Kamis, 11 Oktober 2007

Ibu Belut yang Pengasih


Pada jaman Cina kuno, hiduplah seorang terpelajar yang bernama Zhou Yu. Suatu hari, temannya membawakan dia belut segar, makanan yang sangat disukai oleh Zhou Yu. Karena tidak terlalu sibuk pada hari itu, Zhou Yu ingin mencoba mempraktekkan keahlian memasaknya, yang telah lama tidak dia gunakan, dan bersiap untuk membuat sebaskom belut rebus.

Dia menaruh belut itu di dalam panci dan ketika rebusan itu mulai mendidih, Zhou Yu mengangkat tutup panci dan menyaksikan hal yang tidak biasanya. Seekor belut mendorong perutnya ke atas membentuk busur, kepala dan ekornya tetap tinggal di dalam sup. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Zhou Yu segera menyendok belut itu keluar dan memotong perut belut itu. Dia sangat terpesona melihat begitu banyak telur di dalam perut belut itu. Untuk melindungi telurnya, ibu belut itu bertahan sekuat tenaga melindungi perutnya agar air panas tidak melukai perutnya dengan mendorong perutnya ke atas membentuk busur.

Peristiwa ini membuat Zhou Yu ternganga, dan tidak dapat menahan air matanya. Bahkan seekor belut tahu bagaimana melindungi telurnya, dia berpikir, sedangkan dia sebagai mahluk ciptaan yang tertinggi tidaklah sebegitu berbakti pada ibunya. Tergerak hatinya, Zhou Yu berikrar untuk tidak akan pernah makan belut lagi. Dan dia menjadi lebih mencintai dan menghormati ibunya.

Dikutip Dari Cerita Rakyat di Cina
http://www.kontaktuhan.org/cerita/ibu_belut.htm

Seorang Miskin, Pohon Mangga dan Seorang Raja


Sila pertama yang harus kita taati dalam berlatih spiritual adalah "ahimsa", yang berarti "tanpa kekerasan." Kisah ini membicarakan ahimsa yang ideal.

Pada suatu hari, seorang miskin sedang berjalan melewati hutan mangga, dimana dia melihat banyak mangga pada pepohonan yang kelihatannya sangat lezat dan menggoda. Dia amat lapar karena dia belum makan selama tiga hari. Maka dia segera memungut batu dan melemparkannya pada salah satu pohon mangga. Beberapa mangga yang besar berjatuhan di tanah dan orang itu merasa sangat gembira. Lalu dia memungut mangga-mangga itu dan memakannya dengan penuh nafsu.

Kebetulan sekali pada waktu itu raja sedang bermain catur dengan permaisurinya yang cantik di hutan mangga itu, dan batu yang telah menjatuhkan buah-buahan dari pohon mangga itu kemudian mendarat di kepala raja. Untung saja, topi raja melindungi kepalanya, tetapi batu itu membuat topi itu terjatuh, dan demikianlah orang yang paling miskin bertemu dengan orang yang paling kaya di kerajaan itu. Raja yang merasa amat beruntung karena nyaris terkena batu itu, tidak bermaksud untuk menyelidiki hal itu. Namun, permaisuri dan menteri-menteri yang ada disampingnya sangat marah, dan mereka mencari penyerang yang telah melempar batu itu. Mereka tidak dapat memahami mengapa orang itu begitu berani untuk melemparkan batu kepada raja. Dibalik itu, mereka ingin memperoleh penghargaan atas pekerjaan mereka. Mereka segera menahan orang miskin itu, dengan serta merta mengadakan sidang ditempat, dan menjatuhkan hukuman mati kepada dia karena menyerang raja.

Kemudian raja bangkit dari kursinya dan menanyakan kepada menteri-menteri mengapa mereka menjatuhkan hukuman mati kepada orang itu. Dia lalu menyuruh pelempar batu itu dibawa kehadapannya dan bertanya, "Mengapa kamu melempar batu?" "Untuk mendapat mangga dari pohon," jawab orang itu. "Apakah kamu mendapatkan mangga?" "Ya, tuanku." "Sudahkah kamu memakan mangga itu?" "Ya,Tuanku."

Raja lalu berbalik kepada menteri-menterinya dan berkata, "Orang miskin itu lapar, dan dia menimpuk pohon dengan batu ini. Dia mendapat beberapa mangga dan memakannya. Sekarang beritahukan saya, berapa lama dia akan menjadi kenyang setelah memakan mangga-mangga itu?" "Kira-kira dua puluh empat jam, tuanku. Dia tidak akan lapar selama sehari penuh." "Benar. Sekarang saya ingin umumkan keputusan saya." Semua orang menunggu dengan cemas, berpikir, "Adakah yang lebih buruk daripada hukuman mati? Kami sudah menjatuhkan hukuman mati kepada orang itu. Bagaimana lagi raja ingin menghukum dia?"

Kemudian raja mengumumkan, "Saya memerintahkan bahwa mulai hari ini sampai akhir hidupnya di bumi, orang miskin ini akan menerima makanan yang cukup dari kita untuk dimakan olehnya. Sampaikan perintah saya sekarang juga kepada menteri ekonomi." Semua orang tercengang dan bingung. Hukuman macam apa ini? Mereka belum pernah dengar hukuman yang seperti itu. Ratu mengira bahwa itu dikarenakan dia telah melayani raja dengan baik, dengan demikian dia membuatnya gembira. Ratu tersenyum, mengira bahwa itu adalah jasanya.

"Sayangku!" kata raja kepada ratu, "Beritahu saya, apakah pohon mangga itu adalah suatu obyek yang hidup atau bukan?" "Bukan suatu obyek yang hidup, tuanku," jawab ratu. "Dan bagaimana dengan saya?" raja bertanya. Dan ratu menjawab, "Mengapa bertanya demikian, yang mulia. Manusia, ciptaan tertinggi, adalah makhluk-makhluk hidup dan baginda adalah permata diantara manusia, orang yang saleh, agung, berbudi dan bijaksana."

Raja melanjutkan, "Sayangku, karena saya adalah seorang makhluk hidup, bagaimana saya pantas sebagai manusia jika saya gagal membuktikan bahwa saya lebih berharga daripada pohon itu? Apa gunanya Tuhan memberikan saya status kemanusiaan ini?" Ratu berkata, "Baginda lebih berharga daripada semua orang lain untuk status kemanusiaan yang telah diberikan Tuhan kepada baginda. Tapi mengapa baginda mengatakan ini? Apakah maksudnya?"

"Lihat! Orang miskin itu menimpuk pohon dengan sebuah batu, dan pohon itu memberikan buahnya yang lezat untuk dimakan, buah itu memenuhi rasa laparnya selama sehari. Batu itu juga mengenai saya. Karena saya adalah raja dari segala makhluk hidup dan permata diantara manusia, bukankah seharusnya saya membuktikan bahwa diri saya lebih berharga daripada pohon? (Guru dan semua orang tertawa; tepuk tangan.) Itulah sebabnya saya telah memerintahkan untuk memberikan makanan kepada orang ini sepanjang hidupnya."

Dengan segera, ratu, menteri-menteri, bawahan-bawahan dan pelayan-pelayan semuanya menjatuhkan diri di kaki raja, bersujud kepada dia. Mereka memujanya, menyatakan, "Oh! Tuanku! Baginda adalah seorang raja yang benar-benar jarang dan amat saleh. Siapakah, selain Tuhan, yang dapat mewujudkan kasih sayang dan kemurahan hati yang seperti itu? Tuhan ada didalam diri baginda. Pahala, berkah dan cinta-kasih baginda adalah sebanding dengan Sang Budha, Yesus Kristus, dan orang-orang suci dan para bijaksana yang agung di segala jaman. Hanya penguasa seperti baginda yang dapat memberikan inspirasi kepada orang-orang untuk mengembangkan kasih sayang dan cinta-kasih didalam diri mereka. Terinspirasi oleh teladanmu yang agung, orang-orang akan mengasihi dan melayani satu dengan lainnya. Mereka akan menyucikan tubuh, ucapan dan pikiran mereka, dan mengubah tubuh dan jiwa mereka menjadi orang-orang yang terlatih. Berkatilah kami, agar kami dapat menjadi pelayan-pelayan dan pengikut-pengikutmu yang setia selamanya."

Ini adalah sebuah kisah yang sangat bagus. Beginilah cara kita harus bersikap. Kadang-kadang, kita tidak lebih baik daripada pohon. Ketika kalian memukul sebuah pohon atau menggoyangnya, ia akan menjatuhkan buah untuk memberi kalian makan. Tetapi saat kalian menggoyang dan memukul seseorang, dia mungkin akan membunuh kalian karenanya. (Tertawa) Beberapa orang benar-benar tidak lebih baik daripada pohon!

Judul asli: Perangai Seorang Raja yang Saleh
Diceritakan oleh Maha Guru Ching Hai
Jepang, 1 oktober 1991
http://www.kontaktuhan.org/cerita/raja_saleh.htm

Kisah Induk Sapi


Ini adalah kisah nyata yang terjadi di Cina Bagian Barat di daerah gurun pasir yang gersang di Propinsi Ching Hai. Petugas di daerah ini memberlakukan peraturan yang ketat atas jatah 3 kilo air untuk setiap orang setiap harinya, dan penduduk daerah tersebut bergantung pada pengangkutan air jarak jauh yang ditugaskan pada para tentara lokal. Pada situasi semacam ini, dapat kita bayangkan betapa tragisnya keadaan demikian yang menimpa binatang-binatang di daerah tersebut.

Suatu hari, seekor sapi tua melepaskan diri dari ikatan tali di lehernya dan berhenti di tengah jalan di gurun pasir, di jalur truk air akan lewat. Setelah beberapa saat, dimana orang-orang mulai berpikir mengapa sapi itu berhenti di tengah jalan, truk berisikan air tiba. Sapi itu tiba-tiba mengarah ke depan truk tersebut, memaksa truk tersebut untuk berhenti. Kemudian sapi itu memandang ke arah truk, sementara supir truk tersebut berusaha untuk mengusir sapi tersebut dengan sia-sia. Situasi ini berlangsung untuk beberapa saat.

Tentara yang bertugas mengangkut air tersebut mengalami hal sama sebelumnya, tapi belum pernah sampai mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Kali ini berbeda. Para pengendara motor dan mobil tidak sabar dan menggerutu. Beberapa orang yang tidak sabar berusaha untuk mengusir sapi tersebut dengan api, tetapi sapi tersebut tetap bertahan. Kemudian pemilik sapi tiba di tempat kejadian dan mencambuk sapi tersebut sehingga kulitnya sobek, tapi sapi itu tetap bertahan dan tidak beranjak sedikitpun.

Rintihan memilukan dari sapi tua dan kurus itu sangatlah tragis sampai-sampai para petugas dan beberapa dari pengendara meneteskan air mata. Akhirnya, seorang tentara berkata, "Biarlah sekali ini saya melanggar peraturan! Saya siap untuk mendapat hukuman". Dia mengambil wadah air dengan separuh isi (satu setengah kilo air) dan menempatkannya di depan sapi tersebut, tapi sangat menakjubkan, sebab sapi tersebut tidak menyentuh air itu.

Tiba-tiba sapi itu memandang ke arah matahari terbenam dan melenguh. Beberapa saat kemudian seekor sapi kecil muncul dari belakang tumpukan pasir. Sapi tua yang terluka itu memandang dengan penuh kasih sayang pada sapi kecil itu sampai dia selesai minum air. Dengan air mata berlinangan, ibu sapi dan sapi kecil itu saling menjilat mata masing-masing. Tanpa suara, mereka mengekspresikan kasih mereka satu sama lain. Kemudian, sebelum seorangpun mengusir mereka, mereka meninggalkan tempat kejadian itu dengan sendirinya.


Diceritakan oleh Saudara Sepelatihan dari Daratan Cina
http://www.kontaktuhan.org/cerita/induk_sapi.htm

Kisah Dua Helai Kain


Pernah ada seorang bhiksu di India yang berbakti pada Tuhan, sebagaimana bhiksu yang lainnya juga. Dan dia hanya punya satu helai baju yang melindungi tubuhnya. Dan dia hanya memiliki satu mangkok, yang dia pergunakan untuk menampung air serta memasak dan menampung susu dan sebagainya.

Lalu ada suatu kejadian dimana tutup mangkok tersebut pecah. Tapi bhiksu itu tidak membeli mangkok yang baru; dia cukup menggunakan ujung bajunya untuk menutupi mangkok tersebut. Kapan saja dia sedang duduk, dia akan duduk di dekat mangkok itu. Pernah seorang lelaki yang menghampirinya dan bertanya, "Kenapa Anda tidak membeli tutupan yang baru untuk mangkok itu?" Dan dia menjawab, "Saya telah bersumpah bahwa apapun yang saya miliki di sini, saya tidak akan mau lebih banyak, dan hanya akan menggunakan apa yang saya miliki."

Dan kemudian lelaki itu berkata, "Tapi kenapa Anda begitu keras kepala? Satu tutupan tidak akan jadi masalah; bagaimana dengan membeli mangkok yang baru?" Bhiksu itu berkata, "Tidak, tidak. Jika Anda menambahkan ini, dan besoknya akan nambah yang lain lagi dan lainnya lagi. Sama seperti seorang bhiksu..." Dia kemudian menceritakan kisah seorang bhiksu yang lain. Dan ini merupakan kisah nyata, dan ceritanya adalah demikian:

Dahulu ada seorang bhiksu di India yang sering keluar meminda sedekah. Dia memiliki sehelai kain yang menutupi bagian yang dia pikir seharusnya ditutupi. (Tertawa) Tapi tidak menjadi masalah; dia merasa puas. Setiap hari dia keluar dan meminta dana dari orang; dia akan berpindapata dan mendapatkan secukupnya untuk makan, setelah itu dia akan pergi dan bermeditasi. Sungguh amat menyenangkan. Dan dia memiliki pondok kecil.

Masalahnya adalah bahwa dia hanya memiliki dua helai kain: satunya sedang dicuci dan satunya lagi yang sedang dipakai. Jadi, adakalanya apabila dia sedang keluar, dia menjemur kainnya di atap. Dan selalu saja datang seekor tikus yang menggeroti kainnya. Dan kemudian dia harus meminta sedekah sehelai kain lagi. Kejadian ini berulang terus menerus.

Lalu bhiksu tersebut merasa bingung hendak melakukan tindakan apa. Kemudian ada tetangga yang menasehatinya, sambil berkata, "Anda tidak dapat terus menerus meminta kain. Kenapa tidak pelihara saja seekor kucing, dan kucing itu akan mengurus tikus tersebut. Sehingga Anda tidak mempunyai masalah lagi. Kalau tidak, siapakah yang mau terus menerus memberikan kain kepada Anda?"

Lalu bhiksu itu setelah sekian kali mengemis, lalu mulai sadar, "OK, itu bukan suatu ide yang buruk." Sehingga dia pun mulai memelihara kucing. Ada seseorang yang lewat dan memberikannya seekor kucing. Dan sekarang sudah ada kucing di sana. Namun dia mempunyai lebih banyak masalah lagi. Dia harus keluar untuk meminta susu untuk kucingnya. Setelah itu, ada seorang yang baik hati datang dan memberitahukannya, "Anda tidak dapat terus menerus begitu, meminta susu dan makanan untuk kucing. Pelihara saja seekor sapi. (Guru dan semuanya tertawa.) Karena sebenarnya sih kita tidak keberatan memberikan Anda susu, tapi jika kita harus memberikan susu pada kucing juga, agak sedikit keterlaluan jadinya. Tidak apa-apa sih kami memberikan dana, tapi tidak semua orang itu sama. Mereka tidak akan memberikannya setiap hari. Sehingga Anda harus mengorbankan jatah susu Anda sendiri kepada kucing itu. Jadi, peliharalah seekor sapi. Kami memiliki sapi, dan kami dapat memberikannya kepada Anda. Dengan begitu, Anda akan dengan mudah memperoleh susu sendiri. Dan sapi itu juga akan memberikan Anda air dadih yang dapat Anda gunakan untuk memasak; semuanya akan menjadi mudah."

Jadi mereka juga memberikan seekor sapi buatnya. Tapi di India, Anda dapat memperoleh sapi dengan gratis. Sapi-sapi itu berkeliaran di mana-mana, dan mungkin saja Anda dapat mengambil salah satunya; beberapa diantaranya tanpa pemilik, sapi tuna wisma.

Bagaimanapun juga, setelah melalui berbagai pertimbangan, bhiksu itu akhirnya menerima sapi tersebut. Dan sekarang dia harus memeras susu dan pekerjaan lainnya. Dan sekarang dia harus keluar dan meminta jerami untuk sapinya. Karena dia seorang bhiksu, dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia tinggal di pegunungan Himalaya yang tidak ada rumputnya. Dia harus meminta jerami dan membangun kandang untuk sapi itu.

Waktu terus berjalan. Hingga kemudian seseorang datang lagi dan menasehatinya sambil berkata, "Anda tidak dapat terus menerus meminta jerami. Siapakah yang akan terus menerus memberikan Anda jerami untuk sapi itu? Kita akan memberikan makan kepada Anda, tapi kita tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan makan kepada sapi dan kucing Anda dan segalanya itu. Jadi, carilah satu pembantu rumah tangga. Atau carilah seorang isteri; menikahlah."

Nah, sekarang bhiksu ini memiliki masalah yang amat serius. Karena dia tidak tahu caranya bercocok tanam. Sehingga, seorang penasehat yang baik berkata padanya, "Anda dapat mencari seorang pembantu rumah tangga, seperti petani. Atau, menikah dengan seorang petani sehingga dapat bercocok tanam. Ada banyak tanah di sekitar sini, Anda dapat bercocok tanam, dan memiliki cukup banyak jerami untuk sapi Anda. Dan Anda juga akan memiliki cukup banyak jagung, gandum dan sebagainya untuk Anda makan."

Sekarang, bhiksu ini menjadi lebih serius lagi. Sehingga dia pun memutuskan untuk menikah. Dan setelah itu, dia dan isterinya mulai bercocok tanam. Lalu mereka memiliki anak dan mereka harus merawat anak-anaknya, dan mereka harus mendapatkan seorang pengajar untuk anak-anaknya dan segalanya. Dan tentu saja ini menjadi suatu urusan yang semakin membesar.

Hingga suatu hari, Gurunya kembali. Dan sang Guru terus bertanya kepada bhiksu itu, yang tiga tahun yang lalu tinggal di pondok kecil di seberang sungai. Tapi tidak ada satu pun yang tahu bahwa ada bhiksu yang demikian yang tinggal di sana. Sehingga dia terus bertanya hingga berjalan menuju ladang tempat tinggal bhiksu tersebut.

Pada akhirnya, dia menyadari apa yang terjadi, sebab semuanya hanya karena sehelai kain, kelebihan sehelai kain saja. Jika dia hanya memiliki sehelai kain saja, dan memakainya, tidak akan ada masalah. Tapi karena dia memiliki dua helai kain, satu yang dipakai dan satunya yang lagi dicuci, maka timbullah masalah itu. Itulah kejadiannya, dan memang ini merupakan kisah nyata.

Bhiksu itu merasa amat menyesal setelah Gurunya kembali. Tapi Gurunya tidak berniat untuk menginap. Dia berkata, "Saya meminta Anda untuk berlatih rohani. Saya tidak meminta Anda untuk memelihara sapi, anjing, kucing, isteri dan anak-anak." Dan kemudian dia memiliki seluruh ladang. Dia harus menggaji begitu banyak petani, karena banyak yang ditanam, dan tanaman itu terus tumbuh meluas. Akhirnya menjadi suatu ladang. Dia meninggalkan segalanya di dunia ini untuk menjadi seorang bhiksu, agar tidak terikat pada dunia dan memiliki kebutuhan minimal untuk hidupnya. Dan dia berakhir dengan menjadi kaya raya, petani yang besar, dengan banyak ternak dan isteri serta anak-anak dan juga banyak pekerja. Ladangnya menjadi semakin luas dan luas. Dan dia menjadi begitu sibuk menghitung uang dan memeriksa panen sehingga dia tidak memiliki waktu untuk bermeditasi lagi. Segalanya telah berakhir. Tugas bhiksu itu telah selesai; dia telah mempunyai pekerjaan yang lain.

Judul asli:Kisah Dua Helai Kain Seorang Biarawan
Diceritakan oleh Maha Guru Ching Hai
New Jersey, Amerika Serikat, 20 Juni 1992
http://www.kontaktuhan.org/cerita/dua_kain.htm

Tanpa Kekerasan Bukanlah Tanpa Perlawanan..


Ada seekor ular yang amat besar dan sadis. Ular itu tinggal di suatu lobang pohon, dan dia suka sekali memakan ayam dan menggigit orang sehingga orang-orang di desa tersebut merasa takut pada ular itu. Suatu hari, seorang yogi agung melewati tempat tersebut, kemudian duduk di dekat pohon itu dan bermeditasi. Ular itu merasakan perubahan dalam dirinya dan kedamaian yang luar biasa. Kemudian ular itu bertanya pada sang yogi, bagaimana dapat meredam sifat sadisnya, sifat-sifat jahatnya, dan bagaimana agar bisa menjadi seekor ular yang baik hati. Sang yogi mengajarkannya lima sila: jangan menyakiti orang, harus makan vegetarian, jangan berbohong, jangan melakukan ini dan itu, jangan berjudi....., yah bagaimanapun ular itu tidak tahu sama sekali tentang judi. Jadi, hal yang paling penting untuk diketahuinya adalah jangan menyakiti orang lain.

Ular itu berkata, "Mulai hari ini, aku akan berlatih meditasi, makan vegetarian, aku tidak akan memakan ayam lagi, dan juga aku tidak akan menggigit orang lagi!"


Hingga suatu hari, sang yogi harus pergi beberapa hari. Dia berpesan pada ular itu, untuk tetap tinggal di rumah, berlatih meditasi, dan tunggu dia pulang. Kebetulan, anak-anak desa lewat dan melihat ular tersebut sekarang duduk dengan amat tenang dalam meditasi dan samadhi, sehingga mereka merasa tidak takut lagi padanya. Mereka ingin membalas dendam karena sebelumnya mereka amat takut padanya. Lalu, mereka mengambil batu dan melemparkannya. Ular itu tidak melakukan apapun. Gurunya tidak mengatakan padanya bahwa dia tidak boleh marah, tapi jangan menyakiti orang lain. Maksudnya jangan menunjukkan sifat kekejaman sama sekali. Ahimsa berarti tanpa kekerasan. Sehingga ular itu tetap diam dan coba untuk bermeditasi lagi, namun anak-anak itu menendangnya, menarik ekornya, dan menggulungnya dalam bentuk lingkaran. Ular itu menjadi pusing. Kemudian mereka melemparkannya ke dahan pohon serta memukulnya, dan melakukan segala kekerasan kepadanya. Seluruh badannya biru legam, hitam dan biru; dan ular itu berbaring dalam keadaan sekarat.

Sang yogi pulang dan bertanya, "Apa yang terjadi padamu?"
Ular itu menjawab, "Ini gara-gara lima sila tersebut - tanpa kekejaman."
Sang yogi amat kaget, "Apa??!!...tanpa kekejaman?"
Ular itu kemudian menjelaskan lebih lanjut, "Guru mengajariku untuk tidak boleh kejam, jadi kemarin anak-anak ke sini, menarik ekorku, dan menyambit batu padaku. Aku tidak bereaksi sama sekali, jadi mereka meneruskan permainannya. Sekarang aku sekarat!"
Gurunya berkata, "Ah..Kamu benar-benar bodoh. Aku tidak mengatakan bahwa kamu tidak boleh mendesis. Kamu boleh mendesis untuk menghalau orang."


Itulah bedanya antara memiliki Kebijaksanaan dengan tidak memiliki Kebijaksanaan. Bila kita tidak memiliki Kebijaksanaan, kita akan dikendalikan oleh emosi. Bila kita memiliki Kebijaksanaan tidaklah berarti harus menghilangkan sama sekali emosi, tapi hanya perlu mengenali dan menggunakannya pada situasi, kondisi dan cara yang tepat.

Digubah dari cerita asli dengan judul: Cara menggunakan Kemarahan
Diceritakan oleh Maha Guru Ching Hai
Harvard University, Boston, USA
27 Oktober 1989
http://www.kontaktuhan.org/cerita/kemarahan.htm

Rabu, 10 Oktober 2007

Wawancara yang penuh Derita..

Seorang wartawan datang mewawancarai seorang peternak ayam yang sukses, dan mengajukan beberapa pertanyaan.

Wartawan, "Bagaimana cara bapak memelihara anak-anak ayam ini sehingga dapat berhasil seperti sekarang?"
Peternak, "Maksud Bapak anak ayam yang hitam atau yang putih?"

Wartawan, "Oh, kalau yang hitam?"
Peternak, "Yang hitam ini makanannya dedak!"

Wartawan, "Nah, Kalau yang putih?"
Peternak, "Kalau yang putih, yah dedak juga!"

Wartawan, "Kira-kira berapa lama mereka diberi dedak?"
Peternak, "Yang mana pak, yang hitam atau yang putih?"

Wartawan(?), "Kalau yang hitam?"
Peternak, "Yang hitam kira-kira tiga bulan!"

Wartawan, "Kalau yang putih?"
Peternak, "Yang putih, yah tiga bulan juga!"

Wartawan (setengah kesal), "Dari tadi Bapak kalau saya tanya selalu menanyakan anak ayam yang hitam atau yang putih, tetapi jawabannya selalu sama, saya tidak mengerti jadinya!"
Peternak, "Ooh..., begini pak, kalau yang hitam itu ayam saya sendiri!"

Wartawan (sudah tidak sabar), "Jadi, maksud Bapak yang putih bukan milik Bapak, begitu kan?"
Peternak, "Yah..yang putih ayam saya juga sih!"

Wartawan (senewen), "Wah, kalau begitu mah tidak usah dibedakan hitam dan putih dong!"
Peternak, "Beda dong pak, kalau yang hitam kan telurnya putih!"

Wartawan, "Kalau yang putih kan telurnya putih juga Bapak (giliran wartawan yang pakai kata juga)!"
Peternak, "Ya iya lah.., tetapi kan ayamnya tidak hitam!"

Wartawan, @#$%*&!@??#%#&!!!!! (...sampai ke ubun-ubun..)
Peternak, "Sudah jelaskan bedanya pak..!!!"

------

Judul asli: Pandangan berbelit-belit
http://www.dhammacakka.or.id/majalah/mj40/


Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada

KOMPAS - Sabtu, 06 Oktober 2007
GOENAWAN MOHAMAD

Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan-ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ

Atheisme dimulai dengan kesulitan bahasa. Dan, jika kita membaca buku Christopher Hitchens, God is Not Great, kita akan tahu: ada juga salah sangka.

Atheisme tak datang dari kecerdasan semata-mata, tapi juga dari kaki yang gemetar dan tubuh yang terdesak. Kegamangan kepada agama yang sedang tampak kini mengingatkan suasana sehabis perang agama di Eropa di beberapa dasawarsa abad ke- 16. Agama nyaris identik dengan kekerasan, kesewenang- wenangan, dan penyempitan pikiran. Dari sinilah lahir semangat Pencerahan: terbit karya Montaigne dan Descartes, buah skeptisisme yang radikal. Doktrin agama diletakkan di satu jarak.

Kini berkibarnya "revivalisme" , terkadang dalam bentuk "fundamentalisme" , dan tentu saja bercabulnya kekerasan menyebabkan reaksi yang mirip: buku Hitchens terbit di dekat The End of Faith oleh Sam Harris (tahun 2004). Juga The God Delusion karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi. Satu kutipan oleh Dawkins: "Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama."

Namun, agaknya bukan karena waham bila dalam masa tiga dasawarsa terakhir ada "gerak" lain yang cukup berarti: mendekatnya filsafat ke iman. Dalam gerak "pascamodern" ke arah Tuhan ini diangkat kembali pendekatan fenomenologis Heidegger yang mendeskripsikan "berpikir meditatif", atau lebih khusus lagi, "berpikir puitis", yang lain dari cara berpikir yang melahirkan metafisika dan ilmu-ilmu.

Bersama itu, ada kritik Heidegger terhadap "tuhan menurut filsafat", atau tuhan dalam metafisika-yang baginya harus ditinggalkan. Dengan meninggalkannya, kata Heidegger, manusia justru akan lebih dekat ke "Tuhan yang ilahi" (göttlichen Gott).

Mungkin dengan itu kita bisa memahami Derrida: ia menyebut diri atheis, tapi juga mengatakan "tetapnya Tuhan dalam hidup saya" yang "diseru dengan nama-nama lain".

Jelas gerak "menengok kembali agama" itu bukan gerak kembali kepada asas theisme yang lama. Dalam Philosophy and the Turn to Religion, Hent de Vries mengikhtisarkan kecenderungan itu dalam sepatah kata Perancis yang mengandung dua makna: kata á Dieu 'ke Tuhan' atau adieu 'selamat tinggal', "satu gerakan ke arah Tuhan, ke arah kata atau nama Tuhan", yang juga merupakan ucapan "selamat tinggal yang dramatis kepada tafsir yang kanonik dan dogmatik. atas pengertian 'Tuhan' yang itu juga".

Syahadat Nurcholish Madjid

Tampak, tak hanya ada satu makna dalam nama "Tuhan". Bahkan, sejak berkembang pendekatan pascastrukturalis terhadap bahasa, kita kian sadar betapa tak stabilnya makna kata.

Kata Tuhan hanyalah "penanda" (signans) yang maknanya baru kita "dapat" tapi dalam arti sesuatu yang berbeda dari, misalnya, "makhluk". Beda ini akan terjadi terus-menerus. Sebab itu, pemaknaan "Tuhan" tak kunjung berhenti.

Penanda itu tak pernah menemukan signatum atau apa yang ditandainya Signatum ("petanda"?) itu baru akan muncul nanti, nanti, dan nanti sebab kata Tuhan akan selamanya berkecimpung dalam hubungan dengan penanda-penanda lain.

Maka, tiap kali "Tuhan" kita sebut, sebenarnya kita tak menyebut-Nya. Saya ingat satu kalimat dari sebuah sutra: "Buddha bukanlah Buddha dan sebab itu ia Buddha". Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa "Buddha" atau "Tuhan" yang kita acu dalam kata itu sebenarnya tak terwakili oleh kata itu, kita pun akan sadar pula tentang Sang "Buddha" dan Sang "Tuhan" yang tak terwakili oleh kata itu.

Agaknya itulah maksud Nurcholish Madjid ketika menerjemahkan kalimat syahadat Islam dengan semangat taukhid yang mendasar: "Aku bersaksi tiada tuhan selain Tuhan sendiri". Dengan kata lain, nama "Allah" hanyalah signans, dan tak bisa dicampuradukkan dengan signatum yang tak terjangkau. Jika dicampuradukkan, seperti yang sering terjadi, "Allah" seakan-akan sebutan satu tuhan di antara tuhan-tuhan lain-satu pengertian yang bertentangan dengan monotheisme sendiri.

Di abad ke-13, di Jerman, Meister Eckhart, seorang pengkhotbah Ordo Dominikan, berdoa dengan menyebut Gottes (tuhan) dan Gottheit (Maha Tuhan). Yang pertama kurang-lebih sama dengan "pengertian" tentang Tuhan, sebuah konsep. Yang kedua: Ia yang tak terjangkau oleh konsep. Maka, Eckhart berbisik, "aku berdoa. agar dijauhkan aku dari tuhan". Di tahun 1329 Paus Yohannes XXII menuduhnya "sesat". Ia diadili dan ditemukan mati sebelum vonis dijatuhkan.

Masalah bahasa itulah yang membuat akidah dan teologi jadi problematis. Teologi selamanya terbatas-bahkan mencong. Jean-Luc Marion mengatakan teologi membuat penulisnya "munafik". Sang penulis berlagak bicara tentang hal-hal yang suci, tetapi ia niscaya tak suci. Sang penulis bicara mau tak mau melampaui sarana dan kemampuannya. Maka, kata Marion, "kita harus mendapatkan pemaafan untuk tiap risalah dalam teologi".

"Satu", Zizek, dan ontologi Badiou

Theisme cenderung tak mengacuhkan itu. Theisme umumnya berangkat dari asumsi bahwa dalam bahasa ada makna yang menetap karena sang signatum hadir dan terjangkau-asumsi "metafisika kehadiran".

Ini tampak ketika kita mengatakan "Tuhan yang Maha Esa". Bukan saja di sana ada anggapan bahwa makna "Tuhan" sudah pasti. Juga kata esa menunjuk ke sesuatu yang dapat dihitung. Jika "tuhan" dapat dihitung, Ia praktis setaraf dengan benda. Ketika kita mengatakan "Tuhan itu Satu", kita sebenarnya telah menyekutukan- Nya.

Justru di situlah atheisme bermula. Slavoj Zizek mencoba membahas ini dengan menggunakan tesis ontologis Alain Badiou. Dalam tulisannya yang menawarkan sebuah "teologi materialis" dalam jurnal Angelaki edisi April 2007, Zizek mengatakan, "Satu" adalah pengertian yang muncul belakangan.

Zizek mengacu ke Badiou: "banyak" (yang juga berarti "berbagai-bagai" ) atau multiplisitas adalah kategori ontologis yang terdasar. Multiplisitas ini bukan berasal dari "Satu" dan tak dapat diringkas jadi "Satu". Lawan multiplisitas ini bukan "Satu", tapi "Nol"-atau kehampaan ontologis. "Satu" muncul hanya pada tingkat "mewakili" -hanya sebuah representasi.

Monotheisme tak melihat status dan peran "Satu" itu. Tak urung, monotheisme yang menghadirkan Tuhan sebagai "Satu" memungkinkan orang mempertentangkan "Satu" dengan "Nol". Maka, orang mudah untuk menghapus "Satu" dan memperoleh "Nol". Lahirlah seorang atheis. Tepat kata Zizek ketika ia menyimpulkan, "atheisme dapat bisa terpikirkan hanya dalam monotheisme" .

Namun, memang tak mudah bagi kita yang dibesarkan dalam tradisi Ibrahimi untuk menerima "teologi materialis" Zizek. Umumnya tak mudah bagi para pemeluk Islam, Kristen, dan Yahudi menerima argumen ontologis Badiou yang menganggap "Satu" hanya sebuah representasi meskipun dengan demikian mereka telah memperlakukan Tuhan sama dan sebangun dengan representan- Nya-satu hal yang sebenarnya bertentangan dengan dasar taukhid Surah al-Ikhlas dalam Al Quran, yang menegaskan "tak suatu apa pun yang menyamai-Nya"

Kaum monotheis memang berada dalam posisi yang kontradiktif. Apalagi, bagi mereka, Tuhan yang Satu itu juga Tuhan yang personal. Syahdan, Emmanuel Levinas mengkritik keras Heidegger. Kita tahu, acap kali Heidegger berbicara dengan khidmat tentang Sein (Ada). Sein (Ada) adalah yang menyebabkan hal-hal-yang- ada muncul ber-ada. Bagi Levinas, dengan gambaran itu Sein (Ada) seakan-akan mendahului dan di atas segala hal yang ada (existents). Artinya, dalam ontologi Heidegger, Ada menguasai semuanya. Bagaikan "dominasi imperialis".

Tampaknya Levinas menganggap Heidegger-pemikir Jerman yang pernah jadi pendukung Nazi itu-berbicara tentang Ada sebagai semacam tuhan yang impersonal. Juga ketika Heidegger menyebut Yang Suci (das Heilige).

Menurut Levinas, ini menunjukkan kecenderungan "paganisme". Tanpa mendasarkan Ada dan Yang Suci dalam hubungan interpersonal, Heidegger telah mendekatkan diri bukan ke "bentuk agama yang lebih tinggi, melainkan ke bentuk yang selamanya primitif".

Levinas-yang filsafatnya diwarnai iman Yahudi-tampaknya hanya memahami agama dengan paradigma monotheisme Ibrahimi. Tentu saja itu tak memadai. Bukan saja Levinas salah memahami pengertian Ada dalam pemikiran Heidegger. Ia juga tak konsisten dengan filsafatnya sendiri, yang menerima Yang Lain sebagaimana Yang Lain, tanpa memasukkannya ke dalam kategori yang siap.

Padahal, dengan memakai iman Ibrahimi sebagai model, Levinas meletakkan keyakinan lain-Buddhisme dan Taoisme misalnya-dalam kotak. Apabila baginya agama lain itu "primitif", itu karena tak sesuai dengan standar Kristen dan Yahudi. Ia menyimpulkan: di ujung "agama primitif" ini tak ada yang "menyiapkan munculnya sesosok tuhan".

Levinas tak melihat, justru dengan tak adanya "sesosok tuhan" dalam "agama primitif", atheisme jadi tak relevan. Dengan kata lain, persoalannya terletak pada theisme sendiri. Saya teringat Paul Tillich.

Teolog Kristen itu menganggap theisme mereduksi hubungan manusia dan Tuhannya ke tingkat hubungan antara dua person, yang satu bersifat "ilahi". Dari reduksi inilah lahir atheisme sebagai antitesis. Maka, ikhtiar Tillich ialah menggapai "Tuhan-di-atas- Tuhan-dalam- theisme".

Tuhan "Tak Harus Ada"

Kini suara Tillich (meninggal di tahun 1965) sudah jarang didengar. Setidaknya bagi saya. Tapi, niatnya menggapai "Tuhan-di-atas- Tuhan-dalam- theisme" dan ucapannya bahwa Tuhan "tidak eksist"-sebab Ia melampaui "esensi serta eksistensi"- saya temukan reinkarnasinya dalam pemikiran Marion.

Marion, seperti Heidegger, menafikan tuhan kaum atheis yang sejak Thomas Aquinas (dan secara tak langsung juga sejak Ibnu Rushd, dengan dalil al-inaya dan dalil al-ikhtira'- nya) dibenarkan "ada"-nya dengan argumen metafisika. Baginya, Tuhan yang dianggap sebagai causa sui, sebab yang tak bersebab, adalah Tuhan yang direduksi jadi berhala: Ia hanya jadi titik terakhir penalaran tentang "ada". Ia hanya pemberi alasan (dan jaminan) bagi adanya hal ihwal, jadi ultima ratio untuk melengkapi argumen. Tapi, di situlah metafisika tak memadai.

Sebab Tuhan bukanlah hasil keinginan dan konklusi diskursus kita. Tuhan benar-benar tak harus ada (n'a justement pas á être). Ia mengatasi Ada, tak termasuk Ada. Ia mampu tanpa Ada. Bagi Marion, Tuhanlah yang datang dengan kemerdekaannya ke kita karena Kasih-Nya yang berlimpah, sebagai karunia dalam wahyu.

Di momen yang dikaruniakan itu kita bersua dengan manifestasi les phénomènes saturés, 'fenomena yang dilimpah-turahi' . Di hadapan fenomena dalam surplus yang melebihi intensiku itu, aku mustahil menangkap dan memahami obyek-kalaupun itu masih bisa disebut "obyek". Bahkan, aku dibentuk olehnya.

"Fenomena yang dilimpah-turahi" itu juga kita alami dalam pengalaman estetik ketika melihat lukisan Matisse, misalnya: sebuah pengalaman yang tak dapat diringkas jadi konsep. Apalagi pengalaman dengan yang ilahi, dalam wahyu: hanya dengan aikon kita bisa menjangkau-Nya.


Aikon, kata Marion, berbeda dengan berhala. Berhala adalah pantulan pandangan kita sendiri, terbentuk oleh arahan intensi kita. Sebaliknya pada aikon: intensi kita tak berdaya. Yang kasatmata dilimpah-turahi oleh yang tak-kasatmata, dan aikon mengarahkan pandanganku ke sesuatu di atas sana, yang lebih tinggi dari aikon itu sendiri. "Aikon" yang paling dahsyat adalah Kristus. Marion mengutip Paulus: Kristuslah "aikon dari Tuhan yang tak terlihat".

Di sini Marion bisa sangat memesona, tetapi ia tak bebas dari kritik. Dengan memakai wahyu sebagai paradigma "fenomena yang dilimpah-turahi" , Marion-seperti Levinas-berbicara tentang "agama" dengan kacamata Ibrahimi. Bagaimana ia akan menerima Buddhisme, yang tak tergetar oleh wahyu dari "atas", melainkan pencerahan dari dalam?

Bagi Marion, berhala terjadi hanya ketika konsep mereduksikan Tuhan sebagai "kehadiran". Tapi, mungkinkah teologi yang ditawarkannya sepenuhnya bebas dari tendensi pemberhalaan?

Dengan pandangan khas Katolik, ia bicara tentang aikon. Tapi, bisa saja aikon itu-juga Tuhan-di-atas- Ada yang diperkenalkannya kepada kita, sebagaimana Gottheid yang hendak digayuh Eckhart-merosot jadi berhala, selama nama itu, kata itu, dibebani residu sejarah theisme yang, jika dipandang dari perspektif Buddhisme Zen, tetap berangkat dari Tuhan yang personal, bukan dari getar Ketiadaan.

Di sinilah kita butuh Derrida. Marion mengira "Tuhan-Tanpa- Ada" yang diimbaunya bisa bebas dari sejarah dan bahasa, tapi dengan Derrida kita akan ingat: kita selamanya hidup dengan bahasa yang kita warisi, dari tafsir ke tafsir. "Tuhan" tak punya makna yang hadir.

Maka Yudaisme, misalnya, cenderung tak menyebut Nama-Nya; dalam nama itu Tuhan selalu luput. "Dieu déja se contredit", kata Derrida: belum-belum Tuhan sudah mengontradiksi diri sendiri.

Maka, lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa. Dengan kata lain, hidup dengan janji: kelak ada Makna Terang yang akan datang-betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan-ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran.

Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Jakarta, 27 September 2007
GOENAWAN MOHAMAD Penyair, Pendiri Majalah Tempo

Selasa, 09 Oktober 2007

Mentari Hidupku


Mentari hidupku..
Ku rasakan aku kian tenggelam...
Lekaslah kau raih aku
Selimuti aku dengan hatimu..

Peluklah aku dengan jiwa mu..
Tuntunlah aku dengan sabarmu..
Basuhlah aku dengan doamu..
Usaplah aku dengan gairahmu..

Mentari Hidupku..
Payungilah aku..
dari teriknya kebingungan..
dari derasnya morgana dunia..
dan janganlah pernah kau berani menyerah..
Sungguh aku tenggelam tanpamu..

'Juni 07
Ludah yang kering dalam "kisah membunuh Angan"

Sabtu, 06 Oktober 2007

Biksu Tidak Berpolitik, Sampai Pemuka Agama Turun Ke Jalan, Pertanda Keadaan Sudah Sangat Kelewatan

Peristiwa tewasnya Kenji Nagai seorang wartawan warga negara Jepang akhirnya menggiring seluruh pandangan mata dunia kepada kekejaman Junta Militer Burma terhadap rakyatnya sendiri melalui penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan rakyat sipil serta ratusan Bikkhu. Lihatlah sejenak pada foto mayat bikkhu yang nyaris telanjang akibat keganasan Junta.

Perjuangan kemanusian dilakukan juga oleh para blogger di burma. Dengan caranya mereka berbicara pada dunia ketika local media burma bungkam membisu. Saat ini ribuan pemilik blog dari 45 negara di dunia berada pada satu rasa pedih yang sama menyuarakan kecaman atas tragedi kemanusiaan di Burma. Sedangkan Di Indonesia, rasa pedih itu terlihat jelas salah satunya di situs kepolisian republik Indonesia

Apabila kita mencari di Google, tidak kurang 102.000 artikel muncul yang berkaitan dengan kekejaman junta militer di Myanmar. Salah satunya adalah situs yang ditulis oleh ko-htike, bacalah!! dan pastikan bahwa anda membawa saputangan untuk menyeka air mata anda. Kemudian apabila anda ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang Burma, bukalah myanmarnews dan mohon pastikan sekali lagi bahwa saputangan anda masih cukup kering....ketika membacanya.

Dunia Internasional pun ikut tergugah selain Jepang yang jelas sudah sangat gusar, diantarannya terdapat juga Amnesti Internasional, kemudian Amerika Serikat yang tengah berusaha untuk mencapai resolusi PBB untuk Myanmar, serta Australia. Tidak kurang puluhan organisasi Politik, kepemudaan dan keagamaan di sejumlah negara Asean ikut prihatin dan memberikan kecama dan yang justru menarik adalah tidak reaksi sama sekali dari ASEAN!!

Di Indonesia, seperti biasa SBY tidak melakukan reaksi walaupun sudah mendapat desakan dan tekanan dari berbagai kalangan dalam negeri. Justru Wapres Yusuf Kalla yang sekali lagi membuktikan kejeliannya dalam memanfaatkan peluang dengan menghimbau pemerintah Burma agar tidak mengorbankan rakyat.

Aksi solidaritas dan keprihatinan di Indonesia dilakukan oleh sejumlah pemimpin agama, 50 diplomat di Deplu dengan berpakaian merah mengheningkan cipta selama 10 menit. Para buruh dengan memakai baju merah, Para organisasi kepemudaan dan keagaaman kalangan umat Buddha menggalang aksi di depan Kedubes Burma. Sejumlah partai politik juga terlibat dalam rasa solidaritas yang sama diantaranya adalah Golkar dan PKS

Ikutnya 3000 bikkhu dalam melakukan aksi bisu menentang junta militer di Burma telah mengundang Pro/Kontra di kalangan umat Buddha. Pro-kontra tersebut bahkan berlanjut somasi oleh FKUB DKI Jakarta (Forum Komunikasi Umat Buddha) yang merasa terfitnah atas tudingan Solidaritas Umat Buddha Indonesia bahwa FKUB tidak mendukung aksi solidaritas.

Di situs Umat Buddha, Sammagi-phala, saya temukan 3 artikel (satu pengantar dan dua buah artikel utama) yang sangat informative terutama bagi mereka yang hendak mengetahui bagimana duduk perkaranya sehingga dapat menimbulkan pro/kontra dikalangan umat Buddha.

Kedua karya tulis itu masing-masing disusun oleh seorang umat Buddha dan seorang bhikkhu. Dengan demikian, diharapkan dapat mewakili kedua sudut pandang yang sering saling berhadapan tentang umat Buddha yang telah meninggalkan keduniawian dan hidup dalam vihara sebagai seorang samanera ataupun bhikkhu:

Aksi solidaritas itu sekarang sudah mulai berbuah. Telah terjadi perpecahan di dalam kalangan junta militer, seorang anak buah jendral senior, Than Shwe, melarikan diri ke Thailand dan meminta suaka politik ke Norwegia setelah menolak perintah pembantaian terhadap para biksu dan pengunjuk rasa. Laporan yang diungkapkan pejabat intelijen Thailand, menegaskan indikasi bahwa perpecahan di tubuh elite militer Myanmar telah semakin kuat.

Ya, semoga para petinggi militer itu dibukakan mata hatinya bahwa pemimpin seharusnya memperhatikan kesejahteraan rakyat dan tidak silap atas uang dan kekuasaan yang hanya bersifat sementara.


Semoga para Bikkhu mendapatkan ketenangannya kembali sehingga dapat memusatkan konsentrasinya kearah cita-cita pembebasan diri atas segala godaan.

Semoga Rakyat burma segera keluar dari kesulitan ini dan mendapatkan kesejahteraannya,

Berikut dibawah ini, saya petikan sample pro kontra yang dilakukan dengan sangat menarik di salah satu milis. Percakapan ini hanya merupakan 1 dari ribuan keprihatinan kepada para biksu yang seharusnya tidak berpolitik namun harus turun kejalan menunda kesempurnaan ketika keadaan begitu kelewatannya.

---------------------------------


NGURAH AGUNG:

Saudaraku yang budiman ...
Sehubungan dengan 'tragedi' di Myanmar belakangan ini, saya malah bertanya-tanya dalam hati begini:
  • Mengapa para bhikkhu mau terjebak dalam kemelut politik dan kekuasaan yang --dimanapun di muka bumi ini-- tak pernah benar-benar bebas dari tindak kekerasan, intimidasi, penindasan dan yang sejenisnya itu?
  • Bagaimana peran Sangha disana sehubungan dengan keterlibatan anggotanya di wilayah yang sarat akan ambisi itu?

Menurut pandangan saya, ketika seseorang memutuskan untuk jadi bhikkhu pun bhikkhuni, ybs. telah juga memutuskan untuk menarik diri dari kehidupan duniawi, dari kehidupan profan dan sekuler, walaupunpun bukan berarti lantas jadi anti-sosial.


Gerakan 'lintas wilayah' manapun mengundang resiko tambahan. Itu kita sadari. Tapi ...tapi ....yang membuat saya adalah, kenapa itu bisa menjadi pilihan dari para bhikkhu/bhikkhuni muda itu, dimana seolah-olah para sesepuh Sangha malah merestuinya?


Saya jadi teringat sebuah kisah begini:


Seorang Mentri dititahkan oleh rajanya untuk meminta nasehat kepada Sankaracarya mengatasi carut-marutnya negri itu.


Nasehat Sankara sederhana saja; beliau kurang-lebih berkata: "Bila setiap eksponen masyarakat menempatkan dirinya sesuai bidang profesinya dan fungsinya masing-masing dengan baik, niscaya negri akan baik-baik saja".


Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak-langkah kita.


Semoga Saudara-saudari kita disana secepatnya menemukan apa yang didambakannya.


Sadhu,
NR.
============


HUDOYO:

Maha-Rsi Bisma adalah sesepuh Hastinapura yang sudah makan asam-garam kehidupan dan membaktikan sisa hidup pada usia tuanya guna mencapai kesempurnaan batin di pertapaan Talkanda. Namun ketika dalam perang Bharatayuda, eksistensi bangsanya, bangsa Kuru, terancam oleh serbuan Pandawa dengan senapati Rsi Seta dan kedua adiknya dari negeri Wirata--yang bukan darah Bharata--maka tak urung Maha-Rsi Bisma turun tangan menjadi senapati perang Kurawa sehingga mengorbankan nyawanya sendiri. (Baca tentang Bhisma di Wikipedia,

<http://en.wikipedia .org/wiki/ Bhisma>http://en.wikipedia .org/wiki/ Bhisma)

Para bhiksu Buddha di Tiongkok pada zaman dahulu, untuk mempertahankan eksistensi Buddha Dharma terhadap kekuatan-kekuatan yang ingin menghapuskannya dari bumi Tiongkok, terpaksa harus belajar silat, yang terkenal sampai sekarang: Siauw Liem Sie. (Baca tentang "Shaolin Monastery" di Wikipedia,

<http://en.wikipedia .org/wiki/ Shaolin_Monaster y>http://en.wikipedia .org/wiki/ Shaolin_Monaster y)


Ada ksatria yang berjiwa pandita/brahmana (ksatria-pinandita) --contoh: Maha-Rsi Bisma--dan ada brahmana/pandita yang berjiwa ksatria (pandita-sinatriya) --contoh: Parasurama (Rama Bargawa); tidak bisa ditarik garis pemisah yang tegas di antara keduanya, seperti kasta di India. (Baca tentang Parasurama Barghava di Wikipedia,

<http://en.wikipedia .org/wiki/ Parashurama>http://en.wikipedia .org/wiki/ Parashurama)


Saya melihat, apa yang dilakukan oleh para bhikkhu Theravada di Burma itu sesuai dengan Sumpah Bodhisattva Mahayana, yakni mengorbankan diri demi welas asih terhadap dunia. Salah satu dari Sumpah Tambahan Bodhisattva adalah: "Tidak menghindari perbuatan salah (pelanggaran sila) ketika cinta dan welas asih terhadap sesama mengharuskannya. " (Lihat di bawah ini)


Salam,
Hudoyo

Lihat:

<http://www.berzinar chives.com/ web/en/archives/ practice_ material/ vows/bodhisattva /secondary_ bodhisattva_ pledges.html>http://www.berzinar chives.com/ web/en/archives/ practice_ material/ vows/bodhisattva /secondary_ bodhisattva_ pledges.html


(4) Not committing a destructive action when love and compassion call for it

Occasionally, certain extreme situations arise in which the welfare of others is seriously jeopardized and there is no alternative left to prevent a tragedy other than committing one of the seven destructive physical or verbal actions. These seven are taking a life, taking what has not been given to us, indulging in inappropriate sexual behavior, lying, speaking divisively, using harsh and cruel language, or chattering meaninglessly. If we commit such an action without any disturbing emotion at the time, such as anger, desire, or naivety about cause and effect, but are motivated only by the wish to prevent others' suffering - being totally willing to accept on ourselves whatever negative consequences may come, even hellish pain - we do not damage our far-reaching ethical self-discipline. In fact, we build up a tremendous amount of positive force that speeds us on our spiritual paths.


Refusing to commit these destructive actions when necessity demands is at fault, however, only if we have taken and keep purely bodhisattva vows. Our reticence to exchange our happiness for the welfare of others hampers our perfection of the ethical self-discipline to help others always. There is no fault if we have only superficial compassion and do not keep bodhisattva vows or train in the conduct outlined by them. We realize that since our compassion is weak and unstable, the resulting suffering we would experience from our destructive actions might easily cause us to begrudge bodhisattva conduct. We might even give up the path of working to help others. Like the injunction that bodhisattvas on lower stages of development only damage themselves and their abilities to help others if they attempt practices of bodhisattvas on higher stages - such as feeding their flesh to a hungry tigress - it is better for us to remain cautious and hold back


Since there may be confusion about what circumstances call for such bodhisattva action, let us look at examples taken from the commentary literature. Please keep in mind that these are last resort actions when all other means fail to alleviate or prevent others' suffering. As a budding bodhisattva, we are willing to take the life of someone about to commit a mass murder. We have no hesitation in confiscating medicines intended for relief efforts in a war-torn country that someone has taken to sell on the black market, or taking away a charity's funds from an administrator who is squandering or mismanaging them. We are willing, if male, to with another's wife - or with an unmarried woman whose parents forbid it, or with any other inappropriate partner - when the woman has the strong wish to develop bodhichitta but is overwhelmed with desire for sex with us and who, if she were to die not having had sex with us, would carry the grudge as an instinct into future lives. As a result, she would be extremely hostile toward bodhisattvas and the bodhisattva path.


Bodhisattvas' willingness to engage in inappropriate when all else fails to help prevent someone from developing an extremely negative attitude toward the spiritual path of altruism raises an important point for married couples on the bodhisattva path to consider. Sometimes a couple becomes involved in Dharma and one of them, for instance the woman, wishing to be celibate, stops sexual relations with her husband when he is not of the same mind. He still has attachment to sex and takes her decision as a personal rejection. Sometimes the wife's fanaticism and lack of sensitivity drives her husband to blame his frustration and unhappiness on the Dharma. He leaves the marriage and turns his back on Buddhism with bitter resentment. If there is no other way to avoid his hostile reaction toward the spiritual path and the woman is keeping bodhisattva vows, she would do well to evaluate her compassion to determine if it is strong enough to allow her to have occasional sex with her husband without serious harm to her ability to help others. This is very relevant in terms of the tantric vows concerning chaste behavior.


As budding bodhisattvas, we are willing to lie when it saves others' lives or prevents others from being tortured and maimed. We have no hesitation to speak divisively to separate our children from a wrong crowd of friends - or disciples from misleading teachers - who are exerting negative influences on them and encouraging harmful attitudes and behavior. We do not refrain from using harsh language to rouse our children from negative ways, like not doing their homework, when they will not listen to reason. And when others, interested in Buddhism, are totally addicted to chattering, drinking, partying, singing, dancing, or telling off-color jokes or stories of violence, we are willing to join in if refusal would make these persons feel that bodhisattvas, and Buddhists in general, never have fun and that the spiritual path is not for them.

Rabu, 19 September 2007

Mundur Untuk Melangkah Maju

Zheng Ban Qiao (baca : cheng pan jiao) pada saat menjadi pejabat, adik-nya terlibat perselisihan dengan tetangga ketika sang adik membangun rumah, kedua belah pihak sama sekali tidak mau mengalah, sampai akhirnya keduanya masing – masing membangun tembok pembatas di bagian depan rumah mereka sehingga membuat jalan di depan rumah mereka tersebut buntu, tidak dapat dilalui lagi. Sang adik mengirim sepucuk surat kepada Zheng Ban Qiao, berharap agar sang kakak dapat membantunya untuk memenangkan persidangan kasus perselisihan ini. Namun Zheng Ban Qiao membalas surat tersebut dengan sebait puisi, yang berbunyi demikian :


Mengirim surat dari ribuan kilometer hanya demi sebidang tembok rumah, Apa sulitnya mengalah 3 kaki bagi tetangga itu, Tembok raksasa China yang hingga kini masih berdiri kokoh, Tetap tidak mampu membuat Raja Qin yang mendirikannya hidup abadi.


Para tetangga yang mengetahui hal itu sangat terharu, kedua belah pihak akhirnya saling mengalah selebar 3 kaki, yang kemudian justru menciptakan suatu kebaikan yang lebih agung bagi masyarakat sekitar, yakni di wilayah itu telah bertambah lagi satu jalan kecil/gang yang baru selebar 6 kaki.


Yang patut untuk dibahas adalah sikap Zheng Ban Qiao dalam menyelesaikan masalah ini, yang mengingatkan kita untuk: Mengalah selangkah de-ngan didasari kesabaran dan kebesaran hati, sekaligus juga tetap menjaga ketenangan dan ketentraman hati, niscaya pikiran kita akan menjadi jernih dan kebijakan tidak akan pernah luntur dari diri kita, perselisihan dan pertentangan baru dapat diselesaikan dengan baik, yang selanjutnya dapat memutar balikkan bahaya menjadi kedamaian.


Petani yang melangkah mundur dengan tubuh membungkuk sembari menancapkan bibit padi di petak sawah memberikan kita suatu pencerahan, suatu kesuksesan baru dapat diraih dengan menunduk dan melangkah mundur (menancapkan bibit padi dapat segera diselesaikan jika dilakukan de-ngan cara membungkuk sambil kita melangkah mundur). Selain itu, kiasan ini juga mengingatkan kita akan filosofi tingkat tinggi, bahwa mundur sesungguhnya adalah untuk maju.


Di dalam kehidupan manusia ada banyak kejadian yang kita alami yang sepertinya kita telah mengalah, sebenarnya kita justru telah melangkah maju. Kejadian Zheng Ban Qiao di atas merupakan suatu contoh yang terbaik untuk mengilustrasikan pernyataan ini.


Tang Yi Xuan

The Epoch Times/lin

Sumber: Erabaru News | Rabu 19 September 2007

Kiriman: jesse.rotinsulu@bp.pratamagroup.com

Artikel Bhikkhu Mettanando dari aliran Dhammakaya: BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT ?


Pengantar

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Buddha mencapai penerangan sempurna di usia 35 tahun dan selama 45 tahun menyebarkan Dharma tanpa setetes pertumpahan darah. Bertemu dengan Mara di sebelum menjadi Buddha, saat menjadi Buddha dan di menjelang wafatNya. Sebelum wafatnya, Beliau memberitahu murid-muridnya bahwa 3 bulan kemudian beliau Parinibanna dan disaat terakhirnya, sambil terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan nasehat terakhir: "handa dāni (dan sekarang) bhikkhave (Para Bhikkhu) āmantayāmi vo (Aku nasehati kalian): vayadhammā saṅkhārā (yang berkondisi tunduk pada kelapukan) appamādena (dengan kewaspadaan) sampādetha (capailah tujuan)" [DN16/Mahaparinibanna sutta].

Mungkin juga tidak banyak yang tahu bahwa siapapun dia, bahkan juga bagi seorang Buddha sekalipun, maka akan tetap merasakan hasil perbuatan yang pernah dilakukannya pada kehidupan-kehidupan sebelumnya,
    "Para bhikkhu, seorang yang menyatakan, 'Seperti apapun Kamma yang diperbuat seseorang, Demikian pula yang akan dialaminya, Jika demikian para bhikkhu, kehidupan suci tidak ada, tidak ada jalan mengakhiri Dukkha. TAPI para bhikkhu, seseorang yang menyatakan 'seperti apapun perasaan atas kamma yang diperbuat seseorang, Demikian pula hasil yang akan dialaminya, Jika demikian para bhikkhu, Kehidupan suci ada, ada jalan diberakhirnya Dukkha" [AN 3.99/lonapala Sutta]

    Aku tidak katakan, Para Bhikkhu, bahwa perbuatan disengaja selesai akumulasinya tanpa dialami penjelmaan menjadi berakhir baik itu di kehidupan saat ini, atau berikutnya, atau perjalanan kehidupan-kehidupan selanjutnya. JUGA tidak aku katakan, para bhikkhu, bahwa perbuatan disengaja selesai akumulasinya tanpa dialami diberakhirnya Dukkha. [AN 10.206/Sancetanika sutta]
Di bawah ini,
terdapat sebuah artikel karangan seorang Bhikkhu aliran Dhammakaya yang juga ahli medis. Beliau mengulas dari sisi ajaran dan medis mengenai dugaan-dugaan penyakit yang melanda Buddha Gautama yang dikaitkan dengan wafatnya. [Tulisan beliau, saya sajikan dalam garis miring dan warna biru].

