Sabtu, 15 September 2007

Ringkasan Ajaran Buddha


Prakata

Serangan bunuh diri tehadap gedung WTC di New York tanggal 11 September 2001, bukan hanya mengejutkan dunia, tapi juga mengubah banyak pikiran saya. Usai peristiwa itu, hingga banyak tahun kemudian, saya ikuti banyak milis dan grup di internet tekait perdebatan agama, yang pada akhirnya semakin mengubah banyak pandangan saya.

Dalam proses itu, saya membaca banyak buku keagamaan dan pengetahuan, hingga saya berada pada kesimpulan tidak ada tuhan, tidak ada jiwa, hidup-mati tidak hanya satu kali. Karena besar sebagai Hindu-Bali dan menjadi saksi banyak peristiwa tidak normal, saya tidak dapat menolak entitas non kasat mata sebagai tidak ada, oleh karenanya, keberadaan surga-neraka, sepatutnya juga tidak permanen. Kesimpulan-kesimpulan ini, saya ambil, sebelum bertemu lebih intens dengan Buddhisme, yang awalnya, saya anggap mirip dengan kebanyakan Hinduisme: percaya Tuhan, jiwa, surga-neraka tidak permanen, keberadaan dewa-makhluk halus, tentu saja, terdapat kelompok ateisme dalam hinduisme[1]

Karena Buddhime menarik, maka sejak tahun 2007, saya berusaha menuliskannya dan seiring banyaknya perubahan di pikiran saya tentang buddhisme, maka tak terhitung banyaknya perombakan yang telah saya lakukan di artikel ini. Oleh karenanya, artikel ini adalah kacamata saya tentang Buddhisme, semoga berguna bagi yang ingin mengenal Buddhisme. Agar dapat lebih memahami, sebaiknya, didahului dengan membaca "Riwayat Buddha Gotama", juga tentang "Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran". (semua terjemahan sutta/vinaya yang dikutip diasumsikan diterjemahkan sesuai):
  1. Inti Buddhism: Si Pembuat Rumah, taṇhā; Avijjā dan Taṇhā; "makanan" Penunjang Keberadaan; 3 Ciri Umum/Tilakkhana; Kebenaran Relatif VS Mutlak; Definisi Orang Baik VS Jahat [↓]
  2. makhluk Biasa/Puthujjana VS makhluk Suci/Ariya-puggalā; 10 Belenggu Kesucian; Magga/berada dalam jalan dan Phala/buah dari 4 Tingkat Kesucian [↓]
  3. Hukum Kamma [↓]; 4 Kebenaran/Kesunyataan Mulia [↓] dan 8 Jalan Mulia [↓]
  4. TIDAK ADA: Tuhan/Ketuhanan, Adi Buddha, Tanah Buddha Pengertian: Nibbana dan Dhamma-Kaya [↓]
  5. Definisi makhluk Hidup (TIDAK ADA: Roh/Jiwa/Atma); SEBAB KEMUNCULAN/Paticcasamuppada; PAÑCAKKHANDHĀ dan NĀMARŪPA; TIDAK ADA jeda waktu TUMIMBAL LAHIR [↓]
  6. SIKLUS: Hancur dan Terbentuknya Semesta [↓]; Struktur Semesta Buddhism: Horizontal: Milyaran Sistem Dunia [↓] dan Vertikal: Alam-Alam Kehidupan [↓].
  7. Jalan Keselamatan: Dana/Pemberian, Sila/Moralitas [↓] dan Meditasi/Samādhi: Tujuan dan Cara Melatih Samādhi dalam 4 x 4 set [↓]; Samatha VS Vipassana [↓] Definisi, Cara dan Tercapainya jhāna ke-1 s.d ke-4 dan Pencapaian Landasan Arupa ke-5 s.d 9 [↓], TIDAK ADA Pencapaian Arahat TANPA melalui jhāna [↓]
  8. Atthaloka Dhamma: Pasang Surut Kehidupan dan Cara Menyikapinya [↓]
  9. Sikap Buddhis: DI KOMUNITAS Yang GANAS dan Ketika Buddha, Dhamma dan Sangha DIHINA VS DIPUJI [↓]
  10. Umur Panjang, Keindahan, Kekayaan, Kemasyhuran, Pengaruh, Surga dan Kesucian BUKAN karena DOA dan Menjadi Umat Awam BERBUDI [↓]
  11. Paritta & Mantra; Berlindung; Seruan dan Bentuk Penghormatan; Puja Bakti VS Pemujaan Berhala; Keberadaan Relik Sang Buddha; Asal Muasal Tradisi Penyembahan Patung Buddha; Pohon Bodhi Bodhgaya, Pohon Bodhi Ananda dan Pohon Bodhi di Srilanka [↓]
  12. TERBENTUKNYA TIPITAKA; Perpecahan/Kemunculan Aliran-Aliran Buddhisme; KONSILI KE-1 s.d KE-4; Apakah Abhidhamma Sabda Sang Buddha? [↓]; LENYAPNYA Dhamma Sejati [↓]
  13. Hari Raya Keagamaan: Waisak/Vesākha dan Tidak Tepat Merayakan Waisak di Borobudur/Mendut; Asadha; Kathina dan Magha-puja [↓]; Perabuan Jenazah; Meninggalkan Keluarga [↓]
  14. Pattidana: Arti dan Definisi, Landasan Sutta dan Polemiknya [↓]
  15. Download TIPITAKA bahasa Indonesia (28.4 MB): DN (PDF: 34 Sutta), AN (Word: buku ke-1 s.d ke-11), MN (Word: 152 Sutta), SN (Word dan PDF: Buku ke-1 s.d Ke-5), Dhammapada Atthakata (Word: Bab 1-26) dan Vinaya (PDF: Vol 1 dan Vol.IV)
-------

Inti Buddhisme

Ringkasnya:
Para arahat sammāsambuddhā di masa lalu, masa depan (ahesuṁ atīta, anāgata+maddhānaṁ arahanto sammāsambuddhā), arahat sammāsambuddha saat ini (etarahi arahaṁ sammāsambuddho), seluruh para Mulia ini (sabbe te bhagavanto), terlebih dulu meninggalkan 5 rintangan, kekotoran mental yang melemahkan kebijaksanaan (pañca nīvaraṇe pahāya cetaso upakkilese paññāya dubbalīkaraṇe), dengan pikiran berpijak kokoh dalam 4 landasan ingatan (catūsu satipaṭṭhānesu suppatiṭṭhitacittā), mengembangkan apa adanya/alami 7 faktor pencerahan (satta bojjhaṅge yathābhūtaṁ bhāvetvā), memperoleh kebijaksanaan tertinggi yang tiada bandingannya dengan benar sempurna memutus rantai penjelmaan (anuttaraṁ sammāsambodhiṁ abhisambujjhissanti) [AN 47.12, DN 16, 28, AN 10.95]

Sang Buddha:
ada 4 faktor Dhamma (dhammapadāni) purbakala, telah lama ada, tradisional, kuno (aggaññāni rattaññāni vaṁsaññāni porāṇāni), tidak terkorosi, di masa lalu, saat ini, kelak (asaṅkiṇṇāni asaṅkiṇṇapubbāni, na saṅkīyanti na saṅkīyissanti), tidak disangkal para petapa dan brahmana bijaksana (appaṭikuṭṭhāni samaṇehi brāhmaṇehi viññūhi): tanpa kerinduan (anabhijjhā), tidak beritikad buruk/memusuhi (abyāpādo), ingatan benar (sammāsati), samādhi benar (sammāsamādhi) [AN 4.29, 30, DN 33, Ne 37]

Sang Buddha:
  1. segala sesuatu (sabbe dhammā): berakar dari hasrat/keinginan (chandamūlakā)
  2. menjadi ada karena perhatian / memperhatikan (manasikārasambhavā). Note: manasikāra/manasikaroti = saṅkappavitakkā/pengarahan kehendak (pikiran)/kehendak menggenggam, ref.AN 9.14
  3. berasal dari kontak (phassasamudayā)
  4. bertemu sebagai perasaan (vedanāsamosaraṇā)
  5. pimpinannya adalah konsentrasi terpusat (samādhippamukhā)
  6. pengendali/penguasanya adalah ingatan (satādhipateyyā)
  7. pengawasnya adalah kebijaksanaan (paññuttarā)
  8. esensi/intinya adalah pembebasan (vimuttisārā) [AN 8.83]
  9. puncaknya adalah tanpa-kematian (amatogadhā)
  10. berakhirnya sebagai padam (nibbānapariyosānā).’ [AN 10.58]
Sang Buddha:
  1. semua makhluk ditunjang oleh makanan (sabbe sattā āhāraṭṭhitikā), terhadap ini, pikirannya sepenuhnya kecewa (sammā nibbindamāno), pikirannya sepenuhnya hilang minat terhadapnya (sammā virajjamāno), pikirannya sepenuhnya bebas darinya (sammā vimuccamāno), sepenuhnya melihat batasan-akhirnya (sammā pariyantadassāvī), sepenuhnya memahami arti-tujuannya (sammadatthaṁ abhisamecca), di sini, saat ini dukkha berakhir (diṭṭheva dhamme dukkhassantakaro hoti)
  2. mental dan materi (nāme ca rūpe ca), terhadap ini, .. (Di. sutta AN 9.14: "objek dari nāmarūpa/nāmarūpārammaṇā membangkitkan kehendak menggenggam seseorang/purisassa saṅkappavitakkā uppajjantī, unsur-unsur/dhātūsu menjadikannya beragam/nānattaṁ gacchantī, berasal dari kontak, bertemu sebagai perasaan, pimpinannya adalah konsentrasi terpusat, pengendalinya adalah ingatan, pengawasnya adalah kebijaksanaan, esensinya adalah pembebasan, puncaknya adalah tanpa-kematian")
  3. tiga perasaan (tīsu vedanāsu), terhadap ini, ..
  4. empat makanan (catūsu āhāresu)..
  5. 5 kelompok yang dilekati (pañcasu upādānakkhandhesu)..
  6. enam landasan indriya (chasu ajjhattikesu āyatanesu)..
  7. tujuh landasan kesadaran (sattasu viññāṇaṭṭhitīsu)..
  8. delapan kondisi duniawi (aṭṭhasu lokadhammesu)..
  9. sembilan kelompok kediaman makhluk (navasu sattāvāsesu)..
  10. sepuluh jalan kamma tidak bermanfaat (dasasu akusalesu kammapathesu), terhadap ini, pikirannya sepenuhnya kecewa, pikirannya sepenuhnya hilang minat terhadapnya, pikirannya sepenuhnya bebas darinya, sepenuhnya melihat batasan-akhirnya, sepenuhnya memahami arti-tujuannya, di sini, saat ini dukkha berakhir [AN 10.27]
TIGA akar kejahatan/hal tidak bermanfaat/hal buruk (Tīṇi akusalamūla):
  1. Moha (Kebingungan/keliru tahu/kebodohan) = avijjā (ketidaktahuan): PERHATIAN TIDAK BENAR [ayoniso manasikaroti atau: "MEMPERHATIKAN yang TIDAK LAYAK dan TIDAK MEMPERHATIKAN yang LAYAK" ~ AN 3.65]
  2. Lobha/raga (Serakah/Ketagihan) = abhijjhā (kerinduan): TAMPAK INDAH/MENARIK (subhanimitta) karena PERHATIAN TIDAK BENAR.
  3. Dosa (Kebencian) = byāpāda (memusuhi, itikad buruk): TAMPAK MENJEMUKAN/MENJIJIKKAN (paṭighanimitta) karena PERHATIAN TIDAK BENAR

    [AN 3.68 (moha, rāga, dosa). AN 3.66 (moha = avijjā, lobha = abhijjhā, dosa = byāpāda); AN 3.69, AN 6.39, MN 9 dan It.50 (moha, lobha, dosa); SN 35.28 (moha, rāga, dosa), MN 148 (avijja, rāga, paṭigha). It 68 & 69 (moha/avijja, rāga, dosa), SNP 3.12 (avijja = mahāmoho)]
Akibat 3 hal tersebut: Pikiran tercemari (abyāsittacittassa) atau terjadi penyesalan (vippaṭisāro) [AN 10.2/11.1,2/DN 13] → mengarungi Samsara.

Oleh karenanya,
"Sabbapāpassa akaraṇaṃ, kusalassa upasampadā; Sacittapariyodapanaṃ
Segala hal buruk tidak dilakukan, Lakukan hal-hal bermanfaat, sertai dengan pikiran murni" [DN 14, Dhammapada syair no.183]

paṭiccasamuppādaññeva sādhukaṁ yoniso manasi karoti (pikirannya sepenuhnya memperhatikan dengan benar tentang sebab kemunculan): iti imasmiṁ sati idaṁ hoti (saat diingat itu menjadi ada); imassuppādā idaṁ uppajjati (itu muncul maka menjadi ada); imasmiṁ asati idaṁ na hoti (saat tidak diingat itu menjadi tidak ada); imassa nirodhā idaṁ nirujjhati yadidaṁ (itu lenyap maka menjadi tidak ada)' [SN 12.21, 37, 41, 49-50, 61-62, SA.358, Ud.1]

→ agar pikiran tidak tercemari hal buruk (abyāsittacittassa) [SN 35.97] atau agar terjadi ketidakmenyesalan (avippaṭisāro) [DN 14, AN 10.2/11.2] atau 5 rintangan menghilang (pañca nīvaraṇe pahīne) [DN 13]
→ pikiran tidak tercemari hal buruk / ketidakmenyesalan / 5 rintangan menghilang, menimbulkan sukacita (pāmojjaṃ jāyati)
→ sukacita menimbulkan riak kegiuran (pamuditassa pīti jāyati)
→ riak kegiuran membuat tenang/lega (AN 11.1: Pīti..passaddhānisaṃsā) atau pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman dirasakan (AN 10.2/11.2/DN 13: pītimanassa kāyo passambhati)
→ lega/tenang menimbulkan perasaan menyenangkan (AN 11.1: Passaddhi..sukhānisaṃsā) atau tubuh yang nyaman terasa menyenangkan (AN 10.2/11.2/DN 13: passaddhakāyo sukhaṃ vedeti/vediyati)
→ pikiran di keadaan senang, menjadikannya terpusat (sukhino cittaṃ samādhiyati. cittaṃ samādhiyati = Samāhita/pikiran terpusat = pamādavihārī/berdiam tekun)
    Note:
    [Alur di atas adalah KUNCI YANG HARUS MUNCUL KETIKA MELAKUKAN HAL KUSALA/BERMANFAAT APAPUN (lihat DN 13, perumpamaan hutang lunas, sembuh sakit berat, bebas dari penjara, pulang dari padang pasir) dan hasilnya, HARUS SELALU meninggalkan hal tidak bermanfaat. Misalnya sebagai contoh perbuatan Kusala dalam SN 46.3: bahkan hanya melihat para bhikkhu (yang sempurna dalam: moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan, mengetahui melihat kebebasan) saja sudah cukup membantu ... bahkan hanya mendengarkan mereka … bahkan hanya mengunjungi mereka … bahkan hanya melayani mereka … bahkan hanya mengingat mereka … bahkan hanya menerima pelepasan keduniawian dari mereka sudah cukup membantu..Karena ketika seseorang telah mendengarkan Dhamma (ajaran) dari para bhikkhu mereka berdiam dalam keterasingan jasmani (karena dekat/mendekati mereka) dan keterasingan mental (menggali ajaran dan makna)

    Kemudian mengalami alur di atas: Pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat. Setelah MENDAPAT KUNCI AWAL ini, terbuka peluang TERLAHIR DI ALAM BAHAGIA dan/atau mencapai jhāna dan/atau bahkan mencapai PEMBEBASAN/NIBBANA]. Pīti = kegiuran atau ke-merinding-an/riak halus yang berpendaran/merayapi tubuh/sekujur tubuh
→ menjadi mengetahui melihat sebagaimana adanya (Yathā bhūta ñāṇa dassana) → menjadi tidak terkesan (nibbidā) → menjadi tidak menginginkan (viraga) → mengetahui melihat pembebasan (vimuttiñāṇadassana) [Gabungan AN 10.2/11.1-2; DN 13 dan SN 35.97]

Perjalanan Kebuddhaan Sidharta Gautama:
    mengingat ragam kehidupan lampau-Nya: 1 kelahiran, 2, 5, 10, 50, 100, 1000, 100.000, banyak Kappa menyusut/kontraksi, banyak Kappa mengembang, banyak Kappa kontraksi dan mengembang (anekepi saṃvaṭṭakappe anekepi vivaṭṭakappe anekepi saṃvaṭṭavivaṭṭakappe)[..]. Pengetahuan pertama pada malam waktu pertama (rattiyā paṭhame yāme)[..]
    melalui mata dewaNya, melihat makhluk-makhluk wafat dan muncul kembali di ragam alam, terhubung dengan karma mereka sendiri dibedakan menjadi inferior/superior, penampilannya baik/buruk, beruntung/sial;[..]. Pengetahuan ke-2 pada malam waktu tengah [rattiyā majjhime yāme][..]
    pengetahuan penyebab, cara penghancuran noda (asavakkhaya ñãna) dan mengakhir kelahiran kembali [..]. Pengetahuan ke-3 pada malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme] [MN 36]

    Kappāni viceyya kevalāni (Setelah menyelidiki seluruh Kappa);
    Saṁsāraṁ dubhayaṁ cutūpapātaṁ (dua sisi perjalanan kematian-kelahiran);
    Vigatarajamanaṅgaṇaṁ visuddhaṁ (membersihkan debu kekotoran pikiran, memurnikannya);
    Pattaṁ jātikhayaṁ tamāhu buddhan”ti (mencapai hancurnya kelahiran, disebut yang telah memutus rantai penjelmaan) [SNP 3.6/Sabhiya]

    Note:
    Arti "Kappa" (1) "masa/waktu"; (2) "bentukan (pada saṅkhāra/saṅkhata), kehendak (pada sankappa), keinginan dan pandangan", misal di SNP 3.6 yang sama: "..Devamanussesu kappiyesu, Kappaṁ neti tamāhu nhātakoti...Kappaṁ neti tamāhu ariyoti..", arti kappa = bentukan/kehendak. Oleh karenanya, "masa/waktu" adalah juga bentukan. Kata "saṁsāra" = pengembaraan/perjalanan yang tak berkesudahan

    Teks menyebutkan di malam hari, terdapat 3 yāma (atau prahara): (1) paṭhama/pertama [misal: DN 16, MN 36, dll] = purima/awal [Mnd 14, Mil 3.2.1]; (2) majjhima/tengah dan (3) pacchime [DN 16, MN 36, Mnd 14, dll]. Menurut aṭṭhakathā (Buddhaghosa, abad ke-5): Sammohavinodani 12/jhānavibhanga: "waktu siang-malam/rattindivassa dibagi 6 bagian/chaṭṭha-koṭṭhāsa", artinya lama waktu tersebut per ± 4 jam.

    Bhāskara I (matematikawan, abad ke-7, Āryabhaṭīya 3.2/Āryabhaṭīya 2.176) juga Śrīdhara Svāmin (abad ke-14, komentator Bhāgavata purana): Siang sampai malam (ahorātra) = 8 yāma/prahara (siang: 4, malam: 4). 1 yāma/prahara bergantung musim = 6 atau 7 ghaṭikā (misal: musim dingin, siang, 1 yāma = 6 ghaṭikā; malam, 1 yāma = 7 ghaṭikā). Bhaskara II (matematikawan, abad ke-12): 1 yāma = 7.5 ghaṭikā. Fajar dan Senja (karena bukan malam dan siang), masing-masingnya = 4 ghaṭikā (atau 2 muhūrta).

    India kuno menghitung 1 ahorātra = 30 muhūrta = 60 ghaṭi/ghaṭikā atau (nādī/nāḍikā; nāli/nālikā atau daṇḍa), dari habisnya air dalam wadah berbentuk mangkok (ghaṭikā) atau tabung silinder (nāḍikā/nālikā) [misal: Arthasāstra 2.20.35; Brahmavaivarta Purana, prakṛti-khaṇḍa 54.27-28 atau di Āryabhaṭa Siddhānta] atau di Srilanka jaman Buddhaghosa, dalam atthakatha Majjhima Nikaya (1.122): Bikkhu Kāḷadeva dari vihara Vajagara[giri], mengetahui waktu tanpa menggunakan yāmayantanāḷikaṃ (yanta = alat. nāḷika = tabung air). Dari hasil wadah air tersebut, 1 ghaṭi/ghaṭikā = 24 menit, 1 muhūrta = 2 ghaṭi/ghaṭikā (48 menit), 1 ahorātra = 30 x 48 = 1440 menit (= 24 jam waktu modern) dan 1 yāma = 7.5 ghaṭikā (7.5 x 24 = 180 menit).

    Karena sutta menyebutkan 3 yāma di malam hari, maka sisanya adalah 1 yāma di waktu fajar, 3 yāma di siang hari dan 1 yāma di waktu senja, totalnya 8 yāma. Jika senja adalah jam 18.00, maka 1 yāma terbagi di sebelum dan sesudahnya, masing-masing 90 menit, dari sisi ini, paṭhame/purime yāme: setelah 90 menit + 180 menit (19.30 - 22.30), majjhime yāme (22-30 - 01.30) dan pacchime yāme (01.30 - 04.30).
Dan syair beliau setelah mencapai kebuddhaan:
    Anekajāti samsāraṃ (Mengembarai ragam kelahiran kembali)
    sandhāvissaṃ anibbisaṃ (perjalanan sia-sia)
    'Gahakāraṃ' gavesanto (mencari 'Pembuat Rumah')
    dukkhā jāti punappunaṃ (menyakitkan, terlahir lagi dan lagi)
    Gahakāraka diṭṭhosi (Pembuat Rumah, telah ditemukan)
    puna gehaṃ na kāhasi (tak lagi dapat membuat rumah)
    sabbā te phāsukā bhaggā (semua sendimu telah hancur)
    gahakūṭaṃ visaṅkhataṃ (atapmu telah dilucuti)
    visaṅkhāragataṃ cittaṃ (bentukan pikiran telah dilucuti)
    taṇhānaṃ khayamajjhagā (belitan kehausan telah dihancurkan) [Dhammapada syair 153-154]
'Si Pembuat Rumah' adalah kehausan (taṇhā)
    kehausan (taṇhā) yang disertai ketagihan dan kesenangan (nandirāgasahagatā), mencari kesenangan pada ini-itu (tatratatrābhinandinī) mengarah kepada kelahiran kembali (ponobbhavikā), haus akan: kesenangan indriya, menjadi sesuatu dan tidak menjadi sesuatu (kāmataṇhā, bhavataṇhā, vibhavataṇhā) [SN 56.11/Dhammacakkappavattana, tentang Dukkhasamudaya/Asalmula ketidakpuasan/penderitaan]

    Anamataggoyaṃ, bhikkhave, saṃsāro (Tak berkesudahan, Para Bhikkhu, samsara/kelahiran kembali). Pubbā koṭi na paññāyati avijjānīvaraṇānaṃ sattānaṃ taṇhāsaṃyojanānaṃ sandhāvataṃ saṃsarataṃ. (Titik awal tak terlihat terhalang ketidaktahuan para makhluk yang terbelenggu kehausan diperjalanan samsara) [SN 15.1, SN 22.9, SN 56.35, dll]. Dua hal kekotoran/noda pikiran adalah taṇhā dan avijjā (dve dhammā cittassa upakkilesā— taṇhā ca avijjā ca) [Ne 20]

    Avijjā muncul karena noda-noda (āsava: kāma/hasrat indriya, bhava/penjelmaan, avijjā/ketidaktahuan) dan noda-noda muncul karena avijjā. [MN 9]

    munculnya ini” adalah sebagai makanan (Tadāhārasambhavanti), dengan lenyapnya makanan maka apa yang muncul akan lenyap (Tadāhāra-nirodhā yaṃ bhūtaṃ, taṃ nirodhadhammanti) [MN 38]
Sang Buddha menyampaikan 4 "makanan" (āhārā) yang merupakan penunjang keberadaan para makhluk dan sebagai kelangsungan untuk menjadi (bhūtānaṃ vā sattānaṃ thitiyā), yaitu jika:
  1. makanan/asupan material (Kabaḷīkāro āhāro) dipahami sepenuhnya [diantaranya dengan tanpa keserakahan dan keinginan, pilih-pilih, rakus, mengutamakan diri, berdelusi dengan yang dimakan, merindukannya lagi, menimbun, bangga, meremehkan, dan bertengkar], maka hasrat akan 5 utas kenikmatan indriya [panca kamaguna: bentuk, suara, bebauan, kecapan, objek sentuh yang dikenali mata, telinga, hidung, lidah dan badan yang diinginkan, disukai, menyenangkan, terhubung dengan kenikmatan indriya, menggoda] juga dipahami sepenuhnya..

  2. makanan kontak/phassāhāro [hasil pertermuan indriya dan objeknya memunculkan kesadaran indriya. indriya+objek+kesadaran = kontak] dipahami sepenuhnya, maka 3 jenis perasaan (menyenangkan, menyakitkan, bukan keduanya) juga dipahami sepenuhnya..

  3. makanan kehendak pikiran (mano­sañ­ceta­nā­hāro) dipahami sepenuhnya, maka 3 bentuk taṇhā (kehausan akan: kesenangan indriya, menjadi atau tidak menjadi sesuatu) juga dipahami sepenuhnya..

    Manosañcetana: mano: pikiran + san/sam: bersama, tergabung + cetana
    Cetana adalah apa yang dipikirkan [ceteti], dipertimbangkan/dirancang/pikir ulang [pakappeti] dan dicenderungi/bersemayam [anuseti] → menyokong kesadaran → menjadikan sesuatu di kemudian hari [SN 12.38]
    Apa yang dikehendaki, direncanakan dan kecenderungan apa pun yang dimiliki seorang, menjadi dasar pemeliharaan kesadaran/viññāṇa. Jika ada dasar maka ada dukungan terbentuknya kesadaran. Ketika kesadaran terbentuk dan telah berkembang, maka ada produksi penjelmaan kembali. Jika ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, dengan kelahiran sebagai kondisi, muncul penuaan-dan-kematian, mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan Dukkha/penderitaan ini [SN 12.38-39]

  4. makanan kesadaran (viññāṇāhāro) dipahami sepenuhnya, maka nāmarūpa (mentalmateri/makhluk) juga dipahami sepenuhnya.. [SN 12.63]
taṇhā dan avijjā pun makanan, memiliki rantai penyebab kemunculan, memiliki makanan yang membuatnya: ada, tumbuh juga berkembang.
    Titik awal haus menjadi sesuatu/Bhavataṇhā, tidak terlihat sedemikian bahwa sebelum ini tidak ada haus menjadi sesuatu dan setelahnya menjadi ada. Makanan haus menjadi sesuatu adalah avijjā (Ketidaktahuan) [AN 10.62, 61], dengan Ketidaktahuan juga bentukan kegelapan (avijjāya tveva tamokāyassa) lenyap bersih tanpa sisa (asesavirāganirodho): ‘Ini damai, ini luhur (etaṃ santaṃ etaṃ paṇītaṃ yadidaṃ), tenangnya segala bentukan (sabbasaṅkhārasamatho), lepasnya segala kelekatan (sabbūpadhipaṭinissaggo), hancurnya kehausan (taṇhākkhayo), tidak ada minat (virāgo), berhenti (nirodho), padam (nibbāna)’ [SN 48.50]

    (taṇhā ← (muncul karena) Vedana/perasaan. Perasaan ← phassa/kontak Indriya. Kontak indriya ← saḷāyatana/6 landasan indriya (mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran). 6 landasan indriya ← nāmarūpa/mentalmateri. Mental-materi ← viññāṇa/keadaan menyadari. Keadaan menyadari ← saṅkhārā/paduan kondisi/kehendak. Paduan kondisi/kehendak muncul karena ketidaktahuan/avijjā - DN 15, SN 12.2)

    Makanan Ketidaktahuan adalah Panca Nivarana (5 rintangan: (1) hasrat indriya/kamacchanda, (2) itikad buruk/memusuhi/byapada, (3) malas-lamban/thina-midha, (4) kegelisahan-kecemasan/uddhacca-kukkucca dan (5) keraguan/vicikiccha), baik internal/dalam diri sendiri maupun eksternal/di luar diri sendiri, sehingga menjadi 10 rintangan [SN 46.52]

    5 rintangan adalah juga bagian dari kekotoran mental/upakkilesa (MN 3, 7, 8, 40, 128, AN 4.61, SN 46.37 dan SNP 3.2). 5 rintangan adalah penyebab: kegelapan, ketiadaan penglihatan, ketiadaan pengetahuan; melenyapkan kebijaksanaan, di sisi kehancuran, menjauhkan dari Nibbāna (Pañcime nīvaraṇā andhakaraṇā acakkhukaraṇā aññāṇakaraṇā paññānirodhikā vighātapakkhiyā anibbānasaṁvattanikā) [SN 46.40]. Bagaikan Sungai Aciravatī yang penuh dengan air sampai ke tepinya ... dan seseorang datang ingin menyeberang, … dan berbaring di tepi sebelah sini, menutup kepalanya dengan selendang..Dapatkan orang itu menyeberang ke tepi sebelah sana?’ ‘Tidak,..’ ‘Demikian pula, dalam disiplin Ariya 5 rintangan ini disebut halangan (āvaraṇa), rintangan (nīvaraṇā), selubung (onāhanā), pembungkus (pariyonāhanā) [DN 13] juga: 5 kekotoran/noda pikiran, (cittassa upakkilesā) pembuat pikiran tidak lunak (na mudu), tidak dapat diolah (na kammaniyaṁ), tidak bersinar (na pabhassaraṁ), rapuh (pabhaṅgu) dan tidak terkonsentrasi benar untuk kehancuran noda (na sammā samādhiyati āsavānaṁ khayāya) [SN 46.33] atau kekotoran/noda pikiran (cetaso upakkilesā) pelemah kebijaksanaan (paññāya dubbalīkaraṇā) [SN 46.37] atau hal yang tidak bermanfaat (akusalā dhammā) [AN 5.52, Vb 12]

    Terkait frase "lepas dari kenikmatan indria, lepas dari hal yang tidak bermanfaat (vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehī)", yaitu hal yang harus telah dilakukan, sebelum brahmavihārā, pencapaian: jhāna, persepsi dan kesucian [misal: AN 5.51, 11.16, MN 99, MN 40, SN 46.54, SN 46.56, DN 2, 13, 4.123, DN 22, MN 119]: kenikmatan indriya (kāmā: terkait kāmaguṇā/5 utas kenikmatan indriya: mata, telinga, hidung, lidah, badan): keinginan adalah kenikmatan indriya, hasrat adalah..., hasrat keinginan adalah..., kehendak adalah kenikmatan indriya, ...hasrat.., kehendak hasrat kenikmatan indriaya (Chando kāmo, rāgo kāmo, chandarāgo kāmo, saṅkappo kāmo, rāgo kāmo, saṅkapparāgo kāmo) [MN 99, Vb 12]...yang disebut kumpulan hal yang tidak bermanfaat (akusalarāsi) = 5 rintangan/nivarana [SN 47.12, AN 5.52, Vb 12] atau dengan kata lain, maksud dari kāmehi = 5 utas indriya/pañca kāmaguṇā dan maksud dari hal-hal tidak bermanfaat/akusalehi dhammehī atau kumpulan hal tidak bermanfaat/akusalarāsi = keseluruhan dari 5 rintangan/pañca nīvaraṇā

    Makanan 5 Rintangan adalah Tīṇi duccaritāni (Tiga Tindakan Salah Lewat: Tubuh, Ucapan dan Pikiran - Iti no.64)

    Oleh karenanya 3 hal dimurnikan (soceyyā): meninggalkan/paṭivirato perbuatan: tubuh/kāya (menyakiti kehidupan/pāṇātipātā, mengambil yang tidak diberikan/adinnādānā dan bukan cara hidup brahma/cara duniawi/abrahmacariya); ucapan/vacī (menyatakan yang tidak benar, memecah belah, kasar, sia-sia/gosip/musāvādā, pisuṇāya vācāya, pharusāya vācāya, samphappalāpā) dan pikiran/mano (terkait 5 nivarana) [AN 3.121]

    Makanan 3 tindakan salah adalah indriya-a-saṃvara (Tidak mengendalikan Indriya)
    Makanan tidak mengendalikan Indriya adalah asati-asampajāna (Tidak berdaya ingat kuat, cerdas dalam mengingat, ingat akan ingatan, perkataan dan perbuatan yang telah lama (AN 5.14) - Tidak sepenuhnya mengetahui kemunculan-berlangsungnya-berakhirnya vedana/Perasaan, vitakka/awal pemikiran/(pikiran yang) menggenggam dan sañña/persepsi (SN 47.35)

    terdapat frase, "kokoh/kuat dalam ingatan yang tidak kacau/lengah (upaṭṭhitā sati asammuṭṭhā)" (iti 111, AN 4.12) dan "kokoh/kuat dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (upaṭṭhitassatissa sampajānassa)" (AN 5.210/Muṭṭhassati/pikiran lengah, AN 5.167), jadi, "sepenuhnya mengetahui"/sampajāna = "tidak lengah"/asammuṭṭhā (atau, asampajāna = sammuṭṭhā)

    Makanan tidak dalam ingatan - tidak sepenuhnya mengetahui adalah ayonisomanasika (pengarahan pikiran/perhatian tidak benar)
    Makanan pengarahan pikiran/perhatian tidak benar adalah assaddhiya (ketidakpercayaan)
    Makanan dari ketidakpercayaan adalah assaddham-massavanna (mendengarkan bukan dhamma sejati)
    Makanan dari mendengarkan bukan dhamma sejati adalah asappurisasaṃseva (bergaul dengan orang yang buruk) [AN 10.61; AN 10.62]

    Bergaul dengan orang baik (Sappurisasaṁsevo) → dapat mendengarkan Dhamma Sejati (saddhammassavanassa) → Keyakinan (saddhāya) → Perhatian Benar (yonisomanasika) → dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (satisampajañña) → Pengendalian Indria (indriyasaṁva) → 3 Tindakan Benar (Tīṇi sucaritānī: Pikiran, ucapan, perbuatan) → 4 Landasan Ingatan (cattāro satipaṭṭhānā) → 7 Faktor Pencerahan (satta bojjhaṅgā) → Pengetahuan Pembebasan (vijjāvimutti: Pembebasan Pikiran/Cettovimutti dan Pembebasan Kebijasanaan/Paññāvimutti) → Padam (nibbana) [AN 10.61; AN 10.62]
Disebut avijjā karena tidak mengetahui:
  1. 4 Kebenaran Mulia (cattāri ariyasaccāni): (1) Dukkha, (2) Asal-mula dukkha/dukkhasamudaya, (3) Lenyap dukkha/dukkhanirodha dan (4) Jalan melenyapkan dukkha/dukkhanirodhagāmini: 8 Jalan Utama (ariya aṭṭhaṅgika magga) [SN 12.2, 56.17, SN 22.126. 22.133 (dukkha diganti pañcakkhandhā)]

  2. 3 ciri umum/Tilakkhana:

    Para bhikkhu, MUNCUL atau TIDAKNYA para Tathāgata di dunia, terdapat hal yang tetap, yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:

    SEGALA YANG BERKONDISI TIDAK KEKAL (Sabbe saṅkhārā aniccā)..
    SEGALA YANG BERKONDISI TIDAK MEMUASKAN (sabbe saṅkhārā dukkhā)..
    SEGALA HAL (berkondisi, terkondisi, tak terkondisi) BUKAN IDENTITAS (DIRI/AKU) (Sabbe dhammā anattā).. [Dhammapada; syair 277-279; AN 3.136]

    Note:
    Karena ADA atau TIDAKnya Buddha, beberapa hal AKAN TETAP ADA, maka kebenaran di Buddhism pun dibedakan menjadi:

    1. Kebenaran relatif (Sammuti-sacca): bergantung waktu, tempat dan keadaan.
    2. Kebenaran Mutlak (Paramattha-sacca): tidak bergantung: waktu (dulu, sekarang dan masa datang akan sama), tempat (di manapun akan sama) dan keadaan, tidak tergantung ada/tidaknya para Buddha

    sabbe: semua/segala (yaitu terkait yang dilekati, pañcu­pādā­nak­khan­dhā)

    saṅkhāra/saṃskāra: saṅ/saṃ (bersama, gabungan) + khāra/skāra atau kriya = perbuatan: (1) bentukan yang berkondisi; (2) bentukan pikiran, ucapan perbuatan yang dihasilkan melalui kehendak. Jadi: yang berkondisi adalah bentukan-bentukan dari ucapan, pikiran dan perbuatan melalui kehendak;

    anicca: (1) an+icca/suka = tidak suka atau; (2) a+nicca/kekal = tidak kekal. Dalam banyak sutta sang buddha menyampaikan pertanyaan perbandingan yang berlawanan: "niccaṃ vā aniccaṃ vā”ti?", maka anicca = a+nicca = tidak kekal;

    dukkha: du/dur: jelek/buruk/sulit/sakit/terlukai + kha: ruang/keadaan = tidak nyaman/memuaskan/menyenangkan; mengecewakan, tidak dapat diandalkan; sulit dipertahankan; tidak stabil;

    dhamma: saṅkhāra (berkondisi) + sankhata (terkondisi) + asankhata (tidak terkondisi). 3 ciri “terkondisi”: TERLIHAT (paññāyati): MUNCUL (uppāda), LENYAP (vayo/bhanga) dan KELANGSUNGANNYA (ṭhitassa). 3 ciri “tidak terkondisi”: TIDAK TERLIHAT ADA: kemunculannya, kelenyapannya dan perubahannya [AN 3.47]. Contoh TIDAK terkondisi: Nibbana (Udena 8.3, Thag 16.1) dan inipun an-atta

    anatta: an+atta: "an" = "tidak/bukan“ "tidak ada". Arti "atta" = a+d+ta, "ādadāti"/mengambil/menahan/menerima. "atta" = sesuatu yang dianggap tidak berubah oleh karenanya tidak menyebabkan kekecewaan, identitas (diri). Sample: ~bhāva = menjadi bentuk/individu, ~hita = Kesejahteraan diri. Untuk “ada atta” dan “tidak ada atta”, misal SN 44.10: “Bagaimana, Guru Gotama, apakah ada diri (kiṃ nu kho, bho gotama, atthatta/atthi+atta)? .. Kalau begitu, Guru Gotama, apakah tidak ada diri (Kiṃ pana, bho gotama, natthatta/nathi+atta)?”
    Kata “atta” (pali) = “atma” (sanskrit). Atma (sanskrit) = jiwa, roh atau sesuatu yang kekal, inti dari makhluk. Sementara dalam pali, cakupan arti “atta” BUKAN HANYA jiwa/roh namun juga IDENTITAS APAPUN atau SEGALA APAPUN baik itu: bentukan/materi (rupa) atau perasaan/vedana atau persepsi/sañña atau bentukan yang muncul dari kehendak/saṅkhāra atau kesadaran/viññāṇa yang DILEKATI, yang DIANGGAP KEKAL, STABIL/TETAP ADA, ABADI dan TIDAK TUNDUK PADA PERUBAHAN alias TIDAK MENGARAH PADA HASIL YANG MEMBUATNYA MENDERITA/KECEWA/SAKIT:

      ”apakah, yang para bijaksana dunia ini katakan tidak ada (natthisammataṃ loke paṇḍitānaṃ), dan Aku juga katakan bahwa itu tidak ada (ahampi taṃ ‘natthī’ti vadāmi)?

      [materi/bentukan.. perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran] sebagai yang kekal (nicca), stabil/tetap ada (dhuva), abadi (sassata), tidak tunduk pada perubahan (avipariṇāmadhamma): ini yang para bijaksana dunia ini katakan tidak ada, dan Aku juga katakan bahwa ini tidak ada.

      Dan apakah, yang para bijaksana dunia ini katakan ada (atthisammataṃ loke paṇḍitānaṃ), yang Aku juga katakan bahwa itu ada (ahampi taṃ ‘atthī’ti vadāmi)?

      [Bentukan ..Perasaan … Persepsi … Bentukan kehendak … Kesadaran] sebagai yang tidak kekal (anicca), penderitaan (adhuva), dan tunduk pada perubahan (vipariṇāmadhamma): ini oleh para bijaksana di dunia ini dikatakan ada, dan Aku juga mengatakan bahwa ini ada.

      Bentukan.. Perasaan … Persepsi … Bentukan kehendak … Kesadaran adalah suatu fenomena-dunia (loke lokadhammo). [SN 22.94]

      Kata “loke” jika diganti dengan kata benda/sifat lainnya atau bahkan dengan kata “tathagata/sang Buddha” sekalipun, juga tidak kekal dan/atau tunduk pada perubahan, maka itu juga fenomena-fenomena/lokadhammo dan SEGALA HAL (berkondisi, terkondisi, tak terkondisi) adalah bukan identitas (diri/aku)/anatta

    Atau memahami anatta, melalui sutta berikut:

    Gumpalan besar buih dapat terbawa oleh sungai Ganga. Seseorang yang berpenglihatan: dapat melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar (passeyya nijjhāyeyya yoniso upaparikkheyya). Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa/ritta, kosong/tuccha, tanpa inti/asāra, Karena, para Bhikkhu, inti apa yang ada dalam gumpalan buih? (Kiñhi siyā, bhikkhave, pheṇapiṇḍe sāro?)
    Dengan cara yang sama, para Bhikkhu bentukan/materi (rūpaṁ) apapun di—masa lalu, masa depan, atau masa kini; internal atau eksternal; kasar atau halus; inferior atau superior; dekat atau jauh—Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti. Karena, para Bhikkhu, inti apa yang ada dalam bentukan/materi?

    Saat itu musim gugur, ketika langit turun hujan lebat, tetesan air besar jatuh, gelembung air muncul dan pecah di permukaan air...Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti, Karena, para Bhikkhu, inti apa yang ada dalam gelembung air?
    Dengan cara yang sama, para Bhikkhu perasaan (vedanā) apapun... Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti. Karena, para Bhikkhu, inti apa yang ada dalam perasaan?

    Saat bulan terakhir musim panas, fatamorgana yang bergoyang-goyang mungkin muncul di tengah hari...Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti, Karena, para Bhikkhu, inti apa yang ada dalam bentuk fatamorgana (marīcikāya)?
    Dengan cara yang sama, para Bhikkhu persepsi (saññā) apapun... Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti. Karena, para Bhikkhu, inti apa yang ada dalam persepsi?

    Seseorang yang menginginkan inti dari kayu (sāra), mencari inti kayu, dengan kapak tajam berkeliaran mencari inti kayu memasuki hutan. Di sana ia melihat pohon pisang besar, lurus, segar, tanpa tandan buahnya. Ia menebangnya di akar, memotongnya di pucuk, mengupas pelepahnya. Ketika ia mengupas pelepahnya, ia tidak akan menemukan kayu yang lunak, apalagi Inti dari kayunya....Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti, Karena, para Bhikkhu, inti apa yang ada dalam pohon pisang (kadalikkhandhe)?
    Dengan cara yang sama, para Bhikkhu bentukan kehendak (saṅkhārā) apapun... Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti. Karena, para Bhikkhu, inti apa yang ada dalam bentukan kehendak?

    seorang ahli ilusi atau muridnya (māyākāro vā māyākārantevāsī) di perempatan jalan, menampilkan tipuan ilusi yang mengaburkan pandangan (māyaṁ vidaṁseyya)...Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti, Karena, para Bhikkhu, inti apa yang terkandung dalam ilusinya (māyāya)?
    Dengan cara yang sama, para Bhikkhu kesadaran (viññāṇaṁ) apapun... Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti. Karena, para Bhikkhu, inti apa yang ada dalam kesadaran?

    Melihat hal ini, seorang ...menjadi TIDAK TERKESAN terhadap bentukan materi, perasaan, persepsi, bentukan kehendak, dan kesadaran. Karena TIDAK TERKESAN (Nibbinda), TIDAK MENGINGINKAN (virajjati). SETELAH TIDAK MENGINGINKAN, MENJADI TERBEBAS DARINYA [virāgā vimuccati].. setelah TERBEBAS DARINYA, dirinya tahu bahwa telah terbebas (vimuttasmiṁ vimuttamiti ñāṇaṁ hoti). Ia mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan (khīṇā jāti), cara hidup brahma/cara non duniawi telah dijalani (vusitaṃ brahmacariyaṃ), apa yang harus dilakukan telah dilakukan (kataṃ karaṇīyaṃ), tak lagi menjadi apapun (nāparaṃ itthattāyāti)

    Bentukan materi bagikan gumpalan buih;
    perasaan bagaikan gelembung air;
    persepsi bagaikan fatamorgana;
    bentukan kehendak bagaikan pohon pisang;
    kesadaran bagaikan trik ilusi;

    Siapapun yang mempertimbangkannya;
    memeriksanya dengan benar;
    adalah kosong, hampa;
    ketika itu dilihatnya dengan benar;

    sehubungan dengan jasmani ini;
    Ia yang luas kebijaksanaannya mengajarkan;
    dengan hilangnya 3 hal (pahānaṁ tiṇṇaṁ dhammānaṁ);
    tubuh tampak terbengkalai;

    vitalitas, panas, dan kesadaran;
    ketika tubuh kehilangannya;
    tergeletak terbaring di sana;
    tanpa disadari menjadi makanan pihak lainnya;

    Demikian rangkaiannya;
    ini ilusi yang menipu si dungu;
    menyatakan untuk mencari si pembunuh (vadhako esa akkhāto);
    padahal tidak ditemukan intinya;

    Secara demikian melihat kelompok (kehidupan) (khandhe);
    seorang Bhikkhu harus berupaya;
    siang ataupun malam;
    dengan sepenuh ingatan untuk mengetahuinya (sampajāno paṭissato)

    untuk menghancurkan semua belenggu,
    melakukan perlindungan bagi dirinya;
    seolah hidup dengan kepala yang sedang terbakar;
    dalam menapaki keadaan tanpa kematian [SN 22.95]
Karena tidak mengetahui dan tidak melihat 3 ciri umum, seseorang mengalami kebingungan/salah paham dalam memperhatikan sehingga muncul akusalamula atau 3 akar tidak bermanfaat[2]:
  1. Moha: PERHATIAN TIDAK BENAR [atau: MEMPERHATIKAN yang TIDAK LAYAK dan TIDAK MEMPERHATIKAN yang LAYAK], maka kekeliruan tahu yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat.
  2. Lobha/raga: TAMPAK INDAH karena PERHATIAN TIDAK BENAR [ayoniso manasikāro], maka ketagihan yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat .
  3. Dosa (Memusuhi/Kebencian/Menolak karena benci/Jijik): TAMPAK MENJEMUKAN/MENJIJIKKAN karena PERHATIAN TIDAK BENAR, maka kebencian yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat. [AN 3.68]
3 hal yang tidak bermanfaat ini yang menjadi sumber dari bentukan-bentukan kamma [AN 3.34].
    O, bhikkhu, kehendak [cetana] untuk berbuat itulah yang Kunamakan Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau pikiran [AN 6.63]
Agar hal-hal tidak bermanfaat tidak menerobos pikiran, menjadi makanan dari bentukan kamma atau agar “Sipembuat rumah, tak lagi dapat membuat rumah”:
  1. Oleh karenanya, singkirkan kekikiran (tasmā vineyya maccheraṁ), atasi noda itu dengan memberikan persembahan (dajjā dānaṁ malābhibhū) [SN 1.32], dikatakan memberi dan perang itu serupa (dānañca yuddhañca samānamāhu) biarpun sedikit dapat menaklukkan yang banyak (appāpi santā bahuke jinanti) [SN 1.33]

  2. Jalankan moralitas/sila dengan sempurna (sīlasampanno) [DN 2, 13]

  3. Indriya dikendalikan (Indriyasaṁvara), jika 6 indriya tidak terkendali (asaṁvutaṁ), maka kondisi buruk tidak bermanfaat berupa kerinduan-kepedihan (abhijjhā domanassā pāpakā akusalā dhammā) akan membanjiri (anvāssaveyyuṁ) [DN 2, 13]

  4. Puas dengan apa yang dimiliki [DN 2, 13]

  5. Agar pikiran tidak kacau, tekun dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (satisampajāna) ketika: maju/mundur; melihat ke: depan/sekitarnya; menekuk/merenggangkan badan; memakai pakaian, membawa sesuatu; makan, minum, mengunyah/menelan, atau mengecap/menelan; membuang air besar/kecil; berjalan, berdiri, duduk, berbaring (salah satu manfaat berbaring dengan sati­sam­pajāna: para devata menjaganya, AN 5.210), terjaga, berbicara, atau berdiam diri (AN 47.2, MN 107, 119), sibuk di pekerjaan, bersantai di rumah bersama anak-anak [AN 6.10, AN 11.12-13]

  6. meninggalkan hasrat indriawi, agar bebas dari kerinduan; menyingkirkan itikad buruk dengan pikiran bersahabat pada kesejahteraan semua makhluk dan kehidupan; menyingkirkan kemalasan dan kelambanan dengan ingatan yang sepenuhnya mengetahui terhadap yang ada dihadapannya; menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran dengan menenangkan pikiran; Tidak meragukan perbuatan bermanfaat [DN 13]
Jika dilakukan dengan rajin, tekun, bersungguh-sungguh, maka ingatan-ingatan dan kehendak-kehendak keduniawian serta hal yang tidak bermanfaat menjadi ditinggalkan. Alurnya (dari melakukan hal-hal di atas):
    → agar pikiran tidak tercemari hal buruk (abyāsittacittassa) [SN 35.97] atau agar terjadi ketidakmenyesalan (avippaṭisāro) [DN 14, AN 10.2/11.2] atau 5 rintangan menghilang (pañca nīvaraṇe pahīne) [DN 13]
    → pikiran tidak tercemari hal buruk / ketidakmenyesalan / 5 rintangan menghilang, menimbulkan sukacita (pāmojjaṃ jāyati)
    → sukacita menimbulkan riak kegiuran (pamuditassa pīti jāyati)
    → riak kegiuran membuat tenang/lega (AN 11.1: Pīti..passaddhānisaṃsā) atau pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman dirasakan (AN 10.2/11.2/DN 13: pītimanassa kāyo passambhati)
    → lega/tenang menimbulkan perasaan menyenangkan (AN 11.1: Passaddhi..sukhānisaṃsā) atau tubuh yang nyaman terasa menyenangkan (AN 10.2/11.2/DN 13: passaddhakāyo sukhaṃ vedeti/vediyati)
    → pikiran di keadaan senang, menjadikannya terpusat (sukhino cittaṃ samādhiyati. cittaṃ samādhiyati = Samāhita/pikiran terpusat = pamādavihārī/berdiam tekun)
    → menjadi mengetahui melihat sebagaimana adanya (Yathā bhūta ñāṇa dassana) → menjadi tidak terkesan (nibbidā) → menjadi tidak menginginkan (viraga) → mengetahui melihat pembebasan (vimuttiñāṇadassana) [Gabungan AN 10.2/11.1-2; DN 13 dan SN 35.97]
Panduan untuk membongkar sendi, merobohkan atap, mencabuti bentukan pikiran dan menghancurkan belitan kehausan agar “si pembuat rumah tak lagi dapat membuat rumah”:
    Segala hal buruk tidak dilakukan, Lakukan hal-hal bermanfaat, sertai dengan pikiran murni [DN 14, Dhammapada syair no.183]

    Note:
    Disebabkan chandā/hasrat indriya, dosā/kebencian, bhayā/ketakutan dan mohā/kebingungan, seseorang berbuat buruk/pāpakamma atau berada di jalan salah/agatigamanāni [DN 31, AN 4.19]

    Membasminya dengan melakukan 3 latihan (ti-sikkha), yaitu: Sila/Moralitas, Samādhi/Pemusatan pikiran dan Paññā/Kebijaksanaan [MN 44 dan It 59] serta melatih 3 latihan tersebut lebih dalam lagi [AN 3.86-92] atau dengan 3 landasan membuat jasa kebajikan (puññakiriyavatthūni): memberi (dana: amisa (materi, pelayanan) atau dhamma (ajaran), menjalankan moralitas, dan melakukan pengembangan/Bhāvanā [AN 8.36, It 60]

    Sehingga Pikiran tidak dicemari hal buruk ... mengalami sukacita ... pikirannya terpusat

    Tidak terlibat dengan para orang dungu (asevanā ca bālānaṁ),
    Terlibat dengan para bijak (paṇḍitānañca sevanā),
    Menghormati yang patut dihormati (pūjā ca pūjaneyyānaṁ):
    Inilah keberuntungan/berkah utama (etaṁ maṅgalamuttamaṁ),

    Tinggal di lingkungan sesuai (patirūpadesavāso ca),
    Karena sebelumnya telah berbuat jasa-jasa kebajikan (pubbe ca katapuññatā),
    dan telah dengan benar mengarahkan diri (attasammāpaṇidhi ca):
    Inilah keberuntungan/berkah utama,

    Berpengetahuan luas juga terlatih (bāhusaccañca sippañca),
    terdidik baik juga disiplin (vinayo ca susikkhito),
    baik tutur katanya (Subhāsitā ca yā vācā):
    Inilah keberuntungan/berkah utama,

    Dapat melayani ibu dan ayah (mātāpitu upaṭṭhānaṁ),
    hidup rukun dengan istri dan anak (puttadārassa saṅgaho),
    Memiliki pekerjaan dan mapan (anākulā ca kammantā):
    Inilah keberuntungan/berkah utama,

    Dermawan dan hidup dalam Dhamma (Dānañca dhammacariyā ca),
    hidup rukun dengan kerabat (ñātakānañca saṅgaho),
    tidak tercela prilakunya (anavajjāni kammāni):
    Inilah keberuntungan/berkah utama,

    Kejahatan menjauhi dan menghindarinya (āratī viratī pāpā),
    terasing dari minuman memabukkan (majjapānā ca saṁyamo),
    memilki kewaspadaan (appamādo ca dhammesu):
    Inilah keberuntungan/berkah utama,

    Memiliki rasa hormat dan rendah hati (gāravo ca nivāto ca),
    mudah puas dan tahu diri (santuṭṭhi ca kataññutā),
    memasuki Dhamma pada saatnya (Kālena dhammassavanaṁ):
    Inilah keberuntungan/berkah utama,

    Memiliki ketahanan/penerimaan dan mudah dinasehati (Khantī ca sovacassatā),
    dapat menemui para petapa (samaṇānañca dassanaṁ),
    terlibat diskusi Dhamma pada saatnya (kālena dhammasākacchā):
    Inilah keberuntungan/berkah utama,

    Terkendali dengan cara hidup brahma/cara non duniawi (tapo ca brahmacariyañca),
    melihat kebenaran-kebenaran Mulia (Ariyasaccāna dassanaṁ),
    mengalami padam (Nibbānasacchikiriyā ca):
    Inilah keberuntungan/berkah utama,

    Bersentuhan dengan hal duniawi (phuṭṭhassa lokadhammehi),
    pikirannya tidak tergerakan (cittaṁ yassa na kampati),
    tidak gundah, tidak ternoda, seimbang (Asokaṁ virajaṁ khemaṁ):
    Inilah keberuntungan/berkah utama,

    Menjadi yang seperti ini (etādisāni katvāna),
    tak terkalahkan dimanapun (Sabbattha maparājitā),
    berada sejahtera dimanapun (Sabbattha sotthiṁ gacchanti):
    Inilah keberuntungan/berkah utama mereka (Taṁ tesaṁ maṅgalamuttaman”ti). [SNP 2.4, KP 5]
Karena diri sendiri adalah pemilik, pewaris perbuatan, berasal dan terkait dengan perbuatan dan memiliki perbuatan sebagai pelindung [AN 5.57] dan diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri (Dhammapada syair no.380) maka HARUS MULAI DARI DIRI SENDIRI: "segala hal buruk yang tidak ingin pihak lain lakukan padanya, maka perbuatan itu juga tidak dilakukannya pada pihak lain".
    Seseorang merenungkan:
    Aku adalah seorang yang ingin hidup, yang tidak ingin mati; aku menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan.., maka jika seseorang:

    1. membunuhku
    2. mengambil dariku apa yang tidak ku berikan: melakukan pencurian
    3. melakukan hubungan seksual dengan istriku [me dāresu cārittaṃ āpajjeyya]
    4. merusak kesejahteraanku dengan kebohongan
    5. memecah-belahku dari teman-temanku dengan ucapan memecah-belah
    6. berkata padaku dengan ucapan kasar
    7. berkata padaku dengan ucapan sia-sia/tanpa tujuan/gosip

    itu tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. dan jika aku:

    1. membunuh orang lain – seorang yang ingin hidup, yang tidak ingin mati, yang menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan
    2. mengambil dari orang lain apa yang tidak ia berikan: melakukan pencurian
    3. melakukan hubungan seksual dengan istri orang lain [parassa dāresu cārittaṃ āpajjeyyaṃ]
    4. merusak kesejahteraan orang lain dengan kebohongan
    5. memecahbelah orang lain dari teman-temannya dengan ucapan memecah-belah
    6. berkata pada orang lain dengan ucapan kasar
    7. berkata pada orang lain dengan ucapan sia-sia/tanpa tujuan/gosip

    itu juga tidak menyenangkan dan tidak disukai orang lain

    Apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku juga tidak menyenangkan dan tidak disukai orang lain juga. Bagaimana mungkin aku dapat melakukannya pada orang lain apa yang tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku?

    Setelah merenungkan demikian, ia:

    1. menanggalkan [paṭivirato]: pembunuhan, mengambil yang tidak diberikan, melakukan perbuatan indriya dengan cara yang salah, kebohongan, ucapan memecah-belah, ucapan kasar dan ucapan tanpa tujuan/gosip

    2. menasihati/mendorong orang lain [parañca..samādapeti] menahan diri dari (veramaṇi): pembunuhan, mengambil yang tidak diberikan,..,dan ucapan tanpa tujuan/gosip

    3. memuji tindakan [vaṇṇaṃ bhāsati] yang menahan diri dari: pembunuhan, mengambil yang tidak diberikan,..,dan ucapan tanpa tujuan/gosip

    Demikianlah perbuatan melalui jasmani dimurnikan dalam 3 aspek. [SN 55.7]
Dalam memurnikan perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran, agar mempertimbangkan perbuatan perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran yang dilakukan:
    "..ketika engkau [ingin/kattukāma, sedang/karomi atau telah/akāsi] melakukan suatu perbuatan [jasmani, ucapan atau pikiran], maka engkau lakukanlah pertimbangan terhadap perbuatan tersebut: ‘Apakah perbuatan yang [ingin, sedang atau telah] kulakukan ini mengarah pada merugikan/menyakiti (byābādhā): diriku, makhluk lain atau keduanya? Apakah ini perbuatan tak bermanfaat yang meningkatkan atau menghasilkan penderitaan/dukkha?’

    Ketika mengetahui: ‘Perbuatan yang [ingin, sedang atau telah] kulakukan ini mengarah pada merugikan diriku, makhluk lain atau keduanya' ini adalah perbuatan tak bermanfaat yang meningkatkan atau menghasilkan penderitaan’, maka:

    [Jika belum] jangan lakukan perbuatan itu
    [Jika sedang] harus berhenti melakukan perbuatan itu
    [Jika telah] haruslah diakui, diungkapkan dan diceritakan perbuatan itu kepada guru/teman bijaksana dalam kehidupan suci. Setelah mengakui, mengungkapkan, dan menceritakannya, maka lakukanlah pengendalian diri di masa depan

    Tapi ketika mengetahui: ‘Perbuatan yang [ingin, sedang atau telah] kulakukan ini TIDAK mengarah pada merugikan diriku, makhluk lain atau keduanya; ini adalah perbuatan bermanfaat yang meningkatkan perasaan menyenangkan,’ maka:

    [Jika belum] lakukan perbuatan itu
    [Jika sedang] lanjutkan perbuatan itu
    [Jika telah] berada di konsekuensi terasa menyenangkan/sukhudrayaṃ dan hasilnya menyenangkan/sukhavipāka, dengan hal bermanfaat itu, latihlah siang - malam

    ..petapa dan brahmana manapun [di masa lampau/atīta, dimasa sekarang/etarahi atau dimasa depan/anāgata] telah/akan memurnikan (parisodhe) perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran mereka berulang kali merefleksikannya secara demikian.. [MN 61]
Dengan tidak berbuat buruk, seseorang sedang di jalan mengembangkan brahmaVihāra dan telah melakukan hal bermanfaat, Ketika memperbanyak hal bermanfaat, Ia mensejahterakan dirinya. Ketika Ia mendorong orang agar tidak berbuat buruk dan melakukan hal bermanfaat, maka Ia mensejahterakan dirinya dan juga orang lain.

BrahmaVihāra:
Penggunaan brahmavihārā, bukan saja dapat mencapai jhāna ke-1 s.d 4, pencapaian persepsi hingga landasan tidak ada apapun dan pembebasan pikiran (cetovimutti) [SN 46.54], juga pencapaian kesucian, misalnya anagami [AN 4.126].

Setelah menjalani kehidupan yang terkendali dengan pengendalian lewat aturan-aturan (pātimokkha saṃvara saṃvuto viharati), mempertahankan perilaku benar (ācāra gocara sampanno), melihat bahaya dalam kesalahan terkecil (aṇumattesu vajjesu bhayadassāvī), melatih diri dalam latihan (samādāya sikkhati sikkhāpadesu) perbuatan jasmani dan ucapan yang penuh manfaat (kāyakamma vacīkammena samannāgato kusalena), berpenghidupan murni (parisuddhājīvo), sempurna dalam moralitas (sīlasampanno), menjaga indriyanya (indriyesu guttadvāro), memiliki ingatan yang sepenuhnya mengetahui (satisampajaññena samannāgato) berpuas diri (santuṭṭho) [DN 2, 13, SN 46.54] atau setelah: lepas dari kenikmatan indria [terkait kāmaguṇā], lepas dari hal yang tidak bermanfaat [terkait 5 nīvaraṇā] (vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehī) [AN 11.16, MN 99, DN 2, 13, SN 46.54]. Di beberapa sutta, penjelasan brahmavihārā disampaikan setelah penjelasan jhāna, namun ini bukanlah sebagai suatu urutan bahwa harus mencapai jhāna dulu baru kemudian dilanjutkan dengan brahmavihārā. Beberapa sutta menunjukan bahwa megembangkan brahmavihārā dilakukan setelah 5 rintangan dilalui [misal MN 40, SN 46.54], karena 5 rintangan pembuat pikiran tidak lunak, tidak dapat diolah, tidak bersinar, rapuh, tidak terkonsentrasi benar untuk kehancuran noda [SN 46.33]
  1. Mettā = abyāpāda (tanpa itikad buruk atau dengan itikad baik, tidak memusuhi, bersahabat) = Lenyapnya dukkhindriyaṃ (rasa sakit tubuh/kāyikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman tubuh/kāyikaṃ asātaṃ atau perasaan menyakitkan tidak nyaman dari kontak jasmani - SN 48.38, 40). Kehendak buruk/permusuhan tidak lagi menguasai pikirannya ((byāpādo cittaṃ pariyādāya ṭhassati, netaṃ ṭhānaṃ vijjati) [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar pihak lainnya sejahtera dan baik (hitasukhupanayanakāmatā)

    (Setelah pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat). Pikiran yang disertai abyāpāda/Itikad baik/tidak memusuhi (mettāsahagatena cetasā memancar ke 1 arah (ekaṃ disaṃ pharitvā viharati), 2 arah, 3 arah dan 4 arah (tathā dutiyaṃ tathā tatiyaṃ tathā catutthiṃ), ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada makhluk alam apapun (termasuk dirinya) (iti uddhamadho tiriyaṃ sabbadhi sabbattatāya sabbāvantaṃ lokaṃ) pikiran yang disertai abyāpāda = mettā memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi (mettāsahagatena cetasā vipulena mahaggatena appamāṇena averena abyāpajjhena pharitvā viharati) [AN 4.125, SN 46.54], dalam versi MN 21: ‘..Tañca puggalaṃ mettā­saha­gatena cetasā pharitvā viharissāma (pikiran mettā memancar ke orang itu), tadārammaṇañca (dalam pikiran yang sama) sabbāvantaṃ lokaṃ (ke segala alam) mettā­saha­gatena cittena vipulena... (pikiran mettā memancar: berlimpah..). Di setelah ini DN 13 ada kalimat: "bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara tanpa kesulitan ke semua arah; begitu pula semua bentukan dan ragam ukuran makhluk, tanpa terkecuali, dengan memperhatikan itu semua dikembangkannya mettā yang bebas dan penuh'. 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma'

  2. Karuṇā = avihiṁsā (tidak ingin mencelakai)/avihesā (tidak kesal, sakit hati) = Disamping telah lenyapnya dukkhindriyaṃ, lenyap pula domanassindriyaṃ (rasa sakit mental/cetasikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman mental/cetasikaṃ asātaṃ atau perasaan menyakitkan tidak nyaman dari kontak pikiran - SN 48.38, 40). Kekejaman/ingin mencelakai/kesal/sakit hati tidak lagi menguasai pikirannya (vihesā cittaṃ pariyādāya ṭhassati, netaṃ ṭhānaṃ vijjati) [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar kesedihan/kemalangan pihak lain hilang (hitasukhupanayanakāmatā)

    (Setelah pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat). Pikiran yang disertai avihiṁsā/tidak kejam/tidak ingin mencelakai (karuṇāsahagatena cetasā) memancar ke satu arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah, ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada makhluk alam apapun (termasuk dirinya), pikiran yang disertai avihiṁsā = karuṇā memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi [AN 4.125; SN 46.54; DN 13]

  3. Muditā = rati (tak adanya ketidakpuasan atau berada dalam kepuasan tanpa membedakan) = Disamping telah lenyapnya: dukkhindriyaṃ + domanassindriyaṃ, maka akibat lenyapnya pīti, lenyap pula sukhindriyaṃ (rasa senang tubuh/kāyikaṃ sukhaṃ + nyaman tubuh/kāyikaṃ sātaṃ atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak jasmani - SN 48.38, 40). Ketidakpuasan tidak lagi menguasai pikirannya (arati cittaṃ pariyādāya ṭhassati, netaṃ ṭhānaṃ vijjati) [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar kesejahteraan pihak lainnya tak terdiskriminasi (hitasukhāvippayogakāmatā)

    (Setelah pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat). Pikiran yang disertai rati/tak adanya ketidakpuasan atau berada dalam kepuasan tanpa membedakan (muditāsahagatena cetasā) memancar ke satu arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah, ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada makhluk alam apapun (termasuk dirinya), pikiran yang disertai muditā = rati memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi [AN 4.125; SN 46.54; DN 13]

  4. Upekkhā = a-rāgo (tidak berwarna/tidak terikat/tidak ada nafsu - AN 6.13)/apaṭigha (tidak menolak akibat jijik/benci - MN 62) = Disamping telah lenyapnya: dukkhindriyaṃ + domanas­sindriyaṃ + sukhindriyaṃ, lenyap pula somanas­sindriyaṃ (rasa bahagia mental/cetasikaṃ sukhaṃ + rasa nyaman mental/cetasikaṃ sātaṃ, atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak pikiran - SN 48.38, 40). Keterikatan/kecondongan tidak lagi menguasai pikirannya (rāgo cittaṃ pariyādāya ṭhassati, netaṃ ṭhānaṃ vijjati) [AN 6.13, MN 62]. Upekkhā = Pikiran yang tidak terlibat/tidak condong/di tengah/tidak berpihak/tenang (majjhattatā cittassa) [Vibhanga 12]. Komentar SnA 1.73: Seimbang tak goyah dalam suka-duka (..kammenā’’ti sukhadukkhesu ajjhupekkhanatā). Upekkhā = upa+ikha. upa = (1) di, di atas, dekat; (2) adil, seimbang, rata. ikha = melihat, memandang, menengok. Jadi Upekkha = tenang-seimbang, tidak berpihak/tidak terlibat (BUKAN tidak perduli). Upekkha perasaan "bukan menyakitkan bukan menyenangkan" (adukkhamasukhaṁ), karena Upekkha adalah kondisi pikiran, sedangkan adukkhamasukhaṁ adalah salah satu jenis perasaan yang muncul setelah kontak indriya. Bhikkhunī Dhammadinnā: tandingan dari "bukan menyakitkan bukan menyenangkan" adalah ketidaktahuan perasaan (adukkhamasukhāya..vedanāya avijjā paṭibhāgo) [MN44]

    (Setelah pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat). Pikiran yang disertai upekkhā/Pikiran yang tidak terlibat/tidak condong/di tengah/tidak berpihak/tenang/arāgo (upekkhāsahagatena cetasā) memancar ke satu arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah, ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada makhluk alam apapun (termasuk dirinya), pikiran yang disertai upekkhā = arāgo memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi [AN 4.125; SN 46.54; DN 13]
...Ini disebut pembebasan pikiran, yang tak terukur (ayaṁ vuccati, appamāṇā cetovimutti) [SN 41.7; MN 43]

Terdapat 11 manfaat ketika pembebasan pikiran melalui tidak memusuhi telah diusahakan, dikembangkan, dan dilatih, dijadikan kendaraan dan landasan, dijalankan, dikokohkan, dan dengan benar dilakukan:

(1) Terlelap dengan nyaman (sukham supati); (2) terjaga nyaman (sukham paṭibujjhati); (3) tidak mimpi buruk (na pāpakaṃ supinaṃ passati); (4) disukai orang (manussānaṃ piyo hoti); (5) disukai makhluk bukan orang (amanussānaṃ piyo hoti); (6) dilindungi Devata (devata rakkhanti) (7) lolos/terhindar dari api, racun dan senjata (nassa aggi va visam va satthaṃ va kamati); (8) pikirannya terpusat dengan cepat (tuvaṭaṃ cittam samādhiyati); (9) raut wajahnya tenang (mukhavaṇṇo vippasīdati); (10) ketika tiba waktunya (untuk wafat) tidak dalam kebingungan (asammūḷho kālaṃ karoti); dan (11) jika tidak menembus lebih jauh, terlahir di alam brahmā (uttari appaṭivijjhanto brahmalokūpago hoti) [AN 8.1, AN 11.15]. Agar tidak tiba waktunya (untuk wafat) karena digigit ular [atau digigit tidak menyuntikan bisa: gigitan kering atau ini] (na hi so..ahinā daṭṭho kālaṃ kareyya).. agar makhluk tak berkaki, berkaki 2, 4, banyak tak mencelakai (ma mam apada.. dvi.. catu.. himsi bahuppado) [AN 4.67]

Sang Buddha menyatakan ada 4 jenis orang di dunia:
  1. TIDAK mensejahterakan dirinya dan TIDAK mensejahterakan orang lain (Ia sendiri TIDAK MELAKUKAN juga TIDAK MENDORONG orang lain melenyapkan ketagihan, kebencian, dan keliru tahu/kebingungan; atau menjalankan 5 sila (pañca bhayāni verāni/pancasila); atau dengan cepat memahami, mengingat, memeriksa makna ajaran, melatihnya, mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya);
  2. mensejahterakan orang lain tapi TIDAK dirinya (Ia MENDORONG orang lain melakukan, namun Ia sendiri TIDAK MELAKUKANNYA), ini lebih unggul dari sebelumnya
  3. mensejahterakan dirinya tapi TIDAK orang lain (Ia MELAKUKANNYA namun TIDAK MENDORONG orang lain melakukan), ini lebih unggul dari sebelumnya; dan
  4. mensejahterakan dirinya dan juga orang lain (Ia MELAKUKANNYA dan juga MENDORONG orang lain melakukan), ini adalah yang terbaik" [AN 4.95, AN 4.96, 4.97-99]
Definisi orang jahat dan orang baik:
    Seorang yang melakukan:

    1. Perbuatan: menyakiti makhluk hidup; mengambil yang tidak diberikan; berprilaku salah dalam kenikmatan indriya; menyatakan yang tidak benar; memecah-belah; berbicara kasar; bergossip; memasukan asupan memabukan yang menjadi landasan kelengahan; kerinduan (abhijjhālu); berpikiran buruk (byāpannacitto) dan berpandangan salah [AN 4.201, AN 4.203, AN 4.204] dan/atau
    2. Tidak berkeyakinan (assaddho); tidak punya rasa malu dalam hal moralitas (ahiriko); Sembrono/menyepelekan/tidak takut berbuat salah (anottappī); kurang pembelajaran (appassuto); malas/kusīto; lengah/pelupa/kacau ingatannya (muṭṭhassati); berpikiran pendek/tidak bijaksana (duppañño) [AN 4.202] dan/atau
    3. Berpandangan salah; berkehendak salah; berucapan salah; berperbuatan salah, berpenghidupan salah; berdaya upaya salah; ber-ingatan salah; berpikiran terpusat yang salah; berpengetahuan salah, dan berpembebasan salah [AN 4.205, AN 4.206]

    disebut orang jahat/asappurisa
    Seseorang yang melakukan hal di atas juga MENDORONG orang lain melakukan hal di atas disebut orang yang lebih rendah dari orang jahat

    Seseorang yang MENINGGALKAN (paṭivirato) hal di atas disebut orang baik/sappurisa
    Seseorang yang MENINGGALKAN hal di atas juga MENDORONG orang lain MENAHAN DIRI (veramani) dari hal di atas disebut orang yang lebih tinggi dari orang baik [AN 4.201-206]
Atau, jika sulit menentukan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk, check dengan:
    jika perbuatan itu dilakukan dan 'kualitas TIDAK BERMANFAAT bertambah dan kualitas BERMANFAAT berkurang dalam diriku’, maka JANGAN DILAKUKAN perbuatan itu, tetapi jika 'kualitas tidak bermanfaat BERKURANG dan kualitas bermanfaat BERTAMBAH dalam diriku’, maka LAKUKANLAH [AN 9.6]
Atau
    Apakah perbuatan tersebut

    1. BERMANFAAT / TIDAK? [kusala/akusala];
    2. DICELA / TIDAK? [anavajjā/sāvajjā];
    3. DIPUJIKAN / DIHINDARI para bijaksana? [viññuppasatthā/viññugarahitā];
    4. MENUJU: bahagia sejahtera / penderitaan? [hitāya sukhāya/a-hitāya dukkhāya saṃvattantīti]

    yang jika dijalankan, membuat atau TIDAK dirinya: tergairahkan, terbanjiri dan tertaklukkan oleh 3 akar tidak bermanfaat (Lobha, Dosa dan Moha)? [AN 3.65/Kesamutti/Kalama Sutta]
Jalan untuk mencabut 3 akar tidak bermanfaat penyebab Dukkha ini disebut 8 jalan mulia dan dikemas dalam ti-sikkha/3 Latihan: Sila/Moralitas, Samadhi/Pemusatan pikiran dan Paññā/Kebijaksanaan. Mulai dengan mempelajarinya (Pariyati), melakukan yang dipelajari (Patipatti) agar mendapat pemahaman (Pativedha), oleh karenanya kemudian dapat:

mengetahui (jānato) dan melihat (passato) bahwa: (segala) yang terkondisi (abhisaṅkhato) hasil dari kehendak (ābhisañcetasiko) adalah TIDAK KEKAL (anicca), AKAN BERAKHIR (Nirodha-dhamma) [MN 121] dan/atau
[bentukan//materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak/kondisi ..kesadaran] APAPUN di masa lalu, depan, atau sekarang, di bagian dalam/luar, kasar/halus, rendah/mulia, jauh/dekat: Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti [SN 22.95].. ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan identitas (diri)-ku.’[SN 22.49]

sehingga, pikiran menjadi terbebaskan (cittaṃ vimuccati) dari noda (āsava): hasrat indriya (kāmāsavāpi), penjelmaan (Bhavāsavāpi, dan ketidaktahuan (Avijjāsavāpi). Ketika terbebaskan muncul pengetahuan (ñāṇa): ‘Terbebaskan’ Ia mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan (khīṇā jāti), cara hidup brahma/cara non duniawi telah dijalani (vusitaṃ brahmacariyaṃ), apa yang harus dilakukan telah dilakukan (kataṃ karaṇīyaṃ), tak lagi menjadi apapun (nāparaṃ itthattāyāti)' [MN 121]
    Sang Bhagava:
    ..dalam dhamma dan vinaya mana pun, jika TIDAK TERDAPAT Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun TIDAK ADA seorang petapa sejati, juga TIDAK ADA petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4. Tetapi dalam dhamma dan vinaya yang mana pun, jika terdapat Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun akan ada petapa sejati, juga ada petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4. Kini, dalam dhamma dan vinaya yang kuajarkan terdapat Jalan Mulia Berunsur 8 itu, maka dengan sendirinya terdapat petapa-petapa sejati, juga petapa-petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4

    Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur 8 adalah kosong dan bukan petapa yang sejati. ..jika para bhikkhu ini hidup dengan baik menurut dhamma dan vinaya, maka dunia ini takkan kekosongan Arahat

    Usia-Ku 29 tahun..
    ketika meninggalkan keduniawian mencari kebajikan
    Sudah lebih dari 50 tahun
    Sejak Aku meninggalkan keduniawian,..
    Bernaung di jalur Dhamma
    Yang di luarnya TIDAK ADA Petapa

    Petapa ke-2 .. ke-3 .. ke-4 TIDAK ADA
    Aliran lainnya mandul Petapa,..
    Tetapi jika para bhikkhu menjalani benar
    Dunia ini tak kekosongan Arahat
    [DN 16] []
---------------

Tingkat Kesucian dan Definisi makhluk Suci

Puthujjana:
makhluk yang BELUM mencapai kesucian yaitu Manusia atau BUKAN manusia (Para Brahma, Deva, Binatang, makhluk halus, Penghuni Neraka). Para bodhisatta (calon Arahat) masuk pada kelompok puthujjana.

Bodhisatta Theravada TIDAK IDENTIK dengan Bodhisattva Mahayana:
  1. Di Theravada, Bodhisatta adalah kata yang khusus digunakan untuk menyebut calon Sammasambuddha. Jadi, ketika seseorang telah menjadi sammasambuddha, maka sebutan dirinya pada fase sebelum tercerahkan adalah Bodhisatta.
  2. Di Mahayana, makhluk apapun yang telah mempunyai bodhicitta/pikiran pencerahan disebut sebagai Bodhisattva. Setiap makhluk dapat menjadi bodhisattva [Vajradhākinīguhyatantra (T, fol. 16a4-5; D, fol 231a3) dan Saddharma pundarika sutra/sutra teratai bab.15]
Ariya-puggalā:
makhluk yang SUDAH mencapai kesucian (Manusia, Deva atau Brahma alam materi dan non materi) minimum sotāpanna: "mereka tidak dapat melakukan suatu perbuatan yang berakibat memunculkannya di alam: niraya, binatang dan makhluk halus" [SN 25.1-10].

Para Bodhisatta TIDAK TERMASUK, karena mereka MASIH DAPAT terlahir di alam: binatang (DN 30, bagian paling bawah:"...Kembali ke alam ini sekali lagi, rahangNya menyerupai rahang raja, DARI SEMUA BINATANG BERKAKI EMPAT, Ia akan menjadi raja yang tidak terkalahkan,.."; Jataka sebagai: Singa/no.157, Gajah/no.72, Sapi/no.30, Kerbau/no.29, Ayam/no.383, Monyet/no.58, dll) dan bahkan hingga Neraka (80.000 tahun di Ussada Niraya - Jataka no.538. Di Apadana 392: Sebagai Munali menyatakan kebohongan tentang Pacceka Buddha Sarabhu, ribuan tahun di Niraya; sebagai Nanda menghina Buddha Sabbābhibhu, 10 ribu tahun di Niraya; Sebagai raja Patthiva membunuh seorang dengan belati, di neraka dalam waktu yang lama).

Urutan tingkat para Ariya-Puggala dari yang tertinggi:
  1. Arahat: Memutus rantai penjelmaan dengan usaha sendiri:

    Arahat: Sammāsambuddha (manusia)
    Arahat: Pacceka Buddha (manusia)

    Ketika baru mencapai padam, pikiran mereka cenderung menuju ketenangan/tidak aktif (appossukkatāya cittaṁ namati) bukan menyampaikan dhamma (no dhammadesanāya), karenanya Brahma Anagami alam sudhavasa mendatangi beliau, memohon untuk mengajar [SN 6.1, MN 26]. Ketika beliau memutuskan untuk memutar roda dhamma (menyampaikan dhamma dan mengorganisirnya agar bermafaat bagi banyak makhluk, diantaranya dengan memembentuk sangha) oleh karenanya disebut arahat dengan jenis Sammasam (dengan benar sempurna) Buddha (yang telah memutus rantai penjelmaan), namun jika tidak memutar roda dhamma, akan disebut Pacceka (sendiri, mandiri) Buddha.

    Para Pacceka Buddha muncul ketika AJARAN SAMMASAMBUDDHA SUDAH LENYAP SEPENUHNYA [DI SINI]. Pacceka Buddha terakhir sebelum kemunculan Buddha Gotama adalah Mātaṅga, Parinibbana ± 7 hari setelah lahirnya Sidharta Gautama, Nama beliau ada di MN 116; Kisahnya: KITAB KOMENTAR (ApA.i.107, ApA.i.170; SNA.i.128f; Mtu.i.357). Para Pacceka Buddha juga dapat mengajarkan '4 Kebenaran Mulia' hingga yang diajari dapat juga memutus rantai penjelmaan (Dhammapada Atthakatha, syair ke-290, tentang Brahmana Sankha dan Susima), namun tidak aktif untuk menemukan mereka yang memiliki 'sedikit debu'

  2. Arahat: Memutus rantai penjelmaan melalui ajaran para Arahat (sammasamBuddha, Pacceka Buddha dan arahat lainnya): Sāvaka Buddha (Brahma, Deva atau Manusia). Arti Savaka = Murid, dapat membimbing lainnya untuk mencapai kesucian.

    Pendapat aliran Andhaka bahwa Bodhisatta Gotama adalah jenis Savaka Buddha, karena pernah jadi murid Kassapa Buddha, sewaktu bernama Jotipala yang diklaim saat itu telah mencapai buah pencapaian (KV.4.8) adalah keliru, karena:

    1. Tidak pernah disebutkan dalam sutta yang sama bahwa setelah menjadi Bhikkhu, Jotipala mencapai kesucian [MN 81]. Buddha Kassapa adalah 1 dari 5 Buddha dalam Bhada Kappa (BV 27.19-20), oleh karenanya, berada dalam kisaran 1 Mahabrahma yang sama (umur 1 Maha Kappa). Dalam Ap 392, terdapat syair terkait Jotipala: "avacāhaṁ jotipālo sugataṁ kassapaṁ tadā (Sebagai Jotipāla, saya berkata terkait Buddha Kassapa), "kuto nu bodhi muṇḍassa? bodhi paramadullabhā! (Bagaimana sibotak ini dapat tercerahkan? Tercerahkan sangatlah jarang?), tena kammavipākena acariṁ dukkaraṁ bahuṁ (karena perbuatan ini, Aku melalui banyak kesulitan pertapaan), chabbassān uruvelāyaṁ tato bodhim-apāpuṇiṁ (Selama 6 tahun di Uruwela, baru mencapai pencerahan)". Kemudian dalam kitab komentar lanjutan (tika athakatha, Visuddhajanavilāsiṇī, pengarang tidak diketahui, bagian Buddha-Apadānavaṇṇanāto): so tena kammanissandena anekajātisatesu (Akibat perbuatan itu, terlahir kembali menjadi beragam makhluk), narakādīsu dukkham-anubhavitvā (mengalami penderitaan dineraka),..,pariyosāne vessantarattabhāvaṁ patvā (akhirnya, terlahir sebagai Vessantara), tato cuto tusitabhavane nibbatto (setelah wafat, terlahir di Tusita)..". Di Jataka no.547: sebelum terlahir menjadi Vesantara, beliau di tavatimsa.

      Oleh karena Jotipala setelah wafatnya, terlahir di Neraka, maka Ia jelas bukan pencapai kesucian

      Sidharta Gautama, sebagai Bodhisatta adalah sejak Buddha Dipankara [Bv 2.1: sebagai Sumedha di 4 asankheyya kappa dan 100 ribu Kappa], sejak itu, beliau disebut Bodhisatta, misal: sebelum di alam Tusita: bodhisatto tusitaṃ kāyaṃ upapajjī’ti (Sang Bodhisatta muncul di alam surga Tusita) [MN 123], sebagai Vidhuro bodhisatto [Jataka no.413/441], sebagai Mahābrahmā bodhisatto [Jataka no.545, akhiran -ā ada kemungkinan bentuk jamak] yaitu sebelum bhada-kappa ini, terlebih lagi, 7 kappa menyusut di alam Brahma Abhasara dan pada 7 kappa mengembang sebagai mahābrahmā, 36 x menjadi Deva Sakka, beratus-ratus kali sebagai raja cakkavattī [Itivuttaka 22], ini menunjukan, telah lebih dari 8 kehidupan sebagai Bodhisatta. Jadi, beliau pernah terlahir di seluruh alam kehidupan kecuali alam suddhāvāsa: "tidak mudah menemukan jenis kelahiran kembali yang aku belum pernah alami, kecuali sebagai para dewa di alam murni (aññatra suddhāvāsehi devehi)" [MN 12]. Disamping itu, bukan hanya sebagai Jotipala saja, beliau berlindung atau menjadi bhikkhu: misal ketika sebagai Atula (Raja Naga) berlindung pada Buddha Sumana; sebagai Brahmana Atideva berlindung pada Buddha Revata; sebagai raja Cakkavati menjadi Bhikkhu jaman Buddha Sujata; sebagai ksatria bernama Vijitàvin menjadi Bhikkhu jaman Buddha Phussa, sebagai Sudassana menjadi bhikkhu jaman Buddha Vessabhu [Budhavamsa, ITC, 2010, hal.73-78]

        Note:
        Walaupun MN 12, telah menyatakan hanya 1 alam saja Bodhisatta tidak pernah terlahir, sehingga pernah pula terlahir di alam Arupa, namun Buddhaghosa berpendapat lain (terkait kisah Jataka no.99 dan no.134, di mana Bodhisatta sebelum wafat menyatakan telah mencapai pencapaian 'tidak ada apapun' dan 'bukan persepsi bukan tanpa persepsi', kemudian terlahir kembali di Alam Ābhassara): "Walaupun Bodhisatta mencapai penguasaan ākiñcaññāyatana, kondisi penerusan kelahiran bodhisatta tidak dapat terjadi di alam arupa. Mengapa? Ini kondisi mustahil (sebagai bodhisatta), Ia dapat saja mencapai perolehan arupa namun akan terlahir di alam rupa (so kiñcāpi ākiñcaññāyatanassa lābhī, bodhisattānaṃ pana arūpāvacare paṭisandhi nāma na hoti. Kasmā? Abhabbaṭṭhānattā. Iti so arūpasamāpattilābhī samānopi rūpāvacare nibbatti)" [Komentar untuk AN, Ekakanipāto: etadaggavaggo]

    2. Di kelahiran terakhirnya sebagai Bodhisatta Gotama, Ia bahkan menjadikan Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta sebagai guru [MN 26], menjadikan petapa dan Brahmana lainnya sebagai guru dalam praktek pertapaan (tapa) dan keterasingan (pavivitto) [MN 12]. Terkait Savaka, sutta menyatakan: "Seorang berpandangan benar (diṭṭhisampanno) TIDAK MUNGKIN menyetujui dengan menyampaikan ajaran dari guru lain/berguru ke lainnya (aññaṃ satthāraṃ uddiseyya) namun MUNGKIN bagi Puthujjana" [MN 115, AN 1.268-276] dan setelah menjalankan ajaran para Petapa dan Brahmana tersebut, termasuk praktek laku sapi hingga memakan kotorannya, permunian lewat makanan, pemujaan api, dll, beliau sendiri menyatakan: "dengan melakukan demikian, dengan prilaku demikian, dengan pertapaan keras menyakitkan demikian (iriyāya tāya paṭipadāya tāya dukkarakārikāya), Aku tidak mencapai (nājjhagamaṃ) kondisi melampaui manusia (uttariṃ manussadhammā) selaknya ariya (alamariya) di perbedaan/pencapaian pengetahuan penglihatan (ñāṇadassanavisesaṃ)." [MN 12. Juga di MN 36 dan MN 85], ini menegaskan jelas bahwa para Bodhisatta adalah bukan makhluk suci, tapi puthujjana;

    3. Terkait pencapaian keBuddhanya, yaitu saat bertemu Upaka: "BagiKu, kepada siapa harus Kutunjuk sebagai guru? Aku tidak memiliki guru.." [MN 26, Vinaya: KD 1.6.7] dan bahwa penembusan 4 Kebenaran Mulia sebagaimana adanya dengan 3 tahap dan 12 aspeknya ditemukannya sendiri: "Ini adalah kebenaran mulia penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal YANG BELUM PERNAH TERDENGAR SEBELUMNYA..." [SN 56.11, 12], ini menegaskan beliau BUKAN Savaka Buddha

    Walaupun semua yang padam disebut Arahat, namun terdapat perbedaan diantara mereka. Disebutkan: 1 Pacceka Buddha = 100 Savaka Buddha (AN 9.20), yaitu yang karena usahanya sendiri lebih besar bobotnya daripada yang karena batuan guru. Disebutkan: 1 Sammasambuddha = 100 Pacceka Buddha (AN 9.20), yaitu di antara yang karena usaha sendiri, maka yang memutar roda dhamma lebih besar bobotnya.

  3. Sāvaka yang orang suci namun NON Arahat (sāvaka = murid, yaitu Para Brahma/Deva/manusia yang telah mencapai kesucian namun belum arahat, yang merupakan murid atau melalui ajaran para Arahat), dengan urutan pencapaian (dari yang terendah): Sotāpanna, sakadāgāmī dan Anāgāmī. Mereka ini juga dapat membimbing lainnya, misal SN 55.54, Sang Buddha mengajarkan cara agar seorang umat awam/upasaka bijaksana (sappañño: sotāpanna atau lebih) dapat menasehati/menghibur umat awam bijaksana lainnya yang tengah sakit keras/menjelang wafatnya.
Pencapaian kesucian terkait dengan SEBERAPA BANYAK dari 10 BELENGGU (Dasa Saṃyojanā: Sakkāya-ditthi, Vicikicchā, Sīlabbataparāmāsa, Kāmarāga, Byāpāda, Ruparāga, Aruparāga, Māna, Uddhacca dan Avijjā) dapat dihancurkan, yang terbagi dalam 5 belenggu lebih rendah (Pañ­co­rambhā­giyāni saṃyojanā: belenggu 1 - 5) dan 5 belenggu lebih tinggi (pañ­cuddham­bhāgi­yāni saṃyojanā: belenggu 6 - 10) (AN 10.13). Prosesnya MULAI DENGAN ingatan-ingatan dan kehendak-kehendak keduniawian serta hal yang tidak bermanfaat HARUS DITINGGALKAN melalui Ti-Sikkha (Sila, Samādhi dan Paññā) dengan melakukan 3 landasan membuat kebajikan (Dāna, Sila, Bhāvanā), sehingga perbuatan-perbuatan buruk, kerinduan/abhijjha, memusuhi - kebencian/Byāpādappadosa dan pandangan salah DAPAT DILAMPAUI yang menuntun pada pikiran yang terpusat/samādhi.

Disebut sebagai magga/berada dalam jalan, ketika berada dalam upaya menghancurkan belenggu-belenggu. Saat berhasil menghancurkan belenggu-belenggu, disebut phala/buah atau hasil. Untuk 5 belenggu lebih rendah, ketika mendekati keadaan hancurnya 3 belenggu, disebut sotāpanna-magga, ketika berhasil menghancurkan 3 belenggu disebut sotāpanna-phala. Ketika 3 belenggu hancur dan mendekati keadaan melemahkan 2 belenggu lainnya disebut sakadāgāmi-magga, ketika berhasil melemahkan 2 belenggu lainnya disebut sakadāgāmi-phala. Ketika 3 belenggu hancur + berhasil melemahkan 2 belenggu dan mendekati keadaan hancurnya 2 belenggu disebut anāgāmī-magga, ketika 5 belenggu lebih rendah hancur disebut anāgāmī-phala. Ketika 5 belenggu lebih rendah hancur dan mendekati keadaan hancurnya 5 belenggu lebih tinggi disebut arahatta-magga. Ketika 10 belenggu hancur disebut arahatta-phala.

I. SOTĀPANNA
(sota/arus + āpanna/telah sampai → buah pencapaian; arti lain: sotā/pendengar, pañña/menaruh/meletakan, sample: Sariputta dan Moggalana hanya mendengar 1 kalimat mencapai sotāpanna); Berada di 8 jalan mulia/utama; Mereka tidak dapat melakukan perbuatan yang berakibat memunculkannya di alam: neraka, binatang, makhluk halus. Karena Bodhisatta masih dapat terlahir sebagai: Binatang dan di Neraka, maka Bodhisatta bukanlah sotāpanna, lebih rendah dari sotāpanna.

Pencapai Sotāpanna harus terlihat dalam 4 faktor pemasuk arus (Catūsu sotāpattiyaṅgesu) [SN 48.8]:

Berkeyakinan tak goyah (aveccappasādena) kepada: (1) Buddha, (2) Dhamma, (3) sangha, dan
(4a) moralitas/sila yang dimiliki para mulia (Ariyakantehi sīlehi samannāgato), yang: tidak rusak (akhaṇḍehi), tidak robek (acchiddehi), tanpa noda (asabalehi), tanpa bercak (akammāsehi), membebaskan (bhujissehi), dipuji para bijaksana (viññuppasatthehi) tidak digenggam (aparāmaṭṭhehi) menuntun ke pikiran terpusat (samādhisaṁvattanikehi) [SN 55.1,2] atau
(4b) Sempurna dalam/Kekayaan kedermawanan (cāgasampanno/sampadā / cāgadhana): yang tinggal di rumah, pikirannya bebas dari noda kekikiran (vigatamalamaccherena cetasā), murah hati (muttacāgo), bertangan terbuka (payatapāṇi), gemar melepas/berdana (vossaggarato), mudah memberi (yācayogo), girang ketika memberi dan berbagi (dānasaṁvibhāgarato) (atau dengan kata lain:) Dan apa pun yang ada di keluargamu, yang dapat diberikan, semuanya tanpa kecuali, diberikan kepada mereka yang beretika/menjalankan moralitas (sīlavantehi) dan berkarakter baik (kalyāṇadhammehi) [SN 55.6, 32, 37; AN 5.47, AN 8.76] atau
(4c) Sempurna dalam/ Indriya / Kekuatan / kekayaan Kebijaksanan (paññāsampanno/sampadā / paññindriya/bala/dhana): seorang mulia bijaksana (ariyasāvako paññavā), terhadap kemunculan dan kelenyapan (udayatthagāminiyā) memiliki kebijaksaan mulia, yang menembus sepenuhnya terhadap kehancuran penderitaan (paññāya samannāgato ariyāya nibbedhikāya sammā dukkhakkhayagāminiyā) [SN 55.33, 43, 37; SN 48.9; AN 5.2, 47; AN 8.76]
    Maksud dari berkeyakinan tak goyah pada Buddha dhamma dan sangha, misalnya:

    “Para bhikkhu, ada 5 kekuatan yang harus dimiliki oleh seorang yang masih belajar. Apakah 5 kekuatan itu? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu, kekuatan rasa takut, kekuatan semangat, dan kekuatan kebijaksanaan. (saddhābalaṁ, hirībalaṁ, ottappabalaṁ, vīriyabalaṁ, paññābalaṁ)

    “Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia yang berkeyakinan. Ia yakin dengan pencerahan Sang Tathāgata (saddahati tathāgatassa bodhiṁ):

    itipi so bhagavā arahaṁ sammāsambuddho vijjācaraṇasampanno sugato lokavidū anuttaro purisadammasārathi satthā devamanussānaṁ buddho bhagavā’ti [demikianlah beliau bhagavā (sang agung/mulia/beruntung) arahaṃ (yang patut di hormati, noda-nodanya telah lenyap, kehidupan suci telah terpenuhi, telah melakukan yang harus dilakukan, tak lagi menanggung beban, telah mencapai tujuan, belenggu KELAHIRAN KEMBALI telah hancur dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir) sammāsam (dengan benar sempurna/seluruhnya) - Buddho (yang telah memutus rantai penjelmaan) vijjācaraṇasampanno (sempurna pengetahuan dan prilaku) sugato (baik/su + arah/tujuannya/gato atau bicaranya/gad) lokavidū (pengenal alam) anuttaro purisadammasārathi (penunjuk jalan tiada banding bagi yang patut dijinakkan) satthā devamanussānaṃ (guru para deva dan manusia) buddho bhagavā ti (sang mulia yang telah memutus rantai penjelmaan)].." [AN 5.2, 12]

    Sehingga untuk berkeyakinan tak goyah pada Dhamma dan sangha, juga mengikuti yang tercantum di Dhammānussati dan Saṅghānussati
Pengelompokan lain 4 faktor pemasuk arus:
(1) Pergaulan dengan orang Mulia (sappurisasaṃseva), (2) mendengarkan dhamma sejati (saddhammassavana. Savana = telinga, mendengar, mengalir. Jadi bukan karena membaca), (3) perhatian benar (yonisomanasikāra: terkait paṭiccasamuppada) dan (4) berprilaku sesuai dhamma dan anudhamma (dhammānudhammappaṭipatti). Arus adalah 8 jalan mulia (pandangan benar..pemusatan pikiran yang benar). Pemasuk arus adalah yang memiliki 8 jalan mulia [SN 55.5, 50; DN 33]. "..bergaullah dengan orang-orang mulia. Ketika bergaul dengan orang-orang mulia, maka akan mendengarkan Dhamma sejati. Ketika mendengarkan Dhamma sejati, maka akan berprilaku sesuai dhamma dan anudhamma. Ketika berprilaku sesuai dhamma dan anudhamma, maka diri sendiri akan tahu dan lihat.. (..sappurise bhajissasi.. saddhammaṁ sossasi.. dhammānudhammaṁ paṭipajjissasi.. sāmaṁyeva ñassasi sāmaṁ dakkhissasi)" [MN 75]

dhammānudhammappaṭipatti
Berprilaku sesuai (paṭipatti) dhamma, anudhamma:

(1) "inilah Dhamma, inilah latihan (vinaya), inilah Ajaran Sang Guru [DN 16, dalam AN 4.180 Dhamma = Sutta] ... karena apa yang telah Kuajarkan dan Kujelaskan kepada kalian sebagai Dhamma dan disiplin akan, saat aku tiada, menjadi guru kalian" [DN 16]. Jadi Dhamma adalah ajaran dari Buddha.

(2) Yaitu "Hal-hal ini mengarah pada: (a) tidak meminati (virāgā) bukan penuh ketagihan (sarāgā); (b) pada keterlepasan (visaṁyogā), bukan pada ikatan (saṁyogā); (c) pada pembongkaran (apacayā), bukan pada pembentukan (ācayā); (d) pada sedikitnya keinginan (appicchatāya), bukan memperbanyak keinginan (mahicchatāya); (e) pada kepuasan (santuṭṭhiyā), bukan pada ketidak-kepuasan (asantuṭṭhiyā); (f) pada kesendirian/mengasingkan diri (pavivekāya), bukan pada kumpulan (saṅgaṇikāya); (g) pada bangkitnya semangat (vīriyārambhāya), bukan pada kemalasan (kosajjāya); (h) pada mudah untuk disokong/tidak membebani (subharatāya), bukan pada sulit untuk disokong/membebani (dubbharatāyā),’ maka harus tegas (ekaṁsena) dikenali: ‘Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru.'" [AN 8.53]

Manfaat mendengarkan dhamma:
(a) Mendengar yang belum pernah didengar (assutaṁ suṇāti), (b) Mengokohkan yang telah didengar (sutaṁ pariyodāpeti), (c) Menghalau keraguan (kaṅkhaṁ vitarati), (d) Meluruskan pandangan (diṭṭhiṁ ujuṁ karoti) dan (5 Menentramkan/menjernihkan pikiran (cittamassa pasīdati) [AN 5.202]

(3) "Seorang yang melihat sebab kemunculan melihat Dhamma (yo paṭiccasamuppādaṁ passati so dhammaṁ passati), Seorang yang melihat Dhamma melihat sebab kemunculan (yo dhammaṁ passati so paṭiccasamuppādaṁ passatī”ti)" [MN 28]. Jadi Buddha Dhamma adalah paṭiccasamuppāda (karena beliau yang mengajarkan rumusan ini)

(4) Anudhamma 1: inilah yang disebut anudhamma (ayamanudhammo hoti), Ia menjalani jenuh/bosan terhadap terhadap bentuk..perasaan, persepsi, sankhara, dan kesadaran (yaṁ rūpe ... vedanāya ... saññāya ... saṅkhāresu ... viññāṇe nibbidābahulo vihareyya), setelah menjalani dengan cara ini, Ia sepenuhnya memahami (parijānāti) bentuk.....Kesadaran, setelah memahami sepenuhnya bentuk,..., kesadaran, Ia terbebaskan dari (parimuccati) bentuk … kesadaran. Terbebaskan dari kelahiran, penuaan, dan kematian; terbebas dari mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa; terbebas dari penderitaan" [SN 22.39]
Anudhamma 2, Sutta di atas frase "jenuh/bosan terhadap" diganti "mengamati ketidakkekalan (aniccānupassī)" [SN 22.40]
Anudhamma 3, Sutta di atas frase "jenuh/bosan terhadap" diganti "mengamati tidak memuaskannya (dukkhānupassī)" [SN 22.41]
Anudhamma 4, Sutta di atas frase "jenuh/bosan terhadap" diganti "mengamati bukan IDENTITAS (DIRI/AKU) (anattānupassī)" [SN 22.42]

Anudhamma terkait tilakkhana. Dan tilakkhana pada rūpe ... viññāṇe, yang dimaksud adalah tilakkhana pada Pañcu­pādā­nak­khan­dhā (5 khanda yang dilekati): rūpupādānakkhandho (Bentukan/materi yang dilekati)...viññāṇupādānakkhandho (kesadaran yang dilekati)

Pergaulan dengan orang mulia
Seorang tinggal di desa atau pemukiman, dan di tempat itu ada perumah tangga atau para anak mereka yang mungkin tua atau muda, tetapi dewasa dalam perilaku (vuddhasīlino), dan memiliki kesempurnan dalam: keyakinan, etika/moralitas, kedermawanan, dan kebijaksanaan (saddhāsampannā sīlasampannā cāgasampannā paññāsampannā). Dengan mereka, Ia: berkumpul/bergaul (saddhiṁ santiṭṭhati), berbicara (sallapati) dan terlibat diskusi (sākacchaṁ samāpajjati). Sejauh apapun pencapaian keyakinan, etika, kedermawanan, dan kebijaksanaan dari mereka, Ia tiru/ikuti sebagai contoh. [AN 8.76]

Pencapaian Sotāpanna terjadi jika, 3 belenggu TELAH dipatahkan:
  1. Sakkāya-ditthi (sat+kāya = menjadi fisik, pribadi, identitas; Ditthi = Pandangan) = Pandangan menjadikan hal sebagai pribadi/identitas atau diri/jiwa/atta/atman. Dari 3 cakupan tentang anatta:

    1. Ini MILIK-KU (etaṁ MAMA = mamaṅkāra/mama+kāra, Pembentukan kepemillikan): Berkenaan dengan taṇhā/kehausan
    2. Ini adalah AKU/diri/identitas/sesuatu/kondisi (memebentuk 'sesuatu', untuk digenggam) (eso-ham-ASMI = ahaṅkāra/ahaṅ+kāra, Pembentukan AKU/diri/identitas/sesuatu/kondisi) → Inilah yang terkait sakkāya-ditthi/pandangan tentang sak-kaya
    3. Ini IDENTITAS (DIRI)-KU (eso ME ATTĀ = mānānusayā/mānā+anusaya, kecenderungan mānā): Berkenaan dengan "keangkuhan" ketika membandingkan diri sendiri dengan pihak lain → Ini tentang belenggu māna

    Apa itu Sakkāya? [MN 44]
    Pañcu­pādā­nak­khan­dhā (panca+upadana+khanda: "5 khanda yang dilekati") disebut Sakkaya/sat-kāya (menjadikanya sebagai: tubuh/pribadi/identitas/lembaga/diri/atta/jiwa/atman):

    1. Kelompok materi yang dilekati [rūpupādānakkhandho],
    2. Kelompok perasaan yang dilekati [vedanupādānakkhandho],
    3. Kelompok persepsi yang dilekati [saññupādānakkhandho],
    4. Kelompok bentukan kehendak/kondisi yang dilekati [saṅkhārupādānakkhandho] dan
    5. Kelompok kesadaran yang dilekati [viññāṇupādānakkhandho]

    Dalam SN 41.3,
    Perumahtangga Citta: terdapat ragam pandangan yang muncul di dunia: ‘Dunia: abadi/tidak; terbatas/tanpa batas'; atau ‘jīvaṃ (Jiwa/kehidupan) dan sarīra (badan) adalah sama’ atau ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya’; atau ‘Sang Tathāgata: ada/tidak setelah kematian,’ atau “Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian,” atau ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian’—ini serta 62 pandangan dalam Brahmajāla. Ketika ada apakah maka pandangan-pandangan ini muncul?..”

    Perumahtangga Isidatta: ketika ada Sakkāya-ditthi, maka pandangan-pandangan ini muncul; ketika tidak ada Sakkāya-ditthi, maka pandangan-pandangan ini tidak muncul

    Dalam MN 106,
    Apapun juga Kāmā, kāmasaññā, rūpā, rūpasaññā, di saat ini, di kehidupan mendatang, apapun persepsi: di tanpa gangguan/ketenangan, di landasan tanpa ada apa-apapun, di landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi – ini Sakkāya sejauh jangkauan Sakkāya

    Asal mula Sakkaya? [MN 44]
    Kehausan yang mengarah pada penjelmaan baru [taṇhā ponobbhavika], disertai ketagihan-kesenangan [nandi-rāga-sahagata] dan tenggelam dalam kesenangan di sana sini [tatratatrābhinandinī], yaitu [seyyatidam]: haus kesenangan indriya [kamatanha], haus menjelma menjadi sesuatu [bhavatanha] atau tidak menjelma menjadi sesuatu [vibhavatanha].

    Lenyapnya Sakkaya? [MN 44]
    Pelenyapan tanpa sisa dan lenyapnya keinginan, menghentikan, melepaskan, melewatkan dan menolak keinginan yang sama.

    Jalan menuju lenyapnya Sakkaya? [MN 44]
    8 jalan mulia/utama.

    Kemelekatan [upādāna] TIDAK SAMA (na taññeva/tam-eva) dengan Pancakandha yang dilekati [pañcupādānakkhandhā], JUGA TIDAK BEDA/TERPISAH (nāpi aññatra) antara Kemelekatan dan pancakandha yang dilekati (pañcahupādānakkhandhehi upādāna). Keinginan-ketagihan di sana (chandarāgo taṁ) terhadap pancakandha yang dilekati (pañcasu upādānakkhandhesu) di sanalah kemelekatan (tattha upādāna)

    Munculnya Pandangan Identitas/Sakkaya-Dhitti [MN 44]:

    Ia melihat/mengamati (samanupassati):
    bentukan/materi adalah IDENTITAS (DIRI) [rūpaṃ attato], atau
    IDENTITAS (DIRI) memiliki bentukan [rūpavantaṃ vā attānaṃ], atau
    bentukan ada dalam IDENTITAS (DIRI) [attani vā rūpaṃ], atau
    IDENTITAS (DIRI) ada dalam bentukan [rūpasmiṃ vā attānaṃ]

    Ia melihat/mengamati:
    Perasaan adalah.. (sama seperti di atas)
    Persepsi adalah,.. (sama seperti di atas)
    Bentukan kehendak adalah.. (sama seperti di atas)
    Kesadaran adalah.. (sama seperti di atas) [Total jumlah ini: 20 pandangan identitas]

    Terkait puthujjana (orang biasa/bukan arirya) [MN 1]:
    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari kepadatan, sebagai padat (pathaviṁ pathavito sañjānāti). Setelah mempersepsikan sebagai bagian dari kepadatan, sebagai padat (pathaviṁ pathavito saññatvā):

    Ia berpikir sebagai padat (pathaviṁ maññati)
    Ia berpikir (dirinya) di padat (pathaviyā maññati)
    Ia berpikir (dirinya) bagian dari kepadatan (pathavito maññati)
    Ia berpikir padat miliknya (pathaviṁ meti maññati)
    dan Ia menggembirai padat (pathaviṁ abhinandati)

    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari cairan/rekatan (..āpaṁ..)... kepanasan/keradiasian (..tejaṁ..)... pergerakan (..vāyaṁ..)... (masing-masing seperti di atas)

    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari ke-makhluk-an, sebagai makhluk (bhūte bhūtato sañjānāti)...
    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari ke-dewa-an... Pajāpati... Brahma... (Brahma) Ābhassare... (Brahma) Subhakiṇhe... (Brahma)Vehapphale... (Brahma) Abhibhu... (Brahma arupa) ākāsānañcāyatana... (Brahma arupa) viññāṇañcāyatana... (Brahma arupa) ākiñcaññāyatana... (Brahma arupa) nevasaññānāsaññāyatana... (masing-masing seperti di atas)

    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari kelihatan, sebagai terlihat (diṭṭhaṁ diṭṭhato sañjānāti)...
    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari kedengaran, sebagai terdengar...
    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari keterasaan, sebagai terasa (mutaṁ mutato sañjānāti: melalui penciuman, lidah dan sentuhan)...
    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari ketersadaran, sebagai tersadari (viññātaṁ viññātato sañjānāti)...
    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari kesamaan, sebagai sama (ekattaṁ ekattato sañjānāti)...
    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari keragaman, sebagai ragam (ānattaṁ nānattato sañjānāti)...
    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari keseluruhan, sebagai seluruh (sabbaṁ sabbato sañjānāti)... (masing-masing seperti di atas)

    Ia mempersepsikan sebagai bagian dari kenibbanaan, sebagai nibbana. Setelah mempersepsikan sebagai bagian dari kenibbanaan, sebagai nibbana (nbbānaṁ nibbānato sañjānāti, nibbānaṁ nibbānato saññatvā):

    Ia berpikir sebagai nibbana (nbbānaṁ maññati)
    Ia berpikir (dirinya) di nibbana (nibbānasmiṁ maññati)
    Ia berpikir (dirinya) bagian dari kenibbanaan (nibbānato maññati)
    Ia berpikir nibbana miliknya (nbbānaṁ meti maññati)
    dan Ia menggembirai nibbana (nbbānaṁ abhinandati) [MN 1]

    Terkait sekha (siswa dalam latihan), belum pencapaian (appattamānaso) (= puthujjana/orang biasa) [MN 1]:
    Ia memahami sebagai bagian dari kepadatan, sebagai padat (pathaviṁ pathavito abhijānāti). Setelah memahami sebagai bagian dari kepadatan, sebagai padat (pathaviṁ pathavito abhiññāya):

    Ia SEHARUSNYA TIDAK berpikir sebagai padat (pathaviṁ mā maññi)
    Ia SEHARUSNYA TIDAK berpikir (dirinya) di padat (pathaviyā mā maññi)
    Ia SEHARUSNYA TIDAK berpikir (dirinya) bagian dari kepadatan (pathavito mā maññi)
    Ia SEHARUSNYA TIDAK berpikir padat miliknya (pathaviṁ meti mā maññi)
    dan Ia SEHARUSNYA TIDAK menggembirai padat (pathaviṁ mābhinandi)

    [...]

    Ia memahami sebagai bagian dari kenibbanaan,sebagai nibbana. Setelah memahami sebagai bagian dari kenibbanaan sebagai nibbana:

    Ia SEHARUSNYA TIDAK berpikir sebagai nibbana (nbbānaṁ mā maññi)
    Ia SEHARUSNYA TIDAK berpikir (dirinya) di nibbana (nibbānasmiṁ mā maññi)
    Ia SEHARUSNYA TIDAK berpikir (dirinya) bagian dari kenibbanaan (nibbānato mā maññi)
    Ia SEHARUSNYA TIDAK berpikir nibbana miliknya (nbbānaṁ meti mā maññi)
    dan Ia SEHARUSNYA TIDAK menggembirai nibbana (nbbānaṁ mābhinandi) [MN 1]

    Tidak munculnya padangan tentang identitas MN [44]:

    Jika,
    TIDAK melihat/mengamati (na..samanupassati):
    Bentukan/Materi tidaklah IDENTITAS (DIRI) (na rūpaṁ attato) atau
    IDENTITAS (DIRI) tidak memiliki bentukan (na rūpavantaṁ vā attānaṁ) atau
    bentukan tidak dalam IDENTITAS (DIRI) (na attani vā rūpaṁ) atau
    IDENTITAS (DIRI) tidak dalam bentukan (na rūpasmiṁ vā attānaṁ)

    TIDAK melihat/mengamati:
    Perasaan tidaklah.. (sama seperti di atas)
    Persepsi tidaklah.. (sama seperti di atas)
    Bentukan kehendak tidaklah.. (sama seperti di atas)
    Kesadaran tidaklah.. (sama seperti di atas) [MN 44, Juga di MN 109; MN 131-132; SN 22.1, dll]

    Kemudian di MN 2:
    Hancurnya noda-noda adalah untuk seorang yang mengetahui [jānato] dan melihat [passato], bukan untuk seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat.

    mengetahui dan melihat apakah?

    Ketika perhatian TIDAK BENAR [ayoniso ca manasikāraṃ], noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan yang telah muncul menjadi bertambah.
    Ketika perhatian BENAR [yoniso ca manasikāraṃ], noda-noda yang belum muncul menjadi tidak muncul dan yang telah muncul menjadi ditinggalkan.

    Noda-noda [āsavā: HASRAT INDRIYA/kāma, PENJELMAAN/bhava dan KETIDAKTAHUAN/avijjā] yang harus ditinggalkan [pahātabbā] dengan melihat [dassanā]:

    1. Ketika MEMPERHATIKAN hal YANG TIDAK LAYAK DIPERHATIKAN: noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan yang telah muncul menjadi bertambah, dalam dirinya
    2. Ketika MEMPERHATIKAN hal YANG LAYAK DIPERHATIKAN: noda-noda yang belum muncul menjadi tidak muncul dan yang telah muncul menjadi ditinggalkan, dalam dirinya
    3. Ketika MEMPERHATIKAN hal YANG TIDAK LAYAK dan TIDAK MEMPERHATIKAN hal YANG LAYAK: noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan yang telah muncul menjadi bertambah

    Bagaimanakah perhatian TIDAK BENAR [ayoniso manasikaroti]?

    Masa lalu (Ahosi = telah terjadi/menjadi):

    1. ADAKAH aku di masa lalu (ahosiṃ nu kho ahaṃ atītamaddhāna)?
    2. TIDAK ADAKAH (aku) di masa lalu? (na nu kho ahosiṃ atītamaddhāna)
    3. (Menjadi) apa (aku) di masa lalu? (kiṃ nu kho ahosiṃ atītamaddhāna)
    4. Bagaimana (aku) di masa lalu? (kathaṃ nu kho ahosiṃ atītamaddhāna)
    5. Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apa aku di masa lalu? (kiṃ hutvā kiṃ ahosiṃ nu kho ahaṃ atītamaddhāna).

    Masa Depan (Bhavissami = belum/akan terjadi/menjadi):

    1. ADAKAH keberadaanku di masa depan? (bhavissāmi nu kho ahaṃ anāgatamaddhāna)
    2. TIDAK ADAKAH keberadaan(ku) di masa depan? (na nu kho bhavissāmi anāgatamaddhāna)
    3. Menjadi apa (aku) di masa depan? (kiṃ nu kho bhavissāmi anāgatamaddhāna)
    4. Bagaimana (aku) di masa depan? (kathaṃ nu kho bhavissāmi anāgatamaddhāna)
    5. Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apa aku di masa depan? (kiṃ hutvā kiṃ bhavissāmi nu kho ahaṃ anāgatamaddhāna).

    Atau kalau tidak demikian, Ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang:

    1. Apakah aku ada? (ahaṃ nu khosmi)
    2. Apakah (aku) tidak ada? (no nu khosmi)
    3. apakah aku? (kim nu khosmi)
    4. Bagaimanakah aku? (khatam nu khosmi)
    5. Dari manakah makhluk ini datang? (ayaṃ nu kho satto kuto āgato)
    6. Kemanakah (Ia) akan menjelma? (so kuhiṃ gāmī bhavissatī)

    Ketika memperhatikan dengan TIDAK BENAR (ayoniso manasikaroto), 1 pandangan dari 6 pandangan muncul (channaṁ diṭṭhīnaṁ aññatarā diṭṭhi uppajjati):

    1. Aku memiliki IDENTITAS (DIRI) [atthi me attā] dan tetap abadi [vā assa saccato thetato]
    2. Aku tidak memiliki IDENTITAS (DIRI) [natthi me attā] dan tetap abadi
    3. mempersepsikan IDENTITAS (DIRI) sebagai IDENTITAS (DIRI) [attanāva attānaṃ sañjānāmī] dan tetap abadi
    4. mempersepsikan bukan IDENTITAS (DIRI) sebagai IDENTITAS (DIRI) [attanāva ANattānaṃ sañjānāmī] dan tetap abadi
    5. mempersepsikan IDENTITAS (DIRI) sebagai bukan IDENTITAS (DIRI) [anattanāva attānaṃ sañjānāmī] dan tetap abadi; atau
    6. adalah identitas (diri)-ku yang bicara, merasakan dan mengalami sepenuhnya akibat perbuatan baik-buruk di sana-sini (yo me ayaṁ attā vado vedeyyo tatra tatra kalyāṇapāpakānaṁ kammānaṁ vipākaṁ paṭisaṁvedeti); dan juga (so kho pana) identitas (diri)-ku (me ayaṃ atta) kekal (nicca), tetap ada (dhuvo), abadi (sassata), tidak tunduk pada perubahan (avipariṇāmadhamm), akan bertahan di sana selamanya (sassatisamaṃ tatheva ṭhassatī).

    Pandangan spekulatif ini, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Terbelenggu belenggu pandangan, seorang biasa yang tak terlatih tak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa; ia tak terbebas dari penderitaan.

    Namun,
    jika memperhatikan dengan BENAR:

    ‘Ini adalah penderitaan’;
    ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’;
    ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’;
    ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’

    maka 3 belenggu: pandangan tentang diri/identitas [sakkāyadiṭṭhi], keragu-raguan/vicikicchā, dan salah memahami/melekat pada praktek/aturan [sīlabbataparāmāsa] menjadi ditinggalkan.

    Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat [dassana] [MN 2]

    Pembentukan Identitas/'sesuatu' atau 'kondisi' membelokan sesorang dari apa yang seharusnya dipahami, sehingga melakukan yang tidak perlu dilakukan / diprioritaskan / diketahui, padahal SEGALA YANG BERKONDISI TIDAK KEKAL, berakibat dukkha, padahal HAL tersebut BUKAN sejatinya sesuatu. Seperti nasehat Sang Buddha tentang perumpamaan orang terluka panah:

      Misalkan, Mālunkyāputta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah untuk merawatnya.

      Orang itu berkata:
      ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku adalah seorang mulia atau seorang brahmana atau seorang pedagang atau seorang pekerja.’
      Dan ia berkata: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui nama dan suku dari orang yang melukaiku;
      … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku tinggi atau pendek atau sedang;
      … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku berkulit gelap atau cokelat atau keemasan;
      … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku hidup di desa atau pemukiman atau kota apa;
      … hingga aku mengetahui apakah busur yang melukaiku adalah sebuah busur panjang atau busur silang;
      … hingga aku mengetahui apakah tali busur yang melukaiku terbuat dari serat atau buluh atau urat atau rami atau kulit kayu;
      … hingga aku mengetahui apakah tangkai anak panah itu adalah alami atau buatan;
      … hingga aku mengetahui dari bulu apakah tangkai anak panah yang melukaiku itu dipasangkan – apakah dari burung nasar atau burung bangau atau burung elang atau burung merak atau burung jangkung;
      … hingga aku mengetahui dengan urat jenis apakah tangkai anak panah itu diikat – apakah urat sapi atau kerbau atau rusa atau monyet;
      … hingga aku mengetahui jenis mata anak panah apakah yang melukaiku – apakah berpaku atau berpisau atau melengkung atau berduri atau bergigi-anak-sapi atau berbentuk-tombak.’

      “Semua ini masih tetap tidak akan diketahui oleh orang itu dan sementara itu orang itu akan mati. [MN 63]

  2. Vicikicchā menurut kitab komentar Vibhāvinī Ṭīkā, ada 2 arti: (1) vi/tanpa + cikicchā/obat (pengetahuan, kebijaksanaan); atau (2) vici/bertanya + kiccha/menjadi jengkel = "jengkel karena bingung". Arti lain: vi/memisahkan/membedakan + ci-kicchāti/memikirkan ulang, refleksi = "ingin membedakan/memikirkan" atau ragu. Padanan dekat arti vicikicchā = tidak jelas/tamā; bimbang/kankhati; tidak putus/nādhimuccati dan tidak pasti/na sampasīdati.

    Jadi vicikicchā = Keadaan ragu, tidak yakin, belum tetap hati, tidak dapat memutuskan apakah sedang melakukan tindakan kusala atau akusala; keraguan pada: Buddha, Dhamma/Ajaran, Sangha, latihan moralitas dan rekan seperjuangan (MN 16); Keraguan 16 hal tentang masa lalu, sekarang dan masa depan (MN 2)

    Keraguan dikadar tertentu adalah baik untuk penyidikan lanjutan (SN 42.13, 44.9, AN 3.65, DN 16). Keraguan parah yang menjadi belenggu, perumpamaan SN 46.55, "semangkuk air keruh, terguncang, berlumpur, diletakkan di tempat gelap. Jika seseorang yang berpenglihatan baik memeriksa pantulan wajahnya pada air itu, tidak akan mengetahui juga tidak melihatnya sebagaimana adanya. Demikian pula, pikiran dikuasai, dibanjiri keraguan, membuatnya tidak memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari keraguan yang telah muncul, pada saat itu ia tidak mengetahui juga tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan diri sendiri dan orang lain".

    Obat dari keraguan:

    1. mendengarkan. mengunjungi, melayani, mengingat dan/atau menerima pelepasan bhikkhu yang baik (SN 46.3)
    2. Tahapan ref MN 95 dan MN 70: Mendatangi, menyelidiki Guru dan ajarannya, terkait lobha, dosa dan moha, setelah melihatnya murni → berkeyakinan/saddhā → mengunjungi/upasaṅkamati dan memberikan penghormatan/payirupāsati → menyimak/sotaṃ odahati → mendengar Dhamma/dhammaṃ suṇāti → menghafalkan/dhāreti → meneliti makna/atthaṃ upaparikkhati → memperoleh penerimaan ajaran melalui perenungan/dhammā nijjhānaṃ khamanti → kemauan muncul/chando jāyati → mengerahkan tekad/ussahati → menyelidiki/tuleti → berusaha sungguh/padahati → mencapai kebenaran tertinggi, melihat dan menembusnya dengan kebijaksanaan

  3. Sīlabbataparāmāsa (Sīla: moralitas/karakter/perilaku + bbata/brata/vata/vrata: praktek/kebiasaan/sumpah + Parāmāsa: melekat/salah mengerti/tertular = Salah memahami pelatihan dan praktek)

    Melekat pada ritual/kebiasaan dan berdelusi itu mencukupi [Vin i.184, M i.433, Dhs 1.005, A iii.377, iv.144] atau percaya/terikat bahwa upacara/ritual/aturan dapat membebaskan dari dukkha. Contoh kitab komentar: Mempercayai jika berprilaku seperti sapi/anjing (hidup, makan, dll) akan bebas dari kekotoran mental. Jadi, Sīlabbataparāmāsa adalah salah memahami/melekat pada praktek/aturan/kebiasaan prilaku kesucian yang ketika dilakukan TIDAK meningkatkan kusala/hal bermanfaat dan/atau malah MENAMBAH akusala:

      Sang Buddha: "Ananda, apakah setiap setiap prilaku moralitas dan cara hidup brahma/cara non duniawi yang ditegakkan sebagai keutamaan akan berbuah (sabbaṃ nu kho, ānanda, sīlabbataṃ jīvitaṃ brahmacariyaṃ upaṭṭhānasāraṃ saphalan”ti)?"

      .. Ananda: "Jika prilaku moralitas dan cara berkehidupan suci yang ditegakkan sebagai keutamaan menyebabkan kualitas yang tidak bermanfaat bertambah dan kualitas bermanfaat berkurang, maka..tidaklah berbuah. Tetapi jika kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas bermanfaat bertambah, maka..berbuah". Sang Buddha menyetujui dan memuji jawaban Ananda. [AN 3.78/Sīlabbata (moralitas-prilaku)]

    Jangan sampai: Yang belajar sutta lupa tujuan membaca, mendengar, menghafal, mengurai makna dan berdiskusi adalah agar melenyapkan penderitaan malah menjadi ahli philosopi. Yang praktek malah melakukan ritual pembersihkan dosa, menghindari kematian atau meringankan penderitaan. Yang bersamādhi tidak bertujuan memahami anicca, dukkha dan anatta dll.

    Oleh karenanya sang Buddha berkata bahwa dhamma dipelajari, agar diperiksa maknanya, agar mendapat pemahaman mendalam, agar tidak keliru dipahami dan mengalami kebaikan darinya. Dhamma dipelajari BUKAN untuk mengkritik/mencela dan BUKAN untuk memenangkan perdebatan. [MN 22]. Terkait bahasa dan pandangan: Seorang Bhikkhu yang pikirannya terbebaskan (avaaṁ vimuttacitto bhikkhu) tidak (lantas) menyetujui/memihak siapa/apa-pun, juga tidak (lantas) menolak/menyelisihi siapa/apa-pun (na kenaci saṁvadati, na kenaci vivadati). Ia gunakan bahasa duniawi dalam berkomunikasi tanpa terjebak di dalamnya (yañca loke vuttaṁ tena voharati, aparāmasan”ti) [MN 74. Di MN 139, tentang penjelasan tanpa-konflik: "tidak memaksakan terminologi lokal, juga tidak mengabaikan terminologi umum/janapadaniruttiṁ nābhiniveseyya, samaññaṁ nātidhāveyyāti"]

      ..melakukan cara hidup brahma/cara non duniawi.. adalah bukan untuk memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya (nayidaṃ brahmacariyaṃ lābhasakkārasilokānisaṃsaṃ); bukan untuk pencapaian moralitas sebagai manfaatnya (na sīlasampadānisaṃsaṃ); bukan untuk pencapaian pikiran terpusat sebagai manfaatnya (na samādhisampadānisaṃsaṃ); bukan untuk pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya (na ñāṇadassanānisaṃsaṃ). Melainkan: Pembebasan pikiran yang tak tergoyahkan (akuppā cetovimutti) adalah tujuan dalam cara hidup brahma/cara non duniawi (tadatthamidaṃ.. brahmacariyaṃ), inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya (etaṃ sāraṃ etaṃ pariyosānan) [MN 29]

    Bahkan, hal yang sebelumnya adalah kusala, dapat berubah menjadi akusala jika ia lengah dan bahkan dilekati:

      ”munculnya ini” adalah sebagai makanan (Tadāhārasambhavanti), dengan lenyapnya makanan maka apa yang muncul akan lenyap (Tadāhāra-nirodhā yaṃ bhūtaṃ, taṃ nirodhadhammanti).

      Keragu-raguan muncul karena tidak meyakini (kaṅkhato uppajjati vicikicchā), keragu-raguan adalah makanan, dengan lenyapnya makanan maka apa yang muncul akan lenyap.

      Keraguan ditinggalkan dengan memahami melihat benar/dengan kebijaksanan benar apa adanya/alami (yathābhūtaṃ sammappaññāya passato yā vicikicchā sā pahīyatī) muncul. Ini (Keraguan ditinggalkan dengan melihat benar sebagaimana adanya) adalah makanan, dengan lenyapnya makanan maka apa yang muncul akan lenyap.

      Bebas dari keragu-raguan (nibbicikicchā) muncul. Ini adalah makanan, dengan lenyapnya makanan maka apa yang muncul akan lenyap.

      Telah terlihat jelas apa adanya/alami dengan kebijaksanaan benar (yathābhūtaṃ sammappaññāya sudiṭṭhan) muncul. Ini adalah makanan, dengan lenyapnya makanan maka apa yang muncul akan lenyap.

      ..Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, JIKA KALIAN TIDAK MELEKAT PADANYA, TIDAK MEMUJANYA, TIDAK SANGAT MENGHARGAINYA, DAN TIDAK MEMPERLAKUKANNYA SEBAGAI HARTA, Maka kalian dapat memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, untuk menyeberang, bukan untuk digenggam [MN 38]

      Bagaimana memahami dengan melihat benar/kebijasanaan benar apa adanya/alami (yathābhūtaṃ)?

      [materi/bentukan, perasaan, persepsi, saṅkhāra dan kesadaran] apapun di masa lalu, depan, atau sekarang, di bagian dalam/luar kasar/halus, rendah/mulia, jauh/dekat:


      sebagai tidak kekal, penderitaan dan tunduk pada perubahan, oleh karenanya Ia, TIDAK melihat/mengamati dirinya sendiri: sebagai ‘lebih tinggi/rendah’ atau ‘sama’ dengan makhluk lainnya; sebagai ‘milikku, aku, identitas (diri)-ku’ [SN 22.49], atau;
      Dengan melihatnya, mempertimbangkannya, dan memeriksanya dengan benar, itu dilihatnya: hampa, kosong, tanpa inti, karena Inti apa yang ada dalam bentukan/materi, perasaan, persepsi, saṅkhāra dan kesadaran? [SN 22.95]

      Melihat demikian, Ia menjadi tidak terkesan pada [materi/bentukan,..., kesadaran]. mengalami tidak terkesan, ia menjadi tidak menginginkannya. Melalui tidak menginginkannya [mentalnya] terbebaskan..[SN 22.49, 95]

    Sang Buddha:
    Misalkan seseorang dalam perjalanannya menjumpai hamparan air yang luas (mahantaṁ udakaṇṇavaṁ). Pantai di areanya: berbahaya menakutkan (orimaṁ tīraṁ sāsaṅkaṁ sappaṭibhayaṁ), pantai seberang: aman bebas dari ketakutan (pārimaṁ tīraṁ khemaṁ appaṭibhayaṁ), namun untuk menyeberang tidak ada perahu atau jembatan menuju pantai seberang. Kemudian orang itu mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan tangan dan kaki, ia DENGAN SELAMAT MENYEBERANG ke pantai seberang…[MN 22, SN 328]

    Kemudian, ketika ia TELAH MENYEBERANG dan TELAH SAMPAI di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berusaha dengan tangan dan kakiku, aku dapat DENGAN SELAMAT MENYEBERANG ke pantai seberang…

    Apa yang kemudian yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu?

    Rakit TIDAK diangkat di atas kepala atau dipikul di bahu, dan kemudian pergi kemanapun yang diinginkan.’ Itu BUKAN yang seharusnya dilakukan.

    Namun, yang seharusnya dilakukan adalah menarik rakit itu ke daratan atau menghanyutkannya di air dan kemudian pergi kemanapun yang diinginkannya.

    Maka demikianlah (evameva kho) perumpamaan rakit serupa Dhamma aku ajarkan (kullūpamo mayā dhammo desito), untuk menyeberang (nittharaṇatthāya), bukan untuk dilekati/digenggam (no gahaṇatthāya). Perumpamaan rakit diajarkan kepada kalian, para Bhikkhu (Kullūpamaṃ vo, bhikkhave, dhammaṃ desitaṃ), memahami bahwa (ājānantehi) (melekati) Dhamma-dhamma seharusnya kalian tanggalkan (dhammāpi vo pahātabbā) apalagi bukan dhamma-dhamma (pageva adhammā).[MN 22]

    Note:
    Rintangan (atau hambatan atau belenggu) sebagai arti antarāyikā (MN 22), selain berarti terhadap Dhamma yang disalahpahami atau bahkan digenggam, juga berarti terhadap nafsu indriawi (MN 22, Thig 16.1), juga berarti: keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran dan lainnya (MN 29 dan di SN 17.2), juga berarti: musavada (baik berbohong langsung, atau tidak mengakui terbuka kesalahan dengan berdiam diri) (KD 2.3/Vinaya 4, hal.185-188), juga berarti: yang disebut sebagai rintangan oleh Sang Bhagava (Antarāyiko dhammo vutto bhagavatāti): rintangan menuju jhana ke-1, 2, 3, ,4 (Paṭhamassa jhānassa adhigamāya antarāyiko, dutiyassa jhānassa adhigamāya antarāyiko, tatiyassa jhānassa adhigamāya antarāyiko, catutthassa jhānassa adhigamāya antarāyiko), rintangan menuju: kebebasan jhana, pencapaian samadhi, pelepasan dari hal-hal keduniawian, penghindaran, pengasingan, kondisi baik. (jhānānaṁ vimokkhānaṁ samādhīnaṁ samāpattīnaṁ nekkhammānaṁ nissaraṇānaṁ pavivekānaṁ kusalānaṁ dhammānaṁ adhigamāya antarāyiko) (KD 2.3/Vinaya 4, hal.185-188)
Dua pendekatan untuk menghancurkan 3 belenggu di atas:
  1. BERKEYAKINAN TAK GOYAH (penganut karena keyakinan)
  2. TELAH MELAKUKAN SEJUMLAH PERENUNGAN dan KEBIJAKSANAAN (Penganut karena Dhamma)
Tolak ukur keberhasilan kedua pendekatan adalah harus dapat mengetahui dan melihat bahwa hal yang berkondisi, terkondisi adalah anicca, maka 3 belenggu hancur dan Ia disebut sotāpanna:

“Para bhikkhu,
  1. Mata/Cakkhu, Telinga/sota, Hidung/ghana, Lidah/jivha, Badan/kayo, Pikiran/mano adalah tidak kekal/anicca, menjadi berubah/annathabhavi melapuk/viparinami [SN 25.1]
  2. Bentuk/rupa, Suara/sadda, bebauan/gandha, kecapan/rasa, objek sentuh/photthabba, hal terkondisi/berkondisi atau bentukan kehendak pikiran ucapan perbuatan/dhamma adalah.. [SN 25.2]
  3. Kondisi menyadari/kesadaran dari (mata, telinga, hidung, lidah, badan, pikiran) adalah.. [SN 25.3]
  4. Kontak/Phassa dari (mata, telinga, hidung, lidah, badan, pikiran) adalah.. [SN 25.4]
  5. Perasaan yang muncul dari kontak (mata, telinga, hidung, lidah, badan, pikiran) adalah.. [SN 25.5]
  6. Persepsi/ingatan akan (bentuk, suara, bau, kecapan, objek sentuhan, hal terkondisi/berkondisi atau bentukan kehendak pikiran ucapan perbuatan/dhamma) adalah.. [SN 25.6]
  7. Kehendak sehubungan dengan (bentuk, suara, bau, kecapan, objek sentuhan, hal terkondisi/berkondisi dari pikiran ucapan dan perbuatan/dhamma) adalah.. [SN 25.7]
  8. Kehausan akan (bentuk, suara, bau, kecapan, objek sentuhan, hal terkondisi/berkondisi atau bentukan kehendak pikiran ucapan perbuatan/dhamma) adalah.. [SN 25.8]
  9. Unsur/elemen/senyawa (dhātu), yaitu paṭhavī: padat, landasan, penyokong, bumi/tanah; āpo: merekat, melekat, cairan; tejo: kekuatan, tajam, menusuk, terbakar, terkonsumsi, terhabiskan, umur, gelombang partikel, panas, temperatur, cahaya, api; vāyo: gerak, mengalir, tiupan, getar, tekanan, kondisi, keadaan, sirkulasi, aksi mempertahankan, angin; ākāsa: ruang, celah, antar 2 objek, jarak; viññāṇa: kesadaran dari 6 indriya atau berlandaskan pada Rūpa, Vedanā, Saññā dan/atau Saṅkhāra - adalah [SN 25.9]
  10. Kelompok: Betukan/materi [Rūpa], Perasaan [vedanā], Persepsi [sañña], hal terkondisi/berkondisi atau bentukan kehendak [Saṅkhāra/samkhara], Kesadaran [viññāṇa] adalah..tidak kekal/anicca, menjadi berubah/annathabhavi melapuk/viparinami [SN 25.10]
Seorang yang BERKEYAKINAN TAK GOYAH [saddahati adhimuccati] dan Ia memahaminya secara demikian disebut Penganut karena keyakinan [saddhā-nusārī], atau Seseorang yang setelah melakukan sejumlah perenungan dengan kebijaksanaan [paññāya mattaso nijjhānaṃ khamanti] dan memahaminya demikian, disebut Penganut karena Dhamma [dhammā-nusārī]

[Mereka yang di atas ini]

memasuki [okkanto]: jalan pasti kebenaran [sammattaniyāmaṃ], wilayah kaum mulia [sappurisabhūmiṃ]; melampaui [vītivatto]: wilayah kaum duniawi [puthujjanabhūmiṃ]; tidak dapat [abhabbo] melakukan perbuatan, perbuatan yang berakibat memunculkannya di alam: neraka, binatang, makhluk halus; Tidak dapat atau belum akan tiba waktunya (untuk wafat) selama buah memasuki arus belum tercapai [abhabbo ca tāva kālaṃ kātuṃ yāva na sotāpattiphalaṃ sacchikaroti]

Seorang yang MENGETAHUI dan MELIHAT [pajānāti evaṃ passati] secara demikian disebut Pemasuk-arus [sotāpanna] takkan menuju kehancuran, pasti dapat memutus rantai penjelmaan. [Ringkasan SN 25:1-10: Kumpulan 10 sutta: Cakkhu,.., Khanda Sutta]
    Note:
    Melanggar sila yang disenangi para mulia, yang tidak rusak, tidak robek, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, tidak melekat dan menuntun pada pikiran terpusat (SN 55.1,2) TIDAK MUNGKIN dilakukan pencapai Sotapanna, misalnya, seorang Sakya bernama Saraṇāni/Sarakāni, sebelumnya Ia adalah siswa yang lemah dalam latihan karena gemar minuman memabukan (sikkhādubbalyamāpādi, majjapānaṃ apāyī), setelah Ia berhasil meninggalkan pelanggarannya, maka Ia memenuhi latihan-nya (sikkhaṃ samādiyī), sehingga dapat mencapai Sotapanna (SN 55.24, 25)

    Di MN 73 terdapat nasihat sang Buddha kepada seorang non Buddhis, petapa pengembara bernama Vacchagotta (Vacchagotto paribbājako, pelaku brahmacariya), tentang 3 hal bermanfaat (tayo dhammā kusalā: alobha, adosa dan amoha) dan 10 dhamma/kamma bermanfaat (dasa dhammā kusalā: menahan diri (veramaṇī) dari 7 perbuatan tidak manfaat: Pāṇātipāta, adinnādāna, kāmesu­micchā­cāra, musāvāda, pisuṇā, pharusā vācā, samphappalāpa + 3 perbuatan pikiran tidak manfaat: abhijjhā, byāpāda, micchādiṭṭhi), Setelahnya, sang Buddha menyampaikan bahwa banyak diantara pengikutnya pria/wanita dari kalangan awam para perumah tangga (upāsakā/upāsikā gihī) berbaju putih (odātavasanā), yaitu mereka yang: (1) menempuh cara hidup brahma/cara non duniawi (brahmacariya) para anagami (telah menghancurkan lima belenggu lebih rendah/pañcannaṃ orambhāgiyānaṃ saṃyojanānaṃ parikkhayā dan; (2) menikmati kenikmatan indria (kāmabhogino) para sotapanna (MN 73). Statement ini mengindikasikan sotapanna masih dapat menikmati kenikmatan indria yang bukan brahmacariya, tidak membuat pikiran lengah dan bukan kāmesu­micchā­cāra/perbuatan indriya dengan cara salah

    Mereka yang telah mencapai 4 faktor pemasuk arus (disebut sotapanna) dapat juga lengah dan disebut sebagai: siswa ariya yang berdiam lengah/ariyasāvako pamādavihārī (SN 55.40) yang dimaksud adalah karena Ia hanya puas dengan 4 faktor pemasuk arus-nya, tidak berusaha lebih lanjut dengan keterasingan di siang dan malam hari (santuṭṭho na uttari vāyamati divā pavivekāya rattiṃ paṭisallānāya), akibat lengah demikian, Ia tidak mendapatkan sukacita (pāmojjaṃ na hoti), akibatnya, tidak mendapatka kegembiraan (pīti na hoti), akibatnya, tidak mendapatkan ketenangan (passaddhi na hoti), akibatnya, berada dalam penderitaan (dukkhaṃ viharati), akibat pikirannya menderita, Ia tidak terkonsentrasi (na samādhiyati), sehingga fenomena tidak teramati (dhammā na pātubhavanti), karena Ia lengah (SN 55.40)
Seorang yang mencapai sotāpanna, jika Ia menghendakinya, juga dapat melakukan deklarasi:
    Sang Buddha: “Perumah tangga, ketika (1) 5 bahaya permusuhan (= 5 sila) telah disingkirkan dalam diri seorang siswa mulia, (2) memiliki 4 faktor pemasuk arus, dan (3) dengan kebijaksanaan, telah melihat jelas memahami sepenuhnya metode mulia (ayañcassa ariyo ñāyo paññāya sudiṭṭho hoti suppaṭividdho), jika ia menginginkan, sehubungan dengan dirinya, ia dapat menyatakan: ‘Aku adalah seorang yang telah menghancurkan: alam neraka, alam binatang, alam peta, dan keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran. Aku adalah seorang Pemasuk-Arus, tidak lagi menuju kehancuran, pasti menuju pencerahan sebagai tujuanku.’ [SN 12.41, AN 10.92, SN 55.28, AN 9.27]. Untuk "dengan kebijaksanaan, telah melihat jelas memahami sepenuhnya metode mulia" adalah ‘paṭiccasamuppādaññeva sādhukaṁ yoniso manasi karoti (pikirannya sepenuhnya memperhatikan dengan benar tentang sebab kemunculan): iti imasmiṁ sati idaṁ hoti (saat diingat itu menjadi ada); imassuppādā idaṁ uppajjati (itu muncul maka menjadi ada); imasmiṁ asati idaṁ na hoti (saat tidak diingat itu menjadi tidak ada); imassa nirodhā idaṁ nirujjhati yadidaṁ (itu lenyap maka menjadi tidak ada)
JENIS-JENIS sotāpanna:
Selama Dhamma sejati masih ada, pencapaian kesucian dapat terjadi mulai dari alam manusia, namun setelahnya, pencapaian kesucian mulai dari alam Deva. Terdapat bukti bahwa deva dapat membimbing/mengajarkan dhamma kepada deva lainnya: DN 18, 19, 21 dan AN 4.191. Terdapat 3 tipe sotāpanna, yang dikenali perbedaannya ketika level arahatnya tercapai:
  1. Ia yang menghancurkan 3 belenggu menjadi paling banyak 7x (So tiṇṇaṃ saṃyojanānaṃ parikkhayā sattakkhattuparamo hoti). Paling banyak 7x berkelanjutan menjalani deva dan manusia hingga berakhirnya dukkha (Sattakkhattuparamaṃ deve ca manusse ca sandhāvitvā saṃsaritvā dukkhassantaṃ karoti) [AN 3.87, 88; AN 9.12]

    Note:
    "Ye ariyasaccāni vibhāvayanti, gambhīrapaññena sudesitāni; Kiñcāpi te honti bhusaṃ pamattā, na te bhavaṃ aṭṭhamamādiyanti" (Siapapun yang menembus kebenaran Mulia, kebijakan yang sangat dalam yang telah dibabarkan, meski masih banyak kealpaan, tidak akan mengambil lahir ke-8) [SNP 2.1, syair ke-9]

  2. Ia yang menghancurkan 3 belenggu menjadi kolamkola, terlahir berkelanjutan dalam 2 atau 3 klan/keluarga/kelompok untuk mengakhiri dukkha (So tiṇṇaṃ saṃyojanānaṃ parikkhayā kolaṃkolo hoti, dve vā tīṇi vā kulāni sandhāvitvā saṃsaritvā dukkhassantaṃ karoti).

    Note:
    Visuddhimagga-mahāṭīkā: "Yāva chaṭṭhabhavā saṃsarantopi kolaṃkolova hoti" (hingga 6 x terlahir dari keluarga ke keluarga)

    Kata "terlahir kembali" tidak selalu merujuk setelah adanya kematian, tapi tekait dvijati (penahbisan):

    "Kalau begitu, Angulimala,..katakan kepada perempuan itu: 'Saudari, SEJAK SAYA TERLAHIR (yato haṃ bhagini jāto), saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini (tena saccena), sejahteralah anda dan bayi anda (sotthi te hotu, sotthi gabbhassā)'". Rupanya Angulimala tidak menyadari makna kalimat itu, dan menyatakan pada sang Buddha, "Guru, apakah saya tidak menceritakan kebohongan yang disengaja, karena toh dengan sengaja saya telah membunuh banyak makhluk hidup?". Sang Buddha kemudian berkata, "Kalau begitu, Agulimala,..katakan kepada perempuan itu: 'Saudari, SEJAK SAYA TERLAHIR SEBAGAI KELAHIRAN MULIA (yato haṃ bhagini ariyāya jātiyā jāto), saya tidak ingat pernah dengan sengaja membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, sejahteralah anda dan bayi anda!'" [MN 86]

    Kalimat "sejak saya terlahir" (yato haṃ bhagini jāto) menunjukan pada jaman Sang Buddha, "dvijati/lahir ke-2", telah dikenal masyarakat umum sebagai istilah lahir dari penahbisan menjadi Petapa/Brahmana/Bhikkhu. Frase, "ariyāya jātiyā jāto/terlahir sebagai kelahiran mulia, yaitu "terlahir" dari sebelumnya seorang biasa/puthujjana menjadi pencapai tingkat kesucian tertentu, menunjukan rentang definisi "dvijati", yaitu tidak saja lahir karena penahbisan, tapi juga lahir karena tercapainya tingkat kesucian tertentu di kehidupan yang sama. Dalam SNP 2.1, AN 3.87, 88 dan AN 9.12 disebutkan "paling banyak terlahir 7x", ini adalah tentang magga/dalam jalan dan phala/buah dari jenjang kesucian: Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat. Setelah dalam jalan arahat (arahattamagga) dan mencapai arahat (arahattaphala) tidak lagi disebut terlahir akan tapi padam, "tidak akan mengambil lahir ke-8". Sehingga:

    1. Manusia - Deva: Manusia puthujjana → sotāpanna → wafat → terlahir kembali di kelompok/keluarga deva tertentu (putra deva/deva baru), misalnya raja Bimbisara, keluarga/kelompok manusia → sotāpanna → wafat → terlahir kembali di alam catumaharajika sebagai keluarga/kelompok Yakkha, dari sana → sakadāgāmī (DN 18). Ananthapindika, keluarga/kelompok manusia → sotāpanna → wafat → terlahir di keluarga/kelompok deva Tusita (MN 143)
    2. Deva - Deva: Deva puthujjana → sotāpanna → wafat → terlahir kembali di kelompok deva yang sama/berbeda dan mengakhiri dukkha di alam-alam deva, misal: Deva Sakka → sotāpanna → wafat → lagi terlahir sebagai Deva sakka → wafat → kelak terlahir kembali di kelompok deva alam Suddhavasa → padam di sana [DN 21]
    3. Manusia - Manusia: Manusia puthujjana/sotāpanna → bhikkhu puthujjana/sotāpanna → bertahap hingga padam sebagai Manusia, ketika menjadi Bhikkhu, disebut pengikut kelompok Sakya

      Vāseṭṭha, kalian semua, walaupun dari kelahiran, nama, suku dan keluarga yang berbeda, yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, jika kalian ditanya siapakah kalian, maka kalian harus menjawab: “Kami adalah petapa, pengikut Sakya.." [DN 27]

    Jadi makna “kolatidak harus merujuk pada keluarga dari kelahiran rahim

  3. Ia yang menghancurkan 3 belenggu (So tiṇṇaṃ saṃyojanānaṃ parikkhayā) menjadi satu benih (ekabījī hoti), bahkan/juga/hanya menjadi satu manusia (ekaṃyeva mānusakaṃ bhavaṃ) menghasilkan berakhirnya dukkha (nibbattetvā dukkhassantaṃ karoti) [AN 3.86-88]

    Ini Sariputta, jenis makhluk ke-7 dengan sisa tertinggal saat waktunya (wafat) bebas dari: alam niraya, binatang, peta, keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran (Ayaṃ, sāriputta, sattamo puggalo saupādiseso kālaṃ kurumāno parimutto nirayā parimutto tiracchānayoniyā parimutto pettivisayā parimutto apāyaduggativinipātā) [AN 9.12].

    Sutta terakhir menggunakan kata: “kalam kurumano/karoti” dan BUKAN kata: “marana”. Walaupun ke-2 kata ini merujuk pada kematian, namun maksudnya beda, marana = telah mati, sedangkan kālaṃ-karoti = saatnya tiba untuk mati → akan mati/belum mati, contoh penggunaan: “sammūḷho kālaṃ karoti” (menjelang mati berada dalam kebingungan) → Ia jelas belum mati.

    Sutta ini menyatakan puthujjana-sotāpanna-arahat tercapai dalam 1 kehidupan yang sama: Lahir sebagai manusia (puthujjana), kemudian mencapai sotāpanna, sehingga bahkan belum wafat, walau ada sisa yang tertinggal, Ia sudah lolos dari bahaya kehancuran, kemudian dikehidupan itu juga, mencapai Arahat dan wafat. Inilah ekabijji sotāpanna. Contoh: 5 Petapa awal, Yasa (dan ayahnya), Sariputta, Maha Moggalana, Maha pajapati Gotami. Mereka sotāpanna dulu dan langsung arahat dan wafat.
Benarkah yang TELAH MENCAPAI sotāpanna, SETELAH WAFAT akan terlahir lagi sebagai manusia? Tidak. Alasannya:

Ke-1,
"Perumah tangga muda, siswa ariya dengan meninggalkan 4 kekotoran perbuatan, dengan tidak melakukan kejahatan dari 4 penyebab, dengan tidak mengikuti 6 cara membuang-buang harta seseorang, dengan menghindari 14 kejahatan ini – maka mencakup 6 arah, MEMASUKI JALAN UNTUK MENAKLUKAN 2 ALAM, Semuanya berjalan lancar baginya, BAIK DI ALAM INI MAUPUN ALAM BERIKUTNYA, bersamaan dengan hancurnya jasmani setelah kematian muncul dalam keadaan BAHAGIA (sugatiṃ) di ALAM SURGA (saggaṃ lokaṃ).’[DN 31]

“Mereka yang memiliki: (1) Keyakinan tak goyah pada Buddha, (2) Dhamma, (3) sangha dan (4) moralitas/sila yang dimiliki para mulia, yang: tidak rusak, tidak robek, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji para bijaksana, tidak digenggam, menuntun pada pikiran terpusat adalah lintasan para dewa” [SN 55.34-35].

”ketika seorang siswa mulia memiliki 4 hal di atas maka para deva bersukacita dan membicarakan kemiripannya dengan mereka para deva yaitu ketika mereka wafat di alam manusia terlahir kembali di alam deva, maka Ia akan datang ke hadapan para Deva [SN 55.36]

Ke-2,
YM Kumara Kassapa[15] dalam perumpamaan orang yang terjatuh di lubang kotoran (Gūthakūpapurisa-upamā), mengatakan, "Demikianlah, Pangeran, manusia adalah kotor, berbau, mengerikan, menjijikkan, dan biasanya dianggap demikian oleh para dewa." [DN 23/Payasi Sutta]

Ke-3,
Di DN 21, Deva sakka bertemu sang Buddha, dalam tanya jawab, Ia mencapai sotāpanna. Muncul dalam pikiran Deva Sakka 6 hal yang menggembirakannya, diantaranya adalah point ke-1, 2, dan 5:
  1. Berada di sini (idheva tiṭṭhamānassa) Aku ingat dapat lagi hidup menjadi dewa (devabhūtassa me sato Punarāyu ca me laddho), demikian diketahui, tuan (evaṃ jānāhi mārisa).
  2. aku menjauhi tubuh-tubuh dewa (cutāhaṃ diviyā kāyā), membuang kehidupan bukan manusia (āyuṃ hitvā amānusaṃ) tidak akan tersesat menuju rahim (amūḷho gabbhamessāmi) kemanapun yang pikiranku suka (yattha me ramatī)
  1. aku menjauhi tubuh-tubuh manusia (cutāhaṃ mānusā kāyā), membuang kehidupan manusia (āyuṃ hitvāna mānusaṃ) lagi akan menjadi Dewa (puna devo bhavissāmi) alam dewaku yang utama (devalokamhi uttamo)
Ke-4,
Sang Buddha, selama 45 tahun hingga parinibbana, di sutta/vinaya, TIDAK PERNAH menyatakan 1 sotāpanna/sakadāgāmī, yang terlahir KEMBALI di alam manusia, selalu dicontohkan terlahir di alam surgawi, misal:
  1. .."Bhante, di Nadika ini bhikkhu Salha dan bhikkhu Nanda..upasaka Sudatta, upasika Sujata serta beberapa upasaka lain yaitu Kakhuda, Kalinga, Nikata, Katissabha, Tuttho, Santuttha, Bhadda dan Subhadda...Bagaimanakah keadaan tumimbal lahir mereka?"

    "Ananda, bhikkhu Salha,..telah memperoleh kebebasan mental dari noda..

    bhikkhu Nanda, menghancurkan 5 belenggu yang lebih rendah..takkan kembali lagi di alam ini (maksudnya: di luar alam anāgāmī/alam Sudhavasa).

    upasaka Sudatta, menghancurkan 3 belenggu, mengurangi ketagihan pada hasrat indriya dan kebencian..menjadi seorang yang hanya dilahirkan sekali lagi; untuk mengakhiri penderitaannya, ia akan dilahirkan kembali sekali lagi di alam ini. [sakadāgāmī sakideva imaṃ lokaṃ āgantvā dukkhassantaṃ karissati]

    upasika Sujata, menghancurkan 3 Belenggu.., mencapai tingkat sotāpanna, dan telah bebas dari bahaya jatuh ke keadaan sengsara...

    upasaka Kakhuda, menghancurkan 5 belenggu rendah..tidak terlahir kembali di alam ini pasti akan mencapai nibbana.

    ..Kalingga, Nikata, Katissabha, Tuttho, Santuttha, Bhadda dan Subhadda, .. lebih dari 50 orang di Nadika. Lebih dari 90 orang di Nadika, menghancurkan 3 Belenggu dan pengurangan ketagihan pada hasrat indriya, kebencian dan khayalan, telah menjadi sakadāgāmī dan telah siap mencapai akhir dari penderitaannya dalam kelahirannya kembali yang sekali lagi di alam ini. Lebih dari 500 orang di Nadika, melenyapkan 3 belenggu, mereka adalah para sotāpanna dan telah bebas dari kelahiran kembali di alam penderitaan, yang pasti akan mencapai penerangan sempurna (bodhi)."[DN 16]

  2. [Sang Buddha didatangi satu yakkha bernama Janavasabha, ex-Bimbisāra, yang lahir ke-7xnya sebagai pengiring Raja Vessavaṇa (raja para Yakkha alam Catumaharajika). Ia tahu dirinya bebas dari alam sengsara, dan sekarang berkeinginan untuk menjadi Yang-Kembali-Sekali. Ia menyampaikan bahwa di hari uposatha yang lalu, para deva alam 30 deva dan 4 raja dewa alam catumaharajika berkumpul di Aula Sudhamma, kemudian Brahmā Sanankumāra muncul di hadapan mereka]

    Brahma Sanakumara: Mereka yang berkeyakinan tak goyah pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan memiliki moralitas yang dimiliki Para Mulia, makhluk-makhluk yang telah muncul di sini karena latihan-Dhamma mereka, berjumlah lebih dari 24.000 dari Magadha yang telah meninggal dunia, setelah menghancurkan 3 belenggu menjadi para Pemenang-Arus, tidak mungkin lagi terjatuh ke alam sengsara dan pasti akan memutus rantai penjelmaan, dan sesungguhnya juga ada sakadāgāmī di sini...[DN 18]

  3. Pencapaian sotapanna disebut jejak para dewa (devānaṁ devapadāni) [SN 33.34-35], punya kesamaan dengan para dewa (devā sabhāgataṁ) [SN 55.36]
Kelahiran sebagai Deva adalah kelahiran spontan sehingga DAPAT INGAT mengapa terlahir di situ, mendapatkan bukti langsung kebenaran ajaran dan dapat meneruskan yang telah dilakukan.

Ke-5,
[..] memasuki: jalan pasti kebenaran, wilayah kaum mulia; melampaui: wilayah kaum duniawi; TIDAK DAPAT MELAKUKAN PERBUATAN, PERBUATAN YANG BERAKIBAT MEMUNCULKANNYA DI ALAM: neraka, binatang, makhluk halus; Tidak dapat atau belum akan tiba waktunya (untuk wafat) selama buah memasuki arus belum tercapai [SN 25.1-10]

"...Bersamaan dengan kemampuannya melihat, ditanggalkannya 3 hal (Sahā vassa dassanasampadāya, tayassu dhammā jahitā bhavanti), pandangan identitas, keraguan dan salah memahami/melekat pada aturan/praktek (Sakkāyadiṭṭhi vicikicchitañ-ca sīlabbataṁ vāpi yad-atthi kiñci), bebas dari 4 keadaan sengsara (catūhapāyehi ca vippamutto), tak dapat melakukan 6 hal berat (Chaccaabhiṭhānāni abhabba kātuṃ)....Perbuatan buruk yang dilakukannya (Kiñcāpi so kammaṁ karoti pāpakaṁ) melalui badan, ucapan dan pikiran (Kāyena vācā uda cetasā vā) tidak dapat disembunyikannya (abhabbo so tassa paṭicchādāya). Tidak dapat oleh yang dikatakan telah melihat jalan (abhabbatā diṭṭhapadassa vuttā).." [SNP 2.1/KHP.6]
    Note:
    Tentang 6 hal berat: membunuh ibu (1), ayah (2), arahat (3); dengan pikiran benci berakibat seorang Buddha terluka (4) dan memecah belah sangha (5), ke-6: menyetujui guru lain atau pengajar ajaran lain (berpandangan salah) sebagai guru.
"Bagi yang berpandangan benar TIDAK MUNGKIN:
  1. menganggap sankhāra (berkondisi, terkondisi) adalah kekal, menyenangkan dan dhamma (berkondisi, terkondisi dan tidak terkondisi) sebagai diri
  2. Membunuh: ibu, bapak, arahat, berpikiran buruk dan melukai sang buddha, memecahbelah sangha
  3. menyetujui dengan menyampaikan ajaran dari guru lain/berguru ke lainnya (aññaṃ satthāraṃ uddiseyya)
Namun MUNGKIN bagi Puthujjana". [MN 115, AN 1.268-276]

"Tidak mungkin suatu akibat yang: diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku salah: melalui jasmani, ...melalui ucapan, …melalui pikiran; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi ada kemungkinan bahwa suatu akibat yang tidak: diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku salah; melalui jasmani, …melalui ucapan, ...melalui pikiran; ada kemungkinan seperti itu" [MN 115, AN 1.284-286]

Terdapat 4 keadaan yang takkan terjadi pada sotāpanna:
    Atha kho so parimutto nirayā, parimutto tiracchānayoniyo, parimutto pettivisayā, parimutto apāyaduggativinipātā. [kemudian Ia bebas dari: neraka, binatang, alam peta dan keadaan sengsara menderita menuju kehancuran] [SN 55.1]
Kalimat parimutto apāyaduggativinipātā (bebas dari kerugian kesengsaraan kehancuran) menunjukan ia tidak dapat terlahir lagi di alam manusia.

Terlahir sebagai manusia, akan mengalami kerugian ketika sebagai janin dan bayi. Sebagai balita, Ia ada potensi pelanggaran sila (misal: mengambil yang tidak diberikan). Bayi tidak punya pandangan identitas, ajaran maupun keraguan pada ajaran serta tidak 'melihat dan mengetahui' anicca yang merupakan syarat sotāpanna.
    “Mālunkyāputta,..Tidakkah para pengembara sekte lain membantahmu dengan perumpamaan bayi? Karena seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan:

    1. tidak memiliki gagasan ‘identitas,’ jadi bagaimana mungkin pandangan identitas muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada pandangan identitas terdapat dalam dirinya
    2. tidak memiliki gagasan ‘ajaran,’ jadi bagaimana mungkin keragu-raguan terhadap ajaran muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan terdapat dalam dirinya
    3. tidak memiliki gagasan ‘peraturan,’ jadi bagaimana mungkin keterikatan pada peraturan dan pelaksanaan muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada peraturan dan pelaksanaan terdapat dalam dirinya.
    4. tidak memiliki gagasan ‘kenikmatan indriya,’ jadi bagaimana mungkin keterikatan pada hasrat indriya muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada hasrat indriya terdapat dalam dirinya
    5. tidak memiliki gagasan ‘makhluk-makhluk,’ jadi bagaimana mungkin kehendak buruk terhadap makhluk-makhluk muncul dalam dirinya? namun kecenderungan tersembunyi pada kehendak buruk terdapat dalam dirinya.

    Tidakkah para pengembara sekte lain membantahmu dengan perumpamaan bayi?” [MN 64]
Itulah sebabnya kelahiran berikut sotāpanna adalah kelahiran spontan, tidak lagi terlahir di alam manusia namun di alam-alam bahagia.

Ke-6,
Sang Buddha: “Lebih jauh lagi, Nandaka, seorang siswa mulia yang memiliki 4 hal ini memiliki umur panjang gabungan di alam dewa juga manusia (āyunā saṁyutto hoti dibbenapi mānusenapi); ia memiliki keindahan fisik (vaṇṇena) ..; ia memiliki kebahagiaan (sukhena)..; ia memiliki kemasyhuran (yasena)..; ia memiliki kekuasaan (ādhipateyyena) gabungan di alam dewa juga manusia". [SN 55.30. Note: kata saṁyutto = digabungkan; terikat bersama, kombinasi]

Beberapa pencapai Sotapanna tidak berumur panjang, misalnya Sarakāni (SN 55.24, 25) wafat tidak lama setelah pencapaiannya, atau Suppabuddha, yang wafat ditubruk sapi (Ud 5.3) tidak lama setelah pencapaiannya, jadi ketika mencapai sotapanna, ini merupakan kelahiran kedua (dwija)-nya, yaitu dari puthujjana terlahir menjadi ariya, sehingga sotapanna adalah serangkaian gabungan penjelmaan sebagai ariya sampai dengan 7x penjelmaan, yaitu sejak alam manusia dan berlanjut ke alam Dewa.


II. SAKADĀGĀMĪ
(sakṛt = 1 x; āgacchati = datang): Ia menghancurkan 3 belenggu mengurangi raga, dosa, moha (So tiṇṇaṃ saṃyojanānaṃ parikkhayā rāgadosamohānaṃ tanuttā) menjadi sakadāgāmī (sakadāgāmī hoti) 1 x kembali ke alam ini untuk mengakhiri dukkha (sakideva imaṃ lokaṃ āgantvā dukkhassantaṃ karoti) (= menjadi arahat) [AN 3.86, 87; 4.88, 421; 7.15; 9.12; SN 55.8, 10, 24, 52; MN 6, 22, 34, 68, 118; DN 6, 16, 18, 19, 28, 29].

Maksud "kembali ke alam ini" bukan alam manusia, karena di DN 18, ada juga yang terlahir di alam 30 Deva. Di AN 10.63 ,64 ada frase: "pañcannaṃ idha niṭṭhā, pañcannaṃ idha vihāya niṭṭhā..uddhaṃsotassa akaniṭ-ṭhagāmino" (5 berakhir di sini, 5 pergi dari sini..menuju ke atas ke Akanittha/alam Sudhavasa). Jadi "alam ini" = selain alam Sudhavasa (dan tentu saja selain alam menderita dan keadaan merugi). Untuk mencapainya: 3 belenggu sotāpanna harus telah dipatahkan dan harus telah melemahkan 2 belenggu berikutnya:
  1. Kāmarāga = ketagihan hasrat indriya
  2. Byāpāda = Itikad buruk/memusuhi.

III. ANĀGĀMI
(an = tidak; āgacchati = datang), TELAH mematahkan 5 belenggu terendah (Orambhãgiya-samyojana: sakayadithi, vicikicca, silabbata-paramasa, kamaraga dan Byapada). Di fase ini: ‘aku/asmi’ terkait 5 kelompok yang dilekati (pañcupādā­nak­khan­dhā) belum lenyap walaupun tidak lagi melihat/mengamati satu ataupun semuanya itu sebagai 'Ini aku' namun masih ada sisa aku, ukuran membandingkan terhadap aku, hasrat akan aku kecenderungan tersembunyi yang belum tercabut (anusahagato ‘asmī’ti, māno ‘asmī’ti, chando ‘asmī’ti anusayo asamūhato) (SN 22.89).

Para anāgāmī, karena belum menghancurkan belenggu lebih tinggi, yaitu Ruparāga dan Aruparāga, karena aspirasi tertentu, atau karena keinginan/kegembiraan akan dhamma tertentu, tidak terlahir di Śuddhāvāsa, tapi terlahir di alam jhāna rupa dan arupa tertentu, namun jika habis umur hidup sebagai dewa di alam tersebut dan belum Arahat, mereka akan terlahir di alam-alam Śuddhāvāsa. Mereka yang terlahir di alam Śuddhāvāsa takkan terlahir lagi di luar alam itu hingga mencapai Nibbana dan juga parinibbana

Beda Puthujjana/kaum duniawi VS Bhagavato Sāvaka/Siswa Sang Buddha (yang menjalani ajaran), ketika terlahir di alam jhāna rupa dan arupa:

Puthujjana: Di sana kaum duniawi menetap seumur kedewaannya habis seluruhnya (tattha puthujjano yāvatāyukaṁ ṭhatvā yāvatakaṁ tesaṁ devānaṁ āyuppamāṇaṁ taṁ sabbaṁ khepetvā) , kemudian ia menuju: neraka, alam binatang, atau alam peta (nirayampi gacchati tiracchānayonimpi gacchati pettivisayampi gacchati) [AN 4.123, AN 4.125, AN 3.116]

makhluk tertentu (ekaccassa puggala) yang tidak menghancurkan (appahīṇā) belenggu (saññojanāni) lebih rendah (orambhāgiyāni), Ia, saat sekarang (diṭṭheva dhamme) berada di landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi. Ia menikmati, meminati dan karenanya menemukan kebahagiaan. Kemudian mengakar menjadi kebiasaan kerap di dalamnya tanpa alpa selalu melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat). Ia terlahir di antara Deva nevasaññānāsaññāyatana. Dari sini [So tato] setelah wafat [cuto] menjadi kembali [āgāmī hoti] kembali ke alam ini [āgantā itthattaṃ: selain alam suddhavasa].

Bhagavato sāvaka: Siswa Sang Bhagavā di sana menetap seumur kedewaannya habis seluruhnya, dan pada kehidupan yang sama mencapai nibbāna akhir (tasmiṁyeva bhave parinibbāyati) [AN 4.123, AN 4.125, AN 3.116]

makhluk tertentu yang telah menghancurkan (pahīṇā) belenggu lebih rendah yang mengikatnya di alam sensual, Ia, sekarang dan saat ini berada di landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi. Ia menikmati, meminati dan karenanya menemukan kebahagiaan. Kemudian mengakar menjadi kebiasaan kerap di dalamnya tanpa alpa selalu melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat). Ia terlahir di antara Deva nevasaññānāsaññāyatana. Ketika wafat Ia TIDAK kembali lagi (ānagāmī) tidak kembali ke alam ini [anāgantā itthattaṃ: Terlahir di Suddhavasa] [AN 4.171]

Ia melihat/mengamati (so...samanupassati):
Apapun yang ada disana seperti (yadeva tattha hoti, yaitu dhamma/kondisi/fenomena: di AN 9.36 dan AN 4.124, 4.126: Pañcu­pādā­nak­khan­dhā/5 khanda yang dilekati (rūpagataṁ .. viññāṇagataṁ) dan juga jhāna 1-8. Sedangkan di AN 11.8, 18: Indriya dan objeknya, catumahabhuta, pencapaian landasan arupa ke-1 sd. ke-4, persepsi/pikiran tentang dunia ini dan dunia lain, apapun yang dilihat, didengar, diindriya, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa pikiran) sebagai: aniccato/tidak kekal, dukkhato/tidak memuaskan, rogato/penyakit, gaṇḍato/bisul, sallato/duri, aghato/bencana, ābādhato/malapetaka, parato/asing, palokato/kehancuran, suññato/kosong, anattato/bukan IDENTITAS (DIRI/AKU). [AN 4.124, 4.126, MN 64, AN 9.36]:

Ia alihkan pikirannya dari hal tersebut, dialihkan pikirannya pada unsur amatāya (tanpa kematian = dilihat sebagai: anicca, dukkha...anatta atau terbelenggu taṇhā - SN 48.50): ‘ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala bentukan/sabbasaṅkhārasamatho, lepasnya segala kehausan, hancurnya ketagihan, tidak menginginkannya, berhenti, padam’, Jika Ia [MN 64, AN 9.36]: kokoh di dalam itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda, jika tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya 5 belenggu rendah (sebagai anagami), muncul kembali secara spontan dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali ke alam ini. [MN 64, AN 9.36], atau, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Ia muncul kembali di alam suddhavasa [AN 4.124, AN 4.126]

Di AN 7.55, 3.86/87 dan SN 48.15-17 1-3, terdapat 5 Tipe anāgāmī yang tercapai berdasarkan kuat/lemahnya kelengkapan/terpenuhinya 5 indriya atau jika menurut SN 55.25 (memenuhi saddhaindriya, memiliki hāsapañño/kebijasanaan yang membuatnya bergembira dan javanapañño/kebijaksanaan tangkas dan cepat):

(1) masa antara/antarāparinibbāyī, atau
(2) ketika mendarat/upahaccaparinibbāyī, atau
(3) tanpa kesulitan/sisa kamma/asaṅkhāraparinibbāyī, atau
(4) dengan kesulitan/sisa kamma/sasaṅkhāraparinibbāyī, atau
(5) berenang ke atas (uddhaṃsoto) hingga ke-akanittha

Perumpamaan di AN 7.55, untuk memahami 5 tipe anāgāmī di atas: “Misalkan, ketika sebuah mangkuk besi dipanaskan sepanjang hari dan dipukul, kemudian percikannya akan memercik:
  1. (atau terbang) dan padam (ketika masih di udara)” → antarāparinibbāyī. Ia mencapai arahat, saat baru terlahir spontan di alam anāgāmī (memercik namun kemudian padam) atau pada masa setelah terlahir spontan s.d sebelum wafat (percikannya terbang dan kemudian padam ketika di udara).
  2. terbang dan padam ketika mendarat di tanah → upahaccaparinibbāyī. Ia mencapai arahat persis ketika wafat
  3. terbang, jatuh di tumpukan jerami/kayu. Serpihan menjadi api dan asap, kemudian jerami/kayu habis, tidak ada bahan bakar tambahan, maka api menjadi padam. Untuk yang jatuh di tumpukan kecil jerami → asaṅkhāraparinibbāyī. Untuk yang jatuh di tumpukan besar jerami → sasaṅkhāraparinibbāyī. Ke-2 tipe ini lahir kembali secara spontan di alam anāgāmī yang lebih atas dan mencapai arahat di kehidupan barunya. Untuk yang tanpa kehendak, misal samanera berusia 7 tahun, mencapai arahat saat melihat rambutnya dipotong (Dhammapada syair 96), atau Yasa menjadi arahat saat Sang Buddha berkotbah pada ayahnya
  4. terbang dan jatuh di atas tumpukan besar jerami/kayu. Serpihan menjadi api dan asap, ketika tumpukan besar jerami/kayu itu habis, kemudian api membakar hutan/belukar hingga tepian lahan/jalan → uddhaṃsoto akaniṭṭhagāmī. Tipe anāgāmī ini akan terlahir spontan LEBIH dari 1x, di alam anāgāmī yang lebih tinggi hingga alam Akanitthagami dan mencapai arahat di alam tertinggi
Saṅ­khā­ra = kamma/kehendak, dapat memunculkan pāpakā akusalā dhammā/hal buruk tak bermanfaat [AN 2.80]. Di AN 4.169: 4 jenis makhluk berlatih berdiam dengan 6 bala (Hiri+Ottappa, Saddha, Viriya dan pañña) dan 5 indriyani-nya ada yang lemah dan ada yang kuat (5 Indriyani: saddha, viriya, sati, pañña dan samādhi). Indriyani/kemampuan jika sudah mahir = Bala/kekuatan). Dari 5 indriyani, 4 menjadi bala (pañña, viriya, saddha dan sati karena hiri dan ottappa) jadi perbedaan kuat lemah 5 indriyani ada di samādhi indriya (SN 48.8, 9 dan AN 5.15: Indriya samādhi harus terlihat dalam 4 jhāna). Jenis no.3 dan 4 mencapai jhāna ke-4 tapi 5 indriyaninya ada yang lemah dan kuat. Jadi, yang lemah adalah karena tidak mengembangkan abhinna/iddhi (Di AN 9.36: hancurnya noda-noda/mencapai arahat, dapat dimulai dari jhāna ke-1). Walau sampai jhāna ke-4 tidak disebut di jenis ke-1 dan ke-2 namun karena dalam 5 Indriyani ada indriya samādhi yang harus terlihat di 4 jhāna, maka yang lemah adalah karena tidak mengembangkan iddhi.


IV. ARAHAT
setelah mematahkan 5 belenggu terendah, harus mematahkan 5 belenggu tertinggi (Uddhambhãgiya-samyojana):
  1. Ruparāga = ketagihan memiliki tubuh tertentu, masih berpersepsi rūpā/rūpasaññā, di saat ini, di kehidupan mendatang

  2. Aruparāga = ketagihan di landasan SELAIN di persepsi materi/rupasanna atau walaupun sudah tanpa gangguan (āneñja) dengan pesepsi materi, tapi masih berhasrat muncul di non rūpasaññā

    Kitab komentar: Mereka yang telah menghancurkan belenggu no.6 (ruparaga) dan/atau no.7 (a-ruparaga), apabila meninggal di keadaan samādhi [mencapai Jhãna ke-1. sd ke-4] akan muncul di alam bentuk (rüpa-loka). Ini tidak benar. Mereka yang TELAH menghancurkan 5 belenggu terendah (orambhãgiya), jika wafat dan belum arahat, mereka SELALU AKAN terlahir di alam-alam Suddhavasa. Di alam-alam itu, setelah menghancurkan 5 belenggu yang lebih tinggi (uddhambhãgiya) mereka menjadi arahat.

  3. Māna: berkenaan dengan "keangkuhan" ketika membandingkan diri sendiri vs pihak lainnya [bentuk, perasaan, persepsi, dll] yang hasilnya, Ia merasa: lebih baik/tinggi atau sama atau lebih rendah/rendah dari pihak lainnya.

  4. Uddhacca = Gelisah, resah, khawatir pada hal tertentu yang belum terjadi/pada masa depan

  5. Avijjā = Ketidaktahuan (tentang: 4 Kebenaran Mulia, Tilakkhana, Paticcasamuppada). Moha hampir identik dengan Avijja, avijja disebut maha moha (SNP 3.12). Moha adalah perhatian tidak benar (ayoniso manasikaroti), tidak dapat membedakan hal yang bermanfaat dan tidak.
Terkait Arahat [MN 1]:
Ia memahami sebagai bagian dari kepadatan, sebagai padat (pathaviṁ pathavito abhijānāti). Setelah memahami sebagai bagian dari kepadatan, sebagai padat (pathaviṁ pathavito abhiññāya):

Ia TIDAK berpikir sebagai padat (pathaviṁ na maññati)
Ia TIDAK berpikir (dirinya) di padat (pathaviyā na maññati)
Ia TIDAK berpikir (dirinya) bagian dari kepadatan (pathavito na maññati)
Ia TIDAK berpikir padat miliknya (pathaviṁ meti na maññati)
dan Ia TIDAK menggembirai padat (pathaviṁ nābhinandati)

Ia memahami sebagai bagian dari cairan/rekatan (..āpaṁ..)... ketepanasanan/keradiasian (..tejaṁ..)... pergerakan (..vāyaṁ..)... (masing-masing seperti di atas)

Ia memahami sebagai bagian dari ke-makhluk-an, sebagai makhluk (bhūte bhūtato abhijānāti)...
Ia memahami sebagai bagian dari ke-dewa-an... Pajāpati... Brahma... (Brahma) Ābhassare... (Brahma) Subhakiṇhe... (Brahma)Vehapphale... (Brahma) Abhibhu... (Brahma arupa) ākāsānañcāyatana... (Brahma arupa) viññāṇañcāyatana... (Brahma arupa) ākiñcaññāyatana... (Brahma arupa) nevasaññānāsaññāyatana... (masing-masing seperti di atas)

Ia memahami sebagai bagian dari kelihatan, sebagai terlihat (diṭṭhaṁ diṭṭhato abhijānāti). Setelah memahami sebagai bagian dari kelihatan, sebagai terlihat (diṭṭhaṁ diṭṭhato abhiññāya):

Ia TIDAK berpikir sebagai terlihat (diṭṭhaṁ na maññati)
Ia TIDAK berpikir (dirinya) di terlihat (diṭṭhasmiṁ na maññati)
Ia TIDAK berpikir (dirinya) bagian dari kelihatan (diṭṭhato na maññati)
Ia TIDAK berpikir terlihat miliknya (diṭṭhaṁ meti na maññati)
dan Ia TIDAK menggembirai terlihat (diṭṭhaṁ nābhinandati)

Ia memahami sebagai bagian dari kedengaran, sebagai terdengar...
Ia memahami sebagai bagian dari keterasaan, sebagai terasa (mutaṁ mutato abhijānāti: melalui hidung, lidah dan badan)...
Ia memahami sebagai bagian dari ketersadaraan, sebagai tersadari (viññātaṁ viññātato abhijānāti)...
Ia memahami sebagai bagian dari kesamaan, sebagai sama (ekattaṁ ekattato abhijānāti)...
Ia memahami sebagai bagian dari keragaman sebagai ragam (ānattaṁ nānattato abhijānāti)...(masing-masing seperti di atas)

Ia memahami sebagai bagian dari keseluruhan, sebagai seluruh (sabbaṁ sabbato abhijānāti). Setelah memahami sebagai bagian dari keseluruhan, sebagai seluruh (sabbaṁ sabbato abhiññāya):

Ia TIDAK berpikir sebagai seluruh (sabbaṁ na maññati)
Ia TIDAK berpikir (dirinya) di seluruh (sabbasmiṁ na maññati)
Ia TIDAK berpikir (dirinya) bagian dari keseluruhan (sabbato na maññati)
Ia TIDAK berpikir seluruh miliknya (sabbaṁ meti na maññati)
dan Ia TIDAK menggembirai seluruh (sabbaṁ nābhinandati)...
    Note:
    Sang Buddha: Setelah memahami sebagai bagian dari keseluruhan, sebagai seluruh (sabbaṁ sabbato abhiññāya), maka, sejauh memahami yang TIDAK sebagai bagian dari (tidak serupa dengan) keseluruhan, sebagai seluruh (yāvatā sabbassa sabbattena ananubhūtaṁ tadabhiññāya), TIDAKLAH sebagai seluruh (sabbaṁ nāpahosiṁ), TIDAKLAH di seluruh (sabbasmiṁ nāpahosiṁ), TIDAKLAH bagian dari keseluruhan (sabbato nāpahosiṁ), seluruh TIDAKLAH milik-ku (sabbaṁ meti nāpahosiṁ), TIDAK menggembirai seluruh (sabbaṁ nābhivadiṁ) [MN 49]
Ia memahami sebagai bagian dari kenibbanaan, sebagai nibbana. Setelah memahami sebagai bagian dari kenibbanaan, sebagai nibbana (nbbānaṁ nibbānato abhijānāti, nibbānaṁ nibbānato abhiññāya):

Ia TIDAK berpikir sebagai nibbana (nbbānaṁ na maññati)
Ia TIDAK berpikir (dirinya) di nibbana (nibbānasmiṁ na maññati)
Ia TIDAK berpikir (dirinya) bagian dari kenibbanaan (nibbānato na maññati)
Ia TIDAK berpikir nibbana miliknya (nbbānaṁ meti na maññati)
dan Ia TIDAK menggembirai nibbana (nbbānaṁ nābhinandati) [MN 1]

Kearahatan Bāhiya dārucīriya dan Māluṇkyaputta:
Ketika itu sang Buddha di Jetavana Vihara Anathapindika, dekat Savatthi, Saat itu Bāhiya dārucīriya (Bahiya pemakai pakaian kulit kayu) tinggal di pantai Supparaka sebagai seorang yang dihormati, dipuja, dihargai, dimuliakan, disembah dan mendapat kebutuhan pakaian, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan dari masyarakat sekitar
    Note:
    Kitab komentar Dhammapada untuk syair ke-101: sebagai satu-satunya yang selamat ketika kapalnya diserang badai dan terdampar di pelabuhan Supparaka.
Ketika Bāhiya dārucīriya sedang sendirian dalam keterasingan (rahogatassa paṭisallīnassa), sebuah perenungan muncul di pikirannya (evaṃ cetaso parivitakko udapādi): "Apakah Aku salah satu Arahat di dunia ini, atau sudah memasuki jalan menuju Arahat (arahattamagga)?”
    Note:
    Kalimat di atas adalah standar dari mereka yang sedang menjalani samādhi dan muncul pemikiran dalam perenungannya, dialami juga oleh YM Mahamoggalana (SN 40.1), YM Sariputta (SN 21.2) dan lainnya. Juga menunjukan bahwa praktek (sila dan) pencapaian samādhi di alami para petapa aliran lainnya (MN 79)
Saat itu satu dewata yang pada kehidupan lampaunya adalah kerabat satu hubungan darah dengan Bahiya Daruciriya (purāṇasālohitā) memahami pikiran Bahiya. Karena kasihan dan ingin membantu, dewata itu datang dan berkata pada Bahiya bahwa Ia BUKAN Arahat, TIDAK sedang memasuki arahattamagga, TIDAK mengikuti praktek yang membawanya menjadi Arahat atau memasuki arahattamagga.
    Note:
    Kitab komentar abad ke-5 untuk syair no.101: dewa itu Brahma anāgāmī, sahabat kehidupan lampaunya
“Kalau demikian di dunia ini termasuk para dewa, siapakah yang menjadi Arahat atau sudah memasuki arahattamagga?”. Sang Dewata: di negeri jauh di suatu kota yang disebut Savatthi ada seorang Arahat Sammasambuddha. Seorang yang benar-benar Arahat dan mengajarkan Dhamma untuk mencapai Arahat. Mendengarnya, Bāhiya dārucīriya, tergugah secara mendalam (saṃvejita), saat itu juga, berangkat dari Supparaka menuju Savatthi dalam total waktu 1 malam saja (sabbattha ekarattiparivāsena) sampai ke tempat Sang Bhagava di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika
    Note:
    Ia tampak punya pengetahuan tentang makna Arahat dan magga, sejak mendapat informasi dari sang Deva, bisa jadi, selama diperjalanannya, Ia merenungkan tentang itu.

    Untuk "sabbattha ekarattiparivāsena" (total waktu 1 malam)
    Sabbatthatā/sabbatthatāya = ON THE WHOLE D i.251; ii.187; M i.38; S iv.296; A iii.225; v.299, 344. Expld at Vism 308 (with tt). [Pali-English Dictionary, TW Rhys Davids, William Stede]
    eka ratti = 1 MALAM. Untuk 24 jam, siang dan malam, palinya: "divā ca ratto" (SN 1.47; SN 2.6; AN 4.60. SNP 2.1, KP 6)
    parivāsena = (1) singgah, tinggal (2) masa percobaan (3) PERIODE, WAKTU, INTERVAL, DURASI
    Jadi: "total waktu 1 malam" BUKAN "menetap 1 malam di setiap tempat"

    Jarak Suparaka - Savatthi = 1486 Km. Kitab komentar syair no.101, jaraknya 120 Yojana (1 Yojana = 7-9 Mil, 1 Mil = 1.6km, jadi = 1344 km - 1728 km). Karena dalam 1 malam saja, maka kecepatan rata-ratanya: 62 km/jam (untuk 24 jam) s.d 124 km/jam (untuk 12 jam) tanpa henti. Manusia normal untuk jarak itu perlu sedikitnya 300 Jam dengan kecepatan 4.9 km/jam tanpa henti.

    Sutta TIDAK MENYATAKAN Ia dibantu Deva, hanya kitab komentar abad ke-5 yang menyatakan Ia dibantu sang deva. Oleh karena sutta lebih valid, maka ini menunjukan Ia punya abhinna/kekuatan mental tertentu.
Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan ke sana kemari di area terbuka. Bāhiya dārucīriya mendekati, bertanya dan disampaikan bahwa Sang Bhagava sedang mengumpulkan makanan dari rumah ke rumah, Kemudian Bahiya bergegas meninggalkan hutan Jeta, memasuki Savatthi, Ia melihat Sang Bhagava sedang berjalan mengumpulkan makanan di Savatthi – menyenangkan, indah dipandang, dengan indriya yang tenang dan pikiran yang tentram, telah mencapai sikap yang sempurna dan tenang, terkendali, seorang yang sempurna, waspada dengan indriya yang terlatih. Ketika melihat Sang Bhagava, Ia mendekat, bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagava dan berkata: “Ajarilah aku Dhamma, Sang Bhagava; ajarilah aku Dhamma, Sugata, demi kebaikan dan kebahagiaanku sendiri untuk waktu yang lama”.

Ketika diajak berbicara demikian, Sang Bhagava berkata: “Ini bukan waktu yang tepat, Bahiya, kami akan pergi mengumpulkan makanan”. Bahiya: “Sulit untuk tahu dengan pasti, Sang Bhagava, berapa lama Sang Bhagava akan hidup atau berapa lama aku akan hidup. Ajarilah aku Dhamma, Sang Bhagava; ajarilah aku Dhamma, Sugata, demi untuk kebaikan dan kebahagiaanku sendiri untuk waktu yang lama”. Untuk ke-2xnya..Ke-3xnya, Bahiya: “Sulit untuk tahu dengan pasti…..; ajarilah aku Dhamma, Sugata, demi kebaikan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama”.
    Note:
    "ini bukan waktu yang tepat": bisa juga karena itu, sebagai saat terbaik bagi penduduk mendapatkan jasa kebajikan berdana kepada sammasambudda atau menungu tenangnya fisik-mental Bahiya dari kelelahan, dari kecemasan takut lewatnya kesempatan memperoleh dhamma di kehidupan itu, dan dari perasaan sangat gembira ketika akhirnya dapat bertemu seorang Buddha
Dalam hal ini, Bahiya, kau harus melatih dirimu sendiri:

melihat sebatas yang (telah) terlihat (diṭṭhe diṭṭhamattaṃ bhavissati. note: matta = batas);
mendengar sebatas yang (telah) terdengar (sute..);
merasakan sentuhan sebatas yang (telah) terasakan (mute..);
menyadari sebatas yang (telah) tersadari (viññāte..).

Demikian seharusnya kau latih (Evañhi te, bāhiya, sikkhitabbaṁ), Jika, Bahiya, melihat sebatas yang (telah) terlihat,….., menyadari sebatas yang (telah) tersadari, maka Bahiya, kau takkan 'bersama itu' (tato tvaṁ na tena);
Jika kau tidak 'bersama itu' (yato tvaṁ na tena), maka kau tidak 'di situ' (tato tvaṁ na tattha);
Jika, kau tidak 'di situ' (Yato tvaṁ, bāhiya, na tattha), maka kau ‘tidak di sini, tidak di sana, juga tidak di antaranya’ (tato tvaṁ, nevidha na huraṁ na ubhayamantarena)
Inilah akhir penderitaan (Esevanto dukkhassā)”

Bāhiya dārucīriya dengan Dhamma yang singkat (saṅkhittāya dhammadesanāya) segera terbebas pikirannya dari kekotoran tanpa kemelekatan (tāvadeva anupādāya āsavehi cittaṃ vimucci). Kemudian, sesudah mengajarkan Bahiya petunjuk yang ringkas, Sang Bhagava pergi.

Tak lama, seekor sapi dengan anaknya (gāvī taruṇavacchā) menyerang dan membunuh Bāhiya dārucīriya. Sang Buddha: “para bhikkhu, ambillah tubuh Bahiya, letakkan di atas tandu, bawalah pergi dan bakarlah, buatlah stupa (thūpo). Temanmu dalam kehidupan suci telah meninggal dunia”. Setelah itu, para Bhikkhu: “Tubuh Bahiya telah dibakar, Sang Bhagava, dan sebuah stupa telah dibuat. Bagaimanakah keadaan dan kehidupannya di masa datang?”. Sang Buddha: "para bhikkhu, Bāhiya adalah seorang bijaksana, berlatih menurut Dhamma dan tidak merepotkanKu dengan berselisih soal Dhamma. Bahiya telah mencapai Nibbana Akhir".. [Udana 1.10, Ada juga Bahiya yang berbeda yang meminta dhamma yang ringkas (SN 35.89 dan SN 47.15). Di AN 16.216: Sang Buddha menyatakan Bahiya Daruciriya adalah Khippa abhiññā/cepat dalam mencapai pengetahuan]

Māluṇkyaputta yang juga mendapat arahan ringkas yang sama, memerincinya:

Setelah melihat bentukan dengan ingatan kacau (rūpaṁ disvā sati muṭṭhā),
Memperhatikan gambaran menyenangkan (piyaṁ nimittaṁ manasikaroto),
merasakannya, pikirannya terpikat (sārattacitto vedeti),
Dan terus menggenggam (tañca ajjhosa tiṭṭhati).

perasaan berkembang di sana (tassa vaḍḍhanti vedanā),
diawali aneka bentukan (anekā rūpasambhavā),
merindukan juga mengesalkan (abhijjhā ca vihesā ca),
pikirannya terganggu (cittamassūpahaññati).
mengumpulkan penderitaan demikian (evaṁ ācinato dukkhaṁ),
dikatakan jauh dari Nibbāna (ārā nibbāna vuccati).

Setelah mendengarkan suara dengan ingatan kacau (saddaṁ sutvā sati muṭṭhā)…
Setelah mencium bebauan dengan ingatan kacau (gandhaṁ ghatvā sati muṭṭhā)…
Setelah mengecap rasa dengan ingatan kacau (rasaṁ bhotvā sati muṭṭhā)…
Setelah merassakan sentuhan dengan ingatan kacau (phassaṁ phussa sati muṭṭhā)…
Setelah menyadari objek (pikiran) dengan ingatan kacau (dhammaṁ ñatvā sati muṭṭhā)… [Sama seperti di atas]
[..]
Ia tidak terbakar bentukan (Na so rajjati rūpesu);
melihat bentukan kokoh ingatannya (rūpaṁ disvā paṭissato),
merasakannya, pikirannya tidak melekati (Virattacitto vedeti)
Dan tidak terus menggenggam (tañca nājjhosa tiṭṭhati).

ketika melihat bentukan (Yathāssa passato rūpaṁ),
juga merasakannya (sevato cāpi vedanaṁ),
layu tidak berkembang (Khīyati nopacīyati),
demikian jalan ingatannya (evaṁ so caratī sato),
penderitaan tidak dikumpulkan demikian (evaṁ apacinato dukkhaṁ)
Dikatakan dekat dengan Nibbāna (santike nibbāna vuccati).

Ia tidak terbakar suara…
Ia tidak terbakar bebauan…
Ia tidak terbakar rasa…
Ia tidak terbakar sentuhan…
Ia tidak terbakar objek (pikiran)… [Sama seperti di atas]

..Kemudian Māluṅkyaputta, berdiam dalam keterasingan, dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, tidak lama kemudian, Ia merealisasikan tujuannya menjadi salah seorang arahat [SN 35.95]

Walaupun para Ariyasavaka (mereka yang terlatih, makhluk suci) dan juga para Puthujjana (bukan makhluk suci) sama-sama merasakan perasaan menyenangkan, menyakitkan atau bukan keduanya namun ada perbedaannya:
    Mereka yang tidak terlatih..merasakan 2 perasaan: Jasmani (kayika) dan yang menyertai pikiran (cetasika). Seperti seorang yang dibidik sebatang anak panah dan dibidik lagi dengan anak panah ke-2 hingga merasakan perasaan yang ditimbulkan 2 anak panah itu. Ketika tersentuh perasaan menyakitkan, ia terganggu. Ketika terganggu, ada kecenderungan tersembunyi melawannya. Karena tersentuh perasaan menyakitkan, ia mencari kesenangan dalam kenikmatan indriya karena Ia TIDAK TAHU jalan membebaskan diri dari perasaan menyakitkan selain melalui kenikmatan indriya. Ketika mencari kesenangan dalam kenikmatan indriya, ada kecenderungan tersembunyi melekatinya. Ia TIDAK MEMAHAMI asal-mula dan lenyapnya, kepuasan sesaat, bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya. Ketika TIDAK MEMAHAMINYA, ada kecenderungan tersembunyi TIDAK MENGETAHUI perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Merasakan perasaan menyenangkan, Ia terikat/terbelenggu (saññutto). Merasakan perasaan menyakitkan, Ia terikat. Merasakan perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan, Ia terikat

    Sedangkan mereka yang terlatih HANYA merasakan perasaan itu pada jasmaninya saja dan TIDAK di mental, ini seperti dibidik satu anak panah saja.. Ketika tersentuh perasaan menyakitkan, ia TIDAK terganggu. Ketika TIDAK terganggu, TIDAK ADA kecenderungan tersembunyi melawannya. Karena tersentuh perasaan menyakitkan, ia TIDAK mencari kesenangan dalam kenikmatan indriya.. Karena ..TAHU jalan membebaskan diri dari perasaan menyakitkan selain dari kenikmatan indriya. Ketika TIDAK mencari kesenangan dalam kenikmatan indriya, TIDAK ADA kecenderungan tersembunyi melekatinya. Ia MEMAHAMI asal-mula dan lenyapnya, kepuasan sesaat, bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya. Ketika MEMAHAMINYA, TIDAK ADA kecenderungan tersembunyi tidak mengetahui perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan. Merasakan perasaan menyenangkan, ia TIDAK terikat/terbelenggu (visaññutto). Merasakan perasaan menyakitkan, Ia TIDAK terikat. Merasakan perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan, Ia TIDAK terikat. [SN 36.6]

    Sotapanna masih dapat merasakan kesakitan mental, misalnya menangisnya ananda ketika Buddha hendak parinibbana:

    "..Dan YM Ānanda pergi ke tempat kediamannya dan berdiri meratap, bersandar pada tiang pintu: ‘Aduh, aku masih seorang pelajar yang masih harus melakukan banyak hal! Dan Sang Guru segera akan wafat, yang sangat berbelas kasihan kepadaku!’ ... Dan Sang Bhagavā berkata: ‘Cukup, Ānanda, jangan menangis dan meratap! Bukankah Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa segala sesuatu yang indah dan menyenangkan pasti mengalami perubahan, pasti berpisah dan menjadi yang lain..." [DN 16]

    Percakapan Sariputta dan Ananda, bahwa hanya Arahat yang tidak lagi merasakan kesakitan mental:

    "..Ānanda: "Sahabat Sāriputta, bahkan jika Sang Guru sendiri mengalami perubahan, tidakkah kesedihan, ratapan - depresi - pedih - putus asa muncul dalam dirimu?"
    Sāriputta: "Sahabat, bahkan jika Sang Guru sendiri mengalami perubahan, maka kesedihan, ratapan - depresi - pedih - putus asa tetap tidak muncul dalam diriku.."
    Ananda: "Itu pasti karena pada YM sariputta (tathā hi panāyasmato sāriputtassa) telah sejak lama (dīgharattaṁ) pembentukan-aku (ahaṅkāra/aham+kāra), pembentukan-milikku (mamaṅkāra/mama+kāra), dan kecenderungan tersembunyi keangkuhan (māna+anusayā/mānānusayā) telah terberantas/musnah (susamūhatā).." [SN 21.2]

    Note:
    Dari 10 Belenggu, mānānusayā (kecenderungan mānā = "Ini adalah IDENTITAS (DIRI)-KU"/eso me attā) dan mamaṅkāra (pembentukan kepemillikan = "Ini adalah MILIK-KU/etaṁ mama, terkait taṇhā/kehausan, musnah hanya jika Avijja musnah) berada pada 5 belenggu lebih tinggi. Sementara ahaṅkāra (pembentukan Aku/diri/identitas/sesuatu/kondisi = "Ini adalah AKU/diri/identitas/sesuatu/kondisi"/esohamasmi, adalah sakkāya-ditthi/pandangan tentang sak-kaya) berada di 5 belenggu lebih rendah, sehingga walaupun belenggu sakkāya-ditthi hancur, namun belenggu māna dan Avijja belum hancur, maka sampai dengan level Anagami, kesakitan mental masih dirasakan.
Namun Sang Buddha TELAH menyatakan bahwa penghidupan BRAHMA/menyucikan diri tidak bertahan lama, usia Saddhamma/Dhamma sejati HANYA bertahan 500 tahun sejak ditahbiskannya Bhikkhuni pertama[↓]. Setelah 500 tahun berlalu, maka TAK ADA lagi, MANUSIA yang mencapai kesucian bahkan untuk sotāpanna sekalipun dengan melalui ajarannya, terjadi penyimpangan/tiruan ajaran, ajaran perlahan melenyap, masuk vase panjang kevakuman ajaran Buddha, di vase ini muncul para Pacceka Buddha (memutus rantai penjelmaan tanpa ajaran Buddha juga dengan usaha sendiri), berakhirnya vase vakumnya ajaran Buddha yaitu ketika Buddha Metteyya/Maitreya muncul di dunia untuk memutar kembali roda Dhamma. Sudah ada berapa BUDDHA, sebelum Buddha Gautama? lihat: "BLOG INI" []
---------------

Hukum Kamma

Beberapa pengertian kamma:
    Sang Buddha: "Ketika aku mengingat kembali hingga 91 kappa yang lalu, Vaccha, Aku tidak ingat ada Ājivaka yang pada saat hancurnya jasmani menuju alam surga, DENGAN SATU PENGECUALIAN, Ia yang juga berbekal (sopāsi) doktrin PERBUATAN dan HASIL PERBUATAN (kammavādī kiriyavādī)". Vaccagotta: "Kalau begitu, Guru Gotama, banyak sekte lain kosong bahkan dari satu orangpun di alam surga". Sang Buddha: "Demikianlah, Vaccha, banyak sekte lain kosong bahkan dari satu orangpun di alam surga" [MN 71]

    Para Rsi (Isayo) yang bermoral dan berkarakter baik kepada Sambara, raja para asura: "Sesuai dengan benih yang ditanam, demikian pula buah yang akan dipetik, pelaku kebaikan memetik kebaikan, pelaku kejahatan memetik kejahatan..".[SN 11.10; kalimat yang kurang lebih sama ada di jataka no.222 dan 353, dimenjelang perselisihan antara Deva vs Asura. Kalimat ini, mirip dengan ucapan Yājñavalkya pada Jāratkārava Ārtabhāga di Brihad-Āranyaka Upanishad 3.2.13: "Seseorang menjadi baik karena perbuatan baik, menjadi buruk karena perbuatan buruk"]

    Para makhluk adalah pemilik perbuatan mereka, pewaris perbuatan mereka, mereka berasal-mula dari perbuatan mereka, terkait dengan perbuatan mereka, memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka. Adalah perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia.[MN 135]

    Aku adalah pemilik dari perbuatanku, pewaris dari perbuatanku, berasal dari perbuatanku, terkait dengan perbuatanku, dan memiliki perbuatanku sebagai pelindungku. Apapun yang kulakukan, baik atau buruk, akulah pewarisnya. [AN 5.57]

    "Para bhikkhu, seorang yang menyatakan, 'Seperti bagaimana ketika seorang melakukan perbuatannya (yathā yathāyaṃ puriso kammaṃ karoti), sedemikianlah yang akan dialaminya (tathā tathā taṃ paṭisaṃvediyatī)', Jika demikian para bhikkhu, TIDAK ADA cara hidup brahma/cara non duniawi (brahmacariyavāso na hoti), TIDAK ADA celah terlihat untuk mengakhiri seluruh Dukkha (okāso na paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya). TAPI para bhikkhu, seorang yang menyatakan 'seperti bagaimana yang dirasakan seorang ketika melakukan perbuatannya (yathā yathā vedanīyaṃ ayaṃ puriso kammaṃ karoti), sedemikianlah akibat yang akan dialaminya (tathā tathāssa vipākaṃ paṭisaṃvediyatī)', Jika demikian para bhikkhu (evaṃ santaṃ, bhikkhave), ADA cara hidup brahma/cara non duniawi (brahmacariyavāso hoti), ADA celah terlihat untuk mengakhiri seluruh Dukkha (okāso paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya)" [AN 3.99. Contoh: sama-sama mencuri uang/barang yang berharga sama, seorang yang miskin masuk penjara, seorang yang kaya raya, tidak masuk penjara]

    Sang Buddha: Aku tidak menyatakan bahwa perbuatan yang disengaja (sañcetanikānaṃ kammānaṃ) selesai (katānaṃ) akumulasinya (upacitānaṃ) tanpa sepenuhnya dialami (appaṭisaṃveditvā) menjadi musnah (byantībhāvaṃ) baik itu (Tañca kho) di kehidupan ini (diṭṭheva dhamme), di berikutnya atau (upapajje vā), di lain periode atau di beberapa periode lainnya (apare vā pariyāye). Juga tidak aku katakan bahwa perbuatan yang disengaja selesai akumulasinya tanpa sepenuhnya dialami di saat berakhirnya Dukkha (dukkhassantakiriyaṃ). [AN 10.217-219]
Berikut ini kisah Bhikkhu Losaka Tissa, yang walaupun mencapai kesucian Arahat, namun buah perbuatan buruk lampaunya tidaklah terhapus:
    Ia adalah putra seorang nelayan Kosala dari sebuah desa yang berisi 1000 keluarga nelayan. Pada hari pembuahannya, 1000 nelayan tersebut, dengan jala di tangan, pergi ke sungai dan kolam untuk menangkap ikan, namun tidak ada yang berhasil menangkap 1 ekor ikanpun; sejak saat itu hingga seterusnya, desa tersebut mengalami kebakaran sebanyak 7 kali, dan dikuasai musuh kerajaan 7 kali, mereka semua mengalami ketidakberuntungan besar. Menyadari bahwa sebelumnya nasib mereka tidak seperti itu, mereka mengambil kesimpulan bahwa pasti ada si pembawa ketidakberuntungan di antara mereka, dan membagi penghuni desa menjadi 2 kelompok, yang terdiri dari 500 keluarga. Sejak itu, kehancuran hanya terjadi pada kelompok di mana orang tuanya berada; sementara 500 keluarga lainnya berkembang pesat. Mereka kemudian, memutuskan membagi lagi jumlah mereka menjadi dua, dan terus dilakukan sehingga tersisa hanya satu keluarga itu saja. Dengan demikian mereka tahu bahwa pembawa ketidakberuntungan itu adalah keluarga tersebut, yang akhirnya mereka usir dari desa itu.

    Begitu bisa berjalan, ibunya meletakkan pecahan tembikar di tangannya dan menyuruhnya mengemis. sementara itu, ibunya pergi meninggalkannya. Sejak itu, anak yang ditinggalkan sendiri itu mengemis makanan di sekitar tempat tersebut, dan tidur di tempat mana pun yang ditemukannya. Ia tidak pernah dimandikan dan dipelihara dengan baik, dan bertahan hidup seperti pisaca pemakan sampah. Ketika berusia 7 tahun, ia memungut dan menyantap gumpalan demi gumpalan nasi yang ditemukannya di luar pintu rumah, yang dibuang orang ketika mencuci pot nasi. Sāriputta, sang Panglima Dhamma, saat pergi ke Savatthi untuk melakukan pindapata, menemukan anak itu, memberikannya makanan, membawanya ke Vihara, memandikannya dan menjadikannya sebagai samanera sampai cukup dewasa ditahbiskan menjadi bhikkhu yang dikenal sebagai Losaka Tissa.

    Losaka Tissa selalu tidak beruntung, selalu mendapatkan sedikit persembahan, tidak peduli betapa berlimpahnya, Satu sendok nasi diberikan penderma, telah membuat pattanya terlihat sangat penuh, sehingga pemberi dana mengira pattanya telah penuh dan memberikan dana kepada orang berikutnya. Saat nasi telah diberikan ke pattanya, nasi yang berada di piring pemberi dana akan menghilang. Demikian juga yang terjadi dengan persembahan makanan lainnya sehingga Ia tidak pernah mendapatkan makanan yang dapat membuatnya kenyang, hanya sekedar membuatnya mampu bertahan hidup saja, walaupun demikian, dengan berlalunya waktu, ia pun berhasil mencapai pencapain tertinggi, sebagai Arahat, namun tetap saja, Ia mendapatkan persembahan dana dalam jumlah yang sedikit.

    Ketika tiba waktunya Losaka Tissa akan wafat, Sāriputta mengetahuinya, “Losaka Tissa akan meninggal hari ini; bagaimana pun juga, hari ini saya akan memastikan ia dapat makan hingga kenyang.” Maka ia membawa Thera itu pergi ke Savatthi untuk berpindapata. Namun, karena Losaka bersamanya, semuanya sia-sia, walaupun Sāriputta memegang pattanya, Savatthi yang padat penduduknya, mereka, hanya memberikannya penghormatan. Maka Ia meminta Losaka untuk menunggu di Vihara. Dari dana makanan yang terkumpul, kemudian Ia meminta orang lain agar memberikannya kepada Losaka, namun, setiap orang yang menerima titipan tersebut, kemudian menjadi lupa dan memakan semuanya. Ketika Sāriputta kembali, Ia bertanya apakah sudah menerima makanan tersebut? Losaka hanya menjawab, bahwa akan menerimanya di waktu yang tepat, Saat itu, telah lewat tengah hari, namun Ia belum juga menerima dana makanan.

    Sāriputta kemudian memintanya menunggu, Ia pergi ke Istana Raja Kosala dan karena telah lewat tengah hari, Raja mengisi pattanya dengan jenis makanan manis (Mentega cair, mentega segar, madu, dan sari tebu). Dengan makanan tersebut, Ia kembali, berdiri dihadapan Losaka, dengan patta di tangan, memintanya untuk makan, namun Losaka merasa malu, rasa hormat terhadap Sāriputta, membuatnya menolak untuk makan. “Makanlah, Thera Tissa,” kata Sāriputta, “saya harus berdiri dengan memegang patta, sementara engkau duduk dan makan. Jika patta ini terlepas dari tangan saya, semua makanan di dalamnya akan lenyap”, maka Losaka Tissa makan makanan tersebut. Berkat jasa dan kekuatan dari Sāriputta, makanan-makanan itu tidak menghilang. Dengan demikian, Losaka dapat makan sampai puas dan dihari itu juga, Ia wafat dan cetiya didirikan untuk menyimpan abu/reliknya.

    Ketika Sang Buddha ditanya mengapa Losaka begitu sial, Beliau menceritakan kisah kehidupan lampau Losaka: Pada jaman Buddha Kassapa, seorang Thera yang mencapai kesucian Arahat berkunjung ke suatu desa di mana seorang Bhikkhu menetap di sana dan disokong Tuan tanah desa tersebut, Ketika bertemu Sang Thera, Tuan tanah sangat puas terhadap prilaku sang Thera dan dengan penuh hormat mengundangnya untuk makan, kemudian Ia meminta sang Thera untuk tidak pergi lebih jauh dari tempat di sekitar Vihara Desa, karena sorenya, Ia hendak menemuinya kembali. Maka sang thera pergi ke Vihara desa, memberikan salam penuh kesopanan kepada bhikkhu yang menghuni vihara saat masuk ke sana dan mengambil tempat di samping bhikkhu itu. Bhikkhu itu menerima kedatangannya dengan ramah, Setelah mengetahui dimana kamarnya, Sang Thera ke kamarnya dan duduk bermeditasi. Sorenya, tuan tanah tersebut datang, diiringi para pelayan yang membawa bunga, wewangian, pelita dan minyak. Setelah memberikan salam kepada bhikkhu yang tinggal di vihara itu dan bertanya dimana sang thera itu berada, kemudian mengunjunginya. Setelahnya, Ia mengudang sang Thera dan bhikkhu itu, untuk datang ke rumahnya, menerima persembahan dana makanan darinya.

    Melihat keramahan Tuan tanah tersebut kepada sang Thera, Bhikkhu itu berpikir bahwa Ia telah kehilangan kendali atas tuan tanah dan jika sang Thera menetap, Ia akan kehilangan pengaruh, Ia merasa tidak senang dan memikirkan cara agar Thera itu dapat melihat bahwa ia tidak boleh menetap di sana demi kebaikannya. Karenanya, ketika sang thera kemudian memberikan penghormatan, bhikkhu itu tidak membuka mulutnya. Sang arahat membaca pikiran bhikkhu itu dan berkata pada dirinya sendiri, “Bhikkhu ini tidak mengetahui bahwa saya tidak akan menghalanginya, baik dari keluarga yang menyokongnya, maupun posisinya sebagai bhikkhu.” Thera tersebut kemudian kembali ke kamarnya.

    Keesokan harinya, bhikkhu itu, membunyikan gong dengan hati-hati, menyentuh gong tersebut dengan bagian belakang kukunya, dan pergi sendiri ke rumah tuan tanah itu. Tuan tanah tersebut menanyakan dimanakah sang Thera berada, namun Bhikkhu itu berkata bahwa Ia tidak mengetahui kabarnya, "walaupun saya telah memukul gong dan mengetuk pintu kamarnya, saya tidak dapat membangunkannya. Saya hanya bisa menduga bahwa makanan pilihan di sini kemarin tidak sesuai dengan seleranya, dan Ia masih memikirkan baik buruknya. Mungkin dengan melakukan ini, ia ingin menyampaikan hal tersebut kepadamu.”. Sementara itu, sang arahat setelah tiba waktunya untuk pindapata, Ia mandi, mengenakan jubah dan dengan membawa pattanya, Ia melayang ke udara, pergi ke tempat lainnya. Pelayan tuan tanah kemudian mempersembahkan nasi dan susu untuk dimakan oleh bhikkhu tersebut, bersama dengan mentega cair, madu, gula. Kemudian patta bhikkhu itu, setelah dibersihkan, diisi lagi oleh Tuan tanah dan berkata, “Bhante, thera itu pasti kelelahan setelah perjalanannya, tolong bawakan ia makanan-makanan ini.”

    Tanpa keberatan apa pun, bhikkhu itu membawa makanan tersebut dan pergi, sambil berpikir, “Kalau sampai ia mencicipi makanan ini sekali saja, maka ia tidak bisa diusir pergi lagi, sekali pun dengan menyeretnya atau menendangnya keluar dari pintu. Bagaimana saya dapat melenyapkan makanan seperti ini? Jika saya berikan kepada orang lain, pasti akan segera ketahuan. Jika saya buang ke sungai, mentega cair ini akan terapung di permukaan sungai. Jika dibuang ke tanah, akan membuat semua gagak di daerah ini berkumpul.” Dalam kebingungannya, ia melihat sebidang tanah yang sedang terbakar, Ia melemparkan isi pattanya ke dalam lubang, mengisi bara api ke permukaan lubang itu, dan ketika pulang, Ia tidak menemukan Thera tersebut di sana dan berpikir bahwa sang arahat mengerti akan kecemburuannya dan telah pergi. “Menderitalah aku,” ia menangis, “atas keserakahan yang membuat aku melakukan keburukan ini.”

    Sejak saat itu, ia sakit dan berubah seperti mayat hidup. Setelah meninggal, ia terlahir kembali di neraka, selama beberapa ratus ribu tahun. Karena buah perbuatan jahatnya telah masak, dalam 500 kelahiran berturut-turut, Ia dilahirkan menjadi makhluk halus, yang tidak pernah mendapatkan makanan yang cukup dan hanya 1 kali saja Ia dapat menikmati sampah yang tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Kemudian untuk 500 kali kelahiran berikutnya sebagai anjing, yang juga hanya pernah kenyang 1 kali, yakni saat makan sejumlah nasi yang dimuntahkan. Kemudian Ia terlahir di keluarga sebuah desa di Kasi. Begitu ia lahir, keluarga itu menjadi semakin melarat, ia tidak pernah mendapatkan setengah bagian dari bubur kanji yang ia inginkan. Ia dipanggil Mittavindaka dan karena perbuatan yang dilakukannya sebagai Mittavindaka, Ia kembali terlahir di Neraka [Jataka no.82, 104, 369, 439. Untuk Losaka Tissa: Jataka no.41]
Berbahagialah karena dapat terlahir sebagai manusia
Terlahir menjadi manusia, seharusnya merupakan suatu buah kamma yang sangat langka. Sang buddha memberikan perumpamaan betapa sulitnya terlahir menjadi manusia setelah berada di alam rendah:
    Sang Buddha:
    "Misalkan seseorang melemparkan sebuah gandar berlubang ke laut.. lalu ada seekor kura-kura buta yang naik ke permukaan setiap 1 abad sekali.. Dapatkah kura-kura buta yang naik ke permukaan setiap 1 abad sekali memasukan lehernya ke gandar berlubang satu?"

    Para Bhikkhu:
    "Dapat yang mulia pada suatu saat atau diakhir suatu masa yang lama".

    Sang Buddha:
    "adalah lebih cepat, bagi kura-kura buta yang naik ke permukaan setiap 1 abad sekali memasukan lehernya ke gandar berlubang satu daripada si dungu yang terlahir di alam sengsara untuk dapat terlahir sebagai manusia" [SN 56.47, 48; MN 129]
Jadi, jangankan terlahir normal, bahkan jika terlahir cacatpun, sudah merupakan suatu kejadian langka. Baik/buruknya suatu hasil kamma, adalah relatif sudut pandang, misalnya seorang dengan cacat tubuh VS Pelacur:
    Kondisi cacat kaki dan tubuh → Kamma buruk.
    walaupun cacat, Ia kaya, terkenal dan beristri cantik → Kamma baik
    Cacat tubuh dapat menjadi keunggulan (jika mengemis akan memperoleh cukup uang dan makanan) → Kamma baik.
    (Nick Vujicic, turunan Serbia Australlia, tidak punya kaki dan tangan, terkenal, kaya-raya beristri cantik, Ia, tidak lagi mengatakan hidupnya buah dari kamma buruk)

    Pelacur menurut pandangan umum → Kamma buruk
    Ia berpenampilan menarik → Kamma baik.
    Pelacur jarang kekurangan makan, mampu memilih menu (tidak banyak orang di bumi cukup makan dan bahkan bisa memilih menu) → Kamma baik.
    Pelacur memiliki pakaian yang baik, terlindungi dari kedinginan, memiliki perhiasan karena dan untuk menambah dayatariknya, bertempat tinggal cukup nyaman dan terhindar dari hujan dan terik matahari → Kamma baik
Pelaku perbuatan baik, dapat saja TIDAK terlahir di surga tapi terlahir sebagai manusia, demikian pula pelaku perbuatan buruk, dapat saja TIDAK terlahir di alam menderita tapi terlahir sebagai manusia, walaupun keduanya terlahir sebagai manusia, ada perbedaannya:
  1. yang terbiasa menyakiti kehidupan [atau terbiasa dengan kekerasan, tanpa belas kasihan] mengarah pada umur yang pendek. Sebaliknya, yang menghindari menyakiti kehidupan [berprilaku baik, penyayang, lembut] mengarah pada umur yang panjang.

  2. yang terbiasa melukai makhluk-makhluk dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau mengarah pada penyakit. Sebaliknya yang tidak terbiasa melukai kehidupan mengarah pada kesehatan.

  3. yang berkarakter pemarah dan mudah tersinggung; bahkan jika dikritik sedikit, ia menjadi tersinggung, menjadi marah, bermusuhan, dan membenci, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan dendam mengarah pada rupa yang buruk. Sebaliknya, mengarah pada rupa yang indah.

  4. yang bersifat iri, cemburu, sakit hati dan iri akan perolehan, pujian, penghargaan, penghormatan, salam, dan pemujaan yang diterima oleh orang lain mengarah pada tidak memiliki pengaruh. Sebaliknya, mengarah pada memiliki pengaruh

  5. yang tidak memberikan makanan, minuman, pakaian, kereta, kalung bunga, wangi-wangian, salep, tempat tidur, tempat tinggal, dan pelita pada para petapa atau para brahmana [atau sesuai MN 142] mengarah pada kemiskinan. Sebaliknya, mengarah pada kekayaan.

  6. yang keras kepala dan sombong; ia tidak memberi hormat pada yang selayaknya menerima penghormatan, tidak bangkit berdiri pada yang karena kehadirannya seharusnya ia bangkit berdiri, tidak memberikan tempat duduk pada yang layak menerima tempat duduk, tidak memberi jalan untuk yang seharusnya diberi jalan, dan tidak memghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan yang seharusnya dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan mengarah pada kelahiran yang rendah. Sebaliknya, maka mengarah pada kelahiran yang agung

  7. yang tidak mengunjungi seorang petapa atau seorang brahmana dan bertanya: ‘Yang Mulia, apakah yang bermanfaat/tidak? Apakah yang tercela/tidak? Apakah yang harus/tidak boleh dilatih? Perbuatan apakah yang mengarah pada kerugian dan penderitaanku untuk waktu yang lama? Perbuatan apakah yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama? Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian mengarah pada kebodohan. Sebaliknya mengarah pada kebijaksanaan/kecerdasan [MN 135]
Adalah pandangan salah bahwa "Siapa pun yang (membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, Perbuatan indriya dengan cara yang salah, berdusta), PASTI mengalami penderitaan dan kepedihan dalam kehidupan ini", karena DAPAT TERJADI dua individu berbeda sama-sama melakukan perbuatan (membunuh,..., berdusta) namun akibat perbuatan bagi keduanya berbeda, yang satu mengalami kesenangan dan kebahagian, sementara lainnya mengalami penderitaan dan kepedihan:
    Kotbah kepada Pāṭaliya, seorang kepala desa:
    Tentang 2 Orang, yang ke-1 menyerang musuh raja dan membunuhnya; sementara yang ke-2 adalah musuh raja, telah membunuh seorang laki-laki atau perempuan...yang ke-1 menggoda istri-istri musuh raja, yang ke-2 menggoda perempuan-perempuan dan gadis-gadis dari keluarga baik-baik...yang ke-1 menghibur raja dengan kata-kata yang tidak benar, yang ke-2 menjatuhkan seorang perumah tangga atau putra seorang perumah tangga dengan perkataan yang tidak benar..
    Walaupun keduanya sama-sama melakukan pembunuh, menggoda perermpuan, berbohong, tapi AKIBATNYA BERBEDA, karena yang ke-1 membuat senang raja sehingga menganugrahinya kenikmatan kenikmatan indiriya berupa kekayaan, wanita dan hidup bagaikan raja, sementara yang ke-2, Penguasa menangkap dan mengikat tangannya, rambut digunduli, diarak dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan, dan berakhir dipenggal atau dijatuhi hukuman [SN 42.13]
Adalah pandangan salah bahwa "Siapa pun yang melakukan perbuatan (membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, Perbuatan indriya dengan cara yang salah, berdusta), PASTI menuju ke alam sengsara, menuju neraka", karena PELAKUNYA DAPAT SAJA terlahir di alam baik:
    Kotbah kepada Asibandhakaputta, seoang kepala desa:
    Pandangan Nigaṇṭha Nātaputta: ‘Siapa pun yang membunuh, ..mengambil apa yang tidak diberikan, ..yang melakukan hubungan seksual yang salah, ..yang berdusta, pasti menuju ke alam sengsara, menuju neraka. Seseorang dituntun oleh bagaimana PRILAKU YANG BIASANYA/yang sering dilakukannya.

    Sang Buddha: jika dituntun oleh bagaimana PRILAKU YANG BIASANYA/yang sering dilakukannya, menurut kata-kata Nigaṇṭha Nātaputta, maka TIDAK AKAN ADA seorang pun yang pasti menuju ke alam sengsara, menuju neraka, Bagaimana menurutmu, kepala desa? Dalam hal seseorang yang (membunuh,..., berdusta) dibandingkan dengan kejadian lainnya selama siang atau malam, MANA YANG LEBIH SERING: apakah kejadian (membunuh,..., berdusta) ATAUKAH kejadian ketika TIDAK (membunuh,..., berdusta)?

    Asibandhakaputta: kejadian Ia (membunuh,..., berdusta) adalah lebih jarang, kejadian di mana ia TIDAK (membunuh,..., berdusta) adalah lebih sering"

    Sang Buddha mengriktik dan mencela (membunuh,..., berdusta), menginstruksikan: "Hindari (membunuh,..., berdusta)". Seseorang yang telah (membunuh,..., berdusta), melakukan perbuatan TIDAK BAIK, walau menyesali perbuatannya, kejahatannya TIDAK DAPAT DIBATALKAN. Merenungkan demikian, Ia MENINGGALKAN (membunuh,..., berdusta) dan MENGHINDARI (membunuh,..., berdusta) di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya perbuatan jahat; demikianlah terlampauinya perbuatan jahat.

    Setelah meninggalkan dan menghindari (membunuh,..., berdusta), Setelah meninggalkan kerinduan (abhijjha), menjadi tidak rindu. Setelah meninggalkan permusuhan - kebencian (Byāpādappadosa), pikirannya menjadi tidak memusuhi. Setelah meninggalkan pandangan salah, menjadi berpandangan benar.

    Siswa mulia yang tanpa kerinduan (vigatābhijjho), tanpa memusuhi (vigatabyāpādo), tanpa kebingungan (asammūḷho), sepenuhnya tahu ingat sepenuhnya (sampajāno paṭissato) pada pikiran yang disertai tanpa memusuhi (mettāsahagatena cetasā) memancar ke 1 arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah , ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, ke tempat apapun, ke segala alam tak terkecuali, pikiran yang disertai tanpa memusuhi yang berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi... [SN 42.8]

      ...tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi. Ia memahami (So evaṁ pajānāti): ‘Sebelumnya, pikiranku terbatas tidak terkembang (pubbe kho me idaṁ cittaṁ parittaṁ ahosi abhāvitaṁ), tetapi sekarang pikiranku tidak terukur dan terkembang baik (etarahi pana me idaṁ cittaṁ appamāṇaṁ subhāvitaṁ). kamma terbatas/dapat diukur apapun yang telah dilakukan (Yaṁ kho pana kiñci pamāṇakataṁ kammaṁ) tidak lagi ada di sana atau tidak bertahan di sana (na taṁ tatrāvasissati na taṁ tatrāvatiṭṭhatī’ti)’

      ....“Seorang perempuan/pria tidak membawa tubuh ini ketika pergi (terlahir) (Itthiyā vā, purisassa vā nāyaṁ kāyo ādāya gamanīyo). Manusia ini pikiran-nya yang berlanjut (cittantaro ayaṁ, bhikkhave, macco. cittantaro = cittam-tara atau citta-antara).

      Memahami (So evaṁ pajānāti): ‘Perbuatan buruk apa pun yang telah kulakukan di masa lalu dengan tubuh yang terlahir dari perbuatan ini (yaṁ kho me idaṁ kiñci pubbe iminā karajakāyena pāpakammaṁ kataṁ), Semua akan ku alami di sini (sabbaṁ taṁ idha vedanīyaṁ), tidak akan mengikuti penjelmaan nanti (na taṁ anugaṁ bhavissatī’ti)’ Ketika Pembebasan pikiran tanpa memusuhi telah dikembangkan demikian (Evaṁ bhāvitā mettā cetovimutti), ini mengarah menuju ketidak-kembalian (anāgāmitāya saṁvattati = anagami) seorang bijaksana yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi (idha paññassa uttari vimuttiṁ appaṭivijjhato) [AN 10.219]

    Ketika pembebasan pikiran tanpa memusuhi dikembangkan dan dilatih berulang demikian (evaṁ bhāvitāya mettāya cetovimuttiyā evaṁ bahulīkatāya), kamma terbatas/dapat diukur apapun yang telah dilakukan tidak lagi ada di sana atau tidak bertahan di sana [SN 42.8]

    ...pikiran yang disertai tanpa kekejaman/tanpa keinginan mencelakai/kesal/sakit hati (karuṇā)...
    ...pikiran yang disertai dalam kepuasan tanpa membedakan (muditā)...

    ...pikiran yang disertai tenang-seimbang/tidak condong/tidak terlibat, berada memancar/meliputi 1 arah, ke: 2 arah, 3 arah, 4 arah, juga ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, ke tempat apapun, ke segala alam tak terkecuali, pikiran yang tenang-seimbang/tidak condong/tidak terlibat berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi... [SN 42.8]

      ...tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi. Ia memahami: ‘Sebelumnya, pikiranku terbatas tidak terkembang, tetapi sekarang pikiranku tidak terukur dan terkembang baik. kamma terbatas/dapat diukur apapun yang telah dilakukan tidak lagi ada di sana atau tidak bertahan di sana’

      ....“Seorang perempuan/pria tidak membawa tubuh ini ketika pergi (terlahir). Manusia ini pikiran-nya yang berangkat.

      Ia Memahami: ‘Perbuatan buruk apa pun yang telah kulakukan di masa lalu dengan tubuh yang terlahir dari perbuatan ini, Semua akan ku alami di sini, tidak akan mengikuti penjelmaan nanti’. Ketika pembebasan pikiran tenang-seimbang telah dikembangkan demikian (Evaṁ bhāvitā upekkhā cetovimutti), ini mengarah menuju ketidak-kembalian (= anagami) seorang bijaksana yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [AN 10.219]

    ketika pembebasan pikiran tenang-seimbang/tidak condong/tidak terlibat dikembangkan dan dilatih berulang demikian (evaṁ bhāvitāya upekkhāya cetovimuttiyā evaṁ bahulīkatāya). kamma terbatas/dapat diukur apapun yang telah dilakukan tidak lagi ada di sana atau tidak bertahan di sana... [SN 42.8]
Adalah pandangan salah "Jika seorang berbuat A, maka akan diganjar A", karena seorang yang telah banyak berbuat baik di kehidupan ini, DAPAT SAJA, dikelahiran berikutnya, terlahir di alam menderita:
  1. Orang yang menyakiti makhluk hidup; mengambil yang tidak diberikan; berperilaku salah dalam kenikmatan indriya; menyatakan yang tidak benar/musāvādī; ucapan memecah belah/pisuṇavāco; ucapan kasar/pharusavāco; ucapan sia-sia/gosip/samphappalāpī; merindukan/abhijjhā; berpikiran buruk/byāpannacitto: berharap ada yang terbunuh, ditangkap, dimusnahkan, tidak ada lagi; dan menganut pandangan salah/micchādiṭṭhi. bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di:

    → keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka [jika menjadi manusia dalam keadaan mengenaskan, Alam: makhluk halus, binatang dan neraka]
    → keadaan bahagia di alam surga [jika jadi manusia dalam keadaan menyenangkan dan/atau di atas alam manusia]

  2. Orang yang TIDAK menyakiti makhluk hidup...dan menganut pandangan salah. bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di:

    → keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka [jika menjadi manusia dalam keadaan mengenaskan, Alam: makhluk halus, binatang dan neraka]
    → keadaan bahagia di alam surga [jika jadi manusia dalam keadaan menyenangkan dan/atau di atas alam manusia]
Sehingga mereka yang menyatakan:
    Melakukan perbuatan salah PASTI terlahir alam menderita bahkan neraka, atau
    Tidak ada akibat dari perbuatan salah, atau
    Melakukan perbuatan benar PASTI terlahir di alam bahagia, atau
    Tidak ada akibat dari perbuatan baik
HAL TERSEBUT BUKANLAH ajaran sang Buddha.
  1. sehubungan dengan orang yang [menyakiti makhluk hidup...; dan menganut pandangan salah/micchādiṭṭhi], bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di:

  2. keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka:
    sebelumnya telah melakukan perbuatan buruk yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan buruk yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah. Karena hal itu, bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka...

    di alam bahagia, bahkan di alam Deva:
    sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar. Karena hal itu, bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di keadaan bahagia di alam Deva...

    Dan karena ia di sini telah [menyakiti makhluk hidup...; dan menganut pandangan salah/micchādiṭṭhi], ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya

  3. sehubungan dengan orang yang meninggalkan menyakiti makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di:

  4. keadaan bahagia di alam Deva:
    sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar. Karena hal itu, bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di keadaan bahagia di alam Deva...

    dalam kondisi menderita … bahkan di neraka:
    sebelumnya telah melakukan perbuatan buruk yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan buruk yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah. Karena hal itu, bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka...

    Dan karena ia di sini telah meninggalkan menyakiti makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya. [MN 136]
Apa itu Kamma?
Kehendak/maksud [cetana: baik/buruk] untuk berbuat itulah yang Kunamakan Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan: badan, perkataan atau pikiran [AN 6.63]

Kamma lama [Purana]: Indriya (mata..pikiran) adalah kamma lama yang telah: terjadi/dilakukan [abhisaṅkhataṃ] dikehendaki [abhisañcetayitaṃ] dan dirasakan [vedayitaṃ daṭṭhabba]
Kamma Baru [Nava]: Perbuatan sekarang yang dilakukan melalui pikiran, ucapan, perbuatan [SN 35.146]

Akibat kamma dirasakan dalam 3 waktu (ti-vidhā vedaniya kamma):
sekarang ini/kehidupan ini (diṭṭhe va dhamme/dittheva dhamme) atau berikutnya (upapajja) atau lain periode atau beberapa periode berkelanjutan lain (apare vā pariyāye) [MN 136; AN 3.34; AN 10.217; AN 6.63] atau dalam 2 cara: sekarang ini/kehidupan ini (ditthe va dhamme) dan beberapa periode ke depan (samparaya) [MN 101]

ADA 5 KAMMA BURUK BERAT yang MENUNDA hasil perbuatan baik dan segera setelah wafat menjadi terlahir di neraka, membunuh: ibu, ayah, arahat; dengan pikiran benci yang berakibat seorang Buddha terluka [Seorang Buddha tidak dapat dibunuh/dilukai makhluk manapun (SNP 1.10, 2.5), terlukanya beliau akibat masaknya kamma lampau beliau (Tha Ap.392)] dan menyebabkan perpecahan dalam Sangha. [AN 4.236; 5.129; 6.87; 6.97]

Sang Buddha menyatakan tentang 4 jenis perbuatan:
  1. Perbuatan gelap, Akibat gelap (kammaṃ kaṇhaṃ kaṇha vipākaṃ):
    Seseorang menghasilkan bentukan: jasmani, ucapan, pikiran yang menyakitkan → menghasilkan bentukan: jasmani, ucapan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan → muncul kembali di alam sengsara → kontak yang menyakitkan menyentuhnya → merasakan perasaan yang menyakitkan, sangat menyakitkan, seperti pada makhluk-makhluk di neraka

  2. Perbuatan terang, Akibat terang (kammaṃ sukkaṃ sukka vipākaṃ):
    Seseorang menghasilkan bentukan: jasmani, ucapan, pikiran yang menyenangkan → menghasilkan bentukan: jasmani, ucapan, dan bentukan pikiran yang menyenangkan → muncul kembali di alam bahagia → kontak yang menyenangkan menyentuhnya → merasakan perasaan yang menyenangkan, sangat menyenangkan, seperti pada para dewa dengan Keagungan Gemilang

  3. Perbuatan gelap-dan-terang, Akibat gelap-dan-terang (kammaṃ kaṇha-sukkaṃ kaṇha sukka vipākaṃ):
    Seseorang menghasilkan bentukan: jasmani, ucapan, pikiran yang menyakitkan juga menyenangkan → menghasilkan bentukan: jasmani, ucapan, dan bentukan pikiran yang menyakitkan juga menyenangkan → muncul kembali di alam bahagia → muncul kembali di alam sengsara juga bahagia → kontak yang menyakitkan maupun menyenangkan menyentuhnya → merasakan perasaan yang menyakitkan juga menyenangkan, campuran kenikmatan dan kesakitan, seperti pada manusia dan beberapa dewa di alam yang lebih rendah

  4. Demikianlah kemunculan kembali suatu makhluk adalah karena suatu makhluk; seorang yang muncul kembali melalui perbuatan yang telah ia lakukan. Ketika ia telah muncul kembali, kontak menyentuhnya. Demikianlah Aku katakan bahwa makhluk-makhluk adalah pewaris perbuatan mereka.

  5. Perbuatan bukan gelap bukan terang, Akibat bukan gelap bukan terang (kammaṃ akaṇhaṃ asukkaṃ akaṇha asukka vipākaṃ), perbuatan yang mengarah menuju hancurnya perbuatan (kammakkhayāya saṃvattati) [nibbana]. Di sini, kehendak untuk meninggalkan jenis perbuatan gelap, akibat gelap; perbuatan terang, akibat terang; dan perbuatan gelap-dan-terang, akibat gelap-dan-terang [MN 57]
Tidak semua hal dalam hidup adalah karena kamma masa lampau (atau klaim: campur tangan pihak lainnya atau kebetulan semata), misal: gagal ujian karena lalai atau terburu – buru, dengan cerobohnya, terbentur batu, dst
    Note:
    Sebab selain kamma, misal SN 12.20 (paccaya/kondisi: kelahiran - kematian; penjelmaan - kemelekatan - ketagihan - perasaan - kontak - 6 landasan indriya - nāmarūpa - kesadaran - bentukan kehendak - ketidaktahuan); SN 36.21 (perasaan muncul karena ketidakseimbangan: empedu, dahak, angin, gabungan ke-3nya; cuaca; kecerobohan; serangan; kamma); SN 37.3 (kondisi khusus perempuan: menetap bersama keluarga suami terpisah dari sanak; menstruasi, hamil, melahirkan dan menjadi istri); DN 1 (62 Pandangan salah); AN 3.136 (3 ciri: anicca, dukkha dan anatta); Abhidhamma Patthana 1.1 (24 kondisi: hetu..avigata paccaya. Hanya 2 terkait kamma). Kitab komentar Abhidhammāvatāra-purāṇatīkā (Vācissara Mahāsāmi/13 M atau Sāriputta/12 M: tentang Pancavidhaniyama: utu, bija, kamma, citta dan dhammaniyama. Hanya 1 terkait kamma), dst
Juga, terdapat 3 pandangan yang ditolak Sang Buddha:
..ada 3 Pandangan (titthāyatanāni): Apapun yang dialami seseorang, apakah itu perasaan: menyenangkan, menyakitkan atau perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan, semua itu:
  1. disebabkan oleh tindakan lampau/pubbekatahetū;
  2. disebabkan oleh kuasa TUHAN/Issaranimmānahetū
    "Issaranimmānahetū’ ti issaranimmānakāraṇā, issarena nimmitattā paṭisaṁvedetī ti attho" (Disebabkan kuasa tuhan, Karena kuasa TUHAN, Dirinya mengalami sepenuhnya kuasa tuhan);
  3. tanpa penyebab dan tanpa kondisi/ahetu-appaccayā
yang, jika sepenuhnya disidik/periksa [samanuyuñjiyamānāni], diteliti [samanugāhiyamānāni] dan dibahas [samanubhāsiyamānāni], akan berakhir pada suatu doktrin tanpa tindakan, SEKALIPUN SUDAH DITERAPKAN KARENA TRADISI [AN 3.61].

Selain itu, Sang Buddha menolak pandangan aliran Kamma (kammavada) bahwa: perasaan menyenangkan-menyakitkan (sukhadukkhaṃ) terjadi: dengan sendirinya (sayaṅkataṃ) atau karena pihak lain (paraṃkata) atau keduanya (sayaṅkatañca paraṅkatañca) atau bukan keduanya tanpa sebab (asayaṅkāraṃ aparaṅkāraṃ adhic­ca­samup­pannaṃ) [SN 12.25]

Sumber dan Asal Mula Kamma?
Kontak Indriya/Phassa [AN 6.63], atau: Sebab kemunculan (Paṭic­ca­samup­pañña) perasaan menyenangkan-menyakitkan (sukhadukkhaṃ) adalah karena kontak (Phassaṃ paṭicca). Melalui Jasmani/ucapan/pikiran (Kāye/Vācāya/Mane), ingatan (sati) dari kehendak jasmani/ucapan/pikiran (kāya­sañ­ceta­nā­hetu / vaci­sañ­ceta­nāhetu / mano­sañ­ceta­nāhetu), maka perasaan menyenangkan-menyakitkan muncul dalam dirinya (uppajjati ajjhattaṃ sukhadukkhaṃ), ini karena ketidaktahuan bertindak sebagai kondisinya (avijjāpaccayā). Apakah itu karena:
  1. dirinya sendiri (sāma) atau
  2. pihak lainnya (para) atau
  3. dengan diketahui/disengaja olehnya (sampajāno) atau
  4. dengan tidak diketahui/tidak disengaja olehnya (asampajāno)
Ia menghasilkan perbuatan jasmani/berucap/berpikir (kāyasaṅkhāraṃ /vacisaṅkhāraṃ/manosaṅkhāraṃ abhisaṅkharoti) sehingga menyebabkan perasaan menyenangkan-menyakitkan muncul dalam dirinya (yaṃpaccayāssa taṃ uppajjati ajjhattaṃ sukhadukkhaṃ). Hal-hal ini karena dipengaruhi ketidaktahuan (dhammesu avijjā anupatitā) [SN 12.25, AN 4.171]. Terdapat 4 kejadian terlahir kembali/menjadi sosok diri/individu (attabhāvapaṭilābhā), yaitu akibat dari bekerjanya (kamati):
  1. kehendak sendiri (attasañcetanā), bukan kehendak pihak lain (no parasañcetanā), yaitu mati karena kehendak sendiri (attasañcetanāhetu tesaṁ sattānaṁ tamhā kāyā cuti hoti)
  2. kehendak pihak lain (parasañcetanā kamati), bukan kehendak sendiri (no attasañcetanā), yaitu mati karena kehendak pihak lain
  3. kehendak sendiri dan kehendak pihak lain (attasañcetanā ca parasañcetanā), yaitu mati karena kehendaknya dan pihak lain
  4. bukan kehendak sendiri bukan kehendak pihak lain (nevattasañcetanā kamati, no parasañcetanā), yaitu merujuk kepada yang terlahir sebagai deva bukan persepsi dan bukan tanpa perrsepsi (Nevasaññānāsaññāyatanūpagā) [AN 4.171]
Cara melenyapkan Kamma?
Dengan lenyapnya kontak lenyap pula Kamma [AN 6.63]. Pembebasan tercapai dengan berhentinya perbuatan melalui: pikiran, ucapan dan badan [SN 35.146]

Dalam rentang perjalanan kelahiran kembali, tak terhitung banyaknya perbuatan baik/buruk yang terkumpul dan dilakukan, sehingga bahkan, jika kita memiliki jumlah waktu yang sangat tak terbatas sekalipun, maka waktu yang tak terbatas inipun, tidak cukup mematangkan seluruh hasil perbuatan. Oleh karenanya, Sang Buddha menyatakan bahwa kunci pembebasan bukanlah dengan melenyapkan kamma masa lalu (apakah dengan mengalami akibatnya atau melalui pertapaan keras) NAMUN JUSTRU dengan melenyapkan noda-noda (āsava). Sehingga, dengan terhentinya kekotoran-kekotoran, terhenti pula sebab dan kondisi, terhentinya kelahiran kembali. Tidak ada lagi sebab dan kondisi yang berpotensi mematangkan kamma-kamma sebelumnya.

Jalan Melenyapkan Kamma?
8 Jalan mulia/utama. [SN 35.146; AN 6.63]

Kamma Kolektif
Menurut Bhikkhu S. Dhammika: Istilah kamma kolektif TIDAK ditemukan di ajaran Buddha (Pali dan Sanskrit). Ide ini berasal dari Theosophi (akhir abad ke-19 M). Maksud kamma kolektif: sejumlah orang yang terlahir dalam kelompok tertentu, mengalami penderitaan bersama karena kamma negatif mereka yang sama atau minoritas individu yang tidak bersalah di suatu kelompok terkena penderitaan karena kamma negatif mayoritas individu di kelompok tersebut. Misalnya dalam perang, kelaparan, wabah penyakit, gempa bumi atau bencana lainnya. (Guide To Buddhism A To Z: Kamma Kolektif)

Namun tampaknya, gagasan kamma kolektif tersirat dan tersurat dalam Sutta dan kitab komentar:
    Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala, walau punya beberapa istri tapi tidak punya anak lelaki. Kemudian, agar dapat berkerabat dengan Sang Buddha dan berkesempatatan memperoleh Putera, Raja mengirim utusan ke Kapilavatthu untuk menikahi seorang putri suku Sakya. Saat itu, suku Sakya adalah pelayan raja Kosala [DN 27]. Suku Sakya enggan mengabulkan, tapi juga takut untuk menolaknya. Untuk itu, mereka kirimkan Vāsabhā/Vāsabhakhattiyā, putri raja Mahānāma yang lahir dari seorang budak. Raja Pasenadi, menjadikan Vāsabhakhattiyā Permaisurinya dan darinya terlahir putera bernama Viḍūḍabha/Viṭaṭūbha [MN 87]. Ketika Viḍūḍabha berusia 16 tahun, Ia berkunjung ke Kapilavatthu, Di sana, Ia mendengar percakapan seorang budak wanita bahwa Viḍūḍabha anak seorang budak. Raja Pasenadi yang akhirnya tahu bahwa permaisurinya adalah anak seorang budak, merasa tertipu dan marah, atribut kehormatan isteri dan putranya dicabut, namun belakangan dipulihkan kembali. Viḍūḍabha yang juga merasa terhina dan mendendam, bersumpah akan menghancurkan suku Sākya. Ketika Pasenadi berusia 80 tahun dan sedang mengunjungi Sang Buddha di Medatalumpa/Ullumpa [MN 89], Viḍūḍabha merampas tahta Kosala. Pasenadi kemudian bergegas ke Rajagraha untuk meminta bantuan Ajātasattu, menantunya. Setibanya di sana, hari sudah malam, gerbang kota telah ditutup, akibat kelelahan dalam perjalanan, malam itu juga, Pasenadi wafat.

    Viḍūḍabha, Raja baru Kosala, ingat sumpahnya untuk membalas suku Sakya, mengerahkan pasukan ke Kapilavastu. Sang Buddha, yang mengetahui bahwa kamma masa lampau suku Sakya yang melakukan perbuatan meracuni sungai, membunuh biota sungai (tidak disebutkan kapan ini terjadi), telah waktunya masak, kemudian berusaha untuk mencegah niat Viḍūḍabha, Ia menuju perbatasan Kapilavatthu-Kosala dan berdiri di bawah pohon yang tidak rindang di batas kerajaan Kapilavatthu. Ketika Vidūdabha melihat Sang Buddha, Ia tahu bahwa sang Buddha berusaha mencegahnya. Ia menarik mundur pasukannya. Hal ini terjadi sampai 3x dan pada upaya yang ke-4, Sang Buddha tidak lagi menunggu di bawah pohon, Vidūdabha meneruskan penyerangan dan membunuhi hampir seluruh suku Sakya, termasuk para bayi. Para Sakya yang lolos di antaranya adalah Mahānāma dan pengikutnya, yang sfesifik diinstruksikan untuk ditawan, para Sakya yang di mulutnya sedang menggigit rumput (Tiṇasākiyā) dan alang-alang (Naḷasākiyā), yang ketika ditanya apakah Sakya, satunya menjawab "No sāko, tiṇa'nti" (Bukan sayuran, tapi rumput), lainnya "No sāko, naḷo'ti" (Bukan sayuran, tapi alang-alang) karena permainan kata ini, mereka lolos dari kematian. Dalam perjalanan pulang, Vidūdabha dan pasukannya beristirahat di tepian sungai Aciravatī dan kemudian terjadi banjir besar yang menenggelamkan mereka. [kitab Komentar: Dhammapada no.47 dan Jataka no.465; Apadana no.392/Pubbakammapilotika, juga Pallava ke-11 dari Avadānakalpalatā: Viḍūḍabha membunuh 77.000 Sākyā dan mengambil 80.000 anak laki dan perempuan namun karena para gadis tersebut bersikap kasar padanya, Ia perintahkan mereka untuk dibunuh]

    Dimasa lalu seorang pelacur yang setelah disewa untuk digauli, kemudian dirampok dan dibunuh 4 putra orang kaya. Pelacur ini kemudian terlahir sebagai makhluk halus berwujud seekor Banteng/Sapi dan membunuh mereka di jaman Buddha Gotama, yaitu: Tambadāṭhika/Dhp no.100; Suppabuddha/Dhp no.66, Ud 5.3; Bāhiya Dārucīriya/Ud 1.10 dan Pukkusāti/MN 140. (Sutta tidak menyebutkan sebagai sapi jejadian, kitab komentar yang menyatakan demikian).

    Samyuta Nikaya buku 14, Dhātu Saṃyutta, mulai SN 14.14 sd 14.29:

    melalui unsur-unsur (dhātusova/dhātu so eva) para makhluk cocok/berada bersama, berkelompok (saṁsandanti, samenti). yang berwatak rendah (hīnādhimuttikā) berada bersama, berkelompok dengan yang berwatak rendah; yang berwatak baik (kalyāṇādhimuttikā) berada bersama, berkelompok dengan yang berwatak baik. Demikian di masa lalu (atīta), melaui unsur-unsur..., demikian di masa depan (anāgata),.. sekarang (etarahi) , di masa kini (paccuppanna), melalui unsur-unsur para makhluk berada bersama, berkelompok [SN 14.14,16], ..yang tidak berkeyakinan berada bersama, berkelompok dengan yang tidak berkeyakinan, yang tidak punya malu.., yang tidak takut berbuat salah.., yang tidak terpelajar.., yang malas.., yang ingatannya kacau.., yang tidak bijaksana.., (dan watak kebalikannya) demikian dimasa lalu.. demikian dimasa depan.. sekarang, di masa kini melalui unsur-unsur para makhluk berada bersama, berkelompok [SN 14.17-23], ..yang menyakiti kehidupan berada bersama, berkelompok dengan yang menyakiti kehidupan.. mengambil yang tidak diberikan.. menikmati indriya dengan cara yang salah.. berdusta.. memecah belah.. berkata kasar.. gosip.. yang dengki.. yang berpikiran buruk.. yang berpandangan salah [Kammapatha Vagga SN 14.23-29, Kamma = Kehendak/Perbuatan. Patha = jalan. SN 14.26-27]

    Pada saat itu, tidak jauh dari Sang Bhagavā, YM Sāriputta sedang berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu; YM Mahāmoggallāna … YM Mahākassapa … YM Anuruddha … YM Puṇṇa Mantāniputta … YM Upāli … YM Ānanda sedang berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu. Dan tidak jauh dari Sang Bhagavā, Devadatta juga sedang berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu...Sang Bhagavā: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat Sāriputta berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?..Semua bhikkhu itu memiliki kebijaksanaan tinggi... apakah kalian melihat Moggallāna..Semua bhikkhu itu memiliki kekuatan adibiasa... Kassapa...Semua bhikkhu itu adalah pendukung praktik pertapaan... Anuruddha...Semua bhikkhu itu memiliki mata dewa... Puṇṇa Mantāniputta...Semua bhikkhu itu adalah pembabar Dhamma... Upāli...Semua bhikkhu itu adalah penjunjung Disiplin... Ānanda...Semua bhikkhu itu adalah sangat terpelajar... Apakah kalian melihat Devadatta berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?..Semua bhikkhu itu memiliki keinginan jahat". ..melalui unsur-unsur para makhluk berada bersama, berkelompok. Mereka yang berwatak rendah berada bersama, berkelompok dengan mereka yang berwatak rendah; mereka yang berwatak baik berada bersama, berkelompok dengan mereka yang berwatak baik. Demikian di masa lalu, demikian di masa depan, juga sekarang di masa kini” [SN 14.15]

    Juga mati dan terlahir kembali/menjadi individu (attabhāvapaṭilābhā) akibat bekerjanya (kamati): kehendak sendiri (attasañcetanā), atau karena kehendak pihak lain (parasañcetanā kamati), atau keduanya [AN 4.171] []
---------------

4 kesunyataan/Kebenaran Mulia [Cattari Ariya Saccani], sebagai Paramatha-sacca (berlaku pada makhluk apa saja, baik itu mengakui/tidak, percaya/tidak, suka/tidak atau ada/tidaknya para Buddha/Tathagata di dunia ini)

Di SN 56.11/Dhammacakkapavatana/berputarnya roda Dhamma (juga di MN 141):

Demikian yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata pada Kelompok 5 petapa:

"2 ekstrim (dveme antā) yang tidak diikuti yang meninggalkan keduniawian (pabbajitena na sevitabbā):
  1. Mengejar kesenangan hasrat-hasrat indriawi (kāmesu kāmasukhallikānuyogo), yang rendah, kasar, kaum duniawi, tidak mulia, tanpa makna (hīno gammo pothujjaniko anariyo anatthasaṁhito); dan
  2. mengejar menyusahkan/menyiksa diri (attakilamathānuyogo), yang menyakitkan, tidak mulia, tanpa makna (dukkho anariyo anatthasaṁhito)
Dengan tidak masuk ke 2 ekstrim (ubho ante anupagamma), berada di jalan tengah (majjhimā paṭipadā), tidak lagi kembali (tathāgatena), putusnya rantai kelahiran (abhisambuddhā), membuat: penglihatan (cakkhukaraṇī), pengetahuan (ñāṇakaraṇī), yang damai (upasamāya), berpengetahuan langsung (abhiññāya) yang mencerahkan (sambodhāya), menuju Nibbāna (nibbānāya saṁvattati). Jalan tengah adalah jalan mulia berunsur 8: Pandangan Benar, Kehendak Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Pencaharian Benar, Daya-upaya Benar, Ingatan Benar, Pikiran terpusat Benar, inilah berada di jalan tengah, tidak lagi kembali, putusnya rantai kelahiran, membuat: penglihatan, pengetahuan, yang damai, berpengetahuan langsung yang mencerahkan, menuju Nibbāna" (SN 56.11)
  1. Kebenaran Mulia (ariyasacca): (dukkhaṁ ariyasaccaṁ) Tentang Dukkha
    (du/dur/jelek/buruk/sulit/sakit/terlukai + kha/ruang/keadaan = tidak memuaskan; mengecewakan, tidak dapat diandalkan; sulit dipertahankan; tidak stabil):

  2. → Kelahiran adalah dukkha (jātipi dukkhā); menua adalah dukkha (jarāpi dukkhā); penyakit/nyeri/sakit adalah dukkha (byādhipi dukkhā); kematian adalah dukkha (maraṇampi dukkha); mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa adalah penderitaan (soka - parideva - dukkha - domanassa - upāyāsupāyāsāpi dukkhā) [AN 6.63, AN 3.61, SN 56.11]
    → berkumpul dengan yang tidak disukai adalah penderitaan (appiyehi sampayogo dukkho).
    → berpisah dengan yang dicintai adalah penderitaan (piyehi vippayogo dukkho) [AN 6.63, AN 3.61, SN 56.11].
    → tidak memperoleh yang di-inginkan adalah penderitaan (yampicchaṁ na labhati tampi dukkhaṁ) [AN 6.63, AN 3.61, SN 56.11].
    → singkatnya, 5 khanda yang dilekati adalah penderitaan [AN 6.63, AN 3.61, SN 56.11]
    → 6 landasan adalah penderitaan [misal SN 56. 14, 17]

    "sabbe sankhāra dukkha" [segala yang berkondisi tidak memuaskan], kondisi adalah rangkaian awal-akhir: TIDAK kekal, berubah, TIDAK LAYAK digenggam/bergantung/dijadikan: penunjang/landasan.

    Dukkha meliputi (SN 38.14, SN 45.165, DN 33):

    1. Dukkhadukkhatā: penderitaan nyata dirasakan (jasmani dan mental), misal: sakit gigi, susah hati, dll.
    2. vipari­ṇāma­duk­khatā: perubahan/berakhirnya rasa senang-bahagia, ada kecewa, kesal, dll.
    3. saṅ­khā­ra­duk­khatā [SN 12.27, 41.6, AN 3.23]: mano/cittasankhara (bentukan pikiran), vacisankhara (bentukan ucapan) dan kayasankhara (bentukan fisik): 5 kelompok/khanda yang dilekati adalah penderitaan [SN 56.13]; selama 5 khanda yang dilekati masih ada, maka tak mungkin bebas dari kelapukan/sakit.

    Ini adalah kebenaran mulia penderitaan’. Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya (pubbe ananussutesu), penglihatan (cakkhuṃ), pengetahuan (ñāṇa), kebijaksanaan (paññā), pengetahuan (vijjā) dan penglihatan/yang tampak (āloko), muncul padaKu (udapādi)

      Apa tujuan munculnya Penglihatan, Pengetahuan, Kebijaksanaan, Pengetahuan, Penglihatan? (cakkhuṁ udapādīti— kenaṭṭhena? ñāṇaṁ... paññā... vijjā... āloko udapādīti— kenaṭṭhena?). Penglihatan untuk 'melihat ke dalam', Pengetahuan untuk 'menyadari/mengenali', kebijaksanaan untuk 'memahami' pengetahuan untuk 'menembus', penglihatan/yang tampak untuk 'meluaskan/kejelasan' (cakkhuṁ... dassanaṭṭhena. ñāṇaṁ... ñātaṭṭhena. paññā... pajānanaṭṭhena. vijjā... paṭivedhaṭṭhena. āloko... obhāsaṭṭhena) [Ps 2.6, 2.7]. Vijjā, salah satu maksudnya adalah tevijja: pubbbenivâsânusati, dibbacakkhu, āsavakkhaya (MN 53, iti 99 & AN 3.58)

    Kebenaran Mulia tentang dukkha HARUS DIPAHAMI SEPENUHNYA (pariññeyyan’ti). Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya...
    Kebenaran Mulia tentang dukkha TELAH DIPAHAMI SEPENUHNYA (pariññātan’ti). Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu [SN 56.11-12]

  3. Kebenaran Mulia: Asal mula Dukkha
    Dukkha tidak muncul secara kebetulan, juga bukan karena diri sendiri maupun orang lain [SN 12.17]. Rangkaian kumpulan dukkha (duk­khak­khan­dha) mulai dari ketidaktahuan/avijjā sebagai kondisi, muncul bentukan kehendak/sankhāra .. Kelahiran sebagai kondisi, muncul tua/jara, mati/marana, mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa. Demikianlah asal mula seluruh kelompok penderitaan hidup ini. [AN 3.61, SN 12.17].

    Asalmula dukkha adalah tanhā/kehausan yang menuntun menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan ketagihan, mencari kenikmatan di sana-sini; yaitu :

    1. Kāmatanhā: kehausan hasrat dari 6 indriya: bentukan, suara, wewangian, rasa, sentuhan, bentukan pikiran
    2. Bhavatanhā: kehausan menjadi sesuatu [kesukaan tertentu setelah kontak dengan 6 Indriya]
    3. Vibhavatanhā: kehausan tidak menjadi sesuatu [ketidaksukaan tertentu setelah kontak dengan 6 Indriya] [SN 56.11]

    'Ini adalah kebenaran mulia tentang Asal mula dukkha’. Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncul padaKu: penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu.
    Kebenaran Mulia tentang Asal mula dukkha HARUS DITINGGALKAN (pahātabban’ti). Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya...
    Kebenaran Mulia tentang Asal mula dukkha TELAH DITINGGALKAN (pahīnan’ti). Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncul padaKu: penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu [SN 56.11-12]

    Penjelasan dari SN 35.247:

    "Para bikkhu, misalkan terdapat seseorang dengan badan terluka dan bernanah memasuki hutan yang penuh buluh dan duri. Duri kusa menusuk kakinya dan buluh menyayat tubuhnya, karena itu orang tersebut mengalami sepenuhnya perasaan tidak menyenangkan yang menyakitkan (dukkhaṃ domanassaṃ paṭisaṃvediyetha). Demikian pula, para bhikkhu, beberapa bhikkhu, di sini, pergi ke desa atau hutan, bertemu orang yang berkata:, 'Yang mulia ini, berbuat ini, berprilaku ini, Ia duri yang mencemari desa.' Setelah memahami ini sebagai 'duri', maka pengendalian (saṃvara) dan BUKAN pengendalian (asaṃvara) seharusnya Ia pahami"

    Dan bagaimanakah, para bhikkhu, BUKAN pengendalian itu?

    Di sini setelah melihat bentuk dengan mata, seorang Bhikkhu terpikat bentuk menyenangkan dan terganggu bentuk tidak menyenangkan. Dengan tidak menegakkan ingatan pada jasmani (anupaṭ­ṭhita­kā­yassati ca viharati), pikirannya menjadi lemah/terbatas (parittacetasa), Ia tidak memahami apa adanya/alami (yathābhūtaṃ nappajānāti) pembebasan pikiran (cetovimutti) dan pembebasan kebijaksanaan (paññāvimutti), di mana kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa.

    Setelah mendengar suara dengan telinga, seorang bhikkhu...
    Setelah merasakan sentuhan dengan kulit..
    Setelah mencicipi rasa dengan lidah..
    Setelah mencium aroma dengan hidung..
    Setelah mengenali suatu bentukan pikiran dengan pikiran..

    [dan diteruskan kalimat yang sama]

    Misalkan, Para Bhikkhu seorang menangkap 6 binatang dari habitat berbeda dan mengikat kuat mereka dengan tali.

    Ia menangkap Ular, buaya, burung, anjing, srigala dan monyet. Masing-masing diikatnya dengan tali menjadi satu simpul ditengahnya dan kemudian dilepaskan.

    Ke-6 binatang dari habitat berbeda itu akan menariknya ke wilayah mereka.

    Ular akan menarik ke satu arah, berpikir, "aku akan menuju sarang semut".
    Buaya akan menarik kearah lain, berpikir, "aku akan masuk ke air".
    Burung akan menarik ke arah lain, berpikir, "aku akan terbang ke angkasa".
    Anjing akan menarik ke arah lain, berpikir, "aku akan memasuki desa".
    Serigala akan menarik ke arah lain, berpikir, "Aku akan pergi ke kuburan".
    Monyet akan menarik ke arah lain, berpikir, "aku akan memasuki hutan"

    Ketika ke-6 binatang itu menjadi letih dan lelah, mereka dikuasai satu diantara yang terkuat dan berada di bawah kendalinya

    Demikian pula, para bhikkhu, ketika ingatan pada jasmani [kāyagatāsati] tidak dikembangkan (abhāvitā) dan tidak dilatihnya (abahulīka), maka mata ke arah bentukan menyenangkan atau ke arah lain dari bentukan menyakitkan.

    Telinga..
    Kulit..
    Lidah..
    Hidung..
    Pikiran..

    [dan diteruskan kalimat yang sama]

    Demikianlah bukan pengendalian itu.

    Dan bagaimanakah, para bhikkhu, pengendalian itu?

    Di sini setelah melihat bentuk dengan mata, seorang Bhikkhu tidak terpikat bentuk menyenangkan dan tidak terganggu bentuk tidak menyenangkan. Dengan menegakkan ingatan pada jasmani (upaṭṭhi­ta­kā­yassati ca viharati), pikirannya menjadi tak terbatas (appamāṇacetasa), Ia memahami sebagaimana adanya pembebasan pikiran dan pembebasan kebijaksanaan, di mana kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa.

    Setelah mendengar suara dengan telinga, seorang bhikkhu...
    Setelah merasakan sentuhan dengan kulit..
    Setelah mencicipi rasa dengan lidah..
    Setelah mencium aroma dengan hidung..
    Setelah mengenali suatu bentukan pikiran dengan pikiran..

    [dan diteruskan kalimat yang sama]

    Misalkan, Para Bhikkhu seorang menangkap 6 binatang dari habitat berbeda dan mengikat kuat mereka dengan tali.

    Ia menangkap Ular, buaya, burung, anjing, srigala dan monyet. Masing-masing diikatnya dengan tali DAN SETELAH MELAKUKAN ITU, IA IKAT DI SEBUAH TIANG/PILAR.

    Ke-6 binatang dari habitat berbeda itu akan menariknya ke wilayah mereka.

    Ular akan menarik ke satu arah, berpikir, "aku akan menuju sarang semut"....

    [sama seperti di atas]

    Ketika ke-6 binatang itu menjadi letih dan lelah, mereka akan BERADA DI DEKAT TIANG, AKAN DUDUK/BERBARING DISANA

    Demikian pula, para bhikkhu, ketika ingatan pada jasmani dikembangkan dan dilatih, maka mata tidak ke arah bentukan menyenangkan atau tidak ke arah lain dari bentukan menyakitkan.

    Telinga..
    Kulit..
    Lidah..
    Hidung..
    Pikiran..

    [dan diteruskan kalimat yang sama]

    Demikianlah pengendalian itu.

    Tiang/pilar yang kuat" adalah ingatan pada jasmani. Karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih: Ingatan pada Jasmani akan kami kembangkan dan latih, menjadikannya kendaraan, menjadikannya landasan, menstabilkannya, mengerahkan usaha kami dan menyempurnakannya. Demikianlah kalian harus melatihnya

  4. Kebenaran Mulia: Lenyapnya Dukkha
    Berhentinya tanpa sisa dan lenyapnya keinginan yang sama itu, meninggalkan dan melepaskannya, bebas darinya, tidak bergantung padanya (SN 56.11). Avijjā sebagai kondisi berhenti maka bentukan-bentukan kehendak berhenti .. Kelahiran sebagai kondisi berhenti maka tua dan kematian, mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa berhenti. Demikianlah berhentinya seluruh kelompok penderitaan/Dukkha [AN 3.61, SN 12.17].

    'Ini adalah kebenaran mulia tentang Lenyapnya Dukkha’. Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncul padaKu: penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu.
    Kebenaran Mulia tentang lenyapnya dukkha HARUS DICAPAI/DIREALISASIKAN (sacchikātabban’ti). Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya,...
    Kebenaran Mulia tentang lenyapnya dukkha TELAH DICAPAI/DIREALISASIKAN (sacchikatan’ti). Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncul padaKu: penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu [SN 56.11-12].

    Padamnya Tanhā atau berhentinya Dukkha disebut Nibbana/Nirvana [nir/ni (tidak ada) + va (meniup) + suffix "na"]

    1. Sa-upadisesa-Nibbana = Nibbana dengan 'sisa' [5 khanda masih ada, makhluknya masih hidup]
    2. An-upadisesa-Nibbana = Parinibbana = Nibbana tanpa sisa, tidak ada lagi kemunculan di masa depan dalam bentukan apapun

    Mahāmoggallāna:
    “Deva manakah, (Brahma) Tissa, yang mengenali seseorang masih memiliki sisa (saupādisa) sebagai ‘seorang yang masih memiliki sisa’ dan seorang yang tanpa sisa (anupādisesa) sebagai ‘seorang yang tanpa sisa’?”

    Brahma Tissa:
    “Para deva kumpulan Brahmā memiliki pengetahuan demikian, Moggallāna yang terhormat.”

    Mahāmoggallāna:
    “Apakah semua deva kumpulan Brahmā memiliki pengetahuan demikian, Tissa?”

    Brahma Tissa:
    “Tidak semua, Moggallāna yang terhormat....para deva mengenalinya sebagai berikut:
    ‘Yang Mulia ini terbebaskan..Selama jasmaninya masih berdiri, para deva dan manusia dapat melihatnya, tetapi dengan hancurnya jasmani, maka para deva dan manusia tidak lagi dapat melihatnya.’

    Dengan cara inilah para deva itu mengenali seseorang yang masih memiliki sisa sebagai ‘seorang yang masih memiliki sisa’ dan seorang yang tanpa sisa sebagai ‘seorang yang tanpa sisa.’ [AN 7.56]

    ***

    Pertanyaan Vacchagotta:
    Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, Guru Gotama, di manakah ia muncul kembali [setelah kematian]?”

    [..]

    Jawaban sang Buddha:
    “Demikian pula, Vaccha, Sang Tathāgata telah MENINGGALKAN [BENTUKAN MATERI ...PERASAAN ..PERSEPSI ..BENTUKAN KEHENDAK ..KESADARAN] yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya SEHINGGA TIDAK MUNGKIN MUNCUL LAGI DI MASA DEPAN...[MN 72]

    ***

    Demikian telah dikatakan oleh Sang Buddha … “Wahai para bhikkhu, ada 2 elemen-Nibbana (nibbānadhātu). Apakah 2 elemen itu? Elemen-Nibbana dengan sisa (saupādisesā nibbānadhātu) dan elemen-Nibbana tanpa sisa (anupādisesā nibbānadhātu)”

    “Wahai para bhikkhu, apakah elemen-Nibbana dengan sisa itu?”

    “Di sini, seorang bhikkhu merupakan Arahat, noda-nodanya telah lenyap, kehidupan suci telah terpenuhi, telah melakukan yang harus dilakukan, tak lagi menanggung beban, telah mencapai tujuan, belenggu KELAHIRAN KEMBALI telah hancur dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir. Tetapi, ke-5 indriyanya tetap berfungsi, dan dengan indriya itu Ia masih mengalami apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta merasakan sukacita dan penderitaan. Hilangnya kemelekatan, kebencian, dan keliru tahu/kebingungan di dalam dirinya ITULAH YANG DISEBUT ELEMEN-NIBBANA DENGAN SISA”

    “Dan, wahai para bhikkhu, apakah elemen-Nibbana yang tanpa sisa itu?

    Di sini seorang bhikkhu merupakan Arahat … yang sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir. Baginya, di sini dalam kehidupan ini juga, segala yang dialami, karena tidak ditanggapi dengan kegembiraan, akan padam. Para Bhikkhu, ITULAH YANG DISEBUT ELEMEN-NIBBANA TANPA SISA”

    “Demikianlah, wahai para bhikkhu, 2 elemen-Nibbana itu.”

    Dua elemen-Nibbana ini diperkenalkan
    Oleh Yang Melihat, yang tenang dan tidak terikat:
    Yang satu adalah elemen yang dilihat di sini dan kini
    Dengan sisa, tetapi tali kelahiran kembalinya telah dihancurkan;
    Yang lain, KARENA TIDAK MEMILIKI SISA DI MASA DEPAN,
    Di situ semua jenis kehidupan sepenuhnya berhenti.

    Setelah memahami keadaan yang tak terkondisi,
    Terbebas pikirannya karena tali kelahiran kembali yang telah dihancurkan,
    Mereka telah mencapai intisari Dhamma,
    Bergembira dalam penghancuran,
    Mereka yang tenang telah meninggalkan semua kelahiran kembali
    . [ITIVUTTAKA no.44]

  5. Kebenaran Mulia: Jalan mengakhiri Dukkha
    dengan 8 jalan mulia (Ariya Atthangiko Magga) atau berada di jalan tengah (majjhimā paṭipadā):

    1. Pandangan Benar (sammā-ditthi)
    2. Kehendak Benar (sammā-sankappa)
    3. Ucapan Benar (sammā-vācā)
    4. Perbuatan Benar (sammā-kammanta)
    5. Pencaharian Benar (sammā-ajiva)
    6. Daya-upaya Benar (sammā-vāyāma)
    7. Ingatan Benar (sammā-sati)
    8. Pikiran terpusat Benar (sammā-samādhi) [SN 56.11]

    'Ini adalah kebenaran mulia tentang Jalan mengakhiri Dukkha’. Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncul padaKu: penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu.

    Kebenaran Mulia tentang jalan mengakhiri dukkha HARUS DIKEMBANGKAN (bhāvetabban’ti). Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya...
    Kebenaran Mulia tentang jalan mengakhiri dukkha TELAH DIKEMBANGKAN (bhāvitan’ti).. Hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncul padaKu: penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu.

    Selama oleh-Ku (Yāvakīvañca me), Pengetahuan dan penglihatan apa adanya/alami (yathābhūtaṁ ñāṇadassanaṁ) pada 4 Kebenaran Mulia dengan 3 tahap dan 12 aspeknya (tiparivaṭṭaṁ dvādasākāraṁ), TIDAK DIMURNIKAN SEMPURNA (na suvisuddhaṁ ahosi), Aku tidak mengaku (neva tāvāhaṁ) kepada dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia (sadevake loke samārake sabrahmake sassamaṇabrāhmaṇiyā pajāya sadevamanussāya), sebagai yang tiada bandingannya dengan benar sempurna telah memutus rantai penjelmaan (‘anuttaraṁ sammāsambodhiṁ), sejauh putusnya rantai kelahiran (abhisambuddho’ti paccaññāsiṁ)

    Tetapi karena oleh-ku (yato ca kho me), Pengetahuan dan penglihatan apa adanya/alami (yathābhūtaṁ ñāṇadassanaṁ) pada 4 Kebenaran Mulia dengan 3 tahap dan 12 aspeknya, TELAH DIMURNIKAN SEMPURNA (suvisuddhaṁ ahosi), Aku mengaku (athāhaṁ) kepada dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, sebagai yang tiada bandingannya dengan benar sempurna telah memutus rantai penjelmaan, sejauh putusnya rantai kelahiran

    Pengetahuan dan penglihatan muncul pada-Ku (ñāṇañca pana me dassanaṁ udapādi):

    PembebasanKu tidak tergoyahkan (akuppā me vimutti). Ini kelahiran terakhir-Ku, takkan ada lagi penjelmaan (ayamantimā jāti, natthi dāni punabbhavo’”ti)’”

    Demikianlah yang Sang Bhagavā sampaikan (Idamavoca bhagavā). Puas (attamanā), Kelompok 5 Petapa gembira mendengar penjelasan Sang Bhagavā (pañcavaggiyā bhikkhū bhagavato bhāsitaṁ abhinandunti). Selagi khotbah dibabarkan (imasmiñca pana veyyākaraṇasmiṁ bhaññamāne), pada Kondañña muncul penglihatan Dhamma tanpa noda, bebas debu (āyasmato koṇḍaññassa virajaṁ vītamalaṁ dhammacakkhuṁ udapādi): “Apapun itu yang muncul (yaṃ kiñci samuda­ya­dhammaṃ), Semua itu akan berakhir (sabbaṁ taṁ nirodhadhamman”ti)”
    Ketika Roda Dhamma telah diputar Sang Bhagavā, para deva yang bersemayam di bumi berseru: “Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma tanpa banding telah diputar Sang Bhagavā, yang tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia.”
    Setelah mendengar seruan para deva yang bertempat tinggal di bumi, para deva di alam 4 Raja Deva berseru: “Di Bārāṇasī...(seperti di atas)
    Setelah mendengar seruan para deva di alam 4 Raja Deva, para deva Tāvatimsa...
    para deva Yāma....
    para deva Tusita...
    para deva Nimmānaratī...
    para deva Paranimmitavasavattī...
    para deva pengikut Brahmā berseru: Di Bārāṇasī,...”

    Demikianlah di saat itu, seketika itu, seruan itu menyebar hingga sejauh alam brahmā, dan 10.000 sistem dunia tergetar, terguncang, keras terpengaruh, cahaya agung tanpa batas muncul melampaui keagungan para deva.

    Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan: “Kondañña telah mengetahui! Kondañña telah mengetahui! (aññāsi vata bho, koṇḍañño, aññāsi vata bho, koṇḍañño”ti)”. Demikianlah Kondañña memperoleh nama “Aññā Kondañña - Kondañña Yang Telah mengetahui.” [SN 56.11][↓] []
---------------

8 Jalan Mulia

Dibanyak tempat, sang Buddha menyatakan:
    Ini adalah MORALITAS, ini adalah PEMUSATAN PIKIRAN, ini adalah KEBIJAKSANAAN (iti sīlaṃ, iti samādhi, iti paññā). Samādhi yang dilandasi sila akan menghasilkan buah dan manfaat besar (Sīlaparibhāvito samādhi mahapphalo hoti mahānisaṃso). Kebijaksanaan yang dilandasi Samādhi akan menghasilkan buah dan manfaat besar (Samādhiparibhāvitā paññā mahapphalā hoti mahānisaṃsā). Pikiran yang dilandasi kebijaksanaan akan sepenuhnya terbebas dari noda: hasrat indriya, penjelmaan, ketidaktahuan (Paññāparibhāvitaṃ cittaṃ sammadeva āsavehi vimuccati, seyyathidaṃ kāmāsavā, bhavāsavā, avijjāsavā”ti) [DN 16]
Nama lain samādhi = samatha dan nama lain paññā = vipassanā, keduanya adalah 2 dari 5 Indriya/kemampuan [pañcindriyā di AN 6.54 = SN 48.43]. Di Ne 19, 21, 36: "Kelompok samādhi atau Samatha, kelompok Panna atau Vipassana/samādhikkhandho ca samatho, paññākkhandho vipassanā".

Terdapat 2 hal yang terkait pengetahuan (dve..dhammā vijjābhāgiyā), yaitu Samatha dan Vipassanā. Samatha dikembangkan, apa tujuannya? Pikiran dikembangkan (cittaṁ bhāvīyati). Pikiran dikembangkan, apa tujuannya? Ketagihan ditinggalkan (rāgo so pahīyati). Vipassana dikembangkan, apa tujuannya? Kebijaksanaan dikembangkan (paññā bhāvīyati). Kebijaksanaan dikembangkan, apa tujuannya? ketidaktahuan ditinggalkan (avijjā sā pahīyati). Dikotori ketagihan (rāgupakkiliṭṭha), pikiran tak terbebaskan (cittaṁ na vimuccati). Dikotori ketidaktahuan (avijjupakkiliṭṭhā), Kebijaksanaan tidak berkembang (paññā na bhāvīyati). Tiada hasrat pada/bersih dari ketagihan (rāgavirāgā) adalah pembebasan Pikiran (cetovimutti). Tiada hasrat pada/bersih dari ketidaktahuan (avijjāvirāgā) adalah pembebasan Kebijaksanaan (paññāvimutti) [AN 2.31, Ne 19].

8 Jalan Mulia/Utama (aṭṭhaṅgiko magga), dibagi dalam kelompok: MORALITAS (sīlakkhandha), PEMUSATAN PIKIRAN (samādhikkhandha) dan KEBIJAKSANAAN (paññākkhandha) [MN 44, DN 16, It 59], lebih lanjutnya: SILA [sammāvācā, sammākammanto, sammāājīvo], SAMĀDHI (SAMATHA) [sammāvāyāmo, sammāsati, sammāsamādhi] dan PAÑÑĀ (VIPASANNĀ) [sammādiṭṭhi, sammāsaṅkappo] [MN 44] dengan kelompok pembebasan/vimuttikkhandha sebagai yang ke-4 [DN 33] dan dengan kelompok pembebasan mengetahui dan melihat/vimuttiñāṇadassanakkhandho sebagai yang ke-5 [DN 34, SN 3.24, SN 47.13], yang membuat 8 mulia menjadi 10 jalan/magga yang benar/sammata: 8 jalan ariya/utama → pengetahuan benar/sammāñāṇa → pembebasan benar/Sammāvimutti [AN 10.103].

Pandangan benar sebagai pelopor (sammādiṭṭhi pubbaṅgamā hoti). Dengan pandangan benar, pandangan salah dilenyapkan (Sammādiṭṭhissa, micchādiṭṭhi nijjiṇṇā hoti), berkembang banyaknya hal buruk tidak bermanfaat akibat pandangan salah, juga dilenyapkan (micchādiṭṭhipaccayā aneke pāpakā akusalā dhammā sambhavanti te cassa nijjiṇṇā honti) dan menjadi berkembangnya banyak kondisi bermanfaat akibat dari pandangan benar (Sammādiṭṭhipaccayā aneke kusalā dhammā bhāvanāpāripūriṁ gacchanti). [MN 117]. Buddhaghosa: Terpenuhinya faktor Pandangan Benar = Pengetahuan Benar (aṅgaparipūraṇatthaṃ sammādiṭṭhiyeva sammāñāṇa) [Aṅguttaranikāya-aṭṭhakathā, Aṭṭhakādinipāta, samaṇasaññāvaggo]. Alur pemurnian jalan ariya:
    Pemurnian Moralitas (sīlavisuddhi) → untuk mencapai pemurnian Pikiran (cittavisuddhatthā);
    Pemurnian Pikiran (cittavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian terhadap keraguan Apapun (kaṅkhāvitaraṇavisuddhatthā);
    Pemurnian terhadap keraguan Apapun (kaṅkhāvitaraṇavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian mengetahui melihat jalan dan bukan jalan (maggāmaggañāṇadassanavisuddhatthā);
    Pemurnian mengetahui melihat jalan dan bukan jalan (maggāmaggañāṇadassanavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian prilaku mengetahui melihat (paṭipadāñāṇadassanavisuddhatthā);
    Pemurnian prilaku mengetahui melihat (paṭipadāñāṇadassanavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian mengetahui melihat (ñāṇadassanavisuddhatthā);
    Pemurnian mengetahui melihat (ñāṇadassanavisuddhi) → bertujuan untuk Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan (anupādāparinibbānatthā)..[MN 24]
Tujuan tidak menginginkan/tiada hasrat adalah kebebasan (virāgo vimuttattho). Tujuan pembebasan adalah nibbana (vimutti nibbānatthā) [SN 23.1]. Faktor pembebasan benar/sammāvimutti merujuk pada 7 jenis individu dengan kebebasan melalui: Kedua-cara/ubhatobhāgavimutto, Kebijaksanaan/paññāvimutto, Mengalami/Saksi tubuh/jasmani/kāyasakkhi, Pencapai Pandangan/diṭṭhippatto, Keyakinan/saddhāvimutto, Pengikut Dhamma/dhammānusārī dan Pengikut Keyakinan/saddhānusārī. dari ke-7 ini, hanya 2 yang merujuk kearahatan yaitu: ubhatobhāgavimutto dan paññāvimutto [MN 70]. Sebagai sample, berikut 3 jenis yang teratas [MN 70]:
  1. Terbebaskan dalam dua cara/Ubhatobhāgavimutto: Ia terbebaskan damai melampaui bentukan dan tanpa bentukan (te santā vimokkhā atikkamma rūpe āruppā), Ia berdiam mencapainya dengan jasmani (te kāyena phusitvā viharati), setelah melalui kebijaksanaan melihatnya (paññāya cassa disvā), noda-nodanya hancur (āsavā parikkhīṇā honti). Ini adalah arahat karena (seluruh) noda hancur.
    Sutta lainnya untuk ubhatobhāgavimutto: "..telah dapat bebas/lepas dari kenikmatan indriya ... jhāna ke-1 tercapai (..vivicceva kāmehi … paṭhamaṁ jhānaṁ upasampajja viharati), Apapun di landasan itu, Ia mencapainya dengan jasmani (yathā yathā ca tadāyatanaṁ tathā tathā naṁ kāyena phusitvā viharati), Ia memahaminya dengan kebijaksanaan (paññāya ca naṁ pajānāti) [AN 9.45]. Sutta ini tidak menyebut seluruh noda dihancurkan, sehingga pembebasan dalam dua cara tidak berarti selalu merujuk pada definisi tercapatinya kearahatan

  2. Terbebaskan dengan Kebijaksanaan/paññāvimutto: Ia terbebaskan damai melampaui bentukan dan tanpa bentukan (te santā vimokkhā atikkamma rūpe āruppā) Ia berdiam mencapainya TIDAK dengan jasmani (te NA kāyena phusitvā viharati), setelah melalui kebijaksanaan melihatnya (paññāya cassa disvā), noda-nodanya hancur (āsavā parikkhīṇā honti). Ini arahat, karena (seluruh) nodanya hancur.
    Sutta lainnya untuk Pannavimutto: "..telah dapat bebas/lepas dari kenikmatan indriya ... jhāna ke-1 tercapai (..vivicceva kāmehi … paṭhamaṁ jhānaṁ upasampajja viharati),Ia memahaminya dengan kebijaksanaan (paññāya ca naṁ pajānāti) [AN 9.44]. Sutta ini tidak menyebut seluruh noda dihancurkan, sehingga pembebasan kebijaksanaan tidak berarti selalu merujuk pada definisi tercapatinya kearahatan

  3. Mengalami/Saksi tubuh/jasmani/kāyasakkhi: Ia terbebaskan damai melampaui bentukan dan tanpa bentukan (te santā vimokkhā atikkamma rūpe āruppā) Ia berdiam mencapainya dengan jasmani (te kāyena phusitvā viharati), setelah melalui kebijaksanaan melihatnya (paññāya cassa disvā), noda-noda TERTENTU hancur (ekacce āsavā parikkhīṇā honti). Ini belum arahat, tapi mencapai tingkat tertentu kesucian.
Ke-10 jalan ariya ataupun 5 pengelompokan jalan ariya adalah jalan tercapainya suatu tingkat kesucian tertentu:
  1. Memiliki 5 kelompok ariya magga: sīlakkhandha, samādhikkhandha, paññākkhandha, vimuttikkhandhaṁ dan vimuttiñāṇadassanakkhandha, misalnya Ananda/sotapanna [SN 47.13], atau
  2. Memiliki 10 jalan mulia/ariya magga: sammādiṭṭhi, ... ,sammāsamādhi, sammāñāṇa dan sammāvimutti, misalnya Anāthapiṇḍika [SN 55.26], atau
  3. Dengan cetovimutti dan paññāvimutti: Ānanda: "jika ini adalah jalan atau cara untuk meninggalkan ke-5 belenggu yang lebih rendah (maggo esā paṭipadā pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ pahānāya), maka bagaimana dengan beberapa bhikkhu di sini dengan pembebasan pikiran, beberapa dengan pembebasan kebijaksanaan? (atha kiñcarahi idhekacce bhikkhū cetovimuttino ekacce bhikkhū paññāvimuttino”ti?)". Sang Buddha: "Bedanya pada indria-indria mereka (Ettha panesāhaṁ, indriyavemattataṁ)" [MN 64]. Huruf akhir "o" pada vimutto = terbebaskan, seorang arahat. Huruf akhir "i" pada vimutti = pembebasan, mencapai tingkat tertentu kesucian.
Avijjâ adalah pelopor perbuatan tak bermanfaat/akusala dhammâ, diikuti (anvadeva) tidak malu (ahirika) dan tidak takut berbuat salah (anottappa). Vijjâ adalah pelopor perbuatan bermanfaat/kusala dhammâ, diikuti malu dan takut berbuat salah (hiri-ottappa) [Iti 40, AN 10.105, SN 45.1]. Avijjā muncul karena noda-noda (āsava: kāma/hasrat indriya, bhava/penjelmaan dan avijjā/ketidaktahuan) dan noda-noda muncul karena avijjā. [MN 9], maka, 2 kekotoran/noda pikiran adalah taṇhā dan avijjā (dve dhammā cittassa upakkilesā— taṇhā ca avijjā ca) [Ne 20]. Bhikkhunī Dhammadinnā: Tandingan ketidaktahuan adalah pengetahuan ... tandingan pengetahuan adalah pembebasan (avijjāya..vijjā paṭibhāgo..vijjāya..vimutti paṭibhāgo) [MN 44]. Alurnya:
    Vijja/Pengetahuan → (muncul) Pandangan Benar → Kehendak Benar → Ucapan Benar → Perbuatan Benar → Pencaharian Benar → Daya-upaya Benar → Ingatan Benar → Pikiran terpusat Benar → Pengetahuan Benar/Sammāñāṇaṁ → Pembebasan Benar/Sammāvimutti [AN 10.105, SN 45.1]
I. Paññā: PANDANGAN BENAR (sammā-ditthi)
Tahu/vijja bahwa (a) semua yang bekondisi adalah anicca, dukkha; semua yang berkondisi, terkondisi dan tidak terkondisi adalah anatta/bukan identitas (diri/aku); tahu (b) 4 Kebenaran Mulia [SN 45.8]

Sang Buddha menyampaikan bahaya-nya berpandangan salah:
    "Para bhikkhu,..DENGAN BERPANDANGAN SALAH, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, para makhluk muncul di KEADAAN SENGSARA/MERUGI MENDERITA MENUJU KEHANCURAN BAHKAN NERAKA" [AN 1.312]

    "Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu tercela seperti halnya pandangan salah. PANDANGAN SALAH ADALAH HAL TERBURUK YANG TERCELA" [AN 1.318]

    "Para bhikkhu, ada satu orang yang muncul di dunia ini demi bahaya banyak orang, demi ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. Siapakah satu orang itu? YAITU SEORANG YANG MENGANUT PANDANGAN SALAH DAN MEMILIKI PERSFEKTIF KELIRU. IA MENGALIHKAN BANYAK ORANG DARI DHAMMA SEJATI DAN MENEGAKKAN DHAMMA YANG BURUK PADA MEREKA. Ini adalah satu orang yang muncul di dunia ini demi bahaya banyak orang, demi ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia" [AN 1.316]

    Para Bhikkhu, 4 hal dengannya menuju ke neraka yaitu: BERPANDANGAN SALAH (attanā ca micchādiṭṭhiko hoti), MENDORONG ORANG LAIN BERPANDANGAN SALAH (parañca micchādiṭṭhiyā samādapeti), MENYETUJUI PANDANGAN SALAH (micchādiṭṭhiyā ca samanuñño hoti) dan MEMUJI PANDANGAN SALAH (vaṇṇaṃ bhāsati) [AN 4.273]

    Di Miliandapanha:

      Raja: "Mana yang lebih jelek (kassa bahutaraṁ apuññan”ti), melakukan perbuatan padahal tahu itu tercela (jānanto pāpakammaṁ karoti) ataukah melakukan perbuatan yang Ia tidak tahu itu tercela (ajānanto pāpakammaṁ karoti)?"
      Bhikkhu Nagasena: "melakukan perbuatan yang Ia tidak tahu itu tercela, baginda."
      Raja: "Kalau begitu, orang-orang yang melakukan perbuatan yang tidak tahu itu tercela, harus dihukum 2x lebih berat."
      Bhikkhu Nagasena: "Bagaimana menurut baginda, apakah seseorang akan terbakar lebih parah, ketika Ia menggenggam besi merah membara tanpa tahu itu panas, dibandingkan dengan orang yang mengetahuinya?"
      Raja: "akan terbakar lebih parah jika tidak mengetahui bahwa besi itu panas."
      Bhikkhu Nagasena: "Demikian juga, O baginda, sama seperti orang yang melakukan perbuatan yang tidak tahu itu tercela."

      [MiliandaPanha 7.8 atau 3.7.8. Note: Ada kehendak/kesengajaan melakukannya, berbeda dengan seorang buta yang berjalan dan banyak semut mati terinjak (Ia tidak tahu langkahnya menyebabkan semut mati), ini tanpa itikad/kesengajaan membuat itu terjadi. Semua perbuatan salah berakar dari kekeliruan tahuan (moha) atau ketidaktahuan (avijja). Orang yang tahu perbuatan itu salah, akan ada kemenyesalan, ada upaya tidak lagi melakukannya, ada ruang memperbaiki diri yang lebih cepat dari orang yang tidak tahu. Juga, orang dengan moha/avijja, disamping, akan berulang melakukan perbuatan salah, juga menyetujui, memuji dan mendorong orang lain melakukan perbuatan salah itu, contoh: pemotongan hewan untuk kurban atau sesaji]

    Seseorang mengembangkan perilaku, kebiasaan, pikiran dan tingkah laku anjing/sapi sepenuhnya dan tanpa terputus. Setelah melakukan demikian, disetelah kematian muncul kembali diantara anjing-anjing [atau jenis lainnya]. NAMUN Ia YANG BERPANDANGAN: "Dengan moralitas atau aturan/ritual atau pertapaan atau penghidupan BRAHMA/menyucikan diri ini (imināhaṃ sīlena vā vatena vā tapena vā brahmacariyena), maka aku akan menjadi dewa atau diantara dewa" itu adalah pandangan salah dipihaknya. Bagi yang BERPANDANGAN SALAH, Aku katakan, hanya ada satu dari dua alam tujuan: neraka atau alam binatang. Jadi, jika perilaku-anjingnya berhasil, akan menuntunnya menuju kelahiran kembali diantara anjing-anjing [atau jenis lainnya]; jika gagal, maka akan menuntunnya menuju neraka. [MN 57]

    ..Di atas panggung, para makhluk-makhluk yang masih belum terbebas dari ketagihan:

    1. yang masih terikat belenggu rāga/ketagihan, menghibur dengan hal yang merangsang yang menggairahkan orang bahkan lebih kuat daripada ketagihan.
    2. yang masih terikat belenggu dosa/kebencian, menghibur dengan hal yang menjengkelkan yang menggairahkan orang bahkan lebih kuat daripada kebencian.
    3. yang masih terikat belenggu moha/keliru tahu/bingung/bodoh, menghibur mereka dengan hal yang membingungkan yang menggairahkan orang bahkan lebih kuat daripada keliru tahu.

    Demikianlah karena mabuk dan lengah, setelah membuat orang lain mabuk dan lengah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul di ‘Neraka. NAMUN Ia YANG BERPANDANGAN: “seorang penghibur menyenangkan orang dengan kebenaran dan kebohongan, Ia akan terlahir sebagai Deva atau di antara para deva”, itu adalah pandangan salah di pihaknya. Bagi yang BERPANDANGAN SALAH, Aku katakan, hanya ada satu dari dua alam tujuan: neraka atau alam binatang [SN 42.2]

    Seorang prajurit yang berjuang dalam pertempuran, pikirannya rendah, rusak, salah-arah dengan pikiran: ‘Biarlah makhluk-makhluk ini dibunuh, dibantai, dimusnahkan, dihancurkan, atau dibasmi’ Jika orang lain membunuhnya sewaktu ia sedang berjuang dalam pertempuran, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul di ‘neraka. NAMUN Ia YANG BERPANDANGAN: "Ketika seorang prajurit yang berjuang dalam pertempuran, jika orang lain membunuhnya sewaktu ia sedang berjuang dalam pertempuran, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul di tengah-tengah para deva" – itu adalah pandangan salah di pihaknya. Bagi yang BERPANDANGAN SALAH, Aku katakan, hanya ada satu dari dua alam tujuan: neraka atau alam binatang.” [SN 42.3-5]

    Seseorang menemukan ajaran yang baik dan tidak merasa perlu menyampaikan pada orang lain, karena alasan APA YANG DAPAT DILAKUKAN SEORANG UNTUK ORANG LAIN? Ia ini tidak berbelas kasih, dan dipenuhi permusuhan/kebencian (sapattaka), dan itu merupakan pandangan salah. Bagi yang BERPANDANGAN SALAH, Aku katakan, hanya ada satu dari dua alam tujuan: neraka atau alam binatang. [DN 12]

    ..indriya mata menggenggam gambaran melalui cici-ciri (anubyañjanasa nimittaggāho) dalam sebuah bentuk yang dapat dikenali oleh mata.. indriya telinga.. hidung.. badan.. [pikiran: melalui gagasan-gagasan].. Karena jika kesadaran terikat pada kepuasan dalam gambaran atau dalam ciri-ciri, dan jika ia meninggal dunia pada saat itu, adalah mungkin bahwa ia akan pergi ke satu dari dua tujuan ini: neraka atau alam binatang [SN 35.235]
Karena pandangan salah muncul dari 6 kontak Indriya, maka jalan menuju lenyapnya penderitaan, juga mulai dengan pandangan benar.

Bagaimanakah pandangan benar muncul sebagai pelopor? Seseorang yang memahami:
  1. Micchaditthi (pandangan salah) sebagai pandangan salah
    ..kehendak salah sebagai kehendak salah,
    ..ucapan salah sebagai ucapan salah,
    ..perbuatan salah sebagai perbuatan salah,
    ..penghidupan salah sebagai penghidupan salah, dan
  2. sammādiṭṭhi (pandangan benar) sebagai pandangan benar
    ..kehendak benar sebagai kehendak benar,
    ..ucapan benar sebagai ucapan benar,
    ..perbuatan benar sebagai perbuatan benar,
    ..penghidupan benar sebagai penghidupan benar
ini adalah PANDANGAN BENAR seseorang [MN 117].

Pandangan benar ada 2:
  1. Pandangan benar dengan noda (sammādiṭṭhi sāsavā) terkait jasa kebajikan (puññabhāgiyā) buah kematangan/melekati atau didasari hasil (upadhivepakkā), yaitu: sammādiṭṭhi (pandangan benar) (Di MN 117 adalah lawan dari 10 pandangan salah)
  2. Pandangan benar mulia tanpa noda (ariyā anāsavā) melampaui duniawi faktor sang jalan (lokuttarā maggaṅgā) adalah pikiran seorang mulia, tanpa noda, di jalan mulia, mengembangkan jalan mulia (ariyacittassa anāsa­va­cittassa ariya­magga­samaṅ­gino ariyamaggaṃ bhāvayato) berupa: Kebijaksanaan (paññā); Indria/kemampuan kebijaksanaan (pañña-indriya); kekuatan kebijaksanaan(paññā-bala); faktor pencerahan pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi (dhamma-vicaya-sambojjhaṅga); faktor sang jalan pandangan benar (sammādiṭṭhi maggaṅga)
Seseorang berusaha meninggalkan (pahānāya) pandangan salah dan berusaha untuk berada dalam pandangan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Tetap ingat untuk meninggalkan pandangan salah, tetap ingat untuk berada dalam pandangan benar: ini adalah ingatan benar seseorang. Demikianlah ke-3 kondisi ini berlangsung dan di sekeliling pandangan benar: pandangan benar, usaha benar, dan ingatan benar"

"[..] Bagaimanakah pandangan benar muncul sebagai pelopor?

Pada seorang yang berpandangan benar, muncul kehendak benar;
Pada seorang dengan kehendak benar, muncul ucapan benar;
..dengan ucapan benar, muncul perbuatan benar;
..dengan perbuatan benar, muncul penghidupan benar;
..dengan penghidupan benar, muncul usaha benar;
..dengan usaha benar, muncul ingatan benar;
..dengan ingatan benar, muncul pikiran terpusat benar;
..dengan pikiran terpusat benar, muncul pengetahuan benar [sammā-ñāṇa];
Pada seorang dengan pengetahuan benar, muncul pembebasan benar [sammā-vimutti].

Demikianlah, para bhikkhu, jalan dari siswa yang dalam latihan lebih tinggi memiliki 8 faktor, Arahant memiliki 10 faktor.

“[..] Pada seorang yang berpandangan benar, pandangan salah lenyap (nijjiṇṇa), dan ragam hal buruk tak bermanfaat (akusala) yang berasal dari pandangan salah di sana juga menjadi (sambhavanti te cassa) lenyap, ragam kondisi bermanfaat yang berasal dari pandangan benar menjadi berkembang sepenuhnya (bhāvanāpāripūriṃ gacchanti).

Pada seorang dengan kehendak benar, kehendak salah lenyap ...
Pada seorang dengan ucapan benar, ucapan salah lenyap …
..dengan perbuatan benar, perbuatan salah lenyap …
..dengan penghidupan benar, penghidupan salah lenyap …
..dengan usaha benar, usaha salah lenyap …
..dengan ingatan benar, ingatan salah lenyap …
..dengan pikiran terpusat benar, pikiran terpusat salah lenyap …
..dengan pengetahuan benar, pengetahuan salah lenyap …
Pada seorang dengan pembebasan benar, pembebasan salah lenyap, ragam kondisi buruk tidak bermanfaat yang berasal dari pembebasan salah di sana juga menjadi lenyap, ragam kondisi bermanfaat yang berasal dari pembebasan benar menjadi berkembang sepenuhnya [MN 117]

Pandangan benar dengan 5 faktor berbuah dan bermanfaat menuju Cetovimutti [Pembebasan Pikiran] dan Paññāvimutti [Pembebasan Kebijaksanaan]:

Moralitas [sīlā];
Mendengar/belajar [sutā];
Dibahas/didiskusikan [sākacchā];
Ketenangan [samathā] dan
Mengamati secara khusus [vipassanā: muncul-lenyapnya] [MN 43]

Variasi PANDANGAN SALAH:
    Pandangan bahwa: SEMUA yang menyakiti kehidupan; mengambil yang tidak diberikan; berperilaku salah dalam kenikmatan indriya; menyatakan yang tidak benar; merindukan; berpikiran buruk dan menganut pandangan salah akan terlahir di keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka ATAU bahwa SEMUA yang TIDAK: menyakiti makhluk...dan menganut pandangan benar akan terlahir di keadaan bahagia di alam surga [MN 136]

    Pandangan bahwa apapun yang dialami seseorang, apakah itu perasaan: menyenangkan, menyakitkan atau perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan [adukkhamasukhaṁ], semua itu:

    1. disebabkan tindakan lampau [pubbekatahetū].
    2. disebabkan kuasa TUHAN [Issaranimmānahetū]
      "issaranimmānahetū’ ti issaranimmānakāraṇā, issarena nimmitattā paṭisaṁvedetī ti attho" (Disebabkan kuasa tuhan, Karena kuasa TUHAN, Dirinya mengalami sepenuhnya kuasa tuhan)
    3. tanpa penyebab dan tanpa kondisi [ahetu-appaccayā] [AN 3.61]

    Pandangan salah dari Pakudha Kaccāyana:
    Terdapat 7 tubuh yang tidak dibuat, tidak dilahirkan, tidak diciptakan, tanpa pencipta, tandus, kokoh bagaikan puncak gunung atau pilar. Semua ini tidak goyah, tidak berubah, tidak menghalangi satu sama lainnya, juga tidak menyebabkan satu sama lain menjadi senang, menderita atau keduanya, 7 tubuh yaitu Tubuh-tanah, tubuh-air, tubuh-api, tubuh-udara, kesenangan dan kesakitna dan jiwa. Karenanya tidak ada pembunuhan dan tidak ada pembunuh, tidak ada yang mendengar dan yang menyatakan, tidak ada yang mengetahui dan yang penyebab diketahui. Siapapun yang memenggal kepala seseorang dengan pedang tajam tidak akan menghilangkan kehidupan seseorang, ia hanya menyelipkan pedang ke ruang di antara ke-7 tubuh ini" [DN 2, MN 76, SN 24.8, Jataka no. 545]. Angin (vātā) tidak bertiup, sungai tidak mengalir, perempuan hamil tidak melahirkan, bulan dan matahari tidak terbit dan terbenam (na candimasūriyā udenti vā apenti) melainkan diam bagaikan pilar’? [SN 24.1. Kitab komentar vātam adalah 'gambaran yang tidak benar' (lesa): meski angin tampak bertiup dan matahari dan bulan tampak terbit, ini adalah gambaran yang tidak benar dari angin (vāta-lesa), matahari dan bulan]

    Pandangan salah dari Makkhali Gosāla (ahetu-diṭṭhī/non kasualitas):
    Tidak ada penyebab atau kondisi bagi kekotoran ataupun pemurnian para makhluk.
    Para Makhluk terkotori atau dimurnikan tanpa sebab atau kondisi.
    Tidak ada tindakan disebabkan oleh kemauannya sendiri, orang lain ataupun oleh kemauan orang. Tidak ada kekuatan, tidak ada daya, tidak ada tenaga atau upaya manusia.
    Semua makhluk hidup, semua kehidupan, semua keberadaan, semua yang hidup (Sabbe sattā, sabbe pāṇā, sabbe bhūtā, sabbe jīvā) tidak memiliki kendali, kekuatan, dan daya (avasā abalā avīriyā), dibentuk takdir keadaan yang bersifat alami (niyati-saṅgati-bhāva pariṇatā), kesenangan dan kesakitan dialami dalam 6 kelas kelahiran kembali (chaḷabhijātiyo).
    Ada 1,4 juta rahim utama, dan 6.000 lainnya, dan 600 lagi. Ada 500 jenis Kamma, dan 5 jenis lainnya, dan 3 jenis lagi. Ada Kamma dan 1/2 Kamma. Ada 62 jalan, 62 antarakalpa, 6 kelompok manusia, dan 8 tahap kehidupan manusia. Ada 4.900 (petapa telanjang/ājīvaka, petapa pengembara paribbājaka dan nāgā). Ada 2.000 kehidupan dengan kesadaran, 3.000 neraka, dan 36 alam debu. Ada 7 (rahim makhluk dengan persepsi, makhluk tanpa persepsi, makhluk ‘bebas dari belenggu’, tingkatan dewa, manusia, setan, danau, gunung besar, gunung kecil, jurang besar, jurang kecil, mimpi besar dan 7 mimpi kecil).
    Ada 8,4 juta kalpa besar yang dilalui si dungu dan si bijak dalam samsara hingga berakhirnya penderitaan.
    Oleh karenanya tidak ada hal-hal seperti: ‘Dengan sila, latihan, meditasi dan kehidudpan brahma akan membuat kamma yang belum masak menjadi masak, atau membuat kamma yang masak perlahan melenyap.’ karena hal itu tidak mungkin. Kebahagiaan dan penderitaan dalam samsara ada batas ukurannya, tidak akan bertambah ataupun berkurang, tidak ada mulia atau hina, bagai bola benang yang bergulir hingga terurai seluruhnya, demikian si dungu dan si bijak berputaran hingga berakhirnya penderitaan” [DN 2, SN 24.7, SN 22.60, MN 60, MN 76]

    Pandangan salah dari Pūraṇa Kassapa (akiriya-diṭṭhi: Tentang ketidakefektifan tindakan):
    orang tidak bersalah ketika memerintahkan ataupun melakukan sendiri perbuatan membabat, membakar, menyebabkan kesedihan, siksaan, intimidasi, atau mendorong yang lain melakukan yang sama. Orang tidak bersalah ketika membunuh, mengambil yang tidak diberikan, merampas, merampok, menyergap, berbuat buruk terkait seksual, berkata tidak benar, tidak ada kejahatan dan hasil kejahatan dari hal itu.
    Dengan sebuah chakra tajam membuat makhluk hidup di bumi ini menjadi tumpukan besar daging, tidak ada kejahatan dan hasil kejahatan dari hal itu.
    Di sepanjang tepi selatan sungai Ganga membunuh, membasmi, membabat menyiksa, atau mendorong yang lain melakukan yang sama, tidak ada kejahatan dan hasil kejahatan dari hal itu.
    Di sepanjang tepi utara sungai Ganga melakukan pemberian, pengorbanan/persembahan atau mendorong yang lain melakukan yang sama, tidak ada jasa kebajikan dan hasil jasa kebajikan dari hal itu.
    Melakukan perbuatan memberi, pengendalian diri, pengekangan, dan menyatakan kebenaran, tidak ada jasa kebajikan dan hasil jasa kebajikan dari hal itu." [DN 2, SN 24.6, SN 42.13, MN 60, MN 76]. Disamping itu Purana Kassapa membagi manusia menjadi 6 kelompok kelahiran (chaḷabhijātiyo): Kelompok hitam untuk para penjagal domba, babi, unggas, dan rusa; para pemburu dan nelayan; para pencuri, algojo, dan sipir penjara; atau mereka yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kejam lainnya. Kelompok biru untuk para bhikkhu yang hidup dari durii atau lainnya yang menganut doktrin kamma, doktrin efektivitas perbuatan. Kelompok merah untuk para Nigaṇṭha yang mengenakan satu jubah. Kelompok kuning untuk para umat awam berjubah putih dari para petapa telanjang. Kelompok putih: para Ājīvaka laki-laki dan perempuan. Menurut Purana: Kelompok putih yang tertinggi adalah Nanda Vaccha, Kisa Saṅkicca, dan Makkhali Gosāla. [AN 6.57].

    Pandangan salah dari Nigaṇṭha Nātaputta:
    Terdapat 4 pengendalian: dikekang (vārito) semua ikatan/air (sabbavāri, vāri = air/ikatan. Note: saat sakit, boleh air panas/uṇhodaka, tidak air dingin/sītodaka), dikelilingi semua ikatan (sabbavāriyutto), dibersihkan semua ikatan (sabbavāridhuto), meresapi semua ikatan (sabbavāriphuṭo). Selama seorang Nigaṇṭha terkendali dalam 4 pengendalian ini, maka Nigaṇṭha ini disebut tanpa simpul, terkendali dan tegak oleh diri sendiri. [DN 2]. Tiga jenis tongkat (daṇḍaṁ) sebagai pelaksanaan perbuatan buruk (pāpassa kammassa kiriyāya) dalam melakukan perbuatan buruk (pāpassa kammassa pavattiyāti): Tongkat jasmani, tongkat ucapan, dan tongkat pikiran (kāyadaṇḍaṁ, vacīdaṇḍaṁ, manodaṇḍan). Dari ketiga ini, tongkat jasmani paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk, dalam melakukan perbuatan buruk, sedangkan tongkat ucapan dan tongkat pikiran tidak terlalu tercela. [MN 56]. Siapa pun yang membunuh, pasti menuju ke alam sengsara, menuju neraka. Siapa pun yang mengambil apa yang tidak diberikan, ... , melakukan hubungan seksual yang salah, ... , berbohong, pasti menuju ke alam sengsara, menuju neraka. Seseorang dituntun oleh bagaimana PRILAKU YANG BIASANYA/yang sering dilakukannya (Yaṁbahulaṁ yaṁbahulaṁ viharati, tena tena nīyatī) [SN 42.8]

      Note:
      Nigantha ada yang telanjang dan ada yang berjubah: Pūraṇa Kassapa: kelompok putih adalah para Ājīvaka laki-laki dan perempuan dan yang tertinggi adalah Nanda Vaccha, Kisa Saṅkicca, dan Makkhali Gosāla [AN 6.57]. Vinaya: Ajivaka adalah petapa telanjang [Kd.8.18/Visākhāvatthu]. Saccaka putra Nigaṇṭha: Nanda Vaccha, Kisa Saṅkicca, dan Makkhali Gosāla adalah Acelaka/petapa Telanjang [MN 36]. Definisi Acelaka/petapa telanjang pun ada yang telanjang, juga ada yang memakai sepotong kain, yang terbuat dari rami, dari rami bercampur kain, dari kain pembungkus mayat, dari selimut yang dibuang, dari kulit pohon, dari kulit rusa, dari cabikan kulit rusa, dari kain rumput kusa, dari kain kulit kayu, dari kain serutan kayu, dari kain rambut, dari kain bulu binatang, dari bulu sayap burung hantu. [MN 45]. Dalam Dhammapada Atthakatha syair 316 dan 317: "Pada suatu hari, beberapa orang pertapa nigantha pergi berkeliling menerima dana makanan sambil membawa mangkuk yang ditutupi sepotong pakaian. Beberapa orang biksu yang melihat mereka, berkata, 'Para pertapa nigantha itu menutupi bagian depan tubuh mereka terlihat lebih sopan ketimbang para pertapa acelaka yang keluyuran tanpa pakaian.'. Mendengar itu, para pertapa menjawab, 'Iya, demikianlah, kami memang menutupi bagian depan tubuh kami hanya untuk menutupi mangkuk kami, namun kami tidak menutupi rasa malu kami berpergian dengan telanjang. Kami hanya menutupi mangkuk kami agar debu tidak masuk ke makanan kami, bahkan debu juga mengandung kehidupan.'".

      Aturan Jainisme untuk biarawan/wati: (telanjang:) Untuk biarawan telanjang muncul pemikiran: Saya tahan terhadap tusukan rumput, pengaruh dingin dan panas, sengatan lalat dan nyamuk; ini dan berbagai perasaan menyakitkan lainnya yang bisa kutahan, tapi aku tidak dapat melepaskan untuk menutupi privasi. Kemudian Ia boleh menutupi kemaluannya dengan secarik kain (Âkârâṅga Sûtra, 1.7.7.1). (Berpakaian:) "Seorang biarawan atau biarawati yang ingin mendapatkan pakaian, dapat meminta kain yang terbuat dari wol, sutra, rami, daun lontar, katun, atau Arkathla, atau pakaian sejenisnya. Jika ia seorang biarawan muda, muda, kuat, sehat, dan tegap, ia boleh mengenakan 1 jubah, bukan 2; jika seorang biarawati, ia harus memiliki 4 pakaian, yang satu lebarnya 2 hasta, dua lebarnya 3 hasta, yang satu lebarnya 4 hasta... (Âkârâṅga Sûtra, 2.5.1.1). Yang mulia Asetik Mahâvîra selama 1 tahun dan 1 bulan memakai kain, setelahnya, Ia berjalan telanjang [Âkârâṅga Sûtra: 1.8.1.3; Kalpa Sutra, hal.260-261: Life of Mahâvîra, Lecture 5, 117]

      Dapat disimpulkan ada 2 jenis Petapa Nigantha, yaitu: yang telanjang (Digambara) dan yang tubuhnya ditutupi sepotong kain (Śvētāmbara/memakai kain putih).

      Nigaṇṭha Nātaputta atau Mahavira, wafat di Pava (DN 29, 33, MN 104], jaman Ajatasattu memerintah Magadha [DN 2]. Jainisme: YM Asetik Mahâvîra 30 tahun sebagai perumah tangga, 12 tahun lebih dalam kondisi lebih rendah dari kesempurnaan, kurang dari 30 tahun sebagai Kevalin, wafat di usia 72 tahun pada dini hari, di kota Pâpâ, di kantor penulis raja Hastipâla... (Kalpa Sutra, Life of Mahâvîra, Lecture 5, 147). Nama Mahavira di tradisi Jainism: "Ia seorang Naya/Jnatri, seorang Nayaputta dan bulan dari keluarga Naya (Naya-kulackanda)" ["An Early History of Vaisali", Mishra Yogendra, 1962, hal.224, juga Kalpasutra: Life of Mahâvîra, Lecture 5, 110].

    10 PANDANGAN SALAH, dari Ajita Kesakambalī (natthika-diṭṭhī/nihilisme = svabhāvavāda = cārvāka/lokāyata):

    1. ‘Tidak ada gunanya melakukan pemberian [natthi dinna],
    2. tidak ada gunanya melakukan pengorbanan [natthi yiṭṭha],
    3. tidak ada gunanya melakukan persembahan [natthi huta];
    4. tidak ada (mendapatkan/terlahir) menjadi bahagia-menderita sebagai buah/akibat dari hasil perbuatan (baik - buruk) [natthi sukaṭadukkaṭānaṃ kammānaṃ phalaṃ vipāko];
    5. Tidak ada alam ini (tidak ada yang menjelma dari sebelumnya ke sekarang/alam ini) [natthi ayaṃ loko],
    6. Tidak ada alam lain (setelah mati, tidak ada yang menjelma ke alam berikut) [natthi paro loko];
    7. tidak ada kewajiban kepada ibu [natthi mātā],
    8. tidak ada kewajiban kepada ayah [natthi pitā];
    9. tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan (dewa, peta/makhluk halus) [natthi sattā opapātikā];
    10. tidak ada para petapa dan brahmana baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan alam ini (penjelmaan dari sebelumnya ke sekarang) dan dunia lain (penjelmaan kemudian). [natthi loke samaṇabrāhmaṇā sammaggatā sammāpaṭipannā, ye imaṃ ca lokaṃ paraṃ ca lokaṃ sayaṃ abhiññā sacchikatvā pavedentīti]’

      Bahwa manusia ini yang tersusun dari 4 unsur utama (Cātumahābhūtiko ayaṁ puriso), ketika mati (yadā kālaṁ karoti), bentukan padat kembali ke unsur padat (pathavī pathavikāyaṁ anupeti anupagacchati), bentukan cair kembali ke unsur cair (āpo āpokāyaṁ anupeti anupagacchati), bentukan panas kembali ke unsur panas (tejo tejokāyaṁ anupeti anupagacchati), bentukan hawa bersama unsur hawa (vāyo vāyokāyaṁ anupeti anupagacchati), dan ke-indriya-an menguap ke unsur ruang (ākāsaṁ indriyāni saṅkamanti). 4 pengusung dan mayat sebagai yang ke-5 (āsandipañcamā purisā mataṁ ādāya gacchanti), jejak kaki hingga pekuburan (yāvāḷāhanā padāni paññāyanti). Di sana tulang memutih (kāpotakāni aṭṭhīni bhavanti), persembahan berakhir menjadi abu (bhassantā āhutiyo). Memberi adalah doktrin si dungu (dattupaññattaṁ yadidaṁ dānaṁ): ujaran ajaran keberadaan (atthikavādaṁ vadanti: ada kehidupan setelah mati dan buah perbuatan) adalah kosong, bohong dan salah (tucchaṁ musā vilāpo). Baik si dungu dan si bijak (bāle ca paṇḍite ca) saat hancurnya jasmani (kāyassa bhedā), keberadaan musnah lenyap (ucchijjanti vinassanti) tidak lagi ada setelah kematian (na honti paraṁ maraṇā’ti) [DN 2, MN 60, 76, 114 dan 117, SN 24.5] [↑ sammā-sankappa] [↑ Asura]

    62 PANDANGAN SALAH (DN 1):

    18 landasan (aṭṭhārasahi vatthūhi), berbagai klaim teori tentang masa lampau (pubbantaṃ ārabbha anekavihitāni adhi­mutti­padāni):

    4 landasan (catūhi vatthūhi): aliran keabadian [sassatavada]: keabadian diri dan dunia (sassataṃ attānañca lokañca), beberapa petapa yang:

    1. ingat hingga 100.000 kelahirannya (jāti­sata­sahas­sāni) atau
    2. ingat hingga 10 masa mengembang-menyusut (dasapi saṃ­vaṭṭa­vivaṭ­ṭāni) [20 masa → di DN 28] kelahirannya atau
    3. ingat hingga 40 masa mengembang-menyusut,

      + [berkata: “Aku mengetahui masa lampau, apakah alam ini mengembang atau mengkerut, tetapi aku tidak mengetahui apakah di masa depan alam ini akan mengembang atau mengerut.→ di DN 28]

    4. menggunakan logika [takkī], menyelidiki [vimamsi], dengan nalarnya sampai pada dugaan (takka­pariyā­hata), penyelidikan dengan pemikiran mengikuti pemikiran sendiri (vīmaṃ­sānu­cari­taṃ sayaṃ paṭibhānaṃ)

      Note:
      takki hoti vimamasi mungkin bersinonim dengan "akara parivitakka"/penyidikan dengan nalar, merupakan 1 dari 5 faktor Pengetahuan yaitu 1. saddha/Keyakinan, 2. ruci/persetujuan/kesepakatan, 3. anussaya/tradisi turunan, 4. akara parivitakka/penyelidikan dengan nalar, 5. ditthi nijjhānakkhanti/penerimaan pandangan dengan perenungan [MN 95]

    Berkata: “Diri/atta dan dunia/loka adalah abadi/sassata, tidak dibuat, tidak dilahirkan, tidak diciptakan, tanpa pencipta, tandus, kokoh bagaikan puncak gunung atau pilar. para makhluk berputar dalam samsara, mati dan muncul kembali, hal ini tetap sama abadi (Doktrin keabadian ini disampaikan salah satunya oleh Pakudha Kaccāyana, lihat juga DN 2 dan DN 28)

    4 landasan: Diri dan dunia ada yang abadi ada yang tak abadi [ekaccaṃ sassataṃ ekaccaṃ asassataṃ]:

    Akan tiba waktunya, Setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut/penghancuran. Pada saat penyusutan/penghancuran, sebagian besar menjadi makhluk Brahmā Ābhassara (= bercahaya gemilang) di sana (bertubuh) ciptaan-pikiran dan riak kegiuran sebagai penunjang/makanan bercahaya, dan hidup demikian dalam waktu yang sangat lama. Akan tiba saatnya, cepat atau lambat, Setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini mulai mengembang.

    1. Saat dunia mengembang, sebuah tempat Brahmā kosong muncul. Dan kemudian satu makhluk tertentu, karena habis umur kehidupan atau jasa kebajikan-nya, satu makhluk Abhassara jatuh terlahir di tempat Brahmā kosong. Di sana (bertubuh) ciptaan-pikiran dengan riak kegiuran sebagai penunjang/makanan, bercahaya, melayang di antara batasan [antalikkha → sankrit: antar/diantara + īkṣa/tampak/batasan], agung – dan hidup demikian dalam waktu yang sangat lama.’

      Setelah satu makhluk tertentu ini sendirian sekian lama (Tassa tattha ekakassa dīgharattaṁ nivusitattā), muncul ketidakpuasan dan kekhawatiran, berpikir: "Oh, seandainya makhluk lainnya dapat datang ke sini!" dan makhluk-makhluk lain, karena habisnya masa kehidupan mereka atau jasa-jasa baik mereka, jatuh dari alam Ābhassara dan muncul kembali di dalam tempat Brahmā sebagai teman-teman bagi makhluk ini. Dan di sana dengan ciptaan-pikiran, ... dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.’

      Dan kemudian, makhluk yang pertama muncul di sana berpikir: “Aku adalah Brahmā, Mahā-Brahmā, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, yang termulia, pembuat dan pencipta, penguasa, pengambil keputusan dan pemberi perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Makhluk-makhluk ini diciptakan olehku. Mengapa demikian? Karena akulah yang pertama memiliki pikiran: ‘Oh, seandainya beberapa makhluk lain dapat datang ke sini!’ itu adalah keinginanku, dan kemudian makhluk-makhluk ini muncul!”

        (Note:
        Kitab komentar: Akulah maha pengatur, Akulah yang mengatur para makhluk di posisinya: kamu menjadi yang mulia [mis: Ksatria], kamu menjadi brahmana [pendeta, ulama], kamu menjadi pedagang, kamu menjadi pekerja kasar, kamu perumahtangga, kamu menjadi petapa, kamu menjadi unta, kamu menjadi sapi [DA 1:111 f])

      Dan makhluk-makhluk lain yang muncul belakangan berpikir: “Ini, Teman-teman, adalah Brahmā, Mahā-Brahmā, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, yang termulia, pembuat dan pencipta, penguasa, pengambil keputusan dan pemberi perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Mengapa demikian? Kita telah melihat bahwa Ia adalah yang pertama di sini, dan bahwa kita muncul setelah dia.”’

      ‘Dan makhluk yang muncul pertama ini hidup lebih lama, lebih indah dan lebih sakti daripada makhluk lainnya. Dan akan terjadi bahwa beberapa makhluk jatuh dari alam itu dan muncul di dunia ini. Setelah muncul di dunia ini, ia pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Setelah pergi, ia melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar (sammāmanasikāramanvāya) mencapai suatu kondisi tertentu dari pikiran terpusat hingga mampu mengingat kehidupan sebelumnya, tetapi tidak yang sebelum itu. Dan ia berpikir: “Brahma pencipta itu [bhavaṃ brahmā mahābrahmā], ... ia menciptakan kami, dan ia kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya. Tetapi kami yang diciptakan oleh Brahmā itu, kami tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini."[↑]

    Ada, para dewa tertentu yang disebut:

    1. Rusak oleh Kenikmatan [khidda padosika]. Mereka menghabiskan waktu dalam kesenangan dan bersuka ria, sehingga ingatannya memudar, dan dengan memudarnya ingatan mereka, para makhuk itu jatuh dari kondisi tersebut.’ (Dewa alam catumaharajika ini disebutkan dalam DN 20. Kitab komentar: Mereka bersukaria lupa makan dan minum dan kemudian menghilang seperti bunga, mereka mati, karena seolah dibakar kegilaannya/mohassa anudahanatāya- mohanavasena hi tesaṃ satisammoso)

    2. Rusak di Pikiran [mano padosika]. Mereka menghabiskan waktu memperhatikan (makhluk) lainnya dengan iri hati. Karena pikiran yang rusak, mereka menjadi lelah dalam jasmani dan pikiran. Dan mereka jatuh dari kondisi tersebut.’ (Dewa alam catumaharajika, ada di DN 20, Kitab Komentar: kedengkian mereka membuat tubuh dan pikran menjadi lemah, lumpuh, dan wafat dalam keadaan demikian. disebut demikian karena pikiran mereka tercemar rasa iri/dosassa anudahanatāya)

    3. 'Dan akan terjadi bahwa satu makhluk, setelah jatuh dari kondisi tersebut, muncul di dunia ini. Setelah muncul di dunia ini, ia pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Setelah pergi, ia melalui usaha, upaya, ..., mampu mengingat kehidupan sebelumnya, tetapi tidak yang sebelum itu.’

      ‘Ia berpikir: “Para dewa mulia itu [bhonto], yang:

      tidak rusak oleh kenikmatan, tidak menghabiskan waktu menikmati kesenangan, bermain dan bersuka ria. Karenanya, ingatannya tidak memudar
      tidak rusak di pikiran, tidak menghabiskan banyak waktu memerhatikan (makhluk) lainnya dengan iri hati ... mereka tidak rusak dalam pikiran, atau lelah dalam jasmani dan pikiran

      dan karenanya mereka tidak jatuh dari kondisi tersebut. Mereka kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya.

      Tetapi kami, yang rusak oleh:

      kenikmatan, menghabiskan banyak waktu menikmati kesenangan, bermain dan bersuka ria
      pikiran, ...

      karena itu, kami, dengan memudarnya ingatan, telah jatuh dari kondisi tersebut, kami tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, terjatuh, dan muncul ke dunia ini.

    4. Ada petapa/Brāhmaṇa tertentu yang menggunakan logika, menyelidiki, dengan logikanya sampai pada dugaan, penyelidikan dengan pemikiran mengikuti pemikiran sendiri: “Apa pun yang disebut mata atau telinga atau hidung atau lidah atau badan, adalah diri yang tidak kekal, tidak stabil, tidak abadi, mengalami perubahan. Tetapi apa yang disebut pemikiran/citta atau pikiran/mano atau menyadari/viññāṇa, yaitu diri yang kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya

    4 landasan: dunia terbatas tidak terbatas [antanantavada]:

    Ada pertapa melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar (sammāmanasikāramanvāya) pikirannya mencapai keterpusatan pikiran, berada cukup mantap, pikirannya berpersepsi bahwa:

    1. “ini terbatas seputaran dunia".[antava ayam loko parivatumo]
    2. “ini tidak terbatas tidak seputaran dunia" [ananto ayam loko aparivatumo], mereka yang berkata: 'ini terbatas seputaran dunia', ia keliru [tesam musa].
    3. "dunia ini terbatas dan tidak terbatas" [antava ca ayam loko Ananto ca], mereka yang berkata "ini terbatas seputaran dunia dan ini tidak terbatas tidak seputaran dunia", Ia keliru.
    4. Ada petapa/Brāhmaṇa tertentu yang menggunakan logika, menyelidiki, dengan logikanya sampai pada dugaan, penyelidikan dengan pemikiran mengikuti pemikiran sendiri: "dunia ini bukan terbatas bukan tidak terbatas [nevāyaṃ loko antavā na panānanto], mereka yang berkata : 'terbatas' atau 'tidak terbatas' atau 'terbatas dan tidak terbatas', ia keliru

    4 landasan: menggeliat bagai belut [amara vikhepavada]:

    Ada petapa/Brāhmaṇa tidak mengetahui yang sebenarnya apakah suatu hal baik atau buruk, Ia berpikir: “Aku tidak mengetahui sebenarnya apakah hal ini baik atau buruk. Tanpa mengetahui apakah ini benar, aku dapat menyatakan: ‘Itu baik’, atau ‘Itu buruk’:

    1. dan aku merasa berbohong, jika aku berbohong, itu akan membuatku menderita. Dan jika aku menderita, itu akan menjadi rintangan bagiku.” Demikianlah karena takut berbohong, tidak suka berbohong, ketika ditanya ini atau itu,
    2. dan aku merasakan hasrat atau ketagihan atau kebencian atau penolakan/jemu/jijik. Jika aku merasakan hasrat atau..penolakan/jemu/jijik, itu akan menjadi kemelekatan bagiku. Jika aku merasakan kemelekatan, itu akan membuatku menderita, dan jika aku menderita, itu akan menjadi rintangan bagiku.” Demikianlah, karena takut akan kemelekatan, tidak menyukai kemelekatan, ketika ditanya ini atau itu,
    3. tetapi ada para petapa/ Brāhmaṇa bijak, terampil, pendebat terlatih, bagaikan pemanah yang dapat membelah rambut, yang mengembara menghancurkan pandangan-pandangan orang lain dengan kebijaksanaan mereka, dan mereka akan menanyaiku, menuntut alasan-alasanku dan berdebat. Dan aku mungkin tidak mampu menjawab. Tidak mampu menjawab akan membuatku menderita, dan jika aku menderita, itu akan menjadi rintangan bagiku.” Demikianlah, karena takut berdebat, tidak suka berdebat, ketika ditanya ini atau itu,

    Ia menghindar dan menggeliat seperti belut: “Aku tidak mengatakan ini, aku tidak mengatakan itu, aku tidak mengatakan sebaliknya. Aku bukan mengatakan tidak. Aku bukan tidak mengatakan tidak.”

    1. Ada petapa/Brāhmaṇa adalah tumpul dan bodoh. Karena ketumpulan dan kebodohannya, ketika ditanya, Ia akan mengemukakan pernyataan menghindar dan menggeliat seperti belut: "Jika engkau bertanya padaku, apakah:

      1. ada alam lain? (atthi paro loko)
      2. tidak ada..?
      3. ada dan tidak ada..?
      4. bukan ada bukan tidak ada..?
      5. ada para makhluk yang terlahir spontan? (atthi sattā opapātikā)
      6. tidak ada..?
      7. ada dan tidak ada..?
      8. bukan ada bukan tidak ada..?
      9. perbuatan baik-buruk berbuah berakibat? (atthi sukata­dukka­ṭā­naṃ kammānaṃ phalaṃ vipāko)
      10. tidak ada..?
      11. ada dan tidak ada..?
      12. bukan ada bukan tidak ada..?
      13. Tathāgata ada setelah kematian? (hoti tathāgato paraṃ maraṇā)
      14. tidak ada..?
      15. ada dan tidak ada..?
      16. bukan ada bukan tidak ada..?

      jika aku berpikir demikian, aku akan mengatakan ada. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak mengatakan sebaliknya. Dan aku bukan mengatakan tidak ada, dan aku bukan tidak mengatakan tidak ada. (Pandangan ini disampaikan oleh Sañjaya Belaṭṭhaputta, lihat juga DN 2)

    2 landasan: aliran asal-mula diri dan dunia adalah kebetulan semata (adhicca samuppana vada)

    1. ada para dewa tertentu yang disebut asannasatta[↑]. Ketika muncul persepsi, para dewa itu jatuh dari alam itu. Dan dapat terjadi jatuh dari alam itu, muncul di alam ini. Ia melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar mencapai suatu kondisi tertentu dari pikiran terpusat hingga mampu mengingat kehidupan sebelumnya, tetapi tidak yang sebelum itu, berpikir: “Diri dan dunia muncul secara kebetulan. Bagaimanakah demikian? Sebelum ini, aku tidak ada. Sekarang dari tidak ada, aku menjadi ada”

    2. ada petapa/Brāhmaṇa tertentu yang menggunakan logika, menyelidiki, dengan logikanya sampai pada dugaan, penyelidikan dengan pemikiran mengikuti pemikiran sendiri: “Diri dan dunia muncul secara kebetulan.”

    44 landasan (catu­cat­tārīsāya vatthūhi), berbagai klaim teori tentang masa lampau (aparantaṃ ārabbha anekavihitāni adhi­mutti­padāni):

    16 landasan: uddhamāghātanikā saññīvādā (aliran berpersepsi kekal):

    1. berjasmani/bermateri (rūpī atta) berpersepsi tidak sakit setelah mati (arogo paraṃ maraṇā saññī),
    2. tak berjasmani (arūpī atta)..,
    3. berjasmani dan tak berjasmani (rūpī ca arūpī ca attā)..,
    4. bukan berjasmani dan bukan tak berjasmani (nevarūpī nārūpī attā)..,
    5. diri terbatas (antavā attā)..,
    6. diri tak terbatas (anantavā attā)..,
    7. diri ke-2nya (antavā ca anantavā ca attā)..,
    8. diri bukan ke-2nya (nevantavā nānantavā attā)..,
    9. kesamaan persepsi (ekattasaññī attā)..,
    10. ragam persepsi (nānattasaññī attā)..,
    11. berpersepsi terbatas (parittasaññī attā)..,
    12. berpersepsi tak terbatas (appamāṇasaññī attā)..,
    13. diri selalu merasa senang (ekantasukhī attā)..,
    14. diri selalu merasa menderita (ekantadukkhī attā)..,
    15. diri merasa senang atau merasa menderita (sukhadukkhī attā)..,
    16. diri tak merasa senang dan tak merasa menderita (adukkhamasukhī attā) berpersepsi tidak sakit setelah mati

    8 landasan: uddhamāghātanikā asaññīvādā (aliran tidak berpersepi kekal):

    1. berjasmani/bermateri (rūpī atta) tidak berpersepsi tidak sakit setelah mati (arogo paraṃ maraṇā asaññī),
    2. tak berjasmani (arūpī atta)..,
    3. berjasmani dan tak berjasmani (rūpī ca arūpī ca attā)..,
    4. bukan berjasmani dan bukan tak berjasmani (nevarūpī nārūpī attā)..,
    5. diri terbatas (antavā attā)..,
    6. diri tak terbatas (anantavā attā)..,
    7. diri ke-2nya (antavā ca anantavā ca attā)..,
    8. diri bukan ke-2nya (nevantavā nānantavā attā) tidak berpersepsi tidak sakit setelah mati

    8 landasan: uddhamāghātanikā nevasaññīnāsaññīvādā (aliran bukan berpersepi dan bukan tidak berpersepsi kekal):

    1. berjasmani/bermateri (rūpī atta) bukan berpersepi dan bukan tidak berpersepsi tidak sakit setelah mati (arogo paraṃ maraṇā nevasaññīnāsaññī),
    2. tak berjasmani (arūpī atta)..,
    3. berjasmani dan tak berjasmani (rūpī ca arūpī ca attā)..,
    4. bukan berjasmani dan bukan tak berjasmani (nevarūpī nārūpī attā)..,
    5. diri terbatas (antavā attā)..,
    6. diri tak terbatas (anantavā attā)..,
    7. diri ke-2nya (antavā ca anantavā ca attā)..,
    8. diri bukan ke-2nya (nevantavā nānantavā attā) bukan berpersepi dan bukan tidak berpersepsi tidak sakit setelah mati

    7 landasan: aliran kemusnahan (ucchedavādā), musnahnya para makhluk (sato sattassa ucchedaṃ), hancur (vināsaṃ), tiada lagi (vibhavaṃ) (setelah mati tidak ada apapun lagi):

    Ada petapa/Brāhmaṇa tertentu menyatakan dan menganut pandangan:

    1. Karena diri ini bentukan materi tersusun dari 4 unsur (ayaṃ attā rūpī ­cātuma­hā­bhū­tiko), produk dari ibu dan ayah (mātāpettikasambhavo), kāyassa bhedā (dengan hancurnya jasmani) ucchijjati vinassati (keberadaan musnah lenyap) na hoti paraṁ maraṇā”ti (tidak lagi ada setelah kematian).

    Yang lain berkata: aku tidak menyangkal diri seperti yang kau katakan. Namun diri itu tidak sepenuhnya musnah. Karena:

    1. ada diri lain (añño attā), dewa bermateri (dibbo rūpī), di alam-indriya (kāmāvacaro), memakan makanan nyata (kabaḷīkārāhārabhakkho). Engkau tidak mengetahuinya atau melihatnya, tetapi aku mengetahuinya dan melihatnya. Diri ini dengan hancurnya jasmani, kelahiran musnah lenyap, tidak lagi ada setelah kematian
    2. ada diri lain, dewa bermateri, ciptaan-pikiran (manomayo) lengkap dengan semua bagian-bagian tubuhnya, tidak cacat dalam semua organ-indriyanya (sabbaṅgapaccaṅgī ahīnindriyo)..
    3. ada diri lain yang telah sepenuhnya melampaui persepsi bentukan, persepsi menolak mereda/lenyap, tidak perhatian/perhatian tidak pada ragam persepsi, [Merasakan:] 'penglihatan/ruang tak berbatas', landasan penglihatan/ruang tak berbatas tercapai...
    4. ada diri lain yang telah sepenuhnya melampaui landasan penglihatan/ruang tak berbatas, [Merasakan:] 'kesadaran tak berbatas', landasan kesadaran tak berbatas tercapai..
    5. ada diri lain yang telah sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tak berbatas [Merasakan:] 'tak ada apa pun', landasan tak ada apapun tercapai..
    6. ada diri lain yang telah sepenuhnya melampaui landasan tak ada apapun, [Merasakan:] 'Ini damai, ini luhur’, landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi tercapai. Engkau tidak mengetahuinya atau melihatnya, tetapi aku mengetahuinya dan melihatnya. Diri ini dengan hancurnya jasmani, kelahiran musnah lenyap, tidak lagi ada setelah kematian

    5 landasan: aliran nibbāna di sini dan saat ini (diṭṭhadhammanibbānavādā):

    Ada petapa/Brāhmaṇa tertentu menyatakan dan menganut pandangan:

    1. karena diri ini, dilengkapi (samappito) dan memiliki (samaṅgībhūto) 5 kenikmatan-indriya (pañcahi kāmaguṇehi), dapat bersenang-senang (paricāreti), maka itulah saat diri mencapai nibbāna tertinggi di sini dan saat ini

    Yang lain berkata padanya: “Tuan, ada diri seperti yang kau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Tetapi itu bukanlah diri mencapai nibbāna tertinggi di sini dan saat ini. Karena:

    1. Karena kenikmatan-indriya tidaklah kekal (aniccā), menyakitkan/menderita (dukkhā), dan mengalami perubahan (vipariṇāmadhammā), karena itu dapat berubah (tesaṃ vipariṇāmaññathābhāvā), muncul mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa (uppajjanti sokaparidevadukkhadomanassupāyāsā). Tetapi ketika telah dapat bebas/lepas dari (vivicceva: (1) kenikmatan indriya/kāmehi dan (2) hal yang tak bermanfaat/akusalehi dhammehi), dengan (pikiran yang) menggenggam (vitakka) dan mempertahankan (objek) (vicara) merasakan riak kegiuran-menyenangkan (pīti-sukha), karena telah terlepas/terbebas (vivekajaṃ: dari kāmehi dan akusalehi), jhāna ke-1 tercapai, maka saat itulah diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini
    2. pikiran di sana yang menggenggam dan mempertahankan adalah kasar (Yadeva tattha vitakkitaṁ vicāritaṁ, etenetaṁ oḷārikaṁ akkhāyati), maka dengan meredanya (pemusatan pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan (objek) (vitakkavicārānaṃ vūpasamā), terjadi keheningan di dalam (ajjhattaṃ sampasādo), pikiran terpusat tanpa menggenggam dan mempertahankan (objek) (cetaso ekodibhāvaṃ avitakkaṃ avicāraṃ), pikiran yang terpusat demikian merasakan riak kegiuran-menyenangkan (karena keterpusatan pikiran tanpa perlu lagi dengan menggenggam dan mempertahankan) (samādhijaṃ pītisukhaṃ), jhāna ke-2 tercapai,..
    3. pikiran di sana yang bergejolak di keadaan riak kegiuran adalah kasar (Yadeva tattha pītigataṁ cetaso uppilāvitattaṁ, etenetaṁ oḷārikaṁ akkhāyati), maka dengan tidak bergairah lagi pada rasa riak kegiuran (pītiyā ca virāgā), dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui berada di keadaan tenang-seimbang (upekkhako ca viharati sato ca sampajāno), tubuh terasa menyenangkan (sukhañca kāyena paṭisaṃvedeti), sebagaimana para ariya katakan (Yaṃ taṃ ariyā ācikkhanti): “ingatan berada menyenangkan di keadaan tenang-seimbang” (upekkhako satimā sukhavihārī’ti), jhāna ke-3 tercapai,..
    4. pikiran di sana yang condong di keadaan menyenangkan adalah kasar (Yadeva tattha sukhamiti cetaso ābhogo), maka dengan lenyapnya perasaan menyenangkan, lenyapnya perasaan menyakitkan (sukhassa ca pahānā dukkhassa ca pahānā), meredanya sukacita/bahagia/nyaman - dukacita/pedih/suram sebelumnya (pubbeva somanassadomanassānaṃ atthaṅgamā), merasakan perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan (adukkhaṃasukhaṃ) ingatannya murni tenang-seimbang/tidak terlibat (upekkhā-sati-pārisuddhiṃ), jhāna ke-4 tercapai, maka saat itulah diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini

II. Paññā: KEHENDAK BENAR (sammā-sankappa)
“Seseorang memahami kehendak salah sebagai kehendak salah dan kehendak benar sebagai kehendak benar: ini adalah pandangan benar seseorang. Seseorang berusaha meninggalkan kehendak salah dan berusaha untuk berada dalam kehendak benar: ini adalah usaha benar seseorang. Tetap ingat untuk meninggalkan kehendak salah, Tetap ingat untuk berada dalam kehendak benar: ini adalah ingatan benar seseorang. Demikianlah ke-3 kondisi ini berlangsung dan di sekeliling kehendak benar: pandangan benar, usaha benar, dan ingatan benar." [MN 117]
    Mano-pubbaṅgamā dhammā (Pikiran pelopor dari sesuatu), mano-seṭṭhā manomayā (pikiran pemimpin mentalitas); Manasā ce paduṭṭhena (bila dengan pikiran menyeleweng), bhāsati vā karoti vā (berkata atau berbuat); Tato naṃ dukkhamanveti (penderitaan mengikutinya), cakkaṃva vahato padaṃ (bagai jejak roda angkutan)...Manasā ce pasannena (bila dengan pikiran murni), bhāsati vā karoti vā (berkata atau berbuat);Tato naṃ sukhamanveti (perasaan senang mengikutinya), chāyāva anapāyinī (bagai bayang-bayang yang tak pernah meninggalkannya) [Dhammapada Bab I, syair 1-2]
Kehendak salah (micchāsaṅkappo) vs kehendak benar (sammāsaṅkappo) [SN 45.8, MN 78, 117, DN 22]:
  1. Kāmasaṅkappo (kehendak hasrat indriya) vs Nekkhammasaṅkappo (Kehendak melepaskan dari hal-hal keduniawian)
  2. byāpādasaṅkappo (itikat buruk, memusuhi) vs a-byāpādasaṅkappo (tidak memusuhi)
  3. vihiṃsāsaṅkappo (kekejaman) vs a-vihiṃsāsaṅkappo (tanpa kekejaman)
Variasi kehendak tidak benar lainnya [AN 10.176; MN 41; MN 42], yaitu 3 pikiran (manasa) akusala dari dasa akusala kamma pathā (sepuluh jalan kamma tidak bermanfaat):
  1. abhijjhālu: merindukan/dengki: ingin harta orang lain. Berpikir: “Apa yang Ia miliki harusnya kumiliki!”
  2. Byāpannacitto: pikiran dengan itikad buruk/memusuhi/menolak karena benci. berpikir: “Biarlah para makhluk ini dibantai! .. dibunuh dan dihancurkan! .. musnah dan tak ada lagi!”
  3. Micchaditthi (pandangan salah: 10 pandangan salah[↓])
Kehendak benar ada 2:
  1. Kehendak benar dengan noda (sammāsaṅkappo sāsavo) terkait jasa kebajikan (puññabhāgiyā) buah kematangan/melekati atau didasari hasil (upadhivepakkā), yaitu: Nekkham­ma­saṅkappo, abyāpā­da­saṅkappo, avihiṃ­sā­saṅkappo
  2. Kehendak benar mulia tanpa noda (sammāsaṅkappo ariyo anāsavo) melampaui duniawi faktor sang jalan (lokuttaro maggaṅgo) adalah pikiran seorang mulia, tanpa noda, di jalan mulia, mengembangkan jalan mulia (ariyacittassa anāsa­va­cittassa ariya­magga­samaṅ­gino ariyamaggaṃ bhāvayato) berupa: Pemikiran (takka), (pikiran) menggenggam (vitakka), kehendak (saṅkappa), pencerapan pikiran/pencerapan jhāna (appanā), ketetapan pikiran/fokus (byappanā), implementasi/penanaman di pikiran (cetaso abhiniropanā), bentukan ucapan pikiran (vacīsaṅkhāra) [MN 117]

III. SILA: UCAPAN BENAR (sammā-vācā)
“Seseorang memahami ucapan salah sebagai ucapan salah dan ucapan benar sebagai ucapan benar: ini adalah pandangan benar seseorang. Seseorang berusaha meninggalkan ucapan salah dan berusaha untuk berada dalam ucapan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Tetap ingat untuk meninggalkan ucapan salah, tetap ingat untuk berada dengan ucapan benar: ini adalah ingatan benar seseorang. Demikianlah ke-3 kondisi ini berlangsung dan di sekeliling ucapan benar: pandangan benar, usaha benar, dan ingatan benar." [MN 117]

Ucapan salah (micchāvācā) vs Ucapan benar (sammāvācā), yaitu 4 ucapan (vācā) akusala vs kusala dari dasa akusala/kusala kamma pathā (sepuluh jalan kamma tidak bermanfaat/bermanfaat):
  1. Musāvādā (berdusta)[↓] VS menahan diri berdusta (Musāvādā veramaṇī)
  2. Pisuṇavāco (ucapan memecah belah) VS menahan diri mengucapkan memecah belah (pisuṇāya vācāya veramaṇī)
  3. Pharusavāco (ucapan kasar) VS menahan diri berucap kasar (pharusāya vācāya veramaṇī)
  4. Samphappalāpī (ucapan sia-sia, gosip) VS menahan diri berucap sia-sia/gosip (Samphappalāpī veramaṇī)
Ucapan benar ada 2:
  1. Ucapan benar dengan noda terkait jasa kebajikan buah kematangan/melekati atau didasari hasil, yaitu: menahan diri (veramaṇī) melakukan musāvādā, pisuṇavāca, pharusavāca, samphappalāpī
  2. Ucapan benar mulia tanpa noda melampaui duniawi faktor sang jalan adalah pikiran seorang mulia, tanpa noda, di jalan mulia, mengembangkan jalan mulia, berupa: berhenti (ārati), tidak melakukan (virati), meninggalkan (paṭivirati), menahan diri, (veramaṇī) dari 4 ucapan buruk (catūhi vacīduccaritehi) [MN 117]

IV. SILA: PERBUATAN BENAR (sammā-kammanta)
“Seseorang memahami perbuatan salah sebagai perbuatan salah dan perbuatan benar sebagai perbuatan benar: ini adalah pandangan benar seseorang. Seseorang berusaha untuk meninggalkan perbuatan salah dan berusaha untuk berada dalam perbuatan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Tetap ingat untuk meninggalkan perbuatan salah, tetap ingat untuk berada dalam perbuatan benar: ini adalah ingatan benar seseorang. Demikianlah ke-3 kondisi ini berlangsung dan di sekeliling perbuatan benar: pandangan benar, usaha benar, dan ingatan benar." [MN 117]

Perbuatan salah (Micchākammanta) vs Perbuatan benar (Sammākammanta), yaitu 3 perbuatan fisik (kāye) akusala vs kusala dari dasa akusala/kusala kamma pathā (sepuluh jalan kamma tidak bermanfaat/bermanfaat):
  1. pāṇātipāta (menghancurkan/menyakiti kehidupan)[↓] VS Pāṇātipātā veramaṇī (Menahan diri menghancurkan/menyakiti kehidupan)
  2. adinnādānā (mengambil yang tidak diberikan)[↓] VS adinnādānā veramaṇī (Menahan diri mengambil yang tidak diberikan)
  3. kāmesumicchācāra (Perbuatan indriya dengan cara yang salah)[↓] VS kāmesumicchācāra veramaṇī (menahan diri dari perbuatan indriya dengan cara yang salah). [alternatif lain: abrahmacariyā veramaṇī/menahan diri dari penghidupan non Brahma/kehidupan bukan seperti Petapa. Penggunaan frase abrahmacariyā veramaṇī bukan kāmesumicchācāra veramaṇī di sammā-kammanta, misal SN 45.8]
    Surāmerayamajjappamādaṭṭhānā (asupan memabukan landasan bagi kelengahan)[↓] VS Surāmeraya-majjapamādatthānā veramani [INI TIDAK tercantum di MN 117, namun tercantum di sutta lainnya, misal di SN 55.37, DN 31, DN 33, DN 34, AN 7.6, AN 8.39-43, 45, SNP 2.14, dst: → "Surāmeraya.." tercantum bersama sila lainnya
Perbuatan benar ada 2:
  1. Perbuatan benar dengan noda terkait jasa kebajikan buah kematangan/melekati atau didasari hasil, yaitu: menahan diri (veramaṇī) melakukan pāṇātipāta, adinnādānā, kāmesumicchācāra,...
  2. Perbuatan benar mulia tanpa noda melampaui duniawi faktor sang jalan adalah pikiran seorang mulia, tanpa noda, di jalan mulia, mengembangkan jalan mulia, berupa: berhenti (ārati), tidak melakukan (virati), meninggalkan (paṭivirati), menahan diri, (veramaṇī) dari 3 perbuatan buruk (tīhi kāyaduccaritehi) (atau sila lainnya) [MN 117]

V. SILA: BERPENCAHARIAN/BERPENGHIDUPAN BENAR (sammā-ajiva)
“Seseorang memahami penghidupan salah sebagai penghidupan salah dan penghidupan benar sebagai penghidupan benar: ini adalah pandangan benar seseorang. Seseorang berusaha untuk meninggalkan penghidupan salah dan berusaha untuk berada dalam penghidupan benar: ini adalah usaha benar seseorang. Tetap ingat untuk meninggalkan penghidupan salah, tetap ingat untuk berada dalam penghidupan benar: ini adalah ingatan benar seseorang. Demikianlah ke-3 kondisi ini berlangsung dan di sekeliling penghidupan benar: pandangan benar, usaha benar, dan ingatan benar. [MN 117]. "...pencaharian salah/micchāājīvo: “kuhanā lapanā nemittikatā nippesikatā lābhena lābhaṃ nijigīsanatā.. ” [MN 117]
    kuhanā (penipuan, munafik, pemalsuan)
    lapanā (memperbesar, bohong)
    nemittikatā (penujuman, kemelitan, menuduh tak jelas, sindiran)
    nippesikatā (mengakali, menyulap, tipudaya)
    lābhena (mengambil alih, memberi hadiah, mendapatkan kepemilikan) lābhaṃ (dengan cara) nijigīsanatā (serakah/tamak)
Juga, hindari berdagang/vanijja: [AN 5.177, DN 22]
  1. senjata/sattha
  2. makhluk hidup/satta [kitab komentar merujuk hanya terkait penjualan manusia: "sattavaṇijjā ti manussavikkayo/berdagang manusia juga berdagang makhluk hidup, sattavaṇijjā abhujissabhāvakaraṇato/hilang kemerdekaannya karena perdagangan makhluk hidup", padahal terhadap hewan pun dapat terjadi demikian]
  3. daging/maṃsa (dari penganiayaan makhluk hidup)
  4. hal memabukkan/majja (atau mengakibatkan kelengahan/ketagihan)
  5. racun/visa.
Pencaharian yang dilakukan umat awam seperti: bertani/kasi, beternak/gorakkha, berdagang/vanijja, keahlian panah/issatta, pelayanan di pemerintahan/rājaporisa, ahli pengetahuan/seni/sippaññata (AN 8.54, 55, 76) tidak dilakukan para samana/Brahmana/brahmacārī.

Juga, pencaharian salah yang tercantum di DN 1 tidak dilakukan para samana/Brahmana/brahmacārī, misal:
    Memotong/memanen biji-bijian dan tumbuhan (Bījagāmabhūtagāmasamārambhā) menerima: uang, emas, perak (Jātarūparajata), beras mentah, daging mentah (āmakadhañña, āmakamaṃsa), perempuan, anak gadis, budak laki/perempuan, domba/kambing, ayam, babi, gajah, sapi, kuda, ladang, lahan tanah (Itthi, kumārika, dāsidāsa, ajeḷaka, Kukkuṭa, sūkara, hatthi, gavassa, vaḷava, Khetta, vatthu), menjadi kurir/penerus pesan (dūteyyapahiṇagamanānuyogā), jual-beli (kayavikkayā), mengubah takaran-timbangan (tulākūṭa kaṃsa kūṭa mānakūṭā), penyuapan, penipuan, mencurangi, duplikasi (Ukkoṭa navañ ca nanikati-sāci-yogā), melukai, membunuh, memenjarakan, merampok di jalanan, mengambil paksa makanan (chedana vadha bandhana viparāmosaālopa sahasākārā)

    Berpencaharian rendah, salah (tiracchānavijjāya micchājīvena), seperti:
    Membaca garis tangan, gambar, tanda-tanda, mimpi, tanda jasmani,.., membaca ujung-jari, membaca tanda dari rumah kebun, jimat, mengusir setan/kerasukan (bhūtavijjā), ..., meramalkan usia kehidupan, ...
    Meramalkan gerhana bulan, matahari, bintang...; hujan meteor, nyala api di langit, gempa bumi, guntur; suram/cerahnya: matahari, bulan dan bintang; dan akibatnya...
    Meramalkan banyak/seretnya: hujan, panen; keamanan, bahaya; penyakit, kesehatan, atau mencatat, menentukan, menghitung, komposisi syair, kosmologi (lokāyataṃ)...
    Mengatur penyerahan/penerimaan pernikahan, pertunangan, perceraian;..; merapal mantra: keberuntungan, kemalangan, menunda/melakukan kehamilan (viruddha gabbha karaṇaṃ), mengikat lidah, mengikat rahang, membuat: tangan gemetar, tuli; Meminta/bertanya melalui medium: cermin, gadis perawan, dewa (ādāsapañhaṃ kumārikapañhaṃ devapañhaṃ); memuja matahari, memuja yang tertinggi (ādiccupaṭṭhānaṃ mahatupaṭṭhānaṃ), menghidupkan api (suci) (abbhujjalanaṃ), memanggil Dewi Siri/Sri/Dewi keberuntungan (sirivhāyanaṃ)...
    Ritual pendamaian, kaul, (santikammaṃ, paṇidhikammaṃ), makhluk halus, tanah, hujan, pemukiman-properti, pengudusan tempat, rumah, pemercikan air dan kurban/persembahan, pengobatan...,pembedahan-mata, pembedahan, ... melawan efek pengobatan sebelumnya
Penghidupan benar ada 2:
  1. Penghidupan benar dengan noda terkait jasa kebajikan buah kematangan/melekati atau didasari hasil, yaitu: meninggalkan (pahāya) penghidupan salah dan berpenghidupan dengan penghidupan benar
  2. Penghidupan benar mulia tanpa noda melampaui duniawi faktor sang jalan adalah pikiran seorang mulia, tanpa noda, di jalan mulia, mengembangkan jalan mulia, berupa: berhenti (ārati), tidak melakukan (virati), meninggalkan (paṭivirati), menahan diri, (veramaṇī) dari penghidupan salah [MN 117]

Samādhi: Daya Upaya Benar, Ingatan Benar dan Pikiran Terpusat Benar
3 akar kejahatan adalah karena perhatian yang TIDAK BENAR:
  1. Moha (kebingungan/keliru tahu/kebodohan): PERHATIAN TIDAK BENAR [atau: "MEMPERHATIKAN yang TIDAK LAYAK dan TIDAK MEMPERHATIKAN yang LAYAK" ~ AN 3.65], maka kekeliruan tahu yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat
  2. Lobha/Raga (Serakah/ketagihan): TAMPAK MENARIK karena PERHATIAN TIDAK BENAR, maka ketagihan yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat.
  3. Dosa (Kebencian/Memusuhi/Menolak karena benci/Jijik): TAMPAK MENJEMUKSN/MENJIJIKKAN karena PERHATIAN TIDAK BENAR, maka kebencian yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat [AN 3.68].
Karena pikiran adalah pelopor, maka melatih Pikiran merupakan hal utama:
    Jangan menggali (tinggal di) masa lalu [Atītaṃ nānvāgameyya]
    Jangan berhasrat pada yang belum ada [Nappaṭikaṅkhe anāgataṃ]
    masa lalu telah usai [Yadatītaṃ pahīnaṃ taṃ]
    masa depan belumlah tiba [Appattañca anāgataṃ]
    apapun yang ada saat ini [Paccuppannañca yo dhammaṃ]
    lihat dengan seksama di sana sini [Tattha tattha vipassati]
    tidak tergairahkan, tidak terganggu [Asaṃhīraṃ asaṃkuppaṃ]
    bijak untuk dikembangkan [Taṃ vidvā manubrūhaye]
    jangan ditunda-tunda [Ajjeva kiccamātappaṃ]
    Siapa tahu esok kematian datang [Ko jaññā maraṇaṃ suve]
    Tanpa dapat ditawar [Na hi no saṅgaraṃ tena]
    Kematian hadir dalam ragam cara [Mahāsenena maccunā]
    Seseorang yang berdiam tekun [Evaṃvihāriṃ ātāpiṃ]
    Tanpa kendur siang dan malam [Ahorattamatanditaṃ]
    adalah Ia yang berhasil baik [Taṃ ve bhaddekarattoti]
    Dikedamaian kata para bijak [Santo ācikkhate muni]
Bagaimana menggali masa lalu?
Seseorang terbuai dengan pikiran: Dahulu aku bermateri demikian.. merasakan demikian.. berpersepsi demikian.. memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian.. memiliki kesadaran demikian’

Bagaimana tidak menggali masa lalu?
Seseorang tidak memikirkan: Dahulu aku bermateri demikian.. merasakan demikian.. berpersepsi demikian.. memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian.. memiliki kesadaran demikian’

Bagaimana berhasrat pada yang belum ada?
Seseorang terbuai dengan pikiran: Kelak aku ingin menjadi bermateri demikian.. merasakan demikian.. berpersepsi demikian.. memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian.. memiliki kesadaran demikian’

Bagaimana tidak berhasrat pada yang belum ada?
Seseorang tidak memikirkan: Kelak aku ingin bermateri demikian.. merasakan demikian.. berpersepsi demikian.. memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian... memiliki kesadaran demikian’

Bagaimana tergairahkan pada hal yang ada sekarang?

Ia melihat/mengamati (samanupassati):

materi sebagai diri, atau diri memiliki materi, atau materi di dalam diri, atau diri di dalam materi
perasaan sebagai diri...
persepsi sebagai diri...
bentukan-bentukan sebagai diri...
kesadaran sebagai diri...

Bagaimana tidak tergairahkan pada hal yang ada sekarang?

Ia tidak melihat/mengamati (na .. samanupassati):

materi sebagai diri, atau diri memiliki materi, atau materi di dalam diri, atau diri di dalam materi
perasaan sebagai diri...
persepsi sebagai diri...
bentukan-bentukan sebagai diri...
kesadaran sebagai diri... [MN 131-134]

Alurnya:
  1. Dengan (mata/cakkhu..pikiran/mano) dan (bentukan/rupa..obyek pikiran/dhamma) sebagai kondisi, muncul (kesadaran-mata/cakkhuviññāṇa..kesadaran pikiran/manovinnana). Pertemuan ke-3nya [tiṇṇaṃ saṅgati] adalah kontak [phassa].
  2. Dengan kontak sebagai kondisi, muncul perasaan [vedana].
  3. Apa yang dirasakan, itu yang dipersepsikan [sañjānāti].
  4. Apa yang dipersepsikan, itu yang dipikirkan [vitakketi].
  5. Apa yang dipikirkan, itu yang dikembangbiakkan [papañceti].
  6. Apa yang dikembangbiakkannya sebagai sumber, persepsi dan gagasan [papañca-saññā-saṅkhā], melandanya di masa lalu, masa depan dan masa sekarang yang dikenali (mata..pikiran)[MN 18]

    Note:
    6 Indriya (mata,...dan pikiran) x 3 perasaan (menyenangkan, menyakitkan, bukan ke-2nya) = 18 Perasaan Indriya. 18 x 3 persepsi waktu (masa lalu/ingatan, kini, depan/khayalan) = 54 Perasaan Indriya dalam persepsi waktu. 54 x 2 kondisi (kusala/akusala) = 108 perasaan Indriya dalam persepsi waktu baik bermanfaat maupun tidak.

    [108 penjelasan perasaan/SN 36.22:
    2 Perasaan = Kayika/jasmani dan cetasika/yang menyertai pikiran;
    3 Perasaan = sukha, dukkha, adukkhamasukham;
    5 Perasaan terdeteksi/Indriya = sukha, dukkha, bahagia/somanassa, pedih/domanassa, tenang-seimbang/upekkhindriyaṃ;
    6 Perasaan karena kontak/sam-phassa = mata/Cakkhusamphassajā, .., Pikiran;
    18 perasaan berlangsung/upavicārā = 6 kontak x 3 (somannasa, domanassa, upekkha);
    36 Perasaan = 18 perasaan di atas x 2 (perumahtangga/pelepasan duniawi: detail di MN 137);
    108 Perasaan = 36 perasaan di atas x 3 persepsi waktu]

    Seseorang yang berdiam tekun dalam samādhi, indriya yang aktif hanya 1 atau 2 saja, yaitu salah satu dari (mata / telinga / hidung / sentuh / kecap ketika bertemu objek) + Indriya pikiran (ketika bertemu objek bentukan kehendak, persepsi atau perasaan), namun lambat laun, hanya indriya pikiran yang aktif sehingga 90 kesadarannya (5 x 18) TIDAK AKTIF + karena persepsi pikirannya ada di momentum saat ini BUKAN di ingatan lampau atau hasratnya di masa depan, maka 12 lainnya tidak aktif (2 persepsi waktu: lampau dan masa depan x 3 perasaan x 2 kondisi)

    Ketika perasaan menyakitkan lenyap, 2 kondisi tidak aktif (kusala dan akusala).
    Ketika perasaan menyenangkan lenyap, 2 kondisi lagi tidak aktif + 1 akusala tidak aktif untuk perasaan bukan ke-2nya.
    Yang tersisa = 1 perasaan bukan ke-2nya kusala saat ini dari kontak indriya pikiran + ragam persepsi lain di pikiran.
    Jika satu persatu persepsi lainnya lenyap, pijakan landasan kesadaran indriya pikirannya satu persatu lenyap, maka perasaan dari kontak Indriya tersebut, yaitu perasaan bukan keduanya pun satu persatu lenyap.

    Dari DN 21:
    Kebencian (verā), kekerasan (daṇḍā), persaingan (sapattā) dan memusuhi (byāpajjā) muncul karena: belenggu cemburu/iri - kikir (Issāmacchariyasaṁyojanā)
    Belenggu cemburu/iri - kikir muncul karena: suka dan tidak suka (piyāppiya)
    Suka dan tidak suka muncul karena: hasrat (chanda)
    Hasrat muncul karena: (pikiran yang) menggenggam (vitakka)
    (Pikiran yang) menggenggam muncul karena: Perkembangbiakkan sumber, persepsi dan gagasan (papañcasaññāsaṅkhā) [DN 21]

    Jalan melenyapkan Perkembangabiakkan sumber, persepsi dan Gagasan (di pikiran):

    Ketika mengejar perasaan (bahagia/somanassa, pedih/domanassa atau tenang-seimbang/upekkha)
    → hal tidak bermanfaat/akusala meningkat/abhivaḍḍhanti dan hal bermanfaat/kusala berkurang/parihāyantī, maka perasaan (bahagia, pedih atau tenang-seimbang) demikian harus dihindari.
    → Hal tidak bermanfaat berkurang dan hal bermanfaat meningkat, maka perasaan (bahagia, pedih atau tenang-seimbang) demikian harus dikejar.

    perasaan (bahagia, pedih atau tenang-seimbang) yang disertai (Pikiran yang) menggenggam dan mempertahankannya/savitakkaṁ savicāraṁ vs pikiran yang tanpa menggenggam dan tanpa mempertahankannya/avitakkaṁ avicāraṁ, maka yang kedua adalah lebih luhur.
    [DN 21]

    Arahan aturan pengendalian diri (pātimokkhasaṁvarāya paṭipanno):

    Ketika mengejar (perilaku perbuatan badan/kāyasamācāra, ucapan/vacīsamācāra dan/atau pencarian/pariyesana)
    → hal tidak bermanfaat meningkat dan hal bermanfaat berkurang, maka (perilaku perbuatan badan, ucapan atau pencarian) demikian harus dihindari.
    → Hal tidak bermanfaat berkurang dan hal bermanfaat meningkat, maka (perilaku perbuatan badan, ucapan atau pencarian) demikian harus dikejar. [DN 21]

    Arahan pengendalian Indria (indriyasaṁvarāya paṭipanno):

    Ketika mengejar (mata yang menyadari bentukan/cakkhuviññeyyaṁ rūpa, telinga yang menyadari suara/sotaviññeyyaṁ sadda, hidung yang menyadari bebauan/ghānaviññeyyaṁ gandha, lidah yang menyadari rasa/jivhāviññeyyaṁ rasa, badan yang menyadari sentuhan/kāyaviññeyyaṁ phoṭṭhabba atau pikiran yang menjadari hal-hal/manoviññeyyaṁ dhamma)
    → hal tidak bermanfaat meningkat dan hal bermanfaat berkurang, maka (mata yang menyadari bentukan, .., atau pikiran yang menjadari hal-hal) demikian harus dihindari.
    → Hal tidak bermanfaat berkurang dan hal bermanfaat meningkat, maka (mata yang menyadari bentukan, .., atau pikiran yang menjadari hal-hal) demikian harus dikejar. [DN 21]
Upaya, Ingatan dan Pikiran Terpusat Benar dapat dilakukan dalam posisi/sikap/postur (Iriyapatha): berbaring (sayano), berdiri (caram/ṭhito), duduk (nissino) atau berjalan (gacchanto atau cankama) sehingga dengan berdiam demikian dengan rajin, tekun, bersungguh-sungguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya dari kehidupan rumah tangga ditinggalkan; dengan ditinggalkannya hal itu pikirannya menjadi kokoh ke dalam, tenang, manunggal dan pikirannya menjadi terpusat [ajjhattameva cittaṃ santiṭṭhati, sannisīdati, ekodi hoti, samādhiyati] [MN 20, SN 46.11]


VI. Samādhi: DAYA-UPAYA BENAR (sammā-vāyāma)
Seseorang berusaha untuk meninggalkan Pandangan salah dan berusaha untuk berada dalam penghidupan benar; berusaha untuk meninggalkan kehendak salah dan berusaha untuk berada dalam kehendak benar; berusaha untuk meninggalkan ucapan salah dan berusaha untuk berada dalam ucapan benar; berusaha untuk meninggalkan perbuatan salah dan berusaha untuk berada dalam perbuatan benar; berusaha untuk meninggalkan penghidupan salah dan berusaha untuk berada dalam penghidupan benar: ini adalah usaha benar seseorang. [MN 117]
  1. tidak memunculkan hal buruk tak bermanfaat yang belum ada (anuppannānaṃ pāpakānaṃ akusalānaṃ dhammānaṃ anuppādāya), Ia bangkitkan hasrat, upaya, kerahkan kekuatan, menjaga pikiran terhadapnya (chandaṃ janeti vāyamati vīriyaṃ ārabhati cittaṃ paggaṇhāti padahati)
  2. menggenyahkan hal buruk tak bermanfaat yang telah ada (uppannānaṃ .. pahānāya), Ia bangkitkan hasrat, upaya, kerahkan kekuatan, menjaga pikiran terhadapnya
  3. memunculkan hal baik bermanfaat yang belum ada (anuppannānaṃ kusalānaṃ dhammānaṃ uppādāya), Ia bangkitkan hasrat, upaya, kerahkan kekuatan, menjaga pikiran terhadapnya
  4. mempertahankan tidak memudar hal baik bermanfaat yang telah ada, meningkatkannya, mengembangkan penuh hingga matang (uppannānaṃ .. ṭhitiyā asammosāya bhiyyobhāvāya vepullāya bhāvanāya pāripūriyā), Ia bangkitkan hasrat, upaya, kerahkan kekuatan, menjaga pikiran terhadapnya. [DN 22, SN 45.8, MN 141]

VII. Samādhi: INGATAN BENAR (sammā-sati)
Seseorang tetap ingat untuk meninggalkan pandangan salah dan tetap ingat untuk berada dalam pandangan benar; tetap ingat untuk meninggalkan kehendak salah dan tetap ingat untuk berada dalam kehendak benar; tetap ingat untuk meninggalkan ucapan salah dan tetap ingat untuk berada dalam ucapan benar; tetap ingat untuk meninggalkan perbuatan salah dan tetap ingat untuk berada dalam perbuatan benar; tetap ingat untuk meninggalkan penghidupan salah dan tetap ingat untuk berada dalam penghidupan benar: ini adalah Ingatan benar seseorang. [MN 117]

Sati adalah berdaya ingat kuat (satimā hoti paramena) cerdas dalam mengingat (satinepakkena samannāgato) ingat akan ingatan, perkataan dan perbuatan yang telah lama (cirakatampi cirabhāsitampi saritā anussaritā). [SN 48.8, 48.10, AN 5.14]

Buddhaghosa dalam Dhammasaṅgaṇīmātikā, tentang sati: “Ia mengingat (saranti tāya) atau ingat dengan sendirinya (sayaṃ vā sarati) atau rangkaian mengingat-ingat demikian (saraṇamattameva vā), itulah sati (esāti sati), dengan ciri tidak kehilangan (objek) (sā apilāpanalakkhaṇā), berfungsi agar tidak lupa (asammosanarasā), ibarat menjaga atau menghadapi objek (ārakkhapaccupaṭṭhānā, visayābhimukhabhāvapaccupaṭṭhānā vā), disebabkan berlandaskan persepsi/ingatan kuat (thirasaññāpadaṭṭhānā) atau disebabkan berlandaskan ingatan terkait tubuh (kāyādisatipaṭṭhānapadaṭṭhānā vā) kokoh bersandar objek ini bagaikan pilar (ārammaṇe daḷhapatiṭṭhitattā pana esikā viya) dan terlihat bagai penjaga gerbang yang menjagai pintu mata dan lainnya (cakkhudvārādirakkhaṇato dovāriko viya ca daṭṭhabbā)"

Ingatan benar adalah:
  1. terkait jasmani mengamati jasmani (kāye kāyānupassī), dengan tekun dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (viharati ātāpī sampajāno satimā) setelah menyingkirkan kerinduan-kepedihan dunia (vineyya loke abhijjhādomanassaṃ). Note: Loka: Tubuh ini, 5 khanda yang dilekati adalah dunia. Abhijjhā: Ketagihan, penuh ketagihan, menjilati, tunduk, kesenangan, kesenangan-ketagihan, pikiran penuh ketagihan (rāgo sārāgo anunayo anurodho nandī nandīrāgo cittassa sārāgo). Domanassa: kenyamanan mental, rasa sakit mental, mengalami kesakitan ketidaknyamanan dari kontak pikiran, merasakan kesakitan ketidaknyamanan dari kontak pikiran (cetasikaṁ asātaṁ cetasikaṁ dukkhaṁ cetosamphassajaṁ asātaṁ dukkhaṁ vedayitaṁ cetosamphassajā asātā dukkhā vedanā) [Vb 7]
  2. terkait perasaan mengamati perasaan (Vedanāsu vedanānupassī viharati)..,
  3. terkait pikiran mengamati pikiran (citte cittānupassī viharati)...
  4. terkait Dhamma (fenomena/Hal: berkondisi, terkondisi, tak terkondisi) mengamati Dhamma (dhammesu dhammānupassī viharati)... [DN 16, DN 22, SN 45.8, MN 141]
Melakukannya dengan sepenuhnya mengetahui ketika maju/mundur; Melihat ke depan/sekitarnya; Menekuk/merenggangkan badan; membawa jubah/mangkuk; makan, minum, mengunyah, atau mengecap/menelan; membuang air besar; berjalan, berdiri, duduk, berbaring, terjaga, berbicara, atau berdiam diri [MN 107, 119]

Siapapun, baik itu Puthujjana, siswa dengan latihan tinggi atau bahkan arahat, maka Indriya tetap aktif dan pikirannya TIDAKLAH PASIF
    Bagaimanakah pengembangan indriya yang tertinggi dalam disiplin Para Mulia?

    Ketika seorang melihat/mendengar .. [aktifitas 6 indriya] terhadap suatu bentuk/suara.. [6 objek Indriya], di sana muncul dalam dirinya perasaan apa yang menyenangkan [manāpaṃ] atau apa yang tidak menyenangkan [amanāpaṃ] atau apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan [manāpāmanāpaṃ]

    Ia memahami sebagai berikut:
    ‘Di sana telah muncul padaku perasaan apa yang: menyenangkan atau apa yang tidak menyenangkan atau apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan tetapi hal itu adalah terkondisi [saṅkhataṃ], kasar [oḷārikaṃ], sebab kemunculan [paṭiccasamuppannaṃ]; Ini damai [santaṃ], Ini luhur [paṇītaṃ], yaitu tenang-seimbang/ketidakterlibatan [upekkha].’

    Apa yang menyenangkan atau apa yang tidak menyenangkan atau apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul dalam dirinya menjadi lenyap [nirujjhati] dengan cepat dan mudah dan tenang-seimbang/ketidakterlibatan [upekkha] ditegakkan.

    Seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, setelah membuka matanya seketika menutupnya kembali atau setelah menutup matanya seketika membukanya kembali, demikian pula sehubungan dengan segala sesuatu, apa yang menyenangkan, apa yang tidak menyenangkan, dan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul menjadi lenyap dengan cepat dan mudah, dan tenang-seimbang ditegakkan

    Ini disebut pengembangan indriya yang tertinggi dalam disiplin Para Mulia sehubungan dengan bentukan yang dikenali mata/suara..[6 Indriya].

    Bagaimanakah seseorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi, yang telah memasuki sang jalan [sekha pāṭipada]?

    Di sini, ketika seorang melihat/mendengar..[aktifitas 6 indriya] terhadap suatu bentuk/suara.. [6 objek Indriya] di sana muncul dalam dirinya perasaan apa yang menyenangkan atau apa yang tidak menyenangkan atau apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan

    ia hambar [aṭṭīyati], segan [harāyati], dan menghindari [jigucchati] atas apa yang menyenangkan yang muncul atau apa yang tidak menyenangkan yang muncul atau apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang muncul

    Itu adalah bagaimana seseorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi, yang telah memasuki sang jalan [sekha pāṭipada].

    Dan bagaimanakah, seseorang mulia dengan indriya terkembang?

    Di sini, ketika seorang melihat/mendengar..[aktifitas 6 indriya] terhadap suatu bentuk/suara.. [6 objek Indriya] di sana muncul dalam dirinya perasaan apa yang menyenangkan atau apa yang tidak menyenangkan atau apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan

    Jika ia berkehendak, "aku:

    1. Berdiam di persepsi tidak bosan/tidak jenuh/tidak jemu pada yang menjemukan/menjijikan (paṭikūle appaṭikūlasaññī vihareyyan’ti), di sana Ia berada di persepsi tidak jemu (appaṭikūlasaññī tattha viharat). [Tujuannya: agar tidak muak/menolak pada munculnya hal yang membuat tidak nyaman (Mā me dosanīyesu dhammesu doso udapādī’ti) - AN 5.144], atau
    2. Berdiam di persepsi jemu terhadap tidak menjemukan (appaṭikūle paṭikūlasaññī vihareyyan’ti), di sana Ia berada di persepsi jenuh (paṭikūlasaññī tattha viharati). [Tujuannya: agar tidak minat pada munculnya hal yang membuat ketagihan/melekat/nafsu/terikat (Mā me rajanīyesu dhammesu rāgo udapādī) - AN 5.144], atau
    3. Berdiam di persepsi tidak jemu pada yang menjemukan dan tidak menjemukan (paṭikūle ca appaṭikūle ca appaṭikūlasaññī vihareyyan’ti), di sana Ia berada di persepsi tidak jemu (appaṭikūlasaññī tattha viharati). [Tujuannya: agar tidak muak pada munculnya hal yang membuat tidak nyaman, tidak minat pada munculnya hal yang membuat ketagihan - AN 5.144], atau
    4. Berdiam di persepsi jemu pada yang menjemukan dan tidak menjemukan (appaṭikūle ca paṭikūle ca paṭikūlasaññī vihareyyan’ti), di sana Ia berada di persepsi jemu (paṭikūlasaññī tattha viharati). [Tujuannya: agar tidak minat pada munculnya hal yang membuat ketagihan, tidak muak pada munculnya hal yang membuat tidak nyaman (Mā me rajanīyesu dhammesu rāgo udapādi, mā me dosanīyesu dhammesu doso udapādī’ti) - AN 5.144], atau
    5. meninggalkan baik itu jemu dan tidak jemu (appaṭikūlañca paṭikūlañca tadubhayaṁ abhinivajjetvā), dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui berada tenang-seimbang (upekkhako vihareyyaṁ sato sampajāno’ti’, di sana dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui berada tenang-seimbang (upekkhako ca tattha viharati sato sampajāno) [tujuannya: dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui tidak minat pada hal apapun dalam cara apapun yang membuat ketagihan, tidak muak pada hal apapun...yang membuat tidak nyaman, tidak bingung pada hal apapun dalam cara apapun yang membuat keliru tahu (sato sampajāno mā me kvacani katthaci kiñcanaṁ rajanīyesu dhammesu rāgo udapādi, mā me kvacani katthaci kiñcanaṁ dosanīyesu dhammesu doso udapādi, mā me kvacani katthaci kiñcanaṁ mohanīyesu dhammesu moho udapādī) - AN 5.144]

    Itu adalah bagaimana seseorang mulia dengan indriya terkembang [MN 152]
Itulah mengapa INGATAN BENAR bersifat aktif dan harus dikembangkan terus menerus.


VIII. Samādhi: PIKIRAN TERPUSAT BENAR (sammā-samādhi: sammā = benar; samādhi = Pikiran terpusat)

Keberhasilan Jhāya/samādhi harus terlihat dalam 4 Jhāna [Arti: terpesona, tercerap] [SN 48.8, 9]

Setelah lepas dari kenikmatan indriya (5 utas indriya/pañca kāmaguṇā), lepas dari hal yang tak bermanfaat (akusalehi dhammehī atau kumpulan hal tidak bermanfaat/akusalarāsi = keseluruhan dari 5 rintangan/pañca nīvaraṇā) (vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehi)..berada pada jhāna ke-1,..jhāna ke-2,..jhāna ke-3, jhāna ke-4 adalah Pikiran terpusat benar [DN 22, SN 45.8, MN 141]

“Yang Mulia, apakah Samādhi? Apakah gambaran samādhi (samādhi-nimittā)? Apakah perlengkapan samādhi (samādhi-parikkhārā)? Apakah yang disebut dengan mengembangkan samādhi (samādhi-bhāvanā)?” “Keterpusatan pikiran (cittassa ekaggatā), teman Visākha, adalah samādhi (ayaṃ samādhi); 4 landasan ingatan (Cattāro satipaṭṭhānā) adalah gambaran keterpusatan pikiran; 4 usaha benar (Cattāro sammappadhānā) adalah perlengkapan keterpusatan pikiran; Menjadikannya sebagai kebiasaan/pengulangan (dhammāna āsevanā), mengembangkannya hingga mahir (bhavana bahulīkammaṃ) adalah mengembangkan samādhi (samādhi-bhāvanā)” [MN44]

“Apakah, Pikiran terpusat benar mulia (ariyo sammāsamādhi) dengan penyebabnya dengan kelengkapannya (saupaniso saparikkhāro)? Pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, dan ingatan benar adalah 7 faktor kelengkapan keterpusatan pikiran (sattahaṅgehi cittassa ekaggatā parikkhatā)

[..]

Pada seorang yang berpandangan benar, muncul kehendak benar;
Pada seorang dengan kehendak benar, muncul ucapan benar;
Pada seorang dengan ucapan benar, muncul perbuatan benar;
Pada seorang dengan perbuatan benar, muncul penghidupan benar;
Pada seorang yang berpenghidupan benar, muncul usaha benar;
Pada seorang dengan usaha benar, muncul ingatan benar;
Pada seorang dengan ingatan benar, muncul pikiran terpusat benar;
Pada seorang dengan pikiran terpusat benar, muncul pengetahuan benar;
Pada seorang dengan pengetahuan benar, muncul pembebasan benar.

Demikianlah, para bhikkhu, jalan dari siswa yang dalam latihan lebih tinggi memiliki 8 faktor, Arahant memiliki 10 faktor.

Pada seorang yang berpandangan benar, pandangan salah lenyap, dan ragam hal buruk tak bermanfaat yang berasal dari pandangan salah di sana juga menjadi lenyap, ragam kondisi bermanfaat yang berasal dari pandangan benar menjadi berkembang sepenuhnya.

Pada seorang dengan kehendak benar, kehendak salah lenyap ...
Pada seorang dengan ucapan benar, ucapan salah lenyap …
Pada seorang dengan perbuatan benar, perbuatan salah lenyap …
Pada seorang dengan penghidupan benar, penghidupan salah lenyap …
Pada seorang dengan usaha benar, usaha salah lenyap …
Pada seorang dengan ingatan benar, ingatan salah lenyap …
Pada seorang dengan pikiran terpusat benar, pikiran terpusat salah lenyap …
Pada seorang dengan pengetahuan benar, pengetahuan salah lenyap …
Pada seorang dengan pembebasan benar, pembebasan salah lenyap, ragam hal buruk tidak bermanfaat yang berasal dari pembebasan salah di sana juga menjadi lenyap, ragam hal bermanfaat yang berasal dari pembebasan benar menjadi berkembang sepenuhnya [MN 117] []
---------------

KETUHANAN

Ketuhanan adalah sifat/keadaan Tuhan atau yang terkait dengan Tuhan. Sila ke-1 Pancasila "Tuhan Yang Maha Esa", sering diartikan "Tuhan Yang Maha Tunggal". Ini keliru. Kata sanskrit "esa" artinya BUKAN "tunggal, satu", JUGA BUKAN SINONIM dari "eka" (tunggal, satu), DAN BUKAN berasal dari ãsa ("lord, iva" = tuan). Arti eṣa/eṣá/eṣaḥ = "ini, yang ini", sementara arti āsa = "harapan, menjadi mungkin, lahir". Frase "Maha Esa", TIDAKLAH ditulis terpisah menjadi 2 kata namun dalam satu kata, "Maheśa" (BUKAN mahiṣa/Mahisha, mahā+īś = Kerbau). Arti Maheśa adalah "tuan besar atau dewa", Siva juga disebut Maheśa. Kamus Theosociety[4a] menyampaikan bahwa kata "Maheśa" adalah paduan dari mahā/besar + īśa/lord. Arti īśa = "Tuan, Penguasa, Pemilik, Berkemampuan (genitive), KUAT, TERTINGGI, dll". Jadi "Ketuhanan Yang Mahesa" adalah sifat/keadaan yang tertinggi, BUKAN bertuhan satu ataupun banyak, JUGA TIDAK HARUS merujuk sosok tertentu.

Tuhan (Pali = Issara, Sanskrit = īśvara) dalam pandangan agama samawi/non samawi, baik itu dipersonifikasi (berbentuk menyerupai manusia) maupun bukan (tidak menyerupai manusia, berubah bentuk ataupun tidak berbentuk) adalah sesuatu yang kekal yang disembah, maha kuasa, pencipta semesta dan isinya, pemilik Surga/Neraka yang kekal (tujuan/tempat akhir manusia) atau bertujuan kembali ke/bersatu dengan Tuhan.

Pandangan ini dalam Buddhism disebut pandangan salah karena adanya sesuatu yang kekal bertentangan dengan tilakkhana (Anicca, Dukkha dan Anatta). Variasi pandangan salah tentang ini meliputi: menganggap Buddha dan/atau Nibbana adalah Tuhan dan/atau Tuhan-Ketuhanan Buddhism adalah Nibbana dan/atau Buddhism juga punya Tuhan seperti definisi di atas.

Kongres pertama dari Dewan Sangha Buddhis Dunia (WBSC: World Buddhist Sangha Council), Colombo, Sri Lanka, 27 Januari 1967 secara bulat menyepakati 9 point. Di point no. 3: tidak meyakini bahwa dunia ini diciptakan dan diatur oleh tuhan. Pendapat ini didukung, sutta-sutta:
  1. AN 3.61[3], tentang 3 pandangan salah:

    3 Pandangan: Apapun yang dialami seseorang, apakah itu perasaan: menyenangkan, menyakitkan atau perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan, semua itu:

    1. disebabkan oleh tindakan lampau;
    2. disebabkan oleh kuasa TUHAN
      "Issaranimmānahetū’ ti issaranimmānakāraṇā, issarena nimmitattā paṭisaṁvedetī ti attho" (Disebabkan kuasa tuhan, Karena kuasa TUHAN, Dirinya mengalami sepenuhnya kuasa tuhan);
    3. tanpa penyebab dan tanpa kondisi

    yang jika sepenuhnya disidik/periksa, diteliti dan dibahas, akan berakhir pada suatu doktrin tanpa tindakan, SEKALIPUN SUDAH DITERAPKAN KARENA TRADISI.

    Buddha menolak pandangan-pandangan itu, karena jika semua perbuatan dan yang dialami disebabkan oleh tindakan lampau atau disebabkan oleh kehendak tuhan atau disebabkan oleh sebuah kebetulan semata sebagai faktor penentu, maka akibatnya seseorang TIDAK memiliki kehendak bebas dan hanya ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan serta akan menjadi seseorang yang berkewaspadaan dan pengendalian diri.

  2. Di Mahabodhi Jataka (no.528)

    Sang Bodhisatta berkata:
    "Jika Tuhan sekalian alam, yang menentukan bagi seluruh ciptaannya, kebahagiaan atau penderitaan, perbuatan baik maupun buruk, maka manusia hanya menjalankan perintahnya saja, sedangkan Tuhan itu yang diliputi dosa" (issaro sabbalokassa, sace kappeti jīvitaṃ, Iddhiṃ byasanabhāvañca, kammaṃ kalyāṇapāpakaṃ; Niddesakārī puriso, issaro tena lippati)

  3. Di Bhuridatta Jataka [no.543], terdapat kalimat berulang dari sang Bodhisatta,

    "Sace hi so issaro sabbaloke" (Sebab jika Ia Tuhan sekalian alam):

    ”Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan; Mengapa Brahma itu tidak menciptakan secara baik? Bila kekuatannya demikian tak terbatas, mengapa tangannya begitu jarang memberkati? Mengapa Ia tidak memberi kebahagiaan semata? Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela? Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal? Saya menganggap, Brahma adalah ketak-adilan. Yang membuat dunia yang diatur keliru"

  4. DN 1 dan DN 2 menyampaikan cara hidup salah, rendahan (tiracchānavijjāya micchājīvā), seperti:

    ...meminta/bertanya melalui medium cermin, gadis perawan, dewa (ādāsapañhaṃ kumārikapañhaṃ devapañhaṃ); memuja matahari, memuja yang tertinggi (ādiccupaṭṭhānaṃ mahatupaṭṭhānaṃ), menghidupkan api (suci) (abbhujjalanaṃ), memanggil Dewi Siri/Sri/Dewi keberuntungan (sirivhāyanaṃ)

  5. Asal usul keyakinan adanya tuhan/Issara/isvara, ada di DN 1 (sebagai pandangan salah no.5[↓])

    Akan tiba waktunya, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut/penghancuran [samvattati]. Pada saat penyusutan, sebagian besar (yebhuyyena) menjadi makhluk Brahmā Ābhassara (= bercahaya gemilang). Di sana mereka (bertubuh) ciptaan-pikiran [manomayā] dan riak kegiuran sebagai penunjang/makanan (pītibhakkhā) bercahaya (sayaṁpabhā), hidup demikian dalam waktu yang sangat lama. Akan tiba waktunya, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang sangat panjang, dunia mulai mengembang [vivattati]. Saat dunia mengembang (Vivaṭṭamāne loke), sebuah tempat Brahmā kosong (suññaṁ brahmavimānaṁ) muncul (pātubhavati). Dan kemudian satu makhluk tertentu (Atha kho aññataro satto), karena habis umur kehidupan atau jasa kebajikan-nya (āyukkhayā vā puññakkhayā), satu makhluk Abhassara ābhassarakāyā jatuh (cavitvā) terlahir di tempat Brahmā kosong, di sana (bertubuh) ciptaan-pikiran dengan riak kegiuran sebagai penunjang/makanan, bercahaya, melayang di antara batasan [antalikkha → sankrit: antar/diantara + īkṣa/tampak/batasan], agung – dan hidup demikian dalam waktu yang sangat lama.’

    Setelah satu makhluk tertentu ini sendirian sekian lama (Tassa tattha ekakassa dīgharattaṁ nivusitattā), muncul ketidakpuasan dan kekhawatiran, berpikir: “Oh, seandainya makhluk lainnya muncul ke sini!” dan makhluk-makhluk lain, karena habisnya masa kehidupan mereka atau jasa-jasa baik mereka, jatuh dari alam Ābhassara, muncul kembali di dalam tempat Brahmā sebagai teman-teman bagi makhluk ini. Dan di sana ia berdiam, dengan ciptaan-pikiran, ... dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.’

    Dan kemudian, makhluk yang pertama muncul di sana berpikir: "..mahābrahmā (Brahma yang Agung) abhibhū (penakluk) anabhibhūto (yang tak tertaklukan) aññadatthudaso (melihat segalanya) vasavattī (maha menguasai/maha sakti) issaro (Tuhan/yang termulia) kattā (pembuat) nimmātā (pencipta) seṭṭho (pemilik/terbesar) sajitā (pemberi perintah) vasī (paling awal) pitā bhūtabhabyānaṃ (Ayah dari segala yang ada dan akan ada) Makhluk-makhluk ini diciptakan olehku" Mengapa demikian? Karena akulah yang pertama berpikir: ‘Oh, seandainya beberapa makhluk lain muncul ke sini!’ itu keinginanku, dan kemudian makhluk-makhluk ini muncul!”

    Makhluk-makhluk yang muncul belakangan berpikir: “Ini, Teman-teman, adalah Brahmā, Mahā-Brahmā, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, yang termulia, pembuat dan pencipta, penguasa, pengambil keputusan dan pemberi perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Mengapa demikian? Kita telah melihat bahwa Ia adalah yang pertama di sini, dan bahwa kita muncul setelah dia.”’

      Note:
      Juga di MN 49 dan DN 11. Di Kitab komentar: “Akulah maha pengatur, Akulah yang mengatur keadaan para makhluk: kamu menjadi Ksatria, kamu brahmana, kamu pedagang, kamu buruh kasar, kamu perumahtangga, kamu petapa, kamu jadi unta, kamu jadi sapi” [DA 1:111 f]

      makhluk halus tidak terdektesi Indriya namun banyak yang mengklaim mampu melihatnya. Para ilmuwan sudah mampu mendeteksi keberadaan energi tertentu, mereka tidak mendefinisikannya secara tegas tapi memberitahu bahwa ada sesuatu. Sementara TUHAN, disamping tidak dapat dibuktikan keberadaannya oleh ilmuwan manapun, bahkan seluruh Indriya dengan alat bantu apapun tidak dapat mendeteksinya ada. Perasaan nyaman/tidak nyata dirasakan semua orang dan bukan orang. Pengetahuan ini bukan dari buku dan/atau ceramah namun dapat dialami yang mengalaminya. Nibbana adalah "pengalaman" yang dialami sendiri oleh mereka yang telah menyelesaikan latihan sesuai metoda dari sang Buddha.

    ‘Dan makhluk yang muncul pertama ini hidup lebih lama, lebih indah dan lebih sakti daripada makhluk lainnya. Dan akan terjadi bahwa beberapa makhluk jatuh dari alam itu dan muncul di dunia ini. Setelah muncul di dunia ini, ia pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Setelah pergi, ia melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar (sammāmanasikāramanvāya) mencapai suatu kondisi tertentu dari keterpusatan pikiran hingga mampu mengingat kehidupan sebelumnya yang terakhir, tetapi tidak mampu mengingat yang sebelum itu. Dan ia berpikir: “Brahma pencipta itu [bhavaṃ brahmā mahābrahmā], ... ia menciptakan kami, dan ia kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya. Tetapi kami yang diciptakan oleh Brahmā itu, kami tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini."
Jadi, meyakini adanya Tuhan seperti definisi kaum Samawi/non Samawi sebagai Maha Pencipta, Pengatur, hakim akhir dan/atau menyematkan, atau menyatakan Sang Buddha sebagai Tuhan/ketuhanan adalah Pandangan salah.

Namun, dalam konteks pencipta, Tuhan di Buddhism adalah avijjā atau taṇhā: Titik awal (ketidaktahuan/avijjā atau haus menjadi sesuatu/bhavatanha) tidak terlihat sedemikian bahwa sebelum ini: tidak ada (ketidaktahuan atau haus menjadi sesuatu) dan setelahnya menjadi ada [AN 10.61; AN 10.62]

Pandangan Salah: Nibbana adalah tuhan/konsep ketuhanan Buddhism
Dengan mengkaitkan SITUASI POLITIK Indonesia tahun 1960an dan dasar negara Pancasila, sila ke-1 ketuhanan, namun keliru beranggapan bahwa ini akan membahayakan Buddhisme Indonesia, padahal sang penggali pancasila sendiri yaitu, Ir. Soekarno, juga Prof Muhammad Yamin, tahu persis bahwa Buddhism TIDAK MEYAKINI adanya TUHAN. Juga keliru beranggapan agar tidak dianggap sebagai komunis, padahal komunis bukanlah agama, juga, Partai Komunis Indonesia (yang lama adalah pecahan Sarekat Islam yaitu tahun 1920an atau yang baru tahun 1950), para pendirinya-pun beragama (yaitu agama-agama mayoritas di Indonesia). Disamping itu, ASEAN yang terbentuk pada Agustus 1967 oleh 5 negara, 3 negara anggotanya, yaitu Thailand mayorita utamasnya Buddhis Theravada; Malaysia, agama terbesar no.2 adalah Buddhisme dan juga Singapura, mayoritas penduduknya adalah Buddhis. Ke-3 negara ini juga bukanlah negara komunis. Maka setelah keliru dan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, sekelompok orang di Indonesia, menciptakan dan mengajarkan pandangan salah: bahwa Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah "Atthi ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ" (Ada tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak menjadi, tidak berkondisi) yang merupakan potongan dari syair Udana 8.3 (kadang dikaitkan pula dengan "pembuat rumah"/potongan pekik kemenangan Sidharta Gautama ketika menjadi Buddha); bahwa sifat tuhan telah terwakili dengan sifat nibbana; bahwa Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), tidak dapat dipersonifikasikan ke bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai pembebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bersamādhi.

Pemotongan syair Udana 8.3, membuat maksud sutta melenceng jauh, seperti ilustrasi ini:
    Si x, berkata, "Semua berasal dari Universitas Katolik Parahyangan", kemudian, satu orang sengaja memotong bagian ucapan si x menjadi, "Semua berasal dari Universitas Katolik Parah"
ketika terpotong, arti menjadi berbeda jauh. Untuk jelasnya, berikut Udana 8.1-4, tentang Nibbana:
    [Demikianlah yang kudengar. Suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Saat itu Sang Bhagava sedang mengajar, memberi inspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan nibbānapaṭisaṃyuttāya dhammiyā (pembicaraan Dhamma tentang Nibbana), dan para bhikkhu, setelah menetapkan tujuan, mengarahkan, mencurahkan segenap pikiran, memasang telinga mendengarkan Dhamma.

    Menyadari pentingnya ini, Sang Bhagava menyampaikan kotbah inspirasi]:

    Atthi, bhikkhave, tadāyatanaṃ, yattha neva pathavī, na āpo, na tejo, na vāyo, na ākāsānañcāyatanaṃ, na viññāṇañcāyatanaṃ, na ākiñcaññāyatanaṃ, na nevasaññānāsaññāyatanaṃ, nāyaṃ loko, na paraloko, na ubho candimasūriyā
    (Ada, para bhikkhu, suatu keadaan yang bukan padat/landasan/sokongan; bukan cair/rekat, bukan suhu/temperatur/gelombang partikel/umur/habis, dan bukan getar/gerak/tekanan; bukan landasan penglihatan/ruang tak berbatas, bukan landasan kesadaran tak berbatas, bukan landasan tak ada apapun, bukan landasan bukan presepsi bukan tanpa presepsi; bukan dunia ini atau dunia lain; bukan matahari rembulan)

      Note:
      Kata "atthi" = "THERE IS" (ADA), membuat arti seolah ada keberadaan tertentu, padahal bukan demikian maksudnya. Untuk itu, lihat bentuk negativenya: "nātthi" = "There is not" (BUKAN/TIDAK)

    Tatrāpāhaṃ, bhikkhave, neva āgatiṃ vadāmi, na gatiṃ, na ṭhitiṃ, na cutiṃ, na upapattiṃ; appatiṭṭhaṃ, appavattaṃ, anārammaṇamevetaṃ. Esevanto dukkhassā”ti
    (Di sini, para bhikkhu, bukan kedatangan, bukan kepergian, bukan yang tinggal, bukan kematian, bukan kemunculan; tanpa fondasi pijakan, tanpa kelanjutan, tanpa kondisi penyebab kemunculan. Inilah akhir dari penderitaan) [Udana 8.1].

    Duddasaṃ anataṃ nāma, na hi saccaṃ sudassanaṃ; Paṭividdhā taṇhā jānato, passato natthi kiñcanan”ti.
    (Yang tidak terpengaruh sulit untuk diketahui, Kebenaran tidak mudah dilihat; kehausan akan ditembus oleh orang yang tahu, Tidak ada penghalang bagi orang yang melihat) [Udana 8.2]

    atthi bhikkhave, ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ
    (Ada, para bhikkhu, tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak menjadi, tidak berkondisi)

      Note:
      Kata "a-saṅkhataṃ" yang diterjemahkan "MUTLAK" adalah MENYESATKAN. "a-saṅkhataṃ" adalah negatif dari "saṅkhataṃ" (menjadi satu, gabungan, berkondisi, muncul karena kombinasi sebab, terjadi akibat perbuatan di kehidupan-kehidupan sebelumnya) BUKAN dimaksudkan sebagai yang ABSOLUT namun sebagai TIDAK BERKONDISI merujuk pada "semua yang berkondisi adalah tidaklah memuaskan"

    No ce taṃ bhikkhave, abhavissā ajātaṃ abūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ, nayidha jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṃ paññāyetha
    (Jika saja tidak ada, para bhikkhu, yang tidak dilahirkan, tidak-menjelma, tidak menjadi, tidak berkondisi; maka tidak ada jalan keluar dari kelahiran, penjelmaan, menjadi, berkondisi)

    yasmā ca kho bhikkhave, atthi ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ, tasmā jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṃ paññāyatī"ti
    (Tetapi karena, para bhikkhu, ada tidak dilahirkan, tidak-menjelma, tidak menjadi, tidak berkondisi; maka ada jalan keluar dari kelahiran, penjelmaan, menjadi, berkondisi) [Udana 8.3]

    Nissitassa calitaṃ, anissitassa calitaṃ natthi. Calite asati passaddhi, passaddhiyā sati nati na hoti. Natiyā asati āgatigati na hoti. Āgatigatiyā asati cutūpapāto na hoti. Cutūpapāte asati nevidha na huraṃ na ubhayamantarena. Esevanto dukkhassā”ti
    (Bagi yang ditopang, ada ketidakstabilan. Bagi yang tidak ditopang, tidak ada ketidakstabilan; Bila tidak ada ketidakstabilan ada ketenangan; Bila ada ketenangan tidak ada hasrat; Bila tidak ada hasrat tidak ada 'datang dan pergi'; Bila tidak ada 'datang dan pergi' tidak ada 'kematian dan kemunculan'; Bila tidak ada kematian dan kemunculan', tidak ada 'di sini atau diluar sana' ataupun 'di antara keduanya'. Inilah akhir dari penderitaan) [Udana 8.4]
4 Sutta di atas menegaskan bahwa ini adalah tentang NIBBANA, keadaan mental/pikiran seseorang BUKAN tentang sosok tertentu BUKAN tentang tempat tertentu. Padanan penjelasan lain tentang Nibbana ada di sutta dari seorang budak perempuan ratu Samavati yang bernama Khujjuttara (Ia sotāpanna dan membuat ratu dan 500 pelayannya juga mencapai sotāpanna):
    Demikian kudengar dari Sang Bhagava (Vuttañhetaṃ bhagavatā vuttamarahatāti me sutaṃ):

    Ada para Bhikkhu, tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak menjadi, tidak berkondisi (Atthi, bhikkhave, ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ)

    Jika saja tidak ada, para bhikkhu, yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak menjadi, tidak berkondisi (No cetaṃ, bhikkhave, abhavissa ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ), maka tidak ada jalan keluar dari kelahiran, penjelmaan, menjadi, berkondisi (nayidha jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṃ paññāyetha)

    Karena, Para Bhikku, ada tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak menjadi, tidak berkondisi (Yasmā ca kho, bhikkhave, atthi ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ), maka ada jalan keluar dari kelahiran, penjelmaan, menjadi, berkondisi (tasmā jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṃ paññāyatī”ti)

    Kelahiran, penjelmaan, kemunculan (Jātaṃ bhūtaṃ samuppannaṃ)
    Menjadi, berkondisi tidak kekal (kataṃ saṅkhatamaddhuvaṃ),
    Bersatu dengan kelapukan dan kematian (Jarāmaraṇasaṅghāṭaṃ),
    Sarang penyakit, rentan (roganīḷaṃ pabhaṅguraṃ),

    saluran sumber makanan (Āhāranettippabhavaṃ)
    bukan hal menyenangkan (nālaṃ tadabhinandituṃ)
    Jalan keluar, yang damai (Tassa nissaraṇaṃ santaṃ)
    berada di luar pemikiran (atakkāvacaraṃ dhuvaṃ),

    tidak dilahirkan, tidak muncul (Ajātaṃ asamuppannaṃ),
    Keadaan tanpa duka bebas noda (asokaṃ virajaṃ padaṃ)
    Padamnya penderitaan (Nirodho dukkhadhammānaṃ),
    Meredanya bentukan - sukacita (saṅkhārūpasamo sukho”ti) [Itivuttaka 43, ajatasutta: Tidak Dilahirkan]
Penjelasan lain tentang Nibbana misalnya dari Sang Buddha kepada petapa pengembara VacchaGotta[14]:
    “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”

    “Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

    “Jika seseorang bertanya padamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

    “Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”

    “Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”

    “Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

    “Jika seseorang bertanya padamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selaatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

    “Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
Jadi Nibbana/Nirvana [nir; nis = tidak ada, habis; + va = meniup, padam, memadamkan] adalah padamnya kehausan. Ketika kehausan padam, maka tidak ada lagi yang "membakar" kesadaran (pertemuan antara indriya dan objeknya). Inilah yang disebut Nibbana. Sedangkan, Parinibbana = padamnya kehausan dan matinya tubuh/landasan indriya (rumah dari kemunculan kesadaran), berakhir tuntas kehidupan itu sendiri. Sehingga Nibbana/Parinibbana JELAS BUKAN alam/tempat, sosok atau Tuhan/ketuhanan.

Pandangan Salah: Adi Buddha adalah TUHAN/KETUHANAN Buddhism
Sang Buddha TIDAK PERNAH mengajarkan doktrin ADI BUDDHA atau mengucapkan adanya "Sanghyang Adi Buddha" [4b]. Doktrin ini, muncul sekitar abad ke-1 M. Di buku abad ke-10 M, karangan empu-Sindok, "Sanghyang Kahamayanikam" (rujukan pemegang paham tuhan Buddhisme adalah Sanghyang Adi-Buddha), kita temukan bahwa Adi-Buddha BUKANLAH Tuhan melainkan nama seorang raja.

Sang Buddha juga TIDAK PERNAH mengajarkan adanya Buddha pertama atau Buddha yang lebih Buddha dari Buddha lainnya sebagai yang Maha Buddha yang kemudian ini dianggap tuhan atau ketuhanan Buddhisme. Mengapa? Karena syarat untuk menjadi seorang SammasamBuddha, Ia HARUS SELALU:
  1. Manusia
  2. Mempunyai lengkap 32 tanda/ciri ditubuhnya sebagai maha-purisa/Manusia agung[9] dan tidak boleh kurang satupun
Di teks pali belakangan, setelah konsili ke-3 (abad 3 SM), terdapat ide tentang "abhinihara-karana/mulanidhana/Vyakarana atau tekad untuk menjadi seorang Sammasambuddha", misalnya di Khuddaka Nikaya, Buddhavamsa, kitab tentang kehidupan lampau seorang Sammasambuddha, sebagai Bodhisatta (manusia atau bukan), harus pernah ber-vyakarana DIHADAPAN seorang SammasamBuddha saat itu dan MENDAPATKAN kepastian beliau bahwa tekadnya akan tercapai.
    Calon Buddha Gautama, mulai ber-vyakarana, ketika terlahir sebagai petapa dengan nama Sumedha dihadapan Buddha Dipankara dan mendapatkan kepastian bahwa tekadnya akan tercapai. Sejak itulah mereka ini disebut bodhisatta, hingga yang ke-23xnya sebagai Bodhisatta Jotipala di jaman Buddha Kassapa
Oleh karenanya, ide tentang adanya Buddha pertama menjadi tidak memungkinkan karenanya.

Dhamma-Kaya BUKANLAH TUHAN atau KETUHANAN
Konsep AdiBuddha dan/atau konsep lainnya yang sejenis seperti 5 Buddha di 5 arah mata angin sebagai Buddha dan/atau maha Buddha dan/atau tuhan, muncul karena PANDANGAN SALAH tentang DHAMMA-KAYA/Tubuh Dhamma.

Pengertian Dhamma-Kaya tercantum dalam SN 22.87:
    Ketika Vakkali menderita sakit berat, Sang Buddha mengunjunginya. Sang Buddha berharap bahwa Vakkali TIDAK dilanda rasa cemas dan sesal. Vakkali: Saya dilanda tidak sedikit (anappakaṁ) rasa cemas (kukkuccaṁ) dan sesal (vippaṭisāro). Sang Buddha berharap itu bukan karena moralitas. Vakkali: bukan. Sang Buddha: "Lantas rasa sesal apa?". Vakkali: rasa cemas dan sesalnya karena sejak lama hendak mengunjungi Sang Bhagavā, namun tidak dapat karena kesehatannya.

    [Nasihat tentang Dhamma-Kaya:]

    Sang Bhagavā: "Mengapa engkau ingin mengunjungi tubuh menjijikkan ini?" dhammaṃ passati so maṃ passati; yo maṃ passati so dhammaṃ passati (Ia yang melihat Dhamma, melihat Aku; Ia yang melihat Aku, melihat Dhamma). Karena dalam melihat Dhamma, Vakkali, maka ia melihat Aku; dan dalam melihat Aku, maka ia melihat Dhamma”

    Sang Buddha: “Bagaimana menurutmu, Vakkali, apakah [bentukan/materi.. perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran] itu kekal atau tidak?"
    Vakkali: “Tidak kekal, Yang Mulia”
    Sang Buddha: “Apakah sesuatu yang tidak kekal itu penderitaan atau kebahagiaan?”
    Vakkali: “Penderitaan.."
    Sang Buddha: “Apakah sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dilihat/diamati sebagai: ‘ini milikku, ini aku/sesuatu/kondisi, ini identitas (diri)-ku’?”
    Vakkali: “Tidak..”

    “Oleh karenanya, Vakkali, [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran] APAPUN di masa lalu, depan, atau sekarang, di bagian dalam/luar, kasar/halus, rendah/mulia, jauh/dekat, semua bentukan/materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan identitas (diri)-ku’"

    Melihat demikian, Vakkali, siswa mulia yang terlatih menjadi tidak terkesan pada [materi, perasaan, persepsi, bentukan kehendak, dan kesadaran]. mengalami tidak terkesan, Ia tidak menginginkannya. Melalui tidak menginginkannya, Ia terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncul pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, vusitaṃ brahmacariyaṃ (cara hidup brahma/cara non duniawi telah dijalankan), apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.'"..

    [Kisah Vakkali dalam kitab komentar: Apadana dan Dhammapada syair 381, dikisahkan sangat berbeda dan dianggap "berkecenderungan HOMOSEKSUAL"[6] (↓ Tidak menghiraukan hidup di Buddhism)]
Demikianlah Dhamma kaya yang dimaksud. Kemudian, hubungan antara tubuh dhamma dan tubuh brahma (berkembang, bersifat baik/suci) disampaikan dalam DN 27:
    [..] Ia yang berkeyakinan di dalam Sang Tathāgata, teguh, berakar, kokoh, padat, tidak tergoyahkan oleh petapa dan Brāhmaṇa mana pun juga, dewa atau māra atau Brahmā atau siapa pun di dunia ini, dapat dengan benar mengatakan:

    Aku adalah putra sejati Sang Bhagavā, lahir dari mulut-Nya, lahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, seorang keturunan Dhamma

    Mengapa demikian?

    Karena..ini menunjuk pada Sang Tathāgata: “Tubuh Dhamma”, yaitu, “Tubuh Brahmā”, atau dhammabhūto (Menjadi Dhamma), yaitu “Menjadi Brahmā”.’
Jadi, dhamma-kaya (dan juga Brahma Kaya) sangat jauh dari maksud adanya Buddha lain atau makhluk super tertentu atau Buddha yang kekal. []
---------------

Definisi makhluk Hidup (TIDAK ADA: Roh/Jiwa/Atma); SEBAB KEMUNCULAN/Paticcasamuppada; PAÑCAKKHANDHĀ dan NĀMARŪPA; TIDAK ADA jeda waktu TUMIMBAL LAHIR

Semua makhluk hidup/satta (Brahma, deva, manusia, peta/makhluk halus, binatang, neraka) dan ALAM KEHIDUPAN/lokadhātu-NYA (baik itu VERTIKAL maupun HORIZONTAL), telah berulang kali terbentuk dan hancur.

Sattā, Pāṇā, Bhūtā dan Jīvā
Ke-4 kata digunakan bersamaan di ajaran Makkhali Gosāla (DN 2, SN 24.7, MN 60, MN 76) dan 3 kata pertama di ucapan sang Buddha:
    sabbe sattā sabbe pāṇā (semua sattā, semua pāṇā),
    sabbe bhūtā ca kevalā (semua bhūtā dan lainnya);
    sabbe bhadrāni passantu (semua agar terlihat baik),
    mā kañci pāpamāgamā (masing-masingnya agar tidak bertemu keburukan). [AN 4.67]
Oleh karenanya, masing-masingnya punya arti berbeda walaupun secara umum artinya adalah keberadaan.

Jīvā = yang hidup; Dalam konteks non Buddhis = roh/atma/jiva (inti makhluk hidup atau ada dalam tubuh makhluk hidup)

Bhūtā = keberadaan, baik hidup maupun tidak, contoh yathābhūta (apa adanya/alami), Bhūtā va sambhavesī (Bhūtā/telah ada/telah terlahir atau sambhavesī/akan ada/akan lahir) [KP 9], mahābhūtā (unsur dasar)

Pāṇa
    Sang Buddha: "Akan kujelaskan padamu - ragam tingkatan (anupubbaṃ yathātathaṃ) – klasifikasi keberadaan kehidupan (Jātivibhaṅgaṃ pāṇānaṃ) karena satu sama lainnya punya kekhususan (aññamaññā hi jātiyo)
    ketahuilah pohon dan rumput (Tiṇa-rukkhepi jānātha), tidak dapat (na cāpi) paṭijānare (paṭi/kembali/lagi + jāna/tahu/ngerti/paham + "re"/orang ke-3 Plural, partisipatif, Arti = MENGETAHUI/MENGERTI/PAHAM), bermacam karasteristik keberadaan (Liṅgaṃ jāti-mayaṃ tesaṃ) satu sama lainnya punya kekhususan (aññamaññā hi jātiyo)
    Kemudian serangga, bersayap dan (Tato kīṭe paṭaṅge ca) seterusnya semacam semut rayap (yāva kunthakipillike)..
    Ketahuilah yang berkaki empat (Di AN 4.67: dvipāda/kaki 2, catuppada/kaki 4 dan bahuppada/banyak kaki), kecil maupun besar..
    Ketahuilah yang perut adalah kakinya (di AN 4.67: apāda/tanpa kaki), ular, berbadan panjang..
    Kemudian ikan, perairan, hidup di perairan..
    Kemudian yang bersayap, burung, yang terbang di angkasa..
    Di antara manusia.." [SNP 3.9, MN 98]

    Sang Buddha: “Bahkan Jika, pepohonan sal besar ini, Mahānāma (Ime cepi, mahānāma, mahāsālā), memahami (ājāneyyuṁ/ājānati) apa yang sampaikan dengan baik, apa yang disampaikan dengan buruk (subhāsitaṁ dubbhāsitaṁ), maka Aku akan nyatakan pepohonan sal besar ini sebagai para Pemasuk-Arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam rendah, pasti menuju pencerahan sebagai tujuannya.." [SN 55.24]

    Note:
    Teks belakangan (Nichiren), menyatakan bahwa tumbuhan adalah makhluk hidup", berdasarkan komentar Miao-lo dan menyimpulkan, "Buddha dapat menjadi rumput dan pohon" [atau ini]

    Pandangan kaum awam jaman sang Buddha beranggapan bahwa tumbuhan dan tanah adalah berindriya tunggal (ekindriyaṁ), yaitu indra sentuhan [Catatan kaki Vinaya I, no.143, hal.359], sehingga terjadi komplain terhadap para bhikkhu dan bhikkhuni: "..Para petapa ini, siswa Putra Kaum Sakya, menganiaya kehidupan berindriya tunggal" [Pacittiya 11, Vinaya II, ITC, 2012, hal.259] atau "Mengapa bhikkhuni-bhikkhuni ini pergi melakukan perjalanan selama musim hujan, sehingga menginjak-injak tanaman dan rumput, menganiaya makhluk berjiwa berindra tunggal, membawa banyak makhluk kecil ke kehancuran?" [Vinaya 3, hal.440] sehingga, untuk kesejahteraan tumbuhan dan makhluk hidup yang kecil, muncul aturan para Bhikkhu/ni, tidak bepergian di musim vassa/musim hujan.

    Tumbuhan merespon/mengeluarkan suara dengan kavitasi (proses penguapan cairan karena tekanannya turun di bawah tekanan penguapan). Suara dipancarkan ketika gelembung udara mengganggu sistem konduktif air selama tarikan transpirasi dan 'meledak' (akibat pemuaian) yang menimbulkan ketegangan pada jaringan xilem (berisi cairan kimiawi), dengan penghantar (tanah, udara atau air) atau daun, bunga dan batang, yang beberapa diantaranya berfungsi menjadi mekanisme pertahanan diri (Beyond Chemical Triggers: Evidence for Sound-Evoked Physiological Reactions in Plants, DI SINI dan Biological relevance of sound in plants) [Juga lihat BLOG INI]
Jadi, pāṇa = seluruh bentuk kehidupan, termasuk tumbuhan. Tumbuhan = pāṇa yang tidak dapat memahami (na paṭijānare/ājānati)

Satta: melekat (sañj), makhluk (sattva), mengutuk (sapati) dan 7 (sapta) [Pali-English Dictionary, T.W. Rhys Davids & William Stede, hal.673]
    Mara:
    Siapa pembuat ‘makhluk’? (Kenāyaṃ pakato satto)
    Dimanakah si pencipta ‘makhluk’? (kuvaṃ sattassa kārako)
    Dimanakah ‘makhluk’ muncul? (Kuvaṃ satto samuppanno)
    Dimanakah ‘makhluk’ lenyap? (kuvaṃ satto nirujjhatī)

    Bhikkhunī Vajirā:
    Apa itu ‘makhluk’? (Kiṃ nu sattoti paccesi)
    Ini hanya pandangan, Māra (māra diṭṭhigataṃ nu te)
    sekumpulan bentuk kehendak/kondisi (Suddhasaṅkhārapuñjoyaṃ)
    Tak ada ‘makhluk’ (nayidha sattupalabbhati)

    Sebagaimana rangkaian bagian (Yathā hi aṅgasambhārā)
    yang disebut ‘kereta’ (hoti saddo ratho iti)
    demikianlah sebagai kelompok/gugusa (Evaṃ khandhesu santesu)
    yang umum sepakati sebagai ‘makhluk’ (hoti sattoti sammuti) [SN 5.10]

    Sang Buddha: "Para petapa dan brahmana yang mengingat banyak kehidupan lampau, semua mengingat 5 kelompok yang dilekati (pañcupādānakkhandhā) atau salah satu di antaranya. Ia ingat, “Aku berbentuk/materi demikian di masa lampau”, adalah hanya bentukan/materi yang diingatnya, ... perasaan, ... persepsi, ... bentukan kehendak, ...“aku memiliki kesadaran demikian di masa lampau”, adalah hanya kesadaran yang diingatnya.." [SN 22.79]

    YM Rādha: apa yang disebut makhluk? (satto-ti vuccatī?), Sang Buddha: "hasrat (chanda), ketagihan (rāga), kesenangan (nandī), haus (taṇhā) akan: rūpa.. vedana.. sañña.. saṅkhāra.. viññāṇa di situlah melekat (tatra satta) di situlah terjerat (tatra visatta), itulah disebut makhluk (tasmā sattoti vuccati)" [SN 23.2]
Sang buddha juga menyampaikan tentang 9 kelompok makhluk (Nava sattāvāsā), yang berada di alam menderita (Neraka), di alam makhluk halus, di alam binatang, di alam manusia, sampai dengan yang berada di alam dewa nevasaññānāsaññā (bukan persepsi bukan tanpa persepsi) [AN 7.44, 9.24, DN 33, DN 34]

Jadi, sattā = 5 kelompok yang dilekati (pañcupādānakkhandhā) atau bagian pāṇa yang dapat memahami (paṭijānare/jānati) = makhluk hidup (manusia maupun bukan) kecuali tumbuhan. Sattā = bagian dari pāṇa

Pañcakkhandhā dan Pañcupādānakkhandha, dengan perbedaan pada kata upādāna (melekat):
    Apakah 5 kelompok (Katame ca, .. pañcakkhandhā)?
    Bentukan/materi apa pun (Yaṁ kiñci, .. rūpaṁ), baik di masa lalu, di masa depan, di masa sekarang (atītānāgatapaccuppannaṁ), internal atau eksternal (ajjhattaṁ vā bahiddhā), kasar atau halus (oḷārikaṁ vā sukhumaṁ), hina atau mulia (hīnaṁ vā paṇītaṁ), jauh atau dekat (yaṁ dūre santike vā): ini disebut (ayaṁ vuccati ) kelompok unsur bentukan/materi (rūpakkhandho)
    Perasaan apa pun (Yā kāci, ..vedanā) … ini disebut kelompok unsur perasaan (vedanākkhandho).
    Persepsi apa pun (yā kāci saññā) … ini disebut kelompok unsur persepsi (saññākkhandho)
    Bentukan kehendak apa pun (ye keci saṅkhārā) … ini disebut kelompok unsur bentukan kehendak (saṅkhārakkhandho).
    Kesadaran apa pun (Yaṁ kiñci viññāṇaṁ), baik di masa lalu, di masa depan, di masa sekarang, ... jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur kesadaran (viññāṇakkhandho).

    Apakah 5 kelompok yang dilekati (Katame ca, ..pañcupādānakkhandhā)?
    Bentukan/materi apa pun, baik di masa lalu, di masa depan, di masa sekarang, ..., jauh atau dekat, yang ternoda (sāsavaṁ), yang dapat dilekati (upādāniyaṁ): ini disebut (ayaṁ vuccati) kelompok unsur bentukan/materi yang dilekati (rūpupādānakkhandho)
    Perasaan apa pun … yang ternoda, yang dapat dilekati: ini disebut kelompok unsur perasaan yang dilekati (vedanupādānakkhandho)
    Persepsi apa pun … yang ternoda, yang dapat dilekati: ini disebut kelompok unsur persepsi yang dilekati (saññupādānakkhandho).
    Bentukan kehendak apa pun … yang ternoda, yang dapat dilekati: ini disebut kelompok unsur bentukan kehendak yang dilekati (saṅkhārupādānakkhandho).
    Kesadaran apa pun, apakah di masa lalu, di masa depan, di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, yang ternoda, yang dapat dilekati: ini disebut kelompok unsur kesadaran yang dilekati (viññāṇupādānakkhandho). [SN 22.48]

    Seorang Bhikkhu: berakar pada apakah 5 kelompok yang dilekati ini (pañcupādānakkhandhā kiṁmūlakā”ti)?
    Sang Buddha: 5 kelompok yang dilekati berakar pada hasrat. (pañcupādānakkhandhā chandamūlakā”ti)
    Seorang Bhikkhu: apakah melakat itu sama dengan 5 kelompok yang dilekati (Taṁyeva nu kho, upādānaṁ te pañcupādānakkhandhā)? Atau apakah melekat itu sesuatu yang terpisah dari 5 kelompok yang dilekati (uudāhu aññatra pañcahupādānakkhandhehi upādānan”ti?)?
    Sang Buddha: kemelekatan tidak sama dengan 5 kelompok yang dilekati (Na kho, taṁyeva upādānaṁ te pañcupādānakkhandhā), juga melekat itu bukan sesuatu yang terpisah dari 5 kelompok yang dilekati (nāpi aññatra pañcahupādānakkhandhehi upādānaṁ). Adalah hasrat-ketagihan terhadap 5 kelompok yang dilekati (Yo kho, pañcasu upādānakkhandhesu chandarāgo), yang menjadi melekat di sana. (taṁ tattha upādānan”ti)”[MN 109]

    Brahmana Doṇa melihat roda-roda berjari-jari seribu pada jejak kaki Sang Bhagavā, dengan lingkar dan porosnya, lengkap dalam segala hal (Addasā kho doṇo brāhmaṇo bhagavato pādesu cakkāni sahassārāni sanemikāni sanābhikāni sabbākāraparipūrāni;), dan berpikir (isvānassa etadahosi): “Sungguh menakjubkan dan mengagumkan (acchariyaṁ vata bho, abbhutaṁ vata bho)! Ini tidak mungkin jejak kaki manusia (na vatimāni manussabhūtassa padāni bhavissantī”ti.)!”

    Dona: “Memangnya anda menjadi (dewa/gandhabba/yakkha/manusia) (Devo/Gandhabbo/Yakkho/manusso no bhavaṁ bhavissatī”ti)?”
    Buddha: “Aku tidak menjadi (dewa/gandhabba/yakkha/manusia), Brahmana (Na kho ahaṁ, brāhmaṇa, Devo/Gandhabbo/Yakkho/manusso bhavissāmī).”
    ....
    Dona: Lalu menjadi apa anda (atha ko carahi bhavaṁ bhavissatī”ti?)?
    Buddha: “Brahmana, jika aku tidak menyingkir sampai sekecilnya noda-noda (Yesaṁ kho ahaṁ, brāhmaṇa, āsavānaṁ appahīnattā), aku dapat menjadi (dewa/gandhabba/yakkha/manusia) (Devo/Gandhabbo/Yakkho/manusso bhaveyyaṁ), namun pada ku (, te me) noda-noda itu telah ditinggalkan (āsavā pahīnā), kupotong akarnya (ucchinnamūlā), seperti tunggul palem (tālāvatthukatā), tidak dapat menjadi kemunculan lagi di masa depan (anabhāvaṅkatā āyatiṁ anuppādadhammā), ..., Demikian pula Aku, Brahmana (evamevaṁ kho ahaṁ, brāhmaṇa), aku lahir dan tumbuh di dunia (loke jāto loke saṁvaḍḍho), telah mengatasi dunia (lokaṁ abhibhuyya), Aku berdiam tanpa terlekati oleh dunia (viharāmi anupalitto lokena) [AN 4.36]
Kata pāṇa dan bhūtā dapat mempunyai arti yang sama, yaitu bentuk kehidupan, namun bhūtā mempunyai arti lebih lebih luas, sehingga pāṇa = bagian dari bhūtā.

Para Arahat/Sang Buddha (selama belum wafat) juga terdiri dari 5 kelompok/pañcakkhandhā TETAPI mereka tidak melekat, sehingga BUKAN 5 kelompok yang dilekati (pañcupādānakkhandhā) atau Para Arahat/Sang Buddha BUKAN sattā. Jadi, pāṇa = Arahat/Buddha + Tumbuhan + sattā.

Paticca-Samuppāda (SEBAB KEMUNCULAN)
Sang Buddha: Karena tidak memahami dan mendalami ini (etassa..dhammassa ananubodhā appaṭivedhā), demikianlah generasi ini (evamayaṁ pajā) terjerat kusut (tantākulakajātā) seperti tersimpul mati (kulagaṇṭhikajātā) di semak-belukar (muñjapabbajabhūtā) dalam keadaan sengsara menderita menuju kehancuran (apāyaṁ duggatiṁ vinipātaṁ), berputar-putar tidak dapat melangkah lebih jauh (saṁsāraṁ nātivattati) [DN 15] dan Seorang yang melihat sebab kemunculan, melihat Dhamma; seorang yang melihat Dhamma, melihat sebab kemunculan (yo paṭiccasamuppādaṁ passati so dhammaṁ passati; o dhammaṁ passati so paṭiccasamuppādaṁ passatī”ti) [MN 28]

Jika paṭic­ca­samup­pāda ini diringkas:
    YM Assaji: "Hal apapun muncul karena sebab (Ye dhammā hetuppabhavā), Sebab-nya telah dijelaskan Sang Tathagata, juga berakhirnya (Tesaṃ hetuṃ tathāgato āha; Tesañca yo nirodho), Ini yang diajarkan Sang Petapa Agung (Evaṃvādī mahāsamaṇo”ti)" [Vinaya, Mahavagga I]. YM Sāriputta: "Apapun itu yang muncul (yaṃ kiñci samuda­ya­dhammaṃ), Semua itu akan berakhir (sabbaṃ taṃ nirodhadhamman)" [Vinaya, Mahavagga I, juga di: SN 56.11, SN 35.74,121, 245; Ud 5.3; AN 8.21; MN 147, dll]
    paṭiccasamuppādaññeva sādhukaṁ yoniso manasi karoti (pikirannya sepenuhnya memperhatikan dengan benar tentang sebab kemunculan): iti imasmiṁ sati idaṁ hoti (saat diingat itu menjadi ada); imassuppādā idaṁ uppajjati (itu muncul maka menjadi ada); imasmiṁ asati idaṁ na hoti (saat tidak diingat itu menjadi tidak ada); imassa nirodhā idaṁ nirujjhati yadidaṁ (itu lenyap maka menjadi tidak ada)' [SN 12.21, 37, 41, 49-50, 61-62, SA.358, Ud.1.3]
    'munculnya ini' sebagai makanan (tadāhārasambhavanti), dengan lenyapnya makanan maka apa yang muncul akan lenyap (tadāhāra-nirodhā yaṃ bhūtaṃ, taṃ nirodhadhammanti) [MN 38]
Rumusan luasnya dalam 11 nidāna [sebab/asal/sumber, misal: DN 15; SN 12.2, 23; MN 9, 38]. Namun di teks sanskrit disebut 12 (dvā-daśāṅgaḥ) pratītyasamutpādaḥ. Bedanya pada nidana ke-11 teks pali: "jāti paccayā jarāmaraṇaṃ .. domanassupāyāsā" ini dibelah lagi dalam teks sanskrit menjadi: ke-11: "jāti-pratyayā" + ke-12 "jarā-maraṇa .. daurmanasyopāyāsā". paccayā = pratyayā = mengkondisikan]. Ke-11 nidāna dirumuskan Sang Buddha di Uruvela, setelah lewat 7 hari dari PencerahanNya [Ud 1.1; 1.3]. Saat beliau bercerita waktu masih bodhisatta dalam proses menjadi sammasambuddha, terkadang hanya menyebutkan 9 nidāna [SN 12.65; DN 14, tanpa (1) avijjā dan (2) saṅ­khā­ra], namun di sutta lain, lengkap 11 nidāna [SN 12.4-10]:
  1. avijjāpaccayā saṅkhārā (Ketidaktahuan mengkondisikan bentukan kondisi/kehendak)
  2. saṅ­khā­ra­pac­cayā viññāṇa (Bentukan kehendak/kondisi mengkondisikan kesadaran)
  3. viññāṇapaccayā nāmarūpa (Kesadaran mengkondisikan MentalMateri)
  4. nāmarū­papaccayā saḷāyatana (MentalMateri mengkondisikan 6 landasan indriya)
  5. saḷāya­tana­pac­cayā phassa (6 landasan indriya mengkondisikan kontak)
  6. phassapaccayā vedanā (Kontak (indriya) mengkondisikan perasaan)
  7. vedanāpaccayā taṇhā (Perasaan mengkondisikan kehausan)
  8. taṇhāpaccayā upādāna (Kehausan mengkondisikan kemelekatan)
  9. upādānapaccayā bhavo (Kemelekatan mengkondisikan penjelmaan)
  10. bhavapaccayā jāti (Penjelmaan mengkondisikan kelahiran)
  11. jātipaccayā jarāmaraṇaṃ soka­pari­deva­duk­kha­do­manas­supāyāsā sambhavanti (Kelahiran mengkondisikan penuaan/jara, mati/marana, mengalami masalah/soka, ratap tangis/parideva, depresi/dukkha, pedih/Domanassa dan putus asa/upāyāsā)
Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini (evametassa kevalassa dukkhakkhandhassa samudayo hotī [bagian ke-2 dari 4 kesunyataan mulia/4 KM). Untuk menghentikan samsara, mulai dengan menghentikan Ketidaktahuan:
  1. avijjāya tveva asesavirāganirodhā, saṅkhāra-nirodho (Ketidaktahuan sepenuhnya berhenti, bentukan kehendak/kondisi berhenti)
  2. Bentukan kondisi/kehendak berhenti, kesadaran berhenti
  3. Kesadaran berhenti, Mental-Materi berhenti
  4. Mental-Materi berhenti, 6 landasan indriya berhenti
  5. 6 landasan indriya berhenti, kontak berhenti
  6. Kontak berhenti, perasaan berhenti
  7. Perasaan berhenti, kehausan berhenti
  8. Kehausan berhenti, kemelekatan berhenti
  9. Kemelekatan berhenti, penjelmaan berhenti
  10. Penjelmaan berhenti, kelahiran berhenti
  11. Kelahiran berhenti, lapuk/tua, kematian, mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa berhenti
Demikianlah berhentinya seluruh bentuk Penderitaan.

Penjelasan istilah di Paṭiccasamuppāda dan Pañcakkhandhā

Avijjā (Ketidaktahuan)
Tidak tahu terkait: 4 Kebenaran mulia [misal: SN 12.2]; 8 Jalan Mulia [bagian dari 4 kebenaran mulia]; tilakkhana/3 ciri yaitu tidak: mengetahui melihat sebagaimana adanya (Yathā bhūta ñāṇa dassana) yaitu tidak menggenggam: literalnya/gambarannya (mā/na nimitta-g-gāhī hohi) maupun makna/manfaat/detail/cirinya (­mā/nā nub­yañ­janag­gāhī/na anu-b­yañ­jana-g-gāhī (Contoh uang: sebagai bentuk literalnya dan manfaat penggunaannya, juga representatif dari kekayaan)

Saṅkhārā (Bentukan Kehendak)
Paduan unsur dan kondisi, saṅ/gabungan/tumpukan + khāra/bentukan/kondisi = formasi kehendak, sañcetanā, abhisaṅkhara/berkondisi, kamma, sebagai faktor ke-2 dalam 11 mata rantai paṭiccasamuppāda; faktor penggerak; pendorong; kekuatan; faktor pembentuk.

Disebut saṅkhāra karena mengkondisikan terkondisinya (Saṅkhatam-abhisaṅkharoti): bentukan (Rūpaṃ rūpattāya), sensasi (vedanaṃ vedanattāya), kreativitas persepsi (saññaṃ saññattāya), formasi kehendak (saṅkhāre saṅkhārattāya) dan stimulus kesadaran (viññāṇaṃ viññāṇattāya) [SN 22.79]. Terdapat 3 saṅkhāra, yaitu: badan/kāyasaṅkhāra, ucapan/vacīsaṅkhāra dan pikiran/cittasaṅkhāra [SN 12.2]. Misal aplikasinya dalam kasus samādhi: nafas keluar-masuk adalah bentukan kehendak badan (assāsapassāsā..kāyasaṅkhāro, (pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan adalah bentuk kehendak ucapan (vitakkavicārā vacīsaṅkhāro), persepsi dan perasaan adalah bentukan kehendak pikiran (saññā ca vedanā ca cittasaṅkhāro)...nafas keluar-masuk itu bentukan kehendak badan, karena terikat dengan tubuh, itu sebabnya nafas keluar-masuk adalah bentukan kehendak badan (Assāsapassāsā..kāyikā ete dhammā kāyappaṭibaddhā, tasmā assāsapassāsā kāyasaṅkhāro.) [MN 44]

Cetanā (ceta/pikiran+na. Arti: Kehendak/Kamma. Cetana terkait pikiran)
apa yang dipikirkan [ceteti], dipertimbangkan/dirancang/pikir ulang [pakappeti] dan dicenderungi/bersemayam [anuseti] → menyokong kesadaran → menjadikan sesuatu di kemudian hari [SN 12.38-40]. Cetana adalah saṅkhārā: terdapat 6 bentukan kehendak (Chayime..cetanākāyā), yaitu: rūpasañcetanā (Kehendak terkait bentuk)..dhamma­sañ­cetanā (kehendak terkait fenomena-pikiran)" [SN 22.56]
    Sebab kemunculan (Paṭic­ca­samup­pañña) perasaan menyenangkan-menyakitkan (sukhadukkhaṃ) adalah karena kontak (Phassaṃ paṭicca). Melalui Jasmani/ucapan/pikiran (Kāye/Vācāya/Mane), ingatan (sati) dari kehendak jasmani/ucapan/pikiran (kāya­sañ­ceta­nā­hetu / vaci­sañ­ceta­nāhetu / mano­sañ­ceta­nāhetu), maka perasaan menyenangkan-menyakitkan muncul dalam dirinya (uppajjati ajjhattaṃ sukhadukkhaṃ), ini karena ketidaktahuan bertindak sebagai kondisinya (avijjāpaccayā). Apakah itu karena:

    1. dirinya sendiri (sāma) atau
    2. pihak lainnya (para) atau
    3. dengan diketahui/disengaja olehnya (sampajāno) atau
    4. dengan tidak diketahui/tidak disengaja olehnya (asampajāno)

    Ia menghasilkan perbuatan jasmani/berucap/berpikir (kāyasaṅkhāraṃ /vacisaṅkhāraṃ/manosaṅkhāraṃ abhisaṅkharoti) sehingga menyebabkan perasaan menyenangkan-menyakitkan muncul dalam dirinya (yaṃpaccayāssa taṃ uppajjati ajjhattaṃ sukhadukkhaṃ). Hal-hal ini karena dipengaruhi ketidaktahuan (dhammesu avijjā anupatitā) [SN 12.25, AN 4.171]. Terdapat 4 kejadian terlahir kembali/menjadi sosok diri/individu (attabhāvapaṭilābhā), yaitu akibat dari bekerjanya (kamati):

    1. kehendak sendiri (attasañcetanā), bukan kehendak pihak lain (no parasañcetanā), yaitu mati karena kehendak sendiri (attasañcetanāhetu tesaṁ sattānaṁ tamhā kāyā cuti hoti)
    2. kehendak pihak lain (parasañcetanā kamati), bukan kehendak sendiri (no attasañcetanā), yaitu mati karena kehendak pihak lain
    3. kehendak sendiri dan kehendak pihak lain (attasañcetanā ca parasañcetanā), yaitu mati karena kehendaknya dan pihak lain
    4. bukan kehendak sendiri bukan kehendak pihak lain (nevattasañcetanā kamati, no parasañcetanā), yaitu merujuk kepada yang terlahir sebagai deva bukan persepsi dan bukan tanpa perrsepsi (Nevasaññānāsaññāyatanūpagā) [AN 4.171]
Hasrat indriya/Kāmā
Suatu untaian kenikmatan/kāmaguṇā 5 indriya: Bentuk yang dikenali mata..sentuhan yang dikenali badan, diharapkan (iṭṭhā), didambakan (kantā), menyenangkan (manāpā), memikat (piyarūpā), disenangi, membuat berhasrat (kāmūpasaṃhita), menggoda (rajanīyā). Hasrat indriya adalah kehendak dengan ketagihan (Saṅkapparāgo purisassa kāmo). [AN 6.63]

Viññāṇa (Kesadaran) (Vi/khusus+ññā/tahu+suffix "-na" = mengenali/menyadari)
Dalam Abhidhamma: Citta, Mano, Viññāṇa adalah sinonim. Di sutta SN 12.61, 62 dan DN 1, Sang Buddha menyampaikan 3 kata itu sekaligus, oleh karenanya, 3 kata ini seharusnya ada perbedaannya.
    Citta = cit (merasa, tahu, berpikir) + ta (past participle) = proses berpikir (misal vinaya bagian parajika tentang membunuh: cittamano/berpikir dan cittasankappa/berkehendak). Ketika Indriya (cakkhu..mano) mengenali objek, kata yang digunakan untuk pikiran yang beraktifitas tidak lagi disebut MANO namun CITTA, sample SN 12.61

    Viññāṇa = hasil proses pertemuan salah satu dari 6 indriya dan 6 objeknya, yaitu 6 bentukan menyadari/viññāṇakāyā: mata menyadari/cakkhuviññāṇa, ..., pikiran menyadari/manoviññāṇa [SN 12.2]. citta = viññāṇa: Nāmarūpa­sa­mudayā cittassasamudayo [SN 47.42] = Nāmarūpasamudayā viññāṇasamudayo [SN 22.56]. Keadaan menyadari/Viññāṇa dapat melekat/menggenggam pada (upādiyi) dan bergantung pada (nissitam): 6 Indriya, 6 objek indriya, 6 kesadaran indriya, 6 kontak indriya, perasaan yang muncul dari 6 kontak indriya, 6 dhatu (Catumahabhuta+ākasa+viññāṇa), Pañcakkhandhā, 4 landasan arupa, dunia ini dan dunia lain, "yang dapat dilihat, didengar, dirasa, dikenali, dijangkau, dicari, diperiksa oleh pikiran/manasā" [MN 143]

    Mano = Ceto = Pikiran, sebagai indriya/alat dan letaknya di kontak/Phassa pikiran dan untuk manusia/binatang, letaknya di jaringan syaraf (otak, jantung, dst). "Mano/pikiran adalah penaung (paṭisaraṇaṃ), yang mengalami wilayah dan objek (nesaṃ gocaravisayaṃ paccanubhotī) 5 indriya fisik (Mata, telinga, hidung, lidah, badan) yang masing-masing dari ke-5 indriya ini punya wilayah (visayāni) dan objek (gocarāni) berbeda dan saling tidak mengalami wilayah-objek lainnya" [MN 43]. Kemampuan pikiran: "yang dapat/yampidaṃ: dilihat/diṭṭhaṃ, didengar/sutaṃ, dirasa/mutaṃ, dikenali/viññātaṃ, dijangkau/pattaṃ, dicari/pariyesitaṃ, diperiksa/anuvicaritaṃ oleh pikiran/manasā" [AN 4.24, SN 11.7-8, 18-21]

    Jika 5 indriya (pañcahi indriyehi) tidak digunakan (Nissaṭṭhena), pikiran yang menyadari yang termurnikan (parisuddhena manoviññāṇena), mengenali (neyyan): ‘ananto ākāso’ti ākāsānañ­cāyata­naṃ..ākiñ­cañ­ñā­yatanaṃ [MN 43] "yang dapat: dilihat, didengar, dirasa, dikenali, dijangkau, dicari, diperiksa oleh pikiran" [AN 4.24, SN 11.7-8, 18-21]
Nāmarūpa → Viññāṇa → Nāmarūpa
    ‘Kesadaran ini berbalik ke nāmarūpa (paccudāvattati kho idaṃ viññāṇaṃ nāmarūpamhā) tidak lebih lagi (na paraṃ gacchati). Sejauh inilah (Ettāvatā) lahir (jāyetha) atau menua (jīyetha) atau mati (mīyetha) atau lepas/jatuh (cavetha) atau muncul (upapajjetha), yaitu nāmarūpa mengkondisikan kesadaran (yadidaṃ nāmarū­papaccayā viññāṇaṃ); kesadaran mengkondisikan nāmarūpa (viññāṇapaccayā nāmarūpaṃ); nāmarūpa mengkondisikan 6 landasan (nāmarū­papaccayā saḷāyatanaṃ); 6 landasan ...’ [SN 12.65, DN 14]
Hubungan Pañña, Pajānāti, Viññāṇa, Vijānāti, Saññā, Sañjānāti dan Vedana:
    Disebut Pañña/Kebijaksanaan, karena MENGETAHUI/PAHAM/Pajānāti [MN 43], misal: tentang Dukkha, ASAL-MULA, LENYAPNYA, JALAN LENYAPNYA DUKKHA

    Disebut Viññāṇa/Kesadaran, karena MENGENALI BEDA/Vijānāti: pahit vs asin vs manis dll, menyenangkan vs menyakitkan vs bukan keduanya. biru, vs merah, dll

    Disebut Saññā/Persepsi, karena MENGANGGAP/MEMPERSEPSIKAN/INGAT/Sañjānāti: biru atau merah dll [MN 43, SN 22.79]. Persepsi muncul pertama, setelahnya pengetahuan (Saññā paṭhamaṁ uppajjati, pacchā ñāṇaṁ) [DN 9]
Pañña dan Viññāṇa kondisi ini tergabung bukan terpisah, TIDAK DAPAT memisahkan kondisi satu sama lainnya untuk menggambarkan beda antaranya, yang DIPAHAMI/Pajānāti, itu yang DIKENALI/Vijānāti, yang DIKENALI, itu YANG DIPAHAMI. Pañña perlu dikembangkan (bhāvetabbā) sedang Viññāṇa agar diketahui baik (pariññeyyaṃ) ... Vedana, sañña dan viññāṇa, kondisi ini tergabung bukan terpisah (vedanā yā ca saññā yañca viññāṇaṃ – ime dhammā saṃsaṭṭhā, no visaṃsaṭṭhā). Tidak dapat memisahkan kondisi ini satu sama lainnya untuk menggambarkan beda antaranya (Na ca labbhā imesaṃ dhammānaṃ vinibbhujitvā vinibbhujitvā nānākaraṇaṃ paññāpetuṃ) yang DIRASAKAN/vedeti, itu yang DIPERSEPSIKAN/sañjānāti; Yang dipersepsikan, itu yang DIKENALI/Vijānāti (Yaṃ vedeti taṃ sañjānāti, yaṃ sañjānāti taṃ vijānāti) [MN 43] Persepsi, perasaan, (Saññā ca vedanā ca) yang menyertai pikiran (Cetasika: ceto/pikiran + sa/menyertai + ika/yang/di: "Yang Menyertai Pikiran"), kondisi ini terikat dengan pikiran/Citta (ete dhammā cittapaṭibaddhā). Itulah persepsi, perasaan, bentukan kehendak pikiran. (Tasmā saññā ca vedanā ca cittasaṅkhāroti) [MN 44]

Nāmarūpa
Beberapa rangkaian di nāmarūpa sama dengan pañcakkhandhā (5 kelompok: viññāṇa + vedanā + saññā + saṅkhārā + rūpa), 5 kelompok yang dilekati ini juga disebut dukkha/sankhāra dukkha
    nāmarūpa: vedanā + saññā + cetanā + phassa + manasikāro + Rūpa
    Pañcakkhandhā: viññāṇa + vedanā + saññā + saṅkhārā + Rūpa
Karena itu, nāmarū­pa ≠ pañcakkhandhā

Yang disebut nāma dalam nāmarūpa: vedanā + saññā + cetanā + phassa + manasikāro [SN 12.2]. Sementara di Vibhanga 6, 4 kelompok dari pancupadanakakhandā (viññāṇa + vedanā + saññā + saṅkhārā) juga disebut nāma

"nāma" BUKAN jiwa/atta, BUKAN juga citta, TAPI "itu/yang disebut/dinamai" [Kp 4/Kumarāpañhā suttta: "Ekaṃ nāma kiṃ?..Dasa nāma kiṃ? (Apa yang disebut 1?...Apa yang disebut 10?)". Atau di AN 10.96: "Ko nāmo āyasmā? (siapa nama tuan?)"]

“Nama di ujung ke-1; rūpa di ujung ke-2; kesadaran di tengahnya; kehausan penjahitnya (nāmaṁ eko anto, rūpaṁ dutiyo anto, viññāṇaṁ majjhe, taṇhā sibbinī).. [AN 6.61]

Saññā (Persepsi) (sa/saṃ/menyertai+ññā/jñā/tahu)
Arti sañña diantaranya: Anggapan, pengertian, pencerapan, persepsi, konsepsi, ide, gagasan, kesan, ingatan. Baik itu dalam bentuk masa lalu, sekarang dan masa depan.

Persepsi adalah akibat dari pengungkapan (Vohāravepakka), disebut persepsi karena mengenali (sañjānāti) sesuatu dan mengungkapkan sesuatu tersebut (voharati). Terdapat 6 bentuk persepsi/saññākāyā dari: Bentuk/rūpasaññā, suara/saddasaññā, bebauan/gandhasaññā, rasasaññā, rabaan/­phoṭṭhab­ba­saññā, objek pikiran/dhammasaññā [AN 6.63], juga, terdapat 3 persepsi akusala: hasrat indriya/kāmasaññā, memusuhibyāpādasaññā, kejam/ingin mencelakai/vihiṃsāsaññā dan 3 persepsi kusala: pelepasan dari hal-hal keduniawian/nekkhammasaññā, abyāpādasaññā dan avihiṃsāsaññā [DN 33,34].

Unsur keinginan indriawi memunculkan persepsi kenikmatan indriawi (kamadhātuṁ paṭicca uppajjati kāmasaññā).
Persepsi indriawi memunculkan kehendak kenikmatan indrawi (kāmasaññaṁ paṭicca uppajjati kāmasaṅkappo).
Kehendak kenikmatan indriawi memunculkan hasrat kenikmatan indriawi (kāmasaṅkappaṁ paṭicca uppajjati kāmacchando).
Hasrat kenikmatan indriawi memunculkan demam kenikmatan indriawi (kāmacchandaṁ paṭicca uppajjati kāmapariḷāho).
Demam kenikmatan indria memunculkan pencarian terhadap kenikmatan indriawi (kāmapariḷāhaṁ paṭicca uppajjati kāmapariyesanā).

Unsur keburukan/memusuhi memunculkan persepsi keburukan/memusuhi.... Pencarian terhadap keburukan/memusuhi.

Unsur kekejaman/mencelakai memunculkan persepsi kekejaman/mencelakai.... Pencarian terhadap kekejaman/mencelakai [SN 14.12]

Manasikāra (Mano/pikiran; manasi/di pikiran; karoti/membuat, membawa. Arti: proses pikiran berupa perhatian, pemikiran, pertimbangan), hasilnya: yoniso/benar dan ayoniso/tidak benar (yoni = kandungan, asal) [SN 46.24,35]. Perhatian tidak benar disebut Moha/kebingungan/keliru tahu. Perhatian tidak benar menjadikan objek tampak menarik → muncul ketagihan, jika tampak tidak menarik → muncul penolakan.

Saḷāyatana (6 Landasan Indriya)
Saḷāyatana (salcha (pali)/sad (sanskrit), tapi saḷa+ayatana, saḷa = tajam/rumah+landasan. Terdapat 6 landasan internal (cha ajjhattikāni āyatanāni): Indriya/ayatana: mata/Cakkhāyatana, telinga/sota, hidung/ghāna, lidah/jivha, badan/kāya dan pikiran/manāyatana. Terdapat 6 landasan eksternal (cha bāhirāni āyatanāni): bentukan, suara, aroma, rasa, sentuhan, dan pemikiran/ingatan/konsep/gagasan/khayalan/persepsi (Rūpāyatana, sadda.., gandha, rasa, phoṭṭhabba, dhammāyatana). Terdapat 6 kesadaran: Disebabkan mata dan bentukan muncul kesadaran mata (cakkhuñca paṭicca rūpe ca uppajjati cakkhuviññāṇaṁ). Disebabkan telinga dan suara muncul kesadaran telinga. Disebabkan hidung dan aroma muncul kesadaran hidung. disebabkan lidah dan rasa muncul kesadaran lidah. Disebabkan badan dan sentuhan muncul kesadaran badan. Disebabkan pikiran dan (pemikiran/ingatan/konsep/gagasan/khayalan/persepsi) muncul kesadaran pikiran (manañca paṭicca dhamme ca uppajjati manoviññāṇaṁ) [MN 148, MN 137, SN 12.2]

Ada satu definisi lain dari Indriya yang tidak terkait sama sekali dengan maksud Saḷāyatana, yaitu Pañcindriyāni/5 kemampuan (Saddha, Viriya, Sati, samādhi, pañña), yang ketika menjadi mahir maka Pañcindriyāni disebut pañcabalā/5 kekuatan

Phassa (Kontak Indriya)
Terdapat 6 kontak/phassakāyā, yang terkait Indriya: kontak-mata/cak­khusamphassa ... pikiran/manosamphassa. [MN 148, SN 12.2]

Hubungan saḷāyatana/indriya, objeknya/arammana, Viññāṇa, Phassa, Vedana dan sañña
    "viññāṇapaccayā nāmarūpaṃ, nāmarūpapaccayā viññāṇaṃ (Kesadaran mengkondisikan nāmarūpa, nāmarūpa mengkondisikan kesadaran)" [DN 15, SN 12.65, 67] → "Namarupapaccaya salayatana, saḷāyatanapaccayā phasso (nāmarūpa mengkondisikan 6 landasan indriya, 6 landasan indriya mengkondisikan kontak)" [DN 15, dll] atau "Namarupapaccaya phasso (nāmarūpa mengkondisikan kontak)" [DN 15]

    Dengan mata [cakkhu] dan bentukan/materi [rupa] sebagai kondisi, maka timbul kesadaran-mata [cakkhuviññāṇa]. Pertemuan ke-3nya [tiṇṇaṃ saṅgati] adalah kontak-Mata [cakkhuphassa]..
    Dengan telinga [sota] dan suara-suara [sadde] sebagai kondisi, muncul kesadaran telinga [sotaviññāṇa]..
    Dengan hidung [ghāna] dan bau-bauan [gandhe] sebagai kondisi, muncul kesadaran hidung [ghānaviññāṇa]..
    Dengan lidah [jivha] dan kecapan [rase] sebagai kondisi, muncul kesadaran lidah [jivhaviññāṇa]..
    Dengan tubuh/jasmani [kaya] dan sentuhan-sentuhan [phoṭṭhabbe] sebagai kondisi, muncul kesadaran tubuh/jasmani [kayaviññāṇa]..
    Dengan pikiran [mana] dan obyek-obyek pikiran [dhamma] sebagai kondisi, muncul kesadaran pikiran [manoviññāṇa]. Pertemuan ke-3nya [tiṇṇaṃ saṅgati] adalah kontak-pikiran [manosamphassa] [MN 148, MN 18]..

    Dengan kontak sebagai kondisi, muncul perasaan
    Apa yang dirasakan/vedeti, itulah yang dipersepsikan/sanjanati
    Apa yang dipersepsikan, itulah yang dipikirkan/vitakketi (atau di MN 43: dikenali/vijanati)
    Apa yang dipikirkan/dikenali, itulah yang dikembangbiakkan
    dikembangbiakkannya sebagai: sumber, persepsi dan gagasan, melanda seseorang melalui objek-objek [bentukan, suara,..] masa: lalu, sekarang dan depan yang dikenali 6 Indriya [mata,.., pikiran] [MN 18]
Karena pertemuan indriya [salayatana] dan objek-objeknya memunculkan kesadaran, sedangkan Phassa/Kontak adalah gabungan dari 3 hal (objek, indriya dan kesadaran), maka viññāṇa/Kesadaran yang TIDAK DISEBUTKAN di nāmarūpa, keberadaannya ada di Phassa/kontak dan letak kontak ada di Indriya.

Kontak/Phassa mengkondisikan: kāma, kāmaguṇā, Kamma, vedanā, saññā [AN 6.63] atau mengkondisikan: "vedanā, saññā, saṅ­khā­ra, viññāṇa" [MN 147, SN 22.56]

Vedanā (Perasaan)
Disebut perasaan karena merasakan/vedayatī/vedeti: menyenangkan, menyakitkan, bukan ke-2nya [SN 22.79], Terdapat 6 bentukan perasaan/vedanākāyā, dari: cak­khu/mata...mano/pikiran [SN 12.2, MN 148], yang masing-masingnya terdiri dari: sukhā/menyenangkan, dukkhā/menyakitkan, bukan menyenangkan bukan menyakitkan. atau: somanassa/bahagia/sukacita/nyaman, ­do­manas­sa/dukacita/pedih/suram atau upekkhā/tenang-seimbang

Taṇhā (Kehausan)
Terdapat 6 bentukan kehausan/taṇhākāyā: bentukan/rūpataṇhā, suara/saddataṇhā, bebauan/gandhataṇhā, rasataṇhā, rabaan/­phoṭṭhab­ba­taṇhā, objek pikiran/dhammataṇhā [SN 12.2, MN 148]. atau: kehasan akan hasrat indriya/kāmataṇhā, menjadi sesuatu/bhavataṇhā, tidak mau menjadi sesuatu/vibhavataṇhā [SN 56.11]

Hubungan Perasaan dan taṇhā
Perasaan mengondisikan kehausan, kehausan mengondisikan pencarian [pariyesanā], pencarian mengondisikan perolehan [lābho], perolehan mengondisikan pengambilan keputusan [vinicchayo], pengambilan keputusan mengondisikan hasrat-ketagihan [chandarāgo], hasrat-ketagihan mengondisikan keterikatan [ajjhosāna], keterikatan mengondisikan kepemilikan/pendudukan [pariggaho], kepemilikan/pendudukan mengondisikan kekikiran [macchariya], kekikiran mengondisikan penjagaan atas harta-benda yang dimiliki [ārakkho], dan karena penjagaan harta-benda yang dimiliki, muncul pengambilan tongkat dan pedang, pertengkaran, perselisihan, perdebatan, percekcokan, caci-maki, kebohongan dan kejahatan tidak terampil lainnya.’....taṇhā dan PARIYESANA TERGABUNG MENJADI SATU DALAM PERASAAN (ime dve dhammā dvayena vedanāya ekasamosaraṇā bhavanti) [DN 15]

Upādāna (Kemelekatan)
Terdapat 4 kemelekatan: hasrat indriya (kāmupādāna), pandangan (diṭṭhupādāna), ritual moralitas (sīlabbatupādāna) dan ajaran tentang diri (attavādapādāna) [SN 12.2]

Bhava (Penjelmaan)
3 penjelmaan di alam: hasrat indriya/kāma, bentuk/rūpa dan bukan bentuk/arūpa [SN 12.2].
Dinamakan menjelma (bhavo vuccati), karena: makhluk dirintangi avijjā (Avijjā­nīvara­ṇā­naṃ sattāna) terbelenggu kehausan (taṇhā­saṃ­yoja­nā­naṃ) masaknya kamma dari hasrat indriya..tanpa bentukan (kāma­/rūpa­/arūpa­dhātu-ve­pakka-ñca] [sehingga:] kamma khettaṃ/sebagai ladang, viññāṇa bījaṃ/sebagai benih, Taṇhā sneho/sebagai pupuk, demikianlah, Kesadaran melandasi (viññāṇaṃ patiṭṭhitaṃ → AN 3.76)/Kehendak melandasi tujuan/aspirasi (cetanā patiṭṭhitā patthanā patiṭṭhitā → AN 3.77) penerusan (abhinibbatti) kembali menjadi (punabbha­va) kelak (āyatiṃ) [AN 3.76/77]

Jāti (Keberadaan/Terlahir)
Kelompok makhluk ini, itu, makhluk ini, itu menjadi (yā tesaṁ tesaṁ sattānaṁ tamhā tamhā sattanikāyā): Keberadaan/terlahir (jāti), bauran keberadaan/terlahir atau dilahirkan/kelahiran (sañjāti), hadir/masuk/berbaur/konsepsi (okkanti), keluar/muncul (abhinibbatti), menjadi kelompok kehidupan (khandhānaṁ pātubhāvo), memperoleh landasan (indriya) (āyatanānaṁ paṭilābho) [SN 12.2].
Dengan 4 cara: telur/aṇḍajayoni, rahim/jalābujayoni, lembab/saṃsedajayoni, spontan/opapātikayoni [DN 33]

jarāmaraṇa (tua, mati))
jarā: Kelompok makhluk ini, itu, makhluk ini, itu menjadi: tua (jarā), menua (jīraṇatā), keropos/copot (gigi) (khaṇḍiccaṁ), beruban (pāliccaṁ), keriput (valittacatā), melemahnya vitalitas (āyuno saṁhāni), melemahnya indriya (indriyānaṁ paripāko).
maraṇa: Kelompok makhluk ini, itu, makhluk ini, itu menjadi: jatuh (cuti), kejatuhan (cavanatā), terurai (bhedo), menghilang (antaradhānaṁ), mati (maccu), kematian (maraṇaṁ), habis waktu (kālakiriyā), terurainya kelompok kehidupan (khandhānaṁ bhedo), terserak/tersebarnya jasad (kaḷevarassa nikkhepo), terputusnya kemampuan hidup (jīvitindriyassa upacchedo) [SN 12.2]

Paṭijānare atau Jānati dalam Pañcakkhandhā dan Nāmarūpa
Dalam ragam kehidupan (pāṇa dan bhūtā), hanya tumbuhan yang dikatakan tidak mempunyai pemahaman (na cāpi paṭijānare/ājānati), padahal tumbuhan juga memiliki bentuk fisik, memerlukan makanan, dapat tumbuh dan memperbanyak diri, sehingga tumbuhan juga terdiri dari sebagian atau keseluruhan 5 kelompok (Pañcakkhandhā).
    Dengan (mata/cakkhu..pikiran/mano) dan (bentukan/rupa..obyek pikiran/dhamma) sebagai kondisi, muncul (kesadaran-mata/cakkhuviññāṇa..kesadaran pikiran/manovinnana). Pertemuan ke-3nya [tiṇṇaṃ saṅgati] adalah kontak [phassa]. Dengan kontak sebagai kondisi, muncul perasaan [vedana]. Apa yang dirasakan, itu yang dipersepsikan [sañjānāti]. Apa yang dipersepsikan, itu yang dipikirkan [vitakketi]. Apa yang dipikirkan, itu yang dikembangbiakkan [papañceti]. Apa yang dikembangbiakkannya sebagai sumber, persepsi dan gagasan [papañca-saññā-saṅkhā], melandanya di masa: lalu, depan dan sekarang yang dikenali (mata..pikiran) [MN 18]. Karena MENGETAHUI/PAHAM/Pajānāti, maka disebut Pañña/Kebijaksanaan [MN 43], karena MENGENALI BEDA/Vijānāti, maka disebut Viññāṇa/Kesadaran, karena dapat MENGANGGAP/MEMPERSEPSIKAN/MEMBAYANGKAN/Sañjānāti, maka disebut sañña, karena MERASAKAN/vedayatī, maka disebut Vedana dan disebut Saṅkhāra karena mengkondisikan terkondisinya: bentukan, sensasi/rasa, kreativitas persepsi, formasi kehendak dan stimulus kesadaran [SN 22.79]. Pañña dan Viññāṇa kondisi ini tergabung bukan terpisah, TIDAK DAPAT memisahkan kondisi satu sama lainnya untuk menggambarkan beda antaranya, yang DIPAHAMI/Pajānāti, itu yang DIKENALI/Vijānāti, yang DIKENALI, itu YANG DIPAHAMI...Vedana, Sañña dan Viññāṇa, kondisi ini tergabung bukan terpisah. Tidak dapat memisahkan kondisi ini satu sama lainnya untuk menggambarkan beda antaranya. Yang dirasakan, itu yang DIPERSEPSIKAN/sañjānāti; Yang dipersepsikan, itu yang DIKENALI/Vijānāti [MN 43]. Sañña, Vedana, yang menyertai pikiran, kondisi ini terikat dengan pikiran/Citta, itulah persepsi, perasaan, bentukan pikiran/Cittasaṅkhāroti [MN 44].
Tumbuhan tidak dapat memahami [ājānati/SN 55.24 atau na paṭijānare/SNP 3.9, MN 98], maka juga tidak punya Pajānāti, Vijānāti dan Sañjānāti, oleh karenanya, tumbuhan TIDAK PUNYA: viññāṇa/kesadaran, vedana/perasaan, sañña/persepsi, Saṅkhāra/bentukan kehendak (yaitu cittasaṅkhāra/bentukan kehendak pikiran dan vacisaṅkhāra/bentukan kehendak ucapan. Tumbuhan HANYA PUNYA: kayasaṅkhāra/bentukan kehendak tubuh dan RUPA, maka, tumbuhan BUKAN satta/makhluk hidup. Sesuatu yang tidak punya kesadaran ketika mati tidak terlahir kembali.

Rūpupādānakkhandha, Rūpakkhandha dan Rūpa
  1. Rūpa = 4 unsur utama dan turunannya:
    (1) "apapun BENTUKAN, segala BENTUKAN (yaṃ kiñci rūpaṃ, sabbaṃ rūpaṃ) adalah 4 unsur utama (cattāri ca mahābhūtāni) dan RUPA turunan dari 4 unsur utama (catunnañca mahābhūtānaṁ upādāyarūpan)" [MN 106, SN 12.2].
    (2) "4 unsur utama (Cattāro ca mahābhūtā = "no-upada" = dasar) dan RUPA turunan dari 4 unsur utama (catunnañca mahābhūtānaṃ upādāya rūpaṃ), Ini disebut RUPA (Idaṃ vuccati, rūpaṃ); Makanan/Penunjang muncul, RUPA muncul (āhārasamudayā rūpasamudayo); Makanan lenyap, RUPA lenyap (āhāranirodhā rūpanirodho)" [SN 22.56].
    (3) "makanan muncul ,bentukan muncul" (āhārasamudayā rūpasamudayo) [SN 22.56]. "4 unsur utama sebab dari kelompok bentukan" (cattāro mahābhūtā paccayo rūpakkhandhassa) [MN 109].
    (4) Asal kata Rupa: Dapat rusak (Ruppatīti), karenanya disebut BENTUK (tasmā ‘rūpan’ti vuccati). Dapat rusak oleh apa (kena ruppati)?. Rusak oleh dingin (sītenapi), panas (uṇhenapi), lapar (jighacchāyapi), haus (pipāsāyapi), rusak karena kontak dengan (samphassenapi ruppati): serangga menyengat/lalat, nyamuk, angin, matahari, dan reptil (ḍaṁsa, makasa, vātāta, pasarīsapa) [SN 22.79].

    Oleh karenanya, kadang dapat menjadi SINONIM, yaitu Rūpa = kaya/sarira (badan/jasmani) = Rūpakkhandha

  2. Rūpa = Rūpakkhandha: disebabkan 4 unsur utama, dikondisikan 4 unsur utama, kenyataan dari kelompok materi/bentukan (Cattāro mahābhūtā hetu, cattāro mahābhūtā paccayo rūpakkhandhassa paññāpanāya) [SN 22.82] atau "Bentukan/materi apa pun (yaṁ kiñci, .. rūpaṁ), baik di masa lalu, di masa depan, di masa sekarang (atītānāgatapaccuppannaṁ), internal atau eksternal (ajjhattaṁ vā bahiddhā), kasar atau halus (oḷārikaṁ vā sukhumaṁ), hina atau mulia (hīnaṁ vā paṇītaṁ), jauh atau dekat (yaṁ dūre santike vā): ini disebut (ayaṁ vuccati) kelompok unsur bentukan/materi (rūpakkhandho) [SN 24.48 dan MN 109]

  3. Rūpa = Rūpupādānakkhandha/Kelompok materi yang dilekati:
    (1) Apakah kelompok materi yang dilekati? (Katamo rūpupādānakkhandho?) 4 unsur utama dan Materi turunan 4 unsur utama (Cattāri ca mahābhūtāni, catunnañca mahābhūtānaṁ upādāya rūpaṁ) [MN 28].
    (2) "para petapa yang mengingat banyak kehidupan lampau, semuanya mengingat 5 kelompok yang dilekati (pañcupādānakkhandha) atau salah satu di antaranya (vā aññataraṃ).."‘Aku memiliki bentuk demikian di masa lampau,’ (Evaṃrūpo ahosiṃ atītamaddhāna) adalah hanya bentuk yang diingatnya (anussaramāno rūpaṃyeva anussarati) [SN 22.79]. "Bentukan/materi apa pun, baik di masa lalu, di masa depan, di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, yang ternoda (sāsavaṁ), yang dapat dilekati (upādāniyaṁ): ini disebut (ayaṁ vuccati) kelompok unsur bentukan/materi yang dilekati (rūpupādānakkhandho)

  4. Tiga kelompok rupa (tividhena rūpasaṅgaho): rupa yang disertai penolakan dan atribut (sanidassana-sappaṭighaṁ rūpaṁ), rupa yang disertai penolakan dan tidak beratribut (asanidassana-sappaṭighaṁ rūpaṁ), rupa yang disertai tidak berpenolakan dan tidak beratribut (asanidassana-asappaṭighaṁ rūpaṁ) [DN 33. Rhys davids untuk Nidassana = "menunjuk pada", bukti, contoh, perbandingan, menjelaskan, atribut, karakteristik; tanda, istilah. Jadi Nidassana ≠ dapat dilihat]
Cattāri Mahābhūtā (4 elemen/unsur/materi/dhatu/sifat):
  1. Dhātu/unsur ke-1: Paṭhavī: kasar/keras/dapat menyokong (padat, landasan, bumi, tanah): Pathavīdhātu dapat berupa (siyā): internal/diri sendiri (ajjhattikā) maupun eksternal/di luar diri (bāhirā. Bagian diri sendiri yang (ajjhattaṁ paccattaṁ) padat (kakkhaḷaṁ), keras (kharigataṁ) dan melekat (upādinnaṁ), misal (seyyathidaṁ): rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, isi perut, kotoran, atau apapun yang ada di diri sendiri [MN 28]. Diluar diri sendiri, misal: Pemandangan Bumi, tanah, desa, negeri [MN 28]
  2. Dhātu/unsur ke-2: Āpo: merekat (melekat, cair, air): Āpodhātu dapat berupa: internal/diri sendiri maupun eksternal/di luar diri. Bagian diri sendiri yang cair, basah dan melekat, misal: cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apapun yang ada diri sendiri [MN 28]. Diluar diri sendiri, misal: Banjir [MN 28]
  3. Dhātu/unsur ke-3: Vāyo: gerak (getar, aksi/tekanan: dorongan/tarikan, mengalir/sirkulasi, tiupan, kondisi, keadaan, mempertahankan, angin): Vāyodhātu dapat berupa: internal/diri sendiri maupun eksternal/di luar diri. Bagian diri sendiri yang mengalir, berangin dan melekat, misal yang mengalir naik atau turun, angin dalam perut atau usus, yang mengaliri anggota badan, nafas masuk-keluar, atau apapun yang ada diri sendiri [MN 28]. Diluar diri sendiri, misal: taufan, di musim panas mengipasi diri dengan daun dan bahkan rumbai jerami pinggir atap jerami yang tak bergerak [MN 28]
  4. Dhātu/unsur ke-4: Tejo: (kekuatan, tajam, menusuk, terbakar, terkonsumsi, terhabiskan, umur, gelombang partikel, panas, temperatur, cahaya, api): Tejodhātu dapat berupa: internal/diri sendiri maupun eksternal/di luar diri. Bagian diri sendiri yang terkonsumsi, panas dan melekat, misal suhu tubuh, menua, demam, bagian mencerna makanan dan minuman, apapun yang ada diri sendiri [MN 28]. Diluar diri sendiri, misal: cahaya, api [MN 28]
4 mahabhuta ada bersamaan tak terpisahkan. Setiap substansi, apakah Paṭhavī, Āpo, Tejo atau Vāyo, kecil/besar terbuat dari 4 elemen ini dengan karakter spesifiknya [Abhidhamma ch.6]. Paṭhavī seperti dasar/penyokong sifat kaku bagi Āpo, Tejo dan Vāyo; Apo seperti perekat/ikatan bagi 3 lainnya; Tejo seperti memelihara/menegakkan 3 lainnya; Vayu seperti penggelembungan 3 lainnya. [Visudhimagga XI, 109]
    Tentang materi,
    Sesuatu yang terperangkap dalam materi itu adalah juga materi, oleh karenanya, yang percaya bahwa di dalam tubuh terdapat roh/jiwa/atma dan karena Ia terperangkap dalam tubuh materi, maka tidak lain adalah juga materi. Sains awalnya mendefinisikan materi adalah massa, kemudian menjadi sebagai volume dan berkembang bahwa materi adalah termasuk dengan yang tidak ber-massa (lepton dan quark). Partikel materi terkecil yang disebut atom berisi inti atom/nucleus dan awan elektron (-) disekeliling nucleus terikat gaya elektrostatis. Inti atom berisi Proton (+) (tidak semua atom berisi netron/netral, misalnya: 1H/Hidrogen-1). Radius/jari-jari 1 atom Hidrogen (1 proton + 1 elektron) = ± 1 nm (10-9), radius elektron = ± 3 fm (10-15) dan radius Quark = ± 1 am (10-18), jadi quark lebih kecil dari elektron, namun "massa" elektron 1/1836 Proton dan "massa" Proton lebih kecil dari Netron. Kandungan Proton dan Neutron adalah Partikel Fermion (kuark dan lepton). Proton terdiri dari 2 kuark naik dan 1 kuark turun, Neutron terdiri dari 1 kuark naik dan 2 kuark turun. Perbedaan komposisi kuark berpengaruh pada beda massa dan muatan dua partikel tersebut. Densitas lepton dalam Proton sangat kecil. Quark lebih statis sedangkan lepton lebih bebas. Elektron adalah satu dari 6 jenis lepton (yaitu: elektron, electron neutrino, muon, muon neutrino, tau dan tau neutrino). Jadi elektron adalah juga partikel fermion. Pada quark tidak ada lepton jenis elekron. Ketika partikel kuark dan anti kuark berbaur membentuk foton virtual/partikel cahaya, yang hidup sebentar kemudian meluruh menjadi partikel baru (dapat menjadi elektron dan anti elektron/positron atau pasangan quark lain atau pasangan lain seperti muan dan anti muon)
Penterjemahan rūpa = "form/bentuk" belum memberikan gambaran utuh, karena 4 mahabhuta dan turunannya, di samping mempunyai arti literal, juga dapat berarti sifat, dapat berbentuk maupun tidak (misal MN 28 dan Dhammasangi 2.2.3), juga dapat sebagai indriya (pasāda-rūpa) yang disebut 6 landasan internal (Cha ajjhattikāni āyatanāni) [MN 137] dan objeknya (arammana), yang disebut sebagai 6 landasan eskternal (Cha bāhirāni āyatanāni) [MN 137], objek ini pun, ada yang di dalam diri sendiri maupun di luar dirinya:
  1. Rupa/Bentuk/Materi dan Vanna/warna, sebagai objek indriya mata. Misalnya identitas dari wana adalah sebagai panjang gelombang dan intensitas tertentu dari suatu radiasi elektromagnetik. Indera mata dapat menangkap "warna" dengan panjang gelombang antara 380-780 nanometer, misalnya biru, panjang gelombangnya adalah 470 nm, sedangkan merah, panjang gelombangnya adalah 700 nm. untuk warna putih, ia adalah campuran dari sekurangnya 3 panjang gelombang tersebut.

    Organ mata sendiri berfungsi (Ajjhattikañceva cakkhuṁ aparibhinnaṁ hoti), Pemandangan/Bentukan di luar diri TIDAK DALAM jangkauan (bāhirā ca rūpā na āpāthaṁ āgacchanti: misal gelap gulita), TIDAK TERJADI keterlibatan yang sesuai (no ca tajjo samannāhāro hoti: tidak terlihat objek), TIDAK ADA porsi kesadaran yang sesuai muncul (neva tāva tajjassa viññāṇabhāgassa pātubhāvo hoti).
    Organ mata sendiri berfungsi, Pemandangan di luar diri BERADA DALAM jangkauan, TIDAK TERJADI keterlibatan yang sesuai (misal: saat membaca ini di HAPE, pemandangan dibalik HAPE sebenarnya terlihat, tapi tidak 'dilihat'), TIDAK ADA porsi kesadaran yang sesuai muncul.
    Organ mata sendiri berfungsi, Pemandangan di luar diri BERADA DALAM jangkauan, TERJADI keterlibatan yang sesuai, ADA porsi kesadaran yang sesuai muncul.
    BENTUK yang terjadi disana (yaṁ tathābhūtassa rūpaṁ), masuk dalam kelompok MATERI yang dilekati (taṁ rūpupādānakkhandhe saṅgahaṁ gacchati), PERASAAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERASAAN yang dilekati. PERSEPSI yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERSEPSI yang dilekati. SANKHARA yang terjadi disana, masuk dalam kelompok SANKHARA yang dilekati. KESADARAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok KESADARAN yang dilekati [MN 28]

  2. Sadda/suara sebagai objek indriya telinga. Misal identitas dari suara adalah sebagai perambatan partikel melalui media transmisi seperti gas, cair atau padat (suara dapat ada di luar angkasa). Indera telinga dapat mendengar frekwensi 20 Hz sampai 20 kHz

    Organ TELINGA (Sota)sendiri berfungsi, SUARA (Sadda) di luar diri...
    BENTUK yang terjadi disana, masuk dalam kelompok MATERI yang dilekati, PERASAAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERASAAN yang dilekati. PERSEPSI yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERSEPSI yang dilekati. SANKHARA yang terjadi disana, masuk dalam kelompok SANKHARA yang dilekati. KESADARAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok KESADARAN yang dilekati [MN 28]

  3. Gandha/bebauan sebagai objek indriya hidung. Misal Identitas adalah lompatan elektron dari getaran partikel atom yang ditangkap resptor bau. Perbedaan bentuk molekul berperan dalam menentukan frekuensi getaran keseluruhan bau. Atom-atom disatukan dalam molekul oleh ikatan kimia yang berbeda. Ketika elektron melompat dari satu atom ke atom lainnya, mereka menggetarkan ikatan kimia molekul bau dalam frekuensi tertentu. Getaran ini menyebabkan sensasi penciuman, indera penciuman juga seperti indera pendengaran. Ikatan kimia dari molekul yang berbeda bergetar dalam frekuensi berbeda sehingga memberikan bau yang berbeda.

    Organ HIDUNG (Ghānaṁ) sendiri berfungsi, bebauan (Gandha) di luar diri...
    BENTUK yang terjadi disana, masuk dalam kelompok MATERI yang dilekati, PERASAAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERASAAN yang dilekati. PERSEPSI yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERSEPSI yang dilekati. SANKHARA yang terjadi disana, masuk dalam kelompok SANKHARA yang dilekati. KESADARAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok KESADARAN yang dilekati. [MN 28]

  4. Rasa/cita rasa sebagai objek indriya lidah;

    Organ LIDAH (Jivhā) sendiri berfungsi, RASA di luar diri...
    BENTUK yang terjadi disana, masuk dalam kelompok MATERI yang dilekati, PERASAAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERASAAN yang dilekati. PERSEPSI yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERSEPSI yang dilekati. SANKHARA yang terjadi disana, masuk dalam kelompok SANKHARA yang dilekati. KESADARAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok KESADARAN yang dilekati. [MN 28]

  5. Suhu, kasar/licin, keras/lembut, sebagai objek indriya kulit/badan;

    Organ PERASA (Kāyo) sendiri berfungsi, SENSASI SENTUHAN (Phoṭṭhabba) di luar diri...
    BENTUK yang terjadi disana, masuk dalam kelompok MATERI yang dilekati, PERASAAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERASAAN yang dilekati. PERSEPSI yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERSEPSI yang dilekati. SANKHARA yang terjadi disana, masuk dalam kelompok SANKHARA yang dilekati. KESADARAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok KESADARAN yang dilekati. [MN 28]

  6. Dhamma/fenomena pikiran (pemikiran, ingatan, konsep, gagasan, khayalan, persepsi) sebagai objek indriya pikiran

    ORGAN PIKIRAN (Mano) sendiri berfungsi, OBJEK PIKIRAN (Dhammā) di luar diri...
    BENTUK yang terjadi disana, masuk dalam kelompok MATERI yang dilekati, PERASAAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERASAAN yang dilekati. PERSEPSI yang terjadi disana, masuk dalam kelompok PERSEPSI yang dilekati. SANKHARA yang terjadi disana, masuk dalam kelompok SANKHARA yang dilekati. KESADARAN yang terjadi disana, masuk dalam kelompok KESADARAN yang dilekati. [MN 28]
Dhātu/unsur ke-5: Ākāsa (jarak, celah, ruang di antara unsur/objek/rupa atau 'tempat' keberadaan diri atau di MN 62: "na katthaci patiṭṭhito"/tak bersandar pada apapun): Seperti/sebagaimana (Seyyathāpi) dikondisikan: kayu, tanaman menjalar, rumput dan tanah (kaṭṭhañca paṭicca valliñca paṭicca tiṇañca paṭicca mattikañca paṭicca) meliputi ruang (ākāso parivārito) disebut sebagai ‘tempat/rumah’ ('agārantveva' saṅkhaṁ gacchati), demikian pula (evameva kho), dikondisikan: tulang, urat, daging dan kulit (aṭṭhiñca paṭicca nhāruñca paṭicca maṁsañca paṭicca cammañca paṭicca), meliputi ruang (ākāso parivārito), disebut sebagai ‘bentukan/tubuh’ ('rūpantveva' saṅkhaṁ gacchati) [MN 28]. Akasa adalah salah satu dari 6 dhatu [MN 112, 115; AN 3.61, DN 33]
    Ruang adalah hubungan relatif antar benda/materi dan ketika berhubungan dengan kata "ukur" maka ada definisi:

      Besaran [relatif antar objek]
      Jarak [relatif posisi terhadap ruang] dan
      Waktu [ukuran relatif terhadap perbedaan keserempakan terhadap koordinat ruang]

    sehingga ruang dan waktu 4 dimensi adalah:

    ke-1 = garis (1 sisi)
    ke-2 = bidang (2 sisi)
    ke-3 = volume [3 sisi, P x l x t]
    ke-4 = waktu

    Untuk dimensi ke-5 sampai ke-7: 3 pergeseran masing-masing sisi, dan 1 dimensi lengkung (kontraksi/ekspansi) waktu, akibat pengaruh gravitasi. Contoh simulasi:

Dhātu ke-6: 4 landasan/kelangsungan kesadaran (catasso Viññāṇa-ṭṭhitiyo: karena kemunculan kesadaran akibat pertemuan objek dan indriya) yang objeknya (ā­rammaṇa): Bentukan/rupayam atau Vedanā/vedanupayam atau Saññā/sannupayam atau Saṅkhāra/sankharupayam [DN 33].

Sang Buddha: "catasso Viññāṇa-ṭṭhitiyo harus dilihat (daṭṭhabba) seperti pathavī-dhātu. Kesenangan dan ketagihan (nandirāgo) harus dilihat seperti āpo-dhātu" [SN 22.54. juga lihat SN 12.64]

Sehingga, a-rūpa maksudnya BUKAN tanpa catumahabhuta, tapi tentang landasan kesadarannya (viñ­ñā­ṇaṭ­ṭhitiyo) atau penguasaan landasannya (abhi­bhāyata­nāna) yang TIDAK LAGI terkait persepsi rupa/kāyā/sarīra (rūpasaññāna), sekurangnya: "telah sepenuhnya melampaui persepsi bentukan, persepsi menolak mereda/lenyap, tidak perhatian/perhatian tidak pada ragam persepsi". Jadi, landasan kesadarannya adalah SELAIN persepsi rupa dan BUKAN berarti TIDAK bercatumahabhuta, BUKAN berarti TIDAK PUNYA badan/sarira/kaya. Singkatnya: makhluk a-rupa tetap ber-catumahabhuta:
    Sang Buddha: “Mereka, Sāriputta, para deva di landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.”. Sariputta: “sebab apakah, Bhante, mengapa beberapa makhluk tersebut (yena midhekacce sattā tamhā) JASMANINYA setelah mati (kāyā cutā) adalah para yang-kembali (āgāmino honti)..” [AN 4.171]. Di DN 1 pandangan no.54-57, beberapa petapa/brahmana yang tahu makhluk arupa itu menyatakan, "yato kāyassa bhedā" (dengan hancurnya jasmani)
Cattāro mahābhūtā tampaknya selalu ada, Sang buddha: "bukan hal yang tepat untuk bertanya (Na kho eso..pañho evaṃ pucchitabbo): 'di mana 4 itu lenyap tanpa sisa (kattha nu kho,..,ime cattāro mahābhūtā aparisesā nirujjhanti)', pertanyaan yang seharusnya (evañca kho eso,.., pañho pucchitabbo): 'di manakah 4 hal itu tidak punya pijakan? (Kattha āpo ca pathavī, tejo vāyo na gādhati)'". [Jawabannya:] "kesadaran tidak beratribut/membandingkan (viññāṇaṃ anidassanaṃ) memancar kesegala sisi tak berbatas (anantaṃ sabbatopabhaṃ)" [DN 11, MN 49]. Pertanyaan ke-2: Di manakah (kattha) panjang dan pendek (dīghañca rassañca), kecil besar (aṇuṁ thūlaṁ) indah-buruk (subhāsubhaṁ), di manakah (kattha) nama dan bentuk (nāmañca rūpañca) berhenti tidak bersisa (asesaṁ)?’ Jawaban: di kesadaran berhenti (viññāṇassa nirodhena) di sanalah berhenti (etthetaṁ uparujjhatī) [DN 11]. Konteks berbeda di SN 1.27 dan UD 1.10, tidak terdapat kata kesadaran. Dalam paticcasamuppada kesadaran ada karena sankhara dan sankhara ada karena avijja.

Lautan yang tampak kosong, ada dalam lingkup catumahabhuta demikitan pula angkasa luar yang seolah kosong dan gulita. Secara definisi, ruang yang benar sempurna hampa pada kenyataannya tidak ada, teori kuantum menyatakan fluktuasi energi/partikel virtual, terus menerus muncul dan menghilang bahkan di ruang yang 'kosong'. Secara umum, isi per 1 cm3 di ruang pada tata surya, adalah 5 atom dan pada ruang antar bintang sekitar 1 atom, lebih sedikit lagi di ruang antar galaxy. Pada intinya tetap terdapat materi (partikel berkepadatan rendah utamanya plasma hidrogen dan helium, oksigen, medan magnet, radiasi elektromagnetik, neutrino, debu, sinar kosmik/foton (lepton dan quark), 90% massa galaksi adalah materi gelap), temperatur dingin/panas, getar/gerak, gaya tarik/dorong. Jadi, semesta ini dalam lingkup catumahabhuta. Tubuh tempat indriya dan objeknya-pun terdiri dari catumahabhuta. Oleh karenanya, kesadaran yang muncul, berikut hasil putusannyapun berada dalam lingkup catumahabhuta juga seluruh alam kelahiran, milyaran semesta, juga dalam lingkup catumahabhuta. Ini mirip film fiksi "The Matrix" tentang komputer pintar bernama Matrix yang terhubung sistem syaraf seluruh umat manusia dan seorang hacker bernama Neo yang melihat beberapa ketidakwajaran, mencari tau sampai terlepas dari matrix dan melihat sendiri bahwa seluruh manusia system syarafnya terplug-in dengan mesin namun seolah mengalami sendiri lahir, besar, bekerja, menikah, berketurunan, bepergian kemanapun, padahal tetap dalam keadaan terplug-in hingga mereka mati dan didaur ulang menjadi energi bagi kelangsungan system yang juga didisain untuk proses re-produksi manusia.

TANPA JIWA/ATMAN/ROH
Buddhism menolak adanya atma/atta/roh/jiwa yang kekal dan/atau adanya inti makhluk hidup. Menurut Buddhisme, makhluk hidup adalah bauran, contoh:
    Roti adalah paduan: tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dll. Setelah menjadi roti, tidak dapat kita tunjuk satu bagian tertentu dan mengatakan: ini adalah tepungnya dan/atau ini garamnya dan/atau ini menteganya, dan/atau ini airnya dan/atau ini apinya dan/atau ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka telah berbaur dan telah berubah.

    Contoh di Sutta: ... Misalkan, para bhikkhu, ada seorang raja atau menteri kerajaan yang belum pernah mendengar suara kecapi sebelumnya. Ia mendengar suara kecapi dan berkata: ‘Suara apakah ini—begitu menarik, begitu indah, begitu memabukkan, begitu mempesona, begitu memikat?’ Mereka akan berkata kepadanya: ‘Baginda, itu adalah suara kecapi—begitu menarik, begitu indah, begitu memabukkan, begitu mempesona, begitu memikat.’ Ia akan menjawab, ‘Pergilah, bawa kecapi itu kepadaku.’

    “Mereka akan membawakan kecapi itu dan berkata kepadanya: ‘Baginda, ini adalah kecapi itu, yang suaranya begitu menarik, begitu indah, begitu memabukkan, begitu mempesona, begitu memikat.’ Raja itu akan berkata: ‘Aku sudah cukup dengan kecapi ini. Bawakan aku suaranya saja.’ Orang itu akan menjawab: ‘Kecapi ini, Baginda, terdiri dari banyak komponen, sangat banyak komponen, dan kecapi ini bersuara ketika dimainkan bersama banyak komponennya; yaitu, lapisan bidang suara, perutnya, tangannya, kepalanya, dawainya, pemetik, dan keterampilan pemainnya. Demikianlah, Baginda, kecapi ini terdiri dari banyak komponen, sangat banyak komponen, dan kecapi ini bersuara ketika dimainkan bersama banyak komponennya.’ [SN 35.205/426. Juga lihat: DN 23]
Bahkan variasinya saja membuat penamaannya berbeda, contohnya sepeda roda 2:
    Rodanya saja tidak dapat dikatakan sebagai sepeda, begitu pula stang, rem, sadel, jerujinya saja. Untuk dikatakan sebagai sepeda roda 2, harus ada rangka, stang, pedal, sadel, rantai, roda, dll. Keseluruhan inilah yang disebut sepeda roda 2.

    Perubahannya tidak membuatnya disebut sepeda roda 2, misal ada mesin, ini disebut motor atau rodanya menjadi 3, ini disebut beca atau disamping rodanya 3 juga ada mesin, ini disebut bemo/bajaj atau roda belakang diganti penyerut, ini bukan lagi sepeda roda dua
Demikianlah bauran ini disebut dengan ragam klasifikasi dan penamaan ketika bertumimbal lahir (kemunculan suatu makhluk hidup di alam kehidupan yang sama atau berbeda).

Pertemuan Indriya manusia dan Objek-objeknya, diterjemahkan dalam sinyal-sinyal kimiawi dan listrik di dalam dan pada permukaan tubuh manusia, misalnya kekuatan otot adalah akibat daya tarik-tolak muatan listrik, jantung dan system syaraf di otak juga melibatkan aliran arus listrik.
    Prof. Galvani ditahun 1780-1791 melakukan percobaan listrik pada kaki katak. Awalnya Ia hubungkan dengan sumber listrik statis, kemudian Ia gunakan dua lempeng logam tanpa sumber listrik statis dan hasilnya kaki katak tersebut juga bergerak. Ia menduga bahwa tubuh makhluk hidup terdapat listrik dan magnet. Tidak lama setelahnya, Volta, dengan tujuan untuk menunjukan bahwa potensial (tegangan) listrik terjadi karena perbedaan jenis logam, Ia ganti konduktor lembab kaki katak dengan konduktor lain berupa kain lembab berisi cairan garam atau asam cair di antara dua kepingan logam atau karbon sebagai pengganti salah satu logam dan juga menghasilkan listrik. Temuan ini membuktikan bahwa energi kimia dapat diubah menjadi energi listrik.


Tubuh manusia berisi triliunan sel elektrokimia (cairan elektrolisis, berupa: Na+, K+, CL-, protein, asam nukleat, dll), di mana pada bagian dalam sel mempunyai potensial (tegangan) dengan range -50 mv s.d -90 mv (disebut potensial istirahat neuron, rata-rata: -70 milivolts) yang terjadi karena ion negatif lebih pada bagian dalam membran dari bagian luarnya.

Listrik tubuh dari hasil elektrokimia sel berfungsi sebagai kontrol dan operasi syaraf, otot dan organ di mana neuron melalui kontak sinapsis yang terletak di dendrit dengan multi sensornya menerima rangsangan secara fisik maupun kimiawi seperti panas, dingin, cahaya, suara dan bau yang menyebabkan beda potensial (tegangan) antar membran dan kemudian mengubahnya menjadi sinyal listrik di sepanjang serat-serat saraf/Akson menuju otot, kelenjar dan/atau neuron lainnya. Ketika terjadi perpindahan/difusi ion pada membran yang menyebabkan beda potensial yang menuju pada arah positif voltmeter disebut depolarisasi dan yang menuju arah negatif disebut repolarisasi [lihat:Nervous Systems Part-1].

Sample proses kerja beberapa perasaan dalam tubuh manusia:
Rasa sakit: Hargreaves dan tim penelitinya melakukan percobaan pada jaringan kulit tikus yang dipanaskan pada suhu 43 / 48 °C. Panas di suhu itu biasanya menimbulkan rasa sakit. Kulit yang dipanaskan itu memproduksi molekul seperti capsaicin dalam bentuk cairan dan inilah yang berkemampuan mengaktifkan rasa sakit pada neuron, sel-sel khusus yang ada diseluruh tubuh meneruskan pesan ini ke otak.

kecemasan: Madison Universitas Wisconsin, dalam jurnal “Nature”, yang terbit Rabu (11/8). Dengan menggunakan pemindai topografi emisi positron (PET scan) beresolusi tinggi yang menunjukan menunjukkan aktivitas otak tinggi di bagian “amygdala” dan “anterior hippocampus”, tim peneliti menguji 238 rhesus monyet muda dan sang Manusia “penyusup” dipakai sebagai peran potensi ancaman berdiri dekat kandang. Para peneliti memperhatikan reaksi mereka dan mengukur aktivitas otaknya hasilnya semakin gelisah monyet tersebut semakin tinggi aktivitas di pangkal pusat “amygdala” dan “anterior hippocampus”.

Ketakutan: Pada 1920-an, Psikolog Amerika John Watson, melakukan eksperimen yang kelak dinamakan "little Albert", seorang bayi bernama Albert di ajari untuk takut tikus putih. Sebelumnya "Little Albert" tidak takut pada laboratorium uji hewan. Ia menunjukkan kegembiraannya saat melihat tikus-tikus, terutama tikus yang berwarna putih dan selalu mengulurkan tangan untuk mereka.

Watson dan asistennya mengajarkan Albert menjadi takut terhadap tikus putih. Mereka menggunakan kondisi Pavlovian (klasik), sepasangan stimulus netral (tikus) diberikan efek negatif yaitu tiap kali Albert meraih salah satu tikus itu, mereka membuat suara keras yang menakutkan tepat di belakang anak berusia 11 bulan.

Albert tidak hanya takut pada tikus putih, tidak hanya menangis dan menjauh setiap melihat tikus putih, tetapi juga pada binatang berbulu putih dan sinter klas yang berjanggut putih.

Seperti Albert yang takut pada tikus putih, begitu pula ketakutan orang pada tuhan, setan, neraka yang terkondisi tahunan yang setelah mereka besar, semua persoalan menjadi terhubung dengan peran tuhan, setan dan neraka.

Ketakutan merupakan reaksi berantai dalam otak yang dimulai dengan rangsangan stres dan berakhir dengan reaksi kimia yang menyebabkan jantung berdegup, bernafas dengan cepat dan menegangnya otot. Pendorong rangsangan itu bervariasi mulai dari ular, ajaran agama dll. Ada dua jalur di area otak yang berjalan bersamaan merespon rasa takut, yaitu jalan pendek [hajar dulu, selidiki belakangan] dan jalan panjang [selidiki dulu baru ambil putusan].
    Untuk jalan pendek, misalnya bunyi di pintu. Segera setelah mendengar dan melihat gerakan di pintu, indriya menyampaikan ke otak, mengirimkan data indriya ke talamus. Saat ini, thalamus tidak tahu apakah sinyal yang diterima itu merupakan tanda bahaya atau bukan. Ini diteruskan ke amigdala untuk menggali informasi lanjutan. Amygdala menerima impuls syaraf dan mengambil tindakan untuk melindungi; Ia mengirimkan sinyal pada hypothalamus untuk menghidupkan respon "lawan atau lari" yang berguna menyelamatkan diri ketika yang didengar/dilihat ternyata merupakan bahaya

    Otak juga memakai jalur lainnya yaitu dengan mempertimbangkan pilihan yang diketahui berupa apakah itu pencuri, hantu atau angin? Prosesnya: Ketika mata dan telinga menerima suara dan gerakan di pintu, disalurkan ke talamus. Talamus mengirimkan informasi ini ke korteks sensorik untuk ditafsirkan artinya bahwa ada lebih dari satu kemungkinan pada interpretasi data yang diterima, ini diteruskan ke hipokampus untuk membangun konteks pertanyaan misalnya, "Apakah rangsangan ini pernah terjadi sebelumnya? Jika ya, maka waktu itu rangsangan ini berarti apa, ya?". Beberapa hal memberikan petunjuk lanjutan misalnya, "ini adalah pencuri atau hantu atau angin?!". Hippocampus bisa juga mengambil data lainnya di proses ini, seperti sentuhan cabang pohon pada jendela, suara mirip geraman sengau tertahan di luar atau bunyi perabotan di teras yg terpelanting terbang. Mempertimbangkan informasi tadi, hippocampus menentukan bahwa tindakan pintu kemungkinan besar berasal dari angin dan kemudian hasil itu dikirim ke amigdala bahwa itu bukan ancaman/bahaya. Amigdala kemudian mengirim sinyal ke hipotalamus untuk mematikan respon "lawan atau lari".
Apakah kita benar-benar menyentuh sesuatu?
Hampir semua massa atom terkonsentrasi di wilayah nukleus (proton dan neutron) yang sekelilingnya, terdapat banyak ruang yang tampak kosong, kecuali pada wilayah elektron yang mengorbiti nukleus. Berdasarkan sifat partikel, elektron yang bermuatan (-), tarik-menarik dengan partikel yang bermuatan (+), tolak-menolak dengan partikel yang bermuatan (-). Tubuh manusia dan kursi/lantai, semuanya mengandung elektron. Elektron yang menyusun tubuh, tolak-menolak dengan elektron yang menyusun kursi/lantai, dalam level sub-atomik, pada jarak yang sangat dekat, kita melayang di atas kursi/lantai. Sensasi interaksi antar elektron yaitu penolakannya terhadap— medan elektromagnetik yang menembus ruang waktu (media yang dilalui gelombang elektron) inilah yang dikirim sel-sel saraf ke otak. ["Why Physics Says You Can Never Actually Touch Anything"]

Mengalirnya aliran listrik akan menimbulkan medan magnet dan medan magnet terkuat tubuh adalah jantung yang terjadi akibat depolarisasi dan repolarisasi. Video di bawah adalah sample apa yang dapat dilakukan manusia sehubungan dengan listrik dan medan magnet yang ada padanya. (sanggahan dari yang tidak percaya di sini)



Pada tahun 1940 di Soviet, Dr Sergei Brukhonenko mendokumentasikan (durasi 19:31 menit) tentang membangkitkan kembali beberapa organ anjing yang terpisah mandiri (jantung, paru-paru, dll), kepala anjing tanpa tubuh dan anjing utuh yang telah mati.


Percobaan ke-1:
menghidupkan organ-organ tubuh anjing yang terpisah mandiri, yaitu jantung anjing yang bekerja normal dalam kondisi buatan khusus; Paru-paru yang dihubungkan kipas sedot-tiup, dialiri darah dan saat keluar paru-paru, darah tersebut telah mengandung oksigen.

Percobaan ke-2,
mulai menit 4:27, menghidupkan kepala anjing tanpa badan yang terhubung dengan 4 selang (sebagai 2 arteri dan 2 vena), menuju/keluar jantung dan dari jantung menuju/keluar tabung (berfungsi sebagai paru-paru buatan yang berisi darah beroksigen). Aliran darah beroksigen ditarik jantung buatan menuju kepala Anjing, aliran darah keluar dari kepala anjing menuju jantung buatan dan dialirkan menuju tabung. Kepala anjing itu dibuat hidup selama 1 jam dan diperlihatkan bahwa Indriya mata, lidah, telinga, penciuman, peraba yang ada diseputaran kepala anjing tersebut berfungsi normal di kondisi tersebut.

Percobaan ke-3,
mulai menit 6:50, menghidupkan kembali anjing secara utuh. Seekor anjing hidup dalam keadaan telah dianestesi, darahnya dikuras habis hingga mati secara klinis, dalam plot grafis aktivitas jantung, detaknya melemah seiring terkurasnya darah keluar tubuh dan kemudian berhenti. Juga plot grafis aktivitas paru, nafas normal, melemah, hentakan akhir dan nafas terakhirnya. Anjing itu dibiarkan mati selama 10 MENIT. Kemudian arteri dan venanya dihubungkan ke mesin jantung-paru (autojektor, cara kerjanya sama seperti percobaan kepala anjing tanpa tubuh). Setelah beberapa saat, aliran darah yang masuk mulai menggerakan detak jantungnya dan secara perlahan detak jantung kembali normal, kemudian terjadi hentakan nafas pertama dan secara perlahan nafas kembali normal. Setelah pernafasan dan jantung normal, mesin dimatikan, sambungan selang ke tubuh anjing dicabut, dijahit kembali dalam keadaan teranestesi, diistirahatkan dan pada 10-12 hari kemudian, anjing tersebut berada pada kondisi normal seperti sebelum percobaan dilakukan.

Tidak terdekteksi keberadaan jiwa/roh dipercobaan tersebut kecuali proses kelistrikan dan kimiawi tubuh belaka.

Apakah Kelahiran kembali memiliki Jeda atau Tidak?
Kematian adalah ketika Jasmani (kaya) kehilangan (Jahanti) 3 kondisi (tayo dhamma): vitalitas/kekuatan/ayu, panas/usma dan kesadaran/viññāṇa [MN 43, SN 22.95]. Bentukan jasmaninya (kaya sankhāra), bentukan ucapannya (vici sankhāra) dan bentukan pikirannya (citta sankhāra) telah pudar dan sirna (niruddhā paṭippassaddhā), vitalitasnya (ayu) telah habis (parikkhīṇo), suhu hangatnya (usma) telah reda (vūpasantā), dan indriyanya terberai (viparibhinnā) [MN 43 dan SN 41.6] dan saat itu Ia telah bertumimbal lahir (kemunculan suatu makhluk hidup di alam kehidupan yang sama atau berbeda) namun arus kesadarannya tak terputus/tanpa jeda karena mendapatkan sokongan baik itu di kehidupan ini dan di kelahiran berikutnya (yang tidak mencapai padam/nibbana):
    (yang terlahir kembali): "..arus kesadaran manusia yang tidak terputus di kedua sisi, mendapatkan sokongan di alam ini dan mendapat sokongan di alam berikut (Purisassa ca viññāṇasotaṃ pajānāti, ubhayato abbocchinnaṃ idha loke patiṭṭhitañca paraloke patiṭṭhitañca)"
    (yang padam/nibbana dan Parinibbana): "arus kesadaran manusia yang tidak terputus di kedua sisi, TIDAK mendapatkan sokongan di alam ini dan TIDAK mendapatkan sokongan di alam berikut (Purisassa ca viññāṇasotaṃ pajānāti, ubhayato abbocchinnaṃ idha loke appatiṭṭhitañca paraloke appatiṭṭhitañca)" [DN 28]
Tentang kesadaran:
Adalah keliru menyatakan (yang kelahiran kembali), "adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain (yathā tadevidaṁ viññāṇaṁ sandhāvati saṁsarati anaññan”ti" [Pendapat Bhikkhu Sāti, MN 38], pandangan ini keliru, karena:
    "Kesadaran ada sebab kemunculan, jika tanpa suatu kondisi, tidak ada asal-mula kesadaran (paṭiccasamuppannaṁ viññāṇaṁ, aññatra paccayā natthi viññāṇassa sambhavo”ti) ... kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul. Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata; ...pada telinga dan suara, ...kesadaran-telinga; ...hidung dan bebauan, ...kesadaran-hidung; ...pada lidah dan rasa, ...kesadaran-lidah; ...pada badan dan objek yang disentuh, ...kesadaran-badan; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan objek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran. Seperti halnya api yang dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka api itu membakar—ketika api membakar dengan bergantung pada kayu gelondongan, maka dikenal sebagai api kayu gelondongan ...
    terdapat 4 makanan untuk memelihara makhluk yang telah ada dan menyokong yang akan muncul (cattārome, .., āhārā bhūtānaṁ vā sattānaṁ ṭhitiyā, sambhavesīnaṁ vā anuggahāya). ...makanan material, kasar atau halus (kabaḷīkāro āhāro oḷāriko vā sukhumo); kontak yang ke-2; kehendak pikiran yang ke-3; dan kesadaran yang ke-4 (phasso dutiyo, manosañcetanā tatiyā, viññāṇaṁ catutthaṁ)
    ke-4 makanan ini, sumber, asal-mula, kemunculannya dan dihasilkannya dari apa (kiṁnidānā kiṁsamudayā kiṁjātikā kiṁpabhavā)? Sumber, asalmulanya dari kehausan, kemunculannya dan dihasilkannya dari kehausan (taṇhānidānā taṇhāsamudayā taṇhājātikā taṇhāpabhavā), Kehausan → Perasaan (vedanā), Perasaan → Kontak (phassa), Kontak → 6 landasan indriya (saḷāyatana), 6 landasan Indriya → Mental-Materi (nāmarūpa), Mental-Materi → Kesadaran (viññāṇa), Kesadaran → Bentukan Kehendak (saṅkhāra), Bentukan Kehendak → sumbernya, asalmulanya dari ketidaktahuan, kemunculannya dan dihasilkannya dari ketidaktahuan (avijjānidānā avijjāsamudayā avijjājātikā avijjāpabhavā).
    Ketidaktahuan mengkondisikan Bentukan Kehendak (avijjāpaccayā saṅkhārā) ... Perasaan mengkondisikan Kehausan (vedanāpaccayā taṇhā), kehausan mengkondisikan Melekati (taṇhāpaccayā upādānaṁ), Melekati mengkondisikan Penjelmaan (upādānapaccayā bhavo), Penjelmaan mengkondisikan kelahiran (bhavapaccayā jāti), kelahiran mengkondisikan tua; sakit; mati; mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa, menjadi ada (jātipaccayā jarāmaraṇaṁ sokaparidevadukkhadomanassupāyāsā sambhavanti) [MN 38]
Atau dengan kata lain: "MentalMateri mengondisikan kesadaran, kesadaran mengondisikan mentalmateri, mentalmateri mengondisikan kontak (nāmarū­papaccayā viññāṇaṃ, viññāṇapaccayā nāmarūpaṃ, nāmarū­papaccayā phasso)" [DN 15].

Oleh sebab itu, ketika Vacchagotta bertanya tentang kelahiran kembali:
    Vaccha: “Guru Gotama, ketika makhluk (Yasmiñca pana, bho gotama), waktu jasmaninya ini terbaring (samaye imañca kāyaṁ nikkhipati) dan belum terlahir menjadi makhluk tertentu (satto ca aññataraṁ kāyaṁ anupapanno hoti), dan yang manakah yang Guru Gotama sebut menggenggamnya/melekatinya ini (imassa pana bhavaṁ gotamo kiṁ upādānasmiṁ paññāpetī”ti?)?”

    Sang Buddha: “Vaccha, Ketika, makhluk, waktu jasmaninya ini terbaring dan belum terlahir menjadi makhluk tertentu, Aku katakan kehausan melekatinya (tamahaṁ taṇhūpādānaṁ vadāmi). Karena kehausan, Vacca, inilah kemelekatannya (Taṇhā hissa, vaccha, tasmiṁ samaye upādānaṁ hotī”ti).” [SN 44.9]

    Note:
    terdapat varian bacaan: "satto ca aññataraṁ kāyaṁ anuppatto hoti/and has reached a certain body/dan telah memperoleh tubuh tertentu" (Anālayo 2016: “Selected Madhyama-āgama Discourse Passages and their Pāli Parallels”, Dharma Drum Journal of Buddhist Studies, 19: 1–61; see esp. p. 9f; dari: "The Nibbāna Sermons 12 to 22 by Bhikkhu K Ñāṇananda")

    Peter Harvey dalam "THE SELFLESS MIND Personality, Consciousness and Nirvana in Early Buddhism" 1995, bagian 6.19, hal.98-99: "Dalam Kindred Sayings IV., F.L. Woodward menerjemahkan 'anuppanno' sebagai 'rise up/bangkit'. Di sini Ia pasti mengikuti Leon Feer, editor S.IV., yang mengatakan bahwa 'Bacaan yang benar seharusnya menjadi anuppatto' (penekanan saya), sehingga membuat kata tersebut menjadi past participle dari 'anuptipunnati, 'attains/mencapai', daripada bentuk negatif past participle dari 'uppajjati', 'arise/bangkit'."

    Buddhaghosa dalam kitab komentar menyampaikan dengan kata anuppanno:"..cutikkhaṇeyeva paṭis andhicittassa anuppannattā anuppanno hoti/karena pada saat kematian itu sendiri, kesadaran kelahiran kembali belum muncul, ia dikatakan belum terlahir kembali", sayangnya komentar ini tidak sesuai sutta, dalam frase "dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul di... (kāyassa bhedā paraṁ maraṇā.. upapajjati)", yang menunjukan proses tanpa jeda, dari kematian, saat tubuh menghancur dan makhluk muncul di alam tertentu.

    Peter Harvey, berusaha menggunakan perumpamaan di DN 2, SN 35.245 dan MN 39 juga DN 23 untuk memaksakan pandangannya bahwa di Theravadapun terdapat keberadaan antarabhava

      ‘Ini bagaikan sebuah gedung tinggi di persimpangan jalan, dan seseorang dengan pandangan mata yang baik yang berdiri di sana dapat melihat orang-orang masuk (pavisanti) dan keluar (nikkhamanti) dari suatu rumah, berjalan di jalan, atau duduk di tengah-tengah persimpangan jalan. Dan ia berpikir: “Orang-orang ini masuk dan keluar dari satu rumah, berjalan di jalan, atau duduk di tengah-tengah persimpangan jalan“ Demikian pula, dengan mata dewa, … ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali … Ini adalah buah dari kehidupan tanpa rumah. [DN 2/D.1.83]

      Misalkan, bhikkhu, seorang raja memiliki sebuah kota perbatasan dengan benteng yang kuat, tembok-tembok, dan lengkungan, dan dengan enam gerbang. Penjaga gerbang yang ditugaskan di sana adalah orang yang bijaksana, kompeten, dan cerdas; seorang yang menolak orang asing dan menerima kenalan. Sepasang utusan cepat masuk dari timur dan bertanya kepada penjaga gerbang: ‘Di manakah, tuan, raja kota ini?’ Ia akan menjawab: ‘Ia sedang duduk di lapangan tengah.’ Kemudian sepasang utusan cepat itu menyampaikan pesan kenyataan kepada raja kota itu dan pergi melalui jalan dari mana mereka datang. Demikian pula, utusan datang dari barat, dari utara, dari selatan, menyampaikan pesan mereka dan pergi melalui jalan dari mana mereka datang. [SN 35.235/S.IV .194-95]

      Bagaikan terdapat dua rumah dengan pintu-pintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang memasuki dan keluar dari rumah itu silih berganti, demikian pula, dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali [MN 39/M.I.279]

    Kalimat Peter (bagian 6.27, hal.102-103): "Di sini, tentu saja, bahasa 'masuk' dan 'keluar' mengingatkan pada D.ii.334 (Para 6.7), pada 'prinsip kehidupan' dari seorang yang mati (Note: DN 23/Payasi Sutta, ketika mimpi: "Dan apakah mereka melihat jiwamu masuk dan keluar dari tubuhmu?"). Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa 3 fase 'menjadi' terlihat seperti meninggalkan rumah, mengembara di jalan, dan kemudian duduk 'di tengah pertemuan empat jalan'. Perlu dicatat, di sini, bahwa S.IV .194-95 mengumpamakan tubuh seseorang pada kota perbatasan dan kebijaksanaannya pada 'Tuan' dari kota tersebut, Ia duduk 'di tengah-tengah, di mana empat jalan bertemu' (mewakili empat elemen fisik). 'di tengah ... ' dari D.1.83, kemudian, melambangkan kearifan akan menjadi suatu kepribadian baru, setelah mengembara mencari 'itu'. Perumpamaan lain pengetahuan tentang kelahiran kembali makhluk-makhluk seumpama seorang yang berdiri di antara dua rumah, yang akan 'melihat seseorang memasuki sebuah rumah dan meninggalkannya, dan bolak-balik dan mengembara' (M.I.279). Perumpamaan ini menekankan tahap pertengahan dari menjadi ketika seseorang dalam pengembaraan dan kebimbangan, memang ini tentang seorang yang datang dan pergi. Demikian pula M.l.261 (Para 6.13) [note: MN 38] merujuk pada makhluk-makhluk 'mencari untuk menjadi (sambhavesīnaṃ)', yang seharusnya jelas bagi mereka yang berada di keadaan antara"

    Peter telah memaknai perumpamaan DN 2/D.1.83 dan MN 39/M.I.279, secara sembrono, karena dalam sutta tersebut pun telah dijelaskan maksudnya, yaitu "dengan mata dewa, … ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali" (DN 2) dan "dengan mata-dewa,...seorang bhikkhu melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali" (MN 39), yang menunjukan tegas bahwa setelah wafat langsung lahir kembali, tidak ada keadaan antara.

    Apa yang diingat Peter tentang DN 23, adalah pandangan salah Payasi, walaupun Payasi juga tidak percaya keberadaan jiwa, namun mencari dan memahaminya secara keliru, lagi pula, di paragraph lanjutan, YM Kumara Kassapa telah menerangkan bahwa "ketika jasmani ini memiliki kehidupan, panas dan kesadaran, maka jasmani ini berjalan kesana kemari", ini adalah makna ringkas dari penjelasan sang Buddha bahwa makhluk hidup adalah nama-rupa, bukan jasmani sebagai tubuh dan jiwa sebagai inti, tapi bauran dari keadaan pañcupādānakkhandhā (5 kelompok yang dilekati), sehingga tidak ada jiwa sebagai inti tubuh.

    Demikian pula makna yang dijelaskan di SN 35.245, Peter secara sembrono memaknainya untuk perumpamaan DN 2, sehingga menjadi salah konteks. Keterangan makna yang dijelaskan di SN 35.245:

      "Aku membuat perumpamaan ini, bhikkhu, untuk menyampaikan sebuah makna...‘Kota’: adalah sebutan untuk jasmani yang terdiri dari 4 unsur utama, berasal-mula dari ibu dan ayah, dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi tua dan usang, menjadi hancur dan berserakan. ‘6 gerbang’: adalah sebutan untuk 6 landasan indria internal (mata, telinga,...pikiran). ‘Penjaga gerbang’: adalah sebutan untuk ingatan (sati). ‘Sepasang utusan cepat’: adalah sebutan untuk samatha dan vipassanā. ‘Raja kota’: adalah sebutan untuk kesadaran (viññāṇa). ‘Lapangan tengah’: ini adalah sebutan untuk empat unsur utama (catumahābhūtā)—paṭhavī/landasan, āpo/yang merekat, tejo/terkonsumsi/temperatur, vāyo/mengalir. ‘Pesan kebenaran’: adalah sebutan untuk Nibbāna. ‘Jalan dari mana mereka datang’: adalah sebutan untuk Jalan Mulia Berunsur Delapan: yaitu, Pandangan Benar … Konsentrasi Benar."

    Tidak ada dari penjelasan makna tersebut untuk dimaksudkan sebagai antarabhava, bahkan juga tidak terhadap lahir kembali, namun sebagai cara mencapai padam.

    Sementara untuk MN 38, telah dijelaskan di atas bahwa ini bukan tentang 'mencari untuk menjadi (sambhavesīnaṃ)', namun 4 makanan yang menyokong yang akan menjadi makhluk dan makanan ini dikondisikan oleh tanha/kehausan, tidak ada kaitannya dengan keberadaan antarabhava.

    Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu sutta theravada-pun yang mendukung pandangan keliru bahwa ada antarabhava/keadaan antara.
Kondisi di sutta SN 44.9 tentang "saat jasmaninya ini terbaring", tidak berarti sudah dalam keadaan kematian, bahkan jika dimaksudkan sebagai kematian-pun, masih terdapat rangkaian proses tanpa jeda lainnya, yaitu pada fase: "dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul di... (kāyassa bhedā paraṁ maraṇā.. upapajjati)". Jadi SN 44.9, bukan tentang keberadaan antarabhava, karena bahkan sang buddha telah menyampaikan bahwa dalam satu kesatuan semesta ini, hanya terdiri dari 9 kelompok makhluk (nava sattāvāsā), yaitu yang ada di alam menderita sampai dengan yang ada alam dewa nevasaññānāsaññā (bukan persepsi bukan tanpa persepsi) [AN 7.44, 9.24, DN 33, DN 34] dan tidak satupun diantaranya adalah antarabhava (keadaan antara).

Berikut pandangan dari 3 aliran Buddhisme, tentang ada/tidaknya jeda antara satu kelahiran dengan berikutnya, atau antarabhava:
  1. Aliran Theravada: Jika ada kondisi, maka TIDAK ADA JEDA antara satu kelahiran ke kelahiran lain berikutnya [antara-bhava], tumimbal lahir berlangsung segera, sutta menyatakannya melalui kalimat "dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul di... (kāyassa bhedā paraṁ maraṇā.. upapajjati)". Dalam Abhidhamma pitaka, poin kontroversi, Kathavatthu 8.2: TIDAK ADA antarabhava.

  2. Aliran Mahayana: Seseorang yang meninggal, tinggal di alam perantara selama 1, 2, 3,5, 6 atau 7 minggu/hari ke-49. Sehingga di Mahayana ada ragam ritual kematian yang berlangsung setiap minggu hingga hari ke-49.

  3. Aliran Tantrayana: terdapat 6 istilah `bardo'/alam perantara, saat: di kandungan [kye-nay bardo]; bermimpi [mi-lam bardo]; samādhi yang mendalam [tin-ge-zin sam-tam bardo]; sekarat [chi-kai bardo]; meninggal [cho-nyid bardo]; dan saat pencarian kelahiran kembali [sid-pa bardo]. 3 terakhir adalah periode wafat-terlahir

  4. Note:
    Perlu diketahui, Bardo/antarabhava BERBEDA dengan antarāparinibbāyī (Pada periode mana di umur kehidupannya, para makhluk anāgāmī alam suddhāvāsa itu menjadi padam)
Karena arus kesadaran tidak terputus, maka TIDAK ADA alam Bardo atau antarabhava (jeda waktu di keadaan setelah wafat dan terlahir, yang lamanya menurut Mahāvibhāṣa (150 M) dan Abhidharmakośa (abad 5 M): "7 x 7 hari" = 49 hari) atau menjadi makhluk tertentu sebelum akan dilahirkan, yang Garbhāvakrāntisūtra katakan juga punya gender ("Life in the Womb", Robert Kritzer, hal.80].

Ketika jasmani mengalami kematian, indriya pikiran dan objek-objek pikiran tetap mengalami kontak. Walau jantung telah berhenti, sinyal kelistrikan otak masih ada, lamanya waktu untuk dapat disebut mati otak bervariasi, 10 menit (Maastricht protocol) sampai dengan 6 jam (atau pada kumpulan neuron tertentu, atau kasus tertentu), terkait resiko kerusakan otak akibat kekurangan oksigen ke otak. Karena tidak ada aliran darah, maka tidak ada sinyal syaraf dari/ke Indriya. 5 Indriya (mata, telinga, penciuman, pencicipan dan rabaan) menjadi tidak berfungsi namun Indriya pikiran masih berfungsi. Pikiran tersebut memuat ingatan yang berisi rekaman perasaan (Menyenangkan, menyakitkan, bukan ke-2nya) dan PERSEPSI dari PERBUATAN-PERBUATAN yang: TERBIASA/BERULANG DILAKUKAN melalui pikiran, ucapan, perbuatan sepanjang hidupnya (sample: AN 8.40, AN 3.116, AN 4.123, 125), SEBELUMNYA PERNAH DILAKUKAN atau BARU/BELAKANGAN DILAKUKAN (sample MN 136). Oleh karenanya, terdapat Pertemuan antara Indriya pikiran dan objeknya yang berupa Ingatan. Kondisi ini muncul pada pikiran saat kematian atau CUTI CITTA (moment pikiran di menjelang kematian).
    Note:
    Penerusan kesadaran menuju kekehidupan berikutnya terjadi karena adanya sebab, bahan bakar penerusannya, yaitu kesan yang melekat dari perbuatan yang dilakukan
Pertemuan ini tentunya LEBIH DERAS karena tidak lagi diganggu HAMBATAN SINYAL dari 5 INDRIYA LAINNYA, dan akan terdapat ingatan PALING DOMINAN yang berkesan
    Kesadaran, perasaan, persepsi itu tergabung tidak terpisah. tidak dapat memisahkan kondisi ini satu sama lainnya untuk menggambarkan beda antaranya. Karena yang dirasakan, itu yang dipersepsikan; yang dipersepsikan, itu yang dikenalinya [MN 43]. Persepsi, perasaan, yang menyertai pikiran, kondisi ini terikat dengan pikiran, itulah persepsi, perasaan, bentukan pikiran (Cittasankhāra) [MN 44].

    Kehausan (taṇhā) yang disertai ketagihan dan kesenangan (nandirāgasahagatā), mencari kesenangan pada ini-itu (tatratatrābhinandinī) mengarah kepada kelahiran kembali (ponobbhavikā), haus akan: kesenangan indriya, menjadi sesuatu dan tidak menjadi sesuatu (kāmataṇhā, bhavataṇhā, vibhavataṇhā) [SN 56.11]

    kehausan mengkondisikan Melekati (taṇhāpaccayā upādānaṁ), Melekati mengkondisikan Penjelmaan (upādānapaccayā bhavo), Penjelmaan mengkondisikan Kelahiran [MN 83]
Mengenai kelahiran melalui kandungan, berikut Empat keadaan seseorang dalam rahim:
  1. Tidak tahu ketika muncul, berada dan keluar dari rahim ibu, atau
  2. Tahu ketika muncul di rahim ibu namun tidaktahu ketika berada dan keluar dari rahim, atau
  3. Tahu ketika muncul dan berada di rahim Ibu namun tidak tahu ketika keluar dari rahim Ibu, atau
  4. Tahu ketika muncul, berada dan keluar dari rahum Ibu. [DN 28, DN 33]
Sutta mengenai kehadiran gandhabba pada konsepsi kehamilan:
    Sang Buddha/petapa Asita Devala:
    Tuan-tuan, tahukah kalian bagaimana kemunculan janin (gabbhassa avakkanti) terjadi?’

    7 Brahmana:
    ’Tuan, kami tahu kemunculan janin. Di sini, penyatuan (sannipatitā) ibu dan ayah, dan ibu dalam masa subur (utunī), dan gandhabba hadir. Demikianlah kehamilan terjadi terjadi melalui perpaduan ke-3 hal ini.’

    Sang Buddha/petapa Asita Devala:
    'Kalau begitu, Tuan-tuan, apakah kalian tahu pasti apakah gandhabba itu seorang ksatria, atau brahmana, atau pedagang, atau pekerja?’

    7 Brahmana:
    'Tuan, kami tidak tahu pasti apakah gandhabba itu seorang ksatria, atau brahmana, atau pedagang, atau pekerja’

    Sang Buddha/petapa Asita Devala:
    ’Kalau begitu, Tuan-tuan, jadi siapakah kalian?’

    7 Brahmana:
    ’Kalau begitu, Tuan, kami tidak tahu siapa kami ini.’ [MN 93]

    Sang Buddha:
    “3 hal, Para bhikkhu, perpaduan kemunculan janin [sannipātā gabbhassāvakkanti] terjadi. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada kehadiran gandhabba - dalam kasus ini kemunculan janin tidak terjadi.

    Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, dan musim kesuburan ibu, tetapi tidak ada kehadiran gandhabba - dalam kasus ini kemunculan janin tidak terjadi.

    Tetapi jika ada perpaduan ibu dan ayah, dan musim kesuburan ibu, dan ada kehadiran gandhabba, melalui perpaduan ke-3 hal ini maka kemunculan janin terjadi. [MN 38]

    Note:
    Rig Veda 10.177.2: "Gandhava..dalam rahim" (ghandharvo..gharbhe antaḥ). Komentar Sāyaṇa di Ṛgveda-bhāṣya: Gandharva: dari gaḥ (suara) dan dhr (memegang) = nafas kehidupan

    Arti gandhabba = embriyo. Gandha+abba/ava: semerbaknya menarik; gam+tabba: Membuatnya menjadi. Arti lain: Penerus "kesadaran"

    atau di kamus Pali-Inggris:
    Kerap dikatakan bahwa gandhabba mendahului penghamilan/pembuahan; Ini karena keliru menterjemahkan kata gandhabba dalam kalimat (E.g., M.i.157, 265f) terkait keadaan yang diperlukan dalam pembuahan/kehamilan (mātāpitaro ca sannipatitā honti, mātā ca utunī hoti, gandhabbo ca paccupatthito hoti).

    Kitab-kitab komentar (E.g., MA.i.481f) menerangkan bahwa gandhabba di sini berarti tatrūpakasatta - tasmim okāse nibbattanako satto - artinya suatu makhluk yang siap terlahir pada orang tuanya.[Pali-English Oleh G.P. Malalasekera]. Juga lihat di sini

    Sutta menunjukan bahwa gandhabba adalah makhluk/Pañcakkhandhā/nāmarūpa

    Sang Buddha pada Ananda:
    "Kesadaran mengondisikan nāmarūpa (mentalmateri)” ...jika kesadaran, Ananda [viññāṇañca hi, ānanda], di rahim ibu [mātukucchismiṃ] tidak [na] hadir/muncul (berbaur) [okkamissatha: ava + kkam/kram → okkam + °issa (future) + °tha (orang ke-3, tunggal): akan hadir/muncul], akankah nāmarūpa di rahim ibu berkembang?’

    ‘Tidak, Bhagavā.’

    ‘Atau jika kesadaran, Ananda, di rahim ibu, setelah muncul [okkamitvā], gagal (berbaur) [vokkamissatha: vi/vo + kkamvokkam (tersimpangkan) + issa + tha: waktu/kondisinya tidak pas atau hilang kesempatan], akankah nāmarūpa dilahirkan dalam kehidupan ini?’

    ‘Tidak Bhagavā.’

    ‘Dan jika kesadaran, Ananda dari makhluk muda tersebut, laki-laki atau perempuan, dipotong (voc­chij­jis­satha), akankah nāmarūpa tumbuh, berkembang dan dewasa?’

    ‘Tidak, Bhagavā.’ [DN 15]

    Sang Buddha:
    .. 6 unsur melekat pada kemunculan janin (channaṁ...dhātūnaṁ upādāya gabbhassāvakkanti hoti), Ingatan hadir/berbaur dengan mental-materi (okkantiyā sati nāmarūpaṁ) .. [AN 3.61]. 6 unsur: catumahabhuta+ākasa+viññāṇa [AN 3.61]

    Sang Buddha tentang Kumara Kassapa:
    Ketika itu, usia Bhikkhu Kumāra Kassapa ditahbiskan adalah 20 tahun sejak di rahim (gabbhavīso)...

    “Para bhikkhu, Ketika dalam rahim ibu pikiran pertama telah muncul (Yaṁ, bhikkhave, mātukucchismiṁ paṭhamaṁ cittaṁ uppannaṁ), kesadaran pertama timbul (paṭhamaṁ viññāṇaṁ pātubhūtaṁ), kelahirannya dari sejak saat itu (tadupādāya sāvassa jāti)..” [Khandhaka, Mahavaga, Vinaya]

    Sang Buddha:
    ....“Seorang perempuan/pria tidak membawa tubuh ini ketika pergi (terlahir) (Itthiyā vā, purisassa vā nāyaṁ kāyo ādāya gamanīyo). Manusia ini pikiran-nya yang berlanjut (cittantaro ayaṁ, bhikkhave, macco. cittantaro = cittam-tara atau citta-antara) [AN 10.219]

    Yakkha Indaka:
    Karena para Buddha berkata bentuk bukanlah roh (Rūpaṃ na jīvanti vadanti buddhā), Bagaimanakah bentuk diperoleh? Darimanakah tulang dan hatinya? Bagaimanakah Ia melekat pada rahim?”

    Sang Bhagavā:
    Pertama-tama kalala; Dari kalala (1) muncul abbuda; Dari abbuda (2) dihasilkan pesī; Dari pesī (3) muncul ghana; Dari ghana (4) muncul pasākhā (5) (organ tubuh); Rambut kepala, bulu-badan, dan kuku. Dan apa pun makanan yang dimakan ibu, makanan dan minuman yang dikonsumsinya, dengannya Ia dipelihara, di dalam rahim ibu.” [SN 10.1, juga di Kv 14.2]

    Note:
    Katavathu: 6 landasan Indriya di rahim TIDAK MUNCUL sekaligus namun bertahap. Kitab komentar Yakkhasamyutta: kalala/gumpalan cairan = berukuran sebesar tetesan minyak di ujung benang yang terbuat dari 3 utas wol; abbuda/gumpalan memadat = berwarna seperti air bekas mencuci daging; pesī/gumpalan = menyerupai timah cair; Ghana/padat = berbentuk mirip telur ayam. Umur pertahap = 1 minggu, 4 tahap (kalala - ghana) = embriyo. Pasakh = fetus. Selama ± 42 minggu (4 minggu/embriyo + 38 minggu/fetus) terjadi pembentukan organ, kuku, rambut, dll. ["Conception and intrauterine life in the Pali Canon", Mathieu Boisvert dan "Life in the Womb: Conception and Gestation in Buddhist Scripture and Classical Indian Medical Literature", Robert Kritzer dan "a critical appraisal of garbha avkranti vis-a-vis modern embryology]. Beberapa ada yang > 45 minggu, 4 tahun, 5 tahun di dalam kandungan
Jadi, ada 2 proses berlainan:
  1. Proses kemunculan kesadaran dari makhluk lama, sebelum makhluk baru ada.
  2. Proses janin dalam rahim yang akan menjadi makhluk baru.
Yang kemudian menyatu dalam rahim menjadi makhluk baru

Kitab komentar [> abad ke 5 M] tentang patisandhi [penyambungan kembali, penyambung, penyambungan kesadaran]:
    "Kelahiran adalah kemunculan/penjelmaan di waktu kemudian (patisandhiti ayatim uppatti), penerusan kemunculan kehidupan baru dari kehidupan lama (bhavantara patisandhanato patisandhiti vuccati). Penggabungan satu kehidupan dan kehidupan lainnya (bhavato bhavassa patisandhanam patisandhi kiccam)".
Statement abad ke-5 ini 100% keliru. Kemunculan KEHIDUPAN BARU JUSTRU terjadi akibat kemunculan kesadaran. Kemunculan kesadaran terjadi akibat dari adanya kondisi dan BUKAN sebagai penyambungan nāmarūpa lama dan baru dan juga BUKAN karena kesadarannya yang berpindah.

Tumimbal lahir VS Reinkarnasi:
Reinkarnasi [latin: in carne] berasal dari terminologi Nasrani, dari bahasa Yunani [en sarki: "menjadi daging", Di ALKITAB 1 Tim 3:16; Yehezkiel 37:1-14; Yohanes 3:3-12]. Reinkarnasi Hinduism: Jiwa yang kekal, setelah mati, meninggalkan badan lama mencari badan baru. Jadi, reinkarnasi BUKANLAH konsep Buddhism [Tentang tidak adan roh/jiwa: di sini, di sini dan di sini].

Dalam Buddhism, yang wafat sebagai manusia/Dewa dan terlahir kembali sebagai manusia/Dewa jumlahnya sangat sedikit dibanding yang terlahir di alam-alam bawah:
    Sang Bhagavā mengambil sedikit tanah dengan ujung kuku jari-Nya dan berkata kepada para bhikkhu “Para bhikkhu bagaimanakah menurut kalian, mana yang lebih banyak: sedikit tanah yang Kuambil di ujung kuku jari tangan-Ku ini atau bumi ini?”

    “Yang Mulia, bumi ini lebih banyak. Sedikit tanah yang Bhagavā ambil di ujung kuku jari tangan Beliau adalah tidak berarti. Dibandingkan dengan bumi ini, sedikit tanah itu tidak perlu dihitung, tidak dapat dijadikan perbandingan, tidak sebanding bahkan dengan sebagian kecilnya.

    “Demikian pula, para bhikkhu:

    hanya sedikit sekali makhluk yang meninggal sebagai manusia dan terlahir kembali di antara: Deva (SN 56.105-107) atau Manusia (SN 56.102-104), namun banyak sekali yang terlahir kembali di alam: neraka/niraya (SN 56.102), binatang/tiracchānayoni (SN 56.103) atau makhluk halus/pettivisaye (SN 56.104, 105-107)

    hanya sedikit sekali makhluk yang meninggal sebagai deva dan terlahir kembali di antara: Deva (SN 56.108-110) atau Manusia (SN 56.111-113), namun banyak sekali yang terlahir kembali di alam: neraka, binatang atau makhluk halus” (SN 56.108-113)

    hanya sedikit sekali makhluk yang meninggal dari alam neraka dan terlahir kembali di antara: Deva (SN 56.117-119) atau Manusia (SN 56.114-116), namun banyak sekali yang terlahir kembali di alam: neraka, binatang atau makhluk halus (SN 56.114-119)

    hanya sedikit sekali makhluk yang meninggal dari alam binatang dan terlahir kembali di antara: Deva (SN 56.123-125) atau Manusia (SN 56.120-122), namun banyak sekali yang terlahir kembali di alam: neraka, binatang atau makhluk halus (SN 56.120-125)

    hanya sedikit sekali makhluk yang meninggal dari alam makhluk halus dan terlahir kembali di antara: Deva (SN 56.129-130) atau Manusia (SN 56.126-128), namun banyak sekali yang terlahir kembali di alam: neraka, binatang atau makhluk halus (SN 56.126-131)
Di masa lalu, telah terdapat banyak sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Arahat dan akan juga terjadi di masa depan, sehingga mereka tidak akan terlahir kembali, maka, apakah jumlah makhluk di seluruh semesta pada suatu masa yang sangat panjang di masa depan, akan menjadi habis? Jawaban spekulasi ini bisa "ya" atau "tidak", landasan argumen spekulasi selain "tuhan pencipta makhluk", juga dapat terkait kemampuan beberapa petapa (juga dewa tertentu) walaupun belum mencapai kesucian [SN 51.21, 17], namun mahir jhāna dan dengan kekuatan mentalnya, dapat mengembangkan iddhi (kesaktian):
  1. membuat tubuh ciptaan-pikiran dan dari tubuhnya, menghasilkan tubuh yang lain, berbentuk, ciptaan-pikiran, lengkap dengan semua bagian tubuh dan indriya [DN 2, MN 77],
  2. membuat tubuh dari satu menjadi banyak [misal SN 51.17,21, DN 2, MN 77]
Setelah mengembangkan tubuh ciptaan, bisa saja, pembuatnya tidak menarik kembali ciptaannya, apalagi tidak tertulis di sutta, jika pembuatnya wafat, ciptaannya lenyap, lagipula sang Buddha menyatakan, "Titik awal tak terlihat terhalang ketidaktahuan para makhluk yang terbelenggu kehausan diperjalanan samsara" [SN 15.1, SN 22.9, SN 56.35], sehingga tampak kokoh sebagai spekulasi pemikiran alasan/sebab bagi kemunculan tak hingga banyaknya makhluk "baru".

Namun dalam kisah Cūlapanthaka, yang membuat dirinya menjadi 1000 banyaknya, sang buddha menyampaikan: "'Pegang pinggir jubah yang pertama berkata Ia Cūlapanthaka,' dan ketika dilakukan, sosok lainnya-pun menghilang [RAPB II, hal.2574-84], jadi jangankan wafat, keberadaan tubuh ciptaan jelas terkait penciptanya. Disamping itu, arahat berkemampuan mengingat banyak kehidupan lampau dan dapat melihat para makhluk wafat dan muncul kembali, kemampuan sammasambuddha terkait ini tidak terbatas karena dapat sejauh yang beliau kehendaki [misal MN 71, Iti 99, AN 3.58], dengan kemampuan ini, bahkan di seluruh sutta, tidak pernah sang Buddha mendukung spekulasi adanya "tuhan pencipta makhluk" ataupun "tercipta dari pelaku iddhi" sebagai landasan kemunculan makhluk, di samping itu, Arahat "TIDAK berpikir sebagai seluruh, TIDAK berpikir (dirinya) di seluruh, TIDAK berpikir (dirinya) bagian dari keseluruhan, TIDAK berpikir seluruh miliknya, dan TIDAK menggembirai seluruh" [MN 1, MN 49], sementara eks ciptaan dan/atau pencipta tubuh, jelas bagian (dari seluruh) sehingga dari sudut ajaran, spekulasi "tuhan pencipta makhluk" atau "ciptaan dari pelaku iddhi", tidak mungkin dapat terjadi. []

---------------

SIKLUS: Hancur dan Terbentuknya Semesta

Sang Buddha disebut ‘Pengenal alam semesta'/Lokavidu [MN 95]. Siklus 1 kesatuan dunia adalah dalam maha kappa yang terdiri dari 4 sub kappa yang tak terhitung jumlahnya/lama waktunya (kappassa asaṅkhyeyyāni), yaitu Vivaṭṭati, Vivaṭṭo tiṭṭhati, Saṁvaṭṭati dan Saṃvaṭṭo tiṭṭhati [AN 4.156]. Keterangan dari kitab komentar antara lain: 1 Maha kappa berisi 4 asaṅkhyeyya kappā, masing-masingnya 64 antarakappa (umur manusia naik -turun - naik) (Ledi Sayadaw, abad ke-19 atau Visuddhimagga Mahà-Tikà, Abhidhammàttha-vibhàvani Tika), sehingga jumlahnya 256 antarakappa. Vasubhandu: Per sub Kalpa, 20 antara kalpa, totalnya 80 antara kalpa (Abhidharmakosa-Bhasya, Vasubandhu, abad ke-4/5 M, bab 3, Lokanirdesa, hal.1090-1095). 1 Maha Kappa = 4 x 20 antarakappa = 80 antarakappa neraka avici (Terasakandaa tika, Subkomentar Vinaya), sehingga ditautkan bahwa 1 kappa neraka avici = 3.2 kappa alam manusia (256/80). [Sang Buddha tidak pernah menyatakan 1 Mahakappa subnya per 20 antarakalpa, 64 antarakappa 256 antarakappa, ataupun totalnya 80 antarakalpa manusia/neraka avici]:
  1. Vivaṭṭati kappa (Masa mulainya semesta):
    Akan tiba waktunya, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut/penghancuran [samvattati]. Pada saat penyusutan, sebagian besar [Yebhuyyena] terlahir di alam Brahmā Ābhassara. Dan di sana mereka (bertubuh) ciptaan-pikiran [manomayā] dan riak kegiuran sebagai penunjang/makanan (pītibhakkhā) bercahaya (sayaṁpabhā), hidup demikian dalam waktu yang sangat lama. [DN 1, DN 27]. Akan tiba waktunya, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang sangat panjang, dunia mulai mengembang. Saat dunia mengembang, (1) sebuah tempat Brahmā kosong muncul. Kemudian satu makhluk tertentu, karena habis umur kehidupan atau jasa kebajikan-nya, makhluk Abhassara (ābhassarakāyā) jatuh dan (2) terlahir di tempat Brahmā kosong. Dan di sana (bertubuh) ciptaan-pikiran mengkonsumsi riak kegiuran/piti, bercahaya, melayang di antara batasan [antalikkha → sankrit: antar/diantara + īkṣa/tampak/batasan], agung, dan hidup demikian dalam waktu yang sangat lama [DN 1, DN 24]. makhluk yang pertama hadir pada awal pengembangan semesta inilah, kelak DISALAHPAHAMI, sebagai Tuhan Maha Pencipta.

  2. Vivaṭṭo tiṭṭhati kappa (Masa pengembangan semesta):
    Setelah satu makhluk tertentu ini sendirian sekian lama, muncul ketidakpuasan dan kekhawatiran, berpikir: "Oh, seandainya makhluk lainnya muncul ke sini!". Para makhluk lain alam Ābhassara, karena habis umur kehidupan atau jasa kebajikannya, jatuh (3) muncul di tempat Brahmā, menemaninya dan juga (bertubuh) ciptaan-pikiran mengkonsumsi riak kegiuran/piti, bercahaya, melayang di antara batasan, agung – dan hidup demikian selama waktu yang sangat lama. Dan kemudian, makhluk yang pertama muncul di sana berpikir: “Aku adalah Brahmā, Mahā-Brahmā, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, yang termulia, pembuat dan pencipta, penguasa, pengambil keputusan dan pemberi perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Makhluk-makhluk ini diciptakan olehku. Mengapa demikian? Karena akulah yang pertama memiliki pikiran: ‘Oh, seandainya beberapa makhluk lain dapat datang ke sini!’ itu adalah keinginanku, dan kemudian makhluk-makhluk ini muncul!”. [DN 1]

    Makhluk-makhluk lain yang muncul belakangan berpikir: “Ini, Teman-teman, adalah Brahmā, Mahā-Brahmā, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, yang termulia, pembuat dan pencipta, penguasa, pengambil keputusan dan pemberi perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Mengapa demikian? Kita telah melihat bahwa Ia adalah yang pertama di sini, dan bahwa kita muncul setelah dia.”’ [DN 1, DN 11, MN 49]

      Note:
      Kitab komentar: Akulah maha pengatur, Akulah yang mengatur para makhluk di posisinya: kamu menjadi yang mulia [mis: Ksatria], kamu menjadi brahmana [pendeta, ulama], kamu menjadi pedagang, kamu menjadi pekerja kasar, kamu perumahtangga, kamu menjadi petapa, kamu menjadi unta, kamu menjadi sapi [DA 1:111 f])

    ‘Dan makhluk yang muncul pertama ini hidup lebih lama, lebih indah dan lebih sakti daripada makhluk lainnya. Dan akan terjadi bahwa beberapa makhluk jatuh dari alam itu dan muncul di dunia ini. Setelah muncul di dunia ini, ia pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Setelah pergi, ia melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar (sammāmanasikāramanvāya) mencapai suatu kondisi tertentu dari pikiran terpusat hingga mampu mengingat kehidupan sebelumnya, tetapi tidak yang sebelum itu. Dan ia berpikir: “Brahma pencipta itu [bhavaṃ brahmā mahābrahmā], ... ia menciptakan kami, dan ia kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya. Tetapi kami yang diciptakan oleh Brahmā itu, kami tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini." [DN 1]

    Para Brahmā Ābhassara lain, setelah jatuh, (4) sebagian besar terlahir di alam ini (bertubuh) ciptaan-pikiran mengkonsumsi riak kegiuran/piti, bercahaya, melayang diantara batasan, agung – hidup demikian selama waktu yang sangat lama. Kemudian (5) muncul Ekodakībhūtaṃ (substansi cairan/seluruhnya cairan), diselimuti kegelapan, gelap gulita, tidak terlihat ada bulan, matahari, bintang dan konstelasinya. Setelah suatu masa yang lama, (6) muncul semacam sari gumpalan cair (rasapathavī udakasmiṁ samatani) seperti dadih di atas nasi susu panas saat dingin, memiliki warna, bau dan rasa, seperti dadi susu atau mentega murni, seperti madu tawon murni, Beberapa mencicipi dengan jarinya, akibatnya, cahaya tubuh mereka lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, (7) bulan-matahari, bintang dan konstelasinya muncul. Demikianlah, dunia ini mengembang lagi (Ettāvatā kho, vāseṭṭha, ayaṁ loko puna vivaṭṭo hoti). [DN 27]

    Setelah lama mengkonsumsi sari gumpalan itu, (8) tubuh menjadi lebih padat, lebih beragam warna, sari gumpalan lenyap. Kemudian, (9) Jamur tanah muncul, seperti cendawan. Setelah lama mengkonsumsi Jamur tanah itu, (10) tubuh menjadi lebih padat, lebih beragam warna, jamur tanah lenyap. Kemudian (11) tumbuhan merambat (padālatā/badalata) muncul seperti bambu (Rhys Davids)/semak/Convolvulus (Monier-Williams) [lihat Steven Collins]. Setelah lama mengkonsumsi tumbuhan merambat, (12) tubuh menjadi lebih padat, lebih beragam warna, tumbuhan merambat lenyap.

    Kemudian, muncul (13) tanaman padi matang (akaṭṭhapāko sāli) tanpa sekam, harum, bulir yang bersih. Setelah lama mengkonsumsi tanaman padi matang, (14) tubuh menjadi lebih padat, lebih beragam warna, muncul organ wanita bagi wanita, organ pria bagi Pria. [DN 27]. Muncul raja pertama yang ditunjuk penduduk [Mahā-Sammata] atau Raja pemutar roda (cakkavatin) untuk menegakkan dan melaksanakan aturan [DN 27]. Sutta dan Vinaya tidak menyebutkan nama Mahā-Sammata pertama, kitab komentar Vimanavatthu menyatakan namanya adalah Manu [Lihat: DPPN]

    Pada tahap puncak fase pengembangan terdapat lebih dari Tisahassi mahasahassi lokadhatu (1000 x 1000 x 1000 bulan-matahari, daratan, sineru, deva, Brahma [AN 3.80] dan "di antara loka-loka (lokantarikā), tanpa udara (aghā), luas (asaṃvutā), gelap (andhakārā), gulita (andhakāratimisā), cahaya matahari-matahari bulan-bulan yang kuat-perkasa tak dapat menjangkau (yatthapimesaṃ can­dima­sūriyā­naṃ evaṃ­ma­hiddhi­kā­naṃ evaṃma­hā­nubhā­vā­naṃ ābhā nānubhonti)" [SN 56.46; AN 4.127; MN 123; DN 14].

    Pada fase ini, mereka yang meninggal sebagai manusia atau sebagai dewa, sedikit sekali yang terlahir kembali di antara: Deva (SN 56.105-107, 56.108-110) atau Manusia (SN 56.102-104, 56.111-113), kebanyakan dari mereka terlahir di alam: neraka, binatang atau makhluk halus/Peta; Demikian pula yang meninggal dari alam neraka, binatang dan makhluk halus, sangat sedikit yang terlahir kembali menjadi Deva atau Manusia, kebanyakan terlahir di alam: neraka, binatang atau makhluk halus (SN 56.114-131). Abhidharmakosa-Bhasya: Periode kalpa ini mulai dengan kelahiran satu makhluk di neraka.

  3. Saṁvaṭṭati kappa (Masa penyusutan/kehancuran semesta):
    Akan tiba waktunya, hujan tidak turun selama bertahun-tahun, atusan tahun, ribuan tahun, ratusan ribu tahun. Ketika hujan tidak turun, benih-benih kehidupan dan tumbuh-tumbuhan, tanaman obat-obatan, rerumputan, dan pepohonan besar di dalam hutan menjadi layu dan mengering dan menjadi tidak ada lagi [AN 7.66]

    Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke-2 muncul, sungai-sungai kecil dan danau-danau mengering dan menguap dan menjadi tiada lagi [AN 7.66]. Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke-3 muncul, sungai-sungai besar, mengering dan menguap dan menjadi tiada lagi [AN 7.66]. Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke-4 muncul, danau-danau besar dari mana sungai-sungai besar itu berasal, mengering dan menguap dan menjadi tiada lagi [AN 7.66]. Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke-5 muncul, air di samudra raya kemudian menyurut hingga bahkan tidak dapat membasahi sendi jari kaki. [AN 7.66]. Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke-6 muncul, bumi ini dan Sineru, berasap, berpijar, dan menyala. [AN 7.66]

      Note:
      Sebelum kemunculan matahari ke-2, tumbuhan sudah tidak ada, terjadi kepunahan binatang dan manusia. Kemunculan matahari ke-6, kemusnahan dunia dan kamma loka (Struktur Sineru: "ayañca pathavī sineru"). Profesor James Kasting (Universitas negara bagian Pennsylvania): "lautan di Bumi akan hilang sekitar 1 miliar tahun, karena peningkatan suhu Matahari. Namun, sebelum planet menjadi gurun, tingkat CO2 di atmosfer akan terlalu rendah untuk menunjang kehidupan tanaman dan menghancurkan fondasi rantai makanan". Sutta tidak menyebutkan keberadaan bulan, tampaknya, jutaan tahun ke depan, bulan sudah bukan satelit Bumi akibat sangat lambatnya rotasi bumi

    Di fase penyusutan ini, makhluk-makhluk sebagian besar terlahir di alam Brahmā Ābhassara [DN 27]. Abhidharmakosa-Bhasya: lama periode ini 20 antara kappa, mulai periode dengan tidak adanya lagi makhluk yang terlahir di Neraka, kemudian berlanjut tidak ada lagi yang terlahir di alam binatang, Peta dan Alam Manusia. Kepunahan penghuni alam binatang dan Manusia terjadi bersamaan. Manusia di Jambudvipa, Purvavideha, Avaragodaniya terlahir di alam Brahma, sementara manusia di Uttarakuru, terlahir di alam kamaloka. berlanjut dengan para penghuni berbagai alam Kamaloka yang terlahir di alam Brahma dan para penghuni para alam brahma yang terlahir di alam Brahma Ābhassara. Abhidharmakosa-Bhasya tidak menceritakan terlahir di alam mana saja para binatang alam binatang ini setelah mati, namun tampaknya terlahir secara bertingkat setelah mati, dari alam Neraka ke alam binatang, Manusia dan Peta, dari alam binatang dan Peta ke alam manusia.

      Note:
      Kemunculan matahari-matahari ini, tampaknya akibat gaya tarik gravitasi antar bintang, antar galaxy, lubang hitam pada tiap galaxy dan karena revolusinya. Tata surya dan matahari mengorbit di sekitar pusat massa bersama/barycenter mereka (lihat gambar samping). Revolusi Matahari dan tata surya terhadap galaksi bima sakti: 220-230 km/s (828.000 km/jam), satu putarannya: 225-250 juta tahun bumi (disebut 1 tahun galaksi). Ada beberapa matahari lain yang berjarak kurang dari 9 tahun cahaya [ini dan ini], misal: (1) Proxima Centauri – 4.22 tahun cahaya; (2) Alpha Centauri A dan B – 4.37 Tahun Cahaya; (3) Barnard Star – 5.96 Tahun cahaya; (4) Wolf 359 – 7.78 Tahun Cahaya; (5) Sirius A dan b – 8.58 tahun Cahaya; (6) Luyten-8 A dan B – 8.73 Tahun Cahaya. [1 tahun cahaya = 9,46 x 1012 KM]. Jarak Matahari-Bumi rata-rata 1.5 x 108 KM. Prediksi waktu tabrakan antara galaksi Bima Sakti, Andromeda (M31) dan Triangulum (M3): Andromeda mendekati Bima sakti 2.000 x lebih cepat daripada bola bisbol (110 km/s) dan tabrakan ini terjadi dalam 4 miliar tahun [ini dan ini]

  4. Saṃvaṭṭo tiṭṭhati kappa (Masa kehancuran semesta):
    Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke-7 muncul, bumi (mahāpathavī) dan Sineru, meledak terbakar, menyala terang, dan menjadi kumpulan api besar. Ketika bumi dan Sineru menyala dan terbakar, apinya tertiup angin, menjulang hingga ke alam brahmā (hingga alam Mahabrahma: "brahmalokāpi gacchati"). Ketika kehancuran sedang berlangsung dan dikuasai oleh kumpulan besar panas, maka gunung-gunung menjadi hancur. Ketika bumi dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada terlihat abu atau jelaga. [AN 7.66]. Walaupun kehancuran mencapai alam-alam brahma, dan berakhir dengan habisnya umur kehidupan MahaBrahma, namun kehancuran akibat matahari ke-7, tidak pernah melanda alam Brahma ābhassara.

    Pada saat penyusutan/penghancuran, sebagian besar menjadi makhluk Brahmā Ābhassara (= bercahaya gemilang) di sana (bertubuh) ciptaan-pikiran [manomayā] mengkonsumsi piti (pītibhakkhā), bercahaya (sayaṁpabhā), hidup demikian selama waktu yang sangat lama [DN 1, 27]. Keadaan setelah matahari ke-7, tidak terlihat bulan, matahari, bintang dan konstelasinya (Na candimasūriyā paññāyanti, na nakkhattāni tārakarūpāni paññāyanti) [DN 27]. Guru Sunetta (yang adalah kelahiran lampau Siddharta Gotama), setelah mengembangkan Metta selama 7 tahun, setelah wafat, selama 7 Kappa, saat masa penyusutan, beliau terlahir di alam ābhassara dan saat masa pengembangan, terlahir kembali di sebuah Brahma kosong (suññaṃ brahmavimānaṃ) [AN 7.62, 76, Iti.22].

    Sutta dan Vinaya tidak menyebutkan lama waktu padamnya kobaran setelah kemunculan matahari ke-7 serta lama waktu terjadinya kekosongan semesta dan alam Mahabrahma. Abhidharmakosa-Bhasya: Periode kekosongan kalpa ini lamanya 20 antara kalpa. Visnu Purana (setelah Masehi), buku 6, bab 3-4, juga menyampaikan kehancuran dunia yang terkait 7 matahari.

      Note:
      Semesta terdiri dari partikel sub atom/Partikel Fermion yaitu kuark dan lepton. Ketika partikel kuark dan anti kuark berbaur akan membentuk foton virtual/partikel cahaya, yang hidup sebentar kemudian meluruh menjadi partikel baru (dapat menjadi elektron dan anti elektron/positron atau pasangan quark lain atau pasangan lain seperti muan dan anti muon). Setelah kemunculan matahari ke-7, sebagian besar terlahir sebagai Brahmā Ābhassara (Brahma bercahaya), bertubuh ciptaan-pikiran hidup dari mengkonsumsi piti. Tampaknya tubuh manomayo Brahmā Ābhassara jauh lebih halus dari partikel matahari dan tubuh MahaBrahma sehingga ketika matahari ke-7 muncul, mereka tidak terpengaruh. Saat pengembangan semesta, sebagian besar brahma Abhasara terlahir sebagai makhluk bertubuh manomaya yang lebih kasar dan juga hidup dari mengkonsumsi piti. Tampaknya, di awal perkembangan semesta, peluruhan piti ini kemudian menjadi (1) tempat Brahmā kosong, kemudian, peluruhan piti dari makhluk Manomaya (dan juga makhluk Abhasara) menjadi (2) substansi Ekodakībhūtaṁ dan saat itu, belum ada bulan-matahari dan bintang. Di MN 56: "Jika seorang petapa/brahmana punya penguasaan pikiran (cetovasippatto) dan memiliki kekuatan supra (iddhi), maka hanya dengan satu perbuatan pikiran membenci (manopadosena), Ia mampu menghancurkan kota nāḷandā". Perkembangan selanjutnya semesta, tampaknya terkait dengan pikiran Mahabrahma, sehingga Ekodakībhūtaṁ menjadi rasapathavi udakasmiṁ dan perkembangan selanjutnya juga terkait pikiran dari para Manomaya, yang menjadikan bulan-matahari dan bintang menjadi muncul.
Selama Maha Kappa ini, telah muncul 4 Buddha. Di buku ke-1 RAPB yang bersumber dari kitab komentar, terlihat pola kenaikan dan penurunan umur di maha kappa ini saat kemunculan 4 Buddha yang selisihnya 1 antara kappa atau lebih:
    Di antara kappa ke-8 [menurut Mahà Rajavaÿsa] atau antara kappa ke-1 [menurut Hmannan Rajavaÿsa]. Umur kehidupan manusia perlahan-lahan turun dari asankhyeyya → 40.000 tahun dan Buddha Kakusandha muncul (usianya 40.000 tahun) [hal.363-364].

    Setelahnya, dalam bhadda kappa ini, umur kehidupan manusia perlahan-lahan turun dari 40.000 tahun → 10 tahun → naik menjadi Asankhyeyya → turun lagi hingga 30.000 tahun, Buddha Konàgamana muncul (usianya 30.000 tahun) [hal.369]

    Setelahnya, dalam bhadda kappa ini, umur kehidupan manusia perlahan-lahan turun dari 30.000 tahun → 10 tahun → naik menjadi asankhyeyya → turun lagi hingga 20.000 tahun dan Buddha Kassapa muncul (usianya 20.000 tahun_ [hal.374]

    Setelahnya, dalam bhadda kappa ini, umur kehidupan manusia perlahan-lahan turun dari 20.000 tahun → 10 tahun → naik menjadi asankhyeyya → turun lagi menjadi 100 tahun dan Buddha Gotama muncul (usianya 80.000 tahun) [hal.547, 835]

    Note:
    Sang Buddha menyatakannya seperti ini (ketika bicara tentang nama-nama lampau gunung puncak burung Nasar (gijjhakūṭe pabbate):
    Di masa lampau, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Pācīnavaṁsa, dan pada saat itu orang-orang ini disebut Tivara, ukuran usia (āyuppamāṇaṁ) para Tivara adalah 40.000 tahun. Mereka mampu mendaki Gunung Pācīnavaṁsa dalam 4 hari dan turun dalam 4 hari. Pada saat itu Sang bhagavā arahat sammāsambuddha Kakusandha, muncul di dunia ini ...lihatlah, para bhikkhu! Nama gunung itu telah lenyap, orang-orang itu telah mati, dan Sang Bhagavā itu telah mencapai Nibbāna akhir.

    “Di masa lampau, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Vaṅkaka, dan pada saat itu orang-orang ini disebut Rohitassa, ukuran usia para Rohitassa adalah 30.000 tahun... Pada saat itu Sang bhagavā arahat sammāsambuddha Koṇāgamana, muncul di dunia ini ...Lihatlah, para bhikkhu! Nama gunung itu telah lenyap, orang-orang itu telah mati, dan Sang Bhagavā itu telah mencapai Nibbāna akhir.

    Di masa lampau, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Supassa, dan pada saat itu orang-orang ini disebut, ukuran usia para Suppiya adalah 20.000 tahun ...Pada saat itu Sang bhagavā arahat sammāsambuddha Kassapa, muncul di dunia ini....Lihatlah, para bhikkhu! Nama gunung itu telah lenyap, orang-orang itu telah mati, dan Sang Bhagavā itu telah mencapai Nibbāna akhir.

    Di masa sekarang, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Vepulla, dan pada saat ini orang-orang ini disebut Magadha, ukuran hidup para Magadha ini singkat, terbatas, cepat berlalu; seorang yang hidup panjang 100 tahun atau lebih sedikit. Para Magadha mendaki Gunung Vepulla dalam 1 jam dan turun dalam 1 jam. Pada saat ini, Aku muncul di dunia ini, seorang arahat sammāsambuddha... Akan tiba masanya, para bhikkhu, ketika nama gunung ini lenyap, ketika orang-orang ini mati, dan Aku akan mencapai Nibbāna akhir. [SN 15.20].

    Lama umur hidup Buddha-buddha tersebut di atas sesuai dengan ukuran usia orang-orang pada masanya (DN 14), pengecualian pada Buddha Gotama, umur kehidupanNya 80 tahun (DN 16, SN 47.9, MN 89) di bawah ukuran usia orang-orang pada jamannya (100 tahun - DN 14, SN 15.20). Sementara kitab yang belakangan hadir di KN yaitu Buddhavamsa keliru menyatakan usia Buddha Gotama: "Āyu vassasataṁ tassa gotamassa yasassino (Umur hidup Gotama yang termasyhur ini 100 tahun)” (Bv 4, 21) dan "Appaṁ vassasataṁ āyu idānetarahi vijjati; Tāvatā tiṭṭhamānohaṁ, tāremi janataṁ bahuṁ. (Sekarang saat kini umur hidup terbatas 100 tahun, Sepanjang itulah aku bertahan, Menyelamatkan banyak orang" (Bv 27)
Kemunculan Buddha Metteyya:
Diawali kemunculan Raja Cakkavati Daḷhanemi dan turunannya yang menjadi raja, Umur mereka lebih dari 80,000an tahun. Turunan ke-7 memecahkan tradisi, turun tahta sebelum waktu dan menjadi śamaṇa tapi tidak mewariskan tuntunan moralitas kepemimpinan, akibatnya kemiskinan meningkat, pencurian mulai, institusi hukuman menjadi ada, pembunuhan dan kejahatan merajalela sehingga umur manusia merosot dari 80,000an → 100 tahun dan akibat di tiap generasinya terus terjadi peningkatan kejahatan dan kemerosotan moral, umur merosot hingga tidak lebih dari 10 tahun dan menikah di usia 5 tahun; makanan lebih buruk; Moralitas akan tidak dikenali. Orang keji dan tidak bermoral akan menjadi pemimpin. Perkawinan antar saudara kandung merajalela. Di antara yang berumur 10 tahun, tidak ada yang dianggap ibu atau bibi, saudara ibu, istri guru, atau istri ayah dan lain-lain, semua dianggap sama. Permusuhan, kebencian hebat, kemarahan besar dan pikiran membunuh, antara ayah - ibu, ibu - anak, ayah - anak, sesama saudara pria dan wanita. Kemudian perang besar terjadi, Yang kurang agresif akan bersembunyi di hutan dan di beberapa tempat. Di akhir perang, yang selamat keluar dari persembunyian, menyesali perbuatan, mulai berkelakuan baik, seiring moralitas meningkat, umur, kesehatan dan kesejahteraan meningkat, usia meningkat dari 10 tahun → 80.000an tahun. Ketika manusia kembali berumur lebih dari 80.000 tahun, di Ketumati, akan muncul raja Cakkavati bernama Saṅkha dan juga seorang Buddha bernama Metteyya (DN 26)

Sang Buddha Gautama dan/atau para Arahat lain TIDAK ADA menyatakan Buddha Metteyya akan muncul setelah 1 antara kappa berikutnya atau di antara kappa terakhir Maha kappa ini. Bisa jadi, kemunculannya akan lebih lama dari 4 Buddha sebelumnya, karena DN 16, seusai pembagian relik Buddha Gautama, para sepuh konsili ke-1 menyatakan, "Di ratusan kappa belum tentu ada seorang Buddha (Buddho have kappasatehi dullabhoti)". []

Berapa banyak tahun dalam 1 Asenkheyya Kappa dan berapa banyak kappa yang telah berlalu?

Sistem ukuran hitung yang digunakan India pada saat itu:
    1 tila/wijen = 1 sāsapa/sarshapa/Mustard = 1 yūka/kutu, dari "Antiquities of India: An Account..", Lionel D. Barnett, hal. 206, 209, 217-218:

    • "...8 liksā = 1 tila/sarshapa, 8 tila/sarshapa = 1 yava, 8 yava = 1 angula, 6 angula = 1 pada, 2 pada = 1 vitasti (12 angula), 2 vitasti = 1 hasta (24 angula), 4 hasta = 1 danda/dhanu (96 angula), 8000 danda = 1 yojana (768,000 angula).." [Gaṇita sāra san̄graha 1.25-31, Mahāvīra, Jain, abad ke-9 M]. Markandeya Purana bab 49 menggunakan yūka bukan tila] (hal.218). Sarngadhara Samhita buku 1, 1.15 (abad ke-14): "8 sarshapa = 1 Yava" (hal.209). Manu Smrti 8.23.131-137: "3 liksā = 1 raja/gaura sarshapa (mustard putih/hitam), 6 gaura sarshapa = 1 yava" (hal.206)

    • "... 8 liksā = 1 yūka, 8 yūka = 1 yava, 8 yava = 1 aṅgula, 12 angula = 1 vistasti, 2 vistasti = 1 hasta/aratni/ratni (24 aṅgula), 4 hasta/aratni = 1 danda/danus (96 angula), 84 angula = 1 vyáma/tinggi badan manusia, 108 aṅgula = 1 garhapatya dhanus/ukuran tinggi yang digunakan tukang bangunan, 1000 dhanus = 1 goruta (suara lenguhan sapi masih dapat terdengar), 4 goruta (= 4000 dhanus) = 1 yojana kecil (384,000 aṅgula)..." [Kautilya Arthashastra, buku 2. ch.20]

    Tinggi (unmāna) orang dikelompokan dalam 3 ukuran angula: 108 (superior), 96 (sedang), atau 84 (inferior) [Brihat samhita 68.105]
    Bhāskarācārya (abad ke-12 M): "..., 8 yava = 1 angula, 1 hasta = 4 x 6 angula, 4 hasta = 1 danda (96 angula), 2000 danda = 1 krosa (192,000 angula), 4 krosa (= 8000 danda) = 1 yojana (768,000 angula); 1 ghanahasta/kubus hasta, hasta3 (Panjang x lebar x tinggi) adalah 1 khari/gerobak Magadha". [Līlāvatī, Bhāskarācārya, John Taylor, M.D, hal.2-3].
    Rhys Davids dalam terjemahan SN: menurut kitab komentar "takaran Kosala untuk 1 patha ke atas 4 x Magadha. '20 khari = 1 kharika, atau sekeranjang tila jenis kecil Magadha'"
    Konversi unit terkecil di Mesir, Mesopotamia, China, Yunani, Jepang dan Romawi, dikisaran: "1.6 - 1.9 cm" ("The Harappan Linear Measurement Unit, in Reports on Field Work Carried out at Mohenjo-Daro", Rottländer 1983, hal.205). Untuk India, ukuran angula ke cm: (1) 12 ukuran inchi Indus (12 x 3.12 inch), yaitu panjang 5 bagian dari cangkang kerang yang ditemukan Mohenjo-daro, jarak dari titik ke lingkaran (2 angula/33.528 mm), di mana tiap bagian, panjangnya 6.7056 mm [12 (6.7056 mm x 5)] = 1.674 cm; (2) 1.763 cm dan (3) 34 ukuran inch Inggris = 1.905 cm. ["New Insights into Harappan Town-Planning, Proportions and Units, with Special Reference to Dholavira", Michel Danino, hal.12].
    1000 dhanu = 1000 x 96 angula (1000 x 96 x 1.674) = 1.609344 km = 1 mil saat ini, Etimologi mil adalah milia "ribuan" plural dari mille "seribu", oleh karenanya, dalam konversi, saya gunakan 1 angula = 1.674 cm. 1 Yojana = 7 mil/11.249 km (8000 x 84 x 1,674 cm) atau 8 mil/12.856 km (8000 x 96 x 1,674 cm) atau 9 mil/14.484 km (8000 x 108 x 1,674 cm). Dalam konversi saya gunakan yang ukuran 96 angula/8 mil/12.856 km [↓]
Untuk perkiraan lama 1 maha kappa, yang terdiri dari 4 sub kappa yang tak terhitung jumlahnya/lama waktunya (kappassa asaṅkhyeyyāni), Sang Buddha memberikan 2 perumpamaan:
  1. "Batu padat tanpa celah dan lubang, berdimensi 1 yojana³, di setiap akhir 100 tahun, seseorang menggosok batu itu dengan kain kāsi yang sangat halus (kāsikena vatthena) bahkan hingga terkikis habis, ini masih lebih cepat dari berakhirnya 1 Kappa" [SN 15.5]
  2. "kota besi (āyasaṁ nagaraṁ) berdimensi 1 yojana³, setiap 100 tahun diisi 1 biji mustard (sāsapa, bahkan hingga kota besi itu penuh, ini masih lebih cepat dari 1 Kappa" [SN 15.6]
Misalkan usaha setiap 100 tahun menggosok batu dengan kain kāsi yang sangat halus, menghasilkan serbuk seukuran kutu atau biji wijen atau mustard. Metoda hitung India menyatakan: 1 tila/wijen = 1 sāsapa/Mustard = 1 yūka/kutu. Di mana 8 yūka/tila/sāsapa = 1 yava, dan 8 yava = 1 aṅgula, maka: 1 angula = 64 kutu/yūka atau 64 biji mustard/sāsapa (8 yava x 8 yūka/sāsapa)

(Dengan 1 yojana = 8 mil/12,856 km), maka jumlah tahun dalam 1 asaṅkhyeyya kappa = (12.856 x 106 mm)³ x 64 kutu/biji mustard x 100 tahun = 1.35997 x 1025 tahun "dan ini masih lebih cepat dari berakhirnya 1 Kappa".
Jumlah 1 siklus kappa (1 maha kappa) = 4 x 1.35997 x 1025 tahun = 5.4399 x 1025 tahun "dan ini masih lebih cepat dari berakhirnya 1 Kappa"

Berapa banyak Kappa yang telah berlalu, Sang Buddha sampaikan dalam 2 perumpamaan:
  1. "Misalkan terdapat 4 bikkhu yang umurnya mencapai umur 100 tahun, setiap harinya ia dapat mengingat 100.000 Kappa, namun bahkan dari seluruh kappa yang mereka ingatpun, lebih banyak lagi kappa yang telah berlalu" [SN 15.7]

    Jumlah Kappa yg diingat dan telah berlalu = 4 x 100 tahun x 365 hari x 100.000 kappa = 14.6 milyard maha kappa dan "lebih banyak lagi kappa yang telah berlalu"

  2. "Jumlah butiran pasir sungai Ganga, dari asal/hulu hingga samudra, namun bahkan dari jumlah pasir itu, lebih banyak lagi kappa yang telah berlalu [SN 15.8]

    Ganga: asumsi Panjang = 2525 km (situasi India saat ini), asumsi lebar di musim hujan = 3 - 6 km (asumsi lebar 3 km). asumsi dalamnya pasir dari permukaan tanah = 1 meter. Volume pasir sungai Ganga = (2525 x 106 mm) x (3 x 106 mm) x (1 x 103 mm) = 7.575 x 1018 mm³ pasir. Diameter butiran pasir berkisar 0.06 mm s.d 2 mm (asumsi digunakan, pasir ukuran besar = 2 mm). Volume 1 butir pasir = 1/6 x 22/7 x 2 mm = 4.19 mm³.

    Jumlah pasir/maha kappa = 7.575 x 1018/4.19 mm³ = 1.8076 x 1018 maha kappa dan "lebih banyak lagi (maha)kappa yang telah berlalu"
---------------

HORIZONTAL: tri-sahasra-mahasahasra-dhatu (3 lipat semesta dari Ribuan Sistem Dunia)

Menurut Buddhism, galaxy triliunan jumlahnya:
    "Bhante, di hadapan Sang Bhagavā, aku mendengar ini; di hadapan Beliau aku mempelajari ini: ‘Abhibhū, seorang siswa Sang Bhagavā Sikhī, sewaktu sedang menetap di alam brahmā, menyampaikan suaranya ke 1000 alam (sahassilokadhātuṃ).’ Berapa jauhkah, Bhante, Sang Bhagavā, Sang Arahant, yang telah memutus rantai penjelmaan dengan benar sempurna, dapat menyampaikan suaraNya?”

    “Ia adalah seorang siswa, Ānanda. Tathāgata adalah tidak terukur (appameyyā)

    sejauh, Ananda, (yāvatā, ānanda) Bulan-Matahari (candimasūriyā) membawa ke sekeliling arah (pariharanti disā) sinar cahayanya (bhanti virocanā) sebanyak 1000 alam/dunia (tāva sahassadhā loke). Di 1000 alam ini (tasmiṃ sahassadhā loke) 1000 rembulan, 1000 matahari, 1000 raja gunung Sineru, 1000 Jambudīpa, 1000 Aparagoyāna, 1000 Uttarakuru, 1000 Pubbavideha, 1000 empat mahasamudra; 1000 empat maharaja, 1000 (alam) ­cātuma­hārāji­kā/4 rajadewa, 1000 Tāvatiṃsa, 1000 Yāma, 1000 Tusita, 1000 nimmānaratī/deva yang bersenang dalam penciptaan, 1000 ­paranim­mita­vasavat­tī­/deva yang mengendalikan ciptaan deva lain, 1000 alam brahmā

    (Paragraph ini juga ada di AN 10.29, dengan tambahan, "sejauh, para bhikkhu, 1000 alam/sahassī lokadhātu, Mahābrahmā yang terunggul. Tapi bahkan Mahābrahmā-pun terjadi penggantian; terjadi perubahan..")

    Ini Ananda disebut (ayaṃ vuccatānanda) 1000 dunia kecil (sahassī cūḷanikā lokadhātu)
    Ananda, 1000 dunia kecil sebanyak 1000 dunia (sahassī cūḷanikā lokadhātu tāva sahassadhā loko) dinamakan "dvisahassī majjhimikā lokadhātu".
    Ananda, 1000 dunia menengah sebanyak 1000 dunia (dvisahassī majjhimikā lokadhātu tāva sahassadhā loko) dinamakan "tisahassī mahāsahassī lokadhātu".

    Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, Ia dapat menyampaikan suara (saranena) hingga Tisahassi mahasahassi lokadhatu [AN 3.80]

    Note:
    Suara dapat ada di angkasa luar, lihat ini dan ini.
    Sahassi lokadhātu = sahassī cūḷanikā lokadhātu: 1000 alam Brahma serta ribuan alam di bawahnya. Dvisahassi lokadhātu = Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu: 1000 x 1000 = 1.000.000. Tisahassi lokadhātu = Tisahassi Mahasahassi lokadhatu: 1.000.000 x 1000 = 1.000.000.000 dan ada yang lebih dari itu, misal: "10.000 alam (Dasasahassilokadhātuṃ)" [MN 123]

    Juga: "..Ia mendengar bahwa Brahmā 1000 berumur panjang, rupawan, dan menikmati kebahagiaan luar biasa. Sekarang Brahmā 1000 berdiam dengan bertekad meliputi 1000 dunia [sahassilokadhātuṃ]...Brahmā 2000.. [dvisahassilokadhātuṃ] … Brahmā 3000.. [tisahassilokadhātuṃ] … Brahmā 4000 … Brahmā 5000.. Brahmā 10.000.. [Dasasahassasilokadhātuṃ],..Brahmā 100.000 berdiam dengan bertekad meliputi 100.000 dunia [satasahassasilokadhātuṃ]... Ia mendengar bahwa para dewa Bercahaya … para dewa Akaniṭṭha ..!’" [MN 120]

    Untuk AN 3.80: "bulan-matahari membawa ke seliling arah sinar cahayanya sebanyak 1000 dunia"

    Loka = TEMPAT KEHIDUPAN makhluk (tidak identik dengan planet) dan Dhātu = elemen. Di Galaxy Bimasakti, TIDAK SEMUA matahari punya planet dengan kehidupan, bisa jadi terdapat beberapa matahari dengan planet yang didiami bentuk kehidupan yang tidak punya pemahaman (na paṭijānare/ājānati), LEBIH JARANG LAGI menemukan matahari dengan planet yang dihuni makhluk yang memiliki pemahaman (paṭijānare/jānati) dan JAUH LEBIH JARANG LAGI menemukan planet yang disebut jambudwipa, di mana, pernah ada Sammasambuddha yang muncul di situ. Keseluruhan kumpulan Galaxy = ekissā lokadhātuyā, di mana, jika ada 1 sammasambuddha muncul di satu jambuwipa mana saja, maka tidak lagi mungkin, muncul Samasambuddha lainnya pada jambudwipa tertentu lain di salah satu dari seluruh kumpulan galaxy

    Triliunan alam (Jambudipa..Brahma) berada di bawah alam ābhassarā devā, yang merupakan bagian kecil dari satu kesatuan dunia (ekissā lokadhātuyā), muncul dan berakhirnya hanya dalam 1 Mahakappa saja.

    Pengertian lokadhātuya melingkupi: sahassada loka, cakkavala (arti cakkavāḷa: bentuk melingkar; galaxy/tata surya; Ini merujuk pada suatu sistem dunia yang mencakup bentuk Brahma, deva dan manusia. Kata ini dalam bagian tipitaka, hanya ada pada bagian sutta yang muncul setelah abad ke-2 SM), sahassi-lokadhatuya [culanika, majjhimanika, mahasahassi,..., dasasahassi, satasahassilokadhatuya] adalah bagian kecil dari "ekissā lokadhātuyā".

    Tentang lokanatarika:
    "di antara loka-loka (lokantarikā), tanpa udara (aghā), luas/tak berbatas (asaṃvutā), gelap (andhakārā), gulita (andhakāratimisā), cahaya matahari-matahari bulan-bulan yang kuat-perkasa tak dapat menjangkau (yatthapimesaṃ can­dima­sūriyā­naṃ evaṃ­ma­hiddhi­kā­naṃ evaṃma­hā­nubhā­vā­naṃ ābhā nānubhonti)" [SN 56.46; AN 4.127; MN 123; DN 14] adalah area tidak berpenghuni di antara sahassadhā loka

    Ratusan tahun setelah Buddha parinibbana, muncul-lah definisi Buddha-khetta/ruang lingkup Buddha: Jati-khetta/lingkup kelahiran, Ana-khetta/lingkup kewenangan dan Visaya-khetta/lingkup kebijasanaan [Jinalankara Tika dan kitab komentar Parajika]. Definisi yang berasal dari aliran Mahayana (akhir abad ke-1 SM) juga mempengaruhi aliran Theravada (misalnya di KN, Apadana yaitu di Buddhāpadāna, yang ditulis ke bahasa Pali pada abad ke-1/2 M), berkembang subur pada sutra-sutra baru Mahayana bahwa terdapat Buddha-buddha lainnya di lokadhatu lain di banyak arah mata angin pada saat Buddha Gotama ada[↓]. Ide tentang ini telah tertolak:

    1. Tertolak di konsili ke-3 (3 SM): Abhidhamma, KathaVathu 21.6
    2. "Para SamBuddha di masa lampau (Ye ca atītā sambuddhā), Para Buddha di masa depan (ye ca buddhā anāgatā); SamBuddha di masa kini (Yo cetarahi sambuddho" [SN 6.2 dan AN 4.21. → penggunaan kata jamak untuk masa lalu dan masa depan, namun tunggal untuk masa kini] + "Buddho have kappasatehi dullabhoti" (Sesungguhnya Buddha dalam ratusan kappa sulit ditemukan) [DN 16]
    3. "..sadiso me na vijjati; sadevakasmiṃ lokasmiṃ, natthi me paṭipuggalo" (Yang sepertiku tidak ada; di seluruh alam beserta para dewanya, tidak ada yang serupaku) [MN 26, MN 85, Vinaya: Mahakhanda dan di It.112]
    4. "Aṭṭhānametaṃ anavakāso yaṃ ekissā lokadhātuyā dve arahanto sammāsambuddhā apubbaṃ acarimaṃ uppajjeyyuṃ" (Tidak mungkin ada 2 sammasambuddha muncul bersamaan di satu kesatuan alam kehidupan) [DN 19, 28; MN 115; AN 1.277. Juga Vb 16.10.10]. Menurut MiliandaPanha 6.1.1: (1) Jagad ini hanya mampu mendukung untuk 1 Sammasambuddha. Alasan ini kurang tepat karena di AN 9.20: 100 Arahat = 1 Pacceka Buddha; 100 Pacceka Buddha = 1 Sammasambuddha. sehingga, 10.000 Arahat = 1 Sammasambuddha, dan jumlah Arahat melebihi itu. (2) "jika 2 samasambuddha muncul bersama, akan timbul perselisihan di antara para pengikut mereka, akan ada kata: 'Buddha kalian, Buddha kami', akan ada persaingan". Alasan ini tidak kuat karena: "kebenaran satu, tidak ada yang kedua" [SNP 4.12], seluruh sammasambuddha masa lalu, masa depan dan Buddha Gotama: memutus rantai penjelmaan dengan cara yang sama, mengajarkan dhamma yang sama [DN 28, SN 47.12, AN 3.137, SN 56.24] dan sama-sama akan memiliki sepasang siswa utama [SN 47.14]. Kemunculan Sammasambuddha diketahui para Dewa seluruh alam pada satu kesatuan system dunia ini sehingga yang bertekad mencapai kesucian dan berusaha keras untuk menemukan jalannya, ketika tahu ada yang sudah mencapainya, Ia akan bergegas untuk bertanya dan belajar. Jika tidak tahu, para deva akan membantunya untuk tahu, misalnya kasus Bāhiya dārucīriya [Ud 1.10], konsekuensinya tidak pernah mungkin ada 2 sammasambuddha muncul bersamaan di kesatuan jagad ini, bahkan Paccekabuddha pun tidak akan muncul di jaman yang sama, karena mereka semua akan belajar darinya sehingga akan disebut Savaka Buddha.
Seluruh lokadhatu ini merupakan suatu kesatuan dunia (ekissa lokadhatuya: baik itu ke arah Utara, Selatan, Timur, Barat, dan seterusnya di 10 arah), yang terbagi menjadi 9 kelompok makhluk. [Juga lihat: BLOG INI dan BLOG INI] []

---------------

VERTIKAL: Alam-Alam Kehidupan

Beda Dewa vs Malaikat
    Dewa-dewa Buddhis, walau berumur panjang, TIDAK ABADI, ketika habis umurnya, yang tidak mencapai Nibbana, terlahir kembali di alam yang: sama atau lebih tinggi atau lebih rendah
    Dewa-dewa Buddhis, TIDAK MAHA TAHU, pengetahuannya LEBIH RENDAH dari para Buddha dan Arahat dan para makhluk suci; TIDAK MENCIPTAKAN/MEMBENTUK DUNIA. Terlahir dari karmanya, tunduk pada sebab-akibat seperti makhluk lainnya; TIDAK BERPERAN DALAM KIAMAT.
    Dewa-dewa Buddhis TIDAK MAHA KUASA. Kekuatan mereka terbatas di alamnya atau yang lebih rendah. Jarang campur tangan dengan persoalan alam manusia, campur tangannya lebih ke bentuk nasehat/petunjuk daripada fisik
    Dewa-dewa Buddhis BUKAN CIPTAAN makhluk ADIKUASA seperti kepercayaan Pantheisme, Politheisme, Monotheisme. Juga BUKAN PERLAMBANGAN dan BUKAN OBJEK SEMBAH, ada yang punya gairah/nafsu ada yang tidak (mis: Brahma), Dewa kamaloka punya hasrat seperti manusia, misal: birahi, cemburu, marah, dll.
Jumlah kelompok makhluk
Abhidhammattha-Sangaha, abad ke-11/12 M, oleh Acariya Anuruddha: 31 struktur: 4 alam arupa + 27 alam rupa: 16 alam Brahma (7 jhāna ke-4 + 9 jhāna ke-1 s.d ke-3) + 11 alam kama (6 alam deva + 1 alam manusia + 4 alam menderita). Alam manusia ke atas disebut alam bahagia, di bawahnya disebut alam menderita.

Di Abhidhamma, Vibhanga 18 (abad ke-3/2 SM s.d sekitar tahun 50 SM) dan juga di Cnd 9, 22, disebutkan tentang 3 jenis Deva: (1) sammutideva (kalangan umum: Raja, Ratu/putri kerajaan/deviyo dan para pangeran/rājakumārā; (2) upapattideva (karena kemunculan: catumaharajika dan seterusnya) dan (3) visuddhideva (karena kesucian: arahat), juga 30 struktur: 4 keadaan menderita (Peta, Asura, binatang dan Neraka) + 1 alam manusia + 6 alam deva + 9 brahma (jhāna 1 s/d 3) + 10 brahma (jhāna ke-4: 1 untuk deva asanna dan vehapphala + 5 suddhavasa + 4 arupa).

Namun sutta-sutta TIDAK PERNAH menyebut jumlah alam, malah SEKURANGNYA ADA 91 struktur: 30 Brahma (4 arupa + 23 rupa) + 60 dewa Kāmadhātu + 1 alam manusia + 3 keadaan menderita atau bahkan hingga 1000 alam (ref. AN 3.80).

3 versi di atas ini, Satu kesatuan alam Buddhisme, terbagi ke dalam 9 kelompok makhluk (AN 7.44, DN 15, 33, 34):
  1. viñ­ñā­ṇaṭ­ṭhiti/sandaran kondisi menyadari: ragam bentuk/tubuh (nānattakāyā), ragam persepsi (nānattasaññino) seperti manusia, para deva tertentu, para makhluk menderita tertentu (seyyathāpi manussā ekacce ca devā ekacce ca vinipātikā)
  2. viñ­ñā­ṇaṭ­ṭhiti: ragam tubuh (nānattakāyā: dari ragam landasan yang digunakan: padat, panas, getar, dll), kesamaan persepsi (ekattasaññino) seyyathāpi (seperti) devā brahmakāyikā (Para deva bentuk Brahma) dari jhāna ke-1 (paṭhama+abhi+nibbattā)
  3. viñ­ñā­ṇaṭ­ṭhiti: kesamaan tubuh (ekattakāyā), ragam persepsi (nānattasaññino): devā ābhassarā (para deva Brahma bercahaya gemilang). "unsur terlihat/cahaya (ābhādhātu) keberadaannya terkait/disebabkan bentukan gelap (andhakāraṁ paṭicca paññāyati)" [SN 14.11]
  4. viñ­ñā­ṇaṭ­ṭhiti: kesamaan tubuh (ekattakāyā), kesamaan persepsi (ekattasaññino): devā subhakiṇhā (Brahma keindahan gemilang) = Subhanteva adhimutto hoti (yaitu di persepsi keindahan) [Di PS 1.5: dengan Mettā,..., upekkhā]. "unsur menyenangkan/indah (subhadhātu) keberadaannya terkait yang tidak menyenangkan/indah (asubhaṁ paṭicca paññāyati)" [SN 14.11]
  5. āyatana/landasan: Tidak sepenuhnya mengalami tidak berpersepsi (asaññino appaṭisaṃvedino): devā asaññasattā [Para deva yang tidak (sepenuhnya mengalami tidak) berpersepsi], masih "ada penolakan"/reaksi untuk persepsi rupa tertentu, atau BELUM: "ketergantungan tunggal (ekattasitā) satu ketenang-seimbangan (upekkhā ekattā)" [MN 137]
  6. viñ­ñā­ṇaṭ­ṭhiti: Sabbaso (Telah sepenuhnya) rūpasaññā samatikkamā (melampaui persepsi bentuk/materi: internal/pada dirinya dan eksternal/di luar dirinya, seperti: bentukannya, warnanya, tampilan warna dan corak warnanya, terbatas/tidak terbatas, indah/buruk, dst) paṭighasañña (persepsi menolak: karena benci/jijik atau reaksi) atthaṅgamā (mereda/lenyap) nānatta-saññānaṃ (keragaman persepsi: menurut VB 17: "persepsi kama, byapada, vihimsa - ini yang disebut keragaman persepsi. Seluruh persepsi akusala keragamanan persepsi"/Kāmasaññā, byāpādasaññā, vihiṃsāsaññā—ayaṃ vuccati “nānattasaññā”. Sabbāpi akusalā saññā nānattasaññā. Ini aneh karena ke-3 persepsi itu di jhāna ke-ke-1 s.d 4, harus sudah tidak ada) amanasikara (tidak perhatian/perhatian tidak pada, "nānatta-saññānaṃ amanasikara" = "ekattasitā") [Merasakan/mengetahui:] 'ākāso (penglihatan/ruang) ananto (tak berbatas)' ākāsa•anañca•ayatana•upaga (landasan penglihatan/ruang tak berbatas tercapai). [Mulai tingkatan ini], upekkha (jhāna ke-4) terkait persepsi non jasmani [MN 137]. "unsur penglihatan/ruang tak berbatas (ākāsānañcāyatanadhātu) keberadaannya terkait bentukan/materi (rūpaṁ paṭicca paññāyati)" [SN 14.11]. Sang buddha: "bukan hal yang tepat untuk bertanya (Na kho eso..pañho evaṃ pucchitabbo): 'di mana 4 itu lenyap tanpa sisa (kattha nu kho,..,ime cattāro mahābhūtā aparisesā nirujjhanti)', pertanyaan yang seharusnya (evañca kho eso,.., pañho pucchitabbo): 'di manakah 4 hal itu tidak punya pijakan? (Kattha āpo ca pathavī, tejo vāyo na gādhati)'". [Jawabannya:] "kesadaran tidak beratribut/membandingkan (viññāṇaṃ anidassanaṃ) memancar ke segala sisi tak berbatas (anantaṃ sabbato pabhaṃ)" [DN 11, MN 49]. “misalkan seseorang membawa pewarna merah, jingga, nila, atau merah tua, berkata: ‘Aku akan membentuk coretan di (dimensi) ruang (ahaṁ imasmiṁ ākāse rūpaṁ likhissāmi), membuat bentuk muncul (rūpapātubhāvaṁ karissāmī’ti). 'dapatkah seseorang membentuk coretan di ruang, membuat bentuk muncul?”—“Tidak dapat (no hetaṁ), Karena (ayañhi) ruang tidak berbentuk tidak beratribut (ākāso arūpī anidassano) [MN 21]. Jadi, akasa = arūpī anidassano = viññāṇaṃ anidassanaṃ = sabbaso rūpasaññānaṁ samatikkamā paṭighasaññānaṁ atthaṅgamā nānattasaññānaṁ amanasikārā (telah sepenuhnya melampaui persepsi bentukan, persepsi menolak mereda/lenyap, tidak perhatian/perhatian tidak pada ragam persepsi)
  7. viñ­ñā­ṇaṭ­ṭhiti: Telah sepenuhnya melampaui landasan penglihatan/ruang tak berbatas, [merasakan/mengetahui:] 'viññāṇa (Kesadaran) ananta (tak berbatas)' viññāṇa•anañca•ayatana•upaga (landasan kesadaran tak berbatas tercapai). "unsur kesadaran tak berbatas (viññāṇañcāyatanadhātu) keberadaannya terkait landasan penglihatan/ruang tak berbatas (ākāsānañcāyatanaṁ paṭicca paññāyati)" [SN 14.11]
  8. viñ­ñā­ṇaṭ­ṭhiti: Telah sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tak berbatas, [merasakan/mengetahui:] 'natthi (tak ada) kinci (apapun)', ākiñcañña•ayatana•upaga (landasan tak ada apapun tercapai). "unsur tak ada apapun (ākiñcaññāyatanadhātu) keberadaannya terkait landasan kesadaran tak berbatas (viññāṇañcāyatanaṁ paṭicca paññāyati)" [SN 14.11]
  9. āyatana: Telah sepenuhnya melampaui landasan tak ada apapun, [merasakan/mengetahui:] neva­•saññā­•na•asañña•ayatana•upaga (Landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi tercapai) [AN 7.44, 9.24, DN 15, 33, 34]. "unsur bukan persepsi bukan tanpa persepsi (nevasaññānāsaññāyatanadhātu) keberadaannya terkait landasan tidak ada apapun (ākiñcaññāyatanaṁ paṭicca paññāyati)" [SN 14.11]

    Unsur lenyapnya perasaan dan persepsi (saññāvedayitanirodhadhātu) keberadaannya terkait kelenyapannya (nirodhaṁ paṭicca paññāyatī)

    Unsur (terlihat/cahaya, menyenangkan/Indah, penglihatan/ruang tak berbatas, kesadaran tak berbatas dan tidak ada apapun) (ābhādhātu .. subhadhātu .. ākāsānañcāyatanadhātu .. viññāṇañcāyatanadhātu .. ākiñcaññāyatanadhātu), dicapai dengan pencapaian persepsi (saññāsamāpatti pattabbā). Unsur persepsi bukan tanpa persepsi, dicapai dengan pencapaian dengan sedikit sisa dari bentukan kondisi (pikiran) (saṅkhārāvasesasamāpatti pattabbā). Unsur lenyapnya perasaan dan persepsi, dicapai dengan pencapaian kelenyapan (nirodhasamāpatti pattabbā) [SN 14.11]
Struktur Alam Vertikal:

I. ALAM A-RŪPADHĀTU/LOKA (non persepsi rupa)
Penghuninya juga punya nāmarūpa, setelah habis umurnya, yang tidak nibbana, akan terlahir ke alam bawahnya (tidak harus berurutan, dapat langsung ke alam apaya). Kemunculannya di arupa karena pencapaian persepsi yang ditekuni sebelumnya, Ia haus, ketagihan dan senang dengan itu sehingga memunculkan kesadaran, memunculkan nāmarūpa/Pañcakkhandhā:
    Menjelang makhluk wafat, pertemuan indriya pikiran/mano dan objeknya/dhamma (obejek pikiran) → muncul Kesadaran pikiran/manoviññāṇa. Ketiganya disebut kontak → meneruskan kehidupan → memunculkan nāmarūpa/Pañcakkhandhā

    Kontak → muncul Vedana/perasaan. Perasaan dan Persepsi/saññā dan kesadaran/viññāṇa adalah tergabung bukan terpisah. Tidak dapat memisahkan kondisi ini satu sama lainnya untuk menggambarkan beda antaranya. Yang dirasakan, itu yang dipersepsikan/sañjānāti; yang dipersepsikan, itu yang dikenali/vijānāti [MN 43]. Persepsi, perasaan, yang menyertai pikiran, kondisi ini terikat dengan pikiran, itulah persepsi, perasaan, bentukan pikiran/cittasaṅkhāroti [MN 44]

    Kemunculan RUPA (bukan dalam artian literal namun sebagai sifat):

    1. Sebagai Paṭhavī (landasan, sokongan) → Kesadaran dan kondisi penerusan adalah landasannya, yaitu dari persepsi tertentu, sekurangnya, telah melampaui persepsi rupa, penolakan/reaksi persepsi lenyap dan tidak perhatian pada ragam persepsi rupa;
    2. Sebagai Āpo (merekat, melekat) → karena tanha, nandi, raga menyebabkan melekatnya/berbaurnya nāmarūpa: Kesadaran, persepsi dan perasaan tergabung bukan terpisah. Persepsi dan perasaan dan yang menyertai pikiran, terikat dengan pikiran/Citta, maka ada citta dan cittasaṅkhāroti. Karena itu adalah perbuatan maka ada bentukan pikiran dan juga cetana;
    3. Sebagai Vāyo (gerak, mengalir, tiupan, getar, tekanan, kondisi, keadaan, sirkulasi, aksi mempertahankan) → kekuatan mempertahankan bentukan, yaitu selama persepsi itu berlangsung;
    4. Sebagai Tejo: kekuatan, energi, tajam, menusuk, terbakar, terhabiskan, terkonsumsi, bentukan umur/umur kamma, yaitu ketika ada persepsi lain atau padamnya persepsi karena kondisi tertentu
Itulah sebabnya di alam a-rupa, nāmarūpa juga ada.
  1. neva-saññā-na-a-saññā-āyatana,"Landasan bukan persepsi bukantanpa persepsi". Salah satu penghuni: Uddaka Rāmaputta. Unsur bukan persepsi bukan tanpa persepsi, dicapai dengan pencapaian dengan sedikit sisa dari bentukan kondisi (pikiran) (saṅkhārāvasesasamāpatti pattabbā) [SN 14.11]. Kemelekatan terbaik (Upādānaseṭṭhaṁ), yaitu landasan bukan persepsi bukan tanpa-persepsi. [MN 106]. Deskripsi landasan ini (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di landasan ini):

    1. telah sepenuhnya melampaui landasan tak ada apapun, [Mengetahui:] landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi tercapai (nevasaññānaasaññaayatanaṃ upasampajja viharati) [MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36], atau

    2. Tidak perhatian pada (amanasikaritvā) persepsi: landasan kesadaran tidak berbatas dan landasan tak ada apapun (viññāṇañcāyatanasaññaṃ ākiñcaññāyatanasaññaṃ), Perhatian hanya terkait pada (paṭicca manasikaroti ekattaṃ) landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (nevasaññānāsaññāyatanasañña). Di persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (tassa nevasaññānāsaññāyatanasaññāya) pikirannya (cittaṃ) mendapatkan kepuasan (pakkhandati), kejelasan (pasīdati), kokoh (santiṭṭhati), dan menetap/condong (adhimuccati) [MN 121]

    3. Siswa mulia mempertimbangkan: Kāmā, kāmasaññā, rupa, rūpasaññā, di saat ini, di masa depan, persepsi Tanpa Gangguan, persepsi landasan tak ada apapun – segalanya adalah persepsi. Di sini (Yatthetā) seluruhnya (aparisesā) berhenti (nirujjhanti) damai (santa) luhur (panitam) - yaitu di landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (yadidaṁ nevasaññānāsaññāyatanan’ti). Melatih demikian (tassa evaṃ­paṭi­pannassa), kerap berdiam di landasan ini (tab­bahu­la­vihārino āyatane), pikirannya menjadi murni/mendapat kejelasan (cittaṃ pasīdati). Ingat saat ketenangannya (sampasāde sati etarahi) atau dengan mengetahui tercapai landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (vā nevasaññānāsaññāyatanaṁ samāpajjati paññāya) atau menetap/condong, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian (vā adhimuccati kāyassa bhedā paraṁ maraṇā), adalah mungkin kesadaran ini berkembang mencapai landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi. [MN 106]

    Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (wafat) terlahir di antara Deva nevasaññānāsaññāyatana (nevasaññānāsaññāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati) [AN 4.171]. Di 5 Nikaya, TIDAK ditemukan berapa panjang umur kehidupan deva alam ini, jika melihat peningkatan dari urutan sebelumnya, maka umur kehidupan deva ini bisa jadi MELEBIHI dari umur deva ākiñcaññāyatana. Di Vibhanga 18, umur kehidupan deva alam ini disebutkan sepanjang 84.000 kappa (Caturāsīti kappasahassānīti) dan informasi tersebut, dikutip ulang di kitab non kanon pali, Patisandhicatukka, Abhidhammattha-sangaha. Walau kelihatannya, ini mengikuti pola, namun jelas bukan sabda sang buddha (Atau para arahat lain yang hidup di jaman sang Buddha di konsili ke-1 atau para Arahat yang merupakan murid para Arahat jaman sang Buddha, yang ikut di konsili ke-2), maka informasi ini bisa saja kita abaikan.

  2. ākiñcañña-āyatana, "Landasan tak ada apapun". Salah satu penghuni: Āḷāra Kālāma. Deskripsi landasan ini (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di landasan ini):

    1. telah sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tak berbatas, [merasakan:] 'natthi (tak ada) kinci (apapun)', landasan tak ada apapun tercapai (ākiñcaññāyatanaṃ upasampajja viharati) [MN 111/Anupadasutta, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]

    2. Kāmā, kāmasaññā, rūpā, rūpasaññā, di saat ini, di masa depan, persepsi Tanpa Gangguan (āneñjasaññā) — segalanya adalah persepsi (sabbā saññā). Di sini (Yatthetā) seluruhnya (aparisesā) berhenti (nirujjhanti) damai (santa) luhur (panitam) - yaitu di landasan tak ada apapun (yadidaṁ ākiñcaññāyatana) [MN 106];

    3. (suññatā cetovimutti): 'kosong dari diri atau milik diri/terkait diri' (suññamidaṃ attena vā attaniyena) [MN 106, juga MN 43, SN 41.7];

    4. 'dalam cara apapun, bukan aku (nāhaṃ kvacani) dikarenakan apapun juga (kassaci kiñcanatasmiṃ), dalam cara apapun juga, bukan milikku (na ca mama kvacani) tidak karena apapun (kismiñci kiñcanaṃ natthī)'. [Alternatif terjemahan: "Aku bukan milik siapa pun di mana pun dan tidak ada yang menjadi milikku di mana pun"] [MN 106, juga AN 3.70, 4.185];

    Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva ākiñcaññāyatana dengan batasan kehidupan 60.000 kappa (ākiñcaññāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahabyataṃ upapajjati...saṭṭhi kappasahassāni āyuppamāṇaṃ) [AN 3.116]

    Landasan tak ada apapun adalah puncak pembebasan pikiran tidak terlibat (upekkhācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [SN 46.54, yaitu brahmavihārā]


  3. viññāṇañca-āyatana,"Landasan kesadaran tak berbatas”. Deskripsi landasan ini (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di landasan ini):

      telah sepenuhnya melampaui landasan ruang/penglihatan tak berbatas, [merasakan:] 'viññāṇa (Kesadaran) ananta (tak berbatas)', landasan kesadaran tak berbatas tercapai (viññāṇaanañcaāyatana upasampajja viharati) [MN 111/Anupadasutta, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]

    Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva viññāṇañcāyatana dengan batasan kehidupan 40.000 kappa (viññāṇañcāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahabyataṃ upapajjati...cattārīsaṃ kappasahassāni āyuppamāṇaṃ) [AN 3.116]. Landasan ini juga disebut persepsi Tanpa Gangguan (āneñjasaññā) [MN 106]

    Landasan kesadaran tak berbatas adalah puncak pembebasan pikiran puas tanpa membedakan (muditācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [SN 46.54]

  4. ākāsānañca-āyatana, "Landasan penglihatan/ruang tak berbatas". Deskripsi landasan ini (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di landasan ini):

      telah sepenuhnya melampaui persepsi bentukan, persepsi menolak mereda/lenyap, tidak perhatian/perhatian tidak pada ragam persepsi [Merasakan:] 'ākāso (ruang/melihat) ananto (tak berbatas)', landasan ruang/penglihatan tak berbatas tercapai [MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]

    Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva ākāsānañcāyatana dengan batasan kehidupan 20.000 kappa (ākāsānañcāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahabyataṃ upapajjati...vīsati kappasahassāni āyuppamāṇaṃ) [AN 3.116]. Landasan ini juga disebut persepsi Tanpa Gangguan (āneñjasaññā) [MN 106]

    Landasan ruang/penglihatan tak berbatas adalah puncak pembebasan pikiran tanpa kekejaman (karuṇācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [SN 46.54]

II. ALAM RŪPADHĀTU/LOKA
Yang terlahir di Rupadhatu adalah karena wafat dalam jhāna I s.d 4, yang lahir di Kamadhatu karena wafat tidak dalam jhāna. Alam terbaik Rupadhatu adalah Śuddhāvāsa/"alam murni" (Sudha: menjadi bersih dari, Avasa: kekotoran mental). Hanya para anāgāmī (ana+āgāmi/na+āgāmī, "tidak kembali", disebut juga MahaBrahma) yang terlahir di sini, melanjutkan latihan hingga nibbana dan TIDAK 1 non anāgāmī-pun, TIDAK PULA Bodhisatta yang pernah terlahir di alam ini:
    Ketika sang Buddha menetap di Ukkhaṭṭha, Beliau berkunjung ke alam Aviha ("takkan Jatuh", alam no.9, alam terendah kelompok alam Suddhavasa). [Note: 7 bhikkhu murid Buddha Gotama terlahir di sini: Upaka, Palagaṇḍa, Pukkusati, Bhaddiya, Bhaddadeva, Bahudanti dan Piṅgiya - SN 1.50]. Sang Buddha bertemu ribuan deva anāgāmī alam itu yang terlahir setelah menjalani kehidupan suci di jaman Buddha Vipassi (91 Maha kappa lalu)..kemudian, bertemu ribuan deva anāgāmī alam itu yang terlahir setelah menjalani kehidupan suci di jaman Buddha Sikhi (31 Maha Kappa).. Vesabbhu (31 Maha kappa).. Kakusandha (Kappa yang sama dengan Buddha Gautama).. Konagama.. Kassapa.. dan Gautama..

    Kemudian,
    Bersama ribuan deva alam Aviha, mereka berkunjung ke alam Atappa ("tenang/tanpa kekhawatiran", alam no.8). Di alam ini, Sang Buddha bertemu ribuan deva anāgāmī alam itu yang terlahir setelah menjalani kehidupan suci di jaman Buddha Vipassi..Sikki.. dan Gautama..

    Kemudian,
    Mereka semua berkunjung ke alam Suddhasa ("Indah", alam no.7). Di alam ini, Sang Buddha bertemu ribuan deva anāgāmī alam itu yang terlahir setelah menjalani kehidupan suci di jaman Buddha Vipassi..Sikki.. dan Gautama..

    Kemudian,
    Mereka semua berkunjung ke alam Suddhasi ("Penglihatan jelas", alam no.6). Di alam ini, Sang Buddha bertemu ribuan deva anāgāmī alam itu yang terlahir setelah menjalani kehidupan suci di jaman Buddha Vipassi..Sikki.. dan Gautama..

    Kemudian,
    Mereka semua berkunjung ke alam Akanittha ("tidak rendah/muda", alam no.5, alam tertinggi kelompok alam suddhavasa). Di alam ini, Sang Buddha bertemu ribuan deva anāgāmī alam itu yang terlahir setelah menjalani kehidupan suci di jaman Buddha Vipassi..Sikki.. dan Gautama...[DN 14]

    Note:
    Kelak Deva Sakka menjadi anāgāmī di alam akaniṭṭhā, [DN 21: Te paṇītatarā devā, akaniṭṭhā yasassino; Antime vattamānamhi, so nivāso bhavissati yang terbaik dari para deva, akanittha yang tersohor, penjelmaanku terakhir, menjadi alamku]
Seluruh penghuni tertua masing-masing alam menyatakan menjadi anāgāmī di jaman Buddha Vipassi, melihat Buddha Vipassi berkunjung ke alam mereka. TIDAK SATUPUN yang menyatakan diri mencapai anāgāmī SEBELUM jaman Buddha Vipassi (misal: Buddha Phusa, 92 Kappa sebelum Gautama /1 Kappa sebelum Vipassi)

Sehingga,
  1. WAKTU MAKSIMUM tercapainya arahat di alam Suddhavasa TIDAK LEBIH DARI 91/92 Kappa

  2. Dari sejarah 7 Buddha, setelah mencapai keBuddhaan, 1 Brahma anāgāmī tertentu alam ini mengunjunginya, maka WAKTU TERLAMA KEKOSONGAN kemunculan seorang Sammasambuddha seharusnya TIDAK MELEBIH 91/92 Kappa pula. Konsekuensinya:

      Klaim kitab Vibhanga 18 dan Kathavatthu 2.7 (muncul SETELAH abad ke-3 SM) bahwa umur kehidupan, deva alam Aviha: 1000 Kappa; Attapa: 2000 Kappa; Suddasa: 4000 Kappa; Suddasi: 8000 Kappa; Akkanittha: 16.000 Kappa, dan
      Klaim kitab komentar Buddhaghosa, abad ke-5 M tentang lamanya kebahagiaan di alam brahma: 31.000 Kappa sebelum akhirnya Nibbana yang dialami: Visākhā, Sakka dan Anāthapindika, yang terlahir sebagai uddhaṃsoto akaniṭṭhagāmī: di Avihā (1000 kappa) + Atappa (2000 kappa) + Sudassa (4000 kappa) + suddassi (8000 kappa) + Akanittha (16.000 kappa). (DA.iii.740: ..avihesu kappasahassaṃ vasissati, atappesu dve kappasahassāni, sudassesu cattāri kappasahassāni, sudassīsu aṭṭha, akaniṭṭhesu soḷasāti ekatiṃsa kappasahassāni brahmaāyuṃ anubhavissati. Sakko devarājā anāthapiṇḍiko gahapati visākhā mahāupāsikāti tayopi hi ime ekappamāṇaāyukā eva..)

    TIDAK DIDUKUNG informasi sutta-sutta 5 nikaya awal (sebelum konsili ke-3. Untuk nikaya ke-5 bagian khuddaka Nikaya yaitu Peta/vimanavatthu, Apadana, Cariyapitaka dan Buddhavamsa, muncul SETELAH konsili ke-3, paling cepat di akhir abad ke-2 SM.

  3. TIDAK SATUPUN anāgāmī alam Suddhavasa menyatakan:
    sebagai murid Buddha Amitabha (dan/atau 4 Buddha arah mata angin lain yang ada dalam versi Mahayana) dan/atau
    pernah mendengar adanya tentang Buddha Amitabha (dan/atau 4 Buddha arah mata angin lain yang ada dalam versi Mahayana) yang konon masih hidup hingga saat ini

    Oleh karenanya, Sutta ini:
    MEMBANTAH klaim Mahayana tentang adanya system dunia lain dengan sammasambuddha berbeda yang hidup di kurun waktu yang sama dan para sammasambuddha ini saling mengenal keberadaan mereka di system dunia lainnya
    MENEGASKAN bahwa TIDAK ADA system dunia lainnya kecuali hanya 1 system dunia saja dan TIDAK ADA 2 SammasamBuddha dapat muncul bersamaan dalam system dunia ini
Para anāgāmī yang wafat belum mencapai Arahat, akan terlahir kembali ke tingkat yang lebih tinggi (maksimum hingga alam akkhanita) di alam-alam Śuddhāvāsa dan takkan terlahir lagi di luar alam itu hingga mencapai Nibbana/parinibbana
  1. asaññasatta
    Dalam AN 9.24 dan DN 33: "asaññino appaṭisaṃvedino (tidak sepenuhnya mengalami tidak berpersepsi)". Landasan keadaan menyadarinya (viñ­ñā­ṇaṭ­ṭhitiyo) di kesamaan persepsi (ekattasaññino) tentang persepsi bentuk/rupasanni: "Ajjhattaṃ arūpasaññī eko (tidak membentuk persepsi secara internal/pada dirinya) bahiddhā rūpāni passati (melihat bentukan di luar dirinya): parittāni/appamāṇāni (terbatas/tak terbatas) suvaṇṇadubbaṇṇāni (kesan indah-buruk) [AN 8.65, AN 8.66], masih ada reaksi/penolakan persepsi (paṭi­gha­saññā­naṃ). Jadi, ".., asaññasattā nāma devā. Saññuppādā ca pana te devā tamhā kāyā cavanti (.., para dewa tidak berpersepsi. Ketika muncul persepsi, para dewa itu jatuh dari alam itu)" [Patika Sutta, Brahmajala Sutta].

    Arahat Sobhita dikatakan pernah terlahir sebagai makhluk asanna (Kitab komentar untuk Theragāthā 1.2.3.3). Sutta di 4 Nikaya awal TIDAK MENYATAKAN seberapa panjang umur kehidupan deva alam ini, namun di Vibhanga 18 dikatakan umur kehidupan alam ini 500 Kappa (= deva Vehapphala)

    Contoh dari kitab komentar Dhammapada:
    Ketika Sang Buddha berpiṇḍapāta di Rajagaha, Ia melihat seekor induk babi muda yang kotor. Beliau tersenyum, ketika ditanya Ananda, jawab beliau, "Ananda, babi ini dulunya seekor ayam betina di masa Buddha Kakusandha. Karena tinggal dekat ruang makan vihara, Ia biasa mendengar khotbah Dhamma, ketika wafat, terlahir menjadi seorang putri. Suatu ketika di kakus, Ia melihat belatung dan tersadar akan sifat ketidakmenarikan tubuh. Setelah wafat, Ia terlahir menjadi brahma puthujjana dan karena beberapa perbuatan buruk sebelumnya, Ia kemudian terlahir sebagai babi betina. Ananda! Lihat, karena perbuatan baik dan buruk tiada akhir di lingkaran kehidupan" [..][Dhammapada, syair 338-343]

    Mahasi Sayadaw meneruskan kisah di atas:
    Babi betina muda tersebut, kemudian terlahir di Tathon, Suvannabhumi di keluarga bangsawan. Berturut-turut terlahir di Baranasi, di pelabuhan Suppara, di keluarga pedagang kuda, di pelabuhan Kavira di kelurga pelaut, di Anuradhapura di keluarga pemimpin, dan di desa Bhokkanta, Utara Anuradhapura sebagai putri seorang kaya bernama Sumana. Bersama ayahnya, tinggal di desa Mahāmuni in Dīghavāpi. Lakuntaka Atimbam perdana mentri raja Dutthagāmani [Abad ke-2/1 SM] melihatnya, menjadikannya istri dan tinggal di Mahāpunna. Suatu hari, bhikkhu Maha Anula dari Vihara Kotitapabbata saat berpiṇḍapāta melihatnya tengah berdiri di depan pintu dan berkata ke bhikkhu lainnya, "kawan, sungguh mengagumkan..babi muda betina ini sekarang telah menjadi istri menteri". Ketika Sumana mendengarnya, Ia ingat kehidupan lampaunya dan memperoleh samvega/dorongan menempuh kesucian, setelah memasak untuk suami, Ia minta ditahbis para bhikkhuni kelompok pañcabalaka. Setelah mendengar khotbah Mahāsatipaṭṭhāna di vihara Tissamahārāma, ia mencapai sotapatti. Ketika ada kerusuhan oleh kaum Damila (Tamil), ia ke desa Bhokkanta, tinggal di kekerabatnya. Setelah mendengar khotbah āsīvisopama di vihara Kallaka-Mahāvihāra, Ia mencapai arahat. [The Ups and Downs of Rebirth, Mahasi Sayadaw; DPPN: Ubbarī]

    Note:
    Alasan muncul Samvega: ada kematian [AN 5.77], merasa di masa depan: Dhamma sudah tidak lagi baik [AN 5.78], tidak ada lagi Guru yang sempurna [AN 5.79] atau Sangha menurun kualitasnya [AN 5.80]

    Terlahir sebagai makhluk asaññā satta dan berakhir menjadi makhluk asanna

    Perasaan, persepsi dan kesadaran, kondisi ini tergabung, bukan terpisah. Yang dirasakan, itu yang dipersepsikan; Yang dipersepsikan, itu yang dikenali [MN 43]. Persepsi, perasaan, yang menyertai pikiran, kondisi ini terikat dengan pikiran, itulah persepsi, perasaan, bentukan pikiran [MN 44]. Nāmarūpa/mentalmateri mengkondisikan kesadaran dan kesadaran mengkondisikan nāmarūpa, nāmarūpa mengkondisikan kontak [DN 15]

    Landasan kesadaran adalah kontak (phassa): Indriya + objek-objeknya sebagai kondisi → muncul kesadaran Indriya. Pertemuan ke-3nya disebut kontak indriya.
    Dengan kontak Indriya sebagai kondisi, muncul perasaan
    Apa yang dirasakan, itu yang dipersepsikan
    Apa yang dipersepsikan, itu yang dipikirkan;
    Apa yang dipikirkan, itu yang dikembangbiakkan
    Apa yang dikembangbiakkannya sebagai: sumber, persepsi dan gagasan, melanda seseorang melalui objek-objek dalam bentuk masa: lalu, sekarang dan depan yang dikenali Indriya [MN 18]

    Di menjelang kematiannya, Ia tidak membentuk persepsi secara internal/tentang diri sendiri pada bentuk luar apakah terbatas/tidak untuk kesan indah-buruk (masih ada persepsi penolakan/paṭigha) yang membuatnya terlahir sebagai makhluk asanna.

    Di suatu kondisi kemudian, bentukan pikirannya membuat persepsi kesan indah-buruk, maka salah satu perasaan (menyenangkan atau tidak menyenangkan atau bukan keduanya) muncul. Saat itulah kehidupannya sebagai makhluk asanna berakhir dan terlahir kembali sebagai makhluk baru yang terkait persepsi dan perasaan terakhirnya itu. [↓]

  2. Vehapphala, "Yang mendapatkan Hasil/buah yang baik"
  3. Kitab komentar Sammohavinodanī untuk vibhanga, karya Buddhaghosa (Abad 5 M) menyatakan beberapa Anāgāmi terlahir di alam ini [DPPN]. Para Ariyasavaka dapat mencapai arahat di alam ini. Jika Ia wafat, belum arahat, Ia akan terlahir di alam Sudhavasa.

    Keindahan adalah puncak (subhaparamāhaṁ) Pembebasan pikiran tanpa memusuhi (mettācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi (uttarivimuttiṁ appaṭivijjhato) [SN 46.54]. Sutta dan Abhidhamma, tidak menjelaskan apakah subhaṁ vimokkhaṁ hanya sampai alam jhāna ke-3 saja (karena deva alam ini disebut Brahma subhakiṇhā), namun tampaknya sangat mungkin subhaṁ vimokkhaṁ juga termasuk alam Brahma Vehapphalā/jhāna ke-4, karena di samping bentukan/rupa, ada yang subha dan asubha, juga karena alam jhāna ke-4 ada pula devā asaññasattā [Para deva yang tidak (sepenuhnya mengalami tidak) berpersepsi], akibat masih "ada penolakan"/reaksi untuk persepsi rupa tertentu, atau BELUM: "ketergantungan tunggal (ekattasitā) satu ketenang-seimbangan (upekkhā ekattā)" [MN 137], sehingga perhatian benar pada: gambaran tidak menarik (asubhanimitta yoniso manasikaroto) [SN 46.2, 51; AN 1.11-20], gambaran keindahan (subhanimitta) dan gambaran menjemukan (paṭighanimitta) adalah makna dari perhatian benar pada pikiran bebas permusuhan (metta cetovimutti yoniso manasikaroto) [SN 46.2, 51; AN 1.11-20] dan alasannya karena dapat terlahir, sebagai anagami, di tengah-tengah para deva suddhāvāsā [AN 4.126]. Berikut deskripsi jhāna ke-4 (yang juga menjadi definisi alam ini, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di jhāna ke-4):

      pikiran di sana yang condong di keadaan menyenangkan adalah kasar (yadeva tattha sukhamiti cetaso ābhogo), maka dengan ditinggalkannya perasaan menyenangkan, ditinggalkannya perasaan menyakitkan (sukhassa ca pahānā dukkhassa ca pahānā), meredanya sukacita/bahagia/nyaman - dukacita/pedih/suram sebelumnya (pubbeva somanassadomanassānaṃ atthaṅgamā), merasakan perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan (adukkhaṃasukhaṃ) ingatannya murni tenang-seimbang/tidak terlibat (upekkhā-sati-pārisuddhiṃ), jhāna ke-4 tercapai.. [DN 1, MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]

    Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva vehapphalā dengan batasan kehidupan 500 kappa (Vehapphalānaṃ bhikkhave devānaṃ pañcakappasatāni āyuppamāṇaṃ) [AN 4.123, AN 4.125. Juga di Vibhanga 18]. Terdapat alam Brahma YANG LEBIH TINGGI LAGI DARI alam Vehaphala ini, yaitu alam Brahma Abhibhu/"Yang berbuah besar" (MN 49),

  4. Śubhakiṇha, "Keindahan Gemilang" [Misal: AN 4.123, 125]. Alam ini, penghuninya memiliki kesamaan tubuh (ekattakāyā) dan kesamaan persepsi (ekattasaññino). Sutta di 5 Nikaya hanya menyebutkan batasan umur Dewa Śubhakiṇha, sedangkan umur 2 alam lainnya (Appamāṇasubha dan Parittasubha) hanya di Vibhanga 18 dan non kanon pali: Patisandhicatukka, Abhidhammattha-sangaha. Berikut deskripsi jhāna ke-3 (yang juga menjadi definisi alam ini, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di jhāna ke-3):

      pikiran di sana yang bergejolak di keadaan riak kegiuran adalah kasar (yadeva tattha pītigataṁ cetaso uppilāvitattaṁ, etenetaṁ oḷārikaṁ akkhāyati), maka dengan tidak bergairah lagi pada rasa riak kegiuran (pītiyā ca virāgā), dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui berada di keadaan tenang-seimbang (upekkhako ca viharati sato ca sampajāno), tubuh terasa menyenangkan (sukhañca kāyena paṭisaṃvedeti), sebagaimana para ariya katakan (Yaṃ taṃ ariyā ācikkhanti): “ingatan berada menyenangkan di keadaan tenang-seimbang” (upekkhako satimā sukhavihārī’ti), jhāna ke-3 tercapai.. [DN 1, MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]

    Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva subhakiṇhā dengan batasan kehidupan 4 kappa (subhakiṇhānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati...cattāro kappā āyuppamāṇaṃ) [AN 4.123, AN 4.125]

  5. Appamāṇasubha, "Keindahan tak terbatas" [MN 120]

  6. Parittasubha, "Keindahan terbatas" [MN 120]

  7. Ābhassara, "Cahaya Gemilang" [Misal AN 4.123, 125]. Para deva alam Ābhassara sering menyatakan, "aho sukham! (Oh, menyenangkan!)". [DN 31 dan AN 5.170]. Alam ini penghuninya memiliki kesamaan tubuh, namun persepsinya beragam (ekattakāyā nānattasaññino). Sutta di 5 Nikaya awal hanya menyebutkan batasan umur kehidupan Ābhassara saja, sedangkan umur 2 alam lainnya (Appamāṇābha dan Parittābha) hanya ada di Vibhanga 18 dan non kanon pali: Patisandhicatukka, Abhidhammattha-sangaha. Berikut deskripsi jhāna ke-2 (yang juga menjadi definisi alam ini, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di jhāna ke-2):

      pikiran di sana yang menggenggam dan mempertahankan adalah kasar (Yadeva tattha vitakkitaṁ vicāritaṁ, etenetaṁ oḷārikaṁ akkhāyati), maka dengan meredanya (pemusatan pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan (objek) (vitakkavicārānaṃ vūpasamā), terjadi keheningan di dalam (ajjhattaṃ sampasādo), pikiran terpusat tanpa menggenggam dan mempertahankan (objek) (cetaso ekodibhāvaṃ avitakkaṃ avicāraṃ), pikiran yang terpusat demikian merasakan riak kegiuran-menyenangkan (karena keterpusatan pikiran tanpa perlu lagi dengan menggenggam dan mempertahankan) (samādhijaṃ pītisukhaṃ), jhāna ke-2 tercapai.. [DN 1, MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]

    Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva ābhassarā dengan batasan kehidupan 2 kappa (ābhassarānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati...dve kappā āyuppamāṇaṃ) [AN 4.123, AN 4.125]. Jataka no.135, menunjukan bahwa seseorang yang menggunakan cahaya dari matahari dan bulan sebagai kammaṭṭhāna/objek meditasi, dapat pula mencapai jhana ke-2

  8. Appamāṇābha, "Cahaya tak terbatas" [MN 120]

  9. Parittābha, "Cahaya terbatas" [MN 120]

  10. Mahābrahmā, "Brahmā Yang Agung", merupakan pemimpin atau makhluk yang paling pertama muncul di alam Brahma Jhana ke-1. Sutta HANYA menyebutkan batasan umur Mahābrahmā dan Brahma Baka, sementara untuk umur Brahma lainnya (purohita dan pārisajja) hanya ada di Vibhanga 18 dan non kanon pali Patisandhicatukka, Abhidhammattha-sangaha. Berikut ini, deskripsi jhāna ke-1 (yang juga menjadi definisi alam ini, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian ada di jhāna ke-1):

    Ia memilih tempat-tempat sunyi, duduk bersila, tubuh tegak/lurus menegakkan/menyiapkan ingatan yang dihadapinya. Setelah melewati 5 rintangan (5 nivarana) dan/atau lepas/terasing dari kenikmatan indriya, lepas/terasing dari hal yang tak bermanfaat (vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehi):

      Karena kenikmatan-indriya tidaklah kekal (aniccā), menyakitkan/menderita (dukkhā), dan mengalami perubahan (vipariṇāmadhammā), karena itu dapat berubah (tesaṃ vipariṇāmaññathābhāvā), maka munculah kesedihan, ratapan, kesakitan, dan kesusahan (uppajjanti sokaparidevadukkhadomanassupāyāsā). Tetapi ketika telah dapat bebas/lepas dari (vivicceva: (1) kenikmatan indriya/kāmehi dan (2) hal yang tak bermanfaat/akusalehi dhammehi), dengan (pikiran yang) menggenggam (vitakka) dan mempertahankan (objek) (vicara) merasakan riak kegiuran-menyenangkan (pīti-sukha), karena telah terlepas/terbebas (vivekajaṃ: dari kāmehi dan akusalehi), jhāna ke-1 tercapai (paṭhamaṃ jhānaṃ upasampajja viharati) [DN 1, MN 111, AN 4.123, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]

      Atau

      tassime pañcanīvaraṇe pahīne attani samanupassato (mengetahui 5 rintangan telah tersingkir dari dirinya), pāmojjaṁ jāyati (timbul sukacita), pamuditassa pīti jāyati (sukacita menimbulkan riak kegiuran), pītimanassa kāyo passambhati (pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman), passaddhakāyo sukhaṁ vedeti (tubuh yang nyaman terasa menyenangkan), sukhino cittaṁ samādhiyati (pikiran yang senang, menjadikannya terpusat). Vivicceva kāmehi, vivicca akusalehi dhammehi (Setelah lepas dari kenikmatan Indriya dan hal yang tidak bermanfaat), savitakkaṁ savicāraṁ vivekajaṁ pītisukhaṁ (dengan (pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan (objek) merasakan riak kegiuran-menyenangkan) paṭhamaṁ jhānaṁ upasampajja viharati (jhāna ke-1 tercapai). Tassa yā purimā kāmasaññā, sā nirujjhati (Bersamaan dengan lenyapnya persepsi Indriyawi apapun sebelumnya) Vivekajapītisukhasukhumasaccasaññā tasmiṁ samaye hoti (dari keterbebasan, saat itu terdapat persepsi/rasa riak kegiuran-menyenangkan yang sungguh halus), vivekajapītisukhasukhumasaccasaññīyeva tasmiṁ samaye hoti (Demikian karena terbebaskan, saat itu terdapat rasa riak kegiuran-menyenangkan yang sungguh halus) [DN 9]

    Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan (So tadassādeti taṃ nikāmeti tena ca vittiṃ āpajjati). Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) (Tattha ṭhito tadadhimutto tabbahulavihārī aparihīno kālaṃ kurumāno) terlahir di antara Deva Brahmakāyikā dengan batasan kehidupan 1 kappa (brahmakāyikānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati...kappo āyuppamāṇaṃ) [AN 4.123, AN 4.125]. Tapi tampaknya, di antara yang berumur 1 Kappa di alam jhana ke-1, Mereka yang mengembangkan Brahmavihara-lah, yang ketika wafat dari alam Ābhassara, di saat dunia mengembang (vivaṭṭamāne loke) dan yang pertama terlahir di sebuah tempat Brahmā kosong (suññaṁ brahmavimānaṁ) yang disebut sebagai Mahabrahma [AN 7.62, 66; AN 6.54, AN 7.73]

    Mahābrahmā lebih merupakan sebuah gelar daripada nama makhluk alam ini:

    "Brahma, Brahma yang Agung, Sang Penakluk, Yang taktertaklukan, Yang maha melihat, Maha kuasa, Yang maha kuasa, Maha pencipta, Maha memerintah, Maha menempatkan, Bapak dari semua yang ada dan akan ada"

    DN 1: satu makhluk alam Abhassara, setelah habis buah kammanya, kemudian terlahir di terlahir di sebuah tempat Brahmā kosong, pada alam brahma yang lebih rendah, inilah yang menandai mulainya 1 Maha Kappa. Ketika terlahir, Ia lupa kelahirannya yang sebelumnya sehingga meyakini dirinya ada tanpa sebab musabab. Di satu masa yang sangat panjang kemudian, setelah lama sendiri di alam itu, timbul dalam pikirannya agar ada makhluk lain di situ dan setelahnya, muncullah makhluk-makhluk lainnya di sana. Ketika ditanya sebab keberadaan mereka, ia katakan mereka ada setelah ia berpikir demikian. Mereka kemudian menyebutnya sebagai maha pencipta, MahaBrahma. makhluk-makhluk yang muncul belakangan berumur lebih pendek dan terlahir di alam yang lebih rendah. Beberapa dapat mengingat kelahiran sebelumnya tentang MahaBrahma sebagai Maha pencipta dan membawa pandangan itu di alam-alam kelahirannya. DN 11: Mahabrahma, tidak dapat menjawab pertanyaan seorang Bikkhu dan berkata agar bertanya pada Buddha.

    MahaBrahma adalah pemimpin dari 1000 dunia Brahma dan 1000 alam-alam deva di bawahnya, 1000 matahari, bintang dan bulan [Sahassilokadatu, AN 10.29].

    Namun demikian, masih terdapat alam Brahma YANG LEBIH TINGGI DARI ALAM MAHABRAHMA dan berada di bawah alam ABHASSARA, sebagaimana disebut di MN 120:

    Brahmā 1000 berumur panjang... berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia 1000 dunia, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana
    Brahmā 2000
    Brahmā 3000
    Brahmā 4000
    Brahmā 5000 ....
    Brahmā 10.000 ...
    Brahmā 100.000 berumur panjang,...berdiam dengan bertekad meliputi satu sistem dunia 100.000 dunia, dan ia berdiam dengan bertekad meliputi makhluk-makhluk yang telah muncul kembali di sana.

    MAHABRAHMA LAINNYA
    Brahmā Sahampati
    Dahulunya, Ia Bikkhu bernama Sahaka, anggota Saṅgha jaman Buddha Kassapa, merupakan anāgāmī. Kitab komentar: walaupun Ia adalah salah satu dari para Brahma, namun dipahami sebagai "Mahā Brahmā terunggul di system dunia ini" (imasmiṁ cakkavāḷe jeṭṭhakamahābrahmā eso’ti) [DA 2:497].

    Brahmā Sanatkumāra
    arti “Yang selalu muda” di DN 18, hadir dihadapan para Dewa Tavatimsa, bagai sebuah bayangan yang kemudian terlihat sangat gemilang melebihi Śakka dan dewa lainnya, berbentuk anak kecil usia 5-11 tahun dengan rambut di ikat, merupakan anāgāmī.

    Pacceka Brahma
    Di SN ada disebut Brahma Mandiri, tidak diketahui di alam Brahma mana: Tudu, Subrahmā, Suddhavāsa, juga guru dari culla kokalika, merupakan anāgāmī

    Baka Brahmā
    Ia pikir dunia-nya kekal dan tak ada alam yang lebih tinggi dari alammnya. Buddha kemudian perbaiki pandangan Baka. Māra pengaruhi salah satu pelayan Baka yang berkata bahwa Baka adalah Pencipta, pemujanya dapat pahala, penyangkalnya dapat balasan mengerikan. Buddha mengenali Mara dan berkata bahwa Buddha tak terpengaruh kekuasaan Baka. Baka berkata Buddha dalam kuasanya karena ada di alamnya dan Baka dapat bertindak semaunya. Buddha menyampaikan Baka tak punya kuasa sebesar itu, pengetahuan Buddha melampauinya juga di alam Brahma lainnya, Baka mencoba menghilang dariNya dan gagal, kemudian Buddha menghilang dari Baka, hanya terdengar suara dan tak dapat ditemukan Baka. Baka akhirnya menyerah setelah Buddha terangkan bahwa dulunya Baka adalah Petapa bernama Kesava dan Ia adalah muridnya yang bernama Kappa. Di kehidupan lalu, Baka menyelamatkan banyak manusia. Atas hasil samādhinya, setelah wafat, Baka terlahir di alam Vehappala, setelahnya jatuh ke alam-alam bawahnya hingga menjadi Brahma Baka. Jumlah Baka brahma adalah 72. Umurnya 100.000 nirabbuda, berkuasa 'sejauh Bulan-Matahari membawa keseliling arah sinar cahayanya ke 1000 alam' [MN 49, SN 6.4, Jataka no.405, 346].

    Hinduisme Brahma dan Brahman.
    Hinduisme hanya ada satu Brahma, menganggap Brahma TIDAK IDENTIK dengan Brahman yaitu jiwa komis agung, konsep ketuhanan tertinggi yang kekal, maha pencipta (disebut Prajapati, tuan para ciptaan). SM Srinivasa Chan: "Akar kata kerja brh yang artinya ‘tumbuh’ (brhati) dan menyebabkan tumbuh (brhmayati)" [Ajaran Pokok Upanisad] atau "yasmãcca brhati brmhayati ca sarvam tasmãducyate parambrahmeti" (Karena Ia tumbuh dan menyebabkan semua tumbuh, Ia disebut Brahma utama) [Shandhilya Upanisad 3.2]. Kata sanskritnya adalah "Brahma" bukan "Brahman", sample lain:

    Taittiriya Upanishad 2.1, "Brahmavidāpnoti param.." (Memahami Brahma tercapai keutamaan)
    Aitareya Upanishad 3.3, "eṣa brahmā...prajnānam brahma" (Ia adalah brahma...Kesadaran adalah Brahma)
    Brihadaranyaka Upanishad 4.4.5, "ayamātmā brahma" (Atma adalah Brahma) Sample lain: Brihadaranyaka Upanishad 1.4.10, "aham brahmāsmīti" (Aku adalah Brahma)
    Chhāndogya Upanishad 3.14.1, "sarvam khalvidam brahma, tajjalāniti śānta upāsīta" (Semuaa adalah Brahman, darinya semesta lahir)
    Mandukya Upanisad 2, "sarvam hyetad brahmāyamātmā brahma soyamātmā chatushpāt" (sarvam- Semua; hi – sesungguhnya; etad– ini; brahma; ayam– ini; ātmā; sah- Ia + ayam; chatus- empat; pāt- langkah/arah, "Sesungguhnya semua adalah Brahma; Atma adalah Brahma; Ia Atma di 4 arah)

    Karena sanskritnya adalah Brahma, maka jika Atma = Atman, maka Brahma = Brahman. Jadi, kata Brahma di teks-teks Buddhisme = kata Brahma di teks-teks Vedic/Upanisad.

  11. Brahmapurohita – "Pengiring Brahmā" [DN 21]. Umur dewa ini = 1/2 K [Vibhanga 18]

  12. Brahmapārisajja – "Pelayan di kelompok Brahmā". [MN 120]. Umur dewa ini = 1/3 K [Vibhanga 18]. Seluruh kelompok Brahma rupa/arupa, seharusnya tidak berjenis kelamin, siapapun mereka (laki/perempuan), selama menekuni jhana dan/atau Brahmavihara , kemudian wafat dalam keadaan tersebut, maka Ia terlahir menjadi Brahma, namun Buddhaghosa dalam kitab komentarnya menyatakan, "Para Perempuan yang telah mengembangkan jhana, ketika wafat, terlahir diantara brahmapārisajjā, tetapi bukan di antara mahābrahma (Itthī ca idha jhānaṃ bhāvetvā kālaṃ katvā brahmapārisajjānaṃ sahabyataṃ upapajjati, na mahābrahmānaṃ) [AN aṭṭhakathā: Ekakanipāta 15. Aṭṭhānapāḷi; MN aṭṭhakathā: Uparipaṇṇāsa 2. Anupadavaggo; Sammohavinodanī: 16. Ñāṇavibhaṅgo]. Walaupun ini tidak berarti brahmapārisajjā dapat berjenis kelamin perempuan atau bahkan Mahabrahma mempunyai Istri/Pendamping, namun kekeliruan pandangan umum ini telah berakar lama, seperti dikisahkan Matanga Jataka (no.497):

    sebelum menjadi Buddha Gotama, pada masa lampau, beliau pernah terlahir sebagai Caṇḍāla (orang terbuang) bernama Mātaṅga yang tertarik kepada Diṭṭhamaṅgalikā, putri seorang saudagar Benares, namun Ia dihina sang Putri juga dipukuli orang-orangnya, kemudian Ia pergi ke rumah saudagar tersebut dan bertekad terus berbaring depan pintunya hingga Sang Putri diberikan kepadanya, akhirnya pada hari ke-7, Saudagar tersebut memberikan putrinya, namun karena sangat lemas, Ia pulang kerumah, dalam keadaan digendong Diṭṭhamaṅgalikā. Demi memberikan hadiah kedudukan kepada sang Putri, Mātaṅga kemudian pergi ke hutan menjadi Petapa, di hari ke-7, Ia mencapai 8 pencapaian meditasi dan supra manusia, Ia kembali ke rumahnya dan berkata kepada Diṭṭhamaṅgalikā, "Katakan kepada banyak orang, bahwa ‘Suamiku bukanlah Mātaṅga, melainkan MahaBrahma' dan katakkan bahwa 'Ia sedang pergi ke alam Brahma’". Diṭṭhamaṅgalikā mengatakan demikian, sehingga membuatnya dikenal sebagai “Istri dari Brahma yang agung” (Mahābrahmabhariyā).

III. ALAM KĀMADHĀTU/LOKA (Alam Kenikmatan Indriya)
Deva alam ini terbenam dalam kesenangan dan mereka terlahir di alam ini BUKAN karena wafat dalam jhāna. [Umur kehidupan lihat: AN 8.41; AN 8.43; AN 3.71]. Walaupun terdapat 60 TINGKATAN alam dewa di Kāmadhātu (DN 20: Catumaharajika s.d Alam Brahma) namun seringnya hanya 7 alam yang disebut: Catumaharajika, Asura, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimarnarati dan Paranimmita vasavatti.

Bagaimana cara terlahir di alam-alam deva?
Brahma Sanankumāra: "siapa pun yang berlindung pada Buddha (1), Dhamma (2), dan Sangha (3) dan melaksanakan sila (4), dengan hancurnya jasmani saat kematian, muncul kembali dalam kelompok: para dewa Paranimmita-Vasavatti, atau para dewa Nimmānaratti, atau para dewa Tusita, atau para dewa Yāma, atau dalam kelompok pengikut dewa Tavatimsa, atau 4 Raja Dewa – atau yang paling rendah dalam kelompok gandhabba. [DN 18].
    Note:
    Ketika no.(1), (2), (3) KEYAKINANNYA TIDAK TERGOYAHKAN, dan moralitas/sila yang dimiliki para mulia, yang: tidak rusak, tidak robek, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji para bijaksana, tidak digenggam, menuntun pada pikiran terpusat, Maka itu adalah pencapaian kesucian. [SN 55.34-35]. Dalam SN 55.36 disampaikan ketika seorang siswa mulia memiliki 4 hal di atas maka para deva bersukacita dan membicarakan kemiripannya dengan mereka para deva yaitu ketika mereka wafat di alam manusia terlahir kembali di alam deva, maka Ia akan datang ke hadapan para Deva.
Ada 3 gerbang mencapai yang menyenangkan

Pertama,
seseorang berdiam dalam kenikmatan-indriya, dengan hal tak bermanfaat. Suatu ketika, ia mendengarkan Dhamma Ariya, memperhatikannya dengan benar dan berprilaku sesuai dhamma dan anudhamma. Dengan melakukannya, ia menjauhi kenikmatan-indriya dan hal tak bermanfaat. Sebagai akibatnya, perasaan menyenangkan muncul (uppajjati sukhaṁ) meningkatnya perasaan bahagia (sukhā bhiyyo somanassaṁ), seperti halnya kenikmatan memunculkan sukacita (pamudā pāmojjaṁ jāyetha), demikian hal pertama mencapai yang menyenangkan.

Ke-2,
seseorang yang dalam keadaan bentukan jasmani kasarnya masih ada sedikit (oḷārikā kāyasaṅkhārā appaṭippassaddhā), bentukan verbal kasarnya masih ada sedikit (oḷārikā vacīsaṅkhārā appaṭippassaddhā), bentukan pikiran kasarnya masih ada sedikit (oḷārikā cittasaṅkhārā appaṭippassaddhā), suatu ketika, ia mendengarkan Dhamma Ariya, ... dan kemudian bentukan jasmani kasarnya, bentukan verbal kasarnya dan bentukan pikiran kasarnya habis sepenuhnya (paṭippassambhanti). Sebagai akibatnya, perasaan menyenangkan muncul meningkatnya perasaan bahagia, seperti halnya kenikmatan memunculkan sukacita, demikian hal kedua...

Ke-3,
seseorang yang benar-benar tidak tahu apa yang benar dan apa yang salah, apa yang patut dicela dan apa yang tidak patut dicela, apa yang harus dilatih dan apa yang tidak perlu dilatih, apa yang rendah dan apa yang mulia, dan apa yang busuk, indah, atau campuran dalam hal kualitas. Suatu ketika, ia mendengarkan Dhamma Ariya,... sehingga ia menjadi mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, apa yang patut dicela dan apa yang tidak patut dicela, apa yang harus dilatih dan apa yang tidak perlu dilatih, apa yang rendah dan apa yang mulia, dan apa yang busuk, indah, atau campuran dalam hal kualitas. Dalam diri seorang yang mengetahui melihat demikian, ketidaktahuan/avijja tersingkirkan, muncul pengetahuan/vijja, sebagai akibatnya, perasaan menyenangkan muncul meningkatnya perasaan bahagia, seperti halnya kenikmatan memunculkan sukacita, demikian hal ketiga mencapai yang menyenangkan. [DN 18]

atau

Dengan menjalani: keyakinan (1), moralitas (2), pembelajaran (3), kedermawanan (4), dan kebijaksanaan (5) dalam Dhamma dan Disiplin [salah satu contoh adalah Suppabuddha di SN 11.14]

atau

Seperti Sakka di kehidupan sebelumnya dengan melakukan sumpah 7 latihan dan berhasil dilakukan seumur hidupnya: 'Aku bersumpah, seumur hidup akan:
  1. menyokong orang tua
  2. menghormati saudara yang tua
  3. berbicara dengan lembut/tidak kasar
  4. tidak berbicara memecah-belah
  5. berdiam di rumah dengan pikiran yang tanpa-kekikiran, dermawan, tangan-terbuka, gembira melepas, murah-hati, gembira dalam memberi dan berbagi
  6. berbicara kebenaran
  7. bertujuan bebas dari kemarahan, jika kemarahan muncul, segera dilenyapkannya [SN 11.10-11]
atau

Kitab komentar untuk Dhammapada:
    YM Maha Moggallanaa bertanya perbuatan baik apa yang dewa lakukan sehingga terlahir di alam Dewa. Dewa ke-1: bukan karena banyak berdana atau mendengarkan Dhamma, tetapi karena selalu berbicara benar. Dewi ke-2: Karena tidak pernah marah pada tuannya dan tidak memiliki maksud buruk padanya meski tuannya sering memukuli dan menyiksanya. Dengan meredam kemarahan dan menghindari kebencian, ia terlahir di alam dewa. Dewa lainnya: karena sedikit berdana, sebatang gula tebu, buah, atau beberapa sayuran pada seorang bhikkhu atau pada orang lain [Dhammapadda Syair no.224]
Kitab komentar benar, banyak Deva dan Brahma bahkan sudah ada sebelum kemunculan Buddha Gautama, jadi, berkeyakinan tak goyah pada Buddha, Dhamma dan Sangha bukan syarat utama agar dapat terlahir di alam deva, beberapa melalui penguasaan jhāna dan/atau karena brahmavihārā [AN 7.62, 76, Iti.22], Bahkan di jaman Buddha Gotama, beberapa deva adalah murid dari 6 guru yang sejaman beliau, misal Deva muda: Asama (murid Pūraṇa Kassapa), Sahalī (murid Makkhali Gosāla) dan Niṅka (murid Nigaṇṭha Nātaputta) dan Ākoṭaka (bisa jadi murid Pakudhaka Kātiyāna) [SN 2.30]
    Sang Buddha: "Ketika aku mengingat kembali hingga 91 kappa yang lalu, Vaccha, Aku tidak ingat ada Ājivaka yang pada saat hancurnya jasmani menuju alam surga, DENGAN SATU PENGECUALIAN, Ia yang juga berbekal (sopāsi) doktrin PERBUATAN dan HASIL PERBUATAN (kammavādī kiriyavādī)" [MN 71]
Kecuali jika telah mencapai kesucian, ketika wafat, Dewa dapat terjatuh ke alam bawah bahkan neraka, seperti Deva Subrahma:
    Ketika Dewa muda ini bermain di Hutan Nandana bersama 1000 devi pengikutnya. 500 devi yang sedang di pohon, bernyanyi dan melemparkan bunga, tiba-tiba menghilang. Dewa muda ini melihat 500 pengikutnya telah terlahir kembali di neraka, Ketika Ia memeriksa kehidupannya, Ia mengetahui Ia akan wafat dalam 7 hari dan akan terlahir di neraka. Maka, dengan ketakutan, Ia mendatangi Sang Buddha untuk mencari penghiburan [Devaputta samyutta 2:17]
Dua pertanyaan Raja Pasenadi kepada sang Buddha (dan Ananda):
    Raja:“Yang Mulia, apakah para dewa itu kembali ke sini [āgantāro itthatta] atau tidak?” ("ke sini", yang dimaksud Raja Pasenadi bukan alam manusia, namun alam non Suddhavasa)

    Sang Buddha: “Baginda, para dewa yang masih tunduk pada kehendak buruk [sabyābajjhā] akan kembali ke sini, para dewa yang tak lagi tunduk pada kehendak buruk [abyābajjho] takkan kembali ke sini (anāgantāro itthattan)”

    Raja: “Yang Mulia, Apakah Brahmā kembali ke sini atau tidak.”

    Sang Buddha: “Baginda, Brahmā yang masih tunduk pada kehendak buruk akan kembali ke sini, Brahmā yang tak lagi tunduk pada kehendak buruk takkan kembali ke sini.” [MN 90]
Lahir meningkat dari satu alam Deva ke alam yang lebih tinggi dapat terjadi karena berhasil melatih 4 landasan ingatan dan mencapai pencapaian jhāna:
    Sesungguhnya aku telah menyaksikannya sendiri. Ada, Bhagavā, di sini, di Kapilavatthu, seorang gadis Sakya bernama Gopikā yang Berkeyakinan tak goyah terhadap Buddha (1), Dhamma (2), dan Sangha (3), dan yang melaksanakan peraturan sīla dengan saksama (4)..Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam bahagia, di alam tavatimsa, sebagai salah satu dari putra kami (Deva yang terlahir kembali di Alam deva manapun disebut Putra deva penguasa alam tersebut), dan dikenal dengan nama Gopaka, putra para dewa.

    Juga, ada 3 bhikkhu yang, setelah menjalani kehidupan suci di bawah Bhagavā, terlahir kembali di alam yang lebih rendah di antara para gandhabba (alam Catumaharajika). Mereka menikmati kenikmatan 5 indriya, sebagai pelayan atau pembantu kami.

    Mengetahui ini, Gopaka "memarahi" mereka dengan mengatakan:

    Siswa dari Ia-Yang-Melihat (Ex 3 Bhikkhu),
    Namaku saat itu adalah Gopikā.
    Berkeyakinan tak goyah di dalam Buddha, Dhamma
    Dengan gembira aku melayani Sangha.
    Berkat pengabdian setia pada-Nya
    Lihatlah aku sekarang, seorang putra-Sakka,
    Berkuasa, di 3 alam surga,
    Gilang-gemilang, Gopaka namaku.
    Aku melihat, yang dulunya adalah para bhikkhu,
    Mencapai tidak lebih dari peringkat gandhabba,
    Yang sebelumnya terlahir sebagai manusia
    Dan menjalani kehidupan yang diajarkan Sang Buddha.
    Kami mempersembahkan makanan dan minuman untuk mereka
    Dan melayani mereka di rumah-rumah kami.
    Mereka tidak menggunakan telinga, yang mereka miliki,
    Masih tidak dapat menangkap ajaran Buddha?
    Masing-masing harus memahami untuk dirinya sendiri
    Dhamma yang diajarkan oleh Ia-Yang-Melihat,
    Dan telah dibabarkan dengan sempurna.
    Aku, melayani kalian, Mendengarkan kata-kata baik dari Para Mulia,
    Dan karenanya, aku terlahir menjadi seorang putra Sakka
    Berkuasa, di 3 alam surga,
    Dan gilang-gemilang, sedangkan kalian,
    Walaupun kalian melayani Pangeran Manusia
    Dan menjalani kehidupan tanpa tandingan yang Beliau ajarkan,
    Telah muncul dalam kondisi rendah,
    Dan tidak mencapai peringkat yang seharusnya,
    Pemandangan menyedihkan untuk dilihat
    Teman-teman dalam Dhamma tenggelam begitu rendah
    Menjadi, para gandhabba, kalian
    Datang untuk melayani para dewa,
    Sedangkan aku – aku berubah!
    Dari kehidupan rumah tangga, dan seorang perempuan,
    aku, sekarang terlahir kembali sebagai laki-laki, dewa,
    Bergembira dalam kebahagiaan surgawi!”

    Ketika dikecam demikian oleh Gopaka,
    Siswa sejati Gotama,
    Dengan sedih mereka menjawab:
    “Aduh, marilah kita pergi, dan berusaha keras,
    Dan jangan lagi menjadi budak yang lain!

    Dan dari tiga, 2 berusaha keras,
    Dan mengingat-ingat kata-kata Sang Guru.
    Mereka memurnikan pikiran dari hasrat indriya,
    Melihat bahaya dalam hasrat indriya,
    Dan bagaikan gajah yang mengamuk
    Semua belenggu mengikat, mereka patahkan
    Belenggu dan ikatan hasrat indriya,
    Belenggu-belenggu tak bermanfaat itu
    Begitu sulit diatasi – dan demikianlah
    Para dewa, Tavatimsa,
    Dengan Indra dan Pajāpati,
    Yang duduk di singgasana dalam Aula Pertemuan,
    Ke-2 pahlawan ini, dengan ketagihan tersingkirkan,
    Melampaui, dan meninggalkan mereka jauh di belakang.

    Melihat hal ini, Vasavā (raja Gandhabba), terkejut,
    Pemimpin di tengah-tengah kerumunan para dewa,
    Berteriak: “Lihat bagaimana mereka yang rendah ini
    Melampaui para dewa, Tavatimsa Dewa!”
    Kemudian mendengar ketakutan pemimpinnya,
    Gopaka berkata pada Vasava:

    "Tuan Indra, di alam manusia
    Seorang Buddha, yang disebut Sang Bijaksana Sakya,
    Telah menguasai hasrat
    Dan para siswa ini, yang telah gagal
    Dalam perhatian, ketika meninggal dunia,
    Sekarang telah mendapatkannya kembali dengan bantuanku.
    Walaupun satu dari mereka tertinggal di belakang
    Dan masih bersama para gandhabba,
    Dua ini, dengan mengerahkan kebijaksanaan tertinggi,
    Dalam pencerapan mendalam menolak alam dewa!
    Jangan ada siswa yang ragu
    Bahwa kebenaran dapat dicapai
    Oleh mereka yang berada di alam ini.
    Bagi ia yang menyeberangi banjir dan
    mengakhiri keraguan, hormat yang selayaknya pada,
    Sang Buddha, Pemenang, Bhagavā, kita persembahkan."

    Bahkan di sini, mereka mencapai kebenaran, dan dengan demikian
    Telah melewati melampaui kemuliaan yang lebih tinggi.
    Dua itu telah mencapai alam yang lebih tinggi daripada yang ini,
    Alam Pengikut Brahmā.(Alam jhāna)
    [DN 21]
Alam-Alam Kāmadhātu:
  1. Paranimmita-vasavatti (Para: meliputi, melebihi; Nimmita: tanda, ciptaan; Vasavatti: maha menguasai/mahasakti; "Menguasai melebihi dari ciptaan makhluk lainya"). Para deva alam Paranimmitavasavatti, kesenangan sensualnya terpenuhi ketika para makhluk lainnya berada dalam cengkraman kesenangan sensual ulahnya sendiri. Sutta mengenai alam ini, diantaranya:

    ..ada 8 macam perhimpunan: perhimpunan para kesatriya, para brahmana, para perumah tangga, para pertapa, para dewa Catummaharajika, para dewa Tavatimsa, para Mara dan para dewa Brahma.. [DN 16, DN 33]
    ..di tengah-tengah para dewa di alam 4 Raja Dewa! ... di tengah-tengah para dewa di alam 33 ... para dewa Yāma ... para dewa di alam Tusita ... para dewa Nimmānarati ... para dewa ParanimmitaVasavatti ... para dewa pengikut Brahmā ...[MN 41]

    Penguasa alam Paranimimitavasavati adalah Deva muda Vasavatti (DN 11, AN 8.36). Di kitab komentar untuk MN dikatakan Vasavatti adalah raja alam paranimmitavasavatti, Māra memerintah di area tersendiri seperti pangeran bandel di pinggiran kerajaan [Paranimmitavasavattidevaloke. Tatra hi vasavattirājā rajjaṃ kāreti. Māro ekasmiṃ padese attano parisāya issariyaṃ pavattento rajjapaccante dāmarikarājaputto viya vasatīti vadanti] dan di kitab komentar untuk SN dan AN dikatakan nama Mara adalah Vassavati yang berkuasa atas semuanya [māro nāma vasavattī sabbesaṃ upari vasaṃ vatteti]

    Umur kehidupan:
    1600 tahun bagi manusia (mānusakāni soḷasa vassasatāni) = 1 siang + 1 malam bagi deva ini, 30 hari = 1 bulan, 12 bulan = 1 tahun. Lama umurnya adalah 16.000 tahun deva (9.216.000.000 tahun manusia), 1 jam di alam ini = 66.67 tahun manusia [AN 3.70, 71]

    Kitab komentar menyatakan bahwa Mara Vasavatti berada di alam ini namun TIDAK BERARTI Mara hanya ada di alamnya, karena Mara mampu mempengaruhi Brahma Baka yang berada di atas alam paranimmitavasavatti (MN 49), mampu mendeteksi kelahiran mereka yang belum padam (komentar Dhammapada, syair 57, Godhika Thera). Ini menunjukan seluruh alam (termasuk alam Brahma Arupa) tak luput dari cengkraman Mara, sehingga tak heran di bagian awal SN 3.2, Mara disebut dengan gelar Namuci (na+muc/muccati = tidak+lepas/bebas, "tak ada yang lolos darinya").

    Mengenai Namuci,
    Di Mahasamaya Sutta, ketika para dewa dari 10 alam-semesta datang menemui Sang Buddha dan para Bhikkhu, di antara para yang hadir terdapat makhluk Asura yang bernama namuci:

      [setelah menyebutkan kedatangan para deva catumaharajika]..Yang dikalahkan pemegang halilintar (vajirahatthena = Indra = Sakka?), para Asura penguasa Samudra, saudara Vāsava (raja para Asura) yang sakti dalam kegemilangan, Kālakañcā yang sangat menyeramkan (bukan Kālakañja), Dānaveghasa, Vepacitti, Sucitti dan Pahāradha (Penguasa lautan) bersama Namucī, ratusan putra Bali yang semuanya bernama Veroca, pasukan Bali yang gagah, bergabung dengan Rāhu yang beruntung: Sekarang saatnya, yang mulia, pertemuan para Bhikkhu di hutan"..

      ..Para Khemiya, Tusita dan Yāma, Para Kaṭṭhaka dengan kereta, para Lambītaka, Para pemimpin Lāma, dan para Āsava, para dewa Nimmānarati dan Paranimmitavasavatti. dalam 10 kelompok dalam bentuk berbeda, yang sakti cemerlang, datang melihat para bhikkhu dan Sang Buddha"..

      ..Dan ketika semua telah hadir dalam barisan besar bersama Indra dan kelompok Brahmā, Datanglah pasukan Māra (Mārasenā), Si dungu gelap berkata: "Ayo tangkap dan ikat mereka dalam jeratan ketagihan, kepung dari segala penjuru jangan sampai ada yang lolos" ... kemudian Ia mundur dengan gusar dan tak berkekuatan lagi (Tadā so paccudāvatti, saṅkuddho asayaṃvase) ... 'SEMUA berjaya, melampaui rasa takut, dalam kegemilangan (Sabbe vijitasaṅgāmā, bhayātītā yasassino); bersama dalam kegembiraan, Murid-muridNya, mereka yang mengetahui (Modanti saha bhūtehi, sāvakā te janesutā)'.

      Kitab komentar di RAPB buku ke-1, hal 1106-1122, Cet I, Mei 2008, hal. 1117, menyatakan: "Pada akhir khotbah Mahàsamaya Sutta, 100.000 crore (100.000 x 10.000.000 = 1012) dewa dan brahmà berhasil mencapai kesucian Arahatta, dan mereka yang mencapai kesucian Sotàpanna tidak terhitung banyaknya (lihat kitab komentar untuk MahàVagga)"

    Informasi dari sutta di atas menunjukan bahwa :

    1. Tidak semua penghuni alam Paramanimmitavasavatti di bawah lingkup kekuasaan Mara dan di alam ini penghuninya dapat mencapai kesucian,
    2. Namuci Asura BUKAN Mara Vasavatti, Namuci Asura tidak dikuasai Mara. Namuci di sini BUKAN julukan lain dari Mara.

    Mengenai Mārasenā/Mahasena (punya pasukan besar),
    Terdapat 10 pasukan Namuci/Mara yaitu berupa kecenderungan kegemaran atau kekotoran mental (kilesa/upakkilesa):

    1. Kesenangan indriya (kāmā),
    2. Tidak puas (arati),
    3. Terus lapar dan haus (khuppipāsā),
    4. Kehausan (taṇhā),
    5. Malas-lamban (thina-midha),
    6. Ketakutan (bhīrū/bhaya),
    7. Keraguan (vicikicchā),
    8. Meremehkan-bandel/keras kepala (makkho-thambho),
    9. Keuntungan (lābha), pujian (siloka), penghormatan (sakkāra), ketenaran (yasa) dan perolehan dengan cara salah (micchāladdho),
    10. Memuji diri-merendahkan orang (cattānaṃ samukkaṃse - pare ca avajānati / atukhamsana paravambhana). [SNP 3.2]

    Di bagian akhir SN 3.2, ada kata "dummano yakkho" (makhluk halus yang merana). Kata "yakkha" menurut Thomas William Rhys Davids, ‎William Stede juga berarti: "sinar cahaya yang cepat atau bergerak dengan cepatnya, mungkin: makhluk yang cepat, berubah tempat tinggalnya dengan cepat dan sesukanya - menurut adat kebiasaan populer dari asal katanya". Jadi, kata yakkha adalah kata umum untuk makhluk tak tampak dan dapat berarti ada yakkha berjenis namuci yang dikuasai 10 kekotoran mental (dalam cengkraman Mara).

    Dengan pasukan seperti di atas, Mara disebut namuci "tak ada yang lolos darinya". Hanya yang telah membuang 10 kekotoran mental saja (arahat), yang bebas jeratan mara.

    Mara juga dijuluki pāpimā (penghasut, namun umumnya diterjemahkan si jahat). Terjemahan "si jahat" kurang tepat karena Mara adalah makhluk dewa yang tingkatnya jauh lebih tinggi dari Sakka (raja para deva alam sumeru) dan seluruh deva alam Tusita. Hanya pelaku kebajikan yang saat kematian dalam pikiran kusala yang terlahir di alam Deva, sehingga kata "pāpimā" adalah nama, seperti kata Ananda, yang berarti "gembira/senang" namun juga nama sekretaris sang Buddha.

    Julukan lainnya:
    MaccuMāra/MaccuRaja (Raja Kematian, Mara si kematian), Antaka (kematian, batas akhir), Pajāpati (tuan dari awal mula), DevaputtaMara (Mara, deva yang baru terlahir), Pamattabandhu (sahabat dari yang tidak perhatian, lalai, lengah, ceroboh), Kaṇha (hitam, gelap), (panca)KhandaMāra (Mara si (lima) kelompok yang dilekati), AbhisankhāraMara (Mara si bentukan karma), kilesaMara (Mara si noda)

    Di literatur belakangan,
    julukan Mara bertambah, misal dari Buddhacarita-nya Asvaghosa (abad ke-2 M): sehubungan dengan cinta/nafsu Ia disebut: Kamadeva (deva cinta), Manmatha (Pengganggu pikiran), Ananga (ranga, tak bertubuh), Kusumayudha (Senjata bunga), Pancabana (5 anak panah) dan Makara/Matsya-dhvaja (seperti Buaya/Ikan)

    Sebagai penggoda,
    Mara-pun tak luput dari jeratan sensualnya sendiri, keasikkannya menggoda bagaikan memakan cabai dan tersiksa pedasnya sendiri. Keasikannya menggoda menjerumuskannya terlahir di alam Neraka, misal di MN 50 terdapat kisah Y.M. Maha Moggallana yang pernah terlahir sebagai Mara bernama Dusi dan saat itu Mara Vasavatti adalah ponakannya (anak dari Kali). Perbuatan Mara Dusi yang menggoda seorang Arahat mengakibatkannya terlahir di neraka Avici selama 10.000 tahun (keadaan tersiksa ying tak terputus oleh kematian).

    Mara Dusi, Sang penggoda, termakan senjata makan tuan, bermain api dan terbakar api, terlempar masuk ke Neraka:

      Apabila orang bodoh melakukan kejahatan, ia tak mengerti akan akibat perbuatannya. Orang bodoh akan tersiksa oleh perbuatannya sendiri, seperti orang yang terbakar oleh api

      Bagaikan karat yang timbul dari besi, bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri, begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk akan menjerumuskan pelakunya ke alam kehidupan yang menyedihkan.[Dhamapada syair 136 dan 240]

    Namun demikian,
    Dalam kasus Mara Vasavatti, Deva ini benar-benar dipenuhi keberuntungan. Di Udana 1.1, dikatakan 7 tahun lamanya, dari sebelum hingga mencapai kebuddhaan, Mara mengikuti/memperhatikan dan menggoda Sidharta Gautama. Mara gemar menggoda Buddha dan para muridnya juga memohon agar Buddha selekasnya Parinibbana. Tidak satu literaturpun menyatakan bahwa Dewa Mara Vasavatti layak terlempar ke Neraka

    Kesimpulan dari Mara vs Paranimmitavasavatti:

    1. Selama makhluk punya 1 diantara 10 kilesa, Ia ada di jeratan Mara. Pembebasan penuh dari jeratan HANYA sebagai arahat, selain itu masih dalam jeratan Mara. Cara sementara terlepas dari jangkauan Mara dengan mencapai jhāna ke-1, karena 5 nivarana telah dilenyapkan (MN 25, AN 9.39)
    2. Tidak semua penghuni alam Paranimittavasavatti adalah Mara
    3. Para penghuni 9 kelompok makhluk, terjerat Mara dengan pasukan kilesanya

  2. Nimmānaratī – Alam para deva yang senang dalam mencipta, dapat mengubah bentuk sesukanya. Penguasanya: Dewa muda Sunimmita (DN 11, AN 8.36); Kitab komentar viharavatthu menceritakan pertemuan YM Anuruddha dengan devi dari alam Tavatimsa, yang dulunya adalah teman Visakha (Seorang umat awam wanita/Upasikha). Temannya ini wafat dalam keadaan bersukacita melihat vihara yang telah selesai dibangun Visakha dan terlahir kembali di alam Tavatimsa. Devi itu berkata bahwa Visākhā terlahir di alam Nimmānaratī menjadi pendamping Sunimmita (Vva.189).

    Sāvatthiyaṃ mayhaṃ sakhī bhadante,Saṃghassa kāresi mahāvihāraṃ (Di Savatthi, Bhante yang terhormat, seorang temanku membangun vihara besar bagi Sangha).. Yā sā ahu mayhaṃ sakhī bhadante, Saṃghassa kāresi mahāvihāraṃ; Viññātadhammā sā adāsi dānaṃ, Uppannā nimmānaratīsu devesu. Pajāpatī tassa sunimmitassa (wanita temanku itu, Bhante yang terhormat,..memahami Dhamma dan memberikan dana itu telah muncul di antara para Dewa Yang Bergembira Dalam Mencipta. Ia ratu utama Sunimmita) [KN, vimanavathu no.44]

    Buddha Gautama, bervassa pertama kalinya di Savatthi adalah di Jetavana (tahun ke-14 kebuddhaan/di usia ke-50an), Setelah masa Vassa, beliau bisa jadi pergi ke daerah Bhaddiya, kerajaan Anga dan menetap 3 bulan di Jatiyavana, kemudian bertemu Brahmana Sela (1 minggu setelahnya menjadi Arahat), Bhaddaji (menjadi Arahat setelah mendengarkan kotbah), dan juga Visakha (berusia 7 tahun, saat bertemu Sang Buddha dan menjadi sotāpanna setelah kotbah).

    Saat Buddha Gautama Parinibbana di usia 80 tahun, Visakha berusia 37 Tahun. Kitab komentar menyampaikan Visakha wafat di usia 120 tahun (83-an tahun setelah wafatnya Buddha Gautama dan 48-an tahun setelah wafatnya YM Anuruddha).

    Jika teman Devi ini adalah Visakha (yang membangun vihara Pubbarama di Savatthi dan Sang Buddha bervassa di Pubbarama mulai tahun ke-39 s/d tahun ke-44), maka sekurangnya ada 2 kemungkinan:

    Vimanavatthu no.44 baru muncul sekurangnya 83-an tahun setelah Buddha Parinibbana dan YM Anuruddha di komentar viharavatthu BUKANLAH YM Anuruddha sepupu sang Buddha (wafat di usia 115 tahun/DhA ii.413, 35 tahunan setelah Buddha Parinibbana).

    atau

    Tidak seluruh bagian syair Vimanavatthu no.44 (saat ini) disampaikan YM Anurudha (sepupu sang Buddha), khususnya syair ke-16 s.d syair ke-18 adalah TAMBAHAN BELAKANGAN yaitu setelah wafatnya Visakha.

    Umur kehidupan di alam ini:
    800 tahun bagi manusia (mānusakāni aṭṭha vassasatāni) = 1 siang + 1 malam bagi deva ini, 30 hari = 1 bulan, 12 bulan = 1 tahun. Lama umurnya adalah 8000 tahun deva (2.304.000.000 tahun manusia), 1 jam di alam ini = 33.33 tahun manusia [AN 3.70, 71]

  3. Tuṣita – Alam Deva yang "penuh kegembiraan".
    Penguasanya: Deva muda Santusita (DN 11, AN 8.36). Penghuninya TIDAK HARUS Bodhisatta, misal: Purana dan Isidatta, pencapai sakadāgāmī (AN 6.44). Bodhisatta Metteyya dikatakan ada di alam ini (Mahavamsa 32. hal.226) bernama Nātha/pelindung (ini BUKAN Alokitesvara dan BUKAN Visnu) [DPPN: Tusita] kelak di alam manusia bernama Ajita [Anāgatavaṃsa, abad ke-5 M] dan menjadi Buddha. Hal-hal yang hanya terjadi (Dhammatā) pada semua sammasambuddha, di antaranya:

    1. Para Bodhisatta dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui ketika jatuh dari surga tusita dan muncul di rahim ibuNya
    2. Para Bodhisatta dalam rahim tepat 10 bulan
    3. Tak ada manusia atau bukan yang dapat mencelakainya atau ibu-Nya
    4. Ibunya menjadi makin bermoral meninggalkan sepenuhnya: menyakiti kehidupan, mengambil yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, menyatakan tidak benar, dan asupan memabukan landasan bagi kelengahan
    5. Ibunya tidak lagi memiliki pikiran indriawi terhadap pria, tidak dapat dikuasai pria manapun yang pikirannya diliputi hasrat indria
    6. Ibunya tidak mengalami kesakitan apapun; nyaman dan bebas dari keletihan jasmani, dapat melihat seluruh bagian tubuh dan indria Sang Bodhisatta dalam rahimnya
    7. Ibunya melahirkan dalam posisi berdiri
    8. 7 hari setelah lahirnya Sang Bodhisatta, Ibunya akan meninggal dan terlahir di alam Tusita
    9. Segera setelah lahir: Sang Bodhisatta berdiri mantap di kedua kaki menghadap utara, berjalan 7 langkah, dengan payung putih yang bantu menahanNya, menatap sekeliling penjuru, berbicara kata-kata agung: “Akulah unggulan dunia; Akulah terbaik dunia; Akulah terkemuka dunia; kelahiran terakhirKu; Kini tak ada lagi penjelmaan” [DN 14]

    Umur kehidupan:
    400 tahun bagi manusia (mānusakāni cattāri vassasatāni) = 1 siang + 1 malam bagi deva ini, 30 hari = 1 bulan, 12 bulan = 1 tahun. Lama umurnya adalah 4000 tahun deva (576.000.000 tahun manusia), 1 jam di alam ini = 16.67 tahun manusia [AN 3.70, 71]

  4. Yāma (mengekang, menyaksikan, gabungan/pasangan) – juga disebut "Alam Deva tanpa peperangan" karena terpisah dari kekusutan alam-alam mahameru. Penguasanya: Deva muda Suyāma [DN 11, AN 8.36]. Di kitab komentar: Sirimā, yang pernah menjadi pelacur di Rājagṛha, terlahir sebagai pendamping Suyama (SNA.i.244f, 253f), di Vimanavatthu (KN, Vimannavatthu no.16): Sirima mencapai sotāpanna, terlahir di alam Nimmānarati

    Kāmaggapattānaṃ yamāhunuttaraṃ, Nimmāya nimmāya ramanti devatām Tasmā kāyā accharā kāmavaṇṇinī (melampaui kesenangan sensual tertinggi dengan pengekangan diri, devata yang mendapatkan kegembiraan dengan mencipta, makhluk dari kelompok yang dapat mengubah bentuk semaunya).. Evaṃ ahaṃ amatadasamhi devatā, Tathāgatassanadhivarassa sāvikā; Dhammaddasā paṭhamaphale patiṭṭhitā, Sotāpannā na ca pana matthi duggati (Demikianlah saya adalah devata yang mengetahui tanpa-kematian, siswa perempuan sang Tathagata yang tiada bandingnya, telah melihat Dhamma mantap dalam buah pertama, Pemasuk-Arus dan tidak ada lagi menuju keadaan menderita)

    Umur kehidupan:
    200 tahun bagi manusia (mānusakāni dve vassasatāni) = 1 siang + 1 malam bagi deva ini, 30 hari = 1 bulan, 12 bulan = 1 tahun. Lama umurnya adalah 2000 tahun deva (144.000.000 tahun manusia), 1 jam di alam ini = 8.33 tahun manusia [AN 3.70, 71]
MULAI DI BAWAH INI DISEBUT KAMA LOKA

KAMALOKA (alam Kāmadhātu), strukturnya berbentuk "meru" (kutub, gunung, bertingkat) disebut Sineru/Sumeru (su/baik + meru) atau mahaneru/mahameru (tinggi sekali). Di satu kesatuan dunia terdapat triliunan Sineru [AN 3.80].

Ukuran Sineru kita (dalam Yojana): 84.000 panjang x 84.000 lebar x terbenam 84.000 di Samudra raya/alam asura dan menjulang 84.000 di atas samudra raya/alam asura [AN 7.66. 1 yojana = 7-9 mil, 1 mil = 1.6 km, jadi 84.000 Yojana = 940,800 km - 1,209,600 km, dengan luas permukaan (dengan asumsi menyerupai lingkaran): 2,781,757,440,000 km2 - 4,598,415,360,000 km2. Sebagai gambaran untuk tata surya kita, yang tampaknya hanya bumi saja yang berisi kehidupan: manusia dan binatang, diameternya = 12.742 km dan luas permukaan = 510,072,000 km2 dan 29.2%nya daratan].

Sineru adalah kumpulan alam di bawah alam Yama. Bagian atas: perasaan menyenangkan/sugati, bagian bawah: perasaan menyakitkan/duggati dan tengahnya: campuran ke-2nya. Alam manusia di tengah, jumlahnya lebih sedikit dari alam binatang, peta dan neraka, karenanya membesar ke bawah di masa pengembangan semesta, dan mengecil dimasa penyusutan semesta.
  1. Tāvatiṃsa
    (pali/Sanskrit: tāva/tavat = "sebanding/sebagus/sejumlah, Gandhari manuscript: Tocharian B: tāpātriś; Tocharian A: tapattriś"; Timsa/Trimsat = "30". Namun dalam tripitaka sanskrit "Trāyastriṃśa", di mana Trāyas = "3", sehingga tidak mengherankan dalam terjemahan Inggris/Indonesia/dan lainnya, tavatimsa diterjemahkan menjadi surga "33 dewa" bukan "sebanding 30 deva") . Alam ini berada di puncak Sineru atau su-meru "tingkatan yang baik" atau su-dassana "pandangan yang jelas".

    Tentang 33 dewa
    Terdapat beberapa ajaran yang menyinggung kata "33 dewa", diantaranya:

    1. Zoroastrian (Zend Avesta), terdapat frase: "33 ratu (hakim, dewa)" [Yas 1.10].

    2. Literatur Veda (Brahmanisme), mendetailkan jumlah 33 dewa: 11 deva di langit + 11 deva di bumi + 11 Deva di perairan [Yajurveda 7.19], atau juga dikelompokkan menjadi: 8 Vasu + 11 Rudra + 12 Aditya + 2 deva lainnya (nama 33 dewanya bervariasi, tidak harus seperti bawah ini):

      8 Vasu: Pṛthivī, Agni, Antarikṣa, Vāyu, Dyauṣ/dyo, Sūrya/Adiya, Nakṣatra, Somacandrama [Brihadaranyak Upanishad 3.9.2]
      11 Rudra: Ānanda, Vijñāna, Mana, Prāṇa, Vāc, Śiva – Īśāna, Tatpuruṣa, Aghora, Vāmadeva, Sadyojāta, , Ātmā) +
      12 Aditya: Mitra, Aryaman, Bhaga, Varuṇa, Dakṣa/Dhâtâ, Aṃśa, Tvāṣṭṛ/Tvashthâ, Pūṣan/Pusha, Vivasvan, Savitṛ/Savitâ, Śakra/S'atru, Viṣṇu/vaman.
      2 deva lainnya: Dyaus dan Prthivi (Satapatha Brahmana 4.5.7. Indra tidak termasuk di 33 dewa) atau Indra dan Prajapati (Satapatha Brahmana II. 6. 3; Brihadaranyaka Upanisad 3.9.2) atau Vasapkara dan Prajapati (Aitareya Brahmana 2. 18. 8. Di mana Indra termasuk di 33 dewa). Menurut Monier-Williams: Deva kembar aswin.

      Walaupun alamnya 33 dewa, namun jumlahnya jelas jauh melebihi (3.33 juta deva dalam Brihadaranyaka Upanishad 3.9)

    3. Buddhism: Di alam itu, sebelumnya, sudah ada para Deva lain (pubbadeva) sebelum Magha dan 30 temannya terlahir di alam itu dan Magha terlahir menjadi Deva Sakka/raja Para deva:

      Pada suatu waktu ada seorang Raja Magadha yang memerintah di Rājagaha, Negeri Magadha. Sebagaimana ia yang saat ini merupakan Sakka, lahir pada kelahiran sebelumnya di sebuah dusun kecil di Macala, Negeri Magadha. Itu adalah dusun kecil yang sama dalam setiap kelahirannya. Masa itu, Bodhisatta terlahir sebagai seorang bangsawan muda. Ketika saat pemberian nama tiba, ia diberi nama ‘Pemuda Magha’, setelah dewasa ia dikenal sebagai ‘Brahmana Muda Magha’. Orang tuanya memilihkan seorang istri untuknya, yang berasal dari kasta yang sama dengan mereka; dan dia, dengan sebuah keluarga berupa anak lelaki dan perempuan, yang tumbuh besar bersamanya, unggul dalam berdana dan selalu menjaga lima latihan moralitas. Desa itu ditempati 30 keluarga..Sementara itu, di rumah Bodhisatta terdapat 4 wanita: Sudhammā, Cittā, Nandā, dan Sujā.. 3 wanita terlahir menjadi pelayan Sakka. Suja, terlahir sebagai putri raja Asura (Vepaciti) dan Ia menjadi pendamping Sakka...Saat ajalnya tiba, Magha meninggal dan terlahir kembali di Alam tavatimsa sebagai Sakka, raja para dewa; teman temannya juga terlahir di alam yang sama. [Jataka no. 31/kulavaka. Ini adalah berdasarkan edisi yang diterjemahkan fausboll 1877-1896, yang berasal dari Konsili ke-5 tahun 1871: "Tasmiṃ ca game tiṃs'; eva kulāni honti" (Desa itu ditempati 30 keluarga), tapi dalam edisi Chaṭṭha ​​Saṅgāyana/konsili ke-6, Mei 1954 - Mei 1956: "Tasmiñca gāme tettiṃseva kulāni honti" (Desa itu ditempati 33 keluarga)]. Jataka menginformasikan bahwa ketika seseorang akan menjadi Sakka, maka sebelumnya akan terlahir di desa Macala demikian pula 30 temannya.

      Alasan kenapa Tavatimsa disalahpahami artinya sebagai "33 dewa" bukan "sebanding 30 dewa":

      Kemudian, guru, Brahma Sanaṅkumāra (Atha kho, bhante, brahmā sanaṅkumāro), setelah menciptakan 33 bentuk (tettiṁse attabhāve abhinimminitvā) para deva Tavatimsa (devānaṁ tāvatiṁsānaṁ), duduk bersila, bersila di tiap dewa Tavatimsa (paccekapallaṅkesu pallaṅkena nisīditvā deve tāvatiṁse) berkata (āmantesi): “Apa yang dipikirkan oleh yang mulia para dewa tavatimsa? Bagaimana Sang Bhagava demi belas kasihNya kepada dunia dan demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, telah bertindak demi keuntungan para dewa dan manusia (taṁ kiṁ maññanti, bhonto devā tāvatiṁsā, yāvañca so bhagavā bahujanahitāya paṭipanno bahujanasukhāya lokānukampāya atthāya hitāya sukhāya devamanussānaṁ)" [DN 18].

      Tidak jelas apakah 33 bentuk ciptaan Brahma Sanaṅkumāra ini secara keseluruhannya duduk bersila dihadapan masing-masing dewa Tavatimsa ataukah tiap 1 bentuk ciptaan Brahma Sanaṅkumāra duduk di masing-masing deva Tavatimsa. Yang pasti, Brahma Sanaṅkumāra hanya menciptakan 33 bentuk deva, sehingga Tavatimsa disalahpahami hanya terdiri dari 33 dewa dan itu kemudian menjadi terjemahan umum arti Tavatimsa yang diperkuat dengan sanskritisasi kata Tavatimsa menjadi Trāyastriṃśa, padahal, selama kurun waktu Pra dan jaman Buddhism, banyak bermunculan para deva baru, misalnya: Kassapa, Magha, Magadha, Damali, Kamada, Pancalacanda, Tayana, Candima [candra], Suriya [surya], Candimasa, Venhu [Visnu], Siva, Dighalatthi, Nandana, Candana, Vasudatta, Subrahma, Kakudha, Uttara, Anathapindika, Khema, Seri, Ghatikara, Jantu, Rohitassa, Nanda, Nandivisala, Susima dan banyak lagi [Devaputtasamyutta]. Di Vimana vatthu, terdapat 85 bentukan Istana yang muncul di Tavatimsa. Di DN 20, menyebutkan nama beberapa kelompok deva yang penempatannya berada di atas para Asura dan di bawah alam Yama, misalnya: Dewa yang tinggal di: Tanah, api, air, udara, matahari, bulan, bintang, awan (awan: dingin, panas, badai, hujan dan angin, lihat: SN 32) dan banyak lagi

    Jadi, nama alam itu bukanlah alam 33 dewa, namun alam yang yang SEBANDING dengan 30 dewa

    Umur kehidupan:
    100 tahun bagi manusia (mānusakaṁ vassasataṁ) = 1 siang + 1 malam bagi deva ini, 30 hari = 1 bulan, 12 bulan = 1 tahun. Lama umurnya adalah 1000 tahun deva (36.000.000 tahun manusia), 1 jam di alam ini = 4.17 tahun manusia [AN 3.70, 71]

    Peperangan deva dan asura:
    Penguasa Asura, sebelum menjadi Vepacitti adalah Sambara. Dimasa lalu, para pertapa pernah meminta perlindungan Sambara, namun ditolak, hingga mereka pun mengutuknya. Karena takut atas kutukan itu, Sambara menjadi sakit [SN 11.10]. Dikisahkan ketika Vepacitti sakit, Deva Sakka memohon diajari ilmu Sambari namun Vepacitti menolaknya [SN 11.10/23]. Buddhaghosa menyatakan ada perubahan nama dari Sambara menjadi Vepacitti. Frase "cittam vepati" (cittam = pikiran/mental; vepa = sakit, kacau) menjadi asal usul nama Vepacitti.

    SEBELUM Suja (anak perempuan Vepacitti) mendampingi Sakka (karenanya, Sakka juga digelari Sujampati], sudah sejak lama terjadi perseteruan antara para Asura vs Deva [SN 11.1-20]

    Dalam kisah di Jataka (hanya syairnya yang termasuk kanon pali, sedangkan kisahnya berasal di abad setelah 3-2 SM], pertikaian antara para deva dan asura terjadi secara fisik. Juga, ketika kalah tertulis bahwa Vepacitti "terikat ke-4 anggota tubuh dan lehernya" [SN 11.4]. Kitab komentar menyatakan frase "terikat ke-empat anggota tubuh dan leher" adalah KIASAN. Keterangan kitab komentar ini sejalan dengan SN 11.7 ketika Sakka "menangkap" Vepacitti:

    “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika Sakka, raja para deva, sedang sendirian dalam keheningan, perenungan muncul dalam pikirannya: ‘Walaupun seseorang adalah musuhku, aku tidak boleh melawannya.’

    “Kemudian, Para bhikkhu, Vepacitti, raja para asura, setelah dengan pikirannya mengetahui perenungan dalam pikiran Sakka, mendekati Sakka, raja para deva. Dari jauh, Sakka melihat kedatangan Vepacitti, berkata: ‘Berhenti, Vepaciti, engkau tertangkap! (gahitosī)’
    [Vepacitti:] ‘Tuan, jangan abaikan gagasan yang baru saja muncul dalam benakmu.’
    [Sakka:] ‘Bersumpahlah, Vepacitti, bahwa engkau takkan melawanku.’
    [Vepacitti:]
    Kejahatan apapun yang muncul di diri seorang pembohong,
    Kejahatan apapun yang muncul di diri seorang penghina para mulia,
    Kejahatan apapun yang muncul di diri seorang pengkhianat para sahabat,
    Kejahatan apapun yang muncul di diri seseorang yang tidak tahu berterima kasih:
    Kejahatan yang sama akan menghampirinya
    Siapakah yang melawanmu, Suami Sujā.


    Sutta di atas menunjukan kata "tertangkap" tidaklah dalam keadaan terikat di leher dan tubuh. Perseteruan ini tidaklah dilakukan secara fisik namun dalam kebajikan dan juga syair nasihat. Dalam perseteruan, para Deva dan juga Asura, masing-masing 3x menang [AN 3.39. Rig veda menyatakan Sambara ditaklukan Indra]. Kisah kekalahan dan kemenangan Deva tercatat seperti ini:

      Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Di masa lampau (Bhūtapubbaṃ), para deva dan para asura kerap dalam pertikaian [devāsurasaṅgāmo]..Dalam pertikaian itu, para asura unggul [jiniṃsu] dan para deva merosot [parājiniṃsu]. Karena kalah, para deva merosot dalam ketinggian [apāyaṃsveva uttarenamukhā], dihadapan asura [abhiyaṃsveva ne asurā]. Kemudian..Sakka raja deva menyampaikan syair pada matali pelayannya:

      'ke-sia-sia-an (kulāvakā), Matali, Simbali [kulāvakā mātali simbalismiṃ. Simbali = nama neraka. Di mitologi: pohon besar dengan duri terbakar, berduri pedang];
      kutub di depan īsāmukhena) menjauh (parivajjayassu) [īsāmukhena parivajjayassu. Menjauh dari kebajikan];
      hasrat sensual (kāma) meninggalkan/memancar (cajāmana) rasa ini-itu (asu-rasa) kehidupan (pāṇa) [kāmaṃ cajāmana/cajāma asuresu pāṇaṃ];
      kami (māyime) brahmana (dijā) akan menjadi ke-sia-sia-an (vikulāvaka ahesu)[māyime dijā vikulāvakā ahesun'ti]';
      ‘Baik, yang mulia' [Evaṁ, bhaddantavā’ti]

      Demikian, Para bhikkhu [kho, bhikkhave], Matali pelayan Sakka raja deva, diikuti [paṭissutvā] kumpulan ribuan [sahassayuttaṃ] kereta kelahiran baik/berdarah murni [ājañña-rathaṃ] balik kembali [paccudāvattesi]. Dan kemudian, Para bhikkhu, Asura berpikir [asurānaṃ etadahosi] – Sekarang balik kembali, Sakka raja para deva bersama kumpulan ribuan kereta kelahiran baik/berdarah murni [paccudāvatto kho dāni sakkassa devānamindassa sahassayutto ājaññaratho]. Ke-2 X, para deva dan asura berada dalam pertikaian [Dutiyampi kho devā asurehi saṅgāmessantīti] rasa khawatir memasuki kota para asura [bhītā asurapurameva pāvisiṃsu]. Demikianlah para bhikkhu, Sakka Raja deva, telah memenangkan rintangan [dhammena jayo ahosī]. [SN 11.6. Note: Terjemahan saya ini berbeda dengan kitab komentar: Kulāvakā = para supanna muda/supaṇṇapotakā, Simbali = pohon kapuk, asuresu = asura, dijā = para Garula muda/garuḷapotakā].

    Perseteruan diselesaikan melalui adu syair yang dimenangkan Sakka:

      "Vepacitti, raja para asura, berkata pada Sakka, raja para deva: ‘Raja deva, biarlah kemenangan ditentukan oleh nasihat yang diucapkan dengan baik.’

      [Dan Sakka menjawab]:
      ‘Vepacitti, biarlah kemenangan ditentukan oleh nasihat yang diucapkan dengan baik.’”

      “Kemudian, Para bhikkhu, para deva dan para asura menunjuk suatu panel hakim, dan berkata: ‘orang-orang ini akan memastikan apa yang diucapkan dengan baik dan apa yang diucapkan dengan buruk oleh kita...

      [terjadi adu syair]

      ...Kemudian panel hakim yang ditunjuk oleh para deva dan para asura berkata: ‘Syair-syair yang diucapkan oleh Vepacitti, raja para asura, adalah dalam lingkup hukuman dan kekerasan (sadaṇḍāvacarā sasatthāvacarā); karenanya [menyebabkan] konflik, perdebatan, dan perselisihan. Tetapi syair-syair yang diucapkan oleh Sakka, raja para deva, adalah dalam lingkup bukan-hukuman dan bukan-kekerasan (adaṇḍāvacarā asatthāvacarā); karenanya [menyebabkan] kebebasan dari konflik, kebebasan dari perdebatan, dan kebebasan dari perselisihan. Sakka, raja para deva, telah menang dengan nasihat yang diucapkan dengan baik.’

      “Demikianlah, Para bhikkhu, Sakka, raja para deva, menang melalui perkataan yang diucapkan dengan baik (subhāsitena jayo).” [SN 11.5]

    Perseteruan itu terkait makanan (oja, beberapa menterjemahkannya sebagai nehtar), setelah kemenangan Sakka, para Deva menikmati apapun yang deva dan asura makan [DN 21].

    Sang Buddha di Tavatimsa
    Pembabaran Dhamma sang Buddha di Tavatimsa terjadi beberapa kali, sample:

    1. Tanggapan Bhadda Suriyavaccasa, putri raja GandhabbaTimbaru, yang terpukau terhadap petikan kecapi dan syair Pancasikha yang memuji Buddha, Dhamma, para Arahant, dan cinta kasih (karena jatuh cinta pada Badda):"..Tuan, aku belum pernah melihat Sang Bhagavā secara pribadi, meskipun aku telah mendengar-Nya saat aku pergi ke Aula Sudhamma Tavatimsa untuk menari (ca sutoyeva me so bhagavā devānaṃ tāvatiṃsānaṃ sudhammāyaṃ sabhāyaṃ upanaccantiyā). Dan karena, Tuan, engkau memuji Sang Bhagavā begitu tinggi, marilah kita bertemu hari ini.." [DN 21]

    2. [Aṭṭhaparisā] 8 MACAM PERHIMPUNAN: "..ada 8 macam perhimpunan: para kesatriya, para brahmana, para perumah tangga, para pertapa, para dewa Catummaharajika, para dewa Tavatimsa, para Mara dan para dewa Brahma ... aku ingat bahwa aku pernah menghadiri ke-8 persidangan yang masing-masing dihadiri beratus individu. Sebelum dimulai percakapan atau pembahasan, Aku membuat wajahku mirip mereka, suaraku menyerupai mereka. Demikianlah Aku mengajarkan Dhamma, dan hal ini memberikan manfaat dan kegembiraan pada mereka. Meskipun demikian, tatkala Aku sedang memberikan Dhamma, mereka tak mengetahui siapa sebenarnya Aku, dan mereka saling bertanya pada kawannya, "Siapa yang sedang berbicara pada kita? Apakah Ia manusia ataukah dewa?". Sesudah Aku mengajarkan Dhamma dan telah membimbing mereka, mereka menyadari manfaatnya dan gembira, lalu Aku pergi. Setelah Aku meninggalkan mereka, mereka belum juga mengetahui tentang Aku, mereka saling bertanya: "Siapakah Iia yang telah pergi itu? Apakah manusia ataukah dewa?"...[DN 16]

    3. Deva Candana: "Bhikkhu, suatu ketika Sang Bhagavā berdiam di antara para dewa alam Tavatimsa, di atas batu pualam merah di bawah pohon Pāricchattaka. Di sana Sang Bhagavā membabarkan ringkasan dan penjelasan ‘Seorang yang menggemari kualitas baik’ pada para dewa alam Tavatimsa" (Ekamidaṃ, bhikkhu, samayaṃ bhagavā devesu tāvatiṃsesu viharati pāricchattakamūle paṇḍukambalasilāyaṃ. Tatra bhagavā devānaṃ tāvatiṃsānaṃ bhaddekarattassa uddesañca vibhaṅgañca abhāsi) [MN 134]

    4. Dari hutan Jeta mengunjungi Tavatimsa dan menyampaikan 4 faktor pemasuk arus melalui Indriya keyakinan: Berkeyakinan tak goyah pada Buddha, dhamma, sangha dan moralitas/sila yang dimiliki para mulia, yang: tidak rusak, tidak robek, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji para bijaksana, tidak digenggam, menuntun pada pikiran terpusat [SN 55.20]

    Dari sample di atas, kunjungan beliau ke Tavatimsa terjadi berulang kali. Kitab komentar menyatakan: Sang Buddha, di tahun ke-7 ke-Buddha-an, pergi ke Tavamtisa mengajarkan Abhidhamma kepada IbuNya (beliau terlahir kembali di alam itu ± 4.32 jam menurut waktu alam surga Tusita. Nama devanya: Santusita, namun di Thag.vss.533f, ThagA.i.502, nama devanya: Māyādevaputta). Saat pembabaran itu, IbundaNya mencapai sotāpanna [Kitab komentar untuk: Jataka no.483 dan Dhammapada no. 181].

    Kejadian ke Tavamtisa diawali peristiwa pertunjukan kesaktian dihadapan umat awam yang dilakukan YM Pindola Bhâradvadja pada hari ke-7, setelah 6 hari lamanya, 6 guru terkemuka [Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambali, Pakudha Kaccayana, Sanjaya Belatthiputta, Nigantha-Nataputta] gagal memberi bukti kepada seorang pedagang kaya Rajagaha yang tidak percaya arahat sejati ada karena dibingungkan begitu banyaknya yang mengaku sebagai Arahat, untuk itu, Ia membuat mangkuk dari cendana dan menggantungkannya di atas rangkaian bambu setinggi 60 lengan dan mengumumkan, "Arahanta sejati boleh mengambil mangkuk ini dengan cara terbang ke angkasa".

    Kejadian YM Pindola menghebohkan penduduk Rajagaha sehingga mereka mengekoriNya. Kegaduhan ini diketahui sang Buddha. YM Ananda menerangkan sebab terjadinya kegaduhan dan Sang Buddha menetapkan larangan, "Para bhikkhu…seorang bhikkhu tidak memperlihatkan kesaktiannya di hadapan umat awam; dan ini adalah pelanggaran, 'Dukkata âpatti'/Pelanggaran minor".

    Pertunjukan kesaktian dari YM Pindola Bharadvaja, tercantum dalam vinaya: [Theravada Pali V.5.8; Dharmaguptaka ch 51 1916: 235-238 (96-99); Mahīśāsaka ch 26 1916: 238-243 (99-103); Sarvâstivāda ch 37 1916: 243-246 (103-105); Mūla,sarvâstivāda Divy 256.25-257.21], Kitab komentar: [AA 1:196-199; SA 393; DhA 14.2.2/3:199-201; ThaA 2:4-6; UA 252; J 4:263; SnA 570; ApA 197. S] dan hanya kitab komentar yang mencantumkan tahun kejadiannya, yaitu di tahun ke-6 masa Vassa.

    Larangan tersebut menggembirakan para pengikut 6 Guru lainnya. Raja Bimbisara bertanya pada sang Buddha tentang pelarangan itu dan sang Buddha menyampaikan bahwa 4 bulan kemudian di Savatthi, beliau akan mempertunjukan keajaiban. [RAPB buku ke-1, hal 1187]. Jarak Rajagaha – Savatthi = 45 Yojana (504 km s.d 648 km).

    Kemudian di Savatthi,
    Beberapa dari sangha Bhikkhu dan bikkhuni, diantaranya Samaneri Cirra yang berumur 7 tahun dan Bhikkhuni Uppavalavanna memohon ijin untuk menggantikan beliau menunjukan kesaktian, namun tidak diperkenankan. Sang Buddha kemudian mempertunjukan kesaktiannya dan setelah itu ke alam Tavatimsa. Purana Kassapa, bunuh diri terjun ke sungai karena malu akan kegagalannya di Rajagaha.

    Apa yang dapat kita gali dari informasi di atas?
    Di atas disampaikan bahwa YM Ananda memberitahukan kehebohan yang terjadi di Rajagaha kepada Sang Buddha. Sutta menginformasikan bahwa YM Ananda menjadi Buddhopaṭṭhāka (pembantu tetap Sang Buddha) justru mulai di tahun ke-20: "Paṇṇavīsati-vassāni (Selama 25 tahun); bhagavantaṃ upaṭṭhahiṃ (menjadi pendamping Sang Bhagava); Mettena kāya.. vacī.. manokammena (dengan tidak memusuhi melalui perbuatan, perkataan dan pikiran), chāyāva anapāyinī (bagai bayangan yang tak lepas)" [Thag 17.3]. Jadi seharusnya terjadi di atas tahun ke-20.

    Di atas ada Samaneri dan Bhikkhuni. Ini seharusnya terjadi di atas tahun ke-20.

    Di DN 2:
    Raja Ajjatasattu pernah berkonsultasi dan kemudian disarankan juga untuk berkonsultasi lagi dengan 6 guru terkemuka, yang salah satunya adalah Purana Kassapa.

    Raja Bimbisara wafat ketika Sang Buddha berusia 72 tahun (Sang Buddha wafat di tahun ke-8 masa pemerintahan Ajjatasattu). Dalam waktu 4 bulan, setelah pertunjukan Pindola Bhavadraja, Raja Magadha telah berganti dari Bimbisara menjadi Ajjatasattu. Ketika Purana Kassapa bunuh diri ini terjadi beberapa bulan setelah Ajjatasattu menjadi Raja

    Oleh karenanya, perjalanan ke Tavatimsa, yang konon untuk urusan mengajar Abhidhamma, seharusnya terjadi di tahun ke-37

    Sementara itu,
    hasil konsili ke-1 dan ke-2, sama sekali tidak memuat adanya Abhidhamma sebagai ajaran yang khusus terpisah (atau kelak sebagai 7 kitab yang menjadi 1/3 tipitaka). Sejarah mencatat bahwa 7 kitab Abhidhamma baru ada di tahun ke-3 SM, setelah konsili ke-3 [Untuk jelasnya, lihat: Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran]

    Klaim bahwa Abhiddhama diturunkan via YM Sariputta
    YM Sariputta disebut sang Buddha sebagai “Yang terunggul dalam intuisi kebijaksanaan”, di beberapa sutta, kita temukan beberapa diskusi logika analisis, misal di Mahaghosinga sutta [YM Moggalana dan YM Sariputta] juga Mahavedalla sutta [YM Kotthita dan YM Sariputta] mereka berdiskusi lebih dalam lagi tentang Dhamma. Pembicaraan Dhamma yang dalam lagi ini adalah bagian dari Dhamma itu sendiri.

    YM Sariputta: 2 minggu setelah ditahbiskan, Aku memahami analisa: [atthapaṭisambhidā/pengertian secara luas dan mendalam; dhammapaṭisambhidā/hubungan kondisi dan sebab; niruttipaṭisambhidā/Tata bahasa asal usul interpretasi pengucapan dialek dan ekspresi; paṭibhānapaṭisambhidā/Penerangan, intelektual dan kefasihan penyampaian] dan dengan rincian ciri dan kekhasannya (sacchikatā odhiso byañjanaso) Itu saya nyatakan, terangkan, perlihatkan dan tunjukan dalam dalam ragam cara (AN 4.173).

    Pengakuan YM Sariputta ini adalah tentang apa yang dicapainya, tidak pernah disebutkan di manapun dalam sutta dan vinaya bahwa beliau mendapatkan suatu ajaran khusus yang disebut dengan nama Abhiddhama. Hanya kitab-kitab komentar buatan abad-abad belakanganlah yang memuat perluasan imaginasi bahwa Abhidhamma diturunkan via Sariputta yang dikaitkan dengan perjalanan fiksi sang Buddha ke Tavatimsa untuk mengajar Abhiddhama kepada IbuNya. Klaim kitab-kitab komentar ini, seharusnya mengundang beberapa pertanyaan lanjutan, misalnya:

    1. Mengapa IbuNya tidak ke alam manussa saja untuk mendapatkan pengajaran, karena toh, sutta dan vinaya juga menyampaikan bahwa para devapun kerap berkunjung ke alam manussa untuk mendengarkan dhamma Sang Buddha dan para Arahat lainnya?
    2. Mengapa selama 3 bulan (90 hari) musim vassa alam manussa yang setara dengan 3.6 detik di Tavatimsa itu, Sang Buddha perlu turun (atau membuat proyeksi image-Nya) ke alam manussa untuk berpiṇḍapāta setiap harinya? Mengapa sang Buddha tidak kuat untuk tidak makan untuk sekedar hanya 3.6 detik saja? Atau mengapa para deva menjadi begitu pelitnya tidak menyuguhkan sesuatu jika memang waktunya piṇḍapāta? atau tidakkah 90x kepergiannya dalam 3.6 detik itu menjadikan diriNya tampak tidak serius mengajar? Atau tidakkah nimittabuddha/bentukan Buddha palsu (untuk mengajar) membuat sang Buddha menjadi pelanggar sila ke-4, karena diriNya tidak menyampaikannya sendiri? Bagaimana mungkin kitab komentar (Dhammapada: Buddha vagga dan Abhidhamma: Ganthārambhakathā) sudah mengatakan ada 7 kitab (sattapakaraṇika, sattappakaraṇa = 7 kitab) Abhidhamma yang diajarkan Sang Buddha (dan Sariputta) padahal Kathāvatthu (salah satu dari 7 kitab) sendiri baru muncul di abad ke-3 SM, pasca perpecahan aliran?

    Jadi jelas sang Buddha tidak pernah mengajarkan Abhidhamma (yang kelak menjadi 1/3 Tipitaka) di Tavatimsa baik tahun ke-7 atau tahun manapun

    Sementara itu,
    Abhidhamma asli yang merupakan ajaran sang Buddha adalah 37 hal pencerahan/Sattatiṁsā Bodhipakkhiya dhammā:

    ”…hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsung:

      4 landasan ingatan (cattāro satipaṭṭhānā);
      4 jenis usaha benar (cattāro sammappadhānā);
      4 landasan kekuatan mental (cattāro iddhipādā: chanda samādhi ppadhāna saṅkhāra samannāgataṁ (memiliki bentuk usaha menyukai/hasrat/antusias pada samadihi); viriya samādhi.. (semangat); citta samādhi.. (pemikiran); vīmaṁsā samādhi.. (pengalamanan/investigasi atau pemeriksaan): Berpikir: 'Antusias-ku tidak kendur atau tegang, tidak terbatas secara internal ataupun tersebar secara eksternal, berdiam mengingat sebelum dan sesudahnya, seperti sebelumnya, demikian pula sesudahnya, seperti sesudahnya, demikian pula sebelumnya, seperti ke atasnya, demikian kebawahnya, seperti ke bawahnya demikian ke atasnya, seperti seperti siang, demikian pula malamnya, seperti malam, demikian pula siangnya. Pikiran ini terbuka tanpa halangan, pikiran berkembang bergerak memancar (iti vivaṭena cetasā apariyonaddhena sappabhāsaṁ cittaṁ bhāveti). Semangat-ku.. pemikiran-ku.. pemeriksaan-ku.. - SN 51.20);
      5 indriya/kemampuan (pañcindriyāni);
      5 Bala/kekuatan (pañca balāni);
      7 faktor pencerahan (satta bojjhaṅgā);
      8 jalan Mulia (ariyo aṭṭhaṅgiko maggo)

      [jumlah keseluruhan = 37, tercantum di: DN 16, 29, MN 103, 104, AN 8.19, Ud 5.5]

    dalam hal-hal ini kalian harus berlatih dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan. Tesañca vo, bhikkhave, samaggānaṃ sammodamānānaṃ avivadamānānaṃ sikkhataṃ siyaṃsu dve bhikkhū abhidhamme nānāvādā... (Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma yang lebih dalam…)” [MN 103]

  2. Asura
    Sakka/Sakra. Indra di Hinduisme mungkin sama dengan Sakka. Sakka dijuluki Asurinda (J.i.66: "Asurindena pavitthadevanagaram viya"). Pendamping Sakka adalah Suja (anak Raja Asura, vepacitti) sehingga Sakka juga dijuluki Sujampati. Para asura disebut Pubbadeva [Dewa awal/senior/tua, SnA.484]. Dulu Tavatimsa tempat para Pubbadeva dan deva muda yang sebanding dengan 30 deva (Magha dan temannya, lihat: di sini). Kitab komentar menceritakan bahwa sekelompok deva alam itu gemar "Gandapāna" (gandha / gaṇḍa / harum + pāna/minuman = minuman wangi). Mereka "mabuk" ini. Kejadian Gandapāna, tidak disukai Sakka, akibatnya kelompok tersebut berada di bagian bawah Sumeru, sedang deva lainnya di bagian atas Sumeru. [Jataka no.31. Asurā, nāgā, dan gandhabbā berada di Samudra besar (mahāsamudde) [Ud. 5.5]. Perseteruan ini tampaknya terkait oja (makanan), setelah kemenangan Sakka, para deva menikmati apapun yang dimakan deva dan asura [DN 21]

    Hinduism awal:
    Rg Veda mengenal 2 kekuatan saling tarik-menarik, saling kerjasama dan saling berlawanan, seperti tangan kanan-kiri, jadi Asura BUKAN negatif sura melainkan dari asu+ra, Asu = udara/nafas/kekuatan + Ra = mengontrol/menguasai/punya = Pemilik kekuatan.

    Asura di Rig Veda: Varuna, raja para Deva [RV 1.24.4], Savitur [RV 1.35.9], Rudra [Penguasa nafas, penguasa surga yang perkasa RV 2.1.6], Mitra [bersama Varuna sebagai asura di RV 5.63.3; sebagai Deva di RV 7.60.12], Indra [RV 1.174.1], Agni [RV 5.12.1] Soma [RV 9.72.1].

    Di Aiteya brahmana [terkait Rig Veda, AB 4.5]: Deva penguasa siang: Sura; Deva penguasa malam: Asura. Pembimbing Asura [termasuk Deva]: Bhrgu dan Brhaspati.

    Aplikasi lain Asura: 1 dari 8 jenis perkawinan (manusmrti 3.1): Mempelai pria memberikan uang pada ibu mempelai wanita, ayahnya, kakak/adiknya atau saudaranya atau pada mempelai wanita dan juga ada sanksinya berkenaan dengan hal tersebut

    Terdapat pendapat bahwa pergeseran makna Asura terkait pertentangan kaum Aryan, yang terpecah 2: Vedic Aryan VS Iranic Aryan, di mana, makhluk yang bagi kaum Vedic Aryan adalah BURUK berarti sebaliknya bagi kaum Iranic Aryan.

    Itulah mengapa teks-teks Hindu/Buddha belakangan (setelah abad ke-3 SM) menyebutkan Asura sebagai sesuatu yang bersifat buruk.

    Buddhism:
    Literatur awal Buddhisme TIDAK mengelompokan ASURA di ALAM MENDERITA.

    Itivuttaka no.93: "bahwa meningkatnya penghuni neraka, alam binatang, alam peta asura, karena tak bebas dari belenggu Mara" (Te vaḍḍhayanti nirayaṃ, tiracchānañca yoniyo; Asuraṃ pettivisayaṃ, amuttā mārabandhanā)". makhluk yang belum terbebas mara, akan terlahir di alam duggati dan suggati. Hanya 3 alam duggati:

    1. Orang ini juga, Mahānāma, terbebas dari neraka, alam binatang, alam peta, terbebas dari keadaan sengsara menderita menuju kehancuran. (Ayampi kho, mahānāma, puggalo agantā nirayaṃ agantā tiracchānayoniṃ agantā pettivisayaṃ agantā apāyaṃ duggatiṃ vinipātaṃ) [SN 55.24-25]
    2. Kemudian Ia bebas dari: neraka; binatang; alam peta; bebas dari keadaan sengsara menderita menuju kehancuran (Atha kho so parimutto nirayā, parimutto tiracchānayoniyo, parimutto pettivisayā, parimutto apāyaduggativinipātā) [SN 55.1]
    3. tidak mampu melakukan perbuatan yang berakibat terlahir di alam: neraka, binatang, peta (abhabbo taṃ kammaṃ kātuṃ, yaṃ kammaṃ katvā nirayaṃ vā tiracchānayoniṃ vā pettivisayaṃ vā upapajjeyya) [SN 25.1-10]

    Para sotāpanna TIDAK AKAN terlahir di 3 alam apaya ini

    Juga, keadaan/waktu yang tidak tepat melakukan cara hidup brahma/cara non duniawi (akkhaṇā asamayā brahmacariyavāsāya):

      Buddha muncul di dunia, namun makhluk ini terlahir di: Niraya (1); Binatang (2); makhluk halus atau Peta/pettivisayaṁ (3); asurakaya (ref Kv 8.1 = makhluk Peta tertentu) (4); sebagai Deva tertentu yang berumur sangat panjang/aññataraṁ dīghāyukaṁ devanikāyaṁ (5);
      Buddha muncul di dunia, namun makhluk ini terlahir (paccājāto): Di negeri perbatasan (paccantimesu janapadesu), Ia ada di antara yang barbar dan tidak terdidik/sulit memahami (aviññātāresu milakkhesu) yang di sana tidak dikunjungi (yattha natthi gati) bhikkhu/nī/umat awam pria/wanita (6);
      Di negeri tengah (majjhimesu janapadesu), namun Ia memiliki 10 pandangan salah[↓] dan perspektif menyimpang (viparītadassano) (7); Di negeri tengah, namun ia tidak bijak (duppañño), tumpul (jaḷo), bodoh (eḷamūgo), tidak kompeten membedakan hal yang dinyatakan dengan baik atau buruk dan memahaminya (appaṭibalo subhāsitadubbhāsitassa atthamaññātuṁ) (8);
      TIDAK ADA Buddha muncul di dunia, makhluk ini terlahir di negari tengah negeri, dan Ia bijak, tidak tumpul, cerdas, kompeten membedakan hal yang dinyatakan dengan baik atau buruk dan memahaminya (9) [AN 8.29; DN 33. Di DN 34, hanya ada 8 keadaan/waktu, (peta) asurakaya, mungkin karena jenis ini masuk kelompok Peta, yaitu peta berbentuk asura]

    Para Asura kerap mengunjungi sang Buddha, di antaranya: Raja Asura (Verocana) dan Raja Deva (Sakka) [SN 11.8]; Raja Asura Paharada menjawab sang Buddha tentang 8 hal menyenangkan dan baik dari Samudra, Sang Buddha menyampaikan 8 hal menyenangkan hidup sebagai bhikkhu [AN 8.19, 20, Ud 5.5], Kelompok Asura adalah golongan para Deva:

    1. Sakka Raja deva kepada Vepacitti Raja asura; ‘Vepacitti, kau deva senior di sini' (sakko devānamindo vepacittiṃ asurindaṃ etadavoca: ‘tumhe khvettha, vepacitti, pubbadevā) [SN 11.5]

    2. Sang Buddha menyampaikan urutan para Deva dan Brahma dari terendah hingga tertinggi.

      ... [setelah menyebutkan kedatangan para deva catumaharajika]
      "..Yang dikalahkan pemegang halilintar (vajirahatthena = Indra = Sakka?), para Asura penguasa Samudra, saudara Vāsava (raja para Asura) yang sakti dalam kegemilangan, Kālakañcā yang menyeramkan (bukan Kālakañja), Dānaveghasa, Vepacitti, Sucitti dan Pahāradha (Penguasa lautan) bersama Namucī, ratusan putra Bali yang semuanya bernama Veroca, pasukan Bali yang gagah, bergabung dengan Rāhu yang beruntung: Sekarang saatnya, yang mulia, pertemuan para Bhikkhu di hutan"
      [dilanjutkan menyebutkan kedatangan deva tavatimsa] ... [DN 20]

      [Note:
      Tentang Sang Buddha dan Asura Rāhu:

      Saat itu, dewa muda Candima/Suriya ditahan Asura Rāhu (Tena kho pana samayena candimā/sūriyo devaputto rāhunā asurindena gahito hoti)
      Kemudian Deva muda Suriya/Candima, dengan pikiran mengingat Sang Bhagava, menyampaikan syair (atha kho candimā/sūriyo devaputto bhagavantaṁ anussaramāno tāyaṁ velāyaṁ imaṁ gāthaṁ abhāsi)

      Hormat pada Buddha, sang Pahlawan, Brahmin segala yang terbebaskan (namo te buddha vīratthu, vippamuttosi sabbadhi)
      Sepenuhnya menghalangi kejatuhanku, itu menjadi pelindungku (sambādha­paṭipanno­s­mi­, tassa me saraṇaṁ bhavā”ti)

      Terkait upaya deva muda Candima/Surya, Sang Bhagava bersyair kepada Asura Rāhu (atha kho bhagavā candimaṁ/sūriyaṁ devaputtaṁ ārabbha rāhuṁ asurindaṁ gāthāya ajjhabhāsi)

      Berlindung dari sengit/semangat yang berlebih kepada sang arahat tathagata (tathāgataṁ arahantaṁ, candimā/sūriyo saraṇaṁ gato)
      Lepaslah sengit/semangat yang berlebih, Rāhu. Para Buddha perhatian pada dunia (candaṁ/sūriyaṁ pamuñcassu, buddhā lokānukampakā”ti) [SN 2.9-10]

      Siapapun yang menerangi kegelapan pikiran (yo andhakāre tamasi pabhaṅkaro),
      Sinarnya memancar luas ke sekeliling (verocano maṇḍalī uggatejo);
      Jangan melewati antar batas, Rāhu (mā rāhu gilī caramantalikkhe)
      Lepaslah semangat yang berlebih, anakKu Rāhu (pajaṃ mamaṃ rāhu pamuñca sūriyan”ti) [SN 2.10]

      Kemudian Asura Rāhu, meninggalkan deva muda candima/Suriya, merasa tergugah dengan bulu berdiri, pergi menemui Asura Vepacitti dan berdiri pada satu sisi (atha kho rāhu asurindo candimaṁ/sūriyaṁ devaputtaṁ muñcitvā taramānarūpo yena vepacitti asurindo tenupasaṅkami; upasaṅkamitvā saṁviggo lomahaṭṭhajāto ekamantaṁ aṭṭhāsi)
      Berdiri di satu sisi, Asura Vepacitti bersyair kepada Asura Rāhu (ekamantaṁ ṭhitaṁ kho rāhuṁ asurindaṁ vepacitti asurindo gāthāya ajjhabhāsi)

      Mengapa menyenangkan dalam damai? (Kiṁ nu santaramānova),
      Melepas sengit/semangat yang berlebih, Rahu (rāhu candaṁ/sūriyaṁ pamuñcasi);
      mendatangkan ketergugahan, mengapa terus menggigil? (saṁviggarūpo āgamma, kiṁ nu bhītova tiṭṭhasī”ti)

      Kepalaku menjadi 7 bagian (sattadhā me phale muddhā)
      tidak memperoleh kebahagiaan hidup (jīvanto na sukhaṁ labhe)
      oleh syair-syair dari Sang Buddha (buddha­gā­thā­bhi­gīto­m­hi)
      jika aku tidak melepas sengit/semangat yang berlebih (no ce muñceyya candiman”ti/sūriyan”ti) [SN 2.9-10].

        Kata-kata di sutta SN 2.10: yo = siapapun; andhakāre = gelap/bingung; tamasi = grup pikiran/kegelapan; pabhaṅkaro = penerang, tercerahkan, pembawa cahaya
        verocano = bersinar/matahari; maṇḍalī = berputar/bergerak; uggatejo = ugga+tejo = besar/keras/luar biasa + panas/sinar
        = jangan/bulan; gilī = melewati/menelan; caramantalikkhe: caram + antalikkhe; cara/bergerak/kebiasaan + manta/ucapan/pola + likkha/satuan ukuran. antalikkha (sankrit: di antara + īkṣa/batasan)
        pajaṃ = generasi/angkatan; Mamam = milikku; pamuñca = bebaskan/lepaskan; sūriya = matahari; sūra-ya = sangat bersemangat/keberanian

      Sutta SN 2.9-10 mengandung paduan makna literal dan kiasan.
      Kata: Vepacitti, Sūriyo, Candimā dan Rāhu dapat berarti nama dari deva/asura, dapat berarti matahari dan bulan (Sūriyo/candimā), juga dapat berarti suatu keadaan: Vepacitti = pikiran yang sakit/mental yang sakit. Sūriyo = semangat yang berlebih, Canda = /sengit/murka/kotor; Rāhu = Sinar dan juga berarti gerhana (misal AN 4.50, tentang kotoran yang menghalangi bulan/matahari bersinar: awan/abbhā, kabut/mahikā, asap besar/dhūmo rajo (Ketu?) dan gerhana/Rāhu), nama lain Rāhu = veroca, permata. Dalam Sanskrit: keluar/meninggalkan (juga gerhana).

      Tentang Asura Rāhu,
      Rig Veda dan Upanisad: "Sūrya, ketika Asura Svarbhanu, meliputimu dengan kegelapan/yaṃ/yat tvā sūrya svarbhānus tamasāvidhyad āsuraḥ.." [RV 5.40.5,9, juga Satapatha-brahmana 5.3.2]. Mitologi/Purana menceritakan secara bervariasi terkait Svarbhanu = Rāhu, yang menyamar sebagai dewa saat pengadukan lautan kosmis sehingga mendapatkan dan meminum Amṛta (air abadi). Sūrya dan Soma (matahari dan bulan) memberi tahu Viṣṇu/Mohinī yang kemudian memenggal Svarbhanu dengan cakra. Bagian atas, yaitu kepala disebut Rāhu [Misal Skanda Purana I.12.62-68, I.44.16-19], kemudian di Siva Purana 3.16.19: "setelah Rahu disambungkan lagi dengan lehernya, Ia disebut Ketu", sedangkan Padma purana 4.10.19-22: "ketika kepalanya jatuh ke tanah, disebut ketu", namun di Brihat samhita 3.7: "bagian yang gelap di kenal sebagai Ketu". Di Bhagavata Purana (8.17/5.23.7) tentang Visnu: "..Rāhu adalah lehernya dan Ketu ada di sekujur tubuhnya..", sedangkan pada 6.6.37: "Vipracitti dan Siṃhikā, punya 101 anak. Yang tertua Rāhu, di posisi keplanetan, 100 lainnya disebut Ketu". Rāhu-Ketu adalah bagian ritus 9 tempat/navagraha-homa: Matahari, Bulan, Mars, Merkurius, Jupiter, Venus, Saturnus, Rāhu (naik) dan Ketu (turun) [Agni Purana 164.2], yang dalam Ilmu astronomi kuno India, yaitu jika dilihat dari bumi: Rāhu adalah sebutan untuk titik potong lintasan imajiner bulan arah utara/naik, sedangkan ketu adalah titik potong lintasan imajiner bulan arah selatan/turun. Posisi Rāhu-Ketu, saling berlawanan 180 derajat]

      Kembali ke sutta DN 20, yaitu pada bagian akhir:
      "..Dan ketika semua telah hadir dalam barisan besar bersama Indra dan kelompok Brahmā, Datanglah pasukan Māra (Mārasenā), Si dungu gelap berkata: "Ayo tangkap dan ikat mereka dalam jeratan ketagihan, kepung dari segala penjuru jangan sampai ada yang lolos" ... kemudian Ia mundur dengan gusar dan tak berkekuatan lagi (Tadā so paccudāvatti, saṅkuddho asayaṃvase) ... 'SEMUA berjaya, melampaui rasa takut, dalam kegemilangan (Sabbe vijitasaṅgāmā, bhayātītā yasassino); bersama dalam kegembiraan, Murid-muridNya, mereka yang mengetahui (Modanti saha bhūtehi, sāvakā te janesutā’)' [DN 20]

      Kitab komentar di RAPB buku ke-1, Cetakan I, Mei 2008, hal. 1117: "Pada akhir khotbah Mahàsamaya Sutta, 100.000 crore (100.000 x 10.000.000 = 1012) dewa dan brahmà berhasil mencapai kesucian Arahatta, dan mereka yang mencapai kesucian Sotàpanna tidak terhitung banyaknya" (juga di kitab komentar untuk MahàVagga)

    Sutta dan kitab komentar menunjukan bahwa para Asura dapat MENCAPAI TINGKAT KESUCIAN TERTENTU, ini konsisten bahwa para sotāpanna magga dan phala takkan terlahir di 3 alam (neraka, binatang, peta) sehingga Asura TIDAK TERMASUK "apāyaṃ duggatiṃ vinipātaṃ" juga TIDAK TERMASUK "yang sulit menembus Dhamma"

  3. Cātummahārājika
    Alam "Empat raja Besar" (di lereng Sumeru). Tingkatan di atas alam manusia di bawah alam Deva tavatimsa [DN 20]. Definisi Gandhabba, Kumbanda dan Yakkha terkadang sama; Yakkha adalah nama generik semua deva tingkat rendah. Alam ini ada 4 penguasa:

    1. purimā disā/arah pertama (juga disebut: Timur), sejak matahari tampak, siang hari, Raja para Gandhabbā: Dhataraṭṭha
    2. dakkhiṇā disā/arah kanan (juga disebut: Selatan), tempat para peta, pengucap kata kasar, pemecah belah, penusuk dari belangan, suka menyakiti kehidupan, kejam, Pencuri dan penipu, Raja para Kumbhaṇḍā: Virūḷha
    3. pacchimā disā/arah bawah (juga disebut: Barat), sejak matahari lenyap, malam hari, Raja para Nāgā: Virūpakkha
    4. uttarā disā/arah depan/atas/lebih jauh/tinggi (juga disebut: Utara. Di SNP 5.1 - uttaramukkha: jauh di depan), ex-lokasi: disebut Uttarakuru/uttarakuruvha: uttarakuru + avhā terlihat jelas mahameru/mahāneru sudassano, Raja para Yakkhā: Kuvera/Vessavaṇa

    Masing-masing dari ke-4 raja deva di atas, berputera banyak, berjumlah 91, namanya satu, yaitu Indra/Puttāpi tassa bahavo, ekanāmāti berjumlah 91/Asīti dasa eko bernama Indra yang paling kuat/indanāmā mahabbalā [DN 32]

    Umur kehidupan:
    50 tahun bagi manusia (mānusakāni paññāsa vassāni) = 1 siang + 1 malam bagi deva ini, 30 hari = 1 bulan, 12 bulan = 1 tahun. Lama umurnya adalah 500 tahun deva (9.000.000 tahun manusia), jadi 1 jam di alam ini = 2.08 tahun manusia [AN 3.70/71]

    Beberapa makhluk alam ini dapat dimintai tolong saat diganggu para Yakha ganas, nama-nama mereka:

      Inda, Soma, Varuna, Bharadvaja, Pajapati, Candana, Kamasettha, Kinnughandu, Nighandu, Panada, Opamanna, Devasuta, Matali, Cittasena (sang gandhabba), Nala, Raja, Janesabha, Satagira, Hemavata, Punnaka, Karatiya, Gula, Sivaka, Mucalinda, Vessamitta, Yugandhara, Gopala,Suppagedha, Hiri, Netti, Mandiya, Pancalacanda, Alavaka, Pajunna, Sumana, Sumukha, Dadimukha, Mani, Manicara, Digha, dan Serissaka. [DN 32]

    Nama-nama itu juga ada di Rg-Veda. Di Buddhis, mereka BUKAN untuk DISEMBAH namun DIUNDANG untuk menolong dari gangguan makhluk halus lain (atau tentang hal lainnya), seperti janji raja catumaharajika:

      "Kini bila ada yakkha..gandhabba..yang mendatangi para bhikkhu dan umat awam dengan sikap bermusuhan, maka orang itu harus waspada. Mereka hendaknya berseru memohon pertolongan para para yakkha, yakkha terkemuka, beserta pemimpin mereka.
      Katakanlah, "Makhluk halus jahat ini telah menyerangku, melukaiku, membahayakanku, dan tidak membiarkanku pergi!" [DN 32]

    Yakka/Yakha/Yakkha
    Para Yakkha diberi nama berdasarkan asal dan fungsi mereka:

    1. Penampilan (Kuvannā, Khara, Kharaloma, Kharadāthika, Citta, Cittarāja, Silesaloma, Sūciloma dan Harita)
    2. Tempat tinggal/menetap/menungganginya atau atribut alam mereka, hewan, tumbuhan, manusia, dll (Ajakalāpaka, Alavaka (penghuni hutan), Uppala, Kakudha (nama tumbuhan), Kumbhīra, Gumbiya, Disāmukha, Yamamoli, Vajira, Vajirapāni atau Vajirabāhu, Sātāgira, Serīsaka). Salah satu contoh menarik misalnya mereka hidup dengan menunggangi binatang dan manusia sebagaimana disebutkan dalam DN 32:
      ..Sapi dengan satu sadel terpasang,
      Demikianlah mereka menunggang berkeliling,
      Menggunakan perempuan sebagai tunggangan,
      Demikianlah mereka menunggang berkeliling;
      Menggunakan laki-laki sebagai tunggangan,
      Demikianlah mereka menunggang berkeliling;
      Menggunakan gadis perawan sebagai tunggangan,
      Demikianlah mereka menunggang berkeliling;
      Menggunakan anak-anak laki-laki sebagai tunggangan,
      Demikianlah mereka menunggang berkeliling
      ;..
    3. Kualitas karakter, dll (Adhamma, Katattha , Dhamma, Punnaka, Mara, Sakata)
    4. Perwujudan berdasarkan kelahiran sebelumnya (Janavasabha: penguasa laki-laki = Bimbisara Raja Magada, di DN 20, terdapat nama Janesabhā, mungkin ini nama yang sama dengan Janavasabha), Digha, NaraDeva, Pandaka, Sīvaka, seri). [Lanjutan: DPPN]

    Di SN 10.5, satu Yakkha menduduki/menangkap Sanu, putra seorang upasika (upāsikāya sānu nāma putto yakkhena gahito hoti) yang tampaknya karena Sanu meninggalkan kebhikkhuan

    Di Alavaka Sutta (SN 10.12 dan SNP 1.10) sang Buddha bertemu Yakkha Alavaka yang memintanya untuk masuk dan keluar sebanyak 3x dan yang terakhir sang Buddha tidak pergi. Sang Yakkha kemudian meminta Sang Buddha menjawab pertanyaannya, jika tidak dapat menjawab, maka Yakkha tersebut mengancam akan membuatnya gila atau memecahkan jantungnya atau mencengkram kakinya atau melemparkannya ke sungai Ganga. [Ancaman ini juga dilakukan Yakkha suciloma di SN 10.3], Sang Buddha sampaikan bahwa tidak ada 1 pun makhluk di semesta ini yang mampu melakukan itu pada seorang Buddha dan beliau menjawab pertanyaan sang Yakkha. Setelah tanya jawab selesai, Yakkha Alavaka berlindung pada Buddha, Dhamma dan sangha.

    Kitab komentar abad ke-5, karya Buddhaghosa: Raja Alavi ditangkap Yakkha dan dilepaskan setelah sang Raja berjanji akan membawakan makanan korban manusia dan 1 mangkuk makanan setiap hari. Semula korban dari para kriminal, setelah habis, Raja meminta penduduk untuk mengirimkan anak mereka namun saat gilirannya, para penduduk kabur dari kerajaan. Keadaan tersebut berlangsung Selama 12 tahun dan anak yang tersisa hanyalah anak Raja yang bernama Hatthaka dan dengan segala kemegahan dibawa kehadapan Sang Yakkha. Sang Buddha mengetahui apa yang terjadi dan menuju ke kediaman sang Yakkha. Kisah ini janggal karena:

    1. Dua Sutta tidak menyampaikan Yakkha Alavaka gemar kurban manusia bahkan Yakkha Suciloma, yang tinggal di Gaya (15 Yojana) juga menyampaikan ancaman serupa namun tidak ada kisah "bombastis" seperti itu. Bagaimana mungkin perlu 12 tahun bagi seorang Buddha muncul belas kasihnya, itupun karena anak raja Alavi yang menjadi korban?
    2. Selama 12 tahunan, sekurangnya 4320 orang (360 hari x 12) menjadi korban. Ketika 1 orang kabur bersama keluarga, si pengganti pastinya tahu karena tiba-tiba menjadi gilirannya, Ia juga akan kabur, demikian seterusnya hingga akan menjadi pindahan masal penduduk. Aneh, jika ini tidak menggegerkan kota terdekat (misalnya Benares, jaraknya 12 Yojana) dan terpendam 12 tahun lamanya belas kasihannya

    Yakkha lain yang disebutkan dalam Sutta, misalnya Sātāgiri/Sātāgira (dari gunung Sata) dan Hemavata (dari pegunungan himalaya), disebutkan dalam SNP 1.9. Di Kitab komentar disebutkan ada 2 pendapat mengenai lokasi sutta ini dibabarkan: (1) Di Isipatana, Vanarasi (Negara Kasi), ketika pembabaran Dhammacakkappavattana (pemutaran roda dhamma) kepada 5 petapa atau (2) "Beberapa mengatakan bahwa ia berkata demikian ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Cetiya Gotamaka", di Selatan Vesali. yaitu banyak bulan sesudah kejadian Isipatana.

    Kitab komentar menyatakan bahwa Sātāgira tidak dapat berkonsentrasi mendengarkan pembabaran sehingga tidak mencapai apapun, ini karena ia ingat Hemavata dan disekeliling tempat tidak ada Hemavata. Sebelum berakhirnya pembabaran, Sātāgira bersama pengiringnya terbang menuju ke tempat Hemavata dan ditengah jalan, yaitu di atas Rajagraha, mereka saling bertemu, karena rupanya Hemavata pun bepergian bersama pengiringnya hendak bertemu Sātāgira. Sātāgira kemudian menyampaikan bahwa telah muncul seorang Sammasambuddha dan hari ini sedang memutar roda dhamma.

    Sebagai Puthujjana (kaum biasa), Satagira berusaha menjawab beberapa pertanyaan Hemavata, di antaranya "apakah beliau tidak memiliki nafsu terhadap kenikmatan indria?, tanpa ketakamakan, tanpa niat buruk, apakah telah mengatasi kekeliruan tahu dan apakah memiliki penglihatan terhadap fenomena?". Jawaban Satagira di kitab komentar: "Sang Bhagavā, bahkan sebelum Beliau mencapai Kearahattaan, telah meninggalkan nafsu indria dan niat buruk melalui jalan anagami;...Dan melalui jalan Sotapanna ia telah meninggalkan kekeliruan tahu...". Penjelasan Puthujjana Satagira di kitab komentar ini, kelak dijadikan argumen beberapa orang bahwa Buddha Gotama mencapai Sammasambuddha melalui tahapan Sotapanna kemudian Anagami. Tentu saja statement Satagira tersebut tidak benar (jika ini statementnya), Karena jika Siddhartha Gotama mencapai pencerahan melalui jalan sotapanna dan anagami, maka beliau bukanlah Sammasambuddha, tapi savaka Buddha.

    Kitab komentar juga menyampaikan hal lainnya: "Saat itu Festival Āsāḷha telah diumumkan Rājagaha dan di mana-mana dihias, perempuan awam bernama Kāḷī, sedang berada di atas rumahnya membuka jendela dan mendengar dari awal hingga akhir percakapan 2 yakkha tersebut, dan karenanya, Ia mencapai Sotapanna. Di kemudian hari, Sang Bhagavā menyatakan bahwa umat awam Kāḷī adalah yang terkemuka dalam mendapatkan keyakinan melalui desas-desus"

    Jika benar para puthujjana dapat membuat sesorang mencapai kesucian Sotapanna (level kesucian yang hanya dapat dicapai melalui ajaran Buddha), maka dunia ini tidak memerlukan kehadiran seorang sammasamBuddha untuk mengajarkan Dhamma. Menurut saya, kejadian kesotapannaan Kāḷī, terjadi setelah 2 Yakkha mencapai tingkat kesucian Sotapanna di Cetiya Gotamaka, sehingga festival bulan Salha di Rajagaha, saat Kāḷī mencapai Sotapanna, adalah di tahun ke-2.

    Gandhabba
    Gandha artinya harum. Variasi arti Ganddhabba: musik, lagu, juga embriyo. Gandha+abba/ava: semerbaknya menarik; gam+tabba: Membuatnya menjadi. Arti lain: Penerus "kesadaran". Khusus untuk arti yang terakhir ini: Kitab-kitab komentar (E.g., MA.i.481f) menerangkan bahwa gandhabba di sini berarti tatrūpakasatta - tasmim okāse nibbattanako satto - artinya suatu makhluk yang siap terlahir pada orang tuanya.[Pali-English Oleh G.P. Malalasekera].

    Gandhabba makhluk dewa alam ini, dikatakan tinggal di: kulit, akar, inti kayu, daun, buah, getah atau aroma pohon yang harum [SN 31]. makhluk dewa dengan panggilan atau atribut Kumbhāṇḍa di Mahasamaya Sutta/DN 20: "Di bawah kekuasaan raja Dhataraṭṭha (arti: kokoh), penguasa timur (arti lain: pertama), menguasai yang kokoh (dhataraṭṭho pasāsati), penguasa para Gandhabba (Gandhabbānaṁ adhipati), punya banyak anak yang perkasa, semuanya bernama Indra (Puttāpi tassa bahavo, indanāmā mahabbalā)"

    Bagi para Bikkhu masa awal Buddhism, kelahiran sebagai Gandhabba dianggap “memalukan” [DN 21: 3 bhikkhu terlahir kembali sebagai Gandhabba terbangkit semangatnya karena sindiran Gopaka, yang terlahir sebagai deva di Tavatimsa. Mereka kembangkan perhatian dan menghancurkan kama samyojana, 2 diantaranya terlahir sebagai Pengikut Brahmā]

    Beberapa Gandhabba yang disebut di DN 20 dan DN 32: Panāda, Opamañña, Naḷa, Cittasena, Rājā. Mātali

    Gandhabba bernama Pañcasikha jatuh cinta kepada Bhaddā Suriyavaccasā, Putri Timbarū, raja para Gandhabba, namun Bhadda menyukai Sikhandī/Sikhaddi, anak Mātali. Pañcasikha menuju tempat tinggal Timbarū, memainkan kecapi dan menyanyikan syair yang memuji Buddha, Dhamma, para Arahant, dan cinta kasih. Bhadda pun terpukau. Suatu ketika, Deva Sakka ingin bertemu sang Bhagava untuk mendengarkan dhammanya namun merasa sulit karena beliaunya sedang bermeditasi, Ia kemudian meminta bantuan Pancaskkha menarik perhatian telinga Sang Buddha. Pancasikha memainkan kecapi dan lagu yang sama. ketika Sang Buddha terjaga, beliau memuji suara kecapi dan syair tersebut. Pada gilirannya, Deva Sakka berhasil mendengarkan dhamma sang Buddha dan sebagai imbalan atas jasa Pancasikkha, Deva Sakka menyatakannya sebagai anak, menjadikannya raja para Gandhabba dan memberikan Bhaddā kepadanya [DN 21].

    Kumbhāṇḍa
    Kumbhāṇḍa ("Labu/berbentuk pot", testis. Dalam perumpamaan: sesuatu yang rapuh, kosong), makhluk dewa ini memiliki bentuk membundar atau pada bagian bawah perutnya besar. makhluk dewa dengan panggilan atau atribut Kumbhāṇḍa di Mahasamaya Sutta/DN 20: "Di bawah kekuasaan Virūḷhaka (arti: bertumbuh), penguasa selatan (arti lain: keberuntungan, kemujuran) (dakkhiṇañca disaṁ rājā), menguasai yang tumbuh (mungkin dewa pepohonan) (virūḷho taṁ pasāsati), penguasa para Kumbhanda (Kumbhaṇḍānaṁ adhipati), punya banyak anak yang perkasa, semuanya bernama Indra"

    Nāga
    Menurut testimoni anthropolog Michael J harner: "...saya tidak sepenuhnya menghargai dampak psikologis realitas minuman Banisteriopsis dari sudut pandang suku asli (Jivaro), di tahun 1961 saya berkesempatan minum halusinogen untuk sesi penelitian lapangan dengan suku Amazon lain Basin atas. Selama berapa jam setelahnya, dalam keadaan terjaga, di alam yang secara harfiah di luar mimpi terliar saya. Saya bertemu orang-orang berkepala burung, serta makhluk naga-seperti yang dijelaskan bahwa mereka adalah dewa asli di dunia ini. Saya meminta bantuan makhluk supranatural lainnya agar dapat terbang ke pelosok Galaxy. Angkutan dalam keadaan trans dimana supranatural adalah tampak alami,.." ["Native South Americans: Ethnology of the Least Known Continent", Patricia Lyon, Hal. 277]

    G.P. Malalasekera, di DPPN, pada entry Nāgā/para naga: "Secara umum, mereka, disalahpahami/diprasangkai dengan ular, utamanya Cobra berkerudung, dan tubuh mereka digambarkan sebagai ular ... Dalam catatan yang diberikan tentang Naga, tidak diragukan lagi ada kesalahpahaman besar antara Naga sebagai makhluk gaib, sebagai ular, dan sebagai nama suku non-Arya tertentu, tetapi kesalahpahaman ini terlalu sulit untuk diurai".

    Berikut berapa definisi tentang Naga:

    1. Nama suku yang tersebar di beberapa wilayah, missal: Kashmir, Assam, Sri Lanka, dll. (A Social History of India, S. N. Sadasivan, hal.327-329) atau kumpulan orang yang menyembah makhluk supranatural Naga ("RELIGION AND PHILOSOPHY", Dr. Sunil Chandra Ray)
    2. Orang dengan kekuatan dan daya tahan luar biasa, misal SN 1.38: Sang Buddha disebut: nāga karena kekuatan-Nya; singa (sīha) karena tanpa-ketakutan; berdarah murni (ājāniya) karena pemahaman-Nya akan apa yang telah dipelajari (byattaparicayaṭṭhena), atau karena mengetahui apa yang benar dan apa yang salah; sapi pemimpin (nisabha) karena tanpa tandingan; binatang pembawa beban (dhorayha) karena membawa beban; jinak (danta) karena bebas dari perilaku menyimpang). Para Bhikkhu arahat juga disebut Naga (SN 1.37)
    3. Pemikiran dan tindakannya yang luar biasa (Udana 4.4 dan 4.5. SN 1.37, 38)
    4. Karena UKURANNYA luar biasa (AN 6.43)
    5. makhluk supranatural yang sering digambarkan berbentuk kobra besar, kadang dapat berkepala banyak, dapat berubah bentuk menjadi Manusia

    makhluk dewa dengan panggilan atau atribut naga di Mahasamaya Sutta/DN 20: "Di bawah kekuasaan Virūpakkha (arti: bermata banyak), berkuasa di barat (arti lain: brutal) (pacchimañca disaṁ rājā ), penguasa para Naga (nāgānañca adhipati), punya banyak anak yang perkasa, semuanya bernama Indra". Salah satu yang hadir adalah Erāvaṇa [digambarkan dalam komentar: berbentuk Gajah berkepala 3, milik Indra. Nāga ini ular sekaligus gajah]

    Supaṇṇa/Suvaṇṇa atau Garuḍa/Garuḷa
    Paṇṇa = daun tertentu, bulu, sayap. Jadi Supaṇṇa = berbulu indah. Vaṇṇa = Indah/berkilau (misal: emas), penampakan/tampilan, kemegahan, keindahan, ekpresi, corak tubuh/tampilan tubuh, jenis, intonasi suara, keserupaan, kesan dan tampilan luar. Jadi Suvaṇṇa = Berpenampilan indah, berkilau. Garu = Berat, bernilai, yang terhormat/dihormati. Jadi Garuḍa/Garuḷa = bersayap berpenambilan sangat cemerlang dan menarik. Berdasarkan arti tersebut, maka secara umum makhluk dewa ini, mempunyai sayap dan tampilannya sangat menawan berkilau.

    Namun Garuda/Garula atau Suvanna, dalam komentar digambarkan berbentuk burung besar yang kelahirannya, dapat secara: spontan, telur, rahim atau kelembapan, kelahiran spontan yang terunggul (SN 30). Komentar Jataka memuat kisah Nāga dan Garuda (misal: Ja no.469) yang tinggal di pulau Seruma (J.iii.187) di hutan Simbali (Ja no.31), mereka saling bermusuhan (J.ii.13; iii.103) Garuda pernah menangkap Nāga yang baru menelan batu-batu besar, sehingga kecapaian karena berat dan menyebabkan kematiannya, kemudian para Garuda belajar mengangkap naga dengan menghianati petapa Karambiya, [Pandara Jātaka J.vi.175f]. Garuda mengetahui mantra ālambāyana yang membuat tidak satu nagapun mampu melawannya (J.vi.178, 184). Kebahagian para naga jika bebas dari serangan para Garuda (J.iv.463). Tubuh Garuda besar, rentang sayap 150 mil (Ja no.412). Kepakan sayapnya dapat mendatangkan badai (Ja no.518) yang dapat menerbangkan rumah dan membuat satu kota dalam kegelapan (Ja no.360). Garuda dapat mengakut seluruh pohon beringin beserta akarnya (J.vi.177). Bulu Garuda tebal hingga manusia bisa bersembunyi, contoh, Natakuvera (J.iii.91).

    Kadang Garuda memakai bentuk manusia; 2 raja Garuda bermain dadu dengan para raja di Benares, jatuh cinta dengan ratu mereka, dibawa pulang ke kota para Garuda, Sussondī (J.iii.187) dan Kākātī (J.iii.91). Di setiap kisahnya, para ratu akhirnya tidak setia pada Garuda dan dikembalikan pada suaminya. Garuda terkadang hidup dalam kebajikan, berpuasa dan mengikuti perintah dan larangan. Misalnya Raja Garuda (Pandara Jātaka), anak dari Vināta, berkunjung ke taman milik Dhanañjaya Koravya dan memberikan karangan bunga keemasan setelah mendengar ceramah Pandita Vidhura (J.vi.261f). Satu dari 5 pengawal Sakka adalah Garuda yang melindungi Tāvatimsa dari Asura (J.i.204). Bodhisatta (J.iii.187) dan Sāriputta (J.iii.400) pernah terlahir sebagai Raja Garuda.

    Kuvera
    Mungkin berasal dari ku = cacat, buruk, mengerikan, ditutupi; vera = tubuh. Arti lainnya: malas. Kuvera diasosiasikan dengan kekayaan. makhluk dewa dengan panggilan atau atribut Kuvera di Mahasamaya Sutta/DN 20: "Di bawah kekuasaan Kuvera, berkuasa di utara (arti lain: superior, atas, tinggi) (uttarañca disaṁ rājā ), penguasa para Yakkha (yakkhānañca adhipati), punya banyak anak yang perkasa, semuanya bernama Indra". Nama lain Kuvera Vessavaṇa: "Kuvera berdiam di Visāṇā, Karenanya raja Kuvera disebut Vessavaṇa" (Tasmā kuvero mahārājā, Vessavaṇo ti pavuccati.)[DN 32]

    "Vessavaṇa" adalah gelar, setiap kematian Vessavaṇa, muncul Vessavaṇa baru. Pada masa awal Buddhism, Vessavaṇa dipuja sebagai yang bertempat tinggal di pepohonan oleh yang ingin diberkahi anak. Vessavana dinamakan "Kuvera" karena menurut kitab komentar, dikehidupan lampau, Ia Brahmin pemilik penggilingan gandum bernama Kuvera yang menyumbangkan semua hasil 7 pabriknya yang setara dengan memberikan makan kaum miskin selama 20,000 tahun. Pendamping Vessavaṇa adalah Bhuñjatī (DN 21), punya 5 anak wanita, Latā, Sajjā, Pavarā, Acchimatī dan Sutā. Ponakannya bernama Puṇṇaka (yakkha) suami dari Irandati (naga wanita). Keretanya dinamakan Nārīvāhana. Senjatanya adalah gadāvudha (Sanskrit: gadāyudha) yang digunakan sebelum menjadi pengikut Buddha. Ketika Buddha muncul, Vessavaṇa menjadi pengikutnya dan mencapai sotāpanna.

  4. Alam Manussa
    Dalam Buddhisme, TIDAK ADA manusia pertama dan terdapat BANYAK manusia pertama. Para dewa terlahir di permulaan kappa, secara perlahan melalui PROSES PANJANG EVOLUSI menjadi para Manusia pertama. Kejadian penciptaan BUMI dan MANUSIA-MANUSIA pertama diuraikan di DN 27 dan DN 1

    Para Sammasambuddha dan/atau Pacceka Buddha harus terlahir sebagai manusia namun para AriyaSavaka (Savaka arahat dan makhluk suci non arahat), TIDAK HARUS terlahir sebagai manusia (mulai dari alam manusia ke atas).

    Berikut perumpamaan sulitnya dapat terlahir di alam manusia lagi setelah terlahir di alam binatang:

      “Para bhikkhu, Aku dapat menjelaskan dalam banyak cara tentang alam binatang. Begitu banyak sehingga sulit menyelesaikan penjelasan terhadap penderitaan di alam binatang.

      “Misalkan seseorang melemparkan sebuah gandar berlubang satu ke laut, dan angin timur meniupnya ke barat, dan angin barat meniupnya ke timur, dan angin utara meniupnya ke selatan, dan angin selatan meniupnya ke utara. Misalkan ada seekor kura-kura buta yang ke permukaan setiap satu abad sekali..Para bhikkhu, Dapatkah kura-kura buta yang ke permukaan setiap 1 abad sekali memasukkan lehernya ke gandar berlubang satu itu?”

      “Dapat, Yang Mulia, pada suatu saat atau diakhir suatu masa yang lama.”

      “Para bhikkhu, kura-kura buta itu dapat memasukkan lehernya ke gandar berlubang satu itu lebih cepat daripada seorang dungu yang terlahir di alam sengsara, untuk dapat memperoleh kondisi manusianya kembali.

      Mengapakah?

      Karena tidak ada praktik Dhamma di sana, tidak ada praktik kebenaran, tidak melakukan apa yang bermanfaat, tidak ada pelaksanaan kebajikan. Di sana hanya ada saling memangsa, dan pembantaian pada yang lemah [MN 129, SN 56.47-48].

    Bumi dan Manusia-Manusia Pertama
    Asal mula para Manusia di awal Maha kappa ini adalah ex para dewa yang wafat dari alam Ābhāssara.

      ‘Akan tiba waktunya, Vāseṭṭha, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut/penghancuran [samvattati]. Pada saat penyusutan, sebagian besar [Yebhuyyena] terlahir di alam Brahmā Ābhassara. Dan di sana mereka (bertubuh) ciptaan-pikiran [manomayā] dan riak kegiuran sebagai penunjang/makanan (pītibhakkhā) bercahaya (sayaṁpabhā), hidup demikian dalam waktu yang sangat lama. Akan tiba saatnya, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini mulai mengembang [vivattati]. Pada saat mengembang, para Brahmā Ābhassara, setelah wafat, sebagian besar terlahir di alam ini. Dan di sana mereka (bertubuh) ciptaan-pikiran dan riak kegiuran sebagai makanan, bercahaya, melayang diantara batasan [antalikkha → sankrit: antar/diantara + īkṣa/tampak/batasan], agung, dan hidup demikian dalam waktu yang sangat lama.’

      Pada waktu itu, Ekodakībhūtaṃ[7], Vassettha (dan Bharadvadja), diselimuti kegelapan, gelap gulita (vāseṭṭha, tena samayena hoti andhakāro andhakāratimisā), tidak terlihat ada bulan-matahari, bintang dan konstelasinya (Na candimasūriyā paññāyanti, na nakkhattāni tārakarūpāni paññāyanti), siang dan malam tidak dapat dibedakan, tidak juga bulan dan minggu, tidak juga tahun atau musim, dan tidak ada laki-laki dan perempuan (na itthipumā paññāyanti), makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk (sattā sattātveva saṅkhyaṁ gacchanti).

      Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama, semacam sari gumpalan cair (rasapathavī udakasmiṁ samatani) seperti dadih di atas nasi susu panas saat dingin muncul demikian (seyyathāpi nāma payaso tattassa nibbāyamānassa upari santānakaṁ hoti), memiliki warna, bau dan rasa (Sā ahosi vaṇṇasampannā gandhasampannā rasasampannā), seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya (seyyathāpi nāma sampannaṁ vā sappi sampannaṁ vā navanītaṁ evaṁvaṇṇā ahosi), seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya (Seyyathāpi nāma khuddamadhuṁ aneḷakaṁ).

      Kemudian Vasettha, di antara makhluk yang memiliki sifat serakah (lolajātiko) berkata: 'O apakah ini? Ia mencicipi sari gumpalan (rasapathaviṁ) dengan jarinya. Dengan mencicipinya, diliputi sari gumpalan, kehausan masuk dalam dirinya. Para makhluk lainnya mengikuti perbuatannya, mencicipi sari gumpalan itu dengan jari mereka, Para makhluk itu mulai makan sari gumpalan, memecahkan sari gumpalan dengan tangan mereka dan akibatnya, cahaya tubuh mereka lenyap (sayaṁpabhā antaradhāyi). Dengan lenyapnya cahaya mereka (Sayaṁpabhāya antarahitāya), bulan-matahari, bintang dan konstelasinya (Candimasūriyesu pātubhūtesu nakkhattāni tārakarūpāni pāturahesuṁ), siang dan malam dapat dibedakan, juga bulan dan minggu, tahun atau musim. Demikianlah, Vasettha, dunia ini mengembang lagi (Ettāvatā kho, vāseṭṭha, ayaṁ loko puna vivaṭṭo hoti).’

      Vasettha, selanjutnya para makhluk itu mengkonsumsi sari gumpalan itu sebagai makanannya, hidup dengannya, dalam masa yang lama. Mereka makan itu dalam waktu yang lama, kualitas tubuh menurun, tubuh menjadi lebih padat (kharattañceva kāyasmiṁ okkami), lebih beragam warna (vaṇṇavevaṇṇatā ca paññāyittha). Sebagian bertubuh indah dan sebagian lain buruk, karena yang bertubuh indah memandang rendah yang bertubuh buruk, maka sari gumpalan itupun lenyap.

      Kemudian, Vasettha, Ketika sari gumpalan lenyap, Jamur tanah (bhumipappatiko) muncul (pāturahosi), seperti cendawan munculnya (Seyyathāpi nāma ahicchattako; evameva pāturahosi). Selanjutnya para makhluk itu mengkonsumsi Jamur tanah itu sebagai makanannya, hidup dengannya, dalam masa yang lama. Mereka makan itu dalam waktu yang lama, kualitas tubuh menurun, tubuh menjadi lebih padat, lebih beragam warna. Sebagian bertubuh indah dan sebagian lain buruk, karena yang bertubuh indah memandang rendah yang bertubuh buruk, maka jamur tanah itupun lenyap.

      Kemudian, Vasettha, Ketika jamur tanah lenyap, muncul tumbuhan merambat (padālatā/badalata), muncul seperti bambu (Rhys Davids)/semak/Convolvulus (Monier-Williams) [lihat Steven Collins] (seyyathāpi nāma kalambukā; evameva pāturahosi), memiliki warna, bau dan rasa, seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warnanya, seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya. Selanjutnya para makhluk itu mengkonsumsi tumbuhan merambat itu sebagai makanannya, hidup dengannya, dalam masa yang lama. Mereka makan itu dalam waktu yang lama, kualitas tubuh menurun, tubuh menjadi lebih padat, lebih beragam warna. Sebagian bertubuh indah dan sebagian lain buruk, karena yang bertubuh indah memandang rendah yang bertubuh buruk, maka tumbuhan merambat itupun lenyap.

      Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan merambat lenyap, muncul tanaman padi (sali) matang (akaṭṭhapāko, tanpa sekam, harum, bulir yang bersih (athuso suddho sugandho taṇḍulapphalo). Ketika sore dipotong untuk makan malam, paginya telah matang kembali. Ketika pagi dipotong untuk makan siang, sore hari telah matang kembali, demikian tanpa terlihat telah dipotong. Selanjutnya para makhluk itu mengkonsumsi tanaman padi matang itu sebagai makanannya, hidup dengannya, dalam masa yang lama. Mereka makan itu dalam waktu yang lama, kualitas tubuh menurun, tubuh menjadi lebih padat, lebih beragam warna. Muncul organ wanita bagi wanita (itthiyā ca itthiliṅgaṁ), organ pria bagi Pria (purisassa ca purisaliṅgaṁ). perempuan lebih banyak waktu mengamati pria, pria lebih banyak waktu mengamati wanita (Itthī ca purisaṁ ativelaṁ upanijjhāyati puriso ca itthiṁ). Karena berlebihan memperhatikan perbedaan (Tesaṁ ativelaṁ aññamaññaṁ upanijjhāyataṁ), muncul ketagihan yang membakar tubuh (sārāgo udapādi, pariḷāho kāyasmiṁ okkami), sehingga terjadilah hubungan kelamin (Te pariḷāhapaccayā methunaṁ dhammaṁ paṭiseviṁsu).

      Lainnya yang melihat mereka berhubungan kelamin, melempari dengan debu, abu, atau kotoran sapi (gomayaṁ): "menjauh, tidak suci (nassa asuci), menjauh, tidak suci, Bagaimana mungkin seseorang berbuat demikian terhadap lainnya", seperti manusia sekarang, di negara tertentu, ketika memperkenalkan keluar (nibbuyhamānāya) menantu perempuan (vadhuyā), kemudian beberapa melemparinya dengan debu, abu, atau kotoran sapi, tanpa menyadari bahwa sedang meniru kejadian kuno (Tadeva porāṇaṁ aggaññaṁ akkharaṁ anusaranti), tanpa memahami maksudnya (na tvevassa atthaṁ ājānanti) [DN 27]

    Gelar dan arti 4 Warna/Kasta
    Asal mula gelar dan juga arti 4 Warna/pekerjaan yang kemudian berubah menjadi 4 penggolongan manusia (Kasta)

      Kemudian di waktu yang lama setelahnya mereka mereka memutuskan untuk memilih satu diantara mereka yang paling tampan, paling menarik, paling menyenangkan dan mampu, dan memintanya untuk menegakan aturan dan melaksanakannya dan sebagai imbalan mereka memberikan padanya sebagian beras mereka.

      “Pilihan penduduk” adalah arti dari Mahā-Sammata, yang merupakan gelar pertama yang diperkenalkan.
      “Tuan tanah” adalah arti dari Khattiya, gelar ke-2. Dan
      “Ia menggembirakan orang lain dengan Dhamma” adalah arti dari Rājā, gelar ke-3 yang diperkenalkan

      Inilah asal-usul dari kasta Khattiya, sesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan untuk menyebut mereka. Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama, seperti kita juga, tidak ada perbedaan, dan sesuai dengan Dhamma, bukan sebaliknya.

      Kemudian beberapa makhluk ini berpikir: “Hal-hal buruk telah muncul di tengah-tengah para makhluk, seperti mengambil apa yang tidak diberikan, dan mencela, dan berbohong, hukuman, dan pengusiran. Kita harus menyingkirkan hal-hal buruk dan tak bermanfaat.” Dan mereka melakukan hal itu. “Mereka menyingkirkan hal-hal buruk dan tak bermanfaat” adalah arti dari Brāhmaṇa, yang merupakan gelar pertama yang diperkenalkan untuk orang-orang demikian.

      Mereka mendirikan gubuk-gubuk daun di tempat-tempat di dalam hutan dan mengarahkan pikiran/bersamādhi (araññāyatane paṇṇakuṭiyo karitvā paṇṇakuṭīsu jhāyanti). Dengan api dipadamkan, dengan penumbuk padi disingkirkan, mengumpulkan makanan untuk makan pagi dan malam mereka, mereka pergi ke desa, kota, atau ibu kota untuk mencari makanan, dan kemudian kembali ke gubuk daun mereka untuk bersamādhi (jhāyanti). Orang-orang melihat hal ini dan memerhatikan bagaimana mereka bersamādhi. “Orang yang bersamādhi, Orang yang bersamādhi” adalah arti Jhāyaka, yang adalah gelar ke-2 yang diperkenalkan.’

      ‘Akan tetapi, beberapa makhluk yang tinggal di gubuk daun di hutan, tidak mampu mencapai jhāna (taṃ jhānaṃ anabhisambhuṇamānā), mereka bertempat tinggal di dekat desa dan kota dan menyusun buku. Orang-orang melihat mereka sekarang tidak bersamādhi (na dānime jhāyantī). Sekarang tidak bersamādhi, Vasettha, “Orang yang tidak bersamādhi, orang yang tidak bersamādhi” adalah arti Ajjhāyaka, yang adalah gelar ke-3 yang diperkenalkan. Pada masa itu, ini dianggap sebutan yang rendah, tetapi sekarang sebutan ini menjadi lebih tinggi. Inilah kemudian, yang menjadi asal-usul dari kasta Brāhmaṇa, sesuai dengan gelar masa lampau yang diperkenalkan..

      ‘Dan kemudian, beberapa dari makhluk-makhluk itu, setelah berpasangan, melakukan ragam jenis perdagangan, dan kata “Berbagai” ini adalah arti dari Vessa, yang menjadi gelar biasa bagi orang-orang demikian. Inilah kemudian, yang menjadi asal-usul dari kasta Vessa..

      Dan kemudian, makhluk-makhluk itu yang tetap melakukan perburuan. “Mereka yang rendah yang hidup dari perburuan”, dan ini adalah arti dari Sudda, yang menjadi gelar biasa bagi orang-orang demikian. Inilah kemudian, yang menjadi asal-usul dari kasta Sudda

      ‘Dan kemudian, beberapa Khattiya tidak puas dengan Dhamma-nya sendiri, meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, berpikir: “Aku akan menjadi seorang petapa.” Dan seorang Brāhmaṇa melakukan hal yang sama, seorang Vessa juga melakukan hal yang sama, dan juga seorang Sudda. Dari 4 kasta ini, muncul kasta petapa.

      Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama seperti mereka, tidak ada perbedaan, dan sesuai dengan Dhamma, bukan sebaliknya [DN 27]

    Juga, yang disebut Manusia Sampah: SIAPAPUN yang:

    1. marah, dendam/itikad buruk, berbuat kejahatan munafik; berpandangan salah, penipu, dialah yang disebut sampah.
    2. menghancurkan kehidupan, baik burung atau binatang, serangga atau ikan, tidak berkasih sayang terhadap kehidupan, dialah yang disebut ….
    3. merusak atau suka menyerang di kota dan desa dan dikenal sebagai perusak atau penjahat yang kejam, dialah yang ….
    4. mencuri milik orang lain, baik yang ada di desa atau hutan ….
    5. setelah berhutang lalu menyangkal ketika ditagih, dan menjawab pedas: ‘Aku tidak berhutang padamu!’ ….
    6. berkeinginan mencuri walaupun benda tidak berharga, lalu mengambil barang itu setelah membunuh orang di jalan ….
    7. memberikan sumpah palsu untuk kepentingannya sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk mendapat keuntungan ….
    8. mempunyai hubungan gelap dengan istri famili atau temannya, secara paksaan atau karena suka sama suka ….
    9. tidak menyokong ayah atau ibunya, yang sudah tua dan lemah, padahal Ia hidup dalam keadaan berkecukupan ….
    10. menyerang atau mencaci-maki ayah, ibu, saudara kandung, atau ibu mertua ….
    11. dimintai nasihat yang baik tetapi malahan mengajarkan apa yang menyesatkan atau berbicara dengan tidak jelas ….
    12. Setelah melakukan pelanggaran ingin menyembunyikannya dari orang-orang lain ….
    13. setelah berkunjung ke rumah orang lain dan menerima keramah-tamahan di sana, tidak membalasnya dengan sikap serupa ….
    14. menipu pertapa, bhikkhu atau guru lain ….
    15. mencaci-maki dan tidak melayani pertapa atau bhikkhu yang datang untuk makan ….
    16. karena terperangkap dalam kekeliruan tahu, memberikan ramalan yang tidak benar demi keuntungan yang sebenarnya tak berharga ….
    17. meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain, pongah dalam kesombongannya ….
    18. suka memicu pertengkaran, kikir, berkehendak buruk, iri hati, tak tahu malu dan tak menyesal kalau melakukan kejahatan ….
    19. menghina Sang Buddha atau siswa-siswanya, baik yang yang berkehidupan suci maupun perumah-tangga ….
    20. berpura-pura Arahat padahal bukan, adalah penipu hina terbesar di dunia ini, sampah terendah dari semuanya.

    Demikian telah kujelaskan siapa yang merupakan sampah. Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran orang menjadi brahmana (mulia). Karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Karena perbuatanlah orang menjadi brahmana…

    Kini dengarkanlah, akan kuberikan suatu contoh. Ada seorang anak laki-laki kasta rendah bernama Matanga dari keluarga Sopaka. Ia mencapai puncak kejayaan. Dan sesudah itu, para ksatria, brahmana, dan orang-orang lain datang untuk melayaninya. Setelah menghancurkan ketagihan hasrat indriya, Ia memasuki Jalan Mulia dan mencapai alam Brahma. Kasta tidak dapat mencegahnya terlahir di alam surgawi.

    Para brahmana yang mengenal Veda dengan baik dan terlahir di keluarga yang hafal Kitab Veda, jika mereka kecanduan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Mereka bukan hanya ternoda di dalam kehidupan ini saja; di dalam kehidupan yang akan datang pun mereka akan terlahir di dalam keadaan yang menderita. Kasta tidak dapat mencegah mereka ternoda atau terlahir di dalam keadaan yang menderita.’

    Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran orang menjadi brahmana (mulia). Karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Karena perbuatanlah orang menjadi brahmana… [SNP 1.7] [↑]

  5. Mulai di bawah ini adalah alam-alam apaya, sejumlah 3 alam saja (bukan 4 alam):

  6. Alam Peta – Nama lainnya adalah Yama-loka (Nirayaṃ tiracchā­na­yoniṃ, yamalokaṃ.., SN 1.49) yang BERBEDA dengan alam dewa Yama. makhluk alam peta mengalami perasaan menyakitkan (pengecualian pada peta tertentu) kerap disebut sebagai makhluk halus/setan. Variasi jenis Peta:

    Petavatthu:

    1. Vantāsika (makan ludah, dahak dan muntah)
    2. Khuppipāsa (selalu lapar dan haus)
    3. Paradattūpajīvino (dapat menerima transfer jasa, sebelum menerima bentuknya mengerikan, setelahnya, berpenampilan Dewa dengan segala ornamennya, dapat terlahir di alam Dewa. Hidup dari suguhan upacara)
    4. Vimāna (mengalami kebahagiaan Deva dan juga penderitaan, dikatakan menderita saat siang dan bahagia saat malam, dapat menerima transfer jasa). Di AN 10.177: Hanya peta kelaparan yang dapat menerima persembahan makanan dari kerabatnya, itupun jika kerabatnya menyatakannya mendiang turut serta/mempunyai andil dalam melakukan jasa kebajikan ini (atau melakukan jasa kebajikan ini atas nama mendiang) [↓]. Buddhaghosa di komentar MN dan AN: Yama raja Neraka adalah raja peta vimānanika, terdapat 4 Yama di 4 pintu Neraka. Di AN 3.36 (syair 18) dan MN 130 (syair 28-29): Di masa lampau, Yama berharap dapat terlahir sebagai manusia untuk dapat melayani Sang Bhagava dan memahami Dhammanya.
    5. lainnya

    Petavatthu-Atthakatha (oleh Dhammapala/abad 6 M):
    Khupapipasika-Peta; Nijjhamatanhika-Peta (selalu kepanasan); Kalakancika-Peta (bentuk Asura) dan Paradattupajivika-Peta.

    Gambhilokapannatti (dikompilasi di Burma setelah abad 11 M atau Traibhumikatha, penguasa Sukhothaim Lu'Tai, 1347 M - 1374 M):
    Vantasika-Peta; Kunapasa-Peta (makan mayat manusia dan binatang); Guthakhadaka-Peta (makan kotoran); Aggijalamukha-Peta (mulutnya selalu ada api); Sucimuja-Peta (mulutnya sekecil jarum); Tanhattika-Peta (menderita kehausan); Sunijjhamaka-Peta (berbulu hitam bagai arang); Suttanga-Peta (kuku tangan/kaki panjang dan tajam); Pabbatanga-Peta (tubuh setinggi gunung); Ajagaranga-Peta (tubuh seperti ular); Vimānika-Peta; Mahidadhika-Peta (berilmu gaib)

    PETA 21 (Vinaya Pitaka: vinnivatthu, suttavibhanga, vol.1 cet. Des 2006, hal.237 - 253 dan SN 19.1-21):

    1. aṭṭhikasaṅkha-Peta: Tulang bersambungan, tak berdaging
    2. maṃsapesi-Peta: Daging terpecah, tak bertulang
    3. maṃsapiṇḍa-Peta: daging berkeping-keping
    4. nicchaviṃ purisa-Peta: tak berkulit
    5. asilomaṃ purisa-Peta: berbulu tajam
    6. sattilomaṃ purisa-Peta: bulu seperti tombak
    7. usulomaṃ purisa-Peta: bulu seperti panah
    8. sūcilomaṃ purisa-Peta; dan
    9. Dutiyasūcilomaṃ purisa-Peta: bulu seperti jarum
    10. kumbhaṇḍaṃ purisa-Peta: kelamin sangat besar berbentuk kendi
    11. purisaṃ gūthakūpe sasīsakaṃ nimugga-Peta: kepala terbenam di lubang kotoran
    12. purisaṃ gūthakūpe nimuggaṃ ubhohi hatthehi gūthaṃ khādanta-Peta: kepala terbenam di lubang kotoran, makan kotoran dengan kedua tangannya
    13. nicchaviṃ itthi-Peta: perempuan tak berkulit
    14. itthiṃ duggandhaṃ maṅguli-Peta: Perempuan, berbau busuk
    15. itthiṃ uppakkaṃ okiliniṃ okirini-Peta: Perempuan tubuh terpanggang berkeringat jelaga
    16. asīsakaṃ kabandha-Peta: tak berkepala
    17. Bhikkhu-Peta
    18. Bhikkhuni-Peta
    19. pāpasikkhamānā ahosi-Peta
    20. Samanera-Peta
    21. Samaneri-Peta

    22. (Peta berbentuk Bhikkhu/bhikkhuni; Peta berbentuk Perempuan dalam percobaan 2 tahun dengan melatih sila sebelum menjadi Samaneri; atau yang tubuhnya terbakar atau peta berbentuk samanera/samaneri)

  7. Tiracchāna-yoni – Alam binatang, merasakan menyenangkan dan menyakitkan, namun perasaan menyakitkan lebih dominan, meliputi yang: tak berkaki, berkaki: 2, 4, banyak, bersayap/tidak, besar/kecil, di udara, air atau tanah [AN 4.67 dan SNP 3.9]. Mereka ini tidak dapat mencapai kesucian.

    Bhikkhu Dhammavuddho [dalam buku "Samatha dan Vipassana", Penerbit: Samwara, Bodhi Buddhist Centre Indonesia, hal. 21]: "..di salah satu buku Abhidhamma, Katthavatthu, disebutkan bahwa tidak ada hewan di alam surga; tetapi jika anda membaca Sutta SN 11.1.6; 29.3; 30.2 dan buku-buku Vinaya, ada hewannya. Dalam Sutta kita temukan ada kuda, burung (garuda), ular (naga), ikan (timingala), dsbnya di alam surga. Di Vinaya ada insiden tentang seekor naga yang mengubah dirinya dengan wujud manusia dan menjadi seorang bhikkhu". Pernyataan B. Dhammavuddho kurang tepat karena beberapa memang binatang, lainnya bukan binatang:

      Untuk SN 11.6, terjemahan arti bisa bervariasi, bahkan jika mengikuti penjelasan kitab komentar, yaitu: kulāvakā = para supaṇṇa muda (supaṇṇapotakā); dijā = para Garula muda (garuḷapotakā [Kitab komentar]. Ini tidak merujuk jenis binatang, tapi makhluk dewa dengan bentuk tertentu. Kata kulāvakā juga berarti "ke-sia-sia-an". Kata ājaññarathaṃ = Kereta berdarah-murni/kelahiran, tidak merujuk pada kuda, tapi tentang kelahiran yang baik

      Dalam SN 29 (tentang Naga) dan SN 30 (tentang Supanna) → Dewa dengan bentuk tertentu dan arti Supanna tidak harus merujuk bentuk burung, demikian pula arti Naga.

      Kata timi, timiṅgala, timirapiṇgala [AN 8.19 dan Ud 5.5] → adalah jenis-jenis ikan super besar yang ada di samudera.

      Vinaya: Satu nāga kecewa tidak terlahir sebagai manusia, mengubah diri menjadi manusia dan memohon pentahbisan. Saat Bhikkhu ini tidur, bentuknya kembali menjadi ular, tubuhnya memenuhi vihara, ekornya sampai keluar dari jendela (Sabbo vihāro ahinā puṇṇo, vātapānehi bhogā nikkhantā honti), membuat bhikkhu lain ketakutan. Para bhikkhu bertanya tentang diri dan tujuannya. Ia sampaikan ingin menjadi Bhikkhu, Para bhikkhu bertanya pada sang Buddha, beliau berkata bahwa naga ini tidak dapat maju dalam dhamma, tidak dapat menjadi bhikkhu, disarankan melakukan atthasila/Uposatha agar dapat terlahir sebagai manusia dan menjadi bhikkhu saat itu. Kemudian sang Buddha meletakan aturan "Para bhikkhu, hewan tidak dapat ditahbiskan. Jika telah ditahbiskan, harus dikeluarkan (Tiracchānagato, bhikkhave, anupasampanno na upasampādetabbo, upasampanno nāsetabbo”ti)" [Mahavagga I.63].

      Di Mahasamaya sutta/DN 20: Para Deva alam Catumahajika yang hadir ketika itu, yang berbentuk aneh, yaitu: para naga, para Kumbhīra/berbentuk seperti buaya, Para dewa bersayap yang lahir 2x/dibbā dijā pakkhi yang disebut Citrā supaṇṇā, mereka semua, tanpa menjadi Bhikkhu, dapat mencapai bebas dari cengkraman Mara.

  8. NIRAYA
  9. Niraya (nir-aya "tanpa kegembiraan/keuntungan" atau "menuju kehancuran" atau nir-raya "Tidak: mengalir/longgar"): kondisi ketakutan ekstrim dan/atau ketidakberdayaan mengalami perasaan menyakitkan luarbiasa. Neraka di Buddhism TIDAK ABADI dan BUKAN hasil penilaian makhluk ADI DAYA tertentu untuk menghukum.

    Sang Buddha di MN 129 (syair no.3-6) menyampaikan 3 kesakitan yang dirasakan seorang dungu pelaku amoral dalam hidupnya sebelum kematian:

    1. Ketika dalam suatu pertemuan diruangan, jalan atau lapangan, dan orang-orang di sana sedang mendiskusikan persoalan-persoalan, Ia yang melanggar moralitas, merasa mereka mendiskusikan yang berkaitan dengan dirinya. Ia merasa kesakitan dan kesedihan di sana dan di saat itu
    2. Ketika seorang penjahat tertangkap dan Ia menyaksikannya dijatuhi hukuman. Ia yang melanggar moralitas merasakan kesakitan dan kesakitan di sini dan di saat ini
    3. Ketika sedang beristirahat atau berbaring, maka perbuatan buruk dan prilaku salah jasmani, ucapan dan pikiran yang dilakukannya di masa lalu, meliputinya, menyelimutinya, dan membungkusnya. Ia merasa kesakitan dan kesedihan di sini dan saat ini

    Pelaku perilaku salah dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan muncul kembali dalam kondisi kesengsaraan, di alam tujuan kelahiran tidak bahagia, bahkan di neraka. Kemudian, sang Buddha berikan berbagai perumpamaan tentang betapa menyakitkannya neraka:

      "...adalah tentang neraka, sedemikian sulit menemukan perumpamaan (upamāpi) bagi penderitaan di neraka”. Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya pada Sang Bhagavā: “Tetapi, Yang Mulia, dapatkah suatu perumpamaan (upamaṃ) diberikan?”. “Dapat (sakkā), Bhikkhu” Sang Bhagavā berkata. “Para bhikkhu, misalkan (seyyathāpi) ... [MN 129 syair 7-8]

    Sang Buddha kemudian meneruskannya dengan berbagai perumpamaan, misal:

    1. MN 129 sloka ke 8-9: Perumpamaan mulai dengan seorang raja tertentu dan para penjaga terhadap seorang perampok dengan berbagai siksaan tusukan, kemudian sang buddha menyatakan bahwa kesakitan dan kesedihan yang dialaminya itu alami tidak sebanding dengan di neraka
    2. MN 130 sloka 3-10 dan di AN 3.36 sloka 3-12: perumpamaan mulai dengan raja neraka Yama dan para penjaga terhadap orang yang tidak berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayahnya; para petapa dan brahmana; sesepuh suku/keluarga, sebelum hukuman, disampaikan bahwa perasaan sangat menyakitkan ini tidaklah terjadi jika saat hidup memahami telah bertemu 5 Duta Deva: kelahiran (1), tua (2), sakit (3), pelaku kejahatan mengalami siksaan dikehidupannya saat itu, yang juga muncul di sloka 4 MN 129 (4) dan setelah kematian membusuk (5). [Di AN 3.36, hanya 3 duta deva disebutkan, yaitu: tua (1) ,sakit (2) dan setelah kematian membusuk (3)]
    3. MN 129 sloka 10-16; MN 130 sloka 10-16 dan AN 3.36 sloka 13-17, Sang Buddha kemudian sampaikan perumpamaan hukuman yang terjadi (seragam isinya di 3 sutta): "Kemudian para penjaga neraka menyiksanya dengan 5 tusukan....Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar....Neraka ini memiliki empat sudut dan dibangun..Yang mencakup seluruh wilayah itu"
    4. MN 129 sloka ke-17, Sang Buddha menyampaikan: "Para bhikkhu, Aku dapat menjelaskan dalam banyak cara tentang neraka. Begitu banyak sehingga sulit menyelesaikan penjelasan terhadap penderitaan di neraka" dan pada MN 130 sloka 17 -27, gambaran perumpamaan penyiksaan dikembangkan lagi hingga berakhir dengan kalimat, "Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar."

    Perlu diketahui, kotbah sang Buddha, ada yang berupa intrepetasi (neyya) dan ada yang berupa eksplisit (nīta):

      "Para bhikkhu, kedua orang ini salah merepresentasikan Sang Tathāgata: (1) menjelaskan khotbah dengan makna interpretasi sebagai khotbah eksplisit, (2) menjelaskan khotbah eksplisit sebagai khotbah interpretasi." (AN 2.24)

      "Para bhikkhu, kedua orang ini tidak salah merepresentasikan Sang Tathāgata: (1) menjelaskan khotbah dengan makna interpretasi sebagai khotbah dengan makna interpretasi, (2) menjelaskan khotbah eksplisit sebagai khotbah eksplisit." (AN 2.25)

    Setelahnya, di MN 130 dan AN 3.36, Sang Buddha menyampaikan kotbah eksplisit tentang harapan Yama, sang raja Peta/raja neraka:

      Di masa lampau, raja Yama berpikir: "‘..akankah saya dapat (Aho vatāhaṁ) terlahir menjadi manusia, seorang Tathāgata, yang telah memutus rantai penjelmaan dengan benar sempurna, muncul di dunia, agar aku dapat memberikan penghormatan pada sang Bhagava!’". “Para bhikkhu, Aku mengatakan hal ini kepada kalian bukan sebagai sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain. Aku mengatakan hal ini kepada kalian sebagai sesuatu yang sebenarnya diketahui, dilihat, dan ditemukan olehKu sendiri.” [AN 3.36 sloka 18; MN 130 sloka 28-29]

    Berikut di bawah, beberapa "daftar nama" niraya/neraka:

      SN 6.7-10, AN 10.89 dan SNP 3.10 terkait bikkhu Kokalika: Abbuda, Nirabbuda, Ababa, Atata, Ahaha, Kumuda, Sogandhika, Uppalaka, Pundarīka, Paduma (juga Dvy. 67). J.v.266, 271 Listnya sama dengan Dvy.67, kecuali neraka Raurava menjadi neraka Jalaroruva dan Mahāraurava menjadi Dhūmaroruva.

      MN 50: YM Maha Moggallana menyampaikan 3 sebutan Neraka Besar: (1) neraka 6 landasan kontak indriya, (2) neraka tusukan tombak, dan (3) neraka yang dirasakan oleh diri sendiri.

      MN 130: Gūtha, Kukkula, Simbalivana, Asipattavana, dan Khārodakanadī. Nama lainnya secara acak (misal Khuradhāra (J.v.269), Kākola (J.vi.247), Sataporisa (J.v.269), dan Sattisūla (J.v.143).

      Jātaka dan KV 23.3, tentang neraka Panas: Sañjīva (hidup lagi), Kālasutta (benang hitam), Saṅghātaka (penghancur), Tapana (pembakar), Maha/Patāpana (pembakar yang hebat), Roruva (Daerah tertarus: Jāla dan hūma) dan (Maha) avīci (tanpa henti, merasakan perasaan menyakitkan tanpa henti)

      Kitab komentar [misal. AA.ii.853]: neraka ini BUKAN tempat terpisah dengan atau dari neraka Avici, namun bagian-bagian dari avici

    Di abad selanjutnya, daftar nama dan jenis Neraka menjadi bertambah, misal:

      Neraka Panas dan Neraka dingin, lamanya waktu: seperti mengosongkan sedrum biji wijen setiap 100 tahun diambil 1 biji. Nerakanya makin rendah, maka lamanya waktu menjadi 2x sebelumnya, yaitu Aruba, Nirarbuda, Atata, Hahava (Apapa), Huhuva (Hahadhara), Utpala (Nilotpala), Padma dan Mahapadma. Juga tambahan nama neraka lainnya, yaitu neraka Lokantarika (Neraka terpencil, SA.ii.442f.; DhsA.297f, Lokasi di gunung, hutan, angkasa atau di atas bumi yang muncul karena perbuatan pelakunya. Neraka-neraka ini tidak seperti neraka panas dan neraka dingin yang ada lokasinya)

    LAMA WAKTU di NIRAYA
    "[..]Yang Mulia, berapa lama waktu kehidupan di neraka Paduma?

    Bhikkhu, Umur kehidupan di Neraka Paduma adalah panjang, tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam tahun, atau ratusan tahun, atau ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun.

    Yang mulia, dapatkah memberikan perumpamaan?

    Misalkan, Bhikkhu, terdapat 20 gerobak Kosala (vīsatikhāriko kosalako) penuh wijen (tilavāho: tila = wijen), di akhir tiap 100 tahun, seseorang mengambil 1 wijen dari sana, maka lebih cepat 20 gerobak Kosala penuh wijen habis dengan cara itu daripada 1 Neraka Abbuda dilalui (..iminā upakkamena parikkhayaṁ pariyādānaṁ gaccheyya, na tveva eko abbudo nirayo);

    1. 20 Neraka Abbuda = 1 Neraka Nirabbuda;
    2. 20 Neraka Nirabbuda = 1 Neraka Ababa (= 400 Abbuda);
    3. 20 Neraka Ababa = 1 Neraka Atata (= 8000 Abbuda);
    4. 20 Neraka Atata = 1 Neraka Ahaha ( = 160.000 Abbuda);
    5. 20 Neraka Ahaha = 1 Neraka Kumuda (= 3.2 x 106 Abbuda);
    6. 20 Neraka Kumuda = 1 Neraka Soghandika (= 64 x 106 Abbuda);
    7. 20 Neraka Soghandika = dengan 1 Neraka Uppalaka (= 1.28 x 109 Abbuda);
    8. 20 Neraka Uppalaka = 1 Neraka Pundarika (= 2.56 x 1010 Abbuda); dan
    9. 20 Neraka Pundarika = 1 Neraka Paduma (= 5.12 x 1011Abbuda).." [SN 6.10, AN 10.89, SNP 3.10]

    Lamanya di neraka bagi pelaku yang pikirannya membenci sang sugata/sang Buddha (sugatesu manaṁ padosaye): "sataṁ sahassānaṁ nirabbudānaṁ chattiṁsati pañca ca abbudāni (100 1000 nirabudda 36 5 abbuda = 100.036 nirabudda dan 5 abudda)" [SN 6.9-10, AN 10.89 SNP 3.10].

    "te gaṇitā vidūhi tilavāhā, ye padume niraye upanītā (Yang tahu menghitung jumlah wijen (di 20 kereta) untuk neraka Paduma), nahutāni hi koṭiyo pañca bhavanti dvādasa koṭisatāni punaññā" (10.000 10.000.000 5 menjadi 12 100 10.000.000 lebih = menjadi lebih dari 5 x 1011 dan 12 x 109 lebih = menjadi lebih dari 5.12 x 1011 (dari 20 kereta) penuh wijen)" [SNP 3.10].

      Dari satuan ukuran yang digunakan di India [↑], jumlah wijen di gerobak Kosala = 1 ghanahasta3 = [4 x 6 (angula) x 8 (yava) x 8 (tila)]3 = 1,536 tila3 = 3,623,878,656 tila dan untuk sejumlah 20 gerobak = 20 x 3,623,878,656 tila = 72,477,573,120 wijen. Jika tiap 100 tahun, 1 wijen di ambil dari sana = 72,477,573,120 x 100 tahun = 7,247,757,312,000 tahun “maka lebih cepat 20 gerobak Kosala penuh wijen habis dengan cara itu daripada 1 Neraka Abbuda dilalui”.

      1 neraka Paduma = 7,247,757,312,000 tahun x 5.12 x 1011 Abudda = 3.71085 x 1024 tahun dan ini "lebih cepat daripada 1 neraka Paduma dilalui"

    AVICI
    Di Itivuttaka no.89 dan vinaya Culavagga 7.3: Devadatta di neraka selama 1 Kappa. Tidak diketahui lama kappa neraka avici. Arti kata avici/a = tidak; vīci = ruang = "bersambungan atau tidak terputus", atau makna seperti di DN 26, "jarak antar desa dan kota hanya sejauh jarak terbang ayam antara satu sama lainnya. Jambudīpa ini seperti Avīci (avīci maññe), ramai oleh manusia bagaikan hutan belantara yang dipenuhi tanaman merambat dan semak belukar", juga, kitab komentar Anguttara: ini (10 neraka) bukanlah neraka-neraka terpisah namun penggalan waktu kesengsaraan di avici, jadi "avici" BUKAN nama/jenis neraka, namun keadaan menyakitkan terus bersambung tak putus, Ia tidak dapat mati saat menjalaninya, selama akibat perbuatan jahatnya belum habis [MN 130 syair 9 s.d 27], sehingga, lama kappa neraka avici = 538.947.368.421 (jumlah abbuda sampai Paduma) x 7,247,757,312,000 tahun = 3.906 x 1024 tahun. [Lihat juga BLOG INI.. []
---------------

JALAN KESELAMATAN

Ringkasnya:
TIGA akar kejahatan/hal tidak bermanfaat/hal buruk (Tīṇi akusalamūla):
  1. Moha (Kebingungan/keliru tahu/kebodohan): PERHATIAN TIDAK BENAR [atau: "MEMPERHATIKAN yang TIDAK LAYAK dan TIDAK MEMPERHATIKAN yang LAYAK" ~ AN 3.65]
  2. Lobha/raga (Serakah/Ketagihan): TAMPAK INDAH/MENARIK karena PERHATIAN TIDAK BENAR.
  3. Dosa (Kebencian/memusuhi): TAMPAK MENJEMUKAN/MENJIJIKKAN karena PERHATIAN TIDAK BENAR [AN 3.68]
Akibat 3 hal tersebut: Pikiran tercemari (abyāsittacittassa) atau terjadi penyesalan (vippaṭisāro) [AN 10.2/11.1,2/DN 13] → mengarungi Samsara.

Oleh karenanya,
"Segala hal buruk tidak dilakukan (Sabbapāpassa akaraṇaṃ); Lakukan hal-hal bermanfaat (kusalassa upasampadā); sertai dengan pikiran murni (Sacittapariyodapanaṃ)" [DN 14]

paṭiccasamuppādaññeva sādhukaṁ yoniso manasi karoti (pikirannya sepenuhnya memperhatikan dengan benar tentang sebab kemunculan): iti imasmiṁ sati idaṁ hoti (saat diingat itu menjadi ada); imassuppādā idaṁ uppajjati (itu muncul maka menjadi ada); imasmiṁ asati idaṁ na hoti (saat tidak diingat itu menjadi tidak ada); imassa nirodhā idaṁ nirujjhati yadidaṁ (itu lenyap maka menjadi tidak ada)' [SN 12.21, 37, 41, 49-50, 61-62, SA.358, Ud.1]

→ agar pikiran tidak tercemari hal buruk (abyāsittacittassa) [SN 35.97] atau agar terjadi ketidakmenyesalan (avippaṭisāro) [DN 14, AN 10.2/11.2] atau membuat 5 rintangan menghilang (pañca nīvaraṇe pahīne) [DN 13]
→ pikiran tidak tercemari hal buruk / ketidakmenyesalan / 5 rintangan menghilang, menimbulkan sukacita (pāmojjaṃ jāyati)
→ sukacita menimbulkan riak kegiuran (pamuditassa pīti jāyati)
→ riak kegiuran membuat tenang/lega (AN 11.1: Pīti..passaddhānisaṃsā) atau pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman dirasakan (AN 10.2/11.2/DN13: pītimanassa kāyo passambhati)
→ lega/tenang menimbulkan perasaan menyenangkan (AN 11.1: Passaddhi..sukhānisaṃsā) atau tubuh yang nyaman terasa menyenangkan (AN 10.2/11.2/DN13: passaddhakāyo sukhaṃ vedeti/vediyati)
→ pikiran di keadaan senang, menjadikannya terpusat (sukhino cittaṃ samādhiyati. cittaṃ samādhiyati = Samāhita/pikiran terpusat = pamādavihārī/berdiam tekun)
    Note:
    [Alur di atas adalah KUNCI YANG HARUS MUNCUL KETIKA MELAKUKAN HAL KUSALA/BERMANFAAT APAPUN Setelah MENDAPAT KUNCI AWAL ini, terbuka peluang TERLAHIR DI ALAM BAHAGIA dan/atau mencapai jhāna dan/atau bahkan mencapai PEMBEBASAN/NIBBANA]. Pīti = kegiuran atau ke-merinding-an/riak halus yang berpendaran/merayapi tubuh/sekujur tubuh.
→ menjadi mengetahui melihat sebagaimana adanya (Yathā bhūta ñāṇa dassana) → menjadi tidak terkesan (nibbidā) → menjadi tidak menginginkan (viraga) → mengetahui melihat Pembebasan (vimuttiñāṇadassana) [Gabungan AN 10.2/11.1-2; DN 13 dan SN 35.97]

Rincinya:
Keselamatan merupakan tujuan semua agama, ada agama yang menjanjikan:
  1. Jika berbuat baik semasa hidup, setelah wafat, masuk surga dan bila berbuat buruk, masuk neraka.

  2. Apapun perbuatannya, Jika sebelum wafat, Ia menyembah sosok tertentu [dan/atau mengakui nabinya][10] dan/atau menerima sosok tertentu sebagai juru selamatnya, maka pasti masuk surga[11]

    Beberapa menyatakan surga/nerakanya kekal, lainnya menyatakan bersifat sementara. Bahkan juga menyatakan: walaupun semasa hidup, selalu berbuat baik namun hingga akhir sebelum wafat TETAP TIDAK MENYEMBAH/menerima sosok tertentu, maka tetap masuk neraka, atau walaupun selama hidup selalu berbuat buruk, namun hingga sebelum wafat menyembah/menerima sosok tertentu, maka tetap masuk surga.
Di Buddhism,
Surga/neraka hanya satu dari sekian alam kelahiran kembali dan bersifat sementara. Kelahiran di alam tersebut merupakan masaknya kondisi buah perbuatan makhluk itu sendiri karena masih diliputi Lobha, Dosa dan Moha (LDM). Ada/tidak Buddhism, percaya/tidak Buddhism, selama masih diliputi LDM, maka Ia pasti akan tetap terlahir kembali! Oleh karenanya, memadamkan LDM adalah jalan keselamatan yang dituju dan itu dapat dicapai diketahui semasa hidupnya [Misal: Saat mencapai Arahat di MN 7; MN 1; MN39. Bahkan di AN 10.92, dapat diketahui oleh seseorang pencapai tingkat kesucian terendah/sotāpanna sekalipun]

Namun, di jaman ini, jangankan pencapaian Arahat, bahkan untuk sotāpanna pun SUDAH TIDAK MUNGKIN, karena penghidupan BRAHMA/menyucikan diri tidak bertahan lama, umur DHAMMA SEJATI berakhir 500 tahun dari ditahbiskannya bhikkhuni pertama[↓]. Namun demikian, remah tersisa dari ajaran ini masihlah sangat bermanfaat dalam mengasah kesempurnaan/parami [yaitu dalam MEMPERHATIKAN yang BENAR] di perjalanan samsara (kelahiran kembali).

Para buddha (misal DN 14, DN 3) dan para muridnya (misal Udayi di AN 5.159) dalam membabarkan ajaran kepada para umat awam (misal KD 1: kepada Yasa, orang tuanya, para kawannya Yasa, kepada 30 suami-istri, kepada 12 kelompok tak terhitung jumlahnya dari para bramana dan perumah tangga di Magadha; KD 5: kepada 80 kepala suku di Magadha; Kd 6/AN 8.12: Kepada Jendral Siha; Kd 16: Kepada Anāthapiṇḍika/Sudatta; KD 17: Kepada sejumlah orang yang ditugaskan Devadatta untuk membunuh Sang Buddha; Ud 5.3: Kepada orang miskin penderita Kusta bernama Suppabuddha; MN 91, kepada Brahmana Brahmāyu; MN 56: Kepada Upali; DN 3: Kepada Brahmana Pokkharasāti; DN 5: Kepada Brahmana Kūṭadanta; AN 8.22 kepada perumah tangga Ugga), mulai dengan detail tentang (anupubbiṁ kathaṁ/anupubbikathā):
  1. dānakathaṁ/tentang dana
  2. sīlakathaṁ/tentang sila/moralitas
  3. saggakathaṁ/tentang surga
  4. kāmānaṁ ādīnavaṁ okāraṁ saṅkilesaṁ/tentang bahaya merusak meruntuhkan dari kenikmatan indriya
  5. nekkhamme ānisaṁsaṁ pakāsesi/penjelasan tentang manfaat pelepasan dari hal-hal keduniawian
(seluruh sutta dan vinaya yang menyebutkan tentang 5 anupubbikathā ini, tidak ada yang memerinci isinya, namun detill dari 5 ini ada di berbagai sutta)

Pengenalan Dhamma awal kepada para awam, di teks-teks tersebut, awalnya tidak memasukan penjelasan tentang 8 Jalan mulia dan 4 kesunyataan mulia, adalah ketika pikiran mereka kemudian telah menjadi lentur, lunak, bebas dari rintangan, terbangkitkan, dan percaya, maka barulah dilanjutkan dengan penjelasan tentang ajaran khas para Buddha: yaitu tentang 8 Jalan mulia (8 JM) dan 4 kesunyataan mulia (4 KM). Jadi memang terdapat kondisi khusus yang diperlukan agar dapat memahami 8 JM dan 4 KM.

Hubungan antara kesempurnaan/parami dan tingkat kesucian adalah hubungan positif:
    Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan. [Dhammapada bab 9, Syair 122]

    "Misalkan, seseorang menaburkan sejumlah garam ke secangkir kecil air. Bagaimana menurutmu? Apakah air dalam cangkir itu akan menjadi asin karena garam itu?"
    "Ya, guru."
    "Mengapa?"
    "karena hanya ada sedikit air dalam cangkir dan air akan menjadi asin karena garam itu"
    "Sekarang, misalkan seseorang menaburkan sejumlah garam yang sama ke sungai Ganga. Bagaimana menurutmu? Apakah air di sungai Ganga itu akan menjadi asin karena garam?"
    "Tidak, guru"
    "Mengapa?"
    karena ada sejumlah besar massa air di sungai Ganga dan air takkan menjadi asin karena taburan garam itu."[AN 3.100]
Jadi, jika 2 ORANG BERBEDA melakukan perbuatan kamma buruk kecil YANG SAMA:
  1. seseorang yang TIDAK MENGEMBANGKAN (abhāvita) (tidak melatih): jasmani (kāya), moralitas (sila), pikiran (citta) dan kebijaksanaan (pañña); seorang yang terbatas (paritta), berkarakter rendah (appātumo) dan terusik perbuatannya itu (appa­duk­kha­vihārī)
  2. seseorang yang MENGEMBANGKAN (bhāvita): jasmani, moralitas, pikiran, dan kebijaksanaan; seorang yang tidak terbatas, berkarakter mulia (mahatta), dan berdiam tanpa batas (appamāṇavihārī)
maka akibat yang dialaminya akan berbeda. Orang ke-1, akan mengarah ke neraka, orang ke-2, akan berbuah di kehidupannya itu, tanpa lagi tersisa [AN 3.100]

Untuk itu, terdapat latihan untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat, agar lobha, dosa dan moha terkikis, yang jika tidak menjadi padam, maka peluang terlahir dalam keadaan keadaan sengsara, merugi menuju kehancuran atau alam sengsara makin mengecil. Sehingga:
    Seorang seharusnya terampil dalam hal bermanfaat (Karaṇīyamatthakusalena), menguasai sepenuhnya jejak kedamaian (Yanta santaṃ padaṃ abhisamecca):

    1. sakko (cakap/tangkas)
    2. ujū (lurus)
    3. suhujū (tulus)
    4. Sūvaco (baik/lembut dalam berbicara)
    5. mudu (lembut dalam prilaku)
    6. anatimānī (rendah hati)
    7. Santussako (mudah dipuaskan)
    8. Subharo (mudah disokong)
    9. Appakicco (tidak penuh kesibukan)
    10. Sallahukavutti (hidup sederhana)
    11. Santindriyo (indriyanya tenang)
    12. Nipako (bijaksana)
    13. Appagabbho (tidak keras)
    14. Kulesuananugiddho (tidak tamak ketika dalam kumpulan)
    15. Na ca khuddamācare kiñci, (dan tidak melakukan sekecil apapun) Yena viññū pare upavadeyyuṃ (yang akan dikecam para bijaksana)

    Sukhino va khemino hontu (menjadi aman atau bahagia)
    Sabbasattā bhavantu sukhitattā (semua makhluk dirinya menjadi berbahagia)

    Makhluk hidup apa pun,
    Lemah atau pun kuat, tanpa kecuali
    Panjang atau besar,
    sedang, pendek, halus, kasar

    tampak atau pun tidak
    jauh atau pun dekat
    Telah menjadi atau pun belum
    semua makhluk dirinya menjadi berbahagia

    Tidak yang satu menipu yang lainnya
    Tidak memandang rendah siapapun di manapun
    Tidak karena kemarahan dan persepsi marah
    Mengharap yang lain celaka

    Seperti Ibu pada anak sendiri (niyaṃputtam)
    Sepanjang hidup (āyusā) putra tunggalnya (ekaputtam) dilindungi (anurakkhe)
    Juga pada semua makhluk
    pikiran berkembang tanpa batas

    Tanpa memusuhi (Mettā) ke seluruh alam
    pikiran berkembang tanpa batas
    ke atas, bawah, sekitarnya
    tanpa halangan, dengki, memusuhi

    Ketika berdiri, berjalan, duduk, atau
    berbaring selama terjaga (Sayāno yāvatāssa vitamiddho)
    demikian ingatannya ditegakkan/disiapkan (etaṁ satiṁ adhiṭṭheyya)
    ini disebut ‘kediaman Brahma’

    Tidak jatuh dalam pandangan apapun
    bersih sempurna dalam sila
    menyingkirkan (vinaya) ketamakan pada (gedhaṁ) hasrat indria (Kāmesu)
    tidak akan terlahir lagi dalam rahim
    [SNP 1.8/Kp 9]
Secara ringkas, JALAN MENUJU KESELAMATAN dalam buddhisme: "Segala hal buruk tidak dilakukan, lakukan hal-hal bermanfaat, sertai dengan pikiran murni" [DN 14]. Untuk caranya, Sang buddha mengatakan:
    Para bhikkhu, ada 3 landasan membuat jasa kebajikan (puññakiriyavatthūni): memberi/dānā, menjalankan moralitas, dan melakukan pengembangan/Bhāvanā [AN 8.36, It 60]

    Note:
    Bhāvanā BUKANLAH Samadhi/Meditasi, TAPI Pengembangan. Terdiri dari 3 jenis: kāya-bhāvanā/jasmani, citta-bhāvanā/Pikiran/mentalitas dan paññā-bhāvanā/Kebijaksanaan [DN 33] atau 4 jenis: Sīlabhāvanā, kāyabhāvanā, cittabhāvanā, paññābhāvanā [Pe 8]. (Ke-4 Bhavana ini pada 8 Jalan Utama:) kāya: sammākammanta dan sammājīva, sīla: sammāvāca dan sammāvāyāma, citta: sammāsaṅkappa dan sammāsamādhi, paññā: sammādiṭṭhi dan sammāsati. Ke-4 pengembangan ini, mengarah ke penuntasan pengembangan 2 hal yaitu Citta/pikiran & pañña/kebijaksanaan. (imāya catubbidhāya bhāvanāya dve dhammā bhāvanāpāripūriṁ gacchanti cittaṁ paññañca). [Pe 8]. Cittabhāvanāya = samathā, Paññābhāvanāya = vipassanā [Pe 5, Pe 8], Contoh untuk kāya-bhāvanā dan citta-bhāvanā: "..perasaan menyenangkan muncul dalam diri seorang...Tersentuh perasaan menyenangkan, ia tidak menginginkan kesenangan itu atau tidak terus menginginkan kesenangan itu. Perasaan menyenangkan itu lenyap. Dengan lenyapnya perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan muncul. Tersentuh perasaan menyakitkan itu, ia tidak berdukacita, ..tidak meratap, .. dan tidak menjadi kebingungan. Ketika perasaan menyenangkan muncul, perasaan itu tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang. Dan ketika perasaan menyakitkan itu muncul, perasaan itu tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena pikiran/mentalnya terkembang... dalam kedua kasus ini, perasaan menyenangkan yang muncul tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang, dan perasaan menyakitkan yang muncul tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena pikiran/mentalnya terkembang, demikianlah yang disebut terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam pikiran/mentalnya" [MN 36]
3 landasan membuat jasa kebajikan dilakukan sampai sempurna/parami, yaitu MEMPERHATIKAN DENGAN BENAR, mengetahui dan melihat bahwa apapun yang berkondisi adalah anicca, dukkha dan anatta.
    Sesorang menyimpan simpanannya (nidhiṁ nidheti puriso)
    di lubang, di perairan (gambhīre odakantike)
    dengan berpikir saatnya datang kebutuhan (atthe kicce samuppanne)
    ini akan membantu (atthāya me bhavissati)

    sebagai tebusan ketika diadukan ke penguasa (rājato vā duruttassa)
    atau disandera penjahat (corato pīḷitassa vā)
    atau untuk melunasi hutang (iṇassa vā pamokkhāya)
    atau saat kerugian paceklik (dubbhikkhe āpadāsu vā)
    untuk kepentingan duniawi demikian (etadatthāya lokasmiṁ)
    disebut sebagai simpanan untuk disimpan (nidhi nāma nidhīyati)

    disimpan rapat sebaik apapun (tāvassunihito santo)
    di lubang, di perairan (gambhīre odakantike)
    semuanya tidak cukup (na sabbo sabbadā eva)
    untuk kelak dapat membantunya (tassa taṁ upakappati)

    tanda-tanda penyimpanannya dapat tergeser (nidhi vā ṭhānā cavati)
    atau terlupakan (saññā vāssa vimuyhati)
    atau para naga menghalaunya (nāgā vā apanāmenti)
    ataupun para Yakkha membawanya (yakkhā vāpi haranti naṁ)

    atau ahli waris yang tidak disukainya (appiyā vāpi dāyādā)
    menggalinya diam-diam (uddharanti apassato)
    di saat jasa kebajikannya pudar (yadā puññakkhayo hoti)
    semuanya akan lenyap (sabbametaṁ vinassati)

    Ia yang berdana/memberi, menjalankan moralitas, (yassa dānena sīlena)
    pengekangan dan pengendalian diri (saṁyamena damena ca)
    adalah simpanan yang baik untuk disimpan (Nidhī sunihito hoti)
    Oleh para pria dan wanita (itthiyā purisassa vā)

    kepada tempat peringatan atau sangha (cetiyamhi ca saṅghe vā)
    kepada orang lainnya atau tamu (puggale atithīsu vā)
    kepada orang tuanya (mātari pitari cāpi)
    kepada saudaranya yang lebih tua (atho jeṭṭhamhi bhātari)

    Inilah simpanan yang baik untuk disimpan (eso nidhi sunihito)
    pengikut yang tak tertandingi (ajeyyo anugāmiko)
    saat meninggalkan yang ditinggalkan (pahāya gamanīyesu)
    inilah yang akan pergi bersamanya (etaṁ ādāya gacchati)

    Ini bukan barang umum yang dibayangkan orang (asādhāraṇamaññesaṁ)
    simpanan yang tidak dapat dibawa pencuri (acorāharaṇo nidhi)
    seseorang bijak sepatutnya berbuat jasa kebajikan (kayirātha dhīro puññāni)
    simpanan yang akan mengikutinya (yo nidhi anugāmiko)

    baik itu manusia atau dewa (esa devamanussānaṁ)
    simpanannyalah yang memenuhi setiap keinginannya (sabbakāmadado nidhi)
    apapun yang diharapkannya (yaṁ yadevābhipatthenti)
    darinya semua dapat diperoleh (sabbametena labbhati)

    Ia menarik, disukai (suvaṇṇatā susaratā)
    berpenampilan dan bentuk menawan (susaṇṭhānā surūpatā)
    mempunyai kekuasaan, pengikut (ādhipaccaparivāro)
    darinya semua dapat diperoleh (sabbametena labbhati)

    menjadi penguasa berdaulat (padesarajjaṁ issariyaṁ)
    menjadi raja pemutar roda berbahagia yang dicintai (cakkavattisukhaṁ piyaṁ)
    menjadi raja para dewa (Devarajjampi dibbesu)
    darinya semua dapat diperoleh (sabbametena labbhati)

    pencapaian alam manusia (mānussikā ca sampatti)
    kebahagian di alam dewa (devaloke ca yā rati)
    dan pencapaian padam (yā ca nibbānasampatti)
    darinya semua dapat diperoleh (sabbametena labbhati)

    Berkah mendapatkan teman berkualitas (mittasampadamāgamma)
    atau menjalani dengan benar (yonisova payuñjato)
    mahir dalam pengetahuan pembebasan (vijjāvimuttivasībhāvo)
    darinya semua dapat diperoleh (sabbametena labbhati)

    wawasan analisis, keterbebasan dan (paṭisambhidā vimokkhā ca)
    kesempurnaan sebagai siswa serta (yā ca sāvakapāramī)
    landasan kebuddhaan, tercerahkan dengan usaha sendiri (paccekabodhi buddhabhūmi)
    darinya semua dapat diperoleh (sabbametena labbhati)

    Ini sedemikian agungnya (evaṁ mahatthikā esā)
    yaitu berkah jasa kebajikan (yadidaṁ puññasampadā)
    yang karenanya para bijak memujikannya (tasmā dhīrā pasaṁsanti)
    Para Bijak membiasakan dirinya berbuat jasa kebajikan (paṇḍitā katapuññatanti) [KP 8, Nidhikaṇḍasutta]
Sang Buddha menyatakan waktu/hari di mana jasa kebajikan dilakukannya merupakan hari baik baginya:
    Para makhluk yang melakukan perbuatan baik (sucaritaṁ caranti) dengan jasmani, ucapan, dan pikiran di waktu fajar (pubbaṇhasamayaṁ), memiliki fajar yang baik (supubbaṇho..tesaṁ sattānaṁ) ... di waktu siang (majjhanhikasamayaṁ), memiliki siang yang baik (sumajjhanhiko..) ... di waktu malam (sāyanhasamayaṁ), memiliki malam yang baik (susāyanho).”

    sungguh terpuji (sunakkhattaṁ), sungguh terberkati (sumaṅgalaṁ)
    fajar terbaik (suppabhātaṁ), bangun terjaga terbaik (suhuṭṭhitaṁ)
    saat yang berbahagia (sukhaṇo), waktu terbaik (sumuhutto)
    mempersembahkan yang baik (suyiṭṭhaṁ) kepada yang meninggalkan duniawi (brahmacārisu)
    melakukan perbuatan jasmani yang layak (padakkhiṇaṁ kāyakammaṁ)
    melakukan perbuatan ucapan yang layak (vācākammaṁ padakkhiṇaṁ)
    melakukan perbuatan pikiran yang layak (Padakkhiṇaṁ manokammaṁ)
    dengan di-tekad-i sepatutnya (paṇīdhi te padakkhiṇe)
    telah dilakukan sepatutnya (padakkhiṇāni katvāna)
    akan memperoleh yang sepatutnya (labhantatthe padakkhiṇe)
    mendapatkan diri berbahagia demikian (te atthaladdhā sukhitā)
    tumbuh-berkembang kebuddhaannya (viruḷhā buddhasāsane)
    berada sejahtera, bahagia (arogā sukhitā hotha)
    bersama seluruh kerabatnya (saha sabbehi ñātibhī”ti)
Dana
Dana berada di tempat pertama di puññakiriyavatthūni [AN 8.36, It 60] juga di Dasa Paramita[12]. Siapapun, baik itu anak kecil/dewasa, bermoral, penjahat kelas berat, pemuja Tuhan manapun atau tidak satupun, kaya/miskin, cacat/normal, semuanya mampu bermurah hati atau berdana.
    Dan apakah kekayaan dari kemurahan hati? (Katamañca, bhikkhave, cāgadhanaṁ?)
    ...pikirannya berdiam tanpa noda kekikiran (vigatamalamaccherena cetasā agāraṁ) yang memiliki (ajjhāvasati): kemurahan hati (muttacāgo), bertangan terbuka (payatapāṇi), kesenangan dalam melepas (vosaggarato), kedermawanan (yācayogo), kegemaran ikut berbagi dalam memberi (dānasaṁvibhāgarato) [AN 7.6]
Dana tidak harus berupa materi, dapat berupa memaafkan:
    Tidak memaafkan, mereka yang mengakui kesalahan (accayaṁ desayantīnaṁ,yo ce na paṭigaṇhati)
    memendam kemarahan (kopantaro) kebencian besar (dosagaru), terjebak dalam permusuhan (sa veraṁ paṭimuñcati)
    Aku bersusah hati dalam permusuhan seperti itu (taṁ veraṁ nābhinandāmi), oleh karenanya aku memaafkan (paṭiggaṇhāmi voccayanti) [SN 1.35]
Juga dapat berupa dhamma/ajaran ataupun pelayanan/tenaga [veyyāvacca - AN 5.36]. Di antara semua kemurahan hari dalam memberi, maka memberikan dhamma yang terunggul.
    Ada 2 jenis pemberian (dānā), yaitu berdana materi (āmisa) dan Dhama/ajaran. Berdana dhamma yang terunggul
    ...persembahan/pengorbanan (yāgā)...
    ...kedermawanan (cāgā)...
    ...melepas (pariccāgā)...
    ...kekayaan (bhogā)...
    ...berbagi/mendistribusikan (saṃvibhāgā)...
    ...pertolongan/bantuan/dukungan (anuggaha)...
    Ada 2 jenis kebaikan/simpati/kasihan (anukampā), yaitu kebaikan materi dan dhamma/ajaran. Kebaikan dalam dhamma yang terunggul [AN 2.141-150. Juga Iti 98, 100 untuk dana, saṃvibhāga, anuggaha]

    ... Siapapun yang bersukacita karenanya (Ye tattha anumodanti) atau yang memberikan bantuan/melayani/membantu (veyyāvaccaṃ karonti vā), yang pemberiannya tidak diinginkan (na tena dakkhiṇā ūnā, Ia juga mendapat bagian jasa (tepi puññassa bhāgino) [AN 5.36]
Sang Buddha menyampaikan betapa pentingnya berbagi:
    “Wahai para bhikkhu, seandainya para makhluk tahu, seperti yang aku tahu, buah dari berbagi dana (dānasaṃvibhāga), mereka takkan makan sebelum memberi; mereka takkan membiarkan noda kekikiran menguasai dan mengakar di pikiran mereka. Bahkan seandainya itu adalah makanan terakhir, suapan terakhir, mereka takkan menikmatinya tanpa membaginya seandainya ada orang yang dapat diajak berbagi.

    Tetapi, wahai para bhikkhu, karena para makhluk tidak tahu, seperti yang aku tahu, buah dari berbagi dana, maka mereka makan tanpa memberi dan noda kekikiran menguasai dan mengakar di pikiran mereka.” [Itivuttaka 26]
Sang Buddha menyampaikan bahwa persembahan pada yang membutuhkan dapat mengurangi kemiskinan dan kejahatan:
    ..Raja melakukan penjagaan dan perlindungan, tetapi tidak memberikan persembahan pada yang membutuhkan, dan sebagai akibatnya, kemiskinan berkembang. Dengan meningkatnya kemiskinan, seseorang mengambil apa yang tidak diberikan, dengan demikian melakukan apa yang disebut pencurian..[DN 26]
Sang Buddha menyampaikan bagaimana seharusnya seorang dalam melayani:
    Aku TIDAK mengatakan SEMUA harus dilayani, atau TIDAK ADA yang harus dilayani. Namun, jika karena pelayanan itu:

    1. Ia menjadi LEBIH BURUK dan TIDAK LEBIH BAIK, maka Ia seharusnya TIDAK dilayani
    2. Ia menjadi LEBIH BAIK dan TIDAK LEBIH BURUK, maka Ia seharusnya dilayani
    3. AKU menjadi LEBIH BURUK dan TIDAK LEBIH BAIK, maka AKU seharusnya TIDAK melayaninya
    4. AKU menjadi LEBIH BAIK dan TIDAK LEBIH BURUK, maka AKU seharusnya melayaninya

    Ketika melayani seseorang: (1) keyakinan (saddhā), (2) moralitas (sīla), (3) pembelajaran (suta), (4) kedermawanan (cāga), dan (5) kebijaksanaannya (paññā) BERTAMBAH, maka seseorang SEHARUSNYA dilayani [MN96]
Memberikan persembahan dan pelayanan sepatutnya berasal dari hal baik, tidak berasal dari: menyakiti makhluk hidup, mengambil yang tidak diberikan, menjual/memperbudak orang, menipu dan menjual persenjataan atau hal yang menyakiti kehidupan, pencurian dan asupan memabukan. Tindakan ini pada gilirannya dapat menurunkan kemiskinan, mengurangi niat jahat, perampokan, pencurian, korupsi dan lainnya yang membuat keamanan dan kenyamanan hidup meningkat seiring berkurangnya kejahatan.

Pemberian yang TEPAT WAKTUNYA, kepada: Tamu, seorang dalam perjalanan, pasien, saat bencana kelaparan, dari penghasilan pertama dan panen kepada para mulia [AN 5.36. Juga lihat AN 5.228, hal yang tidak menguntungkan jika tidak tepat waktu]

Terdapat 3 jenis orang sehubungan dengan memberi:
    “Para bhikkhu, ada 3 macam orang di dunia sini yaitu: yang bagaikan awan tanpa hujan, yang bagaikan hujan lokal, dan yang bagaikan hujan di mana-mana.”

    “Seperti apakah orang yang bagaikan awan tanpa hujan?”

    “orang itu TIDAK MEMBERI PADA SIAPAPUN. Ia tidak memberi makanan, minuman, pakaian, kendaraan, bunga-bungaan, pengharum, minyak, tempat tidur, tempat bernaung, dan lampu pada para pertapa dan brahmana, pada orang yang miskin, pada orang yang terlantar dan membutuhkan..”

    “Seperti apakah orang yang bagaikan hujan lokal?”

    “orang itu MEMBERI PADA BEBERAPA ORANG TAPI TIDAK PADA YANG LAIN Ia hanya memberikan makanan,.., dan lampu pada beberapa pertapa dan brahmana, pada beberapa orang yang miskin, pada beberapa orang yang terlantar dan membutuhkan, tetapi tidak memberikannya pada yang lain..”

    “Seperti apakah orang yang bagaikan hujan di mana-mana?”

    “orang itu MEMBERI PADA SEMUANYA. Ia memberikan makanan,.., dan lampu pada semua pertapa dan brahmana, pada orang yang miskin, pada orang yang terlantar dan yang membutuhkan...”

    Tidak pada para pertapa maupun brahmana, Tidak juga pada yang miskin dan terlantar, Ia membagikan simpanan, Makanan, minuman dan barang-barangnya; Orang yang dasarnya seperti itu disebut ‘Orang yang bagaikan awan tanpa hujan’.

    Pada beberapa orang Ia tidak memberi, Pada beberapa orang Ia menawarkan dana makanan; Oleh para bijaksana orang seperti itu disebut ‘Orang yang bagaikan hujan lokal’.

    Orang yang dikenal karena kebesaran hatinya, Yang mengasihi semua makhluk, Membagikan dana dengan senang hati.‘Beri! Beri!’ katanya.

    Bagaikan awan yang tebal Yang menggelegar mencurahkan hujan Mengisi bagian yang rata dan cekung, Membasahi bumi dengan air, Seperti itulah orang ini.

    Setelah dengan benar mengumpulkan kekayaan Yang Ia peroleh dengan usahanya sendiri, Ia memberikan cukup makanan dan minuman Pada makhluk apa pun yang membutuhkan
    [Itivuttaka 75]
ADA PERBEDAAN antara seorang pemberi dana VS bukan pemberi dana, walaupun mereka sama-sama memiliki keyakinan, keluhuran dan kebijaksanaan:
    ..Putri Sumana –dengan 500 wanita kerajaan datang berkunjung, setelah memberikan hormat, duduk di satu sisi dan berkata:

    “Bhante, seandainya ada 2 siswa Bhante yang setara dalam: keyakinan, keluhuran dan kebijaksanaannya namun yang satu adalah pemberi (dāyaka), sedangkan yang lain bukan pemberi (adāyaka). Maka ke-2nya ini, bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di keadaan bahagia di alam surgawi. Setelah menjadi dewa demikian, adakah ketidaksamaan di antara ke-2nya?”

    Sang Buddha berkata, “Ada, Sumana. Si pemberi dana, sesudah menjadi dewa, akan melampaui yang bukan pemberi dana dalam 5 hal: Umur kehidupan (āyunā), kelas/kualitas/keindahan (vaṇṇena), kebahagiaan (sukhena), keagungan/kemasyhuran (yasena) dan pengaruh/kekuatan (ādhipateyyena) sebagai Deva"

    “Tetapi, Bhante, jika ke-2nya ini kemudian meninggal dari sana dan kembali ke alam ini di sini, apakah masih ada ketidaksamaan di antara mereka ketika mereka menjadi manusia lagi?”

    Sang Buddha, “Ada, Sumana. Si pemberi dana, setelah menjadi manusia, akan melampaui yang bukan-pemberi dana dalam 5 hal: umur kehidupan (āyunā), kelas/kualitas/keindahan (vaṇṇena), kebahagiaan (sukhena), keagungan/kemasyhuran (yasena) dan pengaruh/kekuatan (ādhipateyyena) sebagai manusia

    “Tetapi, Bhante, jika ke-2nya ini akan meninggalkan kehidupan perumah-tangga menuju kehidupan tak-berumah sebagai bhikkhu, apakah masih akan ada ketidaksamaan di antara mereka ketika mereka menjadi bhikkhu?”

    Sang Buddha, “Ada, Sumana. Si pemberi dana, sesudah menjadi bhikkhu, akan melampaui yang bukan-pemberi dana di dalam 5 hal: Ia sering diminta untuk menerima jubah, dan jarang Ia tidak diminta; Ia sering diminta untuk menerima dana makanan … tempat tinggal … dan obat-obatan, dan jarang Ia tidak diminta. Selanjutnya, sesama bhikkhu biasanya ramah terhadapnya lewat perbuatan, kata-kata dan pikiran; jarang mereka tidak ramah. Pemberian-pemberian yang mereka bawa padanya kebanyakan menyenangkan. Jarang pemberian-pemberian itu tidak menyenangkan.”

    “Tetapi, Bhante, jika keduanya mencapai tingkat Arahat, apakah masih akan ada ketidaksamaan di antara ke-2nya?”

    “Di dalam hal itu, Sumana, kunyatakan takkan ada perbedaan antara satu pembebasan dan pembebasan lain.”.. [AN 5.31]
Terdapat perbedaan Jasa dari Pemberian, antara yang diberikan secara tidak langsung (via dititipkan) VS diberikan langsung kepada penerima:
    Saccaka: “Sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu untuk menerima persembahan makanan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

    Kemudian, mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menyetujui, Saccaka putra Nigaṇṭha berkata kepada para Licchavi: “Dengarkan aku, para Licchavi. Petapa Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu telah menerima undanganku untuk makan besok. Kalian boleh membawa kepadaku apapun yang kalian anggap layak untuk Beliau.”

    Kemudian, ketika malam berakhir, para Licchavi membawa sebanyak 500 makanan terbaik untuk dipersembahkan (pañcamattāni thālipākasatāni bhattābhihāraṁ abhihariṁsu). Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mempersiapkan di tamannya sendiri berbagai jenis makanan yang terbaik dan pada waktunya mengumumkan kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”

    Pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubahNya, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, Beliau pergi bersama Sangha para bhikkhu menuju taman Saccaka putra Nigaṇṭha dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Saccaka putra Nigaṇṭha melayani dan memuaskan Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan terbaik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkukNya ke samping, Saccaka putra Nigaṇṭha mengambil tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Apapun ini, Guru Gotama, jasa, berkembangnya jasa dari persembahan, demi kebahagiaan sang pemberi (yamidaṁ, bho gotama, dāne puññañca puññamahī ca taṁ dāyakānaṁ sukhāya hotū).”

    Sang Buddha: “Aggivessana, apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti engkau – seorang yang belum terbebas dari nafsu, kebencian, kekeliruan tahu – itu adalah untuk si pemberi. Dan apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti Aku – seorang yang telah terbebas dari nafsu, kebencian, kekeliruan tahu – itu adalah untuk engkau [MN 35]
Lebih tegasnya mengapa ada perbedaan buah dari pemberian:
    Vacchagotta:
    “Telah kudengar, Guru Gotama, bahwa Petapa Gotama berkata: ‘Hadiah harus diberikan hanya padaku dan bukan pada yang lain; hadiah harus diberikan hanya pada siswa-siswaku dan bukan pada siswa-siswa yang lain. Hanya apa yang diberikan padaku saja yang memberikan buah yang besar, bukan apa yang diberikan pada yang lain; hanya apa yang diberikan pada siswa-siswaku saja yang memberikan buah yang besar, bukan apa yang diberikan pada siswa-siswa yang lain.’

    Guru Gotama, apakah mereka yang mengatakan demikian itu benar-benar menyampaikan kata-kata Guru Gotama dan tidak salah mewakili Beliau? Apakah mereka menyatakan hal ini sesuai dengan ajaran-ajaran Guru? Apakah pernyataan mereka itu tidak menimbulkan alasan untuk dicela? Kami tentu saja tidak ingin salah mewakili Guru Gotama.”

    Sang Buddha:
    Mereka yang mengatakan demikian, Vaccha, tidak menyatakan kata-kataku dengan benar, salah mewakiliku. Pernyataan mereka tidak sesuai dengan ajaran-ajaranku dan pernyataan mereka yang salah tentu saja akan menimbulkan penyebab celaan.

    “Vaccha, siapapun yang mencegah orang lain agar tidak memberikan dana berarti menyebabkan penghalang dan kesukaran bagi 3 orang:

    1. dia menghalangi si pemberi untuk melakukan suatu tindakan yang berjasa,
    2. dia menghalangi si penerima untuk menerima pemberian itu, dan sebelum itu,
    3. dia merendahkan dan merugikan wataknya sendiri.

    Vaccha, inilah yang sesungguhnya kuajarkan: bahkan seandainya seseorang melempar air bekas cucian mangkuk atau cangkir ke kolam desa, dengan harapan bahwa makhluk-makhluk hidup di sana bisa memperoleh makanan dari itu – bahkan perbuatan ini pun akan menjadi sumber perbuatan jasa, apalagi memberikan sesuatu pada manusia

    “Tetapi aku memang menyatakan bahwa persembahan yang diberikan pada mereka yang luhur akan memberikan buah yang kaya, dan buah persembahan takkan sebanyak itu bila diberikan pada mereka yang tidak luhur

    Orang yang luhur telah meninggalkan [vippahinani] 5 sifat dan memiliki 5 sifat upaya pembebasan diri [samanagato].

    Apakah 5 sifat yang telah ditinggalkannya itu?

    hasrat indriya/duniawi (kamacchanda), kehendak buruk/memusuhi (byapada), malas dan lamban (thina-midha), gelisah-cemas (uddhacca-kukkucca), dan keragu-raguan (vicikicha): inilah 5 sifat yang telah Ia tinggalkan [mereka yang mencapai jhāna ke-1].

    Dan apakah 5 sifat upaya pembebasan diri yang Ia miliki?

    Ia memiliki kelompok keluhuran moralitas (sīla-kkhandhe), pikiran terpusat (samādhi-kkhandhe), kebijaksanaan (paññā-kkhandhe), pembebasan (vimutti-kkhandhe), dan pengetahuan melihat pembebasan (vimutti-ñāṇa-dassana-kkhandhe) dari orang yang telah sempurna latihannya. Inilah 5 sifat yang dimilikinya.

    “Memberi pada orang yang telah meninggalkan 5 sifat itu dan yang memiliki 5 sifat ini – inilah yang kunyatakan akan memberikan buah yang kaya.” [AN 3.57]
Perumah tangga yang memberikan makanan (Bhojanaṁ gahapati dadamāno) kepada para murid mulia sebagai penerimanya, memberikan 4 hal (ariyasāvako paṭiggāhakānaṁ cattāri ṭhānāni deti): umur kehidupan (āyu), kelas/kualitas/keindahan (vaṇṇo), keadaan senang/bahagia (sukha), keagungan/kemasyhuran (yasa) dan pengaruh/kekuatan (adhipati/bala). Karena memberi umur panjang, Ia memperoleh umur panjang, ... kualitas.., senang/bahagia.. Karena memberikan keagungan/kemasyhuran, Ia memperoleh keagungan/kemasyhuran [AN 4.57, 58]

Murid Ariya Perumah tangga yang melakukan 4 hal ini (catūhi kho, gahapati, dhammehi samannāgato ariyasāvako) adalah umat awam dengan tindakan tepat yang berprilaku sesuai (gihisāmīcipaṭipadaṁ paṭipanno), melayani (paccupaṭṭhito) Saṅgha para bhikkhu (bhikkhusaṅgha) dengan: jubah (cīvara), makanan (piṇḍapāta), tempat tinggal (senāsana), obat dan perlengkapan bagi yang sakit (gilānappaccayabhesajjaparikkhāra), Ia memperoleh keagungan/kemasyhuran dan mengarah ke Surga (yasopaṭilābhiniṁ saggasaṁvattanikanti) [AN 4.60]

Pertanyaan Putri Cundi kepada sang Buddha:
    "(1) Guru (sattha) seperti apakah, yang harus yakini, agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir kembali hanya di alam tujuan baik, bukan di alam tujuan buruk? (2) Dhamma seperti apakah...(3) Saṅgha seperti apakah... (4) Perilaku bermoral seperti apakah yang harus penuhi agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir kembali hanya di alam tujuan baik, bukan di alam tujuan buruk?"
Sang Buddha:
    "(1) Di antara para makhluk, apakah itu tanpa kaki, berkaki 2, 4, atau banyak, berbentuk atau tidak, berpersepsi atau tanpa persepsi, atau bukan berpersepsi juga bukan tanpa persepsi, Sang Tathagata arahat sammasambuddha adalah yang terunggul (agge)...
    (2a) Di antara Dhamma terkondisi (dhammā saṅkhatā), 8 jalan utama (ariyo aṭṭhaṅgiko maggo) adalah yang terunggul...
    (2b) Di antara Dhamma terkondisi atau tidak terkondisi (dhammā saṅkhatā vā asaṅkhatā), tidak meminati (virāgo) adalah yang terunggul...
    (3) Di antara Saṅgha/kelompok, Saṅgha para siswa Sang Tathāgata (tathāgatasāvakasaṅgho) yang terdiri dari 4 pasang dan 8 individu (cattāri purisayugāni aṭṭha purisapuggalā) adalah yang terunggul..
    (4) Di antara moralitas (pāṇātipātā paṭivirato, ... , surāmerayamajjapamādaṭṭhānā paṭivirato), moralitas/sila yang dimiliki para mulia, yang: tidak rusak, tidak robek, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji para bijaksana, tidak digenggam, menuntun pada pikiran terpusat adalah yang terunggul...

    Memberikan dana kepada yang terunggul, unggul dalam tumbuhnya jasa (aggaṁ puññaṁ pavaḍḍhati: Unggul di umur kehidupan,.. kelas/kualitas/keindahan.. , kebahagiaan..., keagungan/kemasyhuran dan pengaruh/kekuatan [AN 5.32]
Kemudian, agar bermanfaat besar dalam memberi, sang Buddha menyampaikan:
    1. Si pemberi bergembira sebelum memberikan;
    2. memiliki pikiran yang tenang, dan penuh kepercayaan saat memberikan; dan
    3. bersukacita setelah memberikan.

    Sebelum memberi Ia bergembira;
    Sewaktu memberi ia mengokohkan pikirannya dalam kepercayaan;
    Setelah memberi ia bersukacita:
    Ini adalah keberhasilan dalam tindakan memberi.

    Ketika mereka yang hampa dari ketagihan dan kebencian,
    Hampa dari kekeliruan tahu, tanpa noda,
    Terkendali, menjalani kehidupan non-duniawi,
    Maka lahan persembahan menjadi lengkap.

    Setelah membersihkan dirinya sendiri
    Dan memberi dengan tangannya sendiri,
    Tindakan derma menjadi sangat berbuah
    Bagi dirinya sendiri dan sehubungan dengan orang lain.

    Setelah melakukan perbuatan derma demikian
    Dengan pikiran yang bebas dari kekikiran,
    Orang bijaksana, kaya dalam keyakinan,
    Terlahir kembali di alam bahagia, tanpa kesusahan
    [AN 6.37]
Lebih lanjutnya, di MN 142, Sang Buddha menyampaikan:
    ketika seseorang, berkat orang lain, Ia menjadi:

    1. berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha [dan/atau]..
    2. menjalankan pancasila/menyingkirkan 5 bahaya permusuhan (pañca bhayāni verāni) [dan/atau]..
    3. memiliki keyakinan yang tak goyah pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan memiliki moralitas [sila] yang disenangi oleh para mulia[dan/atau]..
    4. terbebas dari keragu-raguan (nikkaṅkhā) terhadap 4 KEBENARAN MULIA

    maka, tidak mudah bagi orang ke-1 membalas orang ke-2 dengan cara memberikan penghormatan, bangkit untuknya, memberikan salam penghormatan dan pelayanan sopan., dan dengan memberikan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.

    ...pemberian secara Pribadi pada seorang:

    1. Sammasambuddha (sudah tidak bisa), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    2. Paccekabuddha (sudah tidak bisa), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    3. Arahat (sudah tidak bisa), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    4. Yang berada di jalan Arahat (sudah tidak bisa), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    5. anāgāmī (sudah tidak bisa), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    6. Yang berada di jalan anāgāmī (sudah tidak bisa), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    7. sakadāgāmī (sudah tidak bisa), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    8. Yang berada di jalan sakadāgāmī (sudah tidak bisa), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    9. Sotāpanna (sudah tidak bisa), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    10. Yang berada di jalan sotāpanna (tidak bisa lagi), dapat berbuah tidak terukur x lipat
    11. Yang di luar ajaran, yang lepas dari gairah pada hasrat indriya [bāhirake kāmesu vītarāge: yang mencapai jhāna], dapat berbuah 100.000 x 100.000 lipat
    12. Puthujjana bermoral (Puthujjanasīlavanta), dapat berbuah 100.000x lipat
    13. Puthujjana bermoral buruk (Puthujjanadussīla), dapat berbuah 1000x lipat
    14. Pada hewan, dapat berbuah 100x lipat

    ...7 Jenis Pemberian pada Sangha (SanghikaDāna):

    1. Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni pimpinan Sang Buddha (Sudah tidak bisa)
    2. Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni setelah Buddha mencapai Parinibnibbāna (Sudah tidak bisa)
    3. Sangha bhikkhu
    4. Sangha bhikkhuni
    5. Sejumlah tertentu bhikkhu dan bhikkhunī dari Sangha: Seseorang yang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dan bhikkhunī dari Sangha’ (Sangha Bhikkhuni telah punah)
    6. Sejumlah tertentu bhikkhu dari Sangha: Seseorang yang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dari Sangha'
    7. Sejumlah tertentu bhikkhunī dari Sangha: Seseorang yang memberikan suatu pemberian, dengan mengatakan: ‘Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhuni dari Sangha' (Sangha Bhikkhuni telah punah)

    ...“Akan terjadi Ananda (Bhavissanti kho panānanda) di masa depan (anāgatamaddhānaṁ), anggota-kelompok (gotrabhuno), berjubah kuning (kāsāvakaṇṭhā) dengan moralitas dan karakter yang buruk (dussīlā pāpadhammā). Orang-orang akan memberikan pemberian pada orang-orang tidak bermoral itu demi Sangha. Bahkan yang demikianpun, Aku katakan, suatu persembahan yang diberikan pada Sangha adalah TIDAK TERHITUNG dan TIDAK TERUKUR.

    Dan Aku katakan bahwa TIDAK MUNGKIN suatu persembahan yang diberikan pada individu AKAN LEBIH berbuah daripada persembahan yang diberikan pada Sangha
    [MN 142].

      Note:
      Sutta tampaknya dibabarkan setelah terbentuknya Sangha Bhikkhuni, tentang Mahapajapati Gotami mempersembahkan jubah yang hanya ditujukan kepada Sang Buddha. Dalam sutta ini ada kata "dukkhe nikkaṅkhā.../terbebas dari keraguan tentang dukkha...". frase ini muncul pula di MN 81, terkait pengrajin tembikar Ghaṭīkāra, yang setelah frase tersebut, disebutkan Ia sebagai ANAGAMI. Jadi kata ini digunakan kepada para pencapai kesucian.

      Penggunaan kata gotrabhuno/"anggota kelompok" muncul di AN 10.16, yaitu tentang 10 orang: Tathāgata araha sammāsambuddha; paccekabuddha; ubhatobhāgavimutto/yang terbebaskan dalam kedua aspek; paññāvimutto/yang terbebaskan melalui kebijaksanaan; kāyasakkhī/saksi-tubuh; diṭṭhippatto/pencapai pandangan; saddhāvimutto/yang terbebaskan melalui keyakinan; dhammānusārī/pengikut Dhamma; saddhānusārī/pengikut keyakinan; dan gotrabhū/anggota kelompok. Juga di AN 9.10, yaitu tentang 9 orang: Arahā; arahattāya paṭipanno/yang sedang berlatih mencapai kearahatan, anāgāmī; anāgāmiphalasacchikiriyāya paṭipanno/yang sedang berlatih mencapai buah anagami; sakadāgāmī, sakadāgāmiphalasacchikiriyāya paṭipanno/yang sedang berlatih mencapai buah sakadagami; sotāpanno; sotāpattiphalasacchikiriyāya paṭipanno; gotrabhū/anggota kelompok. Dalam Katavathu misalnya gotrabhuno puggalassa sotāpattimagge ñāṇaṁ/anggota kelompok orang yang mengetahui jalan sotapanna [KV.5.2, 4, 8]. Jadi gotrabhuno adalah seorang yang menjadi bagian kelompok tersebut.

      Terkait kata kāsāvakaṇṭha dussīlā pāpadhammā, Kitab komentar: menjadi bhikkhu secara nama, bepergian dengan kain kuning terlilit sampai leher/lengannya, masih menyokong anak dan istri, terlibat perdagangan dan pertanian, dsb [Papañca Sūdanī, komentar MN 5:74 f], Jadi kata kāsāvakaṇṭha adalah pemakai jubah kuning coklat kebhikkhuan

      Kata gotrabhuno kāsāvakaṇṭhā adalah seorang yang menjadi bagian kelompok sangha pemakai jubah kuning-coklat. Sehingga walopun dalam kelompok Sangha terdapat bhikkhu dengan dengan moralitas dan karakter yang buruk, namun karena di Sangha tersebut juga terdapat 4 pasang dan 8 individu, maka pemberian kepada Sangha tetap menjadi TIDAK TERHITUNG dan TIDAK TERUKUR dan kejadian ini hanya terjadi pada masa dhamma sejati masih ada.

      SETELAH berakhirnya jaman Dhamma sejati, pencapaian tertinggi seorang anggota sangha adalah puthujjana seorang yang telah lepas dari gairah pada hasrat indriya/bāhirake kāmesu vītarāge, pencapai jhāna [buahnya 100.000 x 100.000 lipat] dan TIDAK ADA LAGI anggota sangha pencapai kesucian magga/phala, maka buah pemberian kepada Sangha MENJADI DAPAT DIUKUR, tergantung isinya apakah lebih banyak bhikkhu puthujjana bermoral (Puthujjanasīlavanta) ataukah puthujjana bermoral dan berkarakter buruk (Puthujjanadussīlā pāpadhammā)

      Sikap Bhikkhu yang baik ketika piṇḍapāta/mengumpulkan dana makanan dengan mangkuknya:

      "Ketika pergi ke desa ... Tidak tergesa-gesa di antara rumah ke rumah, tidak berbicara sewaktu menerima makanan, tidak memberikan isyarat ... “Apa yang telah kuperoleh adalah baik”, “Apa yang tidak kuperoleh juga adalah baik” ... Bepergian dengan mangkuk ditangannya, tidak bisu tetapi orang pikir ia bisu; tidak mencemooh pemberian kecil, Juga tidak memandang rendah penyumbangnya" [SNP 3.11].

      "Aku melantunkan syair (Gāthābhigītaṃ me) bukan demi panganan (abhojaneyyaṃ); lihat jelas, Brahmana, ini bukan Dhamma. Melantunkan syair ditolak para Buddha (Gāthābhigītaṃ panudanti buddhā), mengingat Dhamma, Brahmana, ini praktiknya". [SNP 1.4]

    Empat jenis pemurnian persembahan:

    1. Dimurnikan si pemberi, bukan si penerima.
    2. Dimurnikan si penerima, bukan si pemberi.
    3. Dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima.
    4. Dimurnikan si pemberi dan si penerima akan berbuah sepenuhnya

    Pemurnian adalah oleh orang yang bermoral, berkarakter baik.

    "Ketika:

    1. seorang bermoral memberi pada yang tidak bermoral pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan, Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Moralitas si pemberi memurnikan persembahan itu.
    2. seorang tidak bermoral memberi pada yang bermoral pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan, Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Moralitas si penerima memurnikan persembahan itu.
    3. seorang tidak bermoral memberi pada yang tidak bermoral pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan, Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Moralitas keduanya tidak memurnikan persembahan itu.
    4. seorang bermoral memberi pada yang bermoral pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan, Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Pemberian itu, akan berbuah sepenuhnya.
    5. seorang yang bebas dari gairah memberi pada seorang yang bebas dari gairah pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan, Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Pemberian itu, yang terbaik di antara pemberian-pemberian duniawi” [MN 142]
Sang Buddha juga menyampaikan bahwa orang tua adalah ladang yang sangat subur, karena hutang budi anak sangatlah besar:
    Kunyatakan, para bhikkhu, ada 2 orang yang sulit dibalas budinya. Apakah 2 itu? Ibu dan ayah.

    Bahkan dengan ke mana-mana memikul ibunya di satu bahu dan memikul ayahnya di bahu lainnya, selama 100 tahun, meminyaki, memijit, memandikan, menggosoki bagian tubuhnya, membersihkan kotoran dan kencing mereka di sana, perbuatan itupun belum cukup untuk dapat membalas budi ibu dan ayahnya.

    Bahkan dengan mengangkat ibu dan ayahnya sebagai raja besar penguasa bumi dan memberikan limpahan ragam pusaka, perbuatan itupun belum cukup untuk dapat membalas budi ibu dan ayahnya.

    Apakah alasannya?

    Orang tua telah berbuat banyak untuk anak mereka dalam membesarkan, memelihara dan menunjukan dunia pada mereka.

    Tetapi, para bhikkhu, jika sebelumnya, ibu dan ayahnya adalah seorang yang:

    1. tidak berkeyakinan, dapat Ia dorong, mantapkan dan kokohkan mereka dalam keyakinan;
    2. tidak bermoral, dapat Ia dorong, mantapkan dan kokohkan mereka dalam moralitas;
    3. kikir, dapat Ia dorong, mantapkan dan kokohkan mereka dalam kedermawanan;
    4. tidak bijak, dapat Ia dorong, mantapkan dan kokohkan mereka dalam kebijaksanaan

    Ia, para bhikkhu, telah berbuat cukup dan lebih untuk membalas budi ibu dan ayahnya. [AN 2.32/33]
Sang Buddha menyatakan bahwa Ibu-bapak adalah Brahma, Dewa, Guru (pubba-achariya) yang harus dihormati, dilayani dengan: makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, memijat, memandikan, mencuci kaki mereka dan layak menerima pemberian. Prilaku terpuji ini membuatnya setelah kematian bergembira di alam surga [AN 3.31, AN 4.63, It no.106]. Berperilaku baik terhadap ibunya, ayahnya, Sang Tathāgata dan siswa Sang Tathāgata, maka sang bijaksana, yang kompeten, dan baik, mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; tanpa cela dan di luar celaan para bijak; dan menghasilkan banyak jasa, setelah kematian ia di alam surga [AN 4.4]
    Note:
    Kebudayaan India sangat menghormati ibu:
    seorang Acharya (guru) 10x lebih mulia dari Upajaya (penahbis), seorang Ayah 100x lebih mulia dari Acharya dan seorang Ibu 1000x lebih mulia dari seorang ayah [Hindu Manusmrti 2.145 dan Vâsishtha Smrti 13.48]

    Di dhammapada syair no.294 dan 295, terdapat frase kiasan menyingkirkan/hanti: ibu, ayah, 2 raja, negara dan pendukungnya dan harimau:

    Mātaraṃ pitaraṃ hantvā [Setelah menyingkirkan Ibu dan Ayah]
    rājāno dve ca khattiye [serta 2 raja ksatria]
    Raṭṭhaṃ sānucaraṃ hantvā [Setelah menyingkirkan negara serta pendukungnya]
    anīgho yāti brāhmaṇo [Brahmana bebas dari kesulitan]

    Mātaraṃ pitaraṃ hantvā [Setelah menyingkirkan Ibu dan Ayah]
    rājāno dve ca sotthiye [serta 2 raja kuat]
    Veyagghapañcamaṃ hantvā [Setelah menyingkirkan harimau yang ke-5]
    anīgho yāti brāhmaṇo [Brahmana bebas dari kesulitan]

    hantva = han (menyingkirkan, menghancurkan, membunuh) + tva (past participle), misal AN 4.114, AN 5.140: "Kathañca, bhikkhave, bhikkhu hantā hoti? (bagaimanakah para bhikkhu, seorang Bhikkhu yang menyingkirkan?)" (yaitu: pikiran indriya, permusuhan, kekejaman dan kondisi buruk tak bermanfaat). Jadi, kiasan Dhp ini tentang menyingkirkan 5 nivarana/rintangan (Ibu-bapak = kamacchanda-byapada; 2 raja kuat = thina-midha dan uddhacca-kukkuca; Harimau = keraguan, yaitu bebas dari keraguan pada hal yang bermanfaat). Sementara kitab komentar Dhammapada dan Nettippakaraṇa menjelaskan kiasan ini:

    Ibu = taṇhā/kehausan;
    Ayah = asmimāna/keangkuhan;
    Dua raja ksatria/kuat = dve sassatucchedadiṭṭhiyo/dua pandangan keabadian dan kemusnahan. Misal SN 44.10: ada diri/atman/jiva (atthattā) = pandangan sassatavādā/aliran keabadian sementara tidak ada diri/atman/jiva (natthattā) = pandangan ucchedavādā/aliran kemusnahan/anihilasionism;
    Negara dan Pendukungnya = Dvādasāyatanāni: 12 landasan: 6 pintu Indriya dan 6 objek;
    5 harimau = nīvaraṇapañcakaṃ: 5 rintangan: kamacchanda/hasrat indriya, dst
Tentu saja, sulit sekali menerima pernyataan "MELEPASLAH TANPA PAMRIH". Namun bahkan Sang Buddha menyampaikan bahwa seorang yang MENGHARAPKAN IMBALAN ATAS PEMBERIANNYA, maka PAMRIH itu dapat saja membawanya terlahir di tempat yang dicita-citakannya, ASALKAN dibarengi PRILAKU yang SUNGGUH BERMORAL:
    Seseorang memberikan pada seorang petapa/Brāhmaṇa, makanan, minuman, pakaian, transportasi (yānaṁ), karangan bunga, wewangian, ramuan, tempat tinggal/tidur, atau lampu penerangan, dan ia mengharapkan imbalan atas pemberiannya itu, Ia:

    melihat seorang Khattiya atau Brāhmaṇa atau perumah tangga kaya yang hidup dipenuhi dengan kenikmatan 5 indriya, Ia berpikir: “Seandainya aku bisa terlahir kembali seperti salah satu dari orang kaya itu!” atau mendengar bahwa para dewa di alam: 4 Raja Dewa.., atau Tavatimsa dewa.., atau Dewa Yama.., atau Dewa Tusita.., atau Dewa Nimmānarati.., atau Dewa Paranimmita-vasavatti berumur panjang, berbentuk menarik dan menikmati kehidupan bahagia, Ia berpikir: “Seandainya aku bisa terlahir di sana!, Ia memantapkan pikirannya pada pikiran itu, memusatkan dan mengembangkannya (bhāveti). Dan pikiran ini, karena ditujukan (vimuttaṁ) pada tingkat rendah (hīne) dan tidak dikembangkan pada tingkat lebih tinggi (uttariṁ abhāvitaṁ), maka mengarah pada kelahiran kembali di sana. Tetapi aku mengatakan ini dalam hal seorang yang benar-benar bermoral [silavato], bukan seorang yang tidak bermoral [dussīlassa]. Cita-cita [cetopaṇidhi] dari seorang yang sungguh bermoral murni [sīlavato cetopaṇidhi visuddhattā]. Atau
    Bercita-cita untuk terlahir kembali di kelompok bentuk Brahma [brahmakāyika].. Ia memantapkan pikirannya pada pikiran itu, memusatkan dan mengembangkannya. Dan pikiran ini, karena ditujukan pada tingkat rendah dan tidak dikembangkan pada tingkat lebih tinggi, maka mengarah pada kelahiran kembali di sana. Tetapi aku mengatakan ini dalam hal seorang yang benar-benar bermoral, bukan seorang yang tidak bermoral, seorang yang lepas dari gairah (vītarāgassa), bukan seorang yang penuh ketagihan [sarāgassa]. Cita-cita dari seorang yang sungguh bermoral dan lepas dari gairah [sīlavato cetopaṇidhi vītarāgattā]’ [DN 33, AN 8.35]

    Juga, sample bahwa pikiran (atau bahkan pikiran terakhirnya) pun dapat dikembangkan ke tingkat lebih tinggi:

    “Seorang umat awam bijaksana, Mahānāma, yang sedang sakit, menderita, dan sakit parah harus dihibur oleh umat awam bijaksana lainnya dengan 4 penghiburan: bahwa Ia memiliki keyakinan tak goyah pada Buddha, Dhamma, Sangha dan Moralitas yang dimiliki para mulia ... menuntun pada pikiran terpusat. Setelahnya, Ia harus ditanya: ‘Apakah engkau mencemaskan ibu dan ayahmu (dan/atau Istri atau anak-anak)? Jika ia mengatakan: ‘Ya,’ maka ia harus diberitahu: ‘Tetapi, tuan, engkau tunduk pada kematian. Apakah engkau mencemaskan ibu dan ayahmu (istri dan anak-anak) atau tidak, engkau tetap akan mati. Jadi, tinggalkanlah kecemasan terhadap ibu dan ayahmu (Istri dan anak-anak).’

    “Jika ia mengatakan: ‘Aku telah meninggalkan kecemasan terhadap Ibu dan ayahku (istri dan anak-anak),’ ia harus ditanya: ‘Apakah engkau mencemaskan lima utas kenikmatan indriya di alam manusia?’ Jika ia mengatakan: ‘Ya,’ maka ia harus diberitahu: ‘Kenikmatan indriya surgawi, sahabat, adalah lebih unggul dan luhur daripada kenikmatan indriya di alam manusia. Jadi tariklah pikiranmu dari kenikmatan indriya alam manusia dan bertekadlah pada alam para deva dari Empat Raja Dewa.’

    ...deva Tāvatiṃsa ...deva Yāma …deva Tusita …deva Nimmānarati …deva Paranimmitavasavattī …alam brahmā’

    ...“Jika ia mengatakan: ‘Pikiranku telah ditarik dari para deva Paranimmitavasavattī dan bertekad pada alam brahmā,’ maka ia harus diberitahu: ‘Bahkan alam brahmā, sahabat, adalah tidak kekal, tidak stabil, termasuk dalam identitas. Jadi tariklah pikiranmu dari alam brahmā dan arahkan pada lenyapnya identitas.’

    “Jika ia mengatakan: ‘Pikiranku telah ditarik dari alam brahmā; aku telah mengarahkan pikiranku pada lenyapnya identitas,’, Pikiran terbebaskan secara demikian (evaṃ vimuttacittassa kho), Mahānāma, umat awam dari noda-noda dan seorang bhikkhu yang pikirannya terbebaskan (upāsakassa āsavā [vassasata (sī. syā.)] vimuttacittena bhikkhunā), Aku katakan tidak ada bedanya (na kiñci nānākaraṇaṃ vadāmi), yaitu, antara keterbebasan satu dan lainnya” [SN 55.54]

    Note:
    Pada frase "..āsavā [vassasata (sī. syā.)]..". Bhikkhu Bodhi: "..seorang umat awam yang pikirannya terbebaskan dan seorang bhikkhu yang pikirannya terbebaskan selama seratus tahun..". Edisi Sinhala: tanpa āsavā namun ada vassasata. Edisi Burma: ada āsavā dan tidak ada vassasata.
Di beberapa kesempatan, Sang Buddha menyampaikan 8 alasan orang memberikan (dānāni):
  1. Āsajja dānaṃ deti (memberikan setelah menghina)
  2. bhayā dānaṃ deti (memberikan karena takut)
  3. ‘adāsi me’ti dānaṃ deti (memberikan untuk membalas pemberian sebelumnya)
  4. ‘dassati me’ti dānaṃ deti (memberikan karena berharap kelak dibalas)
  5. ‘sāhu dānan’ti dānaṃ deti (memberikan karena itu adalah perbuatan baik)
  6. ‘ahaṃ pacāmi, ime na pacanti; nārahāmi pacanto apacantānaṃ dānaṃ adātun’ti dānaṃ deti (“Aku memasak, sedangkan mereka tidak. Tidak pantas aku yang memasak tidak memberikan yang tidak memasak”)
  7. ‘imaṃ me dānaṃ dadato kalyāṇo kittisaddo abbhuggacchatī’ti dānaṃ deti (memberikan agar mendapat nama harum)
  8. cittālaṅkāracittaparikkhāratthaṃ dānaṃ deti (memberikan sebagai hiasan pikiran, perlengkapan pikiran) [AN 8.31, DN 33]
Juga menyampaikan 8 landasan seseorang memberikan (dānavatthūni):
  1. Chandā dānaṃ deti (memberikan karena orangnya yang disukai)
  2. dosā dānaṃ deti (memberikan karena kebencian)
  3. mohā dānaṃ deti (memberikan karena kekeliruan tahu/kebingungan/kebodohan)
  4. bhayā dānaṃ deti (memberi karena takut)
  5. dinnapubbaṃ katapubbaṃ pitupitāmahehi, nārahāmi porāṇaṃ kulavaṃsaṃ hāpetun’ti dānaṃ deti (memberikan karena dahulu dilakukan ayah dan leluhurku; aku tidak boleh meninggalkan kebiasaan keluarga yang sudah berlangsung lama ini’)
  6. imāhaṃ dānaṃ datvā kāyassa bhedā paraṃ maraṇā sugatiṃ saggaṃ lokaṃ upapajjissāmī’ti dānaṃ deti (memberikan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam baik, di alam surga)
  7. imaṃ me dānaṃ dadato cittaṃ pasīdati, attamanatā somanassaṃ upajāyatī’ti dānaṃ deti (Memberikan karena ‘ketika sedang memberikan pemberian pikiran tenang, puas dan bahagia muncul di diriku’)
  8. cittālaṅkāracittaparikkhāratthaṃ dānaṃ deti (memberikan sebagai hiasan pikiran, perlengkapan pikiran. Note: Memberi/melepas sudah bukan karena pamrih/motif positif/negatif) [AN 8.33]
Atau juga:
    YM Sāriputta bertanya pada Sang Buddha: “Mungkinkah, Bhante, bahwa suatu pemberian tidak berbuah dan tidak bermanfaat besar? Dan suatu pemberian berbuah dan bermanfaat besar?”. Sang Buddha menjawab, itu MUNGKIN SAJA:

    Seseorang yang memberikan pemberian dengan: pengharapan, pikiran melekat, mengharapkan imbalan [dengan berpikir]: ‘Setelah meninggal dunia, aku akan memanfaatkannya.’atau
    Seseorang yang memberikan pemberian TIDAK dengan: pengharapan, TIDAK dengan pikiran melekat, TIDAK dengan mengharapkan imbalan [dengan berpikir]: ‘Setelah meninggal dunia, aku akan memanfaatkannya.’

    Melainkan:

    ‘Memberi adalah baik.’ atau
    ‘Memberi dipraktikkan sebelum ayah dan kakekku; aku tidak boleh meninggalkan kebiasaan masa lampau ini’ atau
    ‘Aku memasak; orang-orang ini tidak memasak. Tidaklah benar bahwa aku yang memasak tidak memberi pada mereka yang tidak memasak’ atau
    ‘Seperti halnya para bijaksana masa lampau – yaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Aṅgīrasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhagu – mengadakan pengorbanan besar itu, demikian pula aku akan memberikan suatu pemberian.’ atau
    ‘Ketika aku sedang memberikan pemberian pikiran tenang, puas dan bahagia muncul.’

    Setelah memberikan pemberian demikian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian; ia terlahir di kumpulan deva catumaharajika, setelah habisnya kamma, kekuatan, keagungan, dan kekuasaan itu, ia kembali ke alam ini (āgāmī hoti āgantā itthattaṃ).

    Ia yang memberikan suatu pemberian, TIDAK dengan cara semua di atas itu MELAINKAN [dengan berpikir]: ‘Ini adalah suatu hiasan pikiran, suatu perlengkapan pikiran (cittālaṅkāracittaparikkhāraṃ).’ Setelah memberikan pemberian demikian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir ke kumpulan deva Brahmā. Setelah habisnya kamma, kekuatan mental, keagungan, dan kekuasaannya, Ia tidak kembali ke alam ini (anāgāmī hoti anāgantā itthattaṃ). [AN 7.52]
Selain itu, alam Brahma dapat dicapai melalui ingatan terkait CAGANUSATI/mengingat terkait kedermawanan [↓].

Bagaimana definisi kesempurnaan dalam kedermawanan (bagi perumah tangga):
    Perumahtangga yang pikirannya bebas noda kekikiran (vigatamalamaccherena cetasā agāraṃ ajjhāvasati) murah hati dalam memberi dengan tangan terbuka (muttacāgo payatapāṇi), gemar memberi (vossaggarato) selalu siap bagi yang membutuhkan (yācayogo), puas sepenuhnya dalam memberi dan berbagi (dānasaṃvibhāgarata) [SN 55.37]
Pengulangan dari perbuatan memberi akan menjadi kebiasaan, akan mengembangkan moralitas dan kebijaksanaan, oleh karenanya, pamrih mereda, makin menyempurnakan moralitas dan kebijaksanaan. Moralitas yang sempurna menumbuhkan kondisi bermanfaat dalam KESEMPURNAAN/Parami dalam MEMPERHATIKAN YANG BENAR bahwa ini adalah ANICCA, DUKKHA dan ANATTA yang menuju pada kehancuran 3 akar tidak bermanfaat (MOHA, LOBHA, DOSA).

Sila
SILA (sifat, tabiat, perangai, watak, perilaku, tingkah laku; budi pekerti, akhlak, moralitas) terlepas apakah prilaku tersebut tidak bermanfaat/akusala ataupun bermanfaat/kusala. Beberapa sutta di atas MENUNJUKAN bahwa pemurnian persembahan dilakukan melalui moralitas si pemberi dan/atau si penerima persembahan, bukan cuma itu, bahkan samādhi pun menjadi bermanfaat besar jika dilandasi dengan moralitas.
    Memurnikan Moralitas:
    menjalani hidup terkendali/terlatih (samvuto) dengan pengendalian (samvara) lewat aturan-aturan, sukses dalam berperilaku benar, melihat bahaya bahkan di kesalahan terkecil.[MN 107]

    Memurnikan Pikiran:
    menjaga pintu-pintu indriya ketika: melihat suatu bentuk dengan mata...mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, tidak menggenggam: literalnya/gambarannya (mā/na nimitta-g-gāhī hohi) maupun makna/manfaat/detail/cirinya (­mā/nā nub­yañ­janag­gāhī/na anu-b­yañ­jana-g-gāhī (Contoh uang: sebagai bentuk literalnya dan manfaat penggunaannya, juga representatif dari kekayaan). Jika menjalani hidup dengan indriya tidak terkendali, maka kondisi buruk tidak bermanfaat berupa kerinduan-kepedihan (abhijjhā domanassā pāpakā akusalā dhammā) akan membanjiri (anvāssaveyyuṁ)[MN 107]

    Merenungkan tujuan benar (paṭisaṅkhā yoniso) penggunaan:

    Makanan:
    bukan untuk (neva): kesenangan/hiburan (davāya), mabuk menggemarinya (madāya), rakus/secara berlebihan (maṇḍanāya), memperindah diri (vibhūsanāya), namun secukupnya untuk menyokong tubuh (yāvadeva imassa kāyassa ṭhitiyā yāpanāya), meredakan rasa menyakitkan (mis: lapar) agar dapat meneruskan menjalani penghidupan BRAHMA (vihiṃsūparatiyā brahmacariyānuggahāya), meredakan perasaan sebelumnya (misal: lapar) (iti purāṇañca vedanaṃ paṭihaṅkhāmi) tanpa menimbulkan perasaan baru (misal: malas, kekenyangan) (navañca vedanaṃ na uppādessāmi), kehidupanku berlangsung (yātrā ca me bhavissati), bebas gangguan/celaan dan berdiam dalam ketentraman (anavajjatā ca phāsuvihāro) [AN 6.58, SN 35.20, MN 107, DN 29].

    Bagaimanakah, para bhikkhu, makanan yang dapat dimakan itu seharusnya dilihat? (Kathañca, bhikkhave, kabaḷīkāro āhāro daṭṭhabbo).

    Misalkan para bhikkhu (Seyyathāpi, bhikkhave), sepasang suami-istri, dengan bekal terbatas melintasi gurun pasir yang sangat sulit ditempuh, bersama putra tunggal tersayang mereka. (dve jāyampatikā parittaṁ sambalaṁ ādāya kantāramaggaṁ paṭipajjeyyuṁ. Tesamassa ekaputtako piyo manāpo) ... Kemudian, Para Bhikkhu, Suami-istri itu berpikir: (Atha kho tesaṁ, bhikkhave, dvinnaṁ jāyampatikānaṁ evamassa): "Bekal terbatas kami sudah habis (‘amhākaṁ kho yā parittā sambalamattā sā parikkhīṇā pariyādiṇṇā), namun gurun yang sangat sulit ditempuh masih harus dilintasi (atthi cāyaṁ kantārāvaseso anittiṇṇo). Biarlah kami membunuh putra tunggal tersayang kami, dan mempersiapkan daging kering yang dibumbui. Dengan memakan daging anak kami, maka sisa gurun yang sangat sulit ditempuh dapat dilintasi. Jangan sampai kami bertiga binasa!’ (Yannūna mayaṁ imaṁ ekaputtakaṁ piyaṁ manāpaṁ vadhitvā vallūrañca soṇḍikañca karitvā puttamaṁsāni khādantā evaṁ taṁ kantārāvasesaṁ nitthareyyāma, mā sabbeva tayo vinassimhā’ti.)" ... Sambil memakan daging anak, mereka memukul dada berteriak: ‘Di manakah engkau, putra tunggal kami? Di manakah engkau, putra tunggal kami?’.

    Bagaimanakah, para bhikkhu (Taṁ kiṁ maññatha, bhikkhave)? Apakah mereka memakannya demi kesenangan, mabuk menggemarinya, secara berlebihan dan memperindah diri?” (api nu te davāya.. madāya.. maṇḍanāya.. vibhūsanāya vā āhāraṁ āhāreyyun”ti?). "Tidak, Guru (“No hetaṁ, bhante”)". “Bukankah mereka memakan makanannya hanya agar dapat melintasi gurun pasir yang sangat sulit ditempuh (“Nanu te, bhikkhave, yāvadeva kantārassa nittharaṇatthāya āhāraṁ āhāreyyun”ti?)?”. “Benar, Guru (evaṁ, bhante)”

    “Dengan cara demikianlah, para bhikkhu (Evameva khvāhaṁ, bhikkhave), Aku mengatakan bagaimana makanan seharusnya dilihat (kabaḷīkāro āhāro daṭṭhabbo’ti vadāmi). Ketika makanan dipahami sepenuhnya, maka nafsu pada 5 utas kenikmatan indria juga dipahami sepenuhnya (Kabaḷīkāre, bhikkhave, āhāre pariññāte pañca kāmaguṇiko rāgo pariññāto hoti). Ketika nafsu akan 5 utas kenikmatan indria dipahami sepenuhnya, maka tidak ada belenggu yang dapat mengikat seorang siswa mulia untuk kembali lagi ke alam ini (Pañca kāmaguṇike rāge pariññāte natthi taṁ saṁyojanaṁ yena saṁyojanena saṁyutto ariyasāvako puna imaṁ lokaṁ āgaccheyya) [SN 12.63]

    Obat-obatan: untuk meredakan perasaan menyakitkan yang telah ada, utamanya tidak mengakibatkan kerugian lain (yāvadeva uppannānaṃ veyyābādhikānaṃ vedanānaṃ paṭighātāya, abyābajjha-paramatāyā’ti) [AN 6.58, MN 2, DN 29]

    Pakaian: melindungi diri dari: dingin, panas, kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan para binatang melata, dan menutupi bagian tubuh yang pribadi [AN 6.58, MN 2, DN 29]

    Tempat tinggal/tidur: perlindungan dari: dingin, panas, kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan para binatang melata, bahaya iklim dan menjalani latihan [AN 6.58, MN 2, DN 29]

    Keawasan/keterjagaan (jāgariyaṃ anuyutto):
    Berjalan: selagi berjalan mondar-mandir dan duduk, murnikanlah pikiran dari kondisi yang merintangi (āvaraṇīyehi dhammehi cittaṃ parisodhehi) (di siang dan juga malam)
    Berbaring: Menghadap arah kanan dalam postur singa, satu kaki di atas kaki lainnya dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (sato sampajāno) memperhatikan kemunculan persepsi (uṭṭhānasaññaṃ manasikaritvā) (yaitu malam di waktu tengah) [MN 107]

    Dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (sati­sam­pajañ­ñena):
    Melakukannya dengan sepenuhnya mengetahui (sampajāna-kārī), ketika: maju/mundur; melihat ke depan/sekitar; menekuk/meregangkan bagian tubuh; mengenakan jubah, membawa jubah luar dan mangkuk; makan, minum, mengunyah/mengecap; buang air besar/kecil; berjalan, berdiri, duduk, berbaring, terjaga, berbicara, dan berdiam diri. [MN 107]

    Pemurnian moralitas (sīlavisuddhi) → untuk mencapai pemurnian Pikiran (cittavisuddhatthā);
    Pemurnian pikiran (cittavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian terhadap keraguan apapun (kaṅkhāvitaraṇavisuddhatthā);
    Pemurnian terhadap keraguan apapun (kaṅkhāvitaraṇavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian mengetahui melihat jalan dan bukan jalan (maggāmaggañāṇadassanavisuddhatthā);
    Pemurnian mengetahui melihat jalan dan bukan jalan (maggāmaggañāṇadassanavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian prilaku mengetahui melihat (paṭipadāñāṇadassanavisuddhatthā);
    Pemurnian prilaku mengetahui melihat (paṭipadāñāṇadassanavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian mengetahui melihat (ñāṇadassanavisuddhatthā);
    Pemurnian mengetahui melihat (ñāṇadassanavisuddhi) → bertujuan untuk Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan (anupādāparinibbānatthā)..[MN 24]

    Pengendalian indria dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi tiga jenis perbuatan baik (tīṇi sucaritāni):
    mata melihat bentuk yang indah (cakkhunā rūpaṁ disvā manāpaṁ), tidak merindukannya (nābhijjhati), atau tidak bergairah (nābhihaṁsati), atau tidak ketagihan (na rāga), tetap teguh, jasmani dan pikirannya teguh (tassa ṭhito ca kāyo hoti, ṭhitaṁ cittaṁ), secara internal stabil dan terlepas baik (ajjhattaṁ susaṇṭhitaṁ suvimuttaṁ). Mata melihat bentuk tidak indah (..disvā amanāpaṁ), tidak kecewa (na maṅku), pikirannya tidak kaget (appatiṭṭhitacitto), tidak kesal (adīnamānaso), tidak memusuhi (abyāpannacetaso), tetap teguh, jasmani dan pikirannya teguh, secara internal stabil dan terlepas baik.
    telinga mendengar yang indah...
    hidung mencium yang indak...
    lidah mengecap yang indah...
    badan merasakan yang indah...
    pikiran memikirkan hal yang indah...
    Pengendalian indria yang terkembang dan terlatih demikian, 3 jenis perbuatan baik terpenuhi (indriyasaṁvaro evaṁ bahulīkato tīṇi sucaritāni paripūreti)

    3 jenis perbuatan baik dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi 4 landasan ingatan:
    meninggalkan perbuatan buruk jasmani dan mengembangkan perbuatan baik jasmani (kāyaduccaritaṁ pahāya kāyasucaritaṁ bhāveti);
    meninggalkan perbuatan buruk ucapan...
    meninggalkan perbuatan buruk pikiran..
    3 jenis perbuatan yang terkembang dan terlatih demikian, 4 landasan ingatan terpenuhi.

    4 landasan ingatan dikembangkan dilatih sehingga memenuhi 7 faktor pencerahan:
    terkait tubuh/jasmani mengamati tubuh (kāye kāyānupassī) dengan tekun dalam ingatan yang sepenuhnya mengatahui (viharati ātāpī sampajāno satimā), setelah melepaskan kerinduan-kepedihan dunia (vineyya loke abhijjhādomanassaṁ)
    terkait perasaan mengamati perasaan (vedanāsu vedanānupassī)...,
    terkait pikiran mengamati pikiran (citte cittānupassī)...,
    terkait hal-hal, mengamati hal-hal (dhammesu dhammānupassī)...
    4 landasan yang terkembang dan terlatih demikian, 7 faktor Pencerahan terpenuhi

    7 faktor pencerahan dikembangkan dilatih sehingga memenuhi pengetahuan pembebasan:
    mengembangkan faktor pencerahan ingatan (satisambojjhaṅgaṁ bhāveti) melalui keterasingan, tidak menginginkan, penghentian, siap melepas/bebas dari (vivekanissitaṃ virāganissitaṃ nirodhanissitaṃ vossaggapariṇāmiṃ)
    mengembangkan faktor pencerahan pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi (dhamma­vicaya­-sam­boj­jhaṅ­gaṁ bhāveti)..., (AN 46.2: yonisomanasikāra/Perhatian seksama/benar terkait hal-hal yang: bermanfaat-tidak bermanfaat (kusalākusalā), tercela-tanpa cela (sāvajjānavajjā), hina-mulia (hīnapaṇītā), gelap-cerah (kaṇhasukka), dengan lawan pasangannya (sappaṭibhāgā dhammā), berulang memperhatikan seksama adalah makanan bagi munculnya pencerahan pemeriksaan terhadap hal/kondisi yang belum muncul dan pengembangan terhadap hal/kondisi yang telah muncul)
    mengembangkan faktor kegigihan (vīriya-­sam­boj­jhaṅ­gaṁ bhāveti)...,
    mengembangkan faktor riak kegiuran (pīti­-sam­boj­jhaṅ­gaṁ bhāveti)...,
    mengembangkan faktor ketenangan (passad­dhi-­sam­boj­jhaṅ­gaṁ bhāveti)...,
    mengembangkan faktor keterpusatan pikiran (samā­dhi­-sam­boj­jhaṅ­gaṁ bhāveti)...,
    mengembangkan faktor ketenang-seimbangan (upekkhā-­sam­boj­jhaṅ­gaṁ bhāveti)...,
    7 faktor pencerahan yang terkembang dan terlatih demikian, pengetahuan pembebasan terpenuhi (vijjāvimuttiṁ paripūrentī) [SN 46.6]
Kepada Anāthapindika (sotāpanna, kaya raya, dermawan, setelah berhenti berdagang, jatuh miskin namun Ia tidak berhenti berdana, walau hanya nasi basi disertai bubur, belakangan, Ia menjadi kaya raya kembali karena beberapa sebab dan tetap saja dermawan), sang Buddha berkata:
    "Jika seseorang memberikan persembahan baik atau tidak baik, namun dana itu TIDAK dilakukan dengan hormat, TANPA pertimbangan, TIDAK dengan tangan sendiri, memberikan apa yang seharusnya dijauhkan dan TANPA tanpa pandangan atas konsekuensi masa depan, maka apa pun akibat dari pemberian yang ia hasilkan, pikirannya tidak condong ke arah kenikmatan makanan lezat, pakaian bagus, kendaraan-kendaraan bagus, juga tidak ke arah kenikmatan apa pun yang baik di antara objek-objek kenikmatan indriya. Juga, para: anaknya, istrinya, budaknya, pelayannya, dan pekerjanya, tidak mendengarkannya, tidak menyimaknya, dan tidak mengarahkan pikiran untuk memahaminya. Karena alasan apakah? Karena akibat perbuatan yang dilakukan dengan tidak hormat

    [berlaku sebaliknya]

    Di masa lampau, perumah tangga, terdapat seorang brahmana bernama Velāma yang memberikan persembahan dana besar:

    84.000 mangkuk emas penuh dengan perak;
    84.000 mangkuk perak penuh dengan emas;
    84.000 mangkuk perunggu penuh dengan emas dan perak;
    84.000 gajah dengan dekorasi bendera emas dan emas dan ditutup jaring emas;
    84.000 kereta dengan aksesoris kulit singa, harimau, rusa, selimut oranye dihiasi emas dan bendera emas yang ditutup jaring emas;
    84.000 sapi ditutupi kain halus dengan ember perunggu untuk susu mereka;
    84.000 gadis yang berhias anting-anting permata;
    84.000 bantal berlapis kulit rusa, karpet kulit rusa, kanopi dengan bantal merah di kedua sisi;
    84.000 score (x 20) pakaian dari kain: linen halus, sutra halus, wol halus; makanan, minuman, makanan keras dan manisan penutup yang disampaikan bagai sungai mengalir.

    “Engkau mungkin berpikir, perumah tangga: ‘Ia adalah seorang lain, Brahmana Velāma itu yang pada saat itu memberikan persembahan dana besar itu.’ Tetapi engkau jangan melihatnya demikian. Aku sendiri adalah Brahmana Velāma itu yang pada saat itu memberikan persembahan dana besar.

    “Sekarang, perumah tangga, pada persembahan dana besar itu tak ada seorang pun yang layak menerima persembahan, tak ada seorang pun yang memurnikan persembahan itu.

    Yang lebih berbuah daripada persembahan besar yang diberikan Brahmana Velāma adalah memberi makan pada hanya 1 orang yang berpandangan benar [dithi sampanna/sotāpanna);
    Yang lebih berbuah daripada memberi makan pada 100 orang sotāpanna adalah memberi makan pada hanya 1 orang sakadāgāmī;
    ..100 sakadāgāmī..1 orang anāgāmī;
    ..100 anāgāmī..1 orang Arahat;
    ..100 Arahat..1 orang Pacceka Buddha;
    ..100 Pacceka Buddha..1 orang Sammasambuddha;
    ..daripada memberi makan pada hanya 1 orang Sammasambuddha adalah memberi makan pada 1 komunitas sangha yang dipimpin Sang Buddha;
    ..daripada memberi makan pada 1 komunitas sangha..adalah membangun vihara untuk Saṅgha dari 4 penjuru;
    ..daripada membangun vihara..adalah dengan penuh keyakinan berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha;
    ..daripada..adalah dengan penuh keyakinan MELAKUKAN PANCASILA/menyingkirkan pañca bhayāni verāni (melatih moralitas);
    ..daripada..adalah mengembangkan METTA [Mettācittaṃ] selama satu hirupan bebauan [antamaso gandhohanamattampi];
    ..daripada..adalah mengembangkan PERSEPSI KETIDAK-KEKALAN [anicca saññaṃ] selama satu jentikan jari [accharāsaṅghātamattampi] [AN 9.20]
Menjalankan moralitas/SILA bermanfaat lebih dari berdana bahkan lebih dari berlindung pada sang TIRATANA itu sendiri! Sehingga, seseorang TIDAK PERLU ber-KTP Buddha untuk mendapat manfaat besar dari mempraktekkan kebajikan agar tidak terlahir di alam bawah.

Latihan moralitas/SILA menjaga dunia dari kekacauan:
    Ada 2 prinsip terang yang melindungi dunia: Rasa malu [hiri] dan rasa takut [ottappa]

    seandainya 2 prinsip terang ini tidak melindungi dunia, maka tidak ada penghormatan yang selayaknya terhadap ibu, bibi, istri guru atau istri para orang terhormat lainnya.

    Maka dunia akan jatuh dalam kekacauan, seperti domba dengan kambing, ayam dengan babi, anjing dengan serigala. Tetapi karena 2 prinsip ini yang melindungi dunia, maka ada penghormatan yang selayaknya terhadap ibu, bibi.. istri para orang terhormat lainnya

    Mereka yang di dalam dirinya tidak dapat ditemukan
    Malu berbuat yang tidak baik dan takut akibat dari perbuatan tidak baik,
    Telah menyimpang dari sumber yang terang,
    Dan akan terseret kembali pada kelahiran dan kematian.

    Namun mereka yang di dalam dirinya selalu ada
    Malu berbuat yang tidak baik dan takut akibat dari perbuatan tidak baik,
    Yang damai, mantap dalam kehidupan suci,
    Mereka dapat mengakhiri kelahiran kembali
    . [AN 2.9; Itivuttaka no.42]
Sang Buddha menyampaikan 4 hal yang dengannya akan mengarah ke alam bahagia atau ke neraka, yaitu apakah Ia: melakukan/tidak moralitas, mendorong/menghalangi orang lain melakukannya, menyetujui/tidak moralitas dan memujikan/mencela moralitas [AN 4.264-273]

Dihadapan SUKU KALAMA, sang Buddha menyampaikan jaminan bagi para pelaku moralitas/sila:
    "Suku Kalama, bila orang yang menempuh kehidupan agung ini telah membuat pikirannya bebas dari memusuhi, bebas dari kehendak buruk, murni dan tidak kotor, Ia telah memenangkan 4 jaminan dalam kehidupan ini juga.

    1. Inilah jaminan ke-1 yang telah dimenangkannya: 'Seandainya ada alam lain, dan seandainya perilaku yang baik dan buruk memang memberikan buah dan menghasilkan akibat, maka ada kemungkinan bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian terlahir di keadaan bahagia di alam Deva.'
    2. Inilah jaminan ke-2 yang telah dimenangkannya: 'Seandainya tidak ada alam lain, dan seandainya tindakan baik dan buruk memang tidak memberikan buah dan menghasilkan akibat, tetap saja di sini, di dalam kehidupan ini juga, aku hidup dengan bahagia, mudah menerima/bebas dari memusuhi, bebas dari kehendak buruk.'
    3. Inilah jaminan ke-3 yang telah dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan, maka karena aku tak berkehendak buruk pada siapapun, bagaimana mungkin penderitaan menyerangku, orang yang tidak melakukan kejahatan?'
    4. Inilah jaminan ke-4 yang telah dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan tidak menimpa pelaku kejahatan, maka di sini juga aku melihat diriku sendiri termurnikan di dalam 2 hal [dia tidak melakukan kejahatan dan tak ada kejahatan yang akan menimpanya]'

    "Suku Kalama, bila orang yang menempuh kehidupan agung ini telah membuat pikirannya bebas dari memusuhi, bebas dari kehendak buruk, murni dan tidak kotor, maka Ia telah memenangkan 4 jaminan ini di dalam kehidupan ini juga." [AN 3.65]
Latihan SILA/moralitas:
Pada 8 Jalan Mulia/Utama (aṭṭhaṅgiko magga), dikelompokkan menjadi SILA [Ucapan benar, Perbuatan benar, Pencaharian benar], SAMĀDHI (SAMATHA) [Upaya benar, Ingatan benar, Pikiran Terpusat benar] dan PAÑÑĀ (VIPASANNĀ) [Pandangan benar, Kehendak benar] [MN 44].

Cakupan dari latihan pengembangan moralitas/sila: (1) tidak melakukan pelanggaran, (2) tidak mendorong orang lainnya melanggar, (3) tidak menyetujui pelanggaran dan (4) tidak memuji pelanggaran [misal AN 4.264 - 273].

Oleh karenanya, dalam latihan sila, disamping menjaga ucapan dan perbuatan, juga melakukan pencaharian yang benar, karena terkait dengan sila yang dilatih, untuk itu sepatutnya menghindari:
    kuhanā (penipuan, munafik, pemalsuan); lapanā (memperbesar, bohong); nemittikatā (penujuman, kemelitan, menuduh tak jelas, sindiran); nippesikatā (mengakali, menyulap, tipudaya) dan lābhena (mengambil alih, memberi hadiah, mendapatkan kepemilikan) lābhaṃ (dengan cara) nijigīsanatā (serakah/tamak) [MN 117]

    Juga hindari berdagang/vanijja: senjata/sattha; makhluk hidup/satta [kitab komentar merujuk hanya terkait penjualan manusia: "sattavaṇijjā ti manussavikkayo/berdagang manusia juga berdagang makhluk hidup, sattavaṇijjā abhujissabhāvakaraṇato/hilang kemerdekaannya karena perdagangan makhluk hidup", padahal terhadap hewan pun dapat terjadi demikian]; daging/maṃsa (dari penganiayaan makhluk hidup); hal memabukkan/majja (atau mengakibatkan kelengahan/ketagihan) dan racun/visa [AN 5.177, DN 22]
Avijjâ adalah pelopor perbuatan tak bermanfaat/akusala dhammâ, diikuti tidak malu (ahirika) dan tidak takut berbuat salah (anottappa). Vijjâ adalah pelopor perbuatan bermanfaat/kusala dhammâ, diikuti malu dan takut berbuat salah (hiri-ottappa) [Iti 40, AN 10.105, SN 45.1]. Pandangan benar sebagai pelopor. Dengan pandangan benar, pandangan salah dilenyapkan, berkembang banyaknya hal buruk tidak bermanfaat akibat pandangan salah, juga dilenyapkan dan menjadi berkembangnya banyak kondisi bermanfaat akibat dari pandangan benar [MN 117].

Alurnya: Vijja/Pengetahuan [AN 10.105, SN 45.1] → (muncul) Pandangan Benar → Kehendak Benar → Ucapan Benar → Perbuatan Benar → Pencaharian Benar → Daya-upaya Benar → Ingatan Benar → Pikiran terpusat Benar → Pengetahuan Benar/Sammāñāṇaṁ → Pembebasan Benar/Sammāvimutti . [AN 10.105, SN 45.1, MN 117].
    Seseorang memahami (pandangan/kehendak/ucapan/perbuatan/penghidupan) SALAH sebagai (pandangan/kehendak/ucapan/perbuatan/penghidupan) SALAH, memahami (pandangan/kehendak/ucapan/perbuatan/penghidupan) BENAR sebagai (pandangan/kehendak/ucapan/perbuatan/penghidupan) BENAR, ini adalah pandangan benar seseorang;
    Seseorang berusaha meninggalkan (pandangan/kehendak/ucapan/perbuatan/penghidupan) SALAH dan berusaha untuk berada dalam (pandangan/kehendak/ucapan/perbuatan/penghidupan) BENAR: ini adalah usaha benar seseorang.
    Tetap ingat untuk meninggalkan (pandangan/kehendak/ucapan/perbuatan/penghidupan) SALAH, tetap ingat untuk berada dalam (pandangan/kehendak/ucapan/perbuatan/penghidupan) BENAR: ini adalah ingatan benar seseorang.
    Demikianlah ke-3 kondisi ini berlangsung dan di sekeliling (pandangan/kehendak/ucapan/perbuatan/penghidupan) benar: pandangan benar, usaha benar, dan ingatan benar [MN 117]
Pikiran terpusat benar dengan pendukung dan persyaratannya: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, usaha benar, dan ingatan benar. Pikiran terpusat yang dilengkapi dengan ke-7 faktor ini disebut Pikiran terpusat benar dengan pendukung serta perlengkapannya [MN 117]. Penggunaan kata vāritta (tidak dilakukan) dan cāritta (sesuai instruksi) untuk masing-masing sila, hanya muncul di kitab komentar dan Visudhimagga.

Pañcasila (= pañca bhayāni verāni/5 bahaya permusuhan) [SN 12.41, AN 10.92, SN 55.28, AN 9.27]:
  1. Sila: pāṇātipātā veramaṇī sikkhāpadaṃ samādiyāmi.

    Frase "..veramaṇī sikkhāpadaṃ samādiyāmi" hanya di KP 2. Sedang di AN 9.20, "sikkhāpadāni samādiyeyya—pāṇātipātā veramaṇiṃ,..,sur­meraya­majja­pa­mā­daṭṭhānā veramaṇiṃ". Di Abhidhamma Vb14, "..veramaṇī sikkhāpadaṃ".

    Arti "..veramaṇī sikkhāpadaṃ samādiyāmi": veramaṇī = menghindari, menahan diri; sikkhāpadaṃ (sikkhā: latihan (ā= jamak, jadi latihan-latihan) + padam : langkah/item) = langkah latihan; Kata samādiyami: yāmi = orang ke-1, tunggal, Aku. Kemudian, terkadang samādhi = samādi. samādhi (sama/tanpa riak, tenang + adhi/hingga, di atasnya) = pemusatan mendalam; samādi (sam/terkumpul + ādi/mulai dari) = mulai menyatukan. Kedua arti ini semaksud, karena yang dituju adalah moralitas/sila yang dimiliki para mulia..yang menuntun pada pikiran terpusat/samādhisaṃvattanikehi) [SN 55.1 dan SN 55.2], namun ada yang mengartikan samādi dari sam + ādati/mengambil (Banyak terjemahan menggunakan arti ini).

    Oleh karena, latihan merupakan bagian dari 8 jalan utama, untuk memupuk pandangan benar, kehendak benar, upaya benar, terus mengingat yang benar dan fokus yang benar agar mencapai padam, maka, arti yang konsisten dari "veramani sikkhāpadam samādiyāmi" = "Aku memusatkan pikiran pada langkah latihan menahan diri dari" BUKAN "Aku mengambil langkah latihan menahan diri dari".

    Frase "pāṇātipāta: pāṇa = nafas, kehidupan; atipāta = penyerangan, pembunuhan, penghancuran, menyakiti.

    pāṇa
      Sang Buddha: "Akan kujelaskan padamu - ragam tingkatan (anupubbaṃ yathātathaṃ) – klasifikasi keberadaan kehidupan (Jātivibhaṅgaṃ pāṇānaṃ) karena satu sama lainnya punya kekhususan (aññamaññā hi jātiyo)
      ketahuilah pohon dan rumput (Tiṇa-rukkhepi jānātha), tidak punya (na cāpi) paṭijānare (MENGETAHUI/MENGERTI/PAHAM), bermacam karasteristik keberadaan (Liṅgaṃ jāti-mayaṃ tesaṃ) satu sama lainnya punya kekhususan (aññamaññā hi jātiyo)
      Kemudian serangga, bersayap dan (Tato kīṭe paṭaṅge ca) seterusnya semacam semut rayap (yāva kunthakipillike)..
      Ketahuilah yang berkaki empat (Di AN 4.67: dvipāda/kaki 2, catuppada/kaki 4 dan bahuppada/banyak kaki), kecil maupun besar..
      Ketahuilah yang perut adalah kakinya (di AN 4.67: apāda/tanpa kaki), ular, berbadan panjang..
      Kemudian ikan, perairan, hidup di perairan..
      Kemudian yang bersayap, burung, yang terbang di angkasa..
      Di antara manusia.." [SNP 3.9, MN 98]

      Sang Buddha: “Bahkan Jika, pepohonan sal besar ini, Mahānāma (Ime cepi, mahānāma, mahāsālā), memahami (ājāneyyuṁ/ājānati) apa yang sampaikan dengan baik, apa yang disampaikan dengan buruk (subhāsitaṁ dubbhāsitaṁ), maka Aku akan nyatakan pepohonan sal besar ini sebagai para Pemasuk-Arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam rendah, pasti menuju pencerahan sebagai tujuannya.." [SN 55.24]

    Jadi, pāṇa adalah seluruh bentuk kehidupan, termasuk tumbuhan. Tumbuhan = pāṇa tidak dapat memahami (na paṭijānare/ājānati). Tumbuhan ada yang berespirasi dan ada yang tidak.

    Sehingga pāṇātipātā veramaṇī sikkhāpadaṃ samādiyāmi: “Aku memusatkan pikiran, pada langkah latihan menahan diri dari menyakiti kehidupan

    Batasan sila tentang pāṇa
    Kepada para Bhikkhu, Sang Buddha menyatakan bahwa para Samana/Bhikkhu yang merusak tanaman, melanggar pacittiya no.11 dan 60; Yang meludah, buang air besar/kecil ke tumbuhan, melanggar sekhiya no.74; Sisa makanan dibuang ke tempat yang tidak ada tumbuhan (appaharite), atau membuangnya ke air yang tidak mengandung kehidupan (vā chaḍḍeti, appāṇake vā udake opilāpeti) [misal MN 3, 31, 128, SN 7.9]. Dalam perlengkapan para bhikkhu terdapat saringan air (parissāvana) yang terbuat dari kain kasar, gunanya untuk menyaring air yang hendak diminum dari kemungkinan adanya makhluk hidup kecil di air tersebut [Vinaya 5, hal 268-271]

    Berdasarkan ini, maka segala pāṇa yang lolos dari saringan kain sehingga tidak lagi dapat dilihat, didengar dan diketahui keberadaannya (azas tikoṭiparisuddha) menjadi BUKAN objek pelanggaran sila ke-1.

    Tindakan TIDAK murni: membunuh kehidupan (pāṇātipātī), kejam, tanpa ampun terhadap makhluk hidup. Tindakan pemurnian: meninggalkan dan menghindarinya, meletakan alat pemukul dan senjata, berhati-hati/malu berbuat kasar (lajjī), penuh belas kasih (dayāpanno), demi kesejahteraan semua kehidupan dan makhluk hidup (sabbapāṇabhūtahitānukampī) [AN 10.176; MN 41; MN 42]

    Makan daging TIDAK melanggar sila:
    "..jika: tidak terlihat (a-diṭṭhaṃ), tidak terdengar (a-sutaṃ), dan tidak dicurigai (a-parisaṅkitaṃ) - bahwa makhluk hidup itu disembelih karena dirinya-" [MN 55]. Kitab komentar MN menyatakan kondisi 3 ini sebagai tikoṭiparisuddha (murni dalam 3 aspek) untuk menghindari diri dari pembunuhan, melarangnya membunuh demi makanan namun tidak melarang memakan daging yang berasal dari binatang yang telah mati.

    Vegetarianisme BUKAN ajaran sang Buddha, berasal dari ajaran Bhikkhu Devadatta (sepupu Sang Buddha, yang selalu menentangNya) dan ditolak Sang Buddha:

      Devadatta bersama teman-temannya menghadap Sang Bhagavā..berkata pada Sang Bhagavā:

      “Yang Mulia, dalam ragam cara Yang Mulia memuji sedikit keinginan … siapa pun yang memakan ikan dan daging, maka ia melakukan pelanggaran.”

      Sang Buddha: “Cukup, Devadatta, Siapa pun yang menghendaki, ia boleh: menjadi penghuni-hutan; ..menetap di dekat desa; ..melakukan piṇḍapāta; ..menerima undangan;..menjadi pemakai jubah kain buangan; .. menerima jubah dari para perumah tangga. Selama 8 bulan, Devadatta, Aku mengizinkan para bhikkhu menetap di bawah pohon. Ikan dan daging adalah murni dalam 3 hal: jika tidak terlihat, terdengar atau dicurigai (dibunuh dengan sengaja untuknya) [cullavagga, bab.7, vinaya pitaka].

    Dalam SN 8.12, Jendral Siha menyuguhi daging pada Sang Buddha dan Sangha:

      Siha: "Bhante, sudilah Sang Bhagavā bersama Saṅgha para bhikkhu menerima dana makanan dariku besok" (adhivāsetu me, bhante, bhagavā svātanāya bhattaṁ saddhiṁ bhikkhusaṅghenā”ti.)...Kemudian Sīha berkata kepada seseorang (Atha kho sīho senāpati aññataraṁ purisaṁ āmantesi): "Engkau Pergilah, dapatkan daging yang telah ada" (gaccha tvaṁ, ambho purisa, pavattamaṁsaṁ jānāhī”ti.)". Kemudian, Jendral Siha, ketika malam telah berlalu (Atha kho sīho senāpati tassā rattiyā accayena), dikediamannya, mempersiapkan sendiri makanan padat yang baik (sake nivesane paṇītaṁ khādanīyaṁ bhojanīyaṁ paṭiyādāpetvā), setelah tiba waktunya, Ia beritahukan Sang Bhagavā (bhagavato kālaṁ ārocāpesi): “Sudah waktunya, Bhante, makanan telah siap (kālo, bhante, niṭṭhitaṁ bhattan”ti)"...Kemudian, Jendral Siha, dengan tangan sendiri, bergembira melayani Saṅgha para bhikkhu pimpinan Sang Buddha dengan makanan padat yang baik (Atha kho sīho senāpati buddhappamukhaṁ bhikkhusaṅghaṁ paṇītena khādanīyena bhojanīyena sahatthā santappesi sampavāresi)"

    Dalam SNP 2.2: Brahmin Amagandha bersama 500 muridnya yang menjalani praktek vegetarian mendatangi Sang Buddha menanyakan apa Sang Buddha memakan/tidak amagandha? (amagandha = bau daging. Juga berkonotasi bau busuk, menjijikkan, dan kotor). Sang Buddha: daging bukanlah amagandha, tetapi kekotoran mental dan bentuk perbuatan buruklah amagandha.

    Jadi, baik vegetarian atau makan daging TIDAK ADA RELEVANSINYA dengan kesucian seseorang. [detailnya lihat BLOG INI]

    Bagaimana dengan TIDAK MENGHIRAUKAN HIDUP? (satthahārakaṃ pariyesanti: sattha = senjata; āhara/hara = bawa/ambil; pariyesa = mencari → tewas akibat perbuatan orang lain atau diri sendiri)

    Ketika sang Buddha mengajarkan tentang "ketidakmenarikan/asubha" dan persepsi "kāye ca jīvite ca aṭṭīyamānā harāyamānā jigucchamānā/pikiran hambar, segan, menghindari pada jasmani dan kehidupan", agar mendapatkan penguasaan ketenangan/damūpasama (MN 145), banyak bhikkhu salah memahaminya hingga melakukannya dengan melukai diri atau dengan bunuh diri (SN 54.9) ini berbeda dengan tidak lagi menghiraukan kehidupan oleh mereka yang telah melihat anicca, dukkha, anatta atau mereka yang memahami perasaan muncul karena kontak dan itu tidak kekal (SN 36.7, 8), seperti misal Godhika Thera (SN 4.23/Godhika, saat di Arahata magga)

      6x memasuki sāmayika cetovimutti (Pembebasan sementara) selalu gagal mencapai cetovimuti. Di usaha yang ke-7, Ia berpikir: “Sudah 6x kali aku di pembebasan sementara. Biarlah aku lakukan hingga hilang kehidupan/satthaṃ āharitaṃ"

      [Note:
      "satthaṃ âharitaṃ", tidak harus dengan senjata tajam/sattha, misal karena kondisi fisik tidak mendukung, jika gagal juga mati, maka Ia berjuang sampai mati, namun bagi puthujjana, tindakan ini beresiko, jika tidak punya jhāna, destinasi lahir tidak pasti (bisa jatuh ke neraka), andaikanta wafat dalam jhāna, terlahir di alam brahmā namun setelahnya dapat terlahir di alam bawah. Godhika termasuk jenis jīvitasamasīsī: Sembuh dari penyakit mencapai kearahatan atau berakhir kehidupannya mencapai kehancuran kekotoran]

      Setelah Godhika melakukannya dan Mara tidak menemukan jejak kelahiran kembalinya, sang Buddha berkata: "Appatiṭṭhena ca bhikkhave viññâṇena Godhiko kulaputto parinibutto (tidak muncul di mana pun, Para bhikkhu, kesadarannya, Godhika, mencapai Nibbana akhir)".

      [Note:
      Kitab komentar: Appatiṭṭhena adalah jejak ciri perasaan (itthambhūtalakkhaṇa) tidak muncul (anuppattidhammena), jika ada, kemunculan kesadaran akan terbentuk. Tidak adanya kemunculan kesadaran menjadi penyebab Parinibbāna-nya (yadeva tassa viññâṇassa appatiṭṭhānakāranaṃ tadeva parinibbānakāranaṃ)]

      Sang Buddha berkata, “Orang bijak tidak tergoyahkan, jhāyī jhānarato sadā (Pelaku samādhi selalu gemar jhāna), gigih siang dan malam, tanpa melekat pada hidupnya. Setelah menaklukkan bala tentara kematian, tidak kembali ke kehidupan baru, setelah mencabut keinginan hingga ke akar, Godhika mencapai Nibbāna akhir”

    Vakkali Thera (SN 22.87/Vakkali, awalnya belum Arahat, setelahnya bertemu Buddha berada di Arahata phala)

      [Awal: mencapai kesucian namun belum Arahat] Ketika Vakkali sakit berat, Sang Buddha mengunjunginya dan berharap Ia dapat bertahan, menjadi lebih baik dan perasaan sakitnya mereda. Vakali menyatakan Ia tidak dapat bertahan, tidak lebih baik dan perasaan sakitnya meningkat. Sang Buddha berharap Ia tidak dilanda rasa cemas dan sesal. Vakkali: Saya dilanda tidak sedikit (anappakaṁ) rasa cemas (kukkuccaṁ) dan sesal (vippaṭisāro). Sang Buddha berharap itu bukan karena moralitas. Vakkali: bukan. Sang Buddha: "Lantas rasa sesal apa?". Vakkali: rasa cemas dan sesalnya karena sejak lama hendak mengunjungi Sang Bhagavā, namun tidak dapat karena kesehatannya. Sang Bhagavā berkata: “Cukup, Vakkali. Mengapa engkau ingin mengunjungi tubuh menjijikkan ini?" Ia yang melihat Dhamma, melihat Aku; Ia yang melihat Aku, melihat Dhamma”. Kemudian sang Buddha memberikan nasihat tentang Dhamma-Kaya:

      Sang Buddha: "Bagaimana menurutmu, Vakkali, apakah Pañcakkhandhā kekal atau tidak kekal?".
      Vakkali: “Tidak kekal, Yang Mulia”.
      Sang Buddha: “Apakah sesuatu yang tidak kekal itu penderitaan atau kebahagiaan?”.
      Vakkali: “Penderitaan..".
      Sang Buddha: “Apakah sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dilihat/diamati sebagai: ‘ini milikku, ini aku/sesuatu/kondisi, ini identitas (diri)-ku’?”
      Vakkali: “Tidak..”.

      Sang Buddha: “Oleh karena itu, Vakkali, Pañcakkhandhā apa pun, di masa lalu, depan, atau sekarang, di bagian dalam/luar, kasar/halus, rendah/mulia, jauh/dekat, semua harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan identitas (diri)-ku’"

      Melihat demikian, Vakkali, siswa mulia yang terlatih menjadi tidak terkesan terhadap Pañcakkhandhā. Mengalami tidak terkesan, ia menjadi tidak menginginkannya. Melalui tidak menginginkannya maka terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncul pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, vusitaṃ brahmacariyaṃ (cara hidup brahma/cara non duniawi telah dijalani), apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini."

      [Setelahnya: Arahat] Setelah Sang Buddha pergi, Vakkali bersama pengiringnya menuju Batu Hitam di Lereng Isigili. Di tempat lain, Sang Buddha didatangi 2 deva yang mengabarkan bahwa Vakkali berusaha mencapai pembebasan. Kemudian Sang Buddha mengirim beberapa Bhikkhu mendatangi Vakkali untuk menyampaikan apa kata 2 deva tersebut dan juga pesan beliau, “Jangan takut, Vakkali, kematianmu bukanlah kematian yang buruk".

      Setelah menerima pesan tersebut, Vakkali menitipkan pesan melalui mereka: "Aku tidak meragukan bahwa bentukan/materi adalah tidak kekal, dengan apa yang tidak kekal adalah penderitaan, dengan apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan, aku tidak lagi memiliki hasrat, ketagihan, atau kerinduan... Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal..". Setelah para bhikkhu pergi, YM Vakkali melakukan satthaṃ āharesi. Para bhikkhu menyampaikan pesan itu pada Sang Buddha.

      Sang buddha yang tahu bahwa Vakkali telah melakukan satthaṃ āharesi mengajak para Bhikkhu ke sana dan melihat Mara tidak menemukan jejak kelahiran kembali Vakkali, Sang Buddha berkata pada para Bhikkhu, "appatiṭṭhitena ca, bhikkhave, viññāṇena vakkali kulaputto parinibbuto (tidak muncul di mana pun, Para bhikkhu, kesadarannya, Vakkali, mencapai Nibbana akhir)"

    Channa Thera (MN 144/Channovada dan SN 35.87/Channa, posisi di arahatphala)

      Channa mengalami sakit berat, Sariputta dan Mahacunda datang berkunjung dan Channa menyatakan keputusannya: Anupavajjaṃ channo bhikkhu satthaṃ āharissatī’ti evametaṃ, āvuso sāriputta, dhārehī (Ingatlah ini, Teman Sāriputta: Bhikkhu Channa akan mengakhiri hidupnya dengan tanpa noda).

      Sariputta bertanya: "Teman Channa, apakah engkau melihat/mengamati mata, kesadaran-mata, dan bentukan yang dikenali pikiran melalui kesadaran-mata sebagai: ‘Ini milikku, ini aku/sesuatu/kondisi, ini identitas (diri)-ku’? Apakah engkau melihat/mengamati telinga … hidung … lidah … badan … pikiran, kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali oleh pikiran melalui kesadaran-pikiran sebagai: ‘Ini milikku, ini aku/sesuatu/kondisi, ini identitas (diri)-ku’?”.

      Channa: "Teman Sariputta, aku melihat/mengamati mata,...kesadaran-pikiran, dan hal-hal yang dikenali oleh pikiran melalui kesadaran-pikiran sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan identitas (diri)-ku.’”.

      Sariputta: “Teman Channa, apakah yang telah engkau lihat dan ketahui secara langsung dalam mata, dalam kesadaran-mata, dan dalam bentukan yang dikenali pikiran melalui kesadaran-mata, yang engkau lihat/amati sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan identitas (diri)-ku’? Apakah yang telah engkau lihat dan ketahui secara langsung dalam telinga … dalam hidung … dalam lidah … dalam badan … dalam pikiran, dalam kesadaran-pikiran, dan dalam hal-hal yang dikenali oleh pikiran melalui kesadaran-pikiran, yang engkau lihat/amati sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan identitas (diri)-ku’?”

      Channa: "Teman Sāriputta, adalah dengan melihat dan secara langsung mengetahui pelenyapan di dalam mata...di dalam kesadaran-pikiran, dan di dalam hal-hal yang dikenali oleh pikiran melalui kesadaran-pikiran, maka aku melihat/mengamatinya sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan identitas (diri)-ku’”.

      Setelah Sariputta dan Mahacunda pergi, YM Channa melakukan satthaṃ āharesi. Sariputta bertanya pada sang Buddha, "Kemanakah alam tujuannya, dimanakah ia dilahirkan kembali?". Sang Buddha: "imañca kāyaṃ nikkhipati aññañca kāyaṃ upādiyati tamahaṃ ‘saupavajjo’ti vadāmi. Taṃ channassa bhikkhuno natthi. ‘Anupavajjo channo bhikkhu satthaṃ āharesī (Jika seseorang melepaskan tubuh ini dan menimbulkan tubuh lainnya, maka Aku katakan bahwa ia tercela. Ini tidak terjadi pada Bhikkhu Channa. Dengan tanpa noda, Bhikkhu Channa mengakhiri hidupnya)"

    Di 3 sutta di atas pelakunya memahami pasti bahwa tindakannya TIDAK sedang meninggalkan belenggu lama dan menimbulkan belenggu baru. [↑] [↑ dhammakaya]

  2. Sila: Adinnādāna veramani sikkhāpadam samādiyāmi
    (Adinnādāna : a =Tidak; dinna = diberikan, dihadiahi; ādāna = pengambilan, penggenggaman, kemelekatan, penyantapan/makanan). Jadi artinya: “Aku memusatkan pikiran pada langkah latihan menahan diri dari mengambil yang tidak diberikan

    Tindakan TIDAK murni: mengambil yang tidak diberikan padanya, mencuri kekayaan dan harta orang lain di pemukiman maupun hutan. Tindakan pemurnian: meninggalkan dan menghindari yang tidak diberikan; hanya mengambil yang diberikan; tertuju hanya yang telah diberikan, hidup murni tanpa mencuri. [AN 10.176; MN 41; MN 42]

    Cakupan mengambil yang tidak diberikan juga luas [SN 9.14 dan Jataka no.392, syair hampir identik):

    Pada suatu ketika seorang bhikkhu sedang menetap di antara penduduk Kosala di dalam suatu hutan. Pada saat itu, ketika ia telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan bhikkhu itu biasanya turun ke sebuah kolam dan mencium sekuntum teratai merah. Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada bhikkhu tersebut, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair berikut:

    “Ketika engkau mencium bunga teratai ini,
    Sebuah benda yang belum diberikan,
    Ini adalah satu faktor dari pencurian (theyyānaṁ):
    Engkau, Tuan, pencuri wewangian (gandhatthenosi).”

    Bhikkhu:
    “Aku tidak mengambil, aku tidak merusak,
    Aku mencium teratai itu dari jauh;
    Atas alasan apakah engkau mengatakan
    Bahwa aku adalah seorang pencuri wewangian?

    “Seseorang yang menggali tangkai teratai,
    Seseorang yang merusak bunganya,
    Seseorang yang berperilaku kasar seperti itu:
    Mengapa tidak berbicara kepadanya?”

    Devatā:
    “Ketika seseorang kasar dan kejam,
    Sangat kotor bagaikan kain lap,
    Aku tidak berkepentingan untuk berbicara dengannya;
    Tetapi kepadamulah aku berbicara.

    “Bagi seseorang yang tanpa cela,
    Selalu mencari kemurnian,
    Bahkan seujung rambut kejahatan
    Tampak sebesar awan.”

    Bhikkhu:
    “Tentu saja, deva, engkau memahami aku,
    Dan engkau berbelas kasihan kepadaku.
    Mohon, O deva, berbicaralah kepadaku lagi,
    Kapan saja engkau melihat perbuatan demikian.”

    Devatā:
    “Kami tidak hidup dengan sokongan darimu,
    Juga bukan pelayan bayaranmu.
    Engkau, bhikkhu, harus mengetahui sendiri
    Jalan menuju tujuan yang baik.”

    Kemudian bhikkhu itu, tergerak (saṁvejito) oleh devatā tersebut, mendapatkan kembali rasa keterdesakannya (saṁvegamāpādīti). [SN 9.14. Kitab komentar untuk SN 9.14 menyatakan: Ketika ia melihat bhikkhu itu mencium teratai, devatā itu berpikir: “Setelah menerima subjek meditasi dari Sang Buddha dan memasuki hutan untuk bermeditasi, bhikkhu ini malah bermeditasi pada aroma bunga. Jika kemelekatannya pada aroma meningkat, maka ini akan menghancurkan kesejahteraannya. Biarlah aku mendekati dan mencelanya]

    Di Jataka no.392: .. dewi penghuni hutan menakutinya dengan berkata, “Mārisa, Anda adalah seorang pencuri aroma, ini adalah sejenis pencurian.” Dalam ketakutannya, ia kembali ke Jetavana, menemui Sang Guru, memberi penghormatan dan duduk. “Anda tinggal di mana selama ini, Bhikkhu?” “Di hutan anu, dan dewi di sana menakuti diriku dengan cara anu.” Sang Guru berkata, “Anda bukanlah orang pertama yang dibuatnya menjadi ketakutan ketika mencium aroma bunga, orang bijak di masa lampau juga dibuatnya menjadi ketakutan dengan cara yang sama,” dan atas permintaan bhikkhu itu, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau, yaitu Bodhisatta dulunya terlahir dan menjadi Petapa dan tinggal di dekat sebuah kolam teratai. Suatu hari, ia pergi ke kolam itu dan berdiri sambil mencium sekuntum teratai yang telah mekar. Seorang dewi yang berdiam di dalam sebuah pohon memperingatkannya dengan mengucapkan bait syair [Seperti 2 bait syair pertama SN 9.14], Pada waktu yang sama, seorang laki-laki sedang menggali di kolam itu untuk mengambil akar teratai dan membuat bunga teratai itu menjadi rusak. Bodhisatta yang melihatnya, berkata, “Anda menuduh seseorang sebagai pencuri ketika ia mencium baunya dari kejauhan: mengapa Anda tidak berbicara dengan pemuda itu?” maka untuk berbicara kepadanya, Bodhisatta mengucapkan bait ketiga berikut:

    Kulihat seorang pemuda mencabuti akar teratai
    dan merusak batangnya:
    Mengapa Anda tidak mengatakan bahwa perbuatan
    pemuda yang demikian itu sebagai perbuatan salah? [selanjutnya seperti syair SN 9.14]

    Setelah memberikan nasihat kepadanya, dewi itu kembali ke tempat kediamannya. Bodhisatta melakukan meditasi jhana secara terus-menerus dan terlahir di alam brahma.---.Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran diri mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, dewi tersebut adalah Uppalavaṇṇā dan petapa itu adalah saya sendiri.” [Jataka no.392]. Walaupun tidak diterangkan, namun bisa jadi taman (atau bunga) itu memang milik Deva/Devi tersebut, sehingga menyebut mereka pencuri. [↑]

  3. Sila: Kāmesu micchācārā veramani sikkhāpadam samādiyāmi
    kāmeṣu adalah bentuk jamak dari 'kāma' = Kenikmatan indriya dari 6 kontak indriya (mata, telinga, badan, lidah, hidung, pikiran). "kāmeṣu — in sense enjoyment; to material enjoyment; in the material world, where lusty desires predominate; in sense gratification; in objects of selfish desires" (Vedabase). kāma: kesenangan/sensualitas indriya: kāmacchanda (hasrat indriya/duniawi, sebagai 1 dari 5 nivarana) atau kāmarāga (ketagihan kenikmatan indriya, 1 dari 10 belenggu) atau kāmataṇhā (kehausan kesenangan indriya, 1 dari 3 kehausan penyebab dukkha); kāmavitakka (Pikiran sensual, 1 dari 3 kehendak salah/micchāsaṅkappa); kāmāsavā (noda/asava hasrat Indriya adalah 1 dari 3 āsava (DN 2, 16) dan kāmupādāna (kemelekatan/upadana hasrat indriya, 1 dari 4 kemelekatan (SN 12.2, 38.12); kāmaguṇā (5 utas kenikmatan indriya: mata..badan - SN 45.176);

    "Kamesu" di sutta:

    3 jenis kelahiran di alam hasrat-indriya:
    santāvuso sattā.. (Ada, teman-teman, makhluk-makhluk..), te paccupaṭṭhitesu kāmesu vasaṃ vattenti, seyyathāpi manussā ekacce ca devā ekacce ca vinipātikā (yang menggenggam kenikmatan indriya pada apa yang muncul untuk mereka, seperti manusia, beberapa dewa dan beberapa makhluk di alam sengsara), ...te nimminitvā nimminitvā kāmesu vasaṃ vattenti, seyyathāpi devā nimmānaratī (yang menggenggam kenikmatan indriya apa yang mereka ciptakan, seperti para Dewa nimmānaratī). te paranimmitesu kāmesu vasaṃ vattenti, seyyathāpi devā paranimmitavasavattī (yang menggenggam kenikmatan indriya bergembira dalam ciptaan makhluk lain, seperti para dewa Parinimmita-vasavatti)....[DN 33]

    Yebhuyyena, bhikkhave, sattā kāmesu laḷitā (Para bhikkhu, sebagian besar makhluk terpikat kenikmatan indriya). Ketika seorang anggota keluarga meninggalkan arit dan tongkat pikulan dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju penghidupan suci,..Karena alasan apakah? Kenikmatan indriya, apakah dari jenis ini atau itu, dapat diperoleh seorang pemuda. Kenikmatan indriya yang rendah, menengah, dan tinggi semuanya dikenal hanya sebagai kenikmatan-kenikmatan indriya...[AN 5.7]

    Juga di Kāmesu Satta Sutta [Ud.7.3 dan Ud.7.4] dan MN 13 bahwa "Kāmesu" bukan hanya sekedar seksual dan bahayanya pemuasan kenikmatan indriya: ”Dengan kenikmatan indriya sebagai penyebab, sebagai sumber, sebagai dasar, ..orang-orang berperilaku salah dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran. Setelah berprilaku demikian, bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian, terlahir dalam keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka.”

    Jadi, Kāmesu (tidak sama dengan) [methuna = dvayaṁdvayasamāpatti = hubungan kelamin; ajjācāra = prilaku salah seksual; aticāra = pelanggaran (hukum) terkait prilaku seksual/selingkuh; anācāra = kelakuan tidak senonoh]. "Kāmesu" TIDAK MELULU TERKAIT SEKSUAL, mengartikan Kāmesu = METHUNA [juga: Ajjācāra; Aticara; Anācāra; dvayaṁdvayasamāpatti] sangat memiskinkan arti Kāmesu; Micchācārā = cara keliru. micchā = salah, keliru; cāra = aksi/proses, cara).

    Pada prinsipnya, hubungan seksual, apapun bentuknya, baik itu terhadap 1 atau beberapa istri sendiri, istri orang lain, selingkuh, onani, homoseksual, heteroseksual, dengan binatang, benda, dll, merupakan cara yang salah, karena timbul dari nafsu keinginan [DN 27]

      ...Perempuan lebih banyak waktu mengamati pria, pria lebih banyak waktu mengamati wanita. Karena berlebihan memperhatikan perbedaan, muncul ketagihan yang membakar tubuh, sehingga terjadilah hubungan kelamin (Te pariḷāhapaccayā methunaṁ dhammaṁ paṭiseviṁsu). Lainnya yang melihat mereka berhubungan kelamin, melempari dengan debu, abu, atau kotoran sapi: "menjauh, tidak suci (nassa asuci), menjauh, tidak suci, Bagaimana mungkin seseorang berbuat demikian terhadap lainnya"

    Sehingga arti sila ini: "Aku memusatkan pikiran pada langkah latihan menahan diri dari menikmati indriya dengan cara salah".

    Sila ke-3 jenis lainnya, "abrahmacariya" (“bukan cara hidup brahma/cara duniawi”: Perbuatan pikiran, ucapan dan fisik yang TIDAK HANYA TERKAIT SEKSUAL, namun juga 8 jalan yang salah (micchaditti...micchasamādhi) (SN 45.18, 39). Cara hidup brahma/cara non duniawi, disamping TIDAK LAGI berhubungan seksual, JUGA TIDAK: (menikmati badan digosok, dipijat, dimandikan, dan diremas), (melakukan senda-gurau, bermain-main, dan menghibur diri dengan perempuan), (memandang/menatap ke mata perempuan), (mendengarkan di balik dinding suara perempuan tertawa atau mengobrol atau bernyanyi atau menangis), (mengingat saat tertawa, berbicara, dan bermain dengan perempuan di masa lalu), (memperhatikan perumah tangga atau putranya yang memiliki dan menikmati ke-5 utas kenikmatan indria), (menjalani brahmacariya dengan kehendak agar terlahir kembali di kelompok deva tertentu, menikmati, menginginkan dan mendapatkan kepuasan akan hal ini) [AN 7.50]

    Tindakan Pemurnian:menjalankan cara hidup brahma/cara non duniawi; meninggalkan bukan cara hidup brahma/cara duniawi, tidak melakukan yang bukan cara hidup brahma, misalnya tidak melakukan hubungan kelamin seperti perumahtangga (virato methunā gāmadhammā) [DN 13]

    Namun demikian, bagi yang sangat awam, maka pelanggaran sila ke-3 (Kāmesu micchācārā) terkait cara salah/tidak patut dan yang terkait hubungan seksual: mengganggu/menggauli istri orang lain (paradāraṁ), bahkan dalam hubungan suami istri sendiri: Sedang tidak mau digauli, MEMAKSA menggauli, "tidak mendatangi istri orang, membeli istri, melakukan dan bersama dengan persetujuan (na..aññamagamuṁ, napi bhariyaṁ kiṇiṁsu sampiyeneva saṁvāsaṁ saṅgantvā samarocayuṁ), tidak berhubungan seks di luar waktu yaitu setelah menstruasi dan diantaranya (aññatra tamhā samayā utuveramaṇiṁ pati antarā methunaṁ dhammaṁ nāssu gacchanti brāhmaṇā)" [SNP 2.7]

    Contoh lain Kāmesu micchācārā, masih dalam hubungan seksual, lihat di AN 10.176, MN 114, MN 41, AN 10.17.10; AN 10.17/21/23/24/25, Vinaya / Saṅghādisesakaṇḍa - Sañcarittasikkhāpada, yang berkaitan dengan Wanita/pria yang TIDAK PATUT DIGAULI karena:

    1. Berada dalam PERLINDUNGAN: (1) ibu (māturakkhitā), (2) ayah (piturakkhitā), (3) Ayah-Ibu (mātāpitu), (4) Kakak/adik perempuan (bhaginirakkhitā), (5) kakak/adik lelaki (bhāturakkhitā), (6) sanak (ñātirakkhitā), (7) keluarga besar (gottarakkhitā), (8) mengikuti ajaran (dhammarakkhitā), (9) dalam perlindungan hukum (saparidaṇḍā), (10) lelaki lain/Tuannya (sassāmika/sārakkhā) atau sudah berkalung bunga sebagai tanda pertunangan (mālāguḷaparikkhittāpi) (Untuk para Pria, kurang lebih sama seperti di atas)
    2. SUDAH TERIKAT MENJADI ISTRI, karena: (1) telah diberi mahar (dhanakkītā), (2) pilihan sendiri (chandavāsinī), (3) melalui harta/kekayaan (bhogavāsinī), (4) melalui sandang (paṭavāsinī), (5) dengan sebuah kendi/odappatikà (odapattakinī: kedua tangan dalam mangkuk air dan berkata: 'menyatu seperti air ini, tak terpisahkan'), (6) rampasan (obhaṭacumbaṭā), (7) tawanan (dhajāhaṭā), (8) budak (dāsī ca bhariyā), (9) terikat kerja (kammakārī ca bhariyā) dan (10) berada dalam jangka waktu tertentu (muhuttikā)

      Note:
      Dari list 20 wanita dalam perlindungan/tidak patut digauli, pelacur (dalam pali: Ganika, Sobhina, Nagarasobhina, Vesiya, Rupajiva atau Bandhaki/kumbadasi) TIDAK disebut.

    KETIDAKPATUTAN seksual selain pemaksaan, kekerasan, pelecehan, juga dengan menipu/mencurangi, misalnya di SNP 1.6 (bencana/menjadi dimanapun):

    1. Tidak bijak, membenci Dhamma
    2. Menyukai para orang jahat, tidak menyukai para orang bajik, lebih suka cara orang jahat,
    3. Gemar rebahan bermalasan/tiduran (niddāsīlī), kumpul-kumpul/nongkrong (sabhāsīlī), orang yang kurang semangat (anuṭṭhātā ca yo naro), gemar melamun dan mudah marah (alaso kodhapaññāṇo)
    4. Dalam keadaan sejahtera tidak mau menyokong ayah dan ibu yang udah tua dan lemah
    5. Menipu pertapa, brahmana atau rahib lainnya
    6. Kekayaan, emas dan makanan berlimpah tapi hanya dinikmati sendiri
    7. Membangggakan keturunan, kekayaan atau suku, merendahkan keluarga sendiri
    8. Perisau, peminum, atau penjudi, memboroskan penghasilan
    9. "sehi dārehi asantuṭṭho [dārehyasantuṭṭho (ka.)], vesiyāsu padussati [padissati (sī.)] Dussati [dissati (sī. pī.)] paradāresu[..]" [Tidakpuas dengan istri sendiri, mencurangi para pelacur, mengganggu para istri orang lain]

      Note:
      sehi dārehi (Istri sendiri); asantuṭṭho (tidak puas, sulit diladeni); vesiyāsu (para Pelacur); padussati/dussati (mengganggu, merusak, berbuat buruk/salah/jahat, menipu, curang, menyakiti perasaan); padissati/dissati (terlihat); paradāresu (para istri orang lain)

      "Padissati" dan "dissati" adalah menurut naskah konsili Burma tahun 1871 [juga terjemahan Max Müller dan Max Fausböl, lihat: di sini, di sini dan di sini]. World-Tipitaka merujuk bahwa kata yang benar adalah "Padussati"/"dussati" BUKAN "Padissati"/"dissati". Tampaknya kata yang benar adalah "Padussati"/"dussati", karena DN 16 (dan Vinaya Mahavagga, Khandhaka 6) menyebutkan Para Licchavi tahu sang Buddha menerima undangan makan seorang yang pernah menjadi pelacur bernama Ambapālī dan di Jataka 92/Mahasara, Ananda mengajar dhamma pada para istri Raja Kosala

    10. Berusia tua beristri wanita muda usia, tak dapat tidur karena cemburu
    11. Membiarkan wanita/lelaki mabuk-mabukan dan pemborosan
    12. Terlahir dikeluarga ksatria berambisi besar, berkemampuan kurang, memimpikan kekuasaan [↑]

  4. Sila: Musāvādā veramani sikkhāpadam samādiyāmi
    musā = secara salah, tidak benar; vāda = perkataan, ucapan, pembicaraan, tuturan, ujaran, omongan, diskusi, perdebatan, perbantahan, pembahasan; doktrin, ajaran, paham. Jadi artinya: “Aku memusatkan pikiran pada langkah latihan menahan diri dari menyatakan yang tidak benar [AN 10.176; MN 41; MN 42]. Terdapat 4 hal terkait ucapan:

    1. musāvāda (berdusta): ketika berada dikomunitasnya atau dikelompoknya atau disanak saudaranya, teman sekerjanya, di pengadilan negara, atau ketika dipanggil sebagai saksi dan diminta mengatakan apa yang diketahuinya. meski tidak tahu, berkata, “Saya tahu”; meski tahu, berkata “Saya tidak tahu”; meski tidak melihat, berkata, “Saya telah melihat”; dan meski telah melihat, berkata, “Saya tidak melihat”. Ia mengucapkan kebohongan, baik demi dirinya, demi orang lain, atau demi keuntungan materi. VS menahan diri berdusta (musāvādā veramaṇī)
    2. Pisuṇavāco (ucapan memecah belah): apa yang didengarnya di sini dilaporkannya di sana agat timbul konflik di sana; dan apa yang didengarnya di sana dilaporkannya di sini agar timbul konflik di sini. Ia menciptakan perselisihan di antara yang rukun, menghasut yang sedang berselisih, menikmati perselisihan, bergembira dan bersukacita di dalamnya, pengucap kata-kata yang menyebabkan perselisihan. VS menahan diri dari ucapan memecah belah (pisuṇāya vācāya veramaṇī)
    3. Pharusavāco (ucapan kasar): kata-kata kasar, keras, menyakiti, menghina, berbatasan dengan kemarahan, tidak menunjang pikiran terpusat VS menahan diri dari ucapan kasar (pharusāya vācāya veramaṇī)
    4. Samphappalāpī (ucapan sia-sia/gosip): berbicara tidak di waktu yang tepat, tidak beralasan, tidak bermanfaat, berlawanan dengan Dhamma/Vinaya: tidak layak disimpan, melampaui batas, mencelakakan. VS menahan diri dari ucapan sia-sia/gosip (samphappalāpī veramaṇī)

    Sang Buddha memberikan nasehat pada YM Rahula di MN 61:

      jika seseorang tidak malu mengucapkan kebohongan yang disengaja, maka tidak ada kejahatan, Aku katakan, yang takkan ia lakukan. Oleh karena itu, Rāhula, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku takkan mengucapkan kebohongan bahkan sebagai suatu gurauan.’

    Pelanggar sila ke-4 membuat ajaran dijungkirbalikan, membuat banyak pertengkaran, pembunuhan, penyiksaan, perampokan, pencurian, perkosaan, dan lainnya, Para PENIPU mengajarkan ajaran SALAH mengaku PENYELAMAT, utusan makhluk adidaya. Setelah mengajarkan KEKERASAN, KEKEJAMAN, KESERAKAHAN dan PEMBODOHAN kemudian mengklaim sebagai satu-satu jalan menuju KESELAMATAN. [↑]

  5. Sila: Surāmeraya majjapamādaṭṭhāna veramani sikkhāpadam samādiyāmi
    (Surā = berani/nekad, kepahlawanan, beralkohol, memabukkan; meraya = fermentasi, beralkohol; majja = membuat mabuk; pamāda = lalai, malas, ceroboh, lengah, alpa, sembrono, lamban, kekilesaan; ṭṭhāna = Landasan). Jadi artinya: “Aku memusatkan pikiran pada langkah latihan menahan diri dari asupan memabukan landasan bagi kelengahan”. Sila ini disamping asupan memabukan makanan/minuman, juga asupan lainnya yang dapat menjadi landasan kelengahan.

      Note:
      Asupan yang bukan makanan/minuman dan dapat memabukan landasan bagi kelengahan, misal: Keuntungan/lābha; kehormatan/sakkāra; ketenaran/siloka; Pencapaian sila/sīlasampadāya; Pencapaian pikiran terpusat/samādhisampadāya; Pengetahuan dan penglihatannya/ñāṇadassanena. Ia mabuk itu dan menjadi lengah [MN 29]

    Beberapa makanan secara alami berethanol tanpa proses lanjutan misal nira, duren. Beberapa setelah fermentasi, akan berkadar ethanol di bawah 4% (air tape/ketan) bahkan lebih jika disuling (miras). Masyarakat daerah suhu dingin yang berpendapat mengatasinya dengan minuman beralkohol, hanyalah ilusi kehangatan tubuh.

    Dalam aturan kebhikkhuan, bahkan obat yang warna (vanno), bau (gandho), dan rasa (rasa) yang mengandung hal memabukan, tidak boleh dikonsumsi [Mahavagga 6.14.1]

    Umat awam yang bergembira dalam ajaran, tidak mengkonsumsi, mendorong, menyetujui asupan memabukan. Para orang dungu melakukan perbuatan buruk karena mabuk, menyebabkan orang lain berada dalam kelengahan, mengikuti hal yang sama. Seharusnya Ia menghindari perbuatan buruk, kegilaan, kekeliruan tahu yang menjadi kesenangan para dungu [SNP 2.14]
    6 bahaya asupan memabukan landasan bagi kelengahan: menghabiskan kekayaan, mengundang pertengkaran, landasan penyakit, merusak reputasi, membuka rahasia orang dan melemahkan kebijaksanaan [DN 31] [↑]
Atthasila/8 Sila (= Uposathasila)

Uposatha (= upavāsa = menahan diri/menahan kesenangan) mempunyai beberapa makna: (1) waktu melafalkan Pātimokkha/aturan yang mengikat/wajib (227 sila) [dilakukan tiap: bulan gelap (tanda berakhir/berawalnya bulan) dan bulan purnama, hanya oleh para bhikkhu] atau (2) jumlah sila yang harus dilakukan umat awam (yaitu 8 sila/atthasila) dan (3) waktu pelaksanaan 8 sila oleh umat awam: "cātuddasī pañcadasī aṭṭhamī ca pakkhassa (hari ke-8, 14, 15, per 2 minggu)" [MN 4, SNP 2.14, MN 83, SN 10.5, AN 3.37], sehingga untuk bulan dengan jumlah hari = 29 (ke-8, 14, 15, 23 dan ke-29) dan jika 30 (ke-8, 14, 15, 23, 29, dan ke-30), uposatha ini disebut Pakati Uposatha/Uposatha biasa. Kitab komentar menambahkan istilah lain: Pāṭihāriya Uposatha/Uposatha terus menerus (tidak ada hari khusus), Umat awam melaksanakannya selama vassa/musim hujan (3/4 bulan) atau selama 5 bulan (mulai Juli sampai akhir vassa).

Sang Buddha menyatakan 3 jenis uposatha (AN 3.70):
(1) Gopala uposatha/uposatha penggembala: Setelah menggembalakan ternak sepanjang hari, pulang dan malamnya berpikir: “Hari ini, aku menggembalanya di ladang anu, besok aku akan ke ladang itu” dengan cara yang sama Ia menjalankan uposatha Sīla: “Hari ini, aku telah makanan anu, maka besok aku akan makan itu”. Jika Ia menjalankan hari uposatha tapi dengan pikiran disertai kerinduan/ketamakan, ini disebut Gopāla Uposatha.

(2) Nigantha Uposatha/uposatha Nigaṇṭha: (a) mereka melakukan praktik pertapaan pāṇātipātā, tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup di luar jarak 100 yojana arah timur, barat, utara dan selatan, namun selain jarak itu boleh, membedakan tempat terlarang dan tidak untuk berbuat salah. (b) Mereka melakukan praktik pertapaan menyingkirkan semua pakaian dan mengucapkan: 'dalam cara apapun, bukan aku (nāhaṃ kvacani) dikarenakan apapun juga (kassaci kiñcanatasmiṃ), dalam cara apapun juga, bukan milikku (na ca mama kvacani) tidak karena apapun (kismiñci kiñcanaṃ natthī)'. tapi ketika malam berakhir, ia gunakan barang yang belum diberikan (yaitu pakaian tersebut), mengambil apa yang tidak diberikan (atau Ia menyatakan akan melaksanakan sila, tapi berakhir tidak melaksanakan), ini uposatha Nigaṇṭha.

(3) Ariya Uposatha/uposatha para mulia: Selama menjalan 8 sila dibarengi melakukan upakkiliṭṭhassa cittassa upakkamena pariyodapanā hoti (metoda pembersihan upakilesa pikiran) dengan salah satu perenungan:
  1. Brahmuposatha - menjalankan 8 Sila dan berulang merenungkan sifat-sifat Buddha. Dengan demikian: pikirannya menjadi tenang (cittaṁ pasīdati), sukacita muncul (pāmojjaṁ uppajjati), dan kekotoran pikiran menjadi ditinggalkan (ye cittassa upakkilesā te pahīyanti).
  2. Dhammuposatha - menjalankan 8 Sila dan berulang merenungkan sifat-sifat Dhamma. Dengan demikian: pikirannya menjadi tenang, sukacita muncul, dan kekotoran pikiran menjadi ditinggalkan.
  3. Saṇghuposatha - menjalankan 8 Sila dan berulang merenungkan sifat-sifat Sangha. Dengan demikian: pikirannya menjadi tenang, sukacita muncul, dan kekotoran pikiran menjadi ditinggalkan.
  4. Sīluposatha - menjalankan 8 Sila dan berulang merenungkan moralitasnya sendiri: tak rusak/utuh keseluruhan, tak cacat/robek, tak bernoda, tak bercela, membebaskan, dipujikan para bijak, tak digenggam, mengarah pada pikiran terpusat. Dengan demikian: pikirannya menjadi tenang, sukacita muncul, dan kekotoran pikiran menjadi ditinggalkan.
  5. Devatuposatha - menjalankan 8 Sila dan berulang merenungkan keyakinan, moralitas, pemahaman pembelajaran, kemurahan hati dan kebijaksanaan dirinya dan para dewata. Dengan demikian: pikirannya menjadi tenang, sukacita muncul, dan kekotoran pikiran menjadi ditinggalkan.
  6. Atthanguposatha - menjalankan 8 Sila dan berulang merenungkan 'Selama hidupnya para Arahant meninggalkan dan menghindari menyakiti kehidupan, berhati-hati dan berbelas kasih.. (+7 sila lainnya). Hari ini, selama sehari dan semalam, aku juga akan meninggalkan dan menghindari menyakiti kehidupan, berhati-hati dan berbelas kasih.. (+7 sila lainnya). Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku. Dengan demikian: pikirannya menjadi tenang, sukacita muncul, dan kekotoran pikiran menjadi ditinggalkan.
Demikian uposatha para mulia dijalankan (AN 3.70). Rincian Atthasila/Uposatha Sila [AN 3.70; AN 8.41-45; Sn 2.14]:
  1. pāṇātipātaṃ pahāya pāṇātipātā paṭiviratā, (menanggalkan dan meninggalkan menyakiti kehidupan)

  2. adinnādānaṃ pahāya adinnādānā paṭiviratā, (menanggalkan dan meninggalkan mengambil yang tidak diberikan)

  3. abrahmacariyaṃ pahāya brahmacārino ārācārino viratā methunā gāmadhammā, (Meninggalkan bukan cara hidup BRAHMA/cara duniawi, menjalani cara hidup BRAHMA/cara non duniawi, hidup terpisah, tidak beraktivitas seksualnya umat awam)

  4. musāvādaṃ pahāya musāvādā paṭiviratā (menanggalkan dan meninggalkan menyatakan yang tidak benar)

  5. surāmerayamajjapamādaṭṭhānaṃ pahāya surāmeraya majjapamādaṭṭhānā paṭiviratā (menanggalkan dan meninggalkan asupan memabukan landasan bagi kelengahan)

  6. ekabhattikā rattūparatā viratā vikālabhojanā, (makan 1x sehari, tidak di malam hari, tidak makan di luar waktu layak: vikāla = majjhanhike vītivatte yāva aruṇuggamanā/lewat tengah hari sampai (warna kemerahan sebelum) matahari terbit - Ibid, hal.388. Tengah hari: bayangan lewat 2 jari - Khandhaka 22).

    Para Arahat, sepanjang hidup [Yāvajīvaṃ] makan 1 x SEHARI [ekabhattikā], tidak di malam hari [rattūparatā], tidak makan di luar waktu layak [virataṃ vikālabhojanā]. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan MAKAN 1x SEHARI, tidak di malam hari dan tidak makan di luar waktu layak. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ [AN 8.41-42/Uposatha Sutta. Juga di AN 3.70 dan AN 8.43, kepada umat awam PEREMPUAN, Visākhā Migāramātā]
    Umat awam bernama Gavessi jaman Buddha Kassapa: makan 1x sehari, tidak di malam hari, tidak makan di luar waktu layak (ekabhattikaṁ..rattūparataṁ virataṁ vikālabhojanā)" [AN 5.180]
    Ghaṭīkāra, umat awam jaman Buddha Kassapa (anagami): makan 1x sehari (ekabhattiko) [MN 81]

    Jika umat awam melatih makan 1x, selayaknya para bhikkhu berlaku demikian:

    Sang Buddha kepada Para Bhikkhu: Mereka para samana dan brahmin (ye te samaṇabrāhmaṇā) makan 1 x sehari (ekabhattikā), tidak di malam hari (rattūparatā), tidak makan di luar waktu layak (viratā vikālabhojanā) [AN 5.228]
    "Seorang Tathāgata muncul di dunia ini,....Seorang perumah-tangga..mendengarkan Dhamma itu..ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Setelah meninggalkan keduniawian demikian, memiliki latihan dan GAYA HIDUP KEBHIKKHUAN...Ia berlatih makan 1x sehari, tidak di malam hari, tidak makan di luar waktu layak" (ekabhattiko..rattūparato virato vikālabhojanā) [DN 1: Sang Buddha makan 1x sehari; DN 2: Sang Buddha kepada Raja Ajātasattu; AN 4.18, AN 10.99; MN 27, 38, 51, 112, Di MN 94: Yang Mulia Udena kepada Brahmana Ghoṭamukha; di MN 101 Sang Buddha kepada para Bhikkhu]
    YM Mahākaccāna kepada Soṇa Koḷivisa (tentang menjadi Bhikkhu): "Seumur hidup (yāvajīvaṁ) makan 1x sehari (ekabhattaṁ),... " [Ud 5.6, Vinaya Mahavagga Kd 5/Cammakkhandhaka]
    YM Mahā Kaccāna kepada Raja Avantiputta dari Madhurā, tentang gaya hidup kebhikkhuan: tidak di malam hari, makan 1x sehari (rattūparato, ekabhattiko) [MN 84]
    Devata kepada Sang Buddha: "...makan 1x sehari (ekabhattaṁ bhuñjamānānaṁ.." [SN 1.10]
    Angulimala-pun setelah menjadi Bhikkhu, makan 1x sehari (ekabhattikaṁ) [MN 86]

    Makan 1x sehari di waktu layak bagi para bhikkhu adalah vinaya/disiplin:

    Sang Bhagavā kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, pernah terjadi suatu peristiwa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu. Di sini Aku berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Aku MAKAN 1x SEHARI [ekāsanabhojanaṃ]. Dengan melakukan hal itu, Aku terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman. Ayo, para bhikkhu, MAKAN 1x SEHARI. Dengan melakukan hal itu, kalian akan terbebas dari penyakit....’

    Dan Aku tidak perlu terus menerus memberikan INSTRUKSI SEHARUSNYA (anusāsanī karaṇīyā) kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu MEMBANGKITKAN INGATAN SEHARUSNYA (satuppādakaraṇīya) di diri mereka....Oleh karena itu, para bhikkhu, tinggalkanlah hal tidak bermanfaat dan tekunilah hal bermanfaat (Tasmātiha, bhikkhave, tumhepi akusalaṁ pajahatha, kusalesu dhammesu āyogaṁ karotha), karena kalian dalam DHAMMA DISIPLIN ini (evañhi tumhepi imasmiṁ dhammavinaye) mencapai kemajuan, peningkatan dan pemenuhannya (vuddhiṁ virūḷhiṁ vepullaṁ āpajjissatha)" [MN 21]

    Sang Buddha: “Para bhikkhu, Aku MAKAN 1x SEHARI [ekāsanabhojanaṃ: makan 1x sehari pada 1x duduk - Vinaya VI, ITC, cetakan 3, cat kaki 882, hal.455, 636]. Dengan melakukan demikian, Aku bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan Aku menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Marilah, para bhikkhu, MAKAN 1x SEHARI. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan kesengsaraan,..."

    Yang Mulia Bhaddāli: “Yang Mulia, Aku tidak mau MAKAN 1x SEHARI; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”

    Sang Buddha: “Kalau begitu, Bhaddāli (Tena hi tvaṁ, bhaddāli), makan disana 1 bagian di mana ENGKAU DI UNDANG (yattha nimantito assasi tattha ekadesaṁ bhuñjitvā), lagi 1 bagiannya dimakan nanti (ekadesaṁ nīharitvāpi bhuñjeyyāsi). Dengan memakan demikian, engkau akan memelihara tubuhmu.”

    Yang Mulia Bhaddāli:“Yang Mulia, Aku tidak mau makan dengan cara itu juga; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”

    Kemudian, Yang Mulia Bhaddāli (Atha kho āyasmā bhaddāli), terhadap aturan latihan yang ditetapkan Sang Bhagavā kepada bhikkhu sangha untuk menjalaninya (bhagavatā sikkhāpade paññāpiyamāne bhikkhusaṅghe sikkhaṁ samādiyamāne), menyatakan penolakan (nussāhaṁ pavedesi). Kemudian Yang Mulia Bhaddāli tidak menghadap Sang Bhagavā selama 3 bulan [masa vassa], seperti yang terjadi pada seseorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

    [..]

    Kemudian Yang Mulia Bhaddāli mendatangi para bhikkhu..mereka berkata kepadanya: “...di akhir 3 bulan [masa vassa], Sang Bhagavā akan melakukan pengembaraan. Mohon, teman Bhaddāli, perhatikanlah nasihat ini. Jangan biarkan hal ini mempersulitmu kelak.”

    Yang Mulia Bhaddāli:: “Baik, teman-teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, aku, terhadap aturan latihan yang ditetapkan Sang Bhagavā kepada bhikkhu sangha untuk menjalaninya, menyatakan penolakan. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku dilihat seperti demikian demi pengendalian di masa depan.”[..]

    Sang Buddha: “Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, terhadap aturan latihan yang ditetapkanKu...menyatakan penolakan, tetapi sejak engkau, Bhaddāli (yato ca kho tvaṁ, bhaddāli), melihat pelanggaran lalumu dan memperbaikinya sesuai Dhamma (accayaṁ accayato disvā yathādhammaṁ paṭikarosi), maka kami menerimanya (taṁ te mayaṁ paṭiggaṇhāma), karena adalah kemajuan dalam DISIPLIN YANG MULIA (vuddhihesā, bhaddāli, ariyassa vinaye), jika seseorang melihat pelanggaran lalunya dan memperbaikinya sesuai Dhamma (yo accayaṁ accayato disvā yathādhammaṁ paṭikaroti) agar mencapai pengendalian di masa depan (āyatiṁ saṁvaraṁ āpajjati)... [MN65/Bhaddali sutta]

    Sang Buddha menyatakan Bhikkhu tertentu sebagai SESAT [moghapurisā], ketika tidak mengindahkan INSTRUKSI makan 1x sehari (yaitu sebelum tengah hari) di waktu layak:

    Yang Mulia Udāyin kepada Sang Buddha: "Yang Mulia, SEBELUMNYA kami terbiasa makan DI SENJA/MALAM HARI (sāya), DI PAGI HARI (pāto), DAN SIANG (divā) di luar waktu layak (vikāle). Kemudian..Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, MAKAN DI SIANG HARI DI LUAR WAKTU LAYAK (divāvikālabhojanaṁ) TINGGALKANLAH (pajahathā’ti) .’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah-tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami di siang hari di luar waktu layak (divā vikāle), namun Sang Bhagavā meminta kami meninggalkannya, Yang Sempurna meminta kami melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan disiang hari diluar waktu layak.

    Kemudian kamu hanya makan dimalam hari dan dipagi hari. Kemudian..Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, MAKAN DI MALAM HARI DI LUAR WAKTU LAYAK (rattiṁvikālabhojanaṁ) TINGGALKANLAH (pajahathā’ti).’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘KEMUDiAN JUGA TIDAK PADA MAKAN 2X KAMI YANG BAIK (yampi no imesaṁ dvinnaṁ bhattānaṁ paṇītasaṅkhātataraṁ), Sang Bhagava meminta kami meninggalkannya (tassapi no bhagavā pahānamāha), Yang Sempurna meminta kami melepaskannya (tassapi no sugato paṭinissaggamāhā’ti) ’...Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, KAMI MENINGGALKAN MAKAN dI MALAM HARI DI LUAR WAKTU LAYAK.

    “Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku melalui cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ Aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu yang sedang mengumpulkan dana makanan.’—‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati! Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā untuk kami!.. Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan...Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”

    Sang Buddha: “Demikian pula, Udāyin, TERDAPAT ORANG-ORANG SESAT di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini,’ mengatakan: ‘Apalah hal kecil dan remeh seperti ini? Petapa ini terlalu cerewet!’ DAN MEREKA TIDAK MENINGGALKAN HAL ITU (Te tañceva nappajahanti) DAN MEREKA MENUNJUKAN SIKAP TIDAK SOPAN TERHADAPKU (mayi ca appaccayaṁ upaṭṭhāpenti), SERTA PADA PARA BHIKKHU LAIN YANG MENYUKAI LATIHAN (Ye ca bhikkhū sikkhākāmā tesaṁ taṁ)... [MN 66/Perumpamaan burung Puyuh]

    Aturan makan 1x sehari, dijabarkan lebih detail dalam vinaya/pātimokkha [Vinaya II, ITC, 2012, hal. 347-398], ringkasnya:

    Āvasathapiṇḍasikkhāpadaṃ/Tempat derma makan untuk umum: Menerima makanan (dan makan) di tempat pemberian dana makan untuk umum/siapa saja, hanya boleh 1x, kecuali jika sakit, jika tidak sakit dan lebih dari 1x, pelanggara Pacittiya, jika ragu sedang sakit atau tidak, lebih dari 1x, pelanggaran dukkata [hal.347-350]

    Gaṇabhojanasikkhāpadaṃ/makan secara berkelompok: makan bersama oleh para bhikkhu (yaitu 4 Bhkkhu atau lebih), setelah berulang-ulang meminta di antara para perumah tangga, kecuali waktu layak (yaitu sedang sakit; waktu pemberian jubah; waktu pembuatan jubah; waktu bepergian dengan para pria lainnya; waktu sedang di atas perahu; waktu ada mahāsamaya/rombongan besar para bhikkhu yang jarang terjadi dan waktu makan samaṇabhattasamaya/perkumpulan petapa lainnya) adalah pelanggaran Pacittiya, jika ada niat terjadi di luar waktu layak, pelanggaran dukkata. [hal.350 - 362]

    Paramparabhojanasikkhāpadaṃ/undangan makan: Pekerja miskin bawahan Kirapatika hendak berdana makan kepada sang Buddha dan bhikhu sangha, Ia berkata kepada Bhagawan, “Bhante, semoga Bhagawan, bersama Sangha Bhikkhu, berkenan menerima makanan dari saya besok.” Sang Buddha: “Tetapi, Saudara,..Sangha Bhikkhu banyak.” Pekerja miskin: “Bhante, semoga Sangha Bhikkhu banyak. Saya akan menyiapkan buah bidara cina yang banyak, akan lengkap dengan jus buah bidara cina untuk diminum.”

    ....Para bhikkhu setelah mendengarnya: “Sangha Bhikkhu, pimpinan Sang Buddha diundang besok oleh seorang pekerja miskin. Akan dilengkapi dengan jus buah..”. Orang-orang yang mendengarnya: “Sangha Bhikkhu...diundang (makan) oleh pekerja miskin itu.” Orang-orang ini membawa makanan pendamping dan makanan utama yang banyak untuk pekerja miskin itu...pekerja miskin itu,..pun telah menyiapkan makanan pendamping dan makanan utama yang mewah. (tapi) Para bhikkhu ini makan, setelah berjalan mengumpulkan derma makanan pagi itu.

    Kepada Bhagawan, ia memaklumkan waktunya, “Sudah waktunya, Bhante, makanan telah siap.”

    Sang Buddha, membawa patta, menuju rumah pekerja miskin bersama Sangha Bhikkhu,..pekerja miskin melayani para bhikkhu di ruang makan.

    Beberapa bhikkhu: “Saudara, berikan sedikit saja” Pekerja miskin: “Bhante, janganlah mengambil begitu sedikit dengan berkata, ‘Ini adalah seorang pekerja miskin.’ Banyak makanan pendamping dan makanan utama disiapkan orang untuk saya. Terimalah sebanyak yang disukai”. Beberapa Bhikkhu: “Saudara, bukan karena hal ini kami mengambil sedikit, tetapi, karena kami telah makan setelah mengumpulkan derma makanan pagi ini..”

    Pekerja miskin itu memandang rendah, mencela, protes, “Mengapa para Yang Mulia, setelah diundang saya, makan di tempat lain? Apakah saya tidak mampu memberi sebanyak yang disukai?” Para bhikkhu pun mendengar pekerja miskin ini...menyebarluaskannya. Para bhikkhu yang bersahaja...protes, “Mengapa beberapa bhikkhu ini, setelah diundang di suatu tempat, makan di tempat lain?” ...

    "Benarkah, para bhikkhu, bahwa setelah diundang di suatu tempat, makan di tempat lain?"
    “Benar, Bhagawan.”
    Sang Buddha mengecam mereka.... Aturan: Makan di luar giliran (bukan di tempat yang mengundang), pelanggaran pacittiya.” [hal.362-365]

      Note:
      Paraṃparabhojane. Vin. Text i. 38, “pelanggaran pacittiya menerima makanan bergiliran,” dengan catatan (q.v.), “Yaitu, dalam memilih makanan atau undangan-undangan berbeda. Para bhikkhu seyogianya makan berdasarkan apa yang diberikan, dan menerima undangan berurutan yang mereka terima.” P.E.D. menerjemahkan frasa seperti “menerima makanan berurutan”, pemberian derma makanan secara berurutan. Gogerly, J.R.A.S.,1862, hlm. 445, mengambil intisari tanpa ketepatan sesuai kenyataan, “Jika seorang bhikkhu makan makanan biasanya (hasil pindapata) ketika ada sebuah undangan makan, kecuali waktu layak, adalah pelanggaran pacittiya.” Juga Dickson, J.R.A.S., 1876, hlm. 112, “Sebuah pelanggaran terjadi ketika seorang bhikkhu menerima makanan di urutan yang lain yang ditawarkan kepadanya.” Huber, J. As., Nov. – Des., 1913, tidak mencoba menerjemahkan. Path of Purity i. 76 menyebutnya “makanan berikutnya setelah penerimaan makanan sebelumnya”. Makanan jenis ini tidak boleh diterima oleh piṇḍapātika, orang yang mengumpulkan derma makanan.

    Seorang bhikhu sakit, bhikkhu lainnya setelah pindapatta (mengumpulkan derma makanan), mengunjunginya: “Makanlah, Awuso”, Bhikkhu sakit: "..tetapi ada undangan makan untuk saya.”. Di malam hari, derma makanan dikumpulkan untuk si sakit. Bhikkhu sakit itu tidak makan. Aturan: "tidak ada kesalahan, waktu layak, makan diluar giliran (tidak makan di tempat pengundang), karena sakit, waktu pemberian derma jubah, waktu pembuatan jubah.. [hal. 365 -366]
    Sang Buddha bersama Ananda mendatangi seorang perumah tangga,..orang-orang memberikan makanan kepada Bhagawan dan Ananda. Ananda menolak makan di tempat itu, karena telah menerima undangan makan ditempat lain, sang buddha: Setelah memberikan (undangan itu ke bhikkhu lainnya), agar menerima makanan ini. Aturan: "Diizinkan, setelah memberikan (undangan makan ke bhikkhu lain), makan makanan di luar giliran (tidak makan ditempat undangan)" [hal. 367]
    Bukan pelanggaran jika pada waktu layak; Ia makan, SETELAH memberikan (undangan makan ke bhikkhu lain); jika ada 2/3 undangan makan sekaligus (VA. 817, 2 atau 3 keluarga mengundangnya, dan ia memasukkan makanan itu ke dalam 1 patta, memakannya di satu tempat) [hal. 368-369]

    Kāṇamātusikkhāpadaṃ/Tentang ibu Kana: Ibu Kana memberikan kue kepada 1 bhikkhu (membawa mangkok/patta), bhikkhu tersebut memberitahukan kepada yang ke-2 (bawa patta), yang ke-2 memberitahukan kepada yang ke-3 (bawa patta); Seorang umat sedang membawa karavan dagang, Seorang Bhikkhu (bawa patta) mendatanganinya, Upasaka ini memberikannya sattu/makanan terbuat dari tepung (barli), bhikkhu tersebut memberitahukan kepada yang ke-2 (bawa Patta), yang ke-2 kepada yang ke-3 (bawa Patta), yang ke-3 kepada yang ke-4 (bawa patta). Aturannya: Jika seorang bhikkhu, setelah mendatangi sebuah keluarga, setelah diundang untuk menerima kue/bubu, boleh menerima sampai sejumlah 2 atau 3 patta penuh (Setelah menerima 2 atau 3 patta, kembali dari sana, kepada bhikkhu lain agar diberitahukan, ‘2/ 3 patta diterima dari tempat itu, janganlah ke sana lagi’, Apabila menerima lebih dari itu, pelanggaran pacittiya. Setelah menerima 2/3 patta, kembali dari sana, harus dibagikan ke para bhikkhu (VA. 820: dari 2/3 patta, 1 bagian untuk dirinya, 1 atau 2 bagian diberikan ke Sangha). Inilah cara yang benar” [hal.369 - 375]

    Paṭhamapavāraṇāsikkhāpadaṃ/setelah cukup makan: Para Bhikkhu menerima undangan makan dari seorang Brahmana, setelah makan mereka menyatakan cukup, beberapanya pergi makan ke tempat lain, beberapa lainnya berpindapata ke tempat lain. Aturan: Bhikkhu manapun, setelah makan, setelah puas dengan makan, apabila makan atau ikut menikmati makanan utama/pendamping (ditempat lainnya), pelanggaran pacittiya. [hal.375 - 376].
    Beberapa bhikkhu pulang ke arama dengan makanan (setelah cukup makan, membawa yang sejauh jangkauan tangannya) untuk para bhikkhu sakit. Para bhikkhu sakit makan sedikit, sisanya dibuang. Aturan: Bhikkhu manapun, setelah cukup makan, apabila makan/ikut menikmati makanan utama/pendamping yang tidak disisakan (oleh bhikkhu sakit atau tidak sakit: makanan itu tidak diizinkan/tidak diterima/tidak terserahkan; tidak dalam jangkauan tangan; tidak disisakan bhikkhu yang belum makan/telah makan, telah bangkit duduk tapi tidak berkata, ‘Ini cukup,’), pelanggaran pacittiya. Bukan pelanggaran jika makan apa yang sisa (dari bhikkhu sakit/tidak sakit: dari yang dibawanya pulang; makanan itu diizinkan/diterima/diserahkan; dalam jangkauan tangan; disisakan bhikkhu yang telah makan/belum bangkit duduk dan berkata ‘Ini cukup,’) [hal. 376 - 382]

    Dutiyapavāraṇāsikkhāpadaṃ/Setelah cukup makan II: 2 bhikkhu bepergian ke Savatthi, Bhikkhu ke-1 berperilaku tidak baik; bhikkhu ke-2 menasehatinya, bhikkhu ke-1 menggerutu padanya. Keduanya tiba dan makan di tempat makanan untuk Sangha yang disiapkan paguyuban di sana, Bhikkhu ke-2, sudah makan, sudah dipuaskan (dengan makanan). Bhikkhu ke-1, setelah mendatangi kerabatnya (mungkin kerabatnya juga anggota paguyuban), membawa makanan derma, menghampiri bhikkhu ke-2: “Makanlah, Awuso.” Bhikkhu ke-2: “Tidak perlu, saya sudah kenyang, Awuso.” Bhikkhu ke-1: “Awuso, makanan ini lezat, makanlah.” Bhikkhu ke-2 karena dipaksa Bhikkhu ke-1 memakannya. Bhikkhu ke-1: “Awuso, Anda berpikir saya harus dinasihati, sedangkan Anda, setelah makan, setelah dipuaskan, makan makanan utama yang tidak disisakan?” Bhikkhu ke-2: “Awuso, bukankah hal ini seharusnya diberitahukan sebelumnya?..seharusnya ditanyakan sebelumnya?” Lalu bhikkhu ke-2 melaporkan kejadian kepada para bhikkhu. Para bhikkhu yang bersahaja... mengajukan protes, “Mengapa seorang bhikkhu (bhikhhu ke-1), menawarkan seorang bhikkhu (ke-2) yang telah makan, yang telah dipuaskan, menawarinya makanan utama yang tidak disisakan?” ...Dilaporkan ke sang Buddha, Bhikkhu ke-1 dikecam. Aturan: Bhikkhu manapun, menawarkan seorang bhikkhu yang telah makan, yang telah dipuaskan (dengan makanan), apabila menawarinya makanan pendamping/utama yang belum disisakan, sambil berkata, “Mari, bhikkhu, makanlah/ikutlah menikmati,’ (Ia) mengetahui (tahu sendiri, atau orang lain atau yang ditawari memberitahukan), hendak mencari kesalahan karena makan, pelanggaran pacittiya. Bukan pelanggaran jika (bhikhu yang menawari) berpikir bahwa yang ditawari, belum dipuaskan, (tidak tahu ternyata) yang ditawari telah dipuaskan. Bhikkhu yang menawari menyebabkan makanan disisakan dan memberikannya, berkata makanlah atau bawa kepada lainnya, atau memberikan pada bhikkhu yang sakit [hal.382-386]

    Vikālabhojanasikkhāpadaṃ/Makan di luar waktu layak: Kelompok 17 bhikkhu diberi derma makanan oleh sekelompok orang, setelahnya diberikan makanan pendamping. Ini dibawa pulang ke arama dan ditawarkan ke kelompok 6 bhikkhu. Kelompok 17 Bhikkhu akui bahwa mereka makan di luar waktu layak. Aturan: Bhikkhu manapun apabila makan/ikut makan makanan pendamping/utama di luar waktu layak, pelanggaran pacittiya [hal.386-388]

    Sannidhikārakasikkhāpadaṃ/makanan yang disimpan: YM Belatthasisa, Upajjhaya bhikkhu Ananda, menetap di hutan, setelah pindapatta, membawa nasi ke arama, mengeringkan dan menyimpannya, saat membutuhkannya, Ia basahi air dan dimakan, setelah beberapa lama, Ia ke dusun untuk mengumpulkan derma makanan. Ketika ditanya para bhikkhu mengapa lama baru ke dusun, YM Belatthasisa menceritakan dan akui bahwa Ia makan makanan yang disimpan. Aturan: Bhikkhu manapun apabila makan/ikut menikmati makanan pendamping/utama yang disimpan, pelanggaran pacittiya. Bukan pelanggaran: Jika menyimpan sementara dan dimakan pada waktu itu, jika menyimpan untuk dimakan saat yāmakālikaṃ (penggal akhir malam/belum fajar meskipun sudah pagi, lawannya yāvakālika: lewat tengah hari sedikit tapi belum batas 2 jari), disimpan selama 7 hari dan memakannya dalam 7 hari, jika ada alasan memakannya selama hidup, jika pelakunya tidak waras atau jika pelakunya adalah yang pertama yang melakukan kesalahan [hal. 388-391]

    Paṇītabhojanasikkhāpadaṃ/Makanan mewah: Kelompok 6 bhikkhu, setelah meminta makanan mewah untuk diri mereka (atthāya viññāpetvā), memakannya. Aturan: Makanan mewah apa saja, ghee, mentega segar, minyak, madu, sari tebu/air gula, ikan, daging, susu, dadih susu—Bhikkhu manapun, yang tidak sakit, yang meminta dan makan makanan mewah ini untuk diri sendiri, pelanggaran pacittiya.” [hal 391-394]

    Dantaponasikkhāpadaṃ/Sikat gigi: seorang bhikkhu, menetap di pekuburan, tidak mau menerima derma dari orang-orang, tapi mengambil makanan yang diletakan untuk yang meninggal di pekuburan, kaki pohon, ambang pintu. Aturan: Bhikkhu manapun apabila makan makanan yang tidak diberikan, kecuali air dan pembersih/tusuk gigi (udakadantapona), pelanggaran pacittiya.” [hal 395 - 398]

  7. naccagītavāditavisūkadassana mālāgandhavilepanadhāraṇamaṇḍanavibhūsanaṭṭhānā paṭiviratā, (meninggalkan menari, menyanyi, bermain musik, melihat tontonan, memakai bunga, wewangian, kosmetik, perhiasan/kalung, berdandan, untuk memperindah diri)

  8. uccāsayanamahāsayanaṃ pahāya uccāsayanamahāsayanā paṭiviratā, (meninggalkan berbaring, duduk yang tinggi/mewah dan besar) [↑ atthasila]
9 Sila (Navaṅguposatha),
Sila ke-1 hingga sila ke-8 sama dengan atthasila/8 sila (uposatha sila) + yang ke-9: "mettāsahagatena cetasā ekaṁ disaṁ pharitvā viharati, tathā dutiyaṁ tathā tatiyaṁ tathā catutthaṁ. Iti uddhamadho tiriyaṁ sabbadhi sabbattatāya sabbāvantaṁ lokaṁ mettāsahagatena cetasā vipulena mahaggatena appamāṇena averena abyāpajjena pharitvā viharati (Pikiran yang disertai abyāpāda/Itikad baik/tidak memusuhi memancar ke 1 arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah, ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada makhluk alam apapun, pikiran yang disertai abyāpāda/mettā memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi)" [AN 9.18].

10 Sila (Dasa Sikkhapada),
sila ke-1 s.d ke-6 sama seperti di atas. Sila ke-7: naccagītavāditavisūkadassana veramani (menahan diri dari menari, menyanyi, bermain musik, pergi melihat tontonan), sila ke-8: mālāgandhavilepanadhāraṇamaṇḍanavibhūsanaṭṭhānā veramani (menahan diri dari memakai bunga, wewangian, kosmetik untuk berhias), sila ke-9: uccāsayanamahāsayanā veramani, (menahan diri dari menggunakan tempat tidur dan tempat duduk tinggi dan besar) dan sila ke-10: Jātarūparajatapaṭiggahaṇā veramaṇī (Menahan diri dari menerima emas, perak dan uang) [KHP 2]. Sila ini biasanya untuk Samanera/ri, namun jika umat awam menghendaki, Ia pun dapat melakukannya.

Bagaimana definisi kesempurnaan sila?
  1. Telah meninggalkan (paṭivirata) perbuatan: menyakiti kehidupan, mengambil yang tidak diberikan, perbuatan indriya dengan cara yang salah, menyatakan yang tidak benar, asupan memabukan landasan bagi kelengahan [Misal SN 55.37].
  2. Ber-moralitas/sila yang dimiliki para mulia, yang: tidak rusak, tidak robek, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji para bijaksana, tidak digenggam, menuntun pada pikiran terpusat [Misal SN 55.1]
Alur kesempurnaan mulai dari: Menahan diri (veramani) → tidak melakukannya (virata) → sungguh-sungguh meninggalkannya (pativirata)/menanggalkan (pahaya) → Berhenti (arati) dan juga mendorong orang lain untuk menahan diri, menyetujui dan memuji tentang sila.

Namun demikian, kemurnian dan kesempurnaan sila, barulah TITIK AWAL dari kondisi-kondisi bermanfaat (ini pun jika dibarengi dengan PANDANGAN BENAR, lihat: SN 47.3) dan tercapainya kesempurnaan sila adalah MASIH JAUH dari padam/nibbana.
    Sang Buddha:
    Bagaimanakah, Udayin/Sakuludāyin (petapa pengembara), adakah loko/alam/keadaan yang sungguh menyenangkan (atthi ekantasukho loko)? Adakah prilaku yang membumi (atthi ākāravatī paṭipadā) untuk mecapai lokassa/alam/keadaan yang sungguh menyenangkan itu (ekantasukhassa lokassa sacchikiriyā)?” (Note: loka = ruang, alam, kondisi/keadaan yang terkait dengan perasaan dari kontak indriya)

    Udayin:
    “Yang Mulia, menurut ajaran para guru kami: ‘Ada loka yang sungguh menyenangkan; ada cara yang membumi untuk mencapai loka yang sungguh menyenangkan itu.’”

    Sang Buddha:
    “bagaimanakah cara yang membumi untuk mencapai kondisi yang sungguh bahagia itu?”

    Udayin:
    “Di sini, Yang Mulia dengan menanggalkan (pahaya) dan meninggalkan (pativirata):

    1. menyakiti makhluk hidup;
    2. mengambil yang tidak diberikan;
    3. berperilaku salah dalam kenikmatan indriya;
    4. menyatakan yang tidak benar;
    5. atau kalau tidak, Ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan.

    Inilah adalah jalan yang membumi untuk mencapai loka yang sungguh bahagia itu”

    (Note: Praktik sila dan syarat kesempurnaannya adalah CARA dan PENGETAHUAN UMUM yang telah ada SEBELUM KEMUNCULAN BUDDHISM dan latihan untuk mencapai keadaan yang sungguh bahagia)

    Sang Buddha:
    pada saat ia meninggalkan dan menanggalkan menyakiti makhluk hidup, apakah dirinya merasakan hanya bahagia atau merasakan bahagia maupun menyakitkan?”

    Udayin:
    “perasaan bahagia dan juga menyakitkan, Yang Mulia.”

    Sang Buddha:
    pada saat ia meninggalkan dan menanggalkan mengambil yang tidak diberikan;.. menjalani beberapa jenis praktik pertapaan, apakah dirinya merasakan hanya bahagia atau merasakan bahagia maupun menyakitkan?”

    Udayin:
    “perasaan bahagia dan juga menyakitkan, Yang Mulia”

    Sang Buddha:
    Apakah pencapaian loka yang sungguh bahagia dapat dicapai dengan jalan yang mencampurkan antara perasaan bahagia dan menyakitkan?”

    Udayin sepakat bahwa itu BUKAN CARA mencapai loka yang sungguh bahagia dan kemudian Ia bertanya: “adakah loka yang sungguh bahagia? Adakah cara membumi untuk mencapai loka yang sungguh bahagia itu?”

    (Note: Walaupun kesempurnaan sila adalah cara terbaik memperbesar peluang terlahir kembali di alam kenikmatan Indriya (Manusia..paranimmitavasavattī loka), namun karena 5 nivarana (hasrat indriya/kamacchanda, memusuhi/byapada, malas-lamban/thina-midha, gelisah-cemas/uddhacca-kukkucca dan keraguan/vicikicha) masih melandanya, Ia belum lepas dari gairah/vītarāgassa, masih penuh ketagihan/sarāgassa dan dapat dilanda perasaan menyakitkan ketika tidak terpenuhinya hasratnya akan suatu hal)

    Sang Buddha:
    ..Di sini, Udāyin, Setelah bebas/lepas dari kenikmatan indriya dan hal yang tak bermanfaat, dengan (pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan (objek) merasakan pīti-sukha, jhāna ke-1 tercapai… dengan meredanya (pemusatan pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan objek, terjadi keheningan di dalam.., jhāna ke-2 tercapai … jhāna ke-3 … ini adalah cara membumi untuk mencapai loka/alam/keadaan yang sungguh bahagia itu.”

    Udayin:
    “Yang Mulia, itu bukan cara membumi untuk mencapai loka yang sungguh bahagia pada titik itu loka yang sungguh bahagia telah dicapainya (sacchikato hissa, bhante, ettāvatā ekantasukho loko hotī)”

    Sang Buddha:
    “Udāyin, pada titik itu loka yang sungguh bahagia belum tercapai; itu hanyalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh bahagia itu.”

    Udayin:
    “Yang Mulia, pada titik manakah alam yang sungguh bahagia itu tercapai?”

    Sang Buddha:
    “Di sini, Udāyin, dengan lenyapnya perasaan menyenangkan, lenyapnya perasaan menyakitkan, meredanya sukacita/bahagia/nyaman - dukacita/pedih/suram sebelumnya, merasakan perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan, ingatannya murni tenang-seimbang/tidak terlibat, jhāna ke-4 tercapai, Ia berdiam bersama para dewa yang telah muncul dalam loka yang sungguh bahagia, berbicara dan berbincang dengan mereka. Pada titik ini loka yang sungguh bahagia telah tercapai.”

    Udayin:
    “Yang Mulia, tentu adalah demi mencapai loka yang sungguh bahagia itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.”

    (Note: Sebelum Buddhisme ada, pencapaian jhāna dianggap sebagai Nibbana)

    Sang Buddha:
    “Bukan demi mencapai loka yang sungguh bahagia itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu. Ada kondisi-kondisi lain, Udāyin, yang lebih tinggi dan lebih mulia [daripada itu] dan adalah demi mencapai itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu”..[MN 79]
Namun demikian, kemurnian sila dan samādhi memang sangat dianjurkan sang Buddha
    “Wahai para bhikkhu, janganlah takut melakukan perbuatan yang bermanfaat. ‘Perbuatan yang bermanfaat’ merupakan ungkapan yang menunjukkan kebahagiaan, apa yang pantas dilakukan, yang diinginkan, diharapkan, berharga, dan menyenangkan.”

    “Karena telah kuketahui dengan pasti, wahai para bhikkhu, bahwa sudah lama aku mengalami buah-buah yang diinginkan, diharapkan, berharga, dan menyenangkan, karena seringnya melakukan perbuatan yang bermanfaat.”

    “Setelah selama 7 tahun mengembangkan pikiran yang penuh cinta-kasih, selama 7 kalpa yang menyusut dan mengembang, aku tidak pernah kembali ke alam ini. Bilamana kalpa menyusut, aku mencapai alam brahma yang bercahaya gilang-gemilang. Ketika kalpa mengembang, aku muncul di alam brahma yang kosong. Di sana aku pernah menjadi Brahma, Brahma Agung [mahābrahmā], Pemenang Yang Tak Terkalahkan, Yang Maha Tahu, Yang Maha Kuasa.”

    “36 x aku menjadi Sakka, raja para dewa. Dan beratus-ratus kali aku lahir sebagai Penguasa Pemutar-Roda yang berbudi, raja keluhuran, penakluk 4 penjuru dunia [cakkavattī dhammiko dhammarājā], yang mempertahankan stabilitas di negeri itu, pemilik 7 perhiasan. Maka apa gunanya berbicara perihal menjadi raja setempat saja?”

    “Wahai para bhikkhu, aku pernah berpikir: Tindakanku yang bagaimanakah yang memberikan buah ini? Tindakan manakah yang masak sehingga aku sekarang dapat memiliki pencapaian dan kekuatan yang sedemikian besar ini?”

    Dan kemudian muncul dalam diriku: “Adalah karena pahala 3 jenis tindakanku, matangnya 3 jenis perbuatanku inilah yang membuat aku sekarang memiliki pencapaian dan kekuatan yang sedemikian besar: perbuatan memberi [dānassa], menguasai diri [damassa], dan menahan diri [saññamassā].”

    Orang harus berlatih melakukan perbuatan yang bermanfaat Yang menghasilkan kebahagiaan yang berlangsung lama:
    Dermawan [Dānañca], hidup seimbang [samacariyañca], Mengembangkan pikiran yang disertai tanpa memusuhi [Mettācittañca bhāvaye].

    Dengan mengembangkan 3 perbuatan ini, Yaitu perbuatan yang membuahkan kebahagiaan, Orang bijaksana terlahir kembali dalam kebahagiaan, Dalam alam bahagia yang tidak terganggu.
    [Itivuttaka 22]
Untuk mencapai alam Brahma, pemurnian sila haruslah dikembangkan hingga pikiran bebas dari hasrat indriya, permusuhan, keinginan mencelakai. Selain itu, alam Brahma dapat juga dicapai melalui ingatan terkait SILANUSATI/ingatan terkait praktik sila [↓]

Apakah keuntungan terlahir menjadi deva/Brahma?
  1. Terlahir kembali secara SPONTAN, mendapatkan kembali ingatannya, tidak hilang waktu belajar ulang, misal AN 4.191 menyatakan tentang para dewa di sana atau seorang Bhikkhu tertentu yang punya kekuatan mental yang telah mencapai penguasaan pikiran, atau deva muda tertentu atau yang terlahir spontan, membimbing/mengajarkan dhamma di sana
  2. Terdapat banyak Deva/Brahma yang telah mencapai kesucian, dapat belajar dari mereka (contoh Brahma/Dewa yang mengajarkan Dhamma di alam Dewa, lihat di DN 18, 19, 21)
Umur kehidupan Brahma sangatlah panjang, kita ambil contoh misalnya Brahma terendah, yaitu Brahmapārisajjā yang berumur 1/3 Kappa [Vibhanga 18] dan dari hitungan sebelumnya, lama 1 Kappa = 5.4399 x 1025 tahun, maka BERAPA KALIKAH seorang harus terlahir konstan bersambungan di alam deva KAMALOKA tertentu AGAR MENYAMAI lama 1 x umur Brahmapārisajjā?

Alam DevaUmur DevaJumlah Lahir Konstan Berulang
Catumaharajika9 x 106 tahun6.04433 x 1018 x
Paranimmita-vasavatti9.216 x 109 tahun5.90267 x 1015 x

Lihat! betapa sangat banyak dan lama, bukan?! dan mereka yang BELUM mencapai kesucian, ketika wafat di alam Deva/Brahma, TETAP BERESIKO jatuh ke ALAM BAWAHNYA bahkan neraka. [↑]


ATTHA LOKA-DHAMMA (8 Kondisi Duniawi)

Ada 8 kondisi duniawi yang silih berganti di dunia, dan dunia silih berganti dengan 8 kondisi duniawi [aṭṭha lokadhammā lokaṃ anuparivattanti, loko ca ime aṭṭha lokadhamme anuparivattati]:

Lābha - alābha (untung – rugi)
yasa - ayasa (terkenal/sukses – gagal/terpuruk/kehinaan)
nindā - pasaṃsā (celaan – pujian)
sukha - dukkha (menyenangkan – menyakitkan)

Keuntungan menguasai pikirannya, kerugian menguasai pikirannya, kemasyhuran menguasai pikirannya, kehinaan mengusai pikirannya, celaan menguasai pikirannya, pujian menguasai pikirannya, kenikmatan menguasai pikirannya dan kesakitan menguasai pikirannya. Ia tertarik pada keuntungan dan menolak kerugian. Ia tertarik pada kemasyhuran dan menolak kehinaan. Ia tertarik pada pujian dan menolak celaan. Ia tertarik pada kenikmatan dan menolak kesakitan. Demikianlah dengan terlibat dalam ketertarikan dan penolakan, ia tidak terbebas dari kelahiran, dari penuaan dan kematian, dari mengalami masalah - ratap tangis - depresi - pedih - putus asa; ia tidak terbebas dari penderitaan [AN 8.5, 8.6, DN 33, 34]
    Keuntungan dan kerugian, kehinaan dan kemasyhuran,
    celaan dan pujian, kenikmatan dan kesakitan:
    ini tidak kekal dialami manusia
    bersifat sementara dan tunduk pada perubahan

    Seorang bijak yang telah mengetahui ingat akan ini
    melihat ini tunduk pada perubahan.
    Hal menyenangkan tak menggairahkan pikirannya
    hal tak menyenangkan tak mmbuatnya mundur

    Ia telah halau ketertarikan dan penolakan;
    hal-hal itu telah pergi dan tak ada lagi.
    Setelah mengetahui keadaan tanpa noda dan dukacita,
    mengetahui benar bahwa penjelmaan telah dilampauinya
    . [AN 8.5-6]
Penolakan berlebihan dapat mengakibatkan kemalasan, padahal itupun berbahaya:
    ‘Ada 6 bahaya yang terdapat dalam kemalasan: mengeluh: “Terlalu dingin” ia tidak bekerja; “Terlalu panas” ia tidak bekerja; “Terlalu pagi” ia tidak bekerja; “Terlalu larut” ia tidak bekerja; “Aku terlalu lapar” ia tidak bekerja; “Aku terlalu kenyang” ia tidak bekerja’ “Terlalu dingin! Terlalu panas! Terlalu larut!” mereka mengeluh, dan meninggalkan pekerjaan mereka, hingga setiap kesempatan untuk melakukan kebajikan terlepaskan. Tetapi ia yang menganggap dingin dan panas tidak berarti, bertindak sebagai lelaki yang melaksanakan tugas-tugasnya, kegembiraannya takkan berkurang. [DN 31]
Mereka yang telah mengembangkan latihan menegakkan ingatan terkait jasmani mengamati jasmani (kāye kāyagatāsati), akan:
  1. seperti halnya tanah, di mana mereka membuang benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun tanah ini tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, aku (evamevaṃ kho ahaṃ) berdiam dalam pikiran seperti tanah, melimpah, luhur, tak berbatas, mudah menerima, tanpa kehendak buruk/memusuhi/menolak karena benci (pathavīsamena cetasā viharāmi vipulena mahaggatena appamāṇena averena abyāpajjena).
  2. Seperti halnya air, di mana mereka mencuci benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun air itu itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, aku berdiam dalam pikiran seperti air, melimpah, luhur, tak berbatas,...
  3. Seperti halnya api yang membakar benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun api itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, aku berdiam dalam pikiran seperti api, melimpah, luhur, tak berbatas,..
  4. Seperti halnya udara yang meniup benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun udara itu itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, aku berdiam dalam pikiran seperti udara, melimpah, luhur, tak berbatas,..
  5. Seperti halnya sebuah sikat yang menghapuskan benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun sikat itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, aku berdiam dalam pikiran seperti sebuah sikat, melimpah, luhur, tak berbatas..
  6. Seperti halnya seorang anak laki-laki atau anak perempuan dari kasta terbuang, yang berpakaian dari kain bertambalan dan memegang kendi, memasuki sebuah desa atau pemukiman dengan pikiran rendah hati; demikian pula, aku berdiam dalam pikiran seperti anak laki-laki dari kasta buangan itu, melimpah, luhur, tak berbatas,..
  7. Seperti halnya seekor sapi jantan dengan tanduk terpotong, yang lembut, yang dijinakkan dengan baik dan dilatih dengan baik, berkeliaran dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan tanpa melukai siapa pun dengan kaki atau tanduknya; demikian pula, aku berdiam dalam pikiran bagaikan pikiran sapi jantan yang tanduknya terpotong itu, melimpah, luhur, tak berbatas,..
  8. Seperti halnya seorang perempuan atau lelaki - muda, berpenampilan muda, dan menyukai perhiasan, dengan kepala dicuci – akan mundur, muak, dan jijik jika bangkai ular, anjing, atau manusia, dikalungkan di lehernya; demikian pula, aku mundur, muak, dan jijik oleh tubuh busuk ini
  9. Seperti halnya seseorang yang membawa mangkuk retak dan berlubang berisi cairan lemak yang tumpah dan menetes; demikian pula, aku membawa tubuh retak dan berlubang yang tumpah dan menetes [AN 9.11]
Mereka dengan mental seimbang tidaklah goyah, tidaklah bergetar dalam pujian, celaan, untung, rugi, suka, duka, seteguh batu karang. 'mereka telah meninggalkan dan menanggalkan keinginan terhadap apapun. Tak lagi menghiraukan pikiran-pikiran untuk memiliki. Tak disentuh kesakitan ataupun kebahagiaan, para Bijak tak menunjukkan kegairahan atau keputusan-asaan.

'Dengan bebas dari ketakutan dan kegelisahan, ia mampu mengenali kerapuhan dari sesuatu yang tak kekal. mental yang tenang … maju terus, baik saat yang menguntungkan maupun merugikan, pada keteguhan langkah sendiri bagaikan lonceng yang berdetak terus di saat terjadi badai.' ["The Buddha His Life and Teaching", Piyadassi Thera, R.L Stevenson, Ch.13] []
---------------

Sikap Buddhis: DI KOMUNITAS Yang GANAS dan Ketika Buddha, Dhamma dan Sangha DIHINA VS DIPUJI

Buddhis yang baik ketika BERADA DALAM KOMUNITAS yang GANAS adalah tidak memuji kejahatan yang telah terjadi, hanya melihat kebaikan dari tidak terjadinya kejahatan lain:
    [..]Puṇṇa, di negeri manakah engkau akan menetap?”

    “Yang Mulia, .. aku akan menetap di negeri Sunāparanta.”

    “Puṇṇa, orang-orang Sunāparanta ganas dan kasar. Jika mereka mencaci dan mengancammu, apa yang akan menjadi ingatanmu? / bagaimana kau akan menyikapinya? (kinti bhavissatī?)”

    “Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta mencaci dan mengancamku, maka yang akan menjadi ingatanku / aku akan bersikap: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tinju.’ Demikian aku akan menyikapinya, Sang Bhagavā..”

    “Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tinju, bagaimana kau akan menyikapinya?”

    “Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tinju, maka aku akan bersikap: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan bongkahan tanah.’ Demikian aku akan menyikapinya, Sang Bhagavā..”

    “Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan bongkahan tanah, bagaimana kau akan menyikapinya?”

    “Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan bongkahan tanah, maka aku akan bersikap: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tongkat kayu.’ Demikian aku akan menyikapinya, Sang Bhagavā..”

    “Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tongkat kayu, bagaimana kau akan menyikapinya?”

    “Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tongkat kayu, maka aku akan bersikap: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak menusukku dengan pisau.’ Demikian aku akan menyikapinya, Sang Bhagavā..”

    “Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menusukmu dengan pisau, bagaimana kau akan menyikapinya?”

    “Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta menusukku dengan pisau, maka aku akan bersikap: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak membunuhku dengan pisau tajam.’ Demikian aku akan menyikapinya, Sang Bhagavā..”

    “Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta akan membunuhmu dengan pisau tajam, bagaimana kau akan menyikapinya?”

    “Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta akan membunuhku dengan pisau tajam, maka aku akan bersikap: ‘Ada para siswa Sang Bhagavā yang karena merasa tidak tertarik, segan, menghindari jasmani dan kehidupan, telah berharap agar dapat terbunuh. Tetapi aku telah mendapatkan pembunuh ini bahkan tanpa mengharapkannya.’ Demikian aku akan menyikapinya, Sang Bhagavā..”

    “Bagus, bagus, Puṇṇa! Dengan memiliki pengendalian diri dan kedamaian demikian, Kau akan mampu bertahan di negeri Sunāparanta. Sekarang, Puṇṇa, adalah waktunya kau melakukan apa yang perlu kau lakukan.” [..] [MN 145, SN 35.88]
Sikap Buddhis yang baik ketika Buddha, Dhamma dan Sangha DIHINA atau DIPUJI
    Jika seseorang menghina: Buddha, Dhamma dan/atau Sangha, maka JANGANLAH engkau: marah, tersinggung, atau pikiran tidak senang karenanya. Karena ketika seseorang menghina: Buddha, Dhamma dan/atau Sangha, engkau menjadi marah atau menjadi tidak senang

    1. Itu hanya akan menjadi sandungan bagimu
    2. Dapatkah engkau menjadi tahu benar atau salah yang dikatakannya? [Para bhikkhu:] Tidak, Guru.

    Ketika seseorang menghina: Buddha, Dhamma dan/atau Sangha, engkau seharusnya MENJELASKAN/MENGURAIKAN (nibbeṭhetabba) yang tidak benar sebagai tidak benar: “Itu tidak benar (karena alasan tersebut), itu salah (karena alasan tersebut), itu bukan jalan kami, itu tidak ditemukan pada kami.”

    Jika seseorang memuji: Buddha, Dhamma, atau Sangha, maka JANGANLAH engkau: senang, bersukacita, atau pikiran melambung karenanya. Karena ketika seseorang memuji: Buddha, Dhamma dan/atau Sangha, engkau menjadi senang atau menjadi melambung, itu hanya akan menjadi sandungan bagimu. Ketika seseorang memuji: Buddha, Dhamma dan/atau Sangha, engkau seharusnya MENYATAKAN (paṭijānitabba) yang benar sebagai benar: “Itu benar, itu tepat, itu jalan kami, itu ada pada kami.” [DN 1] []
---------------

Umur Panjang, Keindahan, Kekayaan, Kemasyhuran, Pengaruh, Surga dan Kesucian BUKAN karena DOA dan Menjadi Umat Awam BERBUDI

Saat membutuhkan atau disituasi sulit, banyak orang berdoa (KBBI: permohonan, harapan, permintaan, pujian) pada kekuatan tertentu berharap dibantu yang hasilnya kadang: ada, tidak, atau di antara ke-2nya atau tidak diantara ke-2nya.

Sang Buddha TIDAK mengajarkan memohon/meminta dengan doa (āyācana), aspirasi (patthanā), puja-puji (thomana) serta ritual kurban pada sosok tertentu, namun mengajarkan untuk menjadikan diri sendiri sebagai pelindung dengan melatih prilaku moralitas tertentu:
    Sang Buddha kepada Anathapindika: "Perumah tangga, ada 5 hal yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini, yaitu umur panjang (āyu), keelokan (vaṇṇo), senang/bahagia (sukha), kemasyuran (yasa) dan alam Deva (saggā).

    Perumah tangga, Ke-5 hal itu, aku katakan, tidak dapat diperoleh melalui doa (āyācanahetu) atau aspirasi/bersumpah kaul (patthanāhetu). Apabila seseorang dapat memperoleh ke-5 hal itu dengan doa atau kaul, maka siapakah yang akan kekurangan sesuatu?

    Perumah tangga, siswa mulia yang ingin berumur panjang, tidak berdoa demi umur panjang atau bersenang di dalamnya atau merindukannya (vā pihetuṃ). Ia harus mempraktikkan jalan yang mengarah pada umur panjang (pakteknya lihat AN 4.61: Saddhā/keyakinan, sīla/moralitas, cāga/dana/kemurahan hati, paññā/kebijaksanaan). Dengan mempraktekkan jalan yang mengarah pada umur panjang, akan mengarah pada diperolehnya umur panjang surgawi maupun manusiawi.

    Perumah tangga, siswa mulia yang ingin keelokan..kebahagiaan..kemasyuran..alam Deva, tidak berdoa demi keelokan..senang/bahagia..kemasyuran..alam Deva atau bersenang didalamnya atau merindukannya. Ia harus mempraktikkan jalan yang mengarah pada keelokan..senang/bahagia..kemasyuran..alam Deva, akan mengarah pada diperolehnya keelokan..senang/bahagia..kemasyuran..alam Deva.." [AN 5.43]
Juga:
    Ketika Sang Buddha menetap di Nalanda di Kebun Mangga Pavarika, kepala kampung putera Asibandhaka berkata pada Sang Buddha bahwa para brahmana dari Barat (pacchā bhūmakā), yang membawa kendi, memakai kalung dari lumut, menyucikan diri dengan air, pemuja api, ketika seorang telah wafat, dibangkitkan namanya, agar diketahui namanya, diarahkan namanya ke alam Deva. Tapi bagaimana dengan sang bhagava arahat SammasamBuddha, dapatkah memastikan yang di seluruh dunia ini bersamaan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir bahagia, alam surga?

    Sang Buddha: Andaikan, kepala desa, seseorang melempar batu besar ke danau yang dalam; kemudian sekumpulan besar orang berkumpul bersama melakukan doa (āyāceyya) puja-puji (thomeyya) mencakup kedua tangan bergerak melingkar (pañjaliko anu­parisak­keyya): "Naiklah batu besar baik! Mengambanglah batu besar baik! mengambanglah ke tepian batu besar baik!". Mungkinkah karena didasari doa, puja-puji, mencakup kedua tangan bergerak melingkar (āyācanahetu vā thomanahetu vā pañjalikā anu­parisak­kana­hetu) menyebabkan batu besar itu naik, mengambang, mengambang ke tepian?

    Asibandhaka: Tidak mungkin, Guru.

    Sang Buddha: Demikian pula mereka yang menyakiti kehidupan, mengambil yang tidak diberikan, berprilaku salah dalam kenikmatan indriya, menyatakan tidak benar; memecah-belah, berbicara kasar, berbicara gosip/tak bermanfaat, merindukan, berpikiran buruk dan berpandangan salah, seberapapun banyaknya orang berkumpul bersama melakukan doa, puja-puji, mencakup kedua tangan bergerak melingkar: "orang ini, bersamaan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahirlah bahagia, alam surga". Orang tersebut, bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian di keadaan merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka.

    Andaikan, kepala desa, seseorang menenggelamkan seguci ghee/mentega atau minyak ke danau yang dalam, lalu pecah, serpihan yang pecah akan tenggelam, sementara ghee atau minyaknya akan naik; kemudian sekumpulan besar orang berkumpul bersama melakukan doa, puja-puji mencakup kedua tangan bergerak melingkar: "ke bawahlah, mentega baik! turunlah mentega baik! tenggelamlah, mentega dan minyak baik!". Mungkinkah karena didasari doa, puja-puji, mencakup kedua tangan bergerak melingkar menyebabkan mentega atau minyak itu ke bawah, turun dan tenggelam?

    Asibandhaka: Tidak mungkin, Guru.

    Sang Buddha: Demikian pula mereka yang meninggalkan (paṭivirato): menyakiti kehidupan, mengambil yang tidak diberikan, berprilaku salah dalam kenikmatan indriya, menyatakan tidak benar; memecah-belah, berbicara kasar, berbicara gosip/tak bermanfaat, merindukan, berpikiran buruk dan berpandangan salah, seberapapun banyaknya orang berkumpul bersama melakukan doa, puja-puji, mencakup kedua tangan bergerak melingkar: "orang ini, bersamaan hancurnya tubuh setelah kematian berada lah di keadaan merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka". Orang tersebut, bersamaan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir bahagia, alam surga... [SN 42.6]
Juga,
BUKAN dengan memohon pada kekuatan tertentu dan/atau dengan ritual tertentu, kesucian diperoleh NAMUN melalui pandangan, kehendak, perkataan, perbuatan, penghidupan, upaya, ingatan dan pemusatan pikiran yang benar:
    Punnika Theri (anak perempuan dari budak perempuan di rumah Ananthapindika dan sebelum sutta ini, Ia telah Sotapanna): Aku seorang pengambil air. di cuaca dingin pun, Aku selalu ke air; takut dihukum para nyonya, takut terusik kemarahan dan kecaman. Brāhmaṇa, yang kau takutkan itu apa, sampai membuatmu selalu ke air, hingga tubuh gemetar kedinginan"

    Brahmin Sotthiya: Ketika bertanya, Nona Punnika pun tahu aku sedang menjalani ritual (vata), melakukan perbuatan bermanfaat (kusalaṃ kammaṃ) agar bebas (rundhantaṃ) dari perbuatan buruk yang pernah kulakukan, Apakah itu muda atau tua yang berbuat jahat, dengan pembersihan air, terbebaslah Ia dari perbuatan buruknya

    Punnika: "Si dungu tak berpengetahuan mana yang memberitahumu? Jika pembersihan air membebaskan perbuatan buruk, tentunya semua menuju surga, segala kodok, kura-kura, buaya, pemangsanya dan para penghuni air lainnya, para jagal domba dan babi, nelayan, tukang tangkap binatang, pencuri, algojo dan pelaku kejahatan lainnya, dengan pembersihan air, terbebas dari perbuatan buruknya. Jika sungai ini dapat menghanyutkan perbuatan buruk masa lampau, tentunya juga akan menghanyutkan perbuatan bajik. oleh karenanya kau pun tidak terkecuali. Brahmin, apapun itu yang kau takutkan, yang membuatmu selalu ke air, jangan kau lakukan, jangan biarkan dingin merusak kulitmu"

    Brahmin Sotthiya: "Aku berada di jalan salah, engkau telah menuntunku ke Jalan mulia. Nona, ku persembahkan kain penyucian ini untukmu"

    Punnika: "Simpanlah, Aku tidak menginginkan kain itu. Jika kau takut dengan penderitaan, tidak suka dengan penderitaaan, janganlah berbuat buruk, baik itu terbuka maupun rahasia. Jika kau berbuat buruk atau tengah berbuat keburukan, engkau tidak akan dapat bebas dari penderitaan, biarpun kau terbang melarikan diri. Jika engkau takut dengan penderitaan, tidak suka dengan penderitaan, pergi menuju Buddha, ajarannya dan sangha, latih moralitas/sila yang menuntun pada pikiran terpusat, ini menguntungkan bagimu..." [Thig 12.1]
Ritual pembersihan, persembahan korban, memohon kepada sosok tertentu dengan doa dan puja-pujinya adalah kesia-siaan, merupakan belenggu ke-3 (Silabbataparamasa/salah memahami atau melekati praktek/aturan) dari 10 belenggu yang harus dihancurkan dalam meraih kesucian atau agar terhindar jatuh ke alam bawah.

Menjadi Umat Awam BERBUDI
Pada suatu pagi, Sigala/Singala/Sigalaka, seorang perumah tangga Rajagaha, demi memenuhi pesan mendiang ayah, Ia dengan rambut dan pakaian basah, merentangkan lengan lurus dengan tangan tercakup (pañjaliko), melakukan penghormatan (namassati) ke berbagai arah (puthudisā): Timur (puratthima), Selatan (dakkhiṇa), Barat (pacchima), Utara (uttara), Bawah (heṭṭhima), Atas (uparima). Di pagi yang sama, Sang Buddha, yang saat itu tinggal di taman suaka Tupai di Hutan Bambu, dengan jubah dan membawa mangkuk (nivāsetvā pattacīvaramādāya), masuk Rājagaha untuk menerima dana makanan (rājagahaṁ piṇḍāya pāvisi). Beliau melihat Sigala (addasā kho bhagavā siṅgālakaṁ) memberikan penghormatan ke berbagai arah dan menanyakan mengapa melakukan hal tersebut, setelah mendengar alasan Sigala, Beliau menyampaikan bahwa yang dilakukannya bukan praktik kaum mulia (ariyassa vinaye) dalam menghormati 6 arah (cha disā namassitabbā)
    Note:
    Pemujaan ke berbagai arah merujuk pada Deva penguasa arah: "..setelah lahirnya Deva, lahirlah penjuru arah.." (RV 10.72.3), "..penjuru arah dari telinga Purusa.." (RV 10.90.14) dan "..penjuru arah adalah tangannya, KA.." (RV 10.121.4). Beberapa Deva penjuru arah, misal: "Datang, Nāsatyā, dari Barat, dari Timur, Aśvin, dari Selatan, dari Utara, dari penjuru arah, datang dengan kekayaan yang bermanfaat bagi 5 kelas manusia.." (RV 7.72.5). Namun, terdapat variasi nama para Deva penguasa arah di Veda, Brahmana, Aranyaka, Upanisad dan Sutra. [The Gods of the Directions in Ancient India: Origin and Early Development in Art and Literature (Until c. 1000 A.D.), Corinna Wessels-Mevissen]. Rhys Davids: "arah tersebut representatif dari: Brahma, Prajapati, Indra, Soma dan Isana" [Dialogues of the Buddha, Vol 3, hal.169]. DN 13 memuat nama 8 Deva, yang dikenal masa itu: "Kami menyerukan Indra, Soma, Varuna, Īsāna, Pajāpati, Brahma, Mahiddhi, Yama" (indamavhayāma, soma.., varuṇa.., īsāna.., pajāpati.., brahma.., mahiddhi.., yamamavhayāmā’ti)".

    Buddhaghosa dalam komentarnya: Orang tua Sigāla, bukan saja pengikut awam yang sangat berkeyakinan namun juga sotapanna. Mereka tidak dapat mengajak Sigāla menemani mereka mendengarkan Dharma. Sigāla menyatakan Ia tidak akan berurusan dengan para petapa karena memberi hormat pada mereka akan membuat punggungnya sakit, lututnya kaku, pakaiannya menjadi kotor karena harus duduk di tanah dan setelah mengetahui pertapa, harus mengundang dan memberikan sumbangan, sehingga akan merugikan diri sendiri. Sang ayah, di menjelang wafat menggunakan caranya, bahwa jika putra umat awam melakukan pemujaan arah (disā namassana), Sang Buddha dan siswanya pasti akan memperhatikan dan mengajarinya cara yang benar. Karena keinginan terakhir sang ayah, yang harus dihormati, anak itupun menurutinya.

    Komentar ini tidak selaras Apadana no.34:

      ..Putraku bernama Sigalaka (Putto siṅgālako nāma), bergembira di jalan salah (mamāsi vipathe rato), tergelincir di rimba pandangan (Diṭṭhigahanapakkhando), bersemangat dalam memuja arah (disāpūjanatapparo).
      memberi penghormatan ke berbagai arah (nānādisā namassantaṁ), saat memasuki kota untuk mengumpulkan dana makan (piṇḍāya nagaraṁ vajaṁ), melihatnya, sang buddha menyapanya (taṁ disvā ovadī buddho), Sang pembimbing, berdiri dijalan (magge ṭhatvā vināyako
      Ketika Ia menyampaikan Dhamma (Tassa desayato dhammaṁ), menyampaikan kegembiraannya, mereka (panādo vimhayo ahu), 2 koti pria dan wanita (Dvekoṭinaranārīnaṁ), mendapat wawasan ajaran (dhammābhisamayo ahu).
      Aku telah ada dikerumunan (Tadāhaṁ parisaṁ gantvā), mendengarkan kotbah sang Sugata (sutvā sugatabhāsitaṁ), memperoleh buah pemasuk arus (sotāpattiphalaṁ pattā), aku menempuh kehidupan tanpa rumah (pabbajiṁ anagāriyaṁ)..[Ap 34]

    Cara Sang Buddha dan Para BhikkhuNya pindapata:
    "..di pagi hari pergi ke desa..Setelah sampai di desa, tidak bergegas dari satu rumah ke rumah lain. Dan ketika mengumpulkan makanan, tidak membicarakan atau memberikan tanda apa pun ... berkeliling dengan mangkuk di tangan. Walaupun tidak bisu, namun bagaikan bisu. menerima pemberian, walau amat sedikit, dan pemberian dari orang kecil, tidak merendahkan serta tanpa keangkuhan.." [SNP 3.11/Nalaka Sutta]
Sigala menyampaikan keingintahuannya tentang praktik kaum mulia dan Sang Buddhapun menyampaikan DhammaNya:

Seorang murid mulia (ariyasāvakassa) setelah meninggalkan 4 perbuatan kotor (cattāro kammakilesā pahīnā) , tidak membuat 4 landasan perbuatan buruk (catūhi ca ṭhānehi pāpakammaṁ na karoti), tidak menuju 6 cara menghamburkan kekayaan (cha ca bhogānaṁ apāyamukhāni na sevati). Dengan tersingkirkannya 14 perbuatan buruk (cuddasa pāpakāpagato), Ia melingkupi 6 arah (chaddisāpaṭicchādī), Ia yang menjalankan demikian memenangkan dua alam (ubholokavijayāya paṭipanno hoti), bahagia di alam ini dan alam berikut, saat jasmani hancur, setelah kematian, menuju alam bahagia, alam surga
  1. 4 perbuatan kotor:
    menyakiti kehidupan, mengambil yang tidak diberikan, menikmati Indriya dengan cara yang salah (kāmesumicchācāro), menyatakan yang tidak benar.

    Kemudian Sang Buddha melanjutkan:

    "Menyakiti kehidupan, mengambil yang tidak diberikan, menyatakan yang tidak benar, terlibat bersama istri orang lain (Paradāragamanañceva), dicela para bijak"

  2. 4 landasan perbuatan buruk adalah karena:
    berhasrat (chanda agati gacchanto pāpakammaṃ), tidak suka/benci (dosa..), keliru tahu/kebingungan (moha..), dan/atau takut (bhaya..). Para siswa mulia tidak melekat, benci, keliru tahu dan takut, maka tidak melakukan perbuatan buruk.

    Kemudian Sang Buddha melanjutkan:

    Siapa yang menuju melekat, benci, keliru tahu, takut; nama baik dan kemashyurannya memudar, bagai pudarnya bulan menuju bulan baru. Siapa tidak menuju melekat, benci, keliru tahu, takut; nama baik dan kemashyurannya meningkat, bagai menerangnya bulan menuju purnama"

  3. 6 cara menghamburkan kekayaan:
    (1) menggemari asupan memabukan landasan bagi kelengahan (surā­meraya­maj­jappa­mādaṭ­ṭhāna anuyogo), terdapat 6 bahaya (ādīnavā): menghabiskan kekayaan yang ada sekarang, menuju pertengkaran, rentan sakit, kehilangan reputasi, menceritakan rahasia/aib buruk, melemahkan kebijaksanaan (paññāya dub­balika­raṇīt­veva);

    (2) gemar dijalanan bukan pada waktunya (vikālavisikhācariyā) terdapat 6 bahaya: diri sendiri, anak-istri dan harta menjadi tidak terjaga dan tidak terlindunginya, dapat dituduh tindak kejahatan, menjadi korban laporan palsu/desas desus, menuju banyak penderitaan;

    (3) gemar tempat hiburan (samaj­jā­bhi­cara­ṇaṃ), terdapat 6 bahaya (akibat memikirkan terus) di mana ada: tarian, nyanyian, musik, sandiwara, ramai tepukan tangan, ramai tambur/genderang;

    (4) gemar berjudi (jūta), terdapat 6 bahaya: menang dimusuhi, kalah meratap, harta yang ada sekarang habis, ucapan tidak dianggap serius dalam pertemuan (sabhāgatassa vacanaṃ na rūhati), diremehkan teman (mittāmaccānaṃ paribhūto hoti), tidak diinginkan menjadi mantu: "penjudi tidak dapat menyokong isteri";

    (5) gemar bergaul dengan teman jahat (pāpa­mitta), terdapat 6 bahaya, berteman dengan: orang licik/curang (dhutta), pecandu (soṇḍa), peminum (pipāsā), penipu (nekatika), penghasut (vañcanika), penggganggu/pembuat onar/pembully (sāhasika);

    (6) pemalas (ālasya), terdapat 6 bahaya (mengeluh terus): 'Terlalu dingin' (atisītanti) tidak bekerja (kammaṃ na karoti); 'Terlalu panas' (atiuṇhanti) tidak bekerja; 'Terlalu pagi/awal' (atisāyanti) tidak bekerja; 'Terlalu siang/terlambat' (atipātoti) tidak bekerja; 'Aku terlalu lapar' (atichātosmīti) tidak bekerja; 'Aku terlalu kenyang' (atidhātosmīti) tidak bekerja; terlalu banyak yang harus dikerjakan, menjadi tidak dikerjakan (tassa evaṃ kic­cāpa­desa­bahulassa viharato); harta baru tidak diperoleh harta yang ada menjadi habis.

    Kemudian sang Buddha melanjutkan:

    Ada yang disebut teman minum (hoti pānasakhā nāma), ada pula "teman terkasih, tersayang" (hoti sammiyasammiyo), tapi disaat sulit Ia yang tetap berada dekat (yo ca atthesu jātesu sahāyo), Ia itulah teman (hoti so sakhā)

    Tiduran hingga siang (ussūra-seyyā), terlibat dengan istri orang (paradārasevanā), cenderung memusuhi, tidak menghargai kebaikan (verappasavo ca anatthatā ca), bergaul dengan teman buruk, pelit (pāpā ca mittā sukadariyatā), 6 orang ini merugikan (dhaṁsayanti).

    Bergaul dengan teman buruk, bersahabat dengan keburukan (pāpamitto pāpasakho), berkelakuan buruk, berkebiasaan buruk (pāpa­ācāra­gocaro), merugikan dirinya di alam ini maupun alam berikut (asmā lokā paramhā ca ubhayā dhaṃsate naro).

    Bermain judi-perempuan mabuk, menari-menyanyi (akkhitthiyo vāruṇī naccagītaṃ), bermalasan/tiduran seharian, keluyuran tak kenal waktu (divā soppaṃ pāricariyā akāle), bergaul dengan teman buruk, pelit, 6 orang ini merugikan.

    Berjudi, mabuk (akkhehi dibbanti suraṃ pivanti), hidup bersama istri orang (yantitthiyo pāṇasamā paresaṃ), bergaul dengan yang dangkal bukan dengan yang mulia (nihīnasevī na ca vuddhasevī), memudar bagai bulan ke bulan baru.

    Pemabuk, bangkrut, melarat (Yo vāruṇī addhano akiñcano), tetap haus walaupun terus minum (Pipāso pivaṁ papāgato), terbenam dalam hutang bagai tenggalam di air (udakamiva iṇaṁ vigāhati), dengan cepat mempermalukan keluarga (Akulaṁ kāhiti khippamattano).

    Bermalasan di siang hari (Na divā soppasīlena) bersemangat di malam hari (rattimuṭṭhānadessinā), selalu ketagihan untuk mabuk (Niccaṁ mattena soṇḍena), Rumah tangga tidak dapat dipertahankan (sakkā āvasituṁ gharaṁ).

    “Terlalu dingin! Terlalu panas! Terlalu larut!” (atisītaṁ atiuṇhaṁ atisāyam) Demikian keluhannya (idaṁ ahu), demikian pekerjaannya diabaikan (Iti vissaṭṭhakammante), membuang kesempatan sejak dini (atthā accenti māṇave)

    Menghadapi dingin dan panas (Yodha sītañca uṇhañca), tak terganggu bagaikan rumput saja (tiṇā bhiyyo na maññati), seorang melakukan tanggung-jawabnya (Karaṁ purisakiccāni), dengan kegembiaraan yang tak berkurang (so sukhaṁ na vihāyatī”ti)
Terdapat 4 jenis teman palsu (amittā mittapatirūpakā):
  1. Yang hanya mau mengambil (aññadatthuharo), terlihat di 4 hal: mengambil banyak (aññadatthuharo), mengeluarkan sedikit meminta banyak (appena bahumicchati), melakukan kewajibannya hanya karena takut (Bhayassa kiccaṁ karoti), dan memberikan hanya karena ada untung baginya (sevati atthakāraṇā)

  2. Yang banyak bicara tetapi tidak berbuat apapun (vacīparamo), terlihat di 4 hal: menonjolkan bantuannya di masa lalu (Atītena paṭisantharati), menjanjikan bantuan di masa depan (anāgatena paṭisantharati), memberikan kata-kata kosong yang manis (niratthakena saṅgaṇhāti), ketika dimintai bantuan, menonjolkan kemalangannya (paccuppannesu kiccesu byasanaṁ dasseti)

  3. Yang Penjilat (anuppiyabhāṇī), terlihat di 4 hal: mendukungmu berbuat buruk (Pāpakampissa anujānāti) dan berbuat baik (kalyāṇaṃpissa anujānāti), memuji jika di depanmu (sammukhāssa vaṇṇaṁ bhāsati), menjatuhkanmu dihadapan orang lain (parammukhāssa avaṇṇaṁ bhāsati)

  4. Yang membuat boros (apāyasahāyo), terlihat di 4 hal: berkawan karena gemar minuman keras (surāmerayamajjappamādaṭṭhānānuyoge sahāyo hoti), karena gemar dijalanan bukan pada waktunya (vikālavisikhācariyānuyoge), gemar tempat hiburan (samajjābhicaraṇe sahāyo hoti), gemar berjudi (jūtappamādaṭṭhānānuyoge)

    Kemudian sang Buddha melanjutkan:

    Teman yang hanya mau mengambil,
    Teman yang banyak bicara,
    Teman penjilat,
    Teman yang membuat boros,
    Ke-4 ini bukanlah teman (ete amitte cattāro).
    Orang bijak memahami ini (iti viññāya paṇḍito),
    Menjauhi mereka (ārakā parivajjeyya)
    Bagai berada di jalanan berbahaya (maggaṁ paṭibhayaṁ yathā).
Terdapat 4 jenis teman berbudi (mittā suhadā):
  1. Sahabat Penolong (upakāro mitto), terlihat di 4 hal: menjaga dirimu dan hartamu saat lengah (Pamattaṁ rakkhati..sāpateyyaṁ rakkhati), menolongmu saat dalam ketakutan (bhītassa saraṇaṁ), memberikan 2x dari yang dibutuhkan (uppannesu kiccakaraṇīyesu taddiguṇaṁ bhogaṁ anuppadeti)

  2. Sahabat senang dan susah (samānasukhadukkho), terlihat di 4 hal: menceritakan rahasianya pada dirimu (guyhamassa ācikkhati), menjaga rahasiamu (guyhamassa parigūhati), tidak meninggalkan disaat kesulitan (āpadāsu na vijahati), bersedia mengorbankan hidupnya demi kepentinganmu (jīvitaṁpissa atthāya pariccattaṁ hoti)

  3. Sahabat pemberi nasihat (atthakkhāyī), terlihat di 4 hal: mencegahmu berbuat buruk (pāpā nivāreti), mendukungmu berbuat baik (kalyāṇe niveseti), memberitahu yang belum pernah didengarmu (assutaṁ sāveti), menunjukkanmu jalan ke surga (saggassa maggaṁ ācikkhati)

  4. Sahabat yang perhatian (anukampako), terlihat di 4 hal: Tidak bersukacita atas kesengsaraanmu (abhavenassa na nandati), ikut bersukacita atas kesejahteraanmu (bhavenassa nandati), mencegah mereka yang menjelekkanmu (avaṇṇaṁ bhaṇamānaṁ nivāreti), membenarkan mereka yang memujimu (vaṇṇaṁ bhaṇamānaṁ pasaṁsati)

    Kemudian sang Buddha melanjutkan:

    Sahabat penolong
    Sahabat senang dan susah
    Sahabat pemberi nasihat
    Sahabat yang perhatian
    Ke-4 ini teman
    Orang bijak memahami ini
    Hargai sepenuhnya mereka (sakkaccaṁ payirupāseyya)
    Bagai ibu yang menyusui putranya (mātā puttaṁva orasaṁ)

    Seorang bijak yang luhur budi (Paṇḍito sīlasampanno)
    Berbinar bagai nyala api (jalaṁ aggīva bhāsati)
    Mengumpulkan harta bagai lebah (bhoge saṁharamānassa)
    Berkeliaran mengumpulkan madu (bhamarasseva irīyato),
    Hartanya bertumbuh (bhogā sannicayaṁ yanti)
    Membukit bagai sarang semut (vammikovupacīyati)
    Dengan harta terkumpul seperti ini (evaṁ bhoge samāhatvā)
    Perumah tangga kompeten bagi keluarganya (alamatto kule gihī)

    Membagi kekayaannya menjadi 4 (catudhā vibhaje bhoge)
    Persahabatan diikatnya erat (save mittāni ganthati)
    1 bagian (25 %) untuk dinikmati (ekena bhoge bhuñjeyya),
    2 bagian (50 %) untuk keberhasilan pekerjaan (dvīhi kammaṁ payojaye)
    Bagian ke-4 (25 %) cadangan/tabungan (catutthañca nidhāpeyya), di waktu sulit/dari kerugian/kemalangaan (āpadāsu bhavissatī)

    Note:
    Memperoleh dan Menggunakan Kekayaan
    Kata sukha/senang/bahagia di AN 8.54 (kepada Anathapindika) dan AN 5.31 (kepada Sumana) juga dapat diartikan sebagai kekayaan, yaitu:

    1. Kebahagiaan memiliki (atthisukhaṁ): perolehan kekayaan dari usaha penuh semangat (uṭṭhānavīriyādhigatehi bhogehi), terkumpul dari kekuatan tangan (bāhābalaparicitehi), keringat kening (sedāvakkhittehi), sesuai aturan (dhammikehi), diterima sesuai aturan (dhammaladdhehi);
    2. Kesenangan dalam menikmati (bhogasukhaṁ): perolehan kekayaan dari usaha penuh semangat,.., seorang anggota keluarga menikmati kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa;
    3. Kesenangan bebas dari hutang (ānaṇyasukhaṁ): tidak memiliki hutang pada siapa pun, apakah banyak atau sedikit;
    4. Kesenangan yang tanpa cela (anavajjasukhaṁ): dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang tanpa cela. [AN 4.62]

    Hal yang dilakukan perumah tangga, yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan di kehidupan ini (dhammā kulaputtassa diṭṭhadhammahitāya saṁvattanti diṭṭhadhammasukhāya):

    1. Kesempurnaan dalam inisiatif (uṭṭhānasampadā): Cara apa pun mencari penghidupan (bertani, berdagang, beternak, dll), Ia terampil dan rajin; memiliki penilaian baik atasnya agar dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan benar;
    2. Kesempurnaan dalam perlindungan (ārakkhasampadā): Perlindungan dan penjagaan atas kekayaan yang telah ia perolehnya;
    3. Pertemanan yang baik (kalyāṇamitta): Di tempat mana pun tinggal, bergaul dengan yang matang dalam moralitas, sempurna dalam keyakinan, sempurna perilaku moral, kedermawanan, dan kebijaksanaan; berbincang-bincang dan berdiskusi dengan mereka, dan sejauh apa kesempurnaan keyakinannya, moralitasnya, kedermawanannya dan kebijasanaannya, agar ditiru;
    4. Hidup yang seimbang (samajīvitā): Mengetahui pendapatan dan pengeluarannya, menjalani hidup seimbang, tidak terlalu boros, juga tidak terlalu hemat: ‘Dengan cara ini pendapatanku akan melebihi pengeluaranku dan bukan sebaliknya.’ demikian pula anggota keluarga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani hidup seimbang.. [AN 8.54]

    Dari perolehan kekayaan dengan usaha penuh semangat, terkumpul dari kekuatan tangan, keringat kening, sesuai aturan, diterima sesuai aturan, agar melakukan 4 perbuatan layak/cattāri pattakammāni kattā hoti (AN 4.61) atau agar menggunakan kekayaan untuk 5 hal/pañcime..bhogānaṁ ādiyā (AN 5.41), yaitu:

    1. untuk: (a) dirinya/attānaṁ; (b) orangtua (mātāpitaro); (c) istri-anak (Puttadāra), para budak (dāsa), pekerja (kammaka), wakil/pelayan (porise); (d) teman-kolega (mittāmacce)

      agar bahagia, nyaman, tetap benar bahagia (sukheti pīṇeti sammā sukhaṁ pariharati)

      Note:
      Di AN 4.61 no.1 = 1 (a) s/d 1 (d)
      Di AN 5.41 no.1 = 1 (a) sd 1 (c) dan no.2 = 1 (d)

    2. (menyiapkan) dari: kerugian/kemalangan apapun (yā tā honti āpadā) dari: api, banjir, raja-raja, pencuri, kesayangan yang sudah tidak disukai atau karena pewaris (aggito vā udakato vā rājato vā corato vā appiyato vā dāyādato); kerugian kekayaan yang terjadi terhadap semua itu (tathārūpāsu āpadāsu bhogehi pariyodhāya vattati), dirinya menjadi aman (sotthiṁ attānaṁ karoti) [AN 4.61 dan AN 5.41]

    3. memberikan 5 persembahan (pañcabaliṁ), kepada: (a) sanak saudara (ñātibaliṁ), (b) tamu (atithibaliṁ), (c) leluhur/mendiang/makhluk halus (pubbapetabaliṁ), (d) raja (rājabaliṁ), dan (e) para dewata (devatābaliṁ) [AN 4.61 dan AN 5.41]

    4. kepada: para petapa-brahmana manapun (ye te samaṇabrāhmaṇā) yang telah meninggalkan kemabukan/pongah-lengah (madappamādā paṭiviratā), kokoh dalam kesabaran dan kelembutan (khantisoracce niviṭṭhā), seorang yang dirinya (ekamattānaṁ): jinak (damenti), tenang (samenti), untuk sepenuhnya seperti padam (parinibbāpenti: pari+nibba+apenti), mempersiapkan persembahan/dana kepada samana-brahmana manapun yang mengarah ke atas (tathārūpesu samaṇabrāhmaṇesu uddhaggikaṁ dakkhiṇaṁ patiṭṭhāpeti), terhubung surga, membuahkan kebahagiaan menuju alam surga (sovaggikaṁ sukhavipākaṁ saggasaṁvattanikaṁ) [AN 4.61 dan AN 5.41]
Bagaimana siswa mulia melingkupi 6 arah?
    Note:
    Sang Buddha memadankan nama arah ini dengan arti yang lain:
    Timur (puratthima: pura = pubba = depan, awal, dihadapan: yaitu menghadap arah matahari, Ayah-Ibu adalah di depan, awal);
    Selatan (dakkhiṇa = tangan kanan, arah kanan, simbol hormat, yaitu Guru. dakkhina = persembahan);
    Barat (pacchima: paccha = belakang, akhir, yaitu Istri - Anak adalah di belakang);
    Utara (uttara arti lainnya: melampaui);
    Bawah (heṭṭhima: heṭṭha/bawah + ima/ter = terbawah),
    Atas (uparima: upari/atas + ma/ter = teratas = uddhaṁ = mengarah ke-atas).

    Rhys Davids: "Simbolisme ini sengaja dipilih: seperti hari mulai di Timur, demikian pula kehidupan mulai dengan pengasuhan orang tua; biaya guru dan Selatan adalah kata yang sama: dakkhiṇa; urusan rumah tangga mengikuti ketika dari anak menjadi Dewasa, seperti Barat nantinya memegang kendali saat siang; Utara adalah 'melampaui', jadi dengan bantuan teman, dll, Ia mengatasi masalah" [Ibid, hal.180, note 4]
(1) Para Ibu-ayah (mātāpitā), arah Timur/Depan (disā pubbā)
5 cara, anak mendahulukan orang tuannya selagi masih ada (paccupaṭṭhātabbā):
  1. Melayani dan menunjang mereka (bhato ne bharissāmi),
  2. Menjalankan kewajiban terhadap mereka (kiccaṁ nesaṁ karissāmi),
  3. Memelihara silislah/tradisi keluarga (kulavaṁsaṁ ṭhapessāmi),
  4. Memelihara warisannya (dāyajjaṁ paṭipajjāmi),
  5. dan atas nama mendiang yang telah tiada, menyerahkan persembahan (atha vā pana petānaṁ kālaṅkatānaṁ dakkhiṇaṁ anuppadassāmīti)

    Note:
    5 hal ini disebut juga dalam AN 5.39, yaitu tentang alasan sesorang ingin mempunyai anak. Kemudian, terkait mempersembahkan atas nama mendiang atau menyatakannya mendiang ini turut serta dalam melakukan jasa kebajikan ini, lihat tirokudda sutta dan Sariputtattheramatupetivatthuvannana atau PattiDana
5 cara, orang tua selagi masih ada mememperhatikan (anukampanti) anak:
  1. Mencegahnya berbuat buruk,
  2. Mendorongnya berbuat baik,
  3. Memberikannya pendidikan (sippaṁ sikkhāpenti),
  4. Mencarikannya pasangan yang cocok (patirūpena dārena saṁyojenti),
  5. Pada waktunya, menyerahkan warisannya (samaye dāyajjaṁ niyyādenti).
Demikian arah Timur dilindungi, diselamatkan dan diamankan (paṭicchannā hoti khemā appaṭibhayā).

(2) Guru (ācariyā), arah Selatan/ke kanan (dakkhiṇā disā)
5 cara, siswa memperlakukan Guru:
  1. Dengan bangkit (memberi hormat) (uṭṭhānena),
  2. Dengan merawatnya/berada dekatnya (upaṭṭhānena),
  3. Dengan mematuhinya (sussusāya. ini terjemahan Childer, tapi ditentang Rhys Davids, yang menterjemahkan "Dengan semangat belajar". Saya lebih menyukai terjemahan Childer),
  4. Dengan melayaninya (pāricariyāya),
  5. Dengan mengikuti seluruh ajarannya (sakkaccaṁ sippapaṭiggahaṇena)
5 cara, para Guru memperhatikan siswanya:
  1. Dengan baik melatihnya (suvinītaṁ vinenti),
  2. Memastikan apa yang diajarkan dipahami baik (suggahitaṁ gāhāpenti),
  3. Mengajarkan sepenuhnya ilmu dan seni (sabbasippassutaṁ samakkhāyino bhavanti),
  4. Berbicara baik tentangnya pada para rekan-sejawat (mittāmaccesu paṭiyādenti),
  5. Membuat arah tujuannya terjaga (disāsu parittāṇaṁ karonti).
Demikian arah Selatan dilindungi, diselamatkan dan diamankan.

(3) Isteri-anak (puttadārā), arah Barat/Belakang (disā pacchā)
5 cara, suami memperlakukan Istri-anak:
  1. Dengan perlakuan baik (sammānanāya),
  2. Dengan kelembutan (anavamānanāya),
  3. Dengan ketulusan (anaticariyāya),
  4. Dengan membagi tanggung jawab/wewenang (issa­riya­vos­sag­gena),
  5. Dengan memberinya hadiah (alaṅkā­rā­nuppadā­nena)
5 cara, para Istri memperhatikan suaminya:
  1. Dengan menjalankan kewajibannya (susaṃ­vihi­ta­kammantā),
  2. Dengan bersikap ramah pada kerabat (keluarga, pembantu, pengikut) (saṅgahitaparijanā),
  3. Dengan ketulusan (anaticārinī),
  4. Dengan menjaga harta yang diberikan (sambhatañca anurakkhati),
  5. Dengan terampil dan rajin menjalankan tanggung-jawabnya (dakkhā ca hoti analasā sabbakiccesu).

    Note:
    Di AN 5.33, kepada anak gadis Uggaha: "Para gadis, kalian harus berlatih sebagai berikut:

    1. ‘Kepada suami mana pun yang orangtua kami menyerahkan kami—dilakukan untuk kebaikan kami, kesejahteraan kami, kepeduliannya pada kami, demi belas kasihnya pada kami—kami harus bangun sebelum ia bangun tidur dan pergi tidur setelah ia pergi tidur, melakukan apa pun yang harus dilakukan, bertingkah laku baik dan ramah tutur kata.’
    2. ‘Kami akan menghormati, menghargai, dan memuliakan mereka yang dihormati suami kami—ibu dan ayahnya, para petapa dan brahmana—dan ketika mereka datang kami akan mempersembahkan tempat duduk dan air kepada mereka.’
    3. ‘Kami akan terampil dan rajin mengerjakan tugas-tugas rumah tangga kami, apakah merajut atau menenun; kami akan memiliki penilaian benar dengan tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya benar.’
    4. ‘Kami akan mencari tahu apa yang telah dan belum diselesaikan oleh para pembantu rumah tangga kami—apakah budak-budak, utusan-utusan, atau para pekerja; dan kami akan mencari tahu kondisi mereka yang sakit; dan kami akan membagikan porsi makanan selayaknya kepada mereka.’
    5. ‘Kami akan menjaga dan melindungi pendapatan apa pun yang dibawa pulang suami kami—apakah uang atau beras, perak atau emas—dan kami tidak akan memboroskan, mencuri, membuang atau menghamburkan pendapatannya.’
    6. Dalam AN 8.46-48 (Kepada Visakha dan Nakula-Mata) terdapat 3 tambahan: Berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. (7) Bermoral. meninggalkan: menyakiti kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, kenikmatan indriya dengan cara yang salah, berbohong, dan asupan memabukan landasan bagi kelengahan. (8) Dermawan: tinggal di rumah, pikirannya bebas dari noda kekikiran, murah hati, bertangan terbuka, gemar melepas/berdana, mudah memberi, girang ketika memberi dan berbagi

    Ketika, gadis-gadis, seorang perempuan memiliki ke-5 (atau 8) kualitas ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di antara para deva dengan bentuk menyenangkan (­ma­nāpa­kā­yi­kānaṃ devānaṃ).”

    Tidak memandang rendah suaminya,
    Terus menyokongnya,
    Dengan tekun dan bersemangat
    Membawakan yang diinginkannya.

    Perempuan baik tidak memarahi suaminya
    Dengan kata-kata yang timbul dari kecemburuan;
    Perempuan bijaksana menunjukkan penghormatan
    Kepada mereka yang dihormati suaminya.

    Ia bangun lebih awal, bekerja terampil,
    Mengatur rumah tangga;
    Memperlakukan suaminya dengan cara menyenangkan
    dan menjaga harta yang diperoleh.

    Perempuan yang memenuhi tugasnya demikian,
    Mengikuti kehendak dan keinginan suaminya,
    Terlahir kembali di antara para deva
    Yang disebut 'menyenangkan.' (manāpā nāma)"


    Di AN 7.63 kepada (Sujata, adik perempuan Visakha, mantunya Anathapindika) tentang 7 jenis istri:

    1. Yang berpikiran buruk/rusak/Paduṭṭhacittā hampa welas asih/ahitānukampinī, bernafsu pada orang lain/aññesu rattā, merendahkan suami/atimaññate patiṃ, menghancurkan orang yang membelinya dengan harta/Dhanena kītassa vadhāya ussukā, disebut istri seperti penghancur/perusak/vadha

    2. Hasil kerja keras suami, walaupun sedikit, berusaha dicurinya, ..disebut Istri seperti pencuri/corī

    3. Rakus, malas bekerja, kasar, galak, tajam ucapannya, memerintah penyokongnya meski bangun lebih awal,.. disebut istri seperti bos/ayya

    4. Yang senantiasa welas asih, menjaga suami bagai ibu kepada anaknya, melindungi harta mereka,.. disebut istri seperti ibu/mātā

    5. Yang bagai adik perempuan kepada kakak lelakinya, menghormati suami, punya rasa malu/hirīmanā, mematuhinya/bhattuvasānuvattinī.,.. disebut istri seperti adik perempuan/bhaginī

    6. Yang melihat suami bergembira seolah berjumpa teman yang lama tak bertemu, berprilaku kalangan terhormat, bermoral, berbakti,... disebut istri seperti teman/sakhī, dan

    7. Yang tanpa kemarahan, tenang, bahkan saat diancam kekerasan dengan tongkat pemukul, menerima dengan pikiran bebas kebencian, sabar dan patuh,... disebut istri seperti budak/dāsī

    Jenis istri yang disebut penghancur, pencuri, dan bos, tidak bermoral, kasar, tidak hormat, dengan hancurnya jasmani setelah kematian menuju neraka. Tetapi jenis istri yang disebut ibu, adik perempuan, teman, dan budak, kokoh dalam moralitas, terkendali, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, menuju surga
Demikian arah Barat dilindungi, diselamatkan dan diamankan.

(4) Teman-sejawat (mittāmaccā), arah Utara/melampaui (ca uttarā)
5 cara, seorang keturunan keluarga (kulaputtena) memperlakukan teman-sejawatnya:
  1. Dengan murah hati (dānena),
  2. Dengan ucapan sopan (peyyavajjena),
  3. Dengan memberikan bantuan (atthacariyāya),
  4. Dengan seperti memperlakukan diri sendiri (samānattatāya),
  5. Dengan berbuat sesuai ucapan (avisaṁvādanatāya).
5 cara, teman-sejawat, memperhatikannya:
  1. Dengan menjaga dirimu saat lengah (pamattaṁ rakkhanti)
  2. Dengan menjaga hartamu saat lengah (pamattassa sāpateyyaṁ rakkhanti),
  3. Dengan menolongmu saat dalam ketakutan (bhītassa saraṇaṁ honti),
  4. Dengan tidak meninggalkan disaat kesulitan (āpadāsu na vijahanti),
  5. Dengan menghormati keluarganya (aparapajā cassa paṭipūjenti).
Demikian arah Utara dilindungi, diselamatkan dan diamankan.

(5) Pelayan (dāsakammakarā), di Bawah (heṭṭhā)
5 cara, seorang majikan (ayyirakena) memperlakukan pelayannya:
  1. Dengan memberi pekerjaan sesuai kemampuannya (yathābalaṁ kammantasaṁvidhānena),
  2. Dengan memberi beras/makanan dan upah (bhattavetanānuppadānena),
  3. Dengan merawatnya saat sakit (gilānupaṭṭhānena),
  4. Dengan membagikan makanan yang lezat (acchariyānaṁ rasānaṁ saṁvibhāgena),
  5. Dengan memberikan cuti kerja (samaye vossaggena)
5 cara pelayan memperhatikannya:
  1. Dengan bangun lebih awal darinya (pubbuṭṭhāyino ca honti),
  2. Dengan kepembaringan setelahnya (pacchā nipātino ca),
  3. Dengan mengambil hanya yang telah diberikan (dinnādāyino ca),
  4. Dengan melakukan baik kewajibannya (sukatakammakarā ca),
  5. Dengan menjadi pembawa pujian dan reputasi baiknya (kittivaṇṇaharā ca)
Demikian arah Bawah (heṭṭhimā disā) dilindungi, diselamatkan dan diamankan.

(6) Petapa-Brahmana (samaṇabrāhmaṇā), di Atas (uddhaṁ)
5 cara seorang keturunan keluarga memperlakukan para pertapa dan brahmana:
  1. Dengan perbuatan bersahabat/tidak memusuhi (mettena kāyakammena),
  2. Dengan perkataan bersahabat/tidak memusuhi (mettena vacīkammena),
  3. Dengan pikiran bersahabat/tidak memusuhi (mettena manokammena),
  4. Dengan membuka pintu/mempersilakan masuk/tidak menutup pintu (anāvaṭadvāratāya),
  5. Dengan memberi yang dibutuhkannya (āmisānuppadānena)
5 cara, para pertapa dan brahmana, memperhatikanya:
  1. Mencegahnya berbuat buruk, menganjurkannya berbuat baik (pāpā nivārenti kalyāṇe nivesentini),
  2. Dengan perhatian dan pikiran baik (kalyāṇena manasā anukampanti),
  3. Mengajarkan yang belum pernah didengarnya (assutaṃ sāventi),
  4. Mengokohkan yang telah didengarnya (sutaṃ pariyodāpenti),
  5. Menunjukkannya jalan menuju surga (sagga maggaṃ ācikkhanti).
Demikian arah Atas (uparimā disā) dilindungi, diselamatkan dan diamankan.

Kemudian sang Buddha melanjutkan:
    Ibu-ayah arah Timur (mātāpitā disā pubbā)
    Para guru arah Selatan (ācariyā dakkhiṇā disā)
    Istri-anak arah Barat (puttadārā disā pacchā)
    Para teman-sejawat arah Utara (mittāmaccā ca uttarā)
    Para pelayan di Bawah (dāsakammakarā heṭṭhā)
    Para petapa-Brahmana di Atas (uddhaṁ samaṇabrāhmaṇā)
    Dengan melingkupi arah ini (etā disā namasseyya)
    Perumah tangga yang telah berbuat cukup (alamatto kule gihi)
    Seorang bijak yang luhur budi (paṇḍito sīlasampanno)
    Lembut dan terampil dalam menghormati (saṇho ca paṭibhānavā, saya ikuti terjemahan Rhys Davids)
    Rendah hati dan baik (nivātavutti atthaddho)
    Yang memperoleh kemuliaan (tādiso labhate yasaṁ)
    Yang bersemangan dan rajin (uṭṭhānako analaso)
    Tidak goyah karena kemalangan (āpadāsu na vedhati)
    Sempurna dalam prilaku, bijaksana (acchinnavutti medhāvī)
    Yang memperoleh kemuliaan
    Ramah dalam pertemanan (saṅgāhako mittakaro)
    Mudah memberi dan tidak kikir (vadaññū vītamaccharo)
    Pemandu, Penuntun dan Pendamai (netā vinetā anunetā)
    Yang memperoleh kemuliaan
    Memberikan persembahan, bertuturkata baik (dānañca peyyavajjañca) [AN 4.32, mulai dari sini]
    Memberikan manfaat bagi lainnya (atthacariyā ca yā idha)
    Adil bersikap di banyak hal (samānattatā ca dhammesu)
    Harmonis dimanapun (tattha tattha yathārahaṁ)
    Yang menyatukan dunia (ete kho saṅgahā loke)
    Bagai sumbu roda kereta (rathassāṇīva yāyato)
    Jika perlakuan ini tidak ada (ete ca saṅgahā nāssu)
    Tidak ada ibu, dikarenakan putranya (na mātā puttakāraṇā)
    Mendapatkan penghormatan dan penghargaan (labhetha mānaṁ pūjaṁ vā)
    Tidak juga ayah, dikarenakan putranya (pitā vā puttakāraṇā)
    Tetapi karena ada perlakuan ini (yasmā ca saṅgahā ete)
    Maka para bijak mempertimbangkanya (sammapekkhanti paṇḍitā)
    Oleh karenanya mereka mencapai keagungan (tasmā mahattaṁ papponti)
    Dan layak untuk pujian (pāsaṁsā ca bhavanti te”ti)

    Note:
    4 cara memelihara hubungan baik: Memberikan persembahan (dānaṁ), bertuturkata baik (peyyavajjaṁ), membawa manfaat/kesejahteraan (atthacariyā) dan adil dalam bersikap (samānattatā) [AN 4.32]
Setelah mendengarkannya Sigālaka berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh menakjubkan, Bhagavā, bagus sekali! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terbalik, atau menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Mulia Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Sudilah Yang Mulia Gotama menerimaku sejak hari ini sebagai seorang siswa-awam hingga akhir hidupku' [DN 31/Sīgālovāda/Sīgālaka Sutta] []
---------------

Paritta & Mantra; Berlindung; Seruan dan Bentuk Penghormatan; Puja Bakti VS Pemujaan Berhala; Keberadaan Relik Sang Buddha; Asal Muasal Tradisi Penyembahan Patung Buddha; Pohon Bodhi Bodhgaya, Pohon Bodhi Ananda dan Pohon Bodhi di Srilanka

Paritā dan Mantra
Parittā (pari = segala arah; trā/tara = perlindungan; mantra: mano = pikiran + tara) adalah sloka/gatha/kalimat/paragraph dari ceramah sang Buddha (dan/atau BUKAN dari Sang Buddha) yang bertujuan untuk melindungi diri sendiri dan/atau pihak lain:
  1. Karena dengan mengucapkan hal yang baik, maka memupuk kamma baik melalui pikiran dan ucapan, karena kemudian memahami artinya dan mempraktekannya, maka memupuk kamma baik melalui perbuatan
  2. Pengulangan pembacaan berarti juga melestarikan ajaran para Buddha
Menurut Milinda Panha[8], ada 3 alasan parittā tidak bekerja: kamma masa lalu, kekotoran mental masa kini, dan kurangnya keyakinan. Parittā kehilangan kekuatannya karena "cacat" yang berasal dari mereka sendiri.

TIDAK SEMUA PARITTĀ berasal dari sang Buddha dan/atau orang suci lainnya, misalnya di buku “Parittā suci”, dari Yayasan Sangha Theravada Indonesia, cetakan ke-4, terdapat banyak parittā karangan orang biasa saja (bukan orang suci) yang muncul jauh abad setelah konsili ke-4, sample:
  1. “pattidana” (hal.122), “Namakārasiddhi Gāthā” (hal.73-74), “Namokāraţţhaka Gāthā” (hal 78) adalah karangan Phra Poramenthra Maha Mongkut Phra Chom Klao Chao Yu Hua, raja ke-4 Thailand (1804-1868), pendiri Dhammayuttika Nikaya (salah satu aliran Buddhis Thailand). Bahkan di “Namokāraţţhaka Gāthā” sang pengarang malah mengajarkan mengucapkan mantra “AUM” yang seharusnya TIDAK DIKENAL dalam khazanah Buddhism awal
  2. ”Buddha Jaya Mangala Gatha” (hal.108) adalah karangan Sumdhet Pawanarat, Biarawan pertama Kuil Yai Chai Mongkhol, yang dipersembahkannya untuk Raja Thailand, Naresuan (1555-1605, dikenal dengan julukan “pangeran hitam”) untuk merayakan kemenangan perang Thailand melawan Burma. Isi parittā memang tidak ada relevansinya dengan perang antara Thailand vs Burma, namun kemunculan parittā ini justru karena perang
Sehingga, mereka yang beralasan melestarikan ajaran dan juga sebagai perlindungan, langkah awal yang SEHARUSNYA adalah MEMBUANG parittā-parittā yang BUKAN sabda sang Buddha/para Arahat lain dan berfokus pada pengulangan sutta dan vinaya saja

Tisaraṇa: Berlindung/Mengikuti Buddha, Dhamma dan Sangha (KN, Kp 1):
  1. Buddham Sāranam Gacchāmi (sāra = sangat berharga, sarati = mengenang/ingat, sarana: pergi, berlindung pada. Gacchati = menuju, berjalan) = Aku mengikuti/berlindung pada Buddha (mengikuti kualitas/sifat para Buddha).
  2. Dhammam Sāranam Gacchāmi = Aku mengikuti/berlindung pada Dhamma (melaksanakan ajaran, menghindari hal akusala/tidak bermanfaat).
  3. Sangham Sāranam Gacchāmi = Aku mengikuti/berlindung pada Sangha (melayani KOMUNITAS yang menjalankan ajaran para Buddha yang berlatih untuk membebaskan diri dari dosa, lobha dan moha):

    Savaka Sangha [savaka = murid], kumpulan Ariya [level sotāpanna atau lebih], manusia atau bukan. Mereka juga disebut THERA (sesepuh/senior).
    Sammuti sangha [sammuti = tradisi, umum]/ sangha konvensional [monastik], kumpulan para Bhikkhu: Puthujjana dan Ariya
Seorang yang merasa mendengar dan/atau mendapat manfaat dari ajaran dan/atau menyatakan hendak berlindung dengan ajaran yang ditemukan Buddha Gotama, sepatutnya, Ia mengucapkan TISARANA. Pengucapan Tisarana dapat diwakilkan oleh Pelindung/Pemimpin-nya (misal di DN 3: Brahmana Pokkharasāti menyatakan bahwa Ia bersama putra, istri, para menteri dan penasihatnya ber-TISARANA). Walaupun pernah diwakilkan ber-TISARANA, namun ketika yang bersangkutan mendengarkan ajaran, sepatutnya, Ia sendiri juga mengucapkan TISARANA (misal di MN 85: Pangeran Bodhi, anak Raja Udena dari Kosambi, menceritakan bahwa Ia mendengar dari Ibunya ketika sedang dikandungan, Ibunya menyatakan dihadapan Sang Buddha: ‘Yang Mulia, pangeran atau puteri dalam rahimku, yang manapun itu, berlindung pada Sang Bhagavā, Dhamma dan Sangha para bhikkhu..", ketika digendong Pengasuhnya yang menemui Sang Buddha, Pengasuhnya menyatakan dihadapan Sang Buddha: ‘Yang Mulia, Pangeran Bodhi ini berlindung pada Sang Bhagavā, Dhamma dan Sangha..", ketika Pangeran Bodhi mendengarkan langsung ajaran dari sang Buddha, Ia mengucapkan Tisarana). Bahkan setelah Sang Buddha Parinibbana dan yang mengajarkan Dhamma adalah para-Bhikkhu/orang lain (Misalnya di MN 84: YM Mahā Kaccāna mengajarkan Dhamma kepada Raja Avantiputta dari Madhurā atau di MN 94: YM Udena kepada Brahmana Ghoṭamukha), Para Bhikkhu arahat ini menolak ketika Raja dan Brahmana tersebut menyatakan berlindung kepada mereka: "Jangan berlindung padaku, Baginda/Brahmana. Berlindunglah pada Sang Bhagavā yang kepadaNya juga aku berlindung" dan merekapun mengucapkan TISARANA. Hal ini menegaskan bahwa tatakrama yang patut ketika seseorang menerima, belajar dan memakai ajaran dari sang penemu ajaran, agar mengakuinya dan mengalamatkan jelas pernyataannya dengan ber-TISARANA.

Seruan Penghormatan
Mereka yang tahu/mengenal kualitas Buddha akan menyerukan penghormatan (Vandana: Vad: Mengucapkan):
    "Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma-Sambuddhassa" (Wahai Sang Bhagavā, yang telah memutus rantai penjelmaan dengan benar sempurna) - [MN 27]
Seruan ini diantaranya disampaikan oleh Brahmana Janussoni, Brahmana Karanapali dan Brahmani Dhananjani yang bahkan saat mengucapkannya, mereka belum menjadi pengikut Sang Buddha.

Bentuk Penghormatan
beberapa namakhara (Nama = hormat/penghormatan + kāra = Bentuk/tindakan) dalam tradisi India:
  1. Pradaksina/Padakkhiṇā (Pa+Dakkhina: searah jarum jam, memutari objek/menuju arah kanan/selatan, menghadap matahari lalu ke kanan/Selatan. Dakkhiṇa = kanan, Selatan; Vāma = kiri. Jadi, arah mata angin pertama = Timur). Apasabyato/Prasavya (putaran ke arah kiri, berlawanan arah jarum jam). baik Padakkhiṇā dan Prasavya dilakukan 3x putaran. Pradaksina penghormatan untuk Dewa/Leluhur/yang dimuliakan, misal 2 dewa mengelilingi Sang Buddha dengan sisi kanan mereka menghadap sang buddha (AN 7.56), umat awam dari Campā kepada Sāriputta [AN 7.52]. Umat awam dari Kajaṅgalā kepada seorang bhikkhunī [AN 10.28], permintaan Cāpā theri kepada ex suaminya Upaka, yang akan bertemu Sang Buddha: “Sekarang sampaikan hormatku, Kepada yang tertinggi di jagad. Kelilingi Beliau pada sisi kananmu, sampaikan persembahkanku (ādiseyyāsi dakkhiṇaṁ) [Thi 13.3]. Upatissa/Sariputta bersujud di kaki Thera Asajji, ber-padakkhiṇā sebanyak 3x [Dhammapada, Bab 1.8]. Prasavya penghormatan untuk bhuta dan Mayat [Ramayana 2.76.20] tapi prasavya juga dilakukan untuk tujuan menghina/melecehkan, misalnya di Udana 5.3, tentang kehidupan lalu Suppabuddha, si penderita kusta (juga Dhp no.66), sewaktu melihat seorang Pacceka Buddha berpenyakit kusta, Ia meludah dan melakukan penghormatan tapi dari arah kiri badannya (apasabyato/Prasavya), dan pergi.
  2. Tengkurap dengan dada dan kepala menghadap tanah dan tangan sejajar
  3. Berlutut dan membungkuk hingga dahi menyentuh tanah (5 titik menyentuh tanah), kadang dikenal sebagai "menyembah" dan sekarang bentukan ini dikenal dengan nama namaskara/namakkara
  4. Berlutut namun tangan tercakup di dada. [Dhammapada syair ke-167]
  5. Berdiri membungkukan badan. [oleh menteri Santati (suami Putri Suppavasa), Dhammapada syair ke-414]
  6. Membungkukkan badan ke arah objek dan selalu berbaring dengan kepala menghadap ke arah yang sama [Sariputta, Dhammapada syair ke-392]
  7. Anjali, tangan tercakup di depan dahi (bukan depan dada).
  8. Berjalan mundur. [Oleh Uttari theri (berusia 120 tahun), Dhammapada syair ke-148]
  9. Mempersembahkan Dupa, bunga dan wangi-wangian [Oleh Sakka, Raja Deva, Dhammapada syair ke-94, Culasubhadda dari Ugga di Dhammapada syair ke-304]
Puja Bakti VS Pemuja Berhala
[Pujja = penghormatan + bhaj/Bhakti = pengabdian, kesukaan, rangkaian]: kegiatan menghormati dengan menjalankan ajaran. Sang Buddha menyampaikan cara menghormat yang diharapkan Beliau:
    Vakkali yang dilanda rasa cemas dan sesal karena tidak dapat mengunjungi sang Buddha berkata, “Yang Mulia, Sejak lama aku berkeinginan untuk mengunjungi Sang Bhagavā, namun aku tidak cukup sehat untuk melakukannya”

    Sang Buddha:
    “Cukup, Vakkali! Mengapa engkau ingin mengunjungi tubuh menjijikkan ini? Ia yang melihat Dhamma, melihat Aku; Ia yang melihat Aku, melihat Dhamma. Karena dalam melihat Dhamma, Vakkali, maka ia melihat Aku; dan dalam melihat Aku, maka ia melihat Dhamma [SN 22.87]

    Kitab komentar Dhammapada:
    "Para bhikkhu, barang siapa yang mencintai dan menghormatiKu seharusnya berkelakuan seperti Attadattha. Tidaklah datang dengan memberikan bunga-bunga, wangi-wangian, dupa, atau menjenguk-Ku, kalian menghormatiKu, namun dengan mempraktekkan Dhamma yang telah Kuajarkan pada kalian seperti Lokuttara Dhamma, Kalian memberikan penghormatan padaKu" [Untuk syair ke-166]
Di hari menjelang parinibbanaNya, ketika itu pohon Sala kembar berbunga di luar musimnya, bunga-bunga jatuh berhamburan, bunga surgawi, serbuk cendana surgawi bertaburan, nyanyian surgawi serta suara musik surgawi berkumandang sebagai tanda penghormatan pada beliau. Namun sang Buddha berkata:
    Na kho Ānanda ettāvatā (Bukan dengan seperti ini, Ananda) Tathāgato sakkato vā hoti garukato vā mānito vā pūjito vā apacito vā (Sang Tathagata dihormati, dimuliakan, dihargai, dipuja dan dijunjung). Siapa saja, apakah bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria dan wanita, yang berpegang pada Dhamma, hidup sesuai Dhamma, berkelakuan sesuai Dhamma, Ia menghormati, memuliakan, menghargai, memuja, menjunjung Sang Tathagata dengan pemujaan tertinggi. Oleh karenanya, Ananda, berpeganglah pada Dhamma, hidup sesuai Dhamma dan berkelakuanlah sesuai Dhamma. Demikian caramu melatih diri" [DN 16]
Namun demikian,
terdapat tempat/tujuan tertentu yang dianjurkan untuk didatangi, agar bangkit ketergugahan (saṃvejanīyāni ṭhānāni) dan/atau agar pikiran damai bahagia (pasannacittā):
    Ananda:
    Guru, Dahulu, sesudah musim hujan para bhikkhu dari banyak tempat biasanya datang menemui Sang Tathagata. Kami berkesempatan melihat para bikkhu yang layak dihormati, berkesempatan untuk menemuiMu. Namun setelah Sang Bhagava tiada, Kami tidak berkesempatan melihat para bhikkhu yang layak dihormati, tidak dapat menemuimu

    Sang Buddha:
    Ada 4 Tempat, Ananda, bagi seorang yang berkeyakinan mendatanginya (saddhassa kulaputtassadassanīyāni), bangkit ketergugahannya: haru atau antusias (saṃvejanīyāni ṭhānāni), yaitu tempat di mana Sang Tathagata:

    1. Dilahirkan
    2. Mencapai penerangan sempurna
    3. Memutar Roda Dhamma untuk kali pertama
    4. Parinibbana

    Para: bhikkhu, bhikkhuni, upasaka atau upasika yang berkeyakinan (saddhā), datang dalam damai (āgamissanti) [merenungkan:] 'Di sinilah Sang Tathagata: dilahirkan. ..mencapai Penerangan Sempurna. ..memutarkan roda dhamma untuk pertama kali. ..parinibbana', pergi ke tempat-tempat itu (cetiyacārikaṃ āhiṇḍantā) saatnya tiba (untuk wafat) dalam pikiran bahagia (pasannacittā kālaṃ karissanti), ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir bahagia di alam deva [DN 16]

    Terdapat 4 jenis manusia, Ananda, yang pantas dibuatkan stupa, yaitu seorang:

    1. Tathagata Arahat Samma Sambuddha
    2. Pacceka Buddha
    3. Siswa dari Tathagata dan
    4. Raja Pemutar Roda

    Karena jika seseorang merenungkan: 'Ini adalah stupa Sang Bhagava Arahat Samma Sambuddha.. seorang raja pemutar roda', pikirannya menjadi bahagia, maka dengan pikiran bahagia demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir bahagia di alam deva

    Siapapun yang dengan: rangkaian bunga (mālaṃ), dupa/serbuk wangi (gandhaṃ va cuṇṇakaṃ) mempersembahkannya dalam damai (āropessanti), memberikan penghormatan dalam damai (abhivādessanti), pikirannya damai bahagia (cittaṃ va pasādessanti) maka bahagia dan sejahtera akan menyertainya dalam waktu yang lama (tesaṃ taṃ bhavissati dīgharattaṃ hitāya sukhāya) [DN 16]

    Note:
    Hinduism (raja Pemutar Roda): Penguasa yang roda keretanya menggelinding ke mana-mana tanpa halangan, penguasa dunia, penguasa Cakra [Monier-Williams] terkait dengan upacara rajasurya/asmamedha (kuda dilepaskan, daerah yang dilaluinya ditaklukkan): "Dan roda kereta Bharata yang terkenal dan cemerlang, tak terkalahkan dan seperti roda kereta milik para dewa, melintasi setiap wilayah, memenuhi seluruh Bumi dengan deraknya. Dan putra Dushmanta menundukkan semua raja di Bumi. Dan ia memerintah dengan berbudi luhur dan memperoleh ketenaran besar. Dan raja yang sangat gagah berani itu dikenal dengan gelar Chakravarti dan Sarvabhauma" [Mahabharata 1.74].

    Buddhism: Raja pemutar roda, tidak harus berkuasa di seluruh dunia, dapat hanya di wilayah tertentu saja (antojana), bahkan dalam satu jaman yang sama, bisa terdapat beberapa raja pemutar roda berbeda, misalnya di India: Asoka dan di Srilanka: Devanampiyatissa, jaman kedatangan Mahinda. Sutta mendefinisikan raja Pemutar roda sebagai: Raja pemilik 7 harta: permata perintah, gajah, kuda, perhiasan/harta, wanita, pengurus, dan penasihat/panglima (SN 46.42), yopi..rājā cakkavattī dhammiko dhammarājā sopi na arājakaṁ cakkaṁ vattetī”ti [Yang manapun Raja pemutar roda, raja adil dengan dhamma, Ia bukan tidak dengan penguasaan menjalankan pemerintahan)..dengan bersandar pada, menghormati, menghargai dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai bendera, panji, dan otoritasnya, menyelanggarakan naungan perlindungan keamanan dalam wilayahnya (antojanasmiṁ), ... kepada para bangsawan, pengikut, pasukan, brahmana - perumah tangga, penduduk kota - desa, petapa -pelaku kehidupan brahma, binatang buas - burung (AN 5.133, AN 3.14)]

    Proses menjadi raja Cakkavati diawali dengan penaklukan: "Raja Mahāsudassana memiliki 7 pusaka dan 4 iddhi...suatu ketika, di hari Uposatha tanggal 15, ketika Raja telah membasuh kepalanya dan naik ke teras atas istananya untuk menjalankan hari Uposatha, Pusaka-Roda surgawi (dibbaṁ cakkaratanaṁ) muncul di hadapannya, berjari-jari seribu, lengkap dengan lingkaran, sumbu dan segala hiasannya. Melihatnya, Raja Mahāsudassana berpikir: “Aku telah mendengar bahwa seorang Raja Khattiya yang sah ketika melihat roda seperti ini pada hari Uposatha tanggal 15, maka ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda.”. Kemudian, bangkit dari duduknya,..mengambil kendi emas dengan tangan kirinya, memercikkan air ke roda itu dengan tangan kanannya.. Roda itu bergerak ke timur, dan Raja mengikuti bersama 4 divisi tentaranya. Dan di negeri manapun roda itu berhenti, Raja menetap di sana bersama 4 tentaranya, Dan raja-raja di wilayah timur datang menghadapnya dan berkata: “...Kami adalah milikmu, perintahlah kami” Dan Raja memerintahkan mereka menjalankan 5 sila Dan mereka menjadi taklukannya, kemudian roda itu ke ke lautan timur... ke arah selatan …ke arah barat ...ke arah utara ...setelah menaklukkan daratan yang dikelilingi lautan, roda itu kembali ke ibu kota kerajaan." [DN 17] ...menghancurkan pasukan musuhnya (parasenappamaddanā), setelah menaklukkan daratan yang dikelilingi lautan, ia memerintah berdasarkan prinsip, tanpa tongkat atau pedang (adaṇḍena asatthena dhammena abhivijiya ajjhāvasati) [DN 3].
Setelah sang Buddha parinibbana, para umat awam melakukan prosesi jenasah Sang Bhagava:

Atha kho kosinārakā mallā bhagavato sarīraṁ (Kemudian kaum Malla kusinara terhadap mayat Sang Bhagava) ahatena vatthena veṭhetvā vihatena kappāsena veṭhesuṁ, vihatena kappāsena veṭhetvā ahatena vatthena veṭhesuṁ (membungkusnya erat dengan kain rami baru, dengan kain katun baru, dengan kain rami, kain katun baru), etena upāyena pañcahi yugasatehi bhagavato sarīraṁ veṭhetvā (demikian mayat sang Bhagava dibungkus dengan 500 pasang kain), āyasāya teladoṇiyā pakkhipitvā aññissā āyasāya doṇiyā paṭikujjitvā (dalam wadah metal yang dituangi minyak dan ditutupi dengan wadah metal lainnya), sabbagandhānaṁ citakaṁ karitvā (setelah kayu bakar dari bermacam kayu harum telah siap) bhagavato sarīraṁ citakaṁ āropesuṁ (mayat sang Bhagava diletakan di kayu bakar). [DN 16]

Pasca kedatangan Mahakassapa:

atha kho āyasmā mahākassapo yena kusinārā makuṭabandhanaṁ nāma mallānaṁ cetiyaṁ, yena bhagavato citako tenupasaṅkami; upasaṅkamitvā (Kemudian Mahākassapa tiba di kuil kaum Malla di Kusinara yang bernama Penobatan, mendekati tempat pembakaran jenazah Sang Buddha), ekaṁsaṁ cīvaraṁ katvā añjaliṁ paṇāmetvā tikkhattuṁ citakaṁ padakkhiṇaṁ (meletakan sisi jubahnya di satu bahu, mengangkat tangan mencakupkannya di depan dahi, mengitari 3x kali ke arah kanan) katvā bhagavato pāde sirasā vandi (setelah selesai, Ia menghormat dengan kepala di kaki sang Bhagava) dan ke-500 bikkhu yang bersamanya juga melakukan yang sama, vandite ca panāyasmatā mahākassapena tehi ca pañcahi bhikkhusatehi (setelah Mahākassapa dan 500 Bhikkhu selesai memberi penghormatan) sayameva bhagavato citako pajjali (di tempat pembakaran Sang Buddha api menyala dengan sendirinya), jhāyamānassa kho pana bhagavato sarīrassa yaṁ ahosi (ketika mayat Sang Buddha telah selesai terbakar) chavīti vā cammanti vā maṁsanti vā nhārūti vā lasikāti vā, tassa neva chārikā paññāyittha, na masi (tidak ada ditemukan kulit luar, kulit dalam, daging, urat, cairan, juga jelaga atau abu), sarīrāneva avasissiṁsu (hanya tersisa peninggalan-peninggalan)
    (Note: Tidak disebutkan adanya aṭṭhi/tulang/rangka, dantā/gigi, kesā lomā/bulu badan dan rambut, serta rambut di antara kedua alis setelah selesai pembakaran mayat sang Buddha. Jika memang ada, tentunya akan disebutkan terperinci, namun tidak, jadi peninggalan yang dimaksud harusnya tidak terkait badan mayat)
... tesañca pañcannaṁ dussayugasatānaṁ dveva dussāni na ḍayhiṁsu yañca sabbaabbhantarimaṁ yañca bāhiraṁ (dari 500 kain berpasangan, 2 tidak habis terbakar, yaitu bagian luar dan dalam) ... Atha kho kosinārakā mallā bhagavato sarīrāni (Kemudian, suku Malla Kusinara terhadap peninggalan-peninggalan Sang Buddha) sattāhaṁ sandhāgāre sattipañjaraṁ karitvā dhanupākāraṁ parikkhipāpetvā (selama seminggu di ruang pertemuan memagari sekelilingnya dengan dinding tombak-busur) naccehi gītehi vāditehi mālehi gandhehi sakkariṁsu garuṁ kariṁsu mānesuṁ pūjesuṁ (mereka menghormati, menghargai, memujanya dengan tari, lagu, musik, karangan bunga, dan wewangian) [DN 16]

Beberapa penguasa wilayah mengirimkan utusan (dūtaṁ) meminta arahāmi bhagavato sarīrānaṁ bhāgaṁ (bagian dari peninggalan-peninggalan Arahat Buddha) untuk dibuatkan stupa (thūpā: peninggalan dikubur dalam stupa):

(1) Raja Ajātasattu dari Magadha, (2) Licchavi dari Vesālī, (3) Suku Sakya di Kapilavatthu, (4) Suku Bulayo dari Allakappa, (5) para Koliya dari Rāmagāma, (6) Brahmana Veṭhadīpa dan (7) Para Malla di Pāvā. namun (8) para Malla dari Kusinārā tidak mau memberikannya, untuk mencegah pertengkaran (sampahāro) Brahmana Doṇa menengahinya, dengan membagi rata sampai habis peninggalan-peninggalan tersebut dan untuk (9) Brahmana Dona, Ia mendapatkan wadah (tumba), setelah habis terbagi, datang utusan (10) para Mauriya dari Pippalivana (kelak salah satu turunannya adalah Asoka), meminta bagian dan kepada mereka diberikan sisa bara api (aṅgāraṁ) [DN 16, Buddhavamsa 28.2-5. Di T 1435: MahaKassapa-lah yang mengumpulkan relik dan memberikannya kepada para Malla].

Seluruh stanza DN 16 berikutnya, diduga bukan berasal dari konsili ke-1:
      Atha kho rājā māgadho ajātasattu (Kemudian Raja Ajātasattu dari Magadha) ... Iti aṭṭha sarīrathūpā navamo tumbathūpo dasamo aṅgārathūpo (ada 8 stupa peninggalan, yang ke-9, stupa wadah, ke-10 stupa sisa bara api) Evametaṁ bhūtapubbanti (demikian terjadi dimasa lalu) [DN 16, Buddhavamsa 28.2-6].

    Menurut Buddhaghosa, stanza di atas berasal dari konsili ke-3, namun bagian ini juga muncul di SF 245/Mahanirvana sutra (Sarvāstivādin), sehingga ada kemungkinan stanza kedua aliran dari konsili ke-3 atau stanza ini telah ada sebelum perpecahan sekte.

    Stanza berikutnya (Frase 'dona' = Brahmana Dona, sejak dibagi 8 olehnya, disebut pembagian Dona) dan tentang 4 gigi sang Buddha:

      Aṭṭhadoṇaṁ cakkhumato sarīraṁ (Terdapat 8 Dona relik yang Maha Melihat), Sattadoṇaṁ jambudīpe mahenti (7 Dona dihormati di Jambudipa), Ekañca doṇaṁ purisavaruttamassa (1 Dona manusia utama), Rāmagāme nāgarājā maheti (Di hormati di Rāmagāma oleh para raja Nāga), ekāhi dāṭhā tidivehi pūjitā (1 gigi di puja di Deva ke-3), ekā pana gandhārapure mahīyati (1 dihormati di kota gandhāra), Kāliṅgarañño vijite punekaṁ (Raja Kalinga memiliki 1), ekaṁ pana nāgarājā maheti (1 dihormati para raja nāga) ... Buddho have kappasatehi dullabhoti (Diratusan kappa, sungguhlah sulit muncul seorang Buddha) [DN 16, Buddhavamsa 28.2-6].

    Menurut Buddhaghosa, stanza di atas berasal dari para thera Tambapanni/Srilanka, namun bagian ini juga muncul di SF 245/Mahanirvana sutra (Sarvāstivādin), sehingga ada kemungkinan stanza kedua aliran dari para thera Tambapanni atau stanza ini telah ada sebelum perpecahan sekte.

    Stanza berikut (tidak diterjemahkan Rhys Davids):

      Cattālīsa samā dantā (Genap 40 gigi), kesā lomā ca sabbaso (segenap bulu tubuh dan rambut), Devā hariṁsu ekekaṁ (masing-masingnya dibawa para Deva), cakkavāḷaparamparāti (ke berbagai cakkavala) [DN 16, hanya ada di edisi Srilanka dan Budhavamsa 28.7].

    Stanza ini tidak mencerminkan deskripsi usia tua yang salah satu cirinya adalah tanggalnya gigi (khaṇḍiccaṁ: misal di MN 9, MN 141, DN 22, AN 5.166, SN 12.33) yang tentunya juga melanda Sang Buddha. Juga jika benar ada gigi, rambut dan bulu, maka Brahmana Dona dan utusan Maurya, tidak akan mau hanya mendapatkan wadah dan sisa bara api saja. Di stanza sebelumnya bahkan hanya disebutkan 4 gigi padahal seharusnya tidak tersisa apapun lagi kecuali peninggalan-peninggalan non tubuh.

    Selain bagian 40 gigi, rambut kepala dan tubuh, Buddhavamsa memerinci peninggalan lainnya:

      (8) Mangkuk dan tongkat Buddha di Vajirà, jubah dalamnya di Kusaghara, kain untuk menutupi pembaringan di Kapilavatthu. Kendi-air dan sabuknya di Kota Pàñaliputta, jubah mandi-Nya di Campà, dan rambut di antara kedua alis di Kosala.
      (9) Dan kemudian jubah kuning-Nya di alam brahmà, seikat rambut yang membentuk sanggul-Nya di kota dalam Alam 30, dan jejak kakinya yang tidak pernah bisa rusak, jejak kaki terbaik, di (Cetiya) Pàsàñaka, secarik kain untuk tempat duduk, serta alasnya berada di Avantipura
      (10) lalu pemantik-apinya di Mithilà, penyaring airnya di Videha, pisau cukur dan kotak jarumnya di Kota Indapattha [Buddhavamsa 28.8-10].
Sangat beralasan menduga berapa stanza di atas berasal dari Srilanka, karena misalnya frase relik Rāmagāma yang seolah ada 2, yaitu bagian milik Koliya dan bagian milik para Naga. Mahavamsa (mulai abad ke-3 SM s.d 4 M) menjelaskan bahwa ini relik yang sama (Koliya) dan tampaknya asal-muasal relik peninggalan berubah menjadi relik bagian tubuh, adalah karena Mahavamsa, yang menyebutkannya sebagai relik tubuh [Mhv 3.5; 15.166-167] juga mengisahkan proses pengumpulannya oleh Mahakassapa hingga kemudian sampai ke Srilanka:
    Di menjelang wafatnya Sang Buddha, beliau menetapkan bahwa dari 8 dona relik tubuh, 1 yang di puja Koliya di Ramagama, akan dibawa para naga namun akhirnya akan ditempatkan di Maha Thupa di Lanka. Mahakassapa Thera melihat di masa depan tentang pembagian relik oleh Raja Dhammasoka, Mahakassapa menempatkan 7 relik di dekat Rajagaha (ibu kota) raja-Ajatasattu, sedangkan dona di Ramagama tidak diambilnya, karena mengetahui maksud Sang Guru. Raja Dhammasoka kemudian menemukan 7 Dona ini, namun ketika hendak mengambil Dona ke-8, para Arahat di masanya mencegah karena telah ditetapkan sang Buddha untuk Maha Thupa. [Mhv 31.17-24]. Thūpa kaum Koliya dihancurkan banjir dan wadah berisi relik hanyut ke laut. Para Nāgā, pimpinan Mahākāḷanaga, membawanya ke tempat mereka di Mañjerika dan dibuatkan thūpa dengan kuil, ketika Duṭṭhagāmaṇī membangun Mahā Thūpa, Ia meminta relik untuk di dalamnya, Mahinda mengirim Soṇuttara Thera ke alam Nāga. Soṇuttara mengatakan kepada raja Naga bahwa ini adalah ketetapan sang Buddha, relik harus tempatkan di Mahā Thūpa. Permintaan Soṇuttara Thera ditolak, sehingga Ia harus menggunakan kekuatan psikis untuk mendapatkannya, beberapa relik kemudian dikembalikan ke Nāgā. [Mhv 31.25-74. Kisah ini juga ada di kitab komentar Digha Nikaya, Thupavamsa, HmanNanY, U Ko Ko, Chimpa dan Chattopadhyaya] ("Relic Of The Buddha", John Strong, 2004, hal.127-128).

    Buddhis Utara menceritakan bahwa Asoka-lah yang mengumpulkan semuanya:

    Asoka mulai dengan stupa yang dibangun Ajatasatru di Magadha, membobolnya, mengeluarkan sebagian besar relik, membangunnya kembali dan meninggalkan sebagian kecil relik agar pemujaan dapat terus berlanjut di sana, Ia lakukan hal yang sama untuk 6 stupa lainya, ketika di dona terakhir, di Ramagrama yang berada di bawah air, Ia temukan pemujaan para Naga terhadap relik sangatlah megah hingga tidak mampu Ia tiru, maka tidak jadi diambilnya [Asokavadana, T. 2042, T. 2085, T. 2087, dari "Relic Of The Buddha", op-cit, hal.126-127].

    Terhadap klaim bahwa Asoka membongkar 7 stupa dan membawa pergi relik-reliknya, Rhys Davids tidak mempercayainya, menurutnya, tidak mungkin kaisar Buddha yang agung melakukan hal tersebut, sama tidak mungkinnya, dengan Konstantinus Agung, yang walau dilakukan dengan niat terbaik sekalipun, menggeledahi makam-makam paling suci di mata orang Kristen ["Asoka and the Buddha-Relics", Rhys Davids, Jurnal Royal Asiatic Society, 1901, hlm. 397-410]
Demikianlah relik peninggalan sang Buddha yang di perjalanan sejarah bertambah dengan relik tubuh sang Buddha, sementara sang buddha telah sangat jelas berpesan: Tasmātiha me, bhikkhave, dhammadāyādā bhavatha, mā āmisadāyādā (Para Bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda materi) [MN 3].

Asal Muasal Tradisi Penyembahan Patung Buddha
    Ia yang menghormati mereka yang patut dihormati, yakni Para Buddha atau siswa-siswa-Nya yang telah dapat mengatasi rintangan-rintangan, akan bebas dari kesedihan dan ratap tangis. Ia yang menghormati orang-orang suci yang telah menemukan kedamaian dan telah bebas dari ketakutan; maka jasa perbuatannya tak dapat diukur dengan ukuran apapun. [Dhammapada Syair 195-196]
Selama ratusan tahun setelah wafatnya Sang buddha tidak ada penggambaran bentuk buddha dan bahkan Dewa-dewa agama Brâhma (lazim disebut Sanathana Dharma/Hindu) pada awalnya dalam bentuk abstrak melalui tutur kata saja.


Penghormatan Sang Buddha (buddhacetiyatthâna) pada masa itu masih berupa simbol-simbol: pohon Bodhi/asattha: simbol mencapai kebuddhaan; bunga teratai: simbol pencapaian kesucian; tempat duduk/singgasana kosong: simbol Sang Buddha; cakra/roda: simbol dhamma yang dibabarkan, tapak kaki bergambarkan cakra: simbol tapak kaki sang Buddha dan singa duduk di atas bentuk teratai: simbol keagungan dan keanggunan seseorang.

Kemudian,
Di tahun 326 SM, Alexander yang agung menaklukan Gandhara (Ibukota Taxila, sekarang Afganistan), terjadi akulturasi budaya Yunani - India, di antara periode tersebut, dewa-dewa India banyak diwujudkan dalam bentuk patung, namun Buddhism hingga jaman Asoka lewat, masih belum membuat patung Buddha. Pada akhir abad 2/awal 1 SM, Raja Menander I dari Gandara yang menyukai Buddhism, diduga sebagai raja pertama pembuat antropomorfik Buddha. Foucher menduganya melalui lukisan dinding China yang menggambarkan Kaisar Han, Wu Di (120 SM) menyembah patung yang dibawa dari Asia Tengah, bisa jadi juga karena di pertengahan abad ke-2 SM, terdapat puisi raja Wu, "Gajah, putih seperti giok, datang dari barat.." [hal.272] dan catatan sejarahwan Hou Hanshu (67 M) tentang kaisar Han Timur, Ming mengirim utusan ke Tianzhu "setelah lukisan dan patung Buddha muncul di negara Tengah". Patung Buddha awal dibentuk menurut bentukan dewa Yunani Apollo ["Empire of Alexander the Great", Debra Skelton, Pamela Dell, 2009, hal.107; "A Journey Through India's Past", Chandra Mauli Mani, Jan 2005, hal.56 dan "Buddhism Today and Aesthetic Creativity", Ananda Guruge, 2010, hal.27]. Konon, Nagasena, guru Buddhis Menander yang membuat Buddha dari Zamrud di 43 SM di kota Pataliputra dan kemudian dibawa ke Thailand ["Encyclopaedia of Oriental Philosophy and Religion: Buddhism", Nagendra Kr Singh, A. P. Mishra, 2007, hal.611].

Dugaan bahwa raja Menander (lebih dikenal sebagai raja Milianda) sebagai raja pertama pembuat antropomorfik Buddha (misal oleh Faucher) dan bahwa Nagasena, yang membuat Buddha dari Zamrud, keduanya ini tidaklah akurat, karena di Milianda Panha, tidak ada ritual untuk membuat/menghormati gambar/patung sebagai repesentatif Buddha. Berikut yang tercantum dalam Milianda Panha:
    Raja Milianda: "Sang Buddha berkata, 'Ananda, jangan menyibukan diri, dengan menghormati apa yang tersisa dari 'Sang Tathagata.' Tetapi pada kesempatan lain Beliau berkata, 'Hormatilah relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga.' Pernyataan manakah yang benar?"
    Bikkhu Nāgasena: "Nasehat pertama tidak diberikan kepada semua orang, O baginda, melainkan hanya kepada para siswa Sang Penakluk [para bhikkhu]. Menghormati relik bukanlah tugas mereka. Memahami sifat hakiki semua bentukan (sammasanaṁ sankhārānaṁ: sebagai bukan-diri, tidak kekal, dan sebagai penderitaan), memperhatikan dengan benar (yoniso manasikāro), Perenungan mendalam melalui landasan ingatan (satipaṭṭhānānupassanā), memegang objek meditasi (ārammaṇasāraggāha), bersungguh-sungguh di tujuan brahmacariya (sadatthamanuyuñjanā), itulah tugas para bhikkhu (etaṁ jinaputtānaṁ karaṇīyaṁ). Tugas para dewa dan manusia, menghormati relik (avasesānaṁ devamanussānaṁ pūjā karaṇīyā) ... Oleh karena itu, Baginda, Sang Tathagata, dengan maksud, ‘Jangan terlibat yang bukan tugasmu; terlibatlah yang merupakan tugasmu,’ berkata, ‘Ānanda, jangan menyibukkan diri dengan menghormati apa yang tersisa dari 'Sang Tathagata’. Jika Sang Tathagata tidak mengatakan ini, Baginda, para bhikkhu mungkin akan terobsesi pada patta dan jubah-Nya dan akan menghormati Sang Buddha melalui kedua benda itu.” (dalam catatan kaki I.B Horner no.1044: Ini seharusnya menjadi alasan mengapa Sang Buddha berharap tidak ada dibuat potret atau gambar-Nya)." [Milianda 5.3.7]

    Raja Milianda: “Bhante Nāgasena, apa toko serba ada Sang Buddha itu? (Bhante nāgasena, katamaṁ buddhassa bhagavato sabbāpaṇan”ti: sabba = segala/lengkap; apana = toko)”
    Bhikkhu Nāgasena: “Toko serba ada Sang Buddha, Baginda, adalah 9 bagian ajaran Sang Buddha (navaṅgaṁ buddhavacanaṁ); peninggalan (cetiyāni): relik tubuh (sārīrikāni) dan barang yang Beliau gunakan (pāribhogikāni); dan permata Sangha (saṅgharatanañca) ... [Milianda 6.4.1]
Tersirat jelas bahwa ketika jaman raja Milianda-pun pemujaan terhadap patung/gambar Sang Buddha tidak dilakukan, dan ritual menghormati Sang Buddha bahkan tidak termasuk patung/gambar Buddha. Oleh karena jaman raja Menander I, tidak ada tradisi pembuat antropomorfik Buddha, maka para pendahulunya (mulai dari Demetrius I yang menaklukan dinasti Shunga) haruslah dibebaskan dari anggapan sebagai pionir pembuat antropomorfik Buddha.

Beberapa arkeolog berpendapat bahwa buddharûpa diciptakan pertama kali di zaman raja Kaniska dinasti Kusâna (119 - 163 M). Asal usul tradisi menyembah buddharupa dari sisi geografis, terjadi di wilayah India Utara dan Barat Laut, yaitu wilayah Kashmir, Pakistan, Afganistan, yang mengikuti tradisi Uttaranikâya, cikal bakal tradisi Âcariyavâda (atau Mahâyâna: diperkirakan muncul akhir abad ke-1 SM - 1 M), sehingga dapat dikatakan bahwa objek puja bentuk patung buddhisme berasal dari Âcariyavâda ["Buddharupa", Bhikkhu Dhammadiro, Juli 2012, juli 2012, hal. 22-28], kemudian diserap Theravada menjadi RITUAL menular ke umat awam (atau sebaliknya dari umat menular ke Bhikkhu) dibumbui pernyataan bahwa ini adalah perbuatan baik dan bermanfaat, sehingga mereka yang enggan atau tidak mau menghormatinya, perlahan menjadi TAKUT.

Walaupun patung Buddha TIDAKLAH TERMASUK dalam jenis cetiya dan BUKAN bagian yang diajarkan sang Buddha. Namun justru banyak vihara berlomba memajang patung Buddha (buddharûpa/buddhapatimâ): Buddha Gautama dan/atau bahkan para "Buddha" 5 arah lainnya (Amitabha, Akshobya, Vairocana, Amoghasiddhi dan Ratnasambhava), para "Bodhisattva dan Mahasattva"-nya misal Avalokitesvara, dan lainnya. Padahal, ide tentang adanya para Buddha lain di banyak arah mata angin telah tertolak di konsili ke-3, 3 SM [Lihat: Abhidhamma, KathaVathu 21.6], Kisah para Buddha dan Bodhisattva ini, baru dibuat beberapa abad setelah konsili ke-3, jadi walaupun hanya dongeng belaka, tapi di hadapan patung-patung itu, malah melakukan ritual namakkhara, añjali dan/atau mempersembahkan bunga, buah, lilin dan sebagainya.

Alasan mereka dalam melakukan penyembahan dan menghormati patung-patung Buddha diantaranya adalah untuk meminta berkah dan doa pengharapan, padahal, jangankan meminta-minta atau berharap sesuatu yang memang tidak diajarkan, bahkan menghormati patung Buddha (termasuk Buddha 5 arah mata angin berikut Bodhisattvanya) adalah kegiatan TIDAK BERGUNA dan TIDAK DIAJARKAN sang Buddha dan para sesepuh konsili ke-1-3.

Mereka yang mempertahankan ritual penyembahan patung-patung ini, beralasan bahwa ini adalah bentuk penghormatan dan cara berterima kasih karena kemunculan ajaran atau sebagai obyek samādhi/meditasi perenungan. Alasan ini TIDAKLAH TEPAT. Disamping patung-patung ini BUKANLAH representatif Buddha Gautama dan hanya imajinasi pembuatnya, cara memberhalakan seperti ini TIDAK DIAJARKAN Sang Buddha dan para sepuh konsili ke-1-3.

Ritual dan kegiatan seperti ini membahayakan pelaku karena pencerapan indriya menguat akibat pem-biasa-an dan kebiasaan, ketika cuticitta (pikiran menjelang wafat), kenangan tentang itu dalam perasaan menyenangkan atau menyakitkan mengkondisikannya terlahir di alam menyedihkan atau dalam kondisi merugi

Pohon Bodhi
Pohon Bodhi sebagai bentuk pengganti yang disarankan Sang Buddha, secara implisit disebutkan sutta tentang salah satu tempat yang baik didatangi seorang yang berkeyakinan (penggunaan kata 'pohon bodhi' tidak disebutkan, yang disebutkan penggunaan kata 'tempat'), agar bangkit ketergugahannya, karena tempat di mana Sang Tathagata mencapai Penerangan Sempurna, dengan pergi ke tempat-tempat itu (cetiyacārikaṃ āhiṇḍantā) saatnya tiba (untuk wafat) dalam pikiran bahagia, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, akan terlahir bahagia di alam deva [DN 16], namun di Kāliṅga Jataka (no.479), dalam kisah sebagai latar syair, sfesifik menyebutkan kata 'pohon bodhi', yang merujuk pada pohon pipala/ficus religiosa yang ada di Bodhgaya, di mana di bawah pohon pipala itulah, Sidhartha Gotama, mencapai penerangan sempurna:
    Ketika Sang Tathagata telah bepergian melakukan perjalanan, para penduduk kota Savatthi pergi ke Vihara Jetavana dengan membawa kalung/karangan bunga, tapi tidak menemukan sang Buddha juga tidak menemukan tempat untuk memberikan penghormatan, jadi mereka meletakan semuanya itu di depan pintu gandhakuti (tempat sang Buddha Istirahat) kemudian pulang, dan hal inipun telah memberikan kesenangan besar kepada mereka. Anathapindika memberitahukan persoalan ini kepada Ananda, kemudian Ananda menyampaikan kepada Sang Buddha

    Ananda: "Ada berapa cetiya, Bhante?"—Sang Buddha: “Tiga, Ananda..Cetiya untuk relik jasmani (sārīrika), relik barang bekas pakai (pāribhogika), relik yang merujuk (uddesika: ajaran, sangha).. untuk sārīrika, Itu hanya boleh dibuat ketika seorang Buddha telah mencapai parinibbana. Uddesika tidaklah cocok karena hanya tergantung kepada imaginasi pikiran. Tetapi pohon bodhi yang agung yang pernah digunakan oleh para Buddha adalah benda yang cocok digunakan sebagai cetiya, baik pohon itu masih hidup maupun telah mati". Ananda: "Bhante, di saat Anda pergi melakukan perjalanan, vihara Jetavana yang besar ini tidak ada tempat agar mereka dapat melakukan penghormatan, Bolehkah saya menanam biji pohon bodhi di sini, di depan pintu gerbang kota Jetavana?” Sang Buddha: "Tentu saja boleh, Ananda, dan itu nantinya harus terlihat seperti tempat tinggal bagiku.”

    Di tempat dimana pohon bodhi akan ditanam dibuat lubang, Ananda meletakkan bejana emas berlubang yang berisi tanah yang dibasahi sedikit air wangi. Kemudian kepada Raja Pasenadi Kosala, Ananda menyerahkan biji pohon bodhi yang berasal dari pohon bodhi di Gaya, yang diambil atas bantuan Mahā Moggallāna (DPPN), tapi raja menyerahkannya kepada Anantapindika yang kemudian menanam biji itu di dalam bejana emas (DPPN), saat melepaskannya dari tangannya, di depan mata semua orang, tumbuhlah anak pohon bodhi selebar kepala bajak, setinggi 50 hasta (1 hasta +/- 50 cm), Raja menuangkan 800 bejana emas dan perak yang terisi penuh air wangi dan beberapa kuntum bungan teratai biru kesekelilingnya dan tempat duduk yang dibuat dari 7 benda berharga, yang di sekelilingya ditaburkan bubuk emas. Sekeliling daerah itu dibuatkan dinding dan sebuah pintu gerbang dari 7 benda berharga.

    Untuk menyucikan pohon baru tersebut, Sang Buddha, atas permintaan Ānanda, duduk di bawahnya selama satu malam, dalam kegiuran samāpatti (DPPN)

    Note:
    Pohon bodhi = gelar, karena di pohon itulah seseorang mencapai pencerahan. Setiap Buddha punya jenis pohonnya sendiri, misal sammasambuddha Kassapa pohon bodhinya adalah dari jenis nigrodha/beringin, sehingga tidak setiap pohon beringin adalah pohon Bodhi, demikian pula dalam kasus Buddha Gotama, tidak setiap pohon pipala adalah pohon bodhi dan pohon pipala yang dimaksud hanya yang di bodhgaya ketika beliau mencapai penerangan sempurna. Keberadaan Pohon Boddhi yang berasal dari Bodhgaya, yang dibawa Sanghamitta ke Srilanka tercatat di Mahavamsa bab.17-18, yang diambil Asoka tanpa melukai pohon tersebut.
Demikian asal usul festival pohon bodhi, karena pohon ini ditanam Ananda, maka dikenal sebagai Pohon Bodhi Ananda, Di Paduma Jataka (no.261): Seluruh Jambudīpa (India) mengetahui bagaimana sang thera menanam pohon ini di depan gerbang Vihara Jetavana dan banyak bhikkhu kemudian datang memberikan persembahan berupa untaian bunga untuk melakukan puja di bawah pohon Ananda.

Dikisahkan bahwa Pohon Bodhi Bodhgaya telah 3x ditebang sampai akarnya:
    Ketika Aśoka baru naik tahta, masih non buddhisme, bersama pasukan datang ke Pohon bodhi, (1) Ia tebang sendiri pohon tersebut sampai akar, batang, dahan, dan daun menjadi potongan kecil dan menumpuknya di beberapa langkah arah barat, di tempat para Brahmana pemuja api, yang diperintahkannya membakar tumpukan tesebut sebagai persembahan, namun sebelum asap dan api menghilang, 2 pohon dengan dedaunan lebat dan hijau tumbuh dari kobaran api; pohon-pohon ini disebut pohon bodhi abu. Melihat ini, Raja Aśoka menyesal dan menyiram sisa akar dengan susu manis. Saat hari menjelang fajar, pohon itu tumbuh seperti semula. Melihat ini, Raja, sangat gembira dan memberi persembahan di pohon terebut, hingga lupa pulang. (2) Ratu, kemudian diam-diam mengirim seseorang untuk memotong pohon setelah malam tiba. Ketika Raja pergi melakukan puja di pohon itu waktu fajar, ia hanya melihat tunggulnya saja. Ia sedih kemudian dengan sungguh-sungguh berdoa dan menyirami tunggul itu dengan susu manis, dan dalam beberapa hari pohon itu tumbuh kembali, kemudian disekelilingnya Ia pagari batu setinggi lebih dari 10 kaki. (3) Baru-baru ini Raja Śaśāṅka (abad ke-6 M), non Buddhis, menghancurkan vihara dan menebang pohon bodhi. Ia gali tanah sampai dalam hingga mencapai mata air, namun ujung akarnya tidak dapat dijangkau, maka Ia membakarnya dan merendamnya dengan air tebu agar busuk akarnya dan tidak bertunas. Beberapa bulan kemudian, Raja Pūrṇavarman (dikenal sebagai Manzhou, 610-620 M) dari Magadha, turunan terakhir Aśoka, mendengar peristiwa itu, berkata sambil mendesah, “Matahari Kebijaksanaan telah tenggelam, hanya pohon Buddha ya ada di dunia; tapi sekarang pohonnya hancur, apa lagi yang bisa dilihat makhluk hidup?” Ia bersujud dan menangis, menyirami pohon itu dengan susu dari beberapa ribu sapi dan pohon itu tumbuh setinggi 10 kaki dalam satu malam. Kemudian, disekelilingnya Ia pagari setinggi 24 kaki [Taisho vol.51, no.2087: "The Great Tang Dynasty Record Of The Westen Regions", Xuan Zang, terjemahan, Li Rongzi, Fascicle 8, hal 216-217]

    Xuanzang mungkin benar untuk kejadian ke-3 (Ia berangkat ke India di tahun 629 M dan kembali ke China setelah 19 tahun), tapi sangat diragukan untuk kejadian ke-1 dan ke-2 yang terjadi hanya berselang kurang dari 1 hari.

    Asokavadana (mulai abad ke-2 M) menyampaikan pemusnahan pohon bodhi Bodhgaya setelah Asoka menjadi Buddhis:

    Ia sedang berziarah ke berbagai situs Buddha, istrinya, Tisyaraksita dilanda cemburu terhadap Bodhi, yang ditenggarainya sebagai selir baru Asoka, Ia meminta penyihir mengguna-gunainya sampai mati, walaupun penyihir itu bingung karena tahu identitas Bodhi, yaitu pohon, namun tidak bertanya dan hanya menjalankan tugasnya, Ia lilitkan benang di sekitar batang pohon, menggumamkan mantra, dan "bodhi" pun segera layu, akibatnya Asoka pingsan, Tisyaraksita menyadari kesalahannya, menyuruh penyihir membatalkan guna-gunanya dan pohon bodhi (dan Asoka) pun pulih. ["The Legend of King Aśoka: A Study and Translation of the Aśokāvadāna", John Strong, 1989, hal.126-127].

    Mahavamsa (mulai abad ke-3 SM s.d 4 M) menceritakan kemusnahan pohon bodhi Bodhgaya setelah Asoka menjadi Buddhis:

    Tahun ke-18 pemerintahan Dhammasoka, pohon Bodhi Bodhgaya, di tanam di Mahameghavanarama (Mahavihara, Srilanka), 12 tahun kemudian, istrinya, yaitu ratu Asamdhimitta wafat, 4 tahun kemudian Tissarakkha menggantikanya sebagai ratu, 3 tahun kemudian, karena cemburu, Ia memusnahkan pohon bodhi dengan duri mandu dan di tahun ke-4nya, Dhammasoka wafat [Mhv 20.1-6].

    Keberadaan pohon Bodhi di Bodhgaya, masih dapat ditelusuri hingga abad ke-19, melalui Cunningham: "Deskripsi berikut pohon tersebut disampaikan Dr. Buchanan di tahun 1811, 'Pohon itu dalam keadaan kokoh, dan kemungkinan besar usianya tidak akan melebihi 100 tahun; tetapi pohon serupa mungkin pernah ada di tempat yang sama, ketika kuil ada'". Cunningham: "Pada Desember 1862, saya menemukan Pohon ini 'sangat membusuk; 1 batang besar di arah Barat, dengan 3 cabang, masih hijau, tetapi cabang lainnya tidak berkulit dan busuk'. Saya melihat Pohon itu di tahun 1871, dan lagi pada tahun 1875, yang saat itu telah membusuk seluruhnya, kemudian, di tahun 1876, satu-satunya bagian pohon yang tersisa tumbang ke tembok Barat, ketika terjadi badai, dan pohon Pipala tua pun lenyap. Akan tetapi, banyak benih yang telah dikumpulkan, dan batang-batang muda dari pohon induk sudah tersedia untuk menggantikannya." ["Mahâbodhi, or the great Buddhist temple under the Bodhi tree at Buddha-Gaya", Sir Cunningham, 1892, Bab 7, hal.30]
Klenteng VS Vihara
kata "Kelenteng" asal muasalnya karena bunyi lonceng. Umumnya dianggap sama dengan Vihara, padahal untuk disebut vihara harus TIDAK ADA patung deva-deva (hanya ada simbol-simbol Buddha), harus ada Dhammasala (tempat khotbah) dan kuti (tempat menginap para bhikkhu). Kebanyakan kelenteng tidak memuat simbol-simbol Buddha dan memajang patung deva-deva. Ada kelenteng yang khusus digunakan untuk menyimpan abu leluhur golongan masyarakat tertentu.

Menyembah Deva dan Leluhur
Boleh/tidak pemeluk Buddhis memasang hio, memberikan persembahan/memuja Dewa Kwan Kong /Dewi Kwan Im/memohon keselamatan dan rejeki pada makhluk/Dzat tertentu?

Tidak ada larangan memasang hio atau memberikan persembahan ataupun memohon perlindungan berupa keselamatan dan/atau rejeki di manapun [termasuk di kuburan, batu, pohon, kamar] namun TIDAK DIANJURKAN
    Guan Yu/Kwan Kong (160 M - 219 M), punya 2 istri dan 3 anak (ping, suo dan xing-dari istri ke-2). Setelah kalah perang, dipenggal kepalanya, Karena marah dan penasaran, ia menjadi setan penasaran dan hendak membalas dendam. Konon ia bertemu Biksu Pu jing dan menjadi berlindung pada Tri Ratna

    Kuan-Yin/Kwan-Im, legenda yang bercampur ajaran Buddha Mahayana India di abad ke-1 SM, awalnya adalah pria dan disebut Avalokitesvara (ava = ke bawah + lokita/melihat + īśvara = tuhan. Translasi tibet: chenrezig = mengamati + wangchug = Ishvara/tuhan), hingga abad ke-7 jaman Dinasti Tang, masih digambarkan sebagai Pria, namun jaman kerajaan Sung [10-13 M] berubah sebagai wanita.

    Seluruh terjemahan awal Lotus Sutra dan juga terjemahan Kumarajiva, serta Surangama Sutra (+/- 705 M), Kuan shi Yin adalah pria, namun pada pertengahan atau akhir abad ke-9, di gua tertutup Tun Huang, ditemukan teks buddhism dan Kuan shi Yin ini telah berbentuk wanita [The Kuan Yin Chronicles: The Myths and Prophecies of the Chinese Goddess of Compassion, Martin Palmer, Jay Ramsay, Man-Ho Kwok., 2008,"Shfit to Female"]

    Banyak legenda tentang perubahannya sebagai wanita, salah satunya berasal dari legenda kuno sebelum kemunculan Taoisme, yaitu dewi Niang-Niang, Dewi Ibu. Di abad ke-12, muncul kisah Miao shan:

      Raja Miao Zhuang, punya 3 Puteri, puteri bungsunya tidak mau menikah dan hidup menyepi. Raja habis kesabaran, menghukum mati sang puteri dan Putri ini masuk ke neraka, melihat keadaan mereka yang di neraka, Ia menjadi sedih dan berdoa agar mereka yang di neraka berbahagia. doanya membuat dirinya kembali pada rupanya terdahulu. 9 Tahun kemudian, Raja sakit parah, putri berniat mengobatinya, namun terlambat, ayahnya masuk neraka. Untuk menolongnya, Ia potong tangannya sendiri dan Raja kembali. Raja kemudian menjadi pengikut buddha Amitabha. Rakyat terharu dan membuatkan banyak tangan palsu dan secara ajaib Miao San menjadi bertangan 1000.

    Kisah ini mendapatkan kritik keras dalam kumpulan esai "Cheng-e chi (Koreksi Kesalahan)", karya Chu-hung (1535–1635): "Kuan-yin Hsiang-shan chüan (risalah tentang Kuan-yin di Hsiang-shan):

      Dalam buku tersebut Kuan-yin disebutkan sebagai putri Raja Miao-Zhuang. Dikatakan bahwa Ia meninggalkan rumah, menjadi tercerahkan, dan dipanggil Kuan-yin. Ini adalah kesalahan...Raja Miao-chuang tidak diidentifikasi sebagai raja dari dinasti tertentu atau negara tertentu. Meskipun karya ini memiliki beberapa manfaat dalam mengajar dan membimbing wanita, itu akan menjadi terlalu jauh ketika beberapa biksu yang vulgar mempercayainya dan menganggapnya sebagai sutra yang luar biasa untuk pengembangan spiritual. [Kuan-yin: The Chinese Transformation of Avalokitesvara, Chün-fang Yü, 2001, hal.318]

    Legenda lain menyatakan ketika ia bersamādhi, Ia sedih karena banyak makhluk yang menderita, kepalanya menjadi pecah berkeping-keping, namun karena "welas asihnya" kepalanya kembali utuh dan Ia menjadi bermata 1000. Legenda lainnya menyatakan saat Ia memerangi siluman saking banyaknya, kemudian Ia menggunakan kesaktian tangan dan matanya menjadi ribuan. Sutra Mahayana (Maha Karuna Dharani Sutra) menambahkan legenda bahwa Ia bahkan telah menjadi Buddha.
Buddhism menjelaskan bahwa mereka yang menjelang wafatnya: penasaran, karena marah, kecewa, sedih, dendam dan/atau sakit hati maka kondisi perasaan negatif tersebut merupakan penyambung kesadaran menuju kemunculan di alam-alam bawah jelas menunjukan mereka bukanlah Dewa.
    Suatu masa, 4 putra orang kaya menyewa pelacur, setelah selesai, salah satunya mengusulkan merampok perhiasan dan 1000 keping perak sang pelacur dan disetujui lainnya, Setelah merampok, mereka menghabisinya dengan brutal. Pelacur itu dengan dendam dan marah berpikir, "mereka jahat dan tidak tahu malu, setelah memanfaatkanku dengan penuh nafsu, sekarang berusaha membunuhku karena serakah. Aku tidak salah apa pun pada mereka. Aku putus asa. Biarkan mereka membunuhku. Akankah aku dapat terlahir menjadi makhluk yang mampu membunuh mereka berkali-kali". Setelah wafat, Pelacur itu terlahir berulang sebagai makhluk halus berwujud seekor Banteng dan berulang kali pula membunuh mereka (Kematian akibat diseruduk Banteng/Sapi: Pukkusāti/MN 140; Tambadāṭhika/Dhp no.100; Suppabuddha/Dhp no.66, Ud 5.3; dan Bāhiya Dārucīriya/Ud 1.10)
Kwan Kong maupun Kuan-im adalah leluhur keluarga tertentu jadi sah-sah saja bagi mereka menghormati leluhurnya dengan memasang hio, memberikan persembahan namun cara itu tidak bermanfaat bagi mendiang dan diri sendiri. Buddhisme menyarankannya dengan kemurahan hati [caga] ber-PATTIDANA[↓].

Sang Buddha menyatakan bahwa cara MENGHORMATI leluhur yang baik sebagaimana nasehat Beliau pada SIGALAKA, yang disuatu pagi, ditemuinya dengan pakaian dan rambut basah dan tangan dirangkapkan sedang menghormat/menyembah ke 6 arah (timur, selatan, barat, utara, bawah dan atas) karena menjalankan pesan mendiang ayahnya. Sang Buddha katakan itu bukan cara menghormat ke-6 arah yang benar. Lanjutannya silakan baca DN 31/Sigalaka Sutta

Kemudian,
MEMBERIKAN sesuatu pada YAKKHA juga tidaklah berguna, NAMUN ada bantuan yang dapat dimohonkan pada YAKKHA:
    ‘Ini, Yang Mulia, adalah syair-syair perlindungan Āṭānāṭā, yang dengannya para bhikkhu dan bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan akan dikawal, dilindungi, tidak dicelakai, dan merasa nyaman.

    Dan jika bhikkhu atau bhikkhunī, umat awam laki-laki atau perempuan mana pun juga, mempelajari syair-syair ini dengan baik dan menghafalkannya dalam hati, maka jika makhluk bukan manusia mana pun juga, yakkha laki-laki atau perempuan atau anak-anak yakkha, atau pemimpin pelayan atau pelayan yakkha, gandhabba laki-laki atau perempuan, ... kumbhaṇḍa, ... nāga, ... mendatangi orang itu dengan niat jahat ketika ia sedang berjalan atau hendak berjalan, berdiri atau hendak berdiri, duduk atau hendak duduk, berbaring atau hendak berbaring, maka makhluk bukan manusia itu takkan dihormati dan disembah di desa dan kota. Makhluk itu takkan mendapatkan tempat tinggal di ibu kotaku Āḷakamandā, ia takkan diizinkan menghadiri pertemuan para yakkha, juga tidak diterima dalam suatu pernikahan. Dan semua makhluk bukan manusia, dengan kemarahan, akan mengecamnya. Kemudian mereka akan merenggut kepalanya seperti mangkuk kosong, dan mereka akan memecahkan kepalanya menjadi 7 keping.’

    ‘Ada, Yang Mulia, beberapa makhluk bukan manusia, yang ganas, liar, dan mengerikan. Mereka tidak mematuhi para Raja Dewa, juga tidak pada para menterinya, juga tidak pada para pelayannya. Mereka dikatakan memberontak melawan Raja Dewa. Bagaikan pemimpin-penjahat yang ditaklukkan oleh Raja Magadha, tidak mematuhi Raja Magadha, atau menterinya atau pelayannya, demikian pula mereka bersikap. Sekarang jika ada yakkha atau anak-anak yakkha yang mana pun, ... gandhabba, ... mendatangi bhikkhu atau bhikkhunī, umat awam laki-laki atau perempuan mana pun juga, dengan niat jahat, maka orang itu harus waspada, memanggil dan meneriakkan nama para yakkha, yakkha sakti, para pemimpin dan jenderal mereka, dengan mengatakan: “Yakkha ini telah menangkapku, menyakitiku, mencelakaiku, melukaiku, dan tidak membebaskanku!” [Untuk nama-nama Yakkha yang dapat dimanfaatkan jadi “tukang pukul”, liat: DN 32]
Sutta ini adalah JANJI raja catumaharajika kepada sang Buddha untuk melindungi para pengikut sang Buddha dari disakiti/dicelakai makhluk alam itu.

APAKAH mereka berkata benar dan menepati janjinya? Tentu saja.
    Maha Moggallana Thera kerap berkunjung ke alam Dewa dan mewawancarai para dewa sehubungan dengan perbuatan baik apa yang menyebabkan mereka terlahir di alam Dewa dan mereka memberikan jawaban yang berbeda-beda.

    1. Dewa pertama mengatakan bukan karena banyak berdana atau sering mendengarkan Dhamma tetapi karena ia selalu berbicara benar.
    2. Dewa wanita menyatakan karena tidak pernah marah pada tuannya dan tidak memiliki maksud buruk padanya meskipun tuannya sering memukul dan menyiksanya. Dengan meredam kemarahan dan menghindari kebencian, ia terlahir di alam Dewa.
    3. Ada yang menyatakan karena sedikit berdana sebatang gula tebu, buah, atau beberapa sayuran pada seorang bhikkhu atau pada orang lain.

    Setelah kembali dari alam Dewa, Maha Moggallana Thera bertanya pada Sang Buddha, apakah mungkin meraih banyak keuntungan hanya dengan bicara benar, atau mengendalikan perbuatan atau dengan memberikan sedikit barang seperti buah dan sayuran.

    Sang Buddha menjawab, "Anak-Ku, mengapa kau bertanya hal itu ? Apakah kamu tidak melihat dan mendengar sendiri apa yang dewa-dewa itu katakan ? Seharusnya engkau tidak meragukannya.[..]" [Dhammapada Bab 15, syair 224]
SEBERAPA CEPAT KEDATANGANNYA?
DI UPOSATHA SUTTA (AN 3.70): 1 hari 1 malam di alam TAVATIMSA = 100 tahun manusia, 1 hari di alam CATUMAHARAJIKA = 50 tahun manusia, 30 hari = 1 bulan dan 12 bulan = 1 tahun, sehingga:
    1 detik alam Tavatimsa = 10 JAM di alam manusia
    1 detik alam Catumaharajika = 5 JAM di alam manusia
    1 jam alam Tavatimsa = 4 TAHUNAN di alam manusia
    1 jam alam Catumaharajika = 2 TAHUNAN di alam manusia
Sehingga, ketika MEMINTA PERTOLONGAN pada Yakkha/Deva yang disebutkan di DN 32, bisa jadi kehidupan kita sudah tidak sama lagi dan/atau bisa jadi, kita sudah wafat, karena kedatangan mereka, paling cepat 5 jam sejak saat kejadian.

Bagaimana jika kepada mantan kerabat kita?
Misalkan kerabat kita wafat dan terlahir di alam Catumaharajika, saat terlahir, tentunya Ia terheran sejenak dengan keadaan barunya, sehingga perhatiannya, akan banyak teralihkan dan belum tentu Ia akan segera merenungkan, "Mengapa Aku berada di sini?, Siapa dan dimana aku sebelumnya?" baru setelahnya, Ia menjadi ingat bahwa sebelumnya Ia terlahir di alam manusia dan kemudian berniat mencari keturunannya. Jika saja ingatan dan keinginannya itu terjadi di 1 harian setelah beliau di sana, maka itu = 50 tahun kemudian, maka saat itu, bisa jadi kita telah wafat.

Meminta dan bersandar kepada para leluhur, kerabat dan para Deva (DN 32) selain masih ada jeda waktunya, belum tentu terjadi disetiap kali kita mau dan belum tentu mau mengikuti kemauan kita, padahal mereka adalah makhluk-makhluk yang terlahir karena perbuatan baiknya, yang tentunya, mereka berharap bahwa kita akan menjadi lebih baik lagi dalam melakukan 3 landasan membuat jasa kebajikan yaitu: dānā, sila dan Bhāvanā.

Maka APALAGI MEMINTA dan MEMUJA (ataupun melakukan ritual-ritual mandi kembang) dengan tujuan meminta dan memohon atau berterimakasih pada bentukan terbuat dari batu, kayu, berupa patung manusia/dewa/binatang, bentuk abstrak atau tertentu, dan juga kepada makhluk2 halus tertentu/setan (Pali: peta, pisāca, lihat DN 3) yang menyerupai manusia, binatang, bentuk lainnya ataupun tanpa bentuk, ini adalah PERBUATAN SIA-SIA BELAKA.

Bagaimana jika kepada Buddha?
Di jaman sang Buddha masih hidup, beberapa melakukan penyembahan (termasuk dengan mempersembahkan bunga, buah dan dupa) dengan berterima kasih dan menghormat.
    Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa sekian bulan lagi beliau akan mangkat, maka di beberapa waktu kemudian segerombolan Bikkhu berusaha mengadili beberapa bikkhu [Attadattha, Dhammarama dan Tissa Thera] yang malah pergi menyendiri, tidak berada dekat-dekat beliau dan memuja Beliau seperti yang dilakukan oleh segerombolan Bikkhu lainnya setelah pengumuman tersebut,

    "Bhante, bhikkhu ini tidak terlihat mencintai, memuja-Mu, tidak menghargai, tidak mau peduli, tidak menghormat, dan tidak berbakti pada Bhante [seperti yang kami lakukan]. Ia terlihat menyendiri pada saat para bhikkhu lain sedang berada di dekat Bhante."

    Masing-masing tertuduh [Atthadata, Tissa Thera dan Dhammarama] menjelaskan bahwa Ia berusaha keras untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha mangkat (parinibbana) dengan memperaktekan salah satu Pengembangan/Bhavana, dan itulah alasannya mengapa Ia tidak datang mendekat Sang Buddha.

    Sang Buddha sangat puas dan menghargai apa yang telah diungkapkan dan dilakukan oleh Bhikkhu Dhammarama, kemudian berkata, "Anak-Ku Dhammarama, engkau telah berperilaku sangat baik. Seorang bhikkhu yang mencintai dan menghormat pada-Ku hendaknya berkelakuan seperti engkau. Mereka yang mempersembahkan bunga, pelita, dan dupa pada-Ku tidaklah benar-benar memberi hormat pada-Ku. Hanya mereka yang melaksanakan Dhamma, ajaran-Ku, adalah benar-benar seseorang yang memberikan hormat pada-Ku." [Dhammapada bab 12, bab 15 dan bab 25]
Walaupun objeknya baik, namun tujuan dan caranya yang keliru. Buddha bukanlah objek sesembahan untuk dipuja ataupun tempat meminta namun dapat sebagai objek terkait ingatan [Buddhanussati: Buddha + anussati: ingatan]. Objek ini TIDAK DILAKUKAN dengan bentuk PATUNG dan berkonsentrasi pada itu, karena akan menjerumuskan pelakunya menuju ke alam-alam menderita.
    Sang Buddha menyatakan:
    ..indriya mata menggenggam gambaran melalui cici-ciri (anubyañjanasa nimittaggāho) dalam sebuah bentukan yang dapat dikenali oleh mata
    ..indriya telinga..
    ..indriya hidung..
    ..indriya lidah..
    ..indriya badan..
    ..Karena jika kesadaran terikat pada kepuasan dalam gambaran atau dalam ciri-ciri, dan jika ia meninggal dunia pada saat itu, adalah mungkin bahwa ia akan pergi ke satu dari dua tujuan ini: neraka atau alam binatang [SN 35.235/Ādittapariyāya]
Jadi, jangan heran mendapatkan seseorang berKTP Buddhis, rajin ke vihara, tunggang-tungging tiap saat di depan patung Buddha namun tetep melakukan pembunuhan, pencurian, perkosaan, menipu, korupsi dan mabuk-mabukan itu karena mereka tidak sepenuhnya serius praktek Dhamma sang Buddha.

Agar tidak menggenggam gambaran ciri-ciri yang dikenali oleh indriya:
    ..merenungkan: Aku hanya akan memperhatikan:

    Mata adalah tidak kekal, bentukan adalah tidak kekal, kesadaran-mata adalah tidak kekal, kontak-mata adalah tidak kekal, perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan bukan menyenangkan – itu juga tidak kekal.
    Indriya Telinga..
    Hidung..
    Lidah..
    Badan..
    pikiran adalah tidak kekal..perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi..itu juga tidak kekal’

    ”Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih mengalami ketidaktertarikan terhadap mata, bentukan, kesadaran-mata, kontak mata, dan perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi – apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan bukan menyenangkan … terhadap telinga.. terhadap hidung.. terhadap lidah.. terhadap badan.. terhadap pikiran, bentukan kehendak pikiran, kesadaran-pikiran, kontak-pikiran, perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi….

    Mengalami ketidaktertarikan, menjadi tidak menginginkannya. Melalui tidak menginginkannya, maka terbebaskan darinya. Ketika terbebaskan darinya muncul pengetahuan: ‘Terbebaskan.’Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’ [SN 35.235/Ādittapariyāya]
Selain itu, terdapat 6/7 objek mengingat/ingatan untuk direnungkan: (1) Buddha, (2) Dhamma, (3) Sangha, (4) Sila, (5) Caga/Kedermawanan dan (6) Deva [Kepada Mahanama: AN 6.10; AN 11.11-12; Kepada Visakha: AN 3.70] dan di AN 11.13. Kepada Nandiya: (1) Buddha, (2) Dhamma (3) Teman yang Baik, (4) Caga/Kedermawanan dan (5) Deva]:
    Mahanama/Nandiya:
    Guru, ketika siswa mulia yang telah mencapai hasil dan memahami pengajaran (ariyasāvako āgataphalo viññātasāsano), berdiam yang bagaimana yang harus kami biasakan (so katamena vihārena bahulaṁ viharatī)? (AN 6.10, 11-11-12) [Atau: Mahanama/Nandiya: Guru, Kami berdiam diragam kediaman (nānāvihārehi viharataṁ), kediaman manakah yang seharusnya sering dilakukan? (kenassa vihārena vihātabba) (AN 11.11-13)]

    Sang Buddha (yaitu terkait 5 Indriya):

    1. Dengan keyakinan (saddha), pencapaian terjadi (ārādhako hoti), bukan tanpa keyakinan. (SN 48.8, Indriya keyakinan harus terlihat dalam 4 faktor pemasuk arus/catūsu sotāpattiyaṅgesu);
    2. Dengan semangat kegigihan (āraddhavīriyo), pencapaian terjadi, bukan dengan kemalasan (kusīto). (SN 48.8, Indriya kegigihan harus terlihat dalam 4 usaha benar/catūsu sammappadhānesu);
    3. Dengan siap ingatannya (upaṭṭhitassati), pencapaian terjadi, bukan dengan lengah/kacau dalam ingatan (muṭṭhassati). (SN 48.8, Indriya ingatan harus terlihat dalam 4 landasan ingatan/catūsu satipaṭṭhānesu);
    4. Dengan keterpusatan pikiran (samāhita), pencapaian terjadi bukan tanpa pikiran terpusat. (SN 48.8, Indriya keterpusatan pikiran/samādhi harus terlihat dalam 4 jhāna/catūsu jhānesu);
    5. Dengan kebijaksanaan (paññavā), pencapaian terjadi bukan dengan pikiran pendek/tanpa kebijakan (duppañño) [AN 11.11-12]. (SN 48.8, Indriya kebijaksanaan harus terlihat dalam 4 kebenaran mulia/catūsu ariyasaccesu)

      Kepada Nandiya ditambah (6) Sila, ini disampaikan setelah keyakinan dan sebelum kegigihan: Seorang yang bermoral (sīlavā), pencapaian terjadi (ārādhako hoti), bukan yang tidak bermoral (dussīlo) [AN 11.13]

    Kepada Mahanama: Setelah menegakkan 5 hal ini (pañcasu dhammesu patiṭṭhāya), kembangkanlah lebih lanjut 6 hal (cha dhamme uttari bhāveyyāsi) (AN 11.11-12)

    Kepada Nandiya: Setelah menegakkan 5 hal ini, 5 hal secara pribadi, sering diingat lebih dekat (pañcasu dhammesu ajjhattaṁ sati upaṭṭhāpetabbā) (AN 11.13)

    kepada Visākhā: (5 Indriya tidak disebut, tapi mulai dengan kalimat): "Bagaimana..cara memurnikan pikiran yang kotor? ("Kathañca..upakkiliṭṭhassa cittassa upakkamena pariyodapanā hoti" (pikiran kotor/upakkiliṭṭhassa cittassa; memurnikan/membersihkan/pariyodapanā; tindakan/cara/upakkama) (AN 3.70):

    1. Buddhānussati (Mengingat Buddha), 9 kualitas:
      Idha mahānāma/nandiya/visākhe, ariyasāvako tathāgataṃ anussarati (Mahanama/Nandiya/Visākha, dalam hal ini, siswa mulia mengingat sang tathāgata):

      itipi so (demikianlah beliau) (1) bhagavā (beruntung/mulia/agung/bhaga + punya/: sang agung/mulia/beruntung) (2) arahaṃ (yang patut di hormati, noda-nodanya telah lenyap, kehidupan suci telah terpenuhi, telah melakukan yang harus dilakukan, tak lagi menanggung beban, telah mencapai tujuan, belenggu KELAHIRAN KEMBALI telah hancur dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir) (3) sammāsam (dengan benar sempurna/seluruhnya) - (4) Buddho (yang telah memutus rantai penjelmaan) (5) vijjācaraṇasampanno (sempurna pengetahuan dan prilaku) (6) sugato (baik/su + arah/tujuannya/gato atau bicaranya/gad) (7) lokavidū (pengenal alam) (8) anuttaro purisadammasārathi (penunjuk jalan tiada banding bagi yang patut dijinakkan) (9) satthā devamanussānaṃ (guru para deva dan manusia) buddho bhagavā ti (sang mulia yang telah memutus rantai penjelmaan).. [AN 6.10. AN 11.11-13; Di AN 3.70, disebut Uposatha Brahma].

      Arti Tathāgata
      Menurut sekte lain/paribbājakā: uttamapuriso paramapuriso paramapattipatto (manusia utama, manusia tertinggi, mencapai yang tertinggi) [SN 22.86].

      Menurut Sang Buddha: seorang yang menyatakan Dhamma dan disiplin di waktu yang tepat, sesuai kenyataan, dan bermanfaat (atītānāgatapaccuppannesu dhammesu .. kālavādī bhūtavādī atthavādī dhammavādī vinayavādī).. Apapun yang terlihat, terdengar, terindera, dikenal, apapun yang pernah dicapai, dicari atau direnungkan oleh pikiran—semua ini telah dipahami sepenuhnya oleh Sang Tathāgata (diṭṭhaṁ sutaṁ mutaṁ viññātaṁ pattaṁ pariyesitaṁ anuvicaritaṁ manasā, sabbaṁ tathāgatena abhisambuddhaṁ) ... Antara malam ketika mencapai penerangan sempurna, dan malam ketika mencapai unsur-Nibbāna tanpa sisa, apapun yang Beliau babarkan, ucapkan atau jelaskan adalah demikian adanya dan bukan sebaliknya (yaṁ etasmiṁ antare bhāsati lapati niddisati. Sabbaṁ taṁ tatheva hoti no aññathā) .. melakukan apa yang Ia katakan, dan mengatakan apa yang Ia lakukan (yathāvādī tathākārī, yathākārī tathāvādī) .. penakluk tak terkalahkan, raja dalam melihat segala sesuatunya (abhibhū anabhibhūto aññadatthudaso vasavattī) [DN 29]

      Arti Buddha
      Sekitar tahun 1680an kata Buddha diterjemahkan menjadi "tersadar, tercerahkan", dengan menafsirkan kata "budh" (tersadar, tahu, merasakan) dan dikaitkan kata Sanskrit "bodhati" (terjaga, mengamati, memaham). Terjemahan ini jauh dari apa yang sang Buddha sampaikan kepada Brahmana Dona, terkait frase Buddhoti (sebagai Buddha) dan buddhosmi (Aku Buddha), yaitu setelah menjelaskan: (karena telah menghancurkan noda-noda/āsavā, penyebab penjelmaan/bhava, sehingga tidak akan lagi terlahir) Aku telah memotong akarnya, membuatnya seperti tunggul palem, melenyapkannya sehingga tidak lagi muncul di masa depan ... walaupun aku lahir dan besar di dunia, namun Aku telah mengatasi (abhibhuyya) dunia, tidak melekati/dikotori (anupalitto) dunia. Ingatlah Aku, Brahmana, sebagai Buddha" [AN 4.36] dan jauh dari apa yang disampaikan sang Buddha kepada paribbājaka Sabhiya terkait "buddhan”ti: "Pattaṁ jātikhayaṁ tamāhu buddhan”ti (mencapai hancurnya kelahiran, disebut yang telah memutus rantai penjelmaan) [SNP 3.6]. Jadi arti Buddha adalah "mencapai hancurnya kelahiran" atau "yang telah memutus rantai penjelmaan".

      Arti Arahat
      Arahat berasal dari akar "arh" artinya: "patut mendapatkan jasa, patut dihormati" [Sir Monier-Williams, A Sanskrit-English Dictionary, Oxford: Clarendon Press, 1899, hal.93]. Rig Veda 1.94.1: "imaṃ stomam arhate jātavedase.." (Pujian ini kepada jataveda/agni yang patut dihormati..) atau Satapatha Brahamana 3.4.1.8: "..vā arhate pacanti.." menunjukan bahwa kata arahat telah ada sebelum Buddhisme, yaitu "yang patut dihormati".

      Sang Buddha menyampaikan makna Arahat yang sesungguhnya:

      ayaṁ vuccati, bhikkhave, bhikkhu arahaṁ khīṇāsavo vusitavā katakaraṇīyo ohitabhāro anuppattasadattho parikkhīṇabhavasaṁyojano sammadaññāvimutto (Para Bhikkhu, Di sini, seorang bhikkhu merupakan Arahat, noda-nodanya telah lenyap, kehidupan suci telah terpenuhi, telah melakukan yang harus dilakukan, tak lagi menanggung beban, telah mencapai tujuan, belenggu KELAHIRAN KEMBALI telah hancur dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir) [Iti 44, SN 48.4, AN 9.7]

      Beda antara Sang Tathāgata Arahant yang dengan benar sempurna telah memutus rantai penjelmaan VS Bhikkhu Arahat:

      Tathāgato,..arahaṁ sammāsambuddho anuppannassa maggassa uppādetā, asañjātassa maggassa sañjanetā, anakkhātassa maggassa akkhātā maggaññū, maggavidū, maggakovido (Sang Tathāgata Arahant yang dengan benar sempurna telah memutus rantai penjelmaan adalah penemu jalan yang belum ada sebelumnya, pembuat jalan yang belum dibuat sebelumnya, yang menyatakan jalan yang belum dinyatakan sebelumnya. Pengenal sang jalan, Penemu sang jalan, yang terampil dalam sang jalan); maggānugā ca, bhikkhave, etarahi sāvakā viharanti pacchā samannāgatā (Dan dengan jalan itu, para bhikkhu, sekarang para siswaNya berdiam, setelah memilikinya) [SN 22.58]

    2. Dhammānussati (Mengingat Dhamma), 6 kualitas:
      Puna caparaṃ, mahānāma/nandiya/visākhe, ariyasāvako dhammaṃ anussarati (Kemudian, Mahanama/Nandiya/Visākha, siswa mulia mengingat akan Dhamma): (1) svākkhāto bhagavatā dhammo (ajaran sang pembawa keberuntungan telah disampaikan baik) (2) sandiṭṭhiko (bermanfaat nyata di kehidupan ini juga) (3) akāliko (tak berbatas waktu) (4) ehipassiko (mengundang untuk dibuktikan sendiri) (5) opaneyyiko (memberikan tuntunan) (6) paccattaṃ veditabbo viññūhī ti. (dirasakan/dikenali sendiri oleh yang mengetahui/melakukannya)..[AN 6.10. AN 11.11-13; Di AN 3.70, disebut Uposatha Dhamma]

    3. Saṅghānussati (Mengingat Sangha) 9 kualitas:
      Kemudian, Mahānāma/Visākha, siswa mulia mengingat akan Sangha: bhagavato sāvakasaṅgho (Kumpulan siswa mulia sang pembawa keberuntungan) yang menjalankan arahan (paṭipanno) secara: (1) suppaṭipanno (baik), (2) ujupaṭipanno (lurus), (3) ñāyapaṭipanno (benar), (4) sāmīcipaṭipanno (patut dalam tindakan), yadidaṃ cattāri purisayugāni (terdiri dari 4 pasang makhluk: sotāpanna, sakadāgāmī, anāgāmī dan arahat), aṭṭha purisapuggalā (8 individu: sotāpanna magga (jalan) dan phala (buah/hasil) .. arahat magga dan phala), patut menerima: (5) āhuneyyo (persembahan), (6) pāhuneyyo (keramahtamahan/pelayanan seperti kepada tamu terhormat), (7) dakkhiṇeyyo (pemberian/pembiayaan), (8) (añjalikaraṇīyo (penghormatan), (9) anuttaraṃ puñña'k'khettaṃ lokassā ti (ladang menanam kebajikan tiada banding di seluruh alam).. [AN 6.10. AN 11.11-12; Di AN 3.70, disebut Uposatha sangha]

      Note:
      Yang TIDAK mempelajari Buddhisme dan/atau yang TIDAK mengalami sendiri hasil prakteknya, melalui berprilaku sesuai dhamma dan anudhamma (misal: perubahan sikap dan prilaku, pencapaian hasil samādhi) dan/atau karena kata sarati, atau sati adalah INGATAN, maka haruslah MENGALAMI LANGSUNG ingatannya melalui mata, telinga dan pikiran karena mengenal BUDDHA/DHAMMA dan SANGHA kumpulan sang BUDDHA, oleh karenanya, ingatan ini (atau merenungkan ingatan ini), menjadi SANGAT SULIT dilakukan. Oleh karenanya pula, Buddhānussati, TIDAK DILAKUKAN dengan bentuk PATUNG dan berkonsentrasi pada itu, ini menjerumuskan pelakunya menuju alam menderita

    4. Kalyāṇamittanussati (Mengingat Teman yang Baik):
      Kemudian, Nandiya, siswa mulia mengingat para teman baiknya (kalyāṇamitte anussareyyāsi): Sungguh beruntung aku, sungguh baik keberuntunganku (ābhā vata me, suladdhaṁ vata me), dengan para teman baik ku, yang meperhatikan, menginginkan kesejahteraanku, memberi dukungan/dorongan dan nasehat padaku (yassa me kalyāṇamittā anukampakā atthakāmā ovādakā anusāsakā’ti) [AN 11.13]

    5. Sīlānussati (Mengingat moralitas/sila):
      Kemudian, Mahānāma/Visākha, siswa mulia mengingat moralitasnya sendiri yang: akhaṇḍāni (tak rusak/utuh keseluruhan) acchiddāni (tak cacat/robek) asabalāni (tak bernoda) akammāsāni (tak bercela) bhujissāni (membebaskan) viññuppasatthāni (dipujikan para bijak) aparāmaṭṭhāni (tak digenggam) samādhisaṃvattanikāni (mengarah pada pikiran terpusat)..[AN 6.10. AN 11.11-12; Di AN 3.70, disebut Uposatha Prilaku bermoral]

    6. Cāgānussati (Mengingat kemurahan hati):
      Kemudian, Mahanama/Nandiya, siswa mulia mengigat kemurahan hatinya sendiri: keberuntungan bagiku, bermanfaat besar bagiku, di antara mereka yang tergairahkan noda, Aku perumah tangga yang pikirannya bebas noda kekikitan, murah hati dalam memberi dengan tangan terbuka, gemar memberi, selalu siap bagi yang membutuhkan, bergembira sepenuhnya dalam memberi dan berbagi..[AN 6.10. AN 11.11-13]

    7. Devatānussati (Mengingat para deva):
      Kepada Mahanama/Visākha: siswa mulia mengembangkan ingatannya terhadap para Deva: Kedamaian Deva: catumaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati, Paranimiitavasavatti, Para Dewa alam Brahma dan Deva lainnya yang lebih tinggi lagi [AN 6.10, AN 11.11-12. Di AN 3.70]
      Kepada Nandiya: Para dewa yang melebihi kelompok pengkonsumsi makanan kasar (yā devatā atikkammeva kabaḷīkārāhārabhakkhānaṁ devatānaṁ), muncul di kumpulan yang bertubuh manomaya/Brahma (sahabyataṁ aññataraṁ manomayaṁ kāyaṁ upapannā), Melihat diri mereka, tidak ada yang harus dilakukan, atau yang dilakukannya lagi (tā karaṇīyaṁ attano na samanupassanti katassa vā paticayaṁ) [AN 11.13].

      Kepada Mahanama/Visakha: Dengan keyakinan (saddhāya) yang dimiliki para dewa ini, mereka wafat di sini, dan muncul di sana, Akupun memiliki keyakinan yang demikian pula
      Dengan moralitas (sīlena)..
      Dengan pemahaman pembelajaran (sutena)..
      Dengan kemurahan hati (cāgena)..
      Dengan kebijaksanaan (paññāya) yang dimiliki para dewa ini, mereka wafat di sini, dan muncul di sana, Akupun memiliki kebijaksanaan yang demikian pula.. [AN 6.10, AN 11.11-12. Di AN 3.70, disebut Uposatha Devata] [↑] [↑]

      Note:
      Beberapa yang menjadi Deva BUKAN karena ajaran Buddha, namun karena: menjalankan Samādhi atau MORALITAS atau KEMURAHAN HATI atau TIDAK MEMBENCI atau TIDAK MUDAH MARAH atau TIDAK MENYAKITI atau MENYATAKAN YANG BENAR selama hidup.

    Kepada Mahanama: Ketika siswa mulia mengingat/merenungi ingatannya akan (Sang Tathagata atau Dhamma atau Sangha atau moralitas atau kemurahan hati atau 'Keyakinan, moralitas, pemahaman pembelajaran, kemurahan hati dan kebijaksanaan dari para Deva'), pikirannya tidak terobsesi oleh: ketagihan (raga), kebencian (dosa), keliru tahu (moha); Pikirannya menjadi terarah [ujugatacitto] pada (Sang Tathagata atau Dhamma atau Sangha atau moralitasmu sendiri atau kemurahan hatimu sendiri atau 'Keyakinan, moralitas, pemahaman pembelajaran, kemurahan hati dan kebijaksanaan dari para Deva')

    Dengan terarahnya pikiran, siswa mulia memperoleh (Labhati) pemahaman makna (atthavedam), pemahaman ajaran (dhammavedam), sukacita sehubungan dengan pemahaman ajaran (dhammūpasaṃhitaṃ pāmojjaṃ). Sukacita besar menimbulkan riak kegiuran (Pamuditassa pīti jāyati), pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman (pītimanassa kāyo passambhati), tubuh yang nyaman terasa menyenangkan (passaddhakāyo sukhaṃ vediyati), pikiran di keadaan senang, menjadikannya terpusat (sukhino cittaṃ samādhiyati) [AN 6.10, AN 11.11-12]

    Kepada Visakha: Ketika seorang siswa mulia mengingat (Sang Tathagata atau Dhamma atau Sangha atau moralitasmu sendiri atau 'Keyakinan, moralitas, pemahaman pembelajaran, kemurahan hati dan kebijaksanaan dari para Deva'), pikirannya menjadi tenang (cittaṁ pasīdati), sukacita muncul (pāmojjaṁ uppajjati), dan kekotoran pikiran menjadi ditinggalkan (ye cittassa upakkilesā te pahīyanti) [AN 3.70]

    Kepada Mahanama: Ini dikatakan, siswa mulia yang berhasil berdiam dalam kumpulan yang tidak harmonis, hidup tidak bermasalah dalam kumpulan yang bermasalah, memasuki arus Dhamma dengan mengembangkan ingatannya/merenungi ingatannya akan: (Buddha atau Dhamma atau Sangha atau moralitasmu sendiri atau kemurahan hatimu sendiri atau 'Keyakinan, moralitas, pemahaman pembelajaran, kemurahan hati dan kebijaksanaan dari para Deva') [dhammasotaṃ samāpanno..bhāveti] [AN 6.10, AN 11.11]

    Kepada Mahanama: seharusnya engkau kembangkan ingatannya/merenungi ingatannya akan (Sang Tathagata atau Dhamma atau Sangha atau moralitasmu sendiri atau kemurahan hatimu sendiri atau 'Keyakinan, moralitas, pemahaman pembelajaran, kemurahan hati dan kebijaksanaan dari para Deva'), ketika: berjalan, berdiri, duduk, berbaring, sibuk di pekerjaan, bersantai di rumah bersama anak-anakmu [AN 11.12]

    Note:
    Sutta memberikan konfirmasi bahwa praktek DANA - SILA dapat berbuah pencapaian kesucian. Ini berlawanan dengan anggapan umum bahwa praktek DANA - SILA tidak dapat mencapai kesucian. Pencapaian jhāna ke-1 dapat dicapai melalui jalur merenungi ingatan.
Karena mereka yang muncul di alam Deva di antaranya karena melakukan beberapa latihan, Pengetahuan, kebijaksanaan misalnya dengan menahan kemarahan, berkata benar, melakukan kemurahan hati dengan berdana, menjalankan sila, dan kebajikan lainnya, maka PERLINDUNGAN SESUNGGUHNYA hanyalah jika diri sendiri MELAKUKAN KEBIASAAN menjalankan DANA-SILA-samādhi. Kebiasaan itu bermanfaat saat kematian [cuticitta], pikiran akan mengingat, memunculkan perasaan bahagia dan itulah yang akan menghantarkannya muncul di antara para Deva.
    "Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan; oleh diri sendiri seseorang menjadi tidak suci. Hanya oleh diri sendiri kejahatan dihentikan; hanya oleh diri sendiri seseorang menjadi suci. Suci dan tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorang pun dapat menyucikan orang lain." [Dhammapada, syair 165]
Tinggalkan kebiasaan meminta-minta, bergantung pada DIRI SENDIRI dengan menjalankan 3 landasan membuat jasa kebajikan, yaitu: Dānā, Sila dan Bhāvanā! []
---------------

LENYAPNYA DHAMMA SEJATI

Sekurangnya ada 2 sutta yang digunakan sebagai dasar klaim bahwa Dhamma sejati MASIH ADA:
  1. ”Subhadda, dalam dhamma dan vinaya mana pun, jika TIDAK TERDAPAT Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun TIDAK ADA seorang petapa sejati, juga TIDAK ADA petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4. Tetapi dalam dhamma dan vinaya yang mana pun, jika terdapat Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun akan ada petapa sejati, juga ada petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4. Kini, dalam dhamma dan vinaya yang kuajarkan terdapat Jalan Mulia Berunsur 8 itu, maka dengan sendirinya terdapat petapa-petapa sejati, juga petapa-petapa sejati ke-2, ke-3 atau ke-4

    Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur 8 adalah kosong dan bukan petapa yang sejati. Subhadda, jika para bhikkhu ini hidup dengan baik menurut dhamma dan vinaya, maka dunia ini takkan kekosongan Arahat” [DN 16].

    Sehingga, disebut dhamma sejati karena:

    (1) Ada ajaran yang mengandung jalan berunsur 8;
    (2) Ada yang mencapai kesucian dengan ajaran tersebut, dan
    (3) Ada suciwan yang mengajarkannya.

    Jadi, selama kita menjalani/mengikuti ajaran yang mengandung 8 Jalan mulia maka PASTI AKAN [atau MASIH ADA yang] mencapai tingkat kesucian sotāpanna s.d arahat atau dengan kata lain, karena ajaran Buddha yang ada sampai sekarang ini menuliskan atau ada kalimat jalan mulia berunsur 8, maka SEKARANG INIPUN masih ada ORANG suci oleh karenanya Dhamma sejati masihlah ada dan/atau

  2. ”Siapa pun [Yo hi Koci], para bhikkhu, yang mempraktikkan 4 Landasan ingatan ini selama 7 tahun dapat mengharapkan satu dari 2 hasil ini: mencapai kesucian Arahant DALAM KEHIDUPAN INI [diṭṭheva dhamme aññā] atau, jika masih ada beberapa kekotoran tersisa, mencapai kondisi Yang-Tidak-Kembali. Jangankan 7 tahun – siapa pun yang mempraktikkannya selama 6 tahun.., 5 tahun.., 4 tahun.., 3 tahun.., 2 tahun.., 1 tahun dapat mengharapkan satu dari 2 hasil..; jangankan 1 tahun-siapa pun yang mempraktikkannya selama 7 bulan.., 6 bulan.., 5 bulan.., 4 bulan.., 3 bulan.., 2 bulan.., 1 bulan.., ;½ ;bulan dapat mengharapkan satu dari 2 hasil..; jangankan ½ bulan-siapa pun yang mempraktikkan 4 Landasan ingatan ini selama 7 hari dapat mengharapkan satu dari 2 hasil ini: mencapai kesucian Arahant dalam kehidupan ini atau, jika masih ada beberapa kekotoran tersisa, mencapai kondisi Yang-Tidak-Kembali.’ [MN 10, DN 22].

    Kata "diṭṭheva dhamme" berarti: "di sini sekarang" atau "dikehidupan saat ini". Untuk kata "siapa pun [Yo hi koci]", Buddhaghosa di kitab komentarnya menyatakan: para Bhikkhu/bhikkhuni atau upasaka/upasika [umat awam laki/perempuan].
Namun,
di banyak sutta juga kita temukan bahkan dari jaman sang Buddha masih hidup dan mereka mempraktekkan ajarannya, ternyata:
  1. Ada banyak bhikkhu/Bhikkhuni yang keluar dari komunitas sangha (misal di SN 16.11: 30 bhikkhu murid dari YM ananda. Untuk kasus Bhikkhuni, misal: Thullananda di SN 16.),
  2. Ada beberapa yang berhenti menyakini sang Buddha (misal: mantan pembantu tetap sang Buddha: Sunakkhatta, padahal Ia telah mengikuti beliau bertahun-tahun lamanya) dan
  3. Tidak terhitung jumlah anggota sangha bhikkhu/bhikkhuni serta para upasaka/upasika (umat awam pria/wanita) yang tidak mencapai kesucian bahkan hingga wafatnya sang Buddha.
  4. Para bhikkhu/bhikkhuni juga SUDAH TAHU tentang 4 landasan ingatan dan juga mencoba mempraktekkannya, namun tetap saja banyak yang tidak dapat mencapai kesucian dan beberapa malah meninggalkan komunitas sangha dan bahkan sasana/ajaran.
Jika benar seperti yang Buddhaghosa sampaikan bahwa ini ditujukan pada siapapun bhikkhu/ninya tapi Buddhaghosa sendiri tidak mencapai kesucian apapun:
    Visuddhimagga versi Sri Lanka tertulis ..puññakammena..Tāvatiṃse pamodento,..patvāna paṭhamaṃ phalaṃ. Antime attabhāvamhi, metteyyaṃ munipuṅgavaṃ..Adhigantvā phalaṃ aggaṃ.. (Dengan buah kebajikannya, Buddhaghosa berharap terlahir di Tavatimsa, di sana mencapai sotāpanna, di kelahiran terakhir sebagai manusia di jaman Buddha Metteyya dan mencapai arahat). Namun di versi Myanmar, tidak ada pernyataan itu [Visuddhimagga, Nanamoli, 2011, hal.747]

    Di Buddhaghosupatti, Myanmar, disimpulkan bahwa Bhikkhu Buddhaghosa tidak mencapai kesucian:

    Cintetvā ca pana maraṇadivase Buddhaguṇena saddhiṃ attano sīlaṃ anussaramāno kalaṃ katvā Tusitapure nibbattitvā dvādasayojanike kanakavimane devaccharasahassapirivārā saddhiṃ paṭivasati.

    Yadā Metteyyo bodhisatto idha manussaloke sabbaññūtapatto hessati tadā so ca tassa sāvako bhavissati aggo ca seṭṭho ca Metteyyassa Bhavagato sabbadhammesu appaṭihatena attano ñāṇavasena. So ca sattakkhattuṃ Metteyyena Bhagavatā etadagge ṭhapito bhavissati— ‘Mama sāvakānaṃ dhammavinayadharānaṃ bahussutānaṃ ñāṇagatīnaṃ ñāṇadharanaṃ yadidaṃ Buddhaghoso’ ti
    ”.

    [Setelah merenungkan hari kematiaanya, saat mengingat moralitasnya yang sesuai dengan kualitas seorang Buddha, (Buddhaghosa) meninggal dan terlahir di alam Tusita di mana ia memiliki istana emas terbentang 12 yojana dan hidup dikelilingi 1000 bidadari

    Ketika Bodhisatta Metteyya mencapai kebuddhaan di alam manusia ini, Ia (Buddhaghosa) akan menjadi muridnya yang tertinggi, teragung, tanpa cacat, sempurna dan berpengetahuan dalam ajaran. Ia akan dinyatakan Buddha Metteyya sendiri: ‘Di antara para muridku yang ahli dalam Dhamma dan vinaya, terpelajar, telah menguasai pengetahuan dan menjaga pengetahuan adalah Buddhaghosa” [Dhammacitta: Critic About Buddhaghosa]
Bhikkhu S. Dhammika:
    Aku mendengar pandangan yang sama yang disampaikan ribuan kali di Sri Lanka. Bahkan Buddhaghosa tidak benar percaya bahwa Praktek Theravada menghantarkan ke nirvana. Buku Visuddhimagga-nya, seharusnya merupakan detail, step by step tuntunan menuju pencerahan. Dan tetap di dalam Naskah belakangan Ia berkata bahwa Ia berharap jasa kebaikannya menulis Visuddhimagga berbuah dengan membuatnya terlahir kembali di alam surga sampai kemunculan Buddha Metteyya, mendengarkan ajarannya dan kemudian memperoleh pencerahan.

    Di Sri Lanka secara luas dipercaya bahwa adalah tidak mungkin mencapai pencerahan lagi dan ini dipercayai bukan oleh sekedar umat biasa. Saya suatu ketika datang bercakap dengan Narada Thera yang terkenal dari vihara Vajirarama, Colombo, Saat percakapan ia berkata bahwa bahkan tidak mungkin menjadi sotāpanna sekarang ini. Richard Gombrich menemukan ide yang sama yang beredar luas di Sri Lanka. ["THE BROKEN BUDDHA", Critical Reflections on Theravada and a Plea for a New Buddhism, by S. Dhammika, hal.13]
Walaupun ajaran Sang Buddha mengandung jalan mulia ber unsur 8, namun ada faktor-faktor yang menyebabkan banyak dari mereka tidak mencapai kesucian, misalnya kualitas/sikap seseorang, yang walaupun mendengarkan dhamma sejati, pasti tidak akan memasuki manfaat kebenaran dhamma, karena para bhikkhu:
    meremehkan: khotbah, pembabar atau dirinya sendiri; mendengarkan Dhamma sebagai seorang pencela yang dikuasai oleh celaan atau dengan niat untuk mengkritiknya, mencari kesalahan-kesalahan; Berwatak buruk terhadap gurunya, berniat untuk menyerangnya atau mendengarkan Dhamma dengan pikiran kacau dan berhamburan atau memperhatikan secara sembrono atau tidak bijaksana, bodoh, tumpul; membayangkan bahwa ia telah memahami apa yang belum ia pahami [AN 5.151-153]
Juga beberapa hal yang menyebabkan kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati adalah karena para Bhikkhu:
  1. Tidak seksama dalam: mendengarkan, mempelajari, menghafalkan Dhamma; tidak memeriksa makna ajaran yang telah dihafalkan; tidak memahami makna dan pengajaran; tidak mempraktekkan sesuai pengajaran [AN 5.154]

  2. Tidak mempelajari ajaran berupa: khotbah-khotbah/sutta, campuran prosa dan syair/geyya, penjelasan-penjelasan/veyyākaraṇaṃ, syair-syair/gātha, ucapan-ucapan inspiratif/udāna, kutipan-kutipan/ itivutta, kisah-kisah kelahiran/jātaka, kisah-kisah menakjubkan/abbhutadhamma, dan serial pertanyaan dan jawaban/vedalla;
    Tidak mengajarkan ajaran kepada orang lain secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari;
    Tidak menyuruh orang lain untuk mengulangi dan melafalkan ajaran secara terperinci seperti yang mereka dengar dan pelajari;
    Tidak merenungkan/anuvitakkenti, menjelajahi/anuvicārenti, dan menyelidiki/manasānupekkhanti ajaran dalam pikiran seperti yang mereka dengar dan pelajari [AN 5.155]

  3. mempelajari kotbah-kotbah yang salah (duggahitaṃ suttantaṃ pariyāpuṇanti) , dengan kata-kata dan frasa yang buruk/salah kontekstual (dunnikkhittehi padabyañjanehi). Dengan kata-kata dan frasa-frasa yang buruk, maknanya menjadi salah (Dunnikkhittassa padabyañjanassa atthopi dunnayodunnayo);
    Para bhikkhu sulit dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuat mereka sulit dikoreksi, tidak sopan dan tidak menerima ajaran dengan hormat;
    Para bhikkhu terpelajar (bahussutā) yang menguasai ajaran (āgatāgamā = hafal 5 nikaya), ahli dalam Dhamma (dhammadharā), vinaya (vinayadharā) dan kerangka ajaran (mātikādharā), tidak dengan baik mengajarkan khotbah-khotbah kepada orang lain. Ketika wafat, khotbah-khotbah itu terpotong akarnya, tanpa pewaris;
    Para bhikkhu senior tenggelam dalam kemewahan dan menjadi mengendur, pelopor dalam kemerosotan, mengabaikan tugas keterasingan; tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. PARA GENERASI BERIKUTNYA mengikuti gaya mereka, tenggelam dalam kemewahan dan menjadi mengendur, pelopor dalam kemerosotan, mengabaikan tugas keterasingan; tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.
    Terjadi perpecahan dalam Saṅgha, dan ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha maka terdapat saling menghina, saling mencaci, saling mencela, dan saling menolak. Kemudian mereka yang tanpa keyakinan tidak memperoleh keyakinan, sedangkan beberapa di antara mereka yang berkeyakinan menjadi berubah pikiran [AN 4.160; AN 5.156]
Disamping itu,
Di Sutta dan Vinaya, terdapat kronologi lenyapnya Dhamma sejati, yaitu mulai dengan ditetapkan aturan-aturan kebhikkhuan (Vinaya) dan vonis tahun MULAINYA hitungan mundur sisa umur ajarannya (Dhamma sejati) yang ditandai dengan penahbisan Mahapajapati Gotami sebagai Bhikkhuni pertama.

Kapankah aturan-aturan kebhikkhuan ditetapkan?
Kitab komentar menyatakan bahwa di masa Vassa ke-5 (di Vesali), sangha bhikkhuni terbentuk, namun tampaknya hal ini belumlah dapat dilakukan, karena di saat itu Vinaya dan pātimokkha belumlah ada. Bahkan hingga tahun ke-12 kebuddhaan, yaitu di Veranja, Vinaya & pātimokkha juga belum ada karena saat itu dari seluruh bhikkhu yang menjadi muridNya, semuanya telah mencapai kesucian dan yang terendah adalah sotāpanna.
    Di kota Veranja (sebelah Baratnya Kapilavastu dan Koliya), ketika itu tengah dilanda masa paceklik dan kelaparan (dubbhikkhe), kepada Sang Buddha, Sariputta bertanya: "Pada Masa Buddha siapakah kehidupan suci bertahan lama dan masa Buddha siapakah tidak bertahan lama?”. Sang Buddha:

    Pada masa Buddha Vipassī, Sikhī and Vessabhū tidak membabarkan khotbah Dhamma secara terperinci, peraturan latihan bagi para siswa (vinaya) tidak dipermaklumkan dan kumpulan peraturan tidak dirumuskan (pātimokkha, inti peraturan). Setelah Para Buddha, generasi para siswanya parinibbana, ajaran itu lenyap dengan cepat.
    Pada masa Buddha Kakusandha, Konāgamana and Kassapa membabarkan khotbah Mereka secara terperinci, menetapkan Vinaya dan pātimokkha. Setelah Mereka dan para siswa langsung Parinibbana, generasi-generasi berikutnya menjaga ajaran itu hingga bertahan.

    Mendengar itu, YM Sariputta memohon pada sang Buddha agar menetapkan vinaya dan pātimokkha. Sang Buddha: ITU BELUMLAH SAATNYA karena dari puluhan ribu anggota sangha saat itu, hanya 500nya saja yang sotāpanna dan kelak ketika jumlah anggota sangha semakin membesar akan terjadi kecenderungan berpikir, berucap dan berbuat yang menjauh dari jalan kesucian, di saat itulah vinaya dan pātimokkha baru dapat ditetapkan [Suttavibhanga Vin.I.3, 2-4]
Bahkan,
Di paruh pertama ke-Buddhan (20 tahun), vinaya dan pātimokkhapun, belumlah ditetapkan, untuk itu, di MN 21, Sang Buddha menggambarkan tentang masa-masa menyenangkan, "ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ cittaṃ" [Para bhikkhu, pernah terjadi di satu masa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu]. Buddhaghosa menjelaskan komentarnya di Vinaya, sub bagian parajikakhanda bahwa itu dikatakan terjadi pada 20 tahun pertama ke-Buddhaan:
    "Apaññatte sikkhāpadeti paṭhamapārājikasikkhāpade aṭṭhapite. Bhagavato kira paṭhamabodhiyaṃ vīsati vassāni bhikkhū cittaṃ ārādhayiṃsu, na evarūpaṃ ajjhācāramakaṃsu. Taṃ sandhāyeva idaṃ suttamāha – ‘‘ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ citta’’nti . Atha bhagavā ajjhācāraṃ apassanto pārājikaṃ vā saṅghādisesaṃ vā na paññapesi. Tasmiṃ tasmiṃ pana vatthusmiṃ avasese pañca khuddakāpattikkhandhe eva paññapesi. Tena vuttaṃ – ‘‘apaññatte sikkhāpade’’ti"

    [Aturan latihan belum diumumkan, parajika pertama belum ditetapkan. Demikian dikatakan, 20 tahun/vīsati vassāni pertama masa ke-Buddhaan, para bhikkhu memuaskan pikiran sang Buddha dengan tidak melakukan kesalahan. Dalam sutta dikatakan, 'Para bhikkhu, pernah terjadi suatu masa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu'. Sang Buddha, tidak melihat adanya kesalahan, tidak mengumumkan pārājika ataupun Sanghadisesa. Ketika muncul kasus, beliau umumkan 5 keadaan pelanggaran kecil, karena itulah beliau katakan, ‘apaññatte sikkhāpade].
Komentar Buddhaghosa, tampaknya memiliki dasar, beberapa di bawah ini terjadi mulai dari tahun ke-20:
  1. YM Ananda menjadi Buddhopaṭṭhāka (pembantu tetap Sang Buddha) [Thag 17.3/Ananda].

  2. Parajika ke-1 vinaya terkait kasus Bhikkhu Sudinna (belum sotāpanna) dari desa Kalandaka (dekat Vesali). Setelah masa vassa di Veranja(a)(c) Sang Buddha di Vesali, di sini Sudinna ditahbiskan. Sudinna kemudian tinggal disekitar desa area Vaji (Sebelah Timur Kapilavastu dan Devadaha)(b). Di Vajji ada paceklik dan bencana kelaparan(d) sehingga para bhikkhu sulit mendapatkan dàna makanan, karenanya, Sudinna bermaksud menggantungkan hidup pada sanaknya di Vesali, dengan alasan, "Karena aku mereka dapat mempersembahkan dàna dan melakukan kebajikan. Dan para bhikkhu akan memperoleh keuntungan secara materi, dan aku takkan dipersulit dalam hal makanan”. Di Vesali keluarganya berusaha membuatnya berhenti jadi Bhikku, setelah gagal membujuk dengan harta, Ibunya meminta diberikan keturunan sebagai pewaris agar harta tidak direnggut kaum Licchavi. Suddinna kemudian berhubungan seksual dengan istri lamanya dan lahirlah Bijaka, Ibu anak itu dipanggil Ibu Bijaka (BijakaMata). Berapa lama kemudian(c), Bijaka dan ibunya memutuskan menjadi Bhikkhu dan Bhikkhuni dan akhirnya mereka menjadi Arahat. Sebaliknya Sudinna, dilanda kecemasan dan penyesalan, tubuhnya semakin kurus dan pucat, teman sesama Bhikkhu bertanya apa yang melandanya, Ia akui perbuatannya. Permasalahan ini diteruskan ke sang Buddha yang sedang di Vesali, atas kejadian ini, beliau tetapkan aturan untuk kali pertamanya bahwa mereka yang melakukan percabulan, sudah kalah (parajika), tidak lagi dalam sangha [Suttavibhanga Vin.I.3, 2-4]

    Note:
    (a) Di Veranja adalah masa vassa ke-12. [Komentar Vinaya Parajikakandha].

    (b) Sudinna di area Vaji 8 tahun lamanya [Komentar Vinaya Parajikakandha] atau tahun ke-20 keBuddhaan. Aturan parajika ke-1 yang ditetapkan di Vesali terjadi di tahun ke-21. Vinaya juga menyampaikan di pada masa paceklik di Vajji terjadi Parajika ke-4 (klaim memiliki supranatural agar mudah mendapatkan makanan). Masa Paceklik dan kelaparan dapat terjadi 12 tahun lamanya (jaman raja Vattagamini, Sri Lanka).

    (c) Bhikkhuvibhanga, Vinaya, tidak menyebutkan tahun-nya namun komentar Vinaya katakan Ibu-anak melepas keduniawian 7/8 tahun setelahnya dan mereka menjadi arahat, "Bījakassa kira sattaṭṭhavassakāle tassa mātā bhikkhunīsu so ca bhikkhūsu pabbajitvā kalyāṇamitte upanissāya arahatte patiṭṭhahiṃsu"

    (d) Sutta dan Vinaya menyampaikan terdapat beberapa daerah yang terkena bencana kelaparan (Dubbhikkhe), diantaranya:

    1. Vesali (masuk wilayah Vajji) dilanda kemarau panjang, panenan gagal, terjadi kekurangan makanan, kelaparan, penyakit [kolera, ahivàta roga], kematian terjadi dimana-mana, mayat berserakan di kota. Raja Vesali mengutus 2 pangeran Licchavi menemui sang Buddha yang sedang di Rajagaha dan beliaupun menuju Vesali. Jarak Rajagaha - Sungai Ganga (5 Yojana) - Vesali (3 Yojana) atau sekitar: 89.6 km s.d 115 km (1 yojana = 7-9 mil, 1 mil = 1.6 km). Di sana beliau membabarkan RATANA SUTTA pada YM ANANDA dan meminta YM Ananda berkeliling kota membacakan Ratana Sutta [RAPB, buku ke-2, Cetakan I, Mei 2008. hal 1451 s/d. 1489]

    2. Rajagaha

    3. Nalanda (Buddhaghosa: Jarak 1 Yojana dari Rajagaha. Di SN 42.9, dengan narasi ada bencana kelaparan, Sang Buddha hanya menyebut Sangha Bhikkhu tanpa ada Bhikkhuni. Asibandhakaputta, pengikut Nigaṇṭha Nāṭaputta yang menjadi pengikut Sang Buddha. SN 42.7: Tanpa ada narasi bencana kelaparan, Asibandhakaputta tidak disebut lagi sebagai pengikut Jain dan Sang Buddha menyebutkan kata “bhikkhu dan bhikkhuni”)

    4. Alavi

    5. Savatthi, tempat terjadinya Parajika ke-2 (Kasus pencurian).

    6. Sungai Rohini: Kapilavatthu/Sakya (di baratnya) dan Devadaha/Koliya (di Timurnya). Jarak Kapilavastu - Devadaha: 5 Yojana. Air sungai digunakan keduanya untuk persawahan, karena ketinggian air menurun hingga titik terendah. Para petani kedua kerajaan rapat pembagian air, kesepakatan gagal, meruncing berujung akan terjadi perang Sang Buddha mendamaikannya, setelahnya, 250 pria masing-masing suku, memutuskan menjadi bhikkhu. [Narasi pertengkaran sungai Rohini tercantum di: Jataka no.74; no.475; no.536 dan Dhammapada syair 197-199. Syair Thag 10.1/Kaludayi hanya menyebut nama 2 negara itu dan sungai Rohini tanpa narasi pertengkaran. Sang Buddha bervassa di Jetavana, Sàvatthi [RAPB buku ke-1, Cetakan ke-1, May 2008, hal. 1080]. Jarak Savatthi-Kapilavastu: 6 Yojana (67.2 km - 86.4 km)]

    Tampaknya, paceklik besar yang berakibat bencana kelaparan hampir merata melanda wilayah Barat hingga Timur Jambudwipa diseputaran tahun ke-20 ke-Buddhaan.
Dari kejadian di atas, tampaknya, awal vinaya ditetapkan, di tahun ke-21, satu persatu pelanggaran muncul, satu persatu aturan (Parajika dan Sanghadisesa) ditetapkan, setelahnya cukup banyak, muncul penahbisan Bhikkhuni pertama, terbentuknya sangha Bhikkhuni, yang menandai mulainya hitungan mundur 500 tahun berakhirnya: Dhamma Sejati dan penghidupan BRAHMA menurut Dhamma-Vinaya

Penahbisan Bhikkhuni pertama dan terbentuknya Sangha Bhikkhuni:

Pada suatu ketika Sang Bhagavā, sedang menetap di antara penduduk Sakya di Kapilavatthu di vihara Banyan. Kemudian Gotami Pajāpatī yang Agung, menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia berdiri dalam jarak selayaknya. Setelah berdiri dalam jarak selayaknya, Gotami Pajāpati yang Agung, berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, baik sekali jika perempuan boleh diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin (dhammavinaye) yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.”

“Hati-hati, Gotami, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Dan untuk ke-2xnya … Dan untuk ke-3xnya Gotami Pajāpati yang Agung, berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, baik sekali …”

“Hati-hati, Gotami, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.”

Kemudian Gotami, Pajāpati yang Agung, karena berpikir: “Sang Bhagavā tidak memperbolehkan perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran,” berduka, bersedih, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis, setelah berpamitan dengan Sang Bhagavā, pergi dengan Beliau di sisi kanannya.

Kemudian Sang Bhagavā setelah menetap di Kapilavatthu selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Vesālī. Secara bertahap, berjalan kaki dalam perjalanan itu, akhirnya Beliau tiba di Vesālī. Sang Bhagavā menetap di sana di Vesālī di Hutan Besar di Aula beratap segitiga. Kemudian Gotami Pajāpati yang Agung, setelah memotong rambutnya, setelah mengenakan jubah kuning, melakukan perjalanan menuju Vesālī bersama dengan beberapa perempuan Sakya, dan akhirnya mereka mendekati Vesālī, Hutan Besar, Aula beratap segitiga. Kemudian Gotami Pajāpati yang Agung, kakinya membengkak, tubuhnya tertutup debu, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis, berdiri di luar teras utama.

Yang Mulia Ānanda melihat Gotami Pajāpati yang Agung berdiri di luar teras utama, kakinya membengkak, tubuhnya tertutup debu, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis; melihatnya, ia berkata pada Gotami Pajāpati yang Agung sebagai berikut:

“Mengapa engkau, Gotami, berdiri … dan menangis?”

“Karena, Yang Mulia Ānanda, Sang Bhagavā tidak memperbolehkan perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”

“Baiklah, Gotami, tunggulah sebentar di sini, hingga aku memohon pada Sang Bhagavā atas pelepasan keduniawian bagi perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, Gotami, Pajāpati yang Agung, sedang berdiri di luar teras utama, kakinya membengkak, tubuhnya tertutup debu, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis, dan mengatakan bahwa Sang Bhagavā tidak memperbolehkan perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran. Baik sekali, Yang Mulia, jika perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga … oleh Sang Penemu-kebenaran.”

“Hati-hati, Ānanda, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga … oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Dan untuk ke-2xnya … Dan untuk ke-3xnya Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Baik sekali, Yang Mulia, jika perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga … yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”

“Hati-hati, Ānanda, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam `dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir:

“Sang Bhagavā tidak memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini. Bagaimana jika aku, dengan cara lain, memohon pada Sang Bhagavā untuk memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, apakah para perempuan, setelah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini, mampu mencapai buah pencapaian-arus atau buah yang-kembali-sekali atau buah yang-tidak-kembali atau kesempurnaan?”

“Para perempuan, Ānanda, setelah meninggalkan keduniawian … mampu mencapai … kesempurnaan.”

“Jika, Yang Mulia, setelah meninggalkan keduniawian … mampu mencapai … kesempurnaan – dan, Yang Mulia, Gotami Pajāpati yang Agung, telah sagat banyak membantu: ia adalah bibi Sang Bhagavā, ibu pengasuh, perawat, pemberi susu, karena ketika ibu Sang Bhagavā meninggal dunia ia menyusui Beliau - baik sekali, Yang Mulia, jika para perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”

“Jika, Ānanda, Gotami Pajāpati yang Agung, menerima 8 peraturan penting, maka ia boleh ditahbiskan:
  1. “Seorang bhikkhunī yang telah ditahbiskan (bahkan) selama 1 abad harus menyapa dengan hormat, bangkit dari duduknya, beranjali, memberikan penghormatan selayaknya pada seorang bhikkhu bahkan pada yang baru ditahbiskan pada hari itu. Dan peraturan ini harus dihormati, dihargai, dijunjung, dimuliakan, tidak boleh dilanggar seumur hidupnya".

  2. “Seorang bhikkhunī tidak boleh retret musim hujan di tempat di mana tidak ada Bhikkhu. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

  3. “Setiap 1/2 bulan seorang bhikkhunī harus mengharapkan 2 hal dari Saṅgha para bhikkhu terkait Uposatha dan kedatangan untuk memberikan nasihat. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

  4. “Setelah musim hujan seorang bhikkhunī harus ‘mengikuti undangan berakhirnya musim hujan/pavarana’ di hadapan ke-2 Saṅgha terkait 3 kesalahannya yang berasal dari: apa yang: dilihat, didengar, dicurigai. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

  5. “Seorang bhikkhunī yang melanggar suatu peraturan penting, harus menjalani mawas diri/mānatta selama 1/2 bulan di hadapan ke-2 Saṅgha. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

  6. “Ketika, menjalani masa percobaan, telah berlatih 6 sila selama 2 tahun, maka Ia harus memohon penahbisan dari ke-2 Saṅgha. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

  7. “Seorang bhikkhu tidak boleh dicela atau ditegur dalam cara apa pun oleh seorang bhikkhunī. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

  8. Mulai hari ini seorang bhikkhunī dilarang memberikan nasihat kepada para bhikkhu, namun para bhikkhu boleh memberikan nasihat kepada para bhikkhunī. Peraturan ini harus dihormati, dihargai, dijunjung, dimuliakan, tidak boleh dilanggar seumur hidupnya" [Kata "vacanapatha" di sini diartikan "pemberian nasihat" berupa dhamma-vinaya, namun kata ini dapat pula bermakna "tidak berkata kasar"].
“Jika, Ānanda, Gotami Pajāpati yang Agung, menerima 8 peraturan penting, maka ia boleh ditahbiskan.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda, setelah menghafalkan 8 peraturan penting ini dari Sang Bhagavā, mendatangi Gotami Pajāpati yang Agung; setelah mendekat, ia berkata pada Gotami Pajāpati yang Agung sebagai berikut:

“Jika engkau, Gotami, sudi menerima 8 peraturan penting, maka engkau boleh ditahbiskan: Seorang bhikkhunī yang telah ditahbiskan (bahkan) selama satu abad … Mulai hari ini pemberian nasihat pada para bhikkhu oleh para bhikkhunī adalah terlarang … tidak boleh dilanggar seumur hidupmu. Jika engkau, Gotami, sudi menerima 8 peraturan penting, maka engkau boleh ditahbiskan.”

“Seperti halnya, Yang Mulia Ānanda, seorang perempuan atau laki-laki muda, berusia muda, dan menyukai perhiasan, setelah mencuci (badan dan) kepala(nya), setelah memperoleh kalung bunga teratai atau kalung bunga melati atau kalung bunga tanaman merambat yang harum, setelah memegangnya dengan kedua tangan akan meletakkan di atas kepalanya – demikian pula aku, menghormati, Ānanda, dan menerima ke-8 peraturan penting ini dan takkan pernah melanggarnya seumur hidupku.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, 8 peraturan penting ini diterima Gotami Pajāpati yang Agung.”

“Jika, Ānanda, perempuan tidak memperoleh pelepasan keduniawian kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma-disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran, maka cara hidup brahma/cara non duniawi (brahmacariya) Ānanda, akan bertahan lama, dhamma sejati akan bertahan selama 1000 tahun (vassasahassaṃ saddhammo tiṭṭheyya). Tetapi karena, Ānanda, perempuan telah memperoleh pelepasan keduniawian … dhamma-disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran, Sekarang, Ānanda, cara hidup brahma/cara non duniawi menjadi tidak bertahan lama. Sekarang, Ānanda, DHAMMA SEJATI hanya bertahan 500 tahun (na dāni, ānanda, brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ bhavissati. Pañceva dāni, ānanda, vassasatāni saddhammo ṭhassati)

“Seperti halnya, Ānanda, seseorang, berharap, akan membangun tanggul pada sebuah waduk agar air tidak meluap keluar, demikian pula, Ānanda, 8 peraturan penting bagi para bhikkhunī ini ditetapkan olehKu, berharap, agar tidak dilanggar seumur hidup mereka.” [AN 8.51 dan Vinaya Pitaka, Cullavagga X.1.6]

Note:
  1. Mahapajapati Gotami, berusia 80-an tahun ketika Sidhartha Gautama menjadi Buddha dan menjadi sotāpanna sebelum menjadi Bhikkhuni (Komentar Jataka no.447). Ketika peristiwa sungai Rohini, Mahapajapati Gotami, berusia 100 tahunan, setelah peristiwa itu, 250 pria dari masing-masing suku Sakya dan Koliya menjadi Bhikku. Kehidupan 500 wanita yang ditinggal suaminya menjadi Bhikkhu semakin sulit dengan paceklik tersebut sehingga mereka putuskan juga menjadi petapa dan bersama Mahàpajàpati Gotami berjalan kaki, dari Kapilavastu ke Hutan Mahavana, Vesali. (Kapilavastu – Vesali via kusinara = 43 yojana/481,6 km – 619,2 km atau 50 Yojana/560 km – 720 km) [RAPB, buku ke-1, hal.1128]

    Hanya Mahapajapati Gotami yang ditahbiskan dengan 8 peraturan penting dan tidak lagi kepada yang lainnya. Ketika 500 perempuan Sakya ditahbiskan, tertulis "Para bhikkhu, Aku ijinkan para BHIKKHUNI untuk ditahbiskan oleh para bhikkhu (anujānāmi, bhikkhave, bhikkhūhi BHIKKHUNIyo upasampādetun”ti)", maka posisi MahapajapatiGotami saat itu bertindak sebagai pengusul, upajjhaya, acarya, kammavaca mereka, setelah ditahbiskan Mahapajapati Gotami, mereka disebut "Bhikkhuni", setelahnya, para bhikkhuni ini ditahbiskan para bhikkhu. Jadi ada 2x penahbisan. Permintaan Mahapajapati agar "menyapa, bangkit dari duduk, penghormatan, dan tugas-tugas antara para bhikkhu dan bhikkhuni dilakukan sesuai senioritas" ditolak sang Budddha [Cullavagga]

    Mahapajapati Gotami mencapai arahat setelah arahan Sang Buddha dan 500 Bhikkhuni mencapai arahat setelah kotbah YM Nandaka. Gelar "rattaññūnaṃ" diberikan di Jetavana kepada Annasi Kondanna (Arahat Pria pertama) dan Mahapajapati Gotami (Arahat wanita pertama). Tidak tercatat dianugrahi bersamaan. Annasi Kondanna menjadi arahat di tahun ke-1 keBuddhaan, Pada tahun ke-2, di Rajagaha, Ia meminta ijin menyepi dan 12 tahun kemudian (tahun ke-14) ke Jetavana untuk pamitan hendak parinibbana kepada Sang Buddha. Sang Buddha bervassa di Jetavana pertama kali tahun ke-14 dan saat itu Ia dianugerahi gelar. Kepada Mahapajapatigotami gelar diberikan tampaknya di tahun ke-38. Tak lama setelah kembali ke Vesali, Ia wafat, diusia 120 tahun (tahun ke-40 kebuddhaan) bersamaan dengan wafatnya 500 Bhikkhuni yang ditahbiskannya

  2. Sammasambuddha, pemilik 10 kekuatan/Dasabalā, di antranya "memahami sebagaimana adanya akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan, di masa: lalu, depan, dan sekarang, dengan kemungkinan dan penyebabnya", bagaimana kecenderungan berbeda dari para makhluk (sattānaṁ nānādhimuttikataṁ) dan jauh-jangkauan indriya para makhluk, para individu (parasattānaṁ parapuggalānaṁ indriyaparopariyattaṁ).

    Sample penglihatan Beliau:
    Petapa telanjang Korakkhattiya akan wafat dalam 7 hari [DN 24]; Sang Buddha menetapkan akan wafat 3 bulan lagi [DN 16]; Bahwa Pāṭaligāma kelak menjadi kota utama, Pāṭaliputta dan Pāṭaliputta kelak akan mengalami bahaya kehancuran api, air dan perselisihan [DN 16); Devadatta selama 1 Kappa di neraka: "Bahkan tidak seorangpun, yang tidak aku lihat detil (Nāhaṁ..aññaṁ ekapuggalampi samanupassāmi), setelah aku kumpulkan segenap pikiran terhadapnya (yo evaṁ mayā sabbaṁ cetaso samannāharitvā), aku nyatakan seperti kepada Devadatta (byākato, yathayidaṁ devadatto), Jika Aku melihat bahkan hanya sebagian kecil dari ujung helai rambut kualitas terang di diri Devadatta, maka Aku tidak akan menyatakan: ‘Devadatta mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka, dan ia akan menetap di sana selama sekappa, tidak dapat ditebus.’ Adalah, Ānanda, hanya ketika Aku tidak melihat kualitas terang bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut di diri Devadatta, maka Aku menyatakan hal ini tentangnya.".. “Ānanda, untuk tiga jenis orang sebelumnya, di antara tiga orang (ye te purimā tayo puggalā tesaṁ tiṇṇaṁ puggalānaṁ), satunya tidak akan mengalami kemunduran, satunya akan mengalami kemunduran, dan satunya mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka. Untuk tiga jenis orang berikutnya, di antara tiga orang (yeme pacchimā tayo puggalā imesaṁ tiṇṇaṁ puggalānaṁ), satunya tidak akan mengalami kemunduran, satunya akan mengalami kemunduran, dan satunya pasti mencapai nibbāna.”[AN 6.62]. sehingga, ketika beliau menyatakan setelah tahun ke-500, tidak ada lagi manusia yang siap mencapai kesucian dan juga mampu menjalani sepenuhnya penghidupan BRAHMA dhamma-vinaya dengan ajarannya, bahwa dhamma-sejati berumur hanya 500 tahun pasca penahbisan Bhikkhuni, maka ini telah melalui pemeriksaan menyeluruh dipikiran beliau.

  3. Paralel di Theravada tentang "umur dhamma sejati hanya 500 tahun" selain AN 8.51 dan Culavagga X.1.6, juga di Milianda Panha, Bab 8.7: "Raja Milanda: 'Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha berkata bahwa ajaran yang murni itu hanya akan bertahan selama 500 tahun...Bhikkhu Nāgasena: 'O, baginda,..Yang satu berhubungan dengan umur ajaran yang murni..Pada saat berkata tentang 500 tahun itu Beliau memberikan batasan kepada agama..'". Perlu diketahui, I.B Horner adalah salah satu dari sedikit sarjana Buddhis modern yang percaya bahwa "umur dhamma sejati hanya 500 tahun" sebagai ucapan sang Buddha ("Women Under Primitive Buddhism", New York: E.P. Dutton & Co., 1930, hal.103-113)

    Paralel "umur dhamma sejati hanya 500 tahun"-nya Theravada, juga muncul di literatur NON-Theravada, yaitu di vinaya Dharmaguptaka (T 1428, 22.923c9), Haimavata (vinaya-matrika/"P'i-ni mu ching" (毘尼母經)/T 1463, 24.818c4/803b16), Mahīśāsaka (T 1421, 22.186a13/14), dan (Mūla-)Sarvāstivāda (T 1451, 24.352a21) (ke-4 ini dalam Mandarin), juga di MA/Madhyamagāma (dianggap berasal dari Sarvāstivāda: "chung a-han ching" (中阿含經)/T 26, 1.607b9 dan 2 teks lain (tidak diketahui afiliasi sektenya: "Ch'ii-T'an-mi chi kuo ching" (瞿曇彌記果經)/T 60, 1.857c29 dan "Chungpen-ch'i ching"/T 196, 4.159b8, namun tidak ada dalam vinaya Mahāsāghika yang dibawakan Fa-hian dari India ["ONCE UPON A FUTURE TIME, Studies in a Buddhist Prophecy of Decline, Jan Nattier, catatan kaki di hal.29-30 dan "Theories on the Foundation of the Nuns' Order – A Critical Evaluation", ANĀLAYO, hal.105-106, 134].

    Di T 60: "若女人不於此法律信樂出家、...遺法當住千歲,今已五百歲減,餘有五百歲" (jika wanita tidak di tahbiskan..warisan ajaran, sekarang umurnya 500 tahun, hanya selama 500 tahun)

    Berikut dari catatan "Theories on the Foundation of the Nuns' Order – A Critical Evaluation", ANĀLAYO, hal.134:

    2 Vinaya Dharmaguptaka, T 1428 di T XXII 923c9: 若女人不於佛法出家者, 佛法 當得久住五百歲, dimana tampaknya yang dimaksudkan adalah ajaran buddha akan bertahan 500 tahun lebih lama jika perempuan tidak menjadi petapa ajaran buddha... Vinaya 'Haimavata' (Indentifikasi aliran oleh Lamotte (1958: 212) adalah benar), Vinaya Mahīśāsaka dan Vinaya (Mūla-)Sarvāstivāda di posisi sama dalam istilah berbeda, menurut mereka karena terbentuknya sangha bhikkhuni umur dharma sejati akan berkurang 500 tahun .., T 1463 di T XXIV 803b16: 汝今為女人求出家, 後當減吾五百歲正法 (jika wanita menjadi biksuni, sekarang praktek dharma harus berkurang 500 tahun) (menggunakan 宋, 元 dan 明 varian 歲 bukan 世); T 1421 di T XXII 186a13: 若不聽女人出家受具足戒, 佛之正法住世千歲, 今聽出家則 減五百年 (Jika wanita tidak menjadi biksuni dan menjalankan penuh sila, Dharma Buddha sejati akan bertahan di dunia selama 1000 tahun.Jika wanita menjadi biksuni, sekarang itu akan berkurang 500 tahun); dan T 1451 di T XXIV 352a21: 若其女人不出家者, 我之教法滿一千年 ... 由出家故減五百年 (jika wanita tidak menjadi biksuni, ajaran akan bertahan selama 1000 tahun... dengan menjadi biksuni Jadi berkurang 5000 tahun)... Vinaya (Mūla-)Sarvāstivāda dalam bahasa tibet menyebutkan bahwa ajaran buddha tidak lagi tidak rusak selama 1000 tahun, tanpa, namun, mengacu pada 500 tahun, Q dul ba phran tshegs kyi gzhi, ne 116b5 (D da 121a6): bud med rnams legs par bshad pa'i chos kyi (D: omits kyi) 'dul ba la rab tu ma byung na ni da yang (D: dung) nga'i bstan pa lo stong tshang bar nyes pa med cing nyams pa med par gnas par 'gyur ro.
    3 MĀ 116 di T I 607b8 menunjukan bahwa jika wanita tidak ditahbiskan, dharma sejati akan bertahan 1000 tahun, sekarang umurnya berkurang 500 tahun, hanya selama 500 tahun, 若女人不得於此正法、律中,至信、捨家、無家、學道者,正法當住千年,今失五百歲,餘有五百年"

  4. Kutipan syair "..karena, Ānanda, perempuan telah memperoleh pelepasan keduniawian …, sekarang, Ānanda, prilaku menuju kesucian menjadi tidak bertahan lama... DHAMMA SEJATI hanya bertahan 500 tahun", diklaim bahwa sang Buddha sexist, karena menyalahkan wanita untuk berkurangnya umur Dhamma sejati (dan penghidupan BRAHMA sesuai dhamma-vinaya). Padahal kutipan itu setelah penahbisan bhikkhuni bukan sebelumnya (jadi walau akibatnya telah diketahuiNya, ijin tetap diberikan). Dimasa itu juga ada gender ke-3 (bukan pria dan wanita), beberapa dari mereka menambah permasalahan, misal: Ia berubah kelamin namun tetap ingin ditahbiskan atau tetap dalam himpunan atau Ia menjadi bhikkhu untuk merayu para bhikkhu/ni, samanera/ri, umat awam.

    Jadi, bukan gender, tapi karena meningkatnya para moghapurisa (misal di SN 16.13, AN 4.160. AN 5.1503-156) yang mempercepat tenggelamnya Dhamma sejati dan penghidupan brahma sesuai dhamma-vinaya, mereka memperkaya ragam permasalahan internal/eksternal di kedua sangha dan/atau dengan/antar umat awam atau dengan penganut ajaran lain, penjiplakan ajaran, alasan perawatan kesehatan, kultur, sosial, budaya, bahasa, agama, gender, perekonomian, politik, dan lainnya.

    Maha Kassapa:
    "Apa alasan dan bergantung pada kondisi apa ketika dulu sedikit aturan ditetapkan (pubbe appatarāni ceva sikkhāpadāni), banyak bhikkhu (bahutarā ca bhikkhū) yang terus tercerahkan (aññāya saṇṭhahiṁsu), namun sekarang, banyak aturan ditetapkan, sedikit bhikkhu yang terus tercerahkan (aññāya saṇṭhahantī)?"

    Sang Buddha:
    Ketika para makhluk merosot (sattesu hayamanesu), dhamma sejati memudar, aturan ditetapkan banyak, sedikit bhikkhu yang terus tercerahkan namun itu tidak membuat dhamma sejati lenyap hingga kemudian tiruan dhamma sejati (saddhammappatirupaka) bermunculan di dunia. Ketika tiruan dhamma sejati bermunculan di dunia maka dhamma sejati akan lenyap.

    Bagaikan, Kassapa, emas takkan lenyap selama tiruan emas tidak muncul di dunia ini, tetapi ketika tiruan emas muncul maka emas sejati lenyap, demikian pula, dhamma sejati takkan lenyap selama tiruan dhamma sejati tidak muncul. Tetapi ketika tiruan dhamma sejati muncul di dunia ini, maka dhamma sejati lenyap.

    Bukan karena unsur landasan/tanah, Kassapa, yang menyebabkan dhamma sejati lenyap, juga bukan unsur rekatan/air, juga bukan unsur yang membakar/api, juga bukan unsur tekanan/gerak/angin. Adalah orang yang kosong melompong (mogha purisa) yang bermunculan di sini yang menyebabkan dhamma sejati melenyap.

    Dhamma sejati tidak lenyap seketika bagaikan kapal tenggelam. Terdapat 5 faktor yang menyebabkan menurunnya Dhamma sejati: Bhikkhu, Bhikkhuni dan umat awam bersikap tidak hormat dan melawan pada: Guru, dhamma, sangha, pelatihan dan samādhi [SN 16.13]

    Sutta (SN 16.13) menegaskan bahwa dhamma sejati MEMANG AKAN LENYAP yaitu karena para manusia yang kosong melompong, melakukan banyak pelanggaran hingga banyak peraturan ditetapkan untuk mengerem laju kelenyapan dan karena kumunculan ajaran-ajaran tiruan.
Kapankah akhir tahun ke-500 dari Sad Dhamma/Dhamma sejati?
Uji radioaktif karbon pada situs-situs yang diduga berhubungan dengan kehidupan sang Buddha, menunjukan hasil berada pada kisaran abad ke-6 SM (sumber: Archaeological discoveries confirm early date of Buddha's life)
    "Genap 218 tahun setelah wafatnya Tathagata (= tahun ke-219), Seorang raja memerintah seluruh Jambudwipa (Tathaagatassa parinibbaanato dvinnam vassasataanam upari athaarasame vasse sakala-Jambudiipe ekarajjaabhisekam paapuni)" [Mhv 5.21; Dipv 6.1]

    Pendekatan menurut kronologi raja-raja India dari wafatnya Sang Buddha sampai dengan pemerintahan Asoka [ ("The Cambridge History of India", hal.189 "Mahavamsa: Great Chronicle of Ceylon", Wilhelm Geiger, hal. xlvi):

    Ajatasattu (32 tahun/Mhv 2.31-32, Sang Buddha wafat di tahun ke-8 pemerintahannya/Mhv 2.32 = 24 tahun) + Udayin-Bhadda (16 tahun/Mhv 4.1) + Anuruddha dan Munda (8 tahun/Mhv 4.2-3) + Nagadasaka (24 tahun/Mhv 4.4) + Shisunaga (18 tahun/Mhv 4.6) + Kalasoka (28 tahun/Mhv 4.7) + 10 keturunan Kalasoka (22 tahun/Mhv 5.14) + Nanda dan turunannya/9 Nanda (22 tahun/Mhv 5.15) + Candragupta (24 tahun/Mhv 5.16-18) + Bindusara (28 Tahun/Mhv 5.18) + Asoka dinobatkan (tahun ke-5 setelah Bindusara wafat. Mhv 5.22: setelah berlalu 4 tahun). Total 24 + 16 + 8 + 24 + 18 + 28 + 22 + 22 + 24 + 28 + 5 = 219 tahun

    Pendekatan menurut kronologi raja-raja Srilanka, di mana saat Vijaya mendarat di Srilanka adalah saat Parinibbananya sang Buddha (Mhv 6.47; Dipv 9.21-22) sampai dengan pemerintahan Asoka:

    Vijaya (memerintah 38 tahun/Mhv 7.74 + masa peralihan 1 tahun (Mhv 8.5) + Panduvasudeva (30 tahun/Mhv 9.25) + Abhaya (20 tahun/Mhv 10.52) + masa peralihan 17 tahun (Mhv 10.105) + PanduKabhaya (70 tahun/Mhv 10.106) + Mutasiva (60 tahun/Mhv 11.4, wafatnya di tahun ke-17 Asoka/Dipv 11.13). Total 38 + 1+ 30 + 20 + 17 + 70 + 60 = 236 tahun - tahun ke-17 = 219 tahun

    Raja-raja Srilanka selanjutnya sampai tahun ke-500 wafatnya sang Buddha (Mahavamsa, Geiger, Introduction, hal.xxxvi - xxxvii):

    Devānampiyatissa (40 tahun - Dipv 17.92 dan Mhv 20.38. Ia memerintah di tahun ke-18 Asoka) sampai dengan Raja Elara (Mhv: total 146 tahun). Maka 236 + 146 = 382 tahun.
    Tahun ke-18 Asoka (tahun ke-237 wafatnya asoka) = tahun Devanampiyatissa menjadi raja, Ia dinobatkan 2x (MhV 11.40, 42; Dipv 11.13-14, 39, 17.78), 1 bulan setelah penobatan ke-2 Devanampiyatissa, Mahinda sampai Srilanka (Mhv.13.18, Dipv 11.39-40). Tahun ke-6 Mahinda menjadi Bhikkhu [Mhv 5.209]. Saat Mahinda diutus Moggaliputtatissa, Ia telah 12 tahun menjadi Bhikkhu (Mhv 13.1-2), sehingga tahun ke-6 + 12 = tahun ke-18 Asoka. Mahinda dari sejak di utus sampai ke Srilanka adalah setelah 6 bulan berlalu (Mhv 13.5). Raja Devānampiyatissa memberikan taman Mahameghavana kepada Mahinda (Mhv 15.25-26) yang kemudian menjadi Mahavihara (Mhv 15.214). Mahavihara berdiri pada tahun ke-237 setelah wafatnya sang Buddha.
    Dutthagamani - Maharattaka (Mhv: 57 tahun 1 bulan 11 hari). Total = 382 + (57 tahun 1 bulan 11 hari) = 439 tahun 1 bulan 11 hari.
    Vattagamani/Valagambha - Anula (Mhv 60 tahun 3 bulan). Raja Vattagamani Abhaya (atau Valagambha) memerintah 2x, yang ke-1: 5 bulan (Mhv 33.37), diselingi pemerintahan 5 Damila selama 14 tahun 7 bulan (Mhv 33.56-61), setelahnya Vattagamani memerintah untuk ke-2x. Jadi mulainya pemerintahan ke-2 Vattagamani = 439 tahun 1 bulan 11 hari + (15) = 454 tahun 1 bulan 11 hari. Vattagamani memerintah 12 tahun, jadi berakhir di tahun ke-466 1 bulan 11 hari setelah parinibbananya sang Buddha.
    Di Inskripsi Gal-vihara, Polonnaruva tertulis: "454 tahun berlalu (sejak Parinibbana Buddha) memerintah Raja Valagambha" [Epigraphia Zeylanic, vol.2, 1928, no.41 hal.256-283, baris 4-9].
    Vihara Abhayagiri dibangun Vattagamani pada tahun ke-217, bulan ke-10 hari ke-10 setelah berdirinya MahaVihara [Mhv 33.80-81], sehingga 237 + (217 tahun 10 bulan 10 hari) = 454 tahun 10 bulan 10 hari. Vihara Abhayagiri berdiri 454 tahun 10 bulan 10 hari setelah wafatnya sang Buddha.
    Dari Pemerintahan ke-2 Vattagamani - Anula = 454 tahun 1 bulan 11 hari + (45 tahun 3 bulan) = 499 tahun 4 bulan 11 hari.
Asoka wafat setelah memerintah 37 tahun lamanya (Mhv 20.6, Dipv 5.101) atau 256 tahun sejak parinibbananya sang Buddha (Tahun ke-20 Devānampiyatissa, Srilanka)

Penemuan arkeologi Inskripsi-Inskripsi di atas batu tentang Devanampiya piyadasi raja Magadha, Asoka:
terdapat sekurangnya 19 inskripsi berupa pilar batu dengan tinggi ± 12 – 15 Meter dan berat: ± 50 ton, 14 inskripsi pada batu yang besar dan beratnya bervariasi [“Asoka Maurya - His attitudes towards reformist sects of Jainas, Ajivikas and Buddhist as reflected in his Dhamma Edict?”, Bipin Shah].
  1. Inskripsi maklumat batu di Maski, tahun 1915, di baris pertama, tertulis "Devanampiya asokasa", dilanjutkan dengan kalimat, "Selama 2.5 tahun Saya sebagai umat awam.....Aku menemui (upagate)...Sangha...jambudwipa". pada Inskripsi Bhabru/Bairat, tertulis kalimat "Piyadasi laja magadhe sangham abhivademanam" (Raja Magadha yang ramah menyampaikan hormat pada Sangha'). Kata “Piyadassi” yang merujuk pada Asoka, tercantum dalam text Dipavamsa 6.1-18. Seluruh rangkaian ini, menegaskan bahwa Inkripsi-inkripsi yang ditemukan dengan memuat kata devanampiya dan piyadasi adalah memang merujuk pada Asoka, sehingga keberadaan Asoka adalah nyata

  2. Maklumat kecil batu I, yang ditemukan di 3 tempat (Brahmagiri, Rupanath dan Sahasram) terdapat tulisan angka "256":

    Brahmagiri: Iyam cha savan(e) sav(a)p(i)te vyuthena 200 50 6
    Rupnath: V(y)uthena savane kate 200 50 6 sata vivasa ta (atau ti)
    Sahasram: Iyam (cha savane v)ivuthena duve sapamnalatisata (atau dve satpancasaratrisate?) vivutha ti 200 50 6

    Tentang arti angka 256 yang tidak berisi petunjuk apakah itu sebagai tahun, hari atau orang:

    Geiger menuliskan bahwa Buhller dan fleet menyatakan sebagai “tahun” (256 tahun berlalu sejak nirwana), F.W Thomas menyatakan sebagai "hari” (256 hari), dengan mengartikan "lati" = "ratri" = malam. Geiger (dan bisa jadi, seluruh para ahli bahasa serupa) menyatakan: Fleet dan Buhler pastinya tahu ada kata “lati” dan mereka temukan bahwa konteknya tidak tepat untuk diterjemahkan demikian (Mahavamsa, Geiger, introduction, xxvii-xxviii. Sample ahli yang juga menolak ide bahwa kata lati = ratri, misal: ”Asoka”, Mookerji Radhakumud, hal. 114-115, cat kaki 3).

    Fleet menyampaikan: Nama-nama ahli-ahli bahasa, selain Buhller yang mengartikan sebagai “256 tahun”, nama para ahli lain yang menterjemahkan sebagai “256 hari” atau “256 orang” atau “256 kali”. Ia memahami bahwa tidak ada kata “tahun” (juga tidak ada kata hari atau orang atau kali) di inkripsi-inkripsi tersebut, namun kemudian, Ia menjadi bersepakat penuh dengan Buhller, dengan alasan bahwa penulisan angkat tahun namun tidak menyebutkan kata “tahun” adalah lazim dilakukan para ahli pali ketika menuliskan tahun karya mereka, Ia mengambil contoh Pannasami (seorang ahli pali dan buddhis dari Burma, tahun 1861), dalam karyanya “Sasanavamsa” atau “Sasanavamsappadipika”, menuliskan tanggal selesai karyanya dengan kalimat, “Dvi-sate cha sahasse cha tevis-adhike gate punnayam Migasirassa nittham gata va sabbaso (Ini telah diselesaikan dalam menghormati purnama bulan Migasira, yang telah berlalu 1223) tanpa menambahkan kata “tahun” namun jelas yang dimaksudkan adalah “1223 tahun” dan bukan hari atau lainnya [“The Date of Buddha's Death, as Determined By a Record of Asoka”, J.F. Fleet, I.C.S.(Retd.), Ph.D., C.I.E. Journal of The Royal Asiatic Society, hal. 1-26, 1904].

    Kata 256 ini menjadi bahan kontroversi menarik karena 219 (tahun penobatan) + 37 (lamanya memerintah) = 256 tahun berlalu sejak parinibbananya sang Buddha

  3. Kemudian, Inskripsi maklumat Asoka pada pilar batu ke-13 (girnar dan kalsi), tertulis, “Yatra Aṃtiyoko nāma Y[o]na-raja paraṃ ca tena Atiyok[e]na cature 4 rajani Turamaye nama Aṃtikini nama Maka nama Alikasudaro nama” (Disana ada Yunani, rajanya bernama Antiochos, lebih jauh lagi ada 4 raja yang bernama Ptolemy, Antigonos, Maga dan Alexander)

    Antiochos II Theos (261 - 246 SM), Ptolemy II Philadelphos (285 - 247 SM), Antigonos Gonatos (278(1)/276(2) SM - 239 SM), Maga (300 - 258/wafat sebelum 250(2)(3) SM) dan Alexander of Epirus (272 - 258/255(2) SM) atau Alexander of Corinth (252 - 244 SM)

    [Sumber: (1)”The Edicts of King Asoka an English rendering“,Ven. S. Dhammika, 1994; (2) “Early Buddhist Transmission and Trade Networks: Mobility and Exchange Within and Beyond the Northwestern Borderlands of South Asia”, Jason Neelis , hal .82, cat kaki no.52; (3) Magas of Cyrene, cat kaki no.7]

    Irisan tahun kehidupan 4 raja tersebut berada pada dikisaran 260 SM s.d 256 SM. Pilar ini dinyatakan buatan tahun 256 SM (catatan kaki no.25): tahun pemerintahan Asoka ke-12 (“The Past Before Us”, Romila Thapar, hal.390, cat kaki no.14) atau ke-13 (“Early Buddhist Transmission and Trade Networks:..”, Jason Neelis, hal.82, Cat kaki no.52)

    Jadi, tahun ke-37nya, ketika Asoka wafat = ± tahun 232 SM.
Penanggalan yang digunakan oleh Asoka, seharusnya adalah kalender lunar bukan luni-solar: "..Semua negara Buddhis menggunakan kalender lunar hingga abad ke-19, ketika digantikan oleh kalender Gregorian Barat..." ["Guide To Buddhism A To Z": CALENDAR], penanggalan lunar 1 tahun terdiri dari 360 hari, telah berlangsung sebelum Buddhisme, jaman Sang Buddha dan pasca jaman Buddha, misalnya:
  1. "...30 hari dan malam membentuk 1 bulan, dan 12 bulan membentuk 1 tahun" (Mahabharata 12.231.12-13)
  2. "Dibentuk dengan 12 jari-jari, oleh lamanya waktu, tidak melemah, roda ini berputar mengelilingi surga, Ketertiban. Di sini, didirikan, bergabung berpasangan, 700 Putra dan 20 berdiri, O Agni". [Rig Veda 1.164.11], sehingga 720/2 = 360 hari dalam 12 bulan.
  3. Buddhisme dalam menghitung vassa/tahun, misalnya: "Tāya rattiyā tiṁsarattiyo māso. (30 hari membentuk 1 bulan), Tena māsena dvādasamāsiyo saṁvaccharo (12 bulan membentuk 1 tahun)" [AN 8.42, DN 21, AN 3.70]
  4. Contoh penggunaan hitungan menurut bulan di Prasasti Kedukan Bukit, Sumatera Selatan (683 M): "..ekādaśī śuklapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di sāmvau.." (pada hari ke-11 bagian terang bulan waisak hyang dapunta menaiki sampan) .."vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṁ maŕlapas dari Miṉāṅkā" (Di bulan jyestha hyang Dapunta berangkat dari Minanka) .. "sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula[n āsāḍha]" (sukacita di hari ke-5 bagian terang bula[n asadha])
Sehingga, tahun lunar ke-256 wafatnya Asoka = 252, 5 tahun luni-solar, maka wafatnya Buddha: 252,5 + 232 SM = 484.5 SM dan umur sang Buddha yang 80 tahun lunar = 78,9 tahun luni-solar, oleh karenanya, Buddha lahir di tahun 563,4 SM. [Detail lainnya di BLOG INI]

Dhamma sejati lenyap pada 500 tahun lunar (pañceva..vassasatāni = 30 hari x 12 x 500 = 180.000 hari atau ±493 tahun 67 hari luni-solar), Mahapajapati Gotami ditahbiskan sekitar tahun ke-21/22 ke-Buddhaan atau 23/24 tahun sebelum Sang Buddha Parinibbana, jadi 256 tahun + 23/24 tahun = 279/280 tahun lunar telah berlalu hingga wafatnya Asoka (atau 275/276 tahun luni-solar) dan berakhirnya Dhamma sejati dan penghidupan BRAHMA sesuai dhamma-vinaya, terjadi dikisaran tahun 15/14 SM (275/276 + 232 SM – 493 tahun).

Rupanya,
Komunitas buddhis di awal milenium pertama abad ini tersadar bahwa kisaran waktu 500 tahun sudah terlewatkan maka marak bermunculan tradisi-tradisi baru untuk memperpanjang sendiri batasan umur Dhamma sejati tersebut (lihat: "ONCE UPON A FUTURE TIME, Studies in a Buddhist Prophecy of Decline, Jan Nattier):
  1. Di peride SETELAH 500 tahun Parinibbana Sang Buddha ["paścimāyāṃ paṃcāśatyāṃ saddharmavipralope"/"paścimāyāṁ pańacaśatyām", Sūtra Intan: Schøyen Collection, MS 30a3-5; HW 116,3-5 (sanskrit); T 237 (Paramārtha) dan T 220 (Xuanzang)] dan Sūtra Teratai, bab 26 [Vaidya (1960): "paścimāyāṃ pañcaśatyāmasmin" / T.262 (Kumārajīva): "若後世後五百歲", tapi dalam terjemahan Kern (1884), kalimat ini tidak ada]
  2. 700 tahun setelah parinirvana [Sūtra Mahāparinirvāṇa, bab 9 dan Sūtra 7 mimpi Ananda (Taisho 49, no. 2034, p. 116, c4)]
  3. 1000 tahun [Bhadrakalpika Sūtra dan komentar dari Prajńāpāramitā Sūtra, dibagi per 500 tahun]
  4. 1500 tahun [Candragarbha Sūtra, Mahāsaṃnipata Sūtra, Karunapundarīka Sutra, Mahāmāyā Sūtra]
  5. Setelah 2500 tahun yang dibagi per 500 tahun. [Mahāsaṃnipata Sūtra, dalam Abhidharma Mahāvibhāṣa Śāstra: dibagi per 500 tahun setelah parinibbana Sang Buddha terakhir 3500 tahun.]
  6. 5000 tahun [dengan tabel waktu dalam: Komentar Buddhagosa pada Aṅguttara Nikāya, juga di Maitreya Sūtra(sumber tibet)]
  7. 5104 tahun [Kalacakra tantra, tibetan]
  8. ≥ 10.000 tahun [translasi dari Samantapasadika ch. 18 merubah dari 5000 menjadi 10.000 dengan perincian 1000 tahun Saddharma, 5000 tahun mirip dhamma dan terus hingga batas 10.000 tahun juga di Ju She Lun Bao, ch.29 Shu ; juga ada yang menyatakan 11.500 tahun (Taisho no.1933, 46.786c4-6); kemudian 12000 tahun (Taisho T42, no. 1824,.p. 18, b2-5, T47, no. 1960, p. 48, c7-8 dan T35, no. 1709,p. 520, c10)], dll
  9. Kitab komentar Aliran Theravada abad ke-5 M, melakukan penciptaan sendiri perpanjangan batasan hingga 5000 tahun dengan urutan kelenyapannya: (1) Pencapaian Tingkat Kesucian; (2) Pelaksanaan-Benar (jhāna, pandangan terang, Jalan dan Buah (Magga dan Phala), 4 kemurnian perilaku (Catuparisuddhi Sīla: Sila kebhikkhuan, indriya, penghidupan dan yang berhubungan dengan 4 kebutuhan pokok). Kemudian perlahan hanya menjaga diri dari 4 Parajika/pelanggaran berat, hingga Bhikkhu terakhir wafat dan lenyaplah pelaksanaan benar); (3) Ajaran (dengan urutan: Abhidhamma (dengan urutan: Patthana, Yamaka, Katha-vatthu, Pugala-pannatti, Dhatu-katha, dst), Sutta Pitaka (dengan urutan: AN, SN, MN, DN), Jataka (dengan urutan: Vessantara Jataka, Apannaka Jataka, dst), Vinaya Pitaka dan terakhir lenyap: 4 syair Dhammapada no.183); Simbol/Bentuk Luar (Berjubah, berjubah sepotong, berjubah dan menunjang anak Istri, tidak jubah dan berburu binatang) dan (5) Relik (mulai tahun ke-5000, sampai tidak menghormati relik sang Buddha, tidak ada penghormatan dan pemujaan terhadap relik)
Semakin lengkaplah terjadi dengan kemunculan berbagai Dhamma tiruan [baik dari kalangan dalam maupun luar ajaran Buddha sendiri][5]. AJARAN BUDDHA GOTAMA sudah tidak lagi murni, hampir tiba saat kemunculan para PACCEKA BUDDHA [].

Walaupun Dhammasejati lenyap, cara untuk padam tetap sama, yaitu melakukan jasa kebajikan (puñña), dengan (1) DANA, (2) Sila dan (3) Bhavana.
    Manfaat berdana dapat berakibat: terlahir berpenampilan menarik; mempunyai kekuasaan; pengikut, menjadi penguasa berdaulat; raja pemutar roda; raja para dewa; terlahir di alam manusia; dewa; mencapai padam; punya teman berkualitas; memiliki pengetahuan pembebasan; wawasan analisis, keterbebasan sebagai siswa buddha, pacekka buddha [KP 8].

    Prilaku atau kebiasaan yang dijalankan sebagaimana disampaikan Ananda kepada Mahanama "Ketika seorang siswa mulia: memiliki moralitas baik (sīlasampanno), itu terkait perilaku/kebiasaannya (Idampissa hoti caraṇasmiṁ). Ketika menjaga pintu-pintu indrianya (indriyesu guttadvāro), itu terkait perilakunya. Ketika makan secukupnya (bhojane mattaññū), itu terkait perilakunya. Ketika menekuni keterjagaan (jāgariyaṁ anuyutto), itu terkait perilakunya. Ketika memiliki 7 hal baik (sattahi saddhammehi samannāgato), itu terkait perilakunya. Ketika mendapatkan 4 jhāna terkait pikiran yang lebih tinggi kediaman menyenangkan di sini saat ini (catunnaṁ jhānānaṁ ābhicetasikānaṁ diṭṭhadhammasukhavihārānaṁ), kapan pun diinginkan, tanpa kesulitan atau hambatan (nikāmalābhī hoti akicchalābhī akasiralābhī), itu terkait perilakunya" [MN 53]

    Sang Buddha: "Para arahat sammāsambuddhā di masa lalu, masa depan (ahesuṁ atīta, anāgata+maddhānaṁ arahanto sammāsambuddhā), arahat sammāsambuddha saat ini (etarahi arahaṁ sammāsambuddho), seluruh para Mulia ini (sabbe te bhagavanto), terlebih dulu meninggalkan 5 rintangan, kekotoran mental yang melemahkan kebijaksanaan (pañca nīvaraṇe pahāya cetaso upakkilese paññāya dubbalīkaraṇe), dengan pikiran berpijak kokoh dalam 4 landasan ingatan (catūsu satipaṭṭhānesu suppatiṭṭhitacittā), mengembangkan apa adanya 7 faktor pencerahan (satta bojjhaṅge yathābhūtaṁ bhāvetvā), memperoleh kebijaksanaan tertinggi yang tiada bandingannya dengan benar sempurna memutus rantai penjelmaan (anuttaraṁ sammāsambodhiṁ abhisambujjhissanti)" [AN 47.12, DN 16, 28, AN 10.95]

    Sang Buddha: “ada 4 faktor Dhamma (dhammapadāni) purbakala, telah lama ada, tradisional, kuno (aggaññāni rattaññāni vaṁsaññāni porāṇāni), tidak terkorosi, di masa lalu, saat ini, kelak (asaṅkiṇṇāni asaṅkiṇṇapubbāni, na saṅkīyanti na saṅkīyissanti), tidak disangkal para petapa dan brahmana bijaksana (appaṭikuṭṭhāni samaṇehi brāhmaṇehi viññūhi): tanpa kerinduan (anabhijjhā), tidak beritikad buruk (abyāpādo), ingatan benar (sammāsati), samādhi benar (sammāsamādhi)" [AN 4.29, 30, DN 33, Ne 37] [] []
---------------

Hari Raya Keagamaan

Hari Waisak/Vesākha dan Tidak Tepat Merayakan Waisak di Borobudur/Mendut:
Meskipun Waisak/Vesākha telah berabad-abad dirayakan, namun penetapan Waisak sebagai hari kelahiran Buddha, baru disepakati di konferensi pertama Persekutuan Umat Buddha Sedunia, tanggal 25 May B.E. 2493 (1950), di Srilanka, pada putusan sesi ke-1. Waisak/Vesākha adalah nama bulan musim panas di India, diperingati untuk mengingat 3 hal penting yang terjadi pada Purnama malam di waktu terakhir (rattiyā pacchime yāme, yang menurut sistem waktu 1 hari terdiri dari 8 yāma, maka rattiyā pacchime yāme adalah sekitar pukul 01.30 - 04.30.

Sutta dan Vinaya tidak ada menyampaikan bulan terjadinya: kelahiran, pencapaian kebuddhaan dan parinibbana beliau, namun terdapat beberapa petunjuk terkait ini:
  1. Bulan kelahiran: "Pada purnama di bulan Vesākha, Sambuddha lahir (visākhamāse puṇṇamāyaṁ sambuddho upapajjatha..) [Dipavamsa 21.8. Namun kalimat ini juga berarti saat pencerahan menjadi Buddha]

  2. Penerangan sempurna di Purnama bulan Vesākha disebutkan Mahavamsa 1.12 dan Komentar Apadana dari U Lu Pe Win, ch 1 3.7.4.

    Sutta: Aku berusia 29 tahun, Subaddha (ekūnatiṁso vayasā subhadda), Ketika memasuki apa yang bermanfaat di kehidupan tanpa rumah (yaṁ pabbajiṁ kiṅkusalānuesī), Sudah 50 tahun lebih (Vassāni paññāsa samādhikāni), sejak aku di kehidupan tanpa rumah, Subhadda (yato ahaṁ pabbajito subhadda). [DN 16]
    Kāḷudāyi: Di usia 29 tahun, menempuh kehidupan tanpa rumah, menghabiskan 6 tahun, Beliau menjadi Buddha, sang Pemandu [AP 548/Kāḷudāyittheraapadāna]

    Dengan demikian, 35 tahun lalu (29 tahun + 6 tahun), saat beliau lahir, juga terjadi di purnama bulan Vesākha

  3. Sutta: “Ananda, Aku sekarang ini, menua semakin rapuh, menua menjadi usang, Aku hampir mencapai 80 tahun (āsītiko me vayo vattati). Ananda, bagai sebuah kereta tua yang dapat jalan dengan diikat, demikian kira-kira tubuh Sang Tathāgata dapat hidup dengan disokong. Hanya ketika Sang Tathāgata tidak memperhatikan gambaran-gambaran, dengan lenyapnya perasaan-perasaan tertentu, pikiran terpusat tanpa gambaran, maka ketika itulah tubuh Sang Tathāgata keadaan baik [DN 16, SN 47.9 , MN 89. Tiga sutta menyatakan umur Sang Buddha saat parinibbananya 80 tahun]. Buddhaghosa, abad ke-5 M, pada komentar untuk DN dan SN: "ahaṃ dasamāsamattaṃ ṭhatvā parinibbāyissāmi .. samāpattivikkhambhitā vedanā dasa māse na uppajjiyeva" (sekitar 10 bulan menjelang parinibbana .. perasaan-perasaan yang ditekan melalui pencapaiannya itu tak muncul lagi selama 10 bulan)

    Parinibbana di purnama bulan Vesākha disebutkan Mahavamsa 3.2.

    Mingun Sayadaw (1911-1993) dan Ledi Sayadaw (1846-1923) menyampaikan tanggal beliau lahir, mencapai penerangan sempurna dan Parinibbana pada punama bulan Vesākha [RAPB, buku ke-2, hal.2265-2267]
Berikut ini 3 hal yang diperingati umat Buddha pada purnama bulan Waisak/Vesākha:
  1. Lahirnya pangeran Siddharta di taman Lumbini [Snp 3.11]. Kitab komentar menyebutkan kelahiran beliau terjadi pada malam punama di bulan Vesākha, namun tidak menyebutkan kapan jam lahirnya:

    Segera setelah lahir, bodhisatto samehi pādehi patiṭṭhahitvā uttarābhimukho (Sang Bodhisatta berdiri mantap di kedua kaki menghadap utara), sattapadavītihārena gacchati (berjalan 7 langkah), setamhi chatte anudhāriyamāne (dengan payung putih yang bantu menahanNya), sabbā ca disā anuviloketi (menatap sekeliling penjuru), āsabhiṃ vācaṃ bhāsati (berbicara kata-kata agung): “aggohamasmi lokassa (Akulah unggulan dunia); jeṭṭhohamasmi lokassa (Akulah terbaik dunia); seṭṭhohamasmi lokassa (Akulah terkemuka dunia). ayamantimā jāti (kelahiran terakhirKu); natthi dāni punabbhavo’ti (Kini tak ada lagi penjelmaan)” [DN 14, MN 123 dan KV 7]

    Note:
    Lazimnya tidak mungkin bayi baru lahir dapat berjalan dan berbicara. Perkembangan kemampuan melangkah/berbicara bayi tergantung dari perkembangan otak bayi dan kondisi lain yang mendukung.

    Di Lorica, Kolombia [lihat: youtube, nairaland, kualalumpurpost, nydailynews dan dailymail], saat diwawancarai oleh sebuah station radio Ana Feria Santos menyampaikan bahwa bayinya "aneh" dan telah dapat berjalan seperti orang dewasa di usia 4 minggu. Sciencenews menjelaskan tentang "primitif reflex" bayi sejak lahir, salah satunya adalah berjalan. Video ini memperlihatkan peragaan primitif reflek bayi umur 6 hari, posisi berdiri, dipegang, ketika menyentuh tanah, kakinya melangkah

    Di Norilsk, Rusia, seorang bayi baru lahir bernama Stephan dapat bicara beberapa patah kata. Kata pertama sang bayi adalah "Papa", beberapa menit kemudian mengatakan "Mama". Keesokan harinya, ketika sang Ibu (Lisa Bazheyeva, 17 tahun) mengatakan bahwa ayahnya (Rodion Bejeev) hendak mengunjungi mereka di rumah sakit municipal, bayi itu berkata, "Siapa? Papa?. Dokter Psikologi kandungan rumah sakit pemerintah (Marina Panova) yang membantu persalinan menegaskan laporan itu. "Saya mendengar dengan telinga saya sendiri bahwa bayi yang baru lahir berbicara!", Ia menambahkan belum pernah melihat hal semacam itu selama 23 tahun bekerja di klinik bersalin. "Bayi yang baru lahir tidak bisa mengucapkan suku kata yang rumit seperti itu", katanya "Janin bisa belajar saat masih dalam rahim ibu. Jika ibu berbicara pada janin dan memberikan hiburan seolah-olah telah lahir, bayi biasanya lahir berbakat". kata Panova. [Sumber: Encyclopedia of safety: "In Russia spoke just born baby", 08.05.2009. Juga di: juniorsbook.com, davidicke, nifahamishe.com, apropo.ro dan lihat juga: Baby talk: newborns recall words heard in the womb, research shows dan Babies Learn to Recognize Words in the Womb]

  2. Mencapai Penerangan Sempurna:
    Setelah melakukan banyak upaya yang gagal mencapai kesucian, diantaranya, pertapaan dengan mencoba menghentikan nafas, menjalani praktik menyiksa dan menghukum diri, kekasaran, kehati-hatian, keterasingan, meniru binatang dan makan kotoran, pada malam-malam musim dingin selama 8 hari interval beku berdiam di ruang terbuka dan siang harinya di dalam hutan, pada bulan terakhir musim panas berdiam di ruang terbuka pada siang hari dan di dalam hutan pada malam hari, membuat tempat tidur di tanah pekuburan dengan tulang-belulang orang mati sebagai bantal, mengikuti banyak model aliran lainnya, diantaranya diet ekstrim hingga tulang punggung menonjol, tulang rusuk menonjol, bola mataa masuk jauh dalam lubang mata, kulit kepala mengerut dan layu, kulit perut menempel pada tulang punggungKu, saat memijat badan bulu rontok berguguran ketika digosok.Aku menggosoknya. [MN 12], kesehatannya memburuk, jika berdiri, tak dapat Ia diam karena kakinya gemetar, namun demikian, tetap Ia tak menyerah biarpun mengalami pingsan beberapa kali karenanya

    Ia memahami bahwa praktek dengan cara-cara sebelumnya tidaklah membawanya menuju Penerangan Agung, Ia kemudian mengingat ketika duduk di keteduhan pohon jambu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, dengan mengikuti ingatan itu, muncul pengetahuan: ‘Itu adalah jalan menuju pencerahan.’ dan berpikir‘Mengapa Aku takut pada kenikmatan itu yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat?. Aku tidak takut pada kenikmatan itu karena tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.’ Kemudian mempertimbangkan ‘Tidaklah mudah untuk mencapai kenikmatan demikian dengan badan yang sangat kurus. Bagaimana jika Aku memakan sedikit makanan padat—sedikit nasi dan bubur.’ Dan beliaupun makan sedikit makanan padat—sedikit nasi dan bubur. [MN 36], kemudian menuju Senānigama di dekat (hutan) Uruvelā, dekat aliran sungai yang jernih dan sebuah desa sebagai sumber dana makanan. [MN 26]. Kemudian, oleh seorang penjual jerami bernama Sotthiya, beliau diberikan rumput yang kemudian dijadikan alas duduknya di bawah pohon Bodhi, dengan menghadap Timur dan berbekal semangat, "walaupun kulitku, uratku, dan tulangku yang tersisa, dan walaupun daging dan darahku mengering dalam tubuhku, aku tidak akan mengendurkan usahaku sebelum aku mencapai apa yang dapat dicapai dengan kekuatan manusia, dengan kegigihan manusia, dengan usaha manusia" [MN 70], dengan mengabaikan semua gangguan, ingatan-ingatan kenikmatan masa lalu, pemikiran duniawi dan hanya mengarahkan pikiran pada keluar masuknya nafas. 'dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari hal yang tak bermanfaat (melalui pemusatan pikiran) dengan menggenggam dan mempertahankan (objek) dari menanggalkan itu, muncul rasa sukacita dan nikmat, aku masuk dalam jhāna ke-1... dalam jhāna ke-2.. dalam jhāna ke-3... dalam jhāna ke-4... perasaan menyenangkan itu tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana. [MN 36]

    Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, beliau mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau: "[..] Aku mengingat banyak ragam kelahiran dikehidupan lampauKu sebagai berikut: mula-mula 1 kelahiran, 2, 5, 10, 50, 100, 1000, 100.000, banyak Kappa kontraksi kosmis, banyak Kappa kosmis mengembang, banyak Kappa dari kontraksi dan mengembangnya kosmis [..] Pengetahuan pertama pada malam waktu pertama (rattiyā paṭhame yāme); melalui mata dewaNya, melihat makhluk-makhluk wafat dan muncul kembali di bermacam alam, terhubung dengan karma mereka sendiri hingga dibedakan menjadi inferior/superior, penampilannya baik/buruk, beruntung/sial;[..]. Pengetahuan ke-2 pada malam waktu tengah [rattiyā majjhime yāme]; pengetahuan penyebab, cara penghancuran noda dan mengakhir kelahiran kembali [..]. Pengetahuan ke-3 pada malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme] [MN 36]

    Akhirnya, di waktu terakhir malam [rattiyā pacchime yāme] pada malam purnama bulan Vesākha, beliau berhasil mencapai kebuddhaan di Buddha-Gaya, di usia 35 tahun, dengan syair kemenangan: "melalui ragam lingkaran kelahiran, sia-sia berputaran mencari si 'Pembuat Rumah', Menyakitkan terlahir lagi dan lagi; Pembuat Rumah, telah ditemukan, Tak kan lagi dapat membuat rumah, Semua sendimu telah hancur, atapmu telah roboh, bentukan pikiran telah dilucuti, belitan kehausan telah dihancurkan" [Dhammapada Syair 153-154]

  3. Wafatnya Buddha Gotama:
    Ketika beliau berusia 80 tahun, beliau menyampaikan kepada para bhikkhu: ”..Tak lama lagi Sang tathagatha akan paranibbana (naciraṁ tathāgatassa parinibbānaṁ bhavissati). 3 bulan dari sekarang, sang Tathagata akan paranibbana (Ito tiṇṇaṁ māsānaṁ accayena tathāgato parinibbāyissatī”ti)" [DN 16]. Pada 3 bulan kemudian, sesampainya di bawah pohon sala kembar, di hutan Sala, daerah suku Malla, dekat Kusinara, beliau menyampaikan "Hari ini, malam waktu terakhir [rattiyā pacchime yāme], Sang Tathagata akan parinibbana/padam sepenuhnya", Kemudian, setelah memberitahu suku malla dan menerima kunjungan terakhir mereka, setelah menahbiskan Subhadda, dan setelah bertanya kepada para Bhikkhu jika ada yang masih memiliki keraguan atau ada yang hendak ditanyakan, namun para Bhikkhu berdiam diri, sampai 3x diulangi, para bhikkhu tetap berdiam diri. Sang Buddha menyampaikan nasehat terakhirnya, "Para bhikkhu, perhatikanlah nasehat ini: 'yang berkondisi tunduk pada kelapukan, dengan kewaspadaan capailah tujuan'" [DN 16]
    Kemudian beliau masuk jhāna ke-1.
    Bangkit dari jhāna ke-1, masuk jhāna ke-2.
    Bangkit dari jhāna ke-2, masuk jhāna ke-3.
    Bangkit dari jhāna ke-3, masuk jhāna ke-4.
    Bangkit dari jhāna ke-4, masuk landasan ruang tak berbatas.
    Bangkit dari landasan ruang tak berbatas, masuk landasan kesadaran tak berbatas.
    Bangkit dari landasan kesadaran tak berbatas, masuk landasan tak ada sesuatu apapun.
    Bangkit dari landasan tak ada sesuatu apapun, masuk landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi.
    Bangkit dari landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, beliau masuk lenyapnya persepsi dan perasaan.

    Kemudian Sang Bhagava,
    bangkit dari lenyapnya persepsi dan perasaan, beliau masuk landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi.
    Bangkit dari landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, masuk landasan tak ada sesuatu apapun,
    Bangkit dari landasan tak ada sesuatu apapun, masuk landasan kesadaran tak berbatas,
    Bangkit dari landasan kesadaran tak berbatas, masuk landasan ruang tak berbatas.
    Bangkit dari landasan ruang tak berbatas, masuk jhāna ke-4.
    Bangkit dari jhāna ke-4, masuk jhāna ke-3.
    Bangkit dari jhāna ke-3, masuk jhāna ke-2.
    Bangkit dari jhāna ke-2, masuk jhāna ke-1.
    Bangkit dari jhāna ke-1, masuk jhāna ke-2.
    Bangkit dari jhāna ke-2, masuk jhāna ke-3.
    Bangkit dari jhāna ke-3, masuk jhāna ke-4.
    Dan bangkit dari jhāna ke-4, kemudian beliau lalu padam sempurna. [DN 16], Demikianlah, di waktu terakhir malam [rattiyā pacchime yāme] pada malam purnama bulan Vesākha, beliau padam sempurna [dan lihat juga:Riwayat Sidharta Gautama]
3 hal yang terjadi pada bulan punama Vesākha, kemudian menjadi peringatan bagi umat Buddha dan sebagai detik-detik Waisak adalah waktu terakhir malam [rattiyā pacchime yāme] Purnama, yaitu sekitar pukul 01.30 sampai 04.30.

Tempat perayaan Waisak, seharusnya merujuk DN 16, tentang 4 tempat bagi seorang yang berkeyakinan mendatanginya agar bangkit ketergugahannya, yaitu tempat Sang Buddha dilahirkan, mencapai penerangan sempurna, memutar Roda Dhamma untuk kali pertama dan Parinibbana, juga, 4 jenis manusia yang pantas dibuatkan stupa, yaitu Sammasambuddha, Pacceka Buddha, Siswa dari Tathagata dan Raja Pemutar Roda. Oleh karena tempat dilahirkan, memutar roda dhamma dan parinibbana semuanya ada di India, sehingga hanya 1 hal yang dapat dilakukan di luar India, yaitu tempat dimana relik sang Buddha disimpan dan juga tempat ditanamnya pohon bodhi yang berasal dari pohon bodhi di Bodhgaya. Tempat perayaan Eaisak, di Srilanka misalnya, dilaksanakan di Dagaba (kuil berbentuk kubah, tempat menyimpan relik sang Buddha atau arahat lainnya), di pohon Bodhi (bagian dari pohon Bodhi di Bodhgaya yang dibawa ke Srilanka oleh Sanghamitta), di vihara-vihara. Oleh karenanya perayaan Waisak yang dianjurkan hanya di tempat-tempat demikian.

Namun di Indonesia, terdapat anomali tempat perayaan Waisak, yaitu dilaksanakan di candi Mahayana Borobudur dan Mendut, padahal baik Borobudur dan Mendut peruntukkan awalnya BUKAN sebagai tempat menyimpan relik sang Buddha.
    Kemendikbud: Borobudur menjadi tempat perayaan waisak, pertama kalinya dilakukan pada tahun 1929, yang digagas Himpunan Teosofi Hindia Belanda, kemudian terhenti selama perang revolusi kemerdekaan, berlanjut kembali pada tahun 1953 dan terhenti kembali saat pemugaran di tahun 1973, dan pusat perayaan pindah ke Mendut.
Borobudur ditemukan kembali di tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles (Gubenur Hindia-Belanda 1811-1816) melalui keterangan penduduk setempat. Di bukunya, "The History of Java" (1817, hal.31), Raffles menyebutnya "Bóro Bódo" dan pada catatan kakinya: "Bóro adalah nama distrik, dan bódo berarti kuno", setelah itu, asal usul nama Borobudur menjadi objek spekulasi, misalnya oleh J.L Moens (1951) bahwa Mpu Prapanca dalam nagarakertagama (sloka 77.3) menyebut nama desa "Budur" dan untuk Mendut/Mundut ditemukan kembali di tahun 1834 oleh C.L Hartmann, Seorang Belanda pejabat pemerintah provinsi Kedu ["Hindu-Buddhist Architecture in Southeast Asia", Daigorō Chihara, 1996, hal.125]. Klaim Borobudur dan Mendut dibangun pada jaman Sailendra adalah karena J.G de Casparis (1950) dengan merujuk pada prasasti Kayumwungan/Karangtenah (824 M) bahwa raja Samaratungga (pembuat prasasti) memuji kebajikan putrinya, Pramodhawardhani untuk pembuatan Jinalaya (Jika di Nepal: Jinalaya = kuil dengan 4 buddha di 4 arah) dan pembuatan Mandir untuk mendiang Raja Indra (Pendahulu dari Raja Samaratungga), bagian ini dianggap terkait Borobudur dan bagian yang dianggap terkait Mendut dalam frase "Srimadvenuvanabhikhyam … jinamandira (kuil hutan bambu yang agung...kuil sang penakluk)", yaitu kuil yang dibuat oleh Raja Indra, kemudian di prasasti Sri Kahulunan (842 M), bagian yang dianggap terkait Borobudur dalam frase "kamulan Sailendra (tempat luluhur Sailendra/tuan pegunungan)” ["The Javanese Candi: Function and Meaning", Soekmono, 1995, hal.55-57], yaitu tempat pemujaan mendiang luluhur, dimana Kamulan artinya adalah mula/asal atau leluhur: "Kamulan dianggap turunan bahasa Jawa dari sanskrit múla, imbuhan ka-dan-an digunakan untuk membentuk kata benda abstrak atau lebih sering menunjukkan tempat di mana objek atau konsep yang bersangkutan berada. Kamulan dengan demikian diambil sebagai tempat asalnya (yang dalam hal ini dapat diterapkan pada Dinasti Sailendra)." ["Researches in Indian History, Archaeology, Art, and Religion", G. Kuppuram, K. Kumudamani Sundeep Prakashan, 1990 - India, vol.2, hal.541]

Baik Borobudur dan Mendut adalah candi, sebuah terminolgi bahasa kawi/jawa kuno yang merujuk pada bangunan untuk menghormati mendiang sebagai dewa/leluhur.
    ..memang benar bahwa jika dilihat dari luar dan dalam, kuil-kuil tersebut mempunyai seluruh ciri-ciri kuil; terdapat arca dewa, altar, relief kisah suci avatar Wisnu, dan unsur lainnya. Namun, jika diteliti lebih dekat, terungkap bahwa patung-patung tersebut bukan sekadar representasi dewa. Mereka menunjukkan beberapa penyimpangan dari aturan kanonik, yang dengan jelas menunjukkan bahwa mereka adalah gambar mendiang raja dalam bentuk dewa. Selanjutnya, kita harus mempertimbangkan peti mati batu yang berisi berbagai batu ajaib dan logam yang dicampur dengan abu manusia dan dikubur dalam lubang yang dalam di bawah patung. Kemungkinan besar abu tersebut adalah sisa-sisa jenazah raja yang telah meninggal dan batu-batu berharga serta logam-logam yang dikaitkan dengan dewa tertentu berfungsi sebagai daya tarik magis bagi dewa tertentu yang menjadi tempat jiwa raja diserap setelah kematian dan di antaranya raja adalah inkarnasi selama hidupnya. Setiap raja atau tokoh tinggi lainnya “dicandi-kan” dengan cara ini, sebagaimana dapat kita peroleh dari beberapa lokus dalam sastra Jawa kuno. Teknik terminusnya adalah cinandi, untuk dimasukkan ke dalam candi. Oleh karena itu, Candi berarti sejenis monumen khusus, di mana abu jenazah raja yang dibakar ditempatkan; kata itu berasal dari salah satu nama dewi kematian Durga. (Candi mungkin merupakan singkatan dari bahasa Sansekerta candigraha, rumah Durga, orang bali menyebut pura durga pura dalem) [The Meaning of the Hindu-Javanese caṇḍi, Willem Stutterheim, Journal of the American Oriental Society, Vol. 51, No. 1 (Mar., 1931), pp. 1-15]

    “..adalah benar untuk mengatakan bahwa mendiang raja tidak kehilangan statusnya sebagai dewa; selain itu, raja yang telah meninggal juga dianggap sebagai leluhur.... mausoleum tempat dimakamkannya leluhur menjadi sebuah tempat memancarkan kekuatan. Monumen makam ini kemudian menjadi simbol lahiriah dari hubungan yang dianggap ada antara yang hidup dan yang mati.” ["Ideas and Forms of Javanese Architecture", J Prijotomo, Yogyakarta, 1984, hal.45]

    Candi menurut Soekmono: “dibangun sebagai tempat pemujaan untuk memuliakan mendiang penguasa..." [“Candi: Symbol of the Universe,” Indonesian Heritage; Ancient History, R Soekmono, vol. 1, J. Miksic, 1996, hal.58]

    “objek pemujaan di candi adalah patung dewa;..menggambarkan almarhum raja dan ratu, yang diyakini telah menyatu dengan para dewa setelah kematian dan pada saat yang sama mewakili leluhur yang telah ke dunia lain. Oleh karenanya, candi adalah tempat suci para dewa, di mana upacara yang diadakan dianggap dihadiri para dewa, dan tempat memuja, menghormati mereka di saat yang sama untuk mendewakan keluarga kerajaan dan roh leluhur.” [J Fontein dan R Soekmono, “II Architecture; 1. Hindu Buddhist”, The Dictionary of Art, ed. Turner, J. Vol. 15, 1996, hal.758]
Asadha:
2 bulan setelah Waisak, di bulan purnama sidhi (sekitar bulan Juli) dirayakan khotbah pertama Sang Buddha kepada 5 pertapa: Kondañña, Badhiya, Vappa, Mahanama dan Assaji. Khotbah pertama disebut Dhammacakkapavatana (berputarnya roda Dhamma)[↑]. Saat roda dhamma itu berputar pertama kalinya lagi, Kondañña menjadi manusia pertama yang mencapai sotāpanna di era Buddha Gotama. Setelah pemutaran roda Dhamma, Kondañña mohon ditahbiskan menjadi Bhikkhu dan ditahbiskan dengan kalimat, "Mari (ehi) bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan kehidupan suci dan singkirkanlah penderitaan", maka Kondañña menjadi bhikkhu pertama murid Sang Buddha dan yang pertama ditahbiskan dengan "ehi bhikkhu".

Dua hari setelahnya, Vappa dan Bhaddiya menjadi sotāpanna dan ditahbiskan dengan kalimat "ehi bhikkhu". Di hari ke-4, Mahanama dan Assaji menjadi sotāpanna dan ditahbiskan dengan kalimat "ehi bhikkhu". Dengan 5 Bhikkhu ini, Sangha Bhikkhu pertama terbentuk lagi di era Buddha Gotama.

Pada hari ke-5, setelah khotbah pertama, dibabarkan khotbah ke-2, Anattalakhana sutta (Karakteristik Bukan-Diri/tanpa inti):
    Demikian yang kudengar.
    Pada suatu waktu Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Beliau berbicara kepada kelompok 5 bhikkhu:

    "para Bhikkhu, bentukan/materi bukanlah identitas (diri)-ku (Rūpaṁ, bhikkhave, anattā). Para Bhikkhu, KARENA JIKA BENTUKAN INI (Rūpañca hidaṁ, bhikkhave) ADALAH BENAR IDENTITAS (DIRI)-KU (attā abhavissa), TAKKAN BENTUKAN INI (nayidaṁ rūpaṁ) MENGARAH PADA HASIL YANG MEMBUATNYA MENDERITA/KECEWA/SAKIT (ābādhāya saṁvatteyya), dan terhadap bentukan, akan dapat (labbhetha ca rūpe): 'bentukan menjadilah demikian untukku (evaṁ me rūpaṁ hotu), bentukan janganlah menjadi demikian untukku (evaṁ me rūpaṁ mā ahosī).'

    Para Bhikkhu, DAN OLEH KARENA (yasmā ca kho, bhikkhave) BENTUKAN BUKANLAH IDENTITAS (DIRI)-KU (rūpaṁ anattā), MAKA BENTUKAN AKAN MENGARAH PADA HASIL YANG MEMBUATNYA MENDERITA/KECEWA/SAKIT (tasmā rūpaṁ ābādhāya saṁvattati), dan terhadap bentukan, tidaklah dapat: 'bentukan menjadilah demikian untukku, bentukan janganlah menjadi demikian untukku.'

    ..perasaan bukanlah identitas (diri)-ku...
    ..persepsi bukanlah identitas (diri)-ku...
    ..bentukan kehendak bukanlah identitas (diri)-ku...
    ..kesadaran bukanlah identitas (diri)-ku...

    Sang Buddha: "Bagaimana menurutmu, para bhikkhu — Apakah [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran] kekal atau tidak kekal?"

    5 Pertapa: "Tidak kekal, Bhante."

    Sang Buddha: "Dan apakah hal yang tidak kekal itu memberikan penderitaan/dukkhaṁ (tidak memuaskan) ataukah memberikan kenyamanan/sukhaṁ (memuaskan)?"

    5 Pertapa: "memberikan penderitaan, Bhante."

    Sang Buddha: "namun terhadap sesuatu yang tidak kekal, memberikan penderitaan, dapat berubah (yaṁ panāniccaṁ dukkhaṁ vipariṇāmadhammaṁ), pantaskah yang demikian ini dilihat (kallaṁ nu taṁ samanupassituṁ): 'Ini milikku (etaṁ mama), Ini adalah aku/diri/identitas/sesuatu/kondisi (esohamasmi), Ini identitas (diri)-ku (eso me attā)'?"

    5 Pertapa: Tidak, Bhante."

    Sang Buddha: "Oleh Karenanya, para bhikkhu, APAPUN ITU (yaṁ kiñci) [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran] di masa lampau, depan, atau sekarang (atītānāgatapaccuppannaṁ); di dalam atau luar (tubuh) (ajjhattaṁ vā bahiddhā); kasar atau halus (oḷārikaṁ vā sukhumaṁ); rendah atau mulia (hīnaṁ vā paṇītaṁ); baik itu jauh atau dekat (vā yaṁ dūre santike); SEGALA (sabbaṁ) [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran]: 'Ini BUKAN milikku (netaṁ mama), Ini BUKANLAH aku (nesohamasmi), Ini BUKAN identitas (diri)-ku (na meso attā)', seperti demikian ini seharusnya dilihat secara nyata benar apa adanya/alami (evametaṁ yathābhūtaṁ sammappaññāya daṭṭhabbaṁ)"

    "Melihat demikian, para bhikkhu (evaṁ passaṁ, bhikkhave), siswa Ariya yang memahaminya, akan: TAK TERKESAN (hambar/nibbida) dengan [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran]

    SETELAH TAK TERKESAN, Ia TIDAK MENGINGINKAN [nibbindaṁ virajjati]. SETELAH TIDAK MENGINGINKAN, Ia MENJADI TERBEBAS DARINYA [virāgā vimuccati].

    Setelah terbebaskan, dirinya tahu bahwa telah terbebas (vimuttasmiṁ vimuttamiti ñāṇaṁ hoti), Ia mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan (khīṇā jāti), cara hidup brahma/cara non duniawi telah dijalani (vusitaṃ brahmacariyaṃ), apa yang harus dilakukan telah dilakukan (kataṃ karaṇīyaṃ), tak lagi menjadi apapun (nāparaṃ itthattāyāti)"

    Demikian yang dikatakan Sang Bhagava. Berterimakasih, kelompok 5 bhikkhu tersebut gembira atas kata-kata Beliau. Sewaktu penjelasan sedang diberikan, mental kelompok 5 bhikkhu, melalui ketidakmelekatan, terbebas sepenuhnya dari kekotoran mental [SN 22.59].
Pada bulan itu, di era Buddha Gotama, karena roda dhamma berputar lagi, MANUSIA BERKESEMPATAN LAGI mencapai tingkat ARAHAT, sebagai SAVAKA ARAHAT (mencapai arahat dengan bimbingan/ajaran Buddha)

Kathina:
Di India, setelah bulan Asadha/Asalha, masuk musim hujan selama 3 - 4 bulan hingga bertemu bulan Pubba/Paccima Kattika. Di bulan inilah perayaan Kathina terjadi. Musim hujan disebut musim vassa (dari kata Vassāna = hujan) namun kata vassa juga berarti “tahun” (walaupun ada kata lain untuk tahun: hāyana/saṃvacchara). Masa vassa adalah ukuran senioritas pabbajita (petapa/bhikkhu) sebagai kumulatif jumlah musim hujan yang dijalankannya. Jika tidak menjalaninya, umur vassa tidak bertambah. Samanera adalah juga pabbajita tapi tidak berkewajiban menjalankan masa vassa jadi ketika seseorang berkata telah menjadi kepabbajita-an selama 10 vassa = 10 tahun, maka ini belum tentu menjalani 10 musim hujan/vassa.

Di beberapa negara, jatuhnya musim hujan berbeda dengan India, misal Indonesia (Oktober-April, puncaknya: November-Februari) dan masa vassa dilakukan tidak dimusim hujan tapi ikut bulan hujan India, akibatnya kathina jatuh di musim hujan.

Pada musim vassa, para petapa (Buddhis dan non) TIDAK LELUASA BEPERGIAN, ini agar tanaman yang mulai tumbuh TIDAK RUSAK akibat terjangan kaki para petapa [Vinaya, Mahavagga 3.1] dan agar tidak rawan sakit akibat kehujanan, mereka menetap di tempat tertentu. Selama masa Vassa, Para Bhikkhu masih boleh bepergian namun tidak lebih dari 7 hari, jika lebih, Ia melakukan pelanggaran dan masa vassanya GAGAL.

Pada musim hujan ini, para Bhikkhu sulit mendapatkan makanan, sulit mendapatkan potongan kain untuk jubah (cīvara), yang biasanya mereka kumpulkan dari kuburan, tempat pembuangan sampah, dll. Juga karena di tempat menetap terdapat pula kelompok bukan dari aliran yang sama atau tidak menjalankan latihan yang sama, maka ketenangan dan hidup harmonis dalam keragaman sulit didapat. Itu sebabnya disebut Kathina (Arti Kathina = "tidak leluasa/kaku, sulit, susah" atau juga berarti bingkai, kain untuk membuat jubah dibentangkan dan dijepit pada bingkai/kathina untuk dijahit).

Pada musim vassa, Para umat/penduduk mengambil kesempatan MENGUNDANG para Petapa menetap di desa mereka agar berkesempatan melakukan lebih banyak kebajikan dengan mendengarkan Dhamma, memohon dan melatih sila (latihan kemoralan) yang lebih tinggi dan juga BERDANA makanan serta keperluan lainnya kepada para Bhikkhu. Karena ketika usai masa vassa, para Bhikkhu, akan berkelana kembali dan belum tentu berkesempatan lagi bertemu para Bhikkhu ini.

Saat berakhirnya masa vassa, para bhikkhu (yaitu undangan di antara para bhikkhu) melakukan Pavarana (upacara berakhirnya vassa, dilakukan saat bulan purnama, di bulan Oktober/Assayuja). Pavarana dapat ditunda 2 minggu atau 1 bulan atau di hari-hari lainnya. Jumlah bhikkhu yang hadir ≥ 4 Bhikkhu dan hanya bhikkhu yang sukses menyelesaikan masa vassalah yang ber-pavarana.

Untuk itu SEBAGAI RASA TERIMA KASIH umat kepada para Bhikkhu, di AKHIR MUSIM VASSA (setelah pavarana dilakukan, yaitu keesokan harinya setelah Purnama atau hari ke-16), para umat mempersembahan keperluan para Bhikkhu, utamanya adalah jubah (cīvara). Inilah yang disebut PERAYAAN KATHINA atau musim jubah (civarakala) dan dapat berlangsung 1 bulan lamanya.
    Note:
    UANG, EMAS dan PERAK TIDAK DIPERSEMBAHKAN kepada PARA BHIKKHU/SAMANA karena MERUPAKAN NODA bagi petapa [AN 4.50]. samana/petapa TIDAK membolehkan, TIDAK menyetujui, telah melepaskan dan meninggalkan uang, emas/perak. TIDAK ADA ALASAN untuk membenarkan penerimaan uang, emas dan perak [SN 42.10]. Vinaya untuk Nissaggiya no.18, no.19: Seorang bhikkhu yang menerima uang dengan tangannya sendiri atau membuat orang lain menerima uang untuknya, atau menyetujuinya diletakkan di dekatnya atau disimpan untuknya, maka DIA TELAH MELAKUKAN PELANGGARAN
Karena kathina terkait menjalani musim hujan, maka hanya bhikkhu yang sukses menyelesaikan masa vassalah yang seharusnya lega hadir di perayaan kathina dan wajar menerima persembahan.

Sebelumnya jubah-jubah dibuat sendiri oleh para Bhikkhu, sampai kemudian tabib Jivaka Komarabhacca mengobati sakitnya sang Buddha dan mempersembahkan kain yang didapatkannya dari Raja pajjota, kemudian memohon agar umat awam diperbolehkan mempersembahkan kain/jubah kepada Sangha dan dikabulkan sang Buddha, kemudian di satu kotbah, Sang Buddha menyatakan membolehkan para Bhikkhu menerima jubah dari umat awam. kabar ini menggembirakan penduduk Rajagaha, dalam 1 hari, ribuan jubah dihasilkan di Rajagaha dan dipersembahkan pada Sangha. Ketika penduduk negeri juga mendengar ini, seharinya ribuan jubah diproduksi dan dipersembahkan kepada Sangha. Tampaknya sejak itulah dimulai tradisi para umat awam mempersembahkan jubah di perayaan Kathina

Magha-Puja:
Dirayakan di purnama sidhi di bulan Magha (Februari/Maret) untuk memperingati peristiwa berkumpulnya 4 faktor (caturrangga-sannipata):
  1. Purnama sidhi bulan Magha.
  2. 1.250 bhikkhu Arahat datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu berkumpul di Rajagaha. (1000 Bhikkhu pimpinan Uruvela Kassapa bersaudara + 250 bhikkhu pimpinan Sariputta dan Moggalana ex pengikut Sanjaya).
  3. Semuanya Arahat dengan 6 (enam) abhiññā
  4. Semuanya ditahbiskan dengan ucapan 'Ehi-bhikkhu'.
Pada waktu itu Sang Buddha membacakan Ovada pātimokkha (Ovada = Nasehat; pātimokkha = yang harus dilakukan; aturan) yang juga disampaikan 91 Kappa lalu oleh Buddha Vippasi (DN 14):
    Khantī paramaṃ tapo titikkhā, Nibbānaṃ paramaṃ vadanti buddhā; Na hi pabbajito parūpaghātī, Na samaṇo hoti paraṃ viheṭhayanto
    memiliki ketahanan/penerimaan adalah yang utama untuk tetap terkendali. Sang Buddha bersabda: Nibbana adalah yang utama. Bukanlah Petapa jika masih menyakiti, Bukan pula Petapa jika menyusahkan sekitar

    Sabbapāpassa akaraṇaṃ, kusalassa upasampadā; Sacittapariyodapanaṃ, etaṃ buddhānasāsanaṃ
    Segala hal buruk tidak dilakukan, Lakukan hal-hal bermanfaat, sertai dengan pikiran murni, Itulah ajaran para Buddha

    Anūpavādo anūpaghāto, Pātimokkhe ca saṃvaro; Mattaññutā ca bhattasmiṃ, Pantañca sayanāsanaṃ; Adhicitte ca āyogo, Etaṃ buddhānasāsanan
    Tidak menghina, tidak melukai, Mengendalikan diri sesuai aturan. Makan secukupnya, Hidup menyepi. Senantiasalah berpikir luhur, Itulah ajaran para Buddha
Ucapan di atas juga jawaban atas pertanyaan Ananda, "Apakah pelajaran dasar untuk para bhikkhu yang diberikan para Buddha terdahulu sama seperti yang diberikan Sang Buddha sekarang?" [juga: Dhammapada, Bab 14, Budhha vagga syair 183, 184, 185].

Ada 2 pātimokkha: ovada (nasihat) dan āṇā (intruksi, perintah). Jumlah āṇā pātimokkha adalah "Sādhikamidaṃ (lebih dari)..diyaḍ­ḍha­sikkhā­pada­sataṃ (150 aturan latihan)" yang dibacakan per 2 minggu [AN 3.384, 386, 387, 388. Milianda 5.2.1 dan 6.2.8], tepatnya 227 aturan bagi bhikkhu.

Ovada pātimokkha Buddha Vipassi dilakukan per 6 tahun. Para siswaNya tidak membacakan pātimokkha di wilayah vihàranya masing-masing. Semua bhikkhu dalam wilayah Jambudipa berkumpul mengadakan uposatha hanya dalam lingkungan vihàra di mana Buddha Vipassi berada. Buddha Gotama, mengajarkan Ovàda pātimokkha di 20 tahun pertama kebuddhaan [Patthama Bodhi]. (RAPB buku ke-1, Cetakan May 2000, hal 856). Saat Buddha di vihara Pubbarama, Pātimokkha diijinkan dibacakan saat ketidakhadiran beliau. pātimokkha tidak lafalkan, jika diantara mereka ada yang tidak murni/pelanggar [Vinaya, Khandaka 2]. [DPPN]. []
---------------

Lain-lain: Perabuan Jenazah, Meninggalkan Keluarga

Perlakuan jenazah:
Jenazah TIDAK HARUS diperabukan, boleh dikubur atau dibakar, dibuang di laut atau ditinggal di hutan/goa tanpa dikubur.

TIDAK HARUS meninggalkan keluarga:
Menjadi umat Buddha TIDAK PERLU meninggalkan keluarga menjadi Bhikkhu/bhikkhuni. Terdapat banyak contoh perumah tangga (upasaka/upasika) yang mencapai ragam tingkat kesucian. Mereka yang hendak menjadi bhikkhu, harus mendapat ijin orang tua dan/atau isterinya, juga syarat lainnya, misal: isteri dan anaknya tidak terlantar, berkelakuan baik dan tidak menderita penyakit menular atau mental. []
---------------

Pattidana

Dalam melakukan jasa kebajikan tersebut, Pelaku yang melakukannya tidak sendirian tapi bersamanya ada pula andil/keikutsertaan pihak lain, atau jasa kebajikan tersebut, Ia lakukan untuk/atau atas nama pihak lain [Lihat juga: Milianda Panha no.74. "Manual of Buddhist Terms and Doctrines", NYANATILOKA MAHATHERA. "'Transference of Merit' in Ceylonese Buddhism", G. P. Malalasekera, Philosophy East and West, V. 17 (1967) pp. 85-90].

Praktek seperti ini telah berjalan dari sebelum jaman Sang Buddha, misal AN 10.177, tentang tradisi mempersembahkan pada mendiang dengan pikiran: ‘Pemberian ini bermanfaat bagi mendiang sanak kami’ atau AN 5.41/Adiya, AN 4.61/Pattakamma, "Dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha keras penuh semangat, dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar, maka siswa mulia itu melakukan 4 perbuatan yang layak...melakukan 5 persembahan (panca bali): pada sanak (nati), tamu (atithi), mendiang (pubbapeta), raja (rāja); dewata (devata). ini adalah manfaat ke-4 yang dapat diperoleh dari kekayaan..kekayaan digunakan dengan baik, yang telah dengan benar dimanfaatkan dan digunakan untuk sebab yang layak" [Note: Panca bali/panca yadnya: Deva, pitra/leluhur, Rsi (petapa), Manusia dan Bhuta (alam bawah)], contoh lain bentuk Pattidana:
  1. Di SN 6.3, Ibu dari seorang brahmana (Brahmanadeva) secara rutin memberikan persembahan (ahutiṃ niccaṃ paggaṇhāti, upacara lengkap dengan mempersembahkan nasi-susu yang manis, dengan ritual pemanggilan) pada makhluk Brahmā (atau Deva), tindakan ini tidak bermanfaat. Brahma Sahampati pada ibu Brahmadeva: "Alam Brahmā, Nyonya, adalah jauh dari sini. Yang padanya engkau memberikan persembahan secara rutin. Brahmā tidak memakan makanan seperti itu, Ibu". Brahma Sahampati, kemudian mengajarkan cara agar persembahan menjadi bermanfaat dengan mempersembahkan pada mereka yang bisa memakannya).

  2. Di AN 7.53, Menghadiahkan jasa untuk dewata setelah melakukan pemberian makanan/melayani orang:

    Ketika itu Deva bernama Vessavana (AA.ii.718: Dewa yang telah mencapai kesucian sotāpanna), kebetulan lewat sekitar tempat tinggal Nandamātā (AA.ii.718; SNA.i.370: Seorang yang telah mencapai kesucian anāgāmī) dan Ia berhenti untuk mendengarkan Nandamātā melantunkan pārāyana vagga [pārāyana = jalan menuju melampaui/Tujuan = Nibbana. "pārāyana vagga" adalah SNP 5.1-19, pertanyaan dari 16 Murid Brahmana Bavari. Beberapa pertanyaan murid Bavari: AN 3.32/AN 4.41 (Puṇṇaka), SN 12.32 (Ajita), AN 3.32 (Udaya), AN 6.61 (Metteyya)]

    Setelahnya, Sang deva memberikan pujian dan Nandamātāpun memberikan persembahan (āthitheyya: pemberian pada tamu sebagai bentuk keramahan) paritta tersebut kepada Sang Deva: "..biarlah pembabaran Dhamma barusan menjadi hadiah untuk tamu bagimu.”

    Deva Vessavana: "Bagus, saudari! Dan biarlah yang ini juga menjadi hadiah untuk tamu bagiku, besok, sebelum saat pengumpulan dana pagi, Saṅgha bhikkhu pimpinan Sāriputta dan Moggallāna akan tiba di Veḷukaṇṭaka. Engkau layanilah mereka (berdana makanan) dan hadiahkanlah jasa itu untukku. Itulah yang akan menjadi hadiah untuk tamu darimu padaku"

    Nandamatta melakukan permintaannya dan setelahnya, Ia menyampaikan pada sangha: "Apapun ini, Bhante (guru), jasa, berkembangnya jasa dari persembahan, demi kebahagiaan maharaja Vessavaṇa" [Yadidaṃ, bhante, dāne puññañca puññamahī ca taṃ vessavaṇassa mahārājassa sukhāya hotū]

    Note:
    Di MN 35, Saccaka menerima titipan pemberian dana makan untuk Sang Buddha dan para bhikkhu, disamping Saccakapun juga melakukan pemberian dana makan kepada Sang Buddha dan Para Bhikkhu. Sang Buddha menyampaikan ada beda terhadap pemberi [yaitu pemurnian oleh Penerima (dan/atau dari pemberi)]. Namun dalam kasus Nandamatta, tidak ada konfirmasi dari Sāriputta dan Moggallāna apakah itikad/ucapan Nandamatta terkait jasa pemberian terjadi sesuai harapan maharaja Vessavaṇa. Yang pasti, jasa Maharaja Vssavana terjadi dalam mendorong (disamping memberikan informasi) sehingga Nandamatta dapat berdana kepada ladang terbaik.

  3. Pada Peta [Alam makhluk halus], di KN: khuddakapāṭha 7 (atau petavatthu, uragavagga 5 Tirokuṭṭapetavatthu) Tirokudda sutta [pada Peta] namun makhluk alam Peta tidak dapat secara langsung menerima makanan. Makanan diberikan pada yang bisa memakannya (contoh: para brahmana/pertapa/bhikkhu, manusia, binatang) dan sampaikan (dalam pikiran/ucapan) bahwa para makhluk peta mempunyai andil dalam perbuatan baik ini, dengan cara ini makhluk alam peta menerima manfaat berupa redanya perasaan menderita yang tengah mereka alami

  4. Di Silanisamsa jataka no.190 (Cerita adalah tambahan belakangan dari abad ke-3 SM atau 2 SM), contoh:

    Seorang sotāpanna dijaman Buddha Kassapa bepergian naik perahu dengan temannya dan ditengah jalan perahunya tenggelam, kemudian karena tidak ada pertolongan, sang sotāpanna ingatannya tertuju pada kualitas 3 permata (Buddha, Dhamma dan Sangha) dan sesosok Deva laut kemudian merubah dirinya menjadi bentuk perahu dan menolongnya namun tidak temannya, untuk itu ia tanya, "Mengapa tidak boleh?”

    “Dia bukanlah seorang dengan kualitas moral yang bagus, itulah alasannya,” katanya, “saya membawa kapal ini untuk dirimu, bukan untuk dirinya.”

    “Baiklah — semua perbuatanku: derma yang kuberikan, perlindungan karena moralitasku, buah dari pengembangan kultivasi-ku — kuberikan kebajikan-ku itu!” (Hotu, aham attana dinnadanena rakkhitasilena bhavitabhavanaya etassa pattim dammi”ti)

    “Terima kasih, Tuan!” kata tukang pangkas itu.

    “Sekarang,” kata dewa laut, “saya dapat membawamu ikut berlayar.”
Perbuatan baik yang dapat dibagikan pada pihak lain diantaranya adalah pembacaan sutta/dhamma, persembahan (makanan/minuman, pakaian, obat-obatan dan/atau tempat tinggal, lampu) pada yang dapat menerimanya. Untuk makan/obat/pakaian/tempat tinggal diberikan pada manusia, hewan. [Note: tingkatan manfaat dari pemberian, lihat di MN 142]

AN 10.177, mengajarkan cara melakukannya:
    Brahmana Janussoni: "Guru Gotama, kami para brahmana memberikan persembahan dan melakukan ritual [berpikir:] 'persembahan ini bermanfaat bagi mendiang [petanam/pubbapeta] sanak sedarah [ñātisālohitā] kami, dinikmati (pari+bujanta) mendiang sanak sedarah kami'. Guru Gotama, dapatkah persembahan kami bermanfaat bagi mendiang sanak sedarah kami? Dapatkah dinikmati mendiang sanak sedarah kami?"

    Sang Buddha menjawab: "..Pada kesempatan yang tepat, brahmana, pemberian itu dapat bermanfaat, bukan pada kesempatan yang tidak tepat".

    Kemudian sang Buddha menyampaikan:
    kesempatan yang tidak tepat: jika terlahir di alam neraka, binatang, Manusia, Dewa, maka pemberian tidak bermanfaat bagi yang hidup di sana.

    Kesempatan yang tepat: jika terlahir di alam peta (pettivisaya) maka "yang teman/kenalan/tetangga (mittāmaccā) atau kerabat hubungan darah (ñātisālohitā) limpahkan (anupavecchati; hand over) bermanfaat bagi yang hidup di sana"

    Brahmana Jāṇussoṇi: "Bagaimana jika sanak keluarga yang telah meninggal dunia (petā ñātisālohitā) tidak ada yang terlahir kembali di tempat itu (alam peta)?".

    Sang Buddha: "Sanak keluarga yang telah meninggal dunia lainnya (aññepissa petā ñātisālohitā) yang telah terlahir kembali di tempat itu akan menerima pemberian itu."

    Jāṇussoṇi: "Bagaimana jika tidak ada sanak keluarga yang telah meninggal dan tidak ada
    yang telah terlahir kembali di tempat itu"

    Sang Buddha: "Dalam rentang waktu yang panjang, brahmana, tidak mungkin dan tidak terbayangkan alam itu kosong dari sanak keluarga seseorang yang telah meninggal. Lebih jauh lagi, bagi si pemberi bukannya tidak berbuah ... karena Ia telah memberikan makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan cahaya pada seorang petapa atau brahmana ... maka ketika terlahir di alam binatang, Ia menerima makanan, minuman, kalungan bunga dan perhiasan ... maka ketika terlahir di alam manusia atau dewa, Ia menerima 5 kenikmatan indriya manusia atau dewa
Sutta di atas mempertegas buah manfaat memberi pada para PERTAPA/BHIKKHU: ketika si pemberi terlahir BUKAN di alam neraka, dirinya mendapat sokongan akibat perbuatan baiknya sendiri dan ketika si pemberi menyatakan jasa kebajikan ini adalah juga karena adanya andil (atau dilakukannya jasa kebajibakan ini atas nama) dari kerabat/kenalan yang telah wafat, maka kerabat/kenalan yang wafat di alam peta juga menerima sokongan. [↑] [↑ peta] []
---------------

Pustaka dan Catatan
[1] A-Gnostic [tanpa+pengetahuan]: Masih perlu bukti untuk meyimpulkan adanya Tuhan.

A-theis [Theos, Theoi (Yunani) [theein = memerintah], dewa; thea [dewi, feminim]: Telah menyimpulkan bahwa Dewa-Dewi sebagai penguasa/pencipta/pengatur adalah TIDAK ADA. Setelah perkembangan Nasrani (Perjanjian Baru), arti thea/os berubah menjadi Tuhan [sang Penguasa/pencipta/pengatur] untuk membedakan dewa vs Tuhan. Derajat dewa dibuat lebih rendah dari Tuhan, sehingga arti A Theis menjadi tidak percaya TUHAN.

Tradisi India: Yang tidak mempercayai Tuhan disebut Nāstika [na/tidak + asti/ada + akhiran ka], misal: Buddhism, Jainism, Cravāka dan Ājīvika. Nastika juga berarti mereka yang menolak otoritas Veda. Namun tidak mengakui otoritas Veda tidak berarti tidak mengakui Dewa-Dewi

Buddhism dan Jainism: Tidak mengakui adanya tuhan Pencipta/pengatur, namun mengakui Kamma, kelahiran kembali, Surga/Neraka dan dewa-dewi [bukan dalam konteks Pencipta]. Cravaka: Tidak mengakui adanya Tuhan, Deva, Surga, Neraka, kelahiran kembali. Singkatnya, tidak ada kehidupan setelah mati. Ajivika: Percaya ada jiwa, kelahiran kembali namun tidak percaya pada karma [↑]

[2] Di: DN 33; DN 34; AN 3.33; AN 3.65; Itivuttaka 50; dll. Misalnya di AN 3.68:

Apa karakteristik (viseso), kekhasan (adhippayāso), perbedaan (nānākaraṇa) antara rāgo/lobha, dosa dan moha?
  1. Ketagihan (rāgo = lobha)? Sedikit tercela (appasāvajjo) sulit dihilangkan (dandhavirāgī)
  2. Kebencian/ketidaknyamanan (dosa)? Sangat tercela (mahāsāvajjo) mudah dihilangkan (khippavirāgī)
  3. keliru tahu (moha)? Sangat tercela sulit dihilangkan
Sebab (hetu) dan alasan (paccayo) apakah:
  1. KETAGIHAN yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat? TAMPAK INDAH (subhanimitta). Itu TAMPAK INDAH karena MEMPERHATIKAN/PERHATIAN TIDAK BENAR (ayoniso manasikaro) , maka KETAGIHAN yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat

  2. KEBENCIAN yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat? TAMPAK MENJEMUKAN/MENJIJIKKAN (paṭi­gha­nimitta). Itu TAMPAK MENJEMUKAN/MENJIJIKKAN karena MEMPERHATIKAN/PERHATIAN TIDAK BENAR, maka KEBENCIAN ...

  3. KEKELIRUAN TAHU yang belum ada menjadi ada, yang telah ada menjadi meningkat kuat? karena MEMPERHATIKAN/PERHATIAN TIDAK BENAR (ayoniso manasikaro), maka KEKELIRUAN TAHU ...

  4. KETAGIHAN yang belum ada TIDAK menjadi ada, yang telah ada menjadi lenyap? TIDAK TAMPAK INDAH (asubhanimittan). itu TIDAK TAMPAK INDAH karena PERHATIAN BENAR (yoniso manasikaro), maka KETAGIHAN ...

  5. KEBENCIAN yang belum ada TIDAK menjadi ada, yang telah ada menjadi lenyap? PIKIRAN BEBAS dari MEMUSUHI (mettā cetovimuttī). Itu PIKIRAN BEBAS dari MEMUSUHI karena PERHATIAN BENAR, maka KEBENCIAN ...

  6. KEKELIRUAN TAHU yang belum ada TIDAK menjadi ada, yang telah ada menjadi lenyap? karena MEMPERHATIKAN/PERHATIAN BENAR (yoniso manasikaro), maka KEKELIRUAN TAHU yang belum ada TIDAK menjadi ada, yang telah ada menjadi lenyap [↑]

[3] Di AN 3.61, Sang Buddha menolak 3 Pandangan SEKTERIAN (termasuk pandangan tentang dosa warisan, ketuhanan) dan menjelaskan ajaran Buddha:

Para bhikkhu, ada 3 Pandangan (titthāyatanāni) yang, jika sepenuhnya disidik/periksa [samanuyuñjiyamānāni], diteliti [samanugāhiyamānāni] dan dibahas [samanubhāsiyamānāni], akan berakhir pada suatu doktrin tanpa tindakan, SEKALIPUN SUDAH DITERAPKAN KARENA TRADISI.

Apakah 3 pandangan ini?

Apapun yang dialami seseorang, apakah itu perasaan: menyenangkan, menyakitkan atau perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan [adukkhamasukhaṁ], semua itu:
  1. disebabkan tindakan lampau [pubbekatahetū].
  2. disebabkan kuasa TUHAN [Issaranimmānahetū]
    "issaranimmānahetū’ ti issaranimmānakāraṇā, issarena nimmitattā paṭisaṁvedetī ti attho" (Disebabkan kuasa tuhan, Karena kuasa TUHAN, Dirinya mengalami sepenuhnya kuasa tuhan)
  3. tanpa penyebab dan tanpa kondisi [ahetu-appaccayā].
Para bhikkhu, aku telah menemui para petapa dan brahmana ini dan berkata:

PANDANGAN KE-1:
“Apakah benar, seperti kata orang, bahwa yang mulia mengajar dan memegang pandangan: apapun yang dialami seseorang… semua itu disebabkan oleh tindakan lampau?”

Ketika mereka mengatakan “Ya”, aku katakan: “Jika demikian halnya, yang mulia, maka yang MEMBUAT orang:
  1. menyakiti makhluk hidup adalah karena tindakan kehidupan/masa lampau;
  2. mengambil yang tidak diberikan adalah karena tindakan kehidupan/masa lampau;
  3. berperilaku salah dalam kenikmatan indriya adalah karena tindakan masa lampau;
  4. menyatakan yang tidak benar, memecah belah, berkata kasar dan berbicara sia-sia/gosip adalah karena tindakan kehidupan/masa lampau;
  5. menginginkan milik orang lain, dengki, dan jahat adalah karena tindakan kehidupan/masa lampau;
  6. berpandangan salah adalah karena tindakan kehidupan/masa lampau.
Maka mereka yang menganggap tindakan lampau sebagai faktor penentu tidak memiliki semangat dan usaha bahwa ini seharusnya dilakukan atau seharusnya tidak dilakukan. Karena mereka tidak memiliki kebenaran dan tidak dapat dipercaya bahwa bahwa ini atau itu harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Mereka hidup tanpa kewaspadaan dan tanpa pengendalian diri (dari 6 indriyanya) dan Mereka ini tidak beralasan dikatakan sebagai ‘petapa’"

Para bhikkhu, inilah teguran ke-1 – yang diakui kebenarannya – pada para petapa dan brahmana yang mengajarkan dan memegang pandangan seperti itu.

PANDANGAN KE-2:
“Apakah benar, seperti kata orang, bahwa yang mulia mengajar dan memegang pandangan bahwa apapun yang dialami seseorang… semua itu disebabkan oleh kuasa Tuhan?”

Ketika mereka mengatakan “Ya”, kukatakan: “Jika demikian halnya, yang mulia, maka yang MEMBUAT orang:
  1. menyakiti makhluk hidup adalah karena kuasa TUHAN;
  2. mengambil yang tidak diberikan adalah karena kuasa TUHAN;
  3. berperilaku salah dalam kenikmatan indriya adalah karena kuasa TUHAN;
  4. menyatakan yang tidak benar, memecah belah, berkata kasar dan berbicara sia-sia/gosip adalah karena kuasa TUHAN;
  5. menginginkan milik orang lain, dengki, dan jahat adalah karena kuasa TUHAN;
  6. berpandangan salah adalah karena kuasa TUHAN.
Maka mereka yang menganggap ciptaan Tuhan sebagai faktor penentu tidak memiliki semangat dan usaha bahwa ini seharusnya dilakukan, atau seharusnya tidak dilakukan. Karena mereka tidak memiliki kebenaran dan tidak dapat dipercaya bahwa bahwa ini atau itu harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Mereka hidup tanpa kewaspadaan dan tanpa pengendalian diri (dari 6 indriyanya) dan Mereka ini tidak beralasan dikatakan sebagai ‘petapa’"

Para bhikkhu, inilah teguran ke-2ku – yang diakui kebenarannya...

PANDANGAN KE-3:
“Apakah benar, seperti kata orang, bahwa yang mulia mengajarkan dan memegang pandangan bahwa apapun yang dialami seseorang… semua itu tidak ada sebabnya dan tidak dikondisikan?”

Ketika mereka mengatakan “Ya”, kukatakan: “Jika demikian halnya, yang mulia, maka yang MEMBUAT orang:
  1. menyakiti makhluk hidup adalah tanpa penyebab dan tanpa kondisi;
  2. mengambil yang tidak diberikan adalah tanpa penyebab dan tanpa kondisi;
  3. berperilaku salah dalam kenikmatan indriya adalah tanpa penyebab dan tanpa kondisi;
  4. menyatakan tidak benar, memecah belah, berkata kasar dan berbicara sia-sia/gosip adalah tanpa penyebab dan tanpa kondisi;
  5. menginginkan milik orang lain, dengki, dan jahat adalah tanpa penyebab dan tanpa kondisi;
  6. berpandangan salah adalah tanpa penyebab dan tanpa kondisi.
Maka mereka yang menganggap bahwa (urutan peristiwa) yang tanpa sebab dan kondisi sebagai faktor penentu tidak memiliki semangat dan usaha bahwa ini seharusnya dilakukan, atau seharusnya tidak dilakukan. Karena mereka tidak memiliki kebenaran dan tidak dapat dipercaya bahwa bahwa ini atau itu harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Mereka hidup tanpa kewaspadaan dan tanpa pengendalian diri (dari 6 indriyanya) dan Mereka ini tidak beralasan dikatakan sebagai ‘petapa’"

Para bhikkhu, inilah teguran ke-3ku – yang diakui kebenarannya...

Demikianlah, para bhikkhu, 3 pendapat sektarian yang, jika sepenuhnya diperiksa, diteliti dan dibahas, akan berakhir pada suatu doktrin tanpa-tindakan, sekalipun JIKA DIPAKAI KARENA TRADISI.

AJARAN BUDDHA:
Para bhikkhu, Dhamma yang diajarkan olehku tidak dapat disangkal, tidak ternoda, tidak tercela, dan tidak dapat dikecam oleh petapa dan brahmana yang pandai. Dan apakah Dhamma itu?
  1. 6 unsur/element (dhātu):
    paṭhavī: padat, landasan, penyokong, bumi/tanah; āpo: merekat, melekat, cairan; tejo: kekuatan, tajam, menusuk, terbakar, terkonsumsi, terhabiskan, umur, gelombang partikel, panas, temperatur, cahaya, api; vāyo: gerak, mengalir, tiupan, getar, tekanan, kondisi, keadaan, sirkulasi, aksi mempertahankan, angin; ākāsa: ruang, celah, antar 2 objek, jarak; viññāṇa: kesadaran dari 6 indriya atau berlandaskan pada Rūpa, Vedanā, Saññā dan/atau Saṅkhāra

  2. 6 landasan kontak
    : mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran

  3. 18 pemeriksaan mental
    : Ketika melihat/mendengar..memikirkan (kegiatan dari indriya) suatu OBJEK dengan mata/telinga..pikiran (6 Indriya) yang mungkin memunculkan 3 perasaan: BAHAGIA/SUKACITA [somanassaṭṭhāniya], PEDIH/DUKACITA [domanassaṭṭhāniya] atau TENANG SEIMBANG [upekkhaṭṭhāniya]

  4. 4 Kebenaran Mulia: Dukkha, asalmula Dukkha, berhentinya Dukkha dan jalan menghentikan dukkha (yaitu: 8 jalan utama)
[..] inilah Dhamma ajaranKu, yang tidak dapat disangkal, tidak ternoda, tidak tercela, dan tidak dapat dikecam oleh petapa dan brahmana yang pandai. [↑]

[4a] Pemahaman Theosophy patut untuk dilihat dalam memahami sila ke-1, Pancasila, karena beberapa nama, yang disebut sebagai perumus (diantaranya: Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno) mempunyai kedekatan erat dengan Theosophy.

Tempo: "...seperti yang dicatat ahli sejarah Akira Nagazumi, hampir semua tokoh nasionalis radikal seperti Radjiman Widjodiningrat, Cipto Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat, Douwes Dekker, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Mohammad Yamin adalah anggota Theosophy"... "..masa kecil Sukarno di Surabaya diwarnai dengan gemblengan dalam perpustakaan teosofi lantaran ayahnya, Sukemi, adalah anggota aktif Theosophy. “Bapakku seorang teosof. Karena itu, aku boleh memasuki peti harta ini (maksudnya perpustakaan). Aku menyelam lama sekali ke dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku…," ["Hatta, Suara yang Tak Pernah Hilang", 12 Agustus 2001 atau "Seri Buku TEMPO: Bapak Bangsa Hatta, hal.109]

Soekarno menyampaikan: "Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di kota ini yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada batasnya buat seorang anak yang miskin" ["BUNG KARNO: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia", BIOGRAPHY AS TOLD TO CINDY ADAMS].

"Panitia Sembilan", yang dibentuk pada akhir persidangan BPUPKI ke-1, anggotanya terdiri dari kaum Nasionalis (Sukamo, Hatta, Moh.Yamin, Alexander Andries Maramis, Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo) dan kaum Islam Nasionalis (Agus Salim, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdul Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir) dan di tanggal 22 Juni 1945, mereka menghasilkan "Piagam Jakarta/Jakarta Charter" (dulu disebut "Gentlement Agreement"). Sila ke-1 saat itu berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Beberapa anggota panitia 9 yang juga pegiat Theosophy selain Soekarno, adalah Moh.Yamin, Agus Salim dan Achmad Soebardjo. [↑]

[4b] Sanghyang (Sang + hyang). KBBI tidak ada kata "hyang" dan "sanghyang". Di KBBI: "Sang" adalah kata yang dipakai di depan nama orang, binatang, atau benda yang dianggap hidup atau dimuliakan atau kata yang dipakai di depan nama benda untuk berolok-olok.

Hyang/hiang: divinity [Deva, allah, tuhan] artinya menghilang.[A dictionary of the Sunda language of Java, Jonathan Rigg, hal.153]

Sanghyang menurut Platt artinya adalah deva yang dihormati [plates 23, 24, 25; Dance & drama in Bali, Walter Spies,Beryl De Zoete, hal.70]

Ādi-buddha [ādi = pertama, asli] atau Buddha yang pertama; makhluk tertinggi di atas semua Buddha dan boddhisatva dalam Mahayana Buddhism of Tibet, Nepal, Jawa, dan Jepang. Dalam tulisan theosophy, Aspek tertinggi atau kesatuan dari makhluk menakjubkan tertinggi dari jagat raya kita, hadir sebagai yang paling agung dalam kondisi dharmakaya.

Aiśvarika [īśvara = raja, tuan, tuhan, pemilik dari akar verbal īś menjadi sah, berkuasa, ahli dalam]. Hirarkhi dari jiwa tertinggi. Dalam aliran ini adi-buddha adalah jiwa kosmis, perhatian makhluk terpusat pada ini menjadi tingkat yang luarbisa. Isvara atau hirarkhi tertinggi dalam kosmis. Istilah Isvara yang merupakan pengaruh Hinduism terkait doktrin adanya Buddha pertama/maha buddha. Doktrin ini bertentangan dengan kanon pali.

Kitab-kitab yang memuat kata AdiBuddha (juga Adideva) hanya ada di aliran Mahayana[5] dan Vajrayana yang hadir 1000an tahun setelah Parinibbana Buddha. Misal: Karandavyuha Sutra, Mahayana, dibuat akhir abad ke-4/awal abad ke-5 M ["The Concept Of Avalokitesvara and Buddhas ini The KĀRAṆḌAVYŪHA SŪTRA, Mingkwan Chaiyapong, hal.11], kitab ini tidak ada adibuddha, namun Ādideva yang punya kesamaan karakteristik dengan Ādibuddha.

Dikisahkan Avalokitesvara dari beberapa bagian tubuhnya lahir: Bulan dan Matahari, Mahesvara, Brahma, Varuna, Narayana, angin, Dharani dan Saraswati. Kemudian Mahesvara di jaman kaliyuga akan disebut Ādideva. Menariknya, Avalokitesvara disebut juga Mahesvara sebanyak 3x yaitu oleh Yama, Siva dan Uma.

Kitab Guṇakāraṇḍa-Vyūha (GKV), dibuat sekitar abad ke-7 M (W.B Douglas: kitab ini baru dibuat diabad ke-15 M. Ia mengulas "srhi Ghano Buddha"/julukan lain Adibuddha yang ada di GKV, Mañjuśrī-nāma-saṅgīti dan Svayambhupurana): Avalokitesvara terlahir dari adibuddha, sebagai anak pertama adi-buddha [Ibid, hal.14]. Dalam kitab Mañjuśrī-nāma-saṅgīti (MNS), dibuat sekitar abad ke-7 M: Manjusri didefinisikan sebagai sinonim dari kebijaksanaam kolektif dari seluruh Buddha, dan itu disebut Ādibuddha [Ibid, hal.15]

"Sanghyang Kahamayanikam" (Kitab Siva-Buddha, abad ke-10 M), Jaman raja Empu Sindok): Memuat nama adibuddha di sloka no 65:" [..]Dadi tang āmbek ādibuddha[..]". Terjemahan yang memuat sloka tersebut tertulis:

"bersikaplah seperti adibuddha raja cakravati yang telah mengalahkan musuh sakti, dapat memberikan keinginan semua makhluk, sikap demikian, mahamunivara-cintamani-samādhi, namanya"

Adibuddha di kitab ini adalah nama seorang raja cakravati dan konsep maha yang mampu memberikan keinginan [cinta mani], sejalan dengan sekte Vaisnawa (Empu Sindok sendiri merupakan penganut Hindu, yang menuhankan Visnu). Pengertian cintamani:
  1. Dunia spiritual, dimana seluruhnya dibuat oleh batu sentuh (cintamani).
  2. Permata pengabul keinginan (RRV2-12b)
  3. Batu philosophi mistis, yang dapat membuat apapun yang seseorang inginkan. Tanah di Vaikuntha terbuat dari batu-batu cintamani. Di Brahma Samhita, sebuah kitab abad ke-15 [cintamani tercantum dalam syair 26, 29, 56], disebutkan untuk memenuhi nafsu keingingan indriya dengan benda bernama cintamani yang dapat menciptakan apapun yang di inginkan.
  4. Permata yang dapat memberikan apapun yang dapat seseorang pikirkan
  5. chinthaa-mani, Permata pengabul keinginan yang mengabulkan semua keinginan pemiliknya
Tidaklah benar bahwa perkembangan Buddhisme Indonesia tidak mungkin eksis tanpa menggunakan doktrin adibuddha (doktrin ini bukan ajaran buddha) karena alasan isu politik saat itu namun alasan ini lemah karena:
  1. Agama Buddha di Nusantara telah ada sebelum jaman penjajahan Jepang, Belanda, VOC, kerajaan Mahapahit dan Syailendra. Agama Buddha di Nusantara TETAP ADA dan TIDAK PERNAH PUNAH, tidak peduli apakah Negara Indonesia ini jadi ada atau tidak. Jadi tidak ada gunanya menyelipkan SangHyang Adi Buddha [SAB] sebagai alasan politik dan sejarah.

  2. Kebangkitan Buddhi setelah 500 tahun runtuhnya Majapahit adalah dongeng karena TIDAK PERNAH Buddhisme hilang dari Indonesia. Salah satu bukti, misal Vihara Setia Buddha di Binjai di dirikan Tahun 1885 atau di Vihara Bodhi Jl.Irian Barat Medan, seorang Bhiksuninya bernama Chuan Sim seorang asli Indonesia yang ditahbiskan bahkan sebelum Ashin Jinarakhita menjadi Bhikkhu atau di tahun 1934, seorang bhikkhu Theravada Srilangka, yaitu Narada MahaThera [14 Juli 1898 – 2 Oktober 1983] datang ke Indonesia, 49x bolak-balik ke Indonesia [4 Maret 1934 - Maret 1982]

  3. Ada atau tidaknya Ashin Jinarakkhita TIDAKLAH PENTING, karena Buddhism SUDAH MENJADI AGAMA RESMI INDONESIA jauh sebelum Ia ada. Bukti mengenai justru ada dalam sejarah perjalanan Negara Indonesia, misal:

    1. Sebelum kemerdekaan melalui transkrip Pidato Bung Karno di Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, 1 Juni 1945:
      "Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan !...masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya...Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama"...Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain..." [lihat isi transrip lengkap di sini]
    2. Pada, penetapan hari raya keagamaan no.2/oem tahun 1946, tanggal 18 Juni 1946, saja Agama konghucu mendapatkan persetujuan 4 tanggal sebagai hari raya, maka apalagi agama buddha.
    3. Tahun 1951, di BUKU, "Filsafat Pancasila menurut Bung karno", Oleh Soekarno...dalam PENGUKUHAN HONORIS CAUSA ilmu HUKUM, tanggal 19 September 1951. Soekarno berpidato dan SFESIFIK menyebutkan kata "AGAMA BUDHA" sebanyak: 3x di hal.94, 156, 230.
    4. Tahun 1958, dalam pidatonya di Peringatan Lahirnya Pancasila di Istana Negara, Tanggal 5 Juni 1958, Bung Karno:

      Bung Yamin mengemukakan beberapa bantahan. Sayapun ingin mengemukakan beberapa bantahan, antara lain bantahan: Pancasila adalah satu agama, katanya, agama baru. Bukan! Bukan! Pancasila bukan agama baru! Pancasila adalah Weltan-schauung, falsafah Negara Republik Indonesia, bukan satu agama baru. Bukan! Ada yang berkata: Pancasila itu sebetulnya adalah perasaan daripada agama Budhisme. Bagaimana bisa mengatakan bahwa Pancasila itu adalah perasaan daripada agama Budhisme? Orang yang berkata begitu sebetulnya tidak tahu apa yang dinamakan Budhisme itu. Misalnya saja, saudara-saudara, Ketuhanan Yang Maha esa; BUDHISME TIDAK KENAL KETUHANAN. Coba tanya pada prof. Muh. Yamin, tanya pada prof. Hazairin; tanya pada sarjana-sarjana yang duduk di sini. BUDDHISME TIDAK MENGENAL APA YANG DINAMAKAN TUHAN. Budhisme adalah satu levens beschouwing, satu pandangan hidup, cara hidup agar supaya nanti bisa mencapai kesempurnaan nirwana. Budhisme TIDAK MENGENAL Al-lah. Budhisme TIDAK MENGENAL God, Budhisme TIDAK MENGENGAL Jehovah. Budhisme TIDAK MENGENAL apa yang seperti kita artikan sebagai Tuhan. Jikalau engkau ingin hidup dikemudian hari, sempurna, jikalau engkau ingin masuk nirwana, lakukanlah ini, lakukanlah ini. 8 marga daripada Budha, jalan 8 macam, saudara-saudara. Jadi Budhisme adalah satu pandangan hidup, satu cara hidup, satu levensbeschouwing, bukan sebenarnya satu godsdienst.

      Kok lantas ada orang berkata: Pancasila yang dengan tegas mengatakan pada sila yang pertama Ketuhanan Yang Maha esa, bahwa Pancasila itu adalah perasaan daripada Budhisme. Tidak kena ini, saudara-saudara. Sama sekali tidak! Saya minta janganlah menaruhkan Pancasila ini secara antagonistis terhadap pada misalnya agama Islam. dan janganlah pula meletakkan Pancasila ini secara congruentie yang sama dengan misalnya Agama Budha, janganlah ditaruhkan secara antagonistis pada Agama Islam. jangan ditaruh secara congruent terhadap pada Agama Budha. Jangan! Sebab Pancasila adalah falsafah bagi Negara Republik Indonesia, sebab Pancasila adalah satu dasar daripada Negara Republik Indonesia ini. Kita ingin kekal dan abadikan dan sebagai tadi sudah saya katakan, syarat mutlak bagi mengkekalabadikan Negara republik Indonesia, adalah persatuan daripada bangsa Indonesia.
    5. Masih di tahun 1958, pada "PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA", Kursus Presiden Soekarno Tentang Pancasila di Istana Negara, Tanggal 22 Juli 1958:

      Oleh karena itu tempo hari saya berkata di dalam salah satu pidato: agama budha tidak mengenal begrip Tuhan. Agama lain mempunyai begrip Tuhan: Ya Allah atau Ya Tuhan atau Ya God atau Yehova, mohon, mohon; ada tempat permohonan. Budha berkata TIDAK ADA, tidak perlu engkau mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu dan dia sebut 8 nafsu...
    6. Pada tahun 1960, dalam pidatonya di sidang umum PBB ke-15, 30 September 1960, dengan judul, "MEMBANGUN DUNIA KEMBALI", Bung Karno:

      Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada yang Kristen, dan ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk 85% dari 92 juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup kami. BAHKAN MEREKA YANG TIDAK PERCAYA PADA TUHAN PUN, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan pada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini.
    7. PENJELASAN PENPRES 1/1965: "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia."
    8. DIRJEN Hindu dan Buddha, TELAH ADA sebelum diciptakannya istilah sanghyang adi buddha:

      KMA No. 47 Tahun 1963, Bagian Urusan Hindu Bali ditingkatkan menjadi Biro Urusan Hindu Bali. Kemudian pada tahun 1966 dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 170 Tahun 1966, Biro Urusan Hindu Bali ditingkatkan menjadi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Buddha, dan diikuti dengan perpindahan kantor ke Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta. Sedangkan susunan organisasinya sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 56 Tahun 1967.

      Pada tahun 1969 dikeluarkan kembali KEPPRES RI No. 39 Tahun 1968, Direktorat Jenderal Bimas Beragama Hindu Bali dan Buddha berubah menjadi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, yang disertai dengan pengembangan struktur meliputi: Direktur Jenderal, Sekretaris Direktorat Jenderal, dan Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha.
    9. Jumlah Wihara di tahun 1968 adalah 520
    10. Tempo, 26 FEBRUARI 1972: Fakta bahwa pengaruh non tionghoa pada Buddhisme sudah tinggi:

      Maka agama Budhapun memantjar kembali keseluruh pendjuru, setelah berabad hening bagai dalam samadi. Sudah tentu diluar kalangan Sam Kauw. dikalangan penduduk pribumi di Djawa atau Bali atau Nusa Tenggara, potensi-potensi kebangkitan, kembali Budhisme ini sudah bertumpuk. [↑]

[5] List sutta dan sutra variasi berakhirnya dhamma sejati berasal dari: "An Analytical Study on Buddhist Eschatology" – Prophecy of Decline of Dharma Based on the Sūtra on the Seven Dreams of Ānanda, Shih You Zhi, Graduate School of Buddhist Studies, Fo Guang University, 2008] dan Macmillian-Encylopedia of Buddhism, Vol.1, A-L, Robert E. Buswell, Jr., Editor in Chief, 2004. hal.210-213

Berikut tahun pembuatan kitab-kitab Mahayana:
  1. Prajñāpāramitā Sutra:

    Aṣṭasāhasrikā Sutra (Kesempurnaan Kebijaksanaan) dalam 8.000 baris. Prof E.Conze: sutra ini dikompilasi di abad ke-1 SM dan translasi ke Cina di abad ke-2 M. Text (Prosa) sutra itu tergabung bersama sloka Ratnaguṇasaṁcaya Gāthā, yang diperkirakan muncul sedikit lebih awal(a)
    Vajracchedikā Sūtra (Sutra Intan): Sejarahwan Jepang: sutta ini paling awal ada di abad ke-1 SM(b). Sejarahwan lain menyepakati bahwa Astasahasrika merupakan adaptasi dari Vajradika sutra(c)
    Hṛdaya Sūtra (Sutera hati), abad ke-1 M, dari era kerajaan Kushan oleh mantan Biksu aliran Sarvastivada(d). Translasi ke Chinese paling awal di tahun 200 - 250 M oleh Bhikku Yuezhi (Zhi Qian). Menurut E. Conze: estimasi asal sutra ini ada ditahun 350 M, beberapa sejarahwan menganggap seharusnya 2 abad lebih lama lagi namun di bawah abad ke-7 M. Versi awal Tibet muncul di tahun 755-800 M(e)

    Para ahli barat berpendapat bahwa sutra-sutra ini, dengan mengabaikan sumber-sumbernya, dikompilasi ke sanskrit pada 100 SM s/d 800 M. Dalam 4 phase pengembangan. Sutera intan dan sutera hati dikembangkan dari tahun 300 s.d 500 M. Prof. Dr. Edward Conze:

    Prajnaparamita Sutra dapat dibagi 3 fase yang masing-masing lamanya 2 abad dan 1 fase sisanya lamanya 5 atau 6 abad.

    Fase ke-1 (100 SM - 100 M) terdiri dari perluasan ajaran ke suatu teks dasar.
    Fase ke-2 (100 M - 300 M) perluasannya ke 3 atau 4 risalah yang sangat penting.
    Fase ke-3 (300 M - 500 M) penyingkatannya ke sejumlah risalah yang lebih pendek, dan
    Fase ke-4 (500 M - 1200 M) penyingkatannya ke Dharani dan Mantra Tantra.(f).

    --------------
    Sumber:
    (a) Guang Xing. The Concept of the Buddha: Its Evolution from Early Buddhism to the Trikaya Theory. 2004. p. 66,
    (b) Williams, Paul. Mahāyāna Buddhism: the Doctrinal Foundations. London, UK: Routledge. ISBN 0-4150-2537-0. p.42
    (c) Schopen, Gregory. Figments and Fragments of Mahāyāna Buddhism in India. 2005. pp. 31-32
    (d) Pine, Red. The Heart Sutra: The Womb of the Buddhas (2004) Shoemaker 7 Hoard. ISBN 1-59376-009-4, hal.18-21
    (e) Lopez, Donald S., Jr. The Heart Sutra Explained: Indian and Tibetan Commentaries (1988) State Univ of New York Pr. ISBN 0-88706-589-9, hal.5
    (f) Conze, Edward. Prajnaparamita Literature (2000) Munshiram Manoharlal Publishers ISBN 81-215-0992-0, originally published 1960 by Mouton & Co.

  2. Sutra teratai (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra) adalah bagian terbesar sutra Mahayana. Sejarahwan menyatakan sutra ini dikompilasi dalam 4 fase ke Sanskrit: Abad ke-1 s/d 150 M. Ditranslasi beberapa kali ke Cina yaitu abad ke-3 s.d 5 M oleh Dharmarakṣa [Zhu Fahu, 286 M, lainnya oleh Kumarajiva (w. 406 M). Translasi dari Cina ke Jepang oleh Biksu Dengyo (Saiyo di abad ke-8 M) [Paul Williams, Mahāyāna Buddhism: the doctrinal foundations. Routledge 1989, page 142]

  3. Lalitavistara, [sekitar 400 M], berisi prosa dan sloka kehidupan sang Buddha mulai dari alam Tusita s.d pembabaran pertama di Sarnath. Aslinya dalam Sanskrit. Aliran Mahayana tentang Sakyamuni, menghiasi kisahnya dengan kisah-kisah ajaib [John Strong, diambil dari Encyclopedia of Buddhism©2004 by Macmillan, hal.450]

    Rhys Davids: "Prosa yang tidak diketahui tanggal pembuatannya dan pengarangnya tak dikenal, kemungkinan dikompilasi di Nepal, oleh Buddhis yang hidup dikisaran 600 tahun s.d 1000 tahun setelah Sang Buddha" [Hibbert Lectures, p. 197 -→ p.239-240]

    Ketika text sanskrit pertamakalinya dipublikasikan [tahun 1877/1878] ditemukan banyak kandungan sloka berbalut prosa. Mana yang lebih tua: prosanya atau slokanya? Dengan mengabaikan sumber slokanya, terlihat bahwa ini berasal dari aliran Sarvastivada, namun jika merujuk pada, "Sardulavikridita metre", maka ini ada di periode belakangan. Tidak diragukan bahwa prosa dan slokanya berasal dari Sarvastivada [Hibbert Lectures, p.241; The Lalitavistara and Sarvastivada, By Thomas, E. J. Indian Historical Quarterly 16:2 1940.06 p. 239-245]

  4. Sukhavativyuha Sutra (versi panjang maupun Pendek) dikompilasi jaman dinasti Kuṣāṇa (30 M - 375 M): abad ke-1 s.d ke-2 M atas perintah para bhikhu Mahīśāsaka, aliran yang berkembang di area Gandhāra [Nakamura, Hajime. Indian Buddhism: A Survey With Biographical Notes. 1999. hal. 205 dan Williams, Paul. Mahāyāna Buddhism: The Doctrinal Foundations. 2008. hal. 239]

    Versi panjang Sukhavativyuha Sutra, teks utamanya diterjemahkan 2x di pertengahan abad ke-3 M. Di tahun 402 M: Amitabha Sutra (Amida Sutra atau versi pendek dari Sukhavativyuha-sutra) dan Dasabhumikavibhasa (Risalah tentang 10 tingkatan), karya Nagarjuna (Abad ke-2 M) diterjemahkan Kumarajiva (350–409/413 M).

    Guan Wuliangshoujing (Sutra Kontemplasi Keabadian Buddha) diklaim alirannya bahwa ini diterjemahkan antara 424 M dan 453 M, walaupun kemungkinan ini merupakan kompilasi dari China atau Asia tengah. Ketika 3 Sutra utama dan 1 sutra komentar dari sutra ini muncul, ajaran tanah suci dibuang dari Pratyutpannasamādhi-sutra. [Encyclopedia of Buddhism©2004 by Macmillan, hal.707]

    Sutra-sutra tersebut menjalankan konsep Mahayana mengenai pentingnya peran Bodhisattva, yang di lankavatara sutra dikatakan bahwa pada tahap ke-6, mereka bersumpah takkan masuk nirvana sebelum semua makhluk terbebaskan, (lihat ch.xi, Lankavatara sutra, dikompilasi pada tahun 350-400 M, lihat: Asanga Tillekharatna, "Laṅkāvatāra Sūtra" Encyclopedia of Buddhism Vol 6. ed. G. P. Malalasekara). Juga menyatakan bahwa beberapa Bodhisattva YANG TELAH MENJADI BUDDHA dan bersemayam di 5 arah (Timur, Barat, Utara, Selatan, Tengah) ada di saat Sammasambuddha Gautama hidup dan masih hidup hingga kini:

    1. Ananda: "Apakah Sang Bhiksu Dharmakara sudah menjadi Buddha? Apakah Beliau sudah (Pari)nirvana? Di manakah Beliau berada pada masa sekarang? mohon dijelaskan"
      Buddha Gotama: "Bhiksu Dharmakara O, Beliau telah menjadi Buddha yakni Buddha Amitayus juga disebut Buddha Amitabha! Kini, Beliau berada di Surga Barat.."
      Ananda: "O, Sudah menjadi Buddha?" Arya Ananda tanya lagi: "Kapankah? Sudah berapa lamakah Beliau mencapai Kebudhaan O, Bhagavan?"
      Buddha Gotama: "Lamanya sudah 10 Kalpa... Panjang umurnya adalah tidak terhitung jumlah kalpa" [Sukhavativyuha sutra: T.0363/panjang (kepada Ananda) dan yang Pendek: T.0366/T.0367 (kepada Sariputra)]

    2. Ananda: "Bhagava, siapa nama Bodhisattva-Mahasattva yang sungguh baik memberi ajaran pada kita tentang Mantra Agung ini?"
      Buddha Gotama: "Bodhisattva ini bernama Avalokitesvara, Makhluk Agung yang Tak Terbatas, juga dikenal dengan nama 1000 Mata Terang. Orang Budiman, Bodhisattva Avalokitesvara memiliki kekuatan agung yang tidak terbayangkan. Kalpa-kalpa tak terhitung yang lalu, ia telah menjadi Seorang Buddha yang bernama Buddha Dharma Suci Terang Benderang Tathagataya (正法明如來, SadDharma Virya Tathagatha)". [mahakaruna dharani sutra, ditranslasi ke bahasa China pada abad ke-7 M]

    HINGGA SAAT INIPUN, di luar mitos tanah suci tersebut, faktanya masih banyak makhluk yang belum tercerahkan.

    Bahkan jarak dari alam ini ke alam Sukhavati tempat Buddha Amitabha arah Barat pun, tidak konsisten dinyatakan: (1) Sutra Sukhavativyuhah (Pendek/T.0366 dan T.0367, no.2) = "100 rb koti"; (2) Sutra Sukhavativyuhah (Panjang/T.0363, no.11) = "100 rb nayuta koti"; (3) tapi di sutra Kontemplasi Amitabha T.0365 (kepada Ratu Vaidehi, no.7) = "tempat Buddha Amitabha tidak jauh dari sini". Silsilah ke-6 Mahayana, Hui Neng/abad ke-8 M di Sutra altar/Flatform Sutra (Red Pine, 2007, no.35, hal 29) yang tahu kejanggalan ini, malah berkata "Sutra dengan jelas mengatakan itu tidak jauh dari sini. Hanya kepada mereka yang memiliki akar dangkal, Ia katakan itu jauh". padahal jarak itu disampaikan kepada Ananda dan Sariputra, entah mengapa mereka tidak segan berdusta dengan mengatasnamakan Buddha.

    Aliran Mahayana ini juga mengajarkan tentang adanya jiwa dan mengajarkan untuk meminta/menyembah di depan patung yang bahkan Buddha Gautama sendiri tidak mengajarkannya, misal:

      Jika dipengaruhi oleh jiwa kucing, carikan tulang kepala kucing yang sudah mati, bakar sampai menjadi abu, campurkan abu dengan tanah liat yang bersih, dipadatkan dan dibentuk sehingga serupa bentuk kucing. Di depan patung Bodhisattva Avalokitesvara Tangan 1000 dan 1000 Mata, lafalkan Mantra Agung sebanyak 108 x ditujukan ke sebuah pisau tajam, dan model kucing tersebut mulai dipotong hingga 108 potongan dengan melafal dan menyebutkan namanya sekali tiap memotong, maka jiwa kucing tersebut akan pergi dan takkan kembali [mahakaruna dharani sutra]

    Juga mengajarkan bahwa dengan melafalkan mantra dengan keyakinan, maka seluruh dosa akan lenyap, bahkan 5 dosa berat pun akan lenyap:

      Setelah mengucapkan tekad murni tersebut, sebutkan namaku (Namo Kwan Im Pu Sha/Avalokitesvara) dengan keyakinan dan hati yang murni, juga sebutkan nama guruku – Buddha Amitabha Tathagataya juga dengan keyakinan dan hati yang murni, kemudian lafalkan mantra ini 5 x atau lebih seharinya, untuk melenyapkan dosa-dosa berat dari proses kelahiran dan kematian yang terkumpul sejak ratusan-ribuan-jutaan kalpa-kalpa yang lampau.”
      ...
      Jika ada siapa saja yang mengambil tanpa ijin makanan, minuman, ataupun barang-barang milik para Sangha, walaupun 1000 Para Buddha muncul di dunia, Ia tidak mau minta pengampunan dan berubah. Walaupun jika ia minta pengampunan, dosa-dosanya tidak dapat diampuni. Tetapi saat ini, jika mampu melafal berulang kali Mantra Agung dari Mahakaruna Dharani, maka dosa-dosanya akan dapat lenyap..
      ...
      Semua karma buruk dan dosa berat, seperti 10 perbuatan buruk, 5 perbuatan dosa tak terampuni, mencaci-maki orang lain, ajaran Dharma, melanggar Atha-Sila, melanggar Sila yang lainnya, menghancurkan Stupa, menghancurkan Vihara, mencuri barang milik Sangha, dan tidak menghormati perbuatan Suci-Brahma, semua dosa-dosa itu akan dapat lenyap dengan melafal Mantra Agung Mahakaruna Dharani..” [mahakaruna dharani sutra, juga variasinya di sutra Kontemplasi Amitabha/T. 0365 dan beberapa variasi yang terdapat di sumpah para Buddha aliran Mahayana lainnya]

    Prinsip ini bertentangan dengan Theravada yang menyatakan DOA/Mantra tidak membuat orang terhindar dari akibat masaknya kamma dan juga tidak pernah dapat menghapus dosa dan malah berpotensi terlahir kembali di alam-alam sengsara bahkan neraka akibat keliru tahu dan keserakahan (kitab komentar, misal: seorang thera, malam menjelang tidur, dengan gembira berpikir akan mengenakan jubah pemberian itu esok harinya. Malam itu Ia wafat dan terlahir menjadi kutu)

    Figur Amitabha tidak dikenal di awal literatur Buddhisme India, namun sekitar awal abad masehi muncul sebagai Buddha dari Barat..Pemujaan Amitabha, pengembangan dan bagian dari praktek awal Mahayana melalui permohonan dan pemujaan pada semua Buddha dan berharap agar terlahir di tanah suci. Mitos sumpah dan tanah sucinya saling mirip atau bersaing satu sama lainnya dengan kepercayaan tentang Buddha lainnya seperti AKSOBHYA [Encyclopedia of Buddhism©2004 by Macmillan, hal.15].

    Legenda tanah suci Buddha Aksobhya → Abhirati; Buddha Vairocana (Buddha gautama yang telah parinibbana dianggap sebagai penjelmaannya) → Akanistha Ghanavyuha; Buddha Amoghasiddhi → Prakuta; Buddha Ratnasambhava → Shrimat dan banyak lagi legenda lainnya yang sejenis

    Sukhavativyuha (versi panjang dan pendek) menyatakan bahwa ketika Buddha Gautama masih hidup, Ananda sudah Arahat

    SUKHĀVATĪVYŪHAḤ (SAṂKṢIPTAMĀTṚKĀ)/Amitabha Sutra (sutra pendek, lebih dulu dari sutra panjang)
    evaṁ mayā śrutam | ekasmin samaye bhagavān śrāvastyāṁ viharati sma jetavane’nāthapiṇḍadasyārāme mahatā bhikṣusaṁghena sārdhamardhatrayodaśabhirbhikṣuśatairabhijñātābhijñātaiḥ sthavirairmahāśrāvakaiḥ sarvairarhadbhiḥ | tadyathā-sthavireṇa ca śāriputreṇa, mahāmaudgalyāyanena ca mahākāśyapena ca mahākapphiṇena ca mahākātyāyanena ca mahākauṣṭhilena ca revatena ca śuddhipanthakena ca nandena ca ānandena ca rāhulena ca gavāṁpatinā ca bharadvājena ca kālodayinā ca vakkulena ca aniruddhena ca |
    etaiścānyaiśca saṁbahulairmahāśrāvakaiḥ | saṁbahulaiśca bodhisattvairmahāsattvaiḥ | [..]

    Terjemahan:
    Demikianlah telah kudengar: Pada suatu ketika Sang Buddha berdiam di Sravasti pertapaan Jeta Taman Anthapindaka bersama serombongan Biksu yang berjumlah 1250 semuanya Arahat yang namanya telah dikenal semua orang seperti: Sariputra, Mahamaudgalyayana, Mahakasyapa, Mahakatyayana, Mahakausthila, Revata, Suddhipanthaka, Nanda, Ananda, Rahula, Gavampati, Pindolabharadvaja, Kalodayin, Mahakaphina, Vakula, Aniruddha
    dan beserta Siswa-siswa terkemuka lainnya; dan para Bodhisattva Mahasattva [..]

    Kontroversi terjemahan sanskrit vs china sutra versi panjang:

    SUKHĀVATĪVYŪHAḤ (VISTARAMĀTṚKĀ):
    我聞如是。一時佛住王舍城耆闍崛山中。與大比丘衆萬二千人倶。一切大聖神通已達。其名曰尊者了本際.尊者正願.尊者正語.尊者大號.尊者仁賢.尊者離垢.尊者名聞.尊者善實.尊者具足.尊者牛王.尊者優樓頻蠡迦葉.尊者伽耶迦葉.尊者那提迦葉.尊者摩訶迦葉.尊者舍利弗.尊者大目揵連.尊者劫賓那.尊者大住.尊者大淨志.尊者摩訶周那.尊者滿願子.尊者離障閡.尊者流灌.尊者堅伏.尊者面王.尊者果乘.尊者仁性.尊者喜樂.尊者善來.尊者羅云.尊者阿難。皆如斯等上首者也。[Versi China T.0360]

    Terjemahan:
    Sang Bhagavan berdiam di puncak Nasar di Rajagrha bersama-sama sekumpulan besar 12.000 Biksu, semuanya Arhat, yang mempunyai kekuatan supranatural, diantara mereka adalah yang mulia: Ājñāta-kauṇḍinya, Aśvajit, Vāṣpa, Mahānāma, Bhadrajit, Vimala, Yaśodeva, Sūbahu , Pūrṇaka, Gavāṃpati, Uruvilvā-kāśyapa, Gayā-kāśyapa, Nadī-kāśyapa, Mahākāśyapa, Śāriputra, Mahāmaudgalyāyana, Kapphiṇa, Mahākauṣṭhila, Mahākātyāyana, Mahācunda, Pūrṇa-maitrayāṇīputra, Aniruddha, Revata, Kimpila, Amogha-rāja, Parayānika, Vakkula, Nanda, Svāgata, Rāhula dan yang mulia Ānanda. Semuanya adalah para sepuh. [Terjemahan: Hisao Inagaki (ke-1 yang juga diterjemahkan samghavarman dan ke-2) dan rulu]

    Menariknya sutra panjang untuk T.0363 terdapat beda antara versi:
    Versi sanskrit T.0362, "dvātriṃśatā bhikṣusahasraiḥ, sarvairarhadbhiḥ" (sekumpulan bhiksu sangha sejumlah 32.000 dan semuanya arahat) + "...ca, cullapatkena ca, nandena ca, rāhulena ca, āyuṣmatānandena ca, etaiścānyaiśca abhijñātābhijñaiḥ sthavirairmahāśrāvakairekaṃ pudgalaṃ sthāpayitvā śaikṣapratidyuttarikaraṇīyaṃ yadidamāyuṣmantamānandam" (...cullapatkena, Nanda, Rahula, yang mulia Ananda (āyuṣmata-anandena)--dengan ini dan dengan para sesepuh lainnya, dan para murid utama, yang memiliki kebijaksanan, dan dengan pengecualian yang tengah melaju pada jalan siswa, yaitu, yang mulia Ananda (yadidama-ayuṣmantama-anandam / beda lagi dengan "anandena" yang mencirikan adanya frase tambahan)--...)"

    VS

    Versi China T.0363: "与大苾刍众三万二千人俱,皆得阿罗汉"(sekumpulan biksu sangha sejumlah 32.000 adalah arahat) + "..尊者嚩拘隶曩、尊者阿难陀、尊者罗睺罗、尊者善来,如是等三万二千人俱" (...cullapatkena, Nanda, Rahula, yang mulia Ananda. Seperti semua yang 32.000)

    Terjemahan buatan lainnya bahkan sampai menambahkan keterangan: "YM Ananda adalah siswa" (dengan cara/kalimat: "- āyuṣmatā ca ānandena śaikṣeṇa"), Ini jelas menunjukan kalimat "ananda adalah siswa" adalah TAMBAHAN BELAKANGAN, mengaburkan pembaca dari ketidakvalidan sutranya dan telah berbohong mengalamatkan sutra ini sebagai ucapan sang Buddha (via Ananda) [↑]

  5. Mahayana Mahaparinirvana Sutra (Nirvana Sutra). Paul Williams: dikompilasi setelah abad ke-2 M; Stephen Hodge: 100 M s/d to 220 M ["On the Eschatology of the Mahaparinirvana Sutra and Related Matters", Hodge, Stephen (2006)]

    Untuk Mahayana Mahaparinivana sutra (Taisho Tripitaka, Vol.12, T.0375, versi China, oleh Dharmakshema, translasi ke Inggris oleh Kosho Yamamoto) adalah buatan tahun 422 M. Di dalamnya terdapat tambahan material baru yang tidak ditemukan di versi sanskritnya. Tambahan ini mirip ajaran hinduism, misalnya kisah-kisah Mahabharata.

    Dalam Nirvana sutra terdapat kalimat "mereka yang tidak mampu menerima bahwa Tathagata adalah kekal [nitya] menyebabkan penderitaan". Statement bahwa Tathagata kekal abadi dan tidak berubah juga muncul di bab 4 dan bab.10. Statement-statement sutra ini bertentangan dengan paham anatta, anicca dan paticcasamuppada.

  6. Vimalakirti Sutra, dibuat tahun 100 M [The Vimalakirti Sutra, Burton Watson, New York: Columbia University Press. hal.1–5,], sample misalnya bab. 6 hal.62, Vimala Kirti (umat awam, reinkarnasi Bodhisattva alam buddha Abhirati milik Buddha Aksobbhya) menegur Arahat Sariputta:

    ...Bhiksu Sariputra berpikir: “Tidak terdapat satu pun kursi di dalam rumah ini. Di manakah para Shravaka dan Bodhisattva akan duduk?”. Licchavi Vimalakirti mengetahui pikiran Bhiksu Sariputra dan berkata, “Bhante Sariputra, apakah engkau datang ke sini demi Dharma? Atau apakah engkau datang ke sini demi sebuah kursi?”. Sariputra menjawab, “Saya datang demi Dharma, bukan demi sebuah kursi.”. Vimalakirti berkata lebih lanjut, “Bhante Sariputra, Ia yang tertarik pada Dharma tidaklah tertarik bahkan pada tubuhnya sendiri, apalagi tertarik pada sebuah kursi. Bhante Sariputra, Ia yang tertarik pada Dharma tidaklah tertarik pada wujud, sensasi,..".
    --

    Arahat TIDAK LAGI AKAN memperhatikan yang tidak layak dan tidak memperhatikan yang layak, juga seorang Arahat tidak tertarik pada khanda dan telah padam. Jadi bagaimana mungkin seorang Arahat sampai digambarkan memikirkan kursi untuk duduk di rumah orang?

    Mengapa Arahat dalam aliran Mahayana diperlakukan serendah ini?

    Aliran Mahayana menganggap para Arahat dan para Pacceka Buddha adalah jauh dari Nirvana [Śrīmālādevī Siṃhanāda Sūtra Bab.5, hal.24-25, sutra ini dibuat pada abad ke-3 M, jaman dinasti Īkṣvāku, oleh Mahāsāṃghika, area Āndhra, dari aliran Caitika] dan mengagungkan boddhisattva, di mana seorang bodhisattva tingkat ke-7 (disebut mahasattva, dianggap setara arahat) dikatakan sudah dapat masuk Nirvana jika mereka mau, namun ditolaknya dengan alasan hendak membantu yang belum tercerahkan. Aliran ini menganggap nirvana semacam alam di mana orang dapat keluar masuk kapanpun Ia mau.

  7. Upaya-Kausalya Sutra (translasi dari tibet: Upaya-kausalya nama mahayana sutra, oleh Tatz, 1994. Atau dari china: Jnanottara Bodhisattva-Pariprccha, oleh Chang, 1983. ato Taisho 345). Salah satu isinya adalah kehidupan kelahiran sebelumnya bodhsattva, Ia membunuh penjahat untuk menyelamatkan 500 orang. Tatz mengklaim bahwa sutra ini mempunyai basis asal dari India dari abad ke-1 M. [Sumber: An Introduction to Buddhist Ethics: Foundations, Values and Issues, Oleh Peter Harvey, hal.135, catatan kaki no.11]. Tentu saja ini bukanlah rujukan anjuran melakukan pembunuhan karena jelas melanggar sila ke-1 apapun motif kesengajaannya untuk membunuh.

  8. Avatamsaka sutra (Buddhavatamsaka-namamahavaipulya-sutra/Flower Garland), dibuat pada abad ke-3 atau 4 M [Macmillan Encyclopedia of Buddhism, 2004, Vol. 1, hal.341]

  9. Karandavyuha Sutra, dibuat pada akhir abad ke-4 M atau awal abad ke-5 M [Alexander Studholme, The Origins of Om Manipadme Hum: A Study of the Karandavyuha Sutra, State University of New York Press, Albany, 2002, p. 17]

  10. Jaring Brahma Sutra buatan abad ke-5 M [Terdapat beberapa Brahmajala SUTRA versi Mahayana yang BERBEDA dengan Brahmajala SUTTA versi Theravada]. Di sini ada konsep DHAMMAKAYA versi Mahayana [Cho, Eunsu. Fanwang jing in Macmillan Encyclopedia of Buddhism, 2004, Vol. 1, hal.281-282]

  11. Shurangama Sutra, Ditranslasi ke Chinese tahun 709 M oleh Biksu India: Po-la-mi-ti, [di sini] dan sutra yang berjudul mirip namun beda: Shuragama samādhi sutra (translasi ke Chinsese oleh Kumarajiva abad ke-5 M).

    Shuragama samādhi sutra mengajarkan:
    Setelah Buddha Pusya masuk nirvana dan parinirvana, Bodhisattva Manjusri menjelma berpura-pura menjadi banyak Patryekabuddha yang kemudian berpura-pura lagi masuk nirwana dan parinirvana namun menjelma lagi menjadi banyak Pratreyaka buddha di tempat-tempat lainnya yang juga kemudian berpura-pura lagi masuk nirvana dan parinirvana. Dikatakan bahwa Bodhisattva yang mengambil kendaraan Pratreyaka takkan parinirvana selamanya.

    Ajaran ini bertabrakan dengan sila ke-4: Musavada + mengajarkan jiwa yang kekal + pandangan salah bahwa nirwana adalah semacam alam.

  12. Apocrypal sutra (sutra-sutra yang sudah banyak tambal sulam, dikompilasi di China bukan di India):

    1. Sutra ajaran warisan (The Bequeathed Teaching Sutra, Fo chui ban nie pan liao shuo jiao jiejing, Yijiaojing for short), ditranslasi ke China oleh kumarajiva, tahun 400 M
    2. Ullambana Sutra (Yulanpenjing), Secara tradisi dianggap sutra ini ditranslasikan ke china oleh biksu Dharmarakṣa pada 266 - 313 M, jaman dinasti Jin Barat. Para ahli menyampaikan bahwa sutra ini tidak diGUBAH di INDIA namun di CHINA pada pertengahan abad ke-6 M. Terminologi Sanskrit "ullambana" (vu-lan-bồn) secara literal berarti "baki/dulang/nampan". Beberapa ahli mengatakan ini berasal dari pemujaan Urvan, Zoroastrian, Iran yang lazim dilakukan pada perayaan Fravardigan, dilakukan dengan membakar ranting cemara, yang wanginya dipercayai akan menarik "jiwa" para leluhur sehingga turunannya bisa mengundang pulang leluhurnya ke rumah untuk menerima persembahan. Tradisi ini serupa dengan tradisi urabon, di Jepang atau juga disebut perayaan obon atau bon (Nihonshoki, Nhật Bản thư kỉ), tahun ke-14 dinasti Suiko (Suy Cổ) 606 Mi. Di tahun ke-5 dinasti Tempyō (Thiên Bình) 733 M
    3. Sutra 42 bagian (Sishierzhangjing), dianggap sebagai sutra pertama yang ditranslasi ke Cina oleh bhikkhu dari barat, Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharana, jaman kerajaan Xiaoming, dinasti Han terakhir (58 – 75 M). Menurut catatan koleksi translasi tripitaka (Chu san cang zhiji), translasi sutra ini dilakukan di biara Kuda putih (Baimasi), Luoyang, yang merupakan biara Buddha pertama di China. Para ahli modern seperti Liang Qichao, Yin Shun, dan Donald S. Lopez, berpendapat bahwa ini adalah text buatan yang diilhami doktrin Mahayana dan Tao. Kemiripan antara sutra 42 bagian dan kitab kebaikan anak perempuan (Xiangjing) diragukan keaslian sanskritnya. Catatan sejarahwan Tang Yongtong, menyatakan edisi awal tidak mengandung konsep Mahayana dan Tao. Teks ini sering ditulis ulang dan di revisi oleh para peng-copy dan pengkompilasi dan pengutipnya dengan menambahkan opini pribadinya. Ragam edisi sutra 42 bagian dibagi 3 kategori. (1) termasuk edisi korea, dinasti Song dan Yuan, yang hampir mirip satu sama lainnya. (2) edisi dengan komentar oleh Zhenzong dari jaman dinasti Song (998 –1023 M). Edisi ini digunakan Nancang dari Dinasti Ming. (3) Edisi dengan komentar dari Shousui, Biksu Chan sekte Caodong, yang berkembang di awal abad ke-12 M
    4. Sutra pencerahan sempurna (Dafangguangyuanjuexiuduoluoliaoyijing, Yuanjuejing), sejumlah komentar ditulis di jaman dinasti Tang (618–907), Song (960–1279), Ming (1368–1644), dan Qing (1644–1912). Baik ajaran maupun keasliannya diragukan. Meskipun ditranslasikan ke China oleh Buddhatrāta pada 693 M, namun bukan dari teks India, melainkan dari gubahan China yang berasal dari sekitar abad ke-7 atau awal 8 M.
    5. Sutra kedalaman cinta seorang anak (Fumuenzhongjing; Jepang: Bumoon - jū gyō atau Fuboonjūkyō) adalah kitab buatan yang berasal dari China, ketika Buddhism mulai diperkenalkan ke China dari India. Catatan awal teks ini ditemukan di jaman dinasti Zhou (Dazhoukan ding zhongjingmulu), yang diedit di 695 M, jaman ratu Zetianwuhou. Catatan ini hanya ada diedisi dinasti Zhou. Tradisi Tripitaka korea (Gaolidazangjing) menyatakan sutra ini adalah tambahan belakangan dan unsur pembuatannya telah dilakukan sejak awal di kompilasi dan tidak pernah dianggap sebagai kitab asli buddhis yang berasal dari India. Sumber lain, catatan ajaran Sakyamuni yang dikompilasi di era Kaiyuan (Kaiyuanshijiaolu) tahun 730 M jaman dinasti Tang, menyampaikan bahwa sutra ini adalah teks buatan China karena terdapat nama 3 anak berbakti China: Dinglan, Dongan dan Guoju. Kemudian direvisi, nama-nama Chinanya dihapus. sejak itu terdapat beberapa versi revisi termasuk versi yang ditulis ulang seluruhnya seperti kisah Buddha Sakyamuni yang menemukan setumpukan tulang dan Ia menyembahnya, juga kisah pertumbuhan embrionya ketika di rahim ibunya adalah juga tambahan

    [Sumber:APOCRYPHAL SCRIPTURES, Numata Center for Buddhist Translation and Research, 2005] [↑] [↑]

[6] Milianda Panha[8] dan kitab komentar: Kasim/orang yang dikebiri dan hemaprodite tidak bisa mencapai kemajuan samādhi maupun kesucian ["Visuddhimagga", Buddhaghosa, ed.4, hal.168. Juga Milianda Panha Bab.15 no.78]. Ini tidak benar, pencapaian samādhi dan kesucian tidak terkait RAS, SUKU, UMUR, PEKERJAAN dan GENDER.

Kata homo, lesbian, banci, kasim dan transgender di Buddhisme adalah Pandaka dan Ubhatobyanjanaka, [Lihat: ini dan ini]. Bunmi Methangkun, kepala yayasan Abhidhamma tradisional, membagi 2 tipe ubhatobyanjanaka/hermaphrodite: jenis wanita (itthi-ubhatobyanjanaka) dan pria (purisa-ubhatobyanjanaka, tidak bisa hamil). [note: Zwilling (1992:206), mengutip Buddhaghosa dalam Abhidharmakosa hampir identik dengan pendapat Bunmi]. Kenyataannya, seorang lelaki [secara hukum] bernama Thomas Beati (berisitrikan Nancy) tercatat 2x hamil [womenissues.about.com dan science20.com]

Pandaka dan Ubhobyantojanaka DAPAT mencapai tingkatan samādhi manapun SELAMA mereka dapat mengatasi 5 rintangan dan kitab komentar sendiri menyampaikan bahwa di jaman sang Buddha, Soreyya [Ubhobyantojanaka] dan Vakkali [Pandaka] dapat mencapai kesucian arahat.

Contoh ke-1:
Soreyya (Pria) muncul hasrat seksual pada Mahakaccayana Thera, akibatnya, Ia berubah menjadi perempuan. Ia kemudian menikah dan punya anak. Kenalan lamanya menyarankannya untuk meminta maaf pada MahaKaccayana thera, segera setelahnya, Ia berubah lagi menjadi Pria
    [..]Soreyya kemudian merenungkan bagaimana Ia telah berubah kelamin, melahirkan anak. Ia merasa cemas dan jenuh terhadap itu dan kemudian menjadi Bhikkhu di bawah bimbingan Mahakaccayana Thera.

    Ia sering ditanya, "Siapa yang lebih dicintainya, 2 anaknya saat sebagai pria atau 2 anak lainnya saat sebagai isteri?", Ia jawab bahwa lebih mencintai mereka yang lahir dari rahimnya. Pertanyaan ini membuatnya merasa terganggu dan malu. Ia kemudian dengan rajin merenungkan penghancuran dan akhirnya mencapai arahat. Ketika pertanyaan lama ditanyakan kembali, Ia jawab bahwa ia tidak lagi menyayangi sesuatu secara khusus. Bhikkhu-bhikkhu yang mendengarnya tidak mempercayainya dan melaporkan 2 jawaban berbeda ini pada Sang Buddha. Sang Buddha: "Anak-Ku berkata benar..Jawabannya sekarang lain karena ia sekarang telah mencapai arahat sehingga tidak lagi menyayangi sesuatu yang khusus. Dengan pikiran terarah benar anak-Ku telah membuat dirinya berada pada suatu kehidupan baik, yang bukan diberikan oleh ayah maupun ibu"
Contoh ke-2:
Kisah Vakkali di Kitab komentar Dhammapada untuk syair no.381 dikisahkan sangat berbeda dengan SN 22.87:
    Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha dan Ia tidak lagi memperhatikan tugasnya sebagai bhikkhu juga tidak melatih samādhi.

    Karenanya Sang Buddha berkata, "Vakkali, tak bermanfaat bagimu untuk selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih samādhi, sebab hanya Ia yang melihat Dhamma akan melihat-Ku. Ia yang tidak melihat Dhamma takkan melihat-Ku”

    Mendengar ini, Vakkali sangat tertekan. Ia meninggalkan Sang Buddha, menuju bukit Gijjhakuta untuk bunuh diri dengan melompat dari puncak bukit.

    Sang Buddha mengetahui keadaan ini, yang akan membuatnya melepaskan kesempatan mencapai kesucian.

    Oleh karenanya, Sang Buddha, membuat "bayangan" seolah-olah berada di hadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekatnya, segera Vakkali melupakan kesedihannya dan menjadi sangat gembira[..]

    Ketika ia menjadi arahat ia dianugerahi gelar etadaggam saddha’dhimuttanam, Ia berkeyakinan paling kuat diantara para Bhikkhu
VINAYA tentang orientasi, perubahan gender:
  1. "Seorang Pandaka dan ubhatob­yañ­janako tidak boleh ditahbiskan, apabila telah ditahbiskan, harus dikeluarkan". Di Thailand, mereka yang kemayu masih diperbolehkan menjadi samanera

  2. Jika Bhikkhu, berubah kelamin menjadi wanita, bukan pelanggaran, hanya harus menjadi bhikkuni tanpa ditahbis ulang, tanpa ganti upajjhaya dan masa vassanya sama). Berlaku yang sama untuk Bhikkhuni yang berubah kelamin menjadi pria. [↑]

[7] Kata "Ekodakībhūtaṃ", ekodi = concentrated, attentive, fixed. ekoda° with the regular change of a to i in connection with these roots), as ekodi-karoti to concentrate; °bhavati to become settled; °bhūta concentrated; °bhāva concentration, fixing one's mind on one point. Kata ekodakā di Seyyathāpi, bhikkhave, ayaṁ mahāpathavī ekodakā assa, (Misalkan, para bhikkhu bumi ini seluruhnya air) [SN 56.48]. Kata khīrodakībhūtā (menjadi air susu/menjadi cairan susu) (AN 3.95, SN 36.20, MN 31) = khīra+odakībhūtā, kata khīra = susu, jika hanya air, maka susu pun cairan. Kata bhūta = tumbuh, menjadi, lahir, menghasilkan. Jadi, Ekodakībhūtaṃ: "substansi cairan" ataukah "seluruhnya cairan" ataukah "satu bentukan cair" ataukah "cairan terkonsentrasi?"

Terkait "cairan" di permulaan semesta, juga disampaikan Rig Veda dan Brihadâranyaka Upanishad. Berikut Rgveda 10.129. [Orang suci: Prajapati Paramesthi; Dewa: Bhavavrtta; Metre: Tristupa]:
  1. Tiada yang termanifestasikan atau tak termanifestasikan. Sehingga tiada debu dan tiada langit di luarnya. Apa yang melingkupinya, di mana naungannya? Apa suara yang dalam dan tak-terjelaskan itu?
  2. Tiada kematian atau keabadian. Tiada perbedaan antara siang dan malam. Hanya Ia atas kehendakNya sendiri tanpa udara. Tiada apapun selain itu.
  3. Sebelumnya hanya ada kegelapan, semuanya ditutupi kegelapan. Semuanya hanya cairan yang tak terpisahkan (Salila). Apapun itu, ditutupi dengan kekosongan. Yang satu lahir dari panas.
  4. Sebelum itu (sebelum penciptaan) keinginan (untuk mencipta) bangkit dari diriNya, lalu dari pikiranNya bibit pertama lahir. Manusia yang bijak dalam berpikir menemukan yang termanifestasikan terikat dengan yang tak-termanifestasikan.
  5. Cahayanya menyebar menyamping, ke atas dan bawah. Ia menjadi pencipta. Ia menjadi besar atas kehendaknya sendiri ke bawah dan atas.
  6. Siapa yang tahu, siapa yang akan memberitahu dari mana dan mengapa penciptaan ini lahir, karena dewa-dewa lahir setelah penciptaan ini. Sehingga, siapa yang tahu dari siapa semesta ini dilahirkan.
  7. Dari siapa penciptaan ini dilahirkan, Ia mendukung atau tidak. Ia bertahta di langit tertinggi, mungkin Ia tahu atau mungkin tidak.
Keadaan sebelum penciptaan hanya kosong. Belum ada ruang maupun waktu.
    "Pada mulanya sama sekali tiada apapun. Tiada surga, tiada bumi dan atmosfer." -Taittiriya Brahmana 2.2.9.1
..Mantra ke-3, penyebab semesta adalah tapa. Tapa berarti memanaskan, membuat panas.

Yang ada hanya kegelapan dan Salila (Rgveda 10.129.3). Salila berarti air. Dalam mantranya, Salila didahului oleh "apraketa" yang berarti tak terdiferensiasi. Salila merupakan istilah teknis dijelaskan dengan baik dalam sebuah mantra di Satapatha Brahmana. Mantra 11.1.6.1 menyatakan bahwa Apah sebelumnya adalah Salila. Sehingga Apah dan Salila berarti air. Jika maksudnya adalah air, mantra ini menjadi tidak masuk akal sama sekali. Jelaslah bahwa Apah dan Salila merupakan istilah teknis dan tidak dapat ditukar pemakaiannya. Salila adalah keadaan pertama dari semesta, ketika tak ada apapun. [Dikutip dari, "Vedic Physic-Scientific Origin of Hinduism", Oleh: Raja Ram Mohan Roy] [↑]

[8] Milianda Panha, bukanlah kanon pali konsili ke-1 s/d konsili ke-4. Diakui menjadi bagian tipitaka di konsili ke-5 [tahun 1871 M] hanya oleh Myanmar sementara Thailand dan Srilanka tidak mengakuinya. Milianda Panha ditulis dalam bahasa Gandhari/sanskrit, dikompilasi pada 100 SM s.d 200 M ["A Handbook of Pāli Literature", Hinüber, Oskar von (1996/2000), Berlin: Walter de Gruyter. hal.83-86], mengapa ini meragukan, kita ambil contoh Bab II, Kelahiran kembali no.7, dalam buku, "PERDEBATAN RAJA MILINDA - Ringkasan Milinda Panha, BHIKKHU PESALA:
    Raja Milanda: "Apakah Anda, Nāgasena, akan terlahir kembali?"/ Bhikkhu Nāgasena: "Apa gunanya menanyakan hal itu lagi? Bukankah telah saya katakan bahwa jika saya mati dengan nafsu keinginan di pikiran saya, maka saya akan terlahir kembali? Jika tidak, ya tidak."
TIDAK ADA jawaban tegas: "Ya" atau "Tidak" atau "terlahir beberapa kali karena saya telah mencapai tingkat kesucian tertentu" atau kalimat lain yang mengindikaskan dirinya bukan puthujjana.

Di bagian pembukaan buku:
"Sebagai hasil dari percakapan ini, baik si wanita maupun Nāgasena mencapai dhammacakkhu: pengetahuan bahwa apa pun yang mempunyai awal juga pasti bersifat mempunyai akhir (sotāpanna). Assagutta kemudian mengirim Nāgasena pada Dhammarakkhita di Taman Asoka di Pataliputta. Di sana, dalam waktu 3 bulan, Nāgasena telah menguasai kitab-kitab Tipitaka lainnya. Dhammarakkhita mengingatkan muridnya agar tidak hanya puas dengan pengetahuan dari buku saja. Pada malam hari itu juga, Nāgasena -si murid yang rajin itu- mencapai tingkat Arahat. Kemudian Ia pergi bergabung dengan para Arahat lainnya yang masih tinggal di Himalaya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Nāgasena siap untuk berdebat dengan siapa pun."

Tidak mungkin seorang yang dikatakan ARAHAT masih tidak tahu apakah dirinya masih terlahir kembali atau tidak?! Padahal, seorang sotāpanna sekalipun MAMPU dan dapat MENGUMUMKAN dirinya telah mencapai tingkat kesucian sotāpanna [AN 10.92]

Mungkin saja, ada yang menyikapi keanehan ini dengan dalih aturan vinaya parajika ke-4 dan paccittiya no.8:
    Parajika ke-4:
    Bhikkhu siapa saja, apabila tanpa pengetahuan mendalam, membual tentang pencapaian daya supramanusia —— dengan merujuk ke dirinya —— pengetahuan dan penglihatan yang hanya dimiliki kaum Ariya, ’Saya mengetahui seperti ini, saya melihat seperti ini’ ; suatu ketika setelah itu, apakah saat sedang disidik, atau saat tidak disidik, ia yang telah melakukan pelanggaran, ingin membersihkan diri dengan berkata demikian, ’Awuso, saya berkata 'Saya mengetahui', padahal tidak mengetahui, 'Saya melihat', padahal tidak melihat; saya telah bercakap kosong, berdusta,’ (maka ia) pun telah takluk (parajika), tak lagi sepepersekutuan." [Vinaya pitaka, suttavibhanga vol.1, terjemahan YM Bhikkhu Thitayanno, cetakan 2006, hal 214-215]

    Paccittiya no.8:
    Bhikkhu mana saja yang menyampaikan pencapaian daya supramanusianya, meskipun itu kenyataaan, pada orang awam, maka ia melanggar Paccittiya

    Pencapaian daya supramanusia:
    Jhāna [1 s.d 4], pembebasan, samādhi, pencapaian [kekosongan, tanpa atribut, tanpa pengharapan], pengetahuan [3 pengetahuan], dan penglihatan, pengembangan Magga [4 landasan sati, 4 daya-upaya benar, 4 sarana keberhasilan, 5 kecakapan, 5 kekuatan, 7 faktor pencerahan, 8 jalan mulia]; perwujudan phala (Sotapatti, sakadāgāmī, anāgāmī, Arahatta]; penanggalan kotoran mental; mental yang terbebas dari rintangan; kesukaan di tempat sepi [dengan jhāna 1 s.d 4] [Ibid. hal. 211-221]

    Perbedaan hukuman antara Parajika vs paccittiya:
    Parajika/kalah: Lepas jubah dari kebhikkhuan, tidak dapat lagi menjadi bhikkhu hingga wafatnya.
    Paccittiya [pacinati, "untuk mengetahui"/"agar diketahui": Ia mengakui perbuatannya pada bhikkhu tertentu [atau ketika pembacaan pātimokkha, Ia ingat, saat itulah Ia beritahu bhikkhu sebelahnya dan berjanji setelah pātimokkha selesai, Ia akan mengakui. Namun, jika tidak ditepati, ini berubah menjadi dukkata]. Bentuk pengakuannya, misalnya di Cullavagga IV.14.30:
    Yang melakukan: Ahaṃ āvuso itthannāmaṃ āpattiṃ āpanno. Taṃ paṭidesemi [Kawan, Saya telah melakukan ...., saya akui itu]
    Yang menerima: Passasi? ["apakah telah kawan lihat?"]
    Yang melakukan: Āma, passāmi, [ya, saya telah melihatnya]
    yang menerima: Āyatiṃ saṃvareyyāsi [engkau seharusnya lebih melatih dirimu kelak]

    Di MN 104: Āyatiṃ saṃvaraṃ āpajjeyyāsi. [Engkau seharusnya mampu mengendalikan diri kelak]
    Yang melakukan: Saṃvaraṃ āpajjissāmi. [saya akan lebih dapat mengendalikan diri]
Melihat aturan di atas, tampak masuk akal mengapa Bhikkhu Nāgasena berkelit tidak tegas, bukan?!

Beralasan dengan Parajika ke-4 dan paccittiya no.8 TIDAKLAH TEPAT, karena aturan ini terkait PELANGGARAN dalam BERBERPENGHIDUPAN BENAR sebagai BHIKKHU: Ketika itu di daerah Vajji terjadi kesulitan pangan, agar mendapatkan kemudahan kebutuhan, para Bhikkhu tertentu melakukan cara tidak terpuji mengaku-ngaku telah mencapai ragam pencapaian sehingga mereka mendapatkan banyak kemudahan dan penghormatan.

Sutta mencatat beberapa Bhikkhu Arahat secara terbuka menyampaikan pencapaian SUPRAMANUSIAnya, misal:
    MN 124: Antara YM Bakkula dan Acella Kassapa (kalangan awam, bukan Buddhis), YM Bakkula mengaku: " dalam 80 tahun sejak aku meninggalkan keduniawian aku tidak ingat ada persepsi keinginan indriya..aku tidak ingat ada persepsi kehendak buruk/memusuhi ... persepsi kekejaman..pikiran keinginan indriya..pikiran kehendak buruk ... pikiran kekejaman yang pernah muncul padaku."

    [..]

    "Teman, selama 7 hari setelah meninggalkan keduniawian aku memakan dana makanan dari desa sebagai seorang penghutang; pada hari ke-8 pengetahuan akhir muncul."

    → YM Bakkula menyampaikan bahwa Ia telah mencapai ragam tingkat pencapaian supramanusia dan arahat.

    Di MN 44, antara YM Bhikkhunī Dhammadinnā dan Visakha (anāgāmī, dulunya suami Dhammadina), YM Dhammadinna: "Teman Visākha, engkau melewati batas mengajukan pertanyaan terlalu jauh, engkau tidak mampu menangkap batasan pertanyaan-pertanyaan. Karena kehidupan suci, teman Visākha, berlandaskan pada Nibbāna, memuncak dalam Nibbāna, berakhir dalam Nibbāna.[..]"

    → YM Dhammadinna menyampaikan bahwa tingkat pencapaiannya melebihi Visakha
Jika ini melanggar, mengapa mereka secara terbuka menyampaikan? Tentu saja karena TIDAK BERKAITAN dengan tujuan agar mendapatkan kemudahan mendapatkan kebutuhan para bhikkhu.

Bahkan di Vinaya Pitaka, Suttavibhangga vol.1, di dalam Vinītavatthu, beberapa bhikkhu mengakui pencapaian di hadapan umat awam dan TIDAK TERKAIT urusan berpenghidupan benar dan tidak berkoar, TIDAKLAH MELANGGAR, misal:
    Ketika itu, sanak famili seseorang bhikkhu berkata padanya, "Datanglah, Bhante, nikmatilah kesenangan indriya." "Saya, Awuso, sudah kedap terhadap kesenangan indriya." Muncul penyesalan.… "Bhikkhu, bukanlah suatu pelanggaran baginya yang tidak bermaksud untuk berkoar."

    Ketika itu, sanak famili seseorang bhikkhu berkata padanya, "Bersenang-senanglah, Bhante." "Saya, Awuso, bersenang-senang dalam kesenangan tertinggi." Muncul penyesalan pada dirinya. "Mereka yang betul-betul siswa Sang Bhagawan boleh berkata demikian. Tetapi, saya bukanlah siswa Sang Bhagawa. Jangan-jangan saya telah melakukan pelanggaran parajika?" Ia melaporkan kejadian ini pada Sang Bhagawan. "Bhikkhu, apa yang ada dalam benak Anda?" "Saya tidak bermaksud untuk berkoar, Bhagawan." "Bhikkhu, bukanlah suatu pelanggaran baginya yang tidak bermaksud untuk berkoar."
Kisah di bagian pengantar buku, bahwa Bhikkhu Nāgasena adalah arahat, 100% keliru karena BUKU ke-1: Pubba Yoga, hal.6, disebutkan time frame kejadiannya ada di 500 tahun setelah parinibbananya sang Buddha (Atha amhākaṃ bhagavatāpi..evametepi dissanti mama parinibbānato pañcavassasate atikkante). Di jaman itu, bahkan untuk Sotapannapun, sudah tidak lagi ada. Alasan lainnya ada di Bab.VIII no.7, Raja Milianda bertanya tentang hal yang dianggapnya bertentangan yaitu pernyataan sang Buddha pada Subbadha "Selama para bhikkhu Sangha masih menjalani kehidupan suci yang sempurna maka dunia ini takkan kekurangan Arahat"[↑] VS "Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha berkata bahwa ajaran yang murni itu hanya akan bertahan selama 500 tahun"

Pertanyaan ini, takkan ditanyakan jika MEREKA hidup di kisaran 500 tahun batasan umur Dhamma sejati, bukan?!
--------
Catatan tentang Bakkula Sutta:
  1. 4 sutta tentang para petapa Acela/telanjang bernama Kassapa: (1) DN 8, lokasi: taman rusa, Kosala, ditahbiskan Sang Buddha. (2) SN 12.17, Lokasi: Hutan bambu, taman Tupai, Rajagaha, Maghada, ditahbiskan Sang Buddha. (3) MN 124, Lokasi: Hutan bambu, taman Tupai, Rajagaha, Maghada, ditahbiskan Bakkula dan (4) SN 41.9, lokasi: Macchikasanda, Kosala, diajak Citta ke suatu tempat menemui Bhikkhu senior untuk ditahbiskan. Tampaknya, MN 124 dan SN 41 mempunyai benang merah penahbisan walaupun nama bhikkhu senior tidak disebutkan, namun ada kemungkinan ini adalah Bakkula

  2. Kalimat: Kīvaciraṃ pabbajitosi, āvuso bākulā”ti? “Asīti me, āvuso, vassāni pabbajitassā”ti ("Sudah berapa lama engkau meninggalkan keduniawian, Teman Bakkula?” “Sudah 80 tahun aku meninggalkan keduniawian, Teman”)

    YM. Bakkula menjadi bhikkhu di usia 80 dan berumur 160 saat sutta ini [Komentar Buddhaghosa]. Sang Buddha menyatakan bahwa Bakkula adalah siswa yang terunggul dalam kesehatan [AN 1.226]. "Pabbajitta" adalah kata umum untuk petapa yang "meninggalkan keduniawian" di ajaran India (Buddhis atau bukan), misal SN 41.9, Citta (umat awam penganut Buddhism) bertanya pada Petapa telanjang (Acela) Kassapa (aliran Jainism), "kīvaciraṃ pabbajitassa, bhante kassapā”ti? “Tiṃsamattāni kho me, gahapati, vassāni pabbajitassā”ti (Sudah berapa lama engkau meninggalkan keduniawian, YM Kassapa? "Sudah 30 tahun, aku meninggalkan keduniawian, perumah tangga"). Jadi Bakkula 80 tahun meninggalkan keduniawian adalah termasuk ketika beliau menjadi petapa aliran lain.

    Kalimat "tidak ingat ada persepsi keinginan indriya (kāmasaññā] ..pikiran kekejaman (vihiṃsāvitakka) pernah muncul padaku" bukan hanya terjadi pada arahat namun juga pada pencapai jhāna ke-1 (AN 6.74) [↑] [↑] [↑, Dhamma-kaya]

[9] 32 tanda/ciri manusia agung [DN 30], Destinasi pemilik 32 tanda di antara dua: Jika menjalani kehidupan rumah tangga, akan menjadi raja pemutar-roda hukum keadilan, penakluk empat penjuru tanpa tongkat atau pedang, melainkan dengan hukum dan memiliki 7 pusaka. Jika meninggalkan kehidupan rumah tangga, akan menjadi seorang Arahant, Sammasambuddha. [DN 30, SNP 5.1 dan SNP 3.7]. Tentang 32 Tanda, Petapa Asita yang mendengar para deva mengatakan kata Bodhisatta, namun setelah menerima Sidharta Gautama, Ia tidak menyebutkan kata 32 tanda tapi menyatakan "Tertinggi, tak tertandingi di antara umat manusia!..Dan memutar Roda Dharma" kemudian kepada Nalaka, keponakannya: "Setelah mendengar dari orang-orang lain, bunyi kata “Buddha” Yang telah mencapai Sambodhi, dengan mempraktikkan jalan-Dharma, Pergilah ke sana..", sehingga tampaknya, beberapa dari 32 tanda, hanya akan dapat dilihat dengan kemampuan tertentu. Disamping 32 tanda/ciri tersebut, juga cara berdiri, berjalan, duduk, makan, minum, mencuci dan lainnya yang telah diamati Uttara, Murid Brahmayu selama 7 bulan:
  1. Telapak kaki berpijak kokoh/datar [suppatiṭṭhitapāda]
  2. Telapak kaki tergambar roda 1000 jeruji, lengkap dengan lingkar sumbu [heṭṭhā, pāda, talesu cakkāni jātānihonti sahassārānisa, nemikāni sa, nābhikāni sabbākāra paripūrāni]
  3. Tumit menonjol [āyatapaṇhi]
  4. Jemari panjang [dīghaṅguli]
  5. Tangan-kaki lembut-lentur [mudutalunahatthapāda]
  6. Tangan-kaki rapat/tak bercelah [jālahatthapāda]
  7. Pergelangan kaki lengkung (bagai cangkang penyu) [ussaṅkhapāda]
  8. Betis bagai rusa [eṇijaṅgha]
  9. Ketika berdiri tegak-mantap, tidak terbungkuk [ṭhitakova anonamanto] dengan kedua telapak tangan mengusap-menyentuh lutut [ubhohi pāṇitalehi jaṇṇukāni parimasati parimajjati]

    Note:
    Ketika berjalan, kaki kanan melangkah terlebih dulu, langkah kaki tidak terlalu jauh atau dekat, tidak terlalu cepat atau lambat, tanpa kedua lutut beradu. tanpa mengangkat atau menurunkan paha dan tanpa merapatkan atau merenggangkannya. Hanya bagian bawah tubuh yang bergerak, dan berjalan tidak dengan usaha tubuhnya. [MN 91]

  10. Kelamin terselubung/berkulup ['kosohita vatthaguyha': kosohita = terselubung, terbungkus; vatthaguyham = tertutup kain]

    Note:
    3 tanda yang ada pada Brahmana Bavari: "wajahnya dengan lidah dapat ditutupi (mukhaṁ jivhāya chādeti), Rambut tumbuh di antara alisnya (uṇṇassa bhamukantare), Kelamin terselubung/berkulup (kosohitaṁ vatthaguyhaṁ)" [SNP 5.1]

    Utara murid Brahmayu (MN 91), Brahmana Sela (MN 92/SNP 3.7) dan Ambaṭṭha murid Brahmana Pokkharasāti (DN 3) terkait 32 tanda/ciri Manusia luar Biasa di Buddha Gotama: "..Ia mengamati tubuh Sang Buddha mencari 32 tanda/ciri manusia luar biasa. Ia melihat hampir semuanya, kecuali 2, yang karenanya ia masih memiliki keraguan, yaitu kelamin terselubung/berkulup (kosohite ca vatthaguyhe), dan lebar lidahNya (pahūtajivhatāya)

    Sang Buddha mengetahui bahwa Uttara/Sela/Ambaṭṭha melihat hampir seluruh 32 tanda/ciri, tetapi meragukan 2. Beliau mengerahkan semacam kekuatan mental/supra manusia (tathārūpaṁ iddhābhisaṅkhāraṁ abhisaṅkhāsi) hingga Uttara/Sela/Ambaṭṭha dapat melihat kelamin terselubung/berkulup (kosohite ca vatthaguyhe), selanjutnya Bhagava (Atha kho bhagavā) menjulurkan lidah (jivhaṁ ninnāmetvā) menuju kedua telinga menyentuhnya (ubhopi kaṇṇasotāni anumasi paṭimasi), menuju kedua lubang hidung menyentuhnya (ubhopi nāsikasotāni anumasi paṭimasi), juga menutupi kening dengan lidahNya (kevalampi nalāṭamaṇḍalaṁ jivhāya chādesi)..

  11. Kulit cerah keemasan [suvaṇṇavaṇṇo hoti kañcana sannibhattaca]
  12. Kulit halus, karena halus debu kotoran tak menempel ditubuh [sukhumacchavi hoti sukhumattā chaviyā rajo jallaṁ kāye na upalimpati]
  13. Bulu badan satu untuk satu pori [ekeka lomo hoti ekekāni lomāni loma kūpesu jātāni]
  14. Ujung bulu badan menghadap ke atas berwarna hitam-biru melingkar ke arah kanan/searah jarum jam [uddhaggalomo hoti uddhaggāni lomāni jātāni nīlāni añjana,vaṇṇāni kuṇḍalā vaṭṭāni dakkhiṇā vaṭṭaka jātāni]
  15. Tubuh tegak/lurus seperti Brahma [brahmuju gatta]
  16. Otot menonjol di 7 tempat [sattussada]
  17. Bagian depan atas tubuh bagaikan singa [sīha pubbaddhakāya]
  18. Tidak ada cekungan antar bahu [citantaraṁsa]
  19. Lingkar imbang pohon beringin [nigrodhaparimaṇḍalo], tubuh sepanjang bentangan (lengan) [yāvatakvassa kāyo tāvatakvassa byāmo], bentangan (lengan) sepanjang tubuh [yāvatakvassa byāmo tāvatakvassa kāyo]
  20. Bahu seragam lengkung bulat [samavaṭṭakkhandha]
  21. Indriya kecap sempurna [rasaggasaggī]
  22. Rahang seperti rahang singa [sīhahanu]
  23. Memiliki 40 gigi [cattālīsa danta]
  24. Gigi rata [sama danta]
  25. Rapat antara gigi [aviraḷa danta]
  26. Gigi putih cemerlang [susukka dāṭha]
  27. Lebar lidah [pahūta jivha]

    Note:
    tanda lebar lidah juga dimiliki Brahmana Bavari (SNP 5.1), lihat bagian 'kosohita vatthaguyha'

  28. Suara bagai Brahmā [brahmassaro hoti], semerdu burung karavīka/burung kucica [karavīkabhāṇī]
  29. Mata biru gelap [abhinīla-netta]
  30. Bulu mata bagai bulu mata sapi [gopakhuma]
  31. Tumbuh bulu halus melingkar terang/putih seperti kapas di antara alis [uṇṇā bhamukantare jātā hoti odātā mudu tūla sannibhā]
  32. Kepala berbentuk bagai turban [uṇhīsasīsa]
32 tanda/ciri fisik itu HARUS SEKALIGUS, beberapa sutta menyatakan penampilan Buddha Gautama seperti para Bhikkhu lainnya, misal: Pangeran Ajjasattu tidak mengenali Sang Buddha dalam kumpulan Bhikkhu yang sedang bersila [DN 2]; Penjaga taman hutan bambu taman rusa, ketika bertemu, tidak mengenali sang Buddha [MN 128]; Pukkusāti, raja kerajaan Gandhara yang hendak bertemu Sang Buddha, ketika bertemu, TIDAK MENGENALI beliau adalah Buddha [MN 140]. Jadi, perawakan dan tampilan beliau tidak beda dengan bhikkhu lainnya

Apakah seorang Sammasambuddha HARUS laki-laki? Ya.
    Aṭṭhānametaṃ anavakāso yaṃ itthī arahaṃ assa sammāsambuddho. Netaṃ ṭhānaṃ vijjati.. [Adalah mustahil tidak mungkin arahat perempuan adalah sammasambuddha. Itu tidak dapat terjadi..]. Ṭhānañca kho etaṃ.. vijjati yaṃ puriso arahaṃ assa sammāsambuddho. Ṭhānametaṃ vijjatī.. [Dapat sekali terjadi arahat pria adalah Sammasambuddha. Itu dapat terjadi..]

    Aṭṭhānametaṃ, bhikkhave, anavakāso yaṃ itthī rājā assa cakkavattī. Netaṃ ṭhānaṃ vijjati. Ṭhānañca kho etaṃ, bhikkhave, vijjati yaṃ puriso rājā assa cakkavattī. Ṭhānametaṃ vijjatī
    [Adalah mustahil tidak mungkin raja perempuan adalah raja sejagat, itu tidak dapat terjadi. Yang dapat terjadi raja pria adalah raja sejagat, itu dapat terjadi]

    Aṭṭhānametaṃ, bhikkhave, anavakāso yaṃ itthī sakkattaṃ kāreyya ... mārattaṃ kāreyya ... brahmattaṃ kāreyya. Netaṃ ṭhānaṃ vijjati. Ṭhānañca kho etaṃ, bhikkhave, vijjati yaṃ puriso sakkattaṃ kāreyya ... mārattaṃ kāreyya ... brahmattaṃ kāreyya. Ṭhānametaṃ vijjati
    [Adalah mustahil tidak mungkin ke-sakka-an (pemimpin alam Tavatimsa) perempuan....ke-mara-an (salah satu raja alam vassavati) perempuan ... ke-brahma-an perempuan, itu tidak dapat terjadi. Yang dapat terjadi ke-sakka-an pria...ke-mara-an pria...ke-brahmaan pria, itu dapat terjadi] [MN 115, AN.1.15 (279-283)]

    Note:
    Akhiran "+ttam" (di sakkatam, marattam, brahmattam): "berhubungan/sehubungan dengan". Arti Purisa: Pria/Individual. Kata pali: 'itthi' dan 'Purisa' tidak selalu dalam konteks jenis kelamin namun juga sifat (kewanitaan, kepriaan, lihat: purisa dan Porisa; juga Itthī).
TIDAK BERARTI yang kelak menjadi sammasambuddha (atau raja cakkavatti, Sakka, Mara atau Brahma) pada kehidupan sebelumnya TIDAK PERNAH terlahir menjadi perempuan, atau jenis lainnya, misal Bodhisatta Gautama pernah 2x sebagai wanita, 1x menjadi ibu angsa. Bodhisatta Maitreya pernah menjadi wanita [Lihat Jataka, translasi ke India di abad ke-3, vol.1 no. 19.71-73, tahun 1962]. Arahat lainnya, misal Ananda pernah menjadi perempuan dan pandaka [banci].

Walaupun Sammasambuddha harus pria, namun pencapaian kesucian Arahat tidak terkait GENDER:
    [Mara:]
    Yaṃ taṃ isīhi pattabbaṃ ṭhānaṃ durabhisambhavaṃ;
    Na taṃ dvaṅgulapaññāya sakkā pappotum itthiyā

    [Suatu keadaan sulit yang hanya dicapai para resi
    Tidak dicapai perempuan yang kebijaksanaanya hanya 2-jari saja]

    [Bhikkhuni Somā:]
    Itthibhāvo kiṃ kayirā cittamhi susamāhite;
    Ñāṇamhi vattamānamhi sammā dhammaṃ vipassato

    [Apa urusannya keperempuanan dengan pikiran yang terpusat,
    proses berlangsungnya pengetahuan dan terlihat jelasnya Dhamma dengan benar?]

    Yassa nūna siyā evaṃ Itthāhaṃ purisoti vā Kiñci vā pana aññasmi;
    Taṃ māro vattumarahatī

    [Siapapun yang berpikir ini, ‘Aku adalah perempuan atau laki-laki, atau aku lainnya’
    itu adalah pembicaraannya mara]. [SN 5.2]
Kemudian,
TIDAK BERARTI Brahma berjenis kelamin. Di DN 27: para makhluk lahir kembali setelah wafat dari alam Brahma, di kurun waktu yang sangat lama, barulah alat kelamin laki/perempuannya ada. Di DN 13: Para Brahma tidak terbebani istri dan kekayaan, ini artinya tidak punya jenis kelamin, juga, para brahma tidak muncul sensualitas karena pencapaian alam ini mulai jhāna ke-1 [setelah melampaui rintangan sensualitas/kama, keinginan seksual tidak ada],

Mengenai wanita,
Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala, walau mempunyai beberapa Istri namun tidak satupun yang memberikannya anak lelaki, ini membuatnya kecewa. Sang Buddha pernah memberikan wejangan padanya tentang keunggulan anak wanita:
    “Seorang perempuan, O, Raja manusia. Dapat lebih baik daripada seorang lelaki: Ia mungkin menjadi bijaksana dan bermoral, Seorang istri yang baik, menghormati mertuanya bagai Deva. Putra yang ia lahirkan Mungkin menjadi seorang pahlawan, O, Raja manusia. Putra dari seorang perempuan yang terberkahi itu Mungkin bahkan akan memerintah wilayahnya” [SN 3.16] [↑]

[10] Al Quran:
”...Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" [AQ 37.96]
"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya.." [AQ 57.22]
"Dan tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan takdirnya di lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka" [AQ 17.13].

Hadis:
Riwayat Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar - Muhammad bin Ja'far - Syu'bah - Washil al-Ahdab - al-Ma'rur bin Suwaid - Abu Dzar - Nabi SAW:
    "Jibril mendatangiku lalu memberikan kabar gembira kepadaku, bahwa orang yang meninggal dari umatmu dalam keadaan tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu apa pun niscaya masuk surga." Maka aku bertanya: "Meskipun Ia berzina dan mencuri?" Jibril menjawab, "Walaupun Ia berzina dan mencuri." [Muslim: no.137/1.171, 138/1.172. Bukhari: no.1161, no.2983, no.5379/7.72.717, no.6933/9.93.579]
Riwayat Qa'nabi - Malik - Zaid bin Unaisah - Abdul Hamid bin 'Abdurrahman bin Zaid Ibnul Khaththab - Muslim bin Yasar Al Juhani - Umar Ibnul Khaththab pernah ditanya tentang ayat ini: (Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka) -Qs. Al A'raf: 172- Al Qa'nabi membaca ayat tersebut, lalu Umar berkata, "Aku juga pernah mendengar Rasulullah SAW ditanya tentang ayat itu, lalu beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam, lalu:

ALLAH MENGUSAP PUNGGUNGNYA (sulbi) DENGAN TANGAN KANAN-Nya hingga keluarlah keturunan Adam dari punggungnya. Kemudian Allah berfirman: "AKU MENCIPTAKAN MEREKA UNTUK MASUK SURGA, dan mereka akan beramal dengan amalan-amalan penduduk surga"

kemudian ALLAH KEMBALI MENGUSAP PUNGGUNG ADAM hingga keluarlah keturunan Adam dari punggungnya. Setelah itu Allah berfirman: "AKU MENCIPTAKAN MEREKA UNTUK MASUK NERAKA, dan mereka akan beramal dengan amalan-amalan penduduk neraka"

Seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah, lalu untuk apa gunanya beramal?"

Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya jika Allah menciptakan seorang hamba untuk masuk ke surga maka Ia akan menjadikannya beramal dengan amalan penduduk surga, sehingga ia mati dengan amalan penduduk surga lalu memasukkannya ke surga.

Dan jika Allah menciptakan seorang hamba untuk masuk ke neraka maka Ia akan menjadikannya beramal dengan amalan penduduk neraka, sehingga ia mati dengan amalan penduduk neraka lalu memasukkannya ke neraka." [Abu Dawud no.4081, Tirmidhi no.3001 (Hadis Hasan), 3002 (Hadis Hasan sahih). Malik no.1395. Ahmad no. 294, 2157, 17000]

Uji kebenaran dan klaim-nya lihat: [DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI dan DI SINI] [↑]

[11] Misal di Yohanes 1 Yoh 1:7-9 - "Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa. Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.";

Yesaya 1:18, "Marilah, baiklah kita berperkara! —firman TUHAN—Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba."

Bukan karena perbuatan baik mereka namun karena ketaatan pada allah mereka, Ulangan 9:4-5, “Janganlah engkau berkata dalam hatimu, apabila TUHAN, Allahmu, telah mengusir mereka dari hadapanmu: Karena jasa-jasakulah TUHAN memebawa aku masuk menduduki negeri ini; padahal karena kefasikan bangsa-bangsa itulah TUHAN menghalau mereka dari dari hadapanmu. Bukan karena jasa-jasamu atau karena kebenaran hatimuengkau masuk menduduki negeri mereka tetapi kefasikan bangsa-bangsa itulah, TUHAN, Allahmu menghalau mereka dari hadapanmu dan supaya TUHAN menepati janji yang diikrarkan-Nya dengan sumpah pada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub.”.

Uji kebenaran dan klaim-nya silakan lihat: [DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI, DI SINI dan DI SINI] [↑]

[12] Seluruh list sekaligus dari Dasa Paramita/10 Kesempurnaan (Dāna/Kedermawanan, Sila/moralitas, Nekkhamma/pelepasan dari hal-hal keduniawian, Pañña/Kebijaksanaan, Viriya/semangat, Khanti/sabar/penerimaan/tahan, Sacca/kebenaran, Adithāna/tekad kuat, Mettā dan Upekkhā) hanya ada di teks belakangan [Buddhavamsa: Sumedha, Komentar Cariyapitaka no.35, Dasa Punnakiriyavatthu (DA 3:999; Compendium 146), komentar Jataka no.1, Komentar Dhammapada 1.84, dll]. Jika tidak satu renceng, terdapat di beberapa sutta, misal AN 4.32: "4 sarana bermanfaat bagi makhluk lain: Dāna, peyyavajjaṃ/ucapan ramah, atthacariyā/bantuan bermanfaat, samānattatā/Jujur, adil, tidak memihak dalam bergaul"; atau MN 111: "Para bhikkhu, jika menyatakan dengan benar mengenai siapa pun (sammā vadamāno vadeyya): ‘Ia telah mencapai kemahiran (vasippatto) kesempurnaan (pāramippatto) dalam: moralitas (sīla) mulia, pikiran terpusat (samādhi), kebijaksanaan (paññāya/sannaya), pembebasan (vimuttiyāti),’..", dan banyak lagi sutta [↑]

[13] VisudhiMagga bab.3 [Buddhaghosa, abad ke-5] memerinci 40 objek samādhi [Kammathana, atau "tempat/objek kerja"]:
    10 Kasina/wujud: 4 warna [nīla/biru, pīta/kuning, lohita/merah, odāta/putih]; 4 bhuta (pathavī [padat, landasan, penyokong, bumi/tanah] + āpo [merekat, melekat, cairan] + vāyo [gerak, mengalir, tiupan, getar, tekanan, kondisi, keadaan, sirkulasi, aksi mempertahankan, angin] + Tejo [kekuatan, tajam, menusuk, terbakar, terkonsumsi, terhabiskan, umur, gelombang partikel, panas, temperatur, cahaya, api]) + ākāsa [ruang, celah, antar 2 objek, jarak] + viññāṇa [kesadaran dari 6 indriya atau berlandaskan pada Rūpa, Vedanā, Saññā dan/atau Saṅkhāra]

    10 Asubha [jelek/buruk]: mayat dalam keadaan: membengkak/uddhumataka; membusuk-bernanah/vipubbaka; berwarna biru-lebam/vinilaka; berceceran setengahnya dalam pembusukan/vicchiddaka; digerogoti hewan/vikkhayittaka; berceceran tangan, kaki, kepala dan tubuh/vikkhitaka; hancur disayat-sayat (1-3 inci)/hatavikkhittaka; berdarah/lohitaka; berbelatung-cacing/puluvaka dan menjadi tengkorak/atthika

    10 Anusati:
    3 Tiratna (Buddha, Dhamma, Sangha); 3 Kebajikan (Moralitas/sila, kedermawanan/caga, Deva); Kaya/tubuh: 32 bagiannya; nafas/ānāpāna; kematian/marana dan kedamaian-sentausa/Upasama: tentang 5 nivarana

    4 BrahmaVihāra [Mettā, Karuṇā, Muditā Upekkhā]

    4 Arupajhāna [penglihatan/ruang tak berbatas; kesadaran tak berbatas; tak ada apapun; bukan persepsi bukan tanpa persepsi]

    Ketidakmenarikan tentang makanan/aharapatikulasanna dan ketidakmenarikan tubuh dalam 4 elemen (padat, cair, panas, udara)/catudatuvavatthana
Di MN 62, dari 7 macam samādhi: brahmavihārā (4), asubha, anicca-sañña dan ānāpānasati, tampaknya anicca-sañña TIDAK TERMASUK 40 list Buddhaghosa [↑] [samādhi ↑]


[14] Vacchagotta, pengembara dari klan Vaccha. Di MN 71 sebagai penganut aliran lain; MN 72, sebagai umat awam. Di MN 73, menjadi bhikkhu dan mencapai arahat. Ketika itu, ada aturan bagi yang berasal dari aliran lain, harus melalui 4 bulan masa percobaan sebelum ditahbiskan karena sebelumnya, banyak yang berasal dari aliran lain, setelah menjadi Bhikkhu, kemudian, keluar/dikeluarkan dengan ragam sebab. Namun karena Sang Buddha mampu mengenali perbedaan individu, Vaccha segera ditahbiskan, 2 minggu kemudian, mencapai anāgāmī, diberi arahan lanjutan dan tak lama setelahnya mencapai Arahat. Berikut ringkasannya:

Sutta MN 71,
Vacchagotta:
“Guru Gotama, adakah perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan, pada saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan?”
    Sang Buddha:
    "Vaccha, tidak ada perumah tangga yang, tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan [gihisaṁyojanaṁ], pada saat saat hancurnya jasmani telah mengakhiri penderitaan [dukkhassantakaro]."

    Note:
    Kalimat, "tanpa meninggalkan belenggu kerumahtanggaan", kerap disalahpahami bahwa selagi perumah tangga, tidak mungkin mencapai Arahat dan INI KELIRU, karena yang harus dihancurkan adalah belenggu kerumahtanggannya, setelahnya Ia dapat menjadi arahat walaupun bukan petapa/bhikkhu. gihisaṁyojanaṁ/belenggu kerumahtanggaan, menurut kitab komentar, misalnya: tanah, hiasan, kekayaan, biji-bijian. Menurut Abhidhamma KV 4.1, misalnya: hubungan seksual, menikmati rumah dengan anak-anak, menikmati wewangian, karangan bunga, emas dan perak, ternak, dll
Sang Buddha menyampaikan selagi menjadi umat awam dapat menjadi arahat
    Jika ia mengatakan: ‘Pikiranku telah ditarik dari alam brahmā; aku telah mengarahkan pikiranku pada lenyapnya identitas,’ maka, Mahānāma, aku katakan bahwa tidak ada perbedaan antara seorang umat awam yang terbebaskan dalam mental demikian dan seorang bhikkhu yang telah terbebaskan dalam batin selama 100 tahun: antara kebebasan satu dan lainnya.” [SN 55.54]
Beberapa contoh yang BELUM MENJADI BHIKKHU, namun telah menjadi ARAHAT:
  1. Yasa, Arahat pertama kalangan umat awam [Vinaya, Mahakhandaka] + Ayahnya. Ketika jenuh dengan kenikmatan indriya, muncul Samvega (dorongan untuk menempuh kesucian), Yasa mengucapkan, “Upaddutam vata bho! upassattham vata bho!,” [Aku dalam bahaya, Aku dalam kesulitan besar]. KV 4.1: Yasa, Uttiya perumah tangga, Setu pemuda Brahmana menjadi arahat selagi sebagai perumah tangga.
  2. Menteri Santati [Dhammpada Bab.10, syair 142];
  3. Bahiya daruciriya;
  4. Suddhodana [menjadi sotāpanna dan sakadāgāmī: Dhammapada, Bab.1 syair 13,14; Menjadi anāgāmī: Bab.13 syair 168,169; Menjadi Arahat: Bab.26 syair 391]
  5. Beberapa gelombang tim pengamat kiriman Suddhodana untuk memantau anaknya sebelum dan setelah menjadi Buddha
Vacchagotta:
"Petapa Gotama mengetahui segalanya [sabbaññū] - melihat segalanya [sabbadassāvī] tanpa kecuali (aparisesa), mengakui berpengetahuan - penglihatan [ñanadassana patijanati]: 'saat aku berjalan atau berdiri atau berbaring atau terjaga (carato ca me tiṭṭhato ca suttassa ca jāgarassa ca), pengetahuan - penglihatan [ñanadassana] terus-terusan [satata] tanpa putus [samitam] ada padaKu.'? Yang Mulia, apakah mereka yang mengatakan demikian telah mengatakan apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā, dan tidak salah memahamiNya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan landasan bagi celaan yang dapat ditarik dari pernyataan mereka?"
    Note:
    Klaim ini diucapkan Nigatha Nataputta/Mahavira dan Purana Kassapa: "mengetahui-melihat segalanya tanpa kecuali mengakui berpengetahuan - penglihatan: 'saat aku berjalan atau berdiri atau berbaring atau terjaga, pengetahuan - penglihatan terus-terusan tanpa putus ada padaku'" [MN 14, 79, juga di AN 9.38]

    Sang Buddha juga tidak pernah menyatakan: "Tidak ada brahmana dan petapa manapun (natthi so samaṇo vā brāhmaṇo vā yo) mengakui berpengetahuan - penglihatan, mengetahui - melihat segalanya tanpa kecuali (sabbaññū sabbadassāvī aparisesaṁ ñāṇadassanaṁ paṭijānissati), itu tidak mungkin (netaṁ ṭhānaṁ vijjatī’ti)" [MN 90]
Sang Buddha:
"Vaccha, mereka yang mengatakan demikian tidak mengatakan apa yang dikatakan olehKu, melainkan salah memahamiKu dengan apa yang tidak benar dan berlawanan dengan fakta."

Vaccha: Lantas bagaimanakah seharusnya aku menjawab sehingga aku mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā, dan tidak salah memahamiNya dengan apa yang berlawanan dengan fakta?

Sang Buddha:
  1. Petapa Gotama memiliki 3 pengetahuan (Tevijjo samaṇo gotamo’ti)’.. (1) sejauh yang dikehendakiNya (..yāvadeva ākaṅkhāmi..), mengingat banyak kehidupan lampau.. (2) sejauh yang dihendakiNya, dengan mata dewa,..melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali.. (3) [MN 71. Jadi, tergantung atas apa yang ditanyakan kepada beliau].
  2. Beliau menyatakan: Tidak ada brahmana dan petapa manapun (natthi so samaṇo vā brāhmaṇo vā yo) secara terus-terusan (sakideva) mengetahui-melihat segalanya (sabbaṁ ñassati, sabbaṁ dakkhiti), itu tidak mungkin (netaṁ ṭhānaṁ vijjatī’”ti) [MN 90. Jadi, pengetahuan dan penglihatan itu muncul setelah ada kehendak/kemauan mengarahkannya ke hal yang hendak diketahui/dilihat]
Beliau memiliki 10 Kekuatan [Dasabalā]:

3 Pengetahuan/Tevijja yaitu sejauh yang dikehendakiNya. Penyebutan 3 Pengetahuan (di bawah ini) = tevijja [ref Iti 99 dan AN 3.58/kepada Brahmana Tikaṇṇa), yaitu setelah mencapai jhāna ke-4. Di MN 53: (tiga hal di bawah ini) = vijjāya/terkait pengetahuan-pengetahuan. Siswa mulia yang memenuhi 3 hal di bawah ini = siswa mulia yang sempurna pengetahuannya (ariyasāvako vijjāsampanno):
  1. pubbbenivâsânusati: mengingat banyak kehidupan lampau: 1 kelahiran, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, 10.000, berkalpa-kalpa: pengerutan, pengembangan, pengerutan dan pengembangan, ‘bernama ini, dari suku ini, berpenampilan ini, dengan makanan itu, mengalami rasa senang-sakit, seperti itulah masa hidupnya; lenyap dari sana, terlahir di tempat lain, di sana bernama ini, dari suku itu, berpenampilan ini, demikian makanannya, seperti itu pengalaman rasa senang-sakitnya, seperti itu masa hidupnya; lenyap dari sana, terlahir lagi di sini.’..

  2. dibbacakkhu: dengan mata-dewa, termurnikan melampaui manusia, melihat para mahkluk lenyap dan terlahir lagi, rendah/tinggi, rupawan/tidak, di keadaan bahagia/menderita, memahami bagaimana para makhluk menjalani kehidupan sesuai kamma mereka..

  3. āsavakkhaya: pengetahuan hancurnya noda-noda. Memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan; asal-mula penderitaan; lenyapnya penderitaan; jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda; asal-mula noda-noda; lenyapnya noda-noda; jalan menuju lenyapnya noda-noda.’ “Ketika mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan (Cetovimutti) dari noda: indriawi, penjelmaan, dan ketidak-tahuan (kāmāsavāpi, bhavāsavāpi, avijjāsavāpi). Ketika terbebaskan muncul pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan brahmacari telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak lagi kembali menjadi makhluk apa pun.’ (iti 99: pengetahuan hancurnya noda-noda pembebasan pikiran/Cetovimutti yang tanpa noda dan pembebasan kebijaksanaan/Paññāvimutti di kehidupan ini). AN 2.31: Cetovimutti = Tiada hasrat/bersih dari ketagihan/rāgavirāgā (yaitu noda: indriawi, penjelmaan). Paññāvimutti = Tiada hasrat/bersih dari ketidaktahuan/avijjāvirāgā (yaitu noda ketidaktahuan)
7 kekuatan lainnya adalah memahami sebagaimana adanya:
  1. Yang mungkin sebagai yang mungkin dan yang tidak mungkin sebagai yang tidak mungkin (ṭhānañca ṭhānato aṭṭhānañca aṭṭhānato)
  2. Akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan, di masa lalu, di masa depan, dan di masa sekarang, dengan kemungkinan dan dengan penyebabnya (atītānāgatapaccuppannānaṁ kammasamādānānaṁ ṭhānaso hetuso vipākaṁ)
  3. Jalan yang mengarah menuju alam-alam tujuan kelahiran (sabbatthagāminiṁ paṭipadaṁ)
  4. Dunia dengan banyak unsur yang berbeda (anekadhātunānādhātulokaṁ)
  5. Bagaimana kecenderungan berbeda dari para makhluk (sattānaṁ nānādhimuttikataṁ)
  6. Jauh-jangkauan indriya para makhluk, para individu (parasattānaṁ parapuggalānaṁ indriyaparopariyattaṁ)
  7. Kemunculan, pemurnian, kekotoran pencapaian, keterpusatan pikiran, kebebasan jhāna (jhānavimokkhasamādhisamāpattīnaṁ saṅkilesaṁ vodānaṁ vuṭṭhānaṁ) [MN 12]
***

Sutta MN 72,
Penegasan bahwa ajaranNya TIDAK DIDASARKAN pada pandangan spekulatif (Setelah parinibbana, orang yang sama yang telah memutus rantai penjelmaan dengan benar sempurna, tidak mungkin muncul lagi di masa depan):
  1. Dunia itu apakah kekal/tidak/bukan ke-2nya/bukan tidak ke-2nya
  2. Dunia itu apakah terbatas/tidak/bukan ke-2nya/bukan tidak ke-2nya
  3. Jiwa dan badan apakah sesuatu yang sama ataukah berbeda ataukah bukan ke-2nya ataukah bukan tidak ke-2nya (kalimat dengan makna yang sama: ‘apakah Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya' -SN 12.35)
  4. Apakah Sang Tathagata setelah parinibbana/kematian (paraṁ maraṇā): ada/tidak/bukan ke-2nya/bukan tidak ke-2nya? [juga SN 44.7]
  5. Ketika bhikkhu yang telah terbebaskan demikian, Guru Gotama, di manakah ia muncul kembali? (evaṁ vimuttacitto pana, bho gotama, bhikkhu kuhiṁ upapajjatī”ti) ..tidak muncul kembali? ..muncul kembali dan juga tidak muncul kembali? ..bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali? [Note: Tathagata = Bhikkhu yang telah terbebaskan]
NAMUN PADA:
‘Demikianlah [bentukan/materi ..perasaan ..persepsi ..bentukan kehendak ..kesadaran], asal-mulanya, lenyapnya. Oleh karena itu, Aku katakan, dengan hancurnya, meluruhnya, berhentinya, ditinggalkannya, dan dilepaskannya segala anggapan, segala pemikiran, segala pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, Sang Tathāgata terbebaskan melalui ketidak-melekatan.”

[Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu’]

Sehingga kata muncul kembali/tidak muncul kembali/bukan keduannya dan bukan tidak ke-2nya adalah TIDAK RELEVAN.

Vacchagotta:
Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, Guru Gotama, di manakah ia muncul kembali [setelah kematian]?”
    Sang Buddha:
    “Istilah ‘muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”
Vacchagotta:
“Jadi apakah ia tidak muncul kembali, Guru Gotama?”
    Sang Buddha:
    “Istilah ‘tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”
Vacchagotta:
“Jadi apakah ia muncul kembali juga tidak muncul kembali, Guru Gotama?”
    Sang Buddha:
    “Istilah ‘muncul kembali dan juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”
Vacchagotta:
“Jadi apakah ia bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali, Guru Gotama?”
    Sang Buddha:
    “Istilah ‘bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”
Vacchagotta:
“Ketika Guru Gotama ditanya 4 pertanyaan ini, Beliau menjawab:

Istilah “muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha;
istilah “tidak muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha;
istilah ‘muncul kembali dan juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha;
Istilah ‘bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.’

Di sini aku menjadi bingung, Guru Gotama, di sini aku menjadi bimbang, dan keyakinan yang telah kuperoleh melalui perbincangan sebelumnya dengan Guru Gotama sekarang telah lenyap.”
    Sang Buddha:
    “Ini memang cukup membuatmu bingung, Vaccha, cukup membuatmu bimbang. Karena Dhamma ini, Vaccha, adalah dalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan mulia, tidak dapat dicapai hanya dengan logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Adalah sulit bagimu untuk memahaminya JIKA ENGKAU MENGANUT PANDANGAN LAIN, MENERIMA AJARAN LAIN, MENYETUJUI AJARAN LAIN, MENEKUNI LATIHAN YANG BERBEDA, MENGIKUTI GURU YANG BERBEDA.

    Aku akan mengajukan pertanyaan padamu sebagai balasan, Vacccha. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar.

    “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”
Vacchagotta:
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
    Sang Buddha:
    “Jika seseorang bertanya padamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
Vacchagotta:
“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”
    Sang Buddha:
    “Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”
Vacchagotta:
“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”
    Sang Buddha:
    “Jika seseorang bertanya padamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selatan?’ - jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”
Vacchagotta:
“ITU TIDAK BERLAKU, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”
    Sang Buddha:
    “Demikian pula, Vaccha, Sang Tathāgata telah MENINGGALKAN BENTUKAN/MATERI yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya SEHINGGA TIDAK MUNGKIN MUNCUL LAGI DI MASA DEPAN.

    Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal bentukan/materi, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudera.

    ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; ‘
    ‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku;
    ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku;
    ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.

    Sang Tathāgata telah MENINGGALKAN PERASAAN yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya SEHINGGA TIDAK MUNGKIN MUNCUL LAGI DI MASA DEPAN …

    Sang Tathāgata telah MENINGGALKAN PERSEPSI yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya SEHINGGA TIDAK MUNGKIN MUNCUL LAGI DI MASA DEPAN …

    Sang Tathāgata telah MENINGGALKAN BENTUKAN-BENTUKAN yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya SEHINGGA TIDAK MUNGKIN MUNCUL LAGI DI MASA DEPAN …

    Sang Tathāgata telah MENINGGALKAN KESADARAN yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya SEHINGGA TIDAK MUNGKIN MUNCUL LAGI DI MASA DEPAN.

    Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal kesadaran, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudera.

    ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; ‘
    ‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku;
    ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku;
    ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.
Note:
Sutta ini MEMBANTAH TELAK SELURUH SUTRA Mahayana/Vajrayana yang mengklaim bahwa para Buddha dan Arahat yang TELAH PARINIBBANA dapat muncul lagi di masa depan
    Pertanyaan Vacchagotta terkait terjadinya kelahiran kembali:
    Sang Buddha: ... Aku menyatakan, Vaccha, kelahiran kembali (upapattiṁ paññāpemi) adalah untuk seseorang dengan bahan bakar (Saupādānassa), bukan untuk seseorang yang tanpa bahan bakar (no anupādānassa). Bagai api yang menyala dengan bahan bakar, bukan tanpa bahan bakar, demikianlah, Vaccha, Aku menyatakan, kelahiran kembali adalah untuk seseorang dengan bahan bakar, bukan untuk seseorang yang tanpa bahan bakar.

    Vaccha: “Guru Gotama, ketika nyala api tertiup angin bergerak hingga jarak tertentu, manakah pada saat itu yang Guru Gotama sebut sebagai bahan bakarnya?”

    Sang Buddha: “Ketika, Vaccha, nyala api tertiup angin bergerak hingga jarak tertentu, Aku menyatakan bahwa api itu dibahan-bakari angin. Pada saat itu angin adalah bahan bakarnya.”

    Vaccha: “Guru Gotama, ketika makhluk (Yasmiñca pana, bho gotama), waktu jasmaninya ini terbaring (samaye imañca kāyaṁ nikkhipati) dan belum terlahir menjadi makhluk tertentu (satto ca aññataraṁ kāyaṁ anupapanno hoti), dan yang manakah yang Guru Gotama sebut menggenggamnya/melekatinya ini (imassa pana bhavaṁ gotamo kiṁ upādānasmiṁ paññāpetī”ti?)?”

    Sang Buddha: “Vaccha, Ketika, makhluk, waktu jasmaninya ini terbaring dan belum terlahir menjadi makhluk tertentu, Aku katakan kehausan melekatinya (tamahaṁ taṇhūpādānaṁ vadāmi). Karena kehausan, Vacca, inilah kemelekatannya (Taṇhā hissa, vaccha, tasmiṁ samaye upādānaṁ hotī”ti).” [SN 44.9]

    Kepada Brahmana Udaya, Petapa Gotama menjelaskan beliau tidak terlahir kembali:
    Sang Buddha: Tetapi ketika seseorang telah memperoleh Sang Jalan, Yang membawa menuju ketiadaan penjelmaan baru, Setelah memiliki kebijaksanaan luas, Seseorang tidak terlahir lagi dan lagi! [SN 7.12]

    Kepada Pukkusāti, sang buddha menjelaskan:
    Ketika ia tidak melekat, ia tidak bergejolak. Ketika ia tidak bergejolak, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami sebagai berikut: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ ... Dan sang bijaksana damai itu tidak dilahirkan, tidak menua, tidak mati; ia tidak tergoyahkan dan tidak merindukan. Karena tidak ada apapun padanya yang dengannya ia dapat terlahir. Karena tidak terlahir, bagaimana mungkin ia dapat menjadi tua? Karena tidak menjadi tua, bagaimana mungkin ia mati? Karena tidak mati, bagaimana mungkin ia dapat tergoyahkan? Karena tidak tergoyahkan, mengapa ia harus merindukan? [MN 140]
Terkait apa benar Arahat/Tathāgata akan musnah lenyap setelah kematian, maka sutta SN 22.85 (oleh YM Sāriputta) adalah tentang pandangan salah seorang bhikkhu bernama Yamaka:

"tathāhaṁ bhagavatā dhammaṁ desitaṁ ājānām (Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan Sang Bhagavā), yathā khīṇāsavo bhikkhu (seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur) kāyassa bhedā (dengan hancurnya jasmani) ucchijjati vinassati, (keberadaan musnah lenyap) na hoti paraṁ maraṇā”ti (tidak lagi ada setelah kematian)"
    Note
    SPK (sāratthappakāsinī/Saṃyuttanikāya-aṭṭhakathā): "Jika ia berpikir, 'Bentukan muncul dan lenyap; bentukan mencapai ketidakmunculan,' ini bukanlah pandangan (diṭṭhigata) melainkan pengetahuan yang sejalan Dhamma, tapi karena Ia berpikir: 'suatu makhluk musnah dan hancur,' maka ini menjadi pandangan".
    Apa yang diajarkan Sang Buddha (tentang 2 pandangan/dvīhi,..diṭṭhigatehi pariyuṭṭhitā: yang terjerumus/olīyanti dan yang berlebih-lebihan/atidhāvanti):
    "...tentang menjelma, beberapanya (Bhaveneva kho paneke) pikirannya menjadi ngeri/hambar, segan, menghindari (aṭṭīyamānā harāyamānā jigucchamānā), bersukacita untuk tidak menjelma (vibhavaṁ abhinandanti): 'Diri ini (ayaṁ attā) dengan hancurnya jasmani kelahiran musnah lenyap tidak lagi ada setelah kematian. ini damai, ini luhur, inilah adanya (etaṃ santaṃ etaṃ paṇītaṃ etaṃ yāthāvanti)'. Demikianlah para Bhikkhu, berapa ini berlebih-lebihan (Evaṁ kho, bhikkhave, atidhāvanti eke). Bagaimana, para bhikkhu mereka yang berpenglihatan melihatnya? (kathañca, bhikkhave, cakkhumanto passanti?). Adalah bhikkhu yang melihat apa yang terjadi sebagai telah terjadi (idha bhikkhu bhūtaṁ bhūtato passati). dilihatnya yang terjadi sebagai telah terjadi (bhūtaṁ bhūtato disvā), terhadap penjelmaan melatih dirinya untuk menjadi tidak terkesan, tidak berkeinginan dan berhenti (bhūtassa nibbidāya virāgāya nirodhāya paṭipanno hoti). Demikianlah, para bikkhu mereka yang berpenglihatan melihatnya (evaṁ kho, bhikkhave, cakkhumanto passantī”ti)..." [Iti 49]
    Oleh Yamaka, Arahanta dianggap sebagai identitas/sakkaya (pandangan identitas/sakkaya diṭṭhi: pañcu­pādā­nak­khan­dhā/5 khanda yang dilekati (rūpa, vedana, sañña, saṅkhāra, viññāṇa) disebut sakkaya (tubuh/pribadi/identitas/lembaga/diri/atta/jiwa/atman), sakkaya inilah yang dianggap musnah setelah kematian (ucchedavādā: Aliran bahwa kelahiran para makhluk, musnah lenyap, tidak lagi ada setelah kematian. Lihat DN 1 untuk pandangan no.51-57)
    Terdapat 3 frase untuk maksud "tidak lagi terlahir, kelak tidak lagi ada" : (1) ayamantimā jāti, natthi dāni punabbhavo (Ini kelahiran terakhirku, kelak tidak lagi menjelma) [misal: DN 14, 29, MN 126, SN 14.3] → Digunakan Sang Buddha ketika merujuk diriNya sendiri, dengan pengecualian SnP 3.5 (dengan Bramana Magha), digunakan untuk seluruh Arahat: ayamantimā natthi punabbhavoti (ini yang terakhir, tidak lagi menjelma). (2) Kelahiran telah dihancurkan (khīṇā jāti), cara hidup brahma telah dijalani (vusitaṃ brahmacariyaṃ), apa yang harus dilakukan telah dilakukan (kataṃ karaṇīyaṃ), tak lagi menjadi apapun (nāparaṃ itthattāyāti) [Misal MN 121, AN 10.84] → kalimat umum untuk para pencapai kearahatan. 2 hal ini adalah frase dalam ajaran. Namun pada frase (3) kāyassa bhedā (dengan hancurnya jasmani) ucchijjati vinassati (keberadaan musnah lenyap) na hoti paraṁ maraṇā (tidak lagi ada setelah kematian) [SN 22.85. Iti 49. untuk "ucchijjanti vinassanti", misal DN 2, SN 24.5, MN 76] → ini pandangan anihilasionism, bahwa "atta/diri"-nya ini, keberadaannya tidak lagi ada setelah mati, ini berlaku baik itu orang bijak atau bodoh, bahwa manusia yang terdiri dari 4 unsur utama, saat mati, masing-masing bentukan unsurnya kembali ke masing-masing unsur [DN 2, MN 76, SN 24.5]
(Percakapan antara Sāriputta dan Yamaka di SN 22.85)

Sāriputta:
Taṁ kiṁ maññasi, āvuso yamaka (Bagaimana menurutmu sahabat Yamaka), rūpaṁ niccaṁ vā aniccaṁ vā”ti? (apakah bentuk kekal atau tidak kekal?)”
Yamaka: “Tidak kekal, sahabat."
Sāriputta: “...vedanā … saññā … saṅkhārā … viññāṇaṁ niccaṁ vā aniccaṁ vā”ti?
Yamaka: (masing-masingnya dijawab:) “Tidak kekal, sahabat.”

Sāriputta: “Oleh karena itu … Melihat seperti itu … Ia memahami: '… nāparaṁ itthattāyāti pajānāti (Ia memahami tidak lagi menjadi apapun).'

Sāriputta: “Bagaimana menurutmu sahabat Yamaka: rūpaṁ tathāgatoti samanupassasī”ti (apakah kamu melihat/mengamati bentuk sebagai Sang Tathāgata?)”
Yamaka: “Tidak, sahabat.”
Sāriputta: “Apakah kamu melihat/mengamati perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran sebagai Sang Tathāgata?”
Yamaka: (masing-masingnya dijawab:) “Tidak, sahabat.”
    Note:
    Arti tathāgata: Menurut sekte lain/paribbājakā: uttamapuriso paramapuriso paramapattipatto (manusia utama, manusia tertinggi, mencapai yang tertinggi) [SN 22.86]. Menurut Sang Buddha: seorang yang menyatakan Dhamma dan disiplin di waktu yang tepat, sesuai kenyataan, dan bermanfaat (atītānāgatapaccuppannesu dhammesu .. kālavādī bhūtavādī atthavādī dhammavādī vinayavādī).. Apapun yang terlihat, terdengar, terindera, dikenal, apapun yang pernah dicapai, dicari atau direnungkan oleh pikiran—semua ini telah dipahami sepenuhnya oleh Sang Tathāgata (diṭṭhaṁ sutaṁ mutaṁ viññātaṁ pattaṁ pariyesitaṁ anuvicaritaṁ manasā, sabbaṁ tathāgatena abhisambuddhaṁ) ... Antara malam ketika mencapai penerangan sempurna, dan malam ketika mencapai unsur-Nibbāna tanpa sisa, apapun yang Beliau babarkan, ucapkan atau jelaskan adalah demikian adanya dan bukan sebaliknya (yaṁ etasmiṁ antare bhāsati lapati niddisati. Sabbaṁ taṁ tatheva hoti no aññathā) .. melakukan apa yang Ia katakan, dan mengatakan apa yang Ia lakukan (yathāvādī tathākārī, yathākārī tathāvādī) .. penakluk tak terkalahkan, raja dalam melihat segala sesuatunya (abhibhū anabhibhūto aññadatthudaso vasavattī) [DN 29]
Sāriputta: “Bagaimana menurutmu sahabat Yamaka, rūpasmiṁ tathāgatoti samanupassasī”ti? (apakah kamu melihat/mengamati Sang Tathāgata dalam bentuk/wujud?)”
Yamaka: “Tidak, sahabat.”
Sāriputta: “aññatra rūpā tathāgatoti samanupassasī”ti (Apakah kamu melihat/mengamati Sang Tathāgata dengan tanpa bentukan/sesuatu selain bentukan?)”
Yamaka: "Tidak, sahabat.”

Sāriputta: “...vedanāya... aññatra vedanāya … saññāya … aññatra saññāya … saṅkhāresu … aññatra saṅkhārehi … viññāṇasmiṁ... aññatra viññāṇā tathāgatoti samanupassasī”ti?"
Yamaka: (masing-masingnya dijawab:) “Tidak, sahabat.”

Sāriputta: “Bagaimana menurutmu sahabat Yamaka, (sekarang semuanya sekaligus disebutkan, sebagai suatu kesatuan): rūpaṁ … vedanaṁ … saññaṁ … saṅkhāre … viññāṇaṁ tathāgatoti samanupassasī”ti? (Apakah kamu melihat/mengamati bentuk, perasaan, persepsi, bentukan kehendak, kesadaran sebagai Sang Tathāgata?)”
Yamaka: “Tidak, sahabat.”

Sāriputta: “Bagaimana menurutmu sahabat Yamaka, (sekarang semuanya sekaligus disebutkan, sebagai suatu kesatuan): ayaṁ so arūpī … avedano … asaññī … asaṅkhāro … aviññāṇo tathāgatoti samanupassasī”ti? (Apakah kamu melihat/mengamati Sang Tathāgata ini sebagai yang tanpa bentuk, tanpa perasaan, tanpa persepsi, tanpa bentukan kehendak, tanpa kesadaran?”
Yamaka: “Tidak, sahabat.”

Sāriputta: "ettha ca te, āvuso yamaka (oleh karena, sahabat Yamaka), diṭṭheva dhamme saccato thetato tathāgate anupalabbhiyamāne (tidak memiliki kepastian, yang benar dapat diandalkan tentang Sang tathāgata saat ini), kallaṁ nu te taṁ veyyākaraṇaṁ: (apakah pantas menyatakan:) "Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan Sang Bhagavā), seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, dengan hancurnya jasmani, kelahiran musnah, lenyap, tidak lagi ada setelah kematian?"

Yamaka: “ahu kho me taṁ, āvuso sāriputta, pubbe aviddasuno pāpakaṁ diṭṭhigataṁ (Sebelumnya, sahabat Sāriputta, aku masih bodoh, aku menganut pandangan sesat), idañca panāyasmato sāriputtassa dhammadesanaṁ sutvā tañceva pāpakaṁ diṭṭhigataṁ pahīnaṁ, dhammo ca me abhisamito”ti (tapi sekarang, setelah aku mendengarkan Dhamma YM Sāriputta, aku telah meninggalkan pandangan sesat itu, dan menembus Dhamma)"
    Note:
    Yang ditinggalkan adalah pandangan identitas/sakkayaditthi.
    Karena noda-nodanya telah hancur, maka tidak ada terdapat alasan bagi kemunculan di masa depan, karena tidak adanya bahan bakar untuk kemunculan, maka tidak akan ada lagi kemunculan.
...
Sāriputta: ".aku akan memberikan perumpamaan untuk menyampaikan makna yang sama dengan lebih jelas lagi.

Misalkan, sahabat Yamaka, ada seorang perumah tangga.., seorang kaya, dengan harta berlimpah, dijaga seorang pengawal. Kemudian seseorang ingin menghancurkannya, mencelakainya, membahayakannya, membunuhnya. Orang itu akan berpikir: ‘Perumah tangga..ini adalah seorang kaya, dengan harta berlimpah, dijaga seorang pengawal. Tidaklah mudah untuk membunuhnya. Biarlah aku mendekatinya dan kemudian membunuhnya.’

“Kemudian ia mendatangi perumah tangga..itu dan berkata kepadanya: ‘Aku hendak bekerja untukmu, tuan.’ Kemudian perumah tangga..itu mengangkatnya menjadi pelayan. Orang itupun melayaninya, .. setelah orang itu, melakukan apapun yang diminta, perbuatannya menyenangkan, kata-katanya menyenangkan. Perumah tangga...itu menganggapnya sebagai teman, yang akrab, dan mempercayainya. Tetapi ketika orang itu menyadari bahwa perumah tangga..itu telah mempercayainya, saat sedang sendirian, orang itu membunuhnya dengan pisau tajam.

“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, ketika orang itu mendatangi perumah tangga..itu dan berkata kepadanya: ‘Aku hendak bekerja untukmu, tuan,’ bukankah ia adalah seorang pembunuh bahkan walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhnya’?

Dan ketika orang itu melayaninya,... melakukan apa pun yang diminta, perbuatannya menyenangkan, kata-katanya menyenangkan, bukankah ia adalah seorang pembunuh, walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhnya’?

Dan ketika orang itu mendatanginya saat sedang sendirian dan orang itu membunuhnya dengan pisau tajam, bukankah ia adalah seorang pembunuh, walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhnya’?”... [SN 22.85]
    Note:
    Perumpamaan ini, menunjukan 2 hal, bahwa Sang Tathāgata tetap ada tidak musnah lenyap setelah kematian, karena tetap merupakan 'manusia utama, manusia tertinggi, mencapai yang tertinggi', namun juga karena noda-nodanya telah hancur dan telah mengetahui dengan sebenarnya bahwa bentuk, ..., kesadaran adalah tidak kekal, maka setelah kematian, 'nāparaṁ itthattāyāti (tidak lagi menjadi apapun)'
***

Sutta MN 73,
Sang Buddha menjelaskan pada pengembara Vacchagotta diantaranya:
  1. Jawaban atas pertanyaan: "ringkasan tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat": Keserakahan, kebencian dan keliru tahu/kebingungan adalah tidak bermanfaat. Ketidak-serakahan, ketidak-bencian dan ketidak-bodohan adalah bermanfaat.

  2. 10 pasang sila yang bermanfaat vs tidak bermanfaat (1. Menyakiti kehidupan, 2. mengambil yang tidak diberikan, 3.berperilaku salah dalam kenikmatan indriya, 4. menyatakan yang tidak benar, 5. memecah-belah, 6. berkata kasar, 7. ucapan sia-sia/bergosip, 8. merindukan 9. pikiran buruk, 10. berpandangan Salah)

  3. Seorang bhikkhu telah meninggalkan keinginan, memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan, maka bhikkhu itu adalah arahat.

  4. Vacchagotta:
    "Apakah ada Bhikkhu/Bhikkhuni yang mencapai arahat selain Guru Gotama?"
    Sang Buddha:
    "Ada, Bukan hanya 100, Vaccha, atau 2 atau 3 atau 4 atau 500, melainkan jauh lebih banyak dari itu"

  5. Vacchagotta:
    "Apakah ada umat awam laki/perempuan yang telah mencapai anāgāmī jika ia hidup selibat?"
    Sang Buddha:
    "Ada, Bukan hanya 100, Vaccha, atau 2 atau 3 atau 4 atau 500, melainkan jauh lebih banyak dari itu"

  6. Vacchagotta:
    "Apakah ada umat awam laki/perempuan yang tidak selibat, menikmati kenikmatan indriya, yang menjalankan instruksi Beliau, menaati nasihat Beliau, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru?"
    Sang Buddha:
    "Ada, Bukan hanya 100, Vaccha, atau 2 atau 3 atau 4 atau 500, melainkan jauh lebih banyak dari itu"
Puas dengan jawaban Sang Buddha, Vacchagotta mohon ditahbiskan dan mencapai arahat [↑]


[15] DN 23/Payasi Sutta, adalah pertemuan YM Kumara Kassapa dan pangeran Payasi sebelum Pangeran Payasi dan Brahmin muda Uttara wafat. Pangeran Payasi terlahir kembali di alam deva Catumaharajika dan bertemu lagi dengan YM Gavampati (wafat menjelang konsili ke-1) yang tengah berkunjung ke alam itu. Dikomentar Jataka no. 12/Nigrodhamika diceritakan Ibu Kumara Kassapa, putri seorang kaya Rajagaha tidak diinjikan orang tuanya menjadi Bhikkhuni, setelah menikah, Ia meminta ijin suami dan diijinkan, diantar ke kumpulan bhikkhu (sangha) pimpinan Devadatta. Saat menerima penahbisan, Ia tidak tahu tengah hamil, ketika hamilnya membesar dan diketahui, Ia dilaporkan ke Devadatta yang memutuskan bahwa Ia tak lagi bhikkhuni dan di usir.

(Ini mengindikasikan, sangha Devadatta tidak ikuti aturan attha Garudhamma, yaitu calon harus menjalankan 6 sila selama 2 tahun sebelum ditahbiskan)

Bhikkhuni ini kemudian meminta diantar ke vihara Jetavana (Savatthi, sejauh 45 yojana). Permasalahan ini dilaporkan ke sang Buddha. Walaupun Sang Buddha tahu kehamilannya terjadi saat menjadi umat awam, beliau mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anathapindika, Visakha dan lainnya untuk menyelidiki ini dan disimpulkan bahwa Ia sudah hamil sebelum ditahbiskan sehingga tak ada aturan parajika yang dilanggar. Ketika anaknya lahir, raja Pasenadi memeliharannya dan diberi nama Kassapa. Diusia 7 tahun dikirim ke vihara ditahbiskan menjadi SAMANERA dan ketika mebawa hidangan kecil seperti buah ke Sang Buddha, Ia mendapat tambahan nama kumara (anak/pangeran), sejak itu Ia disebut Kumara Kassapa. Ia ditahbis menjadi Bhikkhu diusia 20 tahun sejak dalam kandungan ibunya. [Khandhaka, Mahavaga, Vinaya] dan setelah MN 23, Ia menjadi Arahat. Komentar Anguttara (AA i.159): Sang Buddha memberinya gelar cittakathikānam (pembicaraan trampil) terkait pembicaraan Kumara Kassapa dengan Pāyāsi. [↑]

0 KOMENTAR ANDA: