Pengantar
Ini adalah kisah Buddha Gotama (Buddha dari keturunan keluarga Gotama) atau Samana/Petapa Gotama atau Sang Bhagava atau Buddha Sakyamuni (Buddha petapa suku Sakya) dengan nama Siddhattha (Thera Apadana no.21, 164, 184), yang hidup dikisaran 568 SM - 488 SM. Kisah diambil dari: Sutta dan Vinaya, kitab komentar, Buku "Riwayat Agung Para Buddha"/RAPB, Cetakan ke-1, Mei 2008, "Biography of Sakayamuni Buddha", Gunapayuta et al; Dictionary of Pāli Proper Names (DPPN), dll. Gambar kebanyakan dari: Buddhanet, dll. Untuk tahu lebih lanjut tentang ajaran ini, buka "Ringkasan Ajaran Buddha" dan "Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran". (semua terjemahan sutta/vinaya artikel ini, diasumsikan telah diterjemahkan sesuai)
Pada salah satu bagian dari Cakkavala (tatasurya) terdapat 4 Mahadipa (Benua besar) yaitu Jambudipa, Uttarakuru, Aparagoyāna dan Pubbavideha [Misal AN 3.80]. Buddha Gotama sejak lahir hingga wafat berada di area Jambudipa. Di area ini terdapat 16 Kerajaan besar/soḷasannaṃ mahā-janapadānaṃ (AN 3.70/AN8.42) dan yang berada di wilayah Tengah (Majjhimadesa) Jambudipa adalah:
Sedangkan di wilayah Utara (Uttarāpaṭha) Jambudipa:
Silsilah Siddhata Gotama:
Mahāsammata - ... - Mahāsudassana - ... - Makhādeva - ... - Nimi (MN 83) - ... - Renu (DN 19) - ... - Okkāka - Sīhassara - Jayasena - Sīhahanu - Suddhodana - Siddhattha Gotama [Mahavamsa, Wilhelm Geiger, hal 10-12, II.12-20. Dipavamsa bab III]. Mahāsammata hidup mulai dari kappa pertama di Maha Kappa ini dan wafat diusia asaṅkheyya (sangat banyak, tidak dapat dihitung), kerajaannya bernama Ceti dan ibukotanya Sotthivati. Bodhisatta saat itu menjadi Brahma Kapila. Setelah Mahasammata wafat, raja berikut adalah Upacara/Apacara (kelahiran sebelumnya Devadatta), setelah Apacara wafat (terlahir di neraka Avici), 5 anaknya mendirikan kota, yaitu Hatthipura, Assapura, Sīhapura, Uttarapañcāla dan Daddapura [Athakatha jataka no.422]. Pada jaman Raja Renu, Mahajanapada (Kerajaan Besar) terbagi 7 wilayah: Raja Sattabhū bertahta di Dantapura ibu kota wilayah Kālinga; Raja Brahmadatta di Potaka ibukota wilayah Assaka; Raja Vessabhū di Mahissati ibukota wilayah Avanti; Raja Bharata di Roruka ibukota wilayah Sovīra, Raja Dhataraṭṭha Mithilā ibukota wilayah Videha, Raja Dhataraṭṭha Campā ibukota wilayah Anga dan Raja Renu di Benares/Vanarasi ibukota wilayah Kāsī (DN 19. Untuk raja wilayah mananya tidak disebutkan).
Asal usul nama Sakya terjadi pada jaman Raja Okkāka, leluhur suku Sakya dan Koliya. Ia mempunyai 16.000 istri (5 diantaranya bernama: Bhattā, Cittā, Jālinī, Visākhā dan Jantū. Sementara Bhattā adalah permaisurinya). Permaisuri Bhattā melahirkan 4 anak pria (Okkāmukha, Karaṇḍu, Hatthinīya dan Sīnipura) dan 5 anak perempuan (Piyā, Suppiyā, Anandā, Vijitā and Vijitasenā). Ketika Bhattā wafat, Raja menikah lagi dan lahirlah Jantukumāra (arti: anak lelaki Jantu). Permaisuri barunya ini berkeinginan untuk memberikan tahta kerajaan kepada putranya (Jantukumara). Keinginannya dikabulkan, maka kemudian, raja mengusir 9 putra-putri lainnya, yang lebih tua dari kerajaan. Mereka yang terusir ini pergi mengembara dan tiba di lereng Himālaya di sebelah kolam teratai di mana terdapat hutan pohon sāka (pohon ek). Karena khawatir akan mencemari keturunan, anak raja Okkāka yang terusir ini, para prianya menikahi saudari-saudarinya. Suatu ketika Raja Okkāka bertanya kepada para menteri dan penasihatnya: “Di manakah para pangeran menetap sekarang?” dan mereka memberitahunya. Mendengar berita ini Raja Okkāka berseru: “Mereka kuat bagaikan kayu jati sāka, para pangeran ini, mereka adalah orang Sakya sejati!” dan demikianlah bagaimana suku Sakya memperoleh namanya [DN 3/Ambattha Sutta, juga Theragata Apadana 44].
Tempat di mana para anak raja Okkāka yang terusir ini tiba dari pengembaraan, adalah tempat pertapaan Rsi/Petapa Kapila. Sang Rsi kemudian menyarankan mereka untuk membangun kediaman di situ. Saran itu diikuti dan mereka namakan tempat itu Kapilavatthu (kediaman Kapila). [Kitab komentar: DA.i.259 f; MT.132 f; SnA.ii.353]
Para ahli jaman sekarang menduga lokasi Kapilavatthu, antara dua tempat yaitu di Tilaurakot (Nepal, ± 28 Km dari Lumbini) atau di Piprahwa (Uttar Pradesh, India, ± 14,5 Km dari Lumbini). Kedua lokasi ini terletak di kaki pegunungan Himalaya. Luas Kapilavatthu diperkirakan ± 100 mil2.
Ratu Mahamaya dan Raja Suddhodana
Raja Suddhodana (DN 14, SNP 3.11, Vinaya Mahavagga) beristri dua, yaitu Mahāmāyā/Māyā (MayaDewi) (DN 14) dan Mahapajapati/pradjapati Gotami, keduanya putri dari Raja Anjana (Pemimpin suku Koliya, 11 mil timur Kapilavatthu) dan Ratu Yasodharā (putri dari Raja Jayasena, ayah dari Suddhodana). Mahāmāyā memiliki 3 saudara kandung yaitu: Suppabuddha [Ayah dari Devadatta dan Yasodhara], Dandapāni (Pria), dan Mahāpajāpatī Gotami. Mereka lahir di Devadaha.
Mahamaya dan Mahapajapati Gotami keduanya hamil dengan selisih beberapa hari. Usia Ratu Maya/Mahāmāyā saat kehamilan sang Bodhisatta/calon Buddha berada diantara 40-50 tahun (RAPB buku ke-1 hal.423-424: berada di bagian ke-3 tahap ke-2 kehidupan/majjhima vaya, yang menurut Samanta Cakkhu Dipanã = 55 tahun 4 bulan). Kualitas Ratu Maya sebagai ibu seorang Bodhisatta adalah karena telah melatih kesempurnaan (pāramitā) selama 100.000 kappa kehidupan sebelumnya, kemudian di kehidupannya saat ini, Ia sempurna dalam kerendahan hati dan telah menjalankan 5 sila tanpa pelanggaran (yaitu: tidak menyakiti kehidupan; tidak mengambil yang tidak diberikan; tidak memuaskan indriya dengan cara salah; tidak berkata tidak benar; dan, tidak memasukan asupan yang melemahkan kesadaran) [Ibid, hal.420-421].
Ketika terjadi perayaan tahunan festival bintang (Uttarāsālhanakkhatta) yang berlangsung 7 hari sampai Purnama, para penduduk merayakannya dengan tidak memasukan asupan yang dapat melemahkan kesadaran dan tidak menghias diri dengan bunga, wangian dan perhiasan dan dandan. Pada hari Purnama melakukan 8 Sila (yaitu: tidak menyakiti kehidupan; tidak mengambil yang tidak diberikan; melakukan kehidupan brahma, tidak melakukan aktivitas seksual; tidak berkata tidak benar; tidak memasukan asupan yang melemahkan kesadaran; makan 1x sebelum tengah hari; tidak menonton dan melakukan tarian, nyanyian, musik; tidak menghias diri dengan bunga, wangian, kosmetik, perhiasan; dan, berbaring/duduk pada tempat yang sederhana). Malam harinya, ketika Mahāmāyā tidur, Ia bermimpi: 4 raja dewa mengangkat dan membawanya yang duduk dikursi kerajaan menuju Manosilātala, ke danau Anotta, Himalaya dan ditempatkan di bawah pohon sāla. Para istri dari ke-4 raja dewa mendekatinya, memandikannya di danau, menghiasinya dengan busana surgawi, minyak wangi dan bunga-bunga surgawi, kemudian membiarkannya tidur di wisma keemasan di sebuah gunung perak yang tidak jauh dari danau. Kemudian muncul gajah putih yang membawa sekuntum teratai di belalainya yang berkilau, mengelilinginya 3x searah jarum jam, lalu memasuki kandungannya dari sisi kanan tubuhnya lalu gajah itupun menghilang. Sang ratu terjaga dari tidurnya dan saat itu terjadi gempa bumi dengan 32 fenomena tidak lazim [Ibid, hal 424-428].
Ratu memberitahukan mimpi ini kepada Raja, lalu raja mengundang 64 brahmana untuk menanyakan arti mimpi tersebut dan mereka menerangkan bahwa Ratu mengandung bayi laki-laki yang kelak akan menjadi salah satunya, yaitu menjadi raja Cakkavatti (Raja diraja) atau menjadi seorang Buddha. Selama kehamilan, Ratu Maya dapat melihat bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan menghadap ke depan. [Ibid, 428-432]
Note:
Kisah mimpi Mahamaya dan Gajah putih hanya ada dalam kitab komentar: Asvaghoha (2 M) dalam "Buddha carita"; dalam Asanga (4 M) "Uttara tantra"; Butön Rin-chen-grup (1290-1364) dalam "History of Buddhism". Buton adalah guru Tibet seorang translator dan sejarahwan dari sekte Kagyu; Dhammapala (5 M) dalam Buddhavamsa 298. Namun demikian, kisah mimpi Mahamaya dan gajah putih tampaknya SUDAH ADA di jaman Raja Asoka, 3 SM
Lahirnya Siddhattha Gotama
Di sekitar umur kandungannya tepat sepuluh bulan, Ratu mohon kepada Raja untuk dapat bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha, yaitu di bulan purnama Vaisak, tibalah rombongan Ratu di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu meminta rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu diiringi para dayang, berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasakan desakan di perutnya dan dengan cepat para dayang membuat tirai kain di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan pohon Sala dan dalam sikap berdiri itulah Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki yaitu pada malam purnama di bulan Vesàkha [RAPB, buku ke-1, hal.436, DPPN: Mahāmāyā, Vesākha] dan kelak, Raja Asoka (abad ke-3 SM) mendirikan Pilar untuk memperingati ini.
Tidak jauh dari taman itu didalam rimba, seorang Pertapa bernama Asita (Yang Tak Melekat atau julukannya: Kaṇhasiri), yang terampil dalam dalam pengetahuan tanda-tanda dan mantra serta dapat melihat dan menuju alam para Dewa. Di Suatu siang, pertapa Asita melihat 30 dewa demikian bersukacitanya kumpul bersama raja Dewa Sakka, tertarik karena tidak biasanya para deva sangat bersukacita demikian, Ia mendekat, menyapa dan diberitahu bahwa telah lahir seorang Bodhisatta/calon Buddha. Mendengar itu, Ia bergegas menuju Istana tempat bersemayamnya Suddhodana, sesampainya, Ia meminta agar dapat melihat bayi tersebut, setelah menerima, Ia memperhatikan pangeran kecil itu, Ia menjadi bersuka cita dan berseru"Tertinggi, tak tertandingi di antara umat manusia!".
Namun kemudian, karena teringat bahwa dirinya segera akan meninggal, Ia menjadi menangis sehingga membuat khawatir para orang Sakya terhadap bayi tersebut. Petapa Asita kemudian menjelaskan bahwa tangisannya karena dirinya akan segera wafat dan tidak berkesempatan lagi mendengarkan pengajaran dari sang Pangeran. [SNP 3.11/Nalaka sutta. Buddhaghosa (abad ke 5 M): Asita berkulit hitam (SnA.ii.483) nama lainnya Kanha Devala (SnA.ii.487) atau Kanha Siri (Sn.v.689) atau Siri Kanha (SnA.487) atau Kāla Devala (J.i.54). Petapa Asita setelah wafat terlahir di alam Arupa (Sn., pp.131-36; SnA.ii.483ff.; J.i.54f)]
Lima hari setelah lahirnya Sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak keluarganya untuk berkumpul dan bersama-sama dengan 108 orang Brahmana merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik. Nama yang dipilih adalah Siddhattha yang berarti "Tercapailah segala cita-citanya". Diantara para Brahmana terdapat 8 orang Brahmana yang mahir dalam meramal nasib, yaitu: Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondañña, Bhoja, Suyama dan Sudatta. Para 7 peramal meramalkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi Buddha. Hanya Kondañña (Brahmana yang termuda) sajalah yang mengatakan dengan pasti bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Raja Suddhodana, menjadi khawatir karena Pertapa Asita (Kaladeva) juga telah meramalkan bahwa jika pangeran sudah melihat orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan seorang Brahmana/Pertapa, maka pangeran akan meninggalkan istana untuk menjadi Pertapa, bukan menjadi seorang Raja.
Tujuh hari setelah Pangeran Siddhattha dilahirkan, Ratu Mahamaya wafat dan terlahir kembali di surga Tusita sebagai putra dewa dengan nama Mayadevaputta (Kitab Komentar Theragāthā i.502) atau Santusita. Adik Ratu Mahamaya yaitu Mahapajapati Gotami yang juga merupakan isteri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahamaya sebagai ratu sekaligus ibu bagi si pangeran kecil.
Dari Mahapajapati Gotami, Raja Suddhodana mempunyai lagi seorang putra bernama Nanda (lahir 2 hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha) dan kemudian seorang putri bernama Nanda [Sundari Nanda]. Setelah Mahamaya wafat, Mahapajapati Gotami lah yang merawat Pangeran Siddhattha.
Mahapajapati Gotami Mengurus Pangeran Siddhattha dan Pangeran Bersekolah
Adik Ratu Mahamaya, Mahapajapati Gotami mengurus pangeran yang masih bayi dengan cinta kasih seperti mengurus anaknya sendiri. Saat usianya telah lewat 8 tahun, Raja Suddhodana mengangkat Visvamitra sebagai guru pangeran.
Pangeran Siddhattha merupakan murid yang terpandai di kelasnya dan yang terbaik dalam segala permainan. Ia sangat cepat memahami segala sesuatunya dan melebihi dari apa yang diajarkan tanpa melihat buku sehingga Gurunya heran kemudian bersujud dihadapan muridnya dan berkata: "Bukan aku, hanya Kaulah yang menjadi Guru, terimalah hormatku".
Note:
Kisah di atas dari "The Light of Asia"-nya Sir Edwin Arnold, hal. 19-23 atau versi lalin di Lalitavistara Ch.10 hal.181-185. Menurut Milinda Panha 5.5.11/Ācariyānācariyapañha, nama gurunya: Sabbamitta, keluarga Brahmana dari Udicca. Ia adalah guru ke-2 Pangeran Siddhattha, seorang yang ahli bahasa, grammar dan fasih 6 Vedaṅga. Di Mitologi Hinduism: Rama, avatar Wisnu, gurunya bernama: Visvamitra. Umumnya pendidikan ini meliputi: taktik perang, sejarah dan Pancavidya (sabda/bahasa dan sastra, Silpakarmasthana/ilmu dan matematika, Cikitsa/ramuan obat, Hatri/logika, Adhyatma/filsafat agama dan Tevijja/3 Veda: Irubbeda/Iruveda = Rg; yaju & sāma -Miln 178; DA i.247; SnA 447). Tipitaka secara tersirat menyatakan Siddhattha muda terdidik dalam membaca, menulis dan berhitung: "Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan seperti...mencatat, menentukan, menghitung, komposisi syair, menjelaskan alasan-alasan, Petapa Gotama menjauhi keterampilan rendah dan penghidupan salah demikian" [DN 1].
Pangeran Siddhattha Melindungi Seekor Ular
Siddhattha bisa saja memilih hidup seenaknya tanpa mempedulikan banyak hal, namun tidak dilakukannya. Ia dikenal simpatik dan simpati pada para mahluk, misalnya di suatu hari pangeran Siddhattha melihat seorang anak kota memukul seekor ular dengan kayu. Pangeran Siddhattha segera menghentikannya, dan memberitahu kepadanya agar tidak melukai ular itu.
Note:
Dalam TIPITKA pali, yaitu Udana 2.3/Daṇḍa sutta, kisah tercatat setelah beliau menjadi Buddha:
..Sang Bhagava sedang menuju Savatthi untuk mengumpulkan makanan, Pada saat itu, di daerah antara Savatthi dan hutan Jeta, beliau melihat sejumlah anak laki-laki sedang memukuli seekor ular dengan tongkat, Sang Bhagava kemudian menyampaikan kotbah ini: "Siapa yang menyakiti mahluk hidup dengan tongkat untuk memperoleh kebahagiaan, walaupun dia sendiri mencari kebahagiaan, dia tidak mendapatkannya sesudah kematian. Siapa yang tidak melukai mahluk hidup dengan tongkat untuk memperoleh kebahagiaan, sementara dia sendiri mencari kebahagiaan, dia mendapatkannya sesudah kematian"
Menyelamatkan Angsa Yang Dipanah Oleh Devadatta
Suatu hari, pangeran Siddhattha sedang bermain dengan teman-temannya di taman istana. Salah satu dari mereka adalah sepupunya, Pangeran Devadatta. Pangeran Siddhattha adalah seorang yang lembut dan baik, sedangkan pangeran Devadatta adalah seorang yang kejam dan suka membunuh makhluk lain. Ketika mereka sedang bermain, pangeran Devadatta membidik seekor angsa dengan panahnya. Angsa itu terluka parah. namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.
Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut.
Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke makamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut. Setelah diajukan ke makamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!”
Note:
Kisah ini TIDAK ADA dalam Tipitaka Pali dan juga di komentar untuk Jataka. Kisah ini berasal dari “Abhiniṣkramaṇa Sūtra”, Bab.12, aliran Mahayana, TIDAK ADA teks Sanskritnya (abad ke-1 SM – 1 M) dan konon sudah merupakan atau telah diterjemahkan ke bahasa China di abad ke-6 Masehi. Kisah ini juga ada di "The Light of Asia"-nya Sir Edwin Arnold, hal. 25. Ada juga yang mengklaim bahwa kisah ini ada di Jataka-Mala (Sanksrit, Mahayana), namun TIDAK ditulis detail refensi no. kisahnya
Perayaan Membajak
Suatu hari ayahnya mengajaknya ke perayaan membajak sawah tahunan. Sang raja memulai upacara dengan menunggang sepasang kerbau yang telah dihias indah. Pangeran Siddhattha duduk di bawah pohon jambu dan mengamati semua orang. Pangeran Siddhattha memperhatikan ketika orang-orang sedang senang, sepasang kerbau itu harus bekerja keras dan membajak sawah. Kerbau-kerbau itu tidak tampak senang sama sekali.
Note:
Tentang Festival membajak dan duduk di pohon jambu, ada dalam komentar untuk Jataka no.547
Melihat Kehidupan Yang Alami
Pangeran Siddhattha mengamati makhluk lain disekitarnya. Ada seekor kadal sedang memakan semut-semut. Tetapi ular segera datang, menangkap kadal, dan memakannya. Kemudian, tiba-tiba seekor burung datang dari langit dan memangsa ular itu. Ia sadar bahwa semua makhluk ini senang sebentar, tetapi berakhir menderita. Meskipun hidup menyenangkan, tetap Ia merasakan sejumlah penderitaan. Ia merenungi apa yang dilihatnya. Meskipun Ia bahagia, ada sejumlah penderitaan dalam hidup. Sehingga hatinya merasa begitu bersimpati terhadap semua makhluk.
Note:
Kisah ini TIDAK ADA dalam Sutta, Vinaya dan di kitab-kitab komentar Buddhis klasik KECUALI dari buku ke-1, "The Light of Asia"-nya Sir Edwin Arnold, hal. 28
Pangeran Siddhattha Bermeditasi
Ketika sang raja dan para pembantunya menyadari sang pangeran tidak ada di keramaian, Para pelayan mencarinya dan terkejut ketika menemukan sang pangeran sedang bersila di bawah pohon jambu bermeditasi dan bayangan pohon jambu, tidak mengikuti lintasan matahari, tetap tidak bergerak memayungi sang Pangeran kecil. Mereka dengan cepat melapor kepada Raja, kemudian dengan diiringi para petani, raja bergegas datang dan melihat peristiwa ganjil tersebut, untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi hormat kepada anaknya.
Raja Suddhodana yang tidak ingin anaknya berpikir hal-hal mendalam mengenai kehidupan terutama karena ingat bahwa anaknya diprediksikan akan meninggalkan istana untuk menjadi seorang bhikkhu, Untuk itu, Ia dibesarkan dalam kelembutan dan kesenangan. Sang raja memerintahkan agar di dalam istana, dibangun 3 kolam yang sangat indah, yang pada masing-masing kolam berisi bunga teratai (lotus) berwarna biru (Upala), merah (Paduma), dan putih (Pundarika). Sang Pangeran juga tidak menggunakan cendana jika bukan yang berasal dari Kāsi dan penutup kepala, jubah luar, jubah bawah, dan jubah atas yang terbuat dari kain yang berasal dari Kāsi. Siang dan malam sebuah kanopi putih selalu memayunginya agar dingin dan panas, debu, rumput, dan embun tidak mengenaiNya [MN 75, AN 3.39].
3 Istana Untuk 3 Musim
Raja Suddhodana juga membangun 3 istana: satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan. Ia melewatkan 4 bulan musim hujan di istana musim hujan, dengan dihibur oleh para musisi, tidak ada di antaranya yang laki-laki, dan Ia tidak meninggalkan istana. Sementara budak-budak, pekerja-pekerja, dan pelayan-pelayan di rumah-rumah orang lain diberikan nasi basi dengan bubur asam sebagai makanan, namun di kediaman Istana buatan ayahnya itu, mereka diberi beras gunung pilihan, daging pilihan, dan nasi [MN 75, AN 3.39].
Hanya orang-orang yang sehat dan muda saja yang diizinkan masuk ke dalam istana dan taman istana agar pangeran benar-benar teralih perhatiannya, tenggelam dalam kesenangan Indriya.
Perkawinan Pangeran Siddhattha dan Putri Yasodharā
Ketika Pangeran Siddhattha berusia 16 Tahun, Raja Suddhodana kemudian mengatur pernikahannya dengan sepupunya yang cantik menawan, yaitu Putri Yasodhara yang juga berusia 16 tahun.
Perlombaan: Memanah, Pedang dan Berkuda
Kisah mendapatkan Putri Yasodhara adalah melalui sebuah sayembara yang ketat, berikut ini kisah menurut versi Light of Asia, Sir Edwin Arnold, hal 48-57:
Demikianlah pangeran Siddhatta kemudian hidup dalam kemewahan, kemuliaan dan para wanita cantik, meskipun ayahnya telah berupaya keras secara demikian, namun pangeran lambat launpun merasa bosan dan jemu, di usianya yang ke-28, Ia berupaya memohon ijin untuk dapat pesiar keluar dan akhirnya Rajapun mengizinkannya dan dalam perjalanannya tersebut, beliau bertemu 4 tanda (4 devadūta/4 utusan surga).
Ke-4 tanda/devaduta ini TIDAK MUNCUL SEKALIGUS dalam 1 perjalanan saja namun dari 4 perjalanan setelah JEDA WAKTU tertentu setelah perjalanan sebelumnya. Di RAPB buku ke- 1, hal.517-521. Lamanya jeda waktu dari 1 kunjungan ke kunjungan berikutnya adalah 4 bulan. Proses 4 tanda ini TERJADI JUGA PADA SELURUH CALON BUDDHA MASA LAMPAU. Menurut kitab komentar untuk DN 14, Para Brahmà Arahanta dari Alam Sudhàvàsa, dengannya, menciptakan orang tua (juga untuk orang sakit,orang mati dan petapa) di depan kereta, yang hanya terlihat oleh Pangeran dan kusirnya. Para Brahmà Arahanta dari Alam Suddhàvàsa, mempertimbangkan, “Sang Bodhisatta Pangeran sekarang telah terperosok ke dalam lumpur lima kenikmatan indria bagaikan sapi yang berkubang di rawa-rawa. Kita harus membantunya untuk mengembalikan perhatiannya,” dan memperlihatkan bentuk orang tua, sakit, mati dan petapa [RAPB buku ke-1, hal 517-521]
Paragraph tentang pertemuan dengan 4 tanda di bawah ini, diambil dari DN 14/Mahapadana sutta (kisah Pangeran Vipassi yang kelak menjadi Buddha Vipassi).
Devadutta/Tanda: Lanjut Usia
Di bulan Asalha tahun itu, Pangeran kemudian pergi bersama kusirnya, Channa dan ketika sedang berada dalam perjalanan, Pangeran Siddhattha melihat seorang tua, bungkuk bagaikan balok atap, usang, bersandar pada sebatang tongkat, berjalan terhuyung-huyung, sakit, seluruh kemudaannya lenyap. Melihat pemandangan itu, Ia berkata kepada sang kusir: “Kusir, ada apa dengan orang itu? Rambutnya tidak seperti rambut orang lain, badannya tidak seperti badan orang lain.”
“Pangeran, itu adalah apa yang disebut sebagai orang tua.”
“Tetapi mengapa ia disebut orang tua?”
“Ia disebut tua, Pangeran, karena ia hidup dalam waktu yang tidak lama lagi.”
“Tetapi apakah Aku akan menjadi tua, dan tidak terbebas dari usia tua?” “Engkau dan aku, Pangeran, pasti menjadi tua, dan tidak terbebas dari usia tua.”
Kemudian sang Pangeran menyuruh kusirnya untuk kembali ke Istana. Sesampainya di istana, Pangeran merasa sedih dan patah hati, ia meratap: “Sungguh menyakitkan kelahiran ini, karena bagi mereka yang dilahirkan, penuaan pasti terjadi!”
‘Kemudian Raja memanggil sang kusir menanyakan apakah pangeran bersenang-senang dalam kunjunganya, apa saja yang dilihatnya dan sang kusir menceritakan semua yang terjadi.
Raja berpikir: “Pangeran tidak boleh meninggalkan takhta, Ia tidak boleh meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah—kata-kata para Brahmana yang terpelajar dalam tanda-tanda tidak boleh terjadi!” Maka Raja memberikan lebih banyak lagi 5 kenikmatan-indria kepada Pangeran. Demikianlah Pangeran melanjutkan kehidupannya dalam kenikmatan duniawi, dan tenggelam dalam 5 kenikmatan-indria.
Devaduta/Tanda: Penyakit
Setelah sekian lama waktu berlalu, Iapun bosan dan jemu akan kenikmatan indriya yang diberikan padanya dan Ia pun akhirnya mampu mengatasi ketakutannya akan penuaan:
‘“Pangeran, itu adalah apa yang disebut orang sakit.”
“Tetapi mengapa ia disebut orang sakit?”
‘“Pangeran, ia disebut demikian karena ia hampir tidak dapat sembuh dari penyakitnya.”
“Tetapi apakah Aku bisa sakit, dan tidak terbebas dari penyakit?”
“Engkau dan aku, Pangeran, bisa sakit, dan tidak terbebas dari penyakit.”
Kemudian sang Pangeran menyuruh kusirnya untuk kembali ke Istana. Sesampainya di istana, Pangeran merasa sedih dan patah hati, ia meratap: “Sungguh menyakitkan kelahiran ini, karena bagi mereka yang dilahirkan, pasti mengalami penyakit!”
Kemudian Raja memanggil sang kusir, yang menceritakan apa yang terjadi dan Raja memberikan lebih banyak lagi lima kenikmatan-indria kepada Pangeran, agar Ia kelak memerintah kerajaan dan tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah … Demikianlah Pangeran melanjutkan kehidupannya dalam kenikmatan duniawi, dan tenggelam dalam 5 kenikmatan-indria.
Devaduta/Tanda: Kematian
Setelah sekian lama waktu berlalu, Iapun bosan dan jemu akan kenikmatan indriya yang diberikan padanya dan Ia pun akhirnya mampu mengatasi ketakutannya akan penyakit:
“Pangeran, itu adalah apa yang disebut orang mati.”
“Bawa Aku ke tempat orang mati tersebut.”
“Baik, Pangeran”, jawab sang kusir dan melakukan apa yang diperintahkan.
Dan Pangeran menatap mayat orang mati tersebut. Kemudian Ia berkata kepada sang kusir: “Mengapa ia disebut orang mati?”
“Pangeran, ia disebut orang mati karena sekarang orangtuanya dan sanak saudaranya tidak akan melihatnya lagi, dan sebaliknya.”
“Tetapi, apakah Aku akan mengalami kematian, tidak terbebas dari kematian?”
“Engkau dan aku, Pangeran, pasti mengalami kematian, tidak terbebas darinya.”
Kemudian sang Pangeran menyuruh kusirnya untuk kembali ke Istana. Sesampainya di istana, Pangeran merasa sedih dan patah hati, ia meratap: “Sungguh menyakitkan kelahiran ini, karena bagi mereka yang dilahirkan, pasti mengalami kematian!”
Kemudian Raja memanggil sang kusir, yang menceritakan apa yang terjadi dan Raja memberikan lebih banyak lagi lima kenikmatan-indria kepada Pangeran, agar Ia kelak memerintah kerajaan dan tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah … Demikianlah Pangeran melanjutkan kehidupannya dalam kenikmatan duniawi, dan tenggelam dalam 5 kenikmatan-indria.
Devaduta/Tanda: Pertapa
Setelah sekian lama waktu berlalu, Iapun bosan dan jemu akan kenikmatan indriya yang diberikan padanya dan Ia pun akhirnya mampu mengatasi ketakutannya akan kematian:
“Pangeran, ia disebut seorang yang telah meninggalkan keduniawian.”
“Mengapa ia disebut seorang yang telah meninggalkan keduniawian?”
“Pangeran, yang dimaksud dengan seorang yang telah meninggalkan keduniawian adalah seorang yang sungguh-sungguh mengikuti Dhamma, yang sungguh-sungguh hidup dalam ketenangan, melakukan perbuatan baik, melakukan kebajikan, tidak melukai dan sungguh-sungguh berbelas kasih terhadap makhluk-makhluk hidup.”
“Kusir, ia tepat sekali disebut sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian … bawa Aku kepadanya.”
“Baik, Pangeran”, jawab si kusir dan melakukan apa yang diperintahkan. Dan Pangeran menanyai orang yang telah meninggalkan keduniawian tersebut.
“Pangeran, sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian aku sungguh-sungguh mengikuti Dhamma … dan berbelas kasih terhadap makhluk-makhluk hidup.”
“Engkau memang tepat sekali disebut sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian …” [DN 14]
Pangeran melihat petapa itu terlihat sangat damai, Ia kagum dan terinspirasi untuk mencari kebebasan dengan cara yang sama hari itu juga. Namun, kemudian datanglah kurir Istana memberitahunya bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Mendengar ini, Pangeran berkata, "rāhu jāto, bandhanaṃ jāta" ("belenggu terlahir, ikatan terlahir"). Karena ucapan ini, Raja menamakan cucunya dengan nama "Rahula". [RAPB buku ke-1, hal.524-525]
"Nibbutā nūna sā mātā, nibbuto nūna so pitā; Nibbutā nūna sā nārī, yassāyaṃ īdiso patī’’ti" ("Tenanglah ibunya, Tenanglah ayahnya, Tenanglah istrinya yang bersuami sepertinya") - [Buddhavamsa 27, Jataka I-2]
Pangeran tergetar mendengar kata "Nibbuta" (yang selain berarti "tenang" juga berarti "padam"), karena kata yang menggetarkan ini, sebagai rasa terima kasih, Pangeran menghadiahi KisaGotami kalung seharga seratus ribu keping emas yang sedang dipakainya. Atas pemberian kalung itu, rupanya KisaGotami berprasangka bahwa pikiran sepupunya sedang tertuju padanya. [RAPB buku ke-1, hal.527]
Menjauh dari para penari
Sejak melihat pertapa, pikirannya semakin tertuju pada cara membebaskan diri dari usia lanjut, penyakit dan kematian. Terhadap kekayaan, hiburan, tarian, penari dan lainnya, semakin menjemukan, membosankan dan menakutkan baginya. Ketika melihat para penari tertidur, beberapa dengan air liur mengalir keluar dari mulutnya mengotori pipi dan tubuhnya, beberapa menggemeretakkan giginya, mendengkur, mengoceh dalam tidur, mulut terbuka, telanjang tanpa busana, rambut kusut berantakan—tampak bagaikan mayat baginya, "Alangkah menakutkannya! Alangkah mengerikannya!". [Komentar GotamaBuddhavamsa, RAPB buku ke-1, hal.528-538]. Yasodhara pun tahu hingga sampai mendapatkan pertanda dalam mimpinya: "Waktunya sudah sampai! Temponya sudah datang!" ["Old Path White Clouds: Walking in the Footsteps of the Buddha", Thich Nhat Hanh]. Semakin waktu, semakin kuat keinginan Siddhatta Gotama untuk menempuh kehidupan sebagai petapa, hingga akhirnya, “Sekarang adalah waktunya bagi-Ku bahkan hari ini juga untuk pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga.”
Siddhattha meninggalkan rumah
Sang Buddha menuturkan kejadiannya:
Melihat Kapilavatthu untuk terakhir kalinya
Dalam kesunyian malam, Pangeran Siddhattha menunggangi Kanthaka. Bersama Channa, ia meninggalkan istana dan kota Kapilavatthu. Setelah sampai di luar kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya). Saat itu terang bulan di bulan Asalha. Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi Sungai Anoma.
Pangeran turun dari kuda, melepas semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka/Sakra/Indra) dan membawanya ke surga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (± dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.
Brahma Ghatikara muncul dihadapannya mempersembahkan delapan jenis barang: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. [RAPB buku ke-1, hal 546].
Dengan air mata bercucuran di wajahnya, Channa dan Kanthaka mengamati perginya pangeran Siddhattha yang berjalan kaki menjauh. Kuda Kanthaka kemudian menjadi sangat sedih dengan pikiran, “Mulai saat ini aku tidak akan dapat melihat tuanku lagi", Ia pun meninggal dunia karena patah hati dan terlahir kembali di Surga Tavatimsa sebagai dewa bernama Kanthaka (Kelak di alam itu, setelah mendengarkan kotbah sang Buddha, Kanthaka menjadi Sotapanna). Sedangkan Channa, tertekan oleh penderitaan ganda akibat ditinggal pangeran dan wafatnya kanthaka, pulang ke Kota Kapilavatthu dengan air mata berlinang, menangis.
Kembalinya Channa ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi Sungai Anoma di negara Malla. Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondañña dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan dimana Beliau berada.
Hidup sebagai pertapa
Usianya saat itu 29 tahun, Siddhattha mulai menjalani kehidupan tanpa rumah sebagai seorang pertapa. Dari Kapilavatthu, Siddhattha berjalan ke arah selatan menuju Rajagaha, ibukota negara Magadha. Raja negara ini bernama Bimbisara. Sesampainya di Rajagaha, Ia mendapatkan makanannya dengan jalan seperti para pertapa lainnya yaitu terserah dari apa yang orang hendak berikan, setelahnya, Ia menuju luarkota ke arah sebuah Gunung di Timur kota (gunung Pandava), duduk di sana dan memakan makanan yang diperolehnya
Simpati terhadap seekor domba yang terluka
Setelah makan, Siddhattha memutuskan untuk pergi ke pegunungan dimana orang-orang yang hidup menyendiri dan orang-orang bijak tinggal. Dalam perjalanannya menuju kesana, Siddhattha melewati sekumpulan domba. Para penggembala mengarahkan domba-dombanya ke Rajagaha untuk dikorbankan dalam suatu upacara pembakaran. Satu domba kecil terluka. Karena simpati, Siddhattha menggendong domba itu dan mengikuti para penggembala domba kembali ke kota.
Menghentikan pengorbanan binatang
Di kota, dalam suatu pemujaan di rumah pemujaan, terdapat api menyala di atas altar, Raja Bimbisara dan sekelompok pendeta sedang melakukan upacara mereka kepada Dewa Indra diseputaran api. Di seputaran api itu telah banyak darah mengucur dan Ketika seorang pemimpin dari para pemuja api itu mengangkat pedangnya untuk membunuh domba pertama, Siddhattha menghampirinya dan meminta kepada raja untuk menghentikan ritual ini, sambil membuka tali yang mengikat domba itu. Tidak ada seorangpun yang sanggup mencegahnya. Siddhattha meminta ijin raja Bimbisara untuk berbicara bahwa semua dapat membuat musnah jiwa-jiwa mahluk lain namun tidak ada yang dapat membuat hidup mahluk yang sudah mati, Bagi yang ingin dikasihani Dewa-dewa, agar juga mengasihani mahluk lainnya, manusia tidak nanti dapat membersihkan diri mereka dengan menggunakan darah,
Siapa yang menabur penderitaan memetik buah yang sama
Sambil menghampiri Raja dengan merangkapkan kedua tangan, ia berkata pula bahwa Alangkah indahnya kalau semua mahluk hidup saling berbuat baik terhadap yang lain, karena Jika manusia mengharapkan belas kasih, maka mereka seharusnya menunjukkan belas kasih. Sesuai hukum sebab-akibat, mereka yang membunuh makhluk lain akan, pada gilirannya, akan terbunuh. Jika kita mengharapkan kebahagiaan di masa depan, kita tidak boleh melukai semua makhluk. Siapapun yang menabur penderitaan akan menuai buah yang sama. Alangkah indahnya kalau semua mahluk hidup saling berbuat yang baik terhadap yang lain. Ucapan ini mengubah pikiran raja Bimbisara yang kemudian membuat maklumat bahwa sejak saat itu dilarang menumpahkan darah binatang, baik itu untuk persembahan para Dewa maupun untuk dimakan. Raja kemudian mengundang Siddhattha untuk tinggal dan mengajari rakyatnya. Tetapi Siddhattha menolak, karena Ia belum menemukan kebenaran yang dicarinya.
Setelah meninggalkan Rajagaha, Siddhattha mendatangi Āḷāra Kālāma dan berkata kepadanya: ‘Teman Kālāma, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’ Āḷāra Kālāma menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’—dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.
“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Āḷāra Kālāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku masuk dan berdiam dalam Dhamma ini.” Āḷāra Kālāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, dalam cara bagaimanakah engkau menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ Sebagai jawaban ia menyatakan landasan tidak ada apapun
“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Āḷāra Kālāma yang memiliki keyakinan, kegigihan, ingatan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, ingatan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Āḷāra Kālāma bahwa ia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’
“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, apakah dengan cara ini engkau menyatakan bahwa engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung?’—‘Demikianlah, teman.’—‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’—‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. jadi Dhamma yang kunyatakan telah kumasuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang Engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriMu sendiri dengan pengetahuan langsung. Dan Dhamma yang Engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriMu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang kunyatakan telah aku masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang kuketahui dan aku mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana aku, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula aku. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.’
“Demikianlah Āḷāra Kālāma, guruKu, menempatkan Aku, muridnya, setara dengan dirinya dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, tidak menuntun menuju kebosanan, tidak menuntun menuju lenyapnya, tidak menuntun menuju kedamaian, tidak menuntun menuju pengetahuan langsung, tidak menuntun menuju nibbāna/Nirvana [nir/ni/tidak ada + va/meniup + suffix-na = padam], tetapi hanya menuntun menuju kemunculan kembali dalam landasan kekosongan.’ Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu. [MN 26]
Uddaka Rāmaputta
“Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan berkata kepadanya: ‘Teman, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’ Uddaka Rāmaputta menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’—dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.
“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Rāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku masuk dan berdiam dalam Dhamma ini.” Rāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, dalam cara bagaimanakah Rāma menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ Sebagai jawaban ia menyatakan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi
“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Rāma yang memiliki keyakinan, kegigihan, ingatan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, ingatan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma bahwa ia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’
“Aku dengan cepat masuk dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, apakah dengan cara ini Rāma menyatakan bahwa ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’—‘Demikianlah, teman.’—‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’—‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. jadi Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang Engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung. Dan Dhamma yang Engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang diketahui oleh Rāma dan Rāma mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana Rāma, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula Rāma. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.
“Demikianlah Uddaka Rāmaputta, temanKu dalam kehidupan suci, menempatkan Aku dalam posisi seorang guru dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju nibbāna, tetapi hanya menuju kemunculan kembali dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu. [MN 26]
Kelompok 5 pertapa
“Aku mengembara secara bertahap melewati Negeri Magadha hingga akhirnya Aku sampai di Senānigama di dekat Uruvelā. Di sana Aku melihat sepetak tanah yang nyaman, hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Aku merenungkan: ‘Ini adalah sepetak tanah yang nyaman, ini adalah hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Ini akan membantu usaha seseorang yang bersungguh-sungguh untuk berusaha.’ Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’ [MN 26]
Kelompok lima petapa (Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji) mendengar bahwa Siddhattha telah menjadi petapa mereka mulai mengunjungi desa-desa, kota-kota, dan lain-lain satu demi satu, untuk mencari Bodhisatta dan akhirnya bertemu di Hutan Uruvelà. Karena berharap tidak lama lagi, Beliau akan menjadi seorang Buddha, maka melayani-Nya dalam praktek penyiksaan diri (dukkaracariya) selama 6 tahun; mereka bergerak ke sana ke sini memenuhi kewajiban mereka seperti menyapu, mengambil air panas, dingin, dan lain-lain [RAPB Buku ke-1, Bab.12, hal.569-570].
Pangeran Siddhattha mempraktekkan berbagai variasi praktek pertapaan selama 6 tahun (AP 548), berjuang mencapai pencerahan:
Berikut di bawah, beberapa sample variasi kisah pertolongan yang diberikan kepada Siddhattha Gotama, dimenjelang pencerahannya:
Pertolongan dari anak penggembala dan Sitar Penyanyi
Seorang anak penggembala dengan seekor kambing lewat dan melihat keadaan pangeran Siddhattha, Ia tau bahwa tanpa makanan pangeran Siddhattha dapat menemui ajal. Pada saat itu di Hindustan terdapat pantangan bahwa apabila bersentuhan dengan kasta rendah maka hilanglah kesucian kaum Brahmana. Ia peras susu kambing tersebut dan dikucurkan kemulut Siddhattha hati-hati agar tidak menyenggol badannya. Setelah siuman, Siddhattha meminta lagi susu kambing itu dan anak tersebut menolak lantaran ia sebagai kasta Sudra, Lalu Siddhattha berkata "Darah manusia tidak mengenal perbedaan, begitu pula airmata, Siapa manusia yang lakukan perbuatan benar ialah seorang suci"
Anak Gembala itu tercengang karena anggapan itu belum pernah ia dapatkan sebelumnya dan memberinya susu kambing. Siddhattha mulai merasa lebih baik. Pangeran Siddhattha sadar bahwa tanpa pertolongan anak gembala itu, ia dapat tewas sebelum mencapai pencerahan.
Suatu ketika lewatlah kawanan penyanyi yang terdiri dari perempuan muda dan beberapak lelaki dan mendendangkan suatu lagu yang kurang lebih berbunyi "Kalau sitar dipentang terlalu keras, talinya putus, lagu pergi, kalau tali terlalu kendor iapun tidak bisa bersuara, ia punya nada tidak boleh terlalu kendor atau terlalu kencang, orang yang memainkan mesti bisa menimbang dan memperkirakannya".
Sidartha terheran-heran dan berkata "Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) harus menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendur" ["Gotama the Buddha: An Inspiring Biography for the Young Readers", H. L. Luthra, hal.15-16]
Dua kisah di atas ini, yaitu anak penggembala diceramahi tentang kasta dan tentang nyanyian Sitar juga TIDAK ADA dalam Sutta, Vinaya dan di kitab-kitab komentar Buddhis klasik KECUALI berasal dari buku ke-6, "The Light of Asia"-nya Sir Edwin Arnold. Tidak diketahui darimana asal-usul kisah karangannya ini.
Pertolongan putri kepala kawanan gembala bernama Nandabala yang memberi Tajin & Sujata yang memberi susu beras
Ketika Siddhattha pergi mandi, Ia tidak kuat berbangkit di air hampir tenggelam dan untunglah ada suatu cabang pohon ia merayap naik dan dengan perlahan berlalu dari sungai. menuju tempat pertapaannya, tidak berapa lama kemudian ia roboh dengan tubuh tidak bergerak. Kelima Pertapa yang bersamanya mengira bahwa ia sudah mati. Kebetulan hari itu ada seorang anak perempuan bernama Nandabala, anak seorang kepala kawanan gembala dan Siddhattha diberikan nasi Tajin olehnya [Buddhacarita, karya Asvhagosha abad ke-2 M]
Di Tipitaka pali disebutkan bahwa Siddhattha memahami bahwa praktek dengan cara-cara sebelumnya tidaklah membawanya menuju Penerangan Agung. Kemudian, timbul dalam tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah muncul sebelumnya dalam pikirannya.
Pertama:
Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan mentalnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.
Kedua:
Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi mentalnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak akan berhasil.
Ketiga:
Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan mentalnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung
Aku mempertimbangkan:
‘Aku ingat ketika ayahKu orang Sakya yang berkuasa, sewaktu Aku sedang duduk di keteduhan pohon jambu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Mungkinkah itu adalah jalan menuju pencerahan?’ Kemudian, dengan mengikuti ingatan itu, muncullah pengetahuan: ‘Itu adalah jalan menuju pencerahan.’
Aku berpikir: ‘Mengapa Aku takut pada kenikmatan itu yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat?’ Aku berpikir: ‘Aku tidak takut pada kenikmatan itu karena tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.’
Aku mempertimbangkan:
‘Tidaklah mudah untuk mencapai kenikmatan demikian dengan badan yang sangat kurus. Bagaimana jika Aku memakan sedikit makanan padat—sedikit nasi dan bubur.’ Dan Aku memakan sedikit makanan padat—sedikit nasi dan bubur.[MN 36/Mahasaccaka Sutta]
Aku sampai di Senānigama di dekat (hutan) Uruvelā. Di sana Aku melihat sepetak tanah yang nyaman, hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pesisir yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. [MN 26/Ariyapariyesanā Sutta]
Bertekad menemukan Kebenaran
Sebelum pencerahanNya, Pangeran Siddhattha, mengalami 5 mimpi yang semakin meneguhkan bahwa cita-citanya akan segera tercapai, yaitu mimpi mengenai:
Meditasi di bawah pohon bodhi
Ia mengabaikan semua gangguan, ingatan-ingatan kenikmatan masa lalu, pemikiran duniawi dan hanya mengarahkan pikiran pada keluar masuknya nafas.
“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau:
[..] Aku mengingat banyak ragam kelahiran dikehidupan lampauKu sebagai berikut: mula-mula 1 kelahiran, 2, 5, 10, 50, 100, 1000, 100.000, banyak Kappa kontraksi kosmis, banyak Kappa kosmis mengembang, banyak Kappa dari kontraksi dan mengembangnya kosmis [..] Pengetahuan pertama pada malam waktu pertama (rattiyā paṭhame yāme);
melalui mata dewaNya, melihat mahluk-mahluk wafat dan muncul kembali di bermacam alam, terhubung dengan karma mereka sendiri hingga dibedakan menjadi inferior/superior, penampilannya baik/buruk, beruntung/sial;[..]. Pengetahuan ke-2 pada malam waktu tengah [rattiyā majjhime yāme];
pengetahuan penyebab, cara penghancuran noda dan mengakhir kelahiran kembali [..]. Pengetahuan ke-3 pada malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme] [MN 36/Mahasaccaka Sutta]
Setelah mencapai pencerahan sempurna, selama beberapa minggu kemudian, beliau masih menetap di dekat sungai Neranjara, di hutan Uruvela, bermeditasi di bawah beberapa pohon, yaitu: pohon Bodhi, Beringin gembala kambing, Mucalinda dan Rajayatana.
Minggu ke-1,
Sang Bhagava di hutan Uruvela, di tepi sungai Neranjara, di bawah pohon Bodhi (pohon itu adalah pohon pipala, oleh karena mencapai penerangan sempurna di bawah pohon tersebut, pohon itu diberi gelar pohon bodhi), paṭhamābhisambuddho Di awal Sang Bhagava mencapai Penerangan Sempurna. beliau meneruskan untuk duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, menikmati kebahagian kebebasannya. (sampai hari ke-7)
(hari ke-1, minggu itu - merenungkan formula Paticcasamuppada):
Setelah 7 hari, (hari ke-8) beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon Bodhi, ke pohon beringin tempat penggembalaan kambing (ajapālanigrodho). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan. (sampai hari ke-15)
Kemudian datang seorang Brahmana tertentu yang menggumamkan 'hum-hum' (huṃhuṅ: Chāndogya Upaniṣad-1.13: 12 suku kata mistik/stobha diucapkan pendeta pembantu/adhvaryu saat doa. Suku kata ke-13nya huṁ, maksudnya “tak terdefinisi”/anirukta, terkait sifat tak terdefinisi dari keilahian yang diajarkan alirannya), Ia mendekati Sang Bhagavā; bertegur sapa, setelah berakhirnya ramah tamah itu, Brahmana itu tetap berdiri di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: "Gotama yang baik, bagaimanakah seseorang bisa disebut Brahmana dan apakah hal-hal yang membuat seseorang menjadi Brahmana?". Menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagava mengungkapkan kotbah inspirasi:
Brahmana adalah seseorang yang telah membuang semua hal buruk, tidak menggumamkan hum-hum, bebas noda, terkendali, sempurna pengetahuannya menjalankan kehidupan brahma (Vedantagū vūsitabrahmacariyo). Ia disebut di jalan Brahma, tiada banding di alam manapun [Udana 1.4, Mahavagga, Khandaka]
Minggu ke-3,
Setelah 7 hari, (hari ke-16), beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon beringin tempat pengembalaan kambing ke pohon Putat sungai (mucalindo). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan (sampai hari ke-23).
Saat itu walaupun bukan musimnya, terjadi badai yang besar, dan selama 7 hari hujan, berawan hitam, angin yang dingin. Raja-Naga Mucalinda keluar dari tempat tinggalnya, melingkari tubuh Sang Bhagava 7 kali, menegak dengan tudung di kepalanya mengembang di atas kepala Sang Bhagava, (dengan berpikir) agar Sang Bhagava tidak kedinginan, kepanasan, tidak diganggu nyamuk, angin, panas, dan makhluk yang merayap.
Setelah 7 hari, langit cerah dan awan hujan menghilang, Raja-Naga Mucalinda melepaskan llitan tubuhnya dari tubuh Sang Bhagava, mengubah dirinya menjadi seorang pemuda, berdiri di depan Sang Bhagava, dengan anjali (tangan di dahi) menghormat pada beliau. Menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava mengungkapkan kotbah inspirasi:
Kebebasan (tidak terikat) adalah kebahagian yang memuaskan (Sukho viveko tuṭṭhassa),
terlihat bagi yang belajar dhamma (sutadhammassa passato);
Dunia bahagia tanpa membenci (abyāpajjaṁ sukhaṁ loke)
menahan diri menyakiti kehidupan (pāṇabhūtesu saṁyamo); tidak melekati duniawi adalah kebahagaian (Sukhā virāgatā loke),
mengatasi nafsu indriyawi (kāmānaṁ samatikkamo);
yang membuang pemikiran/menyombongkan diri "inilah aku” (smimānassa yo vinayo),
itu hembusan terdahsyat dari kebahagiaan (etaṁ ve paramaṁ sukhan”ti.). [Udana 2.1, Mahavagga-Khandaka]
Minggu ke-4,
Setelah 7 hari, (hari ke-24), beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon Putat sungai (mucalindo) ke pohon jenis Mangga/jambu mete (rājāyatanaṁ/Buchanania axillaris). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan (sampai hari ke-31).
Saat itu, pedagang Tapussa dan Bhallika sedang melakukan perjalanan dari Ukkalā ke daerah itu. Seorang dewa yang dulunya pernah sebagai kerabat mereka berkata, “Tuan-tuan, sang Bhagava, baru saja mencapai penerangan sempurna, Ia ada di bawah pohon sejenis mangga/jambu mete, persembahkan makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu (manthena ca madhupiṇḍikāya), ini akan memberikan kalian kebahagiaan dan kesejahteraan untuk waktu yang panjang", Mereka pergi menemui sang Bhagava, dengan memberi hormat berkata “Tuan, terimalah makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu, ini akan memberikan kami kebahagiaan dan kesejahteraan untuk waktu yang panjang”. Kemudian, muncul dalam pikiran Sang Buddha, “Para Buddha tidak menerima dengan tangan mereka, dengan apa aku harus menerima makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu” (mangkok yang diterima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya).
Empat raja dewa dari empat penjuru (Dhatarattha dari Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) mengetahui pikiran sang Bhagava, datang dengan 4 mangkuk yang terbuat dari kristal, berkata, "mohon Yang Mulia agar menerimanya dengan ini”. Sang Bhagava menerimanya (Paṭiggahesi bhagavā) dengan mangkok terbuat dari kristal dijadikannya satu (paccagghe selamaye patte) makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu diterima dan memakannya, Setelah Tapussa dan Bhallika tahu bahwa Sang Buddha telah selesai makan, mereka bersujud dengan kepala di kaki Sang Buddha, berkata, "Bhante, kami berlindung kepada Sang Bhagava dan Ajaran. terimalah kami sebagai umat awam yang telah berlindung sejak sekarang sampai kami wafat". Melalui dua ucapan ini, mereka menjadi pengikut awam pertama. [Vinaya I]
Setelah 7 hari, (hari ke-32), beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon jenis Mangga/jambu mete (rājāyatanaṁ/Buchanania axillaris) ke ke pohon beringin tempat penggembalaan kambing (ajapālanigrodho). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan (sampai hari ke-39) [Mahavagga-Khandha]
Kemudian sejumlah para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir, mendatangiKu dan saling bertukar sapa denganKu. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadaKu: “‘Kami telah mendengar, Guru Gotama: “Petapa Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka.” Hal ini memang benar, karena Guru Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka. Hal ini tidak selayaknya, Guru Gotama’
“Kemudian Aku berpikir: Para mulia ini tidak mengetahui apa itu sepuh dan kualitas-kualitas apa yang membuat seseorang menjadi sepuh. Walaupun seseorang berusia tua—80, 90, atau 100 tahun sejak lahir—jika ia berbicara pada waktu yang tidak tepat, tidak benar, mengatakan apa yang tidak bermanfaat, mengatakan apa yang berlawanan dengan Dhamma dan disiplin, jika pada waktu yang tidak tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, berbicara tanpa tujuan, dan tidak bermanfaat, maka ia dianggap sebagai seorang sepuh yang kekanak-kanakan.
Tetapi walaupun seseorang berusia muda, seorang pemuda berambut hitam, memiliki berkah kemudaan, pada masa utama kehidupannya, jika ia berbicara pada waktu yang tepat, jujur, mengatakan apa yang bermanfaat, mengatakan apa yang sesuai dengan Dhamma dan disiplin, dan jika pada waktu yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak diingat, masuk akal, ringkas, dan bermanfaat, maka ia dianggap sebagai sesepuh bijaksana’” [AN 4.22/Uruvela Sutta]
Sang Buddha memutuskan untuk mengajar
Brahma Sahampati, sebelum melakukan permohonan pada Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma, telah beberapa kali muncul dan menyambut pikiran sang Buddha, misalnya dalam hal 5 Indriya (SN 48.57), 4 landasan ingatan (SN 47.18, 47.43) sebagai landasan/jalan mencapai nibbana, juga mengenai berdiam dalam Dhamma: "..namun aku tidak melihat ada (panāhaṃ passāmi) di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi brahma, para deva dan manusia, petapa atau brahmana lain yang melampauiku dalam prilaku [sila, samādhi, kebijaksanaan dan pembebasan] (..pannataraṃ yamahaṃ) yang dapat aku hormati, hargai untuk berdiam dengannya (sakkatvā garuṃ katvā upanissāya vihareyyaṃ). “Aku berpikir: ‘Biarlah Aku menghormati (sakkatvā), menghargai (garuṃ), dan berdiam dengan Dhamma ini yang karenanya Aku menjadi tercerahkan sempurna.’.." Brahma Sahampati muncul dan berkata: “Begitulah, Bhagavā! Begitulah, Yang telah sampai (sugata)!..‘Para sang Buddha yang sempurna di masa lampau, di masa depan dan di masa sekarang, pelenyap dukacita banyak makhluk (bahūnaṃ sokanāsano): semua telah, sedang dan akan berdiam/berada (vihari) menghargai Dhamma sejati (saddhammagaruno). Ini adalah ciri para Buddha.." .. dan Kemudian para bhikkhu, setelah menerima permohonan Brahmā (Atha khvāhaṃ, bhikkhave, brahmuno ca ajjhesanaṃ) dan apa yang sesuai bagi diriKu sendiri, maka Aku menghormati, menghargai, dan berdiam dengan Dhamma yang karenanya Aku menjadi tercerahkan sempurna..”[AN 4.21]
Di bawah pohon gembala kambing, saat sang Buddha bermeditasi, muncul dalam pikiran beliau: “Dhamma yang Kutemukan ini dalam (gambhīro), sulit dilihat (duddaso), sulit dimengerti (duranubodho), damai (santo) luhur (paṇīto), tidak pikiran spekulasi (atakkāvacaro) yang dapat dialami para bijak (nipuṇo paṇḍitavedanīyo). Generasi ini menyenangi keduniawian, bergembira dalam keduniawian, bersukacita dalam keduniawian. Sulit bagi generasi ini untuk melihatnya terkait hubungan sebab dan kemunculan bergantungan (idappaccayatāpaṭiccasamuppādo). Dan adalah sulit untuk melihatnya terkait tenangnya segala bentukan (sabbasaṅkhārasamatho), lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Namun jika Aku mengajarkan Dhamma ini (Ahañceva kho pana dhammaṃ deseyyaṃ) dan pihak lainnya (pare ca me) tidak memahami ini (ājāneyyuṃ), Ia akan melelahkan dan menyusahkanKu"
Selanjutnya muncul dari sang Bhagava, syair-syair yang belum pernah terdengar sebelumnya:
Sungguh sulit yang kuperoleh (Kicchena me adhigataṃ)
Kini dapat diketahui (halaṃ dāni pakāsituṃ);
yang terpengaruh nafsu dan kebencian (Rāgadosaparetehi)
tidak dapat menembus dhamma (nāyaṃ dhammo susambudho)
perlu keterampilan menembus arus (Paṭisotagāmiṃ nipuṇaṃ),
yang dalam, sulit dilihat dan halus (gambhīraṃ duddasaṃ aṇuṃ),
para budak nafsu yang tak tangkas (Rāgarattā na dakkhanti),
berada dalam kegelapan (tamokhandhena āvuṭā)
Brahmā Sahampati memahami pikiran beliau, berpikir: ‘Dunia akan musnah (nassati vata bho loko), dunia akan binasa (vinassati vata bho loko), karena Sang Tathāgata yang sempurna dan tercerahkan sempurna (yatra hi nāma tathāgatassa arahato sammāsambuddhassa), pikirannya condong untuk tidak bertindak (appossukkatāya cittaṃ namati), tidak mewejangkan Dhamma (no dhammadesanāyā)’
Secepat seorang kuat merentangkan tangannya yang tertekuk atau menekuk tangannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul di hadapan beliau, merangkapkan tangan dan memohon: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā mewejangkan Dhamma, sudilah Yang Sempurna mewejangkan Dhamma. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka akan tersia-sia karena tidak mendengarkan Dhamma. Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma’ [SN 6.1; MN 26; MN 85, sebagian di DN 14 dan Vinaya I atau Vinaya IV, Mahavagga]
Hingga kini kenangan atas kebajikan yang dimohonkan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha, disyairkan oleh umat kepada bhikkhu, ketika hendak memohon wejangan Dhamma:
Brahmā ca lokādhipatī sahampatī, Katañjalī anadhivaraṃ ayācatha; “Santīdha sattāpparajakkha-jātikā, Desehi dhammaṃ anukampimaṃ pajaṃ"
Ini adalah kisah Buddha Gotama (Buddha dari keturunan keluarga Gotama) atau Samana/Petapa Gotama atau Sang Bhagava atau Buddha Sakyamuni (Buddha petapa suku Sakya) dengan nama Siddhattha (Thera Apadana no.21, 164, 184), yang hidup dikisaran 568 SM - 488 SM. Kisah diambil dari: Sutta dan Vinaya, kitab komentar, Buku "Riwayat Agung Para Buddha"/RAPB, Cetakan ke-1, Mei 2008, "Biography of Sakayamuni Buddha", Gunapayuta et al; Dictionary of Pāli Proper Names (DPPN), dll. Gambar kebanyakan dari: Buddhanet, dll. Untuk tahu lebih lanjut tentang ajaran ini, buka "Ringkasan Ajaran Buddha" dan "Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran". (semua terjemahan sutta/vinaya artikel ini, diasumsikan telah diterjemahkan sesuai)
Pada salah satu bagian dari Cakkavala (tatasurya) terdapat 4 Mahadipa (Benua besar) yaitu Jambudipa, Uttarakuru, Aparagoyāna dan Pubbavideha [Misal AN 3.80]. Buddha Gotama sejak lahir hingga wafat berada di area Jambudipa. Di area ini terdapat 16 Kerajaan besar/soḷasannaṃ mahā-janapadānaṃ (AN 3.70/AN8.42) dan yang berada di wilayah Tengah (Majjhimadesa) Jambudipa adalah:
- Aṅgā (Ibukota: Champā, menjadi bagian Magadhā).
- Magadhā (Ibukota: Rājagaha/Giribbaja. Raja: Bimbisara dan Ajatasattu).
- Kāsī (menjadi bagian Kosalā)
- Kosalā (Ibu kota: Savatthi. Raja: Pasenadi dan Viḍūḍabha). Kapilavatthu adalah kerajaan kecil di bawah kekuasaan Kosala [MN 89, AN 126].
- Vajjī (terdapat 2 klan. Vesāli Ibukota klan Licchavī dan Mithilā Ibukota klan Videhā. Pasca wafatnya Bimbisara, menjadi bagian Magadha).
- Mallā (klan ini terbagi 2, Ibu kota: Pāvā dan Kusinārā. Pasca wafatnya Bimbisara, menjadi bagian Magadha).
- Cetī/Cetiya/Cedi (kemungkinan berakhir menjadi bagian Vamsa).
- Vaṅgā/Vaṃsa/Vatsa (Ibukota: Kosambi. Raja: Udena).
- Kurū (Ibu kotanya dulu: Indapatta, ratu Udena berasal dari Kuru).
- Pañcālā (Ibu kota: Kampilla, merupakan bagian Magadha).
- Macchā/Matsya (Ibu kota jaman dulu: Virāta).
- Sūrasenā (Ibu kota: Madhurā. Raja pasca wafatnya Bimbisara: Avantiputta).
- Assakā (Ibu kota: Potana/Potali).
- Avantī (Ibu kota: Ujjeni. Raja: Caṇḍa Pajjota, Ia pernah menawan raja Udena dari Vamsa).
Sedangkan di wilayah Utara (Uttarāpaṭha) Jambudipa:
- Gandhārā (Ibukota: Takkasilā. Raja: Pukkusāti).
- Kambojā (Ibukota: Dvāraka)
Silsilah Siddhata Gotama:
Mahāsammata - ... - Mahāsudassana - ... - Makhādeva - ... - Nimi (MN 83) - ... - Renu (DN 19) - ... - Okkāka - Sīhassara - Jayasena - Sīhahanu - Suddhodana - Siddhattha Gotama [Mahavamsa, Wilhelm Geiger, hal 10-12, II.12-20. Dipavamsa bab III]. Mahāsammata hidup mulai dari kappa pertama di Maha Kappa ini dan wafat diusia asaṅkheyya (sangat banyak, tidak dapat dihitung), kerajaannya bernama Ceti dan ibukotanya Sotthivati. Bodhisatta saat itu menjadi Brahma Kapila. Setelah Mahasammata wafat, raja berikut adalah Upacara/Apacara (kelahiran sebelumnya Devadatta), setelah Apacara wafat (terlahir di neraka Avici), 5 anaknya mendirikan kota, yaitu Hatthipura, Assapura, Sīhapura, Uttarapañcāla dan Daddapura [Athakatha jataka no.422]. Pada jaman Raja Renu, Mahajanapada (Kerajaan Besar) terbagi 7 wilayah: Raja Sattabhū bertahta di Dantapura ibu kota wilayah Kālinga; Raja Brahmadatta di Potaka ibukota wilayah Assaka; Raja Vessabhū di Mahissati ibukota wilayah Avanti; Raja Bharata di Roruka ibukota wilayah Sovīra, Raja Dhataraṭṭha Mithilā ibukota wilayah Videha, Raja Dhataraṭṭha Campā ibukota wilayah Anga dan Raja Renu di Benares/Vanarasi ibukota wilayah Kāsī (DN 19. Untuk raja wilayah mananya tidak disebutkan).
Asal usul nama Sakya terjadi pada jaman Raja Okkāka, leluhur suku Sakya dan Koliya. Ia mempunyai 16.000 istri (5 diantaranya bernama: Bhattā, Cittā, Jālinī, Visākhā dan Jantū. Sementara Bhattā adalah permaisurinya). Permaisuri Bhattā melahirkan 4 anak pria (Okkāmukha, Karaṇḍu, Hatthinīya dan Sīnipura) dan 5 anak perempuan (Piyā, Suppiyā, Anandā, Vijitā and Vijitasenā). Ketika Bhattā wafat, Raja menikah lagi dan lahirlah Jantukumāra (arti: anak lelaki Jantu). Permaisuri barunya ini berkeinginan untuk memberikan tahta kerajaan kepada putranya (Jantukumara). Keinginannya dikabulkan, maka kemudian, raja mengusir 9 putra-putri lainnya, yang lebih tua dari kerajaan. Mereka yang terusir ini pergi mengembara dan tiba di lereng Himālaya di sebelah kolam teratai di mana terdapat hutan pohon sāka (pohon ek). Karena khawatir akan mencemari keturunan, anak raja Okkāka yang terusir ini, para prianya menikahi saudari-saudarinya. Suatu ketika Raja Okkāka bertanya kepada para menteri dan penasihatnya: “Di manakah para pangeran menetap sekarang?” dan mereka memberitahunya. Mendengar berita ini Raja Okkāka berseru: “Mereka kuat bagaikan kayu jati sāka, para pangeran ini, mereka adalah orang Sakya sejati!” dan demikianlah bagaimana suku Sakya memperoleh namanya [DN 3/Ambattha Sutta, juga Theragata Apadana 44].
Tempat di mana para anak raja Okkāka yang terusir ini tiba dari pengembaraan, adalah tempat pertapaan Rsi/Petapa Kapila. Sang Rsi kemudian menyarankan mereka untuk membangun kediaman di situ. Saran itu diikuti dan mereka namakan tempat itu Kapilavatthu (kediaman Kapila). [Kitab komentar: DA.i.259 f; MT.132 f; SnA.ii.353]
Para ahli jaman sekarang menduga lokasi Kapilavatthu, antara dua tempat yaitu di Tilaurakot (Nepal, ± 28 Km dari Lumbini) atau di Piprahwa (Uttar Pradesh, India, ± 14,5 Km dari Lumbini). Kedua lokasi ini terletak di kaki pegunungan Himalaya. Luas Kapilavatthu diperkirakan ± 100 mil2.
Ratu Mahamaya dan Raja Suddhodana
Raja Suddhodana (DN 14, SNP 3.11, Vinaya Mahavagga) beristri dua, yaitu Mahāmāyā/Māyā (MayaDewi) (DN 14) dan Mahapajapati/pradjapati Gotami, keduanya putri dari Raja Anjana (Pemimpin suku Koliya, 11 mil timur Kapilavatthu) dan Ratu Yasodharā (putri dari Raja Jayasena, ayah dari Suddhodana). Mahāmāyā memiliki 3 saudara kandung yaitu: Suppabuddha [Ayah dari Devadatta dan Yasodhara], Dandapāni (Pria), dan Mahāpajāpatī Gotami. Mereka lahir di Devadaha.
Mahamaya dan Mahapajapati Gotami keduanya hamil dengan selisih beberapa hari. Usia Ratu Maya/Mahāmāyā saat kehamilan sang Bodhisatta/calon Buddha berada diantara 40-50 tahun (RAPB buku ke-1 hal.423-424: berada di bagian ke-3 tahap ke-2 kehidupan/majjhima vaya, yang menurut Samanta Cakkhu Dipanã = 55 tahun 4 bulan). Kualitas Ratu Maya sebagai ibu seorang Bodhisatta adalah karena telah melatih kesempurnaan (pāramitā) selama 100.000 kappa kehidupan sebelumnya, kemudian di kehidupannya saat ini, Ia sempurna dalam kerendahan hati dan telah menjalankan 5 sila tanpa pelanggaran (yaitu: tidak menyakiti kehidupan; tidak mengambil yang tidak diberikan; tidak memuaskan indriya dengan cara salah; tidak berkata tidak benar; dan, tidak memasukan asupan yang melemahkan kesadaran) [Ibid, hal.420-421].
Ketika terjadi perayaan tahunan festival bintang (Uttarāsālhanakkhatta) yang berlangsung 7 hari sampai Purnama, para penduduk merayakannya dengan tidak memasukan asupan yang dapat melemahkan kesadaran dan tidak menghias diri dengan bunga, wangian dan perhiasan dan dandan. Pada hari Purnama melakukan 8 Sila (yaitu: tidak menyakiti kehidupan; tidak mengambil yang tidak diberikan; melakukan kehidupan brahma, tidak melakukan aktivitas seksual; tidak berkata tidak benar; tidak memasukan asupan yang melemahkan kesadaran; makan 1x sebelum tengah hari; tidak menonton dan melakukan tarian, nyanyian, musik; tidak menghias diri dengan bunga, wangian, kosmetik, perhiasan; dan, berbaring/duduk pada tempat yang sederhana). Malam harinya, ketika Mahāmāyā tidur, Ia bermimpi: 4 raja dewa mengangkat dan membawanya yang duduk dikursi kerajaan menuju Manosilātala, ke danau Anotta, Himalaya dan ditempatkan di bawah pohon sāla. Para istri dari ke-4 raja dewa mendekatinya, memandikannya di danau, menghiasinya dengan busana surgawi, minyak wangi dan bunga-bunga surgawi, kemudian membiarkannya tidur di wisma keemasan di sebuah gunung perak yang tidak jauh dari danau. Kemudian muncul gajah putih yang membawa sekuntum teratai di belalainya yang berkilau, mengelilinginya 3x searah jarum jam, lalu memasuki kandungannya dari sisi kanan tubuhnya lalu gajah itupun menghilang. Sang ratu terjaga dari tidurnya dan saat itu terjadi gempa bumi dengan 32 fenomena tidak lazim [Ibid, hal 424-428].
Ratu memberitahukan mimpi ini kepada Raja, lalu raja mengundang 64 brahmana untuk menanyakan arti mimpi tersebut dan mereka menerangkan bahwa Ratu mengandung bayi laki-laki yang kelak akan menjadi salah satunya, yaitu menjadi raja Cakkavatti (Raja diraja) atau menjadi seorang Buddha. Selama kehamilan, Ratu Maya dapat melihat bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan menghadap ke depan. [Ibid, 428-432]
Note:
Kisah mimpi Mahamaya dan Gajah putih hanya ada dalam kitab komentar: Asvaghoha (2 M) dalam "Buddha carita"; dalam Asanga (4 M) "Uttara tantra"; Butön Rin-chen-grup (1290-1364) dalam "History of Buddhism". Buton adalah guru Tibet seorang translator dan sejarahwan dari sekte Kagyu; Dhammapala (5 M) dalam Buddhavamsa 298. Namun demikian, kisah mimpi Mahamaya dan gajah putih tampaknya SUDAH ADA di jaman Raja Asoka, 3 SM
Lahirnya Siddhattha Gotama
Di sekitar umur kandungannya tepat sepuluh bulan, Ratu mohon kepada Raja untuk dapat bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha, yaitu di bulan purnama Vaisak, tibalah rombongan Ratu di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu meminta rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu diiringi para dayang, berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasakan desakan di perutnya dan dengan cepat para dayang membuat tirai kain di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan pohon Sala dan dalam sikap berdiri itulah Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki yaitu pada malam purnama di bulan Vesàkha [RAPB, buku ke-1, hal.436, DPPN: Mahāmāyā, Vesākha] dan kelak, Raja Asoka (abad ke-3 SM) mendirikan Pilar untuk memperingati ini.
- Seorang Bodhisattva telah lahir di kota para penduduk Sakya, Di taman Lumbini [SnP 3.11] dan bulan Vesakh sebagai bulan lahir beliau: "Pada purnama di bulan Vesākha, Sambuddha lahir (visākhamāse puṇṇamāyaṁ sambuddho upapajjatha..) [Dipv 21.8. Namun kalimat ini juga berarti saat pencerahan menjadi Buddha]
- Sang Bodhisatta mengingat, dengan sepenuhnya mengetahui ketika jatuh dari alam tusita dan muncul di rahim ibu-Nya (bodhisatto tusitā kāyā cavitvā sato sampajāno mātukucchiṃ okkamati).’
- muncul cahaya agung tanpa batas, melampaui kecemerlangan para dewa terluhur dengan para dewa, māra dan Brahmā, para pertapa dan Brahmana, para Raja dan manusia. Cahaya agung tanpa batas, melampaui kecemerlangan para dewa terluhur muncul di antara batasan loka (lokantarikā), tanpa udara (aghā), luas/tak berbatas (asaṃvutā), gelap (andhakārā), gulita (andhakāratimisā), tempat yang cahaya matahari2 bulan2 yang sangat kuat-perkasa tak dapat menjangkaunya. Karena cahaya itu, makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana satu sama lainnya, mengetahui: “makhluk-makhluk lain juga ada yang terlahir di sana” Di sepuluh ribu alam semesta tergetar, goncang, keras terpengaruh muncul cahaya agung tanpa batas, melampaui kecemerlangan para dewa terluhur
- empat dewa muda dari empat penjuru datang melindunginya agar tak ada manusia atau bukan-manusia dapat mencelakai Sang Bodhisatta atau ibunya
- Ibunya menjadi makin bermoral (dari "menahan diri" meningkat menjadi "menanggalkan sepenuhnya"): menyakiti kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, menyatakan tidak benar, dan asupan memabukan landasan bagi kelengahan
- Ibunya tidak lagi memiliki pikiran indriawi terhadap pria, tidak dapat dikuasai pria manapun yang pikirannya diliputi hasrat indria
- Ibunya menikmati kegembiraan dari lima kenikmatan indria yang dimilikinya
- Ibunya tidak mengalami kesakitan apapun; nyaman dan bebas dari keletihan jasmani, dapat melihat seluruh bagian tubuh dan indria Sang Bodhisatta dalam rahimnya
- 7 hari setelah lahirnya Sang Bodhisatta, Ibunya akan meninggal dan terlahir di alam Tusita
- Sang Bodisatta dalam rahim tepat 10 bulan
- Ibunya melahirkan dalam posisi berdiri.
- Ketika keluar dari rahim ibunya: yang pertama menyambut sang Bodhisatta adalah para dewa, kemudian manusia
- Sang Bodhisatta ketika keluar dari rahim ibunya tidak menyentuh tanah. Empat dewa muda menyambut dan meletakannya di depan sang ibu: “Berbahagialah yang Mulia, putera dengan kekuasaan luar biasa telah engkau lahirkan.”
- Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibunya bersih, tak terpercik air, lendir, darah atau kotoran apapun, murni dan tanpa noda.
- Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim, dua pancuran air memancar dari angkasa, satu sejuk lainnya hangat memandikannya dan sang ibu
- Segera setelah lahir, bodhisatto samehi pādehi patiṭṭhahitvā uttarābhimukho (Sang Bodhisatta berdiri mantap di kedua kaki menghadap utara), sattapadavītihārena gacchati (melangkah tujuh langkah), setamhi chatte anudhāriyamāne (dengan payung putih yang bantu menahanNya), sabbā ca disā anuviloketi (menatap sekeliling penjuru), āsabhiṃ vācaṃ bhāsati (berbicara kata-kata agung): “aggohamasmi lokassa (Akulah unggulan dunia); jeṭṭhohamasmi lokassa (Akulah terbaik dunia); seṭṭhohamasmi lokassa (Akulah terkemuka dunia). ayamantimā jāti (Kelahiran terakhirKu); natthi dāni punabbhavo’ti (Kini tak ada lagi penjelmaan)”
- Ketika Sang Bodhisatta keluar dari rahim, muncul cahaya agung tanpa batas, melampaui kecemerlangan para dewa terluhur dengan para dewa, māra dan Brahmā, para pertapa dan Brahmana, para Raja dan manusia. Cahaya agung tanpa batas, melampaui kecemerlangan para dewa terluhur muncul di antara batasan loka, tanpa udara, tak berbatas, gelap, gulita, tempat yang cahaya matahari2 bulan2 yang sangat kuat-perkasa tak dapat menjangkaunya. Karena cahaya itu, makhluk-makhluk yang terlahir kembali di sana satu sama lainnya, mengetahui: “makhluk-makhluk lain juga ada yang terlahir di sana”. Di sepuluh ribu alam semesta tergetar, goncang keras terpengaruh muncul cahaya agung tanpa batas, melampaui kecemerlangan para dewa terluhur
Note:
Lazimnya tidak mungkin bayi baru lahir dapat berjalan dan berbicara. Perkembangan kemampuan melangkah/berbicara bayi tergantung dari perkembangan otak bayi dan kondisi lain yang mendukung.
Di Lorica, Kolombia [lihat: youtube, nairaland, kualalumpurpost, nydailynews dan dailymail], saat diwawancarai oleh sebuah station radio Ana Feria Santos menyampaikan bahwa bayinya "aneh" dan telah dapat berjalan seperti orang dewasa di usia 4 minggu. Sciencenews menjelaskan tentang "primitif reflex" yang dipunyai bayi dari sejak lahir, salah satunya adalah berjalan. Video ini memperlihatkan peragaan primitif reflek pada bayi berumur 6 hari, sang bayi berada diposisi berdiri, dipegang dan ketika menyentuh tanah, kakinya reflek melangkah. Ibu Siddhattha Gotama melahirkan dalam posisi berdiri sehingga kemungkinan setelah keluar dari rahim, Siddhattha Gotama tidak berada dalam posisi terbaring namun dalam posisi berdiri dengan kaki menyentuh tanah dan terpegang/bersandar (kaki/tubuh ibu), reflek primitifnya bekerja, membuat langkah pertama, kehilangan keseimbangan, terimbangi dengan langkah kedua, demikian hingga 7 kali pertukaran kaki dan berhenti karena kekuatan kakinya tidak cukup kuat lama dalam menopang tubuhnya lagi.
Di Norilsk, Rusia, seorang bayi baru lahir bernama Stephan dapat bicara beberapa patah kata. Kata pertama sang bayi setelah lahir adalah "Papa", beberapa menit kemudian mengatakan "Mama". Keesokan harinya, ketika sang Ibu (Lisa Bazheyeva, 17 tahun) mengatakan bahwa ayahnya (Rodion Bejeev) hendak mengunjungi mereka di rumah sakit municipal, bayi itu berkata, "Siapa? Papa?. Dokter Psikologi kandungan rumah sakit pemerintah (Marina Panova) yang membantu persalinan menegaskan laporan itu. "Saya mendengar dengan telinga saya sendiri bahwa bayi yang baru lahir berbicara!", Ia menambahkan belum pernah melihat hal semacam itu selama 23 tahun bekerja di klinik bersalin. "Bayi yang baru lahir tidak bisa mengucapkan suku kata yang rumit seperti itu", katanya "Janin bisa belajar saat masih dalam rahim ibu. Jika ibu berbicara pada janin dan memberikan hiburan seolah-olah telah lahir, bayi biasanya lahir berbakat". kata Panova. [Sumber: Encyclopedia of safety: "In Russia spoke just born baby", 08.05.2009. Juga di: juniorsbook.com, davidicke, nifahamishe.com, apropo.ro dan lihat juga: Baby talk: newborns recall words heard in the womb, research shows dan Babies Learn to Recognize Words in the Womb]
- Rāhulamātā, Ibu Rahula, yaitu Yasodhara
- Ananda [Anak dari Amitodana, saudara termuda Raja Suddhodana], yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha selama 25 tahun dan wafat di usia 120 tahun,
- Channa, Kusir Pangeran Siddhattha,
- Kanthaka/kandaka, Kuda tunggangan Pangeran Siddhattha,
- Nidhikumbhi, Bejana/kendi tempat harta pusaka (atau 4 bejana: cattāro nidhī).
- Kaludayi, Menteri yang di utus Raja Suddhodana untuk mengundang Sang Buddha ke Kapilavatthu,
- Pohon Bodhi, tempat Pangeran Siddhattha mencapai penerangan agung [7 nama di atas ini ada di kitab komentar untuk: DN 14 dan Buddhavamsa (no.3, 27 dan 28)]
- Gajah Istana: ārohanahatthī/ārohaniyahatthī [Untuk ke-8 list nama tercantum semua sebagai pendamping, lihat di kitab komentar untuk: Apadana: Kuṇḍadhānavaggo. Namun jika nama Ananda tidak ada dan digantikan nama Gajah arohanahatthi, sebagai daftar 7 nama pendamping, tercantum di kitab komentar untuk: Apadana: Bhaddiyavaggo dan Theragāthā: Dasakanipāto]
Tidak jauh dari taman itu didalam rimba, seorang Pertapa bernama Asita (Yang Tak Melekat atau julukannya: Kaṇhasiri), yang terampil dalam dalam pengetahuan tanda-tanda dan mantra serta dapat melihat dan menuju alam para Dewa. Di Suatu siang, pertapa Asita melihat 30 dewa demikian bersukacitanya kumpul bersama raja Dewa Sakka, tertarik karena tidak biasanya para deva sangat bersukacita demikian, Ia mendekat, menyapa dan diberitahu bahwa telah lahir seorang Bodhisatta/calon Buddha. Mendengar itu, Ia bergegas menuju Istana tempat bersemayamnya Suddhodana, sesampainya, Ia meminta agar dapat melihat bayi tersebut, setelah menerima, Ia memperhatikan pangeran kecil itu, Ia menjadi bersuka cita dan berseru"Tertinggi, tak tertandingi di antara umat manusia!".
Namun kemudian, karena teringat bahwa dirinya segera akan meninggal, Ia menjadi menangis sehingga membuat khawatir para orang Sakya terhadap bayi tersebut. Petapa Asita kemudian menjelaskan bahwa tangisannya karena dirinya akan segera wafat dan tidak berkesempatan lagi mendengarkan pengajaran dari sang Pangeran. [SNP 3.11/Nalaka sutta. Buddhaghosa (abad ke 5 M): Asita berkulit hitam (SnA.ii.483) nama lainnya Kanha Devala (SnA.ii.487) atau Kanha Siri (Sn.v.689) atau Siri Kanha (SnA.487) atau Kāla Devala (J.i.54). Petapa Asita setelah wafat terlahir di alam Arupa (Sn., pp.131-36; SnA.ii.483ff.; J.i.54f)]
Lima hari setelah lahirnya Sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak keluarganya untuk berkumpul dan bersama-sama dengan 108 orang Brahmana merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik. Nama yang dipilih adalah Siddhattha yang berarti "Tercapailah segala cita-citanya". Diantara para Brahmana terdapat 8 orang Brahmana yang mahir dalam meramal nasib, yaitu: Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondañña, Bhoja, Suyama dan Sudatta. Para 7 peramal meramalkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi Buddha. Hanya Kondañña (Brahmana yang termuda) sajalah yang mengatakan dengan pasti bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Raja Suddhodana, menjadi khawatir karena Pertapa Asita (Kaladeva) juga telah meramalkan bahwa jika pangeran sudah melihat orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan seorang Brahmana/Pertapa, maka pangeran akan meninggalkan istana untuk menjadi Pertapa, bukan menjadi seorang Raja.
Tujuh hari setelah Pangeran Siddhattha dilahirkan, Ratu Mahamaya wafat dan terlahir kembali di surga Tusita sebagai putra dewa dengan nama Mayadevaputta (Kitab Komentar Theragāthā i.502) atau Santusita. Adik Ratu Mahamaya yaitu Mahapajapati Gotami yang juga merupakan isteri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahamaya sebagai ratu sekaligus ibu bagi si pangeran kecil.
Dari Mahapajapati Gotami, Raja Suddhodana mempunyai lagi seorang putra bernama Nanda (lahir 2 hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha) dan kemudian seorang putri bernama Nanda [Sundari Nanda]. Setelah Mahamaya wafat, Mahapajapati Gotami lah yang merawat Pangeran Siddhattha.
Mahapajapati Gotami Mengurus Pangeran Siddhattha dan Pangeran Bersekolah
Adik Ratu Mahamaya, Mahapajapati Gotami mengurus pangeran yang masih bayi dengan cinta kasih seperti mengurus anaknya sendiri. Saat usianya telah lewat 8 tahun, Raja Suddhodana mengangkat Visvamitra sebagai guru pangeran.
Pangeran Siddhattha merupakan murid yang terpandai di kelasnya dan yang terbaik dalam segala permainan. Ia sangat cepat memahami segala sesuatunya dan melebihi dari apa yang diajarkan tanpa melihat buku sehingga Gurunya heran kemudian bersujud dihadapan muridnya dan berkata: "Bukan aku, hanya Kaulah yang menjadi Guru, terimalah hormatku".
Note:
Kisah di atas dari "The Light of Asia"-nya Sir Edwin Arnold, hal. 19-23 atau versi lalin di Lalitavistara Ch.10 hal.181-185. Menurut Milinda Panha 5.5.11/Ācariyānācariyapañha, nama gurunya: Sabbamitta, keluarga Brahmana dari Udicca. Ia adalah guru ke-2 Pangeran Siddhattha, seorang yang ahli bahasa, grammar dan fasih 6 Vedaṅga. Di Mitologi Hinduism: Rama, avatar Wisnu, gurunya bernama: Visvamitra. Umumnya pendidikan ini meliputi: taktik perang, sejarah dan Pancavidya (sabda/bahasa dan sastra, Silpakarmasthana/ilmu dan matematika, Cikitsa/ramuan obat, Hatri/logika, Adhyatma/filsafat agama dan Tevijja/3 Veda: Irubbeda/Iruveda = Rg; yaju & sāma -Miln 178; DA i.247; SnA 447). Tipitaka secara tersirat menyatakan Siddhattha muda terdidik dalam membaca, menulis dan berhitung: "Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan seperti...mencatat, menentukan, menghitung, komposisi syair, menjelaskan alasan-alasan, Petapa Gotama menjauhi keterampilan rendah dan penghidupan salah demikian" [DN 1].
Pangeran Siddhattha Melindungi Seekor Ular
Siddhattha bisa saja memilih hidup seenaknya tanpa mempedulikan banyak hal, namun tidak dilakukannya. Ia dikenal simpatik dan simpati pada para mahluk, misalnya di suatu hari pangeran Siddhattha melihat seorang anak kota memukul seekor ular dengan kayu. Pangeran Siddhattha segera menghentikannya, dan memberitahu kepadanya agar tidak melukai ular itu.
Note:
Dalam TIPITKA pali, yaitu Udana 2.3/Daṇḍa sutta, kisah tercatat setelah beliau menjadi Buddha:
..Sang Bhagava sedang menuju Savatthi untuk mengumpulkan makanan, Pada saat itu, di daerah antara Savatthi dan hutan Jeta, beliau melihat sejumlah anak laki-laki sedang memukuli seekor ular dengan tongkat, Sang Bhagava kemudian menyampaikan kotbah ini: "Siapa yang menyakiti mahluk hidup dengan tongkat untuk memperoleh kebahagiaan, walaupun dia sendiri mencari kebahagiaan, dia tidak mendapatkannya sesudah kematian. Siapa yang tidak melukai mahluk hidup dengan tongkat untuk memperoleh kebahagiaan, sementara dia sendiri mencari kebahagiaan, dia mendapatkannya sesudah kematian"
Menyelamatkan Angsa Yang Dipanah Oleh Devadatta
Suatu hari, pangeran Siddhattha sedang bermain dengan teman-temannya di taman istana. Salah satu dari mereka adalah sepupunya, Pangeran Devadatta. Pangeran Siddhattha adalah seorang yang lembut dan baik, sedangkan pangeran Devadatta adalah seorang yang kejam dan suka membunuh makhluk lain. Ketika mereka sedang bermain, pangeran Devadatta membidik seekor angsa dengan panahnya. Angsa itu terluka parah. namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.
Pangeran Devadatta yang baru saja tiba menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut.
Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke makamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut. Setelah diajukan ke makamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!”
Note:
Kisah ini TIDAK ADA dalam Tipitaka Pali dan juga di komentar untuk Jataka. Kisah ini berasal dari “Abhiniṣkramaṇa Sūtra”, Bab.12, aliran Mahayana, TIDAK ADA teks Sanskritnya (abad ke-1 SM – 1 M) dan konon sudah merupakan atau telah diterjemahkan ke bahasa China di abad ke-6 Masehi. Kisah ini juga ada di "The Light of Asia"-nya Sir Edwin Arnold, hal. 25. Ada juga yang mengklaim bahwa kisah ini ada di Jataka-Mala (Sanksrit, Mahayana), namun TIDAK ditulis detail refensi no. kisahnya
Perayaan Membajak
Suatu hari ayahnya mengajaknya ke perayaan membajak sawah tahunan. Sang raja memulai upacara dengan menunggang sepasang kerbau yang telah dihias indah. Pangeran Siddhattha duduk di bawah pohon jambu dan mengamati semua orang. Pangeran Siddhattha memperhatikan ketika orang-orang sedang senang, sepasang kerbau itu harus bekerja keras dan membajak sawah. Kerbau-kerbau itu tidak tampak senang sama sekali.
Note:
Tentang Festival membajak dan duduk di pohon jambu, ada dalam komentar untuk Jataka no.547
Melihat Kehidupan Yang Alami
Pangeran Siddhattha mengamati makhluk lain disekitarnya. Ada seekor kadal sedang memakan semut-semut. Tetapi ular segera datang, menangkap kadal, dan memakannya. Kemudian, tiba-tiba seekor burung datang dari langit dan memangsa ular itu. Ia sadar bahwa semua makhluk ini senang sebentar, tetapi berakhir menderita. Meskipun hidup menyenangkan, tetap Ia merasakan sejumlah penderitaan. Ia merenungi apa yang dilihatnya. Meskipun Ia bahagia, ada sejumlah penderitaan dalam hidup. Sehingga hatinya merasa begitu bersimpati terhadap semua makhluk.
Note:
Kisah ini TIDAK ADA dalam Sutta, Vinaya dan di kitab-kitab komentar Buddhis klasik KECUALI dari buku ke-1, "The Light of Asia"-nya Sir Edwin Arnold, hal. 28
Pangeran Siddhattha Bermeditasi
Ketika sang raja dan para pembantunya menyadari sang pangeran tidak ada di keramaian, Para pelayan mencarinya dan terkejut ketika menemukan sang pangeran sedang bersila di bawah pohon jambu bermeditasi dan bayangan pohon jambu, tidak mengikuti lintasan matahari, tetap tidak bergerak memayungi sang Pangeran kecil. Mereka dengan cepat melapor kepada Raja, kemudian dengan diiringi para petani, raja bergegas datang dan melihat peristiwa ganjil tersebut, untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi hormat kepada anaknya.
- Note:
Untuk bayangan pohon jambu yang tidak bergerak, HANYA ada di komentar untuk Jataka no.547 dan Madhyamagama no.32/T 469 (teks China), sedangkan dalam kanon teks pali, TIDAK ADA. Sutra MA 32 dinyatakan sebagai paralel dari MN 123 (versi Pali, juga menyampaikan ucapan Ananda), namun di MN 123, bayangan pohon jambu yang tidak bergerak, juga TIDAK ADA. Di Sutra MA 32, bayangan pohon yang tidak bergerak, bukan hanya tentang pohon jambu (waktu masih Bodhisatta), tapi juga pohon Palem (tāla), yaitu setelah menjadi Buddha, di Vesālī dan disaksikan Mahānāma orang Sakya
- ‘Aku ingat (abhijānāmi kho) ketika ayahKu orang Sakya berkuasa (panāhaṁ pitu sakkassa kammante), aku duduk diketeduhan pohon jambu (sītāya jambucchāyāya nisinno), terlepas dari kenikmatan indriya/kāmehi, terlepas dari hal yang tak bermanfaat/akusalehi dhammehi, dengan (pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan (objek) merasakan girang-menyenangkan (karena) telah terlepas (dari kāmehi dan akusalehi), jhāna ke-1 tercapai (vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehi savitakkaṁ savicāraṁ vivekajaṁ pītisukhaṁ paṭhamaṁ jhānaṁ upasampajja viharitā)' [MN 36, 85, 100]
Note:
Di Milindapanha (abad ke-1 SM, versi sanskrit, mulai dengan kalimat "taṃ yathā nusuyate/demikian sebagaimana yang diturunkan", terdiri dari 8 buku sanskrit, 4 buku terakhir tidak ada di versi Tiongkok "Nāgasena Bhikṣu Sūtra"/T1670, juga, tidak semua dari 4 buku sebelumnya, identik dengan versi Sanskrit), yaitu pada dilema no.72/6.3.2 (terjemahan Rhys Davids, 1890), bahwa meditasi Bodhisatta saat itu hingga mencapai jhāna ke-4: Nagasena kepada Raja Milinda: "..ketika Ia baru berumur 1 bulan, ketika ayahnya sang Sakya bekerja (membajak), Bodhisatta, bernaung di bawah pohon jambu, duduk bersila, menyingkirkan nafsu, bebas dari semua kondisi buruk, memasuki jhāna ke-1,..seterusnya ke dalam jhāna ke-2, ..ke dalam jhāna ke-3,.. memasuki jhāna ke-4".
Teks pali lain TIDAK ADA lagi yang tegas menyampaikan bahwa pencapaiannya di semasa kecilnya itu, hingga mencapai jhāna ke-4, NAMUN terdapat indikasi secara tidak langsung bahwa pencapaian keadaan yang menyenangkan ini, sampai pada jhāna ke-4, misalnya MN 36 (kepada Saccaka aggivessana), MN 85 (kepada Pangeran Bodhi/bodhi rājakumāro) dan MN 100 (kepada Sangārava bhāradvāja), setelah jhāna ke-1 ada kalimat "..terjadi padaku, aggivessana / rājakumāro / bhāradvāja, dengan mengingat ingatan itu, aku tersadar (..tassa mayhaṁ, aggivessana/rājakumāro/bhāradvāja, satānusāri viññāṇaṁ ahosi), demikian inilah jalan pencerahan (eseva maggo bodhāyā’ti) .. tidaklah mudah, bagiku untuk mencapai keadaan menyenangkan demikian dengan badan yang sangat lemah (na kho taṁ sukaraṁ sukhaṁ adhigantuṁ evaṁ adhimattakasimānaṁ pattakāyena), bagaimana jika Aku memakan makanan padat makan bubur nasi (yannūnāhaṁ oḷārikaṁ āhāraṁ āhāreyyaṁ odanakummāsan’ti) .. Setelah aku memakan makanan padat, kekuatanku kembali (So kho ahaṁ, aggivessana, oḷārikaṁ āhāraṁ āhāretvā, balaṁ gahetvā), dengan lepas dari kenikmatan indriya .. jhāna ke-1, ..jhāna ke-2, ..jhāna ke-4.." [MN 36, 85, 100] DAN JUGA karena Indriya keterpusatan pikiran harus terlihat (samādhindriyaṁ daṭṭhabbaṁ) dalam 4 jhāna (catūsu jhānesu) [SN 48.8, 9; AN 5.15]. Oleh karena pencapaian pencerahan beliau dengan jhāna, maka deva muda Pañcālacaṇḍa sampai menyatakan "yang menjadi Buddha (karena) terbangun (oleh) jhāna (yo jhānamabujjhi buddho)" [AN 9.42 dan SN 2.7]
Raja Suddhodana yang tidak ingin anaknya berpikir hal-hal mendalam mengenai kehidupan terutama karena ingat bahwa anaknya diprediksikan akan meninggalkan istana untuk menjadi seorang bhikkhu, Untuk itu, Ia dibesarkan dalam kelembutan dan kesenangan. Sang raja memerintahkan agar di dalam istana, dibangun 3 kolam yang sangat indah, yang pada masing-masing kolam berisi bunga teratai (lotus) berwarna biru (Upala), merah (Paduma), dan putih (Pundarika). Sang Pangeran juga tidak menggunakan cendana jika bukan yang berasal dari Kāsi dan penutup kepala, jubah luar, jubah bawah, dan jubah atas yang terbuat dari kain yang berasal dari Kāsi. Siang dan malam sebuah kanopi putih selalu memayunginya agar dingin dan panas, debu, rumput, dan embun tidak mengenaiNya [MN 75, AN 3.39].
3 Istana Untuk 3 Musim
Raja Suddhodana juga membangun 3 istana: satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan. Ia melewatkan 4 bulan musim hujan di istana musim hujan, dengan dihibur oleh para musisi, tidak ada di antaranya yang laki-laki, dan Ia tidak meninggalkan istana. Sementara budak-budak, pekerja-pekerja, dan pelayan-pelayan di rumah-rumah orang lain diberikan nasi basi dengan bubur asam sebagai makanan, namun di kediaman Istana buatan ayahnya itu, mereka diberi beras gunung pilihan, daging pilihan, dan nasi [MN 75, AN 3.39].
Hanya orang-orang yang sehat dan muda saja yang diizinkan masuk ke dalam istana dan taman istana agar pangeran benar-benar teralih perhatiannya, tenggelam dalam kesenangan Indriya.
Perkawinan Pangeran Siddhattha dan Putri Yasodharā
Ketika Pangeran Siddhattha berusia 16 Tahun, Raja Suddhodana kemudian mengatur pernikahannya dengan sepupunya yang cantik menawan, yaitu Putri Yasodhara yang juga berusia 16 tahun.
Perlombaan: Memanah, Pedang dan Berkuda
Kisah mendapatkan Putri Yasodhara adalah melalui sebuah sayembara yang ketat, berikut ini kisah menurut versi Light of Asia, Sir Edwin Arnold, hal 48-57:
- Ayah Yasodhara (Suppabuddha, Raja Koliya) kemudian mengadakan kompetisi untuk mendapatkan Putrinya. Para pesertanya, diantaranya adalah Devadatta ahli memanah, Arjuna ahli menunggang kuda dan Nanda ahli bermain pedang. Pada pertandingan panah, karena kuatnya tarikan lengan Siddhattha, maka beberapa kali busurnya patah, sehingga ia kemudian mengambil busur yang tersimpan lama di suatu Biara. Busur itu terbuat dari baja hitam berbalut emas bernama "Sinhahanu", busur itu sangat berat dan harus digotong 4 orang. Devadatta mencoba menarik busur itu namun tidak berhasil merentangkannya. Dengan Busur itu, ia kemudian memanah tambur yang lebih jauh dari Devadatta dan kemudian panah tersebut masuk kedalam suatu sumur.
Pada pertandingan berikutnya, pedang Siddhattha mampu menebas pohon yang tebalnya 2 kali 9 Jari, karena kuat dan cepatnya tebasan tersebut, pohon itu tidak segera tumbang, setelah angin meniupnya baru pohon Itu tumbang.
Sayembara terakhir adalah menunggang kuda, Siddhattha menunggangi Kanthaka dan menang, namun Nanda protes dan meminta untuk dicarikan kuda lainnya seperti kanthaka. Didapatlah seekor kuda berbulu hitam yang terikat 3 rantai besi. Devaddata, Arjuna dan Nanda berusaha menungganginya namun jatuh. Siddhattha juga ikut menjinakkan kuda liar tersebut, Ia lakukan tidak dengan memukulnya, namun berbicara dengannya dan membelainya lembut baru kemudian menungganginya. Akhirnya, pangeran Siddhattha keluar sebagai pemenang dan berhak mempersunting Putri Yasodhara.
- Setelah Raja Suddhodana, membangun 3 istana untuk anaknya, Ia hendak menjadikan pangeran yang berumur 16 tahun ini menjadi raja. Untuk itu, Ia memerintahkan mengirimkan pesan kepada 80.000 sanak saudaranya untuk mengirimkan putri-putri mereka namun mereka menolaknya karena menganggap Pangeran Siddharttha kurang trampil. Mendapatkan jawaban ini, Sang Raja menyampaikan pada pangeran dan pangeran berkata untuk menyampaikan pengumuman ke seluruh kerajaan bahwa 7 hari kemudian Ia akan mengadakan pertunjukan memanah.
Pada hari ke-7, dihadapan seluruh 80.000 pangeran Sakya, Sang Pangeran memperlihatkan kepiawaiannya dalam memanah dengan menggunakan busur yang memerlukan 1000 orang untuk menariknya (sahassathamadhanu), yang ketika dipetiknya, suara getaran tali busur tersebut begitu kerasnya seolah petir menggelegar hingga terdengar di seluruh Kapilavatthu, Kemudian Pangeran mempertunjukan banyak teknik memanah, yaitu sarapatibahana (menghentikan dan menangkis serbuan ribuan anak panah dari 4 pejuru, di mana 4 guru panahnya masing-masing menembakan 30.000 anak panah ke arahnya dan Ia tangkis itu hanya dengan 1 anak panah), cakkavedhi (1 anak panah menembus semua target dalam bentuk melingkar, berupa 4 pohon pisang pengganti 4 guru di 4 sudut tadi), Saralatthi (menembakkan rangkaian anak panah tanpa henti hingga membentuk tanaman menjalar), Sararajju (membentuk sekumpulan kawat), Sarapàsàda (membentuk bertingkat-tingkat), Sarasopàna (membentuk tangga dengan atap bertingkat), Saramandapa (membentuk sebuah rumah), Sarapàkàra (membentuk tembok melingkar), Sarapokkharani (membentuk danau persegi empat), Sarapaduma (membentuk tanaman teratai berbunga banyak), Saravedhi (anak panah pertama tertembak oleh anak panah kedua dan seterusnya), Saravassa (seolah-olah hujan anak panah), Akkhanavedhi (menembak berondongan anak panah secepat kilat dan mengenai semua sasaran), Vàlavedhi (membelah menjadi dua sebuah sasaran sehalus bulu), Saddavedhi (menembak hanya dengan mendengarkan suara, tanpa melihat), kemudian dilanjutkan dengan kekuatan memanah menembusi benda tebal berupa 100 kumpulan kulit sapi, 100 kumpulan papan tebal 8 jari, kumpulan tembaga, besi setebal 2 jari, 8 kereta penuh pasir, dll
Setelah Pangeran memperlihatkan keahliannya dalam memanah, mereka menghujaninya dengan puji-pujian, 40.000 putri-putri mereka yang cantik-cantik kemudian dipasangkan untuk hidup bersamanya dan yang terkemuka diantara mereka adalah Yasodharà atau juga disebut Bhaddakaccànà [RAPB buku ke-1, hal. 497-512, kisahnya diambil dari sub komentar Jinalankara, abad ke-12 M]
Demikianlah pangeran Siddhatta kemudian hidup dalam kemewahan, kemuliaan dan para wanita cantik, meskipun ayahnya telah berupaya keras secara demikian, namun pangeran lambat launpun merasa bosan dan jemu, di usianya yang ke-28, Ia berupaya memohon ijin untuk dapat pesiar keluar dan akhirnya Rajapun mengizinkannya dan dalam perjalanannya tersebut, beliau bertemu 4 tanda (4 devadūta/4 utusan surga).
Ke-4 tanda/devaduta ini TIDAK MUNCUL SEKALIGUS dalam 1 perjalanan saja namun dari 4 perjalanan setelah JEDA WAKTU tertentu setelah perjalanan sebelumnya. Di RAPB buku ke- 1, hal.517-521. Lamanya jeda waktu dari 1 kunjungan ke kunjungan berikutnya adalah 4 bulan. Proses 4 tanda ini TERJADI JUGA PADA SELURUH CALON BUDDHA MASA LAMPAU. Menurut kitab komentar untuk DN 14, Para Brahmà Arahanta dari Alam Sudhàvàsa, dengannya, menciptakan orang tua (juga untuk orang sakit,orang mati dan petapa) di depan kereta, yang hanya terlihat oleh Pangeran dan kusirnya. Para Brahmà Arahanta dari Alam Suddhàvàsa, mempertimbangkan, “Sang Bodhisatta Pangeran sekarang telah terperosok ke dalam lumpur lima kenikmatan indria bagaikan sapi yang berkubang di rawa-rawa. Kita harus membantunya untuk mengembalikan perhatiannya,” dan memperlihatkan bentuk orang tua, sakit, mati dan petapa [RAPB buku ke-1, hal 517-521]
Paragraph tentang pertemuan dengan 4 tanda di bawah ini, diambil dari DN 14/Mahapadana sutta (kisah Pangeran Vipassi yang kelak menjadi Buddha Vipassi).
Devadutta/Tanda: Lanjut Usia
Di bulan Asalha tahun itu, Pangeran kemudian pergi bersama kusirnya, Channa dan ketika sedang berada dalam perjalanan, Pangeran Siddhattha melihat seorang tua, bungkuk bagaikan balok atap, usang, bersandar pada sebatang tongkat, berjalan terhuyung-huyung, sakit, seluruh kemudaannya lenyap. Melihat pemandangan itu, Ia berkata kepada sang kusir: “Kusir, ada apa dengan orang itu? Rambutnya tidak seperti rambut orang lain, badannya tidak seperti badan orang lain.”
“Pangeran, itu adalah apa yang disebut sebagai orang tua.”
“Tetapi mengapa ia disebut orang tua?”
“Ia disebut tua, Pangeran, karena ia hidup dalam waktu yang tidak lama lagi.”
“Tetapi apakah Aku akan menjadi tua, dan tidak terbebas dari usia tua?” “Engkau dan aku, Pangeran, pasti menjadi tua, dan tidak terbebas dari usia tua.”
Kemudian sang Pangeran menyuruh kusirnya untuk kembali ke Istana. Sesampainya di istana, Pangeran merasa sedih dan patah hati, ia meratap: “Sungguh menyakitkan kelahiran ini, karena bagi mereka yang dilahirkan, penuaan pasti terjadi!”
‘Kemudian Raja memanggil sang kusir menanyakan apakah pangeran bersenang-senang dalam kunjunganya, apa saja yang dilihatnya dan sang kusir menceritakan semua yang terjadi.
Raja berpikir: “Pangeran tidak boleh meninggalkan takhta, Ia tidak boleh meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah—kata-kata para Brahmana yang terpelajar dalam tanda-tanda tidak boleh terjadi!” Maka Raja memberikan lebih banyak lagi 5 kenikmatan-indria kepada Pangeran. Demikianlah Pangeran melanjutkan kehidupannya dalam kenikmatan duniawi, dan tenggelam dalam 5 kenikmatan-indria.
Devaduta/Tanda: Penyakit
Setelah sekian lama waktu berlalu, Iapun bosan dan jemu akan kenikmatan indriya yang diberikan padanya dan Ia pun akhirnya mampu mengatasi ketakutannya akan penuaan:
- .. Aku berpikir:
‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada penuaan, tidak terbebas dari penuaan, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang tua, dengan mengabaikan keadaannya sendiri. Sekarang, Aku juga tunduk pada penuaan dan tidak terbebas dari penuaan. Karena itu, jika Aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain yang tua, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’
Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanKu akan kemudaan sepenuhnya ditinggalkan [AN 3.39/Sukhumālasutta]
‘“Pangeran, itu adalah apa yang disebut orang sakit.”
“Tetapi mengapa ia disebut orang sakit?”
‘“Pangeran, ia disebut demikian karena ia hampir tidak dapat sembuh dari penyakitnya.”
“Tetapi apakah Aku bisa sakit, dan tidak terbebas dari penyakit?”
“Engkau dan aku, Pangeran, bisa sakit, dan tidak terbebas dari penyakit.”
Kemudian sang Pangeran menyuruh kusirnya untuk kembali ke Istana. Sesampainya di istana, Pangeran merasa sedih dan patah hati, ia meratap: “Sungguh menyakitkan kelahiran ini, karena bagi mereka yang dilahirkan, pasti mengalami penyakit!”
Kemudian Raja memanggil sang kusir, yang menceritakan apa yang terjadi dan Raja memberikan lebih banyak lagi lima kenikmatan-indria kepada Pangeran, agar Ia kelak memerintah kerajaan dan tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah … Demikianlah Pangeran melanjutkan kehidupannya dalam kenikmatan duniawi, dan tenggelam dalam 5 kenikmatan-indria.
Devaduta/Tanda: Kematian
Setelah sekian lama waktu berlalu, Iapun bosan dan jemu akan kenikmatan indriya yang diberikan padanya dan Ia pun akhirnya mampu mengatasi ketakutannya akan penyakit:
- .. Aku berpikir:
‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada penyakit, tidak terbebas dari penyakit, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang sakit, dengan mengabaikan keadaannya sendiri. Sekarang, Aku juga tunduk pada penyakit dan tidak terbebas dari penyakit. Karena itu, jika Aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain yang sakit, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’
Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanKu akan kesehatan sepenuhnya ditinggalkan [AN 3.39/Sukhumālasutta]
“Pangeran, itu adalah apa yang disebut orang mati.”
“Bawa Aku ke tempat orang mati tersebut.”
“Baik, Pangeran”, jawab sang kusir dan melakukan apa yang diperintahkan.
Dan Pangeran menatap mayat orang mati tersebut. Kemudian Ia berkata kepada sang kusir: “Mengapa ia disebut orang mati?”
“Pangeran, ia disebut orang mati karena sekarang orangtuanya dan sanak saudaranya tidak akan melihatnya lagi, dan sebaliknya.”
“Tetapi, apakah Aku akan mengalami kematian, tidak terbebas dari kematian?”
“Engkau dan aku, Pangeran, pasti mengalami kematian, tidak terbebas darinya.”
Kemudian sang Pangeran menyuruh kusirnya untuk kembali ke Istana. Sesampainya di istana, Pangeran merasa sedih dan patah hati, ia meratap: “Sungguh menyakitkan kelahiran ini, karena bagi mereka yang dilahirkan, pasti mengalami kematian!”
Kemudian Raja memanggil sang kusir, yang menceritakan apa yang terjadi dan Raja memberikan lebih banyak lagi lima kenikmatan-indria kepada Pangeran, agar Ia kelak memerintah kerajaan dan tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah … Demikianlah Pangeran melanjutkan kehidupannya dalam kenikmatan duniawi, dan tenggelam dalam 5 kenikmatan-indria.
Devaduta/Tanda: Pertapa
Setelah sekian lama waktu berlalu, Iapun bosan dan jemu akan kenikmatan indriya yang diberikan padanya dan Ia pun akhirnya mampu mengatasi ketakutannya akan kematian:
- .. Aku berpikir:
‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada kematian, tidak terbebas dari kematian, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang mati, dengan mengabaikan keadaannya sendiri. Sekarang, Aku juga tunduk pada kematian dan tidak terbebas dari kematian. Karena itu, jika Aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain yang mati, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’
Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanKu akan kehidupan sepenuhnya ditinggalkan [AN 3.39/Sukhumālasutta]
“Pangeran, ia disebut seorang yang telah meninggalkan keduniawian.”
“Mengapa ia disebut seorang yang telah meninggalkan keduniawian?”
“Pangeran, yang dimaksud dengan seorang yang telah meninggalkan keduniawian adalah seorang yang sungguh-sungguh mengikuti Dhamma, yang sungguh-sungguh hidup dalam ketenangan, melakukan perbuatan baik, melakukan kebajikan, tidak melukai dan sungguh-sungguh berbelas kasih terhadap makhluk-makhluk hidup.”
“Kusir, ia tepat sekali disebut sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian … bawa Aku kepadanya.”
“Baik, Pangeran”, jawab si kusir dan melakukan apa yang diperintahkan. Dan Pangeran menanyai orang yang telah meninggalkan keduniawian tersebut.
“Pangeran, sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian aku sungguh-sungguh mengikuti Dhamma … dan berbelas kasih terhadap makhluk-makhluk hidup.”
“Engkau memang tepat sekali disebut sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian …” [DN 14]
Pangeran melihat petapa itu terlihat sangat damai, Ia kagum dan terinspirasi untuk mencari kebebasan dengan cara yang sama hari itu juga. Namun, kemudian datanglah kurir Istana memberitahunya bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Mendengar ini, Pangeran berkata, "rāhu jāto, bandhanaṃ jāta" ("belenggu terlahir, ikatan terlahir"). Karena ucapan ini, Raja menamakan cucunya dengan nama "Rahula". [RAPB buku ke-1, hal.524-525]
- Variasi kapan Rahula lahir:
Pāli Jātaka, I, p. 62 dan Buddhacarita, II, 46: Rahula berusia 7 hari saat Siddhattha meninggalkan rumah [Apadana Atthakata, Ganthārambhakathā: "tadā sattāhajāto rāhulakumāro hotī" (saat rahula kecil ini 7 hari lahir)]
Xuanben dalam syair di gunung Wutai (abad ke-9 M): Rahula 12 tahun dalam kandungan Yasodara.
Mahavastu (mulai abad ke-2 M, diyakini dibuat oleh Candrakirti, murid Nagarjuna), pecahan aliran Mahāsāṃghika, yaitu Lokottaravāda, kelompok aliran Mahayana, di Jataka surya dan Chandra: Rahula 6 tahun dalam kandungan Yasodara. Kisah ini di muat dalam "Lo heou lo mou pen cheng king" (Rāhulamātṛjātaka)
Dari aliran Kāśyapīya, pecahan aliran Sarvastivada, misalnya di T 190, k. 55, p. 908c3, 909c24: Rāhula berusia 2 tahun saat ayahnya meninggalkan rumah
"Nibbutā nūna sā mātā, nibbuto nūna so pitā; Nibbutā nūna sā nārī, yassāyaṃ īdiso patī’’ti" ("Tenanglah ibunya, Tenanglah ayahnya, Tenanglah istrinya yang bersuami sepertinya") - [Buddhavamsa 27, Jataka I-2]
Pangeran tergetar mendengar kata "Nibbuta" (yang selain berarti "tenang" juga berarti "padam"), karena kata yang menggetarkan ini, sebagai rasa terima kasih, Pangeran menghadiahi KisaGotami kalung seharga seratus ribu keping emas yang sedang dipakainya. Atas pemberian kalung itu, rupanya KisaGotami berprasangka bahwa pikiran sepupunya sedang tertuju padanya. [RAPB buku ke-1, hal.527]
- Berapa jumlah istri Siddhattha Gotama?
Hanyalah 1, yaitu: Yasodharā (Yaso = Mulia/banyak pengikut/bereputasi baik, Dharā = Penolong/Pembawa, lihat di: KN, TheriApadana, Yasodharātherīapadāna; Divyavadana 18 dharmarucyavadānam, abad ke-2 M; Buddhacarita, karya Aśvaghoṣa, abad ke-2 M, 2.26-27; Buddhavamsa Atthakata (BuA), karya Buddhadatta, abad ke-5 M; Jinacaritaṁ, karya Ven. Medhaṅkara Thera abad ke-11/14 M, Bab.3.26 dan Mahavastu). Ia disebut juga Rāhulamātā (Vin.I.82, MahaKhandhaka dan Mahavastu, translasi dari: J.J.JONES, Vol.1, Hal.101). Arti Rāhulamātā adalah "Ibunya Rahula".
Selain nama Yasodhara atau Rāhulamātā, nama lain yang merujuk pada orang yang sama adalah:
Theri Bimbādevī (Bimba = bentuk/tubuh, Nama ini baru ada setelah Yasodhara menjadi Biksuni, lihat di: Jataka no.281/ABBHANTARA, Jataka no.292/SUPATTA; DA.ii.422) atau Bimbāsundarī (Bimba yang cantik, Jataka no.485/Canda-Kinnara, J.vi.478), atau
Bhaddakaccā (KN, BuddhaVamsa, terjemahan Rev.Richard Morris, 26.15, hal.65) atau Bhaddakaccānā/Subhaddakā (Su = Baik, Bhadda = keberuntungan, Kaccāna = Keemasan atau bisa juga berarti keturunan dari kati, AN I.235-247 atau di Mahavamsa.ii.24, karya Mahanama MahaThera, Paman raja Dhatusena (460-478), Dighasanda Senapathi Pirivena, dari Vihara Mahavihara, Anuradhapura, Srilanka), atau
Gopā ("The Life of Buddha", A. Ferdinand Herold, bab 10 dan 16 yang banyak mengambil bahan dari Lalitavistara. Juga "Gotama Buddha: Lord of Wisdom", Rohini Chowdhury, hal.38. Di Arya Lalitavistara: Gopā dulunya Devi bernama Yasovatī, kemudian bersamaan dengan lahirnya Bodhisatta, Ia pun terlahir kembali sebagai Gopa dan menjadi istri Bodhisatta setelah menang sayembara. Saat Bodhisatta meninggalkan Istana, tertulis: Yasovati dan para pelayan tertidur dan setelah Bodhisatta meninggalkan istana, tertulis: Gopa dan para pelayan terbangun. Hal ini menunjukan bahwa nama lain Gopa adalah Yasovati). Juga dalam karangan Nagarjuna dalam Maha-prajnaparamita-sastra, abad ke-2 masehi
Dalam "Suramgamasamadhisutra", Etienne Lamotte, hal.154-155, menyampaikan nama calon istri Siddhattha Gotama, saat sayembara adalah:
Yasodhara (Fang kuang ta chuang yen ching, T 187, ch.4, p.561c; Yin kuo ching, T 189, ch.2, p.629b; Fo pen hsing chi ching, T 190, ch.13, p.712c; Ching hsu mo ho ti ching, T 191, ch.4, p. 942c; Buddhacarita II, v.26; Mahavastu II, p.48 sq);
Gopa/Gopi (Hsiu hsing pen ch'i ching, T 184, ch.l, p.465&; T'ai tzu jui ying pen ch'i ching, T 185, ch.l, p.475a; P'u yao ching, T 186, ch.3, p.500c; I ch'u p'u sa pen ch'i ching, T 188, p.619a; Lalitavistara, p. 142 sq)
Pendapat Lamotte adalah mengutip upadesanya Nagarjuna dari aliran Mahayana (Nagarjuna, Traite 11, pp. 1002-4), bahwa di Rahulamatrjataka dikatakan Bodhisattva Sakyamuni punya 2 Istri: Gopa/Gopiya dan Yasodhara Rahulamata. Gopa tidak mempunyai anak.
Masalahnya,
tidak ada rujukan lainnya yang menyebutkan adanya sayembara lain atau ada dua wanita berbeda yang diboyong dalam sayembara tersebut. Disamping itu, rujukan di aliran Mahayana sendiri jelas menyatakan bahwa kedua nama itu sama-sama juga disebut Rāhulamātā, maka ini merujuk pada 1 orang yang sama tapi beda nama
Lamotte juga menyampaikan bahwa di Vinaya Mulasarvastivada dikatakan Bodhisatta beristri 3 orang dan masing-masing ditemani 20,000 pelayan: Yaśodharā, Gopā dan Mṛgajā (Ken pen shuo...p'i nai yeh, T 1442, ch.l 8, p.720c 12-13; P'o seng shih, T 1450, ch.3, p.1146 24-26; ch.12, p.l60c 15):
Ia memilih Yaśodharā dari seluruh gadis perawan sukunya (T 1450, ch.3, p.l 1 lc; W.W. Rockhill, Life of the Buddha,p.20);
Ia berhenti di pinggiran beranda teras rumah Gopā; Melihat ini, Suddhodana mengambil Gopā untuk anaknya (T 1450, ch.3, p. 1 12c; Rockhill, op. cit., pp.2 1-2);
Di 7 Hari menjelang kepergiannya, ketika calon buddha kembali ke Istananya, Mṛgajā berkata padanya dengan syair terkenal, "nibuttā nūna sā mātā.."; Sakyamuni, karena berterima kasih, Ia melemparkan kalungnya pada gadis ini; Mengetahui ini, Suddhodana, mengambil Mṛgajā untuk anaknya (T 1450, ch.3, p. 1146; Rockhill, op. cit., pp.23-4). Versi ini disampaikan oleh Chung hsu mo ho ti ching (T 191, ch.4, pp.944c-945fl). Sumber-sumber lain menyampaikan syair tersebut diuncarkan gadis muda bernama Mrgi (Fo pen hsing chi ching, T 190, ch.15, p. 7246; Mahavastu II, p. 157) atau Kisagotami/Krsa Gotami (Jataka I, pp.60-1; Komentar Dhammapada I, p.85), namun tidak dikatakan bahwa Ia diambil istri oleh Siddhattha
Dalam "Manual Of Indian Buddhism", H. Kern, di catatan kaki no.3, hal.16 disebutkan bahwa Kisagotami yang disebut juga dengan nama lain Mrgi adalah Ibu dari Ananda (Mhv. If. 157 dan Bhadrak. XXXV), sedangkan Siddhattha tidak mempunyai anak lain selain Rahula. DPPN-nya G.P Malalasekera menyajikan informasi tentang 4 Kisagotami, di mana: 2 orang berada pada jaman Buddha Tissa dan Pussa, 2 Kisagotami ada di jaman Buddha Gotama, yaitu satunya merupakan penduduk Savatthi bukan Kapilavatthu, bernama Gotami, Ia disebut Kisa karena kurus dan kemudian mengalami kematian anak. Satunya lagi adalah yang melanturkan syair, "Nibbutā nūna sā mātā..". Ini adalah sepupu Siddhattha dan tidak disebutkan Ia menikah dengan Siddhattha.
Masalah yang menghadang untuk versi yang mengklaim Kisagotami (mungkin saat itu berusia antara 14-16 tahun) juga sebagai istri Siddhattha adalah celah waktu perkawinannya yang tidak memungkinkan. Karena, Raja dan istana sedang sangat bergembira dengan lahirnya Rahula, perhatian terpusat padanya, pastinya berlanjut dengan undangan pada sanak dan para Brahmana untuk perayaan dan pemilihan nama, seperti ketika Siddhattha lahir, yaitu pada 5 hari ke depan. Setelah perayaan usai, saat kelelahan melanda Istana, saat itulah, sang Bodhisatta meninggalkan istana untuk menjadi petapa. Tidak ada waktu untuk peristiwa pernikahan dengan Kisagotami. Bahkan di literatur-literatur pali awal pun tidak ada peristiwa pernikahan ke-2 Siddhattha
Menjauh dari para penari
Sejak melihat pertapa, pikirannya semakin tertuju pada cara membebaskan diri dari usia lanjut, penyakit dan kematian. Terhadap kekayaan, hiburan, tarian, penari dan lainnya, semakin menjemukan, membosankan dan menakutkan baginya. Ketika melihat para penari tertidur, beberapa dengan air liur mengalir keluar dari mulutnya mengotori pipi dan tubuhnya, beberapa menggemeretakkan giginya, mendengkur, mengoceh dalam tidur, mulut terbuka, telanjang tanpa busana, rambut kusut berantakan—tampak bagaikan mayat baginya, "Alangkah menakutkannya! Alangkah mengerikannya!". [Komentar GotamaBuddhavamsa, RAPB buku ke-1, hal.528-538]. Yasodhara pun tahu hingga sampai mendapatkan pertanda dalam mimpinya: "Waktunya sudah sampai! Temponya sudah datang!" ["Old Path White Clouds: Walking in the Footsteps of the Buddha", Thich Nhat Hanh]. Semakin waktu, semakin kuat keinginan Siddhatta Gotama untuk menempuh kehidupan sebagai petapa, hingga akhirnya, “Sekarang adalah waktunya bagi-Ku bahkan hari ini juga untuk pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga.”
Siddhattha meninggalkan rumah
Sang Buddha menuturkan kejadiannya:
- "...Kemudian, sewaktu Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam memiliki berkah kemudaan, dalam tahap kehidupan utama, walaupun ibu dan ayahku menginginkan sebaliknya dan menangis dengan wajah basah oleh air mata, Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah..." [MN 26/Ariyapariyesana Sutta; Juga MN 36,85, 95, 100, DN 4, 5]
Aku berusia 29 tahun, Subaddha (ekūnatiṁso vayasā subhadda), Ketika memasuki apa yang bermanfaat di kehidupan tanpa rumah (yaṁ pabbajiṁ kiṅkusalānuesī), Sudah 50 tahun lebih (Vassāni paññāsa samādhikāni), sejak aku di kehidupan tanpa rumah, Subhadda (yato ahaṁ pabbajito subhadda). [DN 16]
Kāḷudāyi: Di usia 29 tahun, menempuh kehidupan tanpa rumah, menghabiskan 6 tahun, Beliau menjadi Buddha, sang Pemandu [AP 548/Kāḷudāyittheraapadāna]
Note:
Rata-rata kitab komentar menyatakan bahwa Ayah, Ibu dan Istrinya tidak tahu ketika beliau pergi meninggalkan istana:
"Suatu malam, ketika orang-orang istana sedang lelap tidur, Ia berdiri mengawasi Yasodhara yang dicintainya pulas tertidur sambil memeluk. Ia berlutut dan mencium kaki Yasodhara, mengawasi sekali lagi paras cantik itu dan ucapkan perkataan selamat tinggal padanya, Hatinya ingin memondong bayinya untuk diciumnya sebelum keberangkatannya, tapi ia khawatir Ibu dan anak itu terbangun, tiga kali ia bolak-balik keluar masuk kamar seperti tertarik besi sembrani. Sungguh suatu pergulatan yang sulit. Setelah berjanji akan kembali setelah berhasil, akhirnya ia pergi, dengan melewati tempat dayang-dayangnya yang muda dan cantik, Ia menuju tempat kusirnya, Channa dan membangunkannya, Ia memintanya untuk menyiapkan kudanya, Kanthaka."
Tampaknya pendapat kitab-kitab komentar (dan juga bagian Tipitaka yang muncul belakangan), merupakan pengembangan alur kisah Buddha Vipassi di DN 14/Mahapadana sutta:
‘Kemudian Pangeran Vipassī berkata kepada kusirNya: “Engkau bawalah kereta itu dan kembalilah ke istana. Tetapi aku akan tinggal di sini dan mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah.” “Baik, Pangeran”, jawab sang kusir, dan kembali ke istana. Dan Pangeran Vipassī, mencukur rambut dan janggutNya dan mengenakan jubah kuning, pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.
Melihat Kapilavatthu untuk terakhir kalinya
Dalam kesunyian malam, Pangeran Siddhattha menunggangi Kanthaka. Bersama Channa, ia meninggalkan istana dan kota Kapilavatthu. Setelah sampai di luar kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya). Saat itu terang bulan di bulan Asalha. Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, dan Malla, kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi Sungai Anoma.
Pangeran turun dari kuda, melepas semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka/Sakra/Indra) dan membawanya ke surga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (± dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.
- Apakah Sang Buddha Gundul?
Tentang rambut, dalam sutta ada “muṇḍaka” = “yang rambutnya tercukur” (Muṇḍana = bercukur/memotong, tindakan mencukur), misal: "mā te muṇḍakā samaṇakā pānīyaṃ apaṃsū" (Jangan sampai para petapa yang rambutnya tercukur ini meminum air kami, Ud 7.9/Udapānasutta) namun kata itu kerap diterjemahkan “gundul”. Sutta ini menunjukan bahwa penampilan Sang Buddha dan murid-muridnya adalah sama, yaitu dengan rambut tercukur. Rambut panjang dijaman itu adalah simbol kejayaan. Seorang dengan rambut terpotong dikarenakan beberapa sebab: Kaum rendahan atau sedang menjalani hukuman atau terbuang dari sukunya atau mereka yang tengah melakukan sumpah tertentu atau mulai menjadi Petapa namun tradisi brahmanism tertentu tidak melakukan potong rambut saat melakukan sumpah atau menjadi petapa.
Gundul total bukanlah keharusan, karena di vinaya, culavagga V.2.2 dikatakan: "Tidak sepantasnya, Para Bhikkhu, berambut panjang, pelanggaran tentang ini adalah dukhata. Kuperkenankan, Para bhikkhu, rambut panjangnya hingga seumuran 2 bulan atau 2 anguli (2 inchi/5.08 cm)". Ini tampaknya ukuran panjang rambut Siddhattha Gotama ketika bertekad menempuh kehidupan pertapaan dengan memotong rambut dan janggutnya. Dalam kitab komentar dikatakan rambutnya tidak lagi memanjang, bentuknya melingkar kecil seperti siput dengan panjang tidak lebih dari 2 anguli.
Berapakah Tinggi Tubuh Siddhattha Gotama?
Pangeran Ajasattu TIDAK MENGENALI Buddha Gotama dalam kumpulan Bhikkhu yang sedang bersila [DN.2/Samaññaphala Sutta]; Penjaga taman hutan bambu taman rusa TIDAK MENGENALI Buddha Gotama [MN 128/Upakkilesa Sutta] dan Pukkhusati, raja kerajaan Gandhara yang menjadi Bhikkhu dan hendak bertemu Buddha Gotama, namun ketika telah bertemu, TIDAK MENGENALINYA [MN 140/Dhatu Vibhangga sutta] → Ini mengindikasikan perawakan Buddha Gotama, tidak berbeda dengan bhikkhu lainnya.
Vinaya Paticiya ke-92: "..ukuran jubah Sugata (sugatacīvarappamāṇaṃ)—panjang sembilan jengkal, jengkal sugata (dīghaso nava vidatthiyo, sugatavidatthiyā); Melintang/lebar enam jengkal (tiriyaṃ cha vidatthiyo)". Di RAPB buku ke-1, hal 400-401: Tinggi Buddha Gotama = 16 hattha s/d 18 hattha. Namun Buddhavamsa 27.20/21: "soḷasahattha/16 hattha" BUKAN 18 hattha. Dalam 32 ciri Buddha: "(5) Tangan-kaki lembut-lentur/mudutalunahatthapāda ... (6) Tangan-kaki rapat/jālahatthapāda" [DN.14; DN.30; MN.91], jadi hattha juga berarti telapak tangan. Masih 32 ciri Buddha: "(19) lingkar imbang pohon beringin/nigrodhaparimaṇḍalo, tubuh sepanjang bentangan (lengan)/yāvatakvassa kāyo tāvatakvassa byāmo, bentangan (lengan) sepanjang tubuh/yāvatakvassa byāmo tāvatakvassa kāyo" [DN.14; DN.30; MN.91]. Brahamanda Purana/Vayu Purana Ch.32.8-9: "Manusia ukurannya 8 jengkal jari tangannya sendiri". Oleh karenanya, 8 jengkal = 16 hattha.
Jika lengan ditekuk, ujung jari bertemu di depan dada, panjang = 4 x SIKU-UJUNG JARI. Dimana, SIKU-UJUNG JARI = 2 JENGKAL sendiri/vadatthi, jadi totalnya = 8 JENGKAL. "PUSER - UBUN KEPALA "= 3 JENGKAL, "PUSER - TAPAK KAKI" = 5 JENGKAL. Jika duduk bersila: "LANTAI - UBUN KEPALA" = 4 JENGKAL sendiri.
Karena Ajasattu tidak mengenali Buddha Gotama diantara kumpulan bhikkhu yang duduk bersila, maka 8 Jengkal Buddha Gotama TIDAK JAUH BEDA dengan rata-rata manusia.
1 Jengkal/vidatthi = 8½ inch s/d 9 inch ["On The Ancient Coins And Measures Of Ceylon", T. W. Rhys Davids, 1877, hal.15; atau di "The Mahavamsa", Wilhelm Geiger, 1912, Bab 15, hal.109, cat kaki no.4] atau = 12 angula (1 angula = ¾ English inch = 9 inch) ["Kautilya's Arthashastra, R. Shamasastry, 1915, Book II, Ch. 20, hal.149]. 1 Inchi = 2.54 CM. 1 Jengkal = 21.59 CM - 22.86 CM. Jadi, 8 Jengkal = 172.72 CM - 182.88 CM. Lebar tangan = 4 inchi (10.16 CM), jadi 16 hattha = 162.56 CM (= 8 inch). Oleh karenanya, perkiraan tinggi Buddha Gotama = 162.56 CM s.d 182.88 CM
Brahma Ghatikara muncul dihadapannya mempersembahkan delapan jenis barang: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air. [RAPB buku ke-1, hal 546].
-
Note:
Brahma Ghatikara merupakan Brahma Anagami dari alam Suddhavasa, pada kehidupan lampaunya, yaitu jaman Buddha Kassapa, Ia berteman dengan siswa dari Brahmana Jotipala. Siswa ini adalah Pangeran Siddhattha saat ini dan ketika itu, Ghatikara adalah umat awam, sementara siswa Brahmana Jotipala, setelah dipaksanya bertemu Sang Buddha Kassapa akhirnya murid Buddha Kassapa namun siswa Brahmana Jotipala itu tidak mencapai kesucian [MN 81]
Dengan air mata bercucuran di wajahnya, Channa dan Kanthaka mengamati perginya pangeran Siddhattha yang berjalan kaki menjauh. Kuda Kanthaka kemudian menjadi sangat sedih dengan pikiran, “Mulai saat ini aku tidak akan dapat melihat tuanku lagi", Ia pun meninggal dunia karena patah hati dan terlahir kembali di Surga Tavatimsa sebagai dewa bernama Kanthaka (Kelak di alam itu, setelah mendengarkan kotbah sang Buddha, Kanthaka menjadi Sotapanna). Sedangkan Channa, tertekan oleh penderitaan ganda akibat ditinggal pangeran dan wafatnya kanthaka, pulang ke Kota Kapilavatthu dengan air mata berlinang, menangis.
Kembalinya Channa ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran sekarang berada di tepi Sungai Anoma di negara Malla. Meskipun menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondañña dan mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan dimana Beliau berada.
Hidup sebagai pertapa
Usianya saat itu 29 tahun, Siddhattha mulai menjalani kehidupan tanpa rumah sebagai seorang pertapa. Dari Kapilavatthu, Siddhattha berjalan ke arah selatan menuju Rajagaha, ibukota negara Magadha. Raja negara ini bernama Bimbisara. Sesampainya di Rajagaha, Ia mendapatkan makanannya dengan jalan seperti para pertapa lainnya yaitu terserah dari apa yang orang hendak berikan, setelahnya, Ia menuju luarkota ke arah sebuah Gunung di Timur kota (gunung Pandava), duduk di sana dan memakan makanan yang diperolehnya
Simpati terhadap seekor domba yang terluka
Setelah makan, Siddhattha memutuskan untuk pergi ke pegunungan dimana orang-orang yang hidup menyendiri dan orang-orang bijak tinggal. Dalam perjalanannya menuju kesana, Siddhattha melewati sekumpulan domba. Para penggembala mengarahkan domba-dombanya ke Rajagaha untuk dikorbankan dalam suatu upacara pembakaran. Satu domba kecil terluka. Karena simpati, Siddhattha menggendong domba itu dan mengikuti para penggembala domba kembali ke kota.
Menghentikan pengorbanan binatang
Di kota, dalam suatu pemujaan di rumah pemujaan, terdapat api menyala di atas altar, Raja Bimbisara dan sekelompok pendeta sedang melakukan upacara mereka kepada Dewa Indra diseputaran api. Di seputaran api itu telah banyak darah mengucur dan Ketika seorang pemimpin dari para pemuja api itu mengangkat pedangnya untuk membunuh domba pertama, Siddhattha menghampirinya dan meminta kepada raja untuk menghentikan ritual ini, sambil membuka tali yang mengikat domba itu. Tidak ada seorangpun yang sanggup mencegahnya. Siddhattha meminta ijin raja Bimbisara untuk berbicara bahwa semua dapat membuat musnah jiwa-jiwa mahluk lain namun tidak ada yang dapat membuat hidup mahluk yang sudah mati, Bagi yang ingin dikasihani Dewa-dewa, agar juga mengasihani mahluk lainnya, manusia tidak nanti dapat membersihkan diri mereka dengan menggunakan darah,
Siapa yang menabur penderitaan memetik buah yang sama
Sambil menghampiri Raja dengan merangkapkan kedua tangan, ia berkata pula bahwa Alangkah indahnya kalau semua mahluk hidup saling berbuat baik terhadap yang lain, karena Jika manusia mengharapkan belas kasih, maka mereka seharusnya menunjukkan belas kasih. Sesuai hukum sebab-akibat, mereka yang membunuh makhluk lain akan, pada gilirannya, akan terbunuh. Jika kita mengharapkan kebahagiaan di masa depan, kita tidak boleh melukai semua makhluk. Siapapun yang menabur penderitaan akan menuai buah yang sama. Alangkah indahnya kalau semua mahluk hidup saling berbuat yang baik terhadap yang lain. Ucapan ini mengubah pikiran raja Bimbisara yang kemudian membuat maklumat bahwa sejak saat itu dilarang menumpahkan darah binatang, baik itu untuk persembahan para Dewa maupun untuk dimakan. Raja kemudian mengundang Siddhattha untuk tinggal dan mengajari rakyatnya. Tetapi Siddhattha menolak, karena Ia belum menemukan kebenaran yang dicarinya.
- Note:
3 Kisah Siddharttha di atas ini, yaitu mulai dari menggendong domba kecil terluka, heroisme menggagalkan pengorbanan binatang dalam upacara, menasehati raja, Raja Bimbisara menyampaikan maklumat melarang membunuh binatang dan mengundang Siddhattha TIDAK ADA dalam Sutta, Vinaya dan juga di kitab-kitab komentar Buddhis klasik KECUALI berasal dari buku "The Light of Asia", buku ke-5, karangan Sir Edwin Arnold. Kecuali dari pengarangnya, tidak diketahui asal-usul dari kisah karangannya ini berasal. [Lihat juga: INI]
Kitab Komentar:
Setelah mencukur rambut dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha, menurut:
Kitab komentar untuk Buddhavamsa dan Jataka: Ia berdiam 7 hari di huta Mangga, Anupiya dan kemudian berjalan kaki 30 yojana sehari memasuki Rajagaha;
Kitab komentar Sutta Nipatta: Ia menjalani sila dan berjalan 30 Yojana dalam 7 hari dari tepi sungai Anoma memasuki Rajagaha
Adalah untuk mengumpulkan dana makanan.
7 Hari sebelum Pangeran Siddhattha memasuki Rajagaha, sebuah festival sedang dirayakan oleh orang banyak. Pada hari, Pangeran Siddhattha memasuki kota, Raja Bimbisàra mengumumkan dengan tabuhan genderang bahwa Festival telah selesai. Ketika Sang Petapa mengumpukan dana makanan, para penduduk masih berkerumun dan membicarakan dirinya. Para pelayan Istana melaporkan kejadian ini pada Raja Bimbisàra, raja juga sempat melihat beliau dari teras atas dan merasa penasaran, kemudian memerintahkan menterinya untuk menyelidikinya
Setelah selesai mengumpulkan dana makan, Pangeran Siddhattha menuju luar kota untuk memakan dana makanan yang diibawa-Nya. Awalnya, saat menyuap dan menelan makanan campur aduk berwarna-warni yang sangat menjijikan ini ke mulutnya, Ia merasa menderita dan nyaris muntah-muntah karena belum pernah melihat dan memakan makanan yang sangat menjijikan seperti itu. Setelah menenangkan diri dan menegur diri sendiri akan tujuan dan tekadnya, barulah Ia dapat dengan baik makan makanan yang sangat menjiikan itu. Setelah mendapat laporan dari menterinya, Raja Bimbisara kemudian mendatanginya [kitab komentar Buddhavamsa dan Subkomentar Jinàlankàra. Juga lihat buku RAPB, buku ke-1, hal. 550-558]
Sutta: Raja duduk di sebelahNya, bertukar salam dan penghormatan, kemudian berkata: "Tuan, Engkau masih muda, di puncak kehidupanmu, tampan dan rupawan. Tampaknya engkau seorang putra mahkota dari keluarga bangsawan. Engkau dapat diiringi bala tentara yang hebat dan dihormati oleh kelompok bangsawan. Nikmatilah kekayaan yang dapat kuberikan padamu. Tetapi, dapatkah engkau beritahukan dari keluarga manakah asalmu?’
Pangeran Siddhattha menjelaskan asal usulnya dan menolak tawaran sang Raja dengan berkata: 'Telah kulihat penderitaan akibat kesenangan. Telah kulihat kemantapan yang ada bila meninggalkan penderitaan-penderitaan itu, Jadi sekarang aku akan pergi, Aku akan menuju ke medan perjuangan, Inilah kebahagiaan pikiranku; Di sinilah pikiranku mendapat kebahagiaan’ [SNP 3.1/Pabbaja Sutta]
Kitab Komentar:
Mendengar ini, raja Bimbisara kemudian memohon saat sang petapa telah mencapai tujuannya, agar kunjungan pertamanya adalah ke negerinya. Setelah pertemuan ini, Sang Pangeran melanjutkan perjalanannya [kitab komentar Buddhavamsa dan Subkomentar Jinàlankàra. Juga lihat buku RAPB, buku ke-1, hal. 550-558]
Kurban binatang berawal di jaman Raja Okkāka
Para brahmana pada zaman dahulu tidak punya ternak, emas maupun jagung. Makanan apa pun yang disiapkan untuk mereka diletakkan di pintu... Orang-orang kaya dari berbagai propinsi dan negeri lain memuja para brahmana itu dengan pemberian jubah beraneka warna, tempat tidur dan tempat berdiam...Tak ada yang pernah menolak mereka di ambang pintu rumah mana pun.
Sebelumnya, para brahmana mempraktekkan kehidupan selibat di masa muda sampai usia 48 tahun, tidak hidup bersama istri orang lain, tidak membeli istri... Tidak hidup bersama kecuali dengan seorang istri yang telah berhenti haid, dan hanya pada waktu yang tepat... brahmana itu bersih dari tindakan seksual yang tidak pantas, dan bahkan dalam mimpi, sekalipun dia tidak memanjakan diri dalam hubungan seksual... Mereka mengagungkan kesucian, moralitas, integritas, keramahtamahan, keprihatinan, kelembutan hati, daya tahan, dan mereka anti-kekerasan.
... Mereka mempersembahkan benda-benda itu untuk kurban, dan untuk kurban mereka tidak membunuh sapi. Sapi-sapi, yang darinya obat-obatan dihasilkan, merupakan sahabat kita yang baik, bagaikan ibu, ayah, saudara dan sanak kita. Sapi-sapi itu memberi makanan, kekuatan, keindahan, kesehatan. Karena manfaat-manfaat ini, para brahmana itu tidak membunuh ternak.
Namun kemudian mereka mulai melihat kekayaan dan wanita dengan aneka perhiasan, dan mulailah terjadi perubahan dalam diri mereka. Para brahmana itu mulai menginginkan sapi-sapi, wanita-wanita cantik, kereta dengan kuda-kuda terlatih baik yang dihiasi tirai-tirai indah, serta rumah dan tempat tinggal yang dibangun dan ditata baik.
Setelah mencipta lagu-lagu pujian, mereka kemudian menghadap Raja Okkaka..Karena bujukan para brahmana, maka Raja, penguasa kereta, dengan bebas melakukan kurban kuda, kurban manusia, ritual-ritual air dan kurban minuman keras. Setelah melakukan kurban-kurban ini, Raja memberikan harta kepada para brahmana itu, yaitu: Ternak, tempat tidur, pakaian, wanita-wanita berhias, kereta-kereta kokoh yang ditarik oleh kuda-kuda indah dan dihias kain berbordir, Rumah-rumah indah, yang dirancang baik dengan masing-masing bagiannya, yang penuh dengan berbagai macam biji-bijian.
Setelah menerima kekayaan, para brahmana pun berkeinginan untuk menimbun; dan karena dikuasai oleh keinginan memiliki kekayaan, keserakahan mereka pun meningkat. Mereka menciptakan lagu-lagu pujian dan sekali lagi menghadap Okkaka.. Kemudian, karena bujukan para brahmana, Raja, penguasa kereta, menyebabkan terbunuhnya beratus-ratus ribu ternak untuk kurban. Padahal sapi-sapi tidak menyakiti siapa pun dengan kaki maupun tanduk mereka. Mereka patuh bagaikan domba dan memberikan amat banyak susu. Namun Raja menangkap mereka ..dan memerintahkan agar sapi-sapi itu dibunuh dengan pedang.
Maka para dewa, leluhur, Indra para asura pelindung (asurarakkhasā), ketika pedang itu terayun pada sapi, berteriak: ‘Ini Adhamma!’. Pada zaman dahulu hanya ada 3 macam penyakit: nafsu, kelaparan, dan kelapukan. Tetapi karena pembunuhan binatang, jumlah penyakit bertambah menjadi 98.. Ketidakadilan yang sudah tua ini terus terjadi turun temurun [SnP 2.7/BrahmanaDhammika Sutta]
Setelah meninggalkan Rajagaha, Siddhattha mendatangi Āḷāra Kālāma dan berkata kepadanya: ‘Teman Kālāma, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’ Āḷāra Kālāma menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’—dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.
“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Āḷāra Kālāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku masuk dan berdiam dalam Dhamma ini.” Āḷāra Kālāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, dalam cara bagaimanakah engkau menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ Sebagai jawaban ia menyatakan landasan tidak ada apapun
“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Āḷāra Kālāma yang memiliki keyakinan, kegigihan, ingatan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, ingatan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Āḷāra Kālāma bahwa ia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’
“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, apakah dengan cara ini engkau menyatakan bahwa engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung?’—‘Demikianlah, teman.’—‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’—‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. jadi Dhamma yang kunyatakan telah kumasuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang Engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriMu sendiri dengan pengetahuan langsung. Dan Dhamma yang Engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriMu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang kunyatakan telah aku masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang kuketahui dan aku mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana aku, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula aku. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.’
“Demikianlah Āḷāra Kālāma, guruKu, menempatkan Aku, muridnya, setara dengan dirinya dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, tidak menuntun menuju kebosanan, tidak menuntun menuju lenyapnya, tidak menuntun menuju kedamaian, tidak menuntun menuju pengetahuan langsung, tidak menuntun menuju nibbāna/Nirvana [nir/ni/tidak ada + va/meniup + suffix-na = padam], tetapi hanya menuntun menuju kemunculan kembali dalam landasan kekosongan.’ Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu. [MN 26]
Uddaka Rāmaputta
“Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan berkata kepadanya: ‘Teman, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’ Uddaka Rāmaputta menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’—dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.
“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Rāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku masuk dan berdiam dalam Dhamma ini.” Rāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, dalam cara bagaimanakah Rāma menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ Sebagai jawaban ia menyatakan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi
“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Rāma yang memiliki keyakinan, kegigihan, ingatan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, ingatan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma bahwa ia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’
“Aku dengan cepat masuk dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, apakah dengan cara ini Rāma menyatakan bahwa ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’—‘Demikianlah, teman.’—‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’—‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. jadi Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang Engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung. Dan Dhamma yang Engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang diketahui oleh Rāma dan Rāma mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana Rāma, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula Rāma. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.
“Demikianlah Uddaka Rāmaputta, temanKu dalam kehidupan suci, menempatkan Aku dalam posisi seorang guru dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju nibbāna, tetapi hanya menuju kemunculan kembali dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu. [MN 26]
Kelompok 5 pertapa
“Aku mengembara secara bertahap melewati Negeri Magadha hingga akhirnya Aku sampai di Senānigama di dekat Uruvelā. Di sana Aku melihat sepetak tanah yang nyaman, hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Aku merenungkan: ‘Ini adalah sepetak tanah yang nyaman, ini adalah hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Ini akan membantu usaha seseorang yang bersungguh-sungguh untuk berusaha.’ Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’ [MN 26]
Kelompok lima petapa (Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji) mendengar bahwa Siddhattha telah menjadi petapa mereka mulai mengunjungi desa-desa, kota-kota, dan lain-lain satu demi satu, untuk mencari Bodhisatta dan akhirnya bertemu di Hutan Uruvelà. Karena berharap tidak lama lagi, Beliau akan menjadi seorang Buddha, maka melayani-Nya dalam praktek penyiksaan diri (dukkaracariya) selama 6 tahun; mereka bergerak ke sana ke sini memenuhi kewajiban mereka seperti menyapu, mengambil air panas, dingin, dan lain-lain [RAPB Buku ke-1, Bab.12, hal.569-570].
- Sang Buddha, ‘Para bhikkhu dari kelompok lima yang melayaniKu sewaktu aku menjalani usahaku telah sangat membantu” [MN 26]
Pangeran Siddhattha mempraktekkan berbagai variasi praktek pertapaan selama 6 tahun (AP 548), berjuang mencapai pencerahan:
- Melakukan meditasi tanpa bernafas yang sangat keras:
Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut dan hidungKu. Sewaktu Aku melakukan demikian, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu. Bagaikan suara keras yang terdengar ketika pipa pengembus pandai besi ditiup, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui hidung dan telingaKu, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu...
Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaKu. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menembus kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat menusuk kepalaKu dengan ujung pedang tajam...Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat mengencangkan tali kulit di kepalaKu sebagai ikat kepala...Angin kencang menerobos keluar melalui perutKu. Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya membelah perut seekor sapi dengan pisau daging yang tajam...Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuhKu. Bagaikan dua orang kuat mencengkeram seseorang yang lebih lemah pada kedua lengannya dan memanggangnya di atas lubang membara..Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan ingatan yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhKu kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana. [MN 36/Mahasaccaka Sutta]
Pertapaan sangat keras
“Aku bepergian dengan telanjang, menolak kebiasaan-kebiasaan, menjilat tanganKu, tidak datang ketika dipanggil, tidak berhenti ketika diminta;
Aku tidak menerima makanan yang dibawa atau makanan yang secara khusus dipersiapkan atau suatu undangan makan;
Aku tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, terhalang tongkat kayu, terhalang alat penumbuk, dari 2 orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang sedang berbaring bersama laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan;
Aku tidak menerima ikan atau daging,
Aku tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi.
Aku mendatangi 1 rumah, 1 suap;
Aku mendatangi 2 rumah, 2 suap; …
Aku mendatangi 7 rumah, 7 suap.
Aku makan satu mangkuk sehari,
Aku makan 2 mangkuk sehari …
Aku makan 7 mangkuk sehari;
Aku makan sekali dalam sehari,
Aku makan sekali dalam 2 hari …
Aku makan sekali dalam 7 hari, dan seterusnya hingga sekali setiap 2 minggu; Aku berdiam menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.
Aku adalah pemakan sayur-sayuran dan padi-padian atau beras kasar atau kulit kupasan buah atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi.
Aku hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan;
Aku memakan buah-buahan yang jatuh.
Aku mengenakan pakaian terbuat dari rami, dari rami dan kain, dari kain pembungkus mayat, dari selimut yang dibuang, dari kulit pohon, dari kulit rusa, dari cabikan kulit rusa, dari kain rumput kusa, dari kain kulit kayu, dari kain serutan kayu, dari kain rambut, dari kain bulu binatang, dari bulu sayap burung hantu.
Aku adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menjalani praktik mencabut rambut dan janggut.
Aku adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk.
Aku adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok.
Aku adalah seorang yang menggunakan alas tidur paku;
Aku menjadikan alas tidur paku sebagai tempat tidurKu.
Aku berdiam dengan menjalani praktik mandi 3x sehari termasuk malam hari.
Demikianlah dalam berbagai cara Aku berdiam dengan menjalani praktik menyiksa dan menghukum diri. Demikianlah pertapaanKu.
Kekasaran – sangat kasar
“bagaikan batang pohon Tindukā, yang terkumpul selama bertahun-tahun, menempel dan mengelupas, demikian pula, debu dan daki, yang terkumpul selama bertahun-tahun, menempel di tubuhKu dan mengelupas. Tidak pernah terpikir olehKu: ‘Oh, Aku akan menggosok debu dan daki ini dengan tanganKu, atau membiarkan orang lain menggosok debu dan daki ini dengan tangannya’ – tidak pernah terpikirkan olehKu demikian. Demikianlah kekasaranKu.
Kehati-hatian – sangat hati-hati
“Aku selalu dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui ketika melangkah maju dan melangkah mundur. Aku selalu berbelas kasihan bahkan pada [makhluk-makhluk] dalam setetes air sebagai berikut: ‘Semoga Aku tidak menyakiti makhluk-makhluk kecil dalam celah tanah ini.’ Demikianlah kehati-hatianKu.
Keterasingan – sangat terasing
“Aku akan memasuki hutan dan berdiam di sana. Dan ketika Aku melihat seorang penggembala sapi atau seorang penggembala domba atau seseorang yang sedang mengumpulkan rumput atau kayu, atau seorang pekerja hutan, Aku akan pergi dari hutan ke hutan, dari belantara ke belantara, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit. Mengapakah? Agar mereka tidak melihatKu atau agar Aku tidak melihat mereka. Bagaikan seekor rusa yang lahir di dalam hutan, ketika melihat manusia, akan lari dari hutan ke hutan, dari belantara ke belantara, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, demikian pula, ketika Aku melihat seorang penggembala sapi atau seorang penggembala domba … Demikianlah keterasinganKu.
Praktek meniru Binatang dan makan kotoran
“Aku akan bepergian dengan ke-4 tangan dan kakiKu menuju kandang sapi ketika sapi-sapi telah pergi dan si penggembala meninggalkannya, dan Aku akan memakan kotoran sapi-sapi muda. Selama kotoran dan air kencingKu masih ada, Aku akan memakan kotoran dan air kencingKu sendiri. Demikianlah praktik kerasKu dalam hal memakan kotoran.
Praktek kediaman
“Aku akan pergi ke hutan-hutan yang menakutkan dan berdiam di sana – hutan yang begitu menakutkan sehingga umumnya akan membuat seseorang merinding jika ia tidak terbebas dari nafsu. Pada malam-malam musim dingin selama ‘8 hari interval beku,’ Aku akan berdiam di ruang terbuka dan siang harinya di dalam hutan. Dalam bulan terakhir musim panas Aku akan berdiam di ruang terbuka pada siang hari dan di dalam hutan pada malam hari. Dan di sana secara spontan muncul dalam diriKu syair ini yang belum pernah terdengar sebelumnya:
‘Kedinginan di malam hari dan terpanggang di siang hari,
Sendirian di dalam hutan yang menakutkan,
Telanjang, tidak ada api untuk duduk di dekatnya,
Namun Sang Petapa tetap melanjutkan pencariannya.’
“Aku membuat tempat tidur di tanah pekuburan dengan tulang-belulang orang mati sebagai bantal. Dan anak-anak penggembala datang dan meludahiKu, mengencingiKu, melemparkan tanah padaKu, dan menusukkan kayu ke dalam telingaKu. Namun Aku tidak ingat bahwa Aku pernah membangkitkan pikiran buruk terhadap mereka. Demikianlah kediamanKu dalam keseimbangan.
Praktek mengikuti model aliran lainnya:
“Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui makanan.’ Mereka mengatakan: ‘Ayo kita hidup dari memakan buah kola,’ dan mereka memakan buah kola, mereka memakan tepung kola, mereka meminum air buah kola, dan mereka membuat berbagai jenis ramuan buah kola. Sekarang Aku ingat pernah memakan satu buah kola sehari.
..engkau mungkin berpikir bahwa buah kola pada masa itu lebih besar, namun engkau tidak boleh menganggapnya demikian; buah kola pada masa itu berukuran sama seperti sekarang.
Karena memakan satu buah kola sehari, tubuhKu menjadi sangat kurus.
Karena makan begitu sedikit anggota-anggota tubuhku menjadi seperti tanaman merambat atau batang bambu.
Karena makan begitu sedikit punggungku menjadi seperti kuku unta.
Karena makan begitu sedikit tonjolan tulang punggungku menonjol bagaikan untaian tasbih.
Karena makan begitu sedikit tulang rusukKu menonjol karena kurus seperti kasau dari sebuah lumbung tanpa atap.
Karena makan begitu sedikit bola mataKu masuk jauh ke dalam lubang mata, terlihat seperti kilauan air yang jauh di dalam sumur yang dalam.
Karena makan begitu sedikit kulit kepalaKu mengerut dan layu bagaikan buah labu pahit yang mengerut dan layu oleh angin dan matahari.
Karena makan begitu sedikit kulit perutku menempel pada tulang punggungKu; sedemikian sehingga jika Aku menyentuh kulit perutKu maka akan tersentuh tulang punggungKu, dan jika Aku menyentuh tulang punggungKu maka akan tersentuh kulit perutKu.
Karena makan begitu sedikit, jika Aku mencoba menyamankan diriKu dengan memijat badanKu dengan tanganKu, maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya.
“..ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui makanan.’ Mereka mengatakan: ‘Ayo kita hidup dari memakan kacang,’ ...
‘Ayo kita hidup dari memakan wijen,’ ...
‘Ayo kita hidup dari memakan nasi,’ dan mereka memakan nasi, mereka memakan tepung beras, mereka meminum air beras, dan mereka membuat berbagai jenis ramuan beras. Sekarang Aku ingat pernah memakan satu butir nasi sehari.
..engkau mungkin berpikir bahwa butiran beras pada masa itu lebih besar, namun engkau tidak boleh menganggapnya demikian; butiran beras pada masa itu berukuran sama seperti sekarang.
Karena memakan satu butir nasi sehari, tubuhKu menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit ... maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya. [MN 12/Mahasihanada Sutta]
Berikut di bawah, beberapa sample variasi kisah pertolongan yang diberikan kepada Siddhattha Gotama, dimenjelang pencerahannya:
Pertolongan dari anak penggembala dan Sitar Penyanyi
Seorang anak penggembala dengan seekor kambing lewat dan melihat keadaan pangeran Siddhattha, Ia tau bahwa tanpa makanan pangeran Siddhattha dapat menemui ajal. Pada saat itu di Hindustan terdapat pantangan bahwa apabila bersentuhan dengan kasta rendah maka hilanglah kesucian kaum Brahmana. Ia peras susu kambing tersebut dan dikucurkan kemulut Siddhattha hati-hati agar tidak menyenggol badannya. Setelah siuman, Siddhattha meminta lagi susu kambing itu dan anak tersebut menolak lantaran ia sebagai kasta Sudra, Lalu Siddhattha berkata "Darah manusia tidak mengenal perbedaan, begitu pula airmata, Siapa manusia yang lakukan perbuatan benar ialah seorang suci"
Anak Gembala itu tercengang karena anggapan itu belum pernah ia dapatkan sebelumnya dan memberinya susu kambing. Siddhattha mulai merasa lebih baik. Pangeran Siddhattha sadar bahwa tanpa pertolongan anak gembala itu, ia dapat tewas sebelum mencapai pencerahan.
Suatu ketika lewatlah kawanan penyanyi yang terdiri dari perempuan muda dan beberapak lelaki dan mendendangkan suatu lagu yang kurang lebih berbunyi "Kalau sitar dipentang terlalu keras, talinya putus, lagu pergi, kalau tali terlalu kendor iapun tidak bisa bersuara, ia punya nada tidak boleh terlalu kendor atau terlalu kencang, orang yang memainkan mesti bisa menimbang dan memperkirakannya".
Sidartha terheran-heran dan berkata "Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) harus menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendur" ["Gotama the Buddha: An Inspiring Biography for the Young Readers", H. L. Luthra, hal.15-16]
Dua kisah di atas ini, yaitu anak penggembala diceramahi tentang kasta dan tentang nyanyian Sitar juga TIDAK ADA dalam Sutta, Vinaya dan di kitab-kitab komentar Buddhis klasik KECUALI berasal dari buku ke-6, "The Light of Asia"-nya Sir Edwin Arnold. Tidak diketahui darimana asal-usul kisah karangannya ini.
- Note:
Terkait ucapan tentang kasta, di India, terdapat kuil Poruvazhy Peruviruthy Malanada, Kerala distrik Kollam district. Di kuil ini, Duryodana dipuja sebagai dewa, menurut legenda di sana: Duryodana pernah ke Kerala untuk mencari Pandawa. Ia haus dan meminta air kepada seorang wanita tua. Secara impulsif, wanita ini memberikan Tuak Nira yang dibawanya. Kemudian, perempuan ini sadar dan berkata bahwa Duryodhana kasta Kshatriya bisa kehilangan kasta dengan meminum tuak nira seorang candala. Ketika mengatakan ini, Duryodhana berkata, “Ibu, tidak ada kasta untuk lapar dan haus. Berbahagialah Anda karena menempatkan kepentingan pria yang haus di atas keselamatan Anda sendiri"
Di mitologi Hindu, Siddharta Gotama kerap dianggap avatar ke-9 Visnu, dan avatar ke-8 adalah Vasudeva (atau Krishna / Kesava / Janardana / Govinda / Mādhava / Madhusūdana), dalam Mahabharata, Vasudeva dan Baladeva (kakak Vasudeva) beserta Pandawa yang beristri Drupadi, SATU JAMAN, namun di Buddhisme, Vasudeva dan Baladeva berserta Pandava yang beristri Drupadi, BEDA JAMAN. Buddhis Jataka no.454: Vasudeva punya adik 9 orang: (1) Vāsu-deva, (2) Bala-deva, (3) Canda-deva, (4) Suriya-deva, (5) Aggi-deva, (6) Varuṇa-deva, (7) Ajjuna, (8) Pajjuna, (9) Ghata-paṇḍita, dan (10) Aṁkura. Di Jataka ini, Vasu-deva = kelahiran lampaunya Sariputta (murid Buddha Gotama), Ghata-paṇḍita = kelahiran lampaunya Siddharta Gotama. Sementara Buddhis Jataka no.536, Putra pandu adalah (1) Ajjuna (tertua), (2) Nakula, (3) Bhīmasena, (4) Yudhitthila, (5) Sahadeva. Kelima putra Pandu beristrikan Kanhā Dvepitika/krsna Drupadi (Kanhā/Krsna = Hitam, Dvepitika: punya dua ayah). Di jataka ini, Ajjuna (anak tertua Pandu) = kelahiran lampaunya raja burung bernama Kunala = kelahiran lampaunya Siddharta Gotama.
- “Katakan padaKu, Soṇa, di masa lalu, ketika engkau menetap di rumah, bukankah engkau terampil dalam bermain Sitar/Dawai/kecapi (tantissare)?”
“Benar, Bhante (guru).”
“Bagaimana menurutmu, Soṇa? ketika senarnya terlalu kencang, apakah nadanya tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”
“Tidak, Bhante.”
“Ketika senarnya terlalu kendur, apakah nadanya tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”
“Tidak, Bhante.”
“Tetapi, Soṇa, ketika senarnya tidak terlalu kencang juga tidak terlalu kendur, melainkan diatur seimbang, apakah nadanya tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”
“Benar, Bhante.”
“Demikian pula, Soṇa, jika kegigihan dibangkitkan terlalu kuat maka ini mengarah pada kegelisahan, dan jika kegigihan terlalu kendur maka ini mengarah pada kemalasan. Oleh karenanya, Soṇa, bertekadlah pada kegigihan yang seimbang, capailah kesetaraan indria-indria mental, dan peganglah objek di sana.”
Pertolongan putri kepala kawanan gembala bernama Nandabala yang memberi Tajin & Sujata yang memberi susu beras
Ketika Siddhattha pergi mandi, Ia tidak kuat berbangkit di air hampir tenggelam dan untunglah ada suatu cabang pohon ia merayap naik dan dengan perlahan berlalu dari sungai. menuju tempat pertapaannya, tidak berapa lama kemudian ia roboh dengan tubuh tidak bergerak. Kelima Pertapa yang bersamanya mengira bahwa ia sudah mati. Kebetulan hari itu ada seorang anak perempuan bernama Nandabala, anak seorang kepala kawanan gembala dan Siddhattha diberikan nasi Tajin olehnya [Buddhacarita, karya Asvhagosha abad ke-2 M]
Di Tipitaka pali disebutkan bahwa Siddhattha memahami bahwa praktek dengan cara-cara sebelumnya tidaklah membawanya menuju Penerangan Agung. Kemudian, timbul dalam tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah muncul sebelumnya dalam pikirannya.
Pertama:
Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan mentalnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.
Kedua:
Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria tetapi mentalnya masih ingin menikmatinya pasti juga tidak akan berhasil.
Ketiga:
Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir, "Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas." Orang ini pasti dapat membuat api dari kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indria dan mentalnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung
Aku mempertimbangkan:
‘Aku ingat ketika ayahKu orang Sakya yang berkuasa, sewaktu Aku sedang duduk di keteduhan pohon jambu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Mungkinkah itu adalah jalan menuju pencerahan?’ Kemudian, dengan mengikuti ingatan itu, muncullah pengetahuan: ‘Itu adalah jalan menuju pencerahan.’
Aku berpikir: ‘Mengapa Aku takut pada kenikmatan itu yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat?’ Aku berpikir: ‘Aku tidak takut pada kenikmatan itu karena tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.’
Aku mempertimbangkan:
‘Tidaklah mudah untuk mencapai kenikmatan demikian dengan badan yang sangat kurus. Bagaimana jika Aku memakan sedikit makanan padat—sedikit nasi dan bubur.’ Dan Aku memakan sedikit makanan padat—sedikit nasi dan bubur.[MN 36/Mahasaccaka Sutta]
Aku sampai di Senānigama di dekat (hutan) Uruvelā. Di sana Aku melihat sepetak tanah yang nyaman, hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pesisir yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. [MN 26/Ariyapariyesanā Sutta]
- Kitab komentar:
Dekat tempat Siddhattha bertapa, tinggal seorang pemilik tanah yang bernama Senani yang mempunyai anak perempuan bernama Sujata. Suatu pagi, karena terkabul harapannya yaitu bersuami dan mempunyai anak, Sujata memberikan persembahan kepada Dewa pohon tempatnya berkaul sebelumnya. Ia melihat Siddhattha yang tengah bersemedi dan menganggapnya sebagai Dewa. Dengan gembira, Ia persembahkan mangkuk dengan bahan emas yang berisi susu beras kepadanya sambil berkata, "Seperti harapanku yang terwujud, semoga demikian pula dengan Yang mulia". Siddhattha, dengan membawa mangkuk kosong, berjalan sampai di tepian Sungai Nerañjara dan melemparkannya ke tengah sungai, sambil berkata, "Jika sudah waktuku, maka mangkuk ini akan mengalir melawan arus, bukan mengikuti arus". Mangkuk itu kemudian mengalir melawan arus. [Komentar Anguttara Nikaya (Sattamaetadaggavaggo dari Manorathapūraṇī karya Buddhaghosa, abad 5 M); Komentar Buddhavamsa (Buddha Gotama dari Madhuratthavilāsinī karya Buddhadatta, abad 5 M); Jinacarita karya Medhaṁkara, abad 13 M, no.215-219. RAPB buku ke-1, hal 593-598. Juga di DPPN: Sujata]
Bertekad menemukan Kebenaran
Sebelum pencerahanNya, Pangeran Siddhattha, mengalami 5 mimpi yang semakin meneguhkan bahwa cita-citanya akan segera tercapai, yaitu mimpi mengenai:
- bumi besar ini menjadi ranjangnya; Himālaya, raja pegunungan, menjadi bantalNya; tangan kiriNya berada di atas lautan timur, tangan kananNya di lautan barat, dan kedua kakiNya di lautan selatan.
- sejenis rumput yang disebut tiriyā muncul dari pusarNya dan menjulang menyentuh langit
- ulat-ulat putih berkepala hitam merayap dari kaki hingga ke lututNya dan menutupinya.
- empat ekor burung berbeda warna datang dari empat penjuru, jatuh di kakinya, dan semuanya berubah menjadi putih.
- Beliau mendaki gunung kotoran yang besar tanpa terkotori oleh kotoran itu [AN 5.196]
Meditasi di bawah pohon bodhi
Ia mengabaikan semua gangguan, ingatan-ingatan kenikmatan masa lalu, pemikiran duniawi dan hanya mengarahkan pikiran pada keluar masuknya nafas.
- "Setelah memakan makanan padat dan memperoleh kembali kekuatanKu, maka dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari hal yang tak bermanfaat (melalui pemusatan pikiran) dengan menggenggam dan mempertahankan (objek) dari menanggalkan itu, munculah rasa sukacita dan nikmat, aku masuk dalam jhāna ke-1... dalam jhāna ke-2.. dalam jhāna ke-3... dalam jhāna ke-4... perasaan menyenangkan yang muncul itu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana. [MN 36/Mahasaccaka Sutta]
-
Ketika Aku berdiam di tepian sungai Neranjara, dalam pergulatanku bermeditasi mengerahkan segenap kekuatan untuk bebas dari belenggu. Namucci/Mara menghampiriku dan berbicara manis seolah bersimpati: ‘Engkau begitu kurus dan pucat, nyaris binasa, seribu bagian binasa, satu bagian hidup, Bertahanlah hidup, Yang Mulia! Lebih baik hidup, dapat mengumpulkan kebajikan jika hidup. Menjalani kesucian, melakukan persembahan pada api suci. Mendapatkan banyak kebajikan. Buat apa semua pergulatan ini? Jalan pergulatan ini sangatlah keras, melelahkan dan sulit’
Ketika Mara mengatakan ini, Ia di dekatKu. Kemudian Sang Buddha berkata:
‘Wahai sang jahat, sahabat bagi yang lengah? Kau datang untuk kepentinganmu sendiri. Tak ku butuhkan kebajikan seperti itu. Oh Mara, kotbah kebajikanmu, sampaikan pada yang butuh. Dengan keyakinan dan semangat juga pengetahuanku. Ketika berjuang menahan, Mengapa berbicara tentang hidup?
Dengan bertiupnya angin, bahkan air aliran sungaipun mengering. Dengah berjuang menahan, darahku mereda. Dengan mereda darahku, demikian pula gairah dan gelora. Jasmani mereda, pikiran semakin murni, semakin di ingatan dan kebijaksanaan (bhiyyo sati ca paññā ca), pikiran terpusat tak goyah. Berdiam seperti ini, ku memahami lintasan perasaan, pikiran ku tak lagi merindukan kenikmatan, melihat apa adanya kehidupan.
Bala tentaramu yang ke-1 adalah Nafsu, yang ke-2 adalah ketidakpuasan, yang ke-3 adalah kehausan, yang ke-4 adalah ketagihan, yang ke-5 lamban dan malas, yang ke-6 adalah ketakutan, yang ke-7 adalah keraguan, yang ke-8 adalah tak menghargai dan keangkuhan. Juga keuntungan materi, pujian, kehormatan dan kemasyhuran dengan cara keliru, meninggikan diri dan merendahkan lainnya.
Semua ini, wahai Mara, tentaramu, pasukan penyerang kegelapan. Hanya keberanian menaklukan yang memperoleh kebahagiaan. Dengan anyaman rumput munja, pantang mundur, malu hidup untuk kalah di sini, lebih baik mati dalam pertempuran daripada hidup untuk dikalahkan...
Dengan seluruh bala tentara disekelilingku, Mara siap beserta kendaraannya, Aku siap menempur, Aku tidak tergoyahkan. Seandainya seluruh dunia, termasuk para dewanya, tak dapat mengalahkan bala tentaramu, aku akan menghancurkannya dengan kekuatan kebijaksanaan, bagaikan pot tembikar yang tidak dibakar dihancurkan oleh buah batu...
Mara:
Selama 7 tahun ku ikuti jejak Sang Buddha,’mengamati setiap langkahnya. Tidak satu kali pun aku bisa mengalahkanNya..[SNP 3.2/Padhana Sutta]
“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau:
[..] Aku mengingat banyak ragam kelahiran dikehidupan lampauKu sebagai berikut: mula-mula 1 kelahiran, 2, 5, 10, 50, 100, 1000, 100.000, banyak Kappa kontraksi kosmis, banyak Kappa kosmis mengembang, banyak Kappa dari kontraksi dan mengembangnya kosmis [..] Pengetahuan pertama pada malam waktu pertama (rattiyā paṭhame yāme);
melalui mata dewaNya, melihat mahluk-mahluk wafat dan muncul kembali di bermacam alam, terhubung dengan karma mereka sendiri hingga dibedakan menjadi inferior/superior, penampilannya baik/buruk, beruntung/sial;[..]. Pengetahuan ke-2 pada malam waktu tengah [rattiyā majjhime yāme];
pengetahuan penyebab, cara penghancuran noda dan mengakhir kelahiran kembali [..]. Pengetahuan ke-3 pada malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme] [MN 36/Mahasaccaka Sutta]
- Note:
Teks menyebutkan di malam hari, terdapat 3 yāma (atau prahara): (1) paṭhama/pertama [misal: DN 16, MN 36, dll] = purima/awal [Mnd 14, Mil 3.2.1]; (2) majjhima/tengah dan (3) pacchime [DN 16, MN 36, Mnd 14, dll]. Menurut aṭṭhakathā (Buddhaghosa, abad ke-5): Sammohavinodani 12/jhānavibhanga: "waktu siang-malam/rattindivassa dibagi 6 bagian/chaṭṭha-koṭṭhāsa", artinya lama waktu tersebut per ± 4 jam.
Bhāskara I (matematikawan, abad ke-7, Āryabhaṭīya 3.2/Āryabhaṭīya 2.176) juga Śrīdhara Svāmin (abad ke-14, komentator Bhāgavata purana): Siang sampai malam (ahorātra) = 8 yāma/prahara (siang: 4, malam: 4). 1 yāma/prahara bergantung musim = 6 atau 7 ghaṭikā (misal: musim dingin, siang, 1 yāma = 6 ghaṭikā; malam, 1 yāma = 7 ghaṭikā). Bhaskara II (matematikawan, abad ke-12): 1 yāma = 7.5 ghaṭikā. Fajar dan Senja (karena bukan malam dan siang), masing-masingnya = 4 ghaṭikā (atau 2 muhūrta).
India kuno menghitung 1 ahorātra = 30 muhūrta = 60 ghaṭi/ghaṭikā atau (nādī/nāḍikā; nāli/nālikā atau daṇḍa), dari habisnya air dalam wadah berbentuk mangkok (ghaṭikā) atau tabung silinder (nāḍikā/nālikā) [misal: Arthasāstra 2.20.35; Brahmavaivarta Purana, prakṛti-khaṇḍa 54.27-28 atau di Āryabhaṭa Siddhānta] atau di Srilanka jaman Buddhaghosa, dalam atthakatha Majjhima Nikaya (1.122): Bikkhu Kāḷadeva dari vihara Vajagara[giri], mengetahui waktu tanpa menggunakan yāmayantanāḷikaṃ (yanta = alat. nāḷika = tabung air). Dari hasil wadah air tersebut, 1 ghaṭi/ghaṭikā = 24 menit, 1 muhūrta = 2 ghaṭi/ghaṭikā (48 menit), 1 ahorātra = 30 x 48 = 1440 menit (= 24 jam waktu modern) dan 1 yāma = 7.5 ghaṭikā (7.5 x 24 = 180 menit).
Karena sutta menyebutkan 3 yāma di malam hari, maka sisanya adalah 1 yāma di waktu fajar, 3 yāma di siang hari dan 1 yāma di waktu senja, totalnya 8 yāma. Jika senja adalah jam 18.00, maka 1 yāma terbagi di sebelum dan sesudahnya, masing-masing 90 menit, dari sisi ini, paṭhame/purime yāme: setelah 90 menit + 180 menit (19.30 - 22.30), majjhime yāme (22-30 - 01.30) dan pacchime yāme (01.30 - 04.30)
- "melalui ragam lingkaran kelahiran, sia-sia berputaran mencari si 'Pembuat Rumah', Menyakitkan terlahir lagi dan lagi; Pembuat Rumah, telah ditemukan, Tak kan lagi dapat membuat rumah, Semua sendimu telah hancur, atapmu telah roboh, bentukan material pikiran telah dilucuti, belitan nafsu keinginan telah dihancurkan" [Dhammapada Syair 153-154]
Purnama di bulan Vesākha, sebagai bulan mencapai penerangan sempurna disebutkan Mahavamsa 1.12 dan Komentar Apadana dari U Lu Pe Win, ch 1 3.7.4. Dengan demikian, maka 35 tahun lalu (29 tahun + 6 tahun), saat beliau lahir, terjadi juga di purnama bulan Vesākha.
Setelah mencapai pencerahan sempurna, selama beberapa minggu kemudian, beliau masih menetap di dekat sungai Neranjara, di hutan Uruvela, bermeditasi di bawah beberapa pohon, yaitu: pohon Bodhi, Beringin gembala kambing, Mucalinda dan Rajayatana.
Minggu ke-1,
Sang Bhagava di hutan Uruvela, di tepi sungai Neranjara, di bawah pohon Bodhi (pohon itu adalah pohon pipala, oleh karena mencapai penerangan sempurna di bawah pohon tersebut, pohon itu diberi gelar pohon bodhi), paṭhamābhisambuddho Di awal Sang Bhagava mencapai Penerangan Sempurna. beliau meneruskan untuk duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, menikmati kebahagian kebebasannya. (sampai hari ke-7)
(hari ke-1, minggu itu - merenungkan formula Paticcasamuppada):
- Pada malam waktu pertama:
..Di malam waktu pertama, Sang Bhagava memperhatikan sebab musabab yang saling bergantungan dalam urutan maju: "Ini ada, itu ada; karena munculnya ini, maka muncullah itu. Yaitu:
dengan adanya ketidaktahuan sebagai kondisi, bentuk-bentuk pemikiran/kehendak muncul;
dengan adanya bentuk-bentuk pemikiran/kehendak sebagai kondisi, kesadaran muncul;
dengan adanya kesadaran sebagai kondisi, mental dan jasmani muncul;
dengan adanya mental dan jasmani sebagai kondisi, enam landasan indria sebagai kondisi, kontak terjadi,
dengan adanya kontak sebagai kondisi, perasaan muncul;
dengan adanya perasaan sebagai kondisi, nafsu keinginan muncul;
dengan adanya nafsu keinginan sebagai kondisi, kemelekatan muncul;
dengan adanya kemelekatan sebagai kondisi, dumadi/keberlangsungan muncul muncul;
dengan adanya dumadi/keberlangsungan sebagai kondisi, kelahiran muncul;
dengan adanya kelahiran sebagai kondisi, umur tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan dan keputusasaan muncul.
Inilah asal mula dari seluruh rangkaian penderitaan".
Menyadari pentingnya hal ini, Beliau mengungkapkan kotbah inspirasi:
Jika Kebenaran menjadi jelas bagi Brahmana yang giatbermeditasi, maka semua keraguannya lenyap karena mengerti bagaimana tiap faktor yang muncul ada penyebabnya [Udana 1.1, Mahavagga, Khandaka]
Pada malam waktu ke-2:
..Di malam waktu tengah, Sang Bhagava memperhatikan sebab musabab yang saling bergantungan dalam urutan mundur: "Ini tidak ada, itu tidak ada, dari berhentinya ini, maka itu berhenti. Yaitu:
dari berhentinya ketidaktahuan, bentuk-bentuk pemikiran/kehendak berhenti;
dari berhentinya bentuk-bentuk pemikiran/kehendak, kesadaran berhenti;
dari berhentinya kesadaran, mental dan jasmani berhenti;
dari berhentinya mental dan jasmani, enam landasan indria berhenti;
dari berhentinya enam landasan indria, kontak berhenti;
dari berhentinya kontak, perasaan berhenti;
dari berhentinya perasaan, nafsu keinginan berhenti;
dari berhentinya nafsu keinginan, kemelekatan berhenti;
dari berhentinya kemelekatan, dumadi berhenti;
dari berhentinya dumadi, kelahiran berhenti;
dari berhentinya kelahiran, usia tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan, dan keputusasaan berhenti.
Ini merupakan berhentinya seluruh rangkaian penderitaan..", menyadari pentingnya hal ini, beliau kembali mengungkapkan kotbah inspirasi seperti di atas [Udana 1.2, Mahavagga, Khandaka]
Pada malam waktu terakhir:
..di malam waktu terakhir, Sang Bhagava memperhatikan sebab musabab yang saling bergantungan dalam urutan maju dan mundur, demikian:
"Karena ini ada, itu ada; dari timbulnya ini, timbullah itu; karena tidak ada ini, itu tidak ada; dari berhentinya ini, itu berhenti. Yaitu: dengan adanya ketidaktahuan sebagai kondisi, bentuk-bentuk pemikiran/kehendak muncul; dengan adanya kelahiran sebagai kondisi, maka usia tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan, dan keputusasaan muncul. Ini merupakan asal mula seluruh rangkaian penderitaan. Tapi dari lenyap dan berhentinya sama sekali ketidaktahuan keseluruhan maka bentuk-bentuk pemikiran/kehendak berhenti; dari berhentinya kelahiran maka usia tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan, dan keputusasaan berhenti. Ini merupakan berhentinya seluruh rangkaian penderitaan..", menyadari pentingnya hal ini, beliau kembali mengungkapkan kotbah inspirasi seperti di atas [Udana 1.3, Mahavagga, Khandaka]
Setelah 7 hari, (hari ke-8) beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon Bodhi, ke pohon beringin tempat penggembalaan kambing (ajapālanigrodho). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan. (sampai hari ke-15)
Kemudian datang seorang Brahmana tertentu yang menggumamkan 'hum-hum' (huṃhuṅ: Chāndogya Upaniṣad-1.13: 12 suku kata mistik/stobha diucapkan pendeta pembantu/adhvaryu saat doa. Suku kata ke-13nya huṁ, maksudnya “tak terdefinisi”/anirukta, terkait sifat tak terdefinisi dari keilahian yang diajarkan alirannya), Ia mendekati Sang Bhagavā; bertegur sapa, setelah berakhirnya ramah tamah itu, Brahmana itu tetap berdiri di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: "Gotama yang baik, bagaimanakah seseorang bisa disebut Brahmana dan apakah hal-hal yang membuat seseorang menjadi Brahmana?". Menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagava mengungkapkan kotbah inspirasi:
Brahmana adalah seseorang yang telah membuang semua hal buruk, tidak menggumamkan hum-hum, bebas noda, terkendali, sempurna pengetahuannya menjalankan kehidupan brahma (Vedantagū vūsitabrahmacariyo). Ia disebut di jalan Brahma, tiada banding di alam manapun [Udana 1.4, Mahavagga, Khandaka]
Minggu ke-3,
Setelah 7 hari, (hari ke-16), beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon beringin tempat pengembalaan kambing ke pohon Putat sungai (mucalindo). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan (sampai hari ke-23).
Saat itu walaupun bukan musimnya, terjadi badai yang besar, dan selama 7 hari hujan, berawan hitam, angin yang dingin. Raja-Naga Mucalinda keluar dari tempat tinggalnya, melingkari tubuh Sang Bhagava 7 kali, menegak dengan tudung di kepalanya mengembang di atas kepala Sang Bhagava, (dengan berpikir) agar Sang Bhagava tidak kedinginan, kepanasan, tidak diganggu nyamuk, angin, panas, dan makhluk yang merayap.
Setelah 7 hari, langit cerah dan awan hujan menghilang, Raja-Naga Mucalinda melepaskan llitan tubuhnya dari tubuh Sang Bhagava, mengubah dirinya menjadi seorang pemuda, berdiri di depan Sang Bhagava, dengan anjali (tangan di dahi) menghormat pada beliau. Menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava mengungkapkan kotbah inspirasi:
Kebebasan (tidak terikat) adalah kebahagian yang memuaskan (Sukho viveko tuṭṭhassa),
terlihat bagi yang belajar dhamma (sutadhammassa passato);
Dunia bahagia tanpa membenci (abyāpajjaṁ sukhaṁ loke)
menahan diri menyakiti kehidupan (pāṇabhūtesu saṁyamo); tidak melekati duniawi adalah kebahagaian (Sukhā virāgatā loke),
mengatasi nafsu indriyawi (kāmānaṁ samatikkamo);
yang membuang pemikiran/menyombongkan diri "inilah aku” (smimānassa yo vinayo),
itu hembusan terdahsyat dari kebahagiaan (etaṁ ve paramaṁ sukhan”ti.). [Udana 2.1, Mahavagga-Khandaka]
Minggu ke-4,
Setelah 7 hari, (hari ke-24), beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon Putat sungai (mucalindo) ke pohon jenis Mangga/jambu mete (rājāyatanaṁ/Buchanania axillaris). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan (sampai hari ke-31).
Saat itu, pedagang Tapussa dan Bhallika sedang melakukan perjalanan dari Ukkalā ke daerah itu. Seorang dewa yang dulunya pernah sebagai kerabat mereka berkata, “Tuan-tuan, sang Bhagava, baru saja mencapai penerangan sempurna, Ia ada di bawah pohon sejenis mangga/jambu mete, persembahkan makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu (manthena ca madhupiṇḍikāya), ini akan memberikan kalian kebahagiaan dan kesejahteraan untuk waktu yang panjang", Mereka pergi menemui sang Bhagava, dengan memberi hormat berkata “Tuan, terimalah makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu, ini akan memberikan kami kebahagiaan dan kesejahteraan untuk waktu yang panjang”. Kemudian, muncul dalam pikiran Sang Buddha, “Para Buddha tidak menerima dengan tangan mereka, dengan apa aku harus menerima makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu” (mangkok yang diterima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya).
Empat raja dewa dari empat penjuru (Dhatarattha dari Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) mengetahui pikiran sang Bhagava, datang dengan 4 mangkuk yang terbuat dari kristal, berkata, "mohon Yang Mulia agar menerimanya dengan ini”. Sang Bhagava menerimanya (Paṭiggahesi bhagavā) dengan mangkok terbuat dari kristal dijadikannya satu (paccagghe selamaye patte) makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu diterima dan memakannya, Setelah Tapussa dan Bhallika tahu bahwa Sang Buddha telah selesai makan, mereka bersujud dengan kepala di kaki Sang Buddha, berkata, "Bhante, kami berlindung kepada Sang Bhagava dan Ajaran. terimalah kami sebagai umat awam yang telah berlindung sejak sekarang sampai kami wafat". Melalui dua ucapan ini, mereka menjadi pengikut awam pertama. [Vinaya I]
- Kitab komentar:
Tappussa dan Bhalika memohon diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang, Sang Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan dan memberikan beberapa helai rambut (Kesa Dhatu = Relik Rambut). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerima Kesa Dhatu tersebut dan setelah tiba di tempat mereka tinggal di kota Pokkharawata, Ukkala [Myanmar], mereka mendirikan sebuah pagoda untuk memuja Kesa Dhatu ini [Pagoda adalah Shwedagon berlokasi di Yangon, Myanmar, telah di pugar oleh banyak generasi sesudahnya dan menjadi Pagoda terbesar di dunia]
Selama minggu ke-4, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata (ratanagharacetiya) yang diciptakan-Nya dan bermeditasi mengenai Abhidhamma (ajaran yang lebih dalam). Mental dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih, sehingga badannya memancarkan 6 sinar, yaitu: Biru (Nila), Kuning (Pita), Merah (Rohita), Putih (Odata), Jingga (Manjistha) dan campuran 5 warna sebelumnya (Prabhasvara). Pancaran sinar ini disebut Buddharasmi atau Sinar Buddha (warna-warna tersebut kini diabadikan sebagai bendera umat Buddha) [Kitab komentar tentang 6 warna disebutkan di sini. Contoh lain tentang pancaran 6 warna, disebutkan juga dalam komentar untuk jataka misal di no.4, 87, 536].
Note:
Tidak ada di Sutta maupun Vinaya bahwa di minggu ke-4 (bahkan hingga akhir hayat beliau sekalipun), Sang Buddha menyusun Abhidhamma (yang kelak menjadi 1/3 bagian tipitaka: Sutta, vinaya dan Abhidhamma). Juga Tidak ada pula di sutta dan vinaya manapun yang menyebutkan bahwa 7 kitab Abhidhamma berasal dari Sang Buddha (ataupun diturunkan via Sariputta). 7 kitab Abhidhamma sendiri baru muncul di jaman raja Asoka (abad ke-3 SM) setelah konsili ke-3. Untuk jelasnya baca: Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran
Sementara itu,
Abhidhamma asli yang merupakan ajaran sang Buddha adalah 37 hal sisi pencerahan/Sattatiṁsā Bodhipakkhiya dhammā:
”…hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsung, yaitu:
4 landasan ingatan
4 jenis usaha benar
4 landasan kekuatan mental
5 indriya (kemampuan): Saddha/Keyakinan, vīriya/kegigihan, sati/Ingatan, samādhi/pikiran terpusat dan pañña/Kebijaksanaan
5 kekuatan (Bala), sama seperti di atas, saat menjadi mahir tak tergoyahkan, Indriya disebut Bala/Kekuatan
7 faktor pencerahan
8 jalan Mulia [37 ini juga tercantum di DN 16/MahaPariNibbana sutta]
dalam hal-hal ini kalian semuanya harus berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan. Tesañca vo, bhikkhave, samaggānaṃ sammodamānānaṃ avivadamānānaṃ sikkhataṃ siyaṃsu dve bhikkhū abhidhamme nānāvādā... (Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma yang lebih dalam…)” [MN 103/Kinti Sutta]
Setelah 7 hari, (hari ke-32), beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon jenis Mangga/jambu mete (rājāyatanaṁ/Buchanania axillaris) ke ke pohon beringin tempat penggembalaan kambing (ajapālanigrodho). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan (sampai hari ke-39) [Mahavagga-Khandha]
Kemudian sejumlah para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir, mendatangiKu dan saling bertukar sapa denganKu. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadaKu: “‘Kami telah mendengar, Guru Gotama: “Petapa Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka.” Hal ini memang benar, karena Guru Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka. Hal ini tidak selayaknya, Guru Gotama’
“Kemudian Aku berpikir: Para mulia ini tidak mengetahui apa itu sepuh dan kualitas-kualitas apa yang membuat seseorang menjadi sepuh. Walaupun seseorang berusia tua—80, 90, atau 100 tahun sejak lahir—jika ia berbicara pada waktu yang tidak tepat, tidak benar, mengatakan apa yang tidak bermanfaat, mengatakan apa yang berlawanan dengan Dhamma dan disiplin, jika pada waktu yang tidak tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, berbicara tanpa tujuan, dan tidak bermanfaat, maka ia dianggap sebagai seorang sepuh yang kekanak-kanakan.
Tetapi walaupun seseorang berusia muda, seorang pemuda berambut hitam, memiliki berkah kemudaan, pada masa utama kehidupannya, jika ia berbicara pada waktu yang tepat, jujur, mengatakan apa yang bermanfaat, mengatakan apa yang sesuai dengan Dhamma dan disiplin, dan jika pada waktu yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak diingat, masuk akal, ringkas, dan bermanfaat, maka ia dianggap sebagai sesepuh bijaksana’” [AN 4.22/Uruvela Sutta]
Sang Buddha memutuskan untuk mengajar
Brahma Sahampati, sebelum melakukan permohonan pada Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma, telah beberapa kali muncul dan menyambut pikiran sang Buddha, misalnya dalam hal 5 Indriya (SN 48.57), 4 landasan ingatan (SN 47.18, 47.43) sebagai landasan/jalan mencapai nibbana, juga mengenai berdiam dalam Dhamma: "..namun aku tidak melihat ada (panāhaṃ passāmi) di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, di antara populasi brahma, para deva dan manusia, petapa atau brahmana lain yang melampauiku dalam prilaku [sila, samādhi, kebijaksanaan dan pembebasan] (..pannataraṃ yamahaṃ) yang dapat aku hormati, hargai untuk berdiam dengannya (sakkatvā garuṃ katvā upanissāya vihareyyaṃ). “Aku berpikir: ‘Biarlah Aku menghormati (sakkatvā), menghargai (garuṃ), dan berdiam dengan Dhamma ini yang karenanya Aku menjadi tercerahkan sempurna.’.." Brahma Sahampati muncul dan berkata: “Begitulah, Bhagavā! Begitulah, Yang telah sampai (sugata)!..‘Para sang Buddha yang sempurna di masa lampau, di masa depan dan di masa sekarang, pelenyap dukacita banyak makhluk (bahūnaṃ sokanāsano): semua telah, sedang dan akan berdiam/berada (vihari) menghargai Dhamma sejati (saddhammagaruno). Ini adalah ciri para Buddha.." .. dan Kemudian para bhikkhu, setelah menerima permohonan Brahmā (Atha khvāhaṃ, bhikkhave, brahmuno ca ajjhesanaṃ) dan apa yang sesuai bagi diriKu sendiri, maka Aku menghormati, menghargai, dan berdiam dengan Dhamma yang karenanya Aku menjadi tercerahkan sempurna..”[AN 4.21]
Di bawah pohon gembala kambing, saat sang Buddha bermeditasi, muncul dalam pikiran beliau: “Dhamma yang Kutemukan ini dalam (gambhīro), sulit dilihat (duddaso), sulit dimengerti (duranubodho), damai (santo) luhur (paṇīto), tidak pikiran spekulasi (atakkāvacaro) yang dapat dialami para bijak (nipuṇo paṇḍitavedanīyo). Generasi ini menyenangi keduniawian, bergembira dalam keduniawian, bersukacita dalam keduniawian. Sulit bagi generasi ini untuk melihatnya terkait hubungan sebab dan kemunculan bergantungan (idappaccayatāpaṭiccasamuppādo). Dan adalah sulit untuk melihatnya terkait tenangnya segala bentukan (sabbasaṅkhārasamatho), lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Namun jika Aku mengajarkan Dhamma ini (Ahañceva kho pana dhammaṃ deseyyaṃ) dan pihak lainnya (pare ca me) tidak memahami ini (ājāneyyuṃ), Ia akan melelahkan dan menyusahkanKu"
Selanjutnya muncul dari sang Bhagava, syair-syair yang belum pernah terdengar sebelumnya:
Sungguh sulit yang kuperoleh (Kicchena me adhigataṃ)
Kini dapat diketahui (halaṃ dāni pakāsituṃ);
yang terpengaruh nafsu dan kebencian (Rāgadosaparetehi)
tidak dapat menembus dhamma (nāyaṃ dhammo susambudho)
perlu keterampilan menembus arus (Paṭisotagāmiṃ nipuṇaṃ),
yang dalam, sulit dilihat dan halus (gambhīraṃ duddasaṃ aṇuṃ),
para budak nafsu yang tak tangkas (Rāgarattā na dakkhanti),
berada dalam kegelapan (tamokhandhena āvuṭā)
Brahmā Sahampati memahami pikiran beliau, berpikir: ‘Dunia akan musnah (nassati vata bho loko), dunia akan binasa (vinassati vata bho loko), karena Sang Tathāgata yang sempurna dan tercerahkan sempurna (yatra hi nāma tathāgatassa arahato sammāsambuddhassa), pikirannya condong untuk tidak bertindak (appossukkatāya cittaṃ namati), tidak mewejangkan Dhamma (no dhammadesanāyā)’
Secepat seorang kuat merentangkan tangannya yang tertekuk atau menekuk tangannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul di hadapan beliau, merangkapkan tangan dan memohon: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā mewejangkan Dhamma, sudilah Yang Sempurna mewejangkan Dhamma. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka akan tersia-sia karena tidak mendengarkan Dhamma. Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma’ [SN 6.1; MN 26; MN 85, sebagian di DN 14 dan Vinaya I atau Vinaya IV, Mahavagga]
Hingga kini kenangan atas kebajikan yang dimohonkan Brahma Sahampati kepada Sang Buddha, disyairkan oleh umat kepada bhikkhu, ketika hendak memohon wejangan Dhamma:
Brahmā ca lokādhipatī sahampatī, Katañjalī anadhivaraṃ ayācatha; “Santīdha sattāpparajakkha-jātikā, Desehi dhammaṃ anukampimaṃ pajaṃ"
Brahma Sahampati Sang Penguasa dunia, ber-anjali kepada Sang Terberkahi memohon, "Di sini terdapat para mahluk dengan sedikit debu di mata, wejangkanlah dhamma demi belas kasihan kepada mereka" [Buddhavamsa no.1]
Sang Buddha melihat ke seputar jagad dengan Buddha cakkhu (Mata sakti Buddha) dan melihat ada yang mampu memahami Dhamma walaupun dibabarkan singkat; Ada yang mampu memahami Dhamma setelah dibimbing dan diberi penjelasan rinci; Ada yang mampu memahami Dhamma karena dibimbing dan mempraktikan Dhamma selama bertahun-tahun; Ada yang tak akan menyadari Dhamma dalam hidup ini namun akan memetik manfaat dalam kehidupan selanjutnya.
Maka Buddha lalu berkata: "Terbukalah pintu tanpa kematian (apārutā tesaṃ amatassa dvārā), bagi mereka yang mau mendengarkan dengan keyakinan (Ye sotavanto pamuñcantu saddhaṃ); Praktek kekejaman tidak lagi bersinar (Vihiṃsasaññī paguṇaṃ na bhāsiṃ), Dhamma akan dibawakan diantara manusia, O Brahma (Dhammaṃ paṇītaṃ manujesu brahme)." . Brahma Sahampati bergembira, karena sang Buddha meluluskan permohonannya, kemudian pergi menghilang [SN 6.1; MN 26; MN 85, sebagian di DN 14 dan Vinaya I]
Setelah menerima permohonan Brahma Sahampati, beliau merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Āḷāra Kālāma bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Āḷāra Kālāma. Ia akan memahaminya dengan cepat.’ . Para deva mendatangi Sang Buddha mengatakan bahwa Āḷāra Kālāma meninggal 7 hari yang lalu dan dari pengetahuan dan penglihatannya beliau tahu bahwa benar Āḷāra Kālāma meninggal 7 hari yang lalu. Sehingga beliau berpikir: ‘Kerugian Āḷāra Kālāma sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat.’ [MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]. Alara kalama melatih meditasi dengan landasan persepsi tak ada sesuatu apapun. Ia menikmati, meminati dan berbahagia dengan persepsi tersebut dan karena mengakar menjadi kebiasaan tanpa alpa melakukannya maka disetelah wafatnya terlahir di antara Deva ākiñcaññāyatana yang akan berumur 60.000 Kappa [AN 3.116/Āneñja sutta]. Gangguan luar dapat menyebabkannya terbangun dari persepsi tersebut dan karena nafsunya belum padam, ini akan mengusiknya, sehingga dapat menyebabkannya terjatuh dari alam itu ke alam yang bawahnya bahkan sampai ke alam Neraka. Sang Buddha tentunya tidak akan melakukan itu
Demikian pula ketika beliau berpikir tentang Uddaka Rāmaputta, Para Deva menyampaikan bahwa Uddaka Rāmaputta meninggal kemarin malam dan dari pengetahuan dan penglihatannya, ia tahu bahwa benar Uddaka Rāmaputta meninggal kemarin malam [MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]. Uddaka Ramaputta melatih meditasi dengan landasan landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi Ia menikmati, meminati dan berbahagia dengan persepsi tersebut dan karena mengakar menjadi kebiasaan tanpa alpa melakukannya maka disetelah wafatnya terlahir di antara Deva nevasaññānāsaññāyatana (nevasaññānāsaññāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati [AN 4.172] yang menurut Vibhanga no.18 Mahluk di alam itu akan berumur hingga 84.000 Kappa, Gangguan luar dapat menyebabkannya terbangun dari persepsi tersebut dan karena nafsunya belum padam, ini akan mengusiknya, sehingga dapat menyebabkannya terjatuh dari alam itu ke alam yang bawahnya bahkan sampai ke alam Neraka. Sang Buddha tentunya tidak akan melakukan itu
Kemudian beliau teringat akan kelima teman asetiknya, Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji, mengetahui bahwa mereka tinggal di Sarnath, dekat Varanasi. Beliau segera pergi untuk mencari mereka. Setelah tinggal di Uruvela selama waktu yang dikehendaki, beliau menuju Sarnath
Jarak Bodhgaya/Uruvela - Sarnath menurut map adalah 234 KM, jika lama menempuh 18km/hari, lama perjalanan adalah 13 hari. Tradisi menyatakan pemutaran roda dhamma atau pembabaran dhammacakkappavatana sutta kepada 5 Petapa terjadi pada purnama Asalha/Asadha (60 hari sejak purnama Vesakh), dan kitab komentar menyatakan bahwa Buddha di Uruvela selama 7 minggu (49 hari), maka dengan 13 hari perjalanan, tidak dapat pembabaran dhammacakkappavatana sutta dilakukan pada purnama Asadha, kecuali mengikuti alur Sutta, yaitu sampai minggu ke-5 (39 hari sejak mencapai penerangan sempurna), jika beliau berangkat dari Uruvela di awal minggu ke-6, maka pembabaran di purnama Asadha dapat terjadi.
Dalam perjalanan menuju Benares. Antara Gayā dan tempat pencerahannya, Sang Buddha bertemu petapa Ajivaka (ājīvika = ‘orang dengan mata pencaharian’, Bud. India, hlm. 143) bernama Upaka (Divy. 393, Upaka = Upaganena). Ketika melihat Sang Buddha, dengan keheranan, ia mendekat dan berkata, "Teman, indriamu cerah, warna kulitmu bersih dan cemerlang. Di bawah siapakah Engkau meninggalkan keduniawian, teman? Siapakah guruMu? Dhamma siapakah yang Engkau anut?". Sang Buddha menjawab:
(1) Sabbābhibhū sabbavidū'ham-asmi, sabbesu dhammesu anūpalitto, sabbaɱjaho taṇhakkhaye vimutto, sayaɱ abhiññāya kam-uddiseyyaɱ (Aku telah melampaui segalanya, pengenal segalanya, tak ternoda segalanya, meninggalkan segalanya bebas bentukan kehausan. Setelah mengetahui dengan mengalaminya sendiri, Siapakah yang harus Kutunjuk sebagai guru?)
(2) Na me ācariyo atthi, sadiso me na vijjati, sadevakasmiɱ lokasmiɱ, na-tthi me paṭipuggalo (Tidak ada guruku, bahkan untuk yang sepertiku, tidak ditemukan, di segala alam beserta para dewanya, tidak ada yang sebanding denganku)
(3) Ahaɱ hi arahā loke, ahaɱ satthā anuttaro, eko'mhi sammāsambuddho, sītibhūto'smi nibbuto (Aku telah bebas samsara dunia ini, melampaui para mahluk, seorang yang dengan benar seluruhnya telah tercerahkan, Aku telah tenang padam)
(4) Dhammacakkaɱ pavattetuɱ gacchāmi Kāsinaɱ puraɱ, andhabhūtasmiɱ lokasmiɱ āhañchaɱ amatadundubhin ti (Untuk memutar Roda Dhamma, aku menuju Kasi (yaitu ke taman Rusa, Isipatana, dekat Vàrànasi), menabuh genderang tanpa kematian bagi dunia yang tengah meraba dikebutaan)
Petapa Upaka berkata, Yathā kho tvaɱ āvuso paṭijānāsi arahasi anantajino ti (Dengan pengakuanmu, teman, kau pastinya telah padam penakluk segalanya)
Sang Buddha menjawab:
(5) Mādisā ve jinā honti ye pattā āsavakkhayaɱ, jitā me pāpakā dhammā, tasmā'haɱ Upakā jino ti
(Para penakluk/Jina telah menghancurkan noda-noda, Aku telah menaklukkan segala hal buruk, Oleh karenanya, Upaka, Aku adalah Penakluk)
Petapa Upaka: ‘Semoga demikian, teman.’ Dengan menggelengkan kepala, Ia berjalan melalui jalan kecil dan pergi. [MN 26/Ariyapariyesanā Sutta, Vinaya IV, Mahavagga, DhpA, Bab 24, syair no.353].
Kitab komentar: Setelahnya, Upaka pergi ke negara Vaṅkahāra dan menikah dengan Cāpā, putri seorang Pemburu dan lahir putra bernama Subhadda. Ketika bayi itu menangis, Cāpā bernyanyi untuk mengejek suaminya, "Putra Upaka, petapa peramal (Upako isi), jangan menangis". Putus asa, karena Istrinya tidak berhenti mengejek, Ia meninggalkan istri dan anaknya, pergi menemui Sang Buddha di Sāvatthi dan menjadi anggota Sangha, Upaka akhirnya mencapai yang-tidak-kembali (Anagami), wafat dan terlahir di alam Sudhavasa terbawah [Aviha], dan mencapai kearahat-annya di sana [Upaka di Aviha: SN 1.50, SN 2.24; RAPB, Buku ke-1, Hal 693-698 dan DPPN: Upaka]
Bertemu dengan lima rekannya
Di Benares, Taman Rusa di Isipatana, dan Aku mendekati lima petapa. Dari jauh mereka melihatKu mendekat, dan mereka sepakat: ‘Teman-teman, telah datang Petapa Gotama yang hidup dalam kemewahan, yang telah meninggalkan usahaNya, dan kembali kepada kemewahan. Kita tidak perlu memberi hormat kepadanya atau bangkit menyambutnya atau menerima mangkuk dan jubah luarNya. Tetapi sebuah tempat duduk boleh disediakan untukNya. Jika Ia menginginkan, Ia boleh duduk.’ Akan tetapi, ketika Aku mendekat, para bhikkhu itu tidak dapat mempertahankan kesepakatan mereka. Salah seorang datang menyambutKu dan mengambil mangkuk dan jubah luarKu, yang lain menyiapkan tempat duduk, dan yang lain lagi menyediakan air untuk membasuh kakiKu akan tetapi mereka menyapaKu dengan nama dan sebagai ‘teman.’ [MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]
Setelah duduk, sang Buddha memberitahu mereka: "Para bhikkhu, jangan menyapa Sang Tathāgata dengan nama dan sebagai “teman.” Sang Tathāgata adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah dicapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah" [MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]
Pada mulanya, kelima petapa ini meragukanNya dan memberikan banyak argumen, kemudian sang Buddha berkata pada mereka, "Para petapa, pernahkah kalian mendengar Aku berkata seperti ini sebelumnya?" Mereka menjawab: ‘Tidak, Yang Mulia.’ [MN 26]. Akhirnya mereka mulai mempercayainya dan mau mendengar ajaranNya. Maka Sang Buddha memberikan khotbah pertamaNya yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah ini disampaikan tepat di saat purnama sidhi, pada bulan asadha. Inilah ringkasan kotbah pertama yang legendaris itu:
Peristiwa pemutaran roda dhamma atau pembababaran Dhammacakkappavatana sutta pada purnama Asadh, kemudian dikenal sebagai hari Asadha atau hari pemutaran roda dhamma.
Berdirinya Sangha (kumpulan minimum 5 Bikkhu)
Saat roda dhamma diputar, Kondañña menjadi manusia pertama yang mencapai Sotapanna di era Buddha Gotama. Setelah pemutaran roda Dhamma, Kondañña mohon ditahbiskan menjadi Bhikkhu dan Ia ditahbiskan dengan kalimat, "Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan", maka Kondañña menjadi bhikkhu pertama murid Sang Buddha dan yang pertama ditahbiskan dengan ucapan "ehi bhikkhu" (ehi = datang, mari) [Vinaya IV, Mahavagga].
(2 hari setelahnya) Vappa dan Bhaddiya menjadi Sotapanna dan ditahbiskan dengan kalimat "ehi bhikkhu". Selanjutnya, setelah menyantap makanan yang dibawakan oleh mereka (Vappa dan Bhadidiya), Sang Bhagava kembali menasihati, memberi petunjuk kepada petapa-petapa yang tersisa dengan wejangan Dhamma, serta berkata, “Mari kita ber-6 hidup dari makanan yang dibawa oleh ke3 bhikkhu yang telah menjalankan pindapata. (Di hari ke-4) Mahanama dan Assaji menjadi Sotapanna dan ditahbiskan dengan kalimat "ehi bhikkhu". Dengan adanya 5 Bhikkhu ini, maka terbentuklah sangha Bhikkhu pertama di era Buddha Gotama [Vinaya IV, Mahavagga].
Kadang Aku memberikan instruksi kepada 2 bhikkhu sementara 3 lainnya mengumpulkan dana makanan,..., Kadang Aku memberikan instruksi kepada 3 bhikkhu sementara 2 lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami ber-6 hidup dari apa yang dibawa kembali para bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan [MN 26]
(Di hari ke-5), setelah khotbah pertama, Sang Buddha membabarkan khotbah kedua, Anattalakkhana sutta:
Menginstruksikan Yasa
Di Benares saat itu, terdapat anak muda bernama Yasa (Kitab komentar Manorathapūraṇi: Yasa adalah anak Sujata, perempuan yang pernah berdana Susu beras pada Siddhattha Gotama di menjelang Pencerahannya. Sujata kelak adalah umat awam perempuan pertama yang berlindung pada Tiratana - AN 1.258). Yasa hidupnya dipenuhi kemewahan dikelilingi gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Seperti juga pangeran Siddhattha, Yasa memiliki tiga rumah tinggal untuk setiap musimnya.
Pada suatu malam di musim hujan, Yasa terbangun dari tidurnya dan melihat para pengikut dan penarinya tertidur bergelimpangan bagai mayat di kuburan, beberapa dengan rambut acak-acakan, beberapa dengan air liur menetes, beberapa mengigau dan banyak postur lainnya yang membuatnya menjadi jemu dengan kenikmatan indriya dan mengucapkan, "Alangkah menakutkannya! Alangkah mengerikannya!". Dengan pikiran kalut penuh kecemasan, Ia berjalan meninggalkan kediamannya hingga sampaila di Taman Rusa di Isipatana pada waktu hampir menjelang pagi. Saat itu, Sang Buddha, baru selesai berjalan dan duduk di satu tempat. Ketika Yasa berjalan dekat Sang Buddha, Ia mengulangi ucapannya, "Alangkah menakutkan! Alangkah mengerikannya!". Sang Buddha menyapanya, "Ini, Yasa, tidaklah menakutkan. Tidaklah mengerikan. Mari, duduklah di sini, Aku akan mengajarkannya". Mendengar itu, Yasa berpikir, "Dikatakan ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan?”. Merasa tertarik dan gembira, Ia melepas sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan duduk di sisiNya.
Sang Buddha mengawalinya dengan manfaat berdana, latihan moralitas, kelahiran di alam-alam bahagia karena melakukan banyak kebajikan, buruknya mengumbar nafsu dan manfaat melepas diri dari kesenangan Indriawi. Setelah Sang Buddha melihat pikiran Yasa lunak, lentur, bergembira, tanpa rintangan menerima pengajaran, beliau melanjutkannya dengan Empat Kesunyataan Mulia yang membebaskan. Setelah Sang Buddha selesai dengan uraiannya, Yasa yang dalam keadaan duduk, memperoleh Mata Dhamma (melihat ajaran) bahwa apapun yang muncul, akan berakhir.
Ketika itu, ayahnya Yasa tengah mencarinya hingga ke sana. Sang Buddha melihatnya dari kejauhan dan dengan kekuatan mentalnya, beliau membuat Yasa tidak terlihat oleh ayahnya. Setelah mendekat dan bertegur sapa, sang ayah bertanya pada Sang Buddha apakah beliau melihat Yasa. Sang Buddha menjawabnya dengan mengajaknya duduk di situ agar dapat melihat Yasa. Mendengar itu, ayah Yasa merasa tertarik dan senang, kemudian duduk di situ.
Kemudian, Sang Buddha menyampaikan kembali uraiannya seperti yang disampaikannya kepada Yasa. Setelah mendengar uraian sang Buddha, ayah Yasa melihat ajaran/Dhamma (diṭṭhadhammā), memperoleh ajaran (pattadhammā), tahu akan ajaran (viditadhammā) mengakar kokoh dalam ajaran (pariyogāḷhadhammā) melampaui keragu-raguan (tiṇṇavicikicchā), menghalau kebingungan (vigata-kathaṃkathā) ajaran, mempunyai kepercayaan diri (vesārajjappattā) akan ajaran dan tidak bergantung pada yang lain (aparappaccayā) dalam ajaran dan memohon untuk berlindung pada Buddha, Dhamma dan kumpulan para PetapaNya (sangha). Saat itu, Ayah Yasa adalah umat awam pertama yang berlindung pada ti ratana (3 permata) [Vinaya IV, Mahavagga].
Kemudian Sang Buddha membuat ayah Yasa dapat melihat kehadiran Yasa yang tengah duduk di sana. Ayahnya Yasa menyampaikan pada Yasa bahwa ibunya sedang bersedih karena kehilangannya. Yasa kemudian menatap Sang Buddha dan Sang Buddha bertanya pada ayah Yasa mengenai bagaimana dengan ajaran yang telah dilihat dan dipahaminya yang juga telah dilihat dan dipahami oleh Yasa? Ayah Yasa memahami, bahwa Yasa tidak dapat kembali lagi menjalani kehidupan berumah tangga.
Ayah Yasa kemudian mengundang Sang Buddha dan Yasa untuk datang esok harinya ke rumahnya menerima dana makanan. Sang Buddha menerimanya dengan berdiam diri. Setelah permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri berpamitan pulang dengan cara memberi penghormatan dengan berjalan memutari Sang Buddha pada sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya.
Setelah ayahnya pulang, Yasa memohon untuk ditahbiskan. Sang Buddha mentahbiskannya dengan kalimat, "Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci" TANPA kalimat "dan singkirkanlah penderitaan" karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat sebelum ditahbiskan. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada 7 orang Arahat (Sang Buddha, 5 Petapa dan Yasa) [Vinaya IV, Mahavagga].
Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke rumah ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar memberi penghormatan. Sang Buddha kembali menyampaikan uraiannya dan mereka berdua pun memperoleh Mata Dhamma dan memohon menjadi umat awam wanita (Upasika) yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ibu Yasa adalah umat awam wanita pertama yang berlindung pada ti ratana [Vinaya IV, Mahavagga].
Di Benares, Yasa mempunyai 4 orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya yang bernama Vimala, Subāhu, Puņņaji, Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah. Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa ke-4 kawannya menghadap Sang Buddha.
Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu. Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempatnya dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu menjadi 11 orang [Vinaya IV, Mahavagga].
50 orang teman Yasa mendengar bahwa sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat 61 orang Arahat [Vinaya IV, Mahavagga].
Menyebarkan Dharma
Kepada 61 Bhikkhu pengikutnya, Sang Buddha berkata: "Aku telah terbebaskan dari segala jeratan surgawi maupun manusiawi. Kalian juga, telah terbebas dari segala jeratan surgawi maupun manusiawi. Mengembaralah, Para bhikkhu, demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para deva dan manusia. Janganlah dua orang pergi bersama. Ajarilah, O para bhikkhu, Dhamma yang indah di awal, di pertengahan dan di akhir, dengan makna dan kata yang benar. Ungkapkanlah kehidupan suci yang lengkap dan murni sempurna. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang akan jatuh jika mereka tidak mendengar Dhamma. Ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma. Aku juga, para bhikkhu, akan pergi ke Senānigama di Uruvelā untuk mengajarkan Dhamma" [Vinaya IV, Mahavagga, SN 4.4-5].
Kemudian Māra Pāpimā (pāpimā= Penggoda, buruk sifat) mendekati Sang Bhagavā dan berkata:
Engkau terikat oleh segala jeratan
surgawi maupun manusiawi;
Engkau terikat oleh belenggu kuat:
Engkau tidak dapat menghindariku, Petapa!
Sang Bhagavā:
Aku terbebas dari segala jeratan
surgawi maupun manusiawi;
Aku terbebas dari belenggu kuat:
Engkau telah kalah, sang Kematian [Vinaya: Mahakhandhaka dan SN 4.5/Dutiyamārapāsasutta]
Kemudian berangkatlah ke-61 Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan mengajarkan Dhamma. Kerap mereka bertemu orang yang ingin menjadi bhikkhu, namun mereka belum bisa mentahbiskannya, maka orang itu mereka bawa kehadapan Sang Buddha, Ini sungguh suatu perjalanan yang melelahkan. Melihat kesulitan ini, Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu memberikan pentahbisan:
"Aku perkenankan kalian, para Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kalian lakukan. Pertama, Rambut dan kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangan dalam sikap menghormat (anjali) dan berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya nyatakan kepadanya, "Ucapkanlah ini, "Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha..untuk ke-2x nya...untuk ke-3x nya" [Vinaya IV, Mahavagga].
Sehingga, mulai saat itu ada dua cara pentahbisan, pertama oleh Sang Buddha sendiri dengan "ehi bhikkhu" dan kedua, oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan "Tisaranagamana".
Sepanjang Perjalanan di Desa Uruvela
Beliau menuju Uruvela dan duduk di satu akar pohon tertentu. ketika itu, datang sekumpulan orang muda dan sampai dihadapan Sang Buddha, mereka bertanya, "Yang Mulia! Apakah Yang mulia melihat seorang perempuan?"
Sang Buddha menjawab, “Para orang muda! Ada urusan apakah kalian mencari perempuan itu?” Mereka menjawab, “Yang Mulia! Kami 30 bersaudara Bhaddavaggiya (bermuka menyenangkan, tahu aturan dan bersikap) sedang pesiar bersama bersama istri-istri kami di Hutan Kappàsika. Seorang dari kami belum beristri sehingga datang dengan membawa seorang pelacur. Ketika kami tengah dalam kesenangan, pelacur tersebut mencuri hartanya dan kabur melarikan diri. Kami membantunya mencari hingga sampai di sini.
Sang Buddha berkata, “Para orang muda, mana yang lebih baik bagi kalian, mencari perempuan yang hilang itu atau mencari diri kalian sendiri?”
Mereka menjawab, “Yang Mulia! Tentu saja lebih baik mencari diri kami sendiri.”
Buddha berkata, “Jika demikian, Para orang muda, Duduklah. Aku, akan mengajarkannya”
Mereka menjawab, "Baiklah, Yang mulia", kemudian, setelah bersujud hormat kepada Sang Buddha, 30 bersaudara inipun duduk.
Sang Buddha kemudian menjelaskan manfaat berdana, latihan moralitas, kelahiran di alam-alam bahagia karena melakukan banyak kebajikan, buruknya mengumbar nafsu dan manfaat melepas diri dari kesenangan Indriawi. Setelah Sang Buddha melihat pikiran mereka lunak, lentur, bergembira, tanpa rintangan menerima pengajaran, beliau melanjutkannya dengan Empat Kesunyataan Mulia yang membebaskan.
Mendengar uraian beliau, mereka semua: melihat Dhamma, memperoleh dhamma, tahu akan Dhamma, mengakar kokoh dalam Dhamma, melampaui keragu-raguan, menghalau kebingungan ajaran, mempunyai kepercayaan diri akan ajaran dan tidak bergantung pada yang lain dalam ajaran. Mereka kemudian memohon ditahbiskan dan sang Buddha ucapkan, "Etha bhikkhavo" (Mari, Para Bhikkhu) "Dhamma telah dibabarkan, jalani kesucian untuk mengakhiri penderitaan” (saat itu, ke-30 orang ini minimum telah sotapanna, namun belum arahat) [Vinaya IV, Mahavagga] .
Sang Buddha kemudian meneruskan perjalanannya,
Di 3 tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggallah 3 Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila, para petapa rambut kusut pemuja api. Yang tertua, Uruvelā Kassapa, tinggal di hulu sungai, punya 500 pengikut. Yang ke-2, Nadī Kassapa (dari sungai Nadī, Nerañjarā), tinggal di hilir sungai, punya 300 pengikut. Yang ke-3, Gaya Kassapa, tinggal lebih hilir lagi dan punya 200 pengikut.
Sang Buddha menemui pertapa Uruvela Kassapa dan meminta ijin agar dapat bermalam di ruang perapiannya. Uruvela Kassapa menyatakan bahwa di ruang perapian itu tinggal seekor raja ular yang ganas, berbisa, berkemampuan tinggi dan dikhawatirkan akan mencelakai Sang Buddha. Sang Buddha berkata: "Raja Ular itu tidak dapat melukaiKu, Kassapa". Setelah memperoleh izin, Beliau memasuki ruang perapian dan menebarkan alas tempat duduk, duduk dengan tubuh dan pikiran yang tenang. Melihat sang Buddha, raja ular terusik dan marah, kemudian menyemburkan asap panas dan juga apitanpa henti ke arah Sang Buddha. Kemudian dengan tanpa melukai dan menyakiti fisik raja ular ini, beliau menahan kekuatan sang raja ular dengan meniupkan asap panas dan api yang lebih dahsyat. Seluruh tempat perapian terlihat seperti terbakar api dan para petapa rambut kusut yang berkumpul di sekelilingnya berkata, “Benar-benar memukai Petapa Agung itu, Dia akan dicelakai raja ular itu”. Pagi harinya, Sang Buddha meletakkan raja ular itu di mangkuk makananNya, menunjukkan kepada Uruvela-Kassapa, "Kassapa, Inilah raja ularmu, panasnya telah diatasi dengan panas juga". Uruvela-Kassapa berpikir, "walaupun Bhikkhu ini sangat kuat dan sakti, Ia bukanlah Arahat sepertiku".
Terkesan dengan dengan keajaiban (pañihàriya)-Nya, Uruvela-Kassapa mengundang Sang Buddha untuk tinggal. Demikianlah, Sang Buddha menetap di Uruvela, selama 3 bulan, Uruvela Kassapa melihat dan mengetahui sendiri 16 keajaiban yang dilakukan beliau (yaitu: 4 raja deva, Sakka, Brahma Sahampati yang memohon pengajaran Dhamma; membaca pikiran Uruvela Kassapa ketika menghendaki Sang Buddha tidak ada saat Ia mengadakan upacara yang akan dihadiri penduduk Anga dan Magadha; Para Deva melayaniNya membersihkan jubahnya dengan terciptanya kolam, batu dan pohon yang melengkung, mendatangkan buah dan bunga luar biasa; Memecah kayu menjadi 500 potong secara serepak, menyalakan api, membakar dan memadamkan api dari kayu-kayu tersebut secara serempak; Di musim dingin turun salju pada perayaan hari ke-8 menghidupkan 500 tungku secara serentak, untuk para petapa itu terjun dan naik berulang di sungai Nerañjarã; Hujan lebat yang turun diluar musim dan mengakibatkan banjir namun air disekelilingNya surut dan beliau melakukan Meditasi jalan ditengah halaman yang tertutup debu, kemudian dengan terbang menghampiri Uruvela Kassapa). Melihat dan mengetahui ini, Uruvela-Kassapa tetap berpikir: “walaupun Bhikkhu ini sangat kuat dan sakti, Ia bukanlah Arahat sepertiku”
Sang Buddha akhirnya menyampaikan kepada Uruvela Kassapa bahwa Ia bukanlah seorang Arahat seperti yang disangkanya juga tidak menempuh jalan menuju kesempurnaan dan tiada sesuatu dilakukannya untuk dapat membuatnya menjadi seorang sempurna atau memasuki jalan menuju kesempurnaan". Uruvela Kassapa tampaknya menyadarinya dan memohon agar diterima menjadi murid Sang Buddha. Sang Buddha mengingatkannya untuk memikirkan pendapat 500 muridnya, oleh karenanya Uruvela Kassapa kemudian berbicara kepada 500 muridnya bahwa Ia akan menjadi murid sang Buddha, murid-muridnya menyatakan akan ikut bersamanya, dan kemudian, dengan memotong rambut, meletakkan dan menghanyutkan peralatan upacara api yang ada bersama mereka, Ia dan 500 muridnya menjadi murid Sang Buddha.
Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai melihat rambut, rambut dan peralatan sembahyang terapung di sungai, mengira telah terjadi bencana menimpa kakaknya dan para pengikutnya. Ia beserta 300 pengikutnya, menuju tempat Uruvela Kassapa. Setelah tiba, Ia melihat kakak dan para pengikutnya sudah menjadi bhikkhu dan Ia diberikan penjelasan, setelahnya, Nadi Kassapa bersama 300 pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada Gaya Kassapa dan 200 pengikutnya. Dengan demikian, 3 kelompok kaum Jatila sejumlah 1.003 menjadi pengikut Sang Buddha.
Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayāsīsa di tepi Sungai Gaya. Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah SN 35.28/Adittapariyaya Sutta, yang ringkasan khotbah itu adalah sebagai berikut:
Menuju Kota Rajagaha
Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana (taman rumput dan pohon palem).
Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha, bersama 12 kelompok, banyak sekali brahmana dan perumah tangga Magadha. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Sejumlah brahmana dan perumah tangga dari Magadha setelah memberi hormat kepada Sang Bhagava, duduk di satu sisi; sejumlah orang saling bertukar salam dengan Sang Bhagava dan setelah saling mengucapkan salam persahabatan dengan sopan, mereka duduk di satu sisi; sejumlah orang setelah menghormati Sang Bhagava dengan sikap anjali, duduk di satu sisi; sejumlah orang setelah menyebutkan nama dan sukunya di hadapan Sang Bhagava, duduk di satu sisi; sejumlah orang lainnya dengan hening, duduk di satu sisi. Timbul pertanyaan pada kedua belas kelompok brahmana dan perumah tangga dari Magadha itu, "Apakah Petapa Agung ini menjalani kehidupan suci di bawah pimpinan Uruvela Kassapa atau Uruvela Kassapa yang menjalani kehidupan suci di bawah pimpinan Petapa Agung?"
Sang Bhagava yang membaca pikiran mereka, berkata kepada Uruvela Kassapa, "Kassapa, engkau telah lama di Uruvela, memimpin kaum Jatila dalam upacara api. Apakah sebab hingga engkau berhenti melakukannya? Mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?"
Uruvela Kassapa menjawab, "Yajña/upacara persembahan bertujuan untuk harapan memperoleh bentuk, suara, rasa dan wanita, yang didambakan manusia. Setelah kuketahui bahwa kesenangan indria tersebut adalah kekotoran mental yang membuat orang dicengkeram nafsu, karenanya aku tidak lagi melakukannya"
Sang Buddha bertanya lagi, "Jika pikiranmu tidak lagi tertarik kepada bentuk, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa yang engkau sukai di alam manusia dan alam dewa ini? katakanlah pada Ku"
Kassapa menjawab, "Aku telah memahami jalan yang damai, tanpa kondisi, bebas noda, tidak melekat pada nafsu, tiada lagi tumimbal lahir, yang tidak tergantung pada kekuatan luar tapi dapat diselami masing-masing, karena hal tersebut, Aku tidak menyukai pengurbanan dan persembahan itu."
Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat), berlutut 3x di kaki Sang Buddha dan menyatakan bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya.
Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan siap menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia. Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, Mata Dhamma yang bersih dari debu, bebas noda, timbul pada ke-12 kelompok brahmana dan perumah tangga dari Magadha itu, bersama-sama Bimbisāra yang menjadi pemimpin mereka, memahami ‘segala sesuatu muncul karena sebab, dan semua nya itu pun akan lenyap’. 1 kelompok (yang tak terhitung) menyatakan diri menjadi upasaka.
Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil, "Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai 5 keinginan: Pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku itu telah terpenuhi." .
Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai upasaka untuk seumur hidup dibawah perlindungan dari Sang Buddha dan menjadi pengikutNya. Kemudian, Raja Bimbisara menyumbangkan Veluvana (hutan bambu) kepada Sang Buddha dan para Bhikkhu, yang kemudian menjadi Vihara pertama dan juga sumbangan tempat tinggal untuk pata bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu [Vinaya IV, Mahavagga].
MahaKassapa
Pippali lahir di desa brahmana Mahātittha di Magadha sebagai putra brahmana Kapila (Di Ap.ii.583, ayahnya disebut Kosiyagotta) dan Sumanādevī. Mereka memiliki kekayaan besar, memiliki 60 danau dengan saluran air, dan para pekerjanya menempati 14 desa, masing-masing seluas Anurādhapura. Dalam upaya menolak pernikahan, Pippali mempunyai syarat, yaitu sang mempelai harus menyerupai patung yang dibuatnya. Ternyata ditemukan di Sāgala, Bhaddā Kāpilānī, menyerupainya dan juga menolak pernikahan. Keduanya saling menulis surat agar menemukan pasangan lain, tapi surat mereka dicegat, sehingga mereka pun harus menikah, kemudian keduanya membuat persetujuan bersama bahwa sejak malam pengantin dan seterusnya, tidur dipisahkan rangkaian bunga. Demikian mereka hidup selama bertahun-tahun, ketika kedua orang tua Pipphali meninggal, mereka mewarisi tanggung jawab kekayaan keluarga.
Suatu hari di ladang yang sedang dibajak, Pippali melihat burung-burung memakan cacing yang muncul dengan bajak, Ia bertanya kepada salah satu buruhnya: "Siapa yang akan menanggung akibat dari perbuatan ini?” – “Anda sendiri, tuanku,” jawab si buruh. Terkejut oleh wawasan ini, dia pulang ke rumah dan merenung: “Jika aku harus memikul akibat dari pembunuhan itu, lalu untuk apa semua kekayaan ini bagiku? Lebih baik bagiku untuk memberikan segalanya pada Bhadda dan pergi menjalani kehidupan pertapa". Pada saat yang sama, Bhaddā Kāpilānī telah menyaksikan burung-burung gagak dan burung lainnya memakan serangga-serangga kecil, yang berkeliaran di antara biji wijen yang telah dikeringkan, Ia bertanya pada pelayannya siapa yang akan menanggung akibat dari kematian begitu banyak binatang, Pelayannya memberitahu bahwa dirinyalah yang akan menanggung. Kemudian dia berpikir: "Jika karenanya, aku tidak akan sanggup membayarnya dengan samudra kelahiran kembali, bahkan hingga seribu kehidupan sekalipun. Setibanya Pipphali ke rumah, aku akan memberikannya segalanya dan pergi untuk menjalani kehidupan pertapa."
Suami dan istri ini menemukan bahwa mereka sependapat, mengambil pakaian kuning dari lemari, memotong rambut masing-masing, mengambil mangkuk, pergi meninggalkan kekayaan dan kepada yang selama ini menjadi abdi keluarga, diberikan kebebasan. Pippali berjalan di depan. Tetapi segera mereka sepakat bahwa tidak pantas mereka berjalan bersama seperti itu, karena masing-masing harus menjadi penghalang bagi yang lain. Jadi, di persimpangan jalan, Bhaddā Kāpilānī dengan penuh hormat bersujud, memberi hormat di hadapan kaki Pipphali dan dengan tangan beranjali berkata: "Persahabatan akrab kita yang telah dilalui sejak kehidupan lampau akan berakhir pada hari ini. Silakan anda mengambil jalan ke kanan dan aku akan mengambil jalan satunya". Bumi ini, didorong kekuatan kebajikan mereka berdua, menjadi bergetar.
Pada saat Sang Buddha tiba di Rājagaha setelah vassa pertama di tahun Pencerahan-Nya (RAPB-3, cetakan 1, 2008, hal.2514), Beliau berada dalam kuti harumnya di Veluvana, Beliau mengetahui telah terjadi gempa bumi di persimpangan jalan tempat berpisahnya pemuda Pippali dan gadis Bhaddā Kāpilānī. Untuk itu, Sang Buddha keluar dari Kuti harumnya dan tanpa meminta satu pun dari muridNya untuk menyertai-Nya, pergi sejauh tiga gàvuta (3/4 Yojana) duduk bersila di bawah pohon banyan/Bahuputtaka yang terletak di antara Ràjagaha dan Nàlanda.
Pancaran keagungan beliau segera diketahui Pipphali yang berpikir, “Orang Mulia ini pasti guruku, Buddha. Sesungguhnya aku menjadi bhikkhu, mengabdikan kebhikkhuanku kepada guru ini.”. Kemudian, dari tempatnya berdiri, pemuda Pipphali berjalan, membungkukkan kepala di kaki sang Bhagava dan berkata 2x: satthā me, bhante, bhagavā, sāvakohamasmi (Tuan, Sang Bhagava adalah guruku, Aku adalah muridmmu). Sang Buddha menerimanya dan menahbiskannya dengan 3 nasehat latihan (Penahbisan ini merupakan pengecualian penahbisan awal karena tidak secara ehibhikkhu ataupun dengan 3 perlindungan - Kd 1.9):
Kemudian Sang Buddha dan MahaKassapa melanjutkan perjalanan dan pada suatu jarak tertentu, Sang Buddha berbelok menuju ke sebuah pohon, hendak duduk. Mengetahui ini, MahaKassapa kemudian melipat jubah luarnya menjadi 4 bagian sebagai alas duduk Sang Buddha. Ketika Sang Buddha memuji kehalusan alas duduknya, MahaKassapa memohon agar Sang Buddha mau menerima jubah tersebut. Karena hal ini, Sang Buddha kemudian bertanya, “Anak-Ku Kassapa, jika demikian, maka jubah apa yang akan engkau pakai?”. MahaKassapa menjawab bahwa Ia ingin memakai jubah yang dipakai Sang Buddha. sang Buddha berkata, “Apakah engkau sanggup? Mereka yang kurang mulia tidak akan mampu mengenakan jubah usang ini. Hanya mereka yang selalu berdiam di dalam praktik Dhamma memiliki kemuliaan seperti itu dan yang layak memakainya.” Setelah itu, Sang Buddha menyerahkan jubah-Nya dan setelah bertukar jubah, terjadilah gempa bumi. Karena mendapatkan jubah sang Buddha, MahaKassapa bertekad untuk seumur hidupnya menjalankan 13 praktik keras (dhutanga). Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat), puas terhadap pemberian yang sedikit (kecil), hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa/Kassapa yang Agung. Dalam Theragata 18.1, Mahakassapa tampak sangat mengaggumi rekan sejawat lainnya yaitu Sariputta dan Maha-Kappina
Jalan yang dipilih Bhaddā Kāpilānī ternyata menuju kota Savatthi, Oleh karena Sangha Bhikkhuni belum ada pada saat itu, dia berdiam di kediaman para pertapa wanita (Titthiyārāma, bukan pengikut Buddha), yang tidak begitu jauh dari Jetavana. Kelak ketika MahaPajāpati Gotamī memperoleh penahbisan, Bhaddā bergabung dengannya dan mencapai Kearahattaan tidak lama kemudian [DPPN]. Bhaddā Kāpilānī dan Thullanandā sama-sama terkenal sebagai pengkhotbah, tapi orang-orang terlebih dahulu mengunjungi Bhikkhuni Bhadda Kapilani, sesudah itu baru mengunjungi Bhikkhuni Thullananda, akibatnya Thullanandā, karena cemburu pada Bhaddā, berusaha keras membuatnya tidak nyaman (Vin.iv, hal. 425-426). Saat itu, Bhikkhuni Bhadda Kapilani telah memasuki masa musim hujan di Kota Saketa. Karena ada yang perlu dilakukan, ia mengirim seorang kurir kepada Bhikkhuni Thullananda untuk memberikannya tempat tinggal di Savatthi dan Bhikkhuni Thullananda menyanggupinya dan memberikan tempat tinggal kepada Bhikkhuni Bhadda Kapilani. Namun karena orang-orang terlebih dahulu mengunjungi Bhikkhuni Bhadda Kapilani, sesudah itu baru mengunjungi Bhikkhuni Thullananda, akibatnya Thullanandā, marah dan dan tidak senang, Ia mengusir Bhikkhuni Bhadda Kapilani dari tempat tinggalnya. (Vin.iv. hal. 430-431). Sang Buddha mengumumkan Bhadda Kapilani adalah bhikkhuni paling terkemuka dalam mengingat kehidupan sebelumnya. [AN 1.244]
Upatissa/Sariputta dan Kolita/Moggallana
Waktu itu hidup dua orang pemuda dari kasta brahmana kaya raya, mereka sejak kecil bersahabat dan keluarga mereka pun bersahabat selama 7 turunan, yang satu bernama Upatissa, anak seorang Brahmani bernama Rupasari, yang lain bernama Kolita, anak seorang Brahmani bernama Moggalli. Mereka berdua berguru kepada Sanjaya, seorang Paribbajaka (Petapa Pengembara), yang mempunyai 250 orang murid.
Upatissa dan Kolita adalah dua murid yang pandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain.
Bertemu dengan arahat Assaji
Setelah Sang Buddha berada 2 minggu, di Rajagaha, yaitu pada hari pertama di bulan Màgha (RAPB -3, cetakan ke-1, 2008, hal. 2463), sebagaimana biasanya, Ayasma Assaji setiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Ayasma Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya.
Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan, atau menekuk tangannya, ia selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Ayasma Assaji sedang mengumpulkan makanan.
Ia menunggu sampai Ayasma Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, "Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?"
Ayasma Assaji menjawab, "Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini aku mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Nya yang aku ikuti."
"Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?"
"Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan pelajaran itu secara terperinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya."
"Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa."
Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini: "Hal apapun muncul karena suatu sebab (Ye dhammā hetuppabhavā), tentang Sebab-nya telah dijelaskan Sang Tathagata, juga tentang berakhirnya (Tesaṃ hetuṃ tathāgato āha; Tesañca yo nirodho), Ini yang diajarkan Sang Petapa Agung (Evaṃvādī mahāsamaṇo”ti)"
Mendengar syair tersebut, Upatissa memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu), tanpa debu, tanpa noda, bahwa "Apapun itu yang muncul (yaṃ kiñci samudayadhammaṃ), Semua itu akan berakhir (sabbaṃ taṃ nirodhadhamman)"
Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di Veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Ayasma Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita. Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna.
Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti 250 orang muridnya pergi kepada Sang Buddha untuk dapat ditahbiskan. Sedangkan masih di tempatnya, pengembara Sañjaya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sang Bhagava melihat Sāriputta dan Moggallāna datang dari kejauhan; melihat mereka, Beliau berkata kepada para bhikkhu, “Para Bhikkhu, kedua orang bersahabat ini, Kolita dan Upatissa, sedang menuju ke sini. Sepasang pengikut ini akan menjadi sepasang siswa-Ku yang utama, yang paling terkemuka.". Kemudian Sāriputta dan Moggallāna menemui Sang Bhagava, bersujud di hadapan kaki Sang Bhagava, berkata, “Bhante, bolehkah kami diterima melepaskan keduniawian di hadapan Bhagava, dapatkah kiranya kami menerima penahbisan?” Sang Buddha, "Mari, Bhikkhu-bhikkhu. Dhamma telah sempurna dibabarkan, jalanilah kehidupan suci untuk mengakhiri penderitaan sepenuhnya.” Demikianlah penahbisan bhikkhu-bhikkhu ini. [Vinaya, Mahavagga I]
Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa. Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Kolita menyepi di Desa Kallavalamuttagama di kota Magadha. Di tempat itu Kolita giat melatih meditasi dan Pada saat itu sedang duduk dan mengantuk di Kallavāmuttagāma di antara penduduk Magadha. Dengan mata dewaNya, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā melihat Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang duduk dan mengantuk. Kemudian, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari taman rusa di Hutan Bhesakalā, dan muncul kembali di hadapan Yang Mulia Mahāmoggallāna. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untukNya dan berkata:
“Apakah engkau mengantuk, Moggallāna? Apakah engkau mengantuk, Moggallāna?”
“Benar, Bhante.”
(1) “Oleh karena itu, Moggallāna, engkau tidak boleh memperhatikan atau melatih objek yang sedang engkau perhatikan ketika engkau mengantuk. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(2) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus merenungkan, memeriksa, dan dengan pikiran menyelidiki Dhamma yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(3) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(4) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus menarik kedua telingamu dan menggosok bagian-bagian tubuhmu dengan tanganmu. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(5) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus bangkit dari dudukmu, menggosok matamu dengan air, menatap segala penjuru, dan menatap konstelasi dan bintang-bintang. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(6) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus memperhatikan persepsi yang dihadapanmu (ālokasañña: āloka = terlihat, pemandangan, cahaya; anāloka = buta; saññi = persepsi); engkau harus mempersepsikan siang hari (divāsañña) sebagai berikut: ‘Seperti halnya siang hari, demikian pula malam hari; seperti halnya malam hari, demikian pula siang hari.’ Demikianlah, dengan pikiran terbuka dan tidak tertutup, engkau harus mengembangkan pikiran yang dipenuhi dengan kecemerlangan. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(7) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus melakukan [olah raga] berjalan mondar-mandir, mengawasi apa yang ada di belakangmu dan apa yang ada di depanmu, dengan organ-organ indriamu tertarik ke dalam dan pikiranmu ditenangkan. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
“Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus berbaring pada sisi kanan dalam postur singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, dalam ingatan yang sepenuhnya memahami, setelah mencatat dalam pikiranmu gagasan untuk terjaga. Ketika engkau terjaga, engkau harus bangkit dengan segera, [dengan berpikir]: ‘Aku tidak akan terlena pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan bermalasan, kenikmatan berbaring.’ Adalah dengan cara ini, Moggallāna, engkau harus berlatih.
“Oleh karena itu, Moggallāna, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan mendatangi keluarga-keluarga [untuk menerima dana makanan] dengan kepala menggembung oleh kesombongan.’ Dengan cara inilah, Moggallāna, engkau harus berlatih. Mungkin, Moggallāna, bahwa seorang bhikkhu mendatangi keluarga-keluarga dengan kepala menggembung oleh kesombongan. Sekarang ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam keluarga-keluarga itu, dan karena alasan ini, ketika seorang bhikkhu datang, orang-orang tidak memperhatikannya. Dalam situasi demikian bhikkhu itu mungkin berpikir: ‘Siapakah yang telah menghasut keluarga ini memusuhiku? Tampaknya orang-orang ini sekarang telah menjadi tidak peduli padaku’. Dengan cara ini, karena tidak mendapatkan perolehan ia merasa terhina; ketika merasa terhina, ia menjadi gelisah; ketika ia gelisah, maka ia kehilangan pengendaliannya. Pikiran seseorang yang tanpa pengendalian adalah jauh dari konsentrasi.
“Oleh karena itu, Moggallāna, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan terlibat dalam perdebatan.’ Dengan cara inilah engkau harus berlatih. Ketika terjadi perdebatan, maka akan ada kata-kata yang berlebihan. Ketika ada kata-kata yang berlebihan, maka seseorang menjadi gelisah; ketika ia gelisah, maka ia kehilangan pengendaliannya. Pikiran seseorang yang tanpa pengendalian adalah jauh dari konsentrasi.
“Moggallāna, Aku tidak memuji keterikatan dengan siapa pun, juga Aku tidak memuji ketidak-terikatan sama sekali. Aku tidak memuji keterikatan dengan para perumah tangga dan kaum monastik, tetapi Aku memuji keterikatan dengan tempat-tempat tinggal yang sepi dan tidak berisik yang jauh dari kesibukan orang-orang, jauh dari pemukiman manusia, dan sesuai untuk keterasingan.”
Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Moggallāna berkata kepada Sang Bhagavā: “Secara singkat, Bhante, bagaimanakah seorang bhikkhu terbebaskan dalam padamnya ketagihan, menjadi yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalankan kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi?”
“Di sini, Moggallāna, seorang bhikkhu telah mendengar: ‘Tidak ada yang layak digenggam.’ Ketika seorang bhikkhu telah mendengar: ‘Tidak ada yang layak digenggam,’ ia secara langsung mengetahui segala sesuatu. Setelah mengetahui segala sesuatu, ia sepenuhnya memahami segala sesuatu. Setelah sepenuhnya memahami segala sesuatu, perasaan apa pun yang ia rasakan—apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan—ia berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam hal-hal itu, merenungkan peluruhan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan pelenyapan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan pelepasan dalam perasaan-perasaan itu. Ketika ia berdiam merenungkan ketidak-kekalan … peluruhan … pelenyapan … pelepasan dalam perasaan-perasaan itu, ia tidak melekat pada apa pun di dunia. Karena tidak melekat, ia tidak bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia secara pribadi mencapai nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’
“Secara singkat, Moggallāna, dengan cara inilah seorang bhikkhu menjadi yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalankan kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi.” [AN 7.61]
Dengan melaksanakan petunjuk tesebut, Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga. Lima belas hari setelah ditahbiskan, Upatissa (yang kemudian terkenal sebagai Sariputta, anak Sari), berdiam bersama-sama Sang Buddha di Goa Sukarakhata dari Gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha.
Seorang Paribbajaka (Petapa pengembara) bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana (keponakan Sariputta) pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan setelah saling mengucapkan kata-kata menghormat, ia berdiri di satu sisi. Ia kemudian memberikan pandangannya, "Tidak ada yang dapat diterima olehku."
"Pandanganmu, Aggivessana, ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’—bukankah setidaknya pandangan itu dapat diterima olehmu?". Setelah itu Sang Buddha menguraikan tentang adanya tiga pandangan mengenai hal tersebut.
"Aggivessana, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini:
"Tubuh ini, Aggivesana, terdiri atas 4 unsur pokok (Mahabhuta-rupa), yaitu padat, cairan/rekat, gerak/tekanan, dan panas. Ia berasal dari ayah dan ibu, dibesarkan dengan nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi usang dan lapuk, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran. Ini harus dianggap sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai bencana, sebagai kesusahan, sebagai asing, sebagai kehancuran, sebagai hampa, sebagai bukan diri. Ketika seseorang menganggap jasmani ini seperti demikian, maka ia meninggalkan keinginan terhadap jasmani, kasih sayang pada jasmani, ketundukan pada jasmani.
"Selain dari itu, perasaan ada tiga jenis, yaitu menyenangkan, menyakitkan, dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Jika perasaan menyenangkan muncul, maka Ia tidak merasakan perasaan menyakitkan dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Jika perasaan menyakitkan muncul, maka Ia tidak merasakan perasaan menyenangkan dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Jika perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan munvul, maka Ia tidak bisa merasakan perasaan menyenangkan dan menyakitkan.
Baik itu, perasaan menyenangkan, menyakitkan dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan adalah tidak kekal, terkondisi, muncul dengan bergantung, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, peluruhan, dan penghentian
"Siswa Yang Ariya, yang mengetahui demikian, merasa jemu terhadap perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Karena jemu, ia menjadi bosan, melalui kebosanan ini, pikirannya terbebaskan. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun’. Seorang bhikkhu yang terbebas demikian, tidak memihak dan tidak berselisih dengan siapapun; ia mengucapkan bahasa yang digunakan di dunia pada masa itu tanpa melekatinya"
Selama itu Sariputta berdiri di sisi Sang Buddha dengan kipas di tangan dan mengipasi Sang Bhagava. Mendengar khotbah kepada Dighanakha ia berpikir, "Sesungguhnya Sang Bhagavā, membabarkan kepada kami bagaimana meninggalkan hal-hal ini melalui pengetahuan langsung". Merenungkan demikian, Pikiran Sāriputta terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Sementara Dighanakha memperoleh Mata Dhamma. dan kemudian menyatakan "Aku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka yang berlindung kepada Sang Ti-Ratana untuk seumur hidup." [MN 74].
Dengan cara-cara inilah Moggallana dan Sariputta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Arahat. Sang Buddha menyampaikan di hadapan para bhikkhu dan bhikkhuni bahwa diantara murid prianya, Sariputta adalah yang terpandai dalam kebijaksanaan dan Moggallana yang terpandai dalam kekuatan gaib. Jika Sang Buddha disebut Dhammaraja/Raja Dhamma, maka Sariputta adalah Dhammasenapati/Jenderal Dhamma. Sariputta punya 6 adik, yang pria bernama: Cunda, Upasena dan Revata dan yang wanita bernama: Cala, Upacala dan Sisupacala. Ke-6nya kelak juga menjadi Bhikkhu/Bhikkhuni dan semuanya mencapai tingkat kesucian arahat. Ibunda Sariputta, Brahmani Rupasari, di hari Sariputta parinibbana, Ia mencapai tingkat kesucian sotapanna.
Konferensi di Veluvana
Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Arahat datang berkumpul. Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha. Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Puja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai / Thailand. Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu:
"Sabba papassa akaranam, Kusalassa upasampada, Sacittapariyo dapanam, Etam Buddhana sasanam. Khanti paramam tapo titikkha, nibbanam paramam vadanti Buddha, Na hi pabbajjito parupaghati, Samano hoti param vihethayanto. Anupavado, anupaghato, Patimokkhe ca samvaro, Mattaññuta ca bhattasmim, Pantham ca sayanasanam, Adhicitte ca ayogo, Etam Buddhana sasanam."
Artinya: "Janganlah berbuat kejahatan, Perbanyaklah perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiranmu, Itulah ajaran semua Buddha. Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik, Sang Buddha bersabda; nibbanalah yang tertinggi dari semuanya, Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain, Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain. Tidak menghina, tidak melukai, Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib, Makanlah secukupnya, Hidup dengan menyepi, Dan senantiasa berpikir luhur, Itulah ajaran semua Buddha."
Sigala Memuja Enam Arah
Pada suatu pagi, Sigala/Singala/Sigalaka, seorang perumah tangga Rajagaha, demi memenuhi pesan mendiang ayah, Ia dengan rambut dan pakaian basah, merentangkan lengan lurus dengan tangan tercakup (pañjaliko), melakukan penghormatan (namassati) ke berbagai arah (puthudisā): Timur (puratthima), Selatan (dakkhiṇa), Barat (pacchima), Utara (uttara), Bawah (heṭṭhima), Atas (uparima). Di pagi yang sama, Sang Buddha, yang saat itu tinggal di taman suaka Tupai di Hutan Bambu, dengan jubah dan membawa mangkuk (nivāsetvā pattacīvaramādāya), masuk Rājagaha untuk menerima dana makanan (rājagahaṁ piṇḍāya pāvisi). Beliau melihat Sigala (addasā kho bhagavā siṅgālakaṁ) memberikan penghormatan ke berbagai arah dan menanyakan mengapa melakukan hal tersebut, setelah mendengar alasan Sigala, Beliau menyampaikan bahwa yang dilakukannya bukan praktik kaum mulia (ariyassa vinaye) dalam menghormati 6 arah (cha disā namassitabbā)
Sigala menyampaikan keingintahuannya tentang praktik kaum mulia dan Sang Buddhapun menyampaikan DhammaNya:
Seorang murid mulia (ariyasāvakassa) setelah meninggalkan 4 perbuatan kotor (cattāro kammakilesā pahīnā) , tidak membuat 4 landasan perbuatan buruk (catūhi ca ṭhānehi pāpakammaṁ na karoti), tidak menuju 6 cara menghamburkan kekayaan (cha ca bhogānaṁ apāyamukhāni na sevati). Dengan tersingkirkannya 14 perbuatan buruk (cuddasa pāpakāpagato), Ia melingkupi 6 arah (chaddisāpaṭicchādī), Ia yang menjalankan demikian memenangkan dua alam (ubholokavijayāya paṭipanno hoti), bahagia di alam ini dan alam berikut, saat jasmani hancur, setelah kematian, menuju alam bahagia, alam surga
5 cara, anak mendahulukan orang tuannya selagi masih ada (paccupaṭṭhātabbā):
(2) Guru (ācariyā), arah Selatan/ke kanan (dakkhiṇā disā)
5 cara, siswa memperlakukan Guru:
(3) Isteri-anak (puttadārā), arah Barat/Belakang (disā pacchā)
5 cara, suami memperlakukan Istri-anak:
(4) Teman-sejawat (mittāmaccā), arah Utara/melampaui (ca uttarā)
5 cara, seorang keturunan keluarga (kulaputtena) memperlakukan teman-sejawatnya:
(5) Pelayan (dāsakammakarā), di Bawah (heṭṭhā)
5 cara, seorang majikan (ayyirakena) memperlakukan pelayannya:
(6) Petapa-Brahmana (samaṇabrāhmaṇā), di Atas (uddhaṁ)
5 cara seorang keturunan keluarga memperlakukan para pertapa dan brahmana:
Kemudian sang Buddha melanjutkan:
Kembali ke Kapilavatthu
Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan yang masing-masing disertai 1000 pengikut untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut 'lupa' untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, malah setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka bergabung menjadi Bhikkhu dan mencapai tingkat Arahat.
Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi bersama 1000 orang pengikut lagi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhatha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Hal yang hampir sama terjadi, Ia dan 1000 pengikutnya ketika mendengar Sang Buddha, menjadi Bhikkhu dan mencapai Arahat.
Namun kali ini, Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana agar beliau berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut. Setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta 20.000 bhikkhu menuju Kapilavatthu.
Perjalanan tersebut jauhnya 60 Yojana ((1 yojana = 7-9 mil, 1 mil = 1.6 km) yang ditempuh dalam waktu 60 hari.
Berita kedatangan Sang Buddha beserta rombongan ke Kapilavatthu dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana. Beliau memerintahkan untuk segera disiapkan tempat yang letaknya di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin) bagi rombongan yang akan tiba. Sewaktu rombongan tiba, Raja Suddhodana, pengiring dan penduduk Kapilavatthu berduyun-duyun datang ke Nigrodharama. Peristiwa bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anaknya dituturkan dalam Mhvu. III, 114-121.
Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, "Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Bila Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, 'Sungguh keterlaluan Sang Pangeran ini, Ia telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan mengaku telah memperoleh Penerangan Agung Raja Dhamma namun Ia duduk dan tidak berdiri menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati seluruh rakyat Sakya', namun Apabila Sang Tathagata bangun untuk menghormatnya, semua kelompok makhluk yang menerima penghormatannya maka kepalanya akan terbelah belah tujuh. Untuk itu, Lebih baik Aku berjalan diudara setinggi orang dewasa".
Karena itu, setibanya Rombongan, Sang Buddha berjalan diudara setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat Sang Buddha tinggal. Sang Buddha naik keudara lebih tinggi lagi dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir.
Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan Yamakapatihariya atau keajaiban ganda, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Api berkobar-kobar dari badan sebelah atas dan air dingin memancar lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. kemudian air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah. Segenap yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut. [Komentar Jataka no.547. Bahwa keajaiban ganda ini hanya dapat dilakukan SammasamBuddha: MiliandaPanha 8.2]
Saat itu Yasodhara juga hadir dengan menuntun Mahapajapati. Mahapajapati mengalami kebutaan mata akibat terlalu sedih dan banyak menangis ketika Pangeran Siddhatha meninggalkan istana. Mahapajapati mendengar hadirin bersorak-sorak, namun tak dapat melihatnya, Yasodhara menceritakan kejadian tersebut kepadanya. Dengan penuh rasa haru dan kesujudan, Yasodhara menampung air yang keluar dari badan Sang Buddha sewaktu melakukan keajaiban ganda dengan kedua tangannya. Dengan air itu, Ia membasuh dan mencuci mata Mahapajapati berulang kali disertai doa semoga hal itu dapat mengembalikan penglihatan Mahapajapati. Satu mukjizat telah terjadi. Perlahan tapi pasti MahaPajapati dapat melihat kembali sehingga penglihatannya pulih seluruhnya dan dapat menyaksikan sendiri peristiwa itu. Para hadirin yang melihat itu pun semakin bersorak-sorak gembira.
Sehabis keajaiban ganda, kemudian Sang Buddha menghilang. Secara tiba-tiba di udara muncul seekor banteng besar dengan tengkuk yang bergetar-getar lari dari arah Timur dan lenyap disebelah Barat, kemudian lari dari arah Barat dan lenyap di sebelah Timur. Kemudian muncul lagi dan lari dari arah Utara dan lenyap di sebelah Selatan, dan lari dari sebelah Selatan dan lenyap di sebelah Utara. Setelah pemandangan yang di atas lenyap sama sekali, kemudian Sang Buddha terlihat duduk dengan tenang di tempat duduk-Nya.
Hilang sudah keragu-raguan seluruh hadirin, Mereka yakin dengan seluruh hati bahwa Pangeran Siddhattha telah menjadi Buddha. Mereka kemudian berlutut memberi hormat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada kepada Sang Buddha.
Raja Suddhodana menghampiri anaknya dan berkata, "Ini adalah untuk ketiga kalinya aku menundukkan kepalaku dan menyerukan penghormatan (vandana), oh Yang Maha Tahu, yang pertama kali adalah sewaktu pertapa Asita meramalkan bahwa anakku kelak akan menjadi Buddha, kedua kali sewaktu aku lihat anakku bermeditasi di bawah Pohon jambu dan ini adalah yang ketiga kalinya." [Lihat juga komentar untuk Jataka no.547]
Kemudian, Raja Suddhodana menanyakan beberapa hal yang menggambarkan begitu besarnya kasih sayang dan perhatian orang tua kepada anaknya, "Dulu anakku selalu memakai sandal terbuat dari kain wol halus, berjalan di atas permadani yang empuk dan dipayungi dengan payung putih. Tetapi sekarang kaki anakku yang halus dan berwarna tembaga serta penuh garis-garis ajaib ini harus berjalan di atas rumput kasar, duri, dan batu kerikil. Apakah kaki anakku tidak pernah merasa sakit?"
Sang Buddha menjawab, "Aku adalah Sang Penakluk, Yang Maha Tahu, tak ternoda oleh kekotoran-kekotoran batin di dunia ini. Aku telah melepaskan diri dari ikatan kebendaan dan telah terbebas dengan musnahnya semua nafsu-nafsu keinginan. Orang seperti Aku tak dapat lagi diganggu oleh perasaan enak dan tidak enak."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu para pelayan setiap hari memandikan dan menggosok-gosok badan anakku dengan minyak kayu cendana yang baunya harum semerbak. Tetapi sekarang anakku mengembara di waktu malam yang dingin dari satu hutan ke hutan yang lain. Siapakah yang memandikan anakku dengan air bersih dan menyegarkan apabila anakku merasa lelah?"
Sang Buddha menjawab, "Oh, Baginda, murni adalah arus air yang berasal dari pantai kebajikan yang tak ternoda dan dipujikan oleh para bijaksana. Dengan mandi dan menyelam dalam air dewata itulah Aku telah tiba di pantai seberang."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu anakku selalu memakai kain buatan Benares dan baju bersih yang berbau wangi bunga teratai dan cempaka, anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit. Tetapi sekarang anakku memakai pakaian dari kain kasar yang terbuat dari serat kayu merah. Sungguh aneh anakku berbuat seperti ini."
Sang Buddha menjawab, "Para Penakluk, oh Baginda, tidak menghiraukan pakaian, tempat tidur atau makanan, dan juga tidak menghiraukan apakah yang semua yang diterimanya menyenangkan atau tidak."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, kereta yang mahal dan bergemerlapan dengan emas dan tembaga selalu tersedia untuk dipakai kemana pun anakku pergi dan diikuti sebuah payung putih, sebuah pusaka, sebatang pedang, dan sebuah lambang kerajaan. Lagipula Kanthaka, kuda yang paling gagah dan cepat larinya di seluruh negeri selalu menyertai anakku. Meskipun hingga, kereta perang, kuda dan gajah masih ada, namun anakku lebih senang berjalan kaki dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Coba katakan anakku, apakah anakku tidak lelah?"
Sang Buddha menjawab, "Kekuatan gaib adalah kereta-Ku. Ketetapan hati, kebijaksanaan dan pikiran yang terpusat adalah sais-Ku. Padhana yang terdiri atas Sanvara (pengekangan diri dari nafsu-nafsu), Pahana (melenyapkan kekotoran batin), Bhavana. (melaksanakan meditasi) dan Anurakkhana (menjaga watak sendiri) adalah kuda-kuda-Ku. Dengan itu Seorang diri Aku mengembara dan menjelajah ke tempat-tempat yang jauh."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu anakku makan dari piring perak dan minum dari mangkuk emas. Selalu tersedia makanan yang lezat-lezat dengan bumbu yang terpilih, sebagaimana layaknya disajikan kepada seorang raja. Tetapi sekarang anakku makan dengan tanpa perasaan muaknya hidangan asin atau tidak asin, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bumbu. Sungguh aneh anakku berbuat hal seperti itu."
Sang Buddha menjawab, "Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dulu hingga zaman yang akan datang, maka Aku, Sang Tathagata, makan yang lembut dan kasar, berbumbu atau tidak dengan pikiran yang terkendali hanya untuk kepentingan dunia ini."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, anakku tidur di dipan tinggi yang dilapisi kulit kambing hutan dengan bantal yang empuk dilapisi sutra halus. Kaki dipan terbuat dari emas dan dibalut dengan untaian bunga yang harum semerbak, dengan lantai dialaskan permadani yang terbuat dari bahan wol dan kapas. Sekarang anakku memakai rumput dan daun-daunan sebagai kasur dan tidur di atas tanah yang kasar dan berbatu. Dan rupanya anakku menyukainya. Apakah tubuh Yang Maha Bijaksana tidak merasa sakit?"
Sang Buddha menjawab, "Oh, Baginda, orang seperti Aku senantiasa tidur dengan nyenyak. Semua duka cita dan kesedihan telah Kutinggalkan. Dengan terbebas dari duka cita dan kesedihan, Aku selalu menjaga mental-Ku agar selalu berbelas-kasih kepada semua makhluk."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, anakku tinggal di istana dengan kamar (di lantai atas) menyerupai tempat kediaman para dewa, diterangi oleh sekumpulan kunang-kunang, dilengkapi jendela putar yang serasi, dimana pelayan wanita yang memakai perhiasan dan kalungan bunga menunggu dengan sabar kata-kata yang akan keluar dari mulut Tuannya."
Sang Buddha menjawab, "Sekarang, oh Baginda, di tempat ini yang dihuni oleh manusia pun terdapat para Brahma dan Dewa Agung yang senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk-Ku dan juga Aku dapat pergi kemana pun yang Kukehendaki."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, para penyanyi selalu menyanyikan lagu-lagu dengan iringan musik yang merdu yang anakku senangi. Dan anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang suku Sakya, sebagaimana Dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit."
Sang Buddha menjawab, "Sekarang Aku menyanyikan lagu dengan pembabaran Dhamma dan terbebas karena memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi. Aku sekarang paling bercahaya di antara bhikkhu-bhikkhu seperti Brahma di antara dewa-dewa di langit."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, oh Yang Maha Kuat, di istana, kamar anakku menyerupai tempat kediaman para dewa, selalu dijaga oleh pengawal bersenjata yang mahir menggunakan pedang. Tetapi sekarang, di hutan anakku seorang diri berada di tengah-tengah teriakan burung hantu dan jeritan anjing-anjing hutan, yang penuh binatang buas berkeliaran mencari mangsa dimalam hari. Apakah anakku tidak takut?."
Sang Buddha menjawab, "Justru karena Aku telah menyingkirkan semua perasaan takut. maka Aku menang dan berhasil keluar dari lingkaran tumimbal lahir meskipun semua gerombolan Yakka datang bersama gajah-gajah liar yang mengarungi hutan belantara, mereka tidak akan dapat mengganggu walaupun selembar rambut-Ku Seorang diri Aku berkelana, seorang pertapa yang selalu waspada dan tidak tergoyahkan oleh celaan atau pujian, seperti seekor singa tidak takut kepada suara, seperti angin tidak dapat dijerat oleh jala. Karena itu, oh Baginda, bagaimana Anda dapat katakan bahwa Sang Penakluk, Pemimpin yang tidak dipimpin oleh siapa pun, dapat merasa takut?"
Raja Suddhodana kembali bertanya, "Sebenarnya seluruh dunia bisa menjadi tanah milikmu dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja anakku tidak melepaskan tujuh rupa pusaka (lambang seorang Raja) menjadi seorang pertapa."
Sang Buddha menjawab, "Sekarang pun seluruh dunia masih tetap menjadi milik-Ku dan Aku tetap masih memiliki ribuan orang anak. Lagipula sekarang Aku memiliki Delapan Mustika yang tidak ada bandingannya di dunia ini."
Selesai percakapan ini, Raja Suddhodana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna (telah menaklukan 3 belenggu dan terlahir paling banyak 7 kali lagi)
Note:
Kisah dan pencapaian sotapana Suddhodana di atas adalah versi "Riwayat Hidup Buddha Gotama", Bab IV, "Kembali Ke Kapilavatthu", Maha Pandita Sumedha Widyadharma, Penerbit: Cetiya Vatthu Daya; Cetakan Ke-12s, 1999.
Namun dalam buku RAPB, buku ke-1, bab 24, hal. 917-926 dan juga dalam komentar untuk Dhammapada Bab.12, Syair 168-169, disampaikan bahwa pencapaian sotapanna Raja Suddhodana terjadi ketika Sang Buddha berjalan mengumpulkan dana makanan ditengah kota Kapilavatthu dan memberikan penjelasan kepada Raja mengenai itu
Para pelayan perempuan memohon kepada Yasodhara, “Yang Mulia, mohon datang ke kamar istana dan beri hormat kepada Sang Buddha,” Meskipun demikian, Yasodhara menjawab, “Jika aku pernah memberikan pelayanan yang patut kepada-Nya, Yang Mulia sendiri yang akan datang kepadaku,” Ia tetap tidak bergerak dan dengan tenang diam di kamarnya.
Kemudian, sang Buddha meminta Raja Suddhodana membawakan mangkuk-Nya dan diiringi dua Siswa Utama-Nya (Sariputta dan MahaMoggallana), pergi menuju ruang rekreasi putri. Setibanya di kamar Putri Yasodharà, Tathàgata berkata, “Jangan ada yang bersuara untuk menghalang-halangi Putri Yasodharà sewaktu ia memberi hormat kepada-Ku sesuai keinginannya,” dan kemudian Ia duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk-Nya.
Putri Yasodharà segera datang ke hadapan Tathàgata dan kemudian merangkul kedua kaki Tathàgata dengan kedua tangannya dengan sekuat tenaga. Ia menyandarkan kepalanya di kedua kaki Tathàgata, bergantian kiri dan kanan, ia bersujud lagi dan lagi dengan penuh hormat. Raja Suddhodana berkata, "Yang mulia, Yasodhara adalah seorang isteri yang sangat setia;
Ketika mendengar bahwa Yang Mulia mulai menjadi petapa dengan memakai jubah kuning, ia pun memakai jubah kuning,
Ketika mendengar Yang Mulia hanya makan satu kali sehari, ia pun makan hanya satu hari sehari. Ia senantiasa mengikuti kehidupan Yang Mulia, Ia tidak lagi tidur di dipan yang tinggi dan mewah namun ditanah, Ia tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian. Apabila sanak-saudaranya mengajaknya tinggal bersama mereka, dia tidak mengikut mereka.
Ketika Yang Mulia memasuki kehidupan non-duniawi ia menjadi janda; dan menolak hadiah dari Raja lain yang menyukainya. Demikian setia hatinya padamu."
Sang Buddha menjawab, "Itu tidaklah mengherankan, jika ibu Ràhula tetap memelihara kesetiaan dan martabatnya, karena Ia sekarang telah matang dalam kebijaksanaan dan mampu melindungi dirinya sendiri. Bahkan di kehidupan lampaunyapun, Ia telah melindungi dirinya sendiri dan juga diriku, bahkan saat itu ia belum memiliki kebijaksanaan yang matang dan tanpa pelindung”. Kemudian sang Buddha menceritakan kisah Candakinnarã (Jàtaka no. 485), yaitu ketika Siddhattha Gotama dan Yasodhara terlahir sebagai sepasang Peri/Kinnara. Pada saat itu, Seorang raja jatuh cinta kepada Peri perempuan dan memanah Peri Pria dengan panah beracun yang menyebabkan ia terluka dan tampak seperti mati. Berkat kegigihan sang peri Perempuan, bukan saja Ia tidak jadi ditangkap raja bahkan dapat membuat Deva Sakka mengobati suami perinya itu dengan racunnya sehingga Peri pria itu sehat kembali. Setelah menceritakan kisah itu, Sang Buddha kembali ke Vihàra Nigrodha diiringi oleh 20.000 Arahanta. [RAPB, buku ke-1, bab 24, hal. 926-928]
Sang Buddha juga menceritakan kisah awal pertemuan pertama Ia dan Yasodara di yang terjadi di jaman Buddha Dipankara:
4 Asekheya Kappa dan 100.000 Kappa lalu, di sebuah kota bernama Amaravatã, hiduplah seorang bernama Sumedha, Ia adalah keturunan Brahmana selama 7 generasi dengan kekayaan melimpah, pandai 3 veda dan ilmu pengetahuan lainnya. Ketika ayah dan Ibunya wafat, Ia diwarisi kekayaan keluarganya, namun kemudian Ia merenungkan bahwa dengan memiliki kekayaan sebanyak ini pun, para leluhur, saudara dan ayah ibunya bahkan tidak mampu membawa 1 keping uangpun ketika mereka wafat, oleh karenanya, Ia umumkan untuk menyumbangkan kekayaan keluarganya kepada seluruh penduduk kota tanpa membedakan status miskin atau kaya. Setelahnya, Ia pergi menuju Pegunungan Himalaya ke Gunung Dhammika untuk melepas keduniawian dan berhasil mencapai 8 pencapaian jhāna serta 5 kekuatan mental.
Suatu ketika, Sumedhà, pergi meninggalkan pertapaannya dan sampailah Ia di kota Rammàvatã. Di kota itu, para penduduknya tengah bergembira bergotong royong untuk memperbaiki dan menghias jalan dalam menyambut kedatangan Buddha Dipankara ke kota mereka. Mengetahui ini, Sumedhà memohon kepada para penduduk untuk diberikan kepadanya sedikit bagian jalan untuk diperbaiki dan dihias olehnya. Para penduduk mengabulkannya dan tanpa menggunakan kekuatan mentalnya, Ia kerjakan bagiannya. Namun, sebelum pekerjaannya selesai, Buddha Dipankarà tiba dengan diiringi 400.000 Arahanta. Oleh karenanya, Ia segera menggelar matras kulit macan dan juga jubahnya di atas tanah yang becek dan berbaring tiarap di atasnya. Ia bermaksud menggunakan dirinya sebagai jembatan agar sang Buddha Dipankara dan para pengikutnya tidak menginjak lumpur saat lewat. Ketika sedang bertiarap demikian, seketika muncul keinginannya untuk menjadi Buddha.
Di tengah keramaian saat itu, terdapat pula seorang brahmana perempuan muda bernama Sumittà yang membawa 8 kuntum bunga teratai yang rencananya akan dipersembahkan kepada Buddha Dipankara. Ketika Sumedha sedang bertiarap secara demikian, Mata Sumittà menatapnya dengan terpesona dan seketika jatuh cinta padanya. Ia kemudian berkata kepada Sumedhà, “Yang mulia petapa, aku berikan padamu 5 kuntum bunga teratai, agar engkau dapat mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa 3 kuntum ini adalah persembahanku kepada Buddha dan semoga, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai Kebuddhaan; aku selalu menjadi pendampingmu”.
Sumedhà menerima bunga teratai dari Sumittà dan di tengah-tengah keramaian,Ia persembahkan bunga itu kepada Buddha Dãpankarà yang tengah menghampiri dan berdiri dekat kepalanya yang tengah bertiarap. Sang Buddha Dipankara dengan kekuatan mental-Nya, melihat jauh ke masa depan dan berkata, “Sumedhà, engkau akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4 Asaïkhyeyya dan 100.000 kappa sejak saat ini”. Kemudian, mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedhà dan Sumittà, Sang Buddha Dipankara berkata:
“O, Sumedhà, perempuan ini Sumittà, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam usahamu mencapai Kebuddhaan, ia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatannya. Dalam kelahiranmu yang terakhir, ia juga akan menjadi pendampingmu, kemudian menjadi murid perempuanmu dan menjadi seorang Arahanta”. Sang Buddha Dãpankarà kemudian pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya di sebelah Sumedhà
[Buddhavamsa: Sumedha patthanā kathā; RAPB buku ke-1, Bab 2, “Kisah Sumedha Sang Brahmana”, hal 29-67; Versi lain kisah masa lalu Sang Buddha ada di “Sumpah Teratai” dari buku “Jalur Tua Awan Putih”, Jilid ke-2, Bab 36 hal.66, Oleh: Thicht Nhat Hanh. Kisahnya agak berbeda, Nama pemuda bukan Sumedha namun Megha]
Pada hari ketiga, di istana berlangsung beberapa upacara, diantaranya upacara pernikahan Pangeran Nanda, Sepupu Siddhattha Gotama, yang merupakan anak dari MahaPajapati Gotami. Pada kesempatan itu Tathàgata pergi ke istana dan setelah memberikan khotbah mengenai kebajikan, Beliau secara sengaja menyerahkan mangkuk-Nya kepada Pangeran Nanda kemudian pulang ke vihàra. Karena rasa hormatnya pada saudaranya, Pangeran Nanda tidak berani berkata sepatah kata pun dan terpaksa mengikutinya. Sang Buddha terus berjalan tanpa membebaskannya dari mangkuk tersebut dan Pangeran Nanda, mengikuti dengan enggan, ingin berbalik, tetapi rasa hormatnya yang tinggi membuatnya tetap diam, dan berharap di suatu tempat nanti mangkuk tersebut akan diambil kembali. Akhirnya ia pergi bersama Tathàgata.
Tunangannya, Janapada Kalyani/Rupananda, mendengar bahwa Pangeran sedang mengikuti Sang Buddha dengan mangkok di tangan, Ia segera bergegas lari, secepat yang dapat dilakukannya untuk mengejar Pangeran Nanda, dan dengan air mata bercucuran di pipi serta rambut separuh tersisir berteriak sedih pada Pangeran Nanda, "Kembalikan cepat, Kembalilah segera, Yang Mulia !"
Sang Buddha berjalan tanpa mengambil mangkuk-Nya dari Pangeran Nanda, dan setibanya di vihàra, ia bertanya kepada Nanda, “Maukah engkau menerima penahbisan dan menjadi bhikkhu?” Karena rasa takut dan hormat, ia tidak mampu mengungkapkan keengganannya, “Tidak, aku tidak mau,” Tetapi sebaliknya ia malah menyetujuinya, dengan berkata, “Baiklah, Saudaraku Yang Mulia aku akan menerima penahbisan.”. “Jika demikian, para bhikkhu, kalian dapat menyaksikan saudara muda-Ku ditahbiskan,” kata Tathàgata dan para bhikkhu melakukan seperti yang diperintahkan. [RAPB, buku ke-1, bab 24, hal. 928-930]
Setelah menjadi Bhikkhu, Nanda tidak menemukan kebahagian di dalam Dhamma. Kerap Ia terngiang kata-kata Putri Janapadakalyani yang memohonnya untuk kembali sehingga beberapa kali Ia mencoba untuk kabur [RAPB, buku ke-3, hal 2777]
Pada suatu hari dia merenung, "Kakak saya yang akan menjadi raja telah meninggalkan keduniawian menjadi bhikkhu dan telah mencapai ke-Buddha-an. Rahula, anak kakak saya, suami saya (Nanda), ibu saya, dan juga Ibu Rahula, mereka semua telah meninggalkan keduniawian untuk menjadi bhikkhu dan bhikkhuni, sekarang tinggal saya sendiri di sini!"
Setelah merenung demikian dia memutuskan pergi ke vihara dan minta ditahbiskan untuk menjadi seorang bhikkhuni, Ia melakukan itu bukan karena keyakinan tetapi hanya meniru orang lain dan merasa kesepian tinggal seorang diri.
Setelah menjadi bhikkhuni, Rupananda sering mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang ketidakkekalan, sehingga dia berpikir kalau dia bertemu dengan Sang Buddha pasti Beliau akan mencela kecantikannya, sehingga dia berusaha untuk menghindari perjumpaan dengan Sang Buddha. Akan tetapi karena terlalu banyak orang yang memuji mengenai Sang Buddha, akhirnya dia memutuskan untuk bertemu dengan Sang Buddha bersama para bhikkhuni.
Ketika Sang Buddha bertemu dengan Rupananda, Beliau mengetahui dan berpikir, "Duri hanya dapat dikeluarkan dengan duri. Rupananda sangat bangga dan melekat terhadap tubuhnya, sangat sombong akan kecantikannya, dia harus meninggalkan kemelekatan dan kesombongan akan kecantikannya".
Kemudian Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa menciptakan seorang anak gadis yang sangat cantik, berusia kira-kira 16 tahun dan duduk di dekatnya. Anak gadis itu hanya dapat dilihat oleh Sang Buddha dan Rupananda. Ketika Rupananda melihat anak gadis tersebut, Rupananda merasa dirinya hanyalah seekor gagak yang tua dan jelek dibandingkan dengan anak gadis itu, yang terlihat seperti seekor angsa putih yang bersinar cemerlang. Rupananda begitu mengagumi wajah anak gadis tersebut yang sangat cantik jelita. Rupananda memperhatikan sungguh-sungguh anak gadis itu, kemudian dia terkejut karena anak gadis tersebut terus bertambah tua menjadi berusia 20, kemudian bertambah tua, bertambah tua lagi dan menjadi sangat tua.
Anak gadis itu berubah dari anak gadis muda, menjadi setengah baya, tua, dan sangat tua. Rupananda mulai menyadari bahwa timbulnya bayangan baru maka bayangan lama lenyap, Ia mulai menyadari proses perubahan yang terus menerus dan kelapukan dari tubuh. Dengan kesadaran ini, kemelekatan terhadap tubuhnya berkurang. Pada saat itu bayangan anak gadis yang ada di dekat Sang Buddha telah berubah menjadi wanita jompo, tidak dapat lagi mengatur gerak tubuhnya, wanita jompo itu terjatuh dan meninggal dunia. Dari tubuhnya muncul belatung, cairan tubuh keluar dari sembilan lubang, burung gagak dan pemakan bangkai mencabik-cabik bangkai itu. Setelah melihat semua ini, Rupananda merenung, "Gadis muda itu menjadi tua dan jompo kemudian meninggal dunia di sini di hadapan mataku.
Sama halnya dengan tubuhku akan menjadi tua dan rusak, akan merupakan sarang penyakit dan juga akan meninggal dunia." Kemudian Rupananda menyadari akan corak sebenarnya kelompok kehidupan. Pada saat itu Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan ketanpa-intian dari kelompok kehidupan (khandha) dan Rupananda mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 150 berikut: “Kota (tubuh) ini terbuat dari tulang belulang yang dibungkus oleh daging dan darah. Di sinilah terdapat kelapukan dan kematian, kesombongan dan iri hati”. Rupananda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Rahula
7 hari setelah peristiwa Pangeran Nanda ditahbiskan, Sang Buddha disertai 20.000 Arahat, mengunjungi Istana untuk menerima undangan dana Makan. Putri Yasodharà memakaikan pakaian yang indah kepada putranya, Ràhula, yang saat itu berusia 7 tahun [RAPB, buku ke-1, hal. 930]. Setelah sang Buddha duduk, Kemudian, sang Permaisuri, Ibunda Rahula berkata pada anaknya: dan berkata, “Anakku, Itu adalah Ayahmu, temui dan mintalah harta pusaka untukmu".
Kemudian Rahula mendekatiNya; setelah mendekat dan berdiri di depanNya, Ia berkata, "Ayah, bahkan bayangan ayah membuat hatiku senang" Lalu Sang Buddha berdiri dari tempat duduknya dan berangkat. Rahula terus membuntuti dibelakang sang Buddha seraya berkata: "Beri aku warisanku, Pertapa, berikan warisanku, pertapa" Kemudian Sang Buddha berkata pada YM Sāriputta: "Jika demikian, Sāriputta, tahbiskanlah Rahula menjadi samanera (calon Bikkhu)". YM Sariputta menanyakan cara penahbisan dan sang Buddha menyampaikan aturan cara penahbisan calon Bhikkhu, yaitu "dengan mengucapkan 3 perlindungan, setelah: kepala dan janggutnya di cukur, seseorang menyediakan jubahnya, Ia memakai jubah, bernamaskara pada kaki Bhikkhu, duduk mencakupkan tangan mengucapkan 3 perlindungan (Buddha, Dhamma, Sangha) sebanyak 3x". [Penegakkan aturan ini menunjukan bahwa Rahula merupakan samanera pertama di jaman Buddha Gotama]. YM Sariputta kemudian menahbiskannya
[Setelah mendengar kabar bahwa Rahula ditahbiskan] Raja Suddhodana kemudian menemui Sang Buddha; setelah mendekat dan duduk pada jarak terterntu, Ia berkata, "Yang mulia, ijinkan aku memohon satu berkatmu". Sang Buddha, “Namun Aku tidak mengadakan pemberian berkat”. Raja Suddhodana, “Yang mulia, ini adalah apa dapat diijinkan, Ini adalah apa yang tidak tercela” Sang Buddha, “berbicaralah"
Raja Suddhodana, "Tak terkirakan penderitaanku sewaktu engkau meninggalkan rumah untuk menjadi seorang bikkhu. Kemudian belum lama ini, Nanda juga meninggalkanku dan terlalu berat untuk dapat menanggung kehilangan Rahula. Bagi seorang perumah tangga seperti diriku ini, ikatan antara ayah, anak, dan cucu sedemikian pentingnya. Rasa sakit yang kualami di kala engkau pergi bak sebilah pisau mengiris kulitku. Setelah mengiris kulitku, pisau itu mengiris dagingku. Setelah mengiris dagingku, pisau itu tembus hingga ke tulang. Adalah hal yang baik, jika yang mulia tidak membiarkan seorang anak ditahbisan, tanpa seijin orang tuanya". Sang Buddha memenuhi permohonannya dan menetapkan aturan untuk hal tersebut [Vinaya: Mahavagga, Rahula]
Pada suatu harinya setelahnya, Sang Buddha datang ke istana raja untuk menerima dana makan diiringi oleh 20.000 Arahanta, Raja Suddhodana melayani Tathàgata dan Para Arahanta dan menceritakan bahwa di saat perjuangan Sang Buddha sebelum mencapai Buddha, Raja didatangi satu mahluk Deva yang mengabarkan bahwa Pangeran Siddhattha telah meninggal karena kekurangan makanan. Raja menolak kata-kata dewa tersebut karena sangat mempercayai bahwa tidak mungkin putranya meninggal sebelum mencapai kebuddhaan.
Sang Buddha berkata, “Raja, bahkan ketika dikehidupan lampau, sebagai kepala suku Mahà Dhammapàla pun engkau juga menolak kata-kata seorang guru termasyhur, Disàpàmokkha, yang memberitahukan, ‘Putramu, pemuda Dhammapàla meninggal dunia; ini adalah tulang belulang putramu’ sambil memperlihatkan tulang belulang seekor kambing sebagai bukti. Engkau menolak kata-katanya dengan berkata, ‘Dalam suku Dhammapàla kami, tidak ada yang mati dalam usia muda’ Engkau tidak mempercayainya sama sekali”. Kemudian atas permohonan Raja, Sang Buddha menceritakan kisah Mahà Dhammapàla Jàtaka (Jataka no.447) yang setelahnya, beliau lanjutkan dengan penyampaian pokok-pokok Dhamma dari Empat Kesunyataan mulia. Di akhir penjelasan, Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Anàgàmi. [RAPB buku ke-1, hal. 934-935]
Setelah menjadi Samanera, Rahula banyak mendapatkan nasehat dari sang Buddha, misalnya, "Demikian pula, Rāhula, jika seseorang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja (sampajānamusāvāda), maka tidak ada kejahatan, Aku katakan, yang tidak akan ia lakukan. Oleh karenanya, Rāhula, engkau harus berlatih: ‘Aku tidak akan mengucapkan kebohongan bahkan sebagai suatu gurauan” yang dilanjutkan dengan nasehat tentang cermin (ādāso) sebagai refleksi diri (paccavekkhaṇattho), yaitu agar berulang melakukan refleksi/pertimbangan terhadap perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran:
"Rāhula, ketika engkau [ingin/kattukāma, sedang/karomi atau telah/akāsi] melakukan suatu perbuatan [jasmani, ucapan atau pikiran], maka engkau lakukanlah pertimbangan terhadap perbuatan tersebut: ‘Apakah perbuatan yang [ingin, sedang atau telah] kulakukan ini mengarah pada merugikan/menyakiti (byābādhā): diriku, makhluk lain atau keduanya? Apakah ini perbuatan tak bermanfaat yang meningkatkan atau menghasilkan penderitaan (dukkha)?’
Ketika dari refleksi pikiran ini, engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang [ingin, sedang atau telah] kulakukan ini mengarah pada merugikan diriku, mahluk lain atau keduanya' ini adalah perbuatan tak bermanfaat yang meningkatkan atau menghasilkan penderitaan’, maka engkau:
Ketika sang Buddha berada di Alavi, para umat awam datang ke Vihara demi mendengarkan Dhamma, setelah selesai, para bhikkhu thera (senior) kembali ke tempat mereka, namun para bhikkhu pemula/bhikkhu kecil (navaka: baru ditahbiskan, samanera) berbaring di tempat untuk berbaring di aula bersama para umat awam. Para bhikkhu pemula ini tidur secara ceroboh, bertelanjang (atas), bergumam, mendengkur sehingga para umat awam memandang rendah, mengkritik dan kejadian ini tersebar. Para bhikkhu tertentu kemudian berkata, “Bagaimana para bhikkhu ini berbaring di tempat untuk berbaring bersama dengan yang tidak ditahbiskan?". Kemudian sang Buddha menyampaikan aturan bahwa siapapun bhikkhu yang berbaring ditempat untuk berbaring dengan orang yang tidak ditahbiskan adalah pelanggaran pacittiya. [Vinaya, untuk Pacittiya no.5]
Beberapa bhikkhu kemudian, mengaplikasikan aturan ini juga kepada Rahula yang masih samanera, karena walaupun samanera adalah juga petapa namun bukan bhikkhu
6 Pangeran menjadi Bhikkhu
Setelah membantu ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk mencapai tiga tingkat Buah (Sotàpatti-Phala, Sakadàgàmã-Phala, dan Anàgàmã-Phala), Sang Buddha meninggalkan Kapilavatthu diiringi oleh 20.000 ribu Arahanta dan melakukan perjalanan menuju Ràjagaha; setibanya di hutan mangga Anupiya di kerajaan Mala, Buddha menghentikan perjalanan untuk beristirahat.
Ketika itu, 6 bangsawan muda suku Sakya yang rata-rata berusia di atas 35 tahun, yaitu: Bhaddiya sang kepala suku, Anuruddha, Ānanda, Bhagu, Kimbila dan Devadatta memutuskan untuk menjadi siswa Sang Buddha. Mereka pergi meningalkan kapilavastu bersama Upāli si pemangkas rambut sebagai yang ke-7 dengan diiringi 4 barisan bala tentara. Setelah melewati wilayah lain, mereka memulangkan bala tentara itu, Kemudian mereka melepaskan perhiasan, mengikatnya dalam satu buntelan dengan jubah luar, berkata kepada Upāli: “Pergilah, Upāli, pulanglah, ini akan mencukupi untuk kehidupanmu”. Ketika Upāli dalam perjalanan pulang, Ia berpikir, “Orang-orang Sakya kejam, bisa jadi berpikir: ‘Orang ini telah membuat pemuda-pemuda itu meninggalkan keduniawian,’ mereka bahkan mungkin akan membunuhku. Tetapi jika para pemuda Sakya ini akan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, mengapa aku tidak?”
Berpikir itu, Ia kemudian menurunkan buntelan tersebut dan menggantungnya di sebatang pohon, dengan berkata: “Siapa pun yang melihatnya, maka ini diberikan padanya dan boleh diambil”. Ia mendatangi para pemuda Sakya itu dan mereka berkata, “Upali, mengapa, engkau kembali?”. Ia menjawab dengan menceritakan pikirannya itu dan apa yang dilakukannya. Mereka dengan membawa Upāli mereka mendatangi Sang Bhagavā memohon penahbisan dan agar Upali yang terlebih dahulu dapat ditahbiskan sehingga mereka dapat mengurangi kesombongan dengan menjadikan Upali sebagai senior mereka. Dalam 1 tahun setelah penahsbisan, Bhaddiya mencapai 3 pengetahuan (Arahat); Anuruddha mencapai mata dewa yang dapat melihat timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk; Ananda mencapai buah pemasuk arus (Sotapanna) dan Devadatta mencapai kekuatan mental biasa (pothujjanikaṁ iddhiṁ: Jataka no.243 menyatakan sebagai hasil pencapaian jhana: "Devadatta membalas, “...dengan kekuatanku sendiri..dan mencapai 4 tingkat jhāna?”. Catatan kaki vinaya V, hal 414: bahwa kitab komentar A.A. i. 191 menyatakan Devadatta memperoleh 8 pencapaian)
Setelah menetap di Anupiyā selama yang Beliau kehendaki, Sang Bhagavā kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kosambī dan menetap di vihara Ghosita. [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda/KD 17]
Oleh karenanya, Upali menjadi yang terkemuka di antara mereka yang mempelajari Vinaya (aturan kebhikkhuan). Beliau dihormati atas caranya menyelesaikan perselisihan yang seringkali mengganggu Sangha. Sesudah Sang Buddha parinibbana, beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan Ajaran Sang Buddha dengan mengulang Vinaya (peraturan kebhikkhuan) dalam Sidang Agung yang diselenggarakan di bawah pimpinan YA Maha Kassapa.
Tempat Sang Buddha Selama Musim Hujan
Para petapa di India tidak berkelana sepanjang tahun namun hanya 8-9 bulan saja. Selebihnya, mereka akan menetap di suatu tempat selama 3 atau 4 bulan, yaitu selama musim hujan (Vassa). Demikian pula dengan Sang Buddha dan para Muridnya. Vassāna/Musim Hujan dibagi dua, yaitu:
Selama 45 tahun mengajar, sang Buddha menetap bervassa di berbagai tempat, yang tempatnya menurut kitab komentar Buddhavamsa, Madhuratthavilāsinī, Buddhadatta (abad ke-5 M) dan kitab Komentar Duka Nipata, Buddhaghosa (Abad ke-5 M), DPPN dan "The Buddha", Piyadassi Thera, hal.126-130:
Hingga tahun ke-12 kebuddhaan (di Veranja, yang saat itu dilanda masa Paceklik dan kelaparan), Vinaya & Patimokha sebagai aturan tatatertib kebhikkhuan belum ditetapkan Sang Buddha, ini dikarenakan PULUHAN RIBU yang menjadi muridNya, saat itu, semuanya telah mencapai kesucian dan yang terendah adalah sotāpanna [Suttavibhanga Vin.I.3, 2-4]
Bahkan,
Di paruh pertama ke-Buddhan (20 tahun), Vinaya dan Patimokkha-pun, belumlah ditetapkan, untuk itu, di MN.21/Kakacūpama Sutta, Sang Buddha menggambarkan tentang masa-masa menyenangkan, "ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ cittaṃ" [Para bhikkhu, pernah terjadi di satu masa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu]. Buddhaghosa menjelaskan komentarnya di Vinaya, sub bagian parajikakhanda bahwa itu dikatakan terjadi pada 20 tahun pertama ke-Buddhaan:
(1) Ananda menjadi Pembantu tetap Sang Buddha, di tahun ke-20
Pada 20 tahun pertama setelah mencapai penerangan sempurna, Sang Buddha tidak mempunyai seorangpun pendamping/pembantu tetap. Dari waktu ke waktu beberapa Bhikkhu pernah melayaninya, diantaranya adalah: Nāgasamāla, Nāgita, Upavāna, Sunakkhatta, samanera Cunda, Sāgata, Rādha dan Meghiya. Di akhir tahun ke-20, di hadapan sekumpulan Bhikkhu, Sang Buddha mengumumkan bahwa Ia sekarang telah berumur [Ananda dan Sang Buddha adalah sebaya] dan menanyakan apakah ada yang berkehendak untuk menjadi pendamping/pelayan tetapnya, yaitu seorang yang akan menghormati harapannya dalam banyak cara, karena terkadang mereka yang pernah mendampinginya tidak mematuhinya, pernah menjatuhkan mangkok, jubahnya dan juga pergi meninggalkannya.
Semua siswa utamanya, menawarkan diri mereka untuk hal ini, namun ditolak Sang Buddha. Kecuali Ānanda, Ia tidak menawarkan dirinya dan berdiam saja. Ketika ditanya mengapa Ia tidak menawarkan dirinya, ia jawab bahwa Sang Buddha tahu dengan baik siapa yang dikehendakinya. Dan Benarlah, sang Buddha kemudian menyatakan harapannya bahwa Ananda mau melakukannya. Ananda kemudian menyatakan kesediannya jika beberapa syarat yang disampaikannya ini di setujui oleh sang Buddha:
Pada suatu ketika di Jetavana dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha memuji Ananda dan menempatkannya sebagai bhikkhu yang utama dalam lima hal: kepandaian (Bahusacca), ingatan yang kuat (Sati), kelakuan baik (Gati), ketabahan (Dhiti), perhatian penuh dalam pelayanan (Upatthana).
Walaupun demikian, sampai dengan Sang Buddha parinibbana/wafat, Ananda belum juga mencapai tingkat Arahat dan hanya mencapai sotapanna. Tiga bulan setelah wafatnya Sang Buddha yaitu pada Sidang Agung Pertarna di Gua Sattapanni, Rajagaha. Ketika itu, YM Maha Kassapa mengusulkan untuk mengulang kembali Dhamma dan Vinaya, Para bhikkhu arahat meminta YM Kassapa memilih anggota pertemuan tersebut. Beliau memilih 499 Arahat + Ananda yang masih sotapanna karena Ananda telah menerima Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha sendiri.
Ananda menyadari bahwa dirinya satu-satunya peserta yang belum Arahat, kemudian di satu hari sebelum pertemuan, YM Ānanda berpikir: “Besok adalah hari pertemuan, tidak selayaknya bagiku, seorang yang masih berlatih, pergi ke pertemuan itu,”. Setelah melewatkan banyak waktu di malam itu dalam ingatan pada jasmani, ketika malam hampir berlalu, ia berpikir akan berbaring, ketika Ia sedang merebahkan tubuh, yaitu ketika kepala BELUM menyentuh alas tidur dan ketika kaki TELAH terangkat dari tanah.
Di interval waktu itulah, pikirannya terbebaskan dari kekotoran mental (anupādāya āsavehi cittaṃ vimucci) dan keesokan harinya, YM Ānanda, pergi kepertemuan itu sebagai Arahat [Vinaya, Cullavagga XI]. Karena itulah beliau dikatakan sebagai satu-satunya siswa yang mencapai Arahat tanpa empat sikap tubuh (Iriyapatha).
(2) Parajika ke-1 vinaya ditetapkan, sehubungan kasus Bhikkhu Sudinna (belum sotāpanna) dari desa Kalandaka (dekat Vesali). Sang Buddha setelah masa vassa di Veranja(a)(c) berada di Vesali, di sini Sudinna ditahbiskan. Setelah ditahbiskan, Sudinna kemudian tinggal disekitar desa-desa area Vaji (Timurnya Kapilavastu dan Devadaha)(b). Di Vajji ada paceklik dan bencana kelaparan(d) sehingga para bhikkhu sulit berpindapata (mengumpulkan dàna makanan dengan mangkuk di tangan mereka). Karenanya, Sudinna bermaksud menggantungkan hidup pada sanak keluarganya di Vesali (di Timur Kapilavastu), dengan alasan, "Karena aku mereka dapat mempersembahkan dàna dan melakukan kebajikan. Dan para bhikkhu akan memperoleh keuntungan secara materi, dan aku takkan dipersulit dalam hal makanan”.
Di Vesali, keluarganya berusaha membujuknya dengan harta agar kembali ke kehidupan lamanya, namun Ia tidak bergeming. Kemudian, Ibunya memintanya agar diberikan keturunan sebagai pewaris harta keluarga agar tidak direnggut kaum Licchavi. Permohonan sang ibu ini dikabulkannya dan Ia melakukan hubungan seksual dengan istri lamanya, Istri lamanya hamil dan lahirlah anak bernama Bijaka, Ibu anak itu dipanggil Ibu Bijaka (BijakaMata), Sudinna dipanggil teman-temanya: Bapak Bijaka (BijakaPita). Berapa lama kemudian(c), baik Bijaka dan Bijakamata, memutuskan untuk melepas keduniawian menjadi Bhikkhu dan Bhikkhuni dan akhirnya mereka menjadi Arahat.
Sebaliknya Sudinna, Ia dilanda kecemasan dan penyesalan, tubuhnya semakin kurus dan pucat, pembuluh darahnya menonjol di seluruh anggota tubuhnya; Ia menjadi sengsara dan tertekan, teman-temannya sesama Bhikkhu bertanya apa yang melandanya dan Ia akui bahwa Ia menyesal melakukan hubungan seksual setelah menjalani kebhikkhuan. Permasalahan ini kemudian disampaikan kepada sang Buddha yang ketika itu sedang ada di Vesali dan atas kejadian ini, beliau kemudian menetapkan aturan untuk kali pertamanya bahwa barang siapa yang melakukan percabulan maka ia sudah kalah (parajika), tidak lagi dalam sangha [Suttavibhanga Vin.I.3, 2-4]
Note:
(a) Di Veranja adalah masa vassa ke-12. [Kitab komentar Vinaya Parajikakandha].
(b) Sudinna di area Vaji 8 tahun lamanya [Kitab komentar Vinaya Parajikakandha] atau tahun ke-20 keBuddhaan. Aturan parajika ke-1, ditetapkan sang Buddha, juga di Vesali, yaitu di tahun ke-21 (setelah lahirnya anak Sudinna). Vinaya juga menyampaikan bahwa pada masa paceklik di Vajji terjadi Parajika ke-4 (klaim memiliki supranatural agar mudah mendapatkan makanan). Masa Paceklik dan kelaparan (dapat terjadi 12 tahun lamanya, merujuk pada jaman raja Vattagamini, Sri Lanka).
(c) Bhikkhuvibhanga, Vinaya, tidak menyebutkan angka tahun-nya namun di kitab komentar Vinaya dikatakan bahwa Ibu-anak melepas keduniawian 7/8 tahun setelahnya dan mereka menjadi arahat, "Bījakassa kira sattaṭṭhavassakāle tassa mātā bhikkhunīsu so ca bhikkhūsu pabbajitvā kalyāṇamitte upanissāya arahatte patiṭṭhahiṃsu"
(d) Sutta dan Vinaya menyampaikan terdapat beberapa daerah yang terkena bencana kelaparan (Dubbhikkhe), diantaranya:
Dari kejadian di atas, awal vinaya ditetapkan, tampaknya terjadi di tahun ke-21, kemudian dari pelanggaran-pelanggaran berat yang muncul, satu persatu aturan (Parajika dan Sanghadisesa) ditetapkan, maka Vinaya dan Patimokkha pun mulai menemukan bentuknya
Kematian Raja Suddhodana
Banyak tahun telah berlalu ketika Sang Buddha mengunjungi Kapilavatthu untuk pertama kalinya. Kemudian di suatu hari, ketika sang Buddha sedang berada di Vesali, beliau mengetahui bahwa Raja Suddhodana sedang menderita sakit parah dan sudah waktunya untuk wafat. Oleh karenanya, sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu. Raja Suddhodana tentu saja sangat berbahagia dapat melihat Sang Buddha lagi. Di sana sang Buddha memberikan khotbah kepada ayah-Nya dan setelah mendengarkan khotbah tersebut Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat. 7 hari setelah menikmati kedamaian nibbana, Raja Suddhodana wafat.
Mahapajapati Gotami menjadi Bhikkhuni, Sangha Bhikkhuni Terbentuk, Hitungan Mundur Lenyapnya Dhamma sejati
Ketika Raja Suddhodana meninggal, Ratu Mahapajapati Gotami merasa sangat sedih dan kesepian. Ia dan beberapa wanita lain memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan bergabung dengan kelompok Bhikkhu Sang Buddha untuk mempraktekkan Dharma.
Di DN 23/Payasi Sutta, kita akan temukan batas tahun terbentuknya Sangha Bhikkhuni. Sutta itu memuat kisah pertemuan antara YM Kumara Kassapa dengan pangeran Payasi dan beberapa waktu setelah berdana, Pangeran Payasi dan Brahmin muda bernama Uttara wafat. Pangeran Payasi terlahir kembali di alam deva Catumaharajika bertemu dengan YM Gavampati yang sedang berkunjung ke alam itu. Kisah kelahiran YM Kumara Kassappa tercantum dalam Jataka no. 12/Nigrodhamika:
Ibu Kumara Kassapa adalah putri seorang kaya dari Rajagaha. Ia berniat menjadi Bhikkhuni namun tidak diijin orang tuanya, setelah menikah, Ia meminta ijin suami dan diijinkan. Ibu YM Kumara Kassapa diantar suami kekumpulan bhikkhu (sangha) pimpinan Devadatta dan ditahbiskan di sana. Saat menerima penahbisan, Ia tidak tahu dirinya tengah hamil, ketika kehamilannya membesar dan diketahui, mereka melaporkan ini ke Devadatta yang kemudian memutuskan bahwa Ia tidak lagi bhikkhuni dan di usir.
(Ini mengindikasikan, ketika menahbiskan, Devadatta tidak mengikuti aturan attha Garudhamma, akan ada selisih 2 tahun karena calon harus menjalani 6 sila terlebih dahulu sebelum berhak ditahbiskan)
Bhikkhuni muda ini kemudian meminta diantar ke vihara Jetavana (Savatthi, perjalanan sejauh 45 yojana) untuk menetap di sana. Permasalahan ini kemudian dilaporkan ke sang Buddha. Walaupun Sang Buddha tahu kehamilan Bhikkhuni ini terjadi saat menjadi umat awam, namun untuk mencegah kontroversi dan gunjingan lanjutan, beliau mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anathapindika, Visakha dan lainnya untuk menyelidiki hal ini dan akhirnya diketahui bahwa kehamilan telah terjadi SEBELUM Ia ditahbiskan sehingga YM Upali putuskan tidak ada aturan parajika yang dilanggar.
Ketika anak itu lahir raja Pasenadi dari Kosala memeliharannya, Ia diberi nama: Kassapa. Pada usia 7 tahun dikirim ke vihara ditahbiskan menjadi SAMANERA dan ketika ia membawa hidangan kecil seperti buah kepada Sang Buddha, Ia mendapat tambahan nama kumara, sejak itu disebut Kumara Kassapa. Arti kata kumara adalah anak atau pangeran.
Kumara Kassapa ditahbiskan menjadi Bhikkhu diusia 20 tahun yang terhitung sejak dalam kandungan ibunya. [Khandhaka, Mahavaga, Vinaya] dan setelah MN 23/Vammikka Sutta, Ia menjadi Arahat. Komentar Anguttara (AA i.159) menyatakan Sang Buddha memberinya gelar cittakathikānam (trampil dalam menyampaikan pembicaraan) yang dikaitkan dengan pembicaraan Kumara kassapa dengan Pāyāsi,
YM Gavampati wafat menjelang berlangsungnya konsili ke-1, yang diselenggarakan 3 bulan setelah wafatnya sang Buddha.
AN 3.70/Uposatha sutta menyatakan 1 hari di alam TAVATIMSA = 100 tahun di alam Manusia; 1 hari di alam CATUMAHARAJIKA = 50 tahun tahun di alam manusia:
1 jam alam Tavatimsa = 4 tahunan di alam manusia
1 jam alam Catumaharajika = 2 tahunan di alam manusia.
Penahbisan Mahapaja Gotami menjadi Bhikkhuni bisa jadi di tahun ke-21/22, dan Sangha Bhikkhuni terbentuk di tahun ke-23/24, maka saat Kumara kassapa ditahbiskan menjadi bhikkhu di usia 20 yang terhitung sejak dalam kandungan adalah di tahun ke-42/43. Ia mencapai Arahat setelah Vammika Sutta dan bertemu Payasi sebelum wafatnya Payasi. Terdapat selisih ± 2/3 tahunan antara wafatnya YM Gavampati dan 1 jam kelahiran kembali Pangeran Payasi di alam Catumaharajika.
Sehingga Sangha Bhikkhuni terbentuk paling telat di tahun ke-24 KeBuddhaan
Sang Buddha menaklukan Angulimala
Setelah tahun ke-20 masa KeBuddhaan, di kerajaan Kosala muncul bandit bernama Ahimsaka pembunuh kejam yang terus-menerus membunuh orang desa, kota dan wilayah-wilayah dan menggunakan jari (anguli) korbannya sebagai kalung (māla) sehingga dijuluki Angulimāla.
Ahimsaka adalah pelajar di Taxila yang tinggal bersama gurunya. Teman-temannya cemburu karena Ahimsaka selain amat pandai juga kesayangan gurunya. Mereka kemudian, membagi diri menjadi 3 kelompok: Kelompok ke-1 memberitahukan kepada guru mereka bahwa Ahimsaka telah melakukan hal tidak pantas dengan istri guru. Kelompok ke-2 dan ke-3, saling membenarkan apa yang dikatakan kelompok ke-1. Karena gurunya masih tidak percaya, mereka meminta guru mereka membuktikannya sendiri. Di suatu hari, Guru Ahimsaka melihat istrinya berbicara ramah kepada Ahimsaka, ini membuatnya percaya pernyataan mereka dan berniat melenyapkan Ahimsaka tidak secara terbuka karena takut tidak ada lagi murid yang mau berguru kepadanya. Sang guru berkata pada Ahimsaka: "Muridku, aku tidak sanggup lagi mengajarimu ilmu lebih lanjut, kecuali kamu mengumpulkan 1000 jari tangan kanan manusia sebagai biaya pendidikanmu.". Harapan sang guru, ketika Ahimsaka melakukannya, Ia akan ditangkap karena kejahatan membunuh. Ahimsaka berulang kali memohon agar dapat membayar dengan cara lain, tetapi gurunya tetap pendirian, Karena jika menolak takut mendapat kutukan, maka ia persenjatai diri, masuk hutan Jalini, Kosala dan mulai mengumpulkan jari tangan manusia sesuai permintaan guru. [Note: Guru daksina (upah guru) berupa jari tangan, muncul di Mahabharata, ketika Drona meminta ibu jari Ekalavya sebagai upah mengajarinya memanah]
Karena banyak pembunuhan, banyak orang berkumpul di gerbang istana Raja Pasenadi, gaduh dan berisik berteriak: “Baginda, bandit Angulimāla di wilayahmu adalah pembunuh kejam yang terus-menerus membunuh orang desa, kota dan wilayah-wilayah dan menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Raja harus menangkapnya", Raja kemudian menyiapkan 500 prajurit untuk menangkap bandit tersebut. Ayah Angulimala, yaitu Bhramana Gagga adalah penasehat kerajaan Kosala, tahu bahwa bandit kejam itu adalah anaknya sendiri dan Ia memberitahu istrinya, Mantani, Ibu Ahimsaka, yang menjadi khawatir akan nasib anaknya, kemudian pergi mencari Ahimsaka untuk memberitahu bahwa kerajaan hendak menangkapnya dan agar anaknya berhenti melakukan pembunuhan
Pada saat itu, Sang Buddha berada di Vihara Jetavana, dengan Mata Buddhanya, beliau mengetahui bahwa karma Angulimala sudah masak, dapat menjadi Bhikkhu dan mencapai kesucian Arahat pada kehidupan ini sementara itu, Ibu Angulimala dapat terbunuh apabila Angulimala melihatnya, karena sudah amat ingin melengkapi untaian jari yang diminta gurunya. Pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarNya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Setelah berkeliling menerima dana makanan, kembali dan setelah makan, Beliau merapikan tempat tinggalNya, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, berjalan ke arah sarang Angulimāla. Para penggembala sapi, penggembala kambing, pekerja-pekerja bajak, dan para pejalan kaki melihat Sang Bhagavā berjalan ke arah sarang Angulimāla dan berkata: "Jangan melewati jalan ini, Petapa. Di jalan ini, ada bandit Angulimāla di wilayahmu adalah pembunuh kejam yang terus-menerus membunuh orang desa, kota dan wilayah-wilayah dan menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah 10, 20, 30, dan bahkan 40, tetapi mereka masih jatuh ke tangan Angulimāla". Ketika ini diucapkan, Sang Bhagavā tetap berlalu dengan berdiam diri. Mereka mengulanginya sampai 3x, Sang Bhagavā tetap berlalu dengan berdiam diri.
Dari jauh bandit Angulimāla melihat Sang Bhagavā datang. Ketika ia melihat Beliau, ia berpikir: "Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah 10, 20, 30, dan bahkan 40, tetapi mereka masih jatuh ke tanganku. Tetapi sekarang petapa ini datang sendirian, tanpa teman, seolah-olah memaksakan diri. Mengapa aku tidak mengambil nyawa petapa ini?" Angulimāla kemudian mengambil pedang dan tamengnya, mengikat busur dan sarung anak panah, dan mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.
Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan mentalNya sehingga secepat apapun bandit Angulimāla berlari, tidak dapat mengejar Sang Bhagavā, yang berjalan dengan kecepatan biasa. Kemudian bandit Angulimāla berpikir: "Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Sebelumnya aku bahkan mampu mengejar gajah yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kuda yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kereta yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar rusa yang tercepat dan menangkapnya; tetapi sekarang, walaupun aku berlari secepat yang aku mampu, namun tidak dapat mengejar Petapa ini, yang berjalan dengan kecepatan biasa!” Ia berhenti dan berteriak kepada Sang Bhagavā: “Berhenti, Petapa! Berhenti, Petapa!". Sang Buddha berkata, "Aku telah berhenti, Angulimala, engkau pun juga berhentilah" (Ṭhito ahaṃ, aṅgulimāla, tvañca tiṭṭhā”ti)
Kemudian bandit Angulimāla berpikir: “Para Petapa ini, putera-putera suku Sakya, mengatakan yang sebenarnya, menegaskan kebenaran; tetapi walaupun petapa ini masih berjalan, ia mengatakan: ‘Aku telah berhenti, Angulimāla, Engkau juga berhentilah.’ Aku akan menanyai petapa ini.”. Kemudian bandit Angulimāla berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair sebagai berikut:
"Selagi engkau berjalan, petapa, engkau berkata bahwa engkau telah berhenti;
Tetapi sekarang, ketika aku telah berhenti, engkau berkata bahwa aku belum berhenti.
Aku bertanya kepadamu, O Petapa, mengenai makna:
Bagaimanakah bahwa Engkau telah berhenti dan aku belum?”
Sang Bhagava: “Angulimāla, Aku telah berhenti untuk selamanya, Aku menghindari kekerasan terhadap makhluk-makhluk hidup; Tetapi engkau tidak memiliki pengendalian terhadap segala sesuatu yang hidup: Itulah mengapa Aku telah berhenti dan engkau belum.” [Note: Jawaban Sang Buddha dengan kata "ṭhito" (arti literal: diam) adalah bahwa pikiranNya telah berhenti menciptakan bentukan karma baru, Karena Angulimala masih melakukan pembunuhan, maka ia belumlah berhenti menciptakan karma baru]
Angulimala terhenyak dan kemudian berkata: "Oh, setelah sekian lama Petapa ini, seorang bijaksana terhormat, Telah datang ke hutan ini demi kesejahteraanku. Setelah mendengar syairMu mengajarkan aku Dhamma, Aku akan meninggalkan kejahatan selamanya."
Setelah mengatakan hal itu, bandit ini mengambil pedang dan senjata-senjatanya dan melemparkannya ke dalam celah dalam; Sang bandit menyembah kaki Yang Tertinggi, dan pada saat itu dan di tempat itu juga memohon penahbisan. Yang Tercerahkan, Sang Bijaksana yang penuh belas kasih, Sang Guru dunia bersama dengan pada dewa, Berkata kepadanya, "Datanglah, bhikkhu". Dan demikianlah ia menjadi seorang bhikkhu. Kemudian Sang Bhagavā berjalan kembali ke Sāvatthī bersama dengan Angulimāla sebagai pelayanNya. Berjalan setahap demi setahap sampai Sāvatthi, menetap di di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
Saat itu, Raja pasenadi dari kosala disertai dengan 500 pasukan berkuda melakukan perjalan menemui Sang Buddha dan berkeluh kesah bahwa di kerajaanya terdapat seorang Pembunuh yang meresahkan warga namun tidak pernah berhasil ditumpasnya. Sang Buddha berkata, "Baginda, seandainya engkau melihat Angulimāla mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalani kehidupan tanpa rumah; bahwa ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan dan menghindari ucapan salah; makan sekali sehari, dan menjalani kehidupan brahma (brahmacariya), bermoral, bersikap baik. Jika engkau melihatnya demikian, bagaimanakah engkau memperlakukannya?".Raja: "Yang Mulia, kami akan memberi hormat kepadanya, atau bangkit untuknya atau mengundangnya untuk duduk,; atau kami akan mengundangnya untuk menerima jubah, dana makanan, tempat peristirahatan, atau obat-obatan; atau kami akan menyediakan penjagaan, pertahanan, dan perlindungan. Tetapi, Yang Mulia, bagaimana mungkin seorang yang tidak bermoral demikian, seorang yang bersifat jahat, mungkin memiliki moralitas dan pengendalian seperti itu?"
Sang Buddha kemudian mengulurkan tangan kanannya dan berkata kepada Raja Pasenadi dari Kosala: "Raja Yang agung, inilah Angulimala". Raja Pasenadi menjadi ketakutan dan sang Buddha menenangkan beliau bahwa tidak ada yang perlu ditakuti lagi darinya. Kemudian, Raja Pasenadi, berencana hendak menyediakan jubah, dana makanan, tempat istirahat, dan kebutuhan-kebutuhan obat sebagaimana diberikan pada para bhikkhu dan pertapa kepada Angulimala, namun karena Angulimala adalah petapa hutan ia mengatakan "tiga jubahku sudah lengkap". Raja Pasenandi menjadi kagum dan berkata: "Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, sungguh mengagumkan bagaimana Bhagavā menjinakkan yang belum jinak, membawa kedamaian bagi yang tidak damai, dan menuntun ke nibbāna bagi mereka yang belum nibbāna. Yang Mulia, kami sendiri tidak mampu menjinakkannya dengan kekerasan dan senjata., namun Sang Bhagavā menjinakkannya tanpa menggunakan kekerasan dan senjata. Dan sekarang, Yang Mulia, kami pamit"
Di suatu pagi, Y.M. Angulimala tengah pergi Ke Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Ketika itu, beliau melihat seorang perempuan sedang kesulitan melahirkan anak dan berpikir, "Betapa menderitanya para makhluk! Sungguh, betapa menderitanya para makhluk!”. Ia kemudian menyampaikan hal ini pada Sang Buddha. sang Buddha kemudian berkata, "Kalau begitu, Angulimala, pergilah ke Savatthi dan katakan kepada perempuan itu: 'Saudari, sejak saya terlahir (yato haṃ bhagini jāto), saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera'". Rupanya Angulimala tidak menyadari makna kalimat itu, dan menyatakan pada sang Buddha, "Guru, apakah saya tidak menceritakan kebohongan yang disengaja, karena toh dengan sengaja saya telah membunuh banyak makhluk hidup?". Sang Buddha kemudian berkata, "Kalau begitu, Agulimala, pergilah ke Savatthi dan katakan kepada perempuan itu: 'Saudari, sejak saya terlahir sebagai kelahiran mulia (yato haṃ bhagini ariyāya jātiyā jāto), saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera!'". Kemudian Angulimala menuju Savatthi dan menyatakan kalimat itu, kemudian perempuan itu menjadi mudah melahirkan dan bayinya sejahtera.
Di suatu pagi, Y.M. Angulimala berpakaian, mengambil mangkuk serta jubah luarnya, dan pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Ketka itu, seseorang melempar tongkat yang mengenai tubuhnya, lalu orang lain melempar pecahan tembikar yang mengenai tubuhnya. Kemudian, dengan darah yang mengalir dari kepalanya yang terluka, dengan mangkuknya yang pecah dan jubah luarnya yang robek, Y.M. Angulimala menemui Sang Buddha. Melihatnya datang, sang Buddha dari kejauhan berkata: “Tanggunglah, brahmana! Tanggunglah, brahmana! Engkau mengalami di sini dan kini akibat tindakan-tindakan yang karenanya engkau mungkin di siksa di neraka selama bertahun tahun selama beratus-ratus tahun, selama beribu-ribu tahun. [Note: Berbuahnya karma dapat di kehidupan saat ini, atau kehidupan berikutnya dan juga di beberapa kehidupan berikutnya, karena telah mencapai arahat dan tidak lagi terlahir, maka dua jenis buah karma berikutnya tidak dialaminya, namun masih mengalami jenis yang pertama]
Y.M Angulimala hidup menyendiri, menikmati kebahagiaan kebebasan, mengucapkan pernyataan-pernyataan kebijaksanaan, dan parinibbana [Sumber: MN 86/Angulimala Sutta, Theragata 16.7/Aṅgulimālattheragāthā, Komentar Dhammapada Syair 173 dan lihat juga: Vinaya Mahavagga]
Skema jahat Devadatta
Setelah penahbisan 6 pangeran dan Upali menjadi Bhikkhu, Sang Bhagavā, dari Anupiyā pergi menuju Kosambī dan menetap di vihara Ghosita. Di Vihara itu, ketika Devadatta sedang bermeditasi di dalam kamarnya suatu pemikiran muncul: "Siapa yang dapat saya bantu, sehingga karena Ia senang terhadapku, maka banyak banyak keuntungan dan kemasyhuran diperolehku?. Pangeran Ajātasattu masih muda dan memiliki masa depan cerah. Bagaimana jika aku membuatnya senang, sehingga karena ia senang, maka aku akan dapat memperoleh banyak keuntungan dan kemasyhuran?”
Kemudian Devadatta, setelah merapikan tempat tinggalnya, dengan membawa mangkuk dan jubahnya, pergi menuju Rājagaha; Kemudian Ia mengubah wujud menjadi anak kecil dengan sabuk ular dan muncul di pangkuan Pangeran Ajātasattu, yang akibatnya membuat pangerang, menjadi ketakutan, gelisah. Kemudian Devadatta berkata: “Apakah engkau takut padaku, Pangeran?”
“Ya, aku takut. Siapakah engkau?”
“Aku Devadatta.”
“Jika engkau, Yang Mulia, adalah sungguh Guru Devadatta, mohon engkau kembali ke wujudmu semula.” Kemudian Devadatta kembali kewujud semulanya dengan jubah dan membawa mangkuknya. Pangeran Ajātasattu, yang sangat senang melihat kekuatan mental Devadatta, pagi dan malam melayaninya dengan 500 kereta, dan 500 persembahan nasi susu kepadanya. Kemudian Devadatta yang pikirannya dikuasai perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, kemudian muncul keinginan: “Adalah aku yang akan memimpin perkumpulan para bhikkhu” Setelah berpikir demikian, kekuatan mental Devadatta menjadi merosot. Pemikiran Devadatta yang berakibat kemerosotan dalam kekuatan batinnya, diketahui oleh Kakudha dari suku Koliya, pelayan YM Moggallāna, yang baru saja wafat dan terlahir menjadi dewa ciptaan-pikiran dan memberitahukan kepada YM Moggallana yang kemudian menyampaikannya kepada Sang Buddha. [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]
Kemudian di Rajagaha, ketika Sang Bhagavā sedang duduk membabarkan dhamma dengan dikelilingi banyak pengikut, termasuk sang raja. Devadatta bangkit dari duduknya, setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā dengan merangkapkan tangan, berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sekarang Sang Bhagavā sudah tua, jompo, didera bertahun-tahun, Beliau telah menjalani umur kehidupanNya dan menjelang akhir hidupNya ; Yang Mulia, sudilah Yang Mulia sekarang merasa puas dengan kediaman nyaman di sini dan saat ini, sudilah Beliau menyerahkan kumpulan para bhikkhu ini kepadaku. Adalah aku yang akan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.”
Sang Buddha:
“Cukup, Devadatta, jangan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.”
Dan untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya Devadatta berkata kepada Sang Bhagavā seperti diatas
Sang Buddha:
“Aku, Devadatta, tidak dapat menyerahkan kumpulan para bhikkhu ini bahkan kepada Sāriputta dan Moggallāna. Bagaimana mungkin Aku menyerahkannya kepadamu, sebagai si malang yang dimuntahkan bagai ludah?”
Devadatta berpikir: “Sang Bhagavā dalam suatu pertemuan yang melibatkan seorang raja menghinaku dengan istilah, 'seseorang yang dimuntahkan seperti ludah,' sementara ia memuji Sāriputta dan Moggallāna,”. Karena marah dan tidak senang, Devadatta kemudian berpamitan kepada Sang Bhagavā. Ini adalah kali pertama Devadatta merasa dengki/benci terhadap Sang Bhagavā
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Jika demikian, para bhikkhu, biarlah Sangha melakukan tindakan (resmi) Informasi sehubungan dengan Devadatta di Rājagaha bahwa Devadatta sekarang berubah; apa pun yang dilakukan Devadatta melalui tindakan atau ucapan, maka Sang Tathāgata, dhamma atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab. Kemudian Sangha, menunjuk Sariputta, agar menyampaikan keputusan sangha berupa tindakan resmi tentang informasi sehubungan dengan Devadatta di Rājagaha
Kemudian Devadatta mendatangi Pangeran Ajatasattu dan berkata: “Dulu, pangeran, orang-orang berumur panjang, sekarang mereka berumur pendek, dan adalah mungkin bahwa engkau, selagi masih menjadi pangeran, meninggal dunia, sekarang engkau, pangeran, setelah membunuh ayahmu, engkau akan menjadi raja. Aku, setelah membunuh Sang Bhagavā, aku menjadi Yang Tercerahkan”
Pangeran Ajātasattu berpikir: “Guru Devadatta memiliki kekuatan mental yang luar biasa, keagungan yang luar biasa; Guru Devadatta pasti mengetahui (apa yang benar)”. Ia kemudian berusaha membunuh ayahnya dengan belati namun ketahuan. Raja diberitahu mengenai kejadian ini, raja Seniya Bimbisara berkata kepada Pangeran Ajātasattu: “Mengapa engkau, ingin membunuhku?” Pangeran Ajātasattu: “Aku menginginkan kerajaan, Yang Mulia”. Raja kemudian menyerahkan tahtanya kepada Pangeran Ajātasattu [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]. Setelah naik tahta, Raja Ajātasattu, memenjarakan ayahnya dan menyiksanya hingga tewas. Bimbisara memerintah selama 52 tahun sejak usia 15 tahun [DPPN]. Usia Bimbisara lebih muda 5 tahun dari Sang Buddha [Mhv, II.26]. Ketika sang Buddha wafat, adalah tahun ke-8 pemerintahan Ajatasattu [Mhv, II.32]. Bimbisara wafat diusia 67 tahun.
Devadatta berusaha membunuh Sang Buddha
Kemudian Devadatta mendatangi Raja Ajàtasattu dan memintanya mengirimkan beberapa orang untuk membunuh Buddha. Raja mengirimkan beberapa pembunuh kepada Devadatta dengan pesan agar mematuhi instruksi gurunya.
Melihatnya, Buddha berkata, “Kemarilah, sahabat, jangan takut”
Kemudian orang itu, setelah mengesampingkan pedang dan tamengnya ke satu sisi, setelah menurunkan busur dan kantung anak panah, mendekati Sang Bhagavā, mencondongkan kepalanya ke kaki Sang Bhagavā, Ia menyatakan penyesalannya atas kesalahannya dan memohon Sang Buddha menerima pengakuannya sebagai pelanggaran demi pengendalian dirinya di masa depan. Kemudian Sang Bhagavā membabarkan khotbah bertahap kepada orang ini, yaitu, kedermawanan, perilaku bermoral, alam surga … penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan Sang Jalan. Selagi orang itu duduk, Ia mencapai Sotapanna dan kemudian menyatakan diri berlindung kepada Buddha dhamma dan Sangha dan memohon diterima sebagai umat awam yang telah menerima perlindungan sejak saat itu.
Kemudian Buddha mempersilakan orang itu pergi dengan memberitahunya agar tidak melalui jalan yang diperintahkan oleh Devadatta tetapi melalui jalan lainnya.
Kemudian kelompok dua orang itu, berpikir: “Mengapa orang itu yang sendirian begitu lambat datang ke sini?” pergi untuk menjumpainya dan melihat Sang Bhagavā duduk di bawah sebatang pohon. Melihat Beliau, mereka mendekati Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak yang selayaknya. Sang Bhagavā membabarkan khotbah bertahap kepada kedua orang itu … mereka berhasil mencapai Buah Sotàpatti seperti halnya orang pertama, kemudian menyatakan diri berlindung kepada Buddha dhamma dan Sangha dan memohon diterima sebagai umat awam yang telah menerima perlindungan sejak saat itu.
Kemudian, Sang Buddha mempersilakan mereka pergi, dan memberitahu mereka agar melalui jalan lain.
Kemudian 4 orang (dari kelompok ketiga)…
Kemudian 8 orang (dari kelompok keempat)…
Kemudian 16 orang (dari kelompok kelima)…
Kemudian orang pertama mendatangi Devadatta dan berkata, “Tuan, aku tidak dapat membunuh Sang Bhagavā, Beliau sangat sakti.” Devadatta berkata, “Cukup! Jangan membunuh Petapa Gotama. Aku sendiri yang akan membunuh Petapa Gotama” [Vinaya, Cullavagga, SanghaBheda dan RAPB buku ke-2 hal. 1790 - 1798]
Sekarang Devadatta memutuskan untuk membunuh Sang Buddha. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang berjalan mondar-mandir di bawah keteduhan Puncak Gunung Nasar. Kemudian Devadatta, setelah mendaki Puncak Gunung Nasar melemparkan sebuah batu besar ke bawah, dengan berpikir: “Dengan ini aku akan membunuh Petapa Gotama.” Tetapi dua gundukan tanah muncul dengan sendirinya menahan laju batu itu, menghancurkan batu itu, dan sepotong kecil pecahannya, mengenai kaki Sang Bhagavā hingga berdarah [Seorang Buddha tidak dapat dibunuh/ilukai mahluk manapun (SnP 1.10, 2.5), terlukanya beliau akibat masaknya kamma lampau beliau (Tha Ap.392)]. [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]. Sang Buddha kembali ke vihara dan dirawat oleh dokter terkenal, Jivaka [tentang Tabib Jivaka, Lihat: Tabib Jivaka, Para Pelacur, Kathina dan Ayur-Veda!].
Seekor gajah yang buas dijinakkan oleh cinta kasih
Pada saat itu ada seekor gajah buas di Rājagaha, gajah pembunuh-manusia, bernama Nālāgiri. Kemudian Devadatta, setelah memasuki Rājagaha, setelah pergi ke kandang gajah, berkata kepada para pawang gajah sebagai berikut: “Kami, sahabat, adalah sahabat raja. Kami mampu menaikkan jabatan seseorang yang berjabatan rendah dan memberikan kenaikan upah dan makanan. Sekarang, sahabat, ketika Petapa Gotama berjalan melalui jalan kereta ini, maka, setelah melepaskan gajah Nālāgiri ini, bawalah ia ke jalan kereta ini.”
“Baiklah, Tuan,” para pawang gajah itu menjawab Devadatta.
Kemudian Sang Bhagavā, setelah merapikan jubah di pagi hari, dengan membawa mangkuk dan jubahNya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan bersama dengan beberapa bhikkhu. Kemudian Sang Bhagavā berjalan melalui jalan kereta. Kemudian para pawang gajah itu melihat Sang Bhagavā berjalan melalui jalan kereta itu; melihat Beliau, setelah melepaskan gajah Nālāgiri, mereka membawanya ke jalan kereta. Gajah Nālāgiri melihat Sang Bhagavā datang dari jauh; melihat Beliau, setelah mengangkat belalainya, ia berlari menuju Sang Bhagavā, telinga dan ekornya tegak. Kemudian Sang Bhagavā melingkupi gajah Nālāgiri dengan pikiran cinta kasih. Kemudian gajah Nālāgiri, yang terlingkupi oleh pikiran cinta kasih dari Sang Bhagavā, setelah menurunkan belalainya, mendekati Sang Bhagavā; setelah mendekat, ia berdiri di hadapan Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā menepuk kening gajah Nālāgiri dengan tangan kananNya, berkata kepada gajah Nālāgiri dengan syair sebagai berikut:
Jangan gajah, menyerang gajah (di antara manusia), karena serangan gajah (di antara manusia) sungguh menyakitkan, Karena tidak ada tujuan yang baik, bagi pembunuh gajah (di antara manusia) ketika ia telah menyeberang. Jangan sombong, jangan ceroboh, karena mereka yang ceroboh tidak akan pergi menuju tujuan yang baik; Hanya itu yang harus engkau lakukan yang dengannya engkau akan pergi menuju tujuan yang baik”
Kemudian gajah Nālāgiri, setelah meniup debu dari kaki Sang Bhagavā dengan belalainya, setelah menebarkannya di atas kepalanya, mundur berlutut sambil menatap Sang Bhagavā. kembali ke kandangnya. Pada saat itu orang-orang menyanyikan syair ini:
“Beberapa dijinakkan dengan kayu, dengan tongkat kendali dan cambuk, Gajah itu dijinakkan oleh Sang Bijaksana Agung tanpa tongkat, tanpa senjata” . [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]
Usaha Devadatta membunuh Sang Buddha menuai banyak kecaman, mereka juga menyalahkan Raja Ajàtasattu, “Devadatta menyebabkan kematian Raja Bimbisàra kita, mengirimkan para pembunuh, menjatuhkan batu; dan sekarang mengirim Gajah Nalagiri untuk membunuh Sang Buddha, namun penjahat seperti ini diangkat guru oleh Raja Ajàtasattu dan selalu bersamanya.”. Ketika Raja Ajàtasattu mendengar kecaman banyak orang, ia memerintahkan untuk menarik persembahan rutin 500 kendi makanan kepada Devadatta dan berhenti mengunjunginya. Para penduduk juga, berhenti mempersembahkan makanan kepada Devadatta yang mengunjungi rumah mereka untuk mengumpulkan makanan. [RAPB, buku ke-2, hal. 1808]
Sang Buddha memperingati Devadatta dan Perpecahan Sangha
Devadatta melihat perolehannya semakin berkurang hari demi hari, Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu hal dramatis demi penghidupannya.
Kemudian Devadatta mendatangi Kokālika, Kaṭamorakatissaka (putera Nyonya Khaṇḍā), dan Samuddadatta: “Yang Mulia, Marilah, kita memecah-belah Saṅgha Petapa Gotama dan merusak kerukunan..Kita menghadap pada petapa Gotama dan meminta pañca vatthūni (5 poin) dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, dalam berbagai cara Yang Mulia memuji sedikit keinginan, merasa puas, melenyapkan (keburukan), berhati-hati, berbelas kasih, mengurangi (rintangan-rintangan), mengerahkan kegigihan. Yang Mulia, 5 poin ini berperan besar dalam hal sedikit keinginan,…, mengerahkan kegigihan. Baik sekali, Yang Mulia, jika para bhikkhu, seumur hidup mereka harus:
Kemudian Devadatta bersama dengan teman-temannya menghadap Sang Bhagavā dan menyampaikan hal tersebut. Sang Buddha berkata: ”Cukup, Devadatta, Siapa pun yang menghendaki, Ia:
Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Devadatta: “Benarkah, seperti dikatakan, bahwa engkau, Devadatta, memecah-belah Saṅgha, menghancurkan kerukunan?”. Devadatta: “Benar, Yang Mulia”. Sang Buddha: “Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena ini berakibat sangat serius. Siapa pun yang memecah Saṅgha yang bersatu, Ia membentuk keburukan yang bertahan selama 1 kappa; Ia menderita di neraka selama 1 kappa; tetapi siapa pun, Devadatta, yang merukunkan Saṅgha yang terpecah, maka ia membentuk kebajikan luhur, Ia bergembira di alam surga selama 1 kappa. Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena ini berakibat sangat serius”
Di hari Uposatha itu (hari ke-14/15 setelah bulan baru), Devadatta membagikan kupon suara, dengan mengatakan: “Yang Mulia, Kami, setelah menghadap Petapa Gotama, memohon ke-5 hal ini … Petapa Gotama tidak menyetujui ke-5 hal ini, tetapi kami akan hidup dengan menjalankan ke5 hal ini. Jika ke-5 hal ini sesuai dengan kehendak Yang Mulia, silakan masing-masing mengambil satu kupon suara”. Saat itu sebanyak 500 bhikkhu, yaitu para orang Vajji dari Vesālī, yang baru saja ditahbiskan dan masih belum berpengalaman berpikir: “Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru (satthusāsanan”ti),” mereka mengambil kupon suara. Kemudian Devadatta, setelah memecah sangha, bersama 500 bhikkhu ini, menuju Gayāsisa [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]
500 bhikkhu yang bersama Devadatta kembali kepada Sang Buddha
YM Sāriputta dan Moggallāna menghadap pada Sang Bhagavā dan YM Sāriputta menyampaikan bahwa Devadatta, setelah memecah-belah Saṅgha, pergi ke Gayāsisa dengan membawa 500 bhikkhu. Sang Buddha kemudian mengutus Sāriputta dan Moggallāna ke Gayāsisa untuk mengajarkan Dhamma kepada ke-500 bhikkhu yang dibawa Devadatta tersebut. Ketika itu, Devadatta, dengan dikelilingi sejumlah besar pengikutnya, sedang mengajarkan dhamma, melihat kedatangan mereka, Ia berkata: “Lihatlah, para bhikkhu, betapa baiknya dhamma yang kuajarkan sehingga bahkan Sāriputta dan Moggallāna – datang untuk membenarkan dhammaku”. Kokālika mengingatkan Devadatta agar mewaspadai kedatangan mereka, namun diabaikannya. Devadatta kemudian mengundang Sāriputta untuk duduk pada setengah tempat duduknya. Namun ditolaknya dan mengambil tempat duduk lainnya, demikian pula dengan Moggallāna.
Devadatta, setelah menggembirakan, menyenangkan, membangkitkan semangat, membahagiakan para bhikkhu hingga larut malam dengan khotbah dhammanya, Ia berkata pada YM Sāriputta: "Sudilah engkau, YM Sāriputta untuk membabarkan dhamma kepada para bhikkhu. Punggungku sakit dan aku akan meregangkannya”. YM Sariputta menyetujuinya. Kemudian Devadatta, setelah melipat 4 jubah luarnya, Ia berbaring namun karena lelah, Ia lengah dalam ingatan dan lalai (muṭṭhassatissa asampajānassa), tidak berapa lama, Ia jatuh terlelap dalam tidur.
YM Sāriputta kemudian memberikan khotbah dhamma tentang membaca-pikiran sedangkan YM Moggallāna memberikan khotbah dhamma tentang kekuatan mental. Setelah mendengarkan kotbah-kotbah tersebut, munculah pada diri ke-500 Bhikkhu tersebut suatu penglihatan-dhamma, yang tanpa debu, tanpa noda bahwa “segala sesuatu yang muncul akan lenyap”. YM Sāriputta kemudian mengajak ke-500 Bhikkhu tersebut untuk menghadap Sang Bhagavā.
Kemudian Kokālika membangunkan Devadatta mengabarkan bahwa para bhikkhu itu telah diambil alih oleh Sāriputta dan Moggallāna dan menyesali mengapa Devadatta mengabaikan peringatannya untuk tidak mempercayai mereka. [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]
Kitab komentar menyampaikan Ketika Devadatta terbangun dan mengetahui bahwa ke-500 bhikkhu telah diambil alih, Ia kemudian muntah darah dan jatuh sakit. Setelah menderita sakit selama 9 bulan, dia meminta murid-muridnya untuk membawanya menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika Devadatta dan rombongannya mencapai kolam di dekat Vihara Jetavana, para pengangkutnya meletakkan tandu tempat berbaringnya di tepi kolam, dan mereka pergi mandi. Devadatta bangun dari tempat berbaringnya, dan menaruhkan kedua kakinya di tanah. Pada saat itu juga kakinya masuk ke dalam bumi, dan sedikit demi sedikit dia ditelan bumi [Jatakan no.240, 404, 422, 457, 518]. Setelah kematiannya, dia terlahir di Neraka Avici [Kitab komentar untuk Jataka no. 466; RAPB, Buku ke-2, hal 1818-1820]. Setelah penderitaan di neraka Avici selama 100.000 Kappa, Devadatta akan terlahir kembali dan menjadi Pacceka Buddha dengan nama Atthissara. ["So hi ito satasahassakappamatthake aṭṭhissaro nāma paccekabuddho bhavissati" Kitab komentar Dhammapada: Devadattavatthu dan RAPB, buku ke-2, hal.1820]. Namun sutta menyatakan lamanya Devadatta di Neraka [Iti no.89, yaitu avici] hanya 1 kappa [Iti no.89, MN 58 dan Milianda Panha:Mendakopanho]
YM Sāriputta berkata kepada Sang Buddha agar para bhikkhu yang terlibat dalam perpecahan tersebut dapat ditahbiskan kembali, namun sang Buddha menyatakan bahwa para Bhikkhu ini tidak terlibat dalam perpecahan sangha.
Pergesekan Dengan Sekte Lainnya
Seiring makin banyaknya pengikut Sang Buddha, terjadilah gesekan dengan pengikut ajaran lain:
Pada saat itu, Sang Bhagavā dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan Beliau memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Bhikkhu Saṅgha juga dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan para bhikkhu juga memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Tetapi para pengembara dari sekte lain tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dimuliakan, tidak disembah, dan tidak dipuja, dan mereka tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. [UD 2.4, Ud 4.8, SN 12.70]
Menjatuhkan Sang Buddha (Ciñca Māṇavikā - Petapa Wanita Pengembara Sundari)
"Ciñca māṇavikā" berarti "Cinca, si wanita muda" dan "Sundari" berarti "cantik". Ada kemungkinan, Cinca dan Sundari orang yang sama (Leon Feer dalam studi comparative tentang Ciñcā and Sundarī di "Journal Asiatique Mar-Apr 1897", berpendapat bahwa Cinca dan Sundari berasal dari satu kejadian). Nama Cinca muncul dalam syair Jataka no. 472 (Kisah kehidupan lalu Bodhisatta, “..Ciñcamāṇavikā mātā, devadatto ca me pitā; Ānando paṇḍito nāgo, sāriputto ca devatā.. (Cinca sang wanita muda adalah ibuku, Devadatta adalah Bapakku, Ananda adalah pendeta ular Naga dan Dariputta adalah Deva..)”
..Maka para pertapa kelana dari ajaran lain karena tidak dapat mentoleransi rasa hormat yang ditujukan terhadap Sang Bhagava dan Sangha; ketika melihat para bhikkhu di desa dan di hutan, mencerca, memaki, menghasut dan menjengkelkan para bhikkhu dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar.[Ud. 2.4/Sakkārasutta]
Mencuri, Menjiplak Ajaran Sang Buddha
..Pada saat itu Pengembara Susīma sedang menetap di Rājagaha bersama dengan banyak pengembara. Kemudian teman-temannya berkata kepada Susīma: “Ayo, Sahabat Susīma, jalankan kehidupan suci di bawah Petapa Gotama. Kuasailah DhammaNya dan ajarkan kepada kami. Kita akan menguasai DhammaNya dan membabarkannya kepada umat-umat awam. Dengan demikian kita juga akan dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan kita juga akan memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.”
“Baiklah, teman-teman,” Pengembara Susīma menjawab. Kemudian ia mendekati Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Sahabat Ānanda, aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.”
Kemudian Yang Mulia Ānanda membawa Pengembara Susīma menghadap Sang Bhagavā. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan kemudian duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, Pengembara Susīma ini berkata bahwa ia ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.”
“Baiklah, Ānanda, berikanlah ia pelepasan keduniawian.” Kemudian Pengembara Susīma menerima pelepasan keduniawian dan penahbisan yang lebih tinggi di bawah Sang Bhagavā. [SN 12.70/Susima Sutta]
Sunakkhata Meninggalkan Sang Buddha
Pangeran Licciavi bernama Sunakkhata, yang pernah menjadi sekretaris/pembantu Sang Buddha (anibaddhaupatthāka) meninggalkan (Dhamma dan Vinaya) sang Buddha:
Namun hingga sang Buddha wafatpun, TIDAK DICERITAKAN Sunakkhata kembali berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha
Kepala Menjadi Tujuh Keping: Saccaka dan Ambaṭṭha
Kaum Brahmanisme, Jainisme dan beberapa aliran lainnya mempunyai keyakinan bahwa kutukan dari seorang yang benar/suci/sakti, dapat mengakibatkan keadaan kepala akan menjadi tujuh keping (sattadhā muddhaṃ phālesi):
Oleh karenanya, ketika berhadapan dengan penganut sekte lainnya, terkadang Sang Buddha sampai perlu mengingatkan agar segera berbicara benar untuk menghindari keadaan "kepala menjadi tujuh keping"/"kepala pecah berkeping-keping":
Dalam kasus lainnya, “kepala menjadi tujuh keping” TIDAK disampaikan Beliau:
Rute Perjalanan di sekitar Tahun Akhir Sang Buddha
Ringkasan rute perjalanan disebutkan dalam DN 16/MahāParinibbana Sutta:
Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala, walau mempunyai beberapa Istri namun tidak satupun yang memberikannya anak lelaki, ini membuatnya kecewa. Sang Buddha pernah memberikan wejangan padanya tentang keunggulan anak wanita:
Viḍūḍabha, Raja baru Kosala, ingat sumpahnya untuk membalas suku Sakya. Ia kerahkan pasukan menuju Kapilavastu. Sang Buddha, yang mengetahui bahwa kondisi kamma masa lampau suku Sakya yang melakukan perbuatan meracuni sungai, membunuh biota sungai, telah waktunya masak, kemudian berusaha untuk mencegah niat Vidūdabha, beliau menuju perbatasan Kapilavatthu-Kosala, berdiri di bawah sebuah pohon yang tidak rindang, di batas kerajaan Kapilavatthu, padahal tidak jauh dari situ, di area kerajaan Kosala, terdapat sebuah pohon beringin yang sangat rindang. Ketika Vidūdabha, melihat Sang Buddha, Ia mohon agar sang Buddha duduk di bawah pohon beringin yang rindang, sang Buddha mengatakan bahwa sanak keluarganya telah meneduhkannya (karena banyak dari mereka telah menjadi arahat). Mengetahui sang Buddha mencegahnya, Vidūdabha menarik mundur pasukan. Paparan terik matahari akibat menunggu, membuat Sang Buddha menderita sakit kepala yang berlangsung hingga akhir hidupnya (UdA.265; Ap.i.300)
Hal ini terjadi sampai 3x dan pada upaya yang ke-4, Sang Buddha tidak lagi menunggu di bawah pohon, Vidūdabha meneruskan penyerangan dan membunuhi para Sakya, termasuk para bayi. Diantara yang selamat adalah para Sakya pengikut Mahānāma, yang sfesifik diinstruksikan untuk ditawan, juga para Sakya yang di mulutnya sedang menggigit rumput (Tiṇasākiyā) dan alang-alang (Naḷasākiyā), yang ketika ditanya apakah Sakya, satunya menjawab "No sāko, tiṇa'nti" (Bukan sayuran, tapi rumput), lainnya "No sāko, naḷo'ti" (Bukan sayuran, tapi alang-alang). Karena permainan kata ini, mereka lolos dari kematian. Dalam perjalanan pulang, Vidūdabha dan pasukannya beristirahat di tepian sungai Aciravatī dan kemudian terjadi banjir besar yang menenggelamkan mereka. [kitab Komentar: Dhammapada no.47 dan Jataka no.465; Apadana no.392/Pubbakammapilotika, juga Pallava ke-11 dari Avadānakalpalatā: Viḍūḍabha membunuh 77.000 Sākyā dan mengambil 80.000 anak laki dan perempuan namun karena para gadis tersebut bersikap kasar padanya, Ia perintahkan mereka untuk dibunuh].
Sariputta dan Moggallana Parinibbana
Sariputta bertemu Sang Buddha di Nalanda dan menyampaikan "auman singa" (sīhanāda)-nya berupa syair pujian kepada Sang Buddha. Itu adalah pertemuan terakhir mereka. Dari Nalanda, Sang Buddha menuju Savatthi, sedangkan Sāriputta menuju Nālakagāma, Magadha, tempat kelahirannya karena di 7 hari kemudian, Ia akan parinibbana (wafat) dan sebelumnya akan menjadikan ibundanya, Brahmani Rupasari, mencapai tingkat kesucian sotapanna. Di desanya, Sariputta jatuh sakit, setelah ibundanya berhasil mencapai sotapanna, Sariputta-pun parinibbana. Sāmaṇera Cunda (adiknya), dengan membawa mangkuk dan jubah Sāriputta, pergi ke Sāvatthī, ke Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika, tempat di mana Ananda (gurunya) dan Sang Buddha berada, untuk mengabarkan hal ini [SN 47.13/Cunda Sutta]. Sāriputta nibbana akhir pada bulan purnama Kattika. Dua minggu kemudian, giliran Maha Moggallana mencapai nibbana akhir di Kālasilā, gunung Isigili, Rajagaha. [SA.iii.181; Jataka no.95], yaitu di vassa ke-44 mereka. Maha Moggalana parinibbana melalui pembunuhan yang direncanakan aliran lain yang dengki dengan menurunnya penghormatan publik kepada mereka tapi meningkatnya penghormatan kepada murid murid Sang Buddha, sehingga untuk menghilangkan kemashuran dan keberuntungan tersebut, mereka menyewa Pembunuh. kitab komentar menyampaikan tentang siapa yang menyewa pembunuhnya, yaitu para Titthiyā (Jataka no.522) atau para Nigaṇṭha (Dhp syair 137-140). Ketika Sang Bhagavā menetap di antara para Vajji di Ukkacelā di tepi sungai Gangga, yaitu tidak lama setelah nibbana akhirnya Sāriputta dan Moggallāna, sang Buddha berkata bahwa Para sammasamBuddha di masa lampau dan masa depan, juga akan punya sepasang siswa utama seperti Sāriputta dan Moggallāna. [SN 47.14/Ukkacela Sutta]
Beberapa Penyakit Yang Diderita Sang Buddha
Sekurangnya di menjelang dan paruh ke-2 pencerahan (45 tahun/2), sang Buddha terkena beberapa penyakit, di antaranya:
Sekitar 10 bulan menjelang parinibbana [kitab komentar untuk dhammapada syair ke-206-208], Sang Buddha bervasa di Beluva. Ketika telah memasuki musim hujan, beliau dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan, namun beliau menerimanya tanpa mengeluh. Kemudian Sang Bhagava berpikir bahwa tidak tepat baginya tanpa memberitahukan pengikutnya dan juga tanpa memberikan nasehat kepada bhikkhu Sangha untuk padam sempurna, kemudian beliau mengerahkan upaya menundukkan penyakitnya yang mengarah pada berlanjutnya kehidupan. Akhirnya penyakit beliaupun mereda [DN 16/Maha Parinibbana Sutta dan SN 47.9/Gilana Sutta. Buddhaghosa, abad ke-5 M, pada komentar untuk DN dan SN: "ahaṃ dasamāsamattaṃ ṭhatvā parinibbāyissāmi .. samāpattivikkhambhitā vedanā dasa māse na uppajjiyeva" (sekitar 10 bulan menjelang parinibbana .. perasaan-perasaan yang ditekan melalui pencapaiannya itu tak muncul lagi selama 10 bulan)]
Setelah Sang Bhagava sembuh dari sakitnya, beliau menyampaikan pada Ananda bahwa beliau menua semakin rapuh, menua menjadi usang, di usia hampir mencapai 80 tahun, tubuh beliau bagai sebuah kereta tua yang dapat jalan karena diikat, yaitu hanya ketika beliau tidak memperhatikan gambaran-gambaran dan dengan lenyapnya perasaan-perasaan tertentu, pikiran terpusat tanpa gambaran, maka ketika itulah tubuh Sang Tathāgata dalam keadaan baik. Kemudian beliau menasehati Ananda agar seperti pulau, menjadikan diri sendiri sebagai pelindung, tidak berlindung pada yang lain, menjadikan Dhamma sebagai pulau, sebagai pelindung, tidak dengan perlindungan lainnya yaitu dengan rajin melakukan 4 landasan ingatan [DN 16 dan SN 47.9/Gilana Sutta]
Setelah musim hujan, Sang Buddha masih menetap di sekitar Vesali, diantaranya di KutagaraSala:
Kemudian, sang Buddha dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, beliau melepaskan ikatan vitalitasnya. Pelepasan ikatan vitalitas ini menimbulkan gempa bumi dahsyat yang menyeramkan, membuat merinding dengan kilat gemuruh membelah. Dan Sang Bhagava melihat pentingnya hal ini mengucapkan kata-kata:
keberlangsungan yang terukur maupun tidak
bentukan keberlangsungan telah sang muni potong
Dalam kedamaian diri
merobek segel keberlangsungan
Ananda yang merasa heran dengan terjadinya gempa bumi dahsyat yang menyeramkan, membuat merinding dengan kilat gemuruh membelah itu, kemudian mendatangi Sang Buddha untuk bertanya sebab-sebab terjadinya gempa. Sang Buddha menjelaskan 8 sebab terjadinya suatu gempa, yaitu
Bulan apa Sang Buddha Parinibbana?
Sebelum kita telusuri, ada baiknya, kita kenali tentang musim dan bulan yang berlangsung di India:
Pertama-tama,
VInaya telah menetapkan: TIDAK BEPERGIAN selama musim Vassa [Vinaya, Mahavagga 3.1-selesai]. Oleh karenanya, perjalanan sang Buddha dan rombongan para bhikkhunya, TIDAK DAPAT dilakukan selama musim hujan, di samping ini akan mengundang celaan masyarakat dan para petapa aliran lain, juga menjadi TIDAK KONSISTEN dengan aturan yang ditetapkan sang Buddha sendiri
Sutta menyatakan di saat sang Buddha parinibbananya, pohon sala berbunga DILUAR MUSIMNYA
Berapa lama sang Buddha di Kūṭāgārasālā, Mahavana sebelum ke cetiya Capala?
Walaupun Sutta TIDAK MENYEBUTKAN kata, “yathābhirantaṃ (selama yang Beliau inginkan)” namun hanya menggunakan kata “viharati” (menetap) ketika berada di Kūṭāgārasālā, Mahavana namun lamanya waktu menetap dapat diketahui karena sutta juga memberikan indikasi jelas bahwa saat sang Buddha parinibbana adalah saat MUSIM PANAS:
Ke-1,
Di hari terakhir, dalam perjalanan dari Pava ke Kusinara, Sang Bhagava berhenti di bawah sebatang pohon. Beliau kehausan (pipāsito) dan meminta Ananda untuk mengambil air di sungai agar dapat beliau minum
Ke-2,
Sang Buddha mandi 2x di sungai Kakhuda:
Ke-3,
Bhikkhu Upavana mengipasi Sang Buddha
Ke-4,
Di 1 minggu setelah wafatnya sang Buddha,
Berdasarkan beberapa alasan ini, maka pendapat sang Buddha wafat di bulan Magha adalah TIDAK TEPAT, sehingga pendapat bahwa sang Buddha parinibbana di musim panas, di bulan Vesakha (April-May) sangat wajar untuk diterima.
Ajaran-ajaran Terakhir Kepada Para Bhikkhunya
Kemudian Sang Bhagava pergi ke Kutagara Sala, Mahavana. Beliau meminta Ananda untuk mengumpulkan para Bhikkhu dan memberikan wejangan bahwa dhamma yang telah disampaikanNya berupa 37 Boddhipakkhiyadhamma, yaitu:
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: ”Aku nasehati kalian: yang berkondisi tunduk pada kelapukan, dengan kewaspadaan capailah tujuan (vayadhammā saṅkhārā, appamādena sampādetha). Tak lama lagi Sang tathagatha akan paranibbana (naciraṁ tathāgatassa parinibbānaṁ bhavissati). 3 bulan dari sekarang, sang Tathagata akan paranibbana (Ito tiṇṇaṁ māsānaṁ accayena tathāgato parinibbāyissatī”ti)". "...Waspada dalam ingatan (appamattā satīmanto), bermoral luhur (susīlā hotha..), kehendak yang terkendali (susamāhitasaṅkappā), selalu menjaga pikiran sendiri (sacittamanurakkhatha). Siapapun dalam ajaran dan disiplin ini (Yo imasmiṁ dhammavinaye), hidup dalam kewaspadaan (appamatto vihassati), akan meninggalkan roda kelahiran, mengakhiri dukkha (Pahāya jātisaṁsāraṁ dukkhassantaṁ karissatī”ti)" [DN 16] [Lihat juga: "Ringkasan Ajaran Buddha]
Kunjungan Terakhir ke Kota Vesali
Kemudian Sang Bhagava mempersiapkan diri untuk pindapata (menerima dana makanan) di pagi hari. Sang Bhagava mengambil patta serta jubahnya lalu pergi ke Vesali. Sesudah mendapat dana dan selesai bersantap, beliau kembali ke tempatnya. Beliau memandang Vesali dengan pandangan sebagai gajah (para Buddha, tidak menengok ke belakang, melainkan membalikkan badan Beliau, seperti lakunya para gajah) dan berkata kepada Ananda : "Ananda inilah yang terakhir kalinya Sang Tathagata meninjau Vesali. Marilah Ananda kita pergi ke Bhadagama". Setelah Sang Bhagava cukup lama berada di Bhadagama, Beliau bersabda kepada Ananda: "Marilah Ananda, kita pergi ke Hattigama bersama-sama dengan para bhikkhu." Demikianlah Sang Bhagava lama berdiam di Hattigama. Beliau lalu pergi ke Ambagama, kemudian ke Jambagama. Di setiap tempat yang disinggahinya, Sang Bhagava kerap berpesan kepada para bhikkhu:
Makanan terakhir Sang Buddha
Di Ambavana, Sang Bhagava mengajarkan Cunda, pandai-besi, tentang dhamma yang telah membangkitkan semangatnya dan menyebabkan hatinya sangat gembira. Kemudian Cunda mengundang Sang Buddha bersama para Bhikkhu untuk datang kekediamannya esok hari untuk menerima dana makanan. Setelah sang Buddha menerima undangannya, Cunda pulang kerumahnya untuk membuat makanan yang keras serta yang lunak dan makanan yang terdiri dari Sukaramaddava (daging babi muda).
Keesokan harinya sang Buddha dan rombongan tiba, duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian sang Buddha berkata kepada Cunda: "Hidangan Sukaramaddava (daging babi muda) yang telah engkau sediakan, hidangkanlah itu untukKu. Sedangkan makanan lain yang keras dan lunak, saudara dapat hidangkan kepada para bhikkhu". Cunda kemudian menghidangkannya sesuai kehendak Sang Buddha
Apa arti Sūkara-maddava?
Kata “Sūkara-Maddava” muncul di: DN 16, Ud 8.5/Cunda Sutta dan juga Milinda Panha. Kitab komentar menunjukan bahwa dikisaran abad ke-5 M, arti kata tersebut sudah bervariasi yaitu: daging, nasi campur, bambu, sejenis rasa, teknik membuat senang dan jamur:
Sangat mengherankan melihat hubungan yang dijelaskan di kitab komentar antara jamur dan binatang babi, tampaknya, alasan mengapa jamur menjadi terkait dengan binatang babi adalah karena untuk mendapatkan jamur tersebut, babi digunakan sebagai pelacaknya:
Disamping itu, di bahasa pali sendiri sudah ada kata tersendiri yang merujuk pada arti “jamur”, yaitu: "chattaka" atau "pappaṭaka". Sample: ahihattaka/ahichattaka" = jamur ‘payung ular’. Bahasa Hindi: 'sarpchatr'. Bahasa Bengali: 'byaner chata' atau ‘payung katak’ [lihat: Rhys Davis: hal.92, 274; Buddhadatta Mahatera: hal.45, 182]. Sementara kata “sūkara” = babi hutan/wild boar. Kata ini digunakan untuk membedakannya dengan babi/boar (varāha) [“Vedic Index of Names and Subjects”, Vol 2;Vol 5, Arthur Berriedale Keith, hal.461]. Kemudian kata “Maddava/Madhava” = lembut, empuk, halus.
Prof. Rhys Davids, ketika menterjemahkan teks-teks Buddhist dan Milianda Panha, Ia terjemahkan kata itu sebagai `bagian daging babi yang empuk’ (“Milianda Panha”, buku ke-5, bab 3, hal 244, cat kaki.1). Miss I.B. Horner dalam terjemahan “Madhuratthavilāsinī” menyatakan: “..Oleh karenanya, bagian ini memberikan bukti bahwa sukara-maddava, makanan terakhir sang Buddha, seharusnya TIDAK diterjemahkan seperti yang kadang sebagai "jamur", namun lebih sebagai bagian yang lembut, 'maddava', dari (daging) babi hutan..” (..Therefore, this passage provides evidence that suukara-maddava, the Buddha Gotama’s last meal, should not be translated as sometimes it has been as “truffles”, but rather as tender, ‘maddava’, (flesh or meat) from a boar..) [Introduction hal. xxxix]
Para kelompok vegetarian cenderung mengartikan kata ini sebagai jamur, namun sayangnya, Buddhisme BUKANLAH VEGETARIAN dan BOLEH makan daging, malah ada istilah sukaramamsa, yang berarti daging babi dan juga makanan terakhir semua Buddha dalam Buddhavamsa, jelas disebutkan makanan yang mengandung daging:
Sesudah makan, Sang Bhagava berkata kepada Cunda: "Cunda, sisa-sisa Sukaramaddava (daging babi muda) dari hidangan untukKu, agar ditanam di sebuah lobang, karena di dunia ini di antara para dewa, Mara, Brahmana, para samana atau Brahma, atau pun manusia, tidak ada seorang pun yang sanggup memakannya atau mencernakannya, kecuali Sang Tathagata sendiri". Demikianlah sisa Sukaramaddava yang tertinggal itu ditanamkannya dalam sebuah lobang. kembali kepada Sang Bhagava, Ia memberi hormat dan duduk pada salah satu sisi. Kemudian Sang Bhagava mengajarkan Cunda pandai-besi itu mengenai pelajaran yang membangkitkan semangat, yang berisi penerangan yang menggembirakan hatinya. Sesudah itu beliau bangun dari tempat duduknya pergi meninggalkan Cunda
Di perjalanan Sang Buddha bertemu pangeran dari suku Malla. Sang Buddha mengajarkannya cara untuk hidup dalam kedamaian. Sang Pangeran kemudian berlindung dalam Buddha, Dhamma dan Sangha, dan mempersembahkan 2 jubah berwarna emas kepada Sang Buddha. Sang Buddha hanya mau menerimanya 1 buah saja dan menyarankan pada sang Pangeran, agar satunya diberikan kepada Ananda. Kali ini Ananda mau menerimanya. [DN 16]. Buddhaghosa dalam kitab komentarnya menjelaskan mengapa Ananda mau menerimanya karena tahu masa pelayanannya akan segera berakhir dan menganggap itu sebagai hadiah dari sang Buddha kepadanya atas kesetiaannya melayani selama 25 tahun (DA. Ii.570)
Di tepi Sungai Kakuttha
Kemudian Sang Bhagava pergi ke sungai Kakuttha bersama dengan sekumpulan para bhikkhu. Setelah tiba di tepi sungai itu, Sang Bhagava mandi. Setelah Sang Bhagava mandi, Beliau pergi ke Ambavana. Di tempat ini, karena merasa lelah, beliau beristirahat sebentar dengan membaringkan tubuhnya pada sisi kanannya, dengan sikap seperti singa, dan meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang satu lagi, dengan sikap demikian Beliau dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, setiap saat dapat bangun dengan mudah.
Kemudian, Sang Buddha pergi lagi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah. Setelah selesai mandi dan minum, Sang Buddha lalu berjalan ke Ambavana untuk membicarakan dhamma.
Menghilangkan Kegundahan Cunda
Dikesempatan itu pula, Sang Bhagavā berkata kepada Ānanda: “Mungkin saja, Ānanda, Cunda si pandai besi merasa menyesal, dengan berpikir: ‘adalah kesalahanmu, sahabat Cunda, karena kecerobohanmu sehingga Tathāgata mencapai nibbāna akhir setelah memakan makanan yang engkau persembahkan!’
Penyesalan Cunda dapat diatasi dengan cara ini: ‘Itu adalah jasamu, sahabat Cunda, karena perbuatan baikmu sehingga Tathāgata mencapai nibbāna akhir setelah memakan makanan yang engkau persembahkan! Karena, sahabat Cunda, aku telah mendengar dan memahami dari mulut Sang Bhagavā sendiri, bahwa 2 persembahan akan menghasilkan buah yang besar, akibat yang sangat besar, lebih berbuah dan lebih bermanfaat daripada persembahan lainnya.
Apakah dua ini? Ke-1 adalah persembahan yang setelah memakannya, Sang Tathāgata mencapai Penerangan Sempurna, dan yang lainnya adalah yang setelah memakannya, Beliau mencapai unsur-nibbāna tanpa sisa saat meninggal dunia.
Kedua persembahan ini adalah yang lebih berbuah dan lebih bermanfaat dari semua persembahan lainnya. Perbuatan Cunda ini mendukung umur panjang, penampilan yang baik, kebahagiaan, kemasyhuran, alam surga, dan kekuasaan’ Demikianlah, Ānanda, cara mengatasi penyesalan Cunda” [DN 16/Maha Parinibbana Sutta dan Udana 8.5]
Tempat Peristirahatan Terakhir Antara Dua Pohon Sala
Demikianlah, Sang Bhagava bersama sejumlah besar bhikkhu menyeberang sungai, tiba di Hirannavati, pergi ke hutan Sala di daerah suku Malla, dekat Kusinara. Setelah tiba, Sang Bhagava berkata kepada Ananda untuk menyediakan tempat berbaring di antara pohon sala kembar itu, kemudian Sang Bhagavā berbaring pada posisi kanan dalam posisi singa, meletakkan satu kaki-Nya di atas kaki lainnya mengetahui sepenuhnya dalam memperhatikan
Pada saat itu dua pohon Sala kembar itu berbunga walaupun bukan pada musimnya. Bunga-bunga itu jatuh bertaburan di atas tubuh Sang Tathagata, juga bunga surgawi serta serbuk cendana bertaburan dari angkasa ke tubuh Sang Bhagava sebagai penghormatan kepada Sang Tathagata. Suara nyanyian surgawi serta suara musik surgawi dengan lagu sangat merdu terdengar di angkasa, juga sebagai penghormatan kepada Sang Tathagata. Melihat pentingnya hal ini, sang Buddha berkata:
Ananda: "Guru, Dahulu, sesudah musim hujan para bhikkhu dari berbagai tempat biasanya datang menemui Sang Tathagata. Kami ini berkesempatan melihat para bikkhu yang layak dihormati, berkesempatan untuk menemuiMu. Namun setelah Sang Bhagava tiada, Tidak berkesempatan melihat para bhikkhu yang layak dihormati, tidak dapat datang untuk menemuimu"
Sang Buddha: "Ada 4 tempat, Ananda, bagi seorang yang berkeyakinan mendatanginya (saddhassa kulaputtassadassanīyāni), bangkit ketergugahannya: haru atau antusias (saṃvejanīyāni ṭhānāni), yaitu tempat di mana Sang Tathagata:
Dukacita Ananda dan Pujian Untuk Ananda
Ananda kemudian menuju vihara, bersandar pada tiang pintu dan meratap (rodamāno), "Saya masih seorang siswa (savaka) dan masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Sungguh malang aku ini, Guru yang penuh kasih sayang padaku akan meninggal dunia". Sang Buddha menanyakan keberadaan Ananda dan disampaikan bahwa Ia tengah meratapi diri, kemudian Sang Buddha meminta untuk memanggil Ananda. Setelah Ananda datang, sang Buddha berkata, "Ananda, cukuplah jangan bersedih (mā soci), janganlah meratap (mā paridevi), Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa segala sesuatu yang indah dan menyenangkan pasti mengalami perubahan, pasti berpisah dan menjadi yang lain. Jadi bagaimana mungkin, Ānanda—karena segala sesuatu yang dilahirkan, menjelma, tersusun pasti mengalami kerusakan—bagaimana mungkin hal itu tidak berlalu? Sejak lama, Ānanda, engkau telah berada di sisi Sang Tathāgata, memperlihatkan cinta-kasihdalam tindakan jasmani, ucapan dan pikiran, memberikan manfaat, menyenangkan, sepenuh hati dan tidak terbatas. Engkau telah mendapatkan banyak jasa. Berusahalah, dan dalam waktu singkat engkau akan terbebas dari kekotoran"
Kemudian sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu memuji kualitas Ananda:
Sang Buddha meminta Ananda pergi ke Kusinara menyampaikan pada suku Malla bahwa hari ini, malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme], Sang Tathagata akan parinibbana, agar mereka tidak menyesali diri di belakang hari bahwa di daerah mereka Sang Buddha parinibbana tetapi di saat terakhirnya, tidak melihat beliau. Ketika ini disampaikan, Para suku Malla, sedih, berduka cita dan bersusah hati, meratap, "Terlalu cepatlah Sang Tathagata parinibbana. Terlalu cepatlah Sang Sugata parinibbana. Terlalu cepatlah Sang Guru Jagat lenyap dari pandangan". Mereka kemudian datang memberikan pernghormatan, Ananda mengatur pembagian menurut golongan dan rombongan, agar tidak satupersatu yang akan memakan waktu panjang. Akhirnya, pada waktu pertama malam itu, semua mendapatkan kesempatannya. [DN 16]
Subhadda, Orang terakhir Yang Ditahbiskan Sang Buddha
Ketika itu seorang petapa pengembara, Subhadda, yang sedang di Kusinara mendengar kabar: "Hari ini, malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme], petapa Gotama akan parinibbana"
Karenanya timbul dipikirannya: "Aku pernah mendengar dari para petapa senior dan mulia, para guru, bahwa kemunculan para Tathagata Arahat SammaSambuddha di dunia adalah jarang sekali. Pada hari ini, malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme], petapa Gotama akan parinibbana. Pada diriku ada suatu keraguan dan aku yakin bahwa petapa Gotama, akan dapat mengajarkanku Dhamma yang menghilangkan keraguanku."
Kemudian petapa pengembara Subhadda mendekati Sang Bhagava menghormat dengan sopan, duduk di satu sisi, berkata: "Yang Mulia Gotama, ada para petapa dan brahmana pemimpin sejumlah besar siswa yang punya banyak pengiring, para pemimpin perguruan terkenal dan masyur yang mendapat penghormatan tinggi dari khalayak, seperti: Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambali, Pakudha Kaccayana, Sanjaya Belatthiputta, Nigantha-Nataputta. Apakah mereka semua telah mencapai kebebasan, seperti yang dikatakan orang, atau apakah tak ada dari mereka yang mencapai kebebasan atau apakah hanya beberapa saja yang mencapai, dan yang lainnya tidak?"
"Cukuplah Subhadda. Biarkanlah apa yang dikatakan orang, apakah mereka semua telah mencapai pembebasan, seperti yang disiarkan, atau tak ada dari mereka yang mencapai kebebasan, atau hanya beberapa saja dari mereka yang mencapai kebebasan yang lain tidak. Hal itu tidak perlu dirundingkan. Kini, aku akan mengajarkan kebenaran padamu, Subhadda, dengar dan perhatikanlah dengan benar yang akan ku katakan"
"Baiklah, bhante," jawab Subhadda.
Kemudian Sang Bhagava berkata: "Subhadda, dalam dhamma dan vinaya mana pun, jika TIDAK TERDAPAT Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun TIDAK ADA seorang petapa sejati, juga TIDAK ADA petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4. Tetapi dalam dhamma dan vinaya yang mana pun, jika terdapat Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun akan ada petapa sejati, juga ada petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4. Kini, dalam dhamma dan vinaya yang kuajarkan terdapat Jalan Mulia Berunsur 8 itu, maka dengan sendirinya terdapat petapa-petapa sejati, juga petapa-petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4
Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur 8 adalah kosong dan bukan petapa yang sejati. Subhadda, jika para bhikkhu ini hidup dengan baik menurut dhamma dan vinaya, maka dunia ini takkan kekosongan Arahat
Aku berusia 29 tahun, Subhadda
ketika memasuki apa yang bermanfaat di kehidupan tanpa rumah
Sudah 50 tahun lebih
Sejak Aku di kehidupan tanpa rumah, Subhadda
Bernaung di jalur Dhamma
Yang di luarnya TIDAK ADA Petapa
Petapa ke-2 .. ke-3 .. ke-4 TIDAK ADA
Aliran lainnya mandul Petapa, Subhadda
Tetapi jika para bhikkhu menjalani benar
Dunia ini tak kekosongan Arahat
[..]
Demikianlah, pertapa pengembara Subhadda diterima dan ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Sang Bhagava sendiri. Ia pun tekun, rajin dan sungguh-sungguh...Bhikkhu Subhadda menjadi salah seorang di antara para Arahat dan Ia adalah siswa terakhir yang diterima Sang Bhagava [DN16/Mahaparinibbana Sutta]
Kata-kata Terakhir Sang Buddha
Sang Buddha menyampaikan bahwa walaupun beliau sudah tidak ada lagi, namun yang diajarkan dan dijelaskan sebagai Dhamma dan vinaya adalah guru mereka. Kemudian sang Buddha bertanya jika ada dari para Bhikkhu yang masih memiliki keraguan atau ada yang hendak ditanyakan, namun para Bhikkhu berdiam diri, sampai 3x diulangi, para bhikkhu tetap berdiam diri. Sang Buddha berkata bahwa memang kumpulan dari 500 Bhikkhu ini, bahkan pencapaian yang terendah diantara mereka adalah sotapanna sehingga tidak ada yang memiliki keraguan terhadap Buddha, Dhamma dan sangha, tak mungkin terlahir kembali di alam penderitaan dan pasti akan mencapai penerangan sempurna di kemudian hari. Kemudian Sang Buddha menyampaikan nasehat terakhirnya, "Para bhikkhu, perhatikanlah nasehat ini: 'yang berkondisi tunduk pada kelapukan, dengan kewaspadaan capailah tujuan'" [DN 16]
PariNibbana
Mula-mula Sang Bhagava masuk jhāna ke-1.
Bangkit dari jhāna ke-1, masuk jhāna ke-2.
Bangkit dari jhāna ke-2, masuk jhāna ke-3.
Bangkit dari jhāna ke-3, masuk jhāna ke-4.
Bangkit dari jhāna ke-4, masuk landasan ruang tak berbatas.
Bangkit dari landasan ruang tak berbatas, masuk landasan kesadaran tak berbatas.
Bangkit dari landasan kesadaran tak berbatas, masuk landasan tak ada sesuatu apapun.
Bangkit dari landasan tak ada sesuatu apapun, masuk landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi.
Bangkit dari landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, beliau masuk lenyapnya persepsi dan perasaan.
Kemudian Ananda berkata demikian: "Anuruddha kiranya Sang Bhagava telah padam sempurna"
"Tidak, Ananda, Sang Bhagava belum padam sempurna, Beliau masuk lenyapnya persepsi dan perasaan."
Kemudian Sang Bhagava,
bangkit dari lenyapnya persepsi dan perasaan, beliau masuk landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi.
Bangkit dari landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, masuk landasan tak ada sesuatu apapun,
Bangkit dari landasan tak ada sesuatu apapun, masuk landasan kesadaran tak berbatas,
Bangkit dari landasan kesadaran tak berbatas, masuk landasan ruang tak berbatas.
Bangkit dari landasan ruang tak berbatas, masuk jhāna ke-4.
Bangkit dari jhāna ke-4, masuk jhāna ke-3.
Bangkit dari jhāna ke-3, masuk jhāna ke-2.
Bangkit dari jhāna ke-2, masuk jhāna ke-1.
Bangkit dari jhāna ke-1, masuk jhāna ke-2.
Bangkit dari jhāna ke-2, masuk jhāna ke-3.
Bangkit dari jhāna ke-3, masuk jhāna ke-4.
Dan bangkit dari jhāna ke-4, lalu padam sempurna-lah, Sang Bhagava.
Demikianlah ketika Sang Bhagava telah padam sempurna, tepat saat parinibbanaNya, terjadilah gempa bumi yang sangat dahsyat, menakutkan, mengerikan, dan mengejutkan disertai halilintar sambar-menyambar di angkasa.
Ketika Sang Bhagava padam sempurna,
dewa Brahma Sahampati mengucapkan syair ini:
Mahluk apapun di dunia, bentukannya akan-lah berakhir
Juga sang Guru, yang tiada banding di dunia,
Yang tercerahkan, sang pemilik kekuatan, maha tau, juga padam sempurna.
dewa Sakka, raja para dewa, mengucapkan syair ini:
Bentukan benarlah tiada kekal adanya,
yang muncul akan-lah lenyap,
Setelah timbul akan-lah tenggelam,
padam adalah kebahagiaan
bhikkhu Anuruddha mengucapkan syair ini:
Tak ada lagi nafas, teguh pikiranNya
bebas nafsu, dalam kedamaian, demikian akhir sang Muni
PikiranNya tak tergoyahkan, dalam menahan rasa menyakitkan
Seperti padamnya nyala api, demikian pula pikiranNya terbebaskan padam
Ananda mengucapkan syair ini:
Demikian mengerikannya, Demikian merindingnya,
Ketika yang maha tahu, yang sempurna dalam kualitas mulia, padam sempurna
Penghormatan suku Malla dan Pembakaran Mayat Sang Buddha
Setelah para suku Malla Kusinara melakukan penghormatan dengan nyanyian dan tarian selama 6 hari, yang juga dilakukan oleh para deva di hari ke-7, maka kemudian para pemimpin Malla, setelah mencuci kepala mereka dan mengenakan pakaian baru, mereka hendak menyulutkan api pemakaman Sang Bhagavā, tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Mereka mendatangi YM Anuruddha dan menanyakan mengapa mereka tidak dapat menyalakan api. YM Anuruddha menyampaikan bahwa para deva sedang menantikan kedatangan YM MahaKassapa yang sedang dalam perjalanan dari Pāvā menuju Kusinārā bersama 500 bhikkhu. Api pemakaman Sang Bhagavā tidak akan menyala sampai YM MahaKassapa memberikan penghormatan dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.
Demikianlah di hari ke-7, YM Kassapa tiba di cetiya suku Malla di Makuṭa-Bandhana menuju tempat pemakaman Sang Bhagavā. Beliau dengan menutupi satu bahunya dengan jubahnya, merangkapkan tangan memberikan penghormatan, mengelilingi tempat pemakaman 3x, membuka selubung kaki Sang Bhagavā, memberi hormat dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan 500 bhikkhu juga melakukan hal yang sama. Dan ketika semua ini selesai, api pemakaman Sang Bhagavā menyala dengan sendirinya [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]
Setelah parinibbana Sang Buddha, yaitu di 3 bulan kemudian, diadakan pertemuan 500 arahat di Goa Satapani, Rajagraha yang dipimpin oleh YA.Maha Kassapa. Selama 2 (dua) bulan, mereka menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma. Dengan cara ini, ajaran-ajaran Sang Buddha masih dapat diketahui hingga sekarang
Sekitar satu abad setelah wafatnya Beliau, terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya kemudian menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya disebut Sthaviravada (atau Theravãda). Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya disebut Mahasanghika (kelak ini berkembang menjadi mazhab Mahayana) dan dari keduanya ini, kemudian, pecah kembali menjadi makin banyak aliran. [Lihat: Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran]
Sang Buddha melihat ke seputar jagad dengan Buddha cakkhu (Mata sakti Buddha) dan melihat ada yang mampu memahami Dhamma walaupun dibabarkan singkat; Ada yang mampu memahami Dhamma setelah dibimbing dan diberi penjelasan rinci; Ada yang mampu memahami Dhamma karena dibimbing dan mempraktikan Dhamma selama bertahun-tahun; Ada yang tak akan menyadari Dhamma dalam hidup ini namun akan memetik manfaat dalam kehidupan selanjutnya.
Maka Buddha lalu berkata: "Terbukalah pintu tanpa kematian (apārutā tesaṃ amatassa dvārā), bagi mereka yang mau mendengarkan dengan keyakinan (Ye sotavanto pamuñcantu saddhaṃ); Praktek kekejaman tidak lagi bersinar (Vihiṃsasaññī paguṇaṃ na bhāsiṃ), Dhamma akan dibawakan diantara manusia, O Brahma (Dhammaṃ paṇītaṃ manujesu brahme)." . Brahma Sahampati bergembira, karena sang Buddha meluluskan permohonannya, kemudian pergi menghilang [SN 6.1; MN 26; MN 85, sebagian di DN 14 dan Vinaya I]
- Note:
Mereka yang telah tercerahkan atau Padam atau mencapai Nibbana disebut Arahat/Buddha. Terdapat 3 jenis Arahat/Buddha, yaitu (1) SammasamBuddha, (2) Pacceka Buddha dan (3) Savaka Buddha.
Savaka = Murid, jadi Savaka Buddha adalah murid Sammasambuddha atau Pacceka Buddha. Mencapai buah kesucian secara bertahap atau langsung menjadi Arahat/Buddha menggunakan ajaran Sammasambuddha atau Pacceka Buddha.
Sammasambuddha dan Pacceka Buddha menjadi Buddha adalah dengan usaha sendiri, artinya dikehidupannya saat itu, SUDAH TIDAK ADA ajaran Buddha di alam manusia, tidak ada lagi yang dapat mengajarinya menjadi padam.
Ketika baru mencapai pencerahan, pikiran mereka cenderung menuju ketenangan/tidak aktif (appossukkatāya cittaṁ namati) bukan menyampaikan dhamma (no dhammadesanāya), karenanya Brahma Anagami alam sudhavasa mendatanginya, memohon untuk mengajar [SN 6.1, MN 26]. Ketika memutuskan untuk memutar roda dhamma (menyampaikan dhamma dan mengorganisirnya agar bermafaat bagi banyak mahluk, diantaranya dengan memembentuk sangha), maka beliau disebut Arahat dengan jenis Sammasam (benar sempurna/seluruhnya) Buddha (telah tercerahkan), jika tidak memutar roda dhamma, disebut Pacceka (sendiri, mandiri) Buddha. Memutar roda dhamma TIDAK IDENTIK dengan mengajar. Semua jenis Arahat (termasuk Savaka) dapat mengajarkan Dhamma.
Kemunculan Arahat/buddha diketahui para Dewa seluruh alam sehingga mereka yang bertekad mencapai kesucian, ketika tahu ada yang sudah mencapainya, akan bergegas untuk bertanya dan belajar. Jika tidak tahu, para deva akan membantunya untuk tahu, misalnya kasus Bāhiya Dārucīriya [Ud 1.10], konsekuensinya, tidak mungkin di seluruh alam ini, ada 2 sammasambuddha dalam satu jaman, atau tidak mungkin di seluruh alam ini, muncul sekaligus Sammasambuddha bersama Pacceka Buddha dalam satu jaman, alasannya, jika ada 1 orang yang telah mencapai, maka yang selanjutnya, akan belajar darinya, sehingga disebut Savaka/Murid Buddha. Contoh lainnya, Siddharta Gotama sendiri tahu tentang Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta, mencarinya dan berguru, menjadi murid mereka berdua, namun kemudian, Ia tahu yang diajarkan mereka bukan menjadi Padam, kemudian, Ia sendiri berusaha menemukannya, hingga menjadi Arahat/Buddha
- Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā di tepi sungai Nerañjarā di bawah Pohon Banyan Penggembala. Pada saat itu Māra papima telah mengikuti Sang Bhagavā selama 7 tahun, mencari peluang untuk menguasaiNya tetapi tidak berhasil, kemudian mendekati Sang Bhagavā,..Mara berkata: "Jika Engkau telah menemukan Sang Jalan, Jalan aman menuju Keabadian, Pergilah dan jalani Jalan itu sendirian; Apa gunanya mengajarkan orang lain?"
Sang Bhagavā:
"Orang-orang itu yang pergi ke pantai seberang, bertanya apa yang ada di alam setelah kematian. Ketika ditanya, Aku menjelaskan kepada mereka Kebenaran tanpa perolehan" [SN 4.24]
Mara:
”Bhagavā, sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai nibbāna akhir/Parinibbāna, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan sekarang mencapai nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai nibbāna akhir”.
Sang Buddha:
“Mara Penggoda, Aku tidak akan mencapai nibbāna akhir SEBELUM:
Para [bhikkhu, bhikkhuni, Upasaka/umat awam pria dan Upasika/umat awam wanita]-ku menjadi siswa yang sempurna, terlatih, terampil, menguasai Dhamma, terlatih dalam keselarasan dengan Dhamma, terlatih dengan baik dan berjalan di jalan Dhamma, yang telah lulus dari apa yang mereka terima dari Guru mereka, mengajarkan, menyatakan, mengukuhkan, membabarkan, menganalisa, menjelaskan; hingga mereka mampu menggunakan Dhamma untuk membantah ajaran-ajaran salah yang telah muncul, dan mengajarkan Dhamma yang memiliki hasil yang menakjubkan.
Kehidupan suci telah mantap dan berkembang, menyebar, dikenal luas, diajarkan baik di antara para deva dan manusia di mana-mana” [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]
[Kelak di setelah vassa terakhir beliau, di cetiya Capala, Mara datang kembali, juga memintaNya untuk parinibbana (pari/sepenuhnya + nibbana/padam = wafat) saat itu juga dengan mengingatkan bahwa segala hal ini telah tercapai. Setelahnya, Sang Buddha berkata bahwa di 3 bulan mendatang, beliau akan parinibbana]
Mara:
"..Yang Mulia, semua penyimpangan, muslihat, perubahanku telah dipotong, pecah, dan hancur oleh Sang Bhagavā. Sekarang, aku tidak mampu lagi mendekati Bhagavā untuk menguasaiNya."
Kemudian Māra Papima melantunkan syair kekecewaan di hadapan Sang Bhagavā [SN 4.24].
Māra papima, setelah mengucapkan syair kekecewaan di hadapan Sang Bhagavā, pergi dari tempat itu dan duduk bersila di atas tanah tidak jauh dari Sang Bhagavā, diam, cemas dengan bahu turun, putus asa, merenung, tidak mampu berkata-kata, menggores tanah dengan sebatang tongkat. Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—mendekati Māra papima dan berkata kepadanya dalam syair: "Mengapa engkau bersedih, Ayah? Siapakah orang yang membuatmu berduka? Kami akan menangkapnya dengan jerat nafsu Seperti mereka menangkap gajah hutan. Kami akan mengikatnya erat dan membawanya kembali, Dan ia akan berada di bawah kekuasaanmu."
Mara:
"Sang Arahanta, Yang Sempurna di dunia ini, Tidaklah mudah ditarik dengan menggunakan nafsu. Ia telah pergi meninggalkan alam Māra: Oleh karena itu, aku berduka dengan pahit."
Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada-Nya: "Kami melayani-Mu, Petapa.". Tetapi Sang Bhagavā tidak memperhatikan, karena Beliau terbebas dalam padamnya perolehan yang tiada bandingnya.
Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—pergi ke pinggir dan berembuk: "Selera laki-laki berbeda-beda. Bagaimana jika masing-masing dari kita menjelma menjadi bentuk seratus bidadari.". Kemudian ketiga putri Māra itu, masing-masing mengubah wujudnya menjadi seratus bidadari..menjadi bentuk seratus orang perempuan yang belum pernah melahirkan...menjadi bentuk seratus orang perempuan yang pernah melahirkan satu kali..yang pernah melahirkan dua kali..perempuan setengah tua..perempuan tua, mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada-Nya: “Kami melayani-Mu, Petapa.” Tetapi Sang Bhagavā tidak memperhatikan, karena Beliau terbebas dalam padamnya perolehan yang tiada bandingnya.
Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—mendekati Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, Putri Māra bernama Taṇhā berkata: "Apakah karena Engkau tenggelam dalam kesedihan Maka Engkau bermeditasi di dalam hutan? Karena Engkau kehilangan harta atau menginginkan harta, Atau melakukan kejahatan di desa? Mengapa Engkau tidak bergaul dengan orang-orang? Mengapa Engkau tidak menjalin hubungan akrab?”
Sang Bhagavā:
"Setelah menaklukkan bala tentara kesenangan dan kenikmatan, bermeditasi sendirian, Aku menemukan kebahagiaan, Pencapaian tujuan, kedamaian batin. Oleh karena itu, Aku tidak bergaul dengan orang-orang, Juga, Aku tidak menjalin hubungan akrab."
Kemudian putri Māra bernama Arati berkata: "Bagaimanakah seorang bhikkhu di sini sering berdiam bahwa, lima banjir telah terseberangi, di sini ia menyeberangi yang ke enam? Bagaimanakah Ia bermeditasi sehingga persepsi indria dipojokkan dan tidak dapat mencengkeramnya?"
Sang Bhagavā:
"Tenang dalam jasmani, dalam pikiran yang terbebaskan penuh (passaddhakāyo suvimuttacitto), dalam ingatan yang tidak membuat kondisi dan rumah (asaṅkharāno satimā anoko), berlanjut dalam hal tidak menggenggam (hasil)meditasinya (aññāya dhammaṁ avitakkajhāyī), Ia tidak meledak, hanyut, atau kaku (na kuppati na sarati na thino). Ketika seorang bhikkhu di sini sering berdiam demikian, Dengan lima banjir terseberangi, ia di sini menyeberangi yang ke enam. Ketika Ia bermeditasi demikian, persepsi indria dipojokkan dan tidak dapat mencengkeramnya."
Kemudian putri Māra bernama Rāga berkata: "Ia telah memotong keinginan, mengembara dengan kelompoknya; Tentu saja banyak mahkluk akan menyeberang. Aduh, Yang Tanpa Rumah ini akan merampas banyak orang Dan membawa mereka melampaui Raja Kematian."
Sang Bhagavā:
"Sungguh Para Tathāgata, para pahlawan besar, Dituntun oleh Dhamma sejati. Ketika mereka menuntun dengan Dhamma sejati, Kecemburuan apakah yang ada dalam diri mereka yang mengerti?"
Kemudian putri-putri Māra—Taṇhā, Arati, dan Ragā—mendekati Māra Papima. Māra melihat mereka datang dari jauh dan berkata kepada mereka: "Bodoh! Kalian mencoba untuk menyerang gunung Dengan tangkai bunga teratai, Menggali gunung dengan kukumu, Mengunyah besi dengan gigimu. Seolah-olah, setelah mengangkat batu dengan kepalamu, Engkau mencari tempat berpijak di jurang; Seolah-olah engkau menabrak tunggul dengan dadamu, Engkau meninggalkan Gotama dengan kecewa."
Mereka mendatangi Beliau, gemerlap dengan kecantikan— Taṇhā, Arati, dan Ragā—Tetapi Sang Guru menyapu mereka dari sana Bagaikan angin, gumpalan kapas jatuh [SN 4.25]
Setelah menerima permohonan Brahma Sahampati, beliau merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Āḷāra Kālāma bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Āḷāra Kālāma. Ia akan memahaminya dengan cepat.’ . Para deva mendatangi Sang Buddha mengatakan bahwa Āḷāra Kālāma meninggal 7 hari yang lalu dan dari pengetahuan dan penglihatannya beliau tahu bahwa benar Āḷāra Kālāma meninggal 7 hari yang lalu. Sehingga beliau berpikir: ‘Kerugian Āḷāra Kālāma sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat.’ [MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]. Alara kalama melatih meditasi dengan landasan persepsi tak ada sesuatu apapun. Ia menikmati, meminati dan berbahagia dengan persepsi tersebut dan karena mengakar menjadi kebiasaan tanpa alpa melakukannya maka disetelah wafatnya terlahir di antara Deva ākiñcaññāyatana yang akan berumur 60.000 Kappa [AN 3.116/Āneñja sutta]. Gangguan luar dapat menyebabkannya terbangun dari persepsi tersebut dan karena nafsunya belum padam, ini akan mengusiknya, sehingga dapat menyebabkannya terjatuh dari alam itu ke alam yang bawahnya bahkan sampai ke alam Neraka. Sang Buddha tentunya tidak akan melakukan itu
Demikian pula ketika beliau berpikir tentang Uddaka Rāmaputta, Para Deva menyampaikan bahwa Uddaka Rāmaputta meninggal kemarin malam dan dari pengetahuan dan penglihatannya, ia tahu bahwa benar Uddaka Rāmaputta meninggal kemarin malam [MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]. Uddaka Ramaputta melatih meditasi dengan landasan landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi Ia menikmati, meminati dan berbahagia dengan persepsi tersebut dan karena mengakar menjadi kebiasaan tanpa alpa melakukannya maka disetelah wafatnya terlahir di antara Deva nevasaññānāsaññāyatana (nevasaññānāsaññāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati [AN 4.172] yang menurut Vibhanga no.18 Mahluk di alam itu akan berumur hingga 84.000 Kappa, Gangguan luar dapat menyebabkannya terbangun dari persepsi tersebut dan karena nafsunya belum padam, ini akan mengusiknya, sehingga dapat menyebabkannya terjatuh dari alam itu ke alam yang bawahnya bahkan sampai ke alam Neraka. Sang Buddha tentunya tidak akan melakukan itu
Kemudian beliau teringat akan kelima teman asetiknya, Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji, mengetahui bahwa mereka tinggal di Sarnath, dekat Varanasi. Beliau segera pergi untuk mencari mereka. Setelah tinggal di Uruvela selama waktu yang dikehendaki, beliau menuju Sarnath
Jarak Bodhgaya/Uruvela - Sarnath menurut map adalah 234 KM, jika lama menempuh 18km/hari, lama perjalanan adalah 13 hari. Tradisi menyatakan pemutaran roda dhamma atau pembabaran dhammacakkappavatana sutta kepada 5 Petapa terjadi pada purnama Asalha/Asadha (60 hari sejak purnama Vesakh), dan kitab komentar menyatakan bahwa Buddha di Uruvela selama 7 minggu (49 hari), maka dengan 13 hari perjalanan, tidak dapat pembabaran dhammacakkappavatana sutta dilakukan pada purnama Asadha, kecuali mengikuti alur Sutta, yaitu sampai minggu ke-5 (39 hari sejak mencapai penerangan sempurna), jika beliau berangkat dari Uruvela di awal minggu ke-6, maka pembabaran di purnama Asadha dapat terjadi.
Dalam perjalanan menuju Benares. Antara Gayā dan tempat pencerahannya, Sang Buddha bertemu petapa Ajivaka (ājīvika = ‘orang dengan mata pencaharian’, Bud. India, hlm. 143) bernama Upaka (Divy. 393, Upaka = Upaganena). Ketika melihat Sang Buddha, dengan keheranan, ia mendekat dan berkata, "Teman, indriamu cerah, warna kulitmu bersih dan cemerlang. Di bawah siapakah Engkau meninggalkan keduniawian, teman? Siapakah guruMu? Dhamma siapakah yang Engkau anut?". Sang Buddha menjawab:
(1) Sabbābhibhū sabbavidū'ham-asmi, sabbesu dhammesu anūpalitto, sabbaɱjaho taṇhakkhaye vimutto, sayaɱ abhiññāya kam-uddiseyyaɱ (Aku telah melampaui segalanya, pengenal segalanya, tak ternoda segalanya, meninggalkan segalanya bebas bentukan kehausan. Setelah mengetahui dengan mengalaminya sendiri, Siapakah yang harus Kutunjuk sebagai guru?)
(2) Na me ācariyo atthi, sadiso me na vijjati, sadevakasmiɱ lokasmiɱ, na-tthi me paṭipuggalo (Tidak ada guruku, bahkan untuk yang sepertiku, tidak ditemukan, di segala alam beserta para dewanya, tidak ada yang sebanding denganku)
(3) Ahaɱ hi arahā loke, ahaɱ satthā anuttaro, eko'mhi sammāsambuddho, sītibhūto'smi nibbuto (Aku telah bebas samsara dunia ini, melampaui para mahluk, seorang yang dengan benar seluruhnya telah tercerahkan, Aku telah tenang padam)
(4) Dhammacakkaɱ pavattetuɱ gacchāmi Kāsinaɱ puraɱ, andhabhūtasmiɱ lokasmiɱ āhañchaɱ amatadundubhin ti (Untuk memutar Roda Dhamma, aku menuju Kasi (yaitu ke taman Rusa, Isipatana, dekat Vàrànasi), menabuh genderang tanpa kematian bagi dunia yang tengah meraba dikebutaan)
Petapa Upaka berkata, Yathā kho tvaɱ āvuso paṭijānāsi arahasi anantajino ti (Dengan pengakuanmu, teman, kau pastinya telah padam penakluk segalanya)
Sang Buddha menjawab:
(5) Mādisā ve jinā honti ye pattā āsavakkhayaɱ, jitā me pāpakā dhammā, tasmā'haɱ Upakā jino ti
(Para penakluk/Jina telah menghancurkan noda-noda, Aku telah menaklukkan segala hal buruk, Oleh karenanya, Upaka, Aku adalah Penakluk)
Petapa Upaka: ‘Semoga demikian, teman.’ Dengan menggelengkan kepala, Ia berjalan melalui jalan kecil dan pergi. [MN 26/Ariyapariyesanā Sutta, Vinaya IV, Mahavagga, DhpA, Bab 24, syair no.353].
Kitab komentar: Setelahnya, Upaka pergi ke negara Vaṅkahāra dan menikah dengan Cāpā, putri seorang Pemburu dan lahir putra bernama Subhadda. Ketika bayi itu menangis, Cāpā bernyanyi untuk mengejek suaminya, "Putra Upaka, petapa peramal (Upako isi), jangan menangis". Putus asa, karena Istrinya tidak berhenti mengejek, Ia meninggalkan istri dan anaknya, pergi menemui Sang Buddha di Sāvatthi dan menjadi anggota Sangha, Upaka akhirnya mencapai yang-tidak-kembali (Anagami), wafat dan terlahir di alam Sudhavasa terbawah [Aviha], dan mencapai kearahat-annya di sana [Upaka di Aviha: SN 1.50, SN 2.24; RAPB, Buku ke-1, Hal 693-698 dan DPPN: Upaka]
Bertemu dengan lima rekannya
Di Benares, Taman Rusa di Isipatana, dan Aku mendekati lima petapa. Dari jauh mereka melihatKu mendekat, dan mereka sepakat: ‘Teman-teman, telah datang Petapa Gotama yang hidup dalam kemewahan, yang telah meninggalkan usahaNya, dan kembali kepada kemewahan. Kita tidak perlu memberi hormat kepadanya atau bangkit menyambutnya atau menerima mangkuk dan jubah luarNya. Tetapi sebuah tempat duduk boleh disediakan untukNya. Jika Ia menginginkan, Ia boleh duduk.’ Akan tetapi, ketika Aku mendekat, para bhikkhu itu tidak dapat mempertahankan kesepakatan mereka. Salah seorang datang menyambutKu dan mengambil mangkuk dan jubah luarKu, yang lain menyiapkan tempat duduk, dan yang lain lagi menyediakan air untuk membasuh kakiKu akan tetapi mereka menyapaKu dengan nama dan sebagai ‘teman.’ [MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]
- Note:
membasuh kaki (padya) tamu adalah adab tradisi India dalam menghormati tamu (juga membasuh kaki guru, orang tua dan yang dihormati). Saat itu, pembasuhan terhadap kakiNya dilakukan bukan karena beliau dianggap sebagai guru ataupun Buddha, tapi karena beliau adalah tamu mereka. Sample lain, misal Mahabharata, saat Mahārāja Yudhiṣṭhira melakukan rājasūya-yajña, Kṛṣṇa bertugas untuk membasuh kaki para tamu.
Setelah duduk, sang Buddha memberitahu mereka: "Para bhikkhu, jangan menyapa Sang Tathāgata dengan nama dan sebagai “teman.” Sang Tathāgata adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah dicapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah" [MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]
Pada mulanya, kelima petapa ini meragukanNya dan memberikan banyak argumen, kemudian sang Buddha berkata pada mereka, "Para petapa, pernahkah kalian mendengar Aku berkata seperti ini sebelumnya?" Mereka menjawab: ‘Tidak, Yang Mulia.’ [MN 26]. Akhirnya mereka mulai mempercayainya dan mau mendengar ajaranNya. Maka Sang Buddha memberikan khotbah pertamaNya yang kelak dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah ini disampaikan tepat di saat purnama sidhi, pada bulan asadha. Inilah ringkasan kotbah pertama yang legendaris itu:
- "Para bhikkhu, Ada 2 hal ekstrim yang harus tidak dihindari oleh seorang yang menempuh kesucian;
(1) Mengejar kebahagiaan indria dalam kenikmatan indria (kāmesu kāmasukhallikānuyogo), yang rendah, kasar, cara-cara kaum duniawi, tidak mulia, tidak bermanfaat (hīno gammo pothujjaniko anariyo anatthasaṃhito); dan
(2) praktek penyiksaan diri (attakilamathānuyogo), yang menyakitkan, tidak mulia, tidak bermanfaat (dukkho anariyo anatthasaṃhito).
Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata telah membangkitkan jalan tengah, yang memunculkan: penglihatan, pengetahuan, yang menuntun menuju: kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, menuju nibbāna.
Dan apakah, para bhikkhu, jalan tengah yang dibangkitkan oleh Sang Tathāgata, yang memunculkan: penglihatan,.. menuju nibbāna?
Adalah Jalan Mulia Berunsur 8: Pandangan benar, kehendak benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Pencaharian Benar, Daya-upaya Benar, Ingatan Benar dan Pikiran terpusat Benar.
Ini, para bhikkhu, jalan tengah yang dibangkitkan Sang Tathāgata, yang memunculkan: penglihatan.., menuju nibbāna.
Kemudian, para Bhikkhu, Ini adalah kebenaran mulia penderitaan/Dukkha:
kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan... singkatnya, 5 kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.
Kemudian, para bhikkhu, Ini adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan:
adalah keinginan yang menuntun menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan nafsu, mencari kenikmatan di sana-sini; yaitu, keinginan pada kenikmatan indria, keinginan pada penjelmaan, keinginan pada pemusnahan.
Kemudian, para bhikkhu, Ini adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan:
adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya keinginan yang sama itu, meninggalkan dan melepaskannya, kebebasan darinya, tidak bergantung padanya.
Kemudian, para bhikkhu, Ini adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan:
adalah Jalan Mulia Berunsur 8; yaitu, pandangan benar, …, pikiran terpusat benar.
[..] Demikianlah yang dikatakan Sang Bhagavā. Bersuka-cita, Kelompok 5 Bhikkhu gembira mendengar penjelasan Sang Bhagavā. Dan selagi khotbah dibabarkan, muncullah pada Yang Mulia Kondañña penglihatan Dhamma tanpa noda, bebas dari debu: “Apa pun yang tunduk pada asal-mula semuanya tunduk pada lenyapnya.”
Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan ucapan inspitarif ini: “Kondañña sungguh telah mengerti! Kondañña sungguh telah mengerti!”. Demikianlah YM Kondañña memperoleh nama “Aññā Kondañña - Kondañña Yang Telah Mengerti.” [SN 56.11/Dhammacakkappavattana sutta (Pemutaran roda Dhamma); MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]
Peristiwa pemutaran roda dhamma atau pembababaran Dhammacakkappavatana sutta pada purnama Asadh, kemudian dikenal sebagai hari Asadha atau hari pemutaran roda dhamma.
Berdirinya Sangha (kumpulan minimum 5 Bikkhu)
Saat roda dhamma diputar, Kondañña menjadi manusia pertama yang mencapai Sotapanna di era Buddha Gotama. Setelah pemutaran roda Dhamma, Kondañña mohon ditahbiskan menjadi Bhikkhu dan Ia ditahbiskan dengan kalimat, "Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan", maka Kondañña menjadi bhikkhu pertama murid Sang Buddha dan yang pertama ditahbiskan dengan ucapan "ehi bhikkhu" (ehi = datang, mari) [Vinaya IV, Mahavagga].
(2 hari setelahnya) Vappa dan Bhaddiya menjadi Sotapanna dan ditahbiskan dengan kalimat "ehi bhikkhu". Selanjutnya, setelah menyantap makanan yang dibawakan oleh mereka (Vappa dan Bhadidiya), Sang Bhagava kembali menasihati, memberi petunjuk kepada petapa-petapa yang tersisa dengan wejangan Dhamma, serta berkata, “Mari kita ber-6 hidup dari makanan yang dibawa oleh ke3 bhikkhu yang telah menjalankan pindapata. (Di hari ke-4) Mahanama dan Assaji menjadi Sotapanna dan ditahbiskan dengan kalimat "ehi bhikkhu". Dengan adanya 5 Bhikkhu ini, maka terbentuklah sangha Bhikkhu pertama di era Buddha Gotama [Vinaya IV, Mahavagga].
Kadang Aku memberikan instruksi kepada 2 bhikkhu sementara 3 lainnya mengumpulkan dana makanan,..., Kadang Aku memberikan instruksi kepada 3 bhikkhu sementara 2 lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami ber-6 hidup dari apa yang dibawa kembali para bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan [MN 26]
(Di hari ke-5), setelah khotbah pertama, Sang Buddha membabarkan khotbah kedua, Anattalakkhana sutta:
- "para Bhikkhu, bentukan/materi bukanlah identitas (diri)-ku (Rūpaṁ, bhikkhave, anattā). Para Bhikkhu, KARENA JIKA BENTUKAN INI (Rūpañca hidaṁ, bhikkhave) ADALAH BENAR IDENTITAS (DIRI)-KU (attā abhavissa), TAKKAN BENTUKAN INI (nayidaṁ rūpaṁ) MENGARAH PADA HASIL YANG MEMBUATNYA MENDERITA/KECEWA/SAKIT (ābādhāya saṁvatteyya), dan terhadap bentukan, akan dapat (labbhetha ca rūpe): 'bentukan menjadilah demikian untukku (evaṁ me rūpaṁ hotu), bentukan janganlah menjadi demikian untukku (evaṁ me rūpaṁ mā ahosī).'
Para Bhikkhu, DAN OLEH KARENA (yasmā ca kho, bhikkhave) BENTUKAN BUKANLAH IDENTITAS (DIRI)-KU (rūpaṁ anattā), MAKA BENTUKAN AKAN MENGARAH PADA HASIL YANG MEMBUATNYA MENDERITA/KECEWA/SAKIT (tasmā rūpaṁ ābādhāya saṁvattati), dan terhadap bentukan, tidaklah dapat: 'bentukan menjadilah demikian untukku, bentukan janganlah menjadi demikian untukku.'
..perasaan bukanlah identitas (diri)-ku...
..persepsi bukanlah identitas (diri)-ku...
..bentukan kehendak bukanlah identitas (diri)-ku...
..kesadaran bukanlah identitas (diri)-ku...
Sang Buddha: "Bagaimana menurutmu, para bhikkhu — Apakah [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran] kekal atau tidak kekal?"
5 Pertapa: "Tidak kekal, Bhante."
Sang Buddha: "Dan apakah hal yang tidak kekal itu memberikan penderitaan/dukkhaṁ (tidak memuaskan) ataukah memberikan kenyamanan/sukhaṁ (memuaskan)?"
5 Pertapa: "memberikan penderitaan, Bhante."
Sang Buddha: "namun terhadap sesuatu yang tidak kekal, memberikan penderitaan, dapat berubah (yaṁ panāniccaṁ dukkhaṁ vipariṇāmadhammaṁ), pantaskah yang demikian ini dianggap (kallaṁ nu taṁ samanupassituṁ): 'Ini milikku (etaṁ mama), Ini lah aku (esohamasmi), Ini identitas (diri)-ku (eso me attā)'?"
5 Pertapa: Tidak, Bhante."
Sang Buddha: "Oleh Karenanya, para bhikkhu, APAPUN ITU (yaṁ kiñci) [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran] di masa lampau, depan, atau sekarang (atītānāgatapaccuppannaṁ); di dalam atau luar (tubuh) (ajjhattaṁ vā bahiddhā); kasar atau halus (oḷārikaṁ vā sukhumaṁ); rendah atau mulia (hīnaṁ vā paṇītaṁ); baik itu jauh atau dekat (vā yaṁ dūre santike); SEGALA (sabbaṁ) [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran]: 'Ini BUKAN milikku (netaṁ mama), Ini BUKANLAH aku (nesohamasmi), Ini BUKAN identitas (diri)-ku (na meso attā)', seperti demikian ini seharusnya dilihat secara nyata benar sebagaimana adanya (evametaṁ yathābhūtaṁ sammappaññāya daṭṭhabbaṁ)"
"Melihat demikian, para bhikkhu (evaṁ passaṁ, bhikkhave), siswa Ariya yang memahaminya, akan: TAK TERKESAN (hambar/nibbida) dengan [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran]
SETELAH TAK TERKESAN, Ia TIDAK MENGINGINKAN [nibbindaṁ virajjati]. SETELAH TIDAK MENGINGINKAN, Ia MENJADI TERBEBAS DARINYA [virāgā vimuccati].
Setelah terbebaskan, dirinya tahu bahwa telah terbebas (vimuttasmiṁ vimuttamiti ñāṇaṁ hoti), Ia mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan (khīṇā jāti), cara hidup brahma/cara non duniawi telah dijalani (vusitaṃ brahmacariyaṃ), apa yang harus dilakukan telah dilakukan (kataṃ karaṇīyaṃ), tak lagi menjadi mahluk apapun (nāparaṃ itthattāyāti)"
Demikian yang dikatakan Sang Bhagava. Berterimakasih, kelompok 5 bhikkhu tersebut gembira atas kata-kata Beliau. Sewaktu penjelasan sedang diberikan, mental kelompok 5 bhikkhu, melalui ketidakmelekatan, terbebas sepenuhnya dari kekotoran mental [SN 22.59/Anattalakhana sutta (Karakteristik Bukan-Diri/tanpa inti) dan Vinaya IV, Mahavagga]
Menginstruksikan Yasa
Di Benares saat itu, terdapat anak muda bernama Yasa (Kitab komentar Manorathapūraṇi: Yasa adalah anak Sujata, perempuan yang pernah berdana Susu beras pada Siddhattha Gotama di menjelang Pencerahannya. Sujata kelak adalah umat awam perempuan pertama yang berlindung pada Tiratana - AN 1.258). Yasa hidupnya dipenuhi kemewahan dikelilingi gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Seperti juga pangeran Siddhattha, Yasa memiliki tiga rumah tinggal untuk setiap musimnya.
Pada suatu malam di musim hujan, Yasa terbangun dari tidurnya dan melihat para pengikut dan penarinya tertidur bergelimpangan bagai mayat di kuburan, beberapa dengan rambut acak-acakan, beberapa dengan air liur menetes, beberapa mengigau dan banyak postur lainnya yang membuatnya menjadi jemu dengan kenikmatan indriya dan mengucapkan, "Alangkah menakutkannya! Alangkah mengerikannya!". Dengan pikiran kalut penuh kecemasan, Ia berjalan meninggalkan kediamannya hingga sampaila di Taman Rusa di Isipatana pada waktu hampir menjelang pagi. Saat itu, Sang Buddha, baru selesai berjalan dan duduk di satu tempat. Ketika Yasa berjalan dekat Sang Buddha, Ia mengulangi ucapannya, "Alangkah menakutkan! Alangkah mengerikannya!". Sang Buddha menyapanya, "Ini, Yasa, tidaklah menakutkan. Tidaklah mengerikan. Mari, duduklah di sini, Aku akan mengajarkannya". Mendengar itu, Yasa berpikir, "Dikatakan ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan?”. Merasa tertarik dan gembira, Ia melepas sandalnya, menghampiri Sang Buddha, memberi hormat dan duduk di sisiNya.
Sang Buddha mengawalinya dengan manfaat berdana, latihan moralitas, kelahiran di alam-alam bahagia karena melakukan banyak kebajikan, buruknya mengumbar nafsu dan manfaat melepas diri dari kesenangan Indriawi. Setelah Sang Buddha melihat pikiran Yasa lunak, lentur, bergembira, tanpa rintangan menerima pengajaran, beliau melanjutkannya dengan Empat Kesunyataan Mulia yang membebaskan. Setelah Sang Buddha selesai dengan uraiannya, Yasa yang dalam keadaan duduk, memperoleh Mata Dhamma (melihat ajaran) bahwa apapun yang muncul, akan berakhir.
Ketika itu, ayahnya Yasa tengah mencarinya hingga ke sana. Sang Buddha melihatnya dari kejauhan dan dengan kekuatan mentalnya, beliau membuat Yasa tidak terlihat oleh ayahnya. Setelah mendekat dan bertegur sapa, sang ayah bertanya pada Sang Buddha apakah beliau melihat Yasa. Sang Buddha menjawabnya dengan mengajaknya duduk di situ agar dapat melihat Yasa. Mendengar itu, ayah Yasa merasa tertarik dan senang, kemudian duduk di situ.
Kemudian, Sang Buddha menyampaikan kembali uraiannya seperti yang disampaikannya kepada Yasa. Setelah mendengar uraian sang Buddha, ayah Yasa melihat ajaran/Dhamma (diṭṭhadhammā), memperoleh ajaran (pattadhammā), tahu akan ajaran (viditadhammā) mengakar kokoh dalam ajaran (pariyogāḷhadhammā) melampaui keragu-raguan (tiṇṇavicikicchā), menghalau kebingungan (vigata-kathaṃkathā) ajaran, mempunyai kepercayaan diri (vesārajjappattā) akan ajaran dan tidak bergantung pada yang lain (aparappaccayā) dalam ajaran dan memohon untuk berlindung pada Buddha, Dhamma dan kumpulan para PetapaNya (sangha). Saat itu, Ayah Yasa adalah umat awam pertama yang berlindung pada ti ratana (3 permata) [Vinaya IV, Mahavagga].
- Note:
Sebelumnya, Tapussa dan Bhallika juga telah menyatakan diri berlindung pada Sang Buddha dan DhammaNya. Namun ketika itu, Sang Buddha belum mempunyai murid yang menjadi PetapaNya, sehingga 3 permata belum ada dan baru ada setelah 5 petapa menjadi Bhikkhu. Oleh karenanya, Tapussa dan Bhallika bukanlah umat awam pertama yang berlindung pada tiratana
Kemudian Sang Buddha membuat ayah Yasa dapat melihat kehadiran Yasa yang tengah duduk di sana. Ayahnya Yasa menyampaikan pada Yasa bahwa ibunya sedang bersedih karena kehilangannya. Yasa kemudian menatap Sang Buddha dan Sang Buddha bertanya pada ayah Yasa mengenai bagaimana dengan ajaran yang telah dilihat dan dipahaminya yang juga telah dilihat dan dipahami oleh Yasa? Ayah Yasa memahami, bahwa Yasa tidak dapat kembali lagi menjalani kehidupan berumah tangga.
Ayah Yasa kemudian mengundang Sang Buddha dan Yasa untuk datang esok harinya ke rumahnya menerima dana makanan. Sang Buddha menerimanya dengan berdiam diri. Setelah permohonannya diterima, ayah Yasa berdiri berpamitan pulang dengan cara memberi penghormatan dengan berjalan memutari Sang Buddha pada sisi kanannya dan kembali pulang ke istananya.
Setelah ayahnya pulang, Yasa memohon untuk ditahbiskan. Sang Buddha mentahbiskannya dengan kalimat, "Ehi bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci" TANPA kalimat "dan singkirkanlah penderitaan" karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat sebelum ditahbiskan. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada 7 orang Arahat (Sang Buddha, 5 Petapa dan Yasa) [Vinaya IV, Mahavagga].
Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Sang Buddha pergi ke rumah ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar memberi penghormatan. Sang Buddha kembali menyampaikan uraiannya dan mereka berdua pun memperoleh Mata Dhamma dan memohon menjadi umat awam wanita (Upasika) yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ibu Yasa adalah umat awam wanita pertama yang berlindung pada ti ratana [Vinaya IV, Mahavagga].
Di Benares, Yasa mempunyai 4 orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya yang bernama Vimala, Subāhu, Puņņaji, Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah. Karena itu mereka menemui bhikkhu Yasa yang kemudian membawa ke-4 kawannya menghadap Sang Buddha.
Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu. Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempatnya dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian jumlah Arahat pada waktu itu menjadi 11 orang [Vinaya IV, Mahavagga].
50 orang teman Yasa mendengar bahwa sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil keputusan untuk mengikuti jejak bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat, sehingga pada waktu itu terdapat 61 orang Arahat [Vinaya IV, Mahavagga].
Menyebarkan Dharma
Kepada 61 Bhikkhu pengikutnya, Sang Buddha berkata: "Aku telah terbebaskan dari segala jeratan surgawi maupun manusiawi. Kalian juga, telah terbebas dari segala jeratan surgawi maupun manusiawi. Mengembaralah, Para bhikkhu, demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para deva dan manusia. Janganlah dua orang pergi bersama. Ajarilah, O para bhikkhu, Dhamma yang indah di awal, di pertengahan dan di akhir, dengan makna dan kata yang benar. Ungkapkanlah kehidupan suci yang lengkap dan murni sempurna. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang akan jatuh jika mereka tidak mendengar Dhamma. Ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma. Aku juga, para bhikkhu, akan pergi ke Senānigama di Uruvelā untuk mengajarkan Dhamma" [Vinaya IV, Mahavagga, SN 4.4-5].
Kemudian Māra Pāpimā (pāpimā= Penggoda, buruk sifat) mendekati Sang Bhagavā dan berkata:
Engkau terikat oleh segala jeratan
surgawi maupun manusiawi;
Engkau terikat oleh belenggu kuat:
Engkau tidak dapat menghindariku, Petapa!
Sang Bhagavā:
Aku terbebas dari segala jeratan
surgawi maupun manusiawi;
Aku terbebas dari belenggu kuat:
Engkau telah kalah, sang Kematian [Vinaya: Mahakhandhaka dan SN 4.5/Dutiyamārapāsasutta]
Kemudian berangkatlah ke-61 Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan mengajarkan Dhamma. Kerap mereka bertemu orang yang ingin menjadi bhikkhu, namun mereka belum bisa mentahbiskannya, maka orang itu mereka bawa kehadapan Sang Buddha, Ini sungguh suatu perjalanan yang melelahkan. Melihat kesulitan ini, Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu memberikan pentahbisan:
"Aku perkenankan kalian, para Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kalian lakukan. Pertama, Rambut dan kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangan dalam sikap menghormat (anjali) dan berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya nyatakan kepadanya, "Ucapkanlah ini, "Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha..untuk ke-2x nya...untuk ke-3x nya" [Vinaya IV, Mahavagga].
Sehingga, mulai saat itu ada dua cara pentahbisan, pertama oleh Sang Buddha sendiri dengan "ehi bhikkhu" dan kedua, oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan "Tisaranagamana".
Sepanjang Perjalanan di Desa Uruvela
Beliau menuju Uruvela dan duduk di satu akar pohon tertentu. ketika itu, datang sekumpulan orang muda dan sampai dihadapan Sang Buddha, mereka bertanya, "Yang Mulia! Apakah Yang mulia melihat seorang perempuan?"
Sang Buddha menjawab, “Para orang muda! Ada urusan apakah kalian mencari perempuan itu?” Mereka menjawab, “Yang Mulia! Kami 30 bersaudara Bhaddavaggiya (bermuka menyenangkan, tahu aturan dan bersikap) sedang pesiar bersama bersama istri-istri kami di Hutan Kappàsika. Seorang dari kami belum beristri sehingga datang dengan membawa seorang pelacur. Ketika kami tengah dalam kesenangan, pelacur tersebut mencuri hartanya dan kabur melarikan diri. Kami membantunya mencari hingga sampai di sini.
Sang Buddha berkata, “Para orang muda, mana yang lebih baik bagi kalian, mencari perempuan yang hilang itu atau mencari diri kalian sendiri?”
Mereka menjawab, “Yang Mulia! Tentu saja lebih baik mencari diri kami sendiri.”
Buddha berkata, “Jika demikian, Para orang muda, Duduklah. Aku, akan mengajarkannya”
Mereka menjawab, "Baiklah, Yang mulia", kemudian, setelah bersujud hormat kepada Sang Buddha, 30 bersaudara inipun duduk.
Sang Buddha kemudian menjelaskan manfaat berdana, latihan moralitas, kelahiran di alam-alam bahagia karena melakukan banyak kebajikan, buruknya mengumbar nafsu dan manfaat melepas diri dari kesenangan Indriawi. Setelah Sang Buddha melihat pikiran mereka lunak, lentur, bergembira, tanpa rintangan menerima pengajaran, beliau melanjutkannya dengan Empat Kesunyataan Mulia yang membebaskan.
Mendengar uraian beliau, mereka semua: melihat Dhamma, memperoleh dhamma, tahu akan Dhamma, mengakar kokoh dalam Dhamma, melampaui keragu-raguan, menghalau kebingungan ajaran, mempunyai kepercayaan diri akan ajaran dan tidak bergantung pada yang lain dalam ajaran. Mereka kemudian memohon ditahbiskan dan sang Buddha ucapkan, "Etha bhikkhavo" (Mari, Para Bhikkhu) "Dhamma telah dibabarkan, jalani kesucian untuk mengakhiri penderitaan” (saat itu, ke-30 orang ini minimum telah sotapanna, namun belum arahat) [Vinaya IV, Mahavagga] .
Sang Buddha kemudian meneruskan perjalanannya,
Di 3 tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggallah 3 Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila, para petapa rambut kusut pemuja api. Yang tertua, Uruvelā Kassapa, tinggal di hulu sungai, punya 500 pengikut. Yang ke-2, Nadī Kassapa (dari sungai Nadī, Nerañjarā), tinggal di hilir sungai, punya 300 pengikut. Yang ke-3, Gaya Kassapa, tinggal lebih hilir lagi dan punya 200 pengikut.
Sang Buddha menemui pertapa Uruvela Kassapa dan meminta ijin agar dapat bermalam di ruang perapiannya. Uruvela Kassapa menyatakan bahwa di ruang perapian itu tinggal seekor raja ular yang ganas, berbisa, berkemampuan tinggi dan dikhawatirkan akan mencelakai Sang Buddha. Sang Buddha berkata: "Raja Ular itu tidak dapat melukaiKu, Kassapa". Setelah memperoleh izin, Beliau memasuki ruang perapian dan menebarkan alas tempat duduk, duduk dengan tubuh dan pikiran yang tenang. Melihat sang Buddha, raja ular terusik dan marah, kemudian menyemburkan asap panas dan juga apitanpa henti ke arah Sang Buddha. Kemudian dengan tanpa melukai dan menyakiti fisik raja ular ini, beliau menahan kekuatan sang raja ular dengan meniupkan asap panas dan api yang lebih dahsyat. Seluruh tempat perapian terlihat seperti terbakar api dan para petapa rambut kusut yang berkumpul di sekelilingnya berkata, “Benar-benar memukai Petapa Agung itu, Dia akan dicelakai raja ular itu”. Pagi harinya, Sang Buddha meletakkan raja ular itu di mangkuk makananNya, menunjukkan kepada Uruvela-Kassapa, "Kassapa, Inilah raja ularmu, panasnya telah diatasi dengan panas juga". Uruvela-Kassapa berpikir, "walaupun Bhikkhu ini sangat kuat dan sakti, Ia bukanlah Arahat sepertiku".
Terkesan dengan dengan keajaiban (pañihàriya)-Nya, Uruvela-Kassapa mengundang Sang Buddha untuk tinggal. Demikianlah, Sang Buddha menetap di Uruvela, selama 3 bulan, Uruvela Kassapa melihat dan mengetahui sendiri 16 keajaiban yang dilakukan beliau (yaitu: 4 raja deva, Sakka, Brahma Sahampati yang memohon pengajaran Dhamma; membaca pikiran Uruvela Kassapa ketika menghendaki Sang Buddha tidak ada saat Ia mengadakan upacara yang akan dihadiri penduduk Anga dan Magadha; Para Deva melayaniNya membersihkan jubahnya dengan terciptanya kolam, batu dan pohon yang melengkung, mendatangkan buah dan bunga luar biasa; Memecah kayu menjadi 500 potong secara serepak, menyalakan api, membakar dan memadamkan api dari kayu-kayu tersebut secara serempak; Di musim dingin turun salju pada perayaan hari ke-8 menghidupkan 500 tungku secara serentak, untuk para petapa itu terjun dan naik berulang di sungai Nerañjarã; Hujan lebat yang turun diluar musim dan mengakibatkan banjir namun air disekelilingNya surut dan beliau melakukan Meditasi jalan ditengah halaman yang tertutup debu, kemudian dengan terbang menghampiri Uruvela Kassapa). Melihat dan mengetahui ini, Uruvela-Kassapa tetap berpikir: “walaupun Bhikkhu ini sangat kuat dan sakti, Ia bukanlah Arahat sepertiku”
Sang Buddha akhirnya menyampaikan kepada Uruvela Kassapa bahwa Ia bukanlah seorang Arahat seperti yang disangkanya juga tidak menempuh jalan menuju kesempurnaan dan tiada sesuatu dilakukannya untuk dapat membuatnya menjadi seorang sempurna atau memasuki jalan menuju kesempurnaan". Uruvela Kassapa tampaknya menyadarinya dan memohon agar diterima menjadi murid Sang Buddha. Sang Buddha mengingatkannya untuk memikirkan pendapat 500 muridnya, oleh karenanya Uruvela Kassapa kemudian berbicara kepada 500 muridnya bahwa Ia akan menjadi murid sang Buddha, murid-muridnya menyatakan akan ikut bersamanya, dan kemudian, dengan memotong rambut, meletakkan dan menghanyutkan peralatan upacara api yang ada bersama mereka, Ia dan 500 muridnya menjadi murid Sang Buddha.
Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai melihat rambut, rambut dan peralatan sembahyang terapung di sungai, mengira telah terjadi bencana menimpa kakaknya dan para pengikutnya. Ia beserta 300 pengikutnya, menuju tempat Uruvela Kassapa. Setelah tiba, Ia melihat kakak dan para pengikutnya sudah menjadi bhikkhu dan Ia diberikan penjelasan, setelahnya, Nadi Kassapa bersama 300 pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada Gaya Kassapa dan 200 pengikutnya. Dengan demikian, 3 kelompok kaum Jatila sejumlah 1.003 menjadi pengikut Sang Buddha.
Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayāsīsa di tepi Sungai Gaya. Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah SN 35.28/Adittapariyaya Sutta, yang ringkasan khotbah itu adalah sebagai berikut:
- Para bhikkhu, segalanya terbakar. Dan apakah, para bhikkhu, segalanya yang terbakar itu?
Mata terbakar … Telinga terbakar … Hidung terbakar … Lidah terbakar … Badan terbakar … Pikiran terbakar,
bentuk-bentuk terbakar … suara-suara terbakar … bebauan terbakar … rasa kecapan terbakar … objek sentuhan terbakar … fenomena pikiran terbakar,
kesadaran-mata terbakar … kesadaran-telinga terbakar … kesadaran-hidung terbakar … kesadaran-lidah terbakar … kesadaran-badan terbakar … kesadaran-Pikiran terbakar,
kontak-mata terbakar … kontak-telinga terbakar … kontak-hidung terbakar … kontak-lidah terbakar … kontak-badan terbakar … kontak-pikiran terbakar,
dan perasaan apa pun yang muncul dengan:
kontak-mata sebagai kondisi … kontak telinga sebagai kondisi … kontak hidung sebagai kondisi … kontak lidah sebagai kondisi … kontak badan sebagai kondisi … kontak pikiran sebagai kondisi
—apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan—
itu juga terbakar.
Terbakar oleh apakah?
Terbakar oleh api nafsu, oleh api ketidaknyamanan, oleh api delusi; terbakar oleh kelahiran, penuaan, dan kematian; oleh dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan, Aku katakan.
“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan:
terhadap mata … terhadap pikiran,
terhadap bentuk-bentuk … terhadap fenomena pikiran,
terhadap kesadaran-mata … terhadap kesadaran-pikiran,
terhadap kontak-mata … terhadap kontak- pikiran,
terhadap perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi … terhadap perasaan apapun yang muncul dengan kontak pikiran sebagai kondisi
—apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan;
Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan mentalnya terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’”
Menuju Kota Rajagaha
Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana (taman rumput dan pohon palem).
Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha, bersama 12 kelompok, banyak sekali brahmana dan perumah tangga Magadha. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Sejumlah brahmana dan perumah tangga dari Magadha setelah memberi hormat kepada Sang Bhagava, duduk di satu sisi; sejumlah orang saling bertukar salam dengan Sang Bhagava dan setelah saling mengucapkan salam persahabatan dengan sopan, mereka duduk di satu sisi; sejumlah orang setelah menghormati Sang Bhagava dengan sikap anjali, duduk di satu sisi; sejumlah orang setelah menyebutkan nama dan sukunya di hadapan Sang Bhagava, duduk di satu sisi; sejumlah orang lainnya dengan hening, duduk di satu sisi. Timbul pertanyaan pada kedua belas kelompok brahmana dan perumah tangga dari Magadha itu, "Apakah Petapa Agung ini menjalani kehidupan suci di bawah pimpinan Uruvela Kassapa atau Uruvela Kassapa yang menjalani kehidupan suci di bawah pimpinan Petapa Agung?"
Sang Bhagava yang membaca pikiran mereka, berkata kepada Uruvela Kassapa, "Kassapa, engkau telah lama di Uruvela, memimpin kaum Jatila dalam upacara api. Apakah sebab hingga engkau berhenti melakukannya? Mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?"
Uruvela Kassapa menjawab, "Yajña/upacara persembahan bertujuan untuk harapan memperoleh bentuk, suara, rasa dan wanita, yang didambakan manusia. Setelah kuketahui bahwa kesenangan indria tersebut adalah kekotoran mental yang membuat orang dicengkeram nafsu, karenanya aku tidak lagi melakukannya"
Sang Buddha bertanya lagi, "Jika pikiranmu tidak lagi tertarik kepada bentuk, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa yang engkau sukai di alam manusia dan alam dewa ini? katakanlah pada Ku"
Kassapa menjawab, "Aku telah memahami jalan yang damai, tanpa kondisi, bebas noda, tidak melekat pada nafsu, tiada lagi tumimbal lahir, yang tidak tergantung pada kekuatan luar tapi dapat diselami masing-masing, karena hal tersebut, Aku tidak menyukai pengurbanan dan persembahan itu."
Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat), berlutut 3x di kaki Sang Buddha dan menyatakan bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya.
Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan siap menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia. Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, Mata Dhamma yang bersih dari debu, bebas noda, timbul pada ke-12 kelompok brahmana dan perumah tangga dari Magadha itu, bersama-sama Bimbisāra yang menjadi pemimpin mereka, memahami ‘segala sesuatu muncul karena sebab, dan semua nya itu pun akan lenyap’. 1 kelompok (yang tak terhitung) menyatakan diri menjadi upasaka.
Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil, "Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai 5 keinginan: Pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku itu telah terpenuhi." .
Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai upasaka untuk seumur hidup dibawah perlindungan dari Sang Buddha dan menjadi pengikutNya. Kemudian, Raja Bimbisara menyumbangkan Veluvana (hutan bambu) kepada Sang Buddha dan para Bhikkhu, yang kemudian menjadi Vihara pertama dan juga sumbangan tempat tinggal untuk pata bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu [Vinaya IV, Mahavagga].
MahaKassapa
Pippali lahir di desa brahmana Mahātittha di Magadha sebagai putra brahmana Kapila (Di Ap.ii.583, ayahnya disebut Kosiyagotta) dan Sumanādevī. Mereka memiliki kekayaan besar, memiliki 60 danau dengan saluran air, dan para pekerjanya menempati 14 desa, masing-masing seluas Anurādhapura. Dalam upaya menolak pernikahan, Pippali mempunyai syarat, yaitu sang mempelai harus menyerupai patung yang dibuatnya. Ternyata ditemukan di Sāgala, Bhaddā Kāpilānī, menyerupainya dan juga menolak pernikahan. Keduanya saling menulis surat agar menemukan pasangan lain, tapi surat mereka dicegat, sehingga mereka pun harus menikah, kemudian keduanya membuat persetujuan bersama bahwa sejak malam pengantin dan seterusnya, tidur dipisahkan rangkaian bunga. Demikian mereka hidup selama bertahun-tahun, ketika kedua orang tua Pipphali meninggal, mereka mewarisi tanggung jawab kekayaan keluarga.
Suatu hari di ladang yang sedang dibajak, Pippali melihat burung-burung memakan cacing yang muncul dengan bajak, Ia bertanya kepada salah satu buruhnya: "Siapa yang akan menanggung akibat dari perbuatan ini?” – “Anda sendiri, tuanku,” jawab si buruh. Terkejut oleh wawasan ini, dia pulang ke rumah dan merenung: “Jika aku harus memikul akibat dari pembunuhan itu, lalu untuk apa semua kekayaan ini bagiku? Lebih baik bagiku untuk memberikan segalanya pada Bhadda dan pergi menjalani kehidupan pertapa". Pada saat yang sama, Bhaddā Kāpilānī telah menyaksikan burung-burung gagak dan burung lainnya memakan serangga-serangga kecil, yang berkeliaran di antara biji wijen yang telah dikeringkan, Ia bertanya pada pelayannya siapa yang akan menanggung akibat dari kematian begitu banyak binatang, Pelayannya memberitahu bahwa dirinyalah yang akan menanggung. Kemudian dia berpikir: "Jika karenanya, aku tidak akan sanggup membayarnya dengan samudra kelahiran kembali, bahkan hingga seribu kehidupan sekalipun. Setibanya Pipphali ke rumah, aku akan memberikannya segalanya dan pergi untuk menjalani kehidupan pertapa."
Suami dan istri ini menemukan bahwa mereka sependapat, mengambil pakaian kuning dari lemari, memotong rambut masing-masing, mengambil mangkuk, pergi meninggalkan kekayaan dan kepada yang selama ini menjadi abdi keluarga, diberikan kebebasan. Pippali berjalan di depan. Tetapi segera mereka sepakat bahwa tidak pantas mereka berjalan bersama seperti itu, karena masing-masing harus menjadi penghalang bagi yang lain. Jadi, di persimpangan jalan, Bhaddā Kāpilānī dengan penuh hormat bersujud, memberi hormat di hadapan kaki Pipphali dan dengan tangan beranjali berkata: "Persahabatan akrab kita yang telah dilalui sejak kehidupan lampau akan berakhir pada hari ini. Silakan anda mengambil jalan ke kanan dan aku akan mengambil jalan satunya". Bumi ini, didorong kekuatan kebajikan mereka berdua, menjadi bergetar.
Pada saat Sang Buddha tiba di Rājagaha setelah vassa pertama di tahun Pencerahan-Nya (RAPB-3, cetakan 1, 2008, hal.2514), Beliau berada dalam kuti harumnya di Veluvana, Beliau mengetahui telah terjadi gempa bumi di persimpangan jalan tempat berpisahnya pemuda Pippali dan gadis Bhaddā Kāpilānī. Untuk itu, Sang Buddha keluar dari Kuti harumnya dan tanpa meminta satu pun dari muridNya untuk menyertai-Nya, pergi sejauh tiga gàvuta (3/4 Yojana) duduk bersila di bawah pohon banyan/Bahuputtaka yang terletak di antara Ràjagaha dan Nàlanda.
Pancaran keagungan beliau segera diketahui Pipphali yang berpikir, “Orang Mulia ini pasti guruku, Buddha. Sesungguhnya aku menjadi bhikkhu, mengabdikan kebhikkhuanku kepada guru ini.”. Kemudian, dari tempatnya berdiri, pemuda Pipphali berjalan, membungkukkan kepala di kaki sang Bhagava dan berkata 2x: satthā me, bhante, bhagavā, sāvakohamasmi (Tuan, Sang Bhagava adalah guruku, Aku adalah muridmmu). Sang Buddha menerimanya dan menahbiskannya dengan 3 nasehat latihan (Penahbisan ini merupakan pengecualian penahbisan awal karena tidak secara ehibhikkhu ataupun dengan 3 perlindungan - Kd 1.9):
-
(1) Aku akan membangkitkan rasa malu dan takut berbuat salah terhadap: para senior, yang baru ditahbiskan, dan yang di tengah-tengah; (2) Kapanpun aku mendengarkan Dhamma yang terkait dengan hal yang bermanfaat, aku akan mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan pikiran dan berkonsentrasi dengan sungguh-sungguh; (3) Aku tidak akan mengabaikan untuk dengan gembira melakukan ingatan terhadap jasmani [SN 16.11]
Kemudian Sang Buddha dan MahaKassapa melanjutkan perjalanan dan pada suatu jarak tertentu, Sang Buddha berbelok menuju ke sebuah pohon, hendak duduk. Mengetahui ini, MahaKassapa kemudian melipat jubah luarnya menjadi 4 bagian sebagai alas duduk Sang Buddha. Ketika Sang Buddha memuji kehalusan alas duduknya, MahaKassapa memohon agar Sang Buddha mau menerima jubah tersebut. Karena hal ini, Sang Buddha kemudian bertanya, “Anak-Ku Kassapa, jika demikian, maka jubah apa yang akan engkau pakai?”. MahaKassapa menjawab bahwa Ia ingin memakai jubah yang dipakai Sang Buddha. sang Buddha berkata, “Apakah engkau sanggup? Mereka yang kurang mulia tidak akan mampu mengenakan jubah usang ini. Hanya mereka yang selalu berdiam di dalam praktik Dhamma memiliki kemuliaan seperti itu dan yang layak memakainya.” Setelah itu, Sang Buddha menyerahkan jubah-Nya dan setelah bertukar jubah, terjadilah gempa bumi. Karena mendapatkan jubah sang Buddha, MahaKassapa bertekad untuk seumur hidupnya menjalankan 13 praktik keras (dhutanga). Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat), puas terhadap pemberian yang sedikit (kecil), hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa/Kassapa yang Agung. Dalam Theragata 18.1, Mahakassapa tampak sangat mengaggumi rekan sejawat lainnya yaitu Sariputta dan Maha-Kappina
Jalan yang dipilih Bhaddā Kāpilānī ternyata menuju kota Savatthi, Oleh karena Sangha Bhikkhuni belum ada pada saat itu, dia berdiam di kediaman para pertapa wanita (Titthiyārāma, bukan pengikut Buddha), yang tidak begitu jauh dari Jetavana. Kelak ketika MahaPajāpati Gotamī memperoleh penahbisan, Bhaddā bergabung dengannya dan mencapai Kearahattaan tidak lama kemudian [DPPN]. Bhaddā Kāpilānī dan Thullanandā sama-sama terkenal sebagai pengkhotbah, tapi orang-orang terlebih dahulu mengunjungi Bhikkhuni Bhadda Kapilani, sesudah itu baru mengunjungi Bhikkhuni Thullananda, akibatnya Thullanandā, karena cemburu pada Bhaddā, berusaha keras membuatnya tidak nyaman (Vin.iv, hal. 425-426). Saat itu, Bhikkhuni Bhadda Kapilani telah memasuki masa musim hujan di Kota Saketa. Karena ada yang perlu dilakukan, ia mengirim seorang kurir kepada Bhikkhuni Thullananda untuk memberikannya tempat tinggal di Savatthi dan Bhikkhuni Thullananda menyanggupinya dan memberikan tempat tinggal kepada Bhikkhuni Bhadda Kapilani. Namun karena orang-orang terlebih dahulu mengunjungi Bhikkhuni Bhadda Kapilani, sesudah itu baru mengunjungi Bhikkhuni Thullananda, akibatnya Thullanandā, marah dan dan tidak senang, Ia mengusir Bhikkhuni Bhadda Kapilani dari tempat tinggalnya. (Vin.iv. hal. 430-431). Sang Buddha mengumumkan Bhadda Kapilani adalah bhikkhuni paling terkemuka dalam mengingat kehidupan sebelumnya. [AN 1.244]
Upatissa/Sariputta dan Kolita/Moggallana
Waktu itu hidup dua orang pemuda dari kasta brahmana kaya raya, mereka sejak kecil bersahabat dan keluarga mereka pun bersahabat selama 7 turunan, yang satu bernama Upatissa, anak seorang Brahmani bernama Rupasari, yang lain bernama Kolita, anak seorang Brahmani bernama Moggalli. Mereka berdua berguru kepada Sanjaya, seorang Paribbajaka (Petapa Pengembara), yang mempunyai 250 orang murid.
Upatissa dan Kolita adalah dua murid yang pandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain.
Bertemu dengan arahat Assaji
Setelah Sang Buddha berada 2 minggu, di Rajagaha, yaitu pada hari pertama di bulan Màgha (RAPB -3, cetakan ke-1, 2008, hal. 2463), sebagaimana biasanya, Ayasma Assaji setiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Ayasma Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya.
Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan, atau menekuk tangannya, ia selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Ayasma Assaji sedang mengumpulkan makanan.
Ia menunggu sampai Ayasma Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, "Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?"
Ayasma Assaji menjawab, "Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini aku mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Nya yang aku ikuti."
"Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?"
"Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan pelajaran itu secara terperinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya."
"Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa."
Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini: "Hal apapun muncul karena suatu sebab (Ye dhammā hetuppabhavā), tentang Sebab-nya telah dijelaskan Sang Tathagata, juga tentang berakhirnya (Tesaṃ hetuṃ tathāgato āha; Tesañca yo nirodho), Ini yang diajarkan Sang Petapa Agung (Evaṃvādī mahāsamaṇo”ti)"
Mendengar syair tersebut, Upatissa memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu), tanpa debu, tanpa noda, bahwa "Apapun itu yang muncul (yaṃ kiñci samudayadhammaṃ), Semua itu akan berakhir (sabbaṃ taṃ nirodhadhamman)"
Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di Veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Ayasma Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita. Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna.
Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti 250 orang muridnya pergi kepada Sang Buddha untuk dapat ditahbiskan. Sedangkan masih di tempatnya, pengembara Sañjaya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sang Bhagava melihat Sāriputta dan Moggallāna datang dari kejauhan; melihat mereka, Beliau berkata kepada para bhikkhu, “Para Bhikkhu, kedua orang bersahabat ini, Kolita dan Upatissa, sedang menuju ke sini. Sepasang pengikut ini akan menjadi sepasang siswa-Ku yang utama, yang paling terkemuka.". Kemudian Sāriputta dan Moggallāna menemui Sang Bhagava, bersujud di hadapan kaki Sang Bhagava, berkata, “Bhante, bolehkah kami diterima melepaskan keduniawian di hadapan Bhagava, dapatkah kiranya kami menerima penahbisan?” Sang Buddha, "Mari, Bhikkhu-bhikkhu. Dhamma telah sempurna dibabarkan, jalanilah kehidupan suci untuk mengakhiri penderitaan sepenuhnya.” Demikianlah penahbisan bhikkhu-bhikkhu ini. [Vinaya, Mahavagga I]
Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa. Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Kolita menyepi di Desa Kallavalamuttagama di kota Magadha. Di tempat itu Kolita giat melatih meditasi dan Pada saat itu sedang duduk dan mengantuk di Kallavāmuttagāma di antara penduduk Magadha. Dengan mata dewaNya, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā melihat Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang duduk dan mengantuk. Kemudian, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari taman rusa di Hutan Bhesakalā, dan muncul kembali di hadapan Yang Mulia Mahāmoggallāna. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untukNya dan berkata:
“Apakah engkau mengantuk, Moggallāna? Apakah engkau mengantuk, Moggallāna?”
“Benar, Bhante.”
(1) “Oleh karena itu, Moggallāna, engkau tidak boleh memperhatikan atau melatih objek yang sedang engkau perhatikan ketika engkau mengantuk. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(2) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus merenungkan, memeriksa, dan dengan pikiran menyelidiki Dhamma yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(3) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(4) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus menarik kedua telingamu dan menggosok bagian-bagian tubuhmu dengan tanganmu. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(5) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus bangkit dari dudukmu, menggosok matamu dengan air, menatap segala penjuru, dan menatap konstelasi dan bintang-bintang. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(6) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus memperhatikan persepsi yang dihadapanmu (ālokasañña: āloka = terlihat, pemandangan, cahaya; anāloka = buta; saññi = persepsi); engkau harus mempersepsikan siang hari (divāsañña) sebagai berikut: ‘Seperti halnya siang hari, demikian pula malam hari; seperti halnya malam hari, demikian pula siang hari.’ Demikianlah, dengan pikiran terbuka dan tidak tertutup, engkau harus mengembangkan pikiran yang dipenuhi dengan kecemerlangan. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
(7) “Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus melakukan [olah raga] berjalan mondar-mandir, mengawasi apa yang ada di belakangmu dan apa yang ada di depanmu, dengan organ-organ indriamu tertarik ke dalam dan pikiranmu ditenangkan. Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan.
“Tetapi jika engkau tidak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus berbaring pada sisi kanan dalam postur singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, dalam ingatan yang sepenuhnya memahami, setelah mencatat dalam pikiranmu gagasan untuk terjaga. Ketika engkau terjaga, engkau harus bangkit dengan segera, [dengan berpikir]: ‘Aku tidak akan terlena pada kenikmatan beristirahat, kenikmatan bermalasan, kenikmatan berbaring.’ Adalah dengan cara ini, Moggallāna, engkau harus berlatih.
“Oleh karena itu, Moggallāna, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan mendatangi keluarga-keluarga [untuk menerima dana makanan] dengan kepala menggembung oleh kesombongan.’ Dengan cara inilah, Moggallāna, engkau harus berlatih. Mungkin, Moggallāna, bahwa seorang bhikkhu mendatangi keluarga-keluarga dengan kepala menggembung oleh kesombongan. Sekarang ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam keluarga-keluarga itu, dan karena alasan ini, ketika seorang bhikkhu datang, orang-orang tidak memperhatikannya. Dalam situasi demikian bhikkhu itu mungkin berpikir: ‘Siapakah yang telah menghasut keluarga ini memusuhiku? Tampaknya orang-orang ini sekarang telah menjadi tidak peduli padaku’. Dengan cara ini, karena tidak mendapatkan perolehan ia merasa terhina; ketika merasa terhina, ia menjadi gelisah; ketika ia gelisah, maka ia kehilangan pengendaliannya. Pikiran seseorang yang tanpa pengendalian adalah jauh dari konsentrasi.
“Oleh karena itu, Moggallāna, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan terlibat dalam perdebatan.’ Dengan cara inilah engkau harus berlatih. Ketika terjadi perdebatan, maka akan ada kata-kata yang berlebihan. Ketika ada kata-kata yang berlebihan, maka seseorang menjadi gelisah; ketika ia gelisah, maka ia kehilangan pengendaliannya. Pikiran seseorang yang tanpa pengendalian adalah jauh dari konsentrasi.
“Moggallāna, Aku tidak memuji keterikatan dengan siapa pun, juga Aku tidak memuji ketidak-terikatan sama sekali. Aku tidak memuji keterikatan dengan para perumah tangga dan kaum monastik, tetapi Aku memuji keterikatan dengan tempat-tempat tinggal yang sepi dan tidak berisik yang jauh dari kesibukan orang-orang, jauh dari pemukiman manusia, dan sesuai untuk keterasingan.”
Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Moggallāna berkata kepada Sang Bhagavā: “Secara singkat, Bhante, bagaimanakah seorang bhikkhu terbebaskan dalam padamnya ketagihan, menjadi yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalankan kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi?”
“Di sini, Moggallāna, seorang bhikkhu telah mendengar: ‘Tidak ada yang layak digenggam.’ Ketika seorang bhikkhu telah mendengar: ‘Tidak ada yang layak digenggam,’ ia secara langsung mengetahui segala sesuatu. Setelah mengetahui segala sesuatu, ia sepenuhnya memahami segala sesuatu. Setelah sepenuhnya memahami segala sesuatu, perasaan apa pun yang ia rasakan—apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan—ia berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam hal-hal itu, merenungkan peluruhan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan pelenyapan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan pelepasan dalam perasaan-perasaan itu. Ketika ia berdiam merenungkan ketidak-kekalan … peluruhan … pelenyapan … pelepasan dalam perasaan-perasaan itu, ia tidak melekat pada apa pun di dunia. Karena tidak melekat, ia tidak bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia secara pribadi mencapai nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’
“Secara singkat, Moggallāna, dengan cara inilah seorang bhikkhu menjadi yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalankan kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi.” [AN 7.61]
Dengan melaksanakan petunjuk tesebut, Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga. Lima belas hari setelah ditahbiskan, Upatissa (yang kemudian terkenal sebagai Sariputta, anak Sari), berdiam bersama-sama Sang Buddha di Goa Sukarakhata dari Gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha.
Seorang Paribbajaka (Petapa pengembara) bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana (keponakan Sariputta) pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan setelah saling mengucapkan kata-kata menghormat, ia berdiri di satu sisi. Ia kemudian memberikan pandangannya, "Tidak ada yang dapat diterima olehku."
"Pandanganmu, Aggivessana, ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’—bukankah setidaknya pandangan itu dapat diterima olehmu?". Setelah itu Sang Buddha menguraikan tentang adanya tiga pandangan mengenai hal tersebut.
"Aggivessana, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini:
- ‘Segalanya dapat diterima olehku.’
- ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’
- ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku"
- pandangan ‘Segalanya dapat diterima olehku’ adalah dekat pada nafsu, dekat pada belenggu, dekat pada kesenangan; dekat pada genggaman, dekat pada kemelekatan.
- Pandangan ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku’ adalah dekat pada tanpa-nafsu, dekat pada tanpa-belenggu, dekat pada tanpa-kesenangan; dekat pada tanpa-genggaman, dekat pada tanpa-kemelekatan."
- pandangan ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku’—pandangan sehubungan dengan apa yang dapat diterima adalah dekat pada nafsu, dekat pada belenggu, dekat pada kesenangan; dekat pada genggaman, dekat pada kemelekatan, sedangkan pandangan sehubungan dengan apa yang tidak dapat diterima adalah dekat pada tanpa-nafsu, dekat pada tanpa-belenggu, dekat pada tanpa-kesenangan; dekat pada tanpa-genggaman, dekat pada tanpa-kemelekatan.
- ‘Segalanya dapat diterima olehku’ mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Segalanya dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya ... jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini.
- ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku’ mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Tidak ada yang dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya ... jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan,..
- ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.’ mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya ...: jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini.
"Tubuh ini, Aggivesana, terdiri atas 4 unsur pokok (Mahabhuta-rupa), yaitu padat, cairan/rekat, gerak/tekanan, dan panas. Ia berasal dari ayah dan ibu, dibesarkan dengan nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi usang dan lapuk, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran. Ini harus dianggap sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai bencana, sebagai kesusahan, sebagai asing, sebagai kehancuran, sebagai hampa, sebagai bukan diri. Ketika seseorang menganggap jasmani ini seperti demikian, maka ia meninggalkan keinginan terhadap jasmani, kasih sayang pada jasmani, ketundukan pada jasmani.
"Selain dari itu, perasaan ada tiga jenis, yaitu menyenangkan, menyakitkan, dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Jika perasaan menyenangkan muncul, maka Ia tidak merasakan perasaan menyakitkan dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Jika perasaan menyakitkan muncul, maka Ia tidak merasakan perasaan menyenangkan dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Jika perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan munvul, maka Ia tidak bisa merasakan perasaan menyenangkan dan menyakitkan.
Baik itu, perasaan menyenangkan, menyakitkan dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan adalah tidak kekal, terkondisi, muncul dengan bergantung, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, peluruhan, dan penghentian
"Siswa Yang Ariya, yang mengetahui demikian, merasa jemu terhadap perasaan yang menyenangkan, menyakitkan, dan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Karena jemu, ia menjadi bosan, melalui kebosanan ini, pikirannya terbebaskan. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun’. Seorang bhikkhu yang terbebas demikian, tidak memihak dan tidak berselisih dengan siapapun; ia mengucapkan bahasa yang digunakan di dunia pada masa itu tanpa melekatinya"
Selama itu Sariputta berdiri di sisi Sang Buddha dengan kipas di tangan dan mengipasi Sang Bhagava. Mendengar khotbah kepada Dighanakha ia berpikir, "Sesungguhnya Sang Bhagavā, membabarkan kepada kami bagaimana meninggalkan hal-hal ini melalui pengetahuan langsung". Merenungkan demikian, Pikiran Sāriputta terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Sementara Dighanakha memperoleh Mata Dhamma. dan kemudian menyatakan "Aku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka yang berlindung kepada Sang Ti-Ratana untuk seumur hidup." [MN 74].
Dengan cara-cara inilah Moggallana dan Sariputta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Arahat. Sang Buddha menyampaikan di hadapan para bhikkhu dan bhikkhuni bahwa diantara murid prianya, Sariputta adalah yang terpandai dalam kebijaksanaan dan Moggallana yang terpandai dalam kekuatan gaib. Jika Sang Buddha disebut Dhammaraja/Raja Dhamma, maka Sariputta adalah Dhammasenapati/Jenderal Dhamma. Sariputta punya 6 adik, yang pria bernama: Cunda, Upasena dan Revata dan yang wanita bernama: Cala, Upacala dan Sisupacala. Ke-6nya kelak juga menjadi Bhikkhu/Bhikkhuni dan semuanya mencapai tingkat kesucian arahat. Ibunda Sariputta, Brahmani Rupasari, di hari Sariputta parinibbana, Ia mencapai tingkat kesucian sotapanna.
Konferensi di Veluvana
Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Arahat datang berkumpul. Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha. Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Puja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai / Thailand. Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu:
- Mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu.
- Mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhiñña)
- Semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan "Ehi bhikkhu" (ehi = datang, mari).
- Waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovada Patimokkha (Ovada = Nasehat; pātimokkha = yang harus dilakukan; aturan).
"Sabba papassa akaranam, Kusalassa upasampada, Sacittapariyo dapanam, Etam Buddhana sasanam. Khanti paramam tapo titikkha, nibbanam paramam vadanti Buddha, Na hi pabbajjito parupaghati, Samano hoti param vihethayanto. Anupavado, anupaghato, Patimokkhe ca samvaro, Mattaññuta ca bhattasmim, Pantham ca sayanasanam, Adhicitte ca ayogo, Etam Buddhana sasanam."
Artinya: "Janganlah berbuat kejahatan, Perbanyaklah perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiranmu, Itulah ajaran semua Buddha. Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik, Sang Buddha bersabda; nibbanalah yang tertinggi dari semuanya, Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain, Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain. Tidak menghina, tidak melukai, Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib, Makanlah secukupnya, Hidup dengan menyepi, Dan senantiasa berpikir luhur, Itulah ajaran semua Buddha."
Sigala Memuja Enam Arah
Pada suatu pagi, Sigala/Singala/Sigalaka, seorang perumah tangga Rajagaha, demi memenuhi pesan mendiang ayah, Ia dengan rambut dan pakaian basah, merentangkan lengan lurus dengan tangan tercakup (pañjaliko), melakukan penghormatan (namassati) ke berbagai arah (puthudisā): Timur (puratthima), Selatan (dakkhiṇa), Barat (pacchima), Utara (uttara), Bawah (heṭṭhima), Atas (uparima). Di pagi yang sama, Sang Buddha, yang saat itu tinggal di taman suaka Tupai di Hutan Bambu, dengan jubah dan membawa mangkuk (nivāsetvā pattacīvaramādāya), masuk Rājagaha untuk menerima dana makanan (rājagahaṁ piṇḍāya pāvisi). Beliau melihat Sigala (addasā kho bhagavā siṅgālakaṁ) memberikan penghormatan ke berbagai arah dan menanyakan mengapa melakukan hal tersebut, setelah mendengar alasan Sigala, Beliau menyampaikan bahwa yang dilakukannya bukan praktik kaum mulia (ariyassa vinaye) dalam menghormati 6 arah (cha disā namassitabbā)
- Note:
Pemujaan ke berbagai arah merujuk pada Deva penguasa arah: "..setelah lahirnya Deva, lahirlah penjuru arah.." (RV 10.72.3), "..penjuru arah dari telinga Purusa.." (RV 10.90.14) dan "..penjuru arah adalah tangannya, KA.." (RV 10.121.4). Beberapa Deva penjuru arah, misal: "Datang, Nāsatyā, dari Barat, dari Timur, Aśvin, dari Selatan, dari Utara, dari penjuru arah, datang dengan kekayaan yang bermanfaat bagi 5 kelas manusia.." (RV 7.72.5). Namun, terdapat variasi nama para Deva penguasa arah di Veda, Brahmana, Aranyaka, Upanisad dan Sutra. [The Gods of the Directions in Ancient India: Origin and Early Development in Art and Literature (Until c. 1000 A.D.), Corinna Wessels-Mevissen]. Rhys Davids: "arah tersebut representatif dari: Brahma, Prajapati, Indra, Soma dan Isana" [Dialogues of the Buddha, Vol 3, hal.169]. DN 13 memuat nama 8 Deva, yang dikenal masa itu: "Kami menyerukan Indra, Soma, Varuna, Īsāna, Pajāpati, Brahma, Mahiddhi, Yama" (indamavhayāma, soma.., varuṇa.., īsāna.., pajāpati.., brahma.., mahiddhi.., yamamavhayāmā’ti)".
Buddhaghosa dalam komentarnya: Orang tua Sigāla, bukan saja pengikut awam yang sangat berkeyakinan namun juga sotapanna. Mereka tidak dapat mengajak Sigāla menemani mereka mendengarkan Dharma. Sigāla menyatakan Ia tidak akan berurusan dengan para petapa karena memberi hormat pada mereka akan membuat punggungnya sakit, lututnya kaku, pakaiannya menjadi kotor karena harus duduk di tanah dan setelah mengetahui pertapa, harus mengundang dan memberikan sumbangan, sehingga akan merugikan diri sendiri. Sang ayah, di menjelang wafat menggunakan caranya, bahwa jika putra umat awam melakukan pemujaan arah (disā namassana), Sang Buddha dan siswanya pasti akan memperhatikan dan mengajarinya cara yang benar. Karena keinginan terakhir sang ayah, yang harus dihormati, anak itupun menurutinya.
Komentar ini tidak selaras Apadana no.34:
- ..Putraku bernama Sigalaka (Putto siṅgālako nāma), bergembira di jalan salah (mamāsi vipathe rato), tergelincir di rimba pandangan (Diṭṭhigahanapakkhando), bersemangat dalam memuja arah (disāpūjanatapparo).
memberi penghormatan ke berbagai arah (nānādisā namassantaṁ), saat memasuki kota untuk mengumpulkan dana makan (piṇḍāya nagaraṁ vajaṁ), melihatnya, sang buddha menyapanya (taṁ disvā ovadī buddho), Sang pembimbing, berdiri dijalan (magge ṭhatvā vināyako
Ketika Ia menyampaikan Dhamma (Tassa desayato dhammaṁ), menyampaikan kegembiraannya, mereka (panādo vimhayo ahu), 2 koti pria dan wanita (Dvekoṭinaranārīnaṁ), mendapat wawasan ajaran (dhammābhisamayo ahu).
Aku telah ada dikerumunan (Tadāhaṁ parisaṁ gantvā), mendengarkan kotbah sang Sugata (sutvā sugatabhāsitaṁ), memperoleh buah pemasuk arus (sotāpattiphalaṁ pattā), aku menempuh kehidupan tanpa rumah (pabbajiṁ anagāriyaṁ)..[Ap 34]
Cara Sang Buddha dan Para BhikkhuNya pindapata:
"..di pagi hari pergi ke desa..Setelah sampai di desa, tidak bergegas dari satu rumah ke rumah lain. Dan ketika mengumpulkan makanan, tidak membicarakan atau memberikan tanda apa pun ... berkeliling dengan mangkuk di tangan. Walaupun tidak bisu, namun bagaikan bisu. menerima pemberian, walau amat sedikit, dan pemberian dari orang kecil, tidak merendahkan serta tanpa keangkuhan.." [SNP 3.11/Nalaka Sutta]
Sigala menyampaikan keingintahuannya tentang praktik kaum mulia dan Sang Buddhapun menyampaikan DhammaNya:
Seorang murid mulia (ariyasāvakassa) setelah meninggalkan 4 perbuatan kotor (cattāro kammakilesā pahīnā) , tidak membuat 4 landasan perbuatan buruk (catūhi ca ṭhānehi pāpakammaṁ na karoti), tidak menuju 6 cara menghamburkan kekayaan (cha ca bhogānaṁ apāyamukhāni na sevati). Dengan tersingkirkannya 14 perbuatan buruk (cuddasa pāpakāpagato), Ia melingkupi 6 arah (chaddisāpaṭicchādī), Ia yang menjalankan demikian memenangkan dua alam (ubholokavijayāya paṭipanno hoti), bahagia di alam ini dan alam berikut, saat jasmani hancur, setelah kematian, menuju alam bahagia, alam surga
- 4 perbuatan kotor:
menyakiti kehidupan, mengambil yang tidak diberikan, menikmati Indriya dengan cara yang salah (kāmesumicchācāro), menyatakan yang tidak benar.
Kemudian Sang Buddha melanjutkan:
"Menyakiti kehidupan, mengambil yang tidak diberikan, menyatakan yang tidak benar, terlibat bersama istri orang lain (Paradāragamanañceva), dicela para bijak" - 4 landasan perbuatan buruk adalah karena:
melekat/senang (chanda agati gacchanto pāpakammaṃ), tidak suka/benci (dosa..), keliru tahu/tidak tahu (moha..), dan/atau takut (bhaya..). Para siswa mulia tidak melekat, benci, keliru tahu dan takut, maka tidak melakukan perbuatan buruk.
Kemudian Sang Buddha melanjutkan:
Siapa yang menuju melekat, benci, keliru tahu, takut; nama baik dan kemashyurannya memudar, bagai pudarnya bulan menuju bulan baru. Siapa tidak menuju melekat, benci, keliru tahu, takut; nama baik dan kemashyurannya meningkat, bagai menerangnya bulan menuju purnama" - 6 cara menghamburkan kekayaan:
(1) menggemari asupan memabukan landasan bagi kelengahan (surāmerayamajjappamādaṭṭhāna anuyogo), terdapat 6 bahaya (ādīnavā): menghabiskan kekayaan yang ada sekarang, menuju pertengkaran, rentan sakit, kehilangan reputasi, menceritakan rahasia/aib buruk, melemahkan kebijaksanaan (paññāya dubbalikaraṇītveva);
(2) gemar dijalanan bukan pada waktunya (vikālavisikhācariyā) terdapat 6 bahaya: diri sendiri, anak-istri dan harta menjadi tidak terjaga dan tidak terlindunginya, dapat dituduh tindak kejahatan, menjadi korban laporan palsu/desas desus, menuju banyak penderitaan;
(3) gemar tempat hiburan (samajjābhicaraṇaṃ), terdapat 6 bahaya (akibat memikirkan terus) di mana ada: tarian, nyanyian, musik, sandiwara, ramai tepukan tangan, ramai tambur/genderang;
(4) gemar berjudi (jūta), terdapat 6 bahaya: menang dimusuhi, kalah meratap, harta yang ada sekarang habis, ucapan tidak dianggap serius dalam pertemuan (sabhāgatassa vacanaṃ na rūhati), diremehkan teman (mittāmaccānaṃ paribhūto hoti), tidak diinginkan menjadi mantu: "penjudi tidak dapat menyokong isteri";
(5) gemar bergaul dengan teman jahat (pāpamitta), terdapat 6 bahaya, berteman dengan: orang licik/curang (dhutta), pecandu (soṇḍa), peminum (pipāsā), penipu (nekatika), penghasut (vañcanika), penggganggu/pembuat onar/pembully (sāhasika);
(6) pemalas (ālasya), terdapat 6 bahaya (mengeluh terus): 'Terlalu dingin' (atisītanti) tidak bekerja (kammaṃ na karoti); 'Terlalu panas' (atiuṇhanti) tidak bekerja; 'Terlalu pagi/awal' (atisāyanti) tidak bekerja; 'Terlalu siang/terlambat' (atipātoti) tidak bekerja; 'Aku terlalu lapar' (atichātosmīti) tidak bekerja; 'Aku terlalu kenyang' (atidhātosmīti) tidak bekerja; terlalu banyak yang harus dikerjakan, menjadi tidak dikerjakan (tassa evaṃ kiccāpadesabahulassa viharato); harta baru tidak diperoleh harta yang ada menjadi habis.
Kemudian sang Buddha melanjutkan:
Ada yang disebut teman minum (hoti pānasakhā nāma), ada pula "teman terkasih, tersayang" (hoti sammiyasammiyo), tapi disaat sulit Ia yang tetap berada dekat (yo ca atthesu jātesu sahāyo), dia itulah teman (hoti so sakhā)
Tiduran hingga siang (ussūra-seyyā), terlibat dengan istri orang (paradārasevanā), cenderung memusuhi, tidak menghargai kebaikan (verappasavo ca anatthatā ca), bergaul dengan teman buruk, pelit (pāpā ca mittā sukadariyatā), 6 orang ini merugikan (dhaṁsayanti).
Bergaul dengan teman buruk, bersahabat dengan keburukan (pāpamitto pāpasakho), berkelakuan buruk, berkebiasaan buruk (pāpaācāragocaro), merugikan dirinya di alam ini maupun alam berikut (asmā lokā paramhā ca ubhayā dhaṃsate naro).
Bermain judi-perempuan mabuk, menari-menyanyi (akkhitthiyo vāruṇī naccagītaṃ), bermalasan/tiduran seharian, keluyuran tak kenal waktu (divā soppaṃ pāricariyā akāle), bergaul dengan teman buruk, pelit, 6 orang ini merugikan.
Berjudi, mabuk (akkhehi dibbanti suraṃ pivanti), hidup bersama istri orang (yantitthiyo pāṇasamā paresaṃ), bergaul dengan yang dangkal bukan dengan yang mulia (nihīnasevī na ca vuddhasevī), memudar bagai bulan ke bulan baru.
Pemabuk, bangkrut, melarat (Yo vāruṇī addhano akiñcano), tetap haus walaupun terus minum (Pipāso pivaṁ papāgato), terbenam dalam hutang bagai tenggalam di air (udakamiva iṇaṁ vigāhati), dengan cepat mempermalukan keluarga (Akulaṁ kāhiti khippamattano).
Bermalasan di siang hari (Na divā soppasīlena) bersemangat di malam hari (rattimuṭṭhānadessinā), selalu ketagihan untuk mabuk (Niccaṁ mattena soṇḍena), Rumah tangga tidak dapat dipertahankan (sakkā āvasituṁ gharaṁ).
“Terlalu dingin! Terlalu panas! Terlalu larut!” (atisītaṁ atiuṇhaṁ atisāyam) Demikian keluhannya (idaṁ ahu), demikian pekerjaannya diabaikan (Iti vissaṭṭhakammante), membuang kesempatan sejak dini (atthā accenti māṇave)
Menghadapi dingin dan panas (Yodha sītañca uṇhañca), tak terganggu bagaikan rumput saja (tiṇā bhiyyo na maññati), seorang melakukan tanggung-jawabnya (Karaṁ purisakiccāni), dengan kegembiraan yang tak berkurang (so sukhaṁ na vihāyatī”ti)
- Yang hanya mau mengambil (aññadatthuharo), terlihat di 4 hal: mengambil banyak (aññadatthuharo), mengeluarkan sedikit meminta banyak (appena bahumicchati), melakukan kewajibannya hanya karena takut (Bhayassa kiccaṁ karoti), dan memberikan hanya karena ada untung baginya (sevati atthakāraṇā)
- Yang banyak bicara tetapi tidak berbuat apapun (vacīparamo), terlihat di 4 hal: menonjolkan bantuannya di masa lalu (Atītena paṭisantharati), menjanjikan bantuan di masa depan (anāgatena paṭisantharati), memberikan kata-kata kosong yang manis (niratthakena saṅgaṇhāti), ketika dimintai bantuan, menonjolkan kemalangannya (paccuppannesu kiccesu byasanaṁ dasseti)
- Yang Penjilat (anuppiyabhāṇī), terlihat di 4 hal: mendukungmu berbuat buruk (Pāpakampissa anujānāti) dan berbuat baik (kalyāṇaṃpissa anujānāti), memuji jika di depanmu (sammukhāssa vaṇṇaṁ bhāsati), menjatuhkanmu dihadapan orang lain (parammukhāssa avaṇṇaṁ bhāsati)
- Yang membuat boros (apāyasahāyo), terlihat di 4 hal: berkawan karena gemar minuman keras (surāmerayamajjappamādaṭṭhānānuyoge sahāyo hoti), karena gemar dijalanan bukan pada waktunya (vikālavisikhācariyānuyoge), gemar tempat hiburan (samajjābhicaraṇe sahāyo hoti), gemar berjudi (jūtappamādaṭṭhānānuyoge)
Kemudian sang Buddha melanjutkan:
Teman yang hanya mau mengambil,
Teman yang banyak bicara,
Teman penjilat,
Teman yang membuat boros,
Ke-4 ini bukanlah teman (ete amitte cattāro).
Orang bijak memahami ini (iti viññāya paṇḍito),
Menjauhi mereka (ārakā parivajjeyya)
Bagai berada di jalanan berbahaya (maggaṁ paṭibhayaṁ yathā).
- Sahabat Penolong (upakāro mitto), terlihat di 4 hal: menjaga dirimu dan hartamu saat lengah (Pamattaṁ rakkhati..sāpateyyaṁ rakkhati), menolongmu saat dalam ketakutan (bhītassa saraṇaṁ), memberikan 2x dari yang dibutuhkan (uppannesu kiccakaraṇīyesu taddiguṇaṁ bhogaṁ anuppadeti)
- Sahabat senang dan susah (samānasukhadukkho), terlihat di 4 hal: menceritakan rahasianya pada dirimu (guyhamassa ācikkhati), menjaga rahasiamu (guyhamassa parigūhati), tidak meninggalkan disaat kesulitan (āpadāsu na vijahati), bersedia mengorbankan hidupnya demi kepentinganmu (jīvitaṁpissa atthāya pariccattaṁ hoti)
- Sahabat pemberi nasihat (atthakkhāyī), terlihat di 4 hal: mencegahmu berbuat buruk (pāpā nivāreti), mendukungmu berbuat baik (kalyāṇe niveseti), memberitahu yang belum pernah didengarmu (assutaṁ sāveti), menunjukkanmu jalan ke surga (saggassa maggaṁ ācikkhati)
- Sahabat yang perhatian (anukampako), terlihat di 4 hal: Tidak bersukacita atas kesengsaraanmu (abhavenassa na nandati), ikut bersukacita atas kesejahteraanmu (bhavenassa nandati), mencegah mereka yang menjelekkanmu (avaṇṇaṁ bhaṇamānaṁ nivāreti), membenarkan mereka yang memujimu (vaṇṇaṁ bhaṇamānaṁ pasaṁsati)
Kemudian sang Buddha melanjutkan:
Sahabat penolong
Sahabat senang dan susah
Sahabat pemberi nasihat
Sahabat yang perhatian
Ke-4 ini teman
Orang bijak memahami ini
Hargai sepenuhnya mereka (sakkaccaṁ payirupāseyya)
Bagai ibu yang menyusui putranya (mātā puttaṁva orasaṁ)
Seorang bijak yang luhur budi (Paṇḍito sīlasampanno)
Berbinar bagai nyala api (jalaṁ aggīva bhāsati)
Mengumpulkan harta bagai lebah (bhoge saṁharamānassa)
Berkeliaran mengumpulkan madu (bhamarasseva irīyato),
Hartanya bertumbuh (bhogā sannicayaṁ yanti)
Membukit bagai sarang semut (vammikovupacīyati)
Dengan harta terkumpul seperti ini (evaṁ bhoge samāhatvā)
Perumah tangga kompeten bagi keluarganya (alamatto kule gihī)
Membagi kekayaannya menjadi 4 (catudhā vibhaje bhoge)
Persahabatan diikatnya erat (save mittāni ganthati)
1 bagian (25 %) untuk dinikmati (ekena bhoge bhuñjeyya),
2 bagian (50 %) untuk keberhasilan pekerjaan (dvīhi kammaṁ payojaye)
Bagian ke-4 (25 %) cadangan/tabungan (catutthañca nidhāpeyya), di waktu sulit/dari kerugian/kemalangaan (āpadāsu bhavissatī)
Note:
Memperoleh dan Menggunakan Kekayaan
Kata sukha/senang/bahagia di AN 8.54 (kepada Anathapindika) dan AN 5.31 (kepada Sumana) juga dapat diartikan sebagai kekayaan, yaitu:- Kebahagiaan memiliki (atthisukhaṁ): perolehan kekayaan dari usaha penuh semangat (uṭṭhānavīriyādhigatehi bhogehi), terkumpul dari kekuatan tangan (bāhābalaparicitehi), keringat kening (sedāvakkhittehi), sesuai aturan (dhammikehi), diterima sesuai aturan (dhammaladdhehi);
- Kesenangan dalam menikmati (bhogasukhaṁ): perolehan kekayaan dari usaha penuh semangat,.., seorang anggota keluarga menikmati kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa;
- Kesenangan bebas dari hutang (ānaṇyasukhaṁ): tidak memiliki hutang pada siapa pun, apakah banyak atau sedikit;
- Kesenangan yang tanpa cela (anavajjasukhaṁ): dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela. [AN 4.62]
Hal yang dilakukan perumah tangga, yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan di kehidupan ini (dhammā kulaputtassa diṭṭhadhammahitāya saṁvattanti diṭṭhadhammasukhāya):- Kesempurnaan dalam inisiatif (uṭṭhānasampadā): Cara apa pun mencari penghidupan (bertani, berdagang, beternak, dll), Ia terampil dan rajin; memiliki penilaian baik atasnya agar dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan benar;
- Kesempurnaan dalam perlindungan (ārakkhasampadā): Perlindungan dan penjagaan atas kekayaan yang telah ia perolehnya;
- Pertemanan yang baik (kalyāṇamitta): Di tempat mana pun tinggal, bergaul dengan yang matang dalam moralitas, sempurna dalam keyakinan, sempurna perilaku moral, kedermawanan, dan kebijaksanaan; berbincang-bincang dan berdiskusi dengan mereka, dan sejauh apa kesempurnaan keyakinannya, moralitasnya, kedermawanannya dan kebijasanaannya, agar ditiru;
- Hidup yang seimbang (samajīvitā): Mengetahui pendapatan dan pengeluarannya, menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros, juga tidak terlalu hemat: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’ demikian pula anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang.. [AN 8.54]
Dari perolehan kekayaan dengan usaha penuh semangat, terkumpul dari kekuatan tangan, keringat kening, sesuai aturan, diterima sesuai aturan, agar melakukan 4 perbuatan layak/cattāri pattakammāni kattā hoti (AN 4.61) atau agar menggunakan kekayaan untuk 5 hal/pañcime..bhogānaṁ ādiyā (AN 5.41), yaitu:- untuk: (a) dirinya/attānaṁ; (b) orangtua (mātāpitaro); (c) istri-anak (Puttadāra), para budak (dāsa), pekerja (kammaka), wakil/pelayan (porise); (d) teman-kolega (mittāmacce)
agar bahagia, nyaman, tetap benar bahagia (sukheti pīṇeti sammā sukhaṁ pariharati)
Note:
Di AN 4.61 no.1 = 1 (a) s/d 1 (d)
Di AN 5.41 no.1 = 1 (a) sd 1 (c) dan no.2 = 1 (d) - (menyiapkan) dari: kerugian/kemalangan apapun (yā tā honti āpadā) dari: api, banjir, raja-raja, pencuri, kesayangan yang sudah tidak disukai atau karena pewaris (aggito vā udakato vā rājato vā corato vā appiyato vā dāyādato); kerugian kekayaan yang terjadi terhadap semua itu (tathārūpāsu āpadāsu bhogehi pariyodhāya vattati), dirinya menjadi aman (sotthiṁ attānaṁ karoti) [AN 4.61 dan AN 5.41]
- memberikan 5 persembahan (pañcabaliṁ), kepada: (a) sanak saudara (ñātibaliṁ), (b) tamu (atithibaliṁ), (c) leluhur/mendiang/mahluk halus (pubbapetabaliṁ), (d) raja (rājabaliṁ), dan (e) para dewata (devatābaliṁ) [AN 4.61 dan AN 5.41]
- kepada: para petapa-brahmana manapun (ye te samaṇabrāhmaṇā) yang telah meninggalkan kemabukan/pongah-lengah (madappamādā paṭiviratā), kokoh dalam kesabaran dan kelembutan (khantisoracce niviṭṭhā), seorang yang dirinya (ekamattānaṁ): jinak (damenti), tenang (samenti), untuk sepenuhnya seperti padam (parinibbāpenti: pari+nibba+apenti), mempersiapkan persembahan/dana kepada samana-brahmana manapun yang mengarah ke atas (tathārūpesu samaṇabrāhmaṇesu uddhaggikaṁ dakkhiṇaṁ patiṭṭhāpeti), terhubung surga, membuahkan kebahagiaan menuju alam surga (sovaggikaṁ sukhavipākaṁ saggasaṁvattanikaṁ) [AN 4.61 dan AN 5.41]
- Note:
Sang Buddha memadankan nama arah ini dengan arti yang lain:
Timur (puratthima: pura = pubba = depan, awal, dihadapan: yaitu menghadap arah matahari, Ayah-Ibu adalah di depan, awal);
Selatan (dakkhiṇa = tangan kanan, arah kanan, simbol hormat, yaitu Guru. dakkhina = persembahan);
Barat (pacchima: paccha = belakang, akhir, yaitu Istri - Anak adalah di belakang);
Utara (uttara arti lainnya: melampaui);
Bawah (heṭṭhima: heṭṭha/bawah + ima/ter = terbawah),
Atas (uparima: upari/atas + ma/ter = teratas = uddhaṁ = mengarah ke-atas, konteks spiritual).
Rhys Davids: "Simbolisme ini sengaja dipilih: seperti hari mulai di Timur, demikian pula kehidupan mulai dengan pengasuhan orang tua; biaya guru dan Selatan adalah kata yang sama: dakkhiṇa; urusan rumah tangga mengikuti ketika dari anak menjadi Dewasa, seperti Barat nantinya memegang kendali saat siang; Utara adalah 'melampaui', jadi dengan bantuan teman, dll, Ia mengatasi masalah" [Ibid, hal.180, note 4]
5 cara, anak mendahulukan orang tuannya selagi masih ada (paccupaṭṭhātabbā):
- Melayani dan menunjang mereka (bhato ne bharissāmi),
- Menjalankan kewajiban terhadap mereka (kiccaṁ nesaṁ karissāmi),
- Memelihara silislah/tradisi keluarga (kulavaṁsaṁ ṭhapessāmi),
- Memelihara warisannya (dāyajjaṁ paṭipajjāmi),
- dan atas nama mendiang yang telah tiada, menyerahkan persembahan (atha vā pana petānaṁ kālaṅkatānaṁ dakkhiṇaṁ anuppadassāmīti)
Note:
5 hal ini disebut juga dalam AN 5.39, yaitu tentang alasan sesorang ingin mempunyai anak. Kemudian, terkait mempersembahkan atas nama mendiang atau melimpahkan jasa, lihat tirokudda sutta dan Sariputtattheramatupetivatthuvannana atau PattiDana
- Mencegahnya berbuat buruk,
- Mendorongnya berbuat baik,
- Memberikannya pendidikan (sippaṁ sikkhāpenti),
- Mencarikannya pasangan yang cocok (patirūpena dārena saṁyojenti),
- Pada waktunya, menyerahkan warisannya (samaye dāyajjaṁ niyyādenti).
(2) Guru (ācariyā), arah Selatan/ke kanan (dakkhiṇā disā)
5 cara, siswa memperlakukan Guru:
- Dengan bangkit (memberi hormat) (uṭṭhānena),
- Dengan merawatnya/berada dekatnya (upaṭṭhānena),
- Dengan mematuhinya (sussusāya. ini terjemahan Childer, tapi ditentang Rhys Davids, yang menterjemahkan "Dengan semangat belajar". Saya lebih menyukai terjemahan Childer),
- Dengan melayaninya (pāricariyāya),
- Dengan mengikuti seluruh ajarannya (sakkaccaṁ sippapaṭiggahaṇena)
- Dengan baik melatihnya (suvinītaṁ vinenti),
- Memastikan apa yang diajarkan dipahami baik (suggahitaṁ gāhāpenti),
- Mengajarkan sepenuhnya ilmu dan seni (sabbasippassutaṁ samakkhāyino bhavanti),
- Berbicara baik tentangnya pada para rekan-sejawat (mittāmaccesu paṭiyādenti),
- Membuat arah tujuannya terjaga (disāsu parittāṇaṁ karonti).
(3) Isteri-anak (puttadārā), arah Barat/Belakang (disā pacchā)
5 cara, suami memperlakukan Istri-anak:
- Dengan perlakuan baik (sammānanāya),
- Dengan kelembutan (anavamānanāya),
- Dengan ketulusan (anaticariyāya),
- Dengan membagi tanggung jawab/wewenang (issariyavossaggena),
- Dengan memberinya hadiah (alaṅkārānuppadānena)
- Dengan menjalankan kewajibannya (susaṃvihitakammantā),
- Dengan bersikap ramah pada kerabat (keluarga, pembantu, pengikut) (saṅgahitaparijanā),
- Dengan ketulusan (anaticārinī),
- Dengan menjaga harta yang diberikan (sambhatañca anurakkhati),
- Dengan terampil dan rajin menjalankan tanggung-jawabnya (dakkhā ca hoti analasā sabbakiccesu).
Note:
Di AN 5.33, kepada anak gadis Uggaha: "Para gadis, kalian harus berlatih sebagai berikut:- ‘Kepada suami mana pun yang orangtua kami menyerahkan kami—dilakukan untuk kebaikan kami, kesejahteraan kami, kepeduliannya pada kami, demi belas kasihnya pada kami—kami harus bangun sebelum ia bangun tidur dan pergi tidur setelah ia pergi tidur, melakukan apa pun yang harus dilakukan, bertingkah laku baik dan ramah tutur kata.’
- ‘Kami akan menghormati, menghargai, dan memuliakan mereka yang dihormati suami kami—ibu dan ayahnya, para petapa dan brahmana—dan ketika mereka datang kami akan mempersembahkan tempat duduk dan air kepada mereka.’
- ‘Kami akan terampil dan rajin mengerjakan tugas-tugas rumah tangga kami, apakah merajut atau menenun; kami akan memiliki penilaian benar dengan tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya benar.’
- ‘Kami akan mencari tahu apa yang telah dan belum diselesaikan oleh para pembantu rumah tangga kami—apakah budak-budak, utusan-utusan, atau para pekerja; dan kami akan mencari tahu kondisi mereka yang sakit; dan kami akan membagikan porsi makanan selayaknya kepada mereka.’
- ‘Kami akan menjaga dan melindungi pendapatan apa pun yang dibawa pulang suami kami—apakah uang atau beras, perak atau emas—dan kami tidak akan memboroskan, mencuri, membuang atau menghamburkan pendapatannya.’
- Dalam AN 8.46-48 (Kepada Visakha dan Nakula-Mata) terdapat 3 tambahan: Berlindung pada Buddha Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. (7) Bermoral. meninggalkan: menyakiti kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, kenikmatan indriya dengan cara yang salah, berbohong, dan asupan memabukan landasan bagi kelengahan. (8) Dermawan: tinggal di rumah, pikirannya bebas dari noda kekikiran, murah hati, bertangan terbuka, gemar melepas/berdana, mudah memberi, girang ketika memberi dan berbagi
Ketika, gadis-gadis, seorang perempuan memiliki ke-5 (atau 8) kualitas ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di antara para deva dengan bentuk menyenangkan (manāpakāyikānaṃ devānaṃ).”
Tidak memandang rendah suaminya,
Terus menyokongnya,
Dengan tekun dan bersemangat
Membawakan yang diinginkannya.
Perempuan baik tidak memarahi suaminya
Dengan kata-kata yang timbul dari kecemburuan;
Perempuan bijaksana menunjukkan penghormatan
Kepada mereka yang dihormati suaminya.
Ia bangun lebih awal, bekerja terampil,
Mengatur rumah tangga;
Memperlakukan suaminya dengan cara menyenangkan
dan menjaga harta yang diperoleh.
Perempuan yang memenuhi tugasnya demikian,
Mengikuti kehendak dan keinginan suaminya,
Terlahir kembali di antara para deva
Yang disebut 'menyenangkan.' (manāpā nāma)"
Di AN 7.63 kepada (Sujata, adik perempuan Visakha, mantunya Anathapindika) tentang 7 jenis istri:
- Yang berpikiran buruk/rusak/Paduṭṭhacittā hampa welas asih/ahitānukampinī, bernafsu pada orang lain/aññesu rattā, merendahkan suami/atimaññate patiṃ, menghancurkan orang yang membelinya dengan harta/Dhanena kītassa vadhāya ussukā, disebut istri seperti penghancur/perusak/vadha
- Hasil kerja keras suami, walaupun sedikit, berusaha dicurinya, ..disebut Istri seperti pencuri/corī
- Rakus, malas bekerja, kasar, galak, tajam ucapannya, memerintah penyokongnya meski bangun lebih awal,.. disebut istri seperti bos/ayya
- Yang senantiasa welas asih, menjaga suami bagai ibu kepada anaknya, melindungi harta mereka,.. disebut istri seperti ibu/mātā
- Yang bagai adik perempuan kepada kakak lelakinya, menghormati suami, punya rasa malu/hirīmanā, mematuhinya/bhattuvasānuvattinī.,.. disebut istri seperti adik perempuan/bhaginī
- Yang melihat suami bergembira seolah berjumpa teman yang lama tak bertemu, berprilaku kalangan terhormat, bermoral, berbakti,... disebut istri seperti teman/sakhī, dan
- Yang tanpa kemarahan, tenang, bahkan saat diancam kekerasan dengan tongkat pemukul, menerima dengan pikiran bebas kebencian, sabar dan patuh,... disebut istri seperti budak/dāsī
Jenis istri yang disebut penghancur, pencuri, dan bos, tidak bermoral, kasar, tidak hormat, saat hancurnya jasmani menuju neraka. Tetapi jenis istri yang disebut ibu, adik perempuan, teman, dan budak, kokoh dalam moralitas, terkendali, saat hancurnya jasmani, menuju ke surga
(4) Teman-sejawat (mittāmaccā), arah Utara/melampaui (ca uttarā)
5 cara, seorang keturunan keluarga (kulaputtena) memperlakukan teman-sejawatnya:
- Dengan murah hati (dānena),
- Dengan ucapan sopan (peyyavajjena),
- Dengan memberikan bantuan (atthacariyāya),
- Dengan seperti memperlakukan diri sendiri (samānattatāya),
- Dengan berbuat sesuai ucapan (avisaṁvādanatāya).
- Dengan menjaga dirimu saat lengah (pamattaṁ rakkhanti)
- Dengan menjaga hartamu saat lengah (pamattassa sāpateyyaṁ rakkhanti),
- Dengan menolongmu saat dalam ketakutan (bhītassa saraṇaṁ honti),
- Dengan tidak meninggalkan disaat kesulitan (āpadāsu na vijahanti),
- Dengan menghormati keluarganya (aparapajā cassa paṭipūjenti).
(5) Pelayan (dāsakammakarā), di Bawah (heṭṭhā)
5 cara, seorang majikan (ayyirakena) memperlakukan pelayannya:
- Dengan memberi pekerjaan sesuai kemampuannya (yathābalaṁ kammantasaṁvidhānena),
- Dengan memberi beras/makanan dan upah (bhattavetanānuppadānena),
- Dengan merawatnya saat sakit (gilānupaṭṭhānena),
- Dengan membagikan makanan yang lezat (acchariyānaṁ rasānaṁ saṁvibhāgena),
- Dengan memberikan cuti kerja (samaye vossaggena)
- Dengan bangun lebih awal darinya (pubbuṭṭhāyino ca honti),
- Dengan kepembaringan setelahnya (pacchā nipātino ca),
- Dengan mengambil hanya yang telah diberikan (dinnādāyino ca),
- Dengan melakukan baik kewajibannya (sukatakammakarā ca),
- Dengan menjadi pembawa pujian dan reputasi baiknya (kittivaṇṇaharā ca)
(6) Petapa-Brahmana (samaṇabrāhmaṇā), di Atas (uddhaṁ)
5 cara seorang keturunan keluarga memperlakukan para pertapa dan brahmana:
- Dengan perbuatan bersahabat/tidak memusuhi (mettena kāyakammena),
- Dengan perkataan bersahabat/tidak memusuhi (mettena vacīkammena),
- Dengan pikiran bersahabat/tidak memusuhi (mettena manokammena),
- Dengan membuka pintu/mempersilakan masuk/tidak menutup pintu (anāvaṭadvāratāya),
- Dengan memberi yang dibutuhkannya (āmisānuppadānena)
- Mencegahnya berbuat buruk, menganjurkannya berbuat baik (pāpā nivārenti kalyāṇe nivesentini),
- Dengan perhatian dan pikiran baik (kalyāṇena manasā anukampanti),
- Mengajarkan yang belum pernah didengarnya (assutaṃ sāventi),
- Mengokohkan yang telah didengarnya (sutaṃ pariyodāpenti),
- Menunjukkannya jalan menuju surga (sagga maggaṃ ācikkhanti).
Kemudian sang Buddha melanjutkan:
-
Ibu-ayah arah Timur (mātāpitā disā pubbā)
Para guru arah Selatan (ācariyā dakkhiṇā disā)
Istri-anak arah Barat (puttadārā disā pacchā)
Para teman-sejawat arah Utara (mittāmaccā ca uttarā)
Para pelayan di Bawah (dāsakammakarā heṭṭhā)
Para petapa-Brahmana di Atas (uddhaṁ samaṇabrāhmaṇā)
Dengan melingkupi arah ini (etā disā namasseyya)
Perumah tangga yang telah berbuat cukup (alamatto kule gihi)
Seorang bijak yang luhur budi (paṇḍito sīlasampanno)
Lembut dan terampil dalam menghormati (saṇho ca paṭibhānavā, saya ikuti terjemahan Rhys Davids)
Rendah hati dan baik (nivātavutti atthaddho)
Yang memperoleh kemuliaan (tādiso labhate yasaṁ)
Yang bersemangan dan rajin (uṭṭhānako analaso)
Tidak goyah karena kemalangan (āpadāsu na vedhati)
Sempurna dalam prilaku, bijaksana (acchinnavutti medhāvī)
Yang memperoleh kemuliaan
Ramah dalam pertemanan (saṅgāhako mittakaro)
Mudah memberi dan tidak kikir (vadaññū vītamaccharo)
Pemandu, Penuntun dan Pendamai (netā vinetā anunetā)
Yang memperoleh kemuliaan
Memberikan persembahan, bertuturkata baik (dānañca peyyavajjañca) [AN 4.32, mulai dari sini]
Memberikan manfaat bagi lainnya (atthacariyā ca yā idha)
Adil bersikap di banyak hal (samānattatā ca dhammesu)
Harmonis dimanapun (tattha tattha yathārahaṁ)
Yang menyatukan dunia (ete kho saṅgahā loke)
Bagai sumbu roda kereta (rathassāṇīva yāyato)
Jika perlakuan ini tidak ada (ete ca saṅgahā nāssu)
Tidak ada ibu, dikarenakan putranya (na mātā puttakāraṇā)
Mendapatkan penghormatan dan penghargaan (labhetha mānaṁ pūjaṁ vā)
Tidak juga ayah, dikarenakan putranya (pitā vā puttakāraṇā)
Tetapi karena ada perlakuan ini (yasmā ca saṅgahā ete)
Maka para bijak mempertimbangkanya (sammapekkhanti paṇḍitā)
Oleh karenanya mereka mencapai keagungan (tasmā mahattaṁ papponti)
Dan layak untuk pujian (pāsaṁsā ca bhavanti te”ti)
Note:
4 cara memelihara hubungan baik: Memberikan persembahan (dānaṁ), bertuturkata baik (peyyavajjaṁ), membawa manfaat/kesejahteraan (atthacariyā) dan adil dalam bersikap (samānattatā) [AN 4.32]
Kembali ke Kapilavatthu
Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan yang masing-masing disertai 1000 pengikut untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut 'lupa' untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, malah setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka bergabung menjadi Bhikkhu dan mencapai tingkat Arahat.
Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi bersama 1000 orang pengikut lagi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhatha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Hal yang hampir sama terjadi, Ia dan 1000 pengikutnya ketika mendengar Sang Buddha, menjadi Bhikkhu dan mencapai Arahat.
Namun kali ini, Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana agar beliau berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut. Setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta 20.000 bhikkhu menuju Kapilavatthu.
Perjalanan tersebut jauhnya 60 Yojana ((1 yojana = 7-9 mil, 1 mil = 1.6 km) yang ditempuh dalam waktu 60 hari.
Berita kedatangan Sang Buddha beserta rombongan ke Kapilavatthu dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana. Beliau memerintahkan untuk segera disiapkan tempat yang letaknya di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin) bagi rombongan yang akan tiba. Sewaktu rombongan tiba, Raja Suddhodana, pengiring dan penduduk Kapilavatthu berduyun-duyun datang ke Nigrodharama. Peristiwa bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anaknya dituturkan dalam Mhvu. III, 114-121.
Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, "Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Bila Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, 'Sungguh keterlaluan Sang Pangeran ini, Ia telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan mengaku telah memperoleh Penerangan Agung Raja Dhamma namun Ia duduk dan tidak berdiri menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati seluruh rakyat Sakya', namun Apabila Sang Tathagata bangun untuk menghormatnya, semua kelompok makhluk yang menerima penghormatannya maka kepalanya akan terbelah belah tujuh. Untuk itu, Lebih baik Aku berjalan diudara setinggi orang dewasa".
Karena itu, setibanya Rombongan, Sang Buddha berjalan diudara setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat Sang Buddha tinggal. Sang Buddha naik keudara lebih tinggi lagi dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir.
Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan Yamakapatihariya atau keajaiban ganda, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Api berkobar-kobar dari badan sebelah atas dan air dingin memancar lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. kemudian air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah. Segenap yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut. [Komentar Jataka no.547. Bahwa keajaiban ganda ini hanya dapat dilakukan SammasamBuddha: MiliandaPanha 8.2]
Saat itu Yasodhara juga hadir dengan menuntun Mahapajapati. Mahapajapati mengalami kebutaan mata akibat terlalu sedih dan banyak menangis ketika Pangeran Siddhatha meninggalkan istana. Mahapajapati mendengar hadirin bersorak-sorak, namun tak dapat melihatnya, Yasodhara menceritakan kejadian tersebut kepadanya. Dengan penuh rasa haru dan kesujudan, Yasodhara menampung air yang keluar dari badan Sang Buddha sewaktu melakukan keajaiban ganda dengan kedua tangannya. Dengan air itu, Ia membasuh dan mencuci mata Mahapajapati berulang kali disertai doa semoga hal itu dapat mengembalikan penglihatan Mahapajapati. Satu mukjizat telah terjadi. Perlahan tapi pasti MahaPajapati dapat melihat kembali sehingga penglihatannya pulih seluruhnya dan dapat menyaksikan sendiri peristiwa itu. Para hadirin yang melihat itu pun semakin bersorak-sorak gembira.
Sehabis keajaiban ganda, kemudian Sang Buddha menghilang. Secara tiba-tiba di udara muncul seekor banteng besar dengan tengkuk yang bergetar-getar lari dari arah Timur dan lenyap disebelah Barat, kemudian lari dari arah Barat dan lenyap di sebelah Timur. Kemudian muncul lagi dan lari dari arah Utara dan lenyap di sebelah Selatan, dan lari dari sebelah Selatan dan lenyap di sebelah Utara. Setelah pemandangan yang di atas lenyap sama sekali, kemudian Sang Buddha terlihat duduk dengan tenang di tempat duduk-Nya.
Hilang sudah keragu-raguan seluruh hadirin, Mereka yakin dengan seluruh hati bahwa Pangeran Siddhattha telah menjadi Buddha. Mereka kemudian berlutut memberi hormat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada kepada Sang Buddha.
Raja Suddhodana menghampiri anaknya dan berkata, "Ini adalah untuk ketiga kalinya aku menundukkan kepalaku dan menyerukan penghormatan (vandana), oh Yang Maha Tahu, yang pertama kali adalah sewaktu pertapa Asita meramalkan bahwa anakku kelak akan menjadi Buddha, kedua kali sewaktu aku lihat anakku bermeditasi di bawah Pohon jambu dan ini adalah yang ketiga kalinya." [Lihat juga komentar untuk Jataka no.547]
Kemudian, Raja Suddhodana menanyakan beberapa hal yang menggambarkan begitu besarnya kasih sayang dan perhatian orang tua kepada anaknya, "Dulu anakku selalu memakai sandal terbuat dari kain wol halus, berjalan di atas permadani yang empuk dan dipayungi dengan payung putih. Tetapi sekarang kaki anakku yang halus dan berwarna tembaga serta penuh garis-garis ajaib ini harus berjalan di atas rumput kasar, duri, dan batu kerikil. Apakah kaki anakku tidak pernah merasa sakit?"
Sang Buddha menjawab, "Aku adalah Sang Penakluk, Yang Maha Tahu, tak ternoda oleh kekotoran-kekotoran batin di dunia ini. Aku telah melepaskan diri dari ikatan kebendaan dan telah terbebas dengan musnahnya semua nafsu-nafsu keinginan. Orang seperti Aku tak dapat lagi diganggu oleh perasaan enak dan tidak enak."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu para pelayan setiap hari memandikan dan menggosok-gosok badan anakku dengan minyak kayu cendana yang baunya harum semerbak. Tetapi sekarang anakku mengembara di waktu malam yang dingin dari satu hutan ke hutan yang lain. Siapakah yang memandikan anakku dengan air bersih dan menyegarkan apabila anakku merasa lelah?"
Sang Buddha menjawab, "Oh, Baginda, murni adalah arus air yang berasal dari pantai kebajikan yang tak ternoda dan dipujikan oleh para bijaksana. Dengan mandi dan menyelam dalam air dewata itulah Aku telah tiba di pantai seberang."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu anakku selalu memakai kain buatan Benares dan baju bersih yang berbau wangi bunga teratai dan cempaka, anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit. Tetapi sekarang anakku memakai pakaian dari kain kasar yang terbuat dari serat kayu merah. Sungguh aneh anakku berbuat seperti ini."
Sang Buddha menjawab, "Para Penakluk, oh Baginda, tidak menghiraukan pakaian, tempat tidur atau makanan, dan juga tidak menghiraukan apakah yang semua yang diterimanya menyenangkan atau tidak."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, kereta yang mahal dan bergemerlapan dengan emas dan tembaga selalu tersedia untuk dipakai kemana pun anakku pergi dan diikuti sebuah payung putih, sebuah pusaka, sebatang pedang, dan sebuah lambang kerajaan. Lagipula Kanthaka, kuda yang paling gagah dan cepat larinya di seluruh negeri selalu menyertai anakku. Meskipun hingga, kereta perang, kuda dan gajah masih ada, namun anakku lebih senang berjalan kaki dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Coba katakan anakku, apakah anakku tidak lelah?"
Sang Buddha menjawab, "Kekuatan gaib adalah kereta-Ku. Ketetapan hati, kebijaksanaan dan pikiran yang terpusat adalah sais-Ku. Padhana yang terdiri atas Sanvara (pengekangan diri dari nafsu-nafsu), Pahana (melenyapkan kekotoran batin), Bhavana. (melaksanakan meditasi) dan Anurakkhana (menjaga watak sendiri) adalah kuda-kuda-Ku. Dengan itu Seorang diri Aku mengembara dan menjelajah ke tempat-tempat yang jauh."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu anakku makan dari piring perak dan minum dari mangkuk emas. Selalu tersedia makanan yang lezat-lezat dengan bumbu yang terpilih, sebagaimana layaknya disajikan kepada seorang raja. Tetapi sekarang anakku makan dengan tanpa perasaan muaknya hidangan asin atau tidak asin, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bumbu. Sungguh aneh anakku berbuat hal seperti itu."
Sang Buddha menjawab, "Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dulu hingga zaman yang akan datang, maka Aku, Sang Tathagata, makan yang lembut dan kasar, berbumbu atau tidak dengan pikiran yang terkendali hanya untuk kepentingan dunia ini."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, anakku tidur di dipan tinggi yang dilapisi kulit kambing hutan dengan bantal yang empuk dilapisi sutra halus. Kaki dipan terbuat dari emas dan dibalut dengan untaian bunga yang harum semerbak, dengan lantai dialaskan permadani yang terbuat dari bahan wol dan kapas. Sekarang anakku memakai rumput dan daun-daunan sebagai kasur dan tidur di atas tanah yang kasar dan berbatu. Dan rupanya anakku menyukainya. Apakah tubuh Yang Maha Bijaksana tidak merasa sakit?"
Sang Buddha menjawab, "Oh, Baginda, orang seperti Aku senantiasa tidur dengan nyenyak. Semua duka cita dan kesedihan telah Kutinggalkan. Dengan terbebas dari duka cita dan kesedihan, Aku selalu menjaga mental-Ku agar selalu berbelas-kasih kepada semua makhluk."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, anakku tinggal di istana dengan kamar (di lantai atas) menyerupai tempat kediaman para dewa, diterangi oleh sekumpulan kunang-kunang, dilengkapi jendela putar yang serasi, dimana pelayan wanita yang memakai perhiasan dan kalungan bunga menunggu dengan sabar kata-kata yang akan keluar dari mulut Tuannya."
Sang Buddha menjawab, "Sekarang, oh Baginda, di tempat ini yang dihuni oleh manusia pun terdapat para Brahma dan Dewa Agung yang senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk-Ku dan juga Aku dapat pergi kemana pun yang Kukehendaki."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, para penyanyi selalu menyanyikan lagu-lagu dengan iringan musik yang merdu yang anakku senangi. Dan anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang suku Sakya, sebagaimana Dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit."
Sang Buddha menjawab, "Sekarang Aku menyanyikan lagu dengan pembabaran Dhamma dan terbebas karena memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi. Aku sekarang paling bercahaya di antara bhikkhu-bhikkhu seperti Brahma di antara dewa-dewa di langit."
Raja Suddhodana berkata, "Dulu, oh Yang Maha Kuat, di istana, kamar anakku menyerupai tempat kediaman para dewa, selalu dijaga oleh pengawal bersenjata yang mahir menggunakan pedang. Tetapi sekarang, di hutan anakku seorang diri berada di tengah-tengah teriakan burung hantu dan jeritan anjing-anjing hutan, yang penuh binatang buas berkeliaran mencari mangsa dimalam hari. Apakah anakku tidak takut?."
Sang Buddha menjawab, "Justru karena Aku telah menyingkirkan semua perasaan takut. maka Aku menang dan berhasil keluar dari lingkaran tumimbal lahir meskipun semua gerombolan Yakka datang bersama gajah-gajah liar yang mengarungi hutan belantara, mereka tidak akan dapat mengganggu walaupun selembar rambut-Ku Seorang diri Aku berkelana, seorang pertapa yang selalu waspada dan tidak tergoyahkan oleh celaan atau pujian, seperti seekor singa tidak takut kepada suara, seperti angin tidak dapat dijerat oleh jala. Karena itu, oh Baginda, bagaimana Anda dapat katakan bahwa Sang Penakluk, Pemimpin yang tidak dipimpin oleh siapa pun, dapat merasa takut?"
Raja Suddhodana kembali bertanya, "Sebenarnya seluruh dunia bisa menjadi tanah milikmu dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja anakku tidak melepaskan tujuh rupa pusaka (lambang seorang Raja) menjadi seorang pertapa."
Sang Buddha menjawab, "Sekarang pun seluruh dunia masih tetap menjadi milik-Ku dan Aku tetap masih memiliki ribuan orang anak. Lagipula sekarang Aku memiliki Delapan Mustika yang tidak ada bandingannya di dunia ini."
Selesai percakapan ini, Raja Suddhodana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna (telah menaklukan 3 belenggu dan terlahir paling banyak 7 kali lagi)
Note:
Kisah dan pencapaian sotapana Suddhodana di atas adalah versi "Riwayat Hidup Buddha Gotama", Bab IV, "Kembali Ke Kapilavatthu", Maha Pandita Sumedha Widyadharma, Penerbit: Cetiya Vatthu Daya; Cetakan Ke-12s, 1999.
Namun dalam buku RAPB, buku ke-1, bab 24, hal. 917-926 dan juga dalam komentar untuk Dhammapada Bab.12, Syair 168-169, disampaikan bahwa pencapaian sotapanna Raja Suddhodana terjadi ketika Sang Buddha berjalan mengumpulkan dana makanan ditengah kota Kapilavatthu dan memberikan penjelasan kepada Raja mengenai itu
- Ketika Sang Buddha datang ke Kapilavatthu pertama kalinya, setelah seluruh keluarga kerajaan melihat peristiwa hujan ajaib dan setelah mendengarkan kisah Vessantara, seluruh anggota keluarga kerajaan meninggalkan tempat; tidak seorang pun yang mengajukan undangan seperti “mohon datang dan menerima dàna makanan yang akan kami persembahkan besok". Raja Suddhodana berpikir bahwa “Tidak ada tempat lain selain istanaku untuk putraku, Tathàgata, berkunjung; Ia pasti akan datang ke istanaku.” Merasa yakin demikian, ia pulang ke istananya tanpa mengajukan undangan secara khusus. Di istana, ia memerintahkan untuk membuat persiapan nasi lunak, dan lain-lain dan menyiapkan akomodasi sementara untuk dua puluh ribu Arahanta yang dipimpin oleh Buddha
Pada pagi hari itu Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan bersama dengan rombongan para bhikkhu, seperti kebiasaan semua Buddha. Yasodhara dan Rahula melihat Sang Buddha berjalan untuk menerima dana makanan dari jendela istana, Ini menarik perhatian Ràhula, sehingga Yasodhara mengucapkan 10 bait syair pujian terhadap keagungan fisik seorang Buddha (Narasiha Gatha) dari kening hingga telapak kaki-Nya. Setelahnya, Ia memberitahukan ayah mertuanya mengenai ini. Sang raja tergesa-gesa menghampiri dan memberitahukan Sang Buddha bahwa untuk seorang anggota keluarga kerajaan Khattiya, berkeliling meminta makanan dari pintu ke pintu adalah memalukan.
Namun sang Buddha menjawab bahwa itu merupakan kebiasaan semua Buddha untuk berkeliling menerima dana makanan dari rumah ke rumah, dan oleh karenanya itu adalah benar dan layak bagi Beliau untuk tetap menjaga tradisi itu, kemudian beliau menyampaikan syair:
Bangun ! Jangan lengah ! Tempuhlah kehidupan benar. Barangsiapa menempuh kehidupan benar, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya
Disampaikan pula bahwa seorang bhikkhu yang menerima dàna makanan setelah berdiri dengan sopan di tiap-tiap pintu rumah para dermawan, harus selalu dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui ketika menerima makanan; tidak boleh menerima atau mencari dàna makanan dengan cara yang salah; harus mempraktikkan berkeliling untuk menerima dàna makanan dengan cara yang patut dihargai. Seorang bhikkhu yang melatih praktik ini tanpa gagal dengan cara ini akan hidup damai dalam hidup ini dan juga pada kehidupan mendatang.
Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Setelah mencapai Sotàpanna, Raja Suddhodana mengambil mangkuk dari tangan Tathàgata dan sambil memegangnya ia mengundang Buddha dan dua puluh ribu Arahanta untuk datang ke istananya di mana ia menyediakan tempat duduk kehormatan yang khusus disiapkan. Setibanya di istana Tathàgata mengucapkan syair berikut:
Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma dan tak menempuh cara-cara jahat. Barangsiapa hidup sesuai dengan Dhamma, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.
Disampaikan bahwa cara yang salah dan tidak biasa untuk mendapatkan dàna makanan harus dihindari dan cara yang benar dalam menerima dàna makanan harus dipraktikkan. Seorang bhikkhu yang melatih praktik ini tanpa gagal dengan cara demikian akan hidup damai dalam hidup ini dan juga dalam kehidupan mendatang.
Di akhir syair kedua tersebut, Raja Suddhodana menjadi Sakadàgàmi dan ibu asuh, Mahàpajàpati Gotami mencapai Sotàpanna
Kemudian Raja Suddhodana mendanakan berbagai jenis makanan keras dan lunak yang telah dipersiapkan sebelumnya kepada Tathàgata dan dua puluh ribu Arahanta Setelah dàna makanan selesai, seluruh pejabat istana dan para pelayan berkumpul di kaki Buddha memberikan penghormatan kepada-Nya
Para pelayan perempuan memohon kepada Yasodhara, “Yang Mulia, mohon datang ke kamar istana dan beri hormat kepada Sang Buddha,” Meskipun demikian, Yasodhara menjawab, “Jika aku pernah memberikan pelayanan yang patut kepada-Nya, Yang Mulia sendiri yang akan datang kepadaku,” Ia tetap tidak bergerak dan dengan tenang diam di kamarnya.
Kemudian, sang Buddha meminta Raja Suddhodana membawakan mangkuk-Nya dan diiringi dua Siswa Utama-Nya (Sariputta dan MahaMoggallana), pergi menuju ruang rekreasi putri. Setibanya di kamar Putri Yasodharà, Tathàgata berkata, “Jangan ada yang bersuara untuk menghalang-halangi Putri Yasodharà sewaktu ia memberi hormat kepada-Ku sesuai keinginannya,” dan kemudian Ia duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk-Nya.
Putri Yasodharà segera datang ke hadapan Tathàgata dan kemudian merangkul kedua kaki Tathàgata dengan kedua tangannya dengan sekuat tenaga. Ia menyandarkan kepalanya di kedua kaki Tathàgata, bergantian kiri dan kanan, ia bersujud lagi dan lagi dengan penuh hormat. Raja Suddhodana berkata, "Yang mulia, Yasodhara adalah seorang isteri yang sangat setia;
Ketika mendengar bahwa Yang Mulia mulai menjadi petapa dengan memakai jubah kuning, ia pun memakai jubah kuning,
Ketika mendengar Yang Mulia hanya makan satu kali sehari, ia pun makan hanya satu hari sehari. Ia senantiasa mengikuti kehidupan Yang Mulia, Ia tidak lagi tidur di dipan yang tinggi dan mewah namun ditanah, Ia tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian. Apabila sanak-saudaranya mengajaknya tinggal bersama mereka, dia tidak mengikut mereka.
Ketika Yang Mulia memasuki kehidupan non-duniawi ia menjadi janda; dan menolak hadiah dari Raja lain yang menyukainya. Demikian setia hatinya padamu."
Sang Buddha menjawab, "Itu tidaklah mengherankan, jika ibu Ràhula tetap memelihara kesetiaan dan martabatnya, karena Ia sekarang telah matang dalam kebijaksanaan dan mampu melindungi dirinya sendiri. Bahkan di kehidupan lampaunyapun, Ia telah melindungi dirinya sendiri dan juga diriku, bahkan saat itu ia belum memiliki kebijaksanaan yang matang dan tanpa pelindung”. Kemudian sang Buddha menceritakan kisah Candakinnarã (Jàtaka no. 485), yaitu ketika Siddhattha Gotama dan Yasodhara terlahir sebagai sepasang Peri/Kinnara. Pada saat itu, Seorang raja jatuh cinta kepada Peri perempuan dan memanah Peri Pria dengan panah beracun yang menyebabkan ia terluka dan tampak seperti mati. Berkat kegigihan sang peri Perempuan, bukan saja Ia tidak jadi ditangkap raja bahkan dapat membuat Deva Sakka mengobati suami perinya itu dengan racunnya sehingga Peri pria itu sehat kembali. Setelah menceritakan kisah itu, Sang Buddha kembali ke Vihàra Nigrodha diiringi oleh 20.000 Arahanta. [RAPB, buku ke-1, bab 24, hal. 926-928]
Sang Buddha juga menceritakan kisah awal pertemuan pertama Ia dan Yasodara di yang terjadi di jaman Buddha Dipankara:
4 Asekheya Kappa dan 100.000 Kappa lalu, di sebuah kota bernama Amaravatã, hiduplah seorang bernama Sumedha, Ia adalah keturunan Brahmana selama 7 generasi dengan kekayaan melimpah, pandai 3 veda dan ilmu pengetahuan lainnya. Ketika ayah dan Ibunya wafat, Ia diwarisi kekayaan keluarganya, namun kemudian Ia merenungkan bahwa dengan memiliki kekayaan sebanyak ini pun, para leluhur, saudara dan ayah ibunya bahkan tidak mampu membawa 1 keping uangpun ketika mereka wafat, oleh karenanya, Ia umumkan untuk menyumbangkan kekayaan keluarganya kepada seluruh penduduk kota tanpa membedakan status miskin atau kaya. Setelahnya, Ia pergi menuju Pegunungan Himalaya ke Gunung Dhammika untuk melepas keduniawian dan berhasil mencapai 8 pencapaian jhāna serta 5 kekuatan mental.
Suatu ketika, Sumedhà, pergi meninggalkan pertapaannya dan sampailah Ia di kota Rammàvatã. Di kota itu, para penduduknya tengah bergembira bergotong royong untuk memperbaiki dan menghias jalan dalam menyambut kedatangan Buddha Dipankara ke kota mereka. Mengetahui ini, Sumedhà memohon kepada para penduduk untuk diberikan kepadanya sedikit bagian jalan untuk diperbaiki dan dihias olehnya. Para penduduk mengabulkannya dan tanpa menggunakan kekuatan mentalnya, Ia kerjakan bagiannya. Namun, sebelum pekerjaannya selesai, Buddha Dipankarà tiba dengan diiringi 400.000 Arahanta. Oleh karenanya, Ia segera menggelar matras kulit macan dan juga jubahnya di atas tanah yang becek dan berbaring tiarap di atasnya. Ia bermaksud menggunakan dirinya sebagai jembatan agar sang Buddha Dipankara dan para pengikutnya tidak menginjak lumpur saat lewat. Ketika sedang bertiarap demikian, seketika muncul keinginannya untuk menjadi Buddha.
Di tengah keramaian saat itu, terdapat pula seorang brahmana perempuan muda bernama Sumittà yang membawa 8 kuntum bunga teratai yang rencananya akan dipersembahkan kepada Buddha Dipankara. Ketika Sumedha sedang bertiarap secara demikian, Mata Sumittà menatapnya dengan terpesona dan seketika jatuh cinta padanya. Ia kemudian berkata kepada Sumedhà, “Yang mulia petapa, aku berikan padamu 5 kuntum bunga teratai, agar engkau dapat mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa 3 kuntum ini adalah persembahanku kepada Buddha dan semoga, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai Kebuddhaan; aku selalu menjadi pendampingmu”.
Sumedhà menerima bunga teratai dari Sumittà dan di tengah-tengah keramaian,Ia persembahkan bunga itu kepada Buddha Dãpankarà yang tengah menghampiri dan berdiri dekat kepalanya yang tengah bertiarap. Sang Buddha Dipankara dengan kekuatan mental-Nya, melihat jauh ke masa depan dan berkata, “Sumedhà, engkau akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4 Asaïkhyeyya dan 100.000 kappa sejak saat ini”. Kemudian, mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedhà dan Sumittà, Sang Buddha Dipankara berkata:
“O, Sumedhà, perempuan ini Sumittà, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam usahamu mencapai Kebuddhaan, ia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatannya. Dalam kelahiranmu yang terakhir, ia juga akan menjadi pendampingmu, kemudian menjadi murid perempuanmu dan menjadi seorang Arahanta”. Sang Buddha Dãpankarà kemudian pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya di sebelah Sumedhà
[Buddhavamsa: Sumedha patthanā kathā; RAPB buku ke-1, Bab 2, “Kisah Sumedha Sang Brahmana”, hal 29-67; Versi lain kisah masa lalu Sang Buddha ada di “Sumpah Teratai” dari buku “Jalur Tua Awan Putih”, Jilid ke-2, Bab 36 hal.66, Oleh: Thicht Nhat Hanh. Kisahnya agak berbeda, Nama pemuda bukan Sumedha namun Megha]
- Beberapa belas tahun kemudian, kitab komentar Anguttara Nikaya menyampaikan bahwa setelah Suddhodana wafat, Yasodhara bersama Janapadakalyānī (Nanda) ikut rombongan yang dipimpin Mahapajapati Gotami pergi menemui sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi Bhikkhuni. Setelah Mahapajapati ditahbiskan menjadi Bhikkhuni pertama, Yasodhara bersama sejumlah perempuan ditahbiskan MahaPajapati Gotami. Yasodhara dikenal juga dengan nama Bhaddakaccanā theri dan menjadi salah satu Arahat (AA I.245). Di Kitab Theri Apadana disampaikan bahwa ketika Ia berusia 78 tahun, setelah berpamitan pada Sang Buddha, Ia bersama 18.000 arahat yang menemaninya, setelah melakukan berbagai Mukjizat, mereka parinibbana bersama-sama [Theri Apadana no.28]
Pada hari ketiga, di istana berlangsung beberapa upacara, diantaranya upacara pernikahan Pangeran Nanda, Sepupu Siddhattha Gotama, yang merupakan anak dari MahaPajapati Gotami. Pada kesempatan itu Tathàgata pergi ke istana dan setelah memberikan khotbah mengenai kebajikan, Beliau secara sengaja menyerahkan mangkuk-Nya kepada Pangeran Nanda kemudian pulang ke vihàra. Karena rasa hormatnya pada saudaranya, Pangeran Nanda tidak berani berkata sepatah kata pun dan terpaksa mengikutinya. Sang Buddha terus berjalan tanpa membebaskannya dari mangkuk tersebut dan Pangeran Nanda, mengikuti dengan enggan, ingin berbalik, tetapi rasa hormatnya yang tinggi membuatnya tetap diam, dan berharap di suatu tempat nanti mangkuk tersebut akan diambil kembali. Akhirnya ia pergi bersama Tathàgata.
Tunangannya, Janapada Kalyani/Rupananda, mendengar bahwa Pangeran sedang mengikuti Sang Buddha dengan mangkok di tangan, Ia segera bergegas lari, secepat yang dapat dilakukannya untuk mengejar Pangeran Nanda, dan dengan air mata bercucuran di pipi serta rambut separuh tersisir berteriak sedih pada Pangeran Nanda, "Kembalikan cepat, Kembalilah segera, Yang Mulia !"
Sang Buddha berjalan tanpa mengambil mangkuk-Nya dari Pangeran Nanda, dan setibanya di vihàra, ia bertanya kepada Nanda, “Maukah engkau menerima penahbisan dan menjadi bhikkhu?” Karena rasa takut dan hormat, ia tidak mampu mengungkapkan keengganannya, “Tidak, aku tidak mau,” Tetapi sebaliknya ia malah menyetujuinya, dengan berkata, “Baiklah, Saudaraku Yang Mulia aku akan menerima penahbisan.”. “Jika demikian, para bhikkhu, kalian dapat menyaksikan saudara muda-Ku ditahbiskan,” kata Tathàgata dan para bhikkhu melakukan seperti yang diperintahkan. [RAPB, buku ke-1, bab 24, hal. 928-930]
Setelah menjadi Bhikkhu, Nanda tidak menemukan kebahagian di dalam Dhamma. Kerap Ia terngiang kata-kata Putri Janapadakalyani yang memohonnya untuk kembali sehingga beberapa kali Ia mencoba untuk kabur [RAPB, buku ke-3, hal 2777]
- ..Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Nanda, saudara tiri Sang Bhagava, putra bibi yang membesarkannya, memberitahukan sejumlah bhikkhu: “Saya tidak puas menjalani kehidupan suci, sahabat-sahabat. Saya tidak dapat memikul kehidupan suci. Saya akan berhenti dari latihan ini dan kembali ke kehidupan rendah.”
[Kemudian seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan menyampaikan keluhan Nanda. Sang Buddha meminta kepada seorang Bhikkhu agar memanggil Nanda. Nanda kemudian mendatangi Sang Buddha, bersujud dan duduk di satu sisi]
Sang Bhagava kemudian berkata kepadanya: “Apakah benar Nanda, bahwa kamu memberitahu sejumlah bhikkhu demikian: “Saya tidak puas menjalani kehidupan suci ….. saya akan kembali ke kehidupan rendah ?”
“Ya, Bhante.”
“Tetapi mengapa, Nanda, kamu tidak puas dengan menjalani kehidupan suci?”
“Ketika berangkat dari rumah, Bhante, seorang gadis Sakya yang tercantik di negeri ini, dengan rambutnya setengah tersisir, memandang saya dan berkata “Kembalilah segera, Tuan.”. Ketika mengingat kembali hal itu, Bhante, saya tidak puas menjalani kehidupan suci ….., saya tidak dapat memikul kehidupan suci. Saya akan berhenti dari latihan ini dan kembali ke kehidupan rendah.”
Kemudian Sang Bhagava memegang tangan Yang Ariya Nanda, dan persis seperti seorang laki-laki kuat yang menjulurkan tangannya yang lentur atau melenturkan tangannya yang terjulur, demikianlah mereka lenyap dari hutan Jeta dan muncul di antara para dewa di surga Tavatimsa. Pada saat itu, kira-kira 500 bidadari berkaki merah muda datang untuk melayani Sakka, penguasa para dewa. Dan Sang Bhagava berkata kepada Yang Ariya Nanda, “Apakah kamu melihat 500 bidadari yang berkaki merah muda itu?”
“Ya, Bhante.”
“Apa pendapatmu, Nanda, siapakah yang lebih cantik, lebih indah untuk dipandang, dan lebih menggiurkan – gadis Sakya yang tercantik di seluruh negeri atau 500 bidadari yang berkaki merah muda ini ?”
“Bhante, dibanding dengan 500 bidadari yang berkaki merah muda ini, gadis Sakya, yang tercantik di seluruh negeri itu, seperti seekor monyet betina bunting yang hidung dan telinganya dipotong. Dia tidak masuk hitungan; dia tidak cukup berharga dibandingkan dengan para bidadari itu; sama sekali tidak dapat dibandingkan. Atha kho imāneva pañca accharāsatāni abhirūpatarāni ceva dassanīyatarāni ca pāsādikatarāni cā’’ti. (500 bidadari ini tentunya berbentuk lebih sempurna dan seimbang)”
‘‘Abhirama, nanda, abhirama, nanda, ahaṃ te pāṭibhogo pañcannaṃ accharāsatānaṃ paṭilābhāya kakuṭapādāna’’nti (munculkan sukacita, Nanda! munculkan sukacita, Nanda! Aku jamin dengannya, kau akan mendapatkan 500 bidadari ini)”
‘‘Sace me, bhante bhagavā, pāṭibhogo pañcannaṃ accharāsatānaṃ paṭilābhāya kakuṭapādānaṃ, abhiramissāmahaṃ, bhante, bhagavati brahmacariye’’ti (Jika guru, Bhagawa, menjamin dengannya, akan mendapatkan 500 bidadari ini, aku akan bersukacita daripada galau, dalam menjalankan prilaku menuju kesucian dalam bimbingan Sang Bhagawa)”
Kemudian Sang Bhagava memegang tangan Yang Ariya Nanda ….. mereka lenyap dari antara para dewa di surga Tavatimsa dan muncul di hutan Jeta.
Para bhikkhu mendengar: “Dikatakan bahwa Yang Ariya Nanda, saudara tiri Sang Bhagava, putra bibi yang mengasuhnya, menjalani kehidupan suci demi para bidadari. Dikatakan bahwa Sang Bhagava telah menjamin bahwa dia akan mendapatkan 500 bidadari berkaki merah muda.”
Kemudian sahabat-sahabat bhikkhu dari Yang Ariya Nanda, berkeliling dengan menyebutnya “orang jaminan” dan “orang rendah”, dengan mengatakan: “Yang Ariya Nanda adalah orang jaminan! Yang Ariya Nanda adalah orang rendah! Dia menjalani hidup suci demi para bidadari! Dikatakan bahwa Sang Bhagava menjamin dia akan mendapat 500 bidadari berkaki merah muda!”
Maka Nanda merasa terhina, malu, dan sedih karena sahabat-sahabatnya menyebutnya “orang jaminan” dan “orang rendah”. Dengan hidup menyendiri, menyepi, rajin,bersemangat dan penuh tekad, dia segera menyadari, bahkan di sini dan saat ini juga melalui pengetahuan langsungnya sendiri, tujuan kehidupan suci yang tiada bandingnya itu dimana putra keluarga baik-baik sudah pada tempatnya pergi dari keadaan berumah ke keadaan tidak berumah, dan setelah masuk, dia tinggal di dalamnya. Dan dia tahu: “Selesailah sudah kelahiran, telah dijalani kehidupan suci, telah dilakukan apa yang harus dilakukan, tidak akan ada keadaan seperti ini lagi.” Dan Yang Ariya Nanda menjadi salah seorang Arahat.
Kemudian, setelah malam semakin larut, seorang dewata yang tampan sekali menyinari seluruh hutan Jeta, mendekati Sang Bhagava, bersujud dan berdiri di satu sisi. Sementara berdiri di sana, Sang Dewata berkata kepada Sang Bhagava: “Yang Ariya Nanda, Bhante, saudara tiri Sang Bhagava, putra bibi yang mengasuh Nya, dengan melenyapkan noda-noda, telah menyadari di sini dan saat ini juga, pembebasan batin yang tanpa noda, dan pembebasan penuh kebijaksanaan, dan setelah masuk, dia tinggal di dalamnya”. Dalam mental Sang Bhagava pun muncul pengertian: “Nanda, dengan melenyapkan noda-noda, telah menyadari di sini dan saat ini juga, pembebasan batin yang tanpa noda, dan pembebasan penuh kebijaksanaan, dan setelah masuk, dia tinggal di dalamnya”.
Ketika malam itu telah berakhir, Yang Ariya Nanda mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, mengenai jaminan Sang Bhagava bahwa saya akan mendapatkan 500 bidadari berkaki merah muda tersebut, saya membebaskan Sang Bhagava dari janji itu.”
“Tapi, Nanda, dengan memahami jalan pikiranmu melalui pikiranku, pada saat itu saya tahu: ‘Nanda telah menyadari di sini dan saat ini pembebasan batin yang tanpa noda dan pembebasan penuh kebijaksanaan’. Juga seorang dewata memberitahu saya: ‘Yang Ariya Nanda, Bhante, telah menyadari di sini dan saat ini pembebasan batin yang tanpa noda dan pembebasan penuh kebijaksanaan’. Nanda, ketika batinmu telah terbebas dari noda-noda tanpa kemelekatan, dengan demikian saya bebas dari janji itu.”
Kemudian karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Bhikkhu yang sudah melewati lumpur,
Menghancurkan duri nafsu indria,
Dan mencapai pemusnahan ketidaktahuan,
Tak lagi terganggu oleh kesenangan dan rasa sakit. [Udana 3.2/Nanda]
Pada suatu hari dia merenung, "Kakak saya yang akan menjadi raja telah meninggalkan keduniawian menjadi bhikkhu dan telah mencapai ke-Buddha-an. Rahula, anak kakak saya, suami saya (Nanda), ibu saya, dan juga Ibu Rahula, mereka semua telah meninggalkan keduniawian untuk menjadi bhikkhu dan bhikkhuni, sekarang tinggal saya sendiri di sini!"
Setelah merenung demikian dia memutuskan pergi ke vihara dan minta ditahbiskan untuk menjadi seorang bhikkhuni, Ia melakukan itu bukan karena keyakinan tetapi hanya meniru orang lain dan merasa kesepian tinggal seorang diri.
Setelah menjadi bhikkhuni, Rupananda sering mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang ketidakkekalan, sehingga dia berpikir kalau dia bertemu dengan Sang Buddha pasti Beliau akan mencela kecantikannya, sehingga dia berusaha untuk menghindari perjumpaan dengan Sang Buddha. Akan tetapi karena terlalu banyak orang yang memuji mengenai Sang Buddha, akhirnya dia memutuskan untuk bertemu dengan Sang Buddha bersama para bhikkhuni.
Ketika Sang Buddha bertemu dengan Rupananda, Beliau mengetahui dan berpikir, "Duri hanya dapat dikeluarkan dengan duri. Rupananda sangat bangga dan melekat terhadap tubuhnya, sangat sombong akan kecantikannya, dia harus meninggalkan kemelekatan dan kesombongan akan kecantikannya".
Kemudian Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa menciptakan seorang anak gadis yang sangat cantik, berusia kira-kira 16 tahun dan duduk di dekatnya. Anak gadis itu hanya dapat dilihat oleh Sang Buddha dan Rupananda. Ketika Rupananda melihat anak gadis tersebut, Rupananda merasa dirinya hanyalah seekor gagak yang tua dan jelek dibandingkan dengan anak gadis itu, yang terlihat seperti seekor angsa putih yang bersinar cemerlang. Rupananda begitu mengagumi wajah anak gadis tersebut yang sangat cantik jelita. Rupananda memperhatikan sungguh-sungguh anak gadis itu, kemudian dia terkejut karena anak gadis tersebut terus bertambah tua menjadi berusia 20, kemudian bertambah tua, bertambah tua lagi dan menjadi sangat tua.
Anak gadis itu berubah dari anak gadis muda, menjadi setengah baya, tua, dan sangat tua. Rupananda mulai menyadari bahwa timbulnya bayangan baru maka bayangan lama lenyap, Ia mulai menyadari proses perubahan yang terus menerus dan kelapukan dari tubuh. Dengan kesadaran ini, kemelekatan terhadap tubuhnya berkurang. Pada saat itu bayangan anak gadis yang ada di dekat Sang Buddha telah berubah menjadi wanita jompo, tidak dapat lagi mengatur gerak tubuhnya, wanita jompo itu terjatuh dan meninggal dunia. Dari tubuhnya muncul belatung, cairan tubuh keluar dari sembilan lubang, burung gagak dan pemakan bangkai mencabik-cabik bangkai itu. Setelah melihat semua ini, Rupananda merenung, "Gadis muda itu menjadi tua dan jompo kemudian meninggal dunia di sini di hadapan mataku.
Sama halnya dengan tubuhku akan menjadi tua dan rusak, akan merupakan sarang penyakit dan juga akan meninggal dunia." Kemudian Rupananda menyadari akan corak sebenarnya kelompok kehidupan. Pada saat itu Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan ketanpa-intian dari kelompok kehidupan (khandha) dan Rupananda mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 150 berikut: “Kota (tubuh) ini terbuat dari tulang belulang yang dibungkus oleh daging dan darah. Di sinilah terdapat kelapukan dan kematian, kesombongan dan iri hati”. Rupananda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Rahula
7 hari setelah peristiwa Pangeran Nanda ditahbiskan, Sang Buddha disertai 20.000 Arahat, mengunjungi Istana untuk menerima undangan dana Makan. Putri Yasodharà memakaikan pakaian yang indah kepada putranya, Ràhula, yang saat itu berusia 7 tahun [RAPB, buku ke-1, hal. 930]. Setelah sang Buddha duduk, Kemudian, sang Permaisuri, Ibunda Rahula berkata pada anaknya: dan berkata, “Anakku, Itu adalah Ayahmu, temui dan mintalah harta pusaka untukmu".
Kemudian Rahula mendekatiNya; setelah mendekat dan berdiri di depanNya, Ia berkata, "Ayah, bahkan bayangan ayah membuat hatiku senang" Lalu Sang Buddha berdiri dari tempat duduknya dan berangkat. Rahula terus membuntuti dibelakang sang Buddha seraya berkata: "Beri aku warisanku, Pertapa, berikan warisanku, pertapa" Kemudian Sang Buddha berkata pada YM Sāriputta: "Jika demikian, Sāriputta, tahbiskanlah Rahula menjadi samanera (calon Bikkhu)". YM Sariputta menanyakan cara penahbisan dan sang Buddha menyampaikan aturan cara penahbisan calon Bhikkhu, yaitu "dengan mengucapkan 3 perlindungan, setelah: kepala dan janggutnya di cukur, seseorang menyediakan jubahnya, Ia memakai jubah, bernamaskara pada kaki Bhikkhu, duduk mencakupkan tangan mengucapkan 3 perlindungan (Buddha, Dhamma, Sangha) sebanyak 3x". [Penegakkan aturan ini menunjukan bahwa Rahula merupakan samanera pertama di jaman Buddha Gotama]. YM Sariputta kemudian menahbiskannya
[Setelah mendengar kabar bahwa Rahula ditahbiskan] Raja Suddhodana kemudian menemui Sang Buddha; setelah mendekat dan duduk pada jarak terterntu, Ia berkata, "Yang mulia, ijinkan aku memohon satu berkatmu". Sang Buddha, “Namun Aku tidak mengadakan pemberian berkat”. Raja Suddhodana, “Yang mulia, ini adalah apa dapat diijinkan, Ini adalah apa yang tidak tercela” Sang Buddha, “berbicaralah"
Raja Suddhodana, "Tak terkirakan penderitaanku sewaktu engkau meninggalkan rumah untuk menjadi seorang bikkhu. Kemudian belum lama ini, Nanda juga meninggalkanku dan terlalu berat untuk dapat menanggung kehilangan Rahula. Bagi seorang perumah tangga seperti diriku ini, ikatan antara ayah, anak, dan cucu sedemikian pentingnya. Rasa sakit yang kualami di kala engkau pergi bak sebilah pisau mengiris kulitku. Setelah mengiris kulitku, pisau itu mengiris dagingku. Setelah mengiris dagingku, pisau itu tembus hingga ke tulang. Adalah hal yang baik, jika yang mulia tidak membiarkan seorang anak ditahbisan, tanpa seijin orang tuanya". Sang Buddha memenuhi permohonannya dan menetapkan aturan untuk hal tersebut [Vinaya: Mahavagga, Rahula]
Pada suatu harinya setelahnya, Sang Buddha datang ke istana raja untuk menerima dana makan diiringi oleh 20.000 Arahanta, Raja Suddhodana melayani Tathàgata dan Para Arahanta dan menceritakan bahwa di saat perjuangan Sang Buddha sebelum mencapai Buddha, Raja didatangi satu mahluk Deva yang mengabarkan bahwa Pangeran Siddhattha telah meninggal karena kekurangan makanan. Raja menolak kata-kata dewa tersebut karena sangat mempercayai bahwa tidak mungkin putranya meninggal sebelum mencapai kebuddhaan.
Sang Buddha berkata, “Raja, bahkan ketika dikehidupan lampau, sebagai kepala suku Mahà Dhammapàla pun engkau juga menolak kata-kata seorang guru termasyhur, Disàpàmokkha, yang memberitahukan, ‘Putramu, pemuda Dhammapàla meninggal dunia; ini adalah tulang belulang putramu’ sambil memperlihatkan tulang belulang seekor kambing sebagai bukti. Engkau menolak kata-katanya dengan berkata, ‘Dalam suku Dhammapàla kami, tidak ada yang mati dalam usia muda’ Engkau tidak mempercayainya sama sekali”. Kemudian atas permohonan Raja, Sang Buddha menceritakan kisah Mahà Dhammapàla Jàtaka (Jataka no.447) yang setelahnya, beliau lanjutkan dengan penyampaian pokok-pokok Dhamma dari Empat Kesunyataan mulia. Di akhir penjelasan, Raja Suddhodana mencapai tingkat kesucian Anàgàmi. [RAPB buku ke-1, hal. 934-935]
Setelah menjadi Samanera, Rahula banyak mendapatkan nasehat dari sang Buddha, misalnya, "Demikian pula, Rāhula, jika seseorang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja (sampajānamusāvāda), maka tidak ada kejahatan, Aku katakan, yang tidak akan ia lakukan. Oleh karenanya, Rāhula, engkau harus berlatih: ‘Aku tidak akan mengucapkan kebohongan bahkan sebagai suatu gurauan” yang dilanjutkan dengan nasehat tentang cermin (ādāso) sebagai refleksi diri (paccavekkhaṇattho), yaitu agar berulang melakukan refleksi/pertimbangan terhadap perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran:
"Rāhula, ketika engkau [ingin/kattukāma, sedang/karomi atau telah/akāsi] melakukan suatu perbuatan [jasmani, ucapan atau pikiran], maka engkau lakukanlah pertimbangan terhadap perbuatan tersebut: ‘Apakah perbuatan yang [ingin, sedang atau telah] kulakukan ini mengarah pada merugikan/menyakiti (byābādhā): diriku, makhluk lain atau keduanya? Apakah ini perbuatan tak bermanfaat yang meningkatkan atau menghasilkan penderitaan (dukkha)?’
Ketika dari refleksi pikiran ini, engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang [ingin, sedang atau telah] kulakukan ini mengarah pada merugikan diriku, mahluk lain atau keduanya' ini adalah perbuatan tak bermanfaat yang meningkatkan atau menghasilkan penderitaan’, maka engkau:
- [Jika belum melakukannya] jangan lakukan perbuatan itu
- [Jika sedang melakukannya] harus berhenti melakukan perbuatan itu
- [Jika telah melakukannya] harus akui, ungkapkan dan ceritakan perbuatan itu kepada guru/teman yang bijaksana dalam kehidupan suci. Setelah mengakuinya, mengungkapkannya, dan menceritakannya, lakukan pengendalian untuk ke depannya
- [Jika belum melakukannya] lakukan perbuatan itu
- [Jika sedang melakukannya] lanjutkan perbuatan itu
- [Jika telah melakukannya] berada dalam bahagia dan gembira, dengan hal bermanfaat itu, latihlah siang dan malam
Ketika sang Buddha berada di Alavi, para umat awam datang ke Vihara demi mendengarkan Dhamma, setelah selesai, para bhikkhu thera (senior) kembali ke tempat mereka, namun para bhikkhu pemula/bhikkhu kecil (navaka: baru ditahbiskan, samanera) berbaring di tempat untuk berbaring di aula bersama para umat awam. Para bhikkhu pemula ini tidur secara ceroboh, bertelanjang (atas), bergumam, mendengkur sehingga para umat awam memandang rendah, mengkritik dan kejadian ini tersebar. Para bhikkhu tertentu kemudian berkata, “Bagaimana para bhikkhu ini berbaring di tempat untuk berbaring bersama dengan yang tidak ditahbiskan?". Kemudian sang Buddha menyampaikan aturan bahwa siapapun bhikkhu yang berbaring ditempat untuk berbaring dengan orang yang tidak ditahbiskan adalah pelanggaran pacittiya. [Vinaya, untuk Pacittiya no.5]
Beberapa bhikkhu kemudian, mengaplikasikan aturan ini juga kepada Rahula yang masih samanera, karena walaupun samanera adalah juga petapa namun bukan bhikkhu
- Setelah cukup lama tinggal di Alavi, Sang Buddha bersama para bhikkhu kemudian berangkat, tiba dan menetap di Kosambi. Para bhikkhu kemudian berkata pada Rahula, “Rahula, aturan telah ditetapkan untuk tidak berbaring di tempat berbaring dengan orang yang tidak ditahbiskan, Rahula, carilah tempat berbaring untukmu”. Rahula tidak menemukan tempat lain untuk berbaring kecuali di jamban. Di menjelang pagi, Sang Buddha bangun dan mendekati jamban, beliau berdehem (melegakan tenggorokan), demikian pula Rahula. Sang Buddha, "Siapa di sina?" Rahula, “Saya, Yang Mulia”. Sang Buddha, “Mengapa engkau duduk di sana, Rahula?" Rahula menjelelaskan kejadiannya dan sang Buddha menetapkan aturan bahwa para Bhikkhu diperbolehkan berbaring di tempat untuk berbaring dengan orang yang tidak ditahbiskan selama 2 atau 3 malam dan siapapun yang berbaring lebih dari 3 malam dengan orang yang tidak ditahbiskan adalah pelanggaran pacittiya [Vinaya, untuk Pacittiya no.5]
- Pada suatu ketika, ketika Sariputta dan Rahula sedang berpindapata di Rajagaha, Mereka bertemu seorang pembuat onar yang dengan sengaja menuangkan pasir ke mangkuk Rahula dan memukul kepala Rahula dengan sebuah tongkat. Darah mengucur deras dari kepala Rahula yang terluka. Sariputta segera mengingatkan Rahula, "Rahula, engkau adalah siswa Sang Buddha. Perlakuan apapun yang kamu terima, tidak boleh menyebabkan kemarahan masuk ke dalam hatimu. Kamu harus selalu berbelas kasihan kepada semua makhluk. Orang yang paling berani, orang yang mencari penerangan membuka kesombongannya dan memiliki keteguhan hati untuk mengatasi kemarahan". Setelah mendengarkan Sariputta, Rahula menjadi tenang dan tersenyum. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia pergi sendiri ke tepi sungai dan mencuci darah di kepala dan wajahnya. Kemudian ia menggunakan sapu tangannya untuk membalut luka dan melanjutkan mengumpulkan dana dari umat, seolah-olah ia tidak terluka sama sekali. ["Traveling to the Other Shore: Buddha's Stories on the Six Perfections", Hsing Yun,Xingyun, hal.154]
Adalah kebiasaan Sàmanera Ràhula untuk memungut segenggam pasir saat bangun pagi, dan berkata kepada diri sendiri, “Semoga aku mendapat teguran dari Bhagavà atau dari penahbisku sebanyak butir-butir pasir yang ada dalam genggamanku ini.” Kebiasaan itu menyebabkan ia memiliki reputasi sebagai seorang sàmanera yang cenderung menerima nasihat baik sebagai putra Bhagavà dan sebagai seorang putra berharga dari seorang ayah yang berharga [RAPB, buku ke-3, hal.2651]
6 Pangeran menjadi Bhikkhu
Setelah membantu ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk mencapai tiga tingkat Buah (Sotàpatti-Phala, Sakadàgàmã-Phala, dan Anàgàmã-Phala), Sang Buddha meninggalkan Kapilavatthu diiringi oleh 20.000 ribu Arahanta dan melakukan perjalanan menuju Ràjagaha; setibanya di hutan mangga Anupiya di kerajaan Mala, Buddha menghentikan perjalanan untuk beristirahat.
Ketika itu, 6 bangsawan muda suku Sakya yang rata-rata berusia di atas 35 tahun, yaitu: Bhaddiya sang kepala suku, Anuruddha, Ānanda, Bhagu, Kimbila dan Devadatta memutuskan untuk menjadi siswa Sang Buddha. Mereka pergi meningalkan kapilavastu bersama Upāli si pemangkas rambut sebagai yang ke-7 dengan diiringi 4 barisan bala tentara. Setelah melewati wilayah lain, mereka memulangkan bala tentara itu, Kemudian mereka melepaskan perhiasan, mengikatnya dalam satu buntelan dengan jubah luar, berkata kepada Upāli: “Pergilah, Upāli, pulanglah, ini akan mencukupi untuk kehidupanmu”. Ketika Upāli dalam perjalanan pulang, Ia berpikir, “Orang-orang Sakya kejam, bisa jadi berpikir: ‘Orang ini telah membuat pemuda-pemuda itu meninggalkan keduniawian,’ mereka bahkan mungkin akan membunuhku. Tetapi jika para pemuda Sakya ini akan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, mengapa aku tidak?”
Berpikir itu, Ia kemudian menurunkan buntelan tersebut dan menggantungnya di sebatang pohon, dengan berkata: “Siapa pun yang melihatnya, maka ini diberikan padanya dan boleh diambil”. Ia mendatangi para pemuda Sakya itu dan mereka berkata, “Upali, mengapa, engkau kembali?”. Ia menjawab dengan menceritakan pikirannya itu dan apa yang dilakukannya. Mereka dengan membawa Upāli mereka mendatangi Sang Bhagavā memohon penahbisan dan agar Upali yang terlebih dahulu dapat ditahbiskan sehingga mereka dapat mengurangi kesombongan dengan menjadikan Upali sebagai senior mereka. Dalam 1 tahun setelah penahsbisan, Bhaddiya mencapai 3 pengetahuan (Arahat); Anuruddha mencapai mata dewa yang dapat melihat timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk; Ananda mencapai buah pemasuk arus (Sotapanna) dan Devadatta mencapai kekuatan mental biasa (pothujjanikaṁ iddhiṁ: Jataka no.243 menyatakan sebagai hasil pencapaian jhana: "Devadatta membalas, “...dengan kekuatanku sendiri..dan mencapai 4 tingkat jhāna?”. Catatan kaki vinaya V, hal 414: bahwa kitab komentar A.A. i. 191 menyatakan Devadatta memperoleh 8 pencapaian)
Setelah menetap di Anupiyā selama yang Beliau kehendaki, Sang Bhagavā kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kosambī dan menetap di vihara Ghosita. [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda/KD 17]
- Note:
Untuk perjalanan lanjutan sang Buddha setelah dari hutan Anupiya. Vinaya: Sang Buddha kemudian menuju Kosambi dan menetap di vihara Ghosita, sementara kitab komentar yang dikemas di RAPB: “Sang Buddha dengan diiringi 20.000 bhikkhu arahat, meninggalkan hutan mangga Anupiya dekat Desa Anupiya di kerajaan Malla dan pergi menuju Vihàra Veluvana, Ràjagaha dan menjalani masa vassa ke-2 bersama 20.000 Bhikkhu [RAPB, buku ke-1, hal.949]
Karena versi vinaya lebih terpercaya, oleh karenanya, kejadian penahbisan 6 Pangeran dan Upali, tidak terjadi di tahun ke-1 namun sekurangnya terjadi di tahun ke-8 ke-Buddha-an
Oleh karenanya, Upali menjadi yang terkemuka di antara mereka yang mempelajari Vinaya (aturan kebhikkhuan). Beliau dihormati atas caranya menyelesaikan perselisihan yang seringkali mengganggu Sangha. Sesudah Sang Buddha parinibbana, beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan Ajaran Sang Buddha dengan mengulang Vinaya (peraturan kebhikkhuan) dalam Sidang Agung yang diselenggarakan di bawah pimpinan YA Maha Kassapa.
Tempat Sang Buddha Selama Musim Hujan
Para petapa di India tidak berkelana sepanjang tahun namun hanya 8-9 bulan saja. Selebihnya, mereka akan menetap di suatu tempat selama 3 atau 4 bulan, yaitu selama musim hujan (Vassa). Demikian pula dengan Sang Buddha dan para Muridnya. Vassāna/Musim Hujan dibagi dua, yaitu:
- Musim Hujan/Vassāna (Juli-Sept): Bulan Savana/Nikkhamanīya (Juli-Aug) dan Bulan Pottapada (Aug-Sept).
- Musim Gugur/Sarada (Sept-Nov): Bulan Assayujja/Pubba kattika (Sept-Oct) dan Bulan Kattika/Paccima Kattika (Oct-Nov)
Selama 45 tahun mengajar, sang Buddha menetap bervassa di berbagai tempat, yang tempatnya menurut kitab komentar Buddhavamsa, Madhuratthavilāsinī, Buddhadatta (abad ke-5 M) dan kitab Komentar Duka Nipata, Buddhaghosa (Abad ke-5 M), DPPN dan "The Buddha", Piyadassi Thera, hal.126-130:
- Setelah mencapai KeBuddhaan, bervassa di Isipatana, Migadàya dekat vàrànasi/Kasi, Kerajaan Kosala
- Masa Vassa ke-2, ke-3, ke-4, di Vihàra Veluvana, Ràjagaha, Kerajaan Magadha. Di tempat ini terjadi pertemuan pertama antara Anathapindika/Sudatta dan Sang Buddha, yaitu: di tahun ke-1 (versi: DPPN, G.P. Malalasekera) atau tahun ke-3 (Versi: "The Buddha", Piyadassi Thera, hal.126) dan mencapai Sotapanna (SN 10.8 dan Vinaya II). Vihara di Veluvana adalah Persembahan Raja Bimbisara
- Vihàra Aula Kutagara, Hutan Mahàvana, dekat Vesàli, Area para Licchavi, Vajji
- Di: Vihàra di Hutan Khyaya, lereng bukit Mamkula, Kosambi, kerajaan Vamsa, 30 Yojana dari Varanasi; atau Hutan Mahavana, Kūtāgārasālā, Vesali
- Di Savatthi, Kerajaan Kosala
Note:
Kitab komentar menyatakan: Sang Buddha, di tahun ke-7, pergi ke Tavamtisa mengajarkan Abhidhamma kepada IbuNya [Kitab komentar untuk: Jataka no.483 dan Dhammapada no. 181].
Kejadian ke Tavamtisa diawali peristiwa pertunjukan kesaktian dihadapan umat awam yang dilakukan YM Pindola Bhâradvadja pada hari ke-7, setelah 6 hari lamanya, 6 guru terkemuka [Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambali, Pakudha Kaccayana, Sanjaya Belatthiputta, Nigantha-Nataputta] gagal memberi bukti kepada seorang pedagang kaya Rajagaha yang tidak percaya arahat sejati ada karena dibingungkan begitu banyaknya yang mengaku sebagai Arahat, untuk itu, Ia membuat mangkuk dari cendana dan menggantungkannya di atas rangkaian bambu setinggi 60 lengan dan mengumumkan, "Arahanta sejati boleh mengambil mangkuk ini dengan cara terbang ke angkasa".
Kejadian YM Pindola menghebohkan penduduk Rajagaha sehingga mereka mengekoriNya. Kegaduhan ini diketahui sang Buddha. YM Ananda menerangkan sebab terjadinya kegaduhan dan Sang Buddha menetapkan larangan, "Para bhikkhu…seorang bhikkhu tidak memperlihatkan kesaktiannya di hadapan umat awam; dan ini adalah pelanggaran, 'Dukkata âpatti'/Pelanggaran minor".
Pertunjukan kesaktian dari YM Pindola Bharadvaja, tercantum dalam vinaya: [Theravada Pali V.5.8; Dharmaguptaka ch 51 1916: 235-238 (96-99); Mahīśāsaka ch 26 1916: 238-243 (99-103); Sarvâstivāda ch 37 1916: 243-246 (103-105); Mūla,sarvâstivāda Divy 256.25-257.21], Kitab komentar: [AA 1:196-199; SA 393; DhA 14.2.2/3:199-201; ThaA 2:4-6; UA 252; J 4:263; SnA 570; ApA 197. S] dan hanya kitab komentar yang mencantumkan tahun kejadiannya, yaitu di tahun ke-6 masa Vassa .
Larangan tersebut menggembirakan para pengikut 6 Guru lainnya. Raja Bimbisara bertanya pada sang Buddha tentang pelarangan itu dan sang Buddha menyampaikan bahwa 4 bulan kemudian di Savatthi, beliau akan mempertunjukan keajaiban. [RAPB buku ke-1, hal 1187]. Jarak Rajagaha – Savatthi = 45 Yojana (504 km s.d 648 km).
Kemudian di Savatthi,
Beberapa dari sangha Bhikkhu dan bikkhuni, diantaranya Samaneri Cirra yang berumur 7 tahun dan Bhikkhuni Uppavalavanna memohon ijin untuk menggantikan beliau menunjukan kesaktian, namun tidak diperkenankan. Sang Buddha kemudian mempertunjukan kesaktiannya berupa keajaiban ganda [Komentar Jataka no.483, komentar Dhammapada no.181] dan setelah itu ke alam Tavatimsa. Salah satu dari 6 guru, yaitu Purana Kassapa, bunuh diri terjun ke sungai karena malu akan kegagalannya di Rajagaha.
Apa yang dapat kita gali dari informasi di atas?
Di atas disampaikan bahwa YM Ananda memberitahukan kehebohan yang terjadi di Rajagaha kepada Sang Buddha. Sutta menginformasikan bahwa YM Ananda menjadi Buddhopaṭṭhāka (pembantu tetap Sang Buddha) justru mulai di tahun ke-20: "Paṇṇavīsati-vassāni (Selama 25 tahun); bhagavantaṃ upaṭṭhahiṃ (menjadi pendamping Sang Bhagava); Mettena kāya.. vacī.. manokammena (dengan cinta kasih melalui perbuatan, perkataan dan pikiran), chāyāva anapāyinī (bagai bayangan yang tak lepas)" [Thag 17.3/Ananda]. Jadi seharusnya terjadi di atas tahun ke-20.
Di atas ada Samaneri dan Bhikkhuni. Ini seharusnya terjadi di atas tahun ke-20.
Sutta Di DN2/Sāmaññaphala Sutta:
Raja Ajjatasattu pernah berkonsultasi dan kemudian disarankan juga untuk berkonsultasi lagi dengan 6 guru terkemuka, yang salah satunya adalah Purana Kassapa.
Raja Bimbisara wafat ketika Sang Buddha berusia 72 tahun (Sang Buddha wafat di tahun ke-8 masa pemerintahan Ajjatasattu). Dalam waktu 4 bulan, setelah pertunjukan Pindola Bhavadraja, Raja Magadha telah berganti dari Bimbisara menjadi Ajjatasattu. Ketika Purana Kassapa bunuh diri ini terjadi beberapa bulan setelah Ajjatasattu menjadi Raja
Oleh karenanya, perjalanan ke Tavatimsa, yang konon untuk urusan mengajar Abhidhamma, seharusnya terjadi di tahun ke-37
Sementara itu,
hasil konsili ke-1 dan ke-2, sama sekali tidak memuat adanya Abhidhamma sebagai ajaran yang khusus terpisah (atau kelak sebagai 7 kitab yang menjadi 1/3 tipitaka). Sejarah mencatat bahwa 7 kitab Abhidhamma baru ada di tahun ke-3 SM, setelah konsili ke-3 [Untuk lebih jelasnya, lihat: Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran]
Klaim bahwa Abhiddhama diturunkan via YM Sariputta
YM Sariputta disebut sang Buddha sebagai “Yang terunggul dalam intuisi kebijaksanaan”, di beberapa sutta, kita temukan beberapa diskusi logika analisis, misal di Mahaghosinga sutta [YM Moggallana dan YM Sariputta] juga Mahavedalla sutta [YM Kotthita dan YM Sariputta] mereka berdiskusi lebih dalam lagi tentang Dhamma. Pembicaraan Dhamma yang dalam lagi ini adalah bagian dari Dhamma itu sendiri.
YM Sariputta:
2 minggu setelah ditahbiskan, Aku memahami analisa: [atthapaṭisambhidā/pengertian secara luas dan mendalam; dhammapaṭisambhidā/hubungan kondisi dan sebab; niruttipaṭisambhidā/Tata bahasa asal usul interpretasi pengucapan dialek dan ekspresi; paṭibhānapaṭisambhidā/Penerangan, intelektual dan kefasihan penyampaian] dan dengan rincian ciri dan kekhasannya (sacchikatā odhiso byañjanaso) Itu saya nyatakan, terangkan, perlihatkan dan tunjukan dalam dalam berbagai cara (AN 4.173/Vibhatti sutta).
Pengakuan YM Sariputta ini adalah tentang apa yang dicapainya. Tidak pernah disebutkan dalam sutta dan vinaya bahwa beliau mendapatkan suatu ajaran khusus yang disebut dengan nama Abhiddhama. Hanya kitab-kitab komentar abad belakangan yang mengklaim bahwa Abhidhamma diturunkan via Sariputta, dikaitkan perjalanan fiksi sang Buddha ke Tavatimsa mengajar Abhiddhama kepada IbuNya. Klaim ini, seharusnya mengundang beberapa pertanyaan, misalnya:
Mengapa IbuNya tidak ke alam manusia saja untuk mendapatkan pengajaran, karena toh, sutta dan vinaya juga menyampaikan bahwa para devapun kerap berkunjung ke alam manussa untuk mendengarkan dhamma Sang Buddha dan para Arahat lainnya?
Mengapa selama 3 bulan (90 hari) musim vassa alam manussa yang setara dengan 3.6 detik di Tavatimsa itu, Sang Buddha setiap harinya perlu turun (atau membuat proyeksi diriNya) ke alam manusia untuk berpindapata? Mengapa sang Buddha menjadi tidak kuat untuk tidak makan 3.6 detik saja? Atau mengapa para deva menjadi pelit tidak menawarkan sesuatu jika memang waktu pindapata? Atau tidakkah nimittabuddha/bentukan Buddha palsu (untuk mengajar) menjadikan sang Buddha melanggar sila ke-4, karena diriNya tidak menyampaikan sendiri? Bagaimana mungkin kitab komentar (Dhammapada: Buddha vagga dan Abhidhamma: Ganthārambhakathā) menyatakan telah ada 7 kitab (sattapakaraṇika, sattappakaraṇa = 7 kitab) Abhidhamma yang diajarkan Sang Buddha (dan Sariputta) padahal Kathāvatthu (salah satu dari 7 kitab) sendiri baru muncul di abad ke-3 SM, pasca perpecahan aliran?
Jadi, Sang Buddha tidak pernah mengajarkan khusus tentang kitab Abhidhamma apalagi di Tavatimsa. Untuk itu pendapat yang menyatakan: Abhidhamma (7 kitab konsili ke-3) adalah ajaran Sang Buddha atau berasal dari sang Buddha ataupun Sang Buddha mengajarkan abhidhamma di Tavatimsa dan bahkan bahwa tahun ini sebagai tahun kepergian sang Buddha ke Tavatimsa, SEHARUSNYA DI ABAIKAN/DI TOLAK - Hutan kacang merpati, tempat perlindungan hewan [area kekuasaan Yakkha Bhesakala], Bukit Sumsumara/Bukit Buaya, Kerajaan Bhagga [antara Vesali - Savatthi/Kosala]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga, di Suṃsumāragira, di Taman Rusa di Hutan Bhesakalā. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahNya, dan pergi ke kediaman perumah-tangga Nakulapitā, di mana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian perumah-tangga Nakulapitā dan istrinya, Nakulamātā mendekati Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Nakulapitā dan Nakulamātā, secara berurutan, berkata kepada Sang Bhagavā:
“Bhante, sejak aku masih muda, sejak dalam pernikahan, aku tidak ingat pernah memperlakukannya dengan buruk bahkan dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Kami berharap, Bhante, agar dapat saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang.”
Sang Buddha:
“Perumah-tangga, jika baik istri maupun suami ingin dapat saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang, maka mereka harus memiliki keyakinan yang sama, perilaku bermoral yang sama, kedermawanan yang sama, dan kebijaksanaan yang sama. Maka mereka akan dapat senantiasa saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang.”
Baik suami maupun istri memiliki keyakinan,
murah hati dan terkendali oleh diri sendiri,
menjalani kehidupan mereka dengan kebaikan,
saling menyapa satu sama lain dengan kata-kata menyenangkan,
Banyak keuntungan mendatangi mereka,
dan mereka berdiam dengan nyaman.
Musuh-musuh mereka akan kecewa
ketika keduanya setara dalam moralitas.
Setelah mempraktikkan Dhamma di sini,
dalam perilaku bermoral dan pelaksanaan yang sama,
bergembira [setelah kematian] di alam deva,
mereka bersukacita, menikmati kenikmatan-kenikmatan indria[AN 4.55/Samajivi]
Tampaknya kemudian, suami-istri ini selama 16 tahun setelahnya, melatih hidup selibat perumah tangga (sila ke-3, abrahmacariya), hal ini disampaikan di AN 6.16/Nakula Sutta, yaitu ketika sang Suami sedang sakit keras, sang Istri memintanya untuk tidak berkhawatir karena ia akan tetap dapat membiayai kehidupan keluarga mereka, tidak akan menikah, rajin berkunjug pada Sang Buddha dan siswanya, tetap menjaga moralitas, memiliki ketenangan internal dan Ia telah: mencapai pijakan kaki, pijakan yang kokoh, dan jaminan dalam Dhamma dan disiplin telah melampaui keragu-raguan, melenyapkan kebingungan, percaya diri dan tidak bergantung yang lain dalam ajaran. - Vihàra Ghositàràma, Kosambi, Ibukota dari Vaṃsa
- Hutan Pārileyyaka/Pàlileyyaka (palale), dekat Kosambi. Tampaknya ini tidak akurat jika terjadi di tahun ke-10, karena sutta menyatakan saat itu telah ada para Bhikkhuni, sedangkan penahbisan Bhikkhuni baru muncul setelah tahun ke-20
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada dekat Kosambi, di vihara Ghosita. Pada saat itu Sang Bhagava hidup dikelilingi oleh para bhikkhu dan bhikkuni, pengikut awam pria maupun wanita, raja-raja dan menteri-menteri kerajaan, guru-guru ajaran lain dan murid-murid mereka, dan beliau tinggal dalam keadaan yang tidak nyaman dan tidak tenang. Kemudian Sang Bhagava berpikir: “Pada saat ini saya tinggal terjepit diantara para bhikkhu dan bhikkuni …. oleh para guru ajaran lain dan murid-murid mereka dan saya tinggal dalam keadaan yang tidak nyaman dan tidak tenang. Seandainya saya tinggal sendirian, terpisah dari kelompok orang-orang ini?
...dan tanpa memberitahu para umat atau mengucapkan selamat tinggal kepada bhikkhu sangha, Sang Bhagava berangkat sendirian, tanpa teman, menuju Parileyyaka. Berjalan terus tanpa berhenti, beliau tiba di Parileyyaka dan tinggal dekat Parileyyaka di suatu hutan yang terlindung di kaki pohon sala yang menyenangkan... gajah jantan itu ..mendekati Sang Bhagava di kaki pohon sala yang nyaman... menjaga tempat itu agar bebas dari lumpur dan membawakan air dengan belalainya untuk digunakan Sang Bhagava.[Udana 4.5] - Dekat Magadha: di Vihàra Nàlikàràma, perkampungan Brahmana Nàla, Nalaka, Magadha (versi Buddhaghosa). Di DPPN dan Piyadassi Thera: di Ekanala, Dakkhinagiri, Magadha bertemu Brahmana Kasi Bharadvaja SN 7.11 dan SNP 1.4
- Dekat pohon Tragacanth [area kekuasaan Yakkha Naleru], kediaman Brahmana, di Veranjà, dikatakan sebagai bagian area Kosambi, namun juga dikatakan saat bencana kelaparan, 500 kepala keluarga Uttarāpaṭha, yang tinggal di Verañjā menyediakan makanan bagi para bhikkhu. Sehingga jika Veraja masuk area Kosambi maka selama 45 tahun masa vassa sang Buddha, seluruhnya terjadi di wilayah Majjhimadesa/wilayah Tengah.
Di kota Veranja (sebelah Baratnya Kapilavastu dan Koliya), yang tengah dilanda masa paceklik dan kelaparan (dubbhikkhe), kepada Sang Buddha, Sariputta bertanya: "Pada Masa Buddha siapakah kehidupan suci bertahan lama dan masa Buddha siapakah tidak bertahan lama?”. Sang Buddha:
Pada masa Buddha Vipassī, Sikhī and Vessabhū tidak membabarkan khotbah Dhamma secara terperinci, peraturan latihan bagi para siswa (vinaya) tidak dipermaklumkan dan kumpulan peraturan tidak dirumuskan (Pàtimokkha, inti peraturan). Setelah Para Buddha, generasi para siswanya parinibbana, ajaran itu lenyap dengan cepat.
Pada masa Buddha Kakusandha, Konāgamana and Kassapa membabarkan khotbah Mereka secara terperinci, menetapkan Vinaya dan Pàtimokkha. Setelah Mereka dan para siswa langsung parinibbana, generasi-generasi berikutnya menjaga ajaran itu hingga bertahan.
Mendengar itu, YM Sariputta memohon pada sang Buddha agar menetapkan vinaya dan patimokkha. Sang Buddha: ITU BELUMLAH SAATNYA karena dari puluhan ribu anggota sangha saat itu, hanya 500nya saja yang sotāpanna dan kelak ketika jumlah anggota sangha semakin membesar akan terjadi kecenderungan berpikir, berucap dan berbuat yang menjauh dari jalan kesucian, di saat itulah vinaya dan patimokkha baru dapat ditetapkan [Suttavibhanga Vin.I.3, 2-4] - Buddhadatta: Bukit Càliya/calika, Desa Jantu/Pacinavamsamigadaya, Càlika, kerajaan Cetiya. Buddhaghosa: Bukit Maliya. Meghiya menjadi pelayan tetap Sang Buddha dalam Meghiya Sutta: Udana 4.1 dan AN 9.3
- Vihàra Jetavana (Persembahan Anathapindika), Sàvatthi, Kerajaan Kosala [Thag. vs. 295f]. Tahun ini Rahula genap berusia 20 tahun dan ditahbiskan menjadi Bhikkhu. Sepanjang masa Kebuddhaan, dikatakan bahwa Sang Buddha bervassa 19x di Vihara ini (DhA.i.3; BuA.3; AA.i.314). Vihara ini tempat pertemuan pertama kali antara Raja Pasenadi dan Buddha Gotama yang kemudian menjadi pengikut sang Buddha [SN 3.1/Dahara Sutta]. Menurut sumber Tibet, konversi Pasenadi terjadi di tahun ke-2 (Rockhill, hal.49), namun sutta menyatakan pertemuan terjadinya di Jetavana, oleh karenanya, pertemuan pertama dan konversi terjadi di tahun ini.
- Vihàra Nigrodha, Kapilavatthu (Bagian kerajaan Kosala). Mungkin di tahun ini Raja Suddhodana wafat. Namun, Piyadassi Thera dalam buku “The Buddha”, hal 126, mengatakan tahun ini adalah wafatnya Suppabuddha, ayah Yasodhara dan Devadatta. Tampaknya kisah Suppabuddha wafat tidak terjadi di tahun ini, karena Ananda dalam kitab komentar Dhammapada bertindak sebagai pendamping/pelayan Sang Buddha oleh karenanya ini terjadi setelah tahun ke-20.
- Buddhadatta: Alavaka; BuddhaGhosa: Kuil Aggàlava (kuil para arwah), kerajaan Āḷavī (Berada di antara Sāvatthi dan Rājagaha). Mungkin di tahun ini Sang Buddha bertemu Yakkha Alavaka yang memintanya untuk masuk dan keluar sebanyak 3x dan yang terakhir sang Buddha tidak pergi. Sang Yakkha kemudian meminta Sang Buddha menjawab pertanyaannya, jika tidak dapat menjawab, maka Yakkha tersebut mengancam akan membuatnya gila atau memecahkan jantungnya atau mencengkram kakinya atau melemparkannya ke sungai Gangga. [Ancaman ini juga dilakukan Yakkha suciloma di SN 10.3], Sang Buddha sampaikan bahwa tidak ada 1 pun mahluk di semesta ini yang mampu melakukan itu pada seorang Buddha dan beliau menjawab pertanyaan sang Yakkha. Setelah tanya jawab selesai, Yakkha Alavaka berlindung pada Buddha, Dhamma dan sangha [Alavaka Sutta: SN 10.12 dan SNP 1.10]
- Vihàra Veluvana, Ràjagaha, Magadha: Mungkin di tahun ini Sirima wafat:
[Sirima, adik dari Tabib Jivaka, Sirima berprofesi sebagai pelacur, Ia dan 500 pengiringnya mencapai Sotapanna dalam kisah di kitab komentar Dhammapada syair no.223]
Saat itu di Rajagaha tinggal seorang pelacur yang sangat cantik bernama Sirima. Setiap hari Sirima berdana makanan kepada delapan bhikkhu. Suatu ketika, salah seorang dari bhikkhu-bhikkhu itu mengatakan kepada bhikkhu-bhikkhu lain betapa cantiknya Sirima dan setiap hari ia mempersembahkan dana makanan kepada para bhikkhu
Mendengar hal ini, seorang bhikkhu muda langsung jatuh cinta pada Sirima meskipun belum pernah melihat Sirima. Hari berikutnya bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain pergi ke rumah Sirima untuk menerima dana makanan, pada hari itu Sirima sedang sakit. Tetapi karena Sirima ingin berdana makanan maka ia menerima kehadiran para bhikkhu. Begitu bhikkhu muda tersebut melihat Sirima lalu bhikkhu muda berpikir, "Meskipun ia sedang sakit, ia sangat cantik!". Bhikkhu muda tersebut memiliki hawa nafsu yang kuat terhadapnya
Larut malam itu, Sirima meninggal dunia. Raja Bimbisara pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahukan bahwa Sirima, saudara perempuan Jivaka, telah meninggal dunia. Sang Buddha menyuruh Raja Bimbisara membawa jenazah Sirima ke kuburan dan menyimpannya di sana selama 3 hari tanpa dikubur, tetapi hendaknya dilindungi dari burung gagak dan burung hering
Raja melakukan perintah Sang Buddha. Pada hari ke empat jenazah Sirima yang cantik sudah tidak lagi cantik dan menarik. Jenazah itu mulai membengkak dan mengeluarkan cairan dari enam lubang
Hari itu Sang Buddha bersama para bhikkhu pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima. Raja Bimbisara dan pengawal kerajaan juga pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima. Bhikkhu muda yang telah tergila-gila kepada Sirima tidak mengetahui bahwa Sirima telah meninggal dunia
Ketika ia mengetahui perihal itu dari Sang Buddha dan para bhikkhu yang pergi melihat jenazah Sirima, maka iapun turut serta bersama mereka. Setelah mereka tiba di makam, Sang Buddha, para bhikkhu, raja, dan pengawalnya mengelilingi jenazah Sirima
Kemudian Sang Buddha meminta kepada Raja Bimbisara untuk mengumumkan kepada penduduk yang hadir, siapa yang menginginkan tubuh Sirima satu malam boleh membayar 1.000 tail, akan tetapi tak seorang pun yang bersedia mengambilnya dengan membayar seharga 1.000 tail, atau 500, atau 250, ataupun cuma-cuma. Kemudian Sang Buddha berkata,
"Para bhikkhu, lihat Sirima! Ketika ia masih hidup, banyak sekali orang yang ingin membayar seribu tail untuk menghabiskan satu malam bersamanya, tetapi sekarang tak seorangpun yang ingin mengambil tubuhnya walaupun dengan cuma-cuma. Tubuh manusia sesungguhnya subyek dari kelapukan dan kehancuran"
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 147:
Pandanglah tubuh yang indah ini, penuh luka, terdiri dari rangkaian tulang, berpenyakit serta memerlukan banyak perawatan. Ia tidak kekal serta tidak tetap keadaannya
Bhikkhu muda itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir. [Kitab Dhammapada syair ke-147] - Di Jetavana atau di bukit Caliya (Kerajaan Cetiya): Mungkin di tahun ini, ketika di Alavi, seorang gadis penenun mendengarkan dhamma dan 3 tahun kemudian, Sang Buddha ke Alavi untuk menemui gadis itu, ia mencapai sotapanna dan wafat:
Pada akhir upacara pemberian dana makanan di Alavi, Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan dari kumpulan-kumpulan kehidupan (khandha). Pada hari itu Sang Buddha menekankan hal utama yang dapat dijelaskan seperti di bawah ini:
"Hidup-Ku adalah tidak pasti; bagi-Ku, hanya kematianlah satu-satunya yang pasti. Aku pasti mati; hidup-Ku berakhir dengan kematian. Hidup tidaklah pasti; kematian adalah pasti"
Sang Buddha juga menasehati orang-orang yang mendengarkan Beliau agar selalu sadar dan berusaha untuk memahami kesunyataan tentang kelompok kehidupan (Khandha). Beliau juga berkata,
"Seperti seseorang yang bersenjatakan tongkat atau tombak telah bersiap untuk bertemu dengan musuh (misal seekor ular berbisa), demikian pula halnya seseorang yang selalu sadar terhadap kematian akan menghadapi kematian dengan penuh kesadaran.Kemudian ia akan meninggalkan dunia ini untuk mencapai tujuan kebahagiaan (sugati)"
Banyak orang yang tidak memperhatikan penjelasan di atas dengan serius, tetapi seorang gadis penenun muda berusia enam belas tahun mengerti makna penjelasan tersebut. Setelah memberikan khotbah, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana
Selang tiga tahun kemudian, ketika Sang Buddha melihat dunia kehidupan, Beliau melihat penenun muda, dan mengetahui bahwa sudah saatnya bagi gadis itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sehingga Sang Buddha datang ke negara Alavi untuk menjelaskan Dhamma untuk kedua kalinya
Ketika sang gadis mendengar bahwa Sang Buddha telah tiba beserta lima ratus bhikkhu, dia ingin pergi dan mendengarkan khotbah yang akan diberikan oleh Sang Buddha
Tetapi, ayahnya juga meminta kepadanya untuk menggulung beberapa gulungan benang yang dibutuhkan dengan segera, sehingga dia dengan cepat menggulung beberapa gulungan dan membawanya kepada ayahnya
Dalam perjalanan menuju ke tempat ayahnya berada, dia berhenti untuk sementara di samping orang-orang yang telah tiba untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha
Ketika itu Sang Buddha mengetahui bahwa gadis penenun muda akan datang untuk mendengarkan khotbah-Nya; Beliau juga mengetahui bahwa sang gadis akan meninggal pada saat dia pergi ke tempat penenunan.
Oleh karena itu, sangatlah penting baginya untuk mendengarkan Dhamma dalam perjalanan menuju ke tempat penenunan dan bukan pada saat dia kembali. Jadi, ketika gadis penenun muda itu muncul dalam kumpulan orang-orang, Sang Buddha melihatnya.
Ketika dia melihat Sang Buddha menatapnya, dia menjatuhkan keranjangnya dan dengan penuh hormat mendekati Sang Buddha. Kemudian, Sang Buddha memberikan empat pertanyaan kepadanya dan dia menjawab semua pertanyaan tersebut. Pertanyaan dan jawaban diberikan seperti di bawah ini:
Pertanyaan 1, Dari mana asalmu?
Jawaban 1, Saya tidak tahu
Pertanyaan 2, Ke mana kamu akan pergi?
Jawaban 2, Saya tidak tahu
Pertanyaan 3, Tidakkah kau tahu?
Jawaban 3, Ya, saya tahu
Pertanyaan 4, Tahukah kamu?
Jawaban 4, Saya tidak tahu, Bhante
Mendengar jawaban itu, orang-orang berpikir bahwa gadis penenun muda sangat tidak hormat. Kemudian, Sang Buddha meminta untuk menjelaskan apa maksud jawabannya, dan diapun menjelaskan.
"Bhante! Engkau tahu bahwa saya datang dari rumah saya; saya mengartikan pertanyaan pertama anda, anda bermaksud untuk menanyakan dari kehidupan yang lampau manakah saya datang. Karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu"
Maksud pertanyaan kedua, pada kehidupan yang akan datang manakah akan saya tempuh setelah ini; oleh karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu"
Maksud pertanyaan ketiga, apakah saya tidak tahu bahwa suatu hari saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, "Ya, saya tahu"
Maksud pertanyaan terakhir apakah saya tahu kapan saya akan meninggal dunia; oleh karena itu jawaban saya, "Saya tidak tahu"
Sang Buddha sangat puas dengan penjelasannya dan berkata kepada orang-orang hadir, "Banyak dari kalian yang mungkin tidak mengerti dengan jelas maksud dari jawaban yang diberikan oleh gadis penenun muda. Mereka yang bodoh berada dalam kegelapan, seperti orang buta"
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 174:
Dunia ini terselubung kegelapan, dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dengan jelas. Bagaikan burung-burung kena jerat, hanya sedikit yang dapat melepaskan diri; demikian pula hanya sedikit orang yang dapat pergi ke alam surga
Gadis penenun muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir. Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat penenunan. Ketika dia sampai di sana, ayahnya tertidur di atas kursi peralatan tenun. Saat ayahnya terbangun dengan tiba-tiba, dia dengan tidak sengaja menarik gulungan dan ujung gulungan menusuk tepat di dada sang gadis. Gadis penenun muda meninggal dunia di tempat itu juga, dan ayahnya sangat sedih
Dengan berlinangan air mata ayah gadis itu pergi menghadap Sang Buddha dan memohon agar Sang Buddha menerimanya sebagai bhikkhu. Kemudian, ia menjadi seorang bhikkhu, dan tidak lama setelah itu mencapai tingkat kesucian arahat [Komentar Dhammapada Syair no.174] - Di: Gunung Càliya/calika, Desa Jantu, Càlika (Kerajaan Cetiya); atau Rajagaha, Kerajaan Magadha.
- Vihàra Veluvana, Ràjagaha, Kerajaan Magadha
- Masa Vassa ke-21 s/d ke-44, di Vihàra Jetavana dan Vihàra Pubbàràma, Sàvatthi, Kerajaan Kosala. Jarak Rajagaha – Savatthi: 45 Yojana (1 yojana = 7-9 mil, 1 mil = 1.6 km. Jadi sekitar: 504 km s.d 648 km)
Tahun ke-21 s.d 38 di Jetavana, 6 tahun sisanya di Pubbarama. Tahun ke-31, vihara Pubbarama selesai dibuat, Sang Buddha menetap bolak-balik selama masa vassa di 2 Vihara tersebut.
- Desa Veluva, Vesàli [RAPB buku ke-1, hal.949-952. Peta perjalanan 8/9 bulanan sang Buddha di 25 tahun terakhirnya, menurut penuturan pengurus rumah tangga Raja Pasenadi: Isidatta dan Purana]
Hingga tahun ke-12 kebuddhaan (di Veranja, yang saat itu dilanda masa Paceklik dan kelaparan), Vinaya & Patimokha sebagai aturan tatatertib kebhikkhuan belum ditetapkan Sang Buddha, ini dikarenakan PULUHAN RIBU yang menjadi muridNya, saat itu, semuanya telah mencapai kesucian dan yang terendah adalah sotāpanna [Suttavibhanga Vin.I.3, 2-4]
Bahkan,
Di paruh pertama ke-Buddhan (20 tahun), Vinaya dan Patimokkha-pun, belumlah ditetapkan, untuk itu, di MN.21/Kakacūpama Sutta, Sang Buddha menggambarkan tentang masa-masa menyenangkan, "ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ cittaṃ" [Para bhikkhu, pernah terjadi di satu masa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu]. Buddhaghosa menjelaskan komentarnya di Vinaya, sub bagian parajikakhanda bahwa itu dikatakan terjadi pada 20 tahun pertama ke-Buddhaan:
- "Apaññatte sikkhāpadeti paṭhamapārājikasikkhāpade aṭṭhapite. Bhagavato kira paṭhamabodhiyaṃ vīsati vassāni bhikkhū cittaṃ ārādhayiṃsu, na evarūpaṃ ajjhācāramakaṃsu. Taṃ sandhāyeva idaṃ suttamāha – ‘‘ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ citta’’nti . Atha bhagavā ajjhācāraṃ apassanto pārājikaṃ vā saṅghādisesaṃ vā na paññapesi. Tasmiṃ tasmiṃ pana vatthusmiṃ avasese pañca khuddakāpattikkhandhe eva paññapesi. Tena vuttaṃ – ‘‘apaññatte sikkhāpade’’ti"
[Aturan latihan belum diumumkan, parajika pertama belum ditetapkan. Demikian dikatakan, 20 tahun/vīsati vassāni pertama masa ke-Buddhaan, para bhikkhu memuaskan pikiran sang Buddha dengan tidak melakukan kesalahan. Dalam sutta dikatakan, 'Para bhikkhu, pernah terjadi suatu masa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu'. Sang Buddha, tidak melihat adanya kesalahan, tidak mengumumkan pārājika ataupun Sanghadisesa. Ketika muncul kasus, beliau umumkan 5 keadaan pelanggaran kecil, karena itulah beliau katakan, ‘apaññatte sikkhāpade].
(1) Ananda menjadi Pembantu tetap Sang Buddha, di tahun ke-20
Pada 20 tahun pertama setelah mencapai penerangan sempurna, Sang Buddha tidak mempunyai seorangpun pendamping/pembantu tetap. Dari waktu ke waktu beberapa Bhikkhu pernah melayaninya, diantaranya adalah: Nāgasamāla, Nāgita, Upavāna, Sunakkhatta, samanera Cunda, Sāgata, Rādha dan Meghiya. Di akhir tahun ke-20, di hadapan sekumpulan Bhikkhu, Sang Buddha mengumumkan bahwa Ia sekarang telah berumur [Ananda dan Sang Buddha adalah sebaya] dan menanyakan apakah ada yang berkehendak untuk menjadi pendamping/pelayan tetapnya, yaitu seorang yang akan menghormati harapannya dalam banyak cara, karena terkadang mereka yang pernah mendampinginya tidak mematuhinya, pernah menjatuhkan mangkok, jubahnya dan juga pergi meninggalkannya.
Semua siswa utamanya, menawarkan diri mereka untuk hal ini, namun ditolak Sang Buddha. Kecuali Ānanda, Ia tidak menawarkan dirinya dan berdiam saja. Ketika ditanya mengapa Ia tidak menawarkan dirinya, ia jawab bahwa Sang Buddha tahu dengan baik siapa yang dikehendakinya. Dan Benarlah, sang Buddha kemudian menyatakan harapannya bahwa Ananda mau melakukannya. Ananda kemudian menyatakan kesediannya jika beberapa syarat yang disampaikannya ini di setujui oleh sang Buddha:
- Bahwa Bhagavà tidak memberikan kepadaku jubah baik yang Beliau terima.
- Bahwa Bhagavà tidak memberikan makanan yang baik kepadaku
- Bahwa Bhagavà tidak mengizinkan aku menetap di tempat yang sama dengan Beliau.
- Bahwa Bhagavà tidak mengajakku ke rumah umat awam yang mengundang Beliau
- Bahwa Bhagavà sudi pergi ke tempat aku diundang
- Bahwa Bhagavà sudi memberikan audisi kepada pengunjung asing segera setelah mereka tiba
- Bahwa Bhagavà sudi menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan Dhamma kepadaku saat aku memerlukan penjelasan
- Bahwa Bhagavà sudi mengulangi semua khotbah yang telah dibabarkan tanpa kehadiranku [RAPB buku ke-2, hal.1642-1644 yang mengutip dari kitab komentar: (1) Jataka no.456/JunhaJataka atau (2) DN 14/Mahapadana Sutta]
- "Paṇṇavīsati-vassāni (Selama 25 tahun); bhagavantaṃ upaṭṭhahiṃ (menjadi pendamping Sang Bhagava); Mettena kāya.. vacī.. manokammena (dengan cinta kasih melalui perbuatan, perkataan dan pikiran), chāyāva anapāyinī (bagai bayangan yang tak lepas)" [Thag 17.3/Ananda]
- "Dvāsīti buddhato gaṇhiṃ, dve sahassāni bhikkhuto; Caturāsītisahassāni, ye me dhammā pavattino’.
Dari semua Dhamma yang Saya hafalkan, 82.000 dari Sang Buddha sendiri; sedangkan 2.000 dari para bhikkhu, sehinga seluruhnya berjumlah 84.000" [Thag 17.3/Ananda]
Pada suatu ketika di Jetavana dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha memuji Ananda dan menempatkannya sebagai bhikkhu yang utama dalam lima hal: kepandaian (Bahusacca), ingatan yang kuat (Sati), kelakuan baik (Gati), ketabahan (Dhiti), perhatian penuh dalam pelayanan (Upatthana).
Walaupun demikian, sampai dengan Sang Buddha parinibbana/wafat, Ananda belum juga mencapai tingkat Arahat dan hanya mencapai sotapanna. Tiga bulan setelah wafatnya Sang Buddha yaitu pada Sidang Agung Pertarna di Gua Sattapanni, Rajagaha. Ketika itu, YM Maha Kassapa mengusulkan untuk mengulang kembali Dhamma dan Vinaya, Para bhikkhu arahat meminta YM Kassapa memilih anggota pertemuan tersebut. Beliau memilih 499 Arahat + Ananda yang masih sotapanna karena Ananda telah menerima Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha sendiri.
Ananda menyadari bahwa dirinya satu-satunya peserta yang belum Arahat, kemudian di satu hari sebelum pertemuan, YM Ānanda berpikir: “Besok adalah hari pertemuan, tidak selayaknya bagiku, seorang yang masih berlatih, pergi ke pertemuan itu,”. Setelah melewatkan banyak waktu di malam itu dalam ingatan pada jasmani, ketika malam hampir berlalu, ia berpikir akan berbaring, ketika Ia sedang merebahkan tubuh, yaitu ketika kepala BELUM menyentuh alas tidur dan ketika kaki TELAH terangkat dari tanah.
Di interval waktu itulah, pikirannya terbebaskan dari kekotoran mental (anupādāya āsavehi cittaṃ vimucci) dan keesokan harinya, YM Ānanda, pergi kepertemuan itu sebagai Arahat [Vinaya, Cullavagga XI]. Karena itulah beliau dikatakan sebagai satu-satunya siswa yang mencapai Arahat tanpa empat sikap tubuh (Iriyapatha).
(2) Parajika ke-1 vinaya ditetapkan, sehubungan kasus Bhikkhu Sudinna (belum sotāpanna) dari desa Kalandaka (dekat Vesali). Sang Buddha setelah masa vassa di Veranja(a)(c) berada di Vesali, di sini Sudinna ditahbiskan. Setelah ditahbiskan, Sudinna kemudian tinggal disekitar desa-desa area Vaji (Timurnya Kapilavastu dan Devadaha)(b). Di Vajji ada paceklik dan bencana kelaparan(d) sehingga para bhikkhu sulit berpindapata (mengumpulkan dàna makanan dengan mangkuk di tangan mereka). Karenanya, Sudinna bermaksud menggantungkan hidup pada sanak keluarganya di Vesali (di Timur Kapilavastu), dengan alasan, "Karena aku mereka dapat mempersembahkan dàna dan melakukan kebajikan. Dan para bhikkhu akan memperoleh keuntungan secara materi, dan aku takkan dipersulit dalam hal makanan”.
Di Vesali, keluarganya berusaha membujuknya dengan harta agar kembali ke kehidupan lamanya, namun Ia tidak bergeming. Kemudian, Ibunya memintanya agar diberikan keturunan sebagai pewaris harta keluarga agar tidak direnggut kaum Licchavi. Permohonan sang ibu ini dikabulkannya dan Ia melakukan hubungan seksual dengan istri lamanya, Istri lamanya hamil dan lahirlah anak bernama Bijaka, Ibu anak itu dipanggil Ibu Bijaka (BijakaMata), Sudinna dipanggil teman-temanya: Bapak Bijaka (BijakaPita). Berapa lama kemudian(c), baik Bijaka dan Bijakamata, memutuskan untuk melepas keduniawian menjadi Bhikkhu dan Bhikkhuni dan akhirnya mereka menjadi Arahat.
Sebaliknya Sudinna, Ia dilanda kecemasan dan penyesalan, tubuhnya semakin kurus dan pucat, pembuluh darahnya menonjol di seluruh anggota tubuhnya; Ia menjadi sengsara dan tertekan, teman-temannya sesama Bhikkhu bertanya apa yang melandanya dan Ia akui bahwa Ia menyesal melakukan hubungan seksual setelah menjalani kebhikkhuan. Permasalahan ini kemudian disampaikan kepada sang Buddha yang ketika itu sedang ada di Vesali dan atas kejadian ini, beliau kemudian menetapkan aturan untuk kali pertamanya bahwa barang siapa yang melakukan percabulan maka ia sudah kalah (parajika), tidak lagi dalam sangha [Suttavibhanga Vin.I.3, 2-4]
Note:
(a) Di Veranja adalah masa vassa ke-12. [Kitab komentar Vinaya Parajikakandha].
(b) Sudinna di area Vaji 8 tahun lamanya [Kitab komentar Vinaya Parajikakandha] atau tahun ke-20 keBuddhaan. Aturan parajika ke-1, ditetapkan sang Buddha, juga di Vesali, yaitu di tahun ke-21 (setelah lahirnya anak Sudinna). Vinaya juga menyampaikan bahwa pada masa paceklik di Vajji terjadi Parajika ke-4 (klaim memiliki supranatural agar mudah mendapatkan makanan). Masa Paceklik dan kelaparan (dapat terjadi 12 tahun lamanya, merujuk pada jaman raja Vattagamini, Sri Lanka).
(c) Bhikkhuvibhanga, Vinaya, tidak menyebutkan angka tahun-nya namun di kitab komentar Vinaya dikatakan bahwa Ibu-anak melepas keduniawian 7/8 tahun setelahnya dan mereka menjadi arahat, "Bījakassa kira sattaṭṭhavassakāle tassa mātā bhikkhunīsu so ca bhikkhūsu pabbajitvā kalyāṇamitte upanissāya arahatte patiṭṭhahiṃsu"
(d) Sutta dan Vinaya menyampaikan terdapat beberapa daerah yang terkena bencana kelaparan (Dubbhikkhe), diantaranya:
- Vesali yang berada dalam wilayah Vajji dilanda kemarau panjang, panenan gagal, terjadi kekurangan makanan, kelaparan, penyakit [kolera, ahivàta roga], kematian terjadi dimana-mana, mayat-mayat berserakan di kota. Raja Vesali kemudian mengutus 2 pangeran Licchavi untuk menemui sang Buddha yang sedang ada di Rajagaha dan Sang Buddha pun menuju Vesali. Jarak Rajagaha - Sungai Gangga (5 Yojana) - Vesali (3 Yojana) atau sekitar: 89.6 km s.d 115 km (1 yojana = 7-9 mil, 1 mil = 1.6 km). Di sana beliau membabarkan RATANA SUTTA pada YM ANANDA dan meminta YM Ananda berkeliling kota membacakan Ratana Sutta [RAPB, buku ke-2, hal 1451 s/d. 1489]
- Rajagaha
- Nalanda (Buddhaghosa mengatakan jaraknya 1 Yojana dari Rajagaha. Di SN 42.9/kula sutta, ada narasi tentang bencana kelaparan, Sang Buddha hanya menyebut Sangha Bhikkhu tanpa ada Bhikkhuni. Asibandhakaputta, sang pengikut Nigaṇṭha Nāṭaputta yang kemudian menjadi pengikut Sang Buddha. SN 42.7: Tanpa ada narasi tentang bencana Kelaparan, Asibandhakaputta tidak disebut lagi sebagai pengikut Jain dan Sang Buddha ada menyebutkan kata “bhikkhu dan bhikkhuni”)
- Alavi
- Savatthi, tempat terjadinya Parajika ke-2 (Kasus pencurian).
- Sungai Rohini: Kapilavatthu/Sakya ada di sebelah Baratnya dan Devadaha/Koliya di Timurnya. Jarak Kapilavastu - Devadaha: 5 Yojana. Air sungai ini digunakan kedua negara dalam mengairi persawahan mereka namun kemudian ketinggian air terus menurun hingga titik terendahnya. Para petani kedua kerajaan mengadakan rapat mengenai masalah pembagian air, kesepakatan tidak terjadi dan malah meruncing yang berujung akan terjadi perang di antara 2 negara. Sang Buddha berhasil mendamaikannya dan setelahnya, 250 pria dari masing-masing suku, memutuskan untuk menjadi bhikkhu
Pertengkaran di Sungai Rohini hanya tercantum sebagai narasi di: Jataka no.74; no.475; no.536 dan Dhammapada syair 197-199. Sedangkan Syair di Thag 10.1/Kaludayi hanya menuliskan nama 2 negara itu dan sungai Rohini tanpa ada penjelasan pertengkaran. Sang Buddha bervassa di Vihàra Jetavana, Sàvatthi [RAPB buku ke-1, hal. 1080]. Jarak Savatthi-Kapilavastu: 6 Yojana (67.2 km - 86.4 km)
Dari kejadian di atas, awal vinaya ditetapkan, tampaknya terjadi di tahun ke-21, kemudian dari pelanggaran-pelanggaran berat yang muncul, satu persatu aturan (Parajika dan Sanghadisesa) ditetapkan, maka Vinaya dan Patimokkha pun mulai menemukan bentuknya
Kematian Raja Suddhodana
Banyak tahun telah berlalu ketika Sang Buddha mengunjungi Kapilavatthu untuk pertama kalinya. Kemudian di suatu hari, ketika sang Buddha sedang berada di Vesali, beliau mengetahui bahwa Raja Suddhodana sedang menderita sakit parah dan sudah waktunya untuk wafat. Oleh karenanya, sang Buddha kembali mengunjungi Kapilavatthu. Raja Suddhodana tentu saja sangat berbahagia dapat melihat Sang Buddha lagi. Di sana sang Buddha memberikan khotbah kepada ayah-Nya dan setelah mendengarkan khotbah tersebut Raja Suddhodana mencapai tingkat Arahat. 7 hari setelah menikmati kedamaian nibbana, Raja Suddhodana wafat.
Mahapajapati Gotami menjadi Bhikkhuni, Sangha Bhikkhuni Terbentuk, Hitungan Mundur Lenyapnya Dhamma sejati
Ketika Raja Suddhodana meninggal, Ratu Mahapajapati Gotami merasa sangat sedih dan kesepian. Ia dan beberapa wanita lain memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan bergabung dengan kelompok Bhikkhu Sang Buddha untuk mempraktekkan Dharma.
- Pada suatu ketika Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā, sedang menetap di antara penduduk Sakya di Kapilavatthu di vihara Banyan. Kemudian Gotami Pajāpatī yang Agung, menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia berdiri dalam jarak selayaknya. Setelah berdiri dalam jarak selayaknya, Gotami Pajāpati yang Agung, berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut:
- “Seorang bhikkhunī yang telah ditahbiskan (bahkan) selama satu abad harus menyapa dengan hormat, bangkit dari duduknya, memberi hormat dengan merangkapkan tangan, memberikan penghormatan selayaknya pada seorang bhikkhu bahkan yang baru ditahbiskan pada hari itu. Dan peraturan ini harus dihormati, dihargai, dijunjung, dimuliakan, tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.
- “Seorang bhikkhunī tidak boleh melewatkan musim hujan di tempat tinggal di mana tidak terdapat bhikkhu. Peraturan ini juga harus dihormati … seumur hidupnya.
- “Setiap setengah bulan seorang bhikkhunī harus mengharapkan 2 hal dari Saṅgha para bhikkhu: bertanya (sehubungan dengan tanggal) hari Uposatha, dan kedatangan untuk memberikan nasihat. Peraturan ini juga harus dihormati … seumur hidupnya.
- “Setelah musim hujan seorang bhikkhunī harus ‘melakukan undangan’ di hadapan kedua Saṅgha sehubungan dengan 3 hal: apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dicurigai. Peraturan ini juga harus dihormati … seumur hidupnya.
- “Seorang bhikkhunī yang melanggar suatu peraturan penting, harus menjalani mānatta (disiplin) selama setengah bulan di hadapan kedua Saṅgha. Peraturan ini juga harus dihormati … seumur hidupnya.
- “Ketika, selagi menjalani masa percobaan, ia telah berlatih dalam 6 peraturan selama 2 tahun, maka ia harus memohon penahbisan dari kedua Saṅgha. Peraturan ini juga harus dihormati … seumur hidupnya.
- “Seorang bhikkhu tidak boleh dicela atau ditegur dalam cara apa pun oleh seorang bhikkhunī. Peraturan ini juga harus dihormati … seumur hidupnya.
- “Mulai hari ini pemberian nasihat pada para bhikkhu oleh para bhikkhunī adalah terlarang, pemberian nasihat pada para bhikkhunī oleh para bhikkhu diperbolehkan. Dan peraturan ini harus dihormati, dihargai, dijunjung, dimuliakan, tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.
[Kata "vacanapatha" di sini diartikan sebagai "pemberian nasihat" namun kata ini dapat bermakna "tidak berkata-kata kasar/menyakitkan"]
“Yang Mulia, baik sekali jika perempuan boleh diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin (dhammavinaye) yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.”
“Hati-hati, Gotami, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Dan untuk ke-2xnya … Dan untuk ke-3xnya Gotami Pajāpati yang Agung, berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, baik sekali …”
“Hati-hati, Gotami, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.”
Kemudian Gotami, Pajāpati yang Agung, karena berpikir: “Sang Bhagavā tidak memperbolehkan perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran,” berduka, bersedih, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis, setelah berpamitan dengan Sang Bhagavā, pergi dengan Beliau di sisi kanannya. ||1||
Kemudian Sang Bhagavā setelah menetap di Kapilavatthu selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Vesālī. Secara bertahap, berjalan kaki dalam perjalanan itu, akhirnya Beliau tiba di Vesālī. Sang Bhagavā menetap di sana di Vesālī di Hutan Besar di Aula beratap segitiga. Kemudian Gotami Pajāpati yang Agung, setelah memotong rambutnya, setelah mengenakan jubah kuning, melakukan perjalanan menuju Vesālī bersama dengan beberapa perempuan Sakya, dan akhirnya mereka mendekati Vesālī, Hutan Besar, Aula beratap segitiga. Kemudian Gotami Pajāpati yang Agung, kakinya membengkak, tubuhnya tertutup debu, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis, berdiri di luar teras utama.
[Note:
Mahapajapati Gotami, berusia sekitar 80-an tahun ketika Siddhattha Gotama menjadi Buddha, ketika peristiwa sungai Rohini, Mahapajapati Gotami, berusia sekitar 100 tahunan, setelah peristiwa itu, 250 pria dari masing-masing suku Sakya dan Koliya menjadi Bhikku, maka kehidupan 500 wanita yang suaminya menjadi Bhikkhu menjadi semakin sulit di situasi paceklik tersebut sehingga mereka putuskan juga untuk ikut menjadi petapa. Mereka bersama Mahàpajàpati Gotami, dengan berjalan kaki, dari Kapilavastu ke Hutan Mahavana, Vesali. (Kapilavastu – Vesali via kusinara = 43 yojana/481,6 km – 619,2 km atau 50 Yojana/560 km – 720 km) [RAPB, buku ke-1, hal.1128]. Mahapajapati Gotami wafat di usia 120 tahun (tahun ke-40 kebuddhaan)]
Yang Mulia Ānanda melihat Gotami Pajāpati yang Agung berdiri di luar teras utama, kakinya membengkak, tubuhnya tertutup debu, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis; melihatnya, ia berkata pada Gotami Pajāpati yang Agung sebagai berikut:
“Mengapa engkau, Gotami, berdiri … dan menangis?”
“Karena, Yang Mulia Ānanda, Sang Bhagavā tidak memperbolehkan perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”
“Baiklah, Gotami, tunggulah sebentar di sini, hingga aku memohon pada Sang Bhagavā atas pelepasan keduniawian bagi perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.” ||2||
Kemudian Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut:
“Yang Mulia, Gotamid, Pajāpati yang Agung, sedang berdiri di luar teras utama, kakinya membengkak, tubuhnya tertutup debu, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis, dan mengatakan bahwa Sang Bhagavā tidak memperbolehkan perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran. Baik sekali, Yang Mulia, jika perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga … oleh Sang Penemu-kebenaran.”
“Hati-hati, Ānanda, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga … oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Dan untuk ke-2xnya … Dan untuk ke-3xnya Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Baik sekali, Yang Mulia, jika perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga … yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”
“Hati-hati, Ānanda, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam `dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir:
“Sang Bhagavā tidak memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini. Bagaimana jika aku, dengan cara lain, memohon pada Sang Bhagavā untuk memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut:
“Yang Mulia, apakah para perempuan, setelah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini, mampu mencapai buah pencapaian-arus atau buah yang-kembali-sekali atau buah yang-tidak-kembali atau kesempurnaan?”
“Para perempuan, Ānanda, setelah meninggalkan keduniawian … mampu mencapai … kesempurnaan.”
“Jika, Yang Mulia, setelah meninggalkan keduniawian … mampu mencapai … kesempurnaan – dan, Yang Mulia, Gotami Pajāpati yang Agung, telah sagat banyak membantu: ia adalah bibi Sang Bhagavā, ibu pengasuh, perawat, pemberi susu, karena ketika ibu Sang Bhagavā meninggal dunia ia menyusui Beliau - baik sekali, Yang Mulia, jika para perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.” ||3||
“Jika, Ānanda, Gotami Pajāpati yang Agung, menerima 8 peraturan penting, maka ia boleh ditahbiskan:
“Jika, Ānanda, Gotami Pajāpati yang Agung, menerima 8 peraturan penting, maka ia boleh ditahbiskan.” ||4||
Kemudian Yang Mulia Ānanda, setelah menghafalkan 8 peraturan penting ini dari Sang Bhagavā, mendatangi Gotami Pajāpati yang Agung; setelah mendekat, ia berkata pada Gotami Pajāpati yang Agung sebagai berikut:
“Jika engkau, Gotami, sudi menerima 8 peraturan penting, maka engkau boleh ditahbiskan: Seorang bhikkhunī yang telah ditahbiskan (bahkan) selama satu abad … Mulai hari ini pemberian nasihat pada para bhikkhu oleh para bhikkhunī adalah terlarang … tidak boleh dilanggar seumur hidupmu. Jika engkau, Gotami, sudi menerima 8 peraturan penting, maka engkau boleh ditahbiskan.”
“Seperti halnya, Yang Mulia Ānanda, seorang perempuan atau laki-laki muda, berusia muda, dan menyukai perhiasan, setelah mencuci (badan dan) kepala(nya), setelah memperoleh kalung bunga teratai atau kalung bunga melati atau kalung bunga tanaman merambat yang harum, setelah memegangnya dengan kedua tangan akan meletakkan di atas kepalanya – demikian pula aku, menghormati, Ānanda, dan menerima ke-8 peraturan penting ini dan takkan pernah melanggarnya seumur hidupku.” ||5||
Kemudian Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, 8 peraturan penting ini diterima Gotami Pajāpati yang Agung.”
“Jika, Ānanda, perempuan tidak memperoleh pelepasan keduniawian kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma-disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran, maka menjalani prilaku menuju kesucian (brahmacariya) Ānanda, akan bertahan lama, dhamma sejati akan bertahan selama 1000 tahun (vassasahassaṃ saddhammo tiṭṭheyya). Tetapi karena, Ānanda, perempuan telah memperoleh pelepasan keduniawian … dhamma-disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran, Sekarang, Ānanda, prilaku menuju kesucian menjadi tidak bertahan lama. Sekarang, Ānanda, DHAMMA SEJATI hanya bertahan 500 tahun (na dāni, ānanda, brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ bhavissati. Pañceva dāni, ānanda, vassasatāni saddhammo ṭhassati)..[AN 8.51/Gotami Sutta dan Vinaya Pitaka, Cullavagga X.1.6; Juga di "Theories on the Foundation of the Nuns' Order – A Critical Evaluation", ANĀLAYO, hal.134, catatan:
2 Vinaya Dharmaguptaka, T 1428 at T XXII 923c9 tertulis: 若女人不於佛法出家者, 佛法 當得久住五百歲, dimana tampaknya yang dimaksudkan adalah ajaran buddha akan bertahan 500 tahun lebih lama jika perempuan tidak menjadi petapa ajaran buddha... Vinaya 'Haimavata' (Indentifikasi aliran oleh Lamotte (1958: 212) adalah benar), Vinaya Mahīśāsaka dan Vinaya (Mūla-)Sarvāstivāda berada di posisi sama dalam istilah berbeda, menurut mereka karena terbentuknya sangha bhikkhuni umur dharma sejati akan berkurang 500 tahun .., T 1463 at T XXIV 803b16: 汝今為女人求出家, 後當減吾五百歲正法, (menggunakan 宋, 元 dan 明 varian 歲 bukan 世);...Vinaya (Mūla-)Sarvāstivāda dalam bahasa tibet menyebutkan bahwa ajaran buddha tidak lagi tidak rusak selama 1000 tahun, tanpa, namun, mengacu pada 500 tahun, Q dul ba phran tshegs kyi gzhi, ne 116b5 (D da 121a6): bud med rnams legs par bshad pa'i chos kyi (D: omits kyi) 'dul ba la rab tu ma byung na ni da yang (D: dung) nga'i bstan pa lo stong tshang bar nyes pa med cing nyams pa med par gnas par 'gyur ro.
3 MĀ 116 di T I 607b8 menunjukan bahwa jika wanita tidak di tahbiskan, dharma sejati akan bertahan 1000 tahun, sekarang umurnya berkurang 500 tahun, hanya selama 500 tahun, 若女人不得於此正法、律中,至信、捨家、無家、學道者,正法當住千年,今失五百歲,餘有五百年"
Di T 60: "若女人不於此法律信樂出家、...遺法當住千歲,今已五百歲減,餘有五百歲" (jika wanita tidak di tahbiskan..warisan ajaran, sekarang umurnya 500 tahun, hanya selama 500 tahun)
Juga di "Milinda Panha", Bab 8.7: "Raja Milinda: 'Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha berkata bahwa ajaran yang murni itu hanya akan bertahan selama 500 tahun...Bhikkhu Nagasena: 'O, baginda,..Yang satu berhubungan dengan umur ajaran yang murni..Pada saat berkata tentang 500 tahun itu Beliau memberikan batasan kepada agama..'"]
Note:
Mahapajapati Gotami, berusia 80-an tahun ketika Siddhattha Gotama menjadi Buddha dan menjadi sotāpanna sebelum menjadi Bhikkhuni (Komentar Jataka no.447). Ketika peristiwa sungai Rohini, Mahapajapati Gotami, berusia 100 tahunan, setelah peristiwa itu, 250 pria dari masing-masing suku Sakya dan Koliya menjadi Bhikku. Kehidupan 500 wanita yang ditinggal suaminya menjadi Bhikkhu semakin sulit dengan paceklik tersebut sehingga mereka putuskan juga menjadi petapa dan bersama Mahàpajàpati Gotami berjalan kaki, dari Kapilavastu ke Hutan Mahavana, Vesali. (Kapilavastu – Vesali via kusinara = 43 yojana/481,6 km – 619,2 km atau 50 Yojana/560 km – 720 km) [RAPB, buku ke-1, hal.1128]
Hanya Mahapajapati Gotami yang ditahbiskan dengan 8 peraturan penting dan tidak lagi kepada yang lainnya. Ketika 500 perempuan Sakya ditahbiskan, tertulis "Para bhikkhu, Aku ijinkan para BHIKKHUNI untuk ditahbiskan oleh para bhikkhu (anujānāmi, bhikkhave, bhikkhūhi BHIKKHUNIyo upasampādetun”ti)", maka posisi MahapajapatiGotami saat itu bertindak sebagai pengusul, upajjhaya, acarya, kammavaca mereka, setelah ditahbiskan Mahapajapati Gotami, mereka disebut "Bhikkhuni", setelahnya, para bhikkhuni ini ditahbiskan para bhikkhu. Jadi ada 2x penahbisan. Permintaan Mahapajapati agar "menyapa, bangkit dari duduk, penghormatan, dan tugas-tugas antara para bhikkhu dan bhikkhuni dilakukan sesuai senioritas" ditolak sang Budddha [Cullavagga]
Mahapajapati Gotami mencapai arahat setelah arahan Sang Buddha dan 500 Bhikkhuni mencapai arahat setelah kotbah YM Nandaka. Gelar "rattaññūnaṃ" diberikan di Jetavana kepada Annasi Kondanna (Arahat Pria pertama) dan Mahapajapati Gotami (Arahat wanita pertama). Tidak tercatat dianugrahi bersamaan. Annasi Kondanna menjadi arahat di tahun ke-1 keBuddhaan, Pada tahun ke-2, di Rajagaha, Ia meminta ijin menyepi dan 12 tahun kemudian (tahun ke-14) ke Jetavana untuk pamitan hendak parinibbana kepada Sang Buddha. Sang Buddha bervassa di Jetavana pertama kali tahun ke-14 dan saat itu Ia dianugerahi gelar. Kepada Mahapajapatigotami gelar diberikan tampaknya di tahun ke-38. Tak lama setelah kembali ke Vesali, Ia wafat, diusia 120 tahun (tahun ke-40 kebuddhaan) bersamaan dengan wafatnya 500 Bhikkhuni yang ditahbiskannya
Dari 1000 tahun menjadi 500 tahun adalah penglihatan Sammasambuddha, pemilik 10 kekuatan/Dasabalā yang salah satunya "memahami sebagaimana adanya akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan, di masa: lalu, depan, dan sekarang, dengan kemungkinan dan penyebabnya" sehingga, beliau mengetahui dan melihat bahwa setelah tahun ke-500, tidak ada lagi manusia yang siap mencapai kesucian dan juga mampu menjalani sepenuhnya penghidupan BRAHMA dhamma-vinaya (sample penglihatan lain misal: Petapa telanjang Korakkhattiya akan wafat dalam 7 hari/DN 24; Sang Buddha menetapkan akan wafat 3 bulan lagi/DN 16; Pāṭaliputta kelak menjadi kota utama dan akan mengalami bahaya kehancuran api, air dan perselisihan/DN 16)
Terkait kutipan syair "..karena, Ānanda, perempuan telah memperoleh pelepasan keduniawian …, sekarang, Ānanda, prilaku menuju kesucian menjadi tidak bertahan lama. Sekarang, Ananda, DHAMMA SEJATI hanya bertahan 500 tahun", diklaim sebagai bukti bahwa sang Buddha sexist, karena telah menyalahkan wanita sebagai biang keladi umur Dhamma sejati (dan menjalani prilaku kehidupan brahmacariya menurut dhamma-vinaya) menjadi hanya 500 tahun saja. Namun, masalahnya, di sebelum itupun, sudah ada gender ke-3 (bukan pria dan wanita) misalnya: Soreyya dan Vakkali. Beberapa dari gender ke-3 menambah ragam permasalahan, misalnya: Ia berubah kelamin namun tetap ingin ditahbiskan atau tetap dalam himpunan atau Ia menjadi bhikkhu untuk merayu para bhikkhu/ni, samanera/ri, umat awam.
Jadi, bukan gender, melainkan membesarnya jumlah yang berjenis moghapurisa (misal di SN 16.13, AN 4.160. AN 5.1503-156) yang mempercepat tenggelamnya Dhamma sejati dan prilaku menuju kesucian menurut dhamma-vinaya, mereka inilah, memperkaya ragam permasalahan internal/eksternal di kedua sangha dan/atau dengan/antar umat awam atau dengan penganut ajaran lain, penjiplakan ajaran, alasan perawatan kesehatan yang lebih terjamin, kultur, sosial, budaya, bahasa, agama, gender, perekonomian, politik, dan lainnya:
Maha Kassapa:
"Apa alasan dan bergantung pada kondisi apa ketika sebelumnya sedikit aturan (sikkhāpadāni), banyak bhikkhu yang memperoleh pencerahan namun sekarang ini, lebih banyak aturan yang ditetapkan namun lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pencerahan sempurna?"
Sang Buddha:
Ketika para mahluk merosot [sattesu hayamanesu], Dhamma sejati juga akan memudar, aturan ditetapkan semakin banyak, semakin sedikit bhikkhu yang mencapai pencerahan namun itu tidak membuat Dhamma sejati lenyap hingga kemudian dhamma tiruan bermunculan di dunia. Ketika Dhamma tiruan bermunculan di dunia maka dhamma sejati akan lenyap.
Bagaikan, Kassapa, emas takkan lenyap selama tiruan emas tidak muncul di dunia ini, tetapi ketika tiruan emas muncul maka emas sejati lenyap, demikian pula, Dhamma sejati takkan lenyap selama tiruan dari Dhamma sejati tidak muncul. Tetapi ketika tiruan Dhamma sejati muncul di dunia ini, maka Dhamma sejati lenyap.
Bukan karena unsur landasan/padat, Kassapa, yang menyebabkan Dhamma sejati lenyap, juga bukan unsur rekatan/cairan, juga bukan unsur yang membakar/panas, juga bukan unsur tekanan/gerak. Adalah orang yang kosong melompong spiritualitasnya (mogha purisa) yang bermunculan di sini yang menyebabkan Dhamma sejati melenyap.
Dhamma sejati tidak lenyap seketika bagaikan kapal tenggelam. Terdapat 5 faktor yang menyebabkan menurunnya Dhamma sejati, yaitu Bhikkhu, Bhikkhuni dan umat awam bersikap tidak hormat dan melawan pada: Guru, dhamma, sangha, pelatihan dan samādhi [SN 16.13/Saddhamma Patirūpaka Sutta]
Sutta (SN 16.13) di atas ini menegaskan bahwa dhamma sejati MEMANG AKAN LENYAP yaitu karena kemunculan Dhamma tiruan dan ulah para manusia kosong melompong yang ketika mendapatkan dhamma dan/atau menempuh kehidupan kesucian tidak dengan seksama
Di DN 23/Payasi Sutta, kita akan temukan batas tahun terbentuknya Sangha Bhikkhuni. Sutta itu memuat kisah pertemuan antara YM Kumara Kassapa dengan pangeran Payasi dan beberapa waktu setelah berdana, Pangeran Payasi dan Brahmin muda bernama Uttara wafat. Pangeran Payasi terlahir kembali di alam deva Catumaharajika bertemu dengan YM Gavampati yang sedang berkunjung ke alam itu. Kisah kelahiran YM Kumara Kassappa tercantum dalam Jataka no. 12/Nigrodhamika:
Ibu Kumara Kassapa adalah putri seorang kaya dari Rajagaha. Ia berniat menjadi Bhikkhuni namun tidak diijin orang tuanya, setelah menikah, Ia meminta ijin suami dan diijinkan. Ibu YM Kumara Kassapa diantar suami kekumpulan bhikkhu (sangha) pimpinan Devadatta dan ditahbiskan di sana. Saat menerima penahbisan, Ia tidak tahu dirinya tengah hamil, ketika kehamilannya membesar dan diketahui, mereka melaporkan ini ke Devadatta yang kemudian memutuskan bahwa Ia tidak lagi bhikkhuni dan di usir.
(Ini mengindikasikan, ketika menahbiskan, Devadatta tidak mengikuti aturan attha Garudhamma, akan ada selisih 2 tahun karena calon harus menjalani 6 sila terlebih dahulu sebelum berhak ditahbiskan)
Bhikkhuni muda ini kemudian meminta diantar ke vihara Jetavana (Savatthi, perjalanan sejauh 45 yojana) untuk menetap di sana. Permasalahan ini kemudian dilaporkan ke sang Buddha. Walaupun Sang Buddha tahu kehamilan Bhikkhuni ini terjadi saat menjadi umat awam, namun untuk mencegah kontroversi dan gunjingan lanjutan, beliau mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anathapindika, Visakha dan lainnya untuk menyelidiki hal ini dan akhirnya diketahui bahwa kehamilan telah terjadi SEBELUM Ia ditahbiskan sehingga YM Upali putuskan tidak ada aturan parajika yang dilanggar.
Ketika anak itu lahir raja Pasenadi dari Kosala memeliharannya, Ia diberi nama: Kassapa. Pada usia 7 tahun dikirim ke vihara ditahbiskan menjadi SAMANERA dan ketika ia membawa hidangan kecil seperti buah kepada Sang Buddha, Ia mendapat tambahan nama kumara, sejak itu disebut Kumara Kassapa. Arti kata kumara adalah anak atau pangeran.
Kumara Kassapa ditahbiskan menjadi Bhikkhu diusia 20 tahun yang terhitung sejak dalam kandungan ibunya. [Khandhaka, Mahavaga, Vinaya] dan setelah MN 23/Vammikka Sutta, Ia menjadi Arahat. Komentar Anguttara (AA i.159) menyatakan Sang Buddha memberinya gelar cittakathikānam (trampil dalam menyampaikan pembicaraan) yang dikaitkan dengan pembicaraan Kumara kassapa dengan Pāyāsi,
YM Gavampati wafat menjelang berlangsungnya konsili ke-1, yang diselenggarakan 3 bulan setelah wafatnya sang Buddha.
AN 3.70/Uposatha sutta menyatakan 1 hari di alam TAVATIMSA = 100 tahun di alam Manusia; 1 hari di alam CATUMAHARAJIKA = 50 tahun tahun di alam manusia:
1 jam alam Tavatimsa = 4 tahunan di alam manusia
1 jam alam Catumaharajika = 2 tahunan di alam manusia.
Penahbisan Mahapaja Gotami menjadi Bhikkhuni bisa jadi di tahun ke-21/22, dan Sangha Bhikkhuni terbentuk di tahun ke-23/24, maka saat Kumara kassapa ditahbiskan menjadi bhikkhu di usia 20 yang terhitung sejak dalam kandungan adalah di tahun ke-42/43. Ia mencapai Arahat setelah Vammika Sutta dan bertemu Payasi sebelum wafatnya Payasi. Terdapat selisih ± 2/3 tahunan antara wafatnya YM Gavampati dan 1 jam kelahiran kembali Pangeran Payasi di alam Catumaharajika.
Sehingga Sangha Bhikkhuni terbentuk paling telat di tahun ke-24 KeBuddhaan
Sang Buddha menaklukan Angulimala
Setelah tahun ke-20 masa KeBuddhaan, di kerajaan Kosala muncul bandit bernama Ahimsaka pembunuh kejam yang terus-menerus membunuh orang desa, kota dan wilayah-wilayah dan menggunakan jari (anguli) korbannya sebagai kalung (māla) sehingga dijuluki Angulimāla.
Ahimsaka adalah pelajar di Taxila yang tinggal bersama gurunya. Teman-temannya cemburu karena Ahimsaka selain amat pandai juga kesayangan gurunya. Mereka kemudian, membagi diri menjadi 3 kelompok: Kelompok ke-1 memberitahukan kepada guru mereka bahwa Ahimsaka telah melakukan hal tidak pantas dengan istri guru. Kelompok ke-2 dan ke-3, saling membenarkan apa yang dikatakan kelompok ke-1. Karena gurunya masih tidak percaya, mereka meminta guru mereka membuktikannya sendiri. Di suatu hari, Guru Ahimsaka melihat istrinya berbicara ramah kepada Ahimsaka, ini membuatnya percaya pernyataan mereka dan berniat melenyapkan Ahimsaka tidak secara terbuka karena takut tidak ada lagi murid yang mau berguru kepadanya. Sang guru berkata pada Ahimsaka: "Muridku, aku tidak sanggup lagi mengajarimu ilmu lebih lanjut, kecuali kamu mengumpulkan 1000 jari tangan kanan manusia sebagai biaya pendidikanmu.". Harapan sang guru, ketika Ahimsaka melakukannya, Ia akan ditangkap karena kejahatan membunuh. Ahimsaka berulang kali memohon agar dapat membayar dengan cara lain, tetapi gurunya tetap pendirian, Karena jika menolak takut mendapat kutukan, maka ia persenjatai diri, masuk hutan Jalini, Kosala dan mulai mengumpulkan jari tangan manusia sesuai permintaan guru. [Note: Guru daksina (upah guru) berupa jari tangan, muncul di Mahabharata, ketika Drona meminta ibu jari Ekalavya sebagai upah mengajarinya memanah]
Karena banyak pembunuhan, banyak orang berkumpul di gerbang istana Raja Pasenadi, gaduh dan berisik berteriak: “Baginda, bandit Angulimāla di wilayahmu adalah pembunuh kejam yang terus-menerus membunuh orang desa, kota dan wilayah-wilayah dan menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Raja harus menangkapnya", Raja kemudian menyiapkan 500 prajurit untuk menangkap bandit tersebut. Ayah Angulimala, yaitu Bhramana Gagga adalah penasehat kerajaan Kosala, tahu bahwa bandit kejam itu adalah anaknya sendiri dan Ia memberitahu istrinya, Mantani, Ibu Ahimsaka, yang menjadi khawatir akan nasib anaknya, kemudian pergi mencari Ahimsaka untuk memberitahu bahwa kerajaan hendak menangkapnya dan agar anaknya berhenti melakukan pembunuhan
Pada saat itu, Sang Buddha berada di Vihara Jetavana, dengan Mata Buddhanya, beliau mengetahui bahwa karma Angulimala sudah masak, dapat menjadi Bhikkhu dan mencapai kesucian Arahat pada kehidupan ini sementara itu, Ibu Angulimala dapat terbunuh apabila Angulimala melihatnya, karena sudah amat ingin melengkapi untaian jari yang diminta gurunya. Pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarNya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Setelah berkeliling menerima dana makanan, kembali dan setelah makan, Beliau merapikan tempat tinggalNya, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, berjalan ke arah sarang Angulimāla. Para penggembala sapi, penggembala kambing, pekerja-pekerja bajak, dan para pejalan kaki melihat Sang Bhagavā berjalan ke arah sarang Angulimāla dan berkata: "Jangan melewati jalan ini, Petapa. Di jalan ini, ada bandit Angulimāla di wilayahmu adalah pembunuh kejam yang terus-menerus membunuh orang desa, kota dan wilayah-wilayah dan menggunakan jari korbannya sebagai kalung. Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah 10, 20, 30, dan bahkan 40, tetapi mereka masih jatuh ke tangan Angulimāla". Ketika ini diucapkan, Sang Bhagavā tetap berlalu dengan berdiam diri. Mereka mengulanginya sampai 3x, Sang Bhagavā tetap berlalu dengan berdiam diri.
Dari jauh bandit Angulimāla melihat Sang Bhagavā datang. Ketika ia melihat Beliau, ia berpikir: "Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Orang-orang melewati jalan ini dalam rombongan berjumlah 10, 20, 30, dan bahkan 40, tetapi mereka masih jatuh ke tanganku. Tetapi sekarang petapa ini datang sendirian, tanpa teman, seolah-olah memaksakan diri. Mengapa aku tidak mengambil nyawa petapa ini?" Angulimāla kemudian mengambil pedang dan tamengnya, mengikat busur dan sarung anak panah, dan mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.
Kemudian Sang Bhagavā mengerahkan kekuatan mentalNya sehingga secepat apapun bandit Angulimāla berlari, tidak dapat mengejar Sang Bhagavā, yang berjalan dengan kecepatan biasa. Kemudian bandit Angulimāla berpikir: "Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan! Sebelumnya aku bahkan mampu mengejar gajah yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kuda yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar kereta yang tercepat dan menangkapnya; aku bahkan mampu mengejar rusa yang tercepat dan menangkapnya; tetapi sekarang, walaupun aku berlari secepat yang aku mampu, namun tidak dapat mengejar Petapa ini, yang berjalan dengan kecepatan biasa!” Ia berhenti dan berteriak kepada Sang Bhagavā: “Berhenti, Petapa! Berhenti, Petapa!". Sang Buddha berkata, "Aku telah berhenti, Angulimala, engkau pun juga berhentilah" (Ṭhito ahaṃ, aṅgulimāla, tvañca tiṭṭhā”ti)
Kemudian bandit Angulimāla berpikir: “Para Petapa ini, putera-putera suku Sakya, mengatakan yang sebenarnya, menegaskan kebenaran; tetapi walaupun petapa ini masih berjalan, ia mengatakan: ‘Aku telah berhenti, Angulimāla, Engkau juga berhentilah.’ Aku akan menanyai petapa ini.”. Kemudian bandit Angulimāla berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair sebagai berikut:
"Selagi engkau berjalan, petapa, engkau berkata bahwa engkau telah berhenti;
Tetapi sekarang, ketika aku telah berhenti, engkau berkata bahwa aku belum berhenti.
Aku bertanya kepadamu, O Petapa, mengenai makna:
Bagaimanakah bahwa Engkau telah berhenti dan aku belum?”
Sang Bhagava: “Angulimāla, Aku telah berhenti untuk selamanya, Aku menghindari kekerasan terhadap makhluk-makhluk hidup; Tetapi engkau tidak memiliki pengendalian terhadap segala sesuatu yang hidup: Itulah mengapa Aku telah berhenti dan engkau belum.” [Note: Jawaban Sang Buddha dengan kata "ṭhito" (arti literal: diam) adalah bahwa pikiranNya telah berhenti menciptakan bentukan karma baru, Karena Angulimala masih melakukan pembunuhan, maka ia belumlah berhenti menciptakan karma baru]
Angulimala terhenyak dan kemudian berkata: "Oh, setelah sekian lama Petapa ini, seorang bijaksana terhormat, Telah datang ke hutan ini demi kesejahteraanku. Setelah mendengar syairMu mengajarkan aku Dhamma, Aku akan meninggalkan kejahatan selamanya."
Setelah mengatakan hal itu, bandit ini mengambil pedang dan senjata-senjatanya dan melemparkannya ke dalam celah dalam; Sang bandit menyembah kaki Yang Tertinggi, dan pada saat itu dan di tempat itu juga memohon penahbisan. Yang Tercerahkan, Sang Bijaksana yang penuh belas kasih, Sang Guru dunia bersama dengan pada dewa, Berkata kepadanya, "Datanglah, bhikkhu". Dan demikianlah ia menjadi seorang bhikkhu. Kemudian Sang Bhagavā berjalan kembali ke Sāvatthī bersama dengan Angulimāla sebagai pelayanNya. Berjalan setahap demi setahap sampai Sāvatthi, menetap di di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
Saat itu, Raja pasenadi dari kosala disertai dengan 500 pasukan berkuda melakukan perjalan menemui Sang Buddha dan berkeluh kesah bahwa di kerajaanya terdapat seorang Pembunuh yang meresahkan warga namun tidak pernah berhasil ditumpasnya. Sang Buddha berkata, "Baginda, seandainya engkau melihat Angulimāla mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalani kehidupan tanpa rumah; bahwa ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan dan menghindari ucapan salah; makan sekali sehari, dan menjalani kehidupan brahma (brahmacariya), bermoral, bersikap baik. Jika engkau melihatnya demikian, bagaimanakah engkau memperlakukannya?".Raja: "Yang Mulia, kami akan memberi hormat kepadanya, atau bangkit untuknya atau mengundangnya untuk duduk,; atau kami akan mengundangnya untuk menerima jubah, dana makanan, tempat peristirahatan, atau obat-obatan; atau kami akan menyediakan penjagaan, pertahanan, dan perlindungan. Tetapi, Yang Mulia, bagaimana mungkin seorang yang tidak bermoral demikian, seorang yang bersifat jahat, mungkin memiliki moralitas dan pengendalian seperti itu?"
Sang Buddha kemudian mengulurkan tangan kanannya dan berkata kepada Raja Pasenadi dari Kosala: "Raja Yang agung, inilah Angulimala". Raja Pasenadi menjadi ketakutan dan sang Buddha menenangkan beliau bahwa tidak ada yang perlu ditakuti lagi darinya. Kemudian, Raja Pasenadi, berencana hendak menyediakan jubah, dana makanan, tempat istirahat, dan kebutuhan-kebutuhan obat sebagaimana diberikan pada para bhikkhu dan pertapa kepada Angulimala, namun karena Angulimala adalah petapa hutan ia mengatakan "tiga jubahku sudah lengkap". Raja Pasenandi menjadi kagum dan berkata: "Sungguh menakjubkan, Yang Mulia, sungguh mengagumkan bagaimana Bhagavā menjinakkan yang belum jinak, membawa kedamaian bagi yang tidak damai, dan menuntun ke nibbāna bagi mereka yang belum nibbāna. Yang Mulia, kami sendiri tidak mampu menjinakkannya dengan kekerasan dan senjata., namun Sang Bhagavā menjinakkannya tanpa menggunakan kekerasan dan senjata. Dan sekarang, Yang Mulia, kami pamit"
Di suatu pagi, Y.M. Angulimala tengah pergi Ke Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Ketika itu, beliau melihat seorang perempuan sedang kesulitan melahirkan anak dan berpikir, "Betapa menderitanya para makhluk! Sungguh, betapa menderitanya para makhluk!”. Ia kemudian menyampaikan hal ini pada Sang Buddha. sang Buddha kemudian berkata, "Kalau begitu, Angulimala, pergilah ke Savatthi dan katakan kepada perempuan itu: 'Saudari, sejak saya terlahir (yato haṃ bhagini jāto), saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera'". Rupanya Angulimala tidak menyadari makna kalimat itu, dan menyatakan pada sang Buddha, "Guru, apakah saya tidak menceritakan kebohongan yang disengaja, karena toh dengan sengaja saya telah membunuh banyak makhluk hidup?". Sang Buddha kemudian berkata, "Kalau begitu, Agulimala, pergilah ke Savatthi dan katakan kepada perempuan itu: 'Saudari, sejak saya terlahir sebagai kelahiran mulia (yato haṃ bhagini ariyāya jātiyā jāto), saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga Anda sejahtera dan bayi Anda sejahtera!'". Kemudian Angulimala menuju Savatthi dan menyatakan kalimat itu, kemudian perempuan itu menjadi mudah melahirkan dan bayinya sejahtera.
- Note:
Kalimat "sejak saya terlahir" (yato haṃ bhagini jāto) menunjukan pada jaman Sang Buddha, "dvijati/lahir ke-2", telah dikenal masyarakat umum sebagai istilah lahir dari penahbisan menjadi Petapa/Brahmana/Bhikkhu. Frase, "ariyāya jātiyā jāto/terlahir sebagai kelahiran mulia, yaitu "terlahir" dari sebelumnya seorang biasa/puthujjana menjadi pencapai tingkat kesucian tertentu menunjukan rentang definisi "dvijati" yaitu, tidak saja lahir karena penahbisan, tapi juga lahir karena tercapainya tingkat kesucian tertentu dikehidupan yang sama.
Di suatu pagi, Y.M. Angulimala berpakaian, mengambil mangkuk serta jubah luarnya, dan pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Ketka itu, seseorang melempar tongkat yang mengenai tubuhnya, lalu orang lain melempar pecahan tembikar yang mengenai tubuhnya. Kemudian, dengan darah yang mengalir dari kepalanya yang terluka, dengan mangkuknya yang pecah dan jubah luarnya yang robek, Y.M. Angulimala menemui Sang Buddha. Melihatnya datang, sang Buddha dari kejauhan berkata: “Tanggunglah, brahmana! Tanggunglah, brahmana! Engkau mengalami di sini dan kini akibat tindakan-tindakan yang karenanya engkau mungkin di siksa di neraka selama bertahun tahun selama beratus-ratus tahun, selama beribu-ribu tahun. [Note: Berbuahnya karma dapat di kehidupan saat ini, atau kehidupan berikutnya dan juga di beberapa kehidupan berikutnya, karena telah mencapai arahat dan tidak lagi terlahir, maka dua jenis buah karma berikutnya tidak dialaminya, namun masih mengalami jenis yang pertama]
Y.M Angulimala hidup menyendiri, menikmati kebahagiaan kebebasan, mengucapkan pernyataan-pernyataan kebijaksanaan, dan parinibbana [Sumber: MN 86/Angulimala Sutta, Theragata 16.7/Aṅgulimālattheragāthā, Komentar Dhammapada Syair 173 dan lihat juga: Vinaya Mahavagga]
Skema jahat Devadatta
Setelah penahbisan 6 pangeran dan Upali menjadi Bhikkhu, Sang Bhagavā, dari Anupiyā pergi menuju Kosambī dan menetap di vihara Ghosita. Di Vihara itu, ketika Devadatta sedang bermeditasi di dalam kamarnya suatu pemikiran muncul: "Siapa yang dapat saya bantu, sehingga karena Ia senang terhadapku, maka banyak banyak keuntungan dan kemasyhuran diperolehku?. Pangeran Ajātasattu masih muda dan memiliki masa depan cerah. Bagaimana jika aku membuatnya senang, sehingga karena ia senang, maka aku akan dapat memperoleh banyak keuntungan dan kemasyhuran?”
Kemudian Devadatta, setelah merapikan tempat tinggalnya, dengan membawa mangkuk dan jubahnya, pergi menuju Rājagaha; Kemudian Ia mengubah wujud menjadi anak kecil dengan sabuk ular dan muncul di pangkuan Pangeran Ajātasattu, yang akibatnya membuat pangerang, menjadi ketakutan, gelisah. Kemudian Devadatta berkata: “Apakah engkau takut padaku, Pangeran?”
“Ya, aku takut. Siapakah engkau?”
“Aku Devadatta.”
“Jika engkau, Yang Mulia, adalah sungguh Guru Devadatta, mohon engkau kembali ke wujudmu semula.” Kemudian Devadatta kembali kewujud semulanya dengan jubah dan membawa mangkuknya. Pangeran Ajātasattu, yang sangat senang melihat kekuatan mental Devadatta, pagi dan malam melayaninya dengan 500 kereta, dan 500 persembahan nasi susu kepadanya. Kemudian Devadatta yang pikirannya dikuasai perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, kemudian muncul keinginan: “Adalah aku yang akan memimpin perkumpulan para bhikkhu” Setelah berpikir demikian, kekuatan mental Devadatta menjadi merosot. Pemikiran Devadatta yang berakibat kemerosotan dalam kekuatan batinnya, diketahui oleh Kakudha dari suku Koliya, pelayan YM Moggallāna, yang baru saja wafat dan terlahir menjadi dewa ciptaan-pikiran dan memberitahukan kepada YM Moggallana yang kemudian menyampaikannya kepada Sang Buddha. [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]
Kemudian di Rajagaha, ketika Sang Bhagavā sedang duduk membabarkan dhamma dengan dikelilingi banyak pengikut, termasuk sang raja. Devadatta bangkit dari duduknya, setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā dengan merangkapkan tangan, berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sekarang Sang Bhagavā sudah tua, jompo, didera bertahun-tahun, Beliau telah menjalani umur kehidupanNya dan menjelang akhir hidupNya ; Yang Mulia, sudilah Yang Mulia sekarang merasa puas dengan kediaman nyaman di sini dan saat ini, sudilah Beliau menyerahkan kumpulan para bhikkhu ini kepadaku. Adalah aku yang akan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.”
Sang Buddha:
“Cukup, Devadatta, jangan memimpin kumpulan para bhikkhu ini.”
Dan untuk ke dua kalinya … Dan untuk ke tiga kalinya Devadatta berkata kepada Sang Bhagavā seperti diatas
Sang Buddha:
“Aku, Devadatta, tidak dapat menyerahkan kumpulan para bhikkhu ini bahkan kepada Sāriputta dan Moggallāna. Bagaimana mungkin Aku menyerahkannya kepadamu, sebagai si malang yang dimuntahkan bagai ludah?”
Devadatta berpikir: “Sang Bhagavā dalam suatu pertemuan yang melibatkan seorang raja menghinaku dengan istilah, 'seseorang yang dimuntahkan seperti ludah,' sementara ia memuji Sāriputta dan Moggallāna,”. Karena marah dan tidak senang, Devadatta kemudian berpamitan kepada Sang Bhagavā. Ini adalah kali pertama Devadatta merasa dengki/benci terhadap Sang Bhagavā
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Jika demikian, para bhikkhu, biarlah Sangha melakukan tindakan (resmi) Informasi sehubungan dengan Devadatta di Rājagaha bahwa Devadatta sekarang berubah; apa pun yang dilakukan Devadatta melalui tindakan atau ucapan, maka Sang Tathāgata, dhamma atau pun Sangha tidak bertangung jawab, melainkan hanya Devadatta yang bertanggung jawab. Kemudian Sangha, menunjuk Sariputta, agar menyampaikan keputusan sangha berupa tindakan resmi tentang informasi sehubungan dengan Devadatta di Rājagaha
Kemudian Devadatta mendatangi Pangeran Ajatasattu dan berkata: “Dulu, pangeran, orang-orang berumur panjang, sekarang mereka berumur pendek, dan adalah mungkin bahwa engkau, selagi masih menjadi pangeran, meninggal dunia, sekarang engkau, pangeran, setelah membunuh ayahmu, engkau akan menjadi raja. Aku, setelah membunuh Sang Bhagavā, aku menjadi Yang Tercerahkan”
Pangeran Ajātasattu berpikir: “Guru Devadatta memiliki kekuatan mental yang luar biasa, keagungan yang luar biasa; Guru Devadatta pasti mengetahui (apa yang benar)”. Ia kemudian berusaha membunuh ayahnya dengan belati namun ketahuan. Raja diberitahu mengenai kejadian ini, raja Seniya Bimbisara berkata kepada Pangeran Ajātasattu: “Mengapa engkau, ingin membunuhku?” Pangeran Ajātasattu: “Aku menginginkan kerajaan, Yang Mulia”. Raja kemudian menyerahkan tahtanya kepada Pangeran Ajātasattu [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]. Setelah naik tahta, Raja Ajātasattu, memenjarakan ayahnya dan menyiksanya hingga tewas. Bimbisara memerintah selama 52 tahun sejak usia 15 tahun [DPPN]. Usia Bimbisara lebih muda 5 tahun dari Sang Buddha [Mhv, II.26]. Ketika sang Buddha wafat, adalah tahun ke-8 pemerintahan Ajatasattu [Mhv, II.32]. Bimbisara wafat diusia 67 tahun.
Devadatta berusaha membunuh Sang Buddha
Kemudian Devadatta mendatangi Raja Ajàtasattu dan memintanya mengirimkan beberapa orang untuk membunuh Buddha. Raja mengirimkan beberapa pembunuh kepada Devadatta dengan pesan agar mematuhi instruksi gurunya.
- Devadatta memerintahkan orang pertama, “Pergilah, teman-teman, Petapa Gotama menetap di suatu tempat. Setelah membunuhnya, kembalilah melalui jalan lain”
- Kemudian ia memerintahkan 2 orang lainnya untuk membunuh orang pertama dan kembali melalui jalan lain.
- Kemudian ia memerintahkan kelompok 4 orang lainnya untuk membunuh 2 orang (dari kelompok kedua) dan kembali melalui jalan lain.
- Kemudian ia memerintahkan kelompok 8 orang lainnya untuk membunuh 4 orang (dari kelompok ketiga) dan kembali melalui jalan lain.
- Kemudian ia memerintahkan kelompok 16 orang lainnya (kelompok kelima) untuk membunuh 8 orang (dari kelompok keempat) dan kembali melalui jalan lain.
Melihatnya, Buddha berkata, “Kemarilah, sahabat, jangan takut”
Kemudian orang itu, setelah mengesampingkan pedang dan tamengnya ke satu sisi, setelah menurunkan busur dan kantung anak panah, mendekati Sang Bhagavā, mencondongkan kepalanya ke kaki Sang Bhagavā, Ia menyatakan penyesalannya atas kesalahannya dan memohon Sang Buddha menerima pengakuannya sebagai pelanggaran demi pengendalian dirinya di masa depan. Kemudian Sang Bhagavā membabarkan khotbah bertahap kepada orang ini, yaitu, kedermawanan, perilaku bermoral, alam surga … penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan Sang Jalan. Selagi orang itu duduk, Ia mencapai Sotapanna dan kemudian menyatakan diri berlindung kepada Buddha dhamma dan Sangha dan memohon diterima sebagai umat awam yang telah menerima perlindungan sejak saat itu.
Kemudian Buddha mempersilakan orang itu pergi dengan memberitahunya agar tidak melalui jalan yang diperintahkan oleh Devadatta tetapi melalui jalan lainnya.
Kemudian kelompok dua orang itu, berpikir: “Mengapa orang itu yang sendirian begitu lambat datang ke sini?” pergi untuk menjumpainya dan melihat Sang Bhagavā duduk di bawah sebatang pohon. Melihat Beliau, mereka mendekati Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, mereka duduk dalam jarak yang selayaknya. Sang Bhagavā membabarkan khotbah bertahap kepada kedua orang itu … mereka berhasil mencapai Buah Sotàpatti seperti halnya orang pertama, kemudian menyatakan diri berlindung kepada Buddha dhamma dan Sangha dan memohon diterima sebagai umat awam yang telah menerima perlindungan sejak saat itu.
Kemudian, Sang Buddha mempersilakan mereka pergi, dan memberitahu mereka agar melalui jalan lain.
Kemudian 4 orang (dari kelompok ketiga)…
Kemudian 8 orang (dari kelompok keempat)…
Kemudian 16 orang (dari kelompok kelima)…
Kemudian orang pertama mendatangi Devadatta dan berkata, “Tuan, aku tidak dapat membunuh Sang Bhagavā, Beliau sangat sakti.” Devadatta berkata, “Cukup! Jangan membunuh Petapa Gotama. Aku sendiri yang akan membunuh Petapa Gotama” [Vinaya, Cullavagga, SanghaBheda dan RAPB buku ke-2 hal. 1790 - 1798]
Sekarang Devadatta memutuskan untuk membunuh Sang Buddha. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang berjalan mondar-mandir di bawah keteduhan Puncak Gunung Nasar. Kemudian Devadatta, setelah mendaki Puncak Gunung Nasar melemparkan sebuah batu besar ke bawah, dengan berpikir: “Dengan ini aku akan membunuh Petapa Gotama.” Tetapi dua gundukan tanah muncul dengan sendirinya menahan laju batu itu, menghancurkan batu itu, dan sepotong kecil pecahannya, mengenai kaki Sang Bhagavā hingga berdarah [Seorang Buddha tidak dapat dibunuh/ilukai mahluk manapun (SnP 1.10, 2.5), terlukanya beliau akibat masaknya kamma lampau beliau (Tha Ap.392)]. [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]. Sang Buddha kembali ke vihara dan dirawat oleh dokter terkenal, Jivaka [tentang Tabib Jivaka, Lihat: Tabib Jivaka, Para Pelacur, Kathina dan Ayur-Veda!].
Seekor gajah yang buas dijinakkan oleh cinta kasih
Pada saat itu ada seekor gajah buas di Rājagaha, gajah pembunuh-manusia, bernama Nālāgiri. Kemudian Devadatta, setelah memasuki Rājagaha, setelah pergi ke kandang gajah, berkata kepada para pawang gajah sebagai berikut: “Kami, sahabat, adalah sahabat raja. Kami mampu menaikkan jabatan seseorang yang berjabatan rendah dan memberikan kenaikan upah dan makanan. Sekarang, sahabat, ketika Petapa Gotama berjalan melalui jalan kereta ini, maka, setelah melepaskan gajah Nālāgiri ini, bawalah ia ke jalan kereta ini.”
“Baiklah, Tuan,” para pawang gajah itu menjawab Devadatta.
Kemudian Sang Bhagavā, setelah merapikan jubah di pagi hari, dengan membawa mangkuk dan jubahNya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan bersama dengan beberapa bhikkhu. Kemudian Sang Bhagavā berjalan melalui jalan kereta. Kemudian para pawang gajah itu melihat Sang Bhagavā berjalan melalui jalan kereta itu; melihat Beliau, setelah melepaskan gajah Nālāgiri, mereka membawanya ke jalan kereta. Gajah Nālāgiri melihat Sang Bhagavā datang dari jauh; melihat Beliau, setelah mengangkat belalainya, ia berlari menuju Sang Bhagavā, telinga dan ekornya tegak. Kemudian Sang Bhagavā melingkupi gajah Nālāgiri dengan pikiran cinta kasih. Kemudian gajah Nālāgiri, yang terlingkupi oleh pikiran cinta kasih dari Sang Bhagavā, setelah menurunkan belalainya, mendekati Sang Bhagavā; setelah mendekat, ia berdiri di hadapan Sang Bhagavā. Kemudian Sang Bhagavā menepuk kening gajah Nālāgiri dengan tangan kananNya, berkata kepada gajah Nālāgiri dengan syair sebagai berikut:
Jangan gajah, menyerang gajah (di antara manusia), karena serangan gajah (di antara manusia) sungguh menyakitkan, Karena tidak ada tujuan yang baik, bagi pembunuh gajah (di antara manusia) ketika ia telah menyeberang. Jangan sombong, jangan ceroboh, karena mereka yang ceroboh tidak akan pergi menuju tujuan yang baik; Hanya itu yang harus engkau lakukan yang dengannya engkau akan pergi menuju tujuan yang baik”
Kemudian gajah Nālāgiri, setelah meniup debu dari kaki Sang Bhagavā dengan belalainya, setelah menebarkannya di atas kepalanya, mundur berlutut sambil menatap Sang Bhagavā. kembali ke kandangnya. Pada saat itu orang-orang menyanyikan syair ini:
“Beberapa dijinakkan dengan kayu, dengan tongkat kendali dan cambuk, Gajah itu dijinakkan oleh Sang Bijaksana Agung tanpa tongkat, tanpa senjata” . [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]
- Note:
Kitab komentar menyatakan bahwa kelak Nalagiripun akan menjadi yang tercerahkan, setelah: Metteyya, Rama [Raja], Pasenadi of Kosala [Raja], Abhibhu [Deva], Dighasoni [Asura], Candani [Brahmana], Subha [Anak Muda], Todeyya [Brahmana], Nalagiri dan Palaleya [kedua2nya Gajah]
Usaha Devadatta membunuh Sang Buddha menuai banyak kecaman, mereka juga menyalahkan Raja Ajàtasattu, “Devadatta menyebabkan kematian Raja Bimbisàra kita, mengirimkan para pembunuh, menjatuhkan batu; dan sekarang mengirim Gajah Nalagiri untuk membunuh Sang Buddha, namun penjahat seperti ini diangkat guru oleh Raja Ajàtasattu dan selalu bersamanya.”. Ketika Raja Ajàtasattu mendengar kecaman banyak orang, ia memerintahkan untuk menarik persembahan rutin 500 kendi makanan kepada Devadatta dan berhenti mengunjunginya. Para penduduk juga, berhenti mempersembahkan makanan kepada Devadatta yang mengunjungi rumah mereka untuk mengumpulkan makanan. [RAPB, buku ke-2, hal. 1808]
Sang Buddha memperingati Devadatta dan Perpecahan Sangha
Devadatta melihat perolehannya semakin berkurang hari demi hari, Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu hal dramatis demi penghidupannya.
Kemudian Devadatta mendatangi Kokālika, Kaṭamorakatissaka (putera Nyonya Khaṇḍā), dan Samuddadatta: “Yang Mulia, Marilah, kita memecah-belah Saṅgha Petapa Gotama dan merusak kerukunan..Kita menghadap pada petapa Gotama dan meminta pañca vatthūni (5 poin) dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, dalam berbagai cara Yang Mulia memuji sedikit keinginan, merasa puas, melenyapkan (keburukan), berhati-hati, berbelas kasih, mengurangi (rintangan-rintangan), mengerahkan kegigihan. Yang Mulia, 5 poin ini berperan besar dalam hal sedikit keinginan,…, mengerahkan kegigihan. Baik sekali, Yang Mulia, jika para bhikkhu, seumur hidup mereka harus:
- menjadi penghuni-hutan; siapa pun yang bepergian ke dekat desa, maka ia melakukan pelanggaran.
- menjadi penerima dana makanan dengan cara berjalan untuk mengumpulkannya; siapa pun yang menerima suatu undangan, maka ia melakukan pelanggaran.
- menjadi pemakai jubah kain buangan; siapa pun yang menerima jubah yang diberikan oleh perumah tangga, maka ia melakukan pelanggaran.
- berdiam di bawah pohon; siapa pun yang berada di bawah atap, maka ia melakukan pelanggaran.
- tidak boleh makan ikan dan daging, siapa pun yang memakan ikan dan daging, maka ia melakukan pelanggaran’
Kemudian Devadatta bersama dengan teman-temannya menghadap Sang Bhagavā dan menyampaikan hal tersebut. Sang Buddha berkata: ”Cukup, Devadatta, Siapa pun yang menghendaki, Ia:
- boleh menjadi penghuni-hutan; boleh menetap di dekat desa;
- boleh menerima dana makanan dengan cara berjalan untuk mengumpulkannya; boleh menerima undangan;
- boleh menjadi pemakai jubah kain buangan; boleh menerima jubah dari para perumah tangga
- selama 8 bulan (selain masa vassa), Devadatta, Aku mengizinkan para bhikkhu menetap di bawah pohon
- boleh memakan Ikan dan daging asalkan murni dalam 3 hal: TIDAK melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh, TIDAK Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh dan Mengetahui bahwa hidangan daging itu, TIDAK KHUSUS dibunuh agar dapat diberikan padanya”
Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Devadatta: “Benarkah, seperti dikatakan, bahwa engkau, Devadatta, memecah-belah Saṅgha, menghancurkan kerukunan?”. Devadatta: “Benar, Yang Mulia”. Sang Buddha: “Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena ini berakibat sangat serius. Siapa pun yang memecah Saṅgha yang bersatu, Ia membentuk keburukan yang bertahan selama 1 kappa; Ia menderita di neraka selama 1 kappa; tetapi siapa pun, Devadatta, yang merukunkan Saṅgha yang terpecah, maka ia membentuk kebajikan luhur, Ia bergembira di alam surga selama 1 kappa. Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena ini berakibat sangat serius”
- Aturannya: Dalam sidang resmi sangha disampaikan agar yang bersangkutan berhenti membuat perpecahan dan agar bersatu, jika tetap membangkang, setelah 3x diberitahukan, maka bhikkhu ini melakukan pelanggaran saṅghādisesa. Para bhikkhu yang mendengarnya melakukan perbuatan tersebut tapi tidak menegurnya, maka para bhikkhu yang tidak mengatakan apapun ini, melakukan pelanggaran perilaku salah (āpatti dukkaṭa).
Di hari Uposatha itu (hari ke-14/15 setelah bulan baru), Devadatta membagikan kupon suara, dengan mengatakan: “Yang Mulia, Kami, setelah menghadap Petapa Gotama, memohon ke-5 hal ini … Petapa Gotama tidak menyetujui ke-5 hal ini, tetapi kami akan hidup dengan menjalankan ke5 hal ini. Jika ke-5 hal ini sesuai dengan kehendak Yang Mulia, silakan masing-masing mengambil satu kupon suara”. Saat itu sebanyak 500 bhikkhu, yaitu para orang Vajji dari Vesālī, yang baru saja ditahbiskan dan masih belum berpengalaman berpikir: “Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru (satthusāsanan”ti),” mereka mengambil kupon suara. Kemudian Devadatta, setelah memecah sangha, bersama 500 bhikkhu ini, menuju Gayāsisa [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]
500 bhikkhu yang bersama Devadatta kembali kepada Sang Buddha
YM Sāriputta dan Moggallāna menghadap pada Sang Bhagavā dan YM Sāriputta menyampaikan bahwa Devadatta, setelah memecah-belah Saṅgha, pergi ke Gayāsisa dengan membawa 500 bhikkhu. Sang Buddha kemudian mengutus Sāriputta dan Moggallāna ke Gayāsisa untuk mengajarkan Dhamma kepada ke-500 bhikkhu yang dibawa Devadatta tersebut. Ketika itu, Devadatta, dengan dikelilingi sejumlah besar pengikutnya, sedang mengajarkan dhamma, melihat kedatangan mereka, Ia berkata: “Lihatlah, para bhikkhu, betapa baiknya dhamma yang kuajarkan sehingga bahkan Sāriputta dan Moggallāna – datang untuk membenarkan dhammaku”. Kokālika mengingatkan Devadatta agar mewaspadai kedatangan mereka, namun diabaikannya. Devadatta kemudian mengundang Sāriputta untuk duduk pada setengah tempat duduknya. Namun ditolaknya dan mengambil tempat duduk lainnya, demikian pula dengan Moggallāna.
Devadatta, setelah menggembirakan, menyenangkan, membangkitkan semangat, membahagiakan para bhikkhu hingga larut malam dengan khotbah dhammanya, Ia berkata pada YM Sāriputta: "Sudilah engkau, YM Sāriputta untuk membabarkan dhamma kepada para bhikkhu. Punggungku sakit dan aku akan meregangkannya”. YM Sariputta menyetujuinya. Kemudian Devadatta, setelah melipat 4 jubah luarnya, Ia berbaring namun karena lelah, Ia lengah dalam ingatan dan lalai (muṭṭhassatissa asampajānassa), tidak berapa lama, Ia jatuh terlelap dalam tidur.
YM Sāriputta kemudian memberikan khotbah dhamma tentang membaca-pikiran sedangkan YM Moggallāna memberikan khotbah dhamma tentang kekuatan mental. Setelah mendengarkan kotbah-kotbah tersebut, munculah pada diri ke-500 Bhikkhu tersebut suatu penglihatan-dhamma, yang tanpa debu, tanpa noda bahwa “segala sesuatu yang muncul akan lenyap”. YM Sāriputta kemudian mengajak ke-500 Bhikkhu tersebut untuk menghadap Sang Bhagavā.
Kemudian Kokālika membangunkan Devadatta mengabarkan bahwa para bhikkhu itu telah diambil alih oleh Sāriputta dan Moggallāna dan menyesali mengapa Devadatta mengabaikan peringatannya untuk tidak mempercayai mereka. [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]
Kitab komentar menyampaikan Ketika Devadatta terbangun dan mengetahui bahwa ke-500 bhikkhu telah diambil alih, Ia kemudian muntah darah dan jatuh sakit. Setelah menderita sakit selama 9 bulan, dia meminta murid-muridnya untuk membawanya menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika Devadatta dan rombongannya mencapai kolam di dekat Vihara Jetavana, para pengangkutnya meletakkan tandu tempat berbaringnya di tepi kolam, dan mereka pergi mandi. Devadatta bangun dari tempat berbaringnya, dan menaruhkan kedua kakinya di tanah. Pada saat itu juga kakinya masuk ke dalam bumi, dan sedikit demi sedikit dia ditelan bumi [Jatakan no.240, 404, 422, 457, 518]. Setelah kematiannya, dia terlahir di Neraka Avici [Kitab komentar untuk Jataka no. 466; RAPB, Buku ke-2, hal 1818-1820]. Setelah penderitaan di neraka Avici selama 100.000 Kappa, Devadatta akan terlahir kembali dan menjadi Pacceka Buddha dengan nama Atthissara. ["So hi ito satasahassakappamatthake aṭṭhissaro nāma paccekabuddho bhavissati" Kitab komentar Dhammapada: Devadattavatthu dan RAPB, buku ke-2, hal.1820]. Namun sutta menyatakan lamanya Devadatta di Neraka [Iti no.89, yaitu avici] hanya 1 kappa [Iti no.89, MN 58 dan Milianda Panha:Mendakopanho]
YM Sāriputta berkata kepada Sang Buddha agar para bhikkhu yang terlibat dalam perpecahan tersebut dapat ditahbiskan kembali, namun sang Buddha menyatakan bahwa para Bhikkhu ini tidak terlibat dalam perpecahan sangha.
- Aturan terkait perpecahan sangha:
YM Upāli kepada Sang Buddha: (1) sejauh apakah perselisihan dalam Saṅgha tetapi BUKAN perpecahan dalam Saṅgha? Dan (2) sejauh apakah perselisihan dalam Saṅgha dan adalah perpecahan dalam Saṅgha?
Sang Buddha: “Jika, ada 1 orang di satu pihak dan 2 orang di pihak lain dan jika seorang yang ke-4 berkata dan membagikan kupon suara: ‘Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru, ambillah (kupon suara) ini, setujuilah ini’ – ini adalah perselisihan dalam Saṅgha tetapi BUKAN perpecahan dalam Saṅgha.
“Jika, ada 2 orang disatu pihak dan 2 orang di pihak lain, dan jika seorang yang ke-5 berkata … 2 orang disatu pihak vs 3 orang di pihak lain dan jika yang ke-6 berkata … 3 orang vs 3 orang dan jika yang ke-7 berkata … 3 orang vs 4 orang di pihak lain dan jika yang ke-8 berkata dan membagikan kupon suara: ‘Ini adalah aturan...setujuilah ini’ – ini adalah perselisihan dalam Saṅgha tetapi BUKAN perpecahan dalam Saṅgha.
Jika, 4 orang di satu pihak dan 4 orang di pihak lain dan jika seorang yang ke-9 berkata … ini, adalah perselisihan dalam Saṅgha dan adalah perpecahan dalam Saṅgha.
Perselisihan dalam Saṅgha dan adalah perpecahan dalam Saṅgha terjadi karena 9 atau lebih dari 9 orang, namun hanya seorang bhikkhu dari komunitas yang sama, menetap di tempat yang sama, yang dapat memecah-belah Saṅgha, bukan karena seorang bhikkhunī bahkan jika ia melakukan tindakan memecah-belah, juga bukan karena seorang yang dalam masa percobaan, seorang samaṇera, seorang samaṇerī, umat awam pria dan/atau wanita, tidak memecah-belah Saṅgha bahkan jika ia melakukan tindakan memecah-belah
Upali: "sejauh apakah, disebut Saṅgha menjadi terpecah?"
Sang Buddha: "para bhikkhu menjelaskan..(sehubungan dengan 18 hal) membuat menarik dan memisahkan (teman), mereka menjalankan Uposatha secara terpisah, mereka menjalankan Undangan secara terpisah, mereka menjalankan tindakan (resmi) Saṅgha secara terpisah. Sejauh inilah, Saṅgha menjadi terpecah” [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]
(Keputusan Devadatta dan 3 rekannya untuk memecah belah sangha, tidak sesuai aturan, disamping jumlah kurang dari 5, tindakan mereka (jika 5 orang atau lebih) harus didahului dengan (1) mengundang sangha, (2) dihadapan sangha, disampaikan terjadi pelanggaran apa (3) dihadapan sangha, jika ada pendapat berbeda, dilakukan pengambilan kupon suara oleh para Bhikkhu (4) dihadapan sangha, disampaikan keputusannya. Namun hal ini tidak dilakukan Devadatta, sehingga pada jaman sang Buddha, yang terjadi baru sebatas perselisihan BUKAN perpecahan, walaupun Devadatta mengaku bahwa Ia memecah belah sangha dan beranggapan telah memecah belah. Kepada Devadatta, Sangha TIDAK PERNAH memberikan tindakan resmi mengeluarkannya dari persekutuan, sehingga sampai dengan akhir hayat, Devadatta tetap merupakan bhikkhu dan anggota bhikkhu sangha sang Buddha)
- Raja: "Kamma apa, Bhante, yang diterima seseorang yang memecah belah Sangha?”
Nagasena: “Dia menerima kamma selama 1 kappa.”
Raja: “Akan tetapi, Bhante, apakah Sang Buddha tahu bahwa Devadatta akan memecah belah Sangha setelah ditahbiskan dan setelah memecah belah Sangha, dia akan mendidih di Niraya selama 1 kappa?”
Nagasena: “Ya, Baginda, Sang Tathagata tahu bahwa Devadatta akan memecah belah Sangha setelah ditahbiskan dan setelah memecah belah Sangha, dia akan di Niraya selama 1 kappa"
Raja: “Jika, Sang Buddha tahu bahwa Devadatta akan memecah belah Sangha setelah ditahbiskan dan setelah memecah belah Sangha, dia akan di Niraya selama 1 kappa, maka tidak benar pernyataan bahwa Sang Buddha welas asih, penyayang, penolong, dan bahwa setelah melindungi makhluk hidup dari bahaya, Beliau memberkati mereka dengan keselamatan. Namun, jika Beliau mengizinkan Devadatta ditahbiskan tanpa mengetahuinya, berarti Sang Buddha tidak mahatahu..."
Nagasena: “Baginda, Sang Buddha welas asih dan mahatahu. Baginda, Sang Buddha melihat perbuatan Devadatta pada masa lampau yang dampaknya akan terus-menerus, terlahir ratusan ribu kappa dari Niraya ke Niraya, dari kejatuhan ke kejatuhan. Sang Buddha telah mengetahui ini melalui kemahatahuan-Nya, berpikir, ‘Buah perbuatan yang tidak terbatas (apariyantakata kamma) akan menjadi terbatas jika bergabung dengan Sangha dan penderitaan yang diakibatkan kamma masa lampau akan menjadi terbatas; tetapi orang bodoh yang belum ditahbiskan ini akan melakukan perbuatan yang akan dijalaninya selama 1 kappa’—karena welas asih-Nya, mengizinkan Devadatta untuk ditahbiskan.”
Raja: “Jika begitu, Bhante Nāgasena, Sang Buddha awalnya melukai seseorang lalu memberinya minyak salep; awalnya menjatuhkan ke jurang lalu mengulurkan tangan; awalnya membunuh lalu mencoba menyelamatkan nyawa; awalnya membuat menderita lalu menimbulkan kebahagiaan.”
....
Nagasena: "..Seandainya, Baginda, seseorang menangkap pencuri dan membawanya ke hadapan raja, berkata, ‘Pencuri ini, Baginda, telah berbuat salah, jatuhkanlah hukuman kepadanya,’ dan raja berkata, ‘Baiklah, Orang Baik, bawa pencuri ini ke luar kota dan penggal kepalanya di tempat eksekusi.’ ‘Baik, Baginda,’ dia mematuhi raja dan membawa pencuri itu ke luar kota ke tempat eksekusi, lalu seseorang lain melihat mereka— seseorang yang berhubungan baik dengan raja dan memiliki nama baik, harta kekayaan, yang kata-katanya didengarkan, orang berpengaruh. Merasa iba kepada pencuri itu, dia berkata, ‘Cukup, Tuan, apa gunanya bagimu memenggal kepalanya? Potong tangan kakinya dan selamatkan nyawanya. Saya akan berbicara nanti kepada raja.’ Mendengarkan kata-katanya, mereka hanya memotong tangan dan kakinya serta menyelamatkan nyawanya. Lalu, Baginda, akankah orang berpengaruh itu, dengan bertindak demikian, menjadi penolong pencuri itu?”
Raja: “Orang itu, adalah penyelamat bagi pencuri itu. telah menyelamatkan nyawanya, kurang apalagi?”
Nagasena: “Akan tetapi, rasa sakit yang timbul akibat tangan dan kaki pencuri itu dipotong, bukankah itu kesalahan orang itu?”
Raja: “Bhante, rasa sakit yang dirasakan pencuri itu adalah akibat perbuatannya sendiri dan orang yang menyelamatkan nyawanya tidak melakukan kesalahan.”
Nagasena: “Begitu juga, Baginda, Sang Buddha dengan welas asih mengizinkan Devadatta ditahbiskan, berpikir, ‘Penderitaan akan terbatas bagi orang yang bergabung dengan Sangha.’ Dan, Baginda, penderitaan Devadatta menjadi terbatas. Pada saat dia sekarat, Baginda, Devadatta, selagi hidup, bertekad dan berkata:
‘Kepada-Nya, yang terbaik dari semuanya,
Dewa di atas para dewa, guru para dewa dan manusia,
Yang melihat semuanya, dengan kebajikan yang tak terhitung
Kepada Buddha saya berlindung
Dalam semua kehidupan yang mungkin saya jalani.’ (juga Komentar Dhammapada dan jataka no.466]
Nagasena: "Baginda, jika Anda membagi kappa ini menjadi 6 bagian, pada akhir bagian pertamalah Devadatta memecah belah Sangha; lalu, setelah dia di Neraka Niraya selama (sisa) 5 bagian dan bebas dari sana, dia akan menjadi Pacceka Buddha bernama Aṭṭhissara. Bukankah Sang Buddha, Baginda, dengan bertindak demikian, menolong Devadatta?”
Raja: “Bhante Nāgasena, Sang Tathagata adalah penyelamat Devadatta. Sang Tathagatalah yang menyebabkan Devadatta mencapai Pacceka Buddha—kurang apalagi?”
Nagasena: “Akan tetapi, Baginda, ketika Devadatta memecah belah Sangha, dia merasakan kesakitan di Neraka Niraya. Bukankah Sang Buddha melakukan kesalahan atas hal itu?”
Raja: “Tidak, Bhante. Devadatta mendidih di Neraka Niraya selama 1 kappa adalah karena perbuatannya sendiri. Sang Guru, yang membuat penderitaannya terbatas, tidak melakukan kesalahan.” [Milianda Panha: IV. Bagian ke-1.3: Penahbisan Devadatta, vol.1, 2018, hal.175-183, juga secara ringkas di Dhammapada Atthakatha, ITC, 2010 hal.578]
Pergesekan Dengan Sekte Lainnya
Seiring makin banyaknya pengikut Sang Buddha, terjadilah gesekan dengan pengikut ajaran lain:
Pada saat itu, Sang Bhagavā dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan Beliau memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Bhikkhu Saṅgha juga dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan para bhikkhu juga memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Tetapi para pengembara dari sekte lain tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dimuliakan, tidak disembah, dan tidak dipuja, dan mereka tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. [UD 2.4, Ud 4.8, SN 12.70]
Menjatuhkan Sang Buddha (Ciñca Māṇavikā - Petapa Wanita Pengembara Sundari)
"Ciñca māṇavikā" berarti "Cinca, si wanita muda" dan "Sundari" berarti "cantik". Ada kemungkinan, Cinca dan Sundari orang yang sama (Leon Feer dalam studi comparative tentang Ciñcā and Sundarī di "Journal Asiatique Mar-Apr 1897", berpendapat bahwa Cinca dan Sundari berasal dari satu kejadian). Nama Cinca muncul dalam syair Jataka no. 472 (Kisah kehidupan lalu Bodhisatta, “..Ciñcamāṇavikā mātā, devadatto ca me pitā; Ānando paṇḍito nāgo, sāriputto ca devatā.. (Cinca sang wanita muda adalah ibuku, Devadatta adalah Bapakku, Ananda adalah pendeta ular Naga dan Dariputta adalah Deva..)”
- Petapa wanita pengembara bernama Cinca Manavika dikisahkan pura-pura dihamili Buddha Gotama, Ia mengikat dengan kuat sepotong kayu di perutnya, dan menutupinya dengan jubah panjang. Dewa Sakka beserta 4 dewa lainnya membongkar trik ini dengan mengubah dirinya menjadi tikus-tikus kecil. Dengan satu gigitan tali yang mengikat kayu di perut perempuan itu putus. Angin bertiup kencang hingga jubah panjangnya terlepas dari tubuh Cinca, dan sepotong kayu segera jatuh dari perutnya. Tak lama kemudian, Ia wafat dan terlahir di neraka Avici.
- ..Kemudian para pertapa kelana aliran lain itu, karena tidak dapat mentoleransi rasa hormat yang ditunjukkan banyak orang terhadap Sang Bhagava dan bhikkhu sangha, mendekati Sundari si pertapa kelana wanita dan berkata, “Saudari, maukah anda melakukan sesuatu yang berguna bagi kerabatmu?”
“Apa yang dapat saya lakukan, tuan-tuan? Apa yang dapat saya lakukan? Saya akan mengorbankan bahkan hidup saya demi kerabat-kerabat saya.”
“Kalau demikian, saudari, seringlah pergi ke Hutan Jeta.”
“Baiklah, tuan-tuan,” Sundari si pertapa kelana wanita itu menjawab, dan dia sering pergi ke Hutan Jeta. Kemudian, ketika para pertapa kelana itu mengetahui bahwa Sundari si pertapa kelana wanita telah dilihat banyak orang sering pergi ke Hutan Jeta, mereka membunuhnya dan menguburnya di sana, di sebuah lubang yang digali di parit Hutan Jeta. Kemudian mereka pergi ke Raja Pasenadi dari Kosala dan berkata, “Raja yang Agung, Sundari si pertapa kelana wanita tidak dapat ditemukan.”
“Kamu curiga dia berada di mana?”
“Di Hutan Jeta, Paduka Raja.”
“Kalau begitu, periksa Hutan Jeta.”
Waktu memeriksa Hutan Jeta para pertapa kelana itu menggali mayat Sundari dari lubang di parit tempat dia dikuburkan, dan meletakkannya di tandu, dan membawanya ke Savatthi. Waktu berjalan dari jalan ke jalan dan dari perempatan ke perempatan, mereka menimbulkan kemarahan orang-orang dengan mengatakan: “Lihatlah, tuan-tuan, pekerjaan para pengikut putra Sakya. Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, adalah orang yang tidak tahu malu, tidak bermoral, tidak baik kelakuannya, pembohong, bukan penganut kehidupan suci. Mereka menyatakan bahwa mereka hidup dengan Dhamma, bahwa mereka menjalani kehidupan yang seimbang, bahwa mereka menjalani kehidupan suci, bahwa mereka adalah pembicara-pembicara kebenaran, bahwa mereka saleh dan berkelakuan baik, tetapi mereka tidak pantas sebagai pertapa, mereka tidak pantas sebagai brahmana; status pertapa mereka rusak, status brahmana mereka rusak. Dimana status pertapa mereka? Dimana status brahmana mereka? Mereka telah kehilangan status pertapa mereka, mereka telah kehilangan status brahmana mereka. Bagaimana seorang laki-laki, setelah menikmati kepuasan lelakinya, membunuh seorang wanita?”
Karena ini, ketika orang-orang melihat para bhikkhu di Savatthi, mereka mencerca, memaki, menghasut dan menjengkelkan mereka dengan hinaan dan kata-kata kasar: “Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, tidak punya malu, tidak bermoral, berkelakuan buruk ….. Bagaimana seorang laki-laki, setelah menikmati kepuasan lelakinya, membunuh seorang wanita?”
Kemudian sejumlah bhikkhu, setelah mengenakan jubah sebelum siang hari dan mengambil mangkuk serta jubah luarnya, memasuki Savatthi untuk mengumpulkan makanan dan kembali; setelah bersantap, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi dan berkata: “Saat ini, Bhante, bila orang-orang melihat bhikkhu di Savatthi, mereka mencerca, memaki, menghasut, dan menjengkelkan mereka dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar…..”
“Kegemparan ini, O, bhikkhu, tidak akan berlangsung lama. Ini akan berlangsung hanya selama tujuh hari, dan setelah itu akan lenyap. Jadi, O, bhikkhu, bila orang-orang mencerca para bhikkhu, memaki, menghasut dan menjengkelkan mereka dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar, kamu harus menanggapi dengan syair ini:
Penuduh salah pergi ke neraka,
Dan juga ia yang menyangkal perbuatan yang telah ia lakukan,
Keduanya ini menjadi sama di sana,
Manusia yang perbuatannya tidak terhormat akan berada di alam sana
Maka para bhikkhu itu mempelajari syair ini di hadapan Sang Bhagava, dan ketika orang-orang itu, waktu melihat para bhikkhu, mencerca mereka, mereka menanggapi dengan syair itu.
Kemudian orang-orang itu berpikir: “Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, tidak melakukannya; itu tidak dilakukan oleh mereka. Para pertapa ini, para pengikut putra Sakya, sedang menegaskan (ketidaksalahan mereka).” Dan kegemparan itu berlangsung hanya selama tujuh hari, dan setelah itu, lenyap.
Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bagus sekali, Bhante! Luar biasa! Alangkah bagusnya hal ini diramalkan Sang Bhagava: ‘Kegemparan ini, O, bhikkhu, tidak akan berlangsung lama. Setelah tujuh hari akan lenyap.’ Bhante, kegemparan itu telah lenyap.”
Kemudian, karena menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava pada saat itu mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Orang yang tidak terkendali menusuk orang dengan kata-kata
Seperti halnya gajah perang ditusuk anak panah.
Waktu mendengar kata-kata kasar diucapkan padanya
Seorang bhikkhu harus menahannya tanpa benci [Ud 4.8/Sundari Sutta]
..Maka para pertapa kelana dari ajaran lain karena tidak dapat mentoleransi rasa hormat yang ditujukan terhadap Sang Bhagava dan Sangha; ketika melihat para bhikkhu di desa dan di hutan, mencerca, memaki, menghasut dan menjengkelkan para bhikkhu dengan hinaan-hinaan dan kata-kata kasar.[Ud. 2.4/Sakkārasutta]
Mencuri, Menjiplak Ajaran Sang Buddha
..Pada saat itu Pengembara Susīma sedang menetap di Rājagaha bersama dengan banyak pengembara. Kemudian teman-temannya berkata kepada Susīma: “Ayo, Sahabat Susīma, jalankan kehidupan suci di bawah Petapa Gotama. Kuasailah DhammaNya dan ajarkan kepada kami. Kita akan menguasai DhammaNya dan membabarkannya kepada umat-umat awam. Dengan demikian kita juga akan dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan kita juga akan memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.”
“Baiklah, teman-teman,” Pengembara Susīma menjawab. Kemudian ia mendekati Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Sahabat Ānanda, aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.”
Kemudian Yang Mulia Ānanda membawa Pengembara Susīma menghadap Sang Bhagavā. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan kemudian duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, Pengembara Susīma ini berkata bahwa ia ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.”
“Baiklah, Ānanda, berikanlah ia pelepasan keduniawian.” Kemudian Pengembara Susīma menerima pelepasan keduniawian dan penahbisan yang lebih tinggi di bawah Sang Bhagavā. [SN 12.70/Susima Sutta]
Sunakkhata Meninggalkan Sang Buddha
Pangeran Licciavi bernama Sunakkhata, yang pernah menjadi sekretaris/pembantu Sang Buddha (anibaddhaupatthāka) meninggalkan (Dhamma dan Vinaya) sang Buddha:
- Sunakkhatta: “Bhagavā, aku meninggalkan Sang Bhagavā, aku tidak lagi di bawah aturan Sang Bhagavā.” Sang Buddha: “Sunakkhatta, apakah Aku pernah berkata kepadamu: ‘Mari, Sunakkhatta, tunduklah di bawah peraturanKu’?” “Tidak, Bhagavā.” “Atau apakah engkau pernah berkata kepadaKu: ‘Bhagavā, aku akan tunduk di bawah peraturanMu’?” “Tidak, Bhagavā.” “Jadi, Sunakkhatta, jika Aku tidak mengatakan hal itu kepadamu dan engkau tidak mengatakan hal itu kepadaKu—engkau orang bodoh, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan? Pertimbangkanlah, orang dungu, seberapa besar kesalahanmu”
‘“Bhagavā, Engkau tidak pernah melakukan keajaibanapapun.”“Dan apakah Aku pernah berkata kepadamu: ‘Tunduklah di bawah peraturanKu, Sunakkhatta, dan Aku akan memperlihatkan keajaiban kepadamu’?” “Tidak, Bhagavā.” “Atau apakah engkau pernah berkata kepadaKu: ‘Bhagavā, aku akan tunduk di bawah peraturanMu jika Engkau memperlihatkan keajaiban kepadaku’?” “Tidak, Bhagavā.” “Maka, sepertinya, Sunakkhatta, Aku tidak pernah menjanjikan demikian, dan engkau tidak menuntut syarat demikian. Oleh karena itu, engkau orang bodoh, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan?
“Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah keajaiban dilakukan atau tidak—apakah tujuan dari Dhamma ajaranKu membimbing siapapun yang mempraktikkannya menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya?” “Benar, Bhagavā.” “Jadi, Sunakkhatta, apakah keajaiban dilakukan atau tidak, tujuan dari Dhamma ajaranKu adalah membimbing siapapun yang mempraktikkannya menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Karena itu apakah gunanya keajaiban-keajaiban itu? Pertimbangkanlah, orang dungu, seberapa besar kesalahanmu.”.. [DN 24/Patika Sutta dan juga di MN 12/Mahāsīhanāda Sutta]
Namun hingga sang Buddha wafatpun, TIDAK DICERITAKAN Sunakkhata kembali berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha
Kepala Menjadi Tujuh Keping: Saccaka dan Ambaṭṭha
Kaum Brahmanisme, Jainisme dan beberapa aliran lainnya mempunyai keyakinan bahwa kutukan dari seorang yang benar/suci/sakti, dapat mengakibatkan keadaan kepala akan menjadi tujuh keping (sattadhā muddhaṃ phālesi):
- Seorang brahmana klan Bavari, yang menguasai mantra dan jhāna meditasi, menetap di dekat sebuah desa. Ia hidup dari mengumpulkan sedikit demi sedikit yang diperolehnya dari desa itu dan dikembalikan lagi dalam bentuk ritual upacara pengorbanan. Ketika pulang ke pertapaannya, seorang brahmana datang meminta uang sedikitnya 500 keping namun Bavari berkata bahwa Ia tidak lagi mempunyai uang. Brahmana itu tidak percaya, Ia kemudian melakukan ritual-ritual dan mengatakan kutukan menakutkan kepada Bavari bahwa dalam 7 hari (Sattamese divase), kepala(nya) menjadi 7 keping (muddhā phalatu sattadhā). Bavari menjadi tersiksa kesedihan, pikirannya tidak lagi berada dalam jhāna.
Sesosok Devi yang prihatin dengan keadaan Bavari kemudian memberitahu bahwa Brahmana itu seorang penipu yang mencoba mencari uang dengan mudah dan dipenuhi ketidaktahuan, tidak tahu apa pun tentang kepala maupun tentang pecahnya kepala. Devi itu menyarankan untuk bertanya pada Sang Buddha. Bavari menyuruh para muridnya yang juga para bijaksana dan mencapai jhāna meditasi menghadap sang Buddha untuk bertanya tentang "kepala dan memecahkan kepala". Sang Buddha menjelaskan bahwa "Tahu ketidaktahuan adalah 'kepala' (avijjā muddhāti jānāhi). Pengetahuan 'memecahkan kepala' kombinasi dari keyakinan, dalam ingatan, meditasi, kemauan dan usaha (Vijjā muddhādhipātinī; Saddhāsatisamādhīhi, Chandaviriyena saṃyutā)" [SnP 5.1/Vatthugāthā]
Oleh karenanya, ketika berhadapan dengan penganut sekte lainnya, terkadang Sang Buddha sampai perlu mengingatkan agar segera berbicara benar untuk menghindari keadaan "kepala menjadi tujuh keping"/"kepala pecah berkeping-keping":
- ..Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Ambaṭṭha (Murid dari Brahmana Pokkharasāti): ‘Ambaṭṭha, Aku mempunyai satu pertanyaan wajar untukmu, yang tidak akan suka engkau jawab. Jika engkau tidak menjawab, atau menghindari pertanyaan, jika engkau berdiam diri atau pergi, maka kepalamu akan menjadi tujuh keping (sattadhā muddhā phalissati). Bagaimana menurutmu, Ambaṭṭha? Pernahkah engkau mendengar dari para Brahmana tua dan terhormat, guru dari para guru, darimana asalnya suku Kaṇhāya, atau siapakah leluhurnya?’ Atas pertanyaan ini, Ambaṭṭha berdiam diri.
Sang Bhagavā bertanya untuk ke-2x-nya. Ambaṭṭha masih berdiam diri. Dan Sang Bhagavā berkata: ‘Ambaṭṭha, sekarang menjawablah, sekarang bukan waktunya berdiam diri. Siapapun, Ambaṭṭha, yang jika tidak menjawab pertanyaan wajar dari Sang Tathāgata untuk ke-3x-nya, maka kepalanya akan menjadi tujuh keping di sini.’
Pada saat itu yakkha dengan vajira ditangannya (Vajirapāni yakkho), vajira (semacam penghancur/intan) dari logam (āyasaṃ vajiraṃ) dalam pandanganya pijar, menyala dan berkilauan (ādāya ādittaṃ sampajjalitaṃ sajotibhūtaṃ), melayang di angkasa tepat di atas Ambaṭṭha, ‘Jika pemuda Ambaṭṭha ini tidak menjawab pertanyaan wajar dari Sang Bhagavā untuk ke-3x-nya, maka aku akan menjadikan kepalanya tujuh keping (sattadhā muddhaṃ phālessāmī) di sini' Sang Tathāgata melihat Vajirapāni yakkha, demikian pula Ambaṭṭha. Kemudian pemuda Ambaṭṭha menjadi ketakutan, bulu badannya berdiri, Ia mencari perlindungan, tempat bernaung dan keselamatan kepada Sang Bhagavā. Duduk mendekati Sang Bhagavā, Ia berkata: ‘Apakah yang Yang Mulia Gotama tanyakan? Sudilah yang Mulia Gotama mengulangi pertanyaannya!’ [DN 3/Ambaṭṭha Sutta] - ...Saccaka putra Nigaṇṭha (kaum Jainisme) berdiam diri. Untuk ke-2x-nya Sang Bhagavā mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk ke-2x-nya Saccaka putra Nigaṇṭha berdiam diri. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Aggivessana, sekarang menjawablah. Sekarang bukan waktunya berdiam diri. Siapapun, Aggivessana, yang jika ditanya pertanyaan wajar dari Sang Tathāgata untuk ke-3x-nya, masih tidak menjawab, maka kepalanya akan menjadi tujuh keping di sini"
Pada saat itu yakkha dengan vajira ditangannya, vajira (semacam penghancur/intan) dari logam dalam pandangan berpijar, menyala dan berkilauan, muncul di udara di atas Saccaka putra Nigaṇṭha, 'Jika Saccaka putra Nigaṇṭha ini, tidak menjawab pertanyaan wajar dari Sang Bhagavā untuk ke-3xnya, maka aku akan menjadikan kepalanya tujuh keping di sini'. Sang Bhagavā melihat Vajirapāni yakkha, demikian pula Saccaka putra Nigaṇṭha. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha menjadi ketakutan, bulu badannya berdiri. Ia mencari perlindungan, tempat bernaung dan keselamatan kepada Sang Bhagavā, ia berkata: “Tanyakanlah padaku, Guru Gotama, aku akan menjawab.” [MN 35/CulaSaccaka Sutta]
Dalam kasus lainnya, “kepala menjadi tujuh keping” TIDAK disampaikan Beliau:
- “Benarkah, Sarabha, bahwa engkau telah mengatakan: ‘Aku telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putra Sakya. Setelah aku mempelajari Dhamma mereka, aku meninggalkan Dhamma dan disiplin itu.’?” Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sarabha berdiam diri
Untuk ke-2x-nya Sang Bhagavā berkata kepada Pengembara Sarabha: “Katakan padaKu, Sarabha, bagaimanakah engkau telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putra Sakya? Jika engkau belum mempelajarinya sepenuhnya, Aku akan melengkapinya. Tetapi jika engkau telah mempelajarinya sepenuhnya, Aku akan bergembira.” Tetapi untuk ke-2x-nya Pengembara Sarabha berdiam diri.
Untuk ke-3x-nya Sang Bhagavā berkata kepada Pengembara Sarabha: “Katakan padaKu, Sarabha, bagaimanakah engkau telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putra Sakya? Jika engkau belum mempelajarinya sepenuhnya, Aku akan melengkapinya. Tetapi jika engkau telah mempelajarinya sepenuhnya, Aku akan bergembira.” Tetapi untuk ke-3x-nya Pengembara Sarabha berdiam diri.
Kemudian para pengembara berkata kepada Pengembara Sarabha: “Petapa Gotama telah menawarkan untuk memberikan apa pun yang engkau minta, teman Sarabha. Bicaralah, teman Sarabha! Bagaimanakah engkau mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putra Sakya? Jika engkau belum mempelajarinya sepenuhnya, Petapa Gotama akan melengkapinya untukmu. Tetapi jika engkau telah mempelajarinya sepenuhnya, Beliau akan bergembira.” Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sarabha duduk berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam. [AN 3.64/Sarabhasutta]
Rute Perjalanan di sekitar Tahun Akhir Sang Buddha
Ringkasan rute perjalanan disebutkan dalam DN 16/MahāParinibbana Sutta:
- Pada bagian pertama, rute mulai dari Rajagaha (Puncak Nasar/Puncak Hering/gijjhakūṭe) - Ambalaṭṭhika - Nāḷandā (Bertemu Sariputta terakhir kalinya) - Pāṭaligāma - tepi Sungai Gangga - lenyap dari sana dan muncul di tepi seberang bersama para bhikkhu (Tampaknya menuju Savatthi, menetap di hutan Jeta (SN 47.13), kemudian ke area suku Sakya Medatalumpa/Ulumpa dekat Nangaraka, bertemu Raja Pasenadi terakhir kalinya, kemudian ke perbatasan Kosala dan Kapilavatthu berdiri di bawah pohon Banyan menunggu Vidūdabha/Raja baru Kosala yang hendak menyerbu Kapilavatthu, kemudian menetap di antara para Vajji, Ukkacelā tepi sungai Gangga, tidak lama setelah wafatnya Sāriputta dan Moggallāna, SN 47.14). Bagian ke-1 berakhir di situ.
- Pada bagian ke-2, rute mulai dari Koṭigāma - Nādikā - Vesālī - Desa Beluva, menghabiskan musim Vassa terakhir di sana (selama 3 atau 4 bulan dan mengalami sakit parah ditempat ini). Bagian ke-2 berakhir di situ.
- Pada bagian ke-3, seluruh rute ada di area Vesali, rute mulai di pagi hari dengan memasuki Vesālī - Siangnya di Altar/Cetiya Cāpāla (menetapkan waktu parinibbana yaitu 3 bulan kemudian) - Aula Segitiga/Kūtāgārasālā di Hutan Besar/Mahāvana. Bagian ke-3 berakhir di situ.
- Pada bagian ke-4, (Perjalanan lanjutan di 3 bulan terakhir), rute mulai di pagi hari dengan memasuki Vesālī (setelahnya, keluar dari Vesali) - Bhaṇḍagāma - Hatthigāma - Ambagāma - Jambugāma - Bhoganagara - Pāvā - Kusināra - sungai Kakutthā (di sungai ini adalah siang hari terakhir sebelum parinibbana yang akan terjadi pada malam harinya). Bagian ke-4 berakhir di situ.
- Pada bagian akhir, rute hari itu berlanjut dengan menyeberangi Sungai Hiraññavatī - Hutan-sāl Malla di sekitar Kusinārā (Di tempat inilah pada malam waktu terakhir, Sang Buddha parinibbana)
Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala, walau mempunyai beberapa Istri namun tidak satupun yang memberikannya anak lelaki, ini membuatnya kecewa. Sang Buddha pernah memberikan wejangan padanya tentang keunggulan anak wanita:
- “Seorang perempuan, O, Raja manusia. Dapat lebih baik daripada seorang lelaki: Ia mungkin menjadi bijaksana dan bermoral, Seorang istri yang baik, menghormati mertuanya bagai Deva. Putra yang ia lahirkan mungkin menjadi seorang pahlawan, O, Raja manusia. Putra dari seorang perempuan yang terberkahi itu mungkin bahkan akan memerintah wilayahnya. [SN 3.16/Mallika Sutta, Puteri]
- ..suku Sakya adalah pelayan Raja Kosala. Mereka memberikan pelayanan, dan memberikan penghormatan kepadanya, bangkit dan menyembah dan memberikan layanan selayaknya. [DN 27/Agganna Sutta]
Viḍūḍabha, Raja baru Kosala, ingat sumpahnya untuk membalas suku Sakya. Ia kerahkan pasukan menuju Kapilavastu. Sang Buddha, yang mengetahui bahwa kondisi kamma masa lampau suku Sakya yang melakukan perbuatan meracuni sungai, membunuh biota sungai, telah waktunya masak, kemudian berusaha untuk mencegah niat Vidūdabha, beliau menuju perbatasan Kapilavatthu-Kosala, berdiri di bawah sebuah pohon yang tidak rindang, di batas kerajaan Kapilavatthu, padahal tidak jauh dari situ, di area kerajaan Kosala, terdapat sebuah pohon beringin yang sangat rindang. Ketika Vidūdabha, melihat Sang Buddha, Ia mohon agar sang Buddha duduk di bawah pohon beringin yang rindang, sang Buddha mengatakan bahwa sanak keluarganya telah meneduhkannya (karena banyak dari mereka telah menjadi arahat). Mengetahui sang Buddha mencegahnya, Vidūdabha menarik mundur pasukan. Paparan terik matahari akibat menunggu, membuat Sang Buddha menderita sakit kepala yang berlangsung hingga akhir hidupnya (UdA.265; Ap.i.300)
Hal ini terjadi sampai 3x dan pada upaya yang ke-4, Sang Buddha tidak lagi menunggu di bawah pohon, Vidūdabha meneruskan penyerangan dan membunuhi para Sakya, termasuk para bayi. Diantara yang selamat adalah para Sakya pengikut Mahānāma, yang sfesifik diinstruksikan untuk ditawan, juga para Sakya yang di mulutnya sedang menggigit rumput (Tiṇasākiyā) dan alang-alang (Naḷasākiyā), yang ketika ditanya apakah Sakya, satunya menjawab "No sāko, tiṇa'nti" (Bukan sayuran, tapi rumput), lainnya "No sāko, naḷo'ti" (Bukan sayuran, tapi alang-alang). Karena permainan kata ini, mereka lolos dari kematian. Dalam perjalanan pulang, Vidūdabha dan pasukannya beristirahat di tepian sungai Aciravatī dan kemudian terjadi banjir besar yang menenggelamkan mereka. [kitab Komentar: Dhammapada no.47 dan Jataka no.465; Apadana no.392/Pubbakammapilotika, juga Pallava ke-11 dari Avadānakalpalatā: Viḍūḍabha membunuh 77.000 Sākyā dan mengambil 80.000 anak laki dan perempuan namun karena para gadis tersebut bersikap kasar padanya, Ia perintahkan mereka untuk dibunuh].
Sariputta dan Moggallana Parinibbana
Sariputta bertemu Sang Buddha di Nalanda dan menyampaikan "auman singa" (sīhanāda)-nya berupa syair pujian kepada Sang Buddha. Itu adalah pertemuan terakhir mereka. Dari Nalanda, Sang Buddha menuju Savatthi, sedangkan Sāriputta menuju Nālakagāma, Magadha, tempat kelahirannya karena di 7 hari kemudian, Ia akan parinibbana (wafat) dan sebelumnya akan menjadikan ibundanya, Brahmani Rupasari, mencapai tingkat kesucian sotapanna. Di desanya, Sariputta jatuh sakit, setelah ibundanya berhasil mencapai sotapanna, Sariputta-pun parinibbana. Sāmaṇera Cunda (adiknya), dengan membawa mangkuk dan jubah Sāriputta, pergi ke Sāvatthī, ke Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika, tempat di mana Ananda (gurunya) dan Sang Buddha berada, untuk mengabarkan hal ini [SN 47.13/Cunda Sutta]. Sāriputta nibbana akhir pada bulan purnama Kattika. Dua minggu kemudian, giliran Maha Moggallana mencapai nibbana akhir di Kālasilā, gunung Isigili, Rajagaha. [SA.iii.181; Jataka no.95], yaitu di vassa ke-44 mereka. Maha Moggalana parinibbana melalui pembunuhan yang direncanakan aliran lain yang dengki dengan menurunnya penghormatan publik kepada mereka tapi meningkatnya penghormatan kepada murid murid Sang Buddha, sehingga untuk menghilangkan kemashuran dan keberuntungan tersebut, mereka menyewa Pembunuh. kitab komentar menyampaikan tentang siapa yang menyewa pembunuhnya, yaitu para Titthiyā (Jataka no.522) atau para Nigaṇṭha (Dhp syair 137-140). Ketika Sang Bhagavā menetap di antara para Vajji di Ukkacelā di tepi sungai Gangga, yaitu tidak lama setelah nibbana akhirnya Sāriputta dan Moggallāna, sang Buddha berkata bahwa Para sammasamBuddha di masa lampau dan masa depan, juga akan punya sepasang siswa utama seperti Sāriputta dan Moggallāna. [SN 47.14/Ukkacela Sutta]
Beberapa Penyakit Yang Diderita Sang Buddha
Sekurangnya di menjelang dan paruh ke-2 pencerahan (45 tahun/2), sang Buddha terkena beberapa penyakit, di antaranya:
- Di Sāvatthī: masuk angin (vātehābādhiko), saat itu, Upavāna, bertugas melayani (upaṭṭhāko) Sang Buddha dan memintanya untuk mencarikan air panas (uṇhodakaṁ). Brahmana Devahita memberikan Upavāna sepikul air panas dan sekantung sirup gula [SN 7.13, Thag 2.33]. Frase Upavāna sebagai upaṭṭhāko, membuat kejadian dapat terjadi sebelum paruh ke-2 pencerahan, yaitu sebelum Ananda menjadi Upatthako sejak tahun ke-20 dan selama 25 tahun hingga wafatnya sang Buddha, namun di DN 16, menjelang wafatnya sang Buddha, Upavāna saat itu, sedang mengipasi sang Buddha, sehingga dapat saja, saat itu, Ia bertindak sebagai pengganti sementara Ananda
- Di Rajagaha: terkena sembelit (Vinaya: Civara)
- Di Kapilavatu, di Nalaka/Kosala. Di Pava/Malla: menderita sakit punggung (Thera Apadana no.392: piṭṭhidukkhaṃ dan MN 53/SN 35.243; AN 10.67,68; DN 33)
- Di perbatasan antara Kosala-Kapilavatthu terkena sakit kepala (Thera Apadana no.392: sīsadukkhaṃ)
- Selama musim vassa terakhir di Veluva: dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan namun beliau menahannya tanpa mengeluh, kemudian beliau mengerahkan upaya menundukan penyakitnya dan penyakitnya mereda. Oleh karenanya sang Buddha mengatakan kepada Ananda bahwa tubuh beliau semakin rentan, “Ananda, Aku sekarang ini, menua semakin rapuh, menua menjadi usang, Aku hampir mencapai 80 tahun (āsītiko me vayo vattati). Ananda, bagai sebuah kereta tua yang dapat jalan dengan diikat, demikian kira-kira tubuh Sang Tathāgata dapat hidup dengan disokong. Hanya ketika Sang Tathāgata tidak memperhatikan gambaran-gambaran, dengan lenyapnya perasaan-perasaan tertentu, pikiran terpusat tanpa gambaran, maka ketika itulah tubuh Sang Tathāgata keadaan baik [DN 16, SN 47.9 dan MN 12 untuk usia hampir 80 tahun]
- Di hari terakhir beliau, di Pava: kharo ābādho uppajji (sakit keras melandanya), lohitapakkhandikā (area antara dada - diagframa/abdomen memerah) pabāḷhā vedanā vattanti māraṇantikā (dengan rasa sakit menusuk/terus menerus yang sangat mematikan), seperti yang dirasakan saat di Veluva, namun beliau menahannya tanpa mengeluh [DN 16, Ud 8.5/Cunda Sutta]
Sekitar 10 bulan menjelang parinibbana [kitab komentar untuk dhammapada syair ke-206-208], Sang Buddha bervasa di Beluva. Ketika telah memasuki musim hujan, beliau dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan, namun beliau menerimanya tanpa mengeluh. Kemudian Sang Bhagava berpikir bahwa tidak tepat baginya tanpa memberitahukan pengikutnya dan juga tanpa memberikan nasehat kepada bhikkhu Sangha untuk padam sempurna, kemudian beliau mengerahkan upaya menundukkan penyakitnya yang mengarah pada berlanjutnya kehidupan. Akhirnya penyakit beliaupun mereda [DN 16/Maha Parinibbana Sutta dan SN 47.9/Gilana Sutta. Buddhaghosa, abad ke-5 M, pada komentar untuk DN dan SN: "ahaṃ dasamāsamattaṃ ṭhatvā parinibbāyissāmi .. samāpattivikkhambhitā vedanā dasa māse na uppajjiyeva" (sekitar 10 bulan menjelang parinibbana .. perasaan-perasaan yang ditekan melalui pencapaiannya itu tak muncul lagi selama 10 bulan)]
Setelah Sang Bhagava sembuh dari sakitnya, beliau menyampaikan pada Ananda bahwa beliau menua semakin rapuh, menua menjadi usang, di usia hampir mencapai 80 tahun, tubuh beliau bagai sebuah kereta tua yang dapat jalan karena diikat, yaitu hanya ketika beliau tidak memperhatikan gambaran-gambaran dan dengan lenyapnya perasaan-perasaan tertentu, pikiran terpusat tanpa gambaran, maka ketika itulah tubuh Sang Tathāgata dalam keadaan baik. Kemudian beliau menasehati Ananda agar seperti pulau, menjadikan diri sendiri sebagai pelindung, tidak berlindung pada yang lain, menjadikan Dhamma sebagai pulau, sebagai pelindung, tidak dengan perlindungan lainnya yaitu dengan rajin melakukan 4 landasan ingatan [DN 16 dan SN 47.9/Gilana Sutta]
Setelah musim hujan, Sang Buddha masih menetap di sekitar Vesali, diantaranya di KutagaraSala:
- Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula beratap lancip. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahNya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan.. [Udana 6.1, SN 51.10 dan AN 8.70]
- ‘Bhagavā, sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan sekarang mencapai nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai nibbāna akhir Karena … sekarang, para [bhikkhu, bhikkhuni, Upasaka/umat awam pria dan Upasika/umat awam wanita] sang Bhagava telah menjadi siswa yang sempurna, terlatih, terampil, menguasai Dhamma, terlatih dalam keselarasan dengan Dhamma, terlatih dengan baik dan berjalan di jalan Dhamma, yang telah lulus dari apa yang mereka terima dari Guru mereka, mengajarkan, menyatakan, mengukuhkan, membabarkan, menganalisa, menjelaskan; hingga mereka mampu menggunakan Dhamma untuk membantah ajaran-ajaran salah yang telah muncul, dan mengajarkan Dhamma yang memiliki hasil yang menakjubkan …sekarang, kehidupan suci telah mantap dan berkembang, menyebar, dikenal luas, diajarkan baik di antara para deva dan manusia di mana-mana..”
Kemudian, sang Buddha dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, beliau melepaskan ikatan vitalitasnya. Pelepasan ikatan vitalitas ini menimbulkan gempa bumi dahsyat yang menyeramkan, membuat merinding dengan kilat gemuruh membelah. Dan Sang Bhagava melihat pentingnya hal ini mengucapkan kata-kata:
keberlangsungan yang terukur maupun tidak
bentukan keberlangsungan telah sang muni potong
Dalam kedamaian diri
merobek segel keberlangsungan
Ananda yang merasa heran dengan terjadinya gempa bumi dahsyat yang menyeramkan, membuat merinding dengan kilat gemuruh membelah itu, kemudian mendatangi Sang Buddha untuk bertanya sebab-sebab terjadinya gempa. Sang Buddha menjelaskan 8 sebab terjadinya suatu gempa, yaitu
- Daratan besar ini disokong oleh cairan, cairan disokong oleh tekanan udara, tekanan udara antar rongga. Sewaktu terjadi pergerakan tekanan udara yang besar, pergerakan tekanan udara yang besar membuat cairan bergoncang. Dengan bergoncangnya cairan, daratan bergoncang. Ini adalah sebab pertama gempa bumi
- Ketika seorang pertapa atau brahmana yang mempunyai kekuatan pikiran yang terlatih baik atau mahluk dewa yang mempunyai kekuatan psikis yang sangat besar mengembangkan secara terbatas pada persepsi padat namun tak terbatas di persepsi rekatan, ini menyebabkan daratan bergetar, bergoyang, dan keras bergoncang
- Ketika sang Bodhisatta meninggalkan alam surga Tusita dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui memasuki rahim seorang ibu..
- Ketika sang Bodhisatta dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui keluar dari rahim seorang Ibu..
- Ketika sang Tathagata mencapai penerangan sempurna yang tiada banding..
- Ketika sang Tathāgata memutar Roda Dhamma..
- Ketika sang Tathagata dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui melepas ikatan vitalitasnya..
- Ketika sang Tathagata mencapai unsur nibbāna tanpa sisa. Semua ini, adalah delapan alasan, delapan penyebab gempa bumi dahsyat
Bulan apa Sang Buddha Parinibbana?
Sebelum kita telusuri, ada baiknya, kita kenali tentang musim dan bulan yang berlangsung di India:
- Vassāna/Musim Hujan (Jul-Nov): Musim Hujan/Vassāna (Juli-Sept): Bulan Savana (Juli-Aug) dan Bulan Pottapada (Aug-Sept); Musim Gugur/Sarada (Sept-Nov): Bulan Assayujja/Pubba kattika (Sept-Oct) dan Bulan Kattika/Paccima Kattika (Oct-Nov)
- Hemanta/Musim Salju (Nov-Mar): Musim Salju/Hemanta (Nov-Jan): Bulan Māgasira (Nov-Des) dan Bulan Phussa (Des-Jan); Musim Dingin/Sisira (Jan-Mar): Bulan Māgha (Jan-Feb) dan Bulan Phagguṇa (Feb-Mar)
- Gimhāna/Musim Panas (Mar-Jul): Musim Semi/Vasanta (Mar-May): Bulan Citta/Rammaka (Mar-Apr) dan Bulan Vesākha (Apr-May); Musim Panas/Gimha (May-Jul): Bulan Jettha (May-Jun) dan Bulan Asaḷha (Jun-Jul)
- Xuansang, seorang Biksu China abad ke-7 Masehi mencatat bahwa aliran Sarvastivada merayakan parinibbana sang Buddha pada hari ke-8, minggu ke-2, di bulan Kattika (Oct-Nov). Pendapat ini beranggapan bahwa sang Buddha sakit di awal musim hujan dan sembuh tak lama kemudian, kemudian MASIH DI AWAL musim hujan, Sang Buddha pergi ke cetiya Capala (sutta TIDAK ADA menyebutkan ini terjadi di musim hujan), 3 bulan kemudian, beberapa hari setelah musim hujan berakhir, yaitu di buan Kattika, sang Buddha parinibbana.
- Sang Buddha wafat 3 bulan setelah musim vassa usai, yaitu di bulan Magha (Jan-Feb). Pendapat ini beranggapan bahwa segera SETELAH masa vassa USAI, yaitu di bulan Kattika, sang Buddha pergi ke cetiya Capala (sutta juga TIDAK ADA menyebutkan ini terjadi di bulan Kattika), 3 bulan setelah bulan Kattika, yaitu bulan Magha, sang Buddha parinibbana. Sample tradisi Mahayana Jepang, yaitu Nehan-e, di 15 Februari 468 SM (alasan penetapan tanggal ini bervariasi)
- Pendapat tradisional: Sang Buddha parinibbana 9 atau 10 bulan sejak dari permulaan vassa di Veluva, yaitu di bulan Vesakha (Apr-May). Pendapat ini tercantum dalam: Mahavamsa 3.2 (Buddha parinibbana di bulan Vesakha). Mahavamsa 35.7 (Raja Vasabha/67 M – 111 M mengadakan 44x Festival Vesakha), Dipavamsa 1.24 dan 5.4 (Konsili ke-1 diadakan di bulan ke-2 musim Vassa, 4 bulan setelah parinibbana sang Buddha) juga Buddhaghosa dalam beberapa kitab komentarnya, (di antaranya dengan kalimat 10 bulan sebelum parinibbana bervasa di Beluva) dan lain sebagainya
Pertama-tama,
VInaya telah menetapkan: TIDAK BEPERGIAN selama musim Vassa [Vinaya, Mahavagga 3.1-selesai]. Oleh karenanya, perjalanan sang Buddha dan rombongan para bhikkhunya, TIDAK DAPAT dilakukan selama musim hujan, di samping ini akan mengundang celaan masyarakat dan para petapa aliran lain, juga menjadi TIDAK KONSISTEN dengan aturan yang ditetapkan sang Buddha sendiri
Sutta menyatakan di saat sang Buddha parinibbananya, pohon sala berbunga DILUAR MUSIMNYA
- ..pergi ke hutan Sala di daerah suku Malla, dekat Kusinara.. Setelah tiba, Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, tolong sediakan tempat berbaring di antara pohon-pohon Sala kembar itu, saya ingin berbaring."…Sang Bhagava membaring diri pada sisi kanan dengan sikap bagaikan singa, meletakkan salah satu kakinya pada kakinya yang lain..Pada saat itu tiba-tiba dua pohon Sala kembar itu berbunga walaupun BUKAN PADA MUSIMNYA untuk berbunga. Bunga-bunga itu jatuh bertaburan di atas tubuh Sang Tathagata … Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, pohon Sala kembar ini berbunga semerbak, meskipun sekarang BUKAN MUSIMNYA BERBUNGA [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]
Pohon sala (Shorea robusta) mulai berbunga di MUSIM HUJAN [Juli - November] (Paradox of leaf phenology: Shorea robusta is a semi-evergreen species in tropical dry deciduous forests in India, hal, 1822). Pohon Sala sering keliru dianggap sebagai cannonball tree [termasuk kelompok Couroupita guianensis. Sering disebut Shiva linga dan Naga lingam. Pohon canonball mulai berbunga pada pertengahan musim panas (May-Juli) - sebelum musim hujan [Juli-Agustus], namun juga dikatakan pohon ini berbunga hampir di sepanjang tahun]
- Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Kūṭā¬gāra¬sā, Mahāvana. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahNya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah berjalan menerima dana makanan di Vesālī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Bawalah alas duduk, Ānanda. Mari kita pergi ke cetiya Cāpāla .. “
… Sang Bhagava berkata kepada Mara papima: "Pāpima, jangan kau menyusahkan dirimu. Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, tiga bulan lagi Sang Tathagata akan parinibbana” [Udana 6.1, SN 51.10 dan AN 8.70]
Berapa lama sang Buddha di Kūṭāgārasālā, Mahavana sebelum ke cetiya Capala?
Walaupun Sutta TIDAK MENYEBUTKAN kata, “yathābhirantaṃ (selama yang Beliau inginkan)” namun hanya menggunakan kata “viharati” (menetap) ketika berada di Kūṭāgārasālā, Mahavana namun lamanya waktu menetap dapat diketahui karena sutta juga memberikan indikasi jelas bahwa saat sang Buddha parinibbana adalah saat MUSIM PANAS:
Ke-1,
Di hari terakhir, dalam perjalanan dari Pava ke Kusinara, Sang Bhagava berhenti di bawah sebatang pohon. Beliau kehausan (pipāsito) dan meminta Ananda untuk mengambil air di sungai agar dapat beliau minum
- Sang Buddha:
"Ananda tolonglah bawakan aku sedikit air, aku haus dan ingin minum."
Ananda:
"Bhante, baru saja sejumlah 500 pedati telah menyeberangi cakkacchinna udaka paritta/nadī cakkacchinnā parittā (aliran air yang dangkal/sungai dengan air yang sedikit), dan roda-rodanya telah mengeruhkan air sungai ini. Sebaiknya kita pergi ke sungai Kakutha yang tidak jauh dari sini. Air sungai itu sangat jernih, sejuk dan bening. Sungai itu mudah dicapai dan letaknya sangat baik. Di sana bhante dapat menghilangkan rasa haus dan menyegarkan tubuh
Ke-2,
Sang Buddha mandi 2x di sungai Kakhuda:
- .. Kemudian Sang Bhagava pergi ke sungai Kakuttha bersama dengan sekumpulan para bhikkhu. Setelah tiba di tepi sungai itu, Sang Bhagava mandi. Setelah Sang Bhagava mandi, Beliau pergi ke Ambavana. Di tempat ini Beliau berkata kepada Cundaka: "Cundaka tolonglah lipat jubah luarku, lipatlah dalam empat lipatan lalu letakkan di bawah tubuhku. Aku merasa lelah dan ingin beristirahat sebentar."… Kemudian setelah bangun, Sang Buddha pergi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah.. [DN 16]
Ke-3,
Bhikkhu Upavana mengipasi Sang Buddha
- Pada waktu itu Upavana sedang di hadapan Sang Bhagava, sambil mengipasi beliau.. [DN 16]
Ke-4,
Di 1 minggu setelah wafatnya sang Buddha,
- "Pada saat itu seluruh Kusinara juga tumpukan sampah, tertutup bunga-bunga pohon koral (mandārava-puppha) hingga setinggi lutut." [DN 16] dan: "Saat itu seorang Ājīvaka (petapa telanjang) yang tengah memegang bunga pohon-koral berjalan dari Kusinārā menuju Pava. YM Kassapa melihatnya dari jauh dan ketika telah mendekat, beliau berkata kepadanya: ‘Sahabat, apakah engkau mengenal guru kami?’ ‘Ya, sahabat, aku mengenal Beliau. Hari ini adalah seminggu setelah Petapa Gotama parinibbana. Oleh karenanya, Aku menggenggam bunga pohon-koral ini.’" [DN 16 dan Cullavaga Vinaya]
Berdasarkan beberapa alasan ini, maka pendapat sang Buddha wafat di bulan Magha adalah TIDAK TEPAT, sehingga pendapat bahwa sang Buddha parinibbana di musim panas, di bulan Vesakha (April-May) sangat wajar untuk diterima.
Ajaran-ajaran Terakhir Kepada Para Bhikkhunya
Kemudian Sang Bhagava pergi ke Kutagara Sala, Mahavana. Beliau meminta Ananda untuk mengumpulkan para Bhikkhu dan memberikan wejangan bahwa dhamma yang telah disampaikanNya berupa 37 Boddhipakkhiyadhamma, yaitu:
- 4 landasan ingatan pada: jasmani, Perasaan, Pikiran, & Bentukan Pikiran
- 4 usaha benar: memunculkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang belum muncul; memunculkan keinginan untuk meninggalkan kondisi kondisi tidak bermanfaat yang telah muncul; memunculkan keinginan untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul dan memunculkan keinginan untuk mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidakmundurannya, untuk meningkatkannya, untuk memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan
- 4 landasan kekuatan pemusatan pikiran: dari keinginan disertai bentukan kerja keras; dari ketekunan disertai bentukan kerja keras; dari pikiran disertai bentukan kerja keras dan dari penyelidikan pikiran disertai bentukan kerja keras
- 5 Indriya/kemampuan dan 5 Bala/Kekuatan: Keyakinan, Usaha, Ingatan, Pikiran terpusat, dan kebijaksanaan
- 7 faktor pencerahan: Sati/Ingatan, Dhammavicaya/Pemerisaan menyeluruh, Vīriya/kegigihan, Pīti/kegembiraan, Passaddhi/Ketenangan, Samādhi/Pikiran terpusat dan Upekkhā/keseimbangan
- 8 jalan mulia: Pandangan benar; Kehendak benar; Ucapan benar; Perbuatan benar; Pencaharian benar; Usaha benar; Ingatan benar dan Pemusatan pikiran benar
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: ”Aku nasehati kalian: yang berkondisi tunduk pada kelapukan, dengan kewaspadaan capailah tujuan (vayadhammā saṅkhārā, appamādena sampādetha). Tak lama lagi Sang tathagatha akan paranibbana (naciraṁ tathāgatassa parinibbānaṁ bhavissati). 3 bulan dari sekarang, sang Tathagata akan paranibbana (Ito tiṇṇaṁ māsānaṁ accayena tathāgato parinibbāyissatī”ti)". "...Waspada dalam ingatan (appamattā satīmanto), bermoral luhur (susīlā hotha..), kehendak yang terkendali (susamāhitasaṅkappā), selalu menjaga pikiran sendiri (sacittamanurakkhatha). Siapapun dalam ajaran dan disiplin ini (Yo imasmiṁ dhammavinaye), hidup dalam kewaspadaan (appamatto vihassati), akan meninggalkan roda kelahiran, mengakhiri dukkha (Pahāya jātisaṁsāraṁ dukkhassantaṁ karissatī”ti)" [DN 16] [Lihat juga: "Ringkasan Ajaran Buddha]
Kunjungan Terakhir ke Kota Vesali
Kemudian Sang Bhagava mempersiapkan diri untuk pindapata (menerima dana makanan) di pagi hari. Sang Bhagava mengambil patta serta jubahnya lalu pergi ke Vesali. Sesudah mendapat dana dan selesai bersantap, beliau kembali ke tempatnya. Beliau memandang Vesali dengan pandangan sebagai gajah (para Buddha, tidak menengok ke belakang, melainkan membalikkan badan Beliau, seperti lakunya para gajah) dan berkata kepada Ananda : "Ananda inilah yang terakhir kalinya Sang Tathagata meninjau Vesali. Marilah Ananda kita pergi ke Bhadagama". Setelah Sang Bhagava cukup lama berada di Bhadagama, Beliau bersabda kepada Ananda: "Marilah Ananda, kita pergi ke Hattigama bersama-sama dengan para bhikkhu." Demikianlah Sang Bhagava lama berdiam di Hattigama. Beliau lalu pergi ke Ambagama, kemudian ke Jambagama. Di setiap tempat yang disinggahinya, Sang Bhagava kerap berpesan kepada para bhikkhu:
- ”Ini adalah moralitas, ini adalah meditasi, ini adalah kebijaksanaan. Samādhi yang dilandasi sila akan menghasilkan buah dan manfaat yang besar. Kebijaksanaan yang dilandasi samādhi akan menghasilkan buah dan manfaat yang besar. Pikiran yang dilandasi kebijaksanaan akan sepenuhnya terbebas dari kekotoran/noda, yaitu, indria, penjelmaan, ketidaktahuan
- Buddha. ..“Di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar hal ini; di hadapan Beliau aku mempelajari hal ini: inilah Dhamma/Sutta, inilah Vinaya/Patimokha/disiplin, inilah Ajaran Sang Guru” maka, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan frasenya harus dengan baik dipelajari, dibandingkan dengan sutta-sutta dan dilihat di vinaya (sutte otāretabbāni, vinaye sandassetabbāni), Jika telah dibandingkan dengan sutta-sutta dan telah dilihat di vinaya, tidak selaras dengan sutta-sutta dan tidak ada di vinaya, maka “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami bhikkhu ini,” dan kata-katanya harus ditolak. Jika telah dibandingkan dengan sutta-sutta dan telah dilihat di vinaya, selaras dengan sutta-sutta dan ada di vinaya, maka “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami bhikkhu ini.” Ini adalah kriteria ke-1.
- Sangha. ..“dihadapan sangha itu, Aku mendengar, mempelajari hal ini: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” maka, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke-2.’
- Para Bhikkhu Senior. ..“di hadapan beberapa bhikkhu senior terpelajar yang menguasai ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran itu, Aku mendengar, mempelajari hal ini: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke-3.’
- Seorang Bhikkhu Senior. ..“ di hadapan seorang bhikkhu senior terpelajar yang menguasai ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran, Aku mendengar, mempelajari hal ini: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke-4' [DN 16 dan AN 4.180/Maha Padesa Sutta]
- Ini adalah moralitas, ini adalah meditasi, ini adalah kebijaksanaan. Samādhi yang dilandasi sila akan menghasilkan buah dan manfaat yang besar. Kebijaksanaan yang dilandasi samādhi akan menghasilkan buah dan manfaat yang besar. Pikiran yang dilandasi kebijaksanaan akan sepenuhnya terbebas dari kekotoran/noda, yaitu, indria, penjelmaan, ketidaktahuan
Makanan terakhir Sang Buddha
Di Ambavana, Sang Bhagava mengajarkan Cunda, pandai-besi, tentang dhamma yang telah membangkitkan semangatnya dan menyebabkan hatinya sangat gembira. Kemudian Cunda mengundang Sang Buddha bersama para Bhikkhu untuk datang kekediamannya esok hari untuk menerima dana makanan. Setelah sang Buddha menerima undangannya, Cunda pulang kerumahnya untuk membuat makanan yang keras serta yang lunak dan makanan yang terdiri dari Sukaramaddava (daging babi muda).
Keesokan harinya sang Buddha dan rombongan tiba, duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian sang Buddha berkata kepada Cunda: "Hidangan Sukaramaddava (daging babi muda) yang telah engkau sediakan, hidangkanlah itu untukKu. Sedangkan makanan lain yang keras dan lunak, saudara dapat hidangkan kepada para bhikkhu". Cunda kemudian menghidangkannya sesuai kehendak Sang Buddha
Apa arti Sūkara-maddava?
Kata “Sūkara-Maddava” muncul di: DN 16, Ud 8.5/Cunda Sutta dan juga Milinda Panha. Kitab komentar menunjukan bahwa dikisaran abad ke-5 M, arti kata tersebut sudah bervariasi yaitu: daging, nasi campur, bambu, sejenis rasa, teknik membuat senang dan jamur:
- Sūkaramaddava adalah daging yang telah tersedia, yang tidak terlalu muda dan tua dari sebuah babi/kepala babi (Sūkaramaddavanti nātitaruṇassa nātijiṇṇassa ekajeṭṭhakasūkarassa pavattamaṃsaṃ), empuk (mudu) dan lembut/lentur adanya (Taṃ kira mudu ceva siniddhañca hoti), disiapkan dan dimasak dengan baik (taṃ paṭiyādāpetvā sādhukaṃ pacāpetvāti attho). Ada yang mengatakan 'Sūkaramaddava adalah nasi lembut yang diproses dengan kuah campuran lima produk dari sapi, ini semacam nama sebuah masakan' (Eke bhaṇanti – ‘sūkaramaddavanti pana muduodanassa pañcagorasayūsapācanavidhānassa nāmetaṃ, yathā gavapānaṃ nāma pākanāma’’nti). Lainnya mengatakan 'Sūkaramaddava adalah nama teknik (vidhi) untuk membuat senang (rasāyana). Jadi, didatangkan ahli pembuat senang (guru rasāyana), yaitu Cunda, 'agar membuat senang sehingga parinibbana Sang Bhagawa tidak jadi' (Keci bhaṇanti – ‘sūkaramaddavaṃ nāma rasāyanavidhi, taṃ pana rasāyanasatthe āgacchati, taṃ cundena – ‘bhagavato parinibbānaṃ na bhaveyyā’ti rasāyanaṃ paṭiyatta’’nti). Di sana para deva empat benua besar (mahādīpa) dan dua ribu pengiring memasukkan nutrisi (oja) (Tattha pana dvisahassadīpaparivāresu catūsu mahādīpesu devatā ojaṃ pakkhipiṃsu.) [Mahāparinibbānasuttavaṇṇanā: Kammāraputtacundavatthuvaṇṇanā]
Sukara maddava adalah bagian yang lunak dari daging babi yang sudah tersedia (Sūkaramaddavanti sūkarassa mudusiniddhaṃ pavattamaṃsa) seperti kata Maha-atthakata (mahāaṭṭhakathāyaṃ vuttaṃ). yang lain..katakan (Keci pana..vadanti) sukara maddava bukanlah daging babi, batang bambu yang telah diinjak-injak babi (sūkaramaddavanti na sūkaramaṃsaṃ, sūkarehi madditavaṃsakaḷīro). lainnya (Aññe) Jamur payung yang tumbuh dari gemburan tanah injakan babi (sūkarehi madditappadese jātaṃ ahichattaka), lainnya lagi..katakan (Apare pana..bhaṇiṃsu) Sukara maddava adalah nama suatu rasa (sūkaramaddavaṃ nāma ekaṃ rasāyana) [komentar dari Maha-atthakata (Dhammapala, 5 M) yang dikutip dalam Udāna-aṭṭhakathā, Pāṭaligāmiyavaggo: Cundasuttavaṇṇanā]
Sangat mengherankan melihat hubungan yang dijelaskan di kitab komentar antara jamur dan binatang babi, tampaknya, alasan mengapa jamur menjadi terkait dengan binatang babi adalah karena untuk mendapatkan jamur tersebut, babi digunakan sebagai pelacaknya:
- Kompas, ”Mengenal Jamur Pencabut Nyawa" sub: Babi pelacak, Rabu, 05 April 2006, 20:24 WIB: ‘[..] Kalau jenis jamur beracun dikerat, kemudian dilekatkan pada benda yang terbuat dari perak asli (misal pisau, sendok, garpu, atau cincin), maka pada permukaan benda tersebut akan ada warna hitam (karena xulfida) atau kebiruan (karena cianida)..para pemburu jamur di beberapa negara Eropa, terutama tradisi-tradisi di negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark, dan sebagainya)...biasanya akan membawa binatang "pelacak jamur" andalan. Bukan anjing, tapi babi yang sebelumnya sudah diberi latihan khusus...membedakan mana jamur yang bisa dimakan/tidak.’.
- Cara Menghindari Kematian karena Makan Jamur Liar", H Unus Suriawiria, Senin, 31 Januari 2005: '(4) Kalau jenis jamur beracun dimasak/dipepes bersama nasi putih, nasi tersebut akan berubah warna menjadi coklat, kuning, merah, atau hitam...Bagi pemburu jamur di beberapa negara Eropa-misalnya, acara tradisi di negara-negara Skandinavia (Sweden, Norwegia, dan sebagainya)-kalau musimnya berburu jamur selalu akan membawa babi yang sudah terlatih, yang dapat membedakan mana jamur beracun dan mana yang tidak.'
Disamping itu, di bahasa pali sendiri sudah ada kata tersendiri yang merujuk pada arti “jamur”, yaitu: "chattaka" atau "pappaṭaka". Sample: ahihattaka/ahichattaka" = jamur ‘payung ular’. Bahasa Hindi: 'sarpchatr'. Bahasa Bengali: 'byaner chata' atau ‘payung katak’ [lihat: Rhys Davis: hal.92, 274; Buddhadatta Mahatera: hal.45, 182]. Sementara kata “sūkara” = babi hutan/wild boar. Kata ini digunakan untuk membedakannya dengan babi/boar (varāha) [“Vedic Index of Names and Subjects”, Vol 2;Vol 5, Arthur Berriedale Keith, hal.461]. Kemudian kata “Maddava/Madhava” = lembut, empuk, halus.
Prof. Rhys Davids, ketika menterjemahkan teks-teks Buddhist dan Milianda Panha, Ia terjemahkan kata itu sebagai `bagian daging babi yang empuk’ (“Milianda Panha”, buku ke-5, bab 3, hal 244, cat kaki.1). Miss I.B. Horner dalam terjemahan “Madhuratthavilāsinī” menyatakan: “..Oleh karenanya, bagian ini memberikan bukti bahwa sukara-maddava, makanan terakhir sang Buddha, seharusnya TIDAK diterjemahkan seperti yang kadang sebagai "jamur", namun lebih sebagai bagian yang lembut, 'maddava', dari (daging) babi hutan..” (..Therefore, this passage provides evidence that suukara-maddava, the Buddha Gotama’s last meal, should not be translated as sometimes it has been as “truffles”, but rather as tender, ‘maddava’, (flesh or meat) from a boar..) [Introduction hal. xxxix]
Para kelompok vegetarian cenderung mengartikan kata ini sebagai jamur, namun sayangnya, Buddhisme BUKANLAH VEGETARIAN dan BOLEH makan daging, malah ada istilah sukaramamsa, yang berarti daging babi dan juga makanan terakhir semua Buddha dalam Buddhavamsa, jelas disebutkan makanan yang mengandung daging:
- Terdapat 3 syarat untuk dapat mengkonsumsi daging, yaitu: TIDAK melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh, TIDAK Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh dan Mengetahui bahwa hidangan daging itu, TIDAK KHUSUS dibunuh agar dapat diberikan padanya [MN 55/Jivaka sutta].
- Selain 3 syarat di atas, terdapat juga 10 macam daging yang tidak diperkenankan dikonsumsi oleh para bhikkhu, yaitu: daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena [Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka, Vol.3.58], sehingga selain 10 macam daging tersebut, boleh dikonsumsi para Bhikkhu
- Seorang perumah tangga dari Vesali bernama Ugga yang menyajikan daging babi kepada Sang Buddha: "Di hadapan Guru, aku mendengar dan tahu dari Sang Bhagava sendiri bahwa seseorang yang memberikan hal menyenangkan, akan menerima kegembiraan, aku menyenangi daging babi (sūkaramaṃsaṃ) dengan sari buah jujube. Semoga sang Bhagava menerimanya dengan perasaan kasih. Dengan perasaan kasihnya Sang Buddha menerima" (Sammukhā metaṃ, bhante, bhagavato sutaṃ sammukhā paṭiggahitaṃ: ‘manāpadāyī labhate manāpan’ti. Manāpaṃ me, bhante, sampannakolakaṃ sūkaramaṃsaṃ; taṃ me bhagavā paṭiggaṇhātu anukampaṃ upādāyā”ti. Paṭiggahesi bhagavā anukampaṃ upādāya) [AN 5.44/Manāpadāyī sutta]
- Buddhavamsa: Buddhapakiṇṇakakathā:
Sabbabuddhānaṃ samattiṃsavidhā dhammatā (30 hal yang selalu terjadi pada para Buddha), di no.29 ada kalimat, parinibbānadivase maṃsarasabhojanaṃ (Di hari parinibbananya makan makanan yang mengandung daging). Arti kata "maṃsa" adalah daging. [Detail lainnya, lihat: Vegetarian, Makanan Religius? Bukan! Ia Cuma Pilihan Selera Makan..Ngga Lebih Dari Itu!]
Sesudah makan, Sang Bhagava berkata kepada Cunda: "Cunda, sisa-sisa Sukaramaddava (daging babi muda) dari hidangan untukKu, agar ditanam di sebuah lobang, karena di dunia ini di antara para dewa, Mara, Brahmana, para samana atau Brahma, atau pun manusia, tidak ada seorang pun yang sanggup memakannya atau mencernakannya, kecuali Sang Tathagata sendiri". Demikianlah sisa Sukaramaddava yang tertinggal itu ditanamkannya dalam sebuah lobang. kembali kepada Sang Bhagava, Ia memberi hormat dan duduk pada salah satu sisi. Kemudian Sang Bhagava mengajarkan Cunda pandai-besi itu mengenai pelajaran yang membangkitkan semangat, yang berisi penerangan yang menggembirakan hatinya. Sesudah itu beliau bangun dari tempat duduknya pergi meninggalkan Cunda
- Mengapa makanan yang diperuntukkan khusus pada sang Buddha harus dikubur?
[..]Kemudian Kasibharadvaja mengisikan nasi-susu ke dalam mangkuk emas yang besar dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha sambil berkata: 'Silakan Yang Mulia Gotama menyantap nasi susu ini. Engkau memang petani karena alasan membajak itu; memang hal itu memberikan buah kekekalan.'
'Apa yang diperoleh lewat pembacaan mantra-mantra bukanlah makananku. O, brahmana, ini bukanlah praktek bagi mereka yang melihat dengan benar. Para Buddha menolak apa yang diperoleh lewat pembacaan mantra.'
'Engkau harus mempersembahkan makanan dan minuman lain kepada pertapa agung yang telah mantap, yang telah bebas dari kekotoran mental dan penyesalan. Itu merupakan ladang bagi dia yang mencari jasa kebajikan.'
'Kalau demikian, Yang Mulia Gotama, kepada siapakah saya harus memberikan nasi-susu ini?'
O, brahmana, di dunia termasuk para dewa, Mara, Brahma, serta di antara para brahmana dan manusia, aku tidak melihat siapa pun kecuali Sang Tathagata
Karena itu, O brahmana, sebaiknya engkau membuang nasi-susu ini di suatu tempat yang tidak ada rumputnya, atau membuangnya ke air di mana tidak ada makhluk hidupnya.'
Maka Kasibharadvaja membuang nasi susu itu ke dalam air yang tidak mengandung kehidupan. Pada saat itu terdengar bunyi mendesis disertai banyak uap dan asap dari semua sisi, persis seperti mata bajak yang telah dipanaskan sepanjang hari lalu dicelupkan ke dalam air menghasilkan bunyi desis dan mengeluarkan uap serta asap di semua sisi.
Kemudian Kasibharadvaja, dengan perasaan amat terpukau dan bulu kuduk berdiri, mendekati Sang Buddha dan meletakkan kepalanya di kaki Sang Buddha. Dia berkata: 'Sungguh menakjubkan, Yang Mulia Gotama, sungguh luar biasa, Yang Mulia Gotama! [..] [Sn 1.4/KASIBHARADVAJA SUTTA, yang terjadi di sekitar tahun ke-11 beliau setelah mencapai buddha]
Juga di Samyutta nikaya SN 7.9/Sundarika Sutta atau di Sagatha-Vagga 7.1.9, yaitu makanan yang telah didanakan khusus kepada seorang Samma Sambuddha, tidak dapat dimakan oleh mahluk lain dan jika bersisa maka dibuang di tempat yang tidak ada rumputnya atau membuangnya ke air dimana tidak ada mahluk hidupnya. Salah satu alasan mengapa makanan tersebut tidak dapat dimakan mahluk lain, kitab komentar menyampaikan bahwa para deva ikut berpartisipasi pada dana makanan dengan memberikan nutrisi
[Spekulasi modern seputar wafatnya sang Buddha: "Artikel Bhikkhu Mettanando dari aliran Dhammakaya: BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT ?]
Di perjalanan Sang Buddha bertemu pangeran dari suku Malla. Sang Buddha mengajarkannya cara untuk hidup dalam kedamaian. Sang Pangeran kemudian berlindung dalam Buddha, Dhamma dan Sangha, dan mempersembahkan 2 jubah berwarna emas kepada Sang Buddha. Sang Buddha hanya mau menerimanya 1 buah saja dan menyarankan pada sang Pangeran, agar satunya diberikan kepada Ananda. Kali ini Ananda mau menerimanya. [DN 16]. Buddhaghosa dalam kitab komentarnya menjelaskan mengapa Ananda mau menerimanya karena tahu masa pelayanannya akan segera berakhir dan menganggap itu sebagai hadiah dari sang Buddha kepadanya atas kesetiaannya melayani selama 25 tahun (DA. Ii.570)
Di tepi Sungai Kakuttha
Kemudian Sang Bhagava pergi ke sungai Kakuttha bersama dengan sekumpulan para bhikkhu. Setelah tiba di tepi sungai itu, Sang Bhagava mandi. Setelah Sang Bhagava mandi, Beliau pergi ke Ambavana. Di tempat ini, karena merasa lelah, beliau beristirahat sebentar dengan membaringkan tubuhnya pada sisi kanannya, dengan sikap seperti singa, dan meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang satu lagi, dengan sikap demikian Beliau dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, setiap saat dapat bangun dengan mudah.
Kemudian, Sang Buddha pergi lagi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah. Setelah selesai mandi dan minum, Sang Buddha lalu berjalan ke Ambavana untuk membicarakan dhamma.
Menghilangkan Kegundahan Cunda
Dikesempatan itu pula, Sang Bhagavā berkata kepada Ānanda: “Mungkin saja, Ānanda, Cunda si pandai besi merasa menyesal, dengan berpikir: ‘adalah kesalahanmu, sahabat Cunda, karena kecerobohanmu sehingga Tathāgata mencapai nibbāna akhir setelah memakan makanan yang engkau persembahkan!’
Penyesalan Cunda dapat diatasi dengan cara ini: ‘Itu adalah jasamu, sahabat Cunda, karena perbuatan baikmu sehingga Tathāgata mencapai nibbāna akhir setelah memakan makanan yang engkau persembahkan! Karena, sahabat Cunda, aku telah mendengar dan memahami dari mulut Sang Bhagavā sendiri, bahwa 2 persembahan akan menghasilkan buah yang besar, akibat yang sangat besar, lebih berbuah dan lebih bermanfaat daripada persembahan lainnya.
Apakah dua ini? Ke-1 adalah persembahan yang setelah memakannya, Sang Tathāgata mencapai Penerangan Sempurna, dan yang lainnya adalah yang setelah memakannya, Beliau mencapai unsur-nibbāna tanpa sisa saat meninggal dunia.
Kedua persembahan ini adalah yang lebih berbuah dan lebih bermanfaat dari semua persembahan lainnya. Perbuatan Cunda ini mendukung umur panjang, penampilan yang baik, kebahagiaan, kemasyhuran, alam surga, dan kekuasaan’ Demikianlah, Ānanda, cara mengatasi penyesalan Cunda” [DN 16/Maha Parinibbana Sutta dan Udana 8.5]
Tempat Peristirahatan Terakhir Antara Dua Pohon Sala
Demikianlah, Sang Bhagava bersama sejumlah besar bhikkhu menyeberang sungai, tiba di Hirannavati, pergi ke hutan Sala di daerah suku Malla, dekat Kusinara. Setelah tiba, Sang Bhagava berkata kepada Ananda untuk menyediakan tempat berbaring di antara pohon sala kembar itu, kemudian Sang Bhagavā berbaring pada posisi kanan dalam posisi singa, meletakkan satu kaki-Nya di atas kaki lainnya mengetahui sepenuhnya dalam memperhatikan
Pada saat itu dua pohon Sala kembar itu berbunga walaupun bukan pada musimnya. Bunga-bunga itu jatuh bertaburan di atas tubuh Sang Tathagata, juga bunga surgawi serta serbuk cendana bertaburan dari angkasa ke tubuh Sang Bhagava sebagai penghormatan kepada Sang Tathagata. Suara nyanyian surgawi serta suara musik surgawi dengan lagu sangat merdu terdengar di angkasa, juga sebagai penghormatan kepada Sang Tathagata. Melihat pentingnya hal ini, sang Buddha berkata:
- Na kho Ānanda ettāvatā (Bukan dengan seperti ini, Ananda) Tathāgato sakkato vā hoti garukato vā mānito vā pūjito vā apacito vā (Sang Tathagata dihormati, dimuliakan, dihargai, dipuja dan dijunjung). Siapa saja, apakah bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria dan wanita, yang berpegang pada Dhamma, hidup sesuai Dhamma, berkelakuan sesuai Dhamma, Ia menghormati, memuliakan, menghargai, memuja, menjunjung Sang Tathagata dengan pemujaan tertinggi. Oleh karenanya, Ananda, berpeganglah pada Dhamma, hidup sesuai Dhamma dan berkelakuanlah sesuai Dhamma. Demikian caramu melatih diri" [DN 16]
Ananda: "Guru, Dahulu, sesudah musim hujan para bhikkhu dari berbagai tempat biasanya datang menemui Sang Tathagata. Kami ini berkesempatan melihat para bikkhu yang layak dihormati, berkesempatan untuk menemuiMu. Namun setelah Sang Bhagava tiada, Tidak berkesempatan melihat para bhikkhu yang layak dihormati, tidak dapat datang untuk menemuimu"
Sang Buddha: "Ada 4 tempat, Ananda, bagi seorang yang berkeyakinan mendatanginya (saddhassa kulaputtassadassanīyāni), bangkit ketergugahannya: haru atau antusias (saṃvejanīyāni ṭhānāni), yaitu tempat di mana Sang Tathagata:
- 𝐷𝑖𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟𝑘𝑎𝑛
- 𝑀𝑒𝑛𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑚𝑝𝑢𝑟𝑛𝑎
- 𝑀𝑒𝑚𝑢𝑡𝑎𝑟 𝑅𝑜𝑑𝑎 𝐷ℎ𝑎𝑚𝑚𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎
- 𝑃𝑎𝑟𝑖𝑛𝑖𝑏𝑏𝑎𝑛𝑎
Dukacita Ananda dan Pujian Untuk Ananda
Ananda kemudian menuju vihara, bersandar pada tiang pintu dan meratap (rodamāno), "Saya masih seorang siswa (savaka) dan masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Sungguh malang aku ini, Guru yang penuh kasih sayang padaku akan meninggal dunia". Sang Buddha menanyakan keberadaan Ananda dan disampaikan bahwa Ia tengah meratapi diri, kemudian Sang Buddha meminta untuk memanggil Ananda. Setelah Ananda datang, sang Buddha berkata, "Ananda, cukuplah jangan bersedih (mā soci), janganlah meratap (mā paridevi), Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa segala sesuatu yang indah dan menyenangkan pasti mengalami perubahan, pasti berpisah dan menjadi yang lain. Jadi bagaimana mungkin, Ānanda—karena segala sesuatu yang dilahirkan, menjelma, tersusun pasti mengalami kerusakan—bagaimana mungkin hal itu tidak berlalu? Sejak lama, Ānanda, engkau telah berada di sisi Sang Tathāgata, memperlihatkan cinta-kasihdalam tindakan jasmani, ucapan dan pikiran, memberikan manfaat, menyenangkan, sepenuh hati dan tidak terbatas. Engkau telah mendapatkan banyak jasa. Berusahalah, dan dalam waktu singkat engkau akan terbebas dari kekotoran"
Kemudian sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu memuji kualitas Ananda:
- bahwa Para Buddha di waktu-waktu yang lampau, juga mempunyai bhikkhu sebagai pendamping yang sangat tekun dan berbakti, seperti Ananda. Demikian pula di masa yang akan datang.
- Ananda, cakap dan jujur, mengetahui waktu yang tepat untuk para bhikkhu, Bhikkhuni, para umat awam pria/wanita, para raja, patih negara dan para guru aliran lain serta pengikutnya ketika hendak menghadap Sang Buddha
- Kualitas menarik Ananda yaitu para bhikkhu/umat awam akan sangat bergembira bila dapat bertemu Ananda, merasa senang jika membicarakan Dhamma dengan Ananda dan akan merasa kecewa jika Ananda berdiam diri [DN 16]
Sang Buddha meminta Ananda pergi ke Kusinara menyampaikan pada suku Malla bahwa hari ini, malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme], Sang Tathagata akan parinibbana, agar mereka tidak menyesali diri di belakang hari bahwa di daerah mereka Sang Buddha parinibbana tetapi di saat terakhirnya, tidak melihat beliau. Ketika ini disampaikan, Para suku Malla, sedih, berduka cita dan bersusah hati, meratap, "Terlalu cepatlah Sang Tathagata parinibbana. Terlalu cepatlah Sang Sugata parinibbana. Terlalu cepatlah Sang Guru Jagat lenyap dari pandangan". Mereka kemudian datang memberikan pernghormatan, Ananda mengatur pembagian menurut golongan dan rombongan, agar tidak satupersatu yang akan memakan waktu panjang. Akhirnya, pada waktu pertama malam itu, semua mendapatkan kesempatannya. [DN 16]
Subhadda, Orang terakhir Yang Ditahbiskan Sang Buddha
Ketika itu seorang petapa pengembara, Subhadda, yang sedang di Kusinara mendengar kabar: "Hari ini, malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme], petapa Gotama akan parinibbana"
Karenanya timbul dipikirannya: "Aku pernah mendengar dari para petapa senior dan mulia, para guru, bahwa kemunculan para Tathagata Arahat SammaSambuddha di dunia adalah jarang sekali. Pada hari ini, malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme], petapa Gotama akan parinibbana. Pada diriku ada suatu keraguan dan aku yakin bahwa petapa Gotama, akan dapat mengajarkanku Dhamma yang menghilangkan keraguanku."
Kemudian petapa pengembara Subhadda mendekati Sang Bhagava menghormat dengan sopan, duduk di satu sisi, berkata: "Yang Mulia Gotama, ada para petapa dan brahmana pemimpin sejumlah besar siswa yang punya banyak pengiring, para pemimpin perguruan terkenal dan masyur yang mendapat penghormatan tinggi dari khalayak, seperti: Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambali, Pakudha Kaccayana, Sanjaya Belatthiputta, Nigantha-Nataputta. Apakah mereka semua telah mencapai kebebasan, seperti yang dikatakan orang, atau apakah tak ada dari mereka yang mencapai kebebasan atau apakah hanya beberapa saja yang mencapai, dan yang lainnya tidak?"
"Cukuplah Subhadda. Biarkanlah apa yang dikatakan orang, apakah mereka semua telah mencapai pembebasan, seperti yang disiarkan, atau tak ada dari mereka yang mencapai kebebasan, atau hanya beberapa saja dari mereka yang mencapai kebebasan yang lain tidak. Hal itu tidak perlu dirundingkan. Kini, aku akan mengajarkan kebenaran padamu, Subhadda, dengar dan perhatikanlah dengan benar yang akan ku katakan"
"Baiklah, bhante," jawab Subhadda.
Kemudian Sang Bhagava berkata: "Subhadda, dalam dhamma dan vinaya mana pun, jika TIDAK TERDAPAT Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun TIDAK ADA seorang petapa sejati, juga TIDAK ADA petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4. Tetapi dalam dhamma dan vinaya yang mana pun, jika terdapat Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun akan ada petapa sejati, juga ada petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4. Kini, dalam dhamma dan vinaya yang kuajarkan terdapat Jalan Mulia Berunsur 8 itu, maka dengan sendirinya terdapat petapa-petapa sejati, juga petapa-petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4
Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur 8 adalah kosong dan bukan petapa yang sejati. Subhadda, jika para bhikkhu ini hidup dengan baik menurut dhamma dan vinaya, maka dunia ini takkan kekosongan Arahat
Aku berusia 29 tahun, Subhadda
ketika memasuki apa yang bermanfaat di kehidupan tanpa rumah
Sudah 50 tahun lebih
Sejak Aku di kehidupan tanpa rumah, Subhadda
Bernaung di jalur Dhamma
Yang di luarnya TIDAK ADA Petapa
Petapa ke-2 .. ke-3 .. ke-4 TIDAK ADA
Aliran lainnya mandul Petapa, Subhadda
Tetapi jika para bhikkhu menjalani benar
Dunia ini tak kekosongan Arahat
[..]
Demikianlah, pertapa pengembara Subhadda diterima dan ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Sang Bhagava sendiri. Ia pun tekun, rajin dan sungguh-sungguh...Bhikkhu Subhadda menjadi salah seorang di antara para Arahat dan Ia adalah siswa terakhir yang diterima Sang Bhagava [DN16/Mahaparinibbana Sutta]
Kata-kata Terakhir Sang Buddha
Sang Buddha menyampaikan bahwa walaupun beliau sudah tidak ada lagi, namun yang diajarkan dan dijelaskan sebagai Dhamma dan vinaya adalah guru mereka. Kemudian sang Buddha bertanya jika ada dari para Bhikkhu yang masih memiliki keraguan atau ada yang hendak ditanyakan, namun para Bhikkhu berdiam diri, sampai 3x diulangi, para bhikkhu tetap berdiam diri. Sang Buddha berkata bahwa memang kumpulan dari 500 Bhikkhu ini, bahkan pencapaian yang terendah diantara mereka adalah sotapanna sehingga tidak ada yang memiliki keraguan terhadap Buddha, Dhamma dan sangha, tak mungkin terlahir kembali di alam penderitaan dan pasti akan mencapai penerangan sempurna di kemudian hari. Kemudian Sang Buddha menyampaikan nasehat terakhirnya, "Para bhikkhu, perhatikanlah nasehat ini: 'yang berkondisi tunduk pada kelapukan, dengan kewaspadaan capailah tujuan'" [DN 16]
PariNibbana
Mula-mula Sang Bhagava masuk jhāna ke-1.
Bangkit dari jhāna ke-1, masuk jhāna ke-2.
Bangkit dari jhāna ke-2, masuk jhāna ke-3.
Bangkit dari jhāna ke-3, masuk jhāna ke-4.
Bangkit dari jhāna ke-4, masuk landasan ruang tak berbatas.
Bangkit dari landasan ruang tak berbatas, masuk landasan kesadaran tak berbatas.
Bangkit dari landasan kesadaran tak berbatas, masuk landasan tak ada sesuatu apapun.
Bangkit dari landasan tak ada sesuatu apapun, masuk landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi.
Bangkit dari landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, beliau masuk lenyapnya persepsi dan perasaan.
Kemudian Ananda berkata demikian: "Anuruddha kiranya Sang Bhagava telah padam sempurna"
"Tidak, Ananda, Sang Bhagava belum padam sempurna, Beliau masuk lenyapnya persepsi dan perasaan."
Kemudian Sang Bhagava,
bangkit dari lenyapnya persepsi dan perasaan, beliau masuk landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi.
Bangkit dari landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, masuk landasan tak ada sesuatu apapun,
Bangkit dari landasan tak ada sesuatu apapun, masuk landasan kesadaran tak berbatas,
Bangkit dari landasan kesadaran tak berbatas, masuk landasan ruang tak berbatas.
Bangkit dari landasan ruang tak berbatas, masuk jhāna ke-4.
Bangkit dari jhāna ke-4, masuk jhāna ke-3.
Bangkit dari jhāna ke-3, masuk jhāna ke-2.
Bangkit dari jhāna ke-2, masuk jhāna ke-1.
Bangkit dari jhāna ke-1, masuk jhāna ke-2.
Bangkit dari jhāna ke-2, masuk jhāna ke-3.
Bangkit dari jhāna ke-3, masuk jhāna ke-4.
Dan bangkit dari jhāna ke-4, lalu padam sempurna-lah, Sang Bhagava.
Demikianlah ketika Sang Bhagava telah padam sempurna, tepat saat parinibbanaNya, terjadilah gempa bumi yang sangat dahsyat, menakutkan, mengerikan, dan mengejutkan disertai halilintar sambar-menyambar di angkasa.
Ketika Sang Bhagava padam sempurna,
dewa Brahma Sahampati mengucapkan syair ini:
Mahluk apapun di dunia, bentukannya akan-lah berakhir
Juga sang Guru, yang tiada banding di dunia,
Yang tercerahkan, sang pemilik kekuatan, maha tau, juga padam sempurna.
dewa Sakka, raja para dewa, mengucapkan syair ini:
Bentukan benarlah tiada kekal adanya,
yang muncul akan-lah lenyap,
Setelah timbul akan-lah tenggelam,
padam adalah kebahagiaan
bhikkhu Anuruddha mengucapkan syair ini:
Tak ada lagi nafas, teguh pikiranNya
bebas nafsu, dalam kedamaian, demikian akhir sang Muni
PikiranNya tak tergoyahkan, dalam menahan rasa menyakitkan
Seperti padamnya nyala api, demikian pula pikiranNya terbebaskan padam
Ananda mengucapkan syair ini:
Demikian mengerikannya, Demikian merindingnya,
Ketika yang maha tahu, yang sempurna dalam kualitas mulia, padam sempurna
Penghormatan suku Malla dan Pembakaran Mayat Sang Buddha
Setelah para suku Malla Kusinara melakukan penghormatan dengan nyanyian dan tarian selama 6 hari, yang juga dilakukan oleh para deva di hari ke-7, maka kemudian para pemimpin Malla, setelah mencuci kepala mereka dan mengenakan pakaian baru, mereka hendak menyulutkan api pemakaman Sang Bhagavā, tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Mereka mendatangi YM Anuruddha dan menanyakan mengapa mereka tidak dapat menyalakan api. YM Anuruddha menyampaikan bahwa para deva sedang menantikan kedatangan YM MahaKassapa yang sedang dalam perjalanan dari Pāvā menuju Kusinārā bersama 500 bhikkhu. Api pemakaman Sang Bhagavā tidak akan menyala sampai YM MahaKassapa memberikan penghormatan dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.
Demikianlah di hari ke-7, YM Kassapa tiba di cetiya suku Malla di Makuṭa-Bandhana menuju tempat pemakaman Sang Bhagavā. Beliau dengan menutupi satu bahunya dengan jubahnya, merangkapkan tangan memberikan penghormatan, mengelilingi tempat pemakaman 3x, membuka selubung kaki Sang Bhagavā, memberi hormat dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan 500 bhikkhu juga melakukan hal yang sama. Dan ketika semua ini selesai, api pemakaman Sang Bhagavā menyala dengan sendirinya [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]
Setelah parinibbana Sang Buddha, yaitu di 3 bulan kemudian, diadakan pertemuan 500 arahat di Goa Satapani, Rajagraha yang dipimpin oleh YA.Maha Kassapa. Selama 2 (dua) bulan, mereka menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma. Dengan cara ini, ajaran-ajaran Sang Buddha masih dapat diketahui hingga sekarang
Sekitar satu abad setelah wafatnya Beliau, terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya kemudian menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya disebut Sthaviravada (atau Theravãda). Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya disebut Mahasanghika (kelak ini berkembang menjadi mazhab Mahayana) dan dari keduanya ini, kemudian, pecah kembali menjadi makin banyak aliran. [Lihat: Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran]
Buddho have kappasatehi dullabho ti
Diratusan kappa, sungguhlah sulit muncul seorang Buddha
Diratusan kappa, sungguhlah sulit muncul seorang Buddha
BAGUS, UNTUK TAMBAHAN PENGETAHUAN.
BalasHapusSangat bagus. Sampai saya tidak tau harus mengatakan kata-kata apa yang pantas. Memang hebat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.Mengagumkan
BalasHapus