Artikel ini menjadi subyek bahasan saya kali ini dan disela-sela tulisan beliau, saya sisipkan komentar saya.

Sebelumnya ada baiknya kita ketahui sekilas mengenai Dr Bhikkhu Mettanando:
Lahir di Bangkok, 17 May 1956, pada usia 26 tahun ditahbiskan menjadi Bhikkhu aliran Dhammakaya, di Wat Paknam Bhasecharoen, Bangkok (8 April 1982). Selama hampir 20 tahun (9 Juni 2531 BE/1988 M - 10 Oktober 2550 BE/2007 M) menjadi anggota Wat Phra Dhammakāya, Palang Tham Party dan menjadi orang lingkaran dalam aliran Dhammakaya, sebuah sekte yang menyimpang dari DhammaVinaya Buddhisme*) dan Ia merupakan satu diantara pemimpin utama sekte Dhammakaya. Ia juga pernah menjabat kepala Wat Dhammakaya California, USA yang pada tahun 1991-1994 aktif menggalang dana dan bantuan pembelaan untuk Johnathan Doody, yang membunuh 9 orang (6 bhikhu, 1 samanera, 1 biarawati, 1 umat awam di Wat Promkunaram Phoenix, 10 Aug 1991). Alasannya membela Doody pun unik: "Tidak ada saksi dari komunitas Thailand yang menceritakan di pengadilan aspek kultural dari fakta-fakta. Tidak terbayangkan bahwa seorang yang lahir dari orang tua Thailand mampu melakukan suatu tindak kejahatan seperti itu terhadap Bhikkhu", demikian dikatakannya saat itu. Setelah 25 tahun menjadi Bhikkhu, pada tahun 2007, Ia berhenti menjadi Bhikkhu dan berusaha berkarir seorang politikus namun gagal terpilih. Nama umat awamnya adalah Mano Laohavanich.

Bhagavant.com dalam catatan kakinya:
telah mengajar meditasi selama lebih dari tiga puluh tahun. Beliau mendapatkan gelar untuk sains dan gelar untuk dokter dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, dan menguasai bahasa Sanskerta dan kebudayaan agama India kuno berkat gelas Master yang diperolehnya dari Universitas Oxford. Gelar Master Theologi dari Havard Divinity School dan PhD. dari Universitas Hamburg, Jerman. Tesisnya difokuskan pada Meditasi dan Penyembuhan dari Tradisi Theravada di Thailand dan Laos. Saat ini (mengajar Agama Buddha dan Meditasi di Universitas Chulalongkorn dan Universitas Assumption, juga aktif di bidang pengobatan alternatif dalam hospice and palliative care, dan mengajar etika medis pada dokter dan perawat Thailand maupun secara internasional.

*) Contoh ajaran menyimpang aliran Dhammakaya misalnya tujuan buddhism bukan nibanna, deskripsi Nibanna sebagai tempat alam tertentu, terdapat mahluk pencipta Nibanna, dst :). Nah dari situlah sang Mantan Bhikkhu Mettanando mendapatkan ajarannya, ditahbiskan dan berdiam selama puluhan tahun :)

Selamat Membaca.

BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT

Judul asli: How The Buddha Died ? (Bangkok Post, May 15, 2001).
Terjemahan Indonesia: Bhagavant.com [
atau di sini]
Oleh: Dr. Bhikkhu Mettanando
-----

Selama hari Vesak, kita telah diberitahukan bahwa hari itu juga merupakan hari dimana Sang Buddha mencapai Parinibbana. Tetapi tidak banyak orang mengetahui bagaimana Sang Buddha wafat. Teks-teks kuno menampilkan dua kisah tentang wafatnya Sang Buddha. Apakah wafatnya Sang Buddha direncanakan dan merupakan kehendak Sang Buddha, atau apakah karena keracunan makanan, atau ada hal lain yang berkaitan satu sama dengan yang lain? Inilah jawabannya.

***

Mahaparinibbana Sutta, yang merupakan kotbah panjang dalam Tipitaka Pali, tidak diragukan lagi merupakan sumber yang paling dapat dipercaya untuk perincian atas wafatnya Siddhattha Gotama (563-483 SM), Sang Buddha.Mahaparinibbana Sutta disusun dalam bentuk naratif yang membiarkan para pembaca untuk mengikuti kisah hari-hari terakhir Sang Buddha, yang dimulai dari beberapa bulan sebelum Beliau wafat. Walaupun demikian, untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Sang Buddha adalah suatu hal yang tidak sederhana. Sutta, atau kotbah, melukiskan dua kepribadian Sang Buddha yang saling bertolak belakang, yang satu mengesampingkan yang lainnya.

Kepribadian Sang Buddha yang pertama adalah sebagai pembuat keajaiban yang menyeberangkan diriNya dan rombongan para bhikkhu ke seberang Sungai Gangga (D II, 89), Yang dengan mata batin melihat keberadaan para dewa di atas bumi (D II, 87), Yang dapat hidup sampai akhir dunia dengan syarat seseorang mengundangNya untuk melakukan hal itu (D II, 103), Yang menentukan waktu kemangkatanNya ( D II, 105), dan Yang kemangkatanNya dimuliakan dengan hujan bunga surgawi, serbuk kayu cendana dan musik surgawi (D II, 138).

Kepribadian Sang Buddha yang lainnya adalah sebagai layaknya makhluk berusia lanjut yang jatuh sakit (D II, 120), Yang hampir kehilangan hidupNya karena sakit yang teramat sangat selama masa vassaNya (retreat musim hujan) yang terakhir di Vesali (D II, 100), dan yang harus menghadapi penyakit dan kemangkatanNya yang tak didugaNya setelah mengkonsumsi hidangan khusus yang ditawarkan oleh penjamuNya yang dermawan.

Dua kepribadian ini bergantian muncul dalam bagian-bagian yang berbeda dari cerita naratif tersebut. Lebih dari itu, di dalamnya juga nampak dua penjelasan mengenai penyebab mangkatnya Sang Buddha:

Yang pertama,
kemangkatan Sang Buddha disebabkan oleh pengiringNya, Ananda, yang gagal mengundang Sang Buddha untuk tetap hidup sampai akhir dunia atau bahkan lebih lama dari itu (D II, 117).

Yang kedua,
Sang Buddha mangkat karena sakit yang mendadak yang dimulai setelah Beliau makan makanan yang dikenal sebagai "Sukara maddava" (D II, 127-157).


Kisah yang pertama mungkin suatu legenda, atau hasil dari suatu pergumulan politik di dalam komunitas Buddhist selama tahap transisi, sedangkan kisah yang terakhir terdengar lebih realistis dan akurat dalam menggambarkan situasi kehidupan nyata yang terjadi di dalam hari-hari terakhir Sang Buddha.

Sejumlah studi telah memusatkan perhatian pada asal-muasal hidangan khusus yang dimakan oleh Sang Buddha selama makanan terakhirNya sebagai penyebab kemangkatanNya. Bagaimanapun juga, ada pendekatan lain yang didasarkan pada deskripsi tentang gejala-gejala dan tanda- tanda yang diberikan dalam Sutta, yang bisa dijelaskan oleh pengetahuan medis modern.


Dalam salah satu lukisan dinding yang berada di Wat (Vihara) Ratchasittharam, Sang Buddha dalam keadaan mendekati ajalNya, tetapi Beliau masih menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh petapa Subhadda, yang menjadi siswa terakhirNya, yang setelah ditahbis menjadi anggota sangha, kemudian menjadi seorang Arahat.
    Note:
    Kemangkatan Sang Buddha adalah hal yang terencana, dimulai dari awal karir beliau, 45 tahun sebelumnya, di Uruvela, di tepi Sungai Nerañjarā, di bawah pohon Banyan Penggembala kambing, ketika baru saja mencapai Penerangan Sempurna, yaitu saat Mara memohonnya untuk mangkat hari itu juga, saat itu juga:

      Mahaparinibbana Sutta:
      Mara:
      ”Bhagavā, sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir”.

      Sang Buddha:
      “Mara Penggoda, Aku tidak akan mencapai Nibbāna akhir SEBELUM:

      • Para [bhikkhu, bhikkhuni, Upasaka/umat awam pria dan Upasika/umat awam wanita]-ku menjadi siswa yang sempurna, terlatih, terampil, menguasai Dhamma, terlatih dalam keselarasan dengan Dhamma, terlatih dengan baik dan berjalan di jalan Dhamma, yang telah lulus dari apa yang mereka terima dari Guru mereka, mengajarkan, menyatakan, mengukuhkan, membabarkan, menganalisa, menjelaskan; hingga mereka mampu menggunakan Dhamma untuk membantah ajaran-ajaran salah yang telah muncul, dan mengajarkan Dhamma yang memiliki hasil yang menakjubkan.
      • Kehidupan suci telah mantap dan berkembang, menyebar, dikenal luas, diajarkan baik di antara para deva dan manusia di mana-mana” [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]

    Secara bertahap beliau ajarkan kepada kalangan luar dan dalam tentang vayadhammo sankhara (yang berkondisi tunduk pada kelapukan).

    Penyakit yang diderita sang Buddha tidaklah sekonyong-konyong, sekurangnya di paruh ke-2 pencerahan (di atas tahun ke-20), sang Buddha terkena beberapa penyakit, di antaranya, di Rajagaha: terkena sembelit (Vinaya: Civara), di Kapilavatu, di Nalaka/Kosala. Di Pava/Malla: menderita sakit punggung (Thera Apadana no.292: piṭṭhidukkhaṃ dan MN 53/SN 35.243; AN 10.67,68; DN 33), di perbatasan antara Kosala-Kapilavatthu terkena sakit kepala (Thera Apadana no.292: sīsadukkhaṃ), selama musim vassa terakhir di Veluva dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan namun beliau menahannya tanpa mengeluh, kemudian beliau mengerahkan upaya menundukan penyakitnya dan penyakitnya mereda. Oleh karenanya sang Buddha mengatakan kepada Ananda bahwa tubuh beliau semakin rentan, “Ananda, Aku sekarang ini, menua semakin rapuh, menua menjadi usang, Aku hampir mencapai 80 tahun. Ananda, bagai sebuah kereta tua yang dapat jalan dengan diikat, demikian kira-kira tubuh Sang Tathāgata dapat hidup dengan disokong. Hanya ketika Sang Tathāgata tidak memperhatikan gambaran-gambaran, dengan lenyapnya perasaan-perasaan tertentu, pikiran terpusat tanpa gambaran, maka ketika itulah tubuh Sang Tathāgata keadaan baik [DN 16/Maha Parinibbana sutta, SN 47.9].

    Setelah musim Vassa terakhir, beliau masih menetap di sekitar vesali, di antaranya di Kutagarasala, Mahavana [Udana 6.1; SN 51.10 dan AN 8.70] kira-kira 3 bulan lamanya (yaitu: Parinibbana di musim Panas bulan Vesakha - 3 bulan di cetiya Capala – 3 bulan masa Vasa). Setelahnya ke cetiya Capala saat beliau MENOLAK permohonan Mara agar parinibbana hari itu juga dan berkata, “Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, 3 bulan lagi Sang Tathagata akan Parinibbana” [DN 16/Maha Parinibbana Sutta, Udana 6.1, SN 51.10 dan AN 8.70]

    Di hari terakhir dari batas 3 bulan yang beliau tetapkan itu, beliau pergi ke Pava untuk menerima dana makanan terakhir seperti yang dilakukan semua Buddha pada masa lalu, yaitu menerima dana makan terakhir sebelum parinibbana, setelahnya beliau kembali dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan, seperti yang dirasakan saat di Veluva, namun beliau menahannya tanpa mengeluh, melanjutkan perjalanan terakhir ke Kusinara untuk membabarkan DN 17/Maha Sudassana sutta, menahbiskan Subhada dan parinibbana [DN 16/MahaParinibbana Sutta, DN 17/Mahasudassana Sutta]

    Jadi ini bukan karena tidak diduga, bukan karena pemohonan Mara, bukan karena hidangan cunda, bukan karena hal lainnya, kecuali karena kegiatan yang harus dilakukannya.

    Salah Ananda?
    Selama 25 tahun melayani sang Buddha, di berbagai tempat dan kesempatan, sang Buddha kerap berkata seperti ini:

      Mahaparinibbana Sutta:
      "Ananda, di Rajagaha, ketika kita sedang berdiam di puncak Gijjhakuta, kami telah berkata kepadamu: 'Ananda, menyenangkan Rajagaha ini, menyenangkan pula puncak Gijjhakuta ini. Siapapun, Ananda yang telah mengembangkan empat landasan kekuatan, sering, membiasakannya, sebagai landasan latihan dan dilaksanakan dengan benar, Jika Ia ingin semestinya dan dapat bertahan hingga akhir Kappa. Sang Tathagata Ananda, telah mengembangkan empat landasan kekuatan, sering, membiasakannya, sebagai landasan latihan dan dilaksanakan dengan benar, Ananda, Jika sang Tathagatha inginkan semestinya dan dapat bertahan hingga akhir Kappa..”

      42. "Begitu pula ketika kami berdiam di Gotama Nigrodha, Rajagaha ... di Corapapato, Rajagaha ... di goa Sattapanni pada lereng gunung Vebhara, Rajagaha ... di Kalasila pada lereng gunung Isigali, Rajagaha ... di hutan Sitavana dalam goa gung Sappasondika, rajagaha ... di Tapodarama, Rajagaha ... di Veluvana Kalandaka, Rajagaha ... di Ambavana milik Jivaka, Rajagaha ... di taman rusa Maddakucchi, Rajagaha.

    Karena perkataan di atas sering didengar selama 25 tahun ini, maka ketika di cetiya Capala, ketika Ananda mendengarkan kembali wejangan ini, beliau juga TIDAK MERASAKAN bahwa itu adalah sebuah petunjuk untuk melakukan permohonan dan juga TIDAK TAHU bahwa cetiya Capala menjadi tempat terakhir petunjuk itu diberikan:

      Mahaparinibbana Sutta:
      2. Ketika Sang Bhagava tiba di cetiya Capala beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah Ananda duduk di salah satu sisi beliau lalu memberi hormat dengan hidmat. Sang Buddha bersabda kepadanya: "Sungguh menyenangkan Vesali ini Ananda karena banyak cetiyanya, yaitu Udana, Catamala, Sattamabaka, Bahuputta, Sarandada dan Capala."

      Siapapun, Ananda, yang telah mengembangkan empat landasan kekuatan, sering, membiasakannya, sebagai landasan latihan dan dilaksanakan dengan benar, Jika Ia ingin, kappaṃ vā tiṭṭheyya (semestinya dan dapat bertahan) kappāvasesaṃ vā (hingga akhir Kappa). Sang Tathagata Ananda, telah mengembangkan empat landasan kekuatan, sering, membiasakannya, sebagai landasan latihan dan dilaksanakan dengan benar, Ananda, Jika sang Tathagatha inginkan, kappaṃ vā tiṭṭheyya kappāvasesaṃ vā”ti (semestinya dan dapat bertahan hingga akhir Kappa)

      4. Tetapi Yang Mulia Ānanda, karena tidak mampu menangkap petunjuk jelas ini, isyarat jelas ini, tidak memohon kepada Sang Bhagavā dengan mengatakan: ‘Tiṭṭhatu Bhante Bhagavā kappaṁ tiṭṭhatu Sugato kappaṁ (Bertahanlah guru, Sang Bhaggawa semestinya bertahan di kappa berbahagia) demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi manfaat dan kebahagiaan para dewa dan manusia,’ yathā taṃ mārena pariyuṭṭhitacitto (pikirannya seperti teralihkan)

      5. Dan untuk ke dua kalinya ..., dan ke tiga kalinya ....

      6. Kemudian Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, pergilah, dan lakukanlah apa yang menurutmu baik.’ ‘Baiklah, Bhagavā,’ Ānanda menjawab dan, bangkit dari duduknya. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berbalik dengan sisi kanan menghadap Sang Bhagavā dan duduk di bawah sebatang pohon yang agak jauh

    Mengapa ini adalah yang terakhir kalinya?

      Mahaparinibbana Sutta:
      7-8. Segera setelah Ānanda pergi, māro pāpimā (Māra penggoda) mendatangi Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata: ‘Bhagavā, sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir. Karena Bhagavā pernah berkata:

      “pāpima, Aku tak akan mengakhiri hidupku, sebelum para [bhikkhu, bhikkhuni, Upasaka/umat awam pria dan Upasika/umat awam wanita] menjadi siswa yang sempurna, terlatih, terampil, menguasai Dhamma, terlatih dalam keselarasan dengan Dhamma, terlatih dengan baik dan berjalan di jalan Dhamma, yang telah lulus dari apa yang mereka terima dari Guru mereka, mengajarkan, menyatakan, mengukuhkan, membabarkan, menganalisa, menjelaskan; hingga mereka mampu menggunakan Dhamma untuk membantah ajaran-ajaran salah yang telah muncul, dan mengajarkan Dhamma yang memiliki hasil yang menakjubkan.

      'Dan sekarang, Bhagavā telah memiliki para [para bhikkhu, bhikkhuni, Upasaka/umat awam pria dan Upasika/umat awam wanita] menjadi siswa yang sempurna, terlatih, ...

      Sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang Jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir. Karena Bhagavā pernah berkata: “pāpima, Aku tidak akan mencapai Nibbāna akhir sampai kehidupan suci telah mantap dan berkembang, menyebar, dikenal luas, diajarkan baik di antara para deva dan manusia di mana-mana.”

      Dan semua ini telah terjadi. kehidupan suci telah mantap dan berkembang...

      Sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang Jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir.'

      9. Setelah hal ini diucapkan, Sang Bhagava berkata kepada māraṃ pāpimantaṃ (Mara papima): "Pāpima, jangan kau menyusahkan dirimu. Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, tiṇṇaṃ māsānaṃ accayena (tiga bulan lagi) Sang Tathagata akan Parinibbana.

      10 Demikianlah di cetiya Capala, Sang Bhagava sato sampajāno āyusaṅkhāraṁ ossaji (mengetahui sepenuhnya dalam perhatian melepaskan ikatan vitalitasnya). Ossaṭṭhe ca Bhagavatā āyusaṅkhāre mahābhūmicālo ahosi (Pelepasan ikatan vitalitas sang Bhagava menimbulkan gempa bumi) bhiṁsanako lomahaṁso, Devadundubhiyo ca phaliṁsu (menyeramkan membuat merinding dengan kilat gemuruh membelah). Dan Sang Bhagava melihat pentingnya hal ini mengucapkan kata-kata:

      "keberlangsungan yang terukur maupun tidak
      bentukan keberlangsungan telah sang muni potong
      Dalam kedamaian diri
      merobek segel keberlangsungan"

    Karena di cetiya Capala, sang Buddha telah menetapkan keputusan untuk hidup hanya sampai 3 bulan lagi:

      Mahaparinibbana Sutta:
      38. … Ananda lalu berkata kepada Sang Bhagava: "Bhante, semoga Sang Bhagava selalu berada di dunia ini; Semogalah Yang Berbahagia tetap di sini sepanjang masa, demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Kasihanilah dunia demi kebaikan mahluk-mahluk semuanya dan demi kebahagiaan para dewa serta manusia."

      39. Sang Bhagava lalu menjawab demikian: "Cukuplah Ananda, janganlah menahan Sang Tathagata, karena waktunya sudahlah terlambat, untuk permintaan semacam itu…tuyhevetaṃ dukkaṭaṃ, tuyhevetaṃ aparaddhaṃ (engkau telah salah bertindak, engkau telah keliru bertindak) dalam memahami saran yang sederhana dan bermakna serta dorongan yang berarti yang diberikan oleh Sang Tathagata.. Jika pada waktu yang lalu kamu memohon seperti itu, untuk ke-2x Sang Tathagata mungkin menolaknya, tetapi untuk yang ke-3xinya ia mungkinkan menyetujuinya. Ananda, oleh karena itu, engkau telah salah bertindak, engkau telah keliru bertindak, maka permohonanmu sekarang adalah sia-sia ...

      ..Ananda, bukanlah Aku telah mengatakan bahwa segala yang kita senangi dan menyenangkan pasti akan mengalami perubahan, berpisah dan berganti? Apapun yang dilahirkan, menjelma, tersusun, pasti mengalami kerusakan—bahwa ini tidak akan menjadi rusak adalah tidak mungkin. Dan bahwa apa yang telah dilepaskan, dihentikan, ditolak, dibuang, ditinggalkan. Sang Tathāgata telah melepaskan ikatan vitalitas. Sang Tathāgata pernah mengatakan satu kali: “'tak lama lagi adalah parinibananya sang Tathagata. Tiga bulan dari sekarang, Sang Tathāgata akan mencapai Nibbāna akhir.” Bahwa Tathāgata harus menarik kembali suatu pernyataan demi untuk hidup, itu adalah tidak mungkin'” [..].

    Bahkan Ananda sendiri baru tahu bahwa sang Buddha telah menetapkan sendiri batas waktu beliau untuk parinibbana, sehingga ketika Ananda baru menyadari bahwa ucapan-ucapan yang disampaikan sang buddha selama 25 tahun di berbagai tempat hingga cetiya Capala itu ternyata sebuah petunjuk untuk memohon, maka waktunya sudah tidak tepat lagi.

    Anda, saya dan juga mahluk apapun, mungkin juga tidak menyadari tentang hal tersebut, maka demikian pula dengan Ananda. Sehingga bagaimana mungkin ini menjadi salah Ananda?

Apa yang kita ketahui

Dalam Mahaparinibbana Sutta, kita diberitahukan bahwa Sang Buddha menderita sakit secara tiba-tiba setelah Beliau memakan suatu hidangan khusus yang lezat, Sukaramaddava, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai "daging babi lunak", yang telah disiapkan oleh penjamu dermawanNya, Cunda Kammaraputta. Nama dari hidangan tersebut menarik perhatian dari banyak sarjana, dan hal itu menjadi fokus dari riset akademis terhadap asal muasal makanan hidangan atau bahan baku yang digunakan di dalam memasak hidangan khusus ini.

Dalam Sutta sendiri selain menyediakan detil-detil yang berkaitan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala dari penyakit Sang Buddha, juga menyertakan beberapa informasi yang dapat diandalkan mengenai keadaan Sang Buddha selama empat bulan sebelumnya, dan uraian ini juga sangat berarti secara medis.

    Note:
    Mari kita lihat rekaman dari Mahaparinibbana Sutta saat beliau makan sukaramaddava:

      13. Setelah Sang Bhagava lama berdiam di Bhoganagara, beliau berkata kepada Ananda : "Ananda, marilah kita pergi ke Pava." "Baiklah, bhante," jawab Ananda. Demikian Sang Bhagava tinggal di Pava bersama sejumlah besar bhikkhu dan tinggal di Ambavana milik Cunda, pandai besi.

      14. Cunda pandai-besi, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagava telah tiba lalu berkata: "Sang Bhagava, telah tiba di Pava dan berdiam di Ambavana milikku." Cunda lalu menghadap Sang Bhagava, sesudah memberi hormat dengan khidmat kepada beliau, kemudian duduklah ia pada salah satu sisi. Sang Bhagava mengajarkan Cunda, pandai-besi, tentang dhamma yang telah membangkitkan semangatnya dan menyebabkan hatinya sangat gembira.

      15. Kemudian Cunda berkata kepada Sang Bhagava: "Dapatkah kiranya Sang Bhagava menerima undangan kami untuk makan esok pagi bersama dengan para bhikkhu?" Sang Buddha bersikap diam. Dengan sikapnya yang diam itu berarti Sang Bhagava menyetujui permohonan Cunda.

      16. Karena telah yakin akan persetujuan Sang Bhagava itu. Maka Cunda, pandai-besi, berdiri dari tempat duduknya. Menghormat dengan khidmat kepada Sang Bhagava lalu mengundurkan diri meninggalkan beliau.

      17. Cunda pandai-besi, sejak semalam telah membuat makanan yang keras serta yang lunak dan makanan yang terdiri dari Sūkara-maddava. Kemudian ia memberitahukan kepada kepada Sang Bhagava: "Bhante, silahkan. Makanan telah siap."

      18. Pada waktu pagi Sang Bhagava menyiapkan diri, membawa patta dan jubah, pergi dengan para bhikkhu ke rumah Cunda. Di sana beliau duduk di tempat yang telah disediakan, dan berkata kepada Cunda: "Hidangan Sūkara-maddava yang telah saudara sediakan, hidangkanlah itu untukku. Sedangkan makanan lain yang keras dan lunak, saudara dapat hidangkan kepada para bhikkhu."

      "Baiklah, bhante," jawab Cunda.

      Sūkara-maddava yang telah disediakannya, dihidangkannya untuk Sang Bhagava, sedangkan makanan keras dan lunak lainnya dihidangkannya kepada para bhikkhu.

    Apa arti Sūkara-maddava?
    Kata “Sūkara-Maddava” muncul di: DN 16/Mahaparinibbana Sutta, Ud 8.5/Cunda Sutta dan juga Milinda Panha. Kitab komentar menunjukan bahwa dikisaran abad ke-5 M, arti kata tersebut sudah bervariasi yaitu: daging, nasi campur, bambu, sejenis rasa, teknik membuat senang dan jamur:

      Sūkaramaddava adalah daging yang telah tersedia, yang tidak terlalu muda dan tua dari sebuah babi/kepala babi (Sūkaramaddavanti nātitaruṇassa nātijiṇṇassa ekajeṭṭhakasūkarassa pavattamaṃsaṃ), empuk (mudu) dan lembut/lentur adanya (Taṃ kira mudu ceva siniddhañca hoti), disiapkan dan dimasak dengan baik (taṃ paṭiyādāpetvā sādhukaṃ pacāpetvāti attho). Ada yang mengatakan 'Sūkaramaddava adalah nasi lembut yang diproses dengan kuah campuran lima produk dari sapi, ini semacam nama sebuah masakan' (Eke bhaṇanti – ‘sūkaramaddavanti pana muduodanassa pañcagorasayūsapācanavidhānassa nāmetaṃ, yathā gavapānaṃ nāma pākanāma’’nti). Lainnya mengatakan 'Sūkaramaddava adalah nama teknik (vidhi) untuk membuat senang (rasāyana). Jadi, didatangkan ahli pembuat senang (guru rasāyana), yaitu Cunda, 'agar membuat senang sehingga Parinibanna Sang Bhagawa tidak jadi' (Keci bhaṇanti – ‘sūkaramaddavaṃ nāma rasāyanavidhi, taṃ pana rasāyanasatthe āgacchati, taṃ cundena – ‘bhagavato parinibbānaṃ na bhaveyyā’ti rasāyanaṃ paṭiyatta’’nti). Di sana para deva empat benua besar (mahādīpa) dan dua ribu pengiring memasukkan nutrisi (oja) (Tattha pana dvisahassadīpaparivāresu catūsu mahādīpesu devatā ojaṃ pakkhipiṃsu.) [Mahāparinibbānasuttavaṇṇanā: Kammāraputtacundavatthuvaṇṇanā]

      Sukara maddava adalah bagian yang lunak dari daging babi yang sudah tersedia (Sūkaramaddavanti sūkarassa mudusiniddhaṃ pavattamaṃsa) seperti kata Maha-atthakata (mahāaṭṭhakathāyaṃ vuttaṃ). yang lain..katakan (Keci pana..vadanti) sukara maddava bukanlah daging babi, batang bambu yang telah diinjak-injak babi (sūkaramaddavanti na sūkaramaṃsaṃ, sūkarehi madditavaṃsakaḷīro). lainnya (Aññe) Jamur payung yang tumbuh dari gemburan tanah injakan babi (sūkarehi madditappadese jātaṃ ahichattaka), lainnya lagi..katakan (Apare pana..bhaṇiṃsu) Sukara maddava adalah nama suatu rasa (sūkaramaddavaṃ nāma ekaṃ rasāyana) [komentar dari Maha-atthakata (Dhammapala, 5 M) yang dikutip dalam Udāna-aṭṭhakathā, Pāṭaligāmiyavaggo: Cundasuttavaṇṇanā]

    Menurut ahli botani, komposisi jamur: 90% air, kurang dari 3% protein, kurang dari 5 % karbohidrat, kurang dari 1% lemak dan 1 % mineral, garam dan vitamin, Komposisi ini KURANG COCOK untuk keperluan energi yang besar, untuk sekelompok orang yang makan hanya 1x, apalagi telah diketahui, bahwa beliau sendiri akan parinibbana.

    Sangat mengherankan melihat hubungan yang dijelaskan di kitab komentar antara jamur dan binatang babi, tampaknya, alasan mengapa jamur menjadi terkait dengan binatang babi adalah karena untuk mendapatkan jamur tersebut, babi digunakan sebagai pelacaknya:

    • Kompas, ”Mengenal Jamur Pencabut Nyawa" sub: Babi pelacak, Rabu, 05 April 2006, 20:24 WIB: ‘[..] Kalau jenis jamur beracun dikerat, kemudian dilekatkan pada benda yang terbuat dari perak asli (misal pisau, sendok, garpu, atau cincin), maka pada permukaan benda tersebut akan ada warna hitam (karena xulfida) atau kebiruan (karena cianida)..para pemburu jamur di beberapa negara Eropa, terutama tradisi-tradisi di negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Denmark, dan sebagainya)...biasanya akan membawa binatang "pelacak jamur" andalan. Bukan anjing, tapi babi yang sebelumnya sudah diberi latihan khusus...membedakan mana jamur yang bisa dimakan/tidak.’.

    • Cara Menghindari Kematian karena Makan Jamur Liar", H Unus Suriawiria, Senin, 31 Januari 2005: '(4) Kalau jenis jamur beracun dimasak/dipepes bersama nasi putih, nasi tersebut akan berubah warna menjadi coklat, kuning, merah, atau hitam...Bagi pemburu jamur di beberapa negara Eropa-misalnya, acara tradisi di negara-negara Skandinavia (Sweden, Norwegia, dan sebagainya)-kalau musimnya berburu jamur selalu akan membawa babi yang sudah terlatih, yang dapat membedakan mana jamur beracun dan mana yang tidak.'

    Seorang yang sangat berbakti, yang sedang mengundang sekelompok tamu yang sangat agung untuk makan dirumahnya, bagaimana mungkin dalam event yang sepenting itu, Ia akan menghidangkan makanan yang sangat beresiko tinggi? Oleh karenanya, kata sukara-maddava yang diartikan sebagai jamur adalah sangatlah meragukan.

    Disamping itu, di bahasa pali sendiri sudah ada kata tersendiri yang merujuk pada arti “jamur”, yaitu: "chattaka" atau "pappaṭaka". Sample: ahihattaka/ahichattaka" = jamur ‘payung ular’. Bahasa Hindi: 'sarpchatr'. Bahasa Bengali: 'byaner chata' atau ‘payung katak’ [lihat: Rhys Davis: hal.92, 274; Buddhadatta Mahatera: hal.45, 182]. Sementara kata “sūkara” = babi hutan/wild boar. Kata ini digunakan untuk membedakannya dengan babi/boar (varāha) [“Vedic Index of Names and Subjects”, Vol 2;Vol 5, Arthur Berriedale Keith, hal.461]. Kemudian kata “Maddava/Madhava” = lembut, empuk, halus.

    Prof. Rhys Davids, ketika menterjemahkan teks-teks Buddhist dan Milianda Panha, Ia terjemahkan kata itu sebagai `bagian daging babi yang empuk’ (“Milianda Panha”, buku ke-5, bab 3, hal 244, cat kaki.1). Miss I.B. Horner dalam terjemahan “Madhuratthavilāsinī” menyatakan: “..Oleh karenanya, bagian ini memberikan bukti bahwa sukara-maddava, makanan terakhir sang Buddha, seharusnya TIDAK diterjemahkan seperti yang kadang sebagai "jamur", namun lebih sebagai bagian yang lembut, 'maddava', dari (daging) babi hutan..” (..Therefore, this passage provides evidence that suukara-maddava, the Buddha Gotama’s last meal, should not be translated as sometimes it has been as “truffles”, but rather as tender, ‘maddava’, (flesh or meat) from a boar..) [Introduction hal. xxxix]

    Para kelompok vegetarian cenderung mengartikan kata ini sebagai jamur, namun sayangnya, Buddhisme BUKANLAH VEGETARIAN dan BOLEH makan daging, malah ada istilah sukaramamsa, yang berarti daging babi dan juga makanan terakhir semua Buddha dalam Buddhavamsa, jelas disebutkan makanan yang mengandung daging:

    • Terdapat 3 syarat untuk dapat mengkonsumsi daging, yaitu: TIDAK melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh, TIDAK Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh dan Mengetahui bahwa hidangan daging itu, TIDAK KHUSUS dibunuh agar dapat diberikan padanya [MN 55/Jivaka sutta].

    • Selain 3 syarat di atas, terdapat juga 10 macam daging yang tidak diperkenankan dikonsumsi oleh para bhikkhu, yaitu: daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena [Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka, Vol.3.58], sehingga selain 10 macam daging tersebut, boleh dikonsumsi para Bhikkhu

    • Seorang perumah tangga dari Vesali bernama Ugga yang menyajikan daging babi kepada Sang Buddha: "Di hadapan Guru, aku mendengar dan tahu dari Sang Bhagava sendiri bahwa seseorang yang memberikan hal menyenangkan, akan menerima kegembiraan, aku menyenangi daging babi (sūkaramaṃsaṃ) dengan sari buah jujube. Semoga sang Bhagava menerimanya dengan perasaan kasih. Dengan perasaan kasihnya Sang Buddha menerima" (Sammukhā metaṃ, bhante, bhagavato sutaṃ sammukhā paṭiggahitaṃ: ‘manāpadāyī labhate manāpan’ti. Manāpaṃ me, bhante, sampannakolakaṃ sūkaramaṃsaṃ; taṃ me bhagavā paṭiggaṇhātu anukampaṃ upādāyā”ti. Paṭiggahesi bhagavā anukampaṃ upādāya) [AN 5.44/Manāpadāyī sutta]

    • Buddhavamsa: Buddhapakiṇṇakakathā:
      Sabbabuddhānaṃ samattiṃsavidhā dhammatā (30 hal yang selalu terjadi pada para Buddha), di no.29 ada kalimat, parinibbānadivase maṃsarasabhojanaṃ (Di hari Parinibannanya makan makanan yang mengandung daging). Arti kata "maṃsa" adalah daging. [Detail lainnya, lihat: Vegetarian, Makanan Religius? Bukan! Ia Cuma Pilihan Selera Makan..Ngga Lebih Dari Itu!]

    Sehingga sūkara-maddava TIDAK TEPAT diartikan jamur, seharusnya “daging babi yang empuk”

    Cunda dan semua mengetahui bahwa Sang Buddha sudah tua dan di kondisi lemah, dari sisi pandangan awam makanan yang bernutrisi dan lembut adalah sangat tepat disajikan untuk itu daging babi muda sangatlah memenuhi kreteria ini.

    Mari kita lanjutkan detail Mahaparinibbana Sutta:

      [..]19. Sesudah itu Sang Bhagava berkata kepada Cunda: "Cunda, sisa-sisa sūkara-maddava yang masih tertinggal, tanamkanlah dalam sebuah lobang, karena kami lihat di dunia ini di antara para dewa, Mara, Brahmana, para samana atau Brahma, atau pun manusia, tidak ada seorang pun yang sanggup memakannya atau mencernakannya, kecuali Sang Tathagata sendiri."

      Cunda menjawab: "Baiklah, bhante."

      Demikianlah sisa sūkara-maddava yang tertinggal itu ditanamkannya dalam sebuah lobang. [..]

    Mengapa sisa sūkara-maddava perlu di tanam dalam sebuah lubang?

    Ini bukan tentang sūkara-maddava-nya, namun setiap makanan yang diperuntukan khusus kepada sang Buddha jika tidak habis adalah harus di kubur. Padanan tentang makanan yang diperuntukan khusus kepada sang Buddha jika tidak habis juga ada di Sn 1.4/KASIBHARADVAJA SUTTA, (tahun ke-11 kebuddhaan):

      [..]Kemudian Kasibharadvaja mengisikan nasi-susu ke dalam mangkuk emas yang besar dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha sambil berkata: 'Silakan Yang Mulia Gotama menyantap nasi susu ini. Engkau memang petani karena alasan pembajakan itu; memang hal itu memberikan buah kekekalan.'

      'Apa yang diperoleh lewat pembacaan mantra-mantra bukanlah makananku. O, brahmana, ini bukanlah praktek bagi mereka yang melihat dengan benar. Para Buddha menolak apa yang diperoleh lewat pembacaan mantra.'

      'Engkau harus mempersembahkan makanan dan minuman lain kepada pertapa agung yang telah mantap, yang telah bebas dari kekotoran mental dan penyesalan. Itu merupakan ladang bagi dia yang mencari jasa kebajikan.'

      'Kalau demikian, Yang Mulia Gotama, kepada siapakah saya harus memberikan nasi-susu ini?'

      O, brahmana, di dunia termasuk para dewa, Mara, Brahma, serta di antara para brahmana dan manusia, aku tidak melihat siapa pun kecuali Sang Tathagata

      Karena itu, O brahmana, sebaiknya engkau membuang nasi-susu ini di suatu tempat yang tidak ada rumputnya, atau membuangnya ke air di mana tidak ada makhluk hidupnya.'

      Maka Kasibharadvaja membuang nasi susu itu ke dalam air yang tidak mengandung kehidupan. Pada saat itu terdengar bunyi mendesis disertai banyak uap dan asap dari semua sisi, persis seperti mata bajak yang telah dipanaskan sepanjang hari lalu dicelupkan ke dalam air menghasilkan bunyi desis dan mengeluarkan uap serta asap di semua sisi.

      Kemudian Kasibharadvaja, dengan perasaan amat terpukau dan bulu kuduk berdiri, mendekati Sang Buddha dan meletakkan kepalanya di kaki Sang Buddha. Dia berkata: 'Sungguh menakjubkan, Yang Mulia Gotama, sungguh luar biasa, Yang Mulia Gotama![..]

    Juga di Samyutta nikaya SN 7.9/Sundarika Sutta atau di Sagatha-Vagga 7.1.9, yaitu makanan yang telah didanakan khusus kepada seorang Samma Sambuddha, tidak dapat dimakan oleh mahluk lain dan jika bersisa maka dibuang di tempat yang tidak ada rumputnya atau membuangnya ke air dimana tidak ada mahluk hidupnya. Salah satu alasan mengapa makanan tersebut tidak dapat dimakan mahluk lain, kitab komentar menyampaikan bahwa para deva ikut berpartisipasi pada dana makanan dengan memberikan nutrisi.

    Di Mahaparinibbana Sutta, kita ketahui letak nyeri yang di alami sang Buddha ternyata berada di pakkha (pectus, atau area antara leher dan abdominal) memerah (lohitapakhandika) tanpa adanya muntah-muntah dan/atau tanpa adanya mencret darah.

      Mahaparinibbana Sutta:
      Setelah itu ia kembali kepada Sang Bhagava memberi hormat dengan khidmat kepada beliau dan duduk pada salah satu sisi. Kemudian Sang Bhagava mengajarkan Cunda pandai-besi itu mengenai pelajaran yang membangkitkan semangat, yang berisi penerangan yang menggembirakan hatinya. Sesudah itu beliau bangun dari tempat duduknya pergi meninggalkan Cunda.

      20. Sesudah Sang Bhagava menyantap santapan yang dihidangkan oleh Cunda, pandai-besi itu, kharo ābādho uppajji (sakit keras melandanya), lohitapakkhandikā (Area antara dada - diagframa/abdomen memerah) pabāḷhā vedanā vattanti māraṇantikā (rasa sakit menusuk/terus menerus sangat mematikan). Tā sudaṃ bhagavā sato sampajāno adhivāsesi avihaññamāno (Sang Bhagava mengetahui sepenuhnya dalam memperhatikan selama kejadian tanpa mengeluh). Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, marilah kita ke Kusinara."

      "Kami telah mendengar: 'Ketika Sang Bhagava makan hidangan yang dihidangkan oleh Cunda, dengan ketabahan hati dan ketenangan beliau menahan penderitaan yang hebat.' Hal ini terjadi karena Sang Bhagava makan Sukaramaddava (daging babi berusia muda) yang dihidangkan oleh Cunda. Tetapi dengan tenang dan tabah beliau berhasil menahan rasa sakit yang datang sekonyong-konyong itu. 'Marilah kita ke Kusinara,' kata beliau dengan penuh kesabaran." [..]

      [Kata "kami telah mendengar", adalah para pembicara lainnya, yaitu mereka yang berada di konsili ke-1, yang terjadi 3 bulan setelah wafatnya sang Buddha.]

    Kalimat: "Lohitapakkhandikā pabāḷhā vedanā vattanti māraṇantikā.", dalam terjemahan kata perkata:

      Lohita/rahita: merah/darah. Kata darah dalam pali adalah Pupphaka/puppha/pubbaka.
      Pakkha: pectus (The part of the human torso between the neck and the diaphragm or the corresponding part in other vertebrates). Perlu di ketahui, kamus menyampaikan arti Pakkhandaka / pakkhandin / pak-khandikā: diare/dysentri dengan tambahan kata lohita, namun arti itu tanpa referensi jelas, kamus menyampaikannya seperti ini: "Ved. (?) praskandikā, BR. without refs". Pabāḷhā: tajam, keras (untuk sakit).
      Vedana: Perasaan.
      Vattanti: berkelanjutan/terus menerus.
      māraṇa: mati. antika: hampir di akhir.

      Sedangkan dalam bahasa pali dan sanskrit terdapat kata yang digunakan untuk arti diare/disentri: atisara [diare, untuk yang berdarah adalah rattatisara]. Sanskrit: Jvaratisara (diare dengan demam). Untuk disentri, sanskritnya adalah pakvatisara: Disentri yang kronis. Kata-kata atisara/rattatisara tidak digunakan di mahaparinibanna sutta
Sutta di awali dengan rencana Raja Ajatasattu untuk menaklukkan negara saingannya, kerajaan Vajji. Sang Buddha melakukan perjalanan ke Vajji untuk memulai vasssa (retreat musim hujan) terakhirNya. Dalam masa vassa ini Beliau jatuh sakit. Gejala dari penyakitNya adalah tiba-tiba dan sakit yang teramat sangat. Walau demikian, di dalam Sutta tidak diuraikan tentang ciri-ciri dan letak penyakitNya. Sutta itu hanya menyinggung sekilas penyakit Beliau, dan dikatakan penyakitnya sangat keras, dan hampir membunuhNya.
    Note:
    Maha Parinibbana Sutta mencatat 2x beliau dilanda sakit keras dengan rasa sakit yang menusuk terus menerus yang sangat mematikan, yaitu saat vassa terakhir dan juga saat parinibbananya namun TIDAK ADA dari semua itu dikatakan bahwa sakitnya hampir membunuhnya,
Sesudah itu, Sang Buddha dikunjungi oleh Mara, Dewa Kematian, yang mengundang Beliau untuk mangkat. Sang Buddha tidak menerima undangan dengan segera. Hanya setelah Ananda, pengiringNya, gagal untuk mengenali isyarat yang diberikanNya mengenai kemangkatan Beliau.

Sepotong pesan ini, meskipun terkait erat dengan mitos dan hal supernatural, memberikan kita beberapa informasi medis yang sangat berarti. Saat sutta ini disusun, penulisnya berada dalam keadaan terkesan bahwa Sang Buddha wafat bukan oleh karena makanan yang Beliau makan, tetapi dikarenakan Beliau telah memiliki penyakit yang serius dan akut serta memiliki gejala-gejala yang sama dengan penyakit yang pada akhirnya membuatNya mangkat.
    Note:
    Sang Buddha menolak undangan Mara untuk parinibbana hari itu juga, beliau katakan belum waktunya, karena beliau akan parinibbana 3 bulan lagi, karena masih ada urusan yang perlu dilakukannya selama 3 bulan itu, diantaranya memberitahukan pengikutnya, memberikan nasehat kepada Bhikkhu sangha. Dihari terakhir dari batas waktu 3 bulan yang telah ditetapkannya pergi ke Pava untuk menerima dana makanan terakhir seperti yang dilakukan semua buddha, kemudian pergi ke Kusinara untuk membabarkan DN 17/Maha sudassana sutta, dan bertemu Subadda, sebagai orang terakhir yang menerima Dhamma, ditahbiskan dan menjadi arahat dan setelahnya baru Parinibbana.

Waktu Kejadian

Umat Buddha tradisi Theravada berpegang pada asumsi bahwa Buddha Historis wafat pada malam bulan purnama dalam penanggalan bulan di bulan Visakha (yang kadangkala jatuh pada bulan Mei sampai Juni). Tetapi waktu tersebut bertolak belakang dengan informasi yang terdapat dalam Sutta, dimana secara jelas bahwa Sang Buddha segera mangkat setelah masa vassa (retreat musim hujan), kemungkinan besar adalah pada musim gugur atau pertengahan musim dingin, yaitu antara bulan November hingga Januari.

Uraian tentang keajaiban akan mekarnya daun-daun dan bunga-bungapada pohon-pohon sala ketika Sang Buddha berbaring di antaranya, menunjukkan periode waktu yang diberikan dalam sutta. Bagaimanapun juga, musim gugur dan musim dingin adalah musim yang tidak cocok untuk pertumbuhan jamur, yang menurut beberapa sarjana dipercaya sebagai sumber racun yang dimakan Sang Buddha selama memakan makanan terakhirNya.
    Note:
    Penulis tampaknya kurang jeli dalam membaca petunjuk-petunjuk yang ada di Mahaparinibbana Sutta dan juga dibeberapa sutta lainnya. Sebelum kita melihat petunjuk-petunjuk itu, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu musim dan bulan yang berlangsung di India:

    Vassāna/Musim Hujan (Jul-Nov):

    • Musim Hujan/Vassāna (Juli-Sept): Bulan Savana (Juli-Aug) dan Bulan Pottapada (Aug-Sept)
    • Musim Gugur/Sarada (Sept-Nov): Bulan Assayujja/Pubba kattika (Sept-Oct) dan Bulan Kattika/Paccima Kattika (Oct-Nov)

    Hemanta/Musim Salju (Nov-Mar):

    • Musim Salju/Hemanta (Nov-Jan): Bulan Māgasira (Nov-Des) dan Bulan Phussa (Des-Jan)
    • Musim Dingin/Sisira (Jan-Mar): Bulan Māgha (Jan-Feb) dan Bulan Phagguṇa (Feb-Mar)

    Gimhāna/Musim Panas (Mar-Jul):

    • Musim Semi/Vasanta (Mar-May): Bulan Citta/Rammaka (Mar-Apr) dan Bulan Vesākha (Apr-May)
    • Musim Panas/Gimha (May-Jul): Bulan Jettha (May-Jun) dan Bulan Asaḷha (Jun-Jul)

    Oleh karena Sutta dan Vinaya tidak menyatakan bulan Parinibbananya sang Buddha, maka terdapat beberapa variasi pendapat mengenai bulannya.

    1. Xuansang, seorang Biksu China abad ke-7 Masehi mencatat bahwa aliran Sarvastivada merayakan Parinibbana sang Buddha pada hari ke-8, minggu ke-2, di bulan Kattika (Oct-Nov). Pendapat ini beranggapan bahwa sang Buddha sakit di awal musim hujan dan sembuh tak lama kemudian, kemudian MASIH DI AWAL musim hujan, Sang Buddha pergi ke cetiya Capala (sutta TIDAK ADA menyebutkan ini terjadi di musim hujan), 3 bulan kemudian, beberapa hari setelah musim hujan berakhir, yaitu di buan Kattika, sang Buddha Parinibbana.

    2. Sang Buddha wafat 3 bulan setelah musim vassa usai, yaitu di bulan Magha (Jan-Feb). Pendapat ini beranggapan bahwa segera SETELAH masa vassa USAI, yaitu di bulan Kattika, sang Buddha pergi ke cetiya Capala (sutta juga TIDAK ADA menyebutkan ini terjadi di bulan Kattika), 3 bulan setelah bulan Kattika, yaitu bulan Magha, sang Buddha Parinibbana. Sample tradisi Mahayana Jepang, yaitu Nehan-e, di 15 Februari 468 SM (alasan penetapan tanggal ini bervariasi)

    3. Pendapat tradisional: Sang Buddha parinibbana 9 atau 10 bulan sejak dari permulaan vassa di Veluva, yaitu di bulan Vesakha (Apr-May). Pendapat ini tercantum dalam: Mahavamsa 3.2 (Buddha Parinibbana di bulan Vesakha). Mahavamsa 35.7 (Raja Vasabha/67 M – 111 M mengadakan 44x Festival Vesakha), Dipavamsa 1.24 dan 5.4 (Konsili ke-1 diadakan di bulan ke-2 musim Vassa, 4 bulan setelah Parinibbananya sang Buddha) juga Buddhaghosa dalam beberapa kitab komentarnya, (di antaranya dengan kalimat 10 bulan sebelum parinibbana bervasa di Beluva) dan lain sebagainya

    Bulan mana yang benar?


    Pertama-tama,
    VInaya telah menetapkan: TIDAK BEPERGIAN selama musim Vassa [Vinaya, Mahavagga 3.1-selesai]. Oleh karenanya, perjalanan sang Buddha dan rombongan para bhikkhunya, TIDAK DAPAT dilakukan selama musim hujan, di samping ini akan mengundang celaan masyarakat dan para petapa aliran lain, juga menjadi TIDAK KONSISTEN dengan aturan yang ditetapkan sang Buddha sendiri

    Sutta menyatakan di saat sang Buddha parinibbananya, pohon sala berbunga DILUAR MUSIMNYA

      ..pergi ke hutan Sala di daerah suku Malla, dekat Kusinara.. Setelah tiba, Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, tolong sediakan tempat berbaring di antara pohon-pohon Sala kembar itu, saya ingin berbaring."…Sang Bhagava membaring diri pada sisi kanan dengan sikap bagaikan singa, meletakkan salah satu kakinya pada kakinya yang lain..Pada saat itu tiba-tiba dua pohon Sala kembar itu berbunga walaupun BUKAN PADA MUSIMNYA untuk berbunga. Bunga-bunga itu jatuh bertaburan di atas tubuh Sang Tathagata … Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, pohon Sala kembar ini berbunga semerbak, meskipun sekarang BUKAN MUSIMNYA BERBUNGA [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]

      Pohon sala (Shorea robusta) mulai berbunga di MUSIM HUJAN [Juli - November] (Paradox of leaf phenology: Shorea robusta is a semi-evergreen species in tropical dry deciduous forests in India, hal, 1822). Pohon Sala sering keliru dianggap sebagai cannonball tree [termasuk kelompok Couroupita guianensis. Sering disebut Shiva linga dan Naga lingam. Pohon canonball mulai berbunga pada pertengahan musim panas (May-Juli) - sebelum musim hujan [Juli-Agustus], namun juga dikatakan pohon ini berbunga hampir di sepanjang tahun]

    Dengan informasi ini, jika parnibanna terjadi beberapa hari setelah musim hujan usai TIDAK KONSISTEN dengan informasi sutta. Disamping itu, sutta juga TIDAK MENYEBUTKAN adanya pelaksaaan Kathina yang dilakukan penduduk Vesali. Ini karena sang Buddha MASIH MENETAP SEKIAN LAMA di sekitar Vesali walaupun musim hujan telah usai, yaitu di kūṭāgārasālā, Mahavana dan setelahnya baru beliau dan rombongan pergi ke cetiya Capala:

      Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Kūṭā¬gāra¬sā, Mahāvana. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahNya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah berjalan menerima dana makanan di Vesālī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Bawalah alas duduk, Ānanda. Mari kita pergi ke cetiya Cāpāla .. “

      … Sang Bhagava berkata kepada Mara papima: "Pāpima, jangan kau menyusahkan dirimu. Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, tiga bulan lagi Sang Tathagata akan Parinibbana”
      [Udana 6.1, SN 51.10 dan AN 8.70]

    Berdasarkan beberapa alasan ini, maka pendapat sang Buddha wafat di bulan Kattika adalah TIDAK TEPAT

    Berapa lama sang Buddha di Kūṭāgārasālā, Mahavana sebelum ke cetiya Capala?
    Walaupun Sutta TIDAK MENYEBUTKAN kata, “yathābhirantaṃ (selama yang Beliau inginkan)” namun hanya menggunakan kata “viharati” (menetap) ketika berada di Kūṭāgārasālā, Mahavana namun lamanya waktu menetap dapat diketahui karena sutta juga memberikan indikasi jelas bahwa saat sang Buddha parinibbana adalah saat MUSIM PANAS:

    Ke-1,
    Di hari terakhir, dalam perjalanan dari Pava ke Kusinara, Sang Bhagava berhenti di bawah sebatang pohon. Beliau kehausan (pipāsito) dan meminta Ananda untuk mengambil air di sungai agar dapat beliau minum

      Sang Buddha:
      "Ananda tolonglah bawakan aku sedikit air, aku haus dan ingin minum."

      Ananda:
      "Bhante, baru saja sejumlah 500 pedati telah menyeberangi cakkacchinna udaka paritta/nadī cakkacchinnā parittā (aliran air yang dangkal/sungai dengan air yang sedikit), dan roda-rodanya telah mengeruhkan air sungai ini. Sebaiknya kita pergi ke sungai Kakutha yang tidak jauh dari sini. Air sungai itu sangat jernih, sejuk dan bening. Sungai itu mudah dicapai dan letaknya sangat baik. Di sana bhante dapat menghilangkan rasa haus dan menyegarkan tubuh

    Sungai dengan air yang sedikit hingga dapat diseberangi rombongan pedati sangat wajar terjadi di musim panas, bukan?

    Ke-2,
    Sang Buddha mandi 2x di sungai Kakhuda:

      .. Kemudian Sang Bhagava pergi ke sungai Kakuttha bersama dengan sekumpulan para bhikkhu. Setelah tiba di tepi sungai itu, Sang Bhagava mandi. Setelah Sang Bhagava mandi, Beliau pergi ke Ambavana. Di tempat ini Beliau berkata kepada Cundaka: "Cundaka tolonglah lipat jubah luarku, lipatlah dalam empat lipatan lalu letakkan di bawah tubuhku. Aku merasa lelah dan ingin beristirahat sebentar."… Kemudian setelah bangun, Sang Buddha pergi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah.. [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]

    Mandi sampai 2x sangat wajar jika terjadi di hari yang sangat panas, di musim panas, bukan?

    Ke-3,
    Bhikkhu Upavana mengipasi Sang Buddha

      Pada waktu itu Upavana sedang di hadapan Sang Bhagava, sambil mengipasi beliau.. [DN 16/Maha Parinibbana Sutta]

    Mengipasi adalah kegiatan yang wajar terjadi di hari yang sangat panas, di musim panas, bukan?

    Ke-4,
    Di 1 minggu setelah wafatnya sang Buddha,

      "Pada saat itu seluruh Kusinara juga tumpukan sampah, tertutup bunga-bunga pohon koral (mandārava-puppha) hingga setinggi lutut." [DN 16] dan: "Saat itu seorang Ājīvaka (petapa telanjang) yang tengah memegang bunga pohon-koral berjalan dari Kusinārā menuju Pava. YM Kassapa melihatnya dari jauh dan ketika telah mendekat, beliau berkata kepadanya: ‘Sahabat, apakah engkau mengenal guru kami?’ ‘Ya, sahabat, aku mengenal Beliau. Hari ini adalah seminggu setelah Petapa Gotama Parinibbana. Oleh karenanya, Aku menggenggam bunga pohon-koral ini.’" [DN 16 dan Cullavaga Vinaya]

    Pohon koral berbunga di bulan Maret-April [Erythrina variegata, Indian coral tree; "A Manual of Gardening for Western India". 2nd ed., hal.68, "Floriculture in India". hal.216 dan "FORTY COMMON INDIAN TREES and How to Know Them", hal.3]. Bulan Vesakha (Diawali dan diakhiri bulan mati) adalah di April-May.

    Berdasarkan beberapa alasan ini, maka pendapat sang Buddha wafat di bulan Magha adalah TIDAK TEPAT, sehingga pendapat bahwa sang Buddha parinibbana di musim panas, di bulan Vesakha (April-May) sangat wajar untuk diterima.

    Kemudian tentang jamur,
    di India beberapa jamur dapat tumbuh dalam musim gugur dan musim dingin, contohnya jamur enoki atau jamur pangan (Flammulina velutipes). Jamur ini malah berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh, anti biotic dan anti tumor. Tampaknya mengenai jamur ini belum dikenal oleh penulis artikel

Diagnosa

Sutta menceritakan kepada kita bahwa Sang Buddha jatuh sakit dengan seketika setelah menyantap sukaramaddava. Karena kita tidak mengetahui segalanya tentang sifat dasar makanan ini, menjadi sukar bagi kita untuk mengatakannya sebagai penyebab langsung dari penyakit Sang Buddha. Tetapi dari uraian yang diberikan, diketahui bahwa serangan penyakit tersebut berlangsung cepat.
    Note:
    Hari itu adalah HARI TERAKHIR dari batas waktu 3 bulan yang telah ditetapkaNya di cetiya Capala, Jadi BAHKAN jika hari itu dihidangkan SUPLEMEN PENGUAT SUPER SEKALIPUN, kesehatan beliau TETAP SAJA akan menurun drastis. Jadi memang TIDAK ADA kaitannya dengan makanan yang hidangkan cunda
Ketika menyantap, Sang Buddha merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan makanan itu dan ia menyarankan penjamuNya untuk menguburkan makanan tersebut.
    Note:
    Kalimat ini spekulatif dan mengada-ada, karena di sutta lainnya, di tahun ke-11 kebuddhaan yaitu Sn 1.4/KASIBHARADVAJA SUTTA, telah juga disampaikan bagaimana perlakuan makanan yang tidak dimakan Buddha. juga di Sagatha-Vagga 7.1.9, yaitu makanan yang telah didanakan khusus kepada seorang Samma Sambuddha, tidak dapat dimakan oleh mahluk lain. Para deva juga berpartisipasi pada dana makanan dengan memberikan nutrisi- tambahan.

      "Sesudah itu Sang Bhagava berkata kepada Cunda: "Cunda, sisa-sisa sūkara-maddava yang masih tertinggal, tanamkanlah dalam sebuah lobang, karena kami lihat di dunia ini di antara para dewa, Mara, Brahmana, para samana atau Brahma, atau pun manusia, tidak ada seorang pun yang sanggup memakannya atau mencernakannya, kecuali Sang Tathagata sendiri."

    Jika benar "makanan itu tidak beres", maka Cunda tentunya melakukan GARUKA KAMMA [atau pelanggaran karma paling berat] yang berakibat akan terlahir di alam neraka. Namun ternyata tidak, karena sang Buddha sendiri menyampaikan di sutta seperti ini:

      42. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ananda: "Ananda, kemungkinan ada orang akan menyesali dan menyalahkan Cunda, pandai besi, dengan berkata: "Sungguh sial kau Cunda, karena perbuatan kamu, Sang Tathagata telah makan santapan untuk terakhir kalinya." Dalam hubungan ini Ananda, tuduhan terhadap Cunda itu dapatlah dijelaskan sebagai berikut: "Suatu rahmat bagimu, Cunda dan ini benar-benar suatu berkah, bahwasanya karena kamulah Sang Tathagata memperoleh makanan sebagai dana yang terakhir dan setelah itu Beliau mangkat. Hal ini saudara, aku telah mendengar sendiri, langsung dari Sang Bhagava yang menyatakan:

      "Ada dua macam makanan, yang mempunyai pahala, yang mempunyai nilai kebaikan yang sama, yang melebihi nilai dari semua dana makanan yang lainnya.

      • Dana yang pertama adalah dana makanan yang pertama kalinya di makan oleh Sang Tathagata, setelah beliau mencapai penerangan sejati, dana ini tiada bandingannya.
      • Dana yang kedua ialah dana makanan terakhir yang dimakan oleh Sang Tathagata sebelum beliau parinibbana, di mana semua unsur-unsur ikatan tidak akan timbul lagi.

      Maka perbuatan yang telah dilakukan saudara Cunda adalah berkah yang mengakibatkan panjang umur, rupawan, kesejahteraan, kemuliaan, akan lahir di alam sorga dan mendapat kedudukan yang tinggi." Demikianlah Ananda, kau jelaskan tentang diri Cunda pandai besi itu.

      Sang Bhagava, karena mengerti masalah tersebut, lalu mengucapkan syair:

      Dengan memberi Jasa kebajikan bertambah;
      Dengan mengendalikan diri, kebencian dihentikan;
      Dengan yang bermanfaat kejahatan ditanggalkan;
      Dengan menghancurkan nafsu, kebencian dan kebodohan Ia terbebaskan.

    Jelas dan terang benderang bahwa makanan itu 100% BERES adanya
Segera setelah itu, Sang Buddha menderita sakit perut yang parah dan mengeluarkan darah dari rektumNya.
    Note:
    Tidak ada di sutta yang menyatakan bahwa hari itu, Sang Buddha mengeluarkan darah dari rektumNya ataupun juga ada indikasi BAB. Bahkan sutta menyatakan letak sakitnya pada kata Pakkha artinya: pectus (bagian dari batang tubuh manusia antara leher dan diaphragma/abdomen) yang disebutkan memerah (lohitapakkhandika) inilah bagian yang sakit terus-menerus.
Apakah makanan yang beracun sebagai penyebab dari penyakit itu? Sepertinya tidak demikian. Gejala-gejala yang diuraikan tidak mengindikasikan keracunan makanan, yang bisa sangat akut, tetapi dapat dipastikan menyebabkan diare dengan darah. Umumnya, makanan beracun disebabkan oleh bakteri yang tidak segera membelah diri, tetapi mengalami suatu masa inkubasi selama dua sampai 12 jam untuk membelah diri, umumnya disertai dengan diare dan muntah-muntah yang akut, bukan dengan pendarahan.
    Note:
    Spekulasi masa Inkubasi hanyalah imaginasi sang penulis, karena hari itu adalah HARI TERAKHIR dari batas waktu 3 bulan, BAHKAN jika hari itu dihidangkan SUPLEMEN PENGUAT SUPER SEKALIPUN, kesehatan beliau TETAP SAJA akan menurun drastis.
Kemungkinan yang lain adalah bahan kimia beracun, yang juga memiliki efek cepat, tetapi bukanlah hal yang biasa bagi bahan kimia beracun menjadi penyebab pendarahan usus yang sangat parah. Makanan yang beracun dengan pendarahan usus langsung hanya bisa disebabkan oleh bahan kimia yang bersifat menghancurkan (korosif) seperti asam cuka yang keras, yang dapat dengan mudah menimbulkan penyakit seketika. Tetapi bahan kimia yang bersifat menghancurkan tersebut sudah pasti akan menyebabkan pendarahan pada usus bagian atas, yang menimbulkan muntah darah. Tidak satupun tanda-tanda parah tersebut disebutkan dalam teks.
    Note:
    Sutta TIDAK ADA menyebutkan adanya pendarahan usus, juga TIDAK menyebutkan adanya muntah-muntah akibat makan hidangan itu. Seperti yang disampaikan di atas, hari itu adalah hari terakhirnya, Seluruh Buddha Masa lalu akan makan hidangan terakhir sebelum parinibbana jadi apapun makannya, bahkan jika itu suplemen super sekalipun tetap saja kesehatan beliau akan menurun drastis.
Penyakit-penyakit radang dinding lambung juga dapat diabaikan dari daftar penyakit tersebut. Kendati faktanya bahwa penyakit ini menyerang dengan cepat, penyakit ini jarang diikuti oleh kotoran (feces) berdarah. Radang lambung dengan pendarahan usus menghasilkan kotoran berwarna hitam ketika radang menembus suatu pembuluh darah. Tukak pada saluran pencernaan yang lebih atas akan lebih memungkinkan mengakibatkan muntah darah, bukan pendarahan melalui rektum. Bukti lain yang menyangkal kemungkinan ini adalah seorang pasien dengan radang lambung yang besar pada umumnya tidak mempunyai selera makan. Dengan menerima undangan untuk makan siang bersama sang penjamu, kita dapat berasumsi bahwa Sang Buddha merasa sesehat yang dirasakan orang manapun yang berada di awal usia 80nya. Dengan usiaNya yang demikian, kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa Sang Buddha tidak mempunyai suatu penyakit kronis, seperti TBC atau kanker atau suatu infeksi/peradangan tropis seperti penyakit tipus atau disentri, yang sangat lazim di jamanNya. Penyakit-penyakit ini bisa mengakibatkan pendarahan usus bawah, tergantung pada letaknya.
    Note:
    Menerima undangan makan terakhir TIDAK ADA HUBUNGANNYA dengan selera makan. Menerima dana makanan dan memakannya adalah dua hal berbeda. Menerima dana makanan, salah satu faktornya adalah untuk kesejahteraan pemberi derma, sementara makan berhubungan dengan kebutuhan tubuh, berhubungan dengan kebutuhan penunjang kehidupan. Apalagi menerima dana makanan terakhir merupakan tradisi seluruh Buddha masa lalu sebelum mereka parinibbana.
Penyakit-penyakit ini juga sesuai dengan sejarah dari penyakit awal Sang Buddha sepanjang masa vassa (retreat musim hujan).Tetapi penyakit-penyakit ini dapat dikesampingkan,karena pada umumnya penyakit-penyakit ini diikuti oleh gejala lain, seperti kelesuan, hilangnya selera makan, penurunan berat badan, busung atau buncit pada perut bagian bawah (abdomen). Tidak satupun gejala tersebut di sebutkan dalam sutta. Wasir besar dapat menyebabkan pendarahan parah pada daerah pembuangan, tetapi sepertinya wasir mustahil dapat menyebabkan sakit yang sangat parah pada perut bagian bawah (abdomen) kecuali jika tersumbat. Tetapi hal itu akan sangat mengganggu perjalanan Sang Buddha ke rumah penjamuNya, dan jarang sekali pendarahan wasir disebabkan oleh makanan.
    Note:
    TIDAK ADA di sutta bahwa ada pendarahan usus akut dan juga wasir selama hidup sang Buddha. Malah selama masa vassa terakhir di Veluva, walaupun beliau dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk yang sangat mematikan, juga TIDAK ADA pendarahan usus ataupun wasir
Mesenteric infarction
Penyakit yang sesuai dengan gejala-gejala yang yang telah dideskripsikan, yang disertai rasa sakit hebat pada perut bagian bawah (abdominal) dan mencret darah, umumnya ditemukan pada orang-orang usia lanjut, dan dipicu oleh makanan adalah mesenteric infarction (terganggunya jaringan pembuluh darah sekitar usus), yang disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah di mesentery. Hal ini sangat mematikan. Ischaemia Mesenteric akut (berkurangnya suplai darah ke mesentery) adalah suatu kondisi yang parah dengan resiko kematian yang tinggi. Mesentery adalah bagian dari dinding usus yang mengikat keseluruhan bidang usus sampai rongga abdominal. Terhambatnya suplai darah di sekitar usus biasanya menyebabkan kematian pada jaringan tisu di bagian besar dari saluran usus bagian akhir (intestinal tract), yang akan mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus bagian akhir. Secara normal hal ini menghasilkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen) dan mencret darah. Pasien pada umumnya meninggal karena kekurangan darah yang sangat parah. Kondisi ini sesuai dengan informasi yang diberikan dalam sutta.

    Note:
    Pasien mysentery ishemik seharusnya mengalami KEBINGUNGAN, nafas menjadi cepat dan juga dapat berakibat muntah-muntah dan mencret darah, namun hal-hal ini TIDAK ADA di Sutta. Lokasi nyeri yang disampaikan sutta sangatlah jelas yaitu di bagian antara leher dan diaphragma/abdomen (pakkha). Bagian tersebut memerah (lohita) degnan rasa sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan.
Hal ini juga dikuatkan kemudiannya ketika Sang Buddha meminta Ananda untuk mengambil sedikit air untukNya untuk diminum, yang menandakan Beliau sangat haus. Seperti yang dikisahkan, Ananda menolak, karena Ananda tidak menemukan sumber air bersih. Ananda berargumen dengan Sang Buddha bahwa aliran sungai yang terdekat telah dikeruhkan oleh rombongan kereta besar. Tetapi Sang Buddha meminta Ananda dengan tegas untuk mengambil air bagaimanapun juga. Sebuah pertanyaan muncul pada poin ini: Mengapa Sang Buddha tidak pergi sendiri saja ke sumber air, daripada mendesak Ananda yang enggan untuk melakukannya? Jawabannya sederhana. Sang Buddha sedang menderita shock yang disebabkan oleh kehilangan banyak darah. Beliau tidak mampu berjalan lagi, dan dari saat itu sampai ke tempat peristirahatan terakhirNya Beliau hampir dapat dipastikan berada dalam tandu

Jika situasinya memang demikian, sutta tidak mengisahkan tentang perjalanan Sang Buddha ke peristirahatan terakhirnya, kemungkinannya karena si penulis merasa bahwa hal itu akan memalukan Sang Buddha. Secara geografis, kita mengetahui bahwa jarak antara tempat yang di percaya sebagai rumah Cunda dengan tempat dimana Sang Buddha mangkat adalah sekitar 15 sampai 20 kilometer. Tidaklah mungkin bagi seorang pasien penderita penyakit yang mematikan seperti itu untuk berjalan kaki dengan jarak seperti itu. Lebih memungkinkan, apa yang terjadi adalah Sang Buddha dibawa dalam sebuah tandu oleh sekelompok bhikkhu ke Kusinara (Kushinagara).

    Note:
    Sutta TIDAK ADA menyatakan beliau mengalami pendarahan. Jarak Dari Pava - Kusinara adalah 3 gavuta (15 km/9.3 Mil). Seorang yang sehat jasmani, melakukan perjalanan siang hari pada musim panas sangat wajar kehausan. Apalagi jika orang yang menjalaninya kekuatan tubuhnya sedang menurun, maka memerlukan lebih banyak minum adalah SANGAT WAJAR.

      Mahaparinibbana Sutta:
      21. Kini, dalam perjalanan itu Sang Bhagava tidak melalui jalan raya dan kemudian berhenti di bawah sebatang pohon. Beliau bersabda kepada Ananda: "Lipatlah jubah luarku empat kali Ananda dan letakkan di bawahku. Aku sangat letih, aku mau beristirahat sebentar."

      "Baiklah, bhante," jawab Ananda dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Sang Bhagava.

    Sangatlah aneh seseorang yang sedang menderita sakit perut namun masih minum air yang keruh, bukan?! Ini membuktikan bahwa beliau sama sekali tidak sakit perut. Kemudian, Jika seseorang SUDAH TAHU dirinya akan wafat hari ini, maka TIDAK PENTING LAGI, apakah air yang diminumnya itu bersih atau keruh atau bahkan beracun sekalipun, sehingga Ananda yang 3x menolak permintaan dengan alasan airnya kotor adalah TIDAK RELEVAN, karena biar bagaimanapun, Sang Buddha toh tetap akan parinibbana hari itu juga.

    Alasan mengapa beliau tidak mengambil sendiri air ke sungai, yaitu ke-1, Karena Ananda telah menyediakan diri untuk menjadi pembantu beliau dan berjanji untuk mematuhi permintaan beliau, sehingga setelah beliau meminta dan Ananda tidak mengerjakannya, maka Ananda akan menyalahi janjinya. Tentu saja seorang Buddha tidak akan membiarkan Ananda sampai menyalahi janji. Alasan ke-2 adalah karena kebetulan beliau sendiri sedang lelah.

    Istirahat sejenak dari perjalanan siang hari di musim panas, bisa saja karena kehausan atau bisa juga karena ada hal lainnya
    Dalam perjalanan antara Pava-Kusinara, Sang Buddha dapat memilih untuk beristirahat di mana saja termasuk di sungai kakhuda seperti saran Ananda, Namun TIDAK BELIAU LAKUKAN. Mengapa? Karena beliau menunggu Pukkusa orang Malla bersama rombongannya. Akibat dari hal ini, Pukkusa dan rombongannya berkesempatan mendengarkan Dhamma. Pada beberapa Sutta menyampaikan bahwa selalu ada alasan mengapa Buddha melakukan sesuatu dan/atau berkunjung ke suatu tempat, yaitu membabarkan Dhamma kepada mereka yang mempunyai telah siap menerimannya

    Sutta TIDAK ADA menyatakan bahwa beliau berada dalam tandu setelah beristirahat. Jika memang benar imaginasi penulis bahwa sang Buddha harus di tandu dalam perjalanan, maka mengapa sampai perlu beristirahat, toh perjalanan hanya 15 km saja, bukan?

    Perjalanan ke Kusinara, beliau lakukan dengan berjalan kaki, termasuk ketika turun untuk mandi di sungai kakhuda

      Mahaparinibbana Sutta:
      41. Sang Buddha pergi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah. Sang Buddha yang dihormati dalam semua alam. Setelah selesai mandi dan minum, Sang Buddha lalu berjalan meliwati para bhikkhu yang kemudian mengiringnya. Sang Guru Jagat kemudian pergi ke Ambavana untuk membicarakan dhamma.

    Tercatat bahwa sang Buddha 2x berjalan turun ke sungai untuk mandi, tampaknya hari di musim panas itu bener-benar sedang sangat panas-panasnya. Juga tercatat Sang Buddha menuju keperistirahatannya di ambavana dengan berjalan kaki. Jadi sang BUDDHA memang tidak di tandu dalam perjalanannya
Yang menjadi point perdebatan adalah apakah Sang Buddha benar-benar bertekad untuk mangkat di kota ini (Kusinara), mengingat bahwa kota ini diperkirakan tidak lebih besar dari dari sebuah kota kecil. Dari arah perjalanan Sang Buddha yang diberikan dalam sutta, Beliau menuju ke utara dari Rajagaha. Ada kemungkinan Beliau tidak berniat untuk mangkat di sana, tetapi di kota tempat kelahiranNya dimana membutuhkan waktu tiga bulan untuk sampai ke sana
    Note:
    Ananda pun bertanya tentang hal yang sama. Namun Sang Buddha menerangkan parinibbana di tempat ini adalah hal yang baik, karena Kusinara dulunya tempat berdiamnya raja dunia Maha Suddassana. 6x kelahiran lampau beliau juga wafat di tempat ini.[DN 17/Sudassana sutta]. Disamping itu, tujuan utama sang Buddha ke Kusinara adalah untuk membabarkan DN 17/Maha Dassana Sutta, dan untuk bertemu Subhadda yang saat itu ada di Kusinara dan mendengar sang Buddha akan Parinibbana hari itu, membuatnya bergegas hendak bertemu dan karena bertemu, Subhadda mendapat dhamma, karena mendapat dhamma Subhadda menjadi siswa terakhirnya dan kemudian menjadi Arahat.

      Mahaparinibbana Sutta:
      23. Ketika itu seorang petapa pengembara bernama Subhadda sedang berdiam di Kusinara. Subhadda, petapa yang pengembara itu mendengar kabar : "Hari ini, malam jam terakhir, Parinibbana Sang Gautama akan terjadi." Karena itu timbullah pikirannya: "Aku pernah mendengar dari para petapa yang tua-tua dan mulia, dari para guru, bahwa munculnya para Tathagata Arahat Samma Sambuddha, adalah kejadian yang jarang sekali di dunia. Pada hari ini, pada jam terakhir malam ini juga Parinibbana Sang Gautama akan terjadi. Kini pada diriku ada suatu keragu-raguan dan dalam hal ini aku mempunyai kepercayaan pada petapa Gautama itu, ia akan dapat mengajarkan Dhamma kepadaku untuk menghilangkan keraguan-raguanku."

    Jadi kusinara adalah memang benar-benar tempat yang baik untuk Mangkat, bukan?
Dari sutta, sudah jelas bahwa Sang Buddha tidak mengantisipasi penyakit mendadakNya, jika tidak, Beliau tidak akan menerima undangan penjamuNya. Kusinara mungkin merupakan kota yang terdekat dimana Beliau bisa menemukan seorang dokter untuk merawat diriNya. Tidaklah sukar untuk membayangkan sekelompok bhikkhu dengan terburu-buru membawa Sang Buddha di atas sebuah tandu menuju ke kota yang terdekat untuk menyelamatkan hidupNya.
    Note:
    Sutta tidak mengajarkan MENOLAK sakit, karena sakit bagi manusia adalah HAL YANG WAJAR. Sutta mengajatkan untuk menerima apa adanya senang-susah, sehat-sakit. Disamping itu, Sang Buddha telah menyatakan sendiri batas waktu kehidupannya, yaitu 3 bulan lagi. Karena hari itu adalah dari terakhir batas waktu 3 bulan, maka tidak ada relevansinya mengkaitkan makanan dan penyakit, menerima atau menolak undangan, juga ada dokkter ataupun tidaknya, karena toh tetap saja akan parinibbana di hari itu.

    Kemudian, sutta DN 16/Mahaparinibbana sutta dan Udana 8.5 jelas menyatakan kebajikan yang tertinggi dari dana makanan hanya terjadi dalam 2 kejadian, yaitu saat mencapai KeBuddhaan dan saat Parinibbana. Juga komentar Buddhavamsa (Buddhapakiṇṇakakathā) menyatakan 30 fakta dari semua Buddha yang di antaranya adalah sebelum parinibbana mereka akan menerima dana makan terakhur yang mengandung daging (maṃsarasabhojanaṃ). Jadi, mengapa pula undangan makan Cunda, yang merupakan dana makan terakhir, akan ditolak Sang Buddha?
Sebelum mangkat, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda untuk tidak menyalahkan Cunda atas kemangkatanNya dan Beliau mangkat bukan disebabkan memakan Sukaramaddava. Pernyataan ini sangat penting. Makanan tersebut bukanlah penyebab secara langsung atas kemangkatanNya. Sang Buddha mengetahui bahwa gejala penyakit yang muncul merupakan gejala yang pernah Beliau alami beberapa bulan lebih awal, yang telah hampir membunuhNya. Sukaramaddava, apapun bahannya ataupun cara memasaknya, bukanlah penyebab langsung dari penyakit mendadakNya.
    Note:
    Jika Penulis juga tahu mengenai fakta sutta tentang ini, lantas apa perlunya masih berspekulasi, berimaginasi dan beropini tidak sesuai fakta dan sutta? Mengherankan…

Tahapan perkembangan penyakit

Mesenteric infarction adalah suatu penyakit yang biasanya ditemukan di antara orang lanjut usia, disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah utama yang menyuplai bagian tengah dinding saluran usus kecil bagian akhir dengan darah. Penyebab yang paling umum dari penyumbatan ini adalah melemahnya dinding pembuluh darah (vessel), pembuluh darah besar mesenteric, yang menyebabkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen), yang juga dikenal sebagai abdominal angina (keram perut).

Secara normal, rasa sakit dipicu oleh makanan yang berat (besar), yang memerlukan aliran darah lebih tinggi ke saluran pencernaan. Ketika penyumbatan terjadi, saluran usus kecil kehilangan persediaan darah nya, yang kemudian terjadi hambatan suplai darah, atau mati rasa setempat (gangrene), pada bagian saluran usus akhir (intestinal tract). Hal ini pada gilirannya mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus akhir, pendarahan yang sangat dalam pada saluran usus akhir, dan kemudian diare berdarah.

Penyakit menjadi tambah parah ketika cairan dan isi usus mengalir ke luar melalui rongga peritoneal, sehingga menyebabkan radang selaput perut atau radang dinding abdominal.

Ini sudah merupakan kondisi yang mematikan bagi si pasien, yang sering kali meninggal karena kehilangan darah dan cairan tubuh lainnya. Jika tidak diperbaikan dengan pembedahan, penyakit ini sering berkembang menjadi septic shock karena masuknya racun-racun bakteri ke dalam aliran darah.



Analisa Retrospektif (kebelakang)

Dari hasil diagnosa tersebut di atas, kita dapat lebih memastikan bahwa Sang Buddha menderita mesenteric infarction yang disebabkan oleh penyumbatan pada superior mesenteric artery. Inilah penyebab rasa sakit yang hampir saja merenggut ajal Beliau beberapa bulan lalu saat vassa (retret) musim hujan terakhirNya.

Dengan berkembangnya penyakit itu, sebagian dari selaput lender usus Beliau terkelupas, dan di sinilah yang menjadi menjadi asal muasal pendarahan tersebut. Arteriosclerosis, pengerasan dinding pembuluh darah akibat penuaan, merupakan penyebab dari tersumbatnya pembuluh darah, penyumbatan kecil yang tidak akan mengakibatkan diare berdarah, tapi merupakan gejala, yang juga kita kenal sebagai abdominal angina (keram perut).
    Note:
    Mengerikan sekali cara penulis yang juga dokter ini dalam memberikan hasil diagnosanya karena tidak sesuai dengan apa yang nyata terlihat. Karena sutta sendiri telah menyampaikan bahwa bagian tubuh yang sakit adalah di pakkha (pectus: area antara leher dan abdominal) yang memerah (lohita) dengar rasa sakit menusuk terus menerus yang mematikan tanpa adanya muntah-muntah dan/atau tanpa adanya mencret darah.
Beliau mendapat serangan kedua ketika sedangan makan Sukaramaddava. Pada awalnya rasa sakit itu tidak begitu hebat, tapi membuat Beliau merasa ada yang sesuatu yang tidak beres. Mempertanyakan akan makanan itu, Beliau lalu meminta tuan rumah untuk menguburkan makanan itu sehingga yang lain tidak akan menderita karenanya.
    Note:
    Di Parinibanna sutta, tidak pernah beliau mempertanyakan makanannya itu. Bahkan beberapa sutta, misal di Sn 1.4/KASIBHARADVAJA SUTTA dan di Sagatha-Vagga 7.1.9, menyampaikan dengan jelas alasannya mengapa makanan yang telah didanakan khusus kepada seorang Samma Sambuddha, tidak dapat dimakan oleh mahluk lain. dan bagaimana penanganan jika tersisa yaitu dengan cara menguburnya di tempat tertentu.

    Bahkan jikapun beliau makan bubur kacang hijau, atau nasi goreng atau Pizza atau beef atau suplemen super sekalipun, hari itu beliau akan tetap parinibbana, hari itu setelah makan makanan apapun, beliau akan dilanda sakit keras yang dirasakan sakit menusuk terus menerus yang sangat mematikan.

    Mengapa? Karena hari itu adalah batas akhir dari 3 bulan yang telah ditetapkannya, sehingga apapun makanannya, hari itu beliau tetap saja parinibbana
Segera, Sang Buddha menyadari bahwa penyakit itu serius, dengan adanya mencret darah yang disertai rasa sakit yang hebat pada bagian perut. Karena kehilangan banyak darah, Beliau mengalami shock. Tingkat dehidrasi atau kehilangan cairan darah sudah sedemikian parah sehingga Beliau tidak sanggup lagi mempertahankan diri dan harus berteduh di sebuah pohon di sekitar situ. Merasa sangat haus dan kelelahan, Beliau meminta Ananda untuk pergi mengambilkan air untuk diminumNya, walaupun Beliau mengetahui bahwa airnya keruh.
    Note:
    Sekali lagi, di sutta TIDAK ADA menyatakan Sang Buddha mengalami mencret darah, TIDAK ADA menyatakan sang Buddha shock, karena penderita Shock tidak mungkin bisa berjalan-jalan, memberikan ceramah panjang dengan mata awas dan pikiran terang.
    Seorang yang sehat jasmani, berjalan sejauh 15 KM, di siang hari pada musim panas sangat wajar kehausan. Apalagi jika orang yang menjalaninya kekuatan tubuhnya sedang menurun, maka memerlukan lebih banyak minum adalah SANGAT WAJAR.
    Sangatlah aneh seseorang yang sedang menderita sakit perut namun masih minum air yang keruh, bukan?! Ini membuktikan bahwa beliau sama sekali tidak sakit perut. Kemudian, Jika seseorang SUDAH TAHU dirinya akan wafat hari ini, maka TIDAK PENTING LAGI, apakah air yang diminumnya itu bersih atau keruh atau bahkan beracun sekalipun, sehingga Ananda yang 3x menolak permintaan dengan alasan airnya kotor adalah TIDAK RELEVAN, karena biar bagaimanapun, Sang Buddha toh tetap akan parinibbana hari itu juga.
    Alasan mengapa beliau tidak mengambil sendiri air ke sungai, yaitu ke-1, Karena Ananda telah menyediakan diri untuk menjadi pembantu beliau dan berjanji untuk mematuhi permintaan beliau, sehingga setelah beliau meminta dan Ananda tidak mengerjakannya, maka Ananda akan menyalahi janjinya. Tentu saja seorang Buddha tidak akan membiarkan Ananda sampai menyalahi janji. Alasan ke-2 adalah karena kebetulan beliau sendiri sedang lelah.

    Tidakkah aneh bila di dalam rombongan Bhikkhu tersebut tidak ada 1 pun yang membawa air minum? Ini bisa saja seluruh rombongan kehabisan air minum karena berjalan di siang hari di musim panas atau karena ada hal lain yang menyebabkan sang Buddha perlu untuk berhenti ditempat itu.
    Dalam perjalanan antara Pava-Kusinara, Sang Buddha dapat memilih untuk beristirahat di mana saja termasuk di sungai kakhuda seperti saran Ananda, Namun TIDAK BELIAU LAKUKAN. Mengapa? Karena beliau menunggu Pukkusa orang Malla bersama rombongannya. Akibat dari hal ini, Pukkusa dan rombongannya berkesempatan mendengarkan Dhamma. Pada beberapa Sutta menyampaikan bahwa selalu ada alasan mengapa Buddha melakukan sesuatu dan/atau berkunjung ke suatu tempat, yaitu membabarkan Dhamma kepada mereka yang mempunyai telah siap menerimannya
Di sanalah Beliau pingsan sehingga rombongan pengiring Nya membawa Beliau ke kota terdekat, Kusinara, dimana ada peluang untuk menemukan dokter atau penginapan untuk memulihkan diriNya.
    Note:
    Sutta TIDAK ADA menyebutkan beliau pingsan, beliau malahan menyempatkan diri membabarkan Dhamma pada rombongan Pukkusa dari Malla, memberikan wejangan agar tidak menyalahkan Cunda. Alasan melakukan parinibbana di Kusinara adalah karena di sana beliau akan membabarkan DN 17/Maha Sudassana Sutta dan juga bertemu Subhada yang akan menjadi orang terakhir ditahbiskan. Sutta menjelaskan selama di Kusinara belau tidak bertemu dokter, beliau juga tidak menginap dipenginapan, namun berbaring diantara 2 pohon sala dan parinibbana ditempat itu.
Mungkin benar Sang Buddha menjadi lebih baik setelah minum untuk menggantikan cairan tubuhNya yang hilang, dan beristirahat di atas tandu. Pengalaman dengan gejala-gejala yang sama memberitahukan Beliau bahwa penyakitNya yang tiba-tiba itu adalah serangan kedua dari penyakit yang sudah ada. Beliau memberitahukan Ananda bahwa bukan makanan itu sebagai penyebab penyakitNya, dan Cunda jangan di salahkan
    Note:
    Semua orang yang kehausan dan minum akan tergantikan cairan tubuhnya, apalagi saat itu siang hari di musim panas dan telah berjalan cukup jauh. Sutta TIDAK ADA menyebutkan beliau ditandu selama dalam perjalanan. Jika memang benar imaginasi penulis bahwa sang Buddha harus di tandu dalam perjalanan, maka mengapa sampai perlu beristirahat, toh perjalanan hanya 15 km saja, bukan?
Pasien yang mengalami shock, dehidrasi, dan kehilangan banyak darah biasanya merasa sangat dingin. Inilah sebabnya Beliau meminta pengiringNya untuk menyiapkan pembaringan yang dialasi dengan empat lembar Sanghati. Sesuai dengan disiplin monastic Buddhist (Vinaya), Sanghati adalah selembar kain panjang atau sprei, yang diijinkan oleh Sang Buddha untuk dipakai oleh para bhikkhu dan bhikkhuni pada musim dingin. Informasi ini mencerminkan betapa Sang Buddha merasa dingin karena kehilangan darahNya. Secara klinis, tidaklah memungkinkan bagi pasien yang sedang dalam keadaan shock dengan rasa sakit yang hebat di bagian perut, kemungkinan besar mengalami peritonitis atau peradangan pada dinding perut, pucat, dan sedang menggigil kedinginan, untuk bisa berjalan.
    Note:
    Buddha tidak menyatakan agar pembaringannya di alasi dengan ‘empat lembar sanghati’ namun Beliau meminta agar jubah luarnya ‘dilipat menjadi EMPAT LIPATAN’.

      Mahaparinibbana Sutta:
      39. Kemudian Sang Bhagava pergi ke sungai Kakuttha bersama dengan sekumpulan para bhikkhu. Setelah tiba di tepi sungai itu, Sang Bhagava mandi. Setelah Sang Bhagava mandi, Beliau pergi ke Ambavana. Di tempat ini Beliau berkata kepada Cundaka: "Cundaka tolonglah lipat jubah luarku, lipatlah dalam empat lipatan lalu letakkan di bawah tubuhku. Aku merasa lelah dan ingin beristirahat sebentar."

      "Baiklah, bhante." Cundaka pun melipat jubah itu dalam empat kali lipatan dan meletakkannya di bawah tubuh Sang Buddha.

      40. Sang Bhagava membaringkan tubuhnya pada sisi kanannya, dengan sikap seperti singa, dan meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang satu lagi, dengan sikap demikian Beliau selalu tetap sadar, penuh perhatian dan setiap saat dapat bangun dengan mudah. Cundaka menempatkan dirinya di depan Sang Bhagava.

      41. Sang Buddha pergi ke sungai Kakuttha yang airnya jernih sejuk menyegarkan. Beliau mandi untuk menyegarkan badannya yang lelah. Sang Buddha yang dihormati dalam semua alam. Setelah selesai mandi dan minum, Sang Buddha lalu berjalan meliwati para bhikkhu yang kemudian mengiringnya. Sang Guru Jagat kemudian pergi ke Ambavana untuk membicarakan dhamma. Di sana Beliau berkata kepada Cundaka, tolonglah lipat jubah luarku dalam empat lipatan, kemudian letakkan di bawah tubuhku.

      Dengan segera Cundaka mengerjakannya dengan rapi. Sesuai dengan permintaan Sang Bhagava. Setelah itu Sang Bhagava berbaring di atas alas itu. Sedangkan Cundaka duduk di hadapannya.

    Tampak jelas sutta memberikan informasi bahwa sang Buddha tidak pingsan, mampu berjalan baik, mampu pergi sendiri untuk mandi 2x, mampu mengajarkan dhamma, pikirannya jernih dan tidak shock.
    Bagaimana mungkin seorang yang dianggap habis pingsan, sedang shock, pucat, menggigil kedinginan malah mandi 2x di musim dingin (imaginasi penulis parinibbana terjadi dimusim dingin)? Lebih wajar jika ini dilakukan di musim panas, bukan?!
Kemungkinan terbesar Sang Buddha diistirahatkan di sebuah penginapan yang terletak di kota Kusinara, di mana Beliau dirawat dan diberi kehangatan. Pandangan ini juga sesuai dengan deskripsi tentang Ananda yang menangis, tidak sadarkan diri, dan berpegangan pada pintu penginapan setelah tahu Sang Buddha akan segera wafat.
    Note:
    Sutta menyatakan bahwa saat Buddha beristirahat ditempat terbuka yang letaknya di pinggiran sungai yang ada hutan kecil [Ambavana], jadi lokasi ini jelas bukan penginapan. Sebelum beristirahat dan sesudah beristirahat ia turun kesungai untuk mandi, jadi tidak benar bahwa beliau beristirahat di penginapan.

    Sutta TIDAK ADA menyatakan nanda menangis sampai tidak sadarkan diri. Disebutkan Ananda pergi sendiri pergi menuju Vihara menyendiri, sementara sang Buddha sedang berbaring di antara dua pohon sala di hutan milik suku Malla.

      Mahaparinibbana Sutta:
      13. kemudian Ananda menuju vihara, bersandar pada tiang pintu dan meratap (rodamāno): "Saya masih seorang siswa (savaka) dan masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Sungguh malang aku ini, Guru yang penuh kasih sayang padaku akan meninggal dunia."

      Kemudian Sang Bhagava bertanya kepada para bhikkhu: "Para bhikkhu, di manakah Ananda?"

      "Bhante, Ananda telah pergi ke vihara, bersandar pada tiang pintu dan meratap: 'Saya masih seorang siswa dan masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Sungguh malang aku ini, Guru yang penuh kasih sayang padaku akan meninggal dunia.'"

      Sang Bhagava menyuruh seorang bhikkhu untuk memanggil Ananda dengan berkata : "Bhikkhu, katakanlah kepada Ananda bahwa Sang Guru memanggilnya."

      "Baiklah bhante," jawab bhikkhu itu. Bhikkhu itu pergi menjumpai Ananda dan mengatakan apa yang diperintahkan oleh Sang Bhagava.

      Kemudian Ananda pergi menemui Sang Bhagava, bersujud kepada Sang Bhagava dan menempatkan diri pada tempat yang tersedia.

    Sutta itu 2 x menyebutkan kata kata ‘menuju vihara dan bersandar pada tiang pintu’. Jadi, lokasi Ananda bukan penginapan namun VIHARA dan Buddha tidak berada di penginapan namn berada di tempat terbuka di bawah 2 pohon sala.
Secara normal, pasien yang menderita mesenteric infarction dapat hidup 10 sampai dengan 20 jam. Dari sutta kita tahu Sang Buddha wafat sekitar 15 sampai 18 jam setelah serangan itu. Selama jangka waktu itu, para pengiringNya telah mengusahakan upaya terbaik mereka untuk menyamankan Beliau, misalnya, dengan menghangatkan kamar istirahatNya, atau dengan meneteskan beberapa tetes air ke mulut Beliau untuk menghilangkan rasa hausNya yang terus-menerus, atau dengan memberikan Beliau minuman herbal. Namun kecil sekali kemungkinannya pasien yang sedang mengigil kedinginan akan membutuhkan seseorang untuk mengipasi diriNya sebagaimana yang dideskripsikan dalam sutta.
    Note:
    Spekulasi penulis bertolak belakang dengan informasi Sutta yang jelas menyebutkan beliau mandi 2x di sungai dan bahkan Bikkhu Upavana tengah mengipasi Sang Buddha. Bagaimana mungkin seorang yang dianggap habis pingsan, shock, pucat, menggigil kedinginan malah mandi 2x dan juga dikipasi?
Beliau mungkin silih berganti pulih dari kondisi kelelahan sehingga memungkinkan diriNya untuk melanjutkan pembicaraan dengan beberapa orang. Kebanyakan kata-kata terakhir Beliau kemungkinan benar adanya, dan kata-kata tersebut dihafal dari satu generasi bhikkhu ke generasi bhikkhu lainnya hingga ditranskripkan. Tapi pada akhirnya,di malam yang semakin larut, Sang Buddha wafat saat septic shock kedua menyerang. Penyakit Beliau berasal dari sebab-sebab yang alami ditambah usia lanjut, sebagaimana yang bisa menimpa siapa saja.
    Note:
    TIDAK ADA sutta menyatakan bahwa Sang Buddha pingsan, mengeluarkan darah, mencret, shock, menggigil kedinginan, tidak mampu berjalan, di tandu, diam di penginapan.

    Aktifitas yang dilakukan seseorang berusia 80 tahun, yang wafat hari itu juga sangat luar biasa, disamping, menceritakan kebesaran Kusinara dimasa lalu, menenangkan Ananda, menerima semua orang dari suku Malla hingga jam pertama malam itu, menabiskan Subhadda sebagai Bikhhu terakhir, yang kelak menjadi Arahat, memberikan wejangan kepada para Bikkhu disana, menanti dengan sabar hingga 3 kali pertanyaan, dan detik-detik menjelang Parinibanna, sang Buddha sempat memberikan pesan, terakhir yaitu "vayadhammā saṅkhārā (Bentukan adalah tidak memuaskan) appamādena (dengan kewaspadaan) sampādetha (capailah tujuan)" dan keluar masuk jhana sebelum parinibbana

Kesimpulan

Hipotesisa yang secara garis besar di uraikan di atas menjelaskan beberapa kejadian dari kisah di dalam sutta, sebut saja, desakan agar Ananda pergi mengambilkan air, permintaan Sang Buddha agar tempat tidurnya dilapisi empat lembar kain, permintaan agar makanan itu dikubur, dan lain sebagainya.

Hipotesa ini juga menyingkap kemungkinan lain yaitu sarana transportasi yang digunakan oleh Sang Buddha untuk pergi ke Kusinara dan ranjang kemangkatanNya. Sukaramaddava, apapun sifat dasarnya, sepertinya bukanlah penyebab langsung dari penyakit Beliau. Sang Buddha wafat bukan karena keracunan mankanan. Melainkan, karena porsi makan, yang relatif terlalu besar untuk saluran pencernaanNya yang sudah bermasalah. Porsi makan inilah yang memicu serangan mesenteric infarction kedua yang mengakhiri hidupNya.

    Note:
    Spekulasi penulis tidak sesuai dan juga tidak mendekati keadaan yang disebutkan di sutta, karena sutta mengatakan hidangan yang diberikan sang Buddha masih bersisa dan juga jauh sekali dari gejala-gejala yang diduga sebagai mesenteric infarction

    Sutta (dan Vinaya) memberikan informasi bahwa mulai di tahun ke-20 kebuddhaannya beliau dilanda beberapa penyakit, kemudian, pada masa vassa terakhir beliau di Veluva, kurang lebih sekitar 10 bulanan sebelum parinibbana, beliau dilanda sakit keras dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang mematikan namun beliau menerimanya tanpa mengeluh, kemudian beliau menundukan penyakitnya yang mengarah pada berlanjutnya kehidupan, beliau sampaikan pada ananda bahwa tubuh beliau semakin tua semakin rentan. Setelah masa vassa berakhir, beliau tetap menetap disekitar Vesali, yaitu di Kutagarasala, hingga kemudian beliau pergi ke cetiya Capala, beliau menetapkan bahwa 3 bulan kemudian beliau akan parinibbana.

    3 Bulan sebelum Parinibbana, beliau meninggalkan Vesali, berjalan secara bertahap menuju Kusinara. Pada hari terakhir dari batas 3 bulan yang telah beliau tetapkan, beliau berada di Pava untuk menerima dana makan terakhir yang menjadi tradisi para Buddha masa lalu sebelum parinibbana. Setelah berakhirnya dana makan, penyakit yang pernah melandanya di Veluva, menyerangnya kembali: bagian area antara leher – Abdomen memerah, dengan rasa sakit menusuk terus menerus yang mematikan namun beliau menerimanya tanpa mengeluh, serta melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Kusinara, ditengah perjalanan beliau dan rombongan bhikkhu beristirahat di bawah pohon untuk menunggu kedatangan Pukkusa dari Mala beserta rombongannya yang akan menerima pengajaran dhamma dari beliau

    Setelahnya, beliau dan rombongan Bhikkhu berjalan sampai sungai Kakhuda dan beristirahat di sana, mandi 2x dan mengajarkan Dhamma pada Para bhikkhu, setelahnya memberikan arahan agar menyampaikan nasehat-nasehat pada Cunda untuk meredakan penyesalannya.

    Setelah sampai Kusinara, beliau mengajarkan DN 17/Maha Sudassana Sutta, berjalan menuju hutan Sala dan berbaring di bawah pohon Sala kembar, sambil dikipasi Bhikkhu Upavana, kemudian beliau meminta seorang bhikkhu agar memanggil Ananda dan beliau kemudian menasehati Ananda untuk menghilangkan kesedihannya, kemudian beliau menerima Subhadda dan menahbiskannya, juga menerima rombongan para penduduk Malla yang datang menemui beliau sebelum beliau Parinibbana hingga jam pertama malam itu, selanjutnya beliau memberikan nasehat dan dorongan pada Para Bhikkhu, setelahnya, beliau masuk-keluar jhana dan kemudian parinibbana

    Dari sekian banyak imaginasi yang ditulisnya, baik itu tulisan yang saling bertentangan sendiri atau pun bertentangan dengan Sutta, hanya satu hal yang benar yang dikatakan sang penulis, yaitu Sukaramaddava bukan penyebab kematian Sang Buddha.

Artikel Berkaitan Lainnya: