BAB I: PENDAHULUAN
Mengapa Harus Mati, Sejak Kapan?
Kematian adalah suatu misteri kehidupan yang telah menyelimuti umat manusia sejak dahulu kala. Namun, bukti nyata atas asal-mula kehadirannya hingga kini masih belum tersingkap. Tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti sejak kapan manusia mengalami kematian, dan mengapa harus mati. Yang ada dan berkembang di masyarakat hanyalah ‘mitos’ yang sukar [kalau bukan muskil] dibuktikan kebenarannya. Mitos bukanlah suatu kenyataan bersejarah (historical evidence). Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang Makhluk Adi insani [pencipta, dewa dan sebagainya] yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, binatang, manusia, atau bangsa itu sendiri, yang kebanyakannya berbumbu kegaiban. Mitos merupakan hasil khayalan, perenungan, pemikiran, penalaran atau spekulasi atas suatu kenyataan yang berada di sekeliling manusia; yang mungkin bernada sangat naif serta kekanak-kanakan ataupun sebaliknya mengandung ajaran-ajaran etika serta filsafat yang amat pelik; yang mungkin berupa dongeng ringan yang tak begitu menuntut kepercayaan ataupun sebaliknya berupa kisah dogmatis yang menjadi pusat keyakinan. Ini semua tergantung pada tingkat peradaban manusia dari mana mitos itu berasal.
Menurut mitos yang dipercayai oleh orang-orang Zulu di Afrika, pada awalnya Tuhan Pencipta yang dikenal sebagai Unkulunkulu sepakat untuk menganugerahi manusia dengan kekekalan (immortality). Kemudian diutus-Nyalah seekor bunglon untuk mengabarkan berita ini kepada manusia: bahwa manusia tidak akan mengenal segala bentuk penderitaan: penyakit, ketuaan, dan kematian. Mereka akan hidup dalam kebahagiaan yang abadi. Bunglon itu berjalan sangat lamban, dan sering berhenti untuk mencari makanan sehingga berita ini belum juga sampai ke manusia. Entah karena alasan apa, Unkulunkulu kemudian berganti pikiran. Diutus-Nyalah seekor kadal untuk mengabarkan kepada manusia bahwa mereka akan mengalami kematian. Walaupun berangkat belakangan, kadal ini sampai ke tempat tujuan lebih dahulu. Berita tentang kematian diterima dengan pasrah oleh manusia. Bunglon yang lamban akhirnya sampai juga, namun beritanya (tentang kekekalan) yang bertolak-belakang dengan apa yang disampaikan oleh kadal tidak diper cayai oleh manusia. Sejak saat itulah, manusia mengalami kematian. Kegagalan manusia dalam menikmati kehidupan yang kekal bukanlah disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendiri, melainkan semata-mata karena kelalaian seekor binatang yang menyampaikan berita Tuhan.
Mitos yang bernada sedikit berbeda disajikan oleh suku Gudji dan Darasa di Afrika. Pada awalnya tidak ada satu makhluk pun yang mengalami kematian. Semuanya hidup dalam kekekalan. Kemudian pada suatu hari timbullah kemelitan (curiosity) dalam benak Tuhan untuk menguji siapakah gerangan yang lebih patut menikmati kekekalan, laki-laki ataukah ular. Sang Pencipta selanjutnya mengadakan perlombaan di antara kedua makhluk itu. Di tengah lomba balap ini, laki-laki bertemu dengan wanita. Karena terpikat oleh kecantikannya, ia berhenti untuk bercakap-cakap. Sedemikian lama percakapan ini berlangsung sehingga ia tertinggal jauh dan si ular sampai lebih duluan. Tuhan kemudian berkata kepada laki-laki: “Kamu telah terkalahkan. Ular ternyata lebih berharga daripada kamu. Binatang ini akan Kuberkahi kehidupan yang kekal, sedangkan kamu akan mengalami kematian. Demikian pula semua keturunanmu.”
Mitos ini menempatkan wanita sebagai penggoda yang menghalangi upaya manusia dalam meraih kekekalan, suatu tema utama yang lazim terdapat dalam masyarakat yang kurang begitu menghargai harkat serta martabat kaum wanita. Sementara itu, ular dianggap memiliki kekekalan mungkin karena kemampuannya dalam berganti kulit [Jawa: mlungsungi], yang seolah-olah dapat terus memperpanjang atau memperbaharui kehidupan. Padahal, dalam kenyataan yang dapat dibuktikan sekarang ini, ular pun sebenarnya tidak luput dari kematian.
Sesungguhnya masih ada banyak mitos lain yang mengisahkan asal-mula kematian yang dialami oleh umat manusia, misalnya mitos yang dipercayai oleh suku Indian, Shawnee, Maori, Ningpo, dll. Kiranya tidak mungkin untuk dapat menuturkan semuanya dalam buku ini. Di sini hanya akan disebutkan satu mitos lagi, yang paling dikenal banyak orang, yakni mitos yang terkisahkan dalam Alkitab. Kejatuhan manusia dalam dosa dianggap sebagai penyebab awal mengapa manusia harus mengalami kematian. Karena dipercayai sebagai pencipta yang Maha Pengasih, tidaklah mungkin bagi Tuhan untuk menakdirkan kematian sejak pertama kalinya. Tuhan pada awalnya menciptakan manusia bukanlah untuk kematian melainkan untuk kekekalan. Adam (laki-laki pertama) diciptakan sesuai dengan citra-Nya. Ia ditempatkan di Taman Eden, yang merupakan suatu bagian dari kediaman Tuhan.
Supaya tidak kesepian, kemudian dari tulang rusuk laki-laki ini dibentuk-Nyalah seorang perempuan (Hawa) sebagai pasangan hidup. Meski berada dalam keadaan telanjang bulat, mereka tidak merasa malu karena Tuhan tidak memberi pengetahuan tentang hal ini. Tuhan mengizinkan mereka untuk memakan buah dari segala pohon yang ada di taman kecuali “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” dan “pohon kehidupan”.
Apabila larangan ini dilanggar, mereka niscaya akan mengalami kematian pada hari itu pula. Tuhan menghendaki mereka selamanya tetap berada dalam keadaan seperti layaknya anak kecil yang lugu (childlike innocence) dalam arti hanya memiliki pengetahuan sebatas yang layaknya diketahui oleh anak-anak kecil. Hingga kini istilah “anak-anak Allah” masih lazim dipakai untuk merujuk pada orang-orang yang rajin ke gereja dan menaati perintah Tuhan.
Entah dengan tujuan apa, Tuhan juga meletakkan ular (serpent)[1] di dalam taman itu. Dituturkan bahwa ular adalah binatang yang paling cerdik di antara segala binatang di darat yang dijadikan oleh Tuhan. Namun, tidak dijelaskan bagaimana mungkin pikiran jahat timbul dalam binatang ini untuk membujuk Hawa agar memakan buah pohon pengetahuan. Tertarik oleh bujukan ini, Hawa mengambil buah itu dan membaginya kepada suaminya. Sehabis memakannya, terbukalah mata mereka berdua. Karena tahu dan malu berada dalam keadaan bertelanjang bulat, mereka lalu menyematkan daun pohon ara dan membuat cawat. Ketika mendengar bunyi langkah Tuhan yang sedang berjalan-jalan[2] di taman pada hari yang sejuk, bersembunyilah mereka dari kehadiran Tuhan di antara pepohonan dalam taman. Mereka tidak dapat bersembunyi selamanya. Ketika dipanggil-panggil oleh Tuhan, mereka terpaksa harus menyahut dan menjelaskan semua yang terjadi.
Mengetahui bahwa perintah-Nya telah dilanggar, murkahlah Tuhan. Ular yang telah bersalah membujuk Hawa dikutuk menjadi binatang yang menjalar dengan perut. Itu saja tidak cukup, Tuhan bahkan juga menciptakan permusuhan abadi antara ular dengan seluruh keturunan manusia.
Dengan begitu, seandainya ada manusia yang tewas karena tergigit ular berbisa atau sebaliknya ada ular yang mati terbunuh oleh manusia, keduanya bukanlah atas kehendak yang bersangkutan sendiri; sebagai suatu pelampiasan kebencian ataupun merupakan risiko dari pembelaan diri atas bahaya yang mengancam jiwa masing-masing, melainkan semata-mata karena akibat kutukan Tuhan. Adam dan Hawa pun tidak luput dari kutukan Tuhan; mereka diganjar dengan kehidupan yang penuh dengan pelbagai kesengsaraan, kesusahan, kesakitan, dan penderitaan.
Dalam pada itu, Tuhan merasa bahwa kedaulatan-Nya kini terancam oleh sifat keingintahuan manusia. Manusia hendak menjadi Tuhan, yang tahu atas segala hal. Manusia telah melampaui apa yang sebelumnya secara eksklusif hanya boleh dimiliki oleh Tuhan.[3] Tuhan tidak rela membagi ke lebihan ini kepada yang lain. Sebab, apabila ada pihak lain entah manusia, malaikat, iblis atau binatang– berhasil memilikinya, keberadaan Tuhan dalam Alam Semesta yang diciptakan-Nya niscaya menjadi tidak berbena (insignificance). Ini diakui sendiri oleh Tuhan sebagaimana yang tersurat dalam firman-Nya: “Sesungguhnya manusia telah menjadi seperti salah satu dari Kita, mengetahui kebaikan dan kejahatan; maka sekarang janganlah sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya.”
Takut kalau manusia berbuat lebih jauh, dengan mengambil buah pohon kehidupan yang dapat membuat kekal (hidup selama-lamanya), Tuhan segera mengusir mereka dari Taman Eden. Merasa khawatir bahwa tindakan pencegahan ini masih belum cukup aman, Tuhan kemudian memagari pohon kehidupan itu dengan pedang yang menyala-nyala dan menyambar-nyambar.
Demikianlah ringkasan kisah yang menceritakan kejatuhan manusia ke dalam dosa [melanggar perintah Tuhan], yang membuat seluruh umat manusia keturunan Adam mewarisi kematian. “Sebagaimana dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu orang, dan kematian melalui dosa, begitulah kematian tersebar luas ke se luruh umat manusia.”
Berbeda dengan para pendiri agama lain yang dogmatis serta ilmuwan yang melit, Buddha Gotama tidak begitu tertarik untuk melibatkan diri dalam spekulasi atas asal-usul Alam Semesta ini: apakah berbatas (finite) atau nirbatas (infinite), adakah titik awal (alpha) serta titik akhir (omega), apakah pada mulanya kehidupan itu bersifat kekal atau tidak, bagaimana kematian serta penderitaan muncul pertama kalinya. Spekulasi atas Alam Semesta (lokacintâ) semacam itu merupakan salah satu dari empat hal yang tidak selayaknya dipikirkan (acinteyyâni) karena dapat membuat seseorang menjadi sinting. Melacak asal-usul Alam Semesta samalah sia-sianya dengan memperdebatkan manakah yang ada lebih dahulu antara ‘ayam’ dan ‘telur ayam’ suatu lingkaran setan yang tidak mungkin dapat ditemukan ujung-pangkalnya. Dalam Saæyutta Nikâya[4], Beliau bersabda, “Awal serta akhir daur Saæsara [kelahiran dan kematian] ini tidaklah dapat ditentukan [diprakirakan, diperhitungkan, dibayangkan, dipahami]. Permulaan pengembaraan makhluk-makhluk yang terselubungi oleh ketaktahuan (avijjâ) dan terbelenggu oleh keinginan (taóhâ) tidaklah tertampak.”
Seandainya semua batang rumput, kayu, pohon, ranting dan daun di Jambudîpa dikumpulkan dan dihitung, jumlahnya tidaklah cukup untuk dipakai dalam menelusuri ibu, nenek, buyut hingga sampai pada nenek-moyang yang pertama. Selama pengembaraan yang panjang ini, air mata yang mengalir serta menggenang dari makhluk hidup yang menangis serta meratap karena mengalami sesuatu yang tak memuaskan dan karena terpisahkan dari sesuatu yang dicintai, jauh melebihi banyaknya air di empat samudra.
Dalam buku berjudul “Why I Am Not a Christian?”, Bertrand Russell[5] menuliskan: “Sama sekali tidak ada alasan untuk mengira bahwa dunia ini berawal. Gagasan bahwa segala sesuatu harus mempunyai per mulaan timbul karena miskinnya daya-khayal (imagination).”
[Note: Untuk mengetahui manusia pertama versi masing-masing agama, dapat dilihat di sini dan di sini]
Upaya Mengatasi Kematian
Kematian adalah suatu tragedi kehidupan yang paling mengenaskan bagi umat manusia. Diperkirakan, dalam tiap-tiap hari ada sekitar dua ratus ribu orang yang mati di dunia ini. Kematian tidak hanya mencengkeram mereka yang lanjut usia. Bahkan bayi yang belum lahir pun, yang masih dalam kandungan ibunya, tidak luput dari sorotannya. Kematian tidak pernah pandang bulu; tua muda, besar kecil, kaya miskin, kuasa lemah, mulia hina, pandai bodoh, terpandang ternista, dlsb.
Karena sedemikian kuat hasrat hidup, kecintaan serta kemelekatan pada kehidupan dan karena naluri perjuangan untuk mempertahankan kehidupan (struggle for survival) –sebagaimana makhluk-makhluk hidup lainnya–; manusia tidak pernah menyerah pasrah pada kenyataan hidup yang pahit ini. Segala cara dipakai; segala terobosan dicoba; segala upaya dilakukan untuk mengatasi kematian. Keadaan Tanpa Kematian (Deathless) sesungguhnya adalah Kekekalan (Immortality) itu sendiri, yang menjadi tujuan akhir bagi semua makhluk.
Kekekalan tidak hanya merupakan idaman umat manusia. Dikisahkan dalam mitologi Hindu bahwa para dewa (gods) berperang mat-imatian dengan para iblis (demons) untuk memperebutkan belanga berisi air kekekalan (am ta, elixir). Konon pada awalnya kedua jenis makhluk itu saling bekerja-sama. Gunung Mandara dicukil untuk dijadikan sebagai tongkat pengaduk. Seekor naga bernama Vasuki mempersembahkan diri nya untuk dipakai sebagai tali pengikat. Setelah dililitkan pada tongkat pengaduk, salah satu ujung dari tali itu dipegang oleh para dewa sedangkan ujung lainnya dipegang oleh para iblis.
Suatu landasan yang mapan dibutuhkan untuk menopang tongkat pengaduk. Vi Su [Visnu] kemudian menjelmakan diri sebagai kura-kura (kûrma), dan menjadikan punggungnya sebagai landasan penopang. Setelah semuanya beres, mulailah para dewa dan iblis bergotong-royong mengaduk samudra susu. Akhirnya, Matahari serta Bulan muncul dari tengah samudra, yang diiringi oleh Dhanvantari –tabib para dewa– yang menjinjing sebuah belanga berisi air kekekalan. Timbullah persengketaan di antara para dewa dan iblis atas hak pemilikan air kekekalan itu. Ini kemudian menjadi sumber peperangan. Bukannya kekekalan yang mereka dapatkan, melainkan permusuhan yang berkepanjangan.
Sebuah mitos Hindu lainnya menceritakan tentang para naga (serpents) yang memperbudak induk burung Garuòa, dan hanya mau membebaskannya apabila diberi tebusan berupa air kekekalan. Dengan sejumlah kesukaran, Garuda memperlihatkan prestasinya. Dalam perjalanan pulang dari Surga, ia berjumpa dengan Vi Šu [Visnu] dan bersedia untuk mengabdikan diri sebagai kendaraannya.
Seluruh bagian dari alam semesta ini dipandang oleh para penganut Agama Hindu sebagai suatu pengejawantahan dari kedewaan yang hakiki. Waktu (time) dipahami sebagai suatu pengulangan yang nirbatas dari lingkaran panjang yang sama di mana para dewa, iblis, dan pahlawan mengulangi tindakan-tindakan legendaris mereka. Dalam mitologi Hindu, Soma mewakili dewa Bulan (Moon). Ia digambarkan sedang melayang di langit dengan kendaraan yang dihela oleh kuda-kuda putih.
Soma juga merupakan nama dari air kekekalan yang hanya dapat diteguk oleh para dewa. Bulan dianggap sebagai gudang penyimpanan air kekekalan. Karena air kekekalan ini merupakan minuman yang memabukkan, dewa Soma juga sering dikaitkan dengan kemabukan. Ketika para dewa meminum Soma, bulan akan meredup karena para dewa sedang menghabiskan sifat kekekalan mereka.
Dalam kepercayaan Yunani juga dikenal adanya ‘ambrosia’, suatu makanan surgawi. Walaupun tidak selamanya dianggap sebagai penyebab utama bagi kekekalan para dewa, makanan ini dipercayai dapat membuat mereka yang tak kekal (mortal) menjadi kekal.
Kepercayaan tentang kekekalan jasmaniah, di kalangan orang-orang Cina, dapat ditelusuri hingga abad kedelapan Sebelum Masehi. Beberapa abad kemudian, mencuatlah gagasan atas kemungkinan tercapainya kekekalan jasmaniah melalui ramuan obat mujarab. Upaya peracikan obat yang diharapkan dapat membuat seseorang terbebas dari segala penyakit serta memperpanjang kehidupan dan bahkan memperoleh kekekalan hidup ini dikenal dengan sebutan alkimia (alchemy).[6]
Alkimia sebenarnya terbagi menjadi dua, yakni alkimia bagian dalam (nei-tan)[7], dan alkimia bagian luar (wai-tan). Ini bercikal-bakal pada beberapa aspek ajaran Taoisme yang bersifat mistik, yang berkembang pesat sejak abad keenam Sebelum Masehi. Dalam Taoisme dipercayai adanya Hsien atau orang-orang yang memperoleh kekekalan hidup dan kekuatan kedewaan melalui upacara ritual serta penerapan alkimia. Ada tiga tingkatan kekekalan, yakni: Tianshen (surgawi), yang dapat terbang; Dishen (duniawi), yang hidup di gunung-gunung atau hutan-hutan; Shijieshen (nirbadan), yang secara sederhana menanggalkan tubuhnya setelah kematian.
Delapan orang kekal yang utama dan terkenal diperlakukan sebagaimana layaknya para dewa. Rujukan tentang penyempurnaan diri (self-perfection) serta kekekalan para Hsien dicerap secara harfiah oleh sementara penganut Taoisme belakangan, yang membawa mereka pada percobaan alkimia. Sebagaimana orang-orang Mesir, orang-orang Cina memperoleh pengetahuan alkimia praktis dari teori-teori yang salah.
Ko Hung, ahli alkimia yang sangat terkenal dengan karya tulisnya berjudul Pao-p’u-tzu, bahkan mengakui bahwa ia sendiri tidak pernah berhasil meracik obat kekekalan hidup. Ramuan obat kekekalan hidup ini pada dasarnya terdiri atas emas (gold), air raksa (mercury), belerang (sulfur), warangan (arsenic) dan unsur-unsur lain yang sesungguhnya merupakan racun (poison). Sudah tentu, bukannya kekekalan hidup yang diperoleh oleh orang-orang yang memakannya, melainkan justru kematian yang menyakitkan. Dalam catatan sejarah Cina, ada tidak sedikit raja serta kaisar Cina yang tergila-gila pada upaya pencaharian obat kekekalan hidup.
Shih Huang Ti (259-210/209 SM) adalah kaisar pertama dalam Dinasti Ch’in, yang didirikannya sendiri setelah berhasil mempersatukan seluruh daratan Cina. Ia secara terbuka memerangi kepercayaan Khong Hu Cu (Confucianism) yang dinilai mengandung falsafah hidup bermasyarakat yang bersifat feodal. Pada akhirnya ia berhasil menghancurkan sistem feodalisme secara menyeluruh, namun tidak mampu menghapus secara total kepercayaan Khong Hu Cu yang dianut oleh para bangsawan. Shih Huang Ti adalah seorang kaisar yang amat takut pada kematian.
Dengan pelbagai cara ia berusaha menghindari kematian yang senantiasa menghantui kehidupannya. Ia sering berkhayal bahwa dinasti kekaisaran yang didirikannya itu paling tidak dapat bertahan hingga 10,000 generasi.[8] Walaupun memiliki wawasan yang luas serta kecakapan yang luar biasa dalam menjalankan pemerintahan[9], ia gampang percaya pada hal-hal yang berbau mistik serta ketakhayulan. Ia dengan penuh hormat mendengarkan anjuran semua orang yang mewakili ajaran Lao Tse (Taoisme) meskipun sesungguhnya mereka adalah dukun-dukun klenik (charlatans). Kecenderungannya pada ajaran Taoisme dilandasi oleh hasrat besar untuk memperoleh obat kekekalan hidup.
Konon dikatakan bahwa dalam salah satu perjalanannya, ia berjumpa dengan seorang penjual obat di pantai Laut Kuning (Yellow Sea). Sepanjang tiga hari tiga malam, ia bercakap-cakap dengannya tentang hal-hal yang berbau mistik, khususnya tentang obat kekekalan hidup. Tukang obat itu kemudian menghilang secara misterius –setelah meninggalkan sepucuksurat berisi petunjuk agar kaisar mencarinya di Pulau Kekekalan yang mengarah pada jurusan timur Laut Kuning [mungkin Jepang yang dimaksud]. Shih Huang Ti segera memerintahkan Jofuku (Xu Fu) untuk berangkat ke sana dengan ratusan kapal, ribuan awak.
Selama bertahun-tahun, rombongan ini tidak juga kunjung kembali. Meski demikian, ia belum kehilangan kepercayaan terhadap para dukun klenik. Bahkan untuk urusan-urusan kenegaraan, ia tidak segan-segan untuk berkonsultasi kepada mereka. Ini menjadi sumber kritikan serta kecaman dari para penganut Khong Hu Cu. Konon dikatakan bahwa Shih Huang Ti dengan sewenang-wenang menghukum mati 460 orang di antara mereka.
Perselisihan yang berlarut-larut antara kaisar dengan para pemeluk kepercayaan Khong Hu Cu, yang secara gigih berusaha menghidupkan kembali tatanan feodal, membawa pada tindakan pembredelan, penyitaan serta pembakaran karya-karya tulis yang dianggap mengancam kelangsungan kekuasaannya. Tahun-tahun terakhir masa kehidupan Shih Huang Ti diwarnai dengan semakin maraknya usaha pembunuhan (assassination) terhadap dirinya. Paling tidak ada tiga kali yang hampir merenggut nyawanya. Ancaman semacam ini membuatnya semakin bergegas dalam mencari obat kekekalan hidup.
Setelah memerintah selama sebelas tahun, ia akhirnya wafat pada tahun 210/209 SM di Propinsi Shandong, yang terletak jauh dari ibukota Xianyang, dalam suatu perjalanan yang panjang untuk memperoleh obat kekekalan hidup. Ada yang mengira bahwa penyebab kematiannya ialah tekanan jiwa (depression). Namun, sesungguhnya, sedikit banyak ini merupakan komplikasi dari obat kekekalan hidup yang dimakannya, yang dipercayai dapat mengekalkan kehidupannya tetapi dalam kenyataan justru merupakan racun yang menggerogoti kesehatannya.
Seperti halnya Shih Huang Ti, kaisar dalam dinasti Han yang bergelar Wu Ti (157-87 SM) juga terpikat dengan obat kekekalan hidup. Perbedaannya, meskipun menjalankan kebijakan pemerintahan yang bersifat agresif, kaisar yang belakangan ini tidak memusuhi kepercayaan Khong Hu Cu. Bahkan, kepercayaan ini dijadikan sebagai falsafah negara–suatu tindakan yang membawa pada pengaruh yang kuat serta langgeng sepanjang sejarah Cina. Ia tidak ingin keberhasilan yang telah diraihnya, perluasan daerah kekuasaannya sampai ke negara-negara tetangga, akan musnah begitu saja tatkala kematian menjemput dirinya.
Hasratnya untuk memperoleh kekekalan hidup tidaklah pernah reda. Ia menghabiskan anggaran negara yang sangat besar untuk tujuan ini, termasuk mengirimkan beberapa utusan untuk pergi ke Pulai Kekekalan serta membangun sarana-sarana pemujaan ritual yang mewah. Ia rela untuk memberikan hadiah yang besar bagi siapa saja yang dapat memberikan informasi yang menuju pada perolehan obat kekekalan hidup. Empat tahun terakhir masa kehidupannya dipenuhi dengan pengasingan diri serta penyesalan.
Kaisar yang penuh kecurigaan terhadap orang-orang sekeliling ini menderita penyakit jiwa [kehilangan kepribadian yang akut] tatkala ahli warisnya dituduh telah mempergunakan ilmu hitam (black-magic) terhadap dirinya. Dengan perasaan putus asa, putra kaisar menggalang unjukrasa yang menelan korban ribuan jiwa. Sementara itu, ahli waris kaisar melakukan bunuh-diri. Menjelang kematiannya, kaisar sempat menobatkan putranya yang berumur delapan tahun sebagai pengganti ahli waris tahta kerajaan. Kaisar Wu Ti adalah salah seorang dari sejumlah besar orang Cina yang sangat berhasrat untuk memperoleh kekekalan hidup, namun justru harus mengakhiri kehidupannya secara menyedihkan. Ini tidak lain karena ia telah melangkah pada jalan yang sesat.
Upaya mencari obat kekekalan hidup tetap berlanjut hingga berabad-abad. Chia-Ching adalah seorang kaisar dalam Dinasti Ming [didirikan pada tahun 1368 Masehi] yang dengan memboroskan anggaran negara dalam jumlah besar berusaha melindungi serta mendukung para ahli alkimia penganut kepercayaan Taoisme –dengan harapan untuk memperoleh obat kekekalan hidup. Joseph Needham (1900-1995) adalah pakar biokimia serta sinologi Inggris yang berhasil membuat daftar kaisar-kaisar Cina yang kemungkinan mati karena keracunan obat kekekalan hidup. Hasrat orang-orang Cina untuk memperoleh kekekalan hidup dengan cara meracik ramuan obat-obatan mulai berkurang seiring dengan masuknya Agama Buddha ke negara Cina. Agama Buddha mengajarkan paham Kekekalan atau Keadaan Tanpa Kematian yang unik, yang tiada duanya di dunia ini.
Walaupun tidak didukung oleh bukti-bukti yang telak, alkimia memang dapat dianggap sebagai cikal-bakal ilmu pengetahuan modern di bidang kimia medis atau farmasi (pharmacy) yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Hingga dewasa ini telah ada lebih dari 10,000 jenis obat-obatan yang diproduksi serta dipergunakan secara luas. Namun, semua ini hanya mampu menyembuhkan seseorang dari suatu penyakit tertentu pada waktu yang terbatas. Tak ada satu obat pun yang dapat membuat seseorang terbebas dari kematian. Pengobatan medis hanya mampu menunda kematian pada batas-batas waktu tertentu: satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, atau paling lama seratus tahun. Pada akhirnya, cepat atau lambat, kematian tidaklah dapat dihindari lagi. Ilmu pengetahuan modern –secanggih apa pun– tidaklah mungkin dapat dijadikan sandaran bagi umat manusia dalam upaya mengatasi kematian serta memperoleh Kekekalan. Perlu dicari suatu jalan lain yang benar-benar dapat mewujudkan harapan ini. Jalan ini kiranya hanya dapat dijumpai dalam Agama Buddha.
Sang Penakluk Kematian
Kematian adalah suatu kenyataan hidup yang secara drastic mengubah alur kehidupan Pangeran Siddhattha. Selama dua puluh sembilan tahun, Beliau dibesarkan oleh Raja Suddhodana dengan segala kenikmatan inderawi. Tiga istana yang megah dibangun sebagai tempat peristirahatan yang nyaman sepanjang tiga musim. Pola hidup yang mengutamakan ke bahagiaan duniawi semacam ini membuat Beliau kurang begitu berkesempatan untuk mengetahui serta merenungkan kenyataan hidup yang sesungguhnya.
Rangkaian peristiwa yang dialami oleh Beliau dalam suatu perjalanan ke luar istana dengan didampingi oleh seorang kusir bernama Channa tersebut dapat dikisahkan sebagai berikut:
Tatkala melihat orang berusia lanjut yang sedang berdiri di pinggir jalan, Pangeran Siddhattha merasa heran dan bertanya: “Apakahitu? Ia tampak seperti manusia, tetapi rambutnya beruban, giginya ompong, dagunya menurun, kulitnya kering serta berkeriput, matanya redup, punggungnya bungkuk, liku-liku tulang rusuknya kentara,badannya kurus, dan ia takmampu menegakkan tubuhnya sehingga harus bergantung pada tongkat penyanggah.”
Dengan jujur Channa menjelaskan: “Pangeran, itu adalah orang tua. Orang yang telah berusia lanjut; enam puluh, tujuh puluh, delapan puluh tahun atau lebih. Keuzuran tubuhnya tertampak jelas. Ini bukanlah suatu hal yang perlu diresahi. Ini sangat wajar. Kita semua niscaya akan menjadi tua.”
Pangeran bertanya lebih lanjut: “Kamu bermaksud untuk mengatakan bahwa kita semua pasti akan menjadi seperti itu? Pasti menjadi tua? Yasodharâ, Saya, Kamu dan seluruh kerabat-kerabat belia Saya suatu saat pasti akan menjadi seperti itu?” “Ya, Pangeran,” jawab Channa, “itu adalah suatu hal yang wajar bagi kita semua.”
Peristiwa kedua yang dilihat oleh Pangeran Siddhattha ialah orang sakit. “Apa, apa yang saya lihat ini?” tanya Beliau, “orang ini terlalu lemah untuk dapat berdiri. Ia muntah-muntah serta mengejang kesakitan. Matanya yang merah melotot keluar mencerminkan ketakutan sedangkan mulutnya mengeluarkan busa. Ia bahkan takbisa duduk dengan tenang. Dadanya dipukuli, dan sambil berguling-guling ia mengerang-erang de ngan menyedihkan. O apa yang dimaksud dengan semua ini?”
“Itu adalah orang yang sedang sakit parah,” jawab Channa. “Tubuhnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Suhu badannya meninggi,dan karena inilah ia mengerang-erang kesakitan.”
“Apakah ini merupakan suatu hal yang jarang terjadi? Apakah ini wajar bagi semua makhluk? Apakah kita semua dapat ditimpa penyakit?” Inilah rentetan pertanyaan penuh kegelisahan yang diuncarkan oleh Pangeran Siddhattha.
“Ya Pangeran, kita semua dapat ditimpa penyakit,” jawab Channa. “Namun,” lanjutnya, “dengan merawat kesehatan dan sebagainya, kita mungkin dapat terjauhkan dari penyakit. Karena itu, tidaklah perlu mengkhawatirinya.” Jawaban Channa ini tidak berhasil membendung arus pemikiran yang sedang berkecamuk dalam diri Pangeran Siddhattha.
Selanjutnya Pangeran Siddhattha menjumpai iring-iringan orang mati yang akan diperabukan. “Channa, Channa, apakah ini?” tanya Pangeran. “Mengapa orang-orang ini menangis menggerung-gerung sambil mencabik-cabik pakaian mereka? Mengapa air mata mereka bercucuran? Mengapa wajah mereka tergoresi kesedihan? Apa pula yang sedang mereka gotong itu? Yang tampak sangat berbeda dengan orang-orang di sekelilingnya? Yang membisu, yang wajahnya tak berekspresi, yang berdiam mematung?”
“Pangeran,” jawab Channa, “Yang berada dalam iring-iringan tersebut adalah jenazah. Orang-orang lainnya adalah sanak-keluarga yang ditinggal mati. Mereka berkabung serta meratapinya karena mereka tidak dapat berjumpa lagi dengan orang yang sudah mati. Ia telah pergi untuk selamanya.
“Apakah kematian itu?” tanya Pangeran lebih lanjut, “Mengapa dan bagaimana seseorang mengalami kematian? Apakah semua orang pada suatu saat pasti mati?”
“Kematian adalah akhir kehidupan,” jawab Channa. “Semua makhluk hidup, cepat atau lambat, pasti akan mengalami kematian. Tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”[10]
Ketiga kenyataan hidup tersebut menjadi bahan perenungan yang mendalam bagi Pangeran Siddhattha. Berikut ini adalah beberapa kutipan yang Beliau ceritakan sendiri kepada para bhikkhu: Walaupun hidup bergelimpangan dengan kekuasaan serta kemewahan, Saya sempat berpikir: “Tatkala orang awam yang tak terpelajar –yang tunduk pada ketuaan, kesakitan dan kematian– melihat orang lain yang tua, sakit dan mati; ia niscaya akan terkejut, jijik dan takut; karena ia lupa bahwa dirinya sendiri tidaklah terkecuali. Namun, Saya pun mengalami ketuaan, kesakitan dan kematian; tidak terbebas dari ketuaan, kesakitan dan kematian. Oleh sebab itu, sesungguhnya tidaklah layak bagi Saya untuk terkejut, jijik dan takut sewaktu melihat orang lain mengalami ketuaan, kesakitan dan kematian. Ketika menyadari hal ini, hilanglah kebanggaan terhadap kebeliaan, kesehatan dan kehidupan dalam diri Saya.”
Sewaktu masih belum meraih Pencerahan Agung; sewaktu masih menjadi Bodhisatta (calon Buddha), Saya masih mengalami [tunduk pada] kelahiran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin. Namun, Saya masih juga mencari sesuatu yang dipengaruhi oleh hal-hal ini. Kemudian Saya berpikir: “Mengapa Saya –yang masih mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin–, masih juga mencari sesuatu yang dipengaruhi oleh hal-hal ini? Andaikata, Saya yang masih mengalami hal-hal semacam ini, menyadari bahaya dari semua itu dan kemudian mencari Pembebasan Sejati (Nibbâna) yang tiada taranya; yang tidak mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kematian, kesedihan, dan yang terbebas dari segala kekotoran batin?”
“Dunia ini dipenuhi oleh penderitaan: lahir, tua, sakit, mati dan lahir kembali. Kendati demikian, masih juga belum diketahui adanya jalan keluar dari penderitaan. Kapankah jalan keluar dari penderitaan ini akan terungkapkan?”
Setelah berjumpa dengan seorang pertapa yang mengaku sedang mencari jalan keluar dari penderitaan, Pangeran Siddhattha akhirnya memutuskan diri untuk menanggalkan keduniawian. Pada mulanya pertapa Gotama berguru kepada Âïâra Kâlâma. Tak berapa lama, Beliau berhasil mencapai meditasi tingkat Âkiñcaññâyatana [berobjek Kehampaaan].
Takpuas dengan pencapaian ini, Beliau pun pergi berguru kepada Uddaka Râmaputta. Pertapa ini hanya mampu menghantarkan Beliau pada pencapaian meditasi tingkat Nevasaññânâsaññâyatana [berobjek Bukan Ingatan Bukan pula Tanpa Ingatan].
Karena semua petunjuk yang diperoleh dari guru-guru lain tidak mampu membawa pada pembebasan mutlak dari penderitaan, Beliau selanjutnya pergi dan bertinggal di Hutan Uruvelâ. Di sinilah, dengan ditemani oleh lima orang pertapa lainnya (pañcavaggiya), Beliau melakukan praktek penyiksaan diri (attakila-mathânuyoga) selama bertahun-tahun. Ini bukan saja tidak dapat membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, melainkan justru hampir merenggut jiwa Beliau. Akhirnya Beliau menempuh Jalan Tengah (Majjhimâ Paöipadâ) yang terbebas dari dua pinggiran berlebih-lebihan. Berikut ini adalah kutipan peristiwa saat-saat menjelang Pencerahan Agung:
Saya berpikir: “Apa yang ada ketika ketuaan dan kematian muncul? Apa yang menjadi kondisi atau sebab ketergantungan (paccaya)?” Dengan pengarahan batin yang benar, Beliau memahami secara arif bahwa: “Manakala ada kelahiran (jâti), ketuaan dan kematian muncul. Ketuaan dan kematian muncul karena adanya kelahiran sebagai sebab ketergantungan.”
Selanjutnya Beliau merenungkan Sebab Musabab yang Saling Bergantungan (Paöiccasamuppâda) dalam rangkaian teringkas berikut:
“Manakala ada perwujudan (bhava), kelahiran muncul. Kelahiran muncul karena adanya perwujudan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada kemelekatan (upâdâna), perwujudan muncul. Perwujudan muncul karena adanya kemelekatan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada keinginan (taóhâ), kemelekatan muncul. Kemelekatan muncul karena adanya keinginan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada perasaan (vedanâ), keinginan muncul. Keinginan muncul karena adanya perasaan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada sentuhan (phassa), perasaan muncul. Perasaan muncul karena adanya sentuhan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada enam landasan indera (saïâyatana), sentuhan muncul. Sentuhan muncul karena adanya enam landasan indera sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada batin dan jasmani (nâma-rûpa), enam landasan indera muncul. Enam landasan indera muncul karena adanya batin dan jasmani sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada kesadaran [bertumimbal lahir] (viññâóa), batin dan jasmani muncul. Batin dan jasmani muncul karena adanya kesadaran [bertumimbal lahir] sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada perpaduan berkehendak (saõkhâra), kesadaran [bertumimbal lahir] muncul. Kesadaran [bertumimbal lahir] muncul karena adanya perpaduan berkehendak sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada ketaktahuan (avijjâ), perpaduan berkehendak muncul. Perpaduan berkehendak muncul karena adanya ketaktahuan sebagai sebab ketergantungan.”
“Jika tidak ada ketaktahuan, tak ada pula perpaduan berkehendak.
Jika tidak ada perpaduan berkehendak, tak ada pula kesadaran bertumimbal lahir.
Jika tidak ada kesadaran bertumimbal lahir, tak ada pula batin dan jasmani.
Jika tidak ada batin dan jasmani, tak ada pula enam landasan indera.
Jika tidak ada enam landasan indera, tak ada pula sentuhan.
Jika tidak ada sentuhan, tak ada pula perasaan.
Jika tidak ada perasaan, tak ada pula keinginan.
Jika tidak ada keinginan, tak ada pula kemelekatan.
Jika tidak ada kemelekatan, tak ada pula perwujudan.
Jika tidak ada perwujudan, tak ada pula kelahiran.
Jika tidak ada kelahiran, tak ada pula ketuaan dan kematian; tak ada pula kesedihan (soka), keluhkesah (parideva), penderitaan (dukkha), kekecewaan (domanassa), keputus-asaan (upâyâsa).”
“Timbullah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, ketahuan dan penerangan yang belum pernah Saya dengar sebelumnya… Saya berpikir: ‘Inilah jalan menuju Pencerahan yang telah Saya raih…’ Apakah jalan itu? Yakni Jalan Mulia Berfaktor Delapan:
1. Pandangan Benar (Sammâdiööhi),
2. Pikiran Benar (Sammâsaõkappa),
3. Ucapan Benar (Sammâvâcâ),
4. Tindakan Benar (Sammakammanta),
5. Penghidupan Benar (Sammââjiva),
6. Upaya Benar (Sammâvâyâma),
7. Penyadaran Benar (Sammâsati),
8. Pemusatan Benar (Sammâsamâdhi).”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, suci, cemerlang, tanpa kekotoran, bebas dari noda-noda halus, lunak [cocok untuk dipergunakan], mantap, takbergeming; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan dalam menelusuri kehidupan-kehidupan lampau (pubbenivâsânusatiñâóa). Saya mengingat banyak kehidupan lampau, yakni satu kelahiran, dua, tiga, … seratus, seribu, seratus ribu, banyak masa penyusutan dunia, pengembangan dunia, penyusutan dan pengembangan dunia: ‘Pada kehidupan itu Saya mempunyai nama, keturunan, penampilan, makanan, pengalaman suka duka, rentang usia; dan setelah meninggal dari sana, Saya terlahirkan kembali di tempat lain, dan di situ Saya mempunyai nama, … ; –demikianlah secara terinci dan khusus Saya menelusuri banyak kehidupan lampau Saya. Inilah pengetahuan pertama yang Saya raih pada waktu permulaan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan atas kematian dan kelahiran kembali makhluk hidup (cutûpapâtañâóa). Dengan mata kedewaan yang suci dan melampaui mata manusia biasa, Saya melihat makhluk-makhluk hidup yang sedang mati, lahir kembali, yang hina, yang luhur, yang cantik, yang buruk, yang sejahtera, yang sengsara. Saya memahami secara jelas bahwa kehidupan semua makhluk berlangsung sesuai dengan perbuatan (kamma) masing-masing: ‘Makhluk-makhluk yang jahat dalam tindakan, ucapan, pikiran, yang melecehkan orang-orang suci, yang berpandangan sesat, yang melakukan perbuatan berdasarkan pandangan sesat itu, setelah kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di alam kemerosotan, alam kesengsaraan, alam kejatuhan, atau alam neraka Sementara itu, makhluk-makhluk yang baik dalam tindakan, … , setelah kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di alam bahagia, alam surga.’ Inilah pengetahuan kedua yang Saya raih pada waktu pertengahan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan atas lenyapnya kekotoran batin (âsavakkhayañâóa). Saya memahami berdasarkan kenyataan sesungguhnya bahwa: ‘Ini adalah penderitaan, ini adalah sebab penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan; ini adalah noda batin, ini adalah sebab noda batin, ini adalah lenyapnya noda batin, ini adalah jalan menuju lenyapnya noda batin.’ Dengan pemahaman demikian, batin Saya terbebaskan dari noda batin berupa nafsu inderawi, perwujudan, ketaktahuan. Tatkala batin terbebaskan, timbullah pengetahuan bahwa: ‘Saya telah terbebaskan. Saya memahami bahwa kelahiran telah terputuskan, kehidupan suci telah tertamatkan, tugas yang layak dikerjakan telah tertunaikan, tidak ada tugas lain lagi demi pencapaian ini. Inilah pengetahuan ketiga yang Saya raih pada waktu pengakhiran malam hari.
Ketaktahuan telah tersingkirkan, pengetahuan telah terbangkitkan; kegelapan telah tersingkirkan, pencerahan telah terbangkitkan; ini terjadi tatkala Saya berada dalam kewaspadaan, bersemangat, dan penuh pengendalian diri. Namun Saya tidak membiarkan perasaan bahagia yang timbul dalam diri Saya menguasai batin Saya.’”
“Meski Saya sendiri mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin, [setelah] menyadari bahaya dari semua itu dan kemudian mencari Nibbâna yang tiada taranya, yang tidak mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kematian, kesedihan, dan yang terbebas dari segala kekotoran batin; Saya [akhirnya berhasil] meraihnya. Timbullah pengetahuan serta pandangan terang (ñâóadassana) dalam diri Saya: ‘Tercapailah Pembebasan (Vimutti) bagi diri Saya. Inilah kelahiran Saya yang terakhir; tidak ada lagi kelahiran bagi Saya.’”
“Karena belum menemukan Pencipta rumah [tubuh] ini, Saya mengembara dalam daur Saæsara [kelahiran dan kematian] yang tak terhitung jumlahnya. Kelahiran yang berulang-ulang adalah suatu penderitaan. O Pencipta rumah, Engkau sekarang telah Saya temukan. Engkau tak akan dapat menciptakan rumah lagi. Seluruh kerangkamu [noda batin] telah Saya patahkan, dan atapmu [ketaktahuan] telah Saya bongkar. Batin Saya telah menembus Nibbâna, dan mencapai akhir dari semua keinginan.”
Sewaktu sendirian dalam penyepian, timbullah pikiran dalam diri Buddha Gotama: “Kebenaran (Dhamma) yang telah Saya raih ini bersifat mendalam, sukar ditembus serta dipahami, penuh kedamaian dan merupakan tujuan terluhur bagi semua [makhluk], tak terjangkau oleh pemikiran biasa (spekulasi), halus, hanya dapat dimengerti oleh orang bijak. Namun, masyarakat umumnya bergembira serta terpukau dalam kerinduan. Sukar bagi mereka untuk dapat melihat Sebab Musabab yang Saling Bergantungan dari semua ini. Amatlah sulit untuk dapat memahami kebenaran yang merupakan kepadaman dari segala perpaduan, penanggalan dari sifat-sifat pokok kehidupan, yang merupakan akhir dari keinginan; kejenuhan, pelenyapan dan pembebasan dari nafsu, Nibbâna.
Apabila Saya mengajarkan Kebenaran tetapi orang-orang lain tidak memahami sesuai dengannya; ini niscaya menimbulkan kesukaran serta kelelahan pada diri Saya semata. Duhai Para Bhikkhu, syair menakjubkan yang tidak pernah Saya dengar sebelumnya menjadi jelas bagi Saya se bagai berikut:
‘Kebenaran yang sulit Saya tembus ini tidaklah layak untuk dibabarkan. Sebab, ini bukanlah suatu kebenaran yang dapat dipahami oleh orang-orang yang dipenuhi oleh nafsu dan kebencian. Orang yang bernafsu besar, yang diliputi oleh kegelapan batin, niscaya tidak dapat menembus kebenaran yang menghantarkan makhluk hidup pada tujuan yang melawan arus dunia, yang halus, yang mendalam, yang pelik (abstruse).’”
Mengetahui keengganan Buddha Gotama dalam membabarkan Dhamma yang sulit dipahami, Brahmâ Sahampati segera pergi mengunjungi Beliau untuk mengundang Beliau membabarkan Kebenaran demi kebahagiaan banyak orang:
“Sejak dahulu kala hingga sekarang ini, di daerah Magadha terdapat ajaran yang tidak murni, yang digagasi oleh orang-orang yang masih terliputi oleh noda. Bukalah pintu gerbang Kekekalan. Berilah makhluk-makhluk hidup kesempatan untuk mendengarkan Kebenaran yang ditembus oleh orang yang terbebas dari segala noda. Ibarat orang yang berada di puncak bukit, yang dapat melihat orang-orang yang berada di sekeliling; demikian pula Yang Mulia, yang memiliki pengetahuan serta mata kebijaksanaan yang menyeluruh, hendaknya sudi menaiki istana kebijaksanaan yang terbentuk dari Kebenaran. Jelajahilah masyarakat yang diliputi oleh kesedihan, yang dicengkeram oleh kelahiran dan ketuaan. O Sang Penakluk yang penuh semangat, yang memimpin para makhluk hidup, yang terbebas dari kekotoran batin; mohon sudi kiranya pergi berkelana mengasihani orang-orang di dunia ini. Babarkanlah Kebenaran Dhamma, O Sang Bhagavâ, karena akan ada yang memahaminya.”
Setelah mempertimbangkan permohonan Brahmâ Sahampati dan karena perasaan Welas Asih terhadap makhluk-makhluk hidup, Sang Buddha kemudian menjelajahi dunia ini dengan kewaskitaan-Nya. Beliau menyadari bahwa ada makhluk yang diliputi oleh banyak debu kekotoran batin tetapi ada pula yang hanya sedikit; ada yang lemah kemampuannya tetapi ada pula yang kuat; ada yang memiliki kecenderungan jahat tetapi ada pula yang baik; ada yang sulit dibina tetapi ada pula yang mudah; ada yang tidak melihat noda serta bahaya dari dunia mendatang tetapi ada pula yang melihatnya –ibarat dalam rumpun teratai ada bunga yang muncul dalam air, berkembang dalam air, berada dan masih tenggelam dalam air, yang dihidupi oleh air; ada pula bunga yang berada di permukaan air, dan ada pula yang tegak menjulang di atas permukaan air sehingga tidak terbasahi oleh air. Karena alasan-alasan inilah, Saya menyanggupi permohonan Brahmâ Sahampati:
“Terbuka-lebarlah pintu gerbang [menuju] Kekekalan. Bagi mereka yang mau mendengar, yang memperlihatkan keyakinan.”
Ketika mengetahui bahwa dua pertapa yang pernah menjadi guru-Nya telah meninggal dunia dan berada di alam nirbentuk, Beliau berniat untuk membabarkan Dhamma kepada lima pertapa yang pernah bersama-sama melakukan praktek penyiksaan diri. Di tengah perjalanan menuju Bârâóasî, Sang Buddha berjumpa dengan pertapa telanjang Upaka Âjîvaka. Menjawab pertanyaan Upaka, Beliau menguncarkan syair berikut:
“Saya adalah penguasa segala Dhamma, penembus segala Dhamma, yang tidak melekat pada keinginan atas segala sesuatu, yang telah menanggalkan segala sesuatu, yang terbebas, yang telah sampai pada kepadaman keinginan. Karena menembus dengan kebijaksanaan sendiri, siapa pula yang patut Saya akui sebagai guru? Tidak ada guru bagi diri Saya. Tidak ada orang baik yang menyamai Saya. Tidak ada orang yang menyetarai Saya di seluruh dunia, termasuk dunia kedewaan. Sebab, Saya adalah Arahanta Sammâsambuddha –yang Mahasuci, yang telah meraih Pencerahan Agung secara mandiri–, guru yang paling unggul, yang telah memadamkan seluruh kekotoran batin. Saya akan berangkat menuju Kota Kâsî untuk memutar roda Dhamma, untuk menabuh genderang Kekekalan dalam dunia yang diliputi oleh kegelapan ini.”
BAB II KAJIAN
Definisi Kematian
Apa definisi ‘kematian’? Suatu pertanyaan sederhana yang kedengarannya sangat gampang untuk dijawab. Kalau seseorang tahu apa definisi ‘kehidupan’ , secara otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, definisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi kehidupan itu sendiri. Dalam kenyataan, definisi kematian jauh lebih pelik daripada yang diprakirakan oleh kebanyakan orang.
Selama berpuluh-puluh abad masyarakat umum terindoktrinasi oleh kepercayaan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang dihembuskan oleh Tuhan ke dalam pernafasan. Pernafasan dianggap memegang peranan yang sangat penting. Tanpa adanya pernafasan, tak ada pula kehidupan. Melalui pernafasanlah, makhluk hidup di dunia ini memperoleh oksigen yang sangat dibutuhkan oleh seluruh organ –bahkan sel– dalam tubuh. Kalau tidak mendapatkan oksigen yang dipompakan dari paru-paru, jantung akan berhenti berdetak yang berakibat pada terhentinya peredaran darah dalam tubuh. Apabila jantung dan paru-paru berhenti bekerja (cardio-pulmonary malfunction), otak yang berfungsi sebagai pusat pengaturan saraf (neurological function) niscaya akan mengalami kerusakan karena kekurangan oksigen. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kerusakan ini berakibat fatal bagi keberlangsungan organisme dalam tubuh makhluk hidup, yakni kematian. Dari pengertian inilah kemudian didefinisikan bahwa kematian adalah terhentinya pernafasan (cessation of breathing). Definisi kematian ini pernah diakui serta diterima oleh masyarakat umum, kalangan medis maupun kaum agamawan di Barat.
Namun, pada pertengahan abad ke-20, tatkala ilmu pengetahuan serta teknologi mulai berkembang, definisi kematian itu dipertanyakan keabsahannya. Fungsi pernafasan alamiah dapat digantikan oleh alat pernafasan mekanis (respirator). Pernafasan tidak lagi secara mutlak identik dengan kehidupan. Gagal atau rusaknya sistem pernafasan alamiah tidaklah selamanya berarti maut atau kematian. Karena itu, definisi kematian perlu dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan zaman.
Ini berlatar-belakang pada penjabaran yang diberikan oleh ahli saraf di Perancis pada tahun 1958 tentang keadaan perbatasan antara hidup dan mati yang disebut coma dépassé [secara harfiah berarti keadaan melebihi pingsan]. Pasien-pasien itu seluruhnya menderita kerusakan otak (brain lesions) yang pokok, struktural, dan tak tersembuhkan; berada dalam keadaan pingsan (comatose), dan takmampu bernafas secara spontan. Mereka tidak hanya kehilangan kemampuan dalam menanggapi dunia luar, tetapi juga tidak lagi dapat mengendalikan lingkungan dalam tubuh mereka sendiri. Mereka tidak dapat mengatur suhu tubuh, mengendalikan tekanan darah, dan mengatur kecepatan detak jantung secara wajar. Mereka bahkan tidak dapat menahan cairan dalam tubuh, dan sebaliknya melimpahkan air kencing dalam jumlah yang sangat banyak. Organisme mereka secara keseluruhan boleh dikatakan telah berhenti berfungsi.
Selanjutnya, pada tahun 1968, panitia khusus Sekolah Medis Harvard menerbitkan sebuah laporan berjudul “Sebuah Definisi [Keadaan] Pingsan yang Takdapat Dibalikkan Kembali”. Di situ didaftarkan criteria bagi pengenalan gejala kematian otak. Laporan ini secara jelas mengidentifikasi kematian otak (brain-death) sebagai kematian –meskipun tidak secara langsung menjabarkan apa itu yang dimaksud dengan kematian.
Apabila seorang pasien telah berada dalam keadaan seperti itu, pencabutan alat pembantu pernafasan direstui karena ia secara medis telah dianggap mati. Kegagalan kerja jantung dan paru-paru sangatlah mudah diketahui, namun tidaklah gampang untuk dapat memastikan kematian otak.
Harus dilakukan pengamatan yang cermat atas rangkaian tanda-tanda kehidupan. Apakah seorang pasien sama sekali tidak menanggapi rangsangan (stimulation) apa pun? Dapatkah ia bernafas tanpa alat pembantu? Adakah pergerakan mata, penelanan atau batuk? Apakah alat pemantau gelombang otak (EEG: Electro-EncephaloGram) menunjukkan adanya bukti kegiatan elektrik yang datang dari otak? Adakah arus peredaran darah melalui otak? Jawaban negatif dari rentetan pertanyaan ini menunjukkan kematian otak. Namun, satu tanda saja tidaklah cukup untuk membenarkan anggapan demikian.
Walaupun kebanyakan pakar medis telah menyepakati definisi kematian otak, masih terdapat nuansa dalam rinciannya. Ada yang merujuk pada kerusakan otak secara keseluruhan (whole-brain), dan ada pula yang mengacu pada kerusakan otak di bagian yang berfungsi lebih tinggi (higher-brain). Namun, kriteria yang paling banyak dianut ialah kerusakan otak-pokok (brain-stem). Pada tahun 1973, dua ahli bedah saraf di Minneapolis mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai suatu keadaan yang takmungkin dapat dikembalikan lagi. Pada tahun 1976 dan 1979, konferensi agung perguruan dan fakultas di Inggris menerbitkan suatu catatan penting dalam topik ini. Yang pertama menjabarkan ciri-ciri klinis atas kematian otak-pokok, sedangkan yang kedua mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai kematian.
Suatu panduan yang mirip dengan ini juga diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun 1981. Opini serta praktek internasional pada dasarnya bergerak selaras dengan garis-garis ini –dalam menerima gagasan tentang kematian otak-pokok. Denmark adalah negara terakhir di Eropah yang mengabsahkan definisi kematian otak-pokok (1990).
Otak-pokok adalah suatu bagian yang berbentuk seperti ‘batang’ atau ‘tonggak’, yang berada di bagian dasar/bawah otak. Selain merupakan pusat jaringan saraf yang mengatur pernafasan, detak jantung dan tekanan darah, ini juga memegang peranan penting dalam mengelola kesiagaan [dalam membangkitkan kemampuan bagi kesadaran, misalnya].
Kerusakan pada bagian-bagian yang penting, walaupun kecil, dapat membuat seseorang berada dalam keadaan pingsan sepanjang waktu (permanent coma). Otak-pokok ini mempunyai peranan yang sangat penting atas bekerjanya otak besar dan otak kecil. Hampir semua pencerapan inderawi berjalan melintasi otak-pokok ini. Demikian pula perintah pergerakan serta percakapan, juga dikirimkan melaluinya. Tak berfungsinya otak-pokok berarti tidak adanya kegiatan-kegiatan bermakna pada bagian otak besar; tak ada ingatan, perasaan dan pemikiran; tak ada interaksi sosial terhadap keadaan lingkungan.
Selama beberapa dasawarsa belakangan ini, memang tidak ada gugatan yang bernilai atas definisi kematian yang didasarkan pada kerusakan atau kematian pada bagian otak. Namun, ini bukanlah berarti bahwa inilah definisi kematian ‘yang sesungguhnya’ dan akan dipakai untuk selamanya. Ilmu pengetahuan serta teknologi medis di masa depan mungkin mampu menggantikan fungsi kerja otak –apakah dengan mempergunakan peralatan mekanis/elektrik, melalui pembiakan jaringan otak (brain tissue) ataupun melalui pengarasan (clonning). Dengan begitu, kerusakan pada bagian otak tidaklah berarti maut atau kematian. Pada waktu itulah, suatu definisi yang baru atas kematian perlu dirumuskan lagi.
Apa definisi kematian dalam pandangan Agama Buddha? Apakah mempercayai definisi klasik yang merujuk pada pernafasan –yang telah luluh-lantak diterpa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi– ataukah mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak –yang masih meragukan ketelakannya dan menyimpan ketakpastian?
Dalam Kitab Milinda Pañhâ, Nâgasena Thera secara tegas menolak adanya roh (soul) dalam pernafasan. Penolakan ini diungkapkan oleh beliau kepada seorang menteri utusan Raja Milinda yang bernama Anantakâya. “Siapa sih gerangan Nâgasena itu,” tanya Anantakâya untuk memancing perdebatan.
Nâgasena Thera tidak menjawab pertanyaan ini secara langsung, tetapi justru balik bertanya: “Dalam pengertian Anda, siapakah Nâgasena itu?”
Mulailah Anantakâya menyajikan pandangan sesatnya, “Roh, pernafasan masuk dan keluar, itulah yang saya maksud sebagai Nâgasena.”
Nâgasena bertanya lebih lanjut: “Bagaimana seandainya nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali; apakah orang itu akan mati atau masih hidup?”
Anantakâya menjawab, “Jika nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali, orang itu niscaya akan mati.”
Nâgasena Thera menyanggah pendapat ini dengan membuat suatu perumpamaan yang gamblang: “Para peniup sangkalala atau terompet –yang sewaktu meniup sangkalala atau terompet, nafas yang terhembuskan tidak masuk kembali ke dalam tubuh–; mengapa mereka tidak mati?”
Anantakâya berdiam diri karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Nâgasena Thera kemudian mewejangkan:
“Tidak ada roh dalam pernafasan. Nafas keluar dan nafas masuk semata-mata hanyalah salah satu bagian dari kegiatan jasmaniah (kâyasaõkhâra). Pernafasan adalah unsur udara (vâyodhâtu) yang menghidupi tubuh jasmaniah; bukan kehidupan itu sendiri. Kehidupan itu terdiri atas lima kelompok, yakni: materi/bentuk, perasaan, ingatan, corak-corak batiniah, dan kesadaran. Pernafasan hanyalah salah satu bagian dari materi/bentuk (rûpa).”
Agama Buddha secara tegas menolak definisi kematian yang merujuk pada pernafasan. Apakah ini berarti Agama Buddha mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak? Jawabannya juga tidak. Definisi kematian dalam Agama Buddha tidak hanya sekadar ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah –entah paru-paru, jantung ataupun otak. Ketakberfungsian ketiga organ tubuh itu hanya merupakan ‘gejala’, ‘akibat’ atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian itu sendiri. Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi sebagaimana layaknya –secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan medis–, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam. Kepadaman kesadaran ajal merupakan ‘the point of no return’ bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini.
Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup (jîvitindriya). Inilah definisi kematian menurut pandangan Agama Buddha.
Ada tiga jenis kematian dalam Agama Buddha, yakni:
Alur Kematian
Kematian sesungguhnya bukanlah satu kejadian (event), melainkan suatu alur[4] atau proses. Dalam Kitab Abhidhamma, alur kematian yang dalam Bahasa Pâli disebut ‘maraóâsannavithî’ ini dikupas secara terinci. Istilah ini secara harfiah berarti alur kesadaran yang muncul pada saat menjelang mati. Alur kematian yang jumlahnya puluhan atau bahkan ratusan ini pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni Maraóâsannavithî biasa dan Paccâsannamaraóavithî.
Maraóasannavithî biasa terjadi pada orang-orang yang akan mati dalam waktu satu dua menit, satu dua jam atau lebih lama lagi. Paccâsannamaraóavithî terjadi pada orang-orang yang akan mati dalam jarak yang sangat dekat [menjelang ajal]. Dalam alur kematian ini, kesadaran yang lazimnya muncul dengan tugas memelihara kehidupan (bhavaõgacittuppâda) kini beralih tugas menjadi kesadaran ajal (cuticitta). Begitu kesadaran ajal padam, keberadaan suatu makhluk dalam kehidupan sekarang dapat dikatakan telah berakhir.
Berdasarkan pintu inderanya, alur kematian terpilah menjadi dua, yakni:
Ada tiga markah yang menjadi objek dalam alur kematian bagi makhluk hidup yang belum terbebas dari noda-noda batin, yang masih harus terlahirkan kembali, yakni:
1. Objek berupa perbuatan (kamma-ârammaóa),
2. Objek berupa markah perbuatan (kammanimitta-ârammaóa),
3. Objek berupa markah tujuan (gatinimitta-ârammaóa). [8]
Yang dimaksud dengan objek berupa perbuatan ialah pelbagai kebajikan seperti menyumbangkan dâna, menjalankan kesilaan, mengembangkan batin atau pelbagai kejahatan seperti membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, bermabuk-mabukan dan sebagainya; yang pernah diperbuat sepanjang hidup. Pada saat menjelang kematian, perbuatan-perbuatan ini mungkin berkesempatan untuk muncul sebagai objek dalam alur kematian melalui pintu batiniah. Apabila perbuatan yang direnungkan itu termasuk kebajikan, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang membahagiakan; sedangkan kalau termasuk kejahatan, akan terlahirkan kembali di alam yang menyengsarakan.
Yang dimaksud dengan objek berupa markah perbuatan ialah pelbagai peralatan atau sarana dalam berbuat sesuatu, yakni enam macam objek: bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan objek batiniah yang berkenaan dengan perbuatan yang pernah dilakukan sepanjang hidup. Ini bisa merupakan penglihatan berupa vihâra, rumah sakit atau sekolahan yang didirikan, gambar atau arca Buddha, bhikkhu-saõgha yang dipuja dan sebagainya; atau penglihatan berupa pisau penjagal atau pistol, barang-barang curian, wanita yang diperkosa, orang yang diperdayai, minuman keras, alat perjudian dan sebagainya. Apabila yang dilihat dan sebagainya itu termasuk sesuatu yang baik, yang menimbulkan keyakinan yang benar, yang menimbulkan ketenangan serta ketentraman dan sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang membahagiakan; sedangkan kalau termasuk sesuatu yang buruk, yang menimbulkan ketakutan, kegelisahan, kecemasan, ketakpuasan, kemelekatan, kekikiran dan sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang menyengsarakan.
Jika markah perbuatan ini muncul karena pengenangan [berupa objek lampau], alur kematian yang terjadi berarti melalui pintu batiniah. Namun, kalau markah perbuatan ini benar-benar tertampak dan sebagainya pada saat itu pula [berupa objek sekarang], alur kematian yang terjadi berarti melalui pintu lima indera jasmaniah.
Yang dimaksud dengan objek berupa markah tujuan ialah pelbagai pertanda atas alam kehidupan di mana suatu makhluk akan terlahirkan kembali. Apabila markah tujuan ini tertampak sebagai istana yang megah, kendaraan surgawi, dewa-dewi, cahaya terang, dan sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan di alam yang membahagiakan; sedangkan kalau tertampak sebagai api neraka yang menakutkan, tempat yang tandus atau kotor, jurang yang curam, binatang buas, kegelapan dan sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang menyengsarakan. Objek berupa tujuan ini sesungguhnya dapat muncul melalui seluruh pintu, namun kebanyakannya muncul melalui pintu penglihatan serta pintu batiniah. [9]
Uraian di atas adalah alur kematian ditinjau dari segi batiniah.
Sesungguhnya, segi jasmaniah makhluk hidup juga merupakan suatu alur atau proses (rûpavithî). Kecepatan yang ditempuh oleh suatu materi/bentuk sejak muncul hingga padam kembali itu lebih lambat daripada unsure batiniah. Perbandingannya ialah satu saat materi berbanding dengan tujuh belas saat kesadaran. Materi yang padam pada saat kematian tidaklah bersamaan. Materi yang timbul dari perbuatan (kammajarûpa) muncul terakhir kalinya pada saat awal kemunculan kesadaran pemelihara hidup yang lalu (atîtabhavaõga).
Karena waktu kepadamannya lebih lambat, materi ini benar-benar padam secara keseluruhan pada saat akhir kemunculan kesadaran ajal. Inilah jenis materi yang padam berbarengan dengan kesadaran terakhir dalam kehidupan ini. Materi yang timbul dari kesadaran (cittajarûpa) muncul terakhir kalinya pada saat awal kemunculan kesadaran ajal. Karena waktu kepadamannya lebih lambat, materi ini masih sempat bertahan dan baru benar-benar padam secara keseluruhan beberapa saat setelah kesadaran terakhir dalam kehidupan ini muncul.
Namun, ini bukanlah berarti bahwa materi ini akan mengikuti kesadaran bertumimbal lahir di kehidupan yang baru. Materi yang timbul dalam kehidupan ini pada dasarnya akan padam dalam kehidupan sekarang ini pula. Materi yang timbul dari makanan (âhârajarûpa) muncul terakhir kalinya pada saat akhir kemunculan kesadaran ajal. Oleh sebab itu, materi ini masih bertahan dan baru benar-benar padam secara keseluruhan beberapa saat setelah kesadaran terakhir dalam kehidupan ini muncul.
Materi yang timbul dari hawa (utujarûpa) masih tetap dapat muncul meskipun suatu makhluk telah mati dan menjadi mayat. Ada beberapa yang muncul sejenak karena unsur panas (tejo) yang terdapat dalam makanan. Namun, ada pula yang terus muncul karena pengaruh hawa di luar (bâhira-utupaccaya) meskipun mayatnya telah membusuk dan menjadi abu; dan ini tetap berlangsung hingga dunia ini terhancurkan.
Alur kematian jasmaniah dari sudut pandang Agama Buddha sangatlah bersesuaian dengan ilmu pengetahuan modern. Sel-sel dalam suatu mayat terbukti masih dapat bertahan dan berkembang meskipun suatu makhluk secara umum telah dinyatakan mati. Tidak mengherankan kalau dijumpai bahwa rambut, kuku atau bagian lain dari suatu mayat yang berada dalam lingkungan tertentu menjadi lebih panjang daripada sewaktu baru mati.
[note: untuk mengetahui mengapa kuku dan rambut, walaupun telah menjadi mayat dapat terus tumbuh, lihat di sini]
Adakah Kehidupan Setelah Mati?
dakah kehidupan lain setelah suatu makhluk mengalami kematian? Apakah kematian merupakan akhir dari kehidupan dan akhir dari segala-galanya? Apakah suatu makhluk yang mati akan musnah tak berbekas? Ke manakah makhluk hidup pergi setelah mati? Benarkah ada alam surga dan neraka? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang senantiasa mengusik pikiran umat manusia sejak dahulu kala. Banyak orang yang menyangsikan adanya kehidupan setelah kematian.
Raja Pâyâsi yang memerintah Kota Setavyâ adalah salah satu contohnya. Di hadapan Kûmara Kassapa Thera, beliau mengungkapkan pandangan bahwa tidak ada kehidupan lampau maupun mendatang, tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk. Ketika ditanya apa alasan yang membuat beliau berpandangan demikian, Raja Pâyâsi mengisahkan bahwa beliau mempunyai menteri, saudara serta kerabat yang sering berbuat jahat; membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berdusta…
Sewaktu mereka sakit keras dan akan meninggal dunia, beliau berpesan apabila mereka masuk ke alam neraka karena akibat kejahatan yang diperbuat agar datang memberitahu beliau. Mereka menyanggupi pesan ini. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka yang datang kendati waktu telah berlangsung cukup lama. Inilah yang menjadi alasan bagi beliau untuk menolak adanya kehidupan mendatang...
Kûmara Kassapa Thera menanggapi alasan ini dengan sebuah perumpamaan tentang penjahat. Ada penjahat yang telah tertangkap basah dan akan dihukum mati karena perbuatannya. Ketika hukuman ini akan dijalankan, dia meminta izin untuk pulang memberitahu sanak-keluarganya terlebih dahulu. Apakah dia akan diizinkan? Tentunya tidak! Demikian pula, mereka yang masuk ke alam neraka, tidak mendapat izin kembali ke alam manusia untuk menyampaikan kabar.
Raja Pâyâsi mengemukakan alasan lain. Beliau pernah berpesan kepada menteri, saudara serta kerabat yang suka berbuat baik agar datang memberitahu beliau apabila masuk ke alam surga. Tak satu pun di antara mereka ada yang datang meskipun sudah berjanji akan kembali menemui beliau. Hal inilah yang membuat beliau tidak mempercayai adanya kehidupun mendatang...
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang orang yang terjatuh ke dalam lubang lumpur. Setelah ditolong, diangkat ke atas, tubuhnya dibersihkan dan didandani dengan pakaian, wewangian serta perhiasan yang mewah, dan dihibur dengan kenikmatan lima indera; apakah dia ingin masuk ke dalam lubang lumpur lagi?
Raja Pâyâsi menjawab: “Tidak!”
Mengapa? Karena lubang lumpur itu kotor, berbau busuk, dan menjijikkan. Demikian pula, manusia merupakan makhluk yang kotor, berbau busuk dan menjijikkan bagi para dewa. Bagaimana mungkin mereka yang berbuat baik dan masuk ke alam surge akan datang kembali ke alam manusia untuk memberitahu?
Kûmara Kassapa Thera memberikan penjelasan tambahan bahwa waktu di dunia ini tidaklah sama dengan waktu di alam surga. Semakin tinggi tingkat alamnya, semakin lama pula perbedaan waktunya. Waktu seratus tahun di dunia ini sebanding dengan satu hari satu malam waktu di Surga Tâvatiæsa, misalnya. Usia rata-rata makhluk di sana sekitar 1,000 tahun kedewaan. Para dewa mungkin berpikir kita bersenang-senang di sini selama dua tiga hari dahulu, baru kemudian pergi menemui Raja Pâyâsi. Karena perbedaan waktu, beliau mungkin telah meninggal dunia saat itu.
“Tetapi,” bantah Raja Pâyâsi, “Bagaimana bisa diketahui bahwa dewa di Surga Tâvatiæsa mempunyai waktu yang lama seperti itu? Saya tidak mempercayainya!”
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang orang buta sejak lahir. Ia mungkin tidak percaya adanya warna merah, hitam, putih serta lainnya, dan juga mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang mampu melihat warna-warna tersebut.
Apakah pendapat orang buta itu dapat dibenarkan? Tentunya tidak. Ada pertapa atau brahmana yang tinggal di tempat sunyi, senantiasa waspada, dan mengembangkan usaha dalam pemusatan batin hingga mencapai ‘mata kedewaan’ (dibba-cakkhu), yang melebihi kemampuan mata biasa. Dengan mata kedewaan ini, mereka dapat melihat kehidupan lain dan makhluk-makhluk yang terlahirkan dengan seketika. Masalah kehidupan lampau tidak seharusnya dimengerti hanya berdasarkan apa yang bisa dilihat dengan mata biasa.
Raja Pâyâsi mengatakan bahwa beliau pernah melihat ada pertapa dan brahmana yang mempunyai kesilaan luhur. Mereka tetap mencintai kehidupannya, dan tidak ingin mati; masih mendambakan kebahagian, dan tidak menginginkan penderitaan. “Jika merasa yakin bahwa dengan melaksanakan kesilaan mereka pasti terlahirkan kembali di alam surga, mengapa mereka tidak mencoba bunuh diri dengan meminum racun, menggantung leher, atau meloncat ke jurang?,” tanya Raja Pâyâsi.
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang dua orang istri yang ditinggal mati suami. Yang pertama mempunyai anak berusia sepuluh tahun, sementara yang kedua sedang mengandung tua. Si anak menagih warisan kepada ibu tirinya. Sang ibu meminta kelonggaran waktu untuk memastikan apakah anak yang sedang dikandungnya laki-laki atau perempuan. Pada zaman itu, hanya anak laki-laki yang berhak atas kekayaan peninggalan orangtuanya. Si anak tidak sabaran, dan terus-terusan mendesak. Sang ibu akhirnya mengambil jalan pintas dengan membedah perutnya sendiri. Dengan berbuat demikian, tidak hanya jiwa anaknya yang terancam, tetapi juga kehidupannya sendiri, dan ia niscaya tidak akan memperoleh bagian dari harta kekayaan suaminya. Orang bijaksana tidak akan menempuh jalan pintas semacam ini. Demikian pula halnya dengan para pertapa dan brahmana. Meskipun yakin atas kehidupan yang akan datang, mereka tidak akan memetik buah yang belum waktunya masak. Mereka menempuh kehidupan secara wajar demi kebahagiaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Raja Pâyâsi menceritakan bahwa beliau pernah menghukum penjahat dengan memasukkannya ke dalam gentong dalam keadaan masih hidup. Setelah ditutup rapat, gentong itu diletakkan di atas perapian hingga penjahat yang berada di dalamnya mati. Ketika dibuka kembali, beliau tidak melihat adanya jiwa yang keluar dari dalamnya.
Kûmara Kassapa Thera bertanya kepada Raja Pâyâsi apakah pernah bermimpi pergi ke hutan, melihat kolam dan sebagainya.
“Pernah,” jawab beliau.
“Pada waktu itu, apakah ada penjaga yang melihat jiwa beliau keluar masuk tubuh?”
Raja Pâyâsi menjawab tidak ada.
“Jika yang masih hidup saja jiwanya tidak dapat dilihat, bagaimana mungkin Baginda dapat melihat jiwa penjahat yang mati dibakar dalam gentong?,” tanya Kûmara Kassapa Thera.
Raja Pâyâsi mengisahkan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk menimbang berat badan seorang penjahat sebelum dihukum gantung. Begitu mati dan ditimbang lagi, berat badannya justru bertambah. Jika memang ada jiwa yang keluar dari tubuhnya, seharusnya berat badannya berkurang.
Kûmara Kassapa Thera mempertanyakan manakah yang lebih ringan antara sebongkah besi yang terbakar dan yang dingin? Besi yang terbakar lebih ringan karena perbedaan unsur api dan unsure anginnya. Demikian pula, karena berpadu dengan usia [yang memberikan kelangsungan hidup], kehangatan, dan kesadaran, tubuh manusia yang masih hidup lebih ringan.
Raja Pâyâsi beralasan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk menghukum mati penjahat tanpa merusak bagian kulit, daging, otot atau bagian tubuh lainnya. Setelah mati dan badannya digoyang-goyang serta dibolak-balik, ternyata tidak ada jiwa yang keluar dari tubuhnya.
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang sangkakala (terompet dari kerang). Penduduk terpencil yang selama hidupnya belum pernah melihat sangkakala mungkin tidak tahu bagaimana cara memakai alat musik tersebut. Dengan diketuk-ketuk, digoyang-goyang atau dibolak-balik, tentu tidak ada suara yang berbunyi.
Raja Pâyâsi menambahkan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk menghukum mati penjahat dengan mengiris-iris bagian kulit, daging, otot serta bagian tubuh lainnya. Namun, tidak ada jiwa yang dapat ditemukan di sana.
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang seorang anak kecil yang disuruh brâhmaóa pemuja-api untuk menjaga api pemujaan supaya tidak padam. Karena kelalaian sianak, api pemujaan itu menjadi padam. Si anak tidak tahu bagaimana cara menyulut api. Ia mencobanya dengan membelah-belah kayu bakar menjadi bagian kecil-kecil, tetapi tidak berhasil karena caranya salah. Demikian pula, kehidupan lampau serta mendatang tidaklah dapat diketahui dengan cara yang tidak tepat.
Meskipun telah terpojokkan oleh pelbagai perumpamaan yang masuk akal, Raja Pâyâsi masih tetap bersiteguh untuk mempertahankan pandangannya bahwa tidak ada kehidupan lampau maupun mendatang, tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk.
Beliau bersikap demikian karena perasaan gengsinya. Masyarakat dan para raja dari banyak Negara tetangga mengetahui bahwa beliau mempunyai pandangan begitu dalam waktu yang lama. Jika kemudian dilepaskan, mereka akan mencelanya sebagai raja yang bodoh, yang memegang pandangan sesat.
Atas sikap tidak mau melepaskan pandangan lama yang sesat dan berpaling dari kebenaran ini, Kûmara Kassapa Thera memberikan empat macam ibarat yang dua di antaranya dapat diringkaskan sebagai berikut:
Ibarat seorang pemuda yang memelihara babi yang sewaktu pergi ke tempat lain menemui setumpukan kotoran kering. Dengan berpikir bahwa ini dapat menjadi makanan bagi babi-babi peliharaannya, ia membungkus kotoran tersebut dengan pakaiannya dan membawa pulang dengan menyunggihnya di atas kepala. Di tengah perjalanan, hujan turun dengan keras. Meski demikian, ia tidak rela untuk membuang kotoran yang karena basah menetes ke kepala serta tubuhnya. Orang-orang yang melihat saling mencela kebodohannya dan menganggapnya sebagai orang gila. Akan tetapi, pemuda pemelihara babi justru berpikir bahwa merekalah yang bodoh karena kotoran yang dibawanya dapat dimanfaatkan untuk memelihara babi-babinya.
Ibarat dua lelaki yang pergi bersama ke pedalaman untuk mencari harta. Di tengah perjalanan mereka menemui bongkahan besi, tembaga, perak, dan emas. Setiap kali bertemu dengan barang-barang yang lebih berharga, lelaki yang pertama menukarkan bawaannya. Akan tetapi, lelaki yang kedua tidak mau, dan tetap setia untuk mempertahankan barang pertama yang dijumpainya dengan alasan karena sudah terlanjur dibawa sejak lama, dan telah diikat erat. Ketika mereka sampai kembali di desanya, masyarakat serta sanak keluarganya memuji kecerdasan lelaki pertama yang membawa emas bernilai tinggi, sedangkan yang kedua tidak mendapat pujian apa pun.
Sikap Raja Pâyasi dapat diibaratkan seperti lelaki yang tidak mau menukar barangnya dengan yang lebih bernilai.
Raja Pâyâsi benar-benar takjub atas penjelasan Kûmara Kassapa Thera, dan selanjutnya meyakini Sang Tiratana sebagai pernaungan serta menyatakan diri sebagai umat Buddha (upâsaka). Setelah mangkat, Raja Pâyâsi terlahirkan kembali di Surga Câtumahârâjika.
Pada masa kehidupan Buddha Gotama, pemimpin kaum heretic yang mengajarkan paham ‘Ucchedavâda’ atau Kemusnahan (Annihila-tion) ialah Ajita Kesakambala. Ia menyangkal adanya kehidupan setelah kematian. Pandangannya mirip dengan kaum materialis Cârvâka penganut sistem Lokâyata yang didirikan oleh Bhaspati –seorang figur legendaris. Ujaran atas pandangannya yang sangat menyesatkan ialah sebagai berikut:
“Tidak ada hasil/buah dari pemberian dâna, pemujaan, dan persembahan. Tidak ada pula akibat setimpal dari perbuatan baik atau buruk. Tidak ada dunia sekarang ataupun mendatang. Perlakuan baik atau buruk terhadap ibu atau ayah tidak berakibat apa pun.
Tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika. Di dunia ini tidak ada pertapa atau brâhmaóa yang telah menjalankan praktek dengan benar; yang telah menempuh kehidupan dengan baik; serta memiliki ketenangan batin, yang dengan kebijaksanaan sendiri telah menembus dunia sini maupun dunia sana, dan selanjutnya mengamalkan pengetahuannya kepada makhluk-makhluk lain.
Manusia terbentuk atas empat unsur dasariah (câtum-mahâbhûta). Apabila seseorang meninggal, sifat mengeras dan melunak dalam dirinya akan berubah menjadi tanah; sifat mencair dan mengental menjadi air; sifat memanas dan mendingin menjadi api; sifat mengetat dan mengendor menjadi udara; dan segala inderanya akan melayang keangkasa. Empat orang pemikul dengan sebuah tandu mengiring mayatnya sambil menguncarkan doa hingga sampai di tanah kubur.
Di sana tulang-belulangnya memudar/memutih, dan persembahan-persembahannya berakhir menjadi abu. Pemberian dâna yang diajarkan oleh orang-orang dungu, yang dikatakan memberikan hasil/pahala, semuanya adalah omong kosong belaka, dusta, tak beralasan. Baik orang dungu ataupun orang bijaksana, ketika badan jasmaninya tercerai-berai, keduanya niscaya akan termusnahkan. Setelah kematian ini, tidak ada kehidupan lagi (kelahiran kembali).” [10]
Kematian, dalam pandangan Agama Buddha, tidaklah selamanya merupakan akhir dari kehidupan. Selama benih kehidupan belum dilenyapkan, kematian suatu makhluk niscaya akan berlanjut pada kehidupan mendatang. Kehidupan sekarang ini adalah hasil dari kehidupan-kehidupan lampau. Kehidupan-kehidupan lampau ditambah dengan kehidupan sekarang ini, niscaya akan menghasilkan kehidupan mendatang.
Penitisan Roh Kekal?
Kecuali unsur-unsur batiniah (nâma) serta jasmaniah (rûpa) yang membentuk makhluk hidup, Agama Buddha tidak mengakui adanya roh kekal (eternal soul) ataupun kepribadian abadi (eternal ego) yang diperoleh secara gaib dari suatu sumber yang tak jelas asal-usulnya.
Gagasan atas roh kekal amat dibutuhkan untuk menopang kepercayaan tentang surga dan neraka abadi –suatu dogma yang ditolak secara tegas oleh Agama Buddha karena bertentangan secara mendasar dengan nilai-nilai keadilan. Suatu roh yang kekal harus tetap seperti semula tanpa mengalami perubahan apa pun. Jika roh yang dianggap sebagai saripati (essence) umat manusia bersifat kekal, tidaklah mungkin mereka akan mengalami kebangkitan atau kejatuhan sebagaimana yang dikisahkan dalam mitos Kejadian (Genesis).
Orang yang pada awalnya diciptakan sebagai penjahat akan selamanya menjadi penjahat, dan sebaliknya orang yang pada awalnya diciptakan sebagai orang bajik akan selamanya melakukan kebajikan. Dalam pada itu, tidak ada seorang pun yang mampu menjelaskan secara masuk akal, mengapa roh-roh yang berbeda secara beranekaragam dibentuk pada permulaannya.
Ajaran tentang Tumimbal Lahir (Rebirth) dalam Agama Buddha perlu dibedakan dari gagasan tentang Penitisan Kembali (Reincarnation) dalam agama lain, yang merujuk pada perpindahan suatu roh kekal (âtman) dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya dalam suatu proses penyucian diri hingga akhirnya bergabung kembali dengan Roh-Asal yang Luhur (Parama-Âtman). Agama Buddha juga menolak adanya makhluk titisan (avatâra) yang secara legandaris turun ke dunia dalam wujud manusia atau hewan untuk menumpas kejahatan dan menganjurkan kebajikan [berdasarkan Kitab Bhagavad-Gîtâ].
Buddha Gotama bukanlah salah seorang [dari sepuluh] penitisan Vi Šu [Visnu] sebagaimana yang diakui oleh penganut aliran Agama Hindu [berdasarkan Kitab Bhâgavat, Varâha, Agni dan Vi Šu-Purâóa(Visnu Purana)]. [11]
[Note: Untuk jelasnya mengenai penggambaran urutan/time line Buddhisme dan Hinduisme lihat di sini]
Pengakuan yang mencuat belakangan dan mengimbas kuat sekitar abad kesepuluh Masehi –ketika Agama Buddha sedang menyebar keluar dari India– itu merupakan suatu siasat untuk ‘mencaplok’ serta ‘menelan’ Agama Buddha. [12]
Dalam Kitab Vi Šu-Purâóa (Visnu Purana) tersirat dendam kesumat serta ketakpuasan kaum Hindu terhadap keberhasilan penyebaran Agama Buddha di India. Lazimnya, para dewa dan para iblis terlibat dalam peperangan, dan kemenangan selalu berada di pihak dewa. Namun, pada suatu kesempatan, para dewa terkalahkan.
Para iblis berhasil mencapai kemenangan karena mereka telah menganut serta menjalankan ajaran Veda. Satu-satunya cara untuk dapat menaklukkan mereka ialah dengan membuat mereka melepaskan kepercayaan terhadap ajaran Veda. Para dewa memuja Vi Šu [Visnu] untuk mencari pertolongan.
Vi Šu [Visnu] kemudian menciptakan wujud khayalan (mâyâmoha); pertama kali muncul sebagai pertapa telanjang (digambara) yang mengacu pada Jainisme, untuk membujuk para iblis agar melaksanakan praktek penebusan karma buruk; dan selanjutnya muncul sebagai bhiku berjubah merah (raktâmbara) yang merujuk pada Agama Buddha, untuk membujuk para iblis agar mencampakkan upacara pengurbanan binatang sebagaimana yang dipujikan dalam kitab-kitab Veda. Terperdayainya para iblis merupakan kesempatan emas bagi para dewa. Akhirnya, para iblis berhasil ditaklukkan.
Mitos ini secara bermuslihat melecehkan Jainisme serta Agama Buddha sebagai penyebab kekalahan, kehancuran. Misi yang diemban oleh Vi Šu [Visnu] dalam menitis sebagai Buddha ialah untuk memperdayai para iblis dengan mewejangkan ajaran sesat (Adharma); bukan mengajarkan kebenaran (Dhamma) sebagaimana yang diyakini oleh umat Buddha. [13]
Lebih daripada semua itu, penitisan Vi Šu [Visnu] yang kesepuluh [terakhir], dalam wujud sebagai Kalkî bertunggangan kuda putih dengan pedang terhunus, konon dikatakan mengemban misi utama dalam membasmi para penganut Agama Buddha dari seluruh muka bumi.
[Note: Menariknya kisah dongeng (purana) tentang Kalki, banyak diminati kaum muslim dengan mengklaim bahwa Kalki adalah Nabi Muhammad lihat di sini, padahal jelas-jelas kisah Kalki ini merujuk pada pembasmian penganut Buddha dan bukan pembasmian penganut Kresten dan Yahudi]
Dalam Kitab Upanisad termuat banyak penjabaran tentang âtman. Âtman ini dikatakan terbebas dari kematian (vim tyuƒ) serta kesedihan (vi okaƒ) dan mempunyai pemikiran yang nyata (satyasaækalpaƒ).
Kadangkala âtman diidentifikasikan sebagai ‘diri’ dalam keadaan bermimpi atau dalam keadaan tertidur pulas. Âtman dapat dipisahkan dan mengembara keluar dari tubuh jasmaniah –terutama sewaktu sedang tidur– ibarat pedang yang dapat dikeluarkan dari sarungnya. Bagi para penganut Jainisme, âtman yang diidentikkan dengan kehidupan (jîva), bersifat terbatas dan beraneka ragam bentuk serta ukurannya. Bukan hanya umat manusia yang memiliki âtman tetapi segala sesuatu di alam semesta ini juga memilikinya.
Beberapa Âjîvaka menganggap âtman itu berwarna biru, berbentuk segi delapan (octagonal) atau bundar (globular), dan berjarak lima ratus yojana. Bagaimanapun, segala gagasan tentang ‘âtman’ atau ‘atta’ ditolak dengan tegas oleh Buddha Gotama; kecuali sebagai sebutan sehari-hari dalam persepakatan umum. Sakkâya-diööhi atau Atta-diööhi [pandangan atas keberadaan roh yang kekal] adalah belenggu (saæyojana) pertama yang merintangi jalan menuju pencapaian kesucian batin.
Seseorang mungkin akan bertanya, “Kalau dalam Agama Buddha tidak dipercayai adanya suatu roh yang kekal, lalu apa yang bertumimbal lahir kembali dalam kehidupan mendatang?”
Yang bertumimbal lahir kembali ialah unsur-unsur batiniah (nâma) dan jasmaniah (rûpa) –yang kerap disebut lima kelompok kehidupan (pañcakkhandha). Kalau dipertanyakan lebih lanjut apakah yang bertumimbal lahir kembali itu merupakan suatu batin-jasmani yang sama, jawabannya ialah ‘bukan’.
Batin-jasmani tidaklah bersifat kekal [tak berubah sama sekali]. Dalam kenyataan, kehidupan adalah sesuatu yang berlangsung dalam perubahan yang terus-menerus (santâna, continuous flux). Kita pada saat ini bukanlah kita yang sama pada saat sebelum atau saat kemudian. Kita pada hari ini bukanlah kita yang sama pada hari kemarin atau esok. Namun, kita pada kehidupan ini berasal dari kita pada kehidupan kehidupan yang lampau, dan ini semua kemudian menjadi persyaratan bagi kita pada kehidupan mendatang.
Seseorang mungkin akan menyanggah, “Jika bukan sesuatu yang sama, mengapa kita pada kehidupan mendatang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan kita dalam kehidupan sekarang dan lampau?” Untuk menganggapi sanggahan semacam ini, Nâgasena Thera menyajikan suatu perumpamaan yang gamblang tentang pencuri mangga.
Ketika dituduh mencuri mangga oleh pemiliknya, pencuri itu berkilah bahwa mangga yang ia ambil bukanlah mangga yang sama dengan yang ditanam oleh pemiliknya. Karena itu, ia tidak patut menerima hukuman apa pun. Apakah karena [bibit] mangga yang ditanam tidaklah persis sama seperti [buah] mangga yang diambil, pencuri itu terbebas dari delik pencurian?
Tidak bukan?
Demikian pula, bukanlah karena tidak ada roh yang kekal, suatu makhluk tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatannya dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Ini dapat diibaratkan dengan hukum Daya Tarik Bumi (Gravitation) yang bersifat universal, yang menarik semua benda tanpa kecuali –entah berjiwa atau tidak.
Wujud dan Letak Kesadaran
Tak terlalu sulit untuk menerima pendapat umum bahwa makhluk hidup itu terdiri atas jasmani dan batin. Namun, kiranya tidak gampang untuk menjelaskan bagaimana kaitan di antara kedua bagian tersebut. Persoalannya akan menjadi lebih pelik lagi apabila tiba pada penjelasan bagaimana dua bagian yang sangat berbeda itu dapat ‘berpadu’ membentuk suatu makhluk hidup yang utuh.
Jasmani adalah sesuatu yang jelas terlihat, terdengar, tercium, terasa, dan tersentuh. Karena itu, sama sekali tidak ada masalah untuk membuktikan keberadaannya. Sebaliknya, karena batin merupakan sesuatu yang tidak terlihat oleh mata biasa…, pembuktian atas keberadaannya tidaklah gampang dilakukan, dan ini sering berbuntut pada perdebatan yang panjang.
Dalam gagasan umum, kehidupan di dunia ini tidaklah terlepas dari “waktu dan ruang” (time and space). Untuk bisa berada, jasmani –yang merupakan salah satu bagian kehidupan– membutuhkan waktu dan ruang. Sekarang timbul pertanyaan, apakah batin juga membutuhkan waktu dan ruang untuk bisa berada? Pertanyaan semacam ini jarang sekali dijawab secara telak. Namun, ada beberapa petunjuk tersirat yang mengiyakan pertanyaan tersebut.
Dalam masyarakat umum di Indonesia, misalnya, ada ungkapan “Jangan dimasukkan dalam hati.” Ungkapan ini secara langsung maupun taklangsung menunjukkan bahwa ‘hati’ bukan hanya merupakan salah satu organ tubuh dengan fungsi yang bersifat kejasmaniahan, melainkan juga berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan bentuk-bentuk pikiran, gagasan, ingatan, perasaan, dan sebagainya.
Salah satu penjelasan dalam KBBI atas aran ‘hati’ ialah sebagai sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan dsb). Dari penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa unsur-unsur batiniah suatu makhluk itu ‘berada’ di dalam hati kendati tidak disebutkan apakah semua itu juga muncul ‘dari’ dari dalam hati. Ini merupakan suatu kepercayaan yang primitif.
Para pemikir modern cenderung mempercayai ‘otak’ sebagai tempat kemunculan bentuk-bentuk pikiran, gagasan, ingatan, perasaan, dan sebagainya; dan di sini pula semua itu disimpan. Mereka kebanyakan juga kurang bisa menerima kepercayaan kuno bahwa unsur-unsur batiniah makhluk hidup –entah itu disebut jiwa atau roh– berada dalam pernafasan.
Dalam Kitab Kejadian 2:7 dikisahkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari debu tanah, dan menghembuskan ‘nafas hidup’ ke dalam cuping hidung [saluran pernafasan]; sehingga manusia menjadi suatu makhluk hidup yang berjiwa (roh). Kisah ini menyiratkan bahwa roh/jiwa, yang merupakan bagian batiniah suatu makhluk hidup, dapat ‘disisipkan’ dalam pernafasan. Sukar sekali untuk dapat membayangkan hal ini apabila dipercayai bahwa roh/jiwa merupakan sesuatu yang nirbentuk (tidak mempunyai bentuk).
Bagaimana mungkin sesuatu yang nirbentuk dapat disisipkan ke dalam sesuatu yang berbentuk? Dengan pertanyaan yang lain, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak memiliki bentuk dapat dipadukan atau dicampur dengan sesuatu yang berbentuk? Bagaimanapun, dari kisah tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa “roh/jiwa” adalah sesuatu yang ‘berada’ dalam pernafasan. [14]
Bersumber pada anggapan semacam inilah, kemudian dipercayai bahwa seseorang yang sudah tidak bernafas lagi berarti telah mati –dalam arti roh/jiwanya telah keluar dari dalam tubuh makhluk hidup. Entah apakah roh/jiwa itu keluar melalui hidung (saluran pernafasan) –sebagaimana pertama kali-nya dihembuskan– ataukah dari lubang-lubang lainnya.
Masyarakat Tibet mempercayai adanya sembilan lubang di mana kesadaran yang merupakan unsur batiniah keluar dari tubuh suatu makhluk hidup. Dari lubang mana kesadaran itu keluar, ini menjadi pertanda di alam kehidupan manakah ia akan terlahirkan kembali.
Dengan bantuan guru yang amat piawai –yang telah menembus Dharma serta memiliki kemampuan luar biasa–, orang yang sangat jahat sekali pun, yang tidak pernah berbuat kebajikan serta tidak pernah berlatih Bova sebelumnya, dapat mencapai kebebasan apabila kesadarannya berhasil diarahkan keluar menuju Alam Kebuddhaan (Amitâbha) melalui lubang ke sembilan tersebut.
Kepercayaan Tibet ini secara taklangsung menyiratkan bahwa kesadaran adalah sesuatu yang memiliki ‘wujud’ atau ‘bentuk’ (form) yang tertampak –entah apakah dapat dilihat dengan mata biasaatau hanya dengan mata batin. Kalau tidak ada wujudnya, bagaimana mungkin dapat dikatakan keluar dari lubang ini atau itu? Kepercayaan bahwa kesadaran atau unsur-unsur batiniah lainnya memiliki wujud adalah suatu anggapan yang riskan. Ini kerap terjadi karena keterjebakan dalam upaya “menjasmanikan batin”, yang timbul karena ketakmampuan dalam menjelaskan sesuatu yang tidak terlihat oleh mata biasa, tidak terdengar… dan sebagainya. Walaupun mungkin tidak dapat dibuktikan di laboratorium ilmiah, keberadaan unsur-unsur batiniah tidak begitu disangsikan.
Akan tetapi, dari mana atau di bagian mana unsur-unsur batiniah itu berada memang bukanlah suatu pertanyaan yang gampang dijawab dengan telak. Hadaya-vatthu –tempat kedudukan atau tempat kemunculan kesadaran (citta)– adalah suatu topik Abhidhamma yang kerap menimbulkan perdebatan yang panjang. Istilah ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris sebagai ‘heart’. Ada sedikit kesukaran untuk mengalihbasakannya ke Indonesia karena kata ini bisa berarti ‘hati’ atau ‘jantung’.
Dalam KBBI, ‘hati’ dijabarkan sebagai organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu. Sementara itu, ‘jantung’ dijelaskan sebagai bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah (letaknya di dalam rongga dada sebelah atas).
Yang dimaksudkan dengan Hadaya-vatthu dalam kitab Abhidhamma [yang digubah belakangan] ialah suatu materi yang muncul karena kamma (kammajarûpa), berada dalam salah satu organ tubuh yang berbentuk seperti bunga teratai terkatup, yang di dalamnya berisi darah yang mengalir sekitar satu telapak tangan yang mencembung, berbentuk mirip danau dengan ukuran kira-kira sebesar biji bunga ‘mesua ferrea linn’.
Berdasarkan pengertian ini, dapatlah disimpulkan bahwa Hadaya-vatthu adalah suatu materi yang berada di dalam rongga ‘jantung’; bukan ‘hati’ (liver). Yang diacu bukanlah organ jantung secara keseluruhan (maæsa-hadaya-rûpa), melainkan sesuatu yang sangat kecil yang berada di bagian dalamnya (vatthu-hadaya-rûpa). Hadaya-vatthu dianggap sebagai tempat kemunculan manodhâtu [terdiri atas tiga kesadaran] dan manoviññâóadhâtu [terdiri atas 76 kesadaran].
Berlandaskan pada Hadaya-vatthu inilah, makhluk hidup berbuat (melalui pikiran, ucapan dan tindakan) sesuatu yang bermanfaat maupun yang tak bermanfaat.
Menurut Bhikkhu Nârada, pandangan bahwa jantung merupakan tempat kemunculan kesadaran (cardiac theory) sudah ada sejak [sebelum] zaman Buddha Gotama, dan pandangan ini didukung secara nyata oleh kaum Upanisad. Beliau sendiri tidak pernah secara terang-terangan mendukung ataupun menolak pandangan ini. Jantung serta otak memang merupakan organ tubuh yang terpenting.
Tanpa adanya kedua organ ini, tubuh jasmaniah makhluk hidup tidaklah dapat berfungsi sebagaimana layaknya. Namun, tidak di bagian mana pun dalam Kitab Suci Tipiöaka, Beliau pernah menyatakan bahwa jantung atau otak merupakan tempat kemunculan kesadaran dalam alam yang terdiri dari lima kelompok kehidupan (pañcavokârabhûmi).
Dalam kitab Abhidhamma yang terakhir, Paööhâna, Sang Buddha hanya mengakui adanya kebergantungan pada materi (yaæ rûpaæ nissâya). Baru dalam Kitab Atthasâlinî (ulasan atas Kitab Dhammasaõgaóî), Hadaya-vatthu disebut oleh pengulas belakangan dan dijelaskan sebagai landasan kesadaran (cittassa vatthu).
31 Alam Kehidupan
Ibarat terbenamnya surya di ufuk langit yang berarti terbitnya mentari di bagian lain dunia ini, demikian pula kematian makhluk hidup di suatu alam berarti kelahiran kembali di alam yang sama atau alam lainnya. Ini berlangsung terus hingga makhluk itu meraih Pembebasan Sejati dari daur Saæsara atau kelahiran dan kematian yang berulang-ulang.
Dalam Agama Buddha dipercayai adanya 31 Alam Kehidupan yang secara garis besarnya terbagi atas: empat alam kemerosotan (apâya-bhûmi), satu alam manusia (manussabhûmi), enam alam dewa (devabhûmi) [15], enam belas alam brahma berbentuk (rûpabhûmi), dan empat alam brahma nirbentuk (arûpabhûmi).
Apâyabhûmi
Istilah ‘apâyabhûmi’ terbentuk dari tiga kosakata, yakni ‘apa’ yang berarti ‘tanpa, tidak ada’, ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan’, dan ‘bhûmi’ yang berarti ‘alam tempat tinggal makhluk hidup’. Apâyabhûmi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan.
Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai ‘dugga-tibhûmi’. ‘Duggati’ terbentuk dari dua kosakata, yakni ‘du’ yang berarti ‘jahat, buruk, sengsara’, dan ‘gati’ yang berarti ‘alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir’.
Duggatibhûmi adalah suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai sebagai suatu padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:
1. alam neraka (niraya),
2. binatang (tiracchâna),
3. setan (peta),
4. iblis (asurakâya).
Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh dan langsung.
Alam Neraka
‘Niraya’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘ni’ yang berarti ‘bukan, tidak ada’ dan ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan, kebahagiaan, perkembangan’. Niraya atau neraka adalah suatu alam kehidupan yang penuh derita dan siksaan, tanpa kesempatan untuk berbuat kebajikan, tanpa kebahagiaan, tanpa perkembangan.
Neraka dalam pandangan Agama Buddha bukanlah suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh ke dalam neraka akan dapat terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi –tergantung perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang kehidupan-kehidupan lampau. Konon dikisahkan bahwa Mallikâ, yang pernah melakukan perzinahan dengan seekor anjing, berada dalam alam neraka hanya dalam waktu tujuh hari. [16]
Tidaklah ‘adil’ untuk menjebloskan suatu makhluk sepanjang hidup (selamanya) dalam neraka hanya karena suatu kejahatan yang pernah dilakukannya –dengan mengabaikan semua kebajikannya dan tanpa member peluang sedikit pun untuk memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah suatu tempat pelampiasan kesewenang-wenangan suatu Pencipta Adikodrati yang murkah karena diabaikan atau dikhianati oleh makhluk-makhluk ciptaannya.
Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu neraka besar (mahâ-niraya) dan neraka kecil (ussadaniraya). Neraka besar terdiri atas delapan alam:
1. Sañjîva: alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan
terlahirkan di alam ini.
2. Kâïasutta: alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
3. Saõghâta: alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
4. Dhûmaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
5. Jâlaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
6. Tâpana: alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
7. Patâpana: alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
8. Avîci: alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap dianggap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.
Neraka kecil terdiri atas delapan alam:
1. Aõgârakâsu: alam neraka yang terpenuhi oleh bara api
2. Loharasa: alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair
3. Kukkula: alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara
4. Aggisamohaka: alam neraka yang terpenuhi oleh air panas
5. Lohakhumbhî: alam neraka yang merupakan panci tembaga
6. Gûtha: alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk
7. Simpalivana: alam neraka yang merupakan hutan pohon berduri
8. Vettaraóî: alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan
Alam Binatang
‘Tiracchâna’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘tiro’ yang berarti ‘melintang, membujur’, dan ‘acchâna’ yang berarti ‘pergi, berjalan’. Tiracchâna atau binatang adalah suatu makhluk yang umumnya berjalan dengan melintang atau membujur, bukan berdiri tegak seperti manusia.
Dengan pengertian lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi jalan menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam manusia. Binatang memiliki hasrat untuk menikmati kesenangan inderawi serta berkembang-biak; naluri untuk mencari makan, bersarang, dan sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai kehidupannya. Binatang tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan dari kejahatan, kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ, conscience) –kecuali kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (bodhisatta) yang sedang memupuk kesempurnaan.
Bodhisatta tidak akan terlahirkan sebagai binatang yang lebih kecil dari burung puyuh [semut misalnya] atau lebih besar dari gajah [dinosaurus misalnya]. Binatang mempunyai banyak jenis yang tak terhitung jumlahnya, namun secara garis besarnya
dapat dibedakan menjadi empat macam, yakni:
1. yang tak berkaki seperti ular, ikan, cacing dan lain-lain (apada),
2. yang berkaki dua seperti ayam, bebek, burung dan lain-lain (dvipada),
3. yang berkaki empat seperti gajah, kuda, kerbau dan lain-lain (catuppada),
4. yang berkaki banyak seperti kelabang, udang, kepiting dan lain-lain (bahuppada).
Dalam pandangan Kristen serta beberapa agama Theistik lainnya, semua binatang akan musnah setelah kematian. Binatang tidak mempunyai roh. Binatang hanya diakui memiliki naluri (instinct), tanpa akal budi. Karena itu, mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun penderitaan yang dialami bukan ditentukan oleh perbuatan mereka –baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan-kehidupan yang lampau–; melainkan merupakan wewenang serta kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata untuk kepentingan umat manusia yang lebih luhur. Tidak ada surga maupun neraka bagi binatang. Ini menimbulkan dilemma bagi umat Kristen yang menginginkan agar binatang peliharaannya dapat hidup bersama lagi di surga sebagaimana di bumi.
Alam Setan
‘Peta’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘pa’ yang berarti ‘ke depan, menyeluruh’, dan ‘ita’ yang berarti ‘telah pergi, telah meninggal’. Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka –yang menderita karena tersiksa–, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan, kehausan dan kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terlahirkan sebagai setan ialah pencurian dsb. Seperti binatang, setan tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri.
Mereka berada di dunia ini dan bertinggal di tempat-tempat seperti hutan, gunung, tebing, lautan, kuburan, dan sebagainya. Beberapa jenis setan mempunyai kemampuan untuk menyalin rupa dalam wujud seperti dewa, manusia, pertapa, binatang, atau hanya menampakkan diri secara samar-samar seperti bayang-bayang gelap dan lain-lain. Setan terbagi menjadi empat jenis, yakni:
Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-saæyutta, disebutkan adanya 21 macam setan, yaitu:
‘Asurakâya’ terbentuk atas tiga kosakata, yaitu ‘a’ yang merupakan unsur pembalik, ‘sura‘ yang berarti ‘cemerlang, gemilang’, dan ‘kâya’ yang berarti ‘tubuh’. Namun, yang dimaksud dengan ‘tak cemerlang’ di sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari tubuh, melainkan suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga membuat batin tidak berceria. Istilah ‘asura’ mungkin juga berasal dari kisah kejatuhan dari Surga Tâvatiæsa [terkalahkan oleh Sakka dan pengikutnya] akibat minuman memabukkan (surâ). Sejak itu, mereka bersumpah untuk tidak meminumnya lagi. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai ‘pubbadevâ’. Asurakâya atau iblis[17] terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. iblis berupa dewa (deva-asurâ),
2. iblis berupa setan (peti-asurâ),
3. iblis berupa penghuni neraka (niraya-asurâ).
Deva-asurâ terdiri atas vepacitti, râhu, subali, pahâra, sambaratî, dan vinipâtika. Peti-asurâ terdiri atas kâlakañcika, vemânika, dan âvuddhika. Niraya-asurâ hanya terdiri atas satu jenis, yaitu yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan seperti kelelawar.
Manussabhûmi
‘Manussa’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘mano’ yang berarti ‘pikiran, batin’ dan ‘ussa’ yang berarti ‘tinggi, luhur, meningkat, berkembang’. Manussa atau manusia adalah suatu makhluk yang berkembang serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta memahami sebab yang layak [kâraóâkaraóaæ manatijânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [atthânattaæ manati jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalaæ manati jânâtîti=manusso].
Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu Uttarakurudîpa, Pubbavidehadîpa, Aparagoyânadîpa, dan Jambudîpa. Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang berada di Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun.
Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Gotama telah mangkat sejak dua puluh lima abad yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun.
Seorang Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia lebih pendek dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan muncul apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang akan merasa sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan hidup. Beliau hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga tempat lainnya –apalagi di alam-alam kehidupan selain alam manusia.
Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapaóóâsaka memberikan penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang berbeda. Orang yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh makhluk lain niscaya akan terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang suka menganiaya atau menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit; yang suka murkah atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau irihati niscaya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan sedikit kebijaksanaan.
Demikian pula kebalikannya. Selaras dengan ilmu pengetahuan modern, dalam Aggañña Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah suatu hasil evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat pertama kali muncul/lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan tersebut juga dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu proses yang amat panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam hari pada sekitar 6,000 tahun yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari Alkitab.
[Note: Untuk mengetahui, bagaimana umur bumi di hitung 6000 tahun, dapat di lihat di sini]
Devabhûmi
Ada tiga macam deva atau dewa dalam pandangan Agama Buddha, yaitu
Dalam kebanyakan agama Theistik, surga dipercayai sebagai suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Kepercayaan atas ‘kekekalan’ alam surga ini sempat menjadi topik perdebatan yang panjang. Dipercayai bahwa manusia jatuh dari Taman Eden dan mengalami pelbagai penderitaan di dunia ini karena ketakpatuhan nenek-moyang mereka, Adam dan Hawa, terhadap perintah serta larangan Tuhan. Hidup bersama Tuhan di alam surga adalah idam-idaman mereka; menjadi tujuan akhir.
Manusia pernah bertinggal di Taman Eden, dan kemudian diusir dari sana. Pertanyaan yang perlu dijawab sekarang ialah: Kalau seandainya kita telah masuk surga, apakah mungkin suatu waktu nanti kita akan diusir lagi dari sana? Jika demikian, bagaimana mungkin surga dianggap sebagai suatu alam yang kekal? Apa makna kekekalan itu sendiri?
Dalam pandangan Theistik tersebut, manusia adalah suatu makhluk yang penuh dengan kelemahan serta kekurangan. Sangatlah mustahil bagi seseorang untuk dapat memiliki ‘kesempurnaan’ batiniah. Bahkan, Tuhan yang dipercayai sebagai Pencipta yang Mahasempurna sendiri sering dikatakan masih memiliki sifat ‘cemburu’, ‘irihati’, ‘murkah’ dan sebagainya.
Yang perlu direnungkan ialah, apabila dalam sanubari manusia masih terdapat kekotoran batiniah semacam itu, seandainya nanti mereka bertinggal di surga yang kekal, apakah tidak mungkin bahwa akan timbul permasalahan yang berbuntut pada perbuatan-perbuatan berdosa, misalnya membunuh, mencuri, berzinah, berdusta dan sebagainya? Jika kemungkinan ini benar-benar terjadi, lalu bagaimana nasib manusia nantinya? Apa hukuman bagi pelaku dosa? Dijebloskan ke dalam neraka? Diusir dari surga
kekal?
Dalam pandangan Agama Buddha, alam surga di mana para dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas [tidak kekal, tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu: 1. Câtumahârâjikâ, 2. Tâvatiæsa, 3. Yâmâ, 4. Tusita, 5. Nimmânaratî, 6. Paranimmitavasavattî.
Alam Câtumahârâjikâ
Alam Câtumahârâjikâ adalah suatu alam surgawi paling rendah yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa, yakni: Dhataraööha, Viruïhaka, Virûpakkha, dan Kuvera. Empat raja dewa ini juga dipercayai sebagai pelindung alam manusia, dan karenanya dikenal dengan sebutan ‘Catulokapâla’. Dalam Kitab Lokîyapakaraóa, empat dewa pelindung dunia ini dipanggil sebagai Inda, Yama, Varuóa dan Kuvera. Berdasarkan tempat tinggalnya, para dewa-dewi tingkat Câtumahârâjikâ terbagi atas tiga, yaitu:
1. yang berada di daratan (bhumaööha),
2. yang berada di pohon (rukkha) [18],
3. yang berada di angkasa (âkâsaööha).
Empat raja dewa serta beberapa dewa lainnya mempunyai ‘istana’ (vimâna) khusus bagi diri mereka masing-masing. Bagi yang tak mempunyai istana secara khusus, gunung, sungai, lautan, pohon yang ditinggali itulah istana bagi mereka.
Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung selama 500 tahun dewa atau kira-kira sembilan juta tahun manusia. [19] Para dewa-dewi di tingkat Câtumahârâjikâ ada yang cenderung berhati jahat, yaitu:
‘Tâvatiæsa’ adalah alam surgawi tingkat kedua. Alam ini sebelumnya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Nama ‘Tâvatiæsa’ baru dipakai setelah 33 pemuda di bawah pimpinan Mâgha, yang terlahirkan kembali di sini akibat kebajikan yang dilakukan bersama-sama, berhasil menyingkirkan para asurakâya. Para dewa-dewi di Tâvatiæsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu 1. Bhummaööha: Sakka beserta 32 dewa pembesar, 2. Âkâsaööha: yang bertinggal dalam istana di angkasa. Ibukota Tâvatiæsa ialah Masakkasâra. Balai Sudhamma menjadi tempat bagi para dewa-dewi untuk memperbincangkan Kebenaran Dhamma di bawah asuhan Sakka[20] .
Brahmâ Sanaõkumâra kerap menjadi tamu pembabar Dhamma di sini. Buddha Gotama pernah berkunjung ke alam ini, dan bertinggal selama tiga bulan untuk mewejangkan Abhidhamma kepada ibunda-Nya, yang terlahirkan kembali sebagai putra dewa di alam Tusita. Moggallâna Thera juga pernah beberapa kali pergi ke alam ini, dan dari sejumlah penghuninya, beliau memperoleh kesaksian atas perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka terlahirkan kembali disini. Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu, menghormat sesepuh dalam keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari penghasutan, mengikis kekikiran, bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata para dewa-dewi yang terlahirkan di alam Tâvatiæsa ialah 1,000 tahun dewa atau kira-kira 36 juta tahun manusia.
Yâmâbhûmi
Yâmâbhûmi adalah alam surgawi tingkat ketiga, menjadi tempat bagi para dewa-dewi yang terbebas dari segala kesukaran, yang terberkahi dengan kebahagiaan surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam ini ialah Suyâma. Alam ini berada di angkasa. Dalam alam ini dan tingkat yang lebih tinggi, tidak ada dewa-dewi yang tergolong sebagai bhummaööha –yang bertinggal di daratan. Istana, harta serta tubuh para dewa-dewi di alam ini jauh lebih indah dan halus daripada yang bertinggal di Tâvatiæsa. Rentang hidup mereka ialah 2,000 tahun dewa atau kira-kira 142 juta tahun manusia.
Tusitabhûmi
Tusitabhûmi adalah alam surgawi tingkat keempat. Para dewa-dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas keberadaan yang di-miliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih Pencerah an Agung, terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi orangtua serta Siswa Utama (Aggasâvaka). Sekarang ini, Bodhisatta Metteyya –yang akan menjadi Sammâsambuddha setelah ajaran Buddha Gotama punah dari muka bumi ini– sedang berada di alam ini. Usia rata-rata di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau kira-kira 567 juta tahun manusia.
Nimmânaratîbhûmi
Nimmânaratîbhûmi adalah alam surgawi tingkat kelima. Para dewa-dewi di alam ini menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka. Rentang hidup para dewa-dewi di alam ini ialah 8,000 tahun dewa atau kira-kira 2,304 juta tahun manusia.
Paranimmittavasavattî
Paranimmittavasavattî adalah alam surgawi tingkat terakhir. Apabila para dewa-dewi di alam Nimmânaratî menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka, para dewa-dewi di alam ini menikmatinya dari apa yang diciptakan atau disediakan oleh yang lain, yang tahu kebutuhan serta keinginan mereka. Usia rata-rata di alam ini ialah 16,000 tahun dewa atau kira-kira 9,216 juta tahun manusia. [lihat: Mara, Ia yang telah terfitnah berabad-abad!!]
Rûpabhûmi
Rûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan ‘rûpâvacaravipâkacitta’ atau kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma berbentuk. Dengan perkataan lain, rûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk.
Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhâna yang luhur. Jhâna dihasilkan dari pengembangan Samatha-Kammaööhâna –meditasi pemusatan batin pada satu objek demi tercapainya ketenangan.
Alam brahma terdiri atas 16 alam, yakni: tiga alam bagi peraih Jhâna pertama (paöhama), tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya), tiga alam bagi peraih Jhâna ketiga (tatiya), dua alam bagi peraih Jhâna keempat (catuttha), dan lima alam Suddhâvâsa.
Paöhamajhânabhûmi
Tiga alam bagi peraih Jhâna pertama ialah
Tiga alam kehidupan bagi peraih Jhâna kedua atau Jhâna ketiga ialah
Tiga alam bagi peraih Jhâna keempat ialah
Dua alam bagi peraih Jhâna kelima ialah:
Suddhâvâsabhûmi
Suddhâvâsabhûmi adalah suatu alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari nafsu birahi (kâmarâga) dan sebagainya, yaitu para Anâgâmî yang berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima. Makhluk- makhluk lain yang belum mencapai kesucian tingkat Anâgâmî, meskipun berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima, tidak akan terlahirkan di alam ini. Di sinilah para Anâgâmî akan meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Bodhisatta tidaklah pernah terlahirkan di alam ini sebab makhluk-makhluk yang terlahirkan di alam ini tidak akan terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih rendah. Kadangkala, ketika tidak ada Buddha yang muncul dalam kurun waktu yang lama, alam ini kosong melompong tanpa penghuni. Alam ini terbagi menjadi lima tingkat, yaitu:
Arûpabhûmi
Arûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan empat unsur batiniah yakni kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma nirbentuk (arûpâvacaravipâkacitta). Dengan perkataan lain, arûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma nirbentuk. Meskipun disebut sebagai suatu ‘alam’ yang mengacu pada tempat atau bentuk, di sini sesungguhnya sama sekali tidak ada unsur jasmaniah sehalus apa pun dan dalam wujud apa pun. Sebutan ini terpaksa dipakai untuk dapat mengacu pada kemunculan serta keberadaan unsur-unsur batiniah tersebut. Kelahiran di alam brahma nirbentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (rûpavirâgabhâvanâ). Arûpabhûmi terbagi menjadi empat alam, yakni:
Ada kepercayaan di kalangan Cina dan Jepang bahwa seorang manusia yang meninggal dunia tidak langsung terlahirkan kembali di alam berikutnya, melainkan masih “gentayangan” –dengan perkataan lain berada dalam “alam antara” atau lebih tepatnya “perwujudan persinggahan” (antarâbhava)– selama tujuh hari. Apabila karena alasan tertentu gagal menemukan alam yang cocok, ia akan mati dan langsung muncul bergentayangan selama jangka waktu tujuh hari lagi. Penundaan ini dapat berlangsung terus hingga batas waktu 49 hari (tujuh minggu). [21]
Dengan dasar kepercayaan tersebut, pihak keluarga lazimnya memperlakukan jenazah orang yang mati sebagaimana layaknya masih hidup. Kebutuhan hidupnya sehari-hari, seperti air untuk sikat gigi, mandi dan sebagainya, dipersiapkan di depan peti. Makanan kegemaran nya tidak lupa dihidangkan pula tiga kali sehari.
Bahkan, kalau hujan turun, peti mati yang sesungguhnya terletak di rumah yang beratap baik itu dipayungi. Kepercayaan tentang keadaan pertengahan (intermediate state) antara kematian dengan kelahiran kembali tersebut berakar kuat pada “teori-roh” Brahmanisme awal yang berciri animistik.
Suatu roh kekal yang takberubah (âtman) dipakai oleh kaum Upani ad untuk menjelaskan proses penitisan dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya. Mereka percaya bahwa roh-kekal bertolak dari tubuh jasmaniah saat kematian, dan dalam penitisan kembali (incarnation), roh ini memperoleh tempat bercokol di tubuh yang baru. Âtman menjadi jembatan (setu) di antara dua kehidupan. Kepercayaan tentang adanya jenjang sementara (temporal gap) ini disebutkan dalam Kau …tak… Upani ad: “Semua makhluk yang meninggal dunia pergi menuju bulan. Dalam belahan yang terang, bulan menyambut jiwa mereka; dalam belahan gelap lainnya, bulan mengirimkan mereka untuk lahir kembali. Sesungguhnya, bulan adalah pintu dunia surgawi. Sekarang, apabila suatu makhluk tidak puas dengan kehidupan di sana, bulan akan membebaskannya.
Apabila ia tidak menolak, bulan kemudian akan menurunkannya sebagai hujan di bumi.” Alam antara diacu beberapa kali dalam mitologi Veda. Kepercayaan bahwa orang yang mati, sebelum menitis kembali sebagai manusia atau binatang, terus berada dalam dunia roh, makan bebauan dan sebagainya, termasuk sebagai pemujaan umum Atharvaveda.
Para penganut Zoroastrianisme di Persia mempercayai Chinvat, suatu jembatan yang harus diseberangi setelah kematian. Bagi orang yang menunaikan kebajikan, jembatan ini sangat lebar sehingga memungkinkan baginya untuk berjalan menuju Surga; sedangkan bagi pelaku kejahatan, jembatan ini amat sempit sehingga menyebabkannya terjerembab jatuh ke dalam neraka.
Kendati tidak ada rujukan yang telak dan jelas dalam Alkitab, Gereja Roman Katholik mempercayai adanya alam atau keadaan di mana roh orang mati –yang masih memiliki dosa terampunkan [pelanggaran serta pembangkangan terhadap perintah Tuhan, ketaksempurnaan, dan kebiasaan-kebiasaan buruk]– akan disiksa demi penyucian sebelum masuk ke Surga. Ini berlangsung segera setelah seseorang meninggal dunia, melalui penghakiman perorangan (individual judgment).
Baru pada konsili Lyon dan Florence di Zaman Pertengahan, dogma tentang “alam penyiksaan sementara” (purgatory) ini dianggap sebagai suatu kepercayaan wajib (required belief); dan pada konsili Trent di Zaman Reformasi, pendefinisiannya diabsahkan. Ada beberapa sumber yang membentuk kepercayaan tentang alam penyiksaan sementara ini. Kitab Makabe Pertama bercerita tentang umat Kristen yang berdoa untuk orang mati. Doa semacam ini melahirkan pemikiran kritis: jika orang mati itu telah masuk Surga Kekal, ia berarti telah menerima pahala yang semestinya dan tidak membutuhkan suatu doa lagi.
Sebaliknya, apabila orang mati itu telah masuk Neraka Abadi, suatu doa yang ditujukan kepadanya tentu sia-sia belaka (percuma) karena ia sudah tidak mungkin dapat ditolong lagi. Surat Paulus yang pertama kepada Jemaat di Korintus menyinggung tentang api yang menguji mutu perbuatan manusia. Ini tidak mungkin merujuk pada Neraka Abadi karena tidak ada orang yang mampu menyelamatkan diri dari sana; dan ini tidak mungkin mengacu pada Surga Kekal karena di sana sama sekali tidak ada kesakitan.
Ini tentu mengarah pada suatu keadaan, tempat atau alam antara yang bersifat sementara. Kata kuncinya, dalam bahasa asal Yunani, ialah ‘zemiothesetai’ yang diterjemahkan dalam banyak versi Alkitab sebagai “mengalami kerugian”.
Letak, masa berlaku serta keadaan penyiksaan alam sementara ini masih merupakan teka-teki yang takterpecahkan. St. Augustine[22] agaknya mempercayai bahwa api yang sama –yang dipakai untuk menyiksa orang-orang berdosa di Neraka Abadi– juga digunakan untuk menyucikan orang terpilih dan terselamatkan di alam penyiksaan sementara. Beberapa pihak menafsirkan bahwa kedua alam itu kalau bukan berada di tempat yang sama, tentu sangat berdekatan. St. Thomas Aquinas menuliskan bahwa barangkali ada dua lokasi alam penyiksaan sementara: yang satu berada di dalam bumi dan berdekatan dengan Neraka Abadi sehingga dapat membagi api yang sama, sedangkan yang satunya lagi berada di atas bumi di antara manusia dan Tuhan. Masa penyiksaan dalam alam sementara itu mungkin berakhir hingga pada hari Penghakiman Akhir (Last Judgment).
Keberadaan di alam penyiksaan sementara ini dapat dipersingkat melalui pemanjatan doa, amal sedekah, puasa serta upacara kurban dari sanak keluarga atau kerabat yang masih hidup.
Dalam masa reformasi Protestan, Martin Luther pada awalnya menerima kepercayaan tentang “alam penyiksaan sementara” ini. Pada tahun 1519, ia menandaskan bahwa keberadaannya tidak dapat ditolak. Namun, sebelas tahun kemudian, ia berubah pikiran dengan menyatakan bahwa keberadaannya ternyata tidak dapat dibuktikan. Dalam tahun 1530 itu pula, selanjutnya ia secara tegas menolak gagasan tersebut. Sejak saat itu hingga sekarang, kaum Protestan tidak mempercayai keberadaannya. Demikian pula para pemeluk Gereja Orthodoks Timur, meskipun mereka memanjatkan doa untuk orang mati (intercession).
Sikap penolakan yang keras diperlihatkan oleh umat Kristen liberal. Argumentasi mereka ialah: apabila nasib roh di alam sementara dapat dipengaruhi oleh mereka yang masih hidup melalui pemanjatan doa, dua orang individu yang sedang dihukum karena kejahatan yang sama akan mengalami penyiksaan yang berbeda –tergantung pada seberapa banyak sanak keluarga atau kerabat yang dimiliki. Ini sangat tidak adil; dan ketakadilan semacam ini tentu tidak dapat dikaitkan dengan karya agung Tuhan yang Maha-Adil.
Bagaimanapun, penolakan terhadap keberadaan alam penyiksaan sementara tidaklah berarti bahwa persoalannya akan menjadi beres. Kesenjangan waktu setelah kematian dan sebelum Penghakiman Akhir pada hari Kiamat nanti [yang hingga kini belum dapat dipastikan] membuka cela kesangsian baru. Di manakah roh-roh itu berada?
Beberapa pihak mencuatkan gagasan tentang adanya “roh yang tertidur” (sleeping soul). Roh orang yang mati akan terus berada dalam keadaan penantian yang pasif ini hingga tibanya hari Penghakiman Akhir. Baru pada waktu itulah, nasib seseorang akan diputuskan, apakah dikaruniahi Surga Kekal atau diganjar dengan Neraka Abadi. Gagasan tentang “roh yang tertidur” ini agaknya dianut oleh banyak gereja kendati mengandung banyak ketakselarasan –dengan ajaran mendasar tentang kesinambungan kehidupan pribadi, salah satu contohnya. Dogma Kristen tentang alam penyiksaan sementara sesungguhnya dipungut dari Agama Yahudi, yang telah berkembang luas jauh sebelum kelahiran Yesus.
Disebutkan bahwa Judas Maccabæus pernah berdoa dan mempersembahkan kurban untuk menebus dosa para prajuritnya yang tewas di medan laga. Apabila terbebaskan dari dosa, orang-orang yang mati itu diharapkan dapat hidup dengan damai. Sementara para pelaku dosa berat (desperate sinners) dihukum sepanjang waktu, orang-orang yang lain jatuh ke Gohenna, mengerang kesakitan, dan kemudian bangkit kembali.
Di lain pihak, Agama Buddha menolak adanya suatu jeda yang menyambungkan keberlangsungan proses tumimbal-lahir; apakah itu merupakan suatu alam sementara maupun hanya sebagai suatu keadaan batiniah sesaat. Dalam filsafat Buddhis, kehidupan adalah suatu arus (sota), suatu rangkaian (paöipâöi) yang tak terputuskan (abbhocchinna) dari lima kelompok kehidupan (khandha). Tidak mungkin ada jeda, selang, cela atau perhentian dalam kesinambungan hidup (bhava-santati) karena ini bertentangan dengan dalil samanantara dan anantara-paccaya (keadaan berjujuh dan tanpa-antara), yang merupakan dua sebab ketergantungan dari 24 Paccaya.
Dalam pengertian Abhidhamma, begitu kesadaran ajal (cuti-citta) padam [dalam diri makhluk yang mati], kesadaran bertumimbal-lahir (paöisandhi-citta) langsung muncul mengikutinya [dalam diri makhluk yang baru]. Tidak ada alam antara ataupun perwujudan persinggahan. Begitu suatu makhluk mati dari satu alam kehidupan, ia langsung terlahirkan kembali di salah satu dari 31 Alam Kehidupan.
Proses kelangsungan hidup ini akan berlanjut terus secara berjujuh hingga suatu makhluk meraih Kemangkatan Mutlak (Parinibbâna), yang merupakan akhir dari segala penderitaan.
Menyimpang dari ajaran murni Buddha Gotama, beberapa sekte sempalan dalam Agama Buddha belakangan menyusupkan kepercayaan tentang antarâbhava. Menurut sekte Vijñanavâda, materi adalah khayalan pikiran. Makhluk yang lahir dari rahim, dari telur, melalui kelembaban, dan pelbagai tubuh makhluk hidup terlahirkan dalam keberadaan pertengahan, dan kemudian turun menuju jalan kehidupan. Apabila tidak ada keberadaan pertengahan, tidak ada pula Vijñâóa yang berevolusi.
Dalam Abhidharmako a- âstra karangan Vasubandhu, seorang bhiku aliran Sarvâstivâda, terkandung berbagai julukan-penjabaran bagi antarâbhava. Ia dianggap sebagai suatu produk pikiran (manomaya). Ia bergentayangan mencari alam kehidupan yang tertakdirkan baginya (sambhavai in). Ia makan bebauan (gandharva), dan kehidupannya hanya berlangsung pada satu saat (abhinirv tti). Makhluk yang akan terlahirkan di alam inderawi (kâma-bhava) dan alam berbentuk (rûpa-bhava) mengambil bentuk antarâbhava untuk beberapa waktu, namun makhluk yang akan terlahirkan di alam nirbentuk (arûpa-bhava) tidak akan mengambil bentuk antarâbhava.
Makhluk yang sedang dalam antarâbhava dapat saling melihat satu sama lainnya. Sementara itu, makhluk hidup di alam inderawi yang memiliki matadewa, yang benar-benar tersucikan, dapat melihat mereka yang sedang dalam antarâbhava. Makhluk yang sedang dalam antarâbhava dapat bergerak dengan cepat dan bebas di udara (âkâsa), dan pergerakan mereka tidak dapat terhalangi meski oleh berlian yang sekeras apa pun.
Antarâbhava yang tertakdirkan untuk lahir kembali di alam tertentu, pasti akan terlahirkan di sana. Tak ada yang bisa mengubah nasibnya. Apabila suatu antarâbhava melihat pasangan yang saling bersanggama, ia akan membayangkan gagasan ketaksucian dan masuk ke dalam rahim wanita itu. Antarâbhava mempunyai lima organ tubuh. Yang akan terlahirkan di alam surga berkelana ke atas dengan kepala mendongak. Yang akan terlahirkan di alam manusia dan alam binatang bertingkah-laku sebagaimana layaknya manusia. Yang akan terlahirkan di alam neraka bergentayangan dengan kepala menukik kebawah sedangkan kakinya menjulur ke atas.
Antarâbhava dipercayai oleh kaum Mahâyâna sebagai salah-satu dari empat tahap kehidupan (catvâro bhavâƒ); tiga lainnya ialah keberadaan atau keberlangsungan tumimbal-lahir (upapatti-bhava), keberadaan asal (pûrvakâla-bhava), dan keberadaan semasa kematian (maraóabhava). Namun, keberadaan atau ketakberadaan antarâbhava tidak ditetapkan secara telak. Kehidupan mendatang terjadi begitu cepatnya bagi makhluk hidup yang melakukan kebajikan atau kejahatan yang sangat besar, sehingga seseorang yang melanggar salah satu dari lima pantangan berat, misalnya, tidak akan mengambil tubuh antarâbhava. Semua makhluk hidup selain itu berada dalam alam antara sebelum terlahirkan kembali.
Bka’-brgyud-pa, salah satu sempalan sekte Vajrayâna di Tibet, yang bergaris keturunan dari Tilopa, sering mengacu pada Enam Ajaran Naropa dalam meraih pencerahan, yang salah satunya ialah keberadaan dalam perwujudan antara kematian dan tumimbal lahir (bardo). Ini digambarkan dalam lukisan Thang-ka, yang sangat terkenal dengan lukisan Bhava-cakra (Lingkaran Kehidupan) dan Maóòala (Alam Semesta).
Dalam bukunya berjudul “The Tibetan Book of Living and Dying”, Sogyal Rimpoche menjelaskan bahwa bardo dalam alam antara mempunyai tubuh kedewaan yang berciri mirip dengan kehidupan yang baru terlewatkan tetapi tanpa cacat sama sekali. Ukurannya seperti anak berusia antara delapan sampai sepuluh tahun. Ia dapat bergerak tanpa batas, bahkan dapat menembus benda-benda padat seperti tembok atau gunung. Pergerakannya hanya diatur oleh karma lampau. Landasan inderanya lengkap, amat ringan dan tembus pandang. Karena terbentuk dari lima unsur dasar materi, ia dapat merasa kelaparan atau kehausan. Ia hidup dari bebauan serta barang-barang yang dibakar sebagai persembahan–yang khusus ditujukan kepadanya.
Pada minggu-minggu awal, ia masih mempunyai anggapan sebagai laki-laki atau perempuan sebagaimana kehidupan yang lalu. Karena tidak merasa sudah mati, ia mungkin pulang ke rumah untuk menjumpai sanak-keluarga. Mencoba berbicara dengan mereka, memegang pundak mereka dan sebagainya, namun mereka tidak menjawab atau menunjukkan ekspresi apa pun. Apabila sangat melekati kehidupannya yang lampau, ia mungkin mencoba untuk merasuk kembali ke dalam tubuh yang telah ditinggalkannya. Baru setelah melihat bahwa ia tidak mempunyai bayangan, tidak terpantul di cermin, tidak berjejak kaki; tahulah ia bahwa dirinya sesungguhnya telah mati. Kenyataan ini mungkin dapat membuatnya taksadar diri.
Pandangan sesat tentang antarâbhava yang mengimbas beberapa sekte sempalan dalam Agama Buddha, selain aliran Theravâda yang berpegang-teguh pada ajaran murni Buddha Gotama, mencuatkan pelbagai pertanyaan filsafat yang sulit dicarikan jawabannya. Apakah Dalil Kamma masih berlaku bagi suatu makhluk yang sedang berada dalam antarâbhava?
Dengan pertanyaan lain, apakah ia dapat melakukan kejahatan atau kebajikan? Ataukah semua perbuatannya di sana bersifat pasif atau netral, tidak termasuk kejahatan maupun kebajikan? [23] Apakah ia mengalami perasaan suka-duka-netral sebagai akibat dari perbuatannya di masa lampau? Apakah keadaan suatu makhluk yang akan terlahirkan kembali di alam menyenangkan berbeda dengan yang akan terlahirkan di alam menyedihkan? Apakah antarâbhava merupakan suatu “alam kehidupan”? Termasuk salah satu dari 31 Alam Kehidupan? Kalau memang masih termasuk di dalamnya, lalu apa perlunya antarâbhava? Sebagai suatu tempat persinggahan supaya tidak ‘kecapaian’ dalam berkelana dari satu alam kehidupan ke kehidupan lainnya?
Sang Buddha memang pernah menyebut sambhavesî yang secara harfiah berarti makhluk yang masih mencari tempat kelahiran. Namun, ini bukanlah berarti bahwa Beliau menerima keberadaan alam antara. [24]
Ungkapan “masih mencari tempat kelahiran” janganlah disalahtafsirkan bahwa makhluk itu “bergentayangan” karena belum berhasil menemukan alam kehidupan yang baru bagi dirinya. Dalam mengulas istilah-istilah yang terkandung dalam Wejangan tentang Cinta Kasih (Mettasutta), Buddhaghosa Thera secara jelas menunjukkan perbedaan antara bhûta dan sambhavesî dalam konteks ini (Kitab Paramatthajotikâ). Yang dimaksud dengan bhûta ialah makhluk yang telah lahir [secara sempurna], yang tidak akan terlahirkan kembali, yakni para Arahanta yang telah menanggalkan seluruh kekotoran batin (khîóâsâva).
Sementara itu, sambhavesî adalah sebutan bagi orang-orang suci yang masih harus belajar lagi (sekhapuggala) dan orang-orang biasa yang masih harus bertumimbal lahir kembali –dalam arti masih mencari tempat kelahiran lagi. [25] Jadi, yang dirujuk sebagai sambhavesî dalam pengertian Theravâda ialah semua makhluk yang belum meraih kesucian tingkat Arahatta, yang masih harus berkelana di salah satu dari 31 Alam Kehidupan.
Sambhavesî bukanlah suatu makhluk yang berada dalam alam antara yang tak jelas keberadaannya. Kecuali dalam alam nirbentuk (arûpabhûmi), suatu kesadaran tidaklah mungkin muncul tanpa sama sekali bergantung pada badan jasmaniah –ibarat arus listrik yang tak mungkin timbul dengan sendirinya tanpa bergantung pada materi penghantar listrik. Badan jasmaniah adalah gua atau tempat tinggal kesadaran (gûhasayaæ).
Proses tumimbal lahir itu berlangsung sangat cepat sekali, bagaikan orang yang terbangun dari tidur (suttappabuddho viya). Tidak harus menunggu serta mencari-cari alam kehidupan yang baru. Suatu ‘terminal’ atau tempat persinggahan sementara sama sekali tidak diperlukan. Dalam Kitab Milinda Pañhâ, Nâgasena Thera menjelaskan bahwa proses tumimbal lahir itu berlangsung selaju kecepatan kesadaran. Penjelasan ini beliau berikan sebagai jawaban atas pertanyaan Raja Milinda,
“Seandainya seseorang mati di sini dan terlahirkan kembali di alam brahma; dan satu orang lainnya lagi juga mati di sini tetapi terlahirkan kembali di Kashmir; siapakah di antara kedua orang itu yang sampai lebih duluan?”
Nâgasena Thera menjawab dengan tegas dan pasti: “Keduanya sampai berbarengan, O Raja.”
“Bagaimana bisa begitu,” tanya Raja Milinda, “coba jelaskan!” Dengan tujuan untuk membuat suatu perumpamaan yang gampang dipahami, beliau bertanya, “O Raja, di kota manakah Baginda lahir?”
Raja menjawab: “Di suatu pedusunan bernama Kâlasira.”
“Seberapa jauh dari sini?” tanya Nâgasena Thera lebih lanjut. “Sekitar 200 yojana[26] ,” jawab Raja Milinda, “sedangkan Kashmir berjarak hanya sekitar 12 yojana dari sini.”
Secara beruntun Nâgasena Thera kemudian menyuruh Raja Milinda untuk ‘memikirkan’ pedusunan Kâlasira dan Kashmir.
Setelah itu beliau menanyakan, “Manakah yang lebih cepat Baginda pikirkan?” “Keduanya memakan waktu yang sama,” jawab Raja Milinda.
Nâgasena menjelaskan, “Demikian pula, O Raja, tidak dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat terlahirkan kembali di alam brahma dibandingkan dengan terlahirkan di Kashmir. Tidak ada yang sampai lebih duluan atau belakangan.”
Beliau juga membuat perumpamaan tentang terpaan bayang-bayang [cahaya yang terhalang] dari dua benda yang berada di ketinggian berbeda. [27]
Seseorang mungkin bertanya, “Kalau tidak dipercayai adanya suatu alam antara bagi makhluk-makhluk hidup untuk menunggu waktu yang tepat dalam bertumimbal lahir, apakah setiap saat terdapat keadaan yang cocok –dalam arti ada sperma serta telur yang masak sebagai syarat pembuahan yang membawa pada kelahiran kembali?”
Dalam pandangan Agama Buddha, makhluk hidup itu tidak terhitung jumlahnya. Kehidupan juga bukan hanya ada di dunia ini. Di Alam Semesta terdapat banyak tatasurya yang dapat dihuni oleh makhluk hidup. Lagipula, alam manusia bukanlah satu-satunya alam kehidupan. Kelahiran di alam lain tidak harus dilengkapi dengan adanya sperma dan telur yang masak. Karena itu, proses tumimbal lahir dapat terjadi setiap saat tanpa harus ‘mengada-adakan’ suatu alam penantian.
BAB III: RENUNGAN
Kematian, Layak Ditakuti?
Ia yang berpura-pura tidak merasa takut terhadap kematian telah berdusta. Semua orang takut mengalami kematian. Ini adalah suatu hukum tertinggi bagi semua makhluk hidup, dan tanpa adanya ini semua umat manusia akan segera terbinasakan. Demikianlah yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filosof serta penulis terkenal pada Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment).
Benarkah bahwa ‘semua’ makhluk tanpa kecuali takut terhadap kematian? Masalah ini sesungguhnya pernah diperdebatkan oleh Raja Milinda pada sekitar awal penanggalan Masehi. Nâgasena Thera menjelaskan bahwa ketika Sang Buddha menyabdakan bahwa “Semua orang takut terhadap hukuman, semua makhluk gentar menghadapi kematian” [Dhammapada syair ke 129]; ini tidaklah mencakup mereka yang telah meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Arahanta adalah suatu perkecualian dalam sabda tersebut. Mengapa? Alasannya ialah bahwa semua sebab bagi timbulnya rasa takut (all cause for fear) telah dicabut secara tuntas oleh mereka. Tak ada ketakutan apa pun bagi orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah menanggalkan kejahatan maupun kebajikan, yang senantiasa terjaga [syair ke 39]. Sabda tersebut hanyalah merujuk kepada mereka yang masih terliputi oleh noda batin, yang masih menggandrungi diri, yang masih terombang-ambingkan oleh suka dan duka. Kematian adalah suatu keadaan yang ditakuti oleh mereka yang belum berhasil menembus Kebenaran.
Dalam Aõguttara Nikâya, Catukkanipâta dikisahkan bahwa pada suatu ketika seorang brâhmaóa bernama Jânussoóî menghadap Buddha Gotama dan kemudian mengungkapkan pandangannya, “Tidak ada satu makhluk pun, yang wajar mengalami kematian, tidak merasa takut dan gentar terhadap kematian.”
Sang Buddha menolak pandangan ini, dan menyatakan bahwa memang ada makhluk yang merasa takut dan gentar terhadap kematian, namun ada pula yang tidak. Beberapa orang di dunia ini, yang belum terbebas dari nafsu, kepuasan, kecintaan, ketagihan, gejolak, hasrat terhadap kesenangan inderawi, manakala diserang oleh penyakit parah, niscaya akan mencemasi, “Kesenangan inderawi yang tercinta niscaya akan meninggalkan saya, dan saya pun harus meninggalkannya.”
Ia niscaya bersedih, bersusah hati, berkeluh-kesah, memukuli dadanya sambil meratapi keterpikatan. Orang-orang inilah yang merasa takut dan gentar terhadap kematian. Mereka yang belum terbebas dari nafsu, kepuasan, kecintaan, ketagihan, gejolak, hasrat terhadap tubuh jasmaniah niscaya juga merasa takut dan gentar terhadap kematian.
Demikian pula orang-orang yang tidak melakukan kebajikan dan perbuatan-perbuatan bermanfaat, yang tidak membuat perlindungan terhadap ketakutan, yang hanya melakukan kejahatan dan perbuatan-perbuatan kejam dan kotor; dan orang-orang yang penuh keragu-raguan serta kebingungan, yang belum sampai pada keputusan dalam Kebenaran Sejati. Sebaliknya, mereka yang telah terbebas dari nafsu… [kebalikan dari empat jenis makhluk di atas] tidak akan merasa takut dan gentar terhadap kematian.
Orang-orang yang telah meraih kesucian tertinggi memang tidak lagi gentar terhadap kematian. Akan tetapi, bagaimana pula dengan umat Buddha yang masih belum meraih kesucian? Layakkah merasa takut terhadap kematian? Kematian sesungguhnya bukanlah suatu peristiwa yang layak ditakuti oleh setiap umat Buddha. Kematian adalah suatu kenyataan hidup yang perlu dihadapi secara arif. Mengapa? Alasannya ialah bahwa sebagai umat Buddha, seseorang semestinya mempercayai adanya kehidupan lain setelah kematian (hereafter) –sepanjang benih kehidupan masih belum terputuskan. Hanya orang-orang yang menyangkal adanya kehidupan setelah mati; yang menganut pandangan Materialisme, wajar merasa takut terhadap kematian karena kematian merupakan akhir segala-galanya. Kematian, bagi mereka, adalah kehancuran total –suatu kenyataan yang tidak mereka kehendaki karena masih melekati kehidupan.
Di lain pihak, bagi umat Buddha, berangkat menuju kematian tidaklah ubahnya seperti pergi tidur, dengan keyakinan bahwa suatu saat kemudian akan bangun kembali. Lagipula, dipandang dengan pengertian Abhidhamma, setiap saat semua makhluk sesungguhnya mengalami kelahiran serta kematian yang berulang-ulang (khaóa-maraóa). Dalam kehidupan sekarang ini pula, kematian telah terjadi dalam jumlah tak terhitung. Dengan begitu, tidak ada alasan sama sekali untuk merasa takut dan gentar terhadapnya.
Seperti anak kecil yang kebanyakan takut pada kegelapan, demikian pula hampir semua orang takut pada kematian. Anak kecil takut pada kegelapan karena dalam kegelapan ia kehilangan kejelasan serta pengetahuan atas keadaan sekeliling. Dengan alasan serupa, orang takut pada kematian karena ketakjelasan serta ketaktahuan atas misteri atau seluk-beluk kematian.
Sang Buddha bersabda, “Kehidupan tidaklah pasti. Kematian itulah yang pasti.” Sesuatu yang tak pasti, tak menentu –kehidupan– itulah yang sesungguhnya lebih patut ditakuti daripada kematian –sesuatu yang cepat atau lambat pasti terjadi dan menimpa semua makhluk. Hampir semua orang mati dengan tenang. Namun, hampir semua bayi lahir dengan dibarengi tangisan.
Apakah dengan merasa takut, seseorang dapat terhindar dari cengkeraman kematian? Tidak bukan? Karena itu, apa manfaat yang dapat diperoleh dengan merasa takut terhadapnya? Ini justru menambah penderitaan batiniah. Seseorang merasa takut terhadap kematian karena telah mengabaikan sifat ketakterelakkannya, telah melupakan kepastiannya.
Seberapa besar kemelekatan seseorang terhadap kehidupan sekarang, sebesar itu pula ketakutannya terhadap kematian. Bagaimana cara mengikis rasa takut terhadap kematian? Latihlah penyadaran atas kematian sebagaimana yang akan dijabarkan pada halaman selanjutnya. Ini adalah suatu pokok meditasi yang khusus ditujukan untuk mengatasi rasa takut terhadap kematian, untuk mempersiapkan diri dalam menyongsong kematian, untuk menyadari kematian sebagai suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan, untuk menembus kebenaran atas kefanaan hidup, dan untuk meraih Pembebasan Sejati. Sang Buddha bersabda,
“Duhai Para Bhikkhu,penyadaran atas kematian –apabila dijalankan dan dikembangkan–niscaya memberikan buah serta manfaat yang besar. Ini menembus ke dalam Keadaan Tanpa Kematian (Deathless), dan menjadikannya sebagai akhir yang mutlak.” [1]
Maraóasati
Penyadaran atas Kematian[2]
Kini tibalah pada penjabaran atas pengembangan penyadaran atas kema tian sebagai urutan berikutnya.
[Definisi]
Kematian adalah terputusnya kemampuan hidup (jîvitin-driya) yang terdapat pada satu perwujudan. Kematian mutlak (samuccheda-maraóa) yang merupakan keterputusan daur penderitaan para Arahanta; kematian sesaat (khaóika-maraóa) yang merupakan kepadaman semua perpaduan pada setiap saat; dan kematian persepakatan (sammutimaraóa) sebagaimana yang dipakai oleh masyarakat dunia dalam ungkapan “pohon mati”, “logam mati” dan sebagainya; bukanlah yang dimaksudkan di sini.
Yang dimaksudkan di sini ialah dua macam kematian, yakni: kematian yang tepat pada waktunya (kâla-maraóa), dan yang belum pada waktu semestinya (akâla-maraóa). Kematian yang tepat pada waktunya terjadi karena habisnya kebajikan, habisnya usia, atau keduanya. Kematian yang belum pada waktu semestinya terjadi karena kekuatan kamma yang memutuskan kamma pembentuk kehidupan [janaka-kamma].
Kematian karena habisnya kebajikan ialah suatu kematian yang terjadi karena kamma yang mengakibatkan kelahiran kembali (paöisandhi) telah berbuah masak kendati masih ada faktor pemerlanjut usia. Kematian karena habisnya usia ialah suatu kematian yang terjadi karena habisnya usia, misalnya usia rata-rata sekitar 100 tahun untuk manusia pada zaman sekarang ini, yang diakibatkan oleh ketidakadaan tujuan (gati), waktu (kâla), makanan (âhâra) dan sebagainya.
Kematian yang tidak tepat pada waktunya ialah kematian yang menimpa makhluk-makhluk yang faktor pemerlanjut usia mereka terputuskan oleh kamma yang dapat menyebabkan mereka segera terjatuh dari keberadaan mereka, seperti kejadian pada Dûsi-Mâra, Kalâburâjâ, dan lain-lain; atau makhluk-makhluk yang faktor pemerlanjut usia mereka terputuskan karena pencelakaan (upakkama) misalnya dengan serangan senjata dan sebagainya, yang merupakan akibat kamma lampau mereka. Semua itu termasuk keterputusan kemampuan hidup sebagaimana yang telah dinyatakan. Maraóasati ialah perenungan terhadap kematian, dalam perkataan lain, terputusnya kemampuan hidup.
[Pengembangan]
Orang yang berminat untuk mengembangkan Maraóasati hendaknya pergi ke tempat yang sepi, hidup menyendiri, dan mengarahkan perhatian dengan arif (manasikâra) bahwa: “Kematian akan terjadi; kemampuan hidup akan terputus,” atau boleh juga menguncarkan “Kematian, Kematian.”
Apabila tidak mengarahkan perhatian dengan arif, misalnya dengan membayangkan kematian orang yang disukai (iööha), kesedihan niscaya akan timbul –ibarat kesedihan yang timbul dalam diri seorang ibu kandung yang mengenang kematian putra tercinta. Kegembiraan niscaya akan timbul karena merenungkan kematian orang yang tak disukai (aniööha), ibarat seteru yang mengenang kematian orang yang dimusuhi (verî). Sementara itu, keprihatinan tidak akan timbul karena merenungkan orang yang netral (majjhatta) –seperti halnya keprihatinan tidak akan timbul dalam diri juru-kunci yang melihat sosok jenazah. Kecemasan niscaya akan timbul apabila merenungkan kematian diri sendiri, sebagaimana kecemasan yang timbul dalam diri seorang pengecut karena melihat pembunuh yang sedang menghunus goloknya.
Kesedihan dan sebagainya itu niscaya akan timbul dalam diri orang yang tidak memiliki penyadaran jeli (sati), keprihatinan (saævega), dan pengetahuan (ñâóa). Karena itu, seseorang hendaknya melihat makhluk yang terbunuh atau telah mati sendiri di sana-sini, lalu merenungkan kematian makhluk yang sebelumnya pernah diketahui memiliki segala kelengkapan; melengkapinya dengan penyadaran jeli, keprihatinan, dan pengetahuan, dan selanjutnya secara arif mengarahkan perhatian dengan penghayatan: “Kematian akan terjadi.” Dengan begitu, ia dapat dianggap telah mengarahkan perhatian dengan arif –dalam arti menjalankannya dengan cara yang benar.
Bagi sementara orang [yang memiliki kemampuan besar], perenungan semacam itu saja dapat mengatasi kendala batin (nîvaraóa), me mantapkan penyadaran jeli yang berobjek kematian, dan meraih tingkat meditasi penghampiran (upacâra).
[Delapan Cara Perenungan]
Sementara itu, mereka yang tidak mendapatkan kemajuan [dengan perenungan semacam itu saja] hendaknya merenungkan kematian dengan menggunakan delapan cara sebagai berikut:
[1.] Dengan membayangkan kemunculan seorang pembunuh (vadhakapaccupaööhânato),
[2.] Dengan merenungkan sirnanya keberhasilan (sampattivipattito),
[3.] Dengan mengadakan perbandingan (upasaæharaóato),
[4.] Dengan menyadari bahwa tubuh ini terbagi oleh umum (kâyabahusâdhâraóato),
[5.] Dengan merenungkan kerapuhan usia (âyudubbalato),
[6.] Dengan merenungkan kehidupan yang nirmarkah (animittato),
[7.] Dengan merenungkan kehidupan yang berbatas waktu (addhânaparicchedato),
[8.] Dengan merenungkan pendeknya tempo kehidupan (khaóaparittato).
1. Dengan Membayangkan Kemunculan Seorang Pembunuh
Seseorang hendaknya merenungkan, “Ibarat seorang pembunuh yang muncul dengan sebilah golok, yang berdiri mendekat sambil menghunuskan golok di leher dengan itikad ‘Aku akan menebas kepala orang ini’; demikian pula kematian menampakkan kemunculannya.” Mengapa? Sebab ia datang bersama kelahiran dan merampas kehidupan. Bagaikan jamur payung yang senantiasa muncul dengan menyembulkan tanah di atasnya, demikian pula makhluk hidup terlahirkan bersama dengan ketuaan dan kematian. Memang begini adanya, kesadaran bertumimbal-lahir makhluk itu mencapai ketuaan segera setelah kemunculannya dan kemudian padam bersamaan dengan perpaduan kelompoknya; ibarat batu yang hancur terjatuh dari puncak bukit. Kematian sesaat (khaóika-maraóa) muncul bersama dengan kelahiran. Bahkan kematian yang dimaksudkan dalam Maraóasati ini juga muncul bersama dengan kelahiran; sebab makhluk hidup yang terlahirkan pasti mengalami kematian. Ibarat terbitnya matahari yang bergeser menuju ufuk keterbenaman dan tidak pernah berbalik haluan walau sedikit pun; atau ibarat arus sungai yang mengalir dari gunung, yang dengan deras membawa hanyut tanpa kembali; demikian pula makhluk hidup berkelana menuju kematian semenjak kelahirannya dan tidak pernah berbalik meski hanya sedikit pun. Karena itulah, Bodhisatta Ayogharakumâra berwejang:
“Sejak saat pertama masuk ke dalam kandungan, manusia yang terlahirkan hanya dapat bertolak dan bertolak tanpa berbalik kembali.”
Sewaktu ia bertolak begitu, kematian niscaya datang mendekat setiap saat ibarat mata air yang mengering karena terbakar matahari di musim kemarau; ibarat jatuhnya buah-buahan bertangkai kering di pagi hari; ibarat pecahnya belanga yang tertumbuk palu; ibarat menguapnya embun yang tertimpa terik matahari. Karena itulah, Sang Buddha bersabda [tiga syair pertama, sedangkan Sang Bodhisatta mewejangkan syair keempat]:
Siang dan malam berlalu, Kehidupan mendekati kepadaman, Usia makhluk hidup berkurang dan berkurang, Ibarat mata air yang mengering. Sebagaimana buah yang telah masak Yang terjatuh di pagi hari, Bahaya kematian niscaya menimpa Makhluk yang telah terlahirkan.
Ibarat belanga tanah yang dibuat oleh tukang belanga, Yang besar maupun kecil, yang masak atau masih mentah, Semuanya berakhir pada kehancuran, Demikian pula kehidupan semua makhluk, berarkhir pada kematian.
Bagaikan embun di ujung rerumputan, Yang menguap karena terbitnya matahari, Begitu pula usia manusia; Karena itu, Ibunda, jangan rintangi saya [dalam menanggalkan keduniawian].
Kematian datang bersama kelahiran, ibarat seorang pembunuh dengan golok terhunus. Seperti pembunuh yang menghunuskan golok dileher, demikian pula kematian merampas kehidupan tanpa pernah membawanya kembali. Kematian diumpamakan seperti kemunculan seorang pembunuh bergolok terhunus karena datang bersama dengan kelahiran, dan karena merampas kehidupan. Demikianlah seseorang hendaknya merenungkan kematian ibarat kemunculan seorang pembunuh.
2. Dengan Merenungkan Sirnanya Keberhasilan
Keberhasilan tampak bergemilang sepanjang kesirnaan belum menguasainya, dan sesungguhnya tidak ada suatu keberhasilan yang luput dari jangkauannya. Memang demikian adanya. Bahkan Raja Asoka yang [bergelar] Tanpa Kesedihan pun, Yang berhasil memerintah seluruh daratan [Jambudîpa], Yang membelanjakan [anggaran] seratus koöi [setiap harinya], Di akhir masa kehidupannya, Hanya berkuasa atas separoh biji asam, Beserta sekujur tubuhnya, Tatkala kebajikannya telah terhabiskan, Ia menghadapi kematian; tiba pada keadaan yang menyedihkan.
Lebih lanjut, segala kesehatan berakhir pada kesakitan; segala kebeliaan berakhir pada keuzuran; segala kehidupan berakhir pada kematian; segala perwujudan duniawi dikuntiti kelahiran, diburu ketuaan, dirundung penyakit, dan dibasmi kematian. Karena itu, Sang Buddha bersabda:
Bagaikan gunung padas yang besar, Tinggi menjulang ke langit, Menggilas semua makhluk hidup di bawahnya, Yang datang dari empat penjuru sekeliling; Begitu pula ketuaan dan kematian menindas semuanya, Meluluh-lantakkan semua makhluk, tanpa kecuali, Ningrat, agamawan, pedagang, pakar, Orang tercampakkan ataupun tukang sampah. Di sini tak ada tempat berpijak bagi serdadu bertunggangan gajah, kuda, Serdadu berkereta atau berjalan kaki, Tak seorang pun mampu mengalahkannya,
Dengan rapalan aji-aji mantra ataupun suapan harta. Demikianlah kesirnaan yakni kematian sebagai akhir dari keberhasilan yakni kehidupan. Seseorang hendaknya memahami bahwa kehidupan berakhir pada kematian, merenungkan kematian sebagai kesirnaan keberhasilan.
3. Dengan Perbandingan
Seseorang hendaknya merenungkan kematian dengan memperbandingkan dirinya dengan orang-orang lain [yang telah mati] dalam tujuh jenis, yakni:
1. Mereka yang memiliki kemasyhuran yang luas (yasamahattato),
2. Mereka yang mempunyai kebajikan yang banyak (puññamahattato),
3. Mereka yang memiliki kekuatan yang besar (thâmamahattato),
4. Mereka yang mempunyai kesaktian adiinsani yang hebat (iddhimahattato),
5. Mereka yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi (paññâmahattato),
6. Para Pacceka Buddha (Paccekabuddhato),
7. Para Sammâsambuddha (Sammâsambuddhato).
Bagaimana [harus direnungkan]?
Bahkan Mahâsammata, Mandhâtu, Mahâsudassana, Daïhanemi, Nimi, dan lain-lain, yang sangat termashyur, yang memiliki banyak pengikut dan kekayaan melimpah, tidak terelakkan dari cengkeraman kematian. Bagaimana mungkin kematian tidak mencengkeram saya?
Raja-raja besar seperti Mahâsammata, Yang kemashyurannya tersebar luas, Semuanya jatuh ke dalam kekuasaan kematian; Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Demikianlah yang pertama-tama harus direnungkan. Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang mempunyai kebajikan yang banyak?
Para hartawan ini: Jotiya, Jaöila, Ugga, Meóòaka, Puóóaka, dan lain-lain Yang mempunyai banyak kebajikan di dunia, Mereka semuanya masih mengalami kematian; Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang memiliki kekuatan yang besar?
Bahkan Vâsudeva, Baladeva, Bhîmasena, Yuddhiööhila, Dan pegulat Câóura, Masih berada dalam kekuasaan kematian.
Apabila yang terkenal di dunia Sebagai orang-orang yang memiliki kekuatan besar pun, Masih mengalami kematian, Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang mem punyai kesaktian adiinsani yang hebat?
Siswa Utama yang kedua, Yang terunggul di antara mereka yang mempunyai kesaktian adiinsani yang hebat, Yang hanya dengan menggunakan jari kaki Mampu menggoyahkan gedung istana Vejayanta, Beliau pun, ibarat seekor kijang dalam mulut singa, Kendati memiliki kesaktian adiinsani, Masih terjatuh dalam cengkeraman kematian[3] yang menakutkan. Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi?
Tidak ada satu makhluk lain pun, Kecuali Pendukung Dunia [Sang Buddha], Yang bernilai seperenam-belas dari Kebijaksanaan yang dimiliki oleh Sâriputta, Siswa Utama yang pertama, Yang terunggul dalam kebijaksanaan ini pun, Masih berada dalam kekuasaan kematian. Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap para Pacceka Buddha?
Kendati telah menghancurkan semua musuh berupa kekotoran batin dengan kekuatan pengetahuan serta upaya mereka sendiri, dan telah meraih pencerahan bagi diri mereka sendiri, seperti tanduk badak [yang berdiri sendiri], mereka tersucikan oleh diri sendiri; semuanya masih juga belum terlepas dari kematian. Lalu bagaimana mungkin saya terbebas darinya?
Untuk menunjang pencarian kebenaran, Para pertapa merenungkan pelbagai markah, Meraih pembebasan dari kekotoran batin, Dengan pengetahuan [mereka sendiri] yang mapan. Berkelana dan hidup sendirian, Ibarat tanduk badak, Mereka pun tidak terhindar dari kematian.
Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap para Sammâsambuddha?
Bahkan para Sammâsambuddha, yang tubuh jasmaniah mereka terlengkapi dengan 32 markah orang besar dan 80 tanda-tanda khusus lain, yang tubuh kedhammaan mereka terbentuk dari mustika kebajikan yang terdiri atas kesilaan yang murni dalam segala sisinya dan sebagainya, yang terluas kemashyuran mereka, yang berkebajikan terbanyak, yang mempunyai kekuatan terbesar, yang berkesaktian adiinsani terhebat, yang berkebijaksaan tertinggi, yang tak terbandingkan, yang setara dengan mereka yang tak terbandingkan, yang tidak ada duanya, yang secara benar meraih Pencerahan Agung oleh diri sendiri; mereka pun terpadamkan oleh hujan kematian, ibarat api unggun besar yang padam tersiram hujan lebat.
Kematian menyebarkan kekuatannya, Tanpa takut dan malu, Meski terhadap Pertapa Agung Yang memiliki kekuatan terhebat; Bagaimana mungkin kematian Yang tak mengenal takut dan malu ini, Yang menindas semua makhluk secara menyeluruh, Tak akan menguasai orang-orang seperti saya?
Tatkala melakukan perenungan dengan cara demikian, dengan memperbandingkan dirinya dengan orang-orang lain yang memiliki kemasyhuran yang luas dan sebagainya, dalam makna kematian yang menyeluruh, dengan berpikir “Kematian akan menimpa diri saya sebagaimana terhadap orang-orang khusus itu,” –seseorang niscaya meraih tingkat meditasi penghampiran.
Demikianlah kematian seharusnya direnungkan dengan meng adakan perbandingan.
4. Dengan Menyadari bahwa Tubuh ini Terbagi oleh Umum
Tubuh jasmaniah ini terbagi oleh banyak jenis makhluk. Pertama, terbagi oleh 80 jenis binatang kecil [bernga, belatung, kuman, dan sebagainya]. Yang berada di permukaan kulit menggigit serta memakan permukaan kulit; yang berada di kulit jangat menggigit serta memakan kulit jangat; yang berada di daging menggigit serta memakan daging; yang berada di otot menggigit serta memakan otot; yang berada di tulang menggigit serta memakan tulang; yang berada di sumsum menggigit serta memakan sumsum. Mereka lahir, menua, mati dan membuang kotoran besar kecil di sana. Dapat dikatakan bahwa tubuh ini merupakan tempat bersalin, rumah sakit, jamban, dan kuburan bagi mereka. Tubuh ini dapat tergiring menuju kematian dari gangguan binatang kecil tersebut. Selain terbagi oleh 80 jenis binatan kecil, tubuh ini juga terbagi oleh beberapa ratus penyakit dalam (internal diseases) di samping penyebab luar (external causes) kematian seperti ular, kalajengking dan sebagainya.
Ibarat senjata-senjata seperti panah, tombak, lembing, batu dan sebagainya –yang dilemparkan dari segala penjuru–, jatuh mengenai sasaran yang terletak di tengah persimpangan; begitu pula segala celaka jatuh menimpa tubuh ini, dan karenanya pula ia tiba pada kematian.
Karena itu, Sang Buddha bersabda: “Duhai Para Bhikkhu, tatkala siang berlalu dan malam datang menjelang, para bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini merenungkan ‘Ada banyak hal yang dapat membuat saya mati. Ular mungkin memagut saya, kalajengking mungkin menyengat saya, lipan mungkin menggigit saya. Saya mungkin mati karenanya, dan itu berbahaya bagi saya. Saya mungkin terpeleset dan jatuh ke jurang. Makananvyang saya santap mungkin mengandung racun. Empedu saya mungkin terganggu. Dahak saya mungkin terganggu. Angin dalam tubuh sayavmungkin terganggu, dan memutuskan kesinambungan hidup. Saya mungkin mati karenanya, dan itu berbahaya bagi saya.”
Demikianlah kematian hendaknya direnungkan, dengan menyadari bahwa tubuh ini terbagi oleh umum.
5. Dengan Merenungkan Kerapuhan Usia
Usia kehidupan itu lemah dan rapuh. Kehidupan suatu makhluk bergantung pada pernafasan, sikap tubuh, hawa panas dingin, empat unsur pokok, dan sari makanan.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan nafas masuk dan nafas keluar. Apabila udara yang keluar dari saluran pernafasan tidak masuk kembali, atau yang telah masuk tidak keluar lagi; seseorang niscaya akan mati.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan empat sikap tubuh. Apabila berada dalam satu sikap secara berlebihan, usia kehidupan niscaya akan terputuskan.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan hawa panas dan dingin. Apabila terkena hawa panas atau dingin yang berlebihan, seseorang niscaya akan mati.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan empat unsur pokok. Apabila ada ganguan unsur tanah, unsur air atau unsur lainnya, orang yang kuat sekali pun niscaya akan menjadi orang yang bertubuh mengeras, membusuk karena penyakit dan sebagainya, bergejala panas menanjak, persendian tulang dan ototnya terputus, dan bahkan sampai pada kematian.
Kehidupan berlangsung hanya apabila seseorang memperoleh sari makanan yang tepat pada waktunya. Apabila tidak ada makanan, kehidupannya niscaya akan berakhir.
Seseorang hendaknya merenungkan kematian, dengan merenungkan usia kehidupan sebagai sesuatu yang rapuh.
6. Dengan Merenungkan Kehidupan yang Nirmarkah
Makna kehidupan yang nirmarkah ialah bahwa kehidupan itu tidaklah dapat ditentukan dan dibayangkan batasnya. Lima hal yakni usia kehidupan, penyakit, waktu, tempat tubuh ini terkapar, dan jalur tujuan; dari semua makhluk di dunia ini tidaklah bermarkah, tidak dapat diketahui.
Dalam lima hal ini, kehidupan tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa akan hidup sebatas ini, tak lebih daripada ini. Ada makhluk yang mati dalam pelbagai tahap janin, yakni pada waktu masih berupa tetesan air bening kekuning-kuningan (kalala), gelembung air warna daging (abbuda), cairan daging merah (pesi), gumpalan daging berbentuk seperti telur ayam (ghana), dalam kandungan selama satu bulan, dua bulan, tiga bulan, empat, lima bulan, … sepuluh bulan, dan pada waktu terlahirkan dari kandungan. Kalau pun melewati tahap itu, mungkin mati dalam waktu kurang lebih 100 tahun.
Penyakit tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa makhluk akan mati hanya oleh penyakit ini, bukan karena penyakit yang lain. Ada makhluk yang mati karena penyakit mata, ada pula yang mati karena penyakit-penyakit lain seperti penyakit telinga.
Waktu tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa makhluk akan mati hanya pada waktu ini, bukan pada waktu lain. Ada makhluk yang mati pada pagi hari, ada pula yang mati pada waktu-waktu lain seperti siang hari.
Tempat tubuh ini terkapar tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa ketika makhluk mati, tubuh mereka hanya terkapar di sini, bukan di tempat lain. Ada makhluk yang terlahirkan dalam rumah, mati dengan tubuh terkapar di luar rumah; ada pula makhluk yang terlahirkan di luar rumah, mati dengan tubuh terkapar di dalam rumah. Dalam makna yang sama, orang bijak hendaknya memperluas pengertian ini dalam pel bagai pengandaian seperti: ada makhluk yang terlahirkan di darat, mati terkapar di air; ada pula makhluk yang terlahirkan di air, mati terkapar di darat.
Tujuan pun tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa makhluk yang mati dari sini akan terlahirkan kembali di sini. Ada makhluk yang mati dari Alam Surga,terlahirkan kembali di Alam Manusia; ada pula makhluk yang mati dari Alam Manusia, terlahirkan kembali di alam-alam lain seperti Alam Surga dan sebagainya. Dengan cara demikianlah [makhluk di] dunia ini berputar-putar dalam lima jenis tujuan ibarat sapi yang terikat pada kereta berjalan berputar-putar.
Demikianlah kematian hendaknya direnungkan, dengan merenungkan kehidupan yang nirmarkah.
7. Dengan Merenungkan Kehidupan yang Berbatas Waktu
Rentang waktu kehidupan manusia pada zaman ini sangatlah singkat. Ada orang yang hidup selama 100 tahun, ada pula yang lebih lama namun hanya sebagian kecil. Karena itu, Sang Buddha bersabda:
“Duhai Para Bhikkhu, usia manusia itu sangatlah singkat. Ada kehidupan lain yang harus dijalani. Hendaknya berbuat kebajikan serta menempuh kehidupan suci. Tak ada makhluk yang terlahirkan tidak mengalami kematian. Memang ada makhluk yang hidup selama 100 tahun atau lebih, namun itu hanyalah sebagian kecil.”
Usia manusia itu sangatlah pendek, Orang bijak hendaknya meremehkannya, Hendaknya berprilaku sebagaimana orang yang kepalanya terbakar, Tak mungkin kematian tidak datang menjenguk.
Beliau bersabda lebih lanjut: “Duhai Para Bhikkhu, pernah ada seorang guru bernama Araka…” dan seterusnya. Orang bijak hendaknya menguraikan sutta yang terhiasi oleh tujuh perumpamaan. Dalam sutta lain lagi Beliau berwejang: “Duhai Para Bhikkhu, bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggalselama satu hari dan satu malam. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’
Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama satu siang. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’
Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama satu waktu bersantap. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’
Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama empat lima kunyahan serta telanan [makanan]. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’ Para bhikkhu semacam itu saya nilai masih lalai, dan terlalu lamban dalam merenungkan kematian demi penghancuran kekotoran batin. Sementara itu, bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama satu kunyahan serta telanan [makanan]. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’ Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama satu tarikan nafas masuk dan satu hembusan nafas keluar, atau satu hembusan nafas keluar dan satu tarikan nafas masuk. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’ Bhikkhu semacam ini saya nilai tidak lalai, dan cergas dalam merenungkan kematian demi penghancuran kekotoran batin.”
Sedemikian singkatnya usia kehidupan sehingga tidak patut diabaikan meski hanya sewaktu mengunyah serta menelan empat atau limasuapan [makanan]. Demikianlah kematian hendaknya direnungkan, dengan merenungkan kehidupan yang berbatas waktu.
8. Dengan Merenungkan Pendeknya Tempo Kehidupan
Berdasarkan pengertian mutlak (paramattha), waktu hidup makhluk-makhluk itu sangatlah pendek, hanya berlangsung selama kemunculan satu kesadaran. Ibarat roda kereta, sewaktu berputar, ia berputar dengan bagian pelek yang sama; ketika berhenti, ia berhenti dengan bagian pelek yang sama. Demikian pula kehidupan makhluk, hanya berlangsung pada satu saat kesadaran. Begitu kesadarannya lenyap kembali, makhluk itu dapat dikatakan telah mati (padam), sebagaimana yang disabdakan: “Pada saat kesadaran lampau, ia dikatakan telah hidup, tidak sedang hidup ataupun akan hidup. Pada saat kesadaran mendatang, ia tidak dikatakan telah hidup ataupun sedang hidup melainkan akan hidup.
Pada saat kesadaran sekarang, ia bukan telah hidup ataupun akan hidup tetapi sedang hidup. Kehidupan, kepribadian, dan segala suka duka; terpadu oleh satu kesadaran, Waktu [kehidupan] itu berlalu sangat cepat, Kelompok kehidupan yang telah padam Milik mereka yang telah mati atau masih hidup, Semuanya sama, padam tak kembali.
Dunia [makhluk] dikatakan tak timbul karena kesadaran tak muncul, Dikatakan hidup karena munculnya kesadaran, Dikatakan mati karena padamnya kesadaran, Inilah ketetapan dalam pengertian mutlak.
Demikianlah kematian seharusnya direnungkan, dengan merenungkan pendeknya tempo kehidupan.
[Simpulan]
Dengan merenungkan salah satu dari delapan macam cara ini, berkat kekuatan perhatian yang tekun, pikiran niscaya akan lancar, penyadaran jeli yang berobjekkan kematian niscaya akan termantapkan, segala kendala batin niscaya tertekan, dan faktor-faktor pencerapan (jhâna) niscaya akan muncul. Namun, karena objeknya merupakan keadaan alamiah (sabhâvadhamma) dan karena menimbulkan perasaan keprihatinan, pencerapan ini tidak sampai pada tahap pencapaian (appanâ); hanya sampai pada tahap penghampiran (upacâra).
Sementara itu, pencerapan adiduniawi (lokuttara-jhâna) dan pencerapan nirbentuk (arûpa-jhâna) yang kedua dan keempat sampai pada pencapaian kendati merupakan keadaan alamiah. Sebab, [ini] merupakan pengembangan khusus. Pencerapan adiduniawi dapat sampai pada tahap pencapaian karena kekuatan pengembangan kesucian yang progresif. Pencerapan nirbentuk dapat sampai pada tahap pencapaian karena merupakan pengembangan yang melampaui objek. Sebab, dalam pencerapan nirbentuk hanya ada pelampauan objek jhâna yang telah sampai pada pencapaian. Namun, dalam perenungan atas kematian ini, keduanya tidak terdapat. Karena itu, [ini] merupakan pencerapan yang hanya sampai pada tahap penghampiran. Pencerapan ini disebut penyadaran jeli atas kematian karena muncul berkat perenungan atas kematian.
Bhikkhu yang senantiasa mengembangkan Maraóasati ini niscaya akan menjadi orang yang tidak lalai. Ia akan memperoleh pemahaman ketakterpikatan terhadap segala perwujudan; dapat menanggalkan kemelekatan terhadap kehidupan, mencela kejahatan, tidak banyak menimbun [barang], terbersihkan dari noda kekikiran atas segala harta milik, dan bahkan pemahaman atas ketaklanggengan niscaya akan tumbuh. Pemahaman atas penderitaan dan ketanpa-dirian niscaya akan muncul mengikutinya. Makhluk hidup yang tidak melatih [perenungan terhadap] kematian niscaya mengalami ketakutan, kengerian dan kekacauan tatkala ajal menjelang ibarat orang yang tiba-tiba diserang oleh binatang buas, raksasa, ular, penjahat atau pembunuh. Sebaliknya, ia [yang melatih perenungan terhadap kematian] tidaklah mengalami ketakutan, tidak terjatuh dalam keadaan semacam itu. Apabila tidak meraih Kekekalan (Nibbâna) dalam kehidupan sekarang ini juga, ia setidak-tidaknya akan terlahirkan kembali di Alam Bahagia setelah kehancuran tubuh jasmaniah (kematian).
Karena alasan itulah, orang yang memiliki kebijaksanaan Hendaknya senantiasa tidak lalai Dalam perenungan atas kematian Yang berkekuatan besar ini. Ini merupakan bagian berkenaan dengan perenungan atas kematian dalam penjelasan terinci.
BAB IV: TRADISI
Ikut Berduka-cita?
Dalam surat-surat kabar sering tercantum berita kematian berbunyi seperti: “Ikut Berduka-cita atas meninggalnya ...” Itu hanyalah sebagian kecil ungkapan perasaan yang tersalurkan melalui media cetak. Di rumah almarhum/ah, dapat dijumpai pemandangan yang jauh lebih mengenaskan.
Sanak keluarga yang ditinggalkan tampak bersedih-hati dengan menangis dan bahkan ada yang sampai menggerung-gerung.
Kejadian semacam itu tidak hanya dapat dijumpai dalam keluarga non-Buddhis, melainkan juga sering terjadi di kalangan umat Buddha. Bagaimana sesungguhnya kejadian tersebut jika ditinjau berdasarkan Dhamma? Dapatkah perbuatan itu dibenarkan? Sesuaikah dengan semangat ajaran murni Sang Buddha?
Dalam Mahâparinibbâna Sutta, kejadian semacam itu dapatlah dijumpai. Dikisahkan bahwa ketika Buddha Gotama akan mengakhiri kehidupan-Nya, Ânanda Thera sangat berduka-cita. Sambil bersandar di tiang pintu, beliau menangis. Mengetahui hal ini, Sang Buddha segera memanggilnya dan menasihati: “Cukup, Ânanda, janganlah Engkau bersedih hati, dan janganlah meratap! Bukankah sejak semula telah Saya wejangkan bahwa peralihan, perpisahan, dan perubahan dari segala sesuatu yang kita sayangi serta cintai pastilah terjadi. Bagaimana mungkin apa yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian.”
Dari kisah tersebut, jelaslah bahwa umat Buddha tidaklah selayaknya bersedih hati atas meninggalnya makhluk-lain, betapa pun besar jasanya dan betapa pun besar cinta kasihnya. Namun, ini juga bukanlah berarti seseorang harus bersuka-ria atas kematian sanak keluarga. Apabila ditelaah berdasarkan Abhidhamma, duka (domanassa vedanâ) adalah suatu jenis perasaan yang timbul berpadu dengan kesadaran yang bersumber pada kebencian (dosamula-citta). Kesadaran ini, yang bersifat menolak objek yang sedang dihadapi, termasuk sebagai kesadaran buruk (akusala-citta). Perasaan duka sama sekali tidak pernah berpadu dengan kesadaran baik (kusala-citta). Dengan perkataan lain, berduka-cita bukanlah suatu kebajikan; bukan suatu perwujudan dari rasa bakti, tulus, setia.
Umat Buddha yang sejati selayaknya berusaha sedapat mungkin untuk menghindari perasaan duka. Kalau ada sanak keluarga yang meninggal dunia, tidaklah perlu memuat berita dengan pernyataan seperti: “Ikut Berduka-cita . . .” karena ini tidak sesuai dengan hakikat Dhamma. Sikap serta pola berpikir yang lebih arif perlu dijalankan. Untuk menyatakan serta membuktikan betapa besar rasa bakti dan cinta kasih terhadap almarhum/ah, seseorang tidaklah harus berduka-cita, menangis atau bahkan menyewa orang-orang miskin untuk berpura-pura menangis atas nama dirinya –sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang dari kalangan atas.
Dengan mengembangkan perasaan duka-cita, orang yang telah meninggal dunia tidaklah mungkin dapat dihidupkan kembali, dan ini bukanlah suatu pertolongan apa pun baginya di alam sana. Bukan tangisan dari sanak keluarga yang dapat menghantarkan seseorang ke Surga. Dalam Agama Buddha, tidak ada dewa yang mengadili seseorang dari banyaknya keluarga atau teman yang menangisinya, dan lamanya mereka menangis. Setiap makhluk terlahirkan kembali sesuai dengan akibat kamma perbuatan masing-masing.
Seseorang mungkin akan bertanya, “Kalau berita berbunyi ‘Ikut Berduka-cita…’ tidak tepat untuk dipakai di kalangan Buddhis, lalu pernyataan yang bagaimanakah yang cocok?” Ungkapan-ungkapan yang mengandung makna Dhamma seperti “Segala perpaduan bersifat tidak kekal” atau “Kehidupan itu tidaklah pasti, namun kematianlah yang pasti menimpa semua makhluk hidup” jauh lebih baik dan cocok bagi umat Buddha.
Dalam pada itu, bagi mereka yang mengetahui bahwa ada sahabat atau kerabat karib yang sedang bersedih hati ditinggal mati sanak keluarganya, mereka tidaklah harus turut berduka-cita atau bersedih hati. Itu bukanlah suatu cara yang benar untuk menyatakan rasa kesetiakawanan dan keprihatinan kepadanya. Seseorang yang sedang dirundung malang kiranya dapat diumpamakan seperti orang yang sedang terjatuh ke dalam jurang. Untuk membebaskan atau menolongnya, seseorang tidaklah harus ikut menceburkan diri bersama dengannya. Tindakan yang bijaksana ialah berusaha mengangkat sahabat atau kerabat itu keluar dari jurang tersebut. Dengan perkataan lain, pertolongan yang perlu diberikan kepadanya ialah dengan memberikan bimbingan Dhamma agar dia sadar bahwa di dunia ini memang tidak ada sesuatu yang bersifat kekal (langgeng).
Ini bukanlah suatu kebenaran yang baru, dan mungkin telah diketahui olehnya. Akan tetapi, apabila sedang dihadapkan pada keadaan sesungguhnya, kebanyakan orang sering tidak sampai berpikir demikian. Karena itu, merupakan tugas seorang sahabat sejati untuk mengingatkannya. Inilah sikap yang benar terhadap orang-orang yang sedang berduka-cita karena kehilangan sanak keluarga yang sangat dikasihinya.
Ada yang mengatakan bahwa seseorang menyatakan ikut berduka-cita bukanlah berarti bahwa ia sungguh-sungguh merasa berduka atau bersedih hati. Itu hanyalah sekadar ‘basa-basi’ dengan maksud untuk menyatakan keprihatinan sekaligus menghibur orang yang berpisah dengan almarhum/ah. Ada orang-orang tertentu yang merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan batin dengan menyadari bahwa bukan hanya dirinya sendiri yang berduka-cita tetapi banyak orang lain yang juga ikut berduka-cita.
Sikap hidup semacam ini sesungguhnya sangat tidak bersesuaian dengan Dhamma. Karena itu, tidak semestinya dituruti. Ada banyak cara lain yang lebih arif untuk membebaskan seseorang dari penderitaan, tanpa harus membuat orang-orang lainnya ikut menderita. Selain itu, sebagai umat beragama seseorang tidak seharusnya menyatakan sesuatu hanya sekadar untuk berbasa-basi. Hal yang lazim dilakukan oleh orang-orang umum tidaklah selamanya dapat dianggap baik. Perlu bersikap arif dalam memilih kebiasaan mana yang baik dan mana yang takbaik. Kalau memang tidak berduka-cita, mengapa seseorang harus berdusta menyatakan demikian kepada yang lain?
Ketulusan dan kejujuran adalah faktor utama persahabatan. Dalam berbuat atau berucap apa pun, seseorang tidak selayaknya mengesampingkan dua macam kebajikan ini.
Penyimpanan Jenazah
Seberapa lama suatu jenazah selayaknya disemayamkan atau disimpan sebelum diperabukan? Di Yunani pada zaman lampau, sebelum pengetahuan di bidang medis berkembang pesat, jenazah orang mati lazimnya disimpan selama dua tiga hari untuk memastikan bahwa telah benar-benar meninggal dunia, bukan dalam keadaan mati suri. Upaya pembuktian dalam hal ini kadangkala dilakukan dengan mengiris atau memotong jari tangan.
Dalam Agama Buddha sama sekali tidak ada ketentuan yang mengikat. Akan tetapi, di Muangthai ada tradisi menyimpan jenazah bhikkhu-bhikkhu terkenal dalam waktu yang sangat lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi tradisi tersebut.
Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada para siswa serta umat awam yang bertinggal di tempat yang sangat berjauhan, untuk datang menghaturkan penghormatan terakhir.
Kedua, ada kebiasaan bagi orang-orang Thai untuk berbuat kebajikan dalam upacara kematian dengan menjadi sponsor pembacaan kitab-kitab Abhidhamma. Karena sedemikian banyak peminatnya, acara yang berlangsung setiap malam itu terulur-ulur hingga lama sekali.
Ketiga, karena para pengikut bhikhu-bhikkhu terkenal itu belum bisa menghilangkan rasa kerinduan dan kemelekatan.
Keempat, jenazah itu sengaja tidak segera diperabukan karena vihâra tempat bertinggal mereka tidak mempunyai pengganti (successor) yang dapat diharapkan menanggung kebutuhan serta biaya pengeluaran vihâra sehari-hari. Kalau jenazah mereka segera diperabukan, umat-umat yang dahulunya sering datang ke vihâra untuk berdana niscaya akan berpindah ke vihâra-vihâra lain.
Kalau ditanyakan apakah tradisi semacam itu sesuai dengan ajaran murni Buddha Gotama? Jawaban singkatnya ialah: Tidak!
Berikut ini adalah argumentasi yang memperlihatkan mengapa tradisi semacam itu tidak selayaknya tetap diselenggarakan. Jenazah Buddha Gotama sendiri, yang menjadi pendiri Agama Buddha dan menjadi Guru junjunganutama, hanya disemayamkan selama tujuh hari. Lalu, dengan alasan apakah kita pantas untuk menyimpan jenazah bhikkhu guru kita, betapapun dekat hubungan kita dengannya dan betapa pun besar jasa beliau kepada kita, dalam jangka waktu yang melebihi penyimpanan jenazah Sang Buddha?
Dalam berbuat sesuatu, umat Buddha tidak sepantasnya melangkahi Sang Buddha. Tradisi penyimpanan jenazah dalam waktu yang lebih lama cenderung menciptakan ‘iklim’ yang kurang baik, yang membuat banyak pihak berusaha untuk saling berjor-joran. Waktu penyimpanan yang semakin lama dijadikan sebagai lambang kebesaran Pâramî (Kesempurnaan) yang telah ditimbun oleh bhikkhu guru mereka.
Ini tidak begitu menjadi masalah apabila mereka mempunyai anggaran yang memadai. Celakanya, jika tidak, mereka harus berpontang-panting menghimpun dâna hanya sekadar untuk keperluan menyimpan jenazah. Ini adalah argumentasi utama yang tidak menyetujui diselenggarakannya upacara kematian yang terlalu lama. Berikut ini akan ditambahkan beberapa argumentasi lain sesuai dengan alasan yang melatar-belakanginya.
Pertama, dua puluh lima abad yang lampau, ketika sarana transportasi dan peralatan perabuan tidak sebegitu maju seperti sekarang ini, waktu tujuh hari sudah terlalu cukup untuk memperabukan jenazah Buddha Gotama. Masuk akalkah jika pada zaman sekarang ini kita menuntut peluang waktu yang lebih lama untuk dapat menyelenggarakan upacara perabuan?
Kedua, memang tidak dapat dibantah bahwa pembacaan kitab-kitab Abhidhamma merupakan suatu kebajikan. Namun, alangkah lebih baik jika anggaran ini dialihkan untuk kegiatan-kegiatan lain yang lebih bermanfaat, misalnya menarik minat umat Buddha untuk memahami makna keagamaan yang terkandung dalam kitab-kitab Abhidhamma, bukan hanya sekadar mendengarkan penguncarannya dalam Bahasa Pâli yang belum tentu dimengerti artinya; mendirikan yayasan-yayasan yang ditujukan untuk menunjang perkembangan Agama Buddha; memberikan bea-siswa kepada para bhikkhu dan sâmaóera dari pelosok untuk memperoleh pendidikan keagamaan yang layak; dan sebagainya.
Ketiga, Sang Buddha senantiasa mengajarkan umat-Nya untuk tidak terbenam dalam kerinduan serta kemelekatan entah pada apa pun dan kepada siapa pun –termasuk kepada Beliau sendiri.
Ketika Ânanda Thera menanyakan bagaimana selayaknya jenazah Sang Buddha diperlakukan, Beliau menasihatkan agar tidak terlalu merepotkan diri dalam hal ini. Lebih baik berjuang demi kesucian dan pembebasan bagi diri sendiri. Perlu disadari bahwa meskipun jenazah guru yang mereka cintai disimpan dalam waktu yang lama, suatu saat nanti pasti akan terpisahkan kembali. Alih-alih mengumbar emosi kerinduan, apakah tidak lebih tepat jika menggunakan waktu yang berharga ini untuk melaksanakan petunjuk serta nasihat mereka?
Keempat, sangatlah tidak etis untuk memanfaatkan jenazah orang yang telah meninggal, apalagi guru yang kita junjung tinggi, sebagai alat untuk menghimpun dâna –kendati ini selanjutnya dipakai untuk keperluan umum. Lebih baik mati kelaparan daripada “mencari makan dari mayat”.
Untuk dapat menghapus tradisi yang telah berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun ini, masyarakat Thai membutuhkan teladan nyata dari para sesepuh yang berkharisma tinggi. Beberapa guru meditasi yang terkenal telah memulai upaya ini dengan berpesan kepada para murid mereka agar segera memperabukan jenazah mereka secepat mungkin. Membenahi apa yang telah lama menyimpang itu tidaklah segampang meluruskan anak panah. Dengan menyadari kenyataan ini, umat Buddha –entah di mana pun berada– hendaknya senantiasa bersikap tanggap dalam meluruskan apa yang tidak sesuai dengan ajaran murni Sang Buddha sejak dari dini. Janganlah salah menyangka upaya semacam ini didasari niat buruk untuk sengaja mencari-cari masalah atas hal-hal yang sepele.
Perabuan vs Pemakaman
Dalam Agama Buddha tidak ada peraturan yang mewajibkan apakah jenazah seorang umat Buddha harus diperabukan atau dimakamkan. Pilihan atas dua macam cara umum itu ataupun cara-cara lainnya [misalnya disumbangkan ke rumah sakit untuk penelitian medis] dianggap sebagai hak asasi yang bersangkutan. Apabila ada pesan yang disampaikan sebelum meninggal dunia, pesan itulah yang layak dipenuhi sebagai suatu penghormatan terhadap orang yang mati. Seandainya tidak ada pesan yang ditinggalkan, hal ini tergantung keputusan sanak keluarga yang bersangkutan.
Walaupun tidak ada peraturan yang bersifat wajib, perabuan menempati prioritas tertinggi dalam tradisi Buddhis. Ini bersumber pada Mahâparinibbâna Sutta. Dalam wejangan terakhir tersebut, Buddha Gotama meninggalkan pesan kepada Ânanda Thera untuk memperabukan jenazah-Nya. Sumber-sumber lain dalam Kitab Suci Tipiöaka menunjukkan bahwa para siswa utama Beliau juga memilih perabuan. Dengan pertimbangan ini, kiranya layak bagi umat Buddha untuk menerapkan serta melestarikan cara ini.
Ada sementara umat Buddha yang menghindari perabuan dengan alasan kasihan yang mati akan kepanasan karena terbakar api. Ini adalah suatu alasan dangkal yang bersifat kekanak-kanakan. Kematian adalah perpisahan mutlak antara tubuh jasmaniah dengan unsur-unsur batiniah. Makhluk yang sudah mati tidak lagi memiliki perasaan, ingatan,corak batin serta kesadaran. Karena itu, ia sudah tidak akan merasa apa pun atas jenazah yang ditinggalkannya. Lagipula, kalaupun ada perasaan semacam itu, apakah ia tidak akan merasa kepengapan apabila dikubur/dipendam dalam tanah? Adakah cara lain yang lebih baik?
‘Perabuan’ adalah terjemahan baku kata ‘cremation’ (kremasi). Kata ini sesungguhnya berasal dari kata Latin ‘cremo’ yang secara harfiah berarti ‘membakar’ –khususnya pembakaran jenazah. Kebanyakan ahli purbakala memprakirakan bahwa perabuan diperkenalkan sebagai suatu cara memusnahkan mayat pada Zaman Batu –sekitar 3,000 tahun Sebelum Masehi. Cara yang agaknya pertama kali dipakai di Eropah atau Timur Dekat ini kemudian dipakai secara umum di Yunani (800 SM) dan Roma (600 SM). Perabuan merupakan lambang kebesaran (status symbol). Ketika Kristen menjadi agama-negara Kekaisaran Roma pada sekitar tahun 100 Masehi, tatkala banyak penganut agama lain diasingkan dan dibinasakan, pemakaman (penguburan jenazah) merupakan satu-satunya cara yang dipakai di seluruh penjuru Eropah.
Tepatnya pada tahun 1886, Gereja Roman Katholik secara resmi melarang pelaksanaan perabuan jenazah. Jemaat gereja yang ketahuan mengatur penyelenggaraannya akan dikucilkan (excommunicated). Ini berlangsung hingga masa Perang Dunia ke-II. Pada tahun 1961, Patriak Konstantinopel dari Gereja Orthodoks Timur memfatwakan bahwa: “Memang tidak ada peraturan orthodoks yang resmi terhadap perabuan, namun ada adat-istiadat yang kuat serta rasa kecenderungan terhadap pemakaman ala Kristen.”
Ada dua alasan utama yang melandasi penolakan terhadap perabuan. Yang pertama adalah kekhawatiran yang berkaitan dengan kebangkitan tubuh dari mati serta penyatuan kembali dengan roh kekal sebagaimana yang dijanjikan. Apabila mayatnya dibakar hingga musnah tak berbekas, dikhawatirkan akan timbul masalah dalam penyatuan jasmaniah-rohaniah tersebut. Ini bersumberkan pada Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-44. Alasan kedua, dalam masyarakat Israel kuno, pembakaran mayat lazimnya hanya diperuntukkan bagi para penyembah berhala, orang berdosa, pelaku kejahatan sertamusuh. Dalam Kitab Kejadian 38:24, misalnya, dituliskan bahwa Yehuda memerintahkan agar menantu wanitanya yang sedang hamil anak-kembar dibakar hingga mati karena dituduh telah melakukan perzinahan.
Apabila seorang laki-laki menikahi wanita sekaligus ibunya, menurut Kitab Imamat 20:14, itu merupakan suatu perzinahan. Ketiga orang itu itu harus dibakar dalam api. Dalam bait ke 21:9, hukuman yang sama dijatuhkan kepada anak wanita seorang imam yang menjadi pelacur. Bahkan Tuhan sendiri, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Bilangan 16:35, memberangus Korah beserta 250 orang Israel karena menentang Nabi Musa. Sumber-sumber lain dalam Kitab Perjanjian Lama dapat dijumpai di Keluaran 32:20, Yosua 7:15-25, Hakim-Hakim 15:6, I Samuel 31:11-13, II Raja-raja 10:26, Yeremia 29:22, Amos 2:1. Sementara itu, sumber dalam Kitab Perjanjian Baru terdapat dalam Wahyu kepada Yohanes 20:15.
Para penganut Agama Kristen cenderung memilih pemakaman karena cara inilah dikehendaki oleh Tuhan terhadap jenazah Nabi Musa (Yosua 34:6). Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-44 menceritakan bagaimana Tuhan membangkitkan tubuh orang-orang yang percaya. Sumber-sumber lain bertebaran di Kitab Kejadian, Yosua, Matius, Kisah Para Rasul. Karena sedemikian besar manfaat serta kepraktisan perabuan dibandingkan dengan pemakaman [dengan segala dampak negatifnya: pencemaran lingkungan, pemborosan tempat, biaya dan sebagainya]; pada zaman modern sekarang ini banyak orang yang memilih perabuan jenazah meskipun kurang begitu bersesuaian dengan ajaran agama yang dipercayai. Di kebanyakan negara besar di Eropah, lebih dari separo memakai cara perabuan. Di Jepang, perabuan –yang pernah dilarang pada tahun 1875–, kini diterapkan secara hampir menyeluruh. [1]
Di Amerika Serikat dan Kanada, telah dibangun lebih dari 30,000 tempat perabuan (crematorium) dengan statistik lebih dari setengah juta jenazah per tahun.
Pembakaran Kertas
Di kalangan orang-orang Cina, ada tradisi pembakaran kertas berbentuk uang, emas, rumah beserta segala perabotnya, boneka manusia, binatang peliharaan dan lain-lain dengan tujuan untuk ‘dikirimkan’ kepada orang yang telah meninggal dunia. Mengikuti perkembangan teknologi, kini kertas berbentuk barang-barang elektronik seperti radio, televisi beserta antena parabola dan bahkan pesawat terbang banyak dijumpai. Entah, apakah ada yang pernah mengirimkan komputer lengkap dengan modem untuk melayangkan e-mail serta menjelajahi dunia Internet.
Mereka percaya bahwa kertas-kertas yang dibakar itu secara gaib akan dapat terwujud di alam tempat kediaman orang yang mati. Ini jelas merupakan suatu kepercayaan yang bersifat kekanak-kanakan (childish), yang menunjukkan betapa rendah pengetahuan serta pengertian mereka atas keadaan alam kehidupan setelah mati. Bagaimana mungkin hanya dengan dibakar semua itu dapat sampai di alam lain? Kalaupun telah sampai, bagaimana mungkin dapat terwujud dan terpakai sebagaimana yangdiharapkan?
Apakah rumah yang terbuat dari kertas cukup kuat untuk menahan berat badan penghuninya? Mungkinkah rumah tiruan yang terbuat dari kertas dapat berubah menjadi rumah sungguhan di alam sana?
Lembaga keuangan manakah yang mengesahkan uang-uang kertas tersebut? Adakah pemancar gelombang radio dan televisi? Siapa yang akan mengemudikan pesawat terbang di sana? Tanpa adanya radar serta peralatan navigasi lainnya, apakah jalurnya tidak kacau balau hingga menyebabkan tubrukan? Andaikata terjadi kecelakaan, siapa yang akan memberikan pertolongan? Perlukah mengirimkan rumah sakit beserta dokter dan jururawat?
Tradisi pembakaran kertas bercikal-bakal dari kebiasaan keji, kejam dan biadab (barbarous custom) yang pernah dilakukan oleh para pembesar serta penguasa pada zaman lampau. Tidak hanya di Yunani, di Cina juga ada kebiasaan untuk mengurbankan binatang tunggangan dan bahkan budak serta pelayan demi kepentingan orang-orang besar yang mati. Ini telah dijalankan sejak abad kesepuluh Sebelum Masehi. Dalam kasus Duke Muh, misalnya, ada 177 orang manusia dibakar hidup-hidup.
Beberapa rujukan lain dapat dijumpai pada masa kehidupan Khong Hu Cu (551–478 SM). Menurut catatan perjalanan Marco Polo, dalam upacara pemakaman Möngke Khan –cucu Jenghis Khan, saudara Kubilai Khan–, ada lebih dari 20,000 orang manusia yang dikurbankan demi kaisar Mongolia tersebut. Tak terkecuali binatang-binatang yang dijumpai di sepanjang jalan menuju makam di puncak Gunung Altai, semuanya dibantai secara keji. [2]
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, pembantaian binatang apalagi manusia sebagai kurban upacara kematian lambat laun jarang dipraktekkan. Namun, mereka tampaknya masih belum begitu bisa menghapuskan tradisi itu secara tuntas sehingga kemudian dibuatlah kertas-kertas tiruan dalam pelbagai wujud sebagaimana yang diinginkan. Meskipun tidak lagi bersifat keji dan melanggar perikemanusiaan seperti zaman dahulu, tradisi pembakaran kertas kiranya perlu segera dihapuskan karena hanya mubazir, memboroskan biaya tanpamanfaat apa pun. Pelestarian tradisi semacam ini justru akan mempertebal ketakhayulan dan menjauhkan diri dari kebijaksanaan. Anggaran untuk ini sebaiknya dialihkan untuk hal-hal yang lebih berguna, misalnya disumbangkan ke fakir miskin, rumah sakit, dan sebagainya.
Ada yang beralasan bahwa mereka sesungguhnya tahu bahwa sangatlah muskil kertas-kertas yang dibakar itu dapat sampai di alam tempat kediaman sanak keluarga yang mati. Namun, tradisi ini tetap dilestarikan semata-mata untuk menunjukkan rasa bakti kepada almarhum/ah.
Mereka khawatir, jangan sampai yang mati akan merasa tidak lagi diperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Sesungguhnya, ada banyak cara yang lebih arif untuk membuktikan rasa bakti dalam wujud perbuatan-perbuatan yang berguna, misalnya dengan melakukan penyaluran jasa dan sebagainya.
Selain tradisi pembakaran kertas, kebiasaan dalam membakar barang-barang keperluan sehari-hari yang pernah dipakai oleh orang mati seperti pakaian, sepatu sandal dan sebagainya perlu segera dihapuskan. Alih-alih dibakar secara percuma, alangkah lebih bermanfaat jika semua itu disumbangkan kepada fakir miskin atau mereka yang membutuhkan. Kaum Neanderthal pada zaman batu kuno (Palæolithic Period) juga mengenal tradisi mengubur barang-barang keperluan sehari-hari ke dalam makam orang mati; dengan kepercayaan bahwa semua itu masih dibutuhkan oleh yang mati. Itu adalah suatu kebiasaan manusia kuno yang hidup sekitar 30,000 sampai 100,000 tahun yang lampau, yang masih rendah peradabannya, yang belum begitu mempunyai pengetahuan, penalaran serta pemikiran logis atas keadaan kehidupan setelah mati. Pada zaman modern seperti sekarang ini, kiranya tidak ada alasan sedikit pun untuk melestarikan tradisi semacam itu –kecuali kalau tak merasa malu disebut masih primitif. Ada sementara orang yang berkilah bahwa tradisi pembakaran barang keperluan sehari-hari itu tetap dijalankan karena takut kalau yang mati tak rela barang-barangnya dipakai orang lain dan akan menagih kembali serta menghantui mereka.
Kalau memang demikian alasannya, mengapa harta peninggalan orang mati yang bernilai tinggi –misalnya uang, emas, permata dan sebagainya–tidak juga dibakar sekalian tetapi justru sering dijadikan ajang perebutan warisan bagi sanak keluarga yang masih hidup?
Penyaluran Jasa
Lazimnya, kalau ada orang yang akan bepergian ke tempat yang cukup jauh, sanak keluarga yang ditinggalkan akan menyediakan perbekalan untuk dimanfaatkan selama dalam perjalanan. Demikian pula yang diperbuat terhadap orang yang meninggal dunia. Dengan pelbagai cara, sanak keluarga yang ditinggalkan berusaha untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat bermanfaat bagi almarhum/ah yang sangat dicintai. Mereka menyediakan makanan serta minuman yang disukai sewaktu masih hidup. Pakaian serta barang-barang keperluan lainnya pun tidak lupa disediakan secara lengkap.
Sesungguhnya, orang yang mati telah terlahirkan kembali di alam lain. Di sana, kehidupan dan cara hidupnya mungkin tidaklah sama se perti di dunia ini. Tidak ada pertanian, peternakan atau perdagangan sebagai matapencaharian. Makanan serta minuman mereka juga berlainan.
Kebutuhan di sana tidaklah seperti kebutuhan manusia di dunia ini. Karena itu, kiriman semacam itu hanyalah sia-sia belaka. Kalaupun seandainya orang yang mati itu terlahirkan kembali di alam manusia, ia tentu sedang berada dalam kandungan sehingga tidak dapat memanfaatkan barang kiriman dari sanak keluarga yang ditinggalkan.
Dalam Tirokuòòa Sutta, Sang Buddha menganjurkan cara yang lebih bijaksana bagi sanak keluarga yang ditinggal mati, yaitu dengan berdana makanan, minuman serta lain-lain kepada para bhikkhu Saõgha dan selanjutnya menyalurkan jasa kebajikan yang timbul dari pemberian dâna ini kepada orang yang meninggal dunia (pattidâna). Hanya kiriman berbentuk ‘halus’ semacam ini yang mempunyai kemungkinan untuk dapat dimanfaatkan oleh orang yang telah mati. Ibarat air yang mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah, ibarat hulu sungai yang telah penuh niscaya membanjiri muara; demikian pula penyaluran jasa yang dilimpahkan oleh sanak keluarga kepada orang yang telah meninggal dunia.
Nâgasena Thera menjelaskan dalam Kitab Milinda Pañhâ bahwa penyaluran jasa tidaklah dapat diterima oleh orang mati yang telah terlahirkan kembali di alam surga, neraka atau binatang. Demikian pula yang terlahirkan kembali sebagai setan (peta) yang makan ludah, dahak dan muntahan (vantâsikâ), yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppîpâsika), dan yang Senantiasa terberangus (nijjhâmataóhika). Yang dapat menerima penyaluran jasa ialah setan yang memang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa (paradattupajîvika). [3]
Ini mungkin merupakan suatu jenis setan yang karena kemelekatannya hidup bergentayangan di sekitar rumah atau tempat yang ditinggalkannya. Karena alam kehidupannya tidak berjauhan dengan alam manusia, ia mempunyai kesempatan untuk mengetahui penyaluran jasa yang dilimpahkan kepadanya. Suatu penyaluran jasa baru sangkil apabila ditujukan langsung kepada yang bersangkutan (uddissikapatti) –sebagaimana penyaluran jasa yang pernah dilakukan oleh Raja Bimbisâra kepada sejumlah setan yang pernah menjadi sanak keluarganya.
Boleh dikatakan bahwa tipis sekali kemungkinan suatu penyaluran jasa dapat benar-benar dimanfaatkan oleh yang bersangkutan. Halangan pertama ialah, yang bersangkutan tidak terlahirkan sebagai setan yang hidup dari penyaluran jasa. Kedua, yang bersangkutan mungkin tidak mengetahui adanya penyaluran jasa yang ditujukan khusus kepada dirinya sehingga tidak sempat ber-anumodanâ atas kebajikan ini. Apakah ini berarti bahwa upaya penyaluran jasa hanyalah sia-sia belaka (waste-ful) dan tidak berhasil (fruitless)? Tidak! Mengapa? Penyaluran jasa yang tidak sampai ke tujuan –apabila persyaratannya tidak terpenuhi– akan berbalik kembali kepada pelakunya. Manfaatnya masih dapat dipetik oleh orang yang melakukan penyaluran jasa. Ini dapat diumpamakan seperti orang yang menyediakan makanan serta minuman untuk dihidangkan kepada sanak keluarga. Apabila karena suatu hal, mereka tidak dapat menerimanya, makanan serta minuman itu tidaklah sia-sia belaka atau tidak bermanfaat karena dapat dimakan serta diminum oleh diri sendiri. [4]
Mengingat sedemikian tipis kemungkinan suatu penyaluran jasa dapat diterima secara langsung oleh yang bersangkutan, kiranya lebih tepat bagi umat Buddha untuk memasyarakatkan tradisi ini kepada sanak keluarga yang masih hidup. Bukan baru memberi bagian atas kebajikan yang diperbuat setelah orang yang dicintai meninggal dunia. Ketika masih hidup, kebutuhan, kepentingan dan kebahagiaannya kurang begitu diper-hatikan, tetapi begitu mati semua itu diberikan serta diusahakan secara berlebih-lebihan.
Tradisi penyaluran jasa sering disalahmengerti oleh sementara orang sebagai suatu ajaran yang bertentangan dengan Dalil Kamma yang merumuskan bahwa semua makhluk memiliki dan mewarisi perbuatannya masing-masing. [5]
Dalam kenyataan yang sebenarnya, penyaluran jasa tidaklah menyimpang dari Dalil Kamma. Sebab, penyaluran jasa bukanlah seperti halnya ‘mentranfer’ sejumlah uang simpanan di bank ke dalam rekening orang lain –yang berarti berkurangnya jumlah uang dalam rekening sendiri dan sebaliknya bertambahnya rekening orang lain. Pe nyaluran jasa semata-mata merupakan suatu cara untuk ‘membuka peluang’ bagi orang lain agar berbuat kebajikan sendiri dengan merasa ikut berbahagia atas kebajikan yang telah dilakukan oleh orang yang menyalurkan jasa kepada dirinya.
Kalau tidak tahu menahu tentang adanya jasa kebajikan yang disalurkan oleh orang lain kepada dirinya atau tidak ikut berbahagia atas semua itu, suatu makhluk tidak akan memperoleh bagian apa pun. Pada pihak lain, seseorang yang menyalurkan jasa kebajikan berarti melipatkan-gandakan jasa kebajikannya sendiri –entah orang lain yang dituju dapat menerima dan memanfaatkan jasa kebajikannya ataupun tidak. Mengapa suatu jasa kebajikan dapat berlipat-ganda dengan disalurkan kepada orang lain? Alasannya ialah bahwa selain telah berbuat jasa kebajikan itu sendiri, seseorang berarti melakukan suatu kebajikan lain lagi, yaitu: berniat atau berkehendak agar makhluk lain juga berbuat kebajikan. Penyaluran jasa kebajikan dapatlah diibaratkan seperti penyulutan api ke lentera-lentera lain yang bukanlah menyuramkan melainkan justru memperterang cahaya itu sendiri.
BAB V: SERBA SERBI
Membangkitkan Orang Mati
Dalam Injil Yohanes 11:1-44 dikisahkan bahwa Yesus mampu membangkitkan atau menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Kisah tentang terbangkitnya Lazarus dari kematian ini berbeda dengan kisah yang berkenaan dengan anak perempuan kepala rumah ibadat bernama Yairus. Ada kekaburan atas keadaan sesungguhnya dari anak perempuan itu, apakah telah benar-benar mati ataukah hanya berada dalam keadaan tertidur pulas taksadar diri (deep coma). Menurut Matius 9:18-26, anak perempuan itu “baru saja meninggal”, sedangkan Markus 5:21-43 dan Lukas 8:40-56 menyebutkan bahwa keadaannya ialah “sedang sakit, hampir mati.” [1]
Dalam kisah kebangkitan Lazarus, kekaburan semacam ini terjelaskan oleh percakapan antara Yesus dengan murid-murid-Nya: “Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya.” Kemudian murid-murid-Nya berucap, “Tuhan, jika ia tertidur, ia akan tersembuhkan.” Yang dimaksud Yesus tertidur ialah mati, tetapi mereka menyangka bahwa Ia mengatakan tentang tertidur dalam arti biasa. Karena itu, Yesus kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa “Lazarus telah mati.” Sumber yang paling jelas atas kemampuan Yesus dalam membangkitkan orang mati terdapat dalam Kitab Lukas 1:11-17. Di situ dikisahkan bahwa Ia menghidupkan kembali anak laki-laki seorang janda di kota Nain. [2]
Dalam kepercayaan Kristen, membangkitkan orang mati bukanlah suatu mukjizat yang hanya dapat dilakukan oleh Yesus sebagai Putra Allah. Kitab Perjanjian Lama mengisahkan bahwa para nabi pada zaman lampau pun mempunyai kemampuan semacam ini. Berdasarkan kisah dalam I Raja-raja 17:17-24 dan II Raja-raja 4:31-37, misalnya, orang yang telah mati dapat dibangkitkan kembali melalui permohonan doa kepada Tuhan. Ada pula yang tiba-tiba hidup kembali semata-mata karena mayatnya bersentuhan dengan tulang-tulang Nabi Elisa di kuburan yang keramat.
Para rasul murid Yesus juga dipercayai dapat membangkitkan orang mati. Dalam Kisah Para Rasul 20:1-12, contohnya, Paulus menghidupkan kembali anak muda bernama Eutikhus yang mati terjatuh dari jendela karena mengantuk terlalu lama diajak bercakap-cakap.
Sesungguhnya, kepercayaan bahwa orang mati dapat dihidupkan kembali bertentangan dengan Surat Ibrani 9:27 yang menandaskan bahwa manusia ditakdirkan untuk mati hanya satu kali saja. Kepercayaan ini sering menjadi bahan perdebatan yang seru di kalangan kritikus Kristen. Yang dipermasalahkan bukanlah bagaimana mungkin orang yang sudah mati terkubur dalam gua selama empat hari, yang badan jasmaniahnya telah membusuk, dapat dihidupkan kembali. Sebab, sesuatu yang disebut sebagai ‘mukjizat’ itu tidak memerlukan penjelasan secara ilmiah. Segala kemungkinan dapat terjadi, dan tidak ada alasan sedikit pun untuk dapat menggugatnya.
Yang dipermasalahkan oleh para kritikus ialah wewenang Yesus, para nabi serta rasul dalam membangkitkan orang mati. Kalau dipercayai bahwa nasib serta kematian berada di tangan Tuhan, apakah tidak melanggar kehendak Tuhan jika mereka kemudian menghidupkan kembali orang yang nyawanya telah dicabut oleh Tuhan? Ada sementara penganut setia yang memberikan alasan bahwa ini dilakukan demi memperlihatkan kemuliaan Yesus, para nabi serta rasul.
Apalagi Yesus belakangan dipercayai sebagai Putra Allah. Tak ada sesuatu yang takdapat atau takboleh dilakukan oleh Pencipta yang Maha-kuasa. Namun, alasan ini mencuatkan pertanyaan lebih lanjut: “Patutkah nasib serta kematian seseorang dipermainkan hanya demi tujuan semacam itu?
Layakkah manusia diperlakukan seperti ‘saklar lampu’ yang boleh dimatikan atau dihidupkan sesuka hati tanpa mengindahkan harkat serta martabat manusia itu sendiri?”
Persoalannya niscaya akan bertambah pelik apabila orang-orang yang mati itu telah masuk Surga yang kekal. Mau tak mau, mereka harus diungsikan terlebih dahulu dari Surga dan nyawa mereka kemudian digiring kembali ke dunia yang fana dan penuh penderitaan. Karena sedemikian besar rasa bakti mereka kepada Tuhan, mungkin saja mereka sudi untuk mengorbankan kehidupan mereka sendiri demi memperlihatkan kebesaran serta kekuasaan Tuhan kepada khalayak ramai. Pada pihak lain,kepercayaan ini tetap menimbulkan kesangsian doktrinal: “Kalau Surga dianggap kekal, bagaimana mungkin mereka yang telah masuk ke dalamnya dapat dikeluarkan lagi?
Apa sesungguhnya makna ‘kekekalan’ surgawi dalam dogma Kristen?”
Bertolak-belakang dengan kepercayaan tersebut, sepanjang penyebaran Kebenaran Dhamma selama empat puluh lima tahun, Buddha Gotama tidak pernah berusaha membangkitkan orang mati. Ketika dimintai tolong oleh Kisâ Gotamî untuk menghidupkan kembali anaknya yang telah mati, Beliau tidak menyanggupinya. Yang diperbuat oleh Beliau ialah mengarahkan wanita malang itu agar dapat menyadari kenyataan hidup. Inilah sesungguhnya wujud Cinta Kasih yang luhur dan sejati. Apa artinya suatu kebangkitan dari mati kalau kemudian –cepat atau lambat– ia akan mati lagi? Mengapa tidak ditunjukkan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada itu?
Dalam pandangan Agama Buddha, suatu makhluk yang telah mati dari kehidupan sekarang ini akan langsung terlahirkan kembali di alam brahma, surga, manusia, binatang, neraka atau alam-alam lainnya.
Karena itu, untuk dapat menghidupkannya kembali, makhluk tersebut harus dibunuh terlebih dahulu dari kehidupannya yang baru, dan kemudian ‘nyawa’-nya dibawa kembali ke dunia ini untuk disusupkan lagi ke mayat yang telah ditinggalkannya. Dengan perkataan lain, membangkitkan orang mati dalam pengertian Buddhis adalah suatu upaya yang tidak terlepas dari delik pembunuhan. Seorang Buddha atau orang-orang suci lainnya tidaklah mungkin akan melakukan hal ini.
Mati Mengikuti Suami
Satî [dilafalkan dengan vokal ‘i’ panjang] adalah suatu tradisi bagi seorang janda untuk membakar diri sendiri hingga mati (bunuh diri) dalam api perabuan suaminya, sebagai wujud rasa bakti, tulus dan setia. [3]
Tidak ada bukti-bukti yang jelas, sejak kapan Satî mulai dijalankan secara luas sepanjang 4,000 tahun sejarah India. Karya sastra, puisi serta sandiwara pada masa pertengahan di India sangat menyanjung pengurbanan Satî. Syair Mahâbhârata yang sarat dengan nilai-nilai kepahlawanan serta keagamaan menyebutkan adanya beberapa permaisuri raja yang menjalankan Satî. Kitab-kitab Hindu kuno seperti Manu Saæhitâ dan Gautama Saæhitâ sangat merendahkan kedudukan istri dengan menganggapnya sebagai orang bawahan yang merupakan harta-milik si suami (subordinate property). Kedudukan sebagai janda secara ritual dianggap mencemarkan. Perkawinan dalam adat kebiasaan Hindu melimpahkan beban serta kewajiban yang jauh lebih berat kepada pihak istri daripada pihak suami. [4]
Seorang istri patut mengikuti ke mana pun si suami pergi. Kematian bukanlah suatu rintangan bagi seorang istri untuk tetap hidup bersama suami. Namun anehnya, tidak pernah disebutkan bahwa kalau pihak istri yang mati, si suami juga patut menyusulnya dengan membakar diri. Hanya pihak istri yang dianjurkan untuk menjalankan tradisi ini demi menguduskan leluhur ayah-ibunya sendiri serta pihak suami –yang kepadanya ia menyerahkan keperawanannya. Meskipun seorang suami pernah membunuh brâhmaóa (tokoh agama) atau kerabat sendiri, kejahatan yang berat ini dapat tertebus dengan pengurbanan Satî yang dijalankan oleh pihak istri. Selain itu, pengurbanan Satî dianggap dapat membantu si suami dalam meraih keselamatan spiritual. Penitisan kembali di Swarga selama 35 juta tahun diiming-imingkan sebagai pahala.
Secara teoretis, pengurbanan Satî bersifat sukarela –dijalankan oleh yang bersangkutan atas kemauannya sendiri; bukan karena paksaan dari pihak-pihak lain. Namun dalam kenyataan, anjuran, desakan dan bahkan paksaan dari pihak keluarga suami yang mati kerap berpengaruh besar.
Janda yang berani mengelak dari pengurbanan Satî niscaya akan dikucilkan oleh masyarakat yang bersifat orthodoks. Setidak-tidaknya, mereka akan dituduh tidak setia dan tidak berbakti kepada suami yang telah meninggal dunia. Patokan taktertulis semacam itu tentu merupakan beban batiniah bagi kebanyakan janda sehingga mereka cenderung memutuskan untuk menjalankannya.
Pada tahun 1812, tradisi Satî diabsahkan secara resmi kehalalannya. Seorang janda diberi hak untuk secara sukarela membakar diri sendiri sesuai dengan tuntutan agama atau kepercayaan yang dianut sepanjang yang bersangkutan telah berumur 16 tahun, dan tidak sedang hamil. Menurut catatan yang tertulis sejak tahun 1815 hingga 1829, di propinsi Bengal saja terdapat 7,941 janda yang tewas karena menjalankan pengurbanan Satî. Di Calcutta pada kurun waktu tersebut, paling tidak ada satu korban setiap harinya. Entah ada berapa banyak korban di seantero daratan India.
Kendati mencanangkan kebijakan untuk mengangkat harkat, martabat dan derajat kaum wanita, Mahâtmâ Gandhî tidak begitu berandil besar dalam menghapus tradisi Satî dari muka bumi India. Sesungguhnya, ia bukanlah seorang pejuang revolusioner. Ia menentang adanya perubahan yang radikal dalam sistem serta struktur masyarakat India yang bercorak kekastaaan –yang mengabaikan nilai-nilai keadilan dan sebaliknya hanya menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa serta berpengaruh. Gandhî, yang oleh beberapa kritikus dianggap sebagai ‘boneka Barat’, sesungguhnya adalah seorang pemimpin yang bersifat kolot dan lunak (moderate conservative), yang cenderung berpihak pada ‘status-quo’.
Ia sangat menggandrungi Râma, seorang raja dongengan dalam kisah Râmâyaóa, yang sering mengabaikan istrinya, Sîtâ. Berkali-kali Râma mempermalukan Sîtâ di depan umum dengan menuntutnya untuk membuktikan kesuciannya –setelah diculik oleh Râvanâ. Sîtâ rela menjalani penyiksaan dengan api. Karena masih banyak orang yang tetap menyangsikan kesuciannya, Râma dengan sewenang-wenang kemudian membuangnya ke dalam hutan. Râma, yang dipercayai sebagai penitisan Vi Šu [Visnu], lebih mempedulikan pergunjingan orang lain daripada mempercayai ketulusan istrinya. Sebagai seorang istri, Sîtâ dianggap taklebih dari suatu ‘barang kesayangan’ yang sewaktu-waktu dapat dicampakkan dengan begitu saja apabila dirasa dapat merugikan kepentingannya sendiri.
Oleh para penganut Hindu yang kolot, Sîtâ disanjung-sanjung sebagai ‘isteri teladan’. Namun, persanjungan ini harus dibayar dengan harga yang sangat mahal; penginjak-injakan atas harkat, martabat dan derajat kaum wanita itu sendiri. [5]
Tokoh yang sangat berandil besar dalam menghapus tradisi Satî di India ialah Rammohun Roy. Ia adalah seorang cendekiawan asal Bengal. Pada mulanya ia sangat terkejut atas pembakaran diri yang dijalankan oleh istri kakak laki-lakinya. Dengan segenap upaya, ia berusaha mencegahnya namun tidak berhasil. Sejak kejadian yang mengenaskan tersebut, ia memulai perang suci (crusade) terhadap tradisi Satî. Dengan berlandaskan pada pemikiran yang tajam dan maju, dan berbekal pada pengetahuan mendalam atas kitab-kitab Hindu, serta bermodalkan pada kedudukan sosial sebagai tuan-tanah (landlord) yang kayaraya, ia secara terbuka menantang serta mengalahkan cendekiawan-cendekiawan Hindu yang fanatik dalam suatu perdebatan ilmiah tentang tradisi Satî. [6]
Pada tahun 1818, ia menyebarkan pamplet berisi himbauan untuk menghapus serta melarang pelaksanaan tradisi Satî. Setelah melalui suatu pertarungan sosial, agama serta politik yang seru dan meletihkan, tepatnya pada tahun 1829, tradisi Satî secara resmi dilarang dan diabsahkan sebagai suatu tindakan kriminal. Hukum ini ditanda-tangani oleh gubernur jenderal Lord William Bentinck di Calcutta –karena India pada waktu itu masih berada dalam masa penjajahan Inggris. Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan tradisi Satî dapat dituduh melakukan delik pembunuhan terhadap manusia, yang dapat diganjar dengan hukuman denda maupun penjara. Kaum Hindu orthodoks, yang fanatik terhadap keunggulan kaum pria (male supremacy) dan secara membuta terpacak pada nilai-nilai kepahlawanan yang terlalu muluk-muluk (Chauvinism), merasa tidak puas dengan diberlakukannya hukum tersebut. Mereka mengajukan petisi ke Ratu Inggris untuk membatalkannya. Menghadapi tantangan ini, Rammohan segera berangkat ke London untuk melobi para pembuat undang-undang di parlemen Inggris agar tetap memberlakukan larangan tersebut. [7]
Walaupun secara resmi dilarang dan diancam dengan hukuman yang berat, pengurbanan Satî bukanlah berarti telah lenyap secara menyeluruh dari seluruh daratan India –terutama di negara-negara bagian yang berada di luar kekuasaan Inggris. Di Punjab pada tahun 1839, misalnya, empat istri beserta tujuh budak wanita dibakar hingga mati dalam api perabuan Mahârâja Ranjit Singh. Tradisi Satî masih tetap berlangsung meskipun India telah merdeka pada tahun 1947. Pada awal tahun ’80an, mencuat suatu pergerakan untuk menghidupkan kembali Satî dengan dalih hak-asasi wanita. Unjuk-rasa digelar di pelbagai kota sekitar India Utara, termasuk ibukota Delhi. Suatu tragedi yang sangat mengenaskan terjadi pada tanggal 4 September 1987 di mana seorang janda bernama Roop Kanwar, yang baru berusia 18 tahun, mati terbakar dalam sorotan paling tidak 4,000 orang penonton.
Menurut beberapa saksi mata, pengurbanan Satî ini dijalankan bukanlah atas kemauannya sendiri, melainkan atas paksaan keluarga pihak suami, Maal Singh. Janda malang ini gagal melarikan diri dari api perabuan meskipun telah berusaha sampai tiga kali. Pengurbanan Satî ini agaknya berlatarbelakang niat-buruk dari pihak keluarga suami untuk mengeruk sumbangan dari khalayak ramai yang tergugah oleh ketulusan serta kesetiaan Roop Kanwar. Belum lama ini, Press Trust of India melaporkan bahwa pada tanggal 22 September 1997, polisi di bagian utara India berhasil mencegah pengurbanan Satî yang dijalankan oleh seorang janda berusia 28 tahun. Ini menunjukkan bahwa selama akar dari pandangan sesat belum dicabut secara tuntas, selama masyarakat belum terbebaskan dari kepercayaan serta tradisi yang menyimpang, kemungkinan semacam itu masih tetap dapat terjadi.
Menunda Kematian
Dituliskan dalam buku “The Tibetan Book of Living and Dying” bahwa Dilgo Khyentse Rinpoche menuturkan cerita tentang seorang guru penyepi di suatu biara di Kham, yang sangat akrab dengan kakak laki-lakinya. Guru itu telah menyempurnakan latihan yoga saluran halus (nadî; tsa), angin atau udara dalam (prâóa; lung), dan intisari (bindu; tiklé). Suatu hari ia menyuruh pembantunya, “Saya akan meninggal dunia sekarang. Tolong lihat kalendar (penanggalan), dan carikan hari yang baik.” Pembantunya terkejut tetapi tidak berani membantah perintah majikannya. Ia melihat kalendar, dan mengatakan bahwa hari Senin mendatang adalah suatu hari pada saat semua bintang (stars) sedang mujur (auspicious).
Guru itu kemudian menjawab, “Tiga hari lagi akan tiba pada hari Senin. Baiklah, saya kira saya mampu melakukannya.” Ketika si pembantu kembali ke kamarnya beberapa waktu kemudian, ia menjumpai si guru sedang duduk tegak dalam sikap meditasi yoga. Diam tak bergeming, seolah-olah telah mati. Tanpa pernafasan sama sekali. Namun, peredaran darah masih berjalan dengan sangat lembut tetapi kentara. Ia memutuskan tidak berbuat apa-apa kecuali menanti. Pada siang hari, ia tiba-tiba mendengarkan hembusan nafas keluar yang panjang. Si guru kembali ke keadaan normal, dan bercakap-cakap dengan ceria.
Setelah itu, ia menyuruh menyiapkan makanan siang. Ia menyantap makanan dengan bergairah. Ia menahan nafas sepanjang waktu meditasi pagi. Ia berbuat demikian karena alasan bahwa rentang usia kehidupan itu terhitung dalam jumlah nafas yang pasti. Guru itu menyadari bahwa nafasnya telah hampir habis. Karena itu, ia menahan nafas supaya tidak mencapai angka terakhir hingga sampai pada hari yang mujur. Begitu selesai makan siang, ia menghirup nafas dalam-dalam sekali lagi dan menahannya hingga sore hari. Ia berbuat begitu lagi pada keesokan harinya, dan pada hari selanjutnya. Ketika tiba pada hari Senin, ia bertanya, “Apakah hari ini merupakan hari mujur?” “Ya” jawab pembantunya. “Baiklah, saya akan pergi hari ini.” Pada hari itu, tanpa tanda-tanda kesakitan atau kesukaran yang tertampak, ia mati dalam meditasinya.
Cerita di atas mengandung beberapa pandangan sesat yang menyimpang dari ajaran Sang Buddha. Dalam Agama Buddha tidak dikenal adanya hari kelahiran serta hari kematian yang ‘mujur’ ataupun ‘tak mujur’. Hari hanyalah suatu bagian dari penanggalan yang dirumuskan berdasarkan peredaran bumi dalam sistem tatasuriya (suriyagati) atau tatawulan (candagati). Letak, susunan serta peredaran bintang-bintang di langit tidak mempunyai kaitan langsung dengan kehidupan suatu makhluk. Sang Buddha tidak pernah meramalkan bahwa hari Senin atau hari lainnya sebagai suatu hari kematian yang mujur. Tidak dapat dipastikan apakah suatu makhluk yang mati pada hari Senin akan masuk ke surga sedangkan yang mati pada hari lainnya akan masuk ke neraka.
Apakah suatu makhluk akan masuk ke surga atau neraka, itu ditentukan oleh perbuatan-perbuatan yang ditimbunnya dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan-kehidupan lampau (Dalil Kamma). Nasib manusia bukan digariskan berdasarkan ilmu perbintangan (astrology). Karena tidak dikenal adanya hari-hari mujur, tidak ada alasan bagi umat Buddha untuk menunda kematiannya berdasarkan alasan pernujuman.
Agama Buddha juga tidak pernah menyatakan bahwa rentang usia kehidupan suatu makhluk itu dihitung berdasarkan jumlah nafas yang dihirup serta dihembuskan. Kalau dipercayai bahwa usia dapat diperpanjang dengan menahan nafas, para pencari mutiara [dalam kerang] di dasar laut –yang harus menyelam ke dalam air dalam waktu lama– tentu akan berumur panjang! Dalam kenyataan, mereka kebanyakannya memiliki usia rata-rata lebih pendek daripada orang-orang yang bermata-pencaharian lain. Terutama sewaktu berusia lanjut, kesehatan mereka kurang begitu baik karena pengaruh tekanan air laut.
Kekurangan oksigen karena menahan nafas dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan fatal pada bagian otak, organ yang sangat penting dalam tubuh manusia. Orang-orang yang terlatih baik pun biasanya hanya dapat menahan nafas dalam waktu puluhan menit.
Agaknya terlalu berlebihan (superfluous) apabila diakui bahwa para guru yoga di Tibet sepanjang satu hari penuh bernafas hanya dua tiga kali. Selain menyesatkan dalam segi keagamaan, kepercayaan ini kiranya cukup berbahaya bagi kesehatan –apalagi kalau dianut serta dijalankan tanpa petunjuk serta bimbingan yang memadai.
Mati secara Bermartabat
Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi di bidang medis memang dapat mengatasi kematian dalam tahap-tahap tertentu. Beberapa jenis penyakit yang sebelumnya pasti berakhir pada kematian, kini dapat ditanggulangi dengan mudah. Namun, secanggih mana pun kemajuan yang telah dicapai, semua itu ada batas-batasnya. Tidak semua penyakit dapat dilenyapkan secara tuntas, dan tidak semua pesakit (pasien) dapat disembuhkan secara mutlak. Pada kasus-kasus tertentu, kemajuan di bidang medis hanya mampu ‘mempertahankan kehidupan’ seorang pesakit, tetapi gagal mengembalikan keadaan kesehatannya seperti sediakala atau setidak-tidaknya mampu menjalani kehidupan secara wajar. Beberapa pesakit harus mendekam terus di rumah sakit selama bertahun-tahun. Hidup dari sari-sari makanan yang diinfuskan langsung ke darah. Secara berkala darahnya harus dicuci (diganti). Untuk menahan rasa sakit yang amat parah, ia kadangkala harus disuntik morfin. Pernafasannya diatur secara mekanis. Tahi serta air kencingnya dikeluarkan melalui perut. Kaki tangannya takdapat digerakkan, bahkan untuk mengedipkan kelopak mata saja sangatlah susah. Ia hidup bukan dengan pengharapan untuk dapat sembuh, melainkan semata-mata untuk menanti tanda-tanda kematian yang lebih jelas. Ia sesungguhnya tak lebih daripada suatu ‘bangkai hidup’ (zombie).
Pertanyaan yang perlu diajukan sekarang ialah: haruskah ‘kehidupan’ semacam itu dipertahankan terus? Apa makna dan arti kehidupan seperti itu bagi yang bersangkutan serta sanak keluarganya? Tentu, apabila pesakit itu masih merasa puas dengan keadaan kehidupannya –separah apa pun–, dokter yang merawat serta sanak keluarganya patut untuk mempertahankan kehidupannya dengan segenap kemampuan.
Bahkan, kalau pesakit itu serta keluarganya tidak mampu menanggung biaya pengobatan atau perawatan yang mahal, lembaga asuransi atau departemen sosial perlu mengulurkan tangan.
Bagaimana kalau pesakit itu sendiri yang menghendaki agar kehidupannya diakhiri? Apakah ini termasuk upaya bunuh diri?
Berhakkah ia memutuskan demikian?
Jika hak hidup setiap orang diakui serta dijamin secara nyata, kiranya tidak ada alasan untuk menghalangi kehendak seseorang dalam menentukan kehidupannya sendiri –dalam arti memilih tetap hidup atau mati. Hak untuk mati adalah suatu bagian yang tak terpisahkan dari hak untuk hidup. Kalau kehidupan seseorang sepanjang harinya dipenuhi dengan penderitaan, tanpa kebahagiaan sedikit pun, dan sama sekali tidak ada harapan untuk sembuh dan menjalani kehidupan secara wajar; layakkah sanak keluarga atau orang-orang lain memaksanya untuk terus hidup dalam keadaan yang mengenaskan seperti itu?
Bagaimanapun keadaannya, seseorang memang tidak patut membenci tubuh jasmaninya. Namun, kita juga tidak seharusnya menganjurkannya untuk melekati jasmaninya. Tubuh ini sesungguhnya tak ubahnya seperti pakaian. Kalau itu memang sudah koyak-koyak dan tidak bisa dipakai lagi, mengapa tidak dibuang dan dicarikan pengganti yang baru, yang lebih baik?
Mengapa hak bagi seseorang untuk mati secara bermartabat [to die in dignity] dirampas begitu saja?
Manusia serta makhluk lainnya bukanlah sekadar “anak-anak wayang” yang terikat kontrak dengan Sutradara Agung untuk melakonkan adegan penderitaan di atas panggung sandiwara dunia hingga menggenapi waktu yang ditentukan secara sewenang-wenang dan sepihak. Agama Buddha menolak adanya suatu Kekuasaan Adikodrati yang berwenang untuk menakdirkan nasib suatu makhluk; untuk melakonkan drama kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Setiap makhluk adalah pemilik mutlak atas kehidupannya masing-masing. Namun, ini bukanlah berarti bahwa Agama Buddha merestui upaya bunuh diri. Upaya bunuh diri –dengan dasar alasan apa pun– jelas tidak selaras dengan pandangan Buddhis. Tetapi masalahnya sekarang ialah: seberapa jauh hak seseorang dalam memutuskan jalan hidupnya sendiri diakui serta dijamin terapannya?
Ada beberapa tokoh Buddhis di Muangthai yang ketika dirundung penyakit mematikan, menolak pembedahan yang berlebih-lebihan –misalnya dicoblos tenggorokannya sebagai jalan keluar lender serta dahak. Pertolongan medis modern dianggap telah jauh melangkahi batas-batas kewajaran –terutama apabila dilakukan pada waktu telah berusia lanjut; pada saat memang telah layak dijemput kematian. Mereka menghendaki suatu kehidupan yang bersifat alamiah, yang berakhir de ngan tetap mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur; bukan dengan memperlakukan badan jasmaniah sebagai robot yang boleh dipreteli serta diedel-edel sedemikian rupa. Ini jelas merupakan suatu tindakan euthanasia pasif. Namun, apakah ini termasuk suatu upaya bunuh diri? Entahlah!
Dalam pada itu, mungkin dipertanyakan apakah seorang umat Buddha yang melakukan bunuh diri tidak berarti ‘memungkiri’ Dalil Kamma?
Apakah setelah kematiannya ia tidak perlu melunasi hutang kamma-nya lagi –dalam arti menderita lagi seperti yang dialami dalam kehidupan sebelumnya?
Dapatkah akibat suatu kamma diputuskan dengan kematian?
Memang, amatlah sukar untuk dapat melihat dan memastikan bagaimana bekerjanya Dalil Kamma yang pelik. Namun, Sang Buddha pernah mengajarkan tentang pembagian kamma berdasarkan waktu dalam menghasilkan akibat. Ada kamma yang memberikan akibat pada masa kehidupan sekarang (diööhadhammavedanîya-kamma), dan ada pula kamma yang tidak memberikan akibat karena jangka waktu untuk menghasilkan akibat telah habis (ahosi-kamma). Agama Buddha memang mengakui adanya Dalil Kamma. Tetapi, Sang Buddha tidak pernah mengajarkan umat-Nya untuk ‘tunduk’ pada akibat kamma. Sikap inilah yang membedakan antara akibat kamma lampau dengan nasib/takdir yang harus diterima dengan pasrah –sebagaimana yang dipercayai oleh agama-agama lainnya. Contoh yang gamblang dalam hal ini: seandainya seorang umat Buddha digigit nyamuk, ia tidak seharusnya membiarkannya begitu saja dengan berpikir, “Biarlah nyamuk itu menggigit sepuas-puasnya, supaya hutang kamma saya kepadanya dalam masa lampau terlunasi semuanya!”
Pemikiran semacam ini jelas merupakan suatu sikap yang salah dalam menerima kamma lampau, yang tidak sesuai dengan Agama Buddha. Sang Buddha tidak pernah menganjurkan siswa-Nya untuk bersikap sebodoh itu. Jika digigit nyamuk, seorang umat Buddha boleh mengusirnya [tanpa harus membunuhnya], atau melakukan tindakan-tindakan pencegahan lainnya, misalnya memasang kelambu dsb. Dengan meyakini Dalil Kamma, umat Buddha bukanlah berarti harus menahan diri dari segala macam penderitaan atau kesakitan yang dialami; tanpa ada sedikit usaha pun untuk menghindarinya. Akibat kamma tidak mutlak harus diterima semuanya. Ingat! Ajaran Agama Buddha tentang Dalil Kamma perlu dibedakan dari doktrin Jainisme tentang Hukum Karma –yang mempercayai bahwa Keselamatan/Pembebasan hanya bisa diperoleh apabila semua hutang karma terlunasi. Kehidupan suatu makhluk tidaklah hanya sebanyak puluhan atau ratusan kali; tetapi tak terhitung jumlahnya. Jika harus melunasi setiap akibat karma yang pernah diperbuat dalam kehidupan-kehidupan lampau; sangatlah muskil bagi suatu makhluk untuk dapat meraih Pembebasan.
Pelaku bunuh diri mungkin dapat dibebaskan dari segala tuntutan hukum, tetapi bagaimana pula dengan dokter yang memberikan bantuan? Bersalahkah ia? Layakkah ia digugat ke pengadilan dengan delik pembunuhan? Ini adalah suatu permasalahan yang kontroversial. Tugas utama seorang dokter ialah menyembuhkan pesakit. Karena itu, tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa membantu upaya bunuh diri sangat bertentangan dengan jiwa kedokteran. Biasanya, betapa pun parah penyakit yang diderita oleh pesakit, bahkan dalam keadaan hampir sekarat pun, dokter akan menghiburnya dengan pelbagai harapan kesembuhan.
Itu secara resmi telah dianggap sebagai ‘etika kedokteran’ meskipun tak dapat dipungkiri bahwa ini termasuk kebohongan. Sudah lazim bahwa penyakit parah yang diderita pesakit akan dirahasiakan –dalam arti pesakit tidak diberi tahu atas jenis penyakit yang diderita. Ia tidak ingin pesakit itu putus asa, pasrah, dan menyerah. Dengan pelbagai cara ia berusaha keras untuk menyelamatkan pesakit. Tidak perlu disangsikan bahwa kebanyakan dokter mempunyai “jiwa menolong” semacam itu.
Akan tetapi, banyak sekali pertanyaan yang perlu dijawab dalam hal ini:
apakah menghibur pesakit yang sesungguhnya tidak mempunyai harapan untuk sembuh tidak menyalahi hukum moral? Apakah merahasiakan keadaan kesehatan yang sebenarnya tidak berarti melanggar hak asasi manusia dalam memperoleh informasi yang benar? Apakah etis untuk membiarkan pesakit berkhayal tentang kesembuhannya yang takkunjung tiba? Apakah tidak mungkin ada dokter tertentu yang berniat takbaik dengan sengaja ‘mengulur-ulur’ kehidupan pesakit yang ditanganinya agar ia mempunyai kesempatan untuk melakukan pelbagai eksperimen atau mencari pengalaman serta keuntungan tertentu bagi kepentingannya sendiri?
Apakah tidak melanggar etika jika seorang dokter menjadikan pesakit tertentu sebagai ‘kelinci percobaan’ tanpa kerelaan yang bersangkutan –walaupun ini mungkin bermanfaat bagi orang banyak?
Memang, seorang dokter tidak patut menganjurkan pesakit untuk bunuh diri, misalnya dengan ungkapan, “Penyakitmu takbisa diobati lagi.
Lebih baik kamu bunuh diri saja!” Ini jelas melanggar etika, dan juga termasuk delik pembunuhan. Seorang dokter cukup menyatakan apa adanya, dan selanjutnya terserah kepada pesakit untuk menentukan kehidupannya sendiri: apakah memilih mati atau tetap hidup dalam keadaan menderita. Si pesakit perlu diberi waktu yang cukup lama untuk memutuskan masalah besar ini. Hanya apabila pesakit itu benar-benar bersikeras untuk memilih bunuh diri, seorang dokter kiranya boleh memberikan bantuan selayaknya. Perlu dipertimbangkan bahwa apabila seorang dokter menolak permintaan pesakit untuk bunuh diri –dengan alasan tidak sesuai dengan misi kedokteran atau bisa digugat di Pengadilan–, bukanlah takmungkin pesakit itu nekad bunuh diri dengan caranya sendiri. Keadaannya justru menjadi lebih runyam karena kebanyakan pesakit tidak tahu cara yang baik dan tepat untuk mengakhiri hidupnya.
Seorang dokter lebih berpengalaman dalam mencarikan jalan mati yang tenang dan tak begitu menyakitkan. Pula, jika upaya bunuh diri direncanakan secara matang, pesakit mempunyai kesempatan untuk mengundang pemuka agama yang diyakininya agar mendampinginya; memberikan petunjuk spiritual, menenangkan batinnya, dan sebagainya.
Ini tentu membawa keuntungan bagi diri pesakit itu sendiri. Apalagi jika ia menganut Agama Buddha, yang meyakini bahwa keadaan batin saat menjelang ajal sangat berpengaruh dalam menentukan kehidupan mendatang: apakah terlahirkan kembali di alam menyenangkan atau alam menyedihkan. Bukanlah tidak mungkin jika ia nekad bunuh diri dengan usaha sendiri, tanpa petunjuk dokter dan tanpa didampingi oleh pemuka agama yang diyakini, batinnya akan menjadi kacau, tak terkendali, diliputi kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, dan sebagainya. Sayangnya, menurut Jack Kevorkian yang sering dijuluki sebagai “Dr. Death”, meskipun pesakit yang ditangani merupakan orang-orang beragama, tak satupun yang mau mengkonsultasikan soal ini kepada pemuka agamanya. Ia mengatakan bahwa agama [yang dianut di Barat] tidak relavan. Mereka sangat anti-bunuh diri, tanpa mau memperdulikan pertimbangan-pertimbangan lain sama sekali.
The World Book Encyclopedia menuliskan, dalam tema ‘Suicide’, bahwa Agama Kristen menganggap bunuh diri sebagai suatu dosa, dan banyak pengikutnya yang mempercayai bahwa seseorang yang melakukannya berarti membuang harapannya dalam mencapai Surga. Dengan ungkapan lain dapatlah dikatakan bahwa pelaku bunuh diri tidak mempunyai kesempatan untuk masuk Surga, betapa pun banyak kebajikan yang telah dilakukan sepanjang hidupnya. Semua kebajikannya akan sirna tak bersisa begitu upaya bunuh diri dilakukan. Bunuh diri adalah suatu dosa yang tak terampunkan. Kalaupun seseorang telah membunuh beratus-ratus orang lain [tidak termasuk binatang karena ini dianggap bukan dosa], ia masih diberi kesempatan untuk mengakui kesalahannya, bertobat, dan mempunyai kemungkinan untuk diampuni serta diangkat ke Surga.
Dalam menjenguk umat yang sedang sakit, seorang bhikkhu perlu bersikap waspada. Betapa pun berat penyakit yang dideritanya, janganlah sampai menganjurkannya untuk bunuh diri karena ini merupakan pelanggaran pârâjika. Namun, ia kiranya juga tidak perlu membangkitkan semangat umat yang sakit itu secara berlebihan hingga sangat bergairah dan melekat pada kehidupannya. Tugas utamanya ialah untuk menenangkan batin umat yang sakit itu, membuatnya sadar akan hakikat kehidupan yang fana ini. Tubuh ini hendaknya dipandang sebagai suatu perpaduan pelbagai unsur, yang bersifat tidak kekal, yang senantiasa berubah, pudar, dan hancur secara alamiah. Setelah menjelaskan kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian sebagai penderitaan, ia hendaknya menunjukkan jalan mulia menuju lenyapnya penderitaan.
Selanjutnya, apakah umat yang sakit itu berniat untuk mengakhiri ataupun mempertahankan kehidupannya, itu adalah urusannya sendiri. Tidak seperti Yesus yang didongengkan sering menyembuhkan orang sakit kusta, dsb., Sang Buddha tidak menganggap pengobatan medis sebagai bagian utama dalam misi keagamaan-Nya. Tersembuhkan dari penyakit bukanlah suatu jaminan bahwa penyakit itu [atau lainnya] tidak akan kambuh lagi.
Cara yang Beliau pakai ialah penyembuhan secara total, dengan mencabut benih-benih penyebab kehidupan yang penuh penderitaan. Tidak ada Keselamatan Mutlak selama belum mencapai Kesucian. Penyembuhan medis adalah peranan kaum awam, sedangkan penyembuhan batin adalah tugas kaum agamawan.
Ada larangan bagi bhikkhu untuk bertindak selaku tabib yang mengobati –dengan cara medis atau mistis–orang biasa yang sakit. Kecuali jika orang itu mendadak sakit ketika sedang berada di vihâra, misalnya jatuh tersandung dsb., seorang bhikkhu boleh memberikan pertolongan pertama. Khusus kepada kerabat sepenghidupan suci, bhikkhu boleh memberikan perawatan secara penuh. Alasannya ialah bahwa seseorang yang telah menanggalkan hidup keduniawian terjauhkan dari sanak keluarganya.
Menjadi tugas sesama bhikkhu untuk merawatnya ketika sedang sakit. Bahkan Sang Buddha memuji dan menganjurkan kepada siswa-Nya: “Ia yang merawat bhikkhu sakit, tak ubahnya seperti merawat Saya sendiri.”
Dalam memandang kejahatan dan kebajikan, Agama Buddha senantiasa berpegang pada patokan yang proporsional. Sama sekali tidak ada dogma-dogma tak beralasan yang mencemarinya. Demikian pula halnya dengan delik pembunuhan, Sang Buddha memberikan penilaian yang adil. Bagi seorang bhikkhu, membunuh sesama manusia atau menganjurkan orang lain untuk bunuh diri adalah pelanggaran Pârâjika; suatu kesalahan paling berat (garukâpatti) yang membuatnya terlepas dari Pasamuan Saõgha. Ini adalah suatu kesalahan yang tak terobati (atekicchâ), yang berarti sepanjang kehidupan sekarang, ia tidak berhak lagi untuk menjadi bhikkhu. Ia adalah orang yang telah terkalahkan dalam upaya meraih Pembebasan Sejati. Dengan perkataan lain, dalam kehidupan sekarang ini, ia tidak mungkin dapat meraih kesucian apa pun. Namun, dalam kehidupan-kehidupan mendatang, terbuka lagi kesempatan baginya. Dalam Agama Buddha, tidak ada suatu kejahatan apa pun dan seberat apa pun, yang membuatnya kehilangan hak secara mutlak [tak berbatas dan tak berakhir] untuk meningkatkan taraf kehidupannya dalam pengembaraan hidup yang panjang ini.
Sementara itu, pembunuhan terhadap binatang oleh seorang bhikkhu, dikenai hukuman yang lebih ringan; yaitu pâcittiya –suatu kesalahan yang membuat seorang bhikkhu diwajibkan untuk mengaku di hadapan bhikkhu lain. Apabila yang dibunuh adalah dirinya sendiri [bunuh diri], seorang bhikkhu hanya terkena pelanggaran dukkaöa; suatu kesalahan yang paling ringan. Bagi umat awam, menurut Kitab Tafsiran Sâratthadîpanî dan Vimativinodanî, bunuh diri tidak termasuk pelanggaran sîla karena faktor pembunuhannya tidak terlengkapi. Pelanggaran sîla dalam hal pembunuhan ini harus berobjekkan makhluk lain, tidak termasuk diri sendiri. Bunuh diri juga bukan merupakan akusala-kammapatha; suatu kejahatan yang dapat menyeret pelakunya dalam kehidupan di alam-alam rendah. Di sini terlihatlah kearifan Sang Buddha dalam menggariskan berat ringannya suatu kejahatan. Sangatlah tidak beralasan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku bunuh diri daripada pembunuh orang lain. Bagaimanapun haruslah diakui bahwa setiap orang berhak atas kehidupannya sendiri. Bunuh diri sama sekali tidak merugikan orang lain.
Dengan begitu, bagaimana mungkin kita memvonisnya dengan ‘dosa’ yang tak terampunkan; melebihi ‘dosa’ yang dilakukan oleh mereka yang membunuh orang lain [melanggar hak orang lain]? Seperti halnya orang yang merusak barang [kekayaan] milik orang lain, patut dijatuhi hukuman, tetapi kiranya tidak ada alasan yang tepat untuk menghukum berat orang yang merusak barang miliknya sendiri.
Mungkin dipertanyakan apakah bunuh diri melanggar Dhamma?
Jawabannya ialah: jelas melanggar. Jangankan melakukan upaya bunuh diri, bahkan ‘berpikir’ untuk melukai diri sendiri sudah merupakan pelanggaran Dhamma. Perbuatan apa pun –melalui tindakan, ucapan maupun pikiran– yang membangkitkan kelobaan (lobha), kebencian (dosa) dan kedunguan (moha); semuanya melanggar Dhamma. Ingin makan enak, ingin punya istri cantik, ingin punya banyak anak, ingin dapat gaji besar, ingin punya rumah mewah, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi lobha. Tidak puas dengan apa yang dimiliki, berkeluh-kesah, kecewa, bosan hidup, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi dosa.
Pertanyaan selanjutnya ialah, haruskah kita memaksakan nilai-nilai Dhamma yang sangat luhur itu dalam menyelesaikan masalah bunuh diri dalam taraf bawah?
Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah bunuh diri itu salah atau tidak, tetapi kita hanya menentukan apakah bunuh diri itu boleh atau tidak dalam segi hukum duniawi. Sepanjang tidak mengganggu kehidupan makhluk lain; tidak melanggar hak asasi makhluk lain, kiranya tidak ada alasan untuk memberlakukan larangan apalagi menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.
Hingga dewasa ini, Agama Kristen belum bisa menerima pelaksanaan bunuh diri, dan dengan pelbagai cara berusaha untuk menghalangi pengesahan undang-undang yang bertujuan untuk mengizinkannya. Dalam sidang parlemen di Belanda belum lama ini, yang mendukung hak bunuh diri berasal dari Partai Buruh. Yang tidak setuju kebanyakannya dari penganut agama yang fanatik, yang suaranyaterwakili oleh Partai Demokrasi Kristen.
Bagaimanapun, angket-angket pendapat yang dibuat dalam tahun-tahun ini menunjukkan bahwa paling sedikit tiga-per-empat penduduk Belanda cenderung memilih hak indi vidu untuk mati. Prosentasi ini tentu mengecewekan kaum rohaniwan di sana, yang selama ini berusaha dengan kukuh dan sengit memerangi upaya bunuh diri. Sebenarnya, euthanasia telah lama ditenggang di Belanda. Setiap tahun ada lebih dari 10,000 orang pesakit yang menjalankan euthanasia. Sejak tahun 1970-an, penerapannya telah diperbincangkan secara terbuka, dan hukum yang berlaku cenderung merupakan suatu pengendalian alih-alih larangan mutlak. Perdebatan yang bertahun-tahun menghasilkan kompromi pembuatan garis-garis panduan (guidelines) sementara itu tetap tidak mengesahkan penerapannya secara resmi.
Pengadilan hampir selalu menghindari pendakwaan terhadap dokter-dokter yang telah mematuhi panduan tersebut, yang diterbitkan oleh Royal Dutch Medical Association. Ditetapkan bahwa permohonan bunuh diri harus diajukan sendiri oleh pesakit, bukan sanak keluarga atau kerabatnya. Si pesakit harus benar-benar mengalami penderitaan yang tak tertahan, dan penyakitnya tak terobati. Permohonan bunuh diri harus disampaikan tatkala ia sedang dalam keadaan sadar dan waras.
Di seluruh dunia masih hanya ada sedikit negara yang secara resmi menghalalkan upaya bunuh diri demi alasan kesehatan. Namun, dalam kenyataan yang terjadi tanpa dukungan undang-undang yang sah, euthanasia telah diterapkan di banyak negara. Menurut Kartono Mohamad, Ketua Ikatan Dokter Indonesia, meskipun belum diakui secara resmi di Indonesia, euthanasia telah diterapkan secara pasif.
BAB VI: RIWAYAT
Patâcârâ Theri
Dikisahkan bahwa di Sâvatthi hiduplah seorang wanita cantik bernama Paöâcârâ. Sebagai anak seorang hartawan, ia dibesarkan dan dirawat dengan sangat baik. Sewaktu menginjak usia 16 tahun, orangtuanya menempatkan Paöâcârâ di lantai teratas istana bertingkat tujuh. Meski mendapat pengawalan yang sedemikian ketat, ia sempat bergaul dan mencintai seorang pembantu laki-laki. Menyadari gelagat yang [dianggap] kurang baik ini, orangtuanya segera menjodohkannya dengan laki-laki muda dari satu keluarga terpandang yang sederajat kedudukan sosialnya.
Menjelang hari perkawinan yang ditetapkan oleh orangtuanya, secara sembunyi-sembunyi Paöâcârâ menghubungi pembantu laki-laki yang dicintainya. “Saya mendapat kabar bahwa orangtua saya akan menjodohkan saya dengan seorang laki-laki muda dari keluarga sederajat. Manakala sudah berada di rumah suami saya, Engkau tidak akan berkesempatan untuk menjumpai saya lagi walaupun datang dengan membawa persembahan untuk saya. Karena itu, apabila Engkau benar-benar mencintai saya, jangan tunda-tunda lagi, segera bawalah saya pergi dari rumah ini,” demikian Paöâcârâ mengajak lari kekasihnya. Pembantu laki-laki itu menyanggupi ajakan Paöâcârâ, dan mereka akhirnya memutuskan untuk melarikan diri pada keesokan harinya.
Sejak dini hari pihak lelaki pergi menuju ke pintu gerbang kota dan menunggu di salah satu tempat di sekitarnya. Demikian pula halnya dengan Paöâcârâ, ia bangun pagi sekali. Setelah mendandani tubuhnya sebagaimana alanya seorang budak wanita, Paöâcârâ menyusup di antara para budak yang pergi ke luar rumah untuk mencari air. Ia menjumpai kekasihnya di tempat yang disepakati. Setelah menyusuri jalan yang panjang, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk bertinggal di suatu pedusunan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, si suami menggarap sawah dan mengumpulkan kayu bakar serta dedaunan di hutan, sedangkan Paöâcârâ mencari air, menanak nasi, memasak kuah serta menggarap pekerjaan rumah lainnya. Demikianlah Paöâcârâ hidup dalam kesusahan sebagai akibat dari kamma buruknya.
Beberapa waktu kemudian, Paöâcârâ hamil. Ketika kandungannya menua dan tiba waktunya untuk melahirkan anak, ia memelas kepada suaminya, “Tak ada seorang pun di sini yang dapat membantu saya. Namun, seorang ayah dan ibu senantiasa berwelas-asih terhadap anak-anak mereka. Bawalah saya pulang ke rumah orangtua saya. Saya akan melahirkan di sana.” Permohonan ini ditolak oleh si suami karena khawatir akan mengalami pelbagai siksaan apabila berjumpa dengan orangtua Paöâcârâ. Berkali-kali ia memohon, tetapi suaminya selalu menolak.
Ketika suaminya sedang berada di hutan, Paöâcârâ akhirnya memutuskan untuk pulang sendiri ke rumah orangtuanya dengan terlebih dahulu menitipkan pesan kepada tetangganya seandainya suaminya bertanya. Mengetahui kepergian ini, si suami bergegas menyusul. Ia berhasil menjumpainya, namun gagal untuk membujuknya pulang. Di tengah perjalanan, Paöâcârâ merasakan sakit yang amat parah pada kandungannya. Sambil masuk ke dalam semak-semak ia memberitahukan keadaan ini kepada suaminya. Ia kemudian membaringkan tubuhnya di tanah, dan berguling-guling kesakitan. Ia melahirkan anak laki-laki. Dengan kelahiran ini, berakhir sudahlah harapannya untuk pulang ke rumah orangtuanya. Mereka lalu pulang ke rumah mereka sendiri dan hidup bersama-sama lagi.
Beberapa waktu kemudian, Paöâcârâ hamil lagi. Ketika kandungannya sudah menua, ia memelas kepada suaminya untuk diizinkan pulang ke rumah orangtuanya. Karena tidak dikabulkan, sambil menggendong anak laki-lakinya ia pergi tanpa pamit. Walaupun dibujuk berkali-kali, ia tetap bersikeras untuk pergi ke rumah orangtuanya.
Di tengah perjalanan, badai yang dahsyat muncul walau bukan musimnya. Langit dipenuhi oleh mendung yang pekat. Guntur menyalak bersahut-sahutan tiada henti. Petir menyambar sana-sini di tengah-tengah hujan yang lebat. Pada saat itu pula Paöâcârâ merasa penat pada kandungannya. Karena taksanggup menahan sakit, ia meminta kepada suaminya untuk mencarikan tempat berteduh.
Dengan parang di tangan, si suami pergi mencari bahan berteduh, dan akhirnya menjumpai serumpunan semak-semak yang tumbuh di atas sarang rayap. Tatkala akan menebasnya, tiba-tiba muncullah seekor ular berbisa yang langsung mematuknya. Seketika itu pula tubuhnya membiru bagai disambar api dan terkaparlah ia di situ. Sementara itu, Paöâcârâ mengerang-erang menahan sakit pada kandungannya. Dengan memandangi ujung jalan arah kedatangan suaminya yang tak kunjung tiba, ia akhirnya melahirkan anaknya.
Tak tahan menghadapi kedahsyatan angin serta hujan, kedua anaknya menangis meraung-raung. Sambil memeluk kedua anaknya di dada, Paöâcârâ duduk berlutut di sana sepanjang malam. Sekujur tubuhnya pucat-pasi bagaikan daun kuning yang takberdarah.
Ketika fajar menyingsing, dengan menggendong bayinya yang baru lahir –yang berwarna merah seperti segumpal daging– di pinggangnya serta menuntun anak sulungnya dengan tangannya, Paöâcârâ beranjak pergi menyusuri jalan yang dilalui oleh suaminya. Ketika sampai di dekat sarang rayap, ia menjumpai suaminya mati terkapar dengan tubuh membiru. Meledaklah tangisnya, dan bergetunlah ia: “Karena diri saya, suami saya mati merana di jalanan.”
Tak seberapa lama setelah meneruskan perjalanannya, sampailah Paöâcârâ di sungai Aciravatî. Karena hujan lebat sepanjang malam, air sungai meluap setinggi dada pada bagian tertentu. Merasa taksanggup membawa kedua anaknya sekaligus dalam menyeberangi sungai ini, iamemutuskan untuk meninggalkan anak sulungnya di tepi sungai. Dengan memeluk bayinya, ia menyeberang sungai menuju tepian sana. Setelah memilah serta membentangkan ranting pohon, ia membaringkan bayinya di atasnya.
Tiba-tiba muncul kehendak dalam benaknya untuk menyusul anak sulungnya [yang sedang menanti di tepi sungai]. Ia kemudian meninggalkan bayinya dan menyeberang kembali.
Tak tega meninggalkan bayinya sendirian, ia berkali-kali menoleh serta memandanginya. Ketika Paöâcârâ mencapai pertengahan sungai, seekor elang tiba-tiba menukik serta mematuk bayinya yang dikira segumpal daging. Paöâcârâ berusaha mengusirnya dengan berteriak-teriak sekerasnya sambil mengacung-acungkan kedua belah tangannya. Tak mendengarkan usiran itu karena jaraknya yang cukup berjauhan, si elang terbang membawa bayi itu ke udara.
Sementara itu, bayi sulungnya, yang melihat ibunya mengacung-acungkan kedua belah tangannya sambil berteriak-teriak di tengah sungai, mengira dipanggil oleh ibunya. Ia dengan tergesa-gesa menceburkan dirinya ke sungai dan pergi menyeberang. Karena sedemikian deras arusnya, anak sulung Paöâcârâ terseret arus sungai.
Selanjutnya Paöâcârâ meneruskan perjalanannya sambil meratap, “Salah seorang anak laki-laki saya dibawa kabur oleh seekor elang, yang satunya lagi terseret air; dan suami saya mati terkapar di pinggir jalan.”
Di tengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang datang dari Kota Sâvatthi. Ia menyapa serta bertanya di mana gerangan ia bertinggal. Mengetahui bahwa orang itu bertinggal di Kota Sâvatthi, Paöâcârâ menanyakan tentang keadaan keluarganya. “Ya, saya mengetahui keluarga tersebut, tapi janganlah bertanya tentang mereka. Bertanyalah tentang keadaan keluarga lain yang Anda kenal,” demikianlah jawaban orang itu.
Paöâcârâ segera menyahut, “Saya tidak mempunyai kepentingan untuk menanyakan keluarga lain. Merekalah satu-satunya keluarga yang ingin saya tanyakan.”
“Saudari, Anda tidak member kesempatan kepada saya untuk mengelak dari pertanyaan Anda,” kata orang itu, dan selanjutnya ia bertanya balik, “tahukah Anda bahwa tadi malam hujan turun dengan derasnya semalam suntuk?”
Paöâcârâ menjelaskan bahwa ia tahu tentang hujan lebat tersebut, dan bahkan justru dirinyalah yang paling seru dalam menghadapinya. Namun, pada saat ini ia tidak ingin bercerita tentang hal itu. Satu-satunya hal yang sangat ingin diketahuinya ialah keadaan keluarganya di Sâvatthi.
Orang itu kemudian menceritakan, “Saudari, tadi malam badai yang dahsyat telah meruntuhkan rumah keluarga yang Anda tanyakan. Hartawan pemiliknya, beserta istri dan anak laki-lakinya, mati semua. Jenazah mereka sekarang sedang diperabukan oleh para tetangga.” “Lihatlah ke sana, Saudari,” lanjut orang itu, “asap perabuan mereka masih tertampak.”
Mendengar tragedi yang menimpa keluarganya, batin Paöâcârâ sangat terguncang, dan ia mendadak menjadi orang yang takwaras batinnya. Karena berjalan berputarputar, baju yang dipakainya terlepas dari tubuhnya. Tetapi ia sama sekali tidak menyadari dirinya sedang bugil. Dengan bertelanjang bulat, ia berjalan mondar-mandir sambil meratap:
“Kedua anak laki-laki saya telah mati, suami saya tewas di jalanan; dan kini ayah, ibu serta kakak laki-laki saya dibakar di perabuan.”
Orang-orang yang melihat Paöâcârâ menganggapnya sebagai orang gila. Beberapa di antara mereka ada yang melemparinya dengan sampah. Ada yang melumuri kepalanya dengan debu, dan ada pula yang melemparinya dengan batu.
Dikisahkan bahwa pada waktu itu Buddha Gotama sedang bersemayam di Padepokan Jetavana. Ketika sedang duduk membabarkan Dhamma kepada empat jenis masyarakat Buddhis, dari kejauhan Beliau melihat Paöâcârâ datang mendekat. Beliau menyadari bahwa Paöâcârâ telah memupuk Kesempurnaan (Pâramî) selama seratus ribu kappa, telah membuat kebulatan tekad dan mencapainya.
Karena menyadari semua itu, sewaktu melihat Paöâcârâ sedang berjalan dari kejauhan, Buddha Gotama berujar, “Tak ada seorang pun, kecuali Saya, yang mampu menjadi pelindung bagi wanita ini.” Beliau lalu mengarahkan Paöâcârâ masuk ke dalam padepokan.
Ketika melihat Paöâcârâ, masyarakat berteriak, “Jangan biarkan wanita sinting itu datang kemari!”
Sang Buddha justru berujar kepada mereka, “Minggirlah kalian semua. Jangan halangi wanita itu.”
Sewaktu Paöâcârâ mendekat, Beliau bersabda: “Sadarlah kembali, O Saudari!”
Seketika itu pula, dengan kekuatan seorang Sammâsambuddha, Paöâcârâ menjadi tersadarkan kembali [waras]. Menyadari bahwa dirinya sedang bertelanjang bulat, dan merasa malu serta takut atas akibat ketaksusilaan, ia lalu duduk berjongkok. Seorang laki-laki kemudian melemparkan kemejanya kepadanya. Setelah memakai pakaian, Paöâcârâ menghampiri Sang Buddha. Dengan bersujud di depan kaki Beliau, ia berkata,
“Yang Mulia, mohon sudi kiranya menjadi pelindung serta pembimbing bagi saya. Salah seorang anak laki-laki saya dibawa kabur oleh seekor elang, yang satunya lagi terseret air, suami saya mati terkapar di pinggir jalan; ayah, ibu serta kakak laki-laki saya tewas tertimbun rumah, dan kini diperabukan.”
Setelah mendengar penuturan Paöâcârâ, Sang Buddha bersabda,
“Janganlah berpikir demikian, Paöâcârâ. Anda telah masuk ke dalam padepokan tempat orang yang dapat menjadi pengayom, penjaga serta pelindung bagi Anda. Memanglah benar apa yang Anda ratapi… Bahkan sesungguhnya dalam kehidupan ini, air mata yang menetes dari orang-orang seperti Anda, yang ditinggalkan mati oleh orang-orang kecintaan seperti anak dan lain-lainnya, jauh melebihi air yang terdapat di empat samudra.”
“Hanyalah sedikit air yang terdapat di empat samudra, Jika dibandingkan dengan air mata yang menetes dari Orang-orang yang diliputi derita, yang dirundung kesedihan. Mengapa Engkau masih juga lengah [tak mawas diri]?”
Begitu mendengar wejangan tentang daur kehidupan yang awalnya takdapat diketahui tersebut (Mataggapariyâyasutta), memudarlah kesedihan dalam diri Paöâcârâ. Mengetahui bahwa kesedihannya telah berkurang, Sang Buddha melanjutkan sabda-Nya,
“Paöâcârâ, orang-orang kecintaan seperti anak dan lain-lainnya tidaklah dapat menjadi pengayom, penjaga serta pelindung bagi mereka yang sedang dalam perjalanan menuju kematian. Apa yang dapat Anda harapkan dari keberadaan orang-orang tersebut dalam kehidupan ini? Orang bijak yang terkendali dalam kesilaan hendaknya segera menyucikan jalan menuju Nibbâna.” Selanjutnya Sang Buddha melanjutkan wejangan-Nya dengan menguncarkan syair berikut:
“Anak-anak tak dapat mencegah, demikian pula ayah ataupun kerabat. Sanak keluarga tidaklah dapat melindungi seseorang yang sedang dicengkeram kematian. Dengan menyadari kenyataan ini, orang bijak yang terkendali dalam kesilaan hendaknya segera menyucikan jalan menuju Nibbâna.”
Di akhir wejangan ini, Paöâcârâ berhasil melenyapkan beberapa kekotoran batin dan meraih kesucian tingkat Sotâpatti [pemasuk-arus]. Sementara itu, orang-orang yang lain meraih pelbagai tingkat kesucian.
Paöâcârâ selanjutnya memohon kepada Buddha Gotama untuk ditahbiskan sebagai bhikkhuóî. Beliau kemudian mengirimkannya ke Pasamuan Bhikkhuóî untuk memperoleh pengabsahan.
Suatu hari ia mengisi kendi air pencuci kaki lalu mengucurkannya. Air itu mengalir sedikit dan kemudian berhenti menetes. Ia mengucurkannya lagi untuk yang kedua kalinya. Kali ini air itu mengalir lebih banyak daripada semula. Untuk yang ketiga kalinya, air itu mengalir jauh lebih banyak lagi. Paöâcârâ mempergunakan kucuran air itu sebagai objek perenungan, dan mengumpamakannya dengan tiga macam usia:
“Sebagaimana air yang saya kucurkan pertama kali, ada makhluk hidup yang mati pada usia masih belia. Ada yang mati pada usia pertengahan seperti halnya kucuran air kedua. Ada pula yang mati pada usia lanjut, sebagaimana air yang saya kucurkan untuk yang ketiga kalinya.”
Buddha Gotama, yang sedang berada di Gandhakuöi, menampakkan diri-Nya di hadapan Paöâcârâ sambil bersabda: “Paöâcârâ, memang benar demikianlah kenyataannya. Kehidupan sehari, atau bahkan sekejab, bagi mereka yang melihat kemunculan serta kepadaman lima kelompok kehidupan (Pañcakkhandha) jauh lebih mulia daripada kehidupan selama seratus tahun orang yang tidak melihat kenyataan hidup ini.” Selanjutnya Beliau menguncarkan syair berikut:
“Orang yang tak menyadari kemunculan dan kepadaman [perpaduan bersyarat], meski hidup sampai seratus tahun, tidaklah ada artinya. Kehidupan orang yang menyadari kemunculan dan kepadaman, meski hanya sehari, jauh lebih mulia.”
Selesai mendengarkan wejangan tersebut, Paöâcârâ meraih kesucian tingkat Arahatta. Ia selanjutnya menjadi salah seorang guru besar, dan banyak kaum wanita yang dirundung kesedihan, mencari petunjuk serta bimbingan darinya. Ia dinobatkan oleh Buddha Gotama sebagai seorang siswi mulia yang paling unggul dalam bidang Vinaya.
Konon dikatakan bahwa pada zaman Buddha Padumuttara, ia melihat Sang Buddha sedang menobatkan seorang bhikkhuóî sebagai siswi mulia yang paling unggul dalam bidang Vinaya. Setelah menanam kebajikan, ia bertekad untuk mendapatkan gelar keunggulan semacam itu. Dengan kewaskitaan-Nya, Buddha Padumuttara –yang mengetahui bahwa kehendak ini dapat tercapai– memprakirakan bahwa pada zaman Buddha Gotama mendatang, ia akan mendapatkan penobatan sebagai bhikkhuóî yang paling unggul dalam bidang Vinaya.
Kisâ Gotamî Theri
Dikisahkan bahwa di Sâvatthi hiduplah seorang gadis miskin bertubuh ramping yang bernama Kisâ Gotamî. Ia menikah dengan putra seorang hartawan yang dijumpainya di pasar. Tidak berapa lama ia hamil, dan sepuluh bulan kemudian melahirkan bayi laki-laki. Dengan adanya keturunan ini, Kisâ Gotamî yang sebelumnya kurang begitu dihargai oleh sanak-keluarga suaminya, kini mulai diberi perhatian yang layak serta diperlakukan dengan baik. Malangnya, begitu mulai dapat berjalan, anak itu meninggal dunia secara mendadak.
Karena belum pernah melihat suatu kematian secara langsung dan karena kurangnya pengetahuan atas keadaan orang mati, Kisâ Gotamî tidak percaya bahwa anak yang sangat dicintainya itu telah meninggal dunia. Ia menganggap anaknya hanya menderita sakit, tetapi belum sampai mati. Ia melarang orang-orang yang akan memperabukan anaknya. Sambil mengendong mayat anaknya di pinggang, ia kemudian pergi ke luar dari rumah suaminya. Ia berharap:
“Saya akan mencari obat bagi anak laki-laki saya.”
Dengan menyusuri jalan demi jalan, dari satu pedusunan ke pedusunan lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya, ia bertanya ke sana ke mari apakah ada yang tahu tentang obat yang dapat menyembuhkan penyakit anaknya. Beberapa orang yang sempat ditanyai menjawab dengan ketus:
“Kamu mempertanyakan obat penyembuh bagi anak yang telah mati. Apakah Kamu sudah gila?”
Meskipun mendapatkan tanggapan yang negatif, Kisâ Gotamî masih juga belum putus asa. Ia yakin bahwa pasti ada orang pandai yang mampu menyembuhkan penyakit anaknya. Di suatu tempat ada seorang bijaksana yang sempat melihat Kisâ Gotamî. Ia merasa kasihan terhadap wanita malang ini, yang menjadi kurang waras karena tidak mampu menerima kenyataan atas kematian anak tunggalnya. Ia datang mendekati Kisâ Gotamî dan berkata:
“Saudari, saya sendiri tidak tahu obat yang Kamu butuhkan. Namun, saya kenal orang yang mengetahui obat penyembuh bagi anakmu.”
Kisâ Gotamî bertanya dengan antusias, “Siapa, siapa? Mohon sudi memberitahukannya kepada saya.”
Orang bijaksana itu menjawab serta menganjurkan: “Sang Buddha. Cobalah pergi dan bertanya kepada Beliau.”
Segera pergilah Kisâ Gotamî menjumpai Sang Buddha. Setelah menghaturkan penghormatan yang layak dan berdiri di satu sisi, ia bertanya: “Benarkah apa yang dikatakan orang-orang bahwa Yang Mulia mengetahui obat penyembuh bagi anak saya?”
“Saya memang tahu,” jawab Sang Buddha.
Kisâ Gotamî bertanya lebih lanjut, “Apakah obat itu, Yang Mulia?”
Sang Buddha menjawab, “Segenggam biji sawi [1], yang diperoleh dari suatu rumah milik orang yang tidak pernah ditinggal mati oleh salah seorang dari sanak keluarganya.”
“Baiklah, Yang Mulia, saya akan berusaha untuk mencari dan mendapatkannya,” demikian Kisâ Gotamî menyanggupi persyaratan ini.
Sambil menggendong anaknya di pinggang, pergilah ia mencari obat. Setelah sampai di rumah pertama, ia berdiri di depan pintu dan bertanya, “Adakah biji sawi dalam rumah ini?”
“Ada,” jawab pemilik rumah.
“Kalau begitu,” pinta Kisâ Gotamî, “mohon sudi kiranya memberi saya segenggam.”
Ketika pemilik rumah yang berbaik-hati ini memberikannya, teringatlah Kisâ Gotami bahwa biji sawi yang dapat dijadikan sebagai obat penyembuh bagi anaknya haruslah diperoleh dari suatu rumah yang pemiliknya tidak pernah kehilangan seorang pun dari sanak-keluarganya. Ia kemudian menanyakan hal ini kepada pemilik rumah.
“Apa yang Kau katakan,” jawab pemilik rumah, “orang yang masih hidup itu sedikit jumlahnya. Orang yang telah mati itulah yang jauh lebih banyak.”
Mendengar jawaban ini, Kisâ Gotamî segera mengembalikan biji sawi itu karena ini bukanlah obat yang sedang dicari dan dibutuhkannya. Ia selanjutnya pergi ke rumah-rumah lainnya, dari satu pedusunan ke pedusunan lainnya. Hingga malam menjelang, masih juga ia belum berhasil mendapatkan obat penyembuh bagi anaknya. Lalu timbullah perenungan dalam dirinya, “Saya mengira hanya anak saya sendiri yang mati. Orang yang telah mati ternyata jauh lebih banyak daripada orang yang masih hidup.”
Dengan berpikir demikian, mulailah hati Kisâ Gotamî terbuka atas kenyataan hidup yang sesungguhnya. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke tempat persemayaman Sang Buddha. Ketika ditanya oleh Sang Buddha apakah berhasil mendapatkan biji sawi yang dibutuhkan, Kisâ Gotamî menjawab:
“Tidak dapat, Yang Mulia. Dalam setiap rumah yang saya kunjungi, orang yang telah mati lebih banyak daripada yang masih hidup.”
Sang Buddha bersabda, “Engkau mengira hanya anakmu yang mengalami kematian. Sesungguhnya, kematian adalah suatu kewajaran yang abadi bagi semua makhluk. Kematian niscaya menyeret semua makhluk yang berprilaku belum sempurna ke dalam samudra kemerosotan ibarat banjir besar.” Selanjutnya Beliau menguncarkan syair berikut:
“Kematian niscaya menyeret orang yang tergila-gila pada anak-anak serta ternak peliharaannya, yang pikirannya melekat pada berbagai hal; seperti banjir besar yang menghanyutkan penduduk desa yang terlelap.”
Begitu selesai mendengarkan syair ini, Kisâ Gotamî berhasil meraih kesucian tingkat Sotâpatti. Orang-orang lainnya, yang berada di sekitar situ, ada yang meraih kesucian tingkat yang sama dan ada pula yang lebih tinggi lagi. Selanjutnya Kisâ Gotamî memohon Sang Buddha untuk ditahbiskan sebagai bhikkhuóî. Beliau pun mengirimkannya ke padepokan para bhikkhuóî. Setelah memperoleh penahbisan sebagaimana tatacara yang layak, ia dikenal dengan sebutan “Kisâ Gotamî Therî”.
Pada suatu hari, ketika sedang menjalankan tugas menyulut penerangan di balai uposatha, ia sempat melihat pelita yang menyala terang dan kemudian meredup kembali. Ini dipergunakannya sebagai objek perenungan, “Ibarat nyala api pelita, demikian pula halnya dengan makhluk hidup di dunia ini. Muncul dan padam kembali. Hanya mereka yang telah meraih Pembebasan Sejati yang tidak tertampak demikian.”
Mengetahui pemikiran tersebut, Sang Buddha yang bersemayam di Gandhakuöi kemudian memancarkan cahaya tubuh-Nya bagai tertampak sedang berada di hadapan Kisâ Gotamî Theri, dan bersabda: “Duhai Gotamî, memang demikianlah makhluk-makhluk hidup, yang muncul dan padam kembali seperti nyala api pelita. Hanya mereka yang telah meraih Pembebasan Sejati yang tidak tertampak demikian. Kehidupan sesaat bagi orang-orang yang telah menembus Nibbâna, lebih luhur daripada kehidupan sepanjang seratus tahun bagi orang-orang yang tak melihat Nibbâna.” Sang Buddha kemudian menguncarkan syair berikut:
“Orang yang tak melihat jalan kekekalan [tanpa kematian], meski hidup sampai seratus tahun, tidaklah ada artinya. Kehidupan orang yang melihat jalan kekekalan, meski hanya sehari, jauh lebih mulia.”
Di akhir penguncaran syair tersebut, Kisâ Gotamî Therî berhasil meraih kesucian tingkat Arahatta disertai dengan pengetahuan analitis.
Mallikâ Bandhula
Dikisahkan bahwa di Kusinârâ hiduplah seorang putri bangsawan bernama Mallikâ[2]. Ia diperisteri oleh seorang pangeran dari suku Malla yang bernama Bandhula. Bandhula adalah kerabat seperguruan – sewaktu menempuh pendidikan bersama di Takkasilâ– Pangeran Pasenadi dari suku Kosala. Karena diperdayai oleh para bangsawan dari sukunya sendiri dan tidak ada seorang pun dari kerabatnya yang memberitahu, Bandhula merasa berkecil hati, dan akhirnya mengungsi ke tempat Pasenadi yang kini telah menjadi raja. Di sini ia dianugerahi dengan kedudukan sebagai panglima perang.
Meskipun sudah lama menikah, Mallikâ belum juga beranak. Bandhula, suaminya, berusaha mengusirnya dengan berkata, “Pulanglah Kamu ke keluargamu sendiri.” Mallikâ menuruti kemauan suaminya yang sewenang-wenang, namun sebelum pergi ia menghadap Sang Buddha yang pada waktu itu sedang bersemayam di Jetavana. Ketika ditanya oleh Beliau ke mana gerangan akan pergi, Mallikâ menceritakan bahwa suaminya mengembalikan dirinya kepada keluarganya. “Mengapa, apa alasannya?” tanya Sang Buddha.
“Alasannya ialah bahwa saya tidak mampu memberikan anak kepadanya,” jawab Mallikâ dengan tulus. “Kalau memang begitu, sesungguhnya tidak ada kewajiban bagimu untuk pergi. Pulanglah kembali ke rumah suamimu,” anjur Sang Buddha.
Gembira sekali Mallikâ mendengar nasihat Sang Buddha ini. Mengetahui kepulangan istrinya, Bandhula bertanya, “Mengapa Engkau kembali lagi?” Dengan singkat Mallikâ menjawab, “Sang Buddha menganjurkan saya untuk pulang kembali.”
Bandhula berpikir dalam batinnya, “Sang Buddha yang berwawasan luas tentu mengetahui sebabnya.” Karena itu, ia menerima kembali istrinya tanpa bertanya panjang lebar lagi.
Tidak lama berselang, Mallikâ hamil dan melahirkan beberapa putra kembar secara beruntun[3]. Mallikâ adalah seorang umat Buddha yang sangat berbakti, yang senantiasa mengisi kehidupannya dengan banyak perbuatan bajik.
Pada suatu hari, ia mengundang makan dua Siswa Utama beserta sejumlah besar bhikkhu lain. Sewaktu sedang menyambut serta melayani para bhikkhu dengan penuh keyakinan, ia menerima sepucuk surat berisi berita: “Suami serta anak-anakmu mati dengan kepala terpenggal.”
Meskipun menerima berita duka yang sangat menyedihkan ini, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mallikâ. Ia tidak menangis, meratap atau bahkan meraung-raung sebagaimana layaknya kebanyakan orang yang ditimpa kemalangan atau ditinggal mati oleh orangorang yang sangat dikasihinya.
Tanpa menyebarkan berita ini kepada yang lainnya, ia melipat surat duka tersebut dan menyisipkannya ke dalam saku bajunya. Ia kemudian melanjutkan perlayanannya yang tulus kepada para bhikkhu Saõgha. Seakan-akan tidak ada sesuatu yang telah terjadi atau menimpa dirinya.
Hingga pada suatu saat, seorang pelayan wanita Mallikâ dengan tak sengaja membuat cangkir berisi keju cair jatuh dan pecah berkeping-keping. Ini terjadi tepat di depan tempat duduk Sâriputta Thera. Dengan tujuan agar Mallikâ tidak merasa kehilangan atau bersedih hati atas pecahnya cangkir miliknya, beliau berwejang:
“Wajarlah barang-barang yang dapat pecah menjadi pecah berkeping-keping. Tidaklah perlu terlalu dipikirkan.”
Sambil mengeluarkan surat dari saku bajunya, Mallikâ menuturkan kepada beliau, “Mereka mengirimkan surat ini kepada saya, yang isinya memberitahukan bahwa suami saya beserta seluruh anak-anak saya telah mati terbunuh dengan kepala terpenggal. Meskipun menerima berita yang sangat menyedihkan ini, saya tidak memikirkannya. Karena itu, Yang Mulia, apa pula yang patut saya pikirkan dengan hanya terpecahnya sebuah cangkir berisi keju cair?”
Sâriputta Thera kemudian menguncarkan syair berikut:
“Kehidupan makhluk-makhluk di dunia ini tidaklah bermarkah, tak ada seorang pun yang mengetahuinya, sukar, pendek, dan diliputi oleh derita.”
Setelah selesai membabarkan Dhamma, beliau beranjak dari tempat duduknya dan pulang kembali ke vihâra. Setelah para bhikkhu meninggalkan rumahnya, Mallikâ memanggil seluruh menantunya, dan memberikan nasihat,
“Suamimu sekalian tidaklah bersalah. Mereka semata-mata menerima akibat kamma buruk dalam kehidupan lampau mereka sendiri. Kamu sekalian janganlah bersedih hati. Tidaklah perlu berkeluh kesah. Janganlah menyimpan dendam kepada raja.”
Mallikâ menyadari sepenuhnya bahwa suami serta anak-anaknya mati terbunuh atas perintah Raja Pasenadi yang terhasut oleh beberapa menteri yang kejahatan mereka pernah dibongkar oleh suaminya, Bandhula. Dengan pelbagai cara, mereka berusaha menyingkirkan Bandhula yang setia dan jujur.
Mengetahui –dari laporan mata-mata yang disusupkannya– kebesaran hati Mallikâ, yang sama sekali tidak berniat untuk melampiaskan dendam atas kematian suami serta anak-anaknya, Raja Pasenadi menjadi tidak enak hati. Dengan rasa penyesalan yang dalam, ia kemudian pergi mengunjungi rumah Mallikâ untuk meminta maaf. Mallikâ serta para menantunya memaafkan kekhilafan ini. Raja Pasenadi menganugerahi mereka dengan sebuah berkah. Mallikâ tidak mempunyai keinginan apa pun kecuali izin bagi mereka semua untuk diperkenankan pulang kembali ke keluarga mereka masing-masing. [4]
Sejak kematian suaminya, Mallikâ tidak pernah mengenakan perhiasan berharga mahal yang dikenal dengan nama Mahâlatâ-pasâdhana, yang hanya dimiliki oleh dirinya serta hartawan Visâkhâ dan Devadâniyacora. Ketika jenazah Buddha Gotama hendak diperabukan, ia mengeluarkan perhiasan yang langka ini. Setelah membasuhnya dengan air kembang, ia meletakkannya di dekat jenazah dengan tekad:
“Semoga saya dalam kehidupan-kehidupan mendatang, sepanjang masih terlahirkan dalam Saæsara ini, memiliki tubuh yang tidak membutuhkan perhiasan apa pun, namun tampak seolah-olah telah mengenakannya.”
Berkat jasa kebajikan ini, setelah kematiannya, Mallikâ terlahirkan kembali di Surga Tâvatiæsa dengan segala kemewahannya.
Moggallâna Thera
Dikisahkan bahwa di Kolitagâma dekat Kota Râjagaha lahirlah bayi laki-laki dari seorang brâhmaóî bernama Moggalî. Ia dinamai Kolita –sesuai dengan nama tempat kelahirannya–, tetapi belakangan lebih dikenal dengan nama yang merujuk pada ibunya, Moggallâna. Kelahirannya bertepatan dengan kelahiran Upatissa (Sâriputta) yang kelak juga menjadi Siswa Utama Buddha Gotama.
Selama tujuh keturunan, keluarga Sâriputta dan keluarga Moggallâna menjalin hubungan yang sangat erat. Pada suatu hari, mereka berdua pergi menonton suatu pertunjukan, dan dari sanalah mereka menyadari ketaklanggengan segala sesuatu. Mereka kemudian menanggalkan keduniawian. Pada mulanya mereka berguru kepada Sañjaya Velaööhaputta. Karena kurang begitu puas dengan ajarannya, mereka kemudian berkelana di seluruh Jambudîpa untuk mencari kebenaran hidup. Agar pencaharian ini lebih sangkil, mereka memisahkan diri dengan janji untuk memberitahu yang lain apabila telah berhasil menemukan ajaran yang memuaskan.
Ketika sedang mengembara di Râjagaha, Sâriputta berjumpa dengan Assaji Thera. Beliau berhasil mencapai kesucian tingkat Sotâpatti hanya dengan mendengarkan dua baris pertama dari sebait syair:
“Segalasesuatu muncul karena sebab. Sang Tathâgata mengungkapkan sebabkemunculannya. Demikian pula sebab kepadamannya, diajarkan oleh Pertapa Agung itu.”
Beliau segera mencari Moggallâna, dan begitu mengulangkan syair yang sama, kerabat kental beliau juga berhasil mencapai tingkat kesucian yang sama. Setelah gagal mengajak mantan gurunya –Sañjaya–, mereka berdua dengan diikuti oleh lima ratus siswa Sañjaya kemudian pergi mengunjungi Buddha Gotama yang sedang bersemayam di Veïuvana. Setelah ditahbiskan dan mendapat wejangan langsung dari Beliau, mereka semua –kecuali Sâriputta dan Moggallâna–meraih kesucian tertinggi, Arahatta. Moggallâna baru berhasil mencapai-nya satu minggu kemudian, setelah menjalankan latihan meditasi yang sangat melelahkan.
Di hadapan pasamuan bhikkhu dalam jumlah yang besar, Sang Buddha menobatkan mereka berdua sebagai Siswa Utama (Aggasâvaka).
Apabila Sâriputta Thera terkenal karena kebijaksanaannya, Moggallâna Thera terunggul karena kesaktian yang dimilikinya. Dipercayai bahwa beliau mampu mengunjungi beberapa alam kehidupan lain di luar dunia ini. Bukan hanya alam surga Tâvatiæsa kediaman Sakka –Raja Dewa–yang pernah disinggahi, bahkan alam brahma yang jauh lebih tinggi pun pernah dikunjungi.
Beliau pernah membantu Buddha Gotama dalam menaklukkan kecongkakan Brahmâ Baka. Dalam suatu pertemuan yang khidmat di balai Sudhammâ, beliau berhasil mendesak Baka untuk mengakui pandangan-pandangan lampaunya yang sesat. Beliau juga berjasa besar dalam mengumpulkan kesaksian para penghuni surga maupun neraka atas perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka terlahirkan di alam sana. Setelah pulang kembali ke bumi, beliau menceritakannya kepada para siswanya.
Di antara kebajikan-kebajikan yang membuahkan pahala kelahiran kembali di alam-alam yang menyenangkan ialah mengikuti ajaran Sang Buddha. Di lain pihak, beberapa penganut kepercayaan lain terlahirkan kembali di alam-alam yang menyedihkan; menderita dan tersiksa di sana karena akibat buruk dari pandangan sesat yang mereka anut.
Pembeberan atas kesaksian-kesaksian tersebut, yang sesungguhnya merupakan suatu kenyataan tak terbantah, membuat sejumlah pemuka kepercayaan lain merasa tersinggung. Ada banyak di antara pengikut mereka yang beralih masuk ke dalam Agama Buddha. Keuntungan serta penghormatan yang sebelumnya mereka peroleh kini mulai memudar dan menipis.
Setelah mengadakan pertemuan rahasia, mereka akhirnya memutuskan bersama untuk mengupah beberapa pembunuh bayaran untuk menghabisi Moggallâna Thera. Karena ditawari dengan bayaran yang sangat besar, para pembunuh tersebut menyanggupi perintah pembunuhan ini.
Mereka kemudian mengepung tempat kediaman Moggallâna Thera di Kâïasilâ. Beliau mengetahui niat jelek para pembunuh bayaran ini. Dengan kesaktian yang dimiliki, beliau berhasil menghindar dari kepungan mereka. Ini terjadi berkali-kali, namun dengan pelbagai cara beliau selalu berhasil menghindar.
Pada akhirnya, dengan kewaskitaan beliau menyadari perbuatan jahatnya dalam kehidupan yang lampau, yang telah masak dan siap untuk membuahkan akibat. Karena itu, beliau tidak lagi berusaha menghindar. Para pembunuh itu segera menangkap serta menggebuki Moggallâna Thera hingga remuk tulang-tulangnya. Menyangka bahwa korbannya telah tewas, para pembunuh itu kemudian melemparkan tubuh yang hancur remuk itu di balik semak-semak. [5]
Sesungguhnya, pada waktu itu Moggallâna Thera belum sampai pada ajalnya. Didasari tujuan untuk menghadap Buddha Gotama yang sedang bersemayam di Veïuvana, beliau menyatukan kembali tubuhnya yang telah hancur remuk dengan mempergunakan kesaktian yang dimiliki. Setelah memohon pamit dan memperoleh restu dari Sang Buddha, beliau pergi ke suatu hutan di dekat Kâïasilâ dan mencapai Kemangkatan Mutlak di sana.
Peristiwa tragis yang menimpa Moggallâna Thera kerap disalahcerap oleh beberapa pembabar Dhamma pada dewasa ini. Mereka menjadi tidak berani menyinggung serta membahas kesesatan yang dianut oleh kepercayaan atau agama lain karena takut harus menanggung ‘nasib’ yang sama seperti beliau. Ini bukan hanya menjauhkan mereka dari misi pembabaran Dhamma, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka kurang begitu memahami proses kerja Dalil Kamma.
Kematian Moggallâna Thera bukanlah disebabkan karena pembeberan kesesatan yang dianut oleh kepercayaan atau agama lain. Pembeberan kesesatan adalah salah satu misi pembabaran Dhamma. Tidaklah mungkin ini akan menimbulkan akibat buruk (kusala-vipâka) berupa kematian. Tentu ada penyebab lain.
Sesungguhnya, Moggallâna Thera mengalami peristiwa yang mengenaskan sebelum kemangkatannya karena akibat perbuatan jahat yang pernah beliau lakukan dalam kehidupan lampau. Atas hasutan istrinya, ia berencana untuk membunuh orangtuanya sendiri. Ketika orangtuanya yang buta sedang berada di hutan yang lebat, ia mencoba memisahkan diri dengan berdusta bahwa ada perampok yang akan menyerang. Selanjutnya ia berpura-pura mengeluarkan suara seperti layaknya seorang perampok. Menyangka diserang oleh perampok, orangtua yang sangat mencintainya berteriak agar ia melarikan diri sendirian, dan tidak perlu mengkhawatirkan bahaya yang sedang mereka hadapi. Meskipun orangtuanya memperlihatkan kasih yang sedemikian murni, yang lebih mengutamakan kehidupan anaknya melebihi kehidupan mereka sendiri, ia belum juga insaf. Dengan sangat kejam, ia memukuli mereka berdua hingga tewas.
Atas kejahatan yang sangat berat ini, ia menderita di alam neraka selama ribuan tahun. Karena akibat kamma buruk ini masih bersisa, selama seratus kehidupan sebagai manusia, ia mati terbunuh dengan tubuh hancur remuk.
Uraga Jâtaka
Pada suatu waktu, ketika Brahmadatta memerintah di Kota Bârâóasî, Sang Bodhisatta terlahirkan dalam keluarga brâhmaóa di suatu perumahan dekat gerbang kota. Matapencaharian beliau ialah bertani. Beliau mempunyai seorang putri dan seorang putra yang telah menikah. Keluarga beliau terbentuk atas enam orang, yakni beliau sendiri, istri, sepasang putra-putri, menantu wanita, dan seorang pembantu.
Mereka semua hidup rukun dan bergotong-royong dengan dasar cintakasih. Sebagai kepala keluarga, Sang Bodhisatta mewejangkan kepada mereka:
“Rajin-rajinlah berbuat kebajikan dengan menyumbangkan dâna, melaksanakan kesilaan, menjalankan aturan pada hari-hari suci, dan mengembangkan perenungan atas kematian. Hendaknya selalu menyadari kefanaan hidup. Sebab, bagi makhluk-makhluk hidup seperti kita, kematian adalah pasti sedangkan kehidupan itu tidaklah pasti. Segala perpaduan bersifat tidak kekal, dan cenderung mengalami kehancuran. Karena itu, hendaknya selalu mawas diri baik pada siang hari maupun malam hari.”
Wejangan Sang Bodhisatta ini dipatuhi serta diterapkan oleh seluruh anggota keluarga.
Pada suatu hari, Sang Bodhisatta beserta putranya pergi ke sawah. Sewaktu beliau membajak sawah, putranya mengumpulkan semak-semak kering dan membakarnya. Tak jauh dari situ, hiduplah seekor ular berbisa. Karena matanya nyeri terkena asap, binatang ini keluar dari sarangnya dan dengan ganas mematuk putra Bodhisatta. Seketika itu pula, tewaslah ia. Melihat putranya jatuh tersungkur, Sang Bodhisatta segera menghentikan sapinya dan mendekatinya. Mengetahui bahwa putranya telah mati, beliau kemudian mengangkat serta membaringkannya di bawah pohon, dan menutupinya dengan selembar kain. Beliau sama sekali tidak menangisi atau meratapinya. Sambil meneruskan pekerjaannya, Sang Bodhisattta merenungkan ketakkekalan,
“Apa yang wajar mengalami kehancuran, telah terhancurkan. Apa yang wajar mengalami kematian, telah mati. Segala perpaduan bersifat tidak kekal dan berakhir pada kematian.”
Ketika melihat seorang tetangga yang sedang berjalan di dekat sawahnya, beliau meminta tolong agar mampir ke rumahnya dan memesankan kepada istrinya,
“Hari ini cukup membawakan makanan untuk satu orang saja; bukan untuk dua orang sebagaimana biasanya. Kalau sebelumnya hanya datang sendirian, kali ini hendaknya mengajak seluruh anggota keluarga. Hendaknya mengenakan pakaian bersih, dan membawa bunga serta wewangian.”
Pesan ini pun disampaikan kepada istri Bodhisatta. Ia bertanya lebih lanjut, siapakah yang menitipkan pesan, suami atau anaknya. Mengetahui bahwa ini merupakan pesan yang disampaikan oleh suami-nya, tahulah ia bahwa putranya telah meninggal dunia. Meski menerima berita duka ini, batinnya sama sekali tidak berguncang karena sudah terlatih baik dalam perenungan terhadap kematian. Anggota keluarga yang lain pun tidak ada yang menangis atau meratap. Setelah mempersiapkan segalanya, mereka kemudian bersama-sama pergi menuju ke sawah.
Selesai bersantap di bawah pohon tempat putranya terbaringkan, Sang Bodhisatta mengajak mereka untuk mengumpulkan kayu pembakaran. Setelah meletakkan jenazah di atas tumpukan kayu dan memberikan persembahan bunga serta wewangian, mereka lalu menyulut api perabuan. Tak ada setetes air mata pun yang menitik dari pelupuk mata mereka. Semuanya telah terlatih baik dalam perenungan terhadap kematian.
Berkat kekuatan ini, singgasana Sakka, Raja Dewa, memanas. Merasa takjub atas sikap mereka dalam menghadapi kenyataan hidup, Sakka kemudian turun dari Surga untuk menjumpai serta berbincang-bincang dengan mereka.
“Apa yang sedang kalian lakukan,” tanya Sakka.
“Kami sedang memperabukan seorang manusia.”
“Saya kira kalian bukan sedang memperabukan manusia,” sela Sakka, “melainkan sedang memanggang daging binatang yang telah kalian bantai.”
“Bukan,” bantah Sang Bodhisatta, “kami hanya memperabukan manusia.” “Kalau begitu, ia pasti seorang manusia yang merupakan musuh kalian,” ujar Sakka.
Sang Bodhisatta menerangkan, “Ia bukanlah seorang musuh, melainkan putra saya sendiri.”
“Jika demikian,” tebak Sakka, “ia tentunya bukan seorang putra yang kalian cintai.”
“Ia adalah putra saya yang tercinta,” jelas Sang Bodhisatta.
“Jika memang demikian, mengapa kamu tidak menangis?” tanya Sakka. Untuk menjawab pertanyaan ini, Sang Bodhisatta menguncarkan syair berikut:
“Ibarat seekor ular yang menanggalkan kulit-tuanya yang terkelupas, demikian pula putra saya menanggalkan badan jasmaniahnya. Manakala tubuhnya takdapat dipakai lagi, ia telah meninggal dunia. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Selanjutnya, Sakka mengalihkan pertanyaannya kepada istri Bodhisatta, “Apa hubunganmu dengannya?”
“Ia adalah anak yang saya kandung selama sepuluh bulan; saya susui serta besarkan,” jawab istri Bodhisatta. Sakka beralasan, “Karena sifat kepriaannya, seorang ayah mungkin tidak menangis. Namun, hati seorang ibu lazimnya bersifat peka. Dengan dasar alasan apa, Kamu tidak menangis?”. Untuk menjelaskan hal ini, istri Bodhisatta menguncarkan syair berikut:
“Tanpa diundang, putra saya datang sendiri dari dunia lain. Tanpa diizinkan, ia pun pergi dari alam manusia ini. Sebagaimana ia datang, demikian pula ia pergi. Apa manfaat yang timbul dari meratapi kepergiannya dari alam manusia ini? Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Kini giliran adik perempuan yang ditanyai oleh Sakka tentang hubungannya dengan yang mati. Untuk menunjukkan alasannya mengapa sebagai adik perempuan yang biasanya mencintai kakaknya, ia tidak menangis, syair berikut diuncarkannya:
“Apabila berpuasa serta menangisi kakak laki-laki saya yang telah mati, saya akan menjadi kurus kering. Apa yang diperoleh dengan menangisinya? Ini justru menimbulkan kesedihan bagi sanak keluarga. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Sakka kemudian bertanya kepada istri orang yang mati, “Dengan kematian suamimu, kamu niscaya menjadi janda dan tidak mempunyai pengayom. Namun, mengapa kamu tidak menangis?” Pertanyaan ini dijawab dengan syair berikut: “Ibarat bocah cilik yang merengek meminta bulan di langit, begitu pula orang yang bersedih hati terhadap mereka yang telah pergi ke dunia lain. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Akhirnya Sakka bertanya kepada pembantu wanita, apakah orang yang mati itu semasa hidupnya suka menyiksa, memukul serta menindasnya. Ia tidak menangis karena merasa telah terbebaskan darinya. Pelayan itu menjawab, “Janganlah berkata demikian. Tuduhan semacam itu tidaklah layak bagi majikan saya. Ia penuh dengan kesabaran, cintakasih dan kasih sayang terhadap saya bagaikan anak asuh yang dibe sarkannya.”
“Kalau begitu,” tanya Sakka, “mengapa kamu tidak menangisi kematiannya?” Pelayan itu menjawab dengan syair berikut:
“Bagaikan kendi air yang telah pecah takdapat direkatkan kembali, begitu pula orang yang telah mati takdapat dihidupkan kembali dengan bersedih hati. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Sakka, Raja Dewa, merasa sangat terkesan dengan alasan-alasan mereka. Ia mengakui bahwa mereka semuanya adalah orang-orang yang senantiasa mawas diri mengembangkan perenungan terhadap kematian. Sebelum pergi kembali ke Surga, ia menganugerahi mereka dengan berkah duniawi.
Buddha Gotama
Sebagaimana yang wajar menimpa semua makhluk di dunia ini tanpa kecuali, menjelang usia delapan puluh tahun, pelbagai penyakit yang akut mulai menyerang tubuh jasmaniah Buddha Gotama. Namun, dengan penyadaran jeli serta pemahaman jernih, Beliau mampu menahan rasa sakit yang timbul.
“Tidaklah tepat bagi Saya untuk mencapai Kemangkatan Mutlak (Parinibbâna) tanpa menyampaikan amanat kepada mereka yang telah melayani Saya, dan berpamit kepada Bhikkhu Saõgha. Saya patut menyingkirkan penyakit ini dengan kekuatan kehendak, dan bertekad mempertahankan kehidupan agar tetap berlangsung,” pikir Beliau.
Tak lama setelah sembuh, Beliau keluar dari kediaman-Nya dan duduk di suatu tempat berteduh di belakang padepokan. Ânanda Thera kemudian menghadap Sang Bhagavâ dan menghaturkan penghormatan yang layak. Setelah duduk di satu sisi, beliau berucap, “Yang Mulia, saya melihat Sang Bhagavâ telah berada dalam kebugaran kembali. Saya telah menyaksikan ketabahan Sang Bhagavâ. Sewaktu mengetahui gejala penyakit Sang Bhagavâ, sekujur tubuh saya seolah-olah menjadi kejur (rigid), semua yang berada di sekeliling saya menjadi suram, dan segala indera saya menjadi tumpul. Akan tetapi, Yang Mulia, saya menghibur diri dengan berpikir bahwa selama Sang Bhagavâ belum menyampaikan amanat [terakhir] kepada Bhikkhu Saõgha, selama itu pula Beliau tidak akan mencapai Kemangkatan Mutlak.”
Sang Buddha bersabda,
“Duhai Ânanda, apa gerangan yang masih diharapkan oleh Bhikkhu Saõgha dari diri Saya, Tathâgata? Kebenaran Dhamma telah Saya babarkan tanpa membuat pembedaan antara ajaran yang bersifat rahasia (esoteric) [6] dan terbuka (exoteric). Tak ada satu ajaran pun yang Saya sembunyikan –sebagaimana yang lazim berada dalam genggaman seorang guru.
Barangsiapa mempunyai pikiran demikian, ‘Saya akan mengelola Bhikkhu Saõgha’ atau ‘Bhikkhu Saõgha hendaknya menyanjung Saya’, ia tentu berwajib untuk menyampaikan suatu amanat [terakhir] kepada Bhikkhu Saõgha. Namun, Ânanda, Saya tidak pernah berpikir demikian. Karena itu, amanat apakah yang harus Saya sampaikan kepada Bhikkhu Saõgha?
Duhai Ânanda, pada saat ini Saya telah berusia lanjut. Waktu telah berlalu secara bertahap, dan kini Saya sedang memasuki usia delapan puluh tahun. Ibarat kereta tua yang dapat berjalan karena kayu pendukung, demikian pula tubuh Saya dapat berjalan dengan bantuan kayu penopang. Ketika Saya memasuki dan berada dalam pemusatan batin (cetosamâdhi) yang nir-markah, karena tidak memperhatikan segala markah dan karena pemadaman perasaan tertentu, pada waktu itulah tubuh Tathâgata terasa sangat membahagiakan.
Karena itulah, Ânanda, Engkau sekalian hendaknya menjadikan diri sendiri sebagai pulau, sebagai pelindung bagi diri sendiri. Janganlah menjadikan yang lain sebagai pelindung. Jadikanlah Dhamma sebagai pulau, sebagai pelindung. Janganlah menjadikan yang lain sebagai pelindung.”
Ketika Sang Buddha bersemayam di Jetavana dekat Kota Sâvatthi, Sâriputta Thera mengalami penderitaan jasmaniah karena dirundung penyakit, terserang demam. Beliau berada di kota kelahirannya, Nâlagâmaka di Negara Magadha, setelah mengetahui bahwa usia beliau hanya tinggal tujuh hari. Karena perasaan welas-asih terhadap ibu kandungnya, yang belum juga terbebas dari pandangan sesat, beliau berusaha untuk dapat mewejangkan Dhamma sebagai wujud balas jasa. Ibu kandung beliau akhirnya berhasil meraih kesucian Sotâpatti, termapankan dalam keyakinan terhadap Tiga Mestika. Setelah itu, Sâriputta Thera mencapai Kemangkatan Mutlak.
Mendapat berita kemangkatan Sâriputta Thera, Ânanda Thera segera melaporkannya kepada Sang Buddha, “Yang Mulia, mendengar berita dari Sâmaóera Cunda bahwa Sâriputta Thera telah mencapai Kemangkatan Mutlak, sekujur tubuh saya seolah-olah menjadi kejur, semua yang berada di sekeliling saya menjadi suram, dan segala indera saya menjadi tumpul.”
Sang Buddha bertanya, “Mengapa, Ânanda, apakah Engkau kira bahwa dengan mencapai Kemangkatan Mutlak, Sâriputta membawa pergi kesilaan, pemusatan, kebijaksanaan, pembebasan, pengetahuan serta pandangan tentang pembebasan?” “Bukan begitu,” jawab Ânanda Thera, “namun, saya kira betapa banyak beliau menolong sesame penempuh kehidupan suci; menasihati, menerangkan, mengajar, menganjurkan, membangkitkan serta mengobarkan semangat dalam diri mereka; betapa tak mengenal lelah beliau dalam mewejangkan Dhamma kepada mereka. Kami mengenang bagaimana Sâriputta Thera membekali, memperkaya serta menyantuni kami dengan Dhamma.”
Sang Buddha kemudian bersabda: “Duhai Ânanda, bukankah sejak semula Saya telah wejangkan bahwa peralihan, perpisahan, dan perubahan dari segala sesuatu yang kita sayangi serta cintai pastilah terjadi. Bagaimana mungkin apa yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian…”
Tak begitu lama setelah kemangkatan Sâriputta Thera, yang disusul oleh Moggallâna Thera dua minggu kemudian, Buddha Gotama memutuskan untuk mengakhiri kehidupan-Nya tiga bulan mendatang, tepatnya pada bulan purnama di bulan Vesâkha.
Keputusan ini Beliau ambil setelah menyadari bahwa kini para siswa-siswi Beliau –bhikkhu, bhikkhuóî, upâsaka, upâsikâ– telah bijaksana, terbina baik, matang, berpengetahuan luas, mampu mengingat Dhamma serta menerapkannya, menempuh jalan yang benar, berprilaku sesuai dengan Dhamma; setelah belajar dari guru pembimbing, mereka mampu menyatakan, membabarkan, menetapkan, mengungkapkan, menguraikan, dan menjelaskannya; sanggup memberantas ajaran-ajaran lain [sesat] yang mencuat dengan beralasan dan tuntas, dan mampu mewejangkan Dhamma dengan ke mukjizatannya.
Seorang Sammâsambuddha tidak akan mencapai Kemangkatan Mutlak apabila kehidupan suci belum sempurna, makmur, tersebar-luas, termasyhur, dan dikumandangkan dengan baik oleh para dewa dan manusia. Menyadari betapa besar andil seorang Buddha bagi kesejahteraan serta kebahagiaan banyak orang,
Ânanda Thera memohon kepada Buddha Gotama untuk mengurungkan atau setidak-tidaknya menunda keputusan-Nya. Walaupun dimohon sebanyak tiga kali, Beliau tetap tidak mengabulkannya karena sangatlah mustahil bagi seorang Sammâsambuddha untuk mengingkari apa yang telah diputuskan-Nya.
Selanjutnya Buddha Gotama mengutus Ânanda Thera agar mengundang seluruh bhikkhu yang sedang berada di sekitar Vesâli untuk berkumpul bersama di balai pertemuan. Di hadapan pasamuan Saõgha inilah, Beliau mengikhtisarkan seluruh ajaran yang pernah dibabarkanNya menjadi 37 pokok ajaran yang membawa pada Pencerahan Agung (Bodhipakkhiyadhamma), yang terdiri atas:
empat landasan penyadaran jeli (satipaööhâna),
empat upaya benar (sammappadhâna),
empat dasar keberhasilan (iddhipâda),
lima kemampuan batiniah (indriya),
lima kekuatan batiniah (bala),
tujuh faktor pencerahan (bojjhaõga), dan
delapan faktor jalan mulia (ariyamagga).
Selanjutnya Beliau menguncarkan syair berikut: “Usia Saya telah masak, kehidupan Saya bersisa sedikit. Saya akan meninggalkan Engkau sekalian, Saya telah membuat perlindungan bagi diri Saya sendiri. Duhai Para Bhikkhu, Engkau sekalian hendaknya senantiasa waspada, memiliki penyadaran jeli, menerapkan kesilaan dengan baik. Hendaknya memantapkan batin serta menjaga pikiran. Barangsiapa hidup dengan waspada dalam Dhamma Vinaya ini, ia niscaya akan terbebas dari kelahiran dalam daur Saæsara, dan dapat mengakhiri penderitaan.”
Ketika sedang berada di Bhoganagara, Sang Buddha bersabda kepada sejumlah besar bhikkhu, “Duhai Para Bhikkhu, Saya akan membabarkan Empat Dalih Utama (Mahâpadesa). Dengarkan dan perhatikan dengan cermat.
Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan Sang Buddha: Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’ [Buddhâpadesa]
Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan pasamuan Saõgha para sesepuh beserta ketua dalam padepokan sana: Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’ [Saõghâpadesa]
Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan beberapa bhikkhu sesepuh dalam padepokan sana, yang berpengetahuan luas, yang piawai dalam teori serta praktek, yang mahir dalam Dhamma, Vinaya dan Mâtika (Induk Topik): Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’ [Sambahulattherâpadesa]
Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan seorang bhikkhu sesepuh dalam padepokan sana, yang berpengetahuan luas, yang piawai dalam teori serta praktek, yang mahir dalam Dhamma, Vinaya dan Mâtika: Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’ [Ekatherâpadesa]
Engkau sekalian hendaknya tidak [terburu-buru] menyepakati ataupun menolak perkataan tersebut. Tanpa menyepakati serta menolaknya, Engkau sekalian hendaknya menelaah dengan cermat kalimatnya huruf demi huruf; mencocokkannya dengan Sutta dan memperbandingkannya dengan Vinaya. Apabila ternyata tidak selaras dengan Sutta dan tidak sesuai dengan Vinaya, dapatlah disimpulkan bahwa: ‘Itu pasti bukanlah sabda Sang Buddha; Arahanta Sammâsambuddha. Itu tentu telah disalahpahami oleh bhikkhu, pasamuan Saõgha, beberapa atau seorang bhikkhu sesepuh tersebut. Karena itu, Engkau sekalian hendaknya menolak perkataan itu.
Sebaliknya, apabila ternyata selaras dengan Sutta dan sesuai dengan Vinaya, dapatlah disimpulkan bahwa: “Itu adalah sabda Sang Buddha; Arahanta Sammâsambuddha. Itu tentu telah dipahami secara benar oleh bhikkhu, pasamuan Saõgha, beberapa atau seorang bhikkhu sesepuh tersebut. Duhai Para Bhikkhu, Engkau sekalian hendaknya mencamkan Empat Dalih Utama ini.”
Ketika sampai di tepian sungai Hiraññavatî di hutan pohon Sâla dekat Kota Kusinârâ, Buddha Gotama menyuruh Ânanda Thera untuk mempersiapkan tempat peristirahatan. Suatu keajaiban terjadi. Tatkala Beliau sedang merebahkan diri dengan penuh penyadaran jeli serta pemahaman jernih, bunga pohon Sâla yang mekar bukan pada musimnya jatuh berguguran menaburi sekujur tubuh Beliau seolah-olah merupakan suatu pemujaan. Sang Buddha kemudian menyabdakan bahwa ini bukanlah suatu wujud pemujaan tertinggi. Barangsiapa –bhikkhu, bhikkhuóî, upâsaka atau upâsikâ– yang melaksanakan Dhamma sesuai dengan Dhamma, berpraktek benar, berprilaku selaras dengan Dhamma; mereka itulah yang sesungguhnya telah melakukan pemujaan tertinggi kepada Sang Tathâgata.
Ketika ditanya oleh Ânanda Thera bagaimana jenazah seorang Sammâsambuddha selayaknya dirawat, Buddha Gotama menjawab, “Duhai Ânanda, janganlah Engkau terlalu menyibukkan diri dalam pemujaan terhadap jenazah Tathâgata. Perjuangkan manfaat bagi diri sendiri. Curahkan [perhatian] demi manfaat bagi diri sendiri. Hiduplah dengan waspada, tekun, dan terkendali demi kebaikan bagi diri sendiri. Sebab, telah ada para bangsawan, brâhmaóa, hartawan yang bijak, yang berkeyakinan kepada Tathâgata. Merekalah yang akan mengatur perabuan jenazah Tathâgata.”
Mengetahui bahwa Buddha Gotama akan mencapai Kemangkatan Mutlak pada hari itu juga, pertapa Subhadda yang bertinggal di Kota Kusinârâ segera pergi menghadap Beliau untuk mencari jawaban atas keragu-raguan yang berkecamuk dalam benaknya. Setelah menghaturkan penghormatan yang layak, ia mengajukan pertanyaan, “Gotama Yang Mulia, ada pertapa dan brâhmaóa yang menjadi guru bagi sejumlah besar murid, yang memiliki banyak pengikut, yang merupakan pendiri aliran-aliran kepercayaan, yang terkenal dan termasyhur, yang dianggap oleh masyarakat luas sebagai orang suci, misalnya Pûraóa Kassapa, Makkhali Gosâla, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccâyana, Sañjaya Velaööhaputta, Nigaóöha Nâöaputta. Apakah pertapa dan brâhmaóa tersebut semuanya telah mencapai Pencerahan sebagaimana yang diyakini? Ataukah semuanya belum mencapai Pencerahan? Ataukah sebagian telah mencapai, sebagian belum mencapai Pencerahan?”
Buddha Gotama menjawab, “Duhai Subhadda, dalam Ajaran dan Aturan mana pun, apabila tidak terdapat Jalan Mulia Berfaktor Delapan, di situ tidaklah dapat dijumpai pertapa yang meraih kesucian tingkat pertama [Sotâpatti], kedua [Sakadâgâmî], ketiga [Anâgâmî], atau keempat [Arahatta]. Sebaliknya, dalam Ajaran dan Aturan mana pun, apabila terdapat Jalan Mulia Berfaktor Delapan, di situ dapatlah dijumpai pertapa yang meraih kesucian tingkat pertama, kedua, ketiga, atau keempat. Jalan Mulia Berfaktor Delapan terdapat dalam Dhamma Vinaya ini [Agama Buddha], dan hanya di sinilah pertapa yang meraih kesucian tingkat pertama, kedua, ketiga, atau keempat dapat dijumpai.
Kepercayaan [Agama] lain hampa/kosong dari pertapa-pertapa suci (Suññâ Parappavâdâ Samaóebhi). Apabila para bhikkhu hidup dengan benar, dunia ini tidaklah pernah kosong dari para Arahanta.
Semenjak usia 29 tahun, O Subhadda, Saya telah menanggalkankeduniawian, Mencari apa yang merupakan kebajikan; Lima puluh satu tahun telah lewat, Setelah penanggalan keduniawian itu. Selama kurun waktu itu Saya telah mengembara, Dalam bidang Kebajikan dan Kebenaran. Di luar Dhamma Vinaya ini, Tak ada pertapa suci [tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat].
Setelah mendengarkan sabda Sang Buddha, timbulkan keyakinan dalam diri pertapa Subhadda terhadap Tiga Mestika, dan ia selanjutnya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu.
Lazimnya, pertapa yang pernah menganut aliran kepercayaan [agama] lain harus berada dalam masa percobaan (parivâsa) selama empat bulan sebelum dapat ditahbiskan, diterima sebagai anggota Saõgha. Namun, melihat kematangan batin pertapa Subhadda, Buddha Gotama memberikan perkenan khusus. Dalam waktu yang singkat, beliau berhasil merampungkan tugas dalam kehidupan suci, dan menjadi Arahanta.
Dalam kesempatan lain, Buddha Gotama bersabda, “Duhai Ânanda, barangkali di antara kalian ada yang berpikir demikian, ‘Sabda Sang Guru telah berlalu, kini kami tak lagi memiliki Guru.’ Sesungguhnya, Engkau sekalian tidak semestinya berpikir demikian. Dhamma dan Vinaya yang telah Saya babarkan dan tetapkan kepada kalian itulah yang akan menjadi Guru kalian setelah Saya tiada.”
Beliau kemudian memberikan kesempatan kepada para bhikkhu untuk mengajukan pertanyaan apabila mempunyai kesangsian atau keragu-raguan terhadap Sang Buddha, Dhamma, Saõgha, Jalan atau pokok-pokok pelaksanaan. Ini supaya mereka nantinya tidak merasa menyesal bahwa sewaktu Buddha Gotama masih hidup, mereka tidak berkesempatan untuk bertanya langsung.
Kendati diberi kesempatan sampai tiga kali, tidak ada seorang bhikkhu pun yang mengajukan pertanyaan. Ini terjadi karena lima ratus bhikkhu yang hadir paling tidak telah meraih kesucian tingkat Sotâpatti. Sebagai wejangan terakhir sebelum mencapai Kemangkatan Mutlak, Buddha Gotama bersabda: “Segala perpaduan wajar mengalami keluruhan [kepudaran, kerapuhan, kehancuran, kepunahan]. Karena itu, Engkau sekalian hendaknya merampungkan semua tugas dengan kewaspadaan.” [7]
Atas kemangkatan Buddha Gotama, Brahmâ Sahampati meng uncarkan syair berikut:
Semua makhluk niscaya menanggalkan tubuh jasmaniah, Bahkan Sang Tathâgata, guru yang tiada taranya di dunia ini, Sebagai Sammâsambuddha, yang mahasuci, yang memiliki kekuatan, Pun telah mencapai Kemangkatan Mutlak.
Sakka –Raja Dewa– menguncarkan syair:
Segala perpaduan bersifat tidak kekal, Wajar mengalami kemunculan dan kepadaman; Begitu muncul, niscaya padam kembali.
Kepadamannya yang mutlak adalah suatu kebahagiaan.
Sementara itu, Anuruddha Thera menguncarkan syair:
Tanpa nafas keluar dan masuk, Dengan batin yang mantap, Teguh tak bergeming, penuh kedamaian, Sang Suciwan mengakhiri kehidupan-Nya. Ibarat pelita yang padam, Begitulah Beliau mencapai Pembebasan, Dengan batin tak gentar, Dengan perasaan teredam.
BAB VII: RENUNGAN
Kala memakan makhluk hidup beserta dirinya sendiri. Siang malam bergeser, usia pun kian lama kian bersisa sedikit. Usia habis berlalu mengikuti siang dan malam. Usia senantiasa berkurang terus setiap kejapan mata.
Ibarat benang pintalan, sepanjang mana yang telah dipintal, bagian yang akan dipintal niscaya menjadi sedikit; demikian pula usia makhluk hidup menyusut dan berkurang.
Sebagaimana air sungai yang tidak balik mengalir ke hulu, demikian pula usia umat manusia tidaklah balik menuju usia muda.
Seiring dengan berlalunya waktu, kehidupan seseorang pun berkurang dari manfaat yang akan dilakukan.
Bagaikan gembala menghalau dengan tongkat kumpulan sapi menuju padang rumput, demikian pula usia tua dan kematian menggiring kehidupan setiap makhluk.
Lihatlah tubuh yang dikatakan indah ini, yang penuh luka, terbentuk dari rangkaian tulang, berpenyakitan, penuh pemikiran, yang tak dapat dicari keabadian dan kekekalannya.
Tubuh ini jika sudah menua akan menjadi sarang penyakit dan lemah. Tubuh yang membusuk ini akan hancur berkeping-keping karena sesungguhnya kehidupan berakhir pada kematian.
Tubuh yang terbentuk dari tumpukan tulang, terbungkus oleh daging dan darah ini merupakan tempat bercokolnya ketuaan, kematian, keangkuhan dan pelecehan.
Tak lama lagi tubuh ini tidak berkesadaran lagi, digeletakkan di tanah bagaikan sebatang kayu yang takberguna.
Tulang-belulang ini berwarna putih pucat seperti warna burung dara. Tak seorang pun yang menghendakinya, ibarat labu di musim rontok.
Kenikmatan apakah yang dapat diperoleh dengan memandanginya?
Sama seperti orang yang sehabis bangun tidur tidak melihat apa yang dijumpai dalam mimpi, demikian pula, orang yang dicintai, setelah meninggal, tidaklah dapat dijumpai lagi.
Banyak orang masih terlihat pada pagi hari, tetapi pada sore hari beberapa di antaranya tak tertampak lagi. Banyak orang masih terlihat pada sore hari, tetapi pada pagi hari beberapa di antaranya tak tertampak lagi.
Sebagaimana buah yang telah masak yang sepanjang waktu dikhawatirkan akan jatuh, demikian pula makhluk yang telah lahir; yang dikhawatirkan sepanjang waktu ialah akan mati.
Tidak di langit, di tengah samudra, di cela-cela bukit; tidak di mana pun di dunia ini dapat ditemukan suatu tempat tinggal di mana seseorang dapat menghindarkan diri dari kematian.
Baik anak-anak, orang dewasa, orang dungu, orang bijak, orang kaya maupun orang miskin; semuanya berjalan menuju kematian.
Lihatlah! Meskipun dikerumuni serta diratapi oleh sanak keluarga, orang yang akan mati direnggut Raja Kematian seorang diri; ibarat sapi yang akan dijagal, digiring seekor.
Dengan [pelbagai] cara makhluk yang terlahirkan berusaha menghindar dari kematian namun takberhasil. Kalaupun dapat bertahan hidup hingga tua, pada akhirnya juga akan mati karena memang demikianlah sifat alamiah makhluk hidup di dunia ini.
Pemain sulap mampu mengelabui banyak penonton dan membuat mereka percaya, namun ia takdapat berbuat demikian terhadap Raja Kematian.
Para ahli waris membawa pergi harta milik orang mati, sedangkan yang mati pergi menuju jalannya sendiri. Tatkala meninggal dunia, tidak ada harta kekayaan apa pun, anak isteri, emas perak atau tanah, yang dapat dibawa serta.
“Saya akan bertinggal di sini selama musim hujan; musim dingin dan kemarau,” demikianlah orang dungu berpikir tanpa menyadari ancaman bahaya [kematian].
Kematian niscaya menyeret orang yang mengumpulkan bunga kenikmatan inderawi, yang pikirannya terpacak pada kenikmatan inderawi; bagaikan banjir besar yang menghanyutkan penduduk yang terlelap.
Orang yang mengumpulkan bunga kenikmatan nafsu inderawi, yang pikirannya terpacak padanya tanpa mengenal puas; niscaya berada dalam kekuasaan Sang Penghancur (Kematian).
Mengapa bersukaria dan bergembira manakala dunia sedang membara terus? Terliputi oleh kegelapan yang pekat seperti ini, mengapa Engkau tak juga mencari penerangan?
Apabila usia terus berkurang seperti ini, perpisahan pasti terjadi tanpa diragukan. Kelompok makhluk yang masih tertinggal hendaknya saling mencintai dan mengasihi; dan tidak seharusnya bersedih hati terhadap mereka yang telah mati.
Tangisan, kesedihan, gerungan, ratapan; tidaklah membawa manfaat terhadap orang yang telah meninggal. Mereka yang telah mati masih tetap seperti semula.
Tangisan atau kesedihan bukannya akan membantu pikiran menjadi tenang atau tentram, melainkan justru melipatgandakan penderitaan. Kesehatan jasmaniah pun ikut melemah.
Bersedih hati samalah dengan melukai diri sendiri. Tubuh akan menjadi kurus kering; kulit akan menjadi pucat pasi, sedangkan orang yang telah mati tidak dapat mempergunakan kesedihan itu untuk menolong dirinya. Ratap tangis tidaklah bermanfaat apa pun.
Orang yang tidak dapat menyingkirkan kesedihan, hanya memikiri orang yang telah meninggal, jatuh dalam kekuasaan kesedihan; niscaya menderita duka yang lebih berat.
Karena itu, Saudara, setelah mendengarkan ajaran mereka yang telah terjauhkan dari noda batin, hendaknya melenyapkan ratap tangis.
Ketika melihat orang meninggal, tabahkan hati [dengan berpikir] bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk menghidupkannya kembali.
Kalau orang yang telah meninggal dunia dapat dibangkitkan kembali dengan ditangisi, kami sekalian niscaya akan berkumpul bersama untuk saling meratapi sanak keluarga kami.
Engkau tak mengetahui jalan orang yang datang [lahir] maupun yang pergi [mati]. Manakala tidak melihat kedua ujungnya, meskipun diratapi, percuma sajalah.
Demikianlah makhluk hidup di dunia ini berada dalam kekuasaan kematian dan ketuaan. Dengan menyadari sifat alamiah makhluk hidup, orang bijak tidaklah bersedih hati.
Alih-alih bersedih hati terhadap orang yang telah tiada, yaitu mereka yang telah meninggal dunia, sesungguhnya seseorang lebih patut bersedih hati terhadap dirinya sendiri yang jatuh dalam kekuasaan Raja Kematian sepanjang waktu.
Lahir sendirian; mati pun sendirian. Hubungan antara makhluk makhluk hidup sesungguhnya hanyalah saling bertemu dan berkaitan.
Lihatlah! Orang lain pun sedang mempersiapkan diri menempuh jalan Kamma-nya. Di dunia ini semua makhluk sedang bergulat menghadapi kekuasaan Raja Kematian.
Sekarang ini Engkau tua bagaikan daun layu. Raja Kematian sedang menantimu. Engkau sedang berdiri di ambang pintu keberangkatan, namun Engkau belum memiliki bekal perjalanan.
Sekarang ini usia kehidupanmu telah mendekati akhir. Engkau telah melangkah mendekati Raja Kematian. Tak ada tempat peristirahatan di antara perjalananmu, namun Engkau tidak mencari bekal perjalanan.
Menyadari bahwa tubuh ini mudah pecah serta melompong seperti busa, dan menyadari sifat mayanya; seseorang hendaknya mematah kan panah bunga asmara dan menghindar dari pandangan Raja Kematian.
Menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, seseorang hendaknya memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan selan jutnya menyerang Mâra dengan senjata kebijaksanaan.
Jika telah meraih kemenangan, hendaknya menjaganya dengan baik jangan sampai jatuh dalam kekuasaannya lagi, tetapi tidak melekatinya.
Lepaskan [kerinduan terhadap kelompok kehidupan] masa lampau, mendatang dan sekarang. Capailah akhir kehidupan (Nibbâna). Setelah terbebas dari segalanya, Engkau tak akan lagi mengalami kelahiran dan ketuaan.
Barangsiapa memandang dunia ini seperti halnya melihat busa dan fatamorgana [fana dan khayalan] niscaya tidak akan dapat dijumpai oleh Raja Kematian.
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kecerobohan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak mengenal kematian, tetapi orang yang ceroboh tak ubahnya seperti orang yang sudah mati.
Apabila seseorang melihat dengan kebijaksanaan bahwa “Segala perpaduan yang bersyarat adalah tidak kekal”, ia niscaya merasa jenuh pada penderitaan. Inilah jalan menuju kesucian.
Tak ada kejahatan yang saya lakukan di mana pun. Karena itu, saya tidak gentar terhadap kematian yang akan tiba. Apabila teguh dalam Dhamma, tidaklah perlu takut dunia mendatang.
Mereka yang berprilaku selaras dengan Dhamma yang telah dibabarkan dengan baik niscaya melampaui kerajaan kematian yang amat sulit dilewati; dan mencapai Pantai Seberang (Nibbâna).
Catatan kaki Bab I:
Kepustakaan
Yang bertanda *) adalah buku-buku yang tertulis dalam bahasa Thai.
Sumber:
Dhammacitta: Menguak Misteri Kematian
penyadur :Jan Sañjîvaputta;
pendana utama:keluarga almh. Tan Kiem Twee, Hasan & Susanty;
penerbit:LPD
Publisher; alamat: P.O. Box 30, Banglumphu Post Office, Bangkok 10203, Thailand;
internet: Theravada.net; WebMaster: Theravada;
©9-IX-’99
Isi boleh dikutip sebagian dengan mencantumkan nama penerbit. Pencetakan ulang secara keseluruhan atau penggandaan berupa fotokopi harus mendapat izin resmi dari LPD Publisher.
Menjadi mayat pun kuku masih terus tumbuh!
Bicara mengenai kuku, maka rata-rata pertumbuhan kuku manusia normal:
Mmmmhh...mungkin juga anda pernah dengar ini:
Johnny Carson: "For three days after death, hair and fingernails continue to grow… but phone calls taper off." - [Pesulap, pelawak, entertainer, pernah membawakan "the Tonight Show" NBC, meninggal 2005]
Pernyataan Mendiang Carson bahwa selama 3 hari setelah mati, kuku dan rambut akan terus tumbuh tidak didukung oleh semua link [di atas dan di bawah] yang justru menyatakan bahwa kuku mayat tidak akan bertambah panjang. Panjangnya kuku mayat adalah karena mayat itu kemudian menjadi menyusut! Jadi, Itu merupakan tipuan tampilan [Snope: Coffin nails; Newscientist: Life after death dan Straightdope: Do hair and nails continue to grow after death?]
Namun demikian, kutipan dari ucapan Dr Trisha Macnair berikut ini memberikan arti yang lain sama sekali:
Dr. Macnair memang menyatakan "tidak berarti" kuku dan rumbut tetap tumbuh setelah meninggal namun ia juga mengemukakan bahwa sel kulit mayat dalam kondisi tertentu dapat terus tumbuh hingga 24 jam lagi!
Ternyata proses bio kimia tidak langsung stop seketika, masih ada proses dari nutrisi yang tersisa/tersedia hingga benar-benar berhenti. Artinya menurut saya sih simple saja: kuku masih bisa terus tumbuh hingga beberapa waktu kemudian!
Jadi, wajarlah ada mayat yang mempunyai kuku lebih pajang, disamping karena menyusutnya mayat juga karena karena proses tubuh yang tersisa.
So, Bagaimana menurut anda?
Dari facebook:
Julyanto Sutandang pada 1:25 30 Maret
Dari pernyataan Dr Macnair, disebutkan bahwa sel kulit dapat bertahan hidup sampai dengan 24 jam kedepan, oleh karenanya ketika diambil dari mayat masih bisa diteruskan dalam kultur jaringan di lab, hal itu tidak menguatkan / menyatakan kalau kuku akan tetap tumbuh sebab ketika tidak ada aliran darah, maka tidak ada asupan nutrisi, sehingga yang dilakukan sel kulit 24 jam kedepan setelah kematian adalah bertahan hidup, bukan hidup seperti normalnya. Jadi menurut saya pendapat Dr tersebut tidak menguatkan anggapan kuku akan tetap tumbuh setelah terjadi kematian.
Wirajhana Eka pada 4:17 30 Maret
Hai July..
Pertama,
Definisi mati ada dua, yaitu pertama adalahan somatic [mati seluruh tubuh, namun masih bisa dipaksa hidup pake mesin] dan kemudian dilanjutkan dengan celuller death [tidak dapat melakukan metabolisme]. Umumnya orang [termasuk dokter biasa] memastikan kematian di tingkat somatic.Tingkat kematian di tingkat celluler, dari yang sensitif [otak] hingga yang paling akhir [kuku dan rambut] [1]
Kematian somatic menghentikan supply darah dan oksigen, sebagai penggantinya otot melakukan pelepasan ATP dari gycogen simpanan..inilah yang membantu untuk tetap melakukan metabolism hingga ia kaku sama sekali [2]
Sumber:
[1] Library thinkquest.org
[2] abc.net.au/science
Kedua,
semua dapat diedarkan oleh darah, termasuk obat-obatan dan racun dan itu masuk juga kedalam kuku dan rambut.
Ada beberapa makan/obat2an yang terbukti dapat menumbuhkan jaringan kuku dan rambut, yaitu Methionine [ada di bahan obat penyakit hepatitis, ia merupakan Asam essensial [juga dari casein dan putih telor] nah ia yang mensintesa protein yang juga paling banyak terdapat di kuku [keratin]. Tubuh memerlukan protein untuk memproduksi sel baru!
Nah, dua alasan itu memperkuat hypotesis saya dan juga sebagai jembatan kata-kata yang tidak ada dari ucapan Dr Macnair
Sumber:
Julyanto Sutandang pada 12:50 30 Maret
Saya kira kita butuh kajian yang lebih pasti, apakah metabolism anaerob pada tingkat selular yang menggunakan simpanan gula otot (glycogen) tersebut menghasilkan zat chitin yang akan menjadi kuku atau tidak?
Bilamana anaerob metabolism juga menghasilkan zat yagn sama dengan aerob metabolism berarti emang setelah mati masih ada waktu kuku akan terus tumbuh sampai dengan kira2 3jam saja (tentunya dalam lingkungan hangat)
or sebaliknya, pertumbuhan langsung terhenti.
Thanks Mas Wira atas sharing ilmunya.
Lily Warsiti pada 15:05 30 Maret
oh...di post ke FB jg... :D tadi sy udah comment di milis SP. sy copas lagi ke sini aja... :D
Berdasarkan Abhidhamma....
Di dalam proses kematian, ada rupa yang terus berlanjut. Rupa tersebut tumbuh dipelihara oleh Utu (temperatur, suhu, lingkungan dll) dan Ahara (sari makanan dll)
Itu bisa di lihat buku Abhidhammatthasangaha, pelajaran ttg Rupappavatti (Pengupasan timbul dan padamnya RUPA menurut urutan).
Rupa yang masih tetap berkembang setelah mahluk itu mati dipelihara oleh Utu dan Ahara, murni, sedangkan dasarnya adalah kamma, citta, utu dan aharajarupa mahluk itu semenjak hidup..
Jadi tidak usah heran jika menjadi mayatpun kuku masih terus tumbuh... :D
_/\_ :lotus:
[Kembali]
Mengapa Harus Mati, Sejak Kapan?
Kematian adalah suatu misteri kehidupan yang telah menyelimuti umat manusia sejak dahulu kala. Namun, bukti nyata atas asal-mula kehadirannya hingga kini masih belum tersingkap. Tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti sejak kapan manusia mengalami kematian, dan mengapa harus mati. Yang ada dan berkembang di masyarakat hanyalah ‘mitos’ yang sukar [kalau bukan muskil] dibuktikan kebenarannya. Mitos bukanlah suatu kenyataan bersejarah (historical evidence). Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang Makhluk Adi insani [pencipta, dewa dan sebagainya] yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, binatang, manusia, atau bangsa itu sendiri, yang kebanyakannya berbumbu kegaiban. Mitos merupakan hasil khayalan, perenungan, pemikiran, penalaran atau spekulasi atas suatu kenyataan yang berada di sekeliling manusia; yang mungkin bernada sangat naif serta kekanak-kanakan ataupun sebaliknya mengandung ajaran-ajaran etika serta filsafat yang amat pelik; yang mungkin berupa dongeng ringan yang tak begitu menuntut kepercayaan ataupun sebaliknya berupa kisah dogmatis yang menjadi pusat keyakinan. Ini semua tergantung pada tingkat peradaban manusia dari mana mitos itu berasal.
Menurut mitos yang dipercayai oleh orang-orang Zulu di Afrika, pada awalnya Tuhan Pencipta yang dikenal sebagai Unkulunkulu sepakat untuk menganugerahi manusia dengan kekekalan (immortality). Kemudian diutus-Nyalah seekor bunglon untuk mengabarkan berita ini kepada manusia: bahwa manusia tidak akan mengenal segala bentuk penderitaan: penyakit, ketuaan, dan kematian. Mereka akan hidup dalam kebahagiaan yang abadi. Bunglon itu berjalan sangat lamban, dan sering berhenti untuk mencari makanan sehingga berita ini belum juga sampai ke manusia. Entah karena alasan apa, Unkulunkulu kemudian berganti pikiran. Diutus-Nyalah seekor kadal untuk mengabarkan kepada manusia bahwa mereka akan mengalami kematian. Walaupun berangkat belakangan, kadal ini sampai ke tempat tujuan lebih dahulu. Berita tentang kematian diterima dengan pasrah oleh manusia. Bunglon yang lamban akhirnya sampai juga, namun beritanya (tentang kekekalan) yang bertolak-belakang dengan apa yang disampaikan oleh kadal tidak diper cayai oleh manusia. Sejak saat itulah, manusia mengalami kematian. Kegagalan manusia dalam menikmati kehidupan yang kekal bukanlah disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendiri, melainkan semata-mata karena kelalaian seekor binatang yang menyampaikan berita Tuhan.
Mitos yang bernada sedikit berbeda disajikan oleh suku Gudji dan Darasa di Afrika. Pada awalnya tidak ada satu makhluk pun yang mengalami kematian. Semuanya hidup dalam kekekalan. Kemudian pada suatu hari timbullah kemelitan (curiosity) dalam benak Tuhan untuk menguji siapakah gerangan yang lebih patut menikmati kekekalan, laki-laki ataukah ular. Sang Pencipta selanjutnya mengadakan perlombaan di antara kedua makhluk itu. Di tengah lomba balap ini, laki-laki bertemu dengan wanita. Karena terpikat oleh kecantikannya, ia berhenti untuk bercakap-cakap. Sedemikian lama percakapan ini berlangsung sehingga ia tertinggal jauh dan si ular sampai lebih duluan. Tuhan kemudian berkata kepada laki-laki: “Kamu telah terkalahkan. Ular ternyata lebih berharga daripada kamu. Binatang ini akan Kuberkahi kehidupan yang kekal, sedangkan kamu akan mengalami kematian. Demikian pula semua keturunanmu.”
Mitos ini menempatkan wanita sebagai penggoda yang menghalangi upaya manusia dalam meraih kekekalan, suatu tema utama yang lazim terdapat dalam masyarakat yang kurang begitu menghargai harkat serta martabat kaum wanita. Sementara itu, ular dianggap memiliki kekekalan mungkin karena kemampuannya dalam berganti kulit [Jawa: mlungsungi], yang seolah-olah dapat terus memperpanjang atau memperbaharui kehidupan. Padahal, dalam kenyataan yang dapat dibuktikan sekarang ini, ular pun sebenarnya tidak luput dari kematian.
Sesungguhnya masih ada banyak mitos lain yang mengisahkan asal-mula kematian yang dialami oleh umat manusia, misalnya mitos yang dipercayai oleh suku Indian, Shawnee, Maori, Ningpo, dll. Kiranya tidak mungkin untuk dapat menuturkan semuanya dalam buku ini. Di sini hanya akan disebutkan satu mitos lagi, yang paling dikenal banyak orang, yakni mitos yang terkisahkan dalam Alkitab. Kejatuhan manusia dalam dosa dianggap sebagai penyebab awal mengapa manusia harus mengalami kematian. Karena dipercayai sebagai pencipta yang Maha Pengasih, tidaklah mungkin bagi Tuhan untuk menakdirkan kematian sejak pertama kalinya. Tuhan pada awalnya menciptakan manusia bukanlah untuk kematian melainkan untuk kekekalan. Adam (laki-laki pertama) diciptakan sesuai dengan citra-Nya. Ia ditempatkan di Taman Eden, yang merupakan suatu bagian dari kediaman Tuhan.
Supaya tidak kesepian, kemudian dari tulang rusuk laki-laki ini dibentuk-Nyalah seorang perempuan (Hawa) sebagai pasangan hidup. Meski berada dalam keadaan telanjang bulat, mereka tidak merasa malu karena Tuhan tidak memberi pengetahuan tentang hal ini. Tuhan mengizinkan mereka untuk memakan buah dari segala pohon yang ada di taman kecuali “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” dan “pohon kehidupan”.
Apabila larangan ini dilanggar, mereka niscaya akan mengalami kematian pada hari itu pula. Tuhan menghendaki mereka selamanya tetap berada dalam keadaan seperti layaknya anak kecil yang lugu (childlike innocence) dalam arti hanya memiliki pengetahuan sebatas yang layaknya diketahui oleh anak-anak kecil. Hingga kini istilah “anak-anak Allah” masih lazim dipakai untuk merujuk pada orang-orang yang rajin ke gereja dan menaati perintah Tuhan.
Entah dengan tujuan apa, Tuhan juga meletakkan ular (serpent)[1] di dalam taman itu. Dituturkan bahwa ular adalah binatang yang paling cerdik di antara segala binatang di darat yang dijadikan oleh Tuhan. Namun, tidak dijelaskan bagaimana mungkin pikiran jahat timbul dalam binatang ini untuk membujuk Hawa agar memakan buah pohon pengetahuan. Tertarik oleh bujukan ini, Hawa mengambil buah itu dan membaginya kepada suaminya. Sehabis memakannya, terbukalah mata mereka berdua. Karena tahu dan malu berada dalam keadaan bertelanjang bulat, mereka lalu menyematkan daun pohon ara dan membuat cawat. Ketika mendengar bunyi langkah Tuhan yang sedang berjalan-jalan[2] di taman pada hari yang sejuk, bersembunyilah mereka dari kehadiran Tuhan di antara pepohonan dalam taman. Mereka tidak dapat bersembunyi selamanya. Ketika dipanggil-panggil oleh Tuhan, mereka terpaksa harus menyahut dan menjelaskan semua yang terjadi.
Mengetahui bahwa perintah-Nya telah dilanggar, murkahlah Tuhan. Ular yang telah bersalah membujuk Hawa dikutuk menjadi binatang yang menjalar dengan perut. Itu saja tidak cukup, Tuhan bahkan juga menciptakan permusuhan abadi antara ular dengan seluruh keturunan manusia.
Dengan begitu, seandainya ada manusia yang tewas karena tergigit ular berbisa atau sebaliknya ada ular yang mati terbunuh oleh manusia, keduanya bukanlah atas kehendak yang bersangkutan sendiri; sebagai suatu pelampiasan kebencian ataupun merupakan risiko dari pembelaan diri atas bahaya yang mengancam jiwa masing-masing, melainkan semata-mata karena akibat kutukan Tuhan. Adam dan Hawa pun tidak luput dari kutukan Tuhan; mereka diganjar dengan kehidupan yang penuh dengan pelbagai kesengsaraan, kesusahan, kesakitan, dan penderitaan.
Dalam pada itu, Tuhan merasa bahwa kedaulatan-Nya kini terancam oleh sifat keingintahuan manusia. Manusia hendak menjadi Tuhan, yang tahu atas segala hal. Manusia telah melampaui apa yang sebelumnya secara eksklusif hanya boleh dimiliki oleh Tuhan.[3] Tuhan tidak rela membagi ke lebihan ini kepada yang lain. Sebab, apabila ada pihak lain entah manusia, malaikat, iblis atau binatang– berhasil memilikinya, keberadaan Tuhan dalam Alam Semesta yang diciptakan-Nya niscaya menjadi tidak berbena (insignificance). Ini diakui sendiri oleh Tuhan sebagaimana yang tersurat dalam firman-Nya: “Sesungguhnya manusia telah menjadi seperti salah satu dari Kita, mengetahui kebaikan dan kejahatan; maka sekarang janganlah sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya.”
Takut kalau manusia berbuat lebih jauh, dengan mengambil buah pohon kehidupan yang dapat membuat kekal (hidup selama-lamanya), Tuhan segera mengusir mereka dari Taman Eden. Merasa khawatir bahwa tindakan pencegahan ini masih belum cukup aman, Tuhan kemudian memagari pohon kehidupan itu dengan pedang yang menyala-nyala dan menyambar-nyambar.
Demikianlah ringkasan kisah yang menceritakan kejatuhan manusia ke dalam dosa [melanggar perintah Tuhan], yang membuat seluruh umat manusia keturunan Adam mewarisi kematian. “Sebagaimana dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu orang, dan kematian melalui dosa, begitulah kematian tersebar luas ke se luruh umat manusia.”
Berbeda dengan para pendiri agama lain yang dogmatis serta ilmuwan yang melit, Buddha Gotama tidak begitu tertarik untuk melibatkan diri dalam spekulasi atas asal-usul Alam Semesta ini: apakah berbatas (finite) atau nirbatas (infinite), adakah titik awal (alpha) serta titik akhir (omega), apakah pada mulanya kehidupan itu bersifat kekal atau tidak, bagaimana kematian serta penderitaan muncul pertama kalinya. Spekulasi atas Alam Semesta (lokacintâ) semacam itu merupakan salah satu dari empat hal yang tidak selayaknya dipikirkan (acinteyyâni) karena dapat membuat seseorang menjadi sinting. Melacak asal-usul Alam Semesta samalah sia-sianya dengan memperdebatkan manakah yang ada lebih dahulu antara ‘ayam’ dan ‘telur ayam’ suatu lingkaran setan yang tidak mungkin dapat ditemukan ujung-pangkalnya. Dalam Saæyutta Nikâya[4], Beliau bersabda, “Awal serta akhir daur Saæsara [kelahiran dan kematian] ini tidaklah dapat ditentukan [diprakirakan, diperhitungkan, dibayangkan, dipahami]. Permulaan pengembaraan makhluk-makhluk yang terselubungi oleh ketaktahuan (avijjâ) dan terbelenggu oleh keinginan (taóhâ) tidaklah tertampak.”
Seandainya semua batang rumput, kayu, pohon, ranting dan daun di Jambudîpa dikumpulkan dan dihitung, jumlahnya tidaklah cukup untuk dipakai dalam menelusuri ibu, nenek, buyut hingga sampai pada nenek-moyang yang pertama. Selama pengembaraan yang panjang ini, air mata yang mengalir serta menggenang dari makhluk hidup yang menangis serta meratap karena mengalami sesuatu yang tak memuaskan dan karena terpisahkan dari sesuatu yang dicintai, jauh melebihi banyaknya air di empat samudra.
Dalam buku berjudul “Why I Am Not a Christian?”, Bertrand Russell[5] menuliskan: “Sama sekali tidak ada alasan untuk mengira bahwa dunia ini berawal. Gagasan bahwa segala sesuatu harus mempunyai per mulaan timbul karena miskinnya daya-khayal (imagination).”
[Note: Untuk mengetahui manusia pertama versi masing-masing agama, dapat dilihat di sini dan di sini]
Upaya Mengatasi Kematian
Kematian adalah suatu tragedi kehidupan yang paling mengenaskan bagi umat manusia. Diperkirakan, dalam tiap-tiap hari ada sekitar dua ratus ribu orang yang mati di dunia ini. Kematian tidak hanya mencengkeram mereka yang lanjut usia. Bahkan bayi yang belum lahir pun, yang masih dalam kandungan ibunya, tidak luput dari sorotannya. Kematian tidak pernah pandang bulu; tua muda, besar kecil, kaya miskin, kuasa lemah, mulia hina, pandai bodoh, terpandang ternista, dlsb.
Karena sedemikian kuat hasrat hidup, kecintaan serta kemelekatan pada kehidupan dan karena naluri perjuangan untuk mempertahankan kehidupan (struggle for survival) –sebagaimana makhluk-makhluk hidup lainnya–; manusia tidak pernah menyerah pasrah pada kenyataan hidup yang pahit ini. Segala cara dipakai; segala terobosan dicoba; segala upaya dilakukan untuk mengatasi kematian. Keadaan Tanpa Kematian (Deathless) sesungguhnya adalah Kekekalan (Immortality) itu sendiri, yang menjadi tujuan akhir bagi semua makhluk.
Kekekalan tidak hanya merupakan idaman umat manusia. Dikisahkan dalam mitologi Hindu bahwa para dewa (gods) berperang mat-imatian dengan para iblis (demons) untuk memperebutkan belanga berisi air kekekalan (am ta, elixir). Konon pada awalnya kedua jenis makhluk itu saling bekerja-sama. Gunung Mandara dicukil untuk dijadikan sebagai tongkat pengaduk. Seekor naga bernama Vasuki mempersembahkan diri nya untuk dipakai sebagai tali pengikat. Setelah dililitkan pada tongkat pengaduk, salah satu ujung dari tali itu dipegang oleh para dewa sedangkan ujung lainnya dipegang oleh para iblis.
Suatu landasan yang mapan dibutuhkan untuk menopang tongkat pengaduk. Vi Su [Visnu] kemudian menjelmakan diri sebagai kura-kura (kûrma), dan menjadikan punggungnya sebagai landasan penopang. Setelah semuanya beres, mulailah para dewa dan iblis bergotong-royong mengaduk samudra susu. Akhirnya, Matahari serta Bulan muncul dari tengah samudra, yang diiringi oleh Dhanvantari –tabib para dewa– yang menjinjing sebuah belanga berisi air kekekalan. Timbullah persengketaan di antara para dewa dan iblis atas hak pemilikan air kekekalan itu. Ini kemudian menjadi sumber peperangan. Bukannya kekekalan yang mereka dapatkan, melainkan permusuhan yang berkepanjangan.
Sebuah mitos Hindu lainnya menceritakan tentang para naga (serpents) yang memperbudak induk burung Garuòa, dan hanya mau membebaskannya apabila diberi tebusan berupa air kekekalan. Dengan sejumlah kesukaran, Garuda memperlihatkan prestasinya. Dalam perjalanan pulang dari Surga, ia berjumpa dengan Vi Šu [Visnu] dan bersedia untuk mengabdikan diri sebagai kendaraannya.
Seluruh bagian dari alam semesta ini dipandang oleh para penganut Agama Hindu sebagai suatu pengejawantahan dari kedewaan yang hakiki. Waktu (time) dipahami sebagai suatu pengulangan yang nirbatas dari lingkaran panjang yang sama di mana para dewa, iblis, dan pahlawan mengulangi tindakan-tindakan legendaris mereka. Dalam mitologi Hindu, Soma mewakili dewa Bulan (Moon). Ia digambarkan sedang melayang di langit dengan kendaraan yang dihela oleh kuda-kuda putih.
Soma juga merupakan nama dari air kekekalan yang hanya dapat diteguk oleh para dewa. Bulan dianggap sebagai gudang penyimpanan air kekekalan. Karena air kekekalan ini merupakan minuman yang memabukkan, dewa Soma juga sering dikaitkan dengan kemabukan. Ketika para dewa meminum Soma, bulan akan meredup karena para dewa sedang menghabiskan sifat kekekalan mereka.
Dalam kepercayaan Yunani juga dikenal adanya ‘ambrosia’, suatu makanan surgawi. Walaupun tidak selamanya dianggap sebagai penyebab utama bagi kekekalan para dewa, makanan ini dipercayai dapat membuat mereka yang tak kekal (mortal) menjadi kekal.
Kepercayaan tentang kekekalan jasmaniah, di kalangan orang-orang Cina, dapat ditelusuri hingga abad kedelapan Sebelum Masehi. Beberapa abad kemudian, mencuatlah gagasan atas kemungkinan tercapainya kekekalan jasmaniah melalui ramuan obat mujarab. Upaya peracikan obat yang diharapkan dapat membuat seseorang terbebas dari segala penyakit serta memperpanjang kehidupan dan bahkan memperoleh kekekalan hidup ini dikenal dengan sebutan alkimia (alchemy).[6]
Alkimia sebenarnya terbagi menjadi dua, yakni alkimia bagian dalam (nei-tan)[7], dan alkimia bagian luar (wai-tan). Ini bercikal-bakal pada beberapa aspek ajaran Taoisme yang bersifat mistik, yang berkembang pesat sejak abad keenam Sebelum Masehi. Dalam Taoisme dipercayai adanya Hsien atau orang-orang yang memperoleh kekekalan hidup dan kekuatan kedewaan melalui upacara ritual serta penerapan alkimia. Ada tiga tingkatan kekekalan, yakni: Tianshen (surgawi), yang dapat terbang; Dishen (duniawi), yang hidup di gunung-gunung atau hutan-hutan; Shijieshen (nirbadan), yang secara sederhana menanggalkan tubuhnya setelah kematian.
Delapan orang kekal yang utama dan terkenal diperlakukan sebagaimana layaknya para dewa. Rujukan tentang penyempurnaan diri (self-perfection) serta kekekalan para Hsien dicerap secara harfiah oleh sementara penganut Taoisme belakangan, yang membawa mereka pada percobaan alkimia. Sebagaimana orang-orang Mesir, orang-orang Cina memperoleh pengetahuan alkimia praktis dari teori-teori yang salah.
Ko Hung, ahli alkimia yang sangat terkenal dengan karya tulisnya berjudul Pao-p’u-tzu, bahkan mengakui bahwa ia sendiri tidak pernah berhasil meracik obat kekekalan hidup. Ramuan obat kekekalan hidup ini pada dasarnya terdiri atas emas (gold), air raksa (mercury), belerang (sulfur), warangan (arsenic) dan unsur-unsur lain yang sesungguhnya merupakan racun (poison). Sudah tentu, bukannya kekekalan hidup yang diperoleh oleh orang-orang yang memakannya, melainkan justru kematian yang menyakitkan. Dalam catatan sejarah Cina, ada tidak sedikit raja serta kaisar Cina yang tergila-gila pada upaya pencaharian obat kekekalan hidup.
Shih Huang Ti (259-210/209 SM) adalah kaisar pertama dalam Dinasti Ch’in, yang didirikannya sendiri setelah berhasil mempersatukan seluruh daratan Cina. Ia secara terbuka memerangi kepercayaan Khong Hu Cu (Confucianism) yang dinilai mengandung falsafah hidup bermasyarakat yang bersifat feodal. Pada akhirnya ia berhasil menghancurkan sistem feodalisme secara menyeluruh, namun tidak mampu menghapus secara total kepercayaan Khong Hu Cu yang dianut oleh para bangsawan. Shih Huang Ti adalah seorang kaisar yang amat takut pada kematian.
Dengan pelbagai cara ia berusaha menghindari kematian yang senantiasa menghantui kehidupannya. Ia sering berkhayal bahwa dinasti kekaisaran yang didirikannya itu paling tidak dapat bertahan hingga 10,000 generasi.[8] Walaupun memiliki wawasan yang luas serta kecakapan yang luar biasa dalam menjalankan pemerintahan[9], ia gampang percaya pada hal-hal yang berbau mistik serta ketakhayulan. Ia dengan penuh hormat mendengarkan anjuran semua orang yang mewakili ajaran Lao Tse (Taoisme) meskipun sesungguhnya mereka adalah dukun-dukun klenik (charlatans). Kecenderungannya pada ajaran Taoisme dilandasi oleh hasrat besar untuk memperoleh obat kekekalan hidup.
Konon dikatakan bahwa dalam salah satu perjalanannya, ia berjumpa dengan seorang penjual obat di pantai Laut Kuning (Yellow Sea). Sepanjang tiga hari tiga malam, ia bercakap-cakap dengannya tentang hal-hal yang berbau mistik, khususnya tentang obat kekekalan hidup. Tukang obat itu kemudian menghilang secara misterius –setelah meninggalkan sepucuksurat berisi petunjuk agar kaisar mencarinya di Pulau Kekekalan yang mengarah pada jurusan timur Laut Kuning [mungkin Jepang yang dimaksud]. Shih Huang Ti segera memerintahkan Jofuku (Xu Fu) untuk berangkat ke sana dengan ratusan kapal, ribuan awak.
Selama bertahun-tahun, rombongan ini tidak juga kunjung kembali. Meski demikian, ia belum kehilangan kepercayaan terhadap para dukun klenik. Bahkan untuk urusan-urusan kenegaraan, ia tidak segan-segan untuk berkonsultasi kepada mereka. Ini menjadi sumber kritikan serta kecaman dari para penganut Khong Hu Cu. Konon dikatakan bahwa Shih Huang Ti dengan sewenang-wenang menghukum mati 460 orang di antara mereka.
Perselisihan yang berlarut-larut antara kaisar dengan para pemeluk kepercayaan Khong Hu Cu, yang secara gigih berusaha menghidupkan kembali tatanan feodal, membawa pada tindakan pembredelan, penyitaan serta pembakaran karya-karya tulis yang dianggap mengancam kelangsungan kekuasaannya. Tahun-tahun terakhir masa kehidupan Shih Huang Ti diwarnai dengan semakin maraknya usaha pembunuhan (assassination) terhadap dirinya. Paling tidak ada tiga kali yang hampir merenggut nyawanya. Ancaman semacam ini membuatnya semakin bergegas dalam mencari obat kekekalan hidup.
Setelah memerintah selama sebelas tahun, ia akhirnya wafat pada tahun 210/209 SM di Propinsi Shandong, yang terletak jauh dari ibukota Xianyang, dalam suatu perjalanan yang panjang untuk memperoleh obat kekekalan hidup. Ada yang mengira bahwa penyebab kematiannya ialah tekanan jiwa (depression). Namun, sesungguhnya, sedikit banyak ini merupakan komplikasi dari obat kekekalan hidup yang dimakannya, yang dipercayai dapat mengekalkan kehidupannya tetapi dalam kenyataan justru merupakan racun yang menggerogoti kesehatannya.
Seperti halnya Shih Huang Ti, kaisar dalam dinasti Han yang bergelar Wu Ti (157-87 SM) juga terpikat dengan obat kekekalan hidup. Perbedaannya, meskipun menjalankan kebijakan pemerintahan yang bersifat agresif, kaisar yang belakangan ini tidak memusuhi kepercayaan Khong Hu Cu. Bahkan, kepercayaan ini dijadikan sebagai falsafah negara–suatu tindakan yang membawa pada pengaruh yang kuat serta langgeng sepanjang sejarah Cina. Ia tidak ingin keberhasilan yang telah diraihnya, perluasan daerah kekuasaannya sampai ke negara-negara tetangga, akan musnah begitu saja tatkala kematian menjemput dirinya.
Hasratnya untuk memperoleh kekekalan hidup tidaklah pernah reda. Ia menghabiskan anggaran negara yang sangat besar untuk tujuan ini, termasuk mengirimkan beberapa utusan untuk pergi ke Pulai Kekekalan serta membangun sarana-sarana pemujaan ritual yang mewah. Ia rela untuk memberikan hadiah yang besar bagi siapa saja yang dapat memberikan informasi yang menuju pada perolehan obat kekekalan hidup. Empat tahun terakhir masa kehidupannya dipenuhi dengan pengasingan diri serta penyesalan.
Kaisar yang penuh kecurigaan terhadap orang-orang sekeliling ini menderita penyakit jiwa [kehilangan kepribadian yang akut] tatkala ahli warisnya dituduh telah mempergunakan ilmu hitam (black-magic) terhadap dirinya. Dengan perasaan putus asa, putra kaisar menggalang unjukrasa yang menelan korban ribuan jiwa. Sementara itu, ahli waris kaisar melakukan bunuh-diri. Menjelang kematiannya, kaisar sempat menobatkan putranya yang berumur delapan tahun sebagai pengganti ahli waris tahta kerajaan. Kaisar Wu Ti adalah salah seorang dari sejumlah besar orang Cina yang sangat berhasrat untuk memperoleh kekekalan hidup, namun justru harus mengakhiri kehidupannya secara menyedihkan. Ini tidak lain karena ia telah melangkah pada jalan yang sesat.
Upaya mencari obat kekekalan hidup tetap berlanjut hingga berabad-abad. Chia-Ching adalah seorang kaisar dalam Dinasti Ming [didirikan pada tahun 1368 Masehi] yang dengan memboroskan anggaran negara dalam jumlah besar berusaha melindungi serta mendukung para ahli alkimia penganut kepercayaan Taoisme –dengan harapan untuk memperoleh obat kekekalan hidup. Joseph Needham (1900-1995) adalah pakar biokimia serta sinologi Inggris yang berhasil membuat daftar kaisar-kaisar Cina yang kemungkinan mati karena keracunan obat kekekalan hidup. Hasrat orang-orang Cina untuk memperoleh kekekalan hidup dengan cara meracik ramuan obat-obatan mulai berkurang seiring dengan masuknya Agama Buddha ke negara Cina. Agama Buddha mengajarkan paham Kekekalan atau Keadaan Tanpa Kematian yang unik, yang tiada duanya di dunia ini.
Walaupun tidak didukung oleh bukti-bukti yang telak, alkimia memang dapat dianggap sebagai cikal-bakal ilmu pengetahuan modern di bidang kimia medis atau farmasi (pharmacy) yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Hingga dewasa ini telah ada lebih dari 10,000 jenis obat-obatan yang diproduksi serta dipergunakan secara luas. Namun, semua ini hanya mampu menyembuhkan seseorang dari suatu penyakit tertentu pada waktu yang terbatas. Tak ada satu obat pun yang dapat membuat seseorang terbebas dari kematian. Pengobatan medis hanya mampu menunda kematian pada batas-batas waktu tertentu: satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, atau paling lama seratus tahun. Pada akhirnya, cepat atau lambat, kematian tidaklah dapat dihindari lagi. Ilmu pengetahuan modern –secanggih apa pun– tidaklah mungkin dapat dijadikan sandaran bagi umat manusia dalam upaya mengatasi kematian serta memperoleh Kekekalan. Perlu dicari suatu jalan lain yang benar-benar dapat mewujudkan harapan ini. Jalan ini kiranya hanya dapat dijumpai dalam Agama Buddha.
Sang Penakluk Kematian
Kematian adalah suatu kenyataan hidup yang secara drastic mengubah alur kehidupan Pangeran Siddhattha. Selama dua puluh sembilan tahun, Beliau dibesarkan oleh Raja Suddhodana dengan segala kenikmatan inderawi. Tiga istana yang megah dibangun sebagai tempat peristirahatan yang nyaman sepanjang tiga musim. Pola hidup yang mengutamakan ke bahagiaan duniawi semacam ini membuat Beliau kurang begitu berkesempatan untuk mengetahui serta merenungkan kenyataan hidup yang sesungguhnya.
Rangkaian peristiwa yang dialami oleh Beliau dalam suatu perjalanan ke luar istana dengan didampingi oleh seorang kusir bernama Channa tersebut dapat dikisahkan sebagai berikut:
Tatkala melihat orang berusia lanjut yang sedang berdiri di pinggir jalan, Pangeran Siddhattha merasa heran dan bertanya: “Apakahitu? Ia tampak seperti manusia, tetapi rambutnya beruban, giginya ompong, dagunya menurun, kulitnya kering serta berkeriput, matanya redup, punggungnya bungkuk, liku-liku tulang rusuknya kentara,badannya kurus, dan ia takmampu menegakkan tubuhnya sehingga harus bergantung pada tongkat penyanggah.”
Dengan jujur Channa menjelaskan: “Pangeran, itu adalah orang tua. Orang yang telah berusia lanjut; enam puluh, tujuh puluh, delapan puluh tahun atau lebih. Keuzuran tubuhnya tertampak jelas. Ini bukanlah suatu hal yang perlu diresahi. Ini sangat wajar. Kita semua niscaya akan menjadi tua.”
Pangeran bertanya lebih lanjut: “Kamu bermaksud untuk mengatakan bahwa kita semua pasti akan menjadi seperti itu? Pasti menjadi tua? Yasodharâ, Saya, Kamu dan seluruh kerabat-kerabat belia Saya suatu saat pasti akan menjadi seperti itu?” “Ya, Pangeran,” jawab Channa, “itu adalah suatu hal yang wajar bagi kita semua.”
Peristiwa kedua yang dilihat oleh Pangeran Siddhattha ialah orang sakit. “Apa, apa yang saya lihat ini?” tanya Beliau, “orang ini terlalu lemah untuk dapat berdiri. Ia muntah-muntah serta mengejang kesakitan. Matanya yang merah melotot keluar mencerminkan ketakutan sedangkan mulutnya mengeluarkan busa. Ia bahkan takbisa duduk dengan tenang. Dadanya dipukuli, dan sambil berguling-guling ia mengerang-erang de ngan menyedihkan. O apa yang dimaksud dengan semua ini?”
“Itu adalah orang yang sedang sakit parah,” jawab Channa. “Tubuhnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Suhu badannya meninggi,dan karena inilah ia mengerang-erang kesakitan.”
“Apakah ini merupakan suatu hal yang jarang terjadi? Apakah ini wajar bagi semua makhluk? Apakah kita semua dapat ditimpa penyakit?” Inilah rentetan pertanyaan penuh kegelisahan yang diuncarkan oleh Pangeran Siddhattha.
“Ya Pangeran, kita semua dapat ditimpa penyakit,” jawab Channa. “Namun,” lanjutnya, “dengan merawat kesehatan dan sebagainya, kita mungkin dapat terjauhkan dari penyakit. Karena itu, tidaklah perlu mengkhawatirinya.” Jawaban Channa ini tidak berhasil membendung arus pemikiran yang sedang berkecamuk dalam diri Pangeran Siddhattha.
Selanjutnya Pangeran Siddhattha menjumpai iring-iringan orang mati yang akan diperabukan. “Channa, Channa, apakah ini?” tanya Pangeran. “Mengapa orang-orang ini menangis menggerung-gerung sambil mencabik-cabik pakaian mereka? Mengapa air mata mereka bercucuran? Mengapa wajah mereka tergoresi kesedihan? Apa pula yang sedang mereka gotong itu? Yang tampak sangat berbeda dengan orang-orang di sekelilingnya? Yang membisu, yang wajahnya tak berekspresi, yang berdiam mematung?”
“Pangeran,” jawab Channa, “Yang berada dalam iring-iringan tersebut adalah jenazah. Orang-orang lainnya adalah sanak-keluarga yang ditinggal mati. Mereka berkabung serta meratapinya karena mereka tidak dapat berjumpa lagi dengan orang yang sudah mati. Ia telah pergi untuk selamanya.
“Apakah kematian itu?” tanya Pangeran lebih lanjut, “Mengapa dan bagaimana seseorang mengalami kematian? Apakah semua orang pada suatu saat pasti mati?”
“Kematian adalah akhir kehidupan,” jawab Channa. “Semua makhluk hidup, cepat atau lambat, pasti akan mengalami kematian. Tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”[10]
Ketiga kenyataan hidup tersebut menjadi bahan perenungan yang mendalam bagi Pangeran Siddhattha. Berikut ini adalah beberapa kutipan yang Beliau ceritakan sendiri kepada para bhikkhu: Walaupun hidup bergelimpangan dengan kekuasaan serta kemewahan, Saya sempat berpikir: “Tatkala orang awam yang tak terpelajar –yang tunduk pada ketuaan, kesakitan dan kematian– melihat orang lain yang tua, sakit dan mati; ia niscaya akan terkejut, jijik dan takut; karena ia lupa bahwa dirinya sendiri tidaklah terkecuali. Namun, Saya pun mengalami ketuaan, kesakitan dan kematian; tidak terbebas dari ketuaan, kesakitan dan kematian. Oleh sebab itu, sesungguhnya tidaklah layak bagi Saya untuk terkejut, jijik dan takut sewaktu melihat orang lain mengalami ketuaan, kesakitan dan kematian. Ketika menyadari hal ini, hilanglah kebanggaan terhadap kebeliaan, kesehatan dan kehidupan dalam diri Saya.”
Sewaktu masih belum meraih Pencerahan Agung; sewaktu masih menjadi Bodhisatta (calon Buddha), Saya masih mengalami [tunduk pada] kelahiran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin. Namun, Saya masih juga mencari sesuatu yang dipengaruhi oleh hal-hal ini. Kemudian Saya berpikir: “Mengapa Saya –yang masih mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin–, masih juga mencari sesuatu yang dipengaruhi oleh hal-hal ini? Andaikata, Saya yang masih mengalami hal-hal semacam ini, menyadari bahaya dari semua itu dan kemudian mencari Pembebasan Sejati (Nibbâna) yang tiada taranya; yang tidak mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kematian, kesedihan, dan yang terbebas dari segala kekotoran batin?”
“Dunia ini dipenuhi oleh penderitaan: lahir, tua, sakit, mati dan lahir kembali. Kendati demikian, masih juga belum diketahui adanya jalan keluar dari penderitaan. Kapankah jalan keluar dari penderitaan ini akan terungkapkan?”
Setelah berjumpa dengan seorang pertapa yang mengaku sedang mencari jalan keluar dari penderitaan, Pangeran Siddhattha akhirnya memutuskan diri untuk menanggalkan keduniawian. Pada mulanya pertapa Gotama berguru kepada Âïâra Kâlâma. Tak berapa lama, Beliau berhasil mencapai meditasi tingkat Âkiñcaññâyatana [berobjek Kehampaaan].
Takpuas dengan pencapaian ini, Beliau pun pergi berguru kepada Uddaka Râmaputta. Pertapa ini hanya mampu menghantarkan Beliau pada pencapaian meditasi tingkat Nevasaññânâsaññâyatana [berobjek Bukan Ingatan Bukan pula Tanpa Ingatan].
Karena semua petunjuk yang diperoleh dari guru-guru lain tidak mampu membawa pada pembebasan mutlak dari penderitaan, Beliau selanjutnya pergi dan bertinggal di Hutan Uruvelâ. Di sinilah, dengan ditemani oleh lima orang pertapa lainnya (pañcavaggiya), Beliau melakukan praktek penyiksaan diri (attakila-mathânuyoga) selama bertahun-tahun. Ini bukan saja tidak dapat membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, melainkan justru hampir merenggut jiwa Beliau. Akhirnya Beliau menempuh Jalan Tengah (Majjhimâ Paöipadâ) yang terbebas dari dua pinggiran berlebih-lebihan. Berikut ini adalah kutipan peristiwa saat-saat menjelang Pencerahan Agung:
Saya berpikir: “Apa yang ada ketika ketuaan dan kematian muncul? Apa yang menjadi kondisi atau sebab ketergantungan (paccaya)?” Dengan pengarahan batin yang benar, Beliau memahami secara arif bahwa: “Manakala ada kelahiran (jâti), ketuaan dan kematian muncul. Ketuaan dan kematian muncul karena adanya kelahiran sebagai sebab ketergantungan.”
Selanjutnya Beliau merenungkan Sebab Musabab yang Saling Bergantungan (Paöiccasamuppâda) dalam rangkaian teringkas berikut:
“Manakala ada perwujudan (bhava), kelahiran muncul. Kelahiran muncul karena adanya perwujudan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada kemelekatan (upâdâna), perwujudan muncul. Perwujudan muncul karena adanya kemelekatan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada keinginan (taóhâ), kemelekatan muncul. Kemelekatan muncul karena adanya keinginan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada perasaan (vedanâ), keinginan muncul. Keinginan muncul karena adanya perasaan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada sentuhan (phassa), perasaan muncul. Perasaan muncul karena adanya sentuhan sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada enam landasan indera (saïâyatana), sentuhan muncul. Sentuhan muncul karena adanya enam landasan indera sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada batin dan jasmani (nâma-rûpa), enam landasan indera muncul. Enam landasan indera muncul karena adanya batin dan jasmani sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada kesadaran [bertumimbal lahir] (viññâóa), batin dan jasmani muncul. Batin dan jasmani muncul karena adanya kesadaran [bertumimbal lahir] sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada perpaduan berkehendak (saõkhâra), kesadaran [bertumimbal lahir] muncul. Kesadaran [bertumimbal lahir] muncul karena adanya perpaduan berkehendak sebagai sebab ketergantungan.
Manakala ada ketaktahuan (avijjâ), perpaduan berkehendak muncul. Perpaduan berkehendak muncul karena adanya ketaktahuan sebagai sebab ketergantungan.”
“Jika tidak ada ketaktahuan, tak ada pula perpaduan berkehendak.
Jika tidak ada perpaduan berkehendak, tak ada pula kesadaran bertumimbal lahir.
Jika tidak ada kesadaran bertumimbal lahir, tak ada pula batin dan jasmani.
Jika tidak ada batin dan jasmani, tak ada pula enam landasan indera.
Jika tidak ada enam landasan indera, tak ada pula sentuhan.
Jika tidak ada sentuhan, tak ada pula perasaan.
Jika tidak ada perasaan, tak ada pula keinginan.
Jika tidak ada keinginan, tak ada pula kemelekatan.
Jika tidak ada kemelekatan, tak ada pula perwujudan.
Jika tidak ada perwujudan, tak ada pula kelahiran.
Jika tidak ada kelahiran, tak ada pula ketuaan dan kematian; tak ada pula kesedihan (soka), keluhkesah (parideva), penderitaan (dukkha), kekecewaan (domanassa), keputus-asaan (upâyâsa).”
“Timbullah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, ketahuan dan penerangan yang belum pernah Saya dengar sebelumnya… Saya berpikir: ‘Inilah jalan menuju Pencerahan yang telah Saya raih…’ Apakah jalan itu? Yakni Jalan Mulia Berfaktor Delapan:
1. Pandangan Benar (Sammâdiööhi),
2. Pikiran Benar (Sammâsaõkappa),
3. Ucapan Benar (Sammâvâcâ),
4. Tindakan Benar (Sammakammanta),
5. Penghidupan Benar (Sammââjiva),
6. Upaya Benar (Sammâvâyâma),
7. Penyadaran Benar (Sammâsati),
8. Pemusatan Benar (Sammâsamâdhi).”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, suci, cemerlang, tanpa kekotoran, bebas dari noda-noda halus, lunak [cocok untuk dipergunakan], mantap, takbergeming; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan dalam menelusuri kehidupan-kehidupan lampau (pubbenivâsânusatiñâóa). Saya mengingat banyak kehidupan lampau, yakni satu kelahiran, dua, tiga, … seratus, seribu, seratus ribu, banyak masa penyusutan dunia, pengembangan dunia, penyusutan dan pengembangan dunia: ‘Pada kehidupan itu Saya mempunyai nama, keturunan, penampilan, makanan, pengalaman suka duka, rentang usia; dan setelah meninggal dari sana, Saya terlahirkan kembali di tempat lain, dan di situ Saya mempunyai nama, … ; –demikianlah secara terinci dan khusus Saya menelusuri banyak kehidupan lampau Saya. Inilah pengetahuan pertama yang Saya raih pada waktu permulaan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan atas kematian dan kelahiran kembali makhluk hidup (cutûpapâtañâóa). Dengan mata kedewaan yang suci dan melampaui mata manusia biasa, Saya melihat makhluk-makhluk hidup yang sedang mati, lahir kembali, yang hina, yang luhur, yang cantik, yang buruk, yang sejahtera, yang sengsara. Saya memahami secara jelas bahwa kehidupan semua makhluk berlangsung sesuai dengan perbuatan (kamma) masing-masing: ‘Makhluk-makhluk yang jahat dalam tindakan, ucapan, pikiran, yang melecehkan orang-orang suci, yang berpandangan sesat, yang melakukan perbuatan berdasarkan pandangan sesat itu, setelah kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di alam kemerosotan, alam kesengsaraan, alam kejatuhan, atau alam neraka Sementara itu, makhluk-makhluk yang baik dalam tindakan, … , setelah kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di alam bahagia, alam surga.’ Inilah pengetahuan kedua yang Saya raih pada waktu pertengahan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuan atas lenyapnya kekotoran batin (âsavakkhayañâóa). Saya memahami berdasarkan kenyataan sesungguhnya bahwa: ‘Ini adalah penderitaan, ini adalah sebab penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan; ini adalah noda batin, ini adalah sebab noda batin, ini adalah lenyapnya noda batin, ini adalah jalan menuju lenyapnya noda batin.’ Dengan pemahaman demikian, batin Saya terbebaskan dari noda batin berupa nafsu inderawi, perwujudan, ketaktahuan. Tatkala batin terbebaskan, timbullah pengetahuan bahwa: ‘Saya telah terbebaskan. Saya memahami bahwa kelahiran telah terputuskan, kehidupan suci telah tertamatkan, tugas yang layak dikerjakan telah tertunaikan, tidak ada tugas lain lagi demi pencapaian ini. Inilah pengetahuan ketiga yang Saya raih pada waktu pengakhiran malam hari.
Ketaktahuan telah tersingkirkan, pengetahuan telah terbangkitkan; kegelapan telah tersingkirkan, pencerahan telah terbangkitkan; ini terjadi tatkala Saya berada dalam kewaspadaan, bersemangat, dan penuh pengendalian diri. Namun Saya tidak membiarkan perasaan bahagia yang timbul dalam diri Saya menguasai batin Saya.’”
“Meski Saya sendiri mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin, [setelah] menyadari bahaya dari semua itu dan kemudian mencari Nibbâna yang tiada taranya, yang tidak mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kematian, kesedihan, dan yang terbebas dari segala kekotoran batin; Saya [akhirnya berhasil] meraihnya. Timbullah pengetahuan serta pandangan terang (ñâóadassana) dalam diri Saya: ‘Tercapailah Pembebasan (Vimutti) bagi diri Saya. Inilah kelahiran Saya yang terakhir; tidak ada lagi kelahiran bagi Saya.’”
“Karena belum menemukan Pencipta rumah [tubuh] ini, Saya mengembara dalam daur Saæsara [kelahiran dan kematian] yang tak terhitung jumlahnya. Kelahiran yang berulang-ulang adalah suatu penderitaan. O Pencipta rumah, Engkau sekarang telah Saya temukan. Engkau tak akan dapat menciptakan rumah lagi. Seluruh kerangkamu [noda batin] telah Saya patahkan, dan atapmu [ketaktahuan] telah Saya bongkar. Batin Saya telah menembus Nibbâna, dan mencapai akhir dari semua keinginan.”
Sewaktu sendirian dalam penyepian, timbullah pikiran dalam diri Buddha Gotama: “Kebenaran (Dhamma) yang telah Saya raih ini bersifat mendalam, sukar ditembus serta dipahami, penuh kedamaian dan merupakan tujuan terluhur bagi semua [makhluk], tak terjangkau oleh pemikiran biasa (spekulasi), halus, hanya dapat dimengerti oleh orang bijak. Namun, masyarakat umumnya bergembira serta terpukau dalam kerinduan. Sukar bagi mereka untuk dapat melihat Sebab Musabab yang Saling Bergantungan dari semua ini. Amatlah sulit untuk dapat memahami kebenaran yang merupakan kepadaman dari segala perpaduan, penanggalan dari sifat-sifat pokok kehidupan, yang merupakan akhir dari keinginan; kejenuhan, pelenyapan dan pembebasan dari nafsu, Nibbâna.
Apabila Saya mengajarkan Kebenaran tetapi orang-orang lain tidak memahami sesuai dengannya; ini niscaya menimbulkan kesukaran serta kelelahan pada diri Saya semata. Duhai Para Bhikkhu, syair menakjubkan yang tidak pernah Saya dengar sebelumnya menjadi jelas bagi Saya se bagai berikut:
‘Kebenaran yang sulit Saya tembus ini tidaklah layak untuk dibabarkan. Sebab, ini bukanlah suatu kebenaran yang dapat dipahami oleh orang-orang yang dipenuhi oleh nafsu dan kebencian. Orang yang bernafsu besar, yang diliputi oleh kegelapan batin, niscaya tidak dapat menembus kebenaran yang menghantarkan makhluk hidup pada tujuan yang melawan arus dunia, yang halus, yang mendalam, yang pelik (abstruse).’”
Mengetahui keengganan Buddha Gotama dalam membabarkan Dhamma yang sulit dipahami, Brahmâ Sahampati segera pergi mengunjungi Beliau untuk mengundang Beliau membabarkan Kebenaran demi kebahagiaan banyak orang:
“Sejak dahulu kala hingga sekarang ini, di daerah Magadha terdapat ajaran yang tidak murni, yang digagasi oleh orang-orang yang masih terliputi oleh noda. Bukalah pintu gerbang Kekekalan. Berilah makhluk-makhluk hidup kesempatan untuk mendengarkan Kebenaran yang ditembus oleh orang yang terbebas dari segala noda. Ibarat orang yang berada di puncak bukit, yang dapat melihat orang-orang yang berada di sekeliling; demikian pula Yang Mulia, yang memiliki pengetahuan serta mata kebijaksanaan yang menyeluruh, hendaknya sudi menaiki istana kebijaksanaan yang terbentuk dari Kebenaran. Jelajahilah masyarakat yang diliputi oleh kesedihan, yang dicengkeram oleh kelahiran dan ketuaan. O Sang Penakluk yang penuh semangat, yang memimpin para makhluk hidup, yang terbebas dari kekotoran batin; mohon sudi kiranya pergi berkelana mengasihani orang-orang di dunia ini. Babarkanlah Kebenaran Dhamma, O Sang Bhagavâ, karena akan ada yang memahaminya.”
Setelah mempertimbangkan permohonan Brahmâ Sahampati dan karena perasaan Welas Asih terhadap makhluk-makhluk hidup, Sang Buddha kemudian menjelajahi dunia ini dengan kewaskitaan-Nya. Beliau menyadari bahwa ada makhluk yang diliputi oleh banyak debu kekotoran batin tetapi ada pula yang hanya sedikit; ada yang lemah kemampuannya tetapi ada pula yang kuat; ada yang memiliki kecenderungan jahat tetapi ada pula yang baik; ada yang sulit dibina tetapi ada pula yang mudah; ada yang tidak melihat noda serta bahaya dari dunia mendatang tetapi ada pula yang melihatnya –ibarat dalam rumpun teratai ada bunga yang muncul dalam air, berkembang dalam air, berada dan masih tenggelam dalam air, yang dihidupi oleh air; ada pula bunga yang berada di permukaan air, dan ada pula yang tegak menjulang di atas permukaan air sehingga tidak terbasahi oleh air. Karena alasan-alasan inilah, Saya menyanggupi permohonan Brahmâ Sahampati:
“Terbuka-lebarlah pintu gerbang [menuju] Kekekalan. Bagi mereka yang mau mendengar, yang memperlihatkan keyakinan.”
Ketika mengetahui bahwa dua pertapa yang pernah menjadi guru-Nya telah meninggal dunia dan berada di alam nirbentuk, Beliau berniat untuk membabarkan Dhamma kepada lima pertapa yang pernah bersama-sama melakukan praktek penyiksaan diri. Di tengah perjalanan menuju Bârâóasî, Sang Buddha berjumpa dengan pertapa telanjang Upaka Âjîvaka. Menjawab pertanyaan Upaka, Beliau menguncarkan syair berikut:
“Saya adalah penguasa segala Dhamma, penembus segala Dhamma, yang tidak melekat pada keinginan atas segala sesuatu, yang telah menanggalkan segala sesuatu, yang terbebas, yang telah sampai pada kepadaman keinginan. Karena menembus dengan kebijaksanaan sendiri, siapa pula yang patut Saya akui sebagai guru? Tidak ada guru bagi diri Saya. Tidak ada orang baik yang menyamai Saya. Tidak ada orang yang menyetarai Saya di seluruh dunia, termasuk dunia kedewaan. Sebab, Saya adalah Arahanta Sammâsambuddha –yang Mahasuci, yang telah meraih Pencerahan Agung secara mandiri–, guru yang paling unggul, yang telah memadamkan seluruh kekotoran batin. Saya akan berangkat menuju Kota Kâsî untuk memutar roda Dhamma, untuk menabuh genderang Kekekalan dalam dunia yang diliputi oleh kegelapan ini.”
BAB II KAJIAN
Definisi Kematian
Apa definisi ‘kematian’? Suatu pertanyaan sederhana yang kedengarannya sangat gampang untuk dijawab. Kalau seseorang tahu apa definisi ‘kehidupan’ , secara otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, definisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi kehidupan itu sendiri. Dalam kenyataan, definisi kematian jauh lebih pelik daripada yang diprakirakan oleh kebanyakan orang.
Selama berpuluh-puluh abad masyarakat umum terindoktrinasi oleh kepercayaan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang dihembuskan oleh Tuhan ke dalam pernafasan. Pernafasan dianggap memegang peranan yang sangat penting. Tanpa adanya pernafasan, tak ada pula kehidupan. Melalui pernafasanlah, makhluk hidup di dunia ini memperoleh oksigen yang sangat dibutuhkan oleh seluruh organ –bahkan sel– dalam tubuh. Kalau tidak mendapatkan oksigen yang dipompakan dari paru-paru, jantung akan berhenti berdetak yang berakibat pada terhentinya peredaran darah dalam tubuh. Apabila jantung dan paru-paru berhenti bekerja (cardio-pulmonary malfunction), otak yang berfungsi sebagai pusat pengaturan saraf (neurological function) niscaya akan mengalami kerusakan karena kekurangan oksigen. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kerusakan ini berakibat fatal bagi keberlangsungan organisme dalam tubuh makhluk hidup, yakni kematian. Dari pengertian inilah kemudian didefinisikan bahwa kematian adalah terhentinya pernafasan (cessation of breathing). Definisi kematian ini pernah diakui serta diterima oleh masyarakat umum, kalangan medis maupun kaum agamawan di Barat.
Namun, pada pertengahan abad ke-20, tatkala ilmu pengetahuan serta teknologi mulai berkembang, definisi kematian itu dipertanyakan keabsahannya. Fungsi pernafasan alamiah dapat digantikan oleh alat pernafasan mekanis (respirator). Pernafasan tidak lagi secara mutlak identik dengan kehidupan. Gagal atau rusaknya sistem pernafasan alamiah tidaklah selamanya berarti maut atau kematian. Karena itu, definisi kematian perlu dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan zaman.
Ini berlatar-belakang pada penjabaran yang diberikan oleh ahli saraf di Perancis pada tahun 1958 tentang keadaan perbatasan antara hidup dan mati yang disebut coma dépassé [secara harfiah berarti keadaan melebihi pingsan]. Pasien-pasien itu seluruhnya menderita kerusakan otak (brain lesions) yang pokok, struktural, dan tak tersembuhkan; berada dalam keadaan pingsan (comatose), dan takmampu bernafas secara spontan. Mereka tidak hanya kehilangan kemampuan dalam menanggapi dunia luar, tetapi juga tidak lagi dapat mengendalikan lingkungan dalam tubuh mereka sendiri. Mereka tidak dapat mengatur suhu tubuh, mengendalikan tekanan darah, dan mengatur kecepatan detak jantung secara wajar. Mereka bahkan tidak dapat menahan cairan dalam tubuh, dan sebaliknya melimpahkan air kencing dalam jumlah yang sangat banyak. Organisme mereka secara keseluruhan boleh dikatakan telah berhenti berfungsi.
Selanjutnya, pada tahun 1968, panitia khusus Sekolah Medis Harvard menerbitkan sebuah laporan berjudul “Sebuah Definisi [Keadaan] Pingsan yang Takdapat Dibalikkan Kembali”. Di situ didaftarkan criteria bagi pengenalan gejala kematian otak. Laporan ini secara jelas mengidentifikasi kematian otak (brain-death) sebagai kematian –meskipun tidak secara langsung menjabarkan apa itu yang dimaksud dengan kematian.
Apabila seorang pasien telah berada dalam keadaan seperti itu, pencabutan alat pembantu pernafasan direstui karena ia secara medis telah dianggap mati. Kegagalan kerja jantung dan paru-paru sangatlah mudah diketahui, namun tidaklah gampang untuk dapat memastikan kematian otak.
Harus dilakukan pengamatan yang cermat atas rangkaian tanda-tanda kehidupan. Apakah seorang pasien sama sekali tidak menanggapi rangsangan (stimulation) apa pun? Dapatkah ia bernafas tanpa alat pembantu? Adakah pergerakan mata, penelanan atau batuk? Apakah alat pemantau gelombang otak (EEG: Electro-EncephaloGram) menunjukkan adanya bukti kegiatan elektrik yang datang dari otak? Adakah arus peredaran darah melalui otak? Jawaban negatif dari rentetan pertanyaan ini menunjukkan kematian otak. Namun, satu tanda saja tidaklah cukup untuk membenarkan anggapan demikian.
Walaupun kebanyakan pakar medis telah menyepakati definisi kematian otak, masih terdapat nuansa dalam rinciannya. Ada yang merujuk pada kerusakan otak secara keseluruhan (whole-brain), dan ada pula yang mengacu pada kerusakan otak di bagian yang berfungsi lebih tinggi (higher-brain). Namun, kriteria yang paling banyak dianut ialah kerusakan otak-pokok (brain-stem). Pada tahun 1973, dua ahli bedah saraf di Minneapolis mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai suatu keadaan yang takmungkin dapat dikembalikan lagi. Pada tahun 1976 dan 1979, konferensi agung perguruan dan fakultas di Inggris menerbitkan suatu catatan penting dalam topik ini. Yang pertama menjabarkan ciri-ciri klinis atas kematian otak-pokok, sedangkan yang kedua mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai kematian.
Suatu panduan yang mirip dengan ini juga diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun 1981. Opini serta praktek internasional pada dasarnya bergerak selaras dengan garis-garis ini –dalam menerima gagasan tentang kematian otak-pokok. Denmark adalah negara terakhir di Eropah yang mengabsahkan definisi kematian otak-pokok (1990).
Otak-pokok adalah suatu bagian yang berbentuk seperti ‘batang’ atau ‘tonggak’, yang berada di bagian dasar/bawah otak. Selain merupakan pusat jaringan saraf yang mengatur pernafasan, detak jantung dan tekanan darah, ini juga memegang peranan penting dalam mengelola kesiagaan [dalam membangkitkan kemampuan bagi kesadaran, misalnya].
Kerusakan pada bagian-bagian yang penting, walaupun kecil, dapat membuat seseorang berada dalam keadaan pingsan sepanjang waktu (permanent coma). Otak-pokok ini mempunyai peranan yang sangat penting atas bekerjanya otak besar dan otak kecil. Hampir semua pencerapan inderawi berjalan melintasi otak-pokok ini. Demikian pula perintah pergerakan serta percakapan, juga dikirimkan melaluinya. Tak berfungsinya otak-pokok berarti tidak adanya kegiatan-kegiatan bermakna pada bagian otak besar; tak ada ingatan, perasaan dan pemikiran; tak ada interaksi sosial terhadap keadaan lingkungan.
Selama beberapa dasawarsa belakangan ini, memang tidak ada gugatan yang bernilai atas definisi kematian yang didasarkan pada kerusakan atau kematian pada bagian otak. Namun, ini bukanlah berarti bahwa inilah definisi kematian ‘yang sesungguhnya’ dan akan dipakai untuk selamanya. Ilmu pengetahuan serta teknologi medis di masa depan mungkin mampu menggantikan fungsi kerja otak –apakah dengan mempergunakan peralatan mekanis/elektrik, melalui pembiakan jaringan otak (brain tissue) ataupun melalui pengarasan (clonning). Dengan begitu, kerusakan pada bagian otak tidaklah berarti maut atau kematian. Pada waktu itulah, suatu definisi yang baru atas kematian perlu dirumuskan lagi.
Apa definisi kematian dalam pandangan Agama Buddha? Apakah mempercayai definisi klasik yang merujuk pada pernafasan –yang telah luluh-lantak diterpa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi– ataukah mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak –yang masih meragukan ketelakannya dan menyimpan ketakpastian?
Dalam Kitab Milinda Pañhâ, Nâgasena Thera secara tegas menolak adanya roh (soul) dalam pernafasan. Penolakan ini diungkapkan oleh beliau kepada seorang menteri utusan Raja Milinda yang bernama Anantakâya. “Siapa sih gerangan Nâgasena itu,” tanya Anantakâya untuk memancing perdebatan.
Nâgasena Thera tidak menjawab pertanyaan ini secara langsung, tetapi justru balik bertanya: “Dalam pengertian Anda, siapakah Nâgasena itu?”
Mulailah Anantakâya menyajikan pandangan sesatnya, “Roh, pernafasan masuk dan keluar, itulah yang saya maksud sebagai Nâgasena.”
Nâgasena bertanya lebih lanjut: “Bagaimana seandainya nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali; apakah orang itu akan mati atau masih hidup?”
Anantakâya menjawab, “Jika nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali, orang itu niscaya akan mati.”
Nâgasena Thera menyanggah pendapat ini dengan membuat suatu perumpamaan yang gamblang: “Para peniup sangkalala atau terompet –yang sewaktu meniup sangkalala atau terompet, nafas yang terhembuskan tidak masuk kembali ke dalam tubuh–; mengapa mereka tidak mati?”
Anantakâya berdiam diri karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Nâgasena Thera kemudian mewejangkan:
“Tidak ada roh dalam pernafasan. Nafas keluar dan nafas masuk semata-mata hanyalah salah satu bagian dari kegiatan jasmaniah (kâyasaõkhâra). Pernafasan adalah unsur udara (vâyodhâtu) yang menghidupi tubuh jasmaniah; bukan kehidupan itu sendiri. Kehidupan itu terdiri atas lima kelompok, yakni: materi/bentuk, perasaan, ingatan, corak-corak batiniah, dan kesadaran. Pernafasan hanyalah salah satu bagian dari materi/bentuk (rûpa).”
Agama Buddha secara tegas menolak definisi kematian yang merujuk pada pernafasan. Apakah ini berarti Agama Buddha mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak? Jawabannya juga tidak. Definisi kematian dalam Agama Buddha tidak hanya sekadar ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah –entah paru-paru, jantung ataupun otak. Ketakberfungsian ketiga organ tubuh itu hanya merupakan ‘gejala’, ‘akibat’ atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian itu sendiri. Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi sebagaimana layaknya –secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan medis–, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam. Kepadaman kesadaran ajal merupakan ‘the point of no return’ bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini.
Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup (jîvitindriya). Inilah definisi kematian menurut pandangan Agama Buddha.
Ada tiga jenis kematian dalam Agama Buddha, yakni:
- Khaóikamaraóa: Kematian atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan jasmaniah pada tiap-tiap saat akhir (bhaõga),
- Sammuti-maraóa: Kematian makhluk hidup berdasarkan persepakatan umum yang dipakai oleh masyarakat dunia,
- Samuccheda-maraóa: Kematian mutlak yang merupakan keterputusan daur penderitaan para Arahanta.
- karena habisnya usia (âyukkhaya),
- karena habisnya akibat perbuatan penyebab kelahiran serta perbuatan pendukung (kammakkhaya) [2],
- karena habisnya usia serta akibat perbuatan (ubhayakkhaya),
- karena terputus oleh kecelakaan, bencana atau malapetaka (upacchedaka). [3]
Alur Kematian
Kematian sesungguhnya bukanlah satu kejadian (event), melainkan suatu alur[4] atau proses. Dalam Kitab Abhidhamma, alur kematian yang dalam Bahasa Pâli disebut ‘maraóâsannavithî’ ini dikupas secara terinci. Istilah ini secara harfiah berarti alur kesadaran yang muncul pada saat menjelang mati. Alur kematian yang jumlahnya puluhan atau bahkan ratusan ini pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni Maraóâsannavithî biasa dan Paccâsannamaraóavithî.
Maraóasannavithî biasa terjadi pada orang-orang yang akan mati dalam waktu satu dua menit, satu dua jam atau lebih lama lagi. Paccâsannamaraóavithî terjadi pada orang-orang yang akan mati dalam jarak yang sangat dekat [menjelang ajal]. Dalam alur kematian ini, kesadaran yang lazimnya muncul dengan tugas memelihara kehidupan (bhavaõgacittuppâda) kini beralih tugas menjadi kesadaran ajal (cuticitta). Begitu kesadaran ajal padam, keberadaan suatu makhluk dalam kehidupan sekarang dapat dikatakan telah berakhir.
Berdasarkan pintu inderanya, alur kematian terpilah menjadi dua, yakni:
- Alur kesadaran yang muncul pada saat menjelang ajal melalui pintu lima indera jasmaniah (pañcadvâramaraóâsannavithî),
- Alur kesadaran yang muncul pada saat menjelang ajal melalui pintu batiniah (manodvâramaraóâsannavithî).
- pencapaian pencerapan (jhânasamanantara),
- perenungan terhadap faktor pencerapan (paccavekkhaóasamanantara),
- kesadaran adibiasa yang berkenaan dengan kesaktian (abhiññâsamanantara),
- perenungan terhadap Jalan, Pahala, Pembebasan Sejati, dan noda batin yang telah dimusnahkan (jîvitasa-masîsî).
Ada tiga markah yang menjadi objek dalam alur kematian bagi makhluk hidup yang belum terbebas dari noda-noda batin, yang masih harus terlahirkan kembali, yakni:
1. Objek berupa perbuatan (kamma-ârammaóa),
2. Objek berupa markah perbuatan (kammanimitta-ârammaóa),
3. Objek berupa markah tujuan (gatinimitta-ârammaóa). [8]
Yang dimaksud dengan objek berupa perbuatan ialah pelbagai kebajikan seperti menyumbangkan dâna, menjalankan kesilaan, mengembangkan batin atau pelbagai kejahatan seperti membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, bermabuk-mabukan dan sebagainya; yang pernah diperbuat sepanjang hidup. Pada saat menjelang kematian, perbuatan-perbuatan ini mungkin berkesempatan untuk muncul sebagai objek dalam alur kematian melalui pintu batiniah. Apabila perbuatan yang direnungkan itu termasuk kebajikan, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang membahagiakan; sedangkan kalau termasuk kejahatan, akan terlahirkan kembali di alam yang menyengsarakan.
Yang dimaksud dengan objek berupa markah perbuatan ialah pelbagai peralatan atau sarana dalam berbuat sesuatu, yakni enam macam objek: bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan objek batiniah yang berkenaan dengan perbuatan yang pernah dilakukan sepanjang hidup. Ini bisa merupakan penglihatan berupa vihâra, rumah sakit atau sekolahan yang didirikan, gambar atau arca Buddha, bhikkhu-saõgha yang dipuja dan sebagainya; atau penglihatan berupa pisau penjagal atau pistol, barang-barang curian, wanita yang diperkosa, orang yang diperdayai, minuman keras, alat perjudian dan sebagainya. Apabila yang dilihat dan sebagainya itu termasuk sesuatu yang baik, yang menimbulkan keyakinan yang benar, yang menimbulkan ketenangan serta ketentraman dan sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang membahagiakan; sedangkan kalau termasuk sesuatu yang buruk, yang menimbulkan ketakutan, kegelisahan, kecemasan, ketakpuasan, kemelekatan, kekikiran dan sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang menyengsarakan.
Jika markah perbuatan ini muncul karena pengenangan [berupa objek lampau], alur kematian yang terjadi berarti melalui pintu batiniah. Namun, kalau markah perbuatan ini benar-benar tertampak dan sebagainya pada saat itu pula [berupa objek sekarang], alur kematian yang terjadi berarti melalui pintu lima indera jasmaniah.
Yang dimaksud dengan objek berupa markah tujuan ialah pelbagai pertanda atas alam kehidupan di mana suatu makhluk akan terlahirkan kembali. Apabila markah tujuan ini tertampak sebagai istana yang megah, kendaraan surgawi, dewa-dewi, cahaya terang, dan sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan di alam yang membahagiakan; sedangkan kalau tertampak sebagai api neraka yang menakutkan, tempat yang tandus atau kotor, jurang yang curam, binatang buas, kegelapan dan sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang menyengsarakan. Objek berupa tujuan ini sesungguhnya dapat muncul melalui seluruh pintu, namun kebanyakannya muncul melalui pintu penglihatan serta pintu batiniah. [9]
Uraian di atas adalah alur kematian ditinjau dari segi batiniah.
Sesungguhnya, segi jasmaniah makhluk hidup juga merupakan suatu alur atau proses (rûpavithî). Kecepatan yang ditempuh oleh suatu materi/bentuk sejak muncul hingga padam kembali itu lebih lambat daripada unsure batiniah. Perbandingannya ialah satu saat materi berbanding dengan tujuh belas saat kesadaran. Materi yang padam pada saat kematian tidaklah bersamaan. Materi yang timbul dari perbuatan (kammajarûpa) muncul terakhir kalinya pada saat awal kemunculan kesadaran pemelihara hidup yang lalu (atîtabhavaõga).
Karena waktu kepadamannya lebih lambat, materi ini benar-benar padam secara keseluruhan pada saat akhir kemunculan kesadaran ajal. Inilah jenis materi yang padam berbarengan dengan kesadaran terakhir dalam kehidupan ini. Materi yang timbul dari kesadaran (cittajarûpa) muncul terakhir kalinya pada saat awal kemunculan kesadaran ajal. Karena waktu kepadamannya lebih lambat, materi ini masih sempat bertahan dan baru benar-benar padam secara keseluruhan beberapa saat setelah kesadaran terakhir dalam kehidupan ini muncul.
Namun, ini bukanlah berarti bahwa materi ini akan mengikuti kesadaran bertumimbal lahir di kehidupan yang baru. Materi yang timbul dalam kehidupan ini pada dasarnya akan padam dalam kehidupan sekarang ini pula. Materi yang timbul dari makanan (âhârajarûpa) muncul terakhir kalinya pada saat akhir kemunculan kesadaran ajal. Oleh sebab itu, materi ini masih bertahan dan baru benar-benar padam secara keseluruhan beberapa saat setelah kesadaran terakhir dalam kehidupan ini muncul.
Materi yang timbul dari hawa (utujarûpa) masih tetap dapat muncul meskipun suatu makhluk telah mati dan menjadi mayat. Ada beberapa yang muncul sejenak karena unsur panas (tejo) yang terdapat dalam makanan. Namun, ada pula yang terus muncul karena pengaruh hawa di luar (bâhira-utupaccaya) meskipun mayatnya telah membusuk dan menjadi abu; dan ini tetap berlangsung hingga dunia ini terhancurkan.
Alur kematian jasmaniah dari sudut pandang Agama Buddha sangatlah bersesuaian dengan ilmu pengetahuan modern. Sel-sel dalam suatu mayat terbukti masih dapat bertahan dan berkembang meskipun suatu makhluk secara umum telah dinyatakan mati. Tidak mengherankan kalau dijumpai bahwa rambut, kuku atau bagian lain dari suatu mayat yang berada dalam lingkungan tertentu menjadi lebih panjang daripada sewaktu baru mati.
[note: untuk mengetahui mengapa kuku dan rambut, walaupun telah menjadi mayat dapat terus tumbuh, lihat di sini]
Adakah Kehidupan Setelah Mati?
dakah kehidupan lain setelah suatu makhluk mengalami kematian? Apakah kematian merupakan akhir dari kehidupan dan akhir dari segala-galanya? Apakah suatu makhluk yang mati akan musnah tak berbekas? Ke manakah makhluk hidup pergi setelah mati? Benarkah ada alam surga dan neraka? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang senantiasa mengusik pikiran umat manusia sejak dahulu kala. Banyak orang yang menyangsikan adanya kehidupan setelah kematian.
Raja Pâyâsi yang memerintah Kota Setavyâ adalah salah satu contohnya. Di hadapan Kûmara Kassapa Thera, beliau mengungkapkan pandangan bahwa tidak ada kehidupan lampau maupun mendatang, tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk. Ketika ditanya apa alasan yang membuat beliau berpandangan demikian, Raja Pâyâsi mengisahkan bahwa beliau mempunyai menteri, saudara serta kerabat yang sering berbuat jahat; membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berdusta…
Sewaktu mereka sakit keras dan akan meninggal dunia, beliau berpesan apabila mereka masuk ke alam neraka karena akibat kejahatan yang diperbuat agar datang memberitahu beliau. Mereka menyanggupi pesan ini. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka yang datang kendati waktu telah berlangsung cukup lama. Inilah yang menjadi alasan bagi beliau untuk menolak adanya kehidupan mendatang...
Kûmara Kassapa Thera menanggapi alasan ini dengan sebuah perumpamaan tentang penjahat. Ada penjahat yang telah tertangkap basah dan akan dihukum mati karena perbuatannya. Ketika hukuman ini akan dijalankan, dia meminta izin untuk pulang memberitahu sanak-keluarganya terlebih dahulu. Apakah dia akan diizinkan? Tentunya tidak! Demikian pula, mereka yang masuk ke alam neraka, tidak mendapat izin kembali ke alam manusia untuk menyampaikan kabar.
Raja Pâyâsi mengemukakan alasan lain. Beliau pernah berpesan kepada menteri, saudara serta kerabat yang suka berbuat baik agar datang memberitahu beliau apabila masuk ke alam surga. Tak satu pun di antara mereka ada yang datang meskipun sudah berjanji akan kembali menemui beliau. Hal inilah yang membuat beliau tidak mempercayai adanya kehidupun mendatang...
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang orang yang terjatuh ke dalam lubang lumpur. Setelah ditolong, diangkat ke atas, tubuhnya dibersihkan dan didandani dengan pakaian, wewangian serta perhiasan yang mewah, dan dihibur dengan kenikmatan lima indera; apakah dia ingin masuk ke dalam lubang lumpur lagi?
Raja Pâyâsi menjawab: “Tidak!”
Mengapa? Karena lubang lumpur itu kotor, berbau busuk, dan menjijikkan. Demikian pula, manusia merupakan makhluk yang kotor, berbau busuk dan menjijikkan bagi para dewa. Bagaimana mungkin mereka yang berbuat baik dan masuk ke alam surge akan datang kembali ke alam manusia untuk memberitahu?
Kûmara Kassapa Thera memberikan penjelasan tambahan bahwa waktu di dunia ini tidaklah sama dengan waktu di alam surga. Semakin tinggi tingkat alamnya, semakin lama pula perbedaan waktunya. Waktu seratus tahun di dunia ini sebanding dengan satu hari satu malam waktu di Surga Tâvatiæsa, misalnya. Usia rata-rata makhluk di sana sekitar 1,000 tahun kedewaan. Para dewa mungkin berpikir kita bersenang-senang di sini selama dua tiga hari dahulu, baru kemudian pergi menemui Raja Pâyâsi. Karena perbedaan waktu, beliau mungkin telah meninggal dunia saat itu.
“Tetapi,” bantah Raja Pâyâsi, “Bagaimana bisa diketahui bahwa dewa di Surga Tâvatiæsa mempunyai waktu yang lama seperti itu? Saya tidak mempercayainya!”
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang orang buta sejak lahir. Ia mungkin tidak percaya adanya warna merah, hitam, putih serta lainnya, dan juga mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang mampu melihat warna-warna tersebut.
Apakah pendapat orang buta itu dapat dibenarkan? Tentunya tidak. Ada pertapa atau brahmana yang tinggal di tempat sunyi, senantiasa waspada, dan mengembangkan usaha dalam pemusatan batin hingga mencapai ‘mata kedewaan’ (dibba-cakkhu), yang melebihi kemampuan mata biasa. Dengan mata kedewaan ini, mereka dapat melihat kehidupan lain dan makhluk-makhluk yang terlahirkan dengan seketika. Masalah kehidupan lampau tidak seharusnya dimengerti hanya berdasarkan apa yang bisa dilihat dengan mata biasa.
Raja Pâyâsi mengatakan bahwa beliau pernah melihat ada pertapa dan brahmana yang mempunyai kesilaan luhur. Mereka tetap mencintai kehidupannya, dan tidak ingin mati; masih mendambakan kebahagian, dan tidak menginginkan penderitaan. “Jika merasa yakin bahwa dengan melaksanakan kesilaan mereka pasti terlahirkan kembali di alam surga, mengapa mereka tidak mencoba bunuh diri dengan meminum racun, menggantung leher, atau meloncat ke jurang?,” tanya Raja Pâyâsi.
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang dua orang istri yang ditinggal mati suami. Yang pertama mempunyai anak berusia sepuluh tahun, sementara yang kedua sedang mengandung tua. Si anak menagih warisan kepada ibu tirinya. Sang ibu meminta kelonggaran waktu untuk memastikan apakah anak yang sedang dikandungnya laki-laki atau perempuan. Pada zaman itu, hanya anak laki-laki yang berhak atas kekayaan peninggalan orangtuanya. Si anak tidak sabaran, dan terus-terusan mendesak. Sang ibu akhirnya mengambil jalan pintas dengan membedah perutnya sendiri. Dengan berbuat demikian, tidak hanya jiwa anaknya yang terancam, tetapi juga kehidupannya sendiri, dan ia niscaya tidak akan memperoleh bagian dari harta kekayaan suaminya. Orang bijaksana tidak akan menempuh jalan pintas semacam ini. Demikian pula halnya dengan para pertapa dan brahmana. Meskipun yakin atas kehidupan yang akan datang, mereka tidak akan memetik buah yang belum waktunya masak. Mereka menempuh kehidupan secara wajar demi kebahagiaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Raja Pâyâsi menceritakan bahwa beliau pernah menghukum penjahat dengan memasukkannya ke dalam gentong dalam keadaan masih hidup. Setelah ditutup rapat, gentong itu diletakkan di atas perapian hingga penjahat yang berada di dalamnya mati. Ketika dibuka kembali, beliau tidak melihat adanya jiwa yang keluar dari dalamnya.
Kûmara Kassapa Thera bertanya kepada Raja Pâyâsi apakah pernah bermimpi pergi ke hutan, melihat kolam dan sebagainya.
“Pernah,” jawab beliau.
“Pada waktu itu, apakah ada penjaga yang melihat jiwa beliau keluar masuk tubuh?”
Raja Pâyâsi menjawab tidak ada.
“Jika yang masih hidup saja jiwanya tidak dapat dilihat, bagaimana mungkin Baginda dapat melihat jiwa penjahat yang mati dibakar dalam gentong?,” tanya Kûmara Kassapa Thera.
Raja Pâyâsi mengisahkan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk menimbang berat badan seorang penjahat sebelum dihukum gantung. Begitu mati dan ditimbang lagi, berat badannya justru bertambah. Jika memang ada jiwa yang keluar dari tubuhnya, seharusnya berat badannya berkurang.
Kûmara Kassapa Thera mempertanyakan manakah yang lebih ringan antara sebongkah besi yang terbakar dan yang dingin? Besi yang terbakar lebih ringan karena perbedaan unsur api dan unsure anginnya. Demikian pula, karena berpadu dengan usia [yang memberikan kelangsungan hidup], kehangatan, dan kesadaran, tubuh manusia yang masih hidup lebih ringan.
Raja Pâyâsi beralasan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk menghukum mati penjahat tanpa merusak bagian kulit, daging, otot atau bagian tubuh lainnya. Setelah mati dan badannya digoyang-goyang serta dibolak-balik, ternyata tidak ada jiwa yang keluar dari tubuhnya.
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang sangkakala (terompet dari kerang). Penduduk terpencil yang selama hidupnya belum pernah melihat sangkakala mungkin tidak tahu bagaimana cara memakai alat musik tersebut. Dengan diketuk-ketuk, digoyang-goyang atau dibolak-balik, tentu tidak ada suara yang berbunyi.
Raja Pâyâsi menambahkan bahwa beliau pernah memerintahkan untuk menghukum mati penjahat dengan mengiris-iris bagian kulit, daging, otot serta bagian tubuh lainnya. Namun, tidak ada jiwa yang dapat ditemukan di sana.
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang seorang anak kecil yang disuruh brâhmaóa pemuja-api untuk menjaga api pemujaan supaya tidak padam. Karena kelalaian sianak, api pemujaan itu menjadi padam. Si anak tidak tahu bagaimana cara menyulut api. Ia mencobanya dengan membelah-belah kayu bakar menjadi bagian kecil-kecil, tetapi tidak berhasil karena caranya salah. Demikian pula, kehidupan lampau serta mendatang tidaklah dapat diketahui dengan cara yang tidak tepat.
Meskipun telah terpojokkan oleh pelbagai perumpamaan yang masuk akal, Raja Pâyâsi masih tetap bersiteguh untuk mempertahankan pandangannya bahwa tidak ada kehidupan lampau maupun mendatang, tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk.
Beliau bersikap demikian karena perasaan gengsinya. Masyarakat dan para raja dari banyak Negara tetangga mengetahui bahwa beliau mempunyai pandangan begitu dalam waktu yang lama. Jika kemudian dilepaskan, mereka akan mencelanya sebagai raja yang bodoh, yang memegang pandangan sesat.
Atas sikap tidak mau melepaskan pandangan lama yang sesat dan berpaling dari kebenaran ini, Kûmara Kassapa Thera memberikan empat macam ibarat yang dua di antaranya dapat diringkaskan sebagai berikut:
Ibarat seorang pemuda yang memelihara babi yang sewaktu pergi ke tempat lain menemui setumpukan kotoran kering. Dengan berpikir bahwa ini dapat menjadi makanan bagi babi-babi peliharaannya, ia membungkus kotoran tersebut dengan pakaiannya dan membawa pulang dengan menyunggihnya di atas kepala. Di tengah perjalanan, hujan turun dengan keras. Meski demikian, ia tidak rela untuk membuang kotoran yang karena basah menetes ke kepala serta tubuhnya. Orang-orang yang melihat saling mencela kebodohannya dan menganggapnya sebagai orang gila. Akan tetapi, pemuda pemelihara babi justru berpikir bahwa merekalah yang bodoh karena kotoran yang dibawanya dapat dimanfaatkan untuk memelihara babi-babinya.
Ibarat dua lelaki yang pergi bersama ke pedalaman untuk mencari harta. Di tengah perjalanan mereka menemui bongkahan besi, tembaga, perak, dan emas. Setiap kali bertemu dengan barang-barang yang lebih berharga, lelaki yang pertama menukarkan bawaannya. Akan tetapi, lelaki yang kedua tidak mau, dan tetap setia untuk mempertahankan barang pertama yang dijumpainya dengan alasan karena sudah terlanjur dibawa sejak lama, dan telah diikat erat. Ketika mereka sampai kembali di desanya, masyarakat serta sanak keluarganya memuji kecerdasan lelaki pertama yang membawa emas bernilai tinggi, sedangkan yang kedua tidak mendapat pujian apa pun.
Sikap Raja Pâyasi dapat diibaratkan seperti lelaki yang tidak mau menukar barangnya dengan yang lebih bernilai.
Raja Pâyâsi benar-benar takjub atas penjelasan Kûmara Kassapa Thera, dan selanjutnya meyakini Sang Tiratana sebagai pernaungan serta menyatakan diri sebagai umat Buddha (upâsaka). Setelah mangkat, Raja Pâyâsi terlahirkan kembali di Surga Câtumahârâjika.
Pada masa kehidupan Buddha Gotama, pemimpin kaum heretic yang mengajarkan paham ‘Ucchedavâda’ atau Kemusnahan (Annihila-tion) ialah Ajita Kesakambala. Ia menyangkal adanya kehidupan setelah kematian. Pandangannya mirip dengan kaum materialis Cârvâka penganut sistem Lokâyata yang didirikan oleh Bhaspati –seorang figur legendaris. Ujaran atas pandangannya yang sangat menyesatkan ialah sebagai berikut:
“Tidak ada hasil/buah dari pemberian dâna, pemujaan, dan persembahan. Tidak ada pula akibat setimpal dari perbuatan baik atau buruk. Tidak ada dunia sekarang ataupun mendatang. Perlakuan baik atau buruk terhadap ibu atau ayah tidak berakibat apa pun.
Tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika. Di dunia ini tidak ada pertapa atau brâhmaóa yang telah menjalankan praktek dengan benar; yang telah menempuh kehidupan dengan baik; serta memiliki ketenangan batin, yang dengan kebijaksanaan sendiri telah menembus dunia sini maupun dunia sana, dan selanjutnya mengamalkan pengetahuannya kepada makhluk-makhluk lain.
Manusia terbentuk atas empat unsur dasariah (câtum-mahâbhûta). Apabila seseorang meninggal, sifat mengeras dan melunak dalam dirinya akan berubah menjadi tanah; sifat mencair dan mengental menjadi air; sifat memanas dan mendingin menjadi api; sifat mengetat dan mengendor menjadi udara; dan segala inderanya akan melayang keangkasa. Empat orang pemikul dengan sebuah tandu mengiring mayatnya sambil menguncarkan doa hingga sampai di tanah kubur.
Di sana tulang-belulangnya memudar/memutih, dan persembahan-persembahannya berakhir menjadi abu. Pemberian dâna yang diajarkan oleh orang-orang dungu, yang dikatakan memberikan hasil/pahala, semuanya adalah omong kosong belaka, dusta, tak beralasan. Baik orang dungu ataupun orang bijaksana, ketika badan jasmaninya tercerai-berai, keduanya niscaya akan termusnahkan. Setelah kematian ini, tidak ada kehidupan lagi (kelahiran kembali).” [10]
Kematian, dalam pandangan Agama Buddha, tidaklah selamanya merupakan akhir dari kehidupan. Selama benih kehidupan belum dilenyapkan, kematian suatu makhluk niscaya akan berlanjut pada kehidupan mendatang. Kehidupan sekarang ini adalah hasil dari kehidupan-kehidupan lampau. Kehidupan-kehidupan lampau ditambah dengan kehidupan sekarang ini, niscaya akan menghasilkan kehidupan mendatang.
Penitisan Roh Kekal?
Kecuali unsur-unsur batiniah (nâma) serta jasmaniah (rûpa) yang membentuk makhluk hidup, Agama Buddha tidak mengakui adanya roh kekal (eternal soul) ataupun kepribadian abadi (eternal ego) yang diperoleh secara gaib dari suatu sumber yang tak jelas asal-usulnya.
Gagasan atas roh kekal amat dibutuhkan untuk menopang kepercayaan tentang surga dan neraka abadi –suatu dogma yang ditolak secara tegas oleh Agama Buddha karena bertentangan secara mendasar dengan nilai-nilai keadilan. Suatu roh yang kekal harus tetap seperti semula tanpa mengalami perubahan apa pun. Jika roh yang dianggap sebagai saripati (essence) umat manusia bersifat kekal, tidaklah mungkin mereka akan mengalami kebangkitan atau kejatuhan sebagaimana yang dikisahkan dalam mitos Kejadian (Genesis).
Orang yang pada awalnya diciptakan sebagai penjahat akan selamanya menjadi penjahat, dan sebaliknya orang yang pada awalnya diciptakan sebagai orang bajik akan selamanya melakukan kebajikan. Dalam pada itu, tidak ada seorang pun yang mampu menjelaskan secara masuk akal, mengapa roh-roh yang berbeda secara beranekaragam dibentuk pada permulaannya.
Ajaran tentang Tumimbal Lahir (Rebirth) dalam Agama Buddha perlu dibedakan dari gagasan tentang Penitisan Kembali (Reincarnation) dalam agama lain, yang merujuk pada perpindahan suatu roh kekal (âtman) dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya dalam suatu proses penyucian diri hingga akhirnya bergabung kembali dengan Roh-Asal yang Luhur (Parama-Âtman). Agama Buddha juga menolak adanya makhluk titisan (avatâra) yang secara legandaris turun ke dunia dalam wujud manusia atau hewan untuk menumpas kejahatan dan menganjurkan kebajikan [berdasarkan Kitab Bhagavad-Gîtâ].
Buddha Gotama bukanlah salah seorang [dari sepuluh] penitisan Vi Šu [Visnu] sebagaimana yang diakui oleh penganut aliran Agama Hindu [berdasarkan Kitab Bhâgavat, Varâha, Agni dan Vi Šu-Purâóa(Visnu Purana)]. [11]
[Note: Untuk jelasnya mengenai penggambaran urutan/time line Buddhisme dan Hinduisme lihat di sini]
Pengakuan yang mencuat belakangan dan mengimbas kuat sekitar abad kesepuluh Masehi –ketika Agama Buddha sedang menyebar keluar dari India– itu merupakan suatu siasat untuk ‘mencaplok’ serta ‘menelan’ Agama Buddha. [12]
Dalam Kitab Vi Šu-Purâóa (Visnu Purana) tersirat dendam kesumat serta ketakpuasan kaum Hindu terhadap keberhasilan penyebaran Agama Buddha di India. Lazimnya, para dewa dan para iblis terlibat dalam peperangan, dan kemenangan selalu berada di pihak dewa. Namun, pada suatu kesempatan, para dewa terkalahkan.
Para iblis berhasil mencapai kemenangan karena mereka telah menganut serta menjalankan ajaran Veda. Satu-satunya cara untuk dapat menaklukkan mereka ialah dengan membuat mereka melepaskan kepercayaan terhadap ajaran Veda. Para dewa memuja Vi Šu [Visnu] untuk mencari pertolongan.
Vi Šu [Visnu] kemudian menciptakan wujud khayalan (mâyâmoha); pertama kali muncul sebagai pertapa telanjang (digambara) yang mengacu pada Jainisme, untuk membujuk para iblis agar melaksanakan praktek penebusan karma buruk; dan selanjutnya muncul sebagai bhiku berjubah merah (raktâmbara) yang merujuk pada Agama Buddha, untuk membujuk para iblis agar mencampakkan upacara pengurbanan binatang sebagaimana yang dipujikan dalam kitab-kitab Veda. Terperdayainya para iblis merupakan kesempatan emas bagi para dewa. Akhirnya, para iblis berhasil ditaklukkan.
Mitos ini secara bermuslihat melecehkan Jainisme serta Agama Buddha sebagai penyebab kekalahan, kehancuran. Misi yang diemban oleh Vi Šu [Visnu] dalam menitis sebagai Buddha ialah untuk memperdayai para iblis dengan mewejangkan ajaran sesat (Adharma); bukan mengajarkan kebenaran (Dhamma) sebagaimana yang diyakini oleh umat Buddha. [13]
Lebih daripada semua itu, penitisan Vi Šu [Visnu] yang kesepuluh [terakhir], dalam wujud sebagai Kalkî bertunggangan kuda putih dengan pedang terhunus, konon dikatakan mengemban misi utama dalam membasmi para penganut Agama Buddha dari seluruh muka bumi.
[Note: Menariknya kisah dongeng (purana) tentang Kalki, banyak diminati kaum muslim dengan mengklaim bahwa Kalki adalah Nabi Muhammad lihat di sini, padahal jelas-jelas kisah Kalki ini merujuk pada pembasmian penganut Buddha dan bukan pembasmian penganut Kresten dan Yahudi]
Dalam Kitab Upanisad termuat banyak penjabaran tentang âtman. Âtman ini dikatakan terbebas dari kematian (vim tyuƒ) serta kesedihan (vi okaƒ) dan mempunyai pemikiran yang nyata (satyasaækalpaƒ).
Kadangkala âtman diidentifikasikan sebagai ‘diri’ dalam keadaan bermimpi atau dalam keadaan tertidur pulas. Âtman dapat dipisahkan dan mengembara keluar dari tubuh jasmaniah –terutama sewaktu sedang tidur– ibarat pedang yang dapat dikeluarkan dari sarungnya. Bagi para penganut Jainisme, âtman yang diidentikkan dengan kehidupan (jîva), bersifat terbatas dan beraneka ragam bentuk serta ukurannya. Bukan hanya umat manusia yang memiliki âtman tetapi segala sesuatu di alam semesta ini juga memilikinya.
Beberapa Âjîvaka menganggap âtman itu berwarna biru, berbentuk segi delapan (octagonal) atau bundar (globular), dan berjarak lima ratus yojana. Bagaimanapun, segala gagasan tentang ‘âtman’ atau ‘atta’ ditolak dengan tegas oleh Buddha Gotama; kecuali sebagai sebutan sehari-hari dalam persepakatan umum. Sakkâya-diööhi atau Atta-diööhi [pandangan atas keberadaan roh yang kekal] adalah belenggu (saæyojana) pertama yang merintangi jalan menuju pencapaian kesucian batin.
Seseorang mungkin akan bertanya, “Kalau dalam Agama Buddha tidak dipercayai adanya suatu roh yang kekal, lalu apa yang bertumimbal lahir kembali dalam kehidupan mendatang?”
Yang bertumimbal lahir kembali ialah unsur-unsur batiniah (nâma) dan jasmaniah (rûpa) –yang kerap disebut lima kelompok kehidupan (pañcakkhandha). Kalau dipertanyakan lebih lanjut apakah yang bertumimbal lahir kembali itu merupakan suatu batin-jasmani yang sama, jawabannya ialah ‘bukan’.
Batin-jasmani tidaklah bersifat kekal [tak berubah sama sekali]. Dalam kenyataan, kehidupan adalah sesuatu yang berlangsung dalam perubahan yang terus-menerus (santâna, continuous flux). Kita pada saat ini bukanlah kita yang sama pada saat sebelum atau saat kemudian. Kita pada hari ini bukanlah kita yang sama pada hari kemarin atau esok. Namun, kita pada kehidupan ini berasal dari kita pada kehidupan kehidupan yang lampau, dan ini semua kemudian menjadi persyaratan bagi kita pada kehidupan mendatang.
Seseorang mungkin akan menyanggah, “Jika bukan sesuatu yang sama, mengapa kita pada kehidupan mendatang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan kita dalam kehidupan sekarang dan lampau?” Untuk menganggapi sanggahan semacam ini, Nâgasena Thera menyajikan suatu perumpamaan yang gamblang tentang pencuri mangga.
Ketika dituduh mencuri mangga oleh pemiliknya, pencuri itu berkilah bahwa mangga yang ia ambil bukanlah mangga yang sama dengan yang ditanam oleh pemiliknya. Karena itu, ia tidak patut menerima hukuman apa pun. Apakah karena [bibit] mangga yang ditanam tidaklah persis sama seperti [buah] mangga yang diambil, pencuri itu terbebas dari delik pencurian?
Tidak bukan?
Demikian pula, bukanlah karena tidak ada roh yang kekal, suatu makhluk tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatannya dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Ini dapat diibaratkan dengan hukum Daya Tarik Bumi (Gravitation) yang bersifat universal, yang menarik semua benda tanpa kecuali –entah berjiwa atau tidak.
Wujud dan Letak Kesadaran
Tak terlalu sulit untuk menerima pendapat umum bahwa makhluk hidup itu terdiri atas jasmani dan batin. Namun, kiranya tidak gampang untuk menjelaskan bagaimana kaitan di antara kedua bagian tersebut. Persoalannya akan menjadi lebih pelik lagi apabila tiba pada penjelasan bagaimana dua bagian yang sangat berbeda itu dapat ‘berpadu’ membentuk suatu makhluk hidup yang utuh.
Jasmani adalah sesuatu yang jelas terlihat, terdengar, tercium, terasa, dan tersentuh. Karena itu, sama sekali tidak ada masalah untuk membuktikan keberadaannya. Sebaliknya, karena batin merupakan sesuatu yang tidak terlihat oleh mata biasa…, pembuktian atas keberadaannya tidaklah gampang dilakukan, dan ini sering berbuntut pada perdebatan yang panjang.
Dalam gagasan umum, kehidupan di dunia ini tidaklah terlepas dari “waktu dan ruang” (time and space). Untuk bisa berada, jasmani –yang merupakan salah satu bagian kehidupan– membutuhkan waktu dan ruang. Sekarang timbul pertanyaan, apakah batin juga membutuhkan waktu dan ruang untuk bisa berada? Pertanyaan semacam ini jarang sekali dijawab secara telak. Namun, ada beberapa petunjuk tersirat yang mengiyakan pertanyaan tersebut.
Dalam masyarakat umum di Indonesia, misalnya, ada ungkapan “Jangan dimasukkan dalam hati.” Ungkapan ini secara langsung maupun taklangsung menunjukkan bahwa ‘hati’ bukan hanya merupakan salah satu organ tubuh dengan fungsi yang bersifat kejasmaniahan, melainkan juga berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan bentuk-bentuk pikiran, gagasan, ingatan, perasaan, dan sebagainya.
Salah satu penjelasan dalam KBBI atas aran ‘hati’ ialah sebagai sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan dsb). Dari penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa unsur-unsur batiniah suatu makhluk itu ‘berada’ di dalam hati kendati tidak disebutkan apakah semua itu juga muncul ‘dari’ dari dalam hati. Ini merupakan suatu kepercayaan yang primitif.
Para pemikir modern cenderung mempercayai ‘otak’ sebagai tempat kemunculan bentuk-bentuk pikiran, gagasan, ingatan, perasaan, dan sebagainya; dan di sini pula semua itu disimpan. Mereka kebanyakan juga kurang bisa menerima kepercayaan kuno bahwa unsur-unsur batiniah makhluk hidup –entah itu disebut jiwa atau roh– berada dalam pernafasan.
Dalam Kitab Kejadian 2:7 dikisahkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari debu tanah, dan menghembuskan ‘nafas hidup’ ke dalam cuping hidung [saluran pernafasan]; sehingga manusia menjadi suatu makhluk hidup yang berjiwa (roh). Kisah ini menyiratkan bahwa roh/jiwa, yang merupakan bagian batiniah suatu makhluk hidup, dapat ‘disisipkan’ dalam pernafasan. Sukar sekali untuk dapat membayangkan hal ini apabila dipercayai bahwa roh/jiwa merupakan sesuatu yang nirbentuk (tidak mempunyai bentuk).
Bagaimana mungkin sesuatu yang nirbentuk dapat disisipkan ke dalam sesuatu yang berbentuk? Dengan pertanyaan yang lain, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak memiliki bentuk dapat dipadukan atau dicampur dengan sesuatu yang berbentuk? Bagaimanapun, dari kisah tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa “roh/jiwa” adalah sesuatu yang ‘berada’ dalam pernafasan. [14]
Bersumber pada anggapan semacam inilah, kemudian dipercayai bahwa seseorang yang sudah tidak bernafas lagi berarti telah mati –dalam arti roh/jiwanya telah keluar dari dalam tubuh makhluk hidup. Entah apakah roh/jiwa itu keluar melalui hidung (saluran pernafasan) –sebagaimana pertama kali-nya dihembuskan– ataukah dari lubang-lubang lainnya.
Masyarakat Tibet mempercayai adanya sembilan lubang di mana kesadaran yang merupakan unsur batiniah keluar dari tubuh suatu makhluk hidup. Dari lubang mana kesadaran itu keluar, ini menjadi pertanda di alam kehidupan manakah ia akan terlahirkan kembali.
- Jika keluar dari lubang dubur, orang yang mati akan terlahirkan kembali di Alam Neraka.
- Jika keluar dari lubang kemaluan, orang yang mati akan terlahirkan di Alam Binatang.
- Jika keluar dari lubang mulut, orang yang mati akan terlahirkan di Alam Peta.
- Jika keluar dari lubang hidung, orang yang mati akan terlahirkan di Alam Manusia (atau mungkin Alam Surga).
- Jika keluar dari lubang pusar [ada lubangnya?], orang yang mati akan terlahirkan di Alam Dewa.
- Jika keluar dari lubang telinga, orang yang mati akan terlahirkan di Alam Raksasa. Jika keluar dari lubang mata, orang yang mati akan terlahirkan di Alam Brahma Berbentuk.
- Jika keluar dari lubang dahi [?], orang yang mati akan terlahirkan di Alam Brahma Nirbentuk.
- Sementara itu, jika keluar dari lubang ubun-ubun, orang yang mati akan terlahirkan di Alam Sukhâvatî yang merupakan Surga Sebelah Barat kediaman Buddha Amitâbha.
Dengan bantuan guru yang amat piawai –yang telah menembus Dharma serta memiliki kemampuan luar biasa–, orang yang sangat jahat sekali pun, yang tidak pernah berbuat kebajikan serta tidak pernah berlatih Bova sebelumnya, dapat mencapai kebebasan apabila kesadarannya berhasil diarahkan keluar menuju Alam Kebuddhaan (Amitâbha) melalui lubang ke sembilan tersebut.
Kepercayaan Tibet ini secara taklangsung menyiratkan bahwa kesadaran adalah sesuatu yang memiliki ‘wujud’ atau ‘bentuk’ (form) yang tertampak –entah apakah dapat dilihat dengan mata biasaatau hanya dengan mata batin. Kalau tidak ada wujudnya, bagaimana mungkin dapat dikatakan keluar dari lubang ini atau itu? Kepercayaan bahwa kesadaran atau unsur-unsur batiniah lainnya memiliki wujud adalah suatu anggapan yang riskan. Ini kerap terjadi karena keterjebakan dalam upaya “menjasmanikan batin”, yang timbul karena ketakmampuan dalam menjelaskan sesuatu yang tidak terlihat oleh mata biasa, tidak terdengar… dan sebagainya. Walaupun mungkin tidak dapat dibuktikan di laboratorium ilmiah, keberadaan unsur-unsur batiniah tidak begitu disangsikan.
Akan tetapi, dari mana atau di bagian mana unsur-unsur batiniah itu berada memang bukanlah suatu pertanyaan yang gampang dijawab dengan telak. Hadaya-vatthu –tempat kedudukan atau tempat kemunculan kesadaran (citta)– adalah suatu topik Abhidhamma yang kerap menimbulkan perdebatan yang panjang. Istilah ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris sebagai ‘heart’. Ada sedikit kesukaran untuk mengalihbasakannya ke Indonesia karena kata ini bisa berarti ‘hati’ atau ‘jantung’.
Dalam KBBI, ‘hati’ dijabarkan sebagai organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu. Sementara itu, ‘jantung’ dijelaskan sebagai bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah (letaknya di dalam rongga dada sebelah atas).
Yang dimaksudkan dengan Hadaya-vatthu dalam kitab Abhidhamma [yang digubah belakangan] ialah suatu materi yang muncul karena kamma (kammajarûpa), berada dalam salah satu organ tubuh yang berbentuk seperti bunga teratai terkatup, yang di dalamnya berisi darah yang mengalir sekitar satu telapak tangan yang mencembung, berbentuk mirip danau dengan ukuran kira-kira sebesar biji bunga ‘mesua ferrea linn’.
Berdasarkan pengertian ini, dapatlah disimpulkan bahwa Hadaya-vatthu adalah suatu materi yang berada di dalam rongga ‘jantung’; bukan ‘hati’ (liver). Yang diacu bukanlah organ jantung secara keseluruhan (maæsa-hadaya-rûpa), melainkan sesuatu yang sangat kecil yang berada di bagian dalamnya (vatthu-hadaya-rûpa). Hadaya-vatthu dianggap sebagai tempat kemunculan manodhâtu [terdiri atas tiga kesadaran] dan manoviññâóadhâtu [terdiri atas 76 kesadaran].
Berlandaskan pada Hadaya-vatthu inilah, makhluk hidup berbuat (melalui pikiran, ucapan dan tindakan) sesuatu yang bermanfaat maupun yang tak bermanfaat.
Menurut Bhikkhu Nârada, pandangan bahwa jantung merupakan tempat kemunculan kesadaran (cardiac theory) sudah ada sejak [sebelum] zaman Buddha Gotama, dan pandangan ini didukung secara nyata oleh kaum Upanisad. Beliau sendiri tidak pernah secara terang-terangan mendukung ataupun menolak pandangan ini. Jantung serta otak memang merupakan organ tubuh yang terpenting.
Tanpa adanya kedua organ ini, tubuh jasmaniah makhluk hidup tidaklah dapat berfungsi sebagaimana layaknya. Namun, tidak di bagian mana pun dalam Kitab Suci Tipiöaka, Beliau pernah menyatakan bahwa jantung atau otak merupakan tempat kemunculan kesadaran dalam alam yang terdiri dari lima kelompok kehidupan (pañcavokârabhûmi).
Dalam kitab Abhidhamma yang terakhir, Paööhâna, Sang Buddha hanya mengakui adanya kebergantungan pada materi (yaæ rûpaæ nissâya). Baru dalam Kitab Atthasâlinî (ulasan atas Kitab Dhammasaõgaóî), Hadaya-vatthu disebut oleh pengulas belakangan dan dijelaskan sebagai landasan kesadaran (cittassa vatthu).
31 Alam Kehidupan
Ibarat terbenamnya surya di ufuk langit yang berarti terbitnya mentari di bagian lain dunia ini, demikian pula kematian makhluk hidup di suatu alam berarti kelahiran kembali di alam yang sama atau alam lainnya. Ini berlangsung terus hingga makhluk itu meraih Pembebasan Sejati dari daur Saæsara atau kelahiran dan kematian yang berulang-ulang.
Dalam Agama Buddha dipercayai adanya 31 Alam Kehidupan yang secara garis besarnya terbagi atas: empat alam kemerosotan (apâya-bhûmi), satu alam manusia (manussabhûmi), enam alam dewa (devabhûmi) [15], enam belas alam brahma berbentuk (rûpabhûmi), dan empat alam brahma nirbentuk (arûpabhûmi).
Apâyabhûmi
Istilah ‘apâyabhûmi’ terbentuk dari tiga kosakata, yakni ‘apa’ yang berarti ‘tanpa, tidak ada’, ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan’, dan ‘bhûmi’ yang berarti ‘alam tempat tinggal makhluk hidup’. Apâyabhûmi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan.
Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai ‘dugga-tibhûmi’. ‘Duggati’ terbentuk dari dua kosakata, yakni ‘du’ yang berarti ‘jahat, buruk, sengsara’, dan ‘gati’ yang berarti ‘alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir’.
Duggatibhûmi adalah suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai sebagai suatu padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:
1. alam neraka (niraya),
2. binatang (tiracchâna),
3. setan (peta),
4. iblis (asurakâya).
Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh dan langsung.
Alam Neraka
‘Niraya’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘ni’ yang berarti ‘bukan, tidak ada’ dan ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan, kebahagiaan, perkembangan’. Niraya atau neraka adalah suatu alam kehidupan yang penuh derita dan siksaan, tanpa kesempatan untuk berbuat kebajikan, tanpa kebahagiaan, tanpa perkembangan.
Neraka dalam pandangan Agama Buddha bukanlah suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh ke dalam neraka akan dapat terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi –tergantung perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang kehidupan-kehidupan lampau. Konon dikisahkan bahwa Mallikâ, yang pernah melakukan perzinahan dengan seekor anjing, berada dalam alam neraka hanya dalam waktu tujuh hari. [16]
Tidaklah ‘adil’ untuk menjebloskan suatu makhluk sepanjang hidup (selamanya) dalam neraka hanya karena suatu kejahatan yang pernah dilakukannya –dengan mengabaikan semua kebajikannya dan tanpa member peluang sedikit pun untuk memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah suatu tempat pelampiasan kesewenang-wenangan suatu Pencipta Adikodrati yang murkah karena diabaikan atau dikhianati oleh makhluk-makhluk ciptaannya.
Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu neraka besar (mahâ-niraya) dan neraka kecil (ussadaniraya). Neraka besar terdiri atas delapan alam:
1. Sañjîva: alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan
terlahirkan di alam ini.
2. Kâïasutta: alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
3. Saõghâta: alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
4. Dhûmaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
5. Jâlaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
6. Tâpana: alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
7. Patâpana: alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
8. Avîci: alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap dianggap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.
Neraka kecil terdiri atas delapan alam:
1. Aõgârakâsu: alam neraka yang terpenuhi oleh bara api
2. Loharasa: alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair
3. Kukkula: alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara
4. Aggisamohaka: alam neraka yang terpenuhi oleh air panas
5. Lohakhumbhî: alam neraka yang merupakan panci tembaga
6. Gûtha: alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk
7. Simpalivana: alam neraka yang merupakan hutan pohon berduri
8. Vettaraóî: alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan
Alam Binatang
‘Tiracchâna’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘tiro’ yang berarti ‘melintang, membujur’, dan ‘acchâna’ yang berarti ‘pergi, berjalan’. Tiracchâna atau binatang adalah suatu makhluk yang umumnya berjalan dengan melintang atau membujur, bukan berdiri tegak seperti manusia.
