Kamis, 21 Oktober 2010

Masa..dibilang Kita sepupuan sama sapi..Gendeng?!


Jika dah baca catatan gw sebelumnya, "Siapa Sih Biang Keladinya..Sehingga Manusia Dikatakan Berasal Dari Kera?!" pasti dah ketemu biang keladinya kenapa manusia dianggap berasal dari Kera. Namun beberapa minggu ini gw merasa lucu karena bahkan ada yang percaya bahwa manusia itu bersepupu dengan sapi!

Ya! ini karena percaya abis ama Richard Dawkins sambil menyodorkan kutipan interviewnya:

    "here's no controversy about the fact we are cousins of monkeys, cousins of cows, cousins of aardvarks. That's completely non-controversial among anyone who knows anything about science"

Walah...?!

Bahkan di 'the origins of spesies'-nya Darwin, ngga pernah tuh dikatakan kita berasal atau bahkan bersepupu dengan Monyet. Buku itu hanya menunjukan adaptasi dan seleksi ilmiah yang direka-reka sendiri oleh Darwin, seorang lulusan naturalis yang ngga punya latar pendidikan lanjutan bologi, gagal di kuliah kedokteran dan malah pindah jurusan sekolah buat jadi pendeta.

Bukunya itu merupakan hasil kepanjangan dari peristiwa mengamati sekumpulan burung sejenis finch di kepulauan Galapagos. Ia melihat bahwa, diantara populasi itu terdapat sedikit perubahan dan tidak ada dua individu yang identik, sehingga ada variasi bersifat turunan dari Individu-individu yang berhasil bertahan hidup. Pengulangan proses ini akan membentuk keragaman dan itupun masih dalam kerangka satu garis keturunan yang sama.

Kemudian bahkan, temuan Fosil-fosil yang selalu dipublikasikan selama ini, ngga pernah ada suatu BUKTI KONFIRMASI bahwa EVOLUSI MANUSIA berasal dari mahluk semacam KERA [atau bahkan SAPI!]..mereka ternyata hanya melakukan PRAKIRAAN aja berdasarkan beberapa KEMIRIPAN FOSIL, tok!

Kesepupuan Manusia dengan monyet dan sapi itu, terutama monyet, bisa jadi karena adanya hasil uji genetis simpanse dan manusia yang berkisar 95% dan malah di sini dikatakan:

    A comparison of human DNA to 12 other animals shows we share more than our genes and helps show that people are more closely related to rats than to cats, scientists reported on Wednesday

    note:
    12 Animals are chimpanzee, baboon, cat, dog, cow, pig, rat, mouse, chicken, zebrafish and two species of pufferfish -- the Japanese delicacy Fugu and Tetraodon -- with human DNA

Kalo mo bicara perbedaan soal genetis, maka jangankan pada binatang, bahkan pada SESAMA SPESIES MANUSIApun terdapat SELISIH sekurangnya 0.5% (99.5% kesamaan) [1, 2, 3, 4].

So, seberapa benar statement Dawkins bahwa Manusia bersepupu dengan Sapi dan Monyet. Untuk itu mari kita lihat ranking taxonomicnya:

    Sapi:
    Kingdom - Animalia
    Phylum - Chordata
    Class - Mammalia
    Order - Artiodactyla
    Family - Bovidae
    Genus - Bos
    Species - taurus

    Simpanse:
    Kingdom - Animalia
    Phylum - Chordata
    Class - Mammalia
    Order - Primates
    Family - Hominidae
    Genus - Panina dan
    species - Troglodytes [Walopun ada perdebatan, namun hingga hari ini ngga ada perubahan posisi GENUS dan SPECIES dari simpanse]

    Manusia:
    Kingdom - Animalia
    Phylum - Chordata
    Class - Mammalia
    Order - Primates
    Family - Hominidae
    Genus - homo
    Species - Homo sapiens

Untuk spesies HOMO SAPIENS aja, masih terdapat SUB SPESIESnya yaitu HOMO SAPIENS SAPIENS, yang anggotanya diantaranya adalah Homo Sapiens Neanderthalensis, Homo Sapiens Idaltu, Homo Sapiens Rhodensis dan kita.

Di lihat dari sudut ranking taxonomik ini aja, maka dah sangat gegabah mengatakan kita bersepupu dengan simpanse apalagi dengan sapi.

Apalagi kalo kita juga melihat suatu fakta sederhana yaitu jutaan turunan ke atas dalam satu sub spesies MANUSIA is tetep aja MANUSIA; SAPI is tetep aja SAPI; MONYET is tetep aja MONYET...ngga ada yang berubah dalam hal ini

Jelasnya sih..konyol banget gitu deh..kalo sampe percaya bahwa manusia itu sepupuan ama sapi, ya toh?!

Mmmmhhh..tapi...karena kita dan Sapi sama-sama mimik susu sapi, maka Sapi ngga pernah boleh kita kawini dan bahkan seharusnya Sapi bukan lagi cuma sepupu kita namun justru Ibu kita juga!!!

Walahh!!!!

Ini sih udah ngga lucu lagi..tapi menjadi serem dan mengerikan malah..karena ternyata..selama ini, kita sudah berkali-kali menyembelih dan memakan ibu kita sendiri!!!!!!!!!!

Selasa, 12 Oktober 2010

Penting: Pandangan Benar (SammaDitthi Sutta) + Riwayat: Sariputta & AnanthaPindika



Jika anda kebetulan telah membaca Tuhan, Klaim Pepesan Kosong Si Buta Sejak Lahir Yang Menjelaskan Gajah!, anda akan temukan frase "Pandangan-pandangan Benar". Frase tersebut tidak sesederhana ditulisankan atau diucapkan, frase ini sangatlah dalam dan menakjubkan!. Anda mungkin tidak percaya. Kebetulan sekali saya mendapatkan Sutta (syair, tulisan) yang menjelaskan secara rinci tentang "Pandangan Benar".

Sutta ini disampaikan oleh seorang luar biasa bernama Y.A Sariputta, salah satu dari dua Murid utama Sang Buddha yang dipujikan dalam hal kebijaksanaan dan kemampuan analitisnya [Lihat: Riwayat hidup Y.A Sariputta]. Beliau sampaikan itu ketika berada di Anathapindika Arama [vihara sumbangan Anathapindika, arti arama = kesukaan, sedangkan Anathapindika adalah nama orang]. Anathapindika adalah seorang dermawan kaya-raya yang sempat jatuh miskin dan kemudian kaya-raya lagi, Ia juga menjadi orang suci dan ketika wafat terlahir di Surga. [Lihat: Riwayat hidup Anathapindika]. Demikian pengantar singkat ini dan selamat membaca.

Untuk tahu lebih lanjut tentang Buddhisme silakan buka: Ringkasan Ajaran Buddha atau juga tentang Riwayat Buddha Gotama dan juga tentang Meditasi yang diajarkannya.


SAMMADITTHI SUTTA (MN 9)
[Pali: World Tipitaka Edition, Penjelasan/komentar (Inggris): Accesstoinsight], Sutta Pitaka Majjhima Nikaya I

Demikianlah yang kudengar.
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Anathapindika Arama, Savatthi. Di sana Bhikkhu YA Sariputta menyapa para bhikkhu: "Para bhikkhu." "Avuso [sahabat]," jawab mereka. Bhikkhu YA Sariputta: "Para avuso mengatakan, 'Seseorang berpandangan benar, Seseorang berpandangan benar'. Dalam cara apa siswa Ariya (Mulia/Agung) yang berpandangan benar, berpandangan lurus, memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma, telah sampai pada dhamma sejati?". Para bhikkhu menjawab: "Memang, kami datang dari jauh untuk belajar dari Bhikkhu YA Sariputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya para bhikkhu akan mengingatnya". Bhikkhu YA Sariputta berkata: "Para avuso, dengar dan perhatikanlah baik-baik apa yang akan saya sampaikan" Para bhikkhu menjawab: "Baiklah avuso."

Bhikkhu YA Sariputta melanjutkan:

1. KUSALA DAN AKUSALA

"Sedapat mungkin seorang siswa Ariya memahami hal-hal yang tidak bermanfaat (AKUSALA), memahami akar dari hal-hal yang tidak bermanfaat, memahami hal-hal yang bermanfaat (KUSALA), memahami akar dari hal-hal yang bermanfaat. Melalui cara ini, dia adalah orang yang berpandangan benar, berpandangan lurus, memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma, telah sampai pada dhamma sejati. .

Apakah hal-hal yang tidak bermanfaat, akar dari hal-hal yang tidak bermanfaat, hal-hal yang bermanfaat, akar dari hal-hal yang bermanfaat?

Hal-hal yang tidak bermanfaat adalah:
  1. Menyakiti kehidupan (panatipata),
  2. Mengambil apa yang tidak diberikan (adinadana),
  3. Memuaskan Indria (6 Indriya) dengan cara yang salah (kamesumichacara),
  4. menyatakan yang tidak benar (musavada),
  5. Memecah belah/fitnah (pisunavaca),
  6. Mengucapkan kata-kata kasar (pharusavaca)
  7. Berbicara tidak di waktu yang tepat, tidak beralasan, tidak bermanfaat, berlawanan dengan Dhamma/Vinaya atau bergunjing (samphappalapa),
  8. Tamak/irihati/keserakahan (abhijjha, ini bersynonim dengan lobha),
  9. Kebencian/penolakan/memusuhi/berpikiran buruk (byapada),
  10. Berpandangan salah (micchaditthi).
Inilah hal-hal yang tidak bermanfaat (akusala).

Apakah akar dari hal yang tidak bermanfaat (akusalamula)?
  1. Keserakahan (LOBHA),
  2. Kebencian (DOSA) dan
  3. Kebodohan/kekeliruan tahu (MOHA)
Inilah akar dari hal-hal yang tidak bermanfaat (AKUSALA).

Apakah hal-hal yang bermanfaat (KUSALA)?

Hal yang membawa manfaat (menguntungkan) adalah:
  1. Tidak menyakiti kehidupan,
  2. Tidak mengambil apa yang tidak diberikan,
  3. Tidak memuaskan indriya dengan cara yang salah,
  4. Tidak berkata yang tidak benar,
  5. Tidak memecah belah/fitnah,
  6. Tidak berkata kasar,
  7. Tidak berbicara tidak di waktu yang tepat, tidak beralasan, tidak bermanfaat, berlawanan dengan Dhamma/Vinaya atau bergunjing,
  8. Tidak tamak/irihati/keserakahan,
  9. Tidak membenci/penolakan/memusuhi/berpikiran buruk,
  10. Tidak berpandangan salah.
Inilah hal-hal yang bermanfaat (kusala).

Apakah akar dari perbuatan yang bermanfaat?
  1. Tidak serakah (ALOBHA),
  2. Tidak membenci (ADOSA) dan
  3. Tidak keliru tahu (AMOHA)
Inilah akar dari hal-hal yang bermanfaat (kusala).

Setelah siswa Ariya telah memahami sepenuhnya: hal-hal yang tidak bermanfaat (AKUSALA) serta akarnya dan hal-hal yang bermanfaat (KUSALA) serta akarnya, Ia telah melenyapkan/meninggalkan sepenuhnya kecenderungan tersembunyi dari: nafsu, menanggalkan penolakan, mencabut keakar pandangan tentang aku/diri (ASMI = aku: bukan hanya pandangan identitas/Sakkāya-ditthi, tapi juga sisa dari aku, ukuran membandingkan terhadap aku, hasrat akan aku sebagai kecenderungan tersembunyi (SN 22.89) atau seluruh ini disebut juga pandangan tentang diri/ATTA). Dengan melenyapkan ketidaktahuan (AVIJJA) mengembangkan pengetahuan (VIJJA), dengan ini ia mengakhiri penderitaan (DUKKHA NIRODHA). Melalui cara ini, seorang siswa Ariya berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati."

"Sungguh baik, avuso" kata para bhikkhu dengan perasaan puas dan gembira setelah mendengarkan uraian Bhikkhu YA Sariputta. Kemudian mereka bertanya lagi: "Avuso, tetapi adakah cara lain bagi seorang siswa Ariya berpandangan benar, berpandangan lurus, memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma, telah sampai pada dhamma sejati."

2. MAKANAN (AHARA)

"Ada," jawab Bhikkhu YA Sariputta. "Sedapat mungkin seorang siswa Ariya memahami tentang makanan (AHARA), asal mula/kemunculannya (AHARA SAMUDAYA), lenyapnya (AHARA NIRODHA) dan jalan untuk melenyapkannya (AHARA NIRODHA GAMINIPATIPADA). Dengan cara ini, Ia berpandangan benar, berpandangan lurus, memiliki keyakinan tak goyah akan, telah sampai pada dhamma sejati.

Apakah Makanan (ahara)?
Ada 4 makanan (cattaro ahara) penunjang para mahluk dan kelangsungan menjadi (bhūtānaṃ vā sattānaṃ thitiyā):
  1. Makanan/asupan material (Kabaḷīkāro),
  2. Kontak (Phassa),
  3. Kehendak pikiran (Manosancetana),
  4. Kesadaran (Vinnana).
Inilah yang disebut ahara.

Bagaimanakah asal mulanya?
Dengan munculnya kehausan/ketagihan (tanha), maka muncullah ahara.

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya kehausan/ketagihan, maka lenyaplah ahara.

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan ahara adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga), yaitu:
  1. Pandangan Benar(Samma Ditthi),
  2. Kehendak Benar (Samma Sankappa),
  3. Ucapan Benar (Samma Vaca),
  4. Perbuatan Benar (Samma Kammanta),
  5. Penghidupan Benar (Samma Ajiva),
  6. Daya Upaya Benar (Samma Vayama),
  7. Ingatan/Perhatian Benar (Samma Sati),
  8. Pikiran Terpusat Benar (Samma Samadhi).
Setelah siswa Ariya memahami sepenuhnya tentang makanan (ahara), asal mula/kemunculannya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Ia telah melenyapkan/meninggalkan sepenuhnya kecenderungan tersembunyi dari: nafsu, menanggalkan penolakan, mencabut keakar pandangan tentang aku/diri (ASMI/ATTA). Dengan melenyapkan ketidaktahuan (AVIJJA) mengembangkan pengetahuan (VIJJA), dengan ini ia mengakhiri penderitaan (DUKKHA NIRODHA). Melalui cara ini, seorang siswa Ariya berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati."

"Sungguh baik, avuso" kata para bhikkhu dengan perasaan puas dan gembira setelah mendengarkan uraian Bhikkhu YA Sariputta. Kemudian mereka bertanya lagi: "Avuso, tetapi adakah cara lain bagi seorang siswa Ariya berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati."

3. PENDERITAAN (DUKKHA)

"Ada," jawab Bhikkhu YA Sariputta. "Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang Penderitaan (DUKKHA), asal mula/kemunculannya (DUKKHA SAMUDAYA), lenyapnya (DUKKHA NIRODHA) dan jalan untuk Melenyapkannya (DUKKHA NIRODHA GAMINIPATIPADA). Dengan cara ini, Ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah Penderitaan (dukkha)?
Kelahiran, usia tua, kesakitan, kematian, duka cita, ratap tangis, sakit, susah hati, putus asa, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, melekat pada lima kelompok kehidupan (pancakkhanda) adalah penderitaan
    LIMA KHANDHA:
    1. Rupa - 4 elemen dan yang menjadi turunan dari 4 elemen. Ini adalah Obyek/Subyek atau Bentukan baik itu di luar maupun dalam tubuh, termasuk yang disebut obyek/bentukan adalah indriya tubuh/5 indriya + pikiran (sebagai indriya yang ke-6) dan masing-masing obyeknya, yaitu: yang dapat di: lihat, cium, rasa, raba, dengar, pikirkan).
    2. Viññana - Menyadari, mengenali, kesadaran.
    3. Sañña - Persepsi, anggapan, gambaran.
    4. Vedanä - Perasaan, merasakan, mengalami
    5. Sankhära (san/gabungan + khara/bentukan/kondisi), formasi kehendak, sañcetanā, abhisaṅkhara/berkondisi, faktor penggerak, pendorong, kekuatan, faktor pembentuk. Disebut saṅkhāra karena mengkondisikan terkondisinya (Saṅkhatam-abhisaṅkharoti): bentukan (Rūpaṃ rūpattāya), sensasi (vedanaṃ vedanattāya), kreativitas persepsi (saññaṃ saññattāya), formasi kehendak (saṅkhāre saṅkhārattāya) dan stimulus kesadaran (viññāṇaṃ viññāṇattāya) [SN 22.79]

    Mahluk hidup adalah bauran dari PancaKhanda atau juga nama-rupa (Rupa, Persepsi/Sanna, Perasaan/Vedana, Phassa/Kontak, Cetana/Kehendak, Manosikhara/Bentuk pemikiran).

    Perbedaan PancaKhanda VS Nama-rupa: (Vinnana + sankhara) dalam pancakhanda = (kontak + cetana + manosikhara) dalam nama-rupa.

    Kata 'nāma' dalam nāmarūpa adalah: vedanā + saññā + cetanā + phassa + manasikāro [SN 12.2], sementara itu, di Vibhanga 6, kata 'nāma' dalam pancupadanakakhanda merujuk pada: viññāṇa + vedanā + saññā + saṅkhārā.

    Mekanisme limakhanda ketika kontak terhadap obyek:

    1. Rupa - Obyek kontak dengan mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, pikiran.
    2. Viññana (citta) - menyadari/mengenali adanya obyek.
    3. Sañña - terpola sebagai gambaran/anggapan.
    4. Vedanä - merasakan gambaran tersebut dengan perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka).
    5. Sankhära - keputusan terhadap hal tersebut.

    Karena mahluk hidup merupakan bauran dari lima khandha/namarupa, maka tidak ada yang disebut sebagai atma atau roh atau jiwa yang kekal dan abadi. Ini juga dapat menjadi penjelasan tentang maksud dari anattä/tidak adanya roh/jiwa ataupun inti mahluk hidup.
Inilah yang disebut dukkha.

Bagaimana asal mulanya?
kehausan (taṇhā) mengarahkan pada kelahiran kembali (ponobbhavikā) yang disertai ketagihan dan kesenangan (nandirāgasahagatā), mencari kesenangan pada ini-itu (tatratatrābhinandinī), yaitu:
  1. Haus akan nafsu indra (kama tanha)
  2. Haus untuk menjadi (bhava tanha)
  3. Haus untuk tidak menjadi (vibhava tanha)
Inilah asal mula/kemunculan penderitaan (dukkha samudaya).

Bagaimana lenyapnya?
Menyingkirkan, menghilangkan sedikit demi sedikit dan menghentikan, menyerahkan, melepaskan, membiarkan pergi dan menolak nafsu-nafsu keinginan (tanha).

Inilah yang dinamakan lenyapnya penderitaan (dukkha nirodha).

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan penderitaan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga), yaitu:
  1. Pandangan Benar,
  2. Kehendak Benar,
  3. Ucapan Benar,
  4. Perbuatan Benar,
  5. Penghidupan Benar,
  6. Daya Upaya Benar,
  7. Ingatan/Perhatian Benar,
  8. Pikiran terpusat Benar.
Inilah jalan untuk melenyapkan penderitaan.

Setelah siswa Ariya mengerti sepenuhnya tentang Penderitaan (DUKKHA), asal mula/kemunculannya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya, Ia telah melenyapkan/meninggalkan sepenuhnya kecenderungan tersembunyi dari: nafsu, menanggalkan penolakan, mencabut keakar pandangan tentang aku/diri (ASMI/ATTA). Pandangan tentang diri/ATTA). Dengan melenyapkan ketidaktahuan (AVIJJA) mengembangkan pengetahuan (VIJJA), dengan ini ia mengakhiri penderitaan (DUKKHA NIRODHA). Melalui cara ini, seorang siswa Ariya berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati."

..Sungguh baik, avuso" kata para bhikkhu dengan perasaan puas dan gembira setelah mendengarkan uraian Bhikkhu YA Sariputta.Kemudian mereka bertanya lagi: "Avuso, tetapi adakah cara lain bagi seorang siswa Ariya berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati."

4. USIA TUA (JARA) DAN KEMATIAN (MARANA)

"Ada," jawab Bhikkhu YA Sariputta. "Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti usia tua (JARA) dan kematian (MARANA), asal-mulanya, lenyapnnya dan jalan untuk melenyapkannya. Dengan cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah usia tua dan kematian?
Dalam berbagai proses dari makhluk-makhluk, usia tua (jara), gigi yang patah (danta), rambut yang memutih (kesa), keriput, tua renta dan lemah tak berdaya --

Inilah yang disebut jara.

Dalam berbagai proses dari makhluk-makhluk, mati kematian, meninggal dunia, perpisahan, kehilangan, ditinggalkan, berakhirnya waktu kehidupan, khandha-khandha terpisah --

Inilah yang disebut marana.

Bagaimana asal mulanya?
Dengan adanya kelahiran, maka muncul usia tua dan kematian.

Bagaimana lenyapnya?
Dengan tidak adanya kelahiran, maka tidak ada usia tua dan kematian.

Apakah jalan untuk Melenyapkannya? Jalan untuk mengakhiri usia tua dan kematian adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu: pandangan benar, ..., Pikiran terpusat benar.

Setelah siswa Ariya mengerti akan hal ini ..."


5. KELAHIRAN (JATI)

.."Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang kelahiran (JATI), asal-mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Dengan cara ini, Ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah kelahiran?
Dalam proses kehidupan setiap mahluk, kelahiran makhluk-makhluk, mereka terlahir, keguguran, penerus, perwujudan dari kelompok kehidupan (khanda), indera memiliki kesan.

Inilah yang disebut jati.

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya penjadian (bhava) maka timbullah kelahiran (jati).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya bhava, maka lenyaplah kelahiran (jati).

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan utama untuk menghentikan kelahiran adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Athangika Magga) yaitu: pandangan benar, ... Pikiran Terpusat yang benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini ..."


6. MENJELMA/MENJADI (BHAVA)

.."Sedapat mungkin seorang siswa yang mulia mengerti tentang Menjelma/Menjadi (Bhava), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah menjadi/Penjelmaan?
Ada tiga jenis dari Menjelma/Menjadi (bhava), yaitu:
  1. Penjadian di alam yang penuh nafsu (KAMA BHAVA)
  2. Penjadian di alam Rupa Brahma (RUPA BHAVA)
  3. Penjadian di alam Arupa Brahma (ARUPA BHAVA)
Inilah yang disebut bhava.

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya kemelekatan (upadana) maka timbul menjelma/menjadi (bhava).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula menjelma/menjadi.

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkannya adalah ariya atthangika magga, yaitu: pandangan benar, ... pikiran terpusat benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini ..."


7. KEMELEKATAN (UPADANA)

.."Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang Kemelekatan (UPADANA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah kemelekatan?
Ada 4 (empat) jenis kemelekatan, yaitu:
  1. Kemelekatan terhadap nafsu indera (KAMUPADANA)
  2. Kemelekatan terhadap pandangan salah (DITTHUPADANA)
  3. Kemelekatan terhadap upacara/ritual/aturan (SILABBATUPADANA)
  4. Kemelekatan terhadap adanya diri (atta) yang kekal (ATTAVADUPADANA).
Inilah yang disebut upadana.

Bagaimana asal mulanya?
Dengan munculnya kehausan/ketagihan (tanha), maka muncullah kemelekatan (upadana).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya kehausan/ketagihan, maka lenyaplah kemelekatan.

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan kemelekatan (upadana) adalah ariya atthangika magga, yaitu: pandangan benar, ... Pikiran terpusat benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini ..."


8. KEHAUSAN/KETAGIHAN (TANHA)

.."Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang kehausan/ketagihan (TANHA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah kehausan/ketagihan (tanha)?
Ada enam jenis tanha, yaitu:
  1. Haus akan bentukan (Rupa Tanha)
  2. Haus akan suara (Sadda Tanha)
  3. Haus akan aroma / bau (Gandha Tanha)
  4. Haus akan rasa / kecapan (Rasa Tanha)
  5. Haus akan sentuhan (Photthabba Tanha)
  6. Haus akan obyek-obyek pikiran (Dhamma Tanha)
Inilah yang disebut Tanha

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya perasaan (vedana), maka timbullah kehausan/ketagihan (tanha)

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya perasan, maka lenyaplah kehausan/ketagihan

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan tanha adalah ariya atthangika magga, yaitu: pandangan benar, ..., Pikiran terpusat benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini ..."


9. PERASAAN (VEDANA)

.."Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang Perasaan (VEDANA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah perasaan (vedana)?
Ada enam macam perasaan:
  1. Perasaan yang timbul karena mata melihat (Cakkhu samphasajja vedana)
  2. Perasaan yang timbul karena telinga mendengar (Sota samphasajja vedana)
  3. Perasaan yang timbul karena hidung mencium (Ghana samphasajja vedana)
  4. Perasaan yang timbul karena lidah mengecap (Jivha samphasajja vedana)
  5. Perasaan yang timbul karena jasmani menyentuh (Kayasamphasajja vedana)
  6. Perasaan yang timbul karena pikiran (Manosamphasajja vedana)
Inilah yang disebut Vedana

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya kontak (phassa), maka timbullah perasaan (vedana).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya kontak (phassa), maka lenyaplah perasaan (vedana).

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan perasaan hanyalah Ariya Atthangika Magga, yaitu: pandangan benar, ..., Pikiran terpusat benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini ..."


10. KONTAK (PHASSA)

.."Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang Kontak (PHASSA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Ada enam jenis kontak (phassa), yaitu:
  1. Mata melihat (cakkhusamphassa)
  2. Telinga mendengar (Sotasamphassa)
  3. Hidung mencium (Ghanasamphassa)
  4. Lidah mengecap (Jivhasamphassa)
  5. Jasmani menyentuh (Kayasamphassa)
  6. Pikiran berpikir (Manosamphassa)
Inilah yang disebut phassa

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya enam landasan indera (salayatana), maka timbullah kontak (PHASSA).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya enam landasan indera, maka kontak.

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan kontak (PHASSA) adalah ariya atthangika aagga, yaitu: pandangan benar ... pikiran terpusat benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini ..."


11. ENAM LANDASAN INDERA (SALAYATANA)

..."Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang Enam Landasan Indera (SALAYATANA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah enam landasan indera (salayatana)?
Ada enam landasan yang mengakibatkan timbulnya enam landasan indera, yaitu:
  1. Landasan mata (Cakkhayatana)
  2. Landasan telinga (Sotayatana)
  3. Landasan mencium (Ghanayatana)
  4. Landasan lidah (Jivhayatana)
  5. Landasan menyentuh (Kayayatana)
  6. Landasan pikiran (Manayatana)
Inilah yang disebut salayatana

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya mental-materi (nama-rupa), maka timbullah enam landasan indera (salayatana).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya mental-materi, maka lenyaplah enam landasan indera

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan enam landasan indera adalah ariya atthangika magga, yaitu : pandangan benar,..., pikiran terpusat benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini...


12. MENTAL MATERI (NAMA RUPA)

.."Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang mental-materi (NAMA RUPA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah namarupa?
Perasaan (vedana), Persepsi (sanna), kehendak (cetana), kontak (phassa) dan perhatian (manasikara).
Inilah yang disebut nama.

Empat unsur (catu dhatu) dan rupa turunan dari empat unsur utama (mahabhuta rupa)
Inilah yang disebut rupa

Inilah yang disebut nama-rupa

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya kesadaran (vinnana), maka timbullah mental materi (nama rupa).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyaplah mental materi.

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan namarupa adalah ariya atthangika magga, yaitu: pandangan benar ... pikiran terpusat benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini ..."


13. KESADARAN (VINNANA)

.."Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang Kesadaran (VINNANA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah kesadaran (vinnana)?
Ada enam macam yang mengakibatkan timbulnya kesadaran, yaitu:
  1. Kesadaran yang timbul karena mata melihat (cakkhu vinnana).
  2. Kesadaran yang timbul karena telinga mendengar (sota vinana)
  3. Kesadaran yang timbul karena hidung mencium (ghana vinana)
  4. Kesadaran yang timbul karena lidah mengecap (jivha vinana)
  5. Kesadaran yang timbul karena jasmani menyentuh (kaya vinnana)
  6. Kesadaran yang timbul karena pikiran berpikir (mano vinnana).
Inilah yang disebut vinnana

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya bentuk-bentuk kehendak/kamma (sankhara), maka timbullah kesadaran (vinnana).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya bentuk-bentuk kehendak/kamma, maka lenyaplah kesadaran.

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan Vinnana adalah ariya atthangika magga, yaitu: pandangan benar, ... dan pikiran terpusat benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini ..."


14. BENTUK-BENTUK KAMMA (SANKHARA)

"Ada," jawab Bhikkhu YA Sariputta. "Sedapat mungkin seorang siswa yang mulia mengerti tentang Bentuk-Bentuk Kamma (SANKHARA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah bentuk-bentuk kehendak/kamma (sankhara)?
Ada tiga macam yang mengakibatkan timbulnya bentuk-bentuk kehendak/kamma (sankhara), yaitu :
  1. Pembentukan badan jasmani (kaya sankhara)
  2. Pembentukan kata-kata (vaci sankhara)
  3. Pembentukan pikiran (citta sankhara)
Inilah yang disebut sankhara

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya ketidaktahuan (avijja), maka timbullah bentuk-bentuk kamma (sankhara).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyaplah bentuk-bentuk kamma.

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan Shankara adalah ariya atthangika magga, yaitu: pandangan benar, ... dan pikiran terpusat benar.

Setelah siswa yang mulia mengerti hal ini ...”


15. KETIDAKTAHUAN (AVIJJA)

"Ada," jawab Bhikkhu YA Sariputta. "Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang Ketidaktahuan (AVIJJA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah ketidaktahuan (avijja)?
Tidak mengetahui hal berikut:
  1. Tentang penderitaan (dukkha),
  2. Asal mulanya dukkha,
  3. Lenyapnya dukkha, dan
  4. Jalan untuk melenyapkan dukkha.
Inilah yang disebut avijja

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya noda (asava), maka timbullah ketidaktahuan (avijja).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya noda, maka lenyaplah ketidaktahuan.

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan ketidaktahuan adalah ariya atthangika magga, yaitu: pandangan benar ... dan Pikiran terpusat benar.

Setelah siswa Ariya memahami sepenuhnya tentang Ketidaktahuan (AVIJJA), asal mula/kemunculannya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya, Ia telah melenyapkan/meninggalkan sepenuhnya kecenderungan tersembunyi dari: nafsu, menanggalkan penolakan, mencabut keakar pandangan tentang aku/diri (ASMI/ATTA). Dengan melenyapkan ketidaktahuan (AVIJJA) mengembangkan pengetahuan (VIJJA), dengan ini ia mengakhiri penderitaan (DUKKHA NIRODHA). Melalui cara ini, seorang siswa Ariya berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati."

"Sungguh baik, avuso" kata para bhikkhu dengan perasaan puas dan gembira setelah mendengarkan uraian Bhikkhu YA Sariputta. Kemudian mereka bertanya lagi: "Avuso, tetapi adakah cara lain bagi seorang siswa Ariya berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati."


16. NODA/KEKOTORAN MENTAL (ASAVA)

"Ada," jawab Bhikkhu YA Sariputta. "Sedapat mungkin seorang siswa Ariya mengerti tentang noda/kekotoran mental (ASAVA), asal mulanya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya. Melalui cara ini, ia berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati.

Apakah Noda/kekotoran mental (asava)?
Ada 3 (tiga) jenis noda (asava), yaitu:
  1. Noda dari keinginan memuaskan nafsu indera (KAMASAVA).
  2. Noda dari keinginan untuk menjadi/menjelma (BHAVASAVA)
  3. Noda dari ketidaktahuan (AVIJJASAVA).
Inilah yang disebut asava

Bagaimana asal mulanya?
Dengan timbulnya ketidaktahuan (avijja), maka timbullah noda (asava).

Bagaimana lenyapnya?
Dengan lenyapnya ketidaktahuan (avijja), maka lenyaplah kekotoran mental (asava).

Apakah jalan untuk melenyapkannya?
Jalan untuk melenyapkan asava adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga), yaitu:
  1. Pandangan Benar,
  2. Kehendak Benar,
  3. Ucapan Benar,
  4. Perbuatan Benar,
  5. Penghidupan Benar,
  6. Daya Upaya Benar,
  7. Ingatan/Perhatian Benar,
  8. Pikiran terpusat Benar.
Inilah jalan untuk melenyapkan asava.

Setelah siswa Ariya memahami sepenuhnya tentang noda/kekotoran mental, asal mula/kemunculannya, lenyapnya dan jalan untuk melenyapkannya, Ia telah melenyapkan/meninggalkan sepenuhnya kecenderungan tersembunyi dari: nafsu, menanggalkan penolakan, mencabut keakar pandangan tentang aku/diri (ASMI/ATTA). Dengan melenyapkan ketidaktahuan (AVIJJA) mengembangkan pengetahuan (VIJJA), dengan ini ia mengakhiri penderitaan (DUKKHA NIRODHA). Melalui cara ini, seorang siswa Ariya berpandangan benar, berpandangan lurus memiliki keyakinan tak goyah akan Dhamma. telah sampai pada Dhamma sejati."

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta.

Lampiran 1: Riwayat hidup Y.A Sariputta [Klik untuk sembunyikan/lihat]

    SARIPUTA I dan SARIPUTTA II
    Riwayat Hidup Sang Dhamma Senapati
    Judul Asli: The Life of Sariputta
    Alih Bahasa: Upa. Sasanasena Seng Hansen
    Editor: Ir. Agus Santoso
    Diterbitkan: Vidyāsenā Production, Vihāra Vidyāloka, Jl. Kenari Gg. Tanjung I No. 231
    Telp. 0274 542 919, Yogyakarta 55165

    SARIPUTTA - Riwayat Hidup Sang Dhamma Senapati
    Oleh: Yang Mulia Nyanaponika Thera

    Prolog
    Di hampir di semua vihara-vihara yang ada di Sri Lanka, Anda akan menjumpai dua patung bhikkhu di kedua sisi rupang Sang Buddha. Jubahnya terjurai pada salah satu bahu mereka dan berdiri dalam sikap menghormat dengan kedua tangan ber-anjali. Sering pula terdapat sedikit bunga-bunga di kaki kedua patung itu -- yang ditabur oleh beberapa umat yang saleh.

    Jika Anda bertanya patung siapakah mereka, Anda akan diberitahu bahwa mereka adalah dua Siswa Utama Sang Buddha, yaitu Arahat Sariputta dan Arahat Maha Moggallana. Patung tersebut berdiri dalam posisi sama sebagaimana dahulu ketika mereka melayani Sang Buddha. Sariputta di sebelah kanan, sedangkan Maha Moggallana di sebelah kiriNya.

    Ketika stupa besar Sanchi dibuka pada pertengahan abad ke-20, sebuah ruang relik ditemukan beserta dengan dua kotak batu didalamnya. Kotak yang berada di sebelah utara berisi relik Arahat Maha Moggallana, sedangkan kotak lainnya yang berada di sisi selatan berisi relik Arahat Sariputta.

    Demikianlah relik-relik itu berada disana: ketika abad-abad terus bergulir dan sejarah selama dua ribuan tahun lebih sudah mementaskan drama tentang ketidakpermanenan dalam kehidupan manusia ... Kekaisaran Romawi bangkit dan runtuh, kejayaan Yunani Kuno kini tinggal kenangan masa lampau, agama-agama baru muncul dan menorehkan namanya - acapkali dengan darah dan api - pada muka bumi yang terus berubah, untuk kemudian akhirnya cuma bersisa campur dengan legenda-legenda Thebes dan Babylon. Dan, secara bertahap gelombang dunia perniagaan telah menggeser pusat-pusat peradaban dari belahan bumi Timur ke Barat, sementara generasi-generasi yang tidak pernah mendengar Ajaran Buddha pun lahir dan kemudian meninggal.

    Walau selama itu pula relik kedua orang suci tersebut berbaring tak terusik, terlupakan justru di tanah tempat mereka dilahirkan, namun kenangan tentang mereka tetap erat diingat dimanapun ajaran Sang Buddha menyebar. Kisah kehidupan mereka pun diwariskan dari generasi ke generasi. Mulanya dengan kata-kata dari mulut ke mulut, dan belakangan kemudian dituliskan pada lembar-lembar Kitab Tripitaka Buddhis - kitab paling tebal dan sekaligus paling detail dari semua kitab agama-agama yang ada di dunia.

    Selain Sang Buddha sendiri, kedua Siswa Utama inilah yang menerima penghormatan tertinggi dari umat Buddha di negeri-negeri Theravada. Nama mereka tak dapat dipisahkan dari sejarah Buddhisme, sama halnya seperti Sang Buddha sendiri. Walau mungkin saja selama kurun waktu yang panjang ini terdapat kisah-kisah yang telah disisipkan dalam kehidupan suci mereka, ini merupakan suatu hal yang wajar sebagai konsekuensi dari bakti serta penghormatan yang ditujukan kepada mereka.

    Dan penghormatan tinggi itu dapat dibenarkan sepenuhnya. Karena tidak banyak guru-guru agama yang telah dilayani dengan sangat erat oleh murid-langsungnya sebagaimana yang dilakukan oleh kedua siswa tersebut kepada Sang Buddha. Dalam buku ini Anda akan membaca kisah salah satu dari dua Siswa Utama Sang Buddha, yaitu Arahat Sariputta; yang berada pada urutan kedua setelah Sang Buddha dalam hal kedalaman dan jangkauan pemahamannya dan dalam hal keahliannya mengajarkan Ajaran Pembebasan.

    Dalam Kitab Suci Tripitaka tidak terdapat uraian tersendiri tentang riwayat hidup Sariputta, akan tetapi alur kehidupannya dapat ditemukan dalam penggalan-penggalan dari berbagai macam peristiwa, yang terpencar dalam kitab-kitab suci Buddhis serta ulasan-ulasannya. Beberapa naskah menguraikan secara panjang lebar tak hanya sekedar sebagai hal yang kebetulan, karena kisah hidup Sariputta memang terkait begitu erat dengan kehidupan suci Sang Buddha dimana Sariputta memainkan peranan penting; dan bahkan dalam beberapa kesempatan Sariputta sendirilah yang mengambil alih peran kepemimpinan - entah itu sebagai pembimbing dan tauladan yang terlatih, sebagai teman yang baik dan penuh perhatian, sebagai pelindung kesejahteraan para bhikkhu binaannya, maupun sebagai penjaga Ajaran Sang Buddha yang setia.

    Peranan inilah yang membuatnya dijuluki sebagai Dhamma-Senapati - Sang Panglima Dhamma - dan sebagaimana dia yang biasanya, yakni seorang manusia unggul dalam hal kesabaran dan kesetiaan, kesederhanaan dan kelurusan pikiran, ucapan dan perbuatan jasmani, seorang manusia yang memperlakukan kebaikan sebagai hal yang penting untuk diingat dengan penghargaan sepanjang kehidupan berlangsung. Bahkan di antara para Arahat(1), Sariputta bersinar bagai bulan purnama di tengah langit malam yang penuh bintang.

    Dialah manusia - yang dalam tingkat intelektualitas dan keluhuran budinya, seorang siswa sejati Sang Buddha yang kisahnya telah diwariskan - demi memberi manfaat sepenuhnya bagi potensi pencapaian kita, dikisahkan dalam lembar-lembar berikut.

    Bila para pembaca yang terhormat dapat menemukan kualitas-kualitas manusia sempurna dari tulisan yang tidak sempurna ini, kualitas dimana seseorang mampu terbebas sepenuhnya dan mendaki ke tingkatan tertinggi yang dapat dicapai manusia; tentang bagaimana beliau bertindak, berucap dan membawakan dirinya kepada pengikutnya.

    Apabila kiranya bacaan ini bisa memberikan Anda: suatu kekuatan dan keyakinan tentang sejauh mana kualitas yang dapat dicapai seorang manusia, maka barulah karya ini dapat dikatakan sebagai bermanfaat, - sepadanlah sudah.

    Bagian I
    Semenjak Kelahiran Hingga Pencapaian Ke-Arahat-an

    Kisah ini berawal dari dua desa penganut brahmanisme di India dua ribu limaratusan tahun yang lalu, yaitu Desa Upatissa dan Desa Kolita yang berada tak jauh dari kota Rajagaha.

    Sebelum Sang Buddha muncul di dunia, seorang wanita brahmana bernama Sari di desa Upatissa(2) sedang mengandung, dan pada hari yang sama di desa Kolita seorang wanita brahmana lainnya yang bernama Moggalli juga mengandung. Dua keluarga ini bersahabat erat selama 7 generasi. Sejak hari pertama masa kehamilan mereka, seluruh anggota keluarga telah mencurahkan perhatian lebih kepada si calon ibu, dan setelah 10 bulan mengandung kedua wanita tersebut melahirkan anak laki-laki pada hari yang sama pula. Si bayi, putra wanita brahmana Sari diberi nama Upatissa karena dia merupakan seorang putra terpandang di desa itu; dan dengan alasan yang sama pula putra Moggalli diberi nama Kolita.

    Ketika kedua bocah laki-laki itu beranjak dewasa, mereka dididik dan akhirnya menguasai semua ilmu sains. Masing-masing dari mereka kemudian memiliki pengikut sebanyak 500 brahmana pemula. Ketika mereka pergi ke sungai atau taman untuk berolahraga dan rekreasi, Upatissa sering kali pergi dengan iringan 500 tandu, sedangkan Kolita dengan 500 kereta kuda.

    Pada suatu ketika di Rajagaha sedang berlangsung perayaan tahunan yang disebut Festival Puncak Bukit. Tempat duduk disediakan untuk kedua pemuda itu dan mereka pun duduk bersama-sama menikmati suasana perayaan. Ketika ada yang lucu, mereka tertawa tergelak; ketika tontonannya memikat, mereka pun ikut tegang dan bergairah. Mereka lalu membayar lagi untuk pertunjukan ekstra. Dengan cara yang sama mereka menikmati festival hari kedua ...

    Pada hari ketiga timbul suatu insight pada batin mereka: mereka tiada lagi tertawa, tiada lagi terpesona dengan pertunjukan festival tersebut, tidak juga mereka merasa berminat untuk membayar lagi pertunjukan ekstra seperti yang telah mereka lakukan pada hari-hari sebelumnya. Timbul pemikiran yang sama pada masing-masing diri mereka:

    "Apa lagi yang perlu dilihat disini? Sebelum orang-orang ini mencapai usia seratus tahun, mereka semua toh bakal mati. Mestinya apa yang harus kita lakukan sekarang adalah mencari Ajaran Pembebasan."

    Inilah pemikiran yang muncul dalam benak mereka ketika sedang duduk menyaksikan jalannya festival. Kolita kemudian berkata kepada Upatissa:

    "Bagaimana menurutmu, sahabatku Upatissa? Kamu nampak tidak segembira seperti kemarin. Kamu kelihatan dalam suasana hati yang tidak puas. Apa yang ada dalam pikiranmu?"

    "Sahabatku Kolita, saya melihat apa yang terjadi disini sungguh tidak membawa manfaat. Sia-sia! Saya berpikir untuk mulai mencari sebuah Ajaran tentang Pembebasan Diri. Itulah, sahabatku Kolita, apa yang sedang kupikirkan sembari duduk disini. Tapi kamu, Kolita, juga terlihat tidak puas."

    Dan Kolita menjawab:

    "Sama seperti yang telah kamu ucapkan, saya juga merasakannya."

    Ketika Upatissa tahu bahwa temannya juga berkehendak sama dengannya, maka Upatissa berkata:

    "Itu merupakan pemikiran yang baik dari kita. Hanya terdapat satu hal yang harus dilakukan oleh mereka yang bertekad untuk mencari Ajaran Pembebasan yaitu pergi meninggalkan rumah dan menjadi pertapa. Tetapi dibawah bimbingan siapa kita akan menjalankan kehidupan pertapaan?"

    Pada waktu itu, hiduplah seorang pertapa dari aliran Pengelana (Paribbajaka) di Rajagaha. Namanya Sanjaya dan dia memiliki jumlah pengikut yang lumayan besar. Mereka memutuskan untuk mendapat penahbisan dibawah Sanjaya. Upatissa dan Kolita pergi ke Rajagaha, masing-masing dengan membawa 500 brahmana pemula pengikut mereka dan kesemuanya mendapat penahbisan. Dan semenjak penahbisan mereka itulah reputasi dan dukungan terhadap Sanjaya meningkat tajam.

    Dalam waktu singkat kedua sahabat tersebut telah mempelajari semua ajaran Sanjaya dan mereka pun bertanya kepada dia:

    "Guru, apakah ajaranmu hanya sebatas ini, atau masih adakah ajaran yang lebih tinggi?"

    Sanjaya menjawab: "Hanya sebatas inilah. Kalian telah menguasai semuanya."

    Mendengar hal ini, mereka berpikir dalam diri mereka sendiri:

    "Bila memang demikian, maka sia-sialah berusaha meneruskan Kehidupan Suci dibawah bimbingan dia. Kami meninggalkan rumah untuk mencari sebuah ajaran tentang pembebasan. Di bawah bimbingannya kami tidak akan menemukannya. Tapi India sangatlah luas. Bila kami pergi mengembara dari desa ke desa dan dari kota ke kota, kami pasti akhirnya akan menemukan seorang guru yang dapat menunjukkan ajaran tentang pembebasan."

    Setelah bertekad demikian, dimanapun mereka mendengar bahwa di suatu tempat terdapat pertapa-pertapa suci atau mungkin brahmana-brahmana bijaksana, mereka pergi mengunjungi para pertapa dan brahmana tersebut untuk kemudian berdiskusi dengan mereka. Namun sayangnya tidak ada seorang pertapa ataupun brahmana yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kedua sahabat itu, padahal mereka mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada mereka.

    Setelah mengembara ke seluruh daratan India, mereka kembali dan sampai di tempat dulu. Kemudian mereka saling sepakat bahwa siapapun diantara mereka yang terlebih dahulu mencapai Keadaan Tanpa Kematian haruslah memberitahukan kepada yang lain jalan menuju keadaan tersebut. Ini merupakan perjanjian persaudaraan yang lahir dari persahabatan mendalam antara kedua pemuda itu.

    Beberapa waktu setelah mereka membuat perjanjian itu, Yang Tercerahkan - Sang Buddha, datang berkunjung ke Rajagaha. Saat Beliau membabarkan Khotbah Api di Puncak Gaya, Beliau teringat dengan apa yang telah dijanjikanNya sebelum mencapai Penerangan Sempurna kepada Raja Bimbisara: bahwa Beliau akan datang mengunjungi Rajagaha setelah berhasil mencapai cita-citaNya. Dengan demikian Sang Buddha pergi dari Gaya menuju Rajagaha dan sesampainya disana Beliau menerima persembahan Raja Bimbisara berupa Vihāra Hutan Bambu (Veluvana) tempat Beliau kemudian berdiam selama berada di Rajagaha.

    Diantara 61 Arahat yang telah diutus oleh Sang Buddha untuk menyebarluaskan kemuliaan Tiga Mustika kepada dunia, terdapat Āyasmā(3) Assaji - salah satu dari lima pertapa yang dulunya menemani Sang Buddha sebelum mencapai Penerangan Sempurna dan sekaligus merupakan kelompok murid Sang Buddha yang pertama. Āyasmā Assaji kembali ke Rajagaha dari pengembaraannya dan pada suatu pagi ketika beliau pergi berpindapatta(4) di kota, Upatissa yang sedang menuju kuil pertapa kelana melihatnya. Terpukau pada keagungan dan ketenangan Y.A. Assaji, Upatissa berpikir:

    "Belum pernah sebelumnya saya melihat seorang bhikkhu seperti dia. Dia pastilah salah satu dari mereka yang telah menjadi Arahat, atau setidaknya berada dalam jalan menuju ke-Arahat-an. Haruskah aku menemuinya dan bertanya: "Di bawah bimbingan siapa Anda ditahbiskan? Siapakah Guru Anda dan Ajaran siapakah yang Anda ikuti?"

    Tapi kemudian Upatissa berpikir: "Ini bukanlah saat yang tepat untuk bertanya kepada bhikkhu mulia tersebut, saat dia sedang berpindapatta sepanjang jalan. Lebih baik saya mengikutinya dari belakang, bersikap sopan sebagai pemohon" Dan ia pun bertindak demikian.

    Setelah Āyasmā Assaji selesai berpindapatta dan Upatissa melihat beliau melangkah hendak mencari tempat buat duduk dan bersantap, dia menyediakan tempat duduk yang dibawanya dan mempersembahkannya kepada Āyasmā Assaji. Āyasmā Assaji mulai menyantap makanannya. Kemudian Upatissa menyediakan air dari kantong air miliknya sendiri. Dan begitulah ia melayani Āyasmā Assaji sebagaimana tugas seorang murid kepada gurunya.

    Sesudah mereka saling mengucapkan salam dengan sopan, Upatissa berkata: "Tuan, pembawaan Anda luar biasa. Wajah Anda bersih dan terang sekali. Di bawah bimbingan siapakah Anda menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pertapa? Siapakah guru Anda dan Ajaran apakah yang Anda ikuti?"

    Āyasmā Assaji menjawab: "Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini saya mengabdi kepada seorang pertapa agung dari suku Sakya, yang telah pergi meninggalkan kaumnya untuk menjadi bhikkhu. Di bawah bimbinganNyalah saya berlindung. Pertapa Agung itu guruku dan AjaranNyalah yang saya ikuti."

    "Apakah yang diajarkan oleh Guru Anda, apa yang beliau nyatakan?"

    Mendapat pertanyaan seperti itu, Āyasmā Assaji berpikir dalam hati: "Pertapa kelana ini sedang menguji Jalan Sang Buddha. Aku akan menunjukan padanya betapa mulia jalan ini"

    Jadi beliau berkata: "Saya seorang pendatang baru, Saudara. Belum lama saya ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu sehingga saya tidak dapat menjelaskan Ajaran mulia ini secara terperinci kepadamu"

    Sang Pengelana itu pun membalas: "Saya bernama Upatissa, Saudara. Tolong beritahukan Ajaran itu pada saya semampu Anda, baik itu banyak ataupun sedikit. Biarlah menjadi tugas saya untuk memahami makna yang terkandung didalamnya, dengan ratusan atau bahkan ribuan cara." Dan dia menambahkan: "Entah itu banyak ataupun sedikit yang dapat Anda beritahukan, Walau hanya garis besarnya, katakanlah padaku! Untuk mengetahui inti sari Ajaran adalah satu-satunya hasrat saya; Kata-kata lain tidak dapat membantu apa-apa."

    Menanggapi hal itu, Āyasmā Assaji kemudian mengucapkan syair berikut ini:

    "Dari semua hal yang timbul karena suatu 'sebab',
    'Sebabnya' telah diberitahukan oleh Tathagata;
    Dan juga lenyapnya mereka, itu juga yang Dia ajarkan,
    Inilah Ajaran Sang Pertapa Agung.
    "(5)

    Mendengar dua kalimat pertama, Upatissa seketika memasuki jalan seorang pemasuk arus; dan sampai akhir dua kalimat terakhir dia telah berhasil menjadi seorang Sotapanna- pemenang arus.

    Ketika dia menjadi seorang pemenang arus dan sebelum dia mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi, dia berpikir: "Disinilah makna pembebasan dapat ditemukan!" Kemudian dia berkata kepada Āyasmā Assaji: "Tidak perlu lagi Anda memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang Dhamma ini, Āyasmā [Yang patut dimuliakan]. Ini sudah cukup bagiku. Dimanakah Guru kita berdiam?"

    "Di Vihāra Hutan Bambu, pengembara."

    "Bila demikian, silakan Anda melanjutkan perjalanan Anda, Āyasmā [Yang patut dimuliakan]. Saya mempunyai seorang sahabat yang dengannya kami telah saling berjanji, siapa yang terlebih dahulu berhasil untuk mencapai Keadaan Terbebaskan, harus memberitahukan yang lain. Saya musti memberitahukannya dan bersama-sama kami akan mengikuti jalan yang Anda tapaki dan menemui Sang Guru." Upatissa kemudian bersujud dibawah kaki Āyasmā Assaji, memberi hormat dan mengantar kepergian Sang Sesepuh, sebelum akhirnya pulang menuju taman tempat berkumpulnya para Pertapa Kelana.

    Kolita melihat Upatissa datang mendekat dan berpikir: "Hari ini penampilan sahabatku sedikit berubah. Pastilah dia telah menemukan Keadaan Tanpa Kematian."

    Dan ketika dia bertanya kepada Upatissa tentang hal itu, Upatissa menjawab: "Benar, Sahabatku, Keadaan Tanpa Kematian telah ditemukan!" Dan dia mengulangi syair yang telah didengarnya kepada Kolita. Di akhir syair, Kolita memperoleh hasil seorang pemasuk arus dan dia bertanya:

    "Dimana, Saudaraku, tempat Sang Guru berdiam?"

    "Aku diberitahu oleh guru kita, Āyasmā Assaji, bahwa Beliau berdiam di Vihāra Hutan Bambu."

    "Bila demikian, mari kita pergi Upatissa, dan menemui Sang Guru," ujar Kolita.

    Tetapi Sariputta adalah seseorang yang selalu penuh rasa hormat kepada guru-gurunya, dan dia berkata kepada sahabatnya:

    "Yang harus kita lakukan pertama, Saudaraku, adalah pergi ke tempat guru kita, Pertapa Kelana Sanjaya dan mengatakan padanya bahwa kita telah menemukan Keadaan Tanpa Kematian. Bila dia dapat memahami Dhamma ini, dia akan menembus Kebenaran. Dan bahkan bila dia tidak mampu memahaminya, biarlah dia datang bersama dengan kita untuk menemui Sang Bhagava dan mendengar Ajaran Sang Buddha. Dengan demikian dia mungkin akan mencapai Kesucian."

    Demikianlah kedua pemuda itu pergi menemui Sanjaya dan berkata:

    "Oh, guru kami! Apa yang sedang Anda lakukan! Seorang Buddha telah muncul di dunia! AjaranNya begitu mulia dan dalam tindakan benar hiduplah perkumpulan bhikkhu-bhikkhuNya. Mari kita pergi dan melihat Sang Guru Pemilik Sepuluh Kekuatan!"

    "Apa yang sedang kamu katakan, anakku?" Sanjaya berseru. Menolak pergi bersama kedua muridnya dia mencoba berbicara kepada mereka tentang keuntungan serta popularitas yang dapat mereka nikmati bila mereka mau berbagi tempat dengannya, sebagai seorang guru.

    Tapi kedua pemuda itu berkata: "Oh, kami sendiri tidak risau untuk terus menjadi seorang murid! Tapi Anda, O guru, Anda harus memutuskan untuk pergi atau tidak bersama kami!"

    Sanjaya kemudian berpikir: "Mereka memang sudah tahu banyak, mereka tidak akan mendengar apa yang aku katakan." Dan menyadari hal tersebut, dia membalas: "Kalian boleh pergi, tapi aku tidak."

    "Mengapa tidak, guru?"

    "Aku seorang guru dari sekian banyak murid! Jika aku kembali menjadi seorang murid, hal itu bagaikan memaksakan setangki besar penuh air diubah menjadi kendi kecil. Sekarang aku tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai seorang murid."

    "Jangan berpikiran seperti itu, O guru!" mereka memaksa.

    "Biarlah demikian, anakku. Kalian boleh pergi, tapi aku tidak."

    "Oh guru! Saat dimana seorang Buddha muncul di dunia, orang berduyun-duyun datang kepadanya dan memberikan penghormatan sambil membawa dupa dan bunga. Kami juga akan pergi menemuiNya. Dan kemudian apa yang akan terjadi padamu?"

    Mendengar hal itu, Sanjaya membalas: "Bagaimana menurut kalian, murid-muridku: manakah yang lebih banyak: orang bodoh di dunia ini, atau orang bijaksana?"

    "Orang bodoh lebih banyak, guru, sedangkan orang bijaksana hanya sedikit."

    "Bila memang demikian, temanku, maka biarlah mereka yang bijaksana pergi ke tempat Sang Pertapa Agung Gotama, dan biarlah mereka yang bodoh datang kepadaku, si dungu ini. Kalian boleh pergi sekarang, tapi aku tidak akan."

    Maka kedua pemuda itu pergi sambil berkata: "Anda akan menyadari kesalahan yang Anda perbuat, O guru!" Dan setelah mereka pergi terjadi perpecahan diantara murid-murid Sanjaya menyebabkan kuilnya hampir kosong. Melihat kuilnya menjadi kosong, Sanjaya muntah darah. Lima ratus muridnya pergi bersama Upatissa dan Kolita. -- Belakangan dua ratus lima puluh diantaranya kembali ke tempat Sanjaya. Bersama dengan sisa dua ratus lima puluh pertapa lainnya dan ditambah pengikut mereka sendiri, kedua sahabat itu sampai di Vihāra Hutan Bambu.

    Disana Sang Buddha duduk diantara empat penjuru(6) sedang membabarkan Dhamma, dan ketika Yang Terbekahi melihat kedatangan kedua pemuda itu Beliau berkata kepada bhikkhu-bhikkhuNya:

    "Inilah dua orang sahabat baik, Upatissa dan Kolita, mereka adalah pendatang baru dan akan menjadi dua siswaku yang cemerlang"

    Datang mendekat, teman-teman baru itu memberi hormat kepada Sang Buddha dan duduk di salah satu sisi. Ketika mereka duduk di salah satu sisi, mereka berkata kepada Sang Buddha: "Bolehkah kami, O Sang Bhagava, bergabung ditahbiskan menjadi bhikkhu di bawah perlindungan Anda Yang Tercerahkan. Bolehkah kami memperoleh penahbisan penuh?!"

    Dan Sang Buddha berkata: "Datanglah, O bhikkhu! Ajaran Dhamma begitu mulia. Sekarang jalanilah Kehidupan Suci demi mengakhiri penderitaan!" Demikianlah mereka mendapatkan penahbisan dari Sang Buddha.

    Kemudian Sang Bhagava meneruskan khotbahnya sambil mempertimbangkan karakter(7) masing-masing pendengarnya; dan kesemuanya kecuali dua siswa utama Beliau, mencapai tingkat kesucian tertinggi - Arahat. Kedua siswa utama Sang Buddha belum mencapai tiga tingkat kesucian diatasnya. Alasannya adalah mengenai perihal "kebijaksanaan yang tumbuh dari pahala sebagai seorang siswa" (savakaparami-nana) yang masih harus mereka kembangkan.

    Upatissa menerima nama penahbisan Sariputta, sedangkan Kolita menerima nama Maha Moggallana.

    Pada suatu ketika Y.A. Maha Moggallana berdiam di suatu desa di Magadha bernama Kallavala, desa dimana dia biasa berpindapatta. Pada hari ketujuh sejak penahbisannya, dia sedang bermeditasi. Saat itu kelelahan dan kemalasan menguasai dirinya. Tapi berkat dorongan Sang Buddha(8), dia berhasil melenyapkan kelelahannya dan pada saat mendengarkan Sang Buddha menguraikan topik meditasi tentang elemen-elemen (dhatu-kammatthana), Moggallana akhirnya berhasil menuntaskan tugas memenangkan tiga tingkat kesucian dan mencapai puncak kesempurnaan latihan seorang siswa (savaka-parami).

    Y.A. Sariputta tetap tinggal bersama Sang Buddha di sebuah gua yang disebut Gua Naungan Babi Hutan (Sukarakhata-lena) sambil berpindapatta di kota Rajagaha. Setengah bulan setelah masa penahbisan Y.A. Sariputta, Sang Buddha memberikan sebuah wejangan Dhamma tentang pemahaman perasaan(9) kepada kemenakan Y.A. Sariputta, yaitu

    Dighanakha si pertapa pengembara. Y.A. Sariputta berdiri di belakang Sang Buddha, mengipasi beliau. Selagi menyimak jalannya khotbah Sang Buddha, tatkala berbagi kudapan yang disiapkan bagi yang lain, pada waktu itulah Y. A. Sariputta berhasil mencapai puncak pengetahuan menguasai kesempurnaan latihan seorang siswa dan mencapai ke-Arahat-an bersamaan dengan dicapai 4 pengetahuan analitis (patisambhida-naana)(10). Sedangkan kemenakannya, di akhir khotbah, berhasil memperoleh hasil seorang Pemasuk Arus.(11)

    Sekarang kita dapat mempertanyakan: Apakah Y.A. Sariputta kurang memiliki kebijaksanaan yang cukup untuk memahami Dhamma? Mengapa dia mencapai kesempurnaan seorang siswa lebih lambat daripada Y.A. Maha Moggallana?

    Jawabannya adalah karena besarnya keagungan persiapan yang dibutuhkan baginya. Ketika seorang miskin hendak pergi ke suatu tempat, mereka bisa langsung berangkat begitu saja. Tetapi bilamana para raja hendak berpergian, butuh lebih banyak persiapan yang diperlukan; misalnya: harus menyiapkan gajah-gajah dan kereta-kereta kuda dan lain sebagainya. Begitulah alasannya.

    Pada hari yang sama ketika bayang-bayang senja telah menyelimuti langit, Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan berkat kepada kedua sahabat yaitu Sariputta dan Moggallana sebagai Siswa Utama. Pada saat itu, ada beberapa bhikkhu yang merasa tidak puas dan berbicara diantara mereka sendiri:

    "Sang Bhagava seharusnya memberikan posisi Siswa Utama kepada mereka yang tergolong kelompok siswa yang pertama kali menyatakan perlindungan pada Sang Bhagava, yaitu kelompok lima bhikkhu pertama(12). Jika tidak, maka seharusnya diberikan kepada kelompok 250 bhikkhu yang dipimpin oleh Yasa, atau kepada kelompok Bhadavaggiya, atau mungkin kepada tiga Kassapa bersaudara. Namun dengan melewati para Sesepuh, Sang Bhagava memberikan posisi tersebut kepada mereka yang penahbisannya tergolong paling akhir diantara lainnya."

    Sang Buddha menanyakan tentang apa yang dibicarakan oleh kelompok bhikkhu tersebut. Ketika Beliau dijawab, Beliau lalu berkata:

    "Aku tidak pilih kasih, akan tetapi sekedar memberikan sesuai dengan aspirasi mereka masing-masing. Ketika, sebagai gambaran untuk kalian ketahui, Kondanna - Yang Telah Mengerti - dalam kehidupan sebelumnya memberikan dana makanan sembilan kali selama masa panen. Dia tidak bercita-cita untuk menjadi Siswa Utama, aspirasinya adalah untuk menjadi yang paling pertama kali mencapai tingkat kesucian tertinggi - Arahat. Dan jadilah demikian.

    Tapi ketika Sariputta dan Moggallana pada suatu masa berabad-abad lalu, pada masa hidup Buddha Anomadassi, terlahir sebagai seorang brahmana muda Sarada dan tuan tanah Sirivaddhaka. Mereka membuat suatu tekad untuk menjadi Siswa Utama. Inilah, O bhikkhu, aspirasi yang dicita-citakan oleh anak-anakKu tersebut di masa lampau. Karena itulah aku memberikan apa yang menjadi aspirasi mereka, dan bukan melakukannya sekedar oleh pilih kasih (preferensi).
    "

    Kisah tentang awal mula perjalanan hidup Y.A. Sariputta ini diambil dari uraian Angutara Nikaya, kelompok Etas-agga, dan dengan beberapa cerita diambil dari dalam versi yang juga paralel di Dhammapada. Dalam uraian tersebut beberapa pembawaan dari karakter Y.A. Sariputta sudah terlihat dengan jelas. Kapasitasnya akan persahabatan yang mendalam dan lestari telah terlihat sejak dia masih menjadi umat awam, sebagai seorang pemuda yang tumbuh dan dibesarkan dalam kemewahan dan kenikmatan, dan tetap bertahan hingga tatkala ia meninggalkan kehidupan duniawi. Saat menerima pengetahuan Dhamma untuk pertama kalinya, dan sebelum melangkah lebih lanjut, pikiran pertamanya ditujukan kepada Kolita sahabat baiknya dan sumpah yang telah mereka ucapkan bersama.

    Ketajaman intelektualnya terlihat dalam ketangkasannya untuk seketika memahami inti sari Ajaran Buddha sekedar dari beberapa kalimat pendek sederhana. Dan yang lebih unik, dia menggabungkan kemampuan intelektualnya dengan kerendahan hati serta sifat baiknya yang dipancarkan ketika memberikan penghargaan dan penghormatan kepada siapapun, bahkan kepada Sanjaya yang tersesat, yang pernah mengajarkannya beberapa hal yang bermanfaat.

    Tidaklah mengherankan juga bila kemudian di sepanjang hidupnya Y.A. Sariputta terus menunjukkan penghormatan kepada Y.A. Assaji yang telah memperkenalkannya dengan Ajaran Buddha. Kita dapat menemukannya dalam uraian Nava Sutta (Sutta Nipata) dan juga dalam uraian syair Dhammapada 392; bahwa dimanapun Y.A. Sariputta menetap di vihāra yang sama dengan Y.A Assaji, beliau selalu memberikan penghormatan kepadanya segera setelah menghormat Sang Buddha. Selama melakukan penghormatan ini, dia berpikir:

    "Y.A. Assaji adalah guru pertamaku. Oleh dialah aku mengenal Jalan ke-Buddha-an." Dan ketika Ayāsma Assaji tinggal di vihāra lain, Y.A. Sariputta selalu menghormat ke arah dimana Ayāsma Assaji menetap. Beliau melakukannya dengan cara lima titik menyentuh bumi (kepala, kedua tangan, dan kedua kaki) dan bersikap anjali.

    Akan tetapi hal ini menyebabkan salah pengertian. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain melihatnya melakukan hal ini mereka berkata:

    "Setelah menjadi seorang Siswa Utama, Sariputta tetap menyembah makhluk surgawi! Bahkan hingga hari ini dia tampaknya belum dapat meninggalkan pandangan brahmanismenya!"

    Mendengar ucapan-ucapan seperti itu, Sang Buddha berkata:

    "Bukan demikian para bhikkhu. Sariputta tidak menyembah makhluk surgawi. Dia menghormati seseorang yang telah mempertemukannya dengan Dhamma. Kepadanyalah dia menghormat, menyembah dan memuja sebagai gurunya. Sariputta adalah seseorang yang memberikan penghormatan tulus kepada gurunya."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan Nava Sutta(13) kepada para bhikkhu yang sedang berkumpul, yang diawali dengan syair berikut:

    "Seperti para dewa memberikan penghormatan kepada Indra,
    Demikian pula hendaknya seseorang memberikan penghormatan kepada dia
    Yang telah mempertemukannya dengan Dhamma.
    "

    Contoh lain dari sikap penghormatan tulus Y.A. Sariputta diceritakan dalam kisah Radha Thera. Uraian syair Dhammapada 76 ini mengisahkan bahwa pada suatu ketika di Savatthi seorang brahmana miskin tinggal di sebuah vihāra. Ia melakukan beberapa pelayanan seperti menyiangi, menyapu, dan semacamnya; sedangkan para bhikkhu membalasnya dengan cara menyediakan makanan. Tidak ada seorang bhikkhu pun yang bersedia menahbiskannya.

    Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang mengamati dunia, Beliau melihat brahmana itu mempunyai kesempatan untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Sang Buddha kemudian menanyakan kepada pesamuan bhikkhu: apakah ada diantara mereka yang mengingat telah menerima kebaikan yang dilakukan brahmana miskin tersebut. Y.A. Sariputta berkata bahwa dia mengingat satu peristiwa, ketika dia pergi berpindapatta di Rajagaha, brahmana miskin ini telah memberikannya sesendok penuh nasi yang dia pinta bagi dirinya sendiri. Sang Bhagava kemudian bertanya apakah Sariputta bersedia menahbiskannya, dan akhirnya dia diberi nama Radha.

    Y.A. Sariputta kemudian membimbing bhikkhu itu secara terus-menerus sedangkan Radha selalu mengikuti arahan Y.A. Sariputta dengan sungguh-sungguh tanpa kekesalan. Dan dengan hidup berdasarkan nasehat Arahat Sariputta, Radha akhirnya berhasil mencapai tingkat kesucian tertinggi dalam waktu yang singkat.

    Kali ini para bhikkhu memuji sikap tahu berterimakasih Y.A. Sariputta yang begitu tulus dan berkata bahwa mereka yang dengan tulus bersedia menjalankan nasehat akan memperoleh murid-murid yang akan pula melakukan hal sama pula. Mengulas kejadian ini, Sang Buddha berkata bahwa tidak hanya itu, tapi juga dahulunya Sariputta telah menunjukkan rasa tahu berterimakasih dan mengingat setiap hal baik yang pernah diberikan kepadanya. Sehubungan dengan hal ini, Sang Buddha menceritakan Alinacitta Jataka, kisah tentang seekor gajah yang tahu rasa terima kasih.(14)

    Bagian II
    Matangnya Kebijaksanaan

    Persahabatan
    Bila Sariputta dikenal dengan rasa syukur dan terima kasihnya yang tulus, demikian pula dengan rasa persahabatannya. Bersama Maha Moggallana sahabatnya, beliau memelihara suatu persahabatan yang erat dan banyak perbincangan yang mereka lakukan seputar Dhamma. Salah satunya adalah perhatian khusus yang diberikan oleh Arahat Maha Moggallana dalam proses pencapaian tingkat kesucian Y.A. Sariputta, tertulis dalam Anguttara Nikaya, Catukka-nipata, no. 167. Uraian ini mengulas perbincangan mereka berdua ketika Y.A. Maha Moggallana pergi mengunjungi Y.A. Sariputta dan berkata padanya:

    "Terdapat 4 jenis perkembangan, saudaraku Sariputta:

    - Perkembangan yang sulit, dengan pengetahuan-langsung yang lamban;
    - Perkembangan yang sulit, dengan pengetahuan-langsung yang tangkas;
    - Perkembangan yang mudah, dengan pengetahuan-langsung yang lamban;
    - Perkembangan yang mudah, dengan pengetahuan-langsung yang tangkas.

    Yang mana dari keempat cara perkembangan inilah, Saudaraku, pikiranmu terbebas dari kekotoran tanpa ada bekas-bekas yang melekat?
    "

    Y.A. Sariputta menjawab:

    "Dari keempat cara perkembangan itu, Saudaraku, adalah yang mudah dan memiliki pengetahuan langsung yang tangkas."

    Penjelasan dari baris-baris tersebut adalah: bahwa apabila penekanan (suppression) terhadap kekotoran-kekotoran batin dalam persiapan menuju jhana atau vipassana berjalan dengantanpa kesulitan, progres ini disebut "mudah" (sukha-patipada). Apabila sebaliknya, maka hal itu disebut "sulit" atau "menyakitkan" (dukkha-patipada).

    Bila setelah penekanan terhadap kekotoran-kekotoran batin tersebut manifestasi dari Sang Jalan - tujuan utama dari vipassana, dengan cepat berbuah, maka pengetahuan-langsung (berkaitan dengan Sang Jalan) semacam itu disebut "tangkas" (khippabhinna). Apabila sebaliknya, maka akan "lamban" (dandabhinna). Dalam perbincangan ini, pernyataan Y.A. Sariputta mengacu pada pencapaian ke-Arahat-annya. Pencapaiannya terhadap tiga tingkatan pertama, bagaimanapun, sesuai dengan uraian dari naskah diatas, adalah merupakan "perkembangan mudah dan pengetahuan-langsung yang lamban."

    Dengan cara seperti inilah kedua sahabat itu saling menukar informasi perihal pengalaman dan pemahaman terhadap Dhamma. Mereka juga sering berhubungan dalam hal mengelola urusan-urusan Sangha. Seperti pada suatu peristiwa, ketika mereka bersatu untuk mengajak kembali beberapa bhikkhu yang disesatkan oleh Devadatta. Ada suatu kisah yang menarik(15) tentang peristiwa ini yang menunjukkan pujian Y.A. Sariputta terhadap pencapaian-pencapaian Devadatta sebelum akhirnya membawa suatu perpecahan dalam Sangha, merupakan penyebab yang sedikit memalukan. Hal ini adalah ketika Sang Buddha meminta Sariputta menyatakan di Rajagaha bahwa segala perbuatan dan perkataan Devadatta tidak lagi berhubungan dengan Buddha, Dhamma maupun Sangha; Y.A. Sariputta berkata:

    "Dahulu saya berbicara di Rajagaha dan memuji kemampuan gaib Devadatta?" "Benar, Yang Mulia."

    Sang Buddha membalas: "Jadi sekarang kamu akan berkata sejujur-jujurnya pula, Sariputta, ketika kamu mengumumkan pernyataan ini tentang Devadatta."

    Dengan demikian setelah menerima restu resmi dari Sangha, Y.A. Sariputta bersama dengan para bhikkhu pergi menuju Rajagaha dan mengumumkan pernyataan tentang Devadatta.

    Ketika Devadatta secara resmi memecahbelah Sangha dengan mengumumkan bahwa dia akan memimpin kegiatan-kegiatan Sangha secara terpisah, dia pergi ke Puncak Bukit Burung Hering dengan lima ratus bhikkhu muda yang dengan polosnya telah menjadi pengikut Devadatta. Untuk mengajak mereka kembali, Sang Buddha mengirimkan Sariputta dan Maha Moggallana menuju Puncak Bukit Burung Hering. Ketika Devadatta sedang beristirahat, kedua Siswa Utama tersebut membabarkan Dhamma kepada bhikkhu-bhikkhu muda pengikut Devadatta, yang kemudian semuanya mencapai pemasuk-arus dan kembali kepada Sang Buddha.(16)

    Di lain kesempatan, ketika Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha Moggallana bekerja sama memulihkan kepimpinan dalam Sangha dimana sekelompok bhikkhu yang dipimpin oleh Assaji (berbeda dengan Y.A. Assaji yang diceritakan di depan) dan Punnabbassu yang tinggal di Kitagiri telah berperilaku salah. Walaupun telah diberikan nasehat-nasehat, bhikkhu-bhikkhu ini tidak juga memperbaiki perilaku mereka. Jadi kedua Siswa Utama dikirimkan untuk mengumumkan sanksi penalti pabbajaniya-kamma (pengucilan) pada mereka yang tidak menjalankan vinaya para bhikkhu.(17)

    Kesetiaan Y.A. Sariputta pada sahabatnya benar-benar terbalas. Kita dapat menemukan dua kejadian ketika Y.A. Sariputta sakit dan Maha Moggallana mengunjunginya sambil membawakan obat-obatan.

    Terlebih lagi persahabatan Y.A. Sariputta juga terbuka kepada bhikkhu lainnya, seperti dalam uraian dalam Maha-Gosinga Sutta. Didalamnya dijelaskan bahwa terdapat pertalian persahabatan antara Y.A. Sariputta dengan Y.M. Ananda. Dilihat dari sudut pandang Y.A. Sariputta, dia berpikir: "Beliau mengurus segala keperluan Sang Bhagava - suatu kewajiban yang seharusnya dipikul olehku"

    Sedangkan persahabatan Ananda didasarkan pada kenyataan bahwa Sariputta telah diangkat oleh Sang Buddha sebagai Siswa UtamaNya. Pada saat Y.M. Ananda memberikan penahbisan samanera kepada para calon samanera, dia biasanya membawa mereka kepada Y.A. Sariputta untuk mendapatkan penahbisan penuh dibawah Y.A. Sariputta. Y.A. Sariputta pun melakukan hal yang sama untuk menghargai Ananda. Dan dengan cara demikian mereka memiliki lima ratus murid bersama.

    Setiap kali Y.A. Ananda menerima persembahan jubah atau keperluan lain, dia akan menawarkannya kepada Y.A. Sariputta. Dan dengan cara yang sama pula, Sariputta memberikan kepada Ananda persembahan-persembahan spesial yang diberikan kepadanya. Pada suatu kesempatan Y.M. Ananda menerima dari seorang brahmana sebuah jubah yang sangat bernilai dan dengan ijin Sang Buddha dia menyimpannya selama sepuluh hari buat menunggu kedatangan Sariputta. Dalam uraian naskah tersebut dikatakan bahwa kemudian para guru berkomentar terhadap kejadian ini: "Mungkin terdapat beberapa orang yang berkata: Kita dapat memahami kalau Ananda, yang belum mencapai tingkat kesucian Arahat, memiliki begitu banyak rasa cinta (afeksi). Akan tetapi bagaimana mungkin hal yang sama terjadi pada Sariputta, yang merupakan seorang Arahat, yang telah terbebas dari kemelekatan?" Jawaban pertanyaan ini ialah: "Rasa kasih Y.A. Sariputta bukanlah sesuatu yang bersifat duniawi, tapi sebagai rasa cinta atas kebajikan yang dilakukan oleh Ananda (guna-bhatti)."

    Sang Buddha pernah suatu ketika bertanya kepada Y.M. Ananda: "Apakah kamu juga, mengakui Sariputta?" Dan Ananda menjawab:

    "Siapa, O Sang Bhagava, yang tidak mengakui Sariputta, kecuali dia bersifat kekanak-kanakan, jahat, bodoh atau tersesat pikirannya! Berpengetahuan, O Sang Bhagava, itulah Y.A. Sariputta; Bijaksana, O Sang Bhagava, itulah Y.A. Sariputta; Berwawasan luas, terbuka, tangkas, tajam dan mampu menembus itulah Y.A. Sariputta, O Sang Bhagava; sedikit berkehendak dan merasa puas, cenderung menyepi, tidak gemar dengan pergumulan, bersemangat, mengesankan, bersedia mendengar, seorang pembimbing yang mencela apa yang sepatutnya dicela."(18)

    Dalam Theragatha (v. 1034) kita dapat menemukan bagaimana Y.M. Ananda mengekspresikan perasaannya pada saat kematian Sariputta. "Ketika Sahabat Mulia (Sariputta) telah pergi," dia berkata, "dunia runtuh gelap gulita bagiku." Tapi kemudian dia menambahkan bahwa setelah sahabatnya pergi meninggalkannya sendiri, dan begitu pula Sang Buddha telah pergi, tidak ada lagi sahabat lain kecuali praktik perhatian-penuhnya pada tubuh ini (mindfulness directed on the body). Duka cita Ananda dalam menghadapi kematian Y.A. Sariputta juga dijelaskan penuh haru dalam Cunda Sutta.

    Sariputta adalah seorang teman sejati dalam setiap makna kata. Beliau benar-benar mengerti cara mendorong keluar setiap aspek terbaik dari dalam diri seseorang, dan dalam melakukannya beliau tidak ragu-ragu untuk mengatakan secara terus terang dan kritis, persis seperti ciri-ciri teman sejati yang dijelaskan oleh Sang Buddha, yaitu bersedia menunjukkan kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh temannya. Dengan cara inilah dia membantu Y.A. Anuruddha dalam upaya terakhirnya mencapai tingkat kesucian Arahat, seperti yang tertulis dalam Anguttara Nikaya (Tika-Nipata No. 128):

    Pada suatu ketika Y.A. Anuruddha pergi mengunjungi Y.A. Sariputta. Setelah mereka saling mengucapkan salam dengan sopan, dia duduk dan berkata kepada Y.A. Sariputta:

    "Sahabatku Sariputta, dengan mata dewa yang dimurnikan, melebihi batas manusiawi, aku dapat melihat beribu dimensi sistem alam ini. Energiku besar, tak kunjung padam, kesadaranku selalu waspada dan tak tergoyahkan; tubuh ini begitu tenang dan tak gelisah; pikiranku terpusat dan terfokus. Tapi mengapa pikiran ini masih tidak terbebas dari kekotoran-kekotoran batin, tidak terbebas dari kemelekatan."

    "Sahabatku Anuruddha," kata Y.A. Sariputta, "caramu memandang kekuatan mata dewamulah, merupakan suatu bentuk kecongkakan dirimu. Caramu memandang energi kokohmu, kesadaran waspadamu, tubuh tak gelisahmu dan pikiran terpusatmu, inilah kegelisahanmu. Ketika kamu berpikir pikiranmu tidak terbebas dari kekotoran-kekotoran batin, inilah kekhawatiran dalam dirimu(19). Akan menjadi baik, tentu saja, apabila Y.M. Anuruddha, melepaskan tiga keadaan pikiran ini dan tidak lagi memperhatikan mereka, serta semata-mata hanya mengarahkan pikiran kepada Elemen Tanpa Kematian."

    Dan Y.M. Anuruddha akhirnya melepaskan tiga keadaan pikiran ini, tidak mempedulikannya dan mengarahkan pikirannya semata-mata kepada Elemen Tanpa Kematian. Dan Y.M. Anuruddha pergi menyendiri, penuh perhatian, tekun, dan dengan pikiran teguh, tak lama akhirnya berhasil mencapai tingkat kesucian tertinggi dalam kehidupan saat ini juga, memahami dan mengalaminya sendiri, tujuan tertinggi dari Kehidupan Suci yang dijalaninya, tujuan pokok dimana manusia utama pergi meninggalkan keduniawian. Dan dia pun memahami: "Proses tumimbal lahir telah tuntas, yang ada hanya kehidupan suci, tugas kini telah usai, tidak ada lagi pencapaian yang lebih mulia dari ini." Itulah saat Y.A. Anuruddha menjadi salah satu Arahat.

    Sariputta pastilah seorang sahabat yang sangat menyenangkan, yang banyak dicari oleh bhikkhu-bhikkhu yang lain. Apa yang menarik pelbagai macam orang dengan temperamen yang beragam terhadap beliau serta percakapan yang dibuat mereka dapat dimengerti secara jelas dari suatu kejadian yang digambarkan dalam Maha-Gosinga Sutta (Majjhima Nikaya No.32).

    Pada suatu petang Y.A. Maha Moggallana, Y.A. Maha Kassapa, Y.A. Anuruddha, Y.A. Revata dan Y.A. Ananda pergi mengunjungi Y.A. Sariputta untuk mendengarkan Dhamma. Y.A. Sariputta menyambut mereka dan berkata: "Hutan Pohon Sala Gosinga ini sungguh menyenangkan; malam diterangi rembulan, semua pohon sala berbunga, dan keharuman surgawi tampaknya memenuhi udara sekitar. Bhikkhu macam apakah, Sahabat Ananda, yang akan dapat lebih mengharumkan Hutan Pohon Sala Gosinga ini?"

    Pertanyaan yang sama diajukan kepada yang lain, dan masing-masing dari mereka menjawab sesuai dengan watak mereka masing-masing. Akhirnya, Y.A. Sariputta memberikan jawabannya sendiri, sebagai berikut:

    "Adalah seorang bhikkhu yang memiliki penguasaan atas pikirannya, yang tidak akan membiarkan pikirannya berkuasa atas dirinya.(20) Dalam keadaan mental atau pencapaian apapun yang dia mau tinggal tatkala pagi hari, dia bisa tinggal pada waktu itu. Dalam keadaan mental atau pencapaian apapun yang dia mau tinggal tatkala siang hari, dia bisa tinggal pada waktu itu. Dalam keadaan mental atau pencapaian apapun yang dia mau tinggal tatkala sore hari, dia bisa tinggal pada waktu itu. Bagaikan almari pakaian seorang raja atau menteri kerajaan yang penuh dengan pakaian yang berwarna-warni; jadi pasangan pakaian apapun yang ingin mereka kenakan di pagi hari, atau di tengah hari, atau di petang hari, mereka dapat mengenakannya sekehendak pikiran mereka. Begitu pula, seorang bhikkhu yang memiliki penguasaan atas pikirannya, yang tidak dibawah pengaruh pikirannya; dalam keadaan mental atau pencapaian apapun yang dia mau tinggal tatkala pagi, siang, atau sore hari, dia bisa tinggal pada waktu itu sekehendak pikirannya. Bhikkhu seperti itulah, Sahabat Moggallana, yang dapat mengharumkan Hutan Pohon Sala Gosinga ini."

    Kemudian mereka bersama-sama pergi mengunjungi Sang Buddha, yang menyetujui semua jawaban yang diutarakan oleh para Thera tersebut serta memberikan jawabanNya sendiri.

    Kita dapat melihat dari cerita ini bahwa dengan segala kemampuan intelektual dan posisinya di dalam Sangha, Y.A. Sariputta ternyata sikapnya jauh dari seseorang yang ingin mendominasi atau memaksakan pandangannya kepada yang lain. Betapa beliau memahami cara mendorong ungkapan pribadi sahabat-sahabatnya dengan cara alami dan mengesankan, menyampaikan pada mereka perenungan yang dipicu dari pemandangan yang indah! Sifat alami sensitifnya merespon hal tersebut, dan memicu respon serupa dari sahabat-sahabatnya.

    Terdapat percakapan-percakapan serupa antara Y.A. Sariputta dengan bhikkhu-bhikkhu lainnya, tidak hanya dengan Y.A. Maha Moggallana, Ananda maupun Anuruddha; tetapi juga dengan Maha Kotthita, Upavana, Samiddhi, Savittha, Bhumija dan lainnya. Kelihatannya Sang Buddha sendiri pun senang bercakap-cakap dengan Y.A. Sariputta. Sebegitu seringnya sehingga banyak dari khotbah-khotbah Sang Buddha yang ditujukan kepada "Jenderal DhammaNya".

    Pernah suatu ketika, Y.A. Sariputta mengulangi beberapa wejangan yang telah disampaikan Sang Bhagava kepada Y.M. Ananda dalam kesempatan lain. "Inilah keseluruhan dari Kehidupan Suci (brahmacariya); yaitu: pertemanan mulia, persahabatan mulia, perkumpulan mulia."(21)

    Tidak ada tauladan yang lebih baik dari ajaran diatas selain kehidupan sang Siswa Utama - Y.A. Sariputta sendiri.

    Sang Penolong
    Diantara para bhikkhu, Y.A. Sariputta terkemuka pula dalam hal membantu bhikkhu lain. Kita dapat menemukan rujukan tentang hal ini dalam Devadaha Sutta(22). Beberapa bhikkhu yang datang berkunjung hendak pulang kembali ke tempatnya masing-masing. Mereka memohon pamit kepada Sang Buddha. Beliau kemudian menganjurkan mereka untuk pergi menemui Y.A. Sariputa dan memohon pamit pula padanya: "Sariputta, O bhikkhu, bijaksana dan penolong bagi para bhikkhu bimbingannya."

    Uraian di bawah menjelaskan sabda di atas lebih lanjut. Sang Buddha mengatakan: "Sariputta merupakan seorang penolong dalam dua cara. Pertama dengan memberikan pertolongan materi (amisanuggaha) dan kedua dengan memberikan pertolongan Dhamma (dhammanuggaha)."

    Y.A. Sariputta, seperti yang dikisahkan, tidak pergi berpindapatta pada pagi hari sementara para bhikkhu lain pergi berpindapatta. Bahkan ketika para bhikkhu telah pergi, beliau berjalan mengitari setiap jengkal vihāra dan dimanapun dia melihat bagian yang tidak tersapu, dia menyapunya; dimanapun terlihat sampah berserakan, dia membuangnya; dimanapun terlihat peralatan seperti alas tidur, kursi-kursi, dll., atau tembikar yang belum disusun dengan rapi, dia meletakkannya pada tempatnya. Beliau melakukannya agar para pertapa non-buddhis lainnya yang datang berkunjung ke vihāra tidak melihat keadaan vihāra yang kacau berantakan sehingga dapat mencela para bhikkhu.

    Kemudian beliau biasanya pergi ke aula tempat pesakit dan memberikan kata-kata penghiburan. Beliau juga akan bertanya apa yang mereka butuhkan. Untuk memperoleh permintaan mereka, dia mengajak serta para samanera dan pergi mencari obat; entah di sepanjang jalan yang biasa digunakannya untuk berpindapatta atau pergi ke tempat-tempat tertentu. Ketika obat sudah didapatkan, beliau akan memberikannya kepada murid-murid yang menyertainya dan berkata:

    "Merawat mereka yang sakit merupakan tindakan yang dipuji oleh Sang Bhagava! Ayo, siswa-siswa budiman, jadilah peduli!"

    Setelah mengirim mereka kembali ke ruang kesehatan vihāra, beliau akan pergi berpindapatta atau menyantap sarapannya di rumah seorang pendana. Inilah rutinitas yang biasa dilakukannya ketika menetap selama beberapa waktu di sebuah vihāra.

    Namun ketika jalan mengembara bersama Sang Buddha, Y.A. Sariputta tidaklah pergi bersama para bhikkhu dalam rombongan yang pertama, dengan memakai sandal di kaki serta memegang payung di tangan, selayaknya seseorang yang berpikir: "Aku adalah Siswa Utama." Tapi beliau membiarkan para samanera mengambil mangkuk (patta) dan jubahnya serta berjalan dengan yang lain. Sementara beliau sendiri pertama-tama akan mengunjungi mereka yang sudah lanjut usia, mereka yang masih sangat muda, atau yang kurang sehat dan membantu mengoleskan salep pada luka-luka yang ada di tubuh mereka. Kemudian baru setelah menjelang senja atau pada keesokan harinya, dia akan pergi bersama mereka.

    Pernah suatu ketika, oleh sebab hal tersebut di atas, Y.A. Sariputta terlambat tiba di tempat para bhikkhu lain sedang beristirahat. Beliau tidak mendapatkan tempat yang layak baginya untuk bermalam, sehingga beliau hanya duduk dibawah tenda yang terbuat dari jalinan jubah. Sang Buddha melihat hal ini. Pada keesokan harinya Beliau mengumpulkan para bhikkhu dan menceritakan kepada mereka sebuah kisah tentang seekor gajah, monyet dan ayam hutan yang setelah memutuskan siapa diantara mereka yang paling tua, akhirnya hidup bersama dengan menghormati mereka yang lebih senior(23). Sang Buddha kemudian menetapkan peraturan bahwa "pondokan harus disediakan sesuai dengan senioritas(24)."

    Dengan cara inilah Y.A. Sariputta menjadi seorang penolong yakni dengan memberikan pertolongan materi.

    Terkadang beliau memberikan pertolongan materi dan Dhamma sekaligus. Seperti ketika dia mengunjungi Samitigutta yang menderita penyakit kusta dan sedang dalam perawatan. Uraian dalam Theragatha mengatakan pada kita bahwa Y.A. Sariputta berkata pada Samitigutta:

    "Sahabat, selama kelompok-kelompok kehidupan(25) (khandha) masih berlanjut, semua perasaan adalah cuma penderitaan. Hanya ketika kelompok-kelompok kehidupan tidak lagi ada, maka tidak ada pula penderitaan."

    Setelah memberikan kontemplasi terhadap perasaan kepada Samitigutta sebagai subyek meditasi, Y.A. Sariputta kemudian pergi meninggalkannya. Samitigutta melaksanakan petunjuk Ayāsma Sariputta, akhirnya berhasil mengembangkan insight dan merealisasi enam kemampuan batin luar biasa (chalabhinna) sebagai seorang Arahat(26).

    Hal yang sama juga dilakukan Y.A. Sariputta ketika Anathapindika sedang terbaring menanti akhir hidupnya. Y.A. Sariputta mengunjunginya ditemani oleh Ananda. Y.A. Sariputta kemudian mengajarkan kepada Anathapindika tentang ketidakmelekatan, dan Anathapindika benar-benar tergerak oleh wejangan Dhamma yang mendalam itu(27).

    Khotbah lain yang diberikan oleh Sariputta kepada Anathapindika yang sedang sakit tertulis dalam Sotapatti-Samyutta (Vagga 3, Sutta 6). Dalam uraian Dhamma ini, Anathapindika diingatkan kembali bahwa hal-hal yang membuat terlahir kembali dalam penderitaan sudah tidak ada lagi dalam dirinya. Hal ini dikarenakan Anathapindika telah memiliki empat kualitas dasar sebagai seorang pemasuk arus (sotapattiyanga) dan faktor-faktor Jalan Berunsur delapan. Dengan merenungkan wejangan ini, sakit yang dideritanya akan mereda. Kemudian rasa sakitnya pun memang mereda dan lenyap.

    Suatu ketika Ayāsma Channa terbaring sakit dan sangat menderita. Y.A. Sariputta mengunjunginya ditemani oleh Ayāsma Maha Cunda. Melihat penderitaan yang dipikul oleh Ayāsma Channa, Y.A. Sariputta menawarkan diri untuk mencari obat-obatan dan makanan yang mungkin dibutuhkan. Akan tetapi Channa mengatakan pada mereka bahwa beliau akan mengakhiri hidupnya, dan setelah kedua Ayāsma pergi, beliau pun melakukannya. Lalu Sang Buddha menjelaskan bahwa tindakan Channa bukanlah sesuatu yang tercela dan tidaklah dapat disalahkan. Hal ini dikarenakan Channa telah mencapai tingkat kesucian Arahat ketika menjelang ajal. Cerita ini dapat ditemukan dalam Channovada Sutta (Majjh. 144).

    Dikatakan bahwa dimanapun Y.A. Sariputta memberikan nasehat, beliau menunjukan kesabaran tiada batas. Ia akan mengingatkan dan mengarahkan bahkan sampai

    ratusan atau ribuan kali hingga muridnya berhasil memasuki Hasil Pemasuk Arus. Hanya setelah murid-muridnya berhasil mencapai tingkat kesucian pertama, beliau baru akan berhenti membimbing muridnya itu dan mulai memberikan nasehat kepada murid lain. Sangat banyak jumlah murid yang setelah menerima dan mengikuti arahannya dengan sungguh-sungguh berhasil mencapai Arahat. Dalam Sacca-vibhanga Sutta (Majjh. 141) Sang Buddha bersabda:

    "Sariputta bagaikan seorang ibu yang melahirkan putra-putranya, sedangkan Moggallana bagaikan seorang perawat yang merawat mereka bayi yang telah dilahirkan. Sariputta melatih pemula hingga mencicipi hasil pemasuk arus, dan Moggallana melatih mereka hingga mencapai tingkat kesucian tertinggi."

    Lebih jauh dalam teks ini, uraian tersebut mengatakan bahwa:

    "Ketika Y.A. Sariputta menerima murid-murid untuk dibimbing, entah mereka ditahbiskan oleh dia sendiri ataupun oleh bhikkhu lain, Sariputta akan membantu mereka dengan memberikan pertolongan materi dan spiritual, merawat mereka ketika sakit, memberikan mereka objek meditasi dan ketika dia mengetahui bahwa murid-muridnya telah menjadi seorang pemasuk arus dan telah jauh dari bahaya duniawi, dia akan melepaskan mereka dengan pengertian bahwa: Sekarang mereka, dengan kemampuan mereka sendiri, dapat mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi. Tanpa mengkhawatirkan tentang apa yang terjadi ke depan pada murid-muridnya itu, dia mulai membimbing kelompok murid baru lainnya. Berbeda dengan Sariputta, Maha Moggallana ketika membimbing murid-muridnya tidak akan melepaskan mereka sebelum para muridnya berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat. Ini karena Moggallana berpikir, seperti yang dikatakan oleh Sang Bhagava: "Bagai tahi yang sekecil apapun baunya begitu busuk, aku tidak akan memuja bahkan sekecil apapun segala bentuk keberadaan, walaupun sekejab tak lebih daripada sejentikan jari."

    Namun walaupun dalam Majjhima Nikaya dikatakan bahwa Y.A. Sariputta biasanya membimbing murid-murid binaannya hanya sampai tahap pemasuk arus, dalam kasus-kasus tertentu beliau membantu para bhikkhu untuk mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi. Dalam Udana Nikaya contohnya, dikatakan bahwa "pada waktu itu para bhikkhu yang sedang berlatih untuk mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi (sekha) sering mengunjungi Y.A. Sariputta untuk mendapatkan objek meditasi yang dapat membantu mereka mencapai tiga tingkat kesucian yang lebih tinggi tersebut." Sebagai contoh, setelah mendapat arahan dari Y.A. Sariputta, Ayāsma Lakuntika Bhaddiya ("Si Kerdil") berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat(28), padahal sebelumnya dia merupakan seorang pemasuk arus. Demikian juga pada kasus Y.A. Anuruddha.

    Seperti cara inilah Y.A. Sariputta memberikan pertolongan Dhamma. Beliau adalah seorang pemimpin besar dan sekaligus pembimbing spiritual yang luar biasa. Sebagai pembimbing spiritual, beliau tidak hanya seorang yang tekun dan memahami perspektif pikiran manusia, tapi juga seseorang yang ramah - sifat manusia yang pastilah membantunya bergaul dengan mereka-mereka yang berada dibawah bimbingan spiritualnya. Kita telah melihat betapa sungguh-sungguh beliau memuji seseorang apabila memang pujian itu tepat diberikan; beliau juga rajin setiap waktu mengunjungi bhikkhu-bhikkhu mulia, khususnya yang dipuji oleh Sang Buddha. Salah satunya adalah Y.A. Punna Mantaniputta. Ketika Y.A. Sariputta mengetahui kedatangannya, beliau pergi menemuinya. Tanpa memberitahu siapa dia sebenarnya, Y.A. Sariputta mendengarkan khotbah Dhamma Y.A. Punna, yakni kiasan Kereta-Kereta Estafet (Majjh. No. 24), dan setelah khotbah tersebut berakhir beliau memberikan pujian yang tinggi.

    Mengurusi kebutuhan-kebutuhan fisik maupun spiritual para bhikkhu binaannya, mengendalikan mereka dengan nasehat-nasehat baik dan mendorong mereka dengan pujian yang membangkitkan semangat mereka, membimbing mereka dengan cara membawa keluar aspek terbaik dari dalam diri mereka; Sariputta menggabungkan kualitas seorang guru sejati dengan kualitas seorang teman sejati. Dia selalu siap untuk membantu dengan segala cara, baik itu perkara kecil ataupun besar. Dipenuhi dengan nilai-nilai luhur dari kehidupan suci yang dijalaninya, beliau dengan cepat melihat nilai-nilai luhur dari dalam diri orang lain, lihai dalam membangkitkan nilai-nilai luhur orang lain yang terpendam, dan menjadi yang pertama memuji mereka ketika mereka berhasil mencapai tingkat kesucian. Beliau tidaklah dingin, murni penyendiri, tapi merupakan kombinasi paling kaya dari spiritualitas yang agung dengan kualitas-kulitas yang terbaik dan paling dicintai dalam manusia.

    Pencapaian
    Dua syair dalam Theragatha (995,996) menjelaskan bagaimana Y.A. Sariputta mencapai tingkat kesucian tertinggi - Arahat. Syair tersebut berbunyi:

    "Ketika Sang Bhagava sedang membabarkan Dhamma; Aku mendengarkan pembabaran Dhamma demi kebaikanku sendiri. Dan itu bukanlah hal yang sia-sia, demi terbebas dari semua kekotoran-kekotoran batin, aku mencapai pembebasan."

    Dalam dua versi selanjutnya (996-7) Sariputta menyatakan bahwa dia tidak lagi mempunyai kehendak apapun untuk mengembangkan lima kemampuan batin luar biasa (abhinna). Walaupun demikian, Patisambhida Magga dalam Idhividdha-Katha menghargai Y.A. Sariputta memiliki gelar tetap dia yang berkemampuan konsentrasi meditatif yang disebut "kemampuan mengintervensi dengan konsentrasi" (samadhi-vipphara-iddhi). Dengan kemampuan ini beliau mampu mengintervensi dalam menghalangi proses-proses fisiologis biasa atau peristiwa-peristiwa alami lainnya. Hal ini diilustrasikan dengan anekdot dalam Visuddhimagga, Ch. XII, yang menuliskan bahwa pada suatu ketika Y.A. Sariputta sedang berdiam bersama Y.A. Maha Moggallana di Kapotakandara. Beliau sedang duduk bermeditasi di udara terbuka dengan kepala yang baru saja dicukur. Saat itu kepalanya dipukul oleh roh jahat. Pukulan itu cukup keras, tapi pada waktu itu diceritakan bahwa "Y.A. Sariputta sedang tercerap dalam meditasi pencapaiannya; akibatnya dia tidak terluka sama sekali." Sumber cerita ini terdapat dalam Udana (IV.4) yang berlanjut kisahnya sebagai berikut:

    Y.A. Maha Moggallana melihat kejadian ini dan mendekati Y.A. Sariputta dengan maksud menanyakan bagaimana dia mengatasinya. Y.A. Maha Moggallana bertanya: "Apakah kamu baik-baik saja, Saudaraku? Apakah kamu dapat bertahan? Apakah kamu merasakan sakit?"

    "Aku baik-baik saja, Saudaraku Moggallana," kata Y.A. Sariputta. "Aku dapat bertahan, Saudaraku Moggallana. Hanya saja kepalaku memang agak sakit sedikit."

    Mendengar jawaban tersebut Y.A. Maha Mogallana berkata:

    "O bagus sekali, saudaraku Sariputta! O hebat sekali, saudaraku Sariputta! Betapa luarbiasa kesaktian Anda, betapa agung kejayaan Y.A. Sariputta! Baru saja, saudara Sariputta, ada satu hantu jahat telah memukul kepala Anda. Dan begitu keras pukulan itu! Dengan pukulan sekeras itu seseorang pastilah dapat menjatuhkan seekor gajah yang tingginya 7 atau 7,5 kubit(29) atau seseorang dapatlah membelah puncak gunung. Tetapi Y.A. Sariputta hanya mengatakan, "Aku baik-baik saja, Saudaraku Moggallana, Aku tidak apa-apa, Saudaraku Moggallana. Hanya saja kepalaku memang agak sakit sedikit."

    Kemudian Y.A. Sariputta membalas:

    "O Bagus sekali, saudaraku Moggallana! O Hebat sekali, saudaraku Moggallana! Betapa besar kesaktian Anda, betapa agung kejayaan Y.A. Moggallana, sehingga Anda dapat melihat yakkha-yakkha itu! Sedangkan saya tidak melihat apa-apa selain peri lumpur(30)."

    Dalam Anupada Sutta (Majjh. III) terdapat sebuah penggambaran dari pencapaian Sariputta yang diakui oleh Sang Buddha sendiri. Sang Buddha menyatakan bahwa Y.A. Sariputta telah menguasai 9 pencapaian-pencapaian meditatif, yang terdiri dari 4 material-halus (fine-material), 4 jhana immaterial, dan 1 penghentian persepsi dan perasaan. Dan dalam Sariputta Samyutta(31), Y.A. Sariputta menyatakan kenyataan-kenyataan itu sendiri dalam percakapannya dengan Ananda. Beliau menambahkan bahwa dalam semua tahapan-tahapan tersebut, dia telah terbebas dari segala acuan diri:

    "Aku tidak memiliki pemikiran bahwa "Aku sedang memasuki jhana; aku telah memasukinya; aku sedang keluar darinya."

    Dan pada kesempatan lain, beliau menjelaskan pada Ananda bagaimana dia mengembangkan pikiran terpusat penuh. Bahwa sehubungan dengan unsur-unsur bumi, dia tidak memiliki persepsi terhadap unsur-unsur tersebut. Bahwa kelihatannya beliau tidak memiliki persepsi terhadap unsur-unsur tersebut. Juga kelihatannya beliau tidak sepenuhnya tidak memiliki persepsi terhadap hal-hal lain. Satu-satunya persepsi beliau adalah "Nibbana merupakan akhir dari "menjadi" (bhava-nirodha)(32)."

    Sikap tidak terikat pada pencapaian-pencapaian jhana mungkin disebabkan oleh meditasi "berdiam dalam sunyata" (sunnata-vihara) yang dilatih oleh Sariputta. Kita dapat membaca dalam Pindapata-parisuddhi Sutta (Majjh. 151) bahwa pernah suatu ketika Sang Buddha memuji pembawaan cemerlang Y.A. Sariputta dan bertanya padanya tentang keadaan pikiran macam apakah yang telah menimbulkan kecermelangan itu(33). Y.A. Sariputta menjawab bahwa dia secara terus-menerus berlatih meditasi kediaman dalam sunyata, yang mana kemudian Sang Buddha mengatakan bahwa itu adalah kediaman bagi manusia-manusia luar biasa. Sang Buddha kemudian membabarkannya dengan jelas. Udana menuliskan bahwa dalam tiga peristiwa, Sang Bhagava melihat Y.A. Sariputta duduk bermeditasi di luar vihāra, dan memanjatkan syair (udana) serta memuji pikiran yang tenang dan damai itu.

    Kita mungkin membayangkan Y.A. Sariputta duduk bermeditasi dalam sebuah pergola seperti yang disebutkan dalam Devadaha Sutta (Khandha Samyutta, No.2). Dikisahkan bahwa: "Suatu ketika Sang Bhagava berdiam di negeri Sakya, di Devadaha, sebuah kota dagang kaum Sakya. Pada waktu itu Y.A. Sariputta duduk, tidak jauh dari Sang Bhagava, dibawah pohon perdu Elagala."

    Uraian teks tersebut mengatakan pada kita: "Di Devadaha terdapat sebuah pergola dibawah pohon perdu Elagala. Pohon perdu ini tumbuh ditempat yang terdapat persediaan aliran air yang konstan. Orang-orang membangun sebuah pergola dengan 4 tiang dimana mereka membiarkan pohon perdu itu tumbuh dan membentuk semacam atap. Dibawahnya mereka membuat tempat duduk susunan bata dan melekatkannya dengan pasir. Tempat itu menjadi tempat yang sejuk sepanjang hari, dengan udara dingin yang mengalir dari air." Mungkin pada naungan pedusunan begitulah Sang Buddha melihat Y.A. Sariputta duduk bermeditasi. Pada kesempatan-kesempatan itulah Beliau memuji ketenangan dan pembebasan yang dicapai siswaNya.

    Sehubungan dengan pencapaiannya terhadap pengetahuan analitis (patisambhida-nana), Y.A. Sariputta berbicara mengenai hal itu dalam Anguttara Nikaya (Kelompok Empat, No. 172), dimana beliau berkata:

    "Waktu itu adalah setengah bulan setelah masa penahbisanku, para sahabat, bahwa aku menyadari dalam segala bagian dan aspek-aspeknya, pengetahuan analitis pemahaman, pengetahuan analitis Dhamma, pengetahuan analitis bahasa, pengetahuan analitis penerapan. Inilah yang aku uraikan dalam banyak cara, kuajarkan dan kukenalkan, kubangkitkan dan kusingkap tabirnya, kujelaskan dan kujernihkan. Jika ada orang yang ragu atau tidak tahu, dia boleh bertanya padaku dan aku akan menjelaskan (hal tersebut). Persembahan bagi Sang Guru yang mengenal baik tahapan-tahapan pencapaian kita."

    Dari semuanya ini adalah jelas bahwa Y.A. Sariputta merupakan seseorang yang menguasai semua tahapan tingkat kesucian, termasuk wawasan tertinggi. Apa yang lebih tepat menggambarkannya, selain kata-kata Sang Buddha sendiri:

    "Bila seseorang dapat mengatakan dengan kebenaran bahwa dia telah menguasai keahlian dan kesempurnaan sila-sila mulia, konsentrasi mulia, kebijaksanaan mulia dan pembebasan mulia, maka Sariputtalah yang dapat menyatakannya dengan kebenaran.

    Bila seseorang dapat mengatakan bahwa dia anak sejati Tathagata, lahir dari kata-kataNya, lahir dari Dhamma, terbentuk dalam Dhamma, mewarisi Dhamma, tidak mewarisi kesenangan duniawi, Sariputtalah yang dapat menyatakannya.

    Sesudah Aku, O Bhikkhu, Sariputtalah pemutar roda Dhamma yang mulia, walaupun Aku telah memutarnya terlebih dahulu.
    " - Majjh. 111, Anupada Sutta

    Pemutar Roda
    Khotbah Y.A. Sariputta dan teks-teks yang berbicara tentang khotbah yang dibuat beliau membentuk suatu kerangka ajaran yang komprehensif sehingga penjelasan dan berbagai ragam wejangan tersebut dapat disejajarkan dengan Sang Buddha sendiri. Sariputta mengerti dengan cara yang unik bagaimana mengorganisasi dan menyampaikan materi-materi Dhamma dengan jelas, dalam suatu gaya yang cerdas serta membangkitkan semangat buat mempraktekkannya. Kita menemukan contoh hal ini dalam dua khotbah klasik Majjhima Nikaya, yaitu Samma-ditthi Sutta (Khotbah Pandangan Benar) No. 9 dan Mahāhatthipadopama Sutta (Khotbah Besar tentang Perumpamaan Jejak Kaki Gajah) No.28.

    Khotbah Panjang tentang Perumpamaan Jejak Kaki Gajah merupakan suatu maha karya dari terapi yang sistematis dan runtut. Khotbah ini diawali dengan pernyataan bahwa Empat Kebenaran Mulia terdiri dari segala hal yang bermanfaat, kemudian fokus pada Kebenaran Mulia tentang dukkha sebagai hal yang dapat diidentifikasi dengan lima unsur-unsur kepribadian. Dari ini, unsur pemenuhan kebutuhan jasmaniah dipilih untuk penyelidikan yang lebih mendetail; ditunjukkan bahwa unsur itu mengandung empat elemen besar yang masing-masing dapat dikatakan bersifat internal atau eksternal. Bagian-bagian dan fungsi tubuh yang menjadi milik elemen internal dijelaskan secara mendetail, dan juga dikatakan bahwa kedua elemen internal dan eksternal itu bukanlah milik pribadi ataupun seorang pribadi. Kebijaksanaan ini menyebabkan kita tidak terpesona serta tak lagi melekat pada elemen-elemen tersebut.

    Khotbah itu kemudian berlanjut dengan menunjukkan ketidakkekalan dari elemen-elemen besar tersebut ketika mereka terlibat dalam pergolakan alam, dan ditekankan bahwa tubuh yang lemah ini, hasil dari kemelekatan kita, tidak pernah bisa dikatakan sebagai "Aku" atau "Milikku" ataupun dikatakan sebagai "Aku adalah ... ". Dan ketika seorang bhikkhu yang telah memiliki kebijaksanaan yang kokoh dan mendalam ini menghadapi penghinaan, kecaman, atau dikasari oleh orang lain, dia akan mampu menganalisis situasi tersebut dengan bijaksana dan tetap mengendalikannya. Dia mengenali bahwa rasa sakit yang muncul dalam dirinya dihasilkan oleh kontak telinga, yang mana hal itu sesungguhnya tak lebih hanyalah sekedar fenomena berkondisi. Dan semua unsur pembentuk situasi tersebut tidaklah kekal. Inilah cara dia menyikapi kontak, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk mental dan kesadaran. Sampai sejauh ini kita dapat melihat bahwa empat elemen-elemen lainnya - komponen-komponen mental kepribadian - diperkenalkan dalam konteks organik bersama-sama dengan faktor kontak yang telah dijelaskan terlebih dahulu. Khotbah itu kemudian berlanjut:

    "Kemudian pikirannya, hanya melihat elemen-elemen tersebut sebagai apa adanya, menjadi tenang, gembira, kokoh dan tekun; dan walau pun dia dipukul dan terluka, dia akan berpikir: ˜Tubuh ini seperti sifat alaminya, sudah sewajarnya bila terluka. Demikianlah dia menyimpulkan kembali Perumpamaan Gergaji yang diajarkan Sang Buddha dan memutuskan untuk mengikuti anjuran Sang Buddha untuk menerima segala luka dengan sabar, apapun yang mungkin terjadi padanya.

    Tapi khotbah tersebut belum berakhir. Bila ketika sedang mengingat Sang Buddha, Dhamma dan Sangha ketenangan hati para bhikkhu tidak bisa berlangsung lama, dia akan dipaksa oleh suatu desakan dan merasa malu akan hal itu, bahwa walaupun mengingat kembali Tiga Mutiara, dia tidak dapat mempertahankan konsentrasinya. Di lain pihak, bila kesabarannya dapat bertahan, maka dia akan mengalami kebahagiaan. "Sampai tahap ini pun, banyak yang telah dicapai oleh bhikkhu itu," demikian menurut sutta.

    Disini keempat elemen diperlakukan secara sama. Bagian penyimpulan dimulai dengan membandingkan tubuh dan bagian-bagiannya dengan sebuah rumah yang dibuat dengan komponen-komponen yang berbeda. Diikuti penjelasan tentang kemunculan berkondisi dari enam buah kesadaran perseptual. Dalam menyebutkan lima organ indera dan objek-objek indera sebagai kondisi dasar bagi timbulnya kesadaran lima indera, mendapatkan pemenuhan kebutuhan jasmaniah diperkenalkan dengan makna sebenarnya dari bagian-bagian itu. Dengan demikian akan melengkapi pembabaran unsur jasmani. Dengan keadaan kesadaran yang telah timbul, kelima elemen tersebut diberikan dan dengan cara begitulah hubungan antar elemen dapat dipahami sebaik memahami elemen itu masing-masing. Dan dalam konteks ini Y.A. Sariputta mengutip ujaran Sang Buddha:

    "Mereka yang memahami sifat kesalingbergantungan (dependent origination) akan mengerti Dhamma; dan mereka yang memahami Dhamma akan mengerti hukum kesalingbergantungan."

    Nafsu, desakan dan kemelekatan pada panca skandha adalah asal mula penderitaan. Terbebas dari nafsu, desakan keinginan dan kemelekatan itu adalah akhir dari penderitaan. Dan bagi para bhikkhu yang telah memahami hal ini dikatakan:

    "Hingga di sini pun, telah banyak yang telah dicapai oleh bhikkhu itu,"

    Demikian penjelasan ini telah lengkap mengakhiri Empat Kebenaran Mulia. Ajaran Dhamma ini mirip seperti musik yang rumit dan indah yang diakhiri dengan paduan suara yang khidmat dan agung.

    Penjelasan lain mengenai Y.A. Sariputta terdapat dalam Samma-ditthi Sutta(34). Sutta ini merupakan maha karya Dhamma yang juga memberikan kerangka dasar untuk penjelasan yang lebih jauh, seperti yang diberikan dalam uraian ekstensif berikut. Uraian tersebut mengatakan:

    "Dalam ucapan Sang Buddha sebagaimana yang terkumpul dalam lima nikaya besar, tidak ada ajaran lain selain Ajaran tentang Pandangan Benar, dimana Empat Kebenaran Mulia dinyatakan sebanyak tiga puluh dua kali, dan demikian pula terhadap tingkat kesucian Arahat."

    Khotbah yang sama juga memberikan kita penuturan asli dari hukum kesalingbergantungan, dengan sedikit variasi tapi sangat instruktif. Masing-masing faktor kesalingbergantungan digunakan untuk mengilustrasikan pengertian benar di dalam Empat Kebenaran Mulia. Pemahaman tentang hal tersebut ditinggikan, diperluas dan diperdalam. Ajaran ini telah digunakan luas untuk tujuan-tujuan instruksional selama berabad-abad hingga hari ini.

    Khotbah Y.A. Sariputta lainnya adalah Sama-citta Sutta(35) yang diperdengarkan bagi para "dewa alam pikiran hening" perihal tiga tingkat kesucian pertama yaitu: pemasuk arus, yang kembali sekali lagi, dan yang tidak lagi kembali. Tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan atas pertanyaan kelahiran kembali mereka yang berulang-ulang dalam alam lima indera atau dalam alam materi halus maupun non materi. Y.A. Sariputta mengatakan bahwa hal itu tergantung pada metode latihan mereka dan pada kotoran batin mereka yang masih tertinggal. Ini merupakan khotbah yang sangat singkat tapi mempunyai dampak yang luar biasa terhadap semua dewa yang berkumpul - sesuai tradisi, para dewa berkumpul untuk mendengarkan pembabaran Dhamma. Dikatakan bahwa banyak dari mereka yang mencapai tingkat kesucian Arahat dan banyak sekali yang mencapai tahap pemasuk arus. Khotbah Y.A. Sariputta ini, sesungguhnya ditujukan pada mereka yang sedikit memiliki hasil pencapaian luar biasa diantara makhluk-makhluk alam surgawi; dan walaupun ini merupakan naskah yang amat ringkas dan kurang jelas karena tanpa penjelasan uraian, naskah ini memiliki reputasi tinggi selama berabad-abad. Ini merupakan khotbah yang diajarkan oleh Arahat Mahinda pada sore hari kedatangannya di Sri Lanka, dan Mahavamsa (XIV,34ff), babad terkenal Sri Lanka. Berkaitan dengan hal tersebut, pada peristiwa ini juga terdapat banyak dewa yang mendengar dan akhirnya berhasil mencapai penembusan Dhamma.

    Penghargaan tinggi yang diperoleh khotbah ini dan pengaruh kuatnya, mungkin sesuai dengan kenyataan bahwa khotbah ini membantu mereka yang berada di dalam Jalan untuk memahami posisi mereka sehubungan dengan jenis kelahiran kembali mereka yang masih akan terjadi lagi. Para dewa dengan tingkat perkembangan yang lebih tinggi terkadang cenderung menganggap status kedewaan mereka sebagai tujuan final, dan tidak berharap untuk terlahir kembali ke dalam alam lima indera, yang mana hal ini sebenarnya justru yang sering terjadi. Khotbah Sariputta memberikan mereka sebuah kriteria yang dapat menunjukkan posisi mereka. Bagi para makhluk duniawi yang masih di luar Jalan, juga, mestinya akan memperoleh manfaat dari orientasi berharga ini guna mengarahkan daya upaya praktik mereka.

    Sangiti Sutta (Deklamasi/pertunjukan/pengucapan) dan Dasuttara Sutta ("Khotbah Kelompok Sepuluh") merupakan dua khotbah Y.A. Sariputta dan sekaligus merupakan dua naskah terakhir dalam Digha Nikaya - kumpulan khotbah-khotbah panjang. Kedua naskah ini merupakan kompilasi dari istilah-istilah ajaran, yang mana di dalamnya banyak topik dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok berurut dari kelompok satu hingga sepuluh. Alasan membawa kompilasi ini hanya sampai kelompok sepuluh mungkin dikarenakan hanya terdapat sedikit kelompok istilah-istilah doktrinal yang melebihi kelompok sepuluh, dan hanya dengan sepuluh pengelompokkan ini diharapkan dapat lebih mudah diketahui dan diingat. Sangiti Sutta dikhotbahkan di hadapan Sang Buddha dan diakhir khotbah, wejangan ini mendapatkan persetujuan dari Sang Buddha.

    Bila di dalam Sangiti Sutta istilah-istilah doktrinal disusun semata-mata menurut urutan kelompok satu sampai sepuluh; dalam Dasuttara Sutta setiap masing-masing kelompoknya memiliki sepuluh bagian sub divisi yang berfungsi untuk memperkenalkan esensi praktek kelompok-kelompok ini, sebagai contoh:

    "Satu hal (1) yang sangat penting, (2) yang harus dikembangkan, (3) yang harus diketahui sepenuhnya, (4) yang harus dilepaskan, (5) yang menunjukkan kemunduran, (6) yang menunjukkan perkembangan, (7) yang sulit ditembus, (8) yang harus dibangkitkan, (9) yang harus diketahui secara langsung, (10) yang harus direalisasi. Apa itu satu hal yang sangat penting? Penuh perhatian terhadap hal-hal yang bermanfaat....."

    Naskah ini pastilah dihimpun semasa hidup Sang Buddha dan Y.A. Sariputta hampir berakhir, yaitu ketika telah terdapat ajaran yang banyak dan khotbah-khotbah harus disebarkan secara hati-hati sehingga membutuhkan ajaran yang terorganisir agar dapat langsung digunakan, dan juga petikan aspek-aspek utama dari Dhamma menjadi sebuah pertolongan yang berguna didalam pembelajaran yang komprehensif terhadap Ajaran.

    Sangiti Sutta dibabarkan pada waktu kematian Nigantha Nataputta. Dan sebenarnya, peristiwa inilah yang menjadi inspirasi bagi pembabaran sutta; yang membahas tentang perselisihan, perpecahan serta pertentangan Ajaran yang kemudian timbul diantara para umat Jaina segera setelah kematian guru mereka, Nigantha Nataputta. Akibatnya mungkin akan sebaliknya bila menyikapi kejadian yang serupa terjadi terhadap Mahavira. Kejadian ini diambil sebagai contoh peringatan oleh Y.A. Sariputta yang dalam khotbahnya menekankan bahwa naskah ini "harus dilafalkan oleh semua secara bersama-sama, harmonis dan tanpa perselisihan sehingga Kehidupan Suci dapat bertahan lama demi kemakmuran dan kebahagiaan para dewa dan manusia." Beberapa pengulas mengatakan bahwa Sangiti Sutta diajarkan untuk menyampaikan "rasa perdamaian" (samaggi-rasa) di dalam Ajaran, yang diperkuat dengan kecakapan penyampaian Ajaran (desana-kusalata).

    Tujuan praktis dari Dasuttara Sutta dinyatakan dalam syair pendahuluan Y.A. Sariputta sebagai berikut:

    "(Khotbah) Dasuttara yang akan saya babarkan merupakan sebuah ajaran demi pencapaian Nibbana dan akhir dari penderitaan, demi pembebasan dari segala bentuk keterikatan."

    Dasuttaram pavakkhami dhammam nibbanappattiya dukkhas' antakiriyaya sabbaganthapamocanam.


    Tampaknya kedua sutta ini diberikan sebagai indeks beberapa ajaran tertentu. Kedua sutta ini juga berguna bagi para bhikkhu yang sulit mengingat naskah-naskah yang sangat banyak. Bagi para bhikkhu tersebut sutta ini akan sangat membantu mereka dalam mempresentasikan urutan aspek dari Ajaran ke dalam bentuk yang dapat dengan mudah diingat dan dipahami. Kedua khotbah ini dengan mengagumkan memberi ilustrasi perhatian Y.A. Sariputta terhadap keberlangsungan Dhamma, dan cara pelestarian sistematisnya disebarkan utuh dengan semua detail-detailnya. Untuk alasan itulah beliau menyediakan "alat bantu pembelajaran" seperti ini dan juga khotbah-khotbah lainnya, bersama dengan karya-karya lainnya seperti Niddesa.

    ***

    Rangkuman dari khotbah-khotbah lain yang diberikan oleh Y.A. Sariputta terlampir pada akhir dari buku ini. Kita sekarang akan membahas kitab-kitab yang lebih besar yang berkaitan dengan Y.A. Sariputta.

    Karya pertama adalah Niddesa yang merupakan bagian dari Khuddaka Nikaya dari Sutta Pitaka. Ini merupakan satu-satunya karya yang khusus berkarakter ulasan yang dimasukkan ke dalam Kitab Suci Tipitaka Pali. Dua bagiannya, yaitu: Maha Niddesa merupakan uraian atas Atthaka-vagga dari Sutta Nipata, sedangkan Cula Niddesa mengulas tentang Parayana-vagga dan Khaggavisana Sutta, juga terdapat dalam Sutta Nipata.

    Atthaka-vagga dan Parayana-vagga merupakan dua bab terakhir dari Sutta Nipata dan tidak diragukan lagi merupakan bagian yang tertua tidak hanya dari karya-karya tersebut tapi dari seluruh Sutta Pitaka. Kedua bab ini dinilai tinggi bahkan pada masa-masa awal Sangha, serta bagi umat-awam. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa Udana mencatat sebuah pelantunan Atthaka-vagga oleh Sona Thera dan Anguttara Nikaya pelantunan akan Parayana-vagga oleh seorang upasika bernama Nandamata.

    Setidaknya dalam 5 kesempatan Sang Buddha sendiri telah memberikan penjelasan atas syair-syair terkandung didalam dua bab dari Sutta Nipata ini. Terlepas dari penghargaan tinggi yang diberikan dengan jelas, fakta bahwa kedua koleksi syair ini mengandung banyak kata-kata kuno dan ungkapan-ungkapan singkat dan padat membuatnya dapat dipahami bahwa pada masa-masa awal telah disusun sebuah ulasan tentang mereka dan baru belakangan dimasukkan ke dalam kitab-kitab Buddhist tersebut.

    Peranan dari Y.A. Sariputta harus dipandang sebagai hal yang sangat masuk akal(36). Sungguh menjadi perhatian Y.A. Sariputta untuk memberikan instruksi-instruksi metodis bagi para bhikkhu sehingga Niddesa tidak hanya berisi penjelasan kata-kata, klarifikasi konteks dan kutipan-kutipan pendukung dari ucapan Sang Buddha, tetapi juga harus mengandung makna material yang tentunya berkaitan dengan instruksi-instruksi bahasa, seperti penambahan sinonim dari kata-kata yang dijelaskan. Atas permasalahan ini, Prof. E.J. Thomas menuliskan: (37) Aspek yang paling unik dari Niddesa adalah bahwa Niddesa terdiri dari sebuah daftar sinonim kata-kata yang diulas. Daftar semacam itu tidak digunakan semata-mata untuk menjelaskan makna kata-kata dalam konteks khusus. Mereka diulangi dalam bentuk yang sama dimana saja kata tersebut muncul. Dengan demikian diharapkan dapat dengan mudah untuk dipelajari; cara yang sama ketika kita mempelajari kosha (kamus).

    Banyak metode serupa yang dijumpai dalam naskah-naskah Abhidhamma. Tetapi dalam Niddesa metode ini digunakan dalam wacana-wacana yang tidak dapat secara langsung ditangkap artinya. Hal ini memperlihatkan suatu sistem untuk mempelajari pembendaharaan kosa kata dari kitab-kitab buddhis dan untuk menjelaskan bentuk-bentuk kuno yang tidak lagi lazim digunakan.

    Walaupun demikian tidak ada lagi pembelajaran tata bahasa yang muncul dari deskripsi beberapa istilah fungsi kata ini. Dalam Niddesa kita mempunyai bukti langsung dari sistem instruksi yang lazim digunakan untuk menelaah sebuah karya tertentu, yang mengandung interpretasi, ajaran serta penjelasan lisan dari permulaan (pembelajaran) tata bahasa. Kitab-kitab Abhidhamma dan kitab-kitab buddhis lainnya yang berkaitan - seperti Patisambhida Magga, memberikan kaitan-kaitannya terhadap makna kata tersebut. Hal ini muncul menjadi suatu sistem yang jelas mengacu pada Niddesa (1,234) dan bagian-bagian lain seperti 4 macam kemampuan analitis (patisambhida); yaitu: analitis pemahaman (attha), kondisi (dhamma), analisis tata bahasa (nirutti), dan kejernihan wawasan (patibhana). Nirutti dari Niddesa merupakan hal yang seharusnya kita harapkan untuk muncul andaikata bahasa Pali masih merupakan bahasa yang masih hidup. Semua analisa tata bahasa yang diperlukan merupakan suatu pengetahuan tentang kata-kata didalam Kitab Suci tersebut yang telah punah, dan penjelasan bentuk-bentuk tata bahasa yang tidak lazim dengan memakai ungkapan jaman sekarang... Kita dapat melihat dari beragam bentuk serta bacaannya yang terus menerus mengalami perubahan dan penambahan-penambahan, dan dalam kasus dimana suatu karya digunakan secara terus menerus sebagai petunjuk praktik maka hal semacam ini memang tidak dapat dihindari.

    Y.A. Sariputta menyatakan bahwa beliau mencapai keempat macam pengetahuan analisis (patisambhida) dua minggu setelah penahbisannya, yaitu dalam mencapai tingkat kesucian Arahat(38). Kenyataan ini dan aplikasinya yang luas dari nirutti-patisambhida, "analisis tata bahasa," dalam Niddesa, menunjukkan bahwa mungkin sekali beliau itu adalah penulis yang sesungguhnya dari Niddesa maupun Patisambhida Magga.

    Maha Niddesa sendiri memiliki ulasan mengenai Sariputta Sutta (juga dikenal sebagai "Therapanha Sutta") yang merupakan naskah terakhir dalam Atthaka-vagga. Bagian pertama dari naskah ini berisi syair-syair pujian terhadap Sang Bhagava dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadaNya yang diajukan oleh Sariputta sendiri. Maha Niddesa mencantumkan syair pendahuluan yang menunjukkan saat kembalinya Sang Buddha dari surga Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Dhamma disana. Selain bahwa Maha Niddesa berisi hanya pertanyaan-pertanyaan Sariputta, sedangkan bagian terpenting dari naskah adalah jawaban yang diberikan Sang Buddha.

    Patisambhida Magga mempunyai penampilan seperti sebuah buku pedoman pembelajaran Buddha Dhamma yang tingkat lanjutan, dan cakupannya luas serta dalam sebagaimana pikiran penuturnya yang terkenal. Pendahuluannya diawali dengan risalah-risalah mengenai 72 jenis pengetahuan (nana) dan jenis-jenis pandangan (ditthi) spekulatif yang salah. Keduanya menunjukkan pikiran Y.A. Sariputta yang metodis dan tajam. Di dalam Risalah mengenai Pengetahuan, seperti juga dalam bab lainnya dari karya ini, ditemukan banyak sekali istilah-istilah ajaran yang muncul pertama kalinya dan hanya terdapat dalam Patisambhida Magga. Itu pun mengandung perluasan istilah-istilah dan ajaran-ajaran yang disebutkan dengan jelas dalam bagian-bagian lain dan tertua dari Sutta Pitaka.

    Dalam hal ini, istilah-istilah tersebut akan mengandung bahan mengenai meditasi praktis nilai kebajikan yang mulia, sebagai contoh mengenai kesadaran pernapasan(39), metta-bhavana, dan banyak lagi latihan-latihan vipassana (insight). Juga terdapat sebuah wacana tentang karakter pujian dan keindahan agung mengenai Welas Asih Mulia Sang Tathagata. Mahanama Thera dari Sri Lanka yang menulis Saddhammappakasini - uraian pada karya, dengan yakin menjelaskannya kepada Y.A. Sariputta, dan pada bagian pengantar syair-syair memberikan sanjungan yang mengesankan kepada Sesepuh Agung. Dalam Patisambhida Magga sendiri, nama Y.A. Sariputta disebutkan dua kali. Pertama sebagai seseorang yang memiliki samadhi-vipphara-iddhi (dalam Iddhividha-katha) dan kemudian dalam Maha-panna-katha, solasa-panna-niddesa, dimana dikatakan: "Mereka yang memiliki kebijaksanaan seperti Sariputta, maka mereka termasuk dalam tingkatan pengetahuan yang sama dengan wawasan para Buddha."

    Kita sekarang sampai pada kontribusi terpenting yang Y.A. Sariputta berikan terhadap ajaran buddhis. Menurut tradisi (contohnya dalam Atthasalini), Sang Buddha membabarkan Abhidhamma di surga Tavatimsa kepada ibuNya, Ratu Maya, yang terlahir kembali sebagai seorang dewa di alam tersebut. Beliau melakukan pembabaran ini selama tiga bulan dan ketika kembali ke bumi untuk menerima persembahan makanan, Beliau memberikan Y.A. Sariputta sebuah "metode" (naya) dari bagian Abhidhamma yang sedang Beliau babarkan. Dalam Atthasalini dikatakan: "Yang menerima "metode" adalah Siswa Utama, yang diberkahi dengan pengetahuan analitis, seakan-akan Sang Buddha berdiri pada tepi laut dan menunjukkan samudra dengan tangannya yang terbuka. Kepada sang sesepuh, Dhamma telah diajarkan oleh Yang Terberkahi, dalam ratusan dan bahkan ribuan cara sehingga menjadi sangat jelas." Sesudah itu sang Sesepuh meneruskan apa yang dia dapat kepada lima ratus muridnya.

    Lebih jauh dikatakan: "Urutan tekstual Abhidhamma berasal dari Y.A. Sariputta; nomor seri yang berurutan dalam Kitab Besar (Patthana) juga ditetapkan olehnya. Dengan cara ini sang Sesepuh tanpa merusak ajaran unik ini, memberikan nomor urut agar membuatnya mudah untuk mempelajari, mengingat, menyelidiki dan mengajarkan Dhamma."

    Atthasalini - ulasan mengenai Dhamma-sangani juga dianggap merupakan kontribusi Y.A. Sariputta. Berikut isi dalam kitab Abhidhamma:

    • 42 untaian (dyads; duka) dari Suttanta Matika, yang mengikuti Abhidhamma Matika, keduanya mendahului 7 kitab Abhidhamma. 42 untaian Suttanta dijelaskan dalam Dhammasangani dan juga dianggap berasal dari sang Sesepuh.
    • Bagian keempat dan sekaligus merupakan bagian terakhir dari Dhammasangini, adalah Atthuddhara-kanda - "Ikhtisar"
    • Susunan pelafalan Abhidhamma (vacanamagga)
    • Bagian berurutan (gananacara) dari Patthana

    Dalam Anupada Sutta(40) Sang Buddha sendiri berbicara mengenai analisis kesadaran meditatif Y.A. Sariputta hingga keunggulan mentalnya yang seimbang, yang mana sang Sesepuh memetik dari pengalamannya sendiri, setelah sadar dari setiap pencapaian meditatifnya secara berturut-turut. Analisis ini mungkin merupakan sebuah tanda atau sebuah batasan analisis detail dari kesadaran jhana yang diuraikan dalam Dhammasangani.

    Melihat penguasaan Dhamma Y.A. Sariputta dan kemampuannya dalam menjelaskan Dhamma, Sang Buddha mengemukakan hal berikut ini:

    ">Esensi Dhamma (dhammadhatu) telah begitu dipahami oleh Sariputta, O para bhikkhu, sehingga bila Aku bertanya padanya selama satu hari dalam kata-kata dan frase-frase berbeda, Sariputta akan membalas selama satu hari dalam berbagai kata-kata dan frase-frase. Dan bila Aku bertanya padanya selama satu malam, atau satu hari-satu malam, atau dua hari-dua malam, atau bahkan hingga tujuh hari-tujuh malam, Sariputta akan menguraikan dengan rinci permasalahan selama periode waktu yang sama, dalam berbagai kata-kata dan frase-frase." - Niddana Samyuta, No. 32

    Dan pada kesempatan lain, Sang Bhagava memakai ungkapan ini:

    "Bila dia diberkahi dengan lima kualitas, O para bhikkhu, putra tertua dari Raja Penguasa Dunia dengan budi luhur memutar Roda Kedaulatan yang telah diputar oleh Ayahnya. Dan Roda Kedaulatan itu tidak dapat diputar ke arah sebaliknya oleh rasa bermusuhan umat manusia siapapun. Apakah kelima kualitas itu? Putra tertua dari Raja Penguasa Dunia mengetahui apa yang bermanfaat, mengetahui Hukum, mengetahui ukuran kebenaran, mengetahui waktu yang tepat dan mengetahui masyarakat (yang mana dia bergaul, parisa).

    Serupa dengan hal itu, O para bhikkhu, Sariputta diberkahi dengan lima kualitas dan dengan benar memutar Roda Dhamma yang mulia, bahkan saat Aku telah memutarnya. Apakah kelima kualitas itu? Sariputta, O para bhikkhu, mengetahui apa yang bermanfaat, mengetahui Ajaran, mengetahui ukuran kebenaran, mengetahui waktu yang tepat dan mengetahui persaudaraan (dimana dia berada).
    " - Anguttara Nikaya, V.132

    Para Thera lainnya tidak menyembunyikan apresiasi mereka. Sesepuh Vangisa, dengan pernyataannya dalam Theragatha (vv. 1231-3) memuji Sariputta yang "mengajar dengan ringkas dan juga berbicara dengan detail," dimana dalam himpunan yang sama para sesepuh agung lainnya, seperti Maha Kassapa (vv. 1082-5) dan Maha Moggallana (vv. 1158; 1176-7; 1182) juga memberikan pujian mereka. Dan Y.A. Maha Moggallana pada akhir Khotbah Sariputta mengenai Ketidaksalahan(41), memberikan kata-kata pujian berikut atas khotbah sahabatnya:

    "Kepada (mereka yang berbudi luhur dan tulus) para bhikkhu yang telah mendengar penjelasan rinci Y.A. Sariputta, akan seperti memberikan makanan dan minuman kepada telinga dan pikiran mereka. Bagaimana dia membimbing para bhikkhu binaannya dari hal yang tidak baik, dan menunjukkan pada mereka apa yang baik!"

    Hubungan kedua Siswa Utama sejajar dalam hal ajaran seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha ketika Beliau bersabda:

    "Persahabatan, O para bhikkhu, terjalin antara Sariputta dan Moggallana, dan selalu terjalin diantara mereka! Mereka adalah bhikkhu yang bijaksana dan penolong bagi para bhikkhu binaan mereka. Sariputta bagaikan seorang ibu yang melahirkan, sedangkan Moggallana bagaikan seorang perawat yang merawat anak-anak yang dilahirkan. Sariputta melatih murid-muridnya hingga mencicipi hasil pemasuk arus, dan Moggallana melatih mereka hingga mencapai tingkat kesucian tertinggi."

    "Sariputta mampu menjelaskan dengan rinci Empat Kebenaran Mulia, mengajarkannya dan membuatnya dapat dimengerti, menyatakan, mengungkapkan dan menjelaskan keempat kebenaran mulia tersebut, dia membuatnya menjadi jelas.
    " - Majjh. 141, Sacca-vibhanga Sutta

    Dan di dalam Anguttara Nikaya (11, 131):

    "Seorang bhikkhu yang penuh keyakinan, O para bhikkhu, harus menghargai aspirasi benar ini: "Oh, semoga aku menjadi seperti Sariputta dan Moggallana!" Sariputta dan Moggallana adalah figur dan standar bagi para bhikkhuKu."

    Reputasi besar Y.A. Sariputta sebagai seorang pengajar Dhamma lama melekat pada dirinya sehingga menjadi semacam tradisi diantara umat buddha generasi berikutnya. Hal ini ditunjukkan dalam bagian penutupan dari Milinda-panha yang ditulis sekitar tiga ratus tahun kemudian. Didalamnya, Raja Milinda membandingkan Y.M. Nagasena Thera dengan Y.A. Sariputta, berkata sebagai berikut:

    "Dalam Jalan Buddha ini, tidak ada orang lain seperti diri Anda yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kecuali Sesepuh Sariputta - Sang Jenderal Dhamma."

    Reputasi tinggi itu tetap bertahan hingga saat ini, dikuatkan dengan ajaran-ajaran mulia yang bersumber dari Siswa Utama, yang dipertahankan dan disimpan dalam beberapa kitab-kitab tertua buddhis, berdampingan dengan sabda-sabda Gurunya sendiri.

    Sanak Saudara Sariputta
    Seperti yang sudah kita ketahui, Y.A. Sariputta terlahir dalam sebuah keluarga kasta brahmana di desa Upatissa (atau Nalaka), dekat kota Rajagaha. Ayahnya bernama Vaganta dan ibunya bernama Sari. Dia memiliki 3 saudara laki-laki yang masing-masing bernama Cunda, Upasena dan Revata; serta 3 saudara perempuan yaitu Cala, Upacala dan Sisupacala. Mereka berenam juga ditahbiskan secara Buddhis dan berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat.

    Cunda dikenal dengan nama Samanuddesa yang artinya "Pemula" dalam Sangha, bahkan setelah menjadi seorang bhikkhu. Hal ini bertujuan untuk membedakannya dengan Āyasmā Maha Cunda. Pada saat kematian Y.A. Sariputta, Cundalah yang mengurusi prosesinya dan memberitahukan kepada Sang Buddha tentang kepergian Sariputta sambil membawa relik Siswa Utama itu. Kisah ini diceritakan dalam Cunda Sutta, sebuah uraian yang akan dibahas dalam bagian lain dari buku ini.

    Upasena yang kemudian dikenal dengan nama Vagantaputta atau "Anak Vaganta, sama seperti Sariputta yang berarti "Anak Sari", dikatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa yang terkemuka diantara mereka yang berkepribadian menyenangkan (samantappasadika). Beliau meninggal akibat patukan ular, sebagaimana yang tercantum dalam Salayatana Samyutta, Vagga 7, Sutta 7.

    Revata merupakan saudara laki-laki yang paling bungsu, sehingga ibunya berharap mencegahnya memasuki persaudaraan mulia dengan menikahkannya ketika dia berumur sangat belia. Tapi pada hari pernikahannya dia melihat nenek dari calon istrinya, seorang wanita tua berumur 120 tahun dan menderita segala tanda penuaan. Saat itulah dia merasa jijik dengan kehidupan duniawi. Kabur dari prosesi pernikahan dengan sedikit muslihat, dia pergi menuju sebuah vihara dan ditahbiskan. Tahun-tahun berikutnya, dia sedang dalam upaya menemui Sang Buddha sampai akhirnya dia berhenti di sebuah hutan akasia (khadira-vana), dan ketika menghabiskan masa vassa disana dia berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat. Semenjak itu dia dikenal dengan nama Revata Khadiravaniya - "Revata dari Hutan Akasia." Sang Buddha menunjuknya sebagai siswa yang terkemuka diantara para penghuni hutan.

    Ketiga saudara perempuannya, Cala, Upacala dan Sisupacala, bertekad untuk mengikuti saudara lelaki mereka dan menjadi bhikkhuni setelah menikah. Dari pernikahan mereka, masing-masing yang dinamakan seperti nama ibunya: Cala (atau Cali) dan begitu pula yang lainnya. Ketiga anak mereka pun juga ditahbiskan dan diangkat murid oleh Revata Khadtravaniya. Perilaku mereka yang baik dipuji oleh Y.A. Sariputta, yang bertemu mereka ketika dia hendak mengunjungi adik laki-laki bungsunya yang kala itu sedang sakit. Hal ini tertulis dalam Uraian Tentang Theragatha, v. 42.

    Cala, Upacala dan Sisupacala diceritakan bahwa ketika menjadi bhikkhuni mereka didekati oleh Mara dan diajukan pertanyaan yang mencela dan menggoda. Tetapi mereka mampu memberikan jawaban yang sangat memuaskan. Hal ini tertulis dalam Theragatha dan Bhikkhuni Samyutta.

    Berbeda dengan semua ini, ibunda Sariputta merupakan seorang penganut brahmanisme yang kukuh. Ia membenci Ajaran Sang Buddha serta para pengikutnya. Ulasan dalam Dhammapada (v. 400) diceritakan bahwa pada suatu hari ketika Y.A. Sariputta sedang berada di desa kelahirannya - Nalaka, bersama dengan sejumlah besar rombongan bhikkhu. Beliau berpindapatta dan datang mengunjungi rumah ibunya. Ibunya menyediakan tempat duduk dan makanan tapi sembari mengomel dengan ucapan-ucapan kasar: "Oh, kamu pemakan sisa-sisa orang lain!" katanya. "Ketika kamu gagal mendapatkan sisa-sisa nasi basi kamu pergi dari rumah ke rumah orang yang tidak kamu kenal, memohon sisa-sisa makanan dari para wanita! Dan untuk inilah kamu pergi meninggalkan kekayaan senilai delapan puluh juta dan menjadi seorang bhikkhu! Kamu telah mengecewakanku! Nih, sekarang makanlah!"

    Demikian pula ketika dia sedang menyediakan makanan kepada para bhikkhu lainnya, dia akan berkata:

    "Jadi, kamu yang telah membuat anakku menjadi pembantumu! Makanlah sekarang!"

    Demikian dia terus mencerca para bhikkhu, tapi Y.A. Sariputta tidak mengucapkan sepatah kata pun. Beliau mengambil makanannya, memakannya dan dalam kesunyian kembali ke vihara. Sang Buddha mengetahui peristiwa ini dari Y.A. Rahula, yang memang sudah menjadi bhikkhu saat itu. Semua bhikkhu yang mendengar hal ini takjub atas kesabaran luar biasa yang dimiliki Y.A. Sariputta dan diantara perkumpulan para bhikkhu, Sang Buddha memuji tindakan Sariputta dengan mengucapkan syair berikut ini:

    "Dia yang terbebas dari amarah, yang melaksanakan kewajibannya dengan penuh keyakinan.
    Dia yang menjaga sila, dan terbebas dari nafsu keinginan,
    Dia yang telah menjinakkan dirinya sendiri, dia yang mengenakan tubuh terakhirnya ini -
    Orang seperti itulah yang Aku sebut sebagai brahmana sejati.
    "

    Baru menjelang kematian Y.A. Sariputta, beliau akhirnya berhasil mengajak ibunya menjadi pengikut Sang Buddha. Kisah ini akan diceritakan dalam bab berikutnya. Tapi peristiwa yang terjadi ini membawa kita pada sebuah penyimpulan tentang karakterisistik yang paling mulia dari Y.A. Sariputta, yaitu: kerendahan hati, ketabahan dan kesabarannya.

    Yang Tanpa Pertentangan
    Dikisahkan Sang Buddha sedang berdiam di kota tetangga Jetavana. Beberapa orang dalam rombongan sedang membicarakan tentang sifat-sifat mulia Y.A. Sariputta. "Betapa besar kesabaran yang dimiliki Ayāsma Agung kita," mereka berujar, "bahkan walaupun seseorang memaki dan memukulnya, tidak sedikit pun jejak kemarahan."

    "Siapa orang yang tidak pernah merasakan api amarah?" Pertanyaan ini muncul dalam benak seorang brahmana, pemegang pandangan salah. Dan ketika serombongan orang itu memberitahukan padanya, "Dia adalah Sesepuh kami, Sariputta," dia membalas: "Itu pastilah karena tidak ada orang yang pernah berusaha memancingnya marah."

    "Bukan demikian brahmana," mereka menjawab.

    "Baiklah kalau begitu, saya yang akan menyulut kemarahannya."

    "Sulutlah kemarahannya bila kamu bisa!"

    "Serahkan padaku,
    " kata si brahmana.

    "Aku tahu apa yang akan kulakukan padanya."

    Y.A. Sariputta saat itu sedang berpindapatta dan memasuki kota. Mendekatinya dari belakang, brahmana itu memberikan pukulan keras pada punggung Y.A. Sariputta. "Apa itu?" kata Y.A. Sariputta dan hanya melihat sekilas ke belakang. Beliau kemudian melanjutkan perjalanannya.

    Api penyesalan yang mendalam muncul dari setiap lekuk tubuh brahmana itu. Bersujud dengan sendirinya di kaki Ayāsma, dia akhirnya memohon maaf.

    "Atas apa?" tanya Sariputta dengan lembut.

    "Atas ujian kesabaran yang telah saya lakukan padamu," jawab brahmana itu dengan penuh penyesalan.

    "Baiklah, saya memaafkanmu."

    "Yang Mulia," kata si brahmana, "bila Anda sungguh-sungguh bersedia memaafkan kesalahanku, datanglah berpindapatta hanya di rumahku." Dia mengambil patta Ayāsma Sariputta yang setuju untuk pergi bersamanya dan melayaninya dengan mendanakan makanan.

    Akan tetapi mereka yang melihat penyerangan itu menjadi sangat marah. Mereka berkumpul di rumah si brahmana bersenjatakan tongkat dan batu untuk membunuh brahmana itu. Ketika Y.A. Sariputta terlihat berjalan dengan brahmana tersebut sambil membawa mangkuk Y.A. Sariputta, mereka semua menangis:

    "Yang Mulia, perintahkan brahmana ini untuk memutar badannya!"

    "Untuk apa, wahai perumah tangga?" tanya Sariputta.

    Mereka menjawab:

    "Laki-laki ini telah memukul Anda. Kami akan memberikan apa yang pantas didapatnya!"

    "Namun apa maksudmu? Apa kamu atau saya yang dia pukul?

    "Adalah Anda, Yang Mulia."

    "Bila demikian, dia telah memukulku dan pula telah menerima maaf dariku. Sekarang pergilah.
    "

    Kemudian Y.A. Sariputta memohon pamit kepada brahmana itu untuk pulang dan dengan tenang pulang menuju vihara.

    Peristiwa ini tertulis dalam Uraian Dhammapada. Kepada para bhikkhu, Sang Buddha membabarkan syair Dhammapada 389 dan 390 berikut ini:

    Janganlah seseorang memukul brahmana;
    Jangan pula brahmana yang dipukul itu membalas pukulan tersebut.

    Malulah mereka yang memukul brahmana;
    Lebih malu lagi adalah brahmana yang membalas pukulan tersebut!

    Bagi seorang brahmana, tidak balas membenci adalah kekayaan yang besar,
    Apabila sebelumnya ia selalu merasa gembira dengan membenci orang lain.

    Ini adalah perubahan yang sangat berarti.

    Secepat pikiran yang disertai kebencian menghilang,
    Secepat itulah penderitaan juga akan menghilang.


    Kerendahan hati Y.A. Sariputta pun sebesar kesabarannya. Beliau mau menerima koreksi dari siapapun tidak hanya dengan kepatuhan, namun juga dengan penghargaan. Seperti yang dikatakan dalam uraian Devaputta Samyutta, Susima Sutta, pada suatu ketika, akibat kelalaian sesaat, ujung bawah jubah Y.A. Sariputta terjuntai. Saat melihat hal itu, seorang samanera berusia tujuh tahun memberitahukan hal itu kepada Y.A. Sariputta. Y.A. Sariputta berhenti dan memperbaiki lipatan jubahnya dalam cara yang benar. Kemudian beliau berdiri sebelum samanera muda yang dengan kedua tangan beranjali mengatakan: "Sekarang sudah benar, Guru!"(42)

    Terdapat pula suatu kisah dalam Kitab Pertanyaan-Pertanyaan Raja Milinda, yang menggambarkan tentang karakteristik Y.A. Sariputta:

    "Mereka yang dalam kehidupan ini juga, pada usia tujuh tahun telah mencari perlindungan -
    Bila dia adalah saya, saya akan menerimanya dengan rendah hati.
    Melihatnya, saya memberikannya ketekunan dan perhatian.
    Dengan rasa hormat bolehlah saya berulang kali menempatkannya sebagai guru!
    "

    Pada suatu kesempatan Sang Buddha dengan lembut menegur Sariputta karena tidak membabarkan AjaranNya kepada mereka yang sebenarnya patut mendapatkannya. Ketika Brahmana Dhananjani sedang terbaring menjelang kematiannya, dia dikunjungi oleh Sariputta. Sariputta menganggap bahwa para brahmana seharusnya tinggal dalam alam brahma (atau "bersatu dengan Brahma") dan mengajarkan kepada brahmana Dhananjani cara untuk mencapai alam brahma melalui Brahma-vihara. Hasilnya, seperti yang diperkirakan, brahmana tersebut terlahir kembali ke alam Brahma.

    Ketika Y.A. Sariputta kembali dari kunjungannya, Sang Bhagava bertanya kepadanya:

    "Mengapa Sariputta, ketika masih ada hal yang lebih pantas dilakukan, kamu mengajarkan kepada Brahmana Dhananjani menuju alam Brahma, dan kemudian berdiri dari kursimu dan meninggalkannya?"

    Y.A. Sariputta menjawab:

    "Saya berpikir: "Brahmana ini pantas terlahir dalam alam Brahma. Tidakkah seharusnya saya menunjukkan kepadanya cara untuk bersatu dengan Brahma?"

    "Brahmana Dhananjani telah meninggal, Sariputta," ujar Sang Buddha, "dan telah terlahir kembali dalam alam Brahma."

    Kisah ini, yang dapat ditemukan dalam Dhananjani Sutta dari Majjhima Nikaya (97), menarik sebagai sebuah ilustrasi tentang ketidakpuasan kelahiran kembali dalam alam Brahma bagi mereka yang sesungguhnya mampu memutus lingkaran tumimbal lahir. Walau terkadang Sang Buddha sendiri menunjukkan cara menjadi bersatu dengan Brahma, sebagai contoh dalam Tevijja Sutta; Sang Buddha melihat kemungkinan bagi Dhananjani untuk menerima Ajaran yang lebih tinggi, namun Y.A. Sariputta, kurang dalam mengetahui keinginan hati orang lain (lokiya-abhinna), sehingga tidak mampu melihat kebenaran itu.

    Akibatnya Dhananjani akan menghabiskan suatu masa yang tak terhitung lamanya di alam Brahma dan akan terlahir kembali sebagai seorang manusia sebelum akhirnya dia dapat mencapai cita-cita tertinggi - Nibbana.

    Y.A. Sariputta juga menerima teguran lembut ketika beliau bertanya kepada Sang Buddha mengapa Sasana (Ajaran) dari beberapa Buddha di masa lampau tidak bertahan lama dan Sang Buddha menjawab bahwa hal itu dikarenakan Mereka Yang Tercerahkan tidak membabarkan banyak Dhamma, tidak menurunkan disiplin bagi umatnya, tidak pula mengadakan pengulangan Patimokkha. Sariputta kemudian berkata bahwa sudah saatnya bagi Sang Bhagava untuk menurunkan disiplin-disiplin dan Patimokkha, sehingga Kehidupan Suci dapat berlangsung lama. Sang Buddha berkata:

    "Biarlah, Sariputta! Sang Tathagata sendiri akan mengetahui waktu yang tepat untuk itu. Sang Tathagata tidak akan menurunkan vinaya maupun pengulangan Patimokkha sebelum tanda-tanda ketidakjujuran telah muncul dalam Sangha.(43)"

    Kekhawatiran murid terhadap keberlangsungan Sasana selama mungkin merupakan karakteristik Sariputta; demikian pula karakteristik yang sama dari Sang Buddha sehingga Beliau tidak akan menerapkan vinaya sampai memang sudah waktunya disiplin itu diperlukan. Beliau kemudian menjelaskan kepada Sariputta bahwa pada waktu itu pencapaian tingkat kesucian terendah dalam anggota Sangha adalah Sotapanna (mungkin kenyataan ini tidak disadari oleh Y.A. Sariputta), dan oleh karena itu menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan para bhikkhu belum benar-benar diperlukan.

    Catuma Sutta(44) menuliskan kejadian lain ketika Sesepuh Agung ditegur oleh Sang Bhagava. Sejumlah besar bhikkhu yang baru saja ditahbiskan, sebagaimana yang dikatakan dari uraian tersebut, oleh Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha Moggallana, mendatangi Sang Buddha untuk memberikan penghormatan untuk pertama kalinya. Saat kedatangan mereka dibagi dalam empat kelompok dan mulai bercakap-cakap dengan para bhikkhu yang menetap di Catuma. Mendengar hiruk pikuk yang terjadi, Sang Buddha memanggil para bhikkhu menetap untuk menanyakan kepada mereka tentang keributan itu dan dijawab bahwa hiruk pikuk itu disebabkan oleh para pendatang baru. Dalam naskah ini tidak disebutkan apakah para bhikhu pendatang itu hadir saat itu, tapi mereka pastilah berada disana karena Sang Buddha kemudian menegur mereka dengan ucapan berikut: "Pergilah para bhikkhu, Aku menolakmu. Kamu tidak seharusnya bersamaku."

    Bhikkhu-bhikkhu yang baru saja ditahbiskan pergi, tapi beberapa bhikkhu yang tersadarkan diperbolehkan untuk menetap.

    Sang Buddha kemudian berkata kepada Y.A. Sariputta:

    "Bagaimana menurutmu Sariputta, ketika Aku menolak kelompok bhikkhu-bhikkhu itu?"

    Y.A. Sariputta menjawab:

    "Saya berpikir: Yang Terberkahi mengharapkan untuk tetap berada dalam ketenangseimbangan dan tetap dalam keadaan kebahagiaan disini-dan saat ini; jadi kami juga akan tetap berada dalam ketenangseimbangan dan tetap dalam keadaan kebahagiaan disini-dan-saat ini."

    "Hati-hati, Sariputta! Jangan biarkan pikiran semacam itu timbul/muncul kembali dalam dirimu!" Sang Buddha berkata. Kemudian bertanya kepada Maha Moggallana pertanyaan yang sama.

    "Ketika Yang Terberkahi menolak para bhikkhu tersebut," jawab Maha Moggallana, "Saya berpikir: ˜Yang Terberkahi mengharapkan untuk tetap berada dalam ketenangseimbangan dan tetap dalam keadaan kebahagiaan disini-dan saat ini. Sedangkan saya dan Y.A. Sariputta sekarang harus mengurus komunitas para bhikkhu."

    "Ucapan yang baik, Moggallana, ucapan yang baik!" kata Sang Guru. "Entah Aku sendiri atau Sariputta atau Moggallana yang harus mengurus komunitas para bhikkhu."

    Sutta ini sendiri sebenarnya kurang akan detail-detail yang tentunya akan membuat kisah ini lebih mudah dimengerti semua maksudnya, tapi adalah mungkin mengingat para bhikkhu yang ditolak merupakan murid-murid dari Sariputta dan Maha Moggallana. Sang Buddha menunjukkan ketidakpuasanNya terhadap mereka dan mengindikasikannya dengan keinginannya untuk menyendiri dan bahwa mereka telah bertindak salah.

    Suatu ketika Sang Buddha menetap di Jetavana, Y.A. Sariputta menjadi korban sebuah tuduhan keliru. Dikisahkan bahwa di penghujung musim hujan, Sesepuh memohon pamit kepada Sang Bhagava dan pergi bersama rombongan bhikkhunya dalam sebuah perjalanan. Sejumlah besar para bhikkhu juga memohon pamit kepada Sariputta dan ketika melepaskan mereka beliau mengetahui orang dan nama keluarga mereka. Diantara mereka terdapat seorang bhikhu yang tidak dikenali pribadi maupun nama keluarganya, tapi sebuah keinginan besar muncul dalam dirinya kalau Siswa Utama itu harus mengenalinya sebelum kepergiannya.

    Di dalam segerombolan bhikkhu, sayangnya, Y.A. Sariputta tidak memberikannya perhatian yang dimaksud, dan bhikkhu itu kemudian bersedih hati. "Dia tidak menyalamiku seperti yang dia lakukan kepada bhikkhu-bhikkhu lain," pikir bhikkhu tersebut dan kemudian menaruh sakit hati kepada Sariputta. Pada saat yang sama kebetulan hem jubah Sesepuh bersentuhan dengannya dan hal ini menambah rasa jengkelnya. Dia kemudian mendekati Sang Buddha dan menyatakan protes:

    "Yang Mulia, Y.A. Sariputta tak diragukan lagi berpikir dalam dirinya sendiri bila, Aku adalah Siswa Utama, memukul saya hingga hampir melukai telinga saya. Dan setelah melakukannya tanpa permintaan maaf dari saya, dia pergi melakukan perjalanannya."

    Sang Buddha kemudian meminta kehadiran Sariputta. Sementara itu, Y.A. Maha Moggallana dan Y.A. Ananda, mengetahui bahwa sebuah fitnahan telah muncul, memanggil semua bhikkhu dan mengadakan suatu pertemuan.

    "Mendekatlah, para bhikkhu!" mereka berseru.

    "Ketika Y.A. Sariputta sedang berhadapan mata dengan mata dengan Sang Guru, dia akan meraung auman seekor singa!(45)"

    Dan demikianlah. Ketika Sang Bhagava bertanya kepada Sariputta, daripada menyangkal keluhan tersebut Sariputta berkata:

    "O Yang Mulia, seseorang yang tidak melakukan perenungan terhadap tubuh (tidak menyadari) dengan penghargaan terhadap tubuhnya, orang seperti itu akan dapat menyakiti seorang bhikkhu lainnya dan pergi tanpa memohon maaf."

    Kemudian dilanjutkan raungan singa Y.A. Sariputta. Dia membandingkan kebebasannya dari bibit-bibit amarah dan benih-benih kebencian dengan kesabaran ibu bumi yang rela menerima segalanya, entah itu bersih maupun kotor; ketenangan pikirannya dengan seekor kerbau jantan dengan tanduk yang patah, terhadap pemuda Candala si pengemis, terhadap air, api dan angin, dan terhadap pembersihan atas segala kekotoran; dia membandingkan tindasan yang dia rasakan dari tubuhnya sendiri dengan derita ular-ular dan mayat-mayat, dan pemeliharaan tubuhnya dengan penumpukkan lemak dalam tubuh. Dalam sembilan kiasan tersebut dia mengutarakan nilai-nilai kebajikan dirinya, dan sembilan kali pula bumi ini berguncang menanggapi ungkapan kebenaran ini. Semua bhikkhu yang hadir menyaksikan terpesona oleh kekuatan agung ungkapan itu.

    Setelah Sariputta menyatakan nilai-nilai luhurnya, tekanan dan rasa penyesalan memenuhi seluruh tubuh bhikkhu yang tadinya telah menuduhnya dengan tidak adil. Dengan segera dia berlutut di kaki Yang Terberkahi, mengakui fitnahan dan mengakui kesalahannya. Kemudian Sang Buddha berkata:

    "Sariputta, maafkanlah penipu ini, bila tidak kepalanya akan terbelah menjadi tujuh bagian."

    Jawab Sariputta adalah: "Yang Mulia, saya dengan tulus hati memaafkan bhikkhu ini."

    Dan dengan tangan bersikap anjali, dia menambahkan, "Semoga bhikkhu ini juga memaafkan saya bila saya dengan cara apapun telah menyakiti dirinya."

    Dengan cara beginilah mereka berdamai. Bhikkhu-bhikkhu lainnya kagum dan berkata:

    "Lihatlah, saudara-saudaraku, kebaikan tak terhingga dari sang Sesepuh! Dia tidak memberi kesempatan api kemarahan maupun kebencian muncul menghadapi kebohongan ini, bhikkhu penfitnah ini! Bahkan dia memohon maaf sebelum dia (bhikkhu itu), menyatukan tangannya dalam sikap penghormatan, dan memohon maafnya."

    Komentar Sang Buddha adalah:

    "Para bhikkhu, adalah tidak mungkin bilamana Sariputta dan dari orang sepertinya terbit api kemarahan ataupun kebencian. Pikiran Sariputta seperti bumi pertiwi ini, kokoh bagai benteng kota, bagai sebuah danau dengan air yang tenang.
    Tanpa pertentangan bagaikan bumi, kokoh bagaikan benteng kota,
    Dengan pikiran seperti air danau yang jernih, merekalah orang-orang yang berkelakuan baik Baginya tidak ada lagi tumimbal lahir
    "(46).

    Peristiwa lain yang serupa dengan ini, terjadi pada masa awal Sangha, tidak berakhir dengan bahagia karena si pemfitnah menolak untuk mengakui kesalahan yang diperbuatnya. Dia adalah seorang bhikkhu yang bernama Kokalika yang mendekati Sang Buddha dengan sebuah fitnahan terhadap kedua Siswa Utama:

    "Sariputta dan Moggallana mempunyai niat buruk, O Yang Mulia!" katanya. "Mereka dalam genggaman ambisi setan."

    Sang Bhagava membalas: "Jangan berkata demikian, Kokalika! Jangan berkata demikian! Milikilah rasa persahabatan dan kepercayaan terhadap Sariputta dan Moggallana! Mereka berkelakuan baik dan terpuji!"

    Tapi Kokalika yang tersesat tidak menghiraukan nasehat Sang Buddha. Dia tetap memegang teguh fitnahannya dan segera sesudahnya seluruh tubuhnya tertutupi oleh bisul, yang terus timbul sampai akhirnya dia meninggal akibat penyakitnya itu.

    Peristiwa ini dikenal dengan luas. Kejadian ini tertulis dalam kitab-kitab berikut dalam Sutta-pitaka: Brahma Samyutta No. 10; Sutta Nipata, Mahavagga No.10; Anguttara Nikaya V. 170, dan Takkariya Jataka (No. 481). Sebuah perbandingan dari kedua kejadian ini mengungkapkan betapa pentingnya rasa penyesalan. Baik Y.A. Sariputta maupun Maha Moggallana tidak menghendaki bhikkhu Kokalika menjadi sakit akibat kebenciannya, dan permintaan maafnya, yang telah dia tawarkan pada mereka, tidak akan membuat perbedaan terhadap sikap kedua Siswa Utama. Sakit yang diderita oleh bhikkhu Kokalika sepenuhnya adalah akibat dari perbuatannya sendiri.
    -----
    Catatan Kaki

    1. Orang suci yang terbebaskan dari semua kemelekatan dan kekotoran batin
    2. Menurut Cunda Sutta (Satipatthana Samyutta) dan uraiannya, nama tempat kelahiran Sariputta adalah Nalaka, atau Nalagana, yang mungkin merupakan nama lain dari desa Upatissa
    3. Sebutan kehormatan untuk bhikkhu senior atau diantara mereka yang hampir setingkat
    4. Menerima persembahan makanan dari rumah ke rumah. Hal ini merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh Sang Buddha sendiri dan masih dipertahankan hingga saat ini
    5. "Ye dhamma hetuppabhava tesam hetum tathagataha, tesam ca yo nirodho evamvadi mahasamano ." Gatha ini kemudian menjadi salah satu syair yang paling terkenal dan tersebar luas. Dipertahankan selama berabad-abad sebagai pengingat kontak pertama Sariputta terhadap Dhamma dan juga sebagai pengingat terhadap Assaji, arahat gurunya
    6. Empat penjuru mengacu pada: bhikkhu, bhikkhuni, upasaka dan upasika
    7. Carita-vasena. Ini mengacu pada jenis-jenis karakter seseorang (carita) seperti yang dijelaskan dalam Visuddhimagga, Ch. III)
    8. ini mengacu pada sebuah khotbah dalam Anguttara Nikaya, Tujuh, No. 58 (P.T.S. IV. 85)
    9. Dighanakha Sutta, Majjhima Nikaya No. 74
    10. Kebenaran dari pencapaiannya mengenai pengetahuan analitis, yang disebutkan oleh Sariputta sendiri dalam Anguttara Nikaya, Empat, No.172
    11. Y.A. Sariputta menunjukkan caranya mencapai ke-Arahat-an dalam syair 995-96, Theragatha
    12. Pancavagiya Bhikkhu: lima pertapa yang mendengarkan khotbah pertama Sang Buddha dan menjadi lima bhikkhu pertama. Terdiri dari Kondañña, Vappa, Mahanama, Assaji dan Bhaddiya. Kesemuanya adalah Arahat
    13. Dalam Sutta Nipata. Juga disebut "Dhamma Sutta"
    14. Jataka No. 156
    15. Culavagga, Sanghabhedaka-khandaka, Sanghabhedaka-katha
    16. Culavagga, Sanghabhedaka-khandaka, Sanghabhedaka-katha
    17. Culavagga, Kammakkhandaka, Pabbajaniyakamma; Parajika Pali, Sanghadinesa-kanda, Kuladusaka-sikkhapada
    18. Devaputta-Samy., Susima Sutta
    19. Kesombongan (mana) dan kegelisahan (uddhacca) merupakan dua dari tiga belenggu (samyojana) yang dihancurkan hanya pada tingkat kesucian Arahat
    20. Bukanlah subjek dari perilaku pikiran
    21. Magga Samyutta, No. 2
    22. Khanda Samyutta, No. 2
    23. Tittita Jataka, No. 37
    24. Vinaya (Cula-vagga, Senasana-khandhaka)
    25. Kelompok kehidupan yang terdiri dari: rupa (jasmani), vedana (perasaan), sanna (pencerapan), sankhāra (pikiran), dan vinnana (kesadaran)
    26. Theragatha v. 81
    27. Majjhima 143
    28. Udana VII, 1
    29. 1 kubit kira-kira 45-56 cm
    30. Pamsupisācakam: setan kecil atau jin yang menghantui rawa-rawa dan tempat buangan/kotoran
    31. Samyutta Nikaya, vol. III: Khandha vagga
    32. Ang., Kelompok Sepuluh, No.7
    33. Sang Buddha yang walau mampu mengetahui jawaban atas pertanyaanNya, menanyakan pertanyaan-pertanyaan untuk memberikan arahan dan pencerahan kepada murid-muridNya atau kepada orang lain
    34. Baca "Right Understanding, Discourse and Commentary", diterjemahkan oleh Soma Thera (Lake House Bookshop, Colombo)
    35. Angutara Nikaya (PTS), vol. I, 63 (Kelompok Dua, No. IV, 5)
    36. Uraian Theragatha, oleh Bhadantacariya Dhammapala
    37. Baca "Buddhist Education in Pali and Sanskrit Schools," oleh E.J. Thomas
    38. A. II, 160
    39. Terdapat dalam "Mindfulness of Breathing" oleh Ñanamoli Thera, Kandy, Buddhist Publication Society, 1964
    40. Majjh. No. 111
    41. Majjh. No. 5
    42. Terdapat sebuah versi yang sedikit berbeda ditemukan dalam uraian Theragatha
    43. Parajika Pali, Bagian Pendahuluan
    44. Majjh. N0. 67
    45. Khotbah "Auman Singa" (siha-nada) merupakan sebuah ungkapan mendalam yang dikumandangkan berdasarkan kebenaran
    46. Dhammapada, v. 95

Lampiran 2: Riwayat hidup AnathaPindika [Klik untuk sembunyikan/lihat]

    Berikut ini saya sajikan dua riwayat dari AnanthaPindika, satu dari Jataka Vol.1, "KHADIRANGARA-JATAKA" yaitu yang lain dari Buku: "PENYOKONG UTAMA SANG BUDDHA"

    KHADIRANGARA-JATAKA
    Sumber : Indonesia Tipitaka Center

    "Lebih baik saya langsung terjun," dan seterusnya. Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Anathapindika.

    Anathapindika yang menghabiskan lima ratus empat puluh juta, dalam keyakinannya kepada Sang Buddha, dengan membangun wihara yang dananya bersumber dari dia seorang diri, yang tidak menghargai hal lain selain Ti Ratana, setiap hari mengunjungi Sang Guru ketika Beliau sedang berada di Jetawana untuk memberikan pelayanan utama (besar), — satu kali di waktu fajar, satu kali setelah sarapan dan satu kali di sore hari; ada juga pelayanan kecil. Dan ia tidak pernah datang dengan tangan kosong, takut kalau-kalau para samanera dan anak-anak menantikan apa yang dibawanya. Ketika datang di waktu fajar, ia membawa bubur beras. Setelah sarapan ia membawa gi, mentega segar (nawanita), madu, sari tebu dan sejenisnya. Di sore hari ia membawa wewangian, untaian bunga dan pakaian. Begitu banyak yang ia habiskan hari demi hari, jumlah pengeluarannya tidak terhitung banyaknya. Selain itu, banyak pedagang yang meminjam uang darinya dengan membuat surat hutang, hingga jumlahnya sebesar seratus delapan puluh juta dan saudagar besar itu tidak pernah meminta kembali uang tersebut. Di luar itu, terdapat harta keluarganya sebesar seratus delapan puluh juta yang dikubur di tepi sungai, yang hanyut ke laut ketika dihantam oleh badai; kendi yang tidak beraturan (bentuknya) itu kemudian terguling ke bawah, dengan semua pengikat dan tutupnya dalam keadaan tidak terbuka, tepat ke dasar laut. Di rumahnya juga, selalu tersedia nasi untuk lima ratus orang bhikkhu, — sehingga rumah saudagar tersebut bagi para bhikkhu seperti sebuah kolam yang digali di perempatan jalan, yah, ia sudah seperti ibu dan ayah bagi para bhikkhu. Karena itu, bahkan Yang Tercerahkan Sempurna juga biasa mengunjungi rumahnya, demikian juga dengan delapan puluh maha thera, serta jumlah bhikkhu yang masuk keluar rumahnya sudah tak terhitung jumlahnya.

    Rumah Anathapindika terdiri dari tujuh tingkat dan memiliki tujuh pintu gerbang; di atas pintu gerbang keempat, tinggal seorang makhluk dewata yang berpandangan salah. Ketika Yang Tercerahkan Sempurna mengunjungi rumah tersebut, ia tidak bisa tinggal di kediamannya di tempat yang tinggi, namun harus turun ke lantai dasar bersama anakanaknya; demikian juga saat kedelapan puluh maha thera ataupun thera-thera lainnya mengunjungi rumah tersebut. Ia berpikir, "Selama Petapa Gotama dan para siswa-Nya mengunjungi tempat ini, saya tidak dapat hidup dengan tenang; Saya tidak bisa harus selalu turun ke lantai dasar. Saya harus membuat mereka berhenti mengunjungi tempat ini." Maka suatu hari, saat pengelola usaha Anathapindika sedang beristirahat, makhluk dewata ini menampakkan diri di hadapannya.

    "Siapakah itu?" tanya lelaki tersebut.

    "Saya," jawabnya, "makhluk yang tinggal di gerbang keempat."

    "Apa yang membuat Anda muncul di sini?"

    "Kamu tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh saudagar tersebut. Ia tidak memikirkan masa depannya sendiri, ia terus menggunakan uangnya, untuk memperkaya Petapa Gotama. Ia tidak berda-gang, tidak menjalankan usahanya. Nasihatilah saudagar itu untuk mengurus usahanya dan atur agar Petapa Gotama dan para siswa-Nya tidak datang ke rumah ini lagi."

    Lelaki itu menjawab, "Makhluk yang bodoh, jika saudagar itu menghabiskan uangnya, ia melakukan itu atas keyakinannya terhadap ajaran Buddha, yang mengajarkan tentang pembebasan (nibbana). Bahkan jika ia menarik rambutku dan menjualku sebagai budak, saya tidak akan berkata apa-apa. Pergilah!"

    Di hari yang lain, makhluk dewata tersebut menemui putra tertua saudagar itu dan memberinya nasihat yang sama. Ia mencemooh makhluk itu dengan cara yang sama. Namun, makhluk dewata itu tidak berani mengucapkan hal yang sama kepada saudagar itu sendiri.

    Karena kemurahan hatinya yang tanpa akhir dan karena ia tidak menjalankan usahanya, pendapatan saudagar itu berkurang, kekayaannya juga semakin berkurang dan berkurang; akhirnya ia turun derajat menjadi orang miskin; makanan, pakaian, tempat tinggal dan keadaannya tidak seperti apa yang mereka miliki di waktu jaya dulu. Walaupun keadaannya telah berubah, ia masih menjamu para bhikkhu, meskipun tidak mampu mengadakan perjamuan besar lagi. Suatu hari, setelah ia memberikan hormat dan mengambil tempat duduk, Sang Guru bertanya kepadanya, "Tuan (perumah tangga), apakah dana makanan masih dilakukan di rumahmu?"

    "Masih, Bhante," jawabnya, "namun hanya sedikit bubur sekam yang agak asam, sisa semalam."

    "Jangan bersedih, Tuan, dengan berpikir bahwa engkau hanya mampu menawarkan apa yang kurang enak. Jika hatimu tulus, makanan yang dipersembahkan kepada para Buddha, Pacceka Buddha82, dan siswa-siswa-Nya pasti akan terasa enak. Mengapa demikian? — Karena besarnya buah perbuatan baik tersebut. Ia yang mampu membuat hatinya tulus memberi, tidak akan pernah memberikan persembahan dana yang tidak dapat diterima;— seperti yang dibuktikan oleh bait berikut ini : —

    Jika hati penuh dengan keyakinan, tidak ada
    persembahan yang tidak berarti kepada para Buddha
    atau pengikut mereka yang sejati.
    Dikatakan tidak ada jasa (pelayanan) yang terhitung kecil
    yang diberikan kepada para Buddha, yang tercerahkan sempurna.
    Baik sekali hasil yang diperoleh dari sedikit persembahan
    makanan — kering, asam ataupun kurang garam
    83."

    Beliau menjelaskan lebih lanjut, "Tuan, walaupun memberikan persembahan yang tidak enak, tetapi engkau berikan itu kepada mereka yang telah berada di dalam Jalan Utama Beruas Delapan (para ariya puggala). Sedangkan Saya, ketika berada di masa Velama, menggemparkan satu India dengan memberikan tujuh jenis benda persembahan, dan dalam persembahanku yang berlimpah itu seakan-akan saya membuat satu arus dalam lima sungai yang maha besar, — namun saya tidak dapat menemukan satu orang pun yang berlindung kepada Ti Ratana atau yang menjalankan lima latihan moralitas; karena orang-orang yang pantas menerima pemberian itu sangatlah langka untuk dapat ditemukan. Karena itu, jangan biarkan hatimu terganggu oleh pikiran bahwa persembahanmu tidak enak." Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi Velamaka Sutta84.

    Saat itu, peri yang tidak berani berbicara pada saudagar tersebut di masa jayanya itu berpikir bahwa kini saudagar tersebut telah jatuh miskin dan mungkin ia mau mendengar perkataannya, maka ia masuk ke kamar saudagar tersebut di tengah malam, menampakkan diri di hadapannya, dengan berdiri melayang di udara.

    "Siapakah itu?" tanya saudagar tersebut saat menyadari kehadirannya.

    "Saya adalah makhluk dewata, Saudagar yang baik, yang tinggal di gerbang keempat rumahmu."

    "Apa yang membuatmu muncul di sini?"

    "Untuk menasihatimu."

    "Lanjutkan, kalau demikian."

    "Saudagar yang baik, kamu tidak memikirkan masa depanmu maupun masa depan anak-anakmu. Kamu menghabiskan kekayaanmu dalam jumlah besar untuk ajaran Petapa Gotama; Kenyataannya, pengeluaran yang terus menerus dalam jangka panjang dan tidak mengadakan usaha yang baru, membuatmu dibawa ke jurang kemiskinan oleh Petapa Gotama. Walaupun demikian, kemiskinan tidak membuatmu melepaskan keyakinan terhadap Petapa Gotama! Para petapa masuk keluar rumahmu saat ini sama seperti sebelumnya. Apa yang mereka dapatkan darimu tidak akan pernah kembali lagi. Hal ini harus mendapat perhatian khusus. Mulai sekarang janganlah mengunjungi Petapa Gotama dan jangan biarkan para siswa-Nya menginjakkan kakinya ke rumahmu lagi. Jangan pernah berpaling untuk melihat Petapa Gotama lagi; uruslah usaha dagang dan jual belimu untuk mendapatkan kembali kekayaan keluargamu."

    Saudagar itu bertanya kepada sang dewata, "Apakah ini nasihat yang ingin engkau sampaikan kepadaku?"

    "Benar."

    Saudagar itu berkata, "Sang Dasabala yang sangat hebat telah membuat saya mampu menahan seratus, seribu, yah, menahan seratus ribu makhluk dewata sepertimu! Keyakinan saya sekuat dan sekokoh Gunung Sineru! Pada dasarnya, saya mencurahkan diri pada keyakinan yang akan membawa saya pada nibbana. Kata-katamu sangat jahat; engkau memberikan sebuah pukulan pada ajaran Sang Buddha, engkau makhluk yang jahat dan lancang. Saya tidak percaya bahwa saya tinggal di bawah satu atap yang sama denganmu. Pergilah engkau dari rumahku sekarang juga dan cari perlindungan di tempat lain!" Mendengar perkataan orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna dan seorang siswa ariya Sang Buddha, ia tidak bertahan di sana lagi, melainkan kembali ke tempat tinggalnya dan membawa anak-anaknya pergi dari rumah tersebut. Pada saat meninggalkan tempat itu, ia memutuskan bahwa ia tidak dapat tinggal di rumah yang lain, ia akan menenangkan saudagar tersebut dan kembali tinggal di rumahnya lagi. Dengan pikiran tersebut, ia pergi ke tempat perwakilan para makhluk dewata di kota itu, memberikan hormat dan berdiri di hadapan para perwakilan itu. Ketika ditanya mengapa ia datang, ia berkata, "Tuanku, saya telah mengucapkan kata-kata yang dinilai lancang oleh Anathapindika, ia marah dan mengusir saya dari rumahnya. Bawalah saya ke sana dan damaikanlah kami, sehingga ia akan mengizinkan saya tinggal di rumahnya lagi."

    "Apa yang kamu katakan pada saudagar itu?"

    "Saya katakan padanya agar jangan memberikan dukungan kepada Buddha dan Sanggha di masa mendatang, dan jangan biarkan Petapa Gotama menginjakkan kaki di rumahnya lagi. Inilah perkataan saya padanya, Tuanku."

    "Katakatamu sangat jahat, memberikan sebuah pukulan pada keyakinan tersebut. Saya tidak dapat membawamu ke rumah saudagar tersebut."

    Tidak mendapatkan dukungan dari perwakilan tersebut, ia meminta bantuan dari Empat Raja Dewa. Dan menerima penolakan yang sama dari mereka, dewata itu kemudian menemui Sakka, raja para dewa, dan menceritakan kejadian itu kepadanya serta memohon padanya dengan penuh kesungguhan, seperti berikut ini, "Dewa, tanpa tempat tinggal, saya berkeluyuran seperti tunawisma dengan membawa anakanak saya. Dengan kekuasaanmu, berikanlah tempat tinggal bagi saya."

    Sakka juga berkata padanya, "Engkau telah melakukan hal yang jahat; memberikan pukulan pada sebuah keyakinan yang tidak tergoyahkan. Saya tidak dapat berbicara pada saudagar itu untuk kepentinganmu. Namun saya dapat memberikan satu jalan yang dapat membuat saudagar itu memaafkanmu."

    "Tolong tunjukkan padaku, Dewa."

    "Ada orang yang mempunyai hutang sebesar seratus delapan puluh juta padanya. Menyamarlah menjadi wakilnya, dan tanpa memberitahu siapa pun, pergilah ke rumah mereka dengan membawa surat hutang mereka, dengan didampingi beberapa yaksa muda. Berdirilah di tengah-tengah rumah mereka dengan surat hutang di satu tangan dan bukti pembayaran di tangan yang lain, takutilah mereka dengan kekuatan yaksa yang engkau bawa, katakan, `Ini adalah tanda terima hutangmu. Saudagar kami tidak mempermasalahkan hal ini ketika ia masih kaya, namun sekarang ia telah jatuh miskin, kalian harus membayar hutang kalian.' Dengan kekuatan yaksa tersebut, tagih seluruh seratus delapan puluh juta itu dan isikan ke dalam tempat penyimpanan hartanya yang telah kosong. Ia memiliki harta lain yang terkubur di tepi Sungai Aciravati, namun saat pinggiran sungai itu disapu oleh badai, harta itu ikut hanyut ke dalam laut. Dapatkan kembali harta itu dengan kekuatan gaib yang kamu miliki, dan simpanlah mereka ke dalam kotak hartanya. Lebih lanjut, ada uang sebesar seratus delapan puluh juta yang tidak ada pemiliknya di tempat anu, bawakan juga uang-uang itu dan isi ke dalam tempat penyimpanan hartanya yang kosong. Setelah engkau menebus kesalahanmu dengan memperoleh kembali lima ratus empat puluh juta ini, minta agar saudagar tersebut memaafkanmu."

    "Baik, Dewa," jawabnya.

    Ia melakukan semua pekerjaan itu dengan patuh, sesuai dengan petunjuk yang diberikan kepadanya. Setelah memperoleh kembali semua uang itu, ia pergi ke kamar saudagar itu jauh di tengah malam, dan muncul di hadapannya dengan berdiri di udara.

    Saudagar itu menanyakan siapakah yang berdiri di sana, dan ia menjawab, "Saya, Saudagar yang baik, makhluk dewata yang buta dan bodoh, yang tinggal di atas gerbang keempat rumahmu. Dalam kebodohan yang membabi buta, saya tidak mengetahui tentang kebajikan dari seorang Buddha, sehingga saya mengucapkan kata-kata seperti itu di masa lalu. Maafkanlah kesalahan saya! Berdasarkan petunjuk dari Sakka, raja para dewa, saya telah menebus kesalahan saya dengan mengumpulkan kembali seratus delapan puluh juta dari piutangmu, seratus delapan puluh juta dari hartamu yang telah hanyut ke dalam laut dan seratus delapan puluh juta harta tanpa pemilik yang terkubur di tempat anu, — mengumpulkan lima ratus empat puluh juta secara keseluruhan, yang telah saya isikan ke dalam tempat penyimpanan hartamu. Jumlah yang kamu habiskan untuk wihara di Jetawana telah terkumpul kembali. Sementara saya tidak mempunyai tempat tinggal, saya sangat menderita. Jangan ingat lagi pada apa yang telah saya lakukan dalam kebodohan saya, Saudagar yang baik, maafkanlah saya."

    Mendengar ucapannya, Anathapindika berpikir, "Ia adalah seorang makhluk dewata, mengatakan ia telah menebus kesalahannya, dan mengakui kesalahannya. Sang Guru seharusnya memikirkan hal ini dan menunjukkan kebaikan-Nya pada dewa ini. Saya akan membawanya menghadap Yang Tercerahkan Sempurna."

    Maka Anathapindika berkata, "Dewa yang baik, jika kamu mau saya memaafkanmu, tanyakanlah hal ini dihadapan Sang Guru."

    "Baik," jawabnya,

    "akan saya lakukan. Bawalah saya bersamamu untuk menghadap Sang Guru."

    "Tentu," jawabnya.

    Pagi-pagi sekali, saat malam baru saja berlalu, ia membawa dewa itu bersamanya untuk menghadap Sang Guru, dan menyampaikan semua perbuatan makhluk dewata itu kepada Sang Bhagawan.

    Mendengar hal tersebut, Sang Guru berkata, "Engkau lihat, Tuan perumah-tangga, bagaimana orang yang penuh kejahatan menganggap perbuatan jahatnya sebagai hal yang baik sebelum ia menerima akibat perbuatannya. Setelah akibat perbuatannya berbuah, ia akan melihat kejahatan sebagai kejahatan adanya. Sama halnya dengan orang baik yang melihat kebaikannya sebagai kejahatan sebelum hasil perbuatannya berbuah. Saat perbuatan baiknya telah masak, ia akan melihatnya sebagai kebaikan." Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi syair Dhammapada berikut ini :

    Orang bodoh berpikir kejahatannya sebagai hal yang
    baik selama akibat perbuatannya belum berbuah.
    Saat buah kejahatannya telah masak,
    orang bodoh pasti akan melihat `apa yang aku perbuat'
    adalah jahat.

    Orang baik berpikir kebaikannya sebagai suatu
    kejahatan selama perbuatannya belum berbuah.
    Saat buah kebaikannya telah masak,
    orang baik akan melihat `apa yang aku perbuat'
    adalah baik
    85.

    Saat syair ini selesai disampaikan, makhluk dewata itu mencapai tingkat kesucian Sotapanna. Ia bersujud di kaki Sang Guru yang mempunyai lambang roda, berseru, "Saya dinodai oleh nafsu keinginan, dirusak oleh kejahatan, disesatkan oleh khayalan dan dibutakan oleh ketidaktahuan. Saya mengucapkan hal-hal yang jahat karena tidak mengetahui tentang kebaikan-Mu. Maafkanlah saya." Permohonan maafnya diterima oleh Sang Guru dan saudagar tersebut.

    Saat itu, Anathapindika sendiri yang mengucapkan pujian kepada Sang Guru dengan berkata, "Bhante, walaupun makhluk ini telah berusaha untuk menghentikan dukungan saya terhadap Buddha dan para siswa-Nya, tetapi ia tidak berhasil; meskipun ia mencoba menghentikan persembahan dana saya, saya tetap melakukannya! Bukankah ini merupakan salah satu kebaikan-Mu?"

    Sang Guru berkata, "Engkau, perumah-tangga, adalah seorang yang telah mencapai Sotapanna dan merupakan siswa terpilih, keyakinanmu kokoh dan pandanganmu suci. Tidak heran kalau kamu tidak bisa dihentikan oleh makhluk yang tidak bertenaga ini. Adalah suatu keajaiban saat ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kelahiran yang lampau, sebelum seorang Buddha muncul setelah mencapai Penerangan Sempurna, memberikan persembahan dari jantung bunga teratai, walaupun Mara, raja dari alam penggoda [Paranimmitavasavatti, Alam surga kamaloka tertinggi, Mahluk ini dapat menciptakan berbagai hal yg diinginkan mahluk lainnya, dengan tujuan agar selalu berada dalam lingkup jeratannya], muncul di tengah langit, berseru, `Jika kamu memberikan persembahan itu, kamu akan dipanggang dalam neraka ini.' — bersamaan itu, ia menunjukkan pada mereka sebuah lubang sedalam delapan puluh kubik, yang dipenuhi dengan bara api yang merah membara." Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan Anathapindika Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

    ____________________

    Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga saudagar besar di Benares, ia dibesarkan dalam kemewahan seperti seorang putra mahkota. Saat mencapai kedewasaan di usia enam belas tahun, ia sempurna dalam semua keahlian. Setelah ayahnya meninggal, ia mengisi posisi saudagar besar dan membangun enam balai distribusi dana, masing-masing satu di keempat gerbang kota, satu di pusat kota dan satu lagi di depan gerbang rumahnya yang megah. Ia hidup dengan harta yang berlimpah, ia juga menjaga sila dan menjalankan uposatha.

    Suatu hari, saat sarapan, ketika berbagai makanan pilihan dengan rasa dan jenis yang sangat beraneka ragam dihidangkan untuk Bodhisatta, seorang Pacceka Buddha terbangun setelah tujuh hari berada dalam arus jhana, melihat saat itu adalah waktu baginya untuk melakukan pindapata, ia berpikir baik baginya untuk mengunjungi saudagar besar dari Benares di pagi itu. Ia membersihkan giginya dengan menggunakan sikat gigi yang terbuat dari daun sirih, berkumur dengan air dari Danau Anotatta, mengenakan jubah dalamnya saat berdiri di tanah merah, mengencangkan sabuk, mengenakan jubah luarnya; dan dilengkapi dengan sebuah patta sesuai dengan tujuannya untuk melakukan pindapata, ia pergi melalui udara dan tiba di gerbang rumah tersebut bersamaan dengan saat sarapan untuk Bodhisatta dihidangkan.

    Begitu Bodhisatta melihat keberadaannya, ia segera bangkit dan menatap pengawalnya, menandakan sebuah pelayanan dibutuhkan. "Apa yang harus saya lakukan, Tuanku?"

    "Bawakan patta dari bhikkhu yang agung itu," kata Bodhisatta.

    Saat itu juga, Mara yang jahat, bangkit sambil berseru dengan penuh kehebohan, berkata kepada dirinya, "Ini adalah hari ketujuh sejak Pacceka Buddha ini makan makanan terakhir yang didanakan padanya; jika ia tidak mendapatkan apa-apa hari ini, ia akan mati. Saya akan membinasakannya dan mencegah saudagar itu memberikan persembahannya." Saat itu juga ia pergi dan muncul di rumah tersebut dengan sebuah lubang yang dipenuhi dengan bara api yang merah membara, sedalam delapan puluh kubik, yang diisi dengan Bara Acacia, yang semuanya menyala dan terbakar laksana Neraka Avici. Setelah menciptakan lubang itu, Mara sendiri berdiri di tengah-tengah udara.

    Ketika pengawal yang sedang berjalan untuk mengambil patta itu menyadari kehadirannya, ia terkejut dan melangkah mundur. "Apa yang membuatmu kembali lagi, Pelayanku?" tanya Bodhisatta.

    "Tuanku," jawab pelayan itu, "ada sebuah lubang besar dengan bara merah membara, yang sedang menyala dan terbakar di tengah-tengah rumah." Satu demi satu pelayan pergi ke tempat itu, namun semuanya dipenuhi rasa panik, dan melarikan diri secepat mungkin.

    Bodhisatta berpikir, "Mara si penggoda, pasti memaksakan dirinya menghentikan pemberian dana saya hari ini. Saya telah belajar bagaimanapun juga, saya dapat melepaskan diri dari seratus, bahkan seribu Mara. Hari ini kita akan melihat siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih berkuasa, saya atau Mara." Ia sendiri yang membawa mangkuk itu keluar dari rumah, dan berdiri di tepi lubang yang berapi tersebut, melihat ke langit. Saat itu ia melihat Mara, ia bertanya, "Siapa kamu?"

    "Saya adalah Mara," jawabnya.

    "Apakah kamu yang memunculkan lubang dari bara api yang merah membara ini?"

    "Benar, saya yang melakukannya."

    "Mengapa?"

    "Untuk menghentikan kamu memberikan persembahan dana dan untuk membinasakan Pacceka Buddha itu."

    "Saya tidak akan mengizinkan engkau menghentikan saya memberikan persembahan ini maupun membiarkanmu membinasakan Pacceka Buddha. Hari ini saya ingin melihat apakah engkau atau saya yang lebih kuat."

    Masih berdiri di tepi lubang yang menyala itu, ia berseru, "Pacceka Buddha yang agung, biarpun tindakan ini akan membuat saya langsung jatuh ke dalam lubang dari bara api yang merah membara ini, saya tidak akan mundur. Mohon kesediaan Bhante untuk menerima makanan yang saya bawakan ini."

    Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengulangi syair berikut ini : —

    Lebih baik saya langsung terjun ke lubang
    sedalam jurang pemisah dari neraka, daripada
    melakukan hal yang demikian memalukan!
    Mohon Bhante bersedia, menerima uluran tangan
    yang membawakan persembahan ini!


    Dengan kata-kata ini, Bodhisatta memegang mangkuk yang berisikan makanan, melangkah maju dengan berani dan penuh ketetapan hati tepat ke permukaan lubang berapi itu. Namun saat ia melakukan hal tersebut, dari lubang sedalam delapan puluh kubik itu muncul bunga teratai yang besar dan tiada bandingannya, menyangga kaki Bodhisatta! Dari sana, timbul sejumlah serbuk yang jatuh ke kepala makhluk yang agung tersebut, hingga seluruh tubuhnya ditaburi oleh serbuk emas mulai dari kepala hingga ke ujung jari kakinya! Berdiri tepat di jantung teratai itu, ia melimpahkan semua makanan pilihan itu ke dalam mangkuk Pacceka Buddha tersebut.

    Setelah Pacceka Buddha menerima persembahan makanan itu dan menyampaikan terima kasihnya pada Bodhisatta, ia melemparkan mangkuknya ke langit, dan tepat dibawah tatapan semua orang, ia melayang ke udara, dan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pegunungan Himalaya, ia terlihat menelusuri jalanan yang dibentuk oleh awan-awan yang tercipta secara ajaib.

    Dan Mara, yang telah kalah dan dipenuhi oleh kekesalan, kembali ke kediamannya.

    Bodhisatta yang masih berdiri di jantung bunga teratai, membabarkan Dhamma kepada semua orang, memuji tentang praktik pemberian dana dan sila; setelah itu, ia berputar kembali dengan dikawal oleh sejumlah orang, masuk ke dalam rumahnya. Sepanjang hidupnya diisi dengan berdana dan kebaikan lainnya, hingga akhirnya ia meninggal dunia dan terlahir kembali ke alam bahagia, sesuai dengan perbuatannya.
    ___________________

    Sang Guru berkata, "Tidak perlu heran, Tuan perumah tangga, bahwa engkau, dengan pengetahuan Dhamma-mu, tidak bisa dikuasai oleh makhluk dewata itu. Kekuatan yang sesungguhnya adalah apa yang dilakukan oleh ia yang bijaksana dan penuh dengan kebaikan di kehidupan yang lampau." Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, "Pacceka Buddha di masa itu telah meninggal dunia dan tidak pernah dilahirkan kembali lagi. Saya sendiri adalah saudagar besar dari Benares, yang mengalahkan Mara, dengan berdiri di jantung bunga teratai, mempersembahkan dana makanan ke dalam patta Pacceka Buddha tersebut."

    [Catatan: Lihat `Strange Stories from a Chinese Studio' I.396, karya Giles.

    LVI Dr Tseng Dream
    [..]Tseng bowed and begged him to explain; whereupon the old priest said, "For those who cultivate virtue, a lily will grow up even in the fiery pit."13
[..]
13 Alluding to a well-known Buddhist miracle in which a bikshtt was to be thrown into a cauldron of boiling water in a fiery pit, when suddenly a lotus-flower came forth, the fire was extinguished, and the water became cold.]
_________
Catatan kaki:
82 Semua Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna, namun seorang Pacceka Buddha menyimpan pengetahuannya untuk dirinya sendiri, tidak seperti `Yang Tercerahkan Sempurna', mereka tidak membabarkan Dhamma kepada para pengikut-Nya.
83 Dua baris pertama dikutip dari Vimana-vatthu, hal.44.
84 Sutta ini berhubungan dengan hal.234 dari Sumangala-Vilasini, namun tidak dikenal oleh para ahli dari Eropa.
85 Syair No.119 dan 120 dari Dhammapada.

[Kembali]


RIWAYAT HIDUP ANâTHAPINDIKA
PENYOKONG UTAMA SANG BUDDHA
Judul Asli: Great Disciples of the Buddha
By Nyanaponika Thera & Hellmuth Hecker
Alih Bahasa: Sanjaya, ST
Editor: Y.M. Indaratano, Andi Utomo
Cetakan ketiga, juli 2006
Diterbitkan oleh : Vidyāsenā Production, Vihāra Vidyāloka, Jln. Kenari Gg. Tanjung I No. 231, Telp. / Fax 0274 – 542919, Yogyakarta 55165

ANATHAPINDIKA MENJADI MURID
"Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di Savatthi, di Jetavana, di Vihara Anathapindika.." Banyak kotbah Sang Buddha yang diawali dengan kalimat seperti ini, dan oleh karena itu nama dari sang umat awam utama, Anathapindika, dikenal baik oleh para pembaca literatur Buddhis. Namanya berarti “seseorang yang memberikan dana (pinda) kepada yang tak-mampu (anatha),” dan merupakan panggilan kehormatan Sudatta si perumahtangga dari kota Savatthi.

Siapakah dia?
Bagaimanakah dia bertemu Sang Buddha?
Apakah hubungan dia dengan Ajaran?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bisa ditemukan dalam berbagai referensi yang muncul dalam teks-teks tradisional.

Pertemuan pertama Anathapindika dengan Sang Buddha terjadi segera setelah vassa ketiga sejak Sang Buddha mencapai Pencerahan Sempurna. Pada masa awalnya, Sang Buddha belum menetapkan peraturan apapun mengenai tempat berdiam bagi para bhikkhu. Para bhikkhu tinggal dimanapun yang mereka mau—di hutan, di bawah pohon, di bawah bebatuan yang menonjol, di jurang, di gua, di kuburan, dan di ruang terbuka. Pada suatu hari, seorang pedagang kaya dari Rajagaha, ibukota dari kerajaan Magadha, menjadi pengikut setia Sang Buddha. Ketika melihat cara hidup para bhikkhu, ia menyarankan kepada para bhikkhu untuk bertanya kepada Sang Guru apakah beliau mengijinkan mereka untuk menerima tempat tinggal yang permanen. Ketika Sang Buddha memberikan ijinnya, si pedagang langsung mendirikan tidak kurang dari enam puluh tempat tinggal bagi para bhikkhu, ia menjelaskan bahwa ia perlu mengumpulkan jasa kebajikan. Dengan dibangunnya vihara pertama itu, maka sebuah landasan telah dibuat untuk penyebaran Dhamma, karena sekarang telah ada pusat pelatihan bagi Sangha.

Pedagang ini memiliki seorang saudara ipar yang bernama Sudatta tetapi selalu dipanggil Anathapindika, pedagang terkaya di Savatthi. Pada suatu ketika Anathapindika sedang melakukan perjalanan bisnis di negara tetangga Magadha, ia mampir ke Rajagaha. Seperti biasa, ia selalu mampir dulu ke rumah saudara iparnya, yang dengannya terikat persahabatan yang hangat. Ketika memasuki rumah, dengan terkejut ia mendapati bahwa orangorang di rumah itu nyaris tidak memperhatikannya. Sebelumnya ia telah terbiasa mendapat perhatian yang penuh dari saudara iparnya, serta penerimaan yang hangat dari para penghuni rumah. Tetapi sekarang ia menemukan mereka begitu sibuk, begitu bersemangat membuat persiapan yang rumit. Ia bertanya kepada saudara iparnya yang sedang sibuk, mengenai maksud dari semua ini: "Sebuah pernikahan? Sebuah upacara kurban besar? Kunjungan dari raja?" Namun saudara iparnya menjelaskan: "Aku telah mengundang Yang Tercerahkan (Sang Buddha) dan para bhikkhu ke sini untuk makan besok."

Anathapindika pun tertarik: "Apakah engkau berkata ‘Yang Tercerahkan’?"

"Benar," jawab saudara iparnya, "besok Yang Tercerahkan akan datang." Anathapindika, yang sulit mempercayai pendengarannya, bertanya untuk kedua, dan ketiga kalinya: "Apakah engkau berkata ‘Yang Tercerahkan’?" Kemudian dengan menarik nafas lega, ia berkata, "Bahkan bunyi dari kata-kata ini saja sungguh langka di dunia—Yang Tercerahkan. Dapatkah seseorang benar-benar menemui beliau?" Saudara iparnya menjawab: "Hari ini kurang tepat, tetapi engkau dapat pergi menemuinya besok pagi."

Malam itu, ketika Anathapindika berbaring tertidur, ia tergerak oleh pikiran dan perasaan yang berkecamuk. Begitu kuat perasaannya menanti pertemuan esok sehingga ia terbangun tiga kali di malam hari, berpikir bahwa hari sudah pagi. Akhirnya, ia bangun bahkan sebelum fajar dan keluar dari kota menuju vihara. Dalam kegelapan, rasa takut mendatanginya, keraguan dan ketakpastian berkecamuk dalam hatinya, dan semua insting duniawinya memberitahu untuk kembali. Tetapi makhluk halus yang tak-terlihat bernama Sivaka mendorongnya untuk terus,

"Seratus ribu gajah,
Seratus ribu kuda,
Seratus ribu kereta yang ditarik bagal,
Seratus ribu gadis

Yang dipercantik dengan perhiasan dan anting-anting—
Kesemuanya tidak seharga seperenam belas
Satu langkah maju."

"Majulah, perumahtangga! Majulah, perumahtangga! Melangkah maju lebih baik bagimu, janganlah berbalik lagi."


Kemudian sepanjang sisa malam itu, Anathapindika berjalan dengan tekad bulat. Selang beberapa waktu, ia melihat dalam kabut fajar sesosok orang berjalan dengan tanpa suara ke belakang dan ke depan. Anathapindika berhenti. Kemudian sosok itu memanggilnya dengan suara merdu yang tak dapat digambarkan: "Datanglah, Sudatta!"

Anathapindika terkejut ketika disapa demikian, karena tidak ada orang di sana yang memanggilnya dengan nama kecilnya. Ia hanya dikenal sebagai Anathapindika, dan lagipula, ia tidak dikenal oleh Sang Buddha dan telah datang tanpa pemberitahuan. Sekarang ia yakin bahwa ia berada di hadapan Yang Tercerahkan. Diliputi dengan bobot suasana dari pertemuan itu, ia jatuh di kaki Sang Guru dan bertanya dengan tergagap- gagap: "Apakah Sang Bhagava tidur dengan nyenyak?" Dengan jawaban beliau terhadap pertanyaan konvensional ini, Sang Buddha memberitahu sekilas mengenai keagungannya yang sebenarnya kepada Anathapindika:

Selalu tidur dengan nyenyak,
Sang brahmana yang dahaganya terpuaskan sepenuhnya,
Yang tidak melekat pada kenikmatan indria,
Sejuk di hati, tanpa menguasai.
Telah memotong semua kemelekatan,
Telah melenyapkan kekhawatiran dari hati,
Orang damai tidur nyenyak,
Karena ia telah mencapai damai di pikiran.


Kemudian Sang Bhagava, sambil membimbing Anathapindika selangkah demi selangkah, berbicara kepadanya mengenai memberi, kemoralan, surga; bahaya, kesia-siaan, dan sifat menodai dari kenikmatan indria; manfaat pelepasan. Ketika beliau melihat bahwa hati dan pikiran Anathapindika sudah siap— mudah menerima, tidak terganggu, bersemangat dan damai— beliau menjelaskan kepadanya ajaran unik Yang Tercerahkan: Empat Kebenaran Mulia mengenai penderitaan, sebabnya, berakhirnya, dan jalan untuk mengakhirinya. Dengan itu, mata kebenaran yang tanpa noda, bersih dari debu (dhammacakkhu) terbuka bagi Anathapindika: "Apapun yang memiliki sifat alami timbul, semua juga memiliki sifat alami tenggelam." Anathapindika telah memahami kebenaran Dhamma, mengatasi semua keraguan, dan tanpa goyah; mantap dalam pikiran, ia sekarang mandiri dalam Ajaran Sang Guru. Ia telah merealisasi jalan dan buah pemasuk-arus (sotapatti).

Ia kemudian mengundang Sang Guru untuk bersantap keesokan harinya di rumah saudara iparnya, dan Sang Guru menerimanya. Setelah bersantap siang, Anathapindika bertanya kepada Sang Buddha apakah ia boleh membangun sebuah vihara bagi Sangha di kampung halamannya, Savatthi. Sang Buddha menjawab: "Yang Tercerahkan menyukai tempat yang tenang."

"Saya mengerti, O Guru, saya mengerti," jawab Anathapindika, yang bersuka cita karena persembahannya diterima.

Ketika Anathapindika kembali ke Savatthi, ia mendorong orang-orang di sepanjang jalan untuk menerima Sang Buddha dengan hormat. Sesampainya di Savatthi, ia langsung mencari lokasi yang sesuai untuk vihara. Tempatnya tidak boleh terlalu dekat maupun terlalu jauh dari kota; tidak boleh ramai di pagi hari maupun berisik di malam hari; harus mudah dicapai para umat awam sekaligus cocok untuk hidup bertapa. Akhirnya, di perbukitan yang mengelilingi kota, ia menemukan sebuah tempat terbuka di tengah hutan, tempat yang ideal untuk tujuannya. Tempat ini adalah Jetavana—Hutan Jeta—milik Pangeran Jeta, anak Raja Pasenadi.

Anathapindika mengunjungi Pangeran Jeta di istananya dan bertanya apakah hutan itu dijual. Pangeran menjawab bahwa ia tidak akan menjualnya bahkan untuk harga yang pantas yaitu delapan belas juta koin emas. “Saya akan memberi anda sebanyak itu, sekarang juga,” balas Anathapindika. Tetapi mereka tidak bisa sepakat sehingga mereka menemui seorang penengah. Si penengah memutuskan bahwa harganya sebesar sebanyak mungkin koin emas dari delapan belas juta yang dapat diletakkan bersebelahan satu sama lainnya di tanah itu, dan berdasarkan ini kesepakatan jual-beli diputuskan.

Anathapindika membawa banyak gerobak penuh koin emas dan menyebarnya di tanah. Akhirnya hanya tinggal sepotong tanah di daerah masuk yang belum terisi. Ia memberi instruksi agar lebih banyak lagi koin emas dibawa, tetapi Pangeran Jeta mengumumkan bahwa ia akan membangun sebuah gerbang dan menara di situ dengan uangnya sendiri. Menara dan gerbang ini melindungi vihara dari dunia luar, melindunginya dari suara di jalan dan menekankan garis pemisah antara yang suci dan duniawi.

Anathapindika kemudian menghabiskan delapan belas juta lagi untuk membangun dan melengkapinya. Ia membangun sel-sel individual, ruang pertemuan, ruang makan, gudang, jalan, kamar mandi, sumur, dan kolam teratai untuk mandi sekaligus juga dinding besar di sekeliling tempat itu. Dengan demikian tempat itu berubah menjadi vihara dan berdiri sebagai tempat perlindungan religius (Vin. 2:158-59). Untuk menghormati kedua belah pihak yang berpartisipasi, teks-teks selalu mengacu pada tempat ini dengan dua nama: “Hutan Jeta” dan “Vihara Anathapindika.”

Ketika semua persiapan telah selesai, Sang Buddha beserta para bhikkhu datang ke Savatthi untuk menempati vihara baru itu. Saat mereka tiba, Anathapindika mengundang mereka untuk bersantap dan setelahnya ia bertanya kepada Sang Buddha: "Bagaimanakah saya harus melanjutkan persembahan Jetavana?"

"Engkau dapat mempersembakannya kepada Sangha dari empat penjuru, sekarang dan masa mendatang." Anathapindika pun melakukannya. Kemudian Sang Buddha pun mengekspresikan penghargaan kepadanya dalam syair berikut:

Tempat itu menghalau dingin dan panas dan hewan buas dari sana
Dan hewan melata dan serangga pengigit dan hujan di musim penghujan.
Ketika angin panas yang menakutkan timbul, itupun dihalau.

Untuk bermeditasi dan memperoleh pandangan-terang dalam lindungan atap dan nyaman—
Sebuah tempat tinggal dipuji oleh Yang Terjaga
Sebagai hadiah utama bagi Sangha.

Oleh karena itu orang bijaksana yang mecari kesejahteraan,
Harus membangun tempat tinggal, sehingga
Mereka yang terpelajar dapat tinggal.

Kepada mereka makanan dan minuman, jubah dan tempat tinggal,
Harus ia beri, kepada yang bajik, dengan pikiran termurnikan.

Kemudian mereka akan mengajarnya Dhamma yang mengusir segala penyakit;
Ia, mengetahui Dhamma, mencapai Nibbana, tanpa noda.
- (Vin. 2:147-48; 2:164-65)

Jamuan bagi para bhikkhu dilanjutkan dengan perayaan yang meriah bagi para umat awam, dengan hadiah bagi semua orang. Peristiwa ini menghabiskan delapan belas juta lagi, sehingga Anathapindika menghabiskan total lima puluh empat juta bagi pusat Sangha. Oleh karena itu Sang Buddha menyatakannya sebagai penyokong utama Sangha - (AN 1, bab 14).

SI PENYOKONG YANG KAYA
Setelah membangun vihara, Anathapindika tekun dalam menyokong Sangha yang tinggal menetap. Ia menyediakan segala keperluan para bhikkhu yang tinggal di sana . Setiap pagi ia mengirim nasi susu, dan setiap malam ia menyediakan semua keperluan jubah, mangkuk pindapata, dan obat-obatan. Semua perbaikan dan perawatan di Jetavana dilakukan oleh pelayannya. Di atas semuanya, beberapa ratus bhikkhu datang setiap hari ke rumahnya—sebuah wisma bertingkat tujuh—untuk menerima santap siang. Setiap hari saat santap siang, rumahnya penuh dengan jubah kuning dan suasana suci.

Ketika Raja Pasenadi mengetahui kedermawanan Anathapindika, ia juga ingin menirunya, sehingga ia menyediakan makanan untuk lima ratus bhikkhu setiap hari. Suatu hari, ketika ia sedang dalam perjalanan untuk pergi berbincang-bincang dengan para bhikkhu, ia mengetahui dari pelayannya bahwa para bhikkhu membawa makanan yang diberikannya dan memberikan kepada para penyokong di kota, yang kemudian memberikannya kembali kepada para bhikkhu. Sang raja kebingungan, karena ia selalu menyediakan makanan yang sangat lezat, maka ia pun bertanya kepada Sang Buddha alasan perilaku para bhikkhu. Sang Buddha menjelaskan kepada raja bahwa di istana, para anggota kerajaan membagikan makanan tanpa perasaan, hanya mengikuti perintah seperti ketika mereka membersihkan gudang atau membawa pencuri ke pengadilan. Mereka tidak mempunyai keyakinan dan tidak memiliki cinta kepada para bhikkhu. Bahkan banyak dari mereka yang berpikir bahwa para bhikkhu hanyalah parasit yang hidup dari keringat orang-orang yang bekerja. Ketika sesuatu diberikan dengan perasaan demikian, tidak seorangpun yang merasa nyaman menerimanya—walaupun santapannya terdiri dari makanan-makanan terlezat. Sebaliknya, para perumah-tangga yang penuh pengabdian di kota, seperti Anathapindika dan Visakha, menyambut para bhikkhu dan menganggap mereka sebagai teman spiritual yang hidup demi kesejahteraan dan manfaat semua makhluk. Sebuah santapan sederhana yang disediakan oleh seorang teman akan lebih berharga daripada santapan terenak yang diberikan oleh seseorang yang memberi tidak dengan semangat yang benar. Sang Buddha menambahkan sebuah syair kepada raja untuk diingat:

Sebuah masakan mungkin tawar atau lezat,
Makanan mungkin sedikit atau banyak,
Namun bila diberikan oleh tangan yang bersahabat,
Maka menjadi santapan yang nikmat.
- (Jat. 346)

Anathapindika dan Visakha bukan hanya pendana utama di Savatthi (Jat. 337, 346, 465), namun pertolongan mereka juga seringkali diminta oleh Sang Buddha manakala sesuatu hal perlu diatur dengan komunitas umat awam. Namun kekayaan Anathapindika bukannya tidak bisa habis. Pada suatu ketika harta seharga delapan belas juta lenyap karena banjir bandang dan terbawa ke lautan. Ditambah ia juga meminjamkan kira-kira uang sejumlah demikian juga kepada teman-teman bisnis yang tidak membayarnya dan ia pun sungkan untuk menagihnya. Karena kekayaannya sekitar lima kali delapan belas juta, dan dia telah menghabiskan tiga perlima darinya untuk vihara, maka kekayaannya mulai habis. Anathapindika, sang jutawan, telah menjadi miskin. Walaupun demikian, meskipun dalam suasana sulit, dia tetap menyediakan makanan bagi para bhikkhu, meskipun hanya nasi susu yang encer.

Pada waktu itu ada makhluk halus yang hidup di atas gerbang istana bertingkat tujuh milik Anathapindika. Setiap kali Sang Buddha atau seorang murid mulia memasuki rumah, si makhluk halus, mengikuti hukum di alamnya, harus turun dari tempatnya untuk menghormat. Namun, hal ini membuat si makhluk halus merasa tidak nyaman, maka ia berusaha memikirkan cara untuk mencegah para bhikkhu masuk ke rumah. Ia muncul di hadapan seorang pelayan dan menyarankannya untuk berhenti memberikan dana makanan, tetapi pelayan itu tidak mempedulikannya. Kemudian ia berusaha mendekati anak tuan rumah untuk menentang para bhikkhu, namun inipun gagal. Akhirnya, si makhluk halus muncul dengan aura gaibnya di hadapan Anathapindika dan berusaha membujuknya karena sekarang ia telah miskin maka akan lebih baik bila ia berhenti memberi dana makanan. Si pendana besar menjawab bahwa ia hanya mengetahui tiga harta: Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ia berkata bahwa ia bersungguh-sungguh dalam menjaga ketiga harta ini, serta ia juga memberitahu si makhluk halus agar meninggalkan rumahnya karena di sana tidak ada tempat bagi musuh Sang Buddha.

Oleh karena itu si makhluk halus, sekali lagi harus mengikuti hukum di alamnya, harus meninggalkan tempat itu. Ia pun pergi menemui dewa pelindung kota Savatthi dan meminta tempat bernaung baru. Dewa itu menyuruhnya pergi ke pengadilan yang lebih tinggi, yaitu Keempat Raja Dewa, yang bersama sama memerintah surga terendah. Namun Keempat dewa ini juga merasa tidak mampu untuk memutuskan dan mengirim si makhluk halus yang tak-berumah ini kepada Sakka, raja para dewa.

Namun, sementara itu, si makhluk halus sadar akan kesalahannya dan memohon Sakka untuk meminta maaf baginya. Sakka mengisyaratkan bahwa sebagai hukuman, si makhluk halus harus menolong Anathapindika mendapatkan lagi kekayaannya. Pertama, ia harus mengambil kembali harta yang tenggelam di laut; kemudian ia harus memperoleh harta tak bertuan yang terkubur; dan akhirnya ia harus membujuk orang-orang yang berhutang pada Anathapindika untuk membayar hutangnya. Dengan usaha yang keras akhirnya si makhluk halus berhasil memenuhi ketiga syarat ini. Dengan melakukannya, ia pun muncul dalam mimpi orang-orang yang berhutang itu dan meminta pembayaran. Tidak lama kemudian Anathapindika kembali mempunyai lima puluh empat juta dan mampu sedermawan dulu lagi.

Si makhluk halus kemudian muncul di hadapan Sang Buddha dan memohon pengampunan atas perilaku dengkinya. Ia pun mendapatkan pengampunan dan setelah Yang Tercerahkan menjelaskan Dhamma kepadanya, ia pun menjadi murid Sang Buddha. Lebih jauh lagi, Sang Buddha mengajarkan kepadanya bahwa seseorang yang berjuang untuk menyempurnakan ‘memberi’ tidak dapat dihentikan oleh apapun di dunia, baik oleh para makhluk halus, dewa, setan, maupun ancaman kematian - (Jat. 140, 340).

Setelah Anathapindika mendapatkan kembali semua kekayaannya, seorang brahmana menjadi iri pada nasib baiknya dan memutuskan untuk mencuri apa yang menurutnya telah membuat Anathapindika begitu kaya. Ia ingin mencuri perwujudan dari Siri, dewi kekayaan, karena ia berpikir bahwa dengan demikian maka nasib baik akan meninggalkan Anathapindika dan berpindah kepada dirinya, terikat untuk menuruti kehendaknya. Persepsi aneh ini berdasarkan pemikiran bahwa apa yang disebut nasib baik, meskipun merupakan pahala dari perbuatan baik sebelumnya, bersumber dari dewa-dewi yang tinggal di rumah orang itu, yang menarik nasib baik bagi majikan mereka.

Maka si brahmana pergi ke rumah Anathapindika dan melihat sekeliling untuk mencari tempat dewi kekayaan dapat ditemukan. Seperti banyak orang India pada saat itu, ia memiliki kekuatan gaib dan dapat melihat bahwa Kekayaan tinggal dalam seekor ayam jantan putih dalam sangkar emas di dalam wisma. Ia memohon kepada pemilik rumah untuk memberikannya ayam jantan itu untuk membangunkan murid-muridnya di pagi hari. Tanpa ragu-ragu, Anathapindika yang murah-hati meluluskan permintaannya. Namun, tepat pada saat itu, Kekayaan pindah ke sebuah permata. Brahmana inipun memintanya sebagai hadiah dan menerimanya. Tetapi kemudian Kekayaan bersembunyi di dalam sebuah tongkat, senjata yang digunakan untuk membela diri. Setelah si brahmana berhasil memintanya, perwujudan Siri pindah ke kepala Punnalakkhana, istri Anathapindika, yang benarbenar merupakan jiwa kebajikan rumah ini sehingga ia dilindungi para dewa. Ketika si brahmana melihat ini, ia mundur ketakutan: "istrinya tidak dapat saya minta!" Ia mengakui niat jahatnya, mengembalikan hadiah-hadiahnya, dan, dengan penuh rasa malu, meninggalkan rumah itu.

Anathapindika menemui Yang Tercerahkan dan memberitahu beliau mengenai pertemuan aneh tersebut, yang tidak ia pahami. Sang Buddha menjelaskan hubungannya kepadanya –bagaimana dunia diubah melalui kerja yang baik dan bagaimana, bagi mereka dengan pandangan-terang yang benar melalui pemurnian moral, segalanya bisa dicapai, bahkan Nibbana - (Jat. 284).

Setiap kali Sang Buddha menetap di Savatthi, Anathapindika selalu mengunjungi beliau. Namun, di lain waktu, ia merasa kehilangan objek untuk dipuja. Oleh karena itu, suatu hari ia memberitahu Y.M. Ananda mengenai keinginannya untuk membuat tempat pemujaan. Ketika Y.M. Ananda melaporkan ini kepada Sang Buddha, beliau menyatakan bahwa ada tiga jenis pemujaan: bentuk fisik, pengingat, dan perwakilan. Jenis yang pertama adalah relik, yang setelah Parinibbana Sang Buddha, disimpan di dalam stupa; jenis kedua adalah objek yang memiliki hubungan dengan Yang Tercerahkan dan telah digunakan oleh beliau, seperti mangkuk pindapata; jenis ketiga adalah simbol yang dapat dilihat. Dari ketiga pendukung untuk pemujaan ini, yang pertama belum mungkin selama Sang Bhagava masih hidup. Yang ketiga tidaklah sesuai bagi mereka yang tidak bisa puas hanya dengan gambar atau simbol. Maka yang tersisa adalah yang kedua.

Pohon Bodhi di Uruvela tampaknya merupakan objek terbaik yang berfungsi sebagai pengingat pada Sang Bhagava. Di bawahnya Beliau telah menemukan pintu menuju Tanpa-kematian, dan telah menyediakan perlindungan selama minggu pertama pencerahan beliau. Maka diputuskan untuk menanam tunas kecil dari pohon ini di Savatthi. Y.M. Mahamoggallana membawa potongan dari pohon asli, yang kemudian ditanam di gerbang Jetavana di hadapan orang-orang istana dan para bhikkhu serta umat awam yang terkenal. Y.M. Ananda memberikan anak pohon itu kepada raja untuk upacara penanaman. Namun Raja Pasenadi membalas, dengan penuh kerendahan hati, bahwa ia menjalani hidup ini hanya sebagai pengurus posisi raja. Akan jauh lebih sesuai bagi seseorang yang dekat dengan Ajaran untuk menanam pohon itu. Maka ia memberikan anak pohon itu kepada Anathapindika, yang berdiri di sebelahnya.

Pohon itu tumbuh dan menjadi objek pemujaan para umat awam yang berbakti. Atas permintaan Y. M. Ananda, Sang Buddha menghabiskan semalam duduk di bawah pohon itu untuk menganugerahkan pentahbisan istimewa yang lain. Anathapindika seringkali pergi ke pohon itu dan menggunakan ingatan yang berhubungan dengannya dan semangat spiritual yang diterimanya di sana untuk memusatkan pikirannya kepada Sang Bhagava - (Jat. 479).

KELUARGA ANATHAPINDIKA
Anathapindika menikah dengan bahagia. Istrinya, Punnalakkhana, menjalankan sesuai namanya, yang berarti “seorang dengan tanda kebajikan,” dan sebagai semangat kebajikan di rumah, ia mengurus para pelayan dan para bhikkhu yang datang pada tengah hari. Ia juga taat pada Dhamma, seperti kakaknya, yang merupakan salah satu umat awam pertama Sang Buddha.

Anathapindika memiliki empat orang anak, tiga putri dan seorang putra. Dua putrinya, Subhadda Besar dan Subhadda Kecil, juga mendalami Dhamma seperti ayahnya, dan mencapai tingkat pemasuk-arus. Mereka mirip dengan ayahnya dalam hal spiritual dan demikian pula dalam hal duniawi; mereka juga menikah dengan bahagia. Namun, putrinya yang termuda, Sumana, bahkan melampaui semua orang di rumah dengan kebijaksanaannya yang mendalam. Ketika mendengar kotbah dari Sang Buddha ia langsung mencapai tingkat kedua kesucian, menjadi yang-kembali-sekali-lagi. Ia tidak menikah, namun bukan karena ia telah melepas ide itu. Sebenarnya, ketika ia melihat kebahagiaan kedua kakaknya, ia menjadi sedih dan kesepian. Kekuatan spiritualnya tidak cukup kuat untuk mengatasi depresinya. Dengan penuh kesedihan, keluarganya melihat ia menjadi semakin kurus, tidak mau makan apapun, sehingga mati kelaparan. Ia terlahir kembali di surga Tusita, salah satu dari surga tertinggi di alam indria, dan di sana ia mensucikan diri dari sisasisa kebergantungan pada orang lain, keinginan terakhirnya yang diarahkan ke luar.

Putra semata wayang Anathapindika, Kala si Gelap, pada mulanya merupakan sumber ketegangan di rumah ayahnya. Ia tidak mau tahu apapun mengenai Dhamma dan menyibukkan diri sepenuhnya dalam urusan-urusan bisnis. Kemudian suatu hari ayahnya mendorong ia untuk menjalankan hari suci, dengan menawarkannya seribu keping emas bila ia mau menjalankan Uposatha. Kala pun setuju dan tak lama kemudian menemukan bahwa libur sehari dalam seminggu dari bisnis untuk berkumpul dengan keluarga membuatnya rileks. Karenanya, aturan berpuasa dengan teratur dari Uposatha tidak terlalu memberatkan dirinya. Kemudian ayahnya membuat permintaan kedua dan menawarkannya seribu keping emas bila ia mau ke vihara dan menghafal sebait Dhamma, di hadapan Sang Guru. Kala dengan senang hati menyetujuinya. Peristiwa ini menjadi titik balik dalam kehidupannya. Setiap kali Kala mempelajari sebuah syair, Sang Buddha membuatnya salah mengerti sehingga ia harus mendengarnya berulang kali dengan penuh perhatian. Ketika ia merenungkan maknanya, ia tiba-tiba merasa sangat terinspirasi oleh Ajaran dan saat itu juga mencapai tingkat Pemasuk-Arus. Sejak saat itu, kehidupannya menjadi mulia, sama seperti ayahnya, dan ia pun menjadi penyokong utama Sangha, sehingga ia dikenal dengan nama “Anathapindika Kecil.”

Kala beristrikan Sujata, kakak dari Visakha, seorang umat awam yang terkenal. Sujata sangat bangga dengan latar belakang keluarganya dan kekayaan kedua sisi keluarganya. Karena ia hanya memikirkan hal-hal yang remeh ini, maka secara batiniah ia tidak terpenuhi, tidak puas dan mudah tersinggung, dan ia pun melepaskan ketidak-bahagiaannya kepada orang lain. Ia memperlakukan semua orang dengan kasar, memukuli para pelayan, dan menyebarkan ketakutan serta teror kemanapun ia pergi. Ia bahkan tidak menaati aturan kepemilikan dalam berhubungan dengan mertua dan suaminya, yang dipandang sangat penting oleh masyarakat India.

Pada suatu hari, setelah bersantap di rumah mereka, saat Sang Buddha sedang memberikan khotbah, terdengar bentakan dan teriakan keras dari ruangan lain. Sang Guru menghentikan khotbahnya dan bertanya kepada Anathapindika perihal sumber keributan itu, yang terdengar seperti teriakan nyaring para nelayan. Si perumahtangga menjawab bahwa sumbernya adalah menantu perempuannya yang sedang membentak para pelayan. Menantunya adalah orang yang pemarah, katanya, yang tidak berperilaku semestinya terhadap suami ataupun mertuanya, yang tidak berdana, tidak berkeyakinan, dan tidak percaya, yang selalu menyebarkan konflik.

Hal yang aneh pun terjadi: Sang Buddha meminta agar menantunya dipanggil. Ketika ia akhirnya muncul di hadapan beliau, Sang Buddha bertanya kepadanya: ingin menjadi yang manakah ia dari tujuh jenis istri. Ia menjawab bahwa ia tidak memahami maksud beliau dan memohon penjelasan lebih lanjut. Maka Yang Tercerahkan menjelaskan tujuh jenis istri kepadanya dalam syair berikut:

"Dengan pikiran yang membenci, dingin dan kejam,
Penuh nafsu terhadap pria lain, merendahkan suaminya,
Yang ingin membunuh orang yang telah meminangnya—
Istri demikian disebut pembantai.

Ketika suaminya mendapatkan kekayaan
Melalui keterampilan atau berdagang atau bertani
Ia berusaha untuk mencuri sedikit bagi dirinya—
Istri demikian disebut pencuri.

Si rakus yang malas, suka bermalas-malasan
Keras, kejam, kasar dalam berbicara,
Seorang perempuan yang sewenang-wenang terhadap bawahannya—
Istri demikian disebut tiran.

Ia yang suka menolong dan baik hati,
Yang menjaga suaminya seperti seorang ibu terhadap anaknya,
Yang berhati-hati melindungi kekayaan yang dikumpulkan suaminya—
Istri demikian disebut ibu.

Ia yang menghargai suaminya
Seperti adik menghargai kakaknya,
Yang dengan rendah hati menuruti keinginan suaminya—
Istri demikian disebut adik.

Ia yang bergembira dalam pandangan suaminya,
Seperti seorang teman menerima yang lainnya,
Dibesarkan dengan baik, bajik, taat—
Istri demikian disebut teman.

Ia yang tanpa kemarahan, takut pada hukuman,
Yang terhadap suaminya bebas dari kebencian,
Yang dengan rendah hati menuruti keinginan suaminya—
Istri demikian disebut pelayan.

Jenis-jenis istri yang disebut pembantai, Pencuri dan istri seperti tiran, Istri-istri demikian, dengan terurainya tubuh, Akan terlahir di neraka yang dalam.

Tetapi istri seperti ibu, adik, teman Dan istri yang dipanggil pelayan, Mantap dalam kebajikan, tenang, Dengan terurainya tubuh akan menuju surga."

(AN 7:59)

Kemudian Sang Bhagava langsung menanyainya: "Inilah, Sujata, ketujuh jenis istri yang dapat dimiliki seorang pria. Yang manakah dirimu?"

Dengan hati yang sangat tergerak, Sujata menjawab bahwa mulai saat ini ia akan berjuang untuk menjadi pelayan bagi suaminya. Perkataan Yang Tercerahkan telah menunjukkan kepadanya cara berperilaku sebagai seorang istri. Kemudian ia pun menjadi murid Sang Buddha yang taat, yang kepada Beliau selamanya ia berterima kasih atas kebebasannya.

Kabar perihal perubahan Sujata menyebar cepat. Pada suatu malam, Sang Buddha masuk ke ruang kotbah dan Ia bertanya kepada para bhikkhu apa yang sedang mereka diskusikan. Mereka melapor bahwa mereka sedang membicarakan “mukjizat Dhamma,” yang ditunjukkan oleh keterampilan Yang Terjaga dengan membuat seorang istri menjadi mempesona dari yang dulunya Sujata si “naga rumah.” Sang Buddha kemudian menceritakan bagaimana ia telah menjinakkan Sujata di kehidupan sebelumnya. Pada waktu itu Sujata adalah ibu beliau, dan beliau telah menghentikannya membentak dan menguasai orang lain dengan perbandingan antara gagak yang menjijikan dan burung yang manis - (Jat. 269).

Terakhir, disinggung pula keponakan Anathapindika. Ia mewarisi kekayaan sebesar empat puluh juta tetapi dengan gaya hidupnya yang liar, bermabuk-mabukan, dan berjudi serta menghabiskan kekayaannya untuk para penghibur, wanita dan teman-teman yang mengikutinya. Ketika warisannya telah habis, ia meminta bantuan kepada pamannya. Anathapindika memberinya seribu keping emas dan memberitahunya agar menggunakan uang itu untuk memulai usaha. Namun sekali lagi ia menghabiskan seluruh uangnya untuk kemudian muncul lagi di rumah pamannya.

Kali ini Anathapindika memberinya uang lima kali lebih banyak, tanpa satu syaratpun, namun sebagai tanda pemutusan hubungan. Walaupun Anathapindika telah memberikan peringatan bahwa uang ini merupakan pemberiannya yang terakhir, si keponakan tetap tidak merubah kebiasaannya yang boros. Pada saat ketiga kalinya ia memohon uang kepada pamannya, Anathapindika memberikannya dua potong pakaian, yang dihabiskannya juga, dan kemudian dengan tidak tahu malu menemui pamannya untuk keempat kalinya. Akan tetapi, kali ini ia diminta untuk pergi. Bila ia datang sebagai pengemis biasa dan bukan sebagai keponakan, tentu ia tidak akan meninggalkan rumah Anathapindika dengan tangan kosong. Namun ia tidak melakukannya karena bukan sedekah yang ia inginkan melainkan uang untuk berhura-hura.

Karena ia terlalu malas dan keras kepala untuk mencari penghidupan sendiri, namun juga tidak mau mengemis, maka ia meninggal dalam kondisi yang menyedihkan. Tubuhnya ditemukan di dekat tembok kota dan kemudian dibuang ke tumpukan sampah. Ketika Anathapindika mendengar berita ini, ia bertanya kepada dirinya sendiri apabila ia mampu mencegah akhir yang menyedihkan ini. Ia kemudian memberitahu Sang Buddha cerita ini dan bertanya apakah ia seharusnya bertindak dengan cara yang berbeda. Namun Sang Buddha menghapus kerisauannya dengan menjelaskan bahwa keponakannya itu termasuk sejumlah kecil orang yang tidak dapat dipuaskan, seperti ember tak berdasar. Ia meninggal dikarenakan perilakunya yang ceroboh, seperti yang terjadi kepadanya dalam kehidupan sebelumnya - (Jat. 291).

ANATHAPINDIKA DAN KAWAN-KAWANNYA
Begitu Anathapindika mencapai tingkat pemasuk-arus, ia mengabdikan diri sepenuhnya dalam menjalankan sila, memurnikan pikiran dan usaha-usaha untuk memajukan orangorang di sekelilingnya. Jadi ia hidup dalam kemurnian di tengahtengah orang yang sepaham. Tidak hanya keluarga langsungnya melainkan juga para pekerja dan pelayannya berjuang untuk berlatih kedermawanan, menjaga Lima Sila dan menjalankan hari Uposatha (Jat. 382). Rumahnya menjadi pusat kebaikan dan niat baik, dan sikapnya menyebar di lingkungannya, kepada temanteman dan kenalannya. Ia tidak memaksakan pendapatnya kepada mereka, ataupun menghindari masalah dalam kehidupan seharihari. Beberapa detil mengenai kehidupannya saat itu dilaporkan dalam teks.

Pada suatu ketika sekelompok pemabuk di Savatthi mulai kehabisan uang. Ketika mereka sedang merundingkan cara agar mereka bisa mendapatkan lebih banyak arak, salah seorang dari mereka berpikir untuk membuat Anathapindika yang kaya menjadi mabuk, dan ketika ia tidak sadarkan diri, merampoknya. Mereka tahu bahwa ia selalu melewati rute tertentu ketika mengunjungi raja, maka mereka membangun sebuah kios minuman di jalan itu. Ketika Anathapindika melewati jalan ittu, mereka mengundangnya untuk minum bersama. Namun dengan berpikir, “Bagaimana mungkin pengikut taat dari Yang Agung minum arak?”, ia pun menolak undangan mereka dan melanjutkan perjalanannya menuju istana.

Para pemabuk yang kecewa itu kemudian berusaha membujuknya sekali lagi ketika ia sedang dalam perjalanan pulang. Anathapindika langsung menghadapi mereka dan mengatakan ia bahwa mereka sendiri tidak ingin meminum arak itu karena araknya tidak tersentuh sama sekali seperti sebelumnya. Apakah mereka berencana untuk membuatnya tak sadarkan diri dan kemudian merampoknya? Ketika dengan beraninya ia melakukan perlawanan dengan perkataan ini, mereka pun lari ketakutan (Jat. 53).

Anathapindika tahu bagaimana cara untuk membedakan antara sila-nya untuk tidak minum alkohol dengan perilaku orang lain. Contohnya, salah seorang teman Anathapindika berdagang minuman keras. Walaupun demikian, Anathapindika tetap berteman dengannya. Suatu ketika si pedagang minuman keras mengalami kerugian besar yang disebabkan kecerobohan salah seorang pekerjanya. Anathapindika bersimpati penuh terhadapnya dan memperlakukannya sama dengan ia memperlakukan teman lain yang mengalami kesialan. Ia sendiri memberikan teladan yang baik, namun ia tidak memaksakan pendapatnya ataupun mengkritik kekurangan mereka (Jat. 47).

Pada suatu ketika, Anathapindika sedang berada di daerah yang rawan perampok. Ia memilih untuk menanggung ketidaknyamanan bergerak sepanjang malam daripada membuka diri terhadap risiko diserang (Jat.103). Ia menaati nasihat Sang Buddha yaitu seseorang sebaiknya mengatasi masalah tertentu dengan menghindarinya daripada menunjukkan kepahlawanan palsu (lihat MN 2).

Anathapindika juga menghindari perampokan dengan cara lain. Ia memiliki seorang teman sejak kecil yang bernama Kalakanni, “Burung Sial.” Ketika temannya ini membutuhkan uang, Anathapindika menolongnya dan memberinya pekerjaan di rumahnya. Teman-temannya yang lain mengkritik perbuatannya— karena orang itu memiliki nama yang sial dan berasal dari keturunan rendah. Tetapi Anathapindika menampiknya, “Apalah arti sebuah nama? Orang bijaksana tidak mempedulikan tahayul!” Ketika Anathapindika pergi dalam perjalanan bisnis, ia mempercayakan rumahnya kepada temannya. Sekelompok pencuri mendengar kabar kepergiannya dan merencanakan pencurian. Ketika mereka sedang mengelilingi rumah itu, Si “Burung Sial” yang selalu waspada memukul drum dan membuat suara-suara berisik sehingga terdengar seperti sebuah perayaan sedang berlangsung. Suara-suara ini meyakinkan para pencuri bahwa kepala rumah tidak benar-benar pergi, sehingga mereka membuang peralatan mereka dan kabur. Ketika Anathapindika mendengar kabar ini, ia mengatakan kepada teman-temannya, “Lihatlah, si ‘Burung Sial’ telah berjasa padaku. Bila dulu aku mendengar kalian, aku sudah dirampok” (Jat. 83, 121).

Kebanyakan teman Anathapindika adalah orang-orang yang religius, walaupun sebagian menjadi pengikut berbagai macam pertapa pengelana yang mewakili keanekaragaman sekte dan kepercayaan di India saat itu. Suatu hari, Anathapindika menyarankan sekelompok besar temannya untuk mendengar Sang Buddha. Mereka pergi dengan rela dan menjadi sangat tergerak oleh kotbah Yang Tercerahkan sehingga mereka menyatakan diri menjadi pengikut beliau. Mulai saat itu mereka mengunjungi vihara dengan teratur, memberikan dana, menjalankan sila, dan hari Uposatha. Tetapi begitu Sang Buddha meninggalkan Savatthi, mereka meninggalkan Dhamma dan sekali lagi mengikuti pertapa lain yang dengannya mereka bisa berhubungan setiap hari.

Beberapa bulan kemudian, ketika Sang Buddha sudah kembali ke Savatthi, Anathapindika sekali lagi membawa teman- temannya untuk menemui beliau. Kali ini Yang Terjaga tidak hanya menjelaskan aspek doktrin yang memajukan, namun juga memperingatkan mereka bahwa tidak ada perlindungan yang lebih baik atau lengkap untuk melawan penderitaan di dunia ini selain Tiga Perlindungan: Buddha, Dhamma dan Sangha. Kesempatan ini sangatlah langka di dunia, dan siapapun yang menyianyiakannya akan sangat menyesal. Demikian bagi mereka yang dengan tulus pergi berlindung pada Tiga Permata akan terhindar dari neraka dan mencapai salah satu dari tiga tujuan bahagia: kelahiran kembali yang baik sebagai manusia, salah satu dari kediaman surga, atau Nibbana.

Sang Buddha menantang para pedagang itu untuk mempertimbangkan kembali prioritas mereka, untuk mengenali bahwa keyakinan terhadap Tiga Permata bukanlah kemewahan yang bisa dengan mudahnya dikesampingkan ketika mereka merasa sudah tidak nyaman. Beliau berbicara kepada mereka mengenai kesia-siaan banyak perlindungan palsu yang dianut orang-orang, yang tidak dapat memberikan perlindungan yang nyata selain kelegaan yang semu. Ketika pikiran mereka telah siap menerima, beliau menjelaskan ajaran unik dari para Yang Terjaga—Empat Kebenaran Mulia perihal penderitaan, sumber, akhir, dan jalan menuju akhirnya—dan pada akhir kotbah mereka semua mencapai tingkat pemasuk-arus. Dengan demikian, pencapaian Anathapindika juga menjadi berkah bagi teman-temannya (Jat. 1).

KOTBAH-KOTBAH SANG BUDDHA
Dalam empat puluh lima musim penghujan hidupnya sebagai seorang guru, Sang Buddha menghabiskan sembilan belas musim di Savatthi di Vihara Anathapindika di Hutan Jeta. Manakala beliau tinggal selama tiga atau empat bulan masa penghujan di sana, Anathapindika biasanya mengunjungi beliau dua kali sehari, terkadang hanya untuk bertemu beliau namun seringkali pula untuk mendengar kotbah. Anathapindika sungkan bertanya pada Sang Bhagava. Sebagai penyokong Sangha yang paling murah-hati, ia tidak mau menciptakan kesan bahwa ia hanya membarter kontribusinya dengan konsultasi pribadi. Baginya berdana adalah mengenai hati, memberi tanpa mengharap balasan—kegembiraan karena memberi sudah cukup baginya. Ia berpikir bahwa Sang Buddha dan para bhikkhu tidak akan menganggap mengajar sebagai kewajiban atau ganti rugi bagi penyokong, melainkan membagi hadiah Dhamma sebagai perwujudan alami kebaikan dan cinta-kasih mereka.

Oleh karena itu ketika Anathapindika menemui Sang Buddha ia akan duduk diam di samping beliau dan menunggu jikalau Sang Bhagava akan memberikan ia instruksi. Bila Sang Bhagava tidak mengatakan apapun, Anathapindika terkadang akan menceritakan suatu kejadian dalam hidupnya, yang beberapa darinya telah dijelaskan. Ia kemudian menunggu apakah Sang Bhagava akan berkomentar, merestui atau mengkritik perilakunya, atau beliau akan menggunakan kisahnya sebagai titik awal kotbah. Dengan cara demikian ia menghubungkan pengalaman sehari-hari dengan Ajaran.

Banyak kisah mengenai Sang Buddha memberikan instruksi kepada Anathapindika yang dicatat dalam Teks Pali. Ajaran-ajaran itu membentuk aturan yang lengkap bagi etika umat awam. Dan dengan mendapatkan instruksi-instruksi tersebut dari Sang Bhagava , Anathapindika juga menjadi penyokong umat awam yang tak terhingga banyaknya, yang dengan seksama berusaha mengikuti Dhamma. Kotbah-kotbah ini, yang terdapat dalam Anguttara Nikaya, berkisar dari yang paling sederhana sampai yang paling mendalam. Beberapa darinya disinggung di sini, dimulai dengan kata-kata dasar nasihat bagi umat awam:

"Perumah-tangga, milikilah empat hal, para murid mulia yang telah memasuki jalan tugas perumah-tangga. Jalan yang mendatangkan reputasi baik dan menuju alam surga. Apakah yang empat itu?

Di sini, perumahtangga, para murid mulia menantikan Sangha dengan menawarkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk digunakan ketika sakit. Inilah keempat hal itu."
- (AN 4:60)

"Perumahtangga, inilah empat jenis kebahagiaan untuk dimenangkan perumahtangga: kebahagiaan kepemilikan, kebahagiaan kekayaan, kebahagiaan tanpa-hutang, kebahagiaan tanpa-cela.

Apakah kebahagiaan kepemilikan itu?

Seseorang memiliki kekayaan yang diperoleh melalui perjuangan penuh semangat, dikumpulkan melalui kekuatan lengannya, dimenangkan melalui keringat di dahinya, didapatkan melalui cara yang sah. Dengan pikiran: “Kekayaan adalah milikku yang didapatkan melalui perjuangan yang bersemangat…didapat dengan sah,” kebahagiaan datang padanya, kepuasan datang padanya. Inilah, perumahtangga, yang disebut kebahagiaan kepemilikan.

Apakah kebahagiaan kekayaan itu?

Seseorang dengan kekayaan yang diperoleh melalui perjuangan yang bersemangat…menikmati kekayaan sekaligus melakukan perbuatan bajik. Dengan pikiran: “Dengan menggunakan kekayaan yang diperoleh…. Aku menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan bajik,” kebahagiaan datang padanya, kepuasan datang padanya. Inilah, perumahtangga, yang disebut kebahagiaan kekayaan.

Apakah kebahagiaan tanpa-hutang itu?

Seseorang tidak berhutang, besar ataupun kecil, pada siapapun. Dengan pikiran: “Aku tidak berhutang, besar ataupun kecil, pada siapapun,” kebahagiaan datang padanya, kepuasan datang padanya. Inilah, perumahtangga, yang disebut kebahagiaan tanpa-hutang.

Apakah kebahagiaan tanpa-cela itu?

Para murid mulia terberkati dengan perbuatan tanpa-cela, ucapan yang tanpa-cela, pikiran yang tanpa-cela. Dengan pikiran: “Aku terberkati dengan perbuatan, ucapan, dan pikiran yang tanpa-cela,” kebahagiaan datang padanya, kepuasan datang padanya. Inilah, perumahtangga, yang disebut kebahagiaan tanpa-cela.

Demikanlah empat jenis kebahagiaan untuk dimenangkan perumahtangga."
- (AN 4:62)

"Perumahtangga, ada lima hal yang diinginkan, disenangi dan disetujui, yang langka di dunia. Apakah yang lima itu? Kelima itu adalah umur panjang, keelokan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan (tumimbal lahir di) surga. Namun, perumahtangga, tidak ku ajarkan bahwa kelima hal ini dapat dicapai melalui mohon atau nazar. Bila kelima hal ini bisa dicapai melalui mohon atau nazar, siapakah yang tidak akan melakukannya?

Bagi seorang murid mulia, perumahtangga, yang menginginkan umur panjang, tidaklah pantas baginya mohon untuk mendapat umur panjang ataupun mendapat kesenangan dari melakukannya. Ia seharusnya mengikuti jalan hidup yang mendukung umur panjang. Dengan mengikuti jalan ini ia akan mendapatkan umur panjang baik sebagai dewa ataupun manusia.

Bagi seorang murid mulia, perumahtangga, yang menginginkan keelokan … kebahagiaan … kemasyhuran … (tumimbal lahir di) surga, tidaklah pantas baginya memohon untuk mendapatkannya atau mendapat kesenangan dari melakukannya. Ia seharusnya mengikuti jalan hidup yang mendukung kecantikan … kebahagiaan … kemasyhuran … (tumimbal lahir di) surga). Dengan mengikuti jalan ini ia akan memperoleh keelokan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan (tumimbal lahir di) surga."
- (AN 5:43)

"Perumahtangga, ada lima alasan untuk menjadi kaya. Apakah lima alasan itu?
  • … Seorang murid ariya dengan kekayaan yang diperoleh melalui kerja dan usaha, dikumpulkan melalui kekuatan lengannya, dimenangkan melalui keringat di dahinya, didapat melalui cara yang sah, membuat dirinya bahagia, gembira, dan menjaganya tetap demikian; ia membuat orang tuanya bahagia, gembira, dan menjaganya tetap demikian; demikian pula dengan istri, anak, dan pelayannya.
  • … Ketika kekayaan didapat dengan cara demikian, ia membuat teman-teman dan sahabat-sahabatnya bahagia, gembira, dan menjaganya tetap demikian.
  • … Ketika kekayaan didapat dengan cara demikian, keburukan … dihalau, dan ia menjaga barang-barangnya dengan aman.
  • … Ketika kekayaan didapat dengan cara demikian, ia membuat lima macam persembahan kepada sanak saudara, tamu, makhluk halus, raja, dan dewa.
  • … Ketika kekayaan didapat dengan cara demikian, murid mulia memberikan dana dengan tujuan yang mulia, surgawi, masak dalam kebahagiaan, menuju surga, kepada para pertapa dan brahmana yang pantang menyombongkan diri dan bermalas-malasan, yang menanggung semuanya dengan sabar dan rendah hati, masing-masing menguasai dirinya, masing-masing menenangkan dirinya, masing-masing menyempurnakan dirinya.

Bila kekayaan si murid mulia, yang memperhatikan kelima alasan ini, lenyap, biarlah ia berpikir demikian: "Paling tidak aku telah memperhatikan kelima alasan untuk menjadi kaya, namun kekayaanku telah habis!" — dengan demikian ia tidak bersedih.

Dan bila kekayaannya bertambah, biarlah ia berpikir: "Benar, aku telah memperhatikan kelima alasan ini dan kekayaanku bertambah!”—sehingga ia tidak bersedih juga."
- (AN 5:41)

Pentingnya kotbah sebelumnya ditekankan lebih jauh oleh fakta bahwa Sang Buddha mencamkannya lagi kepada Anathapindika di lain kesempatan dalam bentuk yang sedikit berbeda. Pada kesempatan itu beliau berkata kepadanya:

"Perumahtangga, ada empat keadaan (untuk direalisasi) yang diinginkan, disenangi, menggembirakan, sulit didapat di dunia. Apakah yang empat itu? (Keinginan:)

"Semoga kekayaan yang sah datang padaku!"
"dengan kekayaan yang didapat lewat cara yang sah, semoga laporan yang baik kudapat sekaligus pula dengan kerabat dan guruku!"
"Semoga aku hidup lama dan berumur panjang!"
"Ketika tubuh terurai, semoga setelah kematian aku mencapai alam surga!"

Sekarang, perumahtangga, untuk memperoleh empat keadaan ini, terdapat empat kondisi yang mendukung. Apakah yang empat itu? Kesempurnaan keyakinan, kesempurnaan moral, kesempurnaan kedermawanan, dan kesempurnaan kebijaksanaan."
- (AN 4:61)

Sang Buddha menjelaskan: keyakinan hanya dapat diperoleh bila seseorang sunguh-sungguh menerima Sang Bhagava dan pesannya mengenai sifat alami keberadaan. Seseorang bisa memperoleh kemoralan hanya bila ia memenuhi Lima Sila dasar kehidupan bermoral. Kedermawanan dimiliki oleh orang yang telah bebas dari keserakahan. Seseorang memperoleh kebijaksanaan ketika ia menyadari bahwa manakala hati dikuasai lima penghalang—nafsu duniawi, keinginan menyakiti, kemalasan, kegelisahan, dan keraguan—maka ia melakukan yang seharusnya tidak dilakukan dan tidak melakukan yang seharusnya dilakukan. Ia yang melakukan kejahatan dan tidak menghiraukan kebaikan akan kehilangan reputasi dan keberuntungannya. Sebaliknya, ia yang terus menerus menyelidiki dan mengamati keinginan dan dorongan batinnya mulai menguasai kelima penghalang. Oleh karena itu penaklukannya merupakan akibat dari kebijaksanaan.

Bila murid yang mulia, melalui keyakinan, kemoralan, kedermawanan, dan kebijaksanaan, sedang dalam perjalanan memperoleh empat hal yang diinginkan, yaitu kekayaan, reputasi baik, umur panjang, dan kelahiran kembali yang baik, menggunakan uangnya untuk melakukan empat perbuatan bajik. Ia membuat dirinya, keluarganya, dan temannya bahagia; ia menghindari kecelakaan; ia melakukan kelima tugas yang disinggung di atas; dan ia menyokong pertapa dan brahmana sejati. Bila seseorang menghabiskan kekayaan untuk hal selain dari empat ini, maka kekayaan itu tidak mencapai tujuannya dan telah disia-siakan dengan gegabah. Namun bila ia menghabiskan kekayaannya demi empat tujuan ini, maka ia telah menggunakannya dengan cara yang bermanfaat.

Dalam kesempatan lain Sang Buddha menjelaskan perbedaan antara tindakan baik dan tindakan buruk bagi umat awam. Di dalam kotbah ini (AN 10:91) beliau berkata: "Orang yang paling bodoh adalah ia yang walaupun memperoleh kekayaan melalui cara-cara yang tidak jujur, bahkan tidak menikmati penggunaannya untuk diri sendiri, ataupun demi manfaat orang lain. Sedikit lebih masuk akal bila seseorang paling tidak mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan bagi dirinya dari uang haram. Lebih masuk akal lagi orang yang menggunakannya untuk membahagiakan orang lain.” Bahkan pada tingkatan terendah dari pengumpulan uang dan barang lewat kekerasan dan kejahatan, yang dikutuk dengan keras dan tanpa membedabedakan oleh masyarakat umum, Yang Terjaga mampu melihat perbedaan yang halus antara perilaku dan sikap orang. Orang yang mengenali bahwa tujuan dasar dari memperoleh kekayaan adalah paling tidak untuk mendapatkan sedikit kenyamanan bagi dirinya, dapat dibuat memahami bahwa dengan mendapatkan pemasukan yang jujur, ia bisa memperoleh lebih banyak manfaat. Dan seseorang yang mendapatkan sedikit kebahagiaan dengan membuat orang lain bahagia juga dapat dengan mudah memahami bahwa ia jelas-jelas telah membuat orang-orang yang ia tipu atau rampok menjadi tidak bahagia. Di sisi lain, dengan penghidupan yang jujur, ia tidak menyakiti siapapun.

Kelompok kedua ialah orang yang memperoleh kekayaan sebagian melalui cara yang tidak jujur dan sebagian melalui cara yang jujur. Dalam kelompok ini ada orang yang tidak mendatangkan kebahagiaan baik untuk dirinya juga orang lain; mereka yang tidak menikmati kekayaannya; dan mereka yang dapat membahagiakan orang lain. Terakhir, kelompok ketiga terdiri dari mereka yang penghidupannya didapat melalui cara-cara yang jujur, yang juga terbagi menjadi tiga jenis. Namun di kelompok terakhir ini ditambahkan lagi dua jenis: mereka yang sangat melekat pada kekayaannya, dan karena dimabukkan olehnya, tidak mewaspadai bahaya yang terkandung di dalamnya dan tidak mencari jalan untuk keluar darinya; dan mereka yang tidak melekat pada kekayaannya dan tidak dimabukkan olehnya, namun waspada akan bahaya yang terkandung di dalamnya dan tahu jalan keluar darinya. Jadi semuanya ada sepuluh jenis orang yang menikmati kenikmatan duniawi hasil kekayaan."


Pada suatu ketika Sang Buddha bertanya apakah dana disediakan di rumahnya. Menurut kitab komentar, hal ini merujuk pada dana yang disediakan hanya bagi mereka yang membutuhkan, karena Sang Buddha mengetahui bahwa di rumah Anathapindika dana dengan murah hati diberikan pada Sangha. Dari sinilah berkembang perbincangan mengenai nilai kualitatif dari kesempurnaan berdana. Sang Buddha menjelaskan: "Walaupun seseorang memberikan dana baik kasar ataupun bagus, bila dana diberikan tanpa rasa hormat dan sopan santun, bukan dengan tangan sendiri, memberikan hanya sisa-sisa, dan memberi tanpa keyakinan terhadap hasil dari perbuatan, maka ketika ia terlahir kembali sebagai hasil dari berdana, maka batinnya tidak memiliki kesenangan terhadap makanan enak dan pakaian indah, kendaraan indah, pada lima objek indera yang lebih halus. Anak, istri, pelayan, dan pekerjanya tidak akan menaatinya, atau mendengarnya, atau memperhatikannya. Mengapakah demikian? Karena ini adalah hasil dari bertindak tanpa rasa hormat."

Sehubungan dengan ini, Sang Buddha menceritakan bagaimana beliau dalam kehidupan sebelumnya, sebagai seorang brahmana kaya bernama Velama, telah membagi-bagikan dana dalam jumlah besar namun tidak ada seorangpun dari penerimanya yang pantas diberi. Jauh lebih berjasa daripada dana dalam jumlah besar kepada orang yang tidak pantas, adalah sekali saja berdana makanan kepada para murid mulia, dari pemasukarus sampai arahat. Lebih berjasa lagi adalah berdana makanan kepada seorang paccekabuddha atau dari pada seratus orang paccekabuddha lebih baik berdana kepada seorang Buddha atau membangun vihara. Tetapi jauh lebih baik ialah pergi berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan tindakan ini akan lebih sempurna bila seseorang menjalankan Lima Sila. Namun, tetap lebih baik bila seseorang mampu walaupun hanya dalam satu tarikan nafas, memancarkan cinta-kasih universal (metta). Namun, yang terbaik adalah mengembangkan bahkan hanya dalam satu jentikan jari, pandangan-terang perihal ketidakkekalan - (AN 9:20).

Kotbah ini menunjukkan tingkatan dalam berlatih: memberi, kemoralan, meditasi cinta-kasih, dan akhirnya, realisasi yang tak tergoyahkan perihal ketidakkekalan semua yang berkondisi. Tanpa usaha dalam memberi, kemoralan, dan mencintai sesama makhluk, perenungan terkonsentrasi perihal ketidakkekalan tidaklah mungkin, karena dalam kedamaian dan kesunyian yang dibutuhkan latihan ini, pikiran-pikiran gelap dapat muncul.

Pembabaran mengenai jenis memberi ini mengingatkan pada kotbah pendek lainnya. Dimana hanya di kisah inilah Anathapindika bertanya kepada Sang Buddha, yaitu, "Berapa banyakkah yang pantas menerima pemberian?" Sang Buddha menjawab bahwa ada dua jenis: mereka yang sedang menuju kebebasan dan mereka yang telah mencapainya - (AN 2:27).

Walau dalam pembicaraan-pembicaraan sebelumnya topik pemurnian batin sedikit banyak ditekankan secara tidak langsung, dalam kejadian lain topik ini disinggung dengan gamblang. Pada suatu ketika Sang Buddha berkata kepada Anathapindika: "Bila pikiran terkorupsi, maka semua perbuatan, perkataan, dan pikiran juga ternoda. Orang yang demikian akan terbawa oleh nafsukeinginannya dan akan mengalami kematian yang tidak bahagia, seperti penyangga atap, kerangka atap, dan dinding dari rumah yang atapnya bobrok, tidak terlindungi, akan membusuk ketika basah oleh hujan" - (AN 3:107-8).

Pada kesempatan lain, Anathapindika dengan beberapa ratus umat awam lainnya pergi menemui Sang Guru, yang kemudian berkata kepada mereka: "Kalian umat awam pasti menyediakan pakaian, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan bagi komunitas bhikkhu, namun kalian tidak boleh puas hanya dengan ini. Semoga kalian juga dari waktu ke waktu berjuang untuk masuk dan tinggal di dalam kegembiraan (meditatif) dari penyendirian!"

Setelah perkataan ini, Bhante Sariputta menambahkan: "Ketika seorang murid mulia berdiam di dalam kegembiraan (meditatif) dari penyendirian, lima hal tidak ada padanya: tidak ada kesakitan dan kesedihan yang berhubungan dengan indera; tidak ada kenikmatan dan kesenangan yang berhubungan dengan indera; tidak ada kesakitan dan kesedihan yang berhubungan dengan apa yang tidak bajik; tidak ada kesenangan dan kelegaan yang berhubungan dengan apa yang tidak bajik; tidak ada kesakitan dan kesedihan yang berhubungan dengan apa yang bajik" - (AN 5:176).

Pada kesempatan lain ketika Anathapindika dan banyak umat awam mengunjungi Sang Buddha lagi, Sang Bhagava berkata kepada Y.M. Sariputta:

"Seorang perumahtangga berpakaian putih yang mengendalikan tindakannya sesuai Lima Sila dan yang dengan mudah dan tanpa kesulitan, dicapai setiap saat, empat kediaman mental yang agung yang membawa kebahagiaan sekarang juga—perumahtangga yang demikian boleh, bila ia mau, menyatakan dirinya:

"Hancur sudah bagiku (tumimbal lahir di) neraka, hancur sudah tumimbal lahir sebagai hewan, hancur sudah alam setan: hancur sudah bagiku alam-alam rendah, takdir yang tidak bahagia, alam-alam menyedihkan: Aku telah memasuki arus, tidak akan lagi jatuh dalam keadaan yang menyedihkan, pencerahan akhir telah dipastikan, dijamin!"

Di dalam Lima Sila tindakan apakah yang terkendali? Seorang murid mulia tidak membunuh, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan perilaku seksual yang salah, tidak berbohong, dan tidak mengkonsumsi zat yang memabukkan.

Dan apakah empat kediaman mental yang agung yang membawa kebahagiaan sekarang juga, yang dapat ia capai setiap saat? Seorang murid mulia memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Buddha, keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Dhamma, keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sangha; dan ia memiliki kemoralan yang dicintai para ariya—kemoralan yang tak ter-rusak-kan, tak terlanggar, tak ternoda, tanpa cacat, membawa kemerdekaan, dipuji para bijaksana, tak tamak, mendukung konsentrasi. Inilah empat kediaman mental yang agung yang membawa kebahagiaan sekarang juga, yang memurnikan pikiran yang tidak murni dan membersihkan pikiran yang tidak bersih. Hal ini ia capai setiap saat, dengan mudah dan tanpa kesulitan."
- (AN 5:179)

Pada kesempatan lain pencapaian pemasuk-arus dijelaskan kepada Anathapindika dalam tiga cara yang berbeda— tetapi hanya kepada dia seorang. Sang Buddha berkata:

"Bila di dalam diri seorang murid mulia kelima kejahatan yang menakutkan telah lenyap, ketika ia memiliki empat sifat pemasuk-arus, dan bila ia memahami metode mulia dengan baik dan bijaksana, maka ia bisa menganggap dirinya sebagai pemasuk-arus. Namun, ia yang membunuh, mencuri, melakukan tindakan seksual yang salah, berbohong, dan mengkonsumsi zat yang memabukkan, menghasilkan kelima kejahatan yang menakutkan baik di masa sekarang maupun di masa depan, dan mengalami kesakitan dan kesedihan dalam pikirannya. Siapapun yang menjauhi kelima kejahatan, baginya kelima kejahatan telah dihapuskan. Kedua, ia memiliki—sebagai sifat pemasuk-arus—keyakinan tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan ia menjalankan sila dengan tanpa-cela. Ketiga, ia telah sepenuhnya melihat dan menembus metode mulia, yakni asal mula yang saling bergantungan."-(AN 10:92)

Pada suatu pagi Anathapindika ingin mengunjungi Sang Buddha, namun karena masih terlalu pagi maka ia pergi ke kediaman beberapa pertapa pengelana. Karena para pertapa mengenalinya sebagai pengikut Sang Buddha, mereka bertanya padanya perihal pandangan yang dimiliki pertapa Gotama. Ia menjawab bahwa ia tidak mengetahui semua pandangan Sang Bhagava. Ketika mereka bertanya kepadanya lagi perihal pandangan para bhikkhu, ia menjawab lagi bahwa ia tidak mengetahui semua pandangan mereka. Oleh karena itu ia ditanya apakah pandangan yang dimilikinya. Ia menjawab: "Pandangan apa yang kupegang, tuan-tuan yang mulia, tidaklah sulit untuk ku jelaskan. Tetapi bolehkan bila saya memohon Yang Mulia untuk menjelaskan pandangan anda dahulu. Setelah itu tidak akan sulit bagiku untuk menjelaskan pandangan yang aku pegang."

Para pertapa kemudian menjelaskan anggapan mereka mengenai dunia. Yang satu menganggapnya abadi, yang lain menganggapnya tidak abadi; yang satu menganggapnya terbatas, yang lain menganggapnya tidak terbatas; yang satu menganggap bahwa badan dan jiwa adalah sama, yang lain menganggapnya berbeda; beberapa percaya bahwa Yang Tercerahkan tetap ada setelah meninggal, yang lain mengatakan bahwa ia hancur.

Anathapindika kemudian berkata: "Yang manapun dari pandangan ini yang dipegang, sumbernya pasti salah satu dari dua ini: dari refleksinya yang tidak bijaksana, atau melalui ucapan orang lain. Dalam kedua kasus itu, pandangannya muncul karena terkondisi. Akan tetapi, hal-hal yang terkondisi adalah sementara; dan hal-hal yang bersifat sementara melibatkan penderitaan. Oleh karena itu, ia yang memegang pandangan dan pendapat melekat pada penderitaan, tunduk pada penderitaan."

Kemudian para pertapa ingin mengetahui pandangan yang dipegang Anathapindika. Ia menjawab: Apapun yang timbul adalah sementara; kesementaraan adalah sifat dari penderitaan. Tetapi penderitaan bukanlah milikku, bukan aku, dan bukan diriku."

Karena ingin membalas, mereka berargumen bahwa ia sendiri juga melekat karena ia melekat pada pandangan yang baru saja ia jelaskan. "Bukan begitu," balasnya, "karena aku telah menangkap hal-hal ini sesuai kenyataan, dan lagipula, aku mengetahui cara keluar darinya sebagaimana adanya"—dengan kata lain, ia menggunakan pandangan ini hanya sebagai alat dan pada waktunya juga akan melepasnya. Para pengelana pun tidak mampu membalas dan duduk terdiam, sadar bahwa mereka telah dikalahkan.

Ananthapindika dengan diam-diam menemui Sang Buddha, melaporkan percakapan itu kepada beliau, dan menerima pujian Sang Buddha: "Engkau benar, perumahtangga. Engkau harus lebih sering membimbing mereka yang terkotori agar bisa sesuai dengan kebenaran." Dan kemudian Sang Guru menyemangati dan mendorongnya dengan sebuah kotbah. Ketika Anathapindika telah pergi, Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu bahwa bahkan seorang bhikkhu yang telah hidup seratus tahun di dalam Sangha tidak akan dapat menjawab para pengelana itu sebaik yang telah dilakukan Anathapindika si perumahtangga - (AN 10:93).

Akhirnya, dua kejadian lain dapat diceritakan: Anathapindika sakit dan memohon kunjungan seorang bhikkhu untuk mendapat penghiburan. Karena Anathapindika telah melakukan begitu banyak sebagai penyokong Sangha, pastilah permohonannya dikabulkan. Pertama kali, Y.M. Ananda menemuinya; kedua kali, Y.M. Sariputta. Y.M. Ananda berkata bahwa mereka yang pikirannya tak terlatih takut pada kematian dan kehidupan sesudahnya karena mereka tidak mempunyai empat hal: ia tidak memiliki keyakinan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, tidak pula ia memiliki kemoralan yang dipuji para mulia. Tetapi Anathapindika menjawab bahwa ia tidak memiliki rasa takut terhadap kematian. Ia memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan mengenai sila, ia tahu tidak satupun yang masih ia langgar. Bhante Ananda memujinya dan berkata bahwa ia baru saja menyatakan buah pemasuk-arus -(SN 55:27).

Ketika Y.M. Sariputta berkunjung, ia memberitahu Anathapindika bahwa tidak seperti orang awam yang pikirannya tidak terlatih, dimana mereka masih mungkin terlahir di neraka, dia memiliki keyakinan terhadap Tiga Permata dan tidak melanggar sila. Bila sekarang ia berkonsentrasi penuh pada keyakinannya terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan kemoralannya sendiri, maka sakitnya dapat lenyap melalui meditasi ini. Ia tidaklah sama dengan mereka yang tak terlatih, yang memiliki pandangan salah, niat salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian-penuh salah, konsentrasi salah, pengetahuan salah, atau kebebasan salah. Bila ia mempertimbangkan fakta bahwa ia, sebagai pemasuk-arus, memiliki sepuluh faktor mulia, mengalir menuju kebebasan benar, maka melalui meditasi ini sakitnya akan lenyap. Melalui kekuatan perenungannya, Anathapindika mengingat keberuntungannya yang besar menjadi seorang murid mulia, dan dengan kekuatan obat spiritual yang luar biasa ini penyakitnya langsung lenyap. Ia berdiri, mengundang Bhante Sariputta untuk mencicipi santapan yang dipersiapan untuk dirinya sendiri, dan berdiskusi lebih lanjut dengannya. Di akhir diskusi Bhante Sariputta mengajar dia tiga syair untuk diingat:

"Ketika seseorang memiliki keyakinan terhadap Sang Tathagata,
Tak tergoyahkan dan kokoh,
Dan tindakan bajik yang dibangun di atas kemoralan,
Disayangi para mulia dan dipuji—

Ketika seseorang memiliki keyakinan terhadap Sangha,
Dan pandangan yang telah diluruskan,
Mereka katakan bahwa ia tidak miskin,
Bahwa hidupnya tidak sia-sia.

Oleh karena itu orang yang cerdas,
Mengingat Ajaran Sang Buddha,
Seharusnya mengabdi pada keyakinan dan kemoralan,
Kepada kepercayaan dan pandangan Dhamma."
- (SN 55:26)

Delapan belas kotbah yang ditujukan kepada Anathapindika telah disinggung dengan singkat. Empat belas kotbah diberikan oleh Sang Bhagava atas inisiatif Beliau; satu timbul ketika Anathapindika mengajukan satu pertanyaan; dalam kotbah yang lain ia melaporkan bagaimana ia telah mengajar orang lain; dan dalam dua kotbah ia diberi instruksi oleh Bhante Ananda dan Bhante Sariputta—kedelapan belas kotbah ini menunjukkan bagaimana beliau membuat Ajaran menjadi jelas bagi umat awam dan menginspirasi mereka pada usaha-usaha yang membahagiakan.

KEMATIAN ANATHAPINDIKA
Kematian si penyokong besar disinggung dalam Anathapindikovada sutta, Nasihat kepada Anathapindika (MN 143). Si perumahtangga jatuh sakit untuk ketiga kalinya dan kali ini dengan rasa sakit amat sangat yang terus memburuk dan tidak berkurang. Sekali lagi ia memohon bantuan Y.M. Ananda dan Y.M. Sariputta. Ketika Y.M. Sariputta melihatnya, ia tahu bahwa Anathapindika sudah mendekati ajalnya dan memberi instruksi berikut: "Jangan melekat, perumahtangga, pada enam indera dan jangan lekatkan pikiranmu padanya. Jangan melekat pada enam objek indera dan jangan lekatkan pikiranmu padanya. Jangan melekat pada enam jenis kesadaran, enam kontak indera, enam perasaan, enam elemen, lima unsur, empat alam tanpa bentuk. Jangan melekat pada apa yang terlihat, terdengar, terasa, terpikir, terpersepsi, dan terselidiki di dalam pikiran, dan jangan lekatkan pikiranmu padanya."

Anathapindika pasti mengikuti penjelasan ini dalam hati, sehingga sembari mendengarkan ia juga berlatih sesuai cara yang diinstruksikan Y.M. Sariputta yang bijaksana dan suci. Pada akhir instruksi ini, air mata bercucuran dari mata Anathapindika. Y.M. Ananda mendekatinya dengan kasih-sayang dan bertanya apakah ia sedang sedih. Namun Anathapindika menjawab: "Aku tidak bersedih. O Ananda yang mulia. Aku telah lama melayani Sang Guru dan para bhikkhu yang sempurna dalam pencapaian spiritual, namun belum pernah kudengar kotbah yang begitu mendalam."

Kemudian Bhante Sariputta berkata: "Kotbah yang mendalam ini, perumahtangga, tidak akan cukup jelas bagi perumahtangga bepakaian putih; kotbah ini cukup jelas bagi yang telah melepas duniawi."

Anathapindika menjawab: "Y.M. Sariputta, biarlah perbincangan Dhamma semacam ini juga diberikan kepada umat awam berpakaian putih. Ada orang dengan sedikit debu di matanya. Bila mereka tidak mendengar ajaran demikian mereka akan tersesat. Beberapa orang mungkin mampu memahaminya."

Perbedaan dengan ajaran Sang Buddha yang sebelumnya cukup signifikan. Di sini kita prihatin dengan pertanyaan tertinggi, dengan pembebasan tertinggi, tidak hanya pada landasan teori namun juga sebagai praktek.

Sebagai seorang murid yang memiliki buah pemasuk-arus, Anathapindika menyadari sifat kesementaraan lima unsur kemelekatan, dan ia sendiri telah bicara perihal tiga karakteristik keberadaan: ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa inti. Namun ada perbedaan besar antara hanya mendengar dan merenungkannya, atau benar-benar melatih dan menggunakannya terhadap diri sendiri. Dalam pembedaan ini terdapat inti perbedaan antara metode yang digunakan Sang Buddha untuk mengajar perumahtangga dan metode untuk mengajar para bhikkhu.

Bagi umat awam, pandangan-terang mengenai sifat keberadaan dijelaskan sebagai pengetahuan, dan ajaran ini juga yang pada awalnya diberikan kepada para bhikkhu. Namun bagi para bhikkhu yang sudah lebih maju, Sang Buddha memperkenalkan latihan yang membawa pada kebebasan total bahkan dalam kehidupan sekarang. Hanya bila seseorang melihat bahwa pembabaran Y.M. Sariputta adalah pendekatan selangkah demi selangkah menuju Nibbana barulah ia dapat mengerti bahwa Anathapindika belum pernah mendengarkan inti Ajaran yang dijelaskan dengan cara demikian. Pada saat-saat terakhirnya, ia telah jauh dari kekhawatiran duniawi dan, ketika memikirkan Dhamma, ia melepaskan kemelekatan pada barang-barang duniawi, juga tubuhnya; sehingga ia menemukan dirinya dalam situasi yang sebanding dengan bhikkhu yang paling maju. Dalam kondisi seperti itu barulah Y.M. Sariputta bisa memberinya instruksi demikian karena akan memberikan efek terbesar.

Setelah menasihati Anathapindika dengan cara demikian, kedua tetua itu pun pergi. Tidak lama kemudian si perumahtangga Anathapindika meninggal dan terlahir di surga Tusita, dimana putri termudanya telah mendahuluinya. Namun begitu besar pengabdiannya kepada Sang Buddha dan Sangha, sehingga ia muncul di vihara Jetavana sebagai dewa muda, yang memenuhi seluruh daerah itu dengan cahaya surgawi. Ia menemui Sang Buddha, dan setelah menghormat beliau, berkata dalam syair berikut:

"Ini memanglah Hutan Jeta,
Peristirahatan Sangha,
Didiami oleh Sang Raja Dhamma,
Tempat yang mendatangkan kegembiraan bagiku.

Melalui tindakan dan pengetahuan dan kebenaran,
Melalui kemoralan dan hidup yang sempurna;
Melalui ini para makhluk termurnikan;
Bukan melalui keturunan atau kekayaan.

Oleh karena itu orang yang bijaksana,
Demi kebaikannya sendiri,
Harus menyelidiki Dhamma dengan seksama:
Dengan demikian ia termurnikan di dalam;

Sariputta sunguh-sungguh diberkahi dengan kebijaksanaan,
Dengan kemoralan dan kedamaian batin.
Bahkan seorang bhikkhu yang telah pergi menyebrang
Paling banyak hanya sebanding dengannya.”


Setelah berkata demikian, dewa itu menghormat Sang Bhagava dan, dengan menjaga beliau tetap di sebelah kanannya, menghilang di sana.

Keesokan harinya Sang Buddha memberitahu para bhikkhu mengenai apa yang telah terjadi. Saat itu juga Y.M. Ananda berkata: "Bhante, dewa muda itu pastilah Anathapindika. Karena Anathapindika si perumahtangga memiliki kepercayaan penuh terhadap Y.M. Sariputta."

Dan Sang Buddha membenarkannya: "Bagus, bagus, Ananda! Engkau telah menarik kesimpulan yang benar melalui akal sehat. Karena dewa muda itu dulunya memang Anathapindika" - (SN 2:20; MN 143).

[Kembali]