Cerita Novel Musashi buku 1, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar]
Takezo terbaring di antara mayat-mayat itu. Ribuan jumlahnya.
“Dunia sudah gila,” pikirnya samar. “Manusia seperti daun kering, yang hanyut ditiup angin musim gugur.”
Ia sendiri seperti satu di antara tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di sekitarnya. Ia mencoba mengangkat kepala, tapi hanya dapat mengangkatnya beberapa inci dari tanah. Ia tak ingat, apakah pernah merasa begitu lemah. “Sudah berapa lama aku di sini?” ia bertanya-tanya.
Lalat-lalat mendengung di sekitar kepalanya. Ia ingin mengusirnya, tapi mengerahkan tangan untuk mengangkat tangan pun ia tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir rapuh, seperti halnya bagian tubuh yang lain. “Tentunya sudah beberapa lama tadi aku pingsan,” pikirnya sambil menggerak-gerakkan jemarinya satu demi satu. Ia belum begitu sadar bahwa dirinya sudah terluka. Dua peluru bersarang erat di dalam pahanya.
Awan gelap mengerikan berlayar rendah di langit. Malam sebelumnya, kira-kira antara tengah malam dan fajar, hujan deras mengguyur daratan Sekigahara. Sekarang ini lewat tengah hari, tanggal lima belas bulan sembilan tahun 1600. Sekalipun topan telah berlalu, sekali-kali siraman hujan segar masih menimpa mayat-mayat itu, termasuk wajah Takezo yang tengadah. Tiap kali hujan menyiram, ia membuka dan menutup mulutnya seperti ikan, mencoba mereguk titik-titik air itu. “Seperti air yang dipakai mengusap bibir orang sekarat,” kenangnya sambil melahap setiap titik air yang datang. Kepalanya sudah hilang rasa, sedangkan pikirannya seperti bayang-bayang igauan yang melintas.
Pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu. Kobayakawa Hideaki, yang dikiranya sekutu, ternyata diam-diam telah bergabung dengan Tentara Timur. Ketika ia menyerang pasukan Ishida Mitsunari pada senja hari, jalan pertempuran pun berubah. Ia kemudian menyerang tentara panglima-panglima yang lain – Ukita, Shimazu, dan Konishi. Maka sempurnalah keruntuhan Tentara Barat. Hanya dalam setengah hari pertempuran sudah dapat dipastikan siapa yang sejak itu akan memerintah negeri. Dialah Tokugawa Ieyasu, daimyo Edo yang perkasa.
Bayangan kakak perempuannya dan penduduk desa yang sudah tua-tua mengambang di depan matanya. “Aku akan mati,” pikirnya tanpa rona sedih. “Jadi, beginikah rasanya?” Dan ia pun merasa tertarik ke arah kedamaian maut, seperti anak-anak yang terpesona oleh nyala api.
Tiba-tiba salah satu mayat yang dekat dengannya mengangkat kepala, “Takezo!”
Bayang-bayang dalam kepala Takezo menghilang. Seolah terbangun dari mati, ia pun menoleh ke arah suara itu. Ia yakin itu suara teman karibnya. Dengan segenap kekuatan, ia mengangkat tubuhnya sedikit dan ia paksakan keluar suara bisikan yang hampir tidak terdengar itu, karena kalah oleh titik-titik hujan. “Matahachi, kaukah itu?” Lalu ia rebah, terbaring diam, mendengarkan.
“Takezo! Betul-betul kau masih hidup?”
“Ya, hidup!” serunya, tiba-tiba keluar pongahnya. “Dan kau? Kau sebaiknya jangan mati juga. Jangan berani-berani!” Matanya lebar terbuka sekarang, dan senyuman tipis bermain di bibirnya.
“Mana bisa aku mati! O, tidak!” Sambil terengah-engah karena merangkak menyeret badan dengan susah payah, Matahachi pun mendekati sahabatnya setapak demi setapak. Ditangkapnya tangan Takezo, tapi yang ia cengkeram dengan kelingkingnya sendiri hanyalah kelingking temannya itu. Sebagai sahabat, sejak kanak-kanak mereka sering mematrikan janji dengan cara itu. Ia pun lebih mendekat lagi, dan kemudian menggenggam tangan sahabatnya itu seluruhnya.
“Sungguh aku tak percaya kau hidup juga! Tentunya hanya kita yang selamat!”
“Jangan begitu terburu-buru! Aku belum mencoba berdiri.”
“Mari kubantu. Ayo kita pergi dari sini!”
Tapi tiba-tiba saja Takezo menarik Matahachi ke tanah dan menggeram, “Pura-pura mati! Celaka lagi!”
Bumi pun mulai menderum seperti kawah gunung. Lewat tangan mereka berdua tampak angin pusaran sedang mendekat. Dan semakin mendekat. Baris-baris penunggang kuda sehitam jelaga meluncur langsung menuju mereka berdua.
“Bajingan! Mereka kembali!” kata Matahachi sambil terus mengangkat lutut, seolah-olah bersiap melompat. Takezo langsung menangkap pergelangan kakinya, hingga hampir-hampir mematahkannya, serta merenggutnya ke bumi.
Dalam sekejap mata, para penunggang kuda sudah terbang melewati mereka. Beratus-ratus kaki kuda yang berlumpur dan menyimpan maut mencongklang dalam formasi, menyepelekan para samurai yang sudah tewas. Sambil memperdengarkan pekikan-pekikan perang, dan dengan zirah serta senjata berdentingan, para penunggang kuda itu melaju terus.
Matahachi berbaring menelungkup dengan mata terpejam, dengan harapan kosong semoga mereka tidak terinjak-injak, sedangkan Takezo menatap tanpa berkedip ke langit. Kuda-kuda itu begitu dekat dengan mereka, hingga mereka dapat mencium bau keringatnya. Kemudian semuanya berlalu.
Secara ajaib mereka tidak terluka dan tidak dikenali, dan untuk beberapa menit lamanya keduanya tinggal diam tak percaya.
“Selamat lagi!” kata Takezo sambil mengulurkan tangan kepada Matahachi. Masih merangkum bumi, pelan-pelan Matahachi memutar kepala, memperlihatkan seringai lebar yang sedikit bergetar. “Ada yang berpihak pada kita, itu pasti,” katanya parau.
Kedua sahabat itu saling bantu berdiri dengan susah payah. Pelan-pelan mereka melintasi medan pertempuran, menuju tempat aman di bukit-bukit berhutan, terpincang-pincang dan berangkulan. Di sana mereka rebah, dan sesudah beristirahat sebentar, mulailah mereka mencari-cari makanan. Dua hari mereka hidup dari buah berangan liar dan daun-daunan yang dapat dimakan di dalam lubang-lubang basah di Gunung Ibuki. Makanan itulah yang membuat mereka tidak mati kelaparan, tapi perut Takezo jadi sakit, dan usus Matahachi tersiksa. Tak ada makanan yang dapat mengenyangkannya, tak ada minuman yang dapat menghilangkan dahaganya, tapi ia merasa kekuatannya pulih kembali sedikit demi sedikit.
Badai tanggal lima belas itu menandai akhir topan musim gugur. Kini hanya dua malam sesudahnya, bulan yang putih dingin sudah memandang muram ke bawah, dari langit yang tak berawan.
Mereka berdua mengerti, betapa berbahayanya berada di jalan, dalam cahaya bulan terang. Bayangan mereka akan tampak seperti bayangan sasaran, yang dapat dengan jelas dilihat oleh patroli yang sedang mencari orang-orang yang berkeliaran. Keputusan untuk mengambil resiko itu datang dari Takezo. Melihat keadaan Matahachi yang begitu jelek – katanya lebih baik tertangkap daripada terus mencoba berjalan – agaknya memang tidak banyak pilihan lain. Mereka harus berjalan terus, tapi jelas pula bahwa mereka harus menemukan tempat untuk menyembunyikan diri dan beristirahat. Maka perlahan-lahan mereka pun berjalan menuju tempat yang menurut mereka adalah arah kecil Tarui.
“Bisa kau bertahan?” Tanya Takezo berulang-ulang. Dilingkarkannya tangan temannya itu ke bahunya sendiri, untuk membantunya berjalan. “Kau baik-baik saja, kan?” Napas berat temannya itulah yang mengkhawatirkannya. “Mau beristirahat?”
“Aku baik-baik saja.” Matahachi mencoba kedengaran berani, tapi wajahnya lebih pucat daripada bulan di atas mereka. Bahkan dengan lembing yang digunakannya sebagai tongkat pun hampir tidak dapat melangkahkan kaki.
Beberapa kali ia meminta maaf merendah-rendah, “Maaf, Takezo. Aku tahu, akulah yang melambatkan jalan kita. Betul-betul aku minta maaf.”
Beberapa kali pula Takezo hanya menjawab dengan kata-kata, “Lupakan itu.” Tapi akhirnya, ketika mereka sudah berhenti untuk beristirahat, ia pun menoleh kepada temannya dan cetusnya, “Coba dengar, akulah yang mestinya minta maaf. Pertama-tama, akulah yang menjerumuskanmu ke sini, ingat tidak? Kau ingat, bagaimana aku menyampaikan rencanaku padamu, bahwa akhirnya aku aku akan melakukan sesuatu yang bakal betul-betul mengesankan ayahku? Aku sungguh tak bisa menerima kenyataan bahwa sampai meninggalnya, Ayah tetap yakin aku tak akan pernah mencapai sesuatu. Aku ingin perlihatkan padanya! Ha!”
Ayah Takezo, Munisai, dulu mengabdi pada yang Dipertuan Shimmen dari Iga. Begitu Takezo mendengar bahwa Ishida Mitsunari sedang membentuk tentara, ia pun yakin bahwa kesempatan yang hanya sekali seumur hidup akhirnya datang baginya. Ayahnya seorang samurai. Apakah tidak sewajarnya kalau ia pun menjadi samurai? Ingin sekali ia memasuki kancah keributan, untuk membuktikan keberaniannya, untuk membikin berita tersebar seperti api kebakaran melintas dusun: ia telah memenggal jenderal musuh. Ia sangat ingin membuktikan dirinya sebagai orang yang harus diperhitungkan, dihormati – bukan hanya sebagai perisau dusun.
Takezo mengingatkan Matahachi tentang semua itu, dan Matahachi mengangguk. “Aku tahu. Aku tahu. Tapi aku merasa begitu juga. Bukan hanya kau.”
Takezo melanjutkan, “Aku minta kau mengawaniku, karena kita memang selalu bersama-sama melakukan semuanya. Tapi perbuatan ibumu itu sungguh mengerikan! Dia berteriak-teriak mengatakan pada semua orang bahwa aku gila dan brengsek! Dan tunanganmu Otsu, saudara perempuanku, dan semua orang menangis. Katanya pemuda-pemuda dusun seharusnya tinggal di dusun. Ya, barangkali mereka benar juga. Kita ini anak laki-laki satu-satunya, dan kalau kita terbunuh, tidak ada yang melanjutkan nama keluarga. Tapi peduli apa? Apa begitu mestinya hidup?”
Mereka berhasil menyelinap keluar dusun tanpa kelihatan orang, dan merasa yakin tidak ada lagi penghalang yang memisahkan mereka dengan kehormatan pertempuran. Namun ketika sampai di perkemahan Shimmen, mereka berhadapan dengan kenyataan perang. Mereka langsung diberitahu bahwa mereka tidak akan menjadi samurai dalam waktu singkat, bahkan tidak dalam beberapa minggu, tak peduli siapa ayah mereka. Bagi Ishida dan jenderal-jenderal lain, Takezo dan Matahachi hanyalah sepasang orang udik, tidak banyak lebihnya dari anak-anak yang kebetulan memegang sepasang lembing. Paling banyak yang dapat mereka peroleh adalah izin untuk tinggal di sana sebagai prajurit biasa. Tanggung jawab mereka, kalaupun dapat dinamakan demikian, hanyalah mengangkut senjata, periuk nasi, dan alat-alat rumah tangga lainnya, memotong rumput, mempengaruhi geng-geng jalanan, dan sesekali bertugas sebagai pandu.
“Samurai, ha!” kata Takezo. “Lelucon macam apa pula. Kepala jenderal! Mendekati samurai musuh saja tidak, apalagi jenderal. Tapi setidak-tidaknya semua itu sudah lewat. Sekarang apa yang mau kita lakukan? Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini sendirian. Kalau itu kulakukan, bagaimana aku akan menghadapi ibumu dan Otsu?”
“Takezo, aku tidak menyalahkanmu karena kita celaka. Bukan salahmu kita kalah. Kalaupun ada yang mesti disalahkan, Kobayakawa-lah orangnya. Kobayakawa yang bermuka dua itu. Betul-betul aku ingin menangkapnya. Akan kubunuh bangsat itu!”
Beberapa jam kemudian, mereka sudah berdiri di tepi dataran kecil, menyaksikan lautan miskantus yang serupa buluh, sudah berantakan dan patah-patah terkena badai. Tak ada rumah. Tak ada cahaya.
Di sini pun banyak mayat, bergelimpangan seperti waktu jatuhnya. Kepala salah satu mayat itu tergeletak dalam rumput tinggi. Ada juga yang menengadah di sungai kecil. Lainnya lagi tersangkut dengan anehnya pada seekor kuda mati. Hujan telah membasuh darah, dan dalam sinar bulan daging mati itu tampak seperti sisik ikan. Di sekitar semua itu, yang terdengar hanyalah litani giring-giring dan jangkrik musim gugur yang sepi.
Aliran air mata membentuk jalur putih menuruni wajah suram Matahachi, dan ia memperdengarkan keluhan seorang yang sakit parah.
“Takezo, kalau aku mati, maukah kau mengurus Otsu?”
“Apa yang kau omongkan ini?”
“Aku merasa seperti mau mati.”
Takezo membentaknya, “Nah, kalau memang itu yang kau rasakan, barang kali kau memang akan mati.” Ia jengkel, karena sesungguhnya ia ingin temannya itu lebih kuat, hingga ia sendiri dapat menyandarkan diri kepadanya sekali-kali, bukan secara fisik, melainkan sebagai pendorong.
“Ayolah Matahachi! Jangan seperti bayi cengeng begitu.”
“Kalau ibuku pasti ada yang mengurus, tapi Otsu, dia sendirian di dunia ini. Selamanya begitu. Kasihan aku padanya, Takezo. Berjanjilah kau akan mengurusnya, kalau aku tak ada.”
“Kau mesti percaya pada diri sendiri! Tak ada orang mati karena mencret. Cepat atau lambat kita akan menemukan rumah, dan kalau kita sudah menemukan rumah itu, kutidurkan kau dan akan kudapatkan obat. Sekarang hentikan rengekan tentang mati itu!”
Lebih jauh sedikit, sampailah mereka di tempat bertumpuknya tubuh-tubuh tanpa nyawa, hingga kelihatan seolah satu divisi penuh telah disapu habis. Waktu itu sudah hilang perasaan mereka melihat darah kental. Mata mereka berkaca-kaca menangkap pemandangan itu dengan sikap masa bodoh yang dingin. Mereka berhenti lagi, beristirahat.
Selagi mereka mengatur napas, terdengar ada yang bergerak di antara mayat-mayat itu. Keduanya undur ketakutan, dan secara naluriah merundukkan badan dengan mata terbuka lebar dan perasaan diwaspadakan.
Sosok tubuh itu membuat gerakan melejit cepat, seperti gerakan seekor kelinci yang terkejut. Dan ketika mata mereka sudah terpusat ke arahnya, terlihat oleh mereka orang yang entah siapa itu sedang berjongkok rendah. Semula mereka menduga ia seorang samurai yang tersesat, karena itu mereka menabahkan diri untuk menghadapi pertemuan yang berbahaya. Tapi alangkah kaget mereka, karena ternyata prajurit dahsyat itu hanyalah seorang gadis muda. Gadis itu agaknya berumur sekitar tiga belas atau empat belas tahun, mengenakan kimono dengan lengan digulung. Obi sempit yang membelit pinggangnya sudah bertambal-tambal di beberapa tempat, namun terbuat dari brokat emas. Di tengah himpunan mayat itu, ia betul-betul merupakan pemandangan yang ganjil. Ia melayangkan pandang dan menatap mereka dengan penuh kecurigaan, dengan mata kucing yang licik.
Takezo dan Matahachi heran akan hal yang sama: apa yang menyebabkan gadis itu dating di malam buta itu?
Sekejap keduanya hanya balas memandang gadis itu. Kemudian Takezo berkata, “Siapa kau?”
Gadis itu mengerdip beberapa kali, berdiri, lalu enyah dari situ.
“Stop!” seru Takezo. “aku cuma mau mengajukan satu pertanyaan padamu. Jangan pergi dulu!”
Tapi gadis itu sudah pergi, seperti kilasan kilat di tengah malam. Dan bunyi giring-giring kecil pun menghilang ke dalam ngeri kegelapan.
“Apa kemungkinan itu hantu?” renung Takezo keras, sementara ia memandang kosong ke dalam kabut tipis.
Matahachi menggigil sedikit, tapi memaksakan diri tertawa. “Kalau ada hantu di sini, tentunya hantu serdadu-serdadu itu, kan?”
“Sayang aku telah membikin takut gadis itu,” kata Takezo. “Tentunya ada dusun di dekat-dekat sini. Dan dia tentunya bisa memberikan petunjuk pada kita.”
Mereka berjalan terus, mendaki bukit pertama dari dua bukit yang ada di hadapan mereka. Di cekungan sebelah sana terdapat paya-paya yang menghampar ke selatan Gunung Fuwa. Dan tampak cahaya, hanya setengah mil jauhnya.
Ketika mendekati rumah pertanian itu, terasa oleh mereka bahwa rumah itu bukan sekedar rumah biasa. Kelihatan dari tembok tanah tebal yang mengelilinginya. Juga dari pintu gerbangnya yang boleh dikatakan megah. Atau setidaknya sisa-sisanya, karena pintu gerbang itu sudah tua dan sudah sangat memerlukan perbaikan.
Takezo mendekati pintu dan mengetuk-ngetuk pelan. “Permisi!”
Karena tidak ada jawaban, ia mencoba sekali lagi. “Maaf kami mengganggu pada jam seperti ini, tapi temanku ini sakit. Kami tak ingin menyusahkan – dia perlu istirahat sedikit.”
Mereka mendengar orang berbisik-bisik di dalam, dan akhirnya terdengar bunyi orang berjalan ke pintu.
“Kalian yang berkeliaran di Sekigahara, kan?” Suara itu datang dari seorang gadis muda.
“Betul,” kata Takezo. “Kami bawahan Lord Shimmen dari Iga.”
“Menyingkirlah! Kalau kalian ditemukan orang di sini, kami bisa celaka.”
“Betul-betul kami minta maaf telah mengganggu seperti ini, tapi kami telah lama sekali berjalan. Temanku ini butuh sedikit istirahat, hanya itu, dan …”
“Pergilah. Menyingkirlah!”
“Baiklah, kalau memang itu yang Anda kehendaki. Tapi apa tak bisa temanku ini diberi obat? Perutnya sakit sekali sekali, hingga sukar bagi kami berjalan terus.”
“Entahlah….”
Beberapa waktu kemudian, mereka mendengar langkah-langkah kaki dan bunyi dering kecil menjauh ke dalam rumah, makin lama makin lemah.
Baru pada waktu itulah mereka melihat wajah itu. Wajah itu tampak di jendela samping, wajah seorang wanita, dan wajah itu memperhatikan mereka terus.
“Akemi,” serunya, “biar mereka masuk. Mereka prajurit biasa. Patroli Tokugawa tak akan membuang-buang waktu buat mereka. Mereka tak dikenal.”
Akemi membuka pintu, dan wanita yang memperkenalkan diri sebagai Oko itu pun datang untuk mendengarkan cerita Takezo.
Maka disetujuilah bahwa mereka tidur di lumbung. Untuk mengobati sakit perutnya, Matahachi mendapat tepung arang magnolia dan bubur beras encer dengan campuran bawang. Beberapa hari berturut-turut ia tidur terus-menerus, sedangkan Takezo duduk berjaga-jaga di sampingnya, sambil mengobati luka-luka peluru di pahanya dengan minuman keras murah.
Pada suatu malam, kira-kira seminggu kemudian, Takezo dan Matahachi duduk mengobrol.
“Mereka tentunya punya usaha tertentu,” kata Takezo.
“Aku tak peduli dengan kerja keras mereka. Aku senang mereka telah menerima kita.”
Tetapi rasa ingin tahu Takezo telah bangkit. “Ibunya belum begitu tua,” sambungnya. “Aneh, bahwa mereka berdua hidup sendiri di pegunungan ini.”
“Hm. Apa menurut pendapatmu gadis itu agak mirip Otsu?”
“Memang ada sesuatu padanya yang membuat aku ingat Otsu, tapi kukira mereka tidak betul-betul serupa. Keduanya manis, titik. Menurutpendapatmu, apa yang sedang dia lakukan waktu pertama kali kita melihatnya itu? Merangkak-rangkak di antara mayat-mayat itu di tengah malam? Dan kelihatannya pekerjaan itu tidak mengganggunya sama sekali. Ha! Masih terbayang olehku hal itu. Wajahnya tenang dan tenteram, seperi boneka buatan Kyoto. Sungguh gambaran yang luar biasa!”
Matahachi memberi isyarat pada Takezo untuk diam.
“Ssst! Kudengar giring-giringnya.”
Ketukan ringan Akemi di pintu terdengar seperti ketukan burung pelatuk. “Matahachi, Takezo,” panggilnya lembut.
“Ya?”
“Ini aku.”
Takezo berdiri dan membuka kunci. Gadis itu membawa sebaki obat-obatan dan makanan, dan bertanya tentang kesehatan mereka.
“Jauh lebih baik. Terima kasih untukmu. Juga untuk ibumu.”
“Ibu bilang, biar kalian sudah sehat, kalian jangan bicara terlalu keras atau pergi keluar.”
Takezo pun menjawab atas nama mereka berdua. “Kami minta maaf sudah membikin repot kalian.”
“Oh, tidak apa-apa. Cuma kuminta kalian berhati-hati. Ishida Mitsunari dan beberapa jenderal lain belum tertangkap. Mereka mengawasi daerah ini dengan ketat, dan jalan-jalan penuh dengan pasukan Tokugawa.”
“Betul?”
“Makanya, biar kalian cuma prajrit biasa. Ibu bilang, kalau kami tertangkap menyembunyikan kalian, kami akan ditahan.”
“Kami tak akan bikin rebut,” janji Takezo. “Malahan muka Matahachi akan kututup kain, kalau dia mendengkur terlalu keras.”
Akemi tersenyum, membalikkan badan untuk pergi, dan katanya, “Selamat malam. Aku akan datang lagi besok pagi.”
“Tunggu!” kata Matahachi. “Apa salahnya kau datang ke sini, bicara dengan kami sedikit?”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Ibu nanti marah.”
“Peduli apa dengan ibumu? Berapa tahun umurmu?”
“Enam belas.”
“Kalau begitu, badanmu terlalu kecil, ya?”
“Terima kasih atas komentar itu.”
“Di mana ayahmu?”
“Tidak punya lagi.”
“Maaf. Lalu bagaimana kalian hidup?”
“Kami bikin moxa.”
“Obat yang dibakar di kulit buat menghilangkan sakit itu?”
“Ya, moxa daerah ini terkenal. Musim semi kami memotong mugwort di Gunung Ibuki. Musim panas mengeringkannya, lalu musim gugur dan dingin membuatnya jadi moxa. Kami jual di Tarui. Orang datang dari mana-mana hanya untuk beli moxa itu.”
“Kiranya kalian tidak butuh lelaki untuk mengerjakan itu.”
“O, kalau itu yang ingin kalian ketahui, lebih baik aku pergi.”
“Nanti dulu, sedikit lagi,” kata Takezo. “Ada satu pertanyaan lagi.”
“Apa itu?”
“Malam ketika kami datgn kemari itu, kami melihat seorang gadis di medan pertempuran, dan dia mirip sekali denganmu. Apa itu kau?”
Akemi cepat membalikkan badan dan membuka pintu.
“Apa kerjamu di sana?”
Gadis itu membanting pintu di belakangnya. Dan ketika ia berjalan ke rumah itu, giring-giring kecil pun berdering dengan iramanya yang aneh dan sumbang.
Sisir
Dengan tinggi sekitar 1,75 meter, Takezo cukup jangkung untuk orang sezamannya. Tubuhnya seperti tubuh kuda yang indah: kuat dan lentur, dengan kaki panjang berotot. Bibirnya penuh, berwarna merah tua, dan alisnya yang hitam tebal jadi tampak tidak lebat karena bentuknya yang indah. Karena jauh melampaui sudut-sudut luar matanya, alis itu pun menambah kejantanannya. Orang-orang kampung menyebutnya “anak tahun yang gemuk”, suatu ungkapan yang hanya dipakai untuk anak dengan badan lebih besar dari rata-rata. Sebutan itu jauh dari maksud menghina, tapi bagaimanapun membuatnya ada jarak dengan anak-anak muda lain, dan itu membuatnya cukup malu pada masa kanak-kanaknya.
Ungkapan itu tidak pernah dipergunakan untuk menggambarkan Matahachi, namun dapat pula dikenakan padanya. Ia agak lebih pendeka dan pejal daripada Takezo, dadanya bidang dan besar, dan wajahnya bulat, memberikan kesan periang, kalau bukan sifat badut sejati. Matanya yang besar dan sedikit menonjol itu cenderung bergerak ketika ia berbicara, dan kebanyakan lulucon yang dibuat orang untuk merendahkannya berpusat pada kemiripannya dengan katak yang yak henti-hentinya berdengkung pada malam-malam musim panas.
Kedua pemuda itu sedang berada di puncak usia pertumbuhan mereka, dan karenanya cepat pulih dari sebagian besar penyakit. Ketika luka-luka Takezo sudah sepenuhnya sembuh, Matahachi pun tidak dapat lagi menahan hambatan yang dirasakannya. Mulailah ia berjalan mondar-mandir di seputar lumbung, dan tak henti-hentinya mengeluh karena merasa terkurung. Tidak hanya sekali ia membuat kesalahan, dengan mengatakan bahwa ia merasa seperti jangkrik di dalam lubang yang gelap dan jangrik memang suka pada suasana hidup seperti itu. Matahachi tentunya telah mulai mengintip kedalam rumah, karena pada suatu hari ia mendekatkan mulutnya kepada teman seselnya itu, seolah hendak menyampaikan berita yang mengguncangkan dunia. “Tiap malam,” bisiknya genting, “janda itu membedaki mukanya dan mempercantik diri!” Muka Takezo pun jadi seperti anak umur dua belas tahun yang benci anak gadis, melihat pengkhianatan teman karibnya yang makin tertarik kepada “mereka” itu. Matahachi sudah menjadi pengkhianat kini, dan pandangan mata Takezo pun tidak salah lagi mengungkapkan kemuakan.
Matahachi mulai kerap pergi ke rumah itu, duduk-duduk di dekat perapian bersama Akemi dan ibunya yang masih muda. Sesudah tiga atau empat hari mengobrol dan berkelakar dengan mereka, tamu yang ramah itu pun sudah menjadi anggota keluarga. Ia tidak kembali ke lumbung, juga pada malam hari, dan kalau kadang-kadang pulang, napasnya berbau sake. Ia mencoba membujuk Takezo datang ke rumah itu, dengan menyanyikan puji-pujian terhadap kehidupan yang baik, yang hanya beberapa meter jauhnya dari tempat itu.
“Gila kau!” jawab Takezo gusar. “Kau bisa bikin kita terbunuh, atau setidaknya tertangkap. Kita ini sudah kalah, jadi gelandangan – apa kau belum juga mengerti? Kita mesti berhati-hati dan bersembunyi, sampai keadaan mereda.”
Tapi dengan segera ia bosan mencoba mengajak temannya yang cinta kenikmatan itu untuk berpikiran sehat, dan mulailah ia menghentikan omongan temannya dengan jawaban-jawaban ringkas.
“Aku tidak suka sake,” atau kadang-kadang, “Aku lebih suka di sini. Santai.”
Tapi Takezo sendiri akhirnya mulai sinting juga. Ia merasa bosan bukan kepalang, dan mulai memperlihatkan tanda-tanda mengalah. “Apa betul-betul aman?” tanyanya. “Maksudku sekitar sini? Apa tak ada tanda-tanda patroli? Apa kau yakin?”
Maka, sesudah terkubur dua puluh hari lamanya dalam lumbung itu, akhirnya ia keluar seperti tawanan perang yang setengah kelaparan. Kulitnya tampak jernih pucat, seperti mayat, lebih-lebih ketika ia berdiri di samping temannya yang sudah terbakar matahari dan sake itu. Dipandangnya langit biru yang terang, dan sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, ia pun menguap dengan nikmatnya. Ketika mulutnya yang besar itu akhirnya menutup kembali, terlihatlah bahwa alisnya waktu itu mengait. Wajahnya tampak resah.
“Matahachi,” katanya sungguh-sungguh, “kita terlalu memaksakan keinginan pada orang-orang ini. Mereka sekarang menghadapi resiko besar gara-gara kita di sini. Kupikir kita harus berusaha pulang sekarang.”
“Kau benar,” kata Matahachi. “Tapi tak seorang pun dapat melewati rintangan itu tanpa pemeriksaan. Jalan ke Ise dan Kyoto tak bisa ditempuh, menurut janda itu. Katanya, kita mesti bertahan sampai salju turun. Gadis itu juga bilang begitu. Dia yakin mesti tetap bersembunyi. Dan kau tahu, dia selalu pergi ke mana-mana setiap hari.”
“Kau bilang duduk di dekat api sambil minum itu bersembunyi?”
“Tentu. Tahu tidak, apa yang sudah kulakukan? Beberap hari yang lalu orang-orang Tokugawa datang mengintai; mereka masih mencari Jenderal Ukita. Dan aku bisa melepaskan diri dari bajingan-bajingan itu hanya dengan keluar dan menyapa mereka.“ Mata Takezo membelalak tak percaya mendengar itu, sedangkan Matahachi tertawa terbahak-bahak. Setelah tawanya reda, ia pun melanjutkan. “Kau lebih selamat di tempat terbuka daripada meringkuk di lumbung, sambil mendengarkan langkah-langkah kaki orang dan dibikin gila olehnya. Inilah yang mau kukatakan padamu.” Matahachi tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Takezo mengangkat bahu.
“Barangkali kau benar. Itu bisa jadi cara terbaik untuk mengatasi persoalan.”
Takezo masih juga mengajukan persyaratan, tapi sesudah percakapan itu, ia pun ikut pergi ke rumah tersebut. Oko, yang agaknya senang kalau ada orang lain, terutama laki-laki, berusaha membuat mereka betul-betul kerasan. Namun sekali-kali ia membuat kedua pemuda itu terlonjak dengan sarannya agar seorang dari mereka mengawini Akemi. Tapi ini agaknya lebih membikin bingung Matahachi daripada Takezo. Takezo mengabaikan saja saran itu, atau menandinginya dengan kata-kata lucu.
Waktu itu musim matsutake yang lezat dan harum, yang tumbuh di pangkal-pangkal pohon-pohon pinus, dan Takezo cukup terhibur mencari jamur-jamur besar di gunung yang berhutan, di belakang rumah itu. Sambil memegang keranjang, Akemi mencari jamur itu dari pohon ke pohon. Setiap kali tercium baunya, suaranya yang tanpa dosa itu pun menggema di tengah hutan.
“Takezo, sini! Banyak di sini!”
Dan kalau sedang mencari-cari di dekatnya, Takezo pun selalu menjawab, “Di sini juga banyak!”
Sinar matahari musim gugur menerobos tipis dan miring ke arah mereka, lewat ranting-ranting pinus. Babut daun pinus di tempat teduh yang sejuk di bawah pohon-pohonan itu bagaikan bunga mawar yang lunak berdebu. Setelah lelah, Akemi pun menantang Takezo sambil terkikik, “Mari kita lihat, siapa yang paling banyak!”
“Aku!” jawab Takezo pasti. Mendengar itu, Akemi pun mulai memriksa keranjang Takezo.
Hari ini tidak beda dengan hari-hari lain. “Ha, ha! Aku tahu!” teriak Akemi. Dengan rasa kemenangan penuh kegembiraan yang hanya bisa terjadi pada gadis semuda itu, dan tanpa kesadaran diri ataupun sikap sopan yang dibuat-buat, ia pun menunduk ke keranjang Takezo. “Yang banyak kau dapat itu jamur payung!” Lalu ia pun membuangi jamur beracun itu satu per satu, bukan sambil menghitungnya keras-keras, melainkan diiringi gerakan yang begitu pelan dan disengaja, hingga Takezo hampir tidak dapat mengabaikannya, sekalipun dengan mata terpejam, Akemi melontarkan masing-masing jamur itu sejauh-jauhnya. Selesai dengan tugas itu, ia pun menengadah dengan wajah membinarkan rasa puas diri.
“Sekarang lihat, aku dapat jauh lebih banyak daripada kau!”
“Sudah siang sekarang,” gumam Takezo. “Mari pulang.”
“Kau marah karena kalah, kan?”
Akemi pun berlari kencang seperti ayam pegar menuruni sisi bukit, tapi sekonyong-konyong ia berhenti, wajahnya dipenuhi rasa terkejut. Seorang lelaki raksasa datang lurus mendekat lewat belukar, setengah jalan menuruni lereng bukit; langkah-langkhanya panjang dan tenang, matanya yang tajam menatap langsung kepada gadis muda yang rapuh di hadapannya. Orang itu tampak primitif luar biasa. Segala sesuatu pada dirinya bernada perjuangan untuk tetap hidup, dan ia menampakkan ciri suka berkelahi: alis yang lebat dan ganas, dan bibir atas yang tebal melingkar; pedang berat, jubah zirah, dan kulit binatang melengkapi dirinya.
“Akemi!” raungnya seraya mendekati gadis itu. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan giginya yang kuning melapuk, tapi wajah Akemi tetap saja menyiratkan kengerian belaka.
“Apa ibumu yang hebat itu ada di rumah?” tanyanya dengan ejekan yang dibuat-buat.
“Ya,” cicit Akemi.
“Nah, kalau nanti kau pulang, ceritakan sesuatu padanya. Mau tidak?” Ejekan itu diucapkannya dengan sopan.
“Ya.”
Dan kini nadanya berubah kasar. “Katakan padanya, jangan mempermainkan aku dengan menimbun uang tanpa sepengetahuanku. Katakan aku akan datang segera untuk mengambil bagianku. Mengerti?’
Akemi diam saja.
“Dia pikir barangkali aku tidak tahu, tapi orang yang dijuali barang-barang itu datang langsung padaku. Aku berani bertaruh, kau pergi juga ke Sekigahara, bukan, Nak?”
“Ah, tidak!” protes Akemi lemah.
“Ya, tak apalah. Cuma sampaikan padanya apa yang kukatakan tadi. Kalau dia main tidak jujur lagi, akan kutendang dia keluar dari daerah ini.” Ia menyorot gadis itu sesaat dengan matanya, kemudian pergi dengan lamban ke arah paya.
Takezo mengalihkan matanya dari orang asing itu kepada Akemi, dengan penuh minat. “Siapa orang itu?”
Dengan bibir masih menggeletar Akemi menjawab lesu, “Namanya Tsujikaze. Dia dari kampung Fuwa.” Suara Akemi hampir tak lebih dari bisikan.
“Dia bandit, kan?”
“Ya.”
“Kenapa dia begitu marah?”
Akemi berdiri saja tanpa menjawab.
“Tak akan kuceritakan itu pada orang lain,” kata Takezo, mencoba meyakinkan Akemi. “Apa tak bisa kau menceritakannya padaku?”
Akemi, yang jelas merasa tak senang, agaknya sedang mencari-cari kata. Dan tiba-tiba ia pun menyandarkan diri ke dada Takezo dan memohon, “Kau janji taka akan bercerita pada orang lain?”
“Siapa yang akan kuceritai? Samurai Tokugawa?”
“Ingat waktu kau pertama kali melihatku malam itu? Di Sekigahara?”
“Tentu saja ingat.”
“Nah, apa belum kau bayangkan, apa yang kulakukan waktu itu?”
“Belum, aku belum pernah memikirkannya,” kata Takezo dengan wajah sungguh-sungguh.
“Nah, waktu itu aku mencuri!” Lalu ia pun menatap Takezo dekat-dekat, untuk menaksir reaksi Takezo.
“Mencuri?”
“Sesudah pertempuran, aku pergi ke medan, mengambili barang-barang serdadu yang tewas: pedang, hiasan sarung pedang, kantong kemenyan –– apa saja yang dapat kami jual.” Ia memandang Takezo lagi untuk menangkap tanda-tanda sikap tidak setuju, tetapi wajah Takezo tidak memperlihatkannya sama sekali. “Pekerjaan itu mengerikan,” keluhnya kemudian, lalu berubah bersikap pragmatis, “tapi kami butuh uang untuk makan. Kalau aku bilang tak mau pergu, Ibu marah.”
Matahari masih cukup tinggi di langit. Atas saran Akemi, Takezo duduk di rumput. Lewat pohon-pohon pinus, mereka dapat memandang ke bawah, ke rumah di tengah paya itu.
Takezo mengangguk pada diri sendiri, seolah sedang membayangkan sesuatu. Sejenak kemudian ia berkata, “Kalau begitu, cerita tentang memotong mugwort dan membuat moxa itu bohong semuanya?”
“O, tidak. Kami mengerjakan itu juga! Tapi selera Ibu begitu mahal. Tak mungkin kami dapat hidup dari moxa saja. Ketika ayahku masih hidup, kami tinggal di rumah terbesar di kampung ini, malahan boleh dibilang di tujuh dusun yang ada di Ibuki. Kami punya banyak pelayan, dan Ibu selalu punya barang-barang bagus.
“Apa ayahmu pedagang?”
“O, tidak. Dia pemimpin bandit setempat.” Mata Akemi bersinar penuh kebanggaan. Jelaslah, ia tidak lagi takut akan reaksi Takezo, dan kini ia melepaskan perasaan sebenarnya. Rahangnya mantap, tangannya yang kecil mengepal pada waktu bicara. “Tsujikaze Temma, orang yang baru kita jumpai tadi, itulah yang membunuhnya. Paling tidak, begitulah kata semua orang.”
“Maksudmu, ayahmu dibunuh?”
Sambil mengangguk diam, Akemi mulai menangis, sekalipun ia berusaha menahannya. Takezo merasa sesuatu yang berada jauh di dalam dirinya mulai mencair. Semula ia tidak menaruh simpati pada gadis itu. Sekalipun gadis itu lebih kebanyakan dari gadis yang sudah berumur enam belas tahun, namun bicaranya seperti wanita dewasa, dan sering kali ia membuat gerakan cepat yang membuat orang lain berjaga-jaga. Tapi ketika air mata mulai menitik dari bulu matanya yang panjang, tiba-tiba Takezo pun jadi meleleh oleh rasa kasihan. Ia ingin mendekap gadis itu untuk melindunginya.
Gadis itu bukanlah gadis yang dibesarkan seperti biasa. Agaknya tak pernah ia pertanyakan, apakah di dunia ini tidak ada yang lebih mulia daripada pekerjaan ayahnya. Ibunya telah meyakinkannya bahwa tak ada salahnya melucuti mayat, bukan untuk makan, melainkan untuk hidup layak. Banyak pencuri sejati enggan melakukan pekerjaan itu.
Selama bertahun-tahun berlangsungnya perselisihan kaum feodal, keadaan telah menjadikan semua manusia, sampai yang pemalas di pedesaan, terhanyut oleh cara hidup seperti ini. Orang banyak pun lebih-kurang memang telah minta mereka melakukan hal itu. Ketika perang pecahn para penguasa militer setempat bahkan memanfaatkan jasa-jasa mereka dan memberikan imbalan melimpah pada mereka atas jasa membakar perbekalan musuh, menyebarkan desas-desus bohong, mencuri kuda dari kamp-kamp musuh, dan lain-lain hal seperti itu. Yang paling sering terjadi adalah jasa-jasa mereka dibeli orang. Tapi, sekalipun tidak dibeli, perang menawarkan banyak kesempatan. Di samping berkelaiaran di antara mayat-mayat untuk mengumpulkan barang-barang berharga, kadang-kadang mereka berhasil mendapat hadiah dari menyerahkan kepala samurai yang kebetulan tersandung oleh mereka dan kemudian mereka pungut. Satu saja pertempuran besar sudah cukup bagi para pencuri bejat ini hidup senang enam bulan atau setahun.
Pada waktu-waktu bergolak, petani atau pembelah kayu biasa pun sudah tahu mengambil keuntungan dari kesengsaraan orang dan pertumpahan darah. Perkelahian di luar kampung sendiri sudah bisa membuat orang-orang sederhana ini meninggalkan pekerjaan, dan dengan cakapnya mereka menyesuaikan diri dengan situasi, dan menemukan cara untuk memunguti sisa-sisa hidup manusia lain, seperti burung pemakan bangkai. Sebagian karena gangguan inilah para penjarah professional menetapkan perlindungan keras atas wilayah masing-masing. Sudah menjadi peraturan keras bahwa para pemburu liar, yaitu perampok-perampok yang melanggar hak-hak yang telah dimiliki para penjahat kejam ini dapat dikenai pembalasan dendam.
Akemi pun menggigil, dan katanya, “Apa akal kita? Orang-orang bayaran Temma sedang dalam perjalanan kemari sekarang. Aku tahu itu.”
“Jangan khawatir,” kata Takezo meyakinkannya. “Kalau mereka nanti muncul, aku sendiri yang akan menyambut mereka.”
Ketika mereka turun bukit, senja telah turun di atas paya itu, dan segalanya sunyi. Jejak asap api pemandian di rumah itu merayap di area puncak jajaran rumput mendong, seperti ular yang melenggok-lenggok di langit. Oko sedang berdiri santai di pintu belakang, seusai melakukan riasan malam. Ketika melihat anak perempuannya datang bersama Takezo, ia pun berseru, “Akemi, apa kerjamu sampai begini larut?”
Terasa benar tajamnya mata dan suaranya. Gadis itu pun segera tersadar, sesudah begitu lama ia berjalan dengan kepala kosong. Ia memang lebih peka terhadap suasana hati ibunya daripada apa pun di dunia ini. Ibunya telah menanamkan kepekaan ini dan telah berhasil memanfaatkannya, mengendalikan anak gadis itu seperti boneka, hanya dengan pandangan atau gerak-geriknya. Cepat-cepat Akemi menjauh dari sisi Takezo, dan dengan wajah memerah ia pun mendahului dan masuk rumah.
Hari berikutnya, Akemi menyampaikan pada ibunya tentang Tsujikaze Temma. Oko naik pitam.
“Kenapa tidak cepat-cepat kau ceritakan?” raungnya sambil menyeruduk ke sana kemari seperti perempuan gila, menarik-narik rambutnya, mengeluar-ngeluarkan barang dari laci dan lemari dan mengonggokkan semuanya di tengah kamar.
“Matahachi! Takezo! Bantu aku! Semua ini mesti kita sembunyikan.”
Matahachi menggeser sebuah papan yang ditunjukkan oleh Oko, lalu ia menempatkan diri di atas langit-langit. Tak banyak ruangan antara langit-langit dan kasau itu. Orang hampir tidak dapat merangkak di situ, tapi cukuplah itu untuk memenuhi kebutuhan Oko, dan terutama agaknya kebutuhan almarhum suaminya. Takezo berdiri di atas bangku, di antara ibu dan anak, dan mulai mengulurkan barang-barang itu satu persatu kepada Matahachi. Jika Takezo tidak mendengar cerita Akemi hari sebelumnya, tidak bakal ia tidak merasa kagum melihat keanekaragaman barang-barang yang sekarang dilihatnya.
Takezo tahu ibu dan anak ini sudah lama melakukan pekerjaan itu, namun demikian sungguh mengagumkan. Betapa banyaknya barang yang mereka timbun. Ada belati, umbai lembing, lengan baju zirah, helm tanpa mahkota, kuil mini yang dapat dibawa-bawa, tasbih Budha, tiang bendera…. Bahkan ada sandal berlak berukir indah dan bertatah emas, perak, dan indung mutiara.
Dari lubang di langit-langit, Matahachi mengintip keluar dengan wajah bingung. “Sudah semua?”
“Tidak, ada satu lagi,” kata Oko seraya pergi cepat-cepat. Sesaat kemudian ia sudah kembali membawa sebilah pedang, satu seperempat meter panjangnya, dari kayu ek hitam. Takezo mulai mengeluarkan barang itu pada Matahachi, tetapi bobot, lengkung dan sempurnanya keseimbangan senjata itu demikian mengesankannya, sampai tak dapat ia melepaskannya.
Ia pun menoleh kepada Oko dengan pandangan tersipu. “Apa tak bisa Ibu menghadiahkan ini padaku?” tanyanya dengan mata memancarkan kepasrahan. Ia memandang kakinya sendiri, seakan-akan hendak mengatakan bahwa ia memang belum melakukan sesuatu yahg pantas mendapat ganjaran pedang itu.
“Apa kau betul-betul menginginkannya?” jawab nyonya itu dengan lembut, dengan nada seorang ibu.
“Ya…ya… tentu!”
Sekalipun wanita itu tidak benar-benar mengatakan Takezo boleh memilikinya, namun ia tersenyum, memperlihatkan dekik pipinya, dan tahulah Takezo bahwa pedang itu sudah menjadi miliknya. Matahachi melompat turun dari langit-langit, meledak oleh rasa iri. Ia pun meraba-raba pedang itu dengan tamaknya, membuat Oko tertawa.
“Coba lihat, orang kecil ini merajuk karena tidak dapat hadiah!” Ia mencoba menenteramkan hati Matahachi dengan memberikan pundit-pundi kulit yang manis dan berbatu akik. Matahachi tidak tampak terlalu senang. Matanya terus tertuju kepada pedang kayu ek hitam itu. Perasaannya terluka, dan pundit-pindi itu hanya sedikit dapat menyembuhkan harga dirinya yang terluka.
Keika suaminya masih hidup, Oko rupanya punya kebiasaan mandi uap secara santai tiap malam, merias diri, dan kemudian minum sedikit sake. Singkatnya, ia menghabiskan waktu untuk merias diri sebanyak yang dihabiskan geisha yang terbesar bayarannya. Ini bukanlah jenis kemewahan yang dapat dikembangkan oleh orang biasa, tetapi ia berkeras melakukannya, bahkan ia telah mengajar Akemi mengikuti kebiasaan yang sama itu, sekalipun gadis itu menganggapnya menjemukan, dan alasannya tidak dapat ia pahami. Oko tidak hanya suka senang; ia pun berketetapan untuk tetap muda selama-lamanya.
Malam itu, selagi mereka duduk di sekitar perapian ceruk, Oko menuangkan sake untuk Matahachi dan mencoba meyakinkan Takezo untuk juga mencobanya. Ketika Takezo menolak, ia letakkan mangkuk itu ke tangan Takezo, ia tangkap pergelangan tangannya, dan ia paksa Takezo mengangkat mangkuk itu ke bibirnya.
“Laki-laku sudah sewajarnya minum,” umpatnya. “Kalau kau tidak dapat melakukannya sendiri, akan kubantu.”
Berulang kali Matahachi menatap Oko denga perasaan tak enak. Sada akan pandangan Matahachi itu, Oko bahkan semakin berani terhadap Takezo. Sambil meletakkan tangannya secara main-main di lutut Takezo, mulailah ia mendendangkan lagu cinta yang sedang popular.
Sampai di sini, Matahachi pun merasa sudah sampai batas kesabarannya. Sambil tiba-tiba menoleh kepada Takezo, ia berucap, “Kita mesti lekas meneruskan perjalanan!”
Ucapan ini mencapai sasarannya. “Tapi… tapi… ke mana kalian akan pergi?” Tanya Oko terbata-bata.
“Kembali ke Miyamoto. Ibuku dan tunanganku tinggal di sana.”
Oko hanya sekejap terkejut; sebentar kemudian ia sudah dapat menguasai dirinya kembali. Matanya menyempit, senyumnya membeku, dan suaranya menjadi getir. “Nah, harap dimaafkan karena aku telah menghambat kalian, telah menerima kalian, dan memberikan tempat pada kalian. Kalau memang ada gadis yang menanti kalian, lebih baik kalian lekas-lekas saja pulang. Jangan kiranya aku menahan kalian!”
Sesudah menerima pedang ek hitam itu, Takezo tak pernah lagi terpisah darinya. Memegangnya saja merupakan kenikmatan yang tak terlukiskan baginya. Sering ia meremas gagang pedang itu erat-erat, atau menggesekkan sisinya yang tumpul pada telapak tangannya, hanya untuk merasakan betapa sesuai lengkung dengan panjangnya. Bila tidur ia dekap pedang itu ke tubuhnya. Sentuhan dingin permukaan kayu itu pada pipinya mengingatkannya pada lantai dojo, di mana ia pernah mempraktekkan teknik-teknik main pedang pada musim dingin. Alat yang hampir sempurna, dan sekaligus merupakan benda seni dan maut ini, membangkitkan kembali di dalam dirinya semangat tempur yang telah ia warisi dari ayahnya.
Takezo mencintai ibunya, tetapi ibu itu telah meninggalkan ayahnya dan pergi ketika Takezo masih kecil, meninggalkannya sendirian dengan Munisai, seorang ayah yang gila tata tertib, yang tak tahu bagaimana memanjakan anak dalam suasana yang tidak menguntungkan seperti itu. Apabila ayahnya ada, anak itu selalu merasa kikuk dan ketakutan, tidak pernah merasa santai. Ketika berumur sembilan tahun, begitu besar hasratnya akan kata manis ibunya, hingga ia pernah melarikan diri dari rumah dan nekat pergi ke Propinsi Harima, tempat ibunya tinggal. Takezo tak pernah mengerti mengapa ibu dan ayahnya bercerai, dan pada umur sekian, penjelasan tentang itu pun tidak akan banyak menolong. Ibunya telah kawin dengan samurai lain, dan mendapat seorang anak lagi.
Begitu pelarian kecil itu sampai di Harima, ia tidak membuang-buang waktu lagi untuk menemukan ibunya. Ibunya lalu membawanya ke daerah hutan di belakang kuil setempat, supaya tidak kelihatan orang, dan di sana sambil berurai air mata ia pun memeluk anaknya itu erat-erat dan menyuruhnya kembali kepada ayahnya. Takezo tak pernah melupakan adegan itu; setiap detailnya akan tetap hidup dalam kenangannya, sepanjang umurnya.
Sebagai seorang samurai, tentu saja Munisai mengirimkan orang-orangnya untuk memperoleh kembali anaknya, begitu ia mengetahui anaknya hilang. Sudah jelas ke mana perginya anak itu. Takezo pun dikembalikan ke Miyamoto seperti seikat kayu bakar, diikat di punggung kuda yang tidak bersadel. Sebagai pembuka, Munisai menyebutnya anak bandel yang kurang ajar, dan dengan keberangan yang hampir mencapai histeris, ia sabet anaknya sampai ia tak kuat menyabet lagi. Takezo ingat lebih gamblang daripada apa pun di dunia ini, betapa sengit ultimatum ayahnya waktu itu. “Kalau sekali lagi kau pergi ke ibumu, tak akan kuakui kau sebagai anak.”
Tidak lama sesudah kejadian itu. Takezo mendengar kabar bahwa ibunya jatuh sakit dan meninggal. Kematian itu berakibat berubahnya Takezo dari seorang anak pendiam dan pemurung menjadi anak kampung yang jail. Munisai pun akhirnya menjadi takut. Ketika ia mendatangi anak itu dengan pentung, anak itu menantangnya dengan tongkat kayu. Satu-satunya orang yang bisa menandinginya adalah Matahachi, yang juga anak seorang samurai; semua anak lain tunduk pada perintah Takezo. Waktu ia berumur dua belas atau tiga belas tahun, badannya sudah hampir setinggi orang dewasa.
Pada suatu kali, seorang pemain pedang pengembara bernama Arima Kihei menaikkan panji-panji berhias emas, dan menyatakan siap melawan siapa saja penantang dari kampung itu. Takezo berhasil membunuh orang itu tanpa kesukaran, dan mendapat pujian dari orang-orang kampung atas keberaniannya.
Namun penghargaan itu singkat saja umurnya, karena bersamaan dengan bertambahnya umur, ia pun jadi semakin tak dapat dikendalikan dan brutal. Banyak orang yang menganggapnya sadis, dan apabila ia muncul di suatu tempat, orang pun segera menyingkir. Sikap Takezo terhadap mereka semakin menjelaskan sikap dingin mereka terhadapnya.
Ketika ayahnya yang tetap keras dan kasar akhirnya meninggal, unsur kejam di dalam diri Takezo lebih membesar lagi. Kalau tidak karena kakak perempuannya, Ogin, Takezo barangkali sudah lebih tak bisa dikendalikan lagi dan telah diusir dari kampung oleh penduduk yang marah. Untunglah ia menyayangi kakaknya, dan karena tak tahan melihat air mata kakaknya, biasanya ia pun melakukan apa saja yang diminta kakaknya.
Pergi perang bersama Matahachi merupakan titik balik bagi Takezo. Hal itu menunjukkan bahwa bagaimanapun ia mau merebut kedudukan di tengah masyarakat, sejajar dengan orang-orang lain. Tetapi kekalahan di Sekigahara sekonyong-konyong telah menghilangkan harapan-harapan seperti itu, dan ia pun mendapati dirinya sekali lagi tercebur ke dalam kenyataan gelap yang menurut anggapannya telah ia tinggalkan. Namun ia seorang pemuda yang diberkati sifat riang yang mulia, yang hanya dapat berkembang di zaman perjuangan. Selagi tidur, wakjahnya setenang wajah bayi, sama sekali tak terusik oleh pikiran-pikiran hari esok. Memang ia mengalami juga mimpi-mimpi, baik di waktu tidur maupun terjaga, tapi tidak banyak ia mengalami kekecewaan yang sebenar-benarnya. Karena modalnya hanya sedikit, maka hanya sedikit pula ia kehilangan; sekalipun dalam makna tetentu ia sudah tercerabut, namu ia terbebaskan juga dari belenggu.
Melihat napasnya yang dalam dan tetap, sementara ia memeluk erat pedang kayunya itu, barangkali Takezo sedang bermimpi; senyuman halus tersungging pada bibirnya, sedangkan bayangan kakak perempuannya yang lembut dan kota kelahirannya yang damai berpancaran turun seperti air terjun dari gunung, di hadapan matanya yang terpejam dan berbulu lebat itu, Oko menyelinap ke dalam kamarnya sambil membawa lampu.
“Sungguh wajah yang damai,” bisik Oko dengan kagum, lalu ia pun mengulurkan tangan dan menyentuh sedikit bibir Takezo dengan jemarinya.
Kemudian ia mematikan lampu dan berbaring di samping Takezo. Seraya meringkuk seperti kucing, sedikit demi sedikit ia merapatkan tubuhnya ke tubuh Takezo, sementara wajahnya yang putih dan gaun malam warna-warni yang betul-betul terlampau muda untuknya itu terbenam dalam kegelapan. Yang kedengaran saat itu hanyalah titik-titik embun yang jatuh di ambang jendela.
“Ingin tahu juga, apakah dia masih perjaka,” kagumnya sambil mengulurkan tangan untuk menyingkirkan pedang kayu itu.
Tapi begitu ia menyentuh pedang itu, Takezo langsung berdiri dan berteriak, “Pencuri! Pencuri!”
Oko terlempar ke lampu, hingga bahu dan dadanya luka, dan Takezo memelintir tangannya tanpa ampun lagi. Oko menjerit kesakitan.
Karena kagetnya, Takezo pun melepaskannya. “O. jadi ini tadi Ibu? Aku pikir pencuri.”
“Oooh,” rintih Oko. “Sakit!”
“Maaf, aku tidak tahu.”
“Kau ini tak kenal kekuatan badan sendiri. Hampir lepas tanganku.”
“Aku sudah minta maaf. Mau apa Ibu di sini?”
Oko tak menghiraukan pertanyaan Takezo yang polos itu; ia tidak merasakan lika tangannya; dicobanya melingkarkan anggota badannya itu ke leher Takezo, dan gumamnya, “Kau tak perlu minta maaf. Takezo …” Ia pun menggosokkan punggung tangannya lembut-lembut ke pipi Takezo.
“Hai! Apa pula ini? Apa Ibu gila?” teriak Takezo sambil meloloskan diri dari sentuhan wanita itu.
“Jangan ribut begitu, tolol. Kau tahu perasaanku padamu.” Oko terus mencoba membelai Takezo, tapi Takezo menepak-nepaknya, seperti orang diserang gerombolan lebah.
“Ya, dan aku sangat berterima kasih. Kami berdua tak akan melupakan betapa besar kebaikan Ibu, yang telah menerima kami dan segalanya itu.”
“Maksudku bukan itu, Takezo. Aku bicara tentang perasaan wanitaku – tentang perasaan yang indah dan hangat terhadapmu.”
“Tunggu dulu,” kata Takezo sambil melompat berdiri. “Akan kunyalakan lampu.”
“Oh, bagaimana kau bisa begini kejam,” rengek Oko, dan bergerak lagi akan memeluk Takezo.
“Jangan!” teriak Takezo marah. “Hentikan, sungguh! Hentikan!”
Ada sesuatu dalam suara Takezo yang membuat Oko takut dan menghentikan serangannya, sesuatu yang tegas dan mantap.
Takezo merasa tulang-tulangnya bergoyang dan giginya gemeretuk. Tidak pernah ia menghadapi lawan yang demikian berat. Bahkan ketika telentang di bawah kuda-kuda yang mencongklang lewat di Sekigahara, tak pernah jantungnya demikian berdentam. Ia pun duduk ngeri di sudut kamar
“Kuminta ibu pergi dari sini,” mohonnya. “Kembalilah ke kamar ibu sendiri. Kalau tidak, akan kupanggil Matahachi. Akan kubangunkan seisi rumah!”
Oko tidak beranjak. Ia duduk saja di kegelapan dengan napas berat, dan dengan mata menciut ia pun menatap Takezo. Ia tak mau ditolak. “Takezo,” gumamnya lagi. “Apa kau tidak memahami perasaanku?”
Takezo tidak menjawab.
“Tidak memahami?”
“Ya, tapi apa Ibu memahami perasaanku: diserang selagi tidur, dibikin takut setengah mati, dan dianiaya seekor macan dalam gelap?”
Kini giliran Oko yang diam. Dari kedalaman kerongkongannya keluar bisikan seperti suara geraman, dan ia pun mengucapkan setiap suku katanya ini dendam. “Begitu tega kau mempermalukan aku?”
“Aku mempermalukan ibu?”
“Ya ini sungguh membikin malu.”
Keduanya begitu tegang waktu itu, hingga tak terdengar oleh mereka ketukan pintu, yang agaknya sudah berlangsung beberapa lama. Ketukan itu dipertegas lagi oleh teriakan-teriakan. “Ada apa di dalam? Apa kau tuli? Buka pintu!”
Berkas cahaya tampak di celah daun jendela. Akemi terbangun. Kemudian langkah kaki Matahachi terdengar mendekat, dan suaranya berseru, “Ada apa?”
Kemudian dari gang rumah, Akemi berseru resah, “Ibu! Apa Ibu di situ? Jawab, Bu!”
Oko menyerobot cepat kembali ke kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar Takezo. Ia menjawab dari situ. Orang-orang lelaki di luar rupanya mendobrak daun jendela dan menyerbu ke dalam. Sampai di kamat perapian, Oko melihat enam atau tujuh pasang bahu lebar menyerbu dapur yang berdekatan dan berlantai kotor. Letaknya agak di bawah, karena memang dibuat lebih rendah dari ruangan-ruangan lain.
Seorang di antaranya berteriak, “Tsujikaze Temma di sini. Kasih lampu!”
Orang-orang itu menyerobot masuk ke dalam ruang tamu. Mereka bahkan tidak melepas sandal, suatu tanda kekasaran yang sudah melekat. Mereka mulai melongok ke sana kemari –– ke lemari, ke laci-laci, ke bawah tatami jerami tebal tang menutup lantai. Temma mendudukkan diri denga megahnya di dekat perapian, sambil mengawasi kaki tangannya menggeldah ruangan-ruangan itu dengan sistematis. Ia betul-betul menikmati pekerjaan itu, tapi dengan segera ia bosan karena tidak melakukan apa-apa.
“Terlalu lama!” geramnya sambil menghantamkan tinju ke tatami. “Kau pasti menyimpannya sebagian di sini. Di mana barang itu?”
“Aku tak merngerti apa yang kau bicarakan,” jawab Oko sambil melipat dengan sabar kedua tangannya di perut.
“Jangan bicara begitu, perempuan!” lenguh Temma. “Mana barang itu? Aku tahu barang itu ada di sini!”
“Aku tak punya apa-apa!”
“Tak punya?”
“Tak punya.”
“Kalau begitu, barangkali memang kau tidak memilikinya. Barangkali salah infrmasi yang kuterima….” Ia pun memandang Oko dengan tajam, sambil menarik-narik dan menggaruk-garuk jenggotnya. “Cukup, anak-anak!” gunturnya.
Sementara itu, Oko sudah duduk di kamar sebelah. Pintu dorongnya terbuka lebar, seakan-akan hendak mengatakan bahwa Temma dapat memeriksa terus tempat yang dicurigainya.
“Oko,” panggil Temma kasar.
“Apa maumu?” terdengar jawaban dingin
“Bagaimana kalau minum sedikit?”
“Mau sedikit air?”
“Jangan paksa aku…,” ancam Temma memperingatkan.
“Sake ada di sana. Minumlah kalau mau.”
“Ai, Oko,” kata Temma melunak. Ia hampir-hampir mengagumi Oko karena sikap keras kepalanya yang dingin. “Jangan begitu. Aku sudah lama tak berkunjung. Apa begini caranya menyambut teman lama?”
“Berkunjung!”
“Sudahlah kau ikut bersalah juga. Sudah banyak yang kudengar tentang apa yang dilakukan ‘janda tukang moxa dari berbagai orang, sampai rasanya tak mungkin semua itu bohong. Kudengar kau menyuruh anakmu yang cantik itu memereteli mayat-mayat. Nah, kenapa dia mesti melakukan hal seperti itu?”
“Tunjukkan padaku buktinya!” jerit Oko. “Mana buktinya!”
“Kalau ada rencanaku menggalinya, mana mungkin aku mengingatkan Akemi sebelumnya? Kau tahu sendiri aturan permainannya. Ini wilayahku, dan aku harus memeriksa rumahmu. Kalau tidak, semua orang akan menyangka mereka bisa lepas begitu saja sesudah melakukan hal seperti itu. Kalau begitu, di mana nanti tempatku? Aku harus melindungi diriku, tahu!”
Oko menatap Temma dalam kediaman baja, kepalanya setengah tertoleh kepadanya, sedangkan dagu dan hidungnya terangkat bangga.
“Baiklah, akan kulepaskan kau kali ini. Tapi ingat, aku bersikap baik sekali kepadamu sekarang.”
“Baik kepadaku? Siapa? Kau? Menggelikan!”
“Oko,” bujuk Temma, “ke sinilah, dan tuangkan minuman untukku.”
Tapi ketika Oko tidak juga memperlihatkan tanda-tanda akan bergerak, ia pun meledak, “Anjing gila kau! Apa kau tidak tahu, kalau kau bersikap baik padaku, tidak bakal kau hidup seperti ini?”
Temma mereda sedikit, kemudian nasihatnya, “Pikirlah dulu.”
“Aku memang tenggelam dalam kebaikan hati Tuan,” terdengar jawaban yang berbisa.
“Kau tak suka padaku?”
“Coba jawab pertanyaan ini: Siapa yang membunuh suamimu? Aku yakin kau ingin aku percaya bahwa kau tidak tahu, kan?”
“Kalau kau mau membalas dendam pada pelakunya , aku akan membantumu dengan senang hati. Aku bisa membantu dengan jalan apa pun.”
“Jangan berlagak bodoh!”
“Apa maksudmu?”
“Kau sudah banyak mendengar dari orang banyak. Apa mereka tidak mengatakan padamu bahwa kau sendirilah yang membunuhnya? Apa kau belum mendengar bahwa Tsujikaze Temma itulah pembunuhnya? Semua orang tahu. Boleh saja aku janda seorang bandit, tapi aku belum jatuh begitu rendah sampai mau main ke sana kemari dengan pembunuh suamiku.”
“Kau rupanya memang harus mengatakannya: tak bisa kau membiarkan saja hal itu, ya!” Sambil tertawa, Temma mengosongkan sakenya dalam sekali teguk, dan menuang lagi. “Kau tahu, mestinya kau tidak mengatakan hal-hal seperti itu. Itu tak baik untuk kesehatanmu atau kesehatan anakmu yang manis!”
“Aku akan mendidik Akemi dengan semestinya, dan sesudah dia kawin, aku akan kembali menghadapimu. Ingat kata-kataku ini!”
Temma tertawa lagi hingga bahu dan seluruh tubuhnya berguncang. Setelah mereguk seluruh sake yang dapat ditemukannya, ia pun memberi isyarat kepada salah seorang kaki-tangannya yang ditempatkan di sudut dapur, tombaknya tegak sejajar dengan bahunya. “He, kau,” katanya dengan suara menggelegar, “geser papan langit-langit itu dengan pangkal tombakmu!”
Orang itu tunduk pada perintah Temma. Ia mengitari kamar sambil menyodok-nyodok langit-langit, dan kekayaan Oko pun berjatuhan ke lantai, seperti hujan es.
“Seperti sudah kuduga,” kata Temma sambil berdiri dengan kikuknya. “Coba lihat, anak-anak. Bukti! Dia telah melanggar peraturan, tak sangsi lagi. Bawa dia keluar dan kasih hukumannya!”
Orang-orang itu pun berduyun-duyun ke kamar perapian, tapi sekonyong-konyong mereka terhenti. Oko berdiri mematung di pintu, seakan menantang mereka untuk menjamahnya. Temma, yang telah turun ke dapur, memanggil tak sabar, “Apa yang kalian tunggu? Bawa dia kemari!”
Tak ada yang bergerak. Oko terus menatap orang-orang itu dari atas, dan orang-orang itu tetap saja seperti lumpuh. Temma pun memutuskan untuk mengambil alih. Sambil mendecapkan lidahnya ia mendekati Oko, tetapi ia pun tiba-tiba terhenti di depan pintu. Di belakang Oko, tidak kelihatan dari dapur, berdiri dua pemuda berwajah ganas. Takezo menggenggam rendah pedang kaunya, siap mematahkan tulang kering pendatang pertama atau siapa pun yang cukup bodoh untuk mengikutinya. Di pihak lain, Matahachi menggenggam pedang tinggi-tinggi, siap menebaskannya ke leher pertama yang berusaha menerobos pintu masuk. Akemi tidak kelihatan.
“O, jadi begitu ya,” rintih Temma, yang tiba-tiba ingat adegan di sisi gunung. “Aku pernah lihat orang itu berjalan bersama Akemi beberapa hari yang lalu – yang memegang tongkat itu. Siapa yang satunya?”
Matahachi ataupun Takezo tidak menjawab. Ini berarti mereka bermaksud menjawab dengan senjata. Ketegangan memuncak.
“Mestinya tidak ada lelaki di rumah ini,” raung Temma. “Hai, kalian berdua… Kalian pasti dari Sekigahara! Hati-hatilah kalian – kuperingatkan kalian.”
Kedua pemuda itu sama sekali tidak bergerak.
“Tak ada di daerah ini yang tidak kenal nama Tsujikaze Temma! Akan kutunjukkan pada kalian, apa yang kami lakukan terhadap gelandangan!”
Sunyi. Temma memberi isyarat pada kaki-tangannya untuk menyingkir. Seorang di antaranya terjatuh ke perapian. Ia menjerit, dan ranting-ranting menyala yang kejatuhan tubuhnya menjadi bunga api ke langit-langit. Dalam beberapa detik saja, ruangan sudah penuh oleh asap.
“Aarrrghh!”
Temma menerjang ke ruangan itu, Matahachi pun menebaskan pedang dengan kedua tangannya, tapi orang tua itu terlalu cepat baginya, hingga tebasan itu mental mengenai sarung pedang Temma. Oko telah melarikan diri ke sudut terdekat, sementara Takezo menanti dengan edang kayu eknya yang terpasang horizontal. Ia mengincar kaki Temma, lalu mengayunkan pedangnya dengan segenap kekuatan. Pedang itu mendecit di kegelapan, tapi tidak terdengar suara benturan. Manusia lembu itu telah melenting ke udara pada waktunya, dan ketika turun ia menerjang Takezo derngan kekuatan batu besar.
Takezo merasa seakan berkelahi dengan seekor beruang. Inilah orang terkuat yang pernah dihadapinya, temma mencengkeram lehernya dan mendaratkan dua-tiga pukulan yang membuat tengkorak Takezo seperti pecah. Kemudian Takezo mendapat kesempatan lagi, sehingga Temma terlempar ke udara. Ia mendarat ke dinding, mengguncangkan rumah dan segala isinya. Ketika Takezo mengangakt pedang kayunya untuk dihantamkan ke kepala Takezo, bandit itu berkelit, langsung berdiri dan melarikan diri, dikejar oleh Takezo.
Takezo sudah memutuskan untuk tidak membiarkan Temma lolos. Itu berbahaya. Hatinya sudah bulat. Kalau berhasil menangkap orang itu, ia takkan setengah-tengah membunuhnya. Ia akan memastikan benar bahwa tak ada sepenggal nafas pun tertinggal.
Itulah sifat Takezo. Ia makhluk ekstrem. Waktu kecil pun sudah ada sifat primitif dalam darahnya, sifat yang mengingatkan orang pada prajuritu-prajurit ganas jepang kuno, sifat yang sekaligus liar dan murni. Sifat itu tak kenal cahaya peradaban ataupun tempaan pengetahuan. Tidak kenal pula sikap lunak. Itu ciri alamiah, suatu ciri yang membuat ayahnya tak bisa menyukai anak itu. Munisai telah mencoba dengan cara apa pun yang khas bagi golongan militer untuk mengatasi kebuasan anaknya dengan menghukumnya keras-keras dan sering-sering, tetapi akibatnya hanya membuat anak itu lebih liar, seperti celeng liar yang kebuasan sejatinya muncul pada waktu ketiadaan makanan. Semakin orang kampung menghinakan pemuda kasar itu, semakin ia bersikap seolah ia berkuasa atas mereka.
Ketika anak alam itu sudah besar, ia pun mulai bosan dengan berlagak sebagai pemilik dusun itu. Terlampau mudah baginya mengancam orang-orang dusun yang sifatnya takut-takut. Ia mulai memimpikan hal-hal yang lebih besar. Sekigahara telah memberikan kepadanya pelajaran pertama tentang apa sebenarnya dunia ini. Impian-impian di masa muda porak-poranda – meski ia tak punya banyak impian. Baginya tidak ada yang namanya merenungkan kegagalan dalam usaha ‘sejati’ yang pertama ataupun mempertanyakan suramnya masa depan. Ia belum tahu arti disiplin pribadi, dan ia menerima seluruh bencana berdarah itu dengan tenang saja.
Dan kini, kebetulan saja ia tertumbuk pada kakap yang sungguh besar – Tsujikaze Temma, pemimpin para bandit! Inilah lawan yang ia hasratkan bertanding di Sekigahara.
“Pengecut!” bentaknya. “Jangan lari! Dan ayo lawan aku!”
Takezo berlari seperti kilat, melintasi lapangan yang gelap kelam, sambil meneriakkan kata-kata ejekan. Sepuluh langkah di depannya Temma melarikan diri seperti terbang. Rambut Takezo menyapu telinganya. Ia merasa bahagia – lebih bahagia daripada kapan pun dalam hidupnya. Makin jauh ia berlari, makin dekat ia pada kegairahan binatang semata-mata.
Maka ia pun melompat ke punggung Temma. Darah menyembur di ujung pedang kayu itu, dan jeritan yang membekukan darah mengoyak malam yang tenang. Tubuh bandit yang besdar dan berat itu jatuh ke bumi dengan suara yang berdebam dan terguling. Tengkoraknya hancur, matanya lepas dari ceruknya. Dua-tiga pukulan berat dijatuhkan lagi ke tubuh itu, dan tulang-tulang rusuk yang patah pun mencuat dari kulitnya.
Takezo mengangkat tangan, menghapus banjir keringat yang turun dari keningnya.
“Puas, Kapten?” tanyanya penuh kemenangan.
Dengan sikap acuh tak acuh, kembalilah ia ke rumah. Orang yang tidak tahu kejadian barusan akan menyangka ia hanya keluar malam untuk jalan-jalan, sama sekali tanpa urusan di dunia ini. Ia merasa bebas, tidak menyesal karena tahu kalau orang itu yang menang, ia sendiri akan terbaring di sana, tanpa nyawa dan sendirian.
Dari kegelapan terdengar suara Matahachi, “Takezo, kaukah itu?”
“Ya,” jawab Takezo kering. “Ada apa?”
Matahachi berlari mendekat dan katanya sambil terengah-engah, “Aku bunuh satu! Bagaimana denganmu?”
“Aku bunuh satu juga.”
Matahachi mengangkat pedangnya yang berlumuran darah sampai kepangan gagangnya. Sambil melebarkan bahunya, dengan penuh kebanggaan ia berkata, “Yang lain-lain lari. Bajingan-bajingan pencuri ini pengecut! Tak punya nyali! Cuma bias melawan mayat, ha! Ini baru perkelahian, ha-ha-ha!”
Kedua pemuda itu penuh percikan darah kental, dan mereka puas seperti sepasang anak kucing yang makan kenyang. Sambil berkeciap senang, mereka pun menuju lampu yang tampak dari jauh. Takezo dengan pedang berdarah, Matahachi dengan pedang yang juga berdarah.
Seekor kuda gelandangan melongokkan kepalanya ke jendela dan melihat-lihat sekitar rumah. Dengusnya membangunkan kedua orang yang sedang tidur. Sambil memaki binatang itu, Takezo menampar telak hidungnya. Matahachi meregangkan badan, menguap, berucap betapa enak tidurnya.
“Matahachi sudah cukup tinggi,” kata Takezo.
“Apa kau kira sudah sore?”
“Tidak mungkin!”
Sesudah tidur nyenyak, peristiwa-peristiwa malam sebelumnya sudah terlupakan sama sekali. Untuk kedua orang ini, yang ada hanya hari ini dan besok.
Takezo berlari ke belakang rumah dan melepas baju sampai pinggang. Sambil merundukkan badan di sisi sungai gunung yang bersih dan sejuk itu ia memercikkan air ke wajahnya, membasahi rambutnya, dan membasuh dada dan punggungnya. Seraya menengadah ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali, seakan-akan mencoba mereguk sinar matahari dan seluruh udara yang ada di langit. Masih mengantuk, Matahachi masuk ke kamar perapian. Ia mengucapkan selamat pagi kepada Oko dan Akemi dengan riang.
“He, kenapa pula kalian, wanita-wanita yang manis ini, cemberut begitu?”
“Apa betul begitu kelihatannya?”
“Ya, betul sekali. Kelihatannya seperti kalian sedang berkabung. Apa yang mesti dirisaukan? Kami telah membunuh pembunuh suami ibu dan menghantam kaki-tangannya; mereka tidak akan lekas lupa.”
Kekecewaan Matahachi tidak sukar diterka. Semula ia pikir janda dan anak gadisnya itu akan senang sekali mendengar berita kematian Temma. Memang malam sebelumnya Akemi bertepuk tangan gembira ketika pertama kali mendengar tentangnya. Tetapi Oko dari semula sudah tampak tidak enak, dan hari ini, ketika membungkuk kesal di dekat api, ia tampak lebih muram lagi.
“Ada apa dengan Ibu?” tanya Matahachi. la berpendapat Oko adalah wanita yang paling sukar disenangkan hatinya di dunia ini. “Inilah balasannya!” katanya pada diri sendiri sambil mengambil teh pahit yang dituangkan Akemi untuknya dan berjongkok.
Oko tersenyum lesu, iri kepada anak muda yang belum banyak mengecap asam garam kehidupan di dunia ini. “Matahachi,” katanya letih, “kau rupanya belum mengerti. Temma punya beratus-ratus pengikut.”
“Tentu saja. Orang brengsek seperti dia selalu punya banyak pengikut. Kami tidak takut akan macam orang-orang yang ikut dengan orang seperti itu. Kalau kami dapat membunuh dial kenapa kami mesti takut kepada anak buahnya? Kalau mereka mencoba menyerang kami, Takezo dan aku akan…”
“… tak berbuat apa-apa!” sela Oko.
Matahachi membusungkan dadanya clan katanya, “Siapa bilang begitu? Datangkan mereka sebanyak-banyaknya! Mereka tak lebih dari serombongan cacing. Atau Ibu pikir Takezo dan aku ini pengecut? Mau merangkak mengundurkan diri? Ibu kira siapa kami ini?”
“Kalian bukan pengecut, tapi kalian kekanak-kanakan! Bahkan terhadap aku! Temma punya adik lelaki bernama Tsujikaze Kohei, dan kalau dia datang mencari kalian, kalian berdua jadi satu pun tak akan punya kesempatan menang!”
Ini bukan macam pembicaraan yang suka didengar oleh Matahachi, tapi sementara Oko meneruskan pembicaraannya ia mulai berpikir barangkali Oko ada benarnya. Tsujikaze Kohei agaknya memiliki gerombolan besar pengikut di sekitar Yasugawa di Kiso. Dan bukan hanya itu, ia ahli berkelahi dan luar biasa mahir dalam menangkap orang yang lepas dari tangkapannya. Sebegitu jauh belum ada orang yang dapat hidup normal sesudah Kohei secara terbuka menyatakan akan membunuhnya. Jalan pikiran Matahachi hanyalah, kalau orang menyerang kita di tempat terbuka, itu mudah. Tapi lain sekali halnya kalau orang itu menyerang selagi kita tidur nyenyak. ,
“Itulah kelemahanku,” demikian diakuinya. “Aku tidur seperti orang mati”
Sementara duduk bertopang dagu dan berpikir, Oko pun sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukannya kecuali meninggalkan rumah itu beserta cara hidupnya dan pergi jauh dari situ. Ia pun bertanya pada Matahachi, apa yang hendak dilakukannya beserta Takezo.
“Aku akan membicarakannya dengan dia” jawab Matahachi. “Ke mana pula dia pergi tadi?”
Ia pun berjalan ke luar clan mencari ke sekitar situ, tapi Takezo tidak tampak di mana pun. Sejenak kemudian ia memayungi matanya dengan tangan, memandang ke kejauhan, dan melihat Takezo sedang menaiki kuda.
Pesta Bunga
PADA abad tujuh belas, jalan raya Mimasaka merupakan jalan utama. Jalan itu membentang dari Tatsuno di Provinsi Harima, berkelok-kelok melewati dataran yang dalam peribahasa dilukiskan sebagai “berbukit-bukit”. Seperti halnya pancang-pancang yang menandai perbatasan Mimasaka-Harima, jalan itu menelusuri rangkaian pegunungan yang seakan tanpa akhir. Para musafir yang muncul dari Celah Nakayama biasa memandang ke lembah Sungai Aida, dan di situ sering kali mereka terkejut melihat sebuah kampung yang cukup besar.
Sebetulnya Miyamoto lebih tepat dinamakan perserakan dusun daripada sebuah kampung yang sesungguhnya. Sekelompok rumah berderet di sepanjang sisi-sisi sungai, yang lain berkerumun jauh di atas perbukitan, dan yang lain lagi mengambil tempat di tengah dataran terbuka berbatu-batu, sehingga sukar dibajak. Jika dilihat secara keseluruhan, jumlah rumahrumah itu cukup memadai untuk suatu pemukiman pedesaan pada waktu itu.
Sampai kira-kira setahun sebelum itu, Yang Dipertuan Shimmen dari Iga memiliki sebuah puri, tak sampai satu mil jauhnya dari sungai-sebuah puri kecil sebagaimana puri-puri lain, tapi puri yang memikat para tukang clan pedagang untuk selalu datang. Lebih jauh ke utara terdapat tambang perak Shikozaka yang kini sudah lewat zaman keemasannya, tapi dahulu pernah memiliki daya tarik bagi para penambang dan mana-mana.
Para musafir yang bepergian dari Tottori ke Himeji atau dari Tajima ke Bizen lewat pegunungan itu biasanya menggunakan jalan raya tersebut, dan biasanya mereka juga singgah di Miyamoto. Miyamoto memiliki rona eksotik sebuah kampung yang sering dikunjungi oleh penduduk yang datang dari beberapa provinsi dan dapat membanggakan tidak hanya losmennya, melainkan juga toko pakaiannya. Rombongan perempuan malam juga berlabuh di sana.
Leher mereka dipupur putih seperti mode waktu itu. Mereka biasa mondar-mandir di depan rumah usahanya, seperti kelelawar putih di bawah tepi atap. Itulah kota yang ditinggalkan oleh Takezo clan Matahachi untuk pergi berperang.
Sambil memandang puncak-puncak atap Miyamoto, Otsu duduk melamun. Ia gadis lembut, berkulit terang clan berambut hitam mengilat, sosok tubuh dan anggota badannya indah dan kelihatan rapuh. Sosoknya itu menyiratkan kesan kudus, hampir-hampir seperti peri. Tidak seperti gadis-gadis petani yang tegap dan merah sehat, yang bekerja di sawah di bawah sana, gerak-gerik Otsu halus. Jalannya anggun, lehernya jenjang dan kepalanya tegak. Kini, selagi duduk di ujung emperan kuil Shippoji, ia tampak bagai patung porselen.
Sebagai bayi temuan di kuil gunung ini, ia punya sifat menyendiri yang jarang ditemukan pada gadis umur enam belas tahun. Keengganannya bergaul dengan gadis-gadis lain seumurnya clan dari dunia kerja, membuat matanya memancarkan pandangan kontemplatif dan sungguh-sungguh tajam, yang cenderung menolak lelaki yang terbiasa dengan perempuan sembarangan. Matahachi, tunangannya, hanya satu tahun lebih tua darinya, dan sejak ia meninggalkan Miyamoto bersama Takezo pada musim panas sebelumnya, Otsu tidak mendengar kabar apa-apa tentangnya. Bahkan sampai bulan pertama dan kedua tahun baru ini la merindukan berita tentang Matahachi, namun kini bulan keempat sudah dekat, dan ia tidak lagi berani berharap.
Dengan malas pandangannya mengawang ke awan-awan, dan pelan-pelan muncullah pikiran di kepalanya. Sebentar lagi sudah satu tahun penuh.
“Saudara perempuan Takezo pun tidak mendengar berita tentang Takezo. Bodoh aku, kalau aku menyangka di antara mereka ada yang masih hidup.” Sekali-kali ia mengucapkan kata-kata itu pada seseorang, dengan harapan atau dengan suara dan mata mengimbau, agar orang lain itu membantahnya dan memintanya untuk tidak berputus asa. Tapi tak seorang pun memperhatikan keluhannya. Bagi orang kampung yang bersahaja, yang sudah terbiasa dengan pasukan Tokugawa yang menduduki kuil Shimmen sederhana itu, tidak ada alasan lagi untuk menyimpulkan bahwa mereka masih hidup. Tak seorang pun anggota keluarga Yang Dipertuan Shimmen pulang dari Sekigahara, dan itu wajar sekali. Mereka keluarga samurai; mereka telah kalah. Tak akan mereka berkehendak memperlihatkan wajahnya kepada orang-orang yang mengenalnya. Tapi bagaimana dengan prajurit biasa? Apakah tidak wajar kalau mereka pulang? Bukankah mereka sudah akan pulang lama berselang, kalau mereka memang masih hidup?
“Kenapa,” demikian tanya Otsu, entah untuk keberapa kalinya, “kenapa orang-orang pergi berperang?” Kini ia sudah bisa menikmati kesenduan duduk sendiri di emperan kuil clan merenungkan hal yang muskil itu. Ia dapat menyendiri berjam-jam lamanya di tempat itu, tenggelam dalam angan-angan murung. Tiba-tiba ada suara lelaki menyerbu pulau kedamaiannya. “Otsu!”
Gelandangan yang telah membangunkan mereka dengan ringkiknya itu, berputar-putar di kaki gunung, bertelanjang punggung.
“Seperti tak ada masalah di dunia ini baginya,” kata Matahachi pada diri sendiri dengan rasa iri. Dengan tangan mencorong di depan mulut ia berseru, “Hei, Takezo! Pulang! Kita mesti bicara!”
Sesaat kemudian mereka sama-sama berbaring di rumput sambil mengunyah-ngunyah rumput, membicarakan apa yang akan mereka lakukan kemudian.
Matahachi berkata, “Jadi, menurut pendapatmu kita mesti pulang?”
“Ya, memang begitu. Kita tak dapat tinggal dengan kedua wanita ini selamanya.”
“Ya, memang tidak.”
“Aku tak suka perempuan.” Setidak-tidaknya itulah keyakinan Takezo. “Baik. Kalau begitu, ayo kita pergi.”
Matahachi berguling dan memandang ke langit. “Sekarang, sesudah bulat pikiran kita, ingin rasanya aku cepat-cepat pulang. Tiba-tiba aku menyadari sangat kehilangan Otsu. Sungguh aku ingin melihatnya segera. Lihat di atas itu! Ada awan yang bentuknya seperti raut muka Otsu. Lihat! Bagian itu seperti rambutnya sesudah dikeramas.” Matahachi menjejak-jejak tanah sambil menunjuk langit.
Mata Takezo mengikuti bayangan kuda menjauh, yang baru saja dilepaskannya. Seperti kebanyakan pengembara yang diam di padang-padang, kuda gelandangan dianggapnya makhluk yang baik wataknya. Apabila kita tidak membutuhkannya lagi, ia pun tidak meminta apa-apa dari kita; begitu saja ia pergi sendiri ke tempat lain.
Dari rumah, Akemi memanggil mereka makan malam. Mereka pun berdiri.
“Ayo balapan!” teriak Takezo.
“Ayo!” Matahachi menimpali.
Akemi bertepuk tangan gembira ketika kedua pemuda itu sama-sama berlari melintasi rumput yang tinggi, meninggalkan awan debu di belakang mereka.
Sesudah makan malam, Akemi termenung. la baru saja mendengar bahwa kedua orang itu telah memutuskan untuk kembali ke rumah mereka. Sungguh menyenangkan bahwa mereka tinggal di rumah itu, dan ia ingin hal itu berlangsung selamanya.
“Tolol kau!” umpat ibunya. “Kenapa pula kau sedih?” Oko sedang mengatur riasannya, sama rumitnya seperti biasa. Sementara memaki anak gadisnya, ia pun menatap Takezo di dalam cermin. Takezo menangkap pandangannya, dan tiba-tiba teringatlah ia akan bau harum tajam wanita itu ketika menyerbu ke dalam kamarnya.
Matahachi menurunkan guci sake besar dari sebuah rak, lalu mengempaskan diri di samping Takezo dan mulai mengisi sebuah botol pemanas
kecil, seolah-olah ia adalah tuan rumah. Karena malam itu malam terakhir, mereka merencanakan untuk minum sepuas-puasnya. Oko pun agaknya mencurahkan perhatian khusus kepada wajahnya.
“Jangan sampai ada setetes pun yang tak terminum!” katanya. “Tak ada gunanya menyisakan sesuatu untuk tikus-tikus di sini.”
“Atau cacing-cacing!” sambut Matahachi.
Dalam waktu singkat mereka telah mengosongkan tiga guci besar. Oko menyandarkan badan pada Matahachi dan mulai membelainya sedemikian rupa, hingga Takezo memalingkan kepala karena malu.
“Aku… aku… tak bisa berjalan,” gumam Oko mabuk.
Matahachi mengawalnya ke kasurnya, sementara kepala Oko tersandar berat ke bahunya. Sampai di sana, Oko menoleh pada Takezo dan katanya dengki, “Kau, Takezo, tidurlah sendirian. Kau suka tidur sendiri. Betul, kan?”
Tanpa gumaman apa pun Takezo merebahkan diri asal saja. Ia sudah sangat mabuk, dan hari sudah larut malam.
Ketika ia terbangun, hari telah tinggi. Begitu membuka mata, ia pun merasakannya. Terasa olehnya rumah itu kosong. Barang-barang yang hari sebelumnya ditumpukkan Oko dan Akemi untuk perjalanan telah hilang. Tidak ada pakaian, tak ada sandal-dan Matahachi pun tak kelihatan.
la memanggil, tapi tak ada jawaban, clan ia pun tidak mengharapkannya lagi. Rumah yang kosong memancarkan suasananya sendiri. Tak ada orang di halaman, tak ada orang di belakang rumah, tak seorang pun di lumbung. Satu-satunya jejak teman-temannya hanyalah sisir merah terang yang tergeletak di samping mulut pipa air yang terbuka.
“Matahachi babi!” katanya pada diri sendiri.
Mencium bau sisir, kembali ia teringat bagaimana Oko mencoba menggodanya malam hari belum lama ini. “Inilah yang mengalahkan Matahachi,” pikirnya. Memikirkan hal itu saja darahnya menggelegak.
“Hai, tolol!” teriaknya keras. “Bagaimana dengan Otsu? Apa yang akan kauperbuat dengan dia? Apa tidak sudah terlalu sering dia kautinggalkan, babi?”
Diinjaknya sisir merah itu. la ingin berteriak berang, bukan untuk diri sendiri, melainkan karena rasa kasihan pada Otsu, yang dapat dibayangkannya dengan jelas sedang menanti di kampung sana.
Selagi ia duduk sedih di dapur, kuda gelandangan itu melongok tenang di pintu. Karena Takezo tidak menepuk hidungnya, ia pun pergi ke meja cuci dan dengan malasnya menjilati butir-butir padi yang menempel di sana.
Otsu menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertampang muda datang mendekati dari sumur. Orang itu hanya mengenakan cawat yang hampir tidak dapat memenuhi fungsinya, dan kulitnya yang tertempa cuaca berkilau seperti emas redup patung Budha. Ia biarawan Zen yang tiga-empat tahun lalu datang ke tempat itu dari Provinsi Tajima. Sejak itu ia tinggal di kuil itu.
“Akhirnya datang musim semi,” kata biarawan itu, puas pada diri sendiri. “Musim semi suatu berkah, tapi berkah campuran. Begitu keadaan sedikit panas, kutu-kutu busuk itu pun melanda negeri. Mereka mencoba mengambil alih negeri, persis seperti Fujiwara no Michinaga, si bangsat lihai, anak buah seorang regent.” Sebentar kemudian ia pun meneruskan monolog itu.
“Aku baru saja mencuci pakaianku, tapi di mana akan kukeringkan jubah tua yang sudah compang-camping ini? Aku tak dapat menggantungkannya di pohon prem. Dosa besar sekali clan menghina alam, kalau aku menutup bunga-bunga itu. Cobalah pikir, aku orang yang punya selera, tapi aku tak dapat menemukan tempat menggantungkan jubah ini! Otsu! Pinjami aku kayu jemuran.”
Wajah Otsu memerah melihat biarawan bercawat cekak itu. Ia pun berseru, “Takuan! Bapak tak bisa ke mana-mana setengah telanjang begitu, sebelum pakaian Bapak kering!”
“Kalau begitu, aku akan tidur. Bagaimana kalau begitu?”
“Oh, Bapak ini keterlaluan!”
Sambil mengangkat satu tangannya ke langit dan satu lagi menunjuk tanah, Takuan menirukan gaya patung kecil Budha yang setiap tahun sekali biasa diurapi para pemujanya dengan teh khusus.
“Sebenarnya aku menanti saja sampai besok! Karena hari ini tanggal delapan, hari ulang tahun sang Budha, aku bisa berdiri saja seperti ini dan membiarkan orang-orang menunduk hormat padaku. Kalau mereka menuangkan teh manis ke badanku, akan kukejutkan mereka dengan menjilat bibirku.” Dan dengan wajah saleh ia pun melagukan sabda pertama sang Budha, “Di langit sana dan di bumi ini hanya aku yang suci.” •
Otsu pun tertawa geli melihat lagak Takuan yang kurang pantas itu. “Bapak betul-betul mirip, lho!”
“Tentu saja mirip. Aku ini titisan Pangeran Sidharta.”
“Kalau begitu, berdiri saja baik-baik di situ. Jangan bergerak! Aku akan ambil teh untuk pengurapannya.”
Pada saat itu seekor tawon menyambar kepala Takuan, dan gaya reinkarnasinya pun seketika berganti dengan gerak tangan yang kacau. Melihat celah dalam cawatnya yang longgar itu, sang tawon menukik lagi, dan Otsu pun tertawa terbahak-bahak. Sejak datangnya Takuan Soho, nama yang diberikan kepadanya sesudah menjadi pendeta, bahkan bagi Otsu yang pendiam itu pun tak ada hari tanpa hiburan berupa apa yang dilakukannya atau dikatakannya.
Namun sekonyong-konyong Otsu berhenti tertawa. “0, saya tak bisa lagi membuang-buang waktu sepezti ini. Ada ha1-hal penting yang harus saya kerjakan:’
Sementaca ia memasukkakan kakinya yang putih kecil itu ke dalam sandal, Takuan bertanya polos, “Kerjaan apa?”
“Kerjaan apa? Apa Bapak sudah lupa juga? Pertunjukan pantomim Bapak tadi yang mengingatkan saya. Saya harus menyiapkan segala sesuatunya untuk besok. Pendeta tua menyuruh saya mengambil bunga untuk menghias kuil bunga. Kemudian saya harus menyiapkan segalanya untuk upacara pengurapan. Dan malam ini saya harus membuat teh manis.”
“Di mana kau mengambil bunga?”
“Dekat sungai, di lapangan bawah.”
“Aku akan mengawanimu.”
“Tanpa pakaian?”
“Kau tak akan bisa memetik bunga secukupnya, kalau sendirian. Kau perlu bantuan. Lagi pula, manusia dilahirkan tanpa pakaian. Ketelanjangan itu sifat alamiahnya.”
“Mungkin saja, tapi saya tidak menganggap itu alamiah. Sudahlah, lebih balk saya pergi sendiri.”
Dengan harapan dapat menghindar, Otsu pun bergegas memutar ke belakang kuil. Sebuah keranjang ia sandangkan ke punggung. la ambil sebuah sabit, lalu la pun menyelinap ke luar pintu samping, tapi beberapa saat kemudian ia sudah melihat kembali Takuan menempel di belakangnya. Sekarang ia mengenakan kain pembalut besar, semacam yang biasa digunakan orang untuk membawa tilam.
“Apa ini lebih cocok untukmu?” serunya sambil menyeringai.
“Tentu saja tidak. Bapak kelihatan lucu. Orang bisa mengira Bapak gila.” “Kenapa?”
“Entahlah. Cuma, jangan jalan di samping saya!”
“Tapi sebelum ini tak pernah rasanya kau keberatan berjalan di samping seorang pria.”
“Takuan, Bapak ini betul-betul mengerikan!” la pun berlari jauh ke depan, diikuti langkah-langkah panjang Takuan, seperti sang Budha turun dari pegunungan Himalaya. Kain pembalutnya mengepak-ngepak liar ditiup angin.
“Jangan marah, Otsu! Kau tahu, aku hanya menggoda. Dan lagi temanteman lelakimu tak suka kalau kau terlalu banyak cemberut.”
Delapan atau sembilan ratus meter di bawah kuil itu, bunga-bunga musim semi bermekaran di kedua tepi Sungai Aida. Otsu meletakkan keranjangnya di tanah, dan di tengah lautan kupu-kupu yang sedang berterbangan mulailah ia mengayunkan sabitnya dengan gerakan setengah lingkaran, memotong bunga-bunga itu di dekat akarnya.
Sejenak kemudian Takuan pun terpekur. “Sungguh damai di sini,” desahnya, yang kedengaran religius dan kekanak-kanakan sekaligus. “Nah, kalau kita dapat menghabiskan hidup kita di surga penuh bunga, kenapa kita semua ini lebih suka menangis, menderita, dan tersesat dalam pusaran derita dan kemarahan, dan menyiksa diri dalam nyala api neraka? Kuharap setidak-tidaknya kau tak usah mengalami segalanya itu.”
Otsu secara berirama mengisi keranjangnya dengan bunga-bunga rumput yang kuning cemerlang, seruni, aster, apiun, dan violet musim semi. Ia menjawab, “Takuan, daripada berkhotbah, lebih baik Bapak waspada terhadap tawon-tawon itu.”
Takuan menganggukkan kepala sambil mendesah putus asa. “Aku bukannya bicara tentang tawon, Otsu. Aku cuma mau menyampaikan padamu ajaran sang Budha tentang nasib perempuan.”
“Nasib perempuan sama sekali bukan urusan Bapak!”
“O, kau keliru! Sudah tugasku sebagai pendeta untuk mencampuri kehidupan orang banyak. Aku setuju, ini jenis pekerjaan yang suka mencampuri urusan orang, tapi tidak lebih sia-sia daripada urusan seorang pedagang, penjual pakaian, tukang kayu, atau samurai. Pekerjaan ini ada karena dibutuhkan.”
Otsu pun melunak. “Rasanya Anda benar.”
“Memang demikianlah yang terjadi selama ini. Golongan pendeta tidak bagus hubungannya dengan kaum perempuan, selama kira-kira tiga ribu tahun. Kau tahu, agama Budha mengajarkan bahwa perempuan itu jahat. Iblis. Utusan neraka. Bertahun-tahun aku menggeluti kitab suci, karena itu bukan kebetulan bahwa kau dan aku selamanya berselisih.”
“Dan menurut kitab suci Bapak, kenapa perempuan itu jahat?”
“Karena dia menipu lelaki.”
“Apa lelaki tidak menipu perempuan juga?”
“Ya, tapi… sang Budha sendiri lelaki.”
“Apa menurut Bapak, kalau dia perempuan, keadaannya akan sebaliknya?” “Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin seorang iblis dapat menjadi
Budha?”
“Takuan, itu tidak masuk akal.”
“Kalau ajaran agama itu hanya pikiran sehat, kita tak akan membutuhkan nabi-nabi untuk menyampaikannya pada kita.”
“Nah, itu, sekali lagi Bapak memutarbalikkan semuanya untuk keuntungan diri sendiri!”
“Komentar khas perempuan. Kenapa mesti menyerangku pribadi?”
Otsu menghentikan ayunan sabitnya lagi, wajahnya memperlihatkan sikap jemu.
“Takuan, kita hentikan saja omongan ini. Saya sedang tak senang bicara hari ini.”
“Diam, perempuan!”
“Kan dari tadi Bapak yang terus bicara?”
Takuan memejamkan mata, seolah-olah mengerahkan kesabaran. “Biar kujelaskan sekarang. Ketika sang Budha masih muda, dia duduk di bawah pohon bodhi. Iblis-iblis perempuan menggodanya siang-malam. Dengan sendirinya dia lalu tidak menghargai tinggi perempuan. Sekalipun begitu, karena dia memang maha pengampun, di masa tuanya dia mengambil beberapa murid perempuan.”
“Karena dia sudah bijaksana atau pikun?”
“Jangan menghujat!” Takuan memperingatkan dengan tajam. “Dan jangan lupa Bodisatwa Nagarjuna yang juga membenci-maksudku takut-pada perempuan, seperti juga sang Budha. Bahkan dia pun sampai mengagungkan empat jenis perempuan, yaitu saudara perempuan yang patuh, teman perempuan yang penuh kasih, ibu yang baik, dan pembantu yang tunduk. Berulang-ulang dia memuji kebajikan mereka itu dan menasihatkan pada orang laki-laki untuk memperistri perempuan-perempuan jenis itu tadi.”
“Saudara perempuan yang patuh, teman perempuan yang penuh kasih, ibu yang baik, dan pembantu yang tunduk…. Saya lihat Bapak sudah menyusun semua itu untuk keuntungan lelaki.”
“Itu cukup wajar, bukan? Di India kuno lelaki lebih dihormati dan perempuan kurang dihormati dibandingkan dengan di Jepang. Tapi kuminta kaudengarkan nasihat yang diberikan Nagarjuna pada perempuan.”
“Nasihat apa?”
“Dia mengatakan, ‘Hai, perempuan, jangan kamu mengawini laki-laki…”
“Itu lucu!”
“Masih ada kelanjutannya. ” Dia mengatakan, ‘Hai, perempuan, kawinlah dengan kebenaran.”‘
Otsu memandangnya dengan hampa.
“Lihat tidak?” kata Takuan sambil mengibaskan tangannya. “Kawinlah dengan kebenaran, itu berarti kau tak boleh diberahikan semata-mata oleh makhluk hidup, tapi harus mencari yang abadi.”
“Tapi, Bapak,” kata Otsu tak sabar, “apa sih ‘kebenaran’ itu?”
Takuan menjatuhkan kedua tangannya ke samping dan memandang ke tanah. “Yah, kalau dipikir-pikir,” katanya sambil berpikir, “aku sendiri tidak begitu yakin.”
Tawa Otsu pun pecah, tapi Takuan tidak mengacuhkannya. “Ada yang aku tahu pasti. Kalau diterapkan pada kehidupanmu, kawin dengan kejujuran artinya kan tak boleh berkeinginan pergi ke kota, melahirkan anak-anak yang lemah dan sentimental. Kau mesti tetap di kampung, yang jadi milikmu, dan di situlah kau mesti menelurkan anak-anak yang bagus dan sehat.”
Otsu mengangkat sabitnya tak sabar. “Takuan,” bentaknya jengkel, “Bapak datang kemari ini untuk membantu saya memetik bunga atau tidak?” “Tentu saja. Karena itulah aku di sini.” “Kalau begitu, jangan berkhotbah lagi, dan pegang sabit ini.”
“Baiklah, kalau kau memang tidak menginginkan bimbingan spiritual dariku, aku pun tak akan memaksakannya padamu,” katanya berpura-pura tersinggung.
“Sementara Bapak bekerja, saya akan lari ke rumah Ogin, untuk melihat apa dia sudah menyelesaikan obi yang akan saya pakai besok.”
“Ogin? Kakak perempuan Takezo itu? Aku sudah pernah melihatnya, kan? Bukankah dia pernah datang ke kuil denganmu?” Dan Takuan pun menjatuhkan sabitnya. “Aku ikut.”
“Dengan pakaian begitu?”
Takuan berpura-pura tidak mendengar. “Dia barangkali akan menyuguhi kita teh. Aku sudah haus setengah mati.”
Karena sudah capek sekali berdebat dengan biarawan itu, Otsu pun mengangguk lemah, dan bersama-sama mereka berjalan menyusuri sungai.
Ogin, seorang gadis berumur dua puluh lima; tidak lagi dianggap orang sedang mekar-mekarnya, tapi sama sekali tidak jelek tampangnya. Walaupun para calon cenderung mundur karena reputasi adik lelakinya, tapi tak kurang orang yang melamarnya. Pembawaan dan pendidikannya yang baik segera tampak oleh semua orang. la menolak semua pinangan, semata-mata karena ia ingin mengurus adik lelakinya lebih lama lagi.
Rumah yang ditinggalinya dibangun oleh ayah mereka, Munisai, ketika masih memegang tanggung jawab latihan militer keluarga Shimmen. Sebagai hadiah atas kerjanya yang sangat baik, ia dianugerahi hak utama menggunakan nama Shimmen. Rumah itu menghadap ke sungai, dikitari oleh tembok kotor yang tinggi, didirikan di atas pondasi batu, dan jauh lebih besar dari yang diperlukan oleh seorang samurai biasa di pedesaan. Dahulu rumah itu megah, tapi kini telah reyot. Bunga-bunga iris liar berkecambah dari atapnya, dan dinding dojo, di mana Munisai dahulu biasa mengajarkan seni perang, kini terlapisi seluruhnya oleh kotoran burung layang-layang putih.
Ketika Munisai tak disukai lagi, ia kehilangan status dan mati sebagai orang miskin. Suatu kejadian yang bukan tidak umum di zaman yang penuh kekalutan. Segera sesudah kematiannya, para pembantunya pun pergi, tapi karena mereka semua orang asli Miyamoto, banyak yang masih sering singgah. Apabila singgah, mereka meninggalkan sayur-sayuran segar, membersihkan kamar-kamar yang tidak dipakai, mengisi guci-guci air, menyapu jalanan, dan dengan cara-cara lain yang tak terhitung jumlahnya mereka berusaha memelihara rumah tua itu. Mereka juga senang mengobrol dengan anak perempuan Munisai.
Ketika Ogin yang sedang menjahit di kamar dalam mendengar pintu belakang terbuka, ia menyangka yang datang adalah salah seorang dari bekas-bekas pembantu itu. Karena sedang tenggelam dalam pekerjaannya, ia pun terlompat ketika mendengar Otsu menyalaminya.
“Oh,” katanya. “Kamu rupanya. Bikin kaget aku saja. Aku baru menyelesaikan obi-mu. Mau kaupakai besok, kan?”
“Betul. Ogin, aku mau mengucapkan terima kasih, karena kau sudah mau bersusah payah. Sebetulnya aku bisa menjahitnya sendiri, tapi di kuil begitu banyak pekerjaan, sampai tak ada waktu lagi.”
“O, aku senang bisa membantu. Aku punya lebih banyak waktu dari yang kubutuhkan. Kalau tak ada kesibukan, aku mulai melamun.”
Otsu mengangkat kepala, dan terlihat olehnya altar keluarga. Di atasnya menyala lilin, di atas piring kecil. Dalam cahaya suram itu la melihat dua tulisan gelap yang dilukis sangat saksama dengan kuas. Keduanya dilekatkan di papan, dengan sesajian air clan bunga di depannya:
Roh Shimmen Takezo yang telah pergi, Umur 17.
Roh Hon’iden Matahachi yang telah pergi, Umur sama.
“Ogin,” kata Otsu resah. “Apa kau sudah mendapat kabar bahwa mereka terbunuh?”
“Ah, belum…. Tapi apa lagi yang lain dari itu? Aku sudah pasrah. Aku yakin mereka tewas di Sekigahara.”
Otsu menggelengkan kepala keras-keras. “Jangan katakan itu! Bikin sial! Mereka belum mati, belum! Kurasa mereka akan muncul hari-hari ini.”
Ogin memandang jahitannya. “Apa kau mimpi tentang Matahachi?” tanyanya lembut.
“Ya, selalu. Kenapa?”
“Itu artinya dia sudah mati. Aku sendiri tidak mimpi yang lain kecuali adikku.”
“Ogin, jangan bilang begitu!” Otsu pun berlari ke altar dan mencabut tulisan itu dari papannya. “Kusingkirkan barang-barang ini. Cuma mengundang yang jelek-jelek.”
Air mata melelehi wajahnya ketika la mengembus lilin itu. Tak puas dengan itu, Waktu dia sedang berjemur telungkup sambil memegang kepala, memandang ke tanah. Ketika kita bertanya kepadanya apa yang dilakukannya, dia mengatakan kutu-kutunya sedang mengadakan pertandingan gulat. Dia bilang dia telah melatih kutu-kutu itu untuk menghiburnya.”
“0, dia!”
“Ya, dia. Namanya Takuan Soho.”
“Aneh ya.”
“Ya, begitulah paling tidak.”
“Apa yang dipakainya itu? Kelihatannya bukan jubah pendeta.”
“Memang bukan. Itu kain pembalut.”
“Kain pembalut? Eksentrik. Berapa umurnya?”
Waktu dia sedang berjemur telungkup sambil memegang kepala, memandang ke tanah. Ketika kita bertanya kepadanya apa yang dilakukannya, dia mengatakan kutu-kutunya sedang mengadakan pertandingan gulat. Dia bilang dia telah melatih kutu-kutu itu untuk menghiburnya.”
“0, dia!”
“Ya, dia. Namanya Takuan Soho.”
“Aneh ya.”
“Ya, begitulah paling tidak.”
“Apa yang dipakainya itu? Kelihatannya bukan jubah pendeta.”
“Memang bukan. Itu kain pembalut.”
“Kain pembalut? Eksentrik. Berapa umurnya?”
“Katanya tiga puluh satu tahun, tapi kadang-kadang aku merasa seperti kakaknya; dia begitu tolol. Salah seorang pendeta mengatakan, biarpun kelihatannya begitu, dia biarawan hebat.”
“Mungkin saja. Kita tak dapat selalu menilai orang dari tampangnya.”
“Dari mana dia itu?”
“Dia lahir di Provinsi Tajima, dan mulai mempersiapkan diri menjadi pendeta ketika umur sepuluh tahun. Kemudian dia masuk kuil sekte Zen Rinzai, kira-kira empat tahun kemudian. Pergi dari sana dia menjadi pengikut pendeta sarjana dari Daitokuji dan melakukan perjalanan bersamanya ke Kyoto dan Nara. Belakangan dia belajar dengan pimpinan Gudo dari Myoshinji, Itto dari Sennan, dan satu deretan panjang orang suci lain yang terkenal. Dia menghabiskan banyak sekali waktu untuk belajar!”
“Barangkali itu sebabnya dia agak lain.”
Otsu melanjutkan ceritanya. “Dia diangkat menjadi pendeta tetap di Nansoji dan ditunjuk sebagai kepala biara Daitokuji dengan maklumat Kaisar. Tak pernah aku tahu alasannya dari siapa pun. Dia sendiri tak pernah menceritakan masa lalunya. Tapi, karena beberapa alasan, tiga hari sesudahnya dia melarikan diri.”
Ogin menggelengkan kepala.
Otsu melanjutkan. “Orang bilang jenderal-jenderal terkenal seperti Hosokawa dan orang-orang bangsawan macam Karasumaru sudah berulang-ulang mencoba meyakinkannya untuk tinggal menetap. Mereka malahan sudah menawarkan membangun kuil untuknya dan menyumbangkan uang untuk perawatannya, tapi dia tidak tertarik. Dia bilang lebih suka mengembara di pedesaan seperti pengemis, hanya berteman kutu-kutunya. Kurasa dia agak sinting.”
“Barangkali menurut anggapannya kita ini yang aneh.”
“Memang begitu yang dikatakannya.” “Berapa lama dia akan tinggal di sini?”
“Mana bisa tahu? Dia biasa muncul suatu hari, dan menghilang hari berikutnya.”
Seraya berdiri di dekat beranda, Takuan berseru, “Aku bisa mendengar semua yang kalian bicarakan!”
“Tapi rasanya kami tidak membicarakan yang jelek,” jawab Otsu riang.
“Kalaupun kalian membicarakan yang jelek, aku tak peduli, kalau itu menghibur kalian, tapi setidak-tidaknya kalian dapat memberiku kue manis untuk teman minum teh ini.”
“Itu dia,” kata Otsu. “Dia memang seperti itu sejak dulu.”
“Apa maksudmu, aku seperti itu?” Mata Takuan pun berseri-seri. “Dan kau sendiri? Kau kelihatannya saja tidak tega melukai seekor lalat, tapi tindakanmu jauh lebih kejam dan bengis daripadaku.”
“O, betul begitu? Dan bagaimana saya bisa kejam dan bengis begitu?”
“Kau meninggalkan aku di luar sini tanpa daya, tanpa apa-apa kecuali teh, sedangkan kau duduk merintihkan kekasihmu yang hilang. Kejam!”
Di kuil Daishoji dan Shippoji lonceng berdentang-dentang. Lonceng mulai berdentang selewat subuh, dan kadang-kadang masih terdengar dentangnya sampai jauh lepas tengah hari. Pada pagi hari orang-orang berduyun-duyun ke kuil: gadis-gadis dengan obi merah, istri-istri pedagang dengan warna kimono yang lebih lembut, dan di sana-sini wanita tua dengan kimono warna gelap menggandeng tangan cucu-cucu mereka. DI kuil Shippoji, ruang utama yang kecil penuh dengan umat. Tetapi para pemudanya kelihatannya lebih tertarik mencuri-curi pandang ke Otsu daripada mengikuti upacara keagamaan ini.
“Dia ada di sini,” bisik seorang pemuda.
“Semakin cantik saja,” bisik pemuda lain.
Di dalam ruang itu ada sebuah kuil mini. Atapnya dari daun-daun potion jeruk dan tiang-tiangnya dililit bunga-bunga liar. Di dalam “kuil bunga” ini ada patting Budha berwarna hitam, setinggi kira-kira setengah meter. Tangannya yang satu menunjuk ke langit dan satunya lagi ke tanah. Patting ini berdiri di dalam semacam baskom dari tanah liar. Orang-orang melewati patung itu sambil mengguyurkan teh manis ke kepalanya dengan menggunakan sendok besar dari bambu. Takuan berdiri di dekatnya, membawa minyak suci dan mengisikannya ke dalam tabung-tabung bambu kecil untuk dibawa pulang para pengunjung sebagai pembawa berkah. Sambil menuangkan minyak ia menghimbau mereka untuk memberikan sumbangan.
“Kuil ini miskin, maka tinggalkan sumbangan sebanyak yang Anda sanggup. Terutama Anda-anda yang kaya. Saya tahu siapa Anda, Anda memakai sutra halus dan obi bersulam. Anda punya banyak uang. Anda pasti punya banyak kesusahan juga. Jika Anda meninggalkan uang sebanyak lima puluh kilo, kesusahan Anda akan berkurang lima puluh kilo juga.”
Di sebelah lain kuil bunga itu, Otsu duduk menghadap meja berplitur hitam. Wajahnya memancarkan rona merah muda, seperti bunga-bunga yang ada di sekitarnya. Ia mengenakan obi baru. Ketika menuliskan kata-kata pesona di atas kertas lima warna, ia memainkan kuas dengan terampilnya. Sekali-sekali ia mencelupkannya ke dalam kotak tinta berlak emas di sebelah sana. la menulis:
Dengan cepat dan saksama,
Pada hari yang sebaik-baiknya ini, Yaitu tanggal delapan bulan empat, Jatuhlah hukuman bagi
Para serangga yang menghabiskan panen.
Entah sejak kapan orang di daerah ini menganggap bahwa menggantungkan sajak bernada praktis itu di dinding akan melindungi mereka dari hama, penyakit, dan juga nasib siaL Otsu menuliskan sajak itu sudah berpuluh kali-ya, sudah demikian seringnya, hingga pergelangan tangannya mulai berdenyut dan tulisan tangannya mulai mencerminkan kelelahan.
Setelah berhenti sejenak, ia pun menegur Takuan, “Hentikanlah usaha merampok orang-orang ini. Terlalu banyak Bapak mengambil.”
“Aku bicara kepada mereka yang sudah terlalu banyak harta. Itu jadi beban mereka. Itulah inti amal, yaitu meringankan mereka dari beban,” jawab Takuan.
“Dengan jalan pikiran itu, pencuri biasa pun bisa jadi orang suci semuanya.”
Takuan terlalu sibuk mengumpulkan mata uang emas untuk menjawab. “Sini, sini,” katanya kepada orang banyak yang berdesak-desak. “Jangan berdesakan, pelan-pelan, antrelah. Anda sekalian akan segera mendapat kesempatan mengosongkan pundi-pundi Anda.”
“Hei, Pendeta!” kata seorang pemuda yang mendapat peringatan karena mendesakkan diri ke tengah.
“Maksud Anda saya?” kata Takuan sambil menunjuk hidungnya.
“Ya. Bapak terus menyuruh kami menunggu giliran, tapi Bapak mendahulukan perempuan.”
“Saya suka perempuan sama dengan lelaki di belakangnya.”
“Bapak ini mestinya salah seorang biarawan bejat yang selalu kami dengar ceritanya itu.”
“Cukup, berudu! Kaukira aku tidak tahu kenapa kau di sini! Kau tidak datang untuk menghormat sang Budha atau membawa pulang kebaikan. Kau datang untuk bisa memandang Otsu lebih jelas! Nah, akuilah sekarang betul, kan? Tak bakal kau mendapat perempuan, kalau kau berlaku seperti orang kikir.”
Wajah Otsu berubah merah tua. “Takuan, hentikan. Hentikan sekarang juga, kalau tidak, saya betul-betul marah!”
Untuk mengistirahatkan matanya, Otsu kembali menghentikan pekerjaannya, lalu melayangkan pandang kepada orang banyak. Tiba-tiba terpandang olehnya sesosok wajah.
Murka Janda Bangsawan
KELUARGA Matahachi, Hon’iden, anggota kebanggaan kelompok bangsawan desa yang masuk kelas samurai. Mereka juga mengerjakan tanah. Kepala sesungguhnya dari keluarga itu adalah ibu Matahachi, seorang perempuan yang sangat keras kepala bernama Osugi. Sekalipun sudah hampir enam puluh tahun umurnya, tiap hari ia memimpin keluarga dan petani penyewanya ke ladang dan bekerja sama kerasnya dengan mereka. Di musim tanam ia mencangkul ladang, dan sesudah panen la menebah butir-butirnya dengan menginjak-injaknya. Kalau senja memaksanya berhenti bekerja, ada saja yang dapat ditemukannya untuk disandangkan ke punggungnya yang bungkuk dan diangkutnya pulang ke rumah. Sering kali yang dipanggulnya adalah ikatan daun murbei yang demikian banyak, hingga tubuhnya yang hampir melipat dua itu nyaris tidak kelihatan. Pada malam hari, biasanya ia dapat ditemui sedang mengurus ulat sutranya.
Sore pada hari pesta bunga itu, Osugi menghentikan kerjanya di petak kebun murbei ketika melihat cucu lelakinya yang masih ingusan berlari-lari telanjang kaki melintas ladang.
“Dari mana kamu, Heita?” tanyanya tajam. “Dari kuil, ya?”
“He-eh.”
“Otsu ada di sana?”
“Ya,” jawab anak itu girang. Napasnya masih terengah-engah. “Dan dia pakai obi yang bagus sekali. Dia membantu pesta.”
“Kamu bawa pulang teh manis dan mantra pengusir hama, tidak?”
“Tidak.”
Mata perempuan tua yang biasanya tersembunyi di antara lipatan dan kerut-kerut itu kini terbelalak karena jengkel. “Kenapa tidak?”
“Otsu bilang, tidak usah repot dengan hama-hama itu. Dia bilang, saya mesti lari pulang dan mengatakan pada Nenek.” “Mengatakan apa?”
“Takezo, dari seberang kali. Otsu bilang melihat dia di pesta.”
Suara Osugi turun satu oktaf. “Betul? Betul-betul dia melihatnya, Heita?”
“Ya, Nek.”
Tubuh kekar itu pun seperti lumpuh seketika, dan matanya menjadi kabur oleh air mata. Pelan-pelan ia menoleh, seakan-akan berharap melihat anak lelakinya berdiri di belakangnya. Ketika tak dilihatnya seorang pun, ia pun memutar badannya kembali. “Heita,” katanya sekonyong-konyong, “ambili daun murbei ini.”
“Nenek mau ke mana?”
“Pulang. Kalau Takezo kembali, Matahachi pasti pulang juga.”
“Saya ikut.”
“Tak usah. Jangan nakal, Heita.”
Wanita tua itu pun enyah, meninggalkan anak kecil itu sendirian, seperti anak yatim. Rumah pertanian yang dikitari pohon ek tua berbonggolbonggol itu adalah rumah yang besar. Osugi melewatinya saja dan berlari langsung ke lumbung, di mana anak perempuannya dan beberapa petani penyewa sedang bekerja. Masih di kejauhan ia sudah berseru pada mereka dengan agak histeris.
“Apa Matahachi sudah pulang? Apa dia sudah di sini?”
Orang-orang itu terkejut, dan memandangnya seakan-akan la telah kehilangan akal. Akhirnya seorang dari mereka mengatakan “belum”, tapi perempuan tua itu seperti tidak mendengarnya. Seakan-akan, karena sudah terlalu lelah, la menolak menerima jawaban “belum”. Ketika mereka terus memperlihatkan pandangan kosong, ia pun mulai menyebut mereka semua dungu, dan ia menjelaskan apa yang telah didengarnya dari Heita. Kalau Takezo kembali, Matahachi pasti kembali juga. Kemudian ia pun kembali berperan sebagai komandan tertinggi. Diperintahkannya mereka pergi ke semua arah untuk menemukan Matahachi. la sendiri tinggal di rumah, dan tiap kali dirasanya ada orang mendekat, ia berlari ke luar dan bertanya apakah mereka belum menemukan anaknya.
Pada waktu matahari terbenam, masih dengan semangat tinggi ia meletakkan lilin di depan tanda peringatan nenek moyang suaminya. la duduk seperti patung. Karena semua orang masih melakukan pencarian, tak ada makan malam di rumah itu. Ketika malam tiba dan masih juga belum ada berita, Osugi pun akhirnya bergerak. Seperti sedang kesurupan ia keluar pelan-pelan dari rumah, menuju gerbang depan. Di sana ia menanti, tersembunyi dalam kegelapan. Bulan bersinar menembus ranting-ranting pohon ek, sedangkan pegunungan yang membayang di depan dan di belakang rumah terselimut kabut putih. Bau harum kembang pit mengambang di udara.
Waktu pun mengapung lewat tanpa terasa. Sesosok tubuh terlihat mendekat, menyusuri sisi luar kebun pit. Melihat bayangan Otsu, Osugi pun memanggilnya, dan gadis itu berlari. Sandalnya yang basah berdetap-detap berat di tanah.
“Otsu! Orang bilang kau melihat Takezo. Betul?”
“Ya, saya yakin. Saya melihatnya di tengah orang banyak di luar kuil.”
“Kau tidak lihat Matahachi?”
“Tidak. Saya lari ke luar untuk menanyai Takezo, tapi ketika saya memanggil, dia melompat seperti kelinci ketakutan. Saya lihat matanya sesaat, kemudian dia hilang. Sejak dulu dia memang aneh, tapi saya tak bisa mengerti, kenapa dia lari seperti itu.”
“Lari?” tanya Osugi keheranan. la mulai bertanya-tanya pada dirinya, dan semakin ia bertanya, semakin terbentuk kecurigaan yang mengerikan di dalam otaknya. Menjadi jelaslah baginya bahwa anak lelaki Shimmen, si bangsat Takezo yang sempat dibencinya karena memikat Matahachi yang sangat disayanginya untuk pergi perang, sekali lagi telah berbuat sesuatu yang tidak baik.
Akhirnya berkatalah ia mengancam, “Bangsat! Barangkali dia sudah meninggalkan Matahachi yang malang mati entah di mana, kemudian mencuri-curi pulang dalam keadaan sehat walafiat. Pengecut!” Osugi pun mulai gemetar karena berang, dan suaranya meninggi menjadi jeritan, “Tidak bisa dia sembunyi dariku!”
Otsu tetap tenang. “Ah, saya pikir dia tak akan berbuat begitu. Biarpun dia harus meninggalkan Matahachi, pasti dia menyampaikan pesan untuk kita, atau paling tidak tanda mata dari dia.” Kata-kata Otsu terdengar gemetar karena tuduhan perempuan tua yang tergesa-gesa itu.
Namun Osugi waktu itu sudah yakin benar akan pengkhianatan Takezo. la menggeleng-gelengkan kepala dengan mantapnya, dan berkata lagi, “Ah, dia tak akan berbuat begitu! Aku kenal iblis itu! Dia tidak sebaik itu. Matahachi mestinya tak perlu bergaul dengannya.”
“Nek…,” kata Otsu meredakan.
“Apa?” bentak Osugi yang sama sekali tidak reda marahnya.
“Saya pikir, kalau pergi ke rumah Ogin, kita mungkin menemukan Takezo di sana.”
Kemarahan perempuan tua itu pun mereda sedikit. “Barangkali kau benar. Ogin kakak perempuannya, dan memang tak seorang pun di kampung ini yang akan menerima Takezo.”
“Kalau begitu, mari kita melihat ke sana. Berdua saja.”
Osugi menolak keras. “Tak ada alasan untukku ke sana. Dia tahu adiknya yang menyeret anakku pergi perang, tapi tak pernah sekali pun dia datang minta maaf atau menunjukkan sikap hormat. Sekarang pun, ketika Takezo datang, dia tidak memberitahu aku. Kenapa aku harus pergi mendatanginya? Itu merendahkan martabat. Aku tunggu dia di sini.”
“Tapi ini bukan keadaan biasa,” jawab Otsu. “Dan lagi, yang pokok sekarang menemui Takezo secepatnya. Kita mesti bertanya, apa yang sudah terjadi. Ayolah, Nek, kita pergi. Nenek tak perlu melakukan apa-apa. Saya yang melakukan semua formalitas, kalau Nenek mau.”
Osugi menerima desakan Otsu dengan segan-segan. Tentu saja ia sama inginnya dengan Otsu untuk mengetahui apa yang terjadi, tapi lebih baik ia mati daripada mengemis pada seorang Shimmen.
Rumah Ogin kira-kira satu mil jauhnya. Sebagaimana keluarga Hon’iden, keluarga Shimmen adalah bangsawan desa, clan kedua keluarga itu berasal dari wangsa Akamatsu beberapa generasi sebelumnya. Mereka menempati kedua tepi sungai yang berhadapan, dan diam-diam mereka selalu mengakui hak hidup masing-masing pihak. Hanya sampai di situlah keakraban mereka.
Sampai di gerbang depan, mereka mendapati gerbang itu terkunci. Pepohonan demikian lebat, hingga tak mungkin terlihat cahaya lampu rumah. Otsu hendak berjalan memutar ke pintu belakang, tapi Osugi mogok.
“Rasanya tidak pantas kalau kepala keluarga Hon’iden masuk rumah keluarga Shimmen dari pintu belakang. Itu menurunkan derajat.”
Melihat Osugi tak hendak beranjak, Otsu melanjutkan berjalan ke pintu belakang sendirian. Akhirnya lampu pun muncul di sebelah dalam gerbang. Ogin sendiri yang keluar menyambut perempuan tua itu, yang tiba-tiba berubah dari seorang perempuan buruk pembajak ladang menjadi seorang wanita bangsawan besar dan menyapa nyonya rumah dengan nada-nada tinggi.
“Maafkan saya mengganggu Nona pada waktu seperti ini, tetapi urusan saya ini betul-betul tak bisa ditangguhkan. Nona sangat bermurah hati telah datang dan menyilakan saya masuk!” la pun cepat melewati Ogin dan langsung masuk rumah, dan seperti utusan dewa-dewa ia pun segera menuju tempat yang paling terhormat di dalam ruangan itu, di depan ceruk. la duduk dengan angkuhnya. Tubuhnya diapit perkamen yang tergantung dan satu karangan bunga. la pun berkenan mendengarkan katakata sambutan yang setulus-tulusnya dari Ogin.
Basa-basi telah berakhir, lalu Osugi langsung pada persoalan. Senyuman palsunya lenyap ketika ia menatap perempuan muda di depannya. “Saya mendengar kabar, setan kecil rumah ini sudah merangkak pulang. Saya minta dia dibawa kemari.”
Walaupun lidah Osugi terkenal tajam, kedengkian yang tak disembunyisembunyikan ini terdengar bagai guncangan bagi Ogin yang halus.
“Siapa yang Ibu maksud dengan ’setan kecil’ itu?” tanya Ogin, jelas menahan diri.
Seperti bunglon, Osugi pun mengubah taktiknya. “Oh, lidah saya sudah tergelincir tadi,” katanya sambil tertawa. “Itulah nama yang diberikan orang kampung kepadanya. Saya ketularan orang-orang itu. ‘Setan kecil’ itu Takezo. Dia bersembunyi di sini, bukan?”
“Ah, tidak,” jawab Ogin yang benar-benar terkejut. Karena malu mendengar adiknya disebut demikian, ia pun menggigit bibirnya.
Dan karena kasihan kepadanya, Otsu pun menjelaskan bahwa ia telah melihat Takezo dalam pesta. Kemudian, untuk meluruskan perasaan-perasaan yang sudah terganggu, ia pun menambahkan, “Aneh juga, bukan, bahwa dia tidak langsung datang ke sini?”
“Tapi betul dia tidak datang,” kata Ogin. “Ini pertama kali saya mendengarnya. Tapi kalau dia kembali seperti Ibu katakan itu, saya yakin dia akan mengetuk pintu sebentar lagi.”
Osugi yang duduk resmi di bantalan lantai, dan kakinya tersimpuh rapi, melipat tangan di pangkuan. Dengan gaya seorang mertua yang sedang meradang ia pun melancarkan badai umpatan.
“Apa artinya semua ini? Jadi, apa kau ingin aku percaya kau belum dengar berita tentang dia? Apa kau tidak tahu, akulah ibu anak yang telah diseret pergi perang oleh pemuda sampah itu? Apa kau tidak tahu, Matahachi itu ahli waris dan anggota terpenting keluarga Hon’iden? Adikmu yang membujuk anakku pergi dan terbunuh. Kalau anakku mati, berarti adikmu yang membunuhnya, dan kalau dirasanya dia dapat pulang diamdiam sendiri dan beres semuanya…”
Cukup lama perempuan tua itu berhenti untuk mengatur napas, kemudian matanya menyala kembali dalam keberangan. “Lalu kau sendiri bagaimana? Sejak dia jelas berbuat tak pantas dengan pulang diam-diam sendirian, kenapa kau yang menjadi kakak perempuannya tidak lekas menyuruhnya datang padaku? Aku muak dengan kalian berdua. Memperlakukan seorang perempuan tua tanpa sopan sama sekali. Kalian pikir siapa aku ini?”
Dan sesudah menelan napas sekali lagi, ia pun berkaok-kaok kembali. “Kalau Takezo memang pulang, bawa Matahachi padaku. Kalau tak bisa, paling tidak suruh setan kecil itu ke sini sekarang, untuk menjelaskan padaku apa yang terjadi dengan anak kesayanganku dan di mana dia sekarang-sekarang juga!”
“Bagaimana saya bisa melakukan itu? Dia tak ada di sini.”
“Bohong besar!” jerit Osugi. “Kau pasti tahu di mana dia!”
“Saya sudah bilang tidak tahu!” protes Ogin. Suaranya bergetar dan matanya basah oleh air mata. la pun membungkuk, mengharap setengah mati ayahnya masih hidup.
Tiba-tiba dari pintu yang terbuka ke beranda terdengar bunyi berderak, diikuti bunyi kaki berlari.
Mata Osugi berkilat, dan Otsu mulai berdiri, tetapi bunyi berikutnya yang terdengar adalah pekikan yang menegakkan bulu roma. Suara manusia yang mirip sekali dengan lolongan binatang.
Seorang lelaki berteriak, “Tangkap dia!”
Kemudian terdengar bunyi lebih banyak kaki, lalu lebih banyak lagi, berlarian di sekitar rumah, diiringi kertak ranting-ranting dan gemeresik pohon bambu.
“Itu Takezo!” teriak Osugi. la melompat berdiri, menatap Ogin yang berlutut, dan menyemburkan kata-kata. “Aku tahu dia di sini!” katanya garang. “Itu sama terangnya dengan hidung di mukamu. Tak mengerti aku, kenapa kau mencoba menyembunyikan dia dariku, tapi ingatlah, aku tak akan melupakannya.”
la pun menuju pintu dan mendorongnya dengan keras. Tapi apa yang dilihatnya di luar membuat wajahnya yang sudah pucat itu menjadi lebih putih lagi. Seorang pemuda yang mengenakan pelindung kaki telentang di tanah, mati. Darah segar masih mengalir dari mata dan hidungnya. Melihat tengkoraknya yang berantakan, pastilah ia dibunuh dengan satu hantaman pedang kayu.
“Ada… ada… ada orang mati di situ!” katanya terbata-bata.
Otsu membawa lampu ke beranda dan berdiri di samping Osugi yang membelalak ketakutan ke arah mayat itu. Bukan mayat Takezo atau Matahachi, tapi mayat samurai yang tidak mereka kenali.
Osugi berbisik, “Siapa yang melakukan ini?” Sambil menoleh cepat kepada Otsu, ia berkata, “Ayo kita pulang, sebelum terlibat.”
Otsu tak dapat memaksa dirinya pergi. Perempuan tua itu sudah mengucapkan banyak kata keji. Akan terasa tidak adil bagi Ogin, kalau la pergi sebelum memberikan salep kepada luka-luka itu. Kalaupun Ogin berdusta, menurut perasaan Otsu, ia tentunya punya alasan yang baik. Karena merasa harus tinggal untuk menyenangkan hati Ogin, maka Otsu pun mengatakan kepada Osugi bahwa la akan menyusul kemudian.
“Semaumulah,” bentak Osugi sambil bersiap-siap pergi.
Dengan sopan Ogin menawarkan lentera, tapi Osugi menolak keras. “Ketahuilah, kepala keluarga Hon’iden belum begitu pikun hingga membutuhkan lampu untuk berjalan.” la pun melipat keliman kimononya, meninggalkan rumah itu dan berjalan tegap menempuh kabut yang menebal.
Tidak jauh dari rumah itu, seorang lelaki menyuruhnya berhenti. Pedangnya terhunus, dan tangan serta kakinya terlindung zirah. Ia jelas samurai profesional yang tidak bisa ditemukan di kampung itu.
“Ibu kan baru datang dari rumah Shimmen?” tanyanya.
“Ya, tapi…”
“Apa Ibu anggota keluarga Shimmen?”
“Tentu saja bukan!” bentak Osugi sambil mengibaskan tangan sebagai tanda protes. “Saya kepala keluarga samurai di seberang kali.”
“Jadi, Ibu ini ibu Hon’iden Matahachi yang pergi dengan Shimmen Takezo ke Medan Sekigahara?”
“Ya, tapi anak saya pergi ke sana bukan karena ingin. Dia diperdaya setan kecil itu.”
“Setan?”
“Itu… si Takezo!”
“Saya dengar Takezo itu tidak begitu disukai di kampung ini.”
“Disukai? Menggelikan. Belum pernah kau melihat penjahat seperti dia! Tak dapat kaubayangkan kesulitan yang kami alami dalam keluarga, sejak anak saya bergaul dengan dia.”
“Anak Ibu itu barangkali meninggal di Sekigahara. Saya…”
“Matahachi! Meninggal?”
“Eh, sebetulnya saya tidak begitu yakin. Tapi barangkali akan menjadi hiburan sedikit bagi Ibu dalam kesedihan Ibu, kalau saya katakan, saya akan melakukan segala yang mungkin untuk membantu Ibu membalas dendam.”
Osugi memandang ragu-ragu. “Siapa Anda ini?”
“Saya dari garnisun Tokugawa. Sesudah pertempuran, kami pergi ke Puri Himeji. Atas perintah pimpinan saya, saya membuat rintangan di perbatasan Provinsi Harima untuk menyaring semua orang yang lewat.
“Takezo yang berasal dari rumah itu,” sambungnya sambil menunjuk, “sudah menembus rintangan dan lari ke Miyamoto. Kami mengejarnya sampai tempat ini. Dia memang cukup ulet. Kami mengira sesudah beberapa hari berjalan dia akan ambruk, tapi sampai sekarang kami belum dapat menyusulnya. Tapi dia takkan dapat terus begitu selamanya. Kami akan menangkapnya.”
Dengan mengangguk-angguk sadarlah Osugi sekarang, kenapa Takezo tidak muncul di Shippoji, dan yang lebih penting lagi, ia sadar bahwa Takezo barangkali tidak pulang ke rumah, karena itulah tempat pertama yang akan digeledah tentara. Tapi sementara itu, karena Takezo melakukan perjalanan sendirian, kemarahan Osugi tidak mereda. Berita kematian Matahachi pun tidak dipercayainya.
“Saya tahu, Takezo bisa sekuat clan selicik binatang liar,” katanya malu-malu. “Tapi saya tak percaya samurai sekaliber Anda sulit menangkapnya.”
“Nah, terus terang, itulah pendapat saya semula. Tapi jumlah kami tak banyak, dan dia baru saja membunuh seorang anak buah saya.”
“Izinkanlah perempuan tua ini memberikan sedikit nasihat pada Anda.” Sambil membungkuk ia pun membisikkan sesuatu ke telinga samurai itu. Kata-katanya agaknya sangat menyenangkan.
Samurai itu mengangguk-angguk tanda setuju, dan dengan bersemangat berkata, “Gagasan bagus! Hebat!”
“Jangan tanggung-tanggung melaksanakan tugas itu,” dorong Osugi sambil berangkat pulang.
Tak lama sesudahnya, samurai itu mengumpulkan kelompoknya yang terdiri atas empat belas atau lima belas orang di belakang rumah Ogin. Sesudah ia memberikan keterangan ringkas, mereka pun melompati dinding, mengepung rumah, dan memblokir semua pintu keluar. Lalu beberapa orang serdadu menyerbu ke dalam rumah, meninggalkan jejak-jejak berlumpur. Mereka masuk ke kamar dalam, di mana dua perempuan muda sedang duduk berkabung, menghapus-hapus wajah yang berurai air mata.
Menghadapi serdadu-serdadu itu Otsu ketakutan dan pucat lesi. Namun Ogin yang bangga menjadi anak Munisai tetap tak gentar. Dengan mata tenang dan tajam, la tatap dengan berangnya para penyerbu itu.
“Bajingan! Binatang!” geramnya. Karena tak ada sasaran nyata bagi kemarahannya, ia pun mengayunkan pedang ek hitamnya hingga mendecit di udara, menebas cabang sebuah pohon besar. Getah putih yang memancar dari luka pohon itu mengingatkannya akan air susu ibu yang sedang menyusui. la berdiri dan pandangannya nyalang. Tanpa ibu tempatnya mengadu, yang ada di dunia ini hanya kesepian. Kali-kali kecil yang mengalir cepat dan bukit-bukit yang berombak-ombak di tempat tinggalnya sendiri pun seperti mengejek, bukan memberikan hiburan.
“Kenapa semua orang kampung memusuhiku?” tanyanya. “Begitu melihatku, langsung mereka lapor pada pengawal di gunung. Dan cara mereka lari waktu melihatku itu, seperti aku ini orang gila saja.”
Sudah empat hari ia bersembunyi di Pegunungan Sanumo. Kini, lewat tabir kabut tengah hari, ia dapat melihat rumah ayahnya, rumah yang didiami kakak perempuannya sendirian. Kuil Shippoji bersarang di bukit di bawahnya. Atapnya muncul dari antara pepohonan. la tahu bahwa ia tidak dapat mendekati satu pun dari kedua tempat itu. Ketika ia memberanikan diri mendekati kuil itu pada hari lahir sang Budha, ia telah membahayakan hidupnya, sekalipun kuil itu penuh orang. Ketika didengarnya namanya dipanggil orang, tidak ada pilihan lagi baginya kecuali melarikan diri. Disamping ingin menyelamatkan lehernya sendiri, ia tahu kalau ia ditemukan orang di sana, Otsu pun akan mendapat kesulitan.
Malam itu, ketika diam-diam ia pergi ke rumah kakak perempuannya, kebetulan sekali ibu Matahachi ada di sana. Sejenak ia hanya berdiri di luar, mencoba mengarang-ngarang penjelasan di mana Matahachi berada, tapi ketika sedang mengawasi kakak perempuannya lewat celah pintu, serdadu-serdadu melihatnya. Sekali lagi ia terpaksa lari tanpa mendapat kesempatan bicara dengan siapa pun. Sejak itu, tampak dari tempat perlindungannya di pegunungan, samurai Tokugawa mencari-cari secara gencar sekali. Mereka merondai setiap jalan yang mungkin ditempuhnya, dan orang kampung bergabung membentuk kelompok-kelompok pencari, menjelajahi pegunungan.
la bertanya-tanya bagaimana kiranya pendapat Otsu tentangnya. Ia mulai curiga Otsu pun telah memusuhinya. Karena merasa orang sekampungnya sendiri menganggapnya musuh, ia pun jadi serba sulit.
Pikirnya, “Sukar sekali mengatakan pada Otsu alasan sebenarnya tunangannya tidak pulang. Barangkali sebaiknya kusampaikan pada perempuan tua itu…. Betul! Kalau kujelaskan semua itu kepadanya, dia nanti dapat pelanpelan menyampaikannya pada Otsu. Sesudah itu tak ada lagi alasanku untuk berkeliaran di sini.”
Setelah membulatkan tekad, Takezo pun kembali berjalan, tapi ia tahu, ia tak boleh mendekati kampung sebelum gelap. Dengan sebuah karang besar ia pecahkan karang lain menjadi pecahan-pecahan kecil, lalu ia lemparkan sebuah di antaranya ke burung yang sedang terbang. Burung itu jatuh, dan belum lagi selesai mencabuti bulunya ia sudah membenamkan gigi-giginya yang setengah kelaparan ke daging yang masih mentah dan hangat itu. Sambil melahap burung, ia mulai lagi berjalan. Tapi tiba-tiba ia mendengar jeritan tertahan. Memang, siapa saja yang melihatnya selalu berlari menghindar penuh ketakutan melintasi hutan. Marah karena dibenci dan ditakuti, dikejar-kejar tanpa alasan, ia pun berteriak, “Tunggu!” Dan ia mulai berlari, seperti seekor macan tutul mengejar mangsa yang kabur.
Orang itu bukanlah tandingan Takezo, dan dengan mudah terkejar. Ternyata ia penduduk kampung yang datang ke pegunungan untuk membuat arang. Takezo tahu orang itu, walau tidak kenal. Takezo mencengkeram kerahnya dan menyeretnya kembali ke tempat terbuka.
“Kenapa kau lari? Apa kau tidak kenal aku? Aku seorang dari kalian, Shimmen Takezo dari Miyamoto. Tak bakal aku memakanmu hidup-hidup. Kau tahu kan, tidak sopan lari begitu saja dari orang yang dikenal tanpa mengucapkan salam!”
“Y y-y-y-ya, Tuan!”
“Duduk!”
Takezo melepaskan cengkeramannya dari lengan orang itu, tapi makhluk malang itu hendak lari, hingga terpaksa Takezo menendang pantatnya dan berbuat seolah-olah hendak memukulnya dengan pedang kayunya. Orang itu merangkak-rangkak di tanah seperti anjing, menguik-nguik sambil tangannya memegangi kepala.
“Jangan bunuh saya!” jeritnya mengiba-iba.
“Jawab saja pertanyaan-pertanyaanku.”
“Akan saya jawab semuanya-tapi jangan bunuh saya! Saya punya istri dan keluarga.”
“Tak ada yang mau membunuhmu. Apa betul bukit-bukit ini penuh serdadu?”
“Ya.”
“Apa mereka mengawasi Kuil Shippoji juga?”
“Ya.”
“Apa orang kampung memburuku lagi hari ini?”
Diam.
“Kau seorang dari mereka?”
Orang itu mendadak berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti orang bisu-tuli
“Tidak, tidak, tidak!”
“Cukup!” teriak Takezo. Dan sambil mencengkeram erat leher orang itu, ia pun bertanya, “Bagaimana dengan kakak perempuanku?”
“Kakak perempuan mana?”
“Kakak perempuanku, Ogin, dari Keluarga Shimmen. Jangan pura-pura bodoh. Kau tadi janji akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku tak 1amdak menyalahkan orang kampung yang mencoba menangkapku. Samurai yang memaksa mereka, tapi aku yakin mereka tak akan mengapa-apakan kakak perempuanku. Apa anggapanku ini keliru?”
Orang itu pun memberikan jawaban yang terlampau polos. “Saya tidak tahu apa-apa soal itu. Sama sekali tidak tahu.”
Takezo cepat mengangkat pedangnya ke atas kepala orang itu, siap memukul. “Awas! Kedengarannya mencurigakan. Ada yang sudah terjadi dengan dia, kan? Jangan pura-pura lagi, atau kuhancurkan tengkorakmu!”
“Tunggu! Jangan! Saya akan bicara! Akan saya katakan semuanya!”
Dengan tangan terlipat tanda memohon, pembuat arang itu gemetaran dan ia bercerita bahwa Ogin telah ditawan, dan bahwa telah disebarkan perintah di kampung, yang isinya setiap orang yang memberikan makanan atau perlindungan kepada Takezo otomatis akan dianggap anteknya. la mengatakan bahwa tiap hari para serdadu mengerahkan orang kampung ke pegunungan, dan tiap keluarga diminta menyediakan seorang pemuda dua hari sekali untuk keperluan itu.
Keterangan tersebut membuat Takezo tegak bulu romanya. Bukan karena takut, melainkan marah. Untuk meyakinkan diri bahwa yang didengarnya benar ia pun bertanya, “Tuduhan apa yang dijatuhkan atas kakak perempuanku?” Matanya berkilat-kilat oleh air mata.
“Tak seorang pun dari kami tahu soal itu. Kami takut pada Kepala Distrik. Kami cuma melakukan apa yang diperintahkan, itu saja.”
“Di mana mereka menahan kakakku?”
“Desas-desusnya mereka menahan dia di benteng Hinagura, tapi saya tidak tahu apa itu betul.”
“Hinagura…,” ulang Takezo. Matanya pun menoleh ke jajaran pegunungan yang menandai perbatasan provinsi. Tulang punggung pegunungan itu telah diwarnai bayang-bayang awan petang yang kelabu.
Takezo membiarkan orang itu pergi. Melihat orang itu bergegas pergi karena senang hidupnya yang tak berarti itu selamat, perut Takezo pun bergolak memikirkan sifat pengecut manusia-sifat pengecut yang telah memaksa samurai mengusik seorang wanita malang tak berdaya. la senang kini seorang diri lagi. la harus berpikir.
Segera kemudian ia mengambil keputusan. “Aku harus menyelamatkan Ogin, itu harus. Kakakku yang malang. Akan kubunuh mereka semua, kalau mencelakakan dia.” Sesudah memilih arah tindakannya, ia pun berjalan tegak ke arah kampung dengan langkah-langkah jantan.
Beberapa jam kemudian, kembali Takezo mencuri-curi mendekati Shippoji. Lonceng malam baru saja berhenti berdentang. Hari sudah gelap dan cahaya lampu kelihatan menyorot dari kuil itu sendiri, juga dari dapur dan petak-petak pendeta, di mana orang nampaknya mondar-mandir.
“Kalau saja Otsu keluar,” pikirnya.
Ia pun meringkukkan badan tanpa bergerak-gerak di bawah lorong tinggi beratap, tapi tak berdinding, yang menghubungkan kamar-kamar pendeta dengan kuil utama. Bau makanan yang sedang dimasak mengambang di udara, menimbulkan bayangan tentang nasi dan sop mengepul. Beberapa hari terakhir ini ia tidak makan apa-apa kecuali daging burung mentah dan umbut rumput. Perutnya kini berontak. Kerongkongannya terasa panas ketika getah lambungnya naik, pahit rasanya, dan dalam kesengsaraan itu ia pun menghirup napas keras-keras.
“Apa itu?” terdengar suara.
“Barangkali kucing,” jawab Otsu yang keluar membawa baki makan malam dan mulai menyeberang lorong, tepat di atas kepala Takezo. Takezo mencoba memanggilnya, tapi ia begitu mual, hingga tak berhasil memperdengarkan suara jelas.
Ternyata nasib baik, karena justru saat itu suara lelaki tepat di belakang Otsu terdengar bertanya, “Mana jalan ke kamar mandi?”
Orang itu mengenakan kimono pinjaman dari kuil, diikat dengan sabuk sempit, di mana tergantung handuk kecil. Takezo mengenalnya sebagai salah seorang samurai dari Himeji. Jelas ia berpangkat tinggi, cukup tinggi, hingga dapat menginap di kuil dan menghabiskan waktu malamnya dengan makan dan minum sekenyang-kenyangnya, selagi anak buahnya dan orang kampung harus menjelajahi sisi-sisi gunung siang-malam, mencari si pelarian.
“Kamar mandi?” kata Otsu. “Mari saya tunjukkan.”
la menurunkan baki dan mengantar orang itu menyusuri lorong. Tibatiba samurai itu menghampirinya dan merangkul Otsu dari belakang.
“Bagaimana kalau ikut aku ke kamar mandi?” sarannya garang.
“Hentikan! Lepaskan saya!” teriak Otsu, tapi orang itu membalikkan badan Otsu, memegang wajahnya dengan kedua tangannya yang besar dan menyapukan bibirnya ke pipi Otsu.
“Apa salahnya?” bujuknya. “Apa kau tak suka lelaki?”
“Hentikan! Tak boleh begitu!” protes Otsu yang tak berdaya. Serdadu ini pun menutupkan tangannya ke mulut Otsu.
Lupa akan bahaya, Takezo melompat ke lorong seperti kucing, dan mendaratkan tinjunya ke kepala orang itu dari belakang. Pukulan itu keras. Sekejap tak berdaya, samurai itu pun jatuh telentang, tapi masih terus berpegangan pada Otsu. Otsu mencoba melepaskan diri dan genggamannya dan memperdengarkan jeritan nyaring. Orang yang terjatuh itu berteriak, “Itu dia! Itu Takezo! Dia di sini! Ayo tangkap dia!”
Dari dalam kuil terdengar derap kaki dan raungan suara orang. Lonceng kuil mulai memberikan isyarat bahaya bahwa Takezo telah ditemukan, dan dari hutan berbondong-bondong orang mulai berkumpul di pekarangan kuil. Tapi Takezo sudah pergi, dan tak lama kemudian kelompok-kelompok pencari sekali lagi dikirimkan untuk menjelajahi perbukitan Sanumo. Takezo sendiri hampir tidak ingat bagaimana ia menyelinap lewat jaring yang dengan cepat mengetat itu. Ketika pengejaran sedang sengit-sengitnya, ia sudah berdiri di tempat jauh, di pintu masuk dapur besar berlantai kotor milik keluarga Hon’iden.
Melongok ke dalam rumah berpenerangan suram itu ia berseru, “Nenek!” “Siapa?” terdengar jawaban serak. Osugi berjalan pelan keluar dari kamar belakang. Diterangi dari bawah oleh lentera kertas yang dipegangnya, wajah Osugi yang sudah berkeriput itu memucat melihat tamunya. “Kau!” teriaknya.
“Ada berita penting yang mau saya sampaikan pada Nenek,” kata Takezo buru-buru. “Matahachi tidak mati, dia masih segar bugar. Dia tinggal bersama seorang perempuan. Di provinsi lain. Itu saja yang dapat saya sampaikan, karena cuma itu yang saya tahu. Saya minta Nenek menyampaikan berita ini pada Otsu. Saya tak bisa menyampaikannya sendiri.”
Dengan perasaan puas luar biasa karena telah bebas dari berita yang menjadi beban baginya, ia segera pergi, tapi perempuan itu memanggilnya kembali.
“Mau pergi ke mana kau sekarang?”
“Saya mesti masuk ke benteng Hinagura, menyelamatkan Ogin,” jawab Takezo sedih. “Sudah itu saya akan pergi entah ke mana. Saya cuma mau menyampaikan pada Nenek dan keluarga Nenek, juga pada Otsu, bahwa tidak saya biarkan Matahachi mati. Selain itu, tak ada alasan lagi bagi saya untuk tinggal di sini.”
“0, begitu.” Osugi memindahkan lentera dari tangan yang satu ke tangan yang lain untuk mengulur waktu. Kemudian ia memberi isyarat pada Takezo, “Kau pasti lapar, kan?”
“Berhari-hari saya tidak mendapat makanan yang pantas.”
“Kasihan! Tunggu! Aku sedang masak tadi, sebentar lagi aku kasih kamu makan malam yang hangat dan enak. Buat hadiah selamat jalan. Dan lagi apa kau tak ingin mandi selagi aku menyiapkan makanan?” Takezo tak bisa bicara.
“Tak usah terkejut begitu. Takezo, keluargamu dan keluarga kami selalu berdampingan sejak wangsa Akamatsu. Menurut pendapatku, kau seharusnya, jangan meninggalkan tempat ini, tapi yang pasti tak akan kubiarkan kau pergi tanpa diberi makan enak dan cukup!”
Sekali lagi Takezo tak dapat menjawab. la mengangkat sebelah tangannya dan menghapus matanya. Sudah begitu lama tak seorang pun bersikap begitu baik kepadanya. Sesudah menjadi orang yang selalu curiga dan tidak mempercayai siapa saja, tiba-tiba sekarang ia teringat bagaimana rasanya diperlakukan sebagai manusia.
“Lekas sana ke kamar mandi,” desak Osugi dengan nada seorang nenek. “Bahaya sekali berdiri di sini-orang bisa melihatmu. Akan kuambilkan kimono dan pakaian dalam Matahachi untukmu. Sekarang tenang-tenang saja dan mandilah yang baik.”
la pun menyerahkan lentera itu pada Takezo dan menghilang ke belakang rumah. Hampir pada waktu itu juga menantu perempuannya meninggalkan rumah, lari melintasi halaman dan hilang ditelan malam.
Dari kamar mandi, di mana lentera itu berayun-ayun, terdengar suara air berkecipak.
“Nah, bagaimana?” seru Osugi riang. “Cukup panas?”
“Cukup! Saya menjadi orang baru,” sahut Takezo.
“Tenang-tenang saja dan hangatkan badanmu. Nasi belum matang.”
“Terima kasih. Kalau saya tahu begini macamnya, mestinya saya datang lebih cepat. Saya yakin Nenek akan menerima saya!” la bicara lagi dua-tiga kali, tapi suaranya tenggelam oleh bunyi air, dan Osugi tidak menjawab. Tak lama kemudian menantu itu muncul kembali di gerbang, kehabisan napas. la diikuti serombongan samurai dan barisan sukarela. Osugi keluar rumah, menyambut mereka dengan bisikan.
“0, jadi Ibu suruh dia mandi. Cerdik sekali,” kata salah seorang dari mereka dengan kagum. “Ya, itu bagus sekali! Pasti kena dia kali ini!” Sesudah memecah diri menjadi dua kelompok, orang-orang itu pun merunduk dan bergerak hati-hati seperti kelompok katak ke arah api yang menyala terang di bawah kamar mandi.
Ada sesuatu-sesuatu yang tak dapat dijelaskan-menggelitik naluri Takezo, dan ia mengintip lewat celah pintu. Maka tegaklah bulu romanya. “Aku dijebak!” pekiknya. Ia telanjang bulat, dan kamar mandi itu pun kecil. Tak ada waktu untuk berpikir.
Di luar pintu ia melihat gerombolan orang bersenjata tongkat, lembing, dan pentung, namun ia tak gentar. Rasa takut apa pun yang mungkin dimilikinya hapus oleh rasa berangnya terhadap Osugi.
“Baik, bajingan-bajingan, awas,” geramnya.
Ia sudah tak peduli lagi dengan banyaknya mereka. Dalam keadaan itu, seperti dalam keadaan yang lain-lain juga, satu-satunya yang menurutnya barns dilakukan adalah menyerang daripada diserang. Ketika calon-calon penangkapnya sedang mengatur langkah di luar, dengan tiba-tiba ia tendang pintu sampai terbuka dan ia pun melompat ke udara, disertai teriakan perang yang menakutkan. Dalam keadaan masih telanjang clan rambut terburai ke sana kemari, ia tangkap dan rebut tangkai lembing pertama yang ditusukkan kepadanya, hingga pemiliknya terpental ke semak-semak. Senjata itu digenggamnya erat-erat, lalu ia menyerang ke sekitarnya seperti gasing yang berpusing. Begitu saja diayunkannya senjata itu dan dihantamkannya pada siapa saja yang datang mendekat. Ia mengambil pelajaran dari Sekigahara bahwa cara ini amat sangat efektif bagi orang yang kalah dalam jumlah. Tangkai lembing sering dapat lebih jitu dipergunakan daripada matanya.
Para penyerang terlambat sadar bahwa mereka telah membuat kesalahan besar, karena tidak dari semula mengirim tiga-empat orang menyerbu kamar mandi. Kini mereka hanya dapat berteriak saling menyemangati. Namun jelas mereka telah lumpuh.
Sekitar sepuluh kali senjata Takezo mengenai tanah, dan senjata itu patah. Maka ia pun mengambil karang besar dan melontarkannya kepada orang-orang yang sudah memperlihatkan tanda-tanda mundur itu.
“Lihat, dia lari masuk rumah!” seru seorang dari mereka, hampir bersamaan dengan keluarnya Osugi dan menantu perempuannya dari rumah ke halaman belakang.
Dengan suara ingar-bingar Takezo mengacak-acak seluruh rumah. Pekiknya, “Mana pakaian saya? Kembalikan pakaian saya!”
Di tempat itu berserakan pakaian kerja, juga lemari kimono yang besar. Tapi Takezo tidak memperhatikannya. la hanya menajamkan matanya dalam cahaya lampu samar-samar untuk menemukan pakaiannya sendiri yang compang-camping. Akhirnya dilihatnyaa pakaian itu di sudut dapur, dicengkeramnya dengan sebelah tangan, dan begitu memperoleh pijakan kaki di atas tungku tanah yang besar, ia pun merangkak keluar dari jendela kecil yang tinggi. Ketika la merangkak ke atas, para pengejarnya yang sudah sama sekali bingung itu tinggal mengutuk dan saling menyesali, karena gagal menjerat Takezo.
Berdiri di tengah atap, tanpa tergesa-gesa Takezo mengenakan kimononya. Disobeknya sedikit kain ikat pinggang dengan giginya dan diikatnya rambutnya yang masih basah ke belakang, dekat pada pangkalnya, dan demikian erat hingga alisnya dan sudut-sudut matanya tertarik.
Langit musim semi penuh dengan bintang.
Seni Perang
PENCARIAN yang dilakukan setiap hari di pegunungan berlangsung terus, dan kerja pertanian pun mengendur. Orang kampung tak dapat mengerjakan ladangnya atau merawat ulat sutranya. Papan-papan besar dipasang di depan rumah kepala kampung dan di setiap persimpangan: pengumuman hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil menangkap atau membunuh Takezo. Juga imbalan memadai untuk informasi apa pun yang bisa menghasilkan tertangkapnya Takezo. Pemberitahuan itu ditandatangani secara resmi oleh Ikeda Terumasa, yang dipertuan di Puri Himeji.
Di kediaman Hon’iden berkecamuk suasana panik. Osugi dan keluarganya mengunci gerbang utama dan merintangi semua jalan masuk. Mereka ketakutan setengah mati, jangan-jangan Takezo datang membalas dendam. Para pencari, dengan petunjuk pasukan Himeji, menyusun rencana-rencana baru untuk menjerat pelarian itu. Tapi ternyata usaha mereka tidak membawa hasil.
“Dia membunuh satu orang lagi!” seru satu orang kampung. “Di mana? Siapa kali ini?”
“Seorang samurai. Belum jelas siapa.”
Mayat itu ditemukan di dekat jalan setapak di luar kampung. Kepalanya tergeletak dalam rumpun rumput yang tinggi, kedua kakinya mencuat ke langit dalam kedudukan tak wajar. Orang kampung terus datang-pergi dan berkasak-kusuk antarsesamanya. Mereka ketakutan, tapi sangat ingin tahu. Tengkorak orang itu hancur, jelas akibat hantaman salah satu papan tanda hadiah. Papan itu tergeletak melintang di tubuh yang basah oleh darah. Orang-orang yang melongo melihat pemandangan itu, tidak dapat tidak, membaca daftar hadiah yang dijanjikan itu. Beberapa orang tertawa muram melihat ironi mencolok itu.
Wajah Otsu mengerut pucat ketika ia muncul dari tengah-tengah kerumunan. Menyesal karena telah melihat, ia pun bergegas menuju kuil dan mencoba menghapus gambaran wajah orang mati yang terus terbayang di depan matanya. Di kaki bukit ia berpapasan dengan kapten yang menginap di kuil dan lima-enam anak buahnya. Mereka telah mendengar pembunuhan yang mengerikan itu dan sedang dalam perjalanan untuk menyelidikinya. Melihat gadis itu, sang kapten menyeringai.
“Dari mana kau, Otsu?” tanyanya dengan sikap akrab menyenangkan.”
“Belanja,” jawab Otsu pendek. Tanpa melirik orang itu, la pun bergegas mendaki anak tangga kuil. Otsu sejak semula tidak suka kepadanya. Kumisnya seperti tali. Itu yang paling tidak disukainya. Tapi sejak malam orang itu mencoba memaksanya, melihatnya saja sudah membuat ia jijik.
Takuan sedang duduk di depan ruang utama, bermain dengan seekor anjing kampung. Otsu bergegas lewat agak jauh dari situ untuk menghindari binatang kotor itu, ketika Takuan melihatnya clan memanggil, “Otsu, ada surat buatmu.”
“Buat saya?” tanya Otsu tak percaya.
“Ya, kau sedang pergi ketika pesuruh datang, karena itu dia tinggalkan surat itu padaku.” Dikeluarkannya sebuah gulungan kecil dari lengan kimononya dan diserahkannya pada Otsu. Katanya, “Kau kelihatan kurang sehat. Ada apa?”
“Saya mual. Tadi saya lihat orang mati menggeletak di rumput. Matanya masih terbuka, dan darah…”
“Kau tak perlu melihat hal-hal seperti itu. Tapi kalau melihat keadaan sekarang, terpaksa kau mesti menutup mata kalau pergi ke mana-mana. Hari-hari ini aku selalu bertemu mayat. Ha! Padahal tadinya kudengar kampung ini seperti surga kecil!”
“Kenapa Takezo membunuh orang?”
“Supaya mereka tidak membunuhnya, tentu saja. Mereka tak punya alasan sama sekali untuk membunuhnya, jadi kenapa pula dia mesti membiarkan mereka?”
“Takuan, saya takut!” kata Otsu memohon. “Apa yang mesti kita lakukan kalau dia datang kemari?”
Mendung gelap bergumpal-gumpal di atas pegunungan. Otsu menerima surat misterius itu clan pergi menyembunyikan diri di kamar tenun.
Pada alat tenun terpasang secarik kain kimono lelaki yang belum selesai. Sejak tahun lalu selalu ia menggunakan waktu luangnya dengan memintal benang sutra untuk pakaian itu. Itu untuk Matahachi. la merasa senang bahwa nantinya dapat menjahit semua bagian kain itu menjadi satu kimono lengkap. la menenun setiap helainya dengan sangat cermat, seakan-akan menenun itu sendiri mendekatkan Matahachi padanya. la ingin pakaian itu kekal selamanya.
Sambil duduk di depan alat tenun, ia menatap surat itu dengan saksama. “Siapa yang mengirim?” bisiknya pada diri sendiri. la merasa surat itu tentunya ditujukan pada orang lain. Berulang kai ia baca alamatnya untuk mencari kesalahannya.
Surat itu jelas sudah menempuh jalan panjang sebelum sampai kepadanya. Bungkusannya sudah sobek-sobek dan lusuh, penuh dengan noda bekas jari dan titik air hujan. Ketika segelnya dibuka, yang jatuh ke pangkuannya bukannya satu, melainkan dua surat. Yang pertama ditulis seorang wanita yang tak dikenal, seorang wanita yang sudah agak tua, begitulah terkanya cepat.
Saya menulis hanya untuk membenarkan apa yang tertulis dalam surat satunya. Karenanya saya tidak akan berbicara terperinci.
Saya sudah kawin dengan Matahachi dan menerimanya dalam keluarga saya. Meskipun begitu, dia rupanya masih memikirkan Anda. Saya kira, salahlah kalau kita membiarkan saja hal itu. Karena itu Matahachi dengan ini mengirimkan penjelasan, dan saya memberikan kesaksian atas kebenaran penjelasan itu.
Harap lupakan Matahachi.
Hormat saya, Oko
Surat satunya berisi tulisan cakar ayam Matahachi dan berisi penjelasan panjang yang menjemukan, mengenai semua alasan kenapa ia tidak mungkin pulang. Intinya tentu saja permintaan agar Otsu melupakan pertunangan dengannya dan agar menemukan suami lain. Matahachi menambahkan, karena “sukar” baginya menulis langsung kepada ibunya tentang persoalan itu, ia akan berterima kasih apabila Otsu mau membantu. Kalau Otsu kebetulan bertemu dengan ibunya, ia diminta menyampaikan bahwa Matahachi masih hidup dan sehat, serta tinggal di provinsi lain.
Otsu merasa sumsum tulang punggungnya berubah menjadi es. la duduk terpukau, terlampau terguncang untuk dapat berteriak atau sekadar mengedip. Kuku-kuku jarinya yang memegang surat itu berubah sewarna dengan kulit orang mati yang dilihatnya kurang dari sejam sebelumnya.
Jam-jam berlalu. Semua orang di dapur mulai bertanya-tanya di mana gerangan Otsu. Kapten yang diserahi tugas melakukan pencarian merasa puas dapat memerintahkan orang-orangnya yang kelelahan itu tidur di hutan, tapi ketika ia sendiri kembali ke kuil pada senja hari, ia pun menuntut kenikmatan yang sesuai dengan statusnya. Air mandi harus dipanaskan sepantasnya. Ikan segar dari kali harus disiapkan menurut petunjuk-petunjuknya, dan satu orang harus mengambil sake mutu terbaik dari salah satu rumah kampung. Banyak sekali pekerjaan harus dilakukan untuk menyenangkan orang itu, dan sebagian besar pekerjaan itu jatuh pada Otsu. Karena Otsu menghilang, makan malam si kapten terlambat.
Takuan pun pergi mencarinya. la sama sekali tidak memikirkan si kapten. Yang dikhawatirkannya adalah Otsu. Bukan kebiasaan gadis itu untuk pergi tanpa memberitahu. Sambil memanggil-manggil namanya, biarawan itu melintasi pekarangan kuil dan melewati kamar tenun beberapa kali. Karena pintu kamar itu tertutup, tak mau la bersusah-susah melihat ke dalam.
Beberapa kali pendeta kuil keluar lorong tinggi dan berseru kepada Takuan, “Belum juga ketemu? Mestinya di sini-sini saja.” Tapi lama kelamaan ia pun bingung, dan serunya, “Cepat temukan dia! Tamu kita bilang tak bisa minum sake kalau bukan Otsu yang menuangkan.”
Pembantu kuil disuruh menuruni bukit untuk mencari Otsu sambil membawa lentera. Hampir bersamaan waktunya dengan keberangkatan pembantu itu, Takuan pun akhirnya membuka pintu kamar tenun.
Apa yang dilihatnya di dalam sungguh mengejutkannya. Otsu terkulai di atas alat tenun, jelas dalam keadaan dirundung kesedihan. Karena tak ingin mengganggu, Takuan diam saja memandang kedua surat yang kusut dan sobek di tanah. Surat itu telah diinjak-injak seperti sepasang boneka jerami.
Takuan memungutnya. “Apa ini bukan yang dibawa pesuruh hari ini?” tanyanya lembut. “Kenapa kau tidak menyimpannya?”
Otsu menggeleng lesu.
“Semua orang sudah setengah gila mengkhawatirkanmu. Aku sendiri sudah mencari ke mana-mana. Ayo pulang, Otsu. Aku tahu kau enggan, tapi kau betul-betul harus kerja. Yang jelas, kau mesti melayani Kapten. Pendeta tua itu sudah hilang akal.”
“Kepala saya… kepala saya sakit,” bisik Otsu. “Bapak, apa tak bisa mereka meliburkan saya… malam ini saja?”
Takuan mengeluh. “Otsu, aku pribadi berpendapat kau tak usah menghidangkan sake untuknya malam ini atau malam kapan pun. Tapi pendeta itu lain pendapatnya. Dia manusia dari dunia ini. Dia bukan orang yang dapat merebut rasa hormat atau dukungan daimyo bagi kuilnya lewat kebesaran jiwa semata-mata. Dia percaya bahwa dia mesti menghidangkan anggur dan makanan agar Kapten senang selalu.” Takuan menepuk punggung Otsu. “Lagi pula, dia sudah menerima dan membesarkanmu, jadi kau berutang budi padanya. Kau tak boleh tinggal terlalu lama di sini.”
Dengan enggan Otsu pun menurut. Ketika Takuan membantunya berdiri, ia menengadahkan wajahnya yang basah oleh air mata kepada Takuan dan berkata, “Saya akan pergi, asal Bapak berjanji menemani saya.”
“Aku tidak keberatan, tapi si Jenggot Jarang tua itu tak suka padaku. Tiap kali aku melihat kumis konyol itu, aku jadi ingin sekali mengatakan bahwa kumis itu lucu sekali. Aku tahu perasaan itu kekanak-kanakan, tapi ada beberapa orang yang memang begitu pengaruhnya terhadapku.”
“Tapi sava tak mau ke sana sendirian!”
“Tapi Pendeta ada di sana, kan?”
“Ya, tapi dia selalu pergi kalau saya datang.”
“Hmmm. Itu kurang baik juga. Baiklah, aku akan mengawanimu. Sekarang jangan pikirkan lagi, dan basuh mukamu.”
Ketika akhirnya Otsu muncul di petak pendeta, kapten yang sudah membongkok mabuk itu jadi gembira. la meluruskan topinya yang dari tadi sudah sangat miring. la jadi sangat riang dan berkali-kali minta dituangkan sake lagi. Segera kemudian mukanya jadi merah padam, dan sudut-sudut matanya yang melotot itu mulai turun.
Sekalipun demikian, tidak sepenuhnya ia merasa senang, dan sebabnya adalah hadirnya satu orang yang tidak dikehendakinya di kamar itu. Di sebelah lampu, Takuan duduk membungkuk seperti pengemis buta, asyik membaca buku yang terbuka di atas lututnya.
Biarawan itu dikira pembantu pendeta, dan si kapten menudingnya sambil berteriak, “Hei, yang di sana itu!”
Takuan terus juga membaca, sampai Otsu menyodoknya. Ia mengangkat matanya yang kosong dan memandang ke sekitar, katanya, “Kapten memanggil saya?”
Kapten menjawab pedas, “Ya, kamu! Aku tak ada urusan denganmu. Pergi dari sini!”
“Oh, tapi saya tidak keberatan di sini,” jawab Takuan polos. “Oh, tidak keberatan, ya?”
“Sama sekali tidak,” kata Takuan dan kembali membaca buku.
“Tapi aku keberatan,” gertak si kapten. “Rasa sake jadi rusak karena ada orang membaca.”
“Oh, maaf,” jawab Takuan bernada ejekan. “Saya ini sungguh tidak sopan. Kalau begitu, akan saya tutup buku saya.”
“Melihat buku itu saja aku sudah jengkel.”
“Baiklah. Akan saya minta Otsu menyingkirkannya.”
“Bukan… bukan itu, tapi kau sendiri, goblok! Kau ini bikin rusak suasana.”
Wajah Takuan menjadi sungguh-sungguh. “Wah, kalau begitu sulit juga, ya. Soalnya karena saya bukan Wuk’ung yang suci dan dapat mengubah diri menjadi kepulan asap, atau menjadi serangga, lalu hinggap di baki Kapten,”
Leher kapten yang merah itu pun menggembung dan matanya melotot. la jadi tampak seperti ikan buntal. “Keluar kamu, bodoh! Enyah dari mukaku!”
“Baik,” kata Takuan tenang sambil membungkuk. Sambil memegang tangan Otsu ia pun berkata pada gadis itu, “Tamu bilang dia lebih suka seorang diri. Cinta kesendirian adalah tanda kebijaksanaan. Kita tak boleh mengganggunya lagi. Ayo.”
“Kenapa… kenapa, kamu… kamu…”
“Ada apa rupanya?”
“Siapa bilang Otsu mesti pergi denganmu, orang pandir jelek?”
Takuan pun melipat kedua tangannya. “Sudah bertahun-tahun saya memperhatikan, tidak banyak pendeta atau biarawan yang tampan. Tapi samurai juga begitu, saya kira. Anda sendiri, umpamanya.”
Mata si kapten hampir saja melompat dari ceruknya, “Apa!”
“Apa Kapten sudah mengamati kumis Kapten? Maksud saya, apa Kapten sungguh-sungguh menyediakan waktu untuk menatapnya dan menilainya secara objektif?”
“Anak haram jadah!” teriak Kapten seraya mengambil pedang yang tersandar di dinding. “Jaga dirimu!” Takuan berdiri, dan sambil memandang Kapten dengan sebelah matanya ia pun bertanya tenang, “Hmm. Bagaimana saya mesti menjaga diri saya sendiri?”
Kapten pun memekik sambil memegang pedangnya yang masih tersarung,
“Sudah cukup aku diejek. Sekarang giliranmu menerima akibatnya!”
Takuan jadi tertawa. “Itu berarti Kapten mau memenggal kepala saya? Kalau begitu, lupakan saja. Membosankan sekali.”
“Ha?”
“Membosankan. Tak bisa saya membayangkan hal yang lebih membosankan daripada memenggal kepala seorang biarawan. Kepala itu akan jatuh begitu saja ke lantai dan menggeletak di situ menertawakan Kapten. Itu bukan prestasi besar. Apa gunanya buat Anda?”
“Hah,” geram Kapten, “kalau begitu aku puas bila bisa membungkam mulutmu. Biar sukar buatmu melanjutkan bualan kurang ajar!” Dengan keberanian yang biasa dimiliki orang hanya karena memegang senjata, ia pun tertawa terbahak-bahak jelek sekali dan maju dengan sikap mengancam.
“Kapten!”
Tingkah laku Takuan yang asal saja itu membuatnya demikian berang, hingga tangannya yang memegang sarung pedang bergetar hebat. Otsu menengahi kedua orang itu, berusaha melindungi Takuan.
“Apa pula bicara Bapak ini?” katanya dengan maksud mengendurkan perasaan dan melambatkan tindakan. “Bukan begitu caranya bicara dengan prajurit. Coba sekarang katakan Bapak menyesal,” mohonnya. “Ayolah, minta maaf pada Kapten.”
Tapi Takuan sama sekali tidak mundur.
“Minggir, Otsu. Aku tak apa-apa. Apa kaupikir akan kubiarkan diriku dipenggal oleh orang tolol macam ini? Memang dia mengepalai berpuluh orang yang terampil bersenjata, tapi dua puluh hari dibuangnya hanya untuk menemukan tempat seorang pelarian yang sudah kecapekan dan setengah kelaparan. Kalau dia tak punya cukup akal buat menemukan Takezo, akan mengherankan sekali kalau dia dapat mengalahkanku!”
“Jangan bergerak!” perintah Kapten. Mukanya membengkak menjadi warna lembayung ketika ia bergerak menarik pedangnya. “Minggir, Otsu! Biar kupotong pembantu pendeta bermulut besar ini menjadi dua!”
Otsu menjatuhkan diri ke kaki Kapten dan memohon, “Kapten cukup punya alasan untuk marah, tapi saya minta Kapten bersabar. Dia orang yang tidak begitu beres. Bicaranya memang begitu dengan semua orang. Dia tidak bermaksud apa-apa, sungguh!” Air mata bercucuran dari matanya.
“Apa katamu, Otsu?” kata Takuan keberatan. “Tak ada yang salah dengan otakku, dan aku bukannya melucu. Aku hanya mengemukakan kebenaran, tapi rupanya orang tak suka mendengarnya. Dia tolol, makanya kusebut dia tolol. Apa maumu aku berdusta?”
“Lebih baik jangan kauulangi,” guntur samurai itu.
“Aku akan bicara sesukaku. Memang rasanya tak ada bedanya buat kalian para serdadu, berapa pun waktu yang kalian hamburkan buat mencari Takezo. Tapi itu beban luar biasa buat petani. Apa kalian menyadari apa yang kalian lakukan terhadap mereka? Mereka tak bisa makan kalau kalian teruskan ini. Barangkali malahan tak terpikir oleh kalian, bagaimana mereka terpaksa menelantarkan sama sekali kerja ladangnya untuk mengikuti perburuan angsa liar kalian yang berantakan itu. Dan tanpa upah pula! Sungguh memalukan!”
“Jangan sembarangan kamu, pengkhianat. Itu fitnah besar terhadap pemerintah Tokugawa!”
“Bukan pemerintah Tokugawa yang kukritik, tapi pejabat-pejabat birokrat seperti kamu yang berdiri antara daimyo dan rakyat jelata ini, yang bisa saja mencuri upah yang mestinya mereka terima. Satu hal lagi, kenapa kau bermalas-malasan di sini malam ini? Siapa yang memberimu hak bersantai pakai kimono yang manis dan enak, nyaman dan hangat, mandi seenaknya dan minum sake sebelum tidur dengan layanan seorang gadis manis? Apa itu yang kausebut mengabdi kepada atasan?”
Kapten itu bungkam.
“Apa bukan tugas samurai untuk mengabdi kepada atasan dengan jujur dan tak kenal lelah? Apa bukan tugas Kapten menunjukkan kebajikan kepada rakyat yang membanting tulang demi daimyo? Coba lihat diri sendiri, Kapten! Kau menutup mata pada kenyataan bahwa kau menarik para petani dari kerja yang menghasilkan makanan mereka sehari-hari. Kau bahkan tidak memikirkan sama sekali anak buahmu. Kau mestinya melakukan misi resmi, tapi apa yang kaulakukan? Setiap ada kesempatan, kaulahap makanan dan minuman orang lain yang diperoleh dengan susah payah, clan kaugunakan kedudukanmu untuk mendapat penginapan yang paling menyenangkan. Aku berani mengatakan, kau adalah contoh korupsi yang klasik. Kauselimuti diri dengan kekuasaan atasanmu untuk menghamburkan tenaga rakyat jelata, untuk tujuan-tujuan pribadimu sendiri.”
Kini Kapten sudah demikian terpesona, hingga tak dapat menutup mulutnya yang menganga. Takuan mendesak terus.
“Sekarang cobalah potong kepalaku dan kirimkan kepada Yang Dipertuan Ikeda Terumasa! Percayalah, dia akan kaget. Barangkali dia akan berkata, ‘Hai, Takuan! Jadi, hanya kepalamu yang datang menghadap hari ini? Di mana bagian badanmu yang lain?’
“Pasti kau berminat mengetahui bahwa Yang Dipertuan Terumasa dan aku biasa bersama-sama ambil bagian dalam upacara minum teh di Myoshinji. Kami berdua pun berkali-kali mengobrol lama dan hangat di Daitokuji, Kyoto.”
Cerita Novel Musashi buku 1, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp//?cat=31
[lihat: Lanjutan cerita]
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar