Sabtu, 10 Mei 2008

Miyamoto Musashi, Buku 3-1


Cerita Novel Musashi buku 3, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar] [lihat: Cerita Sebelumnya]


Sasaki Kojiro

TEPAT di selatan Kyoto, Sungai Yodo melingkar mengelilingi sebuah bukit bernama Momoyama (daerah Puri Fushimi), kemudian mengalir terus melintasi Dataran Yamashiro ke arah benteng Puri Osaka, sekitar 20 mil ke sebelah barat daya. Sebagian karena hubungan air yang langsung ini, setiap gejolak politik di daerah Kyoto segera menimbulkan gemanya di Osaka. Sedangkan di Fushimi setiap patah kata yang diucapkan oleh seorang samurai Osaka, apalagi seorang jenderal Osaka, dianggap orang sebagai isyarat masa depan.

Di sekitar Momoyama sedang terjadi pergolakan, karena Tokugawa Ieyasu memutuskan mengubah cara hidup yang telah berkembang di zaman Hideyoshi. Puri Osaka yang dihuni oleh Hideyori dan ibunya, Yodogimi, masih terus berusaha bergayut pada sisa kekuasaan yang sudah pudar, tepat seperti matahari yang sedang terbenam berteguh pada keindahannya yang perlahan menghilang. Kekuasaan yang sebenarnya berada di Fushimi, yang dipilih Ieyasu sebagai tempat tinggalnya selama perjalanan-perjalanan jauhnya ke daerah Kansai. Perbenturan antara yang lama dan yang baru tampak di mana-mana. Itu kelihatan dari perahu-perahu yang hilir-mudik di sungai, dan tingkah laku orang-orang di jalan raya, dari lagu-lagu rakyat, dan dari wajah para samurai telantar yang mencari pekerjaan.

Puri Fushimi sedang dibetulkan. Batu-batu karang yang dimuntahkan dari perahu-perahu ke tepi sungai benar-benar menggunung. Kebanyakan batu itu besar, luasnya paling sedikit dua meter persegi dan tingginya sekitar satu meter. Batu-batu itu mendesis-desis terkena sinar matahari yang mendidih. Walaupun waktu itu musim gugur menurut kalender, panas yang membakar mengingatkan orang pada hari-hari terpanas setelah musim hujan di awal musim panas.

Pohon-pohon liu di dekat jembatan berkilauan putih. Seekor jangkrik melesat berkelok-kelok dari sungai ke sebuah rumah kecil di dekat tepi sungai. Atap-atap rumah di desa itu berwarna abu-abu kering, berdebu, kehilangan warna lembut cahaya lenteranya di waktu senja. Dalam panasnya tengah hari, dua pekerja yang beruntung mendapat istirahat setengah jam dari kerja yang mematahkan tulang punggung itu berbaring telentang di permukaan sebuah batu besar yang lebar, sambil mengobrol tentang soal yang sedang menjadi buah bibir setiap orang.

“Kau pikir akan ada perang lagi?”

“Kenapa tidak? Rasanya tak ada orang yang cukup kuat untuk memegang kontrol.”

“Kupikir kau benar. Jenderal-jenderal Osaka tampaknya sedang me­ngumpulkan semua ronin yang dapat mereka temukan.”

“Memang kupikir begitu. Barangkali tak boleh aku bicara keras-keras, tapi kudengar Keluarga Tokugawa sedang membeli senapan dan amunisi kapal-kapal asing.”

“Kalau begitu, kenapa Ieyasu mengawinkan cucu perempuannya, Senhime, dengan Hideyori?”

“Mana aku tahu? Apa pun yang dia lakukan, kita boleh bertaruh, pasti ada alasannya. Orang-orang biasa macam kita ini tak mungkin tahu, apa yang ada dalam pikiran Ieyasu.”

Lalat-lalat merubung kedua orang itu. Segerombolan lain merubung dua ekor sapi jantan tak jauh dari situ. Kedua ekor binatang itu masih ter­pasang pada gerobak balok yang kosong, bermalas-malasan di bawah sinar matahari, diam, tenang, dan berliur mulutnya.

Alasan sebenarnya kenapa kuil itu diperbaiki tidak diketahui oleh pekerja rendahan, yang mengira Ieyasu akan tinggal di situ. Padahal perbaikan itu merupakan satu tahap saja dalam program pembangunan besar-besaran, suatu bagian penting dari rencana pemerintahan Tokugawa. Kerja pem­bangunan besar-besaran dilaksanakan juga di Edo, Nagoya, Suruga, Hikone, Otsu, dan selusin kota kuil yang lain lagi. Tujuannya sebagian besar bersifat politik. Salah satu cara Ieyasu untuk mengendalikan para daimyo adalah memerintahkan mereka menangani proyek bangunan. Karena tak ada yang cukup kuat untuk menolak, cara ini membuat tuan-tuan feodal yang ber­sahabat terlampau sibuk untuk melunak, sekaligus memaksa para daimyo yang melawan Ieyasu di Sekigahara berpisah dengan sebagian besar peng­hasilan mereka. Tujuan lain pemerintah adalah memperoleh dukungan rakyat banyak, yang secara langsung atau tidak mendapat keuntungan juga dari pekerjaan umum yang besar itu.

Di Fushimi saja, hampir seribu pekerja dikerahkan memperluas gerigi batu di atas benteng. Akibatnya kota di sekitar kuil tiba-tiba dibanjiri para penjaja, pelacur, dan lalat langau—lambang-lambang kemakmuran. Masya­rakat luas gembira dengan masa baik yang didatangkan Ieyasu, dan para pedagang mengkhayal bahwa di atas ini semua akan ada kesempatan buat terjadinya perang lagi—yang akan lebih menguntungkan. Barang-barang berlalu lintas dengan sibuknya, bahkan sekarang pun kebanyakan barang­ barang itu berupa perbekalan militer. Sesudah menghitung dengan sipoa kolektifnya, para pengusaha besar menyimpulkan bahwa perbekalan militerlah yang paling menguntungkan.

Penduduk kota dengan cepat melupakan hari-hari yang tenang pada masa kekuasaan Hideyoshi. Sebagai gantinya, mereka berspekulasi tentang apa yang mungkin diperoleh di hari-hari mendatang. Bagi mereka tidak banyak bedanya siapa yang berkuasa. Selama mereka dapat memenuhi kebutuhan remehnya, tak ada alasan untuk mengeluh. Dalam hal ini pun Ieyasu tidak mengecewakan mereka, karena ia dapat menghamburkan uang seperti menyebarkan gula-gula kepada anak-anak. Memang bukan uangnya sendiri, melainkan uang orang-orang yang bisa menjadi musuhnya.

Dalam pertanian pun ia memperkenalkan sistem pengendalian baru. Tokoh-tokoh setempat tidak lagi diizinkan memerintah semaunya atau mengerahkan petani semaunya untuk kerja luar. Dari sekarang, para petani harus diperbolehkan menggarap tanahnya—dengan sedikit sekali mengerjakan yang lain. Mereka harus dibuat masa bodoh terhadap politik dan diajar mengandalkan diri pada kekuasaan yang ada.

Penguasa yang berbudi, menurut jalan pikiran Ieyasu, adalah orang yang tidak membiarkan para penggarap tanah mati kelaparan, sekaligus menjaga agar mereka tidak naik melebihi statusnya. Dengan kebijaksanaan inilah ia bermaksud mengabadikan kekuasaan Tokugawa. Baik orang kota, petani, maupun daimyo tidak sadar bahwa mereka dengan hati-hati sedang dijalinkan ke dalam sistem feodal yang akhirnya akan mengikat kaki dan tangan mereka. Tak seorang pun berpikir tentang apa yang bakal terjadi lima ratus tahun lagi. Tak seorang pun, kecuali Ieyasu.

Para pekerja di Puri Fushimi itu pun tidak memikirkan hari esok. Mereka hanya memiliki harapan sederhana. Yaitu sekadar melewati hari itu, makin cepat makin baik. Sekalipun mereka berbicara tentang perang dan tentang kapan perang bisa meletus, namun rencana-rencana besar untuk menjaga perdamaian dan meningkatkan kemakmuran tidak berhubungan sama sekali dengan mereka. Apa pun yang terjadi, tak mungkinlah keadaan mereka lebih buruk dari yang sekarang.

“Semangka? Ya, siapa beli semangka?” seru seorang anak perempuan petani yang setiap hari, di waktu seperti itu, biasa berkeliling. Begitu muncul, ia pun berhasil menjual semangka pada beberapa lelaki yang sedang mengadu mata uang di bawah bayangan batu besar. Dengan riangnya ia beralih dari satu gerombolan ke gerombolan lain sambil berseru, Siapa lagi?”

“Kamu gila, ya? Kaukira kami punya uang buat semangka?”

“Sini! Saya sih mau saja—kalau tanpa bayar.”

Kecewa karena keberuntungan awalnya terhenti, gadis itu mendekati seorang pekerja muda. yang sedang duduk di antara dua batu besar. Ia bersandar pada batu yang satu, dan kakinya menyandar pada batu lain, sedangkan tangannya merangkul lutut. “Semangka?” tanya gadis itu, walaupun tidak begitu menaruh harapan.

Pekerja itu kurus, matanya cekung, sedangkan kulitnya merah sehat terbakar matahari. Bayangan kelelahan menyamarkan usia mudanya. Namun demikian, teman-teman dekatnya masih mengenalnya. Dialah Hon’iden Matahachi. Dengan lesu ia menghitung beberapa keping mata uang kotor dalam telapak tangannya, lalu memberikannya kepada gadis itu.

Ketika ia menyandarkan diri kembali ke batu, kepalanya merunduk murung. Gerakan kecil itu saja sudah membuatnya kehabisan tenaga. Merasa mual, ia mencondongkan badan ke samping dan mulai meludah ke rumput. Sedikit pun tak ada lagi tenaganya untuk mengambil kembali semangka yang terjatuh dari pangkuannya. Dengan jemu ia memandang semangka itu, sedangkan matanya yang hitam tidak memperlihatkan tanda-­tanda kekuatan ataupun harapan.

“Babi!” gumamnya lemah. Yang dimaksudkannya adalah orang-orang yang hendak dibalasnya: Oko, si Wajah Berpupur, dan Takezo, pemilik pedang kayu. Kekeliruannya yang pertama adalah pergi ke Sekigahara. Yang kedua, tunduk kepada janda yang menggairahkan itu. Sampailah ia pada keyakinan bahwa sekiranya bukan karena kedua peristiwa itu, ia sudah ada di rumahnya di Miyamoto sekarang, menjadi kepala Keluarga Hon’iden, menjadi suami seorang istri yang cantik, dan membikin iri seluruh kampung.

“Kukira Otsu pasti membenciku sekarang…. Apa gerangan yang sedang dia lakukan?” Dalam keadaan sekarang, kadang-kadang memikirkan bekas tunangannya itu merupakan hiburannya satu-satunya. Ketika sifat Oko yang sebenarnya akhirnya ia pahami, mulailah ia merindukan Otsu kembali. Dan semenjak ia berakal sehat, dan membebaskan diri dari Warung Teh Yomogi, semakin sering ia memikirkan Otsu.

Pada malam keberangkatannya, ia mengetahui bahwa Miyamoto Musashi yang meraih reputasi sebagai pemain pedang di ibu kota itu ternyata teman lamanya, Takezo. Guncangan keras ini segera disusul gelombang cemburu hebat.

Karena ingat akan Otsu, ia sudah berhenti minum, dan mencoba menanggalkan sifat malas dan kebiasaan buruknya. Tetapi mulanya ia tidak dapat menemukan pekerjaan yang cocok. Disumpahinya dirinya sendiri karena selama lima tahun tidak mengikuti arus perubahan, sementara selama itu seorang perempuan yang lebih tua menanggung hidupnya. Untuk sesaat kelihatan olehnya seolah sudah terlambat untuk mengadakan perubahan.

“Belum terlambat!” demikiari ia meyakinkan dirinya. “Umurku baru dua puluh dua. Aku dapat melakukan apa saja kalau aku mencoba!” Setiap orang bisa saja mengalami perasaan seperti itu, tapi dalam hal Matahachi, itu berarti menutup mata, meloncati jurang lima tahun lamanya, dan menjual tenaga sebagai buruh harian di Fushimi.

Di situ ia bekerja keras, membudakkan diri dengan tekun dari hari ke hari, sementara matahari menyengatnya dari musim panas sampai musim gugur. Agak bangga juga ia dapat bertahan di situ.

“Akan kutunjukkan pada semua orang!” demikian pikirnya, sekalipun sedang mau muntah. “Tak ada alasan, kenapa aku tak dapat memperoleh nama untuk diriku. Aku dapat melakukan apa saja yang dilakukan Takezo! Aku dapat melakukan lebih dari itu, dan akan kulakukan. Lalu aku akan melakukan pembalasan, biarpun sudah mengalami peristiwa dengan Oko. Yang kubutuhkan sekarang cuma sepuluh tahun.”

Sepuluh tahun? Ia berhenti untuk menghitung, berapa sudah umur Otsu waktu itu. Tiga puluh satu! Apakah Otsu akan tetap sendiri, dan me­nunggunya selama itu? Sedikit kemungkinannya. Matahachi tak tahu sama sekali tentang apa yang belum lama itu terjadi di Mimasaka. Tak dapat ia mengetahui bahwa khayalannya kosong. Tapi sepuluh tahun—tak mungkin! Tak akan lebih dari lima atau enam tahun! Dalam jangka waktu itu ia sudah mencapai sukses. Pada waktu itu ia akan kembali ke kampung, meminta maaf kepada Otsu, dan membujuknya untuk kawin. “Itulah satu­-satunya cara!” ucapnya. “Lima tahun, atau paling banyak enam tahun.” Ia menatap semangka itu, dan kilas cahaya tampak kembali pada matanya.

Justru pada waktu itu salah seorang teman kerjanya berdiri di seberang batu besar di depannya. Sambil menopangkan siku ke puncak batu besar lebar itu, teman itu berseru, “Hei, Matahachi, apa yang kau gumamkan sendiri? Mukamu kelihatan hijau. Apa semangka itu busuk?”

Matahachi terpaksa menampakkan senyuman lemah, namun sekali lagi ia terserang gelombang pusing. Air liur keluar dari mulutnya ketika ia meng­guncang-guncangkan kepalanya. “Ini bukan apa-apa, bukan apa-apa!” Sengal-nya. “Kukira terlalu banyak aku terkena panas matahari. Biar aku beristirahat di sini sekitar sejam.”

Para penghela batu besar yang tegap-tegap itu mencemoohkan kelunglaiannya, walaupun dengan cara baik-baik saja. Salah seorang bertanya, “Kenapa kamu beli semangka kalau kamu tak bisa makan semangka?”

“Aku beli ini untuk kalian semua,” jawab Matahachi. “Kukira itulah yang baik, karena aku tak bisa mengerjakan bagian kerjaku.”

“Oh, bagus juga. Hei, kawan-kawan! Makan ini, Matahachi yang bayar.”

Buruh-buruh pun memecahkan semangka itu di sudut batu dan menyerbu-nya seperti semut, membagi-bagi daging buah yang merah, manis menetes-netes itu. Begitu semangka habis, seseorang melompat ke atas batu dan pekiknya, “Kembali kerja, hei, kalian!”

Samurai yang bertugas keluar dari sebuah gubuk memegang cambuk. Bau keringatnya menyebar ke atas tanah. Segera kemudian terdengar lagu kerja para penghela batu di medan kerja itu, ketika sebuah batu raksasa dipindahkan dengan pengumpil-pengumpil besar ke atas gelindingan dan diseret dengan tali-tali setebal lengan. Batu itu maju dengan berat dan lambat, seperti gunung yang bergeser.

Dengan ramainya pembangunan puri, lagu-lagu berirama ini pun ber­kembang biak. Sekalipun kata-katanya jarang dituliskan, tidak kurang dari Yang Dipertuan Hachisuka dari Awa, yang bertanggung jawab atas pem­bangunan Puri Nagoya, telah mencatat beberapa syairnya dalam sebuah surat. Yang Dipertuan, yang tentunya tak ada kesempatan biarpun cuma menyentuh bahan-bahan bangunan, jelas telah mengetahui syair-syair itu dari sebuah pesta. Karangan sederhana seperti di bawah ini menjadi semacam mode di tengah masyarakat, juga di antara para pekerja.

Dari Awataguchi kita menariknya

Menyeretnya batu demi batu-demi batu.

Buat Tuan Yang Mulia, Yang Dipertuan Togoro.

Ei, sa, ei, sa…

Tarik ya! Seret ya! Tarik ya! Seret ya!

Tuan kita bicara,

Kaki tangan kita gemetar.

Tapi kita setia padanya-sampai mati.

Penulisnya berkomentar, “Semua orang, tua-muda, menyanyikan lagu ini, karena lagu ini bagian dari dunia mengambang yang kita tinggali!”

Kaum buruh di Fushimi tidak sadar akan gema sosial lagu-lagu ini, namun lagu-lagu mereka benar-benar mencerminkan semangat zaman. Lagu-­lagu populer pada zaman merosotnya ke-shogun-an Ashikaga pada umumnya bersifat dekaden dan kebanyakan dinyanyikan secara pribadi, tetapi pada tahun-tahun makmur kekuasaan Hideyoshi, lagu-lagu bahagia dan gembira sering terdengar di tempat umum. Kemudian hari, ketika kerasnya kekuasaan Ieyasu mulai terasa, nada-nada itu kehilangan sebagian semangat gembiranya. Ketika kekuasaan Tokugawa menjadi lebih kuat, nyanyian yang spontan sifatnya cenderung memberikan tempat kepada musik yang digubah oleh para musisi yang mengabdi kepada para shogun.

Matahachi meletakkan kepalanya ke tangan. Kepala itu demam oleh suhu tinggi, dan nyanyian dengan kata-kata “tarik-ya” itu mendengung, mengiang di telinganya, seperti segerombolan lebah. Dalam keadaan seorang diri, kini ia menjadi murung.

“Tapi apa gunanya,” rintihnya. “Lima tahun. Umpamanya aku kerja keras, apa untungnya itu untukku? Aku kerja sehari penuh, yang kudapat cuma cukup buat makan sehari. Kalau tidak kerja, aku tidak makan.”

Waktu itu dirasanya ada orang berdiri di dekatnya, dan ia menengadah. Tampak olehnya seorang pemuda jangkung. Kepalanya tertutup topi anyaman kasar dalam-dalam, dan di pinggangnya tergantung satu bungkusan seperti yang biasa dibawa oleh shugyosha. Sebuah emblem dalam bentuk kipas bertulang baja yang setengah terbuka, menghiasi bagian depan topinya. Ia sedang memandang kerangka bangunan dengan penuh renungan dan sedang menaksir medannya.

Sesudah beberapa waktu, ia pun mendudukkan diri di samping sebuah batu yang lebar rata. Tinggi batu itu tepat sekali untuk meja tulis. Ditiupnya pasir di atas batu itu, termasuk juga iringan semut yang sedang berbaris di situ, kemudian sambil menopangkan kepala ke batu dengan sikunya, ia kembali mengamati baik-baik lingkungan sekitar. Sekalipun panas matahari menyengat langsung wajahnya, ia tetap tak bergerak, dan kelihatannya tak mempan oleh panas yang tak menyenangkan itu. Ia tidak melihat Matahachi yang waktu itu masih terlalu merana untuk peduli, apakah ada orang atau tidak di dekatnya. Orang lain tidak ada artinya sama sekali baginya. Ia duduk membelakangi pendatang itu dan sekali­-sekali muntah.

Segera kemudian samurai itu tahu bahwa Matahachi sedang muntah.

Hei,” katanya. “Kenapa kamu?”

“Panas ini,” jawab Matahachi.

“Kau sedang kurang sehat rupanya.”

“Sebetulnya lebih baik dari biasanya, tapi saya pusing.”

“Mau obat?” kata samurai itu sambil membuka kotak obat yang dipernis hitam dan menumpahkan pil-pil merah ke telapak tangannya. Ia mendekat dan memasukkan obat itu ke mulut Matahachi. “Sebentar lagi kau sembuh,” katanya.

“Terima kasih.”

“Apa kau mau istirahat lebih lama di sini?”

Ya.”

“Kalau begitu, aku mau minta tolong. Kasih tahu aku kalau nanti ada orang dating lemparkan saja kerikil atau yang lain.”

Ia kembali ke batunya sendiri, duduk di situ, dan mengeluarkan kuas dari kantong tulisnya dan buku tulis dari kimononya. Ia buka alas di atas batu itu, dan mulailah ia menggambar. Di bawah tepi topinya, matanya bergerak ke sana kemari dari puri ke lingkungan terdekatnya, termasuk juga menara utama, benteng, pegunungan di latar belakang, sungai, dan kali-kali kecil.

Tepat sebelum Pertempuran Sekigahara, puri ini diserang oleh kesatuan­kesatuan Tentara Barat, dan dua pekarangannya, juga sebagian paritnya, menderita kerusakan besar. Sekarang benteng ini tidak hanya dibangun kembali, melainkan juga diperkuat, sehingga akan mengalahkan Benteng Hideyori di Osaka.

Calon prajurit itu membuat sketsa sepintas-lintas secara cepat, namun dengan perincian luas mengenai seluruh puri, dan pada halaman kedua ia mulai membuat diagram jalan-jalan dari belakang.

“Uh-Oh!” ujar Matahachi pelan. Entah dari mana datangnya, tapi tiba­ tiba saja muncul inspektur proyek, yang kemudian berdiri di belakang pembuat sketsa itu, berpakaian setengah zirah dan mengenakan sandal jerami. Orang itu berdiri diam, seakan-akan menanti dilihat orang. Matahachi merasa bersalah karena tidak melihat pada waktunya, supaya dapat mem­berikan peringatan. Kini sudah terlambat.

Segera kemudian calon prajurit itu mengangkat tangan untuk mengusir lalat dari kerahnya yang berkeringat, dan waktu itulah tampak olehnya si pengganggu itu. Ia menengadah dengan mata terkejut, dan si inspektur menatap kembali dengan marahnya sebentar, kemudian mengulurkan tangan ke arah gambar. Calon prajurit itu menangkap pergelangan tangannya dan bangkit berdiri.

“Apa yang kamu lakukan ini?” serunya.

Inspektur mengambil buku tulis itu dan mengacungkannya tinggi-tinggi. “Aku mau lihat dulu,” salaknya.

“Kau tak punya hak.”

“Ini tugasku!”

“Mengganggu urusan orang lain itu tugasmu?”

“Kenapa? Apa tak boleh aku melihat?”

“Orang bebal macam kamu tak bakal mengerti.”

“Kupikir lebih baik aku menyimpannya.”

“He, jangan, jangan!” teriak calon prajurit itu hendak merebut buku tulisnya. Kedua orang itu tarik-menarik, dan buku tulis sobek menjadi dua.

“Awas kamu!” seru si inspektur. “Lebih baik kamu memberi penjelasan baik-baik. Atau kuadukan kau.”

“Apa dasarnya? Apa kamu perwira?”

“Betul.”

“Apa kelompokmu? Siapa komandanmu?”

“Bukan urusanmu. Tapi kau boleh tahu, aku punya perintah untuk menyelidiki siapa saja di tempat ini yang kelihatan mencurigakan. Siapa kasih kamu izin membuat sketsa?”

“Lho, aku sedang membuat telaah tentang puri-puri dan ciri-ciri geo­grafisnya buat rujukan masa depan. Apa salahnya?”

“Tempat ini penuh mata-mata musuh. Mereka semua mengajukan alasan macam itu. Tak peduli siapa kamu. Kamu mesti menjawab beberapa pertanyaan. Ayo sini ikut aku!”

“Jadi, kau menuduhku penjahat?”

“Tutup mulutmu dan ikut aku.”

“Oh, pegawai-pegawai bejat! Terlalu biasa kalian menakut-nakuti orang banyak, tiap kali kalian membuka mulut besar itu!”

“Diam kamu! Ayo ikut!”

“Jangan kau coba-coba denganku!” Calon prajurit itu tetap tak mau menyerah.

Nadi-nadi di dahinya menggelembung marah. Inspektur itu menjatuhkan belahan buku tulis tersebut, menginjaknya, dan menarik lembing kapaknya. Si calon prajurit melompat mundur selangkah, memperbaiki kedudukannya.

Kalau kamu tak mau ikut dengan sukarela, terpaksa aku mengikat dan menyeret-mu,” kata si inspektur.

Belum lagi kata-kata itu selesai diucapkan, lawannya sudah beraksi. Sambil melolong keras ditangkapnya leher inspektur itu dengan sebelah tangan, dan dengan tangan lain dicengkeramnya ujung bawah baju zirahnya, kemudian dibantingnya ke sebuah batu besar.

Orang udik tak berguna!” jeritnya, tapi kata-kata itu kurang cepat waktunya untuk didengar si inspektur, karena kepala si inspektur sudah menganga di atas batu, seperti semangka. Matahachi berteriak ngeri sambil menutup muka dengan tangan untuk melindungi diri dari gumpalan-­gumpalan benda encer merah yang melayang ke arahnya.

Sementara itu, si calon prajurit cepat kembali kepada sikap tenang sepenuhnya.

Matahachi sungguh terpesona. Mungkinkah orang itu sudah terbiasa mem-bunuh dengan cara brutal seperti itu? Ataukah sifat darah dingin itu sekadar akibat ledakan kemarahan? Karena gentar yang sehebat-hebatnya, Matahachi mulai mengucurkan keringat. Menurut terkaannya, orang itu belum lagi berumur tiga puluh. Wajahnya yang kurus dan terbakar matahari itu bopeng, dan kelihatannya tidak berdagu. Barangkali karena bekas luka pedang yang dalam dan mencekung aneh bentuknya.

Calon prajurit itu tidak terburu-buru melarikan diri. Ia mengumpulkan dahulu bagian-bagian buku tulisnya yang robek-robek. Kemudian ia menoleh ke sekitar tenang-tenang, untuk mencari topinya yang terbang ketika ia melaksanakan lemparan hebat tadi. Sesudah ditemukannya topi itu, ia mengenakannya dengan hati-hati di kepala, dan sekali lagi menyembunyikan mukanya yang mengerikan itu dari pandangan mata. Kemudian pergilah ia dengan langkah cepat dan semakin cepat, sampai akhirnya seolah-olah ia terbang bersama angin.

Seluruh peristiwa itu terjadi demikian cepat, hingga tak seorang pun dari beratus-ratus buruh yang ada di sekitar tempat itu, ataupun orang-orang yang mengawasi pekerjaan mereka, sempat melihatnya. Para pekerja me­lanjutkan kerja keras seperti lebah, sementara para pengawas yang ber­senjatakan cambuk dan lembing kapak meneriakkan perintah-perintah ke punggung mereka yang berkeringat.

Namun ada sepasang mata khusus yang menyaksikan semua itu. Mata pengawas umum para tukang kayu dan pembelah kayu yang berdiri di puncak perancah tinggi, yang memungkinkannya meninjau seluruh wilayah tersebut. Melihat calon prajurit itu melarikan diri, ia meneriakkan perintah, dan sekelompok serdadu, yang semula minum teh di bawah perancah, segera bergerak.

“Ada apa?”

“Perkelahian lagi?”

Yang lain-lain mendengar seruan untuk memegang senjata, dan segera kemudian berkepul debu kuning di dekat gerbang kayu benteng yang memisahkan wilayah pembangunan dengan kampung. Teriakan-teriakan marah mengudara dari kerumunan orang banyak.

“Ada mata-mata! Mata-mata dari Osaka!”

“Tak mau juga mereka itu belajar.”

“Bunuh dia! Bunuh dia!”

Para penghela batu, pengangkut tanah, dan lain-lainnya berteriak-teriak seakan-akan “mata-mata” itu musuh pribadinya, dan menyerbu ke arah samurai tak berdagu itu. Samurai itu berlari di belakang kereta sapi yang sedang keluar dari gerbang, dan mencoba menyelinap, tapi seorang penjaga melihatnya dan menjegalnya dengan tongkat berpaku.

Dari atas perancah pengawas terdengar teriakan, “Jangan lepaskan dia!”

Tanpa ragu-ragu lagi orang banyak itu menyerang si pelaku kejahatan, yang terus melawan seperti binatang kena perangkap. Ia merebut tongkat dari tangan penjaga, lalu menyerang si penjaga, dan dengan ujung senjata itu ia banting si penjaga dengan kepala di bawah. Setelah menjatuhkan empat atau lima orang lagi dengan cara seperti itu, ia menarik pedang besarnya dan mengambil sikap menyerang. Orang-orang yang hendak me­nangkapnya undur ketakutan, tapi ketika ia bersiap-siap menerobos lingkaran yang mengepungnya, hujan batu menimpanya dari segala jurusan.

Orang banyak melampiaskan kemarahan sepuas-puasnya. Sikap mereka lebih kejam lagi, karena rasa benci yang dalam terhadap semua shugyosha. Seperti umumnya orang kebanyakan, kaum buruh ini menganggap samurai pengembara tak berguna, tidak produktif, dan sombong.

“Hei, jangan seperti orang kasar bodoh!” teriak samurai yang sudah terkepung itu, mencoba menyuruh orang-orang itu berpikir dan menahan diri. Ia memang melawan mereka, tapi agaknya ia lebih suka mengumpat para penyerangnya daripada menghindari batu-batu yang dilontarkan ke­padanya. Tidak sedikit para penonton yang tidak bersalah ikut terluka dalam perkelahian itu.

Kemudian dalam sekejap segalanya berlalu. Teriakan mereda, dan kaum buruh mulai kembali ke tempat kerja masing-masing. Dalam lima menit saja wilayah pembangunan yang luas itu kembali seperti keadaan semula, seakan-akan tak ada yang telah terjadi. Bunga-bunga api yang berterbangan dari berbagai alat pemotong, ringkik kuda yang sudah setengah kacau karena panas matahari, dan panas yang menumpulkan pikiran-semuanya kembali biasa.

Dua pengawal berdiri di samping tubuh yang jatuh itu, yang telah diikat dengan tali rami besar. “Sudah sembilan puluh persen mati,” kata salah seorang pengawal, “jadi bisa kita tinggalkan dia di sini sampai hakim datang.” Ia memandang ke sekitar, dan terlihatlah olehnya Matahachi. “He, kamu! Jaga orang ini. Biar dia mati, tak apa-apa.”

Matahachi mendengar kata-kata itu, tapi kepalanya tidak dapat menangkap maksudnya atau makna peristiwa yang baru saja disaksikannya. Semua itu seperti mimpi buruk yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga, tapi tak dimengerti oleh otaknya.

“Hidup ini begini rapuh,” pikirnya. “Beberapa menit yang lalu dia masih sibuk membuat sketsa. Sekarang dia sekarat. Padahal dia belum lagi tua.”

Ia merasa kasihan kepada samurai tak berdagu itu. Kepalanya tergeletak miring di tanah, hitam oleh kotoran dan darah kental, dan mukanya masih memperlihatkan kemarahan. Tali itu mengikatkannya pada sebuah batu besar. Matahachi merasa heran, kenapa para pengawal mengambil tindakan berjaga-jaga demikian rupa, padahal orang itu sudah sedemikian dekat dengan maut, hingga mengeluarkan suara pun tak bisa. Barangkali juga ia sudah mati. Sebelah kakinya menyembul aneh dari tengah sobekan panjang hakama-nya, sedangkan tulang keringnya yang putih menyembul dari tengah daging yang merah tua. Darah merembes dari kulit kepalanya, dan tawon­-tawon mulai terbang di sekitar rambutnya yang kusut. Semut-semut sudah hampir menutup kedua tangan dan kakinya.

“Orang sial,” pikir Matahachi. “Kalau dia belajar sungguh-sungguh, pasti dia mempunyai ambisi besar dalam hidup. Ingin tahu juga, dari mana dia datang… dan apa orangtuanya masih hidup.”

Matahachi tercengkam oleh kesangsian aneh. Apakah ia benar-benar meratapi nasib orang itu, ataukah ia prihatin dengan kekaburan masa depannya sendiri? “Untuk orang yang mempunyai ambisi,” demikian pikir­nya, “mestinya ada cara yang lebih baik untuk maju.”

Waktu itu adalah abad yang memacu harapan orang muda, yang men­dorong mereka untuk mendambakan suatu impian, melecut mereka untuk memperbaiki statusnya dalam hidup. Ya, abad ketika orang seperti Matahachi pun dapat berkhayal akan bangkit dari ketiadaan dan menjadi penguasa sebuah puri. Seorang prajurit yang berbakat sederhana dapat mencapai sukses hanya dengan mengadakan perjalanan dari kuil satu ke kuil lain, dan hidup dari kedermawanan para pendeta. Kalau beruntung, ia dapat diambil oleh salah seorang bangsawan daerah, dan jika lebih beruntung lagi ia dapat menerima penghasilan tetap dari seorang daimyo.

Namun, dari semua pemuda yang mulai dengan harapan-harapan tinggi itu, hanya satu dalam seribu yang benar-benar mengakhiri usahanya dengan menemukan kedudukan dengan pendapatan memadai. Selebihnya harus merasa puas dengan kepuasan yang dapat mereka peroleh dari pengetahuan bahwa cita-cita mereka sukar dan berbahaya.

Sementara Matahachi merenungkan samurai yang terbaring di depannya itu, seluruh jalan pikirannya mulai dirasa betul-betul bodoh olehnya. Ke manakah arah jalan yang ditempuh Musashi? Keinginan Matahachi untuk menyamai atau melebihi temannya semasa kanak-kanak memang belum mereda, tetapi melihat prajurit yang berlumur darah itu, Jalan Pedang pun jadi tampak sia-sia dan tolol.

Kengerian tiba-tiba menyadarkannya bahwa prajurit di depannya itu bergerak, dan urutan pikirannya pun tiba-tiba berhenti. Tangan orang itu menjulur seperti sirip penyu dan mencakar tanah. Dengan lemah ia mengangkat tubuhnya, menegakkan kepala, dan menarik tali tegang-tegang.

Hampir Matahachi tak percaya dengan matanya. Orang itu bergerak sedikit demi sedikit di tanah, menyeret batu karang seberat hampir dua ratus kilogram yang menjadi tambatan tali pengikatnya. Satu kaki, dua kaki—sungguh suatu peragaan kekuatan seorang manusia super! Tak seorang pun manusia berotot atau tukang hela batu yang dapat melakukan itu, sekalipun banyak orang menyombongkan diri memiliki kekuatan setara sepuluh atau dua puluh orang. Samurai yang terbaring di ambang kematian itu telah dikuasai oleh suatu kekuatan setani yang memungkinkan-nya jauh melebihi kekuatan manusia biasa.

Bunyi menggelegak terdengar dari tenggorokan orang sekarat itu. Ia mencoba mati-matian untuk berbicara, tetapi lidahnya sudah menjadi hitam dan kering, hingga tak mungkin baginya membentuk kata-kata. Napasnya terdengar sebagai desisan yang merongga terputus-putus. Matanya yang menonjol dari ceruknya memandang dengan nada memohon kepada Matahachi.

“To-lo-lo-ng…”

Sedikit demi sedikit mengertilah Matahachi bahwa orang itu mengatakan “tolong”. Kemudian terdengar bunyi lain yang tak jelas ucapannya, dan Matahachi menangkapnya sebagai ucapan “saya minta”. Namun mata orang itulah yang terutama berbicara. Di situlah terletak akhir air matanya dan kepastian mautnya. Kepalanya jatuh ke belakang dan napasnya berhenti. Maka lebih banyak lagi semut keluar dari dalam rumput untuk menjelajahi rambut yang memutih oleh debu itu. Sebagian di antaranya bahkan masuk ke dalam lubang hidungnya yang sudah tersumbat keringan darah, dan tampaklah oleh Matahachi, kulit di bawah kerah kimononya sudah berwarna biru kehitaman.

Apakah yang diinginkan orang itu darinya? Matahachi merasa dikejar-­kejar oleh pikiran bahwa kini ia menanggung kewajiban. Samurai itu sudah mendatanginya ketika ia sakit, dan telah menunjukkan kebaikan hatinya dengan memberikan obat kepadanya. Kenapa nasib telah membutakan mata Matahachi, sedangkan seharusnya ia mengingat-kan orang itu akan datangnya sang inspektur? Apakah memang sudah ditakdirkan itu terjadi?

Matahachi mencoba-coba meraba bungkusan kain dalam obi orang mati itu. Isinya pastilah dapat mengungkapkan siapa orang itu dan dari mana ia datang. Matahachi menduga bahwa permintaan orang itu di waktu sekarat adalah agar tanda mata yang ada padanya disampaikan pada keluarganya.

Maka diambilnya bungkusan itu dan dimasukkannya cepat-cepat ke dalam kimononya sendiri.

Lalu ia bersoal-jawab dengan dirinya sendiri, apakah akan memotong sedikit rambut orang itu untuk disampaikan kepada ibunya, tapi ketika sedang menatap wajah yang mengerikan itu, ia dengar langkah-langkah kaki mendekat. Ditengoknya dari balik sebuah batu, dan tampak olehnya seorang samurai datang untuk mengambil mayat itu. Kalau tertangkap menyimpan milik orang mati itu, pasti ia mengalami kesulitan hebat. Maka ia mengendap rendah-rendah dan menyelinap dari bayangan batu yang satu ke bayangan batu yang lain dan meninggalkan tempat itu seperti seekor tikus ladang.

Dua jam kemudian ia tiba di toko manisan tempat ia tinggal. Istri pemilik toko sedang berada di samping rumah, membasuh diri dengan air tempayan. Mendengar Matahachi ada di dalam rumah, ia memperlihatkan sebagian kulitnya yang putih dari balik pintu samping, dan serunya, “Kamu itu, Matahachi?”

Matahachi menjawab dengan gerutuan keras, kemudian masuk cepat ke kamarnya sendiri dan mengambil kimono dan pedang dari lemari, kemudian ia ikatkan handuk yang sudah digulung di sekitar kepalanya dan bersiap­siap mengenakan sandal lagi.

“Apa tidak gelap di situ?” seru perempuan itu.

“Tidak, saya bisa lihat dengan jelas.”

“Akan saya bawakan lampu.”

“Tak perlu. Saya akan pergi.”

“Apa tidak mandi?

“Tidak. Nanti saja.”

Ia bergegas keluar menuju ladang dan cepat menghindar dari rumah jembel itu. Beberapa menit kemudian ia menoleh ke belakang, dan terlihat olehnya sekelompok samurai datang dari seberang padang miskantus. Tak sangsi lagi mereka datang dari puri. Mereka memasuki toko manisan itu dari depan dan belakang.

“Hampir saja aku celaka,” pikirnya. “Tapi aku tidak mencuri sesuatu. Aku cuma mengambilnya untuk disimpan. Aku harus melakukannya. Dia minta betul aku melakukannya.”

Menurut jalan pikirannya, selama ia mengakui barang-barang itu bukan miliknya, ia tidak merasa melakukan kejahatan. Tapi bersamaan dengan itu ia pun sadar bahwa ia tidak dapat lagi memperlihatkan diri di wilayah pembangunan itu.

Bunga miskantus tegak setinggi bahunya, dan tabir kabut petang me­ngambang di atasnya. Tak seorang pun dapat melihatnya dari kejauhan. Mudahlah ia menyelinap pergi dari situ. Tapi ke mana ia harus pergi? Suatu pilihan yang sukar. Lebih-lebih karena ia yakin benar bahwa keber­untungan terletak di satu jurusan dan nasib malang di jurusan lain.

Osaka? Kyoto? Nagoya? Edo? Ia tak punya seorang pun teman di tempat-tempat itu. Rasanya ingin ia melempar dadu untuk memutuskan ke mana akan pergi. Seperti halnya pada Matahachi, pada dadu semua adalah kemungkinan. Kalau angin bertiup, angin akan membawanya berembus.

Ia merasa makin jauh ia berjalan, makin dalam ia masuk ke rumpun miskantus. Serangga mendengung-dengung di sekitarnya, dan kabut yang turun melembapkan pakaiannya. Tepi pakaiannya yang basah melibat kakinya. Biji-biji rumput menempel ke lengan kimononya. Tulang keringnya gatal. Ingatan mengenai rasa muak yang dialaminya tengah hari itu kini hilang, tapi sekarang ia lapar bukan kepalang. Segera sesudah merasa jauh dari jangkauan para pengejarnya, ia pun mulai merasa sengsara karena harus berjalan.

Karena ingin menemukan tempat berbaring dan beristirahat, ia terus berjalan menempuh panjangnya ladang itu, dan di seberang sana tampak atap sebuah rumah. Ketika ia sudah lebih dekat, tampak bahwa pagar dan pintu gerbang rumah itu miring, agaknya dirusak badai yang belum lama menimpa. Atap rumah itu pun membutuhkan perbaikan. Namun rumah itu tadinya tentu milik satu keluarga berada, karena ada keanggunan tertentu, walaupun sudah layu. Ia membayangkan seorang wanita istana cantik, duduk di kereta bertabir mewah yang sedang mendekati rumah itu dengan langkah megah.

Ketika melintas gerbang yang tampak murung itu, tampak olehnya rumah utama dan rumah kecil yang terpisah itu sudah hampir terkubur rumput liar. Pemandangan di situ mengingatkannya pada sebagian sajak penyair Saigyo yang pernah ia pelajari di masa kanak-kanak:

Saya dengar ada kenalan saya tinggal di Fushimi, dan saya pergi berkunjung kepadanya, tetapi halamannya demikian tertutup semak! Saya bahkan tak dapat melihat jalannya. Sementara serangga-serangga menyanyi, saya pun menggubah sajak ini:

Menerobos rumput liar,

Kusembunyikan rasa senduku

Dalam lipatan lengan kimonoku.

Di halaman penuh embun

Serangga yang hina pun berlagu.

Hati Matahachi jadi menggigil. Ia meringkuk di dekat rumah itu sambil membisikkan kata-kata yang sudah lama dilupakannya itu.

Baru saja ia akan menyimpulkan rumah itu kosong, seberkas cahaya merah muncul dari dalam. Segera kemudian ia dengar ratapan merana shakuhachi, suling bambu yang biasa dimainkan pendeta pengemis apabila sedang mengemis di jalan-jalan. Ketika menengok ke dalam, didapatinya si pemain memang anggota kelas itu. Orang itu duduk di samping perapian. Api yang baru dinyalakannya bertambah terang, dan bayangan dirinya di dinding makin besar. Ia memainkan lagu sedih, ratapan tunggal mengenai kesendirian dan sendunya musim gugur, yang hanya dimaksud untuk telinga sendiri. Orang itu bermain sederhana saja, tanpa banyak kembang, hingga Matahachi mendapat kesan bahwa ia cuma menaruh sedikit rasa bangga pada permainannya sendiri.

Ketika lagu berhenti, pendeta itu mengeluh dalam dan mulai meratap.

“Orang bilang, kalau kita berumur empat puluh tahun, kita bebas dari godaan. Tapi cobalah lihat diriku ini! Empat puluh tujuh ketika kuhancurkan nama baik keluargaku. Empat puluh tujuh tahun! Dan masih saja aku tergoda angan-angan buruk dan kehilangan semuanya-pendapatan, ke­dudukan, nama baik. Bukan hanya itu. Telah kubiarkan anak lelakiku satu­satunya mengurus diri sendiri di dunia yang brengsek ini…. Untuk apa? Cinta buta?

“Memalukan—tak dapat lagi aku menghadapi arwah istriku, juga anak lelakiku, di mana pun ia berada. Ha! Kalau orang berbicara bahwa kita menjadi bijaksana sesudah umur empat puluh, mestinya yang dibicarakan itu orang-orang besar, bukan orang-orang tolol seperti aku ini. Daripada menganggap diri bijaksana karena usia, lebih baik aku harus lebih berhati­-hati. Sungguh gila tidak berhati-hati, kalau soalnya menyangkut perempuan.”

Sambil menegakkan shakuhachi di depannya dan mengganjalkan kedua tangan pada pipinya, ia meneruskan, “Ketika urusan dengan Otsu itu terjadi, tak seorang pun mau memaafkan aku lagi. Sudah terlambat, terlambat.”

Matahachi merangkak masuk kamar sebelah. Ia mendengarkan, tetapi jijik dengan apa yang dilihatnya. Pipi pendeta itu cekung, bahunya kelihatan lancip seperti bahu anjing liar, dan rambutnya tidak mengilat. Matahachi meringkuk diam-diam. Dalam cahaya api yang mengejap-ngejap, sosok tubuh orang itu menimbulkan khayalan tentang setan-setan malam.

“Oh, apa yang harus kuperbuat?” rintih pendeta itu lagi sambil meng­angkat matanya yang cekung ke langit-langit. Kimononya polos dan kumal, tetapi ia mengenakan juga baju jubah hitam, yang menunjukkan bahwa ia pengikut guru Zen Cina, P’u-hua. Tikar buluh tempat ia duduk, yang digulungnya dan dibawanya ke mana saja ia pergi itu, barangkali satu­satunya harta rumah tangganya-tempat tidurnya, tabirnya, dan dalam cuaca buruk, juga atapnya.

Pendeta itu memungut shakuhachi-nya dan berjalan dengan lesu ke luar rumah. Matahachi seperti melihat ada kumis menyerabut di bawah hidungnya yang kurus. “Sungguh orang aneh!” pikirnya. “Dia belum lagi tua, tapi ber­dirinya sudah begitu goyah.” Karena dikiranya orang itu kurang waras, Matahachi merasa sedikit kasihan kepadanya.

Karena tiupan angin malam, nyala api dari ranting-ranting patah mulai membakar lantai. Matahachi masuk kamar kosong itu, menemukan kendi air, dan menuangkan isinya ke api. Sambil melakukan itu terpikir olehnya, alangkah cerobohnya pendeta itu.

Tak apa-apa kalau yang terbakar habis cuma rumah tua yang kosong itu. tapi bagaimana kalau yang terbakar itu kuil kuno dari zaman Asuka atau Kamakura? Matahachi merasakan gejolak kemarahan yang jarang terjadi padanya. “Justru karena orang-orang seperti dia itu kuil-kuil kuno di Nara dan Gunung Koya begitu sering hancur,” pikirnya. “Pendeta-pendeta pengem­bara yang gila ini tak punya harta milik, tak punya keluarga. Mereka tak pernah berpikir, betapa besarnya bahaya api. Mereka bisa saja menyalakan api di ruang besar sebuah biara tua, di dekat lukisan dinding, hanya untuk menghangatkan bangkainya sendiri yang tak ada manfaatnya bagi siapa pun.

“Tapi ini ada yang menarik,” gumamnya sambil menolehkan matanya ke arah ceruk kamar. Bukan pola anggun kamar ataupun sisa-sisa jambangan berharga yang memikat perhatiannya, melainkan sebuah kuali logam yang sudah hitam dan sebuah guci sake bermulut sumbing di sebelahnya. Di dalam kuali itu ada sedikit bubur nasi, dan ketika ia mengguncangkan guci itu, terdengar dari dalamnya suara gemericik gembira. Ia tersenyum lebar, merasa bersyukur atas nasib baiknya, namun kurang pikir tentang hak milik orang lain, seperti yang biasa terjadi pada orang lapar mana pun.

Cepat ia mengosongkan sake itu dengan beberapa tegukan panjang, kemudian mengosongkan isi kuali nasi dan mengucapkan selamat kepada dirt sendiri karena perutnya sudah kenyang.

Sambil mengangguk-angguk mengantuk di samping perapian, ia men­dengar dengung serangga yang seperti hujan datang dari ladang gelap di luar—tidak hanya dari ladang, melainkan juga dari dinding, langit-langit, dan tikar tatami yang membusuk.

Tepat sebelum berlayar ke alam tidur, teringat olehnya bungkusan yang diambil-nya dari prajurit yang sekarat tadi. Ia bangun dan membukanya. Bungkusan itu berupa kain krep kotor yang dicelup dengan celupan kayu sappan merah tua. Isinya pakaian dalam yang sudah dicuci bersih, serta barang-barang yang biasa dibawa musafir. Ketika pakaian dibuka, ditemu­kannya sebuah benda yang ukuran dan bentuknya seperti gulungan surat, terbungkus dengan amat hati-hati dalam kertas minyak. Terdapat juga sebuah pundi-pundi yang seketika jatuh dari lipatan kain dengan denting nyaring. Pundi-pundi itu terbuat dari kulit bercelup warna lembayung. Isinya emas dan perak dalam jumlah demikian banyak, hingga tangan Matahachi gemetar ketakutan. “Ini uang orang lain, bukan uangku,” demi­kian ia mengingatkan dirinya.

Ketika dibukanya kertas minyak yang membungkus barang yang panjang, tampak sebuah gulungan dililitkan pada sebuah gelindingan dengan kain brokat emas di ujungnya. Segera ia merasa bahwa gulungan itu mengandung rahasia penting. Dengan rasa ingin tahu yang besar diletakkannya gulungan itu di hadapannya, dan pelan-pelan dibukanya. Bunyinya,

SERTIFIKAT

Dengan sumpah suci saya bersumpah telah menurunkan kepada Sasaki Kojiro tujuh metoda rahasia seni pedang Gaya Chujo berikut ini:
Secara terang-terangan - gaya kilat, gaya roda, gaya bulat, gaya perahu mengapung.
Secara rahasia - Berlian, Olah Batin, Tak Terhingga.
Dikeluarkan di Kampung Jokyoji, Usaka Demesne, Provinsi Echizen, pada bari…
bulan…
Kinemaki Jisai, murid Toda Seigen

Di atas secarik kertas yang agaknya ditambahkan kemudian, terdapat sebuah sajak.
Bulan yang memancarkan sinar
Ke air yang tiada
Dalam sumur yang belum digali
Menghasilkan manusia
Tanpa bayangan ataupun bentuk

Matahachi sadar bahwa ia memegang sertifikat yang diberikan kepada seorang murid yang telah mempelajari segala yang diajarkan gurunya, tetapi nama Kanemaki Jisai itu tak ada artinya sama sekali baginya. Ia pasti akan dapat mengenali nama Ito Yagoro, yang dengan nama Ittosai telah men­ciptakan gaya main pedang yang terkenal dan sangat dikagumi, tapi ia tidak tahu bahwa Jisai guru Ito. Ia pun tidak tahu bahwa Jisai seorang samurai yang baik sekali wataknya, yang telah menguasai Gaya Toda Seigen sejati dan telah mengundurkan diri ke sebuah kampung terpencil untuk menghabiskan masa tuanya sebagai orang tak dikenal, dan sesudah itu menurunkan Metoda Seigen hanya kepada beberapa murid pilihan.

Matahachi membaca kembali nama pertama itu. “Sasaki Kojiro ini pasti samurai yang terbunuh di Fushimi hari ini,” pikirnya. “Dia tentunya pemain pedang mahir yang patut mendapat hadiah surat keterangan untuk Gaya Chujo, apa pun macamnya gaya itu. Sungguh sayang dia mesti mati! Tapi aku jadi yakin sekarang. Betul sekali dugaanku. Dia tentunya ingin aku menyampaikan ini pada seseorang, barangkali orang yang berasal dari tempat kelahirannya.”

Macahachi membacakan doa pendek kepada sang Budha untuk Sasaki Kojiro, kemudian berjanji pada diri sendiri bahwa bagaimanapun ia akan melaksanakan misinya yang baru ini.

Untuk menghilangkan rasa dingin, ia menghidupkan api kembali, kemudian membaringkan diri di dekat perapian. Segera ia jatuh tertidur.

Dari kejauhan terdengar bunyi shakuhachi pendeta tua itu. Lagu sedih yang agaknya mencari-cari sesuatu dan menyeru pada seseorang terus mendayu-­dayu, sementara gelombang pedih mengalun di atas desir ladang.

Berkumpul Kembali di Osaka

LADANG itu diselimuti kabut kelabu, dan udara dingin pagi hari mengisyaratkan musim gugur sudah benar-benar dimulai. Bajing-bajing berkeliaran di mana-mana, dan di dapur tak berpintu pada rumah tak berpenghuni itu jejak-jejak rubah yang masih baru simpang siur di lantai.

Pendeta pengemis yang kembali dengan terhuyung-huyung sebelum mata­hari terbit membaringkan diri karena lelah di lantai kamar sepen. Tangannya masih menggenggam shakuhachi. Kimono dan jubahnya yang kotor basah oleh embun, dan di sana-sini dikotori rumput yang menempel selagi ia mengembara seperti orang hilang melewati malam. Ketika ia membuka matanya dan duduk, hidungnya mengerut, lubang hidung dan matanya membuka lebar, dan berguncanglah tubuhnya oleh bersin hebat. Namun ia tidak berusaha menghapus ingus yang mengucur dari hidung ke kumisnya yang tipis.

Ia duduk di sana beberapa menit, sebelum akhirnya teringat bahwa ia masih menyimpan sedikit sake sisa malam sebelumnya. Sambil menggumam sendiri ia berjalan menyusuri gang panjang ke kamar perapian di bagian belakang rumah itu. Di siang hari terdapat lebih banyak kamar di rumah itu daripada yang kelihatan waktu malam hari, tapi pendeta itu dapat menemukan jalannya tanpa kesulitan. Tetapi alangkah heran ia, karena guci sake sudah tidak ada di tempat-nya.

Sebagai gantinya ada seorang asing di dekat perapian, kepalanya ber­bantalkan satu lengan dan air liur menetes dari mulutnya. Ia tidur nyenyak. Maka jelaslah ke mana larinya sake itu.

Tentu saja bukan hanya sake yang hilang. Setelah pemeriksaan cepat, terbukti tak sedikit pun tertinggal bubur beras yang maksudnya untuk sarapan. Pendeta itu merah padam oleh amarah; tanpa sake ia masih tak apa-apa, tetapi nasi adalah soal hidup dan mati. Sambil memekik seru ditendangnya si penidur itu sekuat-kuatnya, tapi Matahachi hanya berkomat-­kamit sambil mengantuk, kemudian menarik tangan dari bawah badannya dan dengan malas mengangkat kepala.

“Kamu… kamu…!” gagap pendeta itu dan menendang sekali lagi.

“Apa pula ini?” teriak Matahachi. Urat-urat nadi menggelembung pada wajahnya yang mengantuk itu ketika ia melompat berdiri. “Jangan menen­dang macam itu!”

“Oh, tendangan saja belum cukup! Siapa bilang kamu boleh masuk rumah ini dan mencuri nasi dan sake-ku?”

“Oh, jadi nasi dan sake itu punyamu?”

“Tentu saja punyaku!”

“Maaf.”

“Maaf? Apa gunanya itu buatku?”

“Saya minta maaf.”

“Kamu mesti berbuat lebih dari itu!”

“Apa yang mesti saya lakukan?”

“Kembalikan nasi dan sake itu!”

“Ah! Dua-duanya sudah dalam perut saya dan sudah memperpanjang hidup saya satu malam. Tak bisa saya mengembalikannya sekarang!”

“Tapi aku mesti hidup juga, kan? Paling banyak yang kudapat dari keliling-keliling main musik di pintu gerbang orang banyak itu cuma sedikit beras atau beberapa tetes sake. Dungu kamu! Kaukira aku bisa berdiri saja diam-diam dan membiarkanmu mencuri makananku? Kuminta kembalikan barang itu!” Nada yang dipergunakannya meng­ajukan tuntutan yang tidak masuk akal itu penuh paksaan, dan suaranya bagi Matahachi terdengar seperti suara setan lapar yang langsung datang dari neraka.

“Janganlah begitu kikir,” kata Matahachi dengan sikap meremehkan. “Buat apa pula mesti jengkel hanya karena sedikit nasi dan kurang dari setengah guci sake kelas tiga.”

“Keledai kamu! Mungkin kamu menampik nasi sisa, tapi buatku itu makanan sehari-hidup sehari!” Pendeta itu menggeram dan mencengkeram pergelangan tangan Matahachi. “Takkan kulepaskan kamu begitu saja!”

“Jangan seperti orang sinting begitu!” bentak Matahachi. Ditariknya lengan-nya keras-keras sampai lepas dari cengkeraman, dan dicengkeramnya rambut orang tua yang sudah jarang itu, lain ia coba melontarkan orang itu dengan sentakan cepat. Tapi alangkah terkejutnya ia karena tubuh yang kelaparan itu tidak beranjak. Pendeta itu mencengkeram erat leher Matahachi dan tak hendak melepaskannya.

“Bajingan kamu!” salak Matahachi sambil menaksir kekuatan lawannya.

Tapi sudah terlambat. Pendeta itu menghujamkan kakinya mantap­-mantap ke lantai, dan dengan sekali tolak saja Matahachi pun terguling. Suatu gerakan cekatan, dengan menggunakan kekuatan Matahachi sendiri. Dan Matahachi pun terus berguling, sampai akhirnya berdebam menghantam dinding plester di sisi luar kamar sebelah. Karena tiang-tiang dan galar-galar sudah lapuk, sebagian besar dinding itu runtuh menghujani Matahachi dengan kotoran. Sambil meludah semulut penuh Matahachi bangkit berdiri, menghunus pedang, dan menyerang orang tua itu.

Si pendeta sudah siap menangkis serangan dengan shakuhachi-nya, tetapi belum-belum ia sudah tersengal-sengal mencari udara.

Nah. lihat sekarang akibat ulahmu sendiri!” pekik Matahachi sambil mengayun pedang. Ayunan pedang tidak mengenai sasaran, tapi terus juga ia mengayun tanpa kenal ampun dan tidak memberikan kesempatan kepada pendeta itu untuk memperoleh papas kembali. Muka orang tua itu tampak seperti hantu. Berkali-kali ia melompat mundur. Lompatan itu tidak melenting. dan ia rupanya sudah hampir pingsan. Setiap kali ia mengelak, terdengar teriakan sedih, seperti rengek orang yang sedang sekarat. Namun karena ia terus-menerus beralih kedudukan, maka tak mungkin Matahachi menebaskan pedangnya.

Akhirnya Matahachi celaka oleh kecerobohannya sendiri. Ketika pendeta itu melompat ke kebun, Matahachi mengikutinya dengan membabi-buta, namun begitu kakinya menginjak lantai beranda yang lapuk, papan-papan berderak dan patah. Matahachi jatuh telentang, sebelah kakinya terayun­-ayun masuk ke sebuah lubang.

Si pendeta melompat menyerang. Ditangkapnya bagian depan kimono Matahachi dan dipukulinya kepala Matahachi, pelipis dan tubuhnya-mana raja yang dapat dikenai shakuhachi-nya. Dan setiap kali menghantam, ia menggeram keras. Karena sebelah kakinya terjerat, Matahachi tak berdaya. Kepalanya tampak membengkak sampai sebesar tong, tapi beruntunglah ia karena pada detik itu keping-keping emas dan perak mulai berjatuhan dari kimononya. Setiap jatuhnya pukulan diikuti bunyi gemerincing mata uang yang jatuh ke lantai.

“Apa itu?” seru si pendeta tersengal-sengal, lalu melepaskan korbannya. Matahachi segera membebaskan kakinya dan melompat meloloskan diri, tapi waktu itu orang tua itu sudah tidak marah lagi. Biarpun tinjunya sakit dan napasnya sesak, tak dapat ia tidak menatap uang itu dengan heran.

Sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut, Matahachi berseru, “Lihat tidak, orang tua sinting? Tak perlu kamu naik darah cuma karena nasi dan sake sedikit saja. Uang bisa kubuang-buang! Ambillah kalau kau mau! Tapi sebagai gantinya kau mesti menerima kembali pukulan yang sudah kauberikan padaku. Keluarkan kepalamu yang tolol itu, dan akan kubayar kamu dengan bunganya untuk ganti nasi dan minumanmu itu!”

Si pendeta bukannya menjawab cacian itu, melainkan meletakkan wajahnya ke lantai dan mulai menangis. Kemarahan Matahachi mereda sedikit, tapi katanya berbisa, “Coba lihat dirimu itu! Begitu melihat uang, terus saja berantakan.”

“Oh, sungguh memalukan diriku!” lolong sang pendeta. “Kenapa aku jadi begini tolol!” Seperti halnya kekuatan yang baru saja dipakainya untuk berkelahi, sikap mencela diri sendiri itu lebih hebat daripada yang dimiliki kebanyakan orang. “Sungguh aku keledai!” sambungnya. “Apa belum juga sadar aku akan diriku? Pada umur ini? Juga sesudah terbuang dari masyarakat dan tenggelam sedalam-dalamnya?”

Ia menoleh ke tiang hitam di sampingnya, dan mulailah ia membentur­benturkan kepalanya pada tiang itu. Rintihnya, “Kenapa aku memainkan shakuhachi ini? Apa untuk mengusir khayalanku, kebodohanku, kegairahanku, sikapku yang mementingkan diri sendiri, dan nafsu-nafsu jahatku lewat kelima lubangnya? Bagaimana mungkin aku mengizinkan diriku terlibat dalam pertarungan hidup-mati hanya demi secuil makanan dan minuman? Dan dengan orang yang pantas menjadi anakku pula?”

Belum pernah Matahachi melihat orang seperti ini. Orang tua itu menangis beberapa waktu lamanya, kemudian membenturkan kepala lagi ke tiang. Ia rupanya bermaksud menghantamkan dahinya sampai belah menjadi dua. Sampai sedemikian jauh, hukuman yang dijatuhkannya pada diri sendiri lebih banyak jumlahnya daripada pukulan yang dijatuhkannya kepada Matahachi. Sebentar kemudian darah mulai mengalir dari keningnya.

Matahachi merasa berkewajiban mencegahnya menyiksa diri lebih lanjut. “Hai! katanya, “Hentikan! Apa-apaan kamu ini.”

“Biarkan aku sendiri,” pinta si pendeta.

“Tapi ada apa kau ini?”

“Tak ada apa-apa.”

“Pasti ada. Apa kau sakit?”

“Tidak.”

“Kalau begitu apa?”

“Aku muak dengan diriku. Aku mau memukul badanku yang jahat ini sampai mati dan menyuruh burung-burung gagak memakannya, tapi tak mau aku mati seperti orang bebal yang bodoh. Aku ingin kuat dan jujur seperti orang lain, sebelum aku membuang daging ini. Kehilangan kendali diri telah membuat diriku marah. Kupikir kau dapat menamakan ini pe­nyakit.”

Karena merasa kasihan kepadanya, Matahachi memungut uang yang jatuh itu dan mencoba memasukkan sebagian ke tangan si pendeta. “Sebagian karena kesalahanku,” katanya dengan nada minta maaf. “Kuberikan ini padamu, dan barangkali kamu akan memaafkan aku.”

“Aku tak ingin!” teriak pendeta sambil cepat menarik tangannya. “Aku tak perlu uang. Aku tak perlu uang, kataku!” Meskipun sebelum itu telah meledak kemarahannya gara-gara secuil bubur nasi, sekarang ia pandang uang itu dengan penuh kejijikan. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan hebat, ia membalikkan badan dan masih terus berlutut.

“Aneh juga kau ini,” kata Matahachi.

“Kukira tidak.”

“Tapi kau berbuat aneh.”

“Tak usahlah kamu kuatir.”

“Kau rupanya dari provinsi barat, ya? Kentara dari tekanan katamu.”

Kukira begitu. Aku lahir di Himeji.”

“Betul? Aku dari sana juga—Mimasaka.”

“Mimasaka?” ulang si pendeta sambil menatap Matahachi. “Di mana di Mimasaka?

Kampung Yoshino. Tepatnya Miyamoto.”

Orang tua itu tampak santai. Sambil menundukkan diri di beranda, katanya tenang, “Miyamoto? Oh, itu nama yang membawa kenang-kenangan. Pernah aku bertugas jaga di Benteng Hinagura. Aku kenal betul daerah itu.”

“Kalau begitu, Anda pernah jadi samurai di tanah perdikan Himeji?”

“Ya. Kukira sekarang tampangku sudah tak pantas lagi, tapi waktu itu aku menjadi semacam prajurit. Namaku Aoki Tan…”

Sampai di situ mendadak ia berhenti, kemudian tiba-tiba pula melanjut­kan. “Ah, itu tidak betul. Aku cuma mengarang-ngarang. Lupakan bahwa aku pernah mengatakan sesuatu.” Ia berdiri, katanya, “Aku akan pergi ke kota, main shakuhachi, dan mencari sesuap nasi.” Sampai di situ ia mem­balikkan badan dan berjalan cepat menuju ladang miskantus.

Sesudah orang tua itu pergi, mulailah Matahachi berpikir-pikir, apakah benar sikapnya menawarkan uang yang berasal dari pundi-pundi samurai yang telah mati kepada pendeta itu? Tapi segera kemudian ia sudah dapat memecahkan dilema itu dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa mungkin tak ada salahnya meminjam uang itu sedikit, asalkan tidak banyak. “Kalau kusampaikan uang itu ke rumah orang yang mati itu seperti dimintanya,” demikian pikirnya, “aku pasti membutuhkan biaya, dan pilihan apa lagi yang ada padaku, kalau bukan mengambilnya dari kantong yang kubawa ini?” Sikap membenarkan diri sendiri yang sederhana itu demikian menyenangkan, hingga semenjak hari itu mulailah ia meng­gunakan uang itu sedikit demi sedikit.

Tinggallah kini persoalan surat keterangan Sasaki Kojiro. Orang itu agaknya ronin, tapi tak mungkinkah misalnya ia bekerja pada seorang daimyo? Matahachi tidak menemukan jawaban atas soal dari manakah asal orang itu. Karena itu pula ia tak tahu ke mana harus membawa surat itu. Satu-satunya harapan, demikian diputuskannya, adalah menemukan guru pedang Kanemaki Jisai, yang pasti tahu segala sesuatu tentang Sasaki.

Dalam perjalanan dari Fushimi ke Osaka, di tiap warung teh, rumah makan, dan rumah penginapan, Matahachi bertanya apakah ada yang mengetahui tentang Jisai. Semua jawaban yang diperolehnya negatif. Bahkan tambahan keterangan bahwa Jisai murid yang diakui Toda Seigen tidak mendatangkan tanggapan.

Akhirnya seorang samurai yang kebetulan dikenalnya di jalan memberikan titik terang. “Saya pernah mendengar tentang Jisai, tapi kalau dia masih hidup, pasti dia sudah sangat tua. Ada yang bilang dia pergi ke timur dan menjadi pertapa di sebuah desa di Kozuke atau di tempat lain lagi. Kalau Anda ingin tahu lebih banyak tentang dia, Anda mesti pergi ke Puri Osaka dan bicara dengan orang yang namanya Tomita Mondonosho.”

Mondonosho agaknya salah seorang guru Hideyori dalam seni perang, dan orang yang memberikan keterangan kepada Matahachi merasa cukup yakin bahwa orang itu keluarga yang sama dengan Seigen.

Walaupun kecewa karena tidak terangnya petunjuk yang pertama di­dapatnya itu, Matahachi memutuskan untuk mengikutinya. Setibanya di Osaka, ia menyewa kamar di sebuah rumah penginapan murah di salah satu jalan ramai, dan segera sesudah beres ia bertanya pada pemilik rumah penginapan, apakah orang itu tahu orang yang bernama Tomita Mondonosho di Puri Osaka.

“Ya, saya sudah pernah mendengar nama itu,” jawab pemilik rumah penginapan. “Saya percaya dia cucu Toda Seigen. Dia bukan instruktur pribadi Yang Dipertuan Hideyori, tapi dia memang mengajarkan ilmu pedang pada sejumlah samurai di puri itu. Atau setidaknya pernah mengajarkannya. Saya pikir, boleh jadi dia sudah kembali ke Echizen beberapa tahun yang lalu. Ya, itulah yang dia lakukan.

“Anda bisa pergi ke Echizen dan mencari dia di sana, tapi tidak ada jaminan apakah dia masih ada di sana. Daripada mengadakan perjalanan begitu jauh hanya berpegangan dugaan, apa tidak lebih mudah menjumpai Ito Ittosai? Saya agak yakin dia mempelajari Gaya Chujo pada Jisai, sebelum mengembangkan gaya sendiri.”

Saran pemilik rumah penginapan itu tampaknya masuk akal, tapi ketika Matahachi mulai mencari Ittosai, ia menemukan dirinya berada di jalan buntu lain lagi. Sejauh yang dapat diketahuinya, orang itu sampai baru-­baru ini masih tinggal di sebuah gubuk kecil di Shirakawa di sebelah timur Kyoto, tapi sekarang sudah tidak tinggal lagi di sana, dan beberapa waktu lamanya sudah tidak kelihatan lagi di Kyoto atau Osaka.

Tak lama kemudian tekad Matahachi pun merosot, dan ia bermaksud meninggalkan seluruh urusan itu. Kesibukan dan kegairahan kota itu menyulut kembali ambisinya dan menggelitik jiwa mudanya. Di sebuah kota yang terbuka lebar seperti ini, kenapa pula ia menghabiskan waktu dengan mencari keluarga orang mati? Banyak hal dapat dilakukan di sini. Orang mencari para pemuda seperti dirinya. Di Puri Fushimi, para pejabat secara tulus-ikhlas melaksanakan kebijaksanaan pemerintah Tokugawa. Namun di sini para jenderal yang menguasai Puri Osaka mencari ronin untuk dijadikan tentara. Tentu saja tidak secara terang-terangan, namun cukup terbuka, hingga sudah umum diketahui ronin lebih diterima dan dapat hidup lebih baik di sini daripada di kota puri mana pun di negeri ini.

Desas-desus sembarangan beredar di antara penduduk kota. Dikatakan misalnya, Hideyori diam-diam menyediakan dana untuk para daimyo pelarian seperti Goto Matabei, Sanada Yukimura, Akashi Kamon, dan bahkan Chosokabe Morichika yang berbahaya, yang sekarang tinggal di sebuah rumah sewaan di jalan sempit di luar kota.

Sekalipun masih muda, Chosokabe telah mencukur kepalanya seperti pendeta Budha dan mengubah namanya menjadi Ichimusai “Manusia dengan impian tunggal”. Ini suatu pernyataan bahwa peristiwa dunia yang mengambang ini tidak lagi menjadi perhatiannya, dan secara pura-­pura ia menghabiskan waktu dengan tingkah laku sembrono yang perlente. Namun umum diketahui bahwa ada tujuh atau delapan ratus ronin be­kerja padanya, semuanya teguh dalam keyakinan bahwa apabila tiba saat­nva, ia akan bangkit membela nama baik mendiang Hideyoshi yang pernah bersikap dermawan kepadanya. Didesas-desuskan bahwa biaya hi­dupnya, termasuk gaji untuk para ronin-nya, semua keluar dari kantong pribadi Hideyori.

Dua bulan lamanya Matahachi berkeliaran di Osaka, dan makin lama ia makin yakin bahwa inilah tempat baginya. Di sinilah ia akan meraih kesempatan menuju sukses. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun ia merasa seberani dan setak-kenal-takut seperti ketika berangkat perang dulu. la merasa sehat dan hidup kembali, tak gentar oleh semakin menipisnya uang samurai yang sudah mati itu, karena ia percaya bahwa akhirnya nasib baik telah beralih kepadanya. Setiap hari baru adalah kebahagiaan, ke­gembiraan. Ia yakin bahwa ia akan terantuk pada sebuah batu dan muncul bertimbun uang. Keberuntungan sedang mencarinya.

Pakaian baru! Itulah yang dia perlukan. Ia pun membeli pakaian lengkap yang baru, dan dengan hati-hati memilih bahan yang cocok untuk cuaca di musim dingin yang sudah mendekat. Kemudian, karena menurut anggap­annya hidup di sebuah rumah penginapan terlampau mahal, ia menyewa sebuah kamar kecil milik seorang tukang sadel di sekitar Parit Junkei dan mulai makan di luar. Ia melihat apa yang ingin dilihatnya, dan pulang apabila ingin pulang. Sering ia pergi sepanjang malam, apabila semangat menghendakinya. Sambil hidup bersenang-senang, ia terus mencari seorang teman, seorang penghubung yang akan mengantarkannya ke kedudukan dengan gaji besar pada seorang daimyo besar.

Sebetulnya Matahachi perlu mengendalikan diri untuk tetap hidup dalam batas-batas kemampuannya. Tetapi ia merasa sudah berlaku lebih baik daripada kapan pun sebelumnya. Berulang-ulang ia merasa tergugah oleh cerita tentang samurai ini atau itu yang belum lama masih menyeret kotoran dari wilayah pembangunan, namun sekarang sudah tampak me­ngendarai kuda dengan megahnya, melintasi kota bersama dua puluh pegawai dan seekor kuda cadangan.

Pada waktu lain ia merasakan sisa-sisa patah had yang dialaminya. “Dunia ini dinding batu,” demikian pikirnya. “Dan batu-batu itu sudah disusun demikian rapat, hingga tak ada satu pun celah yang dapat di­lewatinya.” Namun kekecewaan ini selalu menyingkir. “Apa yang kubicarakan ini? Memang begitulah kelihatannya, kalau kita masih belum mendapat kesempatan. Selamanya sukar masuknya, tapi sekali kutemukan peluang…”

Ketika ia bertanya kepada pembuat sadel apakah ia tahu kedudukan seperti itu, tukang sadel menjawab dengan penuh optimisme, “Kamu muda dan kuat. Kalau kamu mengajukan permohonan di puri, pasti kamu mendapat tempat.”

Tetapi menemukan pekerjaan yang tepat tidaklah semudah itu. Bulan terakhir tahun itu Matahachi masih juga menganggur, sedang uangnya tinggal separuh.

Di bawah sinar matahari musim dingin pada bulan yang paling sibuk tahun itu, mengherankan juga gerombolan orang yang berbondong-bondong menelusuri jalan tampak tidak terburu-buru. Di pusat kota ada bidang­bidang tanah kosong, dan pagi-pagi benar rumput di situ putih oleh embun beku. Semakin siang jalan-jalan semakin berlumpur, dan suasana musim dingin terusir oleh suara para pedagang yang menjajakan barang dagangannya diiringi suara gong bertalu-talu dan genderang berdentum­dentum. Tujuh atau delapan kios yang dikelilingi tikar jerami lusuh, untuk mencegah orang luar menengok ke dalam, berusaha memikat orang banyak dengan bendera-bendera kertas dan lembing yang dihias aneka warna bulu untuk mereklamekan pertunjukan yang sedang diadakan di dalam. Tukang-­tukang teriak berlomba dengan suara lantang memikat orang lewat yang iseng untuk memasuki teater mereka yang rapuh.

Bau kecap murah mengambang di udara. Lelaki-lelaki dengan kaki berbulu dan mulut penuh makanan meringkik seperti kuda di toko-toko, dan waktu senja wanita-wanita berbaju lengan panjang dan berbedak tersenyum-senyum tolol seperti biri-biri, berjalan bergerombol-gerombol sambil mengunyah penganan kacang panggang.

Pada suatu petang terjadi perkelahian antara para pembeli sebuah warung sake yang menempatkan beberapa bangku di tepi jalan. Belum lagi dapat dikatakan siapa yang menang, orang-orang yang berkelahi itu sudah balik kanan dan angkat kaki, meninggalkan jejak tetesan darah.

“Terima kasih, Tuan,” kata penjual sake kepada Matahachi. Berkat penampilan Matahachi yang menyilaukan, orang-orang kota yang sedang berkelahi itu melarikan diri. “Kalau Tuan tak ada di sini, pasti mereka sudah bikin pecah semua pinggan saya.” Orang itu membungkuk beberapa kali, kemudian menghidangkan satu guci sake lagi pada Matahachi. Me­nurutnya sake itu sudah dihangatkan sampai pada suhu yang tepat. Ia menghidangkan juga sejumlah makanan kecil sebagai tanda penghargaan.

Matahachi merasa puas dengan dirinya. Percekcokan meletus antara dua pekerja, dan ketika ia memandang marah kepada mereka dan mengancam akan membunuh keduanya kalau mereka menimbulkan kerusuhan di kios itu, mereka melarikan diri.

“Banyak sekali orang sekitar sini, ya?” ucapnya bersahabat.

Ini akhir tahun, Tuan. Mereka tinggal sebentar di sini, kemudian pergi lagi. Tapi ada saja yang datang lagi.”

Bagus sekali cuaca bertahan begini.”

Wajah Matahachi merah oleh minuman. Ketika mengangkat mangkuk, ingatlah ia akan sumpahnya untuk berhenti minum sebelum ia pergi bekerja di Fushimi, dan samar-samar sadarlah ia betapa ia mulai minum lagi. “Ah, tapi apa salahnya?” pikirnya. “Kalau orang lelaki tak boleh minum sekali-sekali…”

Satu lagi, kawan,” katanya keras.

Orang yang duduk diam di bangku di samping Matahachi juga seorang ronin. Pedangnya yang panjang dan pendek tampak mengesankan. Orang­orang kota cenderung menyingkir, sekalipun ia tidak mengenakan jubah penutup kimono; sekitar leher kimono itu sangat kotor.

“Hei, bawakan juga aku satu, dan cepat!” serunya. Sambil mengganjalkan kaki kanan ke lutut kirinya, ia memperhatikan Matahachi dari bawah ke atas. Ketika matanya sampai pada wajah Matahachi, ia pun tersenyum, katanya, “Halo.”

“Halo,” kata Matahachi. “Boleh coba ini punyaku, sementara menunggu punyamu dihangatkan.”

Terima kasih,” kata orang itu sambil mengangkat mangkuk. “Sungguh memalu-kan menjadi pemabuk, ya? Kulihat kamu duduk di sini menghadapi sake. Bau harumnya mengambang di udara dan menarik-narikku kemari, sepertinya lengan bajuku ini yang ditariknya.” Ia mengosongkan isi mangkuk­nva sekali teguk.

Matahachi suka melihat gayanya. Orang itu kelihatan bersahabat, dan ada sesuatu yang memikat dalam dirinya. Ia biasa minum juga. Beberapa menit kemudian ia sudah menenggak lima guci, sedangkan Matahachi baru menghabiskan satu guci. Dan orang itu masih juga sadar.

“Berapa banyak biasanya kau minum?” tanya Matahachi.

“Ah, tak tahulah aku,” jawab orang itu asal saja. “Sepuluh atau dua belas guci, kalau sedang mau.”

Akhirnya mulailah mereka bicara tentang situasi politik, dan sebentar kemudian ronin itu mengangkat bahu, dan katanya, “Siapa pula Ieyasu itu? Omong kosong saja kalau dia bisa mengabaikan tuntutan Hideyori dan ke sana kemari menyebut dirinya ‘Maharaja Agung’. Tanpa Honda Masazumi dan beberapa pendukung lamanya yang lain, apanya yang tinggal? Cuma darah dingin, kelicikan, dan sedikit saja kemampuan politik—maksudku yang dipunyainya itu cuma bakat politik tertentu, yang biasanya tak ada pada orang-orang militer.

“Secara pribadi aku mengharap Ishida Mitsunari yang menang di Sekigahara, tapi dia terlalu berjiwa besar untuk mengorganisir para daimyo, sedangkan statusnya tidak cukup tinggi.” Sesudah menyatakan penilaiannya itu, tiba-tiba la bertanya, “Kalau nanti Osaka bentrok dengan Edo lagi, pihak mana yang akan kaupilih?”

Disertai sikap ragu-ragu, Matahachi menjawab, “Osaka.”

“Bagus!” Orang itu berdiri memegang guci sake. “Engkau seorang dari kami. Mari kita minum! Dari daerah mana… oh, tapi kukira tak boleh aku menanyakan itu, sebelum aku memberitahukan siapa diriku. Namaku Akakabe Yasoma. Aku dari Gamo. Barangkali kau pernah mendengar tentang Ban Dan’emon? Aku sahabatnya. Kami akan berkumpul lagi hari­hari ini. Aku juga teman Susukida Hayato Kanesuke, jenderal ternama dari Puri Osaka. Kami pernah mengadakan perjalanan bersama ketika dia masih menjadi ronin. Aku juga pernah bertemu dengan Ono Shurinosuke tiga atau empat kali, tapi menurutku dia terlalu murung, walaupun dia memang memiliki lebih banyak pengaruh politik daripada Kanesuke.”

Ia mundur, diam sebentar, karena agaknya menimbang kembali apakah ia berbicara terlalu banyak, kemudian tanyanya, “Kau sendiri siapa?”

Matahachi memang tidak mempercayai segala yang dikatakan orang itu, namun ia merasa bahwa untuk sementara ia dipaksa kalah pengaruh.

“Apa kau tahu Toda Seigen?” tanyanya. “Orang yang menemukan Gaya Tomita?”

“Aku pernah mendengar nama itu.”

“Nah, guruku pertapa Kanemaki Jisai yang agung dan tak mementingkan diri sendiri, yang telah menerima Gaya Tomita sejati dari Seigen dan kemudian mengem-bangkan Gaya Chujo.”

“Kalau begitu, kau ini tentunya pemain pedang tulen.”

“Betul,” jawab Matahachi. Dan ia mulai menikmati permainan itu.

“Percaya tidak,” kata Yasoma, “sebetulnya aku sudah dari tadi menyangka begitu. Tubuhmu tampak terdisiplin, dan terasa ada kemampuan padamu. Siapa namamu waktu kau mendapat latihan di bawah pimpinan Jisai? Maksudku, kalau pantas aku menanyakan hal ini.”

“Namaku Sasaki Kojiro,” kata Matahachi dengan wajah sungguh-sungguh. “Ito Yagoro, pencipta Gaya Itto, adalah murid senior dari sekolah yang sama itu.”

“Apa betul begitu?” kata Yasoma heran.

Untuk sesaat yang penuh kegelisahan, Matahachi terpikir akan menarik kembali segala keterangannya itu, tapi sudah terlambat. Yasoma sudah berlutut di tanah dan membungkuk dalam. Tak ada lagi jalan kembali.

“Maafkan saya,” katanya beberapa kali. “Saya sudah sering mendengar Sasaki Kojiro pemain pedang yang baik sekali, dan saya harus minta maaf karena tadi tidak berbicara lebih sopan. Tapi saya memang tak bisa tahu tadi, siapa sesungguhnya Anda.”

Matahachi lega luar biasa. Sekiranya Yasoma kebetulan teman atau kenalan Kojiro, ia terpaksa berkelahi demi hidupnya.

“Tak perlu engkau membungkuk seperti itu,” kata Matahachi dengan murah hati. “Kalau kau berkeras mengambil sikap resmi, tak akan dapat kita bicara sebagai teman.”

“Tapi Anda tentunya tersinggung oleh bualan saya tadi itu.”

“Kenapa? Aku tak punya status dan kedudukan khusus. Aku cuma pemuda yang tak banyak kenal dengan dunia ini.”

“Ya, tapi Anda pemain pedang besar. Sudah banyak kali saya mendengar nama Anda. Sekarang, sesudah saya pikirkan lagi, jelaslah buat saya, Andalah Sasaki Kojiro.” Ia memandang Matahachi baik-baik. “Tapi saya pikir tidak betul kalau Anda tak punya kedudukan resmi.”

Matahachi menjawab polos, “Yah, aku telah membaktikan diriku dengan tulus ikhlas kepada pedangku, hingga tak banyak waktuku untuk bersahabat dengan orang banyak.”

“Oh, begitu. Apakah itu berarti Anda tidak berminat menemukan ke­dudukan yang baik?”

“Tidak, aku selalu berpikir bahwa pada suatu hari aku akan terpaksa mencari seorang tuan untuk kuabdi. Tapi sekarang belum sampai aku pada ritik itu.”

“Oh, soal itu gampang sekali. Anda punya nama baik yang didukung pedang, dan itulah yang membuat Anda berbeda. Tentu saja, kalau Anda tetap diam, berapa banyak pun bakat yang Anda punyai, tak seorang pun akan mencari Anda. Cobalah pikir, saya bahkan tak tahu siapa Anda, sebelum Anda menyatakan pada saya. Saya betul-betul terkejut.”

Yasoma berhenti, kemudian katanya, “Sekiranya Anda menghendaki saya membantu, saya akan senang melakukannya. Terus terang, saya sudah minta teman saya, Susukida Kanesuke, mencarikan kedudukan buat saya juga. Saya ingin dimasukkan Puri Osaka, biarpun barangkali gajinya tidak banyak. Saya yakin Kanesuke akan senang merekomendasikan orang seperti Anda kepada pihak berwenang di sana. Kalau Anda suka, dengan senang hati saya akan bicara dengannya.”

Sementara Yasoma bertambah gembira dengan prospek-prospek yang dihadapinya, Matahachi sendiri tak dapat menghindari perasaan bahwa ia telah tercebur langsung ke dalam suatu kancah, dan tidak akan mudah ia keluar dari sana. Ia memang ingin sekali mendapat pekerjaan, tapi ia takut membuat kesalahan kalau membawakan diri sebagal Sasaki Kojiro. Sebaliknya, kalau ia mengatakan bahwa ia Hon’iden Matahachi, seorang samurai kampungan dari Mimasaka, Yasoma tak akan menawarkan bantuan kepadanya. Barangkali Yasoma akan memandang rendah kepadanya. Tak bisa dihindari nama Sasaki Kojiro telah menimbulkan kesan kuat.

Tapi…. adakah sesuatu yang benar-benar perlu dikuatirkan? Kojiro yang sebenarnya sudah mati, dan Matahachi satu-satunya orang yang mengetahui hal itu, karena ia yang menyimpan surat keterangan yang merupakan satu­-satunva pengenal orang yang telah mati itu. Tanpa surat keterangan itu tidak ada jalan bagi penguasa untuk mengetahui siapakah si ronin itu. Dan kecil kemungkinan mereka akan bersusah payah melakukan penyelidikan. Lagi pula, siapakah orang itu, kalau bukan seorang “mata-mata” yang telah dilempari batu sampai matt? Maka, sementara Matahachi sedikit-sedikit meyakinkan dirinya bahwa rahasianya itu tidak akan diketahui orang, ter­bentuklah dengan pasti rencana berani dalam kepalanya: ia akan menjadi Sasaki Kojiro. Semenjak saat ini.

“Mana rekeningnya,” serunya sambil mengeluarkan beberapa mata uang dari pundi-pundinya.

Matahachi bangkit akan meninggalkan tempat itu, dan Yasoma jadi bingung, ujarnya, “Bagaimana dengan usul saya itu?”

“Oh,” jawab Matahachi, “aku akan sangat berterima kasih kalau kau mau bicara dengan temanmu itu atas namaku, tapi kita tak dapat mem­bicarakan soal macam itu di sini. Mari kita pergi ke tempat lain yang tenang, di mana kita dapat tinggal berdua saja.”

“Oh, tentu, tentu,” kata Yasoma yang kelihatan lega sekali. Agaknya me­nurutnya wajar sekali, kalau Matahachi membayar rekeningnya juga.

Segera kemudian mereka sudah berada di sebuah daerah lain, beberapa jauh dari jalan-jalan utama itu.

Matahachi semula bermaksud membawa teman yang baru ditemukannya itu ke sebuah tempat minum yang mentereng, tapi Yasoma menyarankan untuk pergi ke tempat lain yang lebih murah dan lebih menarik. Sambil menyanyikan puji-pujian pada daerah lampu merah, ia membawa Matahachi ke daerah yang supaya enak disebut Kota Pendeta Wanita. Kata orang, dan ini cuma sedikit saja dibesar-besarkan, di sana terdapat seribu rumah hiburan dengan perdagangan yang demikian berkembang, hingga dalam satu malam saja dihabiskan seratus barel minyak lampu. Matahachi semula sedikit enggan, tapi segera ia tertarik oleh kegembiraan suasana di situ.

Tidak jauh dari sana terdapat parit kuil yang biasa dialiri air banjiran dari teluk. Kalau orang memperhatikan dengan saksama, terlihat kutu ikan dan kepiting sungai yang merayap ke sana kemari di bawah jendela-jendela menonjol dan lentera-lentera merah. Matahachi memang memperhatikan baik-baik, dan akhirnya ia pun merasa sedikit kurang enak, karena keduanya itu mengingatkannya pada kalajengking pembawa maut.

Daerah itu sebagian besar dihuni oleh perempuan yang tebal pupurnya. Di antara mereka sekali-sekali memang tampak wajah yang manis, tapi yang terbanyak kelihatan sudah berumur lebih dari empat puluh tahun. Perempuan­perempuan ini biasa mengarungi jalan-jalan, yang meskipun dengan mata muram, kepala terbungkus kain penolak dingin, dan gigi yang sudah hitam, tetap mencoba dengan lesunya menggelitik hati lelaki yang berkumpul di sana.

“Banyak juga mereka,” kata Matahachi mengeluh.

“Sudah saya katakan tadi,” jawab Yasoma, bersusah payah membela para wanita itu. “Dan mereka ini lebih baik daripada pelayan warung teh atau gadis penyanyi di rumah sebelah yang kemungkinan mengawani Anda.

Orang cenderung menolak gagasan tentang penjualan seks, tapi kalau kita lewatkan satu malam di musim dingin dengan seorang dari mereka dan bicara dengannya tentang keluarganya dan sebagainya, kemungkinan besar kita akan menemukan bahwa dia sama seperti wanita lain. Dan mereka tak dapat betul-betul dipersalahkan karena sudah menjadi sundal.

“Sebagian dari mereka pernah menjadi gundik shogun, dan banyak di antaranya yang ayahnya pernah menjadi pegawai daimyo yang sudah ke­hilangan kekuasaan. Ini terjadi pada abad-abad ketika Taira jatuh ke tangan Minamoto. Jadi, Anda akan melihat bahwa di dalam selokan dunia yang mengambang ini, banyak di antara sampah itu terdiri atas bunga-bunga yang sudah gugur.”

Mereka masuk sebuah rumah, dan Matahachi menyerahkan segalanya kepada Yasoma yang kelihatannya berpengalaman. Ia tahu bagaimana me­mesan sake dan menghadapi gadis-gadis. Ia betul-betul tanpa cela. Matahachi merasa pengalaman itu sangat menyenang-kan.

Mereka menginap di sana, namun pada tengah hari berikutnya Yasoma belum juga memperlihatkan kelelahan. Matahachi merasa dalam batas-batas tertentu ia telah mendapat ganti dari perlakuan terhadapnya ketika ia digusur ke kamar belakang di Yomogi itu. Tetapi ia mulai merasa lunglai.

Akhirnya ia mengaku sudah cukup banyak minum. Katanya, “Aku tak mau lagi minum. Ayo kita pergi.”

Tapi Yasoma tak hendak pergi. “Tinggallah dengan saya sampai malam,” katanya.

“Ada apa?”

“Saya punya janji menemui Susukida Kanesuke. Terlalu pagi sekarang ini, kalau kita pergi ke rumahnya, dan lagi tak bisa saya membicarakan keadaan Anda sebelum saya mendapat gagasan yang lebih baik tentang apa yang Anda kehendaki.”

“Aku tak akan minta upah terlalu besar sebagai permulaan.”

“Tak ada alasan menjual diri terlalu murah bagi Anda. Seorang samurai sekaliber Anda ini dapat menerima jumlah berapa saja yang Anda sebut. Kalau Anda mengatakan bersedia menerima kedudukan seperti dulu, berarti Anda merendahkan diri sendiri. Bagaimana kalau saya katakan kepadanya bahwa Anda menginginkan upah dua ribu lima ratus gantang? Seorang samurai yang yakin dirinya baik, selalu dibayar dan diperlakukan lebih baik. Anda tak boleh memberikan kesan bahwa Anda puas dengan jumlah berapapun.”

Sementara malam datang, jalan-jalan yang terletak di dalam bayangan besar Puri Osaka itu cepat menjadi gelap. Sesudah meninggalkan bordil itu, Matahachi dan Yasoma pergi melintasi kota, menuju salah satu wilayah pemukiman samurai yang lebih eksklusif. Mereka berdiri membelakangi parit, sementara angin dingin terusir akibat sake yang telah mereka masukkan he dalam tubuh sepanjang hari itu.

“Di sana rumah Susukida,” kata Yasoma.

“Yang gerbangnya pakai atap kurung itu?”

“Bukan, rumah sudut di sampingnya itu.”

“Hmm, besar, ya?”

“Kanesuke sudah dapat nama. Sebelum umur sekitar tiga puluh, tak seorang pun pernah mendengar tentangnya, tapi sekarang…”

Matahachi berpura-pura tidak mencurahkan perhatian pada apa yang dikatakan Yasoma. Bukannya ia tidak percaya. Sebaliknya, ia sudah demikian bulat mempercayai Yasoma, hingga ia tidak lagi mengajukan pertanyaan tentang apa yang dikatakan orang itu. Namun ia merasa harus tetap acuh tak acuh. Sementara memandang rumah-rumah semayam para daimyo yang mengitari purl besar itu, semangat mudanya yang mentah berkata, “Aku pun akan tinggal di tempat seperti itu—tak lama lagi.”

“Sekarang,” kata Yasoma, “saya akan bertemu dengan Kanesuke dan bicara dengannya supaya dia mempekerjakan Anda. Tapi sebelum itu, bagaimana dengan soal uang?”

“Oh, tentu,” kata Matahachi, sadar bahwa suap memang umum. Ketika mengeluarkan pundi-pundi dari dadanya, tahulah ia bahwa isinya sudah susut sampai sekitar sepertiga dari jumlah semula. Sambil mengeluarkan seluruh isinya, ia berkata, “Hanya ini yang kupunyai. Apa ini cukup?”

“Oh, tentu, cukup sekali.”

“Apa tak perlu kau membungkusnya?”

“Tidak, tidak. Kanesuke bukan satu-satunya orang di tempat ini yang menerima bayaran karena mencarikan kedudukan untuk seseorang. Semua orang melakukannya, dan sangat terbuka. Tak perlu malu.”

Matahachi mengambil kembali sebagian kecil dari uang tunai itu, tapi sesudah menyerahkan selebihnya, mulailah ia merasa tidak tenang. Ketika Yasoma pergi, ia mengikuti beberapa langkah. “Usahakan sebaik-baiknya,” mohonnya.

“Jangan kuatir. Kalau kelihatannya ada kesulitan, saya cuma harus menyimpan kembali uang ini dan mengembalikannya pada Anda. Dia bukan satu-satunya orang berpengaruh di Osaka. Dengan mudah saya dapat minta bantuan pada Ono atau Goto. Saya punya banyak koneksi.”

“Kapan aku mendapat jawaban?”

“Kita lihat nanti. Anda bisa menanti saya, tapi tentunya Anda tak hendak berdiri berangin-angin di sini, kan? Nanti orang-orang bisa curiga Anda akan melakukan sesuatu yang buruk. Mari kita ketemu lagi besok.”

“Di mana?”

“Datanglah ke tempat kosong, tempat orang mengadakan pertunjukan-­pertunjukan tambahan itu.”

“Baik.”

“Yang paling baik kalau Anda menanti di warung sake tempat kita pertama kali bertemu.”

Sesudah menetapkan waktu pertemuan, Yasoma melambaikan tangan dan berjalan gagah melintasi gerbang rumah persemayaman itu sambil mengayunkan bahunya, tanpa menunjukkan sedikit pun keraguan. Karena sudah terkesan, Matahachi merasa Yasoma tentunya sudah mengenal Kanesuke semenjak zaman ia kurang makmur. Keyakinan betul-betul sudah me­lingkupinya. Malam itu ia bermimpi tentang masa depannya yang me­nyenangkan.

Pada waktu yang ditentukan, Matahachi berjalan melintasi udara beku yang sedang mencair di tempat terbuka itu. Seperti hari sebelumnya, angin terasa dingin dan banyak orang di sana. Ia menanti sampai matahari terbenam, tapi tak melihat tanda-tanda Akakabe Yasoma.

Hari sesudahnya Matahachi pergi lagi ke sana. “Tentunya ada yang menahannya,” pikirnya bermurah hati, sambil menatap wajah orang banyak berlalu. “Dia pasti datang hari ini.” Tapi sekali lagi matahari tenggelam. Yasoma tetap tak tampak.

Hari ketiga, Matahachi mengatakan pada si penjual sake dengan agak malu, “Saya di sini lagi.”

‘Anda menanti seseorang?”

“Ya, saya berjanji bertemu dengan orang yang namanya Akakabe Yasoma. Saya jumpa dengan dia hari itu.” Matahachi lalu menjelaskan keadaannya sejelas-jelasnya.

“Si bajingan itu?” sengal penjual sake. “Jadi, dia mengatakan pada Anda akan mencarikan kedudukan yang baik dan kemudian mencuri uang Anda?”

“Dia bukan mencurinya. Saya berikan uang kepadanya untuk diberikan kepada orang yang namanya Susukida Kanesuke. Saya menunggu dia di sini untuk mengetahui hasilnya.”

“Sungguh malang Anda! Anda bisa menunggu seratus tahun, tapi saya berani mengatakan, Anda tak akan melihatnya lagi.”

“A-apa? Kenapa Anda berkata begitu?”

“Oh, dia itu bajingan yang terkenal jahat! Daerah ini penuh benalu macam dia. Kalau mereka melihat orang yang tampak sedikit polos, mereka pun menerkamnya. Tadinya saya mau memperingatkan Anda, tapi tak ingin saya ikut campur. Saya pikir Anda akan tahu dari cara dia memandang dan bertindak, macam apa wataknya. Sekarang Anda sudah telanjur kehilangan uang. Sayang sekali!”

Orang itu bersimpati sekali pada Matahachi. Ia mencoba meyakinkan Matahachi bahwa tidak memalukan ditipu pencuri-pencuri yang beroperasi di sana. Namun sesungguhnya bukan rasa malu itu yang mengganggu Matahachi, melainkan kenyataan bahwa uangnya hilang, dan beserta uang itu hilang pula harapan-harapannya yang besar; itulah yang membuat darahnya mendidih. Ia memandang putus asa kepada orang banyak yang bergerak di sekitarnya.

“Saya sangsi apakah akan ada gunanya,” kata penjual sake, “tapi Anda bisa mencoba bertanya di sana, di kios tukang sulap. Orang-orang jembel di tempat ini sering berkumpul di belakang sana untuk berjudi. Kalau Yasoma mendapat uang, kemungkinan dia akan mencoba menggandakannya.”

“Terima kasih,” kata Matahachi sambil melompat bersemangat. “Yang mana kios tukang sulap itu?”

Rumah yang dituding orang itu dikelilingi pagar bambu runcing. Di depan, orang berkaok-kaok untuk menarik pengunjung, dan bendera­-bendera yang terpasang di dekat gerbang kayu mengumumkan nama-nama beberapa artis sulap terkenal. Dari balik tirai dan lembar-lembar tikar jerami yang mengitari pagar terdengar bunyi musik aneh bercampur suara para tukang sulap yang keras dan cepat, serta tepuk tangan para penonton.

Matahachi berjalan menikung ke belakang, dan di sana menemukan gerbang lain. Ketika ia melongok ke dalam, seorang pengintai bertanya kepadanya, “Anda kemari mau berjudi?”

Ia mengangguk, dan orang itu membiarkannya masuk. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang dikelilingi tenda, tapi terbuka atapnya.

Sekitar dua puluh orang yang semuanya dari jenis tak pernah puas, duduk melingkar bermain. Semua mata menoleh kepada Matahachi, dan satu orang diam-diam menyedia-kan ruang kepadanya untuk duduk.

“Apa Akakabe Yasoma ada di sini?” tanya Matahachi.

“Yasoma?” ulang seorang penjudi dengan nada heran. “Aku jadi sadar, dia tidak di sini akhir-akhir ini. Kenapa?”

“Apa menurut Anda dia akan datang?”

“Mana aku tahu? Silakan duduk, dan main.”

“Saya datang bukan untuk main.”

“Apa kerjamu di sini kalau tak mau main?”

“Aku mencari Yasoma. Maaf mengganggu.”

“Kenapa tak mau cari di tempat lain lagi?”

“Aku sudah minta maaf tadi,” kata Matahachi sambil lekas-lekas keluar.

“Berhenti!” perintah seorang dari para penjudi seraya berdiri dan meng-ikutinya. “Tak bisa kamu pergi hanya dengan bilang minta maaf. Biar kamu tidak main, kamu mesti bayar buat tempat duduk.”

“Aku tak punya uang.”

“Tak ada uang! Begitu, ya? Jadi, cuma tunggu kesempatan menyikat uang, ya? Pencuri terkutuk.”

“Aku bukan pencuri! Tak boleh kamu menyebut begitu!” Matahachi mendorongkan gagang pedangnya ke depan, tapi perbuatan itu hanya membuat girang si penjudi.

“Goblok!” salaknya. “Kalau ancaman dari orang-orang macam kau bisa bikin aku takut, tak mungkin aku tinggal hidup di Osaka sehari saja. Gunakan pedangmu kalau kau berani!”

“Kuperingatkan kau, aku bicara sungguh-sungguh!”

Oh, kau bicara sungguh-sungguh, ya?”

“Apa kau tahu siapa aku?”

“Kenapa pula mesti tahu?”

Aku Sasaki Kojiro, pengganti Toda Seigen dari Kampung Jokyoji di Echizen. Dia yang menciptakan Gaya Tomita.” Matahachi menyatakan hal itu dengan penuh kebanggaan, dan menduga bahwa pengumuman itu saja akan membuat orang melarikan diri. Tapi ternyata tidak. Penjudi itu meludah dan kembali masuk kalangan.

“Hei, dengar kalian semua! Orang ini baru saja menyebut dirinya dengan nama yang hebat. Kelihatannya mau mencabut pedang lawan kita. Mari kita lihat kecakapannya main pedang. Mestinya menyenangkan juga.”

Melihat orang itu sedang lengah, Matahachi tiba-tiba menarik pedangnya, menyabetkannya melintang pantatnya.

Orang itu melompat tegak ke udara. “Anak anjing!” jeritnya.

Matahachi menyelam ke tengah orang banyak. Dengan jalan menyuruk aari kawanan orang satu ke kawanan lain ia bisa bersembunyi, tapi setiap muka yang dilihatnya tampak sebagai muka salah seorang penjudi. Karena menurut pendapatnya ia tidak dapat menyembunyikan diri selamanya seperti itu, maka ia menoleh ke sekitar untuk mencari tempat berlindung yang lebih mantap.

Tepat di depannya tergantung tirai bergambar macan besar pada pagar aambunya. Pada pintu gerbang terdapat juga panji-panji dengan gambar acmbing bercabang dua dan kepala bermata ular, dan seorang tukang teriak berdiri di atas kotak kosong sambil berseru-seru parau, “Saksikan macan! Silakan masuk dan saksikan macan! Adakan perjalanan sejauh seribu mil! Macan ini, saudara-saudara, ditangkap sendiri oleh jenderal besar Kato Kiyomasa di Korea. Jangan lewatkan macan ini!” Seruan yang diucapkannya itu terdengar ingar-bingar, berirama.

Matahachi melontarkan sebentuk mata uang dan langsung menerobos pintu masuk. Karena merasa relatif aman, ia melihat ke sana kemari, mencari binatang itu. Di ujung tenda itu terpentang kulit macan besar, seperti cucian yang sedang dikeringkan pada papan kayu. Para penonton menatapnya dengan rasa ingin tahu yang besar. Mereka tidak merasa kecewa bahwa makhluk itu ternyata tidak utuh dan tidak pula hidup.

Jadi, inilah yang dinamakan macan itu,” kata satu orang.

Besar, ya?” kagum yang lain.

Matahachi berdiri agak di sisi kulit macan itu, dan tiba-tiba terpandang olehnya seorang lelaki tua dan seorang perempuan. Mendengar suara percakapan mereka, telinganya pun tegak tak percaya.

Paman Gon,” kata perempuan itu, “macan itu mati, kan?”

Samurai tua itu menjulurkan tangan ke atas pagar bambu dan meraba kulit itu, lalu jawabnya murung, “Tentu saja mati. Ini cuma kulitnya.”

“Tapi orang di luar itu bicaranya seolah-olah macan itu masih hidup.”

“Itulah barangkali yang namanya tukang bual,” kata lelaki itu sambil tertawa kecil.

Osugi tidak gampang saja menerima hal itu. Sambil memonyongkan mulutnya ia memprotes, “Jangan seperti orang tolol! Kalau macan ini bukan macan betulan, tanda di luar mesti mengatakan begitu juga. Kalau yang akan kulihat cuma kulit macan, lebih baik aku melihat gambar. Ayo kita ambil uang kita kembali.”

“Jangan bikin ribut, Nek. Orang menertawakan kamu nanti.”

“Biar. Aku tak senang. Kalau kau tak mau pergi, aku akan pergi sen­diri.” Ketika ia mulai berjalan kembali melalui para penonton lain, Matahachi merunduk, tapi terlambat. Paman Gon sudah melihatnya.

“Hei, Matahachi! Kamu, ya?” serunya.

Osugi yang sudah tidak begitu awas matanya itu menggagap, “A-apa katamu, Paman Gon?”

“Apa kau tidak lihat? Matahachi berdiri di belakangmu itu!”

“Tak mungkin!”

“Dia di sana tadi, tapi dia lari.”

“Di mana? Ke mana?”

Keduanya berlari keluar dari gerbang kayu, ke tengah orang banyak yang sudah bermandikan cahaya petang berwarna-warni. Matahachi terus ber­tumbuk-tumbuk orang, tapi selalu dapat membebaskan diri kembali dan berlari terus.

“Tunggu, Nak, tunggu!” teriak Osugi.

Matahachi menoleh ke belakang dan melihat ibunya mengejarnya seperti perempuan gila. Paman Gon pun melambai-lambaikan tangan dengan hebatnya.

“Matahachi!” teriaknya. “Kenapa kau lari? Kau kenapa? Matahachi! Matahachi!”

Karena merasa tak dapat lagi menangkapnya, Osugi menjulurkan lehernya yang keriput itu ke depan, dan dengan sekuat paru-paru ia pun menjerit, “Berhenti, pencuri! Perampok! Tangkap dia!”

Seketika itu juga orang-orang di sekitarnya mengambil alih pengejaran, dan orang-orang yang di depan segera menyerang Matahachi dengan tongkat bambu.

“Tahan dia di sana!”

“Bajingan!”

“Hajar dulu!”

Orang banyak berhasil mengepung Matahachi, dan beberapa orang malahan sudah meludahinya. Osugi tiba bersama Paman Gon, cepat me­nguasai keadaan dan balik mendamprat para penyerang Matahachi. Sambil mengusir mereka, ia pegang gagang pedang pendeknya serta menyeringaikan giginya.

Apa yang kalian lakukan ini?” teriaknya. “Kenapa kalian serang orang ini?

Dia pencuri!”

Dia bukan pencuri! Dia anakku.”

Anakmu?

Ya, dia anakku, anak seorang samurai, dan kalian tak punya hak me­mukulnya. Kalian hanya orang kota kebanyakan. Kalau kalian sentuh dia lagi, akan ku… akan kuhadapi kalian semua!”

“Kau berkelakar, ya? Siapa yang teriak ‘pencuri’ semenit lalu?”

“Memang aku, itu tak kusangkal. Aku seorang ibu yang setia, dan kupikir, kalau aku berteriak ‘pencuri’, anakku akan berhenti lari. Tapi siapa yang menyuruh kalian, orang-orang bebal, memukulnya? Itu tak patut!”

Heran melihat perubahan haluan yang sekonyong-konyong ini, orang banvak itu pelan-pelan bubar. Mereka kagum akan keberanian perempuan itu. Osugi mencekal kerah anaknya yang tak patut itu dan menyeretnya ke pekarangan kuil tak jauh dari sana.

Beberapa menit lamanya Paman Gon hanya berdiri memandang dari gerbang kuil itu, tapi kemudian ia mendekati mereka dan katanya, “Nek, jangan perlakukan Matahachi seperti kanak-kanak lagi.” Ia mencoba menarik tangan Osugi dari kerah Matahachi, tapi perempuan tua itu menepiskannya dengan kasar.

“Jangan kamu ikut campur! Dia anakku, dan aku akan menghukumnya dengan hukuman yang menurutku cocok, tanpa bantuanmu. Kau diam saja dan urusi urusanmu sendiri!… Matahachi, anak yang tak tahu diuntung… Akan kuperlihatkan padamu!”

Orang mengatakan makin tua seseorang makin sederhana dan makin langsung sikapnya. Melihat tindakan Osugi itu, orang tak bisa berbuat lain daripada menyetujui pendapat itu. Kalau ibu-ibu lain tentunya sudah menangis karena gembira, maka Osugi mendidih darahnya karena berang.

Ia membanting Matahachi ke tanah dan membenturkan kepalanya ke sana. “Gagasan apa itu! Lari dari ibu sendiri! Kau bukan lahir dari selangkangan pohon, orang kampung! Kau anakku!” Dan mulailah ia menampar anaknya, seakan-akan Matahachi masih anak-anak. “Tak terpikir olehku bahwa kau masih hidup, tapi ternyata di Osaka ini kau bergelandangan! Memalukan! Manusia tak tahu malu, manusia sampah…. Kenapa kau tidak pulang menyatakan hormat kepada leluhur sebagaimana mestinya? Kenapa kau tak mau menunjukkan muka, biar cuma sekali, kepada ibumu yang sudah tua? Apa kau tidak tahu, semua sanak keluarga kuatir dengan dirimu?”

“Ibu,” mohon Matahachi seperti bayi. “Maafkan aku. Maafkan aku, Bu! Aku minta maaf. Aku tahu yang kulakukan ini salah. Justru karena tahu sudah menelantarkan Ibu, maka tak dapat aku pulang. Aku bukan bermaksud lari dari Ibu. Aku begitu kaget melihat Ibu, dan tanpa pikir lagi aku lari. Aku malu dengan cara hidupku, sampai aku tak dapat menghadapi Ibu dan Paman Gon.” Ia menutup wajahnya dengan tangan.

Hidung Osugi mengerut dan ia mulai menangis, tapi hampir seketika itu juga ia menghentikan tangisnya. Terlalu bangga ia akan dirinya untuk memperlihatkan kelemahannya dan ia memperbaharui serangannya. Katanya mengejek, “Kalau kau begitu malu dengan dirimu sendiri dan merasa sudah mempermalukan leluhurmu, tentunya kau sudah berbuat tak baik selama im.

Karena tak dapat lagi menahan diri, Paman Gon memohon, “Cukuplah itu. Kalau kauteruskan juga, pasti akan rusak tabiat anak ini.”

“Sudah kubilang simpan nasihatmu itu untuk diri sendiri. Kau ini lelaki; tak boleh kau bersikap begitu lunak. Sebagai ibunya, aku harus sekeras ayahnya, seandainya dia masih hidup. Aku akan menghukumnya, dan aku belum lagi selesai!… Matahachi! Duduk kamu yang tegak! Pandang mukaku.”

Ia duduk resmi di tanah dan menunjuk tempat yang harus diduduki Matahachi.

“Baik, Bu,” kata Matahachi menurut. la mengangkat bahunya yang terkena kotoran, dan berlutut. Ia memang takut kepada ibunya. Ibunya dapat kadang­-kadang memanjakan, tapi sikapnya yang selalu siap mengungkit persoalan tentang kewajiban terhadap leluhur itu membuat Matahachi tak betah.

“Betul-betul kularang kamu menyembunyikan apa pun,” kata Osugi. “Sekarang apa persisnya yang telah kaukerjakan sejak lari ke Sekigahara? Jelaskan dan jangan berhenti sampai aku sudah mendengar semua yang ingin kudengarkan.”

“Jangan kuatir, aku takkan menyembunyikan apa pun,” Matahachi memulai. Ia sudah kehilangan keinginan untuk melawan. Tepat seperti yang dikatakannya, ia muntahkan seluruh ceritanya sampai sekecil-kecilnya: tentang bagaimana ia meloloskan diri dari Sekigahara, bersembunyi di Ibuki, ter­sangkut dengan Oko, dan hidup darinya—sekalipun ia membencinya­ beberapa tahun lamanya. Juga tentang bagai-mana ia kini menyesali dengan setulus-tulusnya apa yang telah ia lakukan. Semua itu meringankan dirinya, seperti melepas empedu dari dalam perut, dan ia merasa jauh lebih ringan sesudah melakukan pengakuan itu.

“Hmm…,” gumam Paman Gon berkali-kali.

Osugi mendecapkan lidahnya, katanya, “Sungguh aku terguncang oleh kelakuan-mu. Dan apa yang kaulakukan sekarang? Kelihatannya kau dapat pakaian bagus. Apa kau sudah mendapat kedudukan yang cukup upahnya?”

“Ya,” kata Matahachi. Jawaban itu meluncur begitu saja tanpa dipikirkan lebih dahulu, kemudian ia terburu-buru membetulkannya. “Maksudku, tidak, aku tak punya kedudukan.”

“Kalau begitu, dari mana kau mendapat uang buat hidup?”

“Pedangku—aku mengajar main pedang.” Ada nada kebenaran dalam cara ia mengatakannya dan hal itu menimbulkan akibat yang memang dikehendaki.

“Betul begitu?” tanya Osugi penuh minat. Untuk pertama kali, cahaya kegembiraan muncul pada wajah Osugi. “Main pedang, ya? Tidak heran kalau anakku menyediakan waktu buat menyempurnakan kecakapannya main pedang—meskipun menempuh hidup seperti sekarang ini. Kaudengar, Paman Gon! Biar bagaimana, dia anakku.”

Paman Gon mengangguk bersemangat. Ia merasa bersyukur melihat semangat perempuan tua itu naik lagi. “Sudah sewajarnya kalau kita mengetahui ini,” katanya. “Itu menunjukkan bahwa dia memang menyimpan darah leluhur Hon’iden dalam nadinya. Tak ada salahnya dia tersesat sebentar. Jelas sekarang, dia punya semangat yang benar!”

“Matahachi,” kata Osugi.

“Ya, Bu.”

“Di daerah ini, di bawah pimpinan siapa kau belajar ilmu pedang?”

“Kanemaki Jisai.”

“Betul? Dia termasyhur.” Osugi memperlihatkan wajah bahagia. Karena ingin lebih menggembirakan ibunya lagi, Matahachi mengeluarkan sertifikat dan membuka gulungannya, tapi ia menutup nama Sasaki itu dengan jempolnya.

“Bu, lihat ini,” katanya.

“Coba kulihat,” kata Osugi. Ia hendak mengambil gulungan itu, tapi Matahachi mencekamnya.

“Bu, lihat, tak perlu Ibu kuatir denganku.”

Osugi mengangguk. “Ya, ini betul-betul bagus. Lihat ini, Paman Gon. Apa ini tidak hebat? Aku selamanya berpendapat, juga waktu dia masih bayi, dia lebih cerdas dan lebih mampu daripada Takezo dan anak-anak lelaki lain.” Demikian gembira perempuan itu, hingga sementara berbicara ia mulai meludah-ludah.

Tapi justru pada waktu itu tangan Matahachi terpeleset, dan nama pada gulungan itu jadi kelihatan.

“Tunggu sebentar,” kata Osugi. “Kenapa ‘Sasaki Kojiro’?”

“Oh, itu? Itu nama perang.”

“Nama perang? Buat apa kamu memerlukan itu? Apa Hon’iden Matahachi tidak cukup untukmu?”

“Ya, bagus!” jawab Matahachi sesudah berpikir cepat. “Tapi sesudah kutimbang-timbang, kuputuskan untuk tidak menggunakan nama sendiri. Karena masa laluku memalukan, aku takut mengaibkan leluhurku.”

“Oh, begitu. Kukira jalan pikiran yang baik. Kau tidak tahu apa pun tentang apa yang sudah terjadi di kampung, karena itu aku akan bercerita. Sekarang perhatikan. Ini penting.”

Osugi dengan bersemangat mulai memberikan uraian tentang peristiwa yang telah terjadi di Miyamoto. Ia memilih kata-kata yang diperhitungkannya dapat memacu Matahachi untuk beraksi. Ia menjelaskan bagaimana Keluarga Hon’iden dihinakan, bagaimana ia dan Paman Gon bertahun-tahun lamanya mencari Otsu dan Takezo. Ia coba untuk bersikap tidak emosional, tapi bagaimanapun terbawa juga ia oleh ceritanya sendiri. Matanya basah dan suaranya menjadi berat.

Matahachi mendengarkan dengan kepala tertunduk, dan ia terpukau oleh gamblangnya cerita ibunya. Pada waktu-waktu seperti ini, ia merasa mudah menjadi anak yang baik dan penurut. Tapi kalau yang menjadi perhatian utama ibunya adalah kehormatan keluarga dan semangat samurai, Matahachi sendiri tergerak sedalam-dalamnya oleh hal lain: kalau benar yang dikatakan oleh ibunya, Otsu tidak mencintainya lagi. Inilah untuk pertama kalinya ia mendengarnya. “Apa benar begitu?” tanyanya.

Melihat warna wajah Matahachi berubah, Osugi mengambil kesimpulan yang keliru bahwa kuliahnya tentang kehormatan dan semangat itu sudah mencapai hasil. “Kalau kaupikir itu bohong,” katanya, “tanya Paman Gon. Perempuan jalang itu sudah meninggalkanmu dan lari bersama Takezo. Dengan kata lain, kau bisa mengatakan, karena tahu kau tak akan kembali beberapa lama, maka Takezo memikat Otsu untuk pergi dengannya. Apa tidak betul begitu, Paman Gon?”

“Ya. Ketika Takezo diikat di atas pohon itu, dia mendapat pertolongan dari Otsu untuk melarikan diri, dan keduanya lalu lari sama-sama. Semua orang mengatakan antara mereka sudah terjadi sesuatu.”

Kata-kata itu menimbulkan akibat paling buruk pada Matahachi, dan timbul reaksi baru terhadap kawan masa kecilnya itu.

Menyadari hal tersebut, ibunya mengipasi bunga api itu, “Kaulihat sekarang, Matahachi! Kau mengerti, kenapa Paman Gon dan Ibu me­ninggalkan kampung? Kami mau membalas dendam pada mereka. Sebelum aku membunuh mereka, aku tak dapat memperlihatkan muka lagi di kampung atau berdiri di depan tanda peringatan leluhur kita.”

“Aku mengerti.”

“Jadi, kau mengerti. Kecuali kita sudah membalas dendam, kau pun tak dapat kembali ke Miyamoto?”

“Aku tak akan kembali. Aku tak akan pernah kembali.”

“Bukan itu soalnya. Kau mesti membunuh kedua orang itu. Mereka musuh bebuyutan kita.”

“Ya, kukira begitu.”

“Kedengarannya kau tidak begitu bersemangat. Ada apa? Apa kau tidak merasa cukup kuat untuk membunuh Takezo?”

“Tentu saja cukup kuat,” protes Matahachi.

Paman Gon buka suara. “Jangan kuatir, Matahachi. Aku akan selalu di samping-mu.”

“Dan ibumu yang sudah tua ini pun demikian,” tambah Osugi. “Mari kita bawa kepala mereka pulang ke kampung sebagai tanda mata buat orang banyak. Apa itu bukan gagasan yang baik, Nak? Kalau itu kita lakukan, kau dapat jalan terus dan mencari istri, dan menetap. Kau membersihkan dirimu sebagai seorang samurai, dan juga mendapat nama baik. Tak ada nama yang lebih baik di seluruh daerah Yoshino daripada Hon’ iden, dan kau akan membuktikan itu pada setiap orang, tak sangsi lagi. Bisa kau melakukan itu, Matahachi? Mau kau melakukannya?”

“Ya, Bu.”

“Itu namanya anak baik. Paman Gon, jangan berdiri saja di situ, ucapkan selamat pada anak ini. Dia sudah bersumpah akan membalas dendam kepada Takezo dan Otsu.” Begitulah, akhirnya ia kelihatan puas, dan mulailah ia bangkit dari tanah dengan susah payah. “Oh, sakit rasanya!” teriaknya.

Ada apa?” tanya Paman Gon.

“Tanah ini dingin sekali. Perut dan pinggulku sakit.”

“Wah, kurang baik itu. Apa wasirmu kumat lagi?”

Untuk menunjukkan bakti seorang anak, Matahachi mengatakan, “Naiklah ke punggungku, Ibu.”

“Oh, kau mau menggendongku? Senang sekali aku!” Sambil memegang bahu anaknya, Osugi menangis karena gembira. “Sudah berapa tahun lewat, ya? Lihat, Paman Gon, Matahachi menggendongku.”

Ketika air mata jatuh ke leher Matahachi, Matahachi merasakan ke­gembiraan yang aneh. “Paman Gon, di mana kalian tinggal?” tanyanya.

“Kita mesti mencari rumah penginapan sekarang. Di mana saja bisa. Man kita mencarinya.”

Baik.” Sementara berjalan, Matahachi melambung-lambungkan sedikit ibunya di punggungnya. “Ringan, Bu! Ringan sekali! Jauh lebih ringan daripada batu!”

Pemuda Tampan

PULAU Awaji yang bermandikan matahari menghilang di kejauhan, berangsur-­angsur digelapkan oleh kabut sore musim dingin. Kepak-kepak layar besar di tengah angin menenggelamkan bunyi ombak. Kapal yang beberapa kali sebulan berlayar antara Osaka dan Provinsi Awa di Shikoku itu sedang menyeberangi Laut Pedalaman dalam perjalanan ke Osaka. Sekalipun muatan­nya sebagian besar terdiri atas kertas dan bahan celup indigo, baunya yang khas menunjukkan bahwa ia membawa barang selundupan berupa tembakau. Pemerintah Tokugawa melarang rakyat mengisap, mencium, atau me­nguyahnya. Terdapat juga sejumlah penumpang di kapal itu. Sebagian besar pedagang yang sedang pulang atau untuk berdagang akhir tahun di Osaka.

“Bagaimana kabarnya? Saya berani bertaruh, banyak juga untungnya.”

“Sama sekali tidak! Tiap orang bilang semua sedang menanjak di Sakai, tapi saya tak melihat buktinya.”

“Saya dengar kurang tenaga kerja di sana. Saya dengar mereka butuh pandai meriam.”

Percakapan di tengah kelompok lain adalah tentang bidang serupa.

“Saya sendiri mensuplai perlengkapan perang-tiang bendera, pakaian zirah, macam itulah. Tapi jumlahnya tak seberapa sekarang.”

“Begitu, ya?”

“Ya, saya kira sekarang samurai-samurai itu tahu bagaimana berhitung.”

“Ha, ha!”

“Dulu kalau penjarah pulang membawa rampasan, kita celup kembali atau cetak kembali barang-barang itu dan kita jual kembali kepada tentara. Kemudian, habis pertempuran berikutnya, barang itu akan kembali lagi, dan kita dapat mendandaninya dan menjualnya lagi.”

Seorang lelaki memandang ke arah samudera dan memuji-muji kekayaan negeri-negeri di seberang. “Tak dapat lagi kita mendapat uang di dalam negeri. Kalau ingin benar-benar untung, kita mesti melakukan apa yang dilakukan oleh Naya ‘Luzon’ Sukezaemon atau Chaya Sukejiro. Masukilah perdagangan luar negeri. Memang riskan, tapi kalau kita beruntung, betul­betul tidak percuma.”

“Ah,° kata orang yang lain, “biarpun keadaan kita tidak begitu baik hari-hari mi, dari pandangan samurai, kita masih beruntung. Kebanyakan mereka tidak kenal makanan yang baik. Kita bicara tentang kemewahan yang dapat dinikmati para daimyo, tapi cepat atau lambat mereka terpaksa mengenakan perlengkapan kulit dan bajanya, lalu terbunuh. Saya kasihan pada mereka. Begitu sibuk mereka memikirkan kehormatan dan tata krama prajurit, sampai tidak dapat lagi bersantai dan menikmati hidup.”

“Apa tidak benar begitu? Kita mengeluh tentang masa yang buruk dan semua yang lain, padahal satu-satunya kemungkinan sekarang ini adalah menjadi saudagar.”

“Anda benar. Setidaknya kita masih dapat melakukan apa yang kita inginkan.”

“Yang mesti kita lakukan cuma berpura-pura membungkuk kepada samu­rai, dan sedikit uang cukuplah buat sebagian besar mereka itu.”

“Kalau kita mau hidup di dunia ini, perlu juga kita bersenang-senang.”

“Memang begitu juga pendapat saya. Kadang-kadang ingin saya bertanya kepada samurai, apa yang mereka peroleh dari hidup ini.”

Permadani wol yang dihamparkan untuk duduk kelompok orang ini barang impor. Ini bukti bahwa mereka lebih kaya daripada penduduk lain. Sesudah kematian Hideyoshi, kemewahan zaman Momoyama sebagian besar telah beralih ke tangan para saudagar, bukan ke tangan samurai. Dan pada waktu waktu itu orang-orang kota yang kaya itu kota yang kaya adalah orang-orang yang memiliki perangkat minum sake yang anggun dan peralatan perjalanan yang indah dan mahal. Bahkan seorang pedagang kecil pun biasanya lebih kaya daripada seorang samurai yang upahnya lima ribu gantang padi setahun, padahal jumlah itu sudah dianggap pendapatan besar oleh kebanyakan samurai.

“Tak banyak yang bisa dilakukan dalam perjalanan-perjalanan begini, ya?

“Memang tak banyak. Mari kita main kartu kecil-kecilan buat meng­habiskan waktu.”

“Boleh.”

Tirai pun digantungkan, nyonya-nyonya dan pembantunya membawakan sake, dan orang-orang mulai main umsummo, sebuah permainan yang belum lama diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Portugis, dengan taruhan yang sukar dipercaya. Emas yang ada di meja sesungguhnya dapat menye­lamatkan banyak desa dari bencana kelaparan, tetapi oleh para penjudi dilemparkan saja ke sana kemari seperti kerikil.

Di antara para penumpang terdapat beberapa orang yang bisa saja ditanya oleh para saudagar kaya itu, apa yang mereka peroleh dari hidup ini—seorang pendeta pengembara, beberapa ronin, seorang pendeta Kong Hu Cu, dan beberapa prajurit profesional. Kebanyakan mereka duduk di samping barang bawaan mereka dan memandang laut dengan sikap tak senang, menyaksikan awal permainan kartu yang penuh lagak itu.

Seorang pemuda memangku sesuatu yang bulat bentuknya, berbulu lebat, dan berkali-kali menyuruhnya, “Duduk yang tenang!”

“Bagus sekali monyet kecil Anda itu. Apa dia terlatih?” tanya penumpang lain.

“Ya.”

“Kalau begitu, sudah lama juga Anda miliki?”

“Tidak, saya menemukannya belum lama ini di pegunungan antara Tosa dan Awa.”

“Jadi, Anda menangkapnya sendiri?”

“Ya, tapi monyet-monyet yang lebih tua hampir saja merobek-robek saya, sebelum saya berhasil lari.”

Sambil berbicara, pemuda itu terus sibuk menangkapi kutu binatang itu. Kalaupun tidak membawa monyet, pemuda itu pasti memikat perhatian orang, karena baik kimono maupun jubah merah pendek di atas kimononya itu betul-betul menarik perhatian. Rambut bagian depannya tidak bercukur, dan gelung rambutnya terikat pita ungu yang lain dari yang lain. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia masih kanak-kanak, tapi sekarang ini tak semudah dulu menyebut umur seseorang dari pakaiannya. Dengan naiknya Hideyoshi, pakaian pada umumnya telah lebih berwarna-warni. Tidak aneh lagi bahwa lelaki yang sudah berumur sekitar dua puluh lima tahun terus mengenakan pakaian seperti anak-anak umur lima belas atau enam belas tahun, dan membiarkan rambut di ubun-ubunnya tidak dipotong.

Kulit pemuda itu bercahaya penuh kebeliaan, bibirnya merah sehat, dan matanya terang. Di lain pihak, tubuhnya kokoh kekar dan kekerasan yang dewasa memancar dari alisnya yang lebat dan lengkungan ke atas di kedua sudut matanya.

“Kenapa pula kau ini menggeliat-geliat saja?” katanya tak sabaran sambil mengetuk-ngetuk tajam kepala monyet itu. Sikap polos yang diperlihatkannya waktu la mencari kutu binatang itu menambah kesan umur mudanya.

Status sosial pemuda itu juga sukar dipastikan. Karena sedang dalam perjalanan, ia mengenakan sandal jerami dan kaus kulit seperti yang dipakai semua orang. Jadi, dari situ tak dapat diambil sesuatu kesimpulan, dan ia kelihatan betul-betul kerasan di tengah pendeta pengembara, pemain boneka, para samurai compang-camping, dan para petani yang tak bercukur di kapal itu. Dengan mudah ia dapat diduga sebagai seorang ronin, namun ada sesuatu yang mengisyaratkan bahwa ia memiliki status lebih tinggi, yaitu senjata yang disandangnya di punggung dengan tali kulit. Senjata itu berupa pedang pertempuran yang panjang lurus, besar, dan buatannya amat indah. Hampir tiap orang yang berbicara dengan pemuda itu memuji bagusnya buatan pedang tersebut.

Gion Toji yang berdiri beberapa jauh dari situ pun terkesan oleh senjata itu. Sementara menguap dan berpikir bahwa di Kyoto pun tidak sering terlihat pedang yang demikian tinggi mutunya, ia semakin ingin tahu latar belakang pemiliknya.

Toji merasa bosan. Perjalanan yang telah empat belas hari itu sungguh menjengkelkan, melelahkan, dan lagi tak ada buahnya. Ia sudah rindu sekali berada lagi di tengah orang-orang yang dikenalnya. “Ingin tahu juga aku, apa pembawa surat itu tiba pada waktunya,” renungnya. “Kalau tiba pada waktunya, dia pasti menjemputku di dermaga Osaka.” Ia mencoba mengingat­-ingat wajah Oko, untuk meringankan beban kebosanan yang dialaminya.

Alasan di balik perjalanannya itu adalah keadaan keuangan Keluarga Yoshioka yang goyah, akibat cara hidup Seijuro yang melebihi kemampuan. Keuarga itu tidak lagi kaya. Rumah di Jalan Shijo sudah digadaikan, dan sudah dalam bahaya disita oleh para saudagar kreditor. Yang lebih mem­burukkan keadaan adalah tunggakan-tunggakan akhir tahun yang sudah tak terhitung jumlahnya. Biarpun semua milik keluarga dijual, tidak akan tersedia cukup dana untuk menutup rekening yang sudah menimbun. Menghadapi keadaan ini, satu-satunya komentar Seijuro hanyalah, “Bagaimana ini bisa terjadi?”

Karena merasa dialah yang mendorong keroyalan tuan muda itu, Toji mengatakan bahwa persoalan itu mesti ia yang menangani. Ia berjanji, entah dengan cara bagaimana akan membereskan soal-soal itu.

Dengan mengerahkan otaknya, sampailah ia pada gagasan untuk mem­bangun sekolah baru dan lebih besar di tanah kosong dekat Nishinotoin. Di situ jumlah siswa yang jauh lebih besar akan dapat ditampung. Me­nurutnya, sekarang ini bukan zamannya lagi untuk bersikap eksklusif. Dengan adanya segala macam orang yang berhasrat belajar seni perang dan para daimyo yang menginginkan sekali prajurit terlatih, maka sekolah yang lebih besar dan menghasilkan sejumlah besar pemain pedang terlatih akan memuaskan kepentingan semua pihak. Makin lama memikirkan hal itu, makin hanyut ia dalam pemikiran bahwa kewajiban suci sekolah itulah untuk mengajarkan Gaya Kempo kepada sebanyak mungkin orang.

Seijuro menulis surat edaran untuk maksud itu, dan dengan senjata itu Toji berangkat mengusahakan bantuan dari bekas-bekas siswa sekolah di daerah barat Honshu, Kyushu, dan Shikoku. Memang di berbagai wilayah feodal banyak orang pernah belajar di bawah pimpinan Kempo, dan sebagian besar dari mereka sekarang menjadi samurai dengan kedudukan yang membuat orang iri. Namun ternyata, walaupun Toji sungguh tulus dalam permohonannya, tidak banyak di antara mereka yang bersedia mem­berikan sokongan berarti atau berjanji akan memberikan uang sesuai dengan maklumat pendek itu. Sering benar jawabannya berbunyi, “Akan saya tulis nanti pada Anda soal ini”, “Akan kita tinjau hal ini nanti, kalau saya berada di Kyoto lagi”, atau lain lagi, yang bersifat sama juga, menghindar. Sokongan yang dibawa pulang Toji hanya sebagian kecil saja dari jumlah yang sebelumnya dibayangkannya.

Sebenarnya rumah tangga yang dalam bahaya itu bukanlah rumah tangga Toji sendiri, dan wajah yang muncul dalam pikirannya sekarang pun bukan wajah Seijuro, melainkan wajah Oko. Namun bahkan wajah Oko pun hanya dapat sekilas saja mengalihkan perhatiannya. Segera kemudian ia sudah seperti duduk di bara hangat kembali. Ia iri pada pemuda yang sedang mencari kutu monyetnya itu. Ia harus melakukan sesuatu untuk menghabis-kan waktu. Toji mendekat dan mencoba membuka percakapan.

“Halo, orang muda. Ke Osaka, ya?”

Tanpa mengangkat kepala, pemuda itu membuka matanya sedikit dan katanya, “Ya.”

“Apa keluargamu tinggal di sana?”

“Tidak.”

“Kalau begitu, tentunya kau dari Awa.”

“Tidak, tidak juga dari sana.” Kata-kata itu diucapkannya dengan sikap pasti.

Toji jadi terdiam untuk beberapa waktu, tapi kemudian mencoba lagi. “Pedangmu luar biasa kelihatannya,” katanya.

Agaknya, karena senang senjatanya dipuji, si pemuda memperbaiki posisi duduknya menghadapi Toji dan menjawab ramah, “Ya, pedang ini sudah lama menjadi milik keluarga saya. Ini pedang pertempuran, tapi saya bermaksud mencari pandai pedang yang baik di Osaka untuk menyetelnya kembali, supaya mudah saya menariknya dari pinggang.”

“Terlalu panjang, ya?”

“Tak tahulah. Panjangnya cuma semeter.”

“Panjang sekali.”

Sambil senyum si pemuda menjawab yakin, “Siapa saja harus dapat menggunakan pedang sepanjang ini.”

“Memang pedang dapat dipakai, biar panjangnya semeter atau bahkan lebih,” kata Toji mencela. “Tapi cuma orang ahli yang dapat memakainya dengan mudah. Saya lihat sekarang banyak orang terhuyung-huyung memakai pedang yang amat besar. Memang tampak mengesankan, tapi kalau sudah terdesak, mereka balik kanan dan lari. Gaya apa yang kaupelajari?” Dalam hal yang berkenaan dengan permainan pedang, Toji tak dapat menyem­bunyikan perasaannya bahwa ia lebih unggul daripada anak ini.

Pemuda itu melontarkan pandangan penuh tanya ke wajah Toji yang tampak puas diri, dan jawabnya, “Gaya Tomita.”

“Tapi Gaya Tomita itu untuk pedang yang lebih pendek daripada pedang itu,” kata Toji dengan gaya berwibawa.

“Oh, kalau saya mempelajari Gaya Tomita, tidak berarti saya harus mengguna-kan pedang pendek. Saya tak suka meniru. Guru saya meng­gunakan pedang pendek, jadi saya putuskan menggunakan pedang panjang. Dan itu menyebabkan saya dikeluarkan dari sekolah.”

“Orang-orang muda seperti kalian rupanya bangga dengan sifat mem­berontak. Apa yang terjadi sesudah itu?”

“Saya tinggalkan Desa Jokyoji di Echizen, dan pergi menemui Kanemaki Jisai. Dia juga sudah meninggalkan Gaya Tomita, dan mengembangkan Gaya Chujo. Dia bersimpati pada saya, menerima saya sebagai muridnya, dan sesudah empat tahun saya belajar di bawah pimpinannya, dia mengatakan saya bisa jalan sendiri.”

“Guru-guru desa memang semuanya gampang saja mengeluarkan serti­fikat.”

“Oh, Jisai tidak. Dia tidak seperti itu. Nyatanya, satu-satunya orang yang pernah diberinya sertifikat cuma Ito Yagoro Ittosai. Setelah saya memutuskan untuk jadi orang kedua yang secara resmi diberi sertifikat, saya betul-betul kerja keras. Tapi belum saya berhasil, tiba-tiba saya dipanggil pulang karena ibu saya akan meninggal.”

“Di mana rumahmu?”

“Iwakuni, di Provinsi Suo. Sesudah pulang itu, tiap hari saya latihan di sekitar Jembatan Kintai dengan menebasi sayap burung layang-layang dan menetaki cabang pohon liu. Dengan itu saya mengembangkan teknik sendiri. Sebelum ibu saya meninggal, beliau memberikan pedang ini dan minta saya menjaganya betul, karena pedang ini buatan Nagamitsu.”

“Nagamitsu? Ah, masa?”

“Memang tak ada tanda tangannya pada ujungnya, tapi selamanya pedang ini dianggap buatannya. Di tempat asal saya, ini pedang terkenal. Orang menamakannya Galah Pengering.” Walaupun sebelumnya pemuda itu pendiam, namun dalam masalah yang disukainya ia dapat berbicara berpanjang-panjang, bahkan dengan sukarela ia memberikan keterangan. Sekali mulai, ia terus mengoceh, dengan sedikit saja memperhatikan reaksi pendengarnya. Dari situ, dan dari ceritanya tentang pengalaman-penga­lamannya di masa lalu, tampak bahwa wataknya lebih kuat daripada yang bisa disimpulkan melalui seleranya berpakaian.

Pada suatu ketika, pemuda itu berhenti bicara sesaat lamanya. Matanya mendung dan merenung. “Ketika saya berada di Suo itu,” gumamnya, “Jisai jatuh sakit. Ketika mendengar kabar itu dari Kusanagi Tenki, saya betul-betul sedih dan menangis. Tenki sudah belajar di sekolah itu lama sebelum saya, dan dia masih di sana ketika guru terbaring sakit di tempat tidur. Tenki kemenakannya, tapi Jisai mempertimbangkan pun tidak untuk memberikan sertifikat kepadanya. Sebaliknya, dia mengatakan pada ke­menakannya itu akan memberikan sertifikat pada saya bersama buku metoda-metoda rahasia yang dimilikinya. Dia tidak hanya menginginkan saya menerimanya, melainkan juga berharap bertemu dengan saya dan memberikannya langsung pada saya.” Mata orang muda itu pun basah oleh kenangannya.

Toji sama sekali tidak terkesan oleh pemuda tampan yang emosional itu, tapi berbicara dengannya lebih baik daripada sendirian dan merasa bosan. “Oh, begitu,” katanya, berpura-pura menaruh minat besar. “Jadi, dia meninggal waktu engkau tak ada di tempat?”

“Ingin sekali saya pergi mendapatkannya begitu saya mendengar tentang sakitnya, tapi dia ada di Kozuke, beratus mil jauhnya dari Suo. Lagi pula. akhirnya ibu saya meninggal kira-kira pada waktu yang bersamaan, jadi tak mungkin saya berada di sampingnya sampai akhir hayatnya.”

Awan-awan menyembunyikan matahari, membuat seluruh langit berwarna keabu-abuan. Kapal mulai oleng, dan buih air terbang ke kapal lewat bibir kapal.

Pemuda itu melanjutkan cerita sentimentalnya, yang intinya adalah bahwa ia telah menutup tempat semayam keluarganya di Suo, dan melalui surat­menyurat ia mempersiapkan diri bertemu dengan temannya Tenki pada musim semi, ketika siang dan malam sama lamanya. Kurang kemungkinannya bahwa Jisai yang tidak memiliki sanak dekat itu meninggalkan banyak kekayaan, tapi ia mempercayakan kepada Tenki sejumlah uang untuk orang muda itu, bersama sertifikat dan buku rahasia tersebut. Sebelum mereka berjumpa pada hari yang telah ditentukan di Gunung Horaiji di Provinsi Mikawa, di tengah jalan antara Kozuke dan Awa, Tenki diperkirakan sedang mengadakan perjalanan keliling untuk belajar. Orang muda itu sendiri berencana menghabiskan waktu di Kyoto untuk belajar dan melihat-lihat.

Selesai dengan ceritanya, ia menoleh kepada Toji dan tanyanya, “Anda dari Osaka?”

“Tidak, saya dari Kyoto.”

Sejenak mereka berdua terdiam, terbawa oleh bunyi ombak dan layar.

“Jadi, kau punya rencana memasuki dunia ini lewat seni bela diri?” kata Toji. Pertanyaan itu sendiri cukup polos, namun pandangan mata Toji memperlihat-kan sikap meninggikan diri, mendekati sikap merendahkan. Sudah lama ia muak dengan pemain-pemain pedang muda sesat yang berkeliaran ke sana kemari membualkan sertifikat dan buku-buku rahasianya. Ia berpendapat tak mungkin ada sedemikian banyak ahli pedang yang mengembara berkeliling. Bukanlah ia sendiri hampir dua puluh tahun lamanya di Perguruan Yoshioka, dan bukankah ia masih seorang murid, sekalipun murid yang mempunyai banyak hak istimewa?

Pemuda itu beralih tempat duduk dan memandang dengan saksama ke arah air yang kelabu. “Kyoto?” gumamnya, kemudian menoleh lagi pada Toji, dan katanya, “Saya dengar ada orang yang namanya Yoshioka Seijuro di sana, anak tertua Yoshioka Kempo. Apakah dia masih aktif?”

Toji jadi ingin sedikit mempermainkannya. “Ya,” jawabnya singkat. “Perguruan Yoshioka kelihatannya sekarang berkembang pesat. Sudah pernah engkau mengunjungi tempat itu?”

“Tidak, tapi kalau nanti sampai Kyoto, saya ingin bertanding dengan Seijuro, untuk melihat sampai seberapa kebolehannya.”

Toji batuk-batuk untuk menekan tawanya. Cepat sekali ia membenci keyakinan diri orang muda yang kurang ajar itu. Tentu saja orang muda itu tidak mengetahui kedudukannya di perguruan tersebut. Kalau ia tahu, tak sangsi lagi ia pasti menyesali apa yang baru dikatakannya. Dengan wajah memerot dan nada menghinakan, Toji bertanya, “Dan kukira engkau menduga dapat pergi tanpa cedera?”

“Kenapa tidak?” tukas balik pemuda itu. Sekarang dialah yang ingin tertawa, dan tertawalah ia. “Yoshioka memiliki rumah besar dan banyak nama baik, jadi menurut bayangan saya Kempo tentunya seorang pemain pedang besar. Tapi kata orang tak seorang pun dari anak-anaknya bisa menyamai tarafnya.”

“Bagaimana kau bisa demikian yakin, sebelum kau betul-betul berjumpa dengan mereka?”

“Itulah yang dikatakan oleh samurai dari provinsi-provinsi lain. Saya tak percaya dengan segala yang saya dengar, tapi hampir setiap orang rupanya menduga Keluarga Yoshioka akan berakhir dengan Seijuro dan Denshichiro.”

Toji ingin sekali menyuruh pemuda itu menjaga lidahnya. Untuk sesaat bahkan terpikir olehnya akan membuka identitasnya, tapi menggawatkan keadaan pada taraf itu akan membuatnya tampak sebagai pihak yang kalah. Maka dengan seboleh-bolehnya menahan diri ia menjawab, “Rupanya se­karang provinsi-provinsi penuh orang yang serbatahu, maka aku tak heran kalau Keluarga Yoshioka disepelekan. Tapi cobalah engkau bercerita lebih banyak tentang dirimu. Tadi kau mengatakan sudah menemukan cara membunuh burung layang-layang pada sayapnya?”

“Ya, saya tadi mengatakannya.”

“Dan kau melakukannya dengan pedang panjang besar itu?”

“Betul.”

“Nah, kalau kau dapat melakukan itu, tentunya tak sukar bagimu menetak salah seekor camar laut yang menukik ke kapal ini.”

Pemuda itu tidak segera memberikan jawaban. Mendadak sontak terpikir olehnya bahwa Toji punya maksud tak baik terhadapnya. Sambil menatap bibir Toji yang cemberut, katanya, “Saya dapat melakukannya, tapi saya pikir itu perbuatan bodoh.”

“Nah,” kata Toji dengan nada bergaya, “jika kau demikian hebat hingga dapat meremehkan Keluarga Yoshioka sebelum kau sendiri ke sana…”

“Oh, jadi saya sudah bikin kesal Anda, ya?”

“Tidak, sama sekali tidak,” kata Toji. “Tapi tak seorang pun di Kyoto suka mendengar Perguruan Yoshioka disepelekan.”

“Ha! Tapi saya bukannya menyampaikan pikiran saya sendiri tadi itu. Saya hanya mengulangi apa yang saya dengar.”

“Orang muda!” kata Toji tajam.

“Apa?”

“Apa kau tahu artinya ’samurai setengah matang’? Demi masa depanmu, kuperingatkan kau. Kalau kau meremehkan orang lain, tidak bakal engkau sampai ke mana-mana. Kau membual tentang menetak burung layang­layang dan bicara tentang sertifikat Gaya Chujo, tapi lebih baik kau ingat bahwa tidak semua orang itu bodoh. Lebih baik kau melihat dulu baik­-baik siapa yang kauajak bicara, sebelum kau membanggakan diri.”

“Anda pikir kata-kata saya itu cuma bualan?”

“Ya, betul.” Toji mendekat sambil membusungkan dadanya. “Tak seorang pun keberatan mendengar seorang muda membanggakan kemampuannya, tapi jangan-lah sampai keterlaluan.”

Dan ketika orang muda itu tidak mengatakan sesuatu, Toji melanjutkan, “Dari permulaan tadi aku sudah mendengar kau membangga-banggakan diri, dan aku tidak keberatan. Tapi masalahnya adalah aku Gion Toji, murid utama Yoshioka Seijuro. Kalau sekali lagi kau mengeluarkan ucapan yang menghina Keluarga Yoshioka, terpaksa aku bertindak!”

Waktu itu mereka sudah menarik perhatian penumpang-penumpang lain. Toji yang telah menyatakan namanya dan mengagungkan statusnya berjalan dengan gayanya ke buritan kapal, menggeram tentang kekurangajaran para pemuda zaman sekarang. Pemuda itu mengikutinya tanpa mengatakan sesuatu, sedang-kan para penumpang ternganga dari jarak yang aman.

Toji sama sekali tidak merasa senang dengan keadaan itu. Oko menantinya apabila kapal masuk dermaga nanti, dan jika sekarang ia terlibat dalam perkelahian, ia akan mengalami kesulitan dengan para pejabat kemudian. Maka dengan menampakkan diri sesantai mungkin ia menelekan sikunya ke susuran kapal dan memandang penuh perhatian ke pusaran biru hitam yang terbentuk di bawah kemudi.

Pemuda itu menepuk punggungnya pelan. “Tuan,” katanya dengan suara tenang yang tidak mengungkapkan kemarahan ataupun kebencian. Toji tidak menjawab.

“Tuan,” ulang orang muda itu.

Tak dapat lagi menahan sikap masa bodohnya, Toji bertanya, “Apa mau­mu?”

“Tuan sudah menyebut saya seorang pembual di depan banyak orang yang tak dikenal, sedangkan saya punya kehormatan yang harus saya junjung. Saya merasa terpaksa melakukan apa yang sudah Tuan tantangkan pada saya untuk saya lakukan beberapa menit lalu, dan saya ingin Tuan menjadi saksinya.”

“Apa yang kutantangkan untuk kaulakukan?”

“Tidak mungkin Tuan sudah lupa. Tuan tertawa ketika saya katakan saya dapat menetak sayap burung layang-layang, dan mendesak saya menebas burung camar.”

“Hmm, jadi aku tadi usul begitu, ya?”

“Jika saya tebas seekor, apa itu akan meyakinkan Tuan bahwa saya tidak hanya omong?”

“Ya… ya, pasti.”

Baiklah, akan saya lakukan.”

“Bagus sekali!” Toji tertawa mengejek. “Tapi jangan lupa, jika kau melakukan ini cuma demi kebanggaan dan kau gagal, kau akan benar-benar menjadi tertawaan.”

Akan saya terima kemungkinan itu.”

Aku tak punya maksud mencegahmu.”

Tapi Tuan mau jadi saksi?”

Oh, dengan senang hati.”

Pemuda itu mengambil posisi di atas lempeng timah di tengah dek belakang dan menggerakkan tangan ke pedangnya. Sambil melakukan itu, ia memanggil nama Toji. Toji menatap ingin tahu, dan bertanya apa yang dikehendaki pemuda itu. Dengan sikap sangat sungguh-sungguh pemuda itu berkata, “Suruh burung camar terbang turun di depan saya. Saya siap menebas burung-burung itu, berapa saja jumlahnya.”

Toil tiba-tiba menyadari persamaan antara apa yang sedang terjadi itu dengan jalan cerita sebuah cerita lucu yang menurut kata orang diciptakan oleh pendeta Ikkyu. Pemuda itu berhasil menganggapnya seekor keledai. Dengan marah ia berseru, “Omong kosong apa pula ini? Kalau orang bisa membuat camar terbang di depannya, tentu saja dapat dia menebasnya.”

“Laut menghampar beratus mil jauhnya, sedangkan pedang saya hanya satu meter panjangnya. Kalau burung-burung itu tidak mendekat, mana bisa sava menebasnya?”

Sambil maju beberapa langkah, Toji berkata senang, “Itu namanya Cuma mau mencoba menyelamatkan diri. Kalau tak bisa membunuh camar laut lewat sayap-sayapnya, katakan saja tak bisa, dan mintalah maaf.”

Oh, kalau saya bermaksud melakukan itu, tak akan saya berdiri menanti di sini. Kalau burung-burung itu tidak mendekat, akan saya tebas yang lain buat Tuan.”

“Seperti misalnya…?”

Cobalah maju lima langkah lagi. Akan saya tunjukkan pada Tuan.”

Toji datang mendekat sambil menggeram, “Apa maksudmu sekarang?”

Saya cuma ingin Tuan mengizinkan saya memanfaatkan kepala Tuan­kepala yang sudah Tuan pakai mendesak saya membuktikan bahwa saya bukan hanya membanggakan diri. Kalau Tuan pikir lebih masuk akal saya memenggal kepala itu daripada membunuh camar laut yang tak bersalah.”

Apa kau sudah gila?” teriak Toji. Secara refleks kepala Toji merunduk, karena justru pada saat itu pemuda itu mencabut pedang dari sarungnya dan mengayunkannya. Gerakan itu demikian cepat, hingga pedang yang panjangnya satu meter itu rasanya tak lebih besar dari sebuah jarum.

A-a-apa?” teriak Toji sambil terhuyung ke belakang dan memegang kerahnya. Untunglah kepalanya masih ada, dan sejauh yang ia ketahui, ia sama sekali tidak cedera.

“Mengerti sekarang?” tanya pemuda itu sambil membalik, dan pergi di antara tumpukan bagasi.

Toji jadi merah padam karena malu. Ketika ia memandang ke bawah, ke arah bagian dek yang diterangi matahari, ia lihat sebuah benda yang tampak aneh, seperti sebuah sikat kecil. Suatu pikiran mengerikan bersarang di kepalanya, dan is meletakkan tangan ke atas kepalanya. Gelungan rambutnya sudah hilang! Gelungan yang sangat dibanggakannya-kebanggaan tiap samurai! Dengan wajah mengerikan ia menyapukan tangan ke atas kepalanya, dan ternyata pita yang mengikat rambutnya di belakang kepala sudah lepas. Rambut yang tadi terikat pita itu memburai di seluruh permukaan kepalanya.

“Bajingan!” Kemarahan yang tidak tanggung-tanggung melanda hatinya. Tahulah ia sekarang, pemuda itu tidak berbohong atau menyuarakan bualan kosong. Ia memang masih muda, tapi ia pemain pedang menakjubkan. Toji kagum bahwa orang yang masih begitu muda dapat begitu hebat, tapi hormat yang dirasakannya itu satu hal, sedangkan kemarahan dalam hatinya hal lain lagi.

Ketika mengangkat kepala dan melihat ke arah haluan, ia lihat pemuda itu sudah kembali ke tempat duduknya semula dan sedang mencari-cari sesuatu di dek. Jelas ia sedang lengah, dan Toji merasa bahwa kesempatan untuk membalas dendam tiba. Sambil meludahi gagang pedang ia cengkeram gagang itu erat-erat, dan ia menyelinap ke belakang penyiksanya. Ia tidak yakin apakah sasarannya cukup baik untuk memotong gelung rambut orang itu saja tanpa mesh mengikutsertakan kepalanya, tapi ia tak peduli. Dengan tubuh membengkak merah dan napas berat ia menabahkan diri untuk menyerang.

Tapi justru pada waktu itu timbul keributan di antara para saudagar yang sedang bermain kartu.

“Apa pula ini? Kartunya tak cukup!”

“Ke mana perginya?”

“Lihat sana!”

“Aku sudah lihat.”

Ketika mereka sedang berteriak-teriak dan mengibas-ngibaskan permadani, seorang di antaranya kebetulan memandang ke atas.

“Di atas itu! Monyet itu yang mengambilnya!”

Senang dengan hiburan yang lain daripada yang lain itu, para penumpang lain semuanya memandang monyet yang waktu itu bertengger di puncak bang yang tingginya sepuluh meter.

“Ha, ha!” tawa seseorang. “Bukan main monyet itu—mencuri kartu, ya, mencuri kartu.”

“Nah, dia menguyahnya sekarang.”

“Bukan, sepertinya dia sedang membagikannya.”

Selembar kartu melayang turun. Salah seorang saudagar mengambilnya, dan katanya, “Mestinya dia masih menyimpan tiga atau empat lembar lagi.”

“Mesti ada yang naik mengambil kartu itu! Tak bisa kita main tanpa yang itu.”

“Tak seorang pun mau memanjat.”

“Bagaimana kalau Kapten sendiri?”

“Saya pikir dia dapat, kalau dia memang mau.”

“Mari kita tawarkan uang kepadanya. Pasti dia mau.”

Kapten mendengar usul itu, setuju menerimanya, dan mengambil uang itu, tapi agaknya ia merasa bahwa sebagai pemimpin di kapal itu pertama­tama ia harus menentukan tanggung jawab atas kejadian tersebut. Berdiri di atas tumpukan muatan, ia berseru kepada para penumpang. “Milik siapa monyet itu? Saya persilakan pemiliknya maju ke muka.”

Tak seorang pun menjawab, tapi sejumlah orang yang mengetahui bahwa monyet itu milik si pemuda tampan menjeling penuh harap kepadanya. Kapten sendiri mengetahui, maka naiklah darahnya melihat pemuda itu tidak menjawab. Sambil meninggikan lagi suaranya, katanya, “Apa pemiliknya tak ada di sini?… Kalau tak ada yang memiliki monyet itu, saya akan mengambilnya, tapi saya tak ingin ada keluhan nantinya.”

Pemilik monyet bersandar pada sebuah muatan dan sedang berpikir keras. Beberapa penumpang mulai berbisik-bisik dengan sikap tak senang. Kapten memandang benci pada pemuda itu. Para pemain kartu menggerutu dengki, dan sebagian lagi mulai bertanya apakah orang itu bisu-tuli atau sekadar kurang ajar. Namun pemuda itu hanya sedikit mengubah keduduk­annva ke sisi dan berbuat seolah-olah tak suatu pun terjadi.

Kapten berbicara lagi. “Rupanya monyet hidup di laut dan di darat. Seperti kita lihat, seekor di antaranya sudah datang ke tempat kita. Karena dia tak bertuan, saya kira kita dapat melakukan apa saja yang kita kehendaki. Para penumpang, jadilah saksi saya! Sebagai kapten, saya sudah mengimbau pemiliknya untuk menyatakan diri, tapi dia tak mau. Kalau nanti dia mengeluh menyatakan tidak mendengar saya, saya minta saudara-­saudara berdiri di pihak saya!”

“Kami menjadi saksi Kapten!” teriak para saudagar yang waktu itu sudah hampir naik pitam.

Kapten menghilang turun dan masuk palka. Ketika muncul kembali, ia sudah memegang senapan dengan sumbu lambat yang sudah dinyalakan. Tapi ada keraguan dalam hati siapa pun bahwa Kapten siap mengguna­kanmya. Wajah orang-orang dialihkan dari Kapten ke pemilik monyet.

Monyet itu sedang menyenang-nyenangkan diri sepenuhnya. Di atas sana ira bermain dengan kartu itu dan melakukan segala yang dapat dilakukannya untuk menjengkelkan orang-orang di atas dek. Tiba-tiba ia memperlihatkan giginva, berceloteh, dan berlari ke ujung palang tiang, tapi sesudah sampai di sana rupanya tak tahu ia apa yang hendak dilakukannya.

Kapten mengangkat senapan dan membidik. Tapi, sementara salah seorang saudagar menarik lengan baju Kapten dan mendesaknya untuk menembak, pemilik monyet berseru, “Stop, Kapten!”

Kali ini giliran Kapten berpura-pura tidak mendengar. Ia menekan pelatuk, para penumpang menunduk sambil menutup telinga dengan tangan, dan senapan meletus dengan suara berdentam. Tetapi tembakan itu melenceng jauh. Pada detik terakhir, orang muda itu mendorong laras senapan dari kedudukannya.

Sambil memekik berang, Kapten mencekal dada orang muda itu. Untuk sesaat ia seperti hampir tergantung-gantung, karena sekalipun bertubuh kuat, ia pendek dibandingkan dengan pemuda tampan itu.

“Apa pula Tuan ini?” pekik si orang muda. “Tuan mau menembak monyet yang tak bersalah dengan mainan Tuan itu?”

“Betul.”

“Tapi perbuatan itu tidak begitu baik, kan?”

“Saya sudah memberikan peringatan yang perlu!”

“Bagaimana Tuan melakukannya?”

“Apa kau tak punya mata dan telinga?”

“Diam! Saya penumpang di kapal ini. Dan lagi saya seorang samurai. Apa Tuan kira saya mau menjawab kalau cuma seorang kapten kapal berdiri di depan para penumpang kapal, lalu melenguh-lenguh seakan-akan dia majikan atau guru mereka?”

“Jangan kurang ajar kamu! Aku sudah mengulang peringatan tiga kali. Kau pasti mendengar. Biarpun kau tak suka dengan caraku bicara, kau toh dapat memperlihatkan iktikad baik pada orang-orang yang merasa terganggu oleh monyetmu?”

“Orang-orang mana? Yang Tuan maksud gerombolan pedagang yang sedang berjudi di belakang tirai itu?”

“Jangan omong besar kamu! Mereka membayar tiga kali lipat dari yang lain.”

“Itu sama sekali tak mengubah diri mereka-saudagar-saudagar yang rendah kelasnya dan tak kenal tanggung jawab, yang melempar-lemparkan emas di depan semua orang, minum sake, dan berbuat seolah-olah pemilik kapal. Saya sudah memperhatikan mereka, dan saya tak suka sama sekali pada mereka. Bagaimana kalau monyet itu betul-betul lari membawa kartu mereka? Saya tidak menyuruh berbuat demikian. Dia cuma menirukan apa yang mereka lakukan. Tak ada alasan saya untuk minta maaf!”

Orang muda itu memandang tajam-tajam kepada para saudagar kaya dan menujukan tawanya yang keras mencemooh ke arah mereka.

Kerang Pelipur Lara

PETANG hari, waktu kapal memasuki pelabuhan Kizugawa, disambut bau ikan yang meliputi segalanya. Lampu-lampu kemerahan berkelap-kelip di pantai dan ombak berdebur terus-menerus di latar belakang. Sedikit demi sedikit jarak antara suara-suara yang datang dari kapal dan suara-suara dari pantai memadu. Disertai kecipak air berwarna putih, jangkar pun dijatuhkan; tali-tali dilontarkan dan tangga diturunkan pada tempatnya.

Teriakan-teriakan bersemangat riuh bunyinya memenuhi udara.

“Apa putra pendeta Biara Sumiyoshi ada di kapal?”

“Apa ada pembawa surat?”

“Guru! Kami ada di sini, di sini!”

Seperti ombak, lentera-lentera kertas bertuliskan nama-nama berbagai penginapan melintasi dermaga menuju kapal, sementara para pencari pelanggan berlomba-lomba melakukan pekerjaannya.

“Siapa ke penginapan Kashiwaya!”

Orang muda tadi menerobos orang banyak dengan monyet bertengger di bahunya.

“Ke tempat kami, Tuan-tanpa bayar buat monyet.”

“Tempat kami tepat di depan Biara Sumiyoshi yang cukup besar untuk peziarah. Tuan bisa dapat kamar yang indah, dengan pemandangan yang indah juga!”

Tak seorang pun datang menjemput pemuda itu. Ia berjalan langsung dari dermaga, tanpa memperhatikan para pencari pelanggan ataupun yang lainnya.

“Dia pikir siapa dirinya?” geram seorang penumpang. “Cuma karena tahu sedikit main pedang!”

“Oh, kalau aku bukan cuma rakyat biasa, tak bakal bisa dia pergi tanpa perkelahian.”

“Tenanglah! Biar saja prajurit-prajurit itu menyangka mereka lebih baik daripada siapa pun. Selama dapat bergaya seperti raja, mereka bahagia. Tugas kita sebagai rakyat adalah membiarkan mereka mengambil bunga, sedangkan kita mengambil buahnya. Buat apa uring-uringan karena kejadian kecil hari ini?” Sambil bercakap-cakap seperti ini, para saudagar tetap mengurus agar barang mereka yang bergunung-gunung dihimpun dengan tertib, kemudian diturunkan, untuk akhirnya dijemput oleh kelompok manusia, lentera, dan kendaraan. Tak seorang pun dari mereka yang tidak segera dikelilingi beberapa perempuan yang penuh hasrat membantu.

Orang terakhir yang meninggalkan kapal adalah Gion Toji. Wajahnya mengungkapkan perasaan yang betul-betul tak enak. Tak pernah dalam hidupnya ia mengalami hari yang lebih tidak menyenangkan daripada hari itu. Kepalanya terbungkus kerudung untuk menyembunyikan gelungan yang hilang dengan cara sangat memalukan itu, tapi kain itu tak dapat menyembunyikan alisnya yang turun dan bibirnya yang cemberut.

“Toji! Aku di sini!” seru Oko. Sekalipun kepalanya juga terbungkus kerudung, wajah Oko terkena tiupan angin dingin selama menanti tadi, dan kerut-merutnya menampakkan diri dari balik pupur yang dimaksud untuk menyembunyikannya.

“Oko! Jadi, kau datang juga.”

“Itu yang kauharapkan, bukan? Kau menulis, minta aku menunggumu di sini, kan?”

“Ya, tapi kupikir surat itu tidak sampai pada waktunya.”

“Ada yang tidak beres? Kau tampak bingung.”

“Tak apa-apa. Cuma sedikit mabuk laut. Ayo kita pergi ke Sumiyoshi, mencari penginapan yang baik.”

“Jalan sini. Ada joliku menunggu.”

“Terima kasih. Apa kau sudah pesan kamar buat kita?”

“Ya. Semua orang menunggu di penginapan.”

Pandangan cemas melintasi wajah Toji. “Semua orang? Apa maksudmu? Kupikir cuma kita berdua yang akan menghabiskan hari-hari menyenangkan di satu tempat yang tenang. Kalau banyak orang di sana, aku tidak pergi.”

Ia menolak naik joli, dan berjalan marah lebih dulu. Ketika Oko men­coba menjelaskan, ia menukasnya telak dan menyebutnya goblok. Segala kemarahan yang telah bertumpuk dalam dirinya di kapal kini meledak.

“Aku akan tinggal sendiri di mana saja!” lenguhnya. “Suruh joli itu pergi! Bagaimana mungkin kau begitu bodoh? Kau ini sama sekali tak mengerti diriku.” Ia merenggutkan lengan kimononya dari Oko dan bergegas pergi.

Waktu itu mereka berada di pasar ikan, di samping daerah pelabuhan. Semua toko sudah tutup, dan sisik-sisik ikan yang bertebaran di jalan berkelipan seperti kerang-kerangan perak kecil. Karena di sana betul-betul tidak ada orang, maka Oko memeluk Toji, mencoba meredakar. kemarahannya.

“Lepaskan!” pekik Toji.

“Kalau kau pergi sendiri, orang-orang akan mengira ada sesuatu.”

“Biar mereka mengira semaunya!”

“Oh, jangan bicara seperti itu!” mohon Oko. Pipinya yang sejuk menempel pada pipi Toji. Bau pupur dan rambutnya yang manis menyusupi diri Toji, dan berangsur-angsur kemarahan dan rasa frustrasinya mereda.

“Aku mohon,” pinta Oko.

“Ini cuma karena aku begitu kecewa,” kata Toji.

“Aku tahu, tapi kita masih akan punya kesempatan lain untuk bersama­-sama.

“Tapi dua-tiga hari ini—aku betul-betul mengharapkannya.”

“Aku mengerti.”

“Kalau kau mengerti, kenapa kauseret ikut orang-orang itu? Itu karena perasaanmu terhadapku lain dengan perasaanku terhadapmu!”

“Sekarang kau mulai soal itu lagi,” kata Oko mencela sambil menatap ke depan, dan tampak seakan air matanya akan mengalir. Tapi ia bukannya menangis, melainkan mencoba sekali lagi memaksa Toji mendengarkan penjelasannya. Ketika pembawa surat datang membawa surat Toji, tentu saja ia berencana untuk datang ke Osaka sendirian, tapi dasar nasib, malam itu juga Seijuro datang di Yomogi bersama enam atau tujuh orang muridnya, dan Akemi membocorkan pada mereka bahwa Toji akan datang. Seketika itu juga orang-orang itu memutuskan akan mengantar Oko ke Osaka dan minta Akemi datang bersama mereka. Akhirnya rombongan yang menginap di penginapan Sumiyoshi itu berjumlah sepuluh orang.

Toji terpaksa membenarkan bahwa dalam keadaan seperti itu tak banyak yang dapat diperbuat Oko, namun perasaan murungnya tidak juga membaik. Hari itu jelas bukan hari baik baginya, dan ia yakin bakal datang yang lebih buruk lagi. Satu hal, pertanyaan pertama yang akan dilontarkan kepadanya adalah tentang hasil kampanye keliling yang telah dilakukannya, dan ia merasa benci karena harus menyampaikan berita buruk pada mereka. Tapi yang jauh lebih ia takuti adalah bahwa ia terpaksa melepaskan kerudung dari kepalanya. Bagaimana mungkin ia memberikan penjelasan tentang hilangnya gelungan itu? Akhirnya ia menyadari bahwa tak ada jalan keluar, dan menyerahlah ia kepada nasib.

“Baiklah, baiklah,” katanya, “aku pergi denganmu. Suruh joli itu kemari.”

“Oh, aku sungguh bahagia!” seru Oko, lalu kembali ke dermaga.

Di rumah penginapan, Seijuro dan lain-lainnya sudah mandi, mengenakan kimono berlapis katun nyaman yang disediakan rumah penginapan, dan duduk menanti kembalinya Toji dan Oko. Beberapa waktu kemudian, ketika kedua orang itu tidak juga muncul, satu orang berkata, “Cepat atau lambat mereka berdua akan datang. Tak ada alasan untuk duduk di sini berpangku tangan.”

Konsekuensi wajar dari pernyataan ini adalah pesanan sake. Semula mereka minum hanya untuk menghabiskan waktu, tapi segera kemudian kaki mereka mulai membujur dengan nikmatnya, dan mangkuk-mangkuk sake bergerak mondar-mandir lebih cepat. Tak lama kemudian, mereka semua sudah kurang-lebih melupakan Toji dan Oko.

“Apa tak ada gadis-gadis penyanyi di Sumiyoshi ini?”

“Ide bagus! Apa salahnya kalau kita panggil tiga atau empat gadis manis?”

Seijuro tampak ragu-ragu, tapi kemudian satu orang menyarankan agar ia dan Akemi mengundurkan diri ke kamar lain, di mana suasananya lebih tenang. Tindakan yang tidak terlalu halus untuk menyingkirkannya itu mendatangkan senyum sayu di wajahnya, tapi bagaimanapun ia senang juga meninggalkan tempat itu. Akan jauh lebih menyenangkan berada sendirian dalam kamar dengan Akemi dan kotatsu hangat, daripada minum dengan gerombolan orang kasar ini.

Segera sesudah ia keluar dari ruangan, pesta pun dimulai dengan se­sungguhnya, dan tak lama kemudian beberapa gadis penyanyi dari kelas yang oleh penduduk setempat dikenal sebagai “kebanggaan Tosamagawa” muncul di kebun di luar kamar. Suling dan shamisen yang mereka bawa sudah tua, bermutu rendah, dan sudah aus karena sering dipakai.

“Kenapa Tuan-tuan begini ribut?” tanya seorang di antara perempuan itu lancang. “Tuan-tuan datang kemari untuk minum atau bercekcok?”

Orang yang menganggap dirinya pimpinan menyahut, “Jangan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tolol. Tak ada orang mengeluarkan uang untuk berkelahi! Kami panggil kalian kemari supaya kami dapat minum dan bersenang-senang.”

“Nah,” kata gadis itu dengan bijaksana, “saya senang mendengar itu, tapi saya harap betul Tuan-tuan sedikit tenang.”

“Oh, kalau itu yang kaukehendaki, bagus! Mari kita nyanyikan lagu­-lagu.”

Untuk menghormati hadirnya wanita di tempat itu, beberapa tulang kering yang berambut pun ditarik masuk ke balik ujung kimono, dan beberapa tubuh yang menggeletak menegakkan diri. Musik dimulai, semangat meningkat, dan pesta berkembang pesat. Pesta sedang berjalan sehebat-­hebatnya ketika seorang gadis muda masuk memberitahukan bahwa orang lelaki yang tiba dengan kapal dari Shikoku itu telah datang dengan temannya.

“Apa katanya? Ada orang datang?”

“Ya, dia bilang orang yang namanya Toji datang.”

“Hebat! Bagus sekali! Toji tua yang baik itu datang… Siapa itu Toji?”

Masuknya Toji dengan Oko sama sekali tidak mengganggu acara itu, bahkan sesungguhnya mereka berdua diabaikan. Setelah dibuat berpikir bahwa mereka semua berkumpul demi meyakinkan Toji bahwa semua itu diadakan untuk dia, Toji jadi muak.

Ia panggil kembali gadis yang mengantar mereka dan minta dibawa ke kamar Seijuro. Tapi ketika mereka sedang masuk ke gang, si biang keladi vang berbau sake datang terhuyung-huyung dan merangkulkan tangannya ke leher Toji.

“Hei, Toji!” katanya dengan nada malas. “Baru kembali? Kau tentunya bersenang-senang dengan Oko entah di mana, selagi kami duduk menunggu di sini. Itu mestinya tak boleh kamu lakukan!”

Toji mencoba melepaskan orang itu dari dirinya, tapi sia-sia. Orang itu menariknya ke dalam kamar, dan Toji meronta-ronta. Dalam perjalanan, orang itu menginjak sebuah-dua buah baki, menendang beberapa guci sake, kemudian jatuh ke lantai bersama Toji pula.

“Kerudungku!” sengal Toji. Tangannya cepat memegang kepalanya, tapi terlambat. Sambil jatuh, si biang keladi telah menyambar kerudung itu dan kini ia menggenggamnya. Semua mata memandang langsung ke tempat bekas gelungan Toji, diiringi napas tersengal bersama.

“Apa yang terjadi dengan kepalamu?”

“Ha, ha, ha! Cukuran baru rupanya!”

“Di mana kaudapatkan itu?”

Wajah Toji menjadi merah padam. Sambil memungut kerudungnya dan mengembalikannya ke tempatnya, ia menggagap, “Ah, tak apa-apa. Aku punya bisul.”

Tanpa kecuali, semua orang tertawa terbahak-bahak.

“Dia bawa pulang bisul untuk oleh-oleh!”

“Tutup tempat yang busuk itu!”

“Jangan cuma bicara. Tunjukkan pada kami!”

Dari lelucon ringan itu jelaslah bahwa tak seorang pun percaya pada Toji, tapi pesta berjalan terus, dan tak seorang pun bicara lagi tentang gelungan itu.

Pagi berikutnya persoalan sudah lain sama sekali. Pukul sepuluh, kelompok yang sama sudah berkumpul di pantai di belakang rumah penginapan, dalam keadaan sudah tidak mabuk dan tenggelam dalam pembicaraan yang sangat serius. Mereka duduk melingkar, sebagian dengan dada dibidangkan, sebagian lagi dengan tangan disilangkan, tapi semuanya tampak muram.

“Dari segi mana pun, buruk keadaannya.”

“Tapi persoalannya, apakah benar begitu?”

“Aku mendengar dengan telingaku sendiri. Apa kau mau menyebutku pembohong?”

“Kita tak dapat membiarkan hal itu berlalu tanpa melakukan sesuatu. Kehormatan Perguruan Yoshioka sedang dipertaruhkan. Kita harus bertindak!”

“Tentu saja, tapi apa tindakan kita?”

“Nah, sekarang ini masih belum terlambat. Kita harus menemukan orang yang membawa monyet itu dan memotong gelungannya. Kita harus menunjukkan kepadanya bahwa bukan hanya kebanggaan Gion Toji yang tersangkut di sini. Ini persoalan yang menyangkut martabat seluruh Perguruan Yoshioka! Ada yang keberatan?” Biang keladi yang mabuk semalam itu kini menjadi letnan yang gagah berani, yang mendorong orang-orangnya me­masuki pertempuran.

Ketika terbangun pagi itu, mereka memesan air hangat untuk mandi, untuk menghilangkan sisa mabuk mereka. Dan ketika mereka berada di tempat mandi, seorang saudagar masuk. Tanpa mengetahui siapa mereka, ia bercerita tentang apa yang telah terjadi di kapal. Ia sampaikan pada mereka cerita lucu tentang pemotongan gelungan itu dan ia akhiri ceritanya dengan mengatakan, “Samurai yang kehilangan rambutnya itu menyatakan diri sebagai murid terkemuka Keluarga Yoshioka di Kyoto. Pendapat saya, kalau memang benar demikian, keadaan Keluarga Yoshioka itu tentunya lebih buruk lagi dari yang dapat dibayangkan orang.”

Murid-murid Yoshioka cepat bebas dari mabuknya dan pergi mencari murid senior yang sulit diatur itu, untuk ditanyai tentang kejadian tersebut. Tapi segera mereka temukan bahwa Toji sudah bangun lebih pagi, berbicara sepatah dua patah kata dengan Seijuro, kemudian langsung berangkat dengan Oko ke Kyoto sesudah makan pagi. Hal ini membenarkan tepatnya cerita itu, namun daripada mengejar Toji si pengecut, mereka memutuskan lebih masuk akal menemukan pemuda tak dikenal yang membawa monyet itu dan membersihkan nama baik Yoshioka.

Dalam sidang perang di tepi pantai itu mereka menyepakati sebuah rencana, lalu bangkit berdiri, mengibaskan pasir yang menempel di ki­mono, dan mulai beraksi.

Tidak jauh dari sana, Akemi yang bertelanjang kaki bermain di tepi air, memunguti kerang laut satu demi satu, tapi langsung membuangnya kembali. Sekalipun waktu itu musim dingin, matahari bersinar hangat dan bau laut memancar dari built ombak yang menghampar seperti rantai bunga mawar putih sejauh-jauh mata memandang.

Dengan mata terbuka lebar karena heran, Akemi memandang orang­orang Yoshioka berlari ke arah yang berbeda-beda itu, sementara ujung sarung pedang mereka mendongak-dongak ke udara. Ketika orang terakhir melewatinya, ia berseru, “Ke mana kalian semua ini pergi?”

“Oh, kamu?” kata orang itu. “Bagaimana kalau kau ikut mencari denganku? Setiap orang mendapat bagian wilayah untuk diliput.”

“Apa yang kalian cari?”

“Seorang samurai muda dengan jambul panjang. Dia membawa monyet.”

“Apa yang dilakukannya?”

“Sesuatu yang akan membikin malu nama Tuan Muda, kecuali kalau kami bertindak cepat.”


Cerita Novel Musashi buku 3, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp//?cat=44
[lihat: Lanjutan Cerita]


0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar