Sabtu, 10 Mei 2008

Miyamoto Musashi, Buku 4-1


Cerita Novel Musashi buku 4, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar] [lihat: Cerita Sebelumnya]


Ladang yang Layu

PARA pemain pedang Perguruan Yoshioka berkumpul di ladang tandus yang menghadap pintu masuk Nagasaka ke jalan raya Tamba. Di balik pohon­pohon yang membatasi ladang itu, kilau salju pegunungan barat laut Kyoto menyergap mata seperti kilat.

Seorang dari mereka menyarankan membuat api, karena mata pedang mereka yang seolah tersarung menjadi semacam penyalur dingin langsung ke tubuh mereka. Waktu itu awal musim semi, hari kesembilan Tahun Baru. Angin dingin bertiup turun dari Gunung Kinugasa. Bahkan suara burung-burung pun terdengar sedih.

“Bagus nyalanya, kan?”

“Tapi lebih baik hati-hati. Jangan sampai membakar semak.”

Api yang berdetak-detak suaranya itu menghangatkan tangan dan wajah mereka, tapi tak lama kemudian Ueda Ryohei menggerutu sambil mengipas­-ngipas asap dari matanya. “Terlalu panas!” Sambil menatap orang yang hendak memasukkan lebih banyak daun ke api, katanya, “Cukup sudah! Berhenti!” Satu jam berlalu tanpa banyak kejadian. “Tentunya sudah jam enam lebih.”

Tanpa pikir panjang lagi mereka semua mengangkat mata ke arah matahari.

“Hampir jam tujuh.”

“Tuan Muda harus sudah di sini sekarang.”

“Ah, dia datang sebentar lagi.”

Dengan wajah tegang mereka memandang kuatir ke jalan dari kota. Tak sedikit di antara mereka menelan ludah gelisah. “Apa yang terjadi dengannya?”

Seekor sapi menguak memecahkan ketenangan. Ladang itu memang pernah digunakan sebagai tempat penggembalaan sapi-sapi Kaisar. Di sekitar­nya masih ada sapi-sapi tak terpelihara. Matahari naik lebih tinggi, membawa serta kehangatan serta bau tahi binatang dan rumput kering.

“Apa menurutmu Musashi sudah ada di lapangan dekat Rendaiji?”

“Mungkin.”

“Mesti ada yang melihat ke sana. Cuma sekitar enam ratus meter dari sini.”

Tapi tak seorang pun mau melakukannya. Mereka terdiam kembali. Wajah mereka menyala dalam bayangan yang ditimbulkan asap.

“Tak ada salah pengertian tentang pengaturannya, kan?”

“Tidak. Ueda menerimanya langsung dari Tuan Muda tadi malam. Tak mungkin ada kesalahan.”

Ryohei membenarkan. “Betul. Aku tak heran kalau Musashi sudah ada di sana. Barangkali Tuan Muda sengaja terlambat untuk bikin Musashi gelisah. Mari kita tunggu dulu. Kalau kita membuat gerakan keliru dan menimbulkan kesan pada orang banyak bahwa kita memberikan bantuan kepada Tuan Muda, itu akan bikin malu perguruan. Kita tidak dapat melakukan sesuatu sebelum dia datang. Apa sih Musashi itu? Cuma seorang ronin. Tak mungkin dia hebat.”

Para murid yang telah menyaksikan aksi Musashi di dojo Yoshioka tahun sebelumnya lain sikapnya. Tapi bagi mereka pun mustahil Seijuro akan kalah. Kesepakatan yang mereka capai adalah bahwa sekalipun guru mereka pasti menang, kecelakaan bisa saja terjadi. Dan lagi, karena pertarungan itu diumumkan luas, akan banyak penonton yang kehadirannya menurut mereka tidak hanya akan menambah wibawa perguruan, melainkan juga meninggikan nama baik guru mereka.

Sekalipun ada perintah khusus dari Seijuro agar dalam keadaan apa pun mereka tidak membantunya, empat puluh orang berkumpul di sini untuk menantikan kedatangannya, untuk memberikan ucapan selamat jalan, dan berjaga-jaga, barangkali saja diperlukan. Disamping Ueda ada lima dari Sepuluh Pemain Pedang Perguruan Yoshioka yang hadir.

Sekarang sudah lewat pukul tujuh. Ketenangan yang dianjurkan Ryohei pada mereka berkembang menjadi kebosanan, dan mereka menggerutu tak senang.

Para penonton yang hendak melihat pertarungan, bertanya-tanya apakah telah terjadi kekeliruan.

“Di mana Musashi?”

“Di mana yang satunya itu – Seijuro?”

“Siapa saja samurai di sana itu?”

“Barangkali mereka datang buat mendukung salah satu pihak.”

“Aneh juga pertarungan ini! Pendukungnya ada, tapi yang bertarung tak ada!”

Sekalipun penonton terus bertambah banyak dan dengung suara manusia terdengar semakin keras, para penonton cukup berhati-hati dan tidak mendekati para pengikut Yoshioka, sedangkan para murid sama sekali tidak memperhatikan kepala-kepala yang mengintip lewat pohon miskantus yang layu atau menonton dari cabang-cabang pohon.

Jotaro berjalan ke sana kemari di tengah orang banyak, meninggalkan kepulan debu di belakangnya. Dengan pedang kayunya yang amat besar dan sandal yang juga terlalu besar, ia beralih dari perempuan yang satu ke perempuan lain, memeriksa wajahnya. “Tidak ada di sini, tak ada di sini,” bisiknya. “Apa yang terjadi dengan Otsu? Dia tahu pertandingan hari ini.” Dia mesti hadir di sini, demikian pikirnya. Musashi bisa dalam bahaya. Apa yang membuat dia tidak datang?

Pencarian yang dilakukannya tidak membawa hasil, sekalipun ia sudah berjalan susah payah, sampai capek setengah mati. “Aneh sekali,” pikirnya. “Aku tak melihat dia sejak Hari Tahun Baru. Apa dia sakit? Perempuan tua jelek itu bicaranya manis, tapi mungkin juga tipuan. Barangkali dia me­lakukan tindakan mengerikan terhadap Otsu.”

Soal itu menggelisahkannya bukan main, jauh lebih menggelisahkan daripada hasil pertarungan hari itu.

Sebelum itu tak ada padanya perasaan was-was. Dari beratus-ratus orang yang ada di tempat itu, hampir tak seorang pun tidak mengharapkan kemenangan Seijuro. Hanya Jotaro memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Musashi. Di matanya terbayang gurunya ketika menghadapi lembing para pendeta Hozoin di Dataran Hannya.

Akhirnya ia berhenti di tengah lapangan. “Dan ada satu lagi yang aneh,” renungnya. “Kenapa semua orang ini ada di sini? Menurut papan peng­umuman itu, pertarungan dilakukan di lapangan dekat Rendaiji.” Rupanya hanya ia seorang yang merasa heran.

Dari tengah orang banyak yang berbondong-bondong terdengar suara mem-berengut, “Hei, Nak! Coba sini!”

Jotaro mengenal orang itu. Dialah yang memperhatikan Musashi dan Akemi ketika mereka saling bisik di jembatan pada pagi Tahun Baru itu.

“Ada apa, Pak?” tanya Jotaro.

Sasaki Kojiro mendekati Jotaro, tapi sebelum bicara ia memandang Jotaro dulu pelan-pelan dari kepala sampai jari kaki. “Apa bukan kamu yang kulihat di jalan Gojo baru-baru ini?”

“Oh, jadi Bapak ingat, ya?”

“Waktu itu kau bersama seorang perempuan muda.”

“Ya, perempuan itu Otsu.”

“Oh, namanya Otsu. Coba katakan, apa dia itu ada hubungan dengan Musashi?”

“Saya rasa ada.”

“Apa dia saudara sepupu Musashi?”

“Enggak.”

“Saudaranya?”

“Enggak.”

“Jadi?”

“Dia suka Musashi.”

“Mereka saling cinta?”

“Itu saya tak tahu. Saya cuma muridnya.” Jotaro mengangguk bangga.

“Jadi, itu sebabnya kamu ada di sini? Coba dengar, orang banyak itu mulai gelisah. Kau tentu tahu di mana Musashi. Apa dia sudah meninggalkan penginapannya?”

“Kenapa tanya saya? Sudah lama saya tidak melihatnya.”

Beberapa lelaki menerobos orang banyak dan mendekati Kojiro. Kojiro melontarkan pandangan mata elang pada mereka. “Ah, jadi engkau di sini, Sasaki!”

“Oh, Ryohei.”

“Di mana engkau selama ini?” tanya Ryohei sambil mencengkeram tangan Kojiro, seakan-akan menawannya. “Engkau tidak datang ke dojo lebih dari sepuluh hari. Tuan Muda ingin latihan sedikit denganmu.”

“Lalu apa salahnya kalau aku tidak datang? Hari ini aku di sini.”

Ryohei dan rekan-rekannya mengelilingi Kojiro, kemudian membawanya ke api mereka.

Terdengar bisikan di tengah orang-orang yang melihat pedang panjang Kojiro dan pakaiannya yang gemilang, “Orang itu pasti Musashi!”

“Apa itu dia?”

“Tentunya.”

“Mencolok juga pakaiannya. Tapi kelihatannya bukan orang lemah.”

“Itu bukan Musashi!” teriak Jotaro mencela. “Musashi sama sekali bukan macam itu! Tak bakal kalian lihat dia pakai pakaian macam pemain Kabuki!”

Tak lama kemudian, bahkan orang-orang yang tidak mendengar protes anak itu pun menyadari kesalahan mereka dan kembali bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang terjadi.

Kojiro berdiri dengan para murid Yoshioka dan memandang mereka dengan sikap merendahkan. Mereka mendengarkannya tanpa mengucapkan sesuatu, tapi wajah mereka cemberut.

“Sungguh beruntung Perguruan Yoshioka, bahwa Seijuro dan Musashl tidak datang pada waktunya,” kata Kojiro. “Lebih baik kalian memecah diri dalam beberapa kelompok, mencegat Seijuro, dan cepat-cepat membawanya pulang sebelum dia terluka.”

Usul yang bersifat pengecut ini membikin mereka meradang, tapi Kojiro berkata lagi, “Apa yang kunasihatkan ini lebih baik bagi Seijuro daripada bantuan apa pun yang mungkin dia peroleh dari kalian.” Kemudian dengan agak angkuh ia berkata, “Aku dikirim dari surga kemari sebagai utusan, demi kepantingan Keluarga Yoshioka. Sekarang aku akan me­nyampaikan ramalanku: kalau mereka jadi bertarung, Seijuro akan kalah. Maaf aku mesti mengatakan ini, tapi Musashi pasti akan mengalahkan-nya, barangkali membunuhnya.”

Miike Jurozaemon membusungkan dada ke dada pemuda itu, dan pekiknya, “Penghinaan!” Dengan siku kanan terletak di antara wajah sendiri dan Kojiro, ia siap menarik pedang dan memukul.

Kojiro menunduk dan menyeringai, “Jadi, kalian tak suka dengan apa yang kukatakan.”

“Ugh!”

“Kalau begitu, maafkan,” kata Kojiro gembira. “Aku takkan berusaha memberikan dukungan lebih lanjut.”

“Pertama-tama, tak ada yang minta bantuanmu.”

“Itu tidak benar. Kalau kalian tidak memerlukan dukunganku, kenapa kalian mendesak aku datang dari Kema ke rumah kalian? Kenapa kalian berusaha keras membuatku senang? Kalian, Seijuro, ya, kalian semua!”

“Kami hanya bersikap sopan pada tamu. Jadi, kau rupanya hanya memikirkan diri sendiri, ya?”

“Ha, ha, ha, ha! Mari kita hentikan semua ini, supaya akhirnya aku tidak terpaksa melawan kalian semua. Tapi kuperingatkan, kalau kalian tidak menuruti nasihatku, kalian akan menyesal! Aku sudah membandingkan kedua orang itu dengan mataku sendiri, dan menurutku kemungkinan Seijuro kalah sangat besar, Musashi ada di jembatan Jalan Gojo pada pagi Tahun Baru. Begitu melihatnya, aku tahu bahaya. Bagiku papan yang kalian pasang itu tampak lebih sebagai pengumuman berkabung bagi keluarga Yoshioka. Ini sungguh menyedihkan, tapi rupanya begitulah dunia ini: tak pernah orang menyadari bahwa sesungguhnya zamannya sudah lewat.”

“Cukup! Kenapa kau datang kemari kalau tujuanmu cuma bicara macam itu?”

Nada Kojiro jadi menyindir. “Juga, rupanya khas bagi orang yang sedang runtuh bahwa mereka tak mau menerima uluran tangan dalam semangat seperti yang ditawarkan. Silakan saja! Berpikirlah kalian semua! Kalian bahkan takkan perlu sampai menanti habisnya hari ini. Dalam sejam kalian akan tahu, bagaimana kelirunya kalian.”

“Juh!” Jurozaemon meludahi Kojiro. Empat puluh orang bergerak selangkah ke depan; kemarahan mereka menyebar gelap ke seluruh lapangan.

Kojiro menanggapinya dengan penuh keyakinan diri. Ia cepat melompat ke sisi, dan dengan jurusnya ia memperlihatkan bahwa jika mereka mencari perkelahian, ia siap. Kemauan baik yang dinyatakannya kini kelihatan menjadi pura-pura. Orang luar pun bisa bertanya-tanya, barangkali ia sengaja menggunakan psikologi massa untuk menciptakan kesempatan mencuri pertunjukan dari Musashi dan Seijuro.

Keributan melanda orang-orang yang cukup dekat dengan kejadian itu. Ini bukan pertarungan yang ingin mereka saksikan, tapi tampaknya bakal menarik.

Tiba-tiba seorang gadis muda menyerobot ke tengah suasana pembunuhan itu. Di belakangnya mengejar pula seekor monyet kecil, seperti bola sedang bergulir. Gadis itu menderas ke antara Kojiro dan jago-jago pedang Yoshioka, dan jeritnya, “Kojiro, di mana Musashi? Tak ada di sini?”

Kojiro menoleh marah kepadanya. “Apa pula ini?” tanyanya.

“Akemi!” kata salah seorang samurai. “Apa kerjanya di sini?”

“Kenapa kamu datang kemari?” bentak Kojiro. “Aku sudah bilang jangan, kan?”

“Aku bukan milik pribadimu! Kenapa pula aku tak bisa datang kemari?”

“Diam! Dan pergi dari sini! Pulang sana ke Zuzuya,” teriak Kojiro mendorong Akemi pelan.

Akemi yang terengah-engah hebat itu menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan perintah aku ke sana ke sini! Aku tinggal denganmu, tapi aku bukan milikmu, aku…” Sampai di situ tercekiklah ia dan mulai tersedu­sedu, “Berani sekali kau menyuruh-nyuruh aku, sesudah melakukan semuanya itu padaku? Sesudah mengikatku dan meninggalkan aku di tingkat dua penginapan itu? Sesudah menggertak dan menyiksaku, ketika kubilang aku kuatir akan Musashi?”

Kojiro membuka mulut dan slap berbicara, tapi Akemi tidak memberinya kesempatan. “Salah seorang tetangga mendengar aku menjerit dan datang melepaskan ikatanku. Dan aku ada di sini buat melihat Musashi!”

“Apa kau gila? Apa kau tidak lihat orang banyak di sekitarmu? Diam!”

“Aku tak mau diam! Aku tak peduli siapa yang dengar. Kau bilang Musashi akan terbunuh hari ini—kalau Seijuro tak dapat mengatasi, kau akan bertindak membantunya dan membunuh Musashi sendiri. Barangkali aku gila, tapi Musashi satu-satunya lelaki di hatiku! Aku mesti ketemu dia. Di mana dia?”

Kojiro mendecapkan lidah, tapi tak dapat mengatakan apa-apa menghadapi serangan tajam Akemi itu.

Bagi orang-orang Yoshioka, Akemi kelihatan terlalu bingung untuk dapat dipercayai kata-katanya. Tapi barangkali ada benarnya juga yang dikatakannya itu. Dan kalau memang benar, berarti Kojiro telah menggunakan kebaikan sebagai umpan, kemudian menyiksa Akemi untuk kesenangannya sendiri.

Karena malu, Kojiro menatap Akemi dengan kebencian yang tak di­sembunyi-sembunyikan.

Tapi tiba-tiba perhatian mereka beralih kepada salah seorang pembantu Seijuro, seorang pemuda bernama Tamihachi. Pembantu itu datang berlari seperti orang liar, sambil melambai-lambaikan tangan dan berteriak-teriak. “Tolong!” Tuan Muda! Dia sudah ketemu Musashi! Dia luka! Ngeri! Oh, ngeri-i-i!”

“Apa yang kamu ocehkan itu?”

“Tuan Muda? Musashi?”

“Di mana? Kapan?”

“Tamihachi, apa benar katamu itu?”

Pertanyaan-pertanyaan nyaring dimuntahkan oleh wajah-wajah yang tiba-tiba kehabisan darah.

Tamihachi terus menjerit-jerit tak jelas. Tanpa menjawab pertanyaan-­pertanyaan mereka ataupun beristirahat untuk mengatur napas, ia lari terhuyung-huyung kembali ke jalan raya Tamba. Setengah percaya setengah ragu, tak tahu benar apa yang hendak dipikirkan, Ueda, jurozaemon dan yang lain-lain ikut berlari mengikutinya seperti binatang liar melintasi dataran terbakar.

Sesudah berlari ke utara sekitar lima ratus meter jauhnya, sampailah mereka di lapangan tandus yang menghampar di balik pepohonan ke sebelah kanan. Lapangan itu terjemur sinar matahari musim semi. Per­mukaannya tenang tenteram. Burung murai dan jagal yang terus berkicau, seakan tak ada yang baru terjadi, segera berterbangan ke udara ketika Tamihachi kalang kabut menerjang rerumputan. Ia mendaki bukit kecil yang tampak seperti kuburan kuno, dan jatuh berlutut. Sambil men­cengkeram tanah ia mengerang dan menjerit, “Tuan Muda!”

Yang lain-lain sampai juga ke tempat itu, kemudian berdiri terpukau di tanah, ternganga melihat pemandangan di hadapan mereka. Seijuro tergeletak dengan wajah terbenam di rumput. Ia berkimono pola kembang biru. Tali kulit mengikat lengan kimono. Kepalanya terikat kain putih.

“Tuan Muda!”

“Kami di sini! Apa yang terjadi?”

Tak ada titik darah pada ikat kepala putih itu, tidak juga pada lengan kimononya atau pada rumput di sekitarnya, tapi mata dan dahi Seijuro rampak beku dalam rasa nyeri tak terkira. Bibirnya sewarna dengan buah anggur liar.

“Apa … masih ada napasnya?”

“Sedikit.”

“Cepat angkat!”

Satu orang berlutut dan memegang lengan kanan Seijuro, siap mengangkat. Seijuro menjerit kesakitan.

“Cari alat pengangkat! Apa saja!”

Tiga-empat orang berteriak-teriak bingung dan berlari ke jalan, menuju sebuah rumah pertanian, dan kembali membawa daun jendela. Hati-hati mereka gulingkan Seijuro ke atasnya. Tapi sekalipun kelihatannya cuma sadar sedikit, masih juga Seijuro merintih kesakitan. Agar tenang letaknya, beberapa orang melepaskan obi-nya dan mengikatnya ke daun jendela.

Mereka mengangkatnya, seorang di masing-masing sudut, dan mereka berjalan diam seperti pada upacara penguburan.

Seijuro menendang-nendang hebat, hingga hampir-hampir memecahkan daun jendela. “Musashi… apa dia sudah pergi? Oh sakit! … Lengan kanan-bahu. Tulangnya… O-w-w-w! Tak tahan. Potong saja!… Kalian tidak dengar? Potong lengan itu!”

Hebatnya rasa sakit yang dideritanya menyebabkan orang-orang yang memikul tandu darurat itu memalingkan mata. Seijuro orang yang mereka hormati sebagai guru. Sungguh tak pantas melihatnya dalam keadaan seperti itu.

Mereka berhenti dan memanggil Ueda dan Jurozaemon. “Dia kesakitan dan minta kami memotong lengannya. Apa takkan lebih ringan untuknya kalau kita memenuhi permintaannya?”

“Jangan bicara macam orang tolol,” raung Ryohei. “Tentu saja sakit, tapi dia takkan mati karenanya. Kalau kita memotong lengannya dan tak bisa menghentikan aliran darahnya, dia akan mati. Yang harus kita lakukan sekarang adalah membawa dia pulang dan melihat seberapa besar lukanya. Kalau lengan itu memang harus dipotong, kita dapat melakukannya sesudah diambil langkah-langkah lain agar dia tidak mengalami pendarahan yang dapat mengakibatkan kematian. Sebagian dari kalian mesti jalan dulu memanggil dokter ke perguruan.”

Di mana-mana masih banyak orang yang diam berdiri di belakang pohon pinus di sepanjang jalan. Dengan jengkel Ryohei memberengut suram dan menoleh kepada orang-orang di belakang. “Usir orang-orang itu,” perintahnya. “Tuan Muda bukan tontonan.”

Kebanyakan dari samurai itu merasa beruntung mendapat kesempatan melampiaskan kemarahan mereka. Lantas saja mereka berlari dan membuat gerakan-gerakan ganas terhadap para penonton. Para penonton buyar seperti belalang.

“Tamihachi, sini!” Ryohei marah, seakan menyalahkan pembantu muda itu atas segala yang telah terjadi.

Pemuda yang dari tadi berjalan sambil menangis di samping tandu itu mengkerut ketakutan. “Y y-ya?” gagapnya.

“Apa kamu bersama Tuan Muda ketika dia meninggalkan rumah?”

” Y- y-ya”

“Di mana dia melakukan persiapan?”

“Di sini, sesudah sampai lapangan.”

“Dia mestinya tahu di mana kami menunggu. Kenapa dia tidak ke sana dulu?”

“Saya tidak tahu.”

“Apa Musashi sudah ada di sana?”

“Dia berdiri di bukit kecil di mana… di mana…”

“Apa dia sendirian?”

“Ya.”

“Bagaimana kejadiannya? Apa kamu cuma berdiri melihat?”

“Tuan Muda memandang langsung pada saya dan berkata… dia bilang, kalau misalnya dia kalah, saya mesti memungut tubuhnya dan membawanya ke lapangan yang lain itu. Dia bilang, Anda dan yang lain-lain sudah ada di sana sejak fajar. Tapi dalam keadaan apa pun tak boleh saya menyampai­kan pada siapa pun sampai pertarungan selesai. Dia bilang, ada waktunya seorang murid Seni Perang tak punya pilihan lain kecuali menanggung risiko kalah, dan dia tak ingin menang dengan cara-cara yang tidak terhormat, yang pengecut. Sesudah itu dia maju menjumpai Musashi.” Tamihachi bicara cepat, puas kerena telah menceritakan hal itu.

“Kemudian apa yang terjadi?”

“Saya bisa melihat wajah Musashi. Kelihatannya tersenyum sedikit. Mereka seperti bertukar salam. Kemudian… kemudian terdengar jeritan. Suara itu terdengar dari ujung lapangan yang satu ke ujung yang lain. Saya lihat pedang kayu Tuan Muda terbang ke udara, dan kemudian… hanya Musashi yang berdiri. Dia memakai ikat kepala warna jingga, tapi rambutnya tegak.”

Jalan itu sudah dibersihkan dari orang-orang yang ingin tahu. Orang­orang yang memikul daun jendela merasa sedih dan tertekan, tetapi tetap melangkah dengan hati-hati untuk menghindari bertambahnya rasa sakit pada orang yang luka itu.

“Apa itu?”

Mereka berhenti, dan seorang dari yang ada di depan meletakkan tangannya yang bebas ke leher. Yang lain menengadah. Daun pinus yang sudah kering berguguran menimpa Seijuro. Monyet Kojiro bertengger dengan sebelah kakinya di atas mereka, memandang kosong dan membuat gerakan-gerakan cabul.

“Uh!” teriak salah seorang ketika sebutir buah pinus jatuh ke wajahnya yang menengadah. Sambil memaki ia mencabut belati dari sarungnya dan me­lemparkannya secepat kilat ke arah si monyet, tapi tidak mengenai sasaran.

Mendengar siul tuannya, monyet itu berjungkir balik dan hinggap dengan ringan ke bahunya. Kojiro berdiri dalam bayangan. Akemi ada di sampingnya. Orang-orang Yoshioka melontarkan pandangan benci kepadanya. Kojiro menatap tajam ke tubuh Seijuro di atas daun jendela. Senyuman congkak hilang dari wajahnya, dan sekarang wajah itu menampakkan sikap takzim. Ia menyeringai mendengar rintihan keras Seijuro. Karena masih ingat benar akan kuliahnya tadi, para samurai hanya bisa menyimpulkan bahwa Kojiro datang melulu untuk menikmati kebenaran kata-katanya.

Ryohei memerintahkan pemikul tandu berjalan terus, katanya, “Cuma monyet, bukan manusia. Ayo terus jalan.”

“Tunggu,” kata Kojiro, lalu pergi ke samping Seijuro dan bicara langsung dengannya. “Apa yang terjadi?” tanyanya, tapi tanpa menantikan jawabannya. “Musashi mengalahkan Anda, ya? Di mana dia memukul? Bahu kanan? Wah, berat ini. Tulangnya berantakan. Lengan Anda seperti kantong kerikil. Anda tak boleh menelentang, melambung-lambung di atas daun jendela. Darah bisa naik ke otak.”

Sambil menoleh kepada yang lain-lain, ia memberikan perintah dengan angkuh, “Turunkan dia! Ayo, turunkan dia! Apa yang kalian tunggu? Kerja­kan seperti yang kukatakan!”

Seijuro kelihatan sudah hampir mati, tapi Kojiro memerintahkannya berdiri. “Anda bisa, kalau Anda mencoba. Luka itu tidak begitu serius. Cuma lengan kanan Anda. Kalau Anda mencoba jalan, Anda bisa. Anda masih bisa pakai tangan kiri. Lupakan diri Anda sendiri! Pikirkan almarhum ayah Anda. Anda mesti lebih banyak menunjukkan hormat kepada beliau daripada yang Anda tunjukkan sekarang, ya, lebih banyak lagi. Kalau Anda diangkut lewat jalan-jalan Kyoto… seperti apa nanti kelihatannya. Coba pikir, bagaimana pengaruhnya itu nanti pada nama baik ayah Anda?”

Seijuro menatapnya, matanya putih tak berdarah. Kemudian dengan satu gerakan cepat ia angkat dirinya untuk berdiri. Lengan kanannya yang sudah tak berguna itu tampak sekali lebih panjang daripada lengan kirinya.

“Mike!” teriak Seijuro.

“Ya, Tuan.” “Potong ini!”

“Hah-hh!”

“Jangan cuma berdiri! Potong tanganku!”

“Tapi…

“Goblok. Sini, Ueda, potong ini! Sekarang juga!”

“Ya-ya-ya, Tuan.”

Tapi sebelum Ueda bergerak Kojiro berkata, “Akan kulakukan, kalau Anda menghendakinya.”

“Silakan!” kata Seijuro.

Kojiro pergi ke sisinya. Ia mencengkeram erat tangan Seijuro, meng­angkatnya tinggi-tinggi, dan bersamaan dengan itu ia hunus pedang kecilnya. Dengan bunyi cepat mengejutkan lengan itu jatuh ke tanah dan darah menyembur dari bonggolnya.

Seijuro terhuyung-huyung, dan para siswa datang serentak untuk mem­bantu serta menutup luka dengan kain, untuk menghentikan darahnya.

“Sekarang aku jalan,” kata Seijuro. “Aku pulang dengan kedua kakiku sendiri.” Wajahnya pucat seperti lilin. Ia maju sepuluh langkah. Di bela­kangnya, darah yang menetes dari lukanya merembes hitam ke tanah.

“Tuan Muda, hati-hati!”

Para murid terus mengerumuninya lekat-lekat. Suara mereka yang me­ngandung rasa kuatir dengan cepat berubah menjadi kemarahan.

Seorang dari mereka mengutuk Kojiro, katanya, “Kenapa pula keledai congkak itu ikut campur? Tuan lebih baik seperti tadi.”

Tetapi Seijuro, yang sudah malu oleh kata-kata Kojiro, mengatakan, “Kukatakan aku jalan, dan aku akan jalan!” Sesudah beristirahat sebentar, ia maju lagi dua puluh langkah, tapi sesungguhnya ia lebih banyak digerakkan oleh daya kemauan daripada oleh kedua kakinya. Ia tak dapat bertahan lama. Sesudah lima puluh atau enam puluh meter ia pun roboh.

“Cepat! Kita mesti membawanya ke tabib!”

Mereka mengangkatnya dan cepat membawanya ke Jalan Shijo. Seijuro tak punya lagi kekuatan untuk melawan.

Kojiro berdiri sejenak di bawah pohon, sambil mengawasi dengan wajah suram. Kemudian, sambil menoleh kepada Akemi dan menyeringai, ia berkata, “Kaulihat? Kukira kau senang, kan?” Akemi menerima cemoohan Kojiro itu dengan perasaan jijik. Wajahnya pucat pasi, tapi Kojiro melanjutkan, “Bisamu cuma bicara akan balas dendam. Apa kau puas sekarang? Apa itu cukup buat ganti keperawananmu yang hilang?”

Akemi terlampau bingung untuk bicara. Pada saat itu Kojiro kelihatan olehnya lebih menakutkan, lebih penuh kebencian, dan lebih jahat daripada Seijuro. Walaupun Seijuro penyebab penderitaannya, Seijuro bukan orang yang kejam. Ia tidak berhati hitam, dan bukan bajingan yang sebenar­benarnya. Kojiro sebaliknya, jahat sejahat-jahatnya – bukan sejenis pendosa yang bisa dibayangkan kebanyakan orang, melainkan jahanam yang licik dan jahat. Ia bukannya ikut senang jika orang lain berbahagia, malah sebaliknya bergembira dengan hadir dan menonton penderitaan orang lain. Ia takkan pernah mencuri atau menipu, tapi ia lebih berbahaya daripada penjahat biasa.

“Mari kita pulang,” katanya sambil mengembalikan monyetnya ke bahu. Akemi ingin sekali melarikan diri, tapi tak bisa mengerahkan keberanian. “Tak ada gunanya kau terus mencari Musashi,” gumam Kojiro, sekaligus pada diri sendiri dan pada Akemi. “Tak ada alasan baginya berlama-lama di sini.

Akemi bertanya pada diri sendiri, kenapa ia tidak mengambil kesempatan ini untuk lari ke alam bebas. Kenapa sepertinya ia tak mampu meninggalkan manusia kejam ini. Bahkan sementara mengutuk kebodohannya sendiri, tidak dapat ia mencegah dirinya pergi dengan Kojiro.

Monyet itu memutar kepala dan memandangnya. Sambil mengoceh mengejek ia memamerkan giginya yang putih dan menyeringai lebar.

Akemi ingin memakinya, tapi tak dapat. Ia merasa dirinya dan monyet itu terikat oleh nasib yang sama. Ia ingat, kasihan sekali tampaknya Seijuro tadi. Sekalipun dirinya sudah dirugikan, hatinya kasihan juga pada Seijuro. Ia benci pada lelaki seperti Seijuro dan Kojiro, namun sekaligus tertarik pada mereka, seperti ngengat tertarik pada nyala api.

MUSASHI meninggalkan lapangan itu sambil berpikir, “Aku menang,” katanya pada dirinya sendiri, “Sudah kukalahkan Yoshioka Seijuro; sudah kutunduk­kan benteng Gaya Kyoto!”

Tapi ia tahu hatinya tidak di situ. Matanya tertunduk dan kakinya seperti tenggelam dalam dedaunan kering. Seekor burung kecil yang terbang membubung ke langit memperlihatkan bagian bawah tubuhnya yang meng­ingatkan pada seekor ikan.

Ketika ia menoleh ke belakang, tampak olehnya pohon-pohon pinus yang ramping di atas gundukan tempat ia menghadapi Seijuro. “Aku memukul cuma satu kali,” pikirnya. “Barangkali pukulan itu tidak mem­bunuhnya.” Ia memeriksa pedang kayunya untuk memperoleh kepastian bahwa tidak ada sisa darah di situ.

Pagi itu, dalam perjalanan ke tempat yang telah ditentukan, ia menduga akan menjumpai Seijuro ditemani rombongan muridnya, yang bisa saja menempuh jalan licik. Terus terang ia sudah siap menghadapi kemungkinan terbunuh. Agar pada akhir hayatnya ia tidak tampak berantakan, ia sudah menggosok giginya baik-baik dengan garam dan mencuci rambutnya.

Ternyata Seijuro jauh berada di bawah perkiraan Musashi. Musashi bertanya-tanya, apakah Seijuro benar-benar anak Yoshioka Kempo. Di dalam diri Seijuro yang biasa hidup di kota dan jelas berpendidikan baik itu tidak tampak penampilan seorang guru utama Gaya Kyoto. Ia terlalu ramping, terlalu lunak, terlalu sopan santun untuk menjadi jagoan pedang besar.

Ketika mereka bertukar salam, Musashi sudah berpikir tak enak. “Mestinya tak usah aku menjalani pertarungan ini.”

Penyesalannya memang benar, kerena tujuannya adalah selalu menghadapi lawan yang lebih baik dari dirinya. Sekali pandang cukuplah. Tidak ada gunanya berlatih setahun penuh hanya untuk menghadapi pertarungan ini. Mata Seijuro tidak menampakkan keyakinan diri. Api yang dibutuhkan itu tidak ada, tidak hanya pada wajahnya, melainkan juga pada seluruh tubuhnya.

“Kenapa dia datang kemari pagi ini,” tanya Musashi sendiri, “kalau dia tak punya keyakinan lebih di dalam dirinya?” Tapi Musashi sadar akan kesulitan lawannya, dan ia bersimpati. Seijuro tak dapat membatalkan pertarungan itu, sekalipun meng-hendakinya. Para murid yang diwarisinya dari ayahnya memandangnya sebagai penasihat dan pemimpin. Tak ada pilihan lain baginya kecuali menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ketika kedua orang itu berdiri dan siap bertempur, Musashi menoleh ke sana kemari untuk mencari alasan membatalkan seluruh acara itu, tapi kesempatan untuk itu tidak juga datang.

Kini semuanya sudah berlalu, dan Musashi berpikir, “Berat, berat! Mestinya tidak kulakukan itu.” Dan dalam hati ia berdoa semoga luka Seijuro lekas sembuh.

Tetapi kerja hari itu sudah terlaksana. Tidak sewajarnya seorang prajurit matang bermuram durja mengenai hal yang sudah lalu.

Ketika ia mempercepat langkahnya, seorang perempuan tua muncul di atas petak rumput dengan wajah terkejut. Semula perempuan itu sedang menggaruk-garuk tanah mencari sesuatu. Bunyi langkah Musashi membuatnya tersengal. Perempuan itu mengenakan kimono polos tipis. Kalau tidak karena tali lembayung yang mengikat jubahnya, barangkali ia hampir tak bisa dibedakan dari rumput yang diinjaknya. Sekalipun pakaiannya baju orang awam, kerudungnya kerudung biarawati. Perempuan itu bertubuh kecil halus.

Musashi sama kagetnya dengan perempuan itu. Tiga atau empat langkah lagi, pasti ia sudah menginjaknya. “Apa yang Ibu cari?” tanya Musashi ramah. Ia melontarkan pandang ke tasbih yang tersangkut pada lengan perempuan itu di dalam lengan kimononya, dan sekeranjang tumbuhan liar kecil-kecil pada tangan yang lain. Jemari dan tasbih itu bergetar sedikit.

Untuk menenangkannya, Musashi berkata ringan, “Saya heran melihat tumbuhan ini sudah tumbuh. Saya pikir musim semi baru akan mulai. Oh, saya lihat Ibu sudah punya daun seledri yang manis-manis, juga lobak dan bunga kering, Apa Ibu memetiknya sendiri?”

Tapi biarawati itu menjatuhkan keranjangnya dan lari berteriak-teriak, “Koetsu! Koetsu!”

Musashi memandang tertegun melihat sosok kecil itu menghilang ke arah tanjakan kecil di tengah ladang yang umumnya datar. Di belakang tanjakan itu tampak asap mengepul.

Karena menurut pendapatnya sayang kalau perempuan itu kehilangan sayuran yang sudah dengan susah payah dikumpulkannya, maka Musashi pun memungutnya dan pergi mengikutinya sambil menjinjing keranjang. Kira-kira semenit kemudian, muncul dua lelaki.

Mereka telah menghamparkan permadani di sisi selatan yang kena sinar matahari, pada lereng yang landai. Di situ terdapat juga macam-macam alat yang biasa dipergunakan oleh pemeluk kultus teh, termasuk ketel besi di atas api dan cerek air di satu sisi. Mereka membuat kamar teh di udara terbuka, dan menganggap lingkungan alam itu sebagai kebunnya. Semuanya tampak sedikit bergaya dan anggun.

Seorang dari kedua lelaki itu rupanya pelayan, sedangkan yang satunya mengingatkan orang pada boneka porselin besar yang menggambarkan aristokrat Kyoto karena kulitnya yang putih lembut dan garis-garis wajahnya yang serasi. Ia berperut gendut. Keyakinan diri tercermin pada pipi dan posturnya.

“Koetsu”. Nama itu membangkitkan kenangan, karena pada waktu itu Hon’ami Koetsu sangat terkenal dan tinggal di Kyoto. Orang mengatakan dengan nada iri bahwa upah tahunan Koetsu, seribu gantang, diperoleh dari Yang Dipertuan Maeda Toshiie dari Kaga yang sangat kaya. Sebagai penduduk kota biasa, ia dapat hidup mewah dari situ saja, tapi di samping itu ia menikmati juga perkenan khusus dari Tokugawa Ieyasu dan sering diterima di rumah kaum bangsawan tinggi. Kabarnya para prajurit terbesar negeri ini terpaksa turun dari kuda dan berjalan kaki bila melewati tokonya, agar tidak memberikan kesan merendahkannya.

Nama keluarga itu dipakai karena mereka menetap di Jalan Hon’ami, dan usaha Koetsu di bidang pembersihan, penyemiran, dan penaksiran pedang. Keluarga itu memperoleh nama baik semenjak abad empat belas dan berkembang pesat di zaman Ashikaga. Di kemudian hari mereka dilindungi daimyo-daimyo terkemuka seperti Imagawa Yoshimoto, Oda Nobunaga, dan Toyotomi Hideyoshi.

Koetsu dikenal sebagai orang yang punya banyak bakat. Ia pelukis, ternama sebagai ahli keramik dan pembuat pernis, dan dianggap ahli seni. Ia sendiri beranggapan bahwa kekuatannya adalah dalam kaligrafi. Di bidang ini umumnya ia disejajarkan dengan ahli-ahli yang sudah diakui seperti Shokado Shojo, Karasumaru Mitsuhiro, dan Konoe Nobutada, pencipta Gaya Sammyakuin, yang demikian populer hari-hari itu.

Sekalipun terkenal, Koetsu merasa belum sepenuhnya dihargai orang, atau demikianlah kelihatannya dari cerita yang beredar. Menurut cerita itu, ia sering mengunjungi tempat kediaman sahabatnya, Konoe Nobutada, yang bukan hanya seorang bangsawan, melainkan sekaligus juga Menteri Kiri dalam pemerintahan Kaisar. Dalam salah satu kunjungan, demikian cerita orang, pembicaraan dengan sendirinya beralih ke kaligrafi, dan Nobutada bertanya, “Koetsu, siapa kiranya yang akan Anda pilih sebagai tiga ahli kaligrafi terbesar negeri ini?”

Tanpa keraguan sedikit pun Koetsu menjawab, “Yang kedua adalah Anda sendiri, dan kemudian saya kira Shokado Shojo.”

Sedikit heran, Nobutada bertanya, “Anda mulai dengan kedua terbaik, tapi siapa yang pertama?”

Tanpa senyum sama sekali Koetsu memandang langsung ke mata Nobutada dan menjawab, “Tentu saja saya.”

Tenggelam dalam lamunan itu, Musashi berhenti tak jauh dari tempat orang-orang itu.

Koeuu memegang kuas, dan di lututnya tergeletak beberapa lembar kertas. Dengan sangat hati-hati ia membuat sketsa air yang mengalir tak jauh dari situ. Lukisan yang sedang digarapnya maupun beberapa karya sebelumnya yang berserakan di tanah terdiri semata-mata atas garis-garis pucat yang menurut penilaian Musashi bisa saja dibuat oleh setiap pemula.

Koetsu menengadah dan berkata tenang, “Ada apa?” Kemudian ia menatap adegan itu: Musashi di satu sisi, dan di sisi lain ibunya yang gemetar di belakang pelayan. ‘

Musashi merasa lebih tenang dengan hadirnya orang itu. Ia jelas bukan macam orang yang biasa ditemui Musashi tiap hari, tapi entah bagaimana orang itu menarik bagi Musashi. Matanya memancarkan sinar yang dalam, yang sebentar kemudian mulai tersenyum kepada Musashi, seakan-akan mereka kenalan lama.

“Selamat datang, anak muda. Apa ibuku berbuat salah? Umurku sendiri empat puluh delapan, jadi bisa kaubayangkan sudah seberapa tua beliau. Dia memang sehat sekali, tapi kadang-kadang beliau mengeluh tentang penglihatannya. Kalau beliau melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukannya, kuharap engkau mau menerima permintaan maaf dariku.” Ia meletakkan kuas dan bloknot di permadani kecil tempat ia duduk, dan meletakkan kedua tangannya ke tanah, bersujud.

Musashi buru-buru berlutut untuk menghalangi Koetsu. “Jadi, Anda putra beliau?” tanyanya bingung.

“Ya.”

“Sayalah yang mesti mohon maaf. Saya sebenarnya tak mengerti kenapa ibu Anda takut, tapi begitu beliau melihat saya, beliau menjatuhkan keranjangnya dan lari. Melihat sayuran beliau tumpah, saya jadi merasa bersalah. Dan ini saya bawa barang-barang yang jatuh itu. Hanya itu. Tak perlu Anda menghormat begitu.”

Sambil tertawa senang, Koetsu menoleh kepada biarawati itu, dan katanya “Sudah Ibu dengar sendiri, kan? Kesan Ibu salah sama sekali.”

Dengan perasaaan sangat lega, ibu itu keluar dari tempat sembunyinya di belakang pelayan. “Maksudmu, ronin ini tak ada maksud mencelakaiku?”

“Mencelakai? Sama sekali tidak. Lihatlah, dia bahkan mengembalikan keranjang Ibu. Apa dia tidak baik budi?”

“Oh, maaf,” kata biarawati itu sambil membungkuk rendah hingga dahinya menyentuh tasbih yang ada di pergelangan tangannya. Kini ia riang dan tertawa sambil menoleh kepada anaknya. “Aku malu mengakuinya,” katanya, “tapi ketika pertama kali kulihat anak muda ini, kupikir aku mencium bau darah. Oh, mengerikan! Jadi tegak bulu romaku. Sekarang aku tahu, betapa tololnya aku tadi.”

Daya tinjau perempuan tua itu mengagumkan Musashi. Ia mampu melihat ke dalam diri Musashi, dan tanpa benar-benar memahaminva sudah menyatakannya dengan terus terang. Bagi perasaan perempuan yang lembut ini, pasti Musashi tampak seperti hantu yang mengerikan dan berlumuran darah.

Koetsu tentunya telah menangkap pula dalam pandangan mata Musashi yang tajam menembus, dari rambutnya yang tegak mengancam itu, sifatnya yang tajam bagai duri dan berbahaya, yang menyatakan kesiapsiagaannya untuk menghantam gangguan yang bagaimanapun kecilnya. Meskipun begitu tampaknya Koetsu cenderung mencari unsur yang baik padanya.

“Kalau engkau tidak terburu-buru,” katanya, “tinggallah di sini dan isti­rahat sebentar. Di sini sangat sepi dan tenang. Duduk di tengah lingkungan ini, aku merasa bersih dan segar.”

“Kalau saya dapat memetik sedikit lagi sayuran, saya bisa membuat bubur yang enak nanti untukmu,” kata biarawati itu. “Dan juga teh. Atau engkau tak suka teh?”

Bersama ibu dan anak itu, Musashi merasa damai dengan dunia ini. Ia me-nyarungkan semangat perangnya, seperti kucing memasukkan cakarnya. Di tengah suasana yang menyenangkan ini, sukar ia mempercayai bahwa ia berada di tengah orang-orang asing sama sekali. Sebelum menyadarinya, ia telah melepaskan sandal jeraminya dan mengambil tempat duduk di atas permadani.

Sesudah mengajukan beberapa pertanyaan, tahulah ia bahwa sang ibu yang nama biaranya Myoshu itu dahulunya seorang istri yang baik dan setia, sebelum akhirnya menjadi biarawati, sedangkan anaknya ternyata memang si estetikus dan seniman terkemuka itu. Di antara para pemain pedang, tak seorang pun yang tidak mengenal nama Hon’ami—begitu hebat reputasi keluarga itu, berkat kemampuan-nya yang sempurna dalar menilai pedang.

Musashi merasa sukar menghubungkan Koetsu dan ibunya denga.­gambaran yang ia miliki tentang bagaimana mestinya keadaan orang-orang seterkenal mereka itu. Baginya, mereka sekadar orang-orang biasa yang kebetulan ia jumpai di ladang sepi. Itulah justru yang ia kehendaki, karena kalau tidak, ia sendiri bisa jadi tegang merusak tamasya mereka.

Sambil membawa ketel teh, Myoshu bertanya pada anaknya, “Berapa umur pemuda ini menurutmu?”

Sambil memandang Musashi, jawab Koetsu, “Dua puluh lima atau enam kukira.”

Musashi menggeleng. “Tidak, umur saya baru dua puluh tiga.”

“Baru dua puluh tiga,” kata Myoshu. Kemudian ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang biasa: di mana rumahnya, apakah orangtuanya masih hidup, siapa yang mengajarinya main pedang, dan seterusnya.

Bicaranya lembut, seolah Musashi adalah cucunya, dan ini menyebabkan jiwa kanak-kanak Musashi muncul. Gaya bicaranya berubah menjadi gaya bicara pemuda yang tidak resmi. Karena terbiasa dengan disiplin dan latihan keras, dan terbiasa menghabiskan waktu dengan menempa diri menjadi pedang baja yang bagus, maka tidak sedikit pun ia kenal sisi kehidupan yang lebih beradab. Sementara biarawati tua itu berbicara, kehangatan menyebar di seluruh tubuhnya yang sudah tertempa cuaca.

Myoshu, Koetsu, barang-barang di atas permadani, bahkan mangkuk teh itu, dengan halusnya berpadu dengan suasana menjadi bagian dari alam seluruhnya. Tetapi Musashi tidak sabar. Tubuhnya terlalu gelisah untuk duduk terus berlama-lama. Memang cukup menyenangkan mengobrol demi­kian, tapi ketika Myoshu mulai menatap diam ke ketel teh dan Koetsu membelakanginya untuk meneruskan melukis, Musashi menjadi bosan. “Apa enaknya datang kemari ini buat mereka?” tanyanya pada diri sendiri. “Musim semi baru saja mulai. Udara masih dingin.”

Kalau mereka ingin memetik sayuran liar, kenapa tidak menanti sampai udara lebih hangat dan lebih banyak orang di sekitar? Waktu itu banyak bunga dan tumbuhan hijau yang segar. Kalau mereka ingin menikmati upacara teh, kenapa pula susah-susah membawa ketel dan mangkuk-mangkuk teh ke tempat ini? Keluarga terkenal dan makmur seperti mereka ini pasti punya ruang teh yang anggun di rumahnya.

Apakah untuk melukis?

Ketika memandang punggung Koetsu, tahulah ia bahwa dengan men­condongkan badan ke samping ia dapat melihat kuas yang sedang bergerak. Tiada lain yang dilukis oleh seniman itu kecuali garis-garis air yang mengalir, dan matanya terus tertuju pada kali sempit yang membelok melintasi rumput kering. Koetsu berkonsentrasi hanya pada gerakan air. Berkali-kali ia mencoba menangkap gerak air mengalir itu, namun sentuhan yang tepat kelihatannya belum didapatnya. Tak bosan-bosannya ia terus melukis garis-garis itu.

“Yah,” pikir Musashi, “melukis tak semudah kelihatannya.” Untuk sesaat rasa bosannya surut, dan ia terpesona memperhatikan goresan kuas Koetsu. Koetsu tentunya sama perasaannya dengan dirinya sewaktu menghadapi musuh dan ujung pedang yang sudah di depan mata. Pada tahap tertentu ia akan bangkit mengatasi dirinya dan merasa telah jadi satu dengan alam-bukan, bukan “merasa”, karena segala rasa akan lengkap pada saat pedang melukai lawan. Saat transenden yang magis itulah segala-galanya.

“Koetsu masih memandang air sebagai musuhnya,” pikirnya. “Itu sebabnya dia tak dapat melukisnya. Air harus menjadi bagian dan dirinya, baru dia akan berhasil.”

Karena tak ada yang dikerjakannya, dari kebosanan ia meluncur ke dalam kelesuan, dan ini menggelisahkannya. Ia tak boleh membiarkan dirinya kendur, biarpun cuma sesaat. Ia mesti pergi dari tempat itu.

“Saya minta maaf sudah mengganggu,” katanya agak kasar, dan mulai mengikatkan kembali sandalnya.

“Oh, begitu cepat akan pergi?” tanya Myoshu.

Koetsu menoleh ke belakang pelan-pelan, dan katanya, “Tak bisa engkau tinggal sedikit lama? Ibu mau bikin teh sekarang, Kukira engkaulah orang yang bertarung dengan Perguruan Yoshioka pagi ini. Minum teh sedikit sesudah berkelahi baik untuk badan, setidak-tidaknya itulah yang dikatakan Yang Dipertuan Maeda. Ieyasu demikian juga. Teh itu baik untuk semangat. Aku sangsi apakah ada yang lebih baik dari teh. Menurut pendapatku, aksi dilahirkan oleh ketenangan. Tinggallah, dan bicaralah. Akan kutemani.”

Jadi, Koetsu tahu tentang pertarungan itu! Tapi barangkali tidak begitu mengherankan. Rendaiji tidak jauh, hanya di ladang sebelah sana. Persoalan yang lebih menarik adalah, kenapa sampai sedemikian jauh ia tidak me­ngatakan sesuatu. Apakah karena menurut anggapannya soal-soal macam itu bukan bagian dari dunianya sendiri? Musashi sekali lagi memandang ibu dan anak itu, kemudian duduk lagi.

“Kalau Anda mendesak, saya akan tinggal,” katanya.

“Tak banyak yang dapat kami suguhkan, tapi kami senang engkau bersama kami di sini,” kata Koetsu. Ia meletakkan tutup pada kotak tintanya, lalu meletakkan kotak itu di atas lembar-lembar sketsa, agar tidak kabur. Di dalam tangannya kotak tinta itu berkelip-kelip seperti kunang­kunang. Rupanya berlapis emas tebal, dengan tatahan perak dan mutiara.

Musashi membungkuk untuk memperhatikannya. Sesudah terletak di atas permadani, kotak itu tidak lagi berkilau cemerlang, Ia tahu, tak ada yang mencolok. Keindahannya terletak pada lapis emas dan lukisan cat kuil-kuil Momoyama yang dikecilkan beberapa kali. Juga terasa ada bagiannya yang sangat kuno, yaitu tahi tembaga yang redup, yang mengingatkan orang pada kebesaran yang sudah pudar. Musashi menatap dengan saksama. Terasa ada sesuatu yang menyenangkan pada kotak itu.

“Aku membuatnya sendiri,” kata Koetsu rendah hati. “Engkau suka?”

“Oh, jadi Tuan membuat barang pernis juga?”

Koetsu hanya tersenyum. Ia memandang pemuda yang kelihatannya lebih mengagumi kecerdasan manusia daripada keindahan alam itu, dan pikirnya geli, “Bagaimanapun, dia berasal dari desa.”

Tak kenal dengan sikap megah Koetsu, Musashi pun berkata penuh ketulusan, “Ini betul-betul indah.” ia tidak dapat melepaskan pandangannya dari kotak tinta itu.

“Sudah kukatakan itu kubuat sendiri, tapi sajak di atasnya hasil karya Konoe Nobutada. Jadi, ini buatan kami berdua.”

“Apa itu keluarga Konoe yang menurunkan wali kaisar?”

“Ya. Nobutada adalah anak wali yang dahulu.”

“Suami bibi saya mengabdi pada keluarga Konoe bertahun-tahun.”

“Siapa namanya?”

“Matsuo Kaname.”

“Oh, aku kenal baik Kaname itu. Aku selalu mengunjunginya kalau pergi ke rumah Konoe, dan dia kadang-kadang datang mengunjungi kami.­

“Betul?”

“Bu, dunia ini kecil, ya? Bibi dia ini istri Matsuo Kaname.”

“Ah, masa!” kata Myoshu.

Myoshu meninggalkan api dan meletakkan mangkuk-mangkuk teh di depan mereka. Tak sangsi lagi, ia betul-betul ahli dalam hal upacara teh. Gerak-geriknya anggun, namun alamiah, sedangkan tangannya yang lembut itu lemah gemulai. Sekalipun sudah berumur tujuh puluh, ia kelihatan sebagai lambang keluwesan dan kecantikan wanita.

Musashi, yang merasa betul-betul tidak leluasa, duduk bersimpuh dengan sopannya, meniru Koetsu. Kue untuk minum teh berupa kue kismis yang dikenal dengan nama manju Yodo, tetapi kue itu diletakkan dengan apiknya di atas selembar daun hijau yang jenisnya tak ada di ladang sekitar. Musashi tahu ada peraturan tertentu berupa etiket untuk menghidangkan teh, seperti halnya ada peraturan menggunakan pedang, dan selama mem­perhatikan Myoshu, ia mengagumi keahliannya. Menilainya dalam istilah ilmu pedang, “Dia sempurna sekali! Sama sekali tidak membuka peluang.” Ketika ia mengangkat mangkuk, Musashi merasakan di dalam diri perempuan itu keahlian surgawi, seperti kelihatan pada seorang guru pedang yang siap memukul. “Inilah Jalan,” demikian pikirnya. “Inilah hakikat seni. Orang harus memilikinya, agar dapat sempurna dalam apa saja.”

Ia mengalihkan perhatian kepada mangkuk teh di depannya. Inilah pertama kalinya ia mendapat suguhan dengan cara ini, dan sedikit pun ia tak tahu apa yang mesti dilakukan berikutnya. Mangkuk teh itu membuat ia kagum, karena meskipun mangkuk itu mirip dengan yang dibuat anak kecil sewaktu bermain lumpur, namun kalau warna hijau tua pada busa teh itu diperhatikan dengan latar belakang warna mangkuk, tampaklah warna itu lebih tenteram dan lembut daripada langit.

Tanpa daya ia pun memandang Koetsu yang sudah menghabiskan kuenya dan sedang memegang mangkuk dengan penuh cinta. Ia pegang mangkuk dengan kedua tangannya, seperti sedang membelai benda hangat di malam yang dingin, dan ia habiskan teh itu dengan dua-tiga hirupan.

“Pak,” Musashi berkata agak ragu-ragu, “saya ini cuma anak desa yang bodoh, dan saya tidak tahu seluk-beluk upacara teh. Saya bahkan tidak tahu pasti, bagaimana cara minum teh.”

Myoshu segera menegurnya baik-baik. “Oh, begini, Nak, semua itu sama saja. Tak ada yang namanya canggih atau khusus dalam minum teh. Kalau engkau anak desa, minum saja seperti caramu di desa.”

“Apa boleh begitu?”

“Tentu saja. Tingkah laku itu bukan soal peraturan, tapi berasal dari hati. Sama dengan ilmu pedang, kan?”

“Kalau Ibu nyatakan demikian, memang ya.”

“Kalau engkau terlalu memikirkan cara yang benar untuk minum, kau takkan menikmati teh itu. Ketika menggunakan pedang, kau tak bisa membiarkan tubuhmu terlalu tegang. Itu akan mematahkan keselarasan antara pedang dan semangatmu. Betul begitu?”

“Betul, Ibu.” Tanpa disadari Musashi menganggukkan kepalanya dan menanti biarawati itu melanjutkan pelajarannya.

Biarawati itu tertawa sedikit berderai. “Coba dengarkan aku ini! Bicara tentang main pedang, padahal aku tak tahu apa-apa tentangnya.”

“Saya minum teh saya sekarang,” kata Musashi sesudah memperoleh kembali keyakinan dirinya.

Kakinya capek akibat duduk dalam sikap resmi, karena itu ia berganti posisi bersila supaya lebih enak. Sebentar saja sudah ia kosongkan mangkuk teh itu dan ia letakkan kembali. Teh itu sangat pahit. Biarpun untuk sekadar basa-basi, ia tak dapat memaksa diri mengatakan enak.

“Tambah lagi?”

“Tidak, terima kasih, sudah cukup.”

Apa enaknya air pahit macam ini buat orang-orang ini? Kenapa mereka bicara begitu serius tentang “kemurnian” rasa dan segala macamnya itu? Musashi tak dapat memahami tuan rumah, namun tak mungkin ia tidak mengaguminya. Bagaimanapun, tentunya ada hal lain yang tak terlihat olehnya. Kalau tidak, mana mungkin masalah minum teh ini menjadi faktor penting filsafat tentang estetika dan hidup? Dan mana mungkin pula orang-orang besar seperti Hideyoshi dan Ieyasu akan mencurahkan perhatian demikian besar pada minum teh ini, demikian pikir Musashi.

Ia ingat betapa Yagyu Sekishusai menghabiskan umur tuanya untuk Jalan Teh, dan Takuan pun bicara tentang kemuliaan. Melihat mangkuk teh dan kain tatakannya, tiba-tiba terbayang olehnya bunga peoni putih dari kebun Sekishusai itu, dan sekali lagi ia rasakan getaran yang dulu pernah ia alami. Kini mangkuk itu memberikan getaran yang sama. Caranya tak bisa dijelaskan. Sesaat lamanya ia bertanya-tanya, jangan-jangan tadi ia terengah keras.

Ia menjulurkan tangan, memungut mangkuk dengan penuh cinta dan meletakkannya di atas lutut. Matanya bercahaya ketika mengamati. Terasa olehnya kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Diperhati­kannya dasar mangkuk itu, demikian juga jejak-jejak kape tukang tembikar dan sadarlah ia bahwa garis-garis itu menunjukkan ketajaman yang sama dengan irisan yang dilakukan Sekishusai pada batang bunga peoni. Mangkuk bersahaja ini pun hasil karya seorang genius. Mangkuk ini mengungkapkan sentuhan semangat dan wawasan yang misterius.

Hampir-hampir ia tak dapat bernapas. Tak tahulah ia, tapi kini ia me­rasakan kekuatan seniman besar itu, kekuatan yang diam tapi Paso, karena ia memang lebih peka terhadap kekuatan laten yang bersemayam di situ daripada kebanyakan orang lain. Ia gosok-gosok mangkuk itu, tak ingin melepaskan kontak fisik dengannya.

“Pak Koetsu,” kata Musashi, “pengetahuan saya tentang alat-alat ini tidak lebih baik daripada pengetahuan saya tentang teh, tapi saya kira mangkuk ini dibuat oleh tukang tembikar yang sangat terampil.”

“Kenapa begitu?” kata-kata seniman itu sama lembutnya dengan wajahnya. Matanya simpatik dan mulutnya bagus bentuknya. Sudut-sudut mata yang turun sedikit memberikan kesan sungguh-sungguh, namun di sekitar ujung mata terdapat kerut-merut.

“Saya tak bisa menjelaskannya, tapi saya merasakannya.”

“Jelasnya, bagaimana menurut perasaanmu? Coba ceritakan.”

Musashi berpikir sejenak, kemudian katanya, “Nah, saya tak dapat meng­ungkapkannya dengan jelas sekali, tapi terasa ada yang melebihi kemampuan manusia pada guratan tajam tanah liat ini…”

“Hmmm.” Koetsu memang memiliki sikap seniman sejati. Sesaat pun ia tak pernah menilai orang lain tahu banyak tentang karya seninya, dan karena itu merasa pasti Musashi bukanlah perkecualian. Bibirnya mengerut. “Kenapa guratannya, Musashi?”

“Bersih sekali.”

“Cuma itu?”

“Tidak, tidak… lebih rumit dari itu. Ada sesuatu yang besar dan agung dari pembuatnya.”

“Apa lagi?”

“Tukang tembikar itu sendiri sama tajamnya dengan pedang Sagami. Tapi dia menyelimuti semuanya itu dengan keindahan. Mangkuk teh ini tampak sangat sederhana, tapi terasa ada keangkuhan, sesuatu yang agung dan congkak, seakan-akan dia menganggap orang lain belum sepenuhnya manusia.”

“Mm.”

“Sebagai manusia, orang yang membuat mangkuk ini sukar ditaksir, saya kira. Siapa pun orangnya, saya berani bertaruh dia orang terkenal. Tak dapatkah Bapak menyebutkan siapa dia?”

Bibir Koetsu yang tebal itu pun tertawa keras. “Namanya Koetsu. Tapi barang ini kubuat hanya untuk bersenang-senang hati.”

Musashi yang tak tahu bahwa dirinya sedang diuji itu terkejut dan kagum mendengar Koetsu dapat membuat keramik sendiri. Tapi yang lebih me­ngesankan daripada luasnya kecakapan artistik orang itu adalah dalamnya nilai manusia yang tersembunyi dalam mangkuk teh yang kelihatannya sederhana mi. Agak terganggu juga Ia oleh kedalaman sumber spiritual Koetsu. Karena terbiasa mengukur orang lain dengan kemampuan menggunakan pedang, tiba-­tiba ia menyimpulkan bahwa kemampuan dirinya terlalu kecil. Pikiran ini membuatnya merasa hina. Ini satu orang lagi, kepada siapa ia mesti mengakui kekalahannya. Walaupun pagi itu ia baru saja mendapat kemenangan gemilang, sekarang ia tak lebih dar seorang pemuda pemalu.

“Jadi, engkau suka keramik juga, ya?” tanya Koetsu. “Engkau rupanya bisa juga menilai barang tembikar.”

“Saya sangsi apakah itu benar,” jawab Musashi rendah hati. “Saya cuma menyatakan apa yang ada dalam kepala saya. Maafkan saya, kalau ada yang tolol dalam kata-kata saya.”

“Ya, tentu saja kita tak bisa mengharapkan kau tahu banyak tentang soal ini. Untuk membuat satu mangkuk teh yang baik saja dibutuhkan pengalaman selama hidup. Tapi engkau memang punya rasa keindahan, ada daya tangkap naluriah yang agak kuat. Kukira engkau sudah mendapat sedikit kemajuan dalam mengembangkan ketajaman matamu, karena engkau mempelajari ilmu pedang.” Ada nada kagum dalam nada suara Koetsu, tapi sebagai orang yang lebih tua ia tidak dapat memuji anak itu. Tidak hanya perbuatan itu tidak terpuji, melainkan juga dapat membuat anak itu sombong.

Tak lama kemudian, pelayan kembali membawa lebih banyak sayuran liar, dan Myoshu menyiapkan bubur. Ketika ia sudah memindahkan bubur itu ke piring-piring kecil yang rupanya juga dibuat oleh Koetsu, seguci sake yang harum pun dipanaskan, dan pesta tamasya pun dimulai.

Makanan dalam upacara teh itu terlalu ringan dan lembut untuk selera Musashi. Jasmaninya menghendaki isi dan rasa yang lebih mantap. Namun ia berusaha juga dengan sebaik-baiknya menelan bau halus adonan berdaun itu, karena diakuinya banyak yang dapat ia pelajari dari Koetsu dan ibunya yang luwes itu.

Waktu berlalu terus, dan ia menoleh ke sekitar ladang dengan gelisah. Akhirnya ia menoleh kepada tuan rumah, katanya, “Semua ini sangat menyenangkan, tapi sudah waktunya saya pergi sekarang. Saya masih ingin tinggal di sini, tapi saya kuatir lawan-lawan saya akan datang dan me­nimbulkan kesulitan. Tak ingin saya melibatkan Bapak dalam hal seperti ini. Saya harap saya akan mendapatkan kesempatan bertemu lagi dengan Bapak.”

Myoshu bangkit melepaskan tamunya, katanya, “Kalau kau kebetulan ada di sekitar Jalan Hon’ami, jangan tidak mampir ke tempat kami.”

“Ya, silakan datang menengok kami. Kita nanti dapat berbincang-bincang yang enak,” tambah Koetsu.

Sebetulnya Musashi sudah kuatir, tapi ternyata tidak tampak tanda-tanda murid-murid Yoshioka. Habis minta diri, ia berhenti untuk menoleh pada kedua teman barunya. Ya, dunia mereka itu lain sekali dengan dunianya. Jalannya sendiri yang panjang dan sempit itu takkan pernah mencapai lingkungan kesenangan hidup Koetsu yang penuh kedamaian. Ia berjalan diam menuju tepi ladang, kepalanya tertunduk merenung.

Terlalu Banyak Kojiro

DI warung minum kecil di luar kota itu, bau kayu terbakar dan makanan yang sedang direbus memenuhi udara. Warung itu cuma gubuk tak berlantai. Ada papan pengganti meja dan beberapa bangku di sana-sini. Di luar, cahaya terakhir matahari terbenam membuat seolah ada bangunan di kejauhan yang sedang terbakar. Burung-burung gagak yang mengelilingi pagoda Toji tampak seperti abu hitam yang membubung dari nyala ke­bakaran.

Tiga atau empat pemilik warung dan seorang biarawan pengembara duduk di meja darurat tadi, sedangkan di sebuah sudut ada beberapa pekerja berjudi dengan taruhan minuman. Gasing yang mereka putar adalah mata uang tembaga yang lubangnya ditusuk dengan sepotong kayu.

“Yoshioka Seijuro betul-betul kesulitan sekarang ini!” kata salah seorang pemilik warung. “Dan aku senang sekali melihatnya. Mari kita minum!”

“Aku ikut minum,” kata yang lain.

“Sake lagi!” kata yang lain lagi pada pemilik warung.

Para pengunjung warung itu minum dengan cepat dan terus-menerus. Lama-kelamaan hanya cahaya temaram yang menerangi tirai warung. Seorang di antaranya melenguh, “Tak kelihatan lagi, mangkuk ini sampai hidung atau mulut? Terlalu gelap di sini. Bagaimana kalau pasang lampu?”

“Tunggu sebentar. Akan kupasang,” kata pemilik dengan letih.

Dari tungku tanah yang terbuka segera menjulang nyala api. Makin gelap di luar, makin merah sinar api itu.

“Bikin gila tiap kali memikirkannya,” kata orang pertama tadi. “Berapa banyak uang diutang orang-orang itu buat ikan dan arang! Jatuhnya besar juga. Lihat saja besarnya perguruan itu! Aku sudah bersumpah akan men­dapatkan kembali uang itu pada akhir tahun, tapi apa yang terjadi waktu aku sampai di sana? Tukang-tukang gertak Yoshioka menghadang di pintu masuk, menggertak dan mengancam semua orang. Berani betul mereka itu mengusir penarik rekening, pemilik-pemilik warung yang jujur, yang ber­tahun-tahun memberinya kredit!”

“Tak ada gunanya menangisi sekarang. Yang sudah terjadi sudahlah. Dan lagi, sesudah pertarungan di Rendaiji itu, merekalah sekarang yang lebih punya alasan menangis, bukan kita.”

“Ah, aku tak marah lagi sekarang. Mereka sudah mendapatkan ganjar­annya.”

“Coba bayangkan, Seijuro ditundukkan hampir tanpa pertarungan!”

“Apa kau melihat sendiri?”

“Tidak, tapi aku dengar dari orang yang lihat. Musashi bikin lumpuh dia hanya dengan satu pukulan. Dan dengan pedang kayu pula! Cacat ­seumur hidup dia sekarang.”

“Bagaimana jadinya perguruan itu?”

“Kelihatannya kurang baik juga. Semua murid sekarang menuntut darah Musashi. Kalau mereka tidak membunuh Musashi, mereka bisa kehilangan muka sama sekali. Nama Yoshioka terpaksa runtuh. Musashi begitu kuat. Tiap orang merasa satu-satunya yang akan dapat mengalahkan dia hanya Denshichiro. Mereka sedang mencarinya sekarang.”

“Aku tidak tahu Seijuro punya adik.”

“Memang hampir tak ada yang tahu, tapi dia pemain pedang yang lebih baik, menurut yang kudengar. Dialah berandal keluarga itu. Dia tak pernah memperlihat-kan muka di perguruan itu, kecuali kalau butuh uang. Buang waktu dengan makan dan minum dan memanfaatkan namanya sendiri. Hidup dari orang-orang yang menghormati ayahnya.”

“Bukan main pasangan itu. Bagaimana orang terkemuka macam Yoshioka Kempo bisa memperanakkan orang-orang macam itu?”

“Itu berarti darah bukan segala-galanya!”

Seorang ronin teronggok setengah sadar di dekat tungku. Sudah beberapa waktu lamanya ia di situ, dan pemilik warung membiarkannya saja, tapi sekarang dibangunkannya. “Pak, tolong mundur sedikit,” katanya sambil menambahkan ranting-ranting kayu api. “Api ini bisa membakar kimono Bapak.”

Mata Matahachi yang sudah merah oleh sake itu terbuka pelan-pelan. “Mm, mm, aku tahu, aku tahu. Biarkan aku sendiri.”

Warung sake ini bukan satu-satunya tempat Matahachi mendengar tentang pertarungan di Rendaiji itu. Peristiwa tersebut dibicarakan setiap orang, dan semakin terkenal Musashi, semakin murung temannya yang bertingkah itu.

“Hei, kasih lagi,” panggilnya. “Tak usah dipanaskan, tuangkan saja ke mangkukku.”

“Bapak tak apa-apa, ya? Wajah Bapak pucat sekali.”

“Apa urusanmu? Ini mukaku sendiri, kan?”

Ia menyandarkan diri ke dinding lagi dan menyilangkan tangan di dada. “Sebentar lagi akan kutunjukkan pada mereka,” pikirnya. “Keahlian main pedang bukan satu-satunya jalan menuju sukses. Dengan menjadi kaya, atau memiliki gelar, atau menjadi bajingan, sama saja, asal sampai di puncak. Musashi dan aku sama-sama berumur dua puluh tiga. Orang yang punya nama pada umur itu tak banyak yang jauh jalannya. Umur tiga puluh tahun mereka sudah tua dan sempoyongan—‘si anak pandai yang menua.”

Kabar pertarungan di Rendaiji itu telah menyebar di Osaka, dan men­dorong Matahachi datang ke Kyoto. Sekalipun belum punya tujuan jelas, kemenangan Musashi itu berat menekan jiwanya, hingga ia mesti melihat sendiri bagaimana keadaannya. “Dia sedang menanjak sekarang,” pikir Matahachi benci, “tapi pasti dia akan jatuh.” Banyak orang yang cakap di perguruan Yoshioka itu—Sepuluh Pemain Pedang, Denshichiro, dan banyak lagi yang lain…” Hampir-hampir ia tak dapat menanti, kapan Musashi akan menerima pembalasan. Sementara itu nasibnya sendiri pasti sudah berubah.

“Oh, haus!” katanya keras. Dengan menopang, menggeser, dan punggung bersandar pada dinding, ia berhasil berdiri. Semua mata memperhatikan ketika ia membungkuk ke tong air di sudut ruangan dan mencelupkan kepalanya, lalu menenggak beberapa tegukan besar dengan ciduk. Ciduk dilemparkannya ke samping, digesernya tirai warung, dan keluarlah ia tertatih-tatih.

Setelah menganga keheranan, pemilik warung segera tersadar dan lari mengejar tubuh yang berjalan gontai itu. “Pak, Bapak belum bayar!” pang­gilnya.

“Apa?” kata Matahachi tak jelas.

“Saya pikir ada yang Bapak lupakan.”

“Aku tidak lupa apa-apa.”

“Maksud saya, uang sake itu. Ha, ha!”

“Begitu, ya?”

“Maaf sudah mengganggu.”

“Aku tak punya uang.”

“Tak punya uang?”

“Ya, tak punya sama sekali. Aku punya sampai beberapa hari yang lalu, tapi…”

“Oh, lalu kenapa Bapak duduk minum-minum di sana…! Bapak… Bapak… „

“Diam kamu!” Matahachi meraba-raba dalam kimononya, kemudian mengeluarkan kotak obat samurai yang sudah mati itu dan melemparkannya kepada orang itu. “Jangan banyak ribut! Aku samurai dengan dua pedang. Kamu lihat sendiri, kan? Aku belum bangkrut dan tidak akan ngeluyur tanpa bayar. Barang itu lebih mahal daripada sake yang kuminum. Boleh kembaliannya kamu simpan!”

Kotak obat tepat mengenai muka orang itu. Ia memekik kesakitan dan menutup mukanya dengan tangan. Para pembeli lain yang melongokkan kepala lewat celah tirai warung berteriak marah. Seperti kebanyakan orang mabuk, mereka marah melihat pemabuk lain ingkar membayar.

“Bajingan!”

“Penipu busuk!”

“Mari kita hajar dia!”

Mereka berlari mengepung Matahachi.

“Bajingan! Bayar! Tidak bisa kamu pergi begitu saja!”

“Brengsek! Kamu rupanya biasa begitu terus, ya? Kalau kamu tak bisa bayar, kami gantung kamu!”

Matahachi menjamah pedangnya untuk menakut-nakuti mereka. “Kalian pikir kalian bisa?” gertaknya. “Akan menarik sekali ini. Boleh coba! Apa kalian sudah tahu, siapa aku?”

“Kami tahu macam apa kamu itu—ronin kotor dari tumpukan sampah, yang harga dirinya lebih rendah dari pengemis, tingkahnya lebih dari pencuri:”

“Jadi, kalian belum tahu!” teriak Matahachi memandang tajam dan mengerutkan kening dengan ganas. “Bicara kalian akan lain kalau kalian tahu namaku.”

“Namamu? Apa istimewanya nama itu?”

“Aku Sasaki Kojiro, murid seangkatan Ito Ittosai, pemain pedang Gaya Chujo. Kalian pasti sudah mendengar tentangku!”

“Jangan bikin aku ketawa! Tak perlu itu nama-nama khayal, bayar saja.”

Satu orang mengulurkan tangan untuk mencekal Matahachi, tapi Matahachi berteriak, “Kalau kotak obat itu tak cukup, akan kuberi kamu sedikit pedangku buat tambahan!” Ia cepat menarik senjatanya, menebas tangan orang itu sampai putus.

Melihat bahwa ternyata mereka tadi terlalu menyepelekan musuh, yang lain beraksi seolah darah mereka sendiri yang sudah tercurah. Mereka pun melarikan diri ke dalam kegelapan.

Dengan wajah penuh kemenangan Matahachi menantang. “Kembali kalian, kutu-kutu! Akan kutunjukkan pada kalian cara Kojiro menggunakan pedang kalau sedang serius. Sinilah, akan kupotong kepala kalian.”

Ia memandang ke langit dan tertawa terpingkal-pingkal, giginya yang putih berkilau di tengah kegelapan, girang atas suksesnya. Kemudian tiba-­tiba sikapnya berubah. Wajahnya berselimut kesedihan. Ia seperti men­cucurkan air mata. Dengan kaku ia entakkan pedangnya kembali masuk ke sarungnya dan pergilah ia dengan gontai.

Kotak obat di tanah itu berkelip-kelip di bawah sinar bintang. Kotak itu terbuat dari kayu cendana dengan tatahan kulit kerang; kelihatannya tidak terlalu berharga, tetapi kilat kulit kerang mutiara yang biru itu menyinarkan keindahan lembut, seperti sekelompok kecil kunang-kunang.

Ketika keluar dari gubuk, si biarawan pengembara melihat kotak obat itu dan memungutnya. Ia berjalan terus, tapi kemudian kembali dan berdiri di bawah ujung atap warung. Dalam cahaya redup yang keluar dari celah dinding ia amat-amati pola dan tali kotak itu dengan saksama. “Hmmm,° pikirnya. “Ini pasti milik guru itu. Dia tentu sedang membawanya ketika terbunuh di Kuil Fushimi. Ya, ini namanya, Tenki, tertulis di dasarnya.”

Biarawan itu segera mengejar Matahachi. “Sasaki!” panggilnya. “Sasaki Kojiro!”

Matahachi mendengar nama itu, tapi dalam keadaan bingung ia tak mampu menghubungkannya dengan dirinya. Ia terhuyung terus dari Jalan Kujo ke Jalan Horikawa.

Biarawan itu berhasil mengejarnya dan memegang ujung sarung pedang­nya. “Tunggu, Kojiro,” katanya. “Tunggu sebentar.”

“Hah?” kata Matahachi tersentak, “Maksudmu aku?”

“Anda Sasaki Kojiro, kan?” Sinar tajam menyala dalam mata biarawan itu. Matahachi sedikit sadar sekarang.

“Ya, aku Kojiro. Apa urusannya itu denganmu?”

“Saya mau mengajukan satu pertanyaan.”

“Nah, pertanyaan apa itu?”

“Di mana Anda mendapat kotak obat ini?”

“Kotak obat?” tanya Matahachi kosong.

“Ya. Di mana Anda mendapatkannya? Itu yang ingin saya ketahui. Bagaimana kotak ini bisa menjadi milik Anda?” Biarawan itu berbicara agak resmi. Ia masih muda, barangkali baru sekitar dua puluh enam tahun, dan tampaknya bukan biarawan pengemis yang tak bersemangat, yang mengembara dari kuil ke kuil dan hidup dari derma. Sebelah tangannya memegang tongkat kayu ek bulat, lebih dari enam kaki panjangnya.

“Tapi siapa kamu ini?” tanya Matahachi, wajahnya mulai tampak prihatin.

“Itu tak penting. Kenapa tidak Anda nyatakan saja dari mana ini datangnya?”

“Tidak dari mana-mana. Selamanya itu milikku.”

“Anda bohong! Katakan yang sebenarnya!”

“Sudah kukatakan yang sebenarnya.”

“Anda menolak mengakuinya?”

“Mengakui apa?” tanya Matahachi tak bersalah.

“Kau bukan Kojiro!” Seketika tongkat di tangan biarawan itu membelah udara.

Naluri Matahachi mendorongnya bergerak mundur, tapi ia masih ter­lampau pening untuk cepat beraksi. Tongkat mengenai sasaran, dan melolong kesakitan ia sempoyongan ke belakang lima belas atau dua puluh kaki jauhnya, dan jatuh telentang. Begitu bangkit lagi, ia langsung lari.

Si biarawan mengejarnya, dan beberapa langkah kemudian melontarkan lagi tongkat ek itu. Matahachi mendengar tongkat itu terbang ke arahnya. Ia meren-dahkan kepala. Peluru terbang itu melayang lewat telinganya. Karena ketakutan, ia melipatgandakan kecepatannya.

Si biarawan meraih senjata yang terjatuh itu, mengambilnya, dan sesudah membidik baik-baik, melontarkannya lagi, tapi sekali lagi Matahachi merunduk.

Sesudah berlari dengan kecepatan tinggi lebih dari satu setengah kilome­ter, Matahachi melewati Jalan Rokujo dan mendekati Jalan Gojo. Akhirnya ia lepas dari kejaran dan berhenti. Terengah-engah ia mengetuk-ngetuk dadanya. “Tongkat itu… senjata mengerikan! Orang mesti berhati-hati sekarang ini.”

Sudah tenang benar tapi haus bukan main, ia mencari sumur. Ia temukan sumur itu di ujung sebuah jalan sempit. Ia angkat satu timba dan ia reguk air sepuas-puasnya, kemudian ia taruh ember di tanah dan ber­kecipaklah ia membasahi wajahnya dan berkeringat.

“Siapa pula orang itu?” pikirnya, “Dan apa maunya?” Tapi begitu merasa normal kembali, datanglah kembali rasa murung itu. Di ruang matanya tampaklah wajah mayat tak berdagu yang kelihatan menderita sekali di Fushimi.

Hati nuraninya terasa sakit, karena ia menggunakan uang orang mati itu. Bukan untuk pertama kalinya ia bermaksud menebus perbuatan keliru itu. “Kalau aku punya uang,” sumpahnya, “yang pertama akan kulakukan adalah membayar kembali utangku. Barangkali nanti setelah aku sukses akan kudirikan batu peringatan untuknya.”

Cuma sertifikat itu yang tinggal. Barangkali aku mesti melepaskannya. Kalau nanti orang yang tidak tepat tahu aku yang memilikinya, bisa timbul kesulitan.” Ia meraba ke dalam kimononya dan menyentuh gulungan yang selama itu selalu diselipkan di perut, di bawah obi, sekalipun terasa tak enak.

Bahkan kalaupun ia memang tak dapat mengubahnya menjadi uang dalam jumlah banyak, sertifikat itu dapat menjadi pembuka ke anak tangga ajaib yang pertama menuju sukses. Jadi, pengalaman sial dengan Akakabe Yasoma tidak menyembuhkan-nya dari penyakit mimpi.

Sertifikat itu sudah menjadi amat berguna. Dengan menunjukkannya ke dojo-dojo kecil tak bernama atau kepada orang kota yang polos dan ingin belajar main pedang, ia dapat memperoleh penghormatan dari mereka bahkan juga mendapat makan bebas dan tempat menginap, walaupun tidak dimintanya. Begitulah cara ia hidup selama enam bulan terakhir ini.

“Tidak ada alasan membuangnya. Ah, apa yang terjadi dengan diriku ini? Rupanya makin lama aku makin jadi penakut. Barangkali itulah vang menghalangiku mencapai kemajuan di dunia ini. Dari sekarang aku takkaa berbuat seperti itu lagi! Aku akan jadi besar dan berani, seperti Musash. Akan kutunjukkan pada mereka!”

Ia menoleh ke sekitar, ke pondok-pondok yang mengitari sumur. Orang­-orang yang tinggal di situ membuatnya iri. Memang rumah mereka me­lengkung akibat beratnya lumpur dan rumput liar di atapnya, tapi setidaknya mereka memiliki peneduh. Ia mengintip, melihat beberapa di antara keluarga itu. Di satu rumah ia lihat sepasang suami-istri duduk menghadapi kuali berisi makan malam mereka yang sederhana. Di dekat mereka duduk anak lelaki dan perempuan bersama nenek mereka yang sedang memotong­-motong.

Sekalipun miskin dalam hal keduniaan, mereka memiliki semangat ke­satuan keluarga, suatu kekayaan yang tidak dimiliki bahkan oleh orang­-orang besar seperti Hideyoshi dan Ieyasu. Matahachi merasa bahwa semakin orang menderita kemiskinan, semakin kuat rasa saling cinta. Orang miskin juga dapat memahami kegembiraan sebagai manusia.

Dengan rasa malu ia teringat benturan kemauan yang menyebabkan ia pergi meninggalkan ibunya sendiri di Sumiyoshi. “Mestinya aku tak boleh berlaku demikian terhadapnya,” pikirnya. “Apa pun kesalahannya, tak bakal ada orang lain yang cintanya padaku seperti cintanya.”

Selama seminggu tinggal bersama, berjalan dari tempat suci ke kuil, dan dari kuil ke tempat suci yang sangat menjengkelkan itu, Osugi berkali-kali berbicara kepadanya tentang daya-daya ajaib Kannon di Kiyomizudera. “Tak ada bodhisatwa di dunia ini yang dapat menciptakan keajaiban lebih besar daripada dia,” demikian ibunya meyakinkannya. “Kurang dari tiga minggu sesudah aku pergi berdoa ke sana, Kannon memimpin Takezo datang padaku membawanya langsung ke kuil itu. Aku tahu engkau tak begitu peduli dengan agama, tapi lebih baik engkau percaya kepada Kannon.”

Sekarang hal itu terpikir oleh Matahachi, dan teringat olehnya ibunya mengatakan bahwa sesudah tahun baru ia punya rencana akan pergi ke Kiyomizu, meminta perlindungan Kannon atas keluarga Hon’iden. Jadi, ke sanalah ia mesti pergi! Malam itu ia tak punya tempat untuk tidur. Ia dapat menginap di beranda, ada kemungkinan bisa bertemu dengan ibunya kembali.

Ketika menyusuri jalan-jalan gelap menuju Jalan Gojo, ia diikuti se­gerombolan anjing kampung liar yang menyalak-nyalak, yang sialnya bukan dari jenis yang dapat dibungkam dengan melemparkan sebutir dua butir batu. Untungnya ia sudah biasa digonggong anjing, jadi tidak ada halangan anjing-anjing itu menggeram kepadanya dan memperlihatkan gigi mereka.

Di Matsubara, sebuah hutan pinus dekat Jalan Gojo, ia melihat kawanan anjing kampung lain berkumpul sekitar sebatang pohon. Anjing-anjing yang mengawalnya itu berlari menggabungkan diri dengan mereka. Jumlahnya lebih banyak dari yang dapat dihitungnya. Semuanya begitu gaduh. Sebagian ada yang melompat-lompat sampai setinggi dua meter ke batang itu.

Ia menajamkan mata, dan tampak olehnya seorang gadis meringkuk gemetar di sebuah cabang pohon itu. Paling tidak, ia cukup yakin orang itu seorang gadis.

Ia mengacung-acungkan tinju dan berteriak mengusir anjing-anjing itu. Ketika dilihatnya tanpa hasil, ia lemparkan batu-batuan, tapi juga tak ber­hasil. Kemudian ia ingat kata orang, cara menakuti anjing adalah dengan merangkak dan meraung keras. la pun berbuat demikian. Tapi ini pun tak ada hasilnya. Barangkali jumlah anjing itu demikian banyaknya, melompat ke sana kemari seperti ikan dalam jaring. Ada yang mengibas-ngibaskan ekor, mencakar-cakar kulit pohon, dan melolong kejam.

Tiba-tiba terpikir olehnya, seorang perempuan bisa menganggap lucu bahwa seorang pemuda dengan dua bilah pedang merangkak menirukan binatang. Sambil memaki ia meloncat berdiri. Sesaat kemudian seekor anjing melolong untuk terakhir kali dan mati. Ketika yang lain-lain melihat pedang Matahachi yang berdarah itu teracung di atas kepalanya, mereka pun menarik diri berdekatan, hingga punggung mereka yang kurus-kurusitu berombak naik-turun seperti ombak samudra. “Mau lagi, ya?”

Takut akan ancaman pedang itu, anjing-anjing buyar ke segala jurusan. “Hai, yang di atas itu!” seru Matahachi. “Turun kamu sekarang.”

Dari tengah dedaunan pinus itu ia dengar denting logam kecil yang manis. “Oh, Akemi,” gagapnya. “Akemi, kau, ya?”

Dan terdengar Akemi berseru ke bawah, “Siapa kamu?”

“Matahachi. Apa kau tidak kenal suaraku?”

“Mana mungkin! Kamu bilang Matahachi?”

“Apa kerjamu di atas itu? Kamu bukan orang yang gampang takut dengan anjing.”

“Aku di atas ini bukan karena anjing.”

“Nah, apa pun sebabnya, turunlah.”

Dari tempat bertenggernya, Akemi meninjau ke sekitar, ke tengah kegelapan yang tenang. “Matahachi!” katanya mendesak. “Pergi kamu dari sini. Kukira dia datang mencariku.”

“Dia? Siapa dia itu?”

“Tak ada waktu membicarakannya. Seorang lelaki. Dia menawarkan bantuan padaku akhir tahun lalu, tapi ternyata dia binatang. Semula kukira dia baik, tapi kemudian dilakukannya segala macam tindakan kejam padaku. Malam ini kulihat kesempatan lari.”

“Apa bukan Oko yang mengejarmu?”

“Bukan, bukan Ibu. Lelaki!”

“Gion Toji, barangkali?”

“Jangan melucu begitu, aku tidak takut pada Gion Toji…. Oh, oh, dia sudah di sana. Kalau kamu tetap di situ, dia nanti menemukan aku. Dan dia akan berbuat yang mengerikan juga padamu! Cepat sembunyi!”

“Jadi, maumu aku lari hanya karena muncul seorang lelaki?” Matahachi tetap berdiri, gelisah oleh sikap ragu-ragunya sendiri. Ia setengah ingin melakukan perbuatan gagah berani. Ia seorang lelaki. Ada perempuan dalam bahaya. Ia ingin menebus malu karena merangkak ketika hendak mengusir anjing tadi. Semakin Akemi mendesaknya bersembunyi, semakin ingin Matahachi memperlihatkan kejantanannya, baik kepada Akemi maupun kepada diri sendiri.

“Siapa di situ!”

Kata-kata itu serentak diucapkan oleh Matahachi dan Kojiro. Kojiro menatap pedang Matahachi dan darah yang masih menetes-netes darinya. “Siapa engkau?” tanyanya dengan sikap bermusuhan.

Matahachi diam saja. Mendengar nada takut dalam suara Akemi tadi, ia menjadi tegang. Tapi sesudah memperhatikan lagi ketegangan pun mereda. Orang baru itu jangkung dan tegap tubuhnya, tapi tak lebih tua dari Matahachi sendiri. Dari potongan rambut dan pakaiannya, Matahachi menduga orang itu bawahan yang masih buruk kelakuan dan matanya pun tampak merendahkan. Biarawan tadi memang telah membuat ia ketakutan, tapi ia yakin takkan kalah oleh pemuda pesolek itu.

“Apa ini orang kejam yang sudah menyiksa Akemi?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Kelihatannya begitu hijau seperti labu. Cerita seluruhnya belum kudengar, tapi kalau memang dia orang yang bikin susah itu, kukira lebih baik kuberi dia satu-dua pelajaran.”

“Siapa engkau?” tanya Kojiro lagi. Daya ucapan itu demikian rupa, hingga seolah dapat mengusir kegelapan sekitar mereka.

“Aku?” jawab Matahachi menggoda. “Aku cuma manusia.” Dan dengan sengaja ia menyeringai.

Wajah Kojiro merah oleh amarah. “Jadi, engkau tak punya nama rupanya,” katanya. “Atau barangkali kau malu dengan namamu?”

Matahachi merasa gusar, namun tidak takut, dan jawabnya pedas, “Aku tak melihat perlunya memberikan nama kepada orang asing yang barangkali juga takkan mengenali nama itu.”

“Jaga lidahmu itu!” bentak Kojiro. “Tapi mari kita tunda dulu perkelahian antara kita. Aku mau menurunkan gadis dari atas pohon itu dan me­ngembalikannya ke tempat semestinya. Tunggu di sini.”

“Jangan bicara macam orang tolol! Bagaimana kau bisa menduga akan kubiarkan kau mengambil gadis itu?”

“Lho, ada hubungan apa denganmu?”

“Ibu gadis itu dulu istriku, dan aku takkan membiarkannya dibikin cedera. Kalau kau meletakkan satu jari saja padanya, akan kurajang kau.”

“Oh, menarik. Engkau rupanya mengkhayalkan dirimu sebagai samurai. Terpaksa kukatakan di sini, lama aku tak melihat samurai yang begini kurus. Tapi ada yang perlu kauketahui. Galah Pengering di punggungku ini terus menangis dalam tidurnya, karena sejak diturunkan sebagai pusaka belum sekali pun merasa puas minum darah. Dan sudah sedikit karatan juga, jadi kupikir sekarang akan kugosok dia sedikit dengan bangkaimu yang kurus itu. Dan jangan coba-coba lari!”

Matahachi tak punya kemampuan menilai bahwa ini bukan gertak sambal, karenanya ia berkata mengejek, “Cukup omongan besar itu! Kalau engkau mau berpikir sekali lagi, sekarang ini waktunya. Pergi dari sini. selagi kau masih melihat jalan. Akan kuselamatkan nyawamu.”

“Sama juga denganmu, hai manusia tampan. Kamu membanggakan diri bahwa namamu terlalu bagus untuk disebutkan kepada orang-orang macam aku. Coba sebutkan, siapa namamu yang indah itu? Menyebutkan nama itu bagian dari etiket dalam berkelahi. Atau kamu tak tahu itu?”

“Aku tidak keberatan menyebutnya, tapi jangan kaget kalau kamu men­dengarnya.”

“Aku akan menguatkan diri untuk tidak terkejut. Tapi lebih dulu, apa gaya main pedangmu?”

Matahachi membayangkan bahwa orang yang mengoceh secara itu tak mungkin pemain pedang berarti, maka taksirannya terhadap lawannya pun lebih turun lagi.

“Aku punya sertifikat Gaya Chujo, cabang dari Gaya Toda Seigen,” jelas Matahachi.

Kojiro kaget, tapi mencoba menyembunyikannya.

Matahachi percaya bahwa ia lebih unggul, karenanya ia berpendapat. tolol sekali kalau ia tidak menekan terus. Menirukan orang yang bertanya kepadanya, katanya, “Sekarang sebutkan, apa gayamu? Itu bagian etiket dalam perkelahian, Iho!”

“Nanti. Tapi dari mana kamu belajar Gaya Chujo itu?”

“Dari Kanemaki Jisai, tentu saja,” jawab Matahachi fasih. “Dari siapa lagi?”

“Oh?” ucap Kojiro yang sekarang benar-benar heran. “Dan apa kamu kenal Ito Ittosai?”

“Tentu saja.” Menurut tafsiran Matahachi, pertanyaan-pertanyaan Kojiro itu membuktikan bahwa cerita yang dikarangnya ada hasilnya, dan ia merasa yakin bahwa orang muda itu akan segera mengajukan kompromi. Untuk lebih menekan sedikit lagi, katanya, “Kukira tak ada alasan me­nyembunyikan hubunganku dengan Ito Ittosai. Dia pendahuluku. Yang kumaksud, kami berdua belajar di bawah pimpinan Kanemaki Jisai. Kenapa kamu tanyakan?”

Kojiro mengabaikan saja pertanyaan itu. “Kalau begitu, boleh aku tanva lagi, siapa kamu?”

“Aku Sasaki Kojiro.”

“Katakan lagi!”

“Aku Sasaki Kojiro,” ulang Matahachi dengan sopan sekali.

Setelah terdiam sejenak karena tercengang, Kojiro pun memperdengarkan suara geram dan memperlihatkan lesung pipitnya.

Matahachi menatapnya. “Kenapa kamu pandang aku macam itu? Apa namaku mengejutkanmu?”

“Kukira begitu.”

‘Baiklah… sekarang pergi!” Matahachi memerintah dengan nada mengancam. dengan dagu ditegakkan.

“Ha, ha, ha, ha! Oh! Ha, ha, ha!” Kojiro memegang perutnya agar tidak roboh karena tawa. Ketika akhirnya ia dapat mengendalikan diri kembali, katanva, “Sudah banyak kutemui orang dalam perjalananku, tapi belum pernah aku mendengar hal seperti ini. Nah, Sasaki Kojiro, sekarang sudilah kamu menyatakan padaku, siapa aku ini?”

“Mana aku tahu?”

“Kamu mesti tahu! Kuharap sikapku tidak terasa kasar, tapi untuk memastikan bahwa pendengaranku benar, harap sebut namamu sekali lagi.”

“Apa kamu tidak bertelinga? Aku Sasaki Kojiro.”

“Dan aku…?”

“Manusia lain, kukira.”

“Tentu saja, tapi siapa namaku?”

“Bajingan kamu, apa kamu mau mempermainkan aku?”

“Tentu saja tidak. Aku sungguh-sungguh. Belum pernah aku lebih serius dari sekarang. Katakan padaku, Kojiro, siapa namaku?”

“Kenapa bikin susah diri sendiri? Jawab sendiri pertanyaan itu.”

“Baik. Aku akan bertanya pada diriku sendiri siapa namaku, dan kemu­dian, meskipun bisa kelihatan lancang, akan kusampaikan nama itu padamu.”

“Baik. “

“Jangan terkejut!”

“Orang goblok!”

“Aku Sasaki Kojiro, dan dikenal juga sebagai Ganryu.”

“A-apa?”

“Sejak zaman nenek moyangku, keluargaku sudah tinggal di Iwakuni. Nama Kojiro itu kuterima dari orangtuaku. Akulah orang yang di kalangan pemain pedang dikenal dengan nama Ganryu. Nah, kapan dan bagaimana bisa menurutmu, di dunia ini terdapat dua Sasaki Kojiro?”

“Kalau begitu kamu… kamu…?

“Ya, sekalipun banyak sekali orang mengadakan perjalanan di pedesaan, kamulah orang pertama yang kutemui memakai namaku. Yang pertama sekali! Apa bukan suatu kebetulan aneh bahwa kita bertemu?”

Matahachi berpikir cepat.

“Ada apa? Kamu kelihatan gemetar.” Matahachi jadi ngeri.

Kojiro mendekat, menepuk bahunya, dan katanya, “Mari kita berteman.” Dengan muka pucat pasi Matahachi melepaskan diri dan mendengking. “Kalau kamu lari, kubunuh kau!” Suara Kojiro itu menembus seperti lembing langsung ke wajah Matahachi.

Galah Pengering mendesis di atas bahu Kojiro bagai ular perak. Satu pukulan saja, tak lebih. Dengan sekali lambungan Matahachi mental hampir tiga meter. Seperti serangga yang diembuskan dari selembar daun, ia cer­jungkir balik tiga kali dan jatuh telentang tak sadarkan diri.

Kojiro malahan tak melihat ke arah jatuhnya Matahachi. Pedang yang panjangnya tiga kaki dan masih tak berdarah itu masuk kembali ke dalam sarungnya.

“Akemi!” panggil Kojiro. “Turunlah! Takkan kulakukan hal itu lagi karena itu kembalilah ke penginapan denganku. Oh, kurobohkan temanmu. tapi aku tidak betul-betul melukainya. Turun sini, dan rawatlah.”

Tak ada jawaban. Karena tak melihat apa-apa di cabang-cabang gelap itu, Kojiro memanjat pohon, tapi kemudian dilihatnya ia hanya sendirian. Akemi sudah lari lagi.

Angin bertiup lembut lewat dedaunan pinus. Ia duduk diam di ala, dahan, bertanya-tanya pada diri sendiri, ke mana terbangnya burung layang-­layang yang kecil itu. Ia tak dapat menduga, kenapa Akemi begitu takut kepadanya. Tidakkah ia mencurahkan cintanya dengan cara terbaik yang dikenalnya? Memang mungkin caranya memperlihatkan kasih sedikit kasar. tapi ia tak sadar bahwa cara itu berlainan dengan cara orang lain dalam bercinta.

Jawaban atas soal itu barangkali dapat ditemukan dalam sikapnya terhadap seni pedang. Selagi kanak-kanak ia memasuki sekolah Kanemaki Jisai. Ia memperlihat-kan kemampuan besar dan diperlakukan sebagai anak ajaib. Caranya mempergunakan pedang sungguh luar biasa. Tetapi yang lebih luar biasa lagi adalah kegigihannya. Ia menolak menyerah sama sekali. Kalau berhadapan dengan lawan yang lebih kuat, semakin ketat lagi ia berusaha.

Pada zaman ini, cara yang dipergunakan seorang pesilat untuk menang jadi jauh kurang penting dibandingkan dengan kemenangan itu sendiri. Tak seorang pun mempertanyakan cara-cara itu dengan saksama, dan kecen­derungan Kojiro untuk bertahan dengan jalan apa pun sampai akhirnya menang tidak dianggap sebagai cara yang kotor. Lawan-lawannya mengeluh karena ia masih terus saja menyerang mereka, padahal kalau orang lain sudah mengaku kalah, tapi tak seorang pun menganggapnya tidak jantan.

Pada suatu kali, ketika ia masih kanak-kanak, sekelompok murid yang lebih besar dan terang-terangan ia benci menghajarnya dengan pedang kayu sampai pingsan. Karena kasihan kepadanya, salah seorang penyerangnya memberinya air dan menunggunya sampai sadar kembali. Waktu itulah Kojiro merebut pedang kayu orang yang telah menolongnya itu dan memukulnya sampai mati.

Kalau ia kalah dalam pertarungan, tak pernah ia melupakannya. Ia akan mengintai terus sampai musuh itu lengah-di tempat gelap, saat musuhnya berada di tempat tidur, atau bahkan di kamar kecil dan diserangnya musuh itu dengan sehebat-hebatnya. Mengalahkan Kojiro sama saja dengan menciptakan musuh kepala batu.

Setelah dewasa, ia biasa bicara tentang dirinya sebagai seorang jenius. Memang ini bukan sekadar bualan, dan baik Jisai maupun Ittosai mem­benarkannya. Ketika ia menyatakan telah belajar menebas burung layang-­layang yang sedang terbang dan menciptakan gayanya sendiri, ia memang tidak mengada-ada. Itu pula yang menyebabkan orang menganggapnya “tukang sihir”, suatu pujian yang ia terima dengan senang hati.

Tak seorang pun tahu, apa wujud keinginannya yang keras itu, ketika Kojiro jatuh cinta kepada seorang perempuan. Tapi tak mungkin ada keraguan bahwa di situ pun ia akan menempuh jalannya yang biasa. Namun ia sendiri tak melihat ada hubungan apa pun antara kemampuannya bermain pedang dengan caranya bercinta. Tak dapat ia memahami, kenapa Akemi tidak menyukainya, padahal ia demikian cinta kepada gadis itu.

Ketika sedang merenungkan masalah cintanya itu, ia lihat sesosok tubuh berjalan ke sana kemari di bawah pohon, tanpa menyadari kehadiran Kojiro.

“Ada orang menggeletak di sini,” kata orang baru itu. Ia membungkuk untuk melihat lebih jelas, kemudian serunya, “Oh, ini bangsat dari warung sake itu!”

Orang itu biarawan pengembara. Ia menurunkan bungkusan dari pung­gungnya, ucapnya, “Kelihatannya tidak luka. Dan tubuhnya hangat.” Ia meraba-rabanya dan menemukan tali di bawah obi Matahachi. Tali dilepaskan dan diikatnya tangan Matahachi ke punggung. Kemudian ia tekankan lututnya pada lekuk pinggang Matahachi dan ia sentakkan bahu Matahachi ke belakang. Bersamaan dengan itu, ia tekan keras saraf simpatisnya. Matahachi sadar kembali, merintih tak jelas. Biarawan itu mengangkatnya seperti sekarung kentang ke sebatang pohon dan menyandarkannya di situ.

“Berdiri!” katanya tajam. Ditegaskannya perintahnya itu dengan tendangan. “Berdiri kamu!”

Matahachi yang sudah setengah jalan ke neraka itu memperoleh kembali kesadarannya, tapi belum dapat memahami apa yang sedang terjadi. Masih dalam keadaan pusing, ia paksakan dirinya berdiri.

“Bagus,” kata si biarawan. “Berdiri saja begitu.” Kemudian ia ikat kaki dan dada Matahachi ke pohon.

Matahachi membuka mata sedikit dan berteriak heran.

“Hei, penipu,” kata orang yang menangkapnya, “kau membuatku lari mengejar, tapi semuanya sudah lewat sekarang.” Pelan-pelan ia mulai meng­garap Matahachi. Ditamparnya dahinya beberapa kali hingga kepala Matahachi membentur-bentur pohon. “Di mana kau mendapat kotak obat itu?” tanyanya. “Katakan yang sebenarnya. Ayo!”

Matahachi tidak menjawab.

“Kaupikir kau bisa terus bertahan dengan tak tahu malu begitu, ya?” Dengan marah biarawan itu menjepitkan jempol dan jari telunjuknya ke hidung Matahachi dan mengguncangkan kepalanya ke depan ke belakang.

Matahachi tersengal-sengal, dan ketika ia kelihatan mencoba berbican, biarawan itu melepaskan hidunganya. “Aku akan bicara,” kata Matahachi putus asa. “Akan kuceritakan semuanya.”

Air matanya meleleh. “Peristiwa itu terjadi musim panas lalu…,” mulainya, lalu diceritakannya seluruh peristiwa itu, yang akhirnya dengan permintaan ampun. “Saya tak dapat membayar uang itu sekarang juga, tapi saya berjanji, kalau Bapak tidak membunuh saya, saya akan kerja keras dan mengembalikannya nanti. Akan saya berikan janji tertulis, yang ditanda­tangani dan diberi meterai.”

Mengakui kesalahan seperti mengeluarkan nanah dari luka yang mesti disembunyikannya. Kini, setelah tak ada lagi yang mesti disembunyikan, tak ada lagi yang mesti ditakutkan. Paling tidak, itulah dugaan Matahachi.

“Benar begitu?” tanya si biarawan.

“Benar.” Matahachi menundukkan kepala penuh sesal.

Sesudah beberapa menit mereka diam, biarawan itu menarik pedang pendek dan menudingkannya ke muka Matahachi.

Matahachi berteriak sambil cepat menolehkan muka ke samping, “Bapak mau bunuh saya?”

“Ya, kau mesti mati.”

“Sudah saya ceritakan semuanya pada Bapak dengan penuh kejujuran. Sudah saya kembalikan kotak obat itu, dan akan saya serahkan kepada Bapak sertifikat itu. Tak lama lagi akan saya bayar kembali uang itu. Saya bersumpah! Kenapa saya mesti dibunuh?”

“Aku percaya padamu, tapi kedudukanku sangat sulit. Aku tinggal di Shimonida, di Kozuke, dan aku pembantu Kusanagi Tenki. Dia samurai yang tewas di Kuil Fushimi itu. Biar aku berpakaian biarawan, aku ini samurai. Namaku Ichinomiya Gempachi.”

Matahachi tidak mendengarkan kata-kata itu. Ia mencoba melepaskan diri dan lari. “Saya minta ampun,” katanya hina dina. “Saya tahu sudah melakukan perbuatan salah, tapi saya tidak bermaksud apa-apa. Saya ber­maksud menyampaikan semuanya itu pada keluarganya, tapi kemudian, yah, kemudian saya kehabisan uang, dan yah, saya tahu tak boleh saya melakukan itu, tapi saya sudah menggunakannya. Saya mau minta ampun bagaimana saja menurut keinginan Bapak, tapi mohon jangan bunuh saya.”

“Rasanya lebih baik kamu tidak minta ampun,” kata Gempachi yang kelihatan sedang bergulat dalam batinnya. Ia menggeleng-geleng sedih, lanjutnya, “Aku sudah pergi ke Fushima menyelidiki ini. Semuanya cocok dengan yang kaukatakan. Tapi aku mesti membawa pulang sesuatu untuk penghibur keluarga Tenki. Bukan uang. Aku cuma butuh sesuatu buat menunjukkan bahwa pembalasan sudah dilaksana-kan. Tapi tak ada satu penjahatnya, tak ada satu orang tertentu yang sudah membunuh Tenki. Jadi, bagaimana aku dapat membawa kepala pembunuh itu buat mereka?”

“Tapi saya… saya… saya tidak membunuh dia. Jangan Bapak salah.”

“Aku tahu kau tidak membunuh dia. Tapi keluarga dan teman-temannya tidak tahu dia dikeroyok dan dibunuh pekerja. Dan lagi itu bukan cerita yang akan bikin dia terhormat. Tak suka aku menceritakan pada mereka hal yang sebenarnya. Jadi, biarpun aku kasihan padamu, kupikir kau mesti dijadikan orang yang bersalah itu. Akan lebih baik keadaannya kalau kau setuju aku membunuhmu.”

Sambil merenggangkan tali-tali yang mengikatnya, Matahachi berteriak, “Lepaskan saya! Saya tak mau mati!”

“Dengan sendirinya. Tapi coba tinjau soal ini dari sudut lain. Kamu tak dapat membayar sake yang kauminum. Itu berarti kau tidak cakap meng­hidupi dirimu sendiri. Daripada kelaparan dan menjalani hidup memalukan di dunia yang kejam ini, apa tidak lebih baik kau istirahat dengan damai di dunia lain? Kalau uang yang jadi persoalanmu, aku punya sedikit. Dengan senang hati aku akan mengirimkan kepada orangtuamu sebagai sumbangan penguburan. Dan kalau kau mau, aku dapat mengirimkannya ke kuil leluhurmu sebagai sumbangan peringatan. Aku jamin, uang akan disampaikan sebaik-baiknya.”

“Gila. Aku tak perlu uang; aku mau hidup! Tolong!”

“Aku sudah menjelaskan semuanya baik-baik. Setuju atau tidak, kau terpaksa berperan selaku pembunuh tuanku. Menyerahlah, kawan. Anggap saja ini nasib.” Ia mencengkeram pedangnya dan melangkah mundur, agar ada ruang baginya untuk menebas.

“Gempachi, tunggu!” seru Kojiro.

Gempachi menengadah dan teriaknya, “Siapa di situ?”

“Sasaki Kojiro.”

Gempachi mengulang nama itu pelan-pelan dengan curiga. Apakah ada Kojiro palsu lain lagi turun dari langit? Namun suara itu mirip sekali de­ngan suara manusia, bukan suara hantu. Ia melompat menghindari pohon dan mengangkat pedang tegak-tegak.

“Ini keterlaluan,” katanya sambil tertawa. “Rupanya tiap orang menyebut dirinya Sasaki Kojiro sekarang ini. Di bawah sini ada satu, yang kelihatan begitu sedih. Ah, ya! Sekarang aku mulai mengerti. Kau teman orang ini, ya?”

“Bukan, aku Kojiro. Dengar, Gempachi, engkau sudah siap memotongku jadi dua kalau aku turun, ya?”

“Ya. Bawa sini berapa saja Kojiro palsu itu semaumu. Akan kuhadapi mereka semua.”

“Cukup adil. Kalau kau dapat memotongku, bolehlah kau yakin aku yang palsu, tapi kalau kau yang mati, yakinlah bahwa aku Kojiro sejati. Aku turun sekarang, dan kuperingatkan kamu, kalau kau tak dapat melukaiku di udara, Galah Pengering akan membelahmu seperti sepotong bambu.”

“Tunggu. Rasanya aku ingat suaramu. Kalau pedangmu bernama Galah Pengering yang terkenal itu, benar engkau Kojiro.”

“Kau percaya sekarang?”

“Ya, tapi apa kerjamu di atas itu?”

“Kita bicarakan nanti.”

Kojiro melompat lewat wajah Gempachi yang tengadah dan mendarat di belakangnya, disertai hujan daun pinus. Perubahan sosok Kojiro itu me­ngagumkan Gempachi. Kojiro, menurut ingatannya di sekolah Jisai itu. anak yang hitam kulitnya dan kikuk. Pekerjaan satu-satunya waktu itu menimba air, dan sesuai dengan kecintaan Jisai akan kesederhanaan, tidak pernah Kojiro menggunakan pakaian lain kecuali yang paling sederhana.

Kojiro duduk di pangkal pohon dan mengajak Gempachi berbuat demi­kian juga. Gempachi kemudian bercerita bahwa Tenki dikira mata-mata dari Osaka dan dilempari batu sampai mati, dan bahwa sertifikatnya jatuh ke tangan Matahachi.

Kojiro senang sekali mengetahui ada orang yang memakai namanya, tapi ia mengatakan tak ada untungnya membunuh orang yang demikian lemah. Ada cara lain untuk menghukum Matahachi. Kalau Gempachi kuatir dengan keluarga Tenki atau reputasinya, Kojiro sendiri akan pergi ke Kozuke dan mengatur segala sesuatunya agar majikan Gempachi dianggap sebagai prajurit berani dan terhormat. Tak perlu membuat Matahachi sebagai kambing hitam.

“Engkau setuju, Gempachi?” tutup Kojiro.

“Kalau demikian, kukira ya.”

“Baiklah kalau begitu. Aku mesti pergi sekarang, tapi kukira kau mesti pulang ke Kozuke.”

“Memang aku mau pulang. Aku akan langsung pulang.”

“Terus terang, aku agak buru-buru. Aku sedang mencari gadis yang tiba­-tiba meninggalkanku.”

“Apa tak ada yang kaulupakan?”

“Kukira tidak.”

“Bagaimana dengan sertifikat itu?”

“Oh, itu.”

Gempachi menggerayangi Matahachi dan mengambil gulungan itu. Matahachi merasa ringan dan lepas dari beban. Kini ia merasa hidupnya akan selamat, dan ia senang terlepas dari dokumen itu.

“Hmm,” kata Gempachi. “Coba pikirkan, barangkali kejadian malam ini memang diatur roh Jisai dan Tenki, hingga aku bisa mendapatkan kembali sertifikat ini dan memberikannya padamu.”

“Aku tak mau,” kata Kojiro.

“Kenapa?” tanya Gempachi tak percaya.

“Aku tidak memerlukannya.”

“Aku tak mengerti.”

“Aku tak perlu kertas macam itu.”

“Apa yang kaukatakan! Apa engkau tidak merasa berterima kasih kepada gurumu? Bertahun-tahun Jisai mempersiapkan diri untuk memutuskan apakah dia akan memberikan sertifikat ini padamu. Dan dia tidak juga mengambil keputusan, sebelum akhirnya berada di ranjang kematian. Dia menugaskan Tenki untuk menyerahkannya padamu, tapi lihatlah sendiri apa yang terjadi dengan Tenki. Engkau mesti malu bersikap begitu.”

“Apa yang dilakukan Jisai itu urusannya sendiri. Aku punya ambisi sendiri.”

“Bukan begitu mestinya bicara.”

“Jangan engkau salah mengerti.”

“Engkau menghina orang yang sudah mengajarmu?”

“Sama sekali tidak, tapi aku dilahirkan dengan bakat-bakat yang lebih besar daripada dia. Aku bermaksud lebih maju daripada dia. Menjadi pemain pedang yang tak dikenal di daerah pedesaan bukanlah tujuanku.”

“Engkau bersungguh-sungguh?”

“Tidak salah lagi.” Kojiro tidak menyesal mengungkapkan ambisi-ambisi­nya, sekalipun menurut ukuran biasa tak patut. “Aku berterima kasih pada Jisai, tapi sertifikat dari sekolah desa yang tidak begitu dikenal itu lebih merugikan diriku daripada menguntungkan. Ito Ittosai menerima sertifikatnya, tapi dia tidak meneruskan Gaya Chujo. Dia menciptakan gayanya yang baru. Aku bermaksud berbuat demikian juga. Kepentinganku adalah men­ciptakan Gaya Ganryu. Tak lama lagi nama Ganryu akan sangat terkenal. Engkau lihat, dokumen itu tak ada artinya buatku. Bawa itu kembali ke Kozuke dan minta kuil di sana menyimpannya bersama catatan kelahiran dan kematian.” Tak ada sama sekali nada kesederhanaan ataupun kerendahan hati dalam bicara Kojiro.

Gempachi memandangnya benci.

“Tolong sampaikan salamku untuk keluarga Kusanagi,” kata Kojiro sopan. “Beberapa lama lagi aku akan pergi ke timur dan mengunjungi mereka. Yakinlah.” Dan ia akhiri kata-kata perpisahan itu dengan senyum lebar.

Bagi Gempachi, pameran kesopanan yang terakhir itu mengandung sikap menggurui. Ia berpikir untuk menegur Kojiro atas sikapnya yang tak kenal terima kasih dan tidak hormat kepada Jisai itu, tapi sesudah memper­timbangkannya lagi sejenak, ia menganggap buang-buang waktu saja. Maka pergilah ia menghampiri bungkusannya, memasukkan sertifikat ke dalamnya, dan mengucapkan selamat berpisah singkat dan pergi.

Sesudah ia pergi, Kojiro tertawa senang sekali. “Aduh, aduh, dia marah rupanya. Ha, ha, ha, ha!” Kemudian ia menoleh kepada Matahachi. “Nah, apa sekarang katamu tentang dirimu sendiri, orang palsu tak berguna?”

Matahachi tentu saja tak bisa bicara apa-apa.

“Jawab pertanyaanku! Kamu mengaku mencoba memalsukan aku, kan?”

“Ya..”

“Aku tahu namamu Matahachi, tapi siapa nama lengkapmu?”

“Hon’iden Matahachi.”

“Apa kamu ronin?”

“Ya.”

“Ambil pelajaran dariku, keledai tak bertulang punggung! Kaulihat aku mengembalikan sertifikat itu, kan? Kalau orang lelaki tak punya keberanian berbuat seperti itu, tak bakal dia dapat melakukan apa-apa sendiri. Tapi! coba lihat dirimu itu! Kamu pakai nama orang lain, mencuri sertifikatnya. dan ke sana kemari hidup dengan reputasinya. Apa ada yang lebih keji daripada itu? Barangkali pengalaman malam ini memberikan pelajaran kepadamu: kucing bisa saja mengenakan kulit macan, tapi tetap saja dia kucing.”

“Saya akan berhati-hati sekali di masa depan.”

“Aku menahan diri tidak membunuhmu, tapi kukira lebih baik kamu membebaskan dirimu sendiri, kalau kau bisa.” Tapi tiba-tiba Kojiro mendapat pikiran baru. Ia hunus belati dari sarungnya dan ia pun mengorek-ngorek kulit pohon di atas kepala Matahachi. Serpihan kulit pohon berjatuhan ke leher Matahachi. “Aku butuh alat tulis,” gumam Kojiro.

“Ada kantong kuas dan tempat tinta dalam obi saya,” kata Matahachi ingin membantu.

“Bagus! Kupinjam sebentar.”

Kojiro membasahi kuas itu dengan tinta dan menulis di atas petak batang pohon yang sudah ia korek kulitnya. Kemudian ia mundur sedikil mengagumi hasil kerjanya. “Orang ini,” bunyinya, “adalah penipu lihai. Dengan menggunakan nama saya, ia pergi ke sana kemari di pedesaan. melakukan perbuatan tidak terhormat. Saya sudah menangkapnya, dan saya meninggalkannya di sini untuk diejek-ejek oleh siapa saja. Nama saya, dan nama pedang saya yang menjadi milik saya seorang, adalah Sasaki Kojiro, Ganryu.”

“Cukup begini,” kata Kojiro puas.

Di hutan gelap itu angin menderu seperti air pasang. Kojiro pergi sambil memikirkan ambisi masa depannya dan kembali menempuh jalur aksinya waktu itu. Matanya menyala ketika ia menerobos hutan, seperti seekor macan tutul.

Adik

SEMENJAK zaman kuno, orang-orang kelas tertinggi dapat naik joli. Baru belakangan saja joli jenis sederhana dapat dipergunakan oleh orang ke­banyakan. Joli itu sedikit lebih besar dari keranjang besar bersisi rendah yang diikatkan pada pikulan. Supaya penumpang tidak jatuh keluar, ia harus berpegangan erat pada tali di depan dan belakang. Para pemikul yang biasanya menyanyi berirama untuk menyamakan langkah, mempunyai ke­cenderungan memperlakukan penumpangnya sebagai muatan. Orang-orang yang memilih bentuk kendaraan ini dinasihatkan untuk menyesuaikan napasnya dengan irama pemikul, terutama apabila para pemikul berlari.

Joli yang berjalan cepat ke arah hutan pinus di Jalan Gojo itu diiringi tujuh atau delapan orang. Baik pemikul maupun orang-orang lainnya terengah-engah, seakan hendak memuntahkan jantung mereka.

“Kita sampai di Jalan Gojo.”

“Apa ini bukan Matsubara?”

“Tidak jauh lagi.”

Walaupun lentera-lentera yang mereka bawa berbulu jambul seperti yang biasa dipakai para pelacur bersurat ijin di wilayah Osaka, penumpangnya bukanlah kupu-kupu malam.

“Pak Denshichiro!” seru salah seorang pembantu di depan. “Kita hampir sampai di Jalan Shijo.”

Denshichiro tidak mendengar. Ia tertidur, kepalanya berayun-ayun naik ­turun seperti kepala macan kertas. Kemudian keranjang itu tersentak, dan seorang pemikul mengeluarkan tangan untuk menahan penumpangnya agar tidak jatuh.

Sambil membuka matanya yang besar, Denshichiro berkata, “Aku haus. Kasih aku sake!”

Senang karena mendapat kesempatan beristirahat, para pemikul me­nurunkan joli ke tanah dan mulai menghapus keringat lengket dari wajah dan dada mereka yang berambut dengan saputangan.

“Sake tinggal sedikit lagi,” kata seorang pembantu sambil menyerahkan tabung bambu pada Denshichiro.

Denshichiro mengosongkannya dengan sekali teguk, kemudian mengeluh. “Dingin sekali, sampai ngilu gigiku.” Tapi sake itu cukup menyegarkannya karena ia menyatakan, “Masih gelap. Rupanya jalan kita cepat sekali.”

“Kalau menurut kakak Bapak, tentunya lambat sekali. Dia begitu ingin bertemu dengan Bapak, hingga tiap menit seperti setahun.”

“Kuharap dia masih hidup.”

“Dokter bilang dia akan sembuh. Tapi dia gelisah, dan lukanya terus mengeluarkan darah. Itu berbahaya.”

Denshichiro mengangkat tabung kosong itu ke bibirnya dan men­jungkirkannya. “Musashi!” katanya muak sambil melemparkan tabung. “Mari jalan!” lenguhnya. “Lekas!”

Denshichiro memang peminum kuat, tapi ia pesilat yang lebih kuat lagi dan cepat marah. Ia hampir merupakan kebalikan dari kakaknya. Ketika Kempo masih hidup pun sudah ada orang-orang yang berani menyatakan bahwa ia lebih mampu daripada ayahnya. Pemuda itu sendiri sependapat dengan pandangan orang tentang bakat-bakatnya itu. Ketika ayah mereka masih hidup, kedua bersaudara tersebut berlatih bersama di dojo, dan di situ mereka dapat bekerja sama, tapi begitu Kempo meninggal, Denshichiro tidak lagi ambil bagian dalam kegiatan sekolah, dan bahkan sampai pernah langsung mengatakan kepada Seijuro bahwa Seijuro harus mundur dan menyerahkan segala yang menyangkut permainan pedang kepadanya.

Semenjak keberangkatannya ke Ise tahun lalu, orang memberitakan bahwa ia menghabiskan waktunya di Provinsi Yamato. Barulah sesudah terjadi bencana di Rendaiji, orang dikirim untuk mencarinya. Sekalipun tak suka kepada Seijuro, Denshichiro langsung sepakat untuk kembali.

Dalam perjalanan tergesa-gesa kembali ke Kyoto itu, ia memburu-buru para pemikul demikian hebatnya, hingga tiga atau empat kali mereka mesti diganti. Tapi ada saja waktunya buat berhenti di setiap pemberhentian di jalan raya untuk membeli sake. Barangkali alkohol itu dibutuhkannya untuk menenangkan saraf, karena memang ia dalam ketegangan luar biasa.

Ketika mereka baru akan berangkat lagi, anjing-anjing yang menggonggong di hutan gelap itu memikat perhatian mereka.

“Apa itu kira-kira?”

“Cuma segerombolan anjing.”

Kota itu memang penuh anjing liar. Bergerombol-gerombol mereka masuk kota, karena tidak ada lagi pertempuran yang menyediakan daging manusia buat mereka.

Denshichiro berteriak marah agar orang-orang tidak membuang-buang waktu lagi, tapi salah seorang murid berkata, “Tunggu dulu; ada yang aneh di sana.”

“Coba lihat, ada apa,” kata Denshichiro yang kemudian pergi sendiri mendahului.

Sesudah Kojiro pergi, anjing-anjing itu datang kembali. Tiga atau empat kawanan anjing di sekitar Matahachi dan pohon tempat ia terikat itu heboh besar. Kalau saja anjing-anjing bisa mengungkapkan perasaan, mungkin dapat dibayangkan bahwa mereka sedang melakukan balas dendam atas kematian seekor dari kawannya.

Namun yang lebih mungkin adalah mereka sekadar menyiksa korban yang menurut mereka dalam keadaan tak berdaya. Semuanya tampak lapar, seperti serigala-perutnya cekung, tulang punggungnya tajam seperti pisau, dan giginya demikian tajam, seperti dikikir.

Matahachi jauh lebih takut pada anjing-anjing itu daripada kepada Kojiro atau Gempachi. Karena tak dapat menggunakan tangan dan kakinya, senjatanya tinggal wajah dan suaranya.

Semula dengan naif ia mencoba mengajak bicara binatang-binatang itu, tapi kemudian ia mengubah taktik. Ia melolong seperti binatang liar. Anjing-anjing itu menjadi takut dan mundur sedikit. Tapi kemudian hidung Matahachi mulai beringus dan efek lolongannya segera menurun.

Berikutnya ia membuka mulut dan mata selebar mungkin, dan menatap tanpa mengedip. Ia kerutkan muka dan ia julurkan lidahnya hingga dapat menyentuh ujung hidung, tapi ia justru jadi cepat kehabisan tenaga. Dengan mengerahkan kekuatan otaknya kembali, ia berpura-pura menjadi seekor dari mereka dan tidak memusuhi mereka. Ia menyalak, bahkan membayangkan dirinya memiliki ekor untuk dikibas-kibaskan.

Gonggongan makin lama makin keras. Anjing-anjing yang terdekat memperlihat-kan gigi ke muka Matahachi dan menjilati kakinya.

Dengan harapan dapat menenangkan anjing-anjing itu dengan musik, mulailah Matahachi menyanyikan bagian yang terkenal dari dongeng tentang Heike, menirukan tukang nyanyi yang biasa keliling membawakan cerita itu dengan iringan kecapi.

Kemudian kaisar yang menyendiri itu memutuskan

Pada musim semi tahun kedua

Melihat vila luar kota Kenreimon’in,

Di pegunungan dekat Ohara.

Tetapi selama bulan kedua dan ketiga

Angin bertiup kencang, dan udara dingin mengepung,

Dan salju putih di puncak gunung pun tidak mencair.

Dengan mata terpejam, muka menegang menyeringai kesakitan, Matahachi menyanyi keras hingga hampir memekakkan dirinya sendiri. Ia masih menyanyi ketika Denshichiro dan teman-temannya datang dan anjing-anjing itu lari cerai-berai.

Lupa akan harga dirinya, Matahachi berteriak, “Tolong! Selamatkan saya!”

“Saya pernah lihat orang ini di Yomogi,” kata salah seorang samurai.

“Ya, ini suami Oko.”

“Suami? Seharusnya dia tak punya suami.”

“Itu ceritanya pada Toji.”

Karena kasihan kepada Matahachi, Denshichiro memerintahkan orang­-orang itu berhenti bergunjing dan membebaskannya.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, Matahachi mengarang cerita. Sifat-sifatnya yang luhur dilukiskan dengan baik sekali, sedangkan kelemahan­kelemahannya tak disinggung sama sekali. Mengambil keuntungan dari pembicaraannya dengan pengikut Yoshioka, ia menampilkan nama Musashi. Ia ungkapkan bahwa di masa kecil ia dan Musashi bersahabat, sampai kemudian Musashi melarikan tunangannya dan melumuri keluarganya dengan aib yang tak dapat dilukiskan. Ibunya yang gagah berani sudah bersumpah takkan pulang. Baik ibunya maupun dirinya bertekad akan menemukan Musashi dan menghancurkannya. Suatu hal yang jauh dari kebenaran kalau orang mengatakan bahwa ia suami Oko. Ia memang lama tinggal di Warung Teh Yomogi, tapi itu bukan karena ada hubungan pribadi dengan pemiliknya. Buktinya Oko jatuh cinta kepada Gion Toji.

Kemudian ia menjelaskan kenapa ia terikat pada pohon itu. Ia diserang kawanan perampok yang merampas uangnya. Tentu saja ia tidak melakukan perlawanan. Ia mesti berhati-hati agar tidak terluka justru karena kewajiban terhadap ibunya.

Dengan harapan mereka percaya akan semua itu, kata Matahachi, “Terima kasih. Saya merasa barangkali nasiblah yang mempertemukan kita. Ada satu orang yang sama-sama menjadi musuh kita, musuh yang tak bisa kita biarkan hidup di bawah naungan langit kita. Malam ini Anda sekalian datang justru pada saat yang tepat. Saya berterima kasih untuk selamanya.

“Dari penampilan Anda, saya menduga Anda Denshichiro. Saya merasa pasti Anda punya rencana menghadapi Musashi. Siapa di antara kita yang akan membunuhnya lebih dahulu tidak dapat saya katakan, tapi saya berharap akan mendapat kesempatan bertemu lagi dengan Anda.”

Ia tak ingin memberikan kesempatan pada mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, karena itu ia bergegas pergi. “Osugi, ibu saya, sedang berziarah ke Kiyomizudera untuk berdoa demi suksesnya pertempuran kami melawan Musashi. Saya dalam perjalanan menjumpainya sekarang. Tak lama lagi pasti saya berkunjung ke rumah di Jalan Shijo untuk me­nyatakan penghormatan saya. Sementara itu, izinkan saya memohon maaf karena menghambat Anda yang sedang demikian terburu-buru.”

Dan pergilah ia cepat-cepat, hingga para pendengarnya terheran-heran, seberapa benar isi cerita itu.

“Siapa pula badut itu?” dengus Denshichiro sambil mendecapkan lidah, menyesali waktunya yang terbuang.

Seperti dikatakan dokter, beberapa hari pertama akan merupakan hari­-hari terberat. Waktu itu hari keempat. Malam sebelumnya Seijuro sudah merasa sedikit lebih ringan.

Pelan-pelan ia membuka mata dan bertanya-tanya malamkah itu atau siang. Lampu bertutup kertas di samping bantalnya hampir mati. Dari kamar sebelah terdengar suara dengkur. Orang-orang yang menjaganya jatuh tertidur.

“Aku mestinya masih hidup,” pikirnya. “Hidup tapi dalam keadaan malu sekali!” Ia menarik selimut ke wajahnya dengan jari-jari gemetar. “Bagaimana aku dapat menghadapi orang lain sesudah ini?” ia menelan ludah keras­keras untuk menindas air matanya. “Habislah semuanya!” rintihnya. “Ini akhir diriku dan akhir Keluarga Yoshioka.”

Seekor ayam jantan berkokok dan lampu man dengan suara mendetik. Ketika cahaya fajar yang redup menjalar ke dalam ruangan, ia terkenang kembali akan pagi di Rendaiji itu. Pandangan mata Musashi! Kenangan itu membuatnya menggigil. Terpaksa ia mengakui bahwa ia bukanlah tandingan orang itu. Kenapa ia tidak membuang saja pedang kayunya, mengaku kalah, dan berusaha menyelamatkan reputasi keluarganya?

“Terlalu tinggi aku menilai diriku,” rintihnya. “Padahal selain menjadi anak Yoshioka Kempo, apa yang pernah kulakukan untuk meningkatkan diriku?”

Bahkan ia menyadari bahwa cepat atau lambat akan tiba saat keruntuhan Keluarga Yoshioka jika ia tetap memegang kendalinya. Dengan terjadinya perubahan suasana, tidak mungkin keluarga itu terus sejahtera.

“Pertarunganku dengan Musashi itu sekadar mempercepat keruntuhan. Kenapa.aku tidak mati saja di sana? Kenapa pula aku hidup?”

Ia mengerutkan kening. Bahunya yang tak berlengan berdenyut-denyut sakit. Hanya beberapa detik sesudah terdengar ketukan di gerbang depan, satu orang masuk membangunkan samurai di kamar Seijuro. “Denshichiro?” tanya suatu suara kaget.

“Ya, dia baru saja datang.”

Dua orang bergegas menjumpainya, seorang lagi berlari ke sisi Seijuro.

“Pak! Berita baik! Denshichiro pulang.”

Daun jendela dibuka, arang dimasukkan ke anglo, dan sebuah bantal ditata di lantai. Sebentar kemudian suara Denshichiro terdengar dari sebelah shoji, “Kakakku ada di sini?”

Seijuro terkenang masa lalu. “Lama sudah waktu itu.” Walaupun ia minta berjumpa dengan Denshichiro, ia takut dilihat dalam keadaannya sekarang, terutama oleh adiknya. Ketika Denshichiro masuk Seijuro menengadah lemah dan mencoba tersenyum, namun tak berhasil.

Denshichiro berbicara bersemangat. “Lihat, kan?” ia tertawa. “Kalau engkau dalam kesulitan, adikmu yang tak berguna ini datang menolongmu. Kutinggalkan segalanya dan aku datang selekas-lekasnya. Kami berhenti di Osaka untuk membeli perbekalan, kemudian jalan lagi sepanjang malam. Aku di sini sekarang, jadi engkau dapat merasa tenang. Apa pun yang terjadi, takkan kubiarkan seorang pun menjamahkan jari ke sekolah ini…

“Apa ini?” katanya kasar sambil menoleh pada seorang pelayan yang membawakan teh. “Aku tak perlu teh! Sana pergi ambil sake.” Kemudian ia berteriak pada seseorang supaya menutup pintu-pintu luar. “Apa kalian semua gila? Apa tidak kalian lihat kakakku kedinginan?”

Ia duduk mencangkung ke anglo serta memandang diam wajah si sakit. “Jurus apa yang engkau pergunakan dalam pertarungan itu?” tanyanya. “Kenapa kau kalah? Mungkin saja Miyamoto Musashi sedang menanjak sekarang, tapi dia tak lebih dari pemula biasa, kan? Bagaimana bisa engkau membiarkan dirimu lengah diserang oleh orang tak punya nama macam dia?”

Salah seorang murid menyebut nama Denshichiro dari pintu masuk. “Nah, ada apa?”

“Sake sudah siap.”

“Bawa masuk!”

“Sudah saya siapkan di kamar lain. Tuan mau mandi dulu, kan?”

“Aku tak mau mandi! Bawa sake itu ke sini.”

“Di samping tempat tidur Tuan Muda?”

“Kenapa tidak? Aku sudah beberapa bulan tidak melihat dia, dan aku ingin bicara dengannya. Hubungan kami memang selalu kurang baik, tapi tak ada yang lebih baik dari saudara, kalau kita memerlukannya. Aku minum di sini dengan dia.”

Ia menuang untuk dirinya semangkuk penuh, kemudian semangkuk lagi. dan bermangkuk-mangkuk lagi. “Oh, enak. Kalau kau sehat, kutuangkan juga untukmu.”

Seijuro menyabarkan diri beberapa menit lamanya, kemudian mengangkat mata dan katanya, “Bagaimana kalau kau tidak minum di sini?”

“Ha?”

“Bikin teringat hal-hal yang tak menyenangkan.”

“Oh?”

“Terpikir olehku ayah kita. Dia takkan senang melihat caramu dan caraku memperturutkan hati. Dan apa gunanya bagi kita?”

“Kenapa kau ini?”

“Barangkali kau belum lagi melihatnya, tapi sementara berbaring di tempat ini, aku sudah sempat menyesali hidupku yang terbuang sia-sia.”

Denshichiro tertawa. “Bicaralah atas nama dirimu sendiri! Sejak dulu kau selalu gugup dan sensitif. Itu sebabnya kau tak akan menjadi jago pedang sejati. Kalau kau mau mendengar yang sebenarnya, kupikir salah engkau menghadapi Musashi. Tapi sesungguhnya tak ada bedanya, apa itu Musashi atau yang lain. Berkelahi tak ada dalam darahmu. Kau mesti menganggap kekalahan ini sebagai pelajaran, dan kau mesti melupakan permainan pedang. Seperti kukatakan dulu, kau mesti mengundurkan diri. Kau masih mengepalai Keluarga Yoshioka. Jika ada orang menantangmu hingga engkau tak dapat menghindarinya, aku yang akan berkelahi untukmu. Tinggalkan dojo itu padaku dari sekarang. Akan kubuktikan aku dapat membuatnya beberapa kali lebih berhasil dari zaman ayah kita. Kalau engkau mau menyingkirkan kecurigaanmu bahwa aku mencoba merebut perguruanmu, akan kutunjukkan padamu apa yang dapat kulakukan.” Ia tuangkan sisa sake yang terakhir ke dalam mangkuknya.

“Denshichiro?” teriak Seijuro. Ia mencoba bangkit dari kasur jeraminya, menepiskan selimut pun ia tak dapat. Ia rebah kembali, kemudian mengulurkan tangan dan menangkap pergelangan adiknya.

“Awas!” gerutu Denshichiro. “Bisa tumpah.” Ia memindahkan mangkuknya ke tangan lain.

“Denshichiro, dengan senang hati akan kuserahkan perguruan ini ke­padamu, tapi engkau mesti menerima juga kedudukanku sebagai kepala rumah.”

“Baik, kalau itu yang kaukehendaki.”

“Engkau jangan menerima beban itu demikian gampang. Lebih baik pikirkan dulu. Aku sendiri lebih suka… menutup tempat ini daripada mengulangi kesalahan yang kuperbuat dan mendatangkan aib yang lebih besar lagi kepada ayah kita.”

“Jangan edan begitu. Aku tidak seperti kau.”

“Apa kau berjanji akan memperbaiki cara-cara hidupmu?”

“Tunggu! Aku akan minum kapan aku mau kalau itu yang kaumaksudkan.”

“Aku tidak keberatan engkau minum, asalkan tidak sampai keterlaluan bagaimana, kesalahan-kesalahan yang telah kubuat sebenarnya tidak, babkan oleh sake

“Aku berani bertaruh, kesulitanmu itu menyangkut perempuan. Yang mesti kaulakukan kalau nanti engkau sembuh adalah kawin dan menetap.

“Tidak. Aku memang akan meninggalkan pedang, tapi belum waktunya berpikir tentang beristri. Namun ada satu orang yang mesti mendapat perhatianku. Tapi kalau aku bisa mendapat keyakinan bahwa dia bahagia, tak ada lagi yang kuminta. Aku puas hidup sendiri di sebuah gubuk beratap ilalang di hutan.”

Siapa dia itu?”

“Tak usahlah, karena tak ada urusannya denganmu. Sebagai samurai aku mesti bertahan dan mencoba menebus diriku. Tapi aku bisa menindas harga diriku. Ambillah tanggung jawab perguruan ini.”

“Akan kulakukan, aku berjanji. Aku juga bersumpah, tak lama lagi akan kujernihkan namamu. Tapi di mana Musashi sekarang?”

“Musashi?” Seijuro tercekik. “Kukira engkau takkan memerangi Musashi! Baru saja kuperingatkan engkau untuk tidak berbuat kesalahan yang sama dengan yang kubuat.”

“Mana boleh aku memikirkan yang lain? Apa bukan ini sebabnya kau memanggilku? Kita mesti menemukan Musashi, sebelum dia meloloskan diri. Kalau bukan karena itu, ada urusan apa aku begini cepat pulang?”

“Kau tidak mengerti apa yang kubicarakan.” Seijuro menggelengkan kepala. “Kularang engkau melawan Musashi!”

Nada bicara Denshichiro mengandung kebencian. Selamanya ia jengkel menerima perintah kakaknya.

“Kenapa?”

Rona merah muda muncul di pipi Seijuro yang pucat. “Engkau takkan bisa menang!” katanya singkat.

“Siapa takkan bisa menang?” Muka Denshichiro jadi kebiruan.

“Kau. Takkan bisa engkau melawan Musashi.”

“Kenapa begitu?”

“Engkau tak cukup kuat.”

“Omong kosong!” Dengan sengaja Denshichiro memperdengarkan tawanya hingga bahunya berguncang. Dilepaskannya tangannya dari Seijuro dan dibalikkannya guci sake. “Hei, bawa sake sini!” lenguhnya.

“Tak ada sisa lagi.”

Ketika seorang murid masuk membawa sake, Denshichiro sudah tidak ada lagi di dalam kamar, sedangkan Seijuro tengkurap di bawah selimut. Ketika murid itu menelentangkannya dan menaruh kepalanya di atas bantal, kata Seijuro pelan, “Panggil dia lagi kemari. Ada yang mau kukatakan lagi kepadanya.”

Merasa senang karena majikannya bicara jelas, orang itu berlari ke luar mencari Denshichiro. Ia menemukannya sedang duduk di lantai dojo dengan Ueda Ryohei dan Miike Jurozaemon, Nampo Yoichibei, Otaguro Hyosuke, dan beberapa murid senior.

Satu orang bertanya, “Bapak sudah ketemu Seijuro?”

“Ya, aku barusan di kamarnya.”

“Dia tentu senang melihat Bapak.”

“Kelihatannya tidak begitu senang. Sebelum masuk kamarnya, aku ingin sekali bertemu dengannya. Tapi dia sedang murung dan uring-uringan. karena itu kukatakan saja apa yang ingin kukatakan. Kami jadi bertengkar, seperti biasa.”

“Bapak bertengkar dengannya? Mestinya tak usah. Dia baru mulai sembuh.”

“Tunggu sampai kaudengar seluruh ceritanya.”

Denshichiro dan murid-murid senior itu sudah seperti sahabat lama. Ia mencekal bahu Ryohei yang mencela tadi dan ia guncangkan bahu itu dengan sikap bersahabat.

“Dengar apa yang dikatakan kakakku,” mulainya. “Dia bilang aku tak boleh menjernihkan namanya dengan melawan Musashi, karena aku tak dapat mengalahkan Musashi! Dan kalau aku kalah, Keluarga Yoshioka akan runtuh. Dia bilang dia akan mengundurkan diri dan menerima tanggung jawab aib yang terjadi. Dia tak ingin aku melakukan yang lain kecuali melanjutkan pekerjaannya dan kerja keras menegakkan kembali sekolah.”

“Oh, begitu?”

“Apa maksudmu berkata begitu?” Ryohei diam saja.

Ketika mereka sedang duduk diam, murid itu masuk dan berkata pada Denshichiro, “Bapak Seijuro minta Anda kembali ke kamarnya.”

Denshichiro memberengut. “Bagaimana dengan sake itu?” detapnya.

“Saya tinggalkan di kamar Pak Seijuro.”

“Nah, bawa kemari.”

“Bagaimana dengan kakak Anda?”

“Dia rupanya menderita kegugupan. Kerjakan seperti kukatakan.”

Protes dari yang lain-lain bahwa mereka tak ingin minum dan bahwa ini bukan waktu minum, membikin jengkel Denshichiro, dan ia menyerang mereka. “Apa yang terjadi dengan kalian semua? Apa kalian takut kepada Musashi juga?”

Rasa terguncang, rasa sakit, dan rasa sedih tergambar jelas pada wajah mereka. Sampai tiba ajal mereka, mereka akan tetap ingat, bagaimana guru mereka dibikin cacat hanya dengan satu pukulan pedang kayu, dan perguruan mereka dibikin malu. Namun demikian, tak dapat mereka menyusun satu rencana aksi. Setiap pembicaraan tentang tiga hari lalu itu memecah mereka menjadi dua kelompok, sebagian menyetujui dilontarkannya tantangan kedua, sebagian lagi menyatakan lebih baik membiarkan saja pengalaman buruk yang lalu itu. Sekarang beberapa orang yang lebih tua dapat menerima pendapat Denshichiro, sedangkan sebagian lagi, termasuk Ryohei, cenderung setuju dengan guru mereka yang telah dikalahkan. Sayangnya, anjuran Seijuro untuk bersabar itu sukar sekali disetujui para murid, terutama di hadapan adik yang berkepala panas itu.

Melihat keraguan sikap mereka, Denshichiro mengatakan, “Biarpun kakakku sudah luka, tak perlu dia berlaku seperti pengecut. Macam perempuan saja! Bagaimana mungkin aku diminta mendengarkan kata­-katanya, apalagi menyetujuinya?”

Sake datang, ia menuangkannya seorang semangkuk. Sekarang, karena ia yang akan memegang kendali, ia bermaksud membawakan gaya yang ia sukai: semua orang ini harus merupakan kesatuan manusia sejati.

“Dan inilah yang akan kulakukan,” katanya mengumumkan. “Aku akan melawan Musashi dan mengalahkannya! Tak peduli apa yang dikatakan kakakku. Kalau menurutnya kita mesti membiarkan orang ini lepas setelah melakukan perbuatannya itu, tidak mengherankan kalau dia kalah. Jangan sampai siapa pun di antara kalian berbuat kesalahan dengan menyangka aku ini masih hijau macam dia.”

Nampo Yoichibei angkat bicara. “Tak ada persoalan tentang kemampuan Anda. Kami semua yakin, tapi…”

“Tapi apa? Apa yang terpikir olehmu?”

“Nah, kakak Anda rupanya berpendapat Musashi tidak penting. Dia benar, kan? Pikirkan risikonya…”

“Risiko?” lolong Denshichiro.

“Eh, maksud saya bukan begitu! Saya cabut kembali kata-kata saya.,” gagap Yoichibei.

Tapi sudah terlambat. Denshichiro melompat dan menangkap tengkuk Yoichibei, lalu membenturkannya keras-keras ke dinding. “Keluar dari sini! Pengecut!”

“Saya tadi keliru mengucapkan. Yang saya maksud…”

“Tutup mulutmu! Keluar! Orang lemah tak pantas minum denganku.”

Yoichibei pucat, kemudian diam berlutut menghadap semua yang lain. “Saya ucapkan terima kasih kepada Anda sekalian yang mengizinkan sava berada di tengah Anda sekalian demikian lama,” katanya pendek. Ia pergi ke tempat suci Shinto di belakang kamar, membungkuk, dan pergi.

Tanpa menoleh lagi ke arahnya, Denshichiro berkata, “Mari sekarang kita semua minum. Sesudah itu, kuminta kalian mencari Musashi. Kukira dia belum meninggalkan Kyoto. Barangkali dia masih berkeliaran mem­banggakan kemenangannya.

“Dan satu hal lagi. Kita akan kembali memberikan semangat kepada dojo ini. Aku minta kalian masing-masing berlatih keras dan mengajak murid lain berbuat demikian juga. Sesudah beristirahat, aku sendiri mulai berlatih. Dan ingat satu hal ini: Aku bukan orang lunak macam kakakku. Murid yang termuda pun kuminta berusaha sebaik-baiknya.”

Tepat seminggu kemudian, seorang di antara murid yang masih muda datang berlari-lari masuk dojo, membawa berita, “Saya sudah menemukannya!”

Sesuai dengan ucapannya, Denshichiro berlatih dengan keras hari demi hari. Tenaganya yang seakan tak ada habis-habisnya itu membikin para murid kagum. Sekelompok di antara mereka sedang memperhatikan bagai­mana ia menangani Otaguro, salah seorang dari murid yang paling ber­pengalaman, seakan-akan murid itu masih kanak-kanak.

“Kita berhenti sekarang,” kata Denshichiro sambil menarik pedang dan duduk di ujung petak latihan. “Kamu bilang sudah menemukannya?”

“Ya.” Murid itu mendekat dan berlutut di depan Denshichiro.

“Di mana?”

“Di timur Jissoin, di Jalan Hon’ami. Musashi tinggal di rumah Hon’ami Koetsu. Saya yakin.”

“Aneh. Bagaimana mungkin orang kasar macam Musashi sampai kenal orang macam Koetsu?”

“Saya tidak tahu, tapi dia di situ.”

“Baiklah, mari mengejarnya. Sekarang!” salak Denshichiro sambil me­langkah mempersiapkan diri. Otaguro dan Ueda yang mengikutinya mencoba mencegahnya.

“Menyergap dia bisa tampak seperti perkelahian umum. Orang-orang takkan menyetujuinya, biarpun kita menang.”

“Tidak apa. Etiket itu untuk dojo. Dalam pertempuran sebenarnya yang menang itulah yang menang!”

“Betul, tapi bukan itu cara yang dipakai orang bebal itu mengalahkan kakak Anda. Apa menurut Anda tidak lebih cocok buat pemain pedang kalau mengirimkan surat kepadanya untuk menetapkan waktu dan tempat, kemudian mengalahkannya dengan adil dan jujur?”

“Barangkali juga engkau benar. Baik, akan kita lakukan demikian. Se­mentara itu, aku tak ingin siapa pun di antara kalian memberikan peluang kepada kakakku mempengaruhi kalian untuk melawanku. Aku akan melawan Musashi, apa pun yang dikatakan Seijuro atau yang lain lagi.”

“Sudah kita singkirkan semua orang yang tidak sependapat dengan Anda, juga orang-orang yang tak kenal terima kasih dan ingin pergi.”

“Bagus! Jadi, kita sudah jauh lebih kuat sekarang. Kita tidak butuh orang-orang brengsek macam Gion Toji atau orang-orang penakut macam Nampo Yoichibei.”

“Apa akan kita sampaikan pada kakak Anda sebelum kita kirimkan surat?”

“Jangan! Aku sendiri tak akan menyampaikannya.”

Ketika ia pergi ke kamar Seijuro, yang lain-lain pun berdoa semoga takkan terjadi lagi bentrokan antara dua bersaudara. Keduanya memang tak mau sedikit pun mundur dalam persoalan Musashi: Ketika ternyata tidak terdengar suara-suara dari kamar sesudah beberapa waktu lewat, para murid pun mulai membicarakan waktu dan tempat untuk konfrontasi kedua dengati musuh bebuyutan mereka.

Tapi waktu itulah suara Denshichiro terdengar berderai, “Ueda! Miike! Otaguro… semua kalian! Sini!”

Denshichiro berdiri di tengah kamar dengan pandangan murung dan air mata bercucuran. Tak seorang pun pernah melihatnya dalam keadaan seperti itu.

“Coba kalian semua lihat ini.”

Ia angkat tinggi-tinggi sepucuk surat yang sangat panjang, dan katanya dengan kemarahan dipaksakan, “Coba lihat apa yang sudah diperbuat kakakku yang goblok itu. Dia mengemukakan lagi pendapatnya padaku, tapi dia pergi selamanya…. Bahkan tidak menyebutkan ke mana perginya.”

Cinta Seorang Ibu

OTSU menurunkan jahitannya dan berseru, “Siapa itu?”

Dibukanya shoji yang menghadap beranda, tapi tak seorang pun kelihatan Semangatnya terbang. Tadinya ia mengharap orang itu Jotaro. Sekarang in: ia butuh sekali anak itu, lebih butuh dari kapan pun.

Lagi satu hari yang penuh kesepian. la tak dapat mencurahkan perhatian­nya kepada kerja menjahit itu.

Di bawah Kiyomizudera ini, di kaki Bukit Sannen, jalan-jalan kotor sekali, tetapi di belakang rumah-rumah dan warung terdapat rumpun­rumpun bambu dan ladang-ladang kecil, bunga-bunga kamelia yang sedang berkembang, prem yang mulai berjatuhan. Osugi suka sekali penginapa­n khusus ini. Ia selalu tinggal di situ bila berada di Kyoto, dan pemilik penginapan selalu menyediakan baginya rumah kecil, terpisah, dan tenang ini. Di belakangnya terdapat petak pohon-pohon, bagian dari kebun rumah sebelah. Di depan terdapat kebun sayuran kecil dan di sebelahnya dapur penginapan yang selalu sibuk.

“Otsu!” terdengar suara dari dapur. “Sudah waktunya makan siang. Boleh kubawa masuk sekarang?”

“Makan siang?” tanya Otsu. “Aku akan makan dengan nyonya tua itu saja, kalau nanti dia kembali.”

“Dia sudah bilang takkan lekas pulang. Barangkali sampai malam.”

“Aku tidak lapar.”

“Tak mengerti aku, bagaimana engkau bisa tahan, makan begitu sedikit. “

Asap kayu pinus mengepul masuk ruangan dari tempat pembakara­n tembikar di sekitar tempat itu. Pada hari-hari pembakaran selamanya banyak asap. Tetapi sesudah udara bersih, langit awal musim semi itu lebih biru daripada biasa.

Dari jalan terdengar suara kuda, langkah kaki, dan suara para peziarah yang sedang dalam perjalanan ke kuil. Dari orang-orang lewat itulah cerita tentang kemenangan Musashi atas Seijuro sampai di telinga Otsu. Wajah Musashi terbayang di depan matanya. “Jotaro tentunya ada di Rendaiji hari itu,” pikirnya. “Oh, coba kalau dia datang dan menceritakannya padaku.”

Ia tak yakin anak itu mencarinya dan tak dapat menemukannya. Dua puluh hari telah berlalu, dan Jotaro tahu ia tinggal kaki Bukit Sannen itu. Jotaro kemungkinan sakit, tapi ia tak yakin Jotaro sakit. Jotaro bukan jenis orang yang biasa sakit. “Barangkali dia sedang main layang-layang me­nyenangkan diri,” katanya pada diri sendiri. Pikiran itu membuatnya sedikit kesal.

Mungkin Jotaro-lah yang justru menunggu. Memang Otsu tidak kembali ke rumah Karasumaru, walaupun ia berjanji kepada Jotaro akan segera kembali.

Sekarang Otsu tak dapat pergi ke mana-mana, karena dilarang me­ninggalkan penginapan tanpa izin Osugi. Osugi rupanya minta kepada pemilik penginapan dan para pembantu untuk mengawasinya. Baru ia memandang ke jalan saja orang sudah bertanya, “Engkau akan pergi, Otsu?” Pertanyaan dan nada pertanyaan itu terasa polos, tapi ia mengerti maknanya. Satu-satunya jalan baginya untuk mengirimkan surat adalah dengan mempercayakannya kepada orang-orang penginapan, yang sudah diberi instruksi untuk menyimpan baik-baik surat apa saja yang mungkin hendak dikirimnya.

Osugi cukup terkenal di wilayah itu, dan orang di situ gampang disuruh melaksanakan perintahnya. Sebagian pemilik warung, pemikul tandu, dan kusir gerobak di sekitar tempat itu ikut menyaksikan aksi Osugi tahun lalu ketika ia menantang Musashi di Kiyomizudera. Melihat sifatnya yang gampang marah itu, mereka memandangnya dengan perasaan kagum ber­campur kasihan.

Ketika Otsu sekali lagi hendak menyelesaikan jahitan pakaian perjalanan Osugi yang telah dilepas jahitannya untuk dicuci, sebuah bayangan muncul di luar. Ia mendengar suara yang tak dikenalnya mengatakan, “Ah, apa saya keliru?”

Seorang perempuan muda masuk gang dari jalan, dan waktu itu sedang berdiri di bawah potion prem antara dua petak tanaman bawang. la kelihatan bingung, sedikit malu, tapi enggan kembali.

“Apa ini bukan penginapan? Ada lentera di pintu masuk gang, menyatakan ini penginapan,” katanya kepada Otsu.

Hampir Otsu tak dapat mempercayai matanya, dan demikian menyakitkan kenangan yang tiba-tiba timbul padanya.

Dengan nada bersalah, Akemi bertanya malu-malu, “Boleh tanya, yang mana yang penginapan?” Kemudian, ketika ia menoleh ke sekitar, terlihat olehnya kembang prem dan ia berseru, “Aduh, bukan main bagusnya!”

Otsu memandang saja gadis itu tanpa menjawab.

Seorang pegawai yang dipanggil salah seorang gadis dapur datang terburu­buru melewati sudut penginapan. “Engkau mencari jalan masuk?” tanyanya.

“Ya.”

“Di sudut situ, sebelah kanan gang.”

“Penginapan ini langsung menghadap jalan itu?”

“Betul, tapi kamar-kamarnya tenang.”

“Saya ingin tempat yang dapat dipakai keluar-masuk tanpa dilihat orang. Saya pikir tadinya penginapan ini jauh dari jalan. Apa rumah kecil itu bukan bagian dari penginapan?”

“Ya.”

“Kelihatannya tenang dan enak.”

“Kami ada juga kamar-kamar yang sangat enak di bangunan utama.”

“Kelihatannya ada perempuan yang meninggalinya, tapi apa tak bisa saya tinggal di sana juga?”

“Tapi di situ ada lagi seorang nyonya. Dia sudah tua dan agak peng­gugup.

“Ah, tak apa-apa, asal dia mau.”

“Akan saya tanya dia, kalau nanti kembali. Lagi pergi sekarang.”

“Boleh saya minta kamar buat istirahat sambil menanti?”

“Tentu saja.”

Pegawai itu mengantar Akemi turun gang, meninggalkan Otsu. Otsu menyesal kenapa ia tidak menggunakan kesempatan tadi dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Alangkah baiknya kalau ia bisa sedikit lebih agresif pikirnya sedih.

Untuk meredakan rasa cemburunya, berkali-kali Otsu mencoba me­yakinkan dirinya bahwa Musashi bukan jenis lelaki yang biasa main-main dengan perempuan lain. Tetapi sejak hari itu ia jadi kecil hati. “Dia lebih banyak punya kesempatan berada dekat Musashi…. Barangkali dia jauh lebih pandai dari aku, dan lebih tahu bagaimana merebut hati lelaki.”

Sebelum hari itu, kemungkinan adanya perempuan lain tidak terlintas dalam pikirannya. Sekarang ia sibuk memikirkan hal yang menurut anggap­annya merupakan kelemahannya sendiri. “Aku tidak cantik…. Dan tidak cemerlang…. Aku tak punya orangtua atau sanak keluarga yang menunjangku dalam perkawinan.” Kalau ia membandingkan dirinya dengan perempuan lain, terasa olehnya cita-cita hidupnya itu sesungguhnya berada di luar jangkauannya. Adalah suatu kesombongan memimpikan Musashi sebagai miliknya. Dan ia tak dapat lagi mengarahkan keberanian seperti yang pernah memungkinkannya memanjat pohon kriptomeria tua di tengah badai besar itu.

“Alangkah baiknya kalau aku mendapat bantuan Jotaro!” demikian sesal­nya. Ia bahkan membayangkan dirinya telah kehilangan kemudaannya. “DI Shippoji itu aku masih memiliki sebagian dari kepolosan yang sekarang ada pada Jotaro. Itu sebabnya waktu itu aku dapat membebaskan Musashi.” Dan ia menangis bersama jahitannya.

“Kamu di situ, Otsu?” tanya Osugi angkuh. “Apa kerjamu duduk dalam gelap itu?”

Senja telah turun, tapi gadis itu tidak menyadarinya, “Oh, akan saya menyalakan lampu sekarang juga,” katanya minta maaf sambil bangkit dan kemudian pergi ke kamar kecil di belakang.

Ketika akhirnya ia masuk dan duduk, Osugi melemparkan pandangan dingin ke punggung Otsu.

Otsu meletakkan lampu di samping Osugi dan membungkuk. “Nenek tentunya lelah,” katanya. “Apa yang Nenek lakukan tadi?”

“Kau mestinya tahu, tanpa mesti tanya.”

“Bagaimana kalau saya pijat kaki Nenek?”

“Kakiku tidak begitu capek, tapi bahuku kaku sudah empat atau lima hari terakhir ini. Barangkali karena udara. Kalau mau pijatlah sedikit.” Kepada diri sendiri ia menyatakan ia mesti bersabar menghadapi gadis mengerikan ini sebentar lagi, sampai nanti ia bertemu Matahachi dan menyuruhnya mem­bereskan cacat cela masa lalu itu.

Otsu berlutut di belakangnya dan mulai memijat bahunya. “Memang kaku bahunya. Tentunya sakit buat bernapas.”

“Kadang-kadang rasanya dadaku tersumbat. Tapi aku memang sudah tua. Tak lama lagi barangkali aku dapat serangan jantung dan mati.”

“Ah, tak akan terjadi. Nenek punya lebih banyak semangat hidup daripada kebanyakan orang muda.”

“Mungkin juga, tapi aku teringat Paman Gon. Dia masih segar bugar waktu itu, tapi kemudian semua itu lewat dalam sedetik. Manusia memang tak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Tapi tak ada yang keliru tentang satu hal itu. Supaya aku tetap menjadi diriku, aku mesti berpikir tentang Musashi.”

“Dugaan Nenek tentang Musashi itu keliru. Dia bukan orang jahat.”

“Ya, ya, betul,” kata perempuan tua itu, mendengus sedikit. “Biar bagai­mana, dia lelaki yang begitu kaucintai, sampai kau meninggalkan anakku. Sudahlah, aku takkan bicara jelek tentang dia padamu.”

“Oh, bukan itu maksud saya!”

“Bukan, begitu? Kau lebih cinta pada Musashi daripada pada Matahachi, kan? Kenapa tidak diakui saja?”

Otsu terdiam, dan perempuan itu melanjutkan, “Kalau nanti kita temukan Matahachi, aku akan bicara dengan dia dan memutuskan semuanya sesuai dengan keinginanmu. Tapi kukira sesudah itu kau akan langsung lari kepada Musashi dan selanjutnya kalian berdua memfitnah kami.”

“Kenapa Nenek berpikir begitu? Saya bukan manusia macam itu. Saya takkan melupakan banyak hal yang telah Nenek lakukan untuk saya di walau lalu.”

“Begitulah cara gadis-gadis muda sekarang bicara! Tak tahulah bagaimana kamu bisa bicara begitu manis. Aku sendiri orang jujur. Aku tak dapat menvembunyikan perasaanku dengan kata-kata halus. Kau tahu, kalau kau kawin dengan Musashi, kau jadi musuhku. Ha, ha, ha! Tentunya menjengkelkan memijat bahuku ini.”

Otsu tak menjawab.

“Kenapa kau menangis?”

“Saya tidak menangis.”

“Air apa yang jatuh ke leherku?”

“Maaf. Saya tak tahan.”

“Hentikan! Rasanya seperti bangsat merayap ke sana kemari. Tak usah lagi merana karena Musashi dan keraskan pijatanmu!”

Di halaman tampak cahaya. Otsu mengira itu pelayan yang biasanya membawa makan malam mereka sekitar waktu itu, tapi ternyata seorang pendeta.

“Maaf,” katanya sambil masuk beranda. “Apa ini kamar Nyonya Hon’ iden? Oh, Nyonya sendiri.” Lentera yang dibawanya bertulisan “Kiyomizudera di Gunung Otowa”.

“Baiklah saya jelaskan,” mulainya. “Saya pendeta dari Shiando, di atas bukit sana.” Ia turunkan lentera dan ia ambil surat dari dalam kimononya. “Saya tak kenal orang itu, tapi petang tadi, sebelum matahari terbenam, seorang ronin datang ke kuil dan bertanya apakah seorang wanita tua dari Mimasaka ada di sana. Saya katakan tidak, tapi seorang pemuja taat menjawab bahwa Anda kadang-kadang memang datang. Dia lalu minta kuas dan menulis surat ini. Dia minta saya menyerahkannya pada wanita itu kalau datang. Saya mendengar Nyonya tinggal di sini, dan karena saya dalam perjalanan ke Jalan Gojo, saya singgah menyampaikannya kepada Nyonya.”

“Terima kasih banyak,” kata Osugi hormat. Ia menawarkan bantal kepada tamu itu, tapi pendeta itu langsung minta diri.

“Apa pula ini?” pikir Osugi. Ia buka surat itu. Sementara membaca, warna mukanya berubah.

“Otsu,” panggilnya.

“Ada apa, Nek?” jawab gadis itu dari kamar belakang.

“Tak usah menyuguhkan teh. Dia sudah pergi.”

“Sudah? Kalau begitu Nenek saja yang minum.”

“Berani-berani kamu menyuguhi aku teh yang kamu buat untuk dia! Aku bukan comberan. Lupakan teh itu, dan sekarang berpakaian!”

“Apa kita akan pergi?”

“Ya. Malam ini kita akan sampai di tempat yang kamu harapkan.”

“Oh, kalau begitu surat itu dari Matahachi.”

“Bukan urusanmu.”

“Baiklah, saya akan minta orang menyiapkan makan malam.”

“Apa kamu belum makan?”

“Belum, saya menanti Nenek datang tadi.”

“Kamu memang tolol. Aku sudah makan waktu pergi tadi. Nah, makanlah nasi dan acar. Tapi cepat!”

Ketika Otsu berangkat ke dapur, kata perempuan tua itu, “Di gunung akan dingin nanti malam. Apa kamu sudah selesai menjahit jubahku?”

“Sedikit lagi saya selesaikan jahitan kimono Nenek.”

“Yang kubicarakan bukan kimono, tapi jubah. Sudah kuminta tadi kamu mengerjakannya juga. Dan apa sudah kaucuci kausku? Tali sandalku itu kendur. Ambil yang baru.”

Perintah-perintah itu datang begitu bertubi-tubi, hingga tak sempat Otsu menjawab, apalagi menuruti, namun ia merasa tak berdaya untuk berontak.

Semangatnya seperti runtuh, takut, dan putus asa menghadapi perempuan tua jelek itu. Makanan tak sempat pula dimakan. Dalam beberapa menit saja Osugi sudah menyatakan siap berangkat.

Sambil meletakkan sandal baru di beranda, kata Otsu, “Nenek berangkat saja dulu. Saya menyusul.”

“Kamu bawa lentera?”

“Tidak.”

“Dungu! Jadi, maumu aku tersandung-sandung di sisi glinting itu tanpa lampu? Pinjam sana sama penginapan.”

“Maaf, saya tak ingat.”

Otsu ingin tahu ke mana mereka akan pergi, tapi ia tidak bertanya, karena tahu hal itu akan membangkitkan kemarahan Osugi. Ia mengambil lentera, lalu berjalan diam mendahului di muka, mendekati Bukit Sannen. Walaupun mendapat macam-macam hal menjengkelkan, ia tetap merasa riang. Surat itu tentunya dari Matahachi, dan ini berarti masalah yang telah mengganggunya bertahun-tahun lamanya akan terpecahkan malam itu. “Begitu semuanya sudah dibicarakan,” demikian pikirnya, “aku akan pergi ke rumah Karasumaru. Aku mesti ketemu Jotaro.”

Mendaki bukit itu bukan pekerjaan ringan. Mereka harus berjalan hati­hati menghindari batu-batu jatuhan dan lubang-lubang di tengah jalan. Di tengah ketenangan alam itu, air terjun terdengar lebih keras daripada di slang hari.

Beberapa waktu kemudian Osugi berkata, “Aku yakin ini tempat suci buat dewa gunung ini. Oh, ini papan namanya, ‘Pohon Ceri Dewa Gunung’.”

“Matahachi!” panggilnya ke tengah kegelapan. “Matahachi! Ibu di sini!” Suara yang gemetar dan wajah yang penuh ungkapan kecintaan ibu itu terasa bagai wahyu bagi Otsu. Ia tak pernah menduga akan melihat Osugi demikian tenggelam dalam keprihatinan terhadap anaknya.

“Jangan sampai lentera itu mati!” bentak Osugi.

“Akan saya jaga,” jawab Otsu penuh tanggung jawab.

Perempuan tua itu menggerutu dan terengah-engah. “Dia tak ada. Dia betul-betul tak ada.” Ia sudah mengelilingi pekarangan kuil, tapi dikelilinginya sekali lagi.

“Dalam surat dia bilang aku mesti datang ke aula Dewa Gunung.”

“Apa dikatakannya malam ini?”

“Dia tidak bilang malam ini atau besok atau kapan lagi yang lain. Aku ingin lihat juga, apa dia jadi lebih besar. Heran juga, kenapa dia tidak datang ke penginapan. Barangkali dia malu karena kejadian di Osaka itu.’

Otsu menarik lengan kimononya, katanya, “Ssst! Barangkali itu dia. Ada orang naik bukit.”

“Kamu itu, Matahachi?” tanya Osugi.

Orang itu melewati mereka tanpa menoleh dan langsung menuju belakang kuil kecil itu. Tapi sebentar kemudian ia kembali dan berhenti di samping mereka dan menatap muka Otsu dengan terang-terangan. Ketika ia lewat tadi, Otsu tak mengenalinya, tapi sekarang ia ingat-dialah samurai yang dulu duduk di bawah jembatan pada Hari Tahun Baru.

“Kalian berdua baru saja naik?” kata Kojiro.

Pertanyaan itu demikian mendadak, hingga baik Otsu atau Osugi tak menjawab. Keheranan mereka menjadi lengkap melihat pakaian Kojiro yang sangat mencolok itu.

Sambil menudingkan jari ke wajah Otsu, lanjut Kojiro, “Aku mencari gadis yang seumurmu. Namanya Akemi. Lebih kecil daripada kau, dan wajahnva sedikit lebih bundar. Dia terlatih kerja di warung teh, dan tingkahnya sedikit lebih dewasa dari umurnya. Apa kalian melihat dia di sekitar sini?”

Mereka menggelengkan kepala, tak menjawab.

“Aneh sekali. Ada yang bilang dia kelihatan di tempat ini. Aku yakin dia menginap di salah satu ruangan kuil.” Ia menunjukkan perhatian pada mereka, tapi sepertinya ia bicara kepada diri sendiri. Kemudian ia meng­gumamkan beberapa kata lagi dan pergi.

Osugi mendecapkan lidahnya. “Satu lagi manusia sampah. Pedangnya dua, jadi mestinya samurai, tapi coba kaulihat pakaiannya! Dan mencari perempuan pula malam begini! Mestinya dia sudah melihat sendiri, kita bukan orang yang dicarinya.”

Otsu tidak mengatakannya kepada Osugi, tapi ia menduga keras gadis yang dicari orang itu adalah yang tersesat di penginapan sore tadi. Hubungan apakah yang ada antara Musashi dan gadis itu dengan orang ini?

“Mari kita pulang,” kata Osugi, suaranya terdengar kecewa dan pasrah.

Di depan Hongando, di mana pernah terjadi konfrontasi antara Osugi dan Musashi, mereka berpapasan lagi dengan Kojiro. Kojiro memandang mereka dan mereka memandangnya, tapi tak terjadi percakapan. Osugi melihat orang itu naik ke Shiando, kemudian membelok dan berjalan langsung turun Bukit Sannen.

“Mata orang itu menakutkan,” bisik Osugi. “Macam mata Musashi.­Justru pada waktu itu mata Osugi melihat gerakan samar, dan bahunya yang bungkuk itu tersentak tegak. “Oww!” pekiknya seperti burung hantu. Dari belakang pohon kriptomeria besar kelihatan tangan memanggil.

“Matahachi,” bisik Osugi. Terpikir olehnya, sungguh mengharukan bahwa Matahachi tak mau dilihat orang lain kecuali ibunya sendiri.

Ia berseru kepada Otsu yang sekarang delapan belas atau dua puluh meter di bawahnya. “Kamu jalan saja terus, Otsu. Tapi jangan jauh-jauh. Tunggu aku di tempat yang namanya Chirimazuka. Beberapa menit lagi aku datang.”

“Baik,” kata Otsu.

“Tapi jangan pergi ke mana-mana! Aku melihatmu. Tak perlu kamu lari.”

Osugi cepat-cepat lari ke pohon itu. “Matahachi, apa itu kamu?”

“Ya, Bu.” Tangan Matahachi keluar dari kegelapan dan menggenggarn tangan ibunya, seakan-akan sudah bertahun-tahun ia menantikan pertemuan itu.

“Apa kerjamu di belakang pohon itu? Oh, tanganmu dingin seperti es!” Hampir ia mencucurkan air mata merasakan kekuatirannya sendiri.

“Aku mesti sembunyi,” kata Matahachi, sedangkan matanya gugup me­mandang ke sana kemari. “Orang yang lewat tempat ini semenit yang lalu, Ibu lihat, kan?”

“Orang yang pakai pedang panjang itu?”

“Ya.”

“Apa kamu kenal dia?”

“Boleh dibilang begitu. Orang itu Sasaki Kojiro.”

“Apa? Bukan kamu yang Sasaki Kojiro?”

“Hah?”

“Di Osaka kautunjukkan padaku sertifikat. Nama itu tertulis di sertifikat itu. Itu nama yang kaupakai, kan?”

“Begitu, ya? Ah, tidak benar itu…. Tadi, ketika dia naik, kulihat dia. Kojiro sudah bikin aku susah beberapa hari yang lalu, karena itu aku sembunyi menghindari dia. Kalau dia kembali lewat jalan ini, aku bisa kesulitan.”

Osugi demikian terguncang, hingga tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Tapi ia lihat Matahachi lebih kurus daripada sebelumnya. Hal itu, dan ditambah lagi kegelisahan anaknya, membuatnya lebih mencintainya lagi­ setidaknya untuk sementara waktu.

Dengan pandangan yang menyatakan tak ingin mendengar cerita seluruh­nya, katanya, “Semua itu tak apa-apa. Sekarang coba katakan, Nak, apa kau sudah tahu Paman Gon meninggal?”

“Paman Gon…?

“Ya, Paman Gon. Dia meninggal di sana itu, di Pantai Sumiyoshi, tepat sesudah engkau meninggalkan kami.”

“Aku belum dengar.”

“Yah, begitulah kejadiannya. Persoalannya sekarang, apa engkau memahami kematiannya yang tragis itu, dan kenapa aku meneruskan misi yang panjang dan sedih ini, biarpun umurku sudah setua ini.”

“Ya, hal itu sudah terukir dalam pikiranku sejak malam di Osaka, ketika Ibu… mengingatkan aku tentang kekurangan-kekuranganku.”

“Jadi, engkau ingat, ya? Nah, sekarang aku punya berita untukmu, berita yang akan bikin kau senang.”

“Berita apa itu?”

“Otsu.”

“Oh! Gadis yang dengan Ibu itu!”

Matahachi mulai berjalan mengitari ibunya, tetapi Osugi menghadang jalannya dan tanyanya mencela, “Ke mana engkau pergi?”

“Kalau dia Otsu, ingin aku bertemu dengan dia. Begitu lama sudah.” Osugi mengangguk. “Kubawa dia kemari dengan maksud menyuruhmu bertemu dengannya. Tapi coba katakan pada ibumu ini, apa rencanamu?”

“Akan kusampaikan kepadanya aku menyesal. Aku sudah memperlakukan dia dengan buruk sekali, dan kuharap dia memaafkan aku.”

“Sudah itu?”

“Kemudian… nah, kemudian akan kukatakan aku takkan berbuat ke­salahan macam itu lagi. Ibu katakanlah juga begitu padanya atas namaku.”

“Lalu apa lagi?”

“Lalu akan seperti sebelumnya.”

“Apa yang akan seperti sebelumnya?”

“Aku dan Otsu. Aku ingin bertemu lagi dengan dia. Aku ingin mengawini dia. Oh, ibu, apa menurut Ibu dia masih…”

“Anak tolol!” Dan ditamparnya Matahachi keras-keras.

Matahachi rebah dan memegang pipinya yang pedas. “K—Kenapa, Bu, ada apa?” gagapnya.

Osugi tampak lebih marah dari yang pernah ia lihat semenjak ia disapih. Geramnya, “Baru saja engkau meyakinkan ibumu takkan melupakan apa yang kukatakan di Osaka, kan?”

Matahachi menundukkan kepala.

“Apa pernah aku bicara tentang minta maaf kepada anjing yang tak ada gunanya itu? Bagaimana mungkin engkau mohon maaf kepada setan perempuan itu, sesudah dia membuang dirimu dan lari dengan lelaki lain? Kau akan bertemu dengan dia, bolehlah, tapi kau tak boleh minta maaf! Sekarang dengarkan aku!” Osugi menangkap Matahachi dengan kedua tangannya dan mengguncangkannya. Dengan kepala terombang-ambing, Matahachi menutup matanya, dan dengan takut-takut mendengarkan cacian yang panjang sekali.

“Apa ini?” jerit Osugi. “Kau nangis? Kau masih cinta pada pelacur itu, sampai engkau menangisinya? Kalau betul begitu, engkau bukan anakku!” Dibantingnya Matahachi ke tanah, kemudian ia sendiri pun rebah.

Beberapa menit lamanya keduanya duduk menangis.

Tetapi kesedihan Osugi tak dapat lama berada di permukaan. Ia berdiri, katanya, “Sudah saatnya kau mengambil keputusan. Aku takkan lama lagi hidup. Dan kalau aku mati, kau takkan dapat bicara denganku macam ini, biarpun kau ingin.

“Pikirkan, Matahachi. Otsu bukan satu-satunya gadis di dunia ini.” Kemudian suaranya menjadi lebih tegang. “Kau tak boleh membiarkan dirimu merasa terikat kepada orang yang sudah berbuat seperti dia itu. Cari gadis yang kau sukai dan aku akan menjemputnya untukmu, biarpun aku terpaksa mengunjungi orangtuanya sampai seratus kali—biarpun akan bikin aku lelah dan mati.”

Matahachi tetap murung dan diam.

“Lupakan Otsu, demi nama Hon’iden. Apa pun jalan pikiranmu, dia tak dapat diterima dari sudut keluarga. Jadi, kalau engkau sama sekali tak dapat lepas dari dia, potong saja kepalaku yang sudah tua ini. Sudah itu kau dapat berbuat semaumu. Tapi selama aku masih hidup…”

“Sudah, Bu!”

Dahsyatnya nada Matahachi itu membuat bulu kuduk Osugi meremang. “Kau berani sekali membentakku!”

“Coba sekarang Ibu jawab: perempuan yang akan kukawini itu akan menjadi istriku atau istri Ibu?”

“Tolol sekali omonganmu itu!”

“Tapi kenapa aku tak boleh memilih sendiri?”

“Nah, nah. Sejak dulu kau memang keras kepala. Kaupikir berapa umurmu itu? Kau bukan lagi anak-anak, atau kau sudah lupa?”

“Tapi… yah, memang betul Ibu ini ibuku, tapi Ibu terlalu banyak menuntut dariku. Itu tak adil.”

Perbedaan pendapat di antara mereka memang sering kali seperti itu, dimulai dengan bentrokan perasaan keras, diikuti oleh bergulatnya perlawanan yang keras pula. Saling pengertian sudah runtuh sebelum sempat tumbuh.

“Itu tak adil?” desis Osugi. “Kau pikir kau itu anak siapa? Kau pikir dari perut siapa engkau lahir?”

“Tak ada gunanya bicara macam itu, Bu. Aku mau kawin dengan Otsu! Dialah orang yang kucintai!” Karena tak tahan melihat kerutan dahi ibunya yang kelabu itu, Matahachi menujukan kata-katanya ke langit.

“Anakku, apa betul yang kau katakan itu?” Osugi menarik pedang pen­deknya dan mengacungkan mata pedang itu ke tenggorokannya sendiri.

“Bu, apa yang Ibu lakukan ini?”

“Cukuplah. Jangan coba mencegahku! Sekarang tunjukkan kesopananmu dan berikan padaku tusukan terakhir.”

“Jangan lakukan itu di depanku! Aku anakmu! Aku tak bisa berdiri di sini membiarkan Ibu berbuat begitu!”

“Baik. Mau tidak kau meninggalkan Otsu-sekarang juga?’

“Kalau itu yang Ibu inginkan dariku, kenapa Ibu bawa dia kemari? Kenapa Ibu menggodaku dengan memamerkannya di depanku? Tak mengerti aku.”

“Coba dengar, buatku gampang sekali membunuh dia, tapi kau yang rugi. Sebagai ibumu, kupikir lebih baik kuserahkan padamu pelaksanaan hukuman itu. Menurutku, engkau pasti berterima kasih karenanya.”

“Ibu minta aku membunuh Otsu?”

“Kau tidak mau, ya? Kalau memang tidak mau, katakan tak mau! Tapi bulatkan pikiranmu!”

“Tapi… tapi, Bu…”

“Jadi, kau masih tak dapat meninggalkan dia, kan? Baik, kalau memang begitu perasaanmu, engkau bukan anakku, dan aku bukan ibumu. Kalau kau tak bisa memotong kepala perempuan nakal itu, paling tidak penggal kepalaku ini! Jatuhkan tebasan terakhir!”

Anak-anak memang bisa merepotkan orangtuanya, tapi kadang-kadang sebaliknya yang terjadi, demikian renung Matahachi. Osugi tidak hanya membuatnya takut, melainkan juga telah menempatkannya pada kedudukan yang paling sukar dalam hidupnya. Pandangan liar pada wajah ibunya itu sungguh mengguncangkannya.

“Bu, berhenti! Jangan lakukan! Baik, akan kulakukan kemauan Ibu. Akan kulupakan Otsu!”

“Cuma itu?”

“Aku akan menghukum dia. Aku berjanji akan menghukum dia dengan tanganku sendiri.”

“Kau akan membunuhnya?”

“Ah, ya, aku akan membunuhnya.”

Dengan penuh kemenangan Osugi menangis gembira. Sambil menyingkir­kan pedangnya, ia mencekal tangan anaknya. “Bagus! Sekarang kau sudah kelihatan seperti calon kepala Keluarga Hon’iden. Leluhurmu akan bangga denganmu.”

“Apa betul begitu menurut Ibu?”

“Pergi laksanakan sekarang! Otsu menunggu di bawah sana, di Chirimazuka. Cepat!”

Mm.

“Akan kita kirimkan surat ke Shippoji bersama kepalanya. Dari situ semua orang di kampung akan tahu aib kita sudah berkurang separuh. Dan kalau Musashi mendengar Otsu mati, harga dirinya memaksanya datang pada kita. Betapa hebat!… Matahachi, cepat!”

“Ibu tunggu aku di sini, kan?”

“Tidak. Aku ikut kamu, tapi dari tempat yang tidak kelihatan. Kalau nanti Otsu melihatku, dia akan merengek supaya aku ingat janjiku. Kalau begitu bisa kikuk.”

“Ah, dia kan cuma perempuan tak berdaya,” kata Matahachi sambil bangkit pelan-pelan. “Tak ada susahnya membereskan dia, jadi lebih baik Ibu tinggal di sini saja. Akan kubawa ke sini kepalanya. Tak perlu kuatir. Takkan kubiarkan dia lolos.”

“Tapi bisa saja kau kurang hati-hati. Memang dia cuma perempuan, tapi kalau melihat mata pedangmu, dia bisa melawan.”

“Tak usah kuatir. Ini soal gampang.”

Sambil menguatkan hatinya, berangkatlah Matahachi turun bukit; ibunya berjalan di belakang dengan wajah kuatir. “Ingat,” katanya, “jangan sampai kurang waspada!”

“Ibu masih ikut? Kupikir Ibu akan tinggal di tempat yang kelihatan.” “Chirimazuka masih jauh di bawah sana.”

“Aku tahu, Bu! Kalau Ibu mau terus juga, pergi saja sendiri. Aku tunggu di sini.”

“Kenapa pula kamu ragu-ragu?”

“Dia manusia. Kan sukar aku menyerangnya kalau aku merasa seperti membunuh anak kucing tak berdosa?”

“Aku mengerti perasaanmu. Walaupun tidak setia, dia dulu tunanganmu. Baiklah, kalau kau tak ingin kuawasi, pergilah sendiri. Aku tinggal di sini.” Matahachi pergi tanpa mengucapkan apa pun.

Otsu semula bermaksud melarikan diri, tapi kalau ia melarikan diri, segala kesabaran yang telah ditahankannya selama dua puluh hari itu akan sia-sia. Ia memutuskan bertahan sebentar lagi. Untuk melewatkan waktu, ia memikirkan Musashi, kemudian Jotaro. Cintanya kepada Musashi menyalakan berjuta-juta bintang terang dalam hatinya. Ia menghitung berbagai harapan yang dicita-citakannya bagi masa depannya, seakan dalam mimpi. Dan terkenang olehnya janji-janji Musashi kepadanya-di Celah Nakayama, di Jembatan Hanada. Sekalipun bertahun-tahun telah berlalu, ia percaya dengan segenap hatinya bahwa Musashi takkan meninggalkannya.

Kemudian bayangan Akemi datang mengganggunya, menggelapkan harapan-harapannya dan membuatnya gelisah. Tapi cuma sesaat. Rasa takut­nya pada Akemi tidak berarti dibandingkan dengan kepercayaannya yang tak terbatas kepada Musashi. Ia ingat pula, Takuan pernah mengatakan ia mesti dikasihani. Tapi itu tak ada artinya. Bagaimana mungkin Takuan memandang kegembiraannya yang abadi itu dalam arti demikian?

Sekarang pun, ketika ia berada di tempat sepi menantikan orang yang tak ingin ia lihat, impiannya yang mengasyikkan mengenai masa depan tetap menguatkannya agar dapat menahan derita macam apa pun.

“Otsu!”

“Siapa… itu?” kata Otsu.

“Hon’iden Matahachi.”

“Matahachi?” gagap Otsu.

“Kau sudah lupa suaraku?”

“Tidak, aku ingat lagi sekarang. Kau sudah ketemu ibumu?”

“Ya, dia menungguku. Kau tidak berubah, ya? Kau kelihatan seperti waktu di Mimasaka.”

“Kau di mana? Begini gelap, sampai aku tak lihat.”

“Boleh aku lebih dekat? Aku berdiri di sini. Aku malu sekali berhadapan denganmu. Apa yang kaupikirkan tadi?”

“Oh, tidak ada, tak ada yang khusus.”

“Kau memikirkan aku, ya? Aku tak pernah tidak memikirkan engkau.” Ketika Matahachi pelan-pelan mendekatinya, Otsu merasa sedikit kuatir.

“Matahachi, apa ibumu sudah menjelaskan semuanya?”

“Sudah.”

“Nah, karena engkau sudah mendengar semuanya,” kata Otsu puas sekali, “cobalah kau memahami perasaanku, tapi aku sendiri minta kau meninjau soal-soal itu dari sudut pandangku. Mari kita lupakan masa lalu. Semua itu tak disengaja.”

“Ah, jangan seperti itu, Otsu.” Matahachi menggeleng. Walaupun ia tak tahu apa yang disampaikan ibunya pada Otsu, tapi ia merasa cukup yakin hal itu dimaksudkan untuk menipu Otsu. “Sakit rasanya kalau masa lalu disebut-sebut. Sukar bagiku menegakkan kepala di depanmu. Tapi karena sebab-sebab tertentu, tak mungkin aku berpikir akan melepaskan engkau.”

“Matahachi, gunakan akalmu. Tak ada apa pun sekarang antara hatimu dan hatiku. Kita dipisahkan oleh lembah yang besar.”

“Betul. Dan lebih dari lima tahun lewat lembah itu.”

“Tepat. Tahun-tahun itu tak akan kembali lagi. Tak ada jalan untuk menangkap kembali perasaan yang pernah kita punyai.”

“Oh, tidak! Kita dapat menangkapnya kembali! Kita dapat!”

“Tidak, semuanya sudah hilang buat selamanya.”

Matahachi menatapnya, takjub oleh dinginnya wajah Otsu dan tandasnya nada bicaranya. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah itu gadis yang dahulu seperti sinar matahari musim semi apabila sudah mau mengungkapkan perasaan cintanya? Kini ia merasa seperti sedang mengusap batu pualam putih yang bersalju. Di manakah sikap keras ini tersembunyi di masa lalu?

Teringat olehnya beranda Shippoji. Teringat olehnya Otsu duduk di sana dengan mata jernih melamun, sering sampai setengah hari atau lebih, diam meninjau ke ruang kosong. Seakan di tengah awan-awan itu ia melihat ayah-ibunya, melihat saudara-saudaranya.

Matahachi lebih mendekat lagi. Dengan sikap takut-takut, seperti sedang berada di tengah duri ketika memetik kuncup mawar putih, bisiknya, “Mari kita coba lagi, Otsu. Memang tak ada jalan mengembalikan lima tahun yang sudah lewat itu, tapi marilah kita mulai lagi, sekarang ini, kita berdua.”

“Matahachi,” kata Otsu tenang, “apa engkau berkhayal? Aku bukan bicara tentang panjangnya waktu, aku bicara tentang jurang yang memisahkan hati kita, hidup kita.”

“Aku tahu. Tapi yang kumaksud adalah mulai sekarang ini juga aku hendak merebut kembali cintamu. Barangkali tak perlu aku mengatakan hal itu, tapi apakah kesalahan yang kuperbuat bukan kesalahan hampir setiap pemuda?”

“Bicaralah semaumu, tapi aku tak akan dapat lagi menerima kata-katamu dengan sungguh-sungguh.”

“Otsu, aku tahu aku salah! Aku lelaki, tapi lihatlah, aku minta maaf pada seorang perempuan. Apa engkau tak mengerti, betapa berat ini bagiku?”

“Hentikan! Kalau kau seorang lelaki, kau mesti berbuat seperti lelaki.”

“Tapi tak ada di dunia ini yang lebih penting bagiku. Kalau kau mau, aku akan berlutut dan memohon maaf padamu. Aku berikan sumpahku. Aku mau bersumpah demi apa pun yang kausukai.”

“Tak peduli aku, apa yang kaulakukan!”

“Kuminta jangan engkau marah. Lihatlah, ini bukan tempat buat bicara. Mari kita pergi ke tempat lain.”

“Tidak.”

“Aku tak mau ibuku melihat kita. Mari kita pergi. Aku tak dapat membunuhmu. Mana bisa aku membunuhmu.”

Matahachi memegang tangannya, tapi Otsu melepaskannya. “Jangan sentuh aku!” teriaknya marah. “Lebih baik aku dibunuh daripada hidup denganmu!”

“Kau tak mau pergi denganku?”

“Tidak, tidak, tidak.”

“Itu keputusan terakhir?”

“Ya!”

“Artinya kau masih cinta pada Musashi?”

“Ya, aku cinta padanya. Aku akan mencintainya dalam hidup ini dan hidup yang akan datang.”

Tubuh Matahachi menggeletar. “Bukan begitu mestinya kau bicara, Otsu.”

“Ibumu sudah tahu. Dan dia bilang akan menyampaikannya padamu. Dia berjanji kita akan membicarakan ini bersama-sama dan mengakhiri masa lalu itu.”

“Oh, begitu. Dan kukira Musashi memerintahkan engkau menemuiku dan menyampaikan semua itu! Begitu, kan?”

“Tidak, tidak begitu! Musashi tak perlu menyuruhku melakukan apa pun.”

“Kau tahu aku punya harga diri. Semua lelaki punya harga diri. Kalau memang begitu perasaanmu terhadapku…”

“Apa yang akan kaulakukan?” teriak Otsu.

“Aku lelaki juga seperti Musashi. Kalau soal ini menyeret seluruh hidupku, akan kucegah kau bersatu dengan dia. Takkan kuizinkan!”

“Memangnya kau siapa, sampai mesti memberi izin?”

“Takkan kubiarkan kau kawin dengan Musashi! Ingat, Otsu, bukan Musashi tunanganmu.”

“Kau bukan orang yang mesti mengemukakan hal itu.”

“Kenapa tidak? Engkau dijanjikan jadi istriku. Tak bisa kau kawin dengan siapa pun, kalau aku tidak menyetujui.”

“Kau pengecut, Matahachi! Aku kasihan padamu. Bagaimana kau bisa menurunkan derajat seperti itu? Sudah lama aku menerima surat darimu dan dari perempuan yang namanya Oko itu, yang isinya memutuskan pertunangan.”

“Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak mengirimkan surat itu. Oko mestinya yang melakukannya, atas namanya sendiri.”

“Bohong. Satu surat ditulis dengan tulisanmu sendiri, dan mengatakan aku mesti melupakanmu dan mencari orang lain sebagai suami.”

“Mana surat itu? Tunjukkan itu padaku!”

“Tak ada lagi. Ketika Takuan membacanya, dia tertawa dan membuang ingus dengannya, dan membuangnya.”

“Dengan kata lain, engkau tak punya bukti, dan tak seorang pun akan mempercayaimu. Semua orang di kampung tahu kau tunanganku. Aku punya segala bukti untuk itu, sedangkan kau tidak. Ingat. Otsu, kalau kau memutuskan diri dari semua orang agar dapat bersatu dengan Musashi, kau takkan pernah bahagia. Rupanya Oko mengganggumu, tapi aku bersumpah, tak ada lagi sama sekali hubunganku dengan dia.”

“Kau buang-buang waktu saja.”

“Kau tak mau mendengarkan, biarpun aku minta maaf?”

“Matahachi, apa tadi kau tidak menyombongkan diri sebagai lelaki? Kenapa kau tidak berbuat sebagai lelaki? Tak ada perempuan yang mau menyerahkan hatinya kepada orang yang lemah, tak tahu malu, dan pengecut yang suka berbohong. Perempuan tidak kagum pada orang lemah.”

“Jaga kata-katamu!”

“Lepaskan aku! Lengan kimonoku sobek nanti!”

“Sundal plin-plan… kamu!”

“Hentikan!”

“Kalau kau sayang hidupmu, berjanjilah akan meninggalkan Musashi!” Matahachi melepaskan lengan kimono Otsu untuk menarik pedangnya. Dan sekali sudah ditarik, pedang itu seperti menguasainya. Ia seperti kesetanan, matanya memancarkan sinar liar. Otsu menjerit, bukan karena senjata itu, melainkan karena pandangan Matahachi.

“Anjing!” teriak Matahachi ketika Otsu membalik untuk lari. Pedangnya menebas, menyerempet simpul obi Otsu. “Tak boleh lolos!” pikirnya, lalu mengejar sambil memanggil ibunya.

Osugi datang berlari-lari turun bukit. “Apa dia berbuat ceroboh?” pikir ibunya sambil mencabut pedangnya sendiri.

“Dia di sana. Tangkap dia, Bu!” seru Matahachi. Tapi segera kemudian ia berlari balik dan berhenti mendadak ketika hampir bertubrukan dengan pe­rempuan tua itu. Dengan mata membelalak, tanyanya, “Ke mana tadi larinya?”

“Kau tidak membunuh dia?”

“Tidak, dia lari.”

“Tolol!”

“Lihat, dia di bawah itu. Itu dia. Itu!”

Otsu yang berlari menuruni tepi curam itu terpaksa berhenti untuk melepaskan lengan kimononya dari sangkutan ranting pohon. Ia tahu ia sudah dekat dengan air terjun, karena suaranya terdengar keras sekali. Ketika ia berlari lagi sambil memegang lengan kimononya yang sobek, Matahachi dan Osugi menghampirinya, dan ketika Osugi berteriak, “Kita berhasil menjebaknya,” maka kata-kata itu terdengar persis di belakangnya.

Di dasar lembah itu kegelapan merajalela seperti dinding, mengepung Otsu.

“Matahachi, bunuh dia! Itu dia di situ, berbaring di tanah.”

Matahachi menyerahkan diri seluruhnya kepada pedang sekarang. Sambil melompat ke muka, ia membidik sosok hitam itu dan menjatuhkan mata pedangnya dengan kejam. “Setan perempuan!” jeritnya.

Bersama gemertaknya ranting dan cabang pohon terdengar pula jeritan maut.

“Terima ini, terima ini!” Matahachi menebas tiga kali, empat kali­berulang-ulang, sampai kedengarannya pedang membelah menjadi dua. Ia jadi mabuk darah, matanya memancarkan api.

Kemudian lewat sudah segalanya. Menyusul ketenangan.

Dengan lesu ia memegang pedangnya yang berdarah. Sedikit demi sedikit ia sadar kembali akan dirinya, dan wajahnya jadi hampa. Ia pandangi kedua tangannya dan ia melihat darah di situ. Ia raba wajahnya. Di situ ada darah juga, begitu pula di seluruh pakaiannya. Ia jadi pucat pasi dan pening. Terpikir olehnya setiap tetes darah itu adalah darah Otsu.

“Bagus, Nak! Akhirnya engkau melaksanakannya.” Dengan napas terengah-­engah, yang lebih disebabkan kegembiraan daripada pengerahan tenaga, Osugi berdiri di belakang Matahachi, dan sambil melongok dari atas bahu Matahachi ia pandangi daun-daun yang sudah rusak terobrak-abrik. “Sungguh senang aku melihat ini,” katanya gembira. “Sudah kita laksanakan, Nak. Sudah terangkat separuh bebanku, dan sekarang aku dapat menegakkan kepala lagi di kampung. Ada apa denganmu? Lekas! Potong kepalanya!”

Melihat anaknya mau muntah, Osugi tertawa. “Kau ini tak punya nyali. Kalau kau tak sampai hati memotong kepalanya, aku akan melakukannya untukmu. Menyingkir kamu.”

Matahachi berdiri diam, sampai perempuan tua itu berjalan menuju semak. Waktu itulah ia mengangkat pedangnya dan menjotoskan gagangnya ke bahu ibunya.

“Apa pula ini!” teriak Osugi sambil terhuyung ke depan. “Apa kau sudah gila?”

“Ibu!”

“Apa?”

Dari tenggorokan Matahachi terdengar bunyi aneh berceguk-ceguk. Ia menghapus mata dengan tangannya yang berlumuran darah. “Aku sudah… sudah membunuh dia. Aku sudah membunuh Otsu!”

“Dan itu tindakan yang patut dipuji! Oh, kau menangis.”

“Aku tak tahan. Oh, orang sinting, orang tua sinting, gila, fanatik!”

“Kau menyesal?”

“Ya… ya! Kalau bukan karena Ibu, mestinya aku dapat membawa Otsu kembali. Ibu mestinya sudah mati sekarang ini! Persetanlah dengan ke­hormatan keluarga itu!”

“Hentikan ocehan itu. Kalau dia memang begitu tinggi harganya di matamu, kenapa tidak kaubunuh saja aku dan kaulindungi dia?”

“Seandainya dapat aku melakukan itu, aku… oh, apakah ada yang lebih menyedihkan selain punya ibu yang jadi maniak keras kepala?”

“Berhenti! Dan berani amat kau bicara begitu padaku!”

“Mulai sekarang aku mau hidup menurut kemauanku sendiri. Kalaupun ngawur, itu bukan urusan orang lain, tapi urusanku sendiri.”

“Itulah selalu kelemahanmu, Matahachi. Kau gelisah, lalu bikin gaduh, cuma untuk bikin sulit ibumu.”

“Memang aku akan bikin sulit, babi betina tua! Kau ini tukang sihir! Aku benci padamu!”

“Oh, oh! Bukan main marahnya dia… Menyingkir! Akan kuambil dulu kepala Otsu, sudah itu kuberi kau sedikit pelajaran!”

“Omong lagi? Aku takkan mendengarkan.”

“Aku ingin kau melihat dengan kepalamu sendiri, bagaimana macamnya perempuan kalau sudah mati. Tak lain dari tulang. Aku ingin kau memahami bodohnya nafsu itu.”

“Tutup mulut!” Matahachi menggeleng-geleng hebat. “Kalau dipikir­-pikir, yang kuinginkan itu Otsu. Ketika aku mengambil kesimpulan tak bisa terus hidup seperti yang sudah-sudah, ketika aku mencoba mencari jalan untuk berhasil dan mulai menempuh jalan benar kembali, semua itu karena aku ingin mengawini dia bukan demi kehormatan keluarga, dan bukan demi perempuan tua yang mengerikan!”

“Berapa lama kau akan menyesali hal yang sudah terjadi? Akan lebih bermanfaat kalau kau menyanyikan kitab-kitab sutra. Hidup Amida Budha!”

Osugi meraba-raba di antara ranting-ranting patah dan rumput kering yang penuh percikan darah, kemudian membungkuk ke rumput dan berlutut di atasnya. “Otsu,” katanya, “jangan kamu membenci aku. Sekarang tak ada lagi dendamku padamu, karena kau sudah mati. Semua yang lalu itu suatu keharusan. Istirahatlah kamu dalam damai.”

Ia meraba-raba dengan tangan kirinya dan mencekam rambut yang hitam itu.

Suara Takuan terdengar berderai-derai. “Otsu!” Terbawa angin gelap ke dalam ceruk itu, terdengar seolah sumber suara itu pohon-pohon dan bintang-bintang sendiri.

“Belum juga Anda temukan?” tanyanya dengan suara agak tegang.

“Belum, dia tak ada di sekitar tempat ini.” Pemilik penginapan tempat Osugi dan Otsu tinggal itu menghapus keringat dari keningnya.

“Anda yakin apa yang Anda dengar itu betul?”

“Yakin betul. Sesudah kedatangan pendeta dari Kiyomizudera tadi, nyonya itu mendadak pergi, katanya akan ke aula Dewa Gunung. Gadis itu ikut.” Keduanya melipat tangan di dada sambil berpikir.

“Barangkali mereka naik terus, atau menyimpang ke tempat yang jauh dari jalan,” kata Takuan.

“Kenapa Bapak begitu kuatir?”

“Saya kira Otsu telah diperdayakan.”

“Apa betul perempuan tua itu begitu jahat?”

“Tidak,” kata Takuan bingung. “Dia orang yang baik sekali.”

“Oh, tidak, kalau mendengar apa yang baru Bapak ceritakan itu. Sekarang saya ingat sesuatu.”

“Apa itu?”

“Tadi saya lihat gadis itu menangis di kamarnya.”

“Tapi itu mungkin tak banyak artinya.”

“Perempuan tua itu bilang gadis itu tunangan anaknya.”

“Tentu dia akan bilang begitu.”

“Dari cerita Bapak, kelihatannya dendam kesumat yang membuat pe­rempuan tua itu menyiksa gadis itu.”

“Itu satu hal. Tap hal lain adalah kenapa dia membawa gadis itu ke gunung pada malam gelap begini. Saya takut Osugi berencana membunuhnya.”

“Membunuh? Lalu bagaimana Bapak bisa mengatakan tadi dia perempuan baik?”

“Sebab dialah yang disebut baik oleh dunia ini. Dia sering pergi memuja di Kiyomizudera, kan? Pada waktu dia duduk di hadapan Kannon sambil memegang tasbih, tentunya jiwanya dekat sekali dengan Kannon.”

“Saya dengar dia berdoa juga untuk Budha Amida.”

“Di dunia ini banyak orang Budhis seperti itu. Mereka disebut orang-­orang yang percaya. Mereka melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan, lalu mereka pergi ke kuil dan berdoa untuk Amida. Mereka rupanya memikirkan perbuatan-perbuatan setani untuk dapat diampuni Amida. Dengan senang hati mereka membunuh orang, dan yakin benar bahwa kalau sesudah itu mereka datang kepada Amida, dosa-dosa mereka akan dihapuskan dan sesudah mati mereka masuk -Surga- Barat. Orang­-orang baik macam ini memang jadi masalah.”

Matahachi menoleh ngeri ke sekitar, dan bertanya-tanya dalam hati dari mana datangnya suara itu.

“Dengar itu, Bu?” tanyanya gelisah.

“Kau kenal suara itu?” Osugi mengangkat kepala, tapi gangguan itu tak begitu merisaukannya. Tangannya masih mencengkeram rambut itu, dan pedangnya tetap dalam kedudukan siap membabat.

“Dengar! Lagi!”

“Aneh. Kalau ada yang mencari Otsu, tentunya anak yang namanya Jotaro.”

“Itu suara lelaki.”

“Ya, aku tahu, dan kupikir sudah pernah aku mendengar suara itu.”

“Berat ini kelihatannya. Sekarang lupakan kepala itu, Bu. Bawa lentera itu. Ada orang datang!”

“Kemari?”

“Ya, dua orang. Ayo kita lari.”

Bahaya menyatukan ibu dan anak itu seketika, tapi Osugi tidak juga dapat melepaskan diri dari tugasnya yang berlumuran darah itu.

“Tunggu sebentar,” katanya. “Aku tak bisa kembali tanpa kepala ini, padahal sudah pergi sejauh ini. Kalau tidak kubawa, bagaimana aku bisa membuktikan sudah membalas dendam? Sebentar lagi aku menyusul.”

“Oh!” keluh Matahachi gemas.

Tiba-tiba dari bibir Osugi tercetus teriakan ngeri. Ia jatuhkan kepala itu. Ia setengah berdiri, terhuyung-huyung, dan rebah di tanah.

“Bukan dia!” jeritnya. la menebas-nebaskan tangannya dan mencoba berdiri, tapi jatuh kembali.

Matahachi melompat mendekat untuk melihat, dan gagapnya, “A-a-apa?”

“Lihat, ini bukan Otsu! Ini lelaki… pengemis… cacat…”

“Lho, mustahil,” seru Matahachi. “Aku kenal orang ini.”

“Apa? Temanmu?”

“Bukan! Dia yang memperdayakan aku supaya menyerahkan semua uangku padanya,” ucapnya. “Apa kerja penipu kotor macam Akakabe Yasoma ini di dekat-dekat kuil?”

“Siapa di sana?” seru Takuan. “Otsu, kamu, ya?” Tiba-tiba ia sudah ber­diri di belakang mereka.

Kaki Matahachi lebih cekatan daripada kaki ibunya. Cepat ia berlari dan hilang dari pandangan, tapi Takuan berhasil mengejar ibunya dan men­cengkeram kerahnya.

“Tepat seperti dugaanku. Dan aku yakin, anakmu tercinta yang lari itu. Matahachi! Apa maksudmu lari meninggalkan ibumu? Orang udik tak kenal terima kasih! Balik sini!”

Osugi menggeliat-geliat sengsara di lutut Takuan, tapi tak sedikit pun ia kehilangan keberanian. “Siapa kamu?” tanyanya marah. “Apa maumu?”

Takuan melepaskannya, dan katanya, “Lupa padaku, Nek? Nenek sudah pikun tentunya.”

“Takuan!”

“Heran, ya?”

“Kenapa mesti heran. Pengemis macam kamu dapat pergi ke mana kau suka. Cepat atau lambat kau pasti hanyut ke Kyoto.”

“Betul, Nek,” sahut Takuan menyeringai. “Tepat seperti yang Nenek katakan. Aku sudah mengembara ke Lembah Koyagyu dan Provinsi Izumi, tapi kemudian tiba di ibu kota, dan semalam di rumah seorang teman aku mendengar berita yang menguatirkan. Kusimpulkan berita itu penting sekali dan aku harus bertindak.”

“Apa hubungannya itu denganku?”

“Kukira Otsu bersamamu, dan aku sedang mencarinya.”

“Huh!”

“Nek!”

“Apa?”

“Di mana Otsu?”

“Aku tak tahu.”

“Tak percaya.”

“Pak,” kata pemilik warung. “Ada darah tumpah di sini. Masih segar.” Dan ia mendekatkan lenteranya ke mayat itu.

Kening Takuan mengerut kaku. Melihat ia sibuk berpikir, Osugi bangkit dan melarikan diri. Tanpa bergerak sedikit pun pendeta itu berseru, “Tunggu, Nek! Nenek tinggalkan rumah buat membersihkan nama, kan? Apa Nenek mau pulang sekarang dengan nama yang lebih kotor lagi? Nenek bilang sayang anak. Apa Nenek mau meninggalkan dia padahal sudah bikin dia sengsara?” Daya suaranya yang menggelegar itu melingkupi Osugi, membuat ia berhenti seketika.

Dengan wajah buruk akibat kerut-merut menantang, Osugi berteriak, “Menodai nama keluarga dan bikin anak tidak bahagia? Apa maksudmu?”

“Tepat seperti yang kukatakan ini.”

“Sinting!” Dan ia tertawa singkat mencemooh. “Siapa kau ini? Kau ke sana kemari makan makanan orang lain, hidup di kuil-kuil orang lain, buang air di lapangan terbuka. Apa yang kauketahui tentang kehormatan keluarga? Apa pengetahuanmu tentang cinta ibu pada anaknya? Pernah kau menanggung derita seperti yang dipikul orang biasa? Sebelum menasihati orang lain apa yang mesti dikerjakannya, coba dulu kerja dan beri makan dirimu sendiri, seperti semua orang lain.”

“Ucapan Nenek mengena sekali, dan aku memang merasakannya. Ada memang pendeta-pendeta lain di dunia ini yang mesti kukatai demikian juga. Tapi aku sudah mengatakan, aku bukan tandingan Nenek dalam perang kata-kata, dan kulihat lidah Nenek masih tajam seperti dulu.”

“Dan masih ada hal-hal penting lain yang mesti kulakukan di dunia ini. Tak usah kau menduga bahwa satu-satunya kebiasaanku ini cuma ngomong.”

“Sudah. Sekarang aku mau bicara tentang yang lain-lain dengan Nenek.”

“Soal apa itu?”

“Malam ini Nenek suruh Matahachi membunuh Otsu, kan? Dan kuduga kalian berdua sudah membunuhnya.”

Sambil menjulurkan lehernya yang sudah berkerut, Osugi tertawa meng­hina. “Takuan, kau boleh saja terus membawa lentera dalam hidup ini, tapi tak ada faedahnya buatmu kalau kau tidak membuka matamu. Apa artinya mata itu? Apa sekadar lubang di kepalamu atau hiasan lucu?”

Takuan, yang merasa sedikit tidak enak, akhirnya memperhatikan tempat terjadinya pembunuhan.

Selagi ia menengadah lega, perempuan tua itu berkata, kali ini dengan sikap benci, “Kukira kau senang yang terbunuh bukan Otsu. Tapi jangan kira aku lupa, kaulah comblang kotor yang mempertemukan Otsu dan Musashi, dan menyebabkan kesulitan ini.”

“Kalau begitu perasaan Nenek, bagus. Tapi aku tahu Nenek orang saleh, dan menurutku Nenek tak boleh pergi meninggalkan tubuh ini tergeletak di sini.”

“Tadi orang itu sudah hampir mati dan menggeletak di situ. Matahachi membunuhnya, tapi itu bukan kesalahan Matahachi.”

“Ronin ini memang agak sinting,” kata pemilik warung. “Beberapa hari terakhir dia sempoyongan di kota, mulutnya mengeluarkan air liur. Di kepalanya ada benjolan besar sekali.”

Osugi tak memperlihatkan peduli sama sekali, dan membalikkan tubuh untuk pergi. Takuan minta pemilik warung mengurus mayat itu, lalu mengikuti Osugi. Osugi jengkel sekali karenanya, tapi ketika ia menoleh untuk melecutkan lagi lidahnya yang berbisa, Matahachi memanggilnya pelan, “Ibu.”

Ia mendekati suara itu dengan gembira. Bagaimanapun, Matahachi anak baik. Ia tetap tinggal di situ untuk meyakinkan dirinya bahwa ibunya selamat. Mereka berbisik-bisik, dan agaknya mengambil kesimpulan bahwa mereka belum sama sekali lepas dari bahaya akibat hadirnya si pendeta, karena itu mereka lari secepat-cepatnya ke kaki bukit.

“Tak ada gunanya,” bisik Takuan. “Melihat perbuatannya, mereka takkan mendengarkan apa pun yang kukatakan. Oh, sekiranya dunia dapat dilepas­kan dari macam-macam salah pengertian yang tolol, orang yang menderita tidak akan sebanyak ini.”

Tapi sekarang ini ia mesti menemukan Otsu. Otsu berhasil meloloskan diri. Semangat Takuan meningkat sedikit, tapi ia belum dapat benar-benar merasa tenang sebelum yakin Otsu selamat. Ia memutuskan meneruskan pencarian, sekalipun suasana gelap.

Pemilik warung sudah lebih dahulu mendaki bukit, dan kini ia turun kembali disertai tujuh atau delapan orang yang membawa lentera. Para penjaga malam di kuil itu datang membawa sekop, siap membantu pe­nguburan. Tak lama kemudian Takuan mendengar bunyi galian kubur yang tak menyenangkan itu.

Ketika kira-kira lubang sudah cukup dalam, ada orang berteriak, “Hai, lihat, di sini ada tubuh lain! Tubuh gadis manis!” Orang itu sekitar sepuluh meter jauhnya dari kuburan, di ujung sebuah paya.

“Mati?”

“Tidak, cuma tidak sadar.”

Tukang yang Santun

SAMPAI hari meninggalnya, ayah Musashi tak berhenti mengingatkan Musashi akan leluhurnya. “Aku memang hanya samurai desa,” katanya, “tapi jangan sekali-kali lupa, marga Akamatsu pernah terkenal dan perkasa. Hal itu mesti menjadi sumber kekuatan dan kebanggaanmu.”

Karena berada di Kyoto, Musashi memutuskan untuk mengunjungi Kuil Rakanji. Di dekat kuil itu Keluarga Akamatsu pernah memiliki rumah. Marga itu sudah lama runtuh, tapi ada kemungkinan Musashi menemukan catatan tentang leluhurnya di kuil itu. Seandainya tak dapat menemukannya, ia masih dapat membakar dupa untuk mengenang mereka.

Sampai Jembatan Rakan yang melintasi Kogawa Hilir, ia merasa sudah sampai dekat kuil itu, karena kata orang kuil itu terletak agak ke timur dari tempat beralihnya Kogawa Hulu menjadi Kogawa Hilir. Ia bertanya pada orang-orang sekitar tempat itu, tapi tidak berhasil. Tak seorang pun pernah mendengar tentang kuil itu.

Ia kembali ke jembatan, berdiri memandang air jernih dangkal yang mengalir di bawahnya. Belum lama Munisai meninggal, tapi rupanya kuil itu sudah dipindahkan atau hancur, tidak ada lagi sisa-sisanya atau kenang­annya.

Dengan malas ia memandang pusaran putih yang sekali muncul sekali menghilang, kemudian muncul dan menghilang kembali. Melihat lumpur yang menetes-netes dari petak berumput di tepi kiri, ia menyimpulkan bahwa lumpur itu berasal dari bengkel pengasah pedang.

“Musashi!”

Musashi menoleh, dan tampaklah olehnya biarawati tua Myoshu kembali dari melakukan tugas.

“Terima kasih kamu datang kemari,” serunya. Disangkanya Musashi ada di situ untuk berkunjung. “Koetsu ada di rumah hari ini. Dia pasti senang bertemu kamu.” Ia mengantar Musashi melewati gerbang rumah yang tak jauh letaknya dari situ dan menyuruh seorang pesuruh men­jemput anaknya.

Koetsu menyambut tamunya dengan hangat, katanya, “Saat ini aku sedang sibuk melakukan asahan penting, tapi nanti kita akan dapat me­ngobrol leluasa. “

Musashi merasa senang melihat kedua ibu dan anak itu bersikap akrab dan wajar, sebagaimana waktu mereka pertama kali bertemu. Sore dan malam itu ia mengobrol dengan mereka, dan ketika mereka mendesaknya

untuk bermalam, ia menerimanya. Hari berikutnya, ketika Koetsu memperlihatkan kepadanya bengkelnya dan menjelaskan teknik mengasah pedang, ia minta Musashi tinggal di sana seberapa lama ia suka.

Rumah yang gerbangnya tampak sederhana itu berdiri di sebuah sudut tenggara reruntuhan Jissoin. Di seputar tempat itu terdapat beberapa rumah milik saudara sepupu dan kemenakan Koetsu, atau orang-orang lain yang sama pekerjaannya. Semua anggota Keluarga Hon’ami hidup dan bekerja di sini, seperti gaya marga-marga di provinsi besar di masa lalu.

Keluarga Hon’ami berasal dari keluarga militer yang cukup terkemuka dan menjadi abdi para shogun Ashikaga. Dalam hierarki sosial sekarang, keluarga itu tergolong kelas tukang, tapi dilihat dari kekayaan dan prestisenya, Koetsu dianggap anggota kelas samurai. Ia bergaul rapat dengan kaum bangsawan tinggi istana dan pernah diundang oleh Tokugawa Ieyasu datang ke Benteng Fushimi.

Kedudukan seperti yang dimiliki keluarga Hon’ami itu tidak istimewa. Kebanyakan tukang-tukang dan saudagar-saudagar kaya zaman itu-di antara­nya Suminokura Soan, Chaya Shirojiro, dan Haiya Shoyu-adalah keturunan samurai. Di bawah para shogun Ashikaga, nenek moyang mereka itu diserahi pekerjaan yang ada hubungannya dengan pembuatan barang atau perdagangan. Keberhasilan yang mereka capai dalam bidang-bidang itu sedikit demi sedikit mengakibatkan putusnya hubungan mereka dengan kelas militer, dan ketika perusahaan swasta mulai mendatangkan untung, mereka tidak lagi tergantung pada upah feodal mereka. Sekalipun tingkat sosial mereka lebih rendah daripada tingkat sosial prajurit, mereka itu kuat sekali.


Cerita Novel Musashi buku 4, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp//?cat=45
[lihat: Lanjutan cerita]


0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar