Minggu, 22 Mei 2016

Samädhi/Meditasi dan Paññā


Meditasi BUKAN aktifitas mengosongkan pikiran,
TIDAK mengosongkan pikiran;
TIDAK HARUS dalam postur duduk,
DAPAT dalam postur: berdiri, berjalan, berbaring;
Jikapun duduk bersila, TIDAK HARUS dalam posisi LOTUS.
TIDAK HARUS dilakukan berjam-jam,
DAPAT dilakukan beberapa menit;
Dan TIDAK TERKAIT DENGAN AGAMA MANAPUN


Meditasi adalah terjemahan umum dari kata samādhi (sama+adhi: sama = tanpa riak, tenang, adhi = hingga, di atasnya, artinya: pemusatan mendalam). Terkadang kata samādhi dituliskan sebagai samādi (sam+ādi, sam = terkumpul, ādi = mulai dari, artinya: bermula dari menyatukan). Dalam bahasa pali, nama lain samādhi adalah samāhita (terpusat), samatha (tenang, tanpa riak), cittassa ekaggatā (memusatkan pikiran) atau juga jhāya (tercerap), maksud dari semua ini adalah menjadikan pikiran tersusun atau terpusat, tenang, tidak mengembara (avibbhantacittaṁ). Oleh karenanya, kelompok dari SAMĀDHI/samādhikkhandha meliputi rangkaian: upaya /vāyāmo, mengingat/sati dan memusatkan pikiran/samādhi [MN 44]

Sang Buddha: “ada 4 faktor Dhamma (dhammapadāni) purbakala, telah lama ada, tradisional, kuno (aggaññāni rattaññāni vaṁsaññāni porāṇāni), tidak terkorosi, di masa lalu, saat ini, kelak (asaṅkiṇṇāni asaṅkiṇṇapubbāni, na saṅkīyanti na saṅkīyissanti), tidak disangkal para petapa dan brahmana bijaksana (appaṭikuṭṭhāni samaṇehi brāhmaṇehi viññūhi): tanpa kerinduan (anabhijjhā), tidak beritikad buruk (abyāpādo), ingatan benar (sammāsati), samādhi benar (sammāsamādhi) [AN 4.29, 30, DN 33, Ne 37], oleh karenanya, meditasi/samādhi adalah alur dari tindakan: tanpa kerinduan/melepaskan/keterasingan (terkait indriawi), lenyapnya itikad buruk, mengingat dengan benar agar tercapainya pemusatan yang mendalam.

Praktek samādhi yang menghasilkan jhāna (sebutan dari tercapainya kondisi tertentu dalam samādhi) telah lama ada sebelum kemunculan Buddha Gotama, misalnya di DN 1/Brahmajala sutta (no.58-62) terkait aliran-aliran yang mengenal jhāna, atau di MN 79, terkait petapa pengembara Sakuludāyin dan para rekannya, yang mengenal jhāna ke-1 hingga jhāna ke-3 sebagai keadaan yang sungguh menyenangkan (ekantasukho loko), atau di AN 4.123-126 terkait kelompok non Buddhis yang mencapai alam brahma dengan jhāna [AN 4.123, 124] atau dengan brahmavihārā (kediaman Brahma, penjelasan detail di bawah) [AN 125, 126].

Sidhartha Gautama, jauh sebelum pencerahannya, telah mengenal samādhi yang menghasilan jhāna:
    ‘Aku ingat (abhijānāmi kho) ketika ayahKu orang Sakya berkuasa (panāhaṁ pitu sakkassa kammante), aku duduk diketeduhan pohon jambu (sītāya jambucchāyāya nisinno), terlepas dari kenikmatan indriya/kāmehi, terlepas dari hal yang tak bermanfaat/akusalehi dhammehi, dengan (pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan (objek) rasa riak kegiuran-menyenangkan (karena) telah terlepas (dari kāmehi dan akusalehi), jhāna ke-1 tercapai (vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehi savitakkaṁ savicāraṁ vivekajaṁ pītisukhaṁ paṭhamaṁ jhānaṁ upasampajja viharitā)' [MN 36, 85, 100]. Pencapaian jhāna di bawah pohon jambu, terjadi pada masa kecil beliau

    Note:
    Di Milindapanha (abad ke-1 SM, versi sanskrit, mulai dengan kalimat "taṃ yathā nusuyate/demikian sebagaimana yang diturunkan", terdiri dari 8 buku sanskrit, 4 buku terakhir tidak ada di versi Tiongkok "Nāgasena Bhikṣu Sūtra"/T1670, juga, tidak semua dari 4 buku sebelumnya, identik dengan versi Sanskrit), yaitu pada dilema no.72/6.3.2 (terjemahan Rhys Davids, 1890), bahwa meditasi Bodhisatta saat itu hingga mencapai jhāna ke-4: Nagasena kepada Raja Milinda: "..ketika Ia baru berumur 1 bulan, ketika ayahnya sang Sakya bekerja (membajak), Bodhisatta, bernaung di bawah pohon jambu, duduk bersila, menyingkirkan nafsu, bebas dari semua kondisi buruk, memasuki jhāna ke-1,..seterusnya ke dalam jhāna ke-2, ..ke dalam jhāna ke-3,.. memasuki jhāna ke-4".

    Teks pali lain TIDAK ADA lagi yang tegas menyampaikan bahwa pencapaiannya di semasa kecilnya itu, hingga mencapai jhāna ke-4, NAMUN terdapat indikasi bahwa pencapaian keadaan yang menyenangkan ini, sampai pada jhāna ke-4, misalnya MN 36 (kepada Saccaka aggivessana), MN 85 (kepada Pangeran Bodhi/bodhi rājakumāro) dan MN 100 (kepada Sangārava bhāradvāja), setelah jhāna ke-1 ada kalimat "..terjadi padaku, aggivessana / rājakumāro / bhāradvāja, dengan mengingat ingatan itu, aku tersadar (..tassa mayhaṁ, aggivessana/rājakumāro/bhāradvāja, satānusāri viññāṇaṁ ahosi), demikian inilah jalan pencerahan (eseva maggo bodhāyā’ti) .. tidaklah mudah, bagiku untuk mencapai keadaan menyenangkan demikian dengan badan yang sangat lemah (na kho taṁ sukaraṁ sukhaṁ adhigantuṁ evaṁ adhimattakasimānaṁ pattakāyena), bagaimana jika Aku memakan makanan padat makan bubur nasi (yannūnāhaṁ oḷārikaṁ āhāraṁ āhāreyyaṁ odanakummāsan’ti) .. Setelah aku memakan makanan padat, kekuatanku kembali (So kho ahaṁ, aggivessana, oḷārikaṁ āhāraṁ āhāretvā, balaṁ gahetvā), dengan lepas dari kenikmatan indriya .. jhāna ke-1, ..jhāna ke-2, ..jhāna ke-4.." [MN 36, 85, 100] DAN JUGA karena Indriya keterpusatan pikiran harus terlihat (samādhindriyaṁ daṭṭhabbaṁ) dalam 4 jhāna (catūsu jhānesu) [SN 48.8, 9; AN 5.15]. Oleh karena pencapaian pencerahan beliau dengan jhāna, maka deva muda Pañcālacaṇḍa sampai menyatakan "yang menjadi Buddha (karena) terbangun (oleh) jhāna (yo jhānamabujjhi buddho)" [AN 9.42 dan SN 2.7]
Para sekte lain sebelum dan semasa kemunculan Buddha Gotama, disamping ada yang melatih samādhi yang menghasilkan jhāna, mereka juga melatih menyingkirkan 5 rintangan sehingga dapat mengembangkan brahmavihārā (kediaman Brahma):
    Para pengembara: “Sahabat-sahabat, Petapa Gotama mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya sebagai berikut: ‘Marilah, para bhikkhu, tinggalkan 5 rintangan,...., tanpa halang rintang/memusuhi. Kami juga, sahabat-sahabat, mengajarkan Dhamma kepada murid-murid kami sebagai berikut: ‘Marilah, teman-teman, tinggalkan 5 rintangan, kekotoran mental yang melemahkan kebijaksanaan (pañca nīvaraṇe pahāya cetaso upakkilese paññāya dubbalīkaraṇe), dan berdiamlah dengan pikiran yang disertai mettā memancar ke 1 arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah, ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada mahluk alam apapun (termasuk dirinya), pikiran yang disertai mettā memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi. Berdiamlah dengan pikiran yang disertai Karuṇā..... Berdiamlah dengan pikiran yang disertai Muditā..... Berdiamlah dengan pikiran yang disertai upekkhā, memancar ke 1 arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah, ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada mahluk alam apapun (termasuk dirinya), pikiran yang disertai mettā memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi. [SN 46.54]
Para guru kuno, sejak jaman lampau telah melatih meninggalkan 5 rintangan sehingga dapat mengembangkan brahmavihārā:
    Di jaman lampau yang berbeda, terdapat 7 guru (Sunetta, Mūgapakkha, Aranemi, Kuddālaka, Hatthipala, Jotipāla dan Araka) yang bebas hasrat indriya dan mengajarkan pada banyak muridnya cara terlahir di alam Brahma. [AN 6.54, AN 7.66, AN 7.73, AN 7.74]

    Para murid yang memahami ajaran, setelah wafat terlahir di ALAM Brahma. Beberapa yang tidak memahami penuh, terlahir di alam paranimmitavasavattīnaṃ.. nimmānaratīnaṃ.. tusitānaṃ.. yāmānaṃ.. tāvatiṃsānaṃ.. cātumahārājikānaṃ.. sebagai Ksatria, Brahmana dan perumah tangga [AN 7.66]. Mereka yang tidak memahami dan tidak menjalankan ajaran dan mempunyai keyakinan pada ajaran gurunya, muncul di keadaan sengsara/merugi menderita menuju kehancuran bahkan neraka [AN 6.54, AN 7.73, AN 7.74]. Guru-guru ini berpikir tidak pantas jika mereka terlahir di alam yang sama dengan para muridnya, oleh karenanya, mereka mengembangkan pikiran Mettā selama 7 tahun. Setelah wafat, selama 7 kalpa menyusut dan mengembang, tidak pernah kembali ke alam ini. Bila kappa menyusut, muncul di alam brahma ābhassara. Ketika kappa mengembang, muncul di alam brahma yang kosong [suññaṃ brahmavimānaṃ] menjadi Brahma yang agung/mahābrahmā, 36 x menjadi Sakka, raja para dewa. Ratusan x sebagai Raja dunia/cakkavattī dhammiko dhammarājā [AN 7.66]
Sidharta Gautama pada kehidupan terakhirnya sebelum pencerahan, juga belajar samādhi kepada Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta terkait pencapaian persepsi dan sisa sankhara (bentukan kehendak):
    ‘Teman Kālāma, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’ Āḷāra Kālāma menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu...Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, dalam cara bagaimanakah engkau menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ Sebagai jawaban ia menyatakan landasan tidak ada apapun...

    ..aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan berkata kepadanya: ‘Teman, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’ Uddaka Rāmaputta menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu...Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, dalam cara bagaimanakah Rāma menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ Sebagai jawaban ia menyatakan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi [MN 26]
Walaupun, uraian di atas, menunjukkan bahwa mereka yang melatih meninggalkan 5 rintangan sehingga dapat mengembangkan brahmavihārā, jhāna, persepsi dan sisa sankhara telah dilakukan sebelum kemunculan Buddha Gotama, namun ternyata, tidak semua yang melatihnya dapat mencapai pemadaman.
    Para arahat sammāsambuddhā di masa lalu, masa depan (ahesuṁ atīta, anāgata+maddhānaṁ arahanto sammāsambuddhā), arahat sammāsambuddha saat ini (etarahi arahaṁ sammāsambuddho), seluruh para Mulia ini (sabbe te bhagavanto), terlebih dulu meninggalkan 5 rintangan, kekotoran mental yang melemahkan kebijaksanaan (pañca nīvaraṇe pahāya cetaso upakkilese paññāya dubbalīkaraṇe), dengan pikiran berpijak kokoh dalam 4 landasan ingatan (catūsu satipaṭṭhānesu suppatiṭṭhitacittā), mengembangkan apa adanya 7 faktor pencerahan (satta bojjhaṅge yathābhūtaṁ bhāvetvā), memperoleh kebijaksanaan tertinggi yang tiada bandingannya dengan benar sempurna memutus rantai penjelmaan (anuttaraṁ sammāsambodhiṁ abhisambujjhissanti) [AN 47.12, DN 16, 28, AN 10.95]
Untuk itu, agar dapat padam, Sang Buddha menyampaikan pointer ringkasnya:
  1. segala sesuatu (sabbe dhammā): berakar dari hasrat/keinginan (chandamūlakā)
  2. menjadi ada karena perhatian / memperhatikan (manasikārasambhavā). Note: manasikāra/manasikaroti = saṅkappavitakkā/pengarahan kehendak (pikiran), ref.AN 9.14
  3. berasal dari kontak (phassasamudayā)
  4. bertemu sebagai perasaan (vedanāsamosaraṇā)
  5. pimpinannya adalah konsentrasi terpusat (samādhippamukhā)
  6. pengendali/penguasanya adalah ingatan (satādhipateyyā)
  7. pengawasnya adalah kebijaksanaan (paññuttarā)
  8. esensi/intinya adalah pembebasan (vimuttisārā) [AN 8.83]
  9. puncaknya adalah tanpa-kematian (amatogadhā)
  10. berakhirnya sebagai padam (nibbānapariyosānā).’ [AN 10.58]

HAL BERMANFAAT DAN 5 RINTANGAN

TIGA akar kejahatan/hal tidak bermanfaat/hal buruk (Tīṇi akusalamūla):
  1. Moha (Kebingungan/keliru tahu/kebodohan) = avijjā (ketidaktahuan):
    PERHATIAN TIDAK BENAR [ayoniso manasikaroti atau: "MEMPERHATIKAN yang TIDAK LAYAK dan TIDAK MEMPERHATIKAN yang LAYAK" ~ AN 3.65]
  2. Lobha/raga (Serakah/Ketagihan) = abhijjhā (kerinduan):
    TAMPAK INDAH/MENARIK (subhanimitta) karena PERHATIAN TIDAK BENAR.
  3. Dosa (Kebencian) = byāpāda/memusuhi, itikad buruk):
    TAMPAK MENJIJIKKAN (paṭighanimitta) karena PERHATIAN TIDAK BENAR

    [AN 3.68 (moha, rāga, dosa). AN 3.66 (moha = avijjā/ketidaktahuan lobha = abhijjhā; dosa = byāpāda); AN 3.69, AN 6.39, MN 9 dan It.50 (moha, lobha, dosa); SN 35.28 (moha, rāga, dosa), MN 148 (avijja, rāga, paṭigha). It 68 & 69 (moha/avijja, rāga, dosa), SNP 3.12 (avijja = mahāmoho)]

    Note:
    Disebut avijja karena tidak mengetahui:

    1. Empat Kebenaran Mulia (cattāri ariyasaccāni): (1) Dukkha, (2) Asal-mula dukkha, (3) Lenyap dukkha/ dan (4) Jalan melenyapkan dukkha: 8 Jalan Utama (ariya aṭṭhaṅgika magga) [SN 12.2, 56.17, SN 22.126. 22.133 (dukkha diganti pañcakkhandhā)]

    2. Tiga ciri umum/Tilakkhana: "..MUNCUL/TIDAKNYA para Tathāgata di dunia, terdapat hal yang tetap, yang pasti dari segala sesuatu: SEGALA YANG BERKONDISI TIDAK KEKAL (sabbe saṅkhārā aniccā).. SEGALA YANG BERKONDISI TIDAK MEMUASKAN (sabbe saṅkhārā dukkhā).. SEGALA HAL (berkondisi, terkondisi, tak terkondisi) BUKAN IDENTITAS (DIRI/AKU) (sabbe dhammā anattā).. [Dhammapada; syair 277-279; AN 3.136. Terkait anicca - SN 35.52/53; terkait atta - SN 22-100]
Akibat 3 hal tersebut: Pikiran tercemari (abyāsittacittassa) atau terjadi penyesalan (vippaṭisāro) [AN 10.2/11.1,2/DN13] → mengarungi Samsara.

Oleh karenanya,
"Segala hal buruk tidak dilakukan (Sabbapāpassa akaraṇaṃ); Lakukan hal-hal bermanfaat (kusalassa upasampadā); sertai dengan pikiran murni (Sacittapariyodapanaṃ)" [DN14]

paṭiccasamuppādaññeva sādhukaṁ yoniso manasi karoti (pikirannya sepenuhnya memperhatikan dengan benar tentang sebab kemunculan): iti imasmiṁ sati idaṁ hoti (saat diingat itu menjadi ada); imassuppādā idaṁ uppajjati (itu muncul maka menjadi ada); imasmiṁ asati idaṁ na hoti (saat tidak diingat itu menjadi tidak ada); imassa nirodhā idaṁ nirujjhati yadidaṁ (itu lenyap maka menjadi tidak ada)' [SN 12.21, 37, 41, 49-50, 61-62, SA.358, Ud.1]

→ sehingga pikiran tidak tercemari hal buruk (abyāsittacittassa) [SN 35.97] atau sehingga terjadi ketidakmenyesalan (avippaṭisāro) [DN 14, AN 10.2/11.2] atau 5 rintangan menghilang (pañca nīvaraṇe pahīne) [DN 13]
→ pikiran tidak tercemari hal buruk / ketidakmenyesalan / melihat 5 rintangan hilang dari dirinya, timbul sukacita (pāmojjaṃ jāyati)
→ sukacita menimbulkan riak kegiuran (pamuditassa pīti jāyati)
→ riak kegiuran membuat tenang/lega (AN 11.1: Pīti..passaddhānisaṃsā) atau pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman dirasakan (AN 10.2/11.2/DN13: pītimanassa kāyo passambhati)
→ lega/tenang menimbulkan perasaan menyenangkan (AN 11.1: Passaddhi..sukhānisaṃsā) atau tubuh yang nyaman terasa menyenangkan (AN 10.2/11.2/DN13: passaddhakāyo sukhaṃ vedeti/vediyati)
→ pikiran di keadaan senang, menjadikannya terpusat (sukhino cittaṃ samādhiyati. cittaṃ samādhiyati = Samāhita/pikiran terpusat = pamādavihārī/berdiam tekun)
    [Alur di atas adalah KUNCI YANG HARUS MUNCUL KETIKA MELAKUKAN HAL KUSALA/BERMANFAAT APAPUN (lihat DN 13, perumpamaan hutang lunas, sembuh sakit berat, bebas dari penjara, pulang dari padang pasir) dan hasilnya, HARUS SELALU meninggalkan hal tidak bermanfaat. Misalnya sebagai contoh perbuatan Kusala dalam SN 46.3: bahkan hanya melihat para bhikkhu (yang sempurna dalam: moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, mengetahui melihat pembebasan) saja sudah cukup membantu ... bahkan hanya mendengarkan mereka … bahkan hanya mengunjungi mereka … bahkan hanya melayani mereka … bahkan hanya mengingat mereka … bahkan hanya menerima pelepasan keduniawian dari mereka sudah cukup membantu..Karena ketika seseorang telah mendengarkan Dhamma (ajaran) dari para bhikkhu mereka berdiam dalam keterasingan jasmani (karena dekat/mendekati mereka) dan keterasingan mental (menggali ajaran dan makna)

    Kemudian mengalami alur di atas: Pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat. Setelah MENDAPAT KUNCI AWAL ini, terbuka peluang TERLAHIR DI ALAM BAHAGIA dan/atau mencapai jhāna dan/atau bahkan mencapai PEMBEBASAN/NIBBANA]
→ menjadi mengetahui melihat sebagaimana adanya (Yathā bhūta ñāṇa dassana) → menjadi tidak terkesan (nibbidā) → menjadi tidak menginginkan (virāga) → mengetahui melihat pembebasan (vimuttiñāṇadassana) [Gabungan AN 10.2/11.1-2; DN 13 dan SN 35.97]

5 RINTANGAN dan UPAKKILESA

5 rintangan adalah penyebab: kegelapan, ketiadaan penglihatan, ketiadaan pengetahuan; melenyapkan kebijaksanaan, di sisi kehancuran, menjauhkan dari Nibbāna (Pañcime nīvaraṇā andhakaraṇā acakkhukaraṇā aññāṇakaraṇā paññānirodhikā vighātapakkhiyā anibbānasaṁvattanikā) [SN 46.40]. Perhatian tidak benar (ayonisomanasika) secara berulang adalah makanan bagi munculnya 5 Nivarana yang belum muncul, meningkatkan 5 nivarana yang telah muncul [SN 46.2, SN 46.51, 46.35]. Bagaikan Sungai Aciravatī yang penuh dengan air sampai ke tepinya ... dan seseorang datang ingin menyeberang, … dan berbaring di tepi sebelah sini, menutup kepalanya dengan selendang. Bagaimana menurutmu, Vāseṭṭha? Dapatkan orang itu menyeberang ke tepi sebelah sana?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’ ‘Demikian pula, Vāseṭṭha, dalam disiplin Ariya 5 rintangan ini disebut halangan (āvaraṇa), rintangan (nīvaraṇā), selubung (onāhanā), pembungkus (pariyonāhanā) [DN 13] juga: 5 kekotoran/noda pikiran, (cittassa upakkilesā) pembuat pikiran tidak lunak (na mudu), tidak dapat diolah (na kammaniyaṁ), tidak bersinar (na pabhassaraṁ), rapuh (pabhaṅgu) dan tidak terkonsentrasi benar untuk kehancuran noda (na sammā samādhiyati āsavānaṁ khayāya) [SN 46.33] atau kekotoran/noda pikiran (cetaso upakkilesā) pelemah kebijaksanaan (paññāya dubbalīkaraṇā) [SN 46.37] atau hal yang tidak bermanfaat (akusalā dhammā) [Vb 12]:
  1. hasrat indriya/duniawi (abhijjha = kāmacchanda = lobha), Pikirannya bebas dari hasrat duniawi, Ia membersihkan pikiran dari hasrat duniawi. Di SN 46.2, SN 46.51: "Makanan kamacchanda adalah subhanimitta (Gambaran keindahan)".

    Perhatian tidak benar pada gambaran keindahan (subhanimitta ayoniso manasikaroto), maka hasrat indriya yang belum muncul menjadi muncul, yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat ... Perhatian benar pada gambaran tidak menarik (asubhanimitta yoniso manasikaroto), maka hasrat indriya yang belum muncul menjadi tidak muncul, yang telah muncul menjadi ditinggalkan [SN 46.2, 51; AN 1.11-20]

    kenikmatan indriawi (Kāma) adalah 5 utas kenikmatan indriyawi (kāmaguṇā): Bentukan yang dikenali mata (Cakkhuviññeyyā rūpā) yang: diharapkan (iṭṭhā), diinginkan (kantā), menyenangkan (manāpā) bentukannya bagus/menarik (piyarūpā), terkait kenikmatan indria (kāmūpasaṁhitā), dan membangkitkan/menarik/merangsang (rajanīyā), ..suara yang dikenali telinga, ..hidung, ..lidah, ..badan [MN 99].

  2. memusuhi/kemarahan/menolak karena benci (byāpādo/dosa), Pikirannya bebas dari permusuhan (abyāpannacitto), dengan pikiran bersahabat penuh kasih pada semua makhluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikiran dari memusuhi. Di SN 46.2, SN 46.51: "Makanan byāpādo adalah paṭighanimitta (Gambaran menjenuhkan/menjemukan)".

    Perhatian tidak benar pada gambaran menjemukan (paṭighanimitta ayoniso manasikaroto), maka penolakan/kebencian yang belum muncul menjadi muncul, yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat ... perhatian benar pada pikiran bebas permusuhan/bersahabat (metta cetovimutti yoniso manasikaroto), maka penolakan/kebencian yang belum muncul menjadi tidak muncul, yang telah muncul menjadi ditinggalkan [SN 46.2, 51; AN 1.11-20]

  3. malas (thina) - lamban/ngantuk (middha), pikirannya bebas dari malas-lamban; dengan memusatkan perhatian/ingatan pada āloka-saññi (persepsi 'yang dilihat'/dihadapinya), Ia membersihkan pikiran dari malas dan lamban. Di SN 46.2, SN 46.51: "Makanan thina-midha adalah enggan, lesu menggerakan badan, mengantuk setelah makan dan pikiran putus asa (arati tandi vijambhitā bhattasammado cetaso ca līnattaṃ)".

    Perhatian tidak benar berulang (ayonisomanasikāra bahulīkāro) pada "enggan, lesu menggerakan badan, mengantuk setelah makan dan pikiran putus asa", maka malas-lamban/kantuk yang belum muncul menjadi muncul, yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat. Perhatian benar berulang (yonisomanasikāra bahulīkāro) pada "unsur kemauan, daya tahan/ulet, usaha keras (ārambha-dhātu nikkama-dhātu parakkama-dhātu)", maka malas-lamban/kantuk yang belum muncul menjadi tidak muncul, yang telah muncul menjadi ditinggalkan [SN 46.2, 51].

    Dengan pikiran putus asa/masa-bodo (Līnacitta), malas-lamban/kantuk yang belum muncul menjadi muncul, yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat ... Dengan semangat kegigihan (araddhavīriya), maka malas-lamban/kantuk yang belum muncul menjadi tidak muncul, yang telah muncul menjadi ditinggalkan [AN.1-11-20]

    Note:
    āloka = melihat, penglihatan, pandangan, pemandangan, cahaya; anāloka = buta; saññi = persepsi

    Nasehat Sang Buddha kepada Mahamoggalana tentang mengatasi kantuk, “jika engkau tak dapat meninggalkan kantukmu dengan cara demikian, maka engkau harus memperhatikan persepsi yang ada dihadapan (ālokasañña); engkau harus teguh dalam persepsi siang hari (divāsañña): ‘Seperti siang, demikian pula malam; seperti malam, demikian pula siang.’ seperti membuka pikiran yang tertutup, engkau harus mengembangkan pikiran dengan kecemerlangan (sappabhāsa: “kecemerlangan pikiran dapat dikotori kotoran luar”, AN 1.51-52). Dengan cara demikian, adalah mungkin bahwa kantukmu akan ditinggalkan” [AN 7.61]. Namun rupanya kitab komentar menyampaikan secara literal: Saat mengantuk agar memperhatikan cahaya (bintang/lilin/bulan). Pendapat ini bermasalah, karena samādhi jaman itupun, dilakukan dalam ruangan tertutup gelap tanpa cahaya, sehingga maksudnya JELAS BUKANLAH persepsi cahaya, namun persepsi yang terlihat atau dihadapinya dalam hal: materi (4 bhuta), perasaan, persepsi, sankhāra, kesadaran

    Di MN 128 dan AN 8.64, sang Buddha menyampaikan kepada mereka yang ingin mengetahui melihat (ñāṇadassana) dari landasan ingatan (anussatiṭṭhānānī): “persepsi kejelasan terlihatnya bentukan” (obhāsañceva sañjānāmi dassanañca rūpānaṃ).

    Arti kata obhāsa: “cahaya, jelas”. Misalnya untuk arti “jelas”: “telah diberikan isyarat yang nyata oleh Sang Bhagavā, walaupun ia diberikan petunjuk yang jelas (bhagavatā oḷārike nimitte kayiramāne oḷārike obhāse kayiramāne nāsakkhi paṭivijjhituṃ, SN 51.10/Ud 6.1/AN 8.70/DN 16)

    ”Pencerapan kejelasan dan terlihatnya bentukan” dapat jatuh karena keterpusatan pikiran jatuh. Keterpusatan pikiran jatuh karena: keragu-raguan (vicikicchā), tidak mengarahkan pikiran/perhatian (amanasikāro), malas-lamban (thinamiddha), ketakutan (chambhitatta), menggelembung/kegirangan (uppila), cabul (duṭṭhulla), gigih yang berlebihan (accāraddhavīriya), kurang gigih (atilīnavīriya), mengharapkan/rindu (abhijappā), ragam persepsi (nānattasaññā) dan samādhi berlebihan pada bentukan (atinij-jhāyitattaṃ rūpānaṃ)

  4. gelisah (uddhacca) dan cemas (kukkucca), pikirannya bebas dari kekacauan (anuddhato); pikirannya tenang ke dalam (ajjhattaṃ vūpasantacitto), Ia membersihkan pikiran dari kegelisahan dan kekhawatiran. Di SN 46.2, SN 46.51: "Makanan uddhacca-kukkucca adalah pikiran yang kacau/tidak tenang → bergejolak (cetaso avūpasama)".

    Perhatian tidak benar berulang (ayonisomanasikāra bahulīkāro) pada pikiran kacau (avūpasantacitta) maka cemas-gelisah yang belum muncul menjadi muncul, yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat. Perhatian benar berulang (yonisomanasikāra bahulīkāro) pada pikiran tenang (vūpasantacitta), maka cemas-gelisah yang belum muncul menjadi tidak muncul, yang telah muncul menjadi ditinggalkan [SN 46.2, 51].

    Dengan pikiran kacau (avūpasantacitta), maka cemas-gelisah yang belum muncul menjadi muncul, yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat ... Dengan pikiran tenang (vūpasantacitta), maka malas dan lamban yang belum muncul menjadi tidak muncul, yang telah muncul menjadi ditinggalkan [AN 1.11-20]. uddhacca dihilangkan dengan mengembangkan samatha/pemusatan pikiran [AN 6.116]

  5. keragu-raguan (vicikiccha), pikirannya bebas dari keraguan; tanpa ragu pada hal yang bermanfaat (akathaṅkathī kusalesu dhammesu), Ia membersihkan pikiran dari keragu-raguan'. Di SN 46.2, SN 46.51: "Makanan vicikiccha adalah hal-hal yang membuat ragu (vicikicchāṭṭhānīyā dhammā)".

    Perhatian tidak benar (ayonisomanasikāra) pada hal-hal yang membuat ragu, maka keragu-raguan yang belum muncul menjadi muncul, yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat. Perhatian seksama/benar (yonisomanasikāra) terkait hal-hal yang: bermanfaat-tidak bermanfaat (kusalākusalā), tercela-tanpa cela (sāvajjānavajjā), hina-mulia (hīnapaṇītā), gelap-cerah (kaṇhasukka), dengan lawan pasangannya (sappaṭibhāgā dhammā), maka keragu-raguan yang belum muncul menjadi tidak muncul, yang telah muncul menjadi ditinggalkan [SN 46.2, 51; AN 1.11-20]
'Vasettha, seperti seseorang yang berhutang untuk berdagang, setelah berhasil, bukan saja ia mampu membayar hutang, namun masih ada lebih untuk merawat istrinya. Ia berpikir: "Dulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, kini bukan saja aku dapat membayar hutang, tetapi masih ada lebih untuk merawat istriku".

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega (labhetha pāmojjaṃ, adhigaccheyya somanassaṃ)'.

'Vasettha, seperti seorang yang sakit, amat parah, tak dapat makan, sehingga badannya lemah; namun setelah sembuh, dapat makan, sehingga badannya pulih. Ia berpikir: 'Dulu aku sakit, amat parah, tak dapat makan, badanku lemah, namun kini aku telah sembuh, dapat makan sehingga badanku pulih'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'.

'Vasettha, seperti seorang yang dipenjara, kemudian bebas, aman dan sehat, barang-barangnya tak ada yang dirampas. Ia berpikir: 'Dulu aku dipenjara, kini aku telah bebas, aman dan sehat, barang-barangku tak ada yang dirampas'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'

'Vasettha, seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan dirinya sendiri, tunduk pada orang lain, tak dapat ke manapun ia suka; Kemudian ia bebas, menjadi tuan dirinya sendiri, tak tunduk pada orang lain, bebas ke manapun ia suka. Ia berpikir: 'Dulu aku seorang budak, bukan tuan diriku sendiri, tunduk pada orang lain, tak dapat ke manapun aku suka; kini aku telah bebas, menjadi tuan diriku sendiri, tak tunduk pada orang lain, bebas pergi ke mana aku suka'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'.

'Vasettha, seperti seorang yang membawa kekayaan dan barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tak ada makanan selain banyak bahaya; kemudian Ia berhasil keluar padang pasir selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman, tak ada bahaya. Ia berpikir: 'Dulu, dengan membawa kekayaan dan barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tak ada makanan selain banyak bahaya; kini aku telah keluar padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman, tak ada bahaya'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'.

'Vasettha, demikianlah selama 5 rintangan (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan seperti seorang yang sedang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir. Vasettha, tetapi setelah 5 rintangan disingkirkan, maka seorang bhikkhu merasakan seperti orang yang telah bebas hutang, penyakit, penjara, perbudakan, sampai di tempat yang aman.

'Apabila ia tahu (samanupassato) 5 rintangan telah tersingkir dari dirinya:

→ timbul sukacita (pāmojjaṃ jāyati)
→ sukacita menimbukan riak kegiuran (pamuditassa pīti jāyati)
→ pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman (pītimanassa kāyo passambhati)
→ tubuh yang nyaman terasa menyenangkan (passaddhakāyo sukhaṃ vedeti)
→ pikiran di keadaan senang, menjadi terpusat (sukhino cittaṃ samādhiyati) [DN 13/TEVIJJA SUTTA dan DN 2] → ini adalah keadaan tercapainya jhāna ke-1.

Alur seperti di atas ini, yaitu timbul sukacita ... pikirannya menjadi terpusat, dapat pula melalui:
  1. Setelah diajarkan Dhamma atau karena melafalkan ajaran atau karena mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma atau menggenggam suatu objek konsentrasi tertentu, memperhatikannya dengan baik/sumanasikataṃ, mempertimbangkannya dengan baik/sūpadhāritaṃ, dan memahami penuh/suppaṭividdhaṃ kebijaksanaannya/pengetahuannya/paññāya, Ia: mengalami makna ajaran/dhamme atthapaṭisaṃvedī dan mengalami ajaran/dhammapaṭisaṃvedī, karenanya, memperoleh sukacita...pikiran terpusat [AN 5.26]
  2. Karena mengigat/berkeyakinan pada: Sang Buddha atau Dhamma, atau Sangha, atau moralitasnya, atau kedermawanannya atau para dewa, karenanya, memperoleh sukacita...pikirannya menjadi terpusat [AN 6.10]
  3. Berada di kumpulan para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat dengan tatapan kasih sayang (piyacakkhūhi), karenanya, memperoleh sukacita...pikiran terpusat [AN 3.95]
  4. Berada dalam pengendalian atas indriyanya, karenanya, memperoleh sukacita...pikiran terpusat [SN 35.97]
  5. memiliki perilaku bermoral, sehingga tidak ada kemenyesalan, karenanya, memperoleh sukacita...pikiran terpusat [AN 10.2/11.2]
  6. setelah meninggalkan/appahīnā: kerinduan/abhijjhā, permusuhan/byāpādo, kemarahan/kodho, kesal/dendam/upanāho, meremehkan/makkho, kecongkakan/paḷāso, iri/dengki/issā, kikir/macchariya, licik/curang/saṭhassa, menipu/māyā, keinginan jahat/pāpikā, pandangan salah/micchādiṭṭhi, dengan meninggalkan noda/malānaṃ, kecacatan mental/dosānaṃ, sampah mental/kasaṭānaṃ ini, melihat sepenuhnya bahwa dirinya telah murni dari kondisi buruk tak bermanfaat ini/pāpakehi akusalehi dhammehi visuddhamattānaṃ samanupassati, karenanya, memperoleh sukacita...pikiran terpusat [MN 40]
Setelah meninggalkan 5 rintangan, penuh dengan semangat, kokoh dalam ingatan, tidak lengah, tubuh tenang nyaman, pikiran menjadi terpusat (āraddhaṁ hoti vīriyaṁ asallīnaṁ, upaṭṭhitā sati asammuṭṭhā, passaddho kāyo asāraddho, samāhitaṁ cittaṁ ekaggaṁ) ketika Ia berjalan, duduk, berbaring atau terjaga. [Iti 111]. Tanpa meninggalkan 5 rintangan, tidak dapat merealisasikan keluhuran melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. [AN 5.51, MN 99], atau masuk jhāna ke-1 [AN 6.73], atau mencapai ke-arahatan [AN 6.66]. Semua, di awali prilaku bermoral, mengikuti dan terkendali aturan, tempat kunjungan baik, melihat bahayanya di pelanggaran yang kecil [AN 4.12]

5 rintangan adalah bagian dari (atau juga semacam ringkasan dari) kekotoran mental/upakkilesa
Berikut sample terkait variasi upakkilesa (MN 3, 7, 8, 40, 128, AN 4.61, SN 46.37 dan SNP 3.2):
  1. hasrat indriya/kāmā/kamacchando (SNP 3.2, SN 46.37)
  2. tidak puas/arati (SNP 3.2)
  3. terus lapar-haus/khuppipāsā (SNP 3.2)
  4. kehausan/ketagihan/taṇhā (SNP 3.2)
  5. malas/thina (SNP 3.2; MN 8, 128, SN 46.37, AN 4.61)
  6. lamban/middha (SNP 3.2; MN 8, 128, SN 46.37, AN 4.61)
  7. ketakutan/bhīrū (SNP 3.2)
  8. keragu-raguan/vicikicchā (SNP 3.2; MN 8, 128, SN 46.37, AN 4.61)
  9. meremehkan/makkho (SNP 3.2; MN 3,7,40)
  10. keras kepala/thambho (SNP 3.2; MN 3, 7, 8)
  11. keuntungan/lābho (SNP 3.2)
  12. pujian/siloko (SNP 3.2)
  13. penghormatan/sakkāro (SNP 3.2)
  14. perolehan dengan cara salah/micchāladdho (SNP 3.2)
  15. ketenaran/yaso (SNP 3.2)
  16. memuji diri/attānaṁ samukkaṁse (SNP 3.2)
  17. merendahkan orang/pare ca avajānati (SNP 3.2)
  18. serakah/lobha (MN 3, MN 14)
  19. benci/dosa (MN 3, MN 14)
  20. kelirutahu/moha (MN 14)
  21. marah/kodho (MN 3, 7, 8, 40)
  22. kesal/dendam/upanāho (MN 3,7, 8, 40)
  23. congkak/paḷāso (MN 3,7, 8, 40)
  24. iri/dengki/issā (MN 3, 7, 8, 40
  25. kikir/macchera (MN 3,7, 8, 40)
  26. menipu/māyā (MN 3, 7, 8, 40)
  27. licik/curang/sāṭheyya (MN 3, 7, 8, 40)
  28. berapi-api/tidak mau kalah/sārambho (MN 3, 7)
  29. angkuh/māno (MN 3.7)
  30. sombong-atimāno (MN 3, 7, 8)
  31. pongah/mado (MN 3, 7)
  32. lalai/pamādo (MN 3, 7)
  33. tamak, berat-sebelah serakah/abhijjhā visama lobho (MN 7, 40, 128, AN 4.61)
  34. permusuhan/byāpādo (MN 7, 40, SN 46.37, AN 4.61)
  35. gelisah/uddhattā/uddhacca (MN 8, SN 46.37, AN 4.61)
  36. cemas/kukkuca (SN 46.37, AN 4.61)
  37. lengah/amanasikāro (MN 128)
  38. ketakutan/chambhitatta (MN 128)
  39. menggebu-gebu/uppila (MN 128)
  40. ketidaknyamanan/duṭṭhulla (MN 128)
  41. kelebihan kegigihan/accāraddhavīriya (MN 128)
  42. kurangnya kegigihan/atilīnavīriya (MN 128)
  43. ragam persepsi/nānatta saññā (MN 128)
  44. samādhi berlebihan pada bentukan/atinijjhāyitattaṁ ..rūpānaṁ
Cara menghancurkan Upakkilesa
Demi pengetahuan mendalam/abhiññāya … demi pemahaman sepenuhnya/pariññāya … demi kehancuran sepenuhnya/parikkhayā … demi meninggalkan/pahānā … demi hancurnya/khayā … demi melapuknya/vayā … demi tidak meminati/virāgā … demi lenyapnya/nirodhā … demi menanggalkan/cāgā, demi melepaskan/paṭinissaggā:

serakah/ketagihan/raga … kebencian/dosa … kebingungan/keliru tahu/kebodohan/moha … marah/kodha … kesal/dendam/upanāha … meremehkan/makkha … congkak/paḷāsa … iri/dengki/issā … kikir/macchariya … menipu/māyā … licik/curang/sāṭheyya … keras kepala/thambha … berapi-api/tidak mau kalah/sārambha … angkuh/māna … sombong/atimāna … pongah/mabuk/mada … lengah/lalai/pamāda

Maka ke-11 hal ini harus dikembangkan (ime ekādasa dhammā bhāvetabbā):
jhāna ke-1, 2, 3, 4; pembebasan pikiran dengan: mettā, karuṇā, muditā, upekkhā; landasan: ruang/penglihatan tidak berbatas, kesadaran tidak berbatas, dan tidak ada apapun (paṭhamaṁ jhānaṁ, dutiyaṁ jhānaṁ, tatiyaṁ jhānaṁ, catutthaṁ jhānaṁ, mettācetovimutti, karuṇācetovimutti, muditācetovimutti, upekkhācetovimutti, ākāsānañcāyatanaṁ, viññāṇañcāyatanaṁ, ākiñcaññāyatanaṁ) [AN 11.982 - 992 - 1151] dan melalui samādhi: kekosongan (Suññato), pikiran tanpa bentukan/ciptaan pikiran atau tanpa gambaran/ciri (animitto), bebas dari keinginan (appaṇihito) [AN 3.183-352], serta Buddhānussati...Devatānussati [misal AN 3.70]

PIKIRAN ADALAH PELOPOR

Sang buddha menyampaikan "perbuatan pikiran adalah yang paling tercela bagi pelaksanaan perbuatan buruk" [MN 56], "kehendak untuk berbuat itulah Kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau pikiran" [AN 6.63]
    Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu (Manopubbaṅgamā dhammā), pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk (manoseṭṭhā manomayā). Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya [Dhammapada syair ke-1]

    Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutnya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya [Dhammapada syair ke-2]
Karena pikiran adalah pelopor, maka memperhatikan dan melatih Pikiran merupakan hal utama:
    Jangan menggali (tinggal di) masa lalu [Atītaṃ nānvāgameyya]
    Jangan berhasrat pada yang belum ada [Nappaṭikaṅkhe anāgataṃ]
    masa lalu telah usai [Yadatītaṃ pahīnaṃ taṃ]
    masa depan belumlah tiba [Appattañca anāgataṃ]
    apapun yang ada saat ini [Paccuppannañca yo dhammaṃ]
    lihat dengan seksama di sana sini [Tattha tattha vipassati]
    tidak tergairahkan, tidak terganggu [Asaṃhīraṃ asaṃkuppaṃ]
    bijak untuk dikembangkan [Taṃ vidvā manubrūhaye]
    jangan ditunda-tunda [Ajjeva kiccamātappaṃ]
    Siapa tahu esok kematian datang [Ko jaññā maraṇaṃ suve]
    Tanpa dapat ditawar [Na hi no saṅgaraṃ tena]
    Kematian hadir dalam ragam cara [Mahāsenena maccunā]
    Seseorang yang berdiam tekun [Evaṃvihāriṃ ātāpiṃ]
    Tanpa kendur siang dan malam [Ahorattamatanditaṃ]
    adalah Ia yang berhasil baik [Taṃ ve bhaddekarattoti]
    Dikedamaian kata para bijak [Santo ācikkhate muni]
Bagaimana menggali masa lalu?
Seseorang terbuai dengan pikiran: Dahulu aku bermateri demikian.. merasakan demikian.. berpersepsi demikian.. memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian.. memiliki kesadaran demikian’

Bagaimana tidak menggali masa lalu?
Seseorang tidak memikirkan: Dahulu aku bermateri demikian.. merasakan demikian.. berpersepsi demikian.. memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian.. memiliki kesadaran demikian’

Bagaimana berhasrat pada yang belum ada?
Seseorang terbuai dengan pikiran: Kelak aku ingin menjadi bermateri demikian.. merasakan demikian.. berpersepsi demikian.. memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian.. memiliki kesadaran demikian’

Bagaimana tidak berhasrat pada yang belum ada?
Seseorang tidak memikirkan: Kelak aku ingin bermateri demikian.. merasakan demikian.. berpersepsi demikian.. memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian... memiliki kesadaran demikian’

Bagaimana tergairahkan pada hal yang ada sekarang?

Ia melihat/mengamati (samanupassati):

materi sebagai diri, atau diri memiliki materi, atau materi di dalam diri, atau diri di dalam materi
perasaan sebagai diri...
persepsi sebagai diri...
bentukan-bentukan sebagai diri...
kesadaran sebagai diri...

Bagaimana tidak tergairahkan pada hal yang ada sekarang?

Ia tidak melihat/mengamati (na .. samanupassati):

materi sebagai diri, atau diri memiliki materi, atau materi di dalam diri, atau diri di dalam materi
perasaan sebagai diri...
persepsi sebagai diri...
bentukan-bentukan sebagai diri...
kesadaran sebagai diri... [MN. 131-134]

Alurnya:
  1. Dengan (mata/cakkhu..pikiran/mano) dan (bentukan/rupa..obyek pikiran/dhamma) sebagai kondisi, muncul (kesadaran-mata/cakkhuviññāṇa..kesadaran pikiran/manovinnana). Pertemuan ke-3nya [tiṇṇaṃ saṅgati] adalah kontak [phassa].
  2. Dengan kontak sebagai kondisi, muncul perasaan [vedana].
  3. Apa yang dirasakan, itu yang dipersepsikan [sañjānāti].
  4. Apa yang dipersepsikan, itu yang dipikirkan [vitakketi].
  5. Apa yang dipikirkan, itu yang dikembangbiakkan [papañceti].
  6. dikembangbiakkannya sebagai sumber, persepsi dan gagasan [papañca-saññā-saṅkhā], melandanya di masa lalu, masa depan dan masa sekarang yang dikenali (mata..pikiran)[MN 18]

    Note:
    6 Indriya (mata,...dan pikiran) x 3 perasaan (menyenangkan, menyakitkan, bukan ke-2nya) = 18 Perasaan Indriya. 18 x 3 persepsi waktu (masa lalu/ingatan, kini, depan/khayalan) = 54 Perasaan Indriya dalam persepsi waktu. 54 x 2 kondisi (kusala/akusala) = 108 perasaan Indriya dalam persepsi waktu baik bermanfaat maupun tidak.

    [108 penjelasan perasaan/SN 36.22:
    2 Perasaan = Kayika/jasmani dan cetasika/yang menyertai pikiran;
    3 Perasaan = sukha, dukkha, adukkhamasukham;
    5 Perasaan terdeteksi/Indriya = sukha, dukkha, bahagia/somanassa, pedih/domanassa, seimbang/upekkhindriyaṃ;
    6 Perasaan karena kontak/samphassa = mata/Cakkhusamphassajā, .., Pikiran;
    18 perasaan berlangsung/upavicārā = 6 kontak x 3 (somannasa, domanassa, upekkha);
    36 Perasaan = 18 perasaan di atas x 2 (perumahtangga/pelepasan duniawi: detail di MN 137);
    108 Perasaan = 36 perasaan di atas x 3 persepsi waktu]

    Seseorang yang berdiam tekun dalam samādhi, indriya yang aktif hanya 1 atau 2 saja, yaitu salah satu dari (mata / telinga / hidung / sentuh / kecap ketika bertemu objek) + Indriya pikiran (ketika bertemu objek bentukan kehendak, persepsi atau perasaan), namun lambat laun, hanya indriya pikiran yang aktif sehingga 90 kesadarannya (5 x 18) TIDAK AKTIF + karena persepsi pikirannya ada di momentum saat ini BUKAN di ingatan lampau atau hasratnya di masa depan, maka 12 lainnya tidak aktif (2 persepsi waktu: lampau dan masa depan x 3 perasaan x 2 kondisi)

    Ketika perasaan menyakitkan lenyap, 2 kondisi tidak aktif (kusala dan akusala).
    Ketika perasaan menyenangkan lenyap, 2 kondisi lagi tidak aktif + 1 akusala tidak aktif untuk perasaan bukan ke-2nya.
    Yang tersisa = 1 perasaan bukan ke-2nya kusala saat ini dari kontak indriya pikiran + ragam persepsi lain di pikiran.
    Jika satu persatu persepsi lainnya lenyap, pijakan landasan kesadaran indriya pikirannya satu persatu lenyap, maka perasaan dari kontak Indriya tersebut, yaitu perasaan bukan keduanya pun satu persatu lenyap.

    Dari DN 21:
    Kebencian (verā), kekerasan (daṇḍā), persaingan (sapattā) dan memusuhi (byāpajjā) muncul karena: belenggu cemburu/iri - kikir (Issāmacchariyasaṁyojanā)
    Belenggu cemburu/iri - kikir muncul karena: suka dan tidak suka (piyāppiya)
    Suka dan tidak suka muncul karena: hasrat (chanda)
    Hasrat muncul karena: pikiran yang menggenggam (vitakka)
    Pikiran yang menggenggam muncul karena: Perkembangbiakkan sumber, persepsi dan gagasan (papañcasaññāsaṅkhā) [DN 21]

    Jalan melenyapkan perkembangabiakkan sumber, persepsi dan gagasan (di pikiran):

    Ketika mengejar perasaan (bahagia/somanassa, pedih/domanassa atau seimbang/upekkha)
    → hal tidak bermanfaat/akusala meningkat/abhivaḍḍhanti dan hal bermanfaat/kusala berkurang/parihāyantī, maka perasaan (bahagia, pedih atau seimbang) demikian harus dihindari.
    → Hal tidak bermanfaat berkurang dan hal bermanfaat meningkat, maka perasaan (bahagia, pedih atau seimbang) demikian harus dikejar.

    perasaan (bahagia, pedih atau seimbang) yang disertai Pikiran yang menggenggam dan mempertahankannya/savitakkaṁ savicāraṁ vs pikiran yang tanpa menggenggam dan tanpa mempertahankannya/avitakkaṁ avicāraṁ, maka yang kedua adalah lebih luhur.
    [DN 21]

    Arahan aturan pengendalian diri (pātimokkhasaṁvarāya paṭipanno):

    Ketika mengejar (perilaku perbuatan badan/kāyasamācāra, ucapan/vacīsamācāra dan/atau pencarian/pariyesana)
    → hal tidak bermanfaat meningkat dan hal bermanfaat berkurang, maka (perilaku perbuatan badan, ucapan atau pencarian) demikian harus dihindari.
    → Hal tidak bermanfaat berkurang dan hal bermanfaat meningkat, maka (perilaku perbuatan badan, ucapan atau pencarian) demikian harus dikejar. [DN 21]

    Arahan pengendalian Indria (indriyasaṁvarāya paṭipanno):

    Ketika mengejar (mata yang menyadari bentukan/cakkhuviññeyyaṁ rūpa, telinga yang menyadari suara/sotaviññeyyaṁ sadda, hidung yang menyadari bebauan/ghānaviññeyyaṁ gandha, lidah yang menyadari rasa/jivhāviññeyyaṁ rasa, badan yang menyadari sentuhan/kāyaviññeyyaṁ phoṭṭhabba atau pikiran yang menjadari hal-hal/manoviññeyyaṁ dhamma)
    → hal tidak bermanfaat meningkat dan hal bermanfaat berkurang, maka (mata yang menyadari bentukan, .., atau pikiran yang menjadari hal-hal) demikian harus dihindari.
    → Hal tidak bermanfaat berkurang dan hal bermanfaat meningkat, maka (mata yang menyadari bentukan, .., atau pikiran yang menjadari hal-hal) demikian harus dikejar. [DN 21]

LIMA KEMAMPUAN DAN PENEMBUSAN

Dalam Buddhisme terdapat 2 definisi Indriya, yang ke-1 adalah enam landasan internal/chasu ajjhattikesu āyatanesu atau saḷāyatana, berupa: mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran, sebagai alat kontak terhadap objeknya masing-masing, dan yang ke-2 semacam indikator untuk mencapai tujuan ajaran.

Sang Buddha berkata bahwa 5 Indriya/Pañcindriyāni/5 kemampuan (saat mahir tak tergoyahkan/mencapai kesucian = 5 Kekuatan/pañca balā), jika dikembangkan dan dilatih (bhāvitāni bahulīkatāni), akan menuntun pada (saṃvattanti) [Ini adalah TUJUAN AJARAN]: (1) Hancurnya noda-noda/āsavānaṃ khayāya; (2) ditinggalkannya belenggu/saṃyojanappahānāya; (3) Tercabutnya kecenderungan tersembunyi/anusayasamug-ghātāya; (4) jalan pada pemahaman/addhānapariññāya" [SN 48.61-64.] dan 5 Indriya (atau 5 kekuatan, SN 48.3) ini adalah:
  1. Kemampuan/Kekuatan-Keyakinan (Saddha-Indriya/Bala), harus terlihat dalam (daṭṭhabba) 4 faktor memasuki-arus (Catūsu sotāpattiyaṅgesu) [SN 48.8, AN 5.15] atau CERMIN DHAMMA/dhammādāso (SN 55.8-10): Keyakinan kokoh tak tergoyahkan pada (1) Buddha, (2) Dhamma, (3) sangha, dan (4a) moralitas/sila yang dimiliki para mulia (Ariyakantehi sīlehi samannāgato), yang: tidak rusak (akhaṇḍehi), tidak robek (acchiddehi), tanpa noda (asabalehi), tanpa bercak (akammāsehi), membebaskan (bhujissehi), dipuji para bijaksana (viññuppasatthehi) tidak digenggam (aparāmaṭṭhehi) menuntun ke pikiran terpusat (samādhisaṁvattanikehi) [SN 55.1,2] atau (4b) Sempurna dalam/Kekayaan kedermawanan (cāgasampanno/sampadā / cāgadhana): yang tinggal di rumah, pikirannya bebas dari noda kekikiran (vigatamalamaccherena cetasā), murah hati (muttacāgo), bertangan terbuka (payatapāṇi), gemar melepas/berdana (vossaggarato), mudah memberi (yācayogo), girang ketika memberi dan berbagi (dānasaṁvibhāgarato) (atau dengan kata lain:) Dan apa pun yang ada di keluargamu, yang dapat diberikan, semuanya tanpa kecuali, diberikan kepada mereka yang beretika/menjalankan moralitas (sīlavantehi) dan berkarakter baik (kalyāṇadhammehi) [SN 55.6, 32, 37; AN 5.47, AN 8.76] atau (4c) Sempurna dalam/ Indriya / Kekuatan / kekayaan Kebijaksanan (paññāsampanno/sampadā / paññindriya/bala/dhana): seorang mulia bijaksana (ariyasāvako paññavā), terhadap kemunculan dan kelenyapan (udayatthagāminiyā) memiliki kebijaksaan mulia, yang menembus sepenuhnya terhadap kehancuran penderitaan (paññāya samannāgato ariyāya nibbedhikāya sammā dukkhakkhayagāminiyā) [SN 55.33, 43, 37; SN 48.9; AN 5.2, 47; AN 8.76]

      Note:
      Maksud dari berkeyakinan tak goyah pada Buddha dhamma dan sangha, misalnya:

      “Para bhikkhu, ada 5 kekuatan yang harus dimiliki oleh seorang yang masih belajar. Apakah 5 kekuatan itu? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu, kekuatan rasa takut, kekuatan semangat, dan kekuatan kebijaksanaan. (saddhābalaṁ, hirībalaṁ, ottappabalaṁ, vīriyabalaṁ, paññābalaṁ)

      “Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia yang berkeyakinan. Ia yakin dengan pencerahan Sang Tathāgata (saddahati tathāgatassa bodhiṁ):

      itipi so bhagavā arahaṁ sammāsambuddho vijjācaraṇasampanno sugato lokavidū anuttaro purisadammasārathi satthā devamanussānaṁ buddho bhagavā’ti [demikianlah beliau bhagavā (sang agung/mulia/beruntung) arahaṃ (yang patut di hormati, noda-nodanya telah lenyap, kehidupan suci telah terpenuhi, telah melakukan yang harus dilakukan, tak lagi menanggung beban, telah mencapai tujuan, belenggu KELAHIRAN KEMBALI telah hancur dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir) sammāsam (dengan benar sempurna/seluruhnya) - Buddho (yang telah memutus rantai penjelmaan) vijjācaraṇasampanno (sempurna pengetahuan dan prilaku) sugato (baik/su + arah/tujuannya/gato atau bicaranya/gad) lokavidū (pengenal alam) anuttaro purisadammasārathi (penunjuk jalan tiada banding bagi yang patut dijinakkan) satthā devamanussānaṃ (guru para deva dan manusia) buddho bhagavā ti (sang mulia yang telah memutus rantai penjelmaan)].." [AN 5.2, 12]

      Sehingga untuk berkeyakinan tak goyah pada Dhamma dan sangha, juga mengikuti yang tercantum di Dhammānussati dan Saṅghānussati

    Pengelompokan lain 4 faktor pemasuk arus: (1) Pergaulan dengan orang Mulia (sappurisasaṃseva), (2) mendengarkan dhamma sejati (saddhammassavana. Savana = telinga, mendengar, mengalir. Jadi bukan karena membaca), (3) perhatian benar (yonisomanasikāra: terkait .paṭiccasamuppada) dan (4) berprilaku sesuai dhamma dan anudhamma (dhammānudhammappaṭipatti). Arus adalah 8 jalan mulia (pandangan benar..pemusatan pikiran yang benar). Pemasuk arus adalah yang melakukan 8 jalan mulia [SN 55.5, 50; DN 33]

      Note:
      Sang Buddha: "..Sekarang, Ānanda, penghidupan BRAHMA/menyucikan diri menjadi tidak bertahan lama. Sekarang, Ānanda, DHAMMA SEJATI hanya bertahan 500 tahun (na dāni, ānanda, brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ bhavissati. Pañceva dāni, ānanda, vassasatāni saddhammo ṭhassati)” [AN 8.51, Cullavagga X.1.6], maka, setelah tahun ke-500nya penahbisan Mahapajapati Gotami, Dhamma sejati lenyap, pencapaian sotāpanna TIDAK DIMUNGKINKAN di alam Manusia. Mereka yang berkeyakinan terhadap Buddha, Dhamma, seharusnya juga YAKIN pada sabda sang Buddha tentang ini

    Sidharta Gautama dengan usahanya sendiri (menjalankan moralitas, mempelajari ajaran yang telah ada dan baru dikenalnya dan merenungkannya, bergaul dengan pelaku moralitas), Ia dengan usahanya sendiri, menembus pencerahan, pengetahuan ini kemudian diajarkanNya pada yang patut dijinakkan (yang siap BUKAN yang tidak siap). Ketika seseorang, melihat orang yang dikenalnya, menjalani latihan dan mencapai pencapaian. Ini menginspirasikannya untuk mengikutinya atau untuk membuktikannya, ATAU Seseorang, setelah mendengar/membaca ajaran, Ia merenungkannya dan melihat ada manfaatnya, Ini menjadi benih awal keyakinannya, Ia ingin membuktikan kelanjutannya dan Ia mencapai beberapa kemajuan mental seperti yang tertera di ajaran, oleh karenanya, keyakinannya mengokoh dan makin tak goyah.

    Alur maju dari indriya Keyakinan:

      “..yang hanya tertuju dan berkeyakinan penuh (ekantagato abhippasanno) kepada Sang Tathāgata, tidak memiliki kebingungan atau keraguan pada sang Sang Tathāgata dan ajaranNya (na so tathāgate vā tathāgatasāsane vā kaṅkheyya vā vicikiccheyya vā) dapat diharapkan (pāṭikaṅkhaṁ) → akan mengusahakan dengan gigih (āraddhavīriyo) untuk meninggalkan hal tidak bermanfaat dan mendapatkan hal bermanfaat dapat diharapkan akan → akan menjadi mengingat ini (satimā bhavissati), berdaya ingat kuat, cerdas dalam mengingat (paramena satinepakkena samannāgato), ingat akan ingatan, perkataan dan perbuatan yang telah lama (cirakatampi cirabhāsitampi saritā anussaritā) → akan setelah melepaskan objek (vossaggārammaṇaṁ karitvā), akan memperoleh keterpusatan pikiran (labhissati samādhiṁ), akan memperoleh pikiran yang terpusat (labhissati cittassa ekaggataṁ) → akan memahami (pajānissati)..

      Ketika Ia, berulang-lang: berusaha gigih demikian, mengingat demikian, memusatkan pikiran demikian, memahami demikian, Ia memperoleh keyakinan penuh sebagai berikut: ‘Sehubungan dengan hal-hal ini yang hanya pernah kudengar sebelumnya, Aku, sekarang, setelah menyentuhnya dengan jasmani dan, setelah menembus dengan kebijaksanaan, aku melihat (paññāya ca ativijjha passāmī).’ Keyakinannya itu adalah indriya keyakinan. [SN 48.50. Juga: MN 68 dan MN 11]

    Perumpamaan Kereta Dhamma dari Sang Buddha:

      Adalah keyakinan dan kebijaksanaan (yassa saddhā ca paññā ca)
      pasangan yang terjalin bersama (dhammā yuttā sadā dhuraṃ)
      rasa malu tiangnya, pikiran gandar-ikatnya (Hirī īsā mano yottaṃ)
      ingatan kusir pengarahnya (sati ārakkhasārathi)

      moralitas perlengkapan keretanya (ratho sīlaparikkhāro)
      jhāna as-nya kegigihan rodanya (jhānakkho cakkavīriyo)
      tenang-seimbang terjalin pikiran terpusat (upekkhā dhurasamādhi)
      dan ketiadaan keinginan sebagai penutupnya (an-icchā parivāraṇaṃ)

      tanpa niat buruk tanpa kekejaman (Abyāpādo avihiṃsā)
      dan melepaskan adalah persenjataannya (viveko yassa āvudhaṃ)
      ketahanan diri perisai zirahnya (Titikkhā cammasannāho)
      bebas kemelekatan arahnya (yogakkhemāya vattati)

      berasal dari diri sendiri (tadattani sambhūtaṃ)
      kendaraan brahma yang tiadatara (brahmayānaṃ anuttaraṃ)
      dikendarai para bijak dunia kita (Niyyanti dhīrā lokamhā)
      pasti berjaya dengan kemenangan (aññadatthu jayaṃ jayan”ti) [SN 45.4]

  2. Kemampuan/Kekuatan-Kegigihan (vīriya-Indriya/Bala), harus terlihat dalam 4 usaha benar (Catūsu sammappadhānesu) [SN 48.8, AN 5.15], Membangkitkan kegigihan untuk:

    1. meninggalkan hal-hal tak bermanfaat dan mendapatkan hal-hal bermanfaat; kuat, teguh dalam usaha, tidak melalaikan tanggung jawab untuk melatih hal-hal bermanfaat. Membangkitkan keinginan untuk tak memunculkan hal-hal buruk tak bermanfaat yang belum muncul;

    2. Mengarahkan pikirannya, berupaya dan membangkitkan keinginan untuk: meninggalkan hal-hal buruk tak bermanfaat yang telah muncul dan membangkitkan keinginan untuk memunculkan hal-hal bermanfaat yang belum muncul;

    3. Mengarahkan pikirannya, berupaya dan membangkitkan keinginan untuk memunculkan hal-hal bermanfaat yang belum muncul dan;

    4. mengarahkan pikirannya, berupaya dan membangkitkan keinginan untuk mempertahankan hal-hal bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-rusakannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan [SN 48.10; DN 16]

    Sang Buddha: Jika 4 Indriya/kemampuan (catunnaṃ indriyānaṃ) yaitu: Kebijaksanaan, Pikiran terpusat, Ingatan dan Kegigihan, telah dikembangkan dan dilatih, akan menuntun pada hancurnya noda-noda [SN 48.47]

  3. Kemampuan/Kekuatan-Ingatan (sati-indriya/bala), yaitu berdaya ingat kuat (satimā hoti paramena) cerdas dalam mengingat (satinepakkena samannāgato) ingat akan ingatan, perkataan dan perbuatan yang telah lama (cirakatampi cirabhāsitampi saritā anussaritā). Indriya ingatan harus terlihat dalam 4 landasan ingatan (Catūsu satipaṭṭhānesu), yaitu setelah meninggalkan kerinduan kegundahan dunia, dengan tekun dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui terkait: (1) Jasmani mengamati jasmani (kāye kāyānupassī) ..(2) Perasaan mengamati perasaan (vedanāsu vedanānupassī) ..(3) Pikiran mengamati pikiran (citte cittānupassī) .. (4) Dhamma/hal (berkondisi, terkondisi, tak terkondisi) mengamati dhamma (dhammesu dhammānupassī) [SN 48.8, 48.10, AN 5.15]

    Sang Buddha: Mereka yang BELUM meninggalkan 6 hal, TIDAK AKAN MAMPU terkait jasmani mengamati jasmani secara ke dalam/diri sendiri atau ke luar/selain diri sendiri.. perasaan.. pikiran.. dhamma adalah dhamma secara ke dalam atau ke luar. 6 hal yang dimaksud adalah senang/gemar dalam:

    1. kesibukan/menyibukan diri bekerja (Kammārāmata)
    2. berbicara/ngobrol (tulis dan ucapan) (bhassārāmata)
    3. tidur (niddārāmata)
    4. berkumpul/kumpul-kumpul (saṅgaṇikārāmata)
    5. tidak menjaga pintu-pintu indriya (indriyesu aguttadvārata), dan
    6. makan berlebihan/tak membatasi (bhojane amattaññuta) [AN 6.118]

    5 Nivaraṇā dan Cattāro satipaṭṭhanā
    Dengan dikembangkannya 4 landasan ingatan, 5 rintangan ditinggalkan (pañcannaṁ nīvaraṇānaṁ pahānāya cattāro satipaṭṭhānā bhāvetabbā) [AN 9.64]

    Sang Buddha: Jika 3 Indriya/kemampuan (tiṇṇannaṃ indriyāna): Kebijaksanaan, Pikiran terpusat dan Ingatan, telah dikembangkan dan dilatih, akan menuntun pada hancurnya noda-noda. [SN 48.49]

  4. Kemampuan/Kekuatan-Pikiran Terpusat (samādhi-indriya/bala) atau Samatha (AN 6.54, Pe 3) yaitu memperoleh samādhi, memperoleh keterpusatan pikiran, setelah melepaskan objek. Indriya keterpusatan pikiran HARUS TERLIHAT dalam 4 jhāna (Catūsu jhānesu): jhāna ke-1 s.d jhāna ke-4 [SN 48.8, 9; AN 5.15].

    "Sammā-samādhi" dengan pendukung dan perlengkapan berupa Pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, pencaharian benar, usaha benar dan ingatan benar, mengarah pada nibbana atau hancurnya kekotoran mental [SN 45.28].

    Sang Buddha: Jika 2 Indriya/kemampuan (dvinnaṃ indriyānaṃ): Kebijaksanaan mulia (= vipassana) dan Pembebasan mulia (= samatha/Indriya pikiran terpusat), telah dikembangkan dan dilatih, akan menuntun pada hancurnya noda-noda [SN 48.46]

  5. Kemampuan/Kekuatan-Kebijaksanaan (pañña-Indriya/Bala) atau Pengetahuan Mulia (Ariyā paññā) atau vipassana (AN 6.54, Pe 3): Mengarah pada muncul-lenyapnya dan dapat menembus, menuntun pada hancurnya penderitaan [SN 48.9], Indriya Kebijaksanaan harus terlihat dalam 4 Kebenaran Mulia, yaitu: tentang dukkha, asalmulanya, lenyapnya dan jalan menuju lenyapnya dukkha [SN 48.8, AN 5.15].

    Sang Buddha: Jika 1 indriya/kemampuan (ekassa indriyassa), yaitu kebijaksanaan atau pengetahuan Mulia, telah dikembangkan dan dilatihnya, akan menuntun pada hancurnya noda-noda. Selama pengetahuan mulia belum muncul, maka selama itu tidak ada: kekokohan (saṇṭhiti) dan kekuatan (avaṭṭhiti) pada 4 indriya/kemampuan lainnya. Dengan memiliki kebijaksanaan, maka 4 Indriya/kemampuan lainnya akan menjadi stabil (saṇṭhāti). Oleh karenanya, Indriya/Kemampuan kebijaksanan adalah yang terunggul dari 4 Indriya lainnya dalam hal-hal yang mendukung pencapaian pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā) atau dalam tahap-tahap menuju tercapainya pencerahan (padāni bodhāya saṃvattanti)) [SN 48.45, 51, 52, 54, 67-70]

    Siswa mulia yang berkeyakinan (Saddha), dengan semangat kegigihan (āraddhavīriya), siap ingatannya (upaṭṭhitassati), pikirannya terpusat (samāhitacittassa) demikian (etaṁ), diharapkan dapat mengetahui ini (pāṭikaṅkhaṁ yaṁ evaṁ pajānissati): "Titik awal tak terlihat (Pubbā koṭi na paññāyati) karena terhalang ketidaktahuan (avijjānīvaraṇānaṃ), para makhluk terbelenggu kehausan (sattānaṃ taṇhāsaṃyojanānaṃ) berputaran di samsara (sandhāvataṃ saṃsarataṃ), dengan Ketidaktahuan juga bentukan kegelapan (Avijjāya tveva tamokāyassa) lenyap bersih tanpa sisa (asesavirāganirodho): ‘Ini damai, ini luhur (etaṃ santaṃ etaṃ paṇītaṃ yadidaṃ), tenangnya segala bentukan (sabbasaṅkhārasamatho), lepasnya segala kelekatan (sabbūpadhipaṭinissaggo), hancurnya kehausan (taṇhākkhayo), tidak ada minat (virāgo), berhenti (nirodho), padam (nibbāna)’, ini adalah indriya kebijaksanaan [SN 48.50]
Di awal telah disinggung, tentang kelompok SAMĀDHI/samādhikkhandha yang meliputi upaya /vāyāmo, mengingat/sati dan memusatkan pikiran/samādhi [MN 44] adalah sebagaimana perumpamaan yang diberikan sang buddha:
    Dan bagaimanakah, para bhikkhu, BUKAN pengendalian itu?

    [...]

    Misalkan, Para Bhikkhu seorang menangkap 6 binatang dari habitat berbeda dan mengikat kuat mereka dengan tali.

    Ia menangkap Ular, buaya, burung, anjing, srigala dan monyet. Masing-masing diikatnya dengan tali menjadi satu simpul ditengahnya dan kemudian dilepaskan.

    Ke-6 binatang dari habitat berbeda itu akan menariknya ke wilayah mereka.

    Ular akan menarik ke satu arah, berpikir, "aku akan menuju sarang semut".
    Buaya akan menarik kearah lain, berpikir, "aku akan masuk ke air".
    Burung akan menarik ke arah lain, berpikir, "aku akan terbang ke angkasa".
    Anjing akan menarik ke arah lain, berpikir, "aku akan memasuki desa".
    Serigala akan menarik ke arah lain, berpikir, "Aku akan pergi ke kuburan".
    Monyet akan menarik ke arah lain, berpikir, "aku akan memasuki hutan"

    Ketika ke-6 binatang itu menjadi letih dan lelah, mereka dikuasai satu diantara yang terkuat dan berada di bawah kendalinya

    Demikian pula, para bhikkhu, ketika ingatan pada jasmani [kāyagatāsati] tidak dikembangkan (abhāvitā) dan tidak dilatihnya (abahulīka), maka mata ke arah bentukan menyenangkan atau ke arah lain dari bentukan menyakitkan.

    Telinga..
    Kulit..
    Lidah..
    Hidung..
    Pikiran..

    [dan diteruskan kalimat yang sama]...

    Dan bagaimanakah, para bhikkhu, pengendalian itu?

    [...]

    Misalkan, Para Bhikkhu seorang menangkap 6 binatang dari habitat berbeda dan mengikat kuat mereka dengan tali.

    Ia menangkap Ular, buaya, burung, anjing, srigala dan monyet. Masing-masing diikatnya dengan tali DAN SETELAH MELAKUKAN ITU, IA IKAT DI SEBUAH TIANG/PILAR.

    Ke-6 binatang dari habitat berbeda itu akan menariknya ke wilayah mereka.

    Ular akan menarik ke satu arah, berpikir, "aku akan menuju sarang semut"....

    [sama seperti di atas]

    Ketika ke-6 binatang itu menjadi letih dan lelah, mereka akan BERADA DI DEKAT TIANG, AKAN DUDUK/BERBARING DISANA

    Demikian pula, para bhikkhu, ketika ingatan pada jasmani dikembangkan dan dilatih, maka mata tidak ke arah bentukan menyenangkan atau tidak ke arah lain dari bentukan menyakitkan.

    Telinga..
    Kulit..
    Lidah..
    Hidung..
    Pikiran..

    [dan diteruskan kalimat yang sama]...

    Tiang/pilar yang kuat" adalah ingatan pada jasmani. Karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih: Ingatan pada Jasmani akan kami kembangkan dan latih, menjadikannya kendaraan, menjadikannya landasan, menstabilkannya, mengerahkan usaha kami dan menyempurnakannya. [SN 35.247]

    Note:
    Variasi terkait ingatan pada jasmani/kāyagatāsati yang tertera di MN 119:

    1. ingatan pada nafas keluar dan nafas masuk/ānāpānasati (yaitu set pertama dari 4 landasan ingatan/cattāro satipaṭṭhāna: terkait tubuh mengamati tubuh/kāye kāyānupassī)
    2. mengetahui 4 postur tubuh/cattaro iriyapatha pajānāti
    3. sepenuhnya mengetahui aktifitas yang dilakukan/sampajānakārī
    4. merenungkan ragam dari sekujur tubuh yang (memang) tidak suci/pūraṁ nānappakārassa asucino paccavekkhati
    5. jasmani yang terdiri dari 4 unsur utama/catumahabhuta paccavekkhati
    6. merenungkan tubuh sendiri dengan mayat/kāyaṁ upasaṁharati
    7. berdiam dalam jhana ke-1-4/jhānaṁ upasampajja viharati
Tugas pelaku samādhi
Dengan tekun (ātāpī) dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (sati sampajāna) terhadap apapun yang dilakukannya ATAU dengan tekun, takut berbuat salah, terus-menerus tanpa henti bersemangat dan bertekad (ātāpī ottāpī satataṁ samitaṁ āraddhavīriyo pahitattoti)
    Note:
    Di sebut tekun/ātāpī dan takut berbuat salah/ottappī: "Jika hal buruk tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dalam diriku (dan/atau yang telah ada tidak ditinggalkan), maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku, Jika hal bermanfaat yang belum muncul dalam diriku menjadi tidak muncul (dan/atau yang telah ada menjadi lenyap), maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku" [SN 16.2]
4 postur/sikap samādhi
Posisi/sikap/postur (Iriyapatha) 4 posisi (cattaro iriyapatha), yaitu: berbaring (sayano), berdiri (caram/ṭhito), duduk (nissino) atau berjalan (gacchanto atau cankama). Ketika Ia berbaring.. berdiri.. duduk.. berjalan, Ia sepenuhnya mengetahui bahwa dirinya sedang: berbaring.. berdiri.. duduk.. berjalan. Ia sepenuhnya mengetahui bagaimanapun tubuhnya berposisi. Ketika hal ini dilakukan dengan rajin, tekun, bersungguh-sungguh, maka ingatan-ingatan dan kehendak-kehendak sehubungan keduniawian menjadi ditinggalkan; dengan ditinggalkannya itu, pikirannya menjadi kokoh ke dalam, tenang, manunggal dan pikirannya menjadi terpusat [ajjhattameva cittaṃ santiṭṭhati, sannisīdati, ekodi hoti, samādhiyati] [MN 20, 119; SN 46.11].

sati
Berdaya ingat kuat (satimā hoti paramena) cerdas dalam mengingat (satinepakkena samannāgato) ingat akan ingatan, perkataan dan perbuatan yang telah lama (cirakatampi cirabhāsitampi saritā anussaritā). [SN 48.8, 48.10, AN 5.14]

Buddhaghosa dalam Dhammasaṅgaṇīmātikā, tentang sati: “Ia mengingat (saranti tāya) atau ingat dengan sendirinya (sayaṃ vā sarati) atau rangkaian mengingat-ingat demikian (saraṇamattameva vā), itulah sati (esāti sati), dengan ciri tidak kehilangan (objek) (sā apilāpanalakkhaṇā), berfungsi agar tidak lupa (asammosanarasā), ibarat menjaga atau menghadapi objek (ārakkhapaccupaṭṭhānā, visayābhimukhabhāvapaccupaṭṭhānā vā), disebabkan berlandaskan persepsi/ingatan kuat (thirasaññāpadaṭṭhānā) atau disebabkan berlandaskan ingatan terkait tubuh (kāyādisatipaṭṭhānapadaṭṭhānā vā) kokoh bersandar objek ini bagaikan pilar (ārammaṇe daḷhapatiṭṭhitattā pana esikā viya) dan terlihat bagai penjaga gerbang yang menjagai pintu mata dan lainnya (cakkhudvārādirakkhaṇato dovāriko viya ca daṭṭhabbā)"

sampajañña/sampajāna (sepenuhnya mengetahui)
Kemunculan-berlangsung-berakhirnya vedanā/perasaan, vitakkā/awal pemikiran dan saññā/persepsi/ingatan (SN 47.35) saat: bolak-balik/maju-mundur (abhikkante paṭikkante); melihat ke: depan, samping (ālokite vilokite); menarik/merentangkan tangan-kaki (samiñjite pasārite); menggunakan jubah/pakaian, jubah luar dan mangkuk (saṅghāṭi patta cīvara dhāraṇe); makan (asita), minum (pīta), mengunyah (khāyita), mengecap (sāyita); buang air besar (uccāra) kencing (passāva); berjalan (gata), berdiri (thita), duduk (nisinna), berbaring (sutte), terjaga (jāgarite), berbicara (bhāsita), dan tidak berbicara (tuṇhībhāva) [SN 47.2, DN 13]
    Note:
    Terdapat frase, "kokoh/kuat dalam ingatan yang tidak kacau/lengah (upaṭṭhitā sati asammuṭṭhā)" (iti 111, AN 4.12) dan "kokoh/kuat dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (upaṭṭhitassatissa sampajānassa)" (AN 5.210/Muṭṭhassati/pikiran lengah, AN 5.167), jadi, "sepenuhnya mengetahui"/sampajāna = "tidak lengah"/asammuṭṭhā (atau, asampajāna = sammuṭṭhā)
    ‘Sutte’ (keadaan berbaring di: kursi, pembaringan, bersender dalam duduk/berdiri) dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui. Postur berbaring yang dianjurkan: menghadap arah kanan dalam postur singa, satu kaki di atas kaki lainnya dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (sato sampajāno) memperhatikan kemunculan persepsi (uṭṭhānasaññaṃ manasikaritvā) [MN 107, lihat juga SN 4.7]. Berbaring BUKANLAH SINONIM dari kondisi terlelap tidur. Kondisi terlelap tidur adalah kondisi lengah dalam ingatan, lalai (muṭṭhassatissa asampajānassa), misalnya: "..Kemudian Devadatta,...berbaring menghadap ke sisi kanan (dakkhiṇena passena seyyaṁ kappesi), karena lelah (tassa kilamantassa), Ia lengah dalam ingatan, lalai (muṭṭhassatissa asampajānassa), tidak berapa lama, terlelap dalam tidur (muhuttakeneva niddā okkami)" [KD 17], oleh karenanya arahat, tidak pernah tertidur seperti definisi tidur kaum awam.
    Jagarite’ (terjaga: selain tidur, termasuk saat berbaring sakit atau keadaan yang tidak memungkinkan bangkit dari posisi berbaring) juga dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, bahkan sebelum membuka mata. Sang Buddha dalam SnP 1.8/KP 9 menyatakan: "...Ketika berdiri, berjalan, duduk, atau (tiṭṭhaṁ caraṁ nisinno va) berbaring selama terjaga (sayāno yāvatāssa vitamiddho), demikian ingatannya ditegakkan/disiapkan (etaṁ satiṁ adhiṭṭheyya), ini disebut ‘kediaman Brahma’". Frase "terjaga/vitamiddho" adalah tidak mengantuk/lamban/melamun, Ini persamaan kata yang dekat arti ‘Jagarite’.
    Dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui ini dilakukan terus menerus tanpa putus, seperti sabda sang Buddha, "yang senantiasa waspada, giat melatih diri siang-malam, mengarahkan diri ke nibbana, kekotoran mentalnya akan musnah" [Dhammapada syair no.226]’. Dari Penelitian terhadap gelombang otak yang dihasilkan, maka melakukan meditasi adalah jauh lebih baik daripada tidur.
Sewaktu berada rajin, dengan tekun dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui secara demikian, jika muncul perasaan: menyenangkan atau menyakitkan atau bukan keduanya, dalam dirinya,

Ia mengetahui:
Telah muncul perasaan (menyenangkan atau menyakitkan atau bukan keduanya) dalam dirinya. Perasaan itu muncul disebabkan jasmani ini dan jasmani ini tidak kekal, terkondisi dan muncul karena sebab sebabnya. Maka perasaan yang muncul adalah juga tidak kekal, terkondisi dan muncul karena sebab-sebabnya
    Ia mengamati ketidakkekalan jasmani dan perasaan itu,
    Ia mengamati kelapukannya (awal - akhir dari jasmani dan perasaan itu),
    Ia mengamati memudarnya (minat / pencarian / mendapatkan / mempertahankan jasmani dan perasaan: menyenangkan atau bukan menyakitkan bukan menyenangkan atau menolak jasmani dan perasaan: menyakitkan),
    Ia mengamati melenyapnya (minat/pencarian atau penolakan) jasmani dan perasaan itu,
    Ia mengamati kejenuhan (minat/pencarian atau penolakan) jasmani dan perasaan itu.
Ketika berada secara demikian, kecenderungan tersembunyi (minat/pencarian atau penolakan) sehubungan dengan jasmani dan perasaan itu menjadi ditinggalkannya

Jika merasakan perasaan (menyenangkan atau menyakitkan atau bukan keduanya), Ia mengetahui: ‘ini: tidak kekal, tidak menyenangkannya, tidak meminatinya’ (anicca, anajjhosita, anabhinandita)
Jika merasakan perasaan (menyenangkan atau menyakitkan atau bukan keduanya), Ia merasakannya dengan tidak terlibat.
jika merasakan perasaan yang berujung pada berakhirnya jasmani, Ia mengetahui: Aku merasakan perasaan yang berujung pada berakhirnya jasmani’
jika merasakan perasaan yang berujung pada berakhirnya kehidupan, Ia mengetahui: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berakhirnya kehidupan’ Ia mengetahui: ‘Dengan hancurnya jasmani, berujung pada berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, tidak menyenangkan (untuk tertarik atau menolak) (anabhinanditāni), akan mendingin di sini'.

Seperti halnya, sebuah lampu minyak menyala yang bergantung pada minyak dan sumbu, dengan habisnya minyak dan sumbu maka lampu itu menjadi padam karena kehabisan minyak [SN 36.7]

Objek Meditasi/samādhi
Objek/Kammatthana dari Samatha jumlahnya lebih dari 40. Buddhaghosa (abad ke-5 M) menyatakan objek/Kammathana berjumlah 40[↑]. Di abad ke-19, Mahasi Sayadaw, memperkenalkan 1 objek lagi yaitu kembang kempis-nya perut, Objek ini juga menggunakan "badan dan nafas" sebagai landasan, sehingga jumlahnya memang lebih dari 40

Oleh karenanya, pilih dan tekuni cukup 1 objek saja karena apapun objeknya, tujuan dan hasilnya adalah untuk menghancurkan kekotoran mental. Dari sekian banyak objek samādhi, salah satunya adalah bernafas [ānāpāna: āna/menarik nafas + apāna/mengeluarkan nafas]. Nafas adalah kondisi alami manusia. Juga, ānāpānasati [ingatan pada nafas keluar/masuk] adalah objek samādhi yang biasa dilakukan Bodhisatta Gotama [SN 54.8] dan tetap kerap dilakukan beliau bahkan setelah menjadi Sammasambuddha Gotama [SN 54.11].
    Note:
    Indriya (perasa) dan objeknya (udara/tekanan) → persentuhan (di sekitar hidung atau perut atau dada) = kesadaran hidung/badan, ke-3nya (Indriya perasa, objek: udara/tekanan dan kesadaran) = kontak hidung/badan. Kontak memunculkan perasaan (menyenangkan, menyakitkan atau bukan ke-2nya). Apa yang dirasakan, itu yang dipersepsikan, itu yang dipikirkan, itu yang berkembang biak berupa: sumber, persepsi, gagasan di masa lalu (ingatan), depan atau sekarang (misal tentang nafas yang panjang/pendek, cepat/lambat, halus/kasar, menyenangkan/menyakitkan, bukan ke-2nya, dll) yang dikenali oleh indriya perasa

    Ketika sedang menggunakan objek bernafas sebagai landasan ingatan, maka:

      Jika pikiran berkeliaran (baik, buruk, indah, jahat, erotis, berguna/tidak), jangan senang dengan pikiran baik dan jangan murung dengan pikiran buruk, cukup diketahui, tidak terlibat secara emosi, akal; tidak mengomentari, menyalahkan, menilai maupun memuji dan segera kembalikan ingatan pada gerak napas
      Jika mendengar suara, hanya dikenali dan segera kembalikan ingatan pada gerak napas
      Begitu pula dengan bau, rasa, sentuhan: menyenangkan, sakit, gatal, cukup diketahui, tidak terlibat dengan menolak atau menerima, bertahan untuk tidak meladeni dan segera kembalikan ingatan pada gerak napas
      Bisa juga akan muncul bayangan yang dihasilkan dari ingatan dan khayalan, seperti cahaya, warna, bentukan dan sebagainya. Jangan terpengaruh dengan mengira bahwa inilah kehebatan mental. jauh dari itu, semua ini hanya rintangan yang menghambat kemajuan. Waspada terhadap semua bayangan ini tanpa terlibat, segera kembalikan ingatan pada gerak napas

    Seiring waktu, pengulangan ingatan pada napas keluar-masuk, napas bisa menjadi amat lembut dan halus hingga tidak terasa atau bahkan tidak dapat dibedakan apakah tarikan atau hembusan nafas. Perhatian benar berarti mengamati nafas secara apa adanya, tanpa menilai baik/buruknya, hanya mengawasi, mengenali kemunculannya hingga kelenyapannya di tiap tarikan dan/atau hembusan.

    Dengan menguatnya pemusatan perhatian, yang ada hanya hembusan keluar dan masuknya napas tanpa ada pelaku di baliknya. Mungkin saja keadaan ini hanya sebentar dan pikiran berkelana kembali, terasa sulit untuk berkonsentrasi, merasa malas atau ingin tidur, bosan dan gelisah, merasa jemu dengan latihan samādhi. Tidak mengapa, yang diperlukan adalah menumbuhkan kembali kemauan, menetapkan ketekunan, siap bertempur.

    Mengembangkan mental seperti ini bukan dapat dicapai dalam satu malam. Keteraturan dan kesinambungan adalah aturan yang harus ditaati. Seluruh latihan mental harus dilaksanakan secara wajar dan penuh kewaspadaan; sebab ‘berkobar-kobar saja tanpa kewaspadaan bagaikan berlari-lari di malam yang gulita’. [Beberapa paragraph di atas, dari: “Buddhis Meditation”, Piyadassi Thera]

    Sangat dianjurkan untuk tidak percaya begitu saja, selidiki secara empiris [KBBI: EMPIRIS = berdasarkan pengalaman] atau EHIPASSIKO [datang dan alami sendiri]

ĀNĀPĀNASATI DAN SAMMĀSAMĀDHI

    Ananda:
    Yang Mulia, apakah 1 hal (ekadhammo) yang ketika dikembangkan (bhāvito bahulīkato) terdapat 4 hal (cattāro dhamme paripūrenti); 4 hal yang ketika dikembangkan terdapat 7 hal (satta dhamme paripūrenti); 7 hal yang ketika dikembangkan terdapat 2 hal (dve dhamme paripūrenti)?”

    Sang Buddha:
    Pikiran terpusat dengan ingatan pada nafas (ānāpānasati samādhi), Ānanda, 1 hal (yaitu salah satu dari 40 objek) yang ketika dikembangkan terdapat 4 landasan ingatan (cattāro satipaṭṭhāna). 4 landasan ingatan yang ketika dikembangkan terdapat 7 faktor pencerahan (satta bojjhaṅga). 7 faktor pencerahan yang ketika dikembangkan terdapat pengetahuan pembebasan (vijjā-vimutti) [SN 54.7, 10, 13; DN 22; MN 10, 62, 118, 119, dll]

    Note:
    4 landasan ingatan (satipaṭṭhāna):

    1. kāye kāyānupassī (kāye = terkait tubuh/jasmani; anupassī = mengamati; kāyānupassī = mengamati tubuh; jadi, terkait tubuh mengamati tubuh)
    2. vedanāsu vedanānupassī (vedanāsu = terkait perasaan; terkait perasaan mengamati perasaan)
    3. citte cittānupassī (citte = terkait pikiran; terkait pikiran mengamati pikiran)
    4. dhammesu dhammānupassī (dhammesu = terkait dhamma/hal/bentukan pikiran: berkondisi, terkondisi, tak terkondisi, yaitu tentang anicca/tidak kekal; terkait dhamma mengamati dhamma)

    7 faktor pencerahan (samboj­jhaṅ­ga/sam+bōdhi+aṅga: sam = penuh/komplit + bōdhi = tercerahkan + aṅga = bagian; faktor pencerahan):

    1. Sati­-sam­boj­jhaṅ­ga (ingatan)
    2. dhamma­vicaya­-sam­boj­jhaṅ­ga (dhamma = hal + vicaya/vi+ci = pencarian, investigasi, pemeriksaan; vicayaso = secara menyeluruh. Jadi artinya: pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi)
    3. vīriya-­sam­boj­jhaṅ­ga (kegigihan)
    4. pīti­-sam­boj­jhaṅ­gaṃ (merasakan riak kegiuran)
    5. passad­dhi-­sam­boj­jhaṅ­ga (ketenangan)
    6. samā­dhi­-sam­boj­jhaṅ­ga (pikiran terpusat)
    7. upekkhā-­sam­boj­jhaṅ­ga (ketenang-seimbangan)
Setelah menjalani kehidupan yang terkendali dengan pengendalian lewat aturan-aturan (pātimokkha saṃvara saṃvuto viharati), mempertahankan perilaku benar (ācāra gocara sampanno), melihat bahaya dalam kesalahan terkecil (aṇumattesu vajjesu bhayadassāvī), melatih dirinya dalam latihan (samādāya sikkhati sikkhāpadesu) perbuatan jasmani dan ucapan yang penuh manfaat (kāyakamma vacīkammena samannāgato kusalena), berpenghidupan murni (parisuddhājīvo), sempurna dalam moralitas (sīlasampanno), menjaga indriyanya (indriyesu guttadvāro), memiliki ingatan yang sepenuhnya mengetahui (satisampajaññena samannāgato) berpuas diri (santuṭṭho). Dengan memiliki/disertai: moralitas Ariya, pengendalian Ariya atas indriyanya, kepuasan Ariya (ariyena sīlakkhandhena samannāgato,... ariyena indriyasaṁvarena samannāgato,... ariyena satisampajaññena samannāgato,... ariyāya santuṭṭhiyā samannāgato), mencari tempat sepi, di bawah pohon di hutan, dalam gua di gunung atau jurang, di tanah pekuburan, di belantara, atau ruang terbuka [DN 2, 13]
    Note:
    ciri-ciri sempurna silanya/sīlasampanno dirinya merasakan perasaan menyenangkan murni (ajjhattaṃ anavajja sukhaṃ paṭisaṃvedeti) [DN 2, 13], Tidak ada kehendak dilakukan (na cetanāya karaṇīyaṃ) untuk tidak adanya penyesalan (avippaṭisāro uppajjati) [AN 10.2/11.2] atau dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui/satisampajañña ketika berjalan...tidak berbicara, agar pikiran terkendali, tidak kacau atau Puas/santuṭṭho dengan apa yang dimilikinya atau Penjagaan indriya/indriyesu guttadvāro: saat kontak Indriya (mata..pikiran) dan objeknya (bentukan..persepsi/gambaran pikiran): Tidak terpikat dengan global ataupun perinciannya, menahan diri, agar hal buruk tidak bermanfaat (pāpakā akusalā dhammā) dan terlibat (abhijjhā domanassā), hasilnya: merasakan perasaan menyenangkan yang tak bernoda (ajjhattaṃ abyāsekasukhaṃ paṭisaṃvedeti) [DN 2]

ĀNĀPĀ­NASATI DAN CATTĀRO SATIPAṬṬHĀNA (4 x 4 = 16 ingatan pada nafas)

Setelah: lepas dari kenikmatan indria, lepas dari hal-hal yang tidak bermanfaat (vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehī)
    Note:
    kāmehi + akusalehi dhammehī = kāmasaññā [DN 9]. Pañcoghatiṇṇo (melewati 5 banjir) atarīdha chaṭṭhaṁ (mengatasi yang ke-6) = kāmasaññā [AN 4.25. untuk 6 hal ada di AN 6.73 dan 6.74]
    Kāmehi = 5 utas indriya/pañca kāmaguṇā atau Keinginan adalah kenikmatan indriya, hasrat adalah..., hasrat keinginan adalah..., kehendak adalah kenikmatan indriya, ...hasrat.., kehendak hasrat kenikmatan indriaya (Chando kāmo, rāgo kāmo, chandarāgo kāmo, saṅkappo kāmo, rāgo kāmo, saṅkapparāgo kāmo) [MN 99, Vb 12]
    Akusalehi dhammehī/Akusalarāsi = 5 rintangan/nivarana [SN 47.12, AN 5.52, Vb 12]
Ini adalah hal-hal yang harus telah dilakukan, sebelum dapat mengembangkan brahmavihārā, jhāna, pencapaian persepsi, sisa sankhara dan mencapai pemadaman [misal: AN 5.51, 11.16, MN 99, MN 40, SN 46.54, SN 46.56, DN 2, 13, 4.123, DN 22, MN 119]
    Note:
    tassime pañcanīvaraṇe pahīne attani samanupassato (mengetahui 5 rintangan telah tersingkir dari dirinya), pāmojjaṁ jāyati (timbul sukacita), pamuditassa pīti jāyati (sukacita menimbulkan riak kegiuran), pītimanassa kāyo passambhati (pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman), passaddhakāyo sukhaṁ vedeti (tubuh yang nyaman terasa menyenangkan), sukhino cittaṁ samādhiyati (pikiran yang senang, menjadikannya terpusat) [DN 9]
(dalam keadaan) Duduk bersila (nisīdati pallaṅkaṃ ābhujitvā), tubuh tegak/lurus (ujuṃ kāyaṃ paṇidhāya), menegakkan/menyiapkan ingatan yang dihadapinya (parimukhaṃ satiṃ upaṭṭhapetvā). Ingatan hanya [satova: sato+va/eva] ingat sedang menarik nafas [assa-sati], ingatan hanya [satova] ingat sedang mengembuskan nafas [passa-sati] [MN 10, 118]
    Note:
    Kitab Abhidhamma buku ke-2, Vibhanga 12 (buku ke-2, bagian matika, dibuat jauh lebih belakang dari buku ke-4 dan sebagian buku ke-1 Abhidhamma, yaitu s.d tahun 50 SM) dan Ps 1.3 (dibuat jauh lebih belakangan lagi daripada Vibhanga-nya Abhidhamma, karena kerap mengutip Vibhanga), menyatakan bahwa kata “parimukha” adalah nāsikagge (ujung hidung) dan/atau parimukhanimitta diterjemahkan "ujung bibir atas". Dukungan 2 teks ini menyebabkan “parimukha” banyak diterjemahkan "ujung hidung/bibir atas". Maksud dan terjemahan ini jadi aneh, mengingat arti mukha = "mulut, wajah, di depan/dihadapan"; nāsika = hidung; nāsikasota = lubang hidung; ottha = bibir.

    Di banyak sutta (misal AN 5.193, SN 22.83, MN 77) kata parimukhanimitta diterjemahkan “bayangan/pantulan wajah”, vinaya Cullavagga KhuddakaVatthu (V.27.3-6), tentang aturan bulu/rambut, “parimukhaṃ kārāpenti dan parimukhaṃ kārāpetabbaṃ” (tanpa ada kata massu/jenggot) diartikan: “bulu dada” bukan ”bulu wajah/bibir/hidung”.

    Di MN 62: saat Rahula duduk bersila menegakkan/menyiapkan ingatan adalah tentang Pañcu­pādā­nak­khan­dhā (panca+upadana+khanda: "5 khanda yang terpengaruh kemelekatan"), tidak ada kaitannya dengan ujung atas bibir/mulut, wajah atau ujung hidung. Sehingga, frase “..parimukhaṃ satiṃ upaṭṭhapetvā” (misal: SN 7.18, AN 6.28) adalah tentang duduk bersila, tubuh tegak/lurus, menegakkan/menyiapkan ingatan (tentang sesuatu) yang dihadapinya, jika objeknya nafas (āṇāpāṇa = nafas keluar dan masuk), maka, ingatan TIDAKLAH di hidung/ujung bibir atas, tapi HANYA ke NAFAS, yaitu aliran udara yang terjadi ketika kita bernafas (keberadaan nafas diketahui/dikenali karena terjadinya kontak/sentuhan antara udara dan badan kita, baik melalui sentuhan yang terasa dari: ujung hidung kita, di seluruh hidung kita, atau dari dalam tubuh kita, misalnya dikerongkongan, atau juga paru dan/atau perut). Sesuai nama, maka objek ingatan āṇāpāṇasati yang dimaksud adalah nafas kita sendiri (atau disebut tubuh nafas), yaitu udara/angin yang terjadi karena tarikan nafas kita, karena hembusan nafas kita, atau secara keseluruh atau satu kesatuan dari udara yang terjadi akibat tarikan hingga hembusan nafas kita.
Postur duduk, idealnya dengan kaki bersila (dengan sikap teratai sempurna atau tidak, duduk di lantai dengan alas tebal ataupun tidak atau di atas kursi dengan bersila atau tidak). Saat duduk, tulang belakang dan kepala tegak, seimbang dan lurus namun tidak kaku. Posisi kedua tangan diletakkan lemas di atas pangkuan paha (boleh juga tidak, yang penting dalam keadaan lemas dan nyaman). Mata boleh dipejamkan ataupun tidak, selama hal ini menunjang pemusatan pikiran (karena yang aktif adalah Indriya perasa, pikiran ketika bersentuhan dengan objeknya). Badan diupayakan tidak bergerak sekecil apapun.

Kenyamanan duduk adalah upaya diri untuk menerima kondisi. Perubahan apapun untuk memperbaiki kenyamanan, hanya berhasil sementara, namun posisi itupun lambat laun akan kembali tidak nyaman karena Sabbe sankhāra anicca.. dukkha (semua yang berkondisi tidak kekal dan tidak memuaskan) sehingga kemampuan bertahan sangatlah diperlukan, berusaha untuk membiasakan tubuh menerima posisi tersebut, berusaha untuk tidak bergerak atau merubah posisi sekecil apapun selama waktu yang ditetapkannya
    Note:
    āsava/noda-noda ada yang harus diatasi melalui menerima dengan menahan (adhivāsanāya) bertahan terhadap: dingin-panas, lapar-haus; kontak dengan: lalat, nyamuk, angin, panas matahari, ular-ular; ucapan: kasar dan menghina;perasaan jasmani: menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas. Noda-noda, gangguan/yang menyusahkan dan gejolak/menyebabkan demam, dapat saja muncul pada mereka yang tidak dapat menerima melalui menahan namun tidak muncul pada mereka yang menerima melalui menahan. [MN 2, AN 6.58]
Ketika lelah duduk (atau karena perasaan menyakitkan yang tak tertahankan lagi), Ia dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (bahwa ini bukan karena penolakan atau kemalasan atau perasaan baru yang tak bermanfaat/akusala atau meningkatkan perasaan akusala sebelumnya), setelah menimbang demikian, dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui: berkehendak, merubah posisi: badan, kaki, lengan dan tangan atau menggosok tangan ke bagian yang penat atau melemaskan otot dengan berdiri, berjalan, memutar, berhenti bergerak, saat berjalan kaki menyentuh lantai/tanah, atau saat mata memandang sekitar, dll. Ketika melakukan pergerakan, objek nafas TIDAK LAGI DIGUNAKANNYA, ingatan dan objeknya menjadi ke gerakan) semua dilakukan dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui

4 SET KE-1: [terkait tubuh mengamati tubuh]
  1. mengetahui (pajānāti) (nafas) panjang/dalam (dīgha):

    ‘Aku mengetahui sedang menarik nafas panjang (dīghaṁ assasāmī’ti pajānāti)';
    ‘Aku mengetahui sedang mengembuskan nafas panjang (dīghaṁ passasāmī’ti pajānāti)'

  2. mengetahui (pajānāti) (nafas) pendek (rassa):

    ‘Aku mengetahui sedang menarik nafas pendek (rassaṁ assasāmī’ti pajānāti)’;
    ‘Aku mengetahui sedang mengembuskan nafas pendek (rassaṁ passasāmī’ti pajānāti)'

  3. berlatih (sikkhati) merasakan/mengalami sepenuhnya (paṭisaṃvedī) seluruh tubuh (nafas) (sabbakāya):

    ‘aku menarik nafas, berlatih merasakan sepenuhnya seluruh tubuh nafas (sabbakāyapaṭisaṁvedī assasissāmī’ti sikkhati)';
    ‘aku menghembuskan nafas, berlatih merasakan sepenuhnya seluruh tubuh nafas (sabbakāyapaṭisaṁvedī passasissāmī’ti sikkhati)’

  4. berlatih (sikkhati), menenangnya (passambhaya) bentukan tubuh (nafas) (kāyasaṅkhāra):

    ‘aku menarik nafas, berlatih menenangnya bentukan tubuh nafas (passambhayaṁ kāyasaṅkhāraṁ assasissāmī’ti sikkhati)';
    ‘aku menghembuskan nafas, berlatih menenangnya bentukan tubuh nafas (passambhayaṁ kāyasaṅkhāraṁ passasissāmī’ti sikkhati)’

    Bagaikan seorang pekerja bubut yang terampil atau muridnya:

    Ketika melakukan putaran panjang (dīghaṁ vā añchanto), 'Aku mengetahui sedang melakukan putaran panjang (dīghaṁ añchāmī’ti pajānāti)’; atau
    ketika melakukan putaran pendek (rassaṁ vā añchanto), 'Aku mengetahui sedang melakukan putaran pendek (rassaṁ añchāmī’ti pajānāti)’;

    Demikian pula, menarik nafas panjang (dīghaṁ vā assasanto), 'Aku mengetahui sedang menarik nafas panjang ... Aku mengetahui sedang menghembuskan nafas panjang ... pendek ... dengan merasakan sepenuhnya seluruh tubuh nafas ... aku menghembuskan nafas, berlatih menenangnya bentukan tubuh nafas' [MN 10, 118]
Suatu tubuh tertentu (kāyaññatarāhaṃ) nafas masuk keluar (assāsapassāsā) demikian disebut, terkait jasmani mengamati jasmani, dengan tekun dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui (viharati ātāpī sampajāno satimā), setelah melepaskan (vineyya) kerinduan-kepedihan dunia (loke abhijjhādomanassaṃ) [SN 54.13, MN 118]

Note:
pajānāti: tahu, mengenali, mengerti, memahami, 'melihat' jelas
Passambhaya: tenang, reda, hening, diam, berhenti, lenyap.
frase "setelah melepaskan kerinduan-kepedihan dunia". Loka: Tubuh ini, 5 khanda yang dilekati adalah dunia. Abhijjhā: Ketagihan, penuh ketagihan, menjilati, tunduk, kesenangan, kesenangan-ketagihan, pikiran penuh ketagihan (rāgo sārāgo anunayo anurodho nandī nandīrāgo cittassa sārāgo). Domanassa: kenyamanan mental, rasa sakit mental, mengalami kesakitan ketidaknyamanan dari kontak pikiran, merasakan kesakitan ketidaknyamanan dari kontak pikiran (cetasikaṁ asātaṁ cetasikaṁ dukkhaṁ cetosamphassajaṁ asātaṁ dukkhaṁ vedayitaṁ cetosamphassajā asātā dukkhā vedanā) [Vb 7].

Ada 3 bentukan [sankhāra] dalam konteks samädhi:
  1. Bentukan jasmani/kayasankhāra: (Seluruh) tubuh nafas/(sabba)kāya adalah (seluruh) nafas masuk-keluar/assāsapassāsā [MN 118]. Karena nafas keluar-masuk terikat dengan jasmani (kāyap­paṭi­baddhā), disebut kāyasaṅkhāra [SN 41.6, MN 44]
  2. Bentukan ucapan/vacisankhāra: usaha pikiran menggenggam obyek nafas [vitakka] dan mempertahan objek nafas [vicara] dan kemudian terjadi kegiatan mengungkapkannya [membatin] [SN 41.6, MN 44]
  3. Bentukan-kehendak pikiran/cittasankhāra: Persepsi dan perasaan dan yang menyertai pikiran, kondisi ini terikat dengan pikiran. Itulah persepsi, perasaan, bentukan pikiran [SN 41.6, MN 44]. Perasaan, persepsi dan kesadaran, kondisi ini tergabung bukan terpisah. tidak dapat memisahkan kondisi ini satu sama lainnya untuk menggambarkan beda antaranya. Karena apa yang dirasakan, itulah yang dipersepsikan; dan yang dipersepsikan, itulah yang dikenali [MN 43]
Ketika menarik nafas, akan tahu saat nafas sedang ditarik perlahan, tidak berbunyi, tarikan menjadi panjang. Demikian pula saat sedang menghembus nafas perlahan, tidak perbunyi, hembusan menjadi panjang. Karena ini bukan nafas yang biasa dilakukan, sejenak terjadi fase kekurangan oksigen, ada keinginan untuk cepat menarik nafas berikutnya (keinginan ini tidak harus diikuti), ketika nafas sedang ditarik, akan menjadi pendek dan ketika sedang dihembus, akan menjadi pendek. Ini adalah juga kondisi atau bentukan pada jasmani
    'mengetahui (Pajānāti), mengetahui (Pajānāti),’ teman (avuso), itulah mengapa (tasmā) disebut ‘memiliki kebijaksanaan" (paññavāti vuccati).’ mengetahui apa? Mengetahui: "ini tidak memuaskan (dukkha), "ini asalmula (samudayo), "ini lenyapnya (nirodho) dan "ini prilaku/jalan menuju lenyapnya (nirodhagāminī paṭipadā) dukkha" [MN.43]
Ketika telah terbiasa melatih ingatan pada nafas, tidak ada keinginan terburu-buru menarik dan menghembuskan nafas, tidak ada perbedaan putaran panjang dan pendek, di suatu saat, bahkan tidak ada perbedaan antara tarikan dan hembuskan nafas, seolah-olah tercampur antara menarik nafas dan mengeluarkan nafas, seolah-olah tidak lagi sedang bernafas.

Kata terampil mengindikasikan ADANYA PENGULANGAN yang cukup. PENGULANGAN tarikan/keluaran nafas panjang kemudian tarikan/keluaran nafas PENDEK yang berulang: dari kasar menjadi halus, mengetahui: dari kasar menjadi halus, merasakan sepenuhnya: dari kasar menjadi halus, dan mereda dalam kehalusan. Seperti mulai belajar naik sepeda, permulaan akan menggenggam (vitakka) stang dan mempertahankan (vicara) erat sedemikian rupa hingga memahami teknik keseimbangan. Setelah mahir tidak perlu erat menggenggam bahkan dapat melepas stang namun tetap di keseimbangan.

Sabbakāya (keseluruhan tubuh, yaitu nafas): masing-masing terdapat 2 atau 3 fase dalam setiap tarikan atau hembusan nafas: (awal - akhir) atau (awal - berlangsungnya - akhir).

Penomoran di atas (juga pada set lainnya di bawah) tidak tercantum dalam teks sutta. Kalimat pada teks mulai dengan nafas panjang, kemudian nafas pendek, dan terdapat kata putaran/añchanto, sehingga NAFAS PERLU DIATUR (berurutan: tarikan panjang, hembusan panjang, tarikan pendek, hembusan pendek). Namun nafas, baik itu sengaja diatur maupun alami, ingatannya tetap pada keseluruhan tubuh nafas, untuk dialami sepenuhnya: awal, berlangsung dan berakhirnya

Kemudian, dalam upaya untuk mendapatkan cittekaggatā/pemusatan pikiran dengan vitakka (menggenggam objek) dan juga vicara (mempertahankan objek), beberapa cara sering disampaikan para pengajar untuk memantapkan ingatan hanya pada napas, misalnya dengan cara menghitung:
  1. Hitungan ‘satu’ pada saat masuknya napas dan ‘dua’ pada saat napas keluar, mencatat dalam pikiran: ‘satu’ pada akhir masuknya napas dan ‘dua’ pada akhir hembusan dan keluarnya napas dan begitu pula seterusnya. Saat sudah tertuju pada nafas, hitungan dihentikan, atau
  2. dalam satu kesatuan tarikan nafas masuk hingga nafas keluar, ditandai sebagai hitungan: ‘satu’, demikian seterusnya hingga hitungan ke-'lima' dan ulangi dari "satu". Saat sudah tertuju pada nafas, hitungan dihentikan
INI HARUS DIHINDARI. Cara menghitung akan membuyarkan lagi ingatan yang sedang dibentuk untuk merasakan sepenuhnya seluruh tubuh nafas. Cara menghitung MENJADI MENGGANGGU, namun jikapun tetap memaksakan menggunakan hitungan, tidak mengapa, karena dapat dianggap latihan pembuyaran pikiran-pikiran lain hingga ingatan lambat laun hanya pada nafas masuk-keluar, yang ketika telah terbiasa, cara menghitung pun dengan sendirinya akan tinggalkan. Namun, cara menghitung, hanya memperpanjang rute/memperlama proses.

4 SET KE-2: [terkait perasaan mengamati perasaan]
  1. berlatih (sikkhati) merasakan sepenuhnya (paṭisaṃvedī) riak kegiuran (Pīti):

    ’Aku menarik nafas, berlatih merasakan sepenuhnya riak kegiuran (Pītipaṭisaṁvedī assasissāmī’ti sikkhati)';
    ‘aku mengembuskan nafas, berlatih merasakan sepenuhnya riak kegiuran (pītipaṭisaṁvedī passasissāmī’ti sikkhati)'

  2. berlatih (sikkhati) merasakan sepenuhnya (paṭisaṃvedī) (perasaan) senang (sukha):

    ’Aku menarik nafas, berlatih merasakan sepenuhnya (perasaan) senang (sukhapaṭisaṁvedī assasissāmī’ti sikkhati)';
    'Aku mengembuskan nafas, berlatih merasakan sepenuhnya (perasaan) senang (sukhapaṭisaṁvedī passasissāmī’ti sikkhati)'

  3. berlatih (sikkhati) merasakan sepenuhnya (paṭisaṃvedī) bentukan-kehendak pikiran (citta-saṅkhāra):

    ’Aku menarik nafas, berlatih merasakan sepenuhnya bentukan-kehendak pikiran (cittasaṅkhārapaṭisaṁvedī assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku mengembuskan nafas, berlatih merasakan sepenuhnya bentukan-kehendak pikiran (cittasaṅkhārapaṭisaṁvedī passasissāmī’ti sikkhati)'

  4. berlatih (sikkhati), menenangnya (passambhaya) bentukan-kehendak pikiran (citta-saṅkhāra):

    ’Aku menarik nafas, berlatih menenangnya bentukan-kehendak pikiran (passambhayaṁ cittasaṅkhāraṁ assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku mengembuskan nafas, berlatih menenangnya bentukan-kehendak pikiran (passambhayaṁ cittasaṅkhāraṁ passasissāmī’ti sikkhati)'
Suatu perasaan tertentu (vedanāññatarāhaṃ) memperhatikan seksama keluar masuk nafas/assāsapassāsānaṃ sādhukaṃ manasikāraṃ), demikian disebut, terkait perasaan mengamati perasaan, dengan tekun dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, setelah melepaskan kerinduan-kepedihan dunia. [SN 54.13, MN 118]

Note:
Disebut Pañña/Kebijaksanaan, karena MENGETAHUI/PAHAM/Pajānāti [MN 43], misal: tentang Dukkha, ASAL-MULA, LENYAPNYA, JALAN LENYAPNYA DUKKHA. Disebut Viññāṇa/Kesadaran, karena MENGENALI BEDA/Vijānāti: pahit vs asin vs manis dll, menyenangkan vs menyakitkan vs bukan keduanya. Biru, vs merah, dll. Disebut Saññā/Persepsi, karena MENGANGGAP/MEMPERSEPSIKAN/MEMBAYANGKAN/INGAT/Sañjānāti: biru atau merah dll. Persepsi muncul pertama, setelahnya pengetahuan (Saññā paṭhamaṁ uppajjati, pacchā ñāṇaṁ) [DN 9]. Disebut saṅkhāra karena mengkondisikan terkondisinya: bentukan, sensasi/rasa, kreativitas persepsi, formasi kehendak dan stimulus kesadaran [SN 22.79]

Pañña dan Viññāṇa kondisi ini tergabung bukan terpisah, TIDAK DAPAT memisahkan kondisi satu sama lainnya untuk menggambarkan beda antaranya, yang DIPAHAMI/Pajānāti, itu yang DIKENALI/Vijānāti, yang DIKENALI, itu YANG DIPAHAMI. Pañña perlu dikembangkan (bhāvetabbā) sedang Viññāṇa agar diketahui baik (pariññeyyaṃ) ...Vedana, sañña dan viññāṇa, kondisi ini tergabung bukan terpisah. Tidak dapat memisahkan kondisi ini satu sama lainnya untuk menggambarkan beda antaranya. Yang dirasakan, itu yang DIPERSEPSIKAN/sañjānāti; Yang dipersepsikan, itu yang DIKENALI/Vijānāti [MN.43]. "Persepsi, perasaan, yang menyertai pikiran, kondisi ini terikat dengan pikiran/Citta. Itulah persepsi, perasaan, bentukan pikiran/cittasaṅkhāroti" [MN.44]

Seseorang merasakan:
  1. perasaan menyenangkan (sukha vedana) atau perasaan jasmani/material yang menyenangkan (sāmisā sukha) atau perasaan non-material yang menyenangkan (nirāmisa sukha) atau
  2. perasaan menyakitkan (dukkha vedana) atau perasaan jasmani/material yang menyakitkan (sāmisā dukkha) atau perasaan non-material yang menyakitkan (nirāmisa dukkha) atau
  3. perasaan bukan keduanya (adukkhamasukha vedana) atau perasaan jasmani/materi yang bukan keduanya (sāmisā adukkhamasukha) atau perasaan non-material yang bukan keduannya (nirāmisa adukkhamasukha)
Ia mengetahui sedang merasakan perasaan itu. terkait perasaan Ia mengamati perasaan secara ke dalam/diri sendiri dirasakannya atau keluar/selain dirinya dirasakannya, munculnya, lenyapnya, muncul-lenyapnya perasaan itu atau memperhatikan “ada perasaan” didirinya hanya sejauh yang diperlukannya untuk diketahui dan diperhatikannya tanpa bergantung tanpa melekati apapun di dunia ini [DN 22 dan MN 10]
  1. Ada 3 jenis rasa riak kegiuran (pīti), dari: tubuh jasmani/material (sāmisā pīti), non-material (nirāmisā pīti), yang melebihi non-material (nirāmisā nirāmisatarā pīti)

  2. Ada 3 jenis perasaan senang (sukha), dari: tubuh jasmani/material (sāmisaṃ sukha), non-material (nirāmisā sukha), yang melebihi non-material (nirāmisā nirāmisatarā sukha)

  3. Ada 3 jenis perasaan tenang-seimbang (upekkhā), dari: tubuh jasmani/material (sāmisaṃ upekkhā), non-material (nirāmisā upekkhā), yang melebihi non-material (nirāmisā nirāmisatarā upekkhā)
Perasaan Indriya/tubuh jasmani/material, baik itu: rasa riak kegiuran (sāmisā pīti) atau senang (sāmisaṃ sukha) atau tenang-seimbang (sāmisaṃ upekkhā), kemunculannya adalah karena 5 utas kenikmatan indriya (pañca kāmaguṇa): bentukan yang dikenali mata, …, objek-objek sentuh yang dikenali badan, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indriya, menggoda)

Rasa riak kegiuran non-material (nirāmisā pīti) kemunculannya sehubungan dengan jhāna ke-1 dan ke-2; Perasaan senang non-material (nirāmisā sukha) kemunculannya sehubungan dengan jhāna ke-1 s.d jhāna ke-3; Perasaan tenang-seimbang non-material (nirāmisā upekkhā) kemunculannya sehubungan dengan jhāna ke-4

Rasa riak kegiuran atau senang atau tenang-seimbang yang melebihi non material, kemunculannya sehubungan dengan yang noda-nodanya, telah dihancurkan, yang mentalnya terbebas dari ketagihan, kebencian, kekeliruan tahu [SN 36.31]

Di Sutta Pīti-Sukha adalah Vedana/perasaan: Di jhāna ke-3, sukhindriyaṃ lenyap = Pīti lenyap. Di jhāna ke-4: somanassindriyaṃ lenyap = sukha lenyap [SN 48.40]. "Baik itu sukhindriyaṃ dan somanas­sindriyaṃ (yañca sukhindriyaṁ yañca somanassindriyaṁ) harus diihat sebagai perasaan menyenangkan (sukhā sā vedanā daṭṭhabbā)" [SN 48.38], namun di Peṭakopadesa, pengelompokan Vedana piti-sukha berbeda: "pīti = somanassindriyaṁ, sukha = sukhindriyaṁ (Yā pīti, taṁ somanassindriyaṁ, yaṁ sukhaṁ, taṁ sukhindriyaṁ)" [Pe 7. Peṭakopadesa, abad ke-2 SM, hanya ada di Tipitaka Burma], sedang di Abhidhamma: pīti adalah bagian dari saṅkhārakkhandha bukan vedanākkhandha (Ds 2.1.5).

Pīti = kegiuran atau ke-merinding-an/riak halus yang berpendaran/merayapi tubuh/sekujur tubuh.

Ilustrasi beda pīti vs sukha:
Seseorang di padang pasir, kehabisan air, dilanda haus, lemah dan pegal. Ketika berjalan tertatih, dari kejauhan dilihatnya Oasis [sumber mata air]. Pikirannya makin dipusatkan sehingga Ia yakin itu adalah oasis, rasa riak kegiuran muncul dan terus menguat, rasa haus dan payahnya teralihkan, Ia bersemangat ke Oasis. Keadaan ini menyerupai pīti. Senangnya saat meminum air, menyerupai sukha [Ilustrasi seperti ini ada di Tika: Abhidhammatthasaṅgaho; Anya: Visudhimagga 1.4.73]

Seseorang di kemacetan lalulintas dilanda keinginan buang air yang hebat. Saat itu, Pikirannya terpusat pada kakus. Ketika menemukannya, rasa riak kegiuran muncul. Ini menyerupai pīti, senangnya saat membuang hajat/kencing, menyerupai sukha

Hubungan 5 perasaan (atau 5 indriya, SN 48.31) dan pencapaian jhāna:
    Indriya menyakitkan (dukkhindriyaṃ): rasa sakit tubuh (kāyikaṃ dukkhaṃ) dan tidaknyaman tubuh (kāyikaṃ asātaṃ). Rasa tidak nyaman berasal dari kontak jasmani (kāyasamphassajaṃ dukkhaṃ asātaṃ vedayitaṃ) [SN 48.36]. Di manakah indriya menyakitkan lenyap tanpa sisa? ..Di jhāna ke-1 [SN 48.39,40]

    Indriya kepedihan (domanassindriyaṃ): rasa sakit mental (cetasikaṃ dukkhaṃ) dan tidaknyaman mental (cetasikaṃ asātaṃ). Rasa tidak nyaman berasal dari kontak pikiran (manosamphassajaṃ dukkhaṃ asātaṃ vedayitaṃ) [SN 48.36]. Di mana indriya kepedihan lenyap tanpa sisa? ..Di jhāna ke-2 [SN 48.39,40].

    Indriya menyakitkan dan indriya kepedihan = perasaan menyakitkan (dukkhā sā vedanā) [SN 48.37-38]

    Indriya menyenangkan (Sukhindriyaṃ): rasa senang tubuh (kāyikaṃ sukhaṃ) dan nyaman tubuh (kāyikaṃ sātaṃ). Rasa nyaman berasal dari kontak jasmani (kāyasamphassajaṃ sukhaṃ sātaṃ vedayitaṃ) [SN 48.36] akibat ada pīti [SN 48.40]. Di mana indriya menyenangkan lenyap tanpa sisa? ..Di jhāna ke-3 [SN 48.39,40]

    Indriya kebahagiaan (somanassindriyaṃ): bahagia mental (cetasikaṃ sukhaṃ) dan kenyamanan mental (cetasikaṃ sātaṃ). Rasa nyaman berasal dari kontak pikiran (manosamphassajaṃ sukhaṃ sātaṃ vedayitaṃ) [SN 48.36]. Di mana indriya kebahagiaan lenyap tanpa sisa? ..Di jhāna ke-4 [SN 48.39,40]

    Indriya menyenangkan dan indriya kebahagiaan = perasaan menyenangkan (sukhā sā vedanā) [SN 48.37-38]

    Indriya ketenang-seimbangan (upekkhindriyaṃ): Perasaan tubuh dan mental bukan-nyaman bukan tidaknyaman (kāyikaṃ vā cetasikaṃ vā nevasātaṃ nāsātaṃ vedayitaṃ) [SN 48.36]. Indriya ketenang-seimbangan harus dilihat sebagai perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan (adukkhamasukhā sā vedanā) [SN 48.37-38]. Di mana indriya ketenang-seimbangan lenyap tanpa sisa? ..di pencapaian “lenyapnya persepsi dan perasaan” (saññāvedayitanirodhaṃ) [SN 48.39, 40]

    Menurut Abhidhamma, semua perasaan jasmani dari sensitivitas jasmani (kāyappasāda) hanyalah menyenangkan atau menyakitkan. Tidak ada perasaan netral dari sensitivitas Jasmani [Lihat: ini dan ini]. Menurut SN 36.19: ada 2 perasaan: sukhā vedanā, dukkhā vedanā (perasaan nikmat, perasaan menyakitkan) dan tentang adukkhamasukhā vedanā, santasmiṃ esā paṇīte sukhe (perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan adalah kenikmatan yang damai luhur)
4 SET KE-3: [terkait pikiran mengamati pikiran]
  1. berlatih (sikkhati) merasakan/mengalami sepenuhnya (paṭisaṃvedī) pikiran (citta):

    ’Aku menarik nafas, berlatih merasakan sepenuhnya pikiran (cittapaṭisaṁvedī assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku menghembuskan nafas, berlatih merasakan sepenuhnya pikiran (cittapaṭisaṁvedī passasissāmī’ti sikkhati)'

  2. berlatih (sikkhati) keadaan pikiran yang puas (abhippamodayaṃ cittaṃ):

    ’Aku menarik nafas, berlatih keadaan pikiran yang puas (abhippamodayaṁ cittaṁ assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku menghembuskan nafas, berlatih keadaan pikiran yang puas (abhippamodayaṁ cittaṁ passasissāmī’ti sikkhati)'

  3. berlatih (sikkhati) memusatkan / mengumpulkan / membentuk pikiran (samādahaṃ cittaṃ):

    ’Aku menarik nafas, berlatih memusatkan pikiran (samādahaṁ cittaṁ assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku menghembuskan nafas, berlatih memusatkan pikiran (samādahaṁ cittaṁ passasissāmī’ti sikkhati)'

  4. berlatih (sikkhati) pikiran yang terbebaskan (vimocayaṃ cittaṃ):

    ’Aku menarik nafas, berlatih pikiran yang terbebaskan (vimocayaṁ cittaṁ assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku menghembuskan nafas, berlatih pikiran yang terbebaskan (vimocayaṁ cittaṁ passasissāmī’ti sikkhati)'
Tidak ada (nāhaṃ) pengembangan pikiran terpusat melalui ingatan pada nafas bagi seseorang yang ingatannya kacau dan tidak sepenuhnya mengetahui (muṭṭhassatissa asampajānassa ānāpānasati samādhi bhāvanaṃ vadāmi), demikian disebut, terkait pikiran mengamati pikiran, dengan tekun dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, setelah melepaskan kerinduan-kepedihan dunia. [SN 54.13, MN 118]

Note:
Cit (merasa, tahu, berpikir) + suffix "-ta"; abhi/punya-p-pamoda/puas/senang; samadaha = manunggal, terpusat, terkonsentrasi, menjadi satu; vimocaya = bebas, lepas, longgar

Ketika indriya pikiran/mano bertemu objeknya (ingatan/persepsi, dsb) muncul kesadaran pikiran/manoviññāṇa. Di sinilah Viññāṇa = Citta (kesadaran = pikiran). Dalam landasan ingatan: Nāmarūpasamudayā cittassa samudayo; nāmarūpanirodhā cittassa atthaṅgamo. Manasikārasamudayā dhammānaṃ samudayo; manasikāranirodhā dhammānaṃ atthaṅgamo (mentalmateri muncul pikiran muncul; mentalmateri berhenti pikiran lenyap; pengarahan pikiran/Perhatian muncul fenomena/hal berkondisi atau terkondisi muncul; Pengarahan pikiran berhenti fenomena lenyap) [SN 47.42].

Variasi lain, ..mengetahui (pajānāti): "pikiran yang [(disertai/sa: ketagihan/rāga, kebencian/dosa, kebodohan/moha); tersusun/saṅkhitta; luhur/mahaggata; melampaui/sauttara; terpusat/samāhita; terbebaskan/vimutta] sebagai pikiran yang [(disertai: ketagihan, kebencian, kebodohan);..; terbebaskan/vimutta] dan pikiran yang [(tidak disertai/vita: ketagihan, kebencian, kebodohan); berserakan/kacau/vikkhitta; tidak luhur/amahaggata; unggul/anuttaraṃ; tidak terpusat/asamāhita; tidak terbebaskan/avimutta] sebagai pikiran yang [(tidak disertai/vita: ketagihan, kebencian, kebodohan);..; tidak terbebaskan/avimutta]"

Demikian terkait pikiran, Ia mengamati pikiran: secara ke dalam atau ke luar, munculnya, lenyapnya, muncul-lenyapnya di pikiran atau memperhatikan “ada pikiran” dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukannya untuk diketahui dan diperhatikan tanpa bergantung tanpa melekati apapun di dunia ini [DN22 dan MN 10/Satipatthana sutta]

apapun (yaitu dhamma/kondisi/fenomena: di AN 9.36: Pañcu­pādā­nak­khan­dhā (5 khanda yang terpengaruh kemelekatan) dan jhāna 1-8, Di AN 11.18, 8: Indriya dan objeknya, catumahabhuta, pencapaian persepsi arupa ke-5 sd ke-8, persepsi/pikiran tentang dunia ini dan dunia lain, apapun yang dilihat, didengar, diindriya, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa pikiran) dilihat sebagai: tidak kekal, tidak memuaskan, penyakit, tumor, duri, bencana, malapetaka, asing, kehancuran, kehampaan, bukan identitas (diri/aku).

dari hal-hal itu, pikirannya dibebaskan, Ia arahkan pikiran pada unsur amatāya (tanpa kematian: fenomena dilihat sebagai: anicca, dukkha...anatta atau terbelenggu taṇhā - SN 48.50): ‘ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kehausan, hancurnya ketagihan, tidak menginginkannya, berhenti, padam’ [MN 64, AN 9.36]

4 SET KE-4: [terkait dhamma mengamati dhamma]
  1. berlatih (sikkhati) mengamati (anupassī) ketidakkekalan (anicca: ada awal - akhir):

    ’Aku menarik nafas, berlatih mengamati ketidak-kekalan (aniccānupassī assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku menghembuskan nafas, berlatih mengamati ketidak-kekalan (aniccānupassī passasissāmī’ti sikkhati)'

  2. berlatih (sikkhati) mengamati tanpa meminati (virāga):

    'Aku menarik nafas, berlatih mengamati tanpa meminati (virāgānupassī assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku menghembuskan nafas, berlatih mengamati tanpa meminati (virāgānupassī passasissāmī’ti sikkhati)'

  3. berlatih (sikkhati) mengamati kelenyapan (nirodha):

    'Aku menarik nafas, berlatih mengamati kelenyapan (nirodhānupassī assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku menghembuskan nafas, berlatih mengamati kelenyapan (nirodhānupassī passasissāmī’ti sikkhati)'

  4. berlatih (sikkhati) mengamati melepaskan (paṭinissagga):

    'Aku menarik nafas, berlatih mengamati melepaskan (paṭinissaggānupassī assasissāmī’ti sikkhati)';
    ’Aku menghembuskan nafas, berlatih mengamati melepaskan (paṭinissaggānupassī passasissāmī’ti sikkhati)'
Karena kerinduan-kepedihan telah ditinggalkan (so yaṃ taṃ hoti abhij­jhā­do­manas­sā­naṃ pahānaṃ), terlihat tenang-seimbang sepenuhnya tanpa meminati (taṃ paññāya disvā sādhukaṃ ajjhupekkhitā hoti), terkait dhamma mengamati dhamma, dengan tekun dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, setelah melepaskan kerinduan-kepedihan dunia. [SN 54.13, MN 118]
    Note:
    Yang terkait dhamma: 5 nivarana/5 rintangan, pañcupādā­nak­khan­dā (5 kelompok yang dilekati), 6 landasan indriya, 7 faktor pencerahan, 5 unsur (catumahabhuta+akasa), 4 kebenaran mulia [MN 10, 62, DN 2], yaitu tentang kemunculan dan kelenyapannya, ada dan tidaknya.

    Sang Buddha: Rāhula, bentukan/materi apapun, di masa lampau, depan, atau sekarang, di bagian dalam/luar, kasar/halus, rendah/mulia, jauh/dekat, semua bentukan/materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar (yathābhūtaṃ sammappaññāya daṭṭhabba) sebagai:

    Ini bukan milik-KU [Netaṁ mama],
    ini bukan AKU [nesoham-asmi],
    ini bukan identitas (diri)-KU [na meso attā ti].

    Rahula: Hanya materi [rupa], Sang Bhagavā? Hanya materi, Yang Sempurna?

    Sang Buddha: materi [rupa], perasaan [vedanā], persepsi/ingatan [saññā], bentukan kehendak [saṅkhārā], dan kesadaran [viññāṇa].” [= Pañcu­pādā­nak­khan­dhā/5 khanda yang dilekati].. [MN 62]

    Penjelasan lain terkait sabbe dhamma (segala fenomena):

    1. semua makhluk ditunjang oleh makanan (sabbe sattā āhāraṭṭhitikā), terhadap ini, pikirannya sepenuhnya kecewa (sammā nibbindamāno), pikirannya sepenuhnya hilang minat terhadapnya (sammā virajjamāno), pikirannya sepenuhnya bebas darinya (sammā vimuccamāno), sepenuhnya melihat batasan-akhirnya (sammā pariyantadassāvī), sepenuhnya memahami arti-tujuannya (sammadatthaṁ abhisamecca), di sini, saat ini dukkha berakhir (diṭṭheva dhamme dukkhassantakaro hoti)
    2. mental dan materi (nāme ca rūpe ca), terhadap ini, .. (Nāmarūpa disebut juga Pañcupādānakkhandhā/5 kelompok yang dilekati. Frase ini sebagai definisi bentukan mahluk, ref SN.22.56, DN.33. Di sutta AN 9.14: "objek dari nāmarūpa/nāmarūpārammaṇā membangkitkan pengarahan kehendak (pikiran) seseorang/purisassa saṅkappavitakkā uppajjantī, unsur-unsur/dhātūsu menjadikannya beragam/nānattaṁ gacchantī, berasal dari kontak, bertemu sebagai perasaan, pimpinannya adalah konsentrasi terpusat, pengendalinya adalah ingatan, pengawasnya adalah kebijaksanaan, esensinya adalah pembebasan, puncaknya adalah tanpa-kematian")
    3. tiga perasaan (tīsu vedanāsu), terhadap ini, ..
    4. empat makanan (catūsu āhāresu)..
    5. lima kelompok yang dilekati (pañcasu upādānakkhandhesu)..
    6. enam landasan indriya (chasu ajjhattikesu āyatanesu)..
    7. tujuh landasan kesadaran (sattasu viññāṇaṭṭhitīsu)..
    8. delapan kondisi duniawi (aṭṭhasu lokadhammesu)..
    9. sembilan kelompok kediaman mahluk (navasu sattāvāsesu)..
    10. sepuluh jalan kamma tidak bermanfaat (dasasu akusalesu kammapathesu), terhadap ini, pikirannya sepenuhnya kecewa, pikirannya sepenuhnya hilang minat terhadapnya, pikirannya sepenuhnya bebas darinya, sepenuhnya melihat batasan-akhirnya, sepenuhnya memahami arti-tujuannya, di sini, saat ini dukkha berakhir [AN 10.27]
Ketika pikiran terpusat melalui ingatan pada pernafasan dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka 4 Landasan ingatan terpenuhi [MN 118]

CATTĀRO SATIPAṬṬHĀNA DAN SATTA BOJJHAṄGA

Para pengembara: “Sahabat-sahabat, Petapa Gotama mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya sebagai berikut: ‘Marilah, para bhikkhu, tinggalkan 5 rintangan/nivarana, kekotoran/noda pikiran (cetaso upakkilesā) pelemah kebijaksanaan (paññāya dubbalīkaraṇā), kembangkan sebagaimana adanya 7 faktor pencerahan (satta bojjhaṅge yathābhūtaṁ).’ Kami juga..Jadi, apa pertentangan, kesenjangan, perbedaan antara Petapa Gotama dan kami, terkait ajaran satu dan lainnya, terkait satu instruksi dan lainnya?” [SN 46.52]

Sang Buddha: 5 rintangan menjadi 10, yaitu (1) hasrat indriya/kamacchanda, (2) itikad buruk/memusuhi/byapada, (3) malas-lamban/thina-midha, (4) kegelisahan-kecemasan/uddhacca-kukkucca dan (5) keraguan/vicikiccha, masing-masingnya internal/dalam diri sendiri maupun eksternal/di luar diri sendiri, sehingga menjadi 10 rintangan [SN 46.52], demikian pula dengan 7 faktor pencerahan, baik internal maupun eksterlam dari 7 menjadi 14 [SN 46.52].

Ketika pikiran putus asa/masa-bodo (līnaṁ cittaṁ) atau ketika pikiran gelisah/kacau (uddhataṁ cittaṁ), faktor pencerahan apakah yang tidak tepat waktunya (akālo) dan tepat tepat waktunya (kālo) untuk dikembangkan? [SN 46.53]. Ketika pikiran putus asa/masa-bodo (diibaratkan sebagai rumput basah untuk api):
  1. Tidak tepat waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan keterpusaran pikiran dan faktor pencerahan ketenang-seimbangan (passaddhi, samādhi, upekkhāsambojjhaṅga)
  2. tepat pada waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi, faktor pencerahan kegigihan, dan faktor pencerahan riak kegiuran (dhamma­vicaya­, vīriya, pītisam­boj­jhaṅ­ga)
Ketika pikiran gelisah/kacau (diibaratkan sebagai rumput kering untuk api):
  1. tidak tepat waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan faktor pencerahan pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi, faktor pencerahan kegigihan, dan faktor pencerahan riak kegiuran
  2. tepat waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan keterpusaran pikiran dan faktor pencerahan ketenang-seimbangan [SN 46.53]
7 faktor pencerahan adalah penyebab: penglihatan, pengetahuan; menumbuhkan kebijaksanaan, di sisi bukan kehancuran, mengarah ke Nibbāna (Sattime bojjhaṅgā cakkhukaraṇā ññāṇakaraṇā paññābuddhiyā avighātapakkhiyā nibbānasaṁvattanikā) [SN 46.40]. Makanan bagi munculnya 7 faktor pencerahan dan berkembang melimpahnya 7 faktor pencerahan adalah dengan berulang melakukan perhatian seksama terhadapnya/Tattha yonisomanasikārabahulīkāro [AN 4.62]
  1. [Sati­-sam­boj­jhaṅ­ga/faktor pencerahan ingatan] Sewaktu, mengingat jasmani terkait jasmani, ..perasaan, ..pikiran, ..dhamma, saat itu, ingatan yang tidak kacau muncul dalam dirinya, saat itu, faktor pencerahan ingatan (satisambojjhaṅga) bangkit, berkembang; Faktor pencerahan ingatan terpenuhi melalui pengembangan dalam dirinya

  2. [dhamma­vicaya­-sam­boj­jhaṅ­ga/faktor pencerahan pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi] Sewaktu, melakukan ingatan demikian (So tathā sato viharanto), dilihat dengan (taṃ dhammaṃ paññāya) pemeriksaan (pavicinati), penyelidikan menyeluruh (pavicarati), dengan hati-hati mempertimbangkan seluruhnya (pari-­vīmaṃ­sam-ā­pajjati), saat itu, faktor pencerahan pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi (dhammavicayasambojjhaṅga) bangkit, berkembang; Faktor pencerahan pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi terpenuhi melalui pengembangan dalam dirinya. (AN 46.2: yonisomanasikāra/Perhatian seksama/benar terkait hal-hal yang: bermanfaat-tidak bermanfaat (kusalākusalā), tercela-tanpa cela (sāvajjānavajjā), hina-mulia (hīnapaṇītā), gelap-cerah (kaṇhasukka), dengan lawan pasangannya (sappaṭibhāgā dhammā), berulang memperhatikan seksama adalah makanan bagi munculnya pencerahan pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi yang belum muncul dan pengembangan terhadap hal/kondisi yang telah muncul)

  3. [vīriya-­sam­boj­jhaṅ­ga/faktor pencerahan kegigihan] Sewaktu, hal tersebut dilihat dengan pemeriksaan, penyelidikan menyeluruh, dengan hati-hati mempertimbangkan seluruhnya, maka, kegigihan dibangkitkannya tanpa mengendur, saat itu faktor pencerahan kegigihan (vīriyasambojjhaṅga) bangkit, berkembang; Faktor pencerahan kegigihan terpenuhi melalui pengembangan dalam dirinya

  4. [pīti­-sam­boj­jhaṅ­gaṃ/faktor pencerahan riak kegiuran] Sewaktu, kegigihan bangkit, muncul rasa riak kegiuran (pīti) yang bebas hasrat sensual (nirāmisā), saat itu faktor pencerahan riak kegiuran (pītisambojjhaṅga) bangkit, berkembang; Faktor pencerahan riak kegiuran terpenuhi melalui pengembangan dalam dirinya

  5. [passad­dhi-­sam­boj­jhaṅ­ga/faktor pencerahan ketenangan] Seorang yang pikiran diliputi rasa riak kegiuran, tubuh dan pikirannya menjadi tenang/nyaman (kāyopi passambhati, cittampi passambhati), saat itu faktor pencerahan ketenangan (passaddhisambojjhaṅga) bangkit, berkembang; Faktor pencerahan ketenangan terpenuhi melalui pengembangan dalam dirinya

  6. [samā­dhi­-sam­boj­jhaṅ­ga/faktor pencerahan pikiran terpusat] Seseorang yang tubuhnya tenang/nyaman dan pikirannya di keadaan menyenangkan, menjadi terpusat pikirannya (Passaddhakāyassa sukhino cittaṃ samādhiyati), saat itu faktor pencerahan pikiran terpusat (samādhisambojjhaṅga) bangkit, berkembang; Faktor pencerahan pikiran terpusat terpenuhi melalui pengembangan dalam dirinya

  7. [upekkhā-­sam­boj­jhaṅ­ga/faktor pencerahan ketenangseimbangan] Seorang yang pikiran terpusat demikian, dalam tenang-seimbang sepenuhnya tanpa meminati/terlibat (So tathāsamāhitaṃ cittaṃ sādhukaṃ ajjhupekkhitā hoti), saat itu, faktor pencerahan ketenang-seimbangan (upekkhāsambojjhaṅga) bangkit berkembang; Faktor pencerahan ketenang-seimbangan terpenuhi melalui pengembangan dalam dirinya [SN 54.13, MN 118]

SATTA BOJJHAṄGA DAN PENGETAHUAN DAN PEMBEBASAN

Pikiran dengan 5 nivarana, adalah penyebab dan alasan tidak adanya pengetahuan dan tidak adanya penglihatan (aññāṇa adassana). Pikiran yang mengembangkan 7 faktor pencerahan melalui keterasingan, tidak menginginkan, penghentian, siap melepas/bebas dari (vivekanissitaṁ virāganissitaṁ nirodhanissitaṁ vossaggapariṇāmiṁ) menyebabkan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya (yathābhūtaṁ jānāti passati), ini adalah sebab dan alasan dari pengetahuan dan penglihatan (ññāṇa dassana) [SN 46.56]

Seorang yang mengembangkan 7 faktor pencerahan, saat itu, Ia bersandar pada: keterasingan, tidak menginginkan, penghentian, siap terlepas/terbebas (vivekanissitaṃ virāganissitaṃ nirodhanissitaṃ vossaggapariṇāmiṃ), ketika 7 faktor pencerahan kerap dikembangkan demikian (Evaṁ bhāvitā..satta bojjhaṅgā evaṁ bahulīkatā), pengetahuan pembebasan (vijjā-vimutti) terpenuhi (paripūrentī) [SN 54.13, MN 118]

TIDAK ADA KE-ARAHAT-AN TANPA jhāna

Visudhimagga (Buddhaghosa, bukan kanon pali) menyatakan 4 tipe arahat yaitu: sukkhavipassako (diklaim sebagai pembebasan tanpa jhāna), Abhina, tevijja dan patisambhiddha. Ia dan beberapa kalangan buddhis menyatakan pembebasan dapat dicapai tanpa jhāna. Mereka yang berpendapat ini menyandarkan rujukannya pada MN 106/Āneñjasappāya dan utamanya pada SN 12.70/Susimaparibbājaka bahwa Paññāvimutti dilakukan tanpa melalui jhāna:
    Pada saat itu, Sang Bhagavā dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan Beliau memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Bhikkhu Saṅgha juga dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan para bhikkhu juga memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Tetapi para pengembara dari sekte lain tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dimuliakan, tidak disembah, dan tidak dipuja, dan mereka tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.

    Pada saat itu Pengembara Susīma sedang menetap di Rājagaha bersama dengan banyak pengembara. Kemudian teman-temannya berkata kepada Susīma: “Ayo, Sahabat Susīma, jalankan kehidupan suci di bawah Petapa Gotama. Kuasailah DhammaNya dan ajarkan kepada kami. Kita akan menguasai DhammaNya dan membabarkannya kepada umat-umat awam. Dengan demikian kita juga akan dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan kita juga akan memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.” “Baiklah, teman-teman,” Pengembara Susīma menjawab.

    Kemudian ia mendekati Yang Mulia Ānanda...dan mengutarakan maksudnya untuk bergabung bersama Sangha, walaupun sang Buddha mengetahui itikad Susima, beliau tetap menginstruksikan Ananda untuk menahbiskannya.

    Saat itu, sejumlah bhikkhu menyatakan pencapaian pengetahuan tertinggi dihadapan Sang Buddha: "Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan sebagai makhluk apa pun". Susima mendengar ini, mendatangi mereka dan bertanya benarkah dihadapan sang buddha menyatakan kearahatannya? Mereka jawab: BENAR.

    Susima bertanya, apakah mereka, melihat dan mengetahui demikian (jānantā evaṁ passantā):

    1. dengan memiliki ragam kekuatan supra (anekavihitaṁ iddhividhaṁ)?
    2. dengan memiliki telinga deva (dibbāya sotadhātuyā)?
    3. dengan memiliki kemampuan mengetahui pikiran orang-orang dan makhluk lain, setelah melingkupinya dengan pikiran sendiri (parasattānaṁ parapuggalānaṁ cetasā ceto paricca pajānātha) — mengetahui pikiran yang disertai ketagihan sebagai pikiran yang disertai ketagihan ... pikiran yang tidak terbebaskan sebagai pikiran yang tidak terbebaskan (sarāgaṁ vā cittaṁ sarāgaṁ cittanti pajānāthā ... avimuttaṁ vā cittaṁ avimuttaṁ cittanti pajānāthā)?
    4. dengan kemampuan dapat mengingat ragam kehidupan lampau (anekavihitaṁ pubbenivāsaṁ anussaratha)?
    5. dengan kemampuan mata dewa (dibbena cakkhunā)?
    6. dengan terbebaskan damai melampaui bentukan dan tanpa bentukan (ye te santā vimokkhā atikkamma rūpe āruppā), berdiam mencapainya dengan jasmani (te kāyena phusitvā viharati)?

    Masing-masing dari pertanyaan itu, Mereka jawab: TIDAK

    Susima: "Tanpa pencapaian tersebut, bagaimana ini dimungkinkan?" Mereka menjawab: "kami terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimutti).

    Susima tidak memahami ini. Untuk itu, ketika bertemu sang Buddha, Ia bertanya tentang ini dan Sang Buddha menerangkan Susima sebagai berikut:

    1. Mulai dengan pengetahuan karasteristik keberlangsungan dhamma (dhammaṭṭhitiñāṇaṃ), setelah itu pengetahuan nibbana (pacchā nibbāṇe ñāṇanti)

    2. Pañcu­pādā­nak­khan­dhā (5 khanda yang dilekati: viññāṇa...rupa) adalah Anicca (tidak kekal) bukan nicca (kekal); Dukkha (tidak memuaskan) bukan (sukha); Anatta (ini BUKAN: milikku, aku, identitas (diri)-ku) (viññāṇa, Perasaan, persepsi, sankhāra dan rupa) apapun di masa lalu, depan, sekarang, di bagian dalam/luar, kasar/halus, rendah/mulia, jauh/dekat, segala (viññāṇa..rupa) dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ini bukan milikku, bukan aku, bukan identitas (diri)-ku

      Melihat (passati) ini para ariya savaka tidak terkesan (nibbindati) pada Pañcu­pādā­nak­khan­dhā/5 khanda yang dilekati. tidak terkesan → ketidakminatan (virajjati) → tidak menginginkannya (viraga) → terbebas darinya (vimuccati) → pengetahuan: ‘terbebaskan’ Ia mengetahui (pajānāti): Kelahiran telah dihancurkan (Khīṇā jāti), penghidupan BRAHMA telah dijalani (vusitaṃ brahmacariyaṃ), apa yang harus dilakukan telah dilakukan (kataṃ karaṇīyaṃ), tak ada kelanjutan menjadi mahluk apapun (nāparaṃ itthattāyāti)

    3. Susima kemudian melihat (passati) Paticcasamuppada (sebab kemunculan)

    Sang Buddha: "setelah mengetahui dan melihat ini apakah engkau memiliki: beragam kekuatan? Telinga deva? membaca pikiran mahluk lain? mengingat ragam kehidupan lampau? Mata dewa? Berdiam pada sentuhan jasmani pembebasan yang damai melampaui pencapaian rupa dan arupa?

    Masing-masing pertanyaan itu, Susima menjawab: "TIDAK".

    Sang Buddha: "baru saja, Susima, Tidak-kah engkau menyampaikan deklarasi tanpa pencapaian dhamma ini?" [SN 12.70]

    Note:
    Di Samyutta Agama (kumpulan sutra Mahayana), terdapat sutra yang dianggap paralel dengan SN 12.70, yaitu SA 347, namun pertanyaan Xū shēn/須深 (Susima) di SA 347, tidak seperti di SN 12.70 [yaitu no.1 sampai dengan no.5], di mana, pertanyaan di SA 347 adalah: apakah mencapai jhāna ke-1, 2, 3, 4? (masing-masingnya, dijawab 1 Bhikkhu: tidak). Setelahnya, baik itu di SN 12.70 maupun di SA 347, berlanjut dengan pertanyaan yang sama: "Apakah terbebaskan damai melampaui bentukan dan tanpa bentukan, berdiam mencapainya dengan jasmani?" (dijawab: tidak). Pertanyaan ini adalah terkait arupa jhāna, atau pencapaian persepsi dan sisa sankhara, yang telah melewati jhāna ke-4.

    Di SN 12.70, Para bhikkhu yang mencapai arahat, setelah mencapai jhāna ke-4 , mereka ini, tidak mengembangkan pencapaian yang lebih jauh lagi (yaitu pengembangan no.1 sampai no.5). Sementara, pengembangan lebih jauh lagi (yaitu di no.1-5, SN 12.70), HANYA TERJADi dan HANYA DAPAT DILAKUKAN, jika telah mencapai jhāna ke-4. Dengan kata lain, Susima di SN 12.70, tahu bahwa para arahat SN 12.70 telah mencapai jhāna ke-4, dan yang Susima tidak tahu adalah bahwa pencapaian arahat TIDAK HARUS dicapai setelah mengembangkan no.1-6. Sementara Susima di SA 347, pencapai arahatnya bahkan tidak dengan jhāna ke-1 sekalipun
Di DN 2, disampaikan "Ketika dirinya tahu (attani samanupassato) 5 rintangan telah tersingkir (pañca nīvaraṇe pahīne), menimbulkan sukacita (pāmojjaṃ jāyati), sukacita menimbulkan riak kegiuran (pamuditassa pīti jāyati), pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman (pītimanassa kāyo passambhati), tubuh yang nyaman terasa menyenangkan (passaddhakāyo sukhaṃ vedeti), pikirannya di keadaan senang, menjadikannya terpusat (sukhino cittaṃ samādhiyati) → ini adalah formula tercapainya jhāna ke-1. Lima nivarana harus telah tersingkirkan bahkan SEBELUM tercapainya kearahatan (5 nivarana hanyalah sebagian kecil dari sejumlah daftar kekotoran mental/upakkilesa di MN 3, 7, 8, 40, 128 dan SNP 3.2). Di sutta SN 12.70, terkait penghancuran asava, Susima TIDAK LAGI BERTANYA apakah telah mencapai jhāna ke-1 sampai ke-4, karena AN 9.36 telah menyatakan penghancuran āsava dapat mulai dari jhāna ke-1, sementara frase "melampaui pencapaian rupa dan arupa" adalah pencapaian salah satu samādhi: animittaṃ cetosamādhi (pikiran tanpa bentukan/ciptaan pikiran atau tanpa gambaran/ciri) atau saññāvedayitanirodha (lenyapnya persepsi dan perasaan) yang pencapaiannya harus telah melampaui jhāna ke-4, harus telah melampaui ākiñcaññāyatanasañña dan/atau nevasaññānāsaññāyatanasañña, sementara penghancuran asava, sudah dapat hanya dari jhāna ke-1, oleh karenanya, sutta menunjukan secara implisit bahwa penghancuran āsava terkait jhāna-jhāna dan klaim bahwa pencapaian arahat dapat dilakukan TANPA jhāna (ref SA 347), menjadi tidak berdasar:
    “Bhikkhu, Aku katakan penghancuran āsava didukung: Jhāna ke-1, ..jhāna ke- 2, ..ke-3, ke-4, ..pada landasan persepsi: (5) penglihatan/ruang tak berbatas; (6) Kesadaran tidak berbatas; (7) Tak ada apapun; (8) bukan persepsi bukan tanpa persepsi dan ... (9) berhentinya persepsi dan perasaan.

    “bhikkhu, aku katakan penghancuran noda-noda didukung jhāna ke-1,”

    dengan alasan apa dikatakan demikian?

    Di sini, para bhikkhu,..[setelah mencapai jhāna ke-1].. So yadeva tattha hoti rūpagataṃ vedanāgataṃ saññāgataṃ saṅkhāragataṃ viññāṇagataṃ (apapun yang ada di sana yaitu (kondisi) yang terkait: bentukan/materi, perasaan, persepsi, bentukan kehendak, dan kesadaran), te dhamme aniccato dukkhato rogato gaṇḍato sallato aghato ābādhato parato palokato suññato anattato samanupassati (fenomena ini dilihat sepenuhnya sebagai: tidak kekal, tidak memuaskan, penyakit, tumor, duri, bencana, malapetaka, asing, kehancuran, kosong, bukan identitas (diri/aku)).

      Note:
      Dhamma/fenomena/kondisi di AN 9.36: Pañcu­pādā­nak­khan­dhā/5 khanda yang dilekati dan jhāna 1-8, Di AN 11.18, 8: Indriya dan objeknya, catumahabhuta, pencapaian persepsi arupa ke-5 sd ke-8, persepsi/pikiran tentang dunia ini dan dunia lain/idhaloka saññī/manasi, paraloka saññī/manasi, apapun yang dilihat, didengar, dirasa, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa pikiran/diṭṭhaṃ sutaṃ mutaṃ viññātaṃ pattaṃ pariyesitaṃ anuvicaritaṃ manasā

    dari hal-hal itu (So tehi dhammehi), pikirannya dibebaskan (cittaṃ paṭivāpeti), setelah pikirannya dibebaskan, Ia arahkan pikiran/persepsikan/perhatian (cittaṃ upasaṃharati/evaṃsaññī di AN 11.18/manasikaroti di AN 11.8) pada unsur amatāya (tanpa kematian: fenomena/dhamma dilihat sepenuhnya sebagai/samanupassati: anicca, dukkha...anatta atau 'terhalang ketidaktahuan (avijjānīvaraṇānaṃ), terbelenggu kehausan (sattānaṃ taṇhāsaṃyojanānaṃ), dengan Ketidaktahuan juga bentukan kegelapan (avijjāya tveva tamokāyassa) lenyap bersih tanpa sisa (asesavirāganirodho) - SN 48.50): ‘Ini damai, ini luhur (etaṃ santaṃ etaṃ paṇītaṃ yadidaṃ), tenangnya segala bentukan (sabbasaṅkhārasamatho), lepasnya segala kelekatan (sabbūpadhipaṭinissaggo), hancurnya kehausan (taṇhākkhayo), tidak ada minat (virāgo), berhenti (nirodho), padam (nibbāna)’

    Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan akan Dhamma itu, kesukaannya akan Dhamma itu, dengan hancurnya [parikkhayā] 5 belenggu yang lebih rendah [pañcannaṃ orambhāgiyānaṃ saṃyojanāna], terlahir kembali secara spontan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.

    Sama halnya, para bhikkhu, seorang pemanah atau muridnya yang melatih dirinya dengan orang-orangan jerami atau seonggok tanah liat yang kemudian menjadi sasaran jarak jauh, seorang pembidik jitu yang bisa menjatuhkan sasaran yang besar, demikian pula halnya dengan seorang bhikkhu yang mencapai hancurnya noda-noda bergantung pada jhāna ke-1.

    [kalimat yang sama seperti di atas di ulang untuk setelah pencapaian jhāna ke-2, ke-3, ke-4 dan 3 pencapaian landasan a-rupa]

    Demikian, para bhikkhu, penembusan pada pengetahuan akhir terjadi sampai pada tahap adanya pencapaian dengan persepsi. Tetapi mengenai 2 landasan ini – pencapaian landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi, dan berhentinya persepsi dan perasaan – kukatakan bahwa ke-2nya ini harus dijunjung tinggi oleh para bhikkhu yang ber-jhāyīhete (kegiatan mengarahkan pikiran atau memusatkan pikiran yang terlihat hasilnya dalam jhāna), yang terampil dalam pencapaian dan terampil keluar dari pencapaian itu, setelah mereka mencapainya dan keluar darinya [AN 9.36, MN 64: jhāna ke-1 s.d landasan tak ada apapun]
Bahkan Ananda, pasca wafatnya sang Buddha, pada pagi menjelang konsili ke-1, mencapai kearahatan dengan jhana:
    Yang Mulia Ānanda berpikir (Atha kho āyasmā ānando), “Tidaklah pantas bagiku untuk pergi ke pertemua esok jika aku masih seorang bhikkhu yang masih berlatih (sve sannipāto na kho metaṁ patirūpaṁ, yohaṁ sekkho samāno sannipātaṁ gaccheyyan”ti).” Setelah menghabiskan sebagian besar malam dengan ingatan terkait tubuh (bahudeva rattiṁ kāyagatāya satiyā vītināmetvā rattiyā), pagi-pagi ketika mengamati untuk berbaring (paccūsasamayaṁ “nipajjissāmī”ti kāyaṁ āvajjesi), di saat kakinya terangkat dari tanah dan kepalanya menyentuh bantal (appattañca sīsaṁ bibbohanaṁ, bhūmito ca pādā muttā), Di interval itu, pikirannya terbebaskan dari kekotoran mental (Etasmiṁ antare anupādāya āsavehi cittaṁ vimucci). Dan Yang Mulia Ānanda pergi kepertemuan itu sebagai Arahat (Atha kho āyasmā ānando arahā samāno sannipātaṁ agamāsi) [Vinaya, Cullavagga XI]. Dikatakan sebagai satu-satunya yang mencapai kearahatan, diluar 4 sikap tubuh (iriyapatha)
Ananda lakukan itu sebagaimana yang pernah Ia babarkan kepada Mahanama:
    ...“Ketika seorang siswa mulia: memiliki moralitas baik (sīlasampanno), itu terkait perilaku/kebiasaannya (Idampissa hoti caraṇasmiṁ). Ketika menjaga pintu-pintu indrianya (indriyesu guttadvāro), itu terkait perilakunya. Ketika makan secukupnya (bhojane mattaññū), itu terkait perilakunya. Ketika menekuni keterjagaan (jāgariyaṁ anuyutto), itu terkait perilakunya. Ketika memiliki 7 hal baik (sattahi saddhammehi samannāgato), itu terkait perilakunya. Ketika mendapatkan 4 jhāna terkait pikiran yang lebih tinggi kediaman menyenangkan di sini saat ini (catunnaṁ jhānānaṁ ābhicetasikānaṁ diṭṭhadhammasukhavihārānaṁ), kapan pun diinginkan, tanpa kesulitan atau hambatan (nikāmalābhī hoti akicchalābhī akasiralābhī), itu terkait perilakunya.

    Ketika dapat mengingat ragam kehidupan lampau (anekavihitaṁ pubbenivāsaṁ anussarati) …, itu terkait pengetahuan sejatinya (idampissa hoti vijjāya). Ketika, berkemampuan mata dewa (dibbena cakkhunā) …, itu terkait pengetahuan sejatinya. Ketika, dengan hancurnya noda-noda (āsavānaṃ khayā), merealisasikan bagi dirinya pengetahuan mendalam di kehidupan ini: pembebasan pikiran tanpa noda dan pembebasan kebijaksanaan (anāsavaṃ cetovimuttiṃ paññāvimuttiṃ diṭṭheva dhamme sayaṃ abhiññā sacchikatvā) dan setelah mencapainya, berada di dalamnya (upasampajja viharati), itu terkait pengetahuan sejatinya. [MN 53].
Disamping itu, Sang Buddha telah menyatakan faktor pembebasan benar/sammāvimutti merujuk pada 7 jenis individu dengan kebebasan melalui: Kedua-cara/ubhatobhāgavimutto, Kebijaksanaan/paññāvimutto, Mengalami/Saksi tubuh/jasmani/kāyasakkhi, Pencapai Pandangan/diṭṭhippatto, Keyakinan/saddhāvimutto, Pengikut Dhamma/dhammānusārī dan Pengikut Keyakinan/saddhānusārī. dari ke-7 ini, hanya 2 yang merujuk kearahatan yaitu: ubhatobhāgavimutto dan paññāvimutto [MN 70]. Sebagai sample, berikut 3 jenis yang teratas [MN 70]:
  1. Terbebaskan dalam dua cara/Ubhatobhāgavimutto: Ia terbebaskan damai melampaui bentukan dan tanpa bentukan (te santā vimokkhā atikkamma rūpe āruppā), Ia berdiam mencapainya dengan jasmani (te kāyena phusitvā viharati), setelah melalui kebijaksanaan melihatnya (paññāya cassa disvā), noda-nodanya hancur (āsavā parikkhīṇā honti). Ini adalah arahat karena (seluruh) noda hancur.
    Sutta lainnya untuk ubhatobhāgavimutto: "..telah dapat bebas/lepas dari kenikmatan indriya ... jhāna ke-1 tercapai (..vivicceva kāmehi … paṭhamaṁ jhānaṁ upasampajja viharati), apapun di landasan itu, Ia mencapainya dengan jasmani (yathā yathā ca tadāyatanaṁ tathā tathā naṁ kāyena phusitvā viharati), Ia memahaminya dengan kebijaksanaan (paññāya ca naṁ pajānāti) [AN 9.45]

  2. Terbebaskan dengan Kebijaksanaan/paññāvimutto: Ia terbebaskan damai melampaui bentukan dan tanpa bentukan (te santā vimokkhā atikkamma rūpe āruppā) Ia berdiam mencapainya TIDAK dengan jasmani (te NA kāyena phusitvā viharati), setelah melalui kebijaksanaan melihatnya (paññāya cassa disvā), noda-nodanya hancur (āsavā parikkhīṇā honti).
    Sutta lainnya untuk Pannavimutto: "..telah dapat bebas/lepas dari kenikmatan indriya ... jhāna ke-1 tercapai (..vivicceva kāmehi … paṭhamaṁ jhānaṁ upasampajja viharati),Ia memahaminya dengan kebijaksanaan (paññāya ca naṁ pajānāti) [AN 9.44]

  3. Mengalami/Saksi tubuh/jasmani/kāyasakkhi: Ia terbebaskan damai melampaui bentukan dan tanpa bentukan (te santā vimokkhā atikkamma rūpe āruppā) Ia berdiam mencapainya dengan jasmani (te kāyena phusitvā viharati), setelah melalui kebijaksanaan melihatnya (paññāya cassa disvā), noda-noda TERTENTU hancur (ekacce āsavā parikkhīṇā honti).
Terlihat jelas, bahkan pembebasan kebijasanaan (paññāvimutti)-pun dilakukan mulai dari jhāna ke-1. Atau dengan kata lain, pencapaian kearahatan di sutta pali, konsisten menyebutkan hanya dicapai dengan melalui jhāna.

ARTI jhāna DAN INSTRUKSI: JHĀYATHA

Sang Buddha menyampaikan jalan-jalan menuju "yang tak terkondisi" (asaṅkhatagāmiñca maggaṃ) [SN 43.1-11, 12]. "Yang tak terkondisi" (asaṅkhata = Nibbana, hancurnya (kkhayo): Ketagihan/rāga, Kebencian/dosa dan Kekeliruan tahu/moha). Setelahnya, beliau menginstruksikan: "jhāyatha/Bermeditasilah":
  1. Ingatan pada jasmani (Kāyagatāsati), Setelah mengajarkan itu, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.1]

  2. Ketenangan (samatha: tenang/hening) dan Melihat Secara Khusus (vipassanā: vi = pemisahan/khusus/dalam + "passana/passati" = melihat, mengamati). Setelah mengajarkan ini, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.2]

    Ada 2 hal yang mendukung pada pengetahuan (vijjābhāgiyā), yaitu Samatha dan Vipassanā.
    Ketika Samatha dikembangkan, apa tujuannya? Pikiran dikembangkan (cittaṁ bhāvīyati).
    Ketika Pikiran dikembangkan, apa tujuannya? Ketagihan/Kemelekatan ditinggalkan (rāgo so pahīyati).
    Ketika Vipassana dikembangkan, apa tujuannya? Kebijaksanaan dikembangkan (paññā bhāvīyati).
    Ketika Kebijaksanaan dikembangkan, apa tujuannya? ketidaktahuan ditinggalkan (avijjā sā pahīyati).
    Dikotori ketagihan (rāgupakkiliṭṭhaṁ), pikiran tak terbebaskan (cittaṁ na vimuccati).
    Dikotori ketidaktahuan (avijjupakkiliṭṭhā), Kebijaksanaan tidak berkembang (paññā na bhāvīyati).
    Tiada hasrat pada/bersih dari ketagihan (rāgavirāgā) adalah pembebasan Pikiran (cetovimutti).
    Tiada hasrat pada/bersih dari ketidaktahuan (avijjāvirāgā) adalah pembebasan Kebijaksanaan (paññāvimutti) [AN 2.31, Ne 19].

    Samatha dan Vipassana meliputi 8 Jalan Mulia/Utama (aṭṭhaṅgiko magga) yang terbagi menjadi kelompok:

    MORALITAS (sīlakkhandha),
    PEMUSATAN PIKIRAN (samādhikkhandha) dan
    KEBIJAKSANAAN (paññākkhandha) [MN 44, DN 16, SN 4.133].

    Di mana,
    samādhi = Samatha dan Paññā = Vipassanā [pañcindriyā di AN 6.54 = SN 48.43. Atau di Ne 19, 21, 36: "Kelompok samādhi atau Samatha, kelompok Panna atau Vipassana/samādhikkhandho ca samatho, paññākkhandho vipassanā],

    Oleh karenanya:
    SILA [sammāvācā, sammākammanto, sammāājīvo],
    SAMĀDHI (SAMATHA) [sammāvāyāmo, sammāsati, sammāsamādhi] dan
    PAÑÑĀ (VIPASANNĀ) [sammādiṭṭhi, sammāsaṅkappo] [MN.44]
    dengan kelompok pembebasan/vimuttikkhandha sebagai yang ke-4 [DN 33] dan
    dengan kelompok pembebasan mengetahui dan melihat/vimuttiñāṇadassanakkhandho sebagai yang ke-5 [DN 34, SN 3.24, SN 47.13],
    sehingga 8 mulia menjadi 10 jalan/magga yang benar/sammata, yaitu: 8 jalan ariya/utama → pengetahuan benar/sammāñāṇa → pembebasan benar/Sammāvimutti [AN 10.103].

    Tanpa terpenuhinya faktor pelatihan/sekha dhamma, mustahil untuk memenuhi moralitas/sila. tanpa terpenuhinya moralitas, mustahil untuk memenuhi samadhi. Tanpa terpenuhinya samadhi, mustahil untuk memenuhi Panna/kebijaksanaan. [AN 5.21-22]

    Tanpa terpenuhinya pandangan benar/sammādiṭṭhi, mustahil dapat memenuhi samadhi benar/sammāsamādhi. Tanpa terpenuhinya samadhi benar, mustahil untuk meninggalkan belenggu-belenggu/saṁyojanāni. Tanpa meninggalkan belenggu-belenggu, mustahil mencapai pemadaman/nibbāna. [AN 6.68]

    Pandangan benar sebagai pelopor (sammādiṭṭhi pubbaṅgamā hoti). Dengan pandangan benar, pandangan salah dilenyapkan (Sammādiṭṭhissa, micchādiṭṭhi nijjiṇṇā hoti), berkembang banyaknya hal buruk tidak bermanfaat akibat pandangan salah, juga dilenyapkan (micchādiṭṭhipaccayā aneke pāpakā akusalā dhammā sambhavanti te cassa nijjiṇṇā honti) dan menjadi berkembangnya banyak kondisi bermanfaat akibat dari pandangan benar (Sammādiṭṭhipaccayā aneke kusalā dhammā bhāvanāpāripūriṁ gacchanti). [MN 117]. Buddhaghosa: Terpenuhinya faktor Pandangan Benar = Pengetahuan Benar (aṅgaparipūraṇatthaṃ sammādiṭṭhiyeva sammāñāṇa) [Aṅguttaranikāya-aṭṭhakathā, Aṭṭhakādinipāta, samaṇasaññāvaggo]. Tujuan tidak menginginkan/tiada hasrat adalah kebebasan (virāgo vimuttattho). Tujuan pembebasan adalah nibbana (vimutti nibbānatthā) [SN 23.1].

    Avijjâ adalah pelopor perbuatan tak bermanfaat/akusala dhammâ, diikuti (anvadeva) tidak malu (ahirika) dan tidak takut berbuat salah (anottappa). Vijjâ adalah pelopor perbuatan bermanfaat/kusala dhammâ, diikuti malu dan takut berbuat salah (hiri-ottappa) [Iti 40, AN 10.105, SN 45.1]. Avijjā muncul karena noda-noda (āsava: kāma/hasrat indriya, bhava/penjelmaan dan avijjā/ketidaktahuan) dan noda-noda muncul karena avijjā. [MN 9], maka, 2 kekotoran/noda pikiran adalah taṇhā dan avijjā (dve dhammā cittassa upakkilesā— taṇhā ca avijjā ca) [Ne 20], oleh karenanya, samatha dan vipassana dilakukan sebagai pasangan untuk penghancuran noda-noda.

      Memurnikan Moralitas:
      menjalani hidup terkendali/terlatih (samvuto) dengan pengendalian (samvara) lewat aturan-aturan, sukses dalam berperilaku benar, melihat bahaya bahkan di kesalahan terkecil.[MN 107]

      Memurnikan Pikiran:
      menjaga pintu-pintu indriya ketika: melihat suatu bentuk dengan mata...mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, tidak menggenggam: literalnya/gambarannya (mā/na nimitta-g-gāhī hohi) maupun makna/manfaat/detail/cirinya (­mā/nā nub­yañ­janag­gāhī/na anu-b­yañ­jana-g-gāhī (Contoh uang: sebagai bentuk literalnya dan manfaat penggunaannya, juga representatif dari kekayaan). Jika menjalani hidup dengan indriya tidak terkendali, maka kondisi buruk tidak bermanfaat berupa kerinduan-kepedihan (abhijjhā domanassā pāpakā akusalā dhammā) akan membanjiri (anvāssaveyyuṁ)[MN 107]

      Pemurnian moralitas (sīlavisuddhi) → untuk mencapai Pemurnian Pikiran (cittavisuddhatthā);
      pemurnian pikiran (cittavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian terhadap keraguan apapun (kaṅkhāvitaraṇavisuddhatthā);
      Pemurnian terhadap keraguan apapun (kaṅkhāvitaraṇavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian mengetahui melihat jalan dan bukan jalan (maggāmaggañāṇadassanavisuddhatthā);
      Pemurnian mengetahui melihat jalan dan bukan jalan (maggāmaggañāṇadassanavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian prilaku mengetahui melihat (paṭipadāñāṇadassanavisuddhatthā);
      Pemurnian prilaku mengetahui melihat (paṭipadāñāṇadassanavisuddhi) → bertujuan untuk pemurnian mengetahui melihat (ñāṇadassanavisuddhatthā);
      Pemurnian mengetahui melihat (ñāṇadassanavisuddhi) → bertujuan untuk Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan (anupādāparinibbānatthā)..[MN 24]

    Jika mengharapkan (Ākaṅkheyya): ‘dengan hancurnya noda-noda (āsavānaṃ khayā), merealisasikan bagi dirinya pengetahuan mendalam di kehidupan ini: pembebasan pikiran tanpa noda dan pembebasan kebijaksanaan (anāsavaṃ cetovimuttiṃ paññāvimuttiṃ diṭṭheva dhamme sayaṃ abhiññā sacchikatvā) dan setelah mencapainya, berada di dalamnya (upasampajja vihareyyan’ti)’, Ia haruslah seorang yang penuh moralitas, menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan jhāna-jhāna, berpandangan terang (sīlesvevassa paripūrakārī ajjhattaṃ cetosamathamanuyutto anirākatajjhāno vipassanāya samannāgato brūhetā)..". [AN 10.71, MN 6] → Samatha-Vipassana membutuhkan prasyarat kesempurnaan moralitas dan jhāna.

    Bhikkhunī Dhammadinnā: Tandingan ketidaktahuan adalah pengetahuan ... tandingan pengetahuan adalah pembebasan (avijjāya..vijjā paṭibhāgo..vijjāya..vimutti paṭibhāgo) [MN 44]. Alurnya:

      Vijja/Pengetahuan → (muncul) Pandangan Benar → Kehendak Benar → Ucapan Benar → Perbuatan Benar → Pencaharian Benar → Daya-upaya Benar → Ingatan Benar → Pikiran terpusat Benar → Pengetahuan Benar/Sammāñāṇaṁ → Pembebasan Benar/Sammāvimutti [AN 10.105, SN 45.1]

    Ananda: bhikkhu atau bhikkhunī yang menyatakan pencapaian kearahattaannya di hadapanku, semuanya melalui salah satu dari 4 jalan ini (catūhi maggehi):

    1. mengembangkan Vipassana yang didahului Samatha [samathapubbaṅgamaṃ vipassanaṃ bhāveti]

      (BUKAN melakukan yang satu dulu → menjadi arahat → melakukan lainnya, TAPI awalnya melakukan yang satu → ditambah dengan melakukan lainnya juga → baru dapat menjadi arahat. Jadi HARUS dilakukan berpasangan)

    2. mengembangkan Samatha yang didahului Vipassana [vipassanāpubbaṅgamaṃ samathaṃ bhāveti]

      (BUKAN melakukan yang satu dulu → menjadi arahat → melakukan lainnya, TAPI awalnya melakukan yang satu → ditambah dengan melakukan lainnya juga → baru dapat menjadi arahat. Jadi HARUS dilakukan berpasangan)

    3. mengembangkan gabungan Samatha dan Vipassana. [samathavipassanaṃ yuganaddhaṃ bhāveti]

    4. pikiran dicengkram gejolak/kegelisahan akan hal-hal [dhamma+uddhacca+viggahitaṃ mānasaṃ hoti], di suatu waktu kemudian [Hoti so,..samayo yaṃ taṃ] secara internal pikirannya kokoh, tersusun, manunggal menjadi terpusat [cittaṃ ajjhattaṃyeva santiṭṭhati sannisīdati ekodi hoti samādhiyati] [AN 4.170]. Untuk frase "dhammuddhaccaviggahitaṁ mānasaṃ", menurut Visuddhimagga XX-105: "pikiran bergejolak terkait 10 kekotoran melihat secara khusus (dasavipassanupakkilesā: obhāso/kemegahan, ñāṇaṃ/pengetahuan, pīti, passaddhi/ketenangan, sukhaṃ, adhimokkho/Antusiasme, paggaho/keteguhan, upaṭṭhānaṃ/obsesi, upekkhā, nikantīti/puas terikat)", misalnya dalam kasus Anuruddha/MN 128. Menurut Bhikkhu Bodhi: "gejolak pikiran yang tertekan karena ingin segera mengalami pencerahan", misal dalam kasus Bāhiya Dārucīriya/Udana 1.10

    Ke-4 jalan di atas berkorelasi dengan 4 tipe orang di AN 4.92-94 (juga AN 10.54) terkait ketenangan pikiran internal (ajjhattaṁ cetosamathassa) dan/atau terkait kebijaksanaan yang lebih dalam melihat secara khusus fenomena (adhipaññādhammavipassanāya):

    1. Untuk Samatha: "cittaṃ/pikiran saṇṭhapetabba (dibangun/teguhkan/kokohkan/selaraskan), sanni­sā­detab­ba (disusun/tenangkan), ekodi (manunggal/disatukan) dan samādahātabba (terkonsentrasi)", juga dilihat secara apa-adanya (yathābhūtaṃ). Variasi/detail caranya di MN 119 dan MN 122

    2. Untuk Vipassana: bagaimana seharusnya saṅkhārā/fenomena/dhamma: dilihat (daṭṭhabbā), bergantung pada pemeriksaan/penggalian (sammasitabbā) dan dilihat secara khusus (vipassitabba)". AN 4.177 menyampaikan cara melihat yaitu dengan sebagaimana adanya (yathābhūtaṃ) yaitu: ini bukan milikku, bukan aku, bukan identitas (diri)-ku (netaṃ mama, nesohamasmi, na meso attā). SN 12.66 dan Cnd 23 menyampaikan cara menggali dan melihat khusus melalui 4 kebenaran mulia yaitu ini adalah tidak kekal/anicca.

    3. Untuk no.4 di AN 4.170, tampak menyerupai "Seorang yang tidak mendapatkan ketenangan pikiran internal juga tidak mendapatkan kebijaksanaan yang lebih dalam melihat secara khusus fenomena (ekacco puggalo na ceva lābhī hoti ajjhattaṁ cetosamathassa na ca lābhī adhipaññādhammavipassanāya)". mengatasinya dengan: (1) jika karena ketenangan pikiran internal: "demikian pikiran dikokohkan, demikian pikiran ditenangkan, demikian pikiran disatukan, demikian pikiran terkonsentrasi (evaṁ cittaṁ saṇṭhapetabbaṁ, evaṁ cittaṁ sannisādetabbaṁ, evaṁ cittaṁ ekodi kātabbaṁ, evaṁ cittaṁ samādahātabbaṁ)", (2) jika karena terkait kebijaksanaan yang lebih dalam melihat secara khusus fenomena: "demikian fenomena harus dilihat, demikian fenomena diperiksa, demikian fenomena dilihat secara khusus (evaṁ saṅkhārā daṭṭhabbā, evaṁ saṅkhārā sammasitabbā, evaṁ saṅkhārā vipassitabbā’t)", Sehingga mendapat ketenangan pikiran internal dan kebijaksanaan yang lebih dalam melihat secara khusus fenomena [AN 4.94].

      Kegelisahan (akan dhamma) dihilangkan dengan Samatha (AN 6.116), menenang seiring tahu bahwa: (1) menyukai (assādo) muncul disebabkan kesenangan dan kebahagiaan (paṭicca uppajjati sukhaṃ somanassaṃ) pada hal-hal; (2) kesedihan/kesusahan (ādīna­vo) karena hal-hal ini adalah anicca, penderitaandukkha, mengalami perubahan (vipari­ṇāma­dhammā); (3) jalan keluar/bebas (nissaraṇam) dengan mendisiplinkan/menyingkirkan (vinayo) dan meninggalkan (­pahāna) hasrat-ketagihan (chanda­rāga) [SN 22.26-27; 22.129-130; 35.13-16]

    Ke-4 jalan AN 4.170, karena merujuk pada pemusatan pikiran/samādhi, maka harus terlihat dalam 4 jhāna (SN 48.8,9)

    Samatha-Vipassana disebut sepasang utusan cepat (sīghaṃ dūtayuga) karena dilakukan berpasangan berada di jalan 8 mulia, masuk dan keluarnya melalui satu pintu indriya yang sama yang dijaga sati/ingatan yang bertugas mengawal kesadaran indriya sehingga melihat secara apa adanya (yathābhūta) sebagai suatu pesan Nibbana (yaitu asal mula dan lenyapnya: 6 landasan kontak, 5 kelompok yang dilekati, cātuma­hā­bhū­ta, apa pun yang tunduk pada kemunculan, semuanya tunduk pada kelenyapan) Jadi: Dengan pikiran terpusat pada 1 objek yang sama di 1 pintu indriya yang sama, memperhatikan MENENANGNYA segala bentukan kehendak/saṅkhāra dan melihatnya secara apa adanya sebagai suatu kemunculan dan kelenyapan. [SN 35.245] → tidak terkesan → tidak menginginkannya → pengetahuan pembebasan.

    Samatha dan Vipassana adalah 2 dari 5 Indriya/kemampuan (pañcindriya: AN 6.54, Pe 3), namun pada abad ke-19 M, mungkin karena diketahui bahwa samatha = samadhi (list masing- indriya di misalnya SN 48.3 = AN 6.54/Pe 3), maka vipassana, kemudian dianggap pula sebagai sebuah teknik samadhi, metoda diantaranya dengan konsentrasi yang bergerak, awalnya berpegang pada satu objek, namun JIKA MUNCUL objek dominan LAIN, objek tersebut diamati/dicatat, tidak dinilai, demikian seterusnya, padahal arti samādhi sendiri justru terpusatnya pikiran. Juga, muncul jenis samādhi lain, yaitu Khaṇikā samādhi (konsentrasinya bersifat sementara) dan Upacāra samādhi (dekat atau hampir di samādhi), yang tidak pernah diajarkan sang Buddha dan para Arahat lainnya. Entah mengapa Buddhaghosa (abad ke-5) menambahkan hal-hal yang tidak diajarkan Sang Buddha dan para Arahat lainnya.

    Sejarah Vipassana menjadi sebuah praktek Meditasi
    Pada abad ke-10 vipassana tidak lagi dipraktikkan dalam tradisi Theravada, karena kepercayaan bahwa Buddhisme telah merosot, dan bahwa pembebasan tidak lagi dapat dicapai hingga kedatangan Maitreya. Namun, awal abad ke-18, muncul kembali minat terhadap Satipatthana Sutta yang menyebabkan kebangkitan Vipassana di Burma (Myanmar)... yang menjadi landasan gerakan Vipassana modern abad ke-20... di bawah pimpinan para biikkhu cendekia dengan berbagai teknik meditasi berdasarkan Satipatthana sutta, Visuddhimagga, dan teks lainnya, yang menekankan pada wawasan kering. (Encyclopedia of Buddhism, MacMillan, Buswell Robert, 2004, hal. 899-890 by Patrick A. Pranke).

    Medawi (1728–1816) yang terawal menuliskan panduan Vipassanā dalam bahasa keseharian... selesai tahun 1754, 2 tahun setelah berdirinya Dinasti Burma Konbaung (1752–1885).. Medawi menuliskan lebih dari 30 panduan meditasi... Sāsanavaṃsappadīpaka (ditulis tahun 1861) menyatakan jika seseorang mempraktikkan Vipassanā, memungkinkannya mencapai kearahatan di kehidupannya saat itu... Pertengahan abad ke-19, Hngettwin Sayadaw (Biara Gua Burung), guru ratu kerajaan di Mandalay, mengharuskan para bhikkhunya mempraktikkan vipassanā meditasi setiap hari – Ia mungkin yang pertama dalam sejarah biara Theravāda – juga meminta umat awamnya melakukan hal serupa. Seiring waktu murid-murid Hngettwin Sayadaw membentuk kelompok monastik yang berkembang hingga kini (Catubhummika Mahā Satipaṭṭhāna Nikāya). Pada masa pemerintahan Mindon (1853–1878), gua-gua perbukitan Sagaing dipenuhi biara-biara hutan. Raja Mindon sangat antusias mempromosikan Vipassanā, beberapa risalah Vipassanā disusun, yang paling signifikan adalah karya menteri kerajaan Mindon, U Hpo Hlaing (1830–1883) dan diteruskan Bhikkhu U Nyana (Ledi Sayadaw, 1846–1923, dianggap sebagai pendiri gerakan Vipassanā seperti yang dikenal saat ini). (On saints and wizards, Ideals of human perfection and power in contemporary Burmese Buddhism, Patrick Pranke, Journal of the International Association of Buddhist Studies, Vol.33 No. 1–2, 2010 (2011) hal. 453–488) []

  3. samādhi dengan Savitakkasavicāra (awal (pikiran) menggenggam dan mempertahankan objek, atau jhāna ke-1), avitakkavicāramatta (tanpa awal pikiran menggenggam objek, hanya (pikiran) mempertahankan objek), avitakkaavicāra (dengan tanpa awal menggenggam dan tanpa mempertahankan objek) [3 ini juga di AN 8.63, SN 43.12], Setelah mengajarkan itu, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.3]

  4. samādhi [setelah bangkit dari pencapaian lenyapnya perasaan dan persepsi (Saññāvedayitanirodhasamāpattiyā vuṭṭhitaṁ)]: Suññata (kekosongan), animitta (pikiran tanpa bentukan/ciptaan pikiran atau tanpa gambaran/ciri), appaṇihita (bebas dari keinginan), Setelah mengajarkan itu, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.4]

  5. 4 landasan ingatan/Cattāro satipaṭṭhānā atau gambaran samādhi/samādhi-nimittā (MN 44, AN 8.63, Cattāro satipaṭṭhānā secara eksplisit disebut sebagai pikiran terpusat atau samādhi). Setelah mengajarkan itu, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.5]

  6. 4 Usaha benar/Cattāro sammappadhānā atau Perlengkapan samādhi/samādhi-parikkhārā (MN 44). Setelah mengajarkan ini, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.6]

  7. 4 landasan kemahiran supra-mental/Cattāro iddhipādā yaitu upaya kreatif dari pikiran terpusat dengan: (1) hasrat (chanda-samādhippadhānasaṅkhārasamannāgata) (2) kegigihan (vīriya..samannāgata) (3) pemikiran (citta..samannāgata) (4) penyelidikan (vīmaṃsā-samādhippadhānasaṅ-khārasamannāgata) [SN 51.11]. Setelah mengajarkan ini, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.7]

  8. 5 Indrya/Pañcindriyāni, Setelah mengajarkan ini, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.8]

  9. 5 Kekuatan/Pañca balāni, Setelah mengajarkan ini, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.9]

  10. 7 faktor pencerahan/Satta bojjhaṅgā, Setelah mengajarkan ini, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.10]

  11. 8 jalan mulia/aṭṭhaṅgiko magga (Pandangan benar..Pemusatan pikiran yang benar). Setelah mengajarkan ini, beliau menginstruksikan untuk, "jhāyatha" [SN 43.11]
Setiap telah mengajarkan jalan-jalan menuju "yang tak terkondisi" tersebut, Sang Buddha, selalu menginstruksikan mereka untuk, "Jhāya" [SN 43.12, dll]
    Note:
    Di SN 48.10 ada kalimat, "Katamañca, bhikkhave, samādhindriyaṃ? ..labhati samādhiṃ, labhati cittassa ekaggataṃ—idaṃ vuccati, bhikkhave, samādhindriyaṃ" (Dan apakah, para bhikkhu, indriya samādhi?..memperoleh samādhi, memperoleh keterpusatan pikiran. Ini disebut indriya samādhi) dan di MN 44 ada kalimat, "Katamo panāyye, samādhi?..cittassa ekaggatā ayaṃ samādhi" (Sekarang, Yang mulia, apakah samādhi?...keterpusatan pikiran adalah samādhi). "Sammā-samādhi" (sammā = benar; sama = seimbang/tenang/tentram/rata/serupa; adhi = menuju/ke/pada/ke atas). Secara literal Sammā-samādhi = "menuju ketenangan yang benar", namun, 2 sutta di atas, sfesifik mendefinisikan Samādhi = "Pikiran yang terpusat", jadi sammā-samādhi = "pikiran terpusat yang benar".

    Di SN 34.11 ada frase "ekacco jhāyī samādhismiṃ" (seorang jhāyi bersamādhi).
    Di Sutta SN 43.12, ada kata Jhāyatha dan Samādhi.
    Di SN 40.8, ada kalimat: "Kattha ca, bhikkhave, samādhindriyaṃ daṭṭhabbaṃ? Catūsu jhānesu" (Dan di manakah, para bhikkhu, indriya samādhi harus terlihat? dalam 4 jhāna).
    Di DN 27 ada kalimat, ”..araññāyatane paṇṇakuṭīsu jhāyantī’ti. jhāyantīti kho, vāseṭṭha, ‘jhāyakā, jhāyakā’..sattānaṃ ekacce sattā araññāyatane paṇṇakuṭīsu taṃ jhānaṃ anabhisambhuṇamānā (di gubuk-gubuk daun di hutan mereka ber-jhāyanti. Mereka ber-jhāyanti, Vasettha, ‘jhāyakā, jhāyakā’ (pelakunya)..beberapa yang tinggal di gubuk-gubuk daun di hutan tidak mampu mencapai jhāna)
    Di AN 11.9: "ber-jhāya-lah seperti jhāyi kuda berdarah murni, Saddha (nama orang) (Ājānīyajhāyitaṃjhāyitaṃ kho, saddha, jhāya), bukan jhāyi anak kuda liar (mā khaḷuṅkajhāyitaṃ). Bagaimanakah jhāyi anak kuda liar? (Kathañca, khaḷuṅkajhāyitaṃ hoti)? Ketika anak kuda liar, Saddha, diikat di tempat makanan, Ia ber-jhāyati: ‘rumput, rumput!’ (Assakhaḷuṅko hi, saddha, doṇiyā baddho ‘yavasaṃ yavasan’ti jhāyati)"
    Di SN 4.23 (dan AP 3) ada “jhāyī jhānarato sadā” (jhāyī selalu gemar jhāna) dan di DN 19 ada “karuṇaṃ jhānaṃ jhāyati” (jhāyati jhāna tanpa kekejaman, meditator mengembangkan pikiran yang disertai tanpa kekejaman, mencapai jhāna ke-2)

    "jhāya" (kata kerja orang ke-2 jamak: Jhāyatha, Orang ke-2 tunggal: Jhāyati, Orang ke-3 jamak: jhāyantī) = Memusatkan pikiran, mengarahkan pikiran atau membuat pikiran tercerap, terpesona, terbakar. Pelakunya disebut "jhāyī" atau “jhāyakā”. Hasil jhāya/samādhi atau “hasil kegiatan agar pikiran tercerap/terpesona/terbakar dengan pikiran terpusat” disebut jhāna

    Yang disebut sebagai mengembangkan samādhi (samādhi-bhāvanā): Menjadikannya sebagai kebiasaan/pengulangan [dhammāna āsevanā], mengembangkannya hingga mahir [bhavana bahulīkammaṃ] [MN 44]

    4 arah perkembangan hingga mahir dari pengembangan Samadhi (samādhibhāvanā bhāvitā bahulīkatā .. saṁvattati):

    1. diṭṭhadhammasukhavihārāya (kediaman yang menyenangkan di sini, saat ini): jhana ke-1 sampai dengan jhana ke-4;
    2. ñāṇadassanappaṭilābhāya (mengetahui melihat): memperhatikan persepsi yang ada dihadapan, teguh dalam persepsi siang hari: ‘Seperti siang, demikian malam; seperti malam, demikian pula siang.’ seperti membuka pikiran yang tertutup, mengembangkan pikiran dengan kecemerlangan (sappabhāsa: “kecemerlangan pikiran dapat dikotori kotoran luar);
    3. satisampajaññāya (ingat dengan sepenuhnya mengetahui): mengetahui saat munculnya perasaan, mengetahui saat berlangsungnya perasaan, mengetahui saat lenyapnya perasaan;
    4. āsavānaṁ khayāya (menghancurkan noda-noda): pañcasu upādānakkhandhesu udayabbayānupassī viharati (berdiam merenungkan muncul-lenyapnya 5 kandha yang dilekati: inilah rupa, ini kemunculan rupa, ini kelenyapan rupa; ..perasaan..; ..persepsi..; ..bentukan kehendak..; inilah kesadaran, ini kemunculan kesadaran, ini kelenyapan kesadaran;

    saṅkhāya lokasmiṁ paroparāni (Setelah menimbang tinggi-rendahnya dunia), yassiñjitaṁ natthi kuhiñci loke (tidak lagi ada di dunia yang diminatinya); santo vidhūmo anīgho nirāso (damai, terang, tenang, tak mengharapkan); atāri so jātijaranti brūmī (Aku katakan: Ia melampaui kelahiran dan menua) [AN 4.41]

    Pencapaian samādhi jhāna ke-1 s.d ke-4 disebut kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini (Diṭṭhadhammasukhavihārā). Pencapaian samādhi pencapaian persepsi ke-5 s.d ke-8 disebut kediaman yang damai (Santā ete vihārā) [MN 8]

    Untuk mencapai jhāna, TIDAK HARUS menjadi bhikkhu, karena bahkan di jaman sang Buddha, para umat awampun dapat mencapainya, misal: Perumah tangga Pria Citta (SN 48.1, 41.9) dan perumah tangga wanita Nandamātā (AN 7.53)
Jadi, apapun jalan untuk menghancurkan āsava adalah terkait atau melalui jhāna []

BRAHMAVIHĀRĀ, jhāna, PERSEPSI, SISA SANKHARA DAN LENYAPNYA PERASAAN-PERSEPSI

Sang Buddha menyamakan pencapaian jhāna sebagai makna sementara keterbebasan/vimutti seorang melalui: pikiran (AN 9.41) atau saksi tubuh (AN 9.43) atau kebijaksanaan (AN 9.44) atau dalam kedua aspek (AN 9.45: kebijaksanaan dan pikiran) atau dhamma yang terlihat langsung (AN 9.46) atau nibbāna yang terlihat langsung (AN 9.47) atau nibbāna (AN 9.48) atau parinibbana (AN 9.49) atau nibbāna dalam aspek tertentu (AN 9.50) atau nibbāna dalam kehidupan ini (AN 9.51) dan lainnya.

Dalam AN 9.35, sang Buddha mengingatkan agar MENGUASAI baik setiap pencapaian samādhi SEBELUM berlanjut kepencapaian berikutnya. dengan perumpamaan sapi gunung yang bodoh, tidak berpengalaman, tidak terbiasa dengan padang rumputnya, tidak pula terampil menjelajahi pegunungan terjal tapi pergi ke daerah yang tak dikenal dan tak pernah didatanginya untuk mencoba rumput dan air yang tak pernah Ia makan dan minum sebelumnya, sehingga ketika melangkah, Ia tidak dapat meletakan kakinya dengan baik dan membuatnya tak dapat maju maupun kembali

BRAHMAVIHĀRĀ

Setelah menjalani kehidupan yang terkendali dengan pengendalian lewat aturan-aturan (pātimokkha saṃvara saṃvuto viharati), mempertahankan perilaku benar (ācāra gocara sampanno), melihat bahaya dalam kesalahan terkecil (aṇumattesu vajjesu bhayadassāvī), melatih diri dalam latihan (samādāya sikkhati sikkhāpadesu) perbuatan jasmani dan ucapan yang penuh manfaat (kāyakamma vacīkammena samannāgato kusalena), berpenghidupan murni (parisuddhājīvo), sempurna dalam moralitas (sīlasampanno), menjaga indriyanya (indriyesu guttadvāro), memiliki ingatan yang sepenuhnya mengetahui (satisampajaññena samannāgato) berpuas diri (santuṭṭho) [DN 2, 13, SN 46.54] atau setelah: lepas dari kenikmatan indria [terkait kāmaguṇā], lepas dari hal yang tidak bermanfaat [terkait 5 nīvaraṇā] (vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehī) [AN 11.16, MN 99, DN 2, 13, SN 46.54]. Di beberapa sutta, penjelasan brahmavihārā disampaikan setelah penjelasan jhāna, namun ini bukanlah sebagai suatu urutan bahwa harus mencapai jhāna dulu baru kemudian dilanjutkan dengan brahmavihārā. Beberapa sutta menunjukan bahwa megembangkan brahmavihārā dilakukan setelah 5 rintangan dilalui [misal MN 40, SN 46.54], karena 5 rintangan pembuat pikiran tidak lunak, tidak dapat diolah, tidak bersinar, rapuh, tidak terkonsentrasi benar untuk kehancuran noda [SN 46.33]
  1. Mettā = abyāpāda (tanpa itikad buruk atau dengan itikad baik, tidak memusuhi, bersahabat) = Lenyapnya dukkhindriyaṃ (rasa sakit tubuh/kāyikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman tubuh/kāyikaṃ asātaṃ atau perasaan menyakitkan tidak nyaman dari kontak jasmani - SN 48.38, 40). Kehendak buruk/permusuhan tidak lagi menguasai pikirannya ((byāpādo cittaṃ pariyādāya ṭhassati, netaṃ ṭhānaṃ vijjati) [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar pihak lainnya sejahtera dan baik (hitasukhupanayanakāmatā)

    (Setelah pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat). Pikiran yang disertai abyāpāda/Itikad baik/tidak memusuhi (mettāsahagatena cetasā memancar ke 1 arah (ekaṃ disaṃ pharitvā viharati), 2 arah, 3 arah dan 4 arah (tathā dutiyaṃ tathā tatiyaṃ tathā catutthiṃ), ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada mahluk alam apapun (termasuk dirinya) (iti uddhamadho tiriyaṃ sabbadhi sabbattatāya sabbāvantaṃ lokaṃ) pikiran yang disertai abyāpāda = mettā memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi (mettāsahagatena cetasā vipulena mahaggatena appamāṇena averena abyāpajjhena pharitvā viharati) [AN 4.125, SN 46.54], dalam versi MN 21: ‘..Tañca puggalaṃ mettā­saha­gatena cetasā pharitvā viharissāma (pikiran mettā memancar ke orang itu), tadārammaṇañca (dalam pikiran yang sama) sabbāvantaṃ lokaṃ (ke segala alam) mettā­saha­gatena cittena vipulena... (pikiran mettā memancar: berlimpah..). Di setelah ini DN 13 ada kalimat: "bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara tanpa kesulitan ke semua arah; begitu pula semua bentukan dan ragam ukuran makhluk, tanpa terkecuali, dengan memperhatikan itu semua dikembangkannya mettā yang bebas dan penuh'. 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma'

  2. Karuṇā = avihiṁsā (tidak ingin mencelakai)/avihesā (tidak kesal, sakit hati) = Disamping telah lenyapnya dukkhindriyaṃ, lenyap pula domanassindriyaṃ (rasa sakit mental/cetasikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman mental/cetasikaṃ asātaṃ atau perasaan menyakitkan tidak nyaman dari kontak pikiran - SN 48.38, 40). Kekejaman/ingin mencelakai/kesal/sakit hati tidak lagi menguasai pikirannya (vihesā cittaṃ pariyādāya ṭhassati, netaṃ ṭhānaṃ vijjati) [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar kesedihan/kemalangan pihak lain hilang (hitasukhupanayanakāmatā)

    (Setelah pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat). Pikiran yang disertai avihiṁsā/tidak kejam/tidak ingin mencelakai (karuṇāsahagatena cetasā) memancar ke satu arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah, ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada mahluk alam apapun (termasuk dirinya), pikiran yang disertai avihiṁsā = karuṇā memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi [AN 4.125; SN 46.54; DN 13]

  3. Muditā = rati (tak adanya ketidakpuasan atau berada dalam kepuasan tanpa membedakan) = Disamping telah lenyapnya: dukkhindriyaṃ + domanassindriyaṃ, maka akibat lenyapnya pīti, lenyap pula sukhindriyaṃ (rasa senang tubuh/kāyikaṃ sukhaṃ + nyaman tubuh/kāyikaṃ sātaṃ atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak jasmani - SN 48.38, 40). Ketidakpuasan tidak lagi menguasai pikirannya (arati cittaṃ pariyādāya ṭhassati, netaṃ ṭhānaṃ vijjati) [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar kesejahteraan pihak lainnya tak terdiskriminasi (hitasukhāvippayogakāmatā)

    (Setelah pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat). Pikiran yang disertai rati/tak adanya ketidakpuasan atau berada dalam kepuasan tanpa membedakan (muditāsahagatena cetasā) memancar ke satu arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah, ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada mahluk alam apapun (termasuk dirinya), pikiran yang disertai muditā = rati memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi [AN 4.125; SN 46.54; DN 13]

  4. Upekkhā = a-rāgo (tidak berwarna/tidak terikat/tidak ada nafsu - AN 6.13)/apaṭigha (tidak menolak akibat jijik/benci - MN 62) = Disamping telah lenyapnya: dukkhindriyaṃ + domanas­sindriyaṃ + sukhindriyaṃ, lenyap pula somanas­sindriyaṃ (rasa bahagia mental/cetasikaṃ sukhaṃ + rasa nyaman mental/cetasikaṃ sātaṃ, atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak pikiran - SN 48.38, 40). Keterikatan/kecondongan tidak lagi menguasai pikirannya (rāgo cittaṃ pariyādāya ṭhassati, netaṃ ṭhānaṃ vijjati) [AN 6.13, MN 62]. Upekkhā = Pikiran yang tidak terlibat/tidak condong/di tengah/tidak berpihak/tenang (majjhattatā cittassa) [Vibhanga 12]. Komentar SnA 1.73: Seimbang tak goyah dalam suka-duka (..kammenā’’ti sukhadukkhesu ajjhupekkhanatā). Upekkhā = upa+ikha. upa = (1) di, di atas, dekat; (2) adil, seimbang, rata. ikha = melihat, memandang, menengok. Jadi Upekkha = tenang-seimbang, tidak berpihak/tidak terlibat (BUKAN tidak perduli). Upekkha perasaan "bukan menyakitkan bukan menyenangkan" (adukkhamasukhaṁ), karena Upekkha adalah kondisi pikiran, sedangkan adukkhamasukhaṁ adalah salah satu jenis perasaan yang muncul setelah kontak indriya. Bhikkhunī Dhammadinnā: tandingan dari "bukan menyakitkan bukan menyenangkan" adalah ketidaktahuan perasaan (adukkhamasukhāya..vedanāya avijjā paṭibhāgo) [MN44]

    (Setelah pikiran tidak dicemari hal buruk ... sukacita ... pikirannya menjadi terpusat). Pikiran yang disertai upekkhā/Pikiran yang tidak terlibat/tidak condong/di tengah/tidak berpihak/tenang/arāgo (upekkhāsahagatena cetasā) memancar ke satu arah, 2 arah, 3 arah dan 4 arah, ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, pada mahluk alam apapun (termasuk dirinya), pikiran yang disertai upekkhā = arāgo memancar: berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut/mudah menerima, tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi [AN 4.125; SN 46.54; DN 13]
...Ini disebut pembebasan pikiran, yang tak terukur (ayaṁ vuccati, appamāṇā cetovimutti) [SN 41.7; MN 43]

Terdapat 11 manfaat ketika pembebasan pikiran melalui tidak memusuhi telah diusahakan, dikembangkan, dan dilatih, dijadikan kendaraan dan landasan, dijalankan, dikokohkan, dan dengan benar dilakukan:

(1) Terlelap dengan nyaman (sukham supati); (2) terjaga nyaman (sukham paṭibujjhati); (3) tidak mimpi buruk (na pāpakaṃ supinaṃ passati); (4) disukai orang (manussānaṃ piyo hoti); (5) disukai makhluk bukan orang (amanussānaṃ piyo hoti); (6) dilindungi Devata (devata rakkhanti) (7) lolos/terhindar dari api, racun dan senjata (nassa aggi va visam va satthaṃ va kamati); (8) pikirannya terpusat dengan cepat (tuvaṭaṃ cittam samādhiyati); (9) raut wajahnya tenang (mukhavaṇṇo vippasīdati); (10) ketika tiba waktunya (untuk wafat) tidak dalam kebingungan (asammūḷho kālaṃ karoti); dan (11) jika tidak menembus lebih jauh, terlahir di alam brahmā (uttari appaṭivijjhanto brahmalokūpago hoti) [AN 8.1, AN 11.15]. Agar tidak tiba waktunya (untuk wafat) karena digigit ular [atau digigit tidak menyuntikan bisa: gigitan kering atau ini] (na hi so..ahinā daṭṭho kālaṃ kareyya).. agar mahluk tak berkaki, berkaki 2, 4, banyak tak mencelakai (ma mam apada.. dvi.. catu.. himsi bahuppado) [AN 4.67]

BRAHMAVIHĀRĀ LEBIH DALAM Di BUDDHISME: CETOVIMUTTI DAN PENCAPAIAN PERSEPSI

[mettāsahagataṁ] Mengembangkan faktor pencerahan ingatan disertai pikiran tanpa memusuhi/abyapada (mettāsahagataṁ satisambojjhaṅgaṁ bhāveti) melalui keterasingan, tidak menginginkan, penghentian, siap melepas/bebas dari (vivekanissitaṁ virāganissitaṁ nirodhanissitaṁ vossaggapariṇāmiṁ)
Mengembangkan faktor pencerahan pemeriksaan menyeluruh terhadap hal/kondisi disertai pikiran tanpa memusuhi...
Mengembangkan faktor pencerahan kegigihan disertai pikiran tanpa memusuhi....
Mengembangkan faktor pencerahan riak kegiuran disertai pikiran tanpa memusuhi...
Mengembangkan faktor pencerahan ketenangan disertai pikiran tanpa memusuhi...
Mengembangkan faktor pencerahan pikiran terpusat disertai pikiran tanpa memusuhi...
Mengembangkan faktor pencerahan ketenang-seimbangan disertai pikiran tanpa memusuhi melalui keterasingan, tidak menginginkan, penghentian, siap melepas. [SN 46.54]

Jika ingin (So sace ākaṅkhati) [SN 46.54]:
  1. Berdiam di persepsi bosan/jenuh/jemu terhadap tidak menjemukan/menjijikan (appaṭikūle paṭikūlasaññī vihareyyan’ti), di sana Ia berada di persepsi jenuh (paṭikūlasaññī tattha viharati). [Tujuannya: agar tidak minat pada munculnya hal yang membuat ketagihan/melekat/nafsu/terikat (Mā me rajanīyesu dhammesu rāgo udapādī) - AN 5.144]

  2. Berdiam di persepsi tidak jemu pada yang menjemukan (paṭikūle appaṭikūlasaññī vihareyyan’ti), di sana Ia berada di persepsi tidak jemu (appaṭikūlasaññī tattha viharat). [Tujuannya: agar tidak muak/menolak pada munculnya hal yang membuat tidak nyaman (Mā me dosanīyesu dhammesu doso udapādī’ti) - AN 5.144]

  3. Berdiam di persepsi jemu pada yang menjemukan dan tidak menjemukan (appaṭikūle ca paṭikūle ca paṭikūlasaññī vihareyyan’ti), di sana Ia berada di persepsi jemu (paṭikūlasaññī tattha viharati). [Tujuannya: agar tidak minat pada munculnya hal yang membuat ketagihan, tidak muak pada munculnya hal yang membuat tidak nyaman (Mā me rajanīyesu dhammesu rāgo udapādi, mā me dosanīyesu dhammesu doso udapādī’ti) - AN 5.144]

  4. Berdiam di persepsi tidak jemu pada yang menjemukan dan tidak menjemukan (paṭikūle ca appaṭikūle ca appaṭikūlasaññī vihareyyan’ti), di sana Ia berada di persepsi tidak jemu (appaṭikūlasaññī tattha viharati). [Tujuannya: agar tidak muak pada munculnya hal yang membuat tidak nyaman, tidak minat pada munculnya hal yang membuat ketagihan - AN 5.144]

  5. meninggalkan baik itu jemu dan tidak jemu (appaṭikūlañca paṭikūlañca tadubhayaṁ abhinivajjetvā), dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui berada tenang-seimbang (upekkhako vihareyyaṁ sato sampajāno’ti’, di sana dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui berada tenang-seimbang (upekkhako ca tattha viharati sato sampajāno) [tujuannya: dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui tidak minat pada hal apapun dalam cara apapun yang membuat ketagihan, tidak muak pada hal apapun...yang membuat tidak nyaman, tidak bingung pada hal apapun dalam cara apapun yang membuat keliru tahu (sato sampajāno mā me kvacani katthaci kiñcanaṁ rajanīyesu dhammesu rāgo udapādi, mā me kvacani katthaci kiñcanaṁ dosanīyesu dhammesu doso udapādi, mā me kvacani katthaci kiñcanaṁ mohanīyesu dhammesu moho udapādī) - AN 5.144]
atau, kebebasan Keindahan/Menyenangkan tercapai (subhaṁ vā kho pana vimokkhaṁ upasampajja viharati). Keindahan adalah puncak (subhaparamāhaṁ) Pembebasan pikiran tanpa memusuhi (mettācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi (uttarivimuttiṁ appaṭivijjhato) [SN 46.54].
    Siswa mulia yang tanpa kerinduan (vigatābhijjho), tanpa memusuhi (vigatabyāpādo), tanpa kebingungan (asammūḷho), sepenuhnya tahu ingat sepenuhnya (sampajāno paṭissato) pada pikiran yang disertai tanpa memusuhi (mettāsahagatena cetasā) memancar ke 1 arah,.., tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi.Ia memahami (So evaṁ pajānāti): ‘Sebelumnya, pikiranku terbatas tidak terkembang (pubbe kho me idaṁ cittaṁ parittaṁ ahosi abhāvitaṁ), tetapi sekarang pikiranku tidak terukur dan terkembang baik (etarahi pana me idaṁ cittaṁ appamāṇaṁ subhāvitaṁ). kamma terbatas/dapat diukur apapun yang telah dilakukan (Yaṁ kho pana kiñci pamāṇakataṁ kammaṁ) tidak lagi ada di sana atau tidak bertahan di sana (na taṁ tatrāvasissati na taṁ tatrāvatiṭṭhatī’ti)’

    ....“Seorang perempuan/pria tidak membawa tubuh ini ketika pergi (terlahir) (Itthiyā vā, purisassa vā nāyaṁ kāyo ādāya gamanīyo). Manusia ini pikiran-nya yang berlanjut cittantaro ayaṁ, bhikkhave, macco. cittantaro = cittam-tara atau citta-antara).

    Memahami (So evaṁ pajānāti): ‘Perbuatan buruk apa pun yang telah kulakukan di masa lalu dengan tubuh yang terlahir dari perbuatan ini (yaṁ kho me idaṁ kiñci pubbe iminā karajakāyena pāpakammaṁ kataṁ), Semua akan ku alami di sini (sabbaṁ taṁ idha vedanīyaṁ), tidak akan mengikuti penjelmaan nanti (na taṁ anugaṁ bhavissatī’ti)’ Ketika pembebasan pikiran tanpa memusuhi telah dikembangkan demikian (Evaṁ bhāvitā mettā cetovimutti), ini mengarah menuju ketidak-kembalian (anāgāmitāya saṁvattati = anagami) seorang bijaksana yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi (idha paññassa uttari vimuttiṁ appaṭivijjhato) [AN 10.219]

    Note:
    Sutta dan Abhidhamma, tidak menjelaskan apakah subhaṁ vimokkhaṁ hanya sampai alam jhāna ke-3 saja (karena deva alam ini disebut Brahma subhakiṇhā), namun tampaknya sangat mungkin subhaṁ vimokkhaṁ juga termasuk alam Brahma Vehapphalā/jhāna ke-4, karena di samping bentukan/rupa, ada yang subha dan asubha, juga karena alam jhāna ke-4 ada pula devā asaññasattā [Para deva yang tidak (sepenuhnya mengalami tidak) berpersepsi], akibat masih "ada penolakan"/reaksi untuk persepsi rupa tertentu, atau BELUM: "ketergantungan tunggal (ekattasitā) satu ketenang-seimbangan (upekkhā ekattā)" [MN 137], sehingga perhatian benar pada: gambaran tidak menarik (asubhanimitta yoniso manasikaroto) [SN 46.2, 51; AN 1.11-20], gambaran keindahan (subhanimitta) dan gambaran menjemukan (paṭighanimitta) adalah makna dari perhatian benar pada pikiran bebas permusuhan (metta cetovimutti yoniso manasikaroto) [SN 46.2, 51; AN 1.11-20] dan alasannya karena dapat terlahir, sebagai anagami, di tengah-tengah para deva suddhāvāsā [AN 4.126]
[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung (so iti paṭisañcikkhati): 'Bahkan Pembebasan pikiran tanpa memusuhi, ini terkondisi, dari kehendak. (ayampi kho mettācetovimutti abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya (yaṁ kho pana kiñci abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ tadaniccaṁ nirodhadhamman’ti pajānāti). Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental (So tattha ṭhito āsavānaṁ khayaṁ pāpuṇāti). Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda (no ce āsavānaṁ khayaṁ pāpuṇāti), karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu (=rūparāga) (teneva dhammarāgena tāya dhammanandiyā), dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah (pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ parikkhayā), terlahir kembali secara spontan (opapātiko hoti), di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu (tattha parinibbāyī anāvattidhammo tasmā lokā) [MN 52, AN 11.16]

[Karuṇāsahagataṁ] Mengembangkan faktor pencerahan ingatan disertai pikiran tanpa kekejaman/avihiṁsa ... mengembangkan faktor pencerahan ketenang-seimbangan disertai pikiran tanpa kekejaman/avihiṁsa (karuṇāsahagataṁ satisambojjhaṅgaṁ bhāveti ... karuṇāsahagataṁ upekkhāsambojjhaṅgaṁ bhāveti) ...

atau, telah sepenuhnya melampaui persepsi bentukan, persepsi menolak mereda/lenyap, tidak perhatian/perhatian tidak pada ragam persepsi (sabbaso vā pana rūpasaññānaṁ samatikkamā paṭighasaññānaṁ atthaṅgamā nānattasaññānaṁ amanasikārā) [Merasakan:] 'ākāso (ruang/melihat) ananto (tak berbatas)', landasan ruang/penglihatan tak berbatas tercapai (ākāsānañcāyatanaṁ upasampajja viharati). landasan ruang/penglihatan tak berbatas adalah puncak (ākāsānañcāyatanaparamāhaṁ) pembebasan pikiran tanpa kekejaman (karuṇācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [SN 46.54]

[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung: 'Bahkan Pembebasan pikiran tanpa kekejaman, ini terkondisi, dari kehendak. (ayampi kho karuṇācetovimutti abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya. Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu (=rūparāga), dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu [MN 52, AN 11.16]

[Muditāsahagataṁ] Mengembangkan faktor pencerahan ingatan disertai pikiran yang tidak-adanya ketidakpuasan atau berada dalam kepuasan tanpa membedakan/rati... mengembangkan faktor pencerahan ketenang-seimbangan disertai pikiran yang tidak-adanya ketidakpuasan atau berada dalam kepuasan tanpa membedakan/rati (muditāsahagataṁ satisambojjhaṅgaṁ bhāveti ... muditāsahagataṁ upekkhāsambojjhaṅgaṁ bhāveti) ...

atau, telah sepenuhnya melampaui landasan ruang/penglihatan tak berbatas (Sabbaso vā pana ākāsānañcāyatanaṁ samatikkamma) [Merasakan:] 'viññāṇa (Kesadaran) ananta (tak berbatas)', landasan kesadaran tak berbatas tercapai (viññāṇañcāyatanaṁ upasampajja viharati). landasan kesadaran tak berbatas adalah puncak (viññāṇañcāyatanaparamāhaṁ) pembebasan pikiran puas tanpa membedakan (muditācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [SN 46.54]

[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung: 'Bahkan Pembebasan pikiran puas tanpa membedakan, ini terkondisi, dari kehendak. (ayampi kho muditācetovimutti abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya. Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu (=rūparāga), dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu [MN 52, AN 11.16]

[Upekkhāsahagataṁ] Mengembangkan faktor pencerahan ingatan disertai pikiran yang tidak terlibat/tidak condong/di tengah/tidak berpihak/tenang/arāgo ... mengembangkan faktor pencerahan ketenang-seimbangan disertai pikiran yang tidak terlibat/tidak condong/di tengah/tidak berpihak/tenang/arāgo (upekkhāsahagataṁ satisambojjhaṅgaṁ bhāveti ... upekkhāsahagataṁ upekkhāsambojjhaṅgaṁ bhāveti) ...

atau, telah sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tak berbatas (sabbaso vā pana viññāṇañcāyatanaṁ samatikkamma) [Merasakan:] 'natthi (tak ada) kinci (apapun)', landasan tak ada apapun tercapai (ākiñcaññāyatanaṁ upasampajja viharati). landasan tak ada apapun adalah puncak (akiñcaññāyatanaparamāhaṁ) pembebasan pikiran tidak terlibat (upekkhācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [SN 46.54]
    ...tanpa halang rintang/tolakan/memusuhi. Ia memahami: ‘Sebelumnya, pikiranku terbatas tidak terkembang, tetapi sekarang pikiranku tidak terukur dan terkembang baik. kamma terbatas/dapat diukur apapun yang telah dilakukan tidak lagi ada di sana atau tidak bertahan di sana’

    ....“Seorang perempuan/pria tidak membawa tubuh ini ketika pergi (terlahir). Manusia ini pikiran-nya yang berangkat.

    Ia Memahami: ‘Perbuatan buruk apa pun yang telah kulakukan di masa lalu dengan tubuh yang terlahir dari perbuatan ini, Semua akan ku alami di sini, tidak akan mengikuti penjelmaan nanti’. Ketika pembebasan pikiran tenang seimbang telah dikembangkan demikian (Evaṁ bhāvitā upekkhā cetovimutti), ini mengarah menuju ketidak-kembalian (= anagami) seorang bijaksana yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [AN 10.219]
[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung: 'Bahkan Pembebasan pikiran tidak terlibat, ini terkondisi, dari kehendak. (ayampi kho upekkhācetovimutti abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya. Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu (=rūparāga), dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu [MN 52, AN 11.16]

PENCAPAIAN samādhi (jhāna ke-1 sd ke-4)
jhāna ke-1,
kenikmatan sensualitas adalah kenikmatan kasar, sehingga harus secara total melepaskan perhatian persepsi terkait sensualitas (kāmasahagatā saññāmanasikārā). Karena pikiran akan masih melekat atau teralihkan ketika berusaha untuk melepaskannya, maka pikiran: dikokohkan, mengarah ke satu hal dan terpusat (Cittham: saṇṭhapehi, ekodiṃ karohi, samādahā) [SN 40.1]

Deskripsi jhāna ke-1 (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di jhāna ke-1):
    Ia memilih tempat-tempat sunyi, duduk bersila, tubuh menegakkan/menyiapkan ingatan (tentang sesuatu) yang dihadapinya. Setelah melewati 5 rintangan (5 nivarana) dan/atau lepas/terasing dari kenikmatan indriya, lepas/terasing dari hal yang tak bermanfaat (vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehi):

    Karena kenikmatan-indriya tidaklah kekal (aniccā), menyakitkan/menderita (dukkhā), dan mengalami perubahan (vipariṇāmadhammā), karena itu dapat berubah (tesaṃ vipariṇāmaññathābhāvā), maka munculah kesedihan, ratapan, kesakitan, dan kesusahan (uppajjanti sokaparidevadukkhadomanassupāyāsā). Tetapi ketika telah dapat bebas/lepas dari (vivicceva: (1) kenikmatan indriya/kāmehi dan (2) hal yang tak bermanfaat/akusalehi dhammehi), dengan (pikiran yang) menggenggam (vitakka) dan mempertahankan (objek) (vicara) merasakan riak kegiuran-menyenangkan (pīti-sukha), karena telah terlepas/terbebas (vivekajaṃ: dari kāmehi dan akusalehi), jhāna ke-1 tercapai (paṭhamaṃ jhānaṃ upasampajja viharati) [DN 1, MN 111, AN 4.123, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]

    Atau

    tassime pañcanīvaraṇe pahīne attani samanupassato (mengetahui 5 rintangan telah tersingkir dari dirinya), pāmojjaṁ jāyati (timbul sukacita), pamuditassa pīti jāyati (sukacita menimbulkan riak kegiuran), pītimanassa kāyo passambhati (pikiran dalam keadaan riak kegiuran membuat tubuh menjadi nyaman), passaddhakāyo sukhaṁ vedeti (tubuh yang nyaman terasa menyenangkan), sukhino cittaṁ samādhiyati (pikiran yang senang, menjadikannya terpusat). Vivicceva kāmehi, vivicca akusalehi dhammehi (Setelah lepas dari kenikmatan Indriya dan hal yang tidak bermanfaat), savitakkaṁ savicāraṁ vivekajaṁ pītisukhaṁ (dengan (pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan (objek) merasakan riak kegiuran-menyenangkan) paṭhamaṁ jhānaṁ upasampajja viharati (jhāna ke-1 tercapai). Tassa yā purimā kāmasaññā, sā nirujjhati (Bersamaan dengan lenyapnya persepsi Indriyawi apapun sebelumnya) Vivekajapītisukhasukhumasaccasaññā tasmiṁ samaye hoti (dari keterbebasan, saat itu terdapat persepsi/rasa riak kegiuran-menyenangkan yang sungguh halus), vivekajapītisukhasukhumasaccasaññīyeva tasmiṁ samaye hoti (Demikian karena terbebaskan, saat itu terdapat rasa riak kegiuran-menyenangkan yang sungguh halus) [DN 9]
Pīti-sukha dari terlepas/bebas (dari kamehi/akusala) memenuhi, menggenangi, meresapi seluruh tubuhnya. Tak ada bagian tubuhnya yang tak diliputi perasaan piti-suka akibat keterlepasan (dari kamehi/akusala)

‘Bagaikan seorang petugas pemandian yang terampil atau pembantunya, mengadon bubuk-sabun yang telah dibasahi air, membentuknya dalam sebuah piringan logam, menjadi bongkahan lunak, sehingga bola bubuk-sabun itu menjadi satu bongkahan berminyak, terekat minyak sehingga tak ada yang berserakan—demikian pula pīti-sukha dari keterlepasan/keterbebasan itu meliputi seluruh tubuhya, mengisi dan memenuhinya sehingga tak ada bagian tubuhnya yang tak tersentuh..' [DN 2, 9, 13; MN 39, 77, 119].

samādhinimitta berupa jhāna, tidak serta merta mereda setelah keluar dari keadaan samādhi. Keadaan tersebut masih dirasakannya beberapa waktu lamanya: "..ketika seorang bhikkhu terhormat (samaye manobhāvanīyo bhikkhu) telah keluar dari keterasingan malam hari (sāyanhasamayaṁ paṭisallānā vuṭṭhito) duduk di bawah keteduhan kediamannya (vihārapacchāyāyaṁ nisinno hoti), bersila, tubuhnya tegak/lurus, menegakkan/menyiapkan ingatan (tentang sesuatu) yang dihadapinya (pallaṅkaṁ ābhujitvā ujuṁ kāyaṁ paṇidhāya parimukhaṁ satiṁ upaṭṭhapetvā), Apapun (yadevassa) perhatian pada gambaran/bentukan samādhi di siangnya (divā samādhinimittaṁ manasikataṁ hoti), saat itu masih ada padanya (adevassa tasmiṁ samaye samudācarati) .." [AN 6.28]

Abhidhamma, Vibhanga 13: Untuk mengembangkan jalan kelahiran kembali di alam RUPA, berada di jhāna ke-1 sampai ke-4, dengan pikiran yang dapat disertai oleh masing-masing dari 3 brahmavihārā yaitu Mettā ATAU Karuṇā ATAU Muditā. Khusus Upekkhā, berada di jhāna ke-4 dengan pikiran yang disertai Upekkhā

Saat mencapai Jhana ke-1:
Ia meninggalkan 5 rintangan/nivarana dan meraih 5 faktor jhāna diraih (MN 43). Keadaan ini disebut berada di luar jangkauan Mara (MN 25, AN 9.39).
    5 rintangan:

    1. Kamacchanda/hasrat indriya;
    2. byapada (kehendak buruk);
    3. Thina-middha (malas-lamban/ngantuk);
    4. Uddhacca-kukkucca (gelisah-cemas), dan
    5. Vicikiccha (keragu-raguan)

    Di AN 6.73: "cha dhamma/6 hal, yaitu: 5 rintangan + "Kāmesu panassa ādīnavo na yathābhūtaṁ sammappaññāya sudiṭṭho hoti (tidak dilihat jelas apa adanya dengan kebijaksanaan benar, bahaya kehancuran dari kenikmatan-kenikmatan indria)"
    Di AN 6.74: 6 hal, yaitu: (pikiran) tertuju pada: kenikmatan indriya, keburukan/memusuhi dan mencelakai/kekejaman (Kāmavitakkaṁ, byāpādavitakkaṁ, vihiṁsāvitakkaṁ), persepsi pada: kenikmatan indriya, keburukan/memusuhi dan mencelakai/kekejaman (pkāmasaññaṁ, byāpādasaññaṁ, vihiṁsāsaññaṁ)

    5 Faktor jhāna:
    Vitakka (pikiran menggenggam/mengarahkan);
    Vicāra (pikiran mempertahankannya);
    Pīti (kegiuran atau ke-merinding-an/riak halus yang berpendaran/merayapi tubuh/sekujur tubuh);
    Sukha (menyenangkan);
    cittekaggatā (Pikiran terpusat) [MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]
Lenyap tanpa sisa dukkhindriyam/Indriya menyakitkan: Perasaan menyakitkan dan tidak nyaman yang berasal dari kontak jasmani [SN 48.36, 39, 40]. dukkhindriyaṃ: rasa sakit tubuh/kāyikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman tubuh/kāyikaṃ asātaṃ atau perasaan menyakitkan tidak nyaman dari kontak jasmani/kāyasamphassajaṃ dukkhaṃ asātaṃ vedayitaṃ [SN 48.38, 40]
Lenyapnya/redanya/tenangnya "bicara" [vācā niruddhā/vūpasantā/paṭippassaddhā] (SN 36.11, SN 36.15), yaitu "membatin"; bising di pikiran dari rapalan mantra, paritta, japa/zikir; pikiran kacau/gelisah. Oleh karenanya, "kebisingan adalah duri" (saddo kaṇṭako) bagi jhāna ke-1 (AN 10.72)
Lenyapnya 6 hal (AN 6.73-74).
Lenyap tanpa sisa kehendak YANG TIDAK bermanfaat/akusalānaṃ saṅkappānaṃ, yaitu kehendak: keinginan indriya, kehendak buruk/memusuhi, dan kehendak kekejaman.
    Dan dari manakah kehendak YANG TIDAK bermanfaat ini berasal-mula?
    Kehendak YANG TIDAK bermanfaat ini harus dikatakan bermula dari persepsi. Persepsi apakah?.. persepsi keinginan indriya, persepsi kehendak buruk/permusuhan, dan persepsi kekejaman.
    Dan dimanakah kehendak YANG TIDAK bermanfaat ini lenyap tanpa sisa?.. jhāna ke-1.. [MN 78]

    Tanpa meninggalkan/melenyapkan 6 Hal, seseorang tidak akan mencapai jhāna ke-1, yaitu: (Pikiran) yang tertuju pada: kenikmatan indriawi (Kāmavitakka), keburukan/memusuhi (byāpādavitakka), mencelakai/kekejaman (vihiṃsāvitakka), persepsi pada: indrawi (kāmasañña), keburukan/memusuhi (byāpādasañña), dan mencelakai (vihiṃsāsañña) [AN 6.74]

    Unsur keinginan indriawi memunculkan persepsi kenikmatan indriawi (kamadhātuṁ paṭicca uppajjati kāmasaññā), Persepsi indriawi memunculkan kehendak kenikmatan indrawi (kāmasaññaṁ paṭicca uppajjati kāmasaṅkappo). Kehendak kenikmatan indriawi memunculkan hasrat kenikmatan indriawi (kāmasaṅkappaṁ paṭicca uppajjati kāmacchando). Hasrat kenikmatan indriawi memunculkan demam kenikmatan indriawi (kāmacchandaṁ paṭicca uppajjati kāmapariḷāho). Demam kenikmatan indria memunculkan pencarian terhadap kenikmatan indriawi (kāmapariḷāhaṁ paṭicca uppajjati kāmapariyesanā).
    Unsur keburukan/memusuhi memunculkan persepsi keburukan/memusuhi....Pencarian terhadap keburukan/memusuhi.
    Unsur kekejaman/mencelakai memunculkan persepsi kekejaman/mencelakai... Pencarian terhadap kekejaman/mencelakai [SN 14.12]
Bersamaan dengan lenyapnya persepsi Indriya apapun sebelumnya/tassa yā purimā kāmasaññā, sā nirujjhati (DN 9, AN 9.31), saat itu terdapat persepsi pīti-sukha yang sungguh halus dari keterbebasan (vivekajapītisukhasukhumasaccasaññā tasmiṁ samaye hoti) [DN 9]

[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung (so iti paṭisañcikkhati): 'Bahkan pencapaian ke-1, ini terkondisi, dari kehendak. (idampi kho paṭhamaṁ jhānaṁ abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya (yaṁ kho pana kiñci abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ tadaniccaṁ nirodhadhamman’ti pajānāti). Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental (So tattha ṭhito āsavānaṁ khayaṁ pāpuṇāti). Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda (no ce āsavānaṁ khayaṁ pāpuṇāti), karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu (=rūparāga) (teneva dhammarāgena tāya dhammanandiyā), dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah (pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ parikkhayā), terlahir kembali secara spontan (opapātiko hoti), di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu (tattha parinibbāyī anāvattidhammo tasmā lokā) [MN 52, AN 11.16]

atau

'Apapun yang ada di situ (so yadeva tattha hoti): yang terkait: bentukan, perasaan, persepsi, bentukan kehendak, kesadaran (rūpagataṁ vedanāgataṁ saññāgataṁ saṅkhāragataṁ viññāṇagataṁ), hal-hal itu (te dhamme): tidak kekal (aniccato), tidak memuaskan (dukkhato), penyakit (rogato), bisul (gaṇḍato), duri (sallato), bencana (aghato), malapetaka (ābādhato), asing (parato), kehancuran (palokato), kosong (suññato), bukan identitas (diri/aku/sesuatu) (anattato)', demikian dilihatnya (samanupassati), dari hal-hal itu (so tehi dhammehi), pikirannya dibebaskan (cittaṃ paṭivāpeti). Dari hal-hal itu, pikirannya dibebaskan. Kepada unsur tanpa kematian (amatāya dhātuyā) pikirannya diarahkan (cittaṃ upasaṃharati): 'Ini damai, ini luhur (etaṃ santaṃ etaṃ paṇītaṃ yadidaṃ), tenangnya segala bentukan (sabbasaṅkhārasamatho), lepasnya segala kelekatan (sabbūpadhipaṭinissaggo), hancurnya kehausan (taṇhākkhayo), tidak ada minat (virāgo), berhenti (nirodho), padam (nibbāna)’. Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu. Inilah, Ananda, jalan dan latihan penghancuran 5 belenggu yang lebih rendah (ayampi kho, ānanda, maggo ayaṁ paṭipadā pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ pahānāya) [MN 64]

jhāna ke-2,
kenikmatan dari menggenggam dan mempertahankan adalah kenikmatan kasar, sehingga harus secara total melepaskan perhatian persepsi pikiran terkait penggenggaman (vitakkasahagatā saññāmanasikārā). Karena pikiran akan masih melekat atau teralihkan ketika berusaha untuk melepakannya, maka pikiran: dikokohkan, mengarah ke satu hal dan terpusat (Cittham: saṇṭhapehi, ekodiṃ karohi, samādahā) [SN 40.2, SN 21.1].

Deskripsi jhāna ke-2 (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di jhāna ke-2):
    pikiran di sana yang menggenggam dan mempertahankan adalah kasar (Yadeva tattha vitakkitaṁ vicāritaṁ, etenetaṁ oḷārikaṁ akkhāyati), maka dengan meredanya (pemusatan pikiran yang) menggenggam dan mempertahankan (objek) (vitakkavicārānaṃ vūpasamā), terjadi keheningan di dalam (ajjhattaṃ sampasādo), pikiran terpusat tanpa menggenggam dan mempertahankan (objek) (cetaso ekodibhāvaṃ avitakkaṃ avicāraṃ), pikiran yang terpusat demikian merasakan riak kegiuran-menyenangkan (karena keterpusatan pikiran tanpa perlu lagi dengan menggenggam dan mempertahankan) (samādhijaṃ pītisukhaṃ), jhāna ke-2 tercapai.. [DN 1, MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]
Kondisi/faktor di jhāna ke-2 adalah: hening di dalam (tanpa vitakkavicara), pīti, sukha dan pikiran terpusat [cittekaggatā]

Saat mencapai jhāna ke-2:
piti-sukha dari keterpusatan pikiran tanpa menggenggam dan mempertahankan, memenuhi, menggenangi, meresapi seluruh tubuhnya. Tak ada satu bagian tubuhnya yang tidak diliputi perasaan piti-suka yang muncul dari keterpusatan pikiran dengan cara itu.

‘Bagai sebuah danau yang bersumber dari sebuah mata air, tak ada air yang mengalir dari timur, barat, utara atau selatan, tidak bertambah dengan hujan dari waktu ke waktu, kemudian mata air sejuk memenuhi, mengisi, meliputi seluruh danau itu, sehingga tak ada bagian danau itu yang tidak terliputi air sejuk itu—demikian pula piti-suka dari pikiran terpusat seperti itu meliputi seluruh tubuhnya sehingga tak ada bagian yang tidak tersentuh. [DN 2, DN 9, MN 39, MN 77, MN 119]

jhāna ke-2 disebut keheningan ariya/noble silence (“ariya tuṇhībhāva”, SN 21.1): lenyapnya/niruddha: awal pikiran menggenggam dan mempertahankan objek [avitakkavicārā] (SN 36.11, 36.15, AN 9.31) atau berhentinya vacīsaṅkhāra [MN 44, SN 41.6], vitakkavicārā adalah duri di jhāna ke-2 [AN 10.72]
    Note:
    Melatih ariya tuṇhībhāva mulai dari menyempurnakan sila (sila ke-4: tidak musavada, tidak berbicara tidak perlu, dst) mengendalikan indriya, `dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, berpuas, membatasi diri untuk berkata seperlunya. Sang Buddha: Seorang yang melakukan praktek brahmacariya (Penghidupan BRAHMA), ketika berkumpul, Ia melakukan salah satu dari 2 hal: berdiskusi Dhamma atau mempertahankan keheningan mulia [MN 26]. Sample YM Anuruddha dan 2 teman dalam keseharian: “..Siapapun yang melihat kendi air minum, air untuk mencuci, atau kakus sudah hampir habis atau habis, Ia akan melakukan apa yang harus dilakukan. Jika terlalu berat baginya, Ia akan memanggil seseorang lain dengan isyarat tangan dan bersama-sama memindahkannya, tetapi hal ini tidak membuat kami terlibat dalam percakapan. Tetapi setiap 5 hari kami duduk bersama sepanjang malam mendiskusikan Dhamma”. [MN 128]
Lenyap tanpa sisanya domanassindriyaṃ/Indriya kepedihan: Perasaan menyakitkan tidak nyaman yang berasal dari kontak pikiran [SN 48.36, 39, 40]. Di samping telah lenyapnya dukkhindriyaṃ sebelumnya, maka sekarang lenyap pula domanas­sindriyaṃ: rasa sakit mental/cetasikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman mental/cetasikaṃ asātaṃ atau perasaan menyakitkan tidak nyaman dari kontak pikiran/mano­samphas­sa­jaṃ dukkhaṃ asātaṃ vedayitaṃ [SN 48.38, 40]

Lenyap tanpa sisanya kehendak YANG bermanfaat/kusalā saṅkappā, yaitu kehendak: pelepasan keduniawian (Nekkhammasaṅkappo), tanpa memusuhi/kehendak buruk (abyāpādasaṅkappo) dan tanpa-kekejaman (avihiṃsāsaṅkappo)
    dari manakah YANG kehendak bermanfaat ini berasal-mula?
    Kehendak YANG bermanfaat ini harus dikatakan bermula dari persepsi. Persepsi apakah?..persepsi pelepasan keduniawian (Nekkhammasaññā), persepsi tanpa kehendak buruk (abyāpādasaññā), dan persepsi tanpa-kekejaman (avihiṃsāsaññā)
    Dan di manakah kehendak YANG bermanfaat ini lenyap tanpa sisa?.. jhāna ke-2. [MN 78]
Besamaan dengan lenyapnya apapun persepsi Pīti-Sukha yang sungguh halus dari keterbebasan sebelumnya (tassa yā purimā vivekajapītisukhasukhumasaccasaññā, sā nirujjhati.) (DN 9), saat itu terdapat persepsi pīti-sukha yang sungguh halus dari keterpusatan pikiran (Samādhijapītisukhasukhumasaccasaññā tasmiṁ samaye hoti [DN 9]

[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung: 'Bahkan pencapaian ke-2, ini terkondisi, dari kehendak. (idampi kho dutiyaṁ jhānaṁ abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya. Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu (=rūparāga), dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu [MN 52, AN 11.16]

atau

'Apapun yang ada di situ: yang terkait: bentukan, perasaan, persepsi, bentukan kehendak, kesadaran, hal-hal itu: tidak kekal, tidak memuaskan, penyakit, bisul, duri, bencana, malapetaka, asing, kehancuran, kosong, bukan identitas (diri/aku/sesuatu)', demikian dilihatnya, dari hal-hal itu, pikirannya dibebaskan. Kepada unsur tanpa kematian pikirannya diarahkan: 'Ini damai, ini luhur, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kelekatan, hancurnya kehausan, tidak ada minat, berhenti, padam’. Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu. Inilah, Ananda, jalan dan latihan penghancuran 5 belenggu yang lebih rendah (ayampi kho, ānanda, maggo ayaṁ paṭipadā pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ pahānāya) [MN 64]

jhāna ke-3,
Kenikmatan pīti adalah kenikmatan kasar, sehingga harus secara total melepaskan perhatian persepsi terkait rasa riak kegiuran (pītisahagatā saññāmanasikārā). Karena pikiran akan masih melekat atau teralihkan ketika berusaha untuk melepaskannya, maka pikiran: dikokohkan, mengarah ke satu hal dan terpusat (Cittham: saṇṭhapehi, ekodiṃ karohi, samādahā) [SN 40.3].

Deskripsi jhāna ke-3 (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di jhāna ke-3):
    pikiran di sana yang bergejolak di keadaan riak kegiuran adalah kasar (Yadeva tattha pītigataṁ cetaso uppilāvitattaṁ, etenetaṁ oḷārikaṁ akkhāyati), maka dengan tidak bergairah lagi pada rasa riak kegiuran (pītiyā ca virāgā), dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui berada di keadaan tenang-seimbang (upekkhako ca viharati sato ca sampajāno), tubuh terasa menyenangkan (sukhañca kāyena paṭisaṃvedeti), sebagaimana para ariya katakan (Yaṃ taṃ ariyā ācikkhanti): “ingatan berada menyenangkan di keadaan tenang-seimbang” (upekkhako satimā sukhavihārī’ti), jhāna ke-3 tercapai.. [DN 1, MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]
Kondisi/faktor di jhāna ke-3 adalah sukha, sati, sampajāna dan cittekaggatā. Sementara itu, rasa riak kegiuran (pīti) adalah duri bagi jhāna ke-3 [AN 10.72]

Saat mencapai jhāna ke-3:
Sukha karena ketiadaan piti, memenuhi, menggenangi, meresapi seluruh tubuhnya. Tak ada satu bagian dari tubuhnya yang tidak diliputi perasaan senang yang muncul dari lenyapnya piti

‘Bagaikan, di sebuah kolam, teratai biru atau merah atau putih tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya; demikian pula, perasaan senang yang memenuhi, menggenangi, meresapi seluruh tubuhnya. Tak ada satu bagian dari tubuhnya yang tidak diliputi perasaan senang dari lenyapnya piti [DN 2, DN 9, MN 39, MN 77, MN 119]

Lenyap tanpa sisanya sukhindriyaṃ/Indriya menyenangkan: Perasaan menyenangkan nyaman yang berasal dari kontak jasmani [SN 48.36, 39, 40]. Disamping telah lenyapnya: dukkhindriyaṃ + domanas­sindriyaṃ sebelumnya, maka sekarang akibat lenyapnya pīti, lenyap pula sukhindriyaṃ: rasa senang tubuh/kāyikaṃ sukhaṃ + nyaman tubuh/kāyikaṃ sātaṃ atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak jasmani/kāya­samphas­sa­jaṃ sukhaṃ sātaṃ vedayitaṃ [SN 48.38, 40]

Bersamaan dengan lenyapnya apapun persepsi pīti-sukha yang sungguh halus dari keterpusatan pikiran sebelumnya (tassa yā purimā samādhijapītisukhasukhumasaccasaññā, sā nirujjhati), saat itu, terdapat persepsi menyenangkan yang sungguh halus dari ketidakterlibatan/kesimbangan (upekkhāsukhasukhumasaccasaññā tasmiṁ samaye hoti) [DN 9]

[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung: 'Bahkan pencapaian ke-3, ini terkondisi, dari kehendak. (idampi kho tatiyaṁ jhānaṁ abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya. Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu (=rūparāga), dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu [MN 52, AN 11.16]

atau

'Apapun yang ada di situ: yang terkait: bentukan, perasaan, persepsi, bentukan kehendak, kesadaran, hal-hal itu: tidak kekal, tidak memuaskan, penyakit, bisul, duri, bencana, malapetaka, asing, kehancuran, kosong, bukan identitas (diri/aku/sesuatu)', demikian dilihatnya, dari hal-hal itu, pikirannya dibebaskan. Kepada unsur tanpa kematian pikirannya diarahkan: 'Ini damai, ini luhur, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kelekatan, hancurnya kehausan, tidak ada minat, berhenti, padam’. Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu. Inilah, Ananda, jalan dan latihan penghancuran 5 belenggu yang lebih rendah (ayampi kho, ānanda, maggo ayaṁ paṭipadā pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ pahānāya) [MN 64]

jhāna ke-4,
Kenikmatan sukha adalah kenikmatan kasar, sehingga harus secara total melepaskan perhatian persepsi terkait perasaan menyenangkan (sukhasahagatā saññāmanasikārā). Karena pikiran akan masih melekat atau teralihkan ketika berusaha untuk melepaskannya, maka pikiran: dikokohkan, mengarah ke satu hal dan terpusat (Cittham: saṇṭhapehi, ekodiṃ karohi, samādahā) [SN 40.4].

Deskripsi jhāna ke-4 (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di jhāna ke-4):
    pikiran di sana yang condong di keadaan menyenangkan adalah kasar (Yadeva tattha sukhamiti cetaso ābhogo), maka dengan ditinggalkannya perasaan menyenangkan, ditinggalkannya perasaan menyakitkan (sukhassa ca pahānā dukkhassa ca pahānā), meredanya sukacita/bahagia/nyaman - dukacita/pedih/suram sebelumnya (pubbeva somanassadomanassānaṃ atthaṅgamā), merasakan perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan (adukkhaṃasukhaṃ) ingatannya murni tenang-seimbang/tidak terlibat (upekkhā-sati-pārisuddhiṃ), jhāna ke-4 tercapai.. [DN 1, MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]
Kondisi/faktor di jhāna ke-4 adalah tenang-seimbang/tidak condong/tidak terlibat (upekkhā), perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan (adukkhamasukhā vedanā), dalam keterpusatan pikiran dengan ingatan yang murni tenang tanpa keterlibatan (passaddhattā cetaso anābhogo satipārisuddhi cittekaggatā) [MN 111]

Sukha dari ketiadaan piti lenyap, dalam persepsi perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan, ingatan murni tenang-seimbang, memenuhi, menggenangi, meresapi seluruh tubuhnya

Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; Demikianlah Tak ada satu bagian dari tubuhnya yang tidak diliputi.

Ia berdiam bersama dengan para dewa yang telah muncul dalam alam yang sepenuhnya nikmat, berbicara dan berbincang-bincang dengan mereka [Yā tā devatā ekantasukhaṃ lokaṃ upapannā tāhi devatāhi saddhiṃ santiṭṭhati sallapati sākacchaṃ samāpajjati]. Pada titik ini alam yang sungguh menyenangkan itu telah tercapai (MN 79)

Lenyap tanpa sisanya somanassindriyaṃ/Indriya kebahagiaan: Perasaan menyenangkan nyaman yang berasal dari kontak pikiran [SN 48.36, 39, 40]. Disamping telah lenyapnya: dukkhindriyaṃ + domanas­sindriyaṃ + sukhindriyaṃ sebelumnya, maka sekarang lenyap pula somanas­sindriyaṃ: rasa bahagia mental/cetasikaṃ sukhaṃ + rasa nyaman mental/cetasikaṃ sātaṃ, atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak pikiran/mano­samphas­sa­jaṃ sukhaṃ sātaṃ vedayitaṃ [SN 48.38, 40] atau seluruh perasaan tubuh dan mental yang menyenangkan dan menyakitkan yang berasal dari kontak jasmani dan pikiran telah lenyap sepenuhnya, Ia berada pada perasaan bukan menyakitkan dan bukan menyenangkan, Pikirannya seimbang/lentur tenang-seimbang/tidak condong/tidak terlibat, ingatannya murni dalam keterpusatan pikiran [MN 111]

Bersamaan dengan lenyapnya apapun persepsi menyenangkan yang sungguh halus dari ketidakterlibatan sebelumnya (tassa yā purimā upekkhāsukhasukhumasaccasaññā, sā nirujjhati), saat itu, terdapat persepsi bukan menyakitkan bukan menyenangkan yang sungguh halus (adukkhamasukhasukhumasaccasaññā tasmiṁ samaye hoti) [DN 9]

Berhentinya pernafasan (SN 36.11, 36.15, AN 9.31). Kayasankhāra (semua formasi rupa/kaya [nafas keluar/masuk]) terhenti = ditenangkan sempurna. Sehingga dikatakan bahwa napas-masuk dan napas-keluar adalah duri bagi jhāna ke-4 [AN 10.72]

Keluar dari tahap ini, Ia berjalan, berdiri dan seterusnya dengan kebahagiaan yang muncul dari ketenangan (AN 3.63)

Pikiran kokoh/terpusat (samāhite citte), murni (parisuddhe), bersih (pariyodāte), tidak ternoda (anaṅgaṇe), bebas kekotoran (vigatūpakkilese), lentur (mudubhūte), mudah dibentuk (kammaniye), kokoh (ṭhite), setelah mendapatkan (pāpuṇāti) kondisi Tanpa Gangguan/tenang (āneñja/āneñjappatte), diarahkan (abhinīharati) condong (abhininnāmeti) pikirannya untuk merelisasikan ragam pengetahuan langsung:
  1. pengetahuan melihat (ñāṇadassanāya) badan jasmani adalah materi catumahabhuta, tidak kekal, dapat luka dan usang, rusak dan hancur, kesadaran melekat dan bergantung padanya,

  2. menghasilkan tubuh ciptaan-pikiran (manomayaṃ kāyaṃ abhinimmānāya) dari tubuhnya, menghasilkan tubuh lain, berbentuk, ciptaan-pikiran, lengkap dengan semua bagian tubuh dan indriyanya,

  3. bermacam kekuatan mental (anekavihitaṃ iddhividhāya): memperbanyak diri, dari banyak menjadi satu; menjadi tampak, menjadi lenyap; menembus dinding, benteng, gunung seolah berjalan di ruangan; masuk keluar tanah seolah di air; berjalan di air tanpa tenggelam seolah di tanah; duduk bersila melayang di udara seperti burung (ākāsepi pallaṅkena kameyyaṁ, seyyathāpi pakkhī sakuṇo); dengan tangannya ia menyentuh bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa (ime pi candimasūriye evaṃ mahiddhike evaṃ ma­hānu­bhāve pāṇinā parimasati parimajjati) dan mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā (yāva brahmalokāpi kāyena vasaṁ vatteti) [AN 3.60, 101, 5.23, 6.2; 10.97, SN 12.70, 16.9, 51.11; MN 6, 12, 73, 77, 108]

    Note:
    Pencapai jhāna, dapat mengembangkan tubuh ciptaan-pikiran [manomaya] dengan atau tanpa catumahabhuta, "kekuatan spiritual dengan jasmani ciptaan-pikiran... kekuatan spiritual dengan jasmani yang terdiri dari empat unsur utama (..iddhiyā manomayena kāyena brahmalokaṁ upasaṅkamitā... iminā cātumahābhūtikena kāyena iddhiyā brahmalokaṁ upasaṅkamitā..)" [SN 51.22], tubuh ciptaan pikiran ini sangat halus melebihi foton (partikel cahaya, terdiri dari kuark dan lepton) sehingga bahkan tidak hancur dengan kemunculan matahari ke-7, yaitu Brahma Abhassara [AN 7.66]. Tubuh ciptaan-pikiran ini memiliki cahaya yang sangat kuat, karena setelah cahaya mereka lenyap, barulah cahaya bulan, matahari dan bintang dan konstelasinya dapat terlihat terlihat [DN 27], dengan tubuh dengan partikel ini, bahkan untuk melakukan kegiatan di atas media ataupun menembus media yang lebih kasar dari foton pun, jelas bukan merupakan hal sulit

    Terkait "melayang", fisika kuantum memberikan perspektif bahwa hampir semua massa atom terkonsentrasi di wilayah nukleus (proton dan neutron) yang sekelilingnya, terdapat banyak ruang yang tampak kosong, kecuali pada wilayah elektron yang mengorbiti nukleus. Berdasarkan sifat partikel, elektron yang bermuatan (-), tarik-menarik dengan partikel yang bermuatan (+), tolak-menolak dengan partikel yang bermuatan (-). Tubuh manusia dan kursi/lantai, semuanya mengandung elektron. Elektron yang menyusun tubuh, tolak-menolak dengan elektron yang menyusun kursi/lantai, dalam level sub-atomik, pada jarak yang sangat dekat, kita melayang di atas kursi/lantai. ["Why Physics Says You Can Never Actually Touch Anything"]

  4. telinga deva (dibbāya sotadhātuyā) mendengar suara alam dewa dan manusia jauh maupun dekat

  5. pengetahuan atas pikiran makhluk lainnya (cetopariyañāṇāya): mengetahui pikiran orang dan makhluk lain, setelah melingkupinya dengan pikiran sendiri (parasattānaṁ parapuggalānaṁ cetasā ceto paricca pajānātha) — mengetahui pikiran yang disertai ketagihan sebagai pikiran yang disertai ketagihan ... pikiran yang tidak terbebaskan sebagai pikiran yang tidak terbebaskan (sarāgaṁ vā cittaṁ sarāgaṁ cittanti pajānāthā ... avimuttaṁ vā cittaṁ avimuttaṁ cittanti pajānāthā),

  6. pengetahuan kehidupan lampau (pubbenivāsānussatiñāṇāya)

    Dalam kasus yang sangat jarang, beberapa, karena kamma lampaunya, walau tidak punya jhāna, dapat juga ingat satu/beberapa kehidupan lampau, misal: para dewa (DN 21), peta (Petavatthu 2.2), untuk orang misal DN 1 (beberapa petapa/Brahmana, mungkin punya jhāna, mungkin tidak), komentar Jataka Mahānārada Kassapa (no.544): Jendral Alāta ingat sebagai jagal sapi bernama Piṅgala..budak bernama Vījaka, ingat sebagai orang kaya..Putri raja Aṅgati negara Videha bernama Rujā (Kelak adalah Bhikkhu Ānandā) dapat ingat 7 kehidupan lampau dan 7 kehidupan mendatang. Komentar Jataka Kummāsapiṇḍi (no.415): Putra Ratu Benares, Brahmadatta, sejak dapat berjalan ingat kelahiran-kelahiran lampaunya, semua yang dilakukannya, seperti melihat bayangannya di cermin bening. Jadi, beberapa ini dapat mengingat (anussara) 5 kelompok unsur kehidupan (Rupa, vedana, .., viññāṇa) yang dilekati atau salah satu di antaranya pada masa lalunya (SN 22.79)

  7. pengetahuan lenyapnya dan munculnya makhluk-makhluk dengan mata dewa (sattānaṃ cutūpapātañāṇāya),

  8. pengetahuan hancurnya noda-noda (āsavānaṃ khayañāṇāya) [DN2, MN 76-79, dll]
Di AN 9.35 (walaupun sutta ini hanya menyebutkan 6 abhinna) terdapat indikasi bahwa pengetahuan-pengetahuan langsung ini DAPAT MULAI di tiap tingkatan manapun:
    Ketika,.. seorang.. masuk dan keluar dari tiap-tiap pencapaian tersebut (jhāna ke-1 s.d jhāna ke-4; Pencapaian arupa ke-1 s/d ke-4), pikirannya menjadi lunak dan lentur [.. taṁ tad eva samāpattiṁ samāpajjatipi vuṭṭhāti pi]. Dengan pikiran lentur dan mudah dibentuk, tak terbatas pengembangan dari pemusatan pikiran [Tassa muduṁ cittaṁ hoti kammaññaṁ, mudunā citte kammaññena, appamāṇo samādhi hoti subhāvito]. Dengan tak terbatas pengembangan dari pemusatan pikiran, apa pun pengetahuan mendalam yang seharusnya dengan mengarahkan pikirannya ia mendapatkannya [So appamāṇena samādhinā subhāvitena, yassa yassa abhiññā,sacchikaraṇīyassa, dhammassa cittaṁ abhininnāmeti, abhiññā,sacchikiriyāya]. Ia mengalami sendiri aspek di dalamnya, bila kondisinya tepat [Tatra tatr’eva sakkhi,bhabbataṁ pāpuṇāti sati sati āyatane]
"Demikianlah, para bhikkhu; seorang bhikkhu tanpa ketenangan samädhi dan menghargainya (na santena samādhinā na paṇītena), tanpa meraih ketenangan (paṭippassaddhiladdhena), tanpa mencapai pengembangan keterpusatan (na ekodibhāvādhigatena) tidak dapat memasuki dan berdiam dalam pembebasan pikiran atau pembebasan kebijaksanaan." [AN 6.70]

[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung: 'Bahkan pencapaian ke-4, ini terkondisi, dari kehendak. (idampi kho catutthaṁ jhānaṁ abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya. Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu (=rūparāga), dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu [MN 52, AN 11.16]

atau

'Apapun yang ada di situ: yang terkait: bentukan, perasaan, persepsi, bentukan kehendak, kesadaran, hal-hal itu: tidak kekal, tidak memuaskan, penyakit, bisul, duri, bencana, malapetaka, asing, kehancuran, kosong, bukan identitas (diri/aku/sesuatu)', demikian dilihatnya, dari hal-hal itu, pikirannya dibebaskan. Kepada unsur tanpa kematian pikirannya diarahkan: 'Ini damai, ini luhur, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kelekatan, hancurnya kehausan, tidak ada minat, berhenti, padam’. Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu. Inilah, Ananda, jalan dan latihan penghancuran 5 belenggu yang lebih rendah (ayampi kho, ānanda, maggo ayaṁ paṭipadā pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ pahānāya) [MN 64]

Upekkhā Di Jhana ke-4 dan Di Pencapaian arupa ke-1 s.d ke-4 (atau ke-5 s.d ke-8)
    Ada ragam tenang-seimbang di ragam ketergantungan, ada satu tenang-seimbang di ketergantungan tunggal (atthi, bhikkhave, upekkhā nānattā nānattasitā, atthi upekkhā ekattā ekattasitā)

    Dan apakah ragam tenang-seimbang di ragam ketergantungan? (katamā ca,..upekkhā nānattā nānattasitā?). Ada tenang-seimbang di bentukan, suara, aroma, rasa, dan sentuhan (atthi.., upekkhā rūpesu, atthi saddesu, atthi gandhesu, atthi rasesu, atthi phoṭṭhabbesu) [Kitab komentar: “tenang-seimbang di ragam ketergantungan” = ketidakterlibatan, terkait 5 utas kenikmatan indriya/pañca kāmaguṇa = Tenang-seimbang jhāna ke-4]

    Dan apakah satu tenang-seimbang di ketergantungan tunggal? (katamā ca,.. upekkhā ekattā ekattasitā?). Tenang-seimbang terkait landasan: ruang tak berbatas, kesadaran tak berbatas, tak ada apapun, bukan persepsi bukan tanpa persepsi (atthi, bhikkhave, upekkhā ākāsānañcāyatananissitā, atthi viññāṇañcāyatananissitā, atthi ākiñcaññāyatananissitā, atthi nevasaññānāsaññāyatananissitā)

    Di sana, dengan satu tenang-seimbang di keterkaitan tunggal apapun, tinggalkan apapun pencapaian ragam tenang-seimbang di ragam ketergantungan. Lampauilah itu (tatra, bhikkhave, yāyaṁ upekkhā ekattā ekattasitā taṁ nissāya taṁ āgamma yāyaṁ upekkhā nānattā nānattasitā taṁ pajahatha, taṁ samatikkamatha). Demikian cara meninggalkannya, demikan cara melampauinya (evametissā pahānaṁ hoti, evametissā samatikkamo hoti) [Di MN 54: "Dengan kebijaksanaan benar, melihat apa adanya, hindari apapun ragam tenang-seimbang di ragam ketergantungan, kembangkan satu tenang-seimbang di ketergantungan tunggal apapun, Segala kemelekatan duniawi apapun dilenyapkan sepenuhnya tanpa sisa. Demikianlah tenang-seimbang dikembangkan/evametaṁ yathābhūtaṁ sammappaññāya disvā yāyaṁ upekkhā nānattā nānattasitā taṁ abhinivajjetvā, yāyaṁ upekkhā ekattā ekattasitā yattha sabbaso lokāmisūpādānā aparisesā nirujjhanti tamevūpekkhaṁ bhāveti]

    Bukan itu, ketergantungan 'bukan itu' tinggalkan apapun pencapaian satu tenang-seimbang di ketergantungan tunggal, berdasarkan pada kesatuan. Lampauilah itu (atammayataṁ, .., nissāya atammayataṁ āgamma yāyaṁ upekkhā ekattā ekattasitā taṁ pajahatha, taṁ samatikkamatha). Demikian cara meninggalkannya, demikan cara melampauinya [MN 137. "atammayatā 'bukan itu' = tidak mengidentifikasi, tidak membentuk/menganggapnya "diri/sesuatu" = 'Dalam cara bagaimanapun beranggapan, faktanya bukan itu' (yena yena hi maññanti tato taṁ hoti aññathā) yaitu anggapan pancakkhanda – sebagai milikku, aku, identitas (diri)-ku]

PENCAPAIAN samādhi: PERSEPSI, SISA SHANKARA dan LENYAPNYA PERASAAN-PERSEPSI
Ke-5,
Landasan ruang tak berbatas (ākāsaañancaāyatana: ākāsa = ruang; ananca = tak berbatas, tanpa akhir; āyatana = landasan),

Ketenang-seimbangan terkait pesepsi rupa (objek) adalah ketenang-seimbangan yang kasar, sehingga harus secara total melepaskan perhatian persepsi terkait jasmani/materi (rūpasahagatā saññāmanasikārā). Karena pikiran akan masih melekat atau teralihkan ketika berusaha untuk melepaskannya, maka pikiran: dikokohkan, mengarah ke satu hal dan terpusat (Cittham: saṇṭhapehi, ekodiṃ karohi, samādahā) [SN 40.5]

Deskripsi landasan ini (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di landasan ini):
    telah sepenuhnya melampaui persepsi bentukan, persepsi menolak mereda/lenyap, tidak perhatian/perhatian tidak pada ragam persepsi [Merasakan:] 'ākāso (ruang/melihat) ananto (tak berbatas)', landasan ruang/penglihatan tak berbatas tercapai [MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]
Landasan ruang/penglihatan tak berbatas adalah puncak pembebasan pikiran tanpa kekejaman (karuṇācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [SN 46.54]

Kondisi/faktor di landasan ini adalah: Perasaan adukkhamasukhā, Persepsi landasan ruang tak berbatas dan keterpusatan pikiran.
    Note:
    Di Brahmajala sutta: Para Brahma itu melayang di ruang antar batasan [antalikkhe], jadi ruang tanpa batas = bebas dari batas-batasan materi/fisikal
Pencapaian arupa di 4 Nikaya disebutkan sebagai pencapaian [samāpatti: DN 3, MN 3, AN 1,4,5] atau keadaaan arupa [aruppa: MN 1, It 61, Kvu 325] atau alam dengan landasan citta [DN 2, MN 2, AN 4]

Bersamaan dengan lenyapnya apapun persepsi rupa sebelumnya (tassa yā purimā rūpasaññā, sā nirujjhati), saat itu, terdapat persepsi landasan ruang tak berbatas yang sungguh halus (ākāsānañcāyatanasukhumasaccasaññā tasmiṁ samaye hoti) [DN 9]

[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung: 'Bahkan pencapaian landasan ruang tak berbatas, ini terkondisi, dari kehendak. (ayampi kho ākāsānañcāyatanasamāpatti abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: 'apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya'. Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu [MN 52, AN 11.16]

atau

'Apapun yang ada di situ: yang terkait: perasaan, persepsi, bentukan kehendak, kesadaran (vedanāgataṁ saññāgataṁ saṅkhāragataṁ viññāṇagataṁ), hal-hal itu: tidak kekal, tidak memuaskan, penyakit, bisul, duri, bencana, malapetaka, asing, kehancuran, kosong, bukan identitas (diri/aku/sesuatu)', demikian dilihatnya, dari hal-hal itu, pikirannya dibebaskan. Kepada unsur tanpa kematian pikirannya diarahkan: 'Ini damai, ini luhur, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kelekatan, hancurnya kehausan, tidak ada minat, berhenti, padam’. Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu. Inilah, Ananda, jalan dan latihan penghancuran 5 belenggu yang lebih rendah (ayampi kho, ānanda, maggo ayaṁ paṭipadā pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ pahānāya) [MN 64]

Ke-6,
Landasan Kesadaran tak berbatas (viññāṇaañancaāyatana)

Ketenang-seimbangan terkait ruang tak berbatas adalah ketenang-seimbangan yang kasar, sehingga harus secara total melepaskan perhatian persepsi terkait landasan ruang tak berbatas (ākāsānañcāyatanasahagatā saññāmanasikārā). Karena tiap momentnya, pikiran akan masih melekat atau teralihkan ketika berusaha untuk melepaskannya, maka pikiran: dikokohkan, mengarah ke satu hal dan terpusat (Cittham: saṇṭhapehi, ekodiṃ karohi, samādahā) [SN 40.6]

Deskripsi landasan ini (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di landasan ini):
    Tlah sepenuhnya melampaui landasan ruang/penglihatan tak berbatas, [merasakan:] 'viññāṇa (Kesadaran) ananta (tak berbatas)', landasan kesadaran tak berbatas tercapai (viññāṇaanañcaāyatana upasampajja viharati) [MN 111/Anupadasutta, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]
Landasan kesadaran tak berbatas adalah puncak pembebasan pikiran puas tanpa membedakan (muditācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [SN 46.54]

Kondisi/faktor di landasan ini adalah: Perasaan adukkhamasukhā, Persepsi landasan kesadaran tak berbatas dan keterpusatan pikiran

Bersamaan dengan lenyapnya apapun persepsi landasan ruang tidak berbatas yang sungguh halus sebelumnya (tassa yā purimā ākāsānañcāyatanasukhumasaccasaññā, sā nirujjhati), saat itu, terdapat persepsi landasan kesadaran tak berbatas yang sungguh halus (viññāṇañcāyatanasukhumasaccasaññā tasmiṁ samaye hoti) [DN 9]

[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung: 'Bahkan pencapaian landasan kesadaran tak berbatas, ini terkondisi, dari kehendak. (ayampi kho viññāṇañcāyatanasamāpatti abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: 'apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya'. Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu [MN 52, AN 11.16]

atau

'Apapun yang ada di situ: yang terkait: perasaan, persepsi, bentukan kehendak, kesadaran, hal-hal itu: tidak kekal, tidak memuaskan, penyakit, bisul, duri, bencana, malapetaka, asing, kehancuran, kosong, bukan identitas (diri/aku/sesuatu)', demikian dilihatnya, dari hal-hal itu, pikirannya dibebaskan. Kepada unsur tanpa kematian pikirannya diarahkan: 'Ini damai, ini luhur, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kelekatan, hancurnya kehausan, tidak ada minat, berhenti, padam’. Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu. Inilah, Ananda, jalan dan latihan penghancuran 5 belenggu yang lebih rendah (ayampi kho, ānanda, maggo ayaṁ paṭipadā pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ pahānāya) [MN 64]

Ke-7,
Landasan tak ada apapun (ākiñ­cañ­ñā­yatana. ākiñcañña = tak ada apapun)

Ketenang-seimbangan terkait kesadaran tak berbatas adalah ketenang-seimbangan yang kasar, sehingga harus secara total melepaskan perhatian persepsi terkait landasan kesadaran tak berbatas (viññāṇañcāyatanasahagatā saññāmanasikārā). Karena tiap momentnya, pikiran akan masih melekat atau teralihkan ketika berusaha untuk melepaskannya, maka pikiran: dikokohkan, mengarah ke satu hal dan terpusat (Cittham: saṇṭhapehi, ekodiṃ karohi, samādahā) [SN 40.7]. Ini disebut pembebasan pikiran, (dengan persepsi) tidak ada apapun (Ayaṁ vuccati ākiñcaññā cetovimutti) [SN 41.7]

Deskripsi landasan ini (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di landasan ini):
  1. Telah sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tak berbatas, [merasakan:] 'natthi (tak ada) kinci (apapun)', landasan tak ada apapun tercapai (ākiñcaññāyatanaṃ upasampajja viharati) [MN 111/Anupadasutta, AN 9.31, 32, 33, 35, 36]

  2. Kāmā, kāmasaññā, rūpā, rūpasaññā, di saat ini, di masa depan, persepsi Tanpa Gangguan (āneñjasaññā) — segalanya adalah persepsi (sabbā saññā). Di sini (Yatthetā) seluruhnya (aparisesā) berhenti (nirujjhanti) damai (santa) luhur (panitam) - yaitu di landasan tak ada apapun (yadidaṁ ākiñcaññāyatana) [MN 106];

  3. (suññatā cetovimutti): 'kosong dari diri atau milik diri/terkait diri' (suññamidaṃ attena vā attaniyena) [MN 106, juga MN 43, SN 41.7];

  4. 'dalam cara apapun, bukan aku (nāhaṃ kvacani) dikarenakan apapun juga (kassaci kiñcanatasmiṃ), dalam cara apapun juga, bukan milikku (na ca mama kvacani) tidak karena apapun (kismiñci kiñcanaṃ natthī)'. [Alternatif terjemahan: "Aku bukan milik siapa pun di mana pun dan tidak ada yang menjadi milikku di mana pun"] [MN 106, juga AN 3.70, 4.185];
[Untuk no.2 sd 4] Melatih demikian, kerap berdiam di landasan ini, pikirannya menjadi murni/mendapat kejelasan. Ingat saat ketenangannya atau dengan mengetahui tercapai landasan tak ada apapun atau dengan kecondongannya, saat hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin kesadaran ini berkembang mencapai landasan tidak ada apapun [MN 106]

Kondisi/faktor di landasan tidak ada apapun adalah: Perasaan adukkhamasukhā, persepsi landasan tak ada apapun dan keterpusatan pikiran.

Landasan tak ada apapun adalah puncak pembebasan pikiran tidak terlibat (upekkhācetovimutti), bagi yang tidak menembus pembebasan yang lebih lagi [SN 46.54]

Bersamaan dengan lenyapnya apapun persepsi landasan kesadaran tidak berbatas yang sungguh halus sebelumnya (tassa yā purimā viññāṇañcāyatanasukhumasaccasaññā, sā nirujjhati), saat itu, terdapat persepsi landasan tidak ada apapun yang sungguh halus (ākiñcaññāyatanasukhumasaccasaññā tasmiṁ samaye hoti) [DN 9]

[Penembusan/vipassana]
(setelah keluar dari pencapain meditasi ini) merenung: 'Bahkan pencapaian landasan tidak ada apapun, ini terkondisi, dari kehendak. (ayampi kho ākiñcaññāyatanasamāpatti abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ), Ia memahami: 'apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya'. Selama tetap demikian, Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu [MN 52, AN 11.16]

atau

'Apapun yang ada di situ: yang terkait: perasaan, persepsi, bentukan kehendak, kesadaran, hal-hal itu: tidak kekal, tidak memuaskan, penyakit, bisul, duri, bencana, malapetaka, asing, kehancuran, kosong, bukan identitas (diri/aku/sesuatu)', demikian dilihatnya, dari hal-hal itu, pikirannya dibebaskan. Kepada unsur tanpa kematian pikirannya diarahkan: 'Ini damai, ini luhur, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kelekatan, hancurnya kehausan, tidak ada minat, berhenti, padam’. Ia mencapai hancurnya noda-noda/kekotoran mental. Jika tidak mencapai hancurnya noda-noda, karena keinginan dan kesukaannya dipencapaian itu, dengan hancurnya 5 belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, di sana mencapai nibbana sepenuhnya, tidak lagi kembali dari dunia itu. Inilah, Ananda, jalan dan latihan penghancuran 5 belenggu yang lebih rendah (ayampi kho, ānanda, maggo ayaṁ paṭipadā pañcannaṁ orambhāgiyānaṁ saṁyojanānaṁ pahānāya) [MN 64]

Sebelum melanjutkan ke pencapaian ke-8,
Sang buddha di AN 9.36 menyatakan jelas bahwa penghancuran noda-noda (āsavānaṁ khayaṁ) dapat mulai DARI jhāna KE-1.

Di sutta MN 111, Sang Buddha menyampaikan apa yang TELAH SARIPUTTA lakukan dalam mencapai penembusan/pemadaman-nya, di SETIAP SETELAH pencapaian jhāna, yaitu DENGAN melihat/memperhatikan secara jelas/khusus kemunculan hal-hal jhāna/PENCAPAIAN tersebut satu demi satunya [anupadadhammavipassanaṃ vipassati]:

Yaitu, kondisi yang menyertai pencapaian (jhāna ke-1 atau ke-2 ... atau ke-7):
  1. jhāna ke-1: vitakka, vicara, pīti, sukha dan cittekaggatā (pikiran terpusat) + kontak [phasso] (1), perasaan [vedana] (2), persepsi [sañña] (3), kehendak [cetana] (4), pikiran [citta] (5); hasrat/semangat [chando] (6), ketetapan [adhimokkho] (7), usaha/kegigihan [viriya] (8), ingatan [sati] (9), tenang-seimbang [uppekha] (10), dan pengarahan pikiran/perhatian [manosikharo] (11) ...
  2. jhāna ke-2: ajjhattaṃ sampasādo (kedamaian diri), pīti, sukha dan cittekaggatā + kontak ... dan pengarahan pikiran/perhatian...
  3. jhāna ke-3: sukha, sati sampajāna (dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui) dan cittekaggatā + kontak ... dan pengarahan pikiran/perhatian...
  4. jhāna ke-4: Tenang-seimbang/tidak condong/tidak terlibat (upekkhā), perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan (adukkhamasukhā vedanā), dalam keterpusatan pikiran dengan ingatan yang murni tenang tanpa keterlibatan (passaddhattā cetaso anābhogo satipārisuddhi cittekaggatā) + kontak ... dan pengarahan pikiran/perhatian...
  5. Ke-5: landasan arupa 1: upekkhā, perhatian hanya terkait pada (paṭicca manasikaroti ekattaṃ) persepsi landasan penglihatan/ruang tak berbatas dan pikiran terpusat + kontak ... dan pengarahan pikiran/perhatian...
  6. Ke-6: landasan arupa 2: upekkhā, perhatian hanya terkait pada persepsi landasan kesadaran tak berbatas dan pikiran terpusat + kontak ... dan pengarahan pikiran/perhatian...
  7. Ke-7: landasan arupa 3: upekkhā, perhatian hanya terkait pada persepsi landasan tak ada apapun dan pikiran terpusat + kontak, perasaan, persepsi, kehendak, pikiran, hasrat/semangat, ketetapan, usaha/kegigihan, ingatan, ketenang-seimbangan, dan pengarahan pikiran/perhatian ... (MN 111, 121, 137)
hal-hal [Di tiap pencapaian: ke-1 ... ke-7]: dikenali (viditā) satu demi satu kemunculannya. Dikenali saat munculnya (uppajjanti) - berlangsungnya (upaṭṭhahanti) - berlalunya (abbhatthaṁ gacchanti) (→ sankhāra anicca/yang berkondisi tidak kekal)

Mengetahui/pajānāti:
‘Demikianlah sesungguhnya hal-hal itu: dari tidak ada (ahutvā) - menjadi ada (sambhonti) - dari ada (hutvā) - menjadi lenyap (paṭiventī)’ (→ sankhāra anicca, dukkha)

Terhadap hal-hal itu (dhamma), pikirannya berada (cetasā viharati): tak tertarik (anupāyo), tidak menolak (anapāyo), tidak bergantung (anissito), tidak terhubung dengannya (appaṭibaddho), lepas/mengalir (vippamutto), longgar/bebas (visaṃyutto), bebas dari penghalang (vimariyādīkatena) (→ bukan aku, bukan miliku, bukan identitas (diri)-ku).

Mengetahui:
‘ADA pembebasan melampaui ini' (so ‘atthi uttari nissaraṇa’nti). Melebihi ini (tabbahulīkārā) adalah ADA (atthitievaassa) [MN.111]

Ke-8,
Landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (nevasaññānāsaññāyatana. sañña = Persepsi, sumber, gagasan, ide, cerapan, ingatan)

Unsur (terlihat/cahaya, menyenangkan/Indah, penglihatan/ruang tak berbatas, kesadaran tak berbatas dan tidak ada apapun) (ābhādhātu .. subhadhātu .. ākāsānañcāyatanadhātu .. viññāṇañcāyatanadhātu .. ākiñcaññāyatanadhātu), dicapai dengan pencapaian persepsi (saññāsamāpatti pattabbā). Unsur bukan persepsi bukan tanpa persepsi, dicapai dengan pencapaian dengan sedikit sisa dari bentukan kondisi (pikiran) (saṅkhārāvasesasamāpatti pattabbā) [SN 14.11]

ketenang-seimbangan terkait persepsi tak ada apapun adalah tenang-seimbang yang kasar, sehingga harus secara total melepaskan perhatian persepsi terkait landasan tak ada apapun (ākiñcaññāyatanasahagatā saññāmanasikārā). Karena tiap momen, pikiran akan masih melekat atau teralihkan ketika berusaha untuk melepaskannya, maka pikiran: dikokohkan, mengarah ke satu hal dan terpusat (Cittham: saṇṭhapehi, ekodiṃ karohi, samādahā) [SN 40.8]

Deskripsi landasan ini (juga menjadi alam kelahiran berikutnya, jika kondisi cuti citta/pikiran menjelang kematian di landasan ini):
  1. Telah sepenuhnya melampaui landasan tak ada apapun, [Mengetahui:] landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi tercapai (nevasaññānaasaññaayatanaṃ upasampajja viharati) [MN 111, AN 9.31, 32, 33, 35, 36], atau

  2. Tidak perhatian pada (amanasikaritvā) persepsi: landasan kesadaran tidak berbatas dan landasan tak ada apapun (viññāṇañcāyatanasaññaṃ ākiñcaññāyatanasaññaṃ), Perhatian hanya terkait pada (paṭicca manasikaroti ekattaṃ) landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (nevasaññānāsaññāyatanasañña). Di persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (tassa nevasaññānāsaññāyatanasaññāya) pikirannya (cittaṃ) mendapatkan kepuasan (pakkhandati), kejelasan (pasīdati), kokoh (santiṭṭhati), dan menetap/condong (adhimuccati) [MN 121]

  3. Siswa mulia mempertimbangkan: Kāmā, kāmasaññā, rupa, rūpasaññā, di saat ini, di masa depan, persepsi Tanpa Gangguan, persepsi landasan tak ada apapun – segalanya adalah persepsi. Di sini (Yatthetā) seluruhnya (aparisesā) berhenti (nirujjhanti) damai (santa) luhur (panitam) - yaitu di landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (yadidaṁ nevasaññānāsaññāyatanan’ti). Melatih demikian (tassa evaṃ­paṭi­pannassa), kerap berdiam di landasan ini (tab­bahu­la­vihārino āyatane), pikirannya menjadi murni/mendapat kejelasan (cittaṃ pasīdati). Ingat saat ketenangannya (sampasāde sati etarahi) atau dengan mengetahui tercapai landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (vā nevasaññānāsaññāyatanaṁ samāpajjati paññāya) atau menetap/condong, saat hancurnya jasmani, setelah kematian (vā adhimuccati kāyassa bhedā paraṁ maraṇā), adalah mungkin kesadaran ini berkembang mencapai landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi. [MN 106]
Kondisi/faktor di landasan ini adalah: perasaan adukkhamasukhā, persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi dan pikiran terpusat.

Mahluk tertentu (ekaccassa puggala) yang tidak menghancurkan (appahīṇā) belenggu (saññojanāni) lebih rendah (orambhāgiyāni), Ia, sekarang dan saat ini (diṭṭheva dhamme) berada di landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi. Ia menikmati, meminati dan karenanya menemukan kebahagiaan. Kemudian mengakar menjadi kebiasaan kerap di dalamnya tanpa alpa selalu melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat). Ia terlahir di antara Deva nevasaññānāsaññāyatana. Ia dari sini [So tato] setelah wafat [cuto] menjadi kembali [āgāmī hoti] kembali ke alam ini [āgantā itthattaṃ: selain alam suddhavasa].

Mahluk tertentu yang telah menghancurkan (pahīṇā) belenggu lebih rendah yang mengikatnya di alam sensual, Ia, sekarang dan saat ini berada di landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi. Ia menikmati, meminati dan karenanya menemukan kebahagiaan. Kemudian mengakar menjadi kebiasaan kerap di dalamnya tanpa alpa selalu melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat). Ia terlahir di antara Deva nevasaññānāsaññāyatana. Ketika wafat Ia TIDAK kembali lagi (ānagāmī) tidak kembali ke alam ini [anāgantā itthattaṃ: Terlahir di alam Suddhavasa] [AN 4.171]

Kemelekatan terbaik (Upādānaseṭṭhaṁ), yaitu landasan bukan persepsi bukan tanpa-persepsi. [MN 106]

MN 111: [setelah mencapai yang ke-8, Landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi]
dengan memperhatikan/ingat, setelah keluar dari /bangkit dari ingatan di pencapaian tersebut (sato vuṭṭhahati), merenungkan hal-hal yang berlalu (atītā), lenyap (niruddhā), dan berubah (vipariṇatā), melihat sepenuhnya kondisi itu (te dhamme samanupassati): ‘Demikianlah sesungguhnya hal-hal itu: dari tidak ada (ahutvā) - menjadi ada (sambhonti) - dari ada (hutvā) - menjadi lenyap (paṭiventī)’ (→ sankhāra anicca, dukkha)

Terhadap hal-hal tersebut (dhamma), pikirannya berada (cetasā viharati): tak tertarik (anupāyo), tidak menolak (anapāyo), tidak bergantung (anissito), tidak terhubung dengannya (appaṭibaddho), lepas/mengalir (vippamutto), longgar/bebas (visaṃyutto), bebas dari penghalang (vimariyādīkatena) (→ bukan aku, bukan miliku, bukan identitas (diri)-ku)

Mengetahui:
‘ADA pembebasan melampaui ini' (so ‘atthi uttari nissaraṇa’nti). Melebihi ini (tabbahulīkārā) adalah ADA (atthitievaassa) [MN.111]

Umur Brahma Rupa dan Arupa

  1. Dengan pikiran yang disertai tanpa kekejaman/mettāsahagatena cetasā/jhāna ke-1: Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan (So tadassādeti taṃ nikāmeti tena ca vittiṃ āpajjati). Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) (Tattha ṭhito tadadhimutto tabbahulavihārī aparihīno kālaṃ kurumāno) terlahir di antara Deva Brahmakāyikā dengan batasan kehidupan 1 kappa (brahmakāyikānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati...kappo āyuppamāṇaṃ) [AN 4.123, AN 4.125]

  2. Dengan pikiran yang disertai tanpa memusuhi/Karuṇāsahagatena cetasā/jhāna ke-2: Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva ābhassarā dengan batasan kehidupan 2 kappa (ābhassarānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati...dve kappā āyuppamāṇaṃ) [AN 4.123, AN 4.125]

  3. Dengan pikiran yang disertai tidak adanya ketidakpuasan atau berada dalam kepuasan tanpa membedakan/Muditāsahagatena cetasā/jhāna ke-3: Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva subhakiṇhā dengan batasan kehidupan 4 kappa (subhakiṇhānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati...cattāro kappā āyuppamāṇaṃ) [AN 4.123, AN 4.125]

  4. Dengan pikiran yang tidak terlibat/tidak condong/di tengah/tidak berpihak/tenang/Upekkhāsahagatena cetasā/jhāna ke-4: Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva vehapphalā dengan batasan kehidupan 500 kappa (Vehapphalānaṃ bhikkhave devānaṃ pañcakappasatāni āyuppamāṇaṃ) [AN 4.123, AN 4.125]

  5. Landasan ruang/penglihatan tak berbatas puncak (ākāsānañcāyatanaparamāhaṁ) pembebasan pikiran tanpa kekejaman (karuṇācetovimutti): [narasi dari AN 3.116/Āneñja] Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva ākāsānañcāyatana dengan batasan kehidupan 20.000 kappa (ākāsānañcāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahabyataṃ upapajjati...vīsati kappasahassāni āyuppamāṇaṃ) [AN 3.116]. Landasan ini juga disebut persepsi Tanpa Gangguan (āneñjasaññā) [MN 106]

  6. Landasan kesadaran tak berbatas puncak (viññāṇañcāyatanaparamāhaṁ) pembebasan pikiran tidak adanya ketidakpuasan atau berada dalam kepuasan tanpa membedakan (muditācetovimutti): [narasi dari AN 3.116] Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva viññāṇañcāyatana dengan batasan kehidupan 40.000 kappa (viññāṇañcāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahabyataṃ upapajjati...cattārīsaṃ kappasahassāni āyuppamāṇaṃ) [AN 3.116]. Landasan ini juga disebut persepsi Tanpa Gangguan (āneñjasaññā) [MN 106]

  7. Landasan tak ada apapun puncak (akiñcaññāyatanaparamāhaṁ) pembebasan pikiran tidak adanya ketidakpuasan atau berada dalam kepuasan tanpa membedakan (upekkhācetovimutti): [narasi dari AN 3.116] Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (untuk wafat) terlahir di antara Deva ākiñcaññāyatana dengan batasan kehidupan 60.000 kappa (ākiñcaññāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahabyataṃ upapajjati...saṭṭhi kappasahassāni āyuppamāṇaṃ) [AN 3.116]

  8. Landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi: Ia menikmati, meminati karena menemukan kebahagiaan. Mengakar menjadi kebiasaan kerap tanpa alpa melakukannya hingga tiba waktunya (wafat) terlahir di antara Deva nevasaññānāsaññāyatana (nevasaññānāsaññāyatanūpagānaṃ devānaṃ sahavyataṃ upapajjati) [AN 4.171]. Di 5 Nikaya, TIDAK ditemukan berapa panjang umur kehidupan deva alam ini, jika melihat peningkatan dari urutan sebelumnya, maka umur kehidupan deva ini bisa jadi MELEBIHI dari umur deva ākiñcaññāyatana. Di Vibhanga 18, umur kehidupan deva alam ini disebutkan sepanjang 84.000 kappa (Caturāsīti kappasahassānīti) dan informasi tersebut, dikutip ulang di kitab non kanon pali, Patisandhicatukka, Abhidhammattha-sangaha. Walau kelihatannya, ini mengikuti pola, namun jelas bukan sabda sang buddha (Atau para arahat lain yang hidup di jaman sang Buddha di konsili ke-1 atau para Arahat yang merupakan murid para Arahat jaman sang Buddha, yang ikut di konsili ke-2), maka informasi ini bisa saja kita abaikan.
Puthujjana/kaum duniawi VS Bhagavato Sāvaka/Siswa Sang Buddha (yang menjalani ajaran):
  1. Puthujjana: Di sana kaum duniawi menetap seumur kedewaannya habis seluruhnya (Tattha puthujjano yāvatāyukaṁ ṭhatvā yāvatakaṁ tesaṁ devānaṁ āyuppamāṇaṁ taṁ sabbaṁ khepetvā) (yaitu sebagai deva: Brahmakāyikā atau...Brahma arupa akiñcaññāyatana), kemudian ia menuju: neraka, alam binatang, atau alam peta (nirayampi gacchati tiracchānayonimpi gacchati pettivisayampi gacchati) [AN 4.123, AN 4.125, AN 3.116]

  2. Bhagavato sāvaka: namun siswa Sang Bhagavā di sana menetap seumur kedewaannya habis seluruhnya, dan pada kehidupan yang sama mencapai nibbāna akhir (tasmiṁyeva bhave parinibbāyati) [AN 4.123, AN 4.125, AN 3.116]

    Bagaimana Ia mencapai nibbāna akhir?

    Ia merenungkan (So...samanupassati):
    Apapun yang ada disana seperti (yadeva tattha hoti, yaitu dhamma/kondisi/fenomena: di AN 9.36 dan AN 4.124, 4.126: Pañcu­pādā­nak­khan­dhā/5 khanda yang dilekati (rūpagataṁ .. viññāṇagataṁ) dan juga jhāna 1-8. Sedangkan di AN 11.8, 18: Indriya dan objeknya, catumahabhuta, pencapaian persepsi arupa ke-5 sd ke-8, persepsi/pikiran tentang dunia ini dan dunia lain, apapun yang dilihat, didengar, diindriya, dikenali, dijangkau, dicari, dan diperiksa pikiran) sebagai: aniccato/tidak kekal, dukkhato/tidak memuaskan, rogato/penyakit, gaṇḍato/bisul, sallato/duri, aghato/bencana, ābādhato/malapetaka, parato/asing, palokato/kehancuran, suññato/kosong, anattato/bukan identitas (diri/aku). [AN 4.124, 4.126, MN 64, AN 9.36]:

    Ia alihkan pikirannya dari hal tersebut, dialihkan pikirannya pada unsur amatāya (tanpa kematian = dilihat sebagai: anicca, dukkha...anatta atau terbelenggu taṇhā - SN 48.50): ‘ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala bentukan/sabbasaṅkhārasamatho, lepasnya segala kehausan, hancurnya ketagihan, tidak menginginkannya, berhenti, padam’, Jika Ia [MN 64, AN 9.36]: kokoh di dalam itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda, jika tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya 5 belenggu rendah (sebagai anagami), muncul kembali secara spontan dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali ke alam ini. [MN 64, AN 9.36]

    atau, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, Ia muncul kembali di alam suddhavasa (sebagai anagami). [AN 4.124, AN 4.126]

Tanpa Gangguan, Tidak Ada Apapun, Kekosongan, Tidak Terukur, Bebas Dari Keinginan, Tanpa Bentukan/Gambaran

Ringkasan MN 106/Āneñja-sappāya/Tanpa Gangguan/Tak Tergerak/Ketenangan:
Kenikmatan indriawi (kāmā) adalah tidak kekal (anicca), hampa (tuccha), palsu (musā), menipu (mosadhamma); ilusi (māyākatametaṃ), ocehan orang dungu (bālalāpanaṃ). Kāmā dan persepsi kenikmatan indriawi (kāmasaññā) di saat ini, di masa depan – keduanya adalah alam, wilayah, umpan dan tanah perburuan Māra. Oleh karenanya, pikiran buruk tak bermanfaat (pāpakā akusalā mānasā) berkembang menjadi (saṃvattanti): kerinduan (abhijjhā), memusuhi (byāpādā), kemarahan (sārambhāpi), merupakan rintangan (antarāyāya sambhavanti) bagi latihan siswa mulia.

TANPA GANGGUAN:

Siswa mulia mempertimbangkan (paṭisañcikkhati):
  1. Kāmā dan kāmasaññā di saat ini, di masa depan – keduanya adalah ... merupakan rintangan dari latihan siswa mulia. Bagaimana jika aku (Yannūnāhaṁ) berdiam dalam pikiran berlimpah dan luhur (vipulena mahaggatena cetasā vihareyyaṃ) SETELAH melampaui dunia mengarahkan pikiran (abhibhuyya lokaṁ adhiṭṭhāya manasā) → pikiran buruk tidak bermanfaat, kerinduan, penolakan, kemarahan menjadi tidak ada → pikiran menjadi: tidak terbatas (aparitta), tidak terukur (appamāna) terkembang baik (subhāvita). (note: ini disebut appamāṇā cetovimutti - SN 41.7, MN 43);
  2. Kāmā dan kāmasaññā di saat ini, di masa depan; Apapun juga bentukan (yaṁ kiñci rūpa) segala bentukan (sabbaṃ rūpaṃ) adalah 4 unsur utama rupa turunan 4 unsur utama (cattāri ca mahābhūtāni, catunnañca mahābhūtānaṁ upādāyarūpa);
  3. Kāmā, kāmasaññā, rūpā, persepsi bentukan (rūpasaññā), di saat ini, di masa depan adalah TIDAK KEKAL, yang tidak kekal TIDAK berharga untuk (Yadaniccaṃ taṃ nāla): disenangi (abhinandi), disambut (abhivadi), digenggam (ajjhosi)
Melatih demikian (Tassa evaṃ­paṭi­pannassa), kerap berdiam di landasan ini (tab­bahu­la­vihārino āyatane), pikirannya mendapat kejelasan/menjadi murni (cittaṃ pasīdati). Ingat saat ketenangannya (Sampasāde sati etarahi) atau dengan mengetahui tercapai Tanpa Gangguan (vā āneñjaṃ samāpajjati paññāya) atau dengan kecondongannya, saat hancurnya jasmani, setelah kematian ( vā adhimuccati kāyassa bhedā paraṃ maraṇā), adalah mungkin (thānametaṃ vijjati yaṃ) kesadaran ini berkembang (taṃ­-saṃ­vatta­ni­kaṃ viññāṇaṃ assa. saṃ­vatta­ni­kaṃ viññāṇaṃ = viññāṇasotaṃ) (keadaan) mencapai Tanpa Gangguan (āneñjūpagaṃ).

LANDASAN TAK ADA APAPUN:

Siswa mulia mempertimbangkan:
  1. Kāmā, kāmasaññā, rūpā, rūpasaññā, di saat ini, di masa depan, persepsi Tanpa Gangguan (āneñjasaññā) — segalanya adalah persepsi (sabbā saññā). Di sini (Yatthetā) seluruhnya (aparisesā) berhenti (nirujjhanti) damai (santa) luhur (panitam) - yaitu di landasan tak ada apapun (yadidaṁ ākiñcaññāyatana);
  2. (suññatā cetovimutti): 'kosong dari diri atau milik diri/terkait diri' (suññamidaṃ attena vā attaniyena) [juga MN 43, SN 41.7];
  3. 'dalam cara apapun, bukan aku (nāhaṃ kvacani) dikarenakan apapun juga (kassaci kiñcanatasmiṃ), dalam cara apapun juga, bukan milikku (na ca mama kvacani) tidak karena apapun (kismiñci kiñcanaṃ natthī)'. [Alternatif terjemahan: "Aku bukan milik siapa pun di mana pun dan tidak ada yang menjadi milikku di mana pun"] [Juga AN 3.70, 4.185];
Melatih demikian, kerap berdiam di landasan ini, pikirannya menjadi murni/mendapat kejelasan. Ingat saat ketenangannya atau dengan mengetahui tercapai landasan tak ada apapun atau dengan kecondongannya, saat hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin kesadaran ini berkembang mencapai landasan tidak ada apapun.

LANDASAN BUKAN PERSEPSI BUKAN TANPA PERSEPSI:

Siswa mulia mempertimbangkan:
Kāmā, kāmasaññā, rupa, rūpasaññā, di saat ini, di masa depan, persepsi Tanpa Gangguan, persepsi landasan tak ada apapun – segalanya adalah persepsi. Di sini seluruhnya berhenti damai, luhur - yaitu di landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi.

Melatih demikian, kerap berdiam di landasan ini, pikirannya menjadi murni/mendapat kejelasan. Ingat saat ketenangannya atau dengan mengetahui tercapai landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi atau dengan kecondongannya, saat hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin kesadaran ini berkembang mencapai landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi.

NIBBANA
Ananda: Yang Mulia, di sini seorang bhikkhu berlatih: "BUKAN AKU (no cassa → no ca asmi), BUKAN DIRIKU (no ca me siya), TIDAK AKAN MENJADI (na bhavissati), AKU TIDAK AKAN MENJADI (na me bhavissati), APA YANG ADA DAN TELAH ADA (yadatthi yaṃ bhūtaṃ) AKU TINGGALKAN (taṃ pajahāmī)", Demikianlah ia memperoleh tenang-seimbang/uppekkha. Yang Mulia, apakah bhikkhu itu mencapai Nibbāna?”

Sang Buddha: “..mungkin mencapai Nibbāna, .. mungkin tidak mencapai Nibbāna.”

Ananda: "Apakah sebab dan alasannya, Yang Mulia, ..?"

Sang Buddha: di sini seorang bhikkhu berlatih: "BUKAN AKU, BUKAN DIRIKU,..AKU TINGGALKAN" Demikianlah Ia memperoleh tenang-seimbang. Ketenang-seimbangan itu disukai, disambut, digenggamnya. Ketika melakukan itu, kesadarannya bergantung pada itu dan melekat pada itu. Seorang bhikkhu yang melekat (saupādāno), Ānanda, tidak mencapai Nibbāna akhir (na parinibbāyatī).”

Ananda: “Tetapi, Yang Mulia, ketika bhikkhu itu pikirannya melekat, melekat pada apakah (upādiyamāno upādiyatī)?”

Sang Buddha: “Pada landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, Ānanda...Ketika bhikkhu itu pikirannya melekat, Ānanda, di kemelekatan terbaik (Upādānaseṭṭhaṁ), yaitu landasan bukan persepsi bukan tanpa-persepsi.

Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih: "BUKAN AKU, BUKAN DIRIKU,..." Demikianlah Ia memperoleh tenang-seimbang. Ketenang-seimbangan itu, Tidak: disukai, disambut, dan digenggamnya. Karena TIDAK melakukan itu, kesadarannya menjadi TIDAK bergantung pada itu dan TIDAK melekat pada itu. Seorang bhikkhu yang TIDAK melekat, Ānanda, mencapai Nibbāna.”

[..]

Ananda: "apakah pembebasan mulia?”

Sang Buddha: "Kāmā, kāmasaññā, rūpā, rūpasaññā, di saat ini, di masa depan, persepsi Tanpa Gangguan, persepsi landasan tak ada apapun, persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi – ini adalah identitas sejauh jangkauan identitas (esa sakkāyo yāvatā sakkāyo). Ini tanpa kematian/padam, yaitu kebebasan pikiran melalui ketidakmelekatan (etaṁ amataṁ yadidaṁ anupādā cittassa vimokkho)[MN 106]

Ringkasan SN 35.8/Suññatalokasutta:
Ananda: ‘dunia ini kosong, dunia ini kosong (suñño loko, suñño loko)’ Bagaimanakah, Yang Mulia, yang dikatakan ‘dunia ini kosong’ itu?”

Sang Buddha: kosong dari diri atau sebagai milik dirinya (suññaṁ attena vā attaniyena vā), sehingga dikatakan, ‘Dunia ini kosong’ ( tasmā suñño lokoti vuccati). Apakah yang kosong dari diri atau milik diri/terkait diri? Mata (Cakkhu kosong dari diri atau milik diri/terkait diri. Bentukan-bentukan (Rūpā) ... Kesadaran-mata (cakkhuviññāṇaṁ) .... Kontak-mata (cakkhusamphasso) kosong dari diri ataumilik diri/terkait diri ... Perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi—apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan—itu juga kosong dari diri atau milik diri/terkait diri [SN 35.85]. kosong dari diri atau milik diri/terkait diri (‘suññamidaṁ attena vā attaniyena vā’), ini dikatakan kebebassan pikiran, melalui kekosongan (ayaṁ vuccati, bhante, suññatā cetovimutti) [SN 41.7]

Ringkasan MN 121/Cūḷasuññatasutta:
...Seperti sebelumnya, Ānanda, demikian pula sekarang aku juga sering berdiam dalam kekosongan (suññatāvihārena).
  1. “seperti halnya rumah besar Ibunya Migāra ini (Seyyathāpi,..ayaṁ migāramātu-pāsādo) kosong dari gajah-gajah, sapi-sapi, kuda-kuda (suñño hatthigavassavaḷavena), kosong dari emas-perak (suñño jātarūparajatena), kosong dari kumpulan laki dan perempuan (suñño itthipurisasannipātena), dan ini tidak kosong, yaitu (atthi cevidaṁ asuññataṁ yadidaṁ), karena hanya terhadap Sangha bhikkhu (bhikkhusaṅghaṁ paṭicca ekattaṁ);

    Note: Ibunya Migāra
    Migāra adalah orang kaya dari Sāvatthi, pengikut Nigaṇṭha. Putranya, Punnavaddhana, menikahi Visākhā, pengikut Buddha. Migāra tidak sekaya ayah Visākhā, Dhanañjaya. ketika kerumah Mertuanya, beberapa orang ikut Visākhā. Suatu hari, ketika Migāra sedang makan dan Visākhā berdiri di samping mengipasinya, seorang bhikkhu berhenti di depan pintu, Visākhā melangkah ke samping agar Migāra dapat melihatnya. Tetapi Migāra pura-pura tidak melihatnya dan meneruskan makan, oleh karenanya, Visākhā meminta Bhikkhu itu pergi dengan mengatakan bahwa Migāra makan "makanan basi" (purānam). Ucapan ini menjengkelkan Migāra dan memerintahkan pelayan agar Visākhā diusir, tapi para pelayan yang adalah bawaan Visākhā, menolak melaksanakan perintah dan Visakha pun menolak pergi, sebelum jelas apa kesalahannya, oleh karenanya, Ia meminta Migāra memanggil 8 wali yang ikut bersama mengawasi Visākhā untuk menyelidiki, Migāra menyetujuinya. Kepada mereka, Migāra menyampaikan keluhannya dan Visākhā menjawab bahwa ayah mertuanya membiarkan dan tidak memberi makanan kepada seorang bhikkhu ketika berpindapatta, kerena tidak mau melakukan perbuatan baik saat ini, hanya mau makan hasil perbuatan baik lampau, maka Ia katakan ayah mertuanya makan makanan basi. Para wali memutuskannya tidak bersalah. Karena tidak salah, Visākhā hendak meninggalkan rumah, namun Migāra menahannya. Visākhā pun meminta syarat bahwa karena Ia pengikut Buddha, Ia tidak dapat berdiam ketika para bhikkhu datang dan jika tidak diizinkan mengundang mereka untuk menerima dana makan dan persembahan, maka Ia akan meninggalkan rumah. Migāra mengizinkannya dan Visākhā mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah. Setelah datang, Visākhā mengundang Migāra untuk melayani Sang Buddha dan para Bhikkhu, tapi para Nigaṇṭha tidak mengizinkan Migāra. Setelah makan, Visākhā mengundang Migāra untuk mendengarkan dhamma, karena etika dan juga ingin mendengarkan, maka walaupun para Nigaṇṭha tidak mengizinkan Migāra, ia bersikeras dan diizinkan hanya mendengar dari balik tirai. Di akhir khotbah, Migāra menjadi sotāpanna, Ia mengangkat tirai, menuju Visākhā, mencium dada menantunya (dengan mengisap payudaranya) dan mengangkat Visakha sebagai ibunya, "Sejak hari ini anda adalah ibuku", sejak saat itu Visākhā disebut Migāramātā. Keesokan harinya, Buddha diundang lagi, dan istri Migāra menjadi sotāpanna. Sejak hari itu dan seterusnya, mereka membuka pintu bagi Sang Buddha dan para bhikkhu. Sebagai tanda terima kasih, Migāra mengadakan perayaan besar untuk menghormati Visākhā, dengan mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu. Visākhā dimandikan air wangi sejumlah 16 pot yang dihiasi permata (Ghanamatthakapasādhana) (DhA.i.387ff.; AA.i.220; MA.i.471f)

  2. Demikian pula (evameva), dengan perhatian tidak pada (amanasikaritvā) persepsi desa (gāmasaññaṁ), dengan perhatian tidak pada persepsi orang (manussasaññaṁ)—disebabkan perhatian hanya pada (paṭicca manasikaroti ekattaṁ) persepsi hutan (araññasaññaṁ). Pikirannya di persepsi hutan itu (tassa araññasaññāya cittaṁ), masuk jauh ke dalam (pakkhandati), tenang (pasīdati), kokoh (santiṭṭhati), tidak terputus (adhimuccati).

    Ia memahami (So evaṁ pajānāti): ‘Gangguan apapun (ye assu darathā) disebabkan persepsi desa (gāmasaññaṁ paṭicca), di sini, tidak (terjadi), stabil (tedha/te idha na santi); Gangguan apapun disebabkan persepsi orang, di sini, tidak terjadi, stabil. Dan gangguan ini terbatas, yaitu (atthi cevāyaṁ darathamattā yadidaṁ), hanya disebabkan persepsi hutan (araññasaññaṁ paṭicca ekattan)’.

    Kosong ini (suññamidaṁ), hilangnya persepsi (saññāgataṁ), yang diketahui sebagai persepsi desa (So..gāmasaññāyā’ti pajānāti); Kosong ini, hilangnya persepsi, yang diketahui sebagai persepsi orang, dan ini tidak kosong, yaitu (atthi cevidaṁ asuññataṁ yadidaṁ), hanya disebabkan persepsi hutan (araññasaññaṁ paṭicca ekattan)’

    Demikianlah, jika apapun yang tidak ada di sana (Iti yañhi kho tattha na hoti ), maka di sana dilihat sepenuhnya sebagai kosong (tena taṁ suññaṁ samanupassati), tapi apapun yang masih ada di sana (yaṁ pana tattha avasiṭṭhaṁ hoti), di sana ini diketahuinya ada kestabilan (taṁ ‘santamidaṁ atthī’ti pajānāti). Dengan cara inilah, Ia (evampissa esā) berdiam masuk ke dalam kosong yang murni, tidak menyimpang, asli (yathābhuccā avipallatthā parisuddhā suññatāvakkanti bhavati).

  3. Kemudian —dengan perhatian tidak pada persepsi orang, dengan perhatian tidak pada persepsi hutan—disebabkan perhatian hanya pada persepsi tanah (pathavīsaññaṁ). Pikirannya di persepsi tanah itu, masuk jauh ke dalam, tenang, kokoh, tidak terputus.

    Seperti kulit sapi bebas kerutan saat direntangkan dengan 100 pasak (Seyyathāpi āsabhacammaṁ saṅkusatena suvihataṁ vigatavalikaṁ); demikian pula—dengan perhatian tidak pada perbukitan dan cekungan tanah, perhatian tidak pada sungai - jurang, bidang bertunggul dan berduri, pegunungan dan tempat tidak datar (evameva ... yaṁ imissā pathaviyā ukkūlavikkūlaṁ nadīviduggaṁ khāṇukaṇṭakaṭṭhānaṁ pabbatavisamaṁ)—perhatian tidak pada segala yang ada di sana (taṁ sabbaṁ amanasikaritvā), hanya disebabkan perhatian di persepsi tanah (pathavīsaññaṁ paṭicca manasikaroti ekattaṁ). Pikirannya di persepsi tanah itu, masuk jauh ke dalam, tenang, kokoh, tidak terputus.

    Ia memahami: ‘Gangguan apapun disebabkan persepsi orang, di sini, tidak (terjadi), stabil; Gangguan apapun disebabkan persepsi hutan, di sini, tidak terjadi, stabil. Dan gangguan ini terbatas, yaitu, hanya disebabkan persepsi tanah'.

    Kosong ini, hilangnya persepsi, yang diketahui sebagai persepsi orang; Kosong ini, hilangnya persepsi, yang diketahui sebagai persepsi hutan, dan ini tidak kosong, yaitu, hanya disebabkan persepsi tanah’

    Demikianlah, jika apapun yang tidak ada di sana, maka di sana dilihat sepenuhnya sebagai kosong, tapi apapun yang masih ada di sana, di sana ini diketahuinya ada kestabilan. Dengan cara inilah, Ia berdiam masuk ke dalam kosong yang murni, tidak menyimpang, asli.

  4. Kemudian —dengan perhatian tidak pada persepsi hutan, dengan perhatian tidak pada persepsi tanah—disebabkan perhatian hanya pada persepsi landasan ruang tak berbatas (ākāsānañcāyatanasaññaṁ). Pikirannya di persepsi landasan ruang tak berbatas itu, masuk jauh ke dalam, tenang, kokoh, tidak terputus.

    Ia memahami: ‘Gangguan apapun disebabkan persepsi hutan, di sini, tidak (terjadi), stabil; Gangguan apapun disebabkan persepsi tanah, di sini, tidak terjadi, stabil. Dan gangguan ini terbatas, yaitu, hanya disebabkan persepsi landasan ruang tak berbatas'.

    Kosong ini, hilangnya persepsi, yang diketahui sebagai persepsi hutan; Kosong ini, hilangnya persepsi, yang diketahui sebagai persepsi tanah, dan ini tidak kosong, yaitu, hanya disebabkan persepsi landasan ruang tak berbatas’

    Demikianlah, jika apapun yang tidak ada di sana, maka di sana dilihat sepenuhnya sebagai kosong, tapi apapun yang masih ada di sana, di sana ini diketahuinya ada kestabilan. Dengan cara inilah, Ia berdiam masuk ke dalam kosong yang murni, tidak menyimpang, asli.

  5. Kemudian —dengan perhatian tidak pada persepsi tanah, dengan perhatian tidak pada persepsi landasan ruang tak berbatas—disebabkan perhatian hanya pada persepsi landasan kesadaran tak berbatas (viññāṇañcāyatanasaññaṁ). Pikirannya di persepsi landasan kesadaran tak berbatas itu, masuk jauh ke dalam, tenang, kokoh, tidak terputus...

  6. Kemudian, —dengan perhatian tidak pada persepsi landasan ruang tak berbatas, dengan perhatian tidak pada persepsi landasan kesadaran tak berbatas—disebabkan perhatian hanya pada persepsi landasan kosong tidak ada apapun (ākiñcaññāyatanasaññāya). Pikirannya di persepsi landasan kosong tidak ada apapun itu, masuk jauh ke dalam, tenang, kokoh, tidak terputus...

  7. Kemudian, —dengan perhatian tidak pada persepsi landasan kesadaran tak berbatas, dengan perhatian tidak pada persepsi landasan tidak ada apapun—disebabkan perhatian hanya pada persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (nevasaññānāsaññāyatanasaññaṁ). Pikirannya di persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi itu, masuk jauh ke dalam, tenang, kokoh, tidak terputus...

  8. Kemudian, —dengan perhatian tidak pada persepsi landasan tidak ada apapun, dengan perhatian tidak pada persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi—disebabkan perhatian hanya pada Pikiran terpusat tanpa bentukan/ciptaan pikiran (animittaṁ cetosamādhiṁ paṭicca manasikaroti ekattaṁ). Pikirannya di Pikiran terpusat tanpa bentukan/ciptaan pikiran itu, masuk jauh ke dalam, tenang, kokoh, tidak terputus.

    Ia memahami: ‘Gangguan apapun disebabkan persepsi landasan tidak ada apapun, di sini, tidak (terjadi), stabil; Gangguan apapun disebabkan persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, di sini, tidak terjadi, stabil. Ini disebabkan 6 landasan indriya tubuh karena kehidupan (imameva kāyaṁ paṭicca saḷāyatanikaṁ jīvitapaccayā’ti).

    Kosong ini, hilangnya persepsi, yang diketahui sebagai persepsi landasan tidak ada apapun; Kosong ini, hilangnya persepsi, yang diketahui sebagai persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, dan ini tidak kosong, yaitu, Ini disebabkan 6 landasan indriya tubuh karena kehidupan’

    Demikianlah, jika apapun yang tidak ada di sana, maka di sana dilihat sepenuhnya sebagai kosong, tapi apapun yang masih ada di sana, di sana ini diketahuinya ada kestabilan. Dengan cara inilah, Ia berdiam masuk ke dalam kosong yang murni, tidak menyimpang, asli.

  9. Kemudian, —dengan perhatian tidak pada persepsi landasan tidak ada apapun, dengan perhatian tidak pada persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi—disebabkan perhatian hanya pada Pikiran terpusat tanpa bentukan/ciptaan pikiran (animittaṁ cetosamādhiṁ paṭicca manasikaroti ekattaṁ). Pikirannya di Pikiran terpusat tanpa bentukan/ciptaan pikiran itu, masuk jauh ke dalam, tenang, kokoh, tidak terputus.

    Ia memahami: ‘Gangguan apapun disebabkan persepsi landasan tidak ada apapun, di sini, tidak (terjadi), stabil; Gangguan apapun disebabkan persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, di sini, tidak terjadi, stabil. tetapi pikiran terpusat tanpa bentukan/ciptaan pikiran Ini terkondisi, dari kehendak (ayampi kho animitto cetosamādhi abhisaṅkhato abhisañcetayito).

    Ia memahami: apapun yang terkondisi, dari kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya (yaṁ kho pana kiñci abhisaṅkhataṁ abhisañcetayitaṁ tadaniccaṁ nirodhadhamman’ti pajānāti). Ketika mengetahui dan melihat demikian (Tassa evaṁ jānato evaṁ passato), pikirannya terbebaskan: dari noda keinginan indriya (kāmāsavāpi cittaṁ vimuccati), dari noda penjelmaan (bhavāsavāpi cittaṁ vimuccati), dari noda kebodohan (avijjāsavāpi cittaṁ vimuccati). Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ (vimuttasmiṁ vimuttamiti ñāṇaṁ hoti). Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, takkan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun (Khīṇā jāti, vusitaṁ brahmacariyaṁ, kataṁ karaṇīyaṁ, nāparaṁ itthattāyā’ti pajānāti).

    Ia memahami (So evaṁ pajānāti): ‘Gangguan apapun (ye assu darathā) disebabkan noda hasrat indriya (kāmāsavaṁ paṭicca), di sini, tidak (terjadi), stabil (tedha/te idha na santi); Gangguan apapun disebabkan noda menjadi sesuatu (bhavāsavaṁ paṭicca), di sini, tidak terjadi, stabil; Gangguan apapun disebabkan noda ketidaktahuan (avijjāsavaṁ paṭicca), di sini, tidak terjadi, stabil. Dan gangguan ini terbatas, yaitu —Ini disebabkan 6 landasan indriya tubuh karena kehidupan

    Kosong ini, hilangnya persepsi, yang diketahuinya sebagai: noda hasrat indriya (kāmāsavaṁ), noda menjadi sesuatu (bhavāsavaṁ), noda ketidaktahuan (avijjāsavaṁ) dan ini tidak kosong, yaitu (atthi cevidaṁ asuññataṁ yadidaṁ), Ini disebabkan 6 landasan indriya tubuh karena kehidupan

    Demikianlah, jika apapun yang tidak ada di sana, maka di sana dilihat sepenuhnya sebagai kosong, tapi apapun yang masih ada di sana, di sana ini diketahuinya ada kestabilan. Dengan cara inilah, Ia berdiam masuk ke dalam kosong yang murni, tidak menyimpang, asli. [MN 121]

  10. kekosongan ini adalah kediaman seorang manusia besar (mahāpurisavihāro eso yadidaṁ suññatā) [MN 151]
Terdapat kesamaan antara:
  1. pembebasan pikiran tidak terukur/appamāṇā cetovimutti
  2. pembebasan pikiran tidak ada apapun/ākiñcaññā cetovimutti
  3. pembebasan pikiran kekosongan/suññatā cetovimutti
  4. kebenasan pikiran tanpa bentukan/ciptaan pikiran/gambaran/animittā cetovimutti
Kesamaannya terkait rago, dosa dan moha:
  1. ketagihan adalah pembuat penilaian; kebencian adalah pembuat penilaian; kekeliruan tahu adalah pembuat penilaian (rāgo pamāṇakaraṇo, doso pamāṇakaraṇo, moho pamāṇakaraṇo). Di antara semua jenis pembebasan pikiran tanpa batas, pembebasan pikiran yang tidak tergoyahkan (ākuppā cetovimutti) adalah yang terbaik
  2. ketagihan adalah sesuatu; kebencian adalah sesuatu; kekeliruan tahu adalah sesuatu (rāgo kiñcano, doso kiñcano, moho kiñcano). Di antara semua jenis pembebasan pikiran tidak ada apapun, pembebasan pikiran yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik
  3. ketagihan adalah pembuat bentukan/ciptaan pikiran/gambaran; kebencian adalah pembuat bentukan/ciptaan pikiran/gambaran; kekeliruan tahu adalah bentukan/ciptaan pikiran/gambaran (Rāgo nimittakaraṇo, doso nimittakaraṇo, moho nimittakaraṇo). Di antara semua jenis pembebasan pikiran tanpa bentukan/ciptaan pikiran/gambaran, pembebasan pikiran yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik
Persamaan ke-3nya karena kosong (suññā) dari ketagihan, kebencian dan kekeliruan tahu. [MN 43, SN 41.7]

samādhi: kekosongan, Tanpa Bentukan dan Bebas dari Keinginan
Demi pengetahuan mendalam/abhiññāya … demi pemahaman sepenuhnya/pariññāya … demi kehancuran sepenuhnya/parikkhayā … demi meninggalkan/pahānā … demi hancurnya/khayā … demi melapuknya/vayā … demi tidak meminati/virāgā … demi lenyapnya/nirodhā … demi menanggalkan/cāgā, demi melepaskan/paṭinissaggā:

serakah/ketagihan/raga … kebencian/dosa … kebingungan/keliru tahu/kebodohan/moha … marah/kodha … kesal/dendam/upanāha … meremehkan/makkha … congkak/paḷāsa … iri/dengki/issā … kikir/macchariya … menipu/māyā … licik/curang/sāṭheyya … keras kepala/thambha … berapi-api/tidak mau kalah/sārambha … angkuh/māna … sombong/atimāna … pongah/mabuk/mada … lengah/lalai/pamāda adalah melalui melalui samādhi: (suññato), pikiran tanpa bentukan/ciptaan pikiran atau tanpa gambaran/ciri (animitto), bebas dari keinginan (appaṇihito) [AN 3.183-352]

→ Di Sutta ini, kata "appamāṇā" dan "ākiñcaññā" digantikan kata "appaṇihito"

Pikiran terpusat tanpa bentukan/ciptaan pikiran (animitta cetosamādhi. Nimitta = ciptaan/buatan; hiasan; membangun; menghasilkan; penetapan ukuran; berencana; gambaran)
Harus secara total melepaskan kesadaran mengikuti bentukan (nimittânusāri viññāṇaṁ). Karena tiap momentnya, pikiran akan masih melekat atau teralihkan ketika berusaha untuk melepaskannya, maka pikiran: dikokohkan, mengarah ke satu hal dan terpusat (Cittham: saṇṭhapehi, ekodiṃ karohi, samādahā) [SN 40.9, MN 43, SN 41.7].

Deskripsi samädhi ini:
  1. Segala ciri/bentukan (ciptaan pikiran) tidak diperhatikan (sabbanimittānaṃ amanasikārā); pikiran dengan pikiran terpusat tanpa bentukan/ciptaan pikiran/tanpa gambaran dicapai keberadaannya (animittaṃ cetosamādhiṃ upasampajja viharati) [SN 40.9]

  2. dengan perhatian tidak pada persepsi landasan tidak ada apapun, dengan perhatian tidak pada persepsi landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi—disebabkan perhatian hanya pada Pikiran terpusat tanpa bentukan/ciptaan pikiran (animittaṁ cetosamādhiṁ paṭicca manasikaroti ekattaṁ). Pikirannya di Pikiran terpusat tanpa bentukan/ciptaan pikiran itu, masuk jauh ke dalam, tenang, kokoh, tidak terputus
DUA kondisi bagi pencapaian pembebasan pikiran tanpa bentukan/ciptaan pikiran/tanpa gambaran: (1) tanpa-perhatian pada segala bentukan/ciptaan dan (2) perhatian pada unsur tanpa bentukan/ciptaan.
TIGA kondisi bagi pencapaian pembebasan pikiran tanpa bentukan/ciptaan pikiran/tanpa gambaran yang terus-menerus: (1) tanpa-perhatian pada segala bentukan gambaran dan (2) perhatian pada unsur tanpa bentukan gambaran dan apa yang terkondisi sebelumnya (pubbe ca abhisaṅkhāro) [MN 43]

Di SN 43.4: Pikiran terpusat pada kekosongan (Suññato samādhi), Pikiran terpusat pada tanpa gambaran/bentukan/ciptaan pikiran (animitto samādhi) dan Pikiran terpusat bebas dari keinginan (appaṇihito samādhi)

Nirodhasamāpatti

Unsur lenyapnya persepsi dan perasaan (saññāvedayitanirodha dhātu), unsur ini terlihat karena kelenyapan (ayaṁ dhātu nirodhaṁ paṭicca paññāyatī”ti) ... Unsur lenyapnya persepsi dan perasaan, unsur ini dicapai sebagai pencapaian lenyapnya (ayaṁ dhātu nirodhasamāpatti pattabbā”ti) [SN 14.11]

Deskripsi samädhi saññāvedayitanirodhaṃ:
    Telah sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi (nevasaññānāsaññāyatanaṃ samatikkamma) [mengetahui:] Keberadaan lenyapnya persepsi dan perasaan tercapai (saññāvedayitanirodhaṃ upasampajja viharati) [MN 111, SN 28.9]
"Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin dengan benar berhasrat condong pada Nibbāna (Sammā nibbānādhimuttassa). Ketika seseorang dengan benar berhasrat condong pada Nibbāna, hanya pembicaraan terkait itu yang menarik perhatian, pikiran dan renungannya, dan ia bergaul dengan yang sejenis itu, mendapatkan kepuasan dalam hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi berlangsung, ia tidak: mendengarkannya, menyimaknya atau memikirkan untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan yang sejenis itu, tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu. 'Bagai pucuk pohon palem yang dipotong menjadi tidak mampu tumbuh lagi, demikian pula, ketika seseorang dengan benar berhasrat condong pada Nibbāna, belenggu landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi telah dipotong—terpotong di akarnya, dibuat menjadi tunggul pohon, dihancurkan sehingga tidak lagi muncul di masa depan. Ia harus dipahami sebagai seorang yang lepas dari belenggu landasan bukan persepsi bukan tanpa persepsi, yang dengan benar berhasrat condong pada Nibbāna [MN 105].

Lenyap tanpa sisanya upekkhindriyaṃ/Indriya tenang-seimbang atau perasaan tubuh dan mental bukan nyaman bukan tidak nyaman/ perasaan bukan menyakitkan bukan menyenangkan/adukkhamasukhā sā vedanā: Perasaan tubuh dan mental yang bukan-nyaman bukan tidak-nyaman (kāyikaṃ vā cetasikaṃ vā nevasātaṃ nāsātaṃ vedayitaṃ) [SN 48.36-38] Di manakah indriya tenang-seimbang lenyap tanpa sisa? ..di pencapaian “lenyapnya persepsi dan perasaan” (saññāvedayitanirodhaṃ) [SN 48.39, 40]. Yang mencapai lenyapnya persepsi dan Perasaan, Persepsi dan perasaan ditenangkan sepenuhnya (paṭippassaddhā) [SN 36.11, 15] atau berhenti (niruddhā) [AN 9.31, DN 33, 34] dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-noda sepenuhnya dihancurkan. (paññāya ca me disvā āsavā parikkhayaṁ agamaṁsu) [AN 9.41, 45, 51, MN 31], Ia tidak berpikir sebagai sesuatu, Ia tidak berpikir terkait dengan sesuatu, Ia tidak berpikir dalam cara bagaimanapun sesuatu (na kiñci maññati, na kuhiñci maññati, na kenaci maññatī”ti) [MN 113]

MN 111: [setelah mencapai kondisi lenyapnya persepsi dan perasaan]
Keluar/bangkit dalam memperhatikan/ingatan (sato vuṭṭhahati) pencapaian tersebut, merenungkan hal-hal yang berlalu (atītā), lenyap (niruddhā), dan berubah (vipariṇatā), melihat sepenuhnya kondisi itu (te dhamme samanupassati): ‘Demikianlah sesungguhnya hal-hal itu: dari tidak ada (ahutvā) - menjadi ada (sambhonti) - dari ada (hutvā) - menjadi lenyap (paṭiventī)’ (→ sankhāra anicca, dukkha)

Terhadap hal-hal itu (dhamma), pikirannya berada (cetasā viharati): tak tertarik (anupāyo), tidak menolak (anapāyo), tidak bergantung (anissito), tidak terhubung dengannya (appaṭibaddho), lepas/mengalir (vippamutto), longgar/bebas (visaṃyutto), bebas dari penghalang (vimariyādīkatena) (→ bukan aku, bukan miliku, bukan identitas (diri)-ku)

Mengetahui:
TIDAK ADA pembebasan melampaui ini' (so ‘natthi uttari nissaraṇa’nti). Melebihi ini (tabbahulīkārā) adalah TIDAK ADA (naatthitievaassa) [MN.111] atau 'tidak ada kediaman lain yang lebih menyenangkan atau lebih tinggi daripada yang itu' (imamhā phāsuvihārā uttaritaro vā paṇītataro vā phāsuvihāro natthī”ti) [MN 31].

MN 44 [dan juga SN 41.7]
    Perumah tangga Visakha: Yang Mulia, ada berapakah bentukan kehendak (saṅkhārā) itu?”

    (Dahulu Istri Visakha, kemudian menjadi Bhikkhuni) Dhammadinna: “Ada 3: bentukan jasmani [kāyasaṅkhāro], bentukan ucapan [vacīsaṅkhāro], dan bentukan pikiran [cittasaṅkhāro]..Nafas masuk dan keluar [Assāsa-passāsā] adalah bentukan jasmani; vitakkavicārā adalah bentukan ucapan; persepsi dan perasaan [saññā ca vedanā], bentukan pikiran”

    Visakha: “..mengapa: nafas-masuk dan nafas-keluar adalah bentukan jasmani? awal pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan? persepsi dan perasaan, bentukan pikiran?

    Dhammadinna: “nafas-masuk dan nafas-keluar adalah jasmani, hal-hal ini terikat dengan jasmani; itulah sebabnya mengapa nafas-masuk dan nafas-keluar adalah bentukan jasmani. Pertama-tama seseorang mulai berpikir dan mempertahankan pikiran, dan selanjutnya ia mengungkapkannya melalui ucapan; itulah sebabnya mengapa awal-pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan. Persepsi dan perasaan, yang menyertai pikiran, hal-hal ini terikat dengan pikiran; itulah persepsi dan perasaan, bentukan pikiran.” ...

    Visakha: “..ketika..sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan [saññāvedayita-nirodha-samāpatti], kondisi manakah yang pertama lenyap dalam dirinya: bentukan jasmani, bentukan ucapan, atau bentukan pikiran?”

    Dhammadina: “.., pertama-tama bentukan ucapan lenyap [ini jhāna ke-2], kemudian bentukan jasmani [ini jhāna ke-4], kemudian bentukan pikiran [ini pencapaian ke-9].” ...

    Visakha: “..ketika..keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, kondisi manakah yang pertama muncul dalam dirinya: bentukan jasmani, bentukan ucapan, atau bentukan pikiran?”

    Dhammadina: “.., pertama-tama bentukan pikiran muncul, kemudian bentukan jasmani, kemudian bentukan ucapan

    Visakha: “..ketika..keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, ada berapakah kontak yang menyentuhnya?”

    Dhammadina: “..3 jenis kontak menyentuhnya: kontak kehampaan/kekosongan [Suññato phasso], kontak tanpa bentukan/ciptaan pikiran/gambaran [animitto phasso], kontak bebas dari keinginan [appaṇihito phasso]”

      Note:
      Karena kontak memuncukan perasaan, maka perasaan adukkhamasukhā akan juga muncul di samādhi: Suññato, animitto dan appaṇihita

    Visakha: “..ketika..keluar (vuṭṭhita) dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, pada apakah pikirannya: condong (ninna)?, bersandar (poṇa)?, mengarah (pabbhāra)?”

    Dhammadina: ".., pikirannya condong, bersandar, dan mengarah pada: pelepasan (viveka).”
Di pencapaian samädhi lenyapnya persepsi dan perasaan, kondisinya mirip orang mati:
    Teman, dalam hal seorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, bentukan jasmaninya (kaya sankhāra), bentukan ucapannya (vici sankhāra) dan bentukan pikirannya (citta sankhāra) telah pudar dan sirna (niruddhā paṭippassaddhā), vitalitasnya (ayu) telah habis (parikkhīṇo), suhu hangatnya (usma) telah reda (vūpasantā), dan indriyanya terberai (viparibhinnā).

    Dalam hal seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, bentukan jasmaninya dan bentukan ucapannya telah memudar dan sirna, tetapi vitalitasnya tidak padam, panasnya tidak berhamburan, dan indriyanya menjadi sangat jernih.

    Ini adalah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan [MN 43 dan SN 41.6]

    Tubuh dalam nirodhasamapatti:
    YM Sañjiva (murid Buddha Kakusandha) duduk di bawah sebatang pohon dan memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan. Beberapa orang penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara melihat YM Sañjiva..dan mereka berpikir: ‘..Petapa ini mati sambil duduk. Mari kita mengkremasinya.’ Kemudian para penggembala sapi,..mengumpulkan rumput, kayu, dan kotoran sapi, dan setelah menumpuknya di atas tubuh YM Sañjiva, mereka membakarnya dan pergi ...ketika malam telah berlalu, YM Sañjiva keluar dari pencapaian itu. Ia mengibaskan jubahnya, karena hari telah pagi, ia merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki desa untuk menerima dana makanan. Para penggembala sapi,...melihat YM Sañjiva berjalan menerima dana makanan, dan mereka berpikir: ‘...Petapa ini yang mati sambil duduk telah hidup kembali!’ Itulah sebabnya Yang Mulia Sañjiva memperoleh nama ‘Sañjiva.’ [MN 50]

BEBERAPA VERIFIKASI ILMIAH MEDITASI

Kegunaan meditasi yang tervalidasi secara ilmiah (mengutip tulisan, Emma M Seppala PhD):
  1. Meningkatkan KESEHATAN

    1. Meningkatkan fungsi kekebalan tubuh [ini dan ini]
    2. Menurunkan Rasa Sakit
    3. Mengurangi Peradangan di level seluler [ini, ini dan ini]

  2. Meningkatkan KEBAHAGIAAN

    1. Meningkatkan Emosi Positif [ini dan ini]
    2. Mengurangi Depresi
    3. Mengurangi Kecemasan [ini dan ini]
    4. Menurunkan Stres [ini dan ini]

  3. Meningkatkan KEHIDUPAN SOSIAL

    1. Meningkatkan koneksi sosial & kecerdasan emosional [ini dan ini]
    2. Meningkatkan kemampuan berbelas kasih [ini dan ini]
    3. Mengurangi kesepian

  4. Meningkatkan Kontrol Diri

    1. Meningkatkan kemampuan untuk mengatur emosi
    2. Meningkatkan kemampuan untuk melakukan introspeksi [ini dan ini]

  5. Mengubah OTAK (menjadi lebih baik)

    1. Meningkatkan materi abu-abu, yang berfungsi dalam pergerakan otot, persepsi indriya, ingatan, proses belajar, dll [ini dan ini]
    2. Meningkatkan volume area yang terkait regulasi emosi, emosi positif & pengendalian diri [ini dan ini]
    3. Meningkatkan ketebalan kortikal di area yang berhubungan dengan memperhatikan

  6. Meningkatkan Produktivitas (dengan tidak melakukan apa-apa)

    1. Meningkatkan fokus & perhatian [ini, ini, ini dan ini]
    2. Meningkatkan kemampuan multi tugas
    3. Meningkatkan daya ingat
    4. Meningkatkan kemampuan untuk menjadi kreatif & berpikir di luar kotak [dan ini]
[↑ kembali ke Ringkasan Ajaran Buddha]