Dengan pengertian lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi jalan menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam manusia. Binatang memiliki hasrat untuk menikmati kesenangan inderawi serta berkembang-biak; naluri untuk mencari makan, bersarang, dan sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai kehidupannya. Binatang tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan dari kejahatan, kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ, conscience) –kecuali kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (bodhisatta) yang sedang memupuk kesempurnaan.
Bodhisatta tidak akan terlahirkan sebagai binatang yang lebih kecil dari burung puyuh [semut misalnya] atau lebih besar dari gajah [dinosaurus misalnya]. Binatang mempunyai banyak jenis yang tak terhitung jumlahnya, namun secara garis besarnya
dapat dibedakan menjadi empat macam, yakni:
1. yang tak berkaki seperti ular, ikan, cacing dan lain-lain (apada),
2. yang berkaki dua seperti ayam, bebek, burung dan lain-lain (dvipada),
3. yang berkaki empat seperti gajah, kuda, kerbau dan lain-lain (catuppada),
4. yang berkaki banyak seperti kelabang, udang, kepiting dan lain-lain (bahuppada).
Dalam pandangan Kristen serta beberapa agama Theistik lainnya, semua binatang akan musnah setelah kematian. Binatang tidak mempunyai roh. Binatang hanya diakui memiliki naluri (instinct), tanpa akal budi. Karena itu, mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun penderitaan yang dialami bukan ditentukan oleh perbuatan mereka –baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan-kehidupan yang lampau–; melainkan merupakan wewenang serta kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata untuk kepentingan umat manusia yang lebih luhur. Tidak ada surga maupun neraka bagi binatang. Ini menimbulkan dilemma bagi umat Kristen yang menginginkan agar binatang peliharaannya dapat hidup bersama lagi di surga sebagaimana di bumi.
Alam Setan
‘Peta’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘pa’ yang berarti ‘ke depan, menyeluruh’, dan ‘ita’ yang berarti ‘telah pergi, telah meninggal’. Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka –yang menderita karena tersiksa–, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan, kehausan dan kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terlahirkan sebagai setan ialah pencurian dsb. Seperti binatang, setan tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri.
Mereka berada di dunia ini dan bertinggal di tempat-tempat seperti hutan, gunung, tebing, lautan, kuburan, dan sebagainya. Beberapa jenis setan mempunyai kemampuan untuk menyalin rupa dalam wujud seperti dewa, manusia, pertapa, binatang, atau hanya menampakkan diri secara samar-samar seperti bayang-bayang gelap dan lain-lain. Setan terbagi menjadi empat jenis, yakni:
- yang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa dan sebagainya (paradattupajîvika),
- yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppîpâsika),
- yang senantiasa terberangus (nijjhâmataóhika),
- yang tergolong sebagai iblis atau makhluk yang suram (kâlakañcika).
Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-saæyutta, disebutkan adanya 21 macam setan, yaitu:
- yang hanya bertulang tanpa daging (aööhisaõkha-sika),
- yang hanya berdaging tanpa tulang (maõsapesika),
- yang berdaging benjol (maõsapióòa),
- yang tak berkulit (nicchavirisa),
- yang berbulu seperti pisau (asiloma),
- yang berbulu seperti tombak (sattiloma),
- yang berbulu seperti anak panah (usuloma),
- yang berbulu seperti jarum (sûciloma),
- yang berbulu seperti jarum jenis kedua (dutiyasûciloma),
- yang berpelir besar (kumbhaóòa),
- yang terbenam dalam tahi (gûthakûpanimugga),
- yang makan tahi (gûthakhâdaka),
- yang berjenis betina tanpa kulit (nicchavitaka),
- yang berbau busuk (duggandha),
- yang bertubuh bara api (ogilinî),
- yang tak berkepala (asîsa),
- yang berperawakan seperti bhikkhu,
- yang berperawakan seperti bhikkhuóî,
- yang berperawakan seperti calon bhikkhuóî (sikkhamâna),
- yang berperawakan seperti sâmaóera,
- yang ber perawakan seperti sâmaóerî.
- yang makan ludah, dahak dan muntahan (vantâsikâ),
- yang makan mayat manusia atau binatang (kuópâsa),
- yang makan tahi (gûthakhâdaka),
- yang berlidah api (aggijâlamukha),
- yang bermulut sekecil lubang jarum (sûcimukha),
- yang terdorong keinginan tiada habis (taóhaööita),
- yang bertubuh hitam pekat (sunijjhâmaka),
- yang berkuku panjang dan runcing (satthaõga),
- yang bertubuh sangat besar (pabbataõga),
- yang bertubuh seperti ular piton (ajagaraõga),
- yang menderita di siang hari tetapi menikmati kesenangan surgawi di malam hari (vemânika),
- yang memiliki kesaktian (mahiddhika).
‘Asurakâya’ terbentuk atas tiga kosakata, yaitu ‘a’ yang merupakan unsur pembalik, ‘sura‘ yang berarti ‘cemerlang, gemilang’, dan ‘kâya’ yang berarti ‘tubuh’. Namun, yang dimaksud dengan ‘tak cemerlang’ di sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari tubuh, melainkan suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga membuat batin tidak berceria. Istilah ‘asura’ mungkin juga berasal dari kisah kejatuhan dari Surga Tâvatiæsa [terkalahkan oleh Sakka dan pengikutnya] akibat minuman memabukkan (surâ). Sejak itu, mereka bersumpah untuk tidak meminumnya lagi. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai ‘pubbadevâ’. Asurakâya atau iblis[17] terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. iblis berupa dewa (deva-asurâ),
2. iblis berupa setan (peti-asurâ),
3. iblis berupa penghuni neraka (niraya-asurâ).
Deva-asurâ terdiri atas vepacitti, râhu, subali, pahâra, sambaratî, dan vinipâtika. Peti-asurâ terdiri atas kâlakañcika, vemânika, dan âvuddhika. Niraya-asurâ hanya terdiri atas satu jenis, yaitu yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan seperti kelelawar.
Manussabhûmi
‘Manussa’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘mano’ yang berarti ‘pikiran, batin’ dan ‘ussa’ yang berarti ‘tinggi, luhur, meningkat, berkembang’. Manussa atau manusia adalah suatu makhluk yang berkembang serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta memahami sebab yang layak [kâraóâkaraóaæ manatijânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [atthânattaæ manati jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalaæ manati jânâtîti=manusso].
Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu Uttarakurudîpa, Pubbavidehadîpa, Aparagoyânadîpa, dan Jambudîpa. Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang berada di Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun.
Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Gotama telah mangkat sejak dua puluh lima abad yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun.
Seorang Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia lebih pendek dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan muncul apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang akan merasa sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan hidup. Beliau hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga tempat lainnya –apalagi di alam-alam kehidupan selain alam manusia.
Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapaóóâsaka memberikan penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang berbeda. Orang yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh makhluk lain niscaya akan terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang suka menganiaya atau menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit; yang suka murkah atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau irihati niscaya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan sedikit kebijaksanaan.
Demikian pula kebalikannya. Selaras dengan ilmu pengetahuan modern, dalam Aggañña Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah suatu hasil evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat pertama kali muncul/lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan tersebut juga dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu proses yang amat panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam hari pada sekitar 6,000 tahun yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari Alkitab.
[Note: Untuk mengetahui, bagaimana umur bumi di hitung 6000 tahun, dapat di lihat di sini]
Devabhûmi
Ada tiga macam deva atau dewa dalam pandangan Agama Buddha, yaitu
- Upattideva: dewa sebagai makhluk surgawi berdasarkan kelahirannya,
- Sammutideva: dewa berdasarkan persepakatan atau perandaian misalnya raja, permaisuri, pangeran dan sebagainya,
- Visuddhideva: dewa yang suci terbebas dari segala noda batin yang tidak lain ialah Arahanta.
Dalam kebanyakan agama Theistik, surga dipercayai sebagai suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Kepercayaan atas ‘kekekalan’ alam surga ini sempat menjadi topik perdebatan yang panjang. Dipercayai bahwa manusia jatuh dari Taman Eden dan mengalami pelbagai penderitaan di dunia ini karena ketakpatuhan nenek-moyang mereka, Adam dan Hawa, terhadap perintah serta larangan Tuhan. Hidup bersama Tuhan di alam surga adalah idam-idaman mereka; menjadi tujuan akhir.
Manusia pernah bertinggal di Taman Eden, dan kemudian diusir dari sana. Pertanyaan yang perlu dijawab sekarang ialah: Kalau seandainya kita telah masuk surga, apakah mungkin suatu waktu nanti kita akan diusir lagi dari sana? Jika demikian, bagaimana mungkin surga dianggap sebagai suatu alam yang kekal? Apa makna kekekalan itu sendiri?
Dalam pandangan Theistik tersebut, manusia adalah suatu makhluk yang penuh dengan kelemahan serta kekurangan. Sangatlah mustahil bagi seseorang untuk dapat memiliki ‘kesempurnaan’ batiniah. Bahkan, Tuhan yang dipercayai sebagai Pencipta yang Mahasempurna sendiri sering dikatakan masih memiliki sifat ‘cemburu’, ‘irihati’, ‘murkah’ dan sebagainya.
Yang perlu direnungkan ialah, apabila dalam sanubari manusia masih terdapat kekotoran batiniah semacam itu, seandainya nanti mereka bertinggal di surga yang kekal, apakah tidak mungkin bahwa akan timbul permasalahan yang berbuntut pada perbuatan-perbuatan berdosa, misalnya membunuh, mencuri, berzinah, berdusta dan sebagainya? Jika kemungkinan ini benar-benar terjadi, lalu bagaimana nasib manusia nantinya? Apa hukuman bagi pelaku dosa? Dijebloskan ke dalam neraka? Diusir dari surga
kekal?
Dalam pandangan Agama Buddha, alam surga di mana para dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas [tidak kekal, tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu: 1. Câtumahârâjikâ, 2. Tâvatiæsa, 3. Yâmâ, 4. Tusita, 5. Nimmânaratî, 6. Paranimmitavasavattî.
Alam Câtumahârâjikâ
Alam Câtumahârâjikâ adalah suatu alam surgawi paling rendah yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa, yakni: Dhataraööha, Viruïhaka, Virûpakkha, dan Kuvera. Empat raja dewa ini juga dipercayai sebagai pelindung alam manusia, dan karenanya dikenal dengan sebutan ‘Catulokapâla’. Dalam Kitab Lokîyapakaraóa, empat dewa pelindung dunia ini dipanggil sebagai Inda, Yama, Varuóa dan Kuvera. Berdasarkan tempat tinggalnya, para dewa-dewi tingkat Câtumahârâjikâ terbagi atas tiga, yaitu:
1. yang berada di daratan (bhumaööha),
2. yang berada di pohon (rukkha) [18],
3. yang berada di angkasa (âkâsaööha).
Empat raja dewa serta beberapa dewa lainnya mempunyai ‘istana’ (vimâna) khusus bagi diri mereka masing-masing. Bagi yang tak mempunyai istana secara khusus, gunung, sungai, lautan, pohon yang ditinggali itulah istana bagi mereka.
Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung selama 500 tahun dewa atau kira-kira sembilan juta tahun manusia. [19] Para dewa-dewi di tingkat Câtumahârâjikâ ada yang cenderung berhati jahat, yaitu:
- Gandhabbo/Gandhabbî: yang berada di pohon-pohon berbau harum, yang belakangan mungkin dikenali oleh orang-orang Jawa sebagai ‘gondoruwo’. Makhluk halus ini sangat melekati tempat tinggalnya. Walaupun pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih tetap mengikuti ke mana pohon itu dipindahkan –tidak seperti rukkhadeva lainnya, yang akan mengungsi ke pohon lain yang masih hidup,
- Kumbhaóòo/Kumbhaóòî: penjaga harta pusaka, hutan, dan sebagainya,
- Nâgo/Nâgî: naga yang memiliki kesaktian, yang mampu menyalin rupa dalam wujud makhluk lain seperti manusia, binatang dan sebagainya,
- Yakkho/Yakkhióî: raksasa yang gemar menganiaya para penghuni neraka.
‘Tâvatiæsa’ adalah alam surgawi tingkat kedua. Alam ini sebelumnya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Nama ‘Tâvatiæsa’ baru dipakai setelah 33 pemuda di bawah pimpinan Mâgha, yang terlahirkan kembali di sini akibat kebajikan yang dilakukan bersama-sama, berhasil menyingkirkan para asurakâya. Para dewa-dewi di Tâvatiæsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu 1. Bhummaööha: Sakka beserta 32 dewa pembesar, 2. Âkâsaööha: yang bertinggal dalam istana di angkasa. Ibukota Tâvatiæsa ialah Masakkasâra. Balai Sudhamma menjadi tempat bagi para dewa-dewi untuk memperbincangkan Kebenaran Dhamma di bawah asuhan Sakka[20] .
Brahmâ Sanaõkumâra kerap menjadi tamu pembabar Dhamma di sini. Buddha Gotama pernah berkunjung ke alam ini, dan bertinggal selama tiga bulan untuk mewejangkan Abhidhamma kepada ibunda-Nya, yang terlahirkan kembali sebagai putra dewa di alam Tusita. Moggallâna Thera juga pernah beberapa kali pergi ke alam ini, dan dari sejumlah penghuninya, beliau memperoleh kesaksian atas perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka terlahirkan kembali disini. Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu, menghormat sesepuh dalam keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari penghasutan, mengikis kekikiran, bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata para dewa-dewi yang terlahirkan di alam Tâvatiæsa ialah 1,000 tahun dewa atau kira-kira 36 juta tahun manusia.
Yâmâbhûmi
Yâmâbhûmi adalah alam surgawi tingkat ketiga, menjadi tempat bagi para dewa-dewi yang terbebas dari segala kesukaran, yang terberkahi dengan kebahagiaan surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam ini ialah Suyâma. Alam ini berada di angkasa. Dalam alam ini dan tingkat yang lebih tinggi, tidak ada dewa-dewi yang tergolong sebagai bhummaööha –yang bertinggal di daratan. Istana, harta serta tubuh para dewa-dewi di alam ini jauh lebih indah dan halus daripada yang bertinggal di Tâvatiæsa. Rentang hidup mereka ialah 2,000 tahun dewa atau kira-kira 142 juta tahun manusia.
Tusitabhûmi
Tusitabhûmi adalah alam surgawi tingkat keempat. Para dewa-dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas keberadaan yang di-miliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih Pencerah an Agung, terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi orangtua serta Siswa Utama (Aggasâvaka). Sekarang ini, Bodhisatta Metteyya –yang akan menjadi Sammâsambuddha setelah ajaran Buddha Gotama punah dari muka bumi ini– sedang berada di alam ini. Usia rata-rata di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau kira-kira 567 juta tahun manusia.
Nimmânaratîbhûmi
Nimmânaratîbhûmi adalah alam surgawi tingkat kelima. Para dewa-dewi di alam ini menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka. Rentang hidup para dewa-dewi di alam ini ialah 8,000 tahun dewa atau kira-kira 2,304 juta tahun manusia.
Paranimmittavasavattî
Paranimmittavasavattî adalah alam surgawi tingkat terakhir. Apabila para dewa-dewi di alam Nimmânaratî menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka, para dewa-dewi di alam ini menikmatinya dari apa yang diciptakan atau disediakan oleh yang lain, yang tahu kebutuhan serta keinginan mereka. Usia rata-rata di alam ini ialah 16,000 tahun dewa atau kira-kira 9,216 juta tahun manusia. [lihat: Mara, Ia yang telah terfitnah berabad-abad!!]
Rûpabhûmi
Rûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan ‘rûpâvacaravipâkacitta’ atau kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma berbentuk. Dengan perkataan lain, rûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk.
Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhâna yang luhur. Jhâna dihasilkan dari pengembangan Samatha-Kammaööhâna –meditasi pemusatan batin pada satu objek demi tercapainya ketenangan.
Alam brahma terdiri atas 16 alam, yakni: tiga alam bagi peraih Jhâna pertama (paöhama), tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya), tiga alam bagi peraih Jhâna ketiga (tatiya), dua alam bagi peraih Jhâna keempat (catuttha), dan lima alam Suddhâvâsa.
Paöhamajhânabhûmi
Tiga alam bagi peraih Jhâna pertama ialah
- Pârisajjâ: alam kehidupan bagi brahma pengikut, yang tidak memiliki kekuasaan khusus,
- Purohitâ: alam kehidupan bagi brahma penasihat, yang berkedudukan tinggi sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan,
- Mahâbrahmâ: alam kehidupan bagi brahma yang memiliki kebajikan khusus yang besar.
Tiga alam kehidupan bagi peraih Jhâna kedua atau Jhâna ketiga ialah
- Parittâbhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya lebih sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,
- Appamâóâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya cemerlang nirbatas,
- Âbhassarâ:alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya menyebar-luas dari tubuhnya.
Tiga alam bagi peraih Jhâna keempat ialah
- Parittasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah tapi lebih sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,
- Appamâóasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah nirbatas,
- Subhakióhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah di sekujur tubuhnya.
Dua alam bagi peraih Jhâna kelima ialah:
- Vehapphalâ: alam kehidupan bagi brahma yang berpahala sempurna, yang terbebas dari segala bahaya,
- Asaññasatta: alam kehidupan bagi brahma yang bertumimbal lahir dalam wujud materi berasal dari perbuatan saja (kammajarûpa). Dalam alam ini sama sekali tidak ada unsur batiniah.
Suddhâvâsabhûmi
Suddhâvâsabhûmi adalah suatu alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari nafsu birahi (kâmarâga) dan sebagainya, yaitu para Anâgâmî yang berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima. Makhluk- makhluk lain yang belum mencapai kesucian tingkat Anâgâmî, meskipun berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima, tidak akan terlahirkan di alam ini. Di sinilah para Anâgâmî akan meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Bodhisatta tidaklah pernah terlahirkan di alam ini sebab makhluk-makhluk yang terlahirkan di alam ini tidak akan terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih rendah. Kadangkala, ketika tidak ada Buddha yang muncul dalam kurun waktu yang lama, alam ini kosong melompong tanpa penghuni. Alam ini terbagi menjadi lima tingkat, yaitu:
- Avihâ: alam kehidupan bagi brahma yang tidak meninggalkan tempat tinggalnya hingga habisnya usia,
- Atappâ: alam kehidupan bagi brahma yang senantiasa berada dalam ketenangan yang menyejukkan,
- Sudassâ: alam kehidupan bagi brahma yang tubuhnya bercahaya sangat indah menawan hati,
- Sudassî: alam kehidupan yang lebih sempurna dalam penglihatan daripada alam Sudassâ,
- Akaniööhâ: alam kehidupan bagi brahma yang terlengkapi dengan harta surgawi serta kebahagiaan yang tak tertandingi oleh alam mana pun. Ini merupakan alam tertinggi bagi para suciwan.
Arûpabhûmi
Arûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan empat unsur batiniah yakni kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma nirbentuk (arûpâvacaravipâkacitta). Dengan perkataan lain, arûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma nirbentuk. Meskipun disebut sebagai suatu ‘alam’ yang mengacu pada tempat atau bentuk, di sini sesungguhnya sama sekali tidak ada unsur jasmaniah sehalus apa pun dan dalam wujud apa pun. Sebutan ini terpaksa dipakai untuk dapat mengacu pada kemunculan serta keberadaan unsur-unsur batiniah tersebut. Kelahiran di alam brahma nirbentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (rûpavirâgabhâvanâ). Arûpabhûmi terbagi menjadi empat alam, yakni:
- Âkâsânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat paöhama-arûpajhâna yang berobjek pada angkasa yang nirbatas,
- Viññâóañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat dutiya-arûpajhâna yang berobjek pada kesadaran yang nirbatas,
- Âkiñcaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat tatiya-arûpajhâna yang berobjek pada kehampaan,
- Nevasaññânasaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat catuttha arûpajhâna yang berobjek pada bukan ingatan bukan pula tanpa-ingatan.
Ada kepercayaan di kalangan Cina dan Jepang bahwa seorang manusia yang meninggal dunia tidak langsung terlahirkan kembali di alam berikutnya, melainkan masih “gentayangan” –dengan perkataan lain berada dalam “alam antara” atau lebih tepatnya “perwujudan persinggahan” (antarâbhava)– selama tujuh hari. Apabila karena alasan tertentu gagal menemukan alam yang cocok, ia akan mati dan langsung muncul bergentayangan selama jangka waktu tujuh hari lagi. Penundaan ini dapat berlangsung terus hingga batas waktu 49 hari (tujuh minggu). [21]
Dengan dasar kepercayaan tersebut, pihak keluarga lazimnya memperlakukan jenazah orang yang mati sebagaimana layaknya masih hidup. Kebutuhan hidupnya sehari-hari, seperti air untuk sikat gigi, mandi dan sebagainya, dipersiapkan di depan peti. Makanan kegemaran nya tidak lupa dihidangkan pula tiga kali sehari.
Bahkan, kalau hujan turun, peti mati yang sesungguhnya terletak di rumah yang beratap baik itu dipayungi. Kepercayaan tentang keadaan pertengahan (intermediate state) antara kematian dengan kelahiran kembali tersebut berakar kuat pada “teori-roh” Brahmanisme awal yang berciri animistik.
Suatu roh kekal yang takberubah (âtman) dipakai oleh kaum Upani ad untuk menjelaskan proses penitisan dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya. Mereka percaya bahwa roh-kekal bertolak dari tubuh jasmaniah saat kematian, dan dalam penitisan kembali (incarnation), roh ini memperoleh tempat bercokol di tubuh yang baru. Âtman menjadi jembatan (setu) di antara dua kehidupan. Kepercayaan tentang adanya jenjang sementara (temporal gap) ini disebutkan dalam Kau …tak… Upani ad: “Semua makhluk yang meninggal dunia pergi menuju bulan. Dalam belahan yang terang, bulan menyambut jiwa mereka; dalam belahan gelap lainnya, bulan mengirimkan mereka untuk lahir kembali. Sesungguhnya, bulan adalah pintu dunia surgawi. Sekarang, apabila suatu makhluk tidak puas dengan kehidupan di sana, bulan akan membebaskannya.
Apabila ia tidak menolak, bulan kemudian akan menurunkannya sebagai hujan di bumi.” Alam antara diacu beberapa kali dalam mitologi Veda. Kepercayaan bahwa orang yang mati, sebelum menitis kembali sebagai manusia atau binatang, terus berada dalam dunia roh, makan bebauan dan sebagainya, termasuk sebagai pemujaan umum Atharvaveda.
Para penganut Zoroastrianisme di Persia mempercayai Chinvat, suatu jembatan yang harus diseberangi setelah kematian. Bagi orang yang menunaikan kebajikan, jembatan ini sangat lebar sehingga memungkinkan baginya untuk berjalan menuju Surga; sedangkan bagi pelaku kejahatan, jembatan ini amat sempit sehingga menyebabkannya terjerembab jatuh ke dalam neraka.
Kendati tidak ada rujukan yang telak dan jelas dalam Alkitab, Gereja Roman Katholik mempercayai adanya alam atau keadaan di mana roh orang mati –yang masih memiliki dosa terampunkan [pelanggaran serta pembangkangan terhadap perintah Tuhan, ketaksempurnaan, dan kebiasaan-kebiasaan buruk]– akan disiksa demi penyucian sebelum masuk ke Surga. Ini berlangsung segera setelah seseorang meninggal dunia, melalui penghakiman perorangan (individual judgment).
Baru pada konsili Lyon dan Florence di Zaman Pertengahan, dogma tentang “alam penyiksaan sementara” (purgatory) ini dianggap sebagai suatu kepercayaan wajib (required belief); dan pada konsili Trent di Zaman Reformasi, pendefinisiannya diabsahkan. Ada beberapa sumber yang membentuk kepercayaan tentang alam penyiksaan sementara ini. Kitab Makabe Pertama bercerita tentang umat Kristen yang berdoa untuk orang mati. Doa semacam ini melahirkan pemikiran kritis: jika orang mati itu telah masuk Surga Kekal, ia berarti telah menerima pahala yang semestinya dan tidak membutuhkan suatu doa lagi.
Sebaliknya, apabila orang mati itu telah masuk Neraka Abadi, suatu doa yang ditujukan kepadanya tentu sia-sia belaka (percuma) karena ia sudah tidak mungkin dapat ditolong lagi. Surat Paulus yang pertama kepada Jemaat di Korintus menyinggung tentang api yang menguji mutu perbuatan manusia. Ini tidak mungkin merujuk pada Neraka Abadi karena tidak ada orang yang mampu menyelamatkan diri dari sana; dan ini tidak mungkin mengacu pada Surga Kekal karena di sana sama sekali tidak ada kesakitan.
Ini tentu mengarah pada suatu keadaan, tempat atau alam antara yang bersifat sementara. Kata kuncinya, dalam bahasa asal Yunani, ialah ‘zemiothesetai’ yang diterjemahkan dalam banyak versi Alkitab sebagai “mengalami kerugian”.
Letak, masa berlaku serta keadaan penyiksaan alam sementara ini masih merupakan teka-teki yang takterpecahkan. St. Augustine[22] agaknya mempercayai bahwa api yang sama –yang dipakai untuk menyiksa orang-orang berdosa di Neraka Abadi– juga digunakan untuk menyucikan orang terpilih dan terselamatkan di alam penyiksaan sementara. Beberapa pihak menafsirkan bahwa kedua alam itu kalau bukan berada di tempat yang sama, tentu sangat berdekatan. St. Thomas Aquinas menuliskan bahwa barangkali ada dua lokasi alam penyiksaan sementara: yang satu berada di dalam bumi dan berdekatan dengan Neraka Abadi sehingga dapat membagi api yang sama, sedangkan yang satunya lagi berada di atas bumi di antara manusia dan Tuhan. Masa penyiksaan dalam alam sementara itu mungkin berakhir hingga pada hari Penghakiman Akhir (Last Judgment).
Keberadaan di alam penyiksaan sementara ini dapat dipersingkat melalui pemanjatan doa, amal sedekah, puasa serta upacara kurban dari sanak keluarga atau kerabat yang masih hidup.
Dalam masa reformasi Protestan, Martin Luther pada awalnya menerima kepercayaan tentang “alam penyiksaan sementara” ini. Pada tahun 1519, ia menandaskan bahwa keberadaannya tidak dapat ditolak. Namun, sebelas tahun kemudian, ia berubah pikiran dengan menyatakan bahwa keberadaannya ternyata tidak dapat dibuktikan. Dalam tahun 1530 itu pula, selanjutnya ia secara tegas menolak gagasan tersebut. Sejak saat itu hingga sekarang, kaum Protestan tidak mempercayai keberadaannya. Demikian pula para pemeluk Gereja Orthodoks Timur, meskipun mereka memanjatkan doa untuk orang mati (intercession).
Sikap penolakan yang keras diperlihatkan oleh umat Kristen liberal. Argumentasi mereka ialah: apabila nasib roh di alam sementara dapat dipengaruhi oleh mereka yang masih hidup melalui pemanjatan doa, dua orang individu yang sedang dihukum karena kejahatan yang sama akan mengalami penyiksaan yang berbeda –tergantung pada seberapa banyak sanak keluarga atau kerabat yang dimiliki. Ini sangat tidak adil; dan ketakadilan semacam ini tentu tidak dapat dikaitkan dengan karya agung Tuhan yang Maha-Adil.
Bagaimanapun, penolakan terhadap keberadaan alam penyiksaan sementara tidaklah berarti bahwa persoalannya akan menjadi beres. Kesenjangan waktu setelah kematian dan sebelum Penghakiman Akhir pada hari Kiamat nanti [yang hingga kini belum dapat dipastikan] membuka cela kesangsian baru. Di manakah roh-roh itu berada?
Beberapa pihak mencuatkan gagasan tentang adanya “roh yang tertidur” (sleeping soul). Roh orang yang mati akan terus berada dalam keadaan penantian yang pasif ini hingga tibanya hari Penghakiman Akhir. Baru pada waktu itulah, nasib seseorang akan diputuskan, apakah dikaruniahi Surga Kekal atau diganjar dengan Neraka Abadi. Gagasan tentang “roh yang tertidur” ini agaknya dianut oleh banyak gereja kendati mengandung banyak ketakselarasan –dengan ajaran mendasar tentang kesinambungan kehidupan pribadi, salah satu contohnya. Dogma Kristen tentang alam penyiksaan sementara sesungguhnya dipungut dari Agama Yahudi, yang telah berkembang luas jauh sebelum kelahiran Yesus.
Disebutkan bahwa Judas Maccabæus pernah berdoa dan mempersembahkan kurban untuk menebus dosa para prajuritnya yang tewas di medan laga. Apabila terbebaskan dari dosa, orang-orang yang mati itu diharapkan dapat hidup dengan damai. Sementara para pelaku dosa berat (desperate sinners) dihukum sepanjang waktu, orang-orang yang lain jatuh ke Gohenna, mengerang kesakitan, dan kemudian bangkit kembali.
Di lain pihak, Agama Buddha menolak adanya suatu jeda yang menyambungkan keberlangsungan proses tumimbal-lahir; apakah itu merupakan suatu alam sementara maupun hanya sebagai suatu keadaan batiniah sesaat. Dalam filsafat Buddhis, kehidupan adalah suatu arus (sota), suatu rangkaian (paöipâöi) yang tak terputuskan (abbhocchinna) dari lima kelompok kehidupan (khandha). Tidak mungkin ada jeda, selang, cela atau perhentian dalam kesinambungan hidup (bhava-santati) karena ini bertentangan dengan dalil samanantara dan anantara-paccaya (keadaan berjujuh dan tanpa-antara), yang merupakan dua sebab ketergantungan dari 24 Paccaya.
Dalam pengertian Abhidhamma, begitu kesadaran ajal (cuti-citta) padam [dalam diri makhluk yang mati], kesadaran bertumimbal-lahir (paöisandhi-citta) langsung muncul mengikutinya [dalam diri makhluk yang baru]. Tidak ada alam antara ataupun perwujudan persinggahan. Begitu suatu makhluk mati dari satu alam kehidupan, ia langsung terlahirkan kembali di salah satu dari 31 Alam Kehidupan.
Proses kelangsungan hidup ini akan berlanjut terus secara berjujuh hingga suatu makhluk meraih Kemangkatan Mutlak (Parinibbâna), yang merupakan akhir dari segala penderitaan.
Menyimpang dari ajaran murni Buddha Gotama, beberapa sekte sempalan dalam Agama Buddha belakangan menyusupkan kepercayaan tentang antarâbhava. Menurut sekte Vijñanavâda, materi adalah khayalan pikiran. Makhluk yang lahir dari rahim, dari telur, melalui kelembaban, dan pelbagai tubuh makhluk hidup terlahirkan dalam keberadaan pertengahan, dan kemudian turun menuju jalan kehidupan. Apabila tidak ada keberadaan pertengahan, tidak ada pula Vijñâóa yang berevolusi.
Dalam Abhidharmako a- âstra karangan Vasubandhu, seorang bhiku aliran Sarvâstivâda, terkandung berbagai julukan-penjabaran bagi antarâbhava. Ia dianggap sebagai suatu produk pikiran (manomaya). Ia bergentayangan mencari alam kehidupan yang tertakdirkan baginya (sambhavai in). Ia makan bebauan (gandharva), dan kehidupannya hanya berlangsung pada satu saat (abhinirv tti). Makhluk yang akan terlahirkan di alam inderawi (kâma-bhava) dan alam berbentuk (rûpa-bhava) mengambil bentuk antarâbhava untuk beberapa waktu, namun makhluk yang akan terlahirkan di alam nirbentuk (arûpa-bhava) tidak akan mengambil bentuk antarâbhava.
Makhluk yang sedang dalam antarâbhava dapat saling melihat satu sama lainnya. Sementara itu, makhluk hidup di alam inderawi yang memiliki matadewa, yang benar-benar tersucikan, dapat melihat mereka yang sedang dalam antarâbhava. Makhluk yang sedang dalam antarâbhava dapat bergerak dengan cepat dan bebas di udara (âkâsa), dan pergerakan mereka tidak dapat terhalangi meski oleh berlian yang sekeras apa pun.
Antarâbhava yang tertakdirkan untuk lahir kembali di alam tertentu, pasti akan terlahirkan di sana. Tak ada yang bisa mengubah nasibnya. Apabila suatu antarâbhava melihat pasangan yang saling bersanggama, ia akan membayangkan gagasan ketaksucian dan masuk ke dalam rahim wanita itu. Antarâbhava mempunyai lima organ tubuh. Yang akan terlahirkan di alam surga berkelana ke atas dengan kepala mendongak. Yang akan terlahirkan di alam manusia dan alam binatang bertingkah-laku sebagaimana layaknya manusia. Yang akan terlahirkan di alam neraka bergentayangan dengan kepala menukik kebawah sedangkan kakinya menjulur ke atas.
Antarâbhava dipercayai oleh kaum Mahâyâna sebagai salah-satu dari empat tahap kehidupan (catvâro bhavâƒ); tiga lainnya ialah keberadaan atau keberlangsungan tumimbal-lahir (upapatti-bhava), keberadaan asal (pûrvakâla-bhava), dan keberadaan semasa kematian (maraóabhava). Namun, keberadaan atau ketakberadaan antarâbhava tidak ditetapkan secara telak. Kehidupan mendatang terjadi begitu cepatnya bagi makhluk hidup yang melakukan kebajikan atau kejahatan yang sangat besar, sehingga seseorang yang melanggar salah satu dari lima pantangan berat, misalnya, tidak akan mengambil tubuh antarâbhava. Semua makhluk hidup selain itu berada dalam alam antara sebelum terlahirkan kembali.
Bka’-brgyud-pa, salah satu sempalan sekte Vajrayâna di Tibet, yang bergaris keturunan dari Tilopa, sering mengacu pada Enam Ajaran Naropa dalam meraih pencerahan, yang salah satunya ialah keberadaan dalam perwujudan antara kematian dan tumimbal lahir (bardo). Ini digambarkan dalam lukisan Thang-ka, yang sangat terkenal dengan lukisan Bhava-cakra (Lingkaran Kehidupan) dan Maóòala (Alam Semesta).
Dalam bukunya berjudul “The Tibetan Book of Living and Dying”, Sogyal Rimpoche menjelaskan bahwa bardo dalam alam antara mempunyai tubuh kedewaan yang berciri mirip dengan kehidupan yang baru terlewatkan tetapi tanpa cacat sama sekali. Ukurannya seperti anak berusia antara delapan sampai sepuluh tahun. Ia dapat bergerak tanpa batas, bahkan dapat menembus benda-benda padat seperti tembok atau gunung. Pergerakannya hanya diatur oleh karma lampau. Landasan inderanya lengkap, amat ringan dan tembus pandang. Karena terbentuk dari lima unsur dasar materi, ia dapat merasa kelaparan atau kehausan. Ia hidup dari bebauan serta barang-barang yang dibakar sebagai persembahan–yang khusus ditujukan kepadanya.
Pada minggu-minggu awal, ia masih mempunyai anggapan sebagai laki-laki atau perempuan sebagaimana kehidupan yang lalu. Karena tidak merasa sudah mati, ia mungkin pulang ke rumah untuk menjumpai sanak-keluarga. Mencoba berbicara dengan mereka, memegang pundak mereka dan sebagainya, namun mereka tidak menjawab atau menunjukkan ekspresi apa pun. Apabila sangat melekati kehidupannya yang lampau, ia mungkin mencoba untuk merasuk kembali ke dalam tubuh yang telah ditinggalkannya. Baru setelah melihat bahwa ia tidak mempunyai bayangan, tidak terpantul di cermin, tidak berjejak kaki; tahulah ia bahwa dirinya sesungguhnya telah mati. Kenyataan ini mungkin dapat membuatnya taksadar diri.
Pandangan sesat tentang antarâbhava yang mengimbas beberapa sekte sempalan dalam Agama Buddha, selain aliran Theravâda yang berpegang-teguh pada ajaran murni Buddha Gotama, mencuatkan pelbagai pertanyaan filsafat yang sulit dicarikan jawabannya. Apakah Dalil Kamma masih berlaku bagi suatu makhluk yang sedang berada dalam antarâbhava?
Dengan pertanyaan lain, apakah ia dapat melakukan kejahatan atau kebajikan? Ataukah semua perbuatannya di sana bersifat pasif atau netral, tidak termasuk kejahatan maupun kebajikan? [23] Apakah ia mengalami perasaan suka-duka-netral sebagai akibat dari perbuatannya di masa lampau? Apakah keadaan suatu makhluk yang akan terlahirkan kembali di alam menyenangkan berbeda dengan yang akan terlahirkan di alam menyedihkan? Apakah antarâbhava merupakan suatu “alam kehidupan”? Termasuk salah satu dari 31 Alam Kehidupan? Kalau memang masih termasuk di dalamnya, lalu apa perlunya antarâbhava? Sebagai suatu tempat persinggahan supaya tidak ‘kecapaian’ dalam berkelana dari satu alam kehidupan ke kehidupan lainnya?
Sang Buddha memang pernah menyebut sambhavesî yang secara harfiah berarti makhluk yang masih mencari tempat kelahiran. Namun, ini bukanlah berarti bahwa Beliau menerima keberadaan alam antara. [24]
Ungkapan “masih mencari tempat kelahiran” janganlah disalahtafsirkan bahwa makhluk itu “bergentayangan” karena belum berhasil menemukan alam kehidupan yang baru bagi dirinya. Dalam mengulas istilah-istilah yang terkandung dalam Wejangan tentang Cinta Kasih (Mettasutta), Buddhaghosa Thera secara jelas menunjukkan perbedaan antara bhûta dan sambhavesî dalam konteks ini (Kitab Paramatthajotikâ). Yang dimaksud dengan bhûta ialah makhluk yang telah lahir [secara sempurna], yang tidak akan terlahirkan kembali, yakni para Arahanta yang telah menanggalkan seluruh kekotoran batin (khîóâsâva).
Sementara itu, sambhavesî adalah sebutan bagi orang-orang suci yang masih harus belajar lagi (sekhapuggala) dan orang-orang biasa yang masih harus bertumimbal lahir kembali –dalam arti masih mencari tempat kelahiran lagi. [25] Jadi, yang dirujuk sebagai sambhavesî dalam pengertian Theravâda ialah semua makhluk yang belum meraih kesucian tingkat Arahatta, yang masih harus berkelana di salah satu dari 31 Alam Kehidupan.
Sambhavesî bukanlah suatu makhluk yang berada dalam alam antara yang tak jelas keberadaannya. Kecuali dalam alam nirbentuk (arûpabhûmi), suatu kesadaran tidaklah mungkin muncul tanpa sama sekali bergantung pada badan jasmaniah –ibarat arus listrik yang tak mungkin timbul dengan sendirinya tanpa bergantung pada materi penghantar listrik. Badan jasmaniah adalah gua atau tempat tinggal kesadaran (gûhasayaæ).
Proses tumimbal lahir itu berlangsung sangat cepat sekali, bagaikan orang yang terbangun dari tidur (suttappabuddho viya). Tidak harus menunggu serta mencari-cari alam kehidupan yang baru. Suatu ‘terminal’ atau tempat persinggahan sementara sama sekali tidak diperlukan. Dalam Kitab Milinda Pañhâ, Nâgasena Thera menjelaskan bahwa proses tumimbal lahir itu berlangsung selaju kecepatan kesadaran. Penjelasan ini beliau berikan sebagai jawaban atas pertanyaan Raja Milinda,
“Seandainya seseorang mati di sini dan terlahirkan kembali di alam brahma; dan satu orang lainnya lagi juga mati di sini tetapi terlahirkan kembali di Kashmir; siapakah di antara kedua orang itu yang sampai lebih duluan?”
Nâgasena Thera menjawab dengan tegas dan pasti: “Keduanya sampai berbarengan, O Raja.”
“Bagaimana bisa begitu,” tanya Raja Milinda, “coba jelaskan!” Dengan tujuan untuk membuat suatu perumpamaan yang gampang dipahami, beliau bertanya, “O Raja, di kota manakah Baginda lahir?”
Raja menjawab: “Di suatu pedusunan bernama Kâlasira.”
“Seberapa jauh dari sini?” tanya Nâgasena Thera lebih lanjut. “Sekitar 200 yojana[26] ,” jawab Raja Milinda, “sedangkan Kashmir berjarak hanya sekitar 12 yojana dari sini.”
Secara beruntun Nâgasena Thera kemudian menyuruh Raja Milinda untuk ‘memikirkan’ pedusunan Kâlasira dan Kashmir.
Setelah itu beliau menanyakan, “Manakah yang lebih cepat Baginda pikirkan?” “Keduanya memakan waktu yang sama,” jawab Raja Milinda.
Nâgasena menjelaskan, “Demikian pula, O Raja, tidak dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat terlahirkan kembali di alam brahma dibandingkan dengan terlahirkan di Kashmir. Tidak ada yang sampai lebih duluan atau belakangan.”
Beliau juga membuat perumpamaan tentang terpaan bayang-bayang [cahaya yang terhalang] dari dua benda yang berada di ketinggian berbeda. [27]
Seseorang mungkin bertanya, “Kalau tidak dipercayai adanya suatu alam antara bagi makhluk-makhluk hidup untuk menunggu waktu yang tepat dalam bertumimbal lahir, apakah setiap saat terdapat keadaan yang cocok –dalam arti ada sperma serta telur yang masak sebagai syarat pembuahan yang membawa pada kelahiran kembali?”
Dalam pandangan Agama Buddha, makhluk hidup itu tidak terhitung jumlahnya. Kehidupan juga bukan hanya ada di dunia ini. Di Alam Semesta terdapat banyak tatasurya yang dapat dihuni oleh makhluk hidup. Lagipula, alam manusia bukanlah satu-satunya alam kehidupan. Kelahiran di alam lain tidak harus dilengkapi dengan adanya sperma dan telur yang masak. Karena itu, proses tumimbal lahir dapat terjadi setiap saat tanpa harus ‘mengada-adakan’ suatu alam penantian.
BAB III: RENUNGAN
Kematian, Layak Ditakuti?
Ia yang berpura-pura tidak merasa takut terhadap kematian telah berdusta. Semua orang takut mengalami kematian. Ini adalah suatu hukum tertinggi bagi semua makhluk hidup, dan tanpa adanya ini semua umat manusia akan segera terbinasakan. Demikianlah yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), seorang filosof serta penulis terkenal pada Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment).
Benarkah bahwa ‘semua’ makhluk tanpa kecuali takut terhadap kematian? Masalah ini sesungguhnya pernah diperdebatkan oleh Raja Milinda pada sekitar awal penanggalan Masehi. Nâgasena Thera menjelaskan bahwa ketika Sang Buddha menyabdakan bahwa “Semua orang takut terhadap hukuman, semua makhluk gentar menghadapi kematian” [Dhammapada syair ke 129]; ini tidaklah mencakup mereka yang telah meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Arahanta adalah suatu perkecualian dalam sabda tersebut. Mengapa? Alasannya ialah bahwa semua sebab bagi timbulnya rasa takut (all cause for fear) telah dicabut secara tuntas oleh mereka. Tak ada ketakutan apa pun bagi orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah menanggalkan kejahatan maupun kebajikan, yang senantiasa terjaga [syair ke 39]. Sabda tersebut hanyalah merujuk kepada mereka yang masih terliputi oleh noda batin, yang masih menggandrungi diri, yang masih terombang-ambingkan oleh suka dan duka. Kematian adalah suatu keadaan yang ditakuti oleh mereka yang belum berhasil menembus Kebenaran.
Dalam Aõguttara Nikâya, Catukkanipâta dikisahkan bahwa pada suatu ketika seorang brâhmaóa bernama Jânussoóî menghadap Buddha Gotama dan kemudian mengungkapkan pandangannya, “Tidak ada satu makhluk pun, yang wajar mengalami kematian, tidak merasa takut dan gentar terhadap kematian.”
Sang Buddha menolak pandangan ini, dan menyatakan bahwa memang ada makhluk yang merasa takut dan gentar terhadap kematian, namun ada pula yang tidak. Beberapa orang di dunia ini, yang belum terbebas dari nafsu, kepuasan, kecintaan, ketagihan, gejolak, hasrat terhadap kesenangan inderawi, manakala diserang oleh penyakit parah, niscaya akan mencemasi, “Kesenangan inderawi yang tercinta niscaya akan meninggalkan saya, dan saya pun harus meninggalkannya.”
Ia niscaya bersedih, bersusah hati, berkeluh-kesah, memukuli dadanya sambil meratapi keterpikatan. Orang-orang inilah yang merasa takut dan gentar terhadap kematian. Mereka yang belum terbebas dari nafsu, kepuasan, kecintaan, ketagihan, gejolak, hasrat terhadap tubuh jasmaniah niscaya juga merasa takut dan gentar terhadap kematian.
Demikian pula orang-orang yang tidak melakukan kebajikan dan perbuatan-perbuatan bermanfaat, yang tidak membuat perlindungan terhadap ketakutan, yang hanya melakukan kejahatan dan perbuatan-perbuatan kejam dan kotor; dan orang-orang yang penuh keragu-raguan serta kebingungan, yang belum sampai pada keputusan dalam Kebenaran Sejati. Sebaliknya, mereka yang telah terbebas dari nafsu… [kebalikan dari empat jenis makhluk di atas] tidak akan merasa takut dan gentar terhadap kematian.
Orang-orang yang telah meraih kesucian tertinggi memang tidak lagi gentar terhadap kematian. Akan tetapi, bagaimana pula dengan umat Buddha yang masih belum meraih kesucian? Layakkah merasa takut terhadap kematian? Kematian sesungguhnya bukanlah suatu peristiwa yang layak ditakuti oleh setiap umat Buddha. Kematian adalah suatu kenyataan hidup yang perlu dihadapi secara arif. Mengapa? Alasannya ialah bahwa sebagai umat Buddha, seseorang semestinya mempercayai adanya kehidupan lain setelah kematian (hereafter) –sepanjang benih kehidupan masih belum terputuskan. Hanya orang-orang yang menyangkal adanya kehidupan setelah mati; yang menganut pandangan Materialisme, wajar merasa takut terhadap kematian karena kematian merupakan akhir segala-galanya. Kematian, bagi mereka, adalah kehancuran total –suatu kenyataan yang tidak mereka kehendaki karena masih melekati kehidupan.
Di lain pihak, bagi umat Buddha, berangkat menuju kematian tidaklah ubahnya seperti pergi tidur, dengan keyakinan bahwa suatu saat kemudian akan bangun kembali. Lagipula, dipandang dengan pengertian Abhidhamma, setiap saat semua makhluk sesungguhnya mengalami kelahiran serta kematian yang berulang-ulang (khaóa-maraóa). Dalam kehidupan sekarang ini pula, kematian telah terjadi dalam jumlah tak terhitung. Dengan begitu, tidak ada alasan sama sekali untuk merasa takut dan gentar terhadapnya.
Seperti anak kecil yang kebanyakan takut pada kegelapan, demikian pula hampir semua orang takut pada kematian. Anak kecil takut pada kegelapan karena dalam kegelapan ia kehilangan kejelasan serta pengetahuan atas keadaan sekeliling. Dengan alasan serupa, orang takut pada kematian karena ketakjelasan serta ketaktahuan atas misteri atau seluk-beluk kematian.
Sang Buddha bersabda, “Kehidupan tidaklah pasti. Kematian itulah yang pasti.” Sesuatu yang tak pasti, tak menentu –kehidupan– itulah yang sesungguhnya lebih patut ditakuti daripada kematian –sesuatu yang cepat atau lambat pasti terjadi dan menimpa semua makhluk. Hampir semua orang mati dengan tenang. Namun, hampir semua bayi lahir dengan dibarengi tangisan.
Apakah dengan merasa takut, seseorang dapat terhindar dari cengkeraman kematian? Tidak bukan? Karena itu, apa manfaat yang dapat diperoleh dengan merasa takut terhadapnya? Ini justru menambah penderitaan batiniah. Seseorang merasa takut terhadap kematian karena telah mengabaikan sifat ketakterelakkannya, telah melupakan kepastiannya.
Seberapa besar kemelekatan seseorang terhadap kehidupan sekarang, sebesar itu pula ketakutannya terhadap kematian. Bagaimana cara mengikis rasa takut terhadap kematian? Latihlah penyadaran atas kematian sebagaimana yang akan dijabarkan pada halaman selanjutnya. Ini adalah suatu pokok meditasi yang khusus ditujukan untuk mengatasi rasa takut terhadap kematian, untuk mempersiapkan diri dalam menyongsong kematian, untuk menyadari kematian sebagai suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan, untuk menembus kebenaran atas kefanaan hidup, dan untuk meraih Pembebasan Sejati. Sang Buddha bersabda,
“Duhai Para Bhikkhu,penyadaran atas kematian –apabila dijalankan dan dikembangkan–niscaya memberikan buah serta manfaat yang besar. Ini menembus ke dalam Keadaan Tanpa Kematian (Deathless), dan menjadikannya sebagai akhir yang mutlak.” [1]
Maraóasati
Penyadaran atas Kematian[2]
Kini tibalah pada penjabaran atas pengembangan penyadaran atas kema tian sebagai urutan berikutnya.
[Definisi]
Kematian adalah terputusnya kemampuan hidup (jîvitin-driya) yang terdapat pada satu perwujudan. Kematian mutlak (samuccheda-maraóa) yang merupakan keterputusan daur penderitaan para Arahanta; kematian sesaat (khaóika-maraóa) yang merupakan kepadaman semua perpaduan pada setiap saat; dan kematian persepakatan (sammutimaraóa) sebagaimana yang dipakai oleh masyarakat dunia dalam ungkapan “pohon mati”, “logam mati” dan sebagainya; bukanlah yang dimaksudkan di sini.
Yang dimaksudkan di sini ialah dua macam kematian, yakni: kematian yang tepat pada waktunya (kâla-maraóa), dan yang belum pada waktu semestinya (akâla-maraóa). Kematian yang tepat pada waktunya terjadi karena habisnya kebajikan, habisnya usia, atau keduanya. Kematian yang belum pada waktu semestinya terjadi karena kekuatan kamma yang memutuskan kamma pembentuk kehidupan [janaka-kamma].
Kematian karena habisnya kebajikan ialah suatu kematian yang terjadi karena kamma yang mengakibatkan kelahiran kembali (paöisandhi) telah berbuah masak kendati masih ada faktor pemerlanjut usia. Kematian karena habisnya usia ialah suatu kematian yang terjadi karena habisnya usia, misalnya usia rata-rata sekitar 100 tahun untuk manusia pada zaman sekarang ini, yang diakibatkan oleh ketidakadaan tujuan (gati), waktu (kâla), makanan (âhâra) dan sebagainya.
Kematian yang tidak tepat pada waktunya ialah kematian yang menimpa makhluk-makhluk yang faktor pemerlanjut usia mereka terputuskan oleh kamma yang dapat menyebabkan mereka segera terjatuh dari keberadaan mereka, seperti kejadian pada Dûsi-Mâra, Kalâburâjâ, dan lain-lain; atau makhluk-makhluk yang faktor pemerlanjut usia mereka terputuskan karena pencelakaan (upakkama) misalnya dengan serangan senjata dan sebagainya, yang merupakan akibat kamma lampau mereka. Semua itu termasuk keterputusan kemampuan hidup sebagaimana yang telah dinyatakan. Maraóasati ialah perenungan terhadap kematian, dalam perkataan lain, terputusnya kemampuan hidup.
[Pengembangan]
Orang yang berminat untuk mengembangkan Maraóasati hendaknya pergi ke tempat yang sepi, hidup menyendiri, dan mengarahkan perhatian dengan arif (manasikâra) bahwa: “Kematian akan terjadi; kemampuan hidup akan terputus,” atau boleh juga menguncarkan “Kematian, Kematian.”
Apabila tidak mengarahkan perhatian dengan arif, misalnya dengan membayangkan kematian orang yang disukai (iööha), kesedihan niscaya akan timbul –ibarat kesedihan yang timbul dalam diri seorang ibu kandung yang mengenang kematian putra tercinta. Kegembiraan niscaya akan timbul karena merenungkan kematian orang yang tak disukai (aniööha), ibarat seteru yang mengenang kematian orang yang dimusuhi (verî). Sementara itu, keprihatinan tidak akan timbul karena merenungkan orang yang netral (majjhatta) –seperti halnya keprihatinan tidak akan timbul dalam diri juru-kunci yang melihat sosok jenazah. Kecemasan niscaya akan timbul apabila merenungkan kematian diri sendiri, sebagaimana kecemasan yang timbul dalam diri seorang pengecut karena melihat pembunuh yang sedang menghunus goloknya.
Kesedihan dan sebagainya itu niscaya akan timbul dalam diri orang yang tidak memiliki penyadaran jeli (sati), keprihatinan (saævega), dan pengetahuan (ñâóa). Karena itu, seseorang hendaknya melihat makhluk yang terbunuh atau telah mati sendiri di sana-sini, lalu merenungkan kematian makhluk yang sebelumnya pernah diketahui memiliki segala kelengkapan; melengkapinya dengan penyadaran jeli, keprihatinan, dan pengetahuan, dan selanjutnya secara arif mengarahkan perhatian dengan penghayatan: “Kematian akan terjadi.” Dengan begitu, ia dapat dianggap telah mengarahkan perhatian dengan arif –dalam arti menjalankannya dengan cara yang benar.
Bagi sementara orang [yang memiliki kemampuan besar], perenungan semacam itu saja dapat mengatasi kendala batin (nîvaraóa), me mantapkan penyadaran jeli yang berobjek kematian, dan meraih tingkat meditasi penghampiran (upacâra).
[Delapan Cara Perenungan]
Sementara itu, mereka yang tidak mendapatkan kemajuan [dengan perenungan semacam itu saja] hendaknya merenungkan kematian dengan menggunakan delapan cara sebagai berikut:
[1.] Dengan membayangkan kemunculan seorang pembunuh (vadhakapaccupaööhânato),
[2.] Dengan merenungkan sirnanya keberhasilan (sampattivipattito),
[3.] Dengan mengadakan perbandingan (upasaæharaóato),
[4.] Dengan menyadari bahwa tubuh ini terbagi oleh umum (kâyabahusâdhâraóato),
[5.] Dengan merenungkan kerapuhan usia (âyudubbalato),
[6.] Dengan merenungkan kehidupan yang nirmarkah (animittato),
[7.] Dengan merenungkan kehidupan yang berbatas waktu (addhânaparicchedato),
[8.] Dengan merenungkan pendeknya tempo kehidupan (khaóaparittato).
1. Dengan Membayangkan Kemunculan Seorang Pembunuh
Seseorang hendaknya merenungkan, “Ibarat seorang pembunuh yang muncul dengan sebilah golok, yang berdiri mendekat sambil menghunuskan golok di leher dengan itikad ‘Aku akan menebas kepala orang ini’; demikian pula kematian menampakkan kemunculannya.” Mengapa? Sebab ia datang bersama kelahiran dan merampas kehidupan. Bagaikan jamur payung yang senantiasa muncul dengan menyembulkan tanah di atasnya, demikian pula makhluk hidup terlahirkan bersama dengan ketuaan dan kematian. Memang begini adanya, kesadaran bertumimbal-lahir makhluk itu mencapai ketuaan segera setelah kemunculannya dan kemudian padam bersamaan dengan perpaduan kelompoknya; ibarat batu yang hancur terjatuh dari puncak bukit. Kematian sesaat (khaóika-maraóa) muncul bersama dengan kelahiran. Bahkan kematian yang dimaksudkan dalam Maraóasati ini juga muncul bersama dengan kelahiran; sebab makhluk hidup yang terlahirkan pasti mengalami kematian. Ibarat terbitnya matahari yang bergeser menuju ufuk keterbenaman dan tidak pernah berbalik haluan walau sedikit pun; atau ibarat arus sungai yang mengalir dari gunung, yang dengan deras membawa hanyut tanpa kembali; demikian pula makhluk hidup berkelana menuju kematian semenjak kelahirannya dan tidak pernah berbalik meski hanya sedikit pun. Karena itulah, Bodhisatta Ayogharakumâra berwejang:
“Sejak saat pertama masuk ke dalam kandungan, manusia yang terlahirkan hanya dapat bertolak dan bertolak tanpa berbalik kembali.”
Sewaktu ia bertolak begitu, kematian niscaya datang mendekat setiap saat ibarat mata air yang mengering karena terbakar matahari di musim kemarau; ibarat jatuhnya buah-buahan bertangkai kering di pagi hari; ibarat pecahnya belanga yang tertumbuk palu; ibarat menguapnya embun yang tertimpa terik matahari. Karena itulah, Sang Buddha bersabda [tiga syair pertama, sedangkan Sang Bodhisatta mewejangkan syair keempat]:
Siang dan malam berlalu, Kehidupan mendekati kepadaman, Usia makhluk hidup berkurang dan berkurang, Ibarat mata air yang mengering. Sebagaimana buah yang telah masak Yang terjatuh di pagi hari, Bahaya kematian niscaya menimpa Makhluk yang telah terlahirkan.
Ibarat belanga tanah yang dibuat oleh tukang belanga, Yang besar maupun kecil, yang masak atau masih mentah, Semuanya berakhir pada kehancuran, Demikian pula kehidupan semua makhluk, berarkhir pada kematian.
Bagaikan embun di ujung rerumputan, Yang menguap karena terbitnya matahari, Begitu pula usia manusia; Karena itu, Ibunda, jangan rintangi saya [dalam menanggalkan keduniawian].
Kematian datang bersama kelahiran, ibarat seorang pembunuh dengan golok terhunus. Seperti pembunuh yang menghunuskan golok dileher, demikian pula kematian merampas kehidupan tanpa pernah membawanya kembali. Kematian diumpamakan seperti kemunculan seorang pembunuh bergolok terhunus karena datang bersama dengan kelahiran, dan karena merampas kehidupan. Demikianlah seseorang hendaknya merenungkan kematian ibarat kemunculan seorang pembunuh.
2. Dengan Merenungkan Sirnanya Keberhasilan
Keberhasilan tampak bergemilang sepanjang kesirnaan belum menguasainya, dan sesungguhnya tidak ada suatu keberhasilan yang luput dari jangkauannya. Memang demikian adanya. Bahkan Raja Asoka yang [bergelar] Tanpa Kesedihan pun, Yang berhasil memerintah seluruh daratan [Jambudîpa], Yang membelanjakan [anggaran] seratus koöi [setiap harinya], Di akhir masa kehidupannya, Hanya berkuasa atas separoh biji asam, Beserta sekujur tubuhnya, Tatkala kebajikannya telah terhabiskan, Ia menghadapi kematian; tiba pada keadaan yang menyedihkan.
Lebih lanjut, segala kesehatan berakhir pada kesakitan; segala kebeliaan berakhir pada keuzuran; segala kehidupan berakhir pada kematian; segala perwujudan duniawi dikuntiti kelahiran, diburu ketuaan, dirundung penyakit, dan dibasmi kematian. Karena itu, Sang Buddha bersabda:
Bagaikan gunung padas yang besar, Tinggi menjulang ke langit, Menggilas semua makhluk hidup di bawahnya, Yang datang dari empat penjuru sekeliling; Begitu pula ketuaan dan kematian menindas semuanya, Meluluh-lantakkan semua makhluk, tanpa kecuali, Ningrat, agamawan, pedagang, pakar, Orang tercampakkan ataupun tukang sampah. Di sini tak ada tempat berpijak bagi serdadu bertunggangan gajah, kuda, Serdadu berkereta atau berjalan kaki, Tak seorang pun mampu mengalahkannya,
Dengan rapalan aji-aji mantra ataupun suapan harta. Demikianlah kesirnaan yakni kematian sebagai akhir dari keberhasilan yakni kehidupan. Seseorang hendaknya memahami bahwa kehidupan berakhir pada kematian, merenungkan kematian sebagai kesirnaan keberhasilan.
3. Dengan Perbandingan
Seseorang hendaknya merenungkan kematian dengan memperbandingkan dirinya dengan orang-orang lain [yang telah mati] dalam tujuh jenis, yakni:
1. Mereka yang memiliki kemasyhuran yang luas (yasamahattato),
2. Mereka yang mempunyai kebajikan yang banyak (puññamahattato),
3. Mereka yang memiliki kekuatan yang besar (thâmamahattato),
4. Mereka yang mempunyai kesaktian adiinsani yang hebat (iddhimahattato),
5. Mereka yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi (paññâmahattato),
6. Para Pacceka Buddha (Paccekabuddhato),
7. Para Sammâsambuddha (Sammâsambuddhato).
Bagaimana [harus direnungkan]?
Bahkan Mahâsammata, Mandhâtu, Mahâsudassana, Daïhanemi, Nimi, dan lain-lain, yang sangat termashyur, yang memiliki banyak pengikut dan kekayaan melimpah, tidak terelakkan dari cengkeraman kematian. Bagaimana mungkin kematian tidak mencengkeram saya?
Raja-raja besar seperti Mahâsammata, Yang kemashyurannya tersebar luas, Semuanya jatuh ke dalam kekuasaan kematian; Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Demikianlah yang pertama-tama harus direnungkan. Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang mempunyai kebajikan yang banyak?
Para hartawan ini: Jotiya, Jaöila, Ugga, Meóòaka, Puóóaka, dan lain-lain Yang mempunyai banyak kebajikan di dunia, Mereka semuanya masih mengalami kematian; Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang memiliki kekuatan yang besar?
Bahkan Vâsudeva, Baladeva, Bhîmasena, Yuddhiööhila, Dan pegulat Câóura, Masih berada dalam kekuasaan kematian.
Apabila yang terkenal di dunia Sebagai orang-orang yang memiliki kekuatan besar pun, Masih mengalami kematian, Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang mem punyai kesaktian adiinsani yang hebat?
Siswa Utama yang kedua, Yang terunggul di antara mereka yang mempunyai kesaktian adiinsani yang hebat, Yang hanya dengan menggunakan jari kaki Mampu menggoyahkan gedung istana Vejayanta, Beliau pun, ibarat seekor kijang dalam mulut singa, Kendati memiliki kesaktian adiinsani, Masih terjatuh dalam cengkeraman kematian[3] yang menakutkan. Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi?
Tidak ada satu makhluk lain pun, Kecuali Pendukung Dunia [Sang Buddha], Yang bernilai seperenam-belas dari Kebijaksanaan yang dimiliki oleh Sâriputta, Siswa Utama yang pertama, Yang terunggul dalam kebijaksanaan ini pun, Masih berada dalam kekuasaan kematian. Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap para Pacceka Buddha?
Kendati telah menghancurkan semua musuh berupa kekotoran batin dengan kekuatan pengetahuan serta upaya mereka sendiri, dan telah meraih pencerahan bagi diri mereka sendiri, seperti tanduk badak [yang berdiri sendiri], mereka tersucikan oleh diri sendiri; semuanya masih juga belum terlepas dari kematian. Lalu bagaimana mungkin saya terbebas darinya?
Untuk menunjang pencarian kebenaran, Para pertapa merenungkan pelbagai markah, Meraih pembebasan dari kekotoran batin, Dengan pengetahuan [mereka sendiri] yang mapan. Berkelana dan hidup sendirian, Ibarat tanduk badak, Mereka pun tidak terhindar dari kematian.
Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap para Sammâsambuddha?
Bahkan para Sammâsambuddha, yang tubuh jasmaniah mereka terlengkapi dengan 32 markah orang besar dan 80 tanda-tanda khusus lain, yang tubuh kedhammaan mereka terbentuk dari mustika kebajikan yang terdiri atas kesilaan yang murni dalam segala sisinya dan sebagainya, yang terluas kemashyuran mereka, yang berkebajikan terbanyak, yang mempunyai kekuatan terbesar, yang berkesaktian adiinsani terhebat, yang berkebijaksaan tertinggi, yang tak terbandingkan, yang setara dengan mereka yang tak terbandingkan, yang tidak ada duanya, yang secara benar meraih Pencerahan Agung oleh diri sendiri; mereka pun terpadamkan oleh hujan kematian, ibarat api unggun besar yang padam tersiram hujan lebat.
Kematian menyebarkan kekuatannya, Tanpa takut dan malu, Meski terhadap Pertapa Agung Yang memiliki kekuatan terhebat; Bagaimana mungkin kematian Yang tak mengenal takut dan malu ini, Yang menindas semua makhluk secara menyeluruh, Tak akan menguasai orang-orang seperti saya?
Tatkala melakukan perenungan dengan cara demikian, dengan memperbandingkan dirinya dengan orang-orang lain yang memiliki kemasyhuran yang luas dan sebagainya, dalam makna kematian yang menyeluruh, dengan berpikir “Kematian akan menimpa diri saya sebagaimana terhadap orang-orang khusus itu,” –seseorang niscaya meraih tingkat meditasi penghampiran.
Demikianlah kematian seharusnya direnungkan dengan meng adakan perbandingan.
4. Dengan Menyadari bahwa Tubuh ini Terbagi oleh Umum
Tubuh jasmaniah ini terbagi oleh banyak jenis makhluk. Pertama, terbagi oleh 80 jenis binatang kecil [bernga, belatung, kuman, dan sebagainya]. Yang berada di permukaan kulit menggigit serta memakan permukaan kulit; yang berada di kulit jangat menggigit serta memakan kulit jangat; yang berada di daging menggigit serta memakan daging; yang berada di otot menggigit serta memakan otot; yang berada di tulang menggigit serta memakan tulang; yang berada di sumsum menggigit serta memakan sumsum. Mereka lahir, menua, mati dan membuang kotoran besar kecil di sana. Dapat dikatakan bahwa tubuh ini merupakan tempat bersalin, rumah sakit, jamban, dan kuburan bagi mereka. Tubuh ini dapat tergiring menuju kematian dari gangguan binatang kecil tersebut. Selain terbagi oleh 80 jenis binatan kecil, tubuh ini juga terbagi oleh beberapa ratus penyakit dalam (internal diseases) di samping penyebab luar (external causes) kematian seperti ular, kalajengking dan sebagainya.
Ibarat senjata-senjata seperti panah, tombak, lembing, batu dan sebagainya –yang dilemparkan dari segala penjuru–, jatuh mengenai sasaran yang terletak di tengah persimpangan; begitu pula segala celaka jatuh menimpa tubuh ini, dan karenanya pula ia tiba pada kematian.
Karena itu, Sang Buddha bersabda: “Duhai Para Bhikkhu, tatkala siang berlalu dan malam datang menjelang, para bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini merenungkan ‘Ada banyak hal yang dapat membuat saya mati. Ular mungkin memagut saya, kalajengking mungkin menyengat saya, lipan mungkin menggigit saya. Saya mungkin mati karenanya, dan itu berbahaya bagi saya. Saya mungkin terpeleset dan jatuh ke jurang. Makananvyang saya santap mungkin mengandung racun. Empedu saya mungkin terganggu. Dahak saya mungkin terganggu. Angin dalam tubuh sayavmungkin terganggu, dan memutuskan kesinambungan hidup. Saya mungkin mati karenanya, dan itu berbahaya bagi saya.”
Demikianlah kematian hendaknya direnungkan, dengan menyadari bahwa tubuh ini terbagi oleh umum.
5. Dengan Merenungkan Kerapuhan Usia
Usia kehidupan itu lemah dan rapuh. Kehidupan suatu makhluk bergantung pada pernafasan, sikap tubuh, hawa panas dingin, empat unsur pokok, dan sari makanan.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan nafas masuk dan nafas keluar. Apabila udara yang keluar dari saluran pernafasan tidak masuk kembali, atau yang telah masuk tidak keluar lagi; seseorang niscaya akan mati.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan empat sikap tubuh. Apabila berada dalam satu sikap secara berlebihan, usia kehidupan niscaya akan terputuskan.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan hawa panas dan dingin. Apabila terkena hawa panas atau dingin yang berlebihan, seseorang niscaya akan mati.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan empat unsur pokok. Apabila ada ganguan unsur tanah, unsur air atau unsur lainnya, orang yang kuat sekali pun niscaya akan menjadi orang yang bertubuh mengeras, membusuk karena penyakit dan sebagainya, bergejala panas menanjak, persendian tulang dan ototnya terputus, dan bahkan sampai pada kematian.
Kehidupan berlangsung hanya apabila seseorang memperoleh sari makanan yang tepat pada waktunya. Apabila tidak ada makanan, kehidupannya niscaya akan berakhir.
Seseorang hendaknya merenungkan kematian, dengan merenungkan usia kehidupan sebagai sesuatu yang rapuh.
6. Dengan Merenungkan Kehidupan yang Nirmarkah
Makna kehidupan yang nirmarkah ialah bahwa kehidupan itu tidaklah dapat ditentukan dan dibayangkan batasnya. Lima hal yakni usia kehidupan, penyakit, waktu, tempat tubuh ini terkapar, dan jalur tujuan; dari semua makhluk di dunia ini tidaklah bermarkah, tidak dapat diketahui.
Dalam lima hal ini, kehidupan tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa akan hidup sebatas ini, tak lebih daripada ini. Ada makhluk yang mati dalam pelbagai tahap janin, yakni pada waktu masih berupa tetesan air bening kekuning-kuningan (kalala), gelembung air warna daging (abbuda), cairan daging merah (pesi), gumpalan daging berbentuk seperti telur ayam (ghana), dalam kandungan selama satu bulan, dua bulan, tiga bulan, empat, lima bulan, … sepuluh bulan, dan pada waktu terlahirkan dari kandungan. Kalau pun melewati tahap itu, mungkin mati dalam waktu kurang lebih 100 tahun.
Penyakit tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa makhluk akan mati hanya oleh penyakit ini, bukan karena penyakit yang lain. Ada makhluk yang mati karena penyakit mata, ada pula yang mati karena penyakit-penyakit lain seperti penyakit telinga.
Waktu tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa makhluk akan mati hanya pada waktu ini, bukan pada waktu lain. Ada makhluk yang mati pada pagi hari, ada pula yang mati pada waktu-waktu lain seperti siang hari.
Tempat tubuh ini terkapar tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa ketika makhluk mati, tubuh mereka hanya terkapar di sini, bukan di tempat lain. Ada makhluk yang terlahirkan dalam rumah, mati dengan tubuh terkapar di luar rumah; ada pula makhluk yang terlahirkan di luar rumah, mati dengan tubuh terkapar di dalam rumah. Dalam makna yang sama, orang bijak hendaknya memperluas pengertian ini dalam pel bagai pengandaian seperti: ada makhluk yang terlahirkan di darat, mati terkapar di air; ada pula makhluk yang terlahirkan di air, mati terkapar di darat.
Tujuan pun tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa makhluk yang mati dari sini akan terlahirkan kembali di sini. Ada makhluk yang mati dari Alam Surga,terlahirkan kembali di Alam Manusia; ada pula makhluk yang mati dari Alam Manusia, terlahirkan kembali di alam-alam lain seperti Alam Surga dan sebagainya. Dengan cara demikianlah [makhluk di] dunia ini berputar-putar dalam lima jenis tujuan ibarat sapi yang terikat pada kereta berjalan berputar-putar.
Demikianlah kematian hendaknya direnungkan, dengan merenungkan kehidupan yang nirmarkah.
7. Dengan Merenungkan Kehidupan yang Berbatas Waktu
Rentang waktu kehidupan manusia pada zaman ini sangatlah singkat. Ada orang yang hidup selama 100 tahun, ada pula yang lebih lama namun hanya sebagian kecil. Karena itu, Sang Buddha bersabda:
“Duhai Para Bhikkhu, usia manusia itu sangatlah singkat. Ada kehidupan lain yang harus dijalani. Hendaknya berbuat kebajikan serta menempuh kehidupan suci. Tak ada makhluk yang terlahirkan tidak mengalami kematian. Memang ada makhluk yang hidup selama 100 tahun atau lebih, namun itu hanyalah sebagian kecil.”
Usia manusia itu sangatlah pendek, Orang bijak hendaknya meremehkannya, Hendaknya berprilaku sebagaimana orang yang kepalanya terbakar, Tak mungkin kematian tidak datang menjenguk.
Beliau bersabda lebih lanjut: “Duhai Para Bhikkhu, pernah ada seorang guru bernama Araka…” dan seterusnya. Orang bijak hendaknya menguraikan sutta yang terhiasi oleh tujuh perumpamaan. Dalam sutta lain lagi Beliau berwejang: “Duhai Para Bhikkhu, bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggalselama satu hari dan satu malam. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’
Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama satu siang. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’
Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama satu waktu bersantap. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’
Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama empat lima kunyahan serta telanan [makanan]. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’ Para bhikkhu semacam itu saya nilai masih lalai, dan terlalu lamban dalam merenungkan kematian demi penghancuran kekotoran batin. Sementara itu, bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama satu kunyahan serta telanan [makanan]. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’ Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama satu tarikan nafas masuk dan satu hembusan nafas keluar, atau satu hembusan nafas keluar dan satu tarikan nafas masuk. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’ Bhikkhu semacam ini saya nilai tidak lalai, dan cergas dalam merenungkan kematian demi penghancuran kekotoran batin.”
Sedemikian singkatnya usia kehidupan sehingga tidak patut diabaikan meski hanya sewaktu mengunyah serta menelan empat atau limasuapan [makanan]. Demikianlah kematian hendaknya direnungkan, dengan merenungkan kehidupan yang berbatas waktu.
8. Dengan Merenungkan Pendeknya Tempo Kehidupan
Berdasarkan pengertian mutlak (paramattha), waktu hidup makhluk-makhluk itu sangatlah pendek, hanya berlangsung selama kemunculan satu kesadaran. Ibarat roda kereta, sewaktu berputar, ia berputar dengan bagian pelek yang sama; ketika berhenti, ia berhenti dengan bagian pelek yang sama. Demikian pula kehidupan makhluk, hanya berlangsung pada satu saat kesadaran. Begitu kesadarannya lenyap kembali, makhluk itu dapat dikatakan telah mati (padam), sebagaimana yang disabdakan: “Pada saat kesadaran lampau, ia dikatakan telah hidup, tidak sedang hidup ataupun akan hidup. Pada saat kesadaran mendatang, ia tidak dikatakan telah hidup ataupun sedang hidup melainkan akan hidup.
Pada saat kesadaran sekarang, ia bukan telah hidup ataupun akan hidup tetapi sedang hidup. Kehidupan, kepribadian, dan segala suka duka; terpadu oleh satu kesadaran, Waktu [kehidupan] itu berlalu sangat cepat, Kelompok kehidupan yang telah padam Milik mereka yang telah mati atau masih hidup, Semuanya sama, padam tak kembali.
Dunia [makhluk] dikatakan tak timbul karena kesadaran tak muncul, Dikatakan hidup karena munculnya kesadaran, Dikatakan mati karena padamnya kesadaran, Inilah ketetapan dalam pengertian mutlak.
Demikianlah kematian seharusnya direnungkan, dengan merenungkan pendeknya tempo kehidupan.
[Simpulan]
Dengan merenungkan salah satu dari delapan macam cara ini, berkat kekuatan perhatian yang tekun, pikiran niscaya akan lancar, penyadaran jeli yang berobjekkan kematian niscaya akan termantapkan, segala kendala batin niscaya tertekan, dan faktor-faktor pencerapan (jhâna) niscaya akan muncul. Namun, karena objeknya merupakan keadaan alamiah (sabhâvadhamma) dan karena menimbulkan perasaan keprihatinan, pencerapan ini tidak sampai pada tahap pencapaian (appanâ); hanya sampai pada tahap penghampiran (upacâra).
Sementara itu, pencerapan adiduniawi (lokuttara-jhâna) dan pencerapan nirbentuk (arûpa-jhâna) yang kedua dan keempat sampai pada pencapaian kendati merupakan keadaan alamiah. Sebab, [ini] merupakan pengembangan khusus. Pencerapan adiduniawi dapat sampai pada tahap pencapaian karena kekuatan pengembangan kesucian yang progresif. Pencerapan nirbentuk dapat sampai pada tahap pencapaian karena merupakan pengembangan yang melampaui objek. Sebab, dalam pencerapan nirbentuk hanya ada pelampauan objek jhâna yang telah sampai pada pencapaian. Namun, dalam perenungan atas kematian ini, keduanya tidak terdapat. Karena itu, [ini] merupakan pencerapan yang hanya sampai pada tahap penghampiran. Pencerapan ini disebut penyadaran jeli atas kematian karena muncul berkat perenungan atas kematian.
Bhikkhu yang senantiasa mengembangkan Maraóasati ini niscaya akan menjadi orang yang tidak lalai. Ia akan memperoleh pemahaman ketakterpikatan terhadap segala perwujudan; dapat menanggalkan kemelekatan terhadap kehidupan, mencela kejahatan, tidak banyak menimbun [barang], terbersihkan dari noda kekikiran atas segala harta milik, dan bahkan pemahaman atas ketaklanggengan niscaya akan tumbuh. Pemahaman atas penderitaan dan ketanpa-dirian niscaya akan muncul mengikutinya. Makhluk hidup yang tidak melatih [perenungan terhadap] kematian niscaya mengalami ketakutan, kengerian dan kekacauan tatkala ajal menjelang ibarat orang yang tiba-tiba diserang oleh binatang buas, raksasa, ular, penjahat atau pembunuh. Sebaliknya, ia [yang melatih perenungan terhadap kematian] tidaklah mengalami ketakutan, tidak terjatuh dalam keadaan semacam itu. Apabila tidak meraih Kekekalan (Nibbâna) dalam kehidupan sekarang ini juga, ia setidak-tidaknya akan terlahirkan kembali di Alam Bahagia setelah kehancuran tubuh jasmaniah (kematian).
Karena alasan itulah, orang yang memiliki kebijaksanaan Hendaknya senantiasa tidak lalai Dalam perenungan atas kematian Yang berkekuatan besar ini. Ini merupakan bagian berkenaan dengan perenungan atas kematian dalam penjelasan terinci.
BAB IV: TRADISI
Ikut Berduka-cita?
Dalam surat-surat kabar sering tercantum berita kematian berbunyi seperti: “Ikut Berduka-cita atas meninggalnya ...” Itu hanyalah sebagian kecil ungkapan perasaan yang tersalurkan melalui media cetak. Di rumah almarhum/ah, dapat dijumpai pemandangan yang jauh lebih mengenaskan.
Sanak keluarga yang ditinggalkan tampak bersedih-hati dengan menangis dan bahkan ada yang sampai menggerung-gerung.
Kejadian semacam itu tidak hanya dapat dijumpai dalam keluarga non-Buddhis, melainkan juga sering terjadi di kalangan umat Buddha. Bagaimana sesungguhnya kejadian tersebut jika ditinjau berdasarkan Dhamma? Dapatkah perbuatan itu dibenarkan? Sesuaikah dengan semangat ajaran murni Sang Buddha?
Dalam Mahâparinibbâna Sutta, kejadian semacam itu dapatlah dijumpai. Dikisahkan bahwa ketika Buddha Gotama akan mengakhiri kehidupan-Nya, Ânanda Thera sangat berduka-cita. Sambil bersandar di tiang pintu, beliau menangis. Mengetahui hal ini, Sang Buddha segera memanggilnya dan menasihati: “Cukup, Ânanda, janganlah Engkau bersedih hati, dan janganlah meratap! Bukankah sejak semula telah Saya wejangkan bahwa peralihan, perpisahan, dan perubahan dari segala sesuatu yang kita sayangi serta cintai pastilah terjadi. Bagaimana mungkin apa yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian.”
Dari kisah tersebut, jelaslah bahwa umat Buddha tidaklah selayaknya bersedih hati atas meninggalnya makhluk-lain, betapa pun besar jasanya dan betapa pun besar cinta kasihnya. Namun, ini juga bukanlah berarti seseorang harus bersuka-ria atas kematian sanak keluarga. Apabila ditelaah berdasarkan Abhidhamma, duka (domanassa vedanâ) adalah suatu jenis perasaan yang timbul berpadu dengan kesadaran yang bersumber pada kebencian (dosamula-citta). Kesadaran ini, yang bersifat menolak objek yang sedang dihadapi, termasuk sebagai kesadaran buruk (akusala-citta). Perasaan duka sama sekali tidak pernah berpadu dengan kesadaran baik (kusala-citta). Dengan perkataan lain, berduka-cita bukanlah suatu kebajikan; bukan suatu perwujudan dari rasa bakti, tulus, setia.
Umat Buddha yang sejati selayaknya berusaha sedapat mungkin untuk menghindari perasaan duka. Kalau ada sanak keluarga yang meninggal dunia, tidaklah perlu memuat berita dengan pernyataan seperti: “Ikut Berduka-cita . . .” karena ini tidak sesuai dengan hakikat Dhamma. Sikap serta pola berpikir yang lebih arif perlu dijalankan. Untuk menyatakan serta membuktikan betapa besar rasa bakti dan cinta kasih terhadap almarhum/ah, seseorang tidaklah harus berduka-cita, menangis atau bahkan menyewa orang-orang miskin untuk berpura-pura menangis atas nama dirinya –sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang dari kalangan atas.
Dengan mengembangkan perasaan duka-cita, orang yang telah meninggal dunia tidaklah mungkin dapat dihidupkan kembali, dan ini bukanlah suatu pertolongan apa pun baginya di alam sana. Bukan tangisan dari sanak keluarga yang dapat menghantarkan seseorang ke Surga. Dalam Agama Buddha, tidak ada dewa yang mengadili seseorang dari banyaknya keluarga atau teman yang menangisinya, dan lamanya mereka menangis. Setiap makhluk terlahirkan kembali sesuai dengan akibat kamma perbuatan masing-masing.
Seseorang mungkin akan bertanya, “Kalau berita berbunyi ‘Ikut Berduka-cita…’ tidak tepat untuk dipakai di kalangan Buddhis, lalu pernyataan yang bagaimanakah yang cocok?” Ungkapan-ungkapan yang mengandung makna Dhamma seperti “Segala perpaduan bersifat tidak kekal” atau “Kehidupan itu tidaklah pasti, namun kematianlah yang pasti menimpa semua makhluk hidup” jauh lebih baik dan cocok bagi umat Buddha.
Dalam pada itu, bagi mereka yang mengetahui bahwa ada sahabat atau kerabat karib yang sedang bersedih hati ditinggal mati sanak keluarganya, mereka tidaklah harus turut berduka-cita atau bersedih hati. Itu bukanlah suatu cara yang benar untuk menyatakan rasa kesetiakawanan dan keprihatinan kepadanya. Seseorang yang sedang dirundung malang kiranya dapat diumpamakan seperti orang yang sedang terjatuh ke dalam jurang. Untuk membebaskan atau menolongnya, seseorang tidaklah harus ikut menceburkan diri bersama dengannya. Tindakan yang bijaksana ialah berusaha mengangkat sahabat atau kerabat itu keluar dari jurang tersebut. Dengan perkataan lain, pertolongan yang perlu diberikan kepadanya ialah dengan memberikan bimbingan Dhamma agar dia sadar bahwa di dunia ini memang tidak ada sesuatu yang bersifat kekal (langgeng).
Ini bukanlah suatu kebenaran yang baru, dan mungkin telah diketahui olehnya. Akan tetapi, apabila sedang dihadapkan pada keadaan sesungguhnya, kebanyakan orang sering tidak sampai berpikir demikian. Karena itu, merupakan tugas seorang sahabat sejati untuk mengingatkannya. Inilah sikap yang benar terhadap orang-orang yang sedang berduka-cita karena kehilangan sanak keluarga yang sangat dikasihinya.
Ada yang mengatakan bahwa seseorang menyatakan ikut berduka-cita bukanlah berarti bahwa ia sungguh-sungguh merasa berduka atau bersedih hati. Itu hanyalah sekadar ‘basa-basi’ dengan maksud untuk menyatakan keprihatinan sekaligus menghibur orang yang berpisah dengan almarhum/ah. Ada orang-orang tertentu yang merasa seolah-olah mendapatkan kekuatan batin dengan menyadari bahwa bukan hanya dirinya sendiri yang berduka-cita tetapi banyak orang lain yang juga ikut berduka-cita.
Sikap hidup semacam ini sesungguhnya sangat tidak bersesuaian dengan Dhamma. Karena itu, tidak semestinya dituruti. Ada banyak cara lain yang lebih arif untuk membebaskan seseorang dari penderitaan, tanpa harus membuat orang-orang lainnya ikut menderita. Selain itu, sebagai umat beragama seseorang tidak seharusnya menyatakan sesuatu hanya sekadar untuk berbasa-basi. Hal yang lazim dilakukan oleh orang-orang umum tidaklah selamanya dapat dianggap baik. Perlu bersikap arif dalam memilih kebiasaan mana yang baik dan mana yang takbaik. Kalau memang tidak berduka-cita, mengapa seseorang harus berdusta menyatakan demikian kepada yang lain?
Ketulusan dan kejujuran adalah faktor utama persahabatan. Dalam berbuat atau berucap apa pun, seseorang tidak selayaknya mengesampingkan dua macam kebajikan ini.
Penyimpanan Jenazah
Seberapa lama suatu jenazah selayaknya disemayamkan atau disimpan sebelum diperabukan? Di Yunani pada zaman lampau, sebelum pengetahuan di bidang medis berkembang pesat, jenazah orang mati lazimnya disimpan selama dua tiga hari untuk memastikan bahwa telah benar-benar meninggal dunia, bukan dalam keadaan mati suri. Upaya pembuktian dalam hal ini kadangkala dilakukan dengan mengiris atau memotong jari tangan.
Dalam Agama Buddha sama sekali tidak ada ketentuan yang mengikat. Akan tetapi, di Muangthai ada tradisi menyimpan jenazah bhikkhu-bhikkhu terkenal dalam waktu yang sangat lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi tradisi tersebut.
Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada para siswa serta umat awam yang bertinggal di tempat yang sangat berjauhan, untuk datang menghaturkan penghormatan terakhir.
Kedua, ada kebiasaan bagi orang-orang Thai untuk berbuat kebajikan dalam upacara kematian dengan menjadi sponsor pembacaan kitab-kitab Abhidhamma. Karena sedemikian banyak peminatnya, acara yang berlangsung setiap malam itu terulur-ulur hingga lama sekali.
Ketiga, karena para pengikut bhikhu-bhikkhu terkenal itu belum bisa menghilangkan rasa kerinduan dan kemelekatan.
Keempat, jenazah itu sengaja tidak segera diperabukan karena vihâra tempat bertinggal mereka tidak mempunyai pengganti (successor) yang dapat diharapkan menanggung kebutuhan serta biaya pengeluaran vihâra sehari-hari. Kalau jenazah mereka segera diperabukan, umat-umat yang dahulunya sering datang ke vihâra untuk berdana niscaya akan berpindah ke vihâra-vihâra lain.
Kalau ditanyakan apakah tradisi semacam itu sesuai dengan ajaran murni Buddha Gotama? Jawaban singkatnya ialah: Tidak!
Berikut ini adalah argumentasi yang memperlihatkan mengapa tradisi semacam itu tidak selayaknya tetap diselenggarakan. Jenazah Buddha Gotama sendiri, yang menjadi pendiri Agama Buddha dan menjadi Guru junjunganutama, hanya disemayamkan selama tujuh hari. Lalu, dengan alasan apakah kita pantas untuk menyimpan jenazah bhikkhu guru kita, betapapun dekat hubungan kita dengannya dan betapa pun besar jasa beliau kepada kita, dalam jangka waktu yang melebihi penyimpanan jenazah Sang Buddha?
Dalam berbuat sesuatu, umat Buddha tidak sepantasnya melangkahi Sang Buddha. Tradisi penyimpanan jenazah dalam waktu yang lebih lama cenderung menciptakan ‘iklim’ yang kurang baik, yang membuat banyak pihak berusaha untuk saling berjor-joran. Waktu penyimpanan yang semakin lama dijadikan sebagai lambang kebesaran Pâramî (Kesempurnaan) yang telah ditimbun oleh bhikkhu guru mereka.
Ini tidak begitu menjadi masalah apabila mereka mempunyai anggaran yang memadai. Celakanya, jika tidak, mereka harus berpontang-panting menghimpun dâna hanya sekadar untuk keperluan menyimpan jenazah. Ini adalah argumentasi utama yang tidak menyetujui diselenggarakannya upacara kematian yang terlalu lama. Berikut ini akan ditambahkan beberapa argumentasi lain sesuai dengan alasan yang melatar-belakanginya.
Pertama, dua puluh lima abad yang lampau, ketika sarana transportasi dan peralatan perabuan tidak sebegitu maju seperti sekarang ini, waktu tujuh hari sudah terlalu cukup untuk memperabukan jenazah Buddha Gotama. Masuk akalkah jika pada zaman sekarang ini kita menuntut peluang waktu yang lebih lama untuk dapat menyelenggarakan upacara perabuan?
Kedua, memang tidak dapat dibantah bahwa pembacaan kitab-kitab Abhidhamma merupakan suatu kebajikan. Namun, alangkah lebih baik jika anggaran ini dialihkan untuk kegiatan-kegiatan lain yang lebih bermanfaat, misalnya menarik minat umat Buddha untuk memahami makna keagamaan yang terkandung dalam kitab-kitab Abhidhamma, bukan hanya sekadar mendengarkan penguncarannya dalam Bahasa Pâli yang belum tentu dimengerti artinya; mendirikan yayasan-yayasan yang ditujukan untuk menunjang perkembangan Agama Buddha; memberikan bea-siswa kepada para bhikkhu dan sâmaóera dari pelosok untuk memperoleh pendidikan keagamaan yang layak; dan sebagainya.
Ketiga, Sang Buddha senantiasa mengajarkan umat-Nya untuk tidak terbenam dalam kerinduan serta kemelekatan entah pada apa pun dan kepada siapa pun –termasuk kepada Beliau sendiri.
Ketika Ânanda Thera menanyakan bagaimana selayaknya jenazah Sang Buddha diperlakukan, Beliau menasihatkan agar tidak terlalu merepotkan diri dalam hal ini. Lebih baik berjuang demi kesucian dan pembebasan bagi diri sendiri. Perlu disadari bahwa meskipun jenazah guru yang mereka cintai disimpan dalam waktu yang lama, suatu saat nanti pasti akan terpisahkan kembali. Alih-alih mengumbar emosi kerinduan, apakah tidak lebih tepat jika menggunakan waktu yang berharga ini untuk melaksanakan petunjuk serta nasihat mereka?
Keempat, sangatlah tidak etis untuk memanfaatkan jenazah orang yang telah meninggal, apalagi guru yang kita junjung tinggi, sebagai alat untuk menghimpun dâna –kendati ini selanjutnya dipakai untuk keperluan umum. Lebih baik mati kelaparan daripada “mencari makan dari mayat”.
Untuk dapat menghapus tradisi yang telah berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun ini, masyarakat Thai membutuhkan teladan nyata dari para sesepuh yang berkharisma tinggi. Beberapa guru meditasi yang terkenal telah memulai upaya ini dengan berpesan kepada para murid mereka agar segera memperabukan jenazah mereka secepat mungkin. Membenahi apa yang telah lama menyimpang itu tidaklah segampang meluruskan anak panah. Dengan menyadari kenyataan ini, umat Buddha –entah di mana pun berada– hendaknya senantiasa bersikap tanggap dalam meluruskan apa yang tidak sesuai dengan ajaran murni Sang Buddha sejak dari dini. Janganlah salah menyangka upaya semacam ini didasari niat buruk untuk sengaja mencari-cari masalah atas hal-hal yang sepele.
Perabuan vs Pemakaman
Dalam Agama Buddha tidak ada peraturan yang mewajibkan apakah jenazah seorang umat Buddha harus diperabukan atau dimakamkan. Pilihan atas dua macam cara umum itu ataupun cara-cara lainnya [misalnya disumbangkan ke rumah sakit untuk penelitian medis] dianggap sebagai hak asasi yang bersangkutan. Apabila ada pesan yang disampaikan sebelum meninggal dunia, pesan itulah yang layak dipenuhi sebagai suatu penghormatan terhadap orang yang mati. Seandainya tidak ada pesan yang ditinggalkan, hal ini tergantung keputusan sanak keluarga yang bersangkutan.
Walaupun tidak ada peraturan yang bersifat wajib, perabuan menempati prioritas tertinggi dalam tradisi Buddhis. Ini bersumber pada Mahâparinibbâna Sutta. Dalam wejangan terakhir tersebut, Buddha Gotama meninggalkan pesan kepada Ânanda Thera untuk memperabukan jenazah-Nya. Sumber-sumber lain dalam Kitab Suci Tipiöaka menunjukkan bahwa para siswa utama Beliau juga memilih perabuan. Dengan pertimbangan ini, kiranya layak bagi umat Buddha untuk menerapkan serta melestarikan cara ini.
Ada sementara umat Buddha yang menghindari perabuan dengan alasan kasihan yang mati akan kepanasan karena terbakar api. Ini adalah suatu alasan dangkal yang bersifat kekanak-kanakan. Kematian adalah perpisahan mutlak antara tubuh jasmaniah dengan unsur-unsur batiniah. Makhluk yang sudah mati tidak lagi memiliki perasaan, ingatan,corak batin serta kesadaran. Karena itu, ia sudah tidak akan merasa apa pun atas jenazah yang ditinggalkannya. Lagipula, kalaupun ada perasaan semacam itu, apakah ia tidak akan merasa kepengapan apabila dikubur/dipendam dalam tanah? Adakah cara lain yang lebih baik?
‘Perabuan’ adalah terjemahan baku kata ‘cremation’ (kremasi). Kata ini sesungguhnya berasal dari kata Latin ‘cremo’ yang secara harfiah berarti ‘membakar’ –khususnya pembakaran jenazah. Kebanyakan ahli purbakala memprakirakan bahwa perabuan diperkenalkan sebagai suatu cara memusnahkan mayat pada Zaman Batu –sekitar 3,000 tahun Sebelum Masehi. Cara yang agaknya pertama kali dipakai di Eropah atau Timur Dekat ini kemudian dipakai secara umum di Yunani (800 SM) dan Roma (600 SM). Perabuan merupakan lambang kebesaran (status symbol). Ketika Kristen menjadi agama-negara Kekaisaran Roma pada sekitar tahun 100 Masehi, tatkala banyak penganut agama lain diasingkan dan dibinasakan, pemakaman (penguburan jenazah) merupakan satu-satunya cara yang dipakai di seluruh penjuru Eropah.
Tepatnya pada tahun 1886, Gereja Roman Katholik secara resmi melarang pelaksanaan perabuan jenazah. Jemaat gereja yang ketahuan mengatur penyelenggaraannya akan dikucilkan (excommunicated). Ini berlangsung hingga masa Perang Dunia ke-II. Pada tahun 1961, Patriak Konstantinopel dari Gereja Orthodoks Timur memfatwakan bahwa: “Memang tidak ada peraturan orthodoks yang resmi terhadap perabuan, namun ada adat-istiadat yang kuat serta rasa kecenderungan terhadap pemakaman ala Kristen.”
Ada dua alasan utama yang melandasi penolakan terhadap perabuan. Yang pertama adalah kekhawatiran yang berkaitan dengan kebangkitan tubuh dari mati serta penyatuan kembali dengan roh kekal sebagaimana yang dijanjikan. Apabila mayatnya dibakar hingga musnah tak berbekas, dikhawatirkan akan timbul masalah dalam penyatuan jasmaniah-rohaniah tersebut. Ini bersumberkan pada Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-44. Alasan kedua, dalam masyarakat Israel kuno, pembakaran mayat lazimnya hanya diperuntukkan bagi para penyembah berhala, orang berdosa, pelaku kejahatan sertamusuh. Dalam Kitab Kejadian 38:24, misalnya, dituliskan bahwa Yehuda memerintahkan agar menantu wanitanya yang sedang hamil anak-kembar dibakar hingga mati karena dituduh telah melakukan perzinahan.
Apabila seorang laki-laki menikahi wanita sekaligus ibunya, menurut Kitab Imamat 20:14, itu merupakan suatu perzinahan. Ketiga orang itu itu harus dibakar dalam api. Dalam bait ke 21:9, hukuman yang sama dijatuhkan kepada anak wanita seorang imam yang menjadi pelacur. Bahkan Tuhan sendiri, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Bilangan 16:35, memberangus Korah beserta 250 orang Israel karena menentang Nabi Musa. Sumber-sumber lain dalam Kitab Perjanjian Lama dapat dijumpai di Keluaran 32:20, Yosua 7:15-25, Hakim-Hakim 15:6, I Samuel 31:11-13, II Raja-raja 10:26, Yeremia 29:22, Amos 2:1. Sementara itu, sumber dalam Kitab Perjanjian Baru terdapat dalam Wahyu kepada Yohanes 20:15.
Para penganut Agama Kristen cenderung memilih pemakaman karena cara inilah dikehendaki oleh Tuhan terhadap jenazah Nabi Musa (Yosua 34:6). Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-44 menceritakan bagaimana Tuhan membangkitkan tubuh orang-orang yang percaya. Sumber-sumber lain bertebaran di Kitab Kejadian, Yosua, Matius, Kisah Para Rasul. Karena sedemikian besar manfaat serta kepraktisan perabuan dibandingkan dengan pemakaman [dengan segala dampak negatifnya: pencemaran lingkungan, pemborosan tempat, biaya dan sebagainya]; pada zaman modern sekarang ini banyak orang yang memilih perabuan jenazah meskipun kurang begitu bersesuaian dengan ajaran agama yang dipercayai. Di kebanyakan negara besar di Eropah, lebih dari separo memakai cara perabuan. Di Jepang, perabuan –yang pernah dilarang pada tahun 1875–, kini diterapkan secara hampir menyeluruh. [1]
Di Amerika Serikat dan Kanada, telah dibangun lebih dari 30,000 tempat perabuan (crematorium) dengan statistik lebih dari setengah juta jenazah per tahun.
Pembakaran Kertas
Di kalangan orang-orang Cina, ada tradisi pembakaran kertas berbentuk uang, emas, rumah beserta segala perabotnya, boneka manusia, binatang peliharaan dan lain-lain dengan tujuan untuk ‘dikirimkan’ kepada orang yang telah meninggal dunia. Mengikuti perkembangan teknologi, kini kertas berbentuk barang-barang elektronik seperti radio, televisi beserta antena parabola dan bahkan pesawat terbang banyak dijumpai. Entah, apakah ada yang pernah mengirimkan komputer lengkap dengan modem untuk melayangkan e-mail serta menjelajahi dunia Internet.
Mereka percaya bahwa kertas-kertas yang dibakar itu secara gaib akan dapat terwujud di alam tempat kediaman orang yang mati. Ini jelas merupakan suatu kepercayaan yang bersifat kekanak-kanakan (childish), yang menunjukkan betapa rendah pengetahuan serta pengertian mereka atas keadaan alam kehidupan setelah mati. Bagaimana mungkin hanya dengan dibakar semua itu dapat sampai di alam lain? Kalaupun telah sampai, bagaimana mungkin dapat terwujud dan terpakai sebagaimana yangdiharapkan?
Apakah rumah yang terbuat dari kertas cukup kuat untuk menahan berat badan penghuninya? Mungkinkah rumah tiruan yang terbuat dari kertas dapat berubah menjadi rumah sungguhan di alam sana?
Lembaga keuangan manakah yang mengesahkan uang-uang kertas tersebut? Adakah pemancar gelombang radio dan televisi? Siapa yang akan mengemudikan pesawat terbang di sana? Tanpa adanya radar serta peralatan navigasi lainnya, apakah jalurnya tidak kacau balau hingga menyebabkan tubrukan? Andaikata terjadi kecelakaan, siapa yang akan memberikan pertolongan? Perlukah mengirimkan rumah sakit beserta dokter dan jururawat?
Tradisi pembakaran kertas bercikal-bakal dari kebiasaan keji, kejam dan biadab (barbarous custom) yang pernah dilakukan oleh para pembesar serta penguasa pada zaman lampau. Tidak hanya di Yunani, di Cina juga ada kebiasaan untuk mengurbankan binatang tunggangan dan bahkan budak serta pelayan demi kepentingan orang-orang besar yang mati. Ini telah dijalankan sejak abad kesepuluh Sebelum Masehi. Dalam kasus Duke Muh, misalnya, ada 177 orang manusia dibakar hidup-hidup.
Beberapa rujukan lain dapat dijumpai pada masa kehidupan Khong Hu Cu (551–478 SM). Menurut catatan perjalanan Marco Polo, dalam upacara pemakaman Möngke Khan –cucu Jenghis Khan, saudara Kubilai Khan–, ada lebih dari 20,000 orang manusia yang dikurbankan demi kaisar Mongolia tersebut. Tak terkecuali binatang-binatang yang dijumpai di sepanjang jalan menuju makam di puncak Gunung Altai, semuanya dibantai secara keji. [2]
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, pembantaian binatang apalagi manusia sebagai kurban upacara kematian lambat laun jarang dipraktekkan. Namun, mereka tampaknya masih belum begitu bisa menghapuskan tradisi itu secara tuntas sehingga kemudian dibuatlah kertas-kertas tiruan dalam pelbagai wujud sebagaimana yang diinginkan. Meskipun tidak lagi bersifat keji dan melanggar perikemanusiaan seperti zaman dahulu, tradisi pembakaran kertas kiranya perlu segera dihapuskan karena hanya mubazir, memboroskan biaya tanpamanfaat apa pun. Pelestarian tradisi semacam ini justru akan mempertebal ketakhayulan dan menjauhkan diri dari kebijaksanaan. Anggaran untuk ini sebaiknya dialihkan untuk hal-hal yang lebih berguna, misalnya disumbangkan ke fakir miskin, rumah sakit, dan sebagainya.
Ada yang beralasan bahwa mereka sesungguhnya tahu bahwa sangatlah muskil kertas-kertas yang dibakar itu dapat sampai di alam tempat kediaman sanak keluarga yang mati. Namun, tradisi ini tetap dilestarikan semata-mata untuk menunjukkan rasa bakti kepada almarhum/ah.
Mereka khawatir, jangan sampai yang mati akan merasa tidak lagi diperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Sesungguhnya, ada banyak cara yang lebih arif untuk membuktikan rasa bakti dalam wujud perbuatan-perbuatan yang berguna, misalnya dengan melakukan penyaluran jasa dan sebagainya.
Selain tradisi pembakaran kertas, kebiasaan dalam membakar barang-barang keperluan sehari-hari yang pernah dipakai oleh orang mati seperti pakaian, sepatu sandal dan sebagainya perlu segera dihapuskan. Alih-alih dibakar secara percuma, alangkah lebih bermanfaat jika semua itu disumbangkan kepada fakir miskin atau mereka yang membutuhkan. Kaum Neanderthal pada zaman batu kuno (Palæolithic Period) juga mengenal tradisi mengubur barang-barang keperluan sehari-hari ke dalam makam orang mati; dengan kepercayaan bahwa semua itu masih dibutuhkan oleh yang mati. Itu adalah suatu kebiasaan manusia kuno yang hidup sekitar 30,000 sampai 100,000 tahun yang lampau, yang masih rendah peradabannya, yang belum begitu mempunyai pengetahuan, penalaran serta pemikiran logis atas keadaan kehidupan setelah mati. Pada zaman modern seperti sekarang ini, kiranya tidak ada alasan sedikit pun untuk melestarikan tradisi semacam itu –kecuali kalau tak merasa malu disebut masih primitif. Ada sementara orang yang berkilah bahwa tradisi pembakaran barang keperluan sehari-hari itu tetap dijalankan karena takut kalau yang mati tak rela barang-barangnya dipakai orang lain dan akan menagih kembali serta menghantui mereka.
Kalau memang demikian alasannya, mengapa harta peninggalan orang mati yang bernilai tinggi –misalnya uang, emas, permata dan sebagainya–tidak juga dibakar sekalian tetapi justru sering dijadikan ajang perebutan warisan bagi sanak keluarga yang masih hidup?
Penyaluran Jasa
Lazimnya, kalau ada orang yang akan bepergian ke tempat yang cukup jauh, sanak keluarga yang ditinggalkan akan menyediakan perbekalan untuk dimanfaatkan selama dalam perjalanan. Demikian pula yang diperbuat terhadap orang yang meninggal dunia. Dengan pelbagai cara, sanak keluarga yang ditinggalkan berusaha untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat bermanfaat bagi almarhum/ah yang sangat dicintai. Mereka menyediakan makanan serta minuman yang disukai sewaktu masih hidup. Pakaian serta barang-barang keperluan lainnya pun tidak lupa disediakan secara lengkap.
Sesungguhnya, orang yang mati telah terlahirkan kembali di alam lain. Di sana, kehidupan dan cara hidupnya mungkin tidaklah sama se perti di dunia ini. Tidak ada pertanian, peternakan atau perdagangan sebagai matapencaharian. Makanan serta minuman mereka juga berlainan.
Kebutuhan di sana tidaklah seperti kebutuhan manusia di dunia ini. Karena itu, kiriman semacam itu hanyalah sia-sia belaka. Kalaupun seandainya orang yang mati itu terlahirkan kembali di alam manusia, ia tentu sedang berada dalam kandungan sehingga tidak dapat memanfaatkan barang kiriman dari sanak keluarga yang ditinggalkan.
Dalam Tirokuòòa Sutta, Sang Buddha menganjurkan cara yang lebih bijaksana bagi sanak keluarga yang ditinggal mati, yaitu dengan berdana makanan, minuman serta lain-lain kepada para bhikkhu Saõgha dan selanjutnya menyalurkan jasa kebajikan yang timbul dari pemberian dâna ini kepada orang yang meninggal dunia (pattidâna). Hanya kiriman berbentuk ‘halus’ semacam ini yang mempunyai kemungkinan untuk dapat dimanfaatkan oleh orang yang telah mati. Ibarat air yang mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah, ibarat hulu sungai yang telah penuh niscaya membanjiri muara; demikian pula penyaluran jasa yang dilimpahkan oleh sanak keluarga kepada orang yang telah meninggal dunia.
Nâgasena Thera menjelaskan dalam Kitab Milinda Pañhâ bahwa penyaluran jasa tidaklah dapat diterima oleh orang mati yang telah terlahirkan kembali di alam surga, neraka atau binatang. Demikian pula yang terlahirkan kembali sebagai setan (peta) yang makan ludah, dahak dan muntahan (vantâsikâ), yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppîpâsika), dan yang Senantiasa terberangus (nijjhâmataóhika). Yang dapat menerima penyaluran jasa ialah setan yang memang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa (paradattupajîvika). [3]
Ini mungkin merupakan suatu jenis setan yang karena kemelekatannya hidup bergentayangan di sekitar rumah atau tempat yang ditinggalkannya. Karena alam kehidupannya tidak berjauhan dengan alam manusia, ia mempunyai kesempatan untuk mengetahui penyaluran jasa yang dilimpahkan kepadanya. Suatu penyaluran jasa baru sangkil apabila ditujukan langsung kepada yang bersangkutan (uddissikapatti) –sebagaimana penyaluran jasa yang pernah dilakukan oleh Raja Bimbisâra kepada sejumlah setan yang pernah menjadi sanak keluarganya.
Boleh dikatakan bahwa tipis sekali kemungkinan suatu penyaluran jasa dapat benar-benar dimanfaatkan oleh yang bersangkutan. Halangan pertama ialah, yang bersangkutan tidak terlahirkan sebagai setan yang hidup dari penyaluran jasa. Kedua, yang bersangkutan mungkin tidak mengetahui adanya penyaluran jasa yang ditujukan khusus kepada dirinya sehingga tidak sempat ber-anumodanâ atas kebajikan ini. Apakah ini berarti bahwa upaya penyaluran jasa hanyalah sia-sia belaka (waste-ful) dan tidak berhasil (fruitless)? Tidak! Mengapa? Penyaluran jasa yang tidak sampai ke tujuan –apabila persyaratannya tidak terpenuhi– akan berbalik kembali kepada pelakunya. Manfaatnya masih dapat dipetik oleh orang yang melakukan penyaluran jasa. Ini dapat diumpamakan seperti orang yang menyediakan makanan serta minuman untuk dihidangkan kepada sanak keluarga. Apabila karena suatu hal, mereka tidak dapat menerimanya, makanan serta minuman itu tidaklah sia-sia belaka atau tidak bermanfaat karena dapat dimakan serta diminum oleh diri sendiri. [4]
Mengingat sedemikian tipis kemungkinan suatu penyaluran jasa dapat diterima secara langsung oleh yang bersangkutan, kiranya lebih tepat bagi umat Buddha untuk memasyarakatkan tradisi ini kepada sanak keluarga yang masih hidup. Bukan baru memberi bagian atas kebajikan yang diperbuat setelah orang yang dicintai meninggal dunia. Ketika masih hidup, kebutuhan, kepentingan dan kebahagiaannya kurang begitu diper-hatikan, tetapi begitu mati semua itu diberikan serta diusahakan secara berlebih-lebihan.
Tradisi penyaluran jasa sering disalahmengerti oleh sementara orang sebagai suatu ajaran yang bertentangan dengan Dalil Kamma yang merumuskan bahwa semua makhluk memiliki dan mewarisi perbuatannya masing-masing. [5]
Dalam kenyataan yang sebenarnya, penyaluran jasa tidaklah menyimpang dari Dalil Kamma. Sebab, penyaluran jasa bukanlah seperti halnya ‘mentranfer’ sejumlah uang simpanan di bank ke dalam rekening orang lain –yang berarti berkurangnya jumlah uang dalam rekening sendiri dan sebaliknya bertambahnya rekening orang lain. Pe nyaluran jasa semata-mata merupakan suatu cara untuk ‘membuka peluang’ bagi orang lain agar berbuat kebajikan sendiri dengan merasa ikut berbahagia atas kebajikan yang telah dilakukan oleh orang yang menyalurkan jasa kepada dirinya.
Kalau tidak tahu menahu tentang adanya jasa kebajikan yang disalurkan oleh orang lain kepada dirinya atau tidak ikut berbahagia atas semua itu, suatu makhluk tidak akan memperoleh bagian apa pun. Pada pihak lain, seseorang yang menyalurkan jasa kebajikan berarti melipatkan-gandakan jasa kebajikannya sendiri –entah orang lain yang dituju dapat menerima dan memanfaatkan jasa kebajikannya ataupun tidak. Mengapa suatu jasa kebajikan dapat berlipat-ganda dengan disalurkan kepada orang lain? Alasannya ialah bahwa selain telah berbuat jasa kebajikan itu sendiri, seseorang berarti melakukan suatu kebajikan lain lagi, yaitu: berniat atau berkehendak agar makhluk lain juga berbuat kebajikan. Penyaluran jasa kebajikan dapatlah diibaratkan seperti penyulutan api ke lentera-lentera lain yang bukanlah menyuramkan melainkan justru memperterang cahaya itu sendiri.
BAB V: SERBA SERBI
Membangkitkan Orang Mati
Dalam Injil Yohanes 11:1-44 dikisahkan bahwa Yesus mampu membangkitkan atau menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Kisah tentang terbangkitnya Lazarus dari kematian ini berbeda dengan kisah yang berkenaan dengan anak perempuan kepala rumah ibadat bernama Yairus. Ada kekaburan atas keadaan sesungguhnya dari anak perempuan itu, apakah telah benar-benar mati ataukah hanya berada dalam keadaan tertidur pulas taksadar diri (deep coma). Menurut Matius 9:18-26, anak perempuan itu “baru saja meninggal”, sedangkan Markus 5:21-43 dan Lukas 8:40-56 menyebutkan bahwa keadaannya ialah “sedang sakit, hampir mati.” [1]
Dalam kisah kebangkitan Lazarus, kekaburan semacam ini terjelaskan oleh percakapan antara Yesus dengan murid-murid-Nya: “Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya.” Kemudian murid-murid-Nya berucap, “Tuhan, jika ia tertidur, ia akan tersembuhkan.” Yang dimaksud Yesus tertidur ialah mati, tetapi mereka menyangka bahwa Ia mengatakan tentang tertidur dalam arti biasa. Karena itu, Yesus kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa “Lazarus telah mati.” Sumber yang paling jelas atas kemampuan Yesus dalam membangkitkan orang mati terdapat dalam Kitab Lukas 1:11-17. Di situ dikisahkan bahwa Ia menghidupkan kembali anak laki-laki seorang janda di kota Nain. [2]
Dalam kepercayaan Kristen, membangkitkan orang mati bukanlah suatu mukjizat yang hanya dapat dilakukan oleh Yesus sebagai Putra Allah. Kitab Perjanjian Lama mengisahkan bahwa para nabi pada zaman lampau pun mempunyai kemampuan semacam ini. Berdasarkan kisah dalam I Raja-raja 17:17-24 dan II Raja-raja 4:31-37, misalnya, orang yang telah mati dapat dibangkitkan kembali melalui permohonan doa kepada Tuhan. Ada pula yang tiba-tiba hidup kembali semata-mata karena mayatnya bersentuhan dengan tulang-tulang Nabi Elisa di kuburan yang keramat.
Para rasul murid Yesus juga dipercayai dapat membangkitkan orang mati. Dalam Kisah Para Rasul 20:1-12, contohnya, Paulus menghidupkan kembali anak muda bernama Eutikhus yang mati terjatuh dari jendela karena mengantuk terlalu lama diajak bercakap-cakap.
Sesungguhnya, kepercayaan bahwa orang mati dapat dihidupkan kembali bertentangan dengan Surat Ibrani 9:27 yang menandaskan bahwa manusia ditakdirkan untuk mati hanya satu kali saja. Kepercayaan ini sering menjadi bahan perdebatan yang seru di kalangan kritikus Kristen. Yang dipermasalahkan bukanlah bagaimana mungkin orang yang sudah mati terkubur dalam gua selama empat hari, yang badan jasmaniahnya telah membusuk, dapat dihidupkan kembali. Sebab, sesuatu yang disebut sebagai ‘mukjizat’ itu tidak memerlukan penjelasan secara ilmiah. Segala kemungkinan dapat terjadi, dan tidak ada alasan sedikit pun untuk dapat menggugatnya.
Yang dipermasalahkan oleh para kritikus ialah wewenang Yesus, para nabi serta rasul dalam membangkitkan orang mati. Kalau dipercayai bahwa nasib serta kematian berada di tangan Tuhan, apakah tidak melanggar kehendak Tuhan jika mereka kemudian menghidupkan kembali orang yang nyawanya telah dicabut oleh Tuhan? Ada sementara penganut setia yang memberikan alasan bahwa ini dilakukan demi memperlihatkan kemuliaan Yesus, para nabi serta rasul.
Apalagi Yesus belakangan dipercayai sebagai Putra Allah. Tak ada sesuatu yang takdapat atau takboleh dilakukan oleh Pencipta yang Maha-kuasa. Namun, alasan ini mencuatkan pertanyaan lebih lanjut: “Patutkah nasib serta kematian seseorang dipermainkan hanya demi tujuan semacam itu?
Layakkah manusia diperlakukan seperti ‘saklar lampu’ yang boleh dimatikan atau dihidupkan sesuka hati tanpa mengindahkan harkat serta martabat manusia itu sendiri?”
Persoalannya niscaya akan bertambah pelik apabila orang-orang yang mati itu telah masuk Surga yang kekal. Mau tak mau, mereka harus diungsikan terlebih dahulu dari Surga dan nyawa mereka kemudian digiring kembali ke dunia yang fana dan penuh penderitaan. Karena sedemikian besar rasa bakti mereka kepada Tuhan, mungkin saja mereka sudi untuk mengorbankan kehidupan mereka sendiri demi memperlihatkan kebesaran serta kekuasaan Tuhan kepada khalayak ramai. Pada pihak lain,kepercayaan ini tetap menimbulkan kesangsian doktrinal: “Kalau Surga dianggap kekal, bagaimana mungkin mereka yang telah masuk ke dalamnya dapat dikeluarkan lagi?
Apa sesungguhnya makna ‘kekekalan’ surgawi dalam dogma Kristen?”
Bertolak-belakang dengan kepercayaan tersebut, sepanjang penyebaran Kebenaran Dhamma selama empat puluh lima tahun, Buddha Gotama tidak pernah berusaha membangkitkan orang mati. Ketika dimintai tolong oleh Kisâ Gotamî untuk menghidupkan kembali anaknya yang telah mati, Beliau tidak menyanggupinya. Yang diperbuat oleh Beliau ialah mengarahkan wanita malang itu agar dapat menyadari kenyataan hidup. Inilah sesungguhnya wujud Cinta Kasih yang luhur dan sejati. Apa artinya suatu kebangkitan dari mati kalau kemudian –cepat atau lambat– ia akan mati lagi? Mengapa tidak ditunjukkan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada itu?
Dalam pandangan Agama Buddha, suatu makhluk yang telah mati dari kehidupan sekarang ini akan langsung terlahirkan kembali di alam brahma, surga, manusia, binatang, neraka atau alam-alam lainnya.
Karena itu, untuk dapat menghidupkannya kembali, makhluk tersebut harus dibunuh terlebih dahulu dari kehidupannya yang baru, dan kemudian ‘nyawa’-nya dibawa kembali ke dunia ini untuk disusupkan lagi ke mayat yang telah ditinggalkannya. Dengan perkataan lain, membangkitkan orang mati dalam pengertian Buddhis adalah suatu upaya yang tidak terlepas dari delik pembunuhan. Seorang Buddha atau orang-orang suci lainnya tidaklah mungkin akan melakukan hal ini.
Mati Mengikuti Suami
Satî [dilafalkan dengan vokal ‘i’ panjang] adalah suatu tradisi bagi seorang janda untuk membakar diri sendiri hingga mati (bunuh diri) dalam api perabuan suaminya, sebagai wujud rasa bakti, tulus dan setia. [3]
Tidak ada bukti-bukti yang jelas, sejak kapan Satî mulai dijalankan secara luas sepanjang 4,000 tahun sejarah India. Karya sastra, puisi serta sandiwara pada masa pertengahan di India sangat menyanjung pengurbanan Satî. Syair Mahâbhârata yang sarat dengan nilai-nilai kepahlawanan serta keagamaan menyebutkan adanya beberapa permaisuri raja yang menjalankan Satî. Kitab-kitab Hindu kuno seperti Manu Saæhitâ dan Gautama Saæhitâ sangat merendahkan kedudukan istri dengan menganggapnya sebagai orang bawahan yang merupakan harta-milik si suami (subordinate property). Kedudukan sebagai janda secara ritual dianggap mencemarkan. Perkawinan dalam adat kebiasaan Hindu melimpahkan beban serta kewajiban yang jauh lebih berat kepada pihak istri daripada pihak suami. [4]
Seorang istri patut mengikuti ke mana pun si suami pergi. Kematian bukanlah suatu rintangan bagi seorang istri untuk tetap hidup bersama suami. Namun anehnya, tidak pernah disebutkan bahwa kalau pihak istri yang mati, si suami juga patut menyusulnya dengan membakar diri. Hanya pihak istri yang dianjurkan untuk menjalankan tradisi ini demi menguduskan leluhur ayah-ibunya sendiri serta pihak suami –yang kepadanya ia menyerahkan keperawanannya. Meskipun seorang suami pernah membunuh brâhmaóa (tokoh agama) atau kerabat sendiri, kejahatan yang berat ini dapat tertebus dengan pengurbanan Satî yang dijalankan oleh pihak istri. Selain itu, pengurbanan Satî dianggap dapat membantu si suami dalam meraih keselamatan spiritual. Penitisan kembali di Swarga selama 35 juta tahun diiming-imingkan sebagai pahala.
Secara teoretis, pengurbanan Satî bersifat sukarela –dijalankan oleh yang bersangkutan atas kemauannya sendiri; bukan karena paksaan dari pihak-pihak lain. Namun dalam kenyataan, anjuran, desakan dan bahkan paksaan dari pihak keluarga suami yang mati kerap berpengaruh besar.
Janda yang berani mengelak dari pengurbanan Satî niscaya akan dikucilkan oleh masyarakat yang bersifat orthodoks. Setidak-tidaknya, mereka akan dituduh tidak setia dan tidak berbakti kepada suami yang telah meninggal dunia. Patokan taktertulis semacam itu tentu merupakan beban batiniah bagi kebanyakan janda sehingga mereka cenderung memutuskan untuk menjalankannya.
Pada tahun 1812, tradisi Satî diabsahkan secara resmi kehalalannya. Seorang janda diberi hak untuk secara sukarela membakar diri sendiri sesuai dengan tuntutan agama atau kepercayaan yang dianut sepanjang yang bersangkutan telah berumur 16 tahun, dan tidak sedang hamil. Menurut catatan yang tertulis sejak tahun 1815 hingga 1829, di propinsi Bengal saja terdapat 7,941 janda yang tewas karena menjalankan pengurbanan Satî. Di Calcutta pada kurun waktu tersebut, paling tidak ada satu korban setiap harinya. Entah ada berapa banyak korban di seantero daratan India.
Kendati mencanangkan kebijakan untuk mengangkat harkat, martabat dan derajat kaum wanita, Mahâtmâ Gandhî tidak begitu berandil besar dalam menghapus tradisi Satî dari muka bumi India. Sesungguhnya, ia bukanlah seorang pejuang revolusioner. Ia menentang adanya perubahan yang radikal dalam sistem serta struktur masyarakat India yang bercorak kekastaaan –yang mengabaikan nilai-nilai keadilan dan sebaliknya hanya menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa serta berpengaruh. Gandhî, yang oleh beberapa kritikus dianggap sebagai ‘boneka Barat’, sesungguhnya adalah seorang pemimpin yang bersifat kolot dan lunak (moderate conservative), yang cenderung berpihak pada ‘status-quo’.
Ia sangat menggandrungi Râma, seorang raja dongengan dalam kisah Râmâyaóa, yang sering mengabaikan istrinya, Sîtâ. Berkali-kali Râma mempermalukan Sîtâ di depan umum dengan menuntutnya untuk membuktikan kesuciannya –setelah diculik oleh Râvanâ. Sîtâ rela menjalani penyiksaan dengan api. Karena masih banyak orang yang tetap menyangsikan kesuciannya, Râma dengan sewenang-wenang kemudian membuangnya ke dalam hutan. Râma, yang dipercayai sebagai penitisan Vi Šu [Visnu], lebih mempedulikan pergunjingan orang lain daripada mempercayai ketulusan istrinya. Sebagai seorang istri, Sîtâ dianggap taklebih dari suatu ‘barang kesayangan’ yang sewaktu-waktu dapat dicampakkan dengan begitu saja apabila dirasa dapat merugikan kepentingannya sendiri.
Oleh para penganut Hindu yang kolot, Sîtâ disanjung-sanjung sebagai ‘isteri teladan’. Namun, persanjungan ini harus dibayar dengan harga yang sangat mahal; penginjak-injakan atas harkat, martabat dan derajat kaum wanita itu sendiri. [5]
Tokoh yang sangat berandil besar dalam menghapus tradisi Satî di India ialah Rammohun Roy. Ia adalah seorang cendekiawan asal Bengal. Pada mulanya ia sangat terkejut atas pembakaran diri yang dijalankan oleh istri kakak laki-lakinya. Dengan segenap upaya, ia berusaha mencegahnya namun tidak berhasil. Sejak kejadian yang mengenaskan tersebut, ia memulai perang suci (crusade) terhadap tradisi Satî. Dengan berlandaskan pada pemikiran yang tajam dan maju, dan berbekal pada pengetahuan mendalam atas kitab-kitab Hindu, serta bermodalkan pada kedudukan sosial sebagai tuan-tanah (landlord) yang kayaraya, ia secara terbuka menantang serta mengalahkan cendekiawan-cendekiawan Hindu yang fanatik dalam suatu perdebatan ilmiah tentang tradisi Satî. [6]
Pada tahun 1818, ia menyebarkan pamplet berisi himbauan untuk menghapus serta melarang pelaksanaan tradisi Satî. Setelah melalui suatu pertarungan sosial, agama serta politik yang seru dan meletihkan, tepatnya pada tahun 1829, tradisi Satî secara resmi dilarang dan diabsahkan sebagai suatu tindakan kriminal. Hukum ini ditanda-tangani oleh gubernur jenderal Lord William Bentinck di Calcutta –karena India pada waktu itu masih berada dalam masa penjajahan Inggris. Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan tradisi Satî dapat dituduh melakukan delik pembunuhan terhadap manusia, yang dapat diganjar dengan hukuman denda maupun penjara. Kaum Hindu orthodoks, yang fanatik terhadap keunggulan kaum pria (male supremacy) dan secara membuta terpacak pada nilai-nilai kepahlawanan yang terlalu muluk-muluk (Chauvinism), merasa tidak puas dengan diberlakukannya hukum tersebut. Mereka mengajukan petisi ke Ratu Inggris untuk membatalkannya. Menghadapi tantangan ini, Rammohan segera berangkat ke London untuk melobi para pembuat undang-undang di parlemen Inggris agar tetap memberlakukan larangan tersebut. [7]
Walaupun secara resmi dilarang dan diancam dengan hukuman yang berat, pengurbanan Satî bukanlah berarti telah lenyap secara menyeluruh dari seluruh daratan India –terutama di negara-negara bagian yang berada di luar kekuasaan Inggris. Di Punjab pada tahun 1839, misalnya, empat istri beserta tujuh budak wanita dibakar hingga mati dalam api perabuan Mahârâja Ranjit Singh. Tradisi Satî masih tetap berlangsung meskipun India telah merdeka pada tahun 1947. Pada awal tahun ’80an, mencuat suatu pergerakan untuk menghidupkan kembali Satî dengan dalih hak-asasi wanita. Unjuk-rasa digelar di pelbagai kota sekitar India Utara, termasuk ibukota Delhi. Suatu tragedi yang sangat mengenaskan terjadi pada tanggal 4 September 1987 di mana seorang janda bernama Roop Kanwar, yang baru berusia 18 tahun, mati terbakar dalam sorotan paling tidak 4,000 orang penonton.
Menurut beberapa saksi mata, pengurbanan Satî ini dijalankan bukanlah atas kemauannya sendiri, melainkan atas paksaan keluarga pihak suami, Maal Singh. Janda malang ini gagal melarikan diri dari api perabuan meskipun telah berusaha sampai tiga kali. Pengurbanan Satî ini agaknya berlatarbelakang niat-buruk dari pihak keluarga suami untuk mengeruk sumbangan dari khalayak ramai yang tergugah oleh ketulusan serta kesetiaan Roop Kanwar. Belum lama ini, Press Trust of India melaporkan bahwa pada tanggal 22 September 1997, polisi di bagian utara India berhasil mencegah pengurbanan Satî yang dijalankan oleh seorang janda berusia 28 tahun. Ini menunjukkan bahwa selama akar dari pandangan sesat belum dicabut secara tuntas, selama masyarakat belum terbebaskan dari kepercayaan serta tradisi yang menyimpang, kemungkinan semacam itu masih tetap dapat terjadi.
Menunda Kematian
Dituliskan dalam buku “The Tibetan Book of Living and Dying” bahwa Dilgo Khyentse Rinpoche menuturkan cerita tentang seorang guru penyepi di suatu biara di Kham, yang sangat akrab dengan kakak laki-lakinya. Guru itu telah menyempurnakan latihan yoga saluran halus (nadî; tsa), angin atau udara dalam (prâóa; lung), dan intisari (bindu; tiklé). Suatu hari ia menyuruh pembantunya, “Saya akan meninggal dunia sekarang. Tolong lihat kalendar (penanggalan), dan carikan hari yang baik.” Pembantunya terkejut tetapi tidak berani membantah perintah majikannya. Ia melihat kalendar, dan mengatakan bahwa hari Senin mendatang adalah suatu hari pada saat semua bintang (stars) sedang mujur (auspicious).
Guru itu kemudian menjawab, “Tiga hari lagi akan tiba pada hari Senin. Baiklah, saya kira saya mampu melakukannya.” Ketika si pembantu kembali ke kamarnya beberapa waktu kemudian, ia menjumpai si guru sedang duduk tegak dalam sikap meditasi yoga. Diam tak bergeming, seolah-olah telah mati. Tanpa pernafasan sama sekali. Namun, peredaran darah masih berjalan dengan sangat lembut tetapi kentara. Ia memutuskan tidak berbuat apa-apa kecuali menanti. Pada siang hari, ia tiba-tiba mendengarkan hembusan nafas keluar yang panjang. Si guru kembali ke keadaan normal, dan bercakap-cakap dengan ceria.
Setelah itu, ia menyuruh menyiapkan makanan siang. Ia menyantap makanan dengan bergairah. Ia menahan nafas sepanjang waktu meditasi pagi. Ia berbuat demikian karena alasan bahwa rentang usia kehidupan itu terhitung dalam jumlah nafas yang pasti. Guru itu menyadari bahwa nafasnya telah hampir habis. Karena itu, ia menahan nafas supaya tidak mencapai angka terakhir hingga sampai pada hari yang mujur. Begitu selesai makan siang, ia menghirup nafas dalam-dalam sekali lagi dan menahannya hingga sore hari. Ia berbuat begitu lagi pada keesokan harinya, dan pada hari selanjutnya. Ketika tiba pada hari Senin, ia bertanya, “Apakah hari ini merupakan hari mujur?” “Ya” jawab pembantunya. “Baiklah, saya akan pergi hari ini.” Pada hari itu, tanpa tanda-tanda kesakitan atau kesukaran yang tertampak, ia mati dalam meditasinya.
Cerita di atas mengandung beberapa pandangan sesat yang menyimpang dari ajaran Sang Buddha. Dalam Agama Buddha tidak dikenal adanya hari kelahiran serta hari kematian yang ‘mujur’ ataupun ‘tak mujur’. Hari hanyalah suatu bagian dari penanggalan yang dirumuskan berdasarkan peredaran bumi dalam sistem tatasuriya (suriyagati) atau tatawulan (candagati). Letak, susunan serta peredaran bintang-bintang di langit tidak mempunyai kaitan langsung dengan kehidupan suatu makhluk. Sang Buddha tidak pernah meramalkan bahwa hari Senin atau hari lainnya sebagai suatu hari kematian yang mujur. Tidak dapat dipastikan apakah suatu makhluk yang mati pada hari Senin akan masuk ke surga sedangkan yang mati pada hari lainnya akan masuk ke neraka.
Apakah suatu makhluk akan masuk ke surga atau neraka, itu ditentukan oleh perbuatan-perbuatan yang ditimbunnya dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan-kehidupan lampau (Dalil Kamma). Nasib manusia bukan digariskan berdasarkan ilmu perbintangan (astrology). Karena tidak dikenal adanya hari-hari mujur, tidak ada alasan bagi umat Buddha untuk menunda kematiannya berdasarkan alasan pernujuman.
Agama Buddha juga tidak pernah menyatakan bahwa rentang usia kehidupan suatu makhluk itu dihitung berdasarkan jumlah nafas yang dihirup serta dihembuskan. Kalau dipercayai bahwa usia dapat diperpanjang dengan menahan nafas, para pencari mutiara [dalam kerang] di dasar laut –yang harus menyelam ke dalam air dalam waktu lama– tentu akan berumur panjang! Dalam kenyataan, mereka kebanyakannya memiliki usia rata-rata lebih pendek daripada orang-orang yang bermata-pencaharian lain. Terutama sewaktu berusia lanjut, kesehatan mereka kurang begitu baik karena pengaruh tekanan air laut.
Kekurangan oksigen karena menahan nafas dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan fatal pada bagian otak, organ yang sangat penting dalam tubuh manusia. Orang-orang yang terlatih baik pun biasanya hanya dapat menahan nafas dalam waktu puluhan menit.
Agaknya terlalu berlebihan (superfluous) apabila diakui bahwa para guru yoga di Tibet sepanjang satu hari penuh bernafas hanya dua tiga kali. Selain menyesatkan dalam segi keagamaan, kepercayaan ini kiranya cukup berbahaya bagi kesehatan –apalagi kalau dianut serta dijalankan tanpa petunjuk serta bimbingan yang memadai.
Mati secara Bermartabat
Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi di bidang medis memang dapat mengatasi kematian dalam tahap-tahap tertentu. Beberapa jenis penyakit yang sebelumnya pasti berakhir pada kematian, kini dapat ditanggulangi dengan mudah. Namun, secanggih mana pun kemajuan yang telah dicapai, semua itu ada batas-batasnya. Tidak semua penyakit dapat dilenyapkan secara tuntas, dan tidak semua pesakit (pasien) dapat disembuhkan secara mutlak. Pada kasus-kasus tertentu, kemajuan di bidang medis hanya mampu ‘mempertahankan kehidupan’ seorang pesakit, tetapi gagal mengembalikan keadaan kesehatannya seperti sediakala atau setidak-tidaknya mampu menjalani kehidupan secara wajar. Beberapa pesakit harus mendekam terus di rumah sakit selama bertahun-tahun. Hidup dari sari-sari makanan yang diinfuskan langsung ke darah. Secara berkala darahnya harus dicuci (diganti). Untuk menahan rasa sakit yang amat parah, ia kadangkala harus disuntik morfin. Pernafasannya diatur secara mekanis. Tahi serta air kencingnya dikeluarkan melalui perut. Kaki tangannya takdapat digerakkan, bahkan untuk mengedipkan kelopak mata saja sangatlah susah. Ia hidup bukan dengan pengharapan untuk dapat sembuh, melainkan semata-mata untuk menanti tanda-tanda kematian yang lebih jelas. Ia sesungguhnya tak lebih daripada suatu ‘bangkai hidup’ (zombie).
Pertanyaan yang perlu diajukan sekarang ialah: haruskah ‘kehidupan’ semacam itu dipertahankan terus? Apa makna dan arti kehidupan seperti itu bagi yang bersangkutan serta sanak keluarganya? Tentu, apabila pesakit itu masih merasa puas dengan keadaan kehidupannya –separah apa pun–, dokter yang merawat serta sanak keluarganya patut untuk mempertahankan kehidupannya dengan segenap kemampuan.
Bahkan, kalau pesakit itu serta keluarganya tidak mampu menanggung biaya pengobatan atau perawatan yang mahal, lembaga asuransi atau departemen sosial perlu mengulurkan tangan.
Bagaimana kalau pesakit itu sendiri yang menghendaki agar kehidupannya diakhiri? Apakah ini termasuk upaya bunuh diri?
Berhakkah ia memutuskan demikian?
Jika hak hidup setiap orang diakui serta dijamin secara nyata, kiranya tidak ada alasan untuk menghalangi kehendak seseorang dalam menentukan kehidupannya sendiri –dalam arti memilih tetap hidup atau mati. Hak untuk mati adalah suatu bagian yang tak terpisahkan dari hak untuk hidup. Kalau kehidupan seseorang sepanjang harinya dipenuhi dengan penderitaan, tanpa kebahagiaan sedikit pun, dan sama sekali tidak ada harapan untuk sembuh dan menjalani kehidupan secara wajar; layakkah sanak keluarga atau orang-orang lain memaksanya untuk terus hidup dalam keadaan yang mengenaskan seperti itu?
Bagaimanapun keadaannya, seseorang memang tidak patut membenci tubuh jasmaninya. Namun, kita juga tidak seharusnya menganjurkannya untuk melekati jasmaninya. Tubuh ini sesungguhnya tak ubahnya seperti pakaian. Kalau itu memang sudah koyak-koyak dan tidak bisa dipakai lagi, mengapa tidak dibuang dan dicarikan pengganti yang baru, yang lebih baik?
Mengapa hak bagi seseorang untuk mati secara bermartabat [to die in dignity] dirampas begitu saja?
Manusia serta makhluk lainnya bukanlah sekadar “anak-anak wayang” yang terikat kontrak dengan Sutradara Agung untuk melakonkan adegan penderitaan di atas panggung sandiwara dunia hingga menggenapi waktu yang ditentukan secara sewenang-wenang dan sepihak. Agama Buddha menolak adanya suatu Kekuasaan Adikodrati yang berwenang untuk menakdirkan nasib suatu makhluk; untuk melakonkan drama kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Setiap makhluk adalah pemilik mutlak atas kehidupannya masing-masing. Namun, ini bukanlah berarti bahwa Agama Buddha merestui upaya bunuh diri. Upaya bunuh diri –dengan dasar alasan apa pun– jelas tidak selaras dengan pandangan Buddhis. Tetapi masalahnya sekarang ialah: seberapa jauh hak seseorang dalam memutuskan jalan hidupnya sendiri diakui serta dijamin terapannya?
Ada beberapa tokoh Buddhis di Muangthai yang ketika dirundung penyakit mematikan, menolak pembedahan yang berlebih-lebihan –misalnya dicoblos tenggorokannya sebagai jalan keluar lender serta dahak. Pertolongan medis modern dianggap telah jauh melangkahi batas-batas kewajaran –terutama apabila dilakukan pada waktu telah berusia lanjut; pada saat memang telah layak dijemput kematian. Mereka menghendaki suatu kehidupan yang bersifat alamiah, yang berakhir de ngan tetap mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur; bukan dengan memperlakukan badan jasmaniah sebagai robot yang boleh dipreteli serta diedel-edel sedemikian rupa. Ini jelas merupakan suatu tindakan euthanasia pasif. Namun, apakah ini termasuk suatu upaya bunuh diri? Entahlah!
Dalam pada itu, mungkin dipertanyakan apakah seorang umat Buddha yang melakukan bunuh diri tidak berarti ‘memungkiri’ Dalil Kamma?
Apakah setelah kematiannya ia tidak perlu melunasi hutang kamma-nya lagi –dalam arti menderita lagi seperti yang dialami dalam kehidupan sebelumnya?
Dapatkah akibat suatu kamma diputuskan dengan kematian?
Memang, amatlah sukar untuk dapat melihat dan memastikan bagaimana bekerjanya Dalil Kamma yang pelik. Namun, Sang Buddha pernah mengajarkan tentang pembagian kamma berdasarkan waktu dalam menghasilkan akibat. Ada kamma yang memberikan akibat pada masa kehidupan sekarang (diööhadhammavedanîya-kamma), dan ada pula kamma yang tidak memberikan akibat karena jangka waktu untuk menghasilkan akibat telah habis (ahosi-kamma). Agama Buddha memang mengakui adanya Dalil Kamma. Tetapi, Sang Buddha tidak pernah mengajarkan umat-Nya untuk ‘tunduk’ pada akibat kamma. Sikap inilah yang membedakan antara akibat kamma lampau dengan nasib/takdir yang harus diterima dengan pasrah –sebagaimana yang dipercayai oleh agama-agama lainnya. Contoh yang gamblang dalam hal ini: seandainya seorang umat Buddha digigit nyamuk, ia tidak seharusnya membiarkannya begitu saja dengan berpikir, “Biarlah nyamuk itu menggigit sepuas-puasnya, supaya hutang kamma saya kepadanya dalam masa lampau terlunasi semuanya!”
Pemikiran semacam ini jelas merupakan suatu sikap yang salah dalam menerima kamma lampau, yang tidak sesuai dengan Agama Buddha. Sang Buddha tidak pernah menganjurkan siswa-Nya untuk bersikap sebodoh itu. Jika digigit nyamuk, seorang umat Buddha boleh mengusirnya [tanpa harus membunuhnya], atau melakukan tindakan-tindakan pencegahan lainnya, misalnya memasang kelambu dsb. Dengan meyakini Dalil Kamma, umat Buddha bukanlah berarti harus menahan diri dari segala macam penderitaan atau kesakitan yang dialami; tanpa ada sedikit usaha pun untuk menghindarinya. Akibat kamma tidak mutlak harus diterima semuanya. Ingat! Ajaran Agama Buddha tentang Dalil Kamma perlu dibedakan dari doktrin Jainisme tentang Hukum Karma –yang mempercayai bahwa Keselamatan/Pembebasan hanya bisa diperoleh apabila semua hutang karma terlunasi. Kehidupan suatu makhluk tidaklah hanya sebanyak puluhan atau ratusan kali; tetapi tak terhitung jumlahnya. Jika harus melunasi setiap akibat karma yang pernah diperbuat dalam kehidupan-kehidupan lampau; sangatlah muskil bagi suatu makhluk untuk dapat meraih Pembebasan.
Pelaku bunuh diri mungkin dapat dibebaskan dari segala tuntutan hukum, tetapi bagaimana pula dengan dokter yang memberikan bantuan? Bersalahkah ia? Layakkah ia digugat ke pengadilan dengan delik pembunuhan? Ini adalah suatu permasalahan yang kontroversial. Tugas utama seorang dokter ialah menyembuhkan pesakit. Karena itu, tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa membantu upaya bunuh diri sangat bertentangan dengan jiwa kedokteran. Biasanya, betapa pun parah penyakit yang diderita oleh pesakit, bahkan dalam keadaan hampir sekarat pun, dokter akan menghiburnya dengan pelbagai harapan kesembuhan.
Itu secara resmi telah dianggap sebagai ‘etika kedokteran’ meskipun tak dapat dipungkiri bahwa ini termasuk kebohongan. Sudah lazim bahwa penyakit parah yang diderita pesakit akan dirahasiakan –dalam arti pesakit tidak diberi tahu atas jenis penyakit yang diderita. Ia tidak ingin pesakit itu putus asa, pasrah, dan menyerah. Dengan pelbagai cara ia berusaha keras untuk menyelamatkan pesakit. Tidak perlu disangsikan bahwa kebanyakan dokter mempunyai “jiwa menolong” semacam itu.
Akan tetapi, banyak sekali pertanyaan yang perlu dijawab dalam hal ini:
apakah menghibur pesakit yang sesungguhnya tidak mempunyai harapan untuk sembuh tidak menyalahi hukum moral? Apakah merahasiakan keadaan kesehatan yang sebenarnya tidak berarti melanggar hak asasi manusia dalam memperoleh informasi yang benar? Apakah etis untuk membiarkan pesakit berkhayal tentang kesembuhannya yang takkunjung tiba? Apakah tidak mungkin ada dokter tertentu yang berniat takbaik dengan sengaja ‘mengulur-ulur’ kehidupan pesakit yang ditanganinya agar ia mempunyai kesempatan untuk melakukan pelbagai eksperimen atau mencari pengalaman serta keuntungan tertentu bagi kepentingannya sendiri?
Apakah tidak melanggar etika jika seorang dokter menjadikan pesakit tertentu sebagai ‘kelinci percobaan’ tanpa kerelaan yang bersangkutan –walaupun ini mungkin bermanfaat bagi orang banyak?
Memang, seorang dokter tidak patut menganjurkan pesakit untuk bunuh diri, misalnya dengan ungkapan, “Penyakitmu takbisa diobati lagi.
Lebih baik kamu bunuh diri saja!” Ini jelas melanggar etika, dan juga termasuk delik pembunuhan. Seorang dokter cukup menyatakan apa adanya, dan selanjutnya terserah kepada pesakit untuk menentukan kehidupannya sendiri: apakah memilih mati atau tetap hidup dalam keadaan menderita. Si pesakit perlu diberi waktu yang cukup lama untuk memutuskan masalah besar ini. Hanya apabila pesakit itu benar-benar bersikeras untuk memilih bunuh diri, seorang dokter kiranya boleh memberikan bantuan selayaknya. Perlu dipertimbangkan bahwa apabila seorang dokter menolak permintaan pesakit untuk bunuh diri –dengan alasan tidak sesuai dengan misi kedokteran atau bisa digugat di Pengadilan–, bukanlah takmungkin pesakit itu nekad bunuh diri dengan caranya sendiri. Keadaannya justru menjadi lebih runyam karena kebanyakan pesakit tidak tahu cara yang baik dan tepat untuk mengakhiri hidupnya.
Seorang dokter lebih berpengalaman dalam mencarikan jalan mati yang tenang dan tak begitu menyakitkan. Pula, jika upaya bunuh diri direncanakan secara matang, pesakit mempunyai kesempatan untuk mengundang pemuka agama yang diyakininya agar mendampinginya; memberikan petunjuk spiritual, menenangkan batinnya, dan sebagainya.
Ini tentu membawa keuntungan bagi diri pesakit itu sendiri. Apalagi jika ia menganut Agama Buddha, yang meyakini bahwa keadaan batin saat menjelang ajal sangat berpengaruh dalam menentukan kehidupan mendatang: apakah terlahirkan kembali di alam menyenangkan atau alam menyedihkan. Bukanlah tidak mungkin jika ia nekad bunuh diri dengan usaha sendiri, tanpa petunjuk dokter dan tanpa didampingi oleh pemuka agama yang diyakini, batinnya akan menjadi kacau, tak terkendali, diliputi kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, dan sebagainya. Sayangnya, menurut Jack Kevorkian yang sering dijuluki sebagai “Dr. Death”, meskipun pesakit yang ditangani merupakan orang-orang beragama, tak satupun yang mau mengkonsultasikan soal ini kepada pemuka agamanya. Ia mengatakan bahwa agama [yang dianut di Barat] tidak relavan. Mereka sangat anti-bunuh diri, tanpa mau memperdulikan pertimbangan-pertimbangan lain sama sekali.
The World Book Encyclopedia menuliskan, dalam tema ‘Suicide’, bahwa Agama Kristen menganggap bunuh diri sebagai suatu dosa, dan banyak pengikutnya yang mempercayai bahwa seseorang yang melakukannya berarti membuang harapannya dalam mencapai Surga. Dengan ungkapan lain dapatlah dikatakan bahwa pelaku bunuh diri tidak mempunyai kesempatan untuk masuk Surga, betapa pun banyak kebajikan yang telah dilakukan sepanjang hidupnya. Semua kebajikannya akan sirna tak bersisa begitu upaya bunuh diri dilakukan. Bunuh diri adalah suatu dosa yang tak terampunkan. Kalaupun seseorang telah membunuh beratus-ratus orang lain [tidak termasuk binatang karena ini dianggap bukan dosa], ia masih diberi kesempatan untuk mengakui kesalahannya, bertobat, dan mempunyai kemungkinan untuk diampuni serta diangkat ke Surga.
Dalam menjenguk umat yang sedang sakit, seorang bhikkhu perlu bersikap waspada. Betapa pun berat penyakit yang dideritanya, janganlah sampai menganjurkannya untuk bunuh diri karena ini merupakan pelanggaran pârâjika. Namun, ia kiranya juga tidak perlu membangkitkan semangat umat yang sakit itu secara berlebihan hingga sangat bergairah dan melekat pada kehidupannya. Tugas utamanya ialah untuk menenangkan batin umat yang sakit itu, membuatnya sadar akan hakikat kehidupan yang fana ini. Tubuh ini hendaknya dipandang sebagai suatu perpaduan pelbagai unsur, yang bersifat tidak kekal, yang senantiasa berubah, pudar, dan hancur secara alamiah. Setelah menjelaskan kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian sebagai penderitaan, ia hendaknya menunjukkan jalan mulia menuju lenyapnya penderitaan.
Selanjutnya, apakah umat yang sakit itu berniat untuk mengakhiri ataupun mempertahankan kehidupannya, itu adalah urusannya sendiri. Tidak seperti Yesus yang didongengkan sering menyembuhkan orang sakit kusta, dsb., Sang Buddha tidak menganggap pengobatan medis sebagai bagian utama dalam misi keagamaan-Nya. Tersembuhkan dari penyakit bukanlah suatu jaminan bahwa penyakit itu [atau lainnya] tidak akan kambuh lagi.
Cara yang Beliau pakai ialah penyembuhan secara total, dengan mencabut benih-benih penyebab kehidupan yang penuh penderitaan. Tidak ada Keselamatan Mutlak selama belum mencapai Kesucian. Penyembuhan medis adalah peranan kaum awam, sedangkan penyembuhan batin adalah tugas kaum agamawan.
Ada larangan bagi bhikkhu untuk bertindak selaku tabib yang mengobati –dengan cara medis atau mistis–orang biasa yang sakit. Kecuali jika orang itu mendadak sakit ketika sedang berada di vihâra, misalnya jatuh tersandung dsb., seorang bhikkhu boleh memberikan pertolongan pertama. Khusus kepada kerabat sepenghidupan suci, bhikkhu boleh memberikan perawatan secara penuh. Alasannya ialah bahwa seseorang yang telah menanggalkan hidup keduniawian terjauhkan dari sanak keluarganya.
Menjadi tugas sesama bhikkhu untuk merawatnya ketika sedang sakit. Bahkan Sang Buddha memuji dan menganjurkan kepada siswa-Nya: “Ia yang merawat bhikkhu sakit, tak ubahnya seperti merawat Saya sendiri.”
Dalam memandang kejahatan dan kebajikan, Agama Buddha senantiasa berpegang pada patokan yang proporsional. Sama sekali tidak ada dogma-dogma tak beralasan yang mencemarinya. Demikian pula halnya dengan delik pembunuhan, Sang Buddha memberikan penilaian yang adil. Bagi seorang bhikkhu, membunuh sesama manusia atau menganjurkan orang lain untuk bunuh diri adalah pelanggaran Pârâjika; suatu kesalahan paling berat (garukâpatti) yang membuatnya terlepas dari Pasamuan Saõgha. Ini adalah suatu kesalahan yang tak terobati (atekicchâ), yang berarti sepanjang kehidupan sekarang, ia tidak berhak lagi untuk menjadi bhikkhu. Ia adalah orang yang telah terkalahkan dalam upaya meraih Pembebasan Sejati. Dengan perkataan lain, dalam kehidupan sekarang ini, ia tidak mungkin dapat meraih kesucian apa pun. Namun, dalam kehidupan-kehidupan mendatang, terbuka lagi kesempatan baginya. Dalam Agama Buddha, tidak ada suatu kejahatan apa pun dan seberat apa pun, yang membuatnya kehilangan hak secara mutlak [tak berbatas dan tak berakhir] untuk meningkatkan taraf kehidupannya dalam pengembaraan hidup yang panjang ini.
Sementara itu, pembunuhan terhadap binatang oleh seorang bhikkhu, dikenai hukuman yang lebih ringan; yaitu pâcittiya –suatu kesalahan yang membuat seorang bhikkhu diwajibkan untuk mengaku di hadapan bhikkhu lain. Apabila yang dibunuh adalah dirinya sendiri [bunuh diri], seorang bhikkhu hanya terkena pelanggaran dukkaöa; suatu kesalahan yang paling ringan. Bagi umat awam, menurut Kitab Tafsiran Sâratthadîpanî dan Vimativinodanî, bunuh diri tidak termasuk pelanggaran sîla karena faktor pembunuhannya tidak terlengkapi. Pelanggaran sîla dalam hal pembunuhan ini harus berobjekkan makhluk lain, tidak termasuk diri sendiri. Bunuh diri juga bukan merupakan akusala-kammapatha; suatu kejahatan yang dapat menyeret pelakunya dalam kehidupan di alam-alam rendah. Di sini terlihatlah kearifan Sang Buddha dalam menggariskan berat ringannya suatu kejahatan. Sangatlah tidak beralasan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku bunuh diri daripada pembunuh orang lain. Bagaimanapun haruslah diakui bahwa setiap orang berhak atas kehidupannya sendiri. Bunuh diri sama sekali tidak merugikan orang lain.
Dengan begitu, bagaimana mungkin kita memvonisnya dengan ‘dosa’ yang tak terampunkan; melebihi ‘dosa’ yang dilakukan oleh mereka yang membunuh orang lain [melanggar hak orang lain]? Seperti halnya orang yang merusak barang [kekayaan] milik orang lain, patut dijatuhi hukuman, tetapi kiranya tidak ada alasan yang tepat untuk menghukum berat orang yang merusak barang miliknya sendiri.
Mungkin dipertanyakan apakah bunuh diri melanggar Dhamma?
Jawabannya ialah: jelas melanggar. Jangankan melakukan upaya bunuh diri, bahkan ‘berpikir’ untuk melukai diri sendiri sudah merupakan pelanggaran Dhamma. Perbuatan apa pun –melalui tindakan, ucapan maupun pikiran– yang membangkitkan kelobaan (lobha), kebencian (dosa) dan kedunguan (moha); semuanya melanggar Dhamma. Ingin makan enak, ingin punya istri cantik, ingin punya banyak anak, ingin dapat gaji besar, ingin punya rumah mewah, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi lobha. Tidak puas dengan apa yang dimiliki, berkeluh-kesah, kecewa, bosan hidup, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi dosa.
Pertanyaan selanjutnya ialah, haruskah kita memaksakan nilai-nilai Dhamma yang sangat luhur itu dalam menyelesaikan masalah bunuh diri dalam taraf bawah?
Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah bunuh diri itu salah atau tidak, tetapi kita hanya menentukan apakah bunuh diri itu boleh atau tidak dalam segi hukum duniawi. Sepanjang tidak mengganggu kehidupan makhluk lain; tidak melanggar hak asasi makhluk lain, kiranya tidak ada alasan untuk memberlakukan larangan apalagi menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.
Hingga dewasa ini, Agama Kristen belum bisa menerima pelaksanaan bunuh diri, dan dengan pelbagai cara berusaha untuk menghalangi pengesahan undang-undang yang bertujuan untuk mengizinkannya. Dalam sidang parlemen di Belanda belum lama ini, yang mendukung hak bunuh diri berasal dari Partai Buruh. Yang tidak setuju kebanyakannya dari penganut agama yang fanatik, yang suaranyaterwakili oleh Partai Demokrasi Kristen.
Bagaimanapun, angket-angket pendapat yang dibuat dalam tahun-tahun ini menunjukkan bahwa paling sedikit tiga-per-empat penduduk Belanda cenderung memilih hak indi vidu untuk mati. Prosentasi ini tentu mengecewekan kaum rohaniwan di sana, yang selama ini berusaha dengan kukuh dan sengit memerangi upaya bunuh diri. Sebenarnya, euthanasia telah lama ditenggang di Belanda. Setiap tahun ada lebih dari 10,000 orang pesakit yang menjalankan euthanasia. Sejak tahun 1970-an, penerapannya telah diperbincangkan secara terbuka, dan hukum yang berlaku cenderung merupakan suatu pengendalian alih-alih larangan mutlak. Perdebatan yang bertahun-tahun menghasilkan kompromi pembuatan garis-garis panduan (guidelines) sementara itu tetap tidak mengesahkan penerapannya secara resmi.
Pengadilan hampir selalu menghindari pendakwaan terhadap dokter-dokter yang telah mematuhi panduan tersebut, yang diterbitkan oleh Royal Dutch Medical Association. Ditetapkan bahwa permohonan bunuh diri harus diajukan sendiri oleh pesakit, bukan sanak keluarga atau kerabatnya. Si pesakit harus benar-benar mengalami penderitaan yang tak tertahan, dan penyakitnya tak terobati. Permohonan bunuh diri harus disampaikan tatkala ia sedang dalam keadaan sadar dan waras.
Di seluruh dunia masih hanya ada sedikit negara yang secara resmi menghalalkan upaya bunuh diri demi alasan kesehatan. Namun, dalam kenyataan yang terjadi tanpa dukungan undang-undang yang sah, euthanasia telah diterapkan di banyak negara. Menurut Kartono Mohamad, Ketua Ikatan Dokter Indonesia, meskipun belum diakui secara resmi di Indonesia, euthanasia telah diterapkan secara pasif.
BAB VI: RIWAYAT
Patâcârâ Theri
Dikisahkan bahwa di Sâvatthi hiduplah seorang wanita cantik bernama Paöâcârâ. Sebagai anak seorang hartawan, ia dibesarkan dan dirawat dengan sangat baik. Sewaktu menginjak usia 16 tahun, orangtuanya menempatkan Paöâcârâ di lantai teratas istana bertingkat tujuh. Meski mendapat pengawalan yang sedemikian ketat, ia sempat bergaul dan mencintai seorang pembantu laki-laki. Menyadari gelagat yang [dianggap] kurang baik ini, orangtuanya segera menjodohkannya dengan laki-laki muda dari satu keluarga terpandang yang sederajat kedudukan sosialnya.
Menjelang hari perkawinan yang ditetapkan oleh orangtuanya, secara sembunyi-sembunyi Paöâcârâ menghubungi pembantu laki-laki yang dicintainya. “Saya mendapat kabar bahwa orangtua saya akan menjodohkan saya dengan seorang laki-laki muda dari keluarga sederajat. Manakala sudah berada di rumah suami saya, Engkau tidak akan berkesempatan untuk menjumpai saya lagi walaupun datang dengan membawa persembahan untuk saya. Karena itu, apabila Engkau benar-benar mencintai saya, jangan tunda-tunda lagi, segera bawalah saya pergi dari rumah ini,” demikian Paöâcârâ mengajak lari kekasihnya. Pembantu laki-laki itu menyanggupi ajakan Paöâcârâ, dan mereka akhirnya memutuskan untuk melarikan diri pada keesokan harinya.
Sejak dini hari pihak lelaki pergi menuju ke pintu gerbang kota dan menunggu di salah satu tempat di sekitarnya. Demikian pula halnya dengan Paöâcârâ, ia bangun pagi sekali. Setelah mendandani tubuhnya sebagaimana alanya seorang budak wanita, Paöâcârâ menyusup di antara para budak yang pergi ke luar rumah untuk mencari air. Ia menjumpai kekasihnya di tempat yang disepakati. Setelah menyusuri jalan yang panjang, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk bertinggal di suatu pedusunan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, si suami menggarap sawah dan mengumpulkan kayu bakar serta dedaunan di hutan, sedangkan Paöâcârâ mencari air, menanak nasi, memasak kuah serta menggarap pekerjaan rumah lainnya. Demikianlah Paöâcârâ hidup dalam kesusahan sebagai akibat dari kamma buruknya.
Beberapa waktu kemudian, Paöâcârâ hamil. Ketika kandungannya menua dan tiba waktunya untuk melahirkan anak, ia memelas kepada suaminya, “Tak ada seorang pun di sini yang dapat membantu saya. Namun, seorang ayah dan ibu senantiasa berwelas-asih terhadap anak-anak mereka. Bawalah saya pulang ke rumah orangtua saya. Saya akan melahirkan di sana.” Permohonan ini ditolak oleh si suami karena khawatir akan mengalami pelbagai siksaan apabila berjumpa dengan orangtua Paöâcârâ. Berkali-kali ia memohon, tetapi suaminya selalu menolak.
Ketika suaminya sedang berada di hutan, Paöâcârâ akhirnya memutuskan untuk pulang sendiri ke rumah orangtuanya dengan terlebih dahulu menitipkan pesan kepada tetangganya seandainya suaminya bertanya. Mengetahui kepergian ini, si suami bergegas menyusul. Ia berhasil menjumpainya, namun gagal untuk membujuknya pulang. Di tengah perjalanan, Paöâcârâ merasakan sakit yang amat parah pada kandungannya. Sambil masuk ke dalam semak-semak ia memberitahukan keadaan ini kepada suaminya. Ia kemudian membaringkan tubuhnya di tanah, dan berguling-guling kesakitan. Ia melahirkan anak laki-laki. Dengan kelahiran ini, berakhir sudahlah harapannya untuk pulang ke rumah orangtuanya. Mereka lalu pulang ke rumah mereka sendiri dan hidup bersama-sama lagi.
Beberapa waktu kemudian, Paöâcârâ hamil lagi. Ketika kandungannya sudah menua, ia memelas kepada suaminya untuk diizinkan pulang ke rumah orangtuanya. Karena tidak dikabulkan, sambil menggendong anak laki-lakinya ia pergi tanpa pamit. Walaupun dibujuk berkali-kali, ia tetap bersikeras untuk pergi ke rumah orangtuanya.
Di tengah perjalanan, badai yang dahsyat muncul walau bukan musimnya. Langit dipenuhi oleh mendung yang pekat. Guntur menyalak bersahut-sahutan tiada henti. Petir menyambar sana-sini di tengah-tengah hujan yang lebat. Pada saat itu pula Paöâcârâ merasa penat pada kandungannya. Karena taksanggup menahan sakit, ia meminta kepada suaminya untuk mencarikan tempat berteduh.
Dengan parang di tangan, si suami pergi mencari bahan berteduh, dan akhirnya menjumpai serumpunan semak-semak yang tumbuh di atas sarang rayap. Tatkala akan menebasnya, tiba-tiba muncullah seekor ular berbisa yang langsung mematuknya. Seketika itu pula tubuhnya membiru bagai disambar api dan terkaparlah ia di situ. Sementara itu, Paöâcârâ mengerang-erang menahan sakit pada kandungannya. Dengan memandangi ujung jalan arah kedatangan suaminya yang tak kunjung tiba, ia akhirnya melahirkan anaknya.
Tak tahan menghadapi kedahsyatan angin serta hujan, kedua anaknya menangis meraung-raung. Sambil memeluk kedua anaknya di dada, Paöâcârâ duduk berlutut di sana sepanjang malam. Sekujur tubuhnya pucat-pasi bagaikan daun kuning yang takberdarah.
Ketika fajar menyingsing, dengan menggendong bayinya yang baru lahir –yang berwarna merah seperti segumpal daging– di pinggangnya serta menuntun anak sulungnya dengan tangannya, Paöâcârâ beranjak pergi menyusuri jalan yang dilalui oleh suaminya. Ketika sampai di dekat sarang rayap, ia menjumpai suaminya mati terkapar dengan tubuh membiru. Meledaklah tangisnya, dan bergetunlah ia: “Karena diri saya, suami saya mati merana di jalanan.”
Tak seberapa lama setelah meneruskan perjalanannya, sampailah Paöâcârâ di sungai Aciravatî. Karena hujan lebat sepanjang malam, air sungai meluap setinggi dada pada bagian tertentu. Merasa taksanggup membawa kedua anaknya sekaligus dalam menyeberangi sungai ini, iamemutuskan untuk meninggalkan anak sulungnya di tepi sungai. Dengan memeluk bayinya, ia menyeberang sungai menuju tepian sana. Setelah memilah serta membentangkan ranting pohon, ia membaringkan bayinya di atasnya.
Tiba-tiba muncul kehendak dalam benaknya untuk menyusul anak sulungnya [yang sedang menanti di tepi sungai]. Ia kemudian meninggalkan bayinya dan menyeberang kembali.
Tak tega meninggalkan bayinya sendirian, ia berkali-kali menoleh serta memandanginya. Ketika Paöâcârâ mencapai pertengahan sungai, seekor elang tiba-tiba menukik serta mematuk bayinya yang dikira segumpal daging. Paöâcârâ berusaha mengusirnya dengan berteriak-teriak sekerasnya sambil mengacung-acungkan kedua belah tangannya. Tak mendengarkan usiran itu karena jaraknya yang cukup berjauhan, si elang terbang membawa bayi itu ke udara.
Sementara itu, bayi sulungnya, yang melihat ibunya mengacung-acungkan kedua belah tangannya sambil berteriak-teriak di tengah sungai, mengira dipanggil oleh ibunya. Ia dengan tergesa-gesa menceburkan dirinya ke sungai dan pergi menyeberang. Karena sedemikian deras arusnya, anak sulung Paöâcârâ terseret arus sungai.
Selanjutnya Paöâcârâ meneruskan perjalanannya sambil meratap, “Salah seorang anak laki-laki saya dibawa kabur oleh seekor elang, yang satunya lagi terseret air; dan suami saya mati terkapar di pinggir jalan.”
Di tengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang datang dari Kota Sâvatthi. Ia menyapa serta bertanya di mana gerangan ia bertinggal. Mengetahui bahwa orang itu bertinggal di Kota Sâvatthi, Paöâcârâ menanyakan tentang keadaan keluarganya. “Ya, saya mengetahui keluarga tersebut, tapi janganlah bertanya tentang mereka. Bertanyalah tentang keadaan keluarga lain yang Anda kenal,” demikianlah jawaban orang itu.
Paöâcârâ segera menyahut, “Saya tidak mempunyai kepentingan untuk menanyakan keluarga lain. Merekalah satu-satunya keluarga yang ingin saya tanyakan.”
“Saudari, Anda tidak member kesempatan kepada saya untuk mengelak dari pertanyaan Anda,” kata orang itu, dan selanjutnya ia bertanya balik, “tahukah Anda bahwa tadi malam hujan turun dengan derasnya semalam suntuk?”
Paöâcârâ menjelaskan bahwa ia tahu tentang hujan lebat tersebut, dan bahkan justru dirinyalah yang paling seru dalam menghadapinya. Namun, pada saat ini ia tidak ingin bercerita tentang hal itu. Satu-satunya hal yang sangat ingin diketahuinya ialah keadaan keluarganya di Sâvatthi.
Orang itu kemudian menceritakan, “Saudari, tadi malam badai yang dahsyat telah meruntuhkan rumah keluarga yang Anda tanyakan. Hartawan pemiliknya, beserta istri dan anak laki-lakinya, mati semua. Jenazah mereka sekarang sedang diperabukan oleh para tetangga.” “Lihatlah ke sana, Saudari,” lanjut orang itu, “asap perabuan mereka masih tertampak.”
Mendengar tragedi yang menimpa keluarganya, batin Paöâcârâ sangat terguncang, dan ia mendadak menjadi orang yang takwaras batinnya. Karena berjalan berputarputar, baju yang dipakainya terlepas dari tubuhnya. Tetapi ia sama sekali tidak menyadari dirinya sedang bugil. Dengan bertelanjang bulat, ia berjalan mondar-mandir sambil meratap:
“Kedua anak laki-laki saya telah mati, suami saya tewas di jalanan; dan kini ayah, ibu serta kakak laki-laki saya dibakar di perabuan.”
Orang-orang yang melihat Paöâcârâ menganggapnya sebagai orang gila. Beberapa di antara mereka ada yang melemparinya dengan sampah. Ada yang melumuri kepalanya dengan debu, dan ada pula yang melemparinya dengan batu.
Dikisahkan bahwa pada waktu itu Buddha Gotama sedang bersemayam di Padepokan Jetavana. Ketika sedang duduk membabarkan Dhamma kepada empat jenis masyarakat Buddhis, dari kejauhan Beliau melihat Paöâcârâ datang mendekat. Beliau menyadari bahwa Paöâcârâ telah memupuk Kesempurnaan (Pâramî) selama seratus ribu kappa, telah membuat kebulatan tekad dan mencapainya.
Karena menyadari semua itu, sewaktu melihat Paöâcârâ sedang berjalan dari kejauhan, Buddha Gotama berujar, “Tak ada seorang pun, kecuali Saya, yang mampu menjadi pelindung bagi wanita ini.” Beliau lalu mengarahkan Paöâcârâ masuk ke dalam padepokan.
Ketika melihat Paöâcârâ, masyarakat berteriak, “Jangan biarkan wanita sinting itu datang kemari!”
Sang Buddha justru berujar kepada mereka, “Minggirlah kalian semua. Jangan halangi wanita itu.”
Sewaktu Paöâcârâ mendekat, Beliau bersabda: “Sadarlah kembali, O Saudari!”
Seketika itu pula, dengan kekuatan seorang Sammâsambuddha, Paöâcârâ menjadi tersadarkan kembali [waras]. Menyadari bahwa dirinya sedang bertelanjang bulat, dan merasa malu serta takut atas akibat ketaksusilaan, ia lalu duduk berjongkok. Seorang laki-laki kemudian melemparkan kemejanya kepadanya. Setelah memakai pakaian, Paöâcârâ menghampiri Sang Buddha. Dengan bersujud di depan kaki Beliau, ia berkata,
“Yang Mulia, mohon sudi kiranya menjadi pelindung serta pembimbing bagi saya. Salah seorang anak laki-laki saya dibawa kabur oleh seekor elang, yang satunya lagi terseret air, suami saya mati terkapar di pinggir jalan; ayah, ibu serta kakak laki-laki saya tewas tertimbun rumah, dan kini diperabukan.”
Setelah mendengar penuturan Paöâcârâ, Sang Buddha bersabda,
“Janganlah berpikir demikian, Paöâcârâ. Anda telah masuk ke dalam padepokan tempat orang yang dapat menjadi pengayom, penjaga serta pelindung bagi Anda. Memanglah benar apa yang Anda ratapi… Bahkan sesungguhnya dalam kehidupan ini, air mata yang menetes dari orang-orang seperti Anda, yang ditinggalkan mati oleh orang-orang kecintaan seperti anak dan lain-lainnya, jauh melebihi air yang terdapat di empat samudra.”
“Hanyalah sedikit air yang terdapat di empat samudra, Jika dibandingkan dengan air mata yang menetes dari Orang-orang yang diliputi derita, yang dirundung kesedihan. Mengapa Engkau masih juga lengah [tak mawas diri]?”
Begitu mendengar wejangan tentang daur kehidupan yang awalnya takdapat diketahui tersebut (Mataggapariyâyasutta), memudarlah kesedihan dalam diri Paöâcârâ. Mengetahui bahwa kesedihannya telah berkurang, Sang Buddha melanjutkan sabda-Nya,
“Paöâcârâ, orang-orang kecintaan seperti anak dan lain-lainnya tidaklah dapat menjadi pengayom, penjaga serta pelindung bagi mereka yang sedang dalam perjalanan menuju kematian. Apa yang dapat Anda harapkan dari keberadaan orang-orang tersebut dalam kehidupan ini? Orang bijak yang terkendali dalam kesilaan hendaknya segera menyucikan jalan menuju Nibbâna.” Selanjutnya Sang Buddha melanjutkan wejangan-Nya dengan menguncarkan syair berikut:
“Anak-anak tak dapat mencegah, demikian pula ayah ataupun kerabat. Sanak keluarga tidaklah dapat melindungi seseorang yang sedang dicengkeram kematian. Dengan menyadari kenyataan ini, orang bijak yang terkendali dalam kesilaan hendaknya segera menyucikan jalan menuju Nibbâna.”
Di akhir wejangan ini, Paöâcârâ berhasil melenyapkan beberapa kekotoran batin dan meraih kesucian tingkat Sotâpatti [pemasuk-arus]. Sementara itu, orang-orang yang lain meraih pelbagai tingkat kesucian.
Paöâcârâ selanjutnya memohon kepada Buddha Gotama untuk ditahbiskan sebagai bhikkhuóî. Beliau kemudian mengirimkannya ke Pasamuan Bhikkhuóî untuk memperoleh pengabsahan.
Suatu hari ia mengisi kendi air pencuci kaki lalu mengucurkannya. Air itu mengalir sedikit dan kemudian berhenti menetes. Ia mengucurkannya lagi untuk yang kedua kalinya. Kali ini air itu mengalir lebih banyak daripada semula. Untuk yang ketiga kalinya, air itu mengalir jauh lebih banyak lagi. Paöâcârâ mempergunakan kucuran air itu sebagai objek perenungan, dan mengumpamakannya dengan tiga macam usia:
“Sebagaimana air yang saya kucurkan pertama kali, ada makhluk hidup yang mati pada usia masih belia. Ada yang mati pada usia pertengahan seperti halnya kucuran air kedua. Ada pula yang mati pada usia lanjut, sebagaimana air yang saya kucurkan untuk yang ketiga kalinya.”
Buddha Gotama, yang sedang berada di Gandhakuöi, menampakkan diri-Nya di hadapan Paöâcârâ sambil bersabda: “Paöâcârâ, memang benar demikianlah kenyataannya. Kehidupan sehari, atau bahkan sekejab, bagi mereka yang melihat kemunculan serta kepadaman lima kelompok kehidupan (Pañcakkhandha) jauh lebih mulia daripada kehidupan selama seratus tahun orang yang tidak melihat kenyataan hidup ini.” Selanjutnya Beliau menguncarkan syair berikut:
“Orang yang tak menyadari kemunculan dan kepadaman [perpaduan bersyarat], meski hidup sampai seratus tahun, tidaklah ada artinya. Kehidupan orang yang menyadari kemunculan dan kepadaman, meski hanya sehari, jauh lebih mulia.”
Selesai mendengarkan wejangan tersebut, Paöâcârâ meraih kesucian tingkat Arahatta. Ia selanjutnya menjadi salah seorang guru besar, dan banyak kaum wanita yang dirundung kesedihan, mencari petunjuk serta bimbingan darinya. Ia dinobatkan oleh Buddha Gotama sebagai seorang siswi mulia yang paling unggul dalam bidang Vinaya.
Konon dikatakan bahwa pada zaman Buddha Padumuttara, ia melihat Sang Buddha sedang menobatkan seorang bhikkhuóî sebagai siswi mulia yang paling unggul dalam bidang Vinaya. Setelah menanam kebajikan, ia bertekad untuk mendapatkan gelar keunggulan semacam itu. Dengan kewaskitaan-Nya, Buddha Padumuttara –yang mengetahui bahwa kehendak ini dapat tercapai– memprakirakan bahwa pada zaman Buddha Gotama mendatang, ia akan mendapatkan penobatan sebagai bhikkhuóî yang paling unggul dalam bidang Vinaya.
Kisâ Gotamî Theri
Dikisahkan bahwa di Sâvatthi hiduplah seorang gadis miskin bertubuh ramping yang bernama Kisâ Gotamî. Ia menikah dengan putra seorang hartawan yang dijumpainya di pasar. Tidak berapa lama ia hamil, dan sepuluh bulan kemudian melahirkan bayi laki-laki. Dengan adanya keturunan ini, Kisâ Gotamî yang sebelumnya kurang begitu dihargai oleh sanak-keluarga suaminya, kini mulai diberi perhatian yang layak serta diperlakukan dengan baik. Malangnya, begitu mulai dapat berjalan, anak itu meninggal dunia secara mendadak.
Karena belum pernah melihat suatu kematian secara langsung dan karena kurangnya pengetahuan atas keadaan orang mati, Kisâ Gotamî tidak percaya bahwa anak yang sangat dicintainya itu telah meninggal dunia. Ia menganggap anaknya hanya menderita sakit, tetapi belum sampai mati. Ia melarang orang-orang yang akan memperabukan anaknya. Sambil mengendong mayat anaknya di pinggang, ia kemudian pergi ke luar dari rumah suaminya. Ia berharap:
“Saya akan mencari obat bagi anak laki-laki saya.”
Dengan menyusuri jalan demi jalan, dari satu pedusunan ke pedusunan lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya, ia bertanya ke sana ke mari apakah ada yang tahu tentang obat yang dapat menyembuhkan penyakit anaknya. Beberapa orang yang sempat ditanyai menjawab dengan ketus:
“Kamu mempertanyakan obat penyembuh bagi anak yang telah mati. Apakah Kamu sudah gila?”
Meskipun mendapatkan tanggapan yang negatif, Kisâ Gotamî masih juga belum putus asa. Ia yakin bahwa pasti ada orang pandai yang mampu menyembuhkan penyakit anaknya. Di suatu tempat ada seorang bijaksana yang sempat melihat Kisâ Gotamî. Ia merasa kasihan terhadap wanita malang ini, yang menjadi kurang waras karena tidak mampu menerima kenyataan atas kematian anak tunggalnya. Ia datang mendekati Kisâ Gotamî dan berkata:
“Saudari, saya sendiri tidak tahu obat yang Kamu butuhkan. Namun, saya kenal orang yang mengetahui obat penyembuh bagi anakmu.”
Kisâ Gotamî bertanya dengan antusias, “Siapa, siapa? Mohon sudi memberitahukannya kepada saya.”
Orang bijaksana itu menjawab serta menganjurkan: “Sang Buddha. Cobalah pergi dan bertanya kepada Beliau.”
Segera pergilah Kisâ Gotamî menjumpai Sang Buddha. Setelah menghaturkan penghormatan yang layak dan berdiri di satu sisi, ia bertanya: “Benarkah apa yang dikatakan orang-orang bahwa Yang Mulia mengetahui obat penyembuh bagi anak saya?”
“Saya memang tahu,” jawab Sang Buddha.
Kisâ Gotamî bertanya lebih lanjut, “Apakah obat itu, Yang Mulia?”
Sang Buddha menjawab, “Segenggam biji sawi [1], yang diperoleh dari suatu rumah milik orang yang tidak pernah ditinggal mati oleh salah seorang dari sanak keluarganya.”
“Baiklah, Yang Mulia, saya akan berusaha untuk mencari dan mendapatkannya,” demikian Kisâ Gotamî menyanggupi persyaratan ini.
Sambil menggendong anaknya di pinggang, pergilah ia mencari obat. Setelah sampai di rumah pertama, ia berdiri di depan pintu dan bertanya, “Adakah biji sawi dalam rumah ini?”
“Ada,” jawab pemilik rumah.
“Kalau begitu,” pinta Kisâ Gotamî, “mohon sudi kiranya memberi saya segenggam.”
Ketika pemilik rumah yang berbaik-hati ini memberikannya, teringatlah Kisâ Gotami bahwa biji sawi yang dapat dijadikan sebagai obat penyembuh bagi anaknya haruslah diperoleh dari suatu rumah yang pemiliknya tidak pernah kehilangan seorang pun dari sanak-keluarganya. Ia kemudian menanyakan hal ini kepada pemilik rumah.
“Apa yang Kau katakan,” jawab pemilik rumah, “orang yang masih hidup itu sedikit jumlahnya. Orang yang telah mati itulah yang jauh lebih banyak.”
Mendengar jawaban ini, Kisâ Gotamî segera mengembalikan biji sawi itu karena ini bukanlah obat yang sedang dicari dan dibutuhkannya. Ia selanjutnya pergi ke rumah-rumah lainnya, dari satu pedusunan ke pedusunan lainnya. Hingga malam menjelang, masih juga ia belum berhasil mendapatkan obat penyembuh bagi anaknya. Lalu timbullah perenungan dalam dirinya, “Saya mengira hanya anak saya sendiri yang mati. Orang yang telah mati ternyata jauh lebih banyak daripada orang yang masih hidup.”
Dengan berpikir demikian, mulailah hati Kisâ Gotamî terbuka atas kenyataan hidup yang sesungguhnya. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke tempat persemayaman Sang Buddha. Ketika ditanya oleh Sang Buddha apakah berhasil mendapatkan biji sawi yang dibutuhkan, Kisâ Gotamî menjawab:
“Tidak dapat, Yang Mulia. Dalam setiap rumah yang saya kunjungi, orang yang telah mati lebih banyak daripada yang masih hidup.”
Sang Buddha bersabda, “Engkau mengira hanya anakmu yang mengalami kematian. Sesungguhnya, kematian adalah suatu kewajaran yang abadi bagi semua makhluk. Kematian niscaya menyeret semua makhluk yang berprilaku belum sempurna ke dalam samudra kemerosotan ibarat banjir besar.” Selanjutnya Beliau menguncarkan syair berikut:
“Kematian niscaya menyeret orang yang tergila-gila pada anak-anak serta ternak peliharaannya, yang pikirannya melekat pada berbagai hal; seperti banjir besar yang menghanyutkan penduduk desa yang terlelap.”
Begitu selesai mendengarkan syair ini, Kisâ Gotamî berhasil meraih kesucian tingkat Sotâpatti. Orang-orang lainnya, yang berada di sekitar situ, ada yang meraih kesucian tingkat yang sama dan ada pula yang lebih tinggi lagi. Selanjutnya Kisâ Gotamî memohon Sang Buddha untuk ditahbiskan sebagai bhikkhuóî. Beliau pun mengirimkannya ke padepokan para bhikkhuóî. Setelah memperoleh penahbisan sebagaimana tatacara yang layak, ia dikenal dengan sebutan “Kisâ Gotamî Therî”.
Pada suatu hari, ketika sedang menjalankan tugas menyulut penerangan di balai uposatha, ia sempat melihat pelita yang menyala terang dan kemudian meredup kembali. Ini dipergunakannya sebagai objek perenungan, “Ibarat nyala api pelita, demikian pula halnya dengan makhluk hidup di dunia ini. Muncul dan padam kembali. Hanya mereka yang telah meraih Pembebasan Sejati yang tidak tertampak demikian.”
Mengetahui pemikiran tersebut, Sang Buddha yang bersemayam di Gandhakuöi kemudian memancarkan cahaya tubuh-Nya bagai tertampak sedang berada di hadapan Kisâ Gotamî Theri, dan bersabda: “Duhai Gotamî, memang demikianlah makhluk-makhluk hidup, yang muncul dan padam kembali seperti nyala api pelita. Hanya mereka yang telah meraih Pembebasan Sejati yang tidak tertampak demikian. Kehidupan sesaat bagi orang-orang yang telah menembus Nibbâna, lebih luhur daripada kehidupan sepanjang seratus tahun bagi orang-orang yang tak melihat Nibbâna.” Sang Buddha kemudian menguncarkan syair berikut:
“Orang yang tak melihat jalan kekekalan [tanpa kematian], meski hidup sampai seratus tahun, tidaklah ada artinya. Kehidupan orang yang melihat jalan kekekalan, meski hanya sehari, jauh lebih mulia.”
Di akhir penguncaran syair tersebut, Kisâ Gotamî Therî berhasil meraih kesucian tingkat Arahatta disertai dengan pengetahuan analitis.
Mallikâ Bandhula
Dikisahkan bahwa di Kusinârâ hiduplah seorang putri bangsawan bernama Mallikâ[2]. Ia diperisteri oleh seorang pangeran dari suku Malla yang bernama Bandhula. Bandhula adalah kerabat seperguruan – sewaktu menempuh pendidikan bersama di Takkasilâ– Pangeran Pasenadi dari suku Kosala. Karena diperdayai oleh para bangsawan dari sukunya sendiri dan tidak ada seorang pun dari kerabatnya yang memberitahu, Bandhula merasa berkecil hati, dan akhirnya mengungsi ke tempat Pasenadi yang kini telah menjadi raja. Di sini ia dianugerahi dengan kedudukan sebagai panglima perang.
Meskipun sudah lama menikah, Mallikâ belum juga beranak. Bandhula, suaminya, berusaha mengusirnya dengan berkata, “Pulanglah Kamu ke keluargamu sendiri.” Mallikâ menuruti kemauan suaminya yang sewenang-wenang, namun sebelum pergi ia menghadap Sang Buddha yang pada waktu itu sedang bersemayam di Jetavana. Ketika ditanya oleh Beliau ke mana gerangan akan pergi, Mallikâ menceritakan bahwa suaminya mengembalikan dirinya kepada keluarganya. “Mengapa, apa alasannya?” tanya Sang Buddha.
“Alasannya ialah bahwa saya tidak mampu memberikan anak kepadanya,” jawab Mallikâ dengan tulus. “Kalau memang begitu, sesungguhnya tidak ada kewajiban bagimu untuk pergi. Pulanglah kembali ke rumah suamimu,” anjur Sang Buddha.
Gembira sekali Mallikâ mendengar nasihat Sang Buddha ini. Mengetahui kepulangan istrinya, Bandhula bertanya, “Mengapa Engkau kembali lagi?” Dengan singkat Mallikâ menjawab, “Sang Buddha menganjurkan saya untuk pulang kembali.”
Bandhula berpikir dalam batinnya, “Sang Buddha yang berwawasan luas tentu mengetahui sebabnya.” Karena itu, ia menerima kembali istrinya tanpa bertanya panjang lebar lagi.
Tidak lama berselang, Mallikâ hamil dan melahirkan beberapa putra kembar secara beruntun[3]. Mallikâ adalah seorang umat Buddha yang sangat berbakti, yang senantiasa mengisi kehidupannya dengan banyak perbuatan bajik.
Pada suatu hari, ia mengundang makan dua Siswa Utama beserta sejumlah besar bhikkhu lain. Sewaktu sedang menyambut serta melayani para bhikkhu dengan penuh keyakinan, ia menerima sepucuk surat berisi berita: “Suami serta anak-anakmu mati dengan kepala terpenggal.”
Meskipun menerima berita duka yang sangat menyedihkan ini, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mallikâ. Ia tidak menangis, meratap atau bahkan meraung-raung sebagaimana layaknya kebanyakan orang yang ditimpa kemalangan atau ditinggal mati oleh orangorang yang sangat dikasihinya.
Tanpa menyebarkan berita ini kepada yang lainnya, ia melipat surat duka tersebut dan menyisipkannya ke dalam saku bajunya. Ia kemudian melanjutkan perlayanannya yang tulus kepada para bhikkhu Saõgha. Seakan-akan tidak ada sesuatu yang telah terjadi atau menimpa dirinya.
Hingga pada suatu saat, seorang pelayan wanita Mallikâ dengan tak sengaja membuat cangkir berisi keju cair jatuh dan pecah berkeping-keping. Ini terjadi tepat di depan tempat duduk Sâriputta Thera. Dengan tujuan agar Mallikâ tidak merasa kehilangan atau bersedih hati atas pecahnya cangkir miliknya, beliau berwejang:
“Wajarlah barang-barang yang dapat pecah menjadi pecah berkeping-keping. Tidaklah perlu terlalu dipikirkan.”
Sambil mengeluarkan surat dari saku bajunya, Mallikâ menuturkan kepada beliau, “Mereka mengirimkan surat ini kepada saya, yang isinya memberitahukan bahwa suami saya beserta seluruh anak-anak saya telah mati terbunuh dengan kepala terpenggal. Meskipun menerima berita yang sangat menyedihkan ini, saya tidak memikirkannya. Karena itu, Yang Mulia, apa pula yang patut saya pikirkan dengan hanya terpecahnya sebuah cangkir berisi keju cair?”
Sâriputta Thera kemudian menguncarkan syair berikut:
“Kehidupan makhluk-makhluk di dunia ini tidaklah bermarkah, tak ada seorang pun yang mengetahuinya, sukar, pendek, dan diliputi oleh derita.”
Setelah selesai membabarkan Dhamma, beliau beranjak dari tempat duduknya dan pulang kembali ke vihâra. Setelah para bhikkhu meninggalkan rumahnya, Mallikâ memanggil seluruh menantunya, dan memberikan nasihat,
“Suamimu sekalian tidaklah bersalah. Mereka semata-mata menerima akibat kamma buruk dalam kehidupan lampau mereka sendiri. Kamu sekalian janganlah bersedih hati. Tidaklah perlu berkeluh kesah. Janganlah menyimpan dendam kepada raja.”
Mallikâ menyadari sepenuhnya bahwa suami serta anak-anaknya mati terbunuh atas perintah Raja Pasenadi yang terhasut oleh beberapa menteri yang kejahatan mereka pernah dibongkar oleh suaminya, Bandhula. Dengan pelbagai cara, mereka berusaha menyingkirkan Bandhula yang setia dan jujur.
Mengetahui –dari laporan mata-mata yang disusupkannya– kebesaran hati Mallikâ, yang sama sekali tidak berniat untuk melampiaskan dendam atas kematian suami serta anak-anaknya, Raja Pasenadi menjadi tidak enak hati. Dengan rasa penyesalan yang dalam, ia kemudian pergi mengunjungi rumah Mallikâ untuk meminta maaf. Mallikâ serta para menantunya memaafkan kekhilafan ini. Raja Pasenadi menganugerahi mereka dengan sebuah berkah. Mallikâ tidak mempunyai keinginan apa pun kecuali izin bagi mereka semua untuk diperkenankan pulang kembali ke keluarga mereka masing-masing. [4]
Sejak kematian suaminya, Mallikâ tidak pernah mengenakan perhiasan berharga mahal yang dikenal dengan nama Mahâlatâ-pasâdhana, yang hanya dimiliki oleh dirinya serta hartawan Visâkhâ dan Devadâniyacora. Ketika jenazah Buddha Gotama hendak diperabukan, ia mengeluarkan perhiasan yang langka ini. Setelah membasuhnya dengan air kembang, ia meletakkannya di dekat jenazah dengan tekad:
“Semoga saya dalam kehidupan-kehidupan mendatang, sepanjang masih terlahirkan dalam Saæsara ini, memiliki tubuh yang tidak membutuhkan perhiasan apa pun, namun tampak seolah-olah telah mengenakannya.”
Berkat jasa kebajikan ini, setelah kematiannya, Mallikâ terlahirkan kembali di Surga Tâvatiæsa dengan segala kemewahannya.
Moggallâna Thera
Dikisahkan bahwa di Kolitagâma dekat Kota Râjagaha lahirlah bayi laki-laki dari seorang brâhmaóî bernama Moggalî. Ia dinamai Kolita –sesuai dengan nama tempat kelahirannya–, tetapi belakangan lebih dikenal dengan nama yang merujuk pada ibunya, Moggallâna. Kelahirannya bertepatan dengan kelahiran Upatissa (Sâriputta) yang kelak juga menjadi Siswa Utama Buddha Gotama.
Selama tujuh keturunan, keluarga Sâriputta dan keluarga Moggallâna menjalin hubungan yang sangat erat. Pada suatu hari, mereka berdua pergi menonton suatu pertunjukan, dan dari sanalah mereka menyadari ketaklanggengan segala sesuatu. Mereka kemudian menanggalkan keduniawian. Pada mulanya mereka berguru kepada Sañjaya Velaööhaputta. Karena kurang begitu puas dengan ajarannya, mereka kemudian berkelana di seluruh Jambudîpa untuk mencari kebenaran hidup. Agar pencaharian ini lebih sangkil, mereka memisahkan diri dengan janji untuk memberitahu yang lain apabila telah berhasil menemukan ajaran yang memuaskan.
Ketika sedang mengembara di Râjagaha, Sâriputta berjumpa dengan Assaji Thera. Beliau berhasil mencapai kesucian tingkat Sotâpatti hanya dengan mendengarkan dua baris pertama dari sebait syair:
“Segalasesuatu muncul karena sebab. Sang Tathâgata mengungkapkan sebabkemunculannya. Demikian pula sebab kepadamannya, diajarkan oleh Pertapa Agung itu.”
Beliau segera mencari Moggallâna, dan begitu mengulangkan syair yang sama, kerabat kental beliau juga berhasil mencapai tingkat kesucian yang sama. Setelah gagal mengajak mantan gurunya –Sañjaya–, mereka berdua dengan diikuti oleh lima ratus siswa Sañjaya kemudian pergi mengunjungi Buddha Gotama yang sedang bersemayam di Veïuvana. Setelah ditahbiskan dan mendapat wejangan langsung dari Beliau, mereka semua –kecuali Sâriputta dan Moggallâna–meraih kesucian tertinggi, Arahatta. Moggallâna baru berhasil mencapai-nya satu minggu kemudian, setelah menjalankan latihan meditasi yang sangat melelahkan.
Di hadapan pasamuan bhikkhu dalam jumlah yang besar, Sang Buddha menobatkan mereka berdua sebagai Siswa Utama (Aggasâvaka).
Apabila Sâriputta Thera terkenal karena kebijaksanaannya, Moggallâna Thera terunggul karena kesaktian yang dimilikinya. Dipercayai bahwa beliau mampu mengunjungi beberapa alam kehidupan lain di luar dunia ini. Bukan hanya alam surga Tâvatiæsa kediaman Sakka –Raja Dewa–yang pernah disinggahi, bahkan alam brahma yang jauh lebih tinggi pun pernah dikunjungi.
Beliau pernah membantu Buddha Gotama dalam menaklukkan kecongkakan Brahmâ Baka. Dalam suatu pertemuan yang khidmat di balai Sudhammâ, beliau berhasil mendesak Baka untuk mengakui pandangan-pandangan lampaunya yang sesat. Beliau juga berjasa besar dalam mengumpulkan kesaksian para penghuni surga maupun neraka atas perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka terlahirkan di alam sana. Setelah pulang kembali ke bumi, beliau menceritakannya kepada para siswanya.
Di antara kebajikan-kebajikan yang membuahkan pahala kelahiran kembali di alam-alam yang menyenangkan ialah mengikuti ajaran Sang Buddha. Di lain pihak, beberapa penganut kepercayaan lain terlahirkan kembali di alam-alam yang menyedihkan; menderita dan tersiksa di sana karena akibat buruk dari pandangan sesat yang mereka anut.
Pembeberan atas kesaksian-kesaksian tersebut, yang sesungguhnya merupakan suatu kenyataan tak terbantah, membuat sejumlah pemuka kepercayaan lain merasa tersinggung. Ada banyak di antara pengikut mereka yang beralih masuk ke dalam Agama Buddha. Keuntungan serta penghormatan yang sebelumnya mereka peroleh kini mulai memudar dan menipis.
Setelah mengadakan pertemuan rahasia, mereka akhirnya memutuskan bersama untuk mengupah beberapa pembunuh bayaran untuk menghabisi Moggallâna Thera. Karena ditawari dengan bayaran yang sangat besar, para pembunuh tersebut menyanggupi perintah pembunuhan ini.
Mereka kemudian mengepung tempat kediaman Moggallâna Thera di Kâïasilâ. Beliau mengetahui niat jelek para pembunuh bayaran ini. Dengan kesaktian yang dimiliki, beliau berhasil menghindar dari kepungan mereka. Ini terjadi berkali-kali, namun dengan pelbagai cara beliau selalu berhasil menghindar.
Pada akhirnya, dengan kewaskitaan beliau menyadari perbuatan jahatnya dalam kehidupan yang lampau, yang telah masak dan siap untuk membuahkan akibat. Karena itu, beliau tidak lagi berusaha menghindar. Para pembunuh itu segera menangkap serta menggebuki Moggallâna Thera hingga remuk tulang-tulangnya. Menyangka bahwa korbannya telah tewas, para pembunuh itu kemudian melemparkan tubuh yang hancur remuk itu di balik semak-semak. [5]
Sesungguhnya, pada waktu itu Moggallâna Thera belum sampai pada ajalnya. Didasari tujuan untuk menghadap Buddha Gotama yang sedang bersemayam di Veïuvana, beliau menyatukan kembali tubuhnya yang telah hancur remuk dengan mempergunakan kesaktian yang dimiliki. Setelah memohon pamit dan memperoleh restu dari Sang Buddha, beliau pergi ke suatu hutan di dekat Kâïasilâ dan mencapai Kemangkatan Mutlak di sana.
Peristiwa tragis yang menimpa Moggallâna Thera kerap disalahcerap oleh beberapa pembabar Dhamma pada dewasa ini. Mereka menjadi tidak berani menyinggung serta membahas kesesatan yang dianut oleh kepercayaan atau agama lain karena takut harus menanggung ‘nasib’ yang sama seperti beliau. Ini bukan hanya menjauhkan mereka dari misi pembabaran Dhamma, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka kurang begitu memahami proses kerja Dalil Kamma.
Kematian Moggallâna Thera bukanlah disebabkan karena pembeberan kesesatan yang dianut oleh kepercayaan atau agama lain. Pembeberan kesesatan adalah salah satu misi pembabaran Dhamma. Tidaklah mungkin ini akan menimbulkan akibat buruk (kusala-vipâka) berupa kematian. Tentu ada penyebab lain.
Sesungguhnya, Moggallâna Thera mengalami peristiwa yang mengenaskan sebelum kemangkatannya karena akibat perbuatan jahat yang pernah beliau lakukan dalam kehidupan lampau. Atas hasutan istrinya, ia berencana untuk membunuh orangtuanya sendiri. Ketika orangtuanya yang buta sedang berada di hutan yang lebat, ia mencoba memisahkan diri dengan berdusta bahwa ada perampok yang akan menyerang. Selanjutnya ia berpura-pura mengeluarkan suara seperti layaknya seorang perampok. Menyangka diserang oleh perampok, orangtua yang sangat mencintainya berteriak agar ia melarikan diri sendirian, dan tidak perlu mengkhawatirkan bahaya yang sedang mereka hadapi. Meskipun orangtuanya memperlihatkan kasih yang sedemikian murni, yang lebih mengutamakan kehidupan anaknya melebihi kehidupan mereka sendiri, ia belum juga insaf. Dengan sangat kejam, ia memukuli mereka berdua hingga tewas.
Atas kejahatan yang sangat berat ini, ia menderita di alam neraka selama ribuan tahun. Karena akibat kamma buruk ini masih bersisa, selama seratus kehidupan sebagai manusia, ia mati terbunuh dengan tubuh hancur remuk.
Uraga Jâtaka
Pada suatu waktu, ketika Brahmadatta memerintah di Kota Bârâóasî, Sang Bodhisatta terlahirkan dalam keluarga brâhmaóa di suatu perumahan dekat gerbang kota. Matapencaharian beliau ialah bertani. Beliau mempunyai seorang putri dan seorang putra yang telah menikah. Keluarga beliau terbentuk atas enam orang, yakni beliau sendiri, istri, sepasang putra-putri, menantu wanita, dan seorang pembantu.
Mereka semua hidup rukun dan bergotong-royong dengan dasar cintakasih. Sebagai kepala keluarga, Sang Bodhisatta mewejangkan kepada mereka:
“Rajin-rajinlah berbuat kebajikan dengan menyumbangkan dâna, melaksanakan kesilaan, menjalankan aturan pada hari-hari suci, dan mengembangkan perenungan atas kematian. Hendaknya selalu menyadari kefanaan hidup. Sebab, bagi makhluk-makhluk hidup seperti kita, kematian adalah pasti sedangkan kehidupan itu tidaklah pasti. Segala perpaduan bersifat tidak kekal, dan cenderung mengalami kehancuran. Karena itu, hendaknya selalu mawas diri baik pada siang hari maupun malam hari.”
Wejangan Sang Bodhisatta ini dipatuhi serta diterapkan oleh seluruh anggota keluarga.
Pada suatu hari, Sang Bodhisatta beserta putranya pergi ke sawah. Sewaktu beliau membajak sawah, putranya mengumpulkan semak-semak kering dan membakarnya. Tak jauh dari situ, hiduplah seekor ular berbisa. Karena matanya nyeri terkena asap, binatang ini keluar dari sarangnya dan dengan ganas mematuk putra Bodhisatta. Seketika itu pula, tewaslah ia. Melihat putranya jatuh tersungkur, Sang Bodhisatta segera menghentikan sapinya dan mendekatinya. Mengetahui bahwa putranya telah mati, beliau kemudian mengangkat serta membaringkannya di bawah pohon, dan menutupinya dengan selembar kain. Beliau sama sekali tidak menangisi atau meratapinya. Sambil meneruskan pekerjaannya, Sang Bodhisattta merenungkan ketakkekalan,
“Apa yang wajar mengalami kehancuran, telah terhancurkan. Apa yang wajar mengalami kematian, telah mati. Segala perpaduan bersifat tidak kekal dan berakhir pada kematian.”
Ketika melihat seorang tetangga yang sedang berjalan di dekat sawahnya, beliau meminta tolong agar mampir ke rumahnya dan memesankan kepada istrinya,
“Hari ini cukup membawakan makanan untuk satu orang saja; bukan untuk dua orang sebagaimana biasanya. Kalau sebelumnya hanya datang sendirian, kali ini hendaknya mengajak seluruh anggota keluarga. Hendaknya mengenakan pakaian bersih, dan membawa bunga serta wewangian.”
Pesan ini pun disampaikan kepada istri Bodhisatta. Ia bertanya lebih lanjut, siapakah yang menitipkan pesan, suami atau anaknya. Mengetahui bahwa ini merupakan pesan yang disampaikan oleh suami-nya, tahulah ia bahwa putranya telah meninggal dunia. Meski menerima berita duka ini, batinnya sama sekali tidak berguncang karena sudah terlatih baik dalam perenungan terhadap kematian. Anggota keluarga yang lain pun tidak ada yang menangis atau meratap. Setelah mempersiapkan segalanya, mereka kemudian bersama-sama pergi menuju ke sawah.
Selesai bersantap di bawah pohon tempat putranya terbaringkan, Sang Bodhisatta mengajak mereka untuk mengumpulkan kayu pembakaran. Setelah meletakkan jenazah di atas tumpukan kayu dan memberikan persembahan bunga serta wewangian, mereka lalu menyulut api perabuan. Tak ada setetes air mata pun yang menitik dari pelupuk mata mereka. Semuanya telah terlatih baik dalam perenungan terhadap kematian.
Berkat kekuatan ini, singgasana Sakka, Raja Dewa, memanas. Merasa takjub atas sikap mereka dalam menghadapi kenyataan hidup, Sakka kemudian turun dari Surga untuk menjumpai serta berbincang-bincang dengan mereka.
“Apa yang sedang kalian lakukan,” tanya Sakka.
“Kami sedang memperabukan seorang manusia.”
“Saya kira kalian bukan sedang memperabukan manusia,” sela Sakka, “melainkan sedang memanggang daging binatang yang telah kalian bantai.”
“Bukan,” bantah Sang Bodhisatta, “kami hanya memperabukan manusia.” “Kalau begitu, ia pasti seorang manusia yang merupakan musuh kalian,” ujar Sakka.
Sang Bodhisatta menerangkan, “Ia bukanlah seorang musuh, melainkan putra saya sendiri.”
“Jika demikian,” tebak Sakka, “ia tentunya bukan seorang putra yang kalian cintai.”
“Ia adalah putra saya yang tercinta,” jelas Sang Bodhisatta.
“Jika memang demikian, mengapa kamu tidak menangis?” tanya Sakka. Untuk menjawab pertanyaan ini, Sang Bodhisatta menguncarkan syair berikut:
“Ibarat seekor ular yang menanggalkan kulit-tuanya yang terkelupas, demikian pula putra saya menanggalkan badan jasmaniahnya. Manakala tubuhnya takdapat dipakai lagi, ia telah meninggal dunia. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Selanjutnya, Sakka mengalihkan pertanyaannya kepada istri Bodhisatta, “Apa hubunganmu dengannya?”
“Ia adalah anak yang saya kandung selama sepuluh bulan; saya susui serta besarkan,” jawab istri Bodhisatta. Sakka beralasan, “Karena sifat kepriaannya, seorang ayah mungkin tidak menangis. Namun, hati seorang ibu lazimnya bersifat peka. Dengan dasar alasan apa, Kamu tidak menangis?”. Untuk menjelaskan hal ini, istri Bodhisatta menguncarkan syair berikut:
“Tanpa diundang, putra saya datang sendiri dari dunia lain. Tanpa diizinkan, ia pun pergi dari alam manusia ini. Sebagaimana ia datang, demikian pula ia pergi. Apa manfaat yang timbul dari meratapi kepergiannya dari alam manusia ini? Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Kini giliran adik perempuan yang ditanyai oleh Sakka tentang hubungannya dengan yang mati. Untuk menunjukkan alasannya mengapa sebagai adik perempuan yang biasanya mencintai kakaknya, ia tidak menangis, syair berikut diuncarkannya:
“Apabila berpuasa serta menangisi kakak laki-laki saya yang telah mati, saya akan menjadi kurus kering. Apa yang diperoleh dengan menangisinya? Ini justru menimbulkan kesedihan bagi sanak keluarga. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Sakka kemudian bertanya kepada istri orang yang mati, “Dengan kematian suamimu, kamu niscaya menjadi janda dan tidak mempunyai pengayom. Namun, mengapa kamu tidak menangis?” Pertanyaan ini dijawab dengan syair berikut: “Ibarat bocah cilik yang merengek meminta bulan di langit, begitu pula orang yang bersedih hati terhadap mereka yang telah pergi ke dunia lain. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Akhirnya Sakka bertanya kepada pembantu wanita, apakah orang yang mati itu semasa hidupnya suka menyiksa, memukul serta menindasnya. Ia tidak menangis karena merasa telah terbebaskan darinya. Pelayan itu menjawab, “Janganlah berkata demikian. Tuduhan semacam itu tidaklah layak bagi majikan saya. Ia penuh dengan kesabaran, cintakasih dan kasih sayang terhadap saya bagaikan anak asuh yang dibe sarkannya.”
“Kalau begitu,” tanya Sakka, “mengapa kamu tidak menangisi kematiannya?” Pelayan itu menjawab dengan syair berikut:
“Bagaikan kendi air yang telah pecah takdapat direkatkan kembali, begitu pula orang yang telah mati takdapat dihidupkan kembali dengan bersedih hati. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Sakka, Raja Dewa, merasa sangat terkesan dengan alasan-alasan mereka. Ia mengakui bahwa mereka semuanya adalah orang-orang yang senantiasa mawas diri mengembangkan perenungan terhadap kematian. Sebelum pergi kembali ke Surga, ia menganugerahi mereka dengan berkah duniawi.
Buddha Gotama
Sebagaimana yang wajar menimpa semua makhluk di dunia ini tanpa kecuali, menjelang usia delapan puluh tahun, pelbagai penyakit yang akut mulai menyerang tubuh jasmaniah Buddha Gotama. Namun, dengan penyadaran jeli serta pemahaman jernih, Beliau mampu menahan rasa sakit yang timbul.
“Tidaklah tepat bagi Saya untuk mencapai Kemangkatan Mutlak (Parinibbâna) tanpa menyampaikan amanat kepada mereka yang telah melayani Saya, dan berpamit kepada Bhikkhu Saõgha. Saya patut menyingkirkan penyakit ini dengan kekuatan kehendak, dan bertekad mempertahankan kehidupan agar tetap berlangsung,” pikir Beliau.
Tak lama setelah sembuh, Beliau keluar dari kediaman-Nya dan duduk di suatu tempat berteduh di belakang padepokan. Ânanda Thera kemudian menghadap Sang Bhagavâ dan menghaturkan penghormatan yang layak. Setelah duduk di satu sisi, beliau berucap, “Yang Mulia, saya melihat Sang Bhagavâ telah berada dalam kebugaran kembali. Saya telah menyaksikan ketabahan Sang Bhagavâ. Sewaktu mengetahui gejala penyakit Sang Bhagavâ, sekujur tubuh saya seolah-olah menjadi kejur (rigid), semua yang berada di sekeliling saya menjadi suram, dan segala indera saya menjadi tumpul. Akan tetapi, Yang Mulia, saya menghibur diri dengan berpikir bahwa selama Sang Bhagavâ belum menyampaikan amanat [terakhir] kepada Bhikkhu Saõgha, selama itu pula Beliau tidak akan mencapai Kemangkatan Mutlak.”
Sang Buddha bersabda,
“Duhai Ânanda, apa gerangan yang masih diharapkan oleh Bhikkhu Saõgha dari diri Saya, Tathâgata? Kebenaran Dhamma telah Saya babarkan tanpa membuat pembedaan antara ajaran yang bersifat rahasia (esoteric) [6] dan terbuka (exoteric). Tak ada satu ajaran pun yang Saya sembunyikan –sebagaimana yang lazim berada dalam genggaman seorang guru.
Barangsiapa mempunyai pikiran demikian, ‘Saya akan mengelola Bhikkhu Saõgha’ atau ‘Bhikkhu Saõgha hendaknya menyanjung Saya’, ia tentu berwajib untuk menyampaikan suatu amanat [terakhir] kepada Bhikkhu Saõgha. Namun, Ânanda, Saya tidak pernah berpikir demikian. Karena itu, amanat apakah yang harus Saya sampaikan kepada Bhikkhu Saõgha?
Duhai Ânanda, pada saat ini Saya telah berusia lanjut. Waktu telah berlalu secara bertahap, dan kini Saya sedang memasuki usia delapan puluh tahun. Ibarat kereta tua yang dapat berjalan karena kayu pendukung, demikian pula tubuh Saya dapat berjalan dengan bantuan kayu penopang. Ketika Saya memasuki dan berada dalam pemusatan batin (cetosamâdhi) yang nir-markah, karena tidak memperhatikan segala markah dan karena pemadaman perasaan tertentu, pada waktu itulah tubuh Tathâgata terasa sangat membahagiakan.
Karena itulah, Ânanda, Engkau sekalian hendaknya menjadikan diri sendiri sebagai pulau, sebagai pelindung bagi diri sendiri. Janganlah menjadikan yang lain sebagai pelindung. Jadikanlah Dhamma sebagai pulau, sebagai pelindung. Janganlah menjadikan yang lain sebagai pelindung.”
Ketika Sang Buddha bersemayam di Jetavana dekat Kota Sâvatthi, Sâriputta Thera mengalami penderitaan jasmaniah karena dirundung penyakit, terserang demam. Beliau berada di kota kelahirannya, Nâlagâmaka di Negara Magadha, setelah mengetahui bahwa usia beliau hanya tinggal tujuh hari. Karena perasaan welas-asih terhadap ibu kandungnya, yang belum juga terbebas dari pandangan sesat, beliau berusaha untuk dapat mewejangkan Dhamma sebagai wujud balas jasa. Ibu kandung beliau akhirnya berhasil meraih kesucian Sotâpatti, termapankan dalam keyakinan terhadap Tiga Mestika. Setelah itu, Sâriputta Thera mencapai Kemangkatan Mutlak.
Mendapat berita kemangkatan Sâriputta Thera, Ânanda Thera segera melaporkannya kepada Sang Buddha, “Yang Mulia, mendengar berita dari Sâmaóera Cunda bahwa Sâriputta Thera telah mencapai Kemangkatan Mutlak, sekujur tubuh saya seolah-olah menjadi kejur, semua yang berada di sekeliling saya menjadi suram, dan segala indera saya menjadi tumpul.”
Sang Buddha bertanya, “Mengapa, Ânanda, apakah Engkau kira bahwa dengan mencapai Kemangkatan Mutlak, Sâriputta membawa pergi kesilaan, pemusatan, kebijaksanaan, pembebasan, pengetahuan serta pandangan tentang pembebasan?” “Bukan begitu,” jawab Ânanda Thera, “namun, saya kira betapa banyak beliau menolong sesame penempuh kehidupan suci; menasihati, menerangkan, mengajar, menganjurkan, membangkitkan serta mengobarkan semangat dalam diri mereka; betapa tak mengenal lelah beliau dalam mewejangkan Dhamma kepada mereka. Kami mengenang bagaimana Sâriputta Thera membekali, memperkaya serta menyantuni kami dengan Dhamma.”
Sang Buddha kemudian bersabda: “Duhai Ânanda, bukankah sejak semula Saya telah wejangkan bahwa peralihan, perpisahan, dan perubahan dari segala sesuatu yang kita sayangi serta cintai pastilah terjadi. Bagaimana mungkin apa yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian…”
Tak begitu lama setelah kemangkatan Sâriputta Thera, yang disusul oleh Moggallâna Thera dua minggu kemudian, Buddha Gotama memutuskan untuk mengakhiri kehidupan-Nya tiga bulan mendatang, tepatnya pada bulan purnama di bulan Vesâkha.
Keputusan ini Beliau ambil setelah menyadari bahwa kini para siswa-siswi Beliau –bhikkhu, bhikkhuóî, upâsaka, upâsikâ– telah bijaksana, terbina baik, matang, berpengetahuan luas, mampu mengingat Dhamma serta menerapkannya, menempuh jalan yang benar, berprilaku sesuai dengan Dhamma; setelah belajar dari guru pembimbing, mereka mampu menyatakan, membabarkan, menetapkan, mengungkapkan, menguraikan, dan menjelaskannya; sanggup memberantas ajaran-ajaran lain [sesat] yang mencuat dengan beralasan dan tuntas, dan mampu mewejangkan Dhamma dengan ke mukjizatannya.
Seorang Sammâsambuddha tidak akan mencapai Kemangkatan Mutlak apabila kehidupan suci belum sempurna, makmur, tersebar-luas, termasyhur, dan dikumandangkan dengan baik oleh para dewa dan manusia. Menyadari betapa besar andil seorang Buddha bagi kesejahteraan serta kebahagiaan banyak orang,
Ânanda Thera memohon kepada Buddha Gotama untuk mengurungkan atau setidak-tidaknya menunda keputusan-Nya. Walaupun dimohon sebanyak tiga kali, Beliau tetap tidak mengabulkannya karena sangatlah mustahil bagi seorang Sammâsambuddha untuk mengingkari apa yang telah diputuskan-Nya.
Selanjutnya Buddha Gotama mengutus Ânanda Thera agar mengundang seluruh bhikkhu yang sedang berada di sekitar Vesâli untuk berkumpul bersama di balai pertemuan. Di hadapan pasamuan Saõgha inilah, Beliau mengikhtisarkan seluruh ajaran yang pernah dibabarkanNya menjadi 37 pokok ajaran yang membawa pada Pencerahan Agung (Bodhipakkhiyadhamma), yang terdiri atas:
empat landasan penyadaran jeli (satipaööhâna),
empat upaya benar (sammappadhâna),
empat dasar keberhasilan (iddhipâda),
lima kemampuan batiniah (indriya),
lima kekuatan batiniah (bala),
tujuh faktor pencerahan (bojjhaõga), dan
delapan faktor jalan mulia (ariyamagga).
Selanjutnya Beliau menguncarkan syair berikut: “Usia Saya telah masak, kehidupan Saya bersisa sedikit. Saya akan meninggalkan Engkau sekalian, Saya telah membuat perlindungan bagi diri Saya sendiri. Duhai Para Bhikkhu, Engkau sekalian hendaknya senantiasa waspada, memiliki penyadaran jeli, menerapkan kesilaan dengan baik. Hendaknya memantapkan batin serta menjaga pikiran. Barangsiapa hidup dengan waspada dalam Dhamma Vinaya ini, ia niscaya akan terbebas dari kelahiran dalam daur Saæsara, dan dapat mengakhiri penderitaan.”
Ketika sedang berada di Bhoganagara, Sang Buddha bersabda kepada sejumlah besar bhikkhu, “Duhai Para Bhikkhu, Saya akan membabarkan Empat Dalih Utama (Mahâpadesa). Dengarkan dan perhatikan dengan cermat.
Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan Sang Buddha: Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’ [Buddhâpadesa]
Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan pasamuan Saõgha para sesepuh beserta ketua dalam padepokan sana: Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’ [Saõghâpadesa]
Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan beberapa bhikkhu sesepuh dalam padepokan sana, yang berpengetahuan luas, yang piawai dalam teori serta praktek, yang mahir dalam Dhamma, Vinaya dan Mâtika (Induk Topik): Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’ [Sambahulattherâpadesa]
Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan seorang bhikkhu sesepuh dalam padepokan sana, yang berpengetahuan luas, yang piawai dalam teori serta praktek, yang mahir dalam Dhamma, Vinaya dan Mâtika: Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’ [Ekatherâpadesa]
Engkau sekalian hendaknya tidak [terburu-buru] menyepakati ataupun menolak perkataan tersebut. Tanpa menyepakati serta menolaknya, Engkau sekalian hendaknya menelaah dengan cermat kalimatnya huruf demi huruf; mencocokkannya dengan Sutta dan memperbandingkannya dengan Vinaya. Apabila ternyata tidak selaras dengan Sutta dan tidak sesuai dengan Vinaya, dapatlah disimpulkan bahwa: ‘Itu pasti bukanlah sabda Sang Buddha; Arahanta Sammâsambuddha. Itu tentu telah disalahpahami oleh bhikkhu, pasamuan Saõgha, beberapa atau seorang bhikkhu sesepuh tersebut. Karena itu, Engkau sekalian hendaknya menolak perkataan itu.
Sebaliknya, apabila ternyata selaras dengan Sutta dan sesuai dengan Vinaya, dapatlah disimpulkan bahwa: “Itu adalah sabda Sang Buddha; Arahanta Sammâsambuddha. Itu tentu telah dipahami secara benar oleh bhikkhu, pasamuan Saõgha, beberapa atau seorang bhikkhu sesepuh tersebut. Duhai Para Bhikkhu, Engkau sekalian hendaknya mencamkan Empat Dalih Utama ini.”
Ketika sampai di tepian sungai Hiraññavatî di hutan pohon Sâla dekat Kota Kusinârâ, Buddha Gotama menyuruh Ânanda Thera untuk mempersiapkan tempat peristirahatan. Suatu keajaiban terjadi. Tatkala Beliau sedang merebahkan diri dengan penuh penyadaran jeli serta pemahaman jernih, bunga pohon Sâla yang mekar bukan pada musimnya jatuh berguguran menaburi sekujur tubuh Beliau seolah-olah merupakan suatu pemujaan. Sang Buddha kemudian menyabdakan bahwa ini bukanlah suatu wujud pemujaan tertinggi. Barangsiapa –bhikkhu, bhikkhuóî, upâsaka atau upâsikâ– yang melaksanakan Dhamma sesuai dengan Dhamma, berpraktek benar, berprilaku selaras dengan Dhamma; mereka itulah yang sesungguhnya telah melakukan pemujaan tertinggi kepada Sang Tathâgata.
Ketika ditanya oleh Ânanda Thera bagaimana jenazah seorang Sammâsambuddha selayaknya dirawat, Buddha Gotama menjawab, “Duhai Ânanda, janganlah Engkau terlalu menyibukkan diri dalam pemujaan terhadap jenazah Tathâgata. Perjuangkan manfaat bagi diri sendiri. Curahkan [perhatian] demi manfaat bagi diri sendiri. Hiduplah dengan waspada, tekun, dan terkendali demi kebaikan bagi diri sendiri. Sebab, telah ada para bangsawan, brâhmaóa, hartawan yang bijak, yang berkeyakinan kepada Tathâgata. Merekalah yang akan mengatur perabuan jenazah Tathâgata.”
Mengetahui bahwa Buddha Gotama akan mencapai Kemangkatan Mutlak pada hari itu juga, pertapa Subhadda yang bertinggal di Kota Kusinârâ segera pergi menghadap Beliau untuk mencari jawaban atas keragu-raguan yang berkecamuk dalam benaknya. Setelah menghaturkan penghormatan yang layak, ia mengajukan pertanyaan, “Gotama Yang Mulia, ada pertapa dan brâhmaóa yang menjadi guru bagi sejumlah besar murid, yang memiliki banyak pengikut, yang merupakan pendiri aliran-aliran kepercayaan, yang terkenal dan termasyhur, yang dianggap oleh masyarakat luas sebagai orang suci, misalnya Pûraóa Kassapa, Makkhali Gosâla, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccâyana, Sañjaya Velaööhaputta, Nigaóöha Nâöaputta. Apakah pertapa dan brâhmaóa tersebut semuanya telah mencapai Pencerahan sebagaimana yang diyakini? Ataukah semuanya belum mencapai Pencerahan? Ataukah sebagian telah mencapai, sebagian belum mencapai Pencerahan?”
Buddha Gotama menjawab, “Duhai Subhadda, dalam Ajaran dan Aturan mana pun, apabila tidak terdapat Jalan Mulia Berfaktor Delapan, di situ tidaklah dapat dijumpai pertapa yang meraih kesucian tingkat pertama [Sotâpatti], kedua [Sakadâgâmî], ketiga [Anâgâmî], atau keempat [Arahatta]. Sebaliknya, dalam Ajaran dan Aturan mana pun, apabila terdapat Jalan Mulia Berfaktor Delapan, di situ dapatlah dijumpai pertapa yang meraih kesucian tingkat pertama, kedua, ketiga, atau keempat. Jalan Mulia Berfaktor Delapan terdapat dalam Dhamma Vinaya ini [Agama Buddha], dan hanya di sinilah pertapa yang meraih kesucian tingkat pertama, kedua, ketiga, atau keempat dapat dijumpai.
Kepercayaan [Agama] lain hampa/kosong dari pertapa-pertapa suci (Suññâ Parappavâdâ Samaóebhi). Apabila para bhikkhu hidup dengan benar, dunia ini tidaklah pernah kosong dari para Arahanta.
Semenjak usia 29 tahun, O Subhadda, Saya telah menanggalkankeduniawian, Mencari apa yang merupakan kebajikan; Lima puluh satu tahun telah lewat, Setelah penanggalan keduniawian itu. Selama kurun waktu itu Saya telah mengembara, Dalam bidang Kebajikan dan Kebenaran. Di luar Dhamma Vinaya ini, Tak ada pertapa suci [tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat].
Setelah mendengarkan sabda Sang Buddha, timbulkan keyakinan dalam diri pertapa Subhadda terhadap Tiga Mestika, dan ia selanjutnya memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu.
Lazimnya, pertapa yang pernah menganut aliran kepercayaan [agama] lain harus berada dalam masa percobaan (parivâsa) selama empat bulan sebelum dapat ditahbiskan, diterima sebagai anggota Saõgha. Namun, melihat kematangan batin pertapa Subhadda, Buddha Gotama memberikan perkenan khusus. Dalam waktu yang singkat, beliau berhasil merampungkan tugas dalam kehidupan suci, dan menjadi Arahanta.
Dalam kesempatan lain, Buddha Gotama bersabda, “Duhai Ânanda, barangkali di antara kalian ada yang berpikir demikian, ‘Sabda Sang Guru telah berlalu, kini kami tak lagi memiliki Guru.’ Sesungguhnya, Engkau sekalian tidak semestinya berpikir demikian. Dhamma dan Vinaya yang telah Saya babarkan dan tetapkan kepada kalian itulah yang akan menjadi Guru kalian setelah Saya tiada.”
Beliau kemudian memberikan kesempatan kepada para bhikkhu untuk mengajukan pertanyaan apabila mempunyai kesangsian atau keragu-raguan terhadap Sang Buddha, Dhamma, Saõgha, Jalan atau pokok-pokok pelaksanaan. Ini supaya mereka nantinya tidak merasa menyesal bahwa sewaktu Buddha Gotama masih hidup, mereka tidak berkesempatan untuk bertanya langsung.
Kendati diberi kesempatan sampai tiga kali, tidak ada seorang bhikkhu pun yang mengajukan pertanyaan. Ini terjadi karena lima ratus bhikkhu yang hadir paling tidak telah meraih kesucian tingkat Sotâpatti. Sebagai wejangan terakhir sebelum mencapai Kemangkatan Mutlak, Buddha Gotama bersabda: “Segala perpaduan wajar mengalami keluruhan [kepudaran, kerapuhan, kehancuran, kepunahan]. Karena itu, Engkau sekalian hendaknya merampungkan semua tugas dengan kewaspadaan.” [7]
Atas kemangkatan Buddha Gotama, Brahmâ Sahampati meng uncarkan syair berikut:
Semua makhluk niscaya menanggalkan tubuh jasmaniah, Bahkan Sang Tathâgata, guru yang tiada taranya di dunia ini, Sebagai Sammâsambuddha, yang mahasuci, yang memiliki kekuatan, Pun telah mencapai Kemangkatan Mutlak.
Sakka –Raja Dewa– menguncarkan syair:
Segala perpaduan bersifat tidak kekal, Wajar mengalami kemunculan dan kepadaman; Begitu muncul, niscaya padam kembali.
Kepadamannya yang mutlak adalah suatu kebahagiaan.
Sementara itu, Anuruddha Thera menguncarkan syair:
Tanpa nafas keluar dan masuk, Dengan batin yang mantap, Teguh tak bergeming, penuh kedamaian, Sang Suciwan mengakhiri kehidupan-Nya. Ibarat pelita yang padam, Begitulah Beliau mencapai Pembebasan, Dengan batin tak gentar, Dengan perasaan teredam.
BAB VII: RENUNGAN
Kala memakan makhluk hidup beserta dirinya sendiri. Siang malam bergeser, usia pun kian lama kian bersisa sedikit. Usia habis berlalu mengikuti siang dan malam. Usia senantiasa berkurang terus setiap kejapan mata.
Ibarat benang pintalan, sepanjang mana yang telah dipintal, bagian yang akan dipintal niscaya menjadi sedikit; demikian pula usia makhluk hidup menyusut dan berkurang.
Sebagaimana air sungai yang tidak balik mengalir ke hulu, demikian pula usia umat manusia tidaklah balik menuju usia muda.
Seiring dengan berlalunya waktu, kehidupan seseorang pun berkurang dari manfaat yang akan dilakukan.
Bagaikan gembala menghalau dengan tongkat kumpulan sapi menuju padang rumput, demikian pula usia tua dan kematian menggiring kehidupan setiap makhluk.
Lihatlah tubuh yang dikatakan indah ini, yang penuh luka, terbentuk dari rangkaian tulang, berpenyakitan, penuh pemikiran, yang tak dapat dicari keabadian dan kekekalannya.
Tubuh ini jika sudah menua akan menjadi sarang penyakit dan lemah. Tubuh yang membusuk ini akan hancur berkeping-keping karena sesungguhnya kehidupan berakhir pada kematian.
Tubuh yang terbentuk dari tumpukan tulang, terbungkus oleh daging dan darah ini merupakan tempat bercokolnya ketuaan, kematian, keangkuhan dan pelecehan.
Tak lama lagi tubuh ini tidak berkesadaran lagi, digeletakkan di tanah bagaikan sebatang kayu yang takberguna.
Tulang-belulang ini berwarna putih pucat seperti warna burung dara. Tak seorang pun yang menghendakinya, ibarat labu di musim rontok.
Kenikmatan apakah yang dapat diperoleh dengan memandanginya?
Sama seperti orang yang sehabis bangun tidur tidak melihat apa yang dijumpai dalam mimpi, demikian pula, orang yang dicintai, setelah meninggal, tidaklah dapat dijumpai lagi.
Banyak orang masih terlihat pada pagi hari, tetapi pada sore hari beberapa di antaranya tak tertampak lagi. Banyak orang masih terlihat pada sore hari, tetapi pada pagi hari beberapa di antaranya tak tertampak lagi.
Sebagaimana buah yang telah masak yang sepanjang waktu dikhawatirkan akan jatuh, demikian pula makhluk yang telah lahir; yang dikhawatirkan sepanjang waktu ialah akan mati.
Tidak di langit, di tengah samudra, di cela-cela bukit; tidak di mana pun di dunia ini dapat ditemukan suatu tempat tinggal di mana seseorang dapat menghindarkan diri dari kematian.
Baik anak-anak, orang dewasa, orang dungu, orang bijak, orang kaya maupun orang miskin; semuanya berjalan menuju kematian.
Lihatlah! Meskipun dikerumuni serta diratapi oleh sanak keluarga, orang yang akan mati direnggut Raja Kematian seorang diri; ibarat sapi yang akan dijagal, digiring seekor.
Dengan [pelbagai] cara makhluk yang terlahirkan berusaha menghindar dari kematian namun takberhasil. Kalaupun dapat bertahan hidup hingga tua, pada akhirnya juga akan mati karena memang demikianlah sifat alamiah makhluk hidup di dunia ini.
Pemain sulap mampu mengelabui banyak penonton dan membuat mereka percaya, namun ia takdapat berbuat demikian terhadap Raja Kematian.
Para ahli waris membawa pergi harta milik orang mati, sedangkan yang mati pergi menuju jalannya sendiri. Tatkala meninggal dunia, tidak ada harta kekayaan apa pun, anak isteri, emas perak atau tanah, yang dapat dibawa serta.
“Saya akan bertinggal di sini selama musim hujan; musim dingin dan kemarau,” demikianlah orang dungu berpikir tanpa menyadari ancaman bahaya [kematian].
Kematian niscaya menyeret orang yang mengumpulkan bunga kenikmatan inderawi, yang pikirannya terpacak pada kenikmatan inderawi; bagaikan banjir besar yang menghanyutkan penduduk yang terlelap.
Orang yang mengumpulkan bunga kenikmatan nafsu inderawi, yang pikirannya terpacak padanya tanpa mengenal puas; niscaya berada dalam kekuasaan Sang Penghancur (Kematian).
Mengapa bersukaria dan bergembira manakala dunia sedang membara terus? Terliputi oleh kegelapan yang pekat seperti ini, mengapa Engkau tak juga mencari penerangan?
Apabila usia terus berkurang seperti ini, perpisahan pasti terjadi tanpa diragukan. Kelompok makhluk yang masih tertinggal hendaknya saling mencintai dan mengasihi; dan tidak seharusnya bersedih hati terhadap mereka yang telah mati.
Tangisan, kesedihan, gerungan, ratapan; tidaklah membawa manfaat terhadap orang yang telah meninggal. Mereka yang telah mati masih tetap seperti semula.
Tangisan atau kesedihan bukannya akan membantu pikiran menjadi tenang atau tentram, melainkan justru melipatgandakan penderitaan. Kesehatan jasmaniah pun ikut melemah.
Bersedih hati samalah dengan melukai diri sendiri. Tubuh akan menjadi kurus kering; kulit akan menjadi pucat pasi, sedangkan orang yang telah mati tidak dapat mempergunakan kesedihan itu untuk menolong dirinya. Ratap tangis tidaklah bermanfaat apa pun.
Orang yang tidak dapat menyingkirkan kesedihan, hanya memikiri orang yang telah meninggal, jatuh dalam kekuasaan kesedihan; niscaya menderita duka yang lebih berat.
Karena itu, Saudara, setelah mendengarkan ajaran mereka yang telah terjauhkan dari noda batin, hendaknya melenyapkan ratap tangis.
Ketika melihat orang meninggal, tabahkan hati [dengan berpikir] bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk menghidupkannya kembali.
Kalau orang yang telah meninggal dunia dapat dibangkitkan kembali dengan ditangisi, kami sekalian niscaya akan berkumpul bersama untuk saling meratapi sanak keluarga kami.
Engkau tak mengetahui jalan orang yang datang [lahir] maupun yang pergi [mati]. Manakala tidak melihat kedua ujungnya, meskipun diratapi, percuma sajalah.
Demikianlah makhluk hidup di dunia ini berada dalam kekuasaan kematian dan ketuaan. Dengan menyadari sifat alamiah makhluk hidup, orang bijak tidaklah bersedih hati.
Alih-alih bersedih hati terhadap orang yang telah tiada, yaitu mereka yang telah meninggal dunia, sesungguhnya seseorang lebih patut bersedih hati terhadap dirinya sendiri yang jatuh dalam kekuasaan Raja Kematian sepanjang waktu.
Lahir sendirian; mati pun sendirian. Hubungan antara makhluk makhluk hidup sesungguhnya hanyalah saling bertemu dan berkaitan.
Lihatlah! Orang lain pun sedang mempersiapkan diri menempuh jalan Kamma-nya. Di dunia ini semua makhluk sedang bergulat menghadapi kekuasaan Raja Kematian.
Sekarang ini Engkau tua bagaikan daun layu. Raja Kematian sedang menantimu. Engkau sedang berdiri di ambang pintu keberangkatan, namun Engkau belum memiliki bekal perjalanan.
Sekarang ini usia kehidupanmu telah mendekati akhir. Engkau telah melangkah mendekati Raja Kematian. Tak ada tempat peristirahatan di antara perjalananmu, namun Engkau tidak mencari bekal perjalanan.
Menyadari bahwa tubuh ini mudah pecah serta melompong seperti busa, dan menyadari sifat mayanya; seseorang hendaknya mematah kan panah bunga asmara dan menghindar dari pandangan Raja Kematian.
Menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, seseorang hendaknya memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan selan jutnya menyerang Mâra dengan senjata kebijaksanaan.
Jika telah meraih kemenangan, hendaknya menjaganya dengan baik jangan sampai jatuh dalam kekuasaannya lagi, tetapi tidak melekatinya.
Lepaskan [kerinduan terhadap kelompok kehidupan] masa lampau, mendatang dan sekarang. Capailah akhir kehidupan (Nibbâna). Setelah terbebas dari segalanya, Engkau tak akan lagi mengalami kelahiran dan ketuaan.
Barangsiapa memandang dunia ini seperti halnya melihat busa dan fatamorgana [fana dan khayalan] niscaya tidak akan dapat dijumpai oleh Raja Kematian.
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kecerobohan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak mengenal kematian, tetapi orang yang ceroboh tak ubahnya seperti orang yang sudah mati.
Apabila seseorang melihat dengan kebijaksanaan bahwa “Segala perpaduan yang bersyarat adalah tidak kekal”, ia niscaya merasa jenuh pada penderitaan. Inilah jalan menuju kesucian.
Tak ada kejahatan yang saya lakukan di mana pun. Karena itu, saya tidak gentar terhadap kematian yang akan tiba. Apabila teguh dalam Dhamma, tidaklah perlu takut dunia mendatang.
Mereka yang berprilaku selaras dengan Dhamma yang telah dibabarkan dengan baik niscaya melampaui kerajaan kematian yang amat sulit dilewati; dan mencapai Pantai Seberang (Nibbâna).
Catatan kaki Bab I:
- Dalam kebanyakan Alkitab di Indonesia, istilah ini diterjemahkan sebagai ular (snake). Karena sebelum dikutuk binatang ini memiliki kaki, terjemahan yang lebih tepat barangkali ialah naga. Ular bukanlah binatang yang paling cerdik, sedangkan naga sering digambarkan dalam mitos kuno sebagai suatu makhluk berkaki yang memiliki keistimewaan tertentu.[^]
- Dalam theologi Kristen, Tuhan bukan hanya digambarkan seolah-olah berkaki sehingga dapat berjalan-jalan, melainkan juga dianggap memiliki sifat-sifat yang wajar terdapat dalam manusia biasa misalnya kecemburuan, irihati, kemurkahan dan sebagainya. Membinasakan umat manusia, sebagaimana yang dikisahkan dalam riwayat hidup Nabi Nuh dan Musa, juga dianggap sebagai salah satu perangai dan wewenang Tuhan.[^]
- Banyak pemikir kritis, bahkan dari kalangan Kristen sendiri, yang mempertanyakan sikap Tuhan dalam hal ini. Tuhan menuntut manusia untuk mematuhi perintah-Nya, namun tidak rela menganugerahi manusia dengan pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan. Bagaimana mungkin suatu ketaatan atau kepatuhan dapat dijalankan tanpa adanya kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah (conscience)? Kalaupun ada, ini tentu sama sekali tidak mengandung nilai-nilai keagamaan.[^]
- Tiókaööha, Paöhavî, Assu, Khîra, dan Gaddûla Sutta.[^]
- Seorang ahli filsafat, pemikir logis dan pakar matematika berkebangsaan Inggris. Pada tahun 1950, ia meraih piala Nobel bidang Kesusastraan.[^]
- Pada Abad Pertengahan, di dunia Barat juga dikenal adanya Alkimia. Namun, tujuan utamanya bukanlah untuk meracik obat kekekalan hidup, melainkan untuk mengubah logam-logam biasa menjadi emas atau perak, yang berharga lebih tinggi.[^]
- Dalam Nei-tan juga dikenal adanya latihan pernafasan, pengheningan, pengurangan makanan dan sebagainya –yang dipercayai dapat memperpanjang usia kehidupan.[^]
- Dalam kenyataan, dinastinya runtuh hanya empat tahun setelah kematiannya.[^]
- Tembok Besar Cina adalah salah satu karyanya.[^]
- Peristiwa-peristiwa ini mungkin tidaklah berarti bahwa sebelum itu Pangeran Siddhattha sama sekali tidak pernah melihat orang tua, sakit dan mati. Kenyataan hidup semacam ini kiranya telah menimpa sanak-keluarga-Nya, Ayahanda-Nya, Ibu kandung-Nya, dsb. Namun, baru pada saat itulah kenyataan hidup ini benar-benar menggugah hati Beliau, dan membangkitkan upaya Beliau dalam mengatasinya. Kisah ini sengaja didramatisasi untuk dapat lebih menekankan makna yang terkandung di dalamnya.[^]
- Kecuali kematian sesaat atau khaóika-maraóa. [^]
- Ini juga kerap disebut sebagai puññakkhaya-maraóa atau kematian yang diakibatkan karena habisnya kebajikan. [^]
- Tiga yang pertama termasuk kematian yang tepat pada waktunya (kâla-maraóa) sedangkan yang terakhir belum pada waktu semestinya (akâla-maraóa). [^]
- KBBI memerikan kata ‘alur’ sebagai suatu rangkaian peristiwa. [^]
- Para Arahanta mencapai kemangkatan mutlak hanya melalui pintu batiniah, tidak pernah melalui pintu indera jasmaniah. Demikian pula para Anâgâmî, meski tidak meraih pencerapan jhâna, karena mereka niscaya akan terlahirkan kembali di alam brahma. Alur kematian melalui pintu batiniah diperlukan untuk dapat mencerap objek ketetapan atau hakikat luhur sebagai markah perbuatan. [^]
- Secara harfiah, istilah ini berarti melaju dengan cergas (run swiftly). Javanacitta yang muncul secara beruntun dengan objek yang sama ini mempunyai peranan yang sangat penting karena pada saat-saat itulah suatu kebajikan atau kejahatan diperbuat.
Karena pengertian inilah, istilah ini sering diterjemahkan sebagai ‘dorongan hati’ (impulse). Dari tujuh saat yang muncul, saat yang pertama ialah yang terlemah karena tak adanya kekuatan pendukung sebelumnya. Ini hanya menimbulkan akibat kamma pada kehidupan sekarang ini saja; menjadi kadaluwarsa apabila tidak berkesempatan untuk menimbulkan akibat pada kehidupan sekarang. Saat yang terakhir juga kurang begitu kuat karena habisnya kekuatan pendukung. Ini hanya menimbulkan akibat kamma pada satu kehidupan mendatang, dan bisa kadaluwarsa.
Saat-saat di pertengahan itulah yang paling kuat. Ini mampu menimbulkan akibat kamma kapan saja dan dalam kehidupan mana pun hingga suatu makhluk mencapai kemangkatan mutlak (parinibbâna). [^] - Namun, yang dimaksud bukanlah kebajikan atau kejahatan pada lima kesadaran pengolah objek yang ‘paling akhir’ dalam alur kematian karena ini sangat lemah, tak-gairah dan taklengkap unsur-unsurnya sehingga tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk menghasilkan akibat pada waktu tumimbal lahir –dalam arti tidak dapat menjadi perbuatan penghasil kelahiran (janakakamma), dan bahkan tidak termasuk perbuatan menjelang mati (âsannakamma). [^]
- Hanya salah satu dari tiga jenis objek ini yang muncul dalam alur kematian, dan ini akan menjadi objek bagi kesadaran bertumimbal lahir dalam kehidupan mendatang. [^]
- Secara sepintas, markah-markah ini kedengaran seperti suatu teori filsafat yang tak-terbuktikan. Dalam kenyataan, banyak telaah ilmiah (scientific research) yang memperlihatkan kebenarannya, yang didasarkan pada data pengalaman menjelang ajal (NDE: Near Death Experience) sejumlah pasien. [^]
- Menurut Mahâbodhi Jâtaka, Sang Buddha telah menyangkal pandangan Ajita sejak dalam kehidupan-kehidupan yang lampau. [^]
- Naasnya, gagasan tentang avatâra ini kemudian dikembangkan oleh para penganut Mahâyâna. Dalam Saddharma-puóòarîka Sûtra, Sang Buddha dipersanjung secara berlebih-lebihan sebagai dewa dari para dewa yang telah hidup sejak waktu yang nir hingga (infinity) dan akan hidup untuk selamanya (forever).
Peraihan Nirvâóa sebagai ®âkyamuni Buddha hanyalah suatu khayalan belaka (illusion), yang semata-mata hendak Beliau perlihatkan (nirmâóa-kâya). Sang Buddha dipercayai sebagai Bapa Dunia (the Father of the World), Juru Selamat (Saviour) dan Pelindung (Protector) semua makhluk. [^] - Para penganut Agama Hindu yang bersalin dari Brahmanisme bukan hanya menampung pendiri Agama Buddha, melainkan juga menyerap beberapa ajaran Sang Buddha seperti ‘ketanpakekerasan’ (ahiæsâ). [^]
- Mitos tersebut memperlihatkan adanya keberpihakan Agama Hindu kepada para dewa, dan kebencian terhadap para iblis [pilih-kasih]. Yang dipentingkan bukanlah keyakinan terhadap ajaran Veda.
Para iblis yang telah menganut serta menjalankan ajaran Veda, secara licik diperdayai untuk melepaskannya demi keunggulan (superiority) para dewa. Prinsip semacam ini sangatlah bertentangan dengan paham Agama Buddha. Agama diperuntukkan bagi kepentingan semua makhluk hidup tanpa kecuali; bukan sebaliknya makhluk-makhluk tertentu sengaja diciptakan dan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan agama. [^] - Berdasarkan pada Kitab Pengkotbah 12:7 bahwa debu tanah kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya, ada sementara pihak yang menafsirkan bahwa nafas itu sendirilah yang dirujuk sebagai roh/jiwa. Roh/jiwa mungkin dipersamakan dengan udara yang keluar masuk dalam saluran pernafasan. [^]
- Empat alam kemerosotan, alam manusia dan enam alam dewa termasuk sebagai alam nafsu inderawi (kâmabhûmi). [^]
- Mallikâ adalah permaisuri kesayangan Raja Pasenadi Kosala. Atas kematiannya, raja bertanya kepada Sang Buddha ke alam manakah gerangan istrinya terlahirkan kembali. Beliau tidak menjawab meskipun ditanya setiap hari selama seminggu penuh karena khawatir kalau raja akan bersedih hati mengetahui penderitaan yang harus ditanggung oleh Mallikâ. Baru setelah Mallikâ keluar dari neraka Avîci dan terlahirkan kembali di Surga Tusita, Beliau memberikan jawaban. [^]
- KBBI memerikan kata ‘iblis’ sebagai makhluk halus yang selalu berupaya menyesatkan manusia dari petunjuk Tuhan. Karena asurakâya konon dikisahkan sebagai musuh bebuyutan para dewa di surga, kata ‘iblis’ kiranya dapat dipakai sebagai padanan baginya. Tak ada kata lain dalam Bahasa Indonesia yang lebih tepat daripada ini, yang mampu me wakili pandangan Buddhis secara telak. [^]
- Dalam Kitab Ulasan atas Dhammapada dan Buddhavaæsa, para dewa-dewi yang hidup di pohon dimasukkan dalam kelompok bhummaööha. [^]
- Perbandingan usia di alam-alam surga tidaklah sama, tergantung tingkatannya. Satu hari di alam surga tertentu berbanding satu abad di alam manusia, dan ada pula yang lebih lama lagi. [^]
- Beliau berhasil meraih kesucian tingkat Sotâpatti setelah mendengarkan Brahmajâla Sutta. [^]
- Berdasarkan Yogâcârabhûmi- âstra. [^]
- Ia adalah salah seorang pemikir Kristen yang sangat terkenal. Besar sekali pengaruh pemikirannya terhadap perkembangan filsafat serta dogma Kristen. Karena dipercayai bahwa seluruh umat manusia di seluruh dunia akan dapat bersama-sama melihat Yesus yang sedang turun kembali ke dunia pada hari Penghakiman Akhir, ia berpendapat bahwa bumi itu berbentuk ‘datar’.
[Note: Untuk membaca bagaimana Versi Masing-masing agama mengenai bentuk Bumi, lihat di sini dan di sini. Untuk membaca persepsi umur bumi dari sudut pandang alkitab dapat dilihat di sini]
Sebab, kalau berbentuk ‘bulat’, sebagaimana yang telah terbuktikan sekarang ini, peristiwa itu tidaklah mungkin dapat terjadi. Seandainya Yesus akan turun dari langit di belahan bumi sebelah Barat, orang-orang yang berada di belahan sebelah Timur niscaya tidak dapat menyaksikan kedatangan-Nya. [^] - Keadaan alam antara digambarkan dalam Kitab Kuan-ting-ching ibarat bocah cilik yang tidak tertakdirkan jahat ataupun bajik. Pandangan bahwa bocah cilik bersifat murni atau bersih seperti kertas putih sangatlah asing bagi Agama Buddha.
Ini hanya cocok untuk agama yang menganggap kehidupan sekarang ini adalah yang pertama kali, bukan suatu kesinambungan dari kelahiran-kelahiran lampau. Sifat-sifat ‘pembawaan’ sesungguhnya telah ada sejak suatu makhluk terlahirkan. Hanya perbuatan para Arahanta yang tidak tergolong sebagai kejahatan maupun kebajikan. [^] - Pengulas Kitab Udâna menuliskan bahwa kaum Pubbaseliya dan Sammitîya mempercayai adanya alam antara karena pemahaman salah atas istilah ubhayantarena, antarâparinibbâyî dan sambhavesî. [^]
- Dalam pengertian berbeda, sambhavesî adalah sebutan bagi makhluk yang masih berada dalam telur atau kandungan, dan begitu keluar disebut bhûta. Bagi makhluk yang lahir dalam kelembaban atau muncul secara mendadak, kesadaran yang muncul pertama kali disebut sambhavesî dan selanjutnya disebut bhûta. [^]
- Ukuran panjang ini dalam terjemahan Inggris secara serampangan dipersamakan dengan ‘mile’ atau ‘league’. Menurut versi Thai, satu yojana berbanding dengan sepuluh mil atau 16 kilometer[^]
- Dari perumpamaan ini mungkin dapat ditafsirkan bahwa kecepatan kesadaran bertumimbal lahir itu tidaklah lebih lamban daripada kecepatan cahaya. [^]
- Aõguttara Nikâya VI.20. [^]
- Berdasarkan Kitab Visuddhimagga karya tulis Buddhaghosa Thera. [^]
- Ungkapan ini dan pada bagian-bagian selanjutnya terbatas pada kehidupan beliau yang sekarang ini saja (terakhir). Karena tidak akan terlahirkan kembali, tidak ada lagi kematian yang harus beliau alami. [^]
- Perabuan telah dikenal di Jepang sejak tahun 703 Masehi; hingga tahun 1644 semua kaisar diperabukan. [^]
- Di Jepang, tradisi pembakaran-diri para pelayan mulai menyurut pengaruhnya pada abad ke 14, dan kemudian dilarang oleh Iyeyasu. [^]
- Ada sumber lain yang menyebutkan bahwa vemânika-peta dan vinipâtika-asurâ juga dapat menerima. [^]
- Raja Milinda yang melit mempertanyakan apakah suatu ‘kejahatan’ dapat disalurkan kepada orang lain? Perlu dicamkan bahwa syarat suatu penyaluran ialah yang bersangkutan menunjukkan kesepakatan.
Rasanya tidak begitu ada orang yang akan senang apabila diberi bagian atas suatu kejahatan. Karena itu, pertanyaan semacam itu hanyalah mengada-ada. [^] - Simak Encyclopedia of Buddhism pada lema ‘anumodanâ’. Pelik-pelik lain atas tradisi penyaluran jasa, misalnya yang menjadi bahan perdebatan dalam Kitab Kathâvatthu, akan dibahas lebih lanjut pada kesempatan mendatang. [^]
- Kekaburan ini juga terdapat dalam terjemahan versi King James yang memakai ungkapan “even now dead”, “lieth at the point of death”, dan “lay a dying”. [^]
- Masyarakat di Haiti mempercayai kemampuan para dukun klenik dalam membinasakan ataupun menghidupkan kembali orang yang sudah mati dengan mempergunakan racikan obat tertentu.
Beberapa penyidik menduga bahwa obat pembinasa itu berbahan dasar ikan jenis tertentu yang mengandung racun yang dapat menghentikan kerja beberapa organ tubuh sehingga orang yang keracunan akan tampak seperti mati tetapi sesungguhnya masih hidup. [Melalui pengolahan yang cermat, ikan beracun sejenis kini disajikan di rumah makan Jepang sebagai suatu hidangan yang berharga mahal.] Sementara itu, obat penghidup yang dipakai mengandung unsur amonia. [^] - Apabila dijalankan sebelum kematian yang ‘mungkin’ akan merenggut nyawa si suami yang pergi ke medan laga, sebutan yang dipakai ialah ‘jauhar’. [^]
- Pihak keluarga mempelai wanita wajib memberikan mahar atau mas kawin, yangkadangkala harus dicicil hingga bertahun-tahun lamanya. Di India setiap tahunnya ada sekitar 15,000 istri yang tewas terbunuh atau tersiksa karena pihak suami kurang begitu puas dengan mahar yang diterima. [^]
- Oleh para pahlawan dalam Mahâbhârata, wanita direndahkan sebagai ‘barang taruhan’ dalam berjudi. [^]
- Sebagai pendiri sekte Hindu bernama Brahmo Samaj, ia secara tulus mengakui bahwa Veda bukanlah kitab Hindu yang tidak mengandung [bebas dari] kesalahan (infallible). [^]
- Satu dasawarsa kemudian, cendekiawan Ishwarchandra Vidyasagar menjadi ujung-tombak dalam suatu pergerakan menuntut hak kaum janda untuk kawin lagi dan memulaikehidupan berumah-tangga yang baru. [^]
- Versi dalam bahasa Inggris ialah ‘mustard seed’ –yang kerap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘biji lada’. Versi Thai ialah biji [bibit] sawi. KBBI menyebutkanbahwa sawi-tanah adalah tumbuhan untuk obat. [^]
- Pribadi yang berlainan dengan Mallikâ permaisuri kecintaan Raja Pasenadi. [^]
- Ini yang menjadi alasan utama bagi Sang Buddha. Akan tetapi, anjuran Beliau secara taklangsung memperlihatkan ketaksetujuan terhadap sikap sewenang-wenang kaum pria pada zaman-Nya, yang memandang kaum wanita hanya sebagai pelampias nafsu, pembuat anak atau barang peliharaan yang boleh diperlakukan sesukanya. [^]
- Sejak kejadian ini, Raja Pasenadi tidak pernah tenang hidupnya. Ia senantiasa dipenuhi oleh rasa penyesalan atas kejahatan yang diperbuat terhadap kerabat seperguruannya, Bandhula. Menjelang akhir hidupnya, ia dikhianati oleh seorang keponakan Bandhula bernama Dîghakârâyâóa, yang diangkatnya sebagai panglima perang tetapi senantiasa mencari peluang untuk membalas dendam terhadap dirinya. [^]
- Raja Ajâtasattu memerintahkan mata-matanya untuk menyidik delik pembunuhan ini, dan akhirnya semua pihak yang terlibat berhasil diringkus, dan diganjar hukuman yang berat. [^]
- Prof. T.W. Rhys Davids berkomentar bahwa tidak ada sesuatu yang merupakan ajaran esoterik dalam Agama Buddha. Kalau pada masa kini mencuat sebutan ‘esoteric Buddhism’, itu sesungguhnya bukanlah esoterik maupun Agama Buddha. Seluruh ajaran Sang Buddha dapat dijangkau secara sempurna (perfectly accessible). [^]
- Istilah “Appamâdena Sampâdetha” diterjemahkan oleh Prof. T.W. Rhys Davids sebagai “Work out your salvation with diligence” [Upayakanlah keselamatanmu dengan ketekunan]. Terjemahan yang bernada hampir sama dipakai oleh Bhikkhu Ñâóamoli:
“Attain perfection through diligence” [Capailah kesempurnaan melalui ketekunan]. Sementara itu, Sister Vajira dan Francis Story menerjemahkannya sebagai “Strive with earnestness” [Berjuanglah dengan sungguh-sungguh]. Appamâdena berasal dari akarkata ‘pamâda’ yang berarti kecerobohan, kelalaian, keteledoran. Setelah disisipi awalan pembalik serta dibubuhi kata perangkai, appamâdena mengandung makna “dengan kewaspadaan”. Terjemahan saya di atas berlandaskan pada permaknaan ini, dan dengan penyelarasan terhadap ulasan Buddhaghosa Thera. Anjuran untuk mencapai kesempurnaan menimbulkan pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan kesempurnaan dalam Agama Buddha? Pâramî?”
Kata ini mungkin dicuatkan untuk menggantikan kata ‘keselamatan’ yang lazim dipakai oleh kalangan Kristen
[note: Untuk mengetahui benarkah definisi "keselamatan" di dunia kresten, dapat dilihat di sini, di sini, di sini dan di sini.
Pelecehan dengan dalih "keselamatan" dilakukan umat kristiani dalam bentuk "kesaksian" seorang mantan "biksu" yang kemudian pindah menjadi Nasrani karena bermimpi bahwa Buddha Gotama sedang tersiksa di Neraka, lihat di sini].
Sementara itu, anjuran “Berjuanglah” terdengar kabur karena tidak disebutkan secara jelas apa yang harus diperjuangkan. Dalam konteks ini, Sang Buddha tampaknya bermaksud menganjurkan para bhikkhu untuk segera merampungkan atau menunaikan tugas-tugas dalam kehidupan suci (brahmacariya). [^]
Kepustakaan
- Anuruddha, Thera. Abhidhammattha Saõgaha. Bangkok: Saddhammajotika College, 1986.*)
- Buddhaghosa, Thera. Dhammapadaööhakathâ. Bangkok: Mahâmakuöarâjavidyâlaya, 1992.*)
- Burlingame, Eugene Watson (trans.). Buddhist Legends (Dhammapada Commentary). England: Luzac & Company, LTD., 1969.
- Cowell, E.B. (ed.). The Jâtaka or Stories of the Buddha’s Former Births. England: Luzac & Company, LTD., 1957.
- Davids, T.W. Rhys (trans.). The Questions of King Milinda. Delhi: Motilal Banarsidass, 1969.
- Davids, T.W. and C.A.F. Rhys (trans.). Dialogues of the Buddha. London: Luzac & Company LTD., 1971.
- Dhammananda, Ven. K. Sri. What Buddhists Believe. Kuala Lumpur: The Buddhist Missionary Society, 1973.
- Enright, D.J. (ed.). The Oxford Book of Death. London: Oxford University Press, 1983.
- Hastings, James (ed.). Encyclopædia of Religion and Ethics. New York: Charles Scribner’s Sons.
- Jayatilleke, K.N. Early Buddhist Theory of Knowledge. London: George Allen & Unwin Ltd., 1963.
- Jayatilleke, K.N. Survival and Karma in Buddhist Perspective. Kandy: Buddhist Publication Society, 1969.
- Kassapa and Siridhamma, Ven. The Life of the Buddha. Ceylon: The Department of Cultural Affairs, 1958.
- Kesawaööhana, Janâdibya. Sejarah Cina Zaman Kubilai Khan – Menurut Catatan Perjalanan Marco Polo. Bangkok: Penerbit Cuïâlangkaraóa University, 1995.*)
- Leahy, Louis S.J. Misteri Kematian: Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1996.
- Malalasekera, G.P. (ed.). Dictionary of Pâli Proper Names. London: The Pâli Text Society, 1974.
- Malalasekera, G.P. (ed.). Encyclopaedia of Buddhism. Ceylon: The Government of Ceylon, 1961.
- Mendis, N.K.G. (ed.). The Questions of King Milinda: An Abridgement of the Milindapañhâ. Kandy: Buddhist Publication Society, 1993.
- Nârada, Bhikkhu. A Manual of Abhidhamma. Kandy: Buddhist Publication Society, 1968.
- ––––––. Buddhism in a Nutshell. Colombo: Vajirârâma, 1959.
- ––––––. The Buddha and His Teachings. Colombo: Vajirârâma, 1973.
- Ñâóajîvako, Bhikkhu. Kamma and Its Fruit. Kandy: Buddhist Publication Society, 1975.
- Ñâóamoli, Bhikkhu. The Life of the Buddha. Kandy: Buddhist Publication Society, 1992.
- Ñâóasaævara, Supreme Patriarch. Pengertian tentang Abhidhamma. Bangkok: Mahâmakuöarâjavidyâlaya, 1993. *)
- Puññârakkha, S. Kamu Abhidhamma Tujuh Kitab. Bangkok: Abhidhammajotika College, 1982.*)
- Pussadeva, Supreme Patriarch. Paöhamasambodhi. Bangkok: Mahâma kuöarâjavidyâlaya, 1989.*)
- Rahula, Walpola. What the Buddha Taught. London: The Gordon Fraser Gallery Ltd., 1972.
- Sabom, Michael, M.D. Cahaya & Kematian (Light and Death). Batam: InterAksara, 1999.
- Saddhammajotika, Dhammâcariya. Nâmarûpavithînicchaya – Sebuah Telaah tentang Proses Batin dan Jasmani. Bangkok: Yayasan Saddhammajotika, 1984.*)
- Saddhammajotika, Dhammâcariya. Paramatthajotika–Paöicca-samuppâdadîpanî. Bangkok: Yayasan Saddhammajotika, 1987.*)
- Sogyal, Rinpoche. The Tibetan Book of Living and Dying. San Francisco:
- Harper Collins, 1992.
- Story, Francis. Rebirth as Doctrine and Experience. Kandy: Buddhist Publication Society, 1975.
- Story, Francis. The Case for Rebirth. Kandy: Buddhist Publication Society, 1973.
- Tipiöakacuïâbhaya, Thera. Milinda Pañhâ. Bangkok: The Department of Arts, 1993.*)
- Éhitavaóóo, Bhikkhu. Ke Mana Setelah Mati. Bangkok: Mahâmakuöarâjavidyâlaya, 1997.*)
- Éhitavaóóo, Bhikkhu. Psychology of Abhidhamma. Bangkok: Mahâmakuöarâjavidyâlaya, 1985.*)
- Vajirañâóavarorasa, Supreme Patriarch. Life of the Buddha. Bangkok: Mahamakut Buddhist University, 1982.*)
- Vaidayasevî, Vaóóasiddhi. Kurikulum Vithîmuttasaõgahavibhâga. Bangkok: Yayasan Naeb Mahânîrânanda, 1986.*)
- Walshe, M.O’C. Buddhism and Death. Kandy: Buddhist Publication Society, 1978.
- • Yubodhi, Thanit. Buku Panduan Menuju Alam Sana. Bangkok: Sivaporn Press, 1986.*)
Yang bertanda *) adalah buku-buku yang tertulis dalam bahasa Thai.
Sumber:
Dhammacitta: Menguak Misteri Kematian
penyadur :Jan Sañjîvaputta;
pendana utama:keluarga almh. Tan Kiem Twee, Hasan & Susanty;
penerbit:LPD
Publisher; alamat: P.O. Box 30, Banglumphu Post Office, Bangkok 10203, Thailand;
internet: Theravada.net; WebMaster: Theravada;
©9-IX-’99
Isi boleh dikutip sebagian dengan mencantumkan nama penerbit. Pencetakan ulang secara keseluruhan atau penggandaan berupa fotokopi harus mendapat izin resmi dari LPD Publisher.
Menjadi mayat pun kuku masih terus tumbuh!
Bicara mengenai kuku, maka rata-rata pertumbuhan kuku manusia normal:
- Tumbuh lebih cepat di musim panas daripada musim dingin,
- Pertumbuhannya tergantung pada hormon dan umur
- Kuku Pria tumbuh lebih cepat dari kuku wanita, kecuali saat hamil dan usia tua,
- Kuku tangan tumbuh lebih cepat dari kuku kaki [kuku kaki = 1/3-1/4 x tangan]
Mmmmhh...mungkin juga anda pernah dengar ini:
Johnny Carson: "For three days after death, hair and fingernails continue to grow… but phone calls taper off." - [Pesulap, pelawak, entertainer, pernah membawakan "the Tonight Show" NBC, meninggal 2005]
Pernyataan Mendiang Carson bahwa selama 3 hari setelah mati, kuku dan rambut akan terus tumbuh tidak didukung oleh semua link [di atas dan di bawah] yang justru menyatakan bahwa kuku mayat tidak akan bertambah panjang. Panjangnya kuku mayat adalah karena mayat itu kemudian menjadi menyusut! Jadi, Itu merupakan tipuan tampilan [Snope: Coffin nails; Newscientist: Life after death dan Straightdope: Do hair and nails continue to grow after death?]
Namun demikian, kutipan dari ucapan Dr Trisha Macnair berikut ini memberikan arti yang lain sama sekali:
When someone's heart stops pumping blood around their body, the tissues and cells are deprived of oxygen and rapidly begin to die. But different cells die at different rates.
So, for example, brain cells die within three to seven minutes, while skin cells can be taken from a dead body for up to 24 hours after death and still grow normally in a laboratory culture.
But contrary to folklore, this doesn't mean that hair and nails continue to grow after death, although shrinkage of the skin can make it seem this way. - [bbc: Decomposition after death]
So, for example, brain cells die within three to seven minutes, while skin cells can be taken from a dead body for up to 24 hours after death and still grow normally in a laboratory culture.
But contrary to folklore, this doesn't mean that hair and nails continue to grow after death, although shrinkage of the skin can make it seem this way. - [bbc: Decomposition after death]
Dr. Macnair memang menyatakan "tidak berarti" kuku dan rumbut tetap tumbuh setelah meninggal namun ia juga mengemukakan bahwa sel kulit mayat dalam kondisi tertentu dapat terus tumbuh hingga 24 jam lagi!
Ternyata proses bio kimia tidak langsung stop seketika, masih ada proses dari nutrisi yang tersisa/tersedia hingga benar-benar berhenti. Artinya menurut saya sih simple saja: kuku masih bisa terus tumbuh hingga beberapa waktu kemudian!
Jadi, wajarlah ada mayat yang mempunyai kuku lebih pajang, disamping karena menyusutnya mayat juga karena karena proses tubuh yang tersisa.
So, Bagaimana menurut anda?
Dari facebook:
Julyanto Sutandang pada 1:25 30 Maret
Dari pernyataan Dr Macnair, disebutkan bahwa sel kulit dapat bertahan hidup sampai dengan 24 jam kedepan, oleh karenanya ketika diambil dari mayat masih bisa diteruskan dalam kultur jaringan di lab, hal itu tidak menguatkan / menyatakan kalau kuku akan tetap tumbuh sebab ketika tidak ada aliran darah, maka tidak ada asupan nutrisi, sehingga yang dilakukan sel kulit 24 jam kedepan setelah kematian adalah bertahan hidup, bukan hidup seperti normalnya. Jadi menurut saya pendapat Dr tersebut tidak menguatkan anggapan kuku akan tetap tumbuh setelah terjadi kematian.
Wirajhana Eka pada 4:17 30 Maret
Hai July..
Pertama,
Definisi mati ada dua, yaitu pertama adalahan somatic [mati seluruh tubuh, namun masih bisa dipaksa hidup pake mesin] dan kemudian dilanjutkan dengan celuller death [tidak dapat melakukan metabolisme]. Umumnya orang [termasuk dokter biasa] memastikan kematian di tingkat somatic.Tingkat kematian di tingkat celluler, dari yang sensitif [otak] hingga yang paling akhir [kuku dan rambut] [1]
Kematian somatic menghentikan supply darah dan oksigen, sebagai penggantinya otot melakukan pelepasan ATP dari gycogen simpanan..inilah yang membantu untuk tetap melakukan metabolism hingga ia kaku sama sekali [2]
Sumber:
[1] Library thinkquest.org
[2] abc.net.au/science
Kedua,
semua dapat diedarkan oleh darah, termasuk obat-obatan dan racun dan itu masuk juga kedalam kuku dan rambut.
Ada beberapa makan/obat2an yang terbukti dapat menumbuhkan jaringan kuku dan rambut, yaitu Methionine [ada di bahan obat penyakit hepatitis, ia merupakan Asam essensial [juga dari casein dan putih telor] nah ia yang mensintesa protein yang juga paling banyak terdapat di kuku [keratin]. Tubuh memerlukan protein untuk memproduksi sel baru!
Nah, dua alasan itu memperkuat hypotesis saya dan juga sebagai jembatan kata-kata yang tidak ada dari ucapan Dr Macnair
Sumber:
- Alergy-book.blogspot: Protein for your body
- Peta.org
- Hepatitis-Central: Glossary,M
- brazoria-county.com: after death
- perugiamurderfile: postmortem changes and time of death
- etd.library.pitt.edu
Julyanto Sutandang pada 12:50 30 Maret
Saya kira kita butuh kajian yang lebih pasti, apakah metabolism anaerob pada tingkat selular yang menggunakan simpanan gula otot (glycogen) tersebut menghasilkan zat chitin yang akan menjadi kuku atau tidak?
Bilamana anaerob metabolism juga menghasilkan zat yagn sama dengan aerob metabolism berarti emang setelah mati masih ada waktu kuku akan terus tumbuh sampai dengan kira2 3jam saja (tentunya dalam lingkungan hangat)
or sebaliknya, pertumbuhan langsung terhenti.
Thanks Mas Wira atas sharing ilmunya.
Lily Warsiti pada 15:05 30 Maret
oh...di post ke FB jg... :D tadi sy udah comment di milis SP. sy copas lagi ke sini aja... :D
Berdasarkan Abhidhamma....
Di dalam proses kematian, ada rupa yang terus berlanjut. Rupa tersebut tumbuh dipelihara oleh Utu (temperatur, suhu, lingkungan dll) dan Ahara (sari makanan dll)
Itu bisa di lihat buku Abhidhammatthasangaha, pelajaran ttg Rupappavatti (Pengupasan timbul dan padamnya RUPA menurut urutan).
Rupa yang masih tetap berkembang setelah mahluk itu mati dipelihara oleh Utu dan Ahara, murni, sedangkan dasarnya adalah kamma, citta, utu dan aharajarupa mahluk itu semenjak hidup..
Jadi tidak usah heran jika menjadi mayatpun kuku masih terus tumbuh... :D
_/\_ :lotus:
[Kembali]