Cerita Novel Musashi buku 2, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar] [lihat: Cerita Sebelumnya]
Ketika ia menoleh, dilihatnya punggung yang bungkuk itu masih menghadapnya dan cangkul itu masih juga meneruskan iramanya yang tak terputus-putus. “Apa arti semua ini?” demikian ia terheran-heran, kagum oleh kekuatan yang baru saja menyerangnya.
Akhirnya sampailah ia di depan Hozoin, namun rasa ingin tahunya masih belum reda. Sambil menanti munculnya seorang pembantu, ia berpikir, “Inshun mestinya masih muda. Biarawan muda itu tadi mengatakan In’ei sudah pikun dan sudah lupa sama sekali akan tombak, tapi aku ingin tahu…” Kejadian di halaman itu masih terus menghantui pikirannya.
Ia berseru dua kali lagi, tapi jawaban satu-satunya yang diperolehnya adalah gema dari pepohonan di sekitar. Melihat ada sebuah gong besar di samping pintu masuk, ia memukulnya. Hampir seketika itu juga teriakan jawaban terdengar dari dalam kuil.
Seorang pendeta datang ke pintu. Orangnya besar dan berotot. Sekiranya ia salah seorang prajurit pendeta Gunung Hiei, pasti ia komandan batalion. Karena dari hari ke hari terbiasa menerima kunjungan orang-orang seperti Musashi, ia hanya melontarkan pandangan selintas, dan katanya, “Anda shugyosha?”
“Ya.”
“Ada keperluan apa ke sini?”
“Saya ingin bertemu dengan Guru.”
Pendeta itu berkata, “Silakan masuk,” dan memberikan isyarat ke kanan pintu masuk; maksudnya secara tak langsung adalah supaya Musashi membasuh kakinya dulu. Di situ terdapat sebuah tong penuh air yang disalurkan lewat pipa bambu. Di kanan-kirinya terdapat sekitar sepuluh pasang sandal yang usang dan kotor.
Musashi mengikuti pendeta itu menyusuri lorong yang lebar dan gelap, dan dipersilakan masuk ke kamar tunggu. Di situ ia diminta menanti. Bau dupa mengambang di udara. Lewat jendela ia dapat melihat daun-daun lebar pohon pisang. Selain sikap kasar si raksasa yang telah mengantarnya masuk itu, menurut penglihatan Musashi tak ada suatu pun yang menunjukkan bahwa ada yang luar biasa di kuil yang satu ini.
Ketika muncul kembali, pendeta itu menyerahkan daftar tamu dan kotak tinta kepadanya. Katanya, “Silakan tulis nama Anda, di mana Anda pernah belajar, dan gaya apa yang Anda gunakan.” Bicaranya seolah-olah sedang mengajar seorang anak.
Judul buku tamu itu: “Daftar Orang-orang yang Mengunjungi Kuil Ini untuk Belajar Pramugara Hozoin.” Musashi membuka buku itu dan memperhatikan nama-nama di dalamnya. Masing-masing ditulis di bawah tanggal berkunjungnya seorang samurai atau murid. Menuruti gaya masukan yang terakhir, Musashi menuliskan keterangan yang diminta, tanpa menyebutkan nama gurunya.
Pendeta itu tentu saja sangat tertarik pada hal ini.
Jawaban Musashi sama dengan yang pernah diberikannya di Perguruan Yoshioka. la belajar menggunakan pentung dengan pimpinan ayahnya, “tapi tidak terlalu rajin mempelajarinya.” Karena ada maksud belajar dengan sungguh-sungguh, maka ia berguru pada segala yang ada di alam semesta ini, demikian juga contoh-contoh yang diberikan oleh para pendahulu di negeri ini. Ia menutupnya dengan mengatakan, “Saya masih dalam taraf belajar.”
“Mm. Anda barangkali sudah tahu, tapi semenjak zaman guru kami yang pertama, Hozoin terkenal di mana-mana karena permainan tombaknya. Pertarungan di sini berlangsung kasar, dan tidak ada perkecualian. Sebelum Anda melanjutkan, barangkali lebih baik Anda membaca dulu apa yang tertulis di awal buku tamu itu.”
Musashi mengambil buku itu, membukanya, dan membaca persyaratan yang tadi ia lewati. Bunyinya: Karena saya datang kemari dengan tujuan belajar, maka saya membebaskan kuil dari segala tanggung jawab, manakala saya mendapat cedera badaniah ataupun terbunuh.
“Saya setuju,” kata Musashi sambil menyeringai sedikit—memang itu sudah sewajarnya bagi orang yang berniat menjadi prajurit.
“Baiklah. Silakan.”
Dojo itu besar sekali. Para biarawan tentunya telah mengorbankan sebuah ruangan kuliah atau bangunan besar lain untuk membuat dojo itu. Belum pernah Musashi melihat tiang-tiang yang demikian besar kelilingnya, dan ia juga melihat bekas-bekas cat, kertas emas, dan cat dasar Cina putih pada kerangka lubang angin. Semua itu hal-hal yang tidak biasa ditemukan dalam ruang latihan biasa.
Ia bukan tamu satu-satunya di situ. Lebih dari sepuluh calon prajurit duduk di kamar tunggu. Di situ ada juga murid pendeta yang sama jumlahnya. Disamping itu ada beberapa samurai yang hanya menjadi peninjau. Semuanya dengan saksama memperhatikan dua pemain tombak yang sedang melakukan latihan pertandingan. Tak seorang pun melontarkan pandangan kepada Musashi, ketika ia duduk di sebuah sudut.
Menurut papan pemberitahuan di dinding, jika seseorang ingin bertarung dengan tombak bertulang, tantangan akan diterima, tetapi para murid yang kini duduk di lantai itu hanya menggunakan tongkat latihan dari kayu ek panjang. Namun pukulan di sini bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
Salah seorang yang berlatih terlontar ke udara dan berjalan terpincangpincang kembali ke tempat duduk. Kalah. Musashi melihat pahanya membengkak sampai sebesar batang pohon. Orang itu tak dapat lagi duduk, dan menjatuhkan diri dengan susah payah pada sebelah lututnya. Kakinya yang luka dijulurkannya ke depan.
“Berikutnya!” terdengar panggilan orang yang duduk di lantai, seorang pendeta yang sikapnya angkuh luar biasa. Lengan jubahnya diikatkan ke belakang, dan seluruh tubuhnya-kaki, tangan, bahu, dan bahkan dahinya seolah terdiri atas otot-otot menggelembung. Tongkat kayu ek yang dipegangnya tegak lurus itu panjangnya paling tidak sepuluh kaki.
Satu orang yang agaknya salah seorang dari yang datang hari itu menyam-butnya. la mengikat lengan kimononya dengan tali kulit dan berjalan menuju tempat latihan. Pendeta berdiri tak bergerak ketika si penantang pergi ke dinding, memilih tombak-kampak, dan datang menghadapinya. Mereka membungkuk seperti kebiasaan, tapi baru saja mereka selesai menghormat, si pendeta sudah memperdengarkan raungan anjing liar, dan bersamaan dengan itu ia menjatuhkan tongkatnya sekuat-kuatnya ke tengkorak si penantang.
“Berikutnya,” serunya, kembali pada posisi semula.
Selesai sudah. Penantangnya sudah kalah. Ia belum mati, tapi mengangkat kepala dari lantai pun ia sudah tak sanggup. Dua murid si pendeta keluar dan menyeretnya pergi pada lengan dan pinggang kimononya. Di lantai yang ditinggalkannya berceceran ludah bercampur darah.
“Berikutnya!” seru si pendeta lagi, tetap dengan wajah masam.
Semula Musashi mengira orang itu Inshun, guru generasi kedua, tapi orang-orang yang duduk di sekitarnya mengatakan bukan. Orang itu Agon, salah seorang murid senior yang dikenal sebagai “Tujuh Pilar Hozoin”. Mereka bilang Inshun sendiri tidak pernah bertarung, karena para penantang selalu dapat dijatuhkan oleh salah seorang dari mereka ini.
“Tidak ada lagi?” lenguh Agon yang memegang tombak latihannya mendatar.
Pramugara berotot itu pun mencocokkan daftar tamu dengan wajah orang-orang yang sedang menanti. Ia menunjuk seorang di antaranya.
“Tidak, jangan hari ini…. Saya datang lagi nanti.”
“Bagaimana kalau Anda?”
“Kalau Anda tidak keberatan.”
“Apa pula itu artinya?”
“Artinya, saya sedia bertarung.”
Semua mata menatap Musashi ketika ia bangkit. Agon yang congkak itu telah menyingkir dari lantai dan waktu itu sedang bercakap-cakap dan tertawa bersemangat dengan sekelompok pendeta, tapi ketika penantang baru muncul, pandangan bosan tampak kembali pada wajahnya. Katanya malas, “Gantikan saya.”
“Teruskan saja,” desak mereka. “Tinggal seorang lagi.”
Agon mengalah, lalu berjalan acuh tak acuh ke tengah lantai. Ia mencengkeram tongkat kayu hitam mengilat itu, yang agaknya sudah dikenalnya betul. Dengan cepat ia mengambil sikap menyerang, membelakangi Musashi, dan menyerang ke jurusan lain.
“Yah-h-h!” Sambil memekik seperti burung garuda yang sedang berang, ia menderas ke arah dinding belakang dan dengan bengis menghunjamkan tombaknya ke bagian dinding yang dipergunakan untuk berlatih. Papan-papan di situ baru saja diganti, tapi sekalipun kayu baru itu liar, lembing Agon yang tidak bermata logam itu langsung melesak tembus.
“Yow-w-w!” Pekik kemenangannya menggema seram di seluruh ruangan ketika ia mencabut tombaknya dan mulai menari, bukan berjalan, kembali mendekati Musashi. Uap mengepul dari tubuhnya yang terselimut Ia mengambil posisi agak jauh. Ia menatap penantang terakhir itu dengan galak. Musashi maju bersenjatakan pedang kayu. Ia berdiri diam, kelihatan sedikit heran.
“Siap!” teriak Agon.
Terdengar tawa kering di luar jendela. Satu suara mengatakan, “Agon, jangan tolol! Lihat, orang bebal, lihat! Bukan papan yang kamu hadapi.”
Tanpa mengendurkan sikapnya, Agon memandang ke jendela. “Siapa kamu?” lenguhnya.
Tawa itu terdengar terus, kemudian tampak di ambang jendela kepala mengilat dan sepasang alis seputih salju, seakan-akan keduanya itu digantungkan di sana oleh seorang pedagang barang antik.
“Tak baik buatmu, Agon. Kali ini tidak. Biarkan saja orang itu menanti sampai lusa, jika Inshun sudah kembali.”
Musashi yang juga menoleh ke jendela itu, melihat bahwa wajah di jendela itu wajah orang tua yang tadi dilihatnya ketika menuju Hozoin. Tapi baru saja ia sadar, kepala itu sudah lenyap.
Peringatan orang tua itu hanya berpengaruh pada genggaman senjata Agon yang agak mengendur, tapi begitu matanya bertatap pandang dengan mata Musashi, ia menyumpah ke arah jendela yang kini kosong dan melupakan nasihat yang diterimanya.
Sementara Agon mengetatkan genggaman tombaknya, Musashi bertanya untuk basa-basi, “Anda siap?”
Basa-basi ini malah membikin Agon meradang. Otot-ototnya seperti baja, dan bila ia melompat, lompatannya bukan main ringannya. Kelihatan seolah kedua kakinya berada di lantai dan di udara sekaligus, menggeletar seperti cahaya bulan di atas gelombang samudra.
Musashi berdiri diam sepenuhnya, atau begitulah kelihatannya. Tak ada yang aneh pada sikapnya. Ia memegang pedang lurus ke depan dengan kedua belah tangannya, tapi karena hadannya sedikit lebih kecil dari lawannya dan tidak begitu berotot, ia tampak hampir biasa saja. Perbedaan terbesar adalah pada matanya. Mata Musashi setajam mata burung, sedangkan biji matanya seperti batu koral terang bergurat darah.
Agon menggelengkan kepala, barangkali untuk mengibaskan keringat yang mengucur dari dahinya, barangkali untuk mengibaskan kata-kara peringatan orang tua itu. Apakah kata-kata itu masih menempel? Apakah ia mencoba membuangnya ke luar pikirannya? Apa pun alasannya, ia tampak terganggu sekali. Berulang-ulang ia mengganti posisi dalam usaha memancing Musashi, tetapi Musashi tetap tak bergerak.
Sergapan yang dilancarkan Agon diiringi pekik tajam. Dalam sedetik yang menentukan itu Musashi menangkis dan sekaligus melancarkan serangan balasan.
“Apa yang terjadi?”
Para rekan pendeta Agon bergegas maju ke depan dan mengerumuninya dalam bentuk lingkaran hitam. Dalam suasana kacau-balau itu, beberapa orang menginjak tombak latihan dan jatuh tertelungkup.
Seorang pendeta bangkit berdiri, tangan dan dadanya berlumuran darah, dan serunya, “Obat! Ambil obat! Cepat!”
“Kalian tidak membutuhkan obat lagi.” Itu ucapan orang tua yang masuk dari pintu depan dan cepat menilai keadaan. Wajahnya masam. “Kalau obat dapat menyelamatkannya, tidak akan aku mencoba menghentikannya tadi. Goblok!”
Tak seorang pun memperhatikan Musashi. Karena tak ada lagi yang bisa dikerjakannya, Musashi berjalan ke pintu depan dan mengenakan sandalnya. Orang tua itu mengikutinya.
“Hai!” katanya.
Sambil menoleh Musashi menjawab, “Ya?”
“Saya mau bicara sedikit dengan Anda. Masuklah lagi.”
Ia mengantar Musashi ke sebuah kamar di belakang ruangan latihan, sebuah sel sederhana persegi empat. Pintu merupakan satu-satunya jalan ke luar.
Sesudah mereka duduk, orang tua itu berkata, “Sebetulnya lebih layak kalau Kepala Biara datang menyambut Anda, tapi dia sedang dalam perjalanan, dan baru kembali dalam dua atau tiga hari ini. Jadi, saya bertindak atas namanya.”
“Oh, Bapak sungguh baik hati,” kata Musashi membungkukkan kepala. “Saya berterima kasih atas latihan baik yang saya terima hari ini, tapi saya minta maaf atas terjadinya musibah tadi….”
“Kenapa? Hal seperti itu memang kadang-kadang terjadi. Anda harus siap menerimanya sebelum Anda mulai bertarung. Tak usah itu menggelisahkan Anda.”
“Bagaimana luka Agon?”
“Dia terbunuh seketika,” kata orang tua itu. Embusan napasnya terasa seperti angin dingin pada wajah Musashi.
“Dia mati?” Lalu kepada diri sendiri Musashi berkata, “Jadi, terjadi lagi sekarang.” Sekali lagi pedang kayunya membunuh orang. Ia memejamkan mata. Dalam hati ia menyerukan nama Sang Budha, seperti yang biasa dilakukannya dahulu dalam kejadian serupa.
“Anak muda!”
“Ya, Pak.”
“Apa namamu Miyamoto Musashi?”
“Betul.”
“Siapa gurumu belajar seni bela diri?”
“Saya tak pernah punya guru dalam arti biasa. Ayah saya mengajari saya menggunakan pentung ketika saya masih kecil. Sejak itu saya mengambil sejumlah pelajaran dari samurai yang lebih tua di berbagai provinsi. Saya juga menghabiskan sejumlah waktu mengitari pedesaan, belajar di gunung-gunung dan sungai-sungai. Saya menganggap semua itu guru juga.”
“Kamu rupanya memiliki sikap yang tepat. Tapi kamu begitu kuat! Terlalu amat kuat!”
Merasa sedang dipuji, wajah Musashi memerah, dan katanya, “Oh, tidak! Saya masih belum matang. Saya masih selalu berbuat kesalahan.”
“Bukan itu yang kumaksud. Kekuatanmu itulah yang menjadi masalah. Kau mesti mengendalikannya, mesti lebih lemah.”
“Bagaimana?” tanya Musashi bingung.
“Kau ingat, tadi kau lewat kebun sayur tempat aku bekerja?”
“Ya.”
“Ketika melihatku, kau melompat menyingkir, bukan?”
“Ya.”
“Kenapa begitu?”
“Wah, saya bayangkan waktu itu Bapak bisa menggunakan cangkul Bapak sebagai senjata dan menghantam kaki saya. Juga, walaupun perhatian Bapak kelihatannya terpusat ke tanah, seluruh tubuh saya terasa terpaku oleh pandangan Bapak. Saya merasa ada hawa pembunuhan dalam pandangan Bapak, seakan-akan Bapak sedang mencari tempat lemah dalam tubuh saya untuk diserang.”
Orang tua itu tertawa. “Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Kau masih lima puluh kaki jauhnya dariku, tapi sudah kutangkap apa yang dinamakan ‘hawa pembunuh’ itu di udara. Kurasakan itu di ujung cangkulku. Demikian kuat semangat juang dan ambisimu, sehingga muncul dalam setiap langkah yang kau ambil. Waktu itu aku merasa harus siap mempertahankan diri.
“Kalau yang lewat itu cuma salah seorang dari petani desa ini, aku sendiri tak akan lebih dari seorang tua yang sedang mengurus sayur-sayuran. Benar, kau merasakan sikap permusuhanku, tapi itu hanya pantulan sikapmu sendiri. “
Jadi, Musashi benar, ketika ia menduga orang itu bukan orang biasa, sekalipun mereka belum bersapa kata. Sekarang ia merasakan pendeta itu guru, dan ia sendiri murid. Sikapnya kepada orang tua bungkuk itu menjadi hormat.
“Saya mengucapkan terima kasih atas pelajaran yang Bapak berikan. Boleh saya menanyakan nama Bapak dan kedudukan Bapak di kuil ini?”
“Oh, aku bukan dari Kuil Hozoin. Aku Kepala Biara Ozoin. Namaku Nikkan.”
“Oh.”
“Aku teman lama In’ei, dan karena dia mempelajari seni tombak, kuputuskan untuk belajar bersamanya. Tapi belakangan aku punya pikiran lain. Sekarang tidak pernah lagi kusentuh senjata itu.”
“Jadi, Inshun yang jadi kepala biara ini murid Bapak.”
“Ya, dapat dianggap demikian. Tapi kaum pendeta tidak seharusnya menggunakan senjata, dan rasanya sayang bahwa Hozoin jadi terkenal justru karena seni bela dirinya, bukan karena semangat keagamaannya. Namun ada yang merasa sayang sekali kalau Gaya Hozoin itu lenyap. Karena itu aku mengajarkannya kepada Inshun. Tak ada orang lain lagi yang kuajari.”
“Kalau demikian, saya ingin tahu, apakah Bapak mengizinkan saya tinggal di kuil Bapak sampai Inshun kembali?”
“Apa kau berniat menantangnya?”
“Yah, selama saya berada di sini, ingin saya melihat bagaimana guru terkemuka itu memainkan tombak.”
Nikkan menggeleng mencela.
“Itu buang-buang waktu. Tak ada yang bisa dipelajari di sini.”
“Apa betul demikian?”
“Sudah kaulihat seni tombak Hozoin tadi, ketika menghadapi Agon. Apa lagi yang perlu disaksikan? Kalau ingin belajar lebih banyak, perhatikan aku. Pandang mataku.”
Nikkan menaikkan bahunya, memajukan sedikit kepalanya, dan menatap Musashi. Matanya seolah-olah melompat dari ceruknya. Sementara Musashi ganti memandangnya, biji mata Nikkan bersinar, mula-mula dengan nyala warna merah merjan, lalu berangsur-angsur berubah menjadi biru langit yang bening. Cahaya mata itu membakar dan menumpulkan pikiran Musashi. Ia melengos. Tawa Nikkan pun berderai-derai seperti derak papan sekering tulang.
Ia baru mengendurkan pandangannya ketika seorang pendeta muda masuk dan berbisik kepadanya. “Bawa sini,” perintahnya.
Segera pendeta muda itu kembali membawa baki dan wadah nasi dari kayu yang bulat bentuknya. Nikkan menyendok nasi dari wadah itu dan memasukkannya ke dalam mangkuk, lalu memberikannya kepada Musashi.
“Kusuguhkan nasi, teh, dan acar. Sudah biasa bagi Hozoin menyuguhkannya pada semua orang yang datang kemari untuk belajar, karena itu tak usah merasa telah merepotkan. Mereka membuat acarnya sendiri yang disebut acar Hozoin, yaitu mentimun yang diisi kemangi dan cabe merah. Kau akan merasakannya enak juga.”
Sementara Musashi mengambil sumpit, ia merasa mata Nikkan yang tajam itu terarah lagi kepadanya. Tapi kali ini tak dapat ia menyatakan apakah daya tembus mata itu berasal dari dalam diri si pendeta, ataukah jawaban atas sesuatu yang ia keluarkan sendiri. Baru ia menggigit acar itu, ada perasaan mencengkamnya bahwa tinju Takuan hendak menghantamnya lagi, atau barangkali tombak di dekat ambang pintu itu yang hendak melayang ke arahnya.
Ketika ia sudah menghabiskan semangkuk nasi dengan teh dan dua acar, Nikkan bertanya, “Mau lagi?”
“Tidak, terima kasih. Sudah cukup banyak.”
“Bagaimana rasa acarnya?”
“Enak sekali, terima kasih.”
Sesudah pergi pun sengatan cabe merah di lidah itulah yang terutama mengingatkan Musashi kepada rasa acar itu. Dan itu tidak merupakan satusatunya sengatan yang dirasakannya, karena ia meninggalkan tempat itu dengan keyakinan bahwa bagaimanapun ia sudah kalah. “Aku kalah,” demikian gerutunya ketika ia berjalan pelan-pelan melintasi rumpun kriptomeria. “Aku sudah diungguli!” Dalam cahaya remang-remang terlihat olehnya bayang-bayang sekejap melintasi jalannya. Bayang-bayang segerombolan kecil rusa yang ketakutan oleh langkah kakinya.
“Kalau bicara soal kekuatan fisik, aku menang, tapi aku tinggalkan tempat itu dengan perasaan kalah. Kenapa? Apa aku menang secara lahir, hanya untuk kalah secara batin?”
Tiba-tiba, karena ingat Jotaro, ia memutar langkah kembali menuju Hozoin, di mana lampu-lampu masih menyala. Ia menyebutkan namanya dan pendeta yang berjaga di pintu melongokkan kepala, dan katanya sambil lalu, “Ada apa? Ada yang lupa?”
“Ya. Besok atau lusa akan datang satu orang mencari saya kemari. Kalau dia datang, saya mohon disampaikan kepadanya bahwa saya tinggal di daerah Kolam Sarusawa. Dia harus menanyakan saya di rumah-rumah penginapan yang ada di sana.”
“Baik.”
Karena jawaban itu acuh tak acuh, Musashi merasa perlu menambahkan, “Yang datang itu anak lelaki. Namanya Jotaro. Dia masih kecil, karena itu tolong disampaikan pesan ini baik-baik kepadanya.”
Musashi kembali menempuh jalan yang tadi ditempuhnya sambil menggerutu, “Ini bukti aku kalah. Aku bahkan lupa meninggalkan pesan untuk Jotaro. Aku dikalahkan oleh kepala biara tua itu!” Kekesalan Musashi berlanjut terus. Walaupun ia sudah menang melawan Agon, namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya, yaitu kementahan yang dirasakannya di hadapan Nikkan. Bagaimana mungkin ia menjadi pemain pedang besar, yang terbesar dari semuanya? Itulah persoalan yang terus merundungnya siang dan malam. Pertemuan hari ini telah membuatnya betul-betul murung.
Selama sekitar dua puluh tahun terakhir ini, wilayah antara Kolam Sarusawa dan bagian hilir Sungai Sai telah dibangun dengan mantapnya. Di sana sekarang terdapat bangunan campur aduk, rumah-rumah penginapan, dan toko-toko baru. Baru-baru ini Okubo Nagayasu datang memerintah kota itu atas nama Keluarga Tokugawa dan mendirikan kantor-kantor pemerintahan di dekat sana. Di tengah kota berdiri bangunan milik seorang Cina yang kabarnya adalah turunan Lin Ho-ching. Usahanya berjualan bakpau maju pesat, dan waktu itu sedang berlangsung perluasan tokonya ke arah Kolam Sarusawa.
Musashi berhenti di tengah hutan lampu di daerah paling ramai. Ia bingung di mana mesti tinggal. Ada banyak rumah penginapan di sana, tapi ia harus hati-hati mengeluarkan uang. Lagi pula ia ingin memilih tempat yang tidak terlampau jauh dari jalan yang banyak ditempuh orang, agar Jotaro dapat menemukannya dengan mudah.
Ia baru saja makan di kuil, tapi ketika tercium olehnya bau bakpau itu, ia merasa lapar lagi. Ia masuk toko itu, duduk dan memesan satu piring penuh. Ketika pesanan datang, ia melihat bahwa nama Lin dicetakkan di bagian bawah kue. Berlainan dengan acar pedas di Hozoin, rasa kue itu dapat dinikmatinya dengan senang.
Gadis yang menuangkan tehnya bertanya sopan, “Di mana Tuan mau menginap malam ini?”
Karena tidak kenal daerah itu, Musashi segera memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menjelaskan keadaan dirinya dan sekalian minta nasihatnya. Gadis itu mengatakan bahwa salah seorang sanak pemilik toko itu mempunyai rumah pondokan. Di situ Musashi akan diterima dengan senang hati. Tanpa menantikan jawaban Musashi lagi, gadis itu sudah menderap pergi. Ia kembali lagi bersama seorang wanita yang masih agak muda. Alisnya yang dicukur menunjukkan bahwa ia sudah menikah; agaknya ia istri pemilik toko.
Rumah pondokan itu terdapat di lorong yang tenang, tidak jauh dari restoran. Agaknya itu tempat tinggal biasa yang kadang-kadang menerima tamu. Si nyonya tak beralis itu mengantar Musashi, mengetuk pintu pelanpelan, kemudian menoleh kepada Musashi, dan katanya pelan, “Ini rumah kakak perempuan saya, jadi tak usah susah-susah memberi tip atau apa pun.”
Pelayan keluar dari rumah, dan kedua orang itu saling berbisik beberapa waktu lamanya. Pelayan merasa puas dan mengantar Musashi ke lantai kedua.
Kamar dan perlengkapan kamar itu terlalu baik untuk sebuah rumah penginapan biasa, hingga Musashi merasa sedikit kurang enak. Ia heran, kenapa rumah sebaik itu menerima tumpangan. Maka ia bertanya kepada pelayan, tapi yang ditanya hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa. Sesudah makan, Musashi mandi dan pergi tidur, tapi persoalan itu masih terus terpikir olehnya, sampai ketika ia hampir tertidur.
Pagi berikutnya ia mengatakan kepada pelayan itu, “Akan ada orang datang mencari saya. Apa keberatan kalau saya menginap sehari-dua hari sampai dia datang?”
“Tentu saja tidak,” jawab pelayan tanpa bertanya lagi kepada nyonya rumah, yang segera datang sendiri berkunjung.
Nyonya rumah itu wanita berpakaian apik berumur sekitar tiga puluh tahun, berkulit indah, dan lembut. Ketika Musashi mencoba memuaskan rasa ingin tahunya dan bertanya kenapa nyonya itu menerima orang menginap, ia menjawab sambil tertawa, “Kalau mau terus terang, saya janda-suami saya dulu aktor No, namanya Kanze. Saya takut kalau tak ada lelaki di rumah ini. Maklum, banyak ronin yang kurang berpendidikan di sekitar sini.” Ia selanjutnya menjelaskan bahwa jalan-jalan penuh toko minuman dan pelacur. Banyak di antara samurai miskin tidak cukup puas dengan barang-barang hiburan itu. Mereka memeras keterangan dari pemudapemuda setempat dan menyerang rumah-rumah yang tak ada lelakinya. Operasi ini mereka namakan “kunjungan pada para janda.”
“Dengan kata lain,” kata Musashi, “Nyonya menerima orang seperti saya ini supaya saya dapat bertindak selaku pengawal, betul?”
“Yah,” kata nyonya itu tersenyum, “seperti saya katakan tadi, di rumah ini tak ada lelaki. Saya harap Tuan dapat merasa bebas tinggal di sini, selama Tuan suka.”
“Saya mengerti sepenuhnya. Saya harap Nyonya merasa aman, selama saya di sini. Hanya ada satu hal yang saya minta. Saya menantikan seorang tamu, karena itu apakah Nyonya dapat memasang tanda yang memuat nama saya di luar gerbang sana?”
Janda itu sama sekali tidak keberatan mengumumkan kepada orang banyak, bahwa ada lelaki di rumahnya, maka dengan patuhnya ia menuliskan nama “Miyamoto Musashi” pada secarik kertas yang kemudian ditempelkannya di tiang gerbang.
Jotaro tidak muncul hari itu, tapi hari berikutnya Musashi menerima kunjungan rombongan tiga samurai. Ketiganya memaksa masuk, walaupun diprotes oleh pelayan. Mereka langsung naik dan masuk ke kamar Musashi. Musashi segera tahu bahwa mereka sebagian dari orang-orang yang hadir di Hozoin ketika la membunuh Agon. Duduk di lantai mengitarinya, seolah-olah mereka telah mengenalnya sepanjang hidupnya, mereka mencurahkan kata-kata jilatan.
“Tak pernah saya melihat yang seperti itu dalam hidup saya,” kata yang seorang. “Saya yakin belum pernah hal semacam itu terjadi di Hozoin. Bayangkan saja! Seorang tamu tak dikenal datang, dan begitu saja dia langsung melumpuhkan salah satu dari Tujuh Pilar. Dan bukan orang biasa yang dilumpuhkannya, tapi Agon yang mengerikan itu sendiri. Sekali bentak saja dia sudah muntah darah. Jarang ada pemandangan seperti itu!”
Yang lain melanjutkan dengan nada yang sama. “Semua orang yang kami kenal bicara tentang itu. Semua ronin bertanya-tanya, siapa orang yang namanya Miyamoto Musashi ini. Hari itu hari buruk buat nama baik Hozoin.”
“Ya, Anda tentu pemain pedang terbesar di negeri ini!”
“Dan masih begitu muda lagi!”
“Tak sangsi lagi. Dan Anda akan menjadi lebih baik lagi nantinya.”
“Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin bertanya, kenapa dengan kecakapan Anda yang demikian Anda hanya jadi ronin? Suatu pemborosan bakat bahwa Anda tidak mengabdi kepada seorang daimyo!”
Mereka berhenti agak lama hanya waktu menghirup teh dan melahap kue dengan rakusnya, hingga remah-remahnya berceceran ke pangkuan mereka dan ke lantai.
Malu mendapat pujian demikian melimpah, Musashi mengalihkan pandangan dari kanan ke kiri, dan sebaliknya. Untuk sementara ia mendengarkan saja dengan muka tenang, karena menurut pikirnya lambat atau cepat semangat mereka itu akan menurun. Tapi ketika mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda akan mengubah pokok pembicaraan, ia mengambil prakarsa dengan menanyakan nama mereka.
“O, maaf, nama saya Yamazoe Dampachi. Saya mengabdi kepada Yang Dipertuan Gamo,” kata yang pertama.
Orang yang di sebelahnya berkata, “Saya Otomo Banryu. Saya menguasai Gaya Bokuden, dan saya banyak punya rencana untuk masa depan.”
“Saya Yasukawa Yasubei,” kata orang ketiga sambil tertawa kecil. “Saya belum pernah jadi apa-apa kecuali ronin, seperti ayah saya.”
Musashi heran, kenapa mereka membuang waktu untuk omongan yang tak ada artinya itu. Jelaslah ia tidak akan mengetahui sesuatu kalau ia tidak bertanya, karena itu ketika pembicaraan berhenti lagi, ia berkata, “Saya kira Anda sekalian datang kemari karena ada urusan dengan saya.”
Mereka pura-pura terkejut mendengar apa yang dikemukakan Musashi, tapi segera mereka membenarkan bahwa mereka memang datang untuk apa yang mereka anggap sebagai misi yang sangat penting. Sambil maju cepat ke depan, Yasubei berkata, “Memang kami ada urusan dengan Anda. Begini, kami punya rencana mengadakan ‘hiburan’ umum di kaki Gunung Kasuga, dan kami ingin bicara dengan Anda soal itu. Ini bukan permainan atau hal lain serupa itu. Kami ingin mengadakan serangkaian pertandingan yang akan memberikan pelajaran pada rakyat tentang seni bela diri, dan sekaligus memberikan kesempatan pada mereka untuk bertaruh.”
Ia melanjutkan bahwa arena sudah didirikan, dan prospeknya kelihatannya baik sekali. Namun mereka merasa butuh orang lain, karena kalau hanya mereka bertiga, samurai yang betul-betul kuat kemungkinan akan datang dan mengalahkan mereka semua. Itu berarti uang yang mereka peroleh dengan susah payah akan hilang percuma. Mereka menyimpulkan, Musashi yang paling tepat bagi mereka. Kalau ia mau menggabungkan diri dengan mereka, mereka tidak hanya akan membagi dengannya keuntungan mereka, melainkan juga membayar makanan dan penginapan Musashi selama pertandingan berlangsung. Dengan cara itu, ia dapat dengan mudah memperoleh uang cepat, untuk perjalanannya yang akan datang.
Musashi senang juga mendengar bujukan mereka itu, tapi segera kemudian ia lelah, dan tukasnya, “Kalau itu yang Anda sekalian inginkan, tak ada yang mesti dibicarakan. Saya tidak tertarik.”
“Kenapa tidak?” tanya Dampachi. “Kenapa tidak tertarik?”
Watak muda Musashi meletus. “Saya bukan penjudi!” katanya berang. “Dan saya makan dengan sumpit, bukan dengan pedang saya!”
“Apa itu?” mereka bertiga memprotes, karena terhina oleh sindiran Musashi. “Apa maksud Anda dengan itu?”
“Jadi, kalian tak mengerti, orang-orang sinting? Saya ini samurai, dan saya bermaksud tetap menjadi samurai, biarpun saya akan kelaparan karena itu. Sekarang enyah dari sini!”
Mulut salah seorang dari orang-orang itu memerot menjadi mata kayu yang keji, sedangkan seorang lagi menjadi merah karena marah, dan serunya, “Kamu pasti akan menyesal!”
Mereka tahu benar bahwa mereka bertiga jadi satu pun bukan tandingan Musashi. Tapi untuk menyelamatkan muka, mereka tinggalkan tempat itu dengan ribut, memberengut, dan berusaha keras menimbulkan kesan bahwa urusan dengan Musashi belum selesai.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, bulan tampak putih dan sedikit berawan. Nyonya rumah yang masih muda berusaha menyuguhkan makanan yang enak dan sake yang baik mutunya kepada Musashi, karena ia merasa bebas dari kekuatiran selama Musashi diam di sana. Musashi makan di bawah bersama keluarga, dan dalam acara makan itu ia minum sampai setengah mabuk.
Kembali ke kamarnya, ia menggeletakkan diri di lantai. Segera kemudian pikirannya pun terhenti pada Nikkan.
“Sungguh memalukan,” katanya pada diri sendiri.
Musuh-musuh yang telah dikalahkannya, bahkan juga yang sampai terbunuh atau setengah terbunuh, selalu menghilang dari pikirannya seperti buih. Tapi ia tidak dapat melupakan siapa pun yang berhasil lebih baik daripada dirinya, atau dalam hal ini siapa pun yang rasanya mengunggulinya. Orang-orang seperti itu terus menetap dalam pikirannya seperti roh yang hidup, dan ia selalu berpikir kapan dapat mengalahkan mereka.
“Memalukan!” ulangnya.
Ia mencengkeram rambutnya dan memeras otak bagaimana caranya mengungguli Nikkan, bagaimana caranya menghadapi pandangan yang menakutkan itu tanpa mengelak. Dua hari lamanya persoalan itu menggerogotinya. Bukan ia ingin mencelakakan Nikkan, tapi ia sangat kecewa terhadap dirinya sendiri.
“Apa betul diriku kurang baik?” tanyanya sedih kepada diri sendiri. Karena selama ini belajar ilmu pedang tanpa guru, ia kurang bisa menilai kekuatannya sendiri secara objektif. Tak bisa tidak, ia ragu, seperti yang dipancarkan pendeta tua itu.
Nikkan mengatakan ia terlampau kuat, sehingga harus belajar menjadi lebih lemah. Inilah yang membuat pikirannya terus bekerja keras, karena ia tidak dapat menduga maknanya. Apakah kekuatan itu bukan dasar terpenting seorang prajurit? Apakah bukan itu yang membuat seorang prajurit unggul atas prajurit lain? Bagaimana bisa Nikkan menyebutnya sebagai suatu kekurangan?
“Barangkali,” pikir Musashi, “bangsat tua itu mempermainkan diriku. Barangkali dia memandang mudanya umurku, dan memilih bicara berteka-teki untuk membingungkan aku dan menyenangkan hatinya sendiri. Dan sesudah aku pergi, dia tertawa senang. Mungkin saja.”
Pada waktu-waktu seperti ini, Musashi bertanya-tanya apakah bijaksana membaca segala macam buku di Puri Himeji itu. Sebelum itu tak pernah ia susah-susah memikirkan persoalan, tapi sekarang, apabila sesuatu terjadi, tidak dapat ia beristirahat sebelum ditemukannya penjelasan yang memuaskan kecerdasannya. Dahulu ia hanya bertindak atas dasar naluri, sekarang ia harus memahami setiap hal-hal kecil, sebelum dapat menerimanya. Dan ini tidak hanya mengenai seni pedang, tapi juga mengenai cara memandang manusia dan masyarakat.
Benar, kenekatan di dalam dirinya sudah dijinakkan. Namun Nikkan mengatakan ia “terlalu kuat”. Musashi menyimpulkan bahwa yang dibicarakan Nikkan bukan kekuatan fisik, melainkan semangat juang liar yang menyertai kelahirannya. Apakah pendeta itu benar-benar dapat memahaminya, ataukah hanya menduga-duga?
“Pengetahuan yang berasal dari buku itu tidak ada gunanya buat prajurit,” demikian ia meyakinkan dirinya kembali. “Kalau orang terlalu menggubris apa yang dipikirkan atau dilakukan orang lain, bisa lambat tindakannya. Sekiranya Nikkan sejenak saja menutup mata dan salah langkah, dia pasti ambruk dan jatuh berantakan!”
Bunyi langkah kaki di tangga mengganggu renungannya. Pembantu muncul diiringi Jotaro yang kulitnya jadi lebih hitam lagi oleh debu yang menempel pada badannya selama perjalanan, tapi rambutnya yang seperti rambut peri itu putih oleh debu. Musashi benar-benar senang mendapat hiburan dengan datangnya teman kecilnya itu. Ia menyambut si anak dengan tangan terbuka.
Anak itu menjatuhkan diri ke lantai dan langsung meluruskan kedua kakinya yang kotor. “Oh, capeknya!” keluhnya.
“Apa sulit menemukan aku?”
“Sulit! Hampir saya putus asa. Sudah di seluruh tempat saya mencari!”
“Apa kamu tidak bertanya di Hozoin?”
“Ya, tapi mereka bilang tidak kenal Kakak sama sekali.”
“Oh, mereka kenal betul!” Mata Musashi menyipit. “Bahkan khusus kukatakan pada mereka, kamu bisa menemukan aku dekat Kolam Sarusawa. Tapi baiklah, aku senang kamu sudah melakukan semua itu.”
“Ini jawaban dari Perguruan Yoshioka itu.” Jotaro menyerahkan tabung bambu itu kepada Musashi. “Saya tak dapat menemukan Hon’iden Matahachi, jadi saya minta orang di rumahnya menyampaikan pesan kepadanya.”
“Bagus. Sekarang pergi mandi sana. Nanti mereka kasih kamu makan di bawah.”
Musashi mengeluarkan surat itu dari tabungnya dan membacanya. Isinya menyatakan bahwa Seijuro mengharapkan berlangsungnya “pertandingan kedua”. Jika Musashi tidak muncul seperti dijanjikan tahun berikutnya, dapat disimpulkan bahwa ia sudah kehilangan nyali. Kalau itu terjadi, Seijuro pasti akan menjadikan Musashi bahan tertawaan di Kyoto. Omongan besar ini disampaikan dengan tulisan tangan kaku yang agaknya dibuat orang lain, bukan Seijuro.
Musashi merobek-robek surat itu menjadi sobekan-sobekan kecil dan membakarnya, maka remah-remah hangus itu pun berterbangan ke udara, seperti kupu-kupu hitam.
Seijuro bicara tentang “pertandingan”, padahal jelas yang terjadi akan lebih lagi. Yang akan terjadi adalah pertarungan sampai mati. Tahun depan, akibat surat yang menghina ini, siapakah di antara kedua jago itu yang akan menjadi abu?
Musashi menganggap sudah sewajarnya seorang prajurit harus puas dengan hidup dari hari ke hari, dan tak pernah tahu di waktu pagi apakah ia akan terus hidup menyaksikan jatuhnya malam. Namun demikian, agak resah juga ia memikirkan bahwa tahun yang akan datang kemungkinan ia akan benar-benar mati. Begitu banyak hal yang masih ingin ia lakukan. Pertama-tama ia menyimpan keinginan menyala-nyala untuk menjadi pemain pedang besar. Dan bukan itu saja. Sebegitu jauh, demikian pikirnya, ia belum melakukan satu pun dari hal-hal yang biasa dilakukan orang dalam perjalanan hidupnya.
Pada umurnya sekarang, sebetulnya terlalu pagi ia punya pikiran ingin memiliki pegawai sendiri dalam jumlah besar, yang akan menuntun kudakudanya atau membawa burung elangnya, seperti Bokuden dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise. Ia ingin juga memiliki rumah yang pantas, dengan istri yang baik dan pelayan-pelayan setia. Ia ingin menjadi tuan yang baik dan menikmati kehangatan dan kesenangan hidup keluarga. Dan tentu saja, sebelum hidup menetap, diam-diam ingin juga ia mengalami percintaan menyala-nyala. Selama beberapa tahun berpikir semata-mata tentang Jalan Samurai, ia tetap perjaka, dan itu bukan tidak wajar. Namun terpesona juga ia melihat sebagian wanita di jalan-jalan Kyoto dan Nara. Dan yang menyenangkannya itu bukan hanya nilai-nilai keindahan mereka; mereka juga menggetarkannya secara fisik.
Pikirannya pun melayang kepada Otsu. Sekalipun gadis itu sekarang merupakan makhluk masa lalu yang jauh, ia merasa sangat terikat kepadanya. Beberapa kali sudah, ketika ia kesepian atau sedang gundah, kenangan samar-samar saja tentang gadis itu sudah dapat menyegarkannya kembali.
Tak lama kemudian angan-angan itu buyar. Jotaro datang kembali, sudah mandi, kenyang, dan bangga karena sudah melaksanakan kewajiban dengan berhasil. Tak lama sesudah bersila dan mengatur tangan di pangkuan, ia pun menyerah kepada lelah. Segera saja ia tertidur dengan nyenyaknya, mulutnya ternganga. Musashi menidurkannya ke tempat tidur.
Pagi tiba. Anak itu bangun bersama burung layang-layang. Musashi pun bangun pagi, karena ia bermaksud meneruskan perjalanan.
Ketika ia sedang berpakaian, janda itu muncul, dan katanya dengan nada menyesali, “Anda rupanya buru-buru akan pergi.” la membawa pakaian, yang kemudian diberikannya kepada Musashi. “Saya jahit pakaian ini untuk Anda sebagai hadiah perpisahan-sebuah kimono dengan jubah pendek. Tak tahulah saya, apa Anda menyukainya, tapi saya harap Anda memakainya.”
Musashi memandang heran. Pakaian itu terlalu mahal baginya, padahal ia tinggal di situ hanya selama dua hari. Ia mencoba menolaknya, tetapi janda itu berkeras. “Tidak, Anda mesti menerimanya. Dan lagi pakaian ini tidak begitu luar biasa. Saya banyak punya kimono lama dan pakaian No peninggalan suami saya. Barang-barang itu tak ada gunanya buat saya. Lebih baik kalau Anda memilikinya. Saya harap betul, Anda tidak menolak. Saya sudah mengubahnya, supaya cocok untuk Anda, jadi kalau Anda tidak menerimanya, akan sia-sia saja kerja saya.”
Ia pergi ke belakang Musashi dan mengangkat kimono itu supaya Musashi dapat memasukkan tangannya. Selagi mengenakan kimono itu, tahulah Musashi bahwa bahan sutranya dari mutu yang baik sekali, dan ia merasa lebih malu lagi dari sebelumnya. Jubah tak berlengan itu bagus sekali. Tentunya diimpor dari Cina. Kelimannya dari kain brokat emas, lapisannya dari kain krep sutra, dan tali pengikatnya terbuat dari kulit dicelup warna ungu.
“Kelihatan cocok sekali untuk Anda!” ucap janda itu.
Jotaro tampak iri, dan tiba-tiba katanya kepada janda itu, “Saya sendiri mau Ibu kasih apa?”
Janda itu tertawa. “Seharusnya kamu sudah senang mendapat kesempatan mengikuti tuanmu yang gagah.”
“Ah,” gerutu Jotaro, “siapa yang mau kimono lama?”
“Apa ada yang sungguh kamu inginkan?”
Anak itu lari ke dinding kamar tunggu dan mencopot topeng No dari sangkutannya, katanya, “Ya, ini!” Ia mendambakan barang itu sejak pertama kali mengamatinya malam sebelumnya, dan kini ia membelaikan topeng itu dengan mesranya ke pipi.
Musashi kagum akan selera bagus anak itu. Ia sendiri merasa topeng itu mengagumkan buatannya. Sukar diketahui siapa pembuatnya, tapi umurnya tentulah sudah dua atau tiga abad, dan jelas pernah dipakai dalam pertunjukan-pertunjukan No. Wajah yang diukir sangat halus itu wajah jin perempuan. Tetapi kalau biasanya topeng jenis ini dicat titik-titik warna biru mengerikan, maka topeng ini adalah wajah gadis cantik dan anggun.
Yang ganjil padanya hanyalah karena salah satu ujung mulutnya melengkung tajam ke atas, mengerikan sekali. Jelaslah bukan wajah khayalan yang diciptakan sang seniman, melainkan potret perempuan gila yang nyata dan hidup, yang cantik namun penuh pesona.
“Oh, itu tak boleh kamu miliki,” kata janda itu tegas, berusaha merebut topeng tersebut.
Jotaro menghindari jangkauan janda itu dan mengenakan topeng itu pada kepalanya dan menari sekeliling kamar sambil berseru-seru melawan, “Apa guna topeng ini buat Ibu? Sudah jadi milik saya sekarang. Akan saya ambil!”
Musashi berusaha juga menangkapnya, karena ia merasa kaget dan malu oleh kelakuan muridnya, tetapi Jotaro memasukkan topeng itu ke dalam kimononya, lalu turun tangga, dikejar janda itu. Janda itu memang tertawa, sama sekali tidak marah, tapi jelas kelihatan ia tidak ingin berpisah dengan topeng itu.
Sebentar kemudian Jotaro kembali naik tangga pelan-pelan. Musashi duduk menghadap pintu, siap mencacinya sehebat-hebatnya. Tapi ketika masuk, anak itu berteriak, “Booo!” dan menyorongkan topeng itu ke hadapannya. Musashi sangat terkejut; otot-ototnya menjadi tegang dan lututnya beralih-alih letak tanpa disadarinya.
Ia tidak tahu kenapa kelakar Jotaro menimbulkan akibat sedemikian padanya. Tapi ketika mengawasi topeng itu dalam cahaya remang-remang, mulailah ia memahaminya. Si pengukir telah memasukkan sesuatu yang sifatnya setani dalam ciptaannya. Senyuman bulan sabit yang disertai lengkungan ke atas pada bagian kiri wajah putih itu sungguh angker, mengandung setan.
“Kalau mau berangkat, mari kita berangkat,” kata Jotaro.
Tetap duduk, Musashi berkaca, “Kenapa belum kamu kembalikan topeng itu? Buat apa kamu barang macam itu?”
“Tapi dia bilang, boleh saya ambil! Dia berikan pada saya.”
“Bohong! Turun sana, dan kembalikan padanya.”
“Tapi dia sudah memberikannya pada saya! Waktu mau saya kembalikan, dia bilang, kalau saya memang ingin sekali, boleh saya memilikinya. Cuma dia pesan supaya saya merawatnya baik-baik. Tadi saya janji akan merawatnya.”
“Mau kuapakan kamu!” Musashi merasa malu, karena pertama ia menerima kimono itu, dan kemudian topeng yang agaknya sangat dihargai janda itu. Ingin ia berbuat sesuatu untuk membalasnya, tetapi janda itu rupaya tidak butuh uang-apalagi uang dalam jumlah kecil yang dapat disisihkan Musashi-sedangkan di antara miliknya yang tak seberapa itu tak ada yang sesuai untuk hadiah. Ia turun tangga untuk meminta maaf atas kekurangajaran Jotaro dan mencoba mengembalikan topeng itu.
Namun janda itu mengatakan, “Tidak. Makin saya timbang, makin terpikir oleh saya bahwa saya lebih bahagia tanpa topeng itu. Lagi pula dia ingin sekali memilikinya…. Tak usahlah begitu keras terhadap dia.”
Musashi menduga topeng itu memiliki makna tertentu bagi si janda, maka ia sekali lagi berusaha mengembalikannya, tetapi kali itu Jotaro sudah mengenakan sandal jeraminya dan sudah berada di luar, menanti dekat gerbang dengan pandangan puas. Karena sudah ingin pergi, Musashi mengalah pada kebaikan janda itu dan menerima hadiahnya. Kata janda muda itu, ia lebih berat melihat Musashi pergi daripada kehilangan topeng itu, dan beberapa kali ia minta kepada Musashi untuk datang kembali dan tinggal di sana, kapan saja ia berada di Nara.
Musashi sedang mengikatkan tali sandalnya ketika istri pembuat kue bakpau itu datang berlari-lari. “Oh,” kata nyonya itu kehabisan napas, “saya senang sekali Anda belum berangkat. Anda tak bisa pergi sekarang. Saya minta Anda balik ke atas. Mengerikan!” Suara perempuan itu gemetar, seakan-akan ada setan yang menakutkan hendak menyerangnya.
Musashi selesai mengikatkan sandalnya, dan tenang-tenang mengangkat kepala, “Ada apa? Apa yang mengerikan?”
“Pendeta-pendeta Hozoin mendengar bahwa Anda akan berangkat hari mi. Lebih dari sepuluh orang membawa tombak dan mengendap menanti Anda di Dataran Hannya.”
“Oh?”
“Ya, dan Kepala Biara, Inshun, ikut juga dengan mereka. Suami saya kenal salah seorang pendeta itu dan sudah bertanya kepadanya apa yang sedang terjadi. Pendeta mengatakan orang yang tinggal di sini beberapa hari terakhir ini, yaitu orang yang namanya Miyamoto, akan meninggalkan Nara hari ini, dan para pendeta akan mencegatnya di jalan.”
Wajah perempuan itu mengerinyut takut. Ia berusaha meyakinkan Musashi bahwa meninggalkan Nara pagi itu sama saja dengan bunuh diri. Dengan sangat ia minta Musashi untuk menanti sampai malam berikutnya. Menurut pendapatnya, akan lebih aman kalau Musashi mencoba pergi diam-diam hari berikutnya.
“Ya,” kata Musashi datar. “Jadi, menurut Ibu, mereka bermaksud menemui saya di Dataran Hannya?”
“Saya tidak tahu pasti di mana, tapi mereka pergi ke jurusan itu. Beberapa penduduk mengatakan yang ikut tidak hanya pendeta. Mereka bilang banyak ronin ikut juga berkumpul. Katanya mereka akan menangkap Anda dan mengembalikan Anda ke Hozoin. Apa Anda bicara jelek tentang kuil itu, atau menghina mereka, entah bagaimana caranya?”
“Tidak.”
“Nah, mereka bilang, pendeta-pendeta itu naik darah karena Anda sudah menyewa orang untuk memasang banyak poster dengan sajak-sajak yang isinva menertawakan Hozoin. Menurut mereka, itu berarti Anda bergendang paha, karena sudah membunuh seorang dari mereka.”
“Saya tidak melakukan hal-hal seperti itu. Semua itu kekeliruan.”
“Nah, kalau itu kekeliruan, tak perlu Anda pergi ke sana dan terbunuh karenanya.”
Dengan dahi bercucuran keringat Musashi memandang ke langit, merenung, dan teringatlah ia betapa marah ketiga ronin itu ketika ia menolak tawaran bisnis mereka. Barangkali merekalah sumber segalanya ini. Rasanya tidak mengherankan jika orang seperti mereka lalu memasang poster-poster yang sifatnya menghina dan kemudian menyebarkan kepada orang banyak bahwa dialah yang melakukan itu.
Mendadak sontak la berdiri. “Saya pergi sekarang,” katanya.
Ia menyandangkan tas perjalanannya ke punggung, mengambil topi anyaman, dan sambil menghadap kedua perempuan itu ia mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati mereka. Ketika ia berjalan menuju gerbang, janda itu mengikutinya sambil menangis dan memohon kepadanya agar tidak pergi.
“Kalau saya menginap semalam lagi,” jelasnya, “pasti akan timbul kesulitan di rumah Ibu. Saya tak ingin hal itu terjadi. Ibu sudah begitu baik pada saya.”
“Saya tak peduli,” desak janda itu. “Anda lebih aman di sini.”
“Tidak, saya pergi sekarang. Jo! Ucapkan terima kasih pada Ibu.”
Dengan patuhnya anak itu membungkuk dan melakukan hal yang disuruhkan kepadanya. Ia kelihatannya patah semangat, tapi bukan karena menyesal akan berangkat. Memang Jotaro belum betul-betul kenal Musashi. Di Kyoto ia mendengar bahwa tuannya itu lemah dan pengecut. Pikiran bahwa jago-jago tombak jahat Hozoin akan menyerang Musashi itulah yang sangat mematahkan semangatnya. Hatinya yang masih muda itu penuh kemurungan dan firasat.
Dataran Hannya
JOTARO berjalan sedih pelan-pelan di belakang gurunya, karena takut setiap langkah yang diambilnya akan semakin mendekatkan mereka kepada maut. Sebelum itu, di jalan yang lembap dan teduh di dekat Todaiji, sebutir embun yang menjatuhi kerahnya hampir saja membuatnya berteriak. Burung-burung gagak hitam yang dilihatnya sepanjang jalan ikut menimbulkan rasa ngeri padanya.
Nara sudah jauh mereka tinggalkan. Lewat baris-baris pohon kriptomeria di sepanjang jalan, mereka dapat melihat dataran yang melandai berombak-ombak menuju Bukit Hannya. Di sebelah kanan, mereka melihat puncak-puncak Gunung Mikasa. Di atasnya langit yang damai.
Bahwa ia dan Musashi sedang berjalan langsung menuju tempat pencegatan para jago tombak Hozoin baginya betul-betul tak masuk akal. Banyak tempat untuk bersembunyi kalau bermaksud demikian. Dapat saja mereka masuk salah satu kuil yang banyak jumlahnya di sepanjang jalan itu dan menanti kesempatan yang baik. Itu sudah tentu lebih masuk akal.
Ingin ia mengetahui, apakah Musashi bermaksud meminta maaf kepada para pendeta itu, sekalipun tak pernah ia berbuat salah kepada mereka. Jotaro sudah memutuskan, kalau Musashi minta maaf pada mereka, ia juga akan berbuat demikian. Sekarang bukan waktunya berdebat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.
“Jotaro!”
Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Alisnya naik ke atas dan tubuhnya jadi tegang. Karena merasa barangkali mukanya pucat akibat takut, dan karena tak ingin kelihatan kekanak-kanakan, ia menatapkan matanya dengan berani ke langit. Musashi memandang ke langit juga, dan anak itu merasa lebih kecil hati lagi.
Ketika Musashi melanjutkan bicaranya, kata-kata yang diucapkannya bernada gembira seperti biasanya. “Nyaman, bukan, Jo? Sepertinya kita sedang berjalan diiringi lagu burung bulbul.”
“Apa?” tanya anak itu kaget.
“Burung bulbul, kataku.”
“Oh, ya, burung bulbul. Ada beberapa ekor di sekitar tempat ini, kan?” Musashi dapat melihat dari pucatnya bibir anak itu bahwa ia sedih sekali. Ia merasa kasihan. Betapapun, bisa saja dalam beberapa menit lagi tiba-tiba anak itu menjadi sebatang kara di tempat yang asing. “Kita sudah dekat Bukit Hannya, ya?” kata Musashi.
“Betul.”
“Nah, lalu apa sekarang?”
Jataro tidak menjawab. Hanya nyanyian burung bulbul dingin saja yang terdengar oleh telinganya. Tak dapat ia mengusir firasat yang dirasakannya bahwa mereka berdua segera akan berpisah untuk selamanya. Mata yang pernah nyalang gembira ketika mengejuti Musashi dengan topeng itu kini tampak gelisah dan sedih.
“Lebih baik kau tinggal di sini,” kata Musashi. “Kalau kau jalan terus, kau bisa terluka. Tak ada alasan buatmu untuk membahayakan diri sendiri.”
Jotaro pun pecahlah tangisnya. Air mata meleleh di pipinya, seperti bendungan jebol. Punggung tangannya diusapkannya ke mata, dan bahunya menggeletar. Tangisnya ditambah pula dengan sentakan-sentakan kecil, seakan-akan ia sedang tersedak.
“Apa pula ini? Kaubilang mau belajar Jalan Samurai? Kalau nanti aku menerobos dan lari, kau mesti ikut lari ke jurusan yang sama. Kalau aku terbunuh, kau kembali ke toko sake di Kyoto. Tapi sekarang kau pergi ke bukit kecil di sana itu, dan perhatikan dari sana. Dari sana akan tampak segala yang terjadi.”
Sesudah mengusap air mata, Jotaro mencengkeram lengan kimono Musashi, dan ucapnya, “Ayo kita lari!”
“Bukan begitu cara samurai bicara! Kau mau jadi yang begitu, ya?”
“Saya takut! Saya tak mau mati!” Dengan tangan gemetar ia menariki lengan kimono Musashi agar kembali. “Pikirkan saya,” demikian ia memohon. “Ayolah pergi dari sini, mumpung masih bisa!”
“Kalau kamu bicara seperti itu, aku jadi ingin lari juga. Kamu tak punya orangtua yang akan mengurusmu, seperti aku ketika seumur kamu. Tapi…”
“Kalau begitu, ayolah. Apa yang kita tunggu?”
“Tidak!” Musashi membalikkan badan, dan sambil mengangkangkan kakinya ia menghadapi anak itu. “Aku samurai. Kamu anak samurai. Kita tak akan lari.”
Mendengar kepastian dalam nada Musashi itu, Jotaro menyerah dan duduk. Air mata kotor meleleh di pipinya ketika ia menghapus matanya yang merah bengkak dengan kedua tangannya.
“Jangan kuatir!” kata Musashi. “Aku tak mau kalah, aku harus menang! Segalanya akan beres nanti.”
Jotaro tidak sedikit pun senang mendengar kata-kata itu. Ia tak dapat percaya sepatah kata pun. Karena tahu bahwa para jago tombak Hozoin itu lebih dari sepuluh orang jumlahnya, ia sangsi apakah Musashi akan dapat mengalahkan mereka satu-satu, apalagi semuanya sekaligus. Apalagi Musashi terkenal sebagai orang lemah.
Musashi sendiri sudah mulai kehilangan kesabaran. Ia suka pada Jotaro dan kasihan kepadanya, tetapi sekarang ini bukan waktunya memikirkan anak-anak. Para jago tombak sudah menanti dengan satu tujuan: membunuhnya. Ia harus siap menghadapi mereka. Jotaro merupakan gangguan baginya sekarang.
Suaranya pun jadi tajam. “Jangan nangis lagi! Kalau begitu kelakuanmu, tak bakal kamu jadi samurai. Kenapa kamu tidak kembali saja ke toko sake itu?” Dengan tegas dan agak keras ditolaknya anak itu.
Jotaro terkena batunya dan tiba-tiba berhenti menangis dan berdiri regak, mukanya kelihatan kaget. Dilihatnya gurunya berjalan terus menuju Bukit Hannya. Ia ingin memanggil, tapi dilawannya dorongan keinginan itu. Sebaliknya ia paksa dirinya tinggal diam beberapa menit lamanya. Kemudian ia berjongkok di bawah sebuah pohon tak jauh dari situ, menutup muka dengan tangan, dan menggeretakkan giginya.
Musashi tidak menoleh, walaupun sedu-sedan Jotaro menggema di telinganya. Ia merasa dapat melihat anak kecil yang malang dan ketakutan itu melalui tengkuknya, dan ia menyesali telah membawanya serta. Melindungi diri sendiri saja sudah lebih dari cukup beratnya; dalam keadaan belum matang seperti sekarang, ia hanya bisa mengandalkan diri kepada pedang dan tak tahu ia apa yang bakal terjadi esok-jadi, apa perlunya teman baginya?
Pohon-pohon mulai menjarang. Ia mendapati dirinya sudah berada di tengah dataran terbuka. Sebuah datarannya agak tinggi dan pegunungan di kejauhan sana. Di jalan yang memecah menuju Gunung Mikasa, seorang lelaki mengangkat tangan menyapanya.
“Hei, Musashi! Mau ke mana?”
Musashi dapat mengenali orang yang datang ke arahnya itu. Dia Yamazoe Dampachi. Walaupun Musashi segera merasa bahwa tujuan Dampachi adalah menjebaknya, namun ia menyambut juga dengan sungguh-sungguh.
Dampachi berkata, “Aku senang bertemu denganmu. Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyesali urusan kemarin itu.” Nada bicaranya wrlalu sopan, dan selagi bicara jelas ia memperhatikan wajah Musashi sebaik-baiknya. “Kuharap engkau bisa melupakannya. Semua itu kekeliruan.”
Dampachi sendiri belum begitu tahu bagaimana harus bersikap terhadap Musashi. Ia memang sangat terkesan oleh apa yang disaksikannya di Hazoin. Ya, mengingat hal itu saja sudah membuat tulang punggungnya dingin. Tapi biar bagaimana, Musashi hanyalah seorang ronin provinsi yang tidak akan lebih dari dua puluh satu atau dua puluh dua tahun umurnya. Dan Dampachi masih jauh dari siap untuk mengakui bahwa orang seumur dan dengan status seperti Musashi itu dapat lebih baik dari dirinya.
“Mau ke mana?” tanyanya lagi.
“Rencananya lewat Iga ke jalan raya Ise. Dan kau?”
“Oh, ada pekerjaan di Tsukigase.”
“Kalau tak salah, itu tidak jauh dari Lembah Yagyu?”
“Tidak, tidak jauh.”
“Di situlah kuil Yang Dipertuan Yagyu, kan?”
“Ya, dekat Kuil Kasagidera. Engkau mesti pergi ke sana nanti. Yang Dipertuan Muneyoshi sekarang hidup pensiun sebagai ahli upacara minum teh, dan anaknya Munenori ada di Edo, tapi kau mesti singgah di sana dan melihat keadaannya.”
“Tak yakin aku bahwa Yang Dipertuan Yagyu mau memberikan pelajaran kepada musafir seperti diriku.”
“Ada kemungkinan. Tentu saja lebih baik kalau kau punya pengantar. Kebetulan aku kenal seorang tukang senjata di Tsukigase yang bekerja pada Keluarga Yagyu. Kalau kau suka, aku bisa tanya, apa dia mau memperkenalkanmu.”
Dataran itu menghampar luas beberapa mil jauhnya. Garis langit di sana-sini diselingi pohon kriptomeria tunggal atau pinus hitam Cina Namun di sana-sini dataran itu menaik lembut, dan jalan pun ikut naik dan turun. Di dekat kaki Bukit Hannya, Musashi melihat asap api berwarna cokelat mengepul di belakang sebuah bukit rendah.
“Apa itu?” tanyanya.
“Apa yang apa?”
“Asap di sana itu.”
Selama itu Dampachi terus menempel di sisi kiri Musashi, dan ketika ia memandang wajah Musashi, wajahnya sendiri mengeras.
Musashi menuding, “Asap di sana itu mencurigakan,” katanya. “Apa menurutmu tidak begitu?”
“Mencurigakan? Mencurigakan bagaimana?”
“Yah, mencurigakan, seperti pandangan matamu sekarang ini,” kata Musashi tajam. Sekonyong-konyong ia menyapukan jarinya ke tubuh Dampachi.
Bunyi orang bersuit melengking memecahkan kesunyian dataran itu. Dampachi tersengal-sengal terkena hantaman Musashi. Karena perhatiannya tertuju pada jari Musashi, ia tak sadar bahwa Musashi sudah menarik pedangnya. Tubuhnya melambung, melayang ke depan, dan mendarat dengan wajah ke bawah. Dampachi tak akan bangkit lagi.
Dari kejauhan terdengar teriakan tanda bahaya. Dua orang muncul di puncak bukit. Seorang memekik, lalu keduanya memutar badan dan angkat kaki, tangan diacung-acungkan di udara.
Pedang yang ditudingkan Musashi ke tanah berkilauan oleh sinar matahari. Darah segar menetes dari ujungnya. Ia berjalan langsung ke arah bukit itu. Sekalipun angin musim semi bertiup lembut ke kulitnya, Musashi merasa otot-ototnya menegang selagi mendaki. Dari puncak bukit ia melihat ke bawah, ke arah api yang menyala.
“Dia datang!” seru seorang dari kedua orang yang tadi lari menggabungkan diri dengan yang lain-lain. Semuanya ada sekitar tiga puluh orang. Musashi dapat mengenali pengikut Dampachi, yaitu Yasukawa Yasubei dan Otomo Banryu.
“Dia datang!” kata yang lain membeo.
Mereka tadi sedang bermalas-malasan di bawah sinar matahari. Sekarang semua bangkit berdiri. Setengahnya pendeta, dan setengahnya lagi ronin yang sukar dilukiskan. Ketika Musashi tampak, terdengar hiruk-pikuk hebat tanpa kata di tengah gerombolan itu. Mereka melihat pedang yang bernoda darah, dan tiba-tiba sadarlah mereka bahwa pertempuran sudah dimulai. Bukannya menantang Musashi, mereka malah cuma duduk-duduk mengitari api dan membiarkan Musashi yang menantang.
Yasukawa dan Otomo bicara cepat, menjelaskan dengan gerak-gerik cepat, bagaimana Yamazoe sudah terbantai. Ronin itu melolong berang, sementara para pendeta Hozoin menatap Musashi dengan pandangan mengancam. Mereka menyusun diri menghadapi pertempuran.
Semua pendeta itu membawa tombak. Dengan lengan baju hitam tersingsing mereka siap beraksi dengan tekad membalas kematian Agon dan memulihkan kehormatan kuil. Mereka tampak aneh, seperti setan-setan neraka.
Para ronin membentuk setengah lingkaran, hingga mereka dapat menyaksikan pertunjukan itu dan sekaligus mencegah Musashi melarikan diri.
Namun tindakan jaga-jaga itu ternyata tidak perlu, karena Musashi tidak memperlihatkan tanda-tanda akan lari atau mengundurkan diri. Sebaliknya, ia berjalan mantap dan langsung ke arah mereka. Pelan-pelan, langkah demi langkah, ia maju, seakan-akan siap menerkam setiap saat.
Untuk sesaat berkecamuk kesunyian yang menyesakkan. Kedua belah pihak menyadari semakin mendekatnya maut. Wajah Musashi menjadi pucat pasi. Lewat matanya menyorot mata dewa pembalasan dendam, berkilat-kilat penuh kesengitan. Ia sedang memilih korbannya.
Baik kaum ronin maupun kaum pendeta tidak setegang Musashi. Jumlah mereka yang besar memberikan keyakinan, dan optimisme mereka tak tergoyahkan. Namun tak seorang pun ingin menjadi orang pertama yang diserang.
Seorang pendeta di ujung barisan memberikan isyarat, dan tanpa merusak formasi mereka menderas mengepung Musashi dari kanan.
“Musashi! Aku Inshun,” seru pendeta itu. “Aku diberitahu bahwa kau datang ketika aku sedang pergi, dan kau membunuh Agon. Lalu kau secara terbuka menghina kehormatan Hozoin. Kau mengejek kami dengan memasang poster-poster di seluruh kota. Benar?”
“Tidak!” seru Musashi. “Kalau kau memang pendeta, kau tidak boleh hanya percaya pada yang kau lihat dan kau dengar. Kau mesti menimbang segala sesuatu dengan pikiran dan jiwamu.”
Kata-kata itu seperti menuangkan minyak ke dalam nyala api. Tanpa menghiraukan pemimpinnya, para pendeta mulai berteriak-teriak, menyatakan tak ada gunanya berbicara, dan sudah saatnya kini bertempur.
Mereka didukung penuh semangat oleh kaum ronin yang telah menyusun diri dalam formasi rapat di sebelah kiri Musashi. Sambil memekik-mekik, memaki-maki, dan mengayun-ayunkan pedang ke udara, mereka mendesak para pendeta untuk bertindak.
Karena yakin para ronin cuma bermulut besar dan tak berani berkelahi, Musashi tiba-tiba menghadap mereka dan berseru, “Baik! Siapa di antara kalian akan maju dahulu?”
Kecuali dua-tiga orang, mereka semua mundur selangkah, karena masingmasing yakin bahwa mata setan Musashi mengarah kepadanya. Dua-tiga orang yang berani itu bersiap dengan pedang diacungkan, seraya mengumandangkan tantangan.
Dalam sekejap mata Musashi sudah menerpa seorang di antaranya, seperti jago aduan. Terdengar bunyi seperti letupan sumbat botol, dan tanah pun merah oleh darah. Kemudian terdengar suara mengerikanbukan teriakan perang, bukan kutukan, tetapi lolongan yang benar-benar membekukan darah.
Pedang Musashi mendesing ke sana kemari di udara, sedangkan gaung di dalam tubuhnya sendiri menjadi petunjuk bahwa ia sedang bertumbukan dengan tulang manusia. Darah dan otak berpercikan dari pedangnya. Jari dan tangan berterbangan di udara.
Kaum ronin itu rupanya datang untuk menyaksikan penyembelihan besar-besaran, bukan untuk ambil bagian di dalamnya. Kelemahan mereka telah menyebabkan Musashi menyerang mereka lebih dahulu. Mula-mula sekali mereka merapatkan diri dengan cukup baik, karena menurut pikiran mereka para pendeta akan segera datang menyelamatkan. Tapi ternyata para pendeta itu hanya berdiri diam tak bergerak, sementara Musashi dengan cepat membantai lima atau enam ronin serta membikin kacau yang lain-lain. Tak lama kemudian mereka saling menyerang ke segala jurusan dan saling melukai.
Hampir sepanjang waktu itu Musashi tidak sadar benar, apa yang sedang diperbuatnya. Ia seperti kesurupan, dalam mimpi penuh pembunuhan, di mana tubuh dan jiwanya terpusat hanya pada pedangnya yang semeter panjangnya. Tak disadarinya bahwa seluruh pengalaman hidupnya-mulai dari pengetahuan yang ditempatkan kepadanya oleh ayahnya, sampai pada apa yang dipelajarinya di Sekigahara, teori-teori yang pernah didengarnya di berbagai perguruan seni pedang, serta pelajaran-pelajaran yang diberikan kepadanya oleh pegunungan dan pepohonan-semuanya itu serentak bermain dalam gerak cepat tubuhnya. Ia menjadi tiupan angin pusaran yang menerjang kawanan ronin, yang karena kebingungan menjadi sasaran empuk serangan pedangnya.
Singkatnya pertarungan dihitung salah seorang pendeta dengan tankan dan embusan napasnya. Pertarungan sudah selesai sebelum ia sempat mengambil napas kedua puluh.
Musashi basah kuyup oleh darah korbannya. Beberapa ronin yang masih tinggal pun bermandikan darah kental. Tanah, dan bahkan udara, penuh dengan darah. Seorang di antara mereka menjerit, dan ronin yang masih hidup bertebaran di mana-mana.
Sementara pertarungan berlangsung, Jotaro tenggelam dalam doa. Kedua tangannya terlipat di dada dan matanya tertengadah ke langit. Ia memohon, “Ya, Tuhan yang di surga, bantulah dia! Guruku di dataran sana tak berdaya, karena kalah jumlah. Dia lemah, tapi dia bukan orang jahat. Tolonglah dia!”
Walaupun Musashi memerintahkannya pergi, tak dapat ia pergi. Tempat yang akhirnya dipilihnya untuk duduk, dengan topinya dan topeng di sampingnya, adalah sebuah bukit kecil. Dari situ ia memperhatikan pemandangan di sekitar api di kejauhan itu.
“Hachiman! Kompira! Dewa Kuil Kasuga! Lihat! Guruku langsung menyongsong musuh. Oh, dewa-dewa langit, lindungilah dia. Saat ini dia bukan dirinya. Biasanya dia lunak dan lembut, tapi dia sedikit aneh sejak tadi pagi. Dia tentunya gila. Kalau tidak, tak akan dilayaninya orang sebanyak itu sekaligus! Oh, aku mohon, aku mohon, tolonglah dia!”
Sesudah berseru-seru kepada para dewa seratus kali atau lebih, ia lihat usahanya itu tak ada hasil, dan mulailah ia marah. Akhirnya ia berseru, “Apa sudah tak ada dewa di negeri ini? Apa akan kalian biarkan orangorang jahat menang, dan membiarkan orang baik terbunuh? Kalau memang begitu, semua yang selalu dikatakan orang padaku tentang benar dan salah itu bohong! Kalian tak bisa membiarkan dia terbunuh! Kalau kalian biarkan, akan kuludahi kalian!”
Ketika dilihatnya Musashi terkepung, doa-doanya pun berubah menjadi kutukan yang diarahkannya tidak hanya kepada musuh, tapi juga kepada dewa-dewa sendiri. Kemudian, ketika disadarinya bahwa darah yang tertumpah di dataran itu bukan darah gurunya, mendadak ia mengubah lagu. “Lihat! Guruku ternyata bukan orang lemah! Dia menghajar mereka!”
Itulah pertama kali Jotaro menyaksikan orang bertempur seperti binatang, sampai mati, dan itulah pertama kali ia melihat darah sebanyak itu. la merasa seolah berada di sana, di tengah kancah, dan dirinya cemar juga oleh darah mengental. Hatinya berubah jungkir balik, ia merasa ringan dan pening.
“Lihat dia! Dia bisa melawan! Bukan main serangan itu! Dan lihat pendeta-pendeta tolol itu, yang cuma berbaris seperti gerombolan gagak berkaok-kaok, tetapi takut maju!”
Tapi yang terakhir itu terlalu dini diucapkannya, karena ketika ia mengucapkan itu, para pendeta Hozoin mulai menyerbu Musashi.
“Oh, oh! Gawat kelihatannya. Mereka ramai-ramai menyerang dia. Musashi gawat sekarang!” Lupa akan segalanya, semata-mata karena kecemasannya, Jotaro meluncur seperti bola api ke tengah kancah bencana yang sedang menghampiri itu.
Kepala Biara, Inshun, memberikan perintah menyerang, dan sesaat kemudian para jago tombak itu segera beraksi, diiringi raungan gegap gempita. Senjata mereka yang berkilauan bersuit-suit di udara, sementara para pendeta berpencar seperti tawon yang menghambur dari sarangnya. Kepala mereka yang gundul itu membuat mereka tampak lebih barbar lagi.
Tombak yang mereka bawa berlain-lainan, dan lempeng tombaknya pun sangat berbeda-beda-yang lancip, yang berbentuk kerucut, yang papak, yang berbentuk silang, atau yang bengkok-tiap pendeta menggunakan jenis yang paling disukainya. Hari ini mereka mendapat kesempatan untuk melihat bagaimana teknik-teknik yang mereka asah dalam latihan dapat mereka gunakan dalam perkelahian yang sebenarnya.
Sementara mereka maju menyebar, Musashi melompat mundur dan berdiri siap menantikan serangan muslihat. Letih dan sedikit pusing oleh pertarungan sebelumnya, dicengkeramnya gagang pedangnya erat-erat. Gagang pedang itu lengket oleh darah kental, campuran darah dan keringat mengaburkan pandangannya, tapi ia bertekad untuk mati dengan cemerlang, kalau memang ia harus mati.
Tetapi sungguh ia heran, serangan itu tidak juga datang. Para pendeta bukannya melakukan serangan yang memang dinanti-nantikan itu ke arahnya, melainkan menyerang bekas sekutunya seperti anjing gila. Mereka mengejar para ronin yang telah melarikan diri dan menyerang mereka tanpa kenal ampun, sementara para ronin menjerit-jerit memprotes. Para ronin yang tak menduga itu sia-sia saja mencoba mengerahkan para jago tombak agar melawan Musashi. Mereka diiris, ditusuk, ditikam mulutnya, dibelah dua, atau dibantai, sampai tak seorang pun di antaranya tetap hidup. Pembunuhan besar-besaran itu betulbetul sempurna dan sekaligus menunjukkan sifat haus darah.
Musashi tak percaya akan matanya. Kenapa para pendeta itu menyerang pendukung mereka? Dan kenapa demikian kejam? Baru beberapa saat sebelumnya ia berkelahi seperti binatang liar. Sekarang hampir tak dapat ia menahan diri melihat kebuasan para pendeta itu dalam menyembelih ronin. Setelah sesaat lamanya berubah menjadi seekor binatang yang tak berpikiran, sekarang ia pulih kembali pada keadaannya yang biasa, setelah melihat orangorang lain mengalami perubahan juga. Pengalaman itu membuatnya sadar.
Kemudian sadarlah ia bahwa tangan dan kakinya ditarik-tarik orang. Dan ketika ia melihat ke bawah, tampak olehnya Jotaro sedang mengucurkan air mata puas. Dan untuk pertama kali waktu itu la merasa santai.
Setelah pertempuran berakhir, Kepala Biara mendekatinya, lalu berkata dengan sikap sopan dan mulia, “Tentu Anda Miyamoto. Suatu kehormatan bertemu dengan Anda.” Kepala Biara itu jangkung dan berwajah cerah. Musashi agak terpengaruh oleh kehadirannya, juga oleh sikapnya yang tenang. Dengan sedikit bingung ia hapus pedangnya dan la sarungkan, tapi sesaat lamanya tak dapat ia mengucapkan kata-kata.
“Izinkan saya memperkenalkan diri,” sambung pendeta itu. “Saya Inshun, Kepala Biara Hozoin.”
“Jadi, Andalah ahli tombak itu,” kata Musashi.
“Sayang saya tak ada ketika Anda mengunjungi kami baru-baru ini. Saya juga merasa malu bahwa murid saya, Agon, memperlihatkan perkelahian yang demikian jelek.”
Menyayangkan perbuatan Agon? Musashi merasa barangkali telinganya perlu dibersihkan. Ia tetap diam sesaat lamanya, karena sebelum ia dapat memutuskan cara yang cocok untuk menjawab nada sopan Inshun itu, ia harus menghapuskan dahulu kekacauan dalam pikirannya. Ia masih belum dapat mengerti kenapa para pendeta itu kemudian melawan para ronin tak dapat ia mencari jawaban yang masuk akal. Ia bahkan sedikit heran bahwa dirinya masih hidup.
“Ayolah,” kata kepala biara itu, “bersihkan sebagian darah itu. Anda butuh istirahat.” Inshun mengantarnya ke dekat api, sedangkan Jotaro menguntit di belakang.
Para pendeta menyobek-nyobek secarik kain katun lebar menjadi potongan-potongan kecil dan menghapus lembing mereka. Berangsur-angsur mereka semua berkumpul di sekitar api, duduk bersama Inshun dan Musashi, seolah-olah tak suatu pun yang aneh telah terjadi. Dan mereka mulai mengobrol.
“Lihat ke sana,” kata seseorang, menunjuk ke atas.
“Aaa, gagak-gagak sudah mencium bau darah. Sudah berkaok-kaok mencari mayat mereka.”
“Kenapa burung-burung itu tidak turun?”
“Mereka akan turun nanti, begitu kita pergi. Dan mereka akan berebutan melahap makanan besar itu.”
Olok-olok mengerikan itu berlangsung terus dengan nada santai serupa. Musashi memperoleh kesan bahwa ia tak akan mendapatkan keterangan apa pun, kecuali kalau ia bertanya. Ia memandang Inshun, dan katanya, “Tadi saya pikir Anda dan orang-orang Anda datang kemari untuk menyerang saya, dan saya sudah bertekad mengirim sebanyak-banyaknya dari antara Anda sekalian ke negeri orang mati. Tak mengerti saya, kenapa Anda sekalian memperlakukan saya seperti ini.”
Inshun tertawa. “Nab, kami memang tak perlu menganggap Anda sekutu, tapi tujuan kami yang sebenarnya hari ini adalah sedikit ‘bersih rumah’.”
“Anda namakan semua ini ‘bersih rumah’?”
“Betul,” kata Inshun sambil menuding ke arah kaki langit. “Tapi saya pikir lebih baik kita menanti dan mempersilakan Nikkan menjelaskan pada Anda. Saya yakin titik hitam di tepi dataran itu dia.”
Pada saat itu juga, di sisi lain dataran itu berkatalah seorang penunggang kuda kepada Nikkan, “Anda cepat sekali berjalan kalau melihat umur Anda.”
“Bukan saya yang cepat. Anda yang lambat.”
“Anda lebih gesit daripada kuda.”
“Kenapa tidak? Saya lelaki.”
Pendeta tua yang berjalan kaki sendiri itu melangkah menyamai para penunggang kuda yang sedang maju ke arah asap api. Kelima penunggang kuda itu pejabat.
Ketika rombongan itu mendekat, para pendeta saling berbisik, “Itu Guru Tua.” Mereka membenarkan, mundur mengambil jarak yang sesuai, dan membariskan diri dengan penuh upacara, seakan-akan menghadapi suatu acara suci, untuk menyambut Nikkan dan pengiringnya.
Yang pertama dikatakan Nikkan adalah, “Sudah kalian urus semuanya?”
Inshun membungkuk dan menjawab, “Seperti Bapak perintahkan.” Kemudian ia menoleh kepada para pejabat, “Terima kasih atas kedatangan Tuan-tuan.”
Para samurai melompat turun satu demi satu dari kuda. Pimpinan mereka menjawab, “Tak apa-apa. Terima kasih, Anda sekalian sudah melaksanakan kerja hebat…. Mari kita periksa, kawan-kawan.”
Para pejabat berjalan ke sana kemari memeriksa mayat-mayat dan membuat beberapa catatan. Kemudian pimpinannya kembali ke tempat berdirinya Inshun. “Akan kami kirim kemari orang dari kota untuk membersihkan semua ini. Anda sekalian boleh merasa bebas meninggalkan segalanya ini sebagaimana adanya.” Dengan itu kelima orang tersebut menaiki kembali kuda mereka dan pergi.
Nikkan memberitahu para pendeta bahwa tenaga mereka tidak diperlukan lagi. Mereka membungkuk dan meninggalkan tempat itu diam-diam. Inshun mengucapkan selamat tinggal pada Nikkan dan Musashi, lalu meninggalkan tempat itu.
Begitu orang-orang itu berangkat, terdengarlah hiruk-pikuk besar. Burung-burung gagak turun, mengepak-ngepakkan sayap dengan riangnya.
Sambil menggerutu karena bunyi ribut itu, Nikkan berjalan ke sisi Musashi, dan katanya ringan saja, “Maafkan kalau saya sudah melukai hati Anda beberapa hari lain.”
“Sama sekali tidak. Bapak sudah berbuat baik sekali. Sayalah yang harus berterima kasih.” Musashi berlutut dan membungkuk dalam-dalam di depan pendeta tua itu.
“Bangkitlah,” perintah Nikkan. “Padang ini bukan tempat untuk membungkuk.”
Musashi bangkit berdiri.
“Apakah pengalaman di sini memberikan pelajaran kepadamu?” tanya pendeta itu.
“Saya bahkan tidak begitu mengerti, apa yang sudah terjadi ini. Apa Bapak dapat menceritakannya pada saya?”
“Dengan senang hati,” jawab Nikkan. “Para pejabat yang baru pergi tadi itu bekerja di bawah Okubo Nagayasu yang baru-baru ini dikirim kemari untuk memerintah Nara. Mereka masih asing dengan daerah ini, dan para ronin mengambil keuntungan dari asingnya mereka itu dengan tempat inimencegati musafir yang tak berdosa, memeras, berjudi, melarikan perempuan, memasuki rumah-rumah janda-menimbulkan segala macam kesulitan. Pemerintah tak dapat mengendalikan mereka, tapi mereka sudah tahu bahwa ada sekitar lima belas pentolannya, termasuk Dampachi dan Yasukawa.
“Kau tahu Dampachi dan pengikutnya tak suka padamu. Karena takut menyerangmu sendiri, mereka membuat rencana yang menurut mereka jitu. Para pendeta Hozoin-lah yang berkelahi untuk mereka. Pernyataan-pernyataan fitnah tentang kuil yang dituduhkan padamu itu pekerjaan mereka. Begitulah juga poster-poster itu. Mereka berjanji segalanya akan dilaporkan padaku, agaknya dengan perkiraan aku bodoh.”
Mendengar itu Musashi tertawa.
“Maka kupertimbangkan hal itu sebentar,” kata Kepala Biara, “dan terpikir olehku, ini kesempatan ideal untuk mengadakan ‘bersih rumah’ di Nara. Kubicarakan rencana itu dengan Inshun. Dia setuju menjalankan, dan sekarang semua orang pun senang-para pendeta, para pejabat, juga burung-burung gagak itu. Ha, ha!”
Ada satu orang lagi yang senang bukan buatan. Cerita Nikkan itu telah menghapuskan sama sekali segala kesangsian dan rasa takut Jotaro, dan anak itu gembira luar biasa. Ia menyanyikan lagu populer karangannya sendiri, sambil menari-nari seperti burung yang mengepak-ngepakkan sayapnya:
Bersih rumah, oh, Bersih rumah!
Mendengar suaranya yang tak dibuat-buat ini, Musashi dan Nikkan menoleh memandangnya. Jotaro waktu itu mengenakan topengnya sambil tersenyum ajaib clan menudingkan pedang kayunya ke tubuh-tubuh yang berserakan. Sambil sekali-sekali melayangkan pukulan ke arah burungburung, ia melanjutkan:
Ya, ya, burung gagak, Sekali-sekali
Memang perlu bersih rumah
Tidak hanya di Nara.
Memang kebiasaan alam
Membikin baru semuanya.
Supaya musim semi dapat naik dari bumi.
Kami bakar dedaunan.
Kami bakar ladangan.
Terkadang kami butuhkan salju turun.
Terkadang kami butuhkan bersih rumah.
Wahai, kalian, burung gagak!
Berpestalah! Dan memilihlah!
Sop langsung dari ceruk mata.
Juga sake merah pekat.
Tapi jangan terlalu banyak.
Sebab kalian bisa mabuk.
“Sini, Nak!” seru Nikkan tajam.
“Ya, Pak,” Jotaro berdiri diam memandang wajah Kepala Biara.
“Jangan seperti orang tolol. Ambilkan beberapa batu.”
“Macam ini?” tanya Jotaro, memungut sebuah batu yang terletak dekat kakinya dan mengacungkannya.
“Ya, macam itu. Ambil yang banyak!”
“Baik, Pak!”
Anak itu mengumpulkan batu-batu. Nikkan duduk dan menuliskan kata-kata Namu Myoho Renge-kyo, doa suci sekte Nichiren, pada tiap batu itu. Kemudian ia berikan batu-batu itu kembali pada anak itu dan ia perintahkan anak itu menyebarkannya di antara mayat-mayat. Sementara Jotaro melakukan suruhannya, Nikkan mengatupkan kedua tangannya dan menyanyikan bagian dari Sutra Bunga Teratai.
Selesai melakukan hal itu, ia menyatakan, “Doa itu akan melindungi mereka. Sekarang kalian berdua bisa jalan terus. Aku kembali ke Nara.” Dan sama mendadaknya dengan waktu ia datang, ia pun berangkat dengan kecepatan hebat, seperti kebiasaannya, sebelum Musashi sempat mengucapkan terima kasih atau membuat janji untuk bertemu lagi dengannya.
Sesaat Musashi hanya menatap tubuh yang makin menjauh itu, kemudian tiba-tiba ia melesat mengejarnya, “Bapak Pendeta!” panggilnya. “Apa tak ada yang Bapak lupakan?” Ia menepuk-nepuk pedangnya selagi mengatakan itu.
“Apa?” tanya Nikkan.
“Bapak belum memberikan petunjuk, dan karena tak ada jalan untuk mengetahui kapan kita akan bertemu lagi, saya akan senang jika mendapat sedikit nasihat dari Bapak.”
Mulut Kepala Biara yang tak bergigi itu memperdengarkan tawa terbahakbahak yang terkenal itu. “Jadi, kamu belum mengerti?” tanyanya. “Satu satunya yang harus kuajarkan padamu adalah kamu terlalu kuat. Kalau kamu terus juga membanggakan dirimu dengan kekuatanmu, kamu tak akan hidup sampai umur tiga puluh. Hari-hari ini mudah sekali kamu terbunuh. Pikirkan itu, dan putuskan sendiri bagaimana membawa diri nanti.”
Musashi diam.
“Kamu sudah melaksanakan sesuatu hari ini, tapi belum baik, sama sekali belum. Karena kamu masih muda, tak dapat aku menyatakan kamu benar, tapi suatu kesalahan besar kalau kamu menyangka Jalan Samurai itu hanya terdiri atas pameran kekuatan.
“Tapi aku sendiri cenderung memiliki kesalahan yang sama, karena itu aku tidak berhak bicara padamu tentang soal ini. Kamu mesti mempelajari jalan yang ditempuh oleh Yagyu Sekishusai dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise. Sekishusai dulu guruku, dan Yang Dipertuan Koizumi gurunya. Kalau kamu mencontoh mereka dan mencoba mengikuti jalan yang sudah mereka tempuh, kamu bisa mencapai kebenaran.”
Suara Nikkan tidak kedengaran lagi. Musashi, yang selama itu memandang ke tanah dan tenggelam dalam pemikiran, menengadah. Pendeta tua itu sudah menghilang.
Tanah Perdikan Koyagyu
LEMBAH Yagyu terletak di kaki Gunung Kasagi di sebelah timur Laut Nara. Di awal abad ketujuh belas, tempat itu merupakan wilayah kediaman masyarakat kecil yang sejahtera. Ia terlalu besar untuk dilukiskan sebagai kampung semata-mata, namun tidak cukup berpenduduk atau ramai untuk dapat disebut kota. Tentu saja ia dapat disebut Kampung Kasagi, tetapi penduduk tempat itu sendiri menyebutnya Kambe Demesne, sebuah nama yang diwarisi dari zaman tanah perdikan.
Di tengah masyarakat kecil itu berdiri Wisma Utama, sebuah puri yang menjadi lambang kemantapan pemerintah maupun pusat budaya daerah itu. Kubu-kubu batu, yang mengingatkan orang kepada benteng kuno, mengelilingi Wisma Utama. Rakyat wilayah itu, demikian juga nenek moyang Yang Dipertuan, hidup senang di sana semenjak abad kesepuluh. Penguasa yang sekarang seorang tuan tanah desa yang baik. Ia menyebarkan kebudayaan di antara rakyatnya, dan sepanjang waktu siap melindungi wilayahnya dengan taruhan nyawa. Namun, bersamaan dengan itu, secara hati-hati ia menghindari keterlibatan serius dalam perang dan permusuhan antara tuan-tuan feodal di daerah-daerah lain. Singkatnya tempat itu merupakan tanah perdikan yang damai dan diperintah dengan cara yang bagus.
Di sini orang tidak melihat tanda-tanda kekurangan atau kemerosotan moral yang ada hubungannya dengan samurai bebas. Wilayah ini sama sekali tidak mirip dengan Nara, di mana kuil-kuil kuno yang ternama dalam sejarah dan kesusastraan rakyat dibiarkan telantar. Unsur-unsur yang mengganggu tidak dibiarkan memasuki kehidupan masyarakat.
Lingkungan itu sendiri memang tak kenal keburukan. Gunung-gunung dalam jajaran Kasagi tidak kurang indahnya pada waktu senja dibandingkan pada waktu matahari terbit. Airnya murni dan bersih. Orang bilang air itu air ideal untuk membuat teh. Kembang prem Tsukigase tidak jauh turnbuhnya dari tempat itu, dan burung-burung bulbul menyanyi dari musim melelehnya salju sampai musim datangnya angin ribut berguntur. Suaranya sejernih kristal, seperti jernihnya air sungai gunung.
Seorang penyair pernah menuliskan bahwa di tempat lahirnya seorang pahlawan, pegunungan, dan sungai-sungai biasanya segar dan jernih. Jika tak ada pahlawan dilahirkan di Lembah Yagyu, maka kata-kata penyair itu kosong saja kiranya. Tetapi tempat ini memang tempat kelahiran para pahlawan. Tak ada bukti yang lebih meyakinkan daripada para Yang Dipertuan Yagyu sendiri. Di rumah besar itu, para pegawai pun orang-orang bangsawan. Banyak di antara mereka yang asalnya petani, tapi kemudian jadi menonjol karena pertempuran, kemudian menjadi pembantu yang setia dan cakap.
Yagyu Muneyoshi Sekishusai yang kini mengundurkan diri itu berdiam di sebuah rumah pegunungan kecil, tak berapa jauh di belakang Wisma Utama. Ia tidak lagi memperlihatkan minat kepada pemerintahan setempat, dan tidak memedulikan pula siapa yang waktu itu memegang kekuasaan langsung. Ia punya sejumlah anak dan cucu yang terampil, juga pegawai-pegawai yang dapat dipercaya untuk membantu dan membimbing mereka. Selanjutnya ia dapat dengan bebas menganggap bahwa rakyat diperintah dengan sebaik-baiknya, sama dengan ketika ia yang mengurusnya.
Musashi datang ke daerah itu sekitar sepuluh hari sesudah terjadi pertempuran di Dataran Hannya. Di perjalanan ia telah menyaksikan barang-barang peninggalan zaman Kemmu. Ia menginap di penginapan setempat dengan maksud bersantai sementara, baik fisik maupun mental.
Dengan pakaian tidak resmi, pada suatu hari ia keluar berjalan-jalan dengan Jotaro. “Mengagumkan,” kata Musashi, sementara matanya mengembara memandang panenan di ladang dan para petani yang sedang bekerja. “Mengagumkan,” ulangnya beberapa kali.
Akhirnya Jotaro bertanya, “Apanya yang mengagumkan?” Baginya yang paling mengagumkan adalah kenapa Musashi berbicara sendiri.
“Sejak meninggalkan Mimasaka, aku sudah mengunjungi Provinsi Settsu, Kawachi dan Izumi, Kyoto dan Nara, dan belum pernah aku melihat tempat seperti ini.”
“Lalu kenapa? Apanya yang lain?”
“Pertama, di pegunungan ini banyak terdapat pohon.”
Jotaro tertawa. “Pohon? Di mana-mana ada pohon. Betul, kan?”
“Ya, tapi di sini lain. Semua pohon di Yagyu ini tua. Ini berarti tidak pernah terjadi perang di sini, tidak ada pasukan musuh yang membakar atau menebangi hutan. Itu berarti juga tidak pernah terjadi kelaparan, setidak-tidaknya untuk waktu yang sangat lama.”
“Hanya itu?”
“Tidak. Ladang di sini juga hijau, dan gandum yang baru tumbuh itu diinjak-injak bawahnya baik-baik untuk menguatkan akarnya dan membikin baik tumbuhnya. Dan dengar itu! Apa tidak kau dengar bunyi roda pemintalan? Bunyi itu seperti berasal dari tiap rumah. Dan apa tidak kau lihat bahwa kalau musafir lewat dengan pakaian yang baik, para petani tidak melihatnya dengan perasaan iri?”
“Ada lagi?”
“Seperti kaulihat, banyak gadis muda kerja di ladang. Ini berarti daerah ini makmur, dan hidup di sini normal. Anak-anak tumbuh sehat, orang tua diperlakukan cukup hormat, sedang pemuda dan pemudi tidak pergi ke tempat-tempat lain untuk mencari hidup yang tak menentu. Aku berani bertaruh yang dipertuan daerah ini kaya, sedangkan pedang dan senapan dalam gudang senjata tetap tergosok dan berada dalam keadaan sebaik-baiknya.”
“Rasanya tak ada yang istimewa,” keluh Jotaro.
“Betul, kukira kau tak akan tertarik.”
“Dan lagi, Kakak datang kemari bukan untuk mengagumi pemandangan. Kakak mau melawan samurai dalam Keluarga Yagyu, kan?”
“Berkelahi itu bukan satu-satunya dalam Seni Perang. Orang-orang yang berpikir demikian dan sudah puas hanya karena bisa makan dan punya tempat untuk tidur, sebenarnya cuma gelandangan. Seorang pelajar yang serius jauh lebih berkepentingan melatih pikirannya dan mendisiplinkan semangatnya daripada sekadar mengembangkan keterampilan perang. Ia harus mempelajari segala macam hal—geografi, irigasi, perasaan rakyat, tingkah laku dan adat kebiasaan mereka, hubungan mereka dengan yang dipertuan di wilayah mereka. Dia ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam purl, tidak hanya yang terjadi di luarnya. Pokoknya, dia ingin pergi ke semua tempat yang dapat didatanginya clan mempelajari segala yang dapat dipelajarinya.”
Musashi sadar bahwa kuliah ini barangkali hanya sedikit artinya bagi Jotaro, tapi ia merasa perlu bersikap jujur kepada anak itu, dan tidak hanya memberikan jawaban setengah-setengah. Ia tidak memperlihatkan ketidaksabaran mendengar banyaknya pertanyaan anak itu, maka selagi mereka berjalan itu ia terus memberikan jawaban-jawaban yang mengandung pemikiran dan serius.
Sesudah mereka melihat apa-apa yang bisa dilihat di bagian luar Puri Koyagyu, demikian Wisma Utama itu biasanya disebut orang, dan sesudah melihat dengan saksama segala sesuatu di sekitar lembah itu, mereka pulang ke penginapan.
Di tempat itu hanya terdapat sebuah penginapan, tapi penginapan itu besar. Jalan di situ bagian dari jalan raya Iga, dan banyak di antara orangorang yang berziarah ke Kuil Joruriji atau Kasagidera itu menginap di situ. Pada malam hari, sepuluh atau dua belas kuda beban selalu siap tertambat di pohon dekat pintu masuk atau di bawah tepi atap depan.
Pembantu yang mengikuti mereka ke kamar bertanya, “Sudah jalan-jalan, ya?” Kalau tidak melihat obi merahnya, orang bisa menyangkanya anak lelaki, karena ia mengenakan celana pendaki gunung. Tanpa menantikan jawaban lagi ia mengatakan, “Kalau mau, sekarang bisa terus mandi.”
Musashi berangkat ke kamar mandi, sedangkan Jotaro yang merasa mendapat teman baru yang seumur dengannya lalu bertanya, “Siapa namamu?”
“Tidak tahu aku,” jawab gadis itu. “Gila kamu, tidak tahu nama sendiri.”
“Kocha.”
“Lucu nama itu,” Jotaro tertawa.
“Apanya yang lucu?” tanya Kocha sambil meninju Jotaro.
“Dia pukul aku!” pekik Jotaro.
Dari pakaian yang terlipat di lantai kamar tamu, Musashi mengetahui bahwa di bak mandi ada orang-orang lain. Ia menanggalkan pakaiannya dan membuka pintu masuk kamar mandi yang beruap. Ada tiga orang sedang berbicara dengan riangnya, tapi ketika melihat tubuh Musashi yang berotot, mereka berhenti bicara, seakan-akan ada unsur asing telah menyerobot ke tengah mereka.
Musashi masuk ke dalam bak mandi umum itu sambil melenguh nikmat. Tubuh yang tingginya 180-an sentimeter itu menyebabkan air panas melimpah. Entah karena apa, hal itu mengejutkan ketiga orang lainnya. Seorang di antaranya langsung menatap Musashi, yang waktu itu sudah menyandarkan kepala ke tepi kolam dan menutup mata.
Berangsur-angsur mereka menyambung kembali percakapan yang terputus. Mereka membasuh diri di luar kolam. Kulit punggung mereka putih dan otot-otot mereka lentur. Agaknya mereka orang kota, karena cara bicaranya halus dan berbau kota.
“Siapa namanya-samurai dari Keluarga Yagyu itu?”
“Kalau tak salah, dia menyebut nama Shoda Kizaemon.”
“Kalau Yang Dipertuan Yagyu mengirim pegawai untuk menyampaikan penolakan bertanding, tentunya dia tidak sebaik yang dikatakan orang.”
“Menurut Shoda, Sekishusai sudah mengundurkan diri dan tak pernah lagi bertarung. Bagaimana pendapatmu, betul demikian, atau cuma mengarang-ngarang?”
“Ah, kupikir tidak betul. Yang jauh lebih mungkin adalah ketika dia mendengar anak kedua Keluarga Yoshioka menantangnya, dia memutuskan untuk tidak ambil risiko”.
“Setidak-tidaknya dia cukup bijaksana dengan mengirim buah dan mengatakan dia berharap kita dapat menikmati persinggahan kita di sini.”
Yoshioka? Musashi mengangkat kepala dan membuka mata. Ia sudah mendengar bahwa Denshichiro sedang mengadakan perjalanan ke Ise sewaktu ia singgah di Perguruan Yoshioka. Karenanya Musashi menyimpulkan ketiga orang itu sedang dalam perjalanan pulang ke Kyoto. Salah seorang dari mereka tentunya Denshichiro. Yang manakah?
“Aku kurang beruntung dengan acara mandi rupanya,” pikir Musashi sedih. “Pertama, dulu Osugi menjebakku dengan mandi, dan sekarang, tanpa pakaian sama sekali, aku bertemu dengan salah seorang Yoshioka. Dia tentu sudah mendengar tentang apa yang terjadi di perguruannya. Kalau dia tahu namaku Miyamoto, pasti dia keluar dari pintu itu dan kembali seketika dengan pedang.”
Tapi ketiga orang itu tidak memperhatikannya. Dari percakapan mereka diketahui, begitu tiba, mereka mengirim surat pada Keluarga Yagyu. Agaknya Sekishusai pernah punya hubungan dengan Yoshioka Kempo, dulu, ketika Kempo menjadi guru para shogun. Tak sangsi lagi, justru karena ini Sekishusai tidak membiarkan anak Kempo pergi tanpa menjawab suratnya, dan karena itu pula ia mengirimkan Shoda untuk melakukan kunjungan kehormatan ke penginapan.
Mengomentari sikap Sekishusai itu, pemuda-pemuda kota tersebut mengatakan bahwa Sekishusai “bijaksana”, bahwa ia memutuskan untuk “tidak ambil risiko”, dan bahwa ia tidak mungkin “sebaik yang dikatakan orang”. Mereka rupanya puas sekali dengan diri mereka, tapi menurut Musashi mereka itu lucu. Berlawanan dengan apa yang sudah ia lihat di Puri Koyagyu dan keadaan penduduk daerah yang membikin iri hati itu, mereka bertiga rasanya tidak memiliki apa pun selain kefasihan bicara.
Hal itu mengingatkannya pada pepatah katak di dasar sumur, yang tak dapat melihat apa yang terjadi di dunia luar. Kadang-kadang ia merasa pepatah itu dapat berlaku sebaliknya. Anak-anak muda manja dari Kyoto ini punya kesempatan melihat apa yang terjadi di pusat segala sesuatu dan mengetahui apa yang terjadi di mana-mana. Tetapi yang terjadi pada mereka adalah: selagi mereka mengawasi lautan terbuka luas, di tempat lain, di dasar sumur yang dalam, ada seekor katak yang dengan mantap tumbuh makin lama makin besar clan kuat. Di sini, di Koyagyu, jauh dari pusat politik dan ekonomi negeri, para samurai tegap berpuluh-puluh tahun lamanya menempuh kehidupan pedesaan yang sehat dengan mempertahankan nilai-nilai kuno, memperbaiki segi-segi mereka yang lemah dan semakin kukuh kelebihannya. ‘
Bersama dengan berlalunya waktu, Koyagyu menghasilkan Yagyu Muneyoshi, seorang guru besar dalam seni bela diri, dan anaknya Yang Dipertuan Munenori dari Tajima, yang kegagahannya diakui oleh Ieyasu sendiri. Ada juga anak-anak Muneyoshi yang lebih tua, Gorozaemon dan Toshikatsu, yang terkenal di seluruh negeri karena keberaniannya, dan cucunya Hyogo Toshitoshi yang prestasi-prestasi luar biasanya menyebabkan ia dapat menduduki jabatan yang besar gajinya di bawah Jenderal Kato Kiyomasa dari Higo yang termasyhur. Dalam hal kemasyhuran dan nama baik, Keluarga Yagyu belum setara Keluarga Yoshioka. Tetapi dalam hal kecakapan, perbedaan itu hanyalah masa lalu. Denshichiro dan teman-temannya buta karena keangkuhan sendiri. Namun demikian, Musashi merasa sedikit kasihan pada mereka.
Ia pindah ke sudut tempat disalurkannya air ke dalam kamar itu. Ditanggalkannya ikat kepalanya, kemudian diambilnya segenggam tanah liat, dan mulailah ia menggosok kulit kepalanya. Itulah pertama kali selama berminggu-minggu ia bermewah-mewah dengan pencuci rambut yang baik.
Sementara itu, orang-orang Kyoto itu menyelesaikan mandi.
“Uh, enak.”
“Memang enak. Bagaimana kalau kita panggil gadis-gadis buat menuangkan sake kita?”
“Gagasan bagus! Bagus, bagus!”
Ketiga orang itu selesai mengeringkan dirt dan pergi. Sesudah mandi, membasuh badan sepenuhnya, dan mengguyur badan lagi dengan air panas, Musashi mengeringkan badan, mengikat rambut, dan kembali ke kamarnya. Di sana ia temukan Kocha yang tampak seperti anak lelaki itu sedang menangis.
“Kenapa kamu?”
“Anak lelaki Tuan itu. Coba lihat, dia pukul saya!”
“Ah, bohong!” teriak Jotaro marah, dari sudut yang lain.
Musashi baru akan memakinya, Jotaro sudah memprotes, “Si tolol ini bilang Kakak lemah.”
“Itu tak benar. Saya tidak bilang begitu.”
“Kamu bilang!”
“Tuan, saya tidak bilang Tuan atau yang lain itu lemah. Anak bandel ini tadi membual bahwa Tuan pemain pedang terbesar di negeri ini, karena Tuan sudah membunuh berlusin-lusin ronin di Dataran Hannya, tapi saya katakan, di Jepang tak ada yang lebih baik bermain pedang daripada yang dipertuan daerah ini, lalu dia mulai menampar pipi saya.”
Musashi tertawa. “Oh, begitu. Memang tak boleh dia melakukan itu, dan aku akan memarahinya. Kuharap kamu memaafkan kami. Jo!” katanya keras.
“Ya, Kak,” kata anak itu, yang masih juga mendongkol.
“Pergi mandi sana!”
“Saya tak suka mandi!”
“Aku juga tak suka,” kata Musashi bohong. “Tapi kamu begitu berkeringat, sampai bau.”
“Saya akan mandi di sungai besok pagi.”
Anak itu jadi semakin keras kepala, sesudah makin terbiasa dengan Musashi, tapi Musashi tidak begitu keberatan. Bahkan ia menyukai watak Jotaro itu. Akhirnya anak itu tidak jadi mandi.
Tak lama kemudian Kocha membawakan makan malam dengan baki. Mereka makan tanpa bicara. Jotaro dan pelayan saling pandang, sementara gadis itu menyediakan makanan.
Musashi sibuk memikirkan maksud pribadinya untuk menemui Sekishusai. Melihat kedudukannya yang rendah, barangkali usaha ini terlalu berlebihan, tapi kemungkinan, ya, kemungkinan saja, hal itu bisa.
“Kalau aku beradu senjata dengan seseorang,” pikir Musashi, “haruslah dengan orang yang kuat. Ada manfaatnya membahayakan hidup ini, untuk melihat apakah aku dapat mengalahkan Yagyu yang bernama besar itu. Tak ada gunanya mengikuti Jalan Pedang jika aku tak punya keberanian mencoba.”
Musashi sadar bahwa kebanyakan orang akan langsung menertawakannya, karena ia punya pikiran seperti itu. Walaupun bukan salah seorang daimyo penting, Yagyu pemilik puri. Anaknya dinas di istana shogun, dan seluruh keluarganya mendalami tradisi kelas prajurit. Di zaman baru yang sedang terbit ini, merekalah yang mengendarai puncak waktu.
“Ini merupakan ujian sejati,” pikir Musashi yang sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi pertarungan, sekalipun ia sedang makan nasi.
Bunga Peoni
KEMULIAAN orang tua itu tumbuh bersama berlalunya waktu, hingga sekarang ia tak lain dari menyerupai derek megah. Sementara itu, ia mempertahankan penampilan dan tingkah laku samurai berpendidikan baik. Giginya masih lengkap dan matanya tajam luar biasa. “Aku akan hidup sampai seratus tahun,” demikian sering kali ia meyakinkan semua orang.
Sekishusai sendiri percaya benar akan hal ini. “Keluarga Yagyu selamanya berumur panjang,” demikian ia suka mengatakan. “Yang mati umur dua puluhan dan tiga puluhan biasanya terbunuh dalam pertempuran. Lainnya hidup sampai melebihi enam puluh tahun.” Di antara peperangan yang tak terhitung jumlahnya, ia ambil bagian dalam beberapa perang besar, termasuk pemberontakan Miyoshi dan pertempuran-pertempuran yang menandai bangkit dan jatuhnya Keluarga Matsunaga dan Oda.
Sungguhpun misalnya Sekishusai tidak dilahirkan dalam keluarga seperti itu, jalan hidup dan terutama sikapnya setelah ia mencapai umur tua menyebabkan orang percaya bahwa ia akan dapat hidup sampai seratus tahun. Pada umur empat puluh tujuh, karena alasan-alasan pribadi ia memutuskan untuk meninggalkan peperangan. Semenjak itu belum ada yang dapat mengubah tekadnya. Ia menulikan telinga terhadap desakan shogun Ashikaga Yoshiaki, maupun permohonan yang berulang-ulang dari Nobunaga dan Hideyoshi untuk menggabungkan diri dengan mereka. Sekalipun ia hidup hampir dalam bayangan Kyoto dan Osaka, namun ia menolak untuk terlibat dalam pertempuran yang sering terjadi pada pusat-pusat kekuasaan dan intrik itu. Ia lebih suka tinggal di Yagyu, seperti beruang di dalam gua, dan ia merawat tanahnya yang berpenghasilan lima belas ribu gantang itu demikian rupa hingga nanti ia dapat menyerahkannya pada keturunannya dalam keadaan baik. Sekishusai pernah mengatakan, “Aku sudah berbuat sebaik-baiknya dengan berkukuh pada tanah ini. Pada zaman tidak menentu ini, ketika para pemimpin bangkit dan jatuh begitu cepat, hampir tak dapat dipercaya bahwa puri kecil ini berhasil tetap tegak secara lengkap.”
Ini tidak dibesar-besarkan. Sekiranya ia dulu membantu Yoshiaki, ia mungkin menjadi korban Nobunaga, dan sekiranya ia dulu membantu Nobunaga, kemungkinan ia bertabrakan dengan Hideyoshi. Sekiranya ia menerima perlindungan Hideyoshi, hak miliknya mungkin dicabut oleh Ieyasu sesudah Pertempuran Sekigahara.
Ketajaman pandangannya yang dikagumi orang banyak itu memang merupakan satu faktor kelebihan, tetapi untuk dapat tetap tegak dalam zaman yang demikian bergolak, Sekishusai harus memiliki kekuatan dalam yang tidak dimiliki oleh samurai biasa pada zamannya. Mereka semua cenderung berpihak pada seseorang di suatu hari dan secara tak kenal malu meninggalkannya pada hari berikutnya, demi kepentingannya sendiri tanpa memikirkan kesopanan ataupun ketulusan—atau bahkan membantai sanak saudara sendiri yang mencampuri ambisi pribadi.
“Aku tak dapat berbuat seperti itu,” ujar Sekishusai dengan sederhananya. Dan apa yang dikatakannya itu benar. Namun ia belum meninggalkan Seni Perang itu sendiri. Dalam ceruk kamar duduknya tergantung sajak yang ditulisnya sendiri. Bunyinya:
Tak ada padaku cara cerdik
Buat menempuh hidup.
Aku hanya mengandalkan diri
Pada Seni perang.
Itu perlindungan terakhirku.
Ketika diundang Ieyasu untuk mengunjungi Kyoto, mau tak mau Sekishusai merasa harus menerimanya dan keluar dari keterpencilan tenteram yang berpuluh tahun lamanya itu untuk melakukan kunjungan pertama ke istana shogun. Ia membawa serta anaknya yang kelima, Munenori, yang berumur dua puluh empat tahun, dan cucunya Hyogo yang waktu itu baru berumur enam belas. Ieyasu tidak hanya membenarkan prajurit tua yang patut dimuliakan itu dalam hal pemilikan tanah, tetapi memintanya menjadi guru dalam seni perang bagi Keluarga Tokugawa. Sekishusai menolak kehormatan itu dengan alasan umur, dan minta Munenori ditunjuk menggantikannya. Ieyasu setuju.
Warisan yang dibawa Munenori ke Edo itu lebih dari sekadar kecakapan hebat dalam seni bela diri, karena ayahnya juga menurunkan pengetahuan taraf tinggi dalam Seni Perang, yang memungkinkan seorang pemimpin memerintah dengan bijaksana.
Menurut Sekishusai, Seni Perang memang alat untuk memerintah rakyat, tetapi ia pun alat untuk mengendalikan diri. Ini dipelajarinya dari Yang Dipertuan Koizumi, yang sering dinamakan dewa pelindung rumah tangga Yagyu. Surat keterangan yang diberikan kepadanya oleh Yang Dipertuan Koizumi untuk membuktikan penguasaannya atas ilmu pedang Gaya Shinkage, selalu disimpan di sebuah rak kamar Sekishusai bersama empat jilid buku pegangan teknik militer yang dihadiahkan kepadanya oleh Yang Dipertuan. Pada ulang tahun meninggalnya Yang Dipertuan Koizumi, Sekishusai tak pernah lupa menghaturkan persembahan makanan bagi semua harta milik yang sangat berharga itu.
Di samping gambaran tentang teknik-teknik pedang tersembunyi Gaya Shinkage, buku pegangan itu berisi gambar-gambar ilustrasi, semuanya hasil tangan Yang Dipertuan Koizumi sendiri. Bahkan dalam masa pensiunnya pun, Sekishusai senang membuka-buka gulungan itu dan memeriksa isinya. Tidak henti-hentinya ia merasa kagum dapat menemukan betapa terampil gurunya memainkan kuas. Gambar-gambar itu menunjukkan orang-orang yang sedang bertarung dan bermain pedang dalam segala posisi dan langkah yang mungkin. Apabila Sekishusai memandang gambar-gambar itu, ia merasa para pemain pedang itu turun dari langit dan bergabung dengannya di rumah pegunungan yang kecil itu.
Yang Dipertuan Koizumi pertama kali datang ke Puri Koyagyu ketika Sekishusai berumur tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan tahun dan masih meluap-luap ambisi militernya. Yang Dipertuan bersama dua kemenakannya, Hikida Bungoro dan Suzuki Ihaku waktu itu sedang mengembara mencari ahli seni perang, dan pada suatu hari ia tiba di Hozoin. Itulah zaman ketika In’ei sering kali berkunjung ke Puri Koyagyu, dan In’ei pun menyampaikan pada Sekishusai tentang tamu itu. Itulah permulaan hubungan mereka.
Sekishusai dan Koizumi melakukan pertandingan tiga hari berturut-turut. Dalam pertandingan pertama Koizumi menyebutkan di mana ia akan menyerang, dan mulailah ia bertanding tepat sesuai yang dikatakannya.
Hari kedua terjadi hal yang sama. Karena harga dirinya terluka, pada hari ketiga Sekishusai memusatkan usahanya pada cara baru.
Melihat langkah baru itu, Koizumi hanya mengatakan, “Oh, itu tak bisa. Kalau Anda melakukan itu, saya akan melakukan ini.” Tanpa berpanjang-panjang lagi ia pun menyerang dan mengalahkan Sekishusai untuk ketiga kalinya. Sejak hari itu Sekishusai meninggalkan pendekatan congkak atas ilmu pedang. Kemudian diingatnya bahwa pada kesempatan itulah pertama kali ia melihat Seni Perang sejati.
Atas desakan kuat Sekishusai, Yang Dipertuan Koizumi tinggal di Koyagyu selama enam bulan, dan selama itu Sekishusai belajar sepenuh hati bak seorang yang baru mulai. Ketika akhirnya mereka berpisah, Yang Dipertuan Koizumi mengatakan, “Jalan ilmu pedang saya masih belum sempurna. Anda masih muda, dan Anda mesti mencoba mengusahakannya sampai sempurna.” Kemudian ia memberi Sekishusai sebuah teka-teki Zen: “Apakah artinya main pedang tanpa pedang?”
Bertahun-tahun lamanya Sekishusai merenungkannya, meninjaunya dari segala penjuru, dan akhirnya sampai pada jawaban yang memuaskan dirinya.
Ketika Yang Dipertuan Koizumi datang lagi berkunjung, Sekishusai menyambutnya dengan mata jernih tak terusik, dan menyarankan agar mereka bertanding. Yang Dipertuan memperhatikannya dengan saksama sesaat lamanya, kemudian katanya, “Jangan, akan sia-sia saja. Anda sudah menemukan kebenaran.”
Kemudian ia menghadiahi Sekishusai surat keterangan dan buku pegangan empat jilid itu. Dengan ini lahirlah Gaya Yagyu. Pada gilirannya hal itu melahirkan cara hidup damai Sekishusai di umur tuanya.
Sekishusai tinggal di rumah pegunungan karena ia tidak lagi menyukai puri yang mencolok dengan segala hiasannya yang rumit itu. Sekalipun ia mencintai hidup mengasingkan diri menurut ajaran Tao, namun ia senang mendapat teman gadis yang dibawa Shoda Kizaemon untuk bermain suling baginya, karena gadis itu penuh perhatian, sopan, dan tidak pernah mengganggu. Tidak hanya dalam permainan suling ia amat menyenangkan, gadis itu juga menambahkan sentuhan kemudaan dan kewanitaan yang menyenangkan bagi rumah tangganya. Sekali-sekali gadis itu mengatakan hendak pergi dari situ, tetapi ia selalu memintanya tinggal sedikit lebih lama.
Sambil mengatur letak terakhir bunga peoni tunggal yang dimasukkannya dalam jambangan buatan Iga, Sekishusai bertanya kepada Otsu, “Bagaimana pendapatmu? Apa susunan bungaku cukup hidup?”
Otsu yang berdiri di belakang orang tua itu berkata, “Bapak tentunya pernah belajar keras merangkai bunga.”
“Sama sekali tidak. Aku bukan bangsawan Kyoto, dan tak pernah aku belajar merangkai bunga atau upacara minum teh dengan pimpinan seorang guru.”
“Tapi kelihatannya Bapak pernah belajar.”
“Cara yang kugunakan untuk bunga sama dengan cara untuk pedang.” Otsu tampak terkejut. “Apa betul Bapak menyusun bunga seperti menggunakan pedang?”
“Ya, Mengerti tidak, semua itu cuma soal semangat. Aku tidak menggunakan peraturan-misalnya bagaimana memilih bunga-bunga itu dengan ujung jari atau mencekiknya di leher. Soalnya cuma bagaimana menunjukkan semangat sewajarnya-bagaimana membuatnya tampak hidup, sama seperti waktu dipetik. Lihat itu! Bungaku sama sekali tidak mati.”
Otsu merasa orang tua yang cermat ini telah mengajarkan banyak hal yang perlu ia ketahui, dan karena semua itu hanya diawali oleh pertemuan kebetulan saja di jalan raya, ia merasa sangat beruntung. “Akan kuajarkan padamu upacara minum teh,” demikian katanya. Atau, “Bisa kau membuat sajak Jepang? Kalau bisa, coba ajarkan padaku gaya sajak istana. Man’yoshu memang bagus dan apik, tapi hidup di tempat terpencil ini, aku lebih suka mendengar sajak-sajak sederhana tentang alam.”
Sebagai gantinya, gadis itu melakukan hal-hal kecil baginya, yang tak terpikirkan oleh orang lain. Misalnya ia senang sekali ketika gadis itu membuatkannya topi kain kecil seperti yang biasa dipakai tukang teh. Kini hampir sepanjang waktu ia mengenakan topi itu dan sangat menghargainya, seakan-akan tak ada barang yang lebih dari itu di mana pun. Permainan suling gadis itu pun sangat menyenangkan hatinya. Pada malam-malam terang bulan, bunyi sulingnya yang indah mengalun itu sering kali terdengar sampai ke puri.
Selagi Sekishusai dan Otsu bicara tentang susunan bunga, diam-diam Kizaemon datang di pintu masuk rumah pegunungan itu dan memanggil Otsu. Otsu keluar dan mempersilakan Kizaemon masuk, tapi Kizaemon ragu-ragu.
“Tolong sampaikan kepada Yang Dipertuan, aku baru saja kembali dari menjalankan perintah,” katanya.
Otsu tertawa. “Oh, ini namanya terbalik.”
“Kenapa?”
“Tuan kan abdi utama di sini. Saya cuma orang luar yang diundang bermain suling. Tuan jauh lebih dekat kepada beliau daripada saya. Apa tidak lebih baik Tuan menghadap langsung kepada beliau daripada lewat saya?”
“Kukira pendapatmu itu betul, tapi di rumah kecil ini kamu orang khusus. Sudahlah, sampaikan kepada beliau.” Kizaemon senang dengan perubahan yang terjadi di situ. Ia melihat Otsu sangat disukai tuannya.
Hampir seketika itu juga Otsu kembali untuk mengatakan bahwa Sekishusai minta Kizaemon masuk. Kizaemon mendapati orang tua itu di kamar teh, mengenakan topi kain buatan Otsu.
“Jadi, kamu sudah kembali?” tanya Sekishusai.
“Ya. Saya sudah mendatangi mereka dan menyampaikan surat dan buah itu kepada mereka, seperti Tuan perintahkan.
“Apa mereka sudah pergi?”
“Belum. Begitu saya kembali di sini, seorang utusan datang dari penginapan, membawa surat. Isinya, karena mereka telah datang di Yagyu ini, tak hendak mereka pergi sebelum melihat dojo. Kalau mungkin, mereka akan datang besok. Mereka juga mengatakan ingin bertemu dengan Tuan dan menyatakan hormat mereka.”
“Lancang benar orang tak tahu adat itu! Kenapa pula mereka begitu mengganggu?” Sekishusai tampak jengkel sekali. “Apa sudah kamu jelaskan bahwa Munenori ada di Edo, Hyogo di Kumamoto, dan tidak ada orang sama sekali di sini?”
“Sudah.”
“Aku benci orang seperti itu. Sudah kukirim orang, menyatakan tak bisa menerima mereka, mereka tetap saja memaksa.”
“Saya tak tahu apa…”
“Tampaknya anak-anak Yoshioka itu memang tak becus seperti yang dikatakan orang.”
“Yang ada di Wataya itu Denshichiro. Bagi saya dia memang tidak mengesankan.”
“Oh, aku heran kalau dia mengesankan. Ayahnya memang orang yang punya watak. Ketika aku pergi ke Kyoto bersama Yang Dipertuan Koizumi, kami bertemu dia dua-tiga kali dan minum sake bersama-sama. Kelihatannya keluarga itu merosot terus sejak itu. Orang muda itu rupanya menyangka karena dia anak Kempo, dia punya hak untuk tidak ditolak masuk sini, karena itu dia mendesakkan terus tantangannya. Dari sudut pandang kita, tak ada artinya menerima tantangannya, kemudian membiarkannya pergi membawa kekalahan.”
“Denshichiro ini rupanya terlalu percaya diri. Kalau dia memang ingin sekali datang, barangkali saya sendiri yang akan melayani.”
“Tidak, berpikir seperti itu saja pun jangan. Anak-anak orang terkenal itu biasanya terlalu tinggi menilai dirinya. Lagi pula, mereka itu cenderung mencoba dan memutar balik segala sesuatu untuk keuntungan sendiri. Kalau kamu hendak mengalahkannya, kamu mesti mengerti bahwa dia pasti akan mencoba menghancurkan nama baik kita di Kyoto. Tentang diriku, tak ada persoalan, tapi tak ingin aku membebani Munenori atau Hyogo dengan hal seperti itu.”
“Kalau begitu, apa yang hendak kita lakukan?”
“Yang terbaik adalah kalau kita mencoba meredakan hatinya dan membuatnya merasa bahwa dia diperlakukan sesuai perlakuan terhadap anak satu keluarga besar. Barangkali keliru mengirim orang lelaki untuk bertemu dengannya.” Sambil mengalihkan pandangan kepada Otsu, ia melanjutkan, “Kupikir perempuan lebih baik. Otsu kemungkinan orang yang tepat untuk itu.”
“Baik,” kata Otsu. “Apa saya mesti pergi sekarang?”
“Tidak, tak usah buru-buru. Besok pagi saja.”
Sekishusai cepat menulis sepucuk surat sederhana, seperti surat yang ditulis seorang ahli upacara minum teh, dan menyerahkannya kepada Otsu, disertai sekuntum bunga peoni seperti yang ia susun dalam jambangan. “Berikan ini padanya, dan katakan kamu datang mewakili aku karena aku sedang pilek. Mari kita lihat apa jawabnya.”
Pagi berikutnya Otsu mengenakan kerudung panjang. Walaupun kerudung sudah tidak model lagi di Kyoto, bahkan juga di lapisan masyarakat yang lebih tinggi, namun perempuan-perempuan kelas atas dan menengah di daerah masih menghargainya.
Di kandang kuda yang terletak di pekarangan luar puri itu, Otsu meminjam kuda.
Tukang kuda yang sedang sibuk bersih-bersih bertanya, “Oh, kamu pergi, ya?”
“Ya, saya harus pergi ke Wataya, disuruh Tuan.”
“Saya temani?”
“Tak usah.”
‘Tak apa-apa?”
‘Tentu saja tidak. Saya suka kuda. Kuda-kuda yang dulu biasa saya naiki di Mimasaka masih liar, atau hampir-hampir liar.”
Ketika Otsu berkuda, kerudung cokelatnya yang kemerahan mengapung wrtiup angin di belakangnya. Ia dapat mengendarai kuda dengan baik; dengan sebelah tangan ia memegang surat dan bunga peoni yang sudah sedikit layu, dan dengan tangan lain mengendalikan kuda dengan terampilnya. Para petani dan pekerja di ladang melambaikan tangan kepadanya, karena dalam waktu yang singkat di sana itu Otsu sudah cukup dikenal oleh rakyat setempat. Memang, hubungan mereka dengan Sekishusai jauh lebih bersahabat daripada yang biasa terjadi antara tuan tanah dan para petani. Para petani di situ semuanya tahu bahwa seorang perempuan muda yang cantik datang untuk bermain suling bagi tuannya. Kekaguman serta rasa hormat kepadanya pun menjalar kepada Otsu.
Sesampai di Wataya, Otsu turun dan menambatkan kudanya ke pohon di halaman.
“Selamat datang!” kata Kocha menyambutnya. “Mau menginap?”
“Tidak, saya datang dari Puri Koyagyu membawa surat untuk Yoshioka Denshichiro. Dia masih di sini, bukan?”
“Silakan tunggu sebentar.”
Dalam waktu singkat selama ditinggalkan Kocha itu, Otsu telah membikin suasana jadi sedikit hiruk di antara para musafir, yang waktu itu sibuk mengenakan legging dan sandal serta mengikatkan bawaannya ke punggung.
“Siapa itu?” tanya seorang.
“Menurutmu siapa yang akan dia temui?”
Kecantikan Otsu, dan keelokannya yang anggun dan jarang ditemui orang di pedesaan, membuat para tamu yang hendak pergi berbisik-bisik dan menatapnya dengan penuh perhatian, sampai kemudian ia mengikuti Kocha dan menghilang dari pandangan.
Denshichiro dan teman-temannya baru saja bangun, karena malam harinya mereka minum sampai larut. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa seorang utusan telah datang dari puri, mereka menyangka utusan itu adalah orang yang datang hari sebelumnya. Melihat Otsu membawa bunga peoni putih, mereka pun terkejut.
“Oh, maaf. Kamarnya berantakan.”
Dengan wajah amat menyesal mereka meluruskan kimono dan duduk baik-baik, bersimpuh sedikit kaku.
“Silakan masuk, silakan masuk.”
“Saya datang kemari diutus oleh Yang Dipertuan Puri Koyagyu,” kata Otsu sederhana, sambil meletakkan surat dan bunga peoni itu di hadapan Denshichiro. “Saya persilakan membaca surat ini sekarang juga.”
“Ah, ya.., ini suratnya? Ya, saya baca.”
Ia membaca gulungan yang tidak lebih dari sekaki panjangnya itu. Surat ditulis dengan tinta tipis dan menyebarkan sedikit bau teh. Bunyinya: Maafkan saya, karena telah mengirimkan salam lewat surat dan bukannya menjumpai Anda sendiri, tapi sayang sekali saya sedang sedikit pilek. Saya pikir sekuntum bunga peoni yang putih bersih akan lebih menyenangkan bagi Anda daripada hidung ingusan seorang tua. Saya kirimkan bunga ini lewat tangan sekuntum bunga pula, dengan harapan bahwa Anda akan menerima maaf saya. Tubuh saya yang sudah sangat tua ini kini berada di luar kehidupan sehari-hari. Saya sangsi akan memperlihatkan muka. Mudah-mudahan Anda dapat tersenyum maklum kepada orang tua ini.
Denshichiro mendengus jijik dan menggulung surat itu. “Hanya ini?” tanyanya.
“Tidak, beliau juga mengatakan, meskipun ingin minum teh dengan Anda, beliau ragu-ragu mengundang Anda datang ke rumah, karena tak ada orang lain di sana kecuali prajurit-prajurit yang tak kenal enaknya teh. Karena Munenori berada di Edo, beliau merasa suguhan teh akan terasa kasar, sehingga bisa menimbulkan tawa di bibir orang-orang ibu kota kekaisaran. Beliau minta saya menyampaikan maaf kepada Anda, dan menyampaikan kepada Anda pula bahwa beliau berharap bertemu dengan Anda pada kesempatan lain nanti.”
“Ha, ha!” ucap Denshichiro seraya memperlihatkan wajah curiga. “Kalau benar penangkapan saya, Sekishusai mengira yang kami inginkan adalah menyaksikan indahnya upacara minum teh. Terus terang saja, karena kami berasal dari keluarga samurai, kami tak tahu apa-apa tentang teh. Maksud kami sebenarnya adalah menanyakan secara pribadi kesehatan Sekishusai dan membujuk beliau untuk memberikan pelajaran ilmu pedang pada kami.”
“Beliau mengerti benar soal itu, tentu saja. Tapi beliau sekarang sedang menghabiskan umur tuanya dengan menyendiri, dan kini beliau punya kebiasaan mengungkapkan banyak buah pikirannya dengan istilah-istilah upacara minum teh.”
Dengan sikap muak yang tampak jelas sekali, Denshichiro menjawab, “Yah, beliau tidak memberikan pada kami pilihan lain kecuali menerima. Tolong sampaikan pada beliau, bahwa kalau kami datang lagi nanti, kami ingin bertemu dengan beliau.” Dan dikembalikannya bunga peoni itu kepada Otsu.
“Anda tak suka ini? Beliau merasa bunga ini akan menggembirakan dalam perjalanan. Beliau mengatakan Anda dapat menggantungkannya di sudut joli Anda, atau kalau Anda naik kuda, menggantungkannya di sadel.”
“Beliau maksudkan ini sebagai tanda mata?” Denshichiro menundukkan mata seakan-akan terhina, kemudian dengan wajah masam ia berkata, “Aneh! Sampaikan pada beliau, kami punya peoni sendiri di Kyoto!”
Kalau memang demikian perasaannya, tak ada gunanya mendesaknya menerima hadiah itu, demikian kesimpulan Otsu. Dengan janji akan menyampaikan pesan itu, Otsu meninggalkan tempat itu dengan berat, seberat kalau ia mesti membuka perban dari luka yang terbuka. Karena marah, tuan-tuan rumah itu hampir tidak melihat kepergian Otsu.
Begitu sampai di lorong rumah, Otsu tertawa pelan sendiri. Dipandangnya lantai hitam mengkilat yang menuju kamar tinggal Musashi, lalu ia membelok ke jurusan lain.
Kocha keluar dari kamar Musashi dan berlari mengejarnya.
“Mau pulang?” tanyanya.
“Ya, sudah selesai urusan saya.”
“Oh, cepat sekali, ya?” Melihat tangan Otsu, ia bertanya, “Apa itu bunga peoni? Saya baru tahu ada yang putih warnanya.”
“Ya. Ini dari halaman puri. Boleh ambil kalau kamu suka.”
”Oh, mau,” kata Kocha sambil mengulurkan tangan.
Sesudah berpisah dengan Otsu, Kocha pergi ke petak pembantu dan memperlihatkan bunga itu pada semua orang di sana. Karena tak seorang pun mengaguminya, dengan kecewa ia kembali ke kamar Musashi.
Musashi duduk di jendela sambil bertopang dagu. Ia memandang ke arah puri dan berpikir keras tentang tujuannya: bagaimana caranya agar, pertama, ia dapat bertemu dengan Sekishusai, dan kedua, mengalahkannya dengan pedang.
“Tuan suka bunga?” tanya Kocha ketika masuk.
“Bunga?”
Dan ditunjukkannya bunga peoni itu.
“Hmm, bagus ini.”
“Tuan suka?”
“Ya.”
“Ini namanya peoni, peoni putih.”
“Betul? Kenapa tidak kamu masukkan jambangan di sana itu?”
“Saya tak bisa menyusun bunga. Tuan saja yang menyusun.”
“Tidak, kamu saja. Lebih baik menyusunnya tanpa berpikir bagaimana jadinya.”
“Baik, saya akan ambil air,” kata Kocha sambil membawa jambangan itu keluar.
Secara kebetulan mata Musashi tertuju pada pangkal batang peoni yang terpapas. Kepalanya miring terkejut, walaupun belum dapat ia memastikan apa gerangan yang memikat perhatiannya itu.
Minat yang hanya sambil lalu itu telah berubah menjadi pemikiran asyik ketika Kocha kembali. Kocha meletakkan jambangan dalam ceruk kamar dan mencoba memasukkan bunga itu ke dalamnya, tapi kurang berhasil.
“Batangnya terlalu panjang,” kata Musashi. “Bawa kemari, biar kupotong. Nanti kalau kamu dirikan, akan tampak pantas.
Kocha membawa bunga itu dan menyampaikannya kepada Musashi. Belum lagi sadar akan apa yang terjadi, ia sudah melepaskan bunga itu dan mencucurkan air mata. Sungguh ajaib, karena dalam sekejap mata Musashi sudah menghunus pedang pendeknya, memekik keras, memotong pangkal bunga yang ada di antara kedua tangan Kocha, dan memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. Bagi Kocha, kilas baja dan bunyi pedang yang mendetak masuk kembali ke dalam sarungnya itu seakan-akan terjadi serentak.
Tanpa mencoba menghibur gadis yang ketakutan itu, Musashi memungut potongan batang bunga yang telah diirisnya dan mulai membandingkan ujungnya dengan ujung yang lain. Ia tampak tenggelam sepenuhnya di situ. Akhirnya, ketika melihat gadis yang kebingungan itu, ia minta maaf dan membelai-belai kepalanya.
Selesai membujuk gadis itu agar tidak menangis lagi, ia bertanya, “Kamu tahu, siapa yang memotong bunga ini?”
“Tidak. Bunga ini pemberian orang.”
“Siapa yang memberi?”
“Orang dari puri.”
“Salah seorang samurai itu?”
“Tidak, seorang perempuan muda.”
“Mm. Lalu kamu pikir bunga itu dari puri?”
“Ya, dia yang mengatakan.”
“Maaf aku sudah bikin kamu takut tadi. Kalau kubelikan kamu kue nanti, mau kamu memaafkan aku? Biar bagaimana, bunga sudah bisa disusun sekarang. Coba masukkan dalam jambangan.”
“Begini?”
“Ya, bagus itu.”
Sebenarnya Kocha menyukai Musashi, tapi kilasan pedangnya itu membikin tubuhnya dingin sampai ke tulang sumsum. Ia meninggalkan kamar itu dan tak ingin kembali sampai tugas benar-benar memaksanya.
Musashi jauh lebih terpesona oleh potongan batang bunga yang delapan inci panjangnya itu daripada oleh bunga di ceruk kamar. Ia yakin potongan yang pertama tidak dibuat dengan gunting atau pisau. Batang bunga peoni itu lentur dan luwes, maka potongan itu hanya mungkin dilakukan dengan pedang, dan hanya hantaman yang sangat mantap saja dapat membuat irisan yang demikian bersih. Siapa pun yang telah melakukannya, bukanlah orang biasa. Sekalipun ia sendiri baru saja mencoba meniru potongan itu dengan pedangnya, waktu kedua ujung potongan itu dibandingkan, segera ia sadar bahwa potongan yang dilakukannya masih kalah jauh. Perbedaannya seperti patung Budha hasil ukiran ahli dan patung buatan tukang kebanyakan saja.
Ia bertanya pada diri sendiri, apa gerangan makna yang tersembunyi di situ. “Jika seorang samurai yang bekerja di kebun puri dapat melakukan potongan seperti itu, maka taraf Keluarga Yagyu tentunya lebih tinggi lagi daripada yang kuduga.”
Dan tiba-tiba saja keyakinan dirinya buyar. “Aku sama sekali belum siap.”
Namun selangkah demi selangkah ia pulih kembali dari perasaan itu. “Bagaimanapun, orang-orang Yagyu itu lawan yang layak. Kalaupun aku kalah nanti, aku dapat menjatuhkan diri ke kaki mereka dan menerima kekalahan dengan keanggunan. Aku toh sudah memutuskan bersedia menghadapi apa pun, termasuk mati.” Sementara duduk memanas-manaskan keberaniannya, ia merasa dirinya jadi tambah bersemangat.
Tapi bagaimana ia bisa melakukannya? Biarpun seorang siswa sudah datang di ambang pintunya dan memperkenalkan diri baik-baik, belum tentu Sekishusai setuju bertanding. Pemilik penginapan itu cukup banyak bercerita. Dan karena Munenori maupun Hyogo tak ada di rumah, tak ada lagi yang mesti ditantang kecuali Sekishusai sendiri.
Sekali lagi ia mencoba mencari jalan untuk memperoleh izin masuk purl. Pandangan matanya kembali ke bunga di dalam ceruk kamar. Mulailah terbentuk di hadapan matanya bayangan seseorang, karena secara tak sadar ia diingatkan oleh bunga itu. Memandang wajah Otsu dalam mata pikirannya itu menenangkan semangatnya dan menyejukkan sarafnya.
Otsu sendiri sedang dalam perjalanan pulang ke Puri Koyagyu, ketika tiba-tiba didengarnya pekikan parau di belakangnya. Ia menoleh, dan kelihatan olehnya seorang anak muncul dari rumpun pohon di kaki sebuah batu karang. Anak itu jelas datang untuk menemui Otsu, tapi karena anak-anak di wilayah itu terlampau pemalu untuk menyapa seorang perempuan muda seperti dirinya, maka Otsu sengaja menghentikan kudanya, sekadar untuk memenuhi keingintahuannya.
Jotaro telanjang bulat. Rambutnya basah dan pakaiannya digulung bulat terkepit di ketiaknya. Tanpa malu, walaupun telanjang, ia berkata, “Anda kan Kakak yang main suling itu. Apa Kakak masih tinggal di sini?” Ia memandang kuda Otsu dengan sikap tak suka, kemudian langsung memandang Otsu.
“Kamu!” seru Otsu, sebelum akhirnya memalingkan muka karena malu. “Anak kecil yang menangis di jalan raya Yamato itu.”
“Menangis? Saya tidak menangis!”
“Ya sudahlah. Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Baru kemarin datang.”
“Sendiri?”
“Tidak, dengan guru saya.”
“O ya, betul. Kamu bilang sedang belajar seni pedang, kan? Lalu kenapa pakaianmu kamu tanggalkan?”
“Mana mungkin saya terjun ke sungai dengan pakaian lengkap?”
“Sungai? Tapi air sungai tentunya sedang membeku sekarang. Orang di sini bisa tertawa mendengar orang berenang musim begini.”
“Bukan berenang; saya mandi. Guru saya bilang, keringat saya bau, karena itu saya ke sungai.”
Otsu mendecap. “Di mana kamu tinggal?”
“Di Wataya.”
“Lho, aku baru dari sana.”
“Sayang sekali Kakak tidak bertemu kami. Bagaimana kalau kembali lagi dengan saya sekarang?”
“Tak bisa sekarang. Aku sedang disuruh.”
“Kalau begitu, selamat berpisah!” kata Jotaro dan terus membalik untuk pergi.
“Jotaro, datanglah ke tempatku di puri sekali-sekali.”
“Apa boleh saya datang?”
Baru saja Otsu mengucapkan kata-kata itu, ia sudah menyayangkannya, tapi katanya, “Ya, boleh, tapi jangan sampai kamu tampil seperti sekarang ini.
“Oh, kalau begitu pendapat Kakak, tak mau saya ke sana. Saya tak suka tempat-tempat yang orangnya cerewet.”
Otsu merasa lega. Senyuman masih tampak pada wajahnya ketika ia mengendarai kudanya melewati gerbang puri. Sesudah mengembalikan kudanya ke kandang, ia pergi melapor ke Sekishusai.
Sekishusai tertawa, katanya, “Jadi, mereka marah! Bagus! Biar mereka marah. Tak ada yang bisa mereka perbuat dengan itu.” Sejenak kemudian, seakan-akan teringat sesuatu, ia bertanya, “Apa bunga peoni itu kamu buang?”
Otsu menjelaskan bahwa bunga itu telah ia berikan kepada pembantu di penginapan, dan Sekishusai mengangguk setuju. “Apa anak Yoshioka itu memegang bunga itu dan melihatnya?” tanyanya.
“Ya. Ketika dia membaca surat itu.”
“Lalu?”
“Dia cuma mengembalikannya pada saya.”
“Dia tidak melihat batangnya?”
“Setahu saya tidak.”
“Dia tidak memeriksanya atau mengatakan sesuatu tentangnya?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, memang sudah benar aku menolak bertemu dengan dia. Tak ada gunanya dia ditemui. Jadi, Keluarga Yoshioka itu boleh dikatakan sudah berakhir dengan matinya Kempo.”
Dojo Yagyu dapat dengan tepat dilukiskan: megah. Dojo itu terletak di pekarangan luar puri, dan dibangun kembali kira-kira waktu Sekishusai berumur empat puluh tahun. Balok kekar yang dipergunakan untuk membangunnya memberikan kesan tak terhancurkan. Kilau kayu yang terbentuk bertahun-tahun lamanya itu mencerminkan kekerasan orangorang yang telah memperoleh latihan di situ. Bangunan itu pun cukup luas untuk dipakai sebagai barak para samurai di masa perang.
“Yang enteng! Bukan dengan ujung pedang! Dengan tekad, dengan tekad!” demikian Shoda Kizaemon meraungkan perintah-perintah marah kcpada dua pemain pedang yang bercita-cita tinggi. Shoda Kizaemon duduk di podium yang ditinggikan sedikit dan mengenakan jubah dalam dan hakama. “Sekali lagi! Tadi itu salah sama sekali!”
Sasaran cacian Kizaemon itu dua samurai Yagyu, yang sekalipun sudah setengah sadar dan mandi keringat, namun terus juga beradu. Langkahhngkah diambil, senjata disiapkan, dan keduanya bertemu lagi seperti api dengan api.
“A-o-o-oh!”
“Y-a-a-ah!”
Di Yagyu, para pemula tidak diizinkan menggunakan pedang kayu. Sebagai gantinya, mereka menggunakan tongkat yang dibuat khusus untuk Gaya Shinkage. Tongkat itu berupa kantong kulit panjang tipis yang diisi belahan-belahan bambu. Sebetulnya benda itu tongkat kulit tak bergagang dan tak berpelindung tangan. Tongkat ini kurang berbahaya dibandingkan dengan pedang kayu, namun masih dapat menghilangkan telinga atau mengubah hidung menjadi buah delima. Tidak ada batasan mengenai bagian tubuh mana yang dapat diserang oleh petarung. Merobohkan lawan dengan memukul kakinya mendatar diperbolehkan, dan tidak ada peraturan yang melarang melabrak orang yang sudah jatuh.
“Ya, terus begitu! Terus macam itu! Sama dengan yang tadi!” demikian Kizaemon mendorong para siswanya.
Kebiasaan yang berlaku di sini adalah tidak membiarkan orang meninggalkan tempat sebelum la hampir roboh. Para pemula diajar sangat keras, tidak pernah dipuji, dan dijadikan sasaran caci-maki yang tidak sedikit. Karena itu, rata-rata samurai tahu bahwa bekerja pada Keluarga Yagyu bukanlah sesuatu yang mesti diterima enteng. Para pendatang baru jarang bertahan lama, dan orang-orang yang kini bekerja pada Yagyu adalah hasil saringan yang sangat cermat. Prajurit biasa dan tukang kuda pun orang-orang yang sudah lanjut dalam mempelajari seni pedang.
Tak perlu disebutkan lagi, Shoda Kizaemon adalah pemain pedang yang sudah jadi dan telah menguasai Gaya Shinkage pada umur sangat muda. Di bawah pengawasan Sekishusai sendiri ia kemudian mempelajari rahasia-rahasia Gaya Yagyu. Semua itu ditambahnya dengan beberapa teknik pribadinya sendiri, dan kini ia dapat bicara dengan bangga tentang “Gaya Shoda Sejati”.
Pelatih kuda Yagyu, Kimura Sukekuro, juga seorang ahli seperti halnya
Murata Yozo, yang walaupun dipekerjakan sebagai penjaga gudang, kabarnya
lawan tangguh Hyogo. Debuchi Magobei, seorang pejabat lain yang relatif
tak penting, mempelajari seni pedang sejak kanak-kanak dan dapat
menggunakan sebuah senjata yang perkasa. Yang Dipertuan Echizen telah
mencoba membujuk Debuchi untuk bekerja padanya, dan Keluarga Tokugawa
dari Kii telah mencoba memikat Murata pergi dari situ, namun kedua orang itu memilih tinggal di Yagyu, meskipun keuntungan materilnya lebih kecil.
Keluarga Yagyu yang kini mencapai puncak peruntungan itu sudah menghasilkan jajaran pemain pedang besar yang kelihatannya tanpa henti. Lagi pula, para samurai Yagyu belum diakui sebagai pemain pedang sebelum mereka membuktikan kesanggupannya menempuh cara hidup yang tak kenal ampun.
“Hei, yang di sana itu!” seru Kizaemon pada seorang pengawal yang lewat di luar. Ia rupanya terkejut melihat Jotaro yang berjalan mengikuti samurai.
“Halo!” seru Jotaro dengan seramah-ramahnya.
“Apa kerjamu dalam puri ini?” tanya Kizaemon tajam.
“Orang di pintu gerbang yang membawa saya masuk,” jawab Jotaro sesuai dengan kenyataannya.
“Betul begitu?” Kemudian kepada pengawal, Kizaemon bertanya, “Kenapa kamu bawa dia kemari?”
“Dia bilang mau bertemu Tuan.”
“Maksudmu, kamu bawa anak ini kemari atas kehendak dia sendiri? Hei, Nak!”
“Ya, Tuan.”
“Ini bukan tempat main. Pergi kamu dari sini.”
“Tapi saya datang bukan buat bermain. Saya bawa surat dari guru saya.”
“Dari gurumu? Kamu pernah bilang, dia murid yang mengembara itu, kan?”
“Silakan Tuan lihat suratnya.”
“Tak perlu.”
“Kenapa? Apa Tuan tak bisa baca?”
Kizaemon mendengus.
“Nah, kalau Tuan bisa baca, silakan baca.”
“Oh, anak bandel yang pintar sekali kamu. Sebabnya aku tak perlu membaca surat itu, karena aku sudah tahu isinya.”
“Biar begitu, apa tidak lebih sopan kalau membacanya?”
“Murid di tempat ini meruap seperti nyamuk dan belatung. Kalau kusediakan waktu buat berlaku sopan pada mereka semua, takkan dapat aku melakukan yang lain. Tapi aku kasihan padamu, karena itu akan kusebutkan padamu apa isi surat itu. Baik? Isinya, penulis ingin diizinkan melihat dojo yang sangat indah di sini, ingin walaupun hanya sesaat bersenang-senang di bawah bayangan guru terbesar di negeri ini, dan untuk kepentingan semua pengikut yang akan menempuh Jalan Pedang, dia akan sangat berterima kasih mendapat pelajaran di sini. Kukira itulah kira-kira isi surat itu.”
Mata Jotaro membundar. “Apa itu isi surat ini?”
“Ya. jadi tak perlu aku membacanya, kan? Biar begitu, jangan sampai dikarakan Keluarga Yagyu dengan darah dingin menolak orang-orang yang datang bertamu kepada mereka.” Ia berhenti bicara, kemudian melanjutkan, seakan-akan sudah terlatih mengucapkan pidatonya. “Minta kepada penjaga di sana supaya menjelaskan padamu semuanya. Kalau murid datang ke rumah ini. dia masuk lewat gerbang utama, lalu terus ke gerbang tengah yang di sebelah kanannya ada bangunan yang namanya Shin’indo. Ada papan nama tergantung di bangunan itu. Kalau murid itu minta kepada pengurus di sana, dia bebas untuk beristirahat sebentar, dan di sana ada tempat untuk menginap semalam-dua malam. Kalau dia pergi, dia mendapat sedikit uang untuk bantuan dalam perjalanan. Sekarang, yang mesti kamu lakukan adalah memberikan surat itu kepada pengurus di Shin’indo-mengerti?”
“Tidak!” kata Jotaro. la menggelengkan kepala dan mengangkat bahu kanannya sedikit. “Coba Tuan dengar!”
“Ha?’
“Tuan tak boleh menilai orang lain dari penampilannya. Saya bukan anak pengemis!”
“Kuakui kamu punya kecakapan menggunakan kata-kata.”
“Kenapa tidak Tuan lihat surat ini? Mungkin isinya lain sekali dari yang Tuan duga. Lalu apa yang akan Tuan lakukan nanti? Apa akan Tuan suruh saya memotong kepala Tuan?”
“Tunggu dulu!” Kizaemon tertawa. Wajah dan mulutnya yang merah di balik jenggotnya yang seperti paku itu tampak seperti bagian dalam buah berangan yang sudah pecah. “Tidak, kamu tak dapat memotong kepalaku.”
“Nah, kalau begitu Tuan lihatlah surat ini.”
“Coba sini.”
“Untuk apa?” Jotaro pun merasa menyesal telah melangkah demikian jauh.
“Aku kagum dengan tekadmu untuk tidak membiarkan pesan gurumu tak disampaikan. Aku akan membacanya.”
“Kenapa pula tidak? Tuan pejabat paling tinggi dalam Keluarga Yagyu, kan?”
“Kamu pintar sekali menggunakan lidahmu. Kita harapkan, kamu dapat berbuat sama dengan pedangmu, kalau kamu besar nanti.” Kizaemon melepaskan meterai surat itu, dan dengan diam ia baca pesan Musashi. Selagi membaca, wajahnya menjadi sunguh-sungguh. Selesai membaca ia bertanya, “Apa kamu bawa yang lain disamping surat ini?”
“Oh, ya, saya lupa! Saya mesti menyampaikan ini juga.” Jotaro cepat-cepat mengeluarkan batang peoni dari dalam kimononya.
Tanpa mengatakan sesuatu, Kizaemon memeriksa kedua ujung batang itu. Wajahnya tampak agak heran. Ia tidak sepenuhnya dapat memahami makna surat Musashi.
Surat itu menjelaskan bahwa pelayan penginapan telah memberikan kepadanya sekuntum bunga yang katanya berasal dari puri, dan ketika ia memeriksa batang bunga itu, ia melihat bahwa potongan bunga itu dibuat oleh “orang yang bukan orang biasa”. Surat menyatakan lagi: Sesudah memasukkan bunga itu ke dalam jambangan, saya merasa mendapatkan suatu semangat khusus darinya, dan saya merasa harus menemukan orang yang telah melakukan pemotongan itu. Persoalan ini bisa saja kelihatan remeh, tapi kalau Tuan tidak berkeberatan menyampaikan kepada saya, siapakah di antara anggota rumah tangga Tuan yang sudah melakukannya, saya akan sangat berterima kasih kalau Tuan mengirimkan balasannya lewat anak yang membawa surat int.
Hanya itu-tak ada disebutkan bahwa si penulis seorang murid, dan tak ada permintaan untuk bertanding.
“Aneh juga tulisan ini,” pikir Kizaemon. Sekali lagi ia memandang batang peoni itu, dan sekali lagi ia memeriksa kedua ujungnya baik-baik, namun ia tak dapat membedakan apakah ujung yang satu berlainan dengan ujung yang lain.
“Murata!” panggilnya. “Coba lihat ini. Apa bisa kamu melihat beda antara potongan di kedua ujung batang ini? Apa barangkali yang satu tampak lebih tajam?”
Murata Yozo mengamat-amati batang bunga itu, tapi la terpaksa mengaku tidak melihat beda kedua potongan itu.
“Mari kita perlihatkan kepada Kimura.”
Mereka pergi ke kantor di belakang bangunan itu dan mengajukan soal itu kepada rekan mereka di sana, yang sementara itu sama kagumnya dengan mereka. Debuchi yang kebetulan ada di kamar itu mengatakan, “Ini salah satu bunga yang dipotong oleh Yang Dipertuan sendiri kemarin dulu. Apa engkau tidak bersama beliau waktu itu, Shoda?”
“Tidak, aku memang melihat beliau mengatur bunga. Tapi aku tidak melihat beliau memotongnya.”
“Nah, ini satu dari dua bunga yang beliau potong. Beliau masukkan yang satu ke jambangan di kamar beliau, dan yang lain beliau suruh Otsu bawa ke Yoshioka bersama surat.”
“Ya, aku ingat,” kata Kizaemon, ketika ia mulai membaca surat Musashi lagi. Tiba-tiba ia menengadah dengan mata kaget. “Surat ini ditandatangani oleh ‘Shimmen Musashi’,” katanya. “Apa menurutmu Musashi yang sudah membantu para pendeta Hozoin membunuh semua jembel di Dataran Hannya itu? Tentunya dia!”
Debuchi dan Murata berganti-ganti mengambil surat itu dan membacanya kembali. “Tulisannya memang berwatak,” kata Debuchi.
“Ya,” gumam Murata. “Kelihatannya dia luar biasa.”
“Kalau apa yang dinyatakan surat itu benar,” kata Kizaemon, “dan dia betul-betul dapat menyatakan bahwa batang ini sudah dipotong oleh seorang ahli, tentunya dia mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui. Guru Tua itu yang memotongnya sendiri, dan rupanya hal ini cukup jelas bagi orang yang matanya memang benar-benar dapat melihat.”
Kata Debuchi, “Hm. Ingin aku bertemu dengannya…. Dengan begitu kita dapat mengecek soal itu, dan kita dapat juga meminta dia menceritakan peristiwa yang terjadi di Dataran Hannya.” Namun Debuchi tak hendak melibatkan dirinya seorang, melainkan menanyakan pendapat Kimura. Kimura menyatakan bahwa karena mereka tidak pernah menerima shugyosha, maka tidak dapat mereka menerimanya sebagai tamu di ruangan praktek, namun tak ada alasan kenapa mereka tak dapat mengundangnya makan atau menikmati sake di Shin’indo. Bunga-bunga iris sudah berkembang di sana, katanya, dan bunga-bunga azalea liar mulai berkembang. Mereka bisa mengadakan pesta kecil dan bicara tentang seni pedang dan hal-hal lain seperti itu. Kemungkinan besar Musashi dengan senang hati datang, dan Yang Dipertuan pasti tidak keberatan kalau beliau mendengar tentangnya.
Kizaemon menepuk lututnya, dan katanya, “Saran yang baik sekali.”
“Jadi, pesta buat kita juga,” sambung Murata. “Mari kita kirimkan jawaban sekarang juga.”
Selagi duduk menulis jawaban, Kizaemon berkata, “Anak itu ada di luar. Suruh dia masuk.”
Beberapa menit sebelumnya Jotaro memang sudah menguap dan menggerutu. “Lamanya mereka itu.” Sementara itu, seekor anjing hitam besar mencium baunya dan datang mengendusnya. Merasa mendapat teman baru, Jotaro bicara dengan anjing itu dan menarik telinganya supaya maju mendekat.
“Ayo kita bergulat,” desaknya, kemudian merangkum anjing itu dan melemparkannya. Anjing suka dengan permainan itu. Jotaro menangkapnya lagi dan melemparkannya dua-tiga kali lagi.
Kemudian, sambil memegang kedua rahang anjing itu, Jotaro berkata, “Nah, menyalak sekarang!”
Perbuatan itu membuat si anjing marah. Sambil melepaskan diri ia gigit tepian kimono Jotaro dan ia tarik sekuat-kuatnya.
Kim giliran Jotaro yang jadi marah. “Kamu kira apa aku ini? Tidak boleh kamu lakukan itu!” serunya.
Ia menarik pedang kayunya dan mengancamnya ke kepala anjing. Anjing menganggapnya sungguh-sungguh dan mulai menyalak keras-keras, hingga menarik perhatian para pengawal. Sambil mengutuk, Jotaro menebaskan pedangnya ke kepala anjing. Kedengaran seperti pedang itu menghantam karang. Anjing meloncat ke punggung anak itu, menggigit obi-nya, dan menjatuhkan Jotaro ke tanah. Belum lagi Jotaro sempat berdiri, anjing itu sudah menyerangnya lagi, dan Jotaro dengan bingung mencoba melindungi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
Ia mencoba meloloskan diri, tapi anjing itu terus menempelnya. Gema salaknya memantul-mantul melintasi pegunungan. Darah mulai mengalir dari antara jari-jari yang menutup muka Jotaro, dan segera kemudian lolongan kesakitan anak itu sudah mengalahkan lolongan si anjing.
Pembalasan Jotaro
KEMBALI di penginapan, Jotaro duduk di depan Musashi dengan wajah puas. Ia melaporkan sudah melaksanakan tugasnya. Beberapa goresan menyilangi muka anak itu, sedang hidungnya tampak seperti buah arbei masak. Tak sangsi lagi, ia pasti kesakitan, tapi karena ia tidak memberikan penjelasan, Musashi tidak mengajukan pertanyaan.
“Ini jawaban mereka,” kata Jotaro sambil menyerahkan kepada Musashi surat Shoda Kizaemon serta menambahkan beberapa patah kata tentang pertemuannya dengan samurai itu. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa tentang anjing itu. Sementara ia bicara, luka-lukanya mulai berdarah lagi.
“Cukup sekian saja?” tanyanya.
“Ya, sekian saja. Terima kasih.”
Musashi membuka surat Kizaemon, dan Jotaro menutup mukanya dengan tangan dan buru-buru meninggalkan kamar. Kocha memburunya dan mem perhatikan goresan-goresan di wajahnya dengan pandangan kuatir. “Kenapa mukamu itu?” tanyanya.
“Seekor anjing menyerangku.”
“Anjing siapa?”
“Salah satu anjing di puri.”
“Oh, apa bukan anjing Kishu yang besar hitam itu? Dia memang jahat. Aku yakin, biarpun kamu kuat, takkan dapat kamu menandinginya. Oh, dia sudah menggigit tukang-tukang rampas sampai mati!”
Walaupun hubungan mereka berdua tidak begitu balk, Kocha mengantar Jotaro ke kali dan menyuruhnya membasuh wajahnya. Kemudian ia pergi mengambil salep dan mengoleskannya ke wajah Jotaro. Jotaro bersikap sopan. Sesudah gadis itu selesai menolongnya, Jotaro membungkukan badan berulang-ulang untuk mengucapkan terima kasih.
“Hentikan angguk-angguk itu. Kamu kan lelaki, dan perbuatan itu lucu kelihatannya.”
“Tapi aku menghargai sekali jasamu.”
“Biar kita banyak berkelahi, tapi aku suka kamu,” kata gadis itu mengaku.
“Aku suka kamu juga.”
“Betul?”
Bagian-bagian wajah Jotaro yang tidak terkena salep berubah menjadi merah tua, dan pipi Kocha jadi manyala. Tak seorang pun kelihatan. Matahari bersinar lewat kembang persik merah muda.
“Tuanmu barangkali akan segera pergi, ya?” tanyanya dengan nada kecewa.
“Kami masih akan tinggal di sini sebentar,” jawab Jotaro, berusaha meyakinkan Kocha.
“Aku ingin kamu bisa tinggal di sini setahun atau dua tahun.”
Keduanya lalu masuk gubuk tempat menyimpan makanan kuda, dan di sana mereka berbaring telentang di atas jerami. Tangan mereka bersentuhan, dan rasa hangat menyengat tubuh Jotaro. Tanpa peringatan lagi ia menarik tangan Kocha dan menggigit jarinya.
“Ohh!”
“Sakit ya? Maaf.”
“Tak apa-apa. Gigit sekali lagi.”
“Kamu tidak keberatan?”
“Tidak, tidak, terus gigit lagi! Gigit lebih keras!”
Jotaro memenuhi permintaannya dan menyentak-nyentak jari-jari gadis itu seperti anak anjing. Jerami berhamburan menutupi kepala mereka, dan tak lama kemudian mereka sudah saling peluk, tanpa ada maksud lain, ketika ayah Kocha datang mencari anaknya. Ngeri melihat pemandangan itu, ekspresinya berubah keras, seperti wajah orang bijaksana dalam agama Kong-Hu-Cu.
“He, geblek, apa yang kalian lakukan ini? Kalian ini masih anak-anak!” Diseretnya mereka keluar pada tengkuknya, dan diberinya Kocha beberapa pukulan keras di pantat.
Seterusnya hari itu Musashi sedikit sekali bicara dengan orang lain. Ia duduk saja dengan tangan terlipat dan berpikir.
Sekali, di tengah malam, Jotaro terbangun, dan dengan mengangkat kepala sedikit ia mencuri pandang pada tuannya. Musashi berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit dengan pemusatan penuh.
Hari berikutnya pun Musashi tetap menyendiri. Jotaro ketakutan. Kemungkinan gurunya sudah mendengar tentang bagaimana ia main dengan Kocha di dalam gubuk. Namun Musashi tidak mengatakan apa-apa. Sorenya Musashi menyuruh anak itu minta kuitansi mereka dan bersiap-siap berangkat, dan juru tulis datang membawanya. Ketika ditanya apakah ia menghendaki makan malam, ia menjawab tidak.
Sambil berdiri menganggur di sudut kamar, Kocha bertanya, “Tuan tak akan pulang tidur malam ini?”
“Tidak. Terima kasih, Kocha, atas pelayanan yang balk. Aku yakin kami sudah banyak mengganggu. Selamat tinggal.”
rom
“Jaga diri Tuan baik-baik,” kata Kocha. Ia menutupkan tangannya ke muka, menyembunyikan air matanya.
Di pintu gerbang, kepala penginapan dan dua pelayan lain berbaris mengantar mereka. Sangat aneh bagi mereka bahwa kedua tamu itu berangkat tepat sebelum matahari tenggelam.
Sesudah berjalan sebentar, Musashi menoleh mencari Jotaro. Karena tidak melihat anak itu, ia kembali ke penginapan. Anak itu berada di bawah gudang, sedang mengucapkan selamat berpisah pada Kocha. Melihat Musashi mendekat, mereka cepat-cepat saling memisahkan diri.
“Selamat jalan,” kata Kocha.
“Selamat tinggal,” seru Jotaro sambil berlari ke sisi Musashi. Walaupun takut kepada mata Musashi, anak itu tak dapat tidak mencuri pandangnya ke belakang, sampai penginapan tidak kelihatan lagi.
Lampu-lampu mulai bermunculan dalam lembah itu. Musashi berjalan terus tanpa berkata-kata dan tidak sekali pun menoleh ke belakang. Jotaro mengikuti dengan murung.
Beberapa waktu kemudian Musashi bertanya, “Apa kita belum sampai?”
“Di mana?”
“Di gerbang utama Puri Koyagyu.”
“Apa kita pergi ke puri itu?”
“Ya.”
“Apa kita akan menginap di sana malam ini?”
“Tak tahu aku. Itu tergantung perkembangan nanti.”
“Itu. Itu gerbangnya.”
Musashi berhenti dan berdiri di depan gerbang, kedua kakinya dirapatkan. Di atas benteng yang ditumbuhi lumut, pohon-pohon besar memperdengarkan bunyi desir. Seberkas cahaya tunggal menyorot dari sebuah jendela persegi.
Musashi berseru, dan seorang pengawal muncul. Sambil menyerahkan surat dari Shoda Kizaemon ia berkata, “Nama saya Musashi, dan saya datang kemari atas undangan Shoda. Minta tolong disampaikan kepadanya, saya sudah datang.”
Pengawal itu memang sudah menantinya. “Mereka sedang menanti Anda,” katanya sambil memberikan isyarat kepada Musashi untuk mengikutinya.
Disamping fungsi-fungsi lainnya, Shin’indo merupakan tempat bagi para pemuda puri untuk mempelajari agama Kong-Hu-Cu. Tempat itu juga menjadi perpustakaan tanah perdikan tersebut. Kamar-kamar di sepanjang lorong yang menuju belakang bangunan itu semuanya didereti rak-rak buku. Sekalipun Keluarga Yagyu termasyhur berkat kecakapan militernya, namun Musashi dapat melihat bahwa puri itu menekankan sekali pendidikan. Segala sesuatu dalam puri kelihatan diliputi sejarah.
Dan segala sesuatu kelihatan terurus baik, kalau dinilai dari kerapian jalan dari gerbang sampai Shin’indo, sikap sopan santun pengawalnya, dan pemberian lampu yang cermat, damai, di sekitar menara utama.
Pada waktu memasuki sebuah rumah untuk pertama kali, kadang-kadang seorang tamu merasa sudah kenal baik dengan tempat itu dan para penghuninya. Musashi mendapat kesan itu sekarang, ketika ia duduk di lantai kayu dalam kamar besar yang ditunjukkan kepadanya oleh pengawal. Pengawal menyerahkan kepadanya bantalan bundar keras dari jerami, yang diterimanya dengan ucapan terima kasih, kemudian meninggalkannya sendiri. Di perjalanan, Jotaro ditinggalkan di kamar tunggu pembantu.
Pengawal kembali beberapa menit kemudian, dan mengatakan kepada Musashi bahwa tuan rumah akan segera datang.
Musashi menggeser bantal bundar itu ke sebuah sudut dan bersandar pada tiang. Dari cahaya lampu rendah yang bersinar ke halaman ia dapat melihat lilitan tanaman wisteria yang sedang berkembang, berwarna putih dan lembayung muda. Bau wisteria yang manis itu mengambang di udara. la kaget mendengar dengkung katak. Dengkung pertama tahun itu.
Air terdengar berkericik di suatu tempat di halaman. Sungai agaknya mengalir di bawah bangunan. Sesudah ia duduk tenang, terdengar olehnya bunyi air mengalir di bawah dirinya. Namun tak lama kemudian terasa olehnya bahwa bunyi itu datang dari langit-langit, dari dinding, bahkan dari lampu. Ia merasa sejuk dan santai. Namun jauh di dalam dirinya menindih suatu perasaan gelisah yang tak dapat ditekan. Itulah semangat juang yang tak terpuaskan, yang mengalir dalam nadinya, sekalipun dalam suasana setenang itu. Dari bantalan pada tiang itu ia memandang ke sekeliling dengan hati bertanya-tanya.
“Siapakah Yagyu itu?” tanyanya dengan mata menantang. “Dia pemain pedang, dan aku pun pemain pedang. Dalam hal ini kami sama. Tapi malam ini aku akan maju selangkah ke depan dan meninggalkan Yagyu di belakang.”
“Maaf, kami membiarkan Anda menanti.”
Shoda Kizaemon masuk ke kamar bersama Kimura, Debuchi, dan Murata.
“Selamat datang di Koyagyu,” kata Kizaemon hangat.
Sesudah ketiga orang lain memperkenalkan diri, para pelayan mendatangkan berbaki-baki sake dan penganan. Sake di situ merupakan hasil rebusan sendiri, pekat, agak seperti sirup, dan dihidangkan dalam mangkukmangkuk besar gaya lama yang tinggi pegangannya.
“Di desa ini,” kata Kizaemon, “tak banyak yang dapat kami suguhkan, tapi kami harap Anda kerasan.”
Dengan penuh kehangatan, yang lain-lain pun mendorongnya untuk merasa senang dan tidak berkukuh pada upacara. Sesudah diajak, Musashi pun mau menerima sedikit sake, sekalipun ia tidak suka benar minuman itu. Bukannya ia membenci sake, melainkan karena ia masih terlalu muda untuk dapat menghargai kehalusan rasanya. Sake malam itu cukup lezat, tapi tidak begitu lekas mendatangkan akibat kepadanya.
“Kelihatannya Anda biasa juga minum,” kata Kimura Sukekuro, dan menawarkan untuk mengisi lagi mangkuknya. “Omong-omong, saya mendengar bahwa peoni yang Anda tanyakan kemarin dipotong sendiri oleh Yang Dipertuan puri ini.”
Musashi menepuk lututnya. “Memang sudah saya duga!” serunya. “Potongan itu bagus sekali!”
Kimura mendekat. “Yang ingin saya ketahui adalah, bagaimana Anda dapat mengatakan bahwa potongan batang lunak dan kecil itu dibuat oleh guru pemain pedang. Kami semua terkesan oleh kemampuan Anda melihatnva.”
Karena belum tahu benar ke mana arah pembicaraan itu, Musashi berkata, sekadar memenangkan waktu, “Begitu, ya? Betul?”
“Ya, tak salah lagi!” kata Kizaemon, Debuchi, dan Murata hampir bersamaan.
“Kami sendiri tidak melihat ada hal khusus di situ,” kata Kizaemon. “Dan kami sampai pada kesimpulan bahwa dibutuhkan seorang jenius untuk mengenali jenius yang lain. Kami berpendapat akan sangat membantu pendidikan kami di masa depan kalau Anda dapat menjelaskannya pada kami.”
Sesudah menghirup sake lagi, Musashi berkata, “Ah, tak ada yang khusus di sini-itu cuma terkaan yang mengena.”
“Ayolah, jangan merendahkan diri.”
“Saya bukan merendahkan diri. Saya cuma merasa begitu sesudah melihat potongan batang itu.”
“Merasa bagaimana?”
Keempat siswa senior Keluarga Yagyu itu mencoba menganalisis Musashi sebagai seorang manusia dan sekaligus mengujinya, seperti yang akan mereka lakukan juga terhadap orang asing lain. Mereka sudah mengamati fisiknya, mengagumi pembawaannya, dan ekspresi matanya. Tetapi cara Musashi memegang mangkuk sake dan sumpit itu bagaimanapun menunjukkan bahwa ia berpendidikan kampung, dan ini membuat mereka cenderung mengguruinya. Baru menghabiskan tiga atau empat mangkuk sake saja, wajah Musashi sudah jadi merah tembaga. Karena malu, dua-tiga kali ia menyentuh dahi dan pipinya. Sikap kekanak-kanakan ini membuat mereka tertawa.
“Tentang perasaan Anda itu,” ulang Kizaemon, “apa tidak bisa Anda menceritakannya lebih banyak? Anda tahu gedung Shin’indo ini dibangun dengan sengaja untuk kediaman Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, kalau beliau sedang berkunjung. Ini gedung penting dalam sejarah seni pedang. Tempat yang cocok bagi kami untuk mendengar kuliah dari Anda malam ini.”
Karena sadar bahwa memprotes sanjungan itu tak akan dapat meloloskan dirinya, Musashi memutuskan untuk mencebur sekalian.
“Kalau kita merasakan sesuatu, itu artinya kita merasakannya,” katanya. “Betul-betul tak ada cara lain untuk menjelaskannya. Kalau Anda sekalian menghendaki saya memperlihatkan apa yang saya maksudkan itu, terpaksa Anda sekalian mencabut pedang dan menghadapi saya dalam pertarungan. Tak ada cara lain.”
Asap lampu naik, sehitam tinta cumi-cumi, ke udara malam yang tenang itu. Dengkung katak terdengar lagi.
Kizaemon dan Debuchi, yang tertua di antara mereka, saling pandang dan tertawa. Sekalipun Musashi berbicara tenang, pernyataannya tentang keharusan mengujinya tidak dapat disangkal lagi merupakan tantangan, dan mereka memang menganggapnya demikian.
Tanpa menanggapi tantangan itu, mereka berbicara tentang pedang, kemudian tentang Zen, tentang peristiwa-peristiwa di provinsi-provinsi lain, tentang Pertempuran Sekigahara. Kizaemon, Debuchi, dan Kimura telah ambil bagian dalam pertempuran berdarah itu. Bagi Musashi, yang dalam pertempuran berdarah itu berada di pihak lawan, cerita-cerita mereka terdengar bagai kebenaran yang pahit. Tuan rumah tampaknya sangat menikmati percakapan itu, sedangkan Musashi merasa sangat terpesona mendengarkannya.
Namun demikian, ia sadar bahwa waktu berlalu dengan cepat, dan dalam hati ia tahu, kalau malam ini ia tidak bertemu dengan Sekishusai, ia tak akan bertemu dengannya untuk selamanya.
Kizaemon mengatakan sudah waktunya menghidangkan makanan terakhir, yaitu gerst campur nasi. Sake pun diundurkan.
“Bagaimana aku bisa bertemu dengannya?” pikir Musashi. Semakin lama semakin jelas baginya bahwa ia mungkin terpaksa harus menggunakan akal licik. Haruskah ia menyodok salah seorang dari tuan rumah itu supaya naik darah? Itu sukar kalau ia sendiri tidak sedang marah, karena itu dengan sengaja ia beberapa kali mengatakan tidak sependapat dengan apa yang mereka katakan, dan bicara dengan cara kasar dan kurang ajar. Mendengar itu, Shoda dan Debuchi memilih tertawa. Tak seorang pun dari keempat orang itu mau kena provokasi untuk melakukan sesuatu yang kurang pikir.
Maka akhirnya Musashi pun nekat. Ia tak dapat menerima kalau ia harus meninggalkan tempat itu tanpa melaksanakan maksudnya. Untuk memperoleh mahkota, ia menghendaki bintang kemenangan yang cemerlang, dan untuk sejarah, ia ingin orang mengetahui bahwa Musashi pernah berkunjung ke tempat itu, sudah pergi, dan sudah meninggalkan tanda pada Keluarga Yagyu. Dengan pedangnya sendiri ia ingin membuat Sekishusai, bapak agung seni perang yang disebut “naga kuno” itu, bertekuk lutut.
Apakah mereka sudah mengenalinya sepenuhnya? Baru saja ia memikirkan hal itu, tiba-tiba jalan peristiwa membelok tak terduga-duga.
“Kalian dengar?” tanya Kimura.
Murata keluar ke beranda, kemudian ketika masuk kamar kembali, katanva, “Taro menyalak-biasanya tidak begitu salaknya. Saya pikir ada yang tak beres.”
Taro anjing yang bermasalah dengan Jotaro. Tak bisa dibantah bahwa salak anjing yang sepertinya datang dari lingkaran kedua puri itu sangat mengerikan. Kedengarannya terlalu keras dan mengerikan, kalau berasal hanya dari seekor anjing saja.
Debuchi berkata, “Lebih baik saya lihat. Maafkan saya, Musashi, pesta ini terganggu. Tapi barangkali ini penting. Silakan terus tanpa saya.”
Baru saja ia pergi, Murata dan Kimura minta mengundurkan diri juga dan dengan sopan minta maaf kepada Musashi.
Salak anjing itu jadi semakin mendesak. Ia rupanya berusaha memberikan peringatan tentang adanya bahaya. Kalau salah satu anjing puri berbuat demikian, hampir merupakan tanda pasti bahwa sedang terjadi sesuatu yang tak menguntungkan. Memang kedamaian yang dinikmati negeri itu belumlah mantap sehingga seorang daimyo dapat mengendurkan kewaspadaannya terhadap tanah-tanah perdikan yang berdekatan. Masih ada prajurit-prajurit rusak yang suka melongok-longok untuk memuaskan ambisinya sendiri, juga mata-mata yang bergelandangan mencari sasaran empuk dan mudah dijadikan mangsa.
Kizaemon tampak sangat terganggu. Ia terus menatap cahaya lampu kecil yang tak menyenangkan, seolah-olah sedang menghitung gema suara yang tak wajar.
Akhirnya terdengar raungan panjang dan sedih. Kizaemon berkomat-kamit dan memandang Musashi.
“Mati dia,” kata Musashi.
“Ya, dia dibunuh.” Tak lagi dapat menahan diri, Kizaemon pun bangkit. “Saya tak bisa mengerti.”
Ia berangkat, tapi Musashi menghentikannya, katanya, “Tunggu. Apa Jotaro, anak yang datang dengan saya itu, masih di kamar tunggu?”
Mereka pun menujukan pertanyaan itu kepada samurai muda di depan Shin’indo. Sesudah mencari-cari, samurai mengatakan bahwa anak itu tak ditemukan di mana pun.
Musashi menunjukkan wajah prihatin. Sambil menoleh pada Kizaemon, ia berkata, “Saya pikir, saya tahu apa yang sudah terjadi. Boleh saya pergi bersama Anda?”
“Tentu.”
Sekitar tiga ratus meter dari dojo telah berkumpul sejumlah orang, dan beberapa obor dinyalakan. Di samping Murata, Debuchi, dan Kimura, ada sejumlah prajurit biasa dan pengawal, membentuk lingkaran hitam, semuanya berbicara dan berteriak-teriak.
Dari pinggir luar lingkaran itu Musashi mengintip ke tempat terbuka di tengah. Maka hatinya pun serasa terbang. Tepat seperti yang ditakutkannya, Jotaro ada di sana, berlumuran darah dan tampak seperti anak setantangannya memegang pedang kayu, giginya mengatup erat, dan bahunya naik-turun akibat napasnya yang berat.
Di sampingnya terbaring Taro, giginya menyeringai, kakinya terjulur. Matanya yang tak melihat lagi memantulkan cahaya obor. Darah mengucur dari mulutnya.
“Ini anjing Yang Dipertuan,” kata seseorang sedih.
Seorang samurai mendekati Jotaro dan pekiknya, “Bajingan kecil kamu! Apa yang kau lakukan? Kau yang membunuh anjing ini?” Orang itu mengangkat tangannya dan menampar dengan berang, tapi dapat dielakkan Jotaro.
Sambil membidangkan bahunya, Jotaro berseru menantang, “Ya, saya yang melakukan!”
“Kamu mengaku?”
“Ada sebabnya!”
“Ha!”
“Saya cuma membalas dendam.”
“Apa?” Semua orang heran mendengar jawaban Jotaro. Dan semuanya marah. Taro binatang kesayangan Yang Dipertuan Munenori dari Tajima. Bukan hanya itu, ia keturunan ras dari Raiko, anjing betina milik Yang Dipertuan Yorinori dari Kishu yang sangat disayanginya. Yang Dipertuan Yorinori secara pribadi memberikan anak anjing itu kepada Munenori, dan Munenori merawatnya sendiri. Pembantaian binatang itu sudah pasti akan diperiksa dengan tuntas, dan nasib dua orang samurai yang telah dibayar untuk mengurus anjing itu sekarang dalam bahaya.
Yang berhadapan dengan Jotaro itu seorang dari kedua samurai tersebut.
“Tutup mulut!” serunya sambil melayangkan tinjunya ke kepala Jotaro. Kali ini Jotaro tidak menghindar pada waktunya. Pukulan mendarat di sekitar telinganya.
Jotaro mengangkat tangan meraba lukanya. “Apa pula ini?” jeritnya.
“Kamu sudah membunuh anjing Tuan. Jadi, kamu tidak keberatan kalau aku memukul kamu juga sampai mati, kan? Dan memang itu yang akan kulakukan.”
“Saya cuma membalas apa yang sudah dia perbuat. Kenapa saya dihukum? Orang dewasa mesti tahu, itu tidak betul!”
Menurut pandangan Jotaro, ia cuma membela kehormatannya dan membahayakan hidupnya dalam melakukan hal itu, karena luka yang kelihatan adalah aib besar bagi seorang samurai. Untuk membela harga diri, tidak ada pilihan lain kecuali membunuh anjing itu. Memang, bagaimanapun ia mengharapkan dipuji atas perbuatannya yang berani itu. Ia telah bertahan dan bertekad tidak akan mundur.
“Tutup mulutmu yang kurang ajar itu!” raung perawat anjing. “Aku tak peduli, biar kamu anak kecil, kamu sudah cukup besar untuk dapat membedakan anjing dan manusia. Macam apa pula itu—membalas dendam kepada binatang yang bodoh!”
Ia mencengkeram kerah Jotaro, memandang orang banyak untuk meminta persetujuan, dan menyatakan bahwa ia wajib menghukum pembunuh anjing itu. Orang banyak mengangguk diam sebagai pernyataan setuju. Keempat orang yang belum lama sebelumnya menjamu Musashi itu tampak sedih, tapi mereka tidak mengatakan apa-apa.
“Menyalaklah, Nak! Menyalak seperti anjing!” perawat anjing itu berteriak. Lalu ia ayunkan Jotaro berputar-putar pada kerahnya dan dengan pandangan muram ia jatuhkan Jotaro ke tanah. Kemudian ia ambil tongkat kayu ek dan ia hantamkan kuat-kuat ke tubuh anak itu.
“Kamu membunuh anjing itu, penjahat kecil. Sekarang datang giliranmu! Berdiri kamu, supaya dapat aku membunuhmu! Menyalaklah! Gigit aku!”
Jotaro mengatupkan giginya erat-erat, kemudian menopang dirinya dengan sebelah tangan dan berjuang menegakkan diri sambil memegang pedang kayunya. Air mukanya tidak meninggalkan ciri peri air, dan ekspresi wajahnya pun tetap saja ekspresi kanak-kanak, tapi lolongan yang keluar dari tenggorokannya terdengar sangat liar mengerikan.
Apabila seorang dewasa marah, sering ia menyesal di kemudian hari, tapi apabila kemarahan anak-anak sudah bangkit, ibunya sendiri yang melahirkannya ke dunia pun tak dapat menenteramkannya.
“Bunuh aku!” jeritnya. “Ayo, bunuh aku!”
“Nah, matilah kamu!” pekik perawat anjing mengamuk. Ia pun memukul.
Pukulannya bisa membunuh anak itu jika mengena, tapi pukulan itu tidak mengena. Bunyi berderak tajam bergema di telinga orang-orang yang berdiri menonton, dan pedang kayu Jotaro terbang ke udara. Tanpa pikir lagi ia menangkis pukulan perawat anjing itu.
Tanpa senjata ia menutup mata dan secara membuta menyerang tubuh bagian depan musuh itu dan menguncikan gigi ke obi-nya. Dengan anggapan bahwa hidup itu berharga, ia mencakar selangkangan si perawat anjing dengan kukunya, sedangkan si perawat anjing dengan sia-sia mengayun-ayunkan tongkatnya.
Musashi tetap diam, tangannya dilipatkan dan wajahnya tidak mengungkapkan sesuatu, namun pada waktu itu muncullah tongkat kayu ek lain. Orang kedua menderap ke tengah lingkaran dan sudah hendak memverang Jotaro dari belakang. Musashi bertindak. Tangannya turun, dan dalam sekejap ia sudah menerobos dinding manusia yang kokoh itu dan meloncat ke tengah medan.
“Pengecut!” pekiknya kepada orang kedua itu.
Sebuah tongkat kayu ek dan dua kaki itu membentuk sebuah relung di udara, dan mendarat jadi onggokan sekitar empat meter jauhnya.
Musashi memekik, “Dan sekarang giliranmu, setan kecil!” Ia mencengkeram obi Jotaro dengan kedua tangan, ia angkat anak itu ke atas kepala dan ia biarkan terus di sana. Sambil menoleh kepada perawat anjing yang waktu itu kembali menggenggam tongkatnya, ia mengatakan, “Saya sudah melihat semua ini dari permulaan, dan saya pikir Anda keliru menindaknya. Anak ini pembantu saya, dan kalau Anda mau memeriksa dia, Anda mesti memeriksa saya juga.”
Dengan nada berapi-api, perawat anjing menjawab, “Baik. Kami periksa kalian berdua!”
“Bagus! Kami berdua akan menghadapi Anda. Nah, ini anaknya!”
Ia melemparkan Jotaro langsung kepada orang itu. Orang banyak pun menggagap kaget dan mundur selangkah. Apa orang itu sudah gila? Siapa pernah mendengar ada orang menggunakan manusia sebagai senjata pelawan manusia lain?
Perawat anjing memandang bengong ketika Jotaro melayang di udara dan membentur dadanya. Orang itu langsung rebah ke belakang, seolah-olah penopang yang mengganjalnya tiba-tiba diambil. Sukar dikatakan, apakah kepalanya yang telah membentur batu karang, atau tulang iganya yang patah, tapi ia menghantam tanah diiringi suara lolongan, dan langsung muntah darah. Jotaro melentingkan diri dari dada orang itu, berjungkir balik di udara, dan berguling seperti bola ke tempat yang jauhnya dua puluh atau tiga puluh kaki dari situ.
“Kalian lihat?” pekik satu orang.
“Siapa pula ronin gila ini?”
Perkelahian kini tidak lagi hanya melibatkan perawat anjing, samurai-samurai lain mulai memaki-maki Musashi. Kebanyakan mereka sudah tidak sadar bahwa Musashi tamu yang diundang, dan beberapa orang menyarankan untuk membunuhnya seketika itu juga dan di tempat itu juga.
“Nah,” kata Musashi, “dengarkan, hai, kalian semua!”
Mereka menatapnya dengan saksama ketika ia mengambil pedang kayu Jotaro dan menghadapi mereka dengan wajah memberengut menakutkan.
“Kejahatan anak ini adalah kejahatan tuannya. Dan kami berdua siap membayarnya. Tapi pertama-tama, izinkan saya mengatakan ini: kami tidak bermaksud membiarkan diri kami dibunuh seperti anjing. Kami siap menghadapi kalian.”
Jadi, ia bukannya mengakui kejahatannya dan menerima hukuman, melainkan menantang mereka! Kalau pada waktu itu Musashi minta maaf untuk Jotaro dan bicara membelanya, kalau sekiranya ia mau sedikit saja berusaha meredakan perasaan para samurai Yagyu yang sedang kacau itu, maka seluruh kejadian itu akan berlalu dengan damai. Tetapi sikap Musashi mencegah terjadinya hal itu. Ia rupanya sudah bertekad menciptakan gangguan yang lebih besar lagi.
Shoda, Kimura, Debuchi, dan Murata semuanya mengerutkan kening, tak habis-habis heran mereka. Orang sinting macam apakah yang telah mereka undang datang ke puri itu? Mereka menyesal bahwa Musashi tidak berakal sehat, dan berangsur-angsur mereka pun mengitari orang banyak itu, dengan mata menatap tajam kepada Musashi.
Orang banyak itu sudah menggelegak darahnya, kini ditambah lagi dengan tantangan Musashi.
“Dengarkan dia itu! Dia orang di luar hukum!”
“Dia mata-mata! Ikat dia!”
“Tidak, potong saja dia!”
“Jangan biarkan dia lari!”
Untuk sesaat lamanya tampak seolah Musashi dan Jotaro yang sudah kembali ke sisinya itu akan ditelan oleh lautan pedang, tetapi saat itu juga terdengar teriakan berwibawa. “Tunggu!”
Itulah suara Kizaemon, yang bersama Debuchi dan Murata berusaha mengendalikan orang banyak itu.
“Orang itu rupanya sudah merencanakan semua ini,” kata Kizaemon. “Kalau kalian membiarkan dia menyesatkan kalian, dan kalian terluka atau terbunuh, kita terpaksa mempertanggungjawabkannya kepada Yang Dipertuan. Anjing itu memang penting, tapi tidak sepenting hidup manusia. Kami berempat akan mengambil alih tanggung jawab ini. Yakinlah bahwa tak ada hal buruk akan menimpa kalian, kalau nanti kami mengambil tindakan. Sekarang tenanglah, dan pulanglah.”
Dengan enggan orang-orang itu bubar, meninggalkan keempat orang yang telah menjamu Musashi di Shin’indo itu. Sekarang persoalannya bukanlah tamu dengan tuan rumah, tetapi persoalan orang di luar hukum dengan para hakimnya.
“Musashi,” kata Kizaemon, “maaf terpaksa saya sampaikan kepada Anda bahwa rencana Anda telah gagal. Saya kira ada orang yang menugaskan Anda memata-matai Puri Koyagyu ini atau sekadar menimbulkan kerusuhan, tapi saya kira rencana itu tidak berhasil.”
Sementara mereka berempat mengepung Musashi, Musashi sadar bahwa tak ada di antara mereka yang bukan ahli pedang. Ia berdiri diam sambil menopangkan tangan ke bahu Jotaro. Dalam keadaan terkepung demikian, tidak akan dapat ia meloloskan diri, biarpun misalnya ia memiliki sayap.
“Musashi!” panggil Debuchi sambil mencabut sedikit pedangnya dari sarungnya. “Anda gagal. Yang pantas untuk Anda adalah bunuh diri. Anda mungkin seorang bajingan, tapi Anda sudah memperlihatkan keberanian luar biasa dengan datang di puri ini hanya berteman anak itu. Kita sudah berpesta bersama dalam suasana bersahabat, sekarang kami akan menanti, sementara Anda menyiapkan diri melakukan harakiri. Kalau Anda siap, Anda dapat membuktikan bahwa Anda seorang samurai sejati!”
Itu merupakan pemecahan ideal kiranya. Mereka tidak berkonsultasi dengan Sekishusai, dan jika Musashi mati sekarang, seluruh kejadian akan dikubur bersama badan Musashi.
Tetapi Musashi punya pikiran lain. “Anda mengira saya akan membunuh diri sendiri? Oh, itu keterlaluan! Saya tidak bermaksud untuk mati, tidak untuk waktu lama.” Dan bahunya pun berguncang karena tertawa.
“Baiklah,” kata Debuchi. Nadanya tenang, tetapi maknanya jelas seperti kristal. “Kami sudah mencoba memperlakukan Anda dengan pantas, tapi Anda justru mengambil keuntungan dari kami.”
Kimura menyela, katanya, “Tak ada gunanya bicara lagi!”
Ia pergi ke belakang Musashi dan mendorongnya. “Jalan!” perintahnya.
“Jalan ke mana?”
“Ke sel!”
Musashi mengangguk dan mulai berjalan, tetapi ke arah yang dipilihnya sendiri, langsung menuju menara utama.
“Ke mana jalanmu ini?” teriak Kimura sambil melompat ke depan Musashi clan merentangkan tangan untuk menghalanginya.
“Ini bukan jalan ke sel. Sel ada di belakangmu. Balik!”
“Tidak!” teriak Musashi. Ia menunduk memandang Jotaro yang masih bergayut di sisinya. Disuruhnya Jotaro pergi duduk di bawah pohon pinus di halaman, di depan menara utama. Tanah di sekitar pohon-pohon pinus itu ditimbuni pasir putih yang digaruk baik-baik.
Jotaro melejit dari bawah lengan kimono Musashi dan bersembunyi di balik pohon. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah yang hendak diperbuat Musashi. Kenangan tentang keberanian gurunya di Dataran Hannya datang kembali padanya, dan tubuhnya membengkak karena gembira.
Kizaemon dan Debuchi mengambil posisi di kedua sisi Musashi clan mencoba menariknya ke belakang dengan menarik lengannya, tapi Musashi tak beranjak.
“Ayo!”
“Aku tak akan pergi!”
“Kau mau melawan?”
“Betul!”
Kimura kehilangan kesabaran dan mulai menarik pedangnya, tetapi temannya yang lebih senior, Kizaemon dan Debuchi, memerintahkannya untuk menahan diri.
“Apa pula ini? Mau ke mana kamu?”
“Mau bertemu Yagyu Sekishusai.”
“Apa?”
Tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa pemuda tak waras itu punya maksud yang demikian tak masuk akal.
“Dan apa yang akan kaulakukan, kalau sudah bertemu dengan beliau?” tanya Kizaemon.
“Aku seorang pemuda, dan aku sedang belajar seni perang. Salah satu tujuanku dalam hidup ini adalah menerima pelajaran dari guru Gaya Yagyu.”
“Kalau itu yang kauinginkan, kenapa kau tidak minta?”
“Bukankah Sekishusai tak pernah bertemu dengan siapa pun, dan tak pernah memberikan pelajaran kepada murid prajurit?”
“Betul.”
“Kalau begitu, apa lagi yang bisa kuperbuat selain menantangnya? Memang aku sadar bahwa kalaupun aku menantangnya, barangkali dia menolak meninggalkan istirahatnya. Karena itu, sebagai gantinya aku menantang seluruh puri ini untuk bertempur.”
“Bertempur?” kata keempat orang itu bersama-sama.
Dengan lengan masih dipegang oleh Kizaemon dan Debuchi, Musashi menengadah ke langit. Terdengar bunyi mengepak ketika seekor rajawali terbang ke arah mereka dari balik awan hitam yang menyelimuti Gunung Kasagi. Seperti kain kafan raksasa, bayangan burung itu menutupi bintangbintang dari pandangan mata, sebelum ia meluncur dengan ributnya dan turun ke atap gudang beras.
Bagi keempat pegawai itu, kata “bertempur” terdengar begitu melodramatis hingga patut ditertawakan, tetapi bagi Musashi kata itu cukup memadai untuk mengungkapkan pengertiannya mengenai apa yang bakal terjadi. Yang dibicarakannya bukan hanya pertandingan pedang yang harus diselesaikan dengan keterampilan teknik semata-mata. Yang dimaksudkan olehnya adalah perang total, di mana kedua pihak yang berperang memusatkan segenap jiwa dan kecakapannya dan nasib mereka ditentukan. Pertempuran antara dua tentara bisa saja lain bentuknya, tapi hakikatnya sama saja. Pertempuran sekarang ini sederhana saja. Satu orang lawan satu puri. Tekad Musashi dalam hal ini kelihatan dengan jelas dari teguhnya tumitnya menghunjam ke bumi. Tekad baja inilah yang membuat kata “bertempur” itu wajar diucapkan bibirnya.
Keempat orang itu merenungi wajah Musashi dan sekali lagi bertanyatanya, apakah Musashi masih memiliki akal sehat, biarpun sedikit.
Akhirnya Kimura menerima tantangan itu. Sambil menendang sandal jeraminya ke udara dan menyingsingkan hakama-nya ia berkata, “Bagus! Tak ada yang lebih kusukai daripada pertempuran! Tak dapat aku menyuguhkan dentam genderang atau dengung gong, tapi aku dapat menyuguhkan perkelahian. Shoda, Debuchi, dorong dia kemari.” Kimura-lah yang pertama kali tadi menyarankan agar mereka menghukum Musashi, tapi kemudian ia mengendalikan diri dan berusaha bersabar. Sekarang ia sudah kehilangan kesabaran.
“Ayo dorong!” desaknya. “Biar aku yang membereskannya!”
Saat itu juga Kizaemon dan Debuchi menolakkan Musashi ke depan. Musashi terhuyung empat atau lima langkah ke arah Kimura. Kimura undur selangkah, mengangkat siku ke depan wajahnya, dan sambil menarik napas cepat ia menebaskan pedang ke arah sosok Musashi yang sedang terhuyung-huyung. Terdengar bunyi serupa bunyi pasir yang aneh ketika pedang itu mendesah di udara.
Saar itu juga terdengar pekikan, bukan dart Musashi, melainkan dari Jotaro yang waktu itu meloncat keluar dari tempatnya di belakang pohon pinus. Segengggam pasir yang dilemparkannya itulah sumber dari bunyi aneh itu.
Karena sadar bahwa Kimura menaksir jarak untuk dapat menebas dengan efektif, maka Musashi dengan sengaja menambah kecepatan langkahnya yang terhuyung itu, dan pada saat jatuhnya tebasan itu ia menjadi jauh lebih dekat kepada Kimura daripada yang diduga oleh Kimura. Pedang tidak menyentuh apa pun kecuali udara dan pasir.
Kedua pihak dengan cepat melompat mundur, dipisahkan oleh jarak tiga atau empat langkah. Di sana mereka berdiri, saling tatap penuh ancaman, dalam kediaman penuh ketegangan.
“Oh, ini pantas untuk ditonton,” kata Kizaemon pelan.
Debuchi dan Murata tidak berada dalam wilayah pertempuran, tapi keduanya mengambil posisi baru dan menyiapkan langkah bertahan. Dan apa yang mereka lihat sampai sedemikian jauh, nyatalah bahwa Musashi seorang pejuang terampil. Caranya mengelak dan menyusun kembali posisi sudah meyakinkan mereka bahwa ia lawan setanding Kimura.
Pedang Kimura ditempatkan sedikit lebih rendah dari dadanya. Ia berdiri tak bergerak. Musashi sama diamnya, tangannya memegang gagang pedang, bahu kanan maju ke depan dan sikunya di atas. Matanya seperti dua batu putih yang digosok di tengah wajah yang kabur.
Untuk sesaat yang terjadi adalah pertempuran saraf. Tapi sebelum salah satu pihak bergerak, kegelapan sekitar Kimura seperti goyah, berubah, namun sukar dilukiskan. Segera kemudian jelaslah bahwa ia bernapas lebih cepat dan lebih gelisah daripada Musashi.
Bunyi gerutu pelan yang hampir tak terdengar dikeluarkan oleh Debuchi. Ia tahu sekarang bahwa apa yang dimulai sebagai sesuatu yang agak tak berarti itu akan berubah menjadi bencana besar. Ia yakin Kizaemon dan Murata pun mengerti hat ini. Tidak mudah mengakhiri semua itu.
Hasil pertarungan antara Musashi clan Kimura kini boleh dikatakan telah ditentukan, kecuali kalau langkah-langkah istimewa diambil. Walau enggan melakukan sesuatu yang dapat dinilai sebagai sikap pengecut, tapi mereka terpaksa bertindak untuk mencegah terjadinya bencana. Pemecahan terbaik adalah melepaskan diri mereka dari si penyerbu yang aneh dan tak punya keseimbangan ini secepat mungkin dan mencegah agar diri mereka tidak mendapat luka secara sia-sia. Di sini tidak diperlukan tukar kata. Mereka dapat saling berhubungan dengan baik sekali lewat mata.
Secara serentak mereka bertiga mengepung Musashi. Pada detik yang sama, pedang Musashi mengoyak udara seperti desing tali busur, dan pekik mengguntur memenuhi ruangan kosong. Pekik pertempuran itu tidak hanya keluar dari mulutnya, tapi dari seluruh tubuhnya, sedangkan dentang-dentang lonceng kuil yang tiba-tiba terdengar menggemakannya ke segala penjuru. Dari arah keempat lawannya yang tersusun di kedua sisinya, di depan dan di belakangnya, terdengar bunyi mereguk dan mendesis.
Musashi merasa benar-benar hidup. Darahnya terasa seperti mau meletus dari setiap pori-porinya, tapi kepalanya sendiri sedingin es. Inikah bunga seroja yang menyala, seperti dikatakan oleh orang-orang Budha? Yaitu panas yang teramat sangat bergabung dengan dingin yang teramat sangat, sintesa nyala api dan air?
Tak ada lagi pasir dihamburkan ke udara. Jotaro sudah menghilang. Angin bersiul turun dari puncak Gunung Kasagi; pedang-pedang yang digenggam erat berkilau bercahaya.
Satu lawan empat. Namun Musashi merasa tidak berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Ia sadar terjadinya pembengkakan pada urat-urat nadinya. Pada saat-saat seperti itu, kata orang pikiran tentang mati akan mendesakkan diri ke dalam otak, tapi pada Musashi tak ada sedikit pun pikiran tentang maut. Namun bersamaan dengan itu ia pun tidak merasa yakin akan mampu menang.
Angin terasa seperti bertiup melintasi kepalanya, menyejukkan otaknya, membikin terang pandangannya, sekalipun tubuhnya jadi bertambah pekat dan titik-titik keringat berminyak berkilau-kilau di dahinya.
Terdengar gemeresik pelan. Seperti sungut kumbang, pedang Musashi menyampaikan kepadanya bahwa orang yang di sebelah kin telah menggerakkan sebelah kakinya seinci dua inci. Ia pun melakukan penyesuaian dalam meletakkan senjatanya, dan sang musuh yang juga tanggap itu pun tidak membuat gerakan lebih lanjut untuk menyerang. Kelima orang itu membentuk tablo yang seakan-akan statis.
Musashi sadar bahwa makin lama hal ini berlangsung, makin kurang menguntungkan keadaan baginya. Ingin ia sebenarnyar agar lawan-lawannya bukan mengepungnya, tetapi menyebar dalam garis lurus-agar dapat dihadapinya satu per satu-tetapi ia tidak berhadapan dengan orang-orang amatir sekarang ini. Kenyataannya, sebelum salah seorang dari mereka mengubah kedudukan atas kehendak sendiri, tak dapat ia membuat gerakan. Satu-satunya yang dapat ia lakukan adalah menanti, dan berharap bahwa pada akhirnya salah seorang dari mereka akan mengambil langkah sementara yang keliru dan memberikan peluang kepadanya.
Lawan-lawan Musashi sebetulnya sedikit saja merasa enak memiliki keunggulan jumlah itu. Mereka tahu bahwa apabila seorang dari mereka memperlihatkan tanda sekecil apa pun bahwa mereka mengendurkan sikap, Musashi akan menyerang. Mereka mengerti bahwa Musashi bukanlah jenis orang yang biasa dijumpai di dunia ini.
Kizaemon pun tidak dapat membuat gerakan. “Aneh sekali orang ini!” pikirnya.
Pedang, manusia, tanah, dan langit-semuanya seperti sudah membeku jadi padat. Tetapi justru pada waktu itu ke tengah kediaman tersebut mengalun bunyi yang sama sekali tak diduga-duga, yaitu bunyi alunan suling yang ditiup angin.
Begitu nadanya menyerobot ke dalam telinga Musashi, ia lupa akan dirinya, lupa akan musuh, lupa akan hidup dan man. Jauh di dasar hatinya ia mengenali bunyi ini. Bunyi inilah yang telah memikatnya keluar dari persembunyian di Gunung Takateru dulu-bunyi yang telah menjatuhkannya ke tangan Takuan. Itulah suling Otsu, dan Otsu-lah yang memainkannya.
Batinnya menjadi lumpuh. Dari luar, perubahan itu hampir tidak dapat dilihat, tapi itu sudah cukup. Dengan memperdengarkan teriakan perang yang keluar dari pinggangnya, Kimura menerjang ke depan, lengan pedangnya seakan-akan menjelma enam atau tujuh kaki panjangnya.
Otot-otot Musashi menegang, dan darah seakan-akan menderas di dalam dirinya, menjurus kepada perdarahan. Ia yakin telah terluka. Lengan kimono kirinya tersobek dari bahu sampai pergelangan tangan, dan lengannya yang tiba-tiba kelihatan itu membuatnya menyangka bahwa ia terluka.
Untuk sesaat ia kehilangan penguasaan diri, dan ia pun menjerit menyerukan nama dewa perang. Ia melompat, tiba-tiba berpaling, dan melihat Kimura sudah menghuyung ke tempat tadi ia berdiri.
“Musashi!” seru Debuchi Magobei.
“Kau ini lebih pintar bicara daripada berkelahi!” ejek Murata ketika ia dan Kizaemon berusaha menghadang Musashi.
Tetapi Musashi waktu itu juga menendang tanah sekuat-kuatnya dan melompat demikian tinggi, hingga mengenai cabang-cabang bawah pepohonan pinus. Kemudian ia melompat berulang-ulang lagi, lenyap ke dalam gelap, dan tidak menoleh-noleh lagi.
“Pengecut!”
“Musashi!”
“Ayo berkelahi seperti lelaki!”
Ketika Musashi sampai di tepi parit sekitar kuil dalam, terdengar gemeretak rerantingan, tapi sudah itu diam. Satu-satunya bunyi yang terdengar hanyalah alunan suara suling yang manis di kejauhan.
Burung-Burung Bulbul
TIDAK mungkinlah untuk mengetahui berapa lama air hujan yang ada di dasar parit yang dalamnya tiga puluh kaki itu dapat menggenang. Musashi menyuruk ke dalam pagar di dekat puncak parit clan meluncur cepat setengah jalan turun, lalu berhenti dan melemparkan sebuah batu. Karena tidak mendengar kecipak air, ia meloncat ke dasar pant, dan di situ ia berbaring telentang di rumput, tanpa membuat bunyi apa pun.
Sebentar kemudian tulang-tulang iganya sudah berhenti naik-turun clan detak nadinya kembali normal. Ketika keringat sudah menyejuk, ia mulai bernapas teratur kembali.
“Tak mungkin Otsu ada di Koyagyu ini!” katanya pada diri sendiri. “Telingaku tentunya salah…. Meskipun begitu, bukan tak mungkin juga dia di sini. Mungkin juga dia.”
Sambil berdebat dengan dirinya, ia membayangkan mata Otsu di tengah bintang-bintang di atasnya, dan segera kemudian ia terbawa hanyut oleh kenangan: Otsu di celah perbatasan Mimasaka-Harima, mengatakan tidak dapat hidup tanpa dirinya dan tak ada lelaki lain baginya di dunia ini. Kemudian di Jembatan Hanada di Himeji, gadis itu mengatakan kepadanya telah menantinya hampir seribu hari, dan akan menanti sepuluh atau dua puluh tahun lagi-sampai ia tua dan putih rambutnya. Lalu minta dibawa serta, dan menyatakan bahwa ia dapat menahan kesukaran apa pun.
Perbuatan Musashi lari dari Himeji itu merupakan pengkhianatan. Oh, tentunya sesudah peristiwa itu gadis itu sangat membencinya! Oh, tentunya ia menggigit bibir dan mengutuk sifat lelaki yang tak dapat diduga-duga itu.
“Maafkan aku!” Kata-kata yang diukirnya di pagar jembatan itu kini keluar dari bibirnya. Air mata meleleh dari sudut-sudut matanya.
Terkejut ia mendengar teriakan dari puncak parit. Kedengarannya seperti, “Tak ada dia di sini.” Tiga atau empat obor kayu pinus menyala di antara pepohonan, kemudian menghilang. Mereka tidak mengetahui tempatnya.
Ia jadi kecewa melihat dirinya menangis. “Apa yang kubutuhkan dari seorang perempuan?” katanya mengolok-olok dirinya, sambil menghapus mata dengan tangannya. Ia bangkit berdiri dan menengadah memandang sosok hitam Puri Koyagyu.
“Mereka sebut aku pengecut, dan katanya aku tak dapat berkelahi seperti lelaki! Tapi aku belum lagi menyerah, sama sekali belum menyerah! Aku tidak melarikan diri. Aku cuma melakukan gerak mundur taktis.”
Hampir satu jam berlalu. Ia mulai berjalan pelan-pelan sepanjang dasar parit itu. “Bagaimanapun, tak ada gunanya bertempur dengan keempat orang itu. Bukan itu sasaranku. Kalau aku bertemu dengan Sekishusai sendiri, di situlah pertempuran dimulai.”
Ia berhenti dan mulai mengumpulkan ranting-ranting jatuhan yang kemudian ia patah-patahkan menjadi bilah-bilah pendek dengan lututnya. Satu demi satu bilah-bilah itu ia masukkan ke celah-celah dinding batu dan ia gunakan sebagai tempat menapak, lalu memanjat ke luar parit.
Tak ia dengar lagi bunyi suling. Sesaat ia mendapat perasaan samar-samar bahwa Jotaro memanggilnya, tapi ketika ia berhenti dan mendengarkan lebih saksama, ternyata tidak ada sesuatu pun yang terdengar. Sebetulnya ia tidak begitu gundah memikirkan anak itu. Anak itu dapat menjaga dirinya. Barangkali ia kini sudah bermil-mil jauhnya. Tidak adanya obor lagi menunjukkan bahwa pencarian sudah dihentikan, setidaknya untuk malam itu.
Keinginan untuk menemukan dan mengalahkan Sekishusai sekali lagi menjadi nafsu yang mengendalikan semuanya, menjadi hantu utama yang terbentuk akibat hasratnya yang mahahebat untuk mendapat pengakuan dan kehormatan.
Ia sudah mendengar dari pemilik penginapan itu bahwa Sekishusai mundur bukan ke salah satu lingkaran puri, melainkan ke satu tempat terpencil di wilayah luar. Musashi berjalan terus menembus hutan dan lembah. Kadang-kadang ia merasa sudah tersesat di luar wilayah puri, tapi kemudian potongan pant, dinding batu, atau lumbung padi meyakinkannya kembali bahwa ia masih ada di dalam.
Sepanjang malam ia mencari, dipaksa oleh dorongan setani. ia bermaksud, kalau nanti menemukan rumah pegunungan itu, akan menerobos masuk sambil mengucapkan tantangannya. Tapi ketika jam demi jam berlalu, mau rasanya ia melihat hantu dalam bentuk Sekishusai.
Hari sudah mendekati fajar ketika ia berada di gerbang belakang puri. Di sebelah sana menjulang tebing, dan di atas tebing itu Gunung Kasagi. Ketika ia sudah hampir menjerit karena frustrasi, ia kembali mengayun langkah ke arah selatan. Akhirnya, di kaki lereng yang menjurus ke bagian tenggara purl, pepohonan yang bagus bentuknya dan rumput yang terawat balk pun menyatakan kepadanya bahwa ia telah menemukan tempat memencilkan diri itu. Terkaannya segera dibenarkan oleh sebuah gerbang beratap lalang dengan gaya yang disukai ahli upacara minum teh besar Sen no Rikyu. Di dalam sana ia melihat rumpun bambu yang terselimut kabut pagi.
Ketika mengintip lewat celah di pintu gerbang, ia melihat jalan itu berkelok-kelok melintasi rumpun pohon, mendaki bukit, seperti yang terdapat di tempat-tempat penganut Budha Zen menyendiri di pegunungan. Sesaat ia tergiur untuk melompati pagar, tetapi ia masih menahan diri. Ada sesuatu pada lingkungan itu yang menghambatnya berbuat demikian. Apakah karena perawatan penuh cinta yang telah diberikan pada daerah itu, ataukah karena ia melihat daun-daun bunga putih di tanah? Apa pun alasannya, kepekaan penghuni tempat itu menembusnya hingga gejolak perasaan Musashi mereda. Tetapi tiba-tiba terpikir olehnya penampilannya sendiri. Tentunya ia tampak seperti orang gelandangan sekarang, dengan rambut awut-awutan dan kimono berantakan.
“Tak perlu buru-buru,” katanya pada diri sendiri, karena ia sekarang sadar bahwa tenaganya sudah habis. Ia mesti menguasai diri terlebih dahulu, sebelum menampilkan diri kepada tuan di dalam itu.
“Lambat atau cepat,” pikirnya, “pasti seseorang datang ke gerbang ini. Dan itulah waktunya. Kalau dia masih menolak menemuiku sebagai murid pengembara, akan kupergunakan pendekatan lain.” Ia duduk di bawah tepi atap gerbang, bersandar ke tiang, dan jatuh tertidur.
Bintang-bintang sedang memudar dan bunga-bunga aster putih berayunayun, ketika sebutir embun besar jatuh dengan dinginnya ke lehernya dan membangunkannya. Cahaya siang datang, dan ketika ia menggerakkan badan dari tidurnya, kepalanya dibasuh oleh angin pagi dan nyanyian burung bulbul. Tak ada lagi kelelahan yang tersisa ia merasa lahir kembali.
Ketika ia menggosok-gosok matanya dan menengadah, tampak olehnya matahari merah cemerlang naik di atas pegunungan. Ia bangkit. Panas matahari telah menghidupkan kembali semangatnya, dan tenaga yang tertimbun di dalam anggota badannya menghendaki kegiatan. Sambil meregangkan badan, ia berkata lirih, “Hari inilah harinya.”
Ia lapar, dan entah kenapa ia teringat pada Jotaro. Barangkali ia telah memperlakukan anak itu terlalu kasar malam sebelumnya, tapi itu gerakan yang sudah diperhitungkannya, dan bagian dari latihan anak itu. Sekali lagi Musashi merasa yakin bahwa di mana pun Jotaro waktu itu, ia tidak berada dalam bahaya.
Ia mendengarkan suara sungai kecil yang mengalir menuruni sisi gunung, mengambil jalan memutar dalam pagar, mengitari rumpun bambu, dan kemudian muncul dari bawah pagar dalam perjalanan menuju wilayah puri bawah. Musashi membasuh wajah dan minum sekenyang-kenyangnya untuk ganti makan pagi. Air itu bagus, ya, bagus sekali, hingga Musashi membayangkan bahwa mungkin itulah alasan utama Sekishusai memilih tempat ini untuk mengundurkan diri dari dunia. Namun karena ia tak tahu apa-apa tentang seni upacara minum teh, tak terbayang olehnya bahwa air semurni itulah yang menjadi cita-cita setiap ahli upacara minum teh.
Ia basuh handuk tangannya di dalam sungai, dan sesudah menggosok tengkuk seluruhnya, ia membersihkan kotoran kukunya. Kemudian ia rapikan rambut dengan belati yang melekat pada pedangnya. Karena Sekishusai tidak hanya pemilik Gaya Yagyu, tetapi juga salah satu orang besar di negeri itu, Musashi bermaksud menampilkan diri sebaik-baiknya. Ia sendiri tidak lebih dari seorang prajurit tak bernama. Ia berbeda dari Sekishusai, seperti berbedanya bintang yang terkecil dengan bulan.
Ia menepuk-nepuk rambutnya dan meluruskan kerahnya, dan ia merasa mantap dalam hati. Pikirannya terang; ia bertekad mengetuk pintu gerbang itu sebagai tamu yang sah.
Rumah itu cukup jauh letaknya di atas bukit. Karena itu kemungkinan ketukan biasa tidak akan terdengar. Maka dicarinya alat pengetuk, kalau ada, dan terlihatlah olehnya sepasang tanda peringatan di kedua sisi gerbang. Keduanya ditulis dengan indah, dan tulisan yang berupa ukiran itu diisi dengan tanah liat kebiruan yang tampaknya seperti lapisan perunggu. Di sebelah kanan tertulis:
Janganlah curiga, hai para penulis,
Akan dia yang menyukai purinya tertutup.
Dan di sebelah kiri:
Takkan kautemukan pemain pedang di sini, Hanya burung-burung bulbul muda di ladang.
Sajak itu ditujukan kepada para “penulis”, maksudnya para pejabat puri, namun maknanya lebih dalam dari itu. Orang tua itu menutup gerbangnya tidak hanya bagi para murid yang mengembara, tetapi juga bagi semua peristiwa dunia ini, bagi segala kemuliaan ataupun kesengsaraannya. Ia sudah meninggalkan sama sekali hasrat dunia, baik itu hasratnya sendiri maupun hasrat orang lain.
“Aku masih muda,” pikir Musashi. “Terlalu muda! Orang ini ada di luar jangkauanku sama sekali.”
Keinginan untuk mengetuk gerbang pun menguap. Ya, pikiran untuk menyerobot masuk mendatangi pertapa kuno itu kini terasa liar, dan ia merasa sangat malu terhadap diri sendiri.
Hanya bunga dan burung, angin dan bulan, yang akan memasuki gerbang ini. Sekishusai bukan lagi pemain pedang terbesar di negeri ini, bukan lagi penguasa tanah perdikan, tetapi orang yang telah kembali kepada alam, yang menolak kesia-siaan hidup manusia. Mengganggu rumah tangganya akan merupakan pelanggaran besar. Dan kehormatan apakah, dan jasa apakah, yang mungkin diperoleh dari mengalahkan orang yang sudah tidak menghargai kehormatan dan jasa?
“Bagus juga aku membaca ini,” kata Musashi pada diri sendiri. “Kalau tidak, aku akan menjadikan diriku orang yang setolol-tololnya!”
Bersama dengan semakin tingginya matahari di langit, nyanyian burung bulbul mereda. Dari kejauhan di atas bukit terdengar bunyi langkah-langkah cepat. Agaknya karena takut mendengar bunyi ribut itu, sekelompok burung kecil mengangkasa. Musashi mengintip lewat gerbang, siapakah yang datang itu.
Ternyata Otsu.
Jadi, suling gadis itulah yang telah didengarnya! Haruskah ia menanti dan kemudian menjumpainya? Atau pergi saja? “Aku ingin bicara dengannya,” pikirnya. “Aku harus!”
Keragu-raguan mencengkamnya. Jantungnya berdebar-debar dan keyakinan dirinya terbang.
Otsu berlari turun, hingga jaraknya tinggal beberapa meter saja dari tempatnya berdiri. Kemudian Otsu berhenti dan membalik, serta memperdengarkan teriakan terkejut.
“Kukira tadi dia ada di belakangku,” gumamnya sambil menoleh ke sekitar. Kemudian ia berlari kembali ke atas bukit, dan serunya, “Jotaro! Di mana kamu?”
Mendengar suaranya, Musashi menjadi merah mukanya karena malu, dan mulailah ia berkeringat. Ia merasa muak karena telah kehilangan keyakinan. Tak dapat ia bergerak dari tempat sembunyinya di dalam bayangan pepohonan itu.
Beberapa waktu kemudian Otsu memanggil kembali, dan kali ini terdengar balasannya. “Saya di sini! Di mana Kakak?” seru Jotaro dari bagian atas rumpun.
“Di sini!” jawab Otsu. “Aku kan sudah bilang tadi, jangan pergi ke manamana.”
Jotaro datang berlari-lari mendekati Otsu. “Oh, jadi Kakak di sini, ya?” serunya.
“Kan sudah kubilang kau ikut aku.”
“Saya juga sudah ikut, tapi kemudian saya lihat ayam pegar, jadi saya mengejarnya.”
“Mana bisa begitu, mengejar ayam pegar! Apa kamu lupa, mesti mencari orang penting pagi ini?”
“Ah, tapi saya tidak kuatir dengan dia. Dia bukan orang yang gampang terluka.”
“Kedengarannya lain dengan kejadian tadi malam itu: kamu datang lari-lari ke kamarku dan langsung mau nangis saja.”
“Ah, tidak betul, saya bukan mau menangis. Cuma semuanya itu begitu cepat, sampai tak tahu saya, apa yang mesti saya lakukan.”
“Aku juga begitu, terutama sesudah kamu menyebut nama gurumu itu.”
“Tapi bagaimana Kakak bisa kenal dengan Musashi?”
“Kami datang dari desa yang sama.”
“Cuma itu?”
“Tentu saja cuma itu.”
“Lucu. Saya tak mengerti, kenapa pula Kakak mesti menangis hanya karena ada orang sedesa datang ke sini.”
“Tapi apa aku menangis lama?”
“Bagaimana bisa Kakak ingat semua yang saya lakukan, kalau Kakak tak bisa ingat apa yang Kakak lakukan sendiri? Tapi biar bagaimana, saya kira, saya cukup gentar juga. Kalau soalnya cuma empat orang biasa lawan guru saya, saya tak akan kuatir. Tapi kabarnya mereka semua itu jagoan. Ketika mendengar suling itu, saya pun ingat Kakak ada di puri ini, karena itu saya pikir kalau saya dapat minta maaf kepada Yang Dipertuan…”
“Kalau kamu memang mendengarku main suling, Musashi tentunya mendengar juga. Bahkan dia mungkin tahu yang main itu aku.” Suara Otsu menjadi lunak. “Aku sedang memikirkan dia ketika aku main itu.”
“Saya tak melihat apa pentingnya itu. Cuma, dari bunyi suling itu saya dapat mengira-ngira di mana Kakak berada.”
“Tapi sungguh pertunjukan besar yang kamu lakukan-menyerbu rumah orang dan menjerit-jerit tentang ‘pertempuran’ yang sedang terjadi. Yang Dipertuan jadi terkejut juga.”
“Tapi dia orang baik. Ketika saya katakan padanya saya sudah membunuh Taro, dia tidak mengamuk seperti yang lain-lain.”
Tiba-tiba, karena sadar sedang membuang-buang waktu, Otsu bergegas pergi ke gerbang. “Kita bisa bicara lagi nanti,” katanya. “Sekarang ada yang lebih penting dilakukan. Kita mesti mencari Musashi. Sekishusai malahan sudah melanggar peraturannya sendiri. Katanya dia mau menemui orang yang sudah melakukan apa yang kamu katakan itu.”
Otsu tampak benar-benar riang, seperti bunga. Dalam matahari terang awal musim panas itu pipinya bersinar seperti buah masak. Ia mencium daun-daun muda, dan ia merasa kesegaran dedaunan itu mengisi paruparunya.
Musashi yang sedang bersembunyi di antara pepohonan memperhatikannya baik-baik clan mengagumi kesehatan tubuhnya. Otsu yang ia lihat sekarang ini lain sekali dengan gadis yang duduk patah hati di beranda Kuil Shippoji dan memandang dunia luar dengan mata kosong. Perbedaannya adalah karena waktu itu Otsu tak punya orang yang dicintai. Atau setidak-tidaknya, cinta yang dirasakannya waktu itu hanyalah samar-samar dan sukar dipegang. Waktu itu ia masih anak-anak yang sentimental, yang sadar benar akan keyatimannya dan merasa agak benci dengan kenyataan itu.
Sesudah mengenal Musashi dan mengaguminya, lahirlah cinta yang kini menetap di dalam dirinya dan memberikan arti pada hidupnya. Sepanjang tahun yang dihabiskannya untuk mengembara mencari Musashi, tubuh dai pikirannya membentuk keberanian untuk menghadapi apa pun.
Musashi cepat menangkap daya hidup Otsu yang baru dan membuatnya bertambah cantik itu, dan ingin ia membawa gadis itu ke suatu tempat, di mana mereka dapat berduaan saja, dan menceritakan semua kepadanya Betapa ia merindukan Otsu secara fisik. Ia ingin mengungkapkan bahwa jauh di dalam hatinya yang terbuat dari baja itu terdapat kelemahan. Ia ingin menarik kembali kata-kata yang diukirkannya di Jembatan Hanada itu. Kalau tidak ada orang yang tahu, ia dapat menunjukkan kepada Otst bahwa ia pun dapat bersikap mesra. Ia akan menyatakan kepada Otsu. Ia dapat mendekapnya, membelaikan pipinya ke pipi Otsu, mencurahkan air mata yang ingin ia tangiskan. Sekarang ia cukup kuat untuk mengaku bahwa semua perasaannya itu nyata.
Hal-hal yang dikatakan Otsu kepadanya di masa lampau kini kembal mengiang di telinganya, dan ia melihat betapa kejam dan buruknya ia menolak cinta yang sederhana dan terus terang seperti yang diungkapkan Otsu.
Ia memang merasa sengsara, namun ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak dapat menyerah kepada segala perasaan itu, sesuatu yang menyatakan kepadanya bahwa itu salah. Dirinya terpecah menjadi dua: pertama, yang berseru kepada Otsu, dan kedua yang mengatakan kepadanya bahwa ia orang tolol. Ia tak bisa mengatakan, manakah dirinya yang sebenarnya Seraya memperhatikan dari balik pohon dan tenggelam dalam keraguan itu ia seperti melihat dua jalan di hadapanya, satu jalan terang, dan yang lain jalan gelap.
Karena tak tahu adanya Musashi, Otsu berjalan beberapa langkah meninggalkan gerbang. Dan ketika menoleh ke belakang, ia melihat Jotaro membungkuk mengambil sesuatu.
“Jotaro, apa yang kamu lakukan itu? Ayo cepat!”
“Tunggu!” seru Jotaro riang. “Lihat ini!”
“Ah, itu kan cuma gombal tua yang kotor! Buat apa itu?”
“Ini milik Musashi.” .
“Milik Musashi?” ucap Otsu sambil berlari kembali mendapatkan Jotaro.
“Ya, ini miliknya,” jawab Jotaro seraya membeberkan handuk tangan itu untuk dilihat Otsu.
“Saya ingat ini. Ini dari rumah janda tempat kami menginap di Nara Lihat ini: ada gambar daun mapel celupan di sini, dan ada huruf yang bunyinya ‘Lin’. Ini nama pemilik restoran bakpau di sana.”
“Apa menurutmu Musashi ada di sini?” teriak Otsu sambil memandang bingung ke sekitarnya.
Jotaro berdiri tegak sampai hampir setinggi gadis itu, dan dengan sekuat suaranya ia memekik, “Sensei!”
Di tengah rumpun terdengar bunyi gemeresik. Tersengal Otsu memutai badan dan melejit ke arah pepohonan, diikuti anak itu.
“Ke mana Kakak pergi?” tanya Jotaro.
“Musashi baru saja lari!”
“Ke mana?”
“Ke situ.”
“Saya tak melihat dia.”
“Di rumpun pohon sana itu!”
Otsu melihat sosok tubuh Musashi, tetapi kegembiraan sekilas yang dirasakannya segera digantikan oleh keprihatinan, karena Musashi dengan cepat meningkatkan jarak yang memisahkan mereka. Otsu berlari mengejar dengan sekuat kakinya. Jotaro berlari mengikutinya, walau tidak yakin benar bahwa Otsu melihat Musashi.
“Kakak keliru!” pekik Jotaro. “Barangkali orang lain. Kenapa Musashi mesti lari?”
“Coba lihat itu!”
“Ke mana?”
“Ke sana!” Ia mengambil napas dalam-dalam, dan sambil mengerahkan suara sekuat-kuatnya ia menjerit, “Musashi!!” Tapi baru saja teriakan kalut itu keluar dari bibirnya, ia terhuyung jatuh. Jotaro menolongnya berdiri, tapi ia berteriak, “Kenapa kamu tidak memanggilnya juga? Panggil dia! Panggil dia!”
Jotaro bukannya melakukan yang disuruhkan Otsu, melainkan kelu karena terkejut, dan menatap wajah Otsu. Sudah pernah ia melihat wajah itu, dengan matanya yang merah, alis yang seperti jarum, serta hidung dan rahang yang seperti lilin. Itulah muka topeng! Topeng perempuan gila yang diberikan kepadanya oleh janda di Nara itu. Pada mulut Otsu tidak ada bengkokan aneh ke atas, tapi di luar itu keduanya serupa. Jotaro cepat menarik tangannya dan undur dengan ketakutan.
Otsu terus mencelanya. “Kita tak boleh menyerah! Dia tak akan kembali lagi kalau kita biarkan dia pergi sekarang! Panggil dia! Suruh dia kembali!”
Ada sesuatu yang menolak dalam diri Jotaro, tapi pandangan wajah Otsu menyatakan kepadanya, tak ada gunanya berdebat dengannya. Maka mereka berlari kembali, dan ia mulai berteriak juga sekuat-kuatnya.
Di sebelah hutan terdapat bukit rendah, dan sepanjang kaki bukit itu menghampar jalan belakang dari Tsukigase ke Iga. “Itu Musashi!” teriak Jotaro. Sampai di jalan tersebut, anak itu dapat dengan jelas melihat gurunya, tetapi Musashi sudah terlalu jauh di depan mereka, hingga tak dapat mendengar teriakan mereka.
Otsu dan Jotaro berlari sekuat kaki mereka sambil berteriak-teriak sampai parau. Jeritan mereka menggema melintasi peladangan. Di ujung lembah mereka tidak melihat Musashi lagi, karena ia lari langsung masuk kaki perbukitan yang berhutan lebat.
Mereka berhenti dan berdiri di sana, sedih, seperti anak-anak telantar. Awan putih menghampar kosong di atas mereka, sementara gemericik sungai menambah kesepian mereka.
“Dia sudah gila! Dia tak berakal! Bagaimana mungkin dia meninggalkan saya seperti ini?” teriak Jotaro sambil mengentak-entakkan kakinya.
Otsu bersandar ke pohon berangan besar, dan air matanya mengucur sejadi-jadinya. Cintanya yang besar pada Musashi tak mampu menahan kepergian Musashi—walaupun untuk cinta itu ia bersedia mengorbankan segalanya. Ia heran, merasa kehilangan, dan marah. Ia tahu, apa tujuan hidup Musashi dan kenapa Musashi menghindari dirinya. Ia sudah tahu itu, sejak pengalaman di Jembatan Hanada. Namun ia tak bisa mengerti, kenapa Musashi menganggapnya penghalang antara dirinya dan cita-citanya. Kenapa tekadnya itu mesti dilemahkan oleh kehadirannya?
Ataukah itu cuma alasan? Apakah alasan sebenarnya karena Musashi tidak cukup mencintainya? Itulah yang barangkali lebih masuk akal. Namun… namun… Otsu mulai memahami Musashi ketika melihatnya terikat di pohon di Shippoji itu. Ia tak percaya bahwa Musashi orang yang bisa berbohong kepada perempuan. Kalau Musashi tak ada minat kepadanya, ia akan mengatakannya demikian, tapi kenyataannya di Jembatan Hanada Musashi mengatakan senang sekali kepadanya. Ia mengingat kembali katakata Musashi dengan sedihnya.
Sebagai anak yatim, sikap dingin tertentu mencegah dirinya mempercayai banyak orang, tapi sekali ia percaya pada seseorang, ia akan mempercayainya sepenuhnya. Pada waktu ini ia merasa tidak ada orang lain kecuali Musashi yang patut dibela atau diandalkannya. Pengkhianatan Matahachi telah mengajarkan kepadanya betapa seorang gadis harus berhati-hati dalam menilai lelaki. Tetapi Musashi bukanlah Matahachi. Ia telah memutuskan akan hidup untuk Musashi, apa pun yang terjadi, dan ia telah membulatkan tekad untuk tidak menyesal berbuat demikian.
Tapi kenapa Musashi tak dapat mengucapkan kata-kata, biarpun hanya sepatah? Ini sungguh terlalu berat untuk ditanggung. Daun-daun pohon berangan bergetar, seakan-akan pohon itu sendiri mengerti dan bersimpati.
Semakin marah, semakin ia tenggelam dalam cinta pada Musashi. Apakah itu nasib atau bukan, tidak dapat Ia mengatakannya, tetapi semangatnya yang dirobek-robek kesedihan menunjukkan bahwa tidak ada hidup sejati baginya di luar Musashi.
Jotaro memandang ke jalan, dan ucapnya, “Nah, ini datang seorang pendeta.” Otsu tidak memperhatikannya.
Dengan semakin dekatnya siang, langit di atas berubah menjadi biru tua, transparan. Biarawan yang menuruni lereng di kejauhan itu tampak seperti turun dari atas awan dan tak ada hubungan apa pun dengan bumi ini. Ketika mendekati pohon berangan itu, ia memandangnya dan melihat Otsu.
“Lho, ada apa ini?” katanya. Mendengar suaranya, Otsu menengadah.
Dengan matanya yang bengkak dan lebar karena kagum ia berseru, “Takuan!” Dalam keadaannya sekarang ini, ia melihat Takuan Soho sebagai penyelamat. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ia tidak sedang bermimpi.
Sekalipun melihat Takuan merupakan guncangan bagi Otsu, namun bagi Takuan menemukan Otsu tidak lebih daripada pembenaran atas sesuatu yang telah ia curigai. Kedatangannya bukan kebetulan, dan bukan pula keajaiban.
Takuan sudah lama menjalin hubungan persahabatan dengan Keluarga Yagyu. Perkenalannya dengan mereka bermula ketika ia masih seorang biarawan muda di Kuil Sangen’in, Daitokuji. Kewajibannya mencakup pembersihan dapur dan pembuatan empleng kacang.
Pada masa itu, Sangen’in yang dikenal dengan nama “Sektor Utara” Daitokuji termasyhur sebagai tempat berkumpul para samurai “luar biasa”, artinya samurai yang mencurahkan perhatiannya kepada pemikiran filsafat tentang makna hidup dan mati, yaitu orang-orang yang merasakan perlunya mempelajari peristiwa-peristiwa kejiwaan maupun keterampilan teknik dalam seni perang. Kaum samurai yang bergerombol di sana lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan kaum biarawan Zen, dan salah satu hasilnya adalah kuil itu jadi dikenal sebagai wilayah pembibitan pemberontakan.
Di antara samurai yang sering datang ke sana adalah Suzuki Ihaku, saudara lelaki Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, Yagyu Gorozaemon, ahli waris Keluarga Yagyu, dan saudara lelaki Gorozaemon, yaitu Munenori. Munenori cepat menyukai Takuan, dan keduanya bersahabat semenjak itu. Sesudah beberapa kali mengadakan kunjungan ke Puri Koyagyu, Takuan berjumpa dengan Sekishusai dan menaruh rasa hormat yang besar kepada orang tua itu. Sekishusai pun menyukai biarawan muda ini, yang baginya mengesankan, karena memiliki banyak harapan di masa depan.
Baru-baru ini Takuan singgah beberapa waktu lamanya di Kuil Nansoji di Provinsi Izumi, dan dari sana ia mengirimkan surat menanyakan kesehatan Sekishusai dan Munenori. Dan ia telah menerima jawaban panjang dari Sekishusai, yang di antaranya berbunyi:
Saya sangat beruntung akhir-akhir ini. Munenori sudah mendapat kedudukan dalam Keluarga Tokugawa di Edo, dan cucu saya yang telah meninggalkan pekerjaannya pada Yang Dipertuan Kato dari Higo, dan pergi belajar sendiri, banyak mendapat kemajuan. Saya sendiri sekarang memiliki tenaga seorang gadis muda dan cantik, yang tidak hanya dapat bermain suling dengan baik, tetapi juga berbicara dengan saya, dan bersama-sama kami menyiapkan teh, menyusun bunga, dan mengarang sajak. la menjadi kegembiraan dalam umur tua saya, menjadi bunga yang berkembang di rumah, yang kalau tidak berkat dirinya akan merupakan gubuk tua yang dingin dan layu. Karena ia mengatakan datang dari Mimasaka yang berdekatan dengan tempat kelahiran Anda dan dibesarkan di kuil yang bernama Shippoji, saya pikir Anda dan dia banyak memiliki persamaan. Menyenangkan luar biasa minum sake malam hari dengan iringan suling yang baik permainannya, dan karena Anda demikian dekat dengan tempat ini, saya harap Anda datang dan menikmati santapan ini bersama saya.
Dalam keadaan bagaimanapun, sangat sukar bagi Takuan menolak andangan ini, tetapi dugaannya bahwa gadis yang dilukiskan dalam surat itu adalah Otsu, membuatnya bersungguh-sungguh menerimanya.
Ketika mereka bertiga berjalan menuju rumah Sekishusai, Takuan mengajukan banyak pertanyaan pada Otsu, dan Otsu menjawabnya tanpa bertele-tele. Ia menyampaikan kepada Takuan apa yang dilakukannya semenjak wrakhir kali mereka bertemu di Himeji dahulu, lalu apa yang telah terjadi pagi itu, dan akhirnya bagaimana perasaannya terhadap Musashi.
Takuan mendengarkan cerita Otsu yang menyedihkan itu sambil mengangguk-angguk sabar. Ketika Otsu selesai bercerita, ia mengatakan, “Kukira kaum perempuan mampu memilih jalan hidup yang mustahil bagi kaum lelaki. Menurut penangkapanku, kau menghendaki aku memberikan nasihat padamu tentang jalan yang harus kautempuh di masa depan.”
“Oh, tidak.”
“Nah…. “
“Saya sudah memutuskan apa yang akan saya perbuat.”
Takuan memperhatikan dengan saksama. Otsu sudah berhenti berjalan dan kini memandang tanah. Ia kelihatan berada dalam lembah keputusasaan, namun ada suatu kekuatan dalam nada bicaranya, yang memaksa Takuan melakukan penilaian kembali.
“Sekiranya saya punya keraguan, sekiranya saya bermaksud menyerah,” kata Otsu, “barangkali tak akan saya meninggalkan Shippoji. Saya masih bertekad menemui Musashi. Satu-satunya pertanyaan dalam pikiran saya adalah, apakah hal ini akan menimbulkan kesulitan baginya, dan apakah kalau saya terus hidup akan mendatangkan ketidakbahagiaan padanya. Kalau memang demikian, saya harus melakukan sesuatu untuknya.”
“Dan apa itu artinya?”
“Tak dapat saya mengatakannya pada Bapak.”
“Hati-hatilah, Otsu!”
“Terhadap apa?”
‘Di bawah matahari yang terang riang ini dewa maut sedang menariknarikmu. “
“Sava… saya tak mengerti apa yang Bapak maksudkan.”
“Kukira memang tak akan kamu mengerti, tapi itu karena dewa maut ncminjamkan tenaga kepadamu. Tolol kamu, Otsu, kalau kau mau mati, khususnva demi hal yang tak lebih dari cinta yang bertepuk sebelah rangan.” kata Takuan tertawa.
Otsu menjadi marah kembali. Pikirnya, tak ada bedanya ini dengan udara kosong, karena Takuan tidak pernah jatuh cinta. Tak mungkin bagi orang yang tidak pernah jatuh cinta memahami apa yang dirasakannya. Baginya, mencoba menjelaskan perasaannya kepada Takuan sama saja dengan Takuan mencoba menjelaskan Budhisme Zen kepada orang pandir. Tapi seperti halnya terdapat kebenaran dalam Zen, entah yang pandir dapat memahaminya atau tidak, ada orang-orang yang bersedia mati demi cinta, entah Takuan dapat memahaminya atau tidak. Setidak-tidaknya bagi perempuan, cinta itu satu hal yang jauh lebih serius daripada teka-teki sulit seorang pendeta Zen. Bagi seorang yang dibuai oleh cinta yang bermakna hidup atau mati, tidak ada bedanya bunyi tepukan sebelah tangan. Sambil menggigit bibir, Otsu bersumpah tak akan mengatakan apa-apa lagi.
Takuan menjadi sungguh-sungguh. “Kau mestinya dilahirkan sebagai laki-laki, Otsu. Seorang lelaki yang memiliki kemauan seperti yang kaumiliki ini pasti dapat melaksanakan sesuatu demi kebaikan negeri.”
“Jadi, apakah salah, seorang perempuan seperti saya ini hidup? Karena akan mendatangkan kerugian pada Musashi?”
“Jangan putar balikkan apa-apa yang kukatakan. Aku tidak bicara soal itu. Betapapun kamu mencintainya, dia masih lari, bukan? Dan aku berani mengatakan kamu tak akan dapat menangkapnya.”
“Saya lakukan ini bukan karena saya senang melakukannya. Saya tak bisa berbuat lain. Saya mencintainya!”
“Coba, belum lama aku tidak melihatmu, dan melihatmu lagi kamu sudah berbuat seperti semua perempuan lain.”
“Oh, jadi Bapak tidak lihat, ya? Baiklah, tak usah kita bicara lagi. Pendeta cemerlang seperti Bapak tak akan dapat memahami perasaan perempuan!”
“Tak bisa aku menjawab ini. Memang benar, perempuan bagiku merupakan teka-teki.”
Otsu melengos, dan katanya, “Ayo pergi, Jotaro.”
Takuan berdiri memperhatikan, sedangkan Otsu dan Jotaro menuruni jalan samping. Diiringi kerjapan alisnya yang sedih, biarawan itu sampai pada kesimpulan bahwa tak ada lagi yang dapat dilakukannya. Maka serunya kepada Otsu, “Apa kamu takkan mengucapkan selamat tinggal pada Sekishusai, sebelum pergi menuruti kehendak hati?”
“Saya akan mengucapkan selamat tinggal dalam hati. Beliau tahu, saya tak pernah bermaksud tinggal lama di sini.”
“Jadi, kamu tak akan mempertimbangkannya kembali?”
“Mempertimbangkan apa?”
“Tinggal di Pegunungan Mimasaka itu indah, tapi di sini juga indah. Di sini damai dan tenang, dan hidup di sini sederhana. Daripada melihat kamu pergi memasuki dunia biasa dengan segala kesengsaraan dan kesulitannya, aku lebih suka melihatmu hidup dalam kedamaian, di tengah pegunungan dan sungai-sungai ini, seperti juga burung-burung bulbul yang kita dengar sedang menyanyi itu.”
“Ha, ha! Terima kasih banyak, Pak!”
Takuan mengeluh, karena sadar bahwa ia tidak berdaya menghadapi perempuan muda yang berkemauan keras ini, yang demikian bertekad pergi membuta menempuh jalan yang telah dipilihnya. “Kamu boleh tertawa, Otsu, tapi jalan yang hendak kamu tempuh itu jalan kegelapan.”
“Kegelapan?”
“Kamu dibesarkan di dalam kuil. Kamu mesti tahu, bahwa jalan kegelapan dan keinginan itu hanya menjurus pada kekecewaan dan kesengsaraan. Kekecewaan dan kesengsaraan yang tak bisa diselamatkan lagi.”
“Tidak pernah ada jalan terang bagi saya, tidak ada, sejak saya lahir.”
“Ah, ada, ada!” Takuan memasukkan tetesan daya terakhir ke dalam permohonan-nya, dan ia dekati gadis itu dan ia pegang tangannya. Ia ingin sekali agar gadis itu mempercayainya.
“Aku akan bicara dengan Sekishusai tentang itu,” demikian ditawarkannya. “Tentang bagaimana kamu bisa hidup dan bahagia. Kamu bisa mendapatkan suami yang baik di Koyagyu, memiliki anak-anak, dan melakukan hal-hal yang juga dilakukan perempuan lain. Kamu akan membuat tempat ini lebih baik. Dan itu akan membuatmu lebih bahagia.”
“Saya mengerti, Bapak berusaha membantu, tapi…”
“Cobalah! Kuminta kamu mencoba!”
Sambil menarik tangan gadis itu, ia memandang Jotaro, dan katanya, “Kamu juga, Nak!”
Jotaro menggelengkan kepala dengan tegas. “Saya tidak. Saya akan mengikuti guru saya.”
“Nah, lakukanlah apa yang kamu suka, tapi setidak-tidaknya kembalilah ke puri mengucapkan selamat tinggal pada Sekishusai.”
“Oh, saya lupa!” kata Jotaro terengah. “Topeng saya tertinggal di sana. Akan saya ambil dulu.” Ia segera berlari, tak peduli dengan jalan kegelapan dan jalan terang itu.
Otsu berdiam diri di persimpangan. Takuan diam, dan kembali menjadi teman lama yang pernah dikenalnya. Takuan sudah mengingatkannya akan bahaya yang mengintai dalam hidup yang hendak ditempuhnya dan mencoba meyakinkannya bahwa ada jalan lain untuk menemukan kebahagiaan. Tapi Otsu tetap tak tergoyahkan.
Kemudian Jotaro kembali berlari-lari mengenakan topeng. Takuan mengerut melihatnya, dan secara naluriah merasa bahwa itulah wajah masa depan Otsu, wajah yang akan ia saksikan sesudah Otsu menanggung derita dalam perjalanan panjangnya menelusuri jalan kegelapan.
“Saya pergi sekarang,” kata Otsu, dan melangkah meninggalkan Takuan. Jotaro bergayut pada lengan kimononya, katanya, “Ya, ayo pergi! Sekarang!”
Takuan menengadahkan mata ke awan-awan putih, meratapi kegagalannya. “Tak ada lagi yang dapat kuperbuat,” katanya. “Sang Budha sendiri pun berputus asa menyelamatkan perempuan.”
“Selamat tinggal, Pak,” kata Otsu. “Saya nyatakan hormat kepada Sekishusai di sini, tapi saya mohon Bapak menyampaikan terima kasih saya dan ucapan selamat berpisah kepada beliau.”
“Oh, aku bahkan mulai berpikir sekarang bahwa pendeta-pendeta adalah orang gila. Ke mana saja mereka pergi, mereka bertemu dengan orang-orang yang berduyun-duyun menuju neraka.” Takuan mengangkat kedua tangannya, menjatuhkannya, dan katanya dengan sangat khidmat, “Otsu, kalau kau nanti mulai tenggelam dalam Enam Jalan Jahat atau Tiga Persimpangan, sebutlah namaku. Pikirkan diriku, dan panggillah namaku! Sementara ini, yang bisa kukatakan cuma, pergilah sejauh kau bisa, dan cobalah berhati-hati!”
Cerita Novel Musashi buku 2, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp//?cat=43
[lihat: Lanjutan cerita]
0 KOMENTAR ANDA:
Posting Komentar