Sabtu, 10 Mei 2008

Miyamoto Musashi, Buku 4-2


Cerita Novel Musashi buku 4, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar] [lihat: Cerita Sebelumnya]


Untuk bisnis, status samurai lebih bersifat menghalangi daripada mem­bantu. Dan lagi ada keuntungan-keuntungan yang pasti kalau orang menjadi orang biasa, terutama dalam hal kestabilan. Apabila meletus pertempuran, saudagar-saudagar besar biasanya dilindungi kedua pihak yang bertempur. Benar, mereka kadang-kadang dipaksa menyediakan perbekalan militer dengan pembayaran kecil atau tanpa pembayaran, tapi mereka menganggap beban ini sebagai sekadar pembayaran untuk mengganti harta benda yang hancur selama perang.

Selama berlangsungnya perang Onin tahun 1460-an dan 1470-an, seluruh daerah sekitar reruntuhan Jissoin diratakan dengan tanah, bahkan sekarang orang-orang yang menanam pohon di sana sering masih menemukan bagian-bagian pedang atau topi baja yang berkarat. Gedung kediaman Hon’ami adalah satu dari yang pertama dibangun di sekitar tempat icu sesudah perang.

Cabang Sungai Arisugawa mengalir melintasi tempat itu, mula-mula berkelok-kelok melintasi sekitar satu ekar kebun sayuran, kemudian meng­hilang ke tengah semak, dan akhirnya muncul lagi dekat sumur tak jauh dari depan bangunan utama. Ada satu cabangnya yang mengalir menuju sebuah warung teh sederhana dan kasar, di mana air jernihnya dipergunakan untuk upacara teh. Sungai itu merupakan sumber air bagi bengkel tempat pedang yang ditempa ahli seperti Masamune, Muramasa, dan Osafune, digosok dengan cermat. Karena bengkel itu suci bagi keluarga itu, maka ada tali yang digantungkan di atas jalan masuknya, seperti di kuil-kuil Shinto.

Hampir tanpa sepengetahuannya empat hari telah berlalu, dan Musashi memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum ia mendapat kesempatan menyampaikannya, Koetsu sudah berkata, “Kami barangkali tak banyak menghiburmu, tapi kalau engkau tidak bosan, tinggallah di sini semaumu. Di kamar belajarku ada buku-buku tua dan barang-barang menarik. Kalau kau suka memperhatikannya, lihatlah dengan sebebasnya. Sehari-dua hari lagi aku akan membakar mangkuk dan pinggan teh. Mungkin engkau akan suka melihatnya. Engkau akan melihat nanti bahwa keramik hampir sama menariknya dengan pedang. Mungkin engkau dapat membuat satu-dua model sendiri.”

Tersentuh oleh ramahnya undangan dan kata-kata tuan rumah bahwa takkan ada orang tersinggung kalau ia memutuskan untuk pergi seketika, Musashi memutuskan tinggal di situ dan menikmati suasana santai itu. Ia jauh dari merasa bosan. Kamar belajar itu berisi buku-buku dalam bahasa Cina dan Jepang, lukisan-lukisan gulung dari zaman Kamakura, salinan­salinan kaligrafi dari ahli-ahli Cina, dan berlusin-lusin karya lain lagi yang masing-masing dapat dengan senang dinikmati oleh Musashi untuk sehari atau lebih. Terutama la tertarik pada sebuah lukisan yang tergantung di ceruk kamar. Lukisan itu berjudul Buah Berangan oleh pelukis ulung Liang­k’ai dari zaman Sung. Lukisan itu kecil, sekitar enam puluh senti tingginya dan lima belas senti lebarnya, sudah demikian tua, sehingga tak mungkin orang mengatakan jenis kertas apa yang dipakai melukis.

Musashi duduk memandangnya pada jam-jam tertentu. Akhirnya pada suatu hari ia menyatakan pada Koetsu, “Saya yakin tak ada pelukis amatir awam yang dapat membuat lukisan seperti yang Bapak lukis, tapi ingin tahu juga saya, apakah saya tak dapat membuat lukisan sesederhana itu?”

“Sebaliknya,” jelas Koetsu. “Orang dapat belajar melukis seperti aku. Tetapi di dalam lukisan Liang-k’ai itu terdapat kedalaman dan keagungan spiritual yang tak dapat dicapai hanya dengan mempelajari seni.”

“Apakah benar demikian?” tanya Musashi heran. Dan ia pun diyakinkan bahwa memang demikianlah adanya.

Lukisan itu hanya memperlihatkan seekor bajing yang memperhatikan dua buah berangan yang jatuh. Yang satu terbuka dan yang lain masih utuh, seakan-akan ia ingin mengikuti dorongan alamiahnya untuk melalap buah berangan itu, tetapi ragu-ragu karena takut pada durinya. Karena lukisan itu dibuat bebas sekali dengan tinta hitam, maka mulanya Musashi merasa lukisan itu tampak naif. Tapi sesudah berbicara dengan Koetsu, semakin diperhatikannya semakin jelas ia melihat bahwa seniman itu benar.

Pada suatu sore, Koetsu datang dan berkata, “Engkau memperhatikan lukisan Liang-k’ai lagi? Rupanya kau suka sekali dengannya. Kalau nanti kau pergi, gulung itu dan bawa pulang. Aku senang engkau memilikinya.”

Tapi Musashi keberatan. “Berat rasanya saya menerimanya. Terlalu lama tinggal di rumah ini saja sudah kurang baik buat saya. Tentunya lukisan ini pusaka keluarga!”

“Tapi engkau menyukainya, kan?” Orang tua itu tersenyum ramah. “Kau boleh memilikinya, kalau kau mau. Aku betul-betul tidak membutuhkannya. Lukisan mesti dimiliki oleh orang-orang yang betul-betul mencintai dan menghargainya. Aku yakin itulah yang diinginkan oleh si seniman.”

“Kalau demikian pendapat Bapak, saya bukan orangnya yang mesti memiliki lukisan seperti itu. Terus terang, sudah beberapa kali saya berpikir, senang rasanya memilikinya, tapi kalau saya memilikinya, apa yang akan saya buat dengannya? Saya hanya pemain pedang pengembara. Saya tak pernah tinggal di satu tempat.”

“Saya kira memang repot sekali membawa-bawa lukisan ke mana kita pergi. Pada umur seperti sekarang ini barangkali engkau pun belum ingin memiliki rumah sendiri, tapi kupikir setiap orang mesti memiliki tempat yang dia pandang sebagai rumahnya, sekalipun tak lebih dari sebuah gubuk kecil. Tanpa rumah, orang bisa kesepian-merasa bingung. Bagaimana kalau engkau mengumpulkan balok dan kemudian membangun pondok di sudut kota yang tenang?”

“Tak pernah saya memikirkan hal itu. Saya ingin melakukan perjalanan ke tempat-tempat jauh, pergi ke ujung terjauh Kyushu, dan melihat bagaimana orang hidup di bawah pengaruh asing di Nagasaki. Dan saya ingin sekali melihat ibu kota baru yang sedang dibangun oleh shogun di Edo; juga melihat gunung-gunung besar dan sungai-sungai di Honshu Utara. Barangkali di dalam hati ini, saya hanya seorang pengelana.”

“Engkau sama sekali bukan satu-satunya. Itu wajar sekali, tapi kau harus menghindari godaan untuk berpikir bahwa impian-impian itu hanya dapat ditujukan di tempat yang jauh letaknya. Kalau engkau berpikir seperti itu, engkau akan mengabaikan kemungkinan dalam lingkunganmu yang terdekat. Aku kuatir kebanyakan orang muda memang berpikir demikian, lalu kecewa dengan hidupnya.” Koetsu tertawa. “Tapi orang tua malas macam aku ini tak ada urusan berkhotbah kepada orang muda. Bagaimanapun, aku datang kemari bukan untuk bicara tentang itu. Aku datang untuk mengajakmu pergi malam ini. Pernah engkau pergi ke daerah lokalisasi?”

“Daerah geisha?”

“Ya. Aku punya teman, namanya Haiya Shoyu. Walaupun umurnya sudah lanjut, selalu ada saja yang dilakukannya. Baru saja aku menerima suratnya yang mengundangku ikut dia di dekat Jalan Rokujo malam ini. Aku ingin tahu apa engkau mau ikut.”

“Tidak, saya kira tidak.”

“Kalau engkau benar-benar tak ingin, aku takkan memaksa, tapi kupikir akan menarik untukmu.”

Myoshu, yang diam-diam datang mendekat dan mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian, menyela, “Kupikir kau mesti pergi, Musashi. Kesempatan melihat hal yang belum kaulihat. Haiya Shoyu bukan orang yang mesti dihadapi dengan kaku dan resmi, dan aku percaya kau akan menikmati pengalaman itu. Biar bagaimana, pergilah!”

Biarawati tua itu pergi ke lemari dan megeluarkan kimono dan obi. Pada umumnya orang-orang tua berusaha benar mencegah orang muda mem­buang-buang waktu luangnya di rumah geisha, tapi Myoshu begitu ber­semangat, seakan ia sendiri pun siap pergi.

“Nah, coba lihat, mana kimono yang kamu suka?” tanyanya. “Obi ini cocok, tidak?” Sambil terus mengoceh, ia sibuk mengeluarkan barang­barang untuk Musashi, seakan Musashi anaknya. Ia pilih kotak obat pernis, sebilah pedang pendek dekoratif, dan sebuah dompet brokat. Kemudian ia ambil beberapa mata uang emas dari laci uang dan ia masukkan dalam dompet itu.

“Yah,” kata Musashi yang kini hampir hilang enggannya, “kalau Ibu mendesak, saya akan pergi, tapi saya takkan pantas dengan barang-barang bagus itu. Saya memakai kimono tua yang saya pakai ini saja. Saya tidur dengan kimono ini, kalau sedang di udara terbuka. Saya terbiasa dengannya.”

“Oh, kamu tak boleh begitu!” kata Myoshu tegas. “Kau sendiri barangkali tak apa-apa, tapi pikirkan orang-orang lain! Di kamar yang indah itu nanti kau bisa kelihatan tak lebih dari gombal kotor. Orang pergi ke sana untuk bersenang-senang dan melupakan kesulitan hidup. Mereka ingin dilingkari barang-barang bagus. Jangan mengira ke sana itu cuma bersolek supaya kau tampak seperti orang lain. Dan lagi pakaian ini tidak seindah yang dipakai orang-orang lain. Cuma bersih dan rapi. Nah, pakailah sekarang!”

Musashi menurut.

Sesudah ia berpakaian, kata Myoshu riang, “Nah, kelihatan tampan sekali kamu sekarang.”

Ketika akan berangkat, Koetsu pergi ke altar Budha di rumah dan menyalakan lilin di situ. Ia dan ibunya anggota setia sekte Nichiren.

Di pintu depan, Myoshu meletakkan dua pasang sandal dengan tali baru. Ketika mereka sedang mengenakannya, Myoshu berbisik-bisik dengan salah seorang pembantu yang berdiri menanti untuk menutup gerbang depan sesudah mereka pergi.

Koetsu mengucapkan selamat tinggal pada ibunya, tapi ibunya cepat memandangnya, katanya, “Tunggu sebentar.” Wajahnya tampak kusut karena kerutan kekuatiran.

“Ada apa?”

“Dia bilang tiga samurai bertampang angker baru saja datang dan bicara kasar sekali. Apa menurutmu penting?”

Koetsu memandang Musashi dengan nada bertanya.

“Tak ada alasan untuk takut,” kata Musashi menenangkan. “Mereka barangkali dari Keluarga Yoshioka. Mereka bisa menyerang saya, tapi mereka tak punya soal dengan Bapak.”

“Salah seorang pembantu itu mengatakan beberapa hari lalu terjadi hal serupa. Cuma seorang samurai, tapi dia datang lewat gerbang tanpa diper­silakan dan melongok lewat pagar dekat jalan ke warung teh, ke arah bagian rumah tempat kamu tinggal.”

“Kalau begitu, saya yakin mereka orang-orang Yoshioka.”

“Kupikir juga begitu,” kata Koetsu menyetujui. Ia menoleh kepada penjaga gerbang yang gemetaran. “Apa kata mereka?”

“Para pekerja sudah pulang semua, dan saya baru saja mau menutup gerbang, tapi tiba-tiba samurai itu mengepung saya. Seorang dari mereka yang kelihatan gampang marah mengeluarkan surat dari dalam kimononya dan memerintahkan saya menyampaikan surat itu kepada tamu yang tinggal di sini.”

“Dia tidak bilang Musashi?”

“Ya, kemudian dia bilang ‘Miyamoto Musashi’. Dan dia bilang Musashi sudah tinggal di sini beberapa hari.”

“Lalu apa katamu?”

“Bapak sudah kasih perintah tidak bicara tentang Musashi kepada orang lain, jadi saya menggeleng dan bilang tak ada orang dengan nama itu di sini. Dia marah dan menyebut saya pembohong, tapi seorang dari mereka yang agak lebih tua dan selalu senyum menenangkan dia dan mengatakan mereka akan mencari jalan menyampaikan surat itu langsung. Saya tak mengerti apa yang dia maksud, tapi kedengarannya seperti ancaman. Lalu mereka pergi ke sudut di sana itu.”

“Bapak sebaiknya berjalan sedikit di depan saya,” kata Musashi. “Saya tak ingin Bapak terluka atau terlibat kesulitan karena saya.”

Koetsu menjawab dengan tertawa, “Tak perlu kuatir dengan aku, terutama kalau kau yakin mereka itu orang-orang Yoshioka. Aku sama sekali tidak takut pada mereka. Mari jalan.”

Sesudah berada di luar, Koetsu kembali melongokkan kepala ke pintu kecil pada gerbang dan memanggil, “Bu!”

“Ada yang terlupa?” tanya ibunya.

“Tidak, cuma terpikir olehku, kalau Ibu kuatir denganku aku dapat menyuruh orang ke Shoyu, mengatakan padanya aku tak dapat datang malam ini.”

“Oh, tidak. Aku lebih takut akan terjadi apa-apa dengan Musashi. Tapi kupikir dia takkan kembali, biarpun kau mencoba menghentikannya. Pergilah. dan mudah-mudahan senang!”

Koetsu menyusul Musashi, dan ketika mereka sudah berjalan santai menyusuri tepi sungai, Koetsu berkata, “Rumah Shoyu di sana, di Jalan Ichijo dan Jalan Horikawa. Barangkali dia sudah siap-siap sekarang, jadi mari kita menjemputnya. Rumahnya di tengah perjalanan.”

Hari masih terang. Berjalan sepanjang sungai itu menyenangkan, lebih-­lebih karena sedang senggang sekali pada waktu semua orang lain sedang sibuk.

Kata Musashi, “Saya sudah pernah mendengar nama Haiya Shoyu, tapi saya tidak tahu apa-apa tentang dia.”

“Aku heran kau belum pernah mendengar tentangnya. Dia terkenal ahli dalam membuat sajak berangkai.”

“Oh! Jadi, dia penyair!”

“Ya, tapi tentu saja dia tidak hidup dari menulis sajak. Dia berasal dari keluarga saudagar Kyoto lama.”

“Dari mana dia mendapat nama Haiya?”

“Itu nama usahanya.”

“Apa yang dia jual?”

“Namanya itu artinya ‘penjual abu’, dan memang itu yang dia jual abu.”

“Abu?”

“Ya, abu itu dipakai untuk mencelup kain. Oh, itu usaha besar. Dia menjualnya pada serikat-serikat pencelup besar di seluruh negeri. Pada permulaan zaman Ashikaga, perdagangan abu dikendalikan oleh agen shogun, tapi kemudian diserahkan kepada grosir swasta. Di Kyoto ada tiga rumah grosir besar, dan Shoyu satu di antaranya. Dia sendiri tentu saja tidak perlu kerja. Dia sudah berhenti kerja dan hidup tenteram. Lihat ke sana itu, kau bisa melihat rumahnya yang gerbangnya bergaya itu.”

Sementara mendengarkan, Musashi mengangguk-angguk, tapi perhatiannya teralih kepada rasa di lengan kimononya. Lengan sebelah kanan melambai­lambai ringan oleh angin, tapi lengan kiri tak bergerak sama sekali. Ia masukkan tangannya dan ia keluarkan sebuah benda, cukup untuk melihat barang apa itu-tali kulit ungu yang baik samakannya, seperti yang biasa dipakai para prajurit untuk mengikat lengan kimono waktu berkelahi. “Myoshu,” pikirnya. “Hanya dia yang mungkin memasukkannya.”

Ia menoleh ke belakang dan tersenyum pada orang-orang lelaki di belakang mereka. Sepengetahuannya, sejak ia dan Koetsu keluar dari Jalan Hon’ami, mereka membuntutinya pada jarak yang cukup hati-hati.

Senyuman itu agaknya melegakan hati ketiga orang itu. Mereka berbisik-­bisik sedikit, lalu mengambil langkah lebih panjang.

Tiba di rumah Haiya, Koetsu membunyikan genta di pintu gerbang, dan seorang pembantu yang membawa sapu datang mempersilakan mereka. Ketika Koetsu melewati pintu gerbang dan berada di halaman muka, barulah ia tahu bahwa Musashi tidak bersamanya. Sambil menoleh ke pintu gerbang ia berseru, “Masuk, Musashi. Tak usah ragu-ragu.”

Ketiga samurai itu mengepung Musashi, menyorongkan siku, dan men­cengkeram pedang. Koetsu tak dapat menangkap apa yang mereka katakan kepada Musashi dan apa jawaban lirih Musashi.

Musashi minta Koetsu untuk tidak menunggu, dan Koetsu menjawab dengan nada tenang sekali, “Baik, aku di rumah itu. Ikutlah aku nanti, begitu engkau selesai dengan urusanmu.”

Salah seorang samurai itu berkata, “Kami di sini bukan untuk berbantah tentang apakah Anda sudah lari sembunyi atau tidak. Nama saya Otaguro Hyosuke. Saya seorang dari Sepuluh Pemain Pedang Perguruan Yoshioka. Saya membawa surat dari adik Seijuro, Denshichiro.” Ia mengeluarkan surat itu dan memperlihatkannya kepada Musashi. “Silakan baca, dan berikan balasannya segera.”

Musashi membukanya biasa saja, membacanya cepat, dan katanya, “Saya terima.”

Hyosuke memandangnya curiga. “Anda yakin?”

Musashi mengangguk. “Yakin sekali.”

Sikap Musashi yang tidak formal itu membuat mereka tak lagi berjaga­-jaga.

“Kalau Anda tidak memenuhi janji, Anda takkan dapat lagi memper­lihatkan muka di Kyoto.”

Pandangan mata Musashi disertai senyum simpul, tapi la tidak mengatakan sesuatu.

“Anda puas dengan persyaratannya? Tak banyak lagi waktu buat Anda mempersiapkan diri.”

“Saya sudah siap,” jawab Musashi tenang.

“Kalau begitu, kami akan bertemu lagi dengan Anda malam ini.”

Ketika Musashi melewati gerbang, Hyosuke mendekatinya lagi dan ber­tanya, “Anda akan di sini sampai waktu yang sudah ditentukan itu?”

“Tidak. Tuan rumah mengajak saya pergi ke daerah lokalisasi dekat Jalan Rokujo.”

“Daerah lokalisasi?” tanya Hyosuke heran. “Kalau begitu, Anda di sini atau di sana. Kalau Anda terlambat, akan saya kirim orang menjemput Anda. Saya percaya Anda takkan menggunakan tipu daya.”

Musashi sudah membalikkan badan dan memasuki halaman depan, satu langkah yang membawanya ke suatu dunia lain.

Batu-batu pijakan yang bentuknya tidak teratur dan bertebaran secara asal saja di halaman itu kelihatan begitu alamiah. Di kiri-kanan terdapat rumpun bambu basah, pendek seperti pakis, di sana-sini disela rebung yang lebih tinggi, tidak lebih besar dari kuas tulis. Ketika ia berjalan terus, tampaklah olehnya atap bangunan utama, kemudian pintu depan, sebuah rumah kecil terpisah dan rumah musim panas di halaman. Masing-masing ikut menciptakan suasana kuno yang patut dimuliakan dan tradisi lama. Di sekitar semua bangunan itu tumbuh pohon-pohon pinus tinggi yang mengingatkan orang pada kemakmuran dan kenyamanan.

Musashi mendengar orang bermain bola sepak. Bunyi gedebak-gedebuk itu sering terdengar dari belakang dinding rumah persemayaman para bangsawan istana. Ia heran mendengarnya dari rumah saudagar.

Sampai di rumah, ia dipersilakan masuk ruangan yang menghadap halaman. Dua pelayan masuk membawa teh dan kue-kue, seorang antaranya menyampaikan bahwa tuan rumah akan segera datang. Melihat tingkah laku para pelayan, Musashi dapat mengatakan bahwa mereka terlatih sempurna.

Koetsu berbisik, “Sesudah matahari terbenam, udara dingin, ya?” Ia berharap agar shoji ditutup, tapi ia tidak memintanya karena Musashi rupanya menikmati pemandangan kembang prem. Koetsu melayangkan juga mata ke arah pemandangan itu. “Aku melihat ada awan di atas Gunung.” ucapnya. “Kukira dari utara. Apa engkau tidak kedinginan?”

“Tidak terlalu,” jawab Musashi jujur, sama sekali tidak menangkap isyarat temannya.

Seorang pelayan membawa tempat lilin, dan Koetsu menggunakan kesempatan itu untuk menutup shoji. Musashi jadi sadar akan suasana ruangan ­itu, damai. Sambil mendengarkan suara-suara yang datang dari halaman dalam rumah, ia terpukau oleh tiadanya sama sekali sifat bermegah-megah, seakan-akan dekorasi lingkungan itu dengan sengaja dibuat sesederhana mungkin. Bahkan terbayang olehnya dirinya sedang berada di kamar sebuah pertanian besar di pedesaan.

Haiya Shoyu memasuki ruangan, katanya, “Saya minta maaf merepotkan Anda sekalian menunggu demikian lama.” Suaranya yang terbuka, bersemangat, dan mengandung kemudaan itu berlawanan dengan suara Koetsu lembut diseret-seret. Orangnya kurus seperti burung bangau, umurnya sepuluh tahun lebih tua dari temannya, tapi wataknya periang. Ketika Koetsu menjelaskan tentang Musashi, ia mengatakan. “Jadi Anda ini kemenakan Matsuo Kaname? Saya kenal baik dengan dia.’

Perkenalan Shoyu dengan pamannya itu tentunya lewat keluarga pikir Musashi yang mulai merasakan eratnya hubungan antara saudagar kaya dengan orang-orang istana.

Tanpa berpanjang kata, saudagar tua yang gesit itu berkata, “Mari kita jalan sekarang. Tadinya saya bermaksud pergi sementara hari masih terang, supaya kita dapat bercengkerama. Tapi karena sekarang sudah gelap, aku pikir kita mesti panggil joli. Saya percaya, orang muda ini ikut kita.”

Joli pun dipanggil, dan ketiga orang itu berangkat, Shoyu dan Koetsu di depan, dan Musashi di belakang. Itulah pertama kali Musashi naik joli.

Ketika mereka sampai Lapangan Berkuda Yanagi, para pemikul sudah mengepulkan uap putih.

“Oh, dingin!” keluh salah seorang. “Anginnya menusuk-nusuk, ya?”

“Padahal katanya ini musim semi!”

Lentera mereka terayun ke sana kemari, berkelip-kelip tertiup angin. Awan gelap di atas kota mengalamatkan datangnya cuaca yang lebih buruk lagi sebelum malam berlalu. Di seberang lapangan berkuda, lampu-lampu kota bersinar penuh semarak. Musashi mendapat kesan seolah-olah lautan kunang-kunang berkelip-kelip riang di tengah angin yang dingin jernih.

“Musashi!” panggil Koetsu dari joli tengah. “Kita ke sana itu. Rasanya aneh mendadak pergi ke sana, ya?” Ia menjelaskan bahwa sampai tiga tahun lalu, daerah lokalisasi itu terletak di Jalan Nijo, dekat istana, tapi kemudian Hakim Itakura Katsushige memindahkannya, karena suara nyanyian dan mabuk-mabukan pada malam hari mengganggu sekali. Ia mengatakan bahwa seluruh daerah itu berkembang pesat. Semua mode baru berasal dari tengah deretan lampu itu.

“Kita hampir dapat mengatakan bahwa suatu kebudayaan baru tercipta di sana.” Sambil berhenti dan mendengarkan sebentar dengan saksama, ia menambahkan, “Engkau dapat mendengarnya, kan? Itu suara dawai dan nyanyian.”

Musashi belum pernah mendengar jenis musik itu.

“Alat musiknya shamisen, versi yang sudah dikembangkan dari alat musik bersenar tiga dari Kepulauan Ryukyu. Banyak sekali lagu baru diciptakan daerah ini, kemudian tersebar di tengah penduduk biasa. Jadi, kau dapat mengerti, bagaimana berpengaruhnya daerah ini dan mengapa ukuran-­ukuran kesopanan tertentu mesti dipertahankan, sekalipun daerah itu agak terpencil dari bagian kota yang lain.”

Mereka membelok ke salah satu jalan lain. Cahaya lampu dan lentera gemilang yang tak terhitung jumlahnya dan bergantungan di pohon-pohon Liu tercermin dalam mata Musashi. Daerah itu tetap memakai nama lama sebelum dipindahkan, yaitu Yanagimachi, Kota Pohon Liu, karena pohon Liu sudah lama dihubungkan orang dengan kebiasaan minum dan membuang­buang waktu.

Koetsu dan Shoyu dikenal orang di tempat yang mereka masuki itu. Sambutan orang terasa menjilat, namun lucu. Segera menjadi jelas bahwa di sini mereka menggunakan nama-nama julukan atau “nama ejekan”. Koetsu dikenal dengan nama Mizuochi-sama-Tuan Air Terjun-akibat sungai-sungai yang melintasi tanah miliknya, sedangkan Shoyu adalah Funabashi-sama-Tuan Jembatan Perahu-akibat jembatan ponton yang ada di dekat rumahnya.

Kalau Musashi menjadi pengunjung tetap tempat itu, pasti ia memperoleh nama julukan sendiri, karena di tanah antah berantah ini hanya sedikit orang menggunakan nama sebenarnya. Hayashiya Yojibei hanyalah nama samaran pemilik rumah yang mereka kunjungi itu, tetapi la lebih sering dipanggil Ogiya, nama perusahaannya. Bersama dengan Kikyoya, Ogiva adalah satu dari dua rumah yang paling terkenal di daerah itu. Hanya dua itu saja yang dikenal betul-betul bereputasi kelas satu. Perempuan cantik yang paling berkuasa di Ogiya adalah Yoshino Dayu, sedangkan rekanm-a di Kikyoya adalah Murogimi Dayu. Kemasyhuran kedua wanita itu di seluruh kota hanya dapat tersaingi oleh kemasyhuran daimyo terbesar.

Sekalipun Musashi berusaha keras untuk tidak menganga, ia terkagum­kagum oleh keanggunan lingkungan yang mendekati keanggunan istana-­istana paling mewah itu. Langit-langitnya yang rumit, lubang-lubang anginnya yang penuh ukiran dan sulaman, susuran tangganya yang belekuk-lekuk indah, dan kebun-kebun dalamnya yang dirawat dengan teliti-semuanya merupakan pesta bagi mata yang memandang. Karena sibuk menikmati lukisan pada daun pintu kayu, ia tak sadar teman-temannya telah jauh di depan, sampai Koetsu kembali menjemputnya.

Pintu-pintu warna perak dari kamar yang mereka masuki berpendar-­pendar oleh sinar lampu. Satu sisi menghadap kebun gaya Kobori Enshu. Pasirnya yang digaruk baik-baik dan susunan batunya mengingatkan orang pada pemandangan gunung di Tiongkok, seperti dapat dilihat dalam lukisan ­zaman Sung.

Shoyu mengeluh kedinginan, ia duduk di bantalan dan menguncupkan bahunya. Koetsu duduk juga dan mempersilakan Musashi berbuat sama. Tak lama kemudian, gadis-gadis pelayan datang membawa sake hangat.

Melihat mangkuk yang disodorkan kepada Musashi mendingin, Shoyu jadi mendesak. “Minumlah, anak muda,” katanya, “dan ambil yang panas.”

Sesudah hat itu berulang dua-tiga kali, tingkah Shoyu mulai mendekati kekerasan. “Kobosatsu!” katanya kepada salah seorang gadis pelayan. “Suruh dia minum! Kamu, Musashi! Kenapa kamu? Kenapa tidak minum?”

“Saya minum, Pak,” protes Musashi.

Orang tua itu sudah sedikit pusing. “Ah, kurang baik itu. Kamu punya semangat!”

“Saya memang bukan peminum.”

“Maksudmu, kamu bukan pemain pedang yang kuat, kan?”

“Barangkali betul juga,” kata Musashi lunak, dan menertawakan penghinaan itu.

“Kalau kamu kuatir minum itu mengganggu pelajaranmu atau meng­hilangkan keseimbanganmu atau melemahkan daya kemauanmu atau men­cegahmu memasyhurkan nama, artinya kamu tak punya keberanian menjadi petarung.”

“Ah, bukan itu soalnya. Hanya ada satu masalah kecil.”

“Apa masalah itu?”

“Minum bikin saya ngantuk.”

“Nah, kamu bisa pergi tidur di sini atau di mana saja di tempat ini. Tak ada yang keberatan.” Sambil menoleh kepada gadis-gadis, katanya, “Orang muda ini takut mengantuk kalau dia minum. Kalau dia ngantuk, masukkan dia ke tempat tidur!”

“Oh, dengan senang hati!” kata gadis-gadis itu bersama-sama sambil tersenyum malu-malu kucing.

“Kalau dia tidur, harus ada yang bikin dia tetap hangat. Koetsu, yang mana baiknya?”

“Ya, yang mana, ya?” kata Koetsu, tak mau terlibat.

“Sumigiku Dayu tak mungkin, dia istriku yang manis. Dan engkau sendiri tak mau kalau mesti Kobosatsu Dayu. Ada si Karakoto Dayu. Ah, tapi dia tak cocok. Terlalu keras untuk mengawani.”

“Apa Yoshino Dayu tidak datang?” tanya Koetsu.

“Betul. Dia yang paling cocok! Bahkan tamu kita yang enggan ini akan senang padanya. Ingin tahu juga aku, kenapa dia tak ada di sini sekarang. Tolong panggil dia. Mau kutunjukkan dia pada samurai muda ini.”

Sumigiku keberatan. “Yoshino tidak seperti kami. Dia punya banyak langganan, dan dia takkan lekas datang memenuhi panggilan.”

“Oh, dia akan datang—untukku! Katakan aku di sini, dia akan datang, tak peduli sedang dengan siapa. Pergi sana panggil dia!” Shoyu menegakkan kepala, memandang ke sekitar, dan berteriak kepada gadis-gadis kecil pembantu para pelacur yang kini sedang bermain-main di kamar sebelah, “Rin’ya ada di situ?”

Rin’ya sendiri yang menyahut.

“Ke sini sebentar. Kamu biasa meladeni Yoshino Dayu, kan? Kenapa dia tak ada di sini? Katakan padanya Funabashi di sini, dia mesti datang sekarang juga. Kalau bisa bawa dia kemari, kukasih kamu hadiah.”

Rin’ya tampak sedikit bingung. Matanya membelalak, tapi sebentar kemudian la memberi isyarat setuju. Anak itu sudah menunjukkan tanda­tanda akan menjadi cantik sekali, dan hampir pasti bahwa ia akan menjadi pengganti Yoshino yang terkenal itu dalam angkatan berikutnya. Tapi ia baru berumur sebelas tahun. Baru saja sampai di gang luar dan menutup pintu di belakangnya, ia sudah bertepuk tangan dan memanggil-manggil keras, “Uneme, Tamami, Itonosuke! Lihat sini!”

Ketiga gadis itu berlari keluar dan mulai bertepuk-tepuk tangan dan berteriak-teriak gembira menemukan salju di luar.

Orang-orang menengok ke luar untuk melihat kenapa anak-anak itu begitu ramai. Kecuali Shoyu, semua senang melihat pembantu-pembantu muda itu berkicau dengan riangnya, mencoba menerka-nerka apakah pagi berikutnya salju masih akan ada di tanah. Rin’ya sudah lupa akan apa yang dikerjakannya dan berlari ke halaman untuk bermain di salju.

Karena tak sabar, Shoyu menyuruh salah seorang pelacur mencari Yoshino Dayu. Pelacur itu kembali dan berbisik ke telinganya, “Yoshino mengatakan dia senang sekali dapat berkumpul dengan Bapak, tapi tamunya tidak meng­izinkannya.”

“Tidak mengizinkannya! Lucu! Perempuan lain boleh dipaksa melakukan suruhan langganannya, tapi Yoshino bisa melakukan apa saja yang dia mau. Atau barangkali dia sudah membiarkan dirinya dibeli dengan uang sekarang?”

“Oh, tidak, tapi tamu yang ditemaninya malam ini keras kepala sekali. Tiap kali Yoshino mengatakan akan pergi, tamu itu mendesak keras lagi supaya Yoshino tinggal.”

“Hm. Kukira memang tak seorang pun di antara langganan itu meng­hendaki Yoshino pergi. Tapi dengan siapa dia sekarang?”

“Yang Dipertuan Karasumaru.”

“Yang Dipertuan Karasumaru?” ulang Shoyu disertai senyum ironis. “Apa dia sendirian?”

“Tidak.”

“Bersama beberapa sahabatnya yang biasa?”

“Ya.”

Shoyu menepuk lututnya sendiri. “Oh, ini bisa menarik. Salju sedang baik sekarang, sake juga bagus, dan kalau ada Yoshino, segalanya akan bagus sekali. Koetsu, mari kita menulis kepada Yang Dipertuan. Coba. Nona, ambilkan aku tempat tinta dan kuas.”

Dan ketika gadis itu meletakkan alat-alat tulis di depan Koetsu, katanya. “Apa yang mesti saya tulis?”

“Sajak panjang dan bagus. Prosa bisa juga, tapi sajak lebih baik. Yang Dipertuan Karasumaru salah seorang penyair kita yang terkemuka.”

“Saya sangsi apakah saya bisa membuatnya. Yang kita inginkan syair untuk meyakinkan dia agar menyerahkan Yoshino kepada kita, kan?”

“Betul.”

“Kalau sajaknya tidak bagus, tak akan bisa mengubah pikirannya. Tapi sajak yang baik tidak mudah ditulis seketika. Bagaimana kalau engkau menulis baris-baris pertamanya, dan aku selebihnya?”

“Hmm. Mari kita lihat, apa yang dapat kita lakukan.” Shoyu mengambil kertas dan menulis:

Ke gubuk kami yang hina

Biarlah datang sebatang pohon ceri, Pohon ceri dari Yoshino.

“Kurasa bagus,” kata Koetsu, lalu menulis:

Bunga-bunga gemetar karena dingin Di tengah awan di atas kemuncak.

Shoyu senang bukan main. “Bagus sekali,” katanya. “Ini mestinya dapat menarik Yang Dipertuan dari para pengiringnya yang mulia—’orang-orang di atas awan’ itu.” Kertas itu dilipat rapi, kemudian diserahkannya kepada Sumigiku, katanya sungguh-sungguh, “Gadis-gadis lain rasanya tidak memiliki martabat seperti yang kaumiliki, karena itu kutunjuk kau menjadi utusanku kepada Yang Dipertuan Kangan. Kalau tak salah, itulah namanya yang dikenal di tempat ini.” Nama julukan yang artinya “Tebing Gunung Dingin” itu dipakai untuk menunjukkan status agung Yang Dipertuan Karasumaru.

Sumigiku kembali tak lama kemudian. “Silakan, ini jawaban Yang Dipertuan Kangan,” katanya, dan dengan hormat meletakkan kotak surat yang dibuat dengan indahnya di depan Shoyu dan Koetsu. Mereka memandang kotak yang secara tak langsung menunjukkan sikap resmi itu, kemudian mereka saling pandang. Apa yang dimulai sebagai lelucon kecil ternyata berkembang menjadi lebih serius.

“Nah,” kata Shoyu. “Kita mesti lebih hati-hati lain kali. Mereka tentunya kaget. Pasti mereka tidak tahu bahwa kita di sini malam ini.”

Dengan harapan tetap dapat mengambil manfaat dari pertukaran itu, Shoyu membuka kotak dan merentangkan balasan. Tapi alangkah kagetnya mereka kerena tak ada yang mereka lihat kecuali secarik kertas berwarna krem, tanpa tulisan apa pun.

Karena pikirnya ada yang terjatuh dari tangannya, Shoyu menoleh ke sekitar, mencari lembar kedua, kemudian menengok kembali ke dalam kotak.

“Sumigiku, apa ini artinya?”

“Saya sendiri tak mengerti, Tuan. Yang Dipertuan Kangan menyerahkan kotak itu pada saya dan menyuruh saya menyerahkannya pada Tuan.”

“Apa dia mencoba menertawakan kita? Atau barangkali sajak kita terlalu tinggi untuknya, hingga dia menaikkan bendera putih tanda menyerah?”

Shoyu memang terbiasa menafsirkan segala sesuatu sesuai keinginannya sendiri, tapi kali ini ia tampak ragu-ragu. Ia serahkan kertas itu pada

Koetsu, dan tanyanya, “Apa pendapatmu?”

“Kupikir, maksudnya kita disuruh membaca.”

“Membaca kertas kosong?”

“Tapi kupikir, bagaimanapun dapat ditafsirkan.”

“Dapat? Lalu apa kira-kira maksudnya?”

Koetsu berpikir sejenak, “Salju… salju menutup segalanya.”

“Hmm. Mungkin juga kau benar.”

“Menjawab permintaan kita yang berupa pohon ceri dari Yoshino, surat ini bisa berarti:

Kala Anda memandang salju

Dan mengisi mangkuk sake Anda, Tanpa bunga pun …

“Dengan kata lain, ia menyatakan pada kita karena malam ini salju turun, kita mesti melupakan cinta, membuka pintu, dan mengagumi salju sambil minum. Atau setidak-tidaknya begitulah kesanku.”

“Sungguh menjengkelkan!” seru Shoyu tak senang. “Tak ada maksudku minum semaunya macam itu. Aku tak akan duduk berdiam diri. Biar ba­gaimana, kita tanamkan pohon Yoshino itu di kamar kita, dan kita kagumi kembangnya.” Ia jadi naik darah, dan membasahi bibirnya dengan lidah.

Koetsu mengajaknya bergurau agar ia tenang, tapi Shoyu terus juga me­nyuruh gadis-gadis itu membawa Yoshino, dan lama sekali menolak mengganti pokok pembicaraan. Kegigihannya tidak membawa hasil, yang akhirnya men­jadi lucu, hingga gadis-gadis itu berguling-guling di lantai sambil tertawa.

Diam-diam Musashi meninggalkan tempat duduknya. Ia memilih waktu yang tepat. Tak seorang pun melihat kepergiannya.

Gema di Dalam Saiju

MUSASHI melewati banyak gang untuk menghindari kamar-kamar yang berpenerangan sangat terang. Ia sampai di sebuah kamar gelap tempat menyimpan tilam dan kamar lain yang penuh perkakas. Dinding-dinding seperti memancarkan bau hangat makanan yang sedang dimasak, namun ia tak dapat juga menemukan dapur.

Seorang pembantu keluar dari sebuah kamar, merentangkan tangannya. “Pak, tamu-tamu tak boleh masuk di sini,” katanya mantap, sama sekali tidak kelihatan kemungilan kanak-kanaknya, seperti biasa ia tunjukkan di kamar tamu.

“Oh, jadi tak boleh, ya?”

“Tentu saja tak boleh!” Ia dorong Musashi ke arah depan, lalu ia sendiri berjalan ke arah yang sama.

“Apa bukan kamu yang jatuh ke salju tadi? Rin’ya namamu, ya?”

“Ya, nama saya Rin’ya. Saya kira Bapak tersesat mencari kamar kecil. Mari saya tunjukkan.” Ia memegang tangan Musashi dan menariknya.

“Bukan aku. Aku tidak mabuk. Aku cuma minta pertolonganmu. Bawa aku ke kamar kosong dan bawakan aku makanan.”

“Makanan? Kalau itu yang Bapak minta, nanti kubawakan ke kamar Bapak.”

“Tidak, tidak ke sana. Semua orang sedang senang-senang sekarang. Me­reka belum mau diingatkan tentang makan malam.”

Rin’ya menelengkan kepalanya. “Saya kira Bapak benar. Saya bawa makanan ke sini. Bapak mau makan apa?”

“Tak usah yang istimewa, dua gumpal besar nasi cukuplah.”

Anak itu kembali beberapa menit kemudian, membawa gumpalan nasi dan menyuguhkannya kepada Musashi di sebuah kamar tanpa lampu. Sesudah selesai, kata Musashi, “Aku bisa keluar lewat kebun dalam sana?” Dan tanpa menanti jawaban lagi, ia berdiri dan berjalan ke beranda.

“Mau ke mana, Pak?”

“Jangan kuatir, aku segera kembali.”

“Kenapa Bapak pergi lewat pintu belakang?”

“Orang bisa ribut kalau aku lewat pintu depan. Dan kalau tuan rumah melihatku, mereka akan tersinggung dan kesenangan mereka jadi rusak.”

“Saya bukakan pintu gerbang, tapi jangan lupa kembali lagi segera. Kalau tidak, mereka bisa menyalahkan saya.”

“Aku mengerti. Kalau Pak Mizuochi bertanya tentangku, katakan padanya aku pergi ke dekat Rengeoin, bertemu orang yang sudah kukenal. Aku bermaksud lekas kembali.”

“Bapak mesti lekas kembali. Teman Bapak malam ini Yoshino Dayu.” Ia membuka pintu gerbang kayu lipat yang bersalju itu dan mempersilakan Musashi keluar.

Tepat di depan pintu masuk utama ke daerah hiburan itu terdapat Warung Teh Amigasa-jaya. Musashi berhenti, minta sepasang sandal jerami. tapi mereka tak punya. Seperti ditunjukkan namanya, warung itu terutama menjual topi anyaman kepada lelaki yang ingin menyembunyikan identitasnya waktu memasuki daerah itu.

Musashi menyuruh seorang gadis warung membeli sandal, kemudian duduk di ujung bangku dan mengeratkan obi dan tali di bawahnya. Ia lepaskan mantelnya yang longgar dan ia lipat rapi-rapi, kemudian ia pinjam kertas dan kuas, dan ia tulis catatan singkat yang kemudian ia lipat dan ia selipkan ke dalam lengan mantel. Kemudian ia sapa orang tua yang meringkuk di samping perapian dalam kamar di belakang warung, yang ternyata pemilik warung itu. “Boleh saya minta tolong menyimpan mantel ini? Kalau saya tidak kembali jam sebelas nanti, tolong mantel ini dibawa ke Ogiya dan diserahkan kepada orang yang namanya Koetsu. Ada surat untuknya di dalam lengannya.”

Orang itu menjawab bahwa dengan senang hati ia akan menolong. Ketika ditanya, ia memberitahukan pada Musashi bahwa waktu itu baru sekitar pukul tujuh, karena penjaga baru saja lewat memberitahukan waktu.

Ketika gadis warung kembali membawa sandal, Musashi memeriksa talinya untuk memastikan kepangannya tidak terlalu erat, kemudian ia ikatkan tali itu ke kaus kulitnya. Pemilik warung ia beri uang yang jumlahnya lebih banyak daripada biasa, kemudian ia ambil topi anyaman baru, dan keluarlah ia. Topi itu tidak diikatkan, tapi ditaruh saja di atas kepala untuk menolak saiju yang waktu itu turun berkeping-keping, lebih lembut dari bunga sakura.

Lampu kelihatan di sepanjang tepi sungai di Jalan Shijo, tetapi di timur. di hutan Gion, suasana gelap pekat, hanya ada bercak-bercak cahaya di sana-sini, pancaran lentera-lentera batu. Ketenangan yang beku itu hanya kadang-kadang saja dipecahkan oleh bunyi salju yang menggelincir dari cabang pohon.

Di depan sebuah gerbang tempat suci ada sekitar dua puluh lelaki sedang berdoa sambil berlutut menghadap bangunan kosong itu. Lonceng kuil di bukit-bukit yang tak jauh dari sana baru berbunyi lima kali, menandai pukul delapan. Pada malam istimewa ini, bunyi lonceng yang keras nyaring itu terasa menembus sampai ulu hati.

“Cukup kita berdoa,” kata Denshichiro. “Mari kita jalan.”

Ketika mereka berangkat, seorang dari orang-orang itu bertanya pada Denshichiro apakah tali sandalnya baik keadaannya. “Malam beku macam ini, kalau terlalu erat bisa putus.”

“Sudah bagus. Kalau udara dingin macam ini, yang terbaik dipakai adalah tali kain. Lebih baik itu kauingat.”

Di tempat suci itulah Denshichiro menyelesaikan persiapan tempurnya, sampai pada ikat kepala dan tali lengan baju dari kulit. Dikelilingi rombong­annya yang berwajah seram, ia berjalan melintasi saiju dengan tarikan napas panjang dan embusan uap putih.

Tantangan yang disampaikan pada Musashi menyebutkan daerah belakang Rengeoin pada pukul sembilan. Orang-orang Yoshioka takut atau menyatakan takut bahwa jika mereka memberikan waktu ekstra pada Musashi, ia bisa lari dan tidak kembali lagi, karena itu mereka bertindak cepat. Hyosuke tetap tinggal di sekitar rumah Shoyu, tapi dua rekannya ia suruh melaporkan keadaan.

Ketika mendekati Rengeoin, mereka melihat api unggun di dekat bagian belakang kuil.

“Siapa itu?” tanya Denshichiro.

“Barangkali Ryohei dan Jurozaemon.”

“Mereka di sini juga?” tanya Denshichiro dengan nada jengkel. “Terlalu banyak orang kita hadir di sini. Aku tak ingin orang bilang Musashi kalah karena diserang pasukan besar.”

“Kalau tiba saatnya, kami pergi.”

Bangunan utama Kuil Sanjusangendo itu memanjang sederetan lengkung bertiang tiga puluh tiga. Di belakang terdapat ruangan besar terbuka yang bngus sekali untuk berlatih panahan dan memang sudah lama dipergunakan untuk tujuan itu. Karena ada hubungannya dengan salah satu aliran seni pcrang itulah maka Denshichiro terdorong memilih Rengeoin sebagai tempat bararung melawan Musashi. Denshichiro dan orang-orangnya senang dengan ptlihan itu. Di situ terdapat beberapa pohon pinus, cukup untuk membuat pcmandangan di situ tidak tampak gersang, tapi tak ada rumput liar atau ilalang yang bisa menghambat selama berlangsungnya pertempuran.

Ryohei dan Jurozaemon bangkit menyambut Denshichiro. Kata Ryohei, °’Anda tentu kedinginan berjalan tadi. Masih banyak waktu sekarang. Silahkan duduk menghangatkan diri.”

Tanpa mengatakan sesuatu, Denshichiro duduk di tempat yang ditunjukkan Ryohei. Ia menjulurkan kedua tangannya ke atas nyala api dan memetakkan buku-buku jarinya satu demi satu. “Kukira terlalu pagi aku datang,” katanya. Wajahnya yang sudah hangat oleh api mulai tampak haus darah. Sambil mengerutkan kening Ia bertanya, “Di jalan tadi, apa kita tidak melewati warung teh?”

“Ya, tapi warung itu tutup.”

“Pergilah seorang dari kalian ke sana ambil sake. Kalau kau mengetuk cukup lama, mereka pasti menjawab.”

“Sake, sekarang?”

“Ya, sekarang, aku kedinginan.” Denshichiro lebih mendekatkan diri ke api sambil jongkok, sampai hampir-hampir mendekap api itu.

Tak seorang pun ingat kapan Denshichiro masuk dojo tanpa bau alkohol. baik pagi, siang, atau malam. Karena itu, kebiasaannya minum sudah diterima sebagai hal biasa. Sekalipun nasib seluruh Perguruan Yoshioka sedang dipertaruhkan, ada yang mempunyai pertimbangan barangkali lebih baik kalau Denshichiro menghangatkan badan dengan sake sedikit daripada mencoba menggerakkan pedang dengan tangan dan kaki yang beku. Seorang lagi dengan tenang menyatakan terlalu berbahaya melawan kehendak Denshichiro, sekalipun untuk kebaikan sendiri. Maka beberapa orang berlari ke warung teh. Sake yang mereka bawa panas sekali.

“Bagus!” kata Denshichiro. “Ini teman dan sekutumu yang terbaik.”

Denshichiro minum dan yang lain-lain memperhatikan dengan bingung seraya berdoa semoga ia tidak minum sebanyak biasanya. Untunglah Denshichiro tidak minum sampai mencapai takarannya yang biasa. Sekalipun memperlihatkan sikap acuh tak acuh, ia tahu benar bahwa hidupnya dalam taruhan.

“Hei, dengar! Apa mungkin itu Musashi?”

Telinga-telinga ditegakkan.

Orang-orang sekitar api cepat berdiri, dan satu sosok tubuh gelap muncul di luar sudut bangunan. Ia melambaikan tangan dan berseru. “Jangan kuatir! Cuma aku

Walaupun berpakaian megah, dengan hakama yang disingsingkan, orang itu tidak dapat menyembunyikan umurnya. Punggungnya bungkuk seperti bentuk busur. Ketika orang-orang itu dapat melihatnya lebih jelas, mereka saling menerangkan bahwa orang itu tak lebih dan “orang tua dari Mibu” dan keributan pun mereda. Orang tua itu Yoshioka Genzaemon, saudara lelaki Kempo, paman Denshichiro.

“Oh, Paman Gen! Kenapa Paman datang ke sini?” tanya Denshichiro.

Tak pernah terpikir olehnya bahwa pamannya menganggap bantuan darinya diperlukan malam ini.

“Ah, Denshichiro,” kata Genzaemon, “aku yakin engkau dapat menyelesaikannya dengan baik. Aku lega melihat kau di sini.”

“Tadinya saya bermaksud membicarakan dulu soal ini dengan Paman, tapi. . . “

“Membicarakan? Apa yang mesti dibicarakan? Nama Yoshioka masuk lumpur, dan kakakmu sudah jadi cacat! Kalau engkau tidak ambil tindakan, berarti aku yang mesti menjawab!”

“Tak ada yang mesti dikuatirkan. Saya bukan orang lembek macam kakakku.”

“Aku percaya dengan kata-katamu. Dan aku tahu engkau akan menang, tapi kupikir lebih baik aku datang memberikan dorongan kepadamu. Dari Mibu aku lari kemari. Denshichiro, kuperingatkan kau, menurut yang kudengar, kau tak boleh menganggap enteng lawanmu ini.”

“Saya tahu.”

“Jangan terlalu buru-buru ingin menang. Tenanglah, dan serahkan semua­nya pada dewa-dewa. Kalau kebetulan engkau terbunuh, aku akan mengurus tubuhmu.”

“Ha, ha, ha, ha! Ayolah, Paman Gen, hangatkan badan dekat api.”

Orang tua itu pelan-pelan minum semangkuk sake, kemudian katanya pada yang lain-lain dengan nada mencela, “Apa yang kalian buat di sini? Kalian tidak bermaksud membantu dengan pedang, kan? Pertandingan ini antara seorang pemain pedang lawan pemain pedang lain. Kelihatan pengecut kalau banyak pendukung di mana-mana. Sudah hampir waktunya sekarang. Ayo, kalian semua ikut aku. Kita pergi ke tempat yang cukup jauh, supaya tidak kelihatan kita punya rencana melakukan serangan keroyokan.”

Orang-orang itu menurut perintah dan meninggalkan Denshichiro sendiri. Denshichiro duduk dekat api, berpikir, “Waktu aku mendengar lonceng tadi, jam delapan. Mestinya sudah jam sembilan sekarang. Musashi ter­lambat.”

Satu-satunya tanda yang ditinggalkan para muridnya adalah jejak-jejak kaki hitam di atas salju, sedangkan satu-satunya bunyi adalah detak-detik tetesan air membeku yang lepas dari ujung atap kuil. Satu kali cabang sebuah pohon patah oleh beratnya salju. Setiap kali ketenangan terganggu, mata Denshichiro jelalatan seperti mata burung elang pemburu.

Dan seperti elang pemburu, seorang lelaki datang menderap di saiju.

Dengan gugup dan terengah-engah, Hyosuke berkata, “Dia datang.”

Denshichiro memahami kabar itu sebelum mendengarnya, dan ia sudah berdiri. “Dia datang?” tanyanya membeo, dan dengan sendirinya kakinya menginjak bara api yang terakhir.

Hyosuke melaporkan bahwa Musashi bersikap tenang sesudah meninggal­kan Ogiya, seakan-akan tak peduli dengan salju yang turun hebat. “Beberapa menit lalu dia mendaki tangga batu Tempat Suci Gion. Saya ambil jalan belakang dan jalan secepat-cepatnya, tapi biarpun dia jalan santai saja, saya tak bisa jauh meninggalkan dia. Saya harap Tuan sudah siap.”

“Hmm, ini dia… Hyosuke, pergi dari sini.”

“Di mana yang lain-lain?”

“Aku tidak tahu, tapi aku tak ingin engkau di sini. Kau membuatku gugup.”

“Baik, Tuan.” Nada bicara Hyosuke tunduk, tapi ia tak mau pergi. Dan ia berketetapan untuk tidak pergi. Sesudah Denshichiro menginjak-injak api sampai menjadi lumpur salju, dan kemudian berjalan ke halaman kuil dengan sikap naik darah, Hyosuke menyuruk ke bawah lantai kuil dan berjongkok di kegelapan. Ia tidak begitu memperhatikan angin yang datang dari luar, padahal di bawah bangunan itu angin melecut dingin. Karena dingin merasuk ke tulang, ia merangkum lutut. Ia mencoba menipu dirinya dengan berpikir bahwa gemeretuk giginya dan getar nyeri yang menjalari tulang punggungnya itu hanya diakibatkan oleh dingin dan tak ada hubung­annya sama sekali dengan rasa takut.

Denshichiro berjalan sekitar seratus langkah dari kuil dan mengambil jurus mantap dengan menahankan sebelah kakinya pada akar pohon pinus yang tinggi dan menanti dengan tak sabar. Kehangatan sake cepat meng­hilang. Denshichiro merasa hawa dingin menggigit dagingnya. Kesabarannya semakin habis. Hal itu tampak juga oleh Hyosuke yang dapat melihat halaman seterang siang.

Setumpuk salju jatuh dari cabang sebuah pohon. Denshichiro terkejut dan gugup.

Musashi belum juga muncul.

Akhirnya, karena tidak dapat duduk lebih lama lagi, Hyosuke keluar dari tempat persembunyiannya dan berteriak, “Ada apa dengan Musashi?”

“Kamu masih di sini, ya?” tanya Denshichiro marah, tapi ia sama jengkelnya dengan Hyosuke, karena itu ia tidak memerintahkan Hyosuke pergi. Diam-diam kedua orang itu saling mendekati. Mereka berdiri sambil melihat-lihat ke segala jurusan, dan berulang kali secara bergantian mereka mengatakan, “Dia tidak kelihatan.” Setiap kali nada bicaranya semakin marah dan curiga.

“Bajingan! Dia lari!” seru Denshichiro.

“Tak mungkin,” tekan Hyosuke. Kemudian ia menceritakan kembali dengan sungguh-sungguh segala yang telah ia lihat, juga menerangkan kenapa ia merasa yakin Musashi akan datang.

Tapi Denshichiro menyelanya. “Apa itu?” tanyanya sambil cepat melayang­kan pandangan ke salah satu ujung kuil.

Sebuah lilin bergoyang muncul dari bangunan dapur di belakang aula panjang. Lilin itu dipegang seorang pendeta. Sampai di situ jelas, tapi mereka tak dapat melihat sosok tubuh remang-remang yang ada di belakang si pendeta.

Kedua bayangan dan berkas cahaya itu melintas pintu gerbang antan dapur dan bangunan utama, lalu naik ke beranda panjang Sanjusangendo.

Si pendeta bicara dengan suara ditekan, “Malam hari semua di sini tutup, karena itu saya tidak tahu. Tadi ada beberapa samurai memanaskan diri di halaman. Barangkali mereka itu yang Anda tanyakan, tapi mereka sudah pergi sekarang, seperti Anda lihat sendiri.”

Orang satunya bicara pelan. “Saya minta maaf telah mengganggu Bapak sementara Bapak tidur. Ah, tapi di bawah pohon di sana itu ada dua orang, kan? Mereka itu barangkali yang mengirim pesan, mengatakan akan menunggu saya di sini.”

“Nah, kalau begitu tak ada salahnya menanyai mereka.”

“Saya yang akan bertanya. Sekarang saya dapat menemukan jalan sendiri, karena itu silakan kalau Bapak mau kembali ke kamar Bapak.”

“Anda ikut teman-teman berpesta meninjau salju?”

“Yah, semacam itulah,” kata orang satunva itu sambil tertawa sedikit.

Sambil mematikan lilin, si pendeta berkata, “Saya kira tak perlu saya menyebutkannya, tapi kalau Anda membuat api dekat kuil seperti orang-orang itu tadi, harap hati-hati dan mematikannya waktu Anda pergi.”

“Pasti saya lakukan.”

“Bagus, kalau begitu. Sekarang maafkan saya.”

Pendeta itu kembali lewat pintu gerbang dan menutupnya. Orang di beranda itu berdiri diam sejenak sambil memandang saksama ke arah Denshichiro.

“Hyosuke, siapa itu?”

“Tak tahu saya, tapi dia datang dari dapur.”

“Kelihatannya bukan orang kuil.”

Kedua orang itu berjalan sekitar dua puluh langkah mendekati bangunan. Orang yang tak jelas itu berjalan ke suatu tempat dekat tengah beranda, di situ berhenti dan mengikat lengan bajunya. Kedua orang di halaman secara tidak sadar sudah demikian menghampiri, hingga dapat melihatnya, tapi kemudian kaki mereka tak bisa lagi diajak mendekat.

Selang dua-tiga tarikan napas, Denshichiro berseru, “Musashi!” Ia sadar benar bahwa orang yang berdiri beberapa kaki di atas itu berada dalam kedudukan yang sangat menguntungkan. Tidak hanya ia aman sekali dari belakang, melainkan juga setiap orang yang mencoba menyerangnya dari kanan atau kiri akan terpaksa naik lebih dulu sampai ke tingkatnya. Dengan demikian, ia bebas mencurahkan perhatiannya kepada musuh di depan.

Di belakang Denshichiro terdapat pekarangan terbuka, salju dan angin, ia yakin Musashi tidak membawa orang lain, tapi ia tak boleh mengabaikan ruang luas di belakangnya itu. Ia membuat gerakan seakan melepas sesuatu dari kimononya, dan mendesak Hyosuke, “Pergi kamu dari sini!” Hyosuke pergi ke ujung belakang halaman.

“Anda siap?” pertanyaan Musashi tenang tapi tajam, dan jatuh seperti air es pada lawannya yang sudah naik darah.

Sekarang untuk pertama kalinya Denshichiro dapat melihat Musashi dengan jelas. “Jadi, inilah bajingan itu!” pikirnya. Dendamnya sungguh menyeluruh. Ia benci karena kakaknya dibikin cacat, ia jengkel karena diperbandingkan dengan Musashi oleh orang banyak, dan ia jijik sekali melihat orang yang menurut anggapannya hanya pemuda dari desa yang berlagak sebagai samurai.

“Berani-beraninya kau bertanya Anda siap? Ini sudah lewat jam sembilan!”

“Apa aku bilang akan datang tepat jam sembilan?”

“Jangan cari-cari alasan! Aku sudah lama menunggu. Seperti kaulihat, aku siap. Sekarang turun kamu dari situ!” Ia tidak menyepelekan lawannya dengan memberanikan diri menyerang dari kedudukannya sekarang.

“Sebentar,” jawab Musashi sambil tertawa kecil.

Ada perbedaan pengertian siap menurut Musashi dan menurut lawannya. Sekalipun secara fisik Denshichiro sudah siap, secara spiritual ia baru saja mulai mengerahkan dirinya, sedangkan Musashi sudah mulai bergulat lama sebelum ia tampil di depan musuhnya. Baginya, pertempuran ini sedang memasuki tahap kedua, tahap utama. Di Tempat Suci Gion ia telah melihat jejak-jejak kaki di atas salju, dan pada saat itu naluri juangnya sudah bangkit. Melihat bayangan yang mengikutinya tidak ada lagi, dengan berani ia masuk gerbang depan Rengeoin dan mendekati dapur. Ia membangunkan pendeta. lalu memulai percakapan, dan dengan halus bertanya kepada si pendeta tentang apa yang telah terjadi pada awal petang itu. Walaupun tahu dirinya terlambat sedikit, ia minum teh juga dan menghangatkan badan. Kemudian. ketika ia tampil, penampilannya bersifat mendadak dan dari tempat yang relatif aman pula di beranda. Ia memegang kendali.

Kesempatan kedua datang dalam bentuk usaha Denshichiro menariknya ke luar. Salah satu cara berkelahi adalah dengan menerima ajakan itu. Cara lain dengan mengabaikannya dan membuka peluang sendiri. Sikap hati-hati dijaga. Dalam hal seperti ini, kemenangan ibarat bulan yang tercermin di danau. Kalau orang melompat menggapainya secara impulsif, ia bisa tenggelam.

Kejengkelan Denshichiro tak kenal batas. “Kau tidak hanya terlambat.” teriaknya, “kau juga belum siap. Dan aku tidak mendapat pijakan yang enak di sini.”

Musashi yang masih tetap tenang menjawab, “Aku akan turun. Tunggu sebentar.”

Denshichiro tak perlu diberitahu bahwa kemarahan dapat mengakibatkan kekalahan, tapi menghadapi usaha sengaja untuk menjengkelkannya itu ia tidak dapat lagi mengendalikan emosinya. Pelajaran-pelajaran tentang strategi yang pernah la terima terlupakan sudah.

“Turun!” pekiknya. “Sini, di halaman! Tinggalkan tipu daya, dan ayo berkelahi dengan jantan! Aku Yoshioka Denshichiro! Aku muak dengan taktik darurat dan serangan pengecut. Kalau kau sudah ketakutan sebelum pertandingan mulai, tak pantas kau menghadapi aku. Turun dari situ!”

Musashi menyeringai. “Yoshioka Denshichiro, ya? Apa yang mesti ku­takutkan padamu? Kau sudah kupotong dua musim semi tahun lalu. Kalau malam ini kukalahkan lagi, itu cuma mengulangi yang lalu.”

“Apa yang kaubicarakan itu? Di mana? Kapan?”

“Di Koyagyu, Yamato.”

“Yamato?”

“Tepatnya di pemandian Penginapan Wataya.”

“Kau di sana?”

“Aku di sana. Kita telanjang waktu itu, tentu saja, tapi dengan mataku aku sudah memperhitungkan, aku bisa memotongmu jadi dua atau tidak. Dan dengan mataku aku sudah memotongmu seketika, dengan agak indah juga, kalau boleh kukatakan demikian. Kau barangkali tidak memperhatikan, karena tak ada bekas luka pada badanmu, tapi kau sudah kukalahkan. Pasti. Orang lain mungkin mau mendengarmu menyombongkan diri tentang kemampuanmu sebagai pemain pedang, tapi dariku kau hanya akan men­dapat tertawaan.”

“Tadinya aku ingin tahu bagaimana bicaramu. Sekarang aku tahu, macam orang goblok! Tapi ocehanmu itu merangsangku. Turun kamu dari situ! Akan kubukakan matamu yang congkak itu!”

“Apa senjatamu? Pedang? Pedang kayu?”

“Kenapa tanya kalau kau tak punya pedang kayu? Kau datang ingin menggunakan pedang, kan?”

“Memang, tapi kupikir kalau kau mau pakai pedang kayu, akan kuambil punyamu dan aku akan berkelahi dengannya.”

“Aku tak punya pedang kayu, tolol! Cukup omong besar itu. Ayo ber­kelahi!”

“Siap?”

“Belum!”

Tumit Denshichiro membuat garis miring hitam sepanjang dua setengah meter ketika ia membuka ruang tempat Musashi mendarat. Musashi cepat melangkah tujuh-delapan menyamping sebelum melompat turun. Dengan pedang masih tersarung dan sambil saling memperhatikan dengan saksama, mereka menjauh sekitar enam puluh meter dari kuil. Waktu itulah Denshichiro kehilangan kesabarannya. Pedangnya panjang, ukuran tepat untuk tubuhnya. Pedang itu hanya memperdengar-kan siulan kecil, membelah udara dengan kecepatan mengagumkan, langsung mengenai tempat Musashi berdiri.

Musashi lebih cepat dari pedang. Dan lebih cepat lagi lejitan pedang berkilau dari sarungnya sendiri. Kedua orang itu sudah terlampau dekat untuk dapat tampil tanpa cedera, tapi sejenak sesudah cahaya pantulan pedang menari-nari, mereka mundur.

Beberapa menit tegang berlalu. Keduanya diam tak bergerak, pedang berhenti di udara, ujung bersasaran ujung, tetapi dipisahkan oleh jarak sekitar dua setengah meter. Salju yang menumpuk di kening Denshichiro jatuh ke bulu matanya. Untuk mengibaskannya, ia menggerakkan wajahnya sampai urat-urat nadinya tampak seperti bisul-bisul bergerak, tak terhitung pumlahnya. Bola matanya membelalak menyala seperti jendela dapur peleburan besi, dan embusan napasnya yang dalam dan tetap itu panas dan ribut seperti dalam puputan.

Keputusasaan menyelinap dalam pikiran, karena ia sadar betapa jelek kedudukannya. “Kenapa kupegang pedang ini setinggi mata, padahal pedang selamanya kupegang di atas kepala buat menyerang?” tanyanya pada diri sendiri. Ia berpikir tidak dalam makna yang biasa. Darahnya berdebur di dalam nadi, sampai dapat didengar. Sekujur tubuhnya, sampai pada kuku­kuku jari kakinya, kini terpusat pada usahanya untuk tampak garang.

Ia tahu, jurus setinggi mata tidak menempatkannya pada kedudukan unggul, dan ini menjengkelkannya. Berkali-kali ia ingin mengangkat siku dan menaikkan pedang ke atas kepala, tapi terlampau berbahaya. Musashi waspada sekali menantikan peluang itu, menantikan saat sepersekian detik ketika pandangan matanya tertutup tangannya.

Musashi memegang pedang setinggi mata juga, tapi sikunya dalam keadaan santai, luwes, dan dapat digerakkan ke mana saja. Tangan Denshichiro yang berada dalam jurus yang tidak biasa itu ketat dan kaku. dan pedangnya tidak mantap. Pedang Musashi diam sepenuhnya. Salju mulai menumpuk di atas ujungnya yang tipis.

Sementara menanti lawan membuat kekeliruan sekecil apa pun dengan mata elang, Musashi menghitung jumlah napasnya. Ia tidak hanya ingin menang, ia harus menang. Ia sadar benar bahwa sekali lagi ia berada di garis perbatasan—di satu pihak hidup, di lain pihak maut. Ia melihat Denshichiro bagai batu raksasa, suatu sosok yang sungguh gagah. Teringat olehnya nama dewa perang, Hachiman.

“Tekniknya lebih baik daripada teknikku,” pikirnya jujur. Ia jadi merasa rendah diri, seperti yang dirasakannya di Benteng Koyagyu dulu, ketika ia dikelilingi empat pemain pedang terkemuka Perguruan Yagyu. Selamanya seperti ini kalau ia menghadapi pemain-pemain pedang dari perguruan ortodoks, karena tekniknya sendiri tanpa bentuk atau penalaran. Metodenya tak lebih dari “lakukanlah, kalau tidak engkau mati”. Sementara memper­hatikan Denshichiro, ia melihat bahwa gaya yang diciptakan dan dikem­bangkan Yoshioka Kempo dalam masa hidupnya itu memiliki kesederhanaan dan kerumitan. Gaya itu tersusun baik dan sistematis, dan tidak dapat diungguli dengan kekuatan kasar atau semangat belaka.

Musashi menjaga betul agar tidak melakukan gerakan tak perlu. Taktik­-taktiknya yang primitif tidak dapat dipergunakan. Sampai batas-batas tertentu ia merasa heran, karena tangannya menolak dijulurkan. Maka hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah mengambil jurus bertahan konservatif dan menanti. Matanya semakin merah mencari peluang, dan ia berdoa kepada Hachiman agar menang.

Karena semakin terangsang, detak jantungnya semakin berpacu. Sekiranya ia orang biasa, pasti ia sudah terserap ke dalam pusaran kebingungan. dan menyerah. Namun ia tetap mantap. Perasaan kurang sempurna dikibaskannya seakan tak lebih dari salju di atas lengan bajunya. Kemampuannya me­ngendalikan kegairahan yang baru itu adalah hasil beberapa kali berhadapan dengan maut. Semangatnya sepenuhnya dijaga sekarang, seakan-akan tabir tengah disingkirkan dari depan matanya.

Diam kini bagai kuburan. Salju menumpuk di atas rambut Musashi, dan di atas bahu Denshichiro.

Musashi tidak lagi melihat batu besar di hadapannya. Ia sendiri tidak lagi hadir sebagai manusia tersendiri. Keinginan menang telah terlupakan. ia memandang putihnya salju yang jatuh di antara dirinya dan lawannya. Semangat salju itu sama ringan dengan semangatnya sendiri. Ruang di antaranya kini terasa bagai perpanjangan tubuhnya sendiri. Ia telah menjadi alam semesta, atau alam semesta menjadi dirinya. Ia ada di sana, namun tak ada di sana.

Kaki Denshichiro mengingsut ke depan. Pada ujung pedangnya, daya kemampuannya tampak menggeletar hendak memulai gerakan.

Dua nyawa melayang oleh dua pukulan yang berasal dari sebilah pedang. Mula-mula Musashi menyerang ke belakang, dan kepala Otaguro Hyosuke atau sebagian dari kepala itu melayang melewati Musashi seperti buah ceri besar merah tua, sementara tubuhnya terhuyung tanpa nyawa ke arah Denshichiro. Pekik dahsyat yang kedua-pekik serangan Denshichiro-mati di tengah jalan, dan putus menghilang ke dalam ruang di seputar mereka. Demikian tinggi lompatan Musashi, hingga seolah ia melompat dari ke­tinggian dada lawannya. Sosok tubuh Denshichiro yang besar itu rebah ke belakang dan jatuh disertai muncratnya salju putih.

Dengan tubuh terlipat menyedihkan dan wajah terperosok dalam salju, orang sekarat itu berteriak, “Tunggu! Tunggu!”

Musashi tak lagi di sana.

“Dengar itu?”

“Itu Denshichiro!”

“Dia luka!”

Genzaemon dan murid-murid Yoshioka bergegas melintas halaman, seperti ombak.

“Lihat! Hyosuke terbunuh!”

“Denshichiro!”

“Denshichiro!”

Namun mereka tahu tak ada gunanya memanggil dan tak ada gunanya memikirkan pengobatan. Kepala Hyosuke terbelah miring dari telinga kanan ke tengah mulut, sedangkan kepala Denshichiro dari puncak ke nilang pipi kanan. Keduanya terjadi hanya dalam beberapa detik.

“Itu makanya… itu makanya kuperingatkan engkau,” gerutu Genzaemon. Itu makanya kubilang engkau jangan menyepelekan dia. Oh, Denshichiro, Denshichiro!”

Orang tua itu mendekap tubuh kemenakannya, dan sia-sia menghiburnya. Genzaemon terus bergayut pada mayat Denshichiro. Ia berang melihat orang-orang lain hanya bergerak kebingungan ke sana kemari di salju yang merah oleh darah.

“Lalu bagaimana dengan Musashi?” gunturnya.

Beberapa orang mulai mencari, tapi mereka tidak melihat tanda-tanda Musashi.

“Dia tak ada,” terdengar jawaban malu-malu dan bodoh.

“Dia pasti masih di sekitar sini!” salak Genzaemon. “Dia tak punya sayap. Kalau aku tak sempat membalas dendam, aku takkan lagi dapat menegakkan kepala sebagai anggota Keluarga Yoshioka. Cari dia!”

Satu orang tergagap dan menuding. Yang lain-lain mundur selangkah dan memandang ke arah yang dituding.

“Itu Musashi!”

“Musashi?”

Sementara pikiran tentang Musashi meresap ke dalam hati, ketenangan pun memenuhi udara, bukan ketenangan tempat pemujaan, melainkan ketenangan yang celaka dan setani, seakan-akan telinga, mata, dan otak tidak lagi berfungsi.

Apa pun yang terlihat oleh seorang dari orang-orang itu, orang yang dituding itu bukan Musashi, karena Musashi waktu itu sudah berdiri di bawah ujung atap bangunan terdekat. Ia menatap orang-orang Yoshioka. Punggungnya menempel ke dinding. Ia menyingkir pelan-pelan, sampai akhirnya tiba di sudut barat daya Sanjusangendo. Ia naik ke beranda, dan kemudian pelan-pelan dan diam-diam merangkak di tanah.

“Apa mereka akan menyerang?” tanyanya pada diri sendiri. Setelah dilihatnya mereka tak bergerak ke arahnya, dengan mencuri-curi ia menuju sisi utara bangunan itu, dan dengan satu loncatan menghilang ke dalam ke­gelapan.

Orang-Orang Perlente

“TAK ada bangsawan kurang ajar yang akan bisa mengalahkan aku! Kalau dia pikir dia dapat menolakku dengan mengirim kertas kosong, aku ter­paksa bicara dengan dia. Dan akan kuambil Yoshino kembali, demi harga diriku.”

Orang bilang, kita tak perlu berumur muda untuk dapat menikmati permainan. Pada waktu Haiya Shoyu sedang mabuk, tak bisa ia dicegah.

“Bawa aku ke kamar mereka!” perintahnya pada Sumigiku. Ia meletakkan sebelah tangannya ke bahu Sumigiku agar dapat berdiri tegak.

Sia-sia Koetsu mengingatkannya supaya tenang.

“Tidak! Akan kurebut Yoshino…. Pemegang panji-panji, maju! Jenderalmu akan bertindak! Siapa punya keberanian, ikuti aku!”

Ciri khusus orang mabuk adalah bahwa sekalipun mereka tampak selalu dalam bahaya akan jatuh atau mengalami kecelakaan yang lebih jelek, namun kalau ditinggalkan sendirian biasanya mereka dapat lolos dari hal yang tidak menguntungkan. Tapi kalau tak seorang pun mengambil langkah­langkah untuk melindunginya, kurang kena memang. Berkat pengalaman bertahun-tahun, Shoyu dapat menetapkan batas yang jelas antara menghibur diri dan menyenangkan hati orang lain. Apabila orang menyangka ia sudah cukup pening hingga mudah ditangani, ia akan mengambil sikap sesukar­-sukarnya ditangani, berjalan terhuyung-huyung sedemikian rupa, hingga orang datang menyelamatkannya. Sampai di situ terjadilah pertempuran semangat kondisi mabuknya mendapat tanggapan simpatik.

“Bapak bisa jatuh,” teriak Sumigiku sambil bergegas mencegahnya.

“Jangan tolol kamu. Kakiku boleh saja goyang sedikit, tapi semangatku kokoh!” Suaranya kedengaran kesal.

“Coba Bapak berjalan sendiri.”

Sumigiku membiarkannya, tapi segera kemudian Shoyu pun runtuh. “Aku sedikit lelah. Terpaksa digotong.”

Dalam perjalanan ke kamar Yang Dipertuan Kangan, Shoyu seolah-olah tak tahu apa-apa, padahal ia sadar sepenuhnya akan segalanya. Ia terhuyung­-huyung, terayun-ayun, dan sekali-sekali ambruk. Kalau tidak, ia membuat para pengikutnya terus gugup dari ujung ke ujung gang yang panjang.

Yang dipersoalkan sekarang adalah apakah yang disebutnya “Orang-orang bangsawan kurang ajar dan setengah matang” itu akan terus memonopoli Yoshino Dayu. Para saudagar besar yang tak lebih dari orang biasa yang kaya itu tidak menaruh hormat kepada orang-orang istana Kaisar. Memang orang-orang istana sadar sekali akan pangkat mereka, tapi hal itu sedikit saja artinya, karena mereka tak punya uang. Dengan menghamburkan emas untuk menyenangkan hati mereka, ambil bagian dalam acara hiburan mereka, dan berpura-pura hormat pada kedudukan mereka, sehingga mereka tetap dapat mempertahankan harga dirinya, para saudagar dapat mengelabui mereka bagai boneka. Tak seorang pun lebih tahu tentang hal ini daripada Shoyu.

Cahaya lampu menari-nari riang pada shoji kamar depan yang menuju kamar Yang Dipertuan Karasumaru ketika Shoyu berusaha membukanya.

Tiba-tiba pintu dibuka dari dalam. “Oh, engkau, Shoyu!” ucap Takuan Soho.

Mata Shoyu membelalak, mula-mula karena heran, dan kemudian karena senang. “Pendeta yang baik,” gagapnya, “sungguh ini kejutan yang me­nyenangkan! Pendeta sudah sejak tadi di sini?”

“Dan Bapak sendiri, Bapak yang baik, apa Bapak sudah sejak tadi di sini?” tanya Takuan menirukan. Lalu ia merangkul Shoyu, dan kedua orang itu seperti sedang bercintaan, pipi menempel pipi yang berbulu pendek.

“Sehat engkau, bajingan tua?”

“Ya, dan engkau, penipu? Dan engkau?”

“Aku memang ingin ketemu kau.”

“Aku juga.”

Sebelum kata-kata sambutan cengeng itu diucapkan, kedua orang itu sudah lebih dulu saling tepuk kepala dan saling jilat hidung.

Yang Dipertuan Karasumaru mengalihkan perhatiannya dari kamar depan ke Yang Dipertuan Konoe Nobutada yang duduk di depannya, dan katanya disertai seringai tajam, “Ha! Tepat seperti kuharapkan. Tukang ribut itu sudah datang.”

Karasumaru Mitsuhiro masih muda, barangkali tiga puluh tahun umurnya. Walaupun tidak mengenakan pakaian sempurna, ia tetap kelihatan bangsawan, karena memang ia tampan dan bekulit putih, alisnya tebal, bibirnya merah tua, dan matanya cerdas. Kesan yang diberikannya adalah bahwa ia orang yang lemah lembut, tetapi dibalik permukaan yang dipoles itu bersemayam watak yang kuat, akibat kebencian yang terpendam pada kelas militer. Sering orang mendengarnya mengatakan, “Oh, pada abad yang menganggap kaum prajurit sebagai satu-satunya manusia penuh ini, kenapa aku harus lahir sebagai bangsawan?”

Menurut pendapatnya, kelas prajurit mesti memusatkan perhatian hanya kepada soal-soal militer, dan orang istana yang masih muda dan punya kecerdasan namun tidak menguasai keadaan adalah orang tolol. Anggapan bahwa kaum prajurit memegang kekuasaan mutlak itu memutarbalikkan asas kuno bahwa pemerintahan mesti dijalankan oleh Istana Kaisar, dengan bantuan militer.

Kaum samurai tidak lagi mencoba menjaga keselarasan dengan kaum bangsawan. Mereka menjalankan segalanya, memperlakukan para anggota istana seolah cuma hiasan. Hiasan kepala yang mewah pada kaum istana itu tak ada artinya, dan keputusan-keputusan yang mereka buat dapat saja dibuat oleh boneka.

Yang Dipertuan Karasumaru menganggap suatu kesalahan besar para dewa bahwa mereka menciptakan orang seperti dirinya sebagai bangsawan. Sekalipun ia abdi Kaisar, ia hanya melihat dua jalan terbuka baginya: hidup selalu dalam kesengsaraan atau menghabiskan waktu dengan bersenang­-senang. Dan pilihannya yang masuk akal adalah meletakkan kepala di pangkuan seorang perempuan cantik, mengagumi cahaya bulan yang pucat, memandang bunga sakura pada musimnya, dan mati sambil memegang mangkuk sake.

Sesudah naik pangkat dari Menteri Keuangan Kaisar menjadi Pembantu Wakil Menteri Kanan dan kemudian Kanselir Kaisar, ia menjadi pejabat tinggi dalam birokrasi Kaisar yang impoten, tapi banyak sekali waktu ia habiskan di daerah lokalisasi, karena suasana di situ memungkinkan ia melupakan hinaan-hinaan yang mesti ia tanggung apabila ia mengurus soal­soal yang lebih praktis. Di antara teman-teman yang biasa itu terdapat beberapa bangsawan muda yang tidak puas, semuanya miskin dibandingkan dengan para pengusaha militer, namun dapat menyediakan uang untuk berpesiar pada malam hari ke Ogiya. Itulah satu-satunya tempat di mana mereka bebas merasa sebagai manusia, demikian mereka tegaskan.

Malam ini tamu yang diterima Yang Dipertuan Karasumaru adalah orang jenis lain, yaitu Konoe Nobutada yang pendiam dan santun, yang umurnya sekitar sepuluh tahun lebih tua. Nobutada pun berkelakuan bangsawan, matanya tampak suram, wajahnya gemuk dan alisnya tebal. Sekalipun kulitnya yang kehitaman dirusak oleh bopeng-bopeng dangkal, namun kesederhanaan orang itu menyenangkan dan membuat cacatnya terasa pantas. Di tempat seperti Ogiya, orang luar takkan menyangka bahwa ia salah seorang bangsawan tinggi Kyoto, kepala dari keluarga tempat asal para wali Kaisar.

Sambil tersenyum sopan di samping Yoshino, ia menoleh pada wanita itu dan katanya, “Itu suara Funabashi, kan?”

Yoshino menggigit bibirnya yang sudah lebih merah dari kembang prem, dan matanya mengungkapkan rasa malu melihat kikuknya keadaan itu. “Apa yang akan saya lakukan kalau dia masuk?” tanyanya resah.

Yang Dipertuan Karasumaru memerintahkan, “Jangan berdiri!” dan segera mencekal pinggir kimononya.

“Takuan, apa kerjamu di situ? Dingin kalau pintu dibuka. Kalau mau pergi, pergi sana, tapi kalau mau kembali, kembali saja, tapi tutup pintu itu.”

Takuan segera menyambar umpan itu, dan katanya kepada Shoyu, “Mari kita masuk,” dan menarik orang tua itu ke dalam kamar.

Shoyu pun masuk dan duduk langsung di depan kedua bangsawan itu. “Oh, sungguh kejutan yang menyenangkan!” seru Mitsuhiro dengan kesungguhan yang dibuat-buat.

Dengan lutut yang kurus, Shoyu beringsut mendekat. Sambil mengulurkan tangan kepada Nobutada, katanya, “Tolong kasih aku sake.” Dan sesudah menerima mangkuk, ia pun membungkuk penuh upacara.

“Senang sekali bertemu denganmu, Funabashi Tua,” kata Nobutada sambil menyeringai. “Semangatmu rupanya selalu tinggi.”

Shoyu mengosongkan mangkuknya dan mengembalikannya. “Sungguh saya tak bermimpi bahwa rekan Yang Dipertuan Kangan adalah Yang Mulia.” Dan sambil terus berpura-pura lebih mabuk daripada sebenarnya, ia pun menggoyangkan lehernya yang kurus dan berkerut-merut itu sepeni pelayan kuno, dan katanya dengan nada pura-pura takut, “Maafkan saya, Yang Mulia!” Kemudian dengan nada lain, “Ah, kenapa pula aku mesti begitu sopan? Ha, ha! Bukan begitu, Takuan?”

Ia merangkul Takuan, menarik pendeta itu ke dekatnya, dan menudingkan jarinya ke kedua orang istana itu. “Takuan,” katanya, “di dunia ini orang yang kukasihani adalah bangsawan. Mereka punya gelar-gelar gemilang seperti patih atau regent, tapi tak sampai ke mana-mana kehormatan itu. Kaum saudagar lebih beruntung daripada mereka. Betul, tidak?”

“Memang betul,” jawab Takuan, berusaha melepaskan lehernya.

“Nah,” kata Shoyu, menempatkan sebuah mangkuk langsung di bawah hidung pendeta itu. “Aku belum menerima minuman darimu.”

Takuan menuangkan sake. Orang tua itu meminumnya.

“Kau ini lihai, Takuan. Di dunia yang kita diami ini, kaum pendeta macam kau ini cerdik, kaum saudagar pintar, kaum prajurit kuat, tapi kaum bangsawan bodoh. Ha, ha! Betul, tidak?”

“Betul, betul,” kata Takuan mengiakan.

“Kaum bangsawan tak dapat melakukan apa yang mereka kehendaki karena pangkatnya, dan mereka tersisih dari politik dan pemerintahan. Karena itu yang dapat mereka lakukan cuma membuat sajak dan menjadi ahli kaligrafi. Betul, kan?” Dan ia pun tertawa lagi.

Sekalipun Mitsuhiro dan Nobutada suka lelucon, seperti halnya Shoyu. tapi kekasaran ejekan itu sungguh membikin malu. Karena itu mereka menerimanya dengan diam mematung.

Dan perasaan tak enak yang mereka alami itu dipergunakan oleh Shoyu untuk menekan terus. “Yoshino, bagaimana pendapatmu? Kau menyuka: kaum bangsawan atau lebih suka kaum saudagar?”

“Hi, hi,” Yoshino mengikik. “Ah, Tuan Funabashi, itu pertanyaan aneh!”

“Aku tidak berkelakar. Aku sedang mencoba meninjau ke dalam hati wanita. Dan sekarang aku tahu apa yang ada dalam hati itu. Engkau sebetulnya lebih suka kaum saudagar, betul, kan? Kupikir lebih baik kuambil engkau dari sini. Ayo ikut ke kamar.” Ia menggandeng Yoshino dan berdiri dengan wajah cerdik.

Mitsuhiro terperanjat hingga sake-nya tumpah. “Kelakar bisa juga jadi keterlaluan,” katanya sambil merenggutkan tangan Yoshino dari tangan Shoyu, dan menarik Yoshino ke sisinya.

Karena diperebutkan kedua orang itu, Yoshino tertawa dan mencoba mengatasi keadaan tersebut. Sambil menggenggam tangan Mitsuhiro dengan tangan kanan dan tangan Shoyu dengan tangan kiri, ia memperlihatkan wajah kuatir dan katanya, “Oh, apa yang mesti saya perbuat dengan Bapak berdua ini?”

Kedua orang itu tidak saling membenci, dan bukan pula saingan dalam bercinta, namun bagi keduanya aturan permainan mengharuskan mereka melakukan segala yang ada dalam kekuasaan mereka untuk membuat kedudukan Yoshino Dayu lebih memalukan.

“Nah, Nyonya yang baik,” kata Shoyu.” Engkau mesti memutuskan sendiri. Engkau mesti memilih orang yang kamarnya akan kausemarakkan, orang yang kauserahi hatimu.”

Takuan segera mencampuri keributan itu. “Memang masalah ini sangat menarik, ya? Coba katakan, Yoshino, siapa pilihanmu?”

Satu-satunya yang tak ikut ambil bagian adalah Nobutada. Tapi beberapa waktu kemudian rasa kesopanan mendorongnya mengatakan, “Oh, oh, Tuan-tuan ini tamu, jangan begitu kasar. Kalau demikian tingkah Anda, saya berani mengatakan, Yoshino dengan senang hati ingin melepaskan diri dari Anda berdua. Bagaimana kalau kita semua bersenang-senang saja dan tak usah memedulikan Yoshino? Koetsu mestinya sendirian sekarang. Seorang dari gadis-gadis mesti mengundangnya datang kemari.”

Shoyu mengibaskan tangannya. “Tak ada alasan mendatangkannya kemari. Aku cuma akan kembali ke kamarku dengan Yoshino.”

“Tidak bisa,” kata Mitsuhiro, mendekap Yoshino lebih erat.

“Inilah yang dinamakan kekurangajaran aristokrasi!” seru Shoyu. Dengan mata menyala-nyala ia menawarkan mangkuk kepada Mitsuhiro, katanya, “Baikah, mari kita putuskan siapa yang akan mendapatkan Yoshino dengan pertandingan minum… langsung di depan matanya.”

“Oh, boleh saja, kedengarannya menarik juga.” Mitsuhiro mengambil mangkuk besar dan meletakkannya di meja kecil di antara mereka. “Jadi, engkau yakin masih cukup muda untuk bertanding?” tanyanya melucu.

“Aku tak perlu umur muda buat bertanding dengan bangsawan kurus!”

“Nah, bagaimana caranya menentukan giliran minum? Tidak lucu kalau cuma minum. Kita mesti bermain. Siapa kalah mesti minum semangkuk penuh. Permainan apa yang mesti kita mainkan?”

“Kita adu pandang saja.”

“Berarti mesti memandang muka saudagarmu yang jelek itu. Itu bukan permainan, itu siksaan!”

“Jangan menghina! Bagaimana kalau permainan batu-gunting-kertas?”

“Bagus!”

“Takuan, kau jadi wasit.”

“Dengan senang hati.”

Dengan wajah sungguh-sungguh mereka memulai. Setiap kali selesai satu giliran, pihak yang kalah mengeluh dengan sedihnya, dan semua orang tertawa.

Yoshino Dayu diam-diam menyelinap keluar kamar, dengan lemah gemulai menyeret ekor kimononya yang panjang, dan berjalan dengan langkah anggun menyusuri gang. Tak lama sesudah ia pergi, Konoe Nobutada berkata, “Aku mesti pergi juga,” dan pergi tanpa dilihat orang.

Sambil menguap tanpa malu-malu, Takuan membaringkan diri dan tanpa permisi lagi meletakkan kepalanya di pangkuan Sumigiku. Walaupun enak rasanya tidur di sana, ia tiba-tiba merasa bersalah juga. “Aku mesti pulang,” pikirnya. “Mereka barangkali kesepian tanpa aku.” Yang dipikir­kannya adalah Jotaro dan Otsu yang sudah berkumpul kembali di rumah Yang Dipertuan Karasumaru. Takuan membawa Otsu ke sana sesudah mengalami cobaan di Kiyomizudera itu.

Takuan dan Yang Dipertuan Karasumaru adalah teman lama dan memiliki banyak minat yang serupa-puisi, Zen, minum, bahkan juga politik. Menjelang akhir tahun sebelumnya, Takuan menerima surat yang isinya mengundangnya menghabiskan hari libur Tahun Baru di Kyoto. “Engkau rupanya terkurung di sebuah kuil kecil di desa,” tulis Mitsuhiro. “Apa kau tidak rindu pada ibu kota, rindu pada sake Nada yang baik, rindu dikawani perempuan-perempuan cantik, rindu melihat burung-burung camar kecil di Sungai Kamo? Kalau engkau memang suka tidur, kukira baik saja engkau mempraktekkan keyakinan Zen-mu di desa, tapi kalau engkau ingin sesuatu yang lebih hidup, datanglah kemari dan hidup di tengah orang banyak. Sekiranya engkau merasakan nostalgia kepada ibu kota, bagaimanapun bertamulah pada kami.”

Sebentar sesudah kedatangannya pada awal tahun baru itu, Takuan heran sekali melihat Jotaro bermain di halaman. Secara terperinci ia mendengar dari Mitsuhiro apa yang dilakukan anak itu di sana, kemudian mendengar dari Jotaro bahwa tak ada kabar berita tentang Otsu semenjak Osugi mencengkeram gadis itu pada Hari Tahun Baru.

Sesudah kembali, Otsu demam dan masih terbaring di tempat tidur. Jotaro merawatnya, sepanjang hari duduk di samping bantalnya, mengompres dahi Otsu dengan handuk basah dan menakar obat pada waktu-waktu tertentu tiap hari.

Biarpun Takuan ingin pulang, ia tak bisa berbuat demikian sebelum tuan rumahnya datang, sedangkan Mitsuhiro kelihatannya makin lama makin terbenam dalam pertandingan minum.

Karena kedua belah pihak yang bertanding adalah veteran, maka tam­paknya pertandingan akan berakhir dengan seri, dan memang benar demi­kian. Mereka terus juga minum sambil berhadapan dan mengobrol dengan asyiknya. Takuan tidak tahu apakah pokok pembicaraannya tentang peme­rintahan kelas militer, nilai hakiki kaum bangsawan, ataukah peran kaum saudagar dalam perkembangan perdagangan luar negeri. Yang jelas percakapan itu sangat serius. Ia mengangkat kepalanya dari pangkuan Sumigiku, dan dengan mata masih tertutup ia menyandarkan diri ke tiang ceruk kamar, dan setiap kali ia menyeringai mendengar potongan percakapan mereka.

Tak lama kemudian Mitsuhiro bertanya dengan nada kecewa, “Di mana Nobutada? Apa dia pulang?”

“Biar saja dia. Di mana Yoshino?” tanya Shoyu, yang tiba-tiba tampak tidak mabuk sama sekali.

Mitsuhiro menyuruh Rin’ya pergi dan membawa kembali Yoshino. Ketika melewati kamar tempat Shoyu dan Koetsu memulai acara malam itu, Rin’ya memandang ke dalam. Musashi duduk di sana seorang diri, wajahnya berdekatan dengan cahaya putih lampu. “Oh, saya tidak lihat Anda kembali,” kata Rin’ya.

“Aku lama tidak ada di sini.”

“Apa Anda kembali lewat jalan belakang?”

“Ya.”

“Ke mana Anda pergi?”

“Oh, ke luar.”

“Saya berani bertaruh, tentu bertemu dengan gadis cantik. Tak tahu malu! Tak tahu malu! Saya bilang nanti pada Nyonya,” kata gadis itu lancang.

Musashi tertawa. “Tak ada orang di sini,” katanya. “Ke mana saja orang­-orang itu?”

“Mereka di kamar lain, main dengan Yang Dipertuan Kangan dan seorang pendeta.”

“Koetsu juga?”

“Tidak. Saya tidak tahu di mana dia.”

“Barangkali dia pulang. Kalau dia pulang, aku mesti pulang juga.”

“Jangan begitu. Kalau Anda datang ke rumah ini, Anda tak dapat pulang tanpa izin Yoshino Dayu. Kalau Anda pergi diam-diam, orang akan menertawakan Anda. Dan saya akan dimaki-maki.” .

Karena tidak terbiasa dengan humor para pelacur, maka Musashi menerima pernyataan itu dengan wajah serius, pikirnya, “Oh, jadi begitu aturan mainnya di sini.”

“Anda pokoknya tak boleh pergi sebelum minta permisi seperti semestinya. Tunggu di sini sampai saya kembali.”

Beberapa menit kemudian Takuan muncul. “Dari mana engkau datang?” tanyanya sambil menepuk bahu ronin itu.

“Ha?” gagap Musashi. Sambil meluncur dari bantalnya ia letakkan kedua tangannya ke lantai dan ia membungkuk dalam-dalam. “Lama sekali saya tak melihat Bapak!”

Sambil mengangkat tangan Musashi dari lantai, Takuan berkata, “Tempat ini buat bersenang-senang dan bersantai. Tak perlu sambutan resmi… Aku dengar Koetsu ada di sini juga, tapi tak kulihat dia.”

“Menurut Bapak, ke mana dia pergi?”

“Mari kita cari dia. Ada beberapa hal yang hendak kubicarakan secara pribadi denganmu, tapi kita undurkan saja dulu sampai saat yang lebih cocok.”

Takuan membuka pintu ke kamar sebelah. Di situ Koetsu terbaring dengan kaki terbungkus kotatsu dan badan tertutup selimut, terpisah dari bagian lain kamar itu oleh tabir emas kecil, ia tidur dengan tenteram. Takuan tak mau membangunkannya.

Koetsu membuka mata sendiri. Sesaat ia menatap wajah pendeta itu, kemudian wajah Musashi, tak tahu apa yang mesti ia perbuat.

Sesudah kedua orang itu menjelaskan keadaan kepadanya, Koetsu berkata, “Kalau di kamar lain itu nanti hanya ada kalian berdua dan Mitsuhiro, aku tidak keberatan pergi ke sana.”

Mereka mendapati Mitsuhiro dan Shoyu yang akhirnya kehabisan pokok pembicaraan itu sedang tenggelam dalam kesenduan. Mereka mulai merasa bahwa sake pahit, bibir kering, dan hirupan air membangkitkan pikiran tentang rumah. Malam itu akibatnya lebih buruk lagi; Yoshino meninggalkan mereka.

“Bagaimana kalau kita semua pulang?” satu orang menyarankan.

“Baik juga,” kata yang lain-lain menyetujui.

Sebetulnya mereka tidak benar-benar ingin pulang, tapi mereka kuatir bahwa kalau tinggal lebih lama lagi, tak ada yang tertinggal dari kelembutan malam itu. Tapi ketika mereka akan pergi, Rin’ya datang berlari-lari masuk kamar bersama dua gadis yang lebih kecil. Sambil menggenggam tangan Yang Dipertuan Kangan, kata Rin’ya, “Kami minta maaf telah memaksa Bapak menunggu. Kami mohon Bapak-bapak jangan pergi. Yoshino Dayu siap menerima Bapak semua di kamar pribadinya. Saya tahu hari sudah malam, tapi di luar masih terang karena salju, dan dalam udara dingin seperti ini setidak-tidaknya Bapak mesti menghangatkan badan baik-baik sebelum masuk joli. Mari ikut kami.”

Tak seorang pun dari orang-orang itu ingin main lagi. Sekali semangat sudah pergi, sukar ditimbulkan lagi.

Melihat keraguan mereka, salah sorang pembantu berkata, “Yoshino mengatakan dia yakin Bapak-bapak sekalian menganggapnya kasar karena tadi dia pergi, tapi dia tak bisa berbuat lain. Kalau dia menerima Yang Dipertuan Kangan, Pak Funabashi tersinggung, dan kalau dia pergi dengan Pak Funabashi, Yang Dipertuan Kangan akan kesepian. Dia tak ingin ada di antara Bapak-bapak yang merasa diabaikan, karena itu dia mengundang Bapak-bapak minum. Kami mengharapkan Bapak mengerti perasaannya, dan kami persilakan Bapak tinggal lebih lama.”

Karena merasa bahwa menolak berarti tidak sopan, lagi pula menarik juga melihat pelacur terkemuka di kamarnya sendiri, maka mereka menerima bujukan itu. Dibimbing gadis-gadis itu, mereka mengambil lima pasang sandal jerami kasar yang ada di tangga halaman. Sesudah mengenakannya, mereka berjalan tanpa bunyi, menyeberangi salju lembut. Musashi tak tahu apa yang akan terjadi, tetapi orang-orang lain menyimpulkan bahwa mereka diundang minum teh, karena Yoshino terkenal sebagai penganut setia kultus teh. Karena menarik juga minum teh sesudah begitu banyak sake mereka minum, tak seorang pun keberatan. Tapi ternyata mereka diantar melewati warung teh, dan masuk ladang yang penuh tumbuhan.

“Mau kamu bawa ke mana kami ini?” tanya Yang Dipertuan Kangan dengan nada menuduh. “Ini ladang buah arbei!”

Gadis-gadis mengikik dan Rin’ya buru-buru menjelaskan. “Bukan, bukan! Ini kebun peoni kami. Pada permulaan musim panas kami keluarkan bangku-bangku, dan semua orang datang kemari buat minum dan me­ngagumi kembang-kembangnya.”

“Tidak di ladang arbei tidak juga di kebun peoni, sama saja tak enaknya ada di luar begini, di tengah salju. Apa Yoshino mau bikin kita masuk angin?”

“Maafkan saya. Tak seberapa jauh lagi.”

Di sudut ladang terdapat sebuah pondok kecil dengan atap ilalang, yang tampaknya seperti rumah yang telah berdiri di situ sejak sebelum daerah itu dibangun. Di belakangnya terdapat rumpun pepohonan, dan pekarangan itu terpisah dari halaman Ogiya yang terawat baik.

“Silakan ke sini,” desak gadis-gadis itu seraya mengantar mereka masuk ke kamar berlantai tanah liat. Dinding dan tiangnya hitam oleh jelaga.

Rin’ya mengabarkan kedatangan mereka, dan dari dalam rumah terdengar jawaban Yoshino Dayu, “Selamat datang! Silakan masuk.”

Api dalam perapian memancarkan sinar merah lembut ke kertas shoji. Suasana di situ kelihatan lain sama sekali dari di kota. Sementara melihat­-lihat dapur dan mantel hujan dari jerami yang tergantung di dinding, orang-orang itu bertanya-tanya dalam hati, hiburan apa gerangan yang hendak dihidangkan pada mereka oleh Yoshino. Shoji terbuka, dan satu-satu mereka memasuki kamar perapian.

Kimono Yoshino berwarna kuning polos pucat, obi-nya dari kain satin hitam. Ia sedikit sekali mengenakan hiasan, dan sudah menyusun kembali rambutnya dengan gaya nyonya rumah yang sederhana. Tamu-tamu me­mandangnya penuh kekaguman.

“Sungguh lain dari yang lain!”

“Sungguh memikat!”

Dalam lingkungan sederhana yang dimulai dengan dinding-dinding yang menghitam itu, Yoshino tampak seratus kali lebih cantik daripada waktu ia mengenakan pakaian gaya Momoyama yang tersulam rumit. Kimono men­colok yang biasa dilihat pria-pria itu, lipstik warna-warni, dan tabir-tabir emas serta tempat lilin dari perak-semua itu diperlukan seorang perempuan yang pekerjaannya seperti dia. Tapi Yoshino tak perlu alat pembantu untuk meningkatkan kecantikannya.

“Hmm,” kata Shoyu, “ini betul-betul istimewa.” Tidak gampang memberi pujian, orang tua yang tajam lidahnya itu untuk sementara tampak jinak.

Tanpa membagikan bantal, Yoshino mempersilakan tamu-tamunya duduk di dekat perapian.

“Seperti Bapak-bapak lihat, saya tinggal di sini, dan tidak banyak yang dapat saya suguhkan kepada Bapak, tapi setidak-tidaknya ada api. Saya harap Bapak setuju bahwa api adalah hidangan paling bagus yang dapat disuguhkan orang pada malam bersalju dingin, apakah sang tamu seorang pangeran atau orang miskin. Di sini kayu api cukup banyak, jadi biarpun kita bicara sepanjang malam, saya tak akan terpaksa menggunakan tanaman pot sebagai bahan bakar. Saya minta Bapak-bapak duduk yang enak.”

Bangsawan, saudagar, seniman, dan pendeta itu duduk bersila dekat perapian dengan tangan dikembangkan di atas api. Koetsu merenungkan perjalanan dingin dari Ogiya dan undangan untuk mendatangi api riang itu. Betul-betul seperti hidangan, dan itulah hakikat suguhan.

“Silakan Anda dekat api juga,” kata Yoshino. Ia tersenyum ramah kepada Musashi, dan bergerak sedikit, menyediakan tempat baginya.

Musashi terpesona oleh kalangan agung yang sekarang dihadapinya. Sesudah Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu, barangkali Yoshino orang paling terkenal di Jepang. Tentu saja ada Okuni dari Kabuki dan gundik Hideyoshi, yaitu Yodogimi, tapi Yoshino dianggap lebih tinggi kelasnya daripada Okuni, dan memiliki lebih banyak kecerdasan, kecantikan, dan keramahan daripada Yodogimi. Orang-orang yang berhubungan dengan Yoshino dikenal sebagai “pembeli”, sedangkan Yoshino sendiri disebut “Si Tayu”. Setiap pelacur kelas satu dikenal dengan nama Tayu, tapi kalau dikatakan “Si Tayu”, yang dimaksud hanyalah Yoshino seorang. Musashi mendengar Yoshino memiliki tujuh pembantu untuk memandikannya dan dua orang untuk memotong kukunya.

Malam ini untuk pertama kali dalam hidupnya Musashi mendapati dirinya berada di tengah para wanita yang bercat dan berpoles, dan sikapnya jadi resmi kaku. Sebagian karena ia tak habis pikir, sesungguhnya apa yang menurut orang-orang itu luar biasa pada Yoshino.

“Silakan bersantai,” kata Yoshino. “Silakan duduk di sini.”

Sesudah dipersilakan untuk keempat atau kelima kalinya, akhirnya Musashi menyerah. Ia mengambil tempat di samping Yoshino dan menirukan yang lain-lain menjulurkan tangan ke atas api dengan kikuk.

Yoshino memandang lengan baju Musashi dan melihat noda merah di situ. Sementara yang lain-lain sibuk bercakap-cakap, diam-diam Yoshino mengambil secarik kertas dari lengan kimononya dan menghapus noda itu.

“Oh, terima kasih,” kata Musashi. Sekiranya tadi ia diam saja, tak se­orang pun akan melihatnya, tapi begitu ia membuka mulut, semua mata tertuju pada noda merah tua pada kertas di tangan Yoshino itu.

Dengan mata terbuka lebar, Mitsuhiro berkata, “Itu darah, kan?”

Yoshino tersenyum. “Tentu saja bukan. Ini daun bunga peoni merah.”

Kecapi Rusak

EMPAT-lima batang kayu di perapian menyala lembut, menyebarkan aroma menyegarkan Dan menerangi kamar kecil itu seakan tengah hari. Asap lembut itu tidak menyebabkan mata sakit. Asapnya seperti daun-daur, peoni terbawa angin, sekali-sekali dinodai bunga-bunga api warna emas lembayung dan merah tua. Manakali api menunjukkan tanda-tanda akar. mati, Yoshino menambahkan potongan-potongan ranting api sepanjang tiga puluh sentimeter yang diambil dari bak.

Orang-orang itu terlampau terpikat oleh keindahan nyala api, hingga tidak bertanya tentang kayu api, tapi akhirnya Mitsuhiro mengatakan “Kayu apa yang kaupergunakan itu? Itu bukan kayu pinus.”

“Bukan,” jawab Yoshino. “Ini kayu peoni.”

Mereka agak heran, karena peoni dengan ranting-rantingnya yang pipih dan rimbun itu rasanya tidak begitu cocok untuk kayu api. Yoshino mengambil bilah yang baru sedikit hangus dan menyerahkannya pada Mitsuhiro.

Ia mengatakan tunggul-tunggul peoni di kebun itu sudah ditanam lebil­dari seratus tahun yang lalu. Pada awal musim dingin, tukang-tukang kebun memangkasnya rendah-rendah dan membuang bagian atasnya yang dimakan cacing. Hasil pangkasan itu disimpan untuk kayu api. Jumlahnva kecil, tapi cukup untuk Yoshino.

Menurut Yoshino, bunga peoni adalah raja bunga. Barangkali masuk akal bahwa cabang-cabangnya yang layu memiliki mutu yang tak ditemukan pada kayu biasa, tepat seperti orang-orang tertentu memiliki nilai yang tidak dipunyai orang lain. “Tak banyak orang yang jasanya dapat diberitahu sesudah kembangnya layu dan mati,” demikian renungnya. Dan dengan senyum sendu ia menjawab pertanyaannya sendiri. “Kita manusia ini berkembang hanya selama kita muda, kemudian menjadi kering, menjadi kerangka tak berbau, malahan bisa juga sebelum kita mati.”

Sebentar kemudian Yoshino berkata, “Saya minta maaf karena tak ada lagi yang dapat saya suguhkan kecuali sake dan api, tapi setidaknya ini cukup untuk sampai matahari terbit.”

“Engkau tak perlu minta maaf. Ini hidangan yang cocok untuk seorang pangeran.” Shoyu memang tulus dalam memuji, sekalipun ia terbiasa dengan kemewahan.

“Ada satu hal lagi yang saya inginkan dari Bapak-bapak,” kata Yoshino. “Sudikah Bapak-bapak menulis kenangan tentang malam ini?”

Ia menggosok batu tinta, dan gadis-gadis menghamparkan babut wol di kamar sebelah, serta meletakkan beberapa carik kertas tulis Cina. Kertas itu ulet dan menyerap, karena terbuat dari bambu dan kayu arbei bahan kertas, tepat sekali untuk tulisan kaligrafi.

Mitsuhiro mengambil alih peranan tuan rumah, dan menoleh kepada Takuan, katanya, “Pak pendeta yang baik, karena Nyonya memintanya, silakan Bapak menulis sesuatu yang cocok. Atau barangkali kita mesti bertanya dulu pada Koetsu?”

Koetsu beringsut dengan lututnya. Ia mengambil kuas, berpikir sejenak, lalu menggambar kembang peoni. Di atas kembang itu Takuan menulis:

Kenapakah aku bergayut

Pada hidup yang begini jauh Dari kecantikan dan nafsu? Peoni yang cantik pun

Membuang daun bunganya dan mati.

Sajak Takuan itu bergaya Jepang. Mitsuhiro memilih menulis dalam gaya Cina dan menurunkan baris-baris sajak Tsai Wen:

Apabila aku sibuk, gunung memandangku

Apabila aku senggang, aku memandang gunung Walau kelihatannya sama, tapi tak sama

Karena kesibukan lebih rendah dari kesenggangan.

Di bawah sajak Takuan, Yoshino menulis:

Sekalipun kala berkembang

Napas kesedihan mengapung Di atas bunga-bungaan

Apakah bunga memikirkan masa depannya Ketika daun bunganya hilang?

Shoyu dan Musashi memperhatikan tanpa mengatakan sesuatu. Musashi lega karena tak seorang pun memaksanya menuliskan sesuatu.

Mereka kembali ke perapian dan mengobrol beberapa waktu lamanya, sampai akhirnya Shoyu melihat sebuah biwa, sejenis kecapi, di samping ceruk dalam kamar, dan minta kepada Yoshino untuk bermain bagi mereka. Yang lain-lain mendukung saran itu.

Tanpa sikap malu-malu Yoshino mengambil alat musik itu dan duduk di tengah kamar dalam yang remang-remang cahayanya. Ia menunjukkan sikap seorang empu yang bangga akan keterampilannya, tapi ia pun tidak berusaha menunjukkan sikap terlalu rendah hati. Semua orang membersihkan diri dari pikiran-pikiran sampingan agar dapat mencurahkan perhatian kepada usaha Yoshino membawakan petikan dari Dongeng tentang Heike. Nada-nada lembut dan halus digantikan dengan nada-nada menggelora, kemudian oleh paduan nada patah-patah. Api mati, dan kamar menjadi gelap. Karena terpesona oleh musik, tak seorang pun bergerak, sampai akhirnya letusan kecil bunga api membawa mereka kembali ke bumi.

Ketika musik berhenti, Yoshino berkata disertai senyum selintas, “Saya takut permainan saya tidak begitu bagus.” Ia simpan kembali kecapinya dan kembali ke dekat api. Ketika orang-orang berdiri untuk pulang, Musashi­lah yang pertama menuju pintu dengan senangnya, karena selamat dari kebosanan lebih lanjut. Yoshino mengucapkan selamat jalan kepada yang lain-lain satu per satu, tapi tidak mengatakan sesuatu pun kepadanya. Baru ketika ia hendak meninggalkan tempat itu, Yoshino diam-diam mencekal lengan kimononya.

“Menginaplah di sini, Musashi. Aku… takkan membiarkan engkau pu­lang.” Wajah seorang perawan yang sedang diganggu pun tidak mungkin lebih merah daripada wajah Musashi waktu itu. Musashi mencoba menutupinya dengan berpura-pura tidak mendengar, tapi semua yang lain tahu bahwa Musashi terlampau bingung untuk berbicara.

Sambil menoleh pada Shoyu, Yoshino berkata, “Tak apa-apa kalau dia saya tahan di sini, kan?”

Musashi melepaskan tangan Yoshino dari lengan kimononya. “Tidak, saya pergi dengan Koetsu.”

Tapi ketika Musashi bergegas menuju pintu, Koetsu menghentikannya. “Jangan seperti itu, Musashi. Apa salahnya engkau menginap di sini malam ini? Kau bisa pulang ke rumahku besok. Biar bagaimana, Nyonya sudah berbaik hati menunjukkan perhatiannya padamu.” Dan secara mencolok ia pun pergi meng-gabungkan diri dengan kedua orang lainnya.

Sikap hati-hati Musashi mengingatkannya bahwa orang-orang itu dengan sengaja mencoba memperdayakannya agar mau tinggal, tapi kemudian mereka akan menertawakannya. Namun sikap sungguh-sungguh yang ia baca pada wajah Yoshino dan Koetsu menyatakan bahwa ajakan itu tidak sekadar lelucon.

Shoyu dan Mitsuhiro senang sekali melihat kikuknya Musashi dan terus menggodanya. Seorang dari mereka berkata, “Kau orang yang paling ber­untung di negeri ini,” dan yang lain menyatakan bersedia menggantikan­nya.

Kelakar berhenti dengan datangnya seorang lelaki yang oleh Yoshino telah disuruh mengawasi sekitar tempat kediamannya. Orang itu datang dengan napas terengah-engah, giginya gemeletuk karena ngeri.

“Bapak-bapak dapat meninggalkan tempat ini,” katanya, “tapi Musashi barangkali tak mungkin. Cuma gerbang utama yang sekarang terbuka. Kedua sisi gerbang, sekitar Warung Teh Amigasa dan sepanjang jalan, penuh samurai bersenjata lengkap, berkeliaran dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka dari Perguruan Yoshioka. Pedagang-pedagang kuatir akan terjadi sesuatu yang mengerikan, karena itu mereka semua menutup pintu lebih awal. Sebelah sana, arah ke lapangan berkuda, kata orang paling tidak ada seratus orang.”

Orang-orang itu kagum bukan main, tidak hanya oleh laporan itu, me­lainkan juga oleh tindakan berjaga-jaga yang telah diambil Yoshino. Hanya Koetsu yang mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi.

Yoshino telah menduga ada sesuatu yang telah terjadi ketika ia melihat noda darah pada lengan kimono Musashi.

“Musashi,” kata Yoshino, “kau sudah mendengar sendiri bagaimana keadaan di luar. Sekarang mungkin kau bisa lebih mantap lagi untuk pergi dari sini, cuma untuk membuktikan dirimu tidak takut. Tapi kuminta kau tidak melakukan sesuatu yang gegabah. Kalau musuh-musuhmu meng­anggapmu pengecut, kau bisa membuktikan pada mereka besok bahwa kau bukan pengecut. Malam ini di sini saja kau bersantai. Menyenangkan diri sepuas-puasnya adalah tanda seorang lelaki sejati. Orang-orang Yoshioka mau membunuhmu. Pasti bukan hat memalukan kalau kau menghindarinya. Tapi banyak orang akan mengutukmu kalau penilaianmu tidak tepat, yaitu jika kau berkeras masuk dalam perangkap mereka.

“Tentu saja persoalan utama di sini adalah kehormatan pribadimu, tapi kuminta kau mempertimbangkan kesulitan yang akan menimpa orang-­orang di tempat ini, akibat timbulnya perkelahian. Hidup teman-temanmu akan berada dalam bahaya juga. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya yang paling bijaksana bagimu adalah tinggal di sini.”

Tanpa menanti jawaban Musashi, Yoshino menoleh kepada orang-orang lain, dan katanya, “Saya kira Bapak-bapak bisa pergi sekarang, asal saja ber­hati-hati di perjalanan.”

Beberapa jam kemudian, lonceng berbunyi empat kali. Bunyi musik dan nyanyian di kejauhan sudah lenyap. Musashi duduk di ambang kamar per­apian, bagai tawanan yang sedang kesepian menantikan fajar. Yoshino tinggal di dekat api.

“Kau tidak kedinginan di situ?” tanyanya. “Datanglah kemari, di sini hangat.”

“Jangan pikirkan aku. Pergilah tidur. Kalau matahari terbit nanti, aku akan mencoba keluar.”

Kata-kata itu sudah berkali-kali diucapkan, tapi tak ada hasilnya sama sekali.

Biarpun Musashi tidak pandai berbasa-basi, Yoshino merasa tertarik kepadanya. Orang mengatakan perempuan yang dapat menilai lelaki sebagai lelaki, dan bukan sebagai sumber pendapatan, tidak mungkin mencari keria di daerah pelesiran. Ucapan ini cuma klise yang diulang-ulang oleh pars pengunjung rumah-rumah pelacuran, yaitu orang-orang yang hanya mengenal pelacur biasa dan tak ada hubungannya dengan pelacur-pelacur besar. Perempuan-perempuan dengan tingkat pendidikan dan latihan sepeni Yoshino, mampu sekali merasa jatuh cinta. Umur Yoshino hanya setahun atau dua tahun lebih tua dari Musashi, tapi alangkah berlainan pengalaman mereka dalam cinta. Melihat Musashi duduk kaku, mengendalikan perasaannya, dan menghindari wajahnya, seakan-akan memandang dirinya itu akan membuatnya buta, Yoshino sekali lagi merasa seperti perawan yang masih polos dan sedang dirundung cinta pertama.

Para pelayan, yang tidak memahami adanya ketegangan psikologis itu. menghamparkan kasur yang cocok untuk anak lelaki atau anak perempuan daimyo di kamar sebelah. Lonceng-lonceng kecil keemasan berkilau lembut di sudut-sudut bantal satin.

Bunyi salju yang meluncur dari atap bukan tidak mirip dengan bunyi orang meloncat dari pagan ke halaman. Setiap kali mendengarnya, rambut Musashi tegak seperti landak. Sarafnya seakan mencapai ujung-ujung rambut itu.

Yoshino bergidik di sekujur tubuhnya. Itulah waktu terdingin pada malam hari, yaitu tepat sebelum fajar merekah. Namun perasaan tak enak yang diderita Yoshino bukanlah akibat dingin. Perasaan itu diakibatkan karena melihat lelaki ganas itu, dan perasaan itu berbenturan menjadi suatu irama yang ruwet dengan rasa tertariknya yang wajar kepada Musashi.

Ketel di atas api mulai bersiul dan bunyi riang itu menenangkannya. Diam-diam dituangkannya teh.

“Sebentar lagi pagi. Minumlah secangkir teh dan hangatkan dirimu dekat api.”

“Terima kasih,” kata Musashi tanpa bergerak.

“Sudah siap sekarang,” kata Yoshino lagi, kemudian berhenti mencoba. Ia tak ingin Musashi merasa jengkel terhadap dirinya. Namun ia sedikit tersinggung juga melihat teh itu terbuang sia-sia. Sesudah teh terlalu dingin untuk diminum, dituangkannya ke dalam ember kecil yang memang tersedia untuk itu. Apa gunanya menawarkan teh pada orang kasar macam ini, yang tak dapat menilai sama sekali keelokan minum teh? demikian pikirnya.

Sekalipun Musashi membelakanginya, Yoshino dapat melihat bahwa tubuh Musashi sekencang ketopong baja. Dan mata Yoshino jadi tampak bersimpati.

“Musashi.”

“Apa?”

“Kau ini berjaga terhadap siapa?”

“Tidak terhadap siapa-siapa. Aku mencoba untuk tidak terlalu bersantai.”

“Justru karena musuh-musuhmu?”

“Tentu saja.”

“Dalam keadaan sekarang, kalau engkau tiba-tiba diserang dengan keras, kau akan segera terbunuh. Aku yakin, dan itu membuatku sedih.” Musashi tidak menjawab.

“Seorang perempuan macam diriku tidak tahu apa-apa tentang Seni Perang, tapi dari mengamatimu malam ini, aku mendapat perasaan yang mengerikan, seolah aku sedang melihat orang yang akan dirobohkan pedang. Terasa ada bayangan maut pada dirimu. Apakah seorang prajurit betul-betul dapat merasa aman, kalau setiap saat dia menghadapi berlusin-lusin pedang? Dapatkah orang seperti itu mengharapkan kemenangan?”

Pertanyaan itu terdengar simpatik, tapi justru mengganggu ketenangan Musashi. Dengan cepat ia memutar badan, beranjak ke perapian, dan duduk menghadapi Yoshino.

“Jadi, menurut pendapatmu, aku belum matang?”

“Oh, aku sudah membuatmu marah, ya?”

“Tak pernah aku bisa marah oleh kata-kata perempuan. Tapi aku ingin tahu, kenapa menurutmu kelakuanku seperti orang yang akan terbunuh?”

Dengan perasaan tak senang ia menyadari bahwa oleh orang-orang Yoshioka ia telah dijerat dengan jaringan pedang, strategi, dan kutukan. Ia sudah tahu sebelumnya bahwa ia akan menghadapi usaha balas dendam, dan di halaman Rengeoin pun ia sudah bermaksud pergi menyembunyikan diri. Tapi perbuatan demikian akan terasa kasar oleh Koetsu dan akan berarti menyalahi janji kepada Rin’ya. Namun yang lebih menentukan persoalan adalah keinginan untuk tidak dituduh lari karena takut.

Sesudah kembali ke Ogiya, menurutnya ia sudah memperlihatkan ke­sabaran yang mengagumkan. Tapi sekarang Yoshino menertawakan ketidak­matangannya. Ia sebetulnya takkan terganggu sekiranya Yoshino mengolok­-oloknya dengan cara pelacur, tapi Yoshino kelihatannya serius sekali.

Ia menyatakan tidak marah, tapi kenyataannya matanya setajam ujung pedang, dan ia langsung menatap wajah Yoshino yang putih. “Jelaskan kata-katamu itu.” Dan ketika Yoshino tidak segera menjawab, katanya, “Atau barangkali kau cuma berkelakar?”

Lesung pipit Yoshino yang sejenak tadi hilang kini muncul lagi. “Bagai­mana mungkin kau mengatakan begitu?” Ia tertawa sambil menggoyangkan kepala. “Apa menurutmu aku akan berkelakar tentang soal yang begitu serius untuk seorang prajurit?”

“Nah, lalu apa maksudmu? Coba ceritakan!”

“Baik. Karena kau kelihatannya ingin sekali tahu, akan kucoba men­jcukan. Apa kau mendengarkan waktu aku main kecapi?”

“Ada hubungan apa dengan kecapi?”

“Barangkali sinting juga aku menanyakan itu. Tapi karena sedang tegar. telingamu tentunya tak mungkin menangkap nada-nada musik yang halus dan indah.”

“Tidak benar. Aku tadi mendengarkan.”

“Dan apa sempat engkau bertanya di dalam hati, bagaimana mungkin gabungan nada-nada lunak dan keras, dan kalimat-kalimat lemah dan kuat yang demikian rumit itu dapat dihasilkan oleh empat senar?”

“Aku mendengarkan ceritanya. Apa lagi yang mesti didengarkan?”

“Banyak orang memang begitu sikapnya, tapi aku ingin membuat per­bandingan antara kecapi dan manusia sebagai makhluk. Aku takkan mem­bicarakan teknik bermain, tapi akan kubacakan sekarang sajak Po Chu-i, di mana ia melukiskan bunyi-bunyi kecapi. Aku yakin engkau kenal sajak itu.”

Yoshino mengerutkan dahinya sedikit ketika membawakan sajak itu de­ngan suara rendah dan dengan gaya antara menyanyi dan berbicara.

Dawai-dawai besar mendengung seperti hujan, Dawai-dawai kecil berbisik seperti rahasia, Mendengung, berbisik… dan kemudian berbaur Seperti mencurahkan mutiara besar-kecil ke dalam piring baru jadi. Kita mendengar kepodang yang berkilauan, walau tersembunyi dalam bunga. Kita mendengar kali tersedu sedih di sepanjang tepian pasir… Kalau dihentikan sentuhan dinginnya, dawai itu bagai putus

Seakan tidak terus, tapi nada-nada yang menghilang ke dasar kesedihan dan persembunyian ratapan

Lebih dapat ia bercerita dalam diam daripada dalam bunyi…

Sebuah jambangan tiba-tiba pecah dan airnya tumpah, Dan kuda-kuda berketopong melompat dan senjata-senjata membentur dan menghantam Dan sebelum ia menjatuhkan beliungnya, ia akhiri permainan dengan satu pukulan,

Dan keempat dawai pun memperdengarkan satu bunyi, seperti kain sutra yang koyak.

“Ya begitulah, sebuah kecapi sederhana dapat menghasilkan aneka nada yang tak terbatas jumlahnya. Semenjak aku menjadi magang, hal itu sudah mengherankan diriku. Akhirnya kupecahkan kecapi untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Kemudian kucoba membuat sendiri. Dan sesudah mencoba macam-macam hal, akhirnya aku mengerti bahwa rahasia alat itu terletak di hatinya.”

Ia berhenti dan pergi mencari kecapi dari kamar sebelah. Kembali ke tempat semula, ia pegang alat musik itu pada lehernya dan ia dirikan di depan Musashi.

“Kalau kauperiksa hati di dalamnya, engkau dapat melihat kenapa berbagai variasi nada itu mungkin dihasilkan.” Ia ambil sebuah pisau yang bagus dan tajam dengan tangannya yang luwes, kemudian ia torehkan pisau itu cepat dan tajam ke bagian belakang kecapi yang berbentuk buah pir itu. Dengan tiga-empat torehan cekatan, pekerjaan itu selesai, demikian cepat dan menentukan, hingga Musashi hampir-hampir mengharap melihat darah menyembur dari alat musik itu. Ia bahkan merasakan denyut nyeri, seolah-olah mata pisau itu menoreh dagingnya sendiri. Sambil menyem­bunyikan pisau di belakang dirinya, Yoshino mengangkat kecapi itu agar Musashi dapat melihat susunannya.

Musashi memandang wajah Yoshino, kemudian memandang kecapi yang sudah rusak itu, dan bertanya dalam hati apakah Yoshino sebenarnya memiliki juga sifat keras seperti dinyatakan dengan cara memainkan pisau itu. Rasa nyeri akibat jerit torehan itu membekas.

“Seperti kaulihat,” kata Yoshino. “Bagian dalam kecapi ini hampir seluruh­nya bolong. Segala variasi datangnya dari benda melintang di bagian tengah ini. Potongan kayu inilah tulang-belulang alat musik ini, alat vitalnya, hatinya. Kalau bentuknya lurus betul dan kaku, bunyinya monoton, tapi kenyataannya barang itu dibentuk melengkung. Tapi itu saja tak cukup untuk menciptakan variasi nada yang tanpa batas itu. Variasi itu dapat diciptakan dengan membiarkan benda melintang itu mendapat kebebasan bergetar ke sana kemari. Dengan kata lain, kekayaan nada itu ada karena adanya kebebasan gerak tertentu, dan karena ada kelenturan tertentu pada ujung-ujung intinya.

“Ini sama saja dengan manusia. Dalam kehidupan ini kita mesti memiliki keluwesan. Semangat kita harus dapat bergerak bebas. Terlampau kaku dan keras berarti rapuh dan tak memiliki daya tanggap.”

Mata Musashi tak bergerak menatap kecapi, dan bibirnya tidak terbuka.

“Soal ini seharusnya jelas bagi semua orang,” lanjut Yoshino, “tapi keistimewaan manusia adalah menjadi kaku, kan? Dengan satu sentilan alat pemetik aku dapat membuat keempat dawai kecapi ini terdengar seperti kmbing, seperti pedang, atau seperti koyakan kain, karena adanya kese­imbangan yang baik antara kemantapan dan keluwesan dalam inti kayu. Malam ini, ketika pertama kali aku melihatmu, aku dapat merasakan tidak adanva keluwesan padamu, yang ada cuma kekerasan kaku dan pantang menyerah. Kalau benda melintang itu sama tegang dan kakunya dengan engkau, satu sentilan alat pemetik saja akan memutuskan dawai, barangkali termasuk juga papan suaranya sendiri. Mungkin kelihatannya congkak bahwa aku mengatakan semua ini, tapi aku menguatirkanmu. Aku tidak ber­kelakar atau menertawakanmu. Mengerti?”

Ayam jantan berkokok di kejauhan. Sinar matahari yang dipantulkan salju menembus celah-celah tirai hujan. Musashi duduk menatap kecapi yang telah cacat itu dan remah-remah kayu di lantai. Kokok ayam jantan tidak terdengar olehnya. Ia tak melihat sinar matahari.

“Oh,” kata Yoshino, “sudah pagi.” Ia kelihatan merasa sayang bahwa malam telah lewat. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil lagi kayu api, tapi ternyata kayu api telah habis.

Bunyi-bunyi pagi hari-pintu yang berderak membuka dan kicau burung­burung-masuk ke dalam kamar, tapi Yoshino tak juga bergerak membuka tirai hujan. Walaupun api sudah dingin, darah mengalir hangat di dalam nadinya.

Gadis-gadis muda yang meladeninya cukup paham dan tidak membuka pintu rumah kecilnya sebelum mereka dipanggil.

Sakit Hati

DALAM dua hari salju mencair dan angin musim semi yang hangat men­dorong lautan kuncup daun untuk berkembang sepenuhnya. Matahari demikian panas, hingga pakaian katun pun tak enak dipakai.

Seorang biarawan muda Zen yang belakang kimononya terpercik lumpur setinggi pinggang berdiri di depan pintu masuk kediaman Yang Dipertuan Karasumaru. Karena seruan yang berulang-ulang diucapkannya tidak men­dapat jawaban, ia berjalan memutar ke tempat kediaman para pelayan. Berjinjit ia mengintip lewat jendela.

“Ada apa, Pak Pendeta?” tanya Jotaro.

Biarawan itu memutar badan dan ternganga. Tak terbayang olehnya apa yang dikerjakan oleh anak telantar macam itu di halaman rumah Karasumaru Mitsuhiro.

“Kalau mau mengemis, Pendeta mesti memutar ke dapur,” kata Jotaro.

“Aku di sini bukan mengemis,” jawab si biarawan. Ia mengeluarkan kotak surat dari kimononya. “Aku dari Nansoji di Provinsi Izumi. Surat ini buat Takuan Soho, aku tahu dia tinggal di sini. Apa kau salah seorang suruhan di sini?”

“Tentu saja bukan. Aku tamu seperti Takuan.”

“Oh, begitu? Kalau begitu, boleh aku minta tolong disampaikan kepada Takuan, aku ada di sini?”

“Tunggu di sini. Aku akan memanggilnya.”

Jotaro melompat ke pendapa, tapi terinjak olehnya kaki tirai kayu, dan jeruk-jeruk keprok yang tersimpan dalam kimononya berjatuhan ke lantai. Jeruk-jeruk itu cepat dipungutnya kembali, lalu ia bergegas ke arah ruangan .ialam.

Beberapa menit kemudian, ia kembali dan memberitahu biarawan itu bahwa Takuan sedang pergi. “Orang bilang dia di Daitokuji.”

“Kau tahu kapan dia kembali?”

“Mereka bilang sebentar lagi.”

“Apa bisa aku menunggu tanpa mengganggu orang lain?”

Jotaro meloncat ke halaman dan mengantar biarawan itu langsung ke gudang. “Bapak bisa menunggu di sini,” katanya. “Di sini Bapak takkan mengganggu orang lain.”

Gudang itu penuh jerami, roda-roda kereta, tahi lembu, dan segala macam barang lain, tapi sebelum si pendeta sempat mengatakan sesuatu. Jotaro sudah lari menyeberang halaman, menuju rumah kecil di ujung barat pekarangan.

“Otsu!” panggilnya. “Aku bawa jeruk.”

Dokter Yang Dipertuan Karasumaru mengatakan pada Otsu tak ada yang perlu dikuatirkan. Otsu percaya kepadanya. Walau hanya dengan me­letakkan tangan ke wajah pun ia sudah tahu betapa kurus badannya. Demam yang dideritanya terus juga berlangsung, dan nafsu makannya tidak juga pulih, tapi tadi pagi itu ia berbisik pada Jotaro bahwa ia ingin jeruk.

Sesudah meninggalkan posnya di samping tempat tidur Otsu, Jotaro pergi ke dapur, tapi di situ diketahuinya bahwa di rumah itu tidak ada jeruk. Karena di warung bumbu atau di warung-warung makanan yang lain pun tidak ada, pergilah ia ke pasar terbuka di Kyogoku. Berbagai macam barang dapat dibeli di sana-benang sutra, barang-barang dari katun. minyak lampu, bulu binatang, dan lain-lain-tapi tak ada jeruk keprok. Sesudah meninggalkan pasar, beberapa kali harapannya bangkit melihat buah warna jingga di dalam tembok-kebun pribadi, tapi ternyata buah itu jeruk pahit.

Sesudah menjalani hampir setengah kota, barulah ia berhasil mendapatkan jeruk, dengan mencuri. Sesajen di depan tempat suci Shinto terdiri atas onggokan kentang, wortel, dan jeruk. Dijejalkannya buah itu ke dalam kimononya dan ia menoleh ke sekitar untuk meyakinkan diri bahwa tak ada orang memperhatikannya. Karena takut bahwa dewa yang disakiti hatinya dapat muncul setiap saat, sepanjang jalan kembali ke rumah Karasumaru ia berdoa, “Jangan hukum aku. Aku sendiri takkan makan jeruk ini.”

Ia membariskan jeruk-jeruk itu, menawarkan sebuah pada Otsu, dan mengupaskannya. Otsu menoleh, tak mau menyentuhnya.

“O-ho, ada apa?”

Ketika Jotaro memajukan wajahnya untuk memandang muka Otsu. Otsu menyembunyikan kepalanya lebih dalam ke bantal. “Tak ada apa-apa,” sedu­nya.

“Jadi, Kakak mulai nangis lagi, ya?” kata Jotaro sambil mendecapkan lidah. “Maaf.”

“Tak usah minta maaf, makan saja satu ini.”

“Nanti.”

“Paling tidak, makan yang sudah kukupas ini. Ayolah.”

“Jo, aku hargai perhatianmu, tapi sekarang ini aku belum bisa makan ­apa-apa.”

“Itu karena Kakak nangis terlalu banyak. Kenapa Kakak begini sedih.”­

“Aku menangis karena bahagia, karena kau begitu baik padaku.”

“Aku tak suka melihat Kakak begini. Bikin aku mau nangis juga.”

“Aku janji akan berhenti nangis. Maafkan aku, ya?”

“Asal Kakak mau jeruk ini. Kalau Kakak tidak makan apa-apa, nanti Kakak mati.”

“Nanti. Kamu saja makan ini.”

“Ah, tidak.” Dan Jotaro menelan ludah dengan berat. Terbayang olehnya mata berang dewa.

“Baiklah, masing-masing kita ambil satu.”

Otsu mengubah pikirannya dan mulai membuang serat-serat putih panjang pada daging buah itu dengan jari-jarinya yang halus.

“Di mana Takuan?” tanyanya kosong.

“Mereka bilang dia di Daitokuji.”

“Apa benar dia melihat Musashi dua malam yang lalu?”

“Kakak dengar?”

“Ya. Aku ingin tahu, apa dia bilang aku ada di sini?”

“Kukira begitu.”

“Takuan bilang dia akan mengundang Musashi datang kemari hari-hari ini. Apa dia cerita tentang itu padamu?”

“Tidak.”

“Apa dia tidak lupa?”

“Apa perlu aku tanya?”

“Ya, tanyakan,” jawab Otsu, dan untuk pertama kalinya ia tersenyum. “Tapi jangan tanya dia di depanku.”

“Kenapa tidak?”

“Takuan keterlaluan. Dia bilang aku menderita ’sakit Musashi’.”

“Kalau Musashi datang, Kakak mau berdiri dan jalan ke sana kemari, kan?”

“Kamu pun mengucapkan hal-hal macam itu!” Walaupun begitu, kelihatan Otsu betul-betul bahagia.

“Apa Jotaro di situ?” seru salah seorang samurai Mitsuhiro.

“Ya, aku di sini.”

“Takuan mencarimu. Sini ikut aku.”

“Lihat sana apa maunya,” desak Otsu. “Dan jangan lupa pembicaraan kita tadi. Tanya dia, ya?” Rona merah muda menjalari pipinya yang pucat, sementara ia menarik selimut sampai ke setengah wajahnya.

Takuan sedang ada di kamar duduk, berbicara dengan Yang Dipertuan Mitsuhiro. Jotaro mengempaskan pintu hingga terbuka dan katanya,

“Pak Pendeta mencariku?”

“Ya, coba kemari.”

Mitsuhiro memandang anak itu dengan senyum ramah, walaupun anak itu tidak menampakkan kesopanan.

Jotaro duduk, dan katanya kepada Takuan, “Seorang pendeta seperti Bapak ini datang kemari. Dia bilang dia dari Nansoji. Bagaimana kalau kupanggil dia?”

“Tak usah. Aku sudah tahu. Dia mengeluh, katanya kamu anak nakal.”­

“Aku?”

“Kaupikir wajar membawa tamu ke gudang dan meninggalkannya di sana?”

“Tapi dia bilang akan menunggu di suatu tempat, supaya tidak meng­ganggu orang lain!”

Mitsuhiro tertawa sampai lututnya berguncang. Tapi hampir seketika itu juga ia kembali tenang, dan tanyanya kepada Takuan, “Engkau akan langsung pergi ke Tajima tanpa kembali ke Izumi?”

Takuan mengangguk. “Surat itu agak menggelisahkan, jadi kupikir aku mesti berbuat demikian. Tak perlu aku melakukan persiapan. Aku berangkat hari ini.”

“Bapak akan pergi?” tanya Jotaro.

“Ya, aku mesti pulang secepatnya.”

“Kenapa?”

“Aku baru mendengar ibuku serius sekali keadaannya.”

“Bapak punya ibu?” Anak itu tak percaya dengan pendengarannya.

“Tentu.”

“Lalu kapan kembali?”

“Tergantung kesehatan ibuku.”

“Apa… apa yang mesti kulakukan tanpa Bapak di sini?” gerutu Jotara. “Artinya kami takkan melihat Bapak lagi?”

“Bukan begitu. Kita segera bertemu lagi. Aku sudah mengatur kalian berdua tinggal terus di sini, dan aku ingin kau mengawasi Otsu. Usahakan agar dia berhenti merenung dan supaya sembuh. Yang dia butuhkan daripada obat adalah ketabahan yang lebih besar.”

“Aku tak cukup kuat buat memberi ketabahan. Dia takkan sembuh sebelum bertemu Musashi.”

“Dia pasien yang sukar, aku yakin. Aku tidak iri kau punya teman jalan macam dia.”

“Bapak ketemu Musashi di mana?”

“Nah…?” Takuan memandang Yang Dipertuan Mitsuhiro dan tertawa malu-malu.

“Kapan dia datang kemari? Bapak bilang akan membawa dia kemari, itu satu-satunya yang dipikirkan Otsu sekarang.”

“Musashi?” kata Mitsuhiro sambil lalu. “Apa bukan dia ronin yang bersama kita di Ogiya itu?”

Kata Takuan kepada Jotaro, “Aku belum lupa apa yang kukatakan pada Otsu. Dalam perjalanan kembali dari Daitokuji, aku singgah di rumah Koetsu buat melihat apa Musashi ada di sana. Koetsu bilang tidak melihat Musashi. Menurutnya barangkali Musashi masih di Ogiya. Dia bilang ibunya begitu kuatir dengan Musashi, hingga menulis surat pada Yoshino Dayu, minta supaya Musashi segera dikirim pulang.”

“Ha?” seru Yang Dipertuan Mitsuhiro sambil mengangkat kening, setengah heran setengah iri. “Jadi, dia masih dengan Yoshino?”

“Musashi tentunya tak lebih dari lelaki seperti yang lain-lain. Sekalipun orang-orang itu kelihatan lain ketika masih muda, selamanya mereka ke­mudian sama.”

“Yoshino itu perempuan aneh. Apa yang dipandangnya pada pemain pedang kasar itu?”

“Aku tak akan berpura-pura bisa memahaminya. Dan aku pun tidak memahami Otsu. Kesimpulannya, aku tidak memahami perempuan pada umumnya. Dari pihakku, mereka tampak sedikit sakit. Mengenai Musashi, kukira sudah saatnya sekarang ini dia mencapai musim semi hidupnya. Latihannya yang sebenarnya baru sekarang dimulai. Mari kita harapkan agar dia lepas dari anggapannya bahwa perempuan lebih berbahaya dari pedang. Namun demikian, orang lain tidak dapat memecahkan masalah­masalahnya. Aku sendiri pun tak bisa apa-apa selain dari membiarkannya sendiri.”

Takuan merasa kurang enak juga berbicara begitu banyak di depan lotaro, maka ia bergegas menyatakan terima kasih dan minta diri pada tuan rumah, serta sekali lagi mohon kepada tuan rumah agar mengizinkan Otsu dan Jotaro tinggal lebih lama sedikit.

Peribahasa tua yang menyatakan bahwa perjalanan mesti dimulai di waktu pagi tidak ada artinya bagi Takuan. Ia sudah siap berangkat, dan ia memang berangkat, sekalipun matahari sudah turun ke barat dan senja mulai menyelimuti.

Jotaro berlari di sampingnya sambil menarik-narik lengan bajunya. “Pak, kembali dulu, dan bicara sedikit dengan Otsu! Dia baru saja nangis, dan aku tak dapat menghiburnya sama sekali.”

“Apa kalian berdua bicara tentang Musashi?”

“Dia minta aku tanya pada Bapak, kapan Musashi datang. Kalau Musashi tak datang, aku takut dia mati.”

“Kamu tak usah kuatir. Tinggalkan dia sendiri.”

“Takuan, siapa Yoshino Dayu itu?”

“Apa gunanya kamu tahu itu?”

“Bapak bilang Musashi bersama dia. Ya, kan?”

“Coba dengar. Aku tidak bermaksud kembali dan mencoba mengobati penyakit Otsu, tapi kuminta kamu menyampaikan padanya atas namaku.”

“Menyampaikan apa?”

“Suruh dia makan yang wajar.”

“Aku sudah mengatakan itu seratus kali.”

“Sudah? Ya, itulah yang sebaik-baiknya mesti dikatakan kepadanya. Kalau tak mau mendengarkan, lebih baik kausampaikan padanya yang sebenar­nya.”

“Apa itu?”

“Musashi sudah terpikat seorang pelacur bernama Yoshino, dan sudah dua hari dua malam dia tidak meninggalkan rumah pelacuran. Tolol Otsu, kalau dia mau terus mencintai lelaki macam itu!”

“Ah, bohong!” protes Jotaro. “Dia sensei-ku! Dia samurai! Dia tidak seperti itu. Kalau kukatakan itu pada Otsu, dia bisa bunuh diri! Bapak sendiri yang tolol, Takuan. Bapak tolol, besar, tua!”

“Ha, ha, ha!”

“Bukan urusan Bapak mengatakan yang jelek-jelek tentang Musashi atau mengatakan Otsu sinting.”

“Kamu anak baik, Jotaro,” kata Takuan sambil menepuk bahu Jotaro.

Jotaro merunduk menghindari tangan Takuan. “Cukup bicara dengan Bapak! Tak akan aku minta tolong lagi. Aku akan cari Musashi sendiri. Akan kubawa dia kembali pada Otsu!”

“Apa kamu tahu tempatnya?”

“Tidak, tapi aku bisa menemukannya.”

“Bolehlah kamu lancang semaumu, tapi takkan mudah kamu menemukan tempat Yoshino. Mau kuberitahu?”

“Tak perlu susah-susah.”

“Jotaro! Aku ini bukan musuh Otsu, juga tak ada masalah dengan Musashi. Jauh dari itu! Bertahun-tahun aku mendoakan supaya mereka berdua dapat hidup dengan baik bersama.”

“Kalau begitu, kenapa Bapak selalu mengucapkan yang jelek-jelek macam itu?”

“Apa begitu kelihatannya olehmu? Barangkali kau benar. Tapi pada waktu itu kedua-duanya memang sakit. Kalau Musashi dibiarkan sendiri. penyakitnya akan pergi, tapi Otsu membutuhkan bantuan. Sebagai pendeta. aku sudah mencoba menolongnya. Kami para pendeta memang diharapkan dapat mengobati penyakit hati, tepat seperti para dokter mengobati penyakit tubuh. Sayang sekali aku tidak dapat melakukannya untuk Otsu, dan aku menyerah sekarang. Kalau Otsu tak dapat menyadari bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan, hal terbaik yang dapat kulakukan hanyalah meng­anjurkannya makan wajar.”

“Tak usah kuatir soal itu. Otsu takkan minta tolong pada orang palsu macam Bapak.”

“Kalau kau tidak mempercayai aku, pergi sana ke Ogiya di Yanagimachi. dan lihat sendiri, sedang apa Musashi di sana. Kemudian kau pulang dan ceritakan pada Otsu apa yang kaulihat. Otsu akan patah hati sebentar, tapi itu akan membuka matanya.”

Jotaro menyumbat telinganya dengan jari. “Tutup mulut, penipu berkepala buah ek!”

“Lho, kamu yang mengejar-ngejarku, kan? Apa kau lupa?”

Ketika Takuan berjalan pergi meninggalkannya, Jotaro berdiri di tengah jalan, mengulang-ulang nyanyian kurang ajar yang biasa digunakan anak-anak jalanan untuk mengejek-ejek pendeta pengemis. Tapi begitu Takuan tidak tampak lagi, ia tercekik. Air matanya bercucuran dan ia menangis sejadi-jadinya. Tapi ketika akhirnya ia dapat mengendalikan diri kembali, ia menghapus matanya, dan seperti anak anjing sesat yang tiba­tiba ingat jalan pulang, ia mulai mencari Ogiya.

Orang pertama yang ditemuinya seorang perempuan. Orang itu memakai kerudung dan ternyata seorang nyonya rumah tangga biasa. Jotaro lari mendapatkannya, dan tanyanya, “Bagaimana caranya pergi ke Yanagimachi?”

“Itu daerah lokalisasi, kan?”

“Apa daerah lokalisasi itu?”

“Minta ampun!”

“Coba terangkan, apa kerja orang-orang di situ!”

“Oh, kamu…!” Perempuan itu menatapnya marah sejenak, kemudian ber­gegas pergi.

Tanpa gentar Jotaro meneruskan jalannya. Satu demi satu ditanyainya orang-orang lain, di mana letak Ogiya.

Bau Kayu Gaharu

LAMPU-LAMPU di jendela rumah-rumah pelesiran itu bercahaya terang, tapi waktu itu masih terlalu pagi bagi para langganan untuk berkeliaran di tiga gang utama di daerah itu.

Di Ogiya, kebetulan salah seorang pelayan muda memandang ke arah pintu masuk. Aneh kelihatannya ada mata yang mengintip lewat celah tirai, dan di bawah tirai tampak sepasang kaki yang mengenakan sandal jerami kotor, juga ujung sebelah pedang kayu. Orang muda itu terlompat sedikit karena kaget, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Jotaro sudah masuk dan mengemukakan soalnya.

“Miyamoto Musashi di sini, ya? Dia guruku. Boleh minta tolong beritahu dia, Jotaro di sini? Atau minta dia keluar.”

Pandangan kaget pelayan itu berganti dengan kerutan kening tajam. “Siapa kau ini, pengemis kecil?” geramnya. “Di sini tak ada orang yang namanya begitu. Apa maksudmu memperlihatkan muka kotor di sini ketika kerja baru akan mulai? Keluar!”

Jotaro dicekal leher bajunya dan didorong keras.

Marah seperti ikan buntal yang sedang mengembung, Jotaro memekik, “Berhenti! Aku datang ke sini mencari guruku!”

“Aku tak peduli kenapa kamu di sini, tikus kecil! Musashi-mu itu sudah banyak bikin kesusahan. Dia tak ada di sini.”

“Kalau tak ada di sini, kenapa kamu tidak bilang saja begitu? Lepaskan aku!”

“Tampangmu mencurigakan. Bagaimana mungkin aku tahu kamu bukan mata-mata Perguruan Yoshioka?”

“Oh, itu tak ada hubungannya denganku. Kapan Musashi pergi dari sini? Kapan dia pergi?”

“Tadi kamu suruh-suruh aku, sekarang kamu minta keterangan. Kamu mesti belajar bikin sopan lidahmu itu. Mana aku tahu di mana dia?”

“Kalau kamu tidak tahu, baik, tapi lepaskan kerahku ini!”

“Baik, akan kulepaskan kamu macam ini!” Dijewernya telinga Jotaro keras-keras dan diayunkannya Jotaro ke sana kemari, kemudian dilontar­kannya ke arah pintu gerbang.Uh!” pekik Jotaro. Sambil merunduk, ia menarik pedang kayunya dan memukul pelayan itu pada mulutnya, hingga rompal gigi-gigi depannya.

“0-w-w!” Orang muda itu memegang mulutnya yang berdarah dengan sebelah tangan, dan tangan satunya merobohkan Jotaro.

“Tolong! Pembunuh!” pekik Jotaro.

Ia mengerahkan kekuatannya, seperti ketika membunuh anjing di Koyagyu dulu, dan dihantamkannya pedangnya ke tengkorak pelayan itu. Darah muncrat dari hidung orang muda itu, dan diiringi bunyi yang tak lebih keras dari keluhan cacing tanah, ia rebah di bawah pohon itu.

Seorang pelacur yang sedang memamerkan diri di jendela berjeruji di seberang jalan mengangkat kepala dan berteriak ke jendela sebelah, “Hei! Lihat tidak? Anak lelaki yang pakai pedang kayu itu baru membunuh orang Ogiya! Dia lari sekarang!”

Dalam sekejap mata jalan itu penuh orang lari lintang-pukang, dan udara bergema dengan teriakan-teriakan haus darah. “Jalan mana dia lari?”

“Bagaimana tampangnya?”

Seperti dimulainya, keributan itu lekas mereda, dan ketika orang-orang yang hendak bersenang-senang mulai datang, peristiwa itu sudah tidak lagi menjadi bahan pembicaraan. Perkelahian adalah kejadian biasa, dan para penghuni daerah itu biasa menyelesaikan atau menutup kejadian-kejadian yang lebih berdarah dalam waktu singkat, agar dapat menghindari peme­riksaan polisi.

Disamping gang-gang utama yang diberi penerangan seperti siang, terdapat juga cabang-cabang gang dan tempat-tempat kosong yang sepenuhnya gelap. Jotaro berhasil menemukan tempat bersembunyi, kemudian pindah ke tempat lain lagi. Dengan pikirannya yang polos, ia mengira dapat lolos dari sana, padahal nyatanya seluruh daerah itu dikelilingi dinding setinggi sepuluh kaki, terbuat dari balok-balok hangus yang menajam di puncaknya. aesudah menemukan dinding itu ia menyusurinya, tapi ia tak dapat menemukan celah yang besar, apalagi menemukan gerbang. Ketika ia mem­balik untuk menghindari salah satu gang yang ada di sana, tampak olehnya seorang gadis muda. Begitu mata mereka bertemu, gadis itu memanggilnya pelan dan mengajaknya dengan isyarat tangan putihnya yang halus.

“Kamu panggil aku?” tanya Jotaro waspada. Ia tak melihat ada maksud jahat pada wajah gadis berpupur tebal itu, karena itu ia mendekati sedikit. “Ada apa?”

“Kamu yang datang di Ogiya menanyakan Miyamoto Musashi, kan?” tanya gadis itu lemah lembut.

“Ya.”

“Namamu Jotaro, kan?”

“He-eh.”

“Ayo ikut aku. Kuantar kamu kepada Musashi.”

“Di mana dia?” tanya Jotaro, dan mulai curiga lagi.

Gadis itu berhenti dan menjelaskan bahwa Yoshino Dayu sangat menaruh perhatian pada peristiwa dengan pelayan itu, dan telah menyuruhnya mencari Jotaro dan membawanya ke tempat sembunyi Musashi.

Dengan wajah menyatakan terima kasih, Jotaro bertanya, “Kamu pelayan Yoshino Dayu, ya?”

“Ya. Dan kamu boleh lega sekarang. Kalau dia membelamu, tak seorang pun di daerah ini dapat menyentuh kamu.”

“Apa guruku betul-betul ada di sini?”

“Kalau tidak, buat apa aku menunjukkan jalannya?”

“Apa kerjanya di tempat macam ini?”

“Kalau kau buka pintu rumah pertanian kecil di sana itu, kau dapat melihatnya sendiri. Sekarang aku mesti kembali ke pekerjaanku.” Ia meng­hilang diam-diam ke semak-semak di kebun yang berdekatan.

Rumah pertanian itu kelihatannya terlalu sederhana kalau mesti merupakan akhir usahanya mencari Musashi, tapi ia tak dapat pergi sebelum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Untuk sampai di jendela samping, ia gelin­dingkan sebuah batu dari halaman ke dinding, kemudian ia naik ke atasnya dan menempelkan hidung ke jeruji bambu.

“Dia ada di situ!” katanya dengan suara sengaja dibuat rendah, sambil berusaha menyembunyikan diri. Tapi ingin sekali ia mengulurkan tangan dan menjamah gurunya. Begitu lama sudah!

Musashi waktu itu sedang tidur dekat perapian, berbantal tangan. Pakai­annya lain sekali dari yang pernah ia lihat sebelumnya-kimono sutra dengan pola-pola bergambar besar, dari jenis yang disukai para pemuda yang suka bergaya di kota. Di lantai terhampar kain wol merah. Di atasnya terletak sebuah kuas pelukis, sebuah kotak tinta, dan beberapa carik kertas. Di atas secarik kertas, Musashi membuat sketsa terong, dan di kertas lain kepala seekor ayam.

Jotaro merasa terguncang. “Bagaimana mungkin dia menghabiskan waktu dengan membuat lukisan?” pikirnya marah. “Apa dia tidak tahu Otsu sakit?”

Selembar jubah bersulam menutup setengah bahu Musashi. Itu jelas pakaian perempuan, dan kimononya yang terlalu mencolok itu memuakkan. Jotaro merasakan adanya pancaran gairah yang menyembunyikan kejahatan. Seperti pada Hari Tahun Baru, gelombang kemarahan besar terhadap cara­-cara jahat yang ditempuh orang dewasa melandanya. “Ada yang tak beres dengannya,” pikirnya. “Dia sedang tak sadar sekarang.”

Kejengkelannya berubah menjadi kenakalan, dan ia meyakinkan dirinya bahwa ia tahu apa yang mesti dilakukan. “Akan kutakut-takuti dia.” pikirnya. Pelan sekali, mulailah ia turun dari batu.

“Jotaro!” panggil Musashi. “Siapa yang bawa kamu kemari?”

Anak itu terperanjat dan melihat lewat jendela lagi. Musashi masih berbaring, matanya setengah terbuka, dan ia menyeringai.

Jotaro berlari cepat ke depan rumah, masuk lewat pintu depan, dan merangkulkan tangannya ke bahu Musashi. “Sensei” desahnya bahagia.

“Jadi, kamu datang, ya?” Sambil terus telentang, Musashi mengulurkan tangan dan mendekapkan kepala Jotaro yang kotor itu ke dadanya. “Bagai­mana kamu bisa tahu aku di sini? Takuan yang kasih tahu, ya? Lama kita tak bertemu, ya?” Tanpa mengendurkan pelukannya, Musashi duduk. Jotaro menggeliat-geliatkan kepala seperti anjing Peking, dan merapatkan badan ke dada hangat yang sudah hampir terlupakan olehnya itu.

Kemudian Jotaro memindahkan kepalanya ke pangkuan Musashi dan diam di situ. “Otsu terbaring sakit. Dia ingin sekali bertemu Kakak. Dia selalu bilang akan baik kalau Kakak datang. Sekali saja, itulah yang diinginkannya.”

“Otsu yang malang.”

“Dia lihat Kakak bicara dengan gadis edan itu pada Hari Tahun Baru. Otsu jadi marah dan menutup diri dalam rumah siputnya. Aku mencoba menarik dia ke jembatan itu, tapi dia tak mau.”

“Aku tidak menyalahkan dia. Hari itu aku juga terganggu oleh Akemi.”

“Kakak mesti datang melihatnya. Dia di rumah Yang Dipertuan Karasumaru. Kakak masuk saja, dan katakan, ‘Lihat, Otsu, aku di sini’. Kalau Kakak mau berbuat begitu, dia pasti langsung baik.”

Karena ingin sekali menjelaskan persoalannya, Jotaro berbicara lebih banyak lagi, tapi itulah isi pokoknya. Musashi menggerutu sekali-sekali, dan sekali-dua kali mengatakan, “Begitu, ya?” Tapi, karena sebab-sebab yang tak dapat diduga oleh anak itu, Musashi tidak juga keluar, sekalipun anak itu memohon dan memintanya. Sebaliknya dengan panjang-lebar ia mengatakan akan melakukan apa yang diminta Jotaro. Jotaro mulai merasa tak suka kepada gurunya, sekalipun ia begitu berbakti kepada Musashi dan sudah gatal tangannya untuk berkelahi benar-benar dengan gurunya.

Keinginan berkelahi itu mendidih lebih hebat lagi, bahkan sampai sedemikian rupa, hingga hanya dapat dikendalikan oleh sikap hormatnya. Ia terdiam dengan wajah yang jelas sekali menggambarkan sikap tak setuju. Matanya muram dan bibirnya menyeringai, seakan-akan ia habis minum secangkir cuka.

Musashi mengambil buku gambar dan kuasnya, dan mulai menambahkan beberapa sapuan ke salah satu sketsanya. Jotaro memandang gambar terong itu dengan sikap tak suka, dan pikirnya, “Apa yang bikin dia menyangka dapat melukis? Sungguh keterlaluan.”

Tak lama kemudian, Musashi bosan dan mulai mencuci kuasnya. Baru saja Jotaro hendak mengajukan imbauan sekali lagi, terdengar suara bakiak di batu-batu pijakan di luar.

“Cucian Bapak sudah kering,” terdengar suara seorang gadis. Abdi yang tadi mengantar Jotaro itu masuk membawa kimono dan jubah, keduanya sudah dilipat rapi. Sambil meletakkannya di depan Musashi, gadis itu minta Musashi memeriksanya.

“Terima kasih,” kata Musashi. “Kelihatan baru lagi.”

“Noda darah itu tak bisa cepat hilang. Mesti disikat banyak kali.”

“Kelihatannya sudah hilang sekarang, terima kasih… Di mana Yoshino?”

“Oh, dia sibuk bukan main, ganti-ganti melayani tamu. Gara-gara mereka, dia tak bisa istirahat.”

“Tempat ini menyenangkan sekali, tapi kalau aku tinggal di sini lebih lama, aku menjadi beban orang. Aku mau menyelinap kalau matahari naik Minta tolong sampaikan ini kepada Yoshino, dan sampaikan terima kasihku yang sedalam-dalamnya.”

Jotaro jadi senang. Musashi tentu merencanakan bertemu dengan Otsu sekarang. Begitulah mestinya gurunya, sebagai seorang lelaki yang tulus dan baik. Dan ia tersenyum bahagia.

Begitu gadis itu pergi, Musashi meletakkan pakaian itu di depan Jotaro katanya, “Kamu datang pada waktu yang tepat. Pakaian ini mesti dikem­balikan kepada perempuan yang meminjamkannya padaku. Kuminta kamu membawanya ke rumah Hon’ami Koetsu—di bagian utara kota—dan meng­ambil kembali kimonoku sendiri. Mau kamu jadi anak baik, dan melakukan ini untukku?”

“Tentu!” kata Jotaro dengan wajah bergairah. “Aku pergi sekarang.”

Dibungkusnya pakaian itu dengan selembar kain, bersama surat dari Musashi kepada Koetsu, lalu ia sampirkan bungkusan itu ke punggungnya.

Justru waktu itu si abdi datang kembali membawa makan malam dan mengangkat kedua tangannya dengan ngeri.

“Apa yang Bapak lakukan?” gagapnya. Musashi menjelaskannya, tapi gadis itu berteriak, “Oh, Bapak tak bisa menyuruhnya pergi!” Dan ia menyampaikan kepada Musashi apa yang telah diperbuat Jotaro. Untungnya sasaran pukulan Jotaro itu tidak tepat, jadi pelayan itu masih hidup. Gadis itu meyakinkan Musashi bahwa karena peristiwa itu hanya satu di antara banyak perkelahian yang sering terjadi, maka soal itu selesai sampai di situ. Yoshino pribadi sudah mengingatkan pemilik dan orang-orang muda di tempat itu supaya bungkam. Gadis itu menyatakan bahwa dengan menyatakan dirinya siswa Miyamoto Musashi, walaupun tak sengaja, Jotaro sudah memberikan ketegasan kepada desas-desus bahwa Musashi masih ada di Ogiya.

“Begitu,” kata Musashi dengan nada biasa. Ia memandang bertanya-tanya kepada Jotaro. Jotaro menggaruk kepalanya, menarik diri ke sudut mengerutkan diri sekecil-kecilnya.

Gadis itu melanjutkan, “Tak perlu saya menyampaikan pada Bapak yang bakal terjadi kalau dia mencoba meninggalkan tempat ini. Di sana-sini masih banyak orang-orang Yoshioka, menanti Bapak memperlihatkan diri. Yoshino dan pemilik tempat ini ada dalam kedudukan sangat sukar sekarang, karena Koetsu meminta kami menjaga Bapak. Ogiya tak mungkin membiarkan Bapak langsung masuk cengkeraman mereka. Yoshino bertekad melindungi Bapak.

“Samurai-samurai itu begitu keras hati. Mereka terus melakukan peng­awasan. Beberapa kali mereka mengirim orang dan menuduh kami me­nyembunyikan Bapak. Kami sudah bisa melepaskan diri dari mereka, tapi mereka masih belum yakin. Betul-betul saya tak mengerti. Mereka berbuat seperti sedang melakukan perang besar. Sebelah luar pintu gerbang yang menuju daerah ini, ada tiga atau empat baris samurai. Pengintai ada di mana-mana, dan mereka bersenjata lengkap.

“Yoshino berpendapat Bapak mesti tinggal di sini empat-lima hari lagi, atau setidaknya sampai mereka capek menanti.”

Musashi mengucapkan terima kasih kepadanya atas kebaikan dan per­hatiannya, tapi tambahnya samar-samar, “Aku punya rencana sendiri.”

Ia setuju sekali mengirimkan pelayan ke rumah Koetsu sebagai ganti Jotaro. Pelayan itu kembali kurang dari satu jam kemudian, membawa surat Koetsu, Kalau ada kesempatan, mari kita bertemu lagi. Walaupun kelihatannya panjang, hidup ini sebenarnya pendek sekali. Kuminta engkau menjaga dirimu sebaik-baiknya. Salam dari jauh. Walaupun jumlahnya sedikit, kata-kata itu terasa hangat dan sangat wajar.

“Pakaian Bapak ada dalam bungkusan ini,” kata si pelayan. “Ibu Koetsu khusus minta saya menyampaikan ucapan selamat.” Ia membungkuk dan pergi.

Musashi memandang kimono katunnya yang sudah tua, compang-camping, sudah begitu sering terkena embun dan hujan, serta bernoda-noda keringat. Pakaian itu terasa lebih enak bagi kulitnya daripada sutra halus yang dipinjamkan kepadanya oleh Ogiya. Itulah seragam yang cocok bagi orang yang sedang mempelajari ilmu pedang secara serius. Musashi tidak mem­butuhkan atau menginginkan pakaian yang lebih baik dari itu.

Ia menduga kimono itu pasti bau sesudah beberapa hari dilipat, tapi ketika ia memasukkan tangannya ke dalam lengan kimono itu, tahulah ia bahwa kimono itu segar sekali karena sudah dicuci. Lipatan-lipatannya tampak rapi. Terpikir olehnya, Myoshu mencuci kimono itu sendiri, dan ia pun jadi ingin memiliki seorang ibu. Terpikir olehnya hidup panjang dan sendiri yang akan ditempuhnya, tanpa sanak saudara kecuali kakak pe­rempuan yang hidup di pegunungan. Sejenak ia memandang ke api.

“Mari kita pergi,” katanya. Ia kencangkan obi-nya dan ia selipkan pedang yang dicintainya di antara tulang rusuk dan obi itu. Sementara melakukan itu, rasa kesepian pun menyingkir, sama cepatnya dengan waktu datangnya. Pedang itu menjadi ibunya, ayahnya, saudara lelaki, dan saudara perempuannya, demikian renungnya. Itulah yang telah disumpahkannya pada diri sendiri bertahun-tahun sebelum itu, dan itulah yang kiranya akan terjadi.

Jotaro sudah di luar, memandang bintang-bintang di langit. Pikirnya, betapa larut pun mereka sampai di rumah Yang Dipertuan Karasumaru, Otsu pasti masih terjaga.

“Oh, pasti nanti dia terkejut,” katanya pada diri sendiri. “Dia akan begitu bahagia, dan barangkali dia akan mulai menangis lagi.”

“Jotaro,” kata Musashi, “apa tadi kamu masuk lewat gerbang kayu di belakang?”

“Saya tidak tahu, apakah itu di belakang. Tapi gerbangnya di sana itu.”

“Pergilah kamu ke sana dan tunggu aku.”

“Apa kita tidak pergi bersama-sama?”

“Ya, tapi aku mau mengucapkan selamat tinggal dulu pada Yoshino. Tidak lama.”

“Baik, saya menunggu dekat gerbang.” Sebetulnya Jotaro kuatir Musashi meninggalkannya, walaupun hanya beberapa saat. Tapi pada malam yang khusus ini, mau rasanya ia melakukan apa pun yang diminta gurunya.

Ogiya seperti semacam pelabuhan, menyenangkan, namun cuma se­mentara. Musashi ingat bahwa terpencil dari dunia luar itu baik akibatnya bagi dirinya, karena sampai waktu itu tubuh dan jiwanya seperti es, menjadi benda tebal dingin yang tidak peka terhadap keindahan bulan, tak peduli terhadap bunga-bungaan dan tidak tanggap terhadap matahari. Ia memang tidak sangsi akan kebenaran hidup menyangkal diri seperti yang ditempuhnya, tapi la dapat melihat sekarang bahwa hidup dengan me­nyangkal diri sendiri itu membuatnya sempit, berpikiran kerdil, dan keras kepala. Takuan sudah mengatakan kepadanya bertahun-tahun lalu bahwa kekuatan yang dimilikinya tidak ada bedanya dengan kekuatan binatang liar. Nikkan juga sudah mengingatkannya bahwa ia terlampau kuat. Sesudah bertempur dengan Denshichiro, tubuh dan jiwanya jadi terlalu pekat dan tegang. Dua hari terakhir itu ia membiarkan dirinya lepas dan semangatnya mengendur. Ia minum sedikit, tidur manakala ia mau, membaca, mencoba-­coba melukis, menguap, dan meregangkan badan semaunya. Beristirahat itu bermanfaat sekali. Ia menyimpulkan bahwa beristirahat itu penting, dan akan selalu penting baginya sekali-sekali bernikmat-nikmat sepenuhnya selama dua-tiga hari.

Sementara berdiri di halaman, memperhatikan lampu dan bayangan di kamar-kamar depan, ia berpikir, “Aku harus mengucapkan sepatah kata terima kasih kepada Yoshino Dayu atas segala jasanya.” Tapi kemudian ia berubah pikiran. Dengan mudah ia dapat mendengar dentang-dentang shamisen dan nyanyian parau para pembeli. Tak terlihat olehnya jalan untuk menyelinap dan bertemu dengan Yoshino. Lebih baik ia mengucapkan terima kasih di dalam hati, dan berharap Yoshino akan mengerti. Ia membungkuk ke arah depan rumah dan berangkat.

Di luar ia memanggil Jotaro dengan isyarat tangan. Ketika anak itu berlari-lari mendapatkannya, mereka mendengar Rin’ya datang membawa surat dari Yoshino. Ia memasukkan surat itu ke tangan Musashi, dan pergi.

Kertas surat itu kecil, berwarna indah. Ketika Musashi membukanya, bau kayu gaharu merasuk ke dalam lubang hidung. Surat itu menyatakan,

Sekilas cahaya bulan dari balik pepohonan lebih memberi kenang-kenangan, daripada bunga-bunga malang yang layu dan luluh malam demi malam. Walaupun orang tertawa sementara aku tersedu dalam mabuk, kukirimkan sepatah kata kenangan ini padamu.

“Dari siapa surat itu?” tanya Jotaro.

“Dari orang yang tak penting sama sekali.”

“Perempuan?”

“Apa bedanya?”

“Apa isinya?”

“Tak perlu kamu tahu.” Musashi melipat kertas itu.

Jotaro mendekatkan mukanya ke surat itu, dan katanya, “Baunya harum. Bau kayu gaharu.”

Pintu Gerbang

JOTARO mengira langkah mereka berikutnya adalah keluar dari daerah itu tanpa diketahui orang.

“Lewat jalan ini kita sampai pintu gerbang utama,” katanya. “Itu ber­bahaya sekali.”

“Mm.”

“Mestinya ada jalan keluar lain.”

“Apa semua pintu masuk, kecuali yang utama itu, tidak ditutup waktu malam?”

“Kita dapat memanjat dinding.”

“Perbuatan pengecut. Kamu tahu, aku punya rasa kehormatan, juga nama baik untuk dipertahankan. Aku akan jalan langsung lewat gerbang utama kalau waktunya tepat.”

“Betul?” Sekalipun merasa tak enak, anak itu tidak membantah lagi, karena ia tahu betul bahwa menurut peraturan golongan prajurit, orang yang tak punya harga diri tidaklah berharga.

“Tentu,” jawab Musashi. “Tapi bukan untuk kamu. Kamu masih kanak­-kanak. Kamu bisa keluar dari jalan yang lebih aman.”

“Bagaimana?”

“Lewat pagar.”

“Sendiri?”

“Sendiri.”

“Saya tak bisa.”

“Kenapa?”

“Saya bisa disebut pengecut.”

“Jangan tolol. Yang mereka kejar itu aku, bukan kamu.”

“Tapi di mana kita akan bertemu?”

“Lapangan Berkuda Yanagi.”

“Betul Kakak akan datang?”

“Tentu.”

“Kakak berjanji takkan lari lagi?”

“Aku takkan lari. Salah satu hal yang tak ingin kuajarkan padamu adalah berbohong. Kukatakan aku akan bertemu denganmu, jadi aku akan bertemu denganmu. Sekarang, sementara tak ada orang, ayo kamu lompat lewat pagar.”

Jotaro menoleh ke sekitar dengan hati-hati sebelum berlari ke pagar, dan di pagar ia berhenti diam, memandang prihatin ke atas. Pagar itu lebih dari dua kali tinggi badannya. Musashi berlari juga sambil membawa sekarung arang. Ia menurunkan karung dan mengintip lewat celah pagar.

“Apa Kakak lihat ada orang di sana?” tanya Jotaro.

“Tidak, tak ada yang kelihatan kecuali rumput mendong. Di bawah itu mestinya air, jadi kamu mesti hati-hati kalau nanti turun.”

“Saya basah tak apa-apa, tapi bagaimana saya bisa sampai di atas pagar?”

Musashi mengabaikan saja pertanyaan itu. “Kita mesti tahu bahwa pengawal ditempatkan di titik strategis di samping gerbang utama. Lihat dulu baik-baik sebelum melompat, kalau tidak, kamu bisa menghadapi ujung pedang.”

“Saya mengerti.”

“Kulemparkan arang ini ke luar pagar sebagai umpan. Kalau tak ada apa-apa, kau bisa menyusul.”

Ia membungkuk, dan Jotaro melompat ke punggungnya. “Berdiri kamu di atas bahuku.”

“Sandal saya kotor.”

“Tak apa-apa.”

Jotaro mengambil posisi berdiri. “Apa kamu bisa sampai di atas?”

“Tidak.”

“Kalau kamu lompat, bisa tidak?”

“Saya pikir tidak.”

“Baik, kalau begitu kamu berdiri di tanganku.” Musashi mementangkan kedua tangannya di atas kepala.

“Sampai!” kata Jotaro berbisik keras.

Musashi memegang karung arang dengan sebelah tangan dan melontar­kannya setinggi-tingginya. Karung itu jatuh bergedebuk ke tengah rumput mendong. Tidak terdengar apa-apa.

“Tak ada air di sini,” lapor Jotaro sesudah melompat turun.

“Hati-hati kamu.”

Musashi tetap menempelkan sebelah mata ke celah itu sampai tidak terdengar olehnya langkah kaki Jotaro, kemudian dengan cepat dan riang ia berjalan ke salah satu gang utama yang paling ramai. Tak ada di antara orang-orang yang sedang bersuka ria ke sana-sini itu memperhatikannya.

Ketika ia keluar dari gerbang utama, orang-orang Yoshioka tergagap serentak, dan semua mata terpusat kepadanya. Disamping pengawal di pintu gerbang, ada sejumlah samurai berjongkok di sekitar api unggun tempat para pemikul joli menunggu menghabiskan waktu. Juga ada pengawal bantuan di Warung Teh Amigasa dan warung minum di seberang jalan. Kewaspadaan mereka tak pernah mengendur. Topi-topi anyaman tanpa sungkan dicopot, dan wajah-wajah orang diperiksa. Joli-joli dihentikan dan penumpangnya diperiksa.

Beberapa kali dilangsungkan perundingan dengan Ogiya untuk meng­geledah daerah itu, tapi tak ada hasilnya. Sepanjang yang diketahui pengurus Ogiya, Musashi tidak ada di sana. Orang-orang Yoshioka tak dapat bertindak berdasarkan desas-desus saja bahwa Yoshino Dayu melindungi Musashi. Yoshino terlalu dikagumi orang, baik di daerah itu sendiri maupun di dalam kota, hingga kalau diserang begitu saja akan menimbulkan reaksi serius.

Karena wajib melancarkan perang yang dinantikan, orang-orang Yoshioka mengepung daerah itu dari jarak tertentu. Mereka tidak mengesampingkan kemungkinan Musashi mencoba meloloskan diri lewat pagar, tapi yang paling mungkin bagi mereka adalah Musashi keluar lewat pintu gerbang, baik dengan menyamar maupun dalam joli tertutup. Satu-satunya kemung­kinan yang tidak siap mereka hadapi adalah justru yang terjadi sekarang ini.

Tak seorang pun bergerak menghalangi jalan Musashi, dan Musashi tidak berhenti. Sesudah ia berjalan seratus langkah dengan langkah berani, barulah seorang samurai berteriak, “Hentikan dia!”

“Kejar dia!”

Delapan atau sembilan orang berteriak-teriak memenuhi jalan di belakang Musashi dan mulai mengejarnya.

“Musashi, tunggu!” panggil satu suara marah.

“Ada apa?” jawab Musashi cepat, membuat kaget semua orang dengan suaranya.

Ia bergerak ke pinggir jalan dan bersandar ke dinding sebuah gubuk. Gubuk itu bagian dari kilang gergaji, dan beberapa pekerja kilang sedang tidur di sana. Seorang dari mereka membuka pintu sedikit, tapi sesudah melihat sekilas, ia membanting pintu dan memalangnya.

Sambil mendengking dan melolong seperti anjing gelandangan, orang­orang Yoshioka sedikit demi sedikit membentuk lingkaran bulan sabit sekitar Musashi. Musashi menatap mereka dengan saksama, mengukur kekuatannya, menaksir kedudukannya, dan mengira-ngira dari mana bakal datang serangan. Ketiga puluh orang itu dengan segera kehilangan ketiga puluh otak mereka. Tidak sukar bagi Musashi membaca kerja otak bersama ini.

Seperti ia duga semula, tak seorang pun maju sendiri menantangnya. ­Mereka mengoceh dan melontarkan cercaan, tapi sebagian besar kedengaran seperti kata-kata makian gelandangan yang tak jelas ucapannya.

“Bangsat!”

“Pengecut!”

“Amatir!”

Mereka sendiri jauh dari menyadari bahwa kepongahan mereka itu cuma di mulut dan malah mengungkapkan kelemahan diri sendiri. Sebelum gerombolan itu mencapai taraf kesatuan tertentu, Musashi tetap dalam kedudukan menguntungkan. Ia memeriksa wajah-wajah mereka, memilih mana-mana yang mungkin berbahaya, menetapkan tempat-tempat lemah dalam formasinya, mempersiapkan diri menghadapi pertempuran. Ia tenang saja. Pelan-pelan ia memperhatikan wajah-wajah mereka, lalu katanya, “Aku Musashi. Siapa tadi minta aku menunggu?”

“Kami. Kami semua!”

“Kalau aku tak salah, kalian dari Perguruan Yoshioka.”

“Betul.”

“Ada urusan apa kalian denganku?”

“Kamu tahu sendiri. Apa kamu sudah siap?”

“Siap?” Bibir Musashi berubah menjadi seringai meremehkan. Suara tawa yang keluar dari giginya yang putih membekukan kegairahan mereka. “Seorang prajurit selalu siap, biarpun sedang tidur. Maju, kalau kalian mau! Kalau kalian memilih pertempuran yang tak berarti, apa gunanya mencoba bicara seperti manusia atau memperhatikan sopan-santun main pedang? Tapi coba katakan satu hal saja. Apa tujuan kalian ini cuma melihat aku mati? Atau kalian mau berkelahi seperti lelaki?”

Tak ada jawaban.

“Kalian di sini buat menyelesaikan dendam atau buat menantangku melakukan pertarungan balasan?”

Sekiranya Musashi waktu itu memberikan peluang kepada mereka dengan sedikit saja gerak mata atau tubuh yang keliru, pedang mereka pasti menyerbu kepadanya seperti udara menyerbu tempat kosong. Tapi Musashi tetap mempertahankan sikap sempurna. Tak seorang pun bergerak. Seluruh gerombolan berdiri setenang dan sediam manik-manik tasbih.

Dari tengah kediaman bingung itu terdengar teriakan keras, “Kamu mesti tahu sendiri jawabannya tanpa tanya.”

Musashi melontarkan pandang ke arah Miike Jurozaemon, si pembicara itu. Dilihat dari penampilan orang itu, Musashi menilai bahwa ia adalah samurai yang pantas menjunjung tinggi nama baik Yoshioka Kempo. Hanya dia seorang agaknya yang mau mengakhiri jalan buntu itu dengan memukul lebih dahulu. Kakinya mengingsut maju dalam gerak meluncur.

“Kamu bikin cacat Guru Seijuro dan membunuh adiknya, Denshichiro. Bagaimana mungkin kami menegakkan kepala kalau kami biarkan kamu hidup? Beberapa ratus di antara kami setia kepada guru kami, dan bersumpah akan menyingkirkan sumber penghinaan ini, dan mengembalikan nama Perguruan Yoshioka. Soalnya bukan balas dendam atau kekerasan tanpa :iukum, tapi kami akan membela guru kami dan menenangkan arwah adiknya yang sudah terbunuh. Kami tidak iri dengan kedudukanmu, tapi kami akan mengambil kepalamu. Waspadalah!”

“Tantanganmu pantas untuk seorang samurai,” jawab Musashi. “Kalau itu tujuanmu sebenarnya, aku bisa kehilangan nyawa olehmu. Tapi kamu bicara tentang pelaksanaan kewajiban, dan tentang pembalasan dendam menurut Jalan Samurai. Kalau begitu, kenapa kamu tidak menantangku secara wajar seperti dilakukan Seijuro dan Denshichiro? Mengapa kalian serang aku bersama-sama?”

“Kamu yang sembunyi!”

“Omong kosong! Kamu cuma membuktikan seorang pengecut biasa me­nuduh orang lain pengecut. Aku sekarang berdiri di sini menghadapi kalian, kan?”

“Karena kamu takut ditangkap ketika mencoba lari!”

“Tidak betul! Aku bisa lari dengan banyak cara lain.”

“Apa menurutmu Perguruan Yoshioka akan membiarkanmu lolos?”

“Aku sudah tahu, entah dengan cara bagaimana kalian pasti akan menyambutku. Tapi kalau kita ribut di sini, mengganggu orang banyak seperti sekawanan binatang liar atau gelandangan tak berharga, apa itu tidak mengabaikan diri kita sebagai perseorangan atau anggota kelas samu­rai? Kamu bicara tentang kewajiban terhadap gurumu, tapi apa perkelahian di sini tidak akan mendatangkan aib yang lebih besar lagi bagi nama Yoshioka? Tapi kalau memang itu yang kalian inginkan, itu juga yang akan kalian peroleh! Kalau kalian berkeputusan menghancurkan karya guru kalian, membubarkan perguruan kalian, dan mengabaikan Jalan Samurai, tak ada lagi yang dapat kukatakan kecuali ini: Musashi akan terus bertempur selama anggota badannya masih utuh.”

“Bunuh dia!” teriak orang di sebelah Jurozaemon sambil melecutkan pedangnya.

Suatu suara berteriak di kejauhan, “Awas! Ada Itakura!”

Sebagai hakim Kyoto, Itakura Katsushige orang yang perkasa. Tapi sekalipun ia memerintah dengan baik, ia melakukannya dengan tangan besi. Anak-anak pun bernyanyi tentang dirinya. “Buah berangan siapa itu/yang jatuh di jalan?/Punya Itakura Katsushige?/Hei, lari, semua lari!” Atau: “Itakura, Yang Dipertuan dari Iga/ lebih banyak punya tangan daripada Kannon Bertangan Seribu/lebih banyak mata daripada Temmoku Bermata Tiga/polisinya ada di mana-mana.”

Kyoto bukanlah kota yang mudah diperintah. Kota Edo memang sedang menggantikannya sebagai kota terbesar negeri ini, tetapi ibu kota kuno itu masih merupakan pusat kehidupan ekonomi, politik, dan militer. Kota itu juga merupakan tempat di mana kritik terhadap ke-shogun-an paling tajam. Dari sekitar abad empat belas, penduduk kota itu telah meninggalkan semua ambisi militernya dan beralih ke bidang perdagangan dan kerajinan.

Mereka kini dianggap sebagai kelas tersendiri, dan secara keseluruhan merupakan kelas konservatif.

Juga, di antara penduduk itu terdapat banyak samurai yang tidak me­mihak. Mereka hanya menanti dan melihat apakah orang-orang Tokugawa akan diganggu oleh orang-orang Toyotomi. Terdapat juga sejumlah pemimpin militer baru. Mereka tidak memiliki latar belakang ataupun garis keturunan, namun berhasil memiliki tentara pribadi yang cukup besar. Juga terdapat sejumlah besar ronin seperti yang terdapat di Nara.

Para penganut hidup bebas dan kaum hedonis banyak jumlahnya di semua lapisan masyarakat itu, hingga jumlah warung minum dan rumah pelacuran pun tidak sepadan dengan besarnya kota.

Pertimbangan-pertimbangan kepentingan cenderung lebih menguasai ke­setiaan sebagian besar penduduk dibandingkan dengan keyakinan politik. Mereka berenang mengikuti arus, dan memanfaatkan setiap kesempatan yang kelihatan menguntungkan diri mereka sendiri.

Cerita yang beredar di kota pada waktu Itakura ditunjuk menjadi hakim pada tahun 1601 menyatakan bahwa sebelum menerima penunjukan, ia bertanya kepada Ieyasu apakah ia dapat berkonsultasi dulu dengan istrinya. Sampai di rumah ia berkata pada istrinya, “Sejak zaman dulu tak terhitung jumlahnya orang-orang berkedudukan terhormat yang telah melaksanakan perbuatan-perbuatan hebat, tapi kemudian mengakhirinya dengan men­datangkan aib kepada diri sendiri dan keluarganya. Yang paling sering terjadi, sumber kegagalan mereka itu adalah istri atau hubungan keluarga. Karena itu, menurut pendapatku penting sekali membicarakan penunjukan ini denganmu. Kalau engkau mau bersumpah tak akan ikut campur dengan kegiatanku sebagai hakim, aku akan menerima kedudukan itu.”

Sang istri dengan senang hati menyetujui, dan menyatakan bahwa “istri tak ada urusan ikut campur dalam hal-hal seperti itu.” Pagi berikutnya, ketika Itakura akan meninggalkan rumah menuju Benteng Edo, sang istri melihat kerah jubah dalam Itakura miring. Ia memegang kerah itu, tapi seketika itu juga Itakura memperingatkan, “Engkau sudah lupa sumpahmu.” Dan ia disuruh bersumpah lagi tak akan campur tangan. Masyarakat mengakui bahwa Itakura adalah seorang wakil yang efektif, keras, namun adil. Mereka juga mengatakan bahwa pilihan Ieyasu itu bijaksana.

Ketika nama Itakura disebut, para samurai mengalihkan mata mereka dari Musashi. Orang-orang Itakura memang secara teratur merondai daerah itu, dan setiap orang lebih suka jauh-jauh dari mereka.

Seorang pemuda maju ke tempat terbuka di depan Musashi. “Tunggu!” teriaknya dengan suara menggelegar, suara yang tadi memberi peringatan.

Sambil tersenyum menyeringai, Sasaki Kojiro berkata, “Saya baru keluar dan joli ketika saya mendengar akan terjadi perkelahian. Sudah beberapa waktu lamanya saya kuatir peristiwa ini akan terjadi. Dan saya terkejut melihat perkelahian akan terjadi di sini sekarang. Saya bukan anggota Per­guruan Yoshioka. Lebih lagi saya bukan pendukung Musashi. Tapi sebagai prajurit dan pemain pedang pendatang, saya percaya saya dapat menyam­paikan imbauan atas nama kode prajurit dan kelas prajurit secara kese­luruhan.” Kojiro berbicara mantap dan fasih, tapi dengan nada menggurui dan dengan keangkuhan yang tak kenal kompromi.

“Saya mau tahu, apa yang akan kalian lakukan kalau polisi datang kemari? Apa kalian tidak malu ditangkap dalam keributan di jalanan? Kalau kalian memaksa penguasa turun tangan, peristiwa ini takkan diperlakukan sebagai perkelahian biasa antara orang kota. Ada lagi soal lain.

“Waktu yang kalian pilih tidak tepat. Juga tempatnya. Suatu aib besar bagi seluruh kelas militer bahwa samurai mengganggu ketertiban umum. Sebagai salah seorang anggota kalian, saya peringatkan kalian menghentikan segera tingkah laku tak pantas ini. Kalau kalian mesti beradu pedang buat menyelesaikan persoalan kalian, demi langit, tunduklah pada peraturan permainan pedang. Pilih waktu dan tempatnya!”

“Cukup adil!” kata Jurozaemon. “Tapi kalau kami tetapkan waktu da­ tempatnya, apa kamu dapat menjamin Musashi akan datang?”

“Aku mau saja, tapi…”

“Bisa kamu menjaminnya?”

“Apa yang bisa kukatakan? Musashi bisa bicara sendiri soal itu.”

“Barangkali kamu bermaksud membantunya meloloskan diri.”

“Jangan seperti orang goblok! Kalau aku mesti berpihak kepadanya. kalian akan menantangku. Dia bukan temanku. Tak ada alasanku melindungi dia. Kalau dia meninggalkan Kyoto, kalian tinggal pasang pengumuman di seluruh kota untuk menunjukkan sikap pengecutnya.”

“Itu tidak cukup. Kami tak akan meninggalkan tempat ini, kecuali kalau kamu menjamin akan menahan dia sampai waktu pertarungan.”

Kojiro memutar badan. Ia membusungkan dada dan berjalan mendekati Musashi. Sampai waktu itu Musashi hanya menatap punggungnya tajam­-tajam. Mata kedua orang itu beradu seperti mata dua ekor binatang liar yang saling memperhatikan. Terasa ada yang tak terhindarkan, ketika sang ego yang masih penuh kemudaan pada kedua orang itu berbenturan, dan ini merupakan pengakuan atas kemampuan masing-masing pihak, atau barangkali juga rasa takut.

“Kamu setuju dengan usulku, Musashi?”

“Setuju.”

“Bagus.”

“Tapi aku tak setuju kamu terlibat.”

“Jadi, kamu tidak bersedia kutahan?”

“Aku benci dengan maksud itu. Dalam pertarungan dengan Seijuro Denshichiro, sama sekali aku tidak melakukan hal yang sifatnya pengecut. ­Kenapa pengikut mereka menyangka aku akan lari menghadapi tantangan mereka?”

“Memang kedengarannya enak, Musashi. Aku takkan melupakan itu. Sekarang, tanpa membicarakan jaminan dariku, mau kamu menyebutkan waktu dan tempatnya?”

“Aku setuju dengan waktu dan tempat yang mereka pilih.”

“Ini juga jawaban yang berani. Di mana kamu akan berada dari sekarang sampai datangnya waktu pertarungan?”

“Aku tak punya alamat!”

“Kalau lawan-lawan tidak tahu di mana kamu berada, bagaimana mungkin mereka mengirim tantangan tertulis?”

“Tetapkan waktu dan tempatnya saat ini juga. Aku akan datang.”

Kojiro mengangguk. Sesudah berunding dengan Jurozaemon dan beberapa orang lain lagi, ia kembali mendekati Musashi dan katanya, “Mereka menginginkan jam lima pagi lusa.”

“Aku terima.”

“Tempatnya pohon pinus lebar di kaki Bukit Ichijoji di jalan ke Gunung Hiei. Wakil Keluarga Yoshioka adalah Genjiro, anak tertua Yoshioka Genzaemon, paman Seijuro dan Denshichiro. Genjiro menjadi kepala baru Keluarga Yoshioka, maka pertarungan akan dilangsungkan atas namanya. Tapi dia masih kanak-kanak, karena itu ditetapkan bahwa sejumlah murid Yoshioka akan menyertainya sebagai pendukung. Kusampaikan ini untuk menghindari salah pengertian.”

Sesudah janji-janji secara resmi dipertukarkan, Kojiro mengetuk pintu gubuk. Pintu dibuka dengan hati-hati, dan orang-orang kilang mengintip ke luar.

“Tentunya ada kayu yang tidak terpakai di sini,” kata Kojiro kasar. “Saya mau pasang papan pengumuman di sini. Carikan papan yang cocok dan tempelkan ke sebuah tiang yang tingginya sekitar dua meter.”

Ketika papan sedang diserut, Kojiro menyuruh orang mengambil kuas dan tinta. Setelah semua bahan terkumpul, ia menuliskan waktu, tempat, dan perincian lain dengan tulisan yang mahir. Seperti sebelumnya, pernyataan itu diumumkan kepada orang banyak, karena inilah jaminan yang lebih baik daripada pertukaran sumpah pribadi. Melanggar sumpah berarti akan diolok-olok umum.

Musashi memperhatikan ketika orang-orang Yoshioka mendirikan papan pengumuman itu di sudut yang paling mencolok di daerah tersebut. Kemudian dengan sikap acuh tak acuh ia memutar badan dan berjalan cepat ke Lapangan Berkuda Yanagi.

Karena sendirian saja di tempat gelap, Jotaro gelisah. Mata dan telinganya diwaspadakan, tetapi yang tampak olehnya sekali-sekali hanyalah lampu joli, dan yang terdengar hanya gema sayup-sayup nyanyian orang-orang yang sedang pulang. Karena kuatir Musashi mendapat luka, atau bahkan terbunuh, akhirnya ia kehilangan kesabaran dan berlari menuju Yanagimachi. Belum lagi seratus meter, suara Musashi sudah terdengar di tengah ke­gelapan, “Hei! Apa pula ini?”

“Oh, Kakak datang!” seru anak itu lega. “Begitu lama saya menunggu, jadi saya putuskan melihat.”

“Itu kurang bijaksana. Kita bisa saling kehilangan.”

“Apa di luar pintu gerbang banyak orang Yoshioka?”

“Hm, lumayan juga.”

“Apa mereka mencoba menangkap Kakak?” Jotaro memandang sok tahu ke wajah Musashi. “Sama sekali tak ada yang terjadi?”

“Tak ada.”

“Ke mana Kakak pergi sekarang? Rumah Yang Dipertuan Karasumaru ke arah sini. Saya berani bertaruh, Kakak tentu ingin sekali ketemu Otsu. kan?”

“Aku ingin sekali ketemu dia.”

“Malam macam ini, pasti dia terkejut sekali.” Menyusul keheningan yang canggung.

“Jotaro, kamu ingat penginapan kecil tempat kita pertama ketemu dulu: Apa nama kampung itu?”

“Rumah Yang Dipertuan Karasumaru jauh lebih bagus daripada peng­inapan tua itu.”

“Tentu keduanya tak bisa diperbandingkan.”

“Malam hari semua tutup, tapi kalau kita memutar ke gerbang untuk pembantu, mereka bisa mengizinkan kita masuk. Dan kalau mereka tahu saya membawa Kakak, Yang Dipertuan Karasumaru sendiri bisa menyambut Kakak. Oh, saya ingin tanya pada Kakak, kenapa sebenarnya biarawan gila Takuan itu? Dia begitu brengsek, sampai muak rasanya saya. Dia bilang, yang paling baik membiarkan saja Kakak. Dan dia tak mau mengataknn pada saya di mana Kakak, padahal dia tahu betul.”

Musashi tidak memberikan komentar. Jotaro mengoceh terus sementara mereka jalan.

“Itu dia” kata Jotaro sambil menuding pintu belakang. Musashi berhenti, tapi tidak mengatakan apa-apa. “Lihat cahaya di atas pagar itu? Itu bagunan utara tempat tinggal Otsu. Dia mestinya menunggu saya.”

Jotaro berjalan cepat menuju pintu itu, tetapi Musashi mencengkeram pergelangannya erat, dan katanya, “Sekarang belum! Aku takkan masuk. Kuminta kamu menyampaikan saja pesan untuk Otsu.”

“Tidak masuk? Kakak kemari buat berjumpa dia kan?”

“Tidak. Aku cuma mau lihat kamu sudah sampai dengan selamat.”

“Kakak harus masuk! Kakak tak bisa pergi sekarang!” Dan ia menyentakkan lengan kimono Musashi dengan kalutnya.

“Bicara pelan saja, Jo,” kata Musashi, “dan dengarkan.”

“Saya tak mau mendengarkan! Tak mau! Kakak berjanji ikut saya.”

“Dan aku ikut, kan?”

“Saya bukan minta Kakak melihat pintu gerbang. Saya minta Kakak mengunjungi Otsu!”

“Tenanglah. Kamu mesti tahu, dalam waktu sangat singkat ini aku bisa mati.”

“Itu bukan barang baru. Kakak selalu bilang seorang samurai harus siap mati setiap waktu.”

“Itu betul. Dan kupikir suatu pelajaran baik juga untukku mendengarmu mengulang kata-kataku. Tapi waktu ini tidak seperti waktu lain. Aku tahu, satu dari sepuluh kemungkinan tak ada kesempatanku menang kali ini. Itu sebabnya menurutku aku tak perlu ketemu Otsu.”

“Itu tak masuk akal.”

“Kamu takkan mengerti sekarang kalau kujelaskan. Kalau nanti kamu lebih dewasa, kamu akan mengerti.”

“Apa yang Kakak katakan itu benar? Kakak betul-betul akan mati?”

“Ya. Tapi kamu tak boleh mengatakan ini pada Otsu, terutama waktu dia masih sakit. Suruh dia supaya kuat dan memilih jalan yang membawanya pada kebahagiaan masa depan. Itu pesan yang mesti kamu sampaikan padanya. Tapi kamu jangan menyebut apa pun bahwa aku akan terbunuh.”

“Akan saya sampaikan padanya! Akan saya sampaikan semuanya kepadanya! Bagaimana mungkin saya bohong pada Otsu? Oh, ayolah Kakak datang dengan saya!”

Musashi mendorongnya. “Kamu rupanya tidak mendengarkan.”

Jotaro tak dapat lagi menahan air matanya. “Tapi… tapi saya kasihan sekali padanya. Kalau saya sampaikan kepadanya Kakak menolak ketemu dengan dia, kesehatannya akan lebih buruk lagi. Pasti!”

“Itu sebabnya kamu mesti menyampaikan pesanku. Sampaikan padanya selama aku masih berlatih, takkan baik bagi kami masing-masing untuk bertemu. Jalan yang kupilih ini jalan disiplin. Tuntutannya, aku harus mengatasi perasaanku, aku harus menempuh hidup menahan nafsu, dan berlatih banyak-banyak menahan segala kesulitan. Kalau tidak, cahaya yang kucari akan lepas. Coba pikirkan itu, Jotaro. Kamu sendiri pun nanti akan mengikuti jalan ini, kalau tidak, tidak akan kamu menjadi prajurit yang hormat kepada diri sendiri.”

Anak itu terdiam, hanya tangisnya yang terdengar. Musashi merangkulnya, lalu mendekapnya.

“Orang tak pernah tahu kapan Jalan Samurai itu berakhir. Kalau aku tiada, kamu mesti mencari seorang guru yang baik. Aku tak bisa bertemu Otsu sekarang, karena aku tahu, nantinya dia lebih bahagia kalau kami tidak bertemu. Dan kalau nanti dia menemukan kebahagiaan, dia akan mengerti bagaimana perasaanku sekarang ini. Apa kamu yakin cahaya itu datang dari kamarnya? Dia pasti kesepian. Kamu mesti tidur sekarang.”

Jotaro mulai dapat memahami sukarnya pilihan Musashi, tapi terlihat ada kemurungan pada sikapnya, sementara ia berdiri membelakangi gurunya. Ia sadar, ia tak dapat lagi mendesak Musashi.

Sambil mengangkat mukanya yang berurai air mata, ia gapai cahaya harapan yang terakhir, walaupun lemah. “Kalau pelajaran Kakak sudah selesai, Kakak mau bertemu dengan Otsu dan menyenangkan hatinya Kakak mau, kan? Kalau Kakak merasa sudah cukup lama belajar?”

“Ya, kalau waktunya sampai.”

“Kapan waktu itu datang?”

“Sukar dikatakan.”

“Dua tahun barangkali?”

Musashi tak menjawab.

“Tiga tahun?”

“Tak ada ujung buat jalan disiplin.”

“Apa Kakak takkan menemui Otsu lagi selamanya?”

“Kalau bakat-bakat yang kubawa sejak lahir itu benar, pada suatu hari nanti tujuanku akan tercapai. Kalau tidak, aku bisa menempuh hidup sebodoh hidupku sekarang. Tapi sekarang mungkin aku akan segera marl. Bagaimana mungkin seorang lelaki dengan masa depan seperti itu mem­berikan janji-janji pada seorang perempuan semuda Otsu?”

Yang dikatakan Musashi itu lebih banyak daripada yang dimaksudkannya. Jotaro tampak bingung, tapi kemudian katanya penuh kemenangan, “Kakak tak perlu janji apa-apa pada Otsu. Saya cuma minta Kakak melihatnya.”

“Tapi soalnya tak semudah itu. Otsu itu perempuan muda dan aku lelaki muda. Aku tak suka mengatakan ini padamu, tapi kalau aku bertemu dia, aku takut air matanya mengalahkan diriku. Dan aku takkan dapat berpegang pada keputusanku sendiri.”

Musashi kini bukan lagi pemuda tak sabar yang menampik Otsu di Jembatan Hanada itu. Ia kini kurang egosentris dan kurang sembrono. lebih sabar serta jauh lebih halus. Pesona Yoshino bisa saja telah mem­bangkitkan kembali api nafsunya, sekiranya ia tidak menolak cinta seperti api menolak air. Tapi kalau yang dihadapinya Otsu, ia tak yakin terhadap kemampuannya melaksanakan kontrol diri. Ia tahu, ia tak boleh memikirkan Otsu tanpa mempertimbangkan efek yang mungkin ditimbulkannya terhadap kehidupan Otsu.

Jotaro mendengar suara Musashi di dekat telinganya. “Kamu mengerti sekarang?”

Anak itu menghapus air matanya, tapi ketika dilepaskannya tangan itu dari wajahnya dan menoleh, tak ada lagi yang tampak olehnya kecuali kabut hitam tebal.

“Sensei!” teriaknya.

Biarpun ia berlari ke sudut tembok tanah yang panjang itu, ia tahu teriakannya takkan menyebabkan Musashi kembali. Ia menempelkan wajah ke tembok. Air matanya kembali bercucuran. Ia merasa betul-betul terpukul dan sekali lagi pukulan itu datang dari pemikiran orang dewasa. Ia menangis terus sampai kerongkongannya tegang dan suaranya tak lagi keluar, tetapi bahunya terus juga berguncang, mengejang-ngejang oleh sedu-sedannya. Terlihat olehnya seorang perempuan di luar pintu pembantu. Pikirnya, tentu itu salah seorang gadis dapur yang sedang pulang dari mengerjakan suruhan. Ia ingin tahu, apakah gadis itu mendengar tangisnya.

Sosok tubuh yang kabur itu mengangkat kerudungnya dan berjalan pelan mendekatinya.

“Jotaro? Kamu, ya?”

“Otsu! Apa kerja Kakak di sini? Kakak lagi sakit!”

“Aku kuatir denganmu. Kenapa kamu pergi tanpa bilang apa-apa pada siapa pun? Di mana saja kamu tadi? Lampu-lampu sudah menyala dan pintu gerbang sudah tutup, tapi kamu belum juga kembali. Bukan main kuatirku.”

“Gila Kakak ini. Bagaimana kalau demam Kakak naik lagi? Kembali sana ke tempat tidur, sekarang juga!

“Kenapa kamu menangis?”

“Akan kuceritakan nanti.”

“Aku mau tahu sekarang. Tentunya ada yang bikin kamu jengkel sekali. Kamu mengejar Takuan, ya?”

“Hmm. Ya.”

“Kamu sudah tahu di mana Musashi?”

“Takuan jahat. Aku benci dia.”

“Dia tidak mau mengatakan?”

“E… tidak.”

“Kamu menyembunyikan sesuatu.”

“Oh, kalian berdua ini betul-betul kelewatan!” lolong Jotaro.

“Kakak dan guruku yang bodoh itu! Aku tak bisa menceritakan sebelum Kakak berbaring dan aku menempelkan handuk dingin di kepala Kakak. Kalau Kakak tidak kembali ke rumah sekarang, kuseret Kakak nanti ke sana.”

Sambil memegang pergelangan tangan Otsu dengan sebelah tangan dan tangan yang lain memukul pintu gerbang, ia berseru-seru marah, “Buka pintu! Gadis sakit ini ada di luar! Kalau tidak cepat-cepat, dia bisa beku!”

Minum untuk sang Pagi

MATAHACHI berhenti di jalan berkerikil itu dengan menghapus keringat dari keningnya. Ia baru berlari dari Jalan Gojo sampai Bukit Sannem Wajahnya merah sekali, tapi itu lebih disebabkan oleh sake yang telah ia minum daripada oleh pengerahan tenaga fisik yang jarang dilakukannya itu. Sesudah menyuruk lewat bawah pintu gerbang yang bobrok, ia menderap ke rumah kecil di seberang kebun sayuran.

“Ibu!” panggilnya panik. Kemudian ia melihat ke dalam rumah dan mengomel pelan, “Apa dia tidur lagi?”

Ia berhenti di sumur, membasuh tangan dan kaki, lalu masuk rumah.

Osugi berhenti mendengkur, membuka sebelah matanya, dan bangkit “Kenapa kamu begitu ribut?” tanyanya uring-uringan.

“Oh, jadi Ibu akhirnya bangun?”

“Apa maksudmu berkata begitu?”

“Kalau saya duduk semenit saja, Ibu mengomel mengatakan saya malas, lalu mendorong-dorong saya mencari Musashi.”

“Nah, maafkan Ibu,” kata Osugi berang, “karena Ibu sudah tua memang mesti tidur supaya sehat, tapi tak ada yang kurang dengar semangat Ibu. Ibu belum merasa sehat sejak Otsu lari. Dan pergelangan yang dicengkeram Takuan itu masih sakit.”

“Kenapa setiap kali saya merasa enak, Ibu mulai mengeluh?”

Osugi menatapnya. “Sebetulnya tidak sering kamu mendengar Ibu mengeluh, biarpun umur Ibu sudah lanjut. Ada kamu dengar sesuatu tentang Otsu atau Musashi?”

“Yang tidak mendengar berita itu di kota ini cuma perempuan-perempuan tua yang sepanjang hari kerjanya tidur saja.”

“Berita! Berita apa?” Osugi segera berlutut dan merangkak mendekati anaknya.

“Musashi akan bertarung ketiga kalinya dengan Perguruan Yoshioka.”

­”Kapan? Di mana?”

“Ada papan pengumuman di Yanagimachi dengan semua perinciannya Di Kampung Ichijoji, pagi-pagi besok.”

“Yanagimachi! Itu daerah lokalisasi.” Mata Osugi menyipit. “Apa kerjamu bermalas-malas tengah hari di tempat seperti itu?”

“Saya bukan bermalas-malas,” kata Matahachi membela diri. “Ibu ini selalu salah terima. Saya di sana karena tempat itu baik buat mencari berita.”

“Ya sudah, Ibu cuma menggoda. Ibu puas kamu sudah mau menetap dan tidak mengulang kehidupan jahat yang pernah kamu jalani itu. Tapi apa benar pendengaran Ibu tadi? Kamu bilang besok pagi, ya?”

“Ya, jam lima.”

Osugi berpikir. “Bukankah kamu pernah bilang punya kenalan di Per­guruan Yoshioka?”

“Ya, tapi waktu ketemu mereka, keadaannya kurang menguntungkan. Kenapa Ibu bertanya?”

“Ibu ingin kamu bawa ke perguruan itu sekarang juga. Siap-siaplah.” Sekali lagi Matahachi terpukau oleh sifat tak sabar yang ada pada orang tua.

Tanpa bergerak sedikit pun, katanya dingin, “Kenapa mesti ribut-ribut begini? Seperti kebakaran rumah saja. Apa yang mau Ibu lakukan di Per­guruan Yoshioka itu?”

“Menawarkan jasa, tentu saja!”

“Hah?”

“Mereka akan pergi membunuh Musashi besok. Ibu akan minta mereka mengizinkan kita bergabung dengan mereka. Barangkali kita takkan dapat banyak membantu, tapi mungkin kita bisa mendapat jatah paling tidak satu pukulan.”

“Ibu berkelakar, ya?” kata Matahachi tertawa. “Apanya yang lucu?”

“Pikiran Ibu ini sempit sekali.”

“Berani-beraninya kamu bilang begitu! Kamu sendiri yang sempit pikiran!”

“Daripada berdebat, lebih baik Ibu pergi melihat-lihat. Orang-orang Yoshioka sedang berusaha menuntut darah, dan ini kesempatan terakhir mereka. Peraturan perkelahian takkan banyak artinya buat mereka. Satu-­satunya yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan Keluarga Yoshioka adalah membunuh Musashi. Pasti mereka dapat melakukan itu. Bukan rahasia lagi, mereka akan menyerang dengan kekuatan besar.”

“Begitu, ya?” dengkur Osugi. “Jadi, Musashi pasti terbunuh… Begitu, kan?”

“Saya tidak begitu yakin. Bisa saja dia membawa orang-orang lain buat membantunya. Dan kalau benar begitu, bisa terjadi pertempuran. Dan itulah yang menurut orang-orang akan terjadi.”

“Mereka mungkin benar, tapi bagaimanapun menjengkelkan. Kita tak bisa sekadar diam dan membiarkan orang lain membunuh Musashi, sesudah kita mencarinya selama ini.”

“Saya setuju dengan pendapat Ibu, dan saya sudah punya rencana,” kata Matahachi bersemangat. “Kalau kita sampai di sana sebelum pertempuran dimulai, kita dapat memperkenalkan diri kepada orang-orang Yoshioka dan menerangkan pada mereka kenapa kita memburu Musashi. Saya yakin mereka mengizinkan kita menjatuhkan pukulan pada mayatnya. Kemudian kita mengambil sedikit rambutnya, atau lengan kimononya, atau yang lain­-lain lagi dan menggunakannya sebagai bukti kepada orang-orang di kampung bahwa kita sudah membunuhnya. Itu akan memulihkan nama kita, kan?”

“Rencana yang bagus, Nak. Ibu sangsi, apa ada cara yang lebih baik dan itu.” Rupanya ia sudah lupa bahwa dulu ia pernah juga menyarankan hal ini demikian kepada anaknya, dan kini ia duduk menegakkan bahunya. “Tidak hanya akan menjernihkan nama kita, tapi dengan matinya Musashi, Otsu juga akan seperti ikan tanpa air.”

Sesudah ketenangan ibunya pulih kembali, Matahachi merasa lega, tapi juga merasa haus kembali. “Nah, soal itu sudah selesai. Sekarang kita punya waktu beberapa jam buat menunggu. Bagaimana kalau kita minum anggur sebelum makan malam?”

“Hmm, baiklah. Bawa ke sini. Ibu mau minum juga sedikit buat ­merayakan kemenangan kita yang sudah dekat.”

Waktu meletakkan tangan ke lutut untuk berdiri dan memandang ke samping, Matahachi mengedip-ngedipkan mata dan terpana.

“Akemi!” teriaknya, lalu berlari ke jendela kecil.

Akemi sedang gemetar ketakutan di bawah sebatang pohon di luar seperti seekor kucing yang telah berbuat salah, namun tak sempat melarikm diri pada waktunya. Ia menatap dengan mata tak percaya, lalu gagapnya, “Matahachi, engkau, ya?”

“Bagaimana kau bisa sampai di sini?”

“Ah, sudah beberapa waktu aku di sini.”

“Tak mengerti aku. Kau dengan Oko?”

“Tidak.”

“Kau tidak tinggal dengan dia lagi?”

“Tidak. Engkau tahu Gion Toji, kan?”

“Pernah dengar namanya.”

“Dia dan ibuku lari sama-sama.” Giring-giring kecil Akemi bergemerencing ketika ia mengangkat kimono untuk menyembunyikan air matanya.

Cahaya dalam bayangan pohon itu bernada kebiruan. Tengkuk Akemi yang halus, tangannya yang lembut, dan segala yang ada padanya tampak lain dengan Akemi menurut ingatannya. Cahaya kegadisan yang pernah demikian memesonanya di Ibuki dan pernah dapat meredakan kemurungannya di Yomogi, kini tak lagi tampak.

“Matahachi,” kata Osugi curiga, “dengan siapa kamu bicara itu?”

“Dengan gadis yang pernah saya ceritakan dulu. Anak Oko.”

“Dia? Apa kerjanya di situ? Mencuri dengar?”

Matahachi menoleh, dan katanya bernafsu, “Ibu ini gampang sekali bikin kesimpulan! Dia tinggal di sini juga! Kebetulan dia sedang lewat. Betul, Akemi?”

“Betul. Tak kusangka engkau ada di sini, padahal aku pernah lihat gadis yang namanya Otsu itu di sini.”

“Kau sempat bicara dengan dia?”

“Tidak, tapi kemudian terpikir olehku, apa bukan dia gadis tunanganmu itu?”

“Memang.”

“Sudah kuduga. Ibuku sudah banyak bikin sulit, ya?”

Matahachi mengabaikan saja pertanyaan itu. “Apa kau belum menikah? Kau kelihatan lain.”

“Ibuku membuat hidupku sengsara, sesudah kau pergi. Semua itu ku­tahankan sekuatku, karena dia ibuku. Tapi tahun lalu, ketika kami ada di Sumiyoshi, aku lari.”

“Dia sudah bikin kacau hidup kita, ya? Tapi tunggu saja, dan lihat. Akhirnya dia akan mendapat balasan setimpal.”

“Aku tak peduli. Aku cuma ingin tahu, apa yang akan kulakukan dari sekarang.”

“Aku juga. Masa depanku tidak begitu cerah kelihatannya. Aku ingin membalas Oko, tapi kukira yang dapat kulakukan cuma memikirkannya.” Sementara mereka berdua mengeluh tentang kesulitan-kesulitannya, Osugi menyibukkan diri dengan persiapan perjalanan. Kemudian sambil men­decapkan lidah, katanya tajam, “Matahachi, kenapa kamu ngomel dengan orang yang tak ada hubungannya dengan kita? Sini bantu Ibu beres-beres!”

“Ya, Bu.”

“Selamat tinggal, Matahachi. Sampai lain kali.” Kelihatan murung dan kikuk, Akemi bergegas pergi.

Tak lama kemudian lampu dinyalakan, dan pelayan muncul membawa baki-baki makan malam dan sake. Ibu dan anak bertukar mangkuk tanpa melihat rekening yang terletak di baki di antara keduanya. Satu demi satu para pembantu datang menyatakan hormat kepada mereka, disusul oleh pemilik penginapan sendiri.

“Jadi, Ibu akan berangkat malam ini?” tanya pemilik penginapan. “Kami senang Ibu lama tinggal di sini. Hanya kami minta maaf tak dapat memberikan perlakuan khusus yang memang pantas buat Ibu. Kami berharap dapat bertemu lagi dengan Ibu kalau nanti Ibu datang di Kyoto lagi.”

“Terima kasih,” jawab Osugi. “Memang ada kemungkinan saya datang lagi. Mari kita hitung, sekarang ini sudah tiga bulan sejak akhir tahun, kan?”

“Betul, kira-kira begitulah. Kami akan merasa kehilangan Ibu.”

“Mari, silakan minum dengan kami!”

“Oh, terima kasih banyak. Rasanya kurang biasa orang berangkat malam hari. Apa ada sebab tertentu barangkali?”

“Terus terang, tiba-tiba sekali ada urusan penting. Omong-omong, apa Bapak kebetulan punya peta Kampung Ichijoji?”

“Sebentar. Itu sebuah tempat kecil di seberang Shirakawa, dekat puncak Gunung Hiei. Saya kira lebih baik Ibu tidak pergi ke sana tengah malam. Sepi sekali dan…”

“Tak apa,” sela Matahachi. “Apa bisa Bapak menggambar petanya buat kami?”

“Dengan senang hati. Salah seorang pembantu saya berasal dari sana. Dia dapat memberikan keterangan yang saya perlukan. Ichijoji tak banyal: penduduknya, tapi tersebar di daerah yang luas.”

Karena sedikit mabuk, Matahachi berkata kasar, “Tak usah kuatir kami pergi ke sana. Kami cuma ingin tahu jalannya.”

“Maafkan kami. Nah, silakan bersiap-siap.” Dan sambil menggosok-­gosokkan kedua tangan dengan nada menjilat, ia membungkuk minta diri ke beranda.

Ketika ia akan melangkah turun ke halaman, tiga atau empat orang pegawainya datang berlari-lari mendapatkannya. Juru tulis kepala berkaca sewot, “Apa dia tidak datang kemari, Tuan?”

“Siapa?”

“Gadis yang tinggal di kamar belakang itu.”

“Lalu apa urusannya?”

“Saya yakin masih melihat dia sore tadi, tapi kemudian saya melihat kamarnya, dan…”

“Bicara langsung ke persoalannya!”

“Kami tidak menemukannya.”

“Orang goblok kamu!” teriak pemilik penginapan. Wajahnya berubah tidak lagi kelihatan sikap membudak yang beberapa saat sebelumnya ia tunjukkan. “Apa gunanya lari-lari macam ini sesudah dia pergi? Kalian mestinya sudah tahu dari penampilannya bahwa ada yang tidak beres. Jadi, sampai seminggu lewat itu kalian tidak tahu dia tak punya uang? Bagaimana bisa aku terus dengan usaha ini kalau kalian melakukan hal-hal se­macam itu?”

“Maaf, Tuan. Tapi dia kelihatan sopan.”

“Sudah terlambat sekarang. Lebih baik kalian lihat, apa ada yang hilang dari kamar-kamar tamu lain. Betul-betul gerombolan dungu!” Ia membalik ke bagian depan penginapan.

Osugi dan Matahachi minum sedikit sake lagi, kemudian perempuan tua itu beralih minum teh dan menasihati anaknya berbuat demikian juga.

“Saya cuma akan menghabiskan sisanya,” kata Matahachi sambil menuang semangkuk lagi. “Saya tak butuh makan apa-apa.”

“Tak baik kalau kamu tidak makan. Paling tidak, makanlah nasi sedikit dan acar.”

Para pegawai dan pembantu berlarian di halaman dan gang sambil membawa lentera.

“Rupanya mereka tak dapat menangkapnya,” kata Osugi. “Ibu tak mau terlibat, karena itu Ibu diam saja di depan pemilik penginapan. Tapi menurutmu, apa bukan gadis yang kamu ajak bicara itu yang mereka cari?”

“Tak mengherankan kalau memang dia.”

“Memang tak banyak yang dapat kita harapkan dari orang yang ibunya seperti itu. Lalu kenapa kamu begitu akrab dengan dia?”

“Saya kasihan padanya. Hidupnya sangat sukar.”

“Nah, hati-hatilah, jangan bilang-bilang kamu kenal dia. Kalau pemilik penginapan tahu gadis itu ada hubungannya dengan kita, dia bisa minta kita membayar rekeningnya.”

Tapi lain lagi yang dipikirkan Matahachi. Sambil mencengkeram belakang kepalanya, ia berbaring menelentang dan omelnya, “Bisa rasanya aku membunuh sundal itu! Sekarang aku bisa membayangkan wajahnya. Bukan Musashi yang bikin aku sesat, tapi Oko!”

Osugi memarahinya bukan main. “Jangan bodoh begitu! Kalau kamu bunuh Oko, apa faedahnya buat nama baik kita? Di kampung tak ada yang kenal dan peduli dia.”

Jam dua pemilik penginapan datang ke beranda, membawa lentera dan mengumumkan waktu.

Matahachi meregangkan badan, tanyanya, “Sudah Bapak tangkap gadis itu?”

“Tidak, tidak kelihatan tanda-tandanya.” Ia mengeluh. “Gadis begitu cantik. Para pegawai berpendapat, biarpun dia tak dapat membayar rekeningnya, kita dapat memperoleh kembali uang itu dengan menyuruhnya tinggal beberapa waktu di sini. Mungkin Anda tahu maksud saya. Sayang sekali dia sedikit lebih gesit daripada kami.”

Matahachi mengikat sandalnya sambil duduk di ujung beranda. Sesudah sekitar semenit menanti, serunya kesal, “Bu, apa kerja Ibu di situ? Ibu selalu menyuruh saya cepat, tapi pada saat terakhir tak pernah Ibu siap!”

“Tunggu sebentar, Matahachi, apa kantong uang yang Ibu simpan di tas perjalanan itu Ibu kasihkan kamu? Ibu membayar rekening dengan uang tunai dari bungkusan di perut, tapi uang perjalanan kita ada dalam kantong.”

“Saya tidak melihatnya.”

“Sini sebentar. Ini ada kertas bertuliskan namamu. Ha?… Astaga! Kata­nya… katanya, karena dia kenal lama dengan kamu, dia harap kamu memaafkan dia telah meminjam uang itu. Pinjam… pinjam!”

“Ini tulisan Akemi.”

Osugi menoleh kepada pemilik penginapan. “Pak! Kalau milik seorang tamu dicuri orang, itu tanggung jawab Bapak. Bapak mesti berbuat sesuatu.”

“Begitu, ya?” Dan pemilik penginapan tersenyum lebar. “Memang biasa begitu, tapi karena rupanya Ibu kenal gadis itu, saya kuatir saya mesti lebih dulu minta Ibu mengurus rekeningnya.”

Mata Osugi jadi jelalatan, gagapnya. “A-apa yang Bapak bicarakan itu: Selama hidup belum pernah saya melihat cewek pencuri itu. Matahachi: Jangan lagi kamu bermain-main! Kalau kita tidak berangkat sekarang, ayam jantan akan segera berkokok.”

Perangkap Maut

KARENA bulan masih tinggi di langit pagi buta itu, bayangan orang-orang yang mendaki jalan gunung yang putih saling bertumbukan menakutkan, membuat para pendaki merasa lebih tidak tenang lagi.

“Ini lain dengan yang kuharapkan,” kata seseorang.

“Aku begitu juga. Banyak wajah tidak kelihatan. Tadinya kusangka paling tidak ada seratus lima puluh orang.”

“Kelihatannya kurang dari separuhnya.”

“Kukira, kalau Genzaemon datang dengan orang-orangnya, jumlah kita akan mencapai sekitar tujuh puluh orang.”

“Berat. Keluarga Yoshioka jelas tidak lagi seperti dulu.”

Dan dari kelompok lain, “Siapa yang peduli dengan orang-orang yang tak ada di sini? Begitu dojo ditutup, banyak yang terpaksa memikirkan dulu kehidupannya. Yang di sini ini orang-orang yang paling punya harga diri dan paling setia. Itu lebih penting daripada jumlah!”

‘Betul! Sekiranya di sini ada seratus atau dua ratus orang, mereka cuma akan saling silang.”

“Ha, ha! Omong hebat lagi. Ingat pengalaman di Rengeoin. Dua puluh orang berdiri berkeliling, tapi Musashi lolos juga!”

Gunung Hiei dan puncak-puncaknya yang lain masih tidur lelap dalam lipatan awan-awan. Orang-orang itu berkumpul di persimpangan jalan desa kecil, jalan yang satu menuju puncak Hiei, sedang yang lain mengarah ke Ithijoji. Jalannya terjal, berbatu-batu, dan disimpangsiuri selokan dalam. Di sekitar tanda paling menonjol berupa pohon pinus besar yang mengembang seperti payung raksasa itu berkumpul sekelompok murid senior. Sambil dwduk di tanah seperti kawanan kepiting yang biasa merangkak malam hari. mereka memperbincangkan medan.

“Jalan itu bercabang tiga, jadi persoalannya adalah yang mana yang akan dipergunakan Musashi. Strategi terbaik adalah membagi orang-orang itu menjadi tiga regu dan menempatkannya di masing-masing jalan. Kemudian Genjiro dan ayahnya tinggal di sini dengan satu korps sekitar sepuluh pedang yang terbaik—Miike, Ueda, dan lain-lain.”

“Tidak, medan ini terlalu kasar untuk penempatan sejumlah besar orang di satu tempat. Kita mesti menyebar mereka di ketiga jalan itu. Mereka mesti tetap tersembunyi, sampai Musashi menempuh setengah jalan. Kemu­dian mereka dapat menyerang dari depan dan belakang dengan serentak.”

Kelompok-kelompok orang itu datang dan pergi. Bayang-bayang yang terus bergerak-gerak kelihatan disatukan dengan lembing atau sarung pedang panjang. Memang ada kecenderungan menyepelekan musuh, namun antara mereka tidak terdapat pengecut.

“Dia datang!” teriak orang yang ada di lingkungan luar.

Bayang-bayang itu jadi diam. Denyutan dingin menjalari nadi setiap samurai.

“Tenang-tenang saja! Cuma Genjiro.”

“Lho, dia naik joli?”

“Ah, dia kan masih kanak-kanak!”


Cerita Novel Musashi buku 4, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp//?cat=45
[lihat: Lanjutan cerita]


0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar