Sabtu, 10 Mei 2008

Miyamoto Musashi, Buku 4-3


Cerita Novel Musashi buku 4, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar] [lihat: Cerita Sebelumnya]


Lentera-lentera yang pelan-pelan mendekat dan terayun ke sana kemari dalam angin dingin dari Gunung Hiei itu tampak membosankan dibanding­kan dengan cahaya bulan.

Beberapa menit kemudian, Genzaemon turun dari joli dan menyatakan. “Saya kira kita semua sudah di sini sekarang.”

Genjiro, anak lelaki umur tiga belas tahun, muncul dari joli di sam­pingnya. Bapak dan anak mengenakan ikat kepala putih yang dipasang ketat, sedangkan hakama-nya disingsingkan tinggi-tinggi.

Genzaemon memerintahkan anaknya pergi berdiri ke bawah pohon ­pinus. Anak itu mengangguk diam ketika ayahnya menepuk kepalanya untuk membesarkan hatinya, katanya, “Pertempuran akan dilaksanahan dengan namamu, tapi perkelahian akan dilakukan oleh para murid. Karena kamu masih terlalu kecil untuk ambil bagian, kamu tak perlu melakukan apa-apa kecuali berdiri di sana memperhatikan.”

Genjiro berlari langsung ke pohon itu. Di situ ia mengambil sikap bermartabat, seperti boneka samurai pada Festival Anak Lelaki.

“Kita datang terlalu pagi,” kata Genzaemon. “Matahari belum akan naik.” Ia mencari-cari sesuatu di pinggangnya, kemudian mengeluarlan pipa panjang yang besar mangkuknya. “Ada yang punya api?” tanyanya biasa saja, untuk menunjukkan kepada orang-orang lain bahwa ia sepenuhnya menguasai diri.

Satu orang melangkah maju, dan katanya, “Sebelum duduk merokok, apa menurut Bapak tak perlu kita memutuskan dulu bagaimana membagi orang-orang itu?”

“Ya, kukira begitu. Mari kita tempatkan mereka dengan cepat, kita siap. Bagaimana rencana kalian?”

“Gugus pusat ditempatkan di bawah pohon. Orang-orang lain sembunyi di beberapa tempat, pada jarak sekitar dua puluh langkah di kiri-kanan ketiga jalan.”

“Siapa di bawah pohon?”

“Anda, saya, dan sekitar sepuluh lainnya. Dengan berada di sini, kita dapat melindungi Genjiro dan siap terjun kalau ada isyarat bahwa Musashi sudah datang.”

“Tunggu sebentar,” kata Genzaemon yang memikirkan strategi itu dengan sikap hati-hati penuh kebijaksanaan. “Kalau orang disebar macam itu, hanya akan ada sekitar dua puluh orang yang bisa melakukan serangan awal.”

“Betul, tapi dia akan terkepung.”

“Belum tentu. Kalian boleh yakin, dia pasti akan membawa bantuan. Dan kalian mesti ingat, sepandai dia berkelahi, pandai juga dia melepaskan diri dari kepungan ketat. Dia bisa menyerang tempat yang kurang orangnya, melukai tiga atau empat orang, kemudian pergi. Lalu dia akan berkeliling membual bahwa dia sudah menghadapi lebih dari tujuh puluh anggota Perguruan Yoshioka, dan keluar sebagai pemenang.”

“Kita takkan membiarkan dia berbuat begitu.”

“Kemudian kita cuma akan perang kata saja. Biarpun dia membawa pendukung, orang banyak akan menganggap pertandingan ini pertandingan antara dia pribadi melawan Perguruan Yoshioka secara keseluruhan. Dan simpati mereka akan tertuju kepada pemain pedang yang sendirian.”

“Saya pikir,” kata Miike Jurozaemon, “dengan sendirinya kalau dia lolos lagi, kita tak bisa lagi menebus aib, apa pun yang akan kita katakan. Kita di sini sekarang untuk membunuh Musashi, dan tak usah repot-repot me­mikirkan apa cara kita itu lurus atau tidak. Orang mati akan bungkam.”

Jurozaemon memanggil empat orang dari kelompok terdekat untuk maju. Tiga di antaranya membawa busur kecil, yang keempat membawa bedil. Ia suruh mereka menghadap Genzaemon. “Barangkali Bapak ingin melihat tindakan berjaga-jaga yang telah kami ambil.”

“Oh, senjata terbang.”

‘Kita dapat menempatkan mereka ini di ketinggian atau di pohon.”

“Tapi orang banyak takkan mengatakan kita menggunakan taktik kotor?”

“Kita tak perlu peduli apa yang dikatakan orang. Kita ingin yakin Musashi mati.”

“Baiklah. Kalau kalian memang siap menghadapi ancaman, tak perlu lagi aku bicara,” kata orang tua itu, tidak melawan lagi. “Biarpun Musashi membawa lima atau enam orang, kurang kemungkinannya dia lolos kalau kita bawa busur dan anak panah, serta senapan. Nah, kalau kita terus brndiri di sini, kita bisa kecolongan. Kuserahkan penempatan orang-orang itu padamu, dan bawa mereka ke tempat masing-masing, segera.”

Bayang-bayang hitam menyebar seperti angsa liar di rawa-rawa, sebagian tmettvelam ke dalam belukar bambu, sebagian lagi menghilang di belakang pepohonan atau meratakan diri di atas pematang sawah. Ketiga pemanah naik ke tempat tinggi yang menghadap lapangan. Dan di bawah sana, pernbawa senapan memanjat cabang atas pohon pinus lebar. Sementara ia sibuk mencari tempat persembunyian diri, daun dan kulit pinus itu meng­hujani Genjiro.

Melihat anak itu menggeliat-geliat, Genzaemon memarahinya, “Kamu belum gelisah, kan? Jangan seperti pengecut!”

“Bukan begitu, Pak. Daun pinus jatuh ke punggung.”

“Tenang. Tahan saja. Ini pengalaman baik buatmu. Perhatikan baik-baik kalau perkelahian yang sebenarnya mulai nanti.”

Di jalan paling timur tedengar teriakan ribut. “Berhenti, tolol!” Rumpun-rumpun bambu bergemeresik demikian kerasnya, hingga Cuma orang tuli yang tidak tahu bahwa ada yang bersembunyi di sepanjang ketiga jalan itu.

Genjiro berteriak, “Takut!” dan mendekap pinggang ayahnya.

Jurozaemon segera berangkat menuju tempat keributan itu, sekalipun ia merasa bahwa tanda bahaya itu pasti tidak betul.

Sasaki Kojiro menghardik salah seorang anggota Yoshioka. “Kalian punya mata tidak? Aku disangka Musashi! Aku datang kemari buat menjadi saksi tapi kalian mengejarku dengan lembing. Betapa goblok!”

Orang-orang Yoshioka marah juga. Sebagian mencurigainya sedang me­mata-matai mereka. Mereka mundur, tapi terus menghalangi jalan Kojiro.

Ketika Jurozaemon kemudian memasuki lingkaran, Kojiro beralih ke­padanya. “Aku datang kemari buat menjadi saksi, tapi orang-orangmu memperlakukan aku seperti musuh. Kalau mereka bertindak atas perintahmu, biarpun aku pemain pedang yang kikuk, aku lebih dari senang kalau meng­hadapi kamu. Tak ada alasanku membantu Musashi, tapi aku punvu kehormatan yang mesti kujunjung tinggi. Kecuali itu, ini kesempatan baik bagiku membasahi Galah Pengering ini dengan darah segar, karena memang sudah agak lama juga aku tidak melakukannya.” Kojiro seperti macan tutul meludahkan api. Orang-orang Yoshioka yang terkecoh oleh pemunculannya yang perlente itu mundur oleh sikapnya yang garang.

Jurozaemon berketetapan untuk memperlihatkan bahwa ia tidak gentar oleh kata-kata Kojiro, dan ia tertawa, “Ha, ha! Kamu gusar, ya? Tapi cola katakan, siapa yang memintamu jadi saksi. Tak ingat aku ada permintaan macam itu. Apa Musashi yang minta?”

“Jangan bicara kosong kamu. Waktu kita memasang papan pengumuman di Yanagimachi itu, kusampaikan pada kedua belah pihak, aku akan bertindak sebagai saksi.”

“Oh, begitu. Itu kamu yang mengatakan. Dengan kata lain, Musashi tidak minta, dan kami pun tidak minta. Kamu menunjuk dirimu sendiri sebagai peninjau. Yah, dunia ini memang penuh dengan orang yang ikut campur urusan orang.”

“Itu penghinaan!” bentak Kojiro.

Dengan ludah berpercikan dari mulutnya, Jurozaemon berteriak. Kami di sini bukan buat bikin pertunjukan.”

Kojiro yang biru mukanya karena marah cepat menyingkir dari kelompok itu dan lari ke jalan beberapa jauhnya. “Waspadalah, kamu bajingan!” pekik­nya dan bersiap menyerang.

Genzaemon yang selama ini terus mengikuti Jurozaemon berkata, “Tunggu, anak muda!”

“Kamu yang tunggu!” pekik Kojiro. “Tak ada urusanku dengan kamu. Tapi akan kutunjukkan padamu, apa jadinya orang yang menghinaku!”

Orang tua itu lari mendatanginya. “Oh, oh, engkau selalu serius me­nanggapi ini! Harap maklum, orang-orang kami ini sedang naik semangat. Saya paman Seijuro. Saya sudah mendengar dari Seijuro bahwa engkau pemain pedang yang baik. Saya yakin sudah terjadi kekeliruan tadi itu. Saya harap kamu mau memaafkan saya pribadi atas kelakuan orang-orang kami.”

“Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang menyambut saya dengan cara ini. Saya punya hubungan baik dengan Seijuro, dan saya mengharapkan kebaikan Keluarga Yoshioka, walaupun tak dapat saya ber­tindak sebagai pendukungnya. Tapi itu bukan alasan bagi orang-orang Bapak menghina saya.”

Sambil berlutut resmi, Genzaemon berkata, “Engkau benar. Saya harap engkau melupakan yang sudah terjadi, demi Seijuro dan Denshichiro.” Orang tua itu memilih kata-katanya dengan bijaksana, karena kuatir kalau Kojiro tersinggung ia bisa menyiar-nyiarkan strategi pengecut yang mereka tempuh.

Kemarahan Kojiro mereda. “Silakan berdiri, Pak. Saya malu melihat orang tua berlutut di depan saya.” Lalu mendadak sontak pemilik Galah Pengering itu menggunakan lidahnya yang fasih untuk membesarkan hati orang-orang Yoshioka dan menjelek-jelekkan Musashi. “Beberapa waktu lamanya saya bersahabat dengan Seijuro, dan seperti saya katakan tadi, saya tak punya hubungan dengan Musashi. Dengan sendirinya saya berpihak pada Keluarga Yoshioka.

“Sudah banyak saya menyaksikan pertentangan antarpetarung, tapi belum pernah saya menyaksikan tragedi seperti yang menimpa Anda sekalian ini. Sungguh tak bisa dipercaya bahwa keluarga yang telah mengabdi kepada para shogun Ashikaga sebagai instruktur seni perang bisa diruntuhkan nama baiknya hanya oleh seorang udik.”

Kata-kata yang diucapkan dengan sengaja untuk mencoba membuat telinga pendengarnya terbakar itu diterima dengan penuh perhatian. Pada wajah Jurozaemon terlihat penyesalan karena telah bicara demikian kasar kepada orang yang begitu berkemauan baik terhadap Keluarga Yoshioka.

Reaksi yang mereka perlihatkan itu tidak disia-siakan oleh Kojiro. Ia memanfaatkan momentum itu. “Di masa depan, saya punya rencana men­dirikan perguruan saya sendiri. Karena itulah, bukan karena sekadar ingin tahu. Saya berlatih mengamati pertarungan-pertarungan dan mempelajari taktik-taktik para pesilat lain. Ini bagian dari pendidikan saya. Tapi rasanya belum pernah saya menyaksikan atau mendengar tentang pertarungan yang lebih menjengkelkan daripada kedua pertarungan Anda sekalian dengan Musashi itu. Coba, berapa banyak jumlah Anda sekalian di Rengeoin, dan sebelum itu juga dia Redaiji. Tapi Anda sekalian membiarkan Musaslu lolos, hingga dia bisa petentengan di jalan-jalan Kyoto! Sungguh saya tak dapat memahami itu.”

Sambil menjilat bibirnya yang kering, la melanjutkan, “Tak sangsi lagi. Musashi seorang petarung yang ulet luar biasa, sebagaimana pemain pedang pengembara lainnya. Saya tahu itu dari beberapa kali melihatnya. Sekarang saya ingin menyampaikan pada Anda sekalian apa yang saya ketahui tentang Musashi, walaupun ini bisa menimbulkan kesan seolah saya campur tangan.”

Tanpa menyebut nama Akemi, ia memberikan uraiannya. “Keterangar pertama sampai di tangan saya ketika kebetulan saya bertemu dengan seorang perempuan yang mengenal Musashi sejak dia umur tujuh betas tahun. Kalau keterangan yang diberikannya pada saya itu dilengkapi dengan lain-lain keterangan yang dapat saya pungut di sana-sini, pada Anda sekalian bisa diberikan garis besar yang cukup lengkap mengenai kehidupan Musashi.

“Dia lahir sebagai anak samurai lokal di Provinsi Mimasaka. Dia ambil bagian di Pertempuran Sekigahara, dan sesudah pulang dia melakukan demikian banyak kekejian, hingga dia diusir dari kampung. Sejak itu dia mengembara di pedesaan.

“Walaupun wataknya jelek, dia memiliki bakat tertentu dalam main pedang. Dan secara fisik dia kuat sekali. Lebih dari itu, dia berkelahi tanpa menghiraukan hidupnya sendiri. Karena itu cara-cara ortodoks dalam per­mainan pedang tidak efektif melawannya, sama seperti akal sehat tidak efektif untuk melawan penyakit gila. Anda sekalian mesti menjebaknya, seperti Anda sekalian menjebak binatang ganas. Kalau tidak, Anda sekalian akan gagal. Sekarang pertimbangkan sendiri, macam apa musuh Anda sekalian itu, dan buatlah rencana-rencana yang sesuai dengan itu.”

Dengan segala keresmian Genzaemon mengucapkan terima kasih kepada Kojiro, dan selanjutnya melukiskan tindakan berjaga-jaga yang telah diambil­nya.

Kojiro mengangguk tanda setuju. “Kalau Anda sekalian bertindak demikian saksama, dia barangkali tak punya kesempatan lolos dalam keadaan hidup. Namun Anda sekalian barangkali dapat menggunakan tipu daya yang lebih efektif.”

“Tipu daya?” ulang Genzaemon sambil melontarkan pandangan kasar, dan kurang memuji ke wajah Kojiro yang congkak itu. “Terima kasih. Tapi saya pikir sudah cukup yang kami lakukan mi.

“Belum, kawan, belum cukup. Kalau Musashi datang lewat jalan itu, jujur dan terus terang, barangkali tak bisa dia meloloskan diri. Tapi bagaimana kalau dia sudah tahu lebih dulu strategi Anda sekalian dan dia tidak muncul sama sekali? Semua perencanaan Anda akan sia-sia, kan?”

“Kalau itu yang dia lakukan, kami tinggal memasang papan pengumuman di seluruh kota, yang akan menjadikan dia bahan tertawaan seluruh kota Kyoto.”

“Memang tindakan demikian dapat menyelamatkan wajah Anda sampai taraf tertentu, tapi jangan lupa, dia masih bebas berkeliaran dan menyatakan taktik-taktik Anda sekalian kotor. Dalam hal seperti itu, berarti Anda sekalian tidak sepenuhnya menjernihkan nama guru Anda. Persiapan Anda tak punya arti, kecuali kalau Anda sekalian membunuh Musashi di sini, di hutan ini. Untuk mendapat kepastian bahwa Anda sekalian akan dapat melakukan itu, Anda harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin agar dia betul-betul datang kemari dan jatuh ke perangkap maut yang Anda pasang.”

“Apa ada jalan untuk melakukan itu?”

“Tentu saja. Sebetulnya saya dapat merencanakan beberapa cara.” Suara Kojiro penuh keyakinan. Ia pun membungkuk, dan dengan pandangan ramah yang tidak sering tampak pada mukanya yang angkuh itu ia mem­bisikkan beberapa patah kata ke telinga Genzaemon. “Bagaimana kalau begitu?” tanyanya keras.

“Hmmm, ya. Saya mengerti yang engkau maksud.” Orang tua itu meng­angguk beberapa kali, kemudian menoleh kepada Jurozaemon dan mem­bisikkan rencana itu kepadanya.

Pertemuan di Bawah Sinar Bulan

MALAM sudah lewat tengah malam ketika Musashi sampai di penginapan kecil sebelah utara Kitano, tempat ia pertama kali bertemu dengan Jotaro. Pemilik penginapan kaget, tapi menyambutnya dengan hangat dan cepat menyediakan tempat tidur untuknya.

Pagi-pagi benar Musashi pergi Dan kembali larut malam, serta menyerah­kan kepada orang tua itu sekarung ketela Kurama. ia menunjukkan pada pemilik penginapan itu satu gulung kain katun Nara yang sudah dikelantang, yang dibelinya di toko yang tak jauh dari situ. la bertanya apakah pemilik penginapan dapat membuatkannya baju dalam, kantung perut, dan cawat.

Pemilik penginapan dengan patuhnya membawa kain itu kepada penjahit di daerah tersebut, dan pulangnya membeli sedikit sake. Ketela ia rebus, dan sambil menghadapi ketela dan sake ia mengobrol dengan Musashi sampai tengah malam. Waktu itulah penjahit datang membawa pakaian itu Musashi melipat semua pakaian itu dengan rapi Dan meletakkannya di samping bantal, sebelum beristirahat.

Orang tua itu terbangun lama sebelum fajar oleh bunyi kecipak air. ­Ketika ditengok, tampak olehnya Musashi sudah mandi dengan air sumur yang dingin dan berdiri di bawah sinar bulan. ia mengenakan baju dalamnya yang baru Dan sedang mengenakan kimononya yang lama.

Musashi menyatakan sedikit bosan dengan Kyoto dan memutusk-an untuk pergi ke Edo. Ia berjanji dalam tiga atau empat tahun, apabila datang di Kyoto lagi, ia akan tinggal di penginapan itu.

Sesudah pemilik penginapan mengikatkan obi-nya di belakang, berangkat dengan langkah cepat. Ia mengambil jalan setapak sempit yang melintasi perladangan untuk menuju jalan raya Kitano. Dengan hati-hati dihindarinya timbunan kotoran sapi di sana-sini. Orang tua itu memandang sedih sementara kegelapan menelan Musashi.

Pikiran Musashi sama jernihnya dengan langit di atasnya. Karena secara fisik ia sudah segar kembali, setiap langkah yang diambilnya terasa membuat ­tubuhnya lebih ringan.

“Tak ada alasan untuk jalan begini cepat,” katanya keras sambil me­lambatkan jalannya. “Kukira inilah malam terakhir aku berada di lingkungan makhluk hidup.” Ucapan itu bukan seruan bukan pula ratapan, melainkan sekadar pernyataan yang begitu saja keluar dari bibirnya. Ia masih belum dapat merasakan benar-benar sedang menghadapi maut.

Hari sebelumnya ia lewatkan dengan bermeditasi di bawah sebuah pohon pinus di kuil dalam Kurama. Ia berharap akan mencapai kebeningan, sehingga tubuh dan jiwa tidak lagi merupakan persoalan. Tapi sia-sia ia berusaha melepaskan diri dari pikiran tentang mati. Sekarang rasanya malu ia telah membuang-buang waktu untuk itu.

Udara malam menyegarkan. Sake yang cukup jumlahnya, tidur yang singkat namun lelap, air sumur yang menyegarkan, dan pakaian baru­semua itu membuat ia tidak merasa sebagai orang yang akan mati. Teringat olehnya malam di tengah musim dingin itu, ketika ia memaksa diri naik ke puncak Gunung Rajawali. Waktu itu bintang-bintang juga memesona, dan pepohonan berhiaskan tetesan air beku. Tetesan air beku itu tentunya sekarang telah digantikan oleh kuncup bunga-bungaan.

Pikirannya melayang-layang dan ia merasa tak mungkin memusatkan diri pada masalah vital yang dihadapinya. Ia bertanya-tanya, tujuan apa yang hendak dicapainya pada tahap itu dengan memikirkan persoalan yang dipikirkan seabad pun takkan terpecahkan. Yaitu apa makna mati, keseng­saraan, maut, dan hidup yang menyusul sesudah itu?

Daerah yang sedang dilewati Musashi itu dihuni oleh bangsawan dan para abdi mereka. Terdengar olehnya alunan sedih suling kecil, diiringi bunvi lambat organ tiup dari pipa geladah. Di ruang matanya terlihat orang-orang berkabung yang sedang duduk melingkari peti mati, menanti tajar. Apakah ia tidak segera menyadarinya, ketika lagu sedih itu menyusupi telinganya? Barangkali karena lagu itu telah membangkitkan kenangan bawah sadarnya akan fakta perawan Ise yang sedang menari dan pengalam­annva di Gunung Rajawali. Kesangsian menggerogoti pikirannya.

Ketika ia beristirahat untuk memikirkan soal itu, ia lihat telah melewati Shokokuji dan tinggal sekitar seratus meter lagi dari Sungai Kamo yang keperakan. Dalam cahaya yang terpantul ke tembok tanah tampak olehnya sosok tubuh yang gelap, diam. Orang itu berjalan mendekatinya, diikuti bayangan yang lebih kecil, seekor anjing terikat tali. Hadirnya binatang itu berarti orang itu bukan salah seorang musuhnya. Musashi pun santai dan berjalan terus.

Orang itu berjalan terus beberapa langkah, kemudian menoleh, katanya, “Boleh saya mengganggu Anda?”

“Saya?”

“Ya, kalau boleh.” Topi dan hakama orang itu dari jenis yang biasa dipakai oleh para pengrajin.

“Soal apa?” tanya Musashi.

“Maafkan pertanyaan saya yang agak janggal, tapi apa Tuan tadi melihat rumah yang terang benderang di jalan ini?”

“Saya tidak begitu memperhatikan, tapi tidak, saya kira saya tak me­lihatnya.”

“Saya kira saya salah jalan lagi.”

“Apa yang Anda cari?”

“Rumah yang baru saja kematian.”

“Saya tak melihat rumah itu, tapi saya dengar tadi bunyi pipa gelas dan suling sekitar tiga puluh meter dari sini.”

“Mestinya tempat itu. Pendeta Shinto barangkali telah mendahului kami datang dan memulai jaga mayat.”

“Apa Anda mau ikut jaga mayat?”

“Tidak persis begitu. Saya pembuat peti mati dari Bukit Toribe. Saya diminta pergi ke rumah Matsuo, jadi saya pergi ke Bukit Yoshida, tapi merelea tak lagi tinggal di sana.”

“Keluarga Matsuo di Bukit Yoshida?”

“Ya, saya tidak tahu mereka sudah pindah. Sia-sia saja saya jalan begitu jauh. Terima kasih.”

“Tunggu,” kata Musashi. “Apa itu Matsuo Kaname yang mengabdi pada Yang Dipertuan Kanoe?”

“Betul. Dia jatuh sakit hanya sekitar sepuluh hari sebelum meninggal.­

Musashi berbalik dan berjalan terus. Pembuat peti mati bergegas jurusan sebaliknya.

“Jadi, pamanku meninggal,” pikir Musashi biasa. Teringat olehnya betapa sukar pamannya itu mengais dan menyimpan untuk mengumpulkan uang. Terpikir olehnya kue betas yang ia terima dari bibinya, dan ke­mudian ia lahap di tepi sungai yang beku di pagi Tahun Baru itu. Ia tidak tahu, bagaimana bibinya hidup selanjutnya tanpa suami.

Ia berdiri di tepi Sungai Kamo Hulu, memperhatikan pemandangan gelap ketiga puluh enam bukit Higashiyama. Masing-masing puncaknya seolah membalas pandangan matanya dengan sikap bermusuhan. Kemudian ia lari turun ke jembatan pohon. Dari bagian utara kota, orang ramai menyeberang di sini untuk dapat sampai ke jalan Gunung Hiei dan yang menuju Provinsi Omi.

Ia sudah setengah jalan menyeberangi jembatan ketika didengarnya suara keras, namun tak jelas. Ia berhenti mendengarkan. Air yang cepat bergemerecik riang, sedangkan angin dingin bertiup melintas lembah. Tak dapat ia menetapkan tempat asal teriakan itu. Beberapa langkah kemudian ia beristirahat lagi karena mendengar suara itu. Karena masih juga tidak dapat menentukan asal suara, ia bergegas pergi ke tepi yang lain. Begitu jembatan ditinggalkannya, tampak olehnya seorang lelaki dengan tangan terangkat ke atas berlari menyongsongnya dari utara. Sosok tubuh orang yang seperti dikenalnya. Orang itu Sasaki Kojiro, orang yang di mana-mana menentukan.

Sambil mendekat, ia menyambut Musashi dengan ramah sekali. Ia menatap ke seberang jembatan, lalu bertanya, “Engkau sendirian?”

“Tentu saja sendirian.”

“Kuharap engkau memaafkan aku dalam peristiwa malam itu,” kata Kojiro. “Terima kasih atas penerimaan campur tanganku.”

“Kupikir aku yang mesti mengucapkan terima kasih,” jawab Musashi dengan sikap sopan juga.

“Engkau menuju pertarungan?”

“Ya.”

“Sendiri saja?” tanya Kojiro lagi.

“Ya, tentu saja.”

“Hmmmm. Ingin tahu juga aku, Musashi, apa engkau menyalahartikan papan pengumuman yang kita pasang di Yanagimachi itu.”

“Kukira tidak.”

“Apa engkau sadar betul syarat-syaratnya? Ini bukan pertarungan satu lawan satu seperti dalam hal Seijuro dan Denshichiro.”

“Aku tahu.”

“Walaupun pertempuran dilaksanakan atas nama Genjiro, tapi dia dibantu oleh anggota Perguruan Yoshioka. Apa engkau mengerti bahwa Perguruan Yoshioka itu bisa sepuluh, seratus, atau bahkan seribu?”

“Ya, kenapa engkau bertanya?”

“Beberapa orang lemah sudah lari dari perguruan itu, tapi yang kuat dan berani semuanya sudah pergi ke pohon pinus lebar itu. Sekarang ini mereka sudah mengambil tempat di seluruh sisi bukit, menantimu.”

“Apa engkau sudah melihatnya?”

“Ya. Dan aku beranggapan lebih baik aku kembali mengingatkanmu. Karena tahu kau akan menyeberang jembatan pohon ini, aku menunggu di sini. Kuanggap ini kewajibanku, karena aku yang menulis papan peng­umuman itu.”

“Itu perbuatan bijaksana.”

“Nah, jadi begitulah keadaannya. Apa engkau betul-betul bermaksud pergi sendiri, atau barangkali engkau punya pendukung yang datang lewat jalan lain?”

“Aku punya seorang teman.”

“Oh? Di mana dia sekarang?”

“Di tempat ini juga!” Musashi menuding bayangannya sendiri. Karena tertawa, giginya berkilau disinari bulan.

Kojiro meremang bulu tengkuknya. “Ini bukan bahan tertawaan.”

“Dan aku juga tidak menganggapnya lelucon.”

“Oh? Kedengarannya seperti engkau menertawakan nasihatku.”

Musashi mengambil sikap lebih serius lagi daripada sikap Kojiro, dan ujarnya, “Apa menurutmu orang suci Shinran yang agung itu berkelakar ketika dia mengatakan bahwa setiap orang yang percaya itu memiliki kekuatan dua kali lipat karena sang Budha Amida bersamanya?”

Kojiro tidak membalasnya.

“Melihat segala sesuatunya, rasanya orang Yoshioka dalam keadaan yang lebih menguntungkan. Mereka mengerahkan segala kekuatan. Aku sendirian. Tidak sangsi lagi, engkau menyimpulkan aku akan kalah. Tapi kuminta engkau tak usah menguatirkan aku. Sekiranya aku tahu mereka memiliki sepuluh orang dan aku membawa sepuluh orang juga, apa yang akan terjadi? Meraka akan mengerahkan dua puluh orang, bukan sepuluh orang.. Kalau kubawa dua puluh orang, mereka akan meningkatkan jumlahnya menjadi tiga puluh atau empat puluh, dan pertempuran akan mengakibatkan huru-hara yang lebih besar lagi. Banyak orang akan terbunuh atau terluka. ­Hasilnya adalah pelanggaran serius terhadap prinsip pemerintah, tanpa memberikan kemajuan apa pun bagi ilmu permainan pedang. Dengan kata lain, kalau aku mendatangkan bantuan, akan banyak kerugiannya daripada keuntungannya.”

“Walaupun memang benar demikian, tapi tidak sesuai dengan Seni Perang kalau kita memasuki pertempuran, padahal kita tahu kita akan kalah.”

“Ada masa-masa sikap begini perlu.”

“Tidak! Menurut Seni Perang tidak begitu. Lain sekali halnya kalau engkau memang berbuat gegabah.”

“Apakah caraku ini sesuai atau tidak dengan Seni Perang, tapi aku tahu ­apa yang perlu bagi diriku.”

“Engkau melanggar semua aturan.”

Musashi tertawa.

“Kalau engkau berkeras hendak melanggar aturan,” kilah Kojiro, “kenapa tidak kau pilih tindakan yang memberi kemungkinan untuk terus hidup, setidak-tidaknya?”

“Jalan yang kutempuh ini bagiku jalan yang menuju hidup yang lebih penuh.”

“Beruntunglah kau kalau jalan itu tidak menyeretmu masuk neraka!”

“Sungai ini mungkin saja sungai neraka yang bercabang tiga. Jalan ini jalan panjang menuju kebinasaan, dan bukit yang segera kudaki itu adalah gunung jarum tempat penyiksaan orang-orang terkutuk. Namun demikian ini jalan satu-satunya menuju kehidupan sejati.”

“Melihat cara bicaramu, barangkali engkau sudah dikuasai dewa maut.”

“Boleh engkau berpikir semaumu. Memang ada orang-orang yang mati dengan tetap hidup, tapi ada juga yang memperoleh hidup dengan mati.”

“Setan malang engkau!” kata Kojiro setengah mencemooh.

“Boleh aku bertanya, Kojiro—kalau kuikuti jalan ini, sampai di mana akhirnya?”

“Sampai Desa Hananoki, dan kemudian pohon pinus lebar di Ichijoji, tempat yang kaupilih untuk mati itu.”

“Berapa jauhnya?”

“Cuma sekitar dua mil. Kamu masih banyak waktu.”

“Terima kasih. Sampai ketemu lagi,” kata Musashi gembira sekali, lalu berbelok menuruni sebuah jalan pinggiran.

“Bukan jalan itu!”

Musashi mengangguk.

“Salah jalan kataku.”

“Aku tahu.”

Musashi terus menuruni lereng bukit. Di sebelah sana pepohonan, di kiri-kanan jalan, terdapat sawah bertingkat, sedang di kejauhan terdapat beberapa rumah pertanian beratap ilalang. Kojiro melihat Musashi berhenti, menengadah ke bulan, dan sejenak berdiri diam.

Kojiro pecah ketawanya ketika mengetahui bahwa ternyata Musashi sedang buang air kecil. Ia sendiri menengadah ke bulan. Terpikir olehnya bahwa sebelum bulan terbenam, akan banyak orang yang mati dan sekarat.

Musashi tidak kembali lagi. Kojiro duduk di akar sebatang pohon dan merenungkan pertempuran yang bakal terjadi itu dengan perasaan mendekati pembira. “Melihat ketenangan Musashi, dia seperti sudah pasrah untuk mati. Namun dia akan memberikan perlawanan hebat. Semakin banyak dia menyembelih mereka, semakin menarik untuk dilihat. Ah, tapi orang-orang Yoshioka itu punya senjata terbang. Kalau Musashi terkena salah satu darinya, pertunjukan akan segera berhenti. Dan itu merusak segala-galanya. Kupikir lebih baik kusampaikan padanya tentang senjata itu.”

Waktu itu turun sedikit kabut, dan udara dingin menjelang fajar.

Sambil berdiri, Kojiro memanggil, “Musashi, lama betul engkau di situ?” Kojiro merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan itu menyebabkan ia kuatir berjalan cepat menuruni lereng dan memanggil lagi. Tapi satu­-satunya bunyi yang kedengaran olehnya adalah putaran roda air.

“Bajingan tolol!”

Ia kembali secepat-cepatnya ke jalan utama dan menoleh ke segala iurusan, tapi yang tampak olehnya hanya atap-atap kuil dan hutan Shirakawa yang tumbuh di lereng-lereng Higashiyama, dan juga bulan. Ia mengambil kesimpulan bahwa Musashi telah lari. Ia caci dirinya karena tidak memahami ketenangan Musashi, dan berangkatlah ia secepat-cepatnya ke Ichijoji.

Sambil menyeringai Musashi muncul dari balik sebatang pohon dan berhenti di tempat Kojiro berdiri tadi. Ia senang lepas dari Kojiro. Ia tak butuh orang yang senang menonton orang lain mati, yang secara pasif hanya menonton, sementara orang lain mempertaruhkan hidupnya demi sesuatu yang penting bagi mereka. Kojiro bukan sekadar penonton polos yang hanya didorong keinginan untuk belajar. Ia tukang campur tangan yang penuh tipu daya, yang selalu siap mengambil keuntungan dari kedua belah pihak, yang selalu menampilkan diri sebagai orang hebat yang ingin membantu semua orang.

Barangkali Kojiro menyangka bahwa jika la menyampaikan kepada Musashi betapa kuat musuhnya, Musashi akan merangkak meminta dia menjadi pendukungnya. Dapat dimengerti bahwa jika tujuan pertama Musashi adalah menyelamatkan hidupnya sendiri, ia akan menerima dengan baik bantuan orang lain. Padahal sebelum bertemu dengan Kojiro ia sudah cukup memperoleh keterangan bahwa ia mungkin akan harus berhadapan dengan seratus orang.

Bukannya ia sudah lupa akan pelajaran yang diajarkan Takuan kepadanya: orang yang benar-benar berani adalah yang mencintai hidup dan men­dambakannya sebagai harta kekayaan yang sekali hilang takkan dapat ditemukan kembali. Ia tahu benar bahwa hidup itu lebih dari sekadar harus tetap hidup. Masalahnya adalah bagaimana menjalin hidupnya dengan makna, bagaimana menjamin bahwa hidupnya akan memancarkan cahaya cemerlang ke masa depan, sekalipun terpaksa mengorbankan hidup sendiri demi cita-cita. Kalau ia berhasil melaksanakan ini, tidak banyak bedanya berapa panjang umur itu-dua puluh atau tujuh puluh tahun. Jangka hidup hanyalah selingan tak berarti dalam arungan waktu yang tanpa akhir.

Menurut jalan pikiran Musashi, ada jalan hidup orang biasa, ada jalan hidup prajurit. Sungguh penting baginya hidup sebagai samurai dan mati sebagai samurai juga. Tak ada jalan kembali dalam menempuh jalan yang telah dipilihnya. Sekalipun ia akan dicacah berkeping-keping, musuh tak dapat menghapuskan kenyataan bahwa ia menyambut tantangan tanpa takut dan dengan tulus.

Ia perhatikan jalan-jalan yang dapat ditempuhnya. Jalan terpendek, terlebar, dan termudah dilalui adalah jalan yang diambil Kojiro. Jalan lain yang tidak begitu langsung adalah jalan yang menyusuri Sungai Takana induk Sungai Kamo, menuju jalan raya Ohara, dan kemudian Ichijoj lewat vila Kaisar Shugakuin. Jalan ketiga menuju ke timur beberapa jauhnya, ke utara sampai kaki Bukit Uryu, dan akhirnya melintasi sebuah jalan setapak masuk desa.

Ketiga jalan itu bertemu di dekat pohon pinus lebar. Perbedaan jarak itu tidak penting, namun dari sudut pandang kekuatan kecil yang menyerang kekuatan yang jauh lebih besar, pendekatan itu penting sekali. Pilihan ini sendiri dapat menentukan kemenangan atau kekalahan.

Musashi tidak berlama-lama menimbang masalah itu. Sesudah beristirahat sebentar, ia berlari ke jurusan yang hampir berlawanan dengan jurusan Ichijoji. Pertama-tama ia melintas ke kaki Bukit Kagura, sampai suatu tempat di belakang makam Kaisar Go-Ichijo. Kemudian melewati rumpun bambu yang rimbun, ia sampai di sebuah sungai yang melintasi desa dari barat laut. Sisi utara Gunung Daimonji tampak membayang di atasma Diam-diam ia mulai mendaki.

Lewat pepohonan di sebelah kanannya ia dapat melihat tembok kebun milik Ginkakuji. Kolam berbentuk buah jujube di kebun yang terletak hampir langsung di bawahnya berkilauan seperti cermin. Ketika ia mendaki ke atas lagi, kolam itu hilang di balik pepohonan, dan Sungai Kamo yang beriak pun tampak. Ia merasa seakan menggenggam seluruh kota di tangannya.

Ia berhenti sesaat untuk memeriksa kedudukannya. Dengan berjalan terus mendatar melintasi lereng empat bukit, ia dapat mencapai suatu tempat yang terletak di atas dan di belakang pohon pinus lebar. Dari situ ia dapat dengan bebas meninjau selintas kedudukan musuh. Seperti halnya Oda Nobunaga pada Pertempuran Okehazama, ia menolak jalan biasa dan mengambil jalan melingkar yang susah.

“Siapa di situ?”

Musashi diam seketika, dan menanti. Langkah-langkah kaki mendekati dengan hati-hati. Melihat orang yang berpakaian seperti samurai yang bekerja pada bangsawan istana, Musashi menyimpulkan orang itu bukan anggota Yoshioka.

Hidung orang itu cemong oleh asap obornya. Kimononya lembap berpercik lumpur. Dan ia berteriak kecil karena terkejut. Musashi menatapnya curiga.

“Apa Anda bukan Miyamoto Musashi?” tanya orang itu sambil mem­bungkuk rendah. Matanya tampak ketakutan.

Mata Musashi jadi terang oleh cahaya obor.

“Apa Anda Miyamoto Musashi?” Karena ketakutan, samurai itu kelihatan sedikit tertatih-tatih jalannya. Sifat ganas yang tampak dalam mata Musashi tidak sering ada pada makhluk manusia. “Siapa engkau?” tanya Musashi singkat.

“Eh, saya… saya…

“Tak usah gagap. Siapa engkau?”

“Saya… saya dari rumah Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro.”

“Aku Miyamoto Musashi, tapi apa kerja abdi Yang Dipertuan Karasumaru di tengah malam begini di sini?”

“Jadi, Anda Musashi!” Orang itu mengeluh lega. Sekejap kemudian ia lari sekencang-kencangnya menuruni gunung, sedang obornya meninggalkan iejak cahaya di belakangnya. Musashi membalik dan meneruskan jalannya melintasi sisi gunung.

Ketika samurai itu sampai di kitaran Ginkakuji, ia berteriak, “Kura, di mana kamu?”

“Kami di sini. Di mana kamu?” Suara itu bukan suara Kura, abdi Karasumaru yang lain, tetapi suara Jotaro. “Jo-ta-ro! Kamu, ya?”

“Sini cepat!”

“Tidak bisa. Otsu tidak bisa jalan lagi.”

Samurai itu mengutuk pelan, kemudian mengeraskan suaranya, teriaknya “Sini cepat! Aku sudah menemukan Musashi! Mu-sa-shi! Kalau kalian tidak cepat-cepat, bisa-bisa kehilangan dia!”

Jotaro dan Otsu berada sekitar dua ratus meter di bawah. Untuk sampai ke tempat samurai itu, bayangan mereka berdua yang kelihatan menyatu membutuhkan banyak waktu untuk tertatih-tatih mendaki. Samurai itu melambai-lambaikan obor, menyuruh mereka lebih cepat, dan beberapa detik kemudian ia sudah mendengar sendiri napas berat Otsu. Wajah Otsu tampak lebih putih daripada bulan. Perlengkapan perjalanan yang ada di tangan dan kakinya yang kurus tampak kejam dan keterlaluan. Tetapi ketika cahaya jatuh sepenuhnya ke wajahnya, pipinya tampak merah sehat.

“Betul?” tanyanya terengah-engah.

“Ya, aku baru saja melihatnya.” Kemudian dengan nada lebih genting, “Kalau engkau cepat-cepat, engkau akan bisa mengejarnya. Tapi kalau engkau membuang-buang waktu…”

“Ke mana jalannya?” tanya Jotaro yang jengkel karena sekaligus meng­hadapi seorang lelaki tak sabaran dan seorang perempuan sakit.

Keadaan fisik Otsu sama sekali tidak membaik, tetapi sekali Jotaro membocorkan berita tentang pertempuran Musashi yang akan segera ber­langsung, tak ada lagi yang dapat menahannya di tempat tidur, padahal dengan tinggal di tempat tidur hidupnya bisa diperpanjang. Tanpa meng­hiraukan permohonan apa pun, ia mengikat rambut, kemudian mengikat sandal jeraminya dan berjalan terhuyung-huyung keluar dari pintu gerbang Yang Dipertuan Karasumaru. Ketika ternyata tidak mungkin lagi meng­hentikannya, Yang Dipertuan Karasumaru pun melakukan segala yang mungkin untuk membantunya. Ia memimpin pekerjaan itu sendiri. Sementara Otsu tertatih pelan menuju Ginkakuji, ia mengirimkan orang-orangnya untuk menjelajahi berbagai jalan yang menuju Desa Ichijoji. Orang-orang itu berjalan sampai kaki mereka sakit. Mereka sudah hampir putus asa ketika buruan itu akhirnya ditemukan.

Samurai itu menuding dan Otsu mendaki bukit itu dengan mantap. Karena takut jatuh, setiap langkah Jotaro bertanya, “Kakak tak apa-apa, kan? Bisa jalan terus?”

Otsu tak menjawab. Kalau mau terus terang, ia sebetulnya bahkan tidak mendengar kata-kata Jotaro. Tubuhnya yang kurus kering hanya mau bereaksi terhadap kebutuhan untuk bertemu Musashi. Sekalipun mulutnya kering, keringat kering mengucur dari dahinya yang kelabu.

“Tentunya ini jalannya,” kata Jotaro, dengan maksud membesarkan hatinya. “Jalan ini menuju Gunung Hiei, dan sekarang jalan itu rata. Tak ada lagi mendaki. Apa Kakak mau istirahat sebentar?”

Otsu menggeleng diam, sambil terus memegang teguh tongkat yang mereka pikul bersama. Ia berjuang mengatur napasnya, seakan-akan seluruh kesulitan hidup ini dijejalkan ke dalam satu perjalanan ini saja.

Ketika mereka akhirnya berhasil menempuh jarak hampir satu mil, Jotaro berteriak, “Musashi! Sensei!” Dann terus berteriak-teriak.

Suaranya yang kuat membangkitkan keberanian Otsu, tapi tak lama kemudian kekuatan Otsu pun habis. “Jo-Jotaro,” bisiknya lemah. Dilepas­kannya pikulan, dan ia runtuh ke rumput di tepi jalan. Wajahnya ke tanah, ia menangkupkan jari-jarinya yang halus ke mulutnya. Bahunya bergerak mengejang-ngejang.

“Otsu! Oh, darah! Kakak muntah darah! Otsu!” Sambil hampir menangis, Jotaro merangkulkan tangannya ke pinggang Otsu, menegakkannya. Otsu menggeleng-gelengkan kepala pelan. Karena tak tahu apa yang mesti dilakukan, Jotaro menepuk-nepuk punggung Otsu dengan lembut. “Kakak mau apa?” tanyanya.

Otsu tak dapat lagi menjawab.

“Oh, aku tahu! Air! Air, ya?”

Otsu mengangguk lemah.

“Tunggu di sini. Akan kuambilkan.”

Jotaro berdiri memandang ke sekitar, mendengarkan sejenak, lalu pergi ke ngarai tak jauh dari situ. Dari tempat itu terdengar air mengalir. Dengan sedikit kesulitan ia dapat menemukan sebuah sumber yang membual dari dalam bebatuan. Tapi ketika sudah menciduk air dengan kedua tangannya, ia mulai ragu dan matanya menatap kepiting-kepiting kecil di dasar kolam murni itu. Bulan tidak bersinar langsung ke air, tetapi pantulan langit lebih indah daripada awan putih perak itu sendiri. Ia memutuskan untuk menghirup dahulu air itu sebelum melaksanakan tugas. Ia bergerak beberapa kaki ke sisi, lalu merangkak dengan leher menjulur seperti bebek.

Tiba-tiba ia tergagap. “Hantu?” dan tubuhnya meremang seperti buah berangan berduri. Di dalam kolam kecil itu tercermin pola bergaris-garis, sedangkan di sisi lain setengah lusin pohon. Tepat di samping pohon itu tampak gambaran Musashi.

Jotaro mengira ia sedang dipermainkan oleh imajinasinya dan menduga bayangan itu akan segera menghilang. Tapi ternyata tidak, karena itu pelan­pelan sekali ia mengangkat matanya.

“Kakak di sini!” teriaknya. “Kakak betul-betul di sini!” Pantulan langit yang damai itu berubah menjadi lumpur ketika Ia berkecipak ke pinggir yang lain, hingga kimononya basah sampai bahu.

“Kakak di sini!” Ia memeluk kaki Musashi.

“Tenanglah!” kata Musashi pelan. “Berbahaya di sini. Datanglah lagi nanti.”

“Tidak! Saya sudah menemukan Kakak. Saya akan tinggal dengan Kakak.”

“Tenanglah. Tadi kudengar suaramu. Aku menunggu di sini. Sekarang bawakan Otsu air.”

“Airnya keruh sekarang.”

“Ada sungai kecil lain di sana. Lihat itu? Nah, bawa ini.” Ia berikan kepada Jotaro sebatang bumbung.

Jotaro mengangkat muka, katanya, “Tidak! Kakak saja yang bawa untuk Otsu.”

Mereka berdiri seperti itu beberapa detik lamanya, kemudian Musashi mengangguk dan pergi ke sungai lain. Sesudah mengisi bumbung, ia membawanya ke samping Otsu. Dengan lembut ia peluk Otsu dan ia minumkan air bumbung ke mulutnya.

Jotaro berdiri di samping mereka. “Lihat, Otsu! Ini Musashi. Kakak mengerti? Musashi!”

Ketika Otsu sudah menghirup air dingin itu, napasnya jadi ringan sedikit, walaupun ia tetap lemah dalam pelukan Musashi. Matanya kelihatan menatap sesuatu di kejauhan.

“Otsu, lihat tidak? Ini bukan aku, tapi Musashi! Ini tangan Musashi yang memeluk Kakak, bukan tanganku.”

Air mata panas mengambang pada mata Otsu yang kosong, hingga mata itu tampak seperti kaca. Dua aliran air mata berkilau menuruni pipi. Otsu mengangguk.

Jotaro tak tahan lagi karena gembira. “Kakak bahagia sekarang, ya ini yang Kakak maksud, kan?” Kemudian kepada Musashi, “Dia terus saja mengatakan biar bagaimana dia mesti ketemu Kakak. Dia tidak mau mendengarkan siapa pun! Coba sekarang katakan padanya, kalau dia terus berbuat begitu, dia akan mati. Dia tak mau memperhatikan saya. Barangkali dia mau menurut perintah Kakak.”

“Semua ini salahku,” kata Musashi. “Aku akan minta maaf, dan akan minta padanya supaya lebih baik lagi menjaga dirinya. Jotaro…”

“Ya?”

“Sekarang kuminta kamu meninggalkan kami, sebentar saja.”

“Kenapa? Kenapa saya tak boleh tinggal di sini?”

“Jangan seperti itu, Jotaro,” kata Otsu memohon. “Hanya beberapa menit saja. Ayolah.”

“Baiklah.” Tak dapat Jotaro menolak Otsu, walaupun ia tak mengerti maksudnya. “Aku naik bukit. Panggil aku, kalau Kakak sudah selesai.”

Sifat malu-malu Otsu yang alamiah bertambah besar oleh penyakitnya. Ia tak dapat memutuskan apa yang hendak dikatakannya.

Sementara Musashi membuang muka karena malu, Otsu membelakanginya. Musashi, menatap tanah. Musashi menatap langit.

Secara naluriah Musashi takut tak ada kata-kata yang dapat dipakainya mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. Segala yang terjadi semenjak Otsu membebaskan dirinya dari pohon kriptomeria pada malam hari itu melintas dalam pikirannya, dan ia mengakui kemurnian cinta yang me­nyebabkan Otsu mencarinya lima tahun penuh.

Siapa yang lebih kuat dan siapa yang lebih menderita? Otsu-kah, dengan hidupnya yang sukar dan rumit, dan yang menyala oleh cinta yang tak dapat disembunyikannya? Ataukah ia sendiri, yang menyembunyikan perasa­annya di balik wajah yang membatu dan yang mengubur bara nafsunya di bawah lapisan abu yang dingin? Musashi tahu sebelumnya, dan sekarang pun ia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya lebih sengsara. Namun dalam keteguhan Otsu terdapat kekuatan dan keberanian. Beban yang harus ditanggungnya itu masih terlampau berat untuk ditanggung sendiri oleh umumnya laki-laki.

“Waktu tinggal sedikit, dan aku harus pergi,” pikir Musashi.

Bulan rendah di langit, cahayanya lebih putih sekarang. Fajar tak lagi jauh. Segera juga bulan dan dirinya akan menghilang ke balik gunung maut. Dalam waktu singkat yang masih tinggal itu, ia harus menyampaikan kebenaran kepada Otsu. Ia berutang budi benar atas kesetiaan dan ketulusan gadis itu. Tapi kata-kata itu tak dapat keluar. Semakin keras ia mencoba bicara, semakin kaku lidahnya. la menatap langit tanpa daya, seakan ilham bisa turun dari langit itu.

Otsu menatap tanah dan menangis. Di dalam hatinya selama itu ber­semayam cinta yang menyala, cinta yang demikian hebat hingga dapat mengusir segala yang lain dari dalam hatinya. Prinsip, agama, minat terhadap kesejahteraan diri, dan harga diri… semua memucat berdampingan dengan hasrat yang menelan segala-galanya ini. Sampai batas tertentu, ia percaya cintanya mesti dapat mengalahkan perlawanan Musashi. Bagaimana­pun, dengan air mata ia harus menemukan jalan agar mereka berdua dapat hidup bersama, terpisah dari dunia orang biasa. Tapi sesudah berada bersama Musashi sekarang, ternyata ia tanpa daya. Ia tak dapat mengerahkan diri untuk melukiskan betapa sakit berada jauh dari Musashi, betapa sengsara mengarungi hidup sendiri, dan betapa menderita ia mendapati Musashi tak menyimpan perasaan sama sekali. Oh, alangkah baiknya jika ia memiliki ibu, tempat ia mencurahkan segala kesedihan….

Kediaman panjang itu terganggu oleh kuak sekawanan angsa. Terbiasa dengan datangnya fajar, angsa-angsa itu naik ke atas pepohonan dan terbang ke atas puncak gunung.

“Angsa-angsa itu terbang ke utara,” kata Musashi, walaupun sadar bahwa kata-kata itu tidak relevan sama sekali.

“Musashi…”

Mata mereka bertemu, sama-sama terkenang akan tahun-tahun mereka di desa, ketika angsa-angsa melintas tinggi di atas mereka tiap musim semi dan musim gugur.

Waktu itu segalanya begitu sederhana. Ia bersahabat dengan Matahachi. Musashi tidak disukainya karena kasar, tapi tidak pernah ia takut membalas kata-katanya, kalau Musashi menghinanya. Kini masing-masing berpikir rentang gunung tempat tegak Shippoji dan kedua tepi Sungai Yoshino di bawahnya. Dan keduanya sadar bahwa mereka sedang menyia-nyiakan saat-­saat berharga-saat-saat yang takkan pernah kembali lagi.

“Jotaro bilang kau sakit. Apa penyakitmu berat?”

“Tidak begitu.”

“Apa kau merasa lebih baik sekarang?”

“Ya, tapi tak seberapa. Apa menurut dugaanmu engkau akan terbunuh hari ini?”

“Kukira begitu.”

“Kalau kau mati, aku tak dapat hidup terus. Barangkali itu sebabnya begitu mudah aku melupakan penyakitku sekarang.”

Ada cahaya tertentu yang mulai memancar dalam mata Otsu, dan itu membuat Musashi sadar bahwa tekadnya sendiri lemah dibandingkan dengan tekad Otsu. Bahkan untuk mencapai satu tahap penguasaan diri saja ia harus merenungkan soal hidup dan mati selama bertahun-tahun, harus mendisiplinkan diri terhadap setiap godaan, dan memaksa dirinya menjalani kerasnya latihan samurai. Tanpa latihan maupun pendisiplinan diri secara sadar, perempuan ini tanpa sangsi sedikit pun dapat mengatakan bahwa ia siap mati jika Musashi mati. Wajah Otsu mengungkapkan ketenangan sempurna, matanya menyatakan kepada Musashi bahwa ia tidak berbohong ataupun berbicara menuruti perasaan belaka. Ia kelihatan hampir-hampir bahagia menghadapi kemungkinan mengikuti Musashi menjemput maut. Musashi pun heran bercampur malu, betapa mungkin perempuan bisa begitu kuatnya.

“Jangan bodoh begitu, Otsu!” ucap Musashi tiba-tiba. “Tak ada alasan kau mesti mati.” Kekuatan suaranya dan kedalaman perasaannya bahkan mengejutkan dirinya sendiri. “Lain sekali soalnya kalau aku mati karena berkelahi melawan orang-orang Yoshioka. Tidak saja karena sudah seharusnya orang yang hidup dengan pedang mesti mati karena pedang, tapi aku juga punya kewajiban mengingatkan para pengecut yang menempuh Jalan Samu­rai. Kesediaanmu mengikutiku menyambut maut itu sangat mengharukan, tapi apa manfaatnya? Tak lebih dari matinya seekor serangga yang me­nyedihkan.”

Melihat Otsu mencucurkan air mata lagi, Musashi menyesali kata-­katanya yang kasar.

“Sekarang aku mengerti, kenapa bertahun-tahun lamanya aku berbohong padamu, juga pada diri sendiri. Aku tidak bermaksud menipumu ketika kita lari dari desa, atau ketika aku melihatmu di Jembatan Hanada, tapi aku tolol menipumu-dengan berpura-pura dingin dan tak acuh. Padahal bukan itu perasaanku.

“Sebentar lagi aku mati. Yang akan kukatakan ini, itulah yang benar. Aku cinta padamu, Otsu. Akan kubuang segalanya jauh-jauh dan kuhabiskan umurku denganmu, sekiranya saja…”

Dan sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan dengan nada lebih ber­tenaga. “Kau mesti percaya akan setiap kata yang akan kukatakan, karena aku takkan punya kesempatan lagi untuk menyampaikannya. Sekarang ini kau bicara tanpa harga diri ataupun pretensi. Ada hari-hari di kala aku tak dapat memusatkan perhatian karena memikirkanmu, dan malam-malam kala aku tak dapat tidur karena memimpikanmu. Mimpi-mimpi yang panas penuh gairah, Otsu, mimpi-mimpi yang hampir membuatku gila. Sering aku mendekap kasurku dan membayangkannya sebagai dirimu.

“Tapi pada saat merasa demikian pun, kalau aku mengeluarkan pedangku dan memandangnya, kegilaan itu pun menguap dan darahku jadi mendingin.”

Otsu menoleh kepadanya, penuh air mata, tapi berseri-seri seperti semarak pagi, dan ia mulai bicara. Tetapi melihat kegairahan dalam mata Musashi, kata-kata tersangkut di tenggorokannya, dan ia memandang tanah kembali.

“Pedang adalah pelarianku. Setiap kali nafsu mengancam akan me­nguasaiku, kupaksa diriku kembali ke dunia pedang. Inilah nasibku, Otsu. Aku terbelah antara cinta dan disiplin diri. Rasanya aku meniti dua jalan sekaligus. Tetapi manakala kedua jalan itu menyimpang, aku selalu berhasil menempatkan diriku pada jalan yang benar.

“Aku kenal diriku lebih baik daripada siapa pun. Aku bukan jenius, dan bukan juga orang besar.”

Ia terdiam kembali. Walaupun ingin mengungkapkan perasaannya dengan tulus, ia merasa kata-katanya menyembunyikan kebenaran. Hatinya me­nyuruhnya lebih terus terang lagi.

“Ya, begitulah diriku ini. Apa lagi yang bisa kukatakan? Kalau aku memikirkan pedangku, engkau tersingkir ke sudut gelap pikiranku—bahkan menghilang sama sekali, tanpa meninggalkan jejak. Pada waktu-waktu seperti itu, aku merasa paling bahagia dan paling puas dengan hidupku. Kau mengerti, Otsu? Selama ini kau menderita, membahayakan tubuh dan jiwamu demi orang yang lebih cinta kepada pedangnya daripada kepadamu. Aku sedia mati demi membuktikan kebenaran pedangku, tapi aku tak mau mati demi kau. Sesungguhnya aku ingin berlutut dan minta maaf padamu, tapi tak dapat.”

Musashi merasa jemari Otsu yang peka itu lebih ketat memegang pergelangan tangannya. Otsu tak lagi menangis, “Aku tahu semua itu,” katanya penuh tekanan. “Kalau aku tidak mengetahuinya, aku tak dapat mencintaimu seperti ini.”

“Tapi apa kau tidak melihat bahwa mati demi diriku itu bodoh? Saat ini aku milikmu, badan dan jiwaku. Tapi sekali aku sudah meninggalkanmu… tak perlu kau mati demi orang macam aku. Ada jalan yang baik, Otsu, jalan yang wajar untuk hidup seorang perempuan. Engkau harus mencarinya, dan membangun hidup bahagia untuk dirimu sendiri. Inilah kata-kata perpisahanku. Sudah waktunya aku pergi.”

Pelan-pelan Musashi menyingkirkan tangan Otsu dari pergelangannya, dan berdiri. Otsu menangkap lengan kimononya, dan serunya, “Musashi, sebentar saja lagi!”

Begitu banyak yang ingin ia ceritakan kepada Musashi. Ia tak peduli apakah Musashi akan melupakannya ketika tidak bersamanya. Ia tak peduli disebut tidak penting. Ia tidak berkhayal tentang watak Musashi ketika ia jatuh cinta kepadanya. Kembali ia menangkap lengan kimono Musashi dan matanya mencari mata Musashi, mencoba memperpanjang saat terakhir itu dan mencegahnya berakhir.

Permohonan Otsu yang diam itu hampir menjatuhkan Musashi. Di dalam kelemahan yang menyebabkan Otsu tak bisa bicara itu pun terdapat keindahan. Terpengaruh oleh kelemahan dan ketakutannya sendiri, Musashi merasa dirinya seperti sebatang pohon berakar rapuh yang terancam angin menggila. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ketaatannya yang suci kepada Jalan Pedang itu akan runtuh seperti tanah longsor oleh beratnya air mata Otsu.

Untuk memecahkan ketenangan, ia bertanya, “Kau mengerti?”

“Ya,” jawab Otsu lemah. “Aku mengerti betul, tapi kalau kau mati, aku akan mati juga. Matiku akan punya arti buat diriku seperti matimu berarti buatmu. Kalau kau dapat menghadapi akhir hidupmu dengan tenang, aku pun dapat. Aku takkan terinjak-injak seperti serangga atau tenggelam oleh kesedihan. Akulah yang menentukan jalanku sendiri. Tak ada orang lain yang dapat melakukannya, biarpun orang lain itu engkau.”

Dengan kekuatan yang besar dan ketenangan yang sempurna, ia me­lanjutkan. “Kalau di dalam hatimu kau mau menganggapku sebagai calon istrimu, cukuplah. Itulah kegembiraan dan berkat yang cuma dimiliki olehku, di antara begini banyak perempuan di dunia ini. Kaubilang tak ingin mem­buatku sedih. Aku dapat memberikan jaminan padamu bahwa aku takkan mati karena sedih. Ada orang-orang yang rupanya menganggapku tidak beruntung, tapi aku sendiri sama sekali tidak merasa demikian. Dengan senang hati aku menyongsong hari kematianku. Hari itu akan seperti pagi yang indah ketika burung-burung menyanyi, dan aku akan pergi dengan bahagia, sebahagia kalau aku sedang menuju pesta perkawinanku.”

Hampir kehabisan napas, ia melipat tangan di dada dan memandang puas ke atas, seakan-akan terperangkap oleh mimpi yang menggairahkan.

Bulan seakan tenggelam. Walaupun matahari belum lagi merekah, kabut mulai naik lewat pepohonan.

Ketenangan itu diporakporandakan oleh jerit mengerikan yang membelah udara seperti pekik burung dalam dongeng. Jerit itu datang dari karang terjal yang tadi didaki Jotaro. Otsu terkejut dan lepas dari mimpi-mimpinya. Ia layangkan pandangan ke puncak karang.

Saat itulah yang dipilih Musashi untuk pergi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia menarik diri dari samping Otsu dan pergi memenuhi janji dengan maut.

Disertai teriakan tercekik, Otsu berlari beberapa langkah mengejarnya.

Musashi berlari cepat meninggalkannya, kemudian menoleh ke belakang, katanya, “Aku mengerti perasaanmu, Otsu, tapi kuminta jangan engkau mati seperti pengecut. Jangan karena kesedihan, kaubiarkan dirimu tenggelam dalam lembah maut dan tewas sebagai orang lemah. Sembuhlah engkau dulu, kemudian pikirkan itu. Aku sendiri bukannya membuang hidup demi cita-cita tak berguna. Kupilih melakukan apa yang kulakukan sekarang ini karena dengan mati aku dapat memperoleh hidup kekal. Aku berpegang pada satu hal ini: tubuhku boleh menjadi debu, tapi aku akan tetap hidup.”

Sambil mengatur napas, ia menambahkan peringatan. “Kau mendengarkan tidak? Kalau kau mencoba mengikuti mendapatkan maut, kau akan me­nemukan dirimu mati sendirian. Kau bisa mencariku di dunia sana, tapi nanti akan kaulihat bahwa aku tak ada di sana. Aku mau hidup terus sampai seratus atau seribu tahun, di hati bangsaku, di dalam semangat ilmu permainan pedang Jepang.”

Sebelum Otsu dapat berbicara lagi, kata-kata Musashi sudah tidak dapat didengar. Otsu merasa jiwanya sudah meninggalkan dirinya, tapi hal itu tak dirasakannya sebagai perpisahan. Ia merasa seolah-olah mereka berdua sedang ditelan ombak besar antara hidup dan mati.

Campuran lumpur dan kerikil terjun ke bawah dan berhenti di kaki karang, segera kemudian disusul oleh Jotaro. Jotaro mengenakan topeng ajaib yang dulu diterimanya dari janda di Nara itu.

Sambil mengacungkan kedua tangannya, katanya, “Belum pernah aku begini terkejut selama hidup!”

“Apa yang terjadi?” bisik Otsu, walaupun belum sepenuhnya sembuh dari guncangan akibat melihat topeng itu.

“Kakak tadi tidak mendengar? Aku tidak tahu mengapa, tapi tiba-tiba sekali terdengar jerit mengerikan tadi.”

“Di mana kamu tadi? Kamu tadi pakai topeng itu, ya?”

“Aku duduk di atas batu karang tadi. DI atas sana ada jalan selebar jalan ini. Aku mendaki sedikit, dan kutemukan batu besar bagus, karena itu aku duduk di sana, memandang bulan.”

“Topeng itu… apa kamu pakai topeng itu?”

“Ya. Kudengar rubah-rubah mengaung, dan barangkali juga luak atau yang lain lagi gemeresik di sekitarku. Kupikir topeng itu bisa bikin takut mereka. Tapi kemudian kudengar jeritan yang bikin beku darah itu, yang sepertinya datang dari hantu neraka!”

Angsa-Angsa Sesat

“TUNGGU, Matahachi. Kenapa kamu jalan begitu cepat?” Osugi yang jauh ketinggalan dan sudah sama sekali kehabisan napas kini kehilangan kesabaran maupun harga dirinya.

Dengan suara yang disengaja akan dapat didengar ibunya, Matahachi menggerutu, “Begitu buru-buru dia waktu meninggalkan penginapan, tapi coba dengar sekarang. Dia lebih bisa bicara daripada jalan.”

Sampai di kaki Gunung Daimonji tadi, mereka masih berada di War, menuju Ichijoji, tapi sekarang, setelah jauh memasuki pegunungan, mereka tersesat.

Osugi tak mau menyerah. “Kau ini mengomeli ibumu saja,” geramnya “Orang bisa mengira kau punya dendam hebat kepada ibumu sendiri.­Baru selesai ia menghapus keringat, Matahachi sudah berangkat lagi.

“Kamu tak mau lambat sedikit, ya?” teriak Osugi. “Ayo duduk di sini sebentar.”

“Kalau Ibu terus berhenti istirahat tiap tiga meter, tak bakal kita sampai di sana sebelum matahari terbit.”

“Matahari belum akan terbit, dan biasanya Ibu tidak kesulitan dengan jalan gunung macam ini, tapi Ibu lagi masuk angin.”

“Ibu tak pernah mengaku salah, ya? Tadi di sana waktu saya bangunkan pemilik penginapan supaya Ibu dapat istirahat, Ibu tidak bisa duduk tenang sedikit pun. Ibu tak mau minum, dan Ibu mulai mengomel mengatakan kita akan terlambat. Baru saja dapat dua hirupan, Ibu sudah menyeret saya ke luar. Saya tahu Ibu ini ibuku, tapi Ibu sukar sekali diajak bergaul baik—­baik.”

“Ha! Masih jengkel karena Ibu tidak kasih kesempatan minum, ya? Betul? Kenapa kau ini tak mau berlatih mengendalikan diri sedikit: Ada hal-hal penting yang mesti kita lakukan hari ini!”

“Tapi kan bukan kita sendiri yang akan melecutkan pedang atau me­lakukan tugas itu? Yang mesti kita lakukan cuma mendapat rambut Musashi, atau bagian lain tubuhnya. Tak ada sukarnya sama sekali.”

“Terserah pandanganmu! Tapi tak ada gunanya bertengkar macam ini. Ayo jalan!”

Ketika mereka mulai berjalan lagi, kembali Matahachi bicara sendiri, menyatakan rasa tak puasnya. “Urusan konyol ini. Membawa pulang seberkas rambut ke desa, dan menunjukkannya sebagai bukti bahwa tugas besar hidup sudah terlaksana! Dan orang-orang udik itu tak pernah keluar dari pegunungan, karena itu mereka akan terkesan sekali! Oh, aku benci sekali desa itu!”

Ia memang belum bosan sake Nada yang baik, dengan gadis-gadis Kyoto yang manis, dan dengan sejumlah hal lain lagi. Ia masih percaya bahwa di kota itulah ia akan memperoleh nasib baik. Siapa dapat membantah bahwa pada suatu pagi nanti ia bangun dan sudah memperoleh segala yang pernah diinginkannya? “Aku tak akan pernah kembali ke desa kecil itu,” sumpahnya diam-diam.

Osugi yang kembali tertinggal di belakang kini lupa akan harga dirinya. “Matahachi,” bujuknya, “gendong aku di punggungmu. Ayolah, sebentar saja.”

Matahachi mengerutkan kening tanpa berkata-kata, tapi ia berhenti juga untuk memberi kesempatan kepada ibunya mengejar. Baru saja ibunya sampai di tempatnya, mereka sudah mendengar jeritan mengerikan yang tadi mengguncangkan Otsu dan Jotaro. Dengan wajah tertegun mereka berdiri diam mendengarkan baik-baik. Sesaat kemudian Osugi berteriak cemas, karena Matahachi tiba-tiba berlari ke ujung batu karang.

“Ke mana kamu?”

“Mestinya di bawah sana!” kata Matahachi, dan menghilang ke balik batu karang itu. “Ibu tinggal saja di situ. Saya akan lihat siapa itu.”

Sebentar kemudian Osugi mengejar kembali. “Tolol!” teriaknya. “Ke mana kamu pergi?”

“Tuli, ya? Apa Ibu tidak dengar jeritan itu?”

“Ada urusan apa denganmu? Kembali kamu! Kembali sini!”

Tanpa memedulikan ibunya, dengan cepat Matahachi bergerak dari akar pohon yang satu ke akar pohon yang lain, menuju dasar ngarai kecil itu. “Tolol! Orang tolol!” teriak Osugi. Ia kelihatan seperti sedang menyalak ke bulan.

Matahachi kembali berteriak kepadanya, minta supaya tinggal di tempat, tapi ia sendiri sudah demikian jauh di bawah, hingga Osugi hampir tidak mendengarnya. “Bagaimana sekarang?” pikirnya, mulai menyesali tindakannya yang terburu-buru itu. Kalau ia keliru menduga arah datangnya teriakan itu, berarti ia membuang-buang waktu dan tenaga.

Walaupun cahaya bulan tidak menembus dedaunan, sedikit demi sedikit matanya mulai terbiasa dengan kegelapan. Sampailah ia di salah satu jalan pintas yang saling menyilang pegunungan sebelah timur Kyoto menuju Sakamoto dan Otsu. Sesudah berjalan menyusuri sungai kecil berair terjun dan beriam, ia temukan sebuah gubuk yang mungkin tempat berteduh bagi orang-orang yang datang untuk menombak ikan forel gunung. Gubuk itu terlalu kecil untuk lebih dari satu orang, dan agaknya kosong, tapi dl belakang tampak olehnya sesosok tubuh yang wajahnya merunduk dan tangannya putih semata.

“Oh, perempuan!” pikirnya senang, lalu menyembunyikan diri di belakang batu besar.

Beberapa menit kemudian, perempuan itu merangkak dari belakang gubuk, pergi ke tepi sungai dan menciduk air untuk diminum. Matahachi melangkah mendekat. Seakan digerakkan oleh naluri binatang, gadis itu menoleh diam-diam ke sekitarnya, lalu mulai lari.

“Akemi!”

“Oh, engkau bikin aku ketakutan!” Tapi dalam suaranya terdengar nada lega. Ia menelan air yang tersangkut di tenggorokannya dan menarik ke­luhan dalam.

Sesudah memandang Akemi dari atas ke bawah, Matahachi bertanya. “Apa yang terjadi? Apa kerjamu di sini malam begini, dan dengan pakaian perjalanan pula?”

“Di mana ibumu?”

“Dia di atas sana.” Matahachi melambaikan tangan. “Berani bertaruh, dia pasti marah sekali.”

“Karena uang itu?”

“Ya. Aku betul-betul minta maaf, Matahachi. Waktu itu aku harus lekas-­lekas pergi, tapi aku tak punya cukup uang buat membayar rekening, dan tak punya apa pun buat bepergian. Aku tahu perbuatan itu salah, tapi aku panik. Maafkan aku. Jangan paksa aku kembali! Aku berjanji akan me­ngembalikan uang itu nanti.” Dan ia mulai berurai air mata.

“Buat apa segala permintaan maaf itu? Oh, begitu, ya? Jadi, pikirmu kami datang kemari buat menangkapmu?”

“Ya, aku tidak menyalahkanmu. Biarpun perbuatanku itu cuma menurutkan kata hati, tapi aku betul-betul sudah melarikan uang itu. Kala aku ditangkap dan diperlakukan seperti pencuri, kukira tak pantas aku mengeluh.”

“Memang begitu mestinya pandangan ibuku, tapi aku bukan orang macam itu. Lagi pula, uang itu jumlahnya tidak banyak. Sekiranya engkau memang membutuhkannya, dengan senang hati aku memberikannya ke­padamu. Aku tidak marah. Yang lebih ingin kuketahui adalah kenapa kau begitu tiba-tiba pergi dan apa kerjamu di sini?”

“Aku mendengar pembicaraanmu dengan ibumu tadi malam.”

“Oh? Tentang Musashi?”

“Ya.”

“Dan engkau tiba-tiba memutuskan pergi ke Ichijoji?” Akemi tidak menjawab.

“Oh ya, aku lupa!” kata Matahachi, ingat akan maksud kedatangannya ke ngarai itu. “Apa engkau yang menjerit beberapa menit yang lalu?”

Akemi mengangguk, kemudian cepat mencuri pandang takut ke lereng di atas mereka. Dengan perasaan puas karena tak ada suatu pun lagi di sana, ia menyampaikan pada Matahachi bahwa tadi ia menyeberang sungai dan mendaki tebing terjal, tapi ketika menoleh ke atas, ia lihat hantu bertampang jahat sekali duduk di batu tinggi, menatap bulan. Hantu itu tubuhnya cebol, tetapi wajahnya wajah perempuan dan warnanya mengerikan, lebih putih dari putih, dan mulutnya tersayat sebelah, sampai ke telinga. Hantu itu kelihatan secara gaib menertawakannya, sehingga ia ketakutan sampai kehilangan akal. Belum lagi sadar, ia sudah merosot kembali masuk ngarai.

Walaupun cerita itu keterlaluan kedengarannya, tapi Akemi menceritakan­nya dengan sungguh-sungguh sekali. Matahachi mencoba mendengarkan dengan sopan, tapi segera kemudian ia tertawa terbahak-bahak.

“Ha, ha! Engkau mengarang saja semua itu! Barangkali kau yang menakuti hantu itu. Kau kan dulu biasa menjelajahi medan perang? Kau malah tidak menunggu sampai jiwa-jiwa itu pergi, langsung saja melucuti mayat-mayat itu.”

“Aku masih kanak-kanak waktu itu. Belum kenal rasa takut.”

“Tapi waktu itu kau tidak terlalu muda juga…. Kukira, kau masih merana karena Musashi sekarang.”

“Dia… Dia memang cinta pertamaku, tapi…”

“Kalau begitu, kenapa kau pergi ke Ichijoji?”

“Aku sendiri tidak tahu kenapa. Cuma terpikir kalau aku pergi, aku dapat melihatnya.”

“Menghabis-habiskan waktu saja,” kata Matahachi penuh tekanan, ke­mudian disampaikannya kepada Akemi bahwa Musashi tak punya kesempatan satu banding seribu untuk keluar dari pertempuran dalam keadaan hidup.

Sesudah mengalami peristiwa dengan Seijuro dan Kojiro, pikiran Akemi tentang Musashi tidak lagi dapat membangkitkan khayal kebahagiaan bersama seperti yang pernah ia punyai. Ia tidak mati, namun tidak pula menemukan hidup yang menggairahkannya, karena itu ia merasa seperti jiwa yang telantar-seperti angsa yang terpisah dari kawanannya, dan tersesat.

Melihat tampang Akemi, Matahachi terkesan sekali oleh miripnya keadaan Akemi itu dengan keadaannya sendiri. Mereka berdua terputus dan hanyut dari tambatan. Dari wajah Akemi yang berbedak itu, tampak bahwa ia membutuhkan teman.

Matahachi memeluknya dan menempelkan pipinya ke pipi Akemi, dan bisiknya, “Akemi, mari kita pergi ke Edo.”

“Ke… ke Edo? Kau berkelakar, ya?” kata Akemi, tapi gagasan tentang pergi ke Edo itu membuatnya sadar.

Sambil mengeratkan pelukannya pada bahu Akemi, Matahachi berkata, “Tidak mesti Edo, tapi tiap orang mengatakan Edo kota masa depan. Osaka dan Kyoto sudah tua sekarang. Barangkali itu sebabnya shogun membangun ibu kota baru di timur. Kalau kita pergi ke sana sekarang, mestinya masih banyak pekerjaan yang baik, bahkan juga untuk sepasang angsa sesat macam engkau dan aku ini. Mari, Akemi, katakanlah kau mau pergi.” Melihat wajah Akemi semakin memperlihatkan minat, Matahachi meneruskan dengan lebih berapi-api.

“Kita bisa bersenang-senang, Akemi. Kita dapat melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan. Buat apa hidup, kalau kita tak dapat melakukannya? Kita masih muda. Kita mesti belajar berani dan pandai. Kalau berlaku seperti orang lemah, kita takkan mendapat apa-apa. Semakin kita mencoba menjadi orang baik, tulus dan bersungguh-sungguh, semakin keras nasib menyepak dan menertawakan kita. Akhirnya kita cuma bisa menangis saja, lalu apa gunanya itu?

“Kukira itulah selalu yang kau alami, kan? Kau selamanya membiarkan dirimu dilalap oleh ibumu dan oleh lelaki-lelaki brutal. Dari sekarang, kau mesti menjadi yang makan, bukan yang dimakan.”

Akemi mulai bimbang. Memang mereka berdua telah melarikan diri dari sangkar, yaitu warung teh ibunya. Namun semenjak itu dunia tidak memperlihatkan apa pun kepadanya, kecuali kekejaman. Ia merasa Matahachi lebih kuat dan lebih mampu mengatasi hidup ini daripada dirinya. Bagai­manapun, Matahachi kan lelaki.

“Mau kau pergi?” tanya Matahachi.

Sekalipun Akemi tahu, ia bagaikan orang yang berusaha membangun kembali rumah yang sudah hancur terbakar dengan abunya, tidak mudah juga mengibaskan khayalnya: mimpi siang bolong memesona, tentang Musashi yang menjadi miliknya seorang. Tapi akhirnya ia mengangguk juga tanpa mengatakan sesuatu.

“Kalau begitu, jadi. Mari pergi sekarang!”

“Bagaimana dengan ibumu?”

“Dia?” Matahachi mendengus menengadah ke batu karang. “Kalau nanti dia berhasil mendapat barang yang bisa dipakainya membuktikan bahwa Musashi sudah mati, dia akan pulang ke desa. Memang kalau ditemukannya aku tak ada, dia akan marah seperti lalat kerbau. Aku sudah bisa mem­bayangkannya sekarang, dia mengatakan pada semua orang aku telah meninggalkannya di gunung, supaya mati, seperti kebiasaan membuang perempuan tua di beberapa tempat di negeri kita. Tapi kalau nanti aku mendapat sukses, itu yang akan menentukan segalanya. Bagaimanapun, kita sudah mengambil keputusan. Mari kita pergi!”

Ia melangkah, tapi Akemi menahannya.

“Matahachi, jangan lewat jalan itu!”

“Kenapa?”

“Kita nanti terpaksa lewat batu itu lagi.”

“Ha, ha! Dan melihat orang cebol bermuka perempuan lagi? Lupakanlah! Aku bersamamu sekarang. Oh, tapi dengarkan… apa bukan ibuku yang memanggil-manggil itu? Ayo cepat! Kalau tidak, dia akan mencariku. Dia jauh lebih gawat daripada hantu kecil bermuka seram itu.”

Pohon Pinus Lebar

ANGIN berdesir di pohon bambu. Walaupun hari masih terlampau gelap untuk terbang, burung-burung sudah bangun dan berkicau.

“Jangan serang! Ini aku—Kojiro!” Sesudah berlari seperti setan lebih dari satu mil jauhnya, napas Kojiro bersemburan sesampainya ia di pohon pinus lebar itu.

Wajah orang-orang yang muncul dari tempat-tempat persembunyian untuk mengepungnya tampak kaku karena menanti.

“Tidak kautemukan dia?” tanya Genzaemon tak sabar.

“Kutemukan,” jawab Kojiro dengan nada yang membuat semua mata tertuju kepadanya. Sambil menoleh dingin ke sekitar, katanya, “Aku me­nemukan dia, dan kami jalan bersama memudiki Sungai Takano sebentar, tapi kemudian dia…”

“Dia lari!” seru Miike Jurozaemon.

“Tidak!” kata Kojiro tegas. “Melihat ketenangannya dan kata-katanya, menurutku dia tidak lari. Semula memang begitu kelihatannya, tapi sesudah kupikirkan lagi, aku berpendapat dia cuma mencoba melepaskan diri dariku. Dia barangkali menyusun strategi yang mau disembunyikan dariku. Lebih baik Anda sekalian siap sekarang!”

“Strategi? Strategi macam apa?”

Orang-orang itu berdesak-desakan agar kata-kata Kojiro tidak terlewatkan sepatah pun.

“Kukira dia memperoleh beberapa pendukung. Barangkali sekarang dia dalam perjalanan menjemput mereka, supaya mereka dapat menyerang sekaligus.”

“Wah!” rintih Genzaemon. “Mungkin juga. Artinya, tak lama lagi mereka datang.”

Jurozaemon memisahkan diri dari kelompok orang itu dan memerintahkan orang-orangnya kembali ke pos masing-masing. “Kalau Musashi menyerang ketika kita cerai-berai begini,” katanya memperingatkan, “kita bisa kalah dalam pertempuran pertama. Kita tidak tahu berapa orang akan dibawanya, tapi jumlahnya tak mungkin banyak sekali. Kita akan berpegang terus pada rencana semula.”

“Betul. Tak boleh kita kena serangan mendadak selagi lengah.”

“Mudah sekali berbuat kesalahan, kalau kita lelah menanti. Hati-hatilah!” Berangsur-angsur mereka bubar. Pemegang bedil menempatkan diri kem­bali di cabang atas pohon pinus.

Melihat Genjiro berdiri kaku dan bersandar pada batang pohon itu, Kojiro bertanya, “Mengantuk?”

“Tidak!” jawab anak itu tabah.

Kojiro menepuk kepalanya. “Bibirmu sudah biru! Tentunya kau ke­dinginan. Kau wakil Keluarga Yoshioka, karena itu kau mesti berani dan kuat. Sabarlah sedikit lagi, nanti kau akan menyaksikan tontonan menarik.” Dan sambil pergi, tambahnya, “Sekarang aku mesti cari tempat yang baik untuk diriku sendiri.”

Bulan berjalan bersama Musashi dari lembah antara Bukit Shiga dan Bukit Uryu, tempat ia meninggalkan Otsu. Sekarang bulan itu terbenam di belakang gunung. Awan-awan pelan-pelan bergerak naik dan berhenti di ketiga puluh enam puncak gunung itu. Dunia akan segera mengawali pekerjaannya sehari-hari.

Musashi mempercepat langkahnya. Langsung di bawahnya tampak atap sebuah kuil. “Tak jauh lagi sekarang,” pikirnya. Ia memandang ke atas, dan terpikir olehnya bahwa dalam waktu singkat-beberapa tarikan napas saja ­jiwanya akan bergabung dengan awan-awan yang naik ke udara itu. Bagi alam semesta ini, kematian satu orang mustahil memiliki nilai yang lebih penting daripada kematian seekor kupu-kupu. Tetapi di tengah lingkungan manusia, satu kematian bisa mempengaruhi segalanya, ke arah yang baik atau sebaliknya. Satu-satunya soal yang dihadapi Musashi sekarang adalah bagaimana mati secara mulia.

Bunyi air yang mengelu-elukannya terdengar di telinga. Ia berhenti dan berlutut di kaki sebuah batu besar, lalu menciduk air dari sungai dan meminumnya cepat. Lidahnya terasa nyeri oleh segarnya air itu, suatu petunjuk bahwa semangatnya tenang dan bulat, dan keberanian tidak meninggalkan dirinya. Demikian yang diharapkannya.

Selagi istirahat sebentar, ia seperti mendengar suara memanggilnya. Otsu? Jotaro? ia tahu, tak mungkin Otsu. Otsu bukan jenis orang yang dapat kehilangan kendali diri, lalu mengejarnya pada saat seperti ini. Otsu sudah mengenalnya betul, sehingga tak mungkin melakukannya. Namun Musashi tak dapat melepaskan diri dari perasaan bahwa ada orang yang sedang memanggilnya. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, dengan harapan akan melihat seseorang. Dugaan bahwa dirinya mendapat halusinasi sangat me­lemahkannya.

Namun ia tak dapat membuang-buang waktu lagi. Terlambat berarti tidak hanya melanggar janji, tapi juga meletakkannya pada kedudukan yang sangat tidak menguntungkan. Untuk seorang prajurit yang sedang mencoba menghadapi sebarisan lawan, waktu yang ideal adalah jeda singkat sesudah bulan tenggelam, tapi sebelum langit sepenuhnya terang. Demikianlah dugaannya.

Teringat olehnya pepatah lama, “Mudah menghancurkan musuh di luar diri sendiri, tapi tak mungkin mengalahkan musuh di dalam.” Ia bersumpah mengusir Otsu dari pikirannya, ia bahkan sudah menyatakan dengan sejelas-jelasnya kepada Otsu ketika gadis itu bergayut pada lengan kimononya. Namun rupanya ia tak dapat mengusir suara gadis itu dari otaknya.

Ia mengutuk pelan. “Seperti perempuan! Lelaki yang sedang menjalankan tugas tak boleh berpikir tentang tetek-bengek macam cinta!”

Ia memacu terus dirinya dan berlari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba tampak di bawahnya jalur putih yang naik dari kaki gunung melintas rumpun bambu, pepohonan, dan perladangan. Itu salah satu jalan menuju Ichijoji. Ia kini hanya sekitar tiga ratus lima puluh meter dari tempat jalan itu bertemu dengan dua jalan lainnya. Lewat kabut yang seperti susu, ia dapat melihat cabang-cabang pohon pinus besar itu.

Ia berlutut. Tubuhnya tegang. Bahkan pepohonan di sekitarnya seperti berubah menjadi musuh yang potensial. Dengan gerakan kaku seekor kadal, ia tinggalkan jalan setapak itu, berangkat menuju lokasi yang langsung berada di atas pinus. Tiupan angin dingin bergerak turun dari puncak gunung, mendesak kabut bergulung-gulung yang melanda pohon-pohon pinus dan bambu. Cabang-cabang pinus lebar itu bergetar, seakan-akan mengingatkan kepada dunia tentang datangnya bencana.

Dengan mengerahkan penglihatannya, Musashi dapat melihat sosok se­puluh orang yang berdiri diam sempurna di sekitar pohon pinus, dengan lembing siaga di tangan. Hadirnya orang lain lagi di tempat-tempat lain di gunung itu dapat dirasakannya, sekalipun ia tidak melihatnya. Musashi tahu, ia sekarang memasuki wilayah maut. Perasaan dahsyat menyebabkan bulu-bulu di punggung tangannya meremang, namun napasnya tetap dalam dan mantap. Sampai ujung jari kakinya ia sudah siap beraksi. Selama merangkak pelan ke depan, jari-jari kakinya dapat mencekam tanah dengan kekuatan dan kepastian jari-jari tangannya.

Tidak jauh dari tempat itu tampak tanggul batu yang dulunya tenr­bagian dari sebuah kubu. Sekadar menuruti kehendak hati, ia berjalan d antara batu-batu karang, menuju tempat berdirinya tanggul itu. Di situ ia mendapatkan sebuah tonjolan batu yang menghadap langsung ke pohon pinus lebar. Di belakangnya terdapat pekarangan suci yang dilindungi beberapa jenis pohon hijau tinggi, dan di antara baris-baris pohon itu ia melihat sebuah bangunan suci

Sekalipun tidak terbayang olehnya dewa apa yang disembah orang di situ, ia lari juga lewat pohon itu ke pintu tempat suci dan berlutut di depannya. Sadar akan dekatnya maut, ia tidak dapat menahan getar jantungnya, mengingat hadirnya sang dewa. Bagian dalam tempat suci itu gelap, hanya ada sebuah lampu suci yang berayun-ayun tertiup angin. Lampu itu terancam mati, tapi secara ajaib dapat merebut kembali kece­merlangan penuhnya. Piagam di atas pintu berbunyi “Tempat Keramat Hachidai”.

Musashi senang karena merasa memiliki sekutu yang perkasa, dan merasa kalau ia menyerang menuruni gunung itu, dewa perang akan berada di belakangnya. Ia tahu dewa-dewa selalu memihak kepada yang benar. Ia ingat, dalam perjalanan ke Pertempuran Okehazama, Nobunaga yang agung pun beristirahat untuk bersujud di Tempat Keramat Atsuta. Penemuan tempat suci ini sungguh sangat tepat.

Di dalam pintu gerbang terdapat sebuah tempayan batu, di mana para pemohon dapat membersihkan diri sebelum berdoa. Ia berkumur, kemudian mengisi mulutnya dengan air dan menyemprotkan air itu ke gagang pedang dan tali sandalnya. Dengan cara demikian, ia disucikan.

Ia menyingsingkan lengan kimononya dengan tali kulit dan menaikkan ikat kepala dari katun. Ia lenturkan otot-otot kakinya sambil berjalan dan pergi ke tangga tempat suci, dan di situ memegang tali yang tergantung pada gong di atas pintu masuk. Dengan cara yang sepanjang zaman dipatuhi orang, ia hendak membunyikan gong itu dan berdoa pada dewa.

Tiba-tiba ia ingat diri dan cepat menarik tangannya. “Apa yang kulakukan ini?” pikirnya ngeri. Tali yang terjalin dari benang katun merah-putih itu seakan mengajaknya memegangnya, membunyikan gong itu, dan menyampai­kan permohonannya. Ia menatapnya. “Apa yang hendak kumohon?” tanyanya pada diri sendiri. “Bantuan apa yang kuharapkan dari dewa-dewa? Apakah aku sudah menjadi satu dengan alam semesta? Tidakkah aku selalu me­ngatakan harus siap menghadapi maut setiap waktu? Tidakkah aku selalu melatih diriku menghadapi maut dengan tenang dan yakin?”

Ia tertegun. Tanpa berpikir, tanpa mengingat tahun-tahun yang telah dilaluinya dalam berlatih dan mendisiplinkan diri, hampir saja ia memohon bantuan adikodrati. Terasa olehnya ada sesuatu yang salah, karena jauh di dasar hatinya ia tahu sekutu sejati seorang samurai bukanlah dewa-dewa, melainkan maut itu sendiri. Tadi malam dan awal pagi tadi ia yakin telah menerima nasib. Tapi lihatlah, hampir saja ia lupa akan segala yang pernah dipelajarinya, yaitu memohon bantuan kepada dewa. Maka dengan kepala tertunduk malu, ia berdiri seperti batu.

“Sungguh tolol aku! Tadinya aku mengira sudah mencapai kemurnian dan pencerahan, tapi ternyata di dalam diriku masih ada bagian yang menghendaki hidup terus. Suatu khayal yang membangkitkan pikiran tentang Otsu atau kakak perempuanku! Suatu harapan palsu yang mendorongku bergayut pada apa saja. Suatu damba setani yang menyebabkan aku lupa diri dan memikatku berdoa minta bantuan pada dewa-dewa.”

Ia merasa muak dan jengkel terhadap tubuhnya, jiwanya, dan kegagalannya menguasai Jalan Samurai. Air mata yang ditahan-tahannya di hadapan Otsu kini bercucuran dari matanya.

“Semua itu tadi tidak kusadari. Aku tidak bemaksud berdoa, bahkan apa yang akan kudoakan pun tak terpikir olehku.Tapi bahwa aku telah melaku­kannya tanpa sadar, itu lebih buruk lagi.”

Tersiksa oleh kesangsiannya sendiri, ia merasa tolol dan belum matang.

Apakah ia memang punya kemampuan menjadi seorang prajurit? Kalau ia mencapai keadaan tenang yang diidam-idamkannya, tentunya ia tidak perlu berdoa atau mengajukan permohonan, walaupun secara tak sadar. Dalam satu saat yang mengguncangkan, hanya beberapa menit sebelum pertempuran. ia menemukan di dalam hatinya benih-benih sejati kekalahan. Tak mungkin sekarang ia menganggap maut yang mendekat sebagai puncak hidup seorang samurai!

Dalam tarikan napas berikutnya, gelombang rasa syukur melandanva. Kehadiran dan kebesaran dewata meliputinya. Pertempuran belum lagi dimulai. Ujian yang sebenarnya masih ada di depan. Ia mendapat peringatan pada waktunya! Dengan mengakui kegagalannya, berarti ia telah meng­atasinya. Kesangsiannya lenyap. Dewata memimpinnya ke tempat ini untuk diajari hal itu.

Ia memang percaya secara tulus kepada dewa-dewa, tapi ia tidak meng­anggap mencari bantuan kepada dewa-dewa itu sebagai Jalan Samurai. Jalan Samurai adalah kebenaran tertinggi yang melebihi dewa-dewa dan para Budha. Ia mundur selangkah dan melipat tangan, bukannya meminta perlindungan, ia menyatakan terima kasih kepada dewa-dewa atas bantuan mereka yang datang tepat pada waktunya.

Ia membungkuk cepat dan bergegas keluar dari pekarangan tempat keramat dan menuruni jalan setapak yang sempit dan terjal. Kalau hujan deras turun, jalan itu pasti segera berubah menjadi kali deras. Kerikil dan gumpalan kotoran rapuh hancur di tumitnya, memecah kesunyian. Begitu pohon pinus lebar tampak lagi, ia meninggalkan jalan setapak dan merunduk di dalam semak. Belum setitik pun embun jatuh dari dedaunan, dan lutut serta dadanya pun segera saja basah kuyup. Pohon pinus itu tidak lebih dari empat atau lima puluh langkah di bawahnya. Terlihat olehnya orang yang memegang bedil di atas cabangnya.

Kemarahannya meluap. “Pengecut!” katanya, hampir terdengar keras. “Semua itu hanya untuk melawan satu orang?”

Tapi ada juga rasa kasihannya kepada musuh yang sampai harus meng­ambil tindakan ekstrem macam itu. Bagaimanapun, ia telah menduga akan menghadapi hal seperti itu, dan sejauh mungkin siap menghadapinya. Karena mereka pasti beranggapan ia tidak sendirian, maka sikap bijaksana menyebabkan mereka menyiapkan setidak-tidaknya satu senjata terbang, bahkan barangkali juga lebih dari satu. Kalau mereka mempergunakan juga busur-busur pendek, maka para pemanah barangkali bersembunyi di balik batu-batu karang atau di tempat-tempat rendah.

Musashi punya satu keuntungan besar. Baik yang ada di atas pohon maupun mereka yang ada di bawahnya itu membelakanginya. Ia merangkak maju, hampir-hampir merayap, sambil merunduk demikian rendah hingga gagang pedangnya mencuat di atas kepalanya. Kemudian ia tempuh jarak sekitar dua puluh langkah dengan berlari kencang.

Pemegang bedil memutar kepala, melihatnya, dan berteriak, “Itu dia!”

Musashi berlari lagi sepuluh langkah, tahu bahwa orang itu akan terpaksa mengubah posisi untuk membidik dan menembak.

“Di mana?” teriak orang-orang yang paling dekat dengan pohon.

“Di belakang kalian!” terdengar jawaban yang memecahkan tenggorokan.

Pemegang bedil mengarahkan senjatanya ke kepala Musashi. Ketika bunga api yang keluar dari sumbu bedil itu menghujan ke bawah, siku kanan Musashi membuat gerakan melengkung di udara. Batu yang dilempar­kannya tepat mengenai sumbu dengan kekuatan dahsyat. Pekik pemegang bedil menjadi satu dengan bunyi cabang-cabang yang berderak-derak, dan orang itu pun terjungkal ke bumi.

Seketika itu juga nama Musashi ada di setiap bibir. Tak seorang pun dari mereka mau bersusah-susah memikirkan situasi itu secara menyeluruh, atau memperkirakan Musashi mungkin menggunakan cara menyerang ke satuan pusat terlebih dahulu. Maka kebingungan melanda mereka semua. Dalam ketergesaan untuk menyusun diri kembali, kesepuluh orang itu saling ber­tubrukan, senjata mereka tersangkut-sangkut, dan mereka saling menginjak tebing. Suasana kacau balau, semuanya saling teriak agar jangan sampai melepaskan Musashi.

Baru saja mereka memilah-milah diri dan mulai membentuk susunan tengah lingkaran, mereka sudah ditantang, “Aku Miyamoto Musashi, anak Shimmen Munisai dari Provinsi Mimasaka. Aku datang sesuai dengan persetujuan yang kita buat kemarin dulu di Yanagimachi.

“Genjiro, kamu di sana? Kuminta kau jangan ceroboh macam Seijuro dan Denshichiro sebelum ini. Aku mengerti karena umurmu yang masih muda, kau didukung beberapa orang. Tapi aku, Musashi, datang sendiri. Orang-orangmu boleh menyerang sendiri-sendiri atau berkelompok, terserah mereka. Nah, sekarang ayo berkelahi!”

Sekali lagi orang-orang terkejut luar biasa. Tak seorang pun mengira Musashi akan menyampaikan tantangan resmi! Sampai-sampai mereka yang ingin sekali menjawab dengan cara seperti itu juga kehilangan sikap yang diperlukan.

“Musashi, kau terlambat!” teriak sebuah suara serak.

Banyak di antara orang-orang itu naik semangatnya oleh pernyataan Musashi bahwa ia sendirian, tetapi Genzaemon dan Jurozaemon yakin bahwa itu tipu daya, karena itu mereka menoleh ke sekitar, untuk mencari bala bantuan yang dimiliki Musashi.

Suatu desing keras melengking ke satu sisi, dan sekejap kemudian disusul oleh kilau pedang Musashi yang membelah udara. Anak panah yang diarahkan ke wajahnya patah, separuh jatuh ke belakang bahunya, separuh lagi jatuh ke dekat ujung pedangnya yang diturunkan, atau lebih tepat dikatakan jatuh ke bekas tempat pedangnya, karena waktu itu juga Musashi sudah bergerak lagi. Dengan rambut tegak seperti bulu tengkuk singa, ia menyerang ke arah sosok gelap di belakang pohon pinus lebar.

Genjiro mendekap batang pohon sambil menjerit, “Tolong! Aku takut!”

Genzaemon melompat maju sambil melolong, seakan pukulan itu mengenainya, tapi sudah terlambat! Pedang Musashi menyabet kulit pokok pinus sepanjang dua kaki, dan kulit itu jatuh ke tanah, di samping kepala Genjiro yang berlumuran darah.

Sungguh perbuatan setan garang! Tanpa menghiraukan yang lain-lain, Musashi langsung menyerang anak itu. Dan kelihatan ia memang sudah bermaksud demikian sejak dari semula.

Serangan itu merupakan suatu kebuasan luar biasa. Tetapi kemarian Genjiro tidak mengurangi sedikit pun daya tempur orang-orang Yoshioki. Kebingungan campur kegugupan menjadi nafsu gila untuk membunuh.

“Binatang!” pekik Genzaemon dengan muka pucat kelabu karena sedih dan berang. Dengan kepala menyuruk, ia langsung menerjang ke arah Musashi, dengan pedang yang agak terlalu berat untuk orang seumurmya. Musashi menggeser tumit ke belakang sekitar satu kaki, mencondongkan badan ke samping, lalu menebas ke atas, menyerempet siku dan wajah Genzaemon dengan ujung pedangnya. Tak mungkin orang mengatakan siapa yang melolong, karena justru pada waktu itu seorang yang menyerang Musashi dengan lembing dari belakang telah terhuyung ke muka dan jatuh menimpa orang tua itu. Saat berikutnya, pemain pedang ketiga yang datang dari muka terpapas dari bahu sampai pusar. Kepalanya terkulai dan tangannva lunglai, sementara kedua kakinya terus membawa tubuhnya yang bernyawa itu maju beberapa langkah lagi.

Orang-orang lain dekat pohon itu menjerit sekuat paru-paru mereka, ­tetapi seruan minta tolong mereka hilang ditelan angin dari pepohonan. Teman-teman mereka terlalu jauh untuk dapat mendengarkan dan tidak dapat melihat kejadian itu, sekalipun misalnya mereka melihat ke arah pohon pinus itu dan bukan mengawasi jalan.

Pohon pinus lebar itu sudah ratusan tahun umurnya. Ia telah menyaksikan mundurnya pasukan Taira yang kalah perang dari Kyoto ke Omi dalam peperangan abad dua belas. Tidak terhitung sudah berapa kali para pendeta Gunung Hiei turun ke ibu kota untuk memberikan tekanan pada Istana Kaisar. Apakah karena rasa terima kasih atas pemberian darah segar yang merembes ke akar-akarnya, ataukah karena sedih menyaksikan pembunuhan besar-besaran itu, cabang-cabang pinus tersebut bergoyang ditimpa angin berkabut dan menghamburkan titik-titik embun dingin kepada orang-orang di bawahnya. Angin itu membangkitkan aneka warna bunyi dari cabang­cabang pohon, pada bambu yang berayun-ayun, dari kabut, dan pada rumput yang tinggi.

Musashi mengambil jurus membelakangi pokok pohon yang lebarnya melebihi pelukan dua orang. Pohon itu menjadi perisai ideal bagi bagian belakang tubuhnya, tapi rupanya ia menganggap berbahaya tinggal lama-­lama di situ. Matanya mengembara ke ujung pedangnya dan menatap lawan-lawannya, otaknya menilai medan dan mencari kedudukan yang lebih baik.

“Pergi ke pinus lebar! Ke pinus! Pertempuran di sana!” Teriakan itu datang dari puncak bukit kecil yang dipilih Sasaki Kojiro untuk mengamati tontonan itu.

Kemudian terdengar bunyi bedil yang memekakkan telinga, dan barulah samurai dari Keluarga Yoshioka menangkap apa yang sedang terjadi. Seperti tawon, mereka bergerombol meninggalkan tempat-tempat persembunyian dan meluncur ke persimpangan jalan.

Musashi berkelit ke samping. Peluru menghunjam batang pohon, beberapa inci dari kepalanya. Sebaliknya, ketujuh orang yang menghadapinya beringsut memutar beberapa kaki untuk mengimbangi perubahan kedudukan Musashi itu.

Tanpa peringatan terlebih dahulu, Musashi menyerbu dengan pedang dipasang setinggi mata, ke arah orang yang berdiri paling kiri. Kobashi Kurando, seorang dari Sepuluh Pemain Pedang Yoshioka, terkena serangan itu. Disertai pekik kaget yang rendah bunyinya, ia memutar badan dengan satu kakinya, tapi tidak cukup cepat untuk dapat lolos dari pukulan ke lambungnya. Dengan pedang masih diacungkan, Musashi terus berlari lurus ke depan.

“Jangan biarkan dia lepas!”

Keenam orang lainnya maju mengejarnya, tetapi serangan Musashi kembali membuat mereka berantakan, kehilangan kerja sama. Dalam sekejap mata Musashi berputar sambil menebas menyamping ke arah orang terdekat. Miike Jurozaemon. Sebagai pemain pedang berpengalaman, Jurozaemon sudah menebak serangan ini, dan ia memberikan giliran beraksi pada kakinya, hingga ia dapat cepat bergerak mundur. Ujung pedang Musashi hampir saja menyerempet dadanya.

Cara Musashi menggunakan senjatanya berlainan dengan cara pemain pedang biasa pada zamannya. Menurut teknik yang biasa, kalau hantaman pertama tidak mengena, tenaga pedang itu habis di udara. Sebelum dapat menghantam lagi, mata pedang harus lebih dulu ditarik kembali. Ini terlampau lambat untuk Musashi. Bilamana ia menghantam ke samping, hantaman itu diteruskan dengan hantaman ke arah kebalikan. Tebasan ke kanan diikutinya dengan pukulan kebalikan ke kiri, dengan gerakan yang hakikatnya sama. Mata pedangnya dengan demikian menciptakan dua berkas cahaya, yang gambarnya mirip sekali dengan dua lembar daun pintu yang saling dihubungkan.

Pukulan kebalikan yang tak disangka-sangka itu menyayat ke muka Jurozaemon hingga kepalanya menjadi tomat merah besar.

Karena tidak belajar di bawah pimpinan seorang guru, Musashi merasa kadang-kadang berada pada kedudukan tidak menguntungkan, tapi kadang-­kadang juga ia dapat mengambil keuntungan dari situ. Salah satu ke­unggulannya adalah ia tidak pernah dicetak oleh perguruan tertentu. Ditinjau dari pandangan ortodoks, gayanya tidak memiliki bentuk yang jelas, tidak ada aturannya, dan tak ada teknik-teknik rahasianya. Karena gaya itu hanya.­didasarkan pada daya cipta dan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, maka sukar disebutkan macamnya atau golongannya. Sampai taraf tertentu bisa saja ia dilawan secara efektif dengan menggunakan gaya-gaya konvensional. kalau lawannya sangat terampil. Jurozaemon tidak dapat menduga lebih dahulu taktik Musashi. Orang yang mahir dalam Gaya Yoshioka atau dalam salah satu gaya Kyoto lain barangkali juga akan terperangah seperti Jurozaemon.

Kalau pukulan fatal yang dijatuhkannya kepada Jurozaemon itu diteruskan dengan menyerang juga rombongan campuran yang tetap tinggal di sekitar pohon, pasti Musashi dapat membantai beberapa orang lagi dalam waktu singkat. Tapi ia malah berlari menuju persimpangan jalan. Kemudian ketika mereka menyangka ia akan melarikan diri, tiba-tiba saja ia berbalik dan menyerang lagi. Begitu mereka telah menyusun diri kembali untuk mempertahankan diri, ia lari lagi.

“Musashi!”

“Pengecut!”

“Berkelahilah seperti lelaki!”

“Urusan kita belum selesai!”

Kata-kata kutukan yang memang biasa itu memenuhi udara. Mata yang berang sudah hampir meloncat dari ceruknya. Orang-orang itu sudah mabuk melihat dan mencium darah, sama mabuknya dengan orang yang sudah meneguk segudang sake. Darah membuat para pemberani menjadi lebih tenang, tapi mempunyai efek sebaliknya terhadap para pengecut. Orang-orang itu seperti setan air yang muncul dari danau darah yang kental.

Musashi mengabaikan saja teriakan-teriakan itu. Sesampainya di per­simpangan jalan, ia segera mengambil jalan tersempit di antara ketiga jalan keluar itu, yaitu jalan yang menuju Shugakuin. Dari arah berlawanan. orang-orang yang telah ditempatkan sepanjang jalan itu datang secara kacau-balau. Belum sampai empat puluh langkah berjalan, Musashi melihat orang pertama dalam rombongan itu. Menurut hukum fisika yang biasa, ia akan segera terperangkap di antara orang-orang itu dan orang-orang yang mengejarnya. Tapi nyatanya, ketika kedua kesatuan itu bertumbukan Musashi tidak ada lagi di sana.

“Musashi. Di mana kau?”

“Dia di sini tadi. Aku melihatnya!”

“Pasti!”

“Dia tidak ada!”

Dan suara Musashi meledak di tengah ocehan bingung itu. “Aku di sini!”

Ia melompat dari balik bayangan sebuah batu, ke tengah jalan, di belakang para samurai yang sedang berbalik, hingga ia dapat menghadapi mereka semua dari satu arah. Tercengang oleh perubahan kilat kedudukan itu, orang-orang Yoshioka bergerak cepat menghimpitnya, tapi di jalan sempit itu mereka tidak dapat memusatkan kekuatan. Kalau diukur ruang yang diperlukan untuk mengayunkan pedang, untuk dua orang saja pun jalan itu berbahaya untuk dipakai bergerak maju bersama.

Orang yang terdekat dengan Musashi terhuyung ke belakang dan men­dorong mundur orang di belakangnya ke tengah rombongan yang sedang datang. Untuk sesaat mereka semua menggelepar tanpa daya, kaki saling berkait. Tapi dalam gerombolan, orang memang tak mudah menyerah. Walaupun gentar oleh kecepatan dan keganasan Musashi, orang-orang itu segera dapat memperoleh kembali keyakinan mereka akan kekuatan kolektif. Sambil meraung menggeletar, mereka maju ke depan. Sekali lagi mereka yakin bahwa tak seorang pemain pedang pun dapat menandingi mereka semua.

Musashi berkelahi seperti perenang yang sedang melawan gelombang raksasa. Sekali memukul, ia mundur selangkah-dua langkah. Ia mesti lebih mencurahkan perhatian pada pertahanan daripada serangan. Ia bahkan menahan diri agar tidak menebas orang-orang yang terhuyung ke dalam jangkauan tangannya dan merupakan sasaran empuk, baik karena jatuhnya mereka tidak akan cukup menghasilkan keuntungan, maupun karena kalau tebasannya meleset, ia akan jadi sasaran lembing-lembing musuh. Jangkauan pedang memang bisa diukur secara tepat, tapi tidak demikian halnya dengan lembing.

Sementara ia terus mengundurkan diri pelan-pelan, para penyerangnya menghimpitnya tanpa kenal ampun. Wajahnya sudah putih kebiruan, sampai seakan-akan mustahil ia bisa bernapas cukup. Orang orang Yoshioka berharap akhirnya ia akan terantuk akar pohon atau tersandung batu. Sementara itu, tak seorang pun dari mereka mau terlampau dekat dengan orang yang sedang berkelahi mati-matian demi hidupnya itu. Jatuhnya pukulan pedang dan lembing terdekat yang menghimpit Musashi selalu lima atau tujuh sentimeter dari jangkauan sasarannya.

Hiruk-pikuk itu ditambah lagi oleh meringkiknya kuda-kuda beban. Di dukuh terdekat, orang sudah bangun dan sibuk. Saar itu adalah saat para pendeta yang rajin lewat dalam perjalanan ke atau dari puncak Gunung Hiei, dengan suara bakiak berdetak-detak dan bahu tegap dibidangkan. Sementara pertempuran berjalan terus, para penebang kayu dan petani ikut para pendeta di jalan, menyaksikan pertunjukan itu. Kemudian ayam dan kuda di kampung ikut pula sibuk memperdengarkan suara. Segerombolan penonton berkumpul sekitar tempat keramat di mana Musashi tadi mem­persiapkan diri menjelang pertempuran. Angin berhenti bertiup dan kabut turun lagi seperti tirai putih yang tebal. Kemudian tiba-tiba kabut itu hilang sama sekali, hingga para penonton dapat menyaksikan pemandangar itu dengan jelas.

Selama beberapa menit bertempur, keadaan tubuh Musashi sudah berubah sama sekali. Rambutnya sudah kusut berlumuran darah. Darah bercampur keringat mencelup ikat kepalanya menjadi merah muda. Ia tampak seperti penjelmaan setan yang muncul dari neraka. Ia bernapas dengan seluruh tubuhnya. Dadanya yang seperti perisai itu naik-turun seperti gunung berapi. Robekan pada hakama-nya memperlihatkan luka pada lutut kirinya. Jaringan-jaringan putih di dasar luka itu tampak seperti biji buah delima merekah. Pada lengan bawahnya juga terdapat luka. Luka itu tidak gawat. tetapi telah memercikkan darah ke dada, sampai ke pedang kecil dalam obi­nya. Seluruh kimononya tampak seperti sudah dicelup merah tua. Penonton yang dapat melihatnya, menutup mata karena ngeri.

Yang lebih mengerikan lagi adalah melihat orang yang mati dan terluka akibat pertempuran. Melanjutkan gerakan mundur taktisnya menyusuri jalan setapak, sampailah Musashi di sepetak tanah terbuka, di mana para pengejarnya menyerbu secara besar-besaran. Dalam beberapa detik saja. empat atau lima orang sudah terpotong. Mereka bergelimpangan di sana­sini, suatu bukti kecepatan pukulan dan gerakan Musashi. Ia seperti ada di mana-mana sekaligus.

Tapi sekalipun Musashi dapat beranjak dan mengelak dengan cekatan, ia berpegang pada satu strategi dasar. Ia tidak pernah menyerang suatu kelompok dari depan atau samping-selamanya menyerong, pada sudut yang terbuka. Apabila satu kesatuan samurai mendekatinya berhadap-hadapan. ia beranjak seperti kilat ke sudut formasi mereka, agar dari situ ia dapat menghadapi seorang-dua orang saja berganti-ganti. Dengan cara ini, ia dapat memaksa mereka pada kedudukan yang sama. Tetapi akhirnya Musashi toh lelah juga. Lawan-lawannya pun akhirnya akan menemukan cara untuk menggagalkan metode serangan itu. Untuk itu, mereka perlu menyusun diri dalam dua kekuatan besar, di depan dan di belakang Musashi. Dengan demikian, Musashi akan berada dalam bahaya yang lebih besar lagi. Musashi harus mengerahkan seluruh akalnya untuk mencegah terjadinya hal itu.

Pada suatu ketika, Musashi menarik pedang kecilnya dan mulai bertempur dengan kedua tangannya. Pedang besar di tangan kanannya berlumuran darah sampai gagang dan kepalan yang menggenggamnya, sedangkan pedang kecil di tangan kirinya masih bersih. Walaupun pedang pendek itu sudah dapat mengiris sedikit daging waktu pertama kali dipergunakan, ia masih juga berkilau, haus oleh darah. Musashi sendiri belum sepenuhnya sadar bahwa ia telah mencabut pedang pendek itu, walaupun ia sudah meng­gunakannya dengan cekatan, sama seperti saat menggunakan pedang besarnya.

Apabila tidak memukul, ia arahkan pedang kiri itu langsung ke mata lawannya. Pedang kanan dijulurkan ke samping, membentuk busur horisontal lebar dengan siku dan bahunya, dan berada betul-betul di luar garis pandangan musuh. Kalau lawan bergerak ke kanan, Musashi dapat me­mainkan pedang kanannya. Kalau penyerang bergerak sebaliknya, Musashi dapat menggerakkan pedang kecil ke kirinya dan memerangkap musuh di antara kedua pedangnya. Dengan menusuk ke depan, ia dapat memaku orang itu ke satu tempat dengan pedang kecil, dan sebelum ada waktu untuk mengelak, ia menyerangnya lagi dengan pedang besar. Bertahun­-tahun kemudian, cara ini akhirnya secara resmi dinamakan Teknik Dua Pedang Melawan Kekuatan Besar, tapi waktu itu Musashi berkelahi hanya menuruti naluri semata-mata.

Dinilai dari segala ukuran yang berlaku, Musashi bukanlah seorang teknikus pedang yang besar. Sekolah, gaya, teori, tradisi—tak satu pun dari semuanya itu ia pahami. Cara berkelahinya sepenuhnya pragmatis. Yang diketahuinya hanyalah apa yang dipelajarinya dari pengalaman. Ia tidak melaksanakan teori dalam praktek. Ia berkelahi dulu, baru sesudah itu berteori.

Orang-orang Yoshioka, mulai dari Sepuluh Pemain Pedang sampai ke bawah, semua menguasai teori-teori Delapan Gaya Kyoto yang dijejalkan ke dalam benak mereka. Beberapa orang bahkan sampai menciptakan variasi gaya sendiri. Sekalipun mereka petarung yang sangat terlatih dan sangat disiplin, mereka tidak dapat menaksir kemampuan pemain pedang seperti Musashi yang menghabiskan waktunya sebagai pertapa di pegunungan, membuka diri sebanyak-banyaknya terhadap bahasa yang berasal dari alam maupun dari manusia. Bagi orang-orang Yoshioka, tidaklah dapat dipahami bahwa dengan napas yang sudah demikian tidak teratur, dengan muka yang sudah kelabu, mata yang sudah buram karena keringat, dan tubuh yang sudah berlumuran darah kental, Musashi masih dapat menggunakan dua bilah pedang dan mengancam akan menghabiskan siapa saja yang ada dalam jangkauannya. Tetapi ia berkelahi terus seperti dewa api atau dewa angkara. Mereka sendiri sudah lelah setengah mati, dan usaha-usaha mereka untuk menaklukkan momok terkutuk ini sudah histeris sifatnya.

Sekonyong-koyong hiruk-pikuk itu meningkat.

“Lari!” teriak seribu suara.

“Hai, engkau yang sendirian, lari!”

“Kita nanti terpaksa lewat batu itu lagi.”

“Ha, ha! Dan melihat orang cebol bermuka perempuan lagi? Lupakanlah! Aku bersamamu sekarang. Oh, tapi dengarkan… apa bukan ibuku yang memanggil-manggil itu? Ayo cepat! Kalau tidak, dia akan mencariku. Dia jauh lebih gawat daripada hantu kecil bermuka seram itu.”

“Lari, selagi bisa!”

Teriakan itu datang dari pegunungan, pepohonan, dari awan-awan di atas. Para penonton di segala tempat melihat barisan Yoshioka sedang me­ngepung Musashi. Bahaya yang mengancam menggerakkan semua penonton untuk mencoba menyelamatkannya, walaupun hanya dengan suara.

Tetapi peringatan mereka itu tak berarti. Musashi takkan mendengarnya, sekalipun bumi terbelah hancur lebur atau langit bertubi-tubi mengirimkan kilat halilintar. Teriakan itu makin lama makin seru, mengguncang ketiga puluh enam puncak gunung itu, seperti gempa bumi. Teriakan-teriakan itu datang serentak dari para penonton dan para samurai Yoshioka yang ber­desak-desakan.

Musashi akhirnya enyah melintasi sisi gunung dengan kecepatan babi liar. Dalam waktu singkat, lima atau enam orang mengejarnya, mencoba mati-matian agar sempat menjatuhkan pukulan keras.

Disertai lolongan dahsyat, Musashi tiba-tiba berputar, merunduk, dan mengayunkan pedang ke samping, setinggi tulang kering, hingga para pengejarnya berhenti. Satu orang meluncurkan lembing dari atas, tetapi lembing itu mental ke udara, terkena pukulan balasan yang perkasa. Mereka serentak mundur. Musashi mengayun ganas pedang yang kiri. kemudian yang kanan, kemudian kiri lagi. Karena ia bergerak seperti gabungan api dan air, musuh-musuhnya berputar-putar gemetar, terhuyung­huyung dan tersandung-sandung di belakangnya.

Kemudian Musashi lari lagi. Ia melompat dari tanah terbuka tempat berkecamuknya pertempuran, dan masuk ladang gandum hijau di bawah.

“Berhenti!”

“Balik sini dan ayo berkelahi!”

Dua orang melompat membabi buta mengejar Musashi. Sekejap kemudian terdengar dua jeritan meregang nyawa, dua lembing terbang membelah udara dan terjatuh tegak lurus di tanah ladang. Musashi menggelincir seperti bola besar dari lumpur, melewati ujung ladang. Sesudah seratus meter jauhnya, ia cepat memperlebar jarak itu.

“Dia menuju dusun!”

“Dia ke jalan besar!”

Padahal nyatanya Musashi merangkak naik dengan cepat dan tanpa terlihat menuju ke ujung ladang itu, dan sekarang tersembunyi di hutan sebelah atas. Ia melihat bagaimana para pengejarnya membagi diri untuk meneruskan pengejaran ke beberapa arah.

Waktu itu sudah siang. Pagi cerah, mirip hari-hari lain.

Persembahan untuk yang Mati

KETIKA Oda Nobunaga akhirnya kehilangan kesabaran terhadap intrik politik para pendeta, ia menyerang bangunan Budhis kuno di Gunung Hiei, dan dalam satu malam yang menghebohkan itu hampir semua dari tiga ribu kuil dan tempat keramat di sana habis dimakan api. Sekalipun empat dasawarsa telah berlalu dan balai utama serta sejumlah kuil tambahan telah dibangun kembali, kenangan malam itu masih terus mengawang, seperti selubung di atas gunung. Lembaga itu sekarang tercabut dari ke­kuasaannya, dan para pendeta kembali mencurahkan waktu kepada tugas­-tugas keagamaan.

Di puncak paling selatan, yang memungkinkan orang meninjau kuil-kuil lain dan juga Kyoto sendiri, terdapat sebuah kuil kecil terpencil yang dikenal dengan nama Mudoji. Dalam hat ketenangan, kuil itu jarang diganggu oleh bunyi yang lebih keras daripada gemerecik air sungai atau kicau burung-burung kecil.

Dari ceruk di dalam kuil terdengar suara lelaki membacakan kata-kata Kannon, Dewi Belas Kasihan, seperti terwahyukan di dalam Sutra Bunga Seroja. Suara yang monoton itu pelan-pelan meninggi sebentar, kemudian seolah-olah si pembaca tiba-tiba ingat akan dirinya, dan suara itu tiba-tiba menurun.

Seorang pembantu pendeta berjubah putih berjalan menyusuri gang yang lantainya hitam legam, membawa baki setinggi mata, berisi makanan sederhana tanpa daging, seperti biasa dihidangkan di tempat-tempat ke­agamaan. Masuk ke kamar tempat asal suara itu, ia meletakkan baki di sudut, berlutut sopan, dan katanya, “Selamat siang, Pak.”

Sang tamu tidak mendengar salam anak itu. Ia mencondongkan badan sedikit ke depan, tenggelam dalam pekerjaannya.

“Pak,” kata pembantu pendeta dengan suara sedikit dikeraskan, “saya membawakan makan siang. Kalau Bapak tidak keberatan, akan saya tinggal­kan di sudut ini.”

“Oh, terima kasih,” kata Musashi sambil meluruskan badan. “Terima kasih banyak.” Ia menoleh dan membungkuk.

“Apa Bapak mau makan sekarang?”

“Ya.”

“Kalau begitu, akan saya hidangkan nasi.”

Musashi menerima mangkuk nasi dan mulai makan. Pembantu pendeta mula-mula memperhatikan potongan kayu di samping Musashi, kemudian pisau kecil di belakangnya. Keping-keping dan kerat-kerat kayu cendana putih yang harum baunya berserakan di sekitar. “Bapak mengukir apa?” tanya pembantu pendeta.

“Rencananya patung suci.”

“Sang Budha Amida?”

“Bukan. Kannon. Sayang sekali aku tak tahu apa-apa tentang seni pahat. Pahat ini lebih banyak mengenai tanganku daripada kayunya.” Ia mem­perlihatkan beberapa jarinya yang tertakik sebagai bukti, tapi anak itu rupanya lebih tertarik kepada perban putih pada lengan bawah Musashi.

“Bagaimana luka-luka Bapak?” tanyanya.

“Karena perawatan yang baik di sini, sudah hampir sembuh sekarang. Tolong sampaikan kepada pendeta kepala, aku sangat berterima kasih.”

“Kalau Bapak mengukir patung Kannon, Bapak mesti datang ke balai utama. Di situ ada patung Kannon yang dibuat oleh seorang pemahat terkenal. Kalau Bapak mau, bisa saya antar ke sana. Tidak jauh, cuma kira­-kira setengah kilo.”

Gembira menerima tawaran itu, Musashi pun menyelesaikan makannya. lalu kedua orang itu berangkat ke balai utama. Dalam sepuluh hari semenjak ia tiba dalam keadaan berlumuran darah dan bertopang pedangnya sebagai tongkat, Musashi belum keluar rumah lagi. Baru mulai bisa berjalan, ia merasa luka-lukanya belum sembuh seluruhnya, seperti semula ia sangka. Lutut kirinya sakit, angin yang lembut dan sejuk terasa menghunjam ke dalam luka tangannya. Namun keadaan di luar menyenangkan. Bunga­-bunga sakura yang jatuh dari pohonnya yang berayun-ayun gemulai itu menari-nari di udara, seperti keping-keping salju. Langit menujukkan tanda­tanda warna biru laut awal musim panas. Otot-otot Musashi membengkak seperti kuncup yang akan segera membuka.

“Bapak mempelajari seni perang, ya?”

“Betul.”

“Kalau begitu, kenapa Bapak membuat patung Kannon?” Musashi tidak segera menjawab.

“Daripada memahat, apa tidak lebih baik menggunakan waktu Bapak untuk berlatih main pedang?”

Pertanyaan itu membuat Musashi merasa lebih sakit. Pembantu pendeta itu seumur Genjiro, dan hampir sama besar.

Berapa banyak orang telah terbunuh atau luka pada hari yang menentukanm itu? Ia hanya dapat mengira-ngira. Ia bahkan tidak begitu ingat, bagaimana ia meloloskan diri dari pertempuran dan menemukan tempat persembunyian itu. Dua hal yang tergambar jelas dalam pikirannya dan mengejar-ngejar dalam tidurnya yaitu jerit ketakutan Genjiro dan tubuhnya yang tak berkepala.

Dan untuk kesekian kalinya selama beberapa hari ini, terpikir olehnya ketetapan yang sudah tertulis dalam buku catatannya: ia tidak akan me­lakukan sesuatu yang kemudian disesalinya. Sekiranya ia beranggapan bahwa apa yang telah ia lakukan itu memang telah menjadi sifat Jalan Pedang, onak duri yang melintang di jalan yang dipilihnya, berarti ia terpaksa menyimpulkan bahwa masa depannya bakal suram dan tidak manusiawi.

Dalam suasana kuil yang damai itu, pikirannya menjadi jernih. Dan manakala ingatan tentang darah yang tercurah dan darah beku itu mulai memudar, ia terbenam dalam rasa iba kepada anak yang telah dibantainya.

Sambil kembali memikirkan pertanyaan pembantu pendeta itu, katanya, “Tapi pendeta-pendeta besar seperti Kobo Daishi dan Genshin menciptakan banyak patung sang Budha dan Bodhisatwa, kan? Aku tahu beberapa patung Gunung Hiei ini diukir oleh pendeta. Apa pendapatmu tentang itu?”

Sambil menelengkan kepala, anak itu berkata ragu-ragu, “Saya tidak begitu yakin, tapi pendeta-pendeta memang suka membuat lukisan ke­agamaan dan patung.”

“Mari kuceritakan sebabnya. Dengan membuat lukisan atau mengukir patung sang Budha, mereka dapat menjadi lebih dekat kepadanya. Seorang pemain pedang dapat memurnikan jiwanya dengan cara seperti itu juga. Kita manusia ini semua melihat satu bulan saja, tetapi banyak jalan yang dapat kita tempuh untuk sampai ke puncak yang terdekat dengannya. Kadang-kadang, kalau kita tersesat, kita memutuskan untuk mencoba jalan orang lain, tapi tujuan akhirnya menemukan penyempurnaan hidup.”

Musashi berhenti, seakan-akan masih ada yang hendak dikatakannya lagi, tapi pembantu pendeta itu berlari mendahului dan menuding sebuah batu yang hampir tersembunyi di dalam rumput. “Lihat,” katanya. “Prasasti ini dibuat oleh Jichin. Dia seorang pendeta-pendeta terkenal.”

Musashi membaca kata-kata yang terukir pada batu yang terbalut rumput liar itu:

Air Hukum

Akan segera menjadi dangkal.

Pada akhirnya Angin dingin muram akan melanda

Puncak-puncak Hiei yang gersang

Ia terkesan sekali oleh daya ramal penulis itu. Angin yang melanda Gunung Hiei memang dingin dan muram, semenjak terjadinya gempuran Nobunaga yang tak kenal ampun itu. Ada desas-desus bahwa sebagian kaum pendeta masih mendambakan zaman lama, mendambakan tentara perkasa, pengaruh politik, dan hak-hak khusus, namun kenyataannya mereka tidak pernah dapat memilih kepala biara baru tanpa menimbulkan banyak intrik dan pertentangan intern yang buruk. Memang gunung suci itu untuk menyelamatkan orang berdosa, tapi kenyataannya ia tergantung pada derma dan sumbangan orang berdosa agar dapat hidup terus. Suatu keadaan yang sama sekali tak menyenangkan, demikian renung Musashi.

“Mari terus,” kata anak itu tak sabar.

Ketika mereka mulai meneruskan perjalanan, seorang pendeta Mudoji datang berlari-lari menyusul mereka. “Seinen!” serunya, memanggil anak itu. “Ke mana engkau pergi?”

“Ke balai utama. Beliau ingin melihat patung Kannon.”

“Apa tak bisa lain waktu saja?”

“Maafkan saya karena membawa anak ini, padahal barangkali ada pe­kerjaan lain yang mesti diselesaikannya,” kata Musashi. “Nah, ajaklah dia kembali. Saya dapat pergi ke balai utama kapan saja.”

“Saya datang bukan untuk memanggilnya. Saya ingin Anda kembali bersama saya, kalau tidak keberatan.”

“Saya?”

“Ya, saya minta maaf telah mengganggu Anda, tapi…”

“Apa ada orang mencari saya?” tanya Musashi, sama sekali tidak kaget.

“Nah, ya. Sudah saya katakan juga pada mereka Anda sedang tak ada. tapi mereka bilang baru saja melihat Anda bersama Seinen. Dan mereka mendesak saya datang mengajak Anda.”

Dalam perjalanan kembali ke Mudoji, Musashi bertanya kepada pendeca itu, siapa para tamunya, dan tahulah ia bahwa mereka itu dari Sannoin, salah satu kuil cabang.

Jumlah mereka sekitar sepuluh orang, mengenakan jubah hitam dan kepala cokelat. Wajah mereka yang merah menunjukkan bahwa mereka golongan pendeta prajurit zaman lama yang ditakuti itu, sebangsa tukang gertak angkuh yang mengenakan jubah pendeta. Meskipun sayapnya sudah terpotong, kelihatannya mereka telah membangun sarang kembali. Orang­orang yang tak mampu mengambil keuntungan dari pelajaran Nobunaga ini berkeliaran ke sana kemari menyandang pedang besar, berbuat seolah-olah berkuasa atas orang-orang lain dan menyebut diri mereka Sarjana Hukum Budhis, padahal sesungguhnya mereka adalah bajingan-bajingan intelektual.

“Itu dia!” kata salah seorang.

“Dia?” tanya yang lain, mencibir.

Mereka menatap dengan sikap permusuhan yang tak disembunyikan. Seorang pendeta berbadan tegap dan besar mendekati para pengantar Musashi dengan lembingnya, dan katanya, “Terima kasih. Kalian tidak dibutuhkan sekarang. Boleh masuk kuil?” Kemudian katanya lagi dengan kasar, “Anda Miyamoto Musashi?”

Dalam kata-kata itu tidak ada sikap sopan. Musashi menjawab pendek, tanpa membungkuk.

Pendeta lain muncul dari belakang. Pendeta pertama, berdeklamasi, seakan-akan membacakan teks, “Akan saya sampaikan pada Anda keputusan yang telah diturunkan oleh pengadilan Enryakuji. Bunyinya, “Gunung Hiei adalah pekarangan murni dan suci, yang tidak diperkenankan dipakai sebagai tempat berlindung oleh mereka yang menyimpan permusuhan dan dendam. Tidak pula dapat ditawarkan sebagai tempat pelarian bagi orang­orang hina yang terlibat pertentangan tidak terhormat. Mudoji telah di­perintahkan mengusir Anda segera dari gunung ini. Kalau Anda mem­bangkang, Anda akan dihukum keras, sesuai dengan undang-undang biara.”‘

“Saya akan melakukan apa yang diputuskan biara,” jawab Musashi dengan nada lunak. “Tetapi karena sekarang sudah lewat tengah hari dan saya belum bersiap-siap, saya mohon Anda mengizinkan saya tinggal sampai besok pagi. Juga, saya ingin mengajukan pertanyaan, apakah keputusan ini datang dari penguasa sipil, atau dari pendeta sendiri. Mudoji sudah me­laporkan kedatangan saya. Saya mendapat pemberitahuan tidak ada keberatan bahwa saya tinggal di sini. Saya tidak mengerti, kenapa hal itu berubah demikian mendadak.”

“Kalau Anda memang ingin tahu,” jawab pendeta pertama, “akan saya terangkan. Semula kami dengan senang hati menawarkan keramahtamahan kami, karena Anda bertempur sendirian melawan sejumlah besar orang. Namun kemudian kami mendapat laporan-laporan buruk mengenai Anda, yang memaksa kami meninjau kembali keputusan kami. Dan kami pun memutuskan tidak dapat lagi menyediakan tempat berlindung bagi Anda.”

“Laporan-laporan buruk?” pikir Musashi dengan jengkel. Mestinya ia sudah menduga hal itu. Perguruan Yoshioka pasti akan menjelek-jelekkannya di seluruh Kyoto. Tapi tak ada perlunya ia mencoba mempertahankan diri.

“Baiklah,” katanya dingin, “saya akan pergi besok pagi, pasti.”

Tapi ketika ia memasuki gerbang kuil, pendeta-pendeta itu mulai bicara yang bukan-bukan.

“Coba lihat dia, si celaka jahat itu!”

“Dasar biadab!”

“Biadab? Orang dungu, itulah dia!”

Sambil menoleh dan menatap orang-orang itu, Musashi bertanya tajam, “Apa kata kalian?”

“Oh, jadi engkau mendengar?” tanya seorang pendeta menantang.

“Ya. Dan ada satu hal yang mesti kalian ketahui. Saya akan menuruti keinginan kaum pendeta, tapi saya takkan menenggang penghinaan dari orang-orang macam kalian. Apa kalian menghendaki perkelahian?”

“Sebagai abdi sang Budha, kami tidak ingin perkelahian,” terdengar jawaban sok suci. “Saya hanya membuka mulut, dan kata-kata saya keluar begitu saja.”

“Dan itu tentunya suara langit,” kata pendeta lain.

Sejenak kemudian, mereka semua sudah mengepung Musashi sambil menyumpah, mengejek, bahkan meludahi Musashi. Musashi tidak tahu sampai berapa lama ia dapat mengendalikan diri. Walaupun pendeta prajurit telah kehilangan banyak kekuatan, wakil-wakil mereka yang baru itu rupanya belum lagi kehilangan kecongkakannya.

“Lihat!” cemooh salah seorang pendeta. “Dan omongan orang kampung, tadinya kupikir dia samurai yang punya rasa hormat diri. Sekarang aku tahu, dia cuma orang bebal tak berotak! Dia tidak marah, dia bahkan tidak tahu bagaimana bicara atas namanya sendiri.”

Semakin Musashi diam, semakin jahat lidah mereka bergoyang. Akhirnya, dengan wajah sedikit merah, Musashi berkata, “Kalian bicara tentang suara langit lewat seorang manusia?”

“Ya, kenapa?”

“Kalian mengatakan langit bicara menentangku?”

“Kau sudah mendengar sendiri keputusan kami. Apa kau belum mengerti?”

“Belum.”

“Dan kukira kau takkan mengerti! Karena pengertianmu tak lebih dari yang kaupunyai itu, sebetulnya kau ini mesti dikasihani. Tapi aku berani mengatakan, dalam kehidupanmu yang akan datang, kau akan mendapat pikiran sehatmu!”

Dan ketika Musashi tidak mengatakan sesuatu, pendeta itu melanjutkan, “Lebih baik kau hati-hati sesudah meninggalkan gunung ini. Reputasimu tak bisa dibanggakan.”

“Apa peduliku kata orang-orang itu?”

“Coba dengar! Dia masih menyangka dirinya benar.”

“Apa yang kulakukan memang benar! Tak ada aku membuat aib atau bersikap pengecut dalam pertempuran melawan orang Yoshioka.”

“Kau cuma omong kosong!”

“Apa ada perbuatanku yang mesti membuatku malu? Coba sebutkan satu!”

“Oh, jadi kau masih punya nyali mengatakan itu?”

“Kuperingatkan kau. Hal-hal lain akan kuabaikan, tapi aku tak akin membiarkan orang meremehkan pedangku!”

“Baiklah, tapi aku ingin tahu, apakah kau dapat menjawab satu penamaan ­ini. Kami tahu kau sanggup bertempur melawan kekuatan berlipat ganda. Kami mengagumi kekuatan kasarmu. Kami memuji keberanianmu bertahan menghadapi demikian banyak orang. Tapi kenapa kaubunuh anak yang baru tiga belas tahun umurnya? Bagaimana mungkin kau begitu kejam, sampai membantai seorang anak?”

Wajah Musashi menjadi pucat, tubuhnya tiba-tiba lemas.

Pendeta itu melanjutkan. “Sesudah kehilangan tangan, Seijuro menjadi pendeta. Denshichiro kaubunuh. Genjiro satu-satunya yang akan meng­gantikan mereka. Dengan membunuh dia, engkau mengakhiri Keluarga Yoshioka. Walaupun misalnya hal itu kaulakukan demi Jalan Samurai, perbuatan itu kejam, pengecut. Tak cukup baik kalau kau dilukiskan sebagai orang biadab atau setan. Apa kau menganggap dirimu manusia? Apa kau membayangkan dirimu mesti disejajarkan dengan samurai? Bahkan apa kau termasuk milik negeri bunga sakura yang besar ini?

“Tidak! Karena itulah kaum pendeta mengusirmu. Apa pun keadaannya, membantai anak kecil tidak bisa diampuni. Seorang samurai sejati takkan melakukan kejahatan macam itu. Makin kuat seorang samurai, makin lembut dan makin berbudi dia terhadap yang lemah. Seorang samurai memahami dan menunjukkan perasaan belas kasihan.

“Sekarang pergilah kau dari sini, Miyamoto Musashi! Selekas-lekasnya! Gunung Hiei menolakmu!”

Sesudah melampiaskan kemarahan, para pendeta itu beramai-ramai pergi.

Musashi menahan hujan penghinaan yang terakhir itu dengan diam, tapi itu bukan karena ia tak punya jawaban terhadap tuduhan-tuduhan mereka. “Apa pun yang mereka katakan, aku yang benar,” pikirnya. “Aku melakukan satu-satunya yang dapat kulakukan untuk melindungi keyakinanku yang tidak salah.”

Dengan tulus ia percaya akan berlakunya prinsip-prinsip itu. Karena orang-orang Yoshioka menggunakan Genjiro sebagai pembawa panji-panji mereka, tidak ada pilihan lain kecuali membunuhnya. Dialah jenderal mereka. Selama ia masih hidup, Perguruan Yoshioka akan tetap belum dikalahkan. Musashi dapat membunuh sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh orang, tapi selama Genjiro belum mati, orang-orang yang masih hidup akan selalu menuntut kemenangan. Dengan membunuh anak itu lebih dulu, Musashi menjadi pemenang, sekalipun misalnya kemudian ia terbunuh dalam pertempuran.

Menurut hukum permainan pedang, tidak ada yang kurang pada logika ini. Dan bagi Musashi, hukum itu mutlak.

Sekalipun demikian, ingatan kepada Genjiro betul-betul mengganggunya, menimbulkan kesangsian, kesedihan, dan kepedihan. Bagi dirinya sendiri pun, kekejaman itu merupakan perbuatan menjijikan.

“Apakah aku harus membuang pedangku dan hidup seperti orang biasa?” tanyanya pada diri sendiri. Ini bukanlah pertanyaan pertama baginya. Di bawah langit awal petang yang jernih itu, bunga-bunga sakura putih jatuh di sana-sini, seperti serpih-serpih saiju. Pepohonan tampak rentan, sebagai­mana ia rasakan sekarang, rentan terhadap kesangsian tentang apakah ia takkan mengubah jalan hidupnya. “Kalau aku membuang pedang ini, aku dapat hidup dengan Otsu,” pikirnya. Tapi kemudian teringat olehnya ke­hidupan santai orang-orang kota Kyoto dan dunia yang dihuni Koetsu dan Shoyu.

“Itu bukan duniaku,” katanya mantap.

Ia melewati gerbang dan masuk kamar. Ia duduk dekat lampu, mengambil kembali pekerjaannya yang setengah jadi, dan mulai mengukir lagi cepat-­cepat. Penting sekali baginya menyelesaikan patung itu. Entah hasilnya bagus atau tidak, ia ingin sekali meninggalkan sesuatu di sini, untuk menyenangkan arwah Genjiro yang telah pergi.

Lampu memudar dan ia pun merapikan sumbunya. Dalam ketenangan malam itu, bunyi potongan-potongan kecil kayu yang jatuh ke atas tatami terdengar jelas. Konsentrasinya menyeluruh, dan seluruh dirinya terpusat dengan kepekatan sempurna pada titik kontak dengan kayu itu. Memang sekali ia mulai menugaskan dirinya, sudah sifat alamiahnya untuk meneng­gelamkan diri di dalamnya sampai tugas itu selesai, tak peduli ia bosan atau kelelahan.

Nada-nada bacaan sutra itu timbul dan tenggelam. Tiap kali selesai merapikan sumbu lampu, Musashi mulai lagi dengar pekerjaannya, dengan bakti dan takzim, seperti pemahat-pemahat kuno yang kabarnya membungkuk tiga kali kepada sang Budha sebelum mengambil pahat-pahat untuk mengukir sebuah patung. Patung Kannon yang dibuat Musashi ini menjadi semacam doa untuk kebahagiaan Genjiro dalam kehidupan berikutnya, dan dalam makna tertentu juga merupakan permintaan maaf yang rendah hati untuk jiwanya sendiri.

Akhirnya ia bergumam, “Kupikir cukuplah ini.” Ketika ia meluruskan badan dan memeriksa patung itu, lonceng pagoda timur berbunyi sebagai tanda jaga malam kedua, yang dimulai jam sepuluh. “Sudah larut sekarano.­pikirnya, lalu ia segera pergi untuk menyatakan hormat kepada pendeta kepala, dan memintanya menyimpan patung itu. Patung itu kasar pahatannya. tetapi Musashi telah mencurahkan seluruh jiwanya ke dalamnya, menangis menyatakan penyesalan selagi berdoa untuk arwah anak yang meninggal itu.

Baru saja ia keluar dari ruangan itu, Seinen sudah datang menyapu lantai. Ketika ruangan sudah bersih kembali, ia tebarkan kasur Musashi. lalu sambil memanggul sapu ia berjalan kembali ke dapur. Tanpa diketahui Musashi, ketika ia masih mengukir tadi, sesosok tubuh yang seperti kucing telah merayap masuk Mudoji lewat pintu-pintu yang tidak pernah dikunci, dan masuk beranda. Sesudah Seinen tidak kelihatan lagi, shoji yang menuju beranda terbuka pelan-pelan, dan kemudian tertutup pelan-pelan juga.

Musashi kembali sambil membawa kenang-kenangan untuk keberangkat­annya, sebuah topi anyaman dan sepasang sandal jerami. Sesudah meletakkan keduanya di samping bantal, ia mematikan lampu dan merangkak masuk tempat tidur. Pintu-pintu luar terbuka dan angin bertiup lembut lewat cukup terang, hingga shoji jadi berona kelabu pucat. Bayang-bayang pohon berayun-ayun lembut seperti ombak laut terbuka yang tenang.

Musashi mendengkur pelan. Semakin dalam tidurnya, semakin pelan napasnya. Tanpa suara, ujung tirai kecil di sudut ruangan bergerak ke depan, dan sesosok tubuh gelap merangkak mencuri-curi. Suara dengkuran berhenti, dan sosok hitam itu cepat bertiarap ke lantai. Ketika napas Musashi mulai mantap lagi, si penyerbu maju sesenti demi sesenti, dengan sabar, hati-hati, dan menyesuaikan gerak-geriknya dengan napas yang berirama itu.

Sekonyong-konyong bayangan itu bangkit seperti gumpalan sutra kasar hitam dan menerkam Musashi sambil berteriak. “Mati kau!” Sebilah pedang pendek menyapu ke arah leher Musashi. Tetapi seketika itu juga senjata itu berdentang ke samping, sementara sosok hitam itu melayang ke belakang dan terempas ke shoji. Si penyerbu melolong keras dan terjerembap bersama shoji ke dalam kegelapan di luar kuil.

Ketika melontarkan orang itu, terpikir oleh Musashi bahwa orang dalam tangannya itu ringan seperti anak kucing. Wajahnya berbalut kain, tapi sekilas terlihat olehnya rambutnya yang putih. Tanpa beristirahat untuk me­mikirkan penglihatannya itu, ia menyambar pedangnya dan berlari ke beranda.

“Berhenti!” teriaknya. “Susah-susah kalian datang kemari, kenapa tidak kalian beri aku kesempatan menyambut kalian baik-baik?” Ia meloncat ke tanah dan lari kencang ke arah bunyi langkah-langkah yang menjauh. Tapi hatinya tak lagi di situ. Beberapa detik kemudian ia berhenti, dan sambil tertawa memperhatikan menghilangnya beberapa orang pendeta ke dalam kegelapan.

Osugi merasa tulangnya remuk karena jatuh, dan kini ia terbaring di tanah, merintih kesakitan. “Lho, Nenek ini tadi, ya?” seru Musashi. Ia terkejut karena penyerangnya bukan orang Yoshioka, dan bukan juga para pendeta yang berang itu. Dirangkulnya perempuan tua itu dan dibantunya berdiri.

“Sekarang baru aku tahu,” katanya. “Jadi, Nenek yang menyampaikan hal-hal jelek kepada para pendeta itu, kan? Dan kukira karena cerita itu datang dari wanita tua yang gagah berani dan tulus, mereka percaya setiap ucapan Nenek.”

“Oh, punggungku sakit!” Osugi tidak membenarkan dan tidak juga membantah tuduhan itu. Ia menggeliat sedikit, tapi tak ada tenaga untuk mengadakan perlawanan. Dengan lemah ia berkata, “Musashi, karena sudah begini jadinya, tak ada gunanya mempersoalkan benar atau salah. Keluarga Hon’iden tidak beruntung dalam perang, jadi tebaslah kepalaku sekarang.”

Musashi merasa kata-kata itu diucapkan tidak semata-mata untuk me­nunjukkan sikap dramatis. Kata-kata itu terdengar sebagai ucapan seorang perempuan yang sudah berjalan sejauh kemampuannya, dan kini ingin mengakhiri perjalanan itu.

“Sakit, ya?” tanya Musashi yang tak hendak menerima kata-kata Osugi secara sungguh-sungguh. “Di mana yang sakit? Nenek dapat tinggal di sini malam ini, jadi tak perlu kuatir.” Diangkatnya perempuan itu, dibawanya ke dalam, dan diletakkannya di kasurnya. Sepanjang malam dirawatnya perempuan itu sambil duduk di sampingnya.

Ketika hari terang, Seinen membawakan Musashi bekal makan yang dimintanya, diiringi pesan pendeta kepala yang minta maaf atas sikapnya yang kasar, dan mendesak Musashi untuk pergi selekas mungkin.

Musashi mengirimkan pesan juga, menerangkan bahwa ia sekarang me­nanggung seorang perempuan tua yang sudah sakit-sakitan. Pendeta tak ingin Osugi tinggal di kuil itu, dan menyampaikan sebuah saran. Rupanya seorang saudagar dari kota Otsu telah datang ke kuil itu, membawa seekor lembu dan meninggalkan binatang itu untuk diurus pendeta kepala, semen­tara ia pergi ke tempat lain. Pendeta menawarkan kepada Musashi untuk menggunakan binatang itu. Katanya, Musashi dapat menyuruh Osugi naik lembu itu untuk turun gunung. Di Otsu, lembu dapat ditinggalkan di dermaga, atau di salah satu rumah penjualan borongan di sekitar tempat itu.

Musashi menerima tawaran itu dengan ucapan terima kasih.

Minuman Susu

JALAN yang menuruni lereng Gunung Hiei berakhir di Provinsi Omi, di suatu tempat di seberang Miidera.

Musashi menuntun lembu itu dengan tambang. Sambil menoleh ia berkata lembut, “Kalau Nenek mau, kita bisa istirahat. Rasanya kita tidak tergesa-gesa.” Tapi setidak-tidaknya mereka sudah berjalan, demikian pikirnya. Semula Osugi menolak mentah-mentah naik binatang itu, karena tidak terbiasa naik lembu. Terpaksa Musashi mengerahkan segala kecerdikannya untuk meyakinkan perempuan itu. Alasan yang akhirnya dapat diterima Osugi adalah bahwa ia tidak dapat terus-terusan tinggal di benteng tempat hidup membujang bagi para pendeta itu.

Dengan wajah menelungkup ke leher lembu, Osugi merintih kesakitan dan tiap kali menyesuaikan kedudukannya. Setiap kali Musashi menunjukkan perhatian kepadanya, ia mengingatkan diri akan dendamnya dan diam-diam menunjukkan kebenciannya karena dirawat oleh musuh bebuyutannya ini.

Walaupun Musashi sadar benar bahwa tidak ada alasan lain bagi Osugi untuk hidup, kecuali membalas dendam kepadanya, ia tidak dapat meng­anggap perempuan tua itu sebagai musuh sejati. Tak seorang pun pernah demikian banyak menimbulkan kesulitan atau rasa malu kepadanya, bahkan juga musuh-musuhnya yang lebih kuat, selain Osugi. Tipu daya Osugi pernah membawanya ke tepi bencana di desanya sendiri. Karena Osugi juga, Musashi diejek-ejek dan dicaci maki orang di Kiyomizudera. Berkali-­kali perempuan itu menjegal dan menggagalkan rencananya. Berulang kali juga, seperti tadi malam, Musashi menyumpahinya dan hampir saja menyerah pada dorongan hati untuk memotong perempuan itu menjadi dua.

Namun Musashi tidak sampai hati menjatuhkan tangan padanya, terutama sekarang, ketika perempuan itu sedang sakit dan kehilangan semangat yang biasa dipunyainya. Anehnya, diamnya lidah jahat perempuan itu justru membuat Musashi tertekan. Ia ingin melihat perempuan itu kembali sehat, sekalipun hal itu akan berarti lebih banyak kesulitan baginya.

“Berkendaraan macam begitu, mestinya memang tak nyaman,” kata Musashi. “Cobalah tahan sedikit lagi. Kalau kita nanti sampai diOtsu, saya cari akal lain.”

Pemandangan ke arah timur laut bagus sekali. Danau Biwa terhampar tenang di bawah mereka, Gunung Ibuki di seberangnya, sedangkan puncak­-puncak Echizen menjulang di kejauhan. Di sisi danau itu, Musashi dapat melihat Delapan Pemandangan Karasaki yang terkenal itu di Desa Seta.

“Mari kita berhenti sebentar,” kata Musashi. “Nenek akan merasa lebih enak kalau turun dan berbaring di bawah beberapa menit.” Ia tambatkan binatang itu ke sebatang pohon, ia angkat perempuan itu, dan ia turunkan.

Dengan menunduk, Osugi menjulurkan tangannya ke samping dan mengerang. Wajahnya panas karena demam dan rambutnya kusut masai.

“Nenek tak ingin air?” tanya Musashi untuk kesekian kalinya, sambil menggosok punggung Osugi. “Nenek juga mesti makan.” Tapi dengan keras Osugi menggeleng. “Nenek belum minum setetes air pun sejak tadi malam,” kata Musashi lagi. “Kalau Nenek terus begini, Nenek akan lebih menyusahkan diri sendiri. Saya ingin mencari obat buat Nenek, tapi tak ada rumah di sekitar sini. Oh ya, bagaimana kalau Nenek makan separuh makanan saya?”

“Memuakkan!”

“Ha?”

“Lebih baik aku mati di ladang dan dimakan burung-burung. Tak bakal aku begitu rendah, sampai mau menerima makanan dari musuh!” Osugi mengibaskan tangan Musashi dan punggungnya dan mencengkeram re­rumputan.

Musashi bertanya-tanya dalam hati, apakah perempuan itu akan pernah bisa mengatasi salah pengertian yang mendasar di antara mereka. Maka diperlakukannya perempuan itu semesra ia memperlakukan ibunya sendiri. dan dengan sabar Musashi menenangkannya tiap kali perempuan itu me­nyerangnya.

“Nenek kan tahu sendiri, Nenek tak ingin mati. Nenek mesti hidup. Apa Nenek tak ingin melihat Matahachi mencapai sukses?”

Osugi meringis dan menggeram, “Apa hubungannya denganmu? Tak lama lagi Matahachi akan maju tanpa pertolonganmu.”

“Saya yakin. Tapi Nenek mesti sembuh, supaya Nenek sendiri dapat mendorongnya.”

“Munafik!” jerit perempuan itu. “Menghabiskan waktu saja kalau kau pikir dapat menjilatku supaya aku melupakan kebencianku padamu.”

Karena sadar bahwa apa pun yang dikatakannya akan disalahartikan, maka Musashi berdiri dan pergi. Ia memilih tempat di belakang batu, dan di situ ia makan gumpal-gumpal nasi berisi empleng kacang manis berwarna gelap yang dibungkus satu-satu dengan daun ek. Separuhnya tidak ia makan.

Karena mendengar suara-suara orang, Musashi memandang ke sekitar batu dan melihat seorang perempuan desa sedang berbicara dengan Osugi.

Perempuan itu mengenakan hakama seperti biasa dipakai perempuan Ohara, dan rambutnya terurai di bahu. Dengan suara nyaring, perempuan itu berkata, “Di tempat saya ada perempuan sakit. Sudah lebih ringan ke­adaannya sekarang, tapi dia akan sembuh lebih cepat lagi kalau saya memberinya susu. Boleh saya memerah lembu ini?”

Osugi mengangkat muka dan memandang perempuan itu dengan nada bertanya-tanya. “Di tempat asalku tidak banyak lembu. Apa betul-betul engkau bisa memerahnya?”

Kedua orang itu bercakap-cakap lagi sedikit, sementara perempuan itu berjongkok dan mulai menyemprotkan air susu ke dalam guci sake. Ketika guci sudah penuh, ia berdiri dan memegangnya erat-erat, katanya, “Terima kasih. Saya pergi sekarang.”

“Tunggu!” teriak Osugi dengan suara serak. Ia mengulurkan tangan dan menoleh ke sekitar, untuk memastikan bahwa Musashi tidak memperhatikan. “Berikan dulu sedikit susu itu padaku. Satu-dua hirupan saja cukup.”

Perempuan itu memandang heran ketika Osugi meletakkan guci ke bibir, memejamkan mata, dan mereguk susu dengan serakahnya, hingga susu mengucur ke dagunya.

Selesai minum, Osugi bergidik, kemudian menyeringai, seolah-olah akan muntah. “Memualkan sekali rasanya!” cibirnya. “Tapi siapa tahu bisa bikin aku sembuh? Mengerikan sekali rasanya, lebih busuk daripada obat.”

“Ada apa? Apa Ibu sakit?”

“Ah, tidak begitu parah. Masuk angin dan sedikit demam.” Ia cepat berdiri, seakan semua penyakitnya telah hilang, dan sesudah sekali lagi meyakinkan diri bahwa Musashi tidak melihatnya, ia mendekati perempuan itu dan bertanya dengan suara rendah, “Kalau aku ikuti jalan ini, sampai ke mana aku?”

“Sampai di atas Miidera.”

“Itu di Otsu, kan? Apa ada jalan lain yang bisa kuambil?”

“Ya, ada, tapi ke mana Ibu mau pergi?”

“Ke mana saja. Aku cuma mau lepas dari bajingan itu!”

“Kira-kira delapan atau sembilan ratus meter mengikuti jalan ini, ada jalan setapak ke utara. Kalau Ibu ikuti saja jalan itu, Ibu akan sampai di antara Sakamoto dan Otsu.”

“Kalau kau ketemu orang lelaki mencariku,” kata Osugi mencuri-curi, “jangan katakan kau melihatku.” Ia pergi dengan ributnya, seperti belalang sembah pincang yang terburu-buru, sampai-sampai tersenggol olehnya pe­rempuan itu dengan kikuknya.

Musashi mendecap dan keluar dari balik batu. “Kukira engkau tinggal sekitar tempat ini,” katanya bersahabat. “Suamimu petani, penebang kayu, atau yang semacam itu?”

Perempuan itu gemetar ketakutan, tapi menjawab, “Tidak. Saya dari penginapan di atas celah itu.”

“Oh, lebih baik lagi. Kalau kau kuberi uang, mau kau lari mengerjakan suruhanku?”

“Dengan senang hati, tapi begini, di penginapan saya ada orang sakit.”

“Aku bisa membawa susu itu pulang untukmu dan menantimu di sana. Bagaimana? Kalau kau pergi sekarang, engkau bisa kembali sebelum gelap.”

“Kalau begitu, saya kira bisa, tapi…”

“Tak perlu kuatir! Aku bukan bajingan seperti dikatakan perempuan tua itu tadi. Aku cuma mau menolongnya. Kalau dia bisa jalan sendiri, tak ada alasan menguatirkan dia. Sekarang akan kutulis surat. Kuminta kau me­nyampaikannya ke rumah Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro. Tempatnva di bagian utara kota.”

Dengan kuas yang dikeluarkannya dari kantong tulisnya, Musashi cepat menuliskan kata-kata yang sudah ingin sekali ditulisnya kepada Otsu selama ia menyembuhkan diri di Mudoji. Selesai mempercayakan surat itu kepada perempuan tersebut, ia menaiki lembunya dan berangkat. Diulang­-ulangnya kata-kata yang telah ditulisnya, dan menduga-duga bagaimana perasaan Otsu sewaktu membacanya. “Padahal semula kupikir aku takkan pernah melihatnya lagi,” gumamnya, tiba-tiba tersadar kembali.

“Melihat kondisi badannya yang lemah,” demikian renungnya, “dia bisa terbaring sakit lagi di tempat tidur. Tapi kalau dia menerima suratku, pasti dia bangun dan datang secepatnya. Jotaro juga.”

Ia biarkan lembu itu berjalan seenaknya. Sekali-sekali ia berhenti, mem­berikan hewan itu kesempatan merumput. Surat kepada Otsu itu sederhana. tapi ia cukup senang juga: “Di Jembatan Hanada engkaulah yang menanti. Kali ini biarlah aku yang menanti. Aku sudah mendahului. Akan kunanti engkau di Otsu, di Jembatan Kara, Desa Seta. Kalau nanti kita berkumpul lagi, kita akan bicara tentang banyak hal.” Ia mencoba memberikan nada puitis kepada pesan itu sendiri, seraya merenungkan kata-kata “bicara tentang banyak hal”.

Sampai di penginapan ia turun dari lembu, dan sambil memegang air susu dengan kedua tangan, panggilnya, “Ada orang di sini?”

Sebagaimana biasa pada bangunan tepi jalan jenis ini, di situ terdapat tempat terbuka di bawah ujung atap depan, untuk para musafir yang berhenti untuk minum teh atau makan makanan kecil. Di dalam terdapat ruang teh yang sebagian merupakan dapur. Kamar-kamar tamu ada di belakang. Seorang perempuan tua sedang memasukkan kayu ke dalam tungku tanah. Di atas tungku ada dandang kayu.

Ketika Musashi mengambil tempat duduk di bangku depan, perempuan itu datang menuangkan secangkir teh suam-suam kuku untuknya. Musashi kemudian memberikan keterangan dan menyerahkan guci itu kepadanya.

“Apa ini?” tanya perempuan itu sambil menatap Musashi ragu-ragu.

Karena menduga perempuan itu tuli, Musashi mengulangi ucapannya.

“Susu, Anda bilang susu? Untuk apa?” Masih dengan sikap heran menoleh ke dalam penginapan dan serunya, “Pak, apa Bapak bisa keluar sebentar? Saya tak mengerti, urusan apa ini.”

“Apa?” Seorang lelaki berjalan seenaknya lewat sudut penginapan dan bertanya, “Ada apa?”

Si perempuan menyorongkan guci ke tangan orang itu, tapi orang itu tidak melihat ataupun mendengarkan apa yang dikatakannya. Matanya lekat pada Musashi, dan pada wajahnya tergambar kesan tak percaya. Musashi sendiri terkejut, teriaknya, “Matahachi!”

“Takezo!”

Kedua orang itu bergegas saling mendekati, dan baru berhenti ketika akan bertubrukan. Musashi mengulurkan tangannya, dan Matahachi berbuat demikian juga, hingga guci terjatuh.

“Berapa tahun!”

“Sejak Sekigahara.”

“Jadi, sudah…”

“Lima tahun. Ya, tentunya. Umurku sudah dua puluh dua sekarang.”

Selagi keduanya saling dekap, bau manis susu dari guci yang pecah menyelimuti mereka, membangkitkan kembali kenangan akan masa-masa mereka berdua masih bayi di dalam gendongan.

“Kau jadi terkenal sekali, Takezo. Tapi… mestinya aku tak boleh me­manggilmu Takezo sekarang. Akan kupanggil engkau Musashi, seperti semua orang lain. Aku sudah mendengar cerita keberhasilanmu di pohon pinus lebar itu… dan tentang beberapa hal yang sudah kaulakukan sebelum itu.”

“Jangan bikin aku malu. Aku masih amatir. Hanya saja dunia ini rupanya penuh dengan orang-orang yang tidak sebaik diriku. Omong-­omong, apa kau tinggal di sini?”

“Ya, aku di sini sekitar sepuluh hari. Aku tinggalkan Kyoto dengan maksud pergi ke Edo, tapi ada sesuatu yang menghalangi.”

“Ada yang bilang, di sini ada orang sakit. Yah, tak bisa aku berbuat apa­apa soal itu sekarang, tapi sebetulnya itulah sebabnya aku membawa susu itu tadi.”

“Sakit? O ya… itu teman perjalananku.”

“Sayang sekali. Tapi biar bagaimana, aku senang ketemu kau. Berita terakhir darimu adalah surat yang dibawa Jotaro itu, ketika aku dalam perjalanan ke Nara.”

Matahachi menundukkan kepala, dengan harapan Musashi takkan me­nyebut-nyebut ramalan penuh bualan yang ia buat waktu itu.

Musashi meletakkan tangan ke bahu Matahachi. Terpikir olehnya alangkah senang bertemu lagi dengan temannya ini, dan alangkah ingin ia berbicara panjang-lebar dengannya.

“Siapa yang berjalan denganmu itu?” tanyanya polos.

“Ah, bukan siapa-siapa, bukan orang yang menarik bagimu. Cuma…”

“Tak apa. Mari kita mencari tempat buat berbicara.”

Ketika mereka berjalan meninggalkan penginapan, Musashi bertanya. “Bagaimana penghidupanmu?”

“Maksudmu pekerjaan?”

“Ya.”

“Aku tak punya bakat atau keterampilan khusus, karena itu sukar buatku mendapat kedudukan pada daimyo. Tak dapat aku mengatakan sedang melakukan sesuatu yang khusus.”

“Maksudmu, kau bermalas-malasan saja bertahun-tahun ini?” tanya ­Musashi, yang samar-samar sudah menduga apa yang sebenarnya terjadi.

“Sudahlah. Mengatakan hal-hal seperti itu cuma membangkitkan kembali segala macam kenangan tak enak.” Rupanya pikiran Matahachi melayang ke masa mereka berada dalam bayangan Gunung Ibuki. “Kesalahan besar yang kulakukan adalah bergaul dengan Oko itu.”

“Mari kita duduk,” kata Musashi sambil bersila di rumput. Ia merasa jengkel, kenapa Matahachi bersikeras menganggap dirinya lebih rendah? Dan kenapa ia menyalahkan orang lain untuk segala kesulitannya? “Kau ini menyalahkan semuanya pada Oko,” katanya tegas, “tapi apa itu cara bicara seorang dewasa? Tak seorang pun dapat menciptakan hidup yang berguna buatmu, kecuali dirimu sendiri.”

“Aku mengaku salah, tapi… bagaimana aku dapat menerangkannya? Rupanya aku tak mampu mengubah nasibku sendiri.”

“Pada zaman seperti sekarang ini, kau takkan sampai ke mana-mana kalau kau berpikir seperti itu. Pergilah ke Edo kalau mau, tapi sesampainva di sana, kau akan bertemu orang-orang dari seluruh negeri ini, yang masing-masing haus akan uang dan kedudukan. Kau takkan punya nama kalau cuma melakukan apa yang dilakukan orang lain. Kau mesti mem­bedakan dirimu dari yang lain, dengan caramu sendiri.”

“Ketika masih muda, mestinya aku belajar main pedang.”

“Kebetulan sekarang kau menyebut itu. Aku ragu-ragu, apakah patut kau menjadi pemain pedang. Biar bagaimana, kau baru mulai. Barangkali kau perlu memikirkan kemungkinan menjadi sarjana. Kukira itulah jalan terbaik buatmu mencari kedudukan pada seorang daimyo.”

“Jangan kuatir, aku pasti akan berbuat sesuatu.” Matahachi mencabut selembar rumput dan menyelipkannya ke antara giginya. Perasaan malu menindasnya. Sungguh memalukan, menyadari akibat dari bermalas-malasan lima tahun lamanya itu. Tadinya ia selalu dapat menepiskan cerita-cerita yang didengarnya tentang Musashi dengan cukup gampang. Tapi sesudah berhadapan benar-benar seperti ini, jelas kelihatan perbedaan besar di antara mereka. Di depan Musashi yang perkasa, sukar Matahachi mengenang kembali bahwa dahulu mereka berdua teman karib. Bahkan sifat muka Musashi pun terasa menekan. Rasa iri maupun semangat bersaing tak dapat menghilangkan perihnya menyadari ketidakbecusannya sendiri.

“Besarkan hatimu!” kata Musashi. Tapi bahkan ketika menepuk bahu Matahachi pun, ia dapat merasa temannya itu lemah. “Yang sudah, sudahlah. Lupakan masa lalu,” desaknya. “Kalaupun sudah kauhamburkan lima tahun yang lalu itu, apa salahnya? Yang penting, kau mulai untuk lima tahun berikutnya. Lima tahun yang lalu itu, dengan caranya sendiri, sudah memberikan pelajaran berharga.”

“Tahun-tahun yang sungguh brengsek.”

“Oh, ya, aku lupa. Aku baru meninggalkan ibumu tadi.”

“Kau ketemu ibuku?”

“Ya. Perlu kukatakan, aku sungguh tak mengerti kenapa kau tidak lahir dengan banyak kekuatan dan keuletan.” Dan ia juga tak dapat mengerti, kenapa Osugi memiliki anak seperti itu, anak yang begitu enggan bekerja dan begitu mengasihani diri sendiri. Ia ingin mengguncang temannya itu, mengingatkannya, betapa beruntung ia memiliki ibu. Sambil menatap Matahachi, ia bertanya pada diri sendiri, bagaimana meredakan murka Osugi. Dan jawabannya pun datang segera kalau Matahachi sendiri sudah berhasil….

“Matahachi,” katanya khidmat. “Memiliki ibu seperti ibumu itu, apa tidak ingin kau mencoba melakukan sesuatu untuk menyenangkannya? Sebagai orang yang tak punya orangtua, terpaksa aku berpendapat bahwa kau tidak cukup menunjukkan rasa syukur. Bukannya karena kau tidak cukup menunjukkan rasa hormat. Tapi biarpun dikaruniai bekal terbaik yang mungkin dimiliki seseorang, rupanya kau menganggapnya tak lebih dari kotoran. Kalau aku punya ibu seperti ibumu, aku pasti jauh lebih ingin memperbaiki diriku dan melakukan sesuatu yang betul-betul berguna, semata-mata karena akan ada orang yang bisa kuajak berbagi kebahagiaan. Tak seorang pun merasa lebih gembira dengan sukses seorang manusia daripada orangtuanya sendiri.

“Mungkin kedengarannya aku cuma menyemburkan nasihat hampa. Tapi dari seorang pengembara seperti diriku, bukan itu soalnya. Sukar bagiku menyatakan padamu, betapa sepi rasaku apabila aku menjumpai pemandangan indah, kemudian tiba-tiba aku sadar, tak ada orang lain yang bisa kuajak menikmatinya.”

Musashi berhenti untuk mengatur napas, dan memegang tangan temannya. “Kau tahu sendiri, apa yang kukatakan ini benar. Kau tahu aku bicara sebagai teman lama, sebagai orang yang datang dari desa yang sama. Mari kita mencoba menangkap kembali semangat yang pernah kita miliki ketika kita berangkat ke Sekigahara. Sekarang tidak ada lagi perang, tapi perjuangan untuk tetap hidup di dunia yang damai tidak kurang sukarnya. Kau mesti berjuang, mesti memiliki rencana. Kalau kau mau mencoba, aku mau berbuat segalanya untuk membantumu.”

Air mata Matahachi jatuh ke tangan mereka yang saling genggam. Walaupun kata-kata Musashi serupa dengan khotbah-khotbah ibunya yang membosankan, ia betul-betul tergerak oleh perhatian temannya.

“Kau benar,” katanya sambil menghapus air matanya. “Terima kasih. Akan kulakukan apa yang kaukatakan itu. Aku akan menjadi orang baru sejak sekarang. Aku sependapat, aku bukan jenis orang yang akan berhasil menjadi pemain pedang. Aku akan pergi ke Edo dan mencari seorang guru. Kemudian aku akan belajar giat. Aku bersumpah akan melakukan itu.”

“Aku sendiri akan membuka mata, mencari guru yang baik, juga majikan yang baik tempat kau bisa bekerja. Kau bahkan bisa bekerja dan belajar sekaligus.”

“Oh, itu bisa seperti mulai hidup lagi. Tapi ada satu hal yang meng­gangguku.”

“Ya? Seperti kukatakan tadi, aku akan berusaha membantumu sebisaku. Setidaknya itulah yang dapat kulakukan untuk menebus apa yang telah membuat ibumu begitu marah.”

“Aduh, tapi memalukan juga ini. Kau tahu, teman jalanku itu seorang perempuan. Dia… oh, tak dapat aku menyebutkannya.”

“Ayo, bicaralah seperti lelaki!”

“Kau jangan marah. Dia orang yang kau kenal.”

“Siapa?”

“Akemi.”

Musashi terkejut, dan pikirnya, “Tak mungkin lagi dia memungut perempuan yang lebih gawat dari itu.” Tapi sebelum sempat mengucapkan kata-kata itu, ia sudah menahan diri.

Benar, secara seksual Akemi tidak sebejat ibunya, setidaknya belum, tetapi ia sudah mengarah ke sana-seperti burung yang terbang membawa obor kehancuran. Disamping peristiwa dengan Seijuro, Musashi sangat curiga ada apa-apa juga antara perempuan itu dengan Kojiro. Ia heran nasib jahat apa yang telah mengantar Matahachi kepada perempuan-­perempuan seperti Oko dan anaknya.

Matahachi salah menafsirkan diamnya Musashi sebagai tanda cemburu. “Kau marah, ya? Aku menceritakan ini dengan jujur padamu karena kupikir sebaiknya aku tidak menyembunyikannya.”

“Orang tolol! Yang kukuatirkan itu kau! Apa kau sudah terkutuk sejak lahir, atau kau sengaja meninggalkan jalanmu buat mencari nasib buruk. Kupikir kau sudah mengambil pelajaran dari Oko.”

Menjawab pertanyaan Musashi itu, Matahachi bercerita bagaimana ia dan Akemi sampai dapat bersama-sama. “Barangkali aku kena hukum karena meninggalkan Ibu,” simpulnya. “Akemi sakit kaki ketika jatuh ke dalam ngarai, dan kaki itu semakin buruk keadaannya, jadi…”

“Oh, jadi Bapak ada di sini!” kata perempuan tua dari penginapan itu da­lam logat setempat. Ia sudah tak tentu tingkahnya dan pikun. Dengan tangan di belakang, sambil memandang ke langit, seakan-akan sedang memerikn cuaca, ia berkata, “Perempuan yang sakit itu tidak dengan Bapak,” tambahnya­. Nada bicaranya tidak jelas, apakah ia bertanya atau memberi kabar.

Dengan wajah sedikit merah, Matahachi berkata, “Akemi? Kenapa dia?”

“Dia tak ada di tempat tidur.”

“Betul?”

“Beberapa waktu lalu dia masih ada, tapi sekarang tak ada.”

Walaupun indra keenam Musashi sudah tahu apa yang terjadi, ia hanya mengatakan, “Lebih baik kita lihat.”

Tilam Akemi masih terhampar di lantai, tapi kamar itu kosong.

Matahachi memaki-maki dan sia-sia mengelilingi kamar. Dengan wajah merah padam ia berkata. “Tak ada obi, tak ada uang! Sisir dan peniti saja tak ada! Gila dia! Kenapa sih dia… meninggalkan aku macam ini!”

Perempuan tua itu berdiri di pintu masuk. “Brengsek,” katanya, seakan pada diri sendiri. “Saya barangkali tak boleh mengatakannya, tapi gadis itu tidak sakit. Dia cuma pura-pura, supaya dapat tinggal di tempat tidur. Saya memang tua, tapi saya dapat mengenali hal-hal seperti itu.”

Matahachi berlari ke luar, dan berdiri menatap jalan putih yang membelok sepanjang sisi bukit. Lembu yang berbaring di bawah pohon persik me­mecahkan kesunyian dengan lenguhnya yang panjang mengantuk. Kembang persik mulai menua warnanya dan berjatuhan.

“Matahachi,” kata Musashi, “kenapa kau berdiri bermuram durja? Mari kita doakan dia menemukan tempat menetap dan menempuh hidup damai, dan biarlah saja demikian.”

Seekor kupu-kupu kuning terlontar tinggi ke udara oleh angin pusaran, dan akhirnya terjatuh di ujung karang.

“Aku senang sekali dengan janji yang kauberikan itu,” kata Musashi. “Apa bukan sekarang waktunya bertindak, yaitu kau betul-betul mencoba menggembleng dirimu?”

“Ya, itu yang mesti kulakukan, rasanya,” gumam Matahachi tanpa se­mangat, sambil menggigit bibir bawahnya agar tidak menggeletar.

Musashi memutarnya agar tidak lagi memandang jalan kosong. “Dengar,” katanya riang. “Jalanmu sekarang terbuka. Ke mana pun Akemi pergi, itu tak cocok untukmu. Sekarang pergilah, sebelum terlambat. Ambillah jalan yang berada di antara Sakamoto dan Otsu. Kau masih dapat menjumpai ibumu sebelum malam. Kalau nanti kautemukan, jangan lepaskan lagi dia.”

Untuk menekankan kata-katanya, Musashi mengambil sandal dan pem­balut kaki Matahachi, kemudian ia masuk penginapan dan kembali dengan barang-barang milik Matahachi yang lain.

“Kau punya uang?” tanyanya. “Aku sendiri tak punya banyak, tapi kau bisa pakai sebagian. Kalau menurutmu Edo cocok buatmu, aku akan pergi ke sana denganmu. Malam ini aku ada di Jembatan Kara di Seta. Sesudah kau menemukan ibumu, cari aku di sana. Kuharap kau membawa ibumu.”

Sesudah Matahachi berangkat, Musashi beristirahat menanti turunnya senja dan jawaban atas suratnya. Ia membaringkan diri di bangku di belakang ruang teh, lalu memejamkan mata, dan segera bermimpi tentang dua kupu-kupu yang mengapung di udara, sambil bersenang-senang di antara cabang-cabang pohon yang saling berjalin. Seekor di antara kupu­kupu itu dikenalinya—Otsu!

Ketika ia terbangun, cahaya matahari yang condong sudah mencapai dinding belakang ruang teh. Ia mendengar seorang lelaki berkata, “Dari segi mana pun, penampilan mereka betul-betul brengsek.”

“Maksudmu orang-orang Yoshioka?”

“Betul.”

“Orang terlalu menghormati perguruan itu karena nama baik Kempo. Rupanya di bidang apa pun, cuma angkatan pertama itu yang besar artinya. Angkatan berikut sudah tidak semarak, dan pada angkatan ketiga semuanya berantakan. Jarang kita melihat kepala angkatan keempat dikubur di samping pendirinya.”

“Oh, aku bermaksud dikubur di samping buyutku.”

“Tapi kau kan cuma seorang pembelah batu? Yang kubicarakan ini orang-orang terkenal. Kalau kaupikir omonganku ini salah, coba lihat apa yang terjadi dengan ahli waris Hideyoshi.”

Para pembelah batu itu bekerja di lubang galian di dalam lembah, dan. sekitar pukul tiga sore mereka datang ke penginapan untuk minum teh. Sebelumnya, seorang dari mereka yang tinggal dekat Ichijoji menyatakan bahwa ia melihat pertempuran itu dari permulaan sampai penghabisan. Sesudah berlusin kali menyampaikan cerita itu, sekarang ia dapat bercerita dengan kefasihan yang menggetarkan, dan dengan pandainya ia membunga­-bungai kenyataan dan meniru-nirukan gerak-gerik Musashi.

Sementara para pembelah batu asyik mendengarkan ceritanya, empat orang lain datang dan mengambil tempat duduk di depan: Sasaki Kojiro dan tiga samurai dari Gunung Hiei. Wajah cemberut mereka membuat para pekerja merasa tak enak, karena itu mereka mengangkat cangkir teh dan mengundurkan diri ke dalam. Tapi ketika kisah jadi semakin seru. mulailah mereka tertawa-tawa dan berkomentar, dan sering sekali mereka mengulang-ulang nama Musashi dengan penuh kekaguman.

Kojiro sampai pada batas kesabarannya, dan ia berseru keras, “Hei kalian yang di sana!”

“Ya, Tuan,” jawab mereka serentak, dan dengan sendirinya menundukkan ­kepala.

“Apa yang terjadi di sini? Kamu!” Kojiro menudingkan kipasnya yang berkerangka baja pada orang itu. “Kau bicara seperti orang yang tahu banyak. Coba ke sini! Yang lain-lain juga! Takkan kuapa-apakan.”

Ketika mereka berjalan pelan kembali ke luar, Kojiro melanjutkan, “Dari tadi aku mendengarmu menyanyikan pujian kepada Miyamoto Musashi„ dan sekarang aku sudah bosan. Yang kau ceritakan itu omong kosong.”

Orang pun memandang bertanya-tanya dan berbisik-bisik keheranan.

“Kenapa kauanggap Musashi pemain pedang besar? Hei kau… kau melihat pertempuran itu, tapi percayalah, aku Sasaki Kojiro, juga melihatnya. Sebagai saksi resmi, aku memperhatikan setiap bagian kecilnya. Kemudian aku pergi ke Gunung Hiei dan memberikan kuliah pada murid pendeta, tentang apa yang sudah kulihat. Lebih dari itu, atas undangan beberapa sarjana ulung, aku mengunjungi beberapa kuil cabang dan mem­berikan kuliah lebih banyak lagi.

“Nah, tidak seperti aku, kalian semua tidak tahu apa-apa tentang permainan pedang.” Nada menggurui menjalari suara Kojiro. “Kalian hanya melihat siapa menang dan siapa kalah, kemudian kalian menggabungkan diri memuji Miyamoto Musashi, seolah-olah dia pemain pedang terbesar yang pernah hidup.

“Biasanya aku tak mau bersusah-susah menyangkal ocehan orang awam, tapi aku merasa perlu melakukannya sekarang, karena pandangan-pandangan kalian yang keliru itu merugikan masyarakat luas. Lebih dari itu, aku mau menunjukkan salahnya pikiran kalian, untuk kepentingan para sarjana terkemuka yang menyertaiku hari ini. Bersihkan telinga kalian dan dengarkan baik-baik. Akan kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi di pohon pinus lebar itu, dan manusia macam apa Musashi itu.”

Suara-suara tunduk terdengar di antara hadirin yang terperangkap di situ.

“Pertama-tama,” kata Kojiro muluk, “mari kita tinjau apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Musashi—maksudnya yang tersembunyi. Dilihat dari caranya memancing pertarungan terakhir itu, aku hanya dapat menyimpulkan bahwa dia berusaha mati-matian menjual namanya, menciptakan nama baik bagi dirinya. Untuk itu dia memilih Keluarga Yoshioka, perguruan pedang paling terkenal di Kyoto, dan secara licik membuka perkelahian. Keluarga Yoshioka menjadi korban tipu muslihat ini, dan menjadi batu loncatan bagi Musashi menuju kemasyhuran dan keberhasilan.

“Apa yang dilakukannya itu tidak jujur. Sudah umum diketahui bahwa zaman Yoshioka Kempo sudah lewat, bahwa Perguruan Yoshioka telah merosot. Perguruan itu seperti pohon layu atau orang cacat yang sudah menjelang ajal. Yang dilakukan Musashi sekadar mendorong bangkai kosong itu. Siapa saja dapat melakukan hal itu, tapi tak seorang pun melakukannya. Kenapa? Karena kami yang mengerti Seni Perang sudah tahu bahwa per­guruan itu sudah tak ada daya. Kedua, karena kami tak ingin membikin suram nama Kempo yang terhormat. Namun Musashi sengaja memancing insiden, memasang papan tantangan di jalan-jalan Kyoto, menyebarkan desas-desus, dan akhirnya mengadakan pertunjukan besar dengan melakukan hal yang oleh pemain pedang cakap mana pun dapat dilakukan.

“Tak bisa rasanya aku menyebutkan satu demi satu tipu daya murah dan pengecut yang digunakannya. Kita sebutkan misalnya dia datang terlambat menghadapi pertarungan dengan Yoshioka Seijuro maupun dengan Denshichiro. Dia bukannya menjumpai musuh-musuhnya langsung ke pohon pinus lebar, tapi datang dengan jalan memutar dan menggunakan segala macam muslihat keji.

“Telah ditetapkan bahwa dia hanya seorang diri melawan banyak orang. Itu benar, tapi itu hanya bagian dari rencana setannya untuk membesarkan namanya. Dia tahu benar bahwa karena dia kalah dalam jumlah, umum akan bersimpati kepadanya. Tapi ketika pertempuran yang sebenarnya terjadi, yang ada tidak lebih dari permainan kanak-kanak. Ini dapat ku­ceritakan pada kalian, karena aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Musashi berhasil sesaat menyelamatkan nyawanya dengan tipu daya licik. kemudian ketika kesempatan lari datang, dia lari. Memang, aku harus, mengakui sampai batas tertentu dia memperlihatkan semacam kekuatan besar. Tapi itu tidak membuatnya menjadi seorang pemain pedang ahli. Tidak sama sekali! Hak kemasyhuran terbesar yang dipunyai Musashi adalah kemampuannya untuk lari kencang. Dalam lari cepat, dia tak punya tandingan.”

Kata-kata itu sekarang membanjir keluar dari mulut Kojiro, seperti air meluap dari bendungan.

“Orang biasa berpendapat, sukar bagi pemain pedang yang sendirian bertempur melawan sejumlah besar lawan, tapi sepuluh orang tidak mesti sepuluh kali lebih kuat dari satu orang. Bagi orang yang ahli, jumlah tidak selamanya penting.” Kojiro kemudian memberikan kritik profesional tentang pertempuran itu. Tidak sukar mengecilkan prestasi Musashi, karena sekalipun ia memiliki keberanian, setiap pengamat yang berpengetahuan dapat me­nunjukkan kekurangan-kekurangan dalam penampilannya. Ketika ia akhirnya menyebutkan Genjiro, kata-kata Kojiro pedas dan tajam. Ia mengatakan pembunuhan atas anak itu merupakan kekejian, suatu pelanggaran atas etika permainan pedang yang tidak dapat diampuni dari sudut mana pun.

“Sekarang baiklah kusampaikan latar belakang Musashi!” teriaknya marah. Kemudian ia mengungkapkan bahwa beberapa hari lalu ia berjumpa dengar Osugi sendiri di Gunung Hiei dan mendengarkan cerita panjang dar, lengkap tentang sifat munafik Musashi. Tanpa memberikan perincian, ia menguraikan berbagai pengalaman pahit yang diderita oleh “wanita tua yang manis” itu. Ia mengakhiri cerita itu dengan mengatakan, “Sungguh aku bergidik me­mikirkan bahwa ada orang-orang yang berteriak memuji-muji bangsat. Akibatnya terhadap moral masyarakat sungguh mengerikan, kalaian renungkan hal itu. Dan inilah sebabnya aku bicara begini panjang. Aku tak punya hubungan dengan Keluarga Yoshioka, dan aku pun tak punya dendam pribadi terhadap Musashi. Aku bicara pada kalian secara adil tidak berat sebelah, sebagai orang yang setia kepada Jalan Pedang, sebagai orang yang bertekad secara sepantasnya mengikuti jalan itu! Aku telah menyampaikan kebenaran kepada kalian. Ingatlah itu!”

Ia terdiam, lalu memuaskan dahaganya dengan secangkir teh lalu:menoleh kepada teman-temannya, dan katanya pelan sekali, “Oh, matahari sudah hampir terbenam. Kalau Anda sekalian tidak segera berangkat, bisa­-bisa sesudah gelap pun Anda belum sampai Miidera.”

Para samurai dari kuil itu bangkit untuk berangkat.

“Jaga diri Anda,” kata seorang dari mereka.

“Mudah-mudahan kita bertemu lagi, kalau Anda kembali ke Kyoto.”

Para pembelah batu mendapat kesempatan pergi, dan seperti tawanan yang dibebaskan pengadilan, mereka bergegas kembali ke lembah yang kini terselimut bayang-bayang keunguan dan bergema oleh nyanyian burung bulbul.

Kojiro memperhatikan kepergian mereka, kemudian berseru ke dalam penginapan, “Saya letakkan uang teh di atas meja ya, apa Ibu punya sumbu bedil?”

Perempuan itu sedang berjongkok di depan tungku tanah, menyiapkan rnakan malam. “Sumbu?” tanyanya. “Ada satu ikat tergantung di sudut belakang sana. Ambil sebanyak Tuan mau.”

Kojiro melangkah ke sudut. Ketika ia sedang menarik dua-tiga di antaranya dari ikatan, sumbu-sumbu yang lain jatuh ke bangku di bawah. Dan ketika ia membungkuk akan mengambilnya, terlihat olehnya dua kaki terentang di atas bangku. Pelan-pelan matanya menjalar dari kaki itu ke rubuh, dan kemudian ke wajah orang tersebut. Guncangan yang diperolehnya waktu itu sungguh seperti pukulan keras pada jaringan saraf simpatis.

Musashi menatap langsung kepadanya.

Kojiro meloncat mundur selangkah.

“Ya, ya,” kata Musashi sambil menyeringai lebar. Tanpa terburu-buru ia berdiri dan pergi ke sisi Kojiro. Di situ ia berdiri tenang, wajahnya tampak riang dan maklum.

Kojiro mencoba tersenyum membalas, tapi otot-otot wajahnya menolak runduk. Seketika ia sadar bahwa Musashi tentunya sudah mendengar setiap patah kata yang diucapkannya, karena itu rasa malunya pun semakin tak tertanggungkan lagi. Ia merasa Musashi sekarang menertawakannya. Sebentar kemudian ia sudah memperoleh kembali rasa percaya dirinya, tapi selama masa peralihan yang singkat itu, sikap bingungnya tak dapat diragukan lagi.

“Terus terang, Musashi, aku tak mengharapkan melihatmu di sini,” kata­nya.

“Senang melihatmu lagi.”

“Ya, ya, betul.” Baru diucapkan pun kata-kata itu sudah disesalinya, namun ia tak dapat berbuat lain, dan lanjutnya, “Mesti kukatakan, kau hetul-betul sudah membuat tenar namamu sejak terakhir kita bertemu. Sukar dipercaya bahwa seorang manusia dapat berkelahi seperti yang kau­lakukan itu. Izinkan aku mengucapkan selamat. Kau bahkan tetap kelihatan biasa-biasa saja.”

Dengan sisa senyum di bibirnya, Musashi berkata dengan sikap sopan dilebih-lebihkan, “Terima kasih atas kesediaanmu menjadi saksi hari itu. Dan terima kasih juga atas kritik yang baru saja kau berikan atas penampil­anku. Tidak sering kita dapat melihat diri sendiri menurut pandangan orang lain. Aku sangat berutang budi padamu atas komentarmu. Percayalah. aku takkan lupa.”

Sekalipun dalam nada tenang dan tanpa dendam, pernyataan terakhir itu membuat bulu roma Kojiro tegak. Ia memahami kata-kata itu sebagaimana adanya, suatu tantangan yang mesti dilayani di masa depan.

Kedua orang itu, yang sama-sama angkuh, sama-sama keras kepala, dan sama-sama yakin akan kebenarannya sendiri, cepat atau lambat pasti akan bertumbukan. Musashi siap menanti, tapi ketika ia mengatakan, “Aku takkan lupa,” sebenarnya ia cuma menyampaikan kebenaran belaka. Ia sudah menganggap kemenangannya yang paling baru itu sebagai batu pengukur dalam kariernya sebagai pemain pedang, suatu titik tinggi dalam perjuangannya menyempurnakan diri. Fitnah-fitnah Kojiro itu takkan di­biarkan terus-terusan tanpa tantangan.

Sekalipun Kojiro membumbui pidatonya untuk membuai para pendengar­nya, sesunggahnya pendapatnya sendiri tentang peristiwa itu sama dengan yang telah dilukiskannya, dan tidak berbeda dengan yang sudah ia kemuka­kan. Dan ia tidak sangsi sama sekali mengenai ketepatan penilaiannya ter­hadap Musashi.

“Aku senang mendengarmu mengatakan itu,” kata Kojiro. “Dan aku takkan ingin kau melupakannya. Aku juga takkan lupa.” Musashi masih tersenyum ketika ia mengangguk setuju.

Cabang-Cabang yang Berjalin

“OTSU, aku kembali,” seru Jotaro ketika berlari melintasi gerbang depan yang kasar itu.

Otsu sedang duduk di beranda, bertelekan meja tulis rendah sambil me­mandang langit. Begitulah ia semenjak pagi. Pada dinding muka, di bawah kedua tepian atap yang bertemu di bumbungan, tergantung piagam kayu dengan tulisan putih: “Pertapaan Gunung Bulan”. Pondok kecil milik seorang pejabat kependetaan di Ginkakuji itu telah dipinjamkan kepada Otsu atas permintaan Yang Dipertuan Karasumaru.

Jotaro menjatuhkan diri di rumpun bunga violet yang sedang berkembang, dan berkecipak dengan kakinya di sungai, untuk membasuh lumpur yang melekat. Air yang mengalir langsung dari kebun Ginkakuji itu lebih murni daripada salju yang masih baru. “Air ini membeku,” ujarnya sambil me­ngerutkan kening, tetapi tanahnya hangat, dan ia senang hidup di tempat yang indah ini. Burung-burung layang-layang bernyanyi, seakan-akan mereka pun senang dengan hari itu.

Jotaro bangkit, menggesek-gesekkan kakinya ke rumput, dan pergi ke beranda. “Kakak belum bosan?” tanyanya.

“Belum. Banyak yang mesti kupikirkan.”

“Apa Kakak tak mau mendengar berita baik?”

“Berita apa?”

“Tentang Musashi. Saya dengar, dia tak jauh dari sini.”

“Di mana?”

“Saya sudah keliling berhari-hari, menanyakan barangkali ada yang tahu di mana dia, dan hari ini saya dengar dia tinggal di Kuil Mudoji, di Gunung Hiei.”

“Kalau begitu, dia sehat-sehat saja.”

“Mungkin, tapi saya pikir kita mesti pergi ke sana sekarang juga, sebelum dia pergi ke tempat lain. Saya lapar. Bagaimana kalau Kakak me­nviapkan diri sementara saya makan?”

“Ada beberapa bakpao terbungkus daun dalam kotak lapis tiga di sana. Ambil sendiri.”

Ketika Jotaro selesai makan, ternyata Otsu tidak juga beranjak dari meja. “Ada apa?” tanya Jotaro, menatapnya curiga.

“Kita tak usah pergi.”

“Bodohnya… baru semenit Kakak setengah mati mau lihat Musashi, lalu pura-pura tak ingin.”

“Kau tak mengerti. Dia tahu bagaimana perasaanku. Malam ketika kita bertemu di gunung itu, sudah kuceritakan semua yang mesti kusampaikan. Kami berdua mengira kami takkan saling bertemu lagi dalam hidup ini.”

“Tapi Kakak bisa bertemu dia lagi sekarang, jadi apa yang Kakak nantikan?”

“Tak tahu aku, apa yang dia pikirkan sekarang. Dia puas dengan kemenangannya atau sekadar menghindar dari bahaya. Ketika meninggalkanku, aku sudah pasrah takkan bertemu dia lagi dalam hidup ini. Kupikir aku takkan pergi sekarang, kecuali kalau dia memintaku.”

“Dan bagaimana kalau dia tidak minta, bertahun-tahun lamanya?”

“Akan kulakukan seperti yang kulakukan sekarang ini.”

“Duduk memandang langit?”

“Kau tak mengerti. Tapi tak apalah.”

“Apa yang tidak saya mengerti?”

“Perasaan Musashi. Aku betul-betul merasa dapat mempercayainya seka­rang. Dulu aku cinta padanya dengan segenap hatiku, tapi waktu itu aku tidak sepenuhnya percaya dia. Sekarang aku percaya. Semuanya sudah lain. Kami berdua lebih dekat daripada cabang-cabang pohon. Biarpun misalnya kami terpisah, biarpun misalnya kami mati, kami masih akan bersama­sama. Karena itu, tak ada yang dapat membuatku kesepian lagi. Sekarang aku cuma berdoa semoga dia menemukan jalan yang dicarinya.”

Jotaro meledak. “Kakak bohong!” teriaknya. “Apa perempuan memang tak bisa mengatakan yang sebenarnya? Kalau Kakak mau bersikap begitu, baiklah. tapi jangan sekali-kali Kakak mengatakan pada saya lagi ingin melihac Musashi. Biar Kakak menangis sampai habis air mata, saya takkan peduli!”

Sudah susah payah ia berusaha mencari Musashi sejak pergi dari Ichijoji… tapi sekarang! Seharian ia tak menghiraukan Otsu dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Tepat sesudah senja, cahaya obor kemerahan melintas halaman, dan salah seorang samurai Yang Dipertuan Karasumaru mengetuk pintu. Ia me­nyampaikan surat kepada Jotaro, katanya, “Dari Musashi untuk Otsu. Yang Dipertuan menyatakan Otsu mesti menjaga dirinya baik-baik.” Ia pun pergi.

“Ini memang tulisan Musashi,” pikir Jotaro. “Jadi, dia masih hidup.” Kemu­dian dengan nada marah, “Dialamatkan pada Otsu, bukan padaku. Begitu!”

Otsu muncul dari belakang pondok, katanya, “Samurai itu bawa surat dari Musashi, kan?”

“Ya, tapi kukira Kakak tak berminat,” Jotaro mencibir sambil menvem­bunyikan surat itu ke belakangnya.

“Jangan begitu, Jotaro, mari kulihat!” Otsu memohon.

Jotaro bertahan sebentar, tapi begitu melihat tanda-tanda air mata, disorongkannya amplop itu pada Otsu. “Ha!” serunya senang. “Tadi Kakak pura-pura tak ingin melihat dia, tapi tak sabar ingin membaca suratnya!”

Otsu menunduk di dekat lampu, dan kertas itu menggeletar di antara jari-jarinya yang putih. Nyala lampu seolah memperlihatkan kegembiraan khusus, hampir-hampir merupakan isyarat bahagia dan nasib baik.

Tinta itu berkilau-kilau seperti pelangi, sedangkan air mata di bulu matanya seperti permata. Otsu tiba-tiba terbawa ke suatu dunia yang tak berani ia khayalkan, dan ia teringat akan bagian sajak Po Chu-I yang mengungkapkan kegembiraan luar biasa. Dalam bagian itu, arwah Yang Kuei-fei yang telah pergi, bergembira atas berita cinta dari kaisarnya yang hilang.

Ia membaca pesan singkat itu, kemudian membacanya sekali lagi. “Dia mestinya menanti sekarang ini juga. Aku mesti buru-buru.” Ia mengira telah mengucapkan kata-kata itu keras-keras, padahal ia tidak memper­dengarkan satu suara pun.

Dan segera ia bertindak, menulis surat-surat ucapan terima kasih kepada pemilik pondok, kepada para pendeta lain di Ginkakuji, dan kepada semua orang yang telah bersikap baik kepadanya selama ia tinggal di situ. Selesai mengumpulkan barang-barang miliknya, mengikatkan sandalnya, dan pergi ke halaman, ia melihat Jotaro masih duduk di dalam, mengumbar kejengkelan.

“Ayo, Jo! Cepat!”

“Mau pergi?”

“Kau masih marah, ya?”

“Siapa takkan marah? Kakak ini tak pernah memikirkan orang lain, kecuali diri sendiri! Apa memang ada yang demikian rahasia dalam surat Musashi itu, sampai Kakak tidak menunjukkan pada saya?”

“Maafkan,” kata Otsu. “Tak ada rahasia. Kau boleh melihatnya.”

“Lupakan saja. Saya tak berminat sekarang.”

“Jangan begitu. Aku ingin kau membacanya. Surat yang bagus sekali! Surat pertama yang ditulisnya padaku. Dan ini pertama kali dia minta aku bergabung dengannya. Belum pernah aku sebahagia ini dalam hidupku. Jangan terus cemberut begitu, ayo pergi ke Seta. Ayolah.”

Di jalan melintasi Celah Shiga, Jotaro terus juga diam, marah, tapi akhirnya ia memetik selembar daun untuk menyiulkan dan mendendangkan beberapa lagu populer untuk memecahkan keheningan malam itu.

Akhirnya Otsu terpaksa menawarkan berdamai, katanya, “Masih ada beberapa gula-gula di kotak kiriman Yang Dipertuan Karasumaru kemarin itu.”

Tetapi fajar sudah menyingsing, dan awan di sebelah sana menjadi merah muda. Jotaro menjadi biasa kembali.

“Kakak sehat-sehat saja? Kakak tidak capek?”

“Sedikit. Jalan ini mendaki terus.”

“Sekarang lebih ringan. Lihat, sudah kelihatan danau.”

“Ya, Danau Biwa. Di mana Seta?”

“Di sana, Musashi takkan ada di sana sepagi ini, kan?”

“Tak tahulah. Kita butuh setengah hari untuk sampai di sana. Bagaimana kalau kita istirahat?”

“Baik,” jawab Jotaro, sifat periangnya sudah kembali. “Mari kita duduk di bawah dua pohon besar di sana itu.”

Asap yang berasal dari api tungku di pagi buta naik di sana-sini, sepeni uap yang naik dari medan pertempuran. Lewat kabut yang menyebar dari danau ke kota Ishiyama, jalan-jalan kota Otsu mulai dapat dilihat. Ketika mendekati kota itu, Musashi memayungkan tangan ke keningnya dan menoleh ke sekitar. Ia merasa senang kembali ke tengah-tengah orang ba­nyak.

Di dekat Miidera, ketika mulai mendaki lereng Bizoji, ia bertanya-tanya iseng, jalan mana kiranya yang ditempuh Otsu. Semula ia membayangkan akan dapat bertemu dengan gadis itu di jalan, tapi kemudian ia simpulkan hal itu tidak mungkin. Perempuan yang membawa suratnya ke Kyoto itu memberitahukan bahwa Otsu tidak lagi tinggal di kediaman Karasumaru. tetapi surat akan disampaikan kepadanya. Karena surat diterima Otsu pada larut malam, dan Otsu akan mengerjakan berbagai hal dahulu se­belum pergi, maka mungkin Otsu terpaksa menanti datangnya pagi untuk berangkat.

Musashi melewati sebuah kuil dengan sederetan pohon sakura tua, dan di atas sebuah gundukan ia perhatikan ada sebuah monumen batu. Menurut penilaiannya, pohon sakura itu pasti terkenal karena kembang musim semi­nya. Hanya sepintas ia melihat sajak yang terukir di atas monumen itu, tapi sajak itu teringat lagi olehnya sesudah ia menempuh jalan beberapa ratus meter. Sajak itu dari Taiheiki. Menurut ingatannya, sajak itu berkaitan dengan sebuah dongeng yang pernah dihafalnya. Ia membacakannya pelan-­pelan pada dirinya sendiri.

“Seorang pendeta mulia dari Kuil Shiga-yang mengenakan tongkat dua meter panjangnya dan sudah demikian tua, hingga alis putihnya tumbuh menjadi satu di puncak keningnya yang dingin-sedang merenungkan ke­cantikan Kannon di perairan danau, ketika kebetulan terlihat olehnva se­orang gundik kaisar dari Kyogoku. Gundik itu dalam perjalanan kembaii dari Shiga, di mana terdapat kebun besar bunga-bungaan. Melihat dia, pen­deta pun bangkit nafsunya. Kebajikan yang bertahun-tahun ditimbun dengan penuh kesulitan kini lenyap. Ia ditelan keinginan menyala-nyala dan…­ Ah, bagaimana terusnya, ya? Rupanya sudah ada yang lupa. Ah!… dan ia kembali ke gubuknya yang terbuat dari rerantingan dan berdoa di hadapan patung sang Budha, namun perempuan itu terus ter­bayang. Ia menyebut nama sang Budha, namun suara itu terdengar seperti napas khayal. Di atas awan pegunungan, di waktu senja, dapat terlihat sisir di rambut perempuan itu. Ini membuatnya sedih. Ketika ia mengangkat mata, menatap bulan yang sendiri, wajah bulan tersenyum balik kepadanya. Ia menjadi bingung dan malu.

Karena takut pikiran-pikiran seperti itu tak memungkinkannya pergi ke surga apabila mati nanti, maka ia memutuskan menjumpai perempuan itu dan mengungkapkan seluruh perasaannya kepadanya. Dengan berbuat demi­kian, ia berharap bisa mati dalam damai.

Maka pergilah ia ke istana kaisar, dan sambil menghunjamkan tongkatnya mantap-mantap ke tanah, ia menanti di lapangan bola istana sehari se­malam…”

“Maaf, Anda yang naik lembu!”

Orang itu rupanya pekerja harian, seperti biasa ditemukan di daerah per­dagangan. Ia mendekat ke depan lembu itu, menepuk-nepuk hidungnya, kemudian memandang pengendaranya lewat kepala lembu.

“Anda tentunya datang dari Mudoji,” katanya.

“Betul. Bagaimana Anda bisa tahu?”

“Saya sudah meminjamkan lembu ini pada seorang saudagar. Saya kira nantinya dia meninggalkan lembu ini di sana. Saya memang menyewakannya, tapi saya minta Anda membayar saya, karena sudah menggunakannya.”

“Dengan senang hati saya membayar. Tapi saya ingin tahu, sampai berapa jauh saya boleh naik lembu ini?”

“Asalkan membayar, Anda dapat membawanya ke mana saja. Yang mesti Anda lakukan cuma mengembalikannya kepada pedagang di kota terdekat dengan tempat tujuan Anda. Dari situ nanti ada orang lain yang akan menyewanya. Cepat atau lambat, lembu akan kembali lagi kemari.”

“Berapa sewanya kalau saya bawa ke Edo?”

“Sava mesti menanyakannya dulu ke kandang. Kandangnya ada di jalan yang akan Anda lewati. Kalau Anda memutuskan menyewanya, Anda cuma mesti meninggalkan nama di kantor.”

Daerah perdagangan itu terletak dekat tempat penyeberangan di Qahama. Karena banyak musafir melewati tempat itu, menurut Musashi itulah tempat yang tepat untuk merapikan diri dan membeli barang yang diperlukannya.

Setelah selesai urusan lembu, ia makan pagi tanpa terburu-buru, lalu berangkat ke Seta. Ia senang sekali karena sebentar lagi akan bertemu kembali dengan Otsu.Tak ada lagi perasaan kuatir tentang Otsu. Sebelum mereka bertemu di gunung itu, Otsu selalu mendatangkan perasaan takut kepadanya, tapi sekarang lain: kesucian, kecerdasan, dan kesetiaan Otsu pada malam terang bulan membuat kepercayaannya kepada gadis itu lebih dalam dari sebelumnya. Tidak hanya ia yang percaya pada Otsu. Ia tahu Otsu juga percaya kepadanya. Ia bersumpah, begitu mereka bersama kembali, ia takkan me­nolak apa pun permintaan Otsu-asalkan tentu saja hal itu tidak mem­bahayakan cara hidupnya sebagai pemain pedang. Yang menguatirkan sebelum itu adalah bahwa jika ia membiarkan dirinya mencintai gadis itu, pedangnya akan tumpul. Seperti pendeta tua dalam cerita itu, ia bisa kehilangan jalannya. Sekarang jelas baginya bahwa Otsu sangat berdisiplin. Gadis itu takkan pernah menjadi penghalang atau belenggu yang menghambat. Satu­satunya masalah baginya sekarang adalah memperoleh kepastian agar dirinya tidak terbenam dalam kolam cinta yang dalam itu.

“Kalau nanti kami sampai di Edo,” pikirnya, “akan kuusahakan agar dia mendapat latihan dan pendidikan yang diperlukan seorang perempuan. Sementara dia belajar, aku akan mengajak Jotaro, dan bersama-sama kami akan berusaha mencapai taraf disiplin yang lebih tinggi lagi. Dan nanti. kalau tiba waktunya…” Cahaya yang dipantulkan dari danau itu membasuh wajahnya dengan sinar semarak yang berkelip-kelip lembut.

Kedua bagian Jembatan Kara itu, yaitu rentangan bertiang sembilan puluh enam dan rentangan bertiang dua puluh tiga, dihubungkan oleh sebuah pulau kecil. Di pulau itu tumbuh pohon liu kuno yang menjadi tanda bagi para musafir. Jembatan itu sendiri sering disebut Jembatan Liu.

“Itu dia datang!” teriak Jotaro sambil berlari keluar dari warung ke bagian jembatan yang lebih pendek. Di situ dilambainya Musashi dengan satu tangan, dan dengan tangan satunya lagi ia menuding warung teh. “Itu dia di sana, Otsu! Lihat? Naik lembu!” Dan mulailah ia menari-nari kecil. Segera kemudian Otsu berdiri di samping Jotaro, melambaikan tangannya. sedangkan Musashi melambaikan topi anyamannya. Seringai lebar Musashi menyinari wajahnya, sementara ia mendekat.

Ia ikatkan lembu pada sebatang pohon liu, lalu ketiganya masuk ke warung teh. Ketika Musashi masih di ujung jembatan tadi, Otsu sudah memanggil-manggilnya dengan keras, tapi ketika Musashi ada di sampingnya ia tak dapat mengucapkan apa pun. Wajahnya berseri-seri bahagia, tapi percakapan diserahkannya pada Jotaro.

“Luka Kakak sudah sembuh,” kata anak itu, yang kedengarannya hampir-­hampir terlalu gembira. “Waktu saya lihat Kakak naik lembu, saya pikir barangkali Kakak tak bisa jalan. Tapi kami masih bisa datang kemari lebih dulu, kan? Begitu Otsu menerima surat Kakak, dia langsung siap berangkat.”

Musashi tersenyum mengangguk, dan membisikkan kata-kata “oh” dan “ah”, tapi pembicaraan Jotaro tentang Otsu di depan orang-orang lain itu membuatnya tak enak. Atas desakannya, mereka pindah ke serambi kecil di belakang, yang dilindungi terali tanaman wisteria. Otsu tetap malu-malu untuk berbicara, dan Musashi jadi pendiam. Tapi Jotaro tidak memperhatikan hal itu. Ocehannya bercampur dengan dengung lebah dan desir lalat ternak­

Suara pemilik warung menyelanya, katanya, “Anda sekalian lebih baik masuk. Sebentar lagi badai. Coba lihat, langit semakin gelap di atas Ishiyamadera.” Ia sibuk menyingkirkan kerai jerami dan memasang tirai hujan di semua sisi serambi. Sungai menjadi kelabu, embusan angin keras rnenggerak-gerakkan kembang-kembang wisteria lembayung muda itu. Sekonyong-konyong kilat menyambar dan hujan tercurah dari langit.

“Halilintar!” teriak Jotaro. “Yang pertama tahun ini. Cepat masuk, Otsu. Kakak bisa basah kuyup. Cepat, Sensei. Hujan tepat sekali datangnya. Bagus sekali.”

Hujan itu “Bagus sekali” buat Jotaro, tapi buat Musashi dan Otsu sungguh membuat malu, karena kembali ke dalam warung akan membuat mereka merasa seperti sepasang merpati pelamun. Musashi bertahan, dan Otsu berdiri di tepian serambi dengan wajah merah, tidak lebih terlindung daripada kembang-kembang wisteria itu.

Orang yang memegang tikar jerami di atas kepalanya ketika berlari melintasi hujan yang amat deras itu tampak seperti payung besar yang bergerak sendiri. Ia lari ke bawah tepian atap gerbang tempat suci, me­luruskan rambutnya yang basah dan kusut, dan menengadah dengan nada bertanya-tanya ke arah awan yang bergerak cepat. “Seperti pertengahan musim panas saja,” gerutunya. Tak ada suara yang bisa mengatasi suara hujan, tetapi kilas cahaya yang tiba-tiba melintas menyebabkan ia menutup telinga. Matahachi berjongkok ketakutan di dekat patung dewa guntur yang berdiri di samping gerbang.

Sebagaimana awalnya, mendadak hujan itu berhenti. Awan-awan hitam berpencar, sinar matahari menerobos, dan tak lama kemudian jalanan kembali seperti biasa. Di kejauhan, Matahachi mendengar dentingan shamisen. Ketika ia hendak meneruskan perjalanan, seorang perempuan yang berpakaian seperti geisha menyeberang jalan dan berjalan langsung mendekatinya.

“Nama Tuan Matahachi, kan?” tanyanya.

“Betul,” jawab Matahachi curiga. “Bagaimana Anda bisa tahu?”

“Teman Anda ada di kota kami sekarang. Dia melihat Anda dari jendela, dan minta saya menjemput Anda.”

Matahachi menoleh ke sekitar, dan tampak olehnya beberapa rumah pelacuran di sekitar tempat itu. Ia ragu-ragu, tapi perempuan itu men­desaknya terus pergi ke tokonya. “Kalau ada urusan lain,” katanya, “tak perlu Anda tinggal lama.”

Ketika mereka masuk, gadis-gadis segera menghampirinya, menyeka kaki­nva, melepaskan kimononya yang basah, dan mendesaknya agar naik ke ruang atas. Ketika Ia bertanya siapa temannya itu, mereka tertawa dan mengatakan ia akan segera mengetahuinya.

“Nah,” kata Matahachi, “aku baru saja kehujanan. Karena itu aku akan tinggal di sini sampai pakaianku kering, tapi jangan coba menahanku di sini lebih dari itu. Ada orang menantiku di Jembatan Seta.”

Sambil mengikik ramai, perempuan-perempuan itu berjanji bahwa ia dapat pergi pada waktunya. Sementara itu, mereka mendorongnya naik tangga.

Di ambang kamar itu, Matahachi disambut oleh suara lelaki, “Ya, ya, aku yakin ini temanku Sensei Inugami!”

Sejenak Matahachi menyangka terjadi kesalahan identitas, tapi ketika ia memandang ke dalam ruangan, wajah itu tampak samar-samar dikenalnya. “Anda siapa?” tanyanya.

“Apa kau sudah lupa Sasaki Kojiro?”

“Belum,” jawab Matahachi cepat. “Tapi kenapa kausebut aku Inugami: Namaku Hon’iden, Hon’iden Matahachi.”

“Aku tahu, tapi yang teringat olehku selalu adalah engkau pada malam hari di Jalan Gojo itu. Waktu itu kau cengar-cengir menakut-nakuti kawanan anjing kampung. Kupikir Inugami—dewa anjing—itu nama yang baik untukmu.”

“Hentikan! Ini bukan main-main. Malam itu aku mengalami penderitaan mengerikan gara-gara kau.”

“Benar. Dan aku suruh orang mengundangmu ini karena aku ingin membayar penderitaanmu itu. Silakan masuk dan duduk. Hei, gadis gadis, sediakan sake buat tamu ini.”

“Aku tak bisa tinggal. Aku mesti ketemu orang di Seta. Aku tak boleh mabuk hari ini.”

“Siapa yang akan kaujumpai?”

“Orang yang namanya Miyamoto. Dia teman masa kecilku, dan…”

“Miyamoto Musashi? Jadi, kau bikin janji dengan dia waktu di penginapan celah itu?”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Oh, aku sudah mendengar segalanya tentangmu, segalanya tentang Musashi juga. Aku jumpa ibumu—Osugi namanya, kan? Di pekarangan utama Gunung Hiei. Dia cerita tentang semua penderitaan yang telah di­alaminya.”

“Kau bicara dengan ibuku?”

“Ya. Dia wanita hebat. Aku mengaguminya, juga semua pendeta di Gunung Hiei. Waktu itu aku mencoba memberikan dorongan padanya.”­Kojiro membilas mangkuknya dalam cambung air, lalu ia serahkan pada Matahachi, dan sambungnya, “Nah, mari kita minum bersama dan meng­hapuskan permusuhan lama kita. Tak ada alasan untuk kuatir pada Musashi kalau Sasaki Kojiro ada di pihakmu.”

Matahachi menolak mangkuk itu.

“Kenapa kau tidak minum?”

“Tak bisa. Aku mesti pergi.”

Matahachi bangkit berdiri, tapi Kojiro mencengkeram pergelangannya erat-erat, katanya, “Duduk!”

“Tapi Musashi menantiku sekarang.”

“Jangan tolol begitu! Kalau kau menyerang Musashi sendirian, dia akan membunuhmu seketika.”

“Kau salah besar! Dia berjanji akan membantuku. Aku akan pergi dengannya ke Edo untuk memulai usaha baru.”

“Artinya kau mau mengandalkan diri pada orang macam Musashi itu?”

“Oh, aku mengerti, memang banyak orang mengatakan dia tidak baik, tapi itu karena ibuku pergi ke mana-mana memfitnah dia. Dari semula dia keliru. Sekarang, sesudah bicara dengan Musashi, aku lebih yakin lagi dari kapan pun. Dia temanku, dan aku akan belajar dari dia supaya bisa ber­hasil juga, biarpun sedikit terlambat.”

Kojiro menampar tatami sambil tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana mungkin kau begitu polos? Ibumu mengatakan padaku, kau memang naif luar biasa, tapi kalau tertipu oleh…”

“Itu tidak benar! Musashi adalah…”

“Coba diam dulu! Dan dengarkan. Pertama-tama, bagaimana mungkin kau bermaksud mengkhianati ibumu sendiri dengan memihak musuhnya? Itu tidak manusiawi. Bahkan aku, yang bukan apa-apanya, tergerak oleh wanita yang berani itu, hingga aku bersumpah akan memberikan segala bantuan yang dapat kuberikan padanya.”

“Aku tak peduli dengan pikiranmu. Aku akan pergi menjumpai Musashi, dan jangan mencoba menahanku. Dan kau, hei, gadis, bawa ke sini kimonoku! Tentunya sudah kering sekarang.”

Sambil mengangkat mata mabuknya, Kojiro memerintahkan, “Jangan sentuh kimono itu sebelum kuminta. Sekarang dengarkan, Matahachi, kalau kau punya rencana pergi dengan Musashi, setidaknya kau mesti bicara dulu dengan ibumu.”

“Aku akan pergi ke Edo dengan Musashi. Kalau aku berhasil di sana nanti, seluruh persoalan akan selesai dengan sendirinya.”

“Kedengarannya seperti kata-kata Musashi. Aku berani bertaruh, dia sudah mendiktemu. Biar bagaimana, tunggu sampai besok, dan aku akan pergi denganmu mencari ibumu. Kau mesti mendengarkan pendapatnya, sebelum melakukan sesuatu. Sementara itu, mari kita bersenang-senang. Mau atau tidak, kau mesti tinggal di sini dan minum denganku.”

Karena tempat itu rumah pelacuran, dan Kojiro tamu yang membayar, semua perempuan pun mendukungnya. Kimono Matahachi tidak juga datang, dan sesudah beberapa kali minum, ia tidak lagi menanyakannya.

Dalam keadaan sadar, Matahachi bukanlah tandingan Kojiro. Tapi dalam keadaan mabuk, ia dapat menjadi ancaman. Ketika siang beralih malam, ia mendemonstrasikan pada semua orang berapa banyak ia bisa minum. Ia minta dibawakan sake lagi, mengucapkan segala macam hal yang tak mesti diucapkannya, dengan mengumbar segala kekesalannya-singkatnya jadi betul-betul mengganggu. Waktu fajar, ia pingsan, dan waktu tengah hari baru ia sadar kembali.

Matahari kelihatan terang akibat hujan sore sebelumnya. Karena kata-kata Musashi terus bergema di dalam kepalanya, Matahachi ingin sekali mengusir setiap tetes sake yang diminumnya. Untunglah Kojiro masih tertidur di kamar lain. Ia menyelinap turun, memaksa gadis-gadis itu menyerahkan kimononya, dan lari menuju Seta.

Air merah berlumpur di bawah jembatan penuh dengan bunga sakura Ishiyamadera yang berjatuhan. Badai telah meruntuhkan tumbuhan rambat wisteria dan menghamburkan bunga kerria kuning ke mana-mana.

Sesudah lama mencari, akhirnya Matahachi bertanya di warung teh, dan di situ ia mendapat kabar bahwa orang yang membawa lembu itu menanti­nya sampai warung tutup. Karena sudah malam, orang itu pergi ke sebuah penginapan. Pagi harinya ia kembali lagi, tapi kerena tidak menjumpai temannya, ia meninggalkan surat yang diikatkannya pada cabang pohon itu.

Surat yang tampak seperti ngengat putih besar itu menyatakan, “Maaf, aku tak dapat menanti lebih lama. Susullah aku di jalan. Aku akan men­carimu.”

Matahachi cepat menyusuri Nakasendo, jalan raya yang menuju Edo lewat Kiso, tapi sampai Kusatsu belum juga ia dapat menyusul Musashi. Sesudah melewati Hikone dan Toriimoto, ia mulai was-was, mungkin Musashi telah lepas dari kejarannya. Sampai Celah Suribachi, ia menanti setengah hari, dan sepanjang waktu itu ia terus memperhatikan jalan.

Baru sesudah sampai di jalan menuju Mino, Matahachi teringat kata-­kata Kojiro.

“Apa aku memang ditipu?” tanyanya pada diri sendiri. “Apa Musashi betul-betul tidak bermaksud pergi denganku?”

Sesudah agak jauh kembali melewati jalan yang sama dan memeriksa juga jalan-jalan cabangnya, akhirnya tampak olehnya Musashi di luar kota Nakatsugawa. Semula ia girang sekali, tapi ketika ia sudah dekat dan melihat bahwa orang di atas lembu itu Otsu, ia segera diamuk rasa cem­buru.

“Sungguh tolol aku,” geramnya, “mulai dari si bangsat itu mengajakku pergi ke Sekigahara sampai menit ini juga! Nah, dia tak bisa selamanva menginjak-injakku macam ini. Bagaimanapun, aku mesti membalasnya… dan segera!”

Air Terjun Jantan dan Betina

“HUU, PANAS!” seru Jotaro. “Belum pernah saya berkeringat macam ini waktu naik gunung. Di mana kita sekarang?”

“Dekat Celah Magome,” kata Musashi. “Orang bilang, ini bagian paling sukar dari jalan raya ini.”

“Ah, saya tak tahu, tapi ini memang berat. Senang rasanya sampai Edo. Di sana banyak orang-betul, Otsu?”

“Memang banyak, tapi aku takkan buru-buru sampai di sana. Lebih baik aku menghabiskan waktu di jalan sepi macam ini.”

“Itu karena Kakak naik lembu. Akan lain pendapat Kakak kalau jalan kaki. Lihat! Ada air terjun di sana!”

“Mari kita istirahat,” kata Musashi.

Ketiga orang itu masuk jalan setapak yang sempit. Di mana-mana tanah berselimut bunga-bungaan liar, dan masih lembap oleh embun pagi. Sampai di sebuah gubuk kosong, pada sebuah batu yang menghadap ke air terjun, mereka berhenti. Jotaro membantu Otsu turun dari lembu, kemudian mengikatkan binatang itu ke sebatang pohon.

“Lihat, Musashi,” kata Otsu. Ia menuding sebuah papan nama, bunyinya: “Meoto no Taki”. Alasan nama itu, yang berarti “Air Terjun Jantan dan Betina”, mudah dimengerti karena batu-batu karang membelah air terjun itu menjadi dua bagian, yang besar tampak sangat jantan, yang lain kecil lembut.

Lembah dan riam di bawah air terjun itu merangsang tenaga baru dalam tubuh Jotaro. Sambil setengah melompat setengah menari ia turun ke pinggir yang terjal, ia berseru bersemangat ke atas, “Ada ikan di bawah sini!”

Beberapa menit kemudian ia berteriak, “Saya bisa menangkapnya! Saya lempar dengan batu, dan satu terguling mati.”

Tak lama sesudah itu, suaranya yang hampir tidak kedengaran akibat deru air terjun menggema dari jurusan lain lagi.

Musashi dan Otsu duduk dalam bayangan gubuk kecil, di antara pelangi kecil yang tak terhitung jumlahnya, yang diciptakan oleh matahari yang bersinar ke rumput basah.

“Ke mana perginya anak itu menurutmu?” tanya Otsu. “Dia sukar sekali diatur.”

“Begitu pendapatmu? Oh, aku lebih gawat daripada itu waktu seumur dia. Tapi Matahachi sebaliknya, betul-betul berkelakuan baik. Heran juga aku, di mana dia sekarang. Aku lebih kuatir tentang dia daripada tentang Jotaro.”

“Aku senang dia tak ada di sini. Sekiranya dia di sini, aku terpaksa menyembunyikan diri.”

“Kenapa? Kupikir dia akan mengerti kalau kita menjelaskan.”

“Tapi aku sangsi. Dia dan ibunya itu tidak macam orang-orang lain.”

“Otsu, apa betul kau takkan mengubah pikiranmu?”

“Tentang apa?”

“Maksudku, apa tak mungkin kau memutuskan ingin kawin dengan Matahachi?”

Wajah Otsu mengejang karena guncangan. “Tentu saja tidak!” jawabnya berang. Kelopak matanya berubah menjadi merah muda bunga anggrek. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, sementara getar kecil pada kerahnya yang putih seolah meneriakkan, “Aku milikmu, dan bukan milik siapa-siapa lagi!”

Musashi menyesali kata-katanya, dan menoleh memandang Otsu. Selama beberapa hari itu, ia telah memperhatikan permainan cahaya pada tubuh Otsu-pada malam hari seperti sinar lampu yang berkelip-kelip, pada siang hari seperti sinar hangat matahari. Melihat kulit Otsu yang berkilau oleh keringat, teringat olehnya kembang teratai. Karena dengan kasur jerami Otsu ia hanya dipisahkan oleh tabir rapuh, ia dapat mencium harum samar rambut hitam Otsu. Sekarang deru air menjadi satu dengan dentam darah­nya, dan ia merasa dirinya tertelan oleh suatu dorongan perkasa.

Mendadak ia berdiri dan pergi ke tempat yang diterangi matahari, di mana rumput musim dingin masih tinggi, kemudian duduk dengan beratnya dan menarik keluh panjang.

Otsu datang dan berlutut di sampingnya, merangkul lututnya dan men­julurkan lehernya untuk menengok wajah Musashi yang diam dan takut.

“Ada apa?” tanyanya. “Ada kata-kataku yang membuatmu marah? Maafkan aku, aku menyesal.”

Semakin tegang Musashi, dan semakin tajam pandangan matanya, semakin erat Otsu bergayut padanya. Kemudian tiba-tiba Otsu memeluknya. Ke­haruman serta kehangatan tubuhnya menguasai Musashi.

“Otsu!” teriak Musashi tak sabar, sambil menangkap Otsu dengan tangan­nya yang berotot, lalu mendorongnya sampai telentang di rumput.

Kerasnya pelukan Musashi membuat Otsu sesak napas. Ia memberontak untuk membebaskan diri, lalu meringkuk di samping Musashi.

“Tak boleh! Tak boleh kau melakukan itu!” jeritnya serak. “Bagaimana mungkin kau melakukan itu? Lebih-lebih kau…” Dan menangislah ia ter­sedu-sedu.

Nafsu Musashi yang menyala-nyala tiba-tiba mendingin oleh nada nyeri dan ngeri yang terpancar dari mata Otsu, dan mendadak sontak sadarlah Musashi akan dirinya. “Kenapa?” teriaknya. “Kenapa?” Karena malu dan marah, ia sendiri hampir saja menangis.

Kemudian Otsu pergi meninggalkan kantong bedak yang terjatuh dari kimononya. Sambil menatap kosong ke arahnya, Musashi mengerang, ke­mudian menunduk ke tanah dan membiarkan air mata nyeri dan kecewa jatuh ke rumput layu.

Ia merasa Otsu telah memperolok-olokkannya, menipunya, mengalahkan­nya, menyiksanya, dan mempermalukannya. Tidakkah kata-kata Otsu ­bibirnya, matanya, rambutnya, tubuhnya—telah mengundangnya? Tidakkah Otsu telah berusaha keras menyalakan api di dalam hatinya? Tapi ketika api telah menyala, ia lari ketakutan?

Ditinjau dari sudut logika yang salah, kelihatannya segala usahanya untuk menjadi manusia super telah gagal, dan segala perjuangan serta ke­sengsaraan yang dialaminya jadi tidak berarti sama sekali. la membenamkan wajahnya ke rumput. Dikatakannya pada diri sendiri bahwa tak ada per­buatannya yang salah, tetapi hati nuraninya tak terpuaskan.

Apa arti keperawanan bagi seorang gadis, yang hanya bisa memilikinya selama periode singkat dalam hidupnya—betapa berharga dan indahnya ke­perawanan itu baginya-sama sekali tak pernah terpikirkan oleh Musashi.

Tapi sementara bernapas dalam bau tanah itu, berangsur-angsur Musashi memperoleh kembali kendali dirinya. Dan ketika akhirnya ia memaksa dirinya berdiri, api yang mengamuk itu sudah lenyap dari matanya, dan wajahnya sudah bebas dari nafsu. Tak sengaja ia menginjak kantong bedak, dan berdiri memandang tanah dengan saksama, seakan-akan sedang mendengarkan suara pegunungan. Alisnya yang hitam lebat terjalin menjadi satu, seperti waktu ia terjun ke tengah pertempuran di bawah pohon pinus lebar itu.

Matahari bersembunyi di balik awan, dan jerit tajam seekor burung membelah udara. Angin berubah, dan secara tak kentara mengubah bunyi air yang jatuh.

Dengan hati berdebar, seperti hati burung layang-layang yang ketakutan, Otsu memperhatikan penderitaan Musashi itu dari balik pohon. Sadar bahwa ia telah melukainya dalam-dalam, ia ingin Musashi berada di sam­pingnya lagi, tapi betapa ingin pun ia berlari mendapatkan Musashi dan memohon maaf, tubuhnya tak hendak menurut. Untuk pertama kali ia sadar bahwa kekasih yang telah diserahi hatinya itu bukanlah pria penuh kebajikan seperti pernah dibayangkannya. Menemukan binatang yang telan­jang itu, berupa daging, darah, dan nafsu, matanya suram oleh kesedihan dan ketakutan.

Ia tadi lari, tapi baru dua puluh langkah, cinta telah menangkap dan menghentikan-nya. Sekarang, sesudah sedikit lebih tenang, ia mulai mem­bayangkan bahwa nafsu Musashi itu berbeda dengan nafsu laki-laki lain. Lebih dari apa pun di dunia ini, ia ingin meminta maaf dan meyakinkan Musashi bahwa ia tidak tersinggung oleh perbuatan Musashi.

“Dia masih marah,” pikirnya takut, tapi tiba-tiba sadarlah ia bahwa Musashi tidak ada lagi di depan matanya. “Oh, apa yang mesti kulakukan?”

Dengan gugup ia kembali ke gubuk kecil itu, tetapi di sana hanya ada kabut putih dingin dan gemuruh air yang seolah mengguncang pohon-­pohonan, mengacau segala getaran di sekitarnya.

“Otsu! Ada kejadian mengerikan! Musashi menceburkan diri ke air!” Teriakan kalut Jotaro itu datang dari tanjung yang menghadap lembah, sesaat sebelum ia mencekal batang wisteria dan mulai turun, berayun dari dahan ke dahan, seperti monyet.

Otsu tidak begitu jelas mendengar kata-kata Jotaro, tapi ia merasakan gentingnya kata-kata itu. Ia mengangkat kepala dan mulai merangkak menuruni jalan setapak yang terjal, tergelincir-gelincir oleh rumput liar, dan berpegangan pada batu-batuan.

Sosok tubuh yang tampak lewat cipratan dan kabut air itu menyerupai sebuah batu besar, tetapi itulah tubuh Musashi yang telanjang. Kedua tangannya terkatup dan kepalanya tunduk. Tubuh itu tampak kerdil di­bandingkan air setinggi dua puluh meter yang mengempaskannya.

Setengah jalan, Otsu berhenti dan menatap ngeri. Di seberang sungai, Jotaro juga berdiri terpaku.

“Sensei!’

“Musashi!”

Teriakan mereka tak pernah sampai ke telinga Musashi. Seribu naga perak bagaikan menggigit kepala dan bahunya, sedangkan mata seribu setan air meledak di sekitarnya. Kisaran-kisaran air menarik-narik kakinya, siap menyeretnya ke arah maut. Satu kekeliruan saja dalam bernapas, satu kesalahan saja dalam detak jantung, maka tumitnya akan kehilangan pegangan lemah atas dasar sungai yang berselimut ganggang itu, tubuhnya akan tersapu ke dalam aliran dahsyat, dan takkan ada jalan kembali. Paru-paru dan jantungnya seolah runtuh oleh beban tak terhitung—seluruh massa Pegunungan Magome—yang jatuh ke tubuhnya.

Hasratnya akan Otsu mati pelan-pelan, karena hasrat itu bersaudara dekat dengan watak pemarahnya. Tanpa watak itu, tak mungkin ia ikut Pertempuran Sekigahara atau melaksanakan satu pun dari segala prestasinya yang luar biasa. Tetapi bahayanya justru terletak pada kenyataan bahwa pada taraf tertentu, bertahun-tahun masa latihannya bisa menjadi tak berdaya menghadapi hasrat itu, dan menenggelamkannya kembali ke taraf binatang liar yang tidak berbudi. Dan melawan musuh seperti ini, musuh yang tak berbentuk dan tersembunyi, pedangnya sama sekali tak berguna.

Dengan bingung, kacau, dan sadar akan kekalahan besar yang dideritanya, ia berdoa semoga air yang menggila itu dapat mengembalikan kepadanya tuntutan disiplin yang sedang dikejarnya.

“Sensei! Sensei!” teriakan Jotaro berubah menjadi lolongan bercampur tangis. “Kakak tak boleh mati! Kakak jangan mati!” Ia ikut mengatupkan tangan di depan dada. Wajahnya berubah bentuk, seakan-akan ia ikut menanggung beban air itu, sengatannya, nyerinya, dan dinginnya.

Melihat ke seberang sungai itu, Jotaro tiba-tiba merasa lemas. Ia tak mengerti sama sekali apa yang dilakukan Musashi; rupanya Musashi bertekad tinggal di bawah aliran deras itu sampai mati, tapi sekarang Otsu… di mana Otsu? Ia yakin Otsu telah meloncat sampai mati ke sungai di bawah.

Tapi kemudian ia dengar suara Musashi mengatasi bunyi air. Kata-kata­nya tidak jelas. Ia pikir mungkin kata-kata itu dari kitab sutra, tapi ke­mudian… barangkali juga kata-kata itu sumpah serapah marah, umpatan pada diri sendiri.

Suara itu penuh kekuatan dan hidup. Bahu Musashi yang lebar dan tubuhnya yang berotot memancarkan kemudaan dan kekuatan, seakan-akan jiwanya telah dicuci, dan sekarang siap untuk memulai hidup kembali.

Jotaro mulai merasakan bahwa apa pun yang telah terjadi sudah lewat. Ketika cahaya matahari petang membentuk pelangi di atas air terjun, ia berseru, “Otsu!” Ia berharap Otsu telah meninggalkan sisi batu karang itu, karena menduga Musashi tidak berada dalam bahaya nyata. “Kalau dia yakin Musashi sehat-sehat saja,” pikirnya, “tak ada yang mesti kukuatirkan. Dia kenal Musashi lebih baik dariku, sampai ke dasar hatinya.”

Jotaro melompat-lompat dengan riangnya turun ke sungai. Ia menemukan tempat aliran yang sempit. Ia menyeberanginya dan naik ke tepi yang lain. Ia mendekat diam-diam, dan terlihat olehnya Otsu ada di dalam gubuk, meringkuk di lantai sambil mendekap kimono dan pedang Musashi ke dadanya.

Jotaro merasa air mata Otsu yang tak disembunyikan itu bukanlah air mata biasa. Dan walau tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, ia merasa itu urusan Otsu. Beberapa menit kemudian, ia menyelinap diam-diam kembali ke tempat lembu berbaring di rumput yang keputihan, dan me­nelentangkan diri di sampingnya.

“Dengan kecepatan begini, entah kapan bisa sampai di Edo,” katanya. ?


Cerita Novel Musashi buku 4, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp//?cat=45
[lihat: Lanjutan cerita]


0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar