangku dan minta bertemu dengan pandai pedang. Ketika kepadanya disampaikan bahwa pandai pedang sedang pergi, samurai itu mengatakan ingin menajamkan pedangnya, tapi pedang itu terlampau berharga untuk dipercayakan kepada orang lain di luar ahli pedang sendiri. Ia lalu mendesak minta melihat contoh-contoh karya pedang.

Magang dengan sopan memperlihatkan kepadanya beberapa bilah pedang, tapi sesudah mengamati, yang diperlihatkan samurai itu tak lebih dari sikap muak. “Rupanya Anda sekalian di sini cuma mengerjakan senjata-senjata biasa,” katanya kering. “Saya tidak yakin apakah akan menyerahkan pedang saya pada Anda. Pedang saya terlampau bagus, karya seorang pandai pedang Bizen. Namanya Galah Pengering. Lihat? Sempurna sekali.” Ia mengangkat pedangnya, dan jelas dengan perasaan bangga.

Tertarik akan bualan orang muda itu, si magang bergumam mengatakan bahwa satu-satunya ciri menonjol pedang itu adalah bentuknya yang panjang dan lurus. Samurai itu jelas sekali tersinggung karenanya, dan mendadak berdiri dan minta keterangan tentang bagaimana pergi ke pangkalan kapal tambangan Temma Kyoto.

“Akan saya rawatkan pedang saya di Kyoto,” tukasnya. “Semua pandai pedang Osaka yang sudah saya kunjungi rupanya hanya mengurusi barang rombengan prajurit biasa. Maaf, telah mengganggu.”

Ia berangkat dengan pandangan dingin.

Cerita magang itu semakin membikin berang mereka. Itu bukti baru mengenai apa yang mereka anggap kecongkakan luar biasa orang muda itu. Jelas bagi mereka, pengalaman memotong gelungan Gion Toji membikin si pembual itu lebih congkak daripada sebelumnya.

“Itu pasti orang yang kita cari!”

“Jadi, sudah kita temukan sekarang. Tertangkap dia sekarang.”

Orang-orang itu melanjutkan pengejaran tanpa satu kali pun berhenti untuk beristirahat, sekalipun matahari mulai terbenam. Mendekati dermaga Temma, seorang dari mereka berseru, “Ketinggalan kita!” Yang dimaksud adalah kapal terakhir hari itu.

“Tidak mungkin.”

“Kenapa kaupikir kita sudah ketinggalan?” tanya yang lain.

“Tidak lihat, ya? Di sana itu,” kata orang yang pertama tadi, menuding dermaga. “Warung-warung teh sudah menumpuk bangkunya. Kapal tentunya sudah berangkat.”

Untuk sesaat mereka semua berdiri terpaku, kehilangan semangat. Ke­mudian, ketika mereka bertanya lagi pada orang lain, ternyata samurai itu memang sudah naik kapal terakhir. Mereka juga mendapat keterangan, kapal itu baru saja berangkat dan untuk beberapa lama tidak akan berhenti di perhentian berikut, Toyosaki. Kapal-kapal yang berjalan mudik ke Kyoto umumnya pelan. Maka mereka punya waktu banyak untuk menyusul kapal tambangan itu di Toyosaki, walaupun tanpa bergegas.

Tahu akan hal ini, mereka memanfaatkan waktu dengan minum teh, makan kue betas, dan sedikit gula-gula murahan, sebelum berangkat dengan langkah cepat menempuh jalan sepanjang tepi sungai. Di hadapan sana, sungai tampak bagai seekor ular perak yang melenggok-lenggok ke kejauhan. Sungai Nakatsu dan Temma bergabung menjadi satu membentuk Sungai Yodo, di dekat percabangan ini cahaya berkelap-kelip di tengah sungai.

“Itu kapalnya!” seru seseorang.

Ketujuh orang itu bangkit semangatnya, dan segera mereka lupa akan udara dingin yang menembus kulit. Di ladang-ladang telanjang di tepi jalan, rumput merang kering yang tertutup embun beku berkilauan seperti pedang-pedang baja ramping. Angin seolah bermuatan es.

Ketika jarak antara mereka dan cahaya mengapung itu memendek, mereka dapat melihat kapal itu dengan sangat jelas. Tanpa pikir lagi, seorang dari mereka berteriak, “Hei, yang di sana itu! Kurangi kecepatan!”

Kenapa?” terdengar balasan dari geladak.

Jengkel karena perhatian orang jadi tertuju pada mereka, teman-temannya mengumpat orang yang besar mulut itu. Namun kapal berhenti juga di perhentian berikut. Sungguh suatu kebodohan besar, lebih dulu memberikan peringatan. Karena sudah telanjur, semua sependapat bahwa langkah terbaik adalah menuntut penumpang itu seketika itu juga.

Dia hanya sendirian. Jika kita tidak menantangnya sekarang juga, dia bisa curiga, melompat ke air, dan menyelamatkan diri.”

Sambil berjalan mengikuti jalan kapal, sekali lagi mereka berseru pada orang-orang yang ada di atas kapal. Sebuah suara berwibawa, yang tak sangsi lagi suara Kapten, meminta keterangan apa yang mereka kehendaki.

“Rapatkan kapal ke tepi!”

“Apa? Apa kalian gila?” terdengar jawabannya, disertai tawa parau.

“Pinggirkan di sini!”

“Mustahil”

“Kalau begitu, kami tunggu Anda di perhentian berikut. Kami urusan dengan orang muda yang ada di kapal Anda. Pakai jambul bawa monyet. Katakan padanya, kalau dia punya hormat, dia mesti me­nampakkan diri. Dan kalau Anda membiarkan dia pergi, akan kami seret kalian semua ke darat.”

“Kapten, jangan jawab mereka!” mohon seorang penumpang.

“Apa pun yang mereka katakan, abaikan saja,” yang lain menasihati. “Mari jalan terus ke Moriguchi. Di sana ada pengawal.”

Kebanyakan penumpang berkumpul-kumpul ketakutan dan berbicara dengan suara ditekan. Orang yang berbicara dengan bebasnya kepada para samurai di pantai beberapa waktu lalu kini berdiri diam. Baginya dan bagi orang-orang lain, keselamatan mereka tergantung pada jarak antara kapal dan tepi sungai.

Ketujuh orang itu tetap berada dekat kapal dengan lengan baju dising­singkan dan tangan dilekatkan ke pedang. Sekali mereka berhenti mendengar­kan, agaknya mengharapkan jawaban atas tantangan mereka, tapi mereka tak men-dengar sesuatu.

“Apa Anda tuli?” teriak seorang dari mereka. “Kami minta Anda menyampaikan kepada pembual muda itu supaya datang ke susuran.”

“Maksud Anda, saya?” teriak sebuah suara dari kapal.

“Itu dia di sana, kurang ajar seperti biasanya!”

Orang-orang itu menudingkan jari dan memandang ke kapal, sedangkan celoteh pelan para penumpang semakin hiruk-pikuk. Mereka itu setiap saat dapat melompat ke geladak.

Orang muda berpedang panjang itu berdiri tegap di lambung kapal, giginya berkilauan seperti mutiara putih oleh pantulan sinar bulan. “Di kapal tak ada orang lain yang bawa monyet, jadi saya kira sayalah yang Anda cari. Siapa kalian, bromocorah malang? Gerombolan aktor lapar?”

Ketika adu teriak semakin menghebat, kapal mendekati tanggul Kema yang memiliki tiang-tiang tambatan dan juga gudang. Ketujuh orang itu berlari maju untuk mengepung tempat mendarat, tapi belum lagi mereka sampai di sana, kapal sudah berhenti di tengah sungai dan mulai berputar beberapa kali.

Wajah orang-orang Yoshioka jadi pucat kelabu. “Apa yang kaulakukan?”

“Kalian tak bisa tinggal di situ selamanya!”

“Sini kamu, atau kami akan datang ke situ.”

Ancaman-ancaman terus berlangsung, sampai akhirnya haluan kapal mulai bergerak ke tepi. Sebuah suara meraung di udara dingin, “Tutup mulut, orang-orang goblok! Kami akan mendarat! Lebih baik siapkan diri kalian untuk mempertahankan diri.”

Walaupun dicegah oleh penumpang-penumpang lain, orang muda itu tetap merebut galah orang kapal dan mendaratkan kapal tambangan itu. Ketujuh samurai segera berkerumun sekitar tempat yang akan disentuh haluan kapal, sementara tubuh yang menggerakkan kapal dengan galah itu semakin dekat dengan mereka. Tiba-tiba kecepatan kapal meningkat, dan orang muda itu menyerang mereka sebelum mereka mengetahuinya. Lunas kapal mencakar dasar sungai dan mereka undur serentak. Pada waktu itulah sebuah benda hitam bulat melayang melintasi gelagah dan menempelkan diri ke leher seorang di antara mereka. Sebelum mereka menyadari bahwa benda itu hanya seekor monyet, secara naluriah mereka semua mencabut pedang dan membabatkan ke udara kosong di sekitar mereka. Untuk menyembunyikan rasa malu, mereka saling meneriakkan perintah mendesak.

Dengan harapan akan terhindar dari keributan, para penumpang meng­gerombol di sebuah sudut kapal. Aniaya yang diderita ketujuh orang di tepi sungai itu membesarkan hati mereka, sekalipun agak menimbulkan tanda tanya, tapi tak seorang pun berani bicara. Kemudian secara serentak semua kepala menoleh diiringi suara menggagap. Orang muda itu menancapkan galahnya ke dalam sungai dan melompat melintasi rumput mendoang, gerakannya lebih ringan daripada monyet tadi.

Kejadian ini lebih mengacaukan lagi. Tanpa sempat menyusun diri kembali, orang-orang Yoshioka segera menyerang musuh mereka dalam satu barisan. Serangan demikian justru memberikan kedudukan menguntungkan bagi si orang muda untuk bertahan.

Orang pertama sudah maju terlampau jauh untuk dapat mundur kembali, dan barulah ia menyadari kebodohan langkahnya. Pada saat itu segala keterampilan perang yang pernah dipelajarinya tak ada gunanya. Yang dapat diperbuatnya hanyalah memeringiskan gigi dan secara ngawur mengayun-­ayunkan pedang di depan dirinya.

Sadar akan keuntungan psikologis yang dimilikinya, sosok pemuda tampan itu seakan tampak makin besar. Tangan kanannya di belakang mernegang gagang pedang, dan sikunya mencongak di atas bahunya.

°Oh, jadi kalian dari Perguruan Yoshioka? Bagus. Saya memang merasa seperti sudah kenal kalian. Seorang dari kalian sudah berkenan mengizinkan saya memotong gelungannya. Rupanya itu tak cukup buat kalian. Apa kalian semua datang buat potong rambut? Kalau memang begitu, saya yakin dapat membantu kalian. Kebetulan sebentar lagi saya mesti menajam­kan pedang ini, jadi sebaik-nya saya manfaatkan kesempatan ini.”

Ketika kata-kata itu berakhir, Galah Pengering pun membelah udara, dan kemudian membelah tubuh pemain pedang terdekat yang merunduk.

Melihat kawannya terbantai demikian mudah, lumpuhlah otak mereka. Satu demi satu mereka mundur saling tunjang, seperti bola-bola yang saling ber-tumbukan. Dan mengambil keuntungan dari kedudukan mereka yang porak-poranda itu, si penyerang pun mengayunkan pedang ke samping, ke arah orang berikutnya, dan menjatuhkan pukulan demikian mantap hingga orang itu terjungkal ke rumput mendoang diiringi suara jeritan.

Orang muda itu membelalakkan mata kepada lima orang sisanya, yang sementara itu menyusun diri di sekitarnya bagai daun bunga. Mereka saling meyakinkan bahwa taktik mereka kali itu cukup aman, dan keyakinan mereka pulih, sampai-sampai berani mengejek orang muda itu lagi. Namun kali ini kata-kata mereka gemetar dan palsu.

Akhirnya, disertai teriakan keras, seorang dari mereka meloncat ke depan dan mengayunkan pedangnya. Ia yakin telah melakukan penebasan. Padahal ujung pedangnya masih dua kaki penuh jaraknya dari sasaran, dan kemudian mengakhiri gerak lengkungnya di sebuah batu karang dengan suara ber­dentang. Orang itu jatuh ke depan. Tubuhnya terbuka lebar untuk serangan.

Orang muda itu bukannya membantai mangsa yang demikian mudahnya. Ia melompat ke samping dan mengayunkan pedang ke arah orang berikut. Jeritan perang masih mendering di udara, tapi ketiga orang lain sudah angkat kaki seribu.

Dengan wajah kejam, orang muda itu berdiri memegang pedang dengan kedua tangannya. “Pengecut!” pekiknya. “Kembali ke sini dan ayo berkelahi! Apa ini Gaya Yoshioka yang kalian banggakan itu? Menantang seseorang, lalu melarikan diri? Tidak heran, Perguruan Yoshioka menjadi bahan tertawa­an.”

Bagi samurai mana pun yang punya harga diri, penghinaan seperti itu lebih buruk daripada diludahi, tetapi bekas-bekas pengejar orang muda itu sudah terlampau sibuk berlari dan tidak memperhatikannya.

Justru pada waktu itu dari sekitar tanggul terdengar dering giring-giring kuda. Sungai dan embun beku di ladang memantulkan cukup banyak cahaya bagi pemuda itu untuk melihat sosok tubuh di punggung kuda dan sosok tubuh lain berlari-lari di belakangnya. Sekalipun napas beku mengepul­ngepul dari lubang hidungnya, mereka kelihatan tidak memperhatikan dinginnya udara dan terus melaju ke depan. Ketiga samurai yang melarikan diri hampir saja bertumbukan dengan kuda, ketika penunggang kuda itu mendadak sontak mengekang kudanya.

Kenal akan ketiga orang itu, Seijuro memberengut berang. “Apa yang kalian lakukan di sini?” salaknya. “Ke mana kalian lari?”

“Oh… oh, Tuan Muda!” seorang dari mereka menggagap.

Ueda Ryohei yang muncul dari balik kuda itu menyerang mereka. “Apa artinya ini? Kalian mestinya mengawal Tuan Muda, gerombolan tolol! Rupanya kalian terlalu sibuk ribut sesudah minum lagi, ya?”

Ketiga orang itu dengan marah memuntahkan cerita tentang bagaimana mereka mempertahankan kehormatan Perguruan Yoshioka dan gurunya, dan betapa mereka mengalami kegagalan berhadapan dengan samurai muda yang seperti setan itu. Jadi, mereka bukannya berkelahi karena mabuk.

“Lihat itu!” teriak seorang dari mereka. “Dia datang kemari.”

Mata-mata yang ketakutan memperhatikan musuh yang mendekat.

“Diam kalian!” perintah Ryohei dengan suara muak. “Terlalu banyak kalian bicara. Bagus sekali kalian melindungi kehormatan perguruan. Tak bakal kita bisa menebus dengan perbuatan macam itu. Minggir semua! Aku yang akan menghadapinya sendiri.” Ia mengambil jurus menantang, dan menanti.

Pemuda itu menuju ke arah mereka. “Berhenti kalian, dan ayo berkelahi!” teriaknya. “Apa lari itu seni bela diri Yoshioka? Secara pribadi tak ingin saya membunuh kalian, tapi Galah Pengering saya masih haus. Karena kalian pengecut, paling sedikit yang dapat kalian lakukan adalah meninggalkan kepala kalian.” Ia lari menyusur tanggul dengan langkah-langkah besar dan yakin, dan kelihatan akan melompati kepala Ryohei yang waktu itu sudah meludah ke tangan dan menggenggam kembali pedangnya penuh kemantapan.

Pada saat itulah pemuda itu terbang, sedangkan Ryohei mengeluarkan teriakan yang memekakkan telinga, mengangkat pedang ke atas jubah warna emas pemuda itu dan menebaskannya dengan ganas, tapi gagal.

Pemuda itu mendadak menghentikan gerakan, menoleh, dan teriaknya. “Apa ini? Orang baru?”

Ryohei terhuyung ke depan, terbawa oleh kecepatan ayunannya, dan pemuda itu menyapunya tanpa ampun lagi. Sepanjang hidupnya belum pernah Ryohei menyaksikan pukulan yang demikian hebat. Ia memang berhasil mengelakkan-nya pada waktunya, tapi terjungkal juga ia ke sawah. Untung baginya, karena tanggul itu cukup rendah dan sawah itu membeku. tapi ketika jatuh ia kehilangan senjatanya, dan dengan itu keyakinannya pula.

Ketika ia merangkak kembali ke atas, pemuda itu sedang bergerak dengan kekuatan dan kecepatan seekor macan yang sedang marah, mem­porak-porandakan ketiga murid itu dengan kilasan pedangnya dan sedang mendekati Seijuro.

Seijuro belum lagi merasa ngeri. Menurut pikirannya, segalanya akan berlalu sebelum ia sendiri terlibat. Tapi sekarang bahaya menyerang langsung dirimya dalam bentuk pedang yang tamak.

Terdorong oleh suatu ilham yang tiba-tiba datang, ia berteriak, “Ganryu! Tunggu!” ia lepaskan sebelah kakinya dari sanggurdi, ia naikkan ke pelana, dan berdirilah ia lurus-lurus. Kuda melompat ke depan, ke arah kepala pemuda itu, sedangkan Seijuro terbang ke belakang, mendarat dengan kedua kakinya sekitar tiga langkah jauhnya.

“Bukan main!” teriak orang muda itu kagum sekali, lalu mendekati Seijuro. “Biarpun kau musuhku, perbuatan tadi betul-betul bagus! Kau tentunya Seijuro sendiri. Jaga dirimu!”

Mata pedang panjang itu menjadi perwujudan semangat juang. Ia semakin mendekati Seijuro, namun sekalipun memiliki kelemahan-kelemahan, Seijuro adalah anak Kempo. Ia dapat menghadapi bahaya itu dengan tenang.

Kepada pemuda itu ia berkata yakin, “Kau Sasaki Kojiro dari Iwakuni. Benar seperti dugaanmu, aku Yoshioka Seijuro. Tak ada keinginanku berkelahi denganmu. Kalau benar-benar perlu, kita dapat mengundurkannya pada waktu lain. Sekarang ini aku cuma ingin mengetahui, apa sebab semua ini. Singkirkan pedangmu.”

Ketika Seijuro menyebutnya Ganryu, pemuda itu jelas tidak mendengarnya. Tapi sekarang, disebut Sasaki Kojiro itu ia pun terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu siapa aku?” tanyanya.

Seijuro menampar paha. “Aku tahu! Aku cuma menduga, tapi dugaanku betul!” Kemudian ia maju ke depan, dan katanya, “Senang sekali bertemu denganmu. Aku sudah banyak mendengar tentangmu.”

“Dari siapa?” tanya Kojiro.

“Dari teman seniormu, Ito Yagoro.”

“Oh, jadi kau ini temannya?”

“Ya. Sampai musim gugur lalu dia memiliki tempat pertapaan di Bukit Kagura di Shirakawa, dan aku sering mengunjunginya di sana. Dia beberapa kali juga berkunjung ke rumahku.”

Kojiro tersenyum. “Kalau begitu, ini tampaknya bukan pertemuan yang pertama lagi, ya?”

“Tidak. Ittosai agak sering menyebutmu. Dia mengatakan ada satu orang dari Iwakuni bernama Sasaki yang sudah mempelajari gaya Toda Seigen, dan kemudian belajar di bawah pimpinan Kanemaki Jisai. Dia mengatakan padaku, Sasaki murid termuda di perguruan Jisai, tapi suatu hari nanti akan menjadi satu-satunya pemain pedang yang dapat menantang Ittosai.”

“Tapi aku masih belum mengerti, bagaimana bisa Anda mengetahui ini begitu cepat.”

“Nah, Anda muda dan cocok dengan gambaran itu. Melihat Anda mengguna-kan pedang panjang itu, aku ingat Anda disebut juga Ganryu—‘Pohon Dedalu di Tepi Sungai’. Aku lalu mendapat firasat, tentu Anda-lah itu, dan aku benar.”

Sementara Kojiro mencecap gembira, matanya menoleh memandang pedangnya yang masih berdarah, yang mengingatkan kepadanya bahwa telah terjadi perkelahian, dan itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mereka akan menyelesaikan urusan itu. Namun nyatanya ia dan Seijuro telah bertemu demikian baik, hingga saling pengertian pun segera tercapai, dan beberapa menit kemudian mereka sudah berjalan bahu­-membahu seperti sahabat lama. Di belakang mereka berjalan Ryohei dan tiga murid yang kesal hati. Rombongan kecil itu berjalan menuju Kyoto.

Kojiro berkata, “Dari semula aku tak mengerti, gara-gara apa perkelahian itu tadi. Aku tak punya soal dengan mereka.”

Pikiran Seijuro tertuju kepada tingkah laku Gion Toji baru-baru itu. “Aku muak dengan Toji,” katanya. “Kalau aku kembali nanti, akan kupanggil dia supaya bercerita. Kuharap Anda tidak menganggap aku dendam terhadap Anda. Aku betul-betul malu melihat orang-orang perguruanku kurang baik disiplinnya.”

“Nah, Anda sudah lihat sendiri, orang macam apa aku ini,” jawab Kojiro. “Bicaraku terlalu besar, dan aku selalu siap berkelahi dengan siapa saja. Murid-murid Anda bukan satu-satunya orang yang mesti dipersalahkan. Bahkan kukira Anda mesti memberikan pujian pada mereka karena telah berusaha mempertahankan nama baik perguruan. Sayang mereka itu tidak seberapa sebagai pejuang, tapi setidak-tidaknya mereka sudah mencoba. Aku sedikit kasihan pada mereka.”

“Aku yang mesti dipersalahkan,” kata Seijuro polos. Wajahnya menam­pakkan rasa sakit yang sebenar-benarnya.

“Mari kita lupakan semuanya.”

“Tak ada yang lebih menyenangkan bagiku.”

Bersatunya kedua orang itu mendatangkan kelegaan pada yang lain-lain. Siapa menyangka bahwa anak lelaki yang tampan dan tumbuh lebih besar dari seharusnya ini Sasaki Kojiro yang besar, yang oleh Ittosai dipuji-puji? (”Keajaiban Iwakuni”, begitulah yang dikatakannya). Tidak mengherankan kalau karena ketidaktahuannya, Toji tergoda untuk mempermainkannya sedikit. Dan tidak mengherankan bahwa akhirnya ia sendiri yang jadi tampak konyol.

Ryohei dan ketiga orang temannya menggigil kalau ingat betapa mereka hampir kena berondong Galah Pengering. Kini mata mereka telah terbuka. Melihat bidangnya bahu dan tegapnya punggung Kojiro itu mereka heran, bagaimana mungkin mereka telah berlaku demikian bodoh dengan menye­pelekannya.

Tak lama kemudian, mereka sampai kembali di tempat perhentian kapal. Mayat-mayat sudah membeku, dan ketiga orang itu ditugaskan menguburnya, sedangkan Ryohei pergi mencari kuda. Kojiro pergi bersiul-siul memanggil monyetnya. Tiba-tiba monyet itu muncul entah dari mana dan melompat ke bahu tuannya.

Seijuro tidak hanya mendesak Kojiro datang ke perguruannya di Jalan Shijo dan tinggal di sana sejenak, tapi juga menawarkan kudanya. Kojiro menolak.

“Kurang baik,” katanya. Sikap hormatnya tidak seperti biasa. “Aku cuma seorang ronin muda, sedangkan Anda guru sebuah perguruan besar, putra seorang terhormat, pemimpin beratus-ratus pengikut.” Sambil memegang kendali, ia melanjutkan, “Silakan, Andalah yang naik. Aku memegang kendali ini saja. Lebih mudah jalan begini. Kalau memang tidak keberatan, aku menerima tawaran Anda tinggal dengan Anda sebentar di Kyoto.”

Dengan sikap sopan santun yang sama, Seijuro berkata, “Nah, kalau begitu, aku naik sekarang, dan kalau kaki Anda lelah nanti, kita dapat bertukar tempat.”

Seijuro merasa ada baiknya pemain pedang seperti Sasaki Kojiro itu berada di sampingnya, pada saat ia terpaksa bertarung dengan Miyamoto Musashi pada permulaan Tahun Baru.

Gunung Rajawali

PADA tahun 1550-an dan 1560-an, pemain-pemain pedang besar yang paling terkenal di Jepang Timur adalah Tsukahara Bokuden dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, sedangkan saingannya di Honshu Tengah adalah Yoshioka Kempo dari Kyoto dan Yagyu Muneyoshi dari Yamato. Disamping itu ada Yang Dipertuan Kitabatake Tomonori dari Kuwana. seorang guru seni bela diri dan gubernur terkemuka. Lama sesudah ia meninggal, orang Kuwana masih berbicara tentang dirinya dengan rasa cinta, karena bagi mereka ia melambangkan hakikat pemerintahan yang baik dan kemakmuran.

Ketika Kitabatake masih belajar di bawah pimpinan Bokuden, yang terakhir ini menurunkan kepadanya Ilmu Pedang Tertinggi, yaitu rahasia tertinggi di antara jurus-jurus rahasia miliknya. Anak Bokuden, Tsukuhara Hikoshiro, mewarisi nama dan tanah milik ayahnya, tapi tidak mendapat warisan jurus rahasia itu. Itulah sebabnya mengapa Gaya Bokuden bukannya menyebar di timur, di mana Hikoshiro bergiat, melainkan di daerah Kuwana, di mana Kitabatake memerintah.

Konon, sesudah meninggalnya Bokuden, Hikoshiro datang ke Kuwana untuk mencoba memperdayakan Kitabatake agar membukakan jurus rahasia itu. “Ayah saya,” demikian kabarnya ia mengatakan, “dahulu mengajarkannya pada saya, dan saya diberitahu bahwa dia mengajarkannya juga pada Anda. Belakangan ini saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah yang diajarkan pada kita itu bukan barang yang sama. Karena rahasia-rahasia tertinggi dalam aliran kita jadi kepentingan bersama, apakah tidak sebaiknya kita membandingkan apa yang telah kita pelajari?”

Kitabatake segera menyadari maksud kurang baik pewaris Bokuden itu. namun ia cepat menyetujui memberikan demonstrasi. Rahasia yang diketahui Hikoshiro waktu itu hanyalah bentuk luar Ilmu Pedang Tertinggi, dan bukan rahasia yang paling dalam. Maka Kitabatake tetap merupakan satu­-satunya guru Gaya Bokuden sejati, dan untuk mempelajarinya para murid harus pergi ke Kuwana. Di sebelah timur, Hikoshiro menurunkan kulit kosong lancung keterampilan ayahnya sebagai ajaran yang asli: suatu bentuk tanpa inti.

Atau demikianlah setidak-tidaknya cerita yang disampaikan pada setiap musafir yang kebetulan menginjakkan kaki di daerah Kuwana. Bukan cerita yang jelek, karena cerita-cerita seperti itu memang beredar, dan karena didasarkan pada fakta, maka cerita itu lebih dapat diterima dan kurang ngawur dibandingkan lautan cerita rakyat setempat yang disampaikan orang untuk menegaskan kembali keunikan kota-kota dan provinsi-provinsi yang mereka cintai.

Musashi yang sedang menuruni Gunung Tarusaka dalam perjalanan dari kota Kuwana mendengar cerita itu dari tukang kudanya. Ia mengangguk, dan katanya sopan, “Betul begitu? Menarik sekali!” Waktu itu pertengahan bulan terakhir. Sekalipun iklim Ise relatif hangat, namun angin yang berembus dari Teluk Nako dingin menggigit.

Ia hanya mengenakan kimono tipis. Pakaian dalamnya dari katun dan jubah tak berlengan. Berarti pakaian yang terlalu tipis untuk ukuran mana pun. Dan lagi jelas tampak kotor. Wajahnya bukan lagi berwarna perunggu, melainkan hitam terbakar matahari. Di atas kepalanya yang termakan cuaca, topi anyamannya yang sudah aus dan berumbai tampak berlebihan. Sekiranya ia membuang barang itu di jalan, tak seorang pun akan bersusah payah memungutnya. Rambutnya yang sudah berhari-hari tak dicuci, diikat ke belakang, tapi tetap masih seperti sarang burung. Apa pun yang dilakukannya selama enam bulan terakhir itu, menyebabkan kulitnya tampak seperti kulit yang tersamak baik. Matanya bersinar seperti mutiara putih di tengah lingkungannya yang segelap arang.

Tukang kuda sudah kuatir semenjak membawa penunggang kuda yang acak-acakan itu. Ia sangsi apakah akan menerima upah, dan yakin tak akan mendapat muatan pulang dari tempat jauh di tengah pegunungan itu.

“Tuan,” katanya agak takut-takut.

“Mm?

“Kita akan sampai Yokkaichi sebelum tengah hari, dan sampai Kameyama petang hari. Sebelum sampai Desa Ujii, hari pasti sudah tengah malam.”

“Mm.”

“Tak apa-apa?”

“Mm.” Musashi waktu itu lebih tertarik pada pemandangan teluk daripada berbicara, hingga tukang kuda itu tidak memperoleh jawaban lebih dari anggukan kepala dan kata “Mm” yang tak berisi pendapat itu.

Tukang kuda mencoba lagi. “Ujii tak lebih dari dukuh kecil sekitar delapan mil masuk pegunungan dari punggung Gunung Suzuka. Bagaimana ceritanya sampai Tuan pergi ke tempat macam itu?”

“Saya pergi untuk menemui seseorang.”

“Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali petani dan penebang kayu.”

“Di Kuwana saya dengar ada satu orang yang pandai sekali main rantai­ peluru-sabit.”

“Saya kira Shishido.”

“Itu dia. Namanya Shishido apa?”

“Shishido Baiken.”

“Ya.”

“Dia pandai besi, biasa bikin sabit besar. Saya ingat pernah mendengar dia mahir sekali bikin senjata itu. Apa Tuan belajar seni bela diri?”

“Mm.”

“Oh, kalau begitu, daripada menemui Baiken, saya sarankan Tuan pergi ke Matsuzaka. Beberapa pemain pedang terbaik Provinsi Ise tinggal di sana.”

“Siapa misalnya?”

“Misalnya, Mikogami Tanzen.”

Musashi mengangguk. “Ya, saya pernah dengar.” Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, dan ini memberikan kesan bahwa ia kenal betul kemampuan-­kemampuan besar Mikogami.

Sampai kota kecil Yokkaichi, ia berjalan terpincang-pincang kesakitan menuju sebuah warung, dan di situ ia memesan makan siang dan duduk makan. Kura-kura sebelah kakinya terbalut, karena telapak kakinya luka bernanah. Itulah sebabnya ia memilih menyewa kuda dan bukan berjalan. Walaupun biasanya ia selalu berhati-hati dengan tubuhnya, beberapa hari sebelumnya, di kota pelabuhan ramai Narumi terinjak olehnya papan berpaku. Kakinya yang merah bengkak itu tampak seperti kesemek asin, dan sejak kemarin ia demam.

Menurut jalan pikirannya, ia bertempur dengan sebuah paku, dan paku itu menang. Sebagai murid bela diri, ia merasa malu membiarkan dirinya kena paku tanpa sadar. “Apa tak ada jalan buat melawan musuh macam itu?” tanyanya beberapa kali kepada dirinya. “Paku itu mencongak ke atas dan kelihatan jelas. Aku menginjaknya karena aku setengah tertidur-tidak, aku buta, karena semangatku belum lagi aktif di seluruh tubuhku. Lebih dan itu, aku membiarkan paku itu menembus dalam, dan ini terbukti gerak reflekku lamban. Sekiranya aku menguasai sepenuhnya diriku, pasti aku sudah melihat paku itu begitu sandalku menyentuhnya.”

Persoalan yang dihadapinya adalah ketidakmatangan, demikian ke­simpulannya. Tubuhnya dan pedangnya masih belum menjadi satu. Sekalipun kedua tangannya jadi semakin kuat dari hari ke hari, semangatnya dan bagian lain tubuhnya tidak selaras. Dalam kerangka pikiran yang mengecam diri pribadi ini, hal itu terasa olehnya sebagai kelainan yang melumpuhkan.

Namun demikian, ia tidak merasa membuang-buang waktu saja enam bulan lalu itu. Sesudah melarikan diri dari Yagyu, pertama-tama ia pergi ke Iga, kemudian ke jalan raya Omi, lalu menjelajahi Provinsi Mino dan Owari. Di setiap kota, di setiap ngarai gunung, ia berusaha menguasai Jalan Pedang yang sejati. Kadang-kadang ia merasa sudah mencapainya, tapi rahasianya tetap saja sukar ditangkap; sesuatu yang tak dapat ditemukan tersembunyi di kota ataupun di ngarai.

Tak ingat lagi ia, dengan berapa banyak prajurit ia telah berbentrokan. Jumlahnya berlusin-lusin dan semuanya pemain pedang yang terlatih baik dan dari kelas tinggi. Tidak sukar menemukan pemain-pemain pedang cakap. Yang sukar ditemukan adalah manusia sejati. Dunia ini memang penuh orang, bahkan terlalu penuh, tapi menemukan seorang manusia sejati tidaklah mudah. Selama perjalanannya, Musashi menjadi yakin akan hal itu, seyakin-yakinnya, sampai terasa menyakitkan dan semangatnya mengendur. Namun demikian, pikirannya selalu kembali kepada Takuan, karena tak sangsi lagi dialah pribadi yang otentik, yang unik.

“Kukira aku beruntung,” pikir Musashi. “Setidaknya aku beruntung telah mengenal seorang manusia sejati. Aku harus membuat pengalaman mengenal dia itu membuahkan sesuatu.”

Manakala Musashi memikirkan Takuan, sejenis rasa nyeri menyebar dari pergelangan tangannya ke seluruh tubuhnya. Perasaan itu aneh, suatu kenangan psikologis akan saat ia terikat erat pada cabang pohon kriptomeria, “Tunggulah!” sumpah Musashi. “Sebentar lagi akan kuikat Takuan di pohon itu juga, dan aku akan duduk di tanah, mengkhotbahkan jalan hidup sejati kepadanya!” Bukannya ia benci kepada Takuan atau punya hasrat membalas dendam. Ia cuma ingin menunjukkan bahwa taraf yang dapat dicapai seseorang melalui Jalan Pedang lebih tinggi daripada yang dapat dicapai dengan mempraktekkan Zen. Musashi tersenyum memikirkan kemungkinan bahwa pada suatu hari nanti ia akan ganti menguasai biarawan eksentrik itu.

Tentu saja bisa terjadi bahwa segala sesuatu tidak berlangsung tepat seperti yang direncanakan, tapi sekiranya ia memang mendapat kemajuan besar, dan sekiranya pada akhirnya ia dapat mengikat Takuan di atas pohon dan menguliahinya, apa yang dapat dikatakan oleh Takuan? Sudah pasti ia akan berteriak girang dan menyatakan, “Bagus sekali! Aku bahagia sekarang.”

Tapi tidak, Takuan tak akan pernah bersikap langsung macam itu. Sebagai Takuan, ia akan tertawa dan katanya, “Bodoh kamu! Kau makin maju, tapi masih bodoh!”

Bagaimana persisnya kata-kata tidaklah menjadi persoalan benar. Per­soalannya Musashi merasa, walaupun aneh, bahwa menghantam kepala Takuan dengan keunggulan pribadinya merupakan suatu keharusan, semacam utang terhadap biarawan itu. Khayalan itu cukup polos. Musashi telah menempuh jalannya sendiri, dan dari hari kehari ia menemukan betapa paniang dan sukarnya jalan menuju kemanusiaan sejati. Kalau sisi praktis dirinya mengingatkan ia betapa Takuan sudah jauh lebih lanjut menempuh jalan itu dibandingkan dengannya, maka khayalan itu pun lenyap.

Lebih mengguncangkan lagi apabila ia memikirkan betapa mentah dan tak layak dirinya dibandingkan dengan Sekhishusai. Memikirkan guru Yagyu tua itu membuatnya sinting dan sekaligus sedih. ia menjadi sadar sesadar-sadarnya akan ketidakmampuannya bicara tentang Jalan Kesem­purnaan, tentang Seni Bela Diri atau yang lain lagi dengan penuh keyakinan.

Pada waktu-waktu seperti ini, dunia yang pernah dikiranya penuh orang bodoh itu kelihatannya besar menakutkan. Dan Musashi berkata pada diri sendiri bahwa hidup ini bukanlah soal logika. Pedang bukan logika. Yang penting bukan bicara atau berspekulasi, melainkan beraksi. Mungkin saja ada orang-orang lain yang sekarang ini jauh lebih besar daripadanya, tapi ia pun bisa menjadi besar!

Apabila kesangsian terhadap diri sendiri sudah mengancam akan me­nenggelamkannya, maka Musashi biasa langsung pergi ke pegunungan dan hidup dengan dirinya dalam kesendirian itu. Gaya hidupnya di sana tampak jelas dari penampilannya ketika kembali ke peradaban-pipinya secekung pipi rusa, tubuhnya penuh cakaran dan luka memar, rambutnya kering dan kaku karena berjam-jam tersiram air terjun dingin. Ia jadi demikian kotor akibat tidur di tanah, sehingga giginya yang putih seakan­-akan tidak berasal dari dunia. Namun semua itu hanyalah permukaan semata. Di dalam, ia menyala penuh keyakinan, hampir-hampir keangkuhan. dan meledak-ledak dengan hasrat menjumpai lawan yang berarti. Dan pencarian ujian atas keberanian inilah yang selalu membawanya turun dari pegunungan.

Ia dalam perjalanannya sekarang karena ingin tahu apakah ahli rantai­peluru-sabit Kuwana itu memang cakap. Dalam sepuluh hari yang masih tersisa sebelum ia memenuhi janjinya di Kyoto, masih ada waktu untuk melihat apakah Shishido Baiken sungguh seorang manusia sejati, ataukah sekadar cacing pemakan nasi juga, yang demikian banyaknya menghuni bumi ini?

Larut malam barulah ia sampai di tujuannya, jauh di pegunungan itu. Sesudah mengucapkan terima kasih, dikatakannya bahwa tukang kuda itu bebas untuk pergi, tapi karena sudah larut, si tukang kuda lebih suka mengawani Musashi ke rumah yang dicarinya dan menginap di bawah tepi atap. Esok harinya ia akan dapat turun dari Celah Suzuka, dan jika beruntung ia dapat mengambil penumpang kembali di jalan. Bagaimanapun, cuaca waktu itu terlalu dingin dan gelap untuk mencoba kembali sebelum matahari terbit.

Musashi sependapat dengannya. Mereka berada di sebuah lembah yang tertutup tiga sisinya. Jalan mana pun terpaksa mendaki pegunungan yang tertimbun salju setinggi lutut. “Kalau begitu,” kata Musashi, “ayolah ikut saya.

“Ke rumah Shishido Baiken?”

“Ya..

“Terima kasih, Tuan. Mari kita lihat, apa kita dapat menemukannya.”

Karena Baiken membuka bengkel, siapa pun di antara petani setempal dapat mengantar mereka ke rumahnya, tapi pada waktu malam seperti itu seluruh desa sedang tidur. Satu-satunya tanda kehidupan adalah bunyi godam yang secara teratur menghantam blok. Sesudah berjalan melintas, udara dingin mendekati bunyi itu, akhirnya mereka melihat cahaya.

Ternyata itu rumah pandai besi. Di depan terdapat timbunan logam tua: dan sisi bawah ujung atap hitam oleh asap. Atas perintah Musashi, tukang kuda membuka pintu dan masuk. Api menyala di dapur api dan seorang perempuan yang membelakangi api sedang menumbuk-numbuk kain.

“Selamat malam, Nyonya! Oh! Nyonya ada api. Bagus sekali!” Tukang kuda langsung menuju dapur api itu.

Perempuan itu terlompat karena tukang kuda yang mendadak masuk itu, dan menghentikan pekerjaannya. “Siapa pula ini?” tanyanya.

“Tunggu sebentar, saya jelaskan,” kata tukang kuda sambil memanaskan kedua tangannya. “Saya membawa seseorang dari jauh untuk bertemu dengan suami Nyonya. Kami baru saja sampai. Saya tukang kuda dari Kuwana.”

“Ya, tapi…” Perempuan itu memandang masam ke arah Musashi. Kerutan keningnya jelas menunjukkan bahwa ia sudah lebih dari cukup menjumpai shugyosha dan sudah tahu bagaimana menghadapi mereka. Dengan nada angkuh ia berkata kepada Musashi, seperti kepada anak kecil, “Tutup pintu! Bayiku bisa masuk angin kalau udara dingin itu masuk.”

Musashi membungkuk dan mematuhi perintah itu. Kemudian ia duduk di atas tunggul pohon di samping dapur api dan mengamati sekitarnya­dari daerah penuangan best yang menghitam sampai ruangan tempat tinggal yang berkamar tiga. Pada sebuah papan yang dipakukan ke dinding tergantung sekitar sepuluh senjata rantai-peluru-sabit. Ia perkirakan itulah senjatanya, karena terus terang saja, ia belum pernah melihatnya. Alasannya yang lain mengadakan perjalanan kemari adalah karena ia berpendapat seorang murid semacam dirinya haruslah berkenalan dengan segala jenis senjata. Maka berkilau-kilaulah matanya karena rasa ingin tahu.

Perempuan yang umurnya sekitar tiga puluh tahun dan agak manis itu meletakkan palunya dan kembali ke daerah tempat tinggal. Musashi mengira ia akan membawakan teh, tapi ternyata ia pergi ke tikar tempat tidur seorang bayi, lalu mengangkat anak itu dan menyusuinya.

Kepada Musashi ia berkata, “Kukira kau ini samurai muda lain lagi yang datang kemari buat dibikin berlumuran darah oleh suamiku. Kalau betul begitu, kamu beruntung. Suamiku sedang pergi, jadi kamu tak perlu kuatir cerbunuh.” Ia tertawa riang.

Musashi tidak tertawa. Ia jengkel sekali. Ia datang ke desa terpencil ini bukan untuk dipermainkan oleh seorang perempuan. Menurut renungannya, semua perempuan cenderung keterlaluan melebihkan status suaminya. Perempuan ini lebih gawat daripada kebanyakan istri. Ia rupanya mengira suaminya orang terhebat di bumi ini.

Karena tak ingin melukai perasaannya, Musashi berkata, “Saya kecewa suami Nyonya tidak ada. Ke mana dia pergi?”

“Ke rumah Arakida.”

“Di mana itu?”

“Ha, ha! Kamu sudah datang di Ise, tapi belum tahu Keluarga Arakida?

Waktu itu bayi di dadanya mulai rewel, dan tanpa menghiraukan, tamunya, perempuan itu menyanyikan lagu buaian dalam logat setempat.


Tidurlah, tidurlah
Bayi tidur sungguh manis.
Bayi jaga dan nangis, itu nakal
Dan bikin ibunya nangis juga.

Karena menurut pikirannya, setidak-tidaknya ia bisa mempelajari sesuatu dari memperhatikan senjata-senjata pandai besi itu, Musashi bertanya, “Apa ini senjata yang digunakan begitu fasihnya oleh suami Nyonya?”

Perempuan itu menggerutu, dan ketika Musashi minta dibolehkan me­meriksanya, ia mengangguk, dan menggerutu lagi.

Musashi menurunkan satu senjata dari sangkutannya. “Jadi, inilah macam­nya,” katanya, setengah pada diri sendiri. “Saya dengar orang banyak meng­gunakannya sekarang ini.” Senjata di tangannya itu terdiri atas satu batang logam yang panjangnya 60 cm (yang dengan mudah dapat disimpan di dalam obi). Ujungnya memakai cincin tempat menyangkutkan rantai. Di ujung lain rantai itu terdapat peluru logam yang berat, yang cukup kokoh untuk memecahkan tengkorak manusia. Di lekuk yang dalam pada salah satu sisi batang logam itu tampak punggung pisau. Ketika ia menarik benda itu dengan kukunya, benda itu melenting ke samping, seperti mata sabit. Dengan senjata itu, tidaklah sukar memotong kepala lawan.

“Kukira begini memegangnya,” kata Musashi seraya memegang sabit itu dengan tangan kiri dan rantai dengan tangan kanan. Sambil membayangkan seorang musuh di hadapannya, ia mengambil jurus dan menimbang-­nimbang gerakan yang diperlukannya.

Perempuan itu mengalihkan matanya dari tempat tidur bayinya unruk memperhatikan, dan umpatnya, “Bukan begitu! Salah sekali!” Sambil men­jejalkan buah dadanya kembali ke dalam kimononya, ia mendekat ke tempat Musashi berdiri. “Kalau kamu memegangnya begitu, orang yang bersenjata pedang bisa menebasmu tanpa kesulitan sama sekali. Pegang begini.”

Ia merebut senjata itu dari tangan Musashi dan memperlihatkan padanya bagaimana cara berdiri. Musashi tak suka melihat seorang perempuan meng­ambil jurus tempur dengan senjata yang demikian brutal. la memandang dengan mulut menganga. Ketika menyusui bayinya tadi, perempuan itu tampak betul-betul seperti sapi, tapi sekarang sesudah siap tempur ia tampak gagah, bermartabat, dan, ya, bahkan cantik. Sementara memperhatikan, Musashi melihat bahwa pada pedang berwarna biru kehitaman seperti punggung ikan makerel itu terdapat tulisan yang bunyinya, “Gaya Shishido Yaegaki”.

Perempuan itu mengambil jurus tersebut hanya sesaat. “Yah, kira-kira seperti itulah,” katanya sambil melipatkan kembali pisau itu ke dalam gagangnya dan menggantungkan senjata itu ke sangkutannya.

Musashi ingin melihatnya menggunakan alat itu lagi, tapi perempuan itu jelas tak punya keinginan melakukannya. Sesudah membersihkan dinding, ia kembali sibuk dengan pekerjaan di dekat bak cuci. Ia mencuci pecah belah atau bersiap memasak sesuatu.

“Kalau perempuan ini dapat mengambil jurus demikian mengesankan,” pikir Musashi, “suaminya tentunya benar-benar patut dilihat.” Maka hampir tak sabar lagi ia ingin menjumpai Baiken, dan pelan-pelan ia bertanya kepada tukang kuda mengenai Keluarga Arakida. Sambil bersandar ke dinding dan menghangatkan diri pada panas api, tukang kuda menyatakan dengan suara gumam bahwa mereka itu keluarga yang ditugaskan mengawal Biara Ise.

Kalau ini benar, demikian pikir Musashi, tak akan sukar menemukan tempat mereka itu. Ia mengambil keputusan untuk mencarinya, lalu me­lingkarkan diri di tikar dekat api dan tidur.

Pagi-pagi, magang pandai besi itu bangun dan membuka luar bengkel. Musashi bangun juga dan minta kepada tukang kuda agar membawanya ke Yamada, kota terdekat dengan Biara Ise. Puas karena telah dibayar hari sebelumnya, tukang kuda segera menyetujui.

Petang hari mereka sudah sampai di jalan panjang berapit pohon yang menuju biara itu. Warung-warung teh di situ tampak sangat sepi, bahkan juga untuk musim dingin. Hanya sedikit orang berjalan, dan jalan itu sendiri dalam keadaan buruk. Sejumlah pohon yang tumbang oleh badai musim gugur masih menggeletak di tempat tumbangnya.

Dari rumah penginapan di Yamada, Musashi mengirim seorang pesuruh untuk bertanya ke rumah Arakida, apakah Shishido Baiken tinggal di sana. Jawaban yang datang menyatakan bahwa tentunya telah terjadi kekeliruan. Tak seorang pun yang namanya demikian ada di sana. Karena kecewa, Musashi mengalihkan perhatian kepada kakinya yang luka, yang dalam semalam itu sudah sangat membengkak.

Ia gusar karena tinggal beberapa hari lagi waktu yang tersisa baginya untuk berada di Kyoto. Dalam surat tantangan yang dikirimkannya kepada Sekolah Yoshioka dari Nagoya, ia menyerahkan pada mereka untuk memilih salah satu hari dalam minggu pertama Tahun Baru. Ia tak dapat menolak sekarang dengan alasan kaki sakit. Disamping itu, ia berjanji menjumpai Matahachi di jembatan Jalan Gojo.

Sepanjang hari berikutnya ia gunakan untuk menerapkan obat yang pernah didengarnya. Ampas tahu ia masukkan dalam kantong kain, ia peras sampai keluar airnya, dan ia rendam kakinya dalam air itu. Namun tak ada perbaikan. Bahkan lebih buruk lagi bahwa bau tahu itu memualkan. Sibuk mengurusi kakinya, ia mengeluh atas kebodohannya telah menyeleweng pergi ke Ise. Mestinya ia langsung ke Kyoto.

Malam itu kakinya ia bungkus di bawah selimut. Demamnya menanjak dan rasa nyerinya tak tertahankan lagi. Pagi berikutnya dengan putus asa ia cobakan resep-resep lain, termasuk mengoleskan obat seperti minyak pem­berian pemilik rumah penginapan. Orang itu berani bersumpah bahwa keluarganya telah menggunakannya beberapa generasi. Namun bengkak tidak juga surut. Kakinya tampak seperti gumpalan tahu besar membengkak. dan rasanya sudah seberat balok kayu.

Pengalaman itu menyebabkan ia berpikir. Tidak pernah dalam hidupnya ia terbaring tiga hari lamanya. Selain bisul yang pernah dipunyainya di kepala semasa kanak-kanak, menurut ingatannya tak pernah ia sakit.

“Sakit adalah sejenis musuh yang paling jahat,” demikian pikirnya. “Namun tak berdaya aku dalam genggamannya.” Sampai sekarang ia men­duga musuh-musuhnya akan selalu datang dari luar, maka kenyataan bahwa ia dibikin lumpuh oleh musuh dari dalam, baginya sungguh baru dan memaksanya untuk berpikir.

“Tinggal berapa hari lagi tahun ini?” demikian ia bertanya-tanya. “Tak bisa aku hanya tinggal di sini membuang-buang waktu!” Dalam keadaan terbaring dengan perasaan jengkel itu, tulang-tulang rusuknya terasa seperti menekan jantungnya dan dadanya terasa mengerut. ia tendang selimut dari kakinya yang bengkak. “Kalau menendang ini saja aku tak dapat, bagaimana bisa aku mengalahkan seluruh Keluarga Yoshioka?”

Ia membayangkan akan menghimpit dan mencekik setan di dalam dirinya. Ia memaksa dirinya duduk bersimpuh dalam gaya resmi. Sakit rasanya, sakit sekali. Hampir-hampir pingsan. Ia menghadap jendela, tapi dengan menutup mata.

Cukup lama waktu berlalu, sebelum akhirnya warna merah pada wajahnya mulai berkurang dan kepalanya mendingin sedikit. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah setan akan menyerah pada kegigihannya yang pantang menyerah itu.

Ketika membuka mata, tampaklah di hadapannya hutan sekitar Biara Ise. Di seberang pepohonan terlihat olehnya Gunung Mai, dan sedikit ke timur Gunung Asama. Menjulang di atas pegunungan di antara kedua gunung itu tampak sebuah puncak yang menatap dengan pandangan merendahkan kepada gunung-gunung di sekitarnya, dan menatap pula kepada Musash dengan kurang ajarnya.

“Itu burung rajawali,” pikir Musashi, tanpa mengetahui bahwa namanva memang Gunung Rajawali. Penampilan puncak gunung yang congkak itu menyinggung perasaannya. Gayanya yang sombong itu mengejeknya, hingga semangat juangnya sekali lagi tergelitik. Maka terpikirlah olehnya Yagyu Sekishusai, pemain pedang tua yang mirip dengan puncak angkuh ini. Lama-kelamaan mulai kelihatan olehnya bahwa puncak itu memang Sekishusai yang sedang memandang kepadanya dan atas awan-awan, me­nertawakan kelemahan dan kekerdilannya.

Selagi memandang gunung itu, untuk sementara ia lupa akan kakinya, tapi segera kemudian rasa nyeri mendesak kembali ke dalam kesadarannya. Sekiranya ia hantamkan kakinya ke api bengkel pandai besi itu, pasti tak terasa sakit lagi, demikian pikirnya sedih. Tanpa dikehendakinya, ia tarik kaki yang besar bulat itu dari bawah dirinya dan ia tatap. Tak hendak ia menerima kenyataan bahwa kaki itu benar-benar sebagian dari dirinya.

Dengan suara keras ia panggil pesuruh. Ketika tidak cepat muncul, ia pukul tatami dengan tinjunya. “Di mana saja semua orang ini?” pekiknya. Aku mau pergi dari sini! Mana rekening! Sediakan makanan-nasi goreng­dan bawakan aku tiga pasang sandal jerami yang berat!”

Sebentar kemudian ia sudah ada di jalan, terpincang-pincang melewati lapangan pasar. Di situlah tentunya dilahirkan prajurit terkenal Tairo no Tadakiyo, pahlawan “Cerita Perang Hogen”. Tapi sekarang sedikit saja yang mengingatkan orang bahwa tempat itu tempat lahir para pahlawan. Sekarang rempat itu lebih mirip bordil terbuka yang didereti warung-warung teh dan dikerumuni perempuan. Lebih banyak perempuan penggoda berdiri di sepanjang jalan itu daripada pohon. Mereka memanggil-maggil orang lewat dan mencekal lengan baju calon-calon korban yang lewat, sambil mencumbu, membujuk, dan menggoda. Untuk sampai ke biara itu, Musashi betul-betul harus berjuang melintasi mereka sambil merengut dan menghindari pandangan mereka yang tak sopan itu.

“Kenapa kakimu?”

“Apa mau saya obati?”

“Sini, biar saya gosoki!”

Mereka menarik-narik pakaiannya, mencengkeram tangannya, menggeng­gam tangannya.

“Lelaki tampan takkan sampai ke mana-mana dengan mengerutkan dahi macam itu!”

Musashi menjadi merah mukanya dan menghuyungkan diri dengan membuta. Sama sekali tak bisa ia bertahan terhadap serangan macam itu, dan ia minta maaf pada sebagian dan mereka, dan dengan sopan menyatakan menyesal pada yang lain. Semua itu hanya membikin perempuan-perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh. Ketika seorang dari mereka mengatakan bahwa Musashi “semungil anak macan tutul!”, serangan tangan-tangan putih itu menjadi gencar. Akhirnya ia tak peduli lagi dengan segala macam topeng harga diri, dan ia pun lari, bahkan ia tak mau berhenti memungut topinya ketika topi itu terlepas dari kepalanya. Maka suara-suara mengikik meng­ikutinya di antara pepohonan di luar kota itu.

Tidak mungkin bagi Musashi mengabaikan perempuan. Rangsangan yang ditimbulkan oleh tangan-tangan yang mencakar-cakar itu lama baru bisa reda. Ingatan tentang bau bedak putih yang tajam tentu saja sudah dapat membuat detak nadinya menggebu, dan usaha mental macam apa pun darinya takkan dapat menenangkannya. Itu ancaman yang lebih besar dibandingkan dengan musuh yang berdiri dengan pedang terhunus di hadapannya. Betul-betul ia tak tahu bagaimana mengatasinya. Belakangan, apabila tubuhnya menyala oleh birahi, sepanjang malam ia gelisah. Bahkan Otsu yang polos itu pun kadang-kadang menjadi khayalnya yang penuh nafsu.

Hari ini kakinya memaksanya melepaskan pikiran tentang perempuan, tapi melarikan diri dari mereka dalam keadaan hampir tak dapat berjalan itu sama saja dengan menyeberangi kancah logam cair panas. Setiap langkah yang diambilnya berarti tikaman derita di kepala, yang berasal dari telapak kaki. Bibirnya memerah, tangannya jadi selengket madu, dan bau rambutnya menyengat karena keringat. Mengangkat kaki yang luka itu saja menghabiskan seluruh tenaga yang dapat ia kerahkan. Kadang-kadang ia merasa seolah tubuhnya tiba-tiba akan pecah berantakan. Bukannya ia ber­khayal. Ia sudah tahu ketika meninggalkan rumah penginapan itu bahwa ini akan merupakan siksaan baginya, dan ia bermaksud mengatasinya. Bagaimanapun ia sudah berhasil tetap mengendalikan diri, walaupun tiap kali menyeret kaki sial itu ia mengutuk pelan.

Menyeberangi Sungai Isuzu dan memasuki pekarangan biara itu men­datangkan perubahan suasana yang menyenangkan. Ia merasakan suasana suci dalam tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, bahkan juga dalam suara burung-burung. Apakah itu, pada hakikatnya, tak dapat ia mengatakan, tapi ia ada di sana.

Ia rebah di akar sebatang pohon kriptomeria besar, sambil merintih pelan kesakitan dan memegangi kaki dengan kedua tangannya. Lama ia duduk di sana tak bergerak-gerak, seperti batu karang. Tubuhnya menyala demam, sekalipun kulitnya tersengat oleh angin dingin.

Kenapakah ia tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan melarikan diri dari rumah penginapan itu? Orang normal mana pun akan tetap tinggal di sana tenang-tenang, sampai kakinya terobati. Apakah itu tidak kekanak-kanakan. bahkan bodoh, bahwa seorang dewasa membiarkan dirinya dikuasai ke­tidaksabaran?

Namun bukan ketidaksabaran itu semata-mata yang menggerakkannya. Yang menggerakkannya adalah kebutuhan spiritual, dan kebutuhan yang sangat dalam. Kendati dilanda nyeri dan derita fisik, semangat Musashi pekat dan berdetak penuh daya hidup. Ia angkatkan kepala, dan dengan mata nyalang ia pandang kehampaan di sekitarnya.

Lewat rintihan pohon-pohon besar yang suram dan tak henti-hentinya terdengar di hutan suci itu telinga Musashi menangkap bunyi lain. Tidak berapa jauh, entah di mana, seruling dan buluh menyuarakan musik kuno, musik persembahan bagi para dewa, sementara suara anak-anak yang halus menvanyikan doa suci. Tertarik oleh bunyi damai ini Musashi mencoba berdiri. Sambil menggigit bibir ia memaksakan diri berdiri, walau tubuhnya yang enggan itu menolak setiap gerak. Sesudah mencapai dinding tanah gedung biara, diraihnya dinding itu dengan kedua tangan dan berusaha merayap dengan gerakan kepiting yang kaku.

Musik itu berasal dari bangunan yang agak lebih jauh letaknya. Seberkas cahaya bersinar lewat jendelanya yang berkisi-kisi. Wisma Para Perawan ini dihuni gadis-gadis muda yang mengabdi kepada dewa-dewa. Di sini mereka berlatih memainkan alat-alat musik kuno dan belajar menarikan tari-tarian suci yang diciptakan berabad-abad sebelumnya.

Musashi mendekati pintu belakang bangunan itu. Ia berhenti dan me­mandang ke dalam, tapi tak melihat seorang pun. Merasa lega karena tidak harus memberikan keterangan tentang dirinya, ia melepaskan pedang dan bungkusan dari punggungnya. Semua itu diikat bersama dan digantungkan­nya pada sangkutan di dinding dalam. Dalam keadaan tanpa beban itu ia letakkan kedua tangannya di pinggul dan ia berjalan terpincang-pincang kembali ke Sungai Isuzu.

Kira-kira sejam kemudian, bertelanjang bulat, ia pecahkan es di permukaan sungai dan ia ceburkan dirinya ke air dingin itu. Di sana ia diam, ber­kecipak, dan membasuh badan, mencelupkan kepala dan memurnikan diri. Untung tak seorang pun ada di sekitar. Pendeta yang lewat bisa-bisa men­duga ia sudah gila dan mengusirnya.

Menurut legenda Ise, seorang pemanah bernama Nikki Yoshinaga dahulu kala menyerang dan menduduki sebagian wilayah Biara Ise. Merasa sudah mantap, ia memancing di Sungai Isuzu yang suci dan menggunakan burung elang pemburu untuk menangkap burung-burung kecil di hutan suci itu. Karena melakukan penjarahan yang melanggar kesucian ini, demikian kata legenda itu, ia menjadi gila sama sekali. Musashi yang berbuat seperti orang itu dapat dengan mudah dikira hantu orang gila itu.

Ketika akhirnya ia melompat ke atas batu, ia dapat melakukan lompatan itu dengan ringannya, seperti seekor burung kecil. Sementara ia mengeringkan diri dan mengenakan pakaian, helai rambut di sepanjang dahinya kaku menjadi kerat-kerat es.

Bagi Musashi, mencemplungkan diri ke sungai suci itu penting. Kalau tubuhnya tak dapat menahan dingin, bagaimana mungkin ia bertahan terhadap halangan-halangan yang lebih mengancam hidup? Dan pada saat ini persoalannya bukanlah kemungkinan masa depan yang abstrak, melainkan kemungkinan menghadapi Yoshioka Seijuro yang sangat nyata, beserta seluruh pengikutnya. Mereka akan mengerahkan setiap daya yang ada pada mereka terhadapnya. Mereka harus berbuat demikian untuk menyelamatkan muka. Mereka tahu bahwa mereka tak punya pilihan lain kecual membunuhnya, dan Musashi tahu bahwa untuk menyelamatkan nyawanya ia harus menggunakan muslihat.

Menghadapi kemungkinan seperti ini, samurai pada umumnya pasti akan bicara tentang “berkelahi dengan segala tenaga” atau “siap menghadapi maut”, tapi menurut jalan pikiran Musashi semua itu omong kosong belaka. Memenangkan perkelahian hidup atau mati dengan segala kekuatan tidaklah lebih dari naluri binatang. Lagi pula, walau tidak kehilangan keseimbangan menghadapi mati merupakan keadaan mental yang tinggi tarafnya, sesungguhnya tidaklah begitu sukar menghadapi maut, kalau ia sudah tahu bahwa la harus mati.

Musashi tidak takut mati, tapi tujuannya memang mutlak, bukan sekadar hidup, dan ia mencoba membangun keyakinan untuk berbuat demikian. Biarlah orang lain gugur secara heroik, kalau itu cocok buat mereka. Musashi hanya mau membereskan pertempuran dengan kemenangan heroik.

Kyoto tidak jauh, tidak lebih dari tujuh puluh atau delapan puluh mil. Kalau ia dapat menjaga langkah, ia bisa sampai di sana dalam tiga hari. Namun waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan diri secara spiritual tidaklah dapat ditakar. Apakah secara mental ia sudah siap? Apakah pikiran dan semangatnya sudah benar-benar satu?

Musashi belum dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini secara positif. Ia merasa bahwa jauh di dalam dirinya terdapat kelemahan, yaitu karena ia tahu dirinya belum matang. ia sadar, dan itu me­ngecewakannya, bahwa ia belum mencapai taraf pikiran seorang guru sejati, bahwa ia masih jauh dari seorang manusia yang lengkap dan sempurna. Apabila ia membandingkan dirinya dengan Nikkan atau Sekishusai atau Takuan, tak dapat ia mengelak dari kebenaran sederhana ini: ia masih hijau! Analisis yang dilakukannya sendiri atas kemampuan dan sifat-sifat dirinya tidak hanya mengungkapkan kelemahan di beberapa bidang, me­lainkan juga kekurangan dalam bidang-bidang lain.

Tubuhnya bergetar ketika ia memekik, “Aku harus menang, aku harus menang!” Sambil berjalan terpincang-pincang memudiki Sungai Isuzu, ia memekik lagi agar semua pohon di hutan suci itu mendengar, “Aku harus menang!” Ia melintasi air terjun yang tenang dan beku, dan seperti manusia primitif ia merangkak ke atas batu-batu besar dan bersusah payah menerobos semak-semak rimbun di ngarai yang dalam, yang sebelumnya tak banyak ditempuh orang.

Wajahnya semerah wajah setan. Hanya dengan mengerahkan segala tenaga, baru ia dapat maju selangkah, itu pun dengan bergayut pada batu dan tumbuhan menjalar.

Di seberang tempat bernama Ichinose terdapat jurang yang panjangnya lima atau enam ratus meter, penuh dengan tebing terjal dan riam, hingga ikan forsel pun tak dapat melintasinya. Di ujungnya menjulang tebing yang hampir terjal. Orang bilang hanya monyet dan peri dapat memanjatnva.

Musashi memandang batu karang itu, dan katanya tanpa khayal, “Ini dia jalan ke Gunung Rajawali.”

Ia gembira melihat tak ada rintangan tak tertembus di sini. Berpegangan pada tumbuhan menjalar yang kuat, ia mulai mendaki permukaan batu karang, setengah memanjat setengah berayun, seolah disangga oleh suatu gaya berat terbalik.

Sesampainya di puncak karang meledaklah pekik kemenangan darinya. Dari sana terlihat olehnya aliran sungai yang putih dan pesisir perak sepanjang pantai Futamigaura. Dan di hadapannya, di seberang belukar jarang yang berselimut kabut malam, tampak olehnva kaki Gunung Rajawali.

Gunung itu Sekishusai. Dulu ia tertawa ketika Musashi terbaring di tempat tidur, dan kini puncaknya melanjutkan ejekan itu. Maka semangat Musashi yang tak kenal menyerah betul-betul tersengat oleh keunggulan Sekishusai. Serangan itu menindasnya, menyeretnya mundur.

Berangsur-angsur terbentuklah tujuan dalam dirinya: mendaki sampai puncak dan melampiaskan dendam, menginjak-injak seenaknya kepala Sekishusai, untuk menunjukkan kepadanya bahwa Musashi dapat dan harus menang.

Majulah ia menentang perlawanan rumput liar, pohon, es—musuh-­musuh yang mencoba mati-matian menyeretnya mundur. Setiap langkah, setiap napas, merupakan tantangan. Darahnya yang belum lama ini ke­dinginan kini mendidih dan tubuhnya mengepul ketika keringat yang keluar dari pori-porinya berjumpa dengan udara dingin. Musashi memeluk permukaan puncak yang merah warnanya itu sambil mencari-cari pijakan kaki. Setiap kali ia merasa sudah ada pijakan itu, batu-batu kecil menghujan, menimpa belukar di bawah. Seratus kaki, dua ratus, tiga ratus—ia kini di tengah awan-awan. Apabila awan-awan itu bersibak, dari bawah ia tampak seperti tergantung di awang-awang tanpa berat. Puncak gunung menatap dingin kepadanya.

Kini, setelah dekat ke puncak tertinggi, ia pegang teguh hidupnya tercinta. Satu saja gerakan keliru akan membuatnya melayang ke riam karang dan batu-batu besar. Napasnya terengah-engah, mendesir-desir, bahkan ia melahap udara dengan pori-porinya. Demikian pekat tegangan yang dialaminya, hingga jantungnya serasa akan naik dan meledak dari mulutnya. la hanya dapat memanjat beberapa kaki, lalu berhenti, beberapa kaki, lalu berhenti lagi.

Seluruh dunia terhampar di bawahnya: hutan besar yang memagari tempat suci, jalur putih yang tentunya sungai, Gunung Asama, Gunung Mae, kampung nelayan Toba, dan lautan terbuka luas. “Hampir sampai,” pikirnya. “Sedikit lagi!”

“Sedikit lagi.” Alangkah mudah dikatakan, tapi alangkah sukar dicapai! Karena “sedikit lagi” itulah yang membedakan pedang kemenangan dengan pedang yang kalah.

Karena bau keringat, ia mulai samar-samar merasa sedang bersarang di dada ibunya. Permukaan gunung yang kasar mulai terasa seperti kulit ibunya, dan ia jadi ingin sekali tidur. Tapi justru pada waktu itu sebutir batu di bawah ibu jari kakinya terlepas dan membuatnya sadar kembali. Ia mencari-cari pijakan lain.

“Ini dia! Hampir sampai!” Dengan kaki-tangan kejang dan sakit, kembali ia mencakar gunung itu. Kalau tubuh dan daya kemauannya melemah, demikian dikatakannya kepada dirinya, maka sebagai pemain pedang pasti pada suatu hari ia akan terbunuh. Di sinilah pertandingan akan ditentukan, dan Musashi tahu itu.

“Ini untukmu, Sekishusai! Untukmu, bajingan!” Dengan segala daya yang ada padanya ia kutuki raksasa-raksasa yang dihormatinya, para super­man yang telah menyebabkannya datang kemari, para superman yang harus dan akan ditaklukkannya. “Satu untukmu, Nikkan! Dan untukmu, Takuan!”

Ia panjati kepala berhala-berhala itu, ia injak-injak dan ia tunjukkan pada mereka siapa yang terbaik di antara mereka. ia dan gunung itu kini satu, tapi seolah-olah heran melihat mahluk ini mencakarnya, gunung itu menggertak dan meludahkan longsoran batu kerikil dan pasir. Napas Musashi terhenti, seakan seseorang menepukkan tangan ke mukanya. Semen­tara ia bergayut pada batu karang itu, angin berembus, mengancam me­niupnya bersama batu karang dan segalanya.

Kemudian tiba-tiba ia sudah tengkurap, matanya terpejam tak berani bergerak. Tapi dalam hatinya ia menyanyikan lagu kegembiraan meluap. Dan setelah meluruskan badan, ia memandang ke segala jurusan, dan cahaya fajar tiba-tiba tampak di tengah lautan awan putih di bawahnya.

“Berhasil! Aku menang!”

Begitu ia sadar telah mencapai puncak, begitu daya kemauannya yang sudah menegang itu mendetak seperti tali busur. Angin di puncak tertinggi menghujani punggungnya dengan pasir dan batu. Di sinilah, di perbatasan antara langit dan bumi, Musashi merasa bahwa kegembiraan yang tak terlukiskan membengkak memenuhi seluruh dirinya. Tubuhnya yang basah kuyup oleh keringat kini tersatukan dengan permukaan gunung. Semangat manusia dan gunung kini sedang melaksanakan karya cipta yang agung di keluasan alam tak terbatas di waktu fajar. Dan dalam selimut kegembiraan meluap yang surgawi itu, tidurlah ia dengan damai.

Ketika akhirnya ia mengangkat kepala, pikirannya pun semurni dan sejernih kristal. Mendadak ia ingin melompat dan melejit ke sana kemari seperti ikan mino di sungai.

“Tak ada apa pun lagi di atasku!” teriaknya. “Aku sekarang berdiri di atas kepala rajawali!”

Matahari pagi yang baru muncul menyinarkan cahaya kemerahan ke­padanya dan kepada gunung itu, sementara ia merentangkan tangannya yang berotot dan liar ke langit. Ia pandang kakinya yang terhujam teguh ke puncak tertinggi, dan waktu itu tampak olehnya seolah seember penuh nanah kekuningan merembes dari kakinya yang cedera. Di tengah ke­murnian angkasa yang mengitarinya, membubunglah napas kemanusiaan—­napas manis kegelapan yang telah terhalau.

Ngengat di Musim Dingin

TIAP hari, sesudah menyelesaikan kewajiban di biara, para gadis yang hidup di Wisma Perawan dengan buku di tangan pergi ke ruang belajar di rumah Arakida. Di sana mereka belajar tata bahasa dan berlatih menulis sajak. Untuk menarikan tari-tarian keagamaan, mereka mengenakan kimono sutra putih dengan celana bertepi lebar merah tua yang disebut hakama. Tapi sekarang mereka berkimono lengan pendek dan berhakama katun putih, yang biasa mereka kenakan pada waktu belajar atau melakukan pekerjaan rumah tangga.

Sekelompok gadis menghambur keluar dari pintu belakang, dan tiba-tiba seorang di antaranya berseru, “Apa itu?” dan menuding bungkusan serta pedang yang terikat di sana, yang pada malam sebelumnya digantungkan Musashi.

“Punya siapa itu menurutmu?”

“Mestinya punya samurai.”

“Sudah pasti.”

“Tidak, bisa juga pencuri yang meninggalkannya di sini.”

Mereka berpandangan dan menahan napas, seakan-akan menemukan begal itu sendiri yang berikat kepala kulit dan sedang tidur slang. “Barangkali kita mesti memberitahu Otsu,” saran seorang di antaranya, dan dengan persetujuan bersama mereka berlari kembali ke asrama dan berseru dari bawah susuran tangga di luar kamar Otsu.

“Sensei! Sensei! Ada yang aneh di bawah sini. Coba lihat sini!”

Otsu meletakkan kuas tulisnya di meja dan menjulurkan kepala ke luar jendela. “Ada apa?” tanyanya.

“Ada pencuri meninggalkan pedang dan bungkusan. Keduanya di sana, tergantung di dinding belakang.”

“Ha? Lebih baik itu kalian bawa ke rumah Arakida.”

“Ah, jangan! Kami takut memegangnya.”

“Itu namanya ribut tak keruan saja. Ayo belajar sana, dan jangan buang­ buang waktu lagi.”

Begitu Otsu turun dari kamarnya, gadis-gadis itu sudah pergi. Yang tinggal di asrama itu hanyalah perempuan tua juru masak dan seorang gadis yang sakit. “Barang-barang siapa yang tergantung di sini ini?” tanya Otsu kepada juru masak.

Juru masak tentu saja tidak tahu.

“Biar kubawa ke rumah Arakida,” kata Otsu. Ketika ia turun membawa bungkusan dan pedang itu, hampir saja barang-barang itu terjatuh karena beratnya. Mengangkat barang itu ia merasa heran, bagaimana kaum pria biasa berjalan membawa beban seberat itu.

Otsu dan Jotaro datang ke tempat itu dua bulan sebelumnya, sesudah mondar-mandir di Jalan Iga, Omi, dan Mino mencari Musashi. Sesampai di Ise, mereka putuskan untuk menetap selama menanti musim dingin, karena akan sukar berjalan menerobos pegunungan selagi ada salju. Semula Otsu memberikan pelajaran suling di daerah Toba, tapi kemudian ia menarik minat kepala Keluarga Arakida, yang sebagai pemimpin upacara resmi menduduki tempat kedua sesudah pendeta kepala.

Ketika Arakida meminta Otsu datang ke biara untuk mengajar gadis-­gadis itu, ia pun menerima, bukan karena ingin mengajar, melainkan karena berminat mempelajari musik kuno, musik suci. Juga, kedamaian hutan tempat suci itu telah mengimbaunya; dan lagi ia ingin tinggal beberapa waktu lamanya bersama gadis-gadis di tempat suci itu, yang umurnya sekurang-kurangnya tiga betas atau empat betas tahun, dan sebanyak-banyaknya sekitar dua puluh.

Jotaro sebetulnya menjadi penghalang Otsu menerima jabatan itu, karena ada larangan menerima lelaki tinggal di asrama anak-anak perempuan, sekalipun umurnya masih muda. Akhirnya keputusan yang mereka ambil adalah, slang hari Jotaro menyapu pekarangan suci dan malam hari menginap di gudang kayu Keluarga Arakida.

Ketika Otsu melintasi halaman biara, angin yang menakutkan dan lain dari biasanya bersiul di antara pepohonan yang tak berdaun. Seberkas asap naik dari sebuah belukar di kejauhan. Terpikir oleh Otsu, barangkali Jotaro di sana sedang menyapu pekarangan dengan sapu bambunya. Ia berhenti dan tersenyum, ia merasa senang bahwa Jotaro yang wataknya sukar di­ubah, hari-hari itu patuh sekali dan dengan penuh tanggung jawab menye­suaikan diri dengan pekerjaan, justru pada umur ketika anak-anak lelaki hanya senang bermain dan menyenang-nyenangkan diri.

Bunyi gemeretak keras yang didengarnya itu mirip bunyi cabang pohon yang patah. Bunyi itu terdengar lagi, dan sambil mencengkeram barang bawaannya, Otsu berlari menyusuri jalan setapak melintas belukar, panggilnya,

“Jotaro! Jo-o-ota-ro-o-o!”

“Ya-a-a?” terdengar jawaban gagah. Sebentar saja Otsu sudah mendengar langkah Jotaro. Tapi ketika anak itu sudah berhenti di depannya, ia hanya mengatakan, “Oh, kakak ini tadi.”

“Kupikir kau sedang kerja tadi,” kata Otsu tajam. “Apa kerjamu dengan pedang kayu itu? Dan pakai pakaian kerja putih lagi.”

“Aku sedang latihan. Latihan dengan pohon-pohon.”

“Tak ada orang yang keberatan dengan latihanmu, tapi bukan di sini Jotaro. Apa kau sudah lupa, di mana kau sekarang? Halaman ini lambang kedamaian dan kemurnian. Ini wilayah suci, suci buat dewi leluhur kita semua. Lihat ke sana itu, bahwa di sini dilarang merusak pohon-pohonan, melukai, atau membunuh binatang? Memalukan kalau orang yang bekerja di sini mematahkan cabang-cabang pohon dengan pedang kayu.”

“Ah, sudah tahu aku semua itu,” gerutu Jotaro dengan wajah jengkel.

“Kalau sudah tahu, kenapa kaulakukan? Kalau Pak Arakida menangkap basah kamu, pasti kita mendapat kesulitan!”

“Menurutku, tak ada salahnya mematahkan dahan yang sudah mati. Tak ada salahnya kalau memang sudah mati, kan?”

“Itu kalau tidak di sini!”

“Itu yang Kakak ketahui! Coba sekarang aku mau tanya.”

“Tanya apa?”

“Kalau kebun ini begitu penting, kenapa orang tidak merawatnya lebih baik?”

“Memang sayang sekali mereka tidak merawatnya baik-baik. Membiar­kannya rusak seperti ini sama saja dengan membiarkan rumput liar tumbuh dalam jiwa.”

“Tidak begitu jelek kalau cuma rumput liar, tapi lihat pohon-pohon itu. Pohon-pohon yang disambar petir itu dibiarkan saja mati, dan pohon-­pohon yang dirobohkan badai bergeletakan saja seperti waktu robohnya. Di mana-mana begitu. Burung-burung mematuki atap bangunan sampai bocor. Dan tak ada orang memperbaiki lentera kalau rusak.

“Bagaimana bisa Kakak mengatakan tempat ini penting? Coba, apa puri di Osaka itu tidak putih menyilaukan kalau kita lihat dari Samudra di Settsu? Apa Tokugawa Ieyasu tidak membangun purl-puri yang lebih megah di Fushimi dan selusin tempat lain? Apa rumah-rumah baru daimyo dan saudagar-saudagar kaya di Kyoto dan Osaka tidak mengilat karena perhiasan emasnya? Apa ahli-ahli upacara teh Rikyu dan Kobori Enshu tidak mengatakan bahwa secercah kotoran di halaman warung teh bisa merusak aroma teh?

“Kebun ini sedang runtuh. Coba, yang kerja di sini cuma aku dan tiga atau empat lelaki tua! Padahal, coba lihat berapa luasnya?”

“Jotaro!” kata Otsu, memegang dagu Jotaro dan mengangkat wajahnya. “Yang kaukatakan itu cuma jiplakan kuliah Pak Arakida.”

“Oh, jadi Kakak mendengar kuliah itu juga?”

“Tentu saja,” kata Otsu menyela.

“Wah, kalau begitu aku tak pernah bisa menang.”

“Membeokan apa yang dikatakan Pak Arakida tak ada artinya buatku. Aku tak setuju dengan cara itu, biarpun yang dikatakannya itu benar.”

“Dia memang benar. Waktu aku mendengarkan dia bicara, aku jadi berpikir, apa Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu itu betul-betul orang besar. Aku tahu mereka tentunya orang penting, tapi apa indahnya menguasai negeri kalau menurut kita, kitalah satu-satunya orang yang berarti.”

“Tapi Nobunaga dan Hideyoshi itu tak seburuk orang-orang lain. Paling tidak, mereka sudah memperbaiki istana kaisar di Kyoto dan mencoba mem-bahagiakan rakyat. Biarpun seandainya mereka melakukan hal-hal itu hanya untuk membenarkan tindakannya sendiri terhadap dirt sendiri dan orang-orang lain, mereka tetap patut mendapat pujian. Shogun-shogun Ashikaga jauh lebih buruk.”

“Bagaimana buruknya?”

“Kau pernah mendengar tentang Perang Onin, kan?” ,

Hm.”

“Ke-shogun-an Ashikaga begitu tidak cakap, sampai terus-menerus terjadi perang. Para prajurit selamanya saling perang untuk memperebutkan lebih banyak wilayah. Rakyat biasa tidak mendapatkan kedamaian sedikit pun, dan tak seorang pun punya perhatian sungguh-sungguh terhadap negeri secara keseluruhan.”

“Maksud Kakak pertempuran yang terkenal antara Keluarga Yaman dan Kosokawa?”

“Ya…. Waktu itulah, lebih seratus tahun lalu, Arakida Ujitsune menjadi pendeta kepala Tempat Suci Ise, dan uang tak cukup untuk melanjutkan upacara-upacara kuno dan ritus-ritus suci. Dua puluh tujuh kali Ujitsune mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah untuk membetulkan bangunan-bangunan suci, tapi istana kaisar terlalu miskin, ke-shogun-an terlalu lemah, dan para prajurit begitu sibuk dengan pertumpahan darah, sampai mereka tak peduli dengan apa yang terjadi. Walaupun demikian, Ujitsune pergi berkeliling juga memperjuangkan cita-citanya, sampai akhirnya berhasil mendirikan tempat suci baru.

“Ini cerita sedih, bukan? Tapi kalau kita pikirkan, waktu sudah dewasa orang suka lupa bahwa mereka berutang sumber hidup kepada leluhurnya, sama seperti kita semua berutang hidup kepada Dewi Ise.”

Puas karena sudah mendapat pidato panjang berapi-api dari Otsu, Jotaro melompat ke udara sambil tertawa dan bertepuk tangan. “Sekarang siapa yang membeo Pak Arakida? Kakak pikir aku belum pernah mendengar itu sebelumnya, kan?”

“Anak bandel kau ini!” ujar Otsu sambil tertawa sendiri. Ingin sebetulnya ia menampar Jotaro, tapi bungkusan yang dibawanya menghalanginya.

Maka sambil terus tersenyum ia tatap saja anak lelaki itu. Waktu itulah Jotaro melihat bungkusan yang lain dari yang lain.

“Punya siapa itu?” tanyanya sambil mengulurkan tangan.

“Jangan sentuh! Tak tahu kita punya siapa ini.”

“Ah, aku kan tak akan bikin rusak! Aku cuma mau lihat. Berani sumpah, ini mesti berat. Pedang panjang ini besar sekali, ya?” Dan air liur Jotaro mengucur.

Sensei Seorang di antara gadis tempat suci datang berlari-lari, berdetap-detap bunyi sandal jeraminya. “Pak Arakida memanggil Sensei. Hampir tanpa berhenti, gadis itu memutar badan dan berlari kembali.

Jotaro menoleh ke sekitar dengan terheran-heran. Matahari musim dingin bersinar melalui pohon-pohon, dan ranting-ranting berayun-ayun seperti ombak kecil. Mata Jotaro memandang seolah melihat hantu di antara bercak-bercak cahaya matahari.

“Ada apa?” tanya Otsu. “Apa yang kamu perhatikan?”

“Ah, tak apa-apa,” jawab anak itu kesal sambil menggigit jari telunjuknya. “Waktu gadis itu memanggil ‘guru’, sesaat kupikir yang dia maksud guruku.”

Otsu tiba-tiba merasa sedih dan sedikit kesal. Walaupun pernyataan Jotaro itu diucapkan dengan penuh kepolosan, kenapa pula ia menyinggung Musashi?

Sekalipun sudah mendapat nasihat Takuan, ia tak pernah bisa mengusir rasa rindu kepada Musashi dari hatinya. Takuan orang yang begitu tanpa perasaan. Dalam hal tertentu, Otsu kasihan pada biarawan itu dan pada ketidaktahuannya akan makna cinta.

Cinta itu seperti sakit gigi. Ketika Otsu sedang sibuk, perasaan cinta itu tidak mengganggu, tapi apabila kenangan mendatanginya, ia tercengkam oleh keinginan yang amat sangat untuk menyusuri jalan-jalan raya lagi, mencari dan menemukannya, meletakkan kepala ke dadanya dan me­ngucurkan air mata bahagia.

Tanpa mengatakan sesuatu, ia berjalan. Di manakah dia? Dari segala kesedihan yang mungkin merundung mahluk hidup, yang paling menggerek, paling celaka, dan yang paling menyengsarakan pastilah tak adanya ke­mampuan untuk memandang orang yang dirindukan. Dan dengan air mata meleleh di pipi ia berjalan terus.

Pedang berat dan perabot usang itu tak berarti apa-apa baginya. Bagaimana mungkin ia memimpikan membawa barang-barang milik Musashi?

Karena merasa telah berbuat salah, Jotaro ikut saja dengan sedih, agak jauh di belakang. Baru ketika Otsu membelok masuk gerbang rumah Arakida, ia berlari mendekati Otsu, dan tanyanya, “Kakak marah, ya? Karena kata-kataku?”

“Oh, tidak, tak apa-apa.”

“Maaf, Kak. Betul-betul aku minta maaf.”

“Ini bukan salahmu. Aku cuma merasa sedikit sedih. Tapi jangan kuatir. Aku mau tahu, apa yang dikehendaki Pak Arakida. Kembalilah kau bekerja.”

Arakida Ujitomi menyebut tempat tinggalnya Wisma Belajar. Ia mengubah sebagian rumah itu menjadi sekolah, tidak hanya untuk gadis-gadis biara, melainkan juga untuk empat puluh atau lima puluh anak lain dari tiga daerah yang termasuk daerah Biara Ise. Ia coba memberikan kepada orang­-orang muda itu sejenis pendidikan yang sekarang tidak terlalu populer: mempelajari sejarah Jepang Kuno yang di kota-kota besar dianggap tidak relevan. Sejarah awal negeri ini berhubungan erat sekali dengan Biara Ise dan tanah-tanahnya, padahal sekarang zaman orang banyak cenderung menganggap nasib bangsa ini adalah nasib kelas prajurit, sehingga apa yang terjadi di masa lalu yang jauh itu tak banyak berarti. Ujitomi berjuang seorang diri menanamkan benih-benih kebudayaan yang lebih awal dan lebih tradisional di antara orang-orang muda daerah biara itu. Kalau orang lain mungkin menyatakan bahwa daerah-daerah provinsi tak ada sangkut pautnya dengan nasib bangsa, Ujitomi memiliki pandangan lain. Kalau ia dapat mengajar anak-anak setempat mengenai masa lalu, maka menurut pikirannya barangkali semangat masa lampau itu pada suatu hari akan tumbuh subur seperti pohon besar di hutan suci.

Dengan penuh keuletan dan pengabdian, tiap hari ia bicara pada anak-­anak itu tentang karya-karya klasik Tionghoa dan Catatan Tentang Hal-hal Kuno, sejarah tentang Jepang. Ia berharap anak-anak didiknya akhirnya akan menghargai buku-buku itu. Ia melakukan hal tersebut lebih dari sepuluh tahun lamanya. Menurutnya, Hideyoshi boleh memegang kendali negeri dan menyatakan diri dengan wali, Tokugawa Ieyasu boleh menjadi shogun “penakluk orang barbar” yang mahakuasa, tapi seperti halnya orang­tuanya, anak-anak muda tidak boleh salah membedakan bintang keber­untungan seorang pahlawan militer dengan matahari yang indah. Kalau ia bekerja keras dengan sabar, orang-orang muda nantinya akan mengerti bahwa Dewi Matahari yang agunglah yang menjadi lambang cita-cita bangsa, bukan prajurit diktator yang tak tahu adat.

Arakida keluar dari ruang belajarnya yang luas dengan wajah sedikit berkeringat. Ketika anak-anak sudah menghambur keluar seperti kawanan lebah dan melejit cepat ke rumah masing-masing, seorang gadis biara menyampaikan kepadanya bahwa Otsu sedang menanti. Sedikit bingung, Arakida berkata, “Betul. Aku kan memanggil tadi. Sudah lupa sama sekali. Di mana dia?”

Otsu berada di luar. Sudah beberapa waktu ia berdiri di situ, men­dengarkan pelajaran Arakida.

“Saya di sini,” serunya. “Bapak memanggil saya?”

“Saya minta maaf terpaksa membiarkan engkau menunggu. Silakan masuk.”

Ia mengantar Otsu masuk kamar belajar pribadinya, tapi sebelum duduk ia menuding barang-barang yang dibawa Otsu dan bertanya apakah itu. Otsu menjelaskan bagaimana ia sampai mendapat barng-barang itu. Arakida melirik, dan kemudian dengan curiga memperhatikan kedua pedang itu. “Pemuda biasa takkan datang kemari membawa barang-barang seperti itu,” katanya. “Dan malam kemarin barang itu belum ada di sana. Tengah malam tentunya orang datang masuk pekarangan.”

Kemudian dengan wajah tak senang ia menggerutu, “Ini barangkali kelakar samurai. Aku tak suka.”

“Oh? Apa menurut pendapat Bapak seorang lelaki telah masuk Wisma Perawan?”

“Ya, tentu. Dan justru itu yang ingin kukemukakan padamu.”

“Apa ini ada hubungannya dengan saya?”

“Nah, aku tak ingin engkau tersinggung tentang ini, tapi soalnya begini. Seorang samurai menegurku karena memasukkan engkau ke asrama perawan—perawan suci. Dia bilang, untuk kebaikanku sendiri, dia memperingatkan diriku.”

“Apa saya sudah melakukan sesuatu yang berakibat buruk pada Bapak?”

“Tak ada yang mengecewakanku. Cuma inilah… yah, kau tahu sendiri bagaimana omongan orang. Sekarang kau jangan marah, biar bagaimana, kau memang bukan lagi benar-benar perawan. Kau sudah ke sana kemari dengan lelaki, dan orang mengatakan menyimpan perempuan yang bukan perawan bersama-sama gadis-gadis di Wisma Perawan itu bisa menodai tempat suci.” Sekalipun nada bicara Arakida biasa saja, namun air mata marah membanjiri mata Otsu. Benar ia banyak mengadakan perjalanan ke mana-mana, benar ia terbiasa menjumpai orang banyak, benar ia mengembara dalam hidup ini membawa serta cinta lamanya; karena itu barangkali sudah sewajarnya orang menganggapnya perempuan duniawi. Namun sungguh merupakan pengalaman meremukkan hati dituduh tidak suci, padahal kenyataannya ia masih suci.

Arakida rupanya tidak terlalu mementingkan soal itu. Ia cuma terganggu bahwa orang membicarakan yang bukan-bukan, dan karena waktu itu akhir tahun “dan lain sebagainya itu”, demikianlah dikatakannya, maka ia bertanya apakah Otsu berkenan menghentikan pelajaran suling itu dengan me­ninggalkan Wisma Perawan.

Otsu cepat menyetujui, bukan sebagai pengakuan kesalahan, melainkan karena ia memang tak punya rencana tinggal terus di situ dan tak ingin menimbulkan kesulitan, terutama bagi Pak Arakida. Sekalipun ia benci kebohongan desas-desus itu, ia cepat mengucapkan terima kasih atas kebaikan Arakida selama ia tinggal di sana, dan menyatakan bahwa ia akan pergi hari itu juga.

“Oh, tak perlu secepat itu sebetulnya,” Arakida berusaha meyakinkan Otsu, sambil menjangkau rak buku kecil dan mengeluarkan sejumlah uang yang dibungkus kertas.

Jotaro yang tadi mengikuti Otsu memilih saat itu untuk menjengukkan kepalanya dari beranda, dan bisiknya, “Kalau Kakak pergi, aku ikut. Kebetulan aku sudah jemu menyapu kebun tua mereka ini.”

“Ini ada hadiah kecil,” kata Arakida. “Tak banyak, tapi terimalah, dan gunakanlah untuk perjalanan.” Ia mengulurkan bungkusan yang berisi beberapa keping mata uang emas.

Otsu menolak menyentuhnya. Dengan wajah terkejut ia menyatakan pada Arakida bahwa ia tak pantas mendapat bayaran, hanya karena mem­berikan pelajaran suling kepada anak-anak gadis itu. Yang lebih tepat, dialah yang mesti membayar untuk makanan dan penginapannya.

“Tidak,” jawab Arakida. “Tak mungkin aku menerima uang darimu, tapi aku ingin minta pertolonganmu, kalau kebetulan engkau pergi ke Kyoto. Jadi, bolehlah engkau menganggap uang ini sebagai bayaran atas jasamu.”

“Dengan senang hati saya melakukan permintaan Bapak itu, tapi kebaikan Bapak sendiri sudah merupakan bayaran buat saya.”

Arakida menoleh kepada Jotaro, katanya, “Bagaimana kalau uang ini kuberikan saja pada anak ini? Dia dapat membelikan apa-apa buat kalian berdua di perjalanan.”

“Terima kasih,” kata Jotaro yang cepat mengulurkan tangannya untuk menerima bungkusan itu. Tapi sesudah berpikir lagi ia memandang Otsu, katanya, “Boleh, kan?”

Karena sudah dipojokkan, Otsu akhirnya menyetujui dan mengucapkan terima kasih kepada Arakida.

“Pertolongan yang kuminta padamu,” kata Arakida, “adalah menyampaikan bingkisan kepada Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro yang tinggal di Horikawa, Kyoto,” Sambil berkata demikian, ia mengambil dua gulungan dari rak yang sudah goyang di dinding. “Yang Dipertuan Karasumaru minta padaku dua tahun lalu untuk melukis ini. Akhirnya lukisan-lukisan ini selesai. Beliau ada rencana menulis komentar yang cocok dengan lukisan ini dan menghadiahkannya pada Kaisar. Itu sebabnya aku tak ingin mempercayakan-nya kepada pembawa surat biasa atau orang istana. Apa engkau bersedia membawanya dan menjaga supaya lukisan-lukisan ini tak kena air atau minyak di jalan?”

Ini tugas yang tak terduga-duga pentingnya, dan semula Otsu ragu-ragu menerimanya. Tapi kurang pantas kalau ia menolaknya, dan sejenak ke­mudian ia menyatakan setuju. Kemudian Arakida mengeluarkan kotak dan kertas minyak, tapi sebelum membungkus dan memeterai gulungan itu, katanya, “Tapi barangkali ada baiknya kutunjukkan dulu padamu lukisan ini.” Ia duduk dan mulai membuka lukisan itu di lantai di hadapannya. Ia kelihatan bangga akan karyanya, dan ia sendiri ingin melayangkan pandangan terakhir sebelum berpisah dengan karya itu.

Otsu tersengal melihat keindahan gulungan itu, sedangkan mata Jotaro melebar ketika ia membungkuk memperhatikannya lebih saksama. Karena komentar untuk lukisan itu belum lagi ditulis, mereka tidak mengetahui cerita apa yang dilukiskan di situ, tapi ketika Arakida membuka gulungan itu adegan demi adegan, mereka saksikan di hadapan mereka gambaran kehidupan istana kekaisaran kuno dalam coretan kasar dan warna-warna indah serta sentuhan-sentuhan bubuk emas. Lukisan itu dibuat dengan Gaya Tosa dan bersumber pada seni Jepang klasik.

Walaupun Jotaro tak pernah mendapat pelajaran seni, terpukau juga ia oleh apa yang dilihatnya. “Lihat apinya itu,” ujarnya. “Kelihatan seperti menyala betulan, ya?”

“Jangan sentuh,” tegur Otsu. “Lihat saja.”

Selagi mereka menatapkan mata dengan penuh kekaguman, seorang pesuruh masuk, siap menyampaikan sesuatu kepada Arakida dengan suara pelan sekali; Arakida mengangguk, dan jawabnya, “Ya-ya…. Kukira boleh. Tapi sebaiknya suruh orang itu membuat surat tanda terima.” Dan ia menyerahkan bungkusan dan dua bilah pedang yang tadi dibawa Otsu.

Mendengar guru suling mereka akan pergi, gadis-gadis Wisma Perawan pun jadi sedih. Selama dua bulan Otsu tinggal bersama mereka, mereka telah menganggapnya sebagai kakak sendiri, karena itu mereka tampak murung ketika berkumpul mengerumuni Otsu.

“Apa betul?”

“Sensei betul akan pergi?”

“Sensei takkan kembali lagi?”

Dari seberang asrama, Jotaro berteriak, “Aku sudah siap. Apa lagi yang ditunggu?” Ia sudah menanggalkan jubah putih dan kembali mengenakan kimono pendek yang biasa, dengan pedang kayu di pinggang. Kotak yang terbungkus kain berisi gulungan disandang melintang di punggung.

Dari jendela, Otsu balas berteriak, “Ah, cepat sekali!”

“Aku selalu cepat!” jawab Jotaro pedas. “Belum juga Kakak siap? Kenapa ya, perempuan begitu lama kalau berpakaian dan berkemas?” Waktu itu ia berjemur di pekarangan sambil menguap. Tapi memang dasar tidak sabaran, sebentar kemudian ia sudah bosan. “Apa belum juga siap?” serunya lagi.

“Sebentar lagi slap,” jawab Otsu. Sebetulnya ia sudah selesai berkemas, tapi gadis-gadis itu tak hendak melepaskannya. Dalam usahanya meloloskan diri, ia berkata menghibur gadis-gadis itu, “Tak usah sedih. Saya akan datang berkunjung hari-hari ini. Sementara itu, jaga diri kalian baik-baik.” Tak enak juga ia bahwa yang dikatakannya itu tidak benar, karena melihat keadaannya kecil kemungkinannya ia akan kembali lagi.

Barangkali gadis-gadis itu pun menerkanya demikian. Beberapa di antara mereka menangis. Akhirnya seorang dari mereka mengusulkan agar mereka semua mengantar Otsu sampai jembatan suci di seberang Sungai Isuzu. Mereka mengerumuninya dan mengantarnya ke luar. Di sana Jotaro tidak segera tampak, karena itu mereka corongkan tangan di mulut dan mereka panggil namanya, namun tak ada jawaban. Otsu sudah hafal dengan cara­-cara Jotaro; tanpa perasaan kuatir ia berkata, “Barangkali dia capek me­nunggu, dan dia jalan duluan.”

“Anak brengsek!” ucap seorang gadis.

Seorang lagi tiba-tiba memandang Otsu, dan tanyanya, “Apa dia anak Sensei?”

“Anakku? Bagaimana kamu bisa berpikir begitu? Tahun depan aku belum lagi dua puluh satu. Apa tampangku begitu tua dan pantas punya anak sebesar itu?”

Tidak, tapi ada yang bilang, dia anak Sensei.”

Ingat akan percakapannya dengan Arakida, wajah Otsu memerah, tapi kemudian ia menghibur diri dengan pendapat bahwa yang dikatakan orang lain tak berarti, selama Musashi setia kepadanya.

Pada waktu itu Jotaro datang berlari-lari mendapatkan mereka. “Hei, ada apa sih sebetulnya?” katanya memberengut. “Tadi Kakak suruh aku me­nunggu berabad-abad, tapi sekarang Kakak berangkat tanpa aku!”

“Tapi tadi kamu tak ada di tempat!” ujar Otsu.

“Tapi mestinya Kakak bisa mencariku, kan? Tadi kulihat di jalan raya Toba sana itu ada orang yang mirip guruku. Aku lari buat melihatnya, apa betul dia.”

“Orang yang seperti Musashi?”

“Ya, tapi ternyata bukan dia. Aku mendekati sampai barisan pohon itu dan melihat orang itu baik-baik dari belakang, tapi tak mungkin orang itu Musashi, karena dia pincang.”

Selamanya seperti itu saja, kalau Otsu dan Jotaro mengadakan perjalanan. Tak ada hari tanpa menyaksikan cahaya harapan, yang disusul kekecewaan. Ke mana pun mereka pergi, mereka melihat orang yang mengingatkan keduanya kepada Musashi-orang yang lewat jendela, samurai di perahu yang baru saja berangkat, ronin yang menunggang kuda, musafir yang samar-samar kelihatan dalam joli. Dengan harapan menjulang tinggi, mereka mengejar untuk memastikannya, tapi akhirnya hanya saling pandang dengan sedih. Hal seperti ini sering terjadi berlusin-lusin kali.

Karena itulah sekarang Otsu tidak sekesal biasanya, sekalipun Jotaro sendiri patah hati. Sambil menertawakan kejadian itu, katanya, “Sayang sekali kau keliru, tapi jangan lalu uring-uringan karena aku jalan dulu. Kupikir aku akan menjumpaimu di jembatan. Tahu tidak, orang bilang, kalau kita memulai perjalanan dengan kesal, kita akan marah terus sepanjang jalan. Nah, tenanglah sekarang.”

Walaupun kelihatan puas, Jotaro masih juga melengos dan melontarkan pandangan kasar kepada gadis-gadis yang berarak-arak di belakang.

“Apa saja kerja mereka ini di sini? Apa akan pergi dengan kita?”

“Tentu saja tidak. Mereka cuma sayang melihat aku pergi, jadi baik sekali mereka mengawani kita sampai jembatan.”

“Oh, betapa baiknya mereka,” kata Jotaro, meniru gaya kata-kata Otsu. Tingkah Jotaro membuat semuanya tertawa terpingkal-pingkal. Kini, sesudah Jotaro menggabungkan diri dengan rombongan, kesedihan karena perpisahan menjadi surut, dan gadis-gadis itu pulih kembali semangatnya.

“Sensei,” panggil seorang di antaranya, “keliru, itu bukan jalan ke jembatan.”

“Aku tahu,” kata Otsu tenang. Ia memang membelok ke Gerbang Tamagushi untuk menyatakan hormat ke kuil pusat. Sambil menangkupkan tangan satu kali, ia menundukkan kepala ke arah tempat suci itu dan beberapa saat lamanya mengambil sikap berdoa diam.

“Oh, begitu!” gumam Jotaro. “Dia pikir tak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ucapan selamat berpisah kepada dewi.” Ia puas melihat dari kejauhan, tapi gadis-gadis itu menyodok punggungnya dan bertanya kepadanya kenapa ia tidak mencontoh yang dilakukan Otsu.

“Aku?” tanya anak itu tak percaya. “Aku tak ingin membungkuk pada tempat suci tua mana pun.”

“Tak boleh kau bicara begitu. Kau bisa kena hukum suatu hari nanti.”

“Tolol rasanya membungkuk macam itu.”

“Apanya yang tolol, menunjukkan hormat kepada Dewi Matahari? Dia tak seperti dewa-dewa kecil yang dipuja orang di kota-kota itu.”

“Aku tak tahu!”

“Nah, kalau begitu kenapa kau tidak menyatakan hormat?”

“Sebab aku tak mau.”

“Tidak percaya, ya?”

“Diam, kalian semua perempuan sinting!”

“Aduh, aduh!” seru gadis-gadis itu serentak, kaget oleh kekasaran Jotaro. “Jahat sekali!” ujar salah seorang gadis.

Waktu itu Otsu sudah selesai sembahyang dan datang kembali ke dekat mereka. “Apa yang terjadi?” tanyanya “Kalian kelihatan kesal.”

Salah seorang gadis mengungkapkan, “Dia sebut kami perempuan sinting. cuma karena kami menyuruhnya membungkuk kepada dewi.”

“Kau tahu itu tidak baik, Jotaro,” tegur Otsu. “Betul-betul kau mesti berdoa.”

“Buat apa?”

“Apa kau sendiri tak pernah cerita? Waktu Musashi akan dibunuh pendeta-pendeta dari Hozoin itu kau mengangkat tanganmu dan berdoa sekeras-kerasnya! Kenapa di sini tak bisa kamu berdoa?”

“Tapi… mereka semua melihat.”

“Baiklah, kami akan membalikkan badan, supaya tidak melihat kamu.”

Mereka pun membelakanginya, tapi Otsu mencuri pandang kepadanya. Jotaro berlari ke arah Gerbang Tamagushi. Sampai di sana ia menghadap tempat suci, dan dengan cara yang sangat kekanak-kanakan ia membungkuk dalam-dalam secepat kilat.

Kincir Mainan

MUSASHI duduk di beranda sempit sebuah warung makanan laut yang menghadap ke laut. Keistimewaan warung itu adalah siput laut yang dihidangkan mendidih bersama kerangnya. Dua perempuan penyelam dengan keranjang berisi kerang sorban yang baru saja ditangkap dan seorang tukang perahu berdiri dekat beranda. Tukang perahu itu menawarkan tamasya perahu ke pulau-pulau lepas pantai, sedangkan kedua perempuan mencoba membujuknya membeli siput laut.

Musashi sedang sibuk menanggalkan perban bernanah dari kakinya. Sesudah menderita demikian hebat akibat luka itu, hampir tak dapat ia percaya bahwa demam maupun bengkaknya akhirnya lenyap. Kaki itu kembali pada ukuran semula. Sekalipun kulitnya menjadi putih dan me­ngerut, sedikit saja ia merasa sakit.

Dengan lambaian tangan diusirnya tukang perahu dan penyelam, lalu ia menurunkan kakinya yang rawan itu ke pasir dan berjalanlah ia ke pesisir untuk membasuhnya. Kembali di beranda, ia nantikan gadis warung yang telah ia suruh membelikan kaus kulit dan sandal baru. Waktu gadis itu kembali, dikenakannya keduanya, lalu ia mulai melangkah dengan hati-hati. Jalannya masih sedikit pincang, tapi tak lagi seperti sebelumnya.

Orang tua yang memasak siput memandangnya. “Tukang tambangan menanyakan Tuan. Apa bukan Tuan yang punya rencana menyeberang ke Ominato?”

“Ya. Saya kira ada perahu yang jalan teratur dari sini ke Tsu.”

“Memang ada, dan ada juga perahu-perahu ke Yokkaichi dan Kuwana.” “Tinggal berapa hari lagi akhir tahun ini?”

Orang tua itu tertawa. “Sungguh iri saya pada Tuan,” katanya. “Jelas Tuan tak punya kewajiban bayar utang akhir tahun. Hari ini tanggal dua puluh empat.”

“Betul? Saya kira sudah lebih kemudian.”

“Senang sekali jadi orang muda!”

Musashi lari berderap ke pangkalan perahu tambang. Ingin sekali ia terus berlari, makin lama makin jauh, dan makin lama makin cepat. Peralihan dari sakit menjadi sehat itu meningkatkan semangatnya, tapi yang men­jadikannya jauh lebih bahagia adalah pengalaman spiritual yang telah didapatnya pagi itu.

Perahu tambang sudah penuh, tapi ia masih mendapat tempat. Di seberang teluk, di Ominato, ia berpindah ke perahu yang lebih besar, yang menuju Owari. Layar-layar menangkap angin, dan perahu meluncur di permukaan Teluk Ise yang seperti kaca itu. Musashi berdiri berdesakan dengan penumpang-penumpang lain dan memandang tenang ke seberang air di sebelah kiri-ke arah pasar lama, jalan raya Yamada, dan Matsuzaka. Kalau ia pergi ke Matsuzaka, mungkin ia mendapat kesempatan bertemu dengan pemain pedang Mikogami Tenzen yang luar biasa itu. Tapi tidak. terlalu cepat untuk itu. Dan seperti direncanakannya, ia turun di Tsu.

Begitu meninggalkan perahu, ia perhatikan ada seorang lelaki berjalan di depannya, membawa pentung pendek di pinggang. Pentung itu berlilit rantai dan di ujung rantai terdapat peluru. Orang itu mengenakan juga pedang pendek bersarung kulit. Kelihatannya umurnya empat puluh dua atau empat puluh tiga tahun. Wajahnya gelap seperti Musashi dan bopeng­-bopeng, sedangkan rambutnya yang kemerahan digelung ke belakang.

Kalau bukan karena anak lelaki yang mengikutinya, orang itu bisa disangka bromocorah. Pipi anak itu hitam oleh jelaga dan ia membawa palu godam. Jelas ia magang pandai besi.

“Tunggu sebentar, Pak!”

“Ayolah jalan terus!”

“Palu saya ketinggalan di perahu.”

“Ketinggalan alat yang jadi penghidupanmu, ya?”

“Akan saya ambil sekarang.”

“Dan kukira itu bikin kamu bangga, ya? Lain kali, kalau kamu lupa lagi, kupecahkan tengkorakmu.”

“Pak…,” mohon anak itu.

“Diam!”

“Apa tak bisa kita bermalam di Tsu?”

“Masih terang sekarang ini. Kita bisa sampai rumah sebelum malam tiba.”

“Tapi ingin rasanya berhenti. Perjalanan begini harusnya dinikmati.”

“Jangan omong kosong!”

Jalan masuk kota itu diapit barisan toko cindera mata dan penuh pencari pelanggan rumah penginapan, seperti halnya kota-kota pelabuhan lain. Si magang sekali lagi kehilangan penglihatan atas tuannya dan dengan cemas mencari-carinya di tengah orang banyak, sampai akhirnya orang itu muncul dari sebuah toko mainan, membawa sebuah kincir mainan yang bem,arna-warni.

“Iwa!” serunya memanggil anak itu.

°Ya, Pak.”

“Bawa ini. Dan hati-hati, jangan sampai pecah! Simpan dalam kerahmu.”

Hadiah buat bayi Bapak?”

‘”Mm,” gumam orang itu. Sesudah beberapa hari pergi melaksanakan tugas, orang itu ingin memandang anaknya menyeringai girang waktu ia menyerahkan barang itu.

Jadinya seolah kedua orang itu menuntun arah jalan Musashi. Setiap kali ia hendak membelok, mereka membelok juga di depannya. Terpikir oleh Musashi, barangkali pandai besi itu Shishido Baiken, namun ia tak bisa memperoleh kepastian, karena itu ia gunakan akal kecil untuk mendapat kepastian. Ia berpura-pura tidak memperhatikan mereka, dan berjalan di depan mereka sebentar, kemudian melambatkan jalan lagi sambil men­dengarkan percakapan mereka. Kedua orang itu melintasi kota puri, ke­mudian ke jalan gunung yang menuju Suzuka. Agaknya jalan yang akan ditempuh Baiken pulang ke rumahnya. Kalau digabungkan dengan potongan-­potongan percakapan yang kebetulan didengarnya, Musashi menyimpulkan orang itu memang Baiken.

Sebetulnya Musashi bermaksud langsung pergi ke Kyoto, tapi pertemuan yang kebetulan ini demikian menggodanya. Ia mendekat, dan katanya dengan nada ramah, “Kembali ke Umehata?”

Tapi jawaban orang itu kaku, “Ya, ke Umehata. Kenapa?”

“Dari tadi saya bertanya dalam hati, apakah Bapak ini Shishido Baiken.” “Memang. Dan Anda siapa?”

“Nama saya Miyamoto Musashi. Saya calon prajurit. Belum lama saya ke rumah Anda di Ujii dan bertemu dengan istri Anda. Rupanya nasib mem­pertemukan kita di sini.”

“Oh, begitu?” kata Baiken. Dengan wajah yang tiba-tiba menyatakan paham, ia bertanya, “Apa engkau yang tinggal di penginapan Yamada dan ingin bertarung denganku?”

“Bagaimana Anda bisa dengar itu?”

“Kau menyuruh orang ke rumah Arakida untuk mencariku, kan?”

Ya.”

°Waktu itu aku sedang melakukan tugas untuk Arakida, tapi aku tidak tinggal di rumahnya. Kupinjam tempat kerja di desa. Itu pekerjaan yang tak bisa dilakukan orang lain, kecuali aku.”

“Oh, begitu. Saya dengar Anda ahli rantai-peluru-sabit.”

“Ha, ha! Tapi katamu tadi sudah ketemu istriku?”

“Ya. Dan dia mendemonstrasikan satu jurus Yaegaki pada saya.”

“Nah, itu mestinya cukup buatmu. Tak ada alasan buat mengikutiku. Tentu saja aku dapat memperlihatkan lebih banyak lagi daripada yang diperlihatkan istriku, tapi begitu engkau melihatnya, begitu engkau sampai di jalan ke dunia lain.”

Bagi Musashi, istri orang ini sudah berkesan amat sok menguasai, tapi orang ini sendiri benar-benar angkuh. Musashi cukup yakin bahwa dari apa yang dilihatnya ia sudah dapat mengukur kemampuan orang ini, namun ia mengingatkan diri untuk tidak terburu-buru. Takuan telah mengajarkan kepadanya pelajaran pertama dalam hidup ini, yaitu bahwa di dunia ini terdapat orang-orang yang kemungkinan lebih baik dari diri kita. Pelajaran ini diperkuat oleh pengalaman-pengalamannya di Hozoin dan Puri Koyagyu. Sebelum ia membiarkan rasa bangga dan keyakinan mengkhianatinya dan menyebabkannya menyepelekan lawan, ia ingin mengukur lawan itu dari segala segi. Sementara meletakkan landasan bagi dirinya, ia akan tetap bersikap ramah, sekalipun kadang-kadang hal itu bisa memberikan kesan pengecut atau tunduk kepada musuh.

Menjawab ucapan Baiken yang merendahkan itu, dengan sikap hormat yang sesuai dengan umurnya ia berkata, “Oh, begitu. Saya memang sudah banyak belajar dari istri Anda, tapi karena saya sudah beruntung bertemu dengan Anda, saya akan berterima kasih kalau Anda mau lebih banyak menerangkan senjata yang Anda pergunakan.”

“Kalau yang engkau inginkan itu bicara, baik. Apa kau punya rencana menginap di penginapan dekat perbatasan?”

“Itulah yang tadinya saya maksudkan, kecuali kalau Anda berkenan menerima saya menginap semalam lagi.”

“Kau boleh tinggal, kalau kau bersedia tidur di bengkel bersama Iwa. Tapi aku bukan pengusaha penginapan, dan kami tak punya tilam ekstra.”

Senja hari mereka sampai di kaki Gunung Suzuka. Desa kecil yang dipayungi awan merah itu tampak setenang danau. Iwa berlari mendahului untuk menyampaikan kedatangan mereka, dan ketika mereka tiba di rumah itu, istri Baiken menanti di bawah ujung atap, menggendong bayinya yang memegang kincir mainan.

“Lihat, lihat, lihat!” dekut perempuan itu. “Bapak pergi, dan sekarang Bapak pulang. Lihat, itu dia.”

Dalam sekejap mata saja si bapak sudah tidak lagi menjadi contoh keangkuhan; ia memperlihatkan senyum kebapakan. “Ini, Nak, ini Bapak,” celotehnya sambil mengangkat sebelah tangan dan menari-narikan jari­-jarinya.

Suami-istri itu menghilang ke dalam dan duduk, hanya bicara tentang bayi dan soal-soal rumah tangga, tanpa memperhatikan Musashi.

Akhirnya, ketika makan malam siap, Baiken ingat akan tamunya. “Oh ya, kasih orang itu makan,” katanya kepada istrinya.

Musashi duduk di ruang bengkel yang berlantai tanah, menghangatkan diri di dekat api. la bahkan tidak melepas sandalnya.

“Baru kemarin dia dari sini. Bermalam,” jawab perempuan itu cemberut.

Ia menghangatkan sake di perapian dengan suaminya. “Orang muda,” panggil Baiken. “Apa kau minum sake?”

“Saya bukan tak suka sake.”

“Nah, minum semangkuk.”

“Terima kasih.” Musashi mendekat ke ambang pintu kamar perapian serta menerima mangkuk berisi minuman dan menghirupnya. Asam rasanya. Selesai meneguk, ia kembalikan mangkuk itu kepada Baiken, katanya, “Mari saya tuangkan buat Anda.”

“Tak usah, sudah ada.” Ia memandang Musashi sesaat, dan bertanya, “Berapa umurmu?”

“Dua puluh dua.”

“Asal dari mana?”

“Mimasaka.”

Mata Baiken yang semula mengembara ke jurusan lain kini berayun kembali kepada Musashi dan mengamat-amatinya kembali dari kepala sampai jari kaki.

“Nanti dulu, apa yang barusan kaukatakan? Namamu… siapa namamu tadi?”

“Miyamoto Musashi”

“Bagaimana engkau menuliskan Musashi?”

“Ditulis sama dengan Takezo.”

Istri orang itu masuk dan meletakkan sup, acar, supit, dan mangkuk nasi di tikar jerami di depan Musashi. “Makanlah!” katanya tanpa basa-basi.

“Terima kasih,” jawab Musashi.

Baiken menanti beberapa tarikan napas, kemudian katanya, seolah pada diri sendiri, “Panas rasanya sekarang, sake itu!” Sambil menuangkan se­mangkuk lagi untuk Musashi, ia bertanya biasa saja, “Artinya namamu Takezo waktu engkau muda?”

“Ya.”

“Apa engkau masih bernama begitu waktu umur sekitar tujuh belas?”

Ya.”

“Waktu umurmu sekitar itu, apa kebetulan engkau tidak berada di per­tempuran Sekigahara, dengan anak lain seumurmu?”

Kini Musashi yang mendapat giliran terkejut. “Bagaimana Anda bisa tahu?” tanyanya pelan.

“Oh, aku tahu banyak hal. Aku di Sekigahara juga waktu itu.” Mendengar ini, Musashi merasa lebih senang pada orang itu. Baiken sendiri tiba-tiba kelihatan lebih akrab.

“Kupikir aku pernah melihatmu, entah di mana,” kata pandai besi itu. “Mestinya kita sudah berjumpa di pertempuran itu.”

“Apakah Anda pernah di kamp Ukita juga?”

“Aku tinggal di Yasugawa waktu itu, dan aku pergi perang dengan rombongan samurai dari sana. Kami ada di garis depan waktu itu.”

“Oh, begitu? Kalau begitu, barangkali kita pernah bertemu.”

“Lalu apa yang terjadi dengan temanmu itu?”

“Saya tak pernah lihat dia lagi sejak itu.”

“Sejak pertempuran itu?”

“Tidak tepat sejak itu. Kami tinggal sementara waktu di sebuah rumah di Ibuki, menunggu sembuhnya luka-luka, dan berpisah di situ. Itulah penghabisan kali saya melihatnya.”

Baiken memberitahu istrinya bahwa sake mereka habis. Istri Baiken sudah di tempat tidur dengan bayinya, “Tak ada lagi yang lain,” jawabnya.

“Aku minta lagi. Sekarang!”

“Kenapa mesti minum begitu banyak malam ini?”

Percakapan kami menarik. Aku perlu sake lagi.”

“Tapi sake tak ada lagi.”

“Iwa!” panggil Baiken lewat papan rapuh di sudut bengkel.

“Ada apa, Pak?” tanya anak itu. Ia membuka pintu dan memperlihatkan wajahnya sambil membungkuk, karena rendahnya ambang pintu.

“Pergi ke rumah Onosaku, pinjam sebotol sake.”

Musashi sudah cukup minum. “Kalau Anda tidak keberatan, saya akan makan,” katanya sambil memungut supitnya.

“Tidak, tidak, tunggu,” kata Baiken dan cepat menangkap pergelangan Musashi. “Ini bukan waktu makan. Aku sudah mintakan sake, jadi minumlah sedikit lagi.”

“Kalau sake itu buat saya, lebih baik tak usah. Rasanya saya tak bisa minum lagi.”

“Ah, ayolah,” desak Baiken. “Katamu kau ingin dengar lebih banyak tentang rantai-peluru-sabit. Akan kuceritakan semuanya sekarang, tapi mari minum sedikit selagi bicara.”

Ketika Iwa kembali membawa sake, Baiken menuangkannya sebagian ke guci pemanas dan meletakkannya di atas api, lalu bicara panjang-lebar tentang rantai-peluru-sabit serta cara-cara penggunaannya yang terbaik dalam pertempuran yang sebenar-benarnya. Ia berkata, “Berlainan dengan pedang. senjata itu tidak memberikan kesempatan kepada musuh untuk memper­tahankan diri. Juga, sebelum menyerang langsung, ada kemungkinan merebut senjata musuh dengan rantai. Rantai dilontarkan dengan terampil, disentakkan tajam, dan musuh tak berpedang lagi.”

Masih dalam keadaan duduk, Baiken mendemonstrasikan satu jurus. “Lihat, kita pegang sabit dengan tangan kiri dan bola dengan tangan kanan. Kalau musuh mendatangi kita, kita hadapi dia dengan mata sabit. kemudian kita hembalangkan bola ke mukanya. Itu satu cara.”

Sambil mengubah kedudukan, ia meneruskan, “Kalau ada jarak antara kita dan musuh, kita sabet senjatanya dengan rantai. Tak peduli macam apa senjata itu—pedang, lembing, tongkat kayu, atau apa pun.”

Baiken terus bercerita pada Musashi tentang cara-cara melemparkan peluru, tentang sepuluh atau lebih cerita turun-temurun mengenai senjata ini, tentang miripnya rantai itu dengan ular, tentang kemungkinan men­ciptakan khayal penglihatan orang dengan mengubah gerakan rantai dan sabit, hingga pertahanan musuh akhirnya akan merugikan dirinya sendiri, juga tentang semua cara rahasia dalam menggunakan senjata itu.

Musashi betul-betul terpesona. Mendengar orang berbicara seperti ini, ia selalu mendengarkan dengan seluruh tubuhnya. Ia ingin menyerap segala seluk-beluknya.

Rantai. Sabit. Dua belah tangan….

Sementara ia mendengarkan, benih-benih pikiran lain terbentuk dalam kepalanya. “Pedang dapat dipergunakan dengan satu tangan, sedangkan manusia punya dua tangan…”

Botol sake yang kedua pun kosong. Baiken sudah cukup banyak minum, dan mendesak Musashi minum lagi. Musashi sendiri sudah jauh melewati batas kemampuannya dan sudah lebih mabuk dari yang pernah dialaminya.

“Bangun!” seru Baiken kepada istrinya. “Biar tamu kita tidur di sini. Kau dan aku tidur di kamar belakang. Siapkan tempat tidur di sana.”

Perempuan itu tak beranjak dari tempatnya.

“Bangun!” seru Baiken lebih keras. “Tamu kita sudah capek. Biar dia tidur sekarang.”

Kaki sang istri sudah enak dan hangat sekarang. Bangun pasti tak me­nyenangkan.

“Kaubilang dia dapat tidur di bengkel dengan Iwa,” gumamnya.

“Jangan membantah. Kerjakan yang kusuruh!”

Perempuan itu bangkit dengan gusar dan berangkat ke kamar belakang. Baiken mengambil bayinya yang tidur, dan katanya, “Selimutnya sudah tua, tapi api di ada dekatmu. Kalau kau haus, ada air panas di atas api buat bikin teh. Tidurlah. Tidur yang enak.” Ia sendiri pergi ke kamar belakang.

Ketika perempuan itu datang kembali untuk mengganti bantal, ke­murungan wajahnya sudah hilang. “Suami saya juga sudah mabuk sekali,” katanya, “dan barangkali capek karena perjalanan. Dia bilang mau tidur sampai siang, karena itu tidurlah yang enak, selama kau mau. Besok saya sediakan sarapan yang enak dan panas.”

“Terima kasih.” Musashi tak dapat menjawab. Ia sudah tak sabar lagi untuk melepaskan kaus kulit dan jubahnya. “Terima kasih banvak.”

Ia menyelam ke dalam selimut yang masih hangat, tapi tubuhnya sendiri lebih panas lagi akibat minuman itu.

Istri Baiken berdiri di pintu mengawasinya, kemudian diam-diam meniup lilin, dan katanya, “Selamat malam.”

Kepala Musashi terasa seperti dilingkari ikat baja yang ketat, pelipisnya berdentam-dentam sakit. Ia bertanya pada diri sendiri, kenapa minum jauh lebih banyak dari biasanya. Perasaannya dahsyat, tapi ia tak dapat tidak memikirkan Baiken. Kenapakah pandai besi yang semula tampak hampir tidak sopan itu tiba-tiba jadi bersahabat dan memintakan sake lagi? Kenapa­kah istrinya yang tak enak sikapnya itu menjadi manis dan tiba-tiba mau membantu? Kenapa mereka memberikan tempat tidur yang hangat ini?

Semua itu seperti tak terjelaskan, tapi sebelum Musashi dapat memecahkan misteri itu, rasa kantuk sudah menguasainya. Ia menutup mata, menarik napas dalam, dan menaikkan selimut. Cuma dahinya yang tetap terbuka, diterangi bunga-bunga api yang sekali-sekali melenting dari perapian. Segera kemudian terdengar tarikan napasnya yang dalam dan teratur.

Istri Baiken mengundurkan diri diam-diam ke kamar belakang, langkah kakinya yang ringan dan lengket menyeberang tatami.

Musashi bermimpi, atau lebih tepat dikatakan melihat sebagian mimpi yang terus berulang-ulang. Kenangan masa kecil melompat-lompat dalam otaknya seperti seekor serangga, kelihatannya seperti mencoba menuliskan sesuatu dengan huruf-huruf cahaya. Dan ia mendengar kata-kata nyanyian menidurkan bayi.

Tidurlah, tidurlah.

Bayi tidur itu manis…


Serasa ia kembali berada di Mimasaka, mendengarkan lagu menidurkan bayi
yang dinyanyikan istri pandai besi dalam dialek Ise. Ia sendiri bayi yang digendong seorang perempuan berkulit kuning berumur sekitar tiga puluh tahun… ibunya… Perempuan itu tentunya ibunya. Di dada ibunya ia menengadah ke wajah putih itu.

“… nakal, dan bikin ibunya menangis juga….” Sambil mengayun­ayunkannya dalam gendongan, ibunya menyanyi lembut. Wajahnya yang tirus terawat baik tampak sedikit kebiruan, seperti kembang buah pir. Tampak sebuah tembok, sebuah tembok batu panjang yang ditumbuhi tumbuhan menjalar. Dan sebuah tembok tanah yang dipayungi dahan­dahan yang menggelap ketika malam mendatang. Cahaya lampu bersirur dari rumah itu. Air mata berkilauan di pipi ibunya. Dan si bayi memandang kagum air mata itu.

“Pergi! Pulang sana ke rumahmu!”

Suara itu suara Munisai yang menakutkan, yang berasal dari dalam rumah. Dan itu suatu perintah. Ibu Musashi bangkit pelan-pelan, lalu ia menyusuri tanggul batu yang panjang. Sambil menangis ia berlari masuk sungai dan berjalan terus ke tengah.

Karena tak dapat bicara, bayi itu menggeliat dalam pelukan ibunya, mencoba mengatakan bahaya yang menghadang. Tapi semakin bayi itu bertingkah, semakin ketat ibunya memeluknya. Pipinya yang basah disapukan ke pipi bayi itu. “Takezo,” katanya, “kau anak ayahmu, atau ibumu?”

Munisai memekik dari tepi sungai. Ibunya tenggelam ke dasar sungai Bayinya dilontarkan ke tepi yang berkerikil, dan di situ ia tergeletak melolong sekuat paru-parunya, di tengah bunga mawar yang sedang berkembang.

Musashi membuka mata. Ketika ia mulai tertidur lagi, seorang perem­puan-ibunyakah? atau perempuan lain lagi? mengganggu tidurnya dan membangunkannya lagi. Musashi tak dapat mengingat wajah ibunya. Sering ia memikirkan ibunya, tapi tak dapat menggambarkan wajahnya. Apabila ia melihat ibu lain, terpikir olehnya, barangkali ibunya seperti ibu itu. “Ada apa malam ini?” pikirnya.

Sake itu telah hilang pengaruhnya. Ia membuka mata dan memandang ke langit-langit. Di tengah hitamnya jelaga terlihat cahaya kemerahan, pantulan bara di perapian. Pandangan matanya berhenti pada kincir mainan yang tergantung pada langit-langit di atasnya. Ia merasa juga bau ibu dan anak itu masih menempel pada seprai. Dengan rasa nostalgia samar-samar ia terus berbaring setengah tidur, menatap kincir mainan itu.

Kincir mainan mulai berputar pelan-pelan. Tak ada yang aneh di situ, memang ia dibuat supaya berputar. Tapi… tapi itu kalau ada angin! Maka Musashi bangun dan menajamkan pendengaran baik-baik. Terdengar bunyi pintu yang ditutupkan pelan-pelan. Kincir mainan berhenti berputar.

Diam-diam Musashi meletakkan kembali kepalanya ke bantal dan mencoba menduga apa yang sedang terjadi di rumah itu. Ia laksana seekor serangga di bawah selembar daun, yang mencoba meramalkan cuaca di atasmya. Seluruh tubuhnya sudah terbiasa dengan perubahan sekecil apa pun di sekitarnya, dan sarafnya yang peka betul-betul tegang. Musashi tahu, hidup­nva dalam bahaya, tapi dari mana?

“Apa ini sarang penyamun?” begitu mula-mula ia bertanya pada diri sendiri. Tapi tidak. Kalau mereka pencuri betul, tentunya mereka tahu ia tak punya apa-apa.

“Apa dia dendam padaku?” Itu pun rasanya tidak tepat. Musashi merasa pasti, belum pernah ia melihat Baiken sebelumnya.

Walaupun tak dapat menggambarkan sebabnya, kulit dan tulangnya dapat merasakan bahwa seseorang atau sesuatu sedang mengancam hidupnya tahu bahwa apa pun bentuknya, ancaman itu sangat dekat. Ia harus memutuskan dengan cepat, apakah akan berbaring menunggu datangnya bahaya, ataukah meloloskan diri sebelum tiba waktunya.

Ia ulurkan tangannya ke atas ambang pintu bengkel untuk mencari sandalnya. Ia selipkan mula-mula sebelah sandal, dan kemudian sandal yang lain ke bawah seprai, ke bagian kaki tempat tidur.

Kincir mainan itu mulai berputar lagi. Dalam cahava api ia berputar seperti bunga yang terkena sihir. Langkah-langkah kaki terdengar lirih, baik di dalam maupun di luar rumah, ketika Musashi pelan-pelan menggulung tilam menjadi bentuk tubuh manusia.

Di bawah tirai pendek di pintu muncul sepasang mata milik orang yang sedang merangkak masuk dengan pedang terhunus. Seorang lagi yang membawa lembing dan bergayut erat pada dinding mengendap ke bagian kaki tempat tidur. Kedua orang itu menatap seprai tempat tidur dan men­dengarkan napas orang yang sedang tidur. Kemudian, seperti gumpalan asap, orang ketiga melompat masuk. Orang itu Baiken sendiri yang memegang sabit dengan tangan kiri dan peluru dengan tangan kanan.

Ketiga mata orang itu bertemu, dan mereka mempersamakan napas. Orang yang berada di bagian kepala tempat tidur menendang bantal ke udara, sedangkan yang di bagian kaki melompat masuk bengkel dan membidikkan lembingnya ke benda terbaring itu.

Dengan sabit di belakang tubuhnya, Baiken berseru, “Bangun, Musashi!­

Tak ada jawaban atau gerakan datang dari tilam. Orang yang memegang lembing menyingkapkan seprai. “Dia tak ada,” serunya.

Baiken melontarkan pandangan bingung ke kamar, dan terpandang olehnya kincir mainan berputar cepat. “Ada pintu terbuka!” pekiknya.

Segera seorang lagi berseru marah. Pintu bengkel yang menghadap jalan setapak yang menuju ke belakang rumah terbuka sekitar tiga kali lebarnva. dan angin tajam bertiup ke dalam.

“Dia keluar dari sini!”

“Apa kerja orang-orang tolol itu!” jerit Baiken sambil berlari ke luar. Dari bawah ujung atap dan bayangan bermunculan sosok-sosok tubuh hitam. “Beres, Pak?” tanya satu suara rendah bergairah.

Baiken menatap berang. “Apa maksudmu, goblok? Menurutmu, kenapa kau kusuruh jaga di sini? Dia lari! Pasti dia lewat sini tadi.”

“Lari? Bagaimana dia bisa lari?”

“Pakai tanya lagi? Keledai kepala besar!” Baiken kembali masuk rumah dan berjalan mondar-mandir dengan bingung. “Cuma ada dua jalan yang mungkin dia ambil: ke jalan raya Tsu. Mana pun yang dia tempuh, dia pasti belum jauh. Kejar dia!”

“Lewat jalan mana, menurut Bapak?”

“Aku ke Suzuka. Kamu tutup jalan bawah itu!”

Orang-orang yang ada di dalam bergabung dengan orang-orang yang ada di luar, menjadi rombongan campuran terdiri atas sekitar sepuluh orang. semuanya bersenjata. Seorang di antaranya yang membawa bedil tampak seperti pemburu lainnya, yang membawa pedang pendek barangkali pembelah kayu.

Ketika berpisah, Baiken berseru, “Kalau kau temukan dia tembakkan bedil, dan semua kumpul.”

Mereka berangkat cepat-cepat, tapi sekitar satu jam kemudian mereka kembali satu-satu dengan wajah murung, berceloteh antara sesamanya dengan kesal. Mereka mengira akan mendapat makian pemimpinnya, tapi sampai di rumah mereka dapati Baiken duduk di lantai bengkel dengan mata tertunduk tanpa cahaya.

Ketika mereka mencoba menggembirakan hatinya, Baiken berkata, “Tak ada gunanya menangisinya sekarang.” Untuk mencoba melampiaskan ke­murkaannya, ia ambil sepotong kayu arang dan ia patahkan kayu itu dengan lututnya.

“Ambil sake! Aku mau minum.” Ia nyalakan api itu kembali dan ia masukkan lagi ranting-ranting kayu api.

Sambil mencoba menenangkan bayinya, istri Baiken mengingatkan suami­nya bahwa sake tak ada lagi. Seorang dari orang-orang itu dengan sukarela men-datangkan sake dari rumahnya, dan ia lakukan itu dengan cepat. Segera kemudian minuman itu sudah panas, dan mangkuk-mangkuk diedarkan.

Percakapan hanya terjadi di sana-sini dan kedengaran murung.

“Bikin aku gila.”

“Bajingan kecil busuk.”

“Dia punya jimat! Pasti.”

“Tak usah kuatir soal itu, Pak. Bapak sudah lakukan semua yang mungkin. Orang-orang di luar inilah tadi yang gagal dalam tugas.”

Orang-orang yang dimaksud itu meminta maaf dengan wajah malu. Mereka mencoba membuat Baiken mabuk, supaya mau pergi tidur, tapi Baiken hanya duduk memberengut karena pahitnya sake, tidak menegur siapa pun atas kegagalan itu.

Akhirnya ia berkata, “Mestinya tak usah aku membesarkan soal dengan mengerahkan begitu banyak bantuan dari kalian. Mestinya aku dapat menanganinya sendiri, tapi tadinya kupikir aku mesti hati-hati. Dia sudah membunuh saudaraku, sedangkan Tsujikaze Temma itu bukan pejuang kecil.”

“Apa ronin itu betul-betul anak yang sembunyi di rumah Oko empat tahun yang lalu?”

“Mestinya begitu. Jisim saudarakulah yang membawanya kemari, aku yakin. Semula tak pernah terpikir olehku, tapi kemudian dia mengatakan pernah di Sekigahara, dan namanya waktu itu Takezo. Melihat umurnya dan macamnya, memang dia yang membunuh saudaraku. Pasti dialah itu.”

“Lebih baik Bapak tidak memikirkannya lagi malam ini. Berbaringlah dan tidurlah.”

Mereka semua membantunya ke tempat tidur. Beberapa orang memungut bantal yang tadi ditendang dan meletakkannya di bawah kepalanya. Begitu mata Baiken tertutup, kemurkaan yang memenuhi dirinya diganti oleh dengkur keras.

Orang-orang saling mengangguk dan mengundurkan diri, bubar ke tengah kabut pagi buta. Mereka semua orang-orang jembel—anak buah bromocorah seperti Tsujikaze Temma dari Ibuki dan Tsujikaze Kohei dari Yasugama, yang sekarang menyebut dirinya Shishido Baiken. Bisa juga mereka itu sekadar begundal di anak tangga terbawah dalam masyarakat bebas. Karena desakan waktu yang sedang mengalami perubahan, mereka menjadi petani, tukang, atau pemburu, tapi masih punya gigi yang siap dipakai menggigit orang baik-baik, kapan saja ada kesempatan.

Yang terdengar di rumah itu kini hanya bunyi penghuni yang tidur dan gerekan tikus ladang.

Di sudut gang yang menghubungkan ruang kerja dengan dapur, di sam­ping tungku tanah besar, berdiri setumpuk kayu bakar. Di atasnya tergantung sebuah payung dan mantel-mantel jerami yang berat. Di dalam bayangan antara tungku dan dinding, salah satu mantel hujan itu bergerak, pelan dan lirih mengingsut ke dinding, sampai akhirnya tergantung pada paku.

Tubuh manusia yang seperti asap itu tiba-tiba seperti muncul dari dinding. Musashi muncul dari dinding. Musashi tak satu langkah pun meninggalkan rumah itu. Sesudah menyelinap dari bawah seprai tadi ia membuka pintu luar dan mencampurkan diri dengan kayu api, dan menutup dirinya dengan mantel hujan.

Kini ia berjalan pelan-pelan melintasi bengkel dan memandang Baiken.

Amandelnya bengkak, pikir Musashi, karena dengkur Baiken bukan main kerasnya. Keadaan itu terasa lucu olehnya, dan ia menyeringai.

Ia berdiri di sana sejenak, berpikir. Praktis ia sudah memenangkan pertarungan dengan Baiken. Suatu kemenangan telak. Namun orang yang terbaring itu saudara Tsujikaze Temma dan sudah mencoba membunuhnya untuk menyenang-kan roh saudaranya yang telah mati—suatu sentimen yang mengagumkan untuk seorang bromocorah.

Mestikah Musashi membunuhnya? Kalau Musashi membiarkannya hidup, ia akan terus mencari kesempatan melaksanakan balas dendam. Jalan yang aman, tidak sangsi lagi, adalah menyingkirkannya sekarang juga. Tapi per­soalan yang masih harus dijawab adalah, apakah orang itu pantas dibunuh.

Musashi berpikir keras sejenak, sebelum akhirnya menemukan pemecahan yang kelihatannya paling tepat. Ia pergi ke dinding dekat kaki Baiken dan mengambil salah satu senjata pandai besi itu. Sambil mengeluarkan mata sabit dari lekuknya, ia mengamati wajah orang yang sedang tidur itu. Kemudian dibungkuskannya secarik kertas lembap di sekitar mata sabit itu melintang di leher Baiken, dan ia undur mengagumi hasil karyanya.

Kincir mainan itu tidur juga. Sekiranya tak ada kertas pembungkus itu, demikian pikir Musashi, kincir itu bisa terbangun pagi harinya dan berputar kencang menyaksikan kepala tuannya terjatuh dari bantal.

Ketika Musashi membunuh Tsujikaze Temma dulu, ia punya alasan untuk melakukannya, lagi pula waktu itu darahnya masih mendidih oleh demam pertempuran. Namun kini tak ada satu pun manfaat yang bisa ia peroleh dari mengambil nyawa pandai besi itu. Lagi pula, siapa tahu, kalau ia membunuh orang itu, anaknya yang masih kecil nantinya akan menghabiskan hidupnya untuk berusaha membalas dendam kepada pembunuh ayahnya.

Malam itu berkali-kali Musashi memikirkan ayah dan ibunya sendiri. Ia merasa sedikit iri berdiri di dekat keluarga yang sedang tidur ini, dan samar-samar tercium olehnya bau manis susu ibu. Ia bahkan merasa enggan meninggalkan tempat itu.

Dalam hatinya ia berkata pada mereka, “Saya minta maaf telah meng­ganggu kalian. Tidurlah yang nyenyak.” Pelan-pelan ia membuka pintu luar dan pergi.

Kuda Terbang

OTSU dan Jotaro tiba di perbatasan larut malam, menginap di sebuah rumah penginapan, kemudian melanjutkan perjalanan lagi sebelum kabut pagi menghilang. Dari Gunung Fudesute mereka berjalan ke Yonkenjaya. Di situ untuk pertama kali mereka merasakan hangatnya matahari terbit yang menyinari punggung.

“Bukan main indahnya!” ujar Otsu. Ia berhenti melihat bulatan emas besar itu. Ia tampak penuh harapan dan keriangan. Itulah saat indah ketika semua benda bernyawa, bahkan juga tumbuhan dan binatang, merasa puas dan bangga karena hidup di dunia ini.

Jotaro berkata senang, “Kita berdua yang pertama di jalan ini. Tak ada orang di depan kita.”

“Kedengarannya bangga betul kamu. Apa artinya?” “Oh, banyak artinya.”

“Apa menurutmu jalan ini lalu jadi lebih pendek?”

“Oh, bukan. Senang rasanya menjadi orang pertama, biar cuma pertama di jalan. Mesti Kakak akui, itu lebih baik daripada berjalan di belakang joli atau kuda.”

“Memang betul.”

“Kalau tak ada orang lain di jalan yang kujalani, aku merasa jalan itu milikku.”

Kalau begitu, kenapa tidak kamu umpamakan dirimu seorang samurai besar yang sedang menunggang kuda dan memeriksa tanahmu yang luas? Aku akan jadi pembantumu.” Otsu memungut sebatang bambu, dan sambil mengayun-ayunkan bambu itu dengan khidmat ia berseru-seru dengan nada sama, “Semua membungkuk! Semua membungkuk kepada Yang Dipertuan!”

Seorang lelaki memandang bertanya-tanya dari bawah ujung atap warung teh. Tertangkap basah sedang bermain seperti anak-anak, wajah Otsu memerah dan ia berjalan terus secepat-cepatnya.

Oh, jangan begitu,” protes Jotaro. “Tak boleh kamu lari dari tuanmu. Kalau lari, terpaksa aku membunuhmu!”

“Aku tak mau main lagi, ah!”

“Lho, kan Kakak yang main tadi, bukan aku?”

“Ya, tapi kamu yang mulai. Lihat itu! Orang di warung teh itu memandang kita terus. Pasti dikiranya kita sinting.”

“Mari kita kembali ke sana.”

“Buat apa?”

“Aku lapar.”

“Sudah lapar?”

“Apa tak bisa kita makan separuh kue nasi yang buat makan siang?”

“Sabar. Kita belum lagi tiga kilometer. Kalau kubiarkan bisa-bisa kamu makan lima kali sehari.”

“Mungkin. Tapi Kakak tak pernah lihat aku naik joli atau menaiki kuda seperti Kakak.”


Cerita Novel Musashi buku 3, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp//?cat=44
[lihat: Lanjutan Cerita]


0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar