Banyak tulisan yang berupaya menggiring OPINI bahwa 1 orang Bhikkhu walaupun tidak tergabung dalam sangha manapun maka Ia tetaplah BHIKKHU SANGHA dengan MEMIRIP-MIRIPKAN pada kondisi para bhikkhu hutan, ini BELUM TENTU BENAR, ada motif/tujuan tertentu dibalik ini, salah satunya adalah UANG
Saṅgha
Arti sangha adalah KOMUNITAS/KUMPULAN, ada dua jenis:
Pengaruh Dhammayutikka di Indonesia adalah melalui penahbisan oleh sangharaja Thailand, yaitu Somdet Phra Nyanasamvara [Diangkat tahun 1989 s.d sekarang, dari aliran Dhammayuttika] pada kisaran tahun 1970 menahbiskan banyak anak negeri menjadi Bhikkhu, 5 Bhikkhu diantaranya pada tanggal 23 Oktober 1976, mendirikan Sangha theravada Indonesia.
Bhikkhu sangha berarti bhikkhu dari kumpulan atau ketika Ia mendapat PERINTAH dari KOMUNITAS (walaupun jumlahnya hanya 1 orang).
Di awal perkembangannya, penerimaan seseorang menjadi Bhikkhu, Sang Buddha lakukan dengan kata, "Ehi Bhikkhu" (artinya: Mari, Bhikkhu) kepada 5 orang pertama dan saat itu terbentuklah sangha. Penerimaan dengan cara itu berlanjut hingga jumlah Bhikkhu menjadi 61 orang. Setelah itu, sang Buddha meminta mereka untuk menyebarkan Dhamma ke segala penjuru [Vin.I.11.1] sehingga berdasarkan kejadian ini, SEMUA BHIKKHU yang sedang dalam penugasan komunitas walaupun hanya 1 (satu) orang, Ia disebut BHIKKHU SANGHA.
Menyebarnya 61 orang Bhikkhu ini, menyebabkan banyak yang ingin Pabbajja [meninggalkan keduniawian] untuk diupasampada/tahbiskan sang Buddha. Kejadian ini melelahkan para Bhikkhu dan calon Bhikkhu karena harus bolak-balik atau menuju tempat Sang Buddha berada, sehingga kemudian, Sang Buddha memperkenankan para Bhikkhu menahbiskan para calon Bhikkhu ditempat dengan cara "Tisaranagamanupasampada" sebanyak 3x pengucapan [Vin.I.12: Buddha/Dhamma/Sangha saranamgacchami]
Dalam perkembangan kemudian, karena banyak bhikkhu tinggal dalam kumpulan yang cukup, Sang Buddha kemudian memperkenankan penahbisan yang dilakukan oleh 5 sampai 10 orang bhikkhu kompeten dan seorang dari mereka bertindak sebagai penahbis/upajjaya [vin.1.25] cara ini disebut Ñatti-catutthakamma-upasampada (natti/mengumumkan/permakluman, catuttha/4, kamma/perbuatan: 4 permakluman: 1x usulan/natti + 3x pernyataan permohonan, sample: ..Upajjhaya: "Sekarang saatnya engkau, xxxx, memohon pada sangha untuk mentahbiskanmu". xxxx: "Yang mulia para bhante Saya memohon penahbisan, Saya mohon welas kasih para bhante untuk mengangkatku"-3x..). Jika untuk Bhikkhu dilakukan 1x dihadapan sangha Bhikkhu, namun untuk Bhikkhuni jadi 2x, yaitu pertama dihadapan sangha bhikkhuni dan kemudian dihadapan sangha Bhikkhu. Bhkkhu pertama yang ditahbis dengan cara ini adalah brahmin Radha)
Sangha Bhikkhu, secara umum beranggotakan sekurangnya 5 orang [merujuk pada 5 petapa sebagai sangha pertama dan jumlah minimum untuk keperluan upasampada] namun demikian banyak fungsi kebhikkuan memerlukan cukup dengan hanya 4 Bhikkhu.
Jadi, ketika Ia sendirian tapi mendapat penugasan komunitas, maka Ia disebut sebagai BHIKKHU SANGHA namun jika tidak penugasan, bisa jadi Ia adalah bhikkhu mandiri, bisa jadi tergabung dalam sangha tertentu dan tengah mengasingkan diri atau bisa jadi Ia memang tidak tergabung dalam sangha tertentu.
Jaman ini, terdapat Bhikkhu-Bhikkhu yang tidak bergabung dalam komunitas sangha tertentu. diantara alasannya adalah:
Uposatha
Sang Buddha telah memberikan izin kepada sangha untuk melakukan uposatha sendiri. Uposatha artinya kepatuhan kepada Sila. Dalam pertemuan suatu kelompok bhikkhu [sangha, > 4 bhikkhu], seorang bhikkhu akan membacakan peraturan latihan [Patimokkha]. Jika 2 - 3 orang Bhikkhu mereka disebut gana (grup). Mereka dibolehkan memberitahukan satu sama lain tentang “kemurnian”. jika hanya 1 Bhikkhu ia disebut puggala (seorang) dan harus membuat addhitthana (tekad) sendiri. Patimokkha hanya dibacakan dalam kelompok yang murni (yang tidak melakukan pelanggaran, yang telah menyadari pelanggarannya) tidak boleh dibacakan dalam kelompok, di mana terdapat bhikkhu yang melanggar.
Vassa
Masa Vassa adalah musim hujan (3 sampai 4 bulan lamanya), yaitu saat para bhikkhu berdiam di suatu tempat tertentu sampai hari Pavarana (3 bulanan, Pavarana adalah upacara berakhirnya masa vassa, sebagai ganti dari uposatha bulan purnama Katthika, bisanya dilakukan sangha pada tanggal 15 [atau dapat ditunda dua minggu atau satu bulan, atau di hari2i lainnya]. Jumlah bhikkhu yang menghadiri pertemuan ≥ 4 Bhikkhu. Selama masa Vassa, dengan keadaan-keadaan tertentu, Bhikkhu masih boleh bepergian namun tidak boleh > dari 7 hari, jika tidak, maka masa Vassanya dianggap GAGAL, masa vassa juga sebagai ukuran kesenioran bhikkhu, jika seorang bhikkhu tidak bervassa, maka Ia tidak berhakikut ber-Khatina/atau menerima persembahan jubah.
Permberian Persembahan [DANA]
Pemberian Dana dapat dilakukan kepada pribadi-pribadi atau kepada Sangha. Ringkasan Dakkhiṇāvibhanga Sutta, MN 142, Sutta Penjelasan tentang Persembahan, di bawah ini, menyajikan keuntungan dan perbedaan manfaat diantara keduanya.
Pemberian secara Pribadi kepada:
“Di masa depan, Ānanda, akan ada anggota-anggota kelompok yang, ‘berleher-kuning,’ tidak bermoral, dan berkarakter jahat. Orang-orang akan memberikan pemberian kepada orang-orang tidak bermoral itu demi Sangha. Bahkan meskipun begitu, Aku katakan, suatu persembahan yang diberikan kepada Sangha adalahTIDAK TERHITUNG dan TIDAK TERUKUR.
Dan Aku katakan bahwa TIDAK MUNGKIN suatu persembahan yang diberikan kepada seorang individu AKAN LEBIH berbuah daripada persembahan yang diberikan kepada Sangha.
Ada satu kisah menarik tentang lingkup hubungan antara tentang niat baik seorang Penderma,Sangha dan Bhikkhu yang tidak bermoral, sebagai berikut:
Bhikkhu yang belum suci adalah manusia juga, Ia masih membuat kesalahan, untuk itu jangan ragu untuk menegurnya namun dengan cara yang patut. Sebagai referensi kejadian inipun terjadi di jaman sang Buddha, di mana umat awam mempunyai persoalan yang tidak enak dan melakukan peneguran serta melaporkan kekeliruan Bhikkhu-bhikku, misalnya:
Saya punya pengalaman menarik dengan satu oknum yang menyamar jadi Bhikkhu, orang ini di fb pake nick name, "bhante sudhammacaro" (klik!)
Akhir kata,
BERJUBAH dan GUNDUL belum tentu BHIKKU, Waspadai BHIKKU pelanggar VINAYA yang sudah dikeluarkan dari KEANGGOTAAN SANGHA namun masih menyamar menjadi BHIKKHU. waspadai Penipu yang berjubah dan mengaku Bhikkhu.
Gambar berasal dari sini di sini, di sini, di sini dan di sini
Catatan:
[1] ekabhattikā rattūparatā viratā vikālabhojanā, (makan 1x sehari, tidak di malam hari, tidak makan di luar waktu layak: vikāla = majjhanhike vītivatte yāva aruṇuggamanā/lewat tengah hari sampai (warna kemerahan sebelum) matahari terbit - Ibid, hal.388. Tengah hari: bayangan lewat 2 jari - Khandhaka 22).
Para Arahat, sepanjang hidup [Yāvajīvaṃ] makan 1 x SEHARI [ekabhattikā], tidak di malam hari [rattūparatā], tidak makan di luar waktu layak [virataṃ vikālabhojanā]. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan MAKAN 1x SEHARI, tidak di malam hari dan tidak makan di luar waktu layak. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ [AN 8.41-42/Uposatha Sutta. Juga di AN 3.70 dan AN 8.43, kepada umat awam PEREMPUAN, Visākhā Migāramātā]
Umat awam bernama Gavessi jaman Buddha Kassapa: makan 1x sehari, tidak di malam hari, tidak makan di luar waktu layak (ekabhattikaṁ..rattūparataṁ virataṁ vikālabhojanā)" [AN 5.180]
Ghaṭīkāra, umat awam jaman Buddha Kassapa (anagami): makan 1x sehari (ekabhattiko) [MN 81]
Jika umat awam melatih makan 1x, selayaknya para bhikkhu berlaku demikian:
Sang Buddha kepada Para Bhikkhu: Mereka para samana dan brahmin (ye te samaṇabrāhmaṇā) makan 1 x sehari (ekabhattikā), tidak di malam hari (rattūparatā), tidak makan di luar waktu layak (viratā vikālabhojanā) [AN 5.228]
"Seorang Tathāgata muncul di dunia ini,....Seorang perumah-tangga..mendengarkan Dhamma itu..ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Setelah meninggalkan keduniawian demikian, memiliki latihan dan GAYA HIDUP KEBHIKKHUAN...Ia berlatih makan 1x sehari, tidak di malam hari, tidak makan di luar waktu layak" (ekabhattiko..rattūparato virato vikālabhojanā) [DN 1: Sang Buddha makan 1x sehari; DN 2: Sang Buddha kepada Raja Ajātasattu; AN 4.18, AN 10.99; MN 27, 38, 51, 112, Di MN 94: Yang Mulia Udena kepada Brahmana Ghoṭamukha; di MN 101 Sang Buddha kepada para Bhikkhu]
YM Mahākaccāna kepada Soṇa Koḷivisa (tentang menjadi Bhikkhu): "Seumur hidup (yāvajīvaṁ Makan 1x sehari (),... " [Ud 5.6, Vinaya Mahavagga Kd 5/Cammakkhandhaka]
YM Mahā Kaccāna kepada Raja Avantiputta dari Madhurā, tentang gaya hidup kebhikkhuan: tidak di malam hari, makan 1x sehari (rattūparato, ekabhattiko) [MN 84]
Devata kepada Sang Buddha: "...makan 1x sehari (ekabhattaṁ bhuñjamānānaṁ.." [SN 1.10]
Angulimala-pun setelah menjadi Bhikkhu, makan 1x sehari (ekabhattikaṁ) [MN 86]
Makan 1x sehari di waktu layak bagi para bhikkhu adalah vinaya/disiplin:
Sang Bhagavā kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, pernah terjadi suatu peristiwa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu. Di sini Aku berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Aku MAKAN 1x SEHARI [ekāsanabhojanaṃ]. Dengan melakukan hal itu, Aku terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman. Ayo, para bhikkhu, MAKAN 1x SEHARI. Dengan melakukan hal itu, kalian akan terbebas dari penyakit....’
Dan Aku tidak perlu terus menerus memberikan INSTRUKSI SEHARUSNYA (anusāsanī karaṇīyā) kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu MEMBANGKITKAN INGATAN SEHARUSNYA (satuppādakaraṇīya) di diri mereka....Oleh karena itu, para bhikkhu, tinggalkanlah hal tidak bermanfaat dan tekunilah hal bermanfaat (Tasmātiha, bhikkhave, tumhepi akusalaṁ pajahatha, kusalesu dhammesu āyogaṁ karotha), karena kalian dalam DHAMMA DISIPLIN ini (evañhi tumhepi imasmiṁ dhammavinaye) mencapai kemajuan, peningkatan dan pemenuhannya (vuddhiṁ virūḷhiṁ vepullaṁ āpajjissatha)" [MN 21]
Sang Buddha: “Para bhikkhu, Aku MAKAN 1x SEHARI [ekāsanabhojanaṃ: makan 1x sehari pada 1x duduk - Vinaya VI, ITC, cetakan 3, cat kaki 882, hal.455, 636]. Dengan melakukan demikian, Aku bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan Aku menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Marilah, para bhikkhu, MAKAN 1x SEHARI. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan kesengsaraan,..."
Yang Mulia Bhaddāli: “Yang Mulia, Aku tidak mau MAKAN 1x SEHARI; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”
Sang Buddha: “Kalau begitu, Bhaddāli (Tena hi tvaṁ, bhaddāli), makan disana 1 bagian di mana ENGKAU DI UNDANG (yattha nimantito assasi tattha ekadesaṁ bhuñjitvā), lagi 1 bagiannya dimakan nanti (ekadesaṁ nīharitvāpi bhuñjeyyāsi). Dengan memakan demikian, engkau akan memelihara tubuhmu.”
Yang Mulia Bhaddāli:“Yang Mulia, Aku tidak mau makan dengan cara itu juga; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”
Kemudian, Yang Mulia Bhaddāli (Atha kho āyasmā bhaddāli), terhadap aturan latihan yang ditetapkan Sang Bhagavā kepada bhikkhu sangha untuk menjalaninya (bhagavatā sikkhāpade paññāpiyamāne bhikkhusaṅghe sikkhaṁ samādiyamāne), menyatakan penolakan (nussāhaṁ pavedesi). Kemudian Yang Mulia Bhaddāli tidak menghadap Sang Bhagavā selama 3 bulan [masa vassa], seperti yang terjadi pada seseorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.
[..]
Kemudian Yang Mulia Bhaddāli mendatangi para bhikkhu..mereka berkata kepadanya: “...di akhir 3 bulan [masa vassa], Sang Bhagavā akan melakukan pengembaraan. Mohon, teman Bhaddāli, perhatikanlah nasihat ini. Jangan biarkan hal ini mempersulitmu kelak.”
Yang Mulia Bhaddāli:: “Baik, teman-teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, aku, terhadap aturan latihan yang ditetapkan Sang Bhagavā kepada bhikkhu sangha untuk menjalaninya, menyatakan penolakan. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku dilihat seperti demikian demi pengendalian di masa depan.”[..]
Sang Buddha: “Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, terhadap aturan latihan yang ditetapkanKu...menyatakan penolakan, tetapi sejak engkau, Bhaddāli (yato ca kho tvaṁ, bhaddāli), melihat pelanggaran lalumu dan memperbaikinya sesuai Dhamma (accayaṁ accayato disvā yathādhammaṁ paṭikarosi), maka kami menerimanya (taṁ te mayaṁ paṭiggaṇhāma), karena adalah kemajuan dalam DISIPLIN YANG MULIA (vuddhihesā, bhaddāli, ariyassa vinaye), jika seseorang melihat pelanggaran lalunya dan memperbaikinya sesuai Dhamma (yo accayaṁ accayato disvā yathādhammaṁ paṭikaroti) agar mencapai pengendalian di masa depan (āyatiṁ saṁvaraṁ āpajjati)... [MN65/Bhaddali sutta]
Sang Buddha menyatakan Bhikkhu tertentu sebagai SESAT [moghapurisā], ketika tidak mengindahkan INSTRUKSI makan 1x sehari (yaitu sebelum tengah hari) di waktu layak:
Yang Mulia Udāyin kepada Sang Buddha: "Yang Mulia, SEBELUMNYA kami terbiasa makan DI SENJA/MALAM HARI (sāya), DI PAGI HARI (pāto), DAN SIANG (divā) di luar waktu layak (vikāle). Kemudian..Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, MAKAN DI SIANG HARI DI LUAR WAKTU LAYAK (divāvikālabhojanaṁ) TINGGALKANLAH (pajahathā’ti) .’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah-tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami di siang hari di luar waktu layak (divā vikāle), namun Sang Bhagavā meminta kami meninggalkannya, Yang Sempurna meminta kami melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan disiang hari diluar waktu layak.
Kemudian kamu hanya makan dimalam hari dan dipagi hari. Kemudian..Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, MAKAN DI MALAM HARI DI LUAR WAKTU LAYAK (rattiṁvikālabhojanaṁ) TINGGALKANLAH (pajahathā’ti).’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘KEMUDiAN JUGA TIDAK PADA MAKAN 2X KAMI YANG BAIK (yampi no imesaṁ dvinnaṁ bhattānaṁ paṇītasaṅkhātataraṁ), Sang Bhagava meminta kami meninggalkannya (tassapi no bhagavā pahānamāha), Yang Sempurna meminta kami melepaskannya (tassapi no sugato paṭinissaggamāhā’ti) ’...Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, KAMI MENINGGALKAN MAKAN dI MALAM HARI DI LUAR WAKTU LAYAK.
“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku melalui cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ Aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu yang sedang mengumpulkan dana makanan.’—‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati! Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā untuk kami!.. Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan...Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”
Sang Buddha: “Demikian pula, Udāyin, TERDAPAT ORANG-ORANG SESAT di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini,’ mengatakan: ‘Apalah hal kecil dan remeh seperti ini? Petapa ini terlalu cerewet!’ DAN MEREKA TIDAK MENINGGALKAN HAL ITU (Te tañceva nappajahanti) DAN MEREKA MENUNJUKAN SIKAP TIDAK SOPAN TERHADAPKU (mayi ca appaccayaṁ upaṭṭhāpenti), SERTA PADA PARA BHIKKHU LAIN YANG MENYUKAI LATIHAN (Ye ca bhikkhū sikkhākāmā tesaṁ taṁ)... [MN 66/Perumpamaan burung Puyuh]
Aturan makan 1x sehari, dijabarkan lebih detail dalam vinaya/patimokkha [Vinaya II, ITC, 2012, hal. 347-398], ringkasnya:
Āvasathapiṇḍasikkhāpadaṃ/Tempat derma makan untuk umum: Menerima makanan (dan makan) di tempat pemberian dana makan untuk umum/siapa saja, hanya boleh 1x, kecuali jika sakit, jika tidak sakit dan lebih dari 1x, pelanggara Pacittiya, jika ragu sedang sakit atau tidak, lebih dari 1x, pelanggaran dukkata [hal.347-350]
Gaṇabhojanasikkhāpadaṃ/makan secara berkelompok: makan bersama oleh para bhikkhu (yaitu 4 Bhkkhu atau lebih), setelah berulang-ulang meminta di antara para perumah tangga, kecuali waktu layak (yaitu sedang sakit; waktu pemberian jubah; waktu pembuatan jubah; waktu bepergian dengan para pria lainnya; waktu sedang di atas perahu; waktu ada mahāsamaya/rombongan besar para bhikkhu yang jarang terjadi dan waktu makan samaṇabhattasamaya/perkumpulan petapa lainnya) adalah pelanggaran Pacittiya, jika ada niat terjadi di luar waktu layak, pelanggaran dukkata. [hal.350 - 362]
Paramparabhojanasikkhāpadaṃ/undangan makan: Pekerja miskin bawahan Kirapatika hendak berdana makan kepada sang Buddha dan bhikhu sangha, Ia berkata kepada Bhagawan, “Bhante, semoga Bhagawan, bersama Sangha Bhikkhu, berkenan menerima makanan dari saya besok.” Sang Buddha: “Tetapi, Saudara,..Sangha Bhikkhu banyak.” Pekerja miskin: “Bhante, semoga Sangha Bhikkhu banyak. Saya akan menyiapkan buah bidara cina yang banyak, akan lengkap dengan jus buah bidara cina untuk diminum.”
....Para bhikkhu setelah mendengarnya: “Sangha Bhikkhu, pimpinan Sang Buddha diundang besok oleh seorang pekerja miskin. Akan dilengkapi dengan jus buah..”. Orang-orang yang mendengarnya: “Sangha Bhikkhu...diundang (makan) oleh pekerja miskin itu.” Orang-orang ini membawa makanan pendamping dan makanan utama yang banyak untuk pekerja miskin itu...pekerja miskin itu,..pun telah menyiapkan makanan pendamping dan makanan utama yang mewah. (tapi) Para bhikkhu ini makan, setelah berjalan mengumpulkan derma makanan pagi itu.
Kepada Bhagawan, ia memaklumkan waktunya, “Sudah waktunya, Bhante, makanan telah siap.”
Sang Buddha, membawa patta, menuju rumah pekerja miskin bersama Sangha Bhikkhu,..pekerja miskin melayani para bhikkhu di ruang makan.
Beberapa bhikkhu: “Saudara, berikan sedikit saja” Pekerja miskin: “Bhante, janganlah mengambil begitu sedikit dengan berkata, ‘Ini adalah seorang pekerja miskin.’ Banyak makanan pendamping dan makanan utama disiapkan orang untuk saya. Terimalah sebanyak yang disukai”. Beberapa Bhikkhu: “Saudara, bukan karena hal ini kami mengambil sedikit, tetapi, karena kami telah makan setelah mengumpulkan derma makanan pagi ini..”
Pekerja miskin itu memandang rendah, mencela, protes, “Mengapa para Yang Mulia, setelah diundang saya, makan di tempat lain? Apakah saya tidak mampu memberi sebanyak yang disukai?” Para bhikkhu pun mendengar pekerja miskin ini...menyebarluaskannya. Para bhikkhu yang bersahaja...protes, “Mengapa beberapa bhikkhu ini, setelah diundang di suatu tempat, makan di tempat lain?” ...
"Benarkah, para bhikkhu, bahwa setelah diundang di suatu tempat, makan di tempat lain?"
“Benar, Bhagawan.”
Sang Buddha mengecam mereka.... Aturan: Makan di luar giliran (bukan di tempat yang mengundang), pelanggaran pacittiya.” [hal.362-365]
Sang Buddha bersama Ananda mendatangi seorang perumah tangga,..orang-orang memberikan makanan kepada Bhagawan dan Ananda. Ananda menolak makan di tempat itu, karena telah menerima undangan makan ditempat lain, sang buddha: Setelah memberikan (undangan itu ke bhikkhu lainnya), agar menerima makanan ini. Aturan: "Diizinkan, setelah memberikan (undangan makan ke bhikkhu lain), makan makanan di luar giliran (tidak makan ditempat undangan)" [hal. 367]
Bukan pelanggaran jika pada waktu layak; Ia makan, SETELAH memberikan (undangan makan ke bhikkhu lain); jika ada 2/3 undangan makan sekaligus (VA. 817, 2 atau 3 keluarga mengundangnya, dan ia memasukkan makanan itu ke dalam 1 patta, memakannya di satu tempat) [hal. 368-369]
Kāṇamātusikkhāpadaṃ/Tentang ibu Kana: Ibu Kana memberikan kue kepada 1 bhikkhu (membawa mangkok/patta), bhikkhu tersebut memberitahukan kepada yang ke-2 (bawa patta), yang ke-2 memberitahukan kepada yang ke-3 (bawa patta); Seorang umat sedang membawa karavan dagang, Seorang Bhikkhu (bawa patta) mendatanganinya, Upasaka ini memberikannya sattu/makanan terbuat dari tepung (barli), bhikkhu tersebut memberitahukan kepada yang ke-2 (bawa Patta), yang ke-2 kepada yang ke-3 (bawa Patta), yang ke-3 kepada yang ke-4 (bawa patta). Aturannya: Jika seorang bhikkhu, setelah mendatangi sebuah keluarga, setelah diundang untuk menerima kue/bubu, boleh menerima sampai sejumlah 2 atau 3 patta penuh (Setelah menerima 2 atau 3 patta, kembali dari sana, kepada bhikkhu lain agar diberitahukan, ‘2/ 3 patta diterima dari tempat itu, janganlah ke sana lagi’, Apabila menerima lebih dari itu, pelanggaran pacittiya. Setelah menerima 2/3 patta, kembali dari sana, harus dibagikan ke para bhikkhu (VA. 820: dari 2/3 patta, 1 bagian untuk dirinya, 1 atau 2 bagian diberikan ke Sangha). Inilah cara yang benar” [hal.369 - 375]
Paṭhamapavāraṇāsikkhāpadaṃ/setelah cukup makan: Para Bhikkhu menerima undangan makan dari seorang Brahmana, setelah makan mereka menyatakan cukup, beberapanya pergi makan ke tempat lain, beberapa lainnya berpindapata ke tempat lain. Aturan: Bhikkhu manapun, setelah makan, setelah puas dengan makan, apabila makan atau ikut menikmati makanan utama/pendamping (ditempat lainnya), pelanggaran pacittiya. [hal.375 - 376].
Beberapa bhikkhu pulang ke arama dengan makanan (setelah cukup makan, membawa yang sejauh jangkauan tangannya) untuk para bhikkhu sakit. Para bhikkhu sakit makan sedikit, sisanya dibuang. Aturan: Bhikkhu manapun, setelah cukup makan, apabila makan/ikut menikmati makanan utama/pendamping yang tidak disisakan (oleh bhikkhu sakit atau tidak sakit: makanan itu tidak diizinkan/tidak diterima/tidak terserahkan; tidak dalam jangkauan tangan; tidak disisakan bhikkhu yang belum makan/telah makan, telah bangkit duduk tapi tidak berkata, ‘Ini cukup,’), pelanggaran pacittiya. Bukan pelanggaran jika makan apa yang sisa (dari bhikkhu sakit/tidak sakit: dari yang dibawanya pulang; makanan itu diizinkan/diterima/diserahkan; dalam jangkauan tangan; disisakan bhikkhu yang telah makan/belum bangkit duduk dan berkata ‘Ini cukup,’) [hal. 376 - 382]
Dutiyapavāraṇāsikkhāpadaṃ/Setelah cukup makan II: 2 bhikkhu bepergian ke Savatthi, Bhikkhu ke-1 berperilaku tidak baik; bhikkhu ke-2 menasehatinya, bhikkhu ke-1 menggerutu padanya. Keduanya tiba dan makan di tempat makanan untuk Sangha yang disiapkan paguyuban di sana, Bhikkhu ke-2, sudah makan, sudah dipuaskan (dengan makanan). Bhikkhu ke-1, setelah mendatangi kerabatnya (mungkin kerabatnya juga anggota paguyuban), membawa makanan derma, menghampiri bhikkhu ke-2: “Makanlah, Awuso.” Bhikkhu ke-2: “Tidak perlu, saya sudah kenyang, Awuso.” Bhikkhu ke-1: “Awuso, makanan ini lezat, makanlah.” Bhikkhu ke-2 karena dipaksa Bhikkhu ke-1 memakannya. Bhikkhu ke-1: “Awuso, Anda berpikir saya harus dinasihati, sedangkan Anda, setelah makan, setelah dipuaskan, makan makanan utama yang tidak disisakan?” Bhikkhu ke-2: “Awuso, bukankah hal ini seharusnya diberitahukan sebelumnya?..seharusnya ditanyakan sebelumnya?” Lalu bhikkhu ke-2 melaporkan kejadian kepada para bhikkhu. Para bhikkhu yang bersahaja... mengajukan protes, “Mengapa seorang bhikkhu (bhikhhu ke-1), menawarkan seorang bhikkhu (ke-2) yang telah makan, yang telah dipuaskan, menawarinya makanan utama yang tidak disisakan?” ...Dilaporkan ke sang Buddha, Bhikkhu ke-1 dikecam. Aturan: Bhikkhu manapun, menawarkan seorang bhikkhu yang telah makan, yang telah dipuaskan (dengan makanan), apabila menawarinya makanan pendamping/utama yang belum disisakan, sambil berkata, “Mari, bhikkhu, makanlah/ikutlah menikmati,’ (Ia) mengetahui (tahu sendiri, atau orang lain atau yang ditawari memberitahukan), hendak mencari kesalahan karena makan, pelanggaran pacittiya. Bukan pelanggaran jika (bhikhu yang menawari) berpikir bahwa yang ditawari, belum dipuaskan, (tidak tahu ternyata) yang ditawari telah dipuaskan. Bhikkhu yang menawari menyebabkan makanan disisakan dan memberikannya, berkata makanlah atau bawa kepada lainnya, atau memberikan pada bhikkhu yang sakit [hal.382-386]
Vikālabhojanasikkhāpadaṃ/Makan di luar waktu layak: Kelompok 17 bhikkhu diberi derma makanan oleh sekelompok orang, setelahnya diberikan makanan pendamping. Ini dibawa pulang ke arama dan ditawarkan ke kelompok 6 bhikkhu. Kelompok 17 Bhikkhu akui bahwa mereka makan di luar waktu layak. Aturan: Bhikkhu manapun apabila makan/ikut makan makanan pendamping/utama di luar waktu layak, pelanggaran pacittiya [hal.386-388]
Sannidhikārakasikkhāpadaṃ/makanan yang disimpan: YM Belatthasisa, Upajjhaya bhikkhu Ananda, menetap di hutan, setelah pindapatta, membawa nasi ke arama, mengeringkan dan menyimpannya, saat membutuhkannya, Ia basahi air dan dimakan, setelah beberapa lama, Ia ke dusun untuk mengumpulkan derma makanan. Ketika ditanya para bhikkhu mengapa lama baru ke dusun, YM Belatthasisa menceritakan dan akui bahwa Ia makan makanan yang disimpan. Aturan: Bhikkhu manapun apabila makan/ikut menikmati makanan pendamping/utama yang disimpan, pelanggaran pacittiya. Bukan pelanggaran: Jika menyimpan sementara dan dimakan pada waktu itu, jika menyimpan untuk dimakan saat yāmakālikaṃ (penggal akhir malam/belum fajar meskipun sudah pagi, lawannya yāvakālika: lewat tengah hari sedikit tapi belum batas 2 jari), disimpan selama 7 hari dan memakannya dalam 7 hari, jika ada alasan memakannya selama hidup, jika pelakunya tidak waras atau jika pelakunya adalah yang pertama yang melakukan kesalahan [hal. 388-391]
Paṇītabhojanasikkhāpadaṃ/Makanan mewah: Kelompok 6 bhikkhu, setelah meminta makanan mewah untuk diri mereka (atthāya viññāpetvā), memakannya. Aturan: Makanan mewah apa saja, ghee, mentega segar, minyak, madu, sari tebu/air gula, ikan, daging, susu, dadih susu—Bhikkhu manapun, yang tidak sakit, yang meminta dan makan makanan mewah ini untuk diri sendiri, pelanggaran pacittiya.” [hal 391-394]
Dantaponasikkhāpadaṃ/Sikat gigi: seorang bhikkhu, menetap di pekuburan, tidak mau menerima derma dari orang-orang, tapi mengambil makanan yang diletakan untuk yang meninggal di pekuburan, kaki pohon, ambang pintu. Aturan: Bhikkhu manapun apabila makan makanan yang tidak diberikan, kecuali air dan pembersih/tusuk gigi (udakadantapona), pelanggaran pacittiya.” [hal 395 - 398]
Saṅgha
Arti sangha adalah KOMUNITAS/KUMPULAN, ada dua jenis:
- Savaka Sangha [savaka = murid]: kumpulan para Ariya [atau mereka yang telah mencapai tingkat kesucian 1 s/d 4], baik berjubah/menjadi bhikkhu ataupun tidak, gundul ataupun tidak, manusia ataupun bukan. Mereka ini disebut para THERA.
- Sammuti sangha [sammuti = tradisi, ungkapan yang populer] atau sangha konvensional [monastik]: kumpulan para Bhikkhu baik (Puthujjana [orang biasa] dan para Ariya)
- Tua [contoh Romo Cunda Thera: Romo Cunda yang sepuh]
- Para Ariya [Pencapai tingkat kesucian ke-1 s.d 4]
- Menurut tradisi Thailand [> tahun 1300 Masehi atau bisa jadi mulai tahun 1833, ketika berkembangnya aliran Dhammayutikka]: Mereka yang bervassa mulai dari 10 tahun ke atas.
Pengaruh Dhammayutikka di Indonesia adalah melalui penahbisan oleh sangharaja Thailand, yaitu Somdet Phra Nyanasamvara [Diangkat tahun 1989 s.d sekarang, dari aliran Dhammayuttika] pada kisaran tahun 1970 menahbiskan banyak anak negeri menjadi Bhikkhu, 5 Bhikkhu diantaranya pada tanggal 23 Oktober 1976, mendirikan Sangha theravada Indonesia.
Bhikkhu sangha berarti bhikkhu dari kumpulan atau ketika Ia mendapat PERINTAH dari KOMUNITAS (walaupun jumlahnya hanya 1 orang).
Di awal perkembangannya, penerimaan seseorang menjadi Bhikkhu, Sang Buddha lakukan dengan kata, "Ehi Bhikkhu" (artinya: Mari, Bhikkhu) kepada 5 orang pertama dan saat itu terbentuklah sangha. Penerimaan dengan cara itu berlanjut hingga jumlah Bhikkhu menjadi 61 orang. Setelah itu, sang Buddha meminta mereka untuk menyebarkan Dhamma ke segala penjuru [Vin.I.11.1] sehingga berdasarkan kejadian ini, SEMUA BHIKKHU yang sedang dalam penugasan komunitas walaupun hanya 1 (satu) orang, Ia disebut BHIKKHU SANGHA.
Menyebarnya 61 orang Bhikkhu ini, menyebabkan banyak yang ingin Pabbajja [meninggalkan keduniawian] untuk diupasampada/tahbiskan sang Buddha. Kejadian ini melelahkan para Bhikkhu dan calon Bhikkhu karena harus bolak-balik atau menuju tempat Sang Buddha berada, sehingga kemudian, Sang Buddha memperkenankan para Bhikkhu menahbiskan para calon Bhikkhu ditempat dengan cara "Tisaranagamanupasampada" sebanyak 3x pengucapan [Vin.I.12: Buddha/Dhamma/Sangha saranamgacchami]
Dalam perkembangan kemudian, karena banyak bhikkhu tinggal dalam kumpulan yang cukup, Sang Buddha kemudian memperkenankan penahbisan yang dilakukan oleh 5 sampai 10 orang bhikkhu kompeten dan seorang dari mereka bertindak sebagai penahbis/upajjaya [vin.1.25] cara ini disebut Ñatti-catutthakamma-upasampada (natti/mengumumkan/permakluman, catuttha/4, kamma/perbuatan: 4 permakluman: 1x usulan/natti + 3x pernyataan permohonan, sample: ..Upajjhaya: "Sekarang saatnya engkau, xxxx, memohon pada sangha untuk mentahbiskanmu". xxxx: "Yang mulia para bhante Saya memohon penahbisan, Saya mohon welas kasih para bhante untuk mengangkatku"-3x..). Jika untuk Bhikkhu dilakukan 1x dihadapan sangha Bhikkhu, namun untuk Bhikkhuni jadi 2x, yaitu pertama dihadapan sangha bhikkhuni dan kemudian dihadapan sangha Bhikkhu. Bhkkhu pertama yang ditahbis dengan cara ini adalah brahmin Radha)
Sangha Bhikkhu, secara umum beranggotakan sekurangnya 5 orang [merujuk pada 5 petapa sebagai sangha pertama dan jumlah minimum untuk keperluan upasampada] namun demikian banyak fungsi kebhikkuan memerlukan cukup dengan hanya 4 Bhikkhu.
Jadi, ketika Ia sendirian tapi mendapat penugasan komunitas, maka Ia disebut sebagai BHIKKHU SANGHA namun jika tidak penugasan, bisa jadi Ia adalah bhikkhu mandiri, bisa jadi tergabung dalam sangha tertentu dan tengah mengasingkan diri atau bisa jadi Ia memang tidak tergabung dalam sangha tertentu.
Jaman ini, terdapat Bhikkhu-Bhikkhu yang tidak bergabung dalam komunitas sangha tertentu. diantara alasannya adalah:
- Bhikkhu tersebut TERLALU TINGGI HATI, sehingga TIDAK MAMPU merendahkan dirinya sendiri bergabung bersama sangha.
- Tempatnya saat itu TIDAK ADA persaudaraan atau komunitas para Bhikku
- Aliran yang dianutnya memiliki beda aturan [vinaya], vatta [penugasan] dengan sangha lain sehingga tidak sesuai dengan patimokha,VINAYA dan vatta yang dijalankannya.
- Bhikkhu melanggar gemar melanggar Vinaya, sehingga dengan tidak bergabung, maka tidak akan ada hukuman lunak dan keras atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya
- Ia bukan lagi Bhikkhu/telah dikeluarkan dari persekutuan, ataupun tengah menipu, sehingga tetap menggunakan jubah agar dipandang dan dihormati, agar mendapatkan keuntungan materi.
Uposatha
Sang Buddha telah memberikan izin kepada sangha untuk melakukan uposatha sendiri. Uposatha artinya kepatuhan kepada Sila. Dalam pertemuan suatu kelompok bhikkhu [sangha, > 4 bhikkhu], seorang bhikkhu akan membacakan peraturan latihan [Patimokkha]. Jika 2 - 3 orang Bhikkhu mereka disebut gana (grup). Mereka dibolehkan memberitahukan satu sama lain tentang “kemurnian”. jika hanya 1 Bhikkhu ia disebut puggala (seorang) dan harus membuat addhitthana (tekad) sendiri. Patimokkha hanya dibacakan dalam kelompok yang murni (yang tidak melakukan pelanggaran, yang telah menyadari pelanggarannya) tidak boleh dibacakan dalam kelompok, di mana terdapat bhikkhu yang melanggar.
Vassa
Masa Vassa adalah musim hujan (3 sampai 4 bulan lamanya), yaitu saat para bhikkhu berdiam di suatu tempat tertentu sampai hari Pavarana (3 bulanan, Pavarana adalah upacara berakhirnya masa vassa, sebagai ganti dari uposatha bulan purnama Katthika, bisanya dilakukan sangha pada tanggal 15 [atau dapat ditunda dua minggu atau satu bulan, atau di hari2i lainnya]. Jumlah bhikkhu yang menghadiri pertemuan ≥ 4 Bhikkhu. Selama masa Vassa, dengan keadaan-keadaan tertentu, Bhikkhu masih boleh bepergian namun tidak boleh > dari 7 hari, jika tidak, maka masa Vassanya dianggap GAGAL, masa vassa juga sebagai ukuran kesenioran bhikkhu, jika seorang bhikkhu tidak bervassa, maka Ia tidak berhakikut ber-Khatina/atau menerima persembahan jubah.
Permberian Persembahan [DANA]
Pemberian Dana dapat dilakukan kepada pribadi-pribadi atau kepada Sangha. Ringkasan Dakkhiṇāvibhanga Sutta, MN 142, Sutta Penjelasan tentang Persembahan, di bawah ini, menyajikan keuntungan dan perbedaan manfaat diantara keduanya.
Pemberian secara Pribadi kepada:
- Seorang SammaSamBuddha (Sudah ngga bisa)
- Seorang Paccekabuddha (Sudah ngga bisa)
- Seorang Arahat (Sudah ngga bisa)
- Seorang yang sedang berusaha menjadi Arahat (mungkin sudah ngga bisa)
- Seorang Anagami (mungkin sudah ngga bisa)
- Seorang yang sedang berusaha menjadi Anagami (mungkin sudah ngga bisa)
- Seorang Sakadagami (mungkin sudah ngga bisa)
- Seorang yang sedang berusaha menjadi Sakadagami (mungkin sudah ngga bisa)
- Seorang enterer-stream (Sotapanna) (mungkin sudah ngga bisa)
- Seorang yang sedang berusaha menjadi Sotapanna, diberikan dengan pikiran murni, dapat berbuah tidak terukur x lipat
- Seorang yang di luar ajaran Buddha namun bebas dari nafsu akan kenikmatan indria, diberikan dengan pikiran murni, dapat berbuah 100.000 x 100.000 lipat
- Seorang biasa yang bermoral, diberikan dengan pikiran murni, dapat berbuah 100.000x lipat
- Seorang biasa yang tidak bermoral,diberikan dengan pikiran murni, dapat berbuah 1000x lipat
- Kepada hewan, diberikan dengan pikiran murni, dapat berbuah 100x lipat
- Kepada Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni dipimpin oleh Buddha (sudah ngga bisa)
- Kepada Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni setelah Buddha mencapai Parinibnibbāna (sudah ngga bisa)
- Kepada Sangha bhikkhu
- Kepada Sangha dari bhikkhuni
- Seseorang memberikan dana dan mengatakan: "Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dan bhikkhunī dari Sangha”
- Seseorang memberikan dana dan mengatakan: "Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhu dari Sangha”
- Seseorang memberikan dana dan mengatakan: "Tunjuklah untukku sejumlah tertentu para bhikkhunī dari Sangha”.
“Di masa depan, Ānanda, akan ada anggota-anggota kelompok yang, ‘berleher-kuning,’ tidak bermoral, dan berkarakter jahat. Orang-orang akan memberikan pemberian kepada orang-orang tidak bermoral itu demi Sangha. Bahkan meskipun begitu, Aku katakan, suatu persembahan yang diberikan kepada Sangha adalahTIDAK TERHITUNG dan TIDAK TERUKUR.
Dan Aku katakan bahwa TIDAK MUNGKIN suatu persembahan yang diberikan kepada seorang individu AKAN LEBIH berbuah daripada persembahan yang diberikan kepada Sangha.
- note:
Bhikkhu leher kuning [kāsāva kaṇṭha] "Anggota-anggota kelompok” (gotrabhuno) adalah mereka yang menjadi bhikkhu hanya secara nama. Mereka bepergian dengan sehelai kain kuning yang diikatkan di leher atau di lengan mereka, dan masih menyokong anak dan istri mereka dengan melibatkan diri dalam perdagangan dan pertanian, dan sebagainya [Papañca Sūdanī, Majjhima Commentar(MA) 5:74 f]
- Dimurnikan oleh si pemberi, bukan oleh si penerima.
- Dimurnikan oleh si penerima, bukan oleh si pemberi.
- Dimurnikan bukan oleh si pemberi juga bukan oleh si penerima.
- Dimurnikan si pemberi & si penerima akan berbuah sepenuhnya
- “Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan, Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Moralitas si pemberi memurnikan persembahan itu.
Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang bermoral Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan, Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Moralitas si penerima memurnikan persembahan itu.
Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan, Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Moralitas keduanya tidak memurnikan persembahan itu.
Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang bermoral Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan, Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Pemberian itu, akan berbuah sepenuhnya.
Ketika seorang yang tanpa nafsu memberi kepada seorang yang tanpa nafsu. Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan, Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar, Pemberian itu, yang terbaik di antara pemberian-pemberian duniawi.”
Ada satu kisah menarik tentang lingkup hubungan antara tentang niat baik seorang Penderma,Sangha dan Bhikkhu yang tidak bermoral, sebagai berikut:
- Niat Baik Penderma
Suatu ketika ada seorang bhikkhu yang tidak disukai oleh kebanyakan umat dan penderma karena kelakuannya yang tidak bermoral. Suatu ketika seorang penderma mengundang Sangha untuk menerima dana, Sangha mengutus bhikkhu tersebut untuk menghadiri undangan penderma itu.
Bagaimanapun juga, penderma itu tidak merasa kecewa; dia memusatkan perhatiannya kepada Sangha,dengan penuh hormat dia mempersembahkan makanan dan kebutuhan pokok lainnya kepada bhikkhu itu adalah Buddha sendiri, mencuci kakinya ketika datang,
mempersilakan duduk di tempat harum di bawah kanopi. Karena pikiran penderma itu tertuju penuh kepada seluruh pesamuan, dana yang dibuatnya tergolong sanghika-dana yang mulia, sekalipun penerimanya adalah bhikkhu yang tidak baik.
Mari kita simak kelanjutannya. Menyaksikan penghormatan yang diterimanya dari sang penderma, seperti disebutkan diatas, bhikkhu itu merasa mendapatkan dermawan yang berbakti kepadanya. Pada sore harinya, bhikkhu itu ingin melakukan suatu perbaikan di viharanya, lalu dia pergi ke pendermanya untuk meminjam sebuah cangkul. Kali ini sang penderma memperlakukannya dengan tidak hormat. Dia menyorongkan cangkul dengan kakinya dan berkata dengan kasar , " Nih!"
Tetangganya menanyakan kepadanya mengenal dua perlakuan yang berbeda yang telah dilakukannya kepada bhikkhu tersebut. Penderma itu menjawab bahwa pada pagi hari hormatnya tertuju kepada seluruh Sangha dan bukan untuk salah satu bhikkhu tertentu.
Dia bersikap kasar pada sore hari karena, katanya secara individu bhikkhu tersebut tidak layak menerima penghormatan. Pelajaran yang dapat dipetik, Anda harus memproyeksikan pikiran kepada Sangha secara keseluruhan agar derma Anda dapat digolongkan sebagai sanghika-dana. ["Abhidhamma Sehari-hari"; Ashin Janakabhivamsa; Penerbit Karaniya]
Bhikkhu yang belum suci adalah manusia juga, Ia masih membuat kesalahan, untuk itu jangan ragu untuk menegurnya namun dengan cara yang patut. Sebagai referensi kejadian inipun terjadi di jaman sang Buddha, di mana umat awam mempunyai persoalan yang tidak enak dan melakukan peneguran serta melaporkan kekeliruan Bhikkhu-bhikku, misalnya:
- Kasus YM UDAYIN vs VISAKHA:
Suatu saat YM Udayin mendekati seorang wanita muda (anak perempuan dari seorang penyokong YM Udayin yang baru menikah), dan setelah dekat, beliau duduk bersama dengan wanita muda tersebut, seorang pria dan seorang wanita, di suatu tempat tersembunyi, di tempat duduk yang nyaman dan tersendiri, berbicara pada waktu yang tempat, membicarakan Dhamma pada waktu yang tepat pula ... Visakha melihat YM Udayin duduk bersama dengan wanita muda itu, seorang pria dan seorang wanita, di suatu tempat tersembunyi, diatas tempat duduk yang nyaman dan tersendiri. Melihat hal ini, Visakha berkata kepada YM Udayin: "Hal ini tidak patut, yang mulia, hal ini tidak pantas, bahwa seorang guru duduk bersama seorang wanita, seorang pria dan seorang wanita, di tempat tersembunyi, diatas tempat duduk yang nyaman dan tersendiri. Meskipun yang mulia tidak memiliki hasrat untuk hal tersebut (hubungan seksual), orang yang tidak percaya akan sulit untuk diyakinkan."
Namun YM Udayin tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Visakha sehingga Visakha pun menceritakan hal tersebut kepada para bhikkhu. Para bhikkhu menjadi terganggu dan marah dan kemudian meneruskannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha menegur YM Udayin: "Bagaimana mungkin kamu, orang bodoh, duduk bersama dengan wanita, seorang pria dan seorang wanita, di suatu tempat tersembunyi di atas tempat duduk yang nyaman dan tersendiri?....."
- Ketika Citta,Perumah tangga mengundang Dana Makan, Bhikkhu Sudhamma, menolak dengan marah dan berkata, “Kamu mengundangku setelah mengundang dua bhikkhu tersebut [Sariputta dan Monggalana]”
Citta mengulang kembali undangannya, tetapi undangan tersebut ditolak. Walaupun demikian bhikkhu Sudhamma pergi ke rumah Citta pagi-pagi keesokan harinya. Ketika dipersilahkan masuk, Sudhamma menolak dan berkata bahwa dia tidak akan duduk karena dia sedang berpindapatta.
Ketika dia melihat makanan yang didanakan kepada dua orang murid utama Sang Buddha, dia sangat iri dan tidak dapat menahan kemarahannya. Dia mencaci Citta dan berkata, “Aku tidak ingin tinggal lebih lama di viharamu!” dan meninggalkan rumah tersebut dengan penuh kemarahan.
Dari sana, dia mengunjungi Sang Buddha dan melaporkan segala yang telah terjadi. Kepadanya, Sang Buddha berkata, “Kamu telah menghina seorang umat awam yang berdana dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati. Kamu lebih baik kembali ke sana dan mengakui kesalahanmu.”
Sudhamma melakukan apa yang telah dikatakan oleh Sang Buddha, tetapi Citta tidak menghiraukan; maka dia kembali menghadap Sang Buddha untuk ke dua kalinya. Sang Buddha, mengetahui bahwa kesombongan Sudhamma telah berkurang pada waktu itu. Kemudian Beliau berkata, “Anakku, seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak terikat dengan berkata, “ini adalah viharaku, ini tempatku, dan ini adalah muridku,” dan sebagainya, dengan berpikir demikian keterikatan dan kesombongan akan bertambah.”
Saya punya pengalaman menarik dengan satu oknum yang menyamar jadi Bhikkhu, orang ini di fb pake nick name, "bhante sudhammacaro" (klik!)
- Berikut ini adalah tulisan dari sudhammacaro [seseorang, yg gemar berkostum bhikkhu, namun ternyata bukan bhikku], yaitu setelah ketauan secara konyol mengartikan maksud Atthasila:
- DARIPADA YOU KERJA DI BALI JD GAET BUL2 E, SAMA JUGA DI-SURUH2 MIRIP JONGOS BEDANYA KL DI BALI PASTI DI PANTAI, YG PANAS SMP KULIT SPT ARANG, TP KL DI JKT ADEM KRN DLM WIHARA SAMBIL MINUM KOPI I...STILAHNYA NUHIGA-NUMPANG HIDUP GRATISAN SAMA BOS.. JD KL DI BALI SEPI JOB LARI KE JKT...[Rabu pukul 12:18]
- SE-BODOH2NYA ORANG TDK LBH BODOH DG ANJING TAU AYAM YG TDK SUKA UANG KALI.. JNG SOK BERSIH LAH.. MANA ADA ORANG KERJA TDK DI LEMPAR UANG TIP SIH.. GA APA2 LAH KITA2 JUGA TDK AKAN NYOAL YOU PUNYA KERJA DAN TIP DARI KUNCEN VJDJ BHANTE KADANG KASIHAN SAMA YOU ORANG MAU DIANGKAT SELEVEL BOS KUNCEN TP BANDELNYA TDK KETULUNGAN ..[Rabu pukul 12:24]
- MAAF MAKAN DULU LAH TAR LAPAR SAKIT BHAYA..[Rabu pukul 12:25]
Perhatikan point 3. masa seh seorang Bhikkhu [tidak sakit],makan setelah TENGAH HARI?[1]
Perhatikan maki2an [1 dan 2] yg dilontarkan seseorang yg mengaku2 bhikhu [Sumber: di sini]
Ternyata setelah menulis itu ybs mengatakan spt ini:
- "Teman2 bhante menulis Postingan dengan kalimat kasar itu sengaja justru untuk memancing anda komen. jadi rame dan biar anda berpikir. Sekaligus untuk menguji anda yg suka teori Dharmanya tinggi2, ingin tahu isinya ternyata tdk bisa mengendalikan batinnnya." [Sumber: di sini]
Hehehehe...kesian ya..tulisan di atas malah menyajikan BUKTI PENTING,yaitu setelah konco2nya berdalih ini adalah di hack, tulisan di atas merupakan bukti ke-2, bhw account ybs 100% tidak di hack!
Bukti ke-1 nya sbb:
- Teman2 postingan itu pertnyaan dri umat, ada yg sdh lama ada yg baru, krn dlm Diskusi Dharma bhante kdang bnyak umat yg tnya tdk fokus ke Topik Diskusi, bhante simpan, spt sdr.Stephan Halim tnya di luar topik, maaf yg delete, kdang dayaka/ kappiya maaf bukan Jongos, yah. [Sumber: di sini]
Perhatikan kalimat, "maaf yg delete, kdang dayaka/ kappiya maaf bukan Jongos, yah"
Kemudian,
Bagaimana ybs memulai dengan ucapan JONGOS, maka anda PERLU baca INI (klik!)
- [Bhante Sudhammacaro:]
Diskusi Dharma; Tanya: Bhante, di Indo bnyak umat Buddha hingga ribuan msh muda2, tp yg mau jd bhikkhu sangat minim. Padahal mereka sdh tahu jd bhikkhu bs membantu anggota Sanggha dg tugas yg bnyak d berat. Juga berkahnya amat mulia. Apa karena Mereka ada Kelainan Gen/DNA atau Penakut? Mereka malah lbh suka Memilih jd JONGOS nya para bhkkhu. Padahal Mereka tdk Kerja (LL), Nikah tdk mau krn BOKE, malah milih jd Bandot Tua, senengnya Cuma jd NUHIGA. Jadi Menurut Pandangan Dharma sang Buddha apa Sebabnya? Gimana menurut Temen2. Teman2 tlg ks koment yg benar dan berguna, sadhu.
Tlg yg suka komen di wall ini agar jujur menuliskan Pekerjaannya apa, trims sadhu.
Catatan (Maaf Jangan Marah):
Kelainan Gen/DNA: Gen artinya Genetik/ DNA ialah spt BENCONG/ BANCI, kalau bahasa Pali PANDAKA.
JONGOS: dari bahasa Sunda/Jawa yg artinya bisa Pembantu, Pegawai, atau Pesuruh.
LL: artinya luntang-lantung alias nganggur.
Boke: artinya tdk punya Uang yg cukup untuk Nikah.
Bandot Tua: artinya Bujang Lapuk, Jejaka tdk Laku.
NUHIGA: Istilah Plesetan yg artinya NUMPANG HIDUP GRATIS.
INGAT! Diskusi Dharma inipun termasuk Latihan Pengendalian Batin, cb Perhatikan bagaimana Gejolak Batin anda waktu membaca ini. Lalu wkt memberi komen hrs bagaimana yg kira2 sesuai Dharma, demi manfaat orang banyak. Apakah Emosi, Benci, Dendam, Sok Pinter, Munafik dan Kebodohan msh DERAS KELUAR, atau sdh agak berkurang, dst…
Latihan Pengendalian Batin jng hnya wkt enak2, enjoy, dipuji, disanjung, tdk ada guncingan. Namun, Latihan Pengendalian Batin yg sebenarnya saat2 spt ini, yg amat menguntungkan demi Kemajuan Batin anda, sebagai Ujian Batin.
Silahkan komen temen2 sebelumnya trims atas perhatian anda semua.[Baca tanggapan tentang itu: di sini]
dan ini (klik!)
- [Wirajhana Eka:]
Bhante Sudhammacaro,
Setelah sy pikir2, maka status bhante yang ini:
- Tanya: Bhante, di Indo bnyak umat Buddha hingga ribuan msh muda2, tp yg mau jd bhikkhu sangat minim. Padahal mereka sdh tahu jd bhikkhu bs membantu anggota Sanggha dg tugas yg bnyak d berat. Juga berkahnya amat mulia. Apa karena Mereka ada Kelainan Gen/DNA atau Penakut? Mereka malah lbh suka Memilih jd JONGOS nya para bhkkhu. Padahal Mereka tdk Kerja (LL), Nikah tdk mau krn BOKE, malah milih jd Bandot Tua, senengnya Cuma jd NUHIGA.[..], [Detail lengkapnya: di sini]
menjadi semakin sangat menarik buat saya, karena:
a. Alur kejadian yg berkesinambungan dengan fakta historikal atas kejadian yg telah dialami Bhante sebelumnya yang MUNGKIN SAJA telah menimbulkan efek psikologis traumatis pada diri bhante
b. Tulisan tersebut membutuhkan penyitaan waktu pemikiran khusus di sebelum, saat, membaca ulang dan koreksi sebelum mengirimkan serta membaca lagi feedback tulisan dalam beberapa kurun waktu sebelum mereda dengan sendirinya. Ini menunjukan pikiran bhante sangat melekat pada pemikiran ini.
c. Penggunaan HURUF BESAR pada beberapa kata sebagai efek penarik perhatian pembaca pada kata itu, menunjukan ada indikasi bahwa pertanyaan itu bukanlah pernyataan real namun pertanyaan imaginer.
Saya tidak mampu menetapkan 1 arti/maksud yg pasti pada status bhante di atas, karena terdapat banyak kemungkinan maksud pada status itu, diantaranya:
1. "gw adalah bhikku sehingga ngga masuk di definisi tsb".
2. "Apapun yg gw lakukan, gw kan Bhikkhu..sementara anda masih mengais jasa kebaikan dari kami".
3. "apapun tingkah kami, kalian itu tidak selevel dengan kami".
4. "Apapun lo omongin, toh faktanya kalian cuma bisa omdo [omong doang], sementara kami jelas tidak. Sekurangnya kami terjun langsung di posisi praktek tidak melekat. Ttg Dhamma, kami bukan sekedar tau tapi sudah mempraktekan, ketika kami menyatakan dengan kata meminta pendapat, maka itu cuma basa-basi, karena apapun yg kalian sampaikan toh cuma omdo dan tidak seperti kami yaitu dengan praktek"
5. "kalo saya saja mampu jadi bhikkhu...maka kenapa anda masih saja ragu2"
6. Kemungkinan motif agar tertanam persepsi NEGATIF dari para pembaca mengenai para bhikkhu.
Point 1-4, menunjukan pikiran yg tidak positif.
Poin ke-5, menunjukan ada sikap batin metta, karuna dan muddita.
Point ke-6 menunjukan adanya satu indikasi motif yg tentu saja belum tentu benar
Untuk itu bhante,
Dari 6 (enam) kemungkinan tersebut diatas, maka bhante berada di posisi no. berapa?
Koment dan arahan dari bhante sangatlah berharga untuk saya nantikan, silakan bhante berkenan menjawab.
Anumodana.
[note:
Kepada para Moderator, jika pertanyaan dan pernyataan di atas dianggap tidak mencerminkan semangat grup ini, maka mohon jangan ragu-ragu untuk menghapusnya. Tks] [Baca tanggapan tentang itu: di sini]
O ya, manusia berkostum bhikkhu ini ternyata doyan angpapo!
- " Tapi, ada saja pengurus wihara yg tahu bhante dan mau undang bhante untuk terima Angpao Kathina. Nanti terakhir di Binus tg 13, total cuma tiga kali Panen dalam bulan Kathina ini. " [Di ambil oleh Sonie halim dari grup "Bebas berdialog agama Buddha", kepunyaan MUDITA DEWI, lihat: di sini]
Perhatikan tulisan di atas!
Sungguh tidak ada rasa MALU...Ybs beranggapan pelanggarannya [dukkhata] tidak masalah karena "cukup baca Ajja me uposatha 3x..lunas."
LUNAS?....
PENGERTIAN aliran mana yg mengartikan PERBUATAN BURUK adalah LUNAS dengan mengucapkan hal ini?
Telak2 disini, aliran theravada tidak pernah menyatakan kamma buruk akan lunas dengan mengucapkan ajja me uposatha!
Orang ini jelas2 BUKAN THERAVADA!
Satu set prilaku buruk dengan menyamar memakai jubah dan melakukan perbuatan buruk menghina Bhikkhu2 lain, memfitnah bhikkhu2 lain dan terutama MELAKUKAN KAMMA BURUK dengan menghina dan memburuk2an sangha...mengindikasikan bhw ada motif tertentu yang MELATARBELAKANGI HAL INI!
Ybs dan KRONINYA gw duga berasal dari aliran NON theravada!
Motifnya gw duga cuma sekedar uang..uang..dan uang!
Kelihatannya para umat alirannya udah mulai pada cerdas...mereka mulai tau bahwa aliran mereka TIDAK BERSANDARKAN SUTTA...Sehingga makin ditinggalkan dan penghasilan pengurusnya menurun...cilakanya tindakan recovery yg dilakukan hanyalah memupuk kamma buruk...dan ketauan pula BELANGNYA!
Nah,
Untuk bahan verifikasi asal muasal dan tulisan2 yang membuat terbukanya kedok sang srigala berbulu domba yg doyan angpau ini silakan lihat sendiri detailnya pada status Facebook: ke-1, ke-2, ke-3, ke-4,ke-5, ke-6, ke-7 dan ke-8
Selamat membaca:)
note:
Pada tanggal, 18 Maret 2006, pada RaPim Sangha Theravada Indonesia, ybs membuat surat pengunduran diri tulis tangan, yang isinya antara lain menyatakan, "Dengan demikian segala tindak tanduk atau kesalahan yang dilakukan oleh saya mulai hari ini diluar tanggung jawab Sangha Theravada Indonesia. Mohon maaf bilamana ada kesalahan melalui ucapan perbuatan yang saya lakukan selama ini, semoga dikemudian hari saya akan menjadi lebih baik."
Pada tanggal, 19 Maret 2006, Pengunduran dirinya di terima, dan terdapat kalimat diantaranya, "selanjutnya apapun yang dilakukan oleh Bhikkhu Sudhammacaro tidak mempunyai keterkaitan dengan Sangha Theravada Indonesia."
Tindaklanjut Sangha Theravada Indonesia berikutnya adalah mengirimkan surat pemberitahuan kepada semua pihak, baik masyarakat buddhis maupun non buddhis, majelis atau lembaga keagamaan yang isi antara lain mengumumkan bahwa ybs, "BUKAN SEBAGAI ANGGOTA SANGHA THERAVADA INDONESIA, dan segala apapun yang dilakukan oleh Bhikkhu Sudhammacaro tidak lagi mempunyai keterkaitan dengan Sangha Theravada Indonesia."
Perlu diketahui,
ADALAH ANEH jika seseorang Bhikkhu mengundurkan diri hanya karena persoalan pribadi, sehingga tentunya terdapat persoalan besar yang melatarbelakangi hal ini dan diantaranya adalah pelanggaran Vinaya kebhikkhuan, yaitu tidak mengajarkan hal-hal yang berbau klenik dan tidak mendukung itu baik secara langsung maupun tidak misalnya dalam menterjemahkan yang berisi ajaran-ajaran tersebut, mencetak dan juga mendapat keuntungan daripadanya serta aktif menerima/mengumpulkan uang, mengatur uang masuk kedalam rekeningnya sendiri dengan menggunakan nama premannya sendiri sebelum ia menjadi bhikkhu:
Goey Tek Jong-BCA-407019xxxx-Jakarta.
Laporan Dana dan minta dikirim buku email: b_sudhammacaro@yahoo.com
website Fenomena Dhamma: http/www.sudhammacaro.blogspot.com.
facebook: Bhante Sudhammacaro.
[sumber: sudhammacaro.blogspot.com]
Laporan Dana dan minta dikirim buku email: b_sudhammacaro@yahoo.com
website Fenomena Dhamma: http/www.sudhammacaro.blogspot.com.
facebook: Bhante Sudhammacaro.
[sumber: sudhammacaro.blogspot.com]
Apa Implikasi dari hal ini?
Ini merupakan PELANGGARAN VINAYA Nissaggiya Pacittiya 18, 19 dan 20, tentang tidak boleh menerima/menyimpan uang [barang berharga] [lihat di sini]. Dalam AN.4.62 [2.53],Sang Buddha mengatakan noda bagi para brahmana adalah sebagai berikut:
- Demikian pula, para bhikkhu, ada empat kekotoran bagi para petapa dan brahmana. Karena dikotori olehnya, beberapa petapa dan brahmana tidak bersinar, menyala dan memancarkan sinarnya. Apakah yang empat itu?
[..]
Kemudian ada beberapa petapa dan brahmana yang menerima emas dan perak, yang tidak menjauhkan diri dari menerima emas dan perak. Inilah kekotoran ketiga bagi para petapa dan brahmana. Karena dikotori olehnya, beberapa petapa dan brahmana tidak bersinar, menyala dan memancarkan sinarnya.
[..]
Para bhikkhu, inilah empat kekotoran batin bagi para petapa dan brahmana. Karena dikotori olehnya, beberapa petapa dan brahmana tidak bersinar, menyala dan memancarkan sinarnya.36
Catatan Kaki:
36 Dari empat kekotoran batin bagi para petapa, ..menerima emas dan perak (termasuk juga apa pun yang berfungsi sebagai alat penukar moneter) di bawah Nissaggiya-pacittiya 18.
Juga dalam sutta Maniculaka Sutta [SN 42.10]:
- Pada satu kesempatan yang Terberkahi tinggal di Räjagaha di mana tupai-tupai dan burung-burung diberi makan bernama Veluvana. Saat itu di Istana Räja, anggota kerajaan sedang mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan tersebut muncul perbincangan di antara mereka sebagai berikut;
Emas, perak, dan uang adalah layak bagi para bhikkhu yang merupakan putra-putra dari Pangeran Sakya (Buddha). Bhikkhu-bhikkhu tersebut yang merupakan putra-putra dari Pangeran Sakya menyetujui emas, perak, dan uang. Para bhikkhu yang merupakan putra-putra Pangeran Sakya menerima emas, perak, dan uang.
Namun pada saat itu Maniculaka sang kepala desa juga turut hadir dalam pertemuan itu dan ia mengatakan dalam pertemuan itu sebagai berikut;
O tuanku, janganlah berkata demikian. Emas, perak, dan uang tidaklah layak bagi para bhikkhu yang merupakan putra-putra Pangeran Sakya. Putra-putra Pangeran Sakya tidaklah menyetujui juga tidak menerima emas, perak, dan uang. Mereka telah melepaskan keterikatan pada emas,peermata, dan tanpa uang.
Tetapi Maniculaka Sang kepala desa tidak mampu meyakinkan pertemuan tersebut. Maka Maniculaka menjumpai Sang Buddha setelah menghampirinya, bersujud, dan duduk di satu sisi. Selagi duduk di satu sisi Maniculaka sang kepala desa berkata kepada Yang Terberkahi;
'Bhante, di Istana Räja para anggota kerajaan sedang berkumpul (dan ia mengulangi semua yang ia ucapkan seperti di atas) tetapi bhante, saya tak mampu untuk meyakinkan pertemuan tersebut.
'Bhante, dengan menjelaskan seperti itu apakah saya telah berbicara sesuai dengan apa yang Bhante katakan ataukah saya telah salah dalam menggambarkan apa yang Bhante katakan? Apakah jawaban yang saya berikan sesuai dengan ajaran atau akankan seseorang yang berbicara sesuai dengan ajaran ini menemukan alasan untuk mengecam saya?
'Anda benar, kepala desa, dengan menjelaskan secara demikian, dia adalah orang yang berbicara sesuai dengan kata-kataKu dan tidak salah dalam menggambarkannya. Anda telah menjawab sesuai dengan ajaran ini dan seseorang yang berbicara sesuai dengan ajaran ini tidak akan menemukan alasan untuk mengecam anda.
'Untuk itulah, kepala desa, emas, perak, dan uang tidaklah layak bagi para bhikkhu keturunan putra-putra Pangeran Sakya. Merekapun tidak menyetujui emas, perak atau uang, juga tidak menerima emas, perak dan uang. Mereka semua telah melepaskan kepemilikan terhadap emas dan permata dan juga tanpa uang
'Kepala desa, untuk siapapun emas, perak dan uang jika diperbolehkan maka baginya kelima kenikmatan indria dapat diperolehnya. Bagi siapapun kelima kenikmatan indria diperbolehkannya maka anda dapat memastikan', Dia tidak memiliki sifat bawaan seorang bhikkhu, dia tidak memiliki sifat bawaan dari putra seorang Pangeran Sakya.
'Kepala desa, inilah yang benar-benar Kukatakan, 'Seorang bhikkhu yang membutuhkan rumput, rumput dapat dicarinya. Bagi bhikkhu yang membutuhkan kayu, kayu dapat dicarinya. Bagi bhikkhu yang membutuhkan kereta, kereta dapat dicarinya. Tetapi kepala desa, saya juga katakan. Tidak dalam cara apapun emas, perak atau uang dapat diterima atau dicari.
Dan Ia langgar itu!
Sudhamacaro alias Goey Tek Jong juga mengaku di Upasampada [tahbiskan] oleh SanghaRaja Somdet Phra Nyanasamvara seperti juga para pendiri dari Sangha Theravada Indonesia. Sehingga, mereka semua [Somdet Phra Nyanasamvara, Ia dan Sangha Theravada Indonesia] mengikuti vinaya dan vatta (tugas-tugas) sesuai aliran Dhammayutika.
Di atas disampaikan bahwa ke-2 Aliran Theravada Thailand tetap bermonastik pada 1 Badan yang diketuai oleh sangharaja. Jadi, ketika Ia mengundurkan diri, maka ia tidak hanya mengundurkan diri dari organisasi sangha Theravada Indonesia, namun sekaligus bukan lagi Bhikkhu anggota Sangha dari Theravada!
5 (Lima) tahun lebih telah berlalu dari peristiwa itu, namun tidak kurang banyak statement ngawur tak berdasar yang dihujankannya ke mana-mana. Rupanya kebiasaan buruk sudah merupakan bagian dari wataknya sendiri sehingga kelakuannya tak kunjung berubah.
Misalnya saja pada kejadian di Facebook,
Admin dan anggota di grup Dhammacitta, bertanya banyak hal, di antaranya apakah ybs tidak pernah terima uang dan juga meminta klarifiksi darinya atas beberapa pernyataan darinya yang tidak benar.
Mau tau apa jawabannya?
BUNGKAM, BUNGKAM, BUNGKAM dan BUNGKAM..hingga akhirnya Ia ditendang dari situ :)
Dengan kekacauan sikap dan prilakunya, Ia sama sekali tidak menyerupai orang yang pernah bertahun-tahun menjadi Bhikkhu, dan bahkan tingkahnya itu telah membuatnya, BUKAN SAJA di tendang dari Sangha Theravada, namun juga ditendang dari berbagai grup Buddhis yang ada di FACEBOOK!
Rupanya, bagi SEKTE NON THERAVADA, kelakuan-kelakuan yang melanggar DHAMMA dan VINAYA ke-Bhikkuan adalah hal yang wajar-wajar saja dan Ia malah dielu-elukan..
Sungguh..sesuatu banget, bukan?!
[sumber: dari tulisan di sini dan di sini, yang merupakan hasil komentar dan tanggapan dari buanyak orang]
Akhir kata,
BERJUBAH dan GUNDUL belum tentu BHIKKU, Waspadai BHIKKU pelanggar VINAYA yang sudah dikeluarkan dari KEANGGOTAAN SANGHA namun masih menyamar menjadi BHIKKHU. waspadai Penipu yang berjubah dan mengaku Bhikkhu.
Gambar berasal dari sini di sini, di sini, di sini dan di sini
Catatan:
[1] ekabhattikā rattūparatā viratā vikālabhojanā, (makan 1x sehari, tidak di malam hari, tidak makan di luar waktu layak: vikāla = majjhanhike vītivatte yāva aruṇuggamanā/lewat tengah hari sampai (warna kemerahan sebelum) matahari terbit - Ibid, hal.388. Tengah hari: bayangan lewat 2 jari - Khandhaka 22).
Para Arahat, sepanjang hidup [Yāvajīvaṃ] makan 1 x SEHARI [ekabhattikā], tidak di malam hari [rattūparatā], tidak makan di luar waktu layak [virataṃ vikālabhojanā]. Hari ini, selama sehari semalam ini, aku juga akan MAKAN 1x SEHARI, tidak di malam hari dan tidak makan di luar waktu layak. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha akan kujalankan.’ [AN 8.41-42/Uposatha Sutta. Juga di AN 3.70 dan AN 8.43, kepada umat awam PEREMPUAN, Visākhā Migāramātā]
Umat awam bernama Gavessi jaman Buddha Kassapa: makan 1x sehari, tidak di malam hari, tidak makan di luar waktu layak (ekabhattikaṁ..rattūparataṁ virataṁ vikālabhojanā)" [AN 5.180]
Ghaṭīkāra, umat awam jaman Buddha Kassapa (anagami): makan 1x sehari (ekabhattiko) [MN 81]
Jika umat awam melatih makan 1x, selayaknya para bhikkhu berlaku demikian:
Sang Buddha kepada Para Bhikkhu: Mereka para samana dan brahmin (ye te samaṇabrāhmaṇā) makan 1 x sehari (ekabhattikā), tidak di malam hari (rattūparatā), tidak makan di luar waktu layak (viratā vikālabhojanā) [AN 5.228]
"Seorang Tathāgata muncul di dunia ini,....Seorang perumah-tangga..mendengarkan Dhamma itu..ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Setelah meninggalkan keduniawian demikian, memiliki latihan dan GAYA HIDUP KEBHIKKHUAN...Ia berlatih makan 1x sehari, tidak di malam hari, tidak makan di luar waktu layak" (ekabhattiko..rattūparato virato vikālabhojanā) [DN 1: Sang Buddha makan 1x sehari; DN 2: Sang Buddha kepada Raja Ajātasattu; AN 4.18, AN 10.99; MN 27, 38, 51, 112, Di MN 94: Yang Mulia Udena kepada Brahmana Ghoṭamukha; di MN 101 Sang Buddha kepada para Bhikkhu]
YM Mahākaccāna kepada Soṇa Koḷivisa (tentang menjadi Bhikkhu): "Seumur hidup (yāvajīvaṁ Makan 1x sehari (),... " [Ud 5.6, Vinaya Mahavagga Kd 5/Cammakkhandhaka]
YM Mahā Kaccāna kepada Raja Avantiputta dari Madhurā, tentang gaya hidup kebhikkhuan: tidak di malam hari, makan 1x sehari (rattūparato, ekabhattiko) [MN 84]
Devata kepada Sang Buddha: "...makan 1x sehari (ekabhattaṁ bhuñjamānānaṁ.." [SN 1.10]
Angulimala-pun setelah menjadi Bhikkhu, makan 1x sehari (ekabhattikaṁ) [MN 86]
Makan 1x sehari di waktu layak bagi para bhikkhu adalah vinaya/disiplin:
Sang Bhagavā kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, pernah terjadi suatu peristiwa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu. Di sini Aku berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Aku MAKAN 1x SEHARI [ekāsanabhojanaṃ]. Dengan melakukan hal itu, Aku terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman. Ayo, para bhikkhu, MAKAN 1x SEHARI. Dengan melakukan hal itu, kalian akan terbebas dari penyakit....’
Dan Aku tidak perlu terus menerus memberikan INSTRUKSI SEHARUSNYA (anusāsanī karaṇīyā) kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu MEMBANGKITKAN INGATAN SEHARUSNYA (satuppādakaraṇīya) di diri mereka....Oleh karena itu, para bhikkhu, tinggalkanlah hal tidak bermanfaat dan tekunilah hal bermanfaat (Tasmātiha, bhikkhave, tumhepi akusalaṁ pajahatha, kusalesu dhammesu āyogaṁ karotha), karena kalian dalam DHAMMA DISIPLIN ini (evañhi tumhepi imasmiṁ dhammavinaye) mencapai kemajuan, peningkatan dan pemenuhannya (vuddhiṁ virūḷhiṁ vepullaṁ āpajjissatha)" [MN 21]
Sang Buddha: “Para bhikkhu, Aku MAKAN 1x SEHARI [ekāsanabhojanaṃ: makan 1x sehari pada 1x duduk - Vinaya VI, ITC, cetakan 3, cat kaki 882, hal.455, 636]. Dengan melakukan demikian, Aku bebas dari penyakit dan kesengsaraan, dan Aku menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Marilah, para bhikkhu, MAKAN 1x SEHARI. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan kesengsaraan,..."
Yang Mulia Bhaddāli: “Yang Mulia, Aku tidak mau MAKAN 1x SEHARI; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”
Sang Buddha: “Kalau begitu, Bhaddāli (Tena hi tvaṁ, bhaddāli), makan disana 1 bagian di mana ENGKAU DI UNDANG (yattha nimantito assasi tattha ekadesaṁ bhuñjitvā), lagi 1 bagiannya dimakan nanti (ekadesaṁ nīharitvāpi bhuñjeyyāsi). Dengan memakan demikian, engkau akan memelihara tubuhmu.”
Yang Mulia Bhaddāli:“Yang Mulia, Aku tidak mau makan dengan cara itu juga; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”
Kemudian, Yang Mulia Bhaddāli (Atha kho āyasmā bhaddāli), terhadap aturan latihan yang ditetapkan Sang Bhagavā kepada bhikkhu sangha untuk menjalaninya (bhagavatā sikkhāpade paññāpiyamāne bhikkhusaṅghe sikkhaṁ samādiyamāne), menyatakan penolakan (nussāhaṁ pavedesi). Kemudian Yang Mulia Bhaddāli tidak menghadap Sang Bhagavā selama 3 bulan [masa vassa], seperti yang terjadi pada seseorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.
[..]
Kemudian Yang Mulia Bhaddāli mendatangi para bhikkhu..mereka berkata kepadanya: “...di akhir 3 bulan [masa vassa], Sang Bhagavā akan melakukan pengembaraan. Mohon, teman Bhaddāli, perhatikanlah nasihat ini. Jangan biarkan hal ini mempersulitmu kelak.”
Yang Mulia Bhaddāli:: “Baik, teman-teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, aku, terhadap aturan latihan yang ditetapkan Sang Bhagavā kepada bhikkhu sangha untuk menjalaninya, menyatakan penolakan. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku dilihat seperti demikian demi pengendalian di masa depan.”[..]
Sang Buddha: “Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan melakukan kesalahan besar, terhadap aturan latihan yang ditetapkanKu...menyatakan penolakan, tetapi sejak engkau, Bhaddāli (yato ca kho tvaṁ, bhaddāli), melihat pelanggaran lalumu dan memperbaikinya sesuai Dhamma (accayaṁ accayato disvā yathādhammaṁ paṭikarosi), maka kami menerimanya (taṁ te mayaṁ paṭiggaṇhāma), karena adalah kemajuan dalam DISIPLIN YANG MULIA (vuddhihesā, bhaddāli, ariyassa vinaye), jika seseorang melihat pelanggaran lalunya dan memperbaikinya sesuai Dhamma (yo accayaṁ accayato disvā yathādhammaṁ paṭikaroti) agar mencapai pengendalian di masa depan (āyatiṁ saṁvaraṁ āpajjati)... [MN65/Bhaddali sutta]
Sang Buddha menyatakan Bhikkhu tertentu sebagai SESAT [moghapurisā], ketika tidak mengindahkan INSTRUKSI makan 1x sehari (yaitu sebelum tengah hari) di waktu layak:
Yang Mulia Udāyin kepada Sang Buddha: "Yang Mulia, SEBELUMNYA kami terbiasa makan DI SENJA/MALAM HARI (sāya), DI PAGI HARI (pāto), DAN SIANG (divā) di luar waktu layak (vikāle). Kemudian..Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, MAKAN DI SIANG HARI DI LUAR WAKTU LAYAK (divāvikālabhojanaṁ) TINGGALKANLAH (pajahathā’ti) .’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah-tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami di siang hari di luar waktu layak (divā vikāle), namun Sang Bhagavā meminta kami meninggalkannya, Yang Sempurna meminta kami melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan disiang hari diluar waktu layak.
Kemudian kamu hanya makan dimalam hari dan dipagi hari. Kemudian..Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, MAKAN DI MALAM HARI DI LUAR WAKTU LAYAK (rattiṁvikālabhojanaṁ) TINGGALKANLAH (pajahathā’ti).’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘KEMUDiAN JUGA TIDAK PADA MAKAN 2X KAMI YANG BAIK (yampi no imesaṁ dvinnaṁ bhattānaṁ paṇītasaṅkhātataraṁ), Sang Bhagava meminta kami meninggalkannya (tassapi no bhagavā pahānamāha), Yang Sempurna meminta kami melepaskannya (tassapi no sugato paṭinissaggamāhā’ti) ’...Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, KAMI MENINGGALKAN MAKAN dI MALAM HARI DI LUAR WAKTU LAYAK.
“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku melalui cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ Aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu yang sedang mengumpulkan dana makanan.’—‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati! Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā untuk kami!.. Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan...Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”
Sang Buddha: “Demikian pula, Udāyin, TERDAPAT ORANG-ORANG SESAT di sini yang, ketika Aku mengatakan: ‘Tinggalkan ini,’ mengatakan: ‘Apalah hal kecil dan remeh seperti ini? Petapa ini terlalu cerewet!’ DAN MEREKA TIDAK MENINGGALKAN HAL ITU (Te tañceva nappajahanti) DAN MEREKA MENUNJUKAN SIKAP TIDAK SOPAN TERHADAPKU (mayi ca appaccayaṁ upaṭṭhāpenti), SERTA PADA PARA BHIKKHU LAIN YANG MENYUKAI LATIHAN (Ye ca bhikkhū sikkhākāmā tesaṁ taṁ)... [MN 66/Perumpamaan burung Puyuh]
Aturan makan 1x sehari, dijabarkan lebih detail dalam vinaya/patimokkha [Vinaya II, ITC, 2012, hal. 347-398], ringkasnya:
Āvasathapiṇḍasikkhāpadaṃ/Tempat derma makan untuk umum: Menerima makanan (dan makan) di tempat pemberian dana makan untuk umum/siapa saja, hanya boleh 1x, kecuali jika sakit, jika tidak sakit dan lebih dari 1x, pelanggara Pacittiya, jika ragu sedang sakit atau tidak, lebih dari 1x, pelanggaran dukkata [hal.347-350]
Gaṇabhojanasikkhāpadaṃ/makan secara berkelompok: makan bersama oleh para bhikkhu (yaitu 4 Bhkkhu atau lebih), setelah berulang-ulang meminta di antara para perumah tangga, kecuali waktu layak (yaitu sedang sakit; waktu pemberian jubah; waktu pembuatan jubah; waktu bepergian dengan para pria lainnya; waktu sedang di atas perahu; waktu ada mahāsamaya/rombongan besar para bhikkhu yang jarang terjadi dan waktu makan samaṇabhattasamaya/perkumpulan petapa lainnya) adalah pelanggaran Pacittiya, jika ada niat terjadi di luar waktu layak, pelanggaran dukkata. [hal.350 - 362]
Paramparabhojanasikkhāpadaṃ/undangan makan: Pekerja miskin bawahan Kirapatika hendak berdana makan kepada sang Buddha dan bhikhu sangha, Ia berkata kepada Bhagawan, “Bhante, semoga Bhagawan, bersama Sangha Bhikkhu, berkenan menerima makanan dari saya besok.” Sang Buddha: “Tetapi, Saudara,..Sangha Bhikkhu banyak.” Pekerja miskin: “Bhante, semoga Sangha Bhikkhu banyak. Saya akan menyiapkan buah bidara cina yang banyak, akan lengkap dengan jus buah bidara cina untuk diminum.”
....Para bhikkhu setelah mendengarnya: “Sangha Bhikkhu, pimpinan Sang Buddha diundang besok oleh seorang pekerja miskin. Akan dilengkapi dengan jus buah..”. Orang-orang yang mendengarnya: “Sangha Bhikkhu...diundang (makan) oleh pekerja miskin itu.” Orang-orang ini membawa makanan pendamping dan makanan utama yang banyak untuk pekerja miskin itu...pekerja miskin itu,..pun telah menyiapkan makanan pendamping dan makanan utama yang mewah. (tapi) Para bhikkhu ini makan, setelah berjalan mengumpulkan derma makanan pagi itu.
Kepada Bhagawan, ia memaklumkan waktunya, “Sudah waktunya, Bhante, makanan telah siap.”
Sang Buddha, membawa patta, menuju rumah pekerja miskin bersama Sangha Bhikkhu,..pekerja miskin melayani para bhikkhu di ruang makan.
Beberapa bhikkhu: “Saudara, berikan sedikit saja” Pekerja miskin: “Bhante, janganlah mengambil begitu sedikit dengan berkata, ‘Ini adalah seorang pekerja miskin.’ Banyak makanan pendamping dan makanan utama disiapkan orang untuk saya. Terimalah sebanyak yang disukai”. Beberapa Bhikkhu: “Saudara, bukan karena hal ini kami mengambil sedikit, tetapi, karena kami telah makan setelah mengumpulkan derma makanan pagi ini..”
Pekerja miskin itu memandang rendah, mencela, protes, “Mengapa para Yang Mulia, setelah diundang saya, makan di tempat lain? Apakah saya tidak mampu memberi sebanyak yang disukai?” Para bhikkhu pun mendengar pekerja miskin ini...menyebarluaskannya. Para bhikkhu yang bersahaja...protes, “Mengapa beberapa bhikkhu ini, setelah diundang di suatu tempat, makan di tempat lain?” ...
"Benarkah, para bhikkhu, bahwa setelah diundang di suatu tempat, makan di tempat lain?"
“Benar, Bhagawan.”
Sang Buddha mengecam mereka.... Aturan: Makan di luar giliran (bukan di tempat yang mengundang), pelanggaran pacittiya.” [hal.362-365]
- Note:
Paraṃparabhojane. Vin. Text i. 38, “pelanggaran pacittiya menerima makanan bergiliran,” dengan catatan (q.v.), “Yaitu, dalam memilih makanan atau undangan-undangan berbeda. Para bhikkhu seyogianya makan berdasarkan apa yang diberikan, dan menerima undangan berurutan yang mereka terima.” P.E.D. menerjemahkan frasa seperti “menerima makanan berurutan”, pemberian derma makanan secara berurutan. Gogerly, J.R.A.S.,1862, hlm. 445, mengambil intisari tanpa ketepatan sesuai kenyataan, “Jika seorang bhikkhu makan makanan biasanya (hasil pindapata) ketika ada sebuah undangan makan, kecuali waktu layak, adalah pelanggaran pacittiya.” Juga Dickson, J.R.A.S., 1876, hlm. 112, “Sebuah pelanggaran terjadi ketika seorang bhikkhu menerima makanan di urutan yang lain yang ditawarkan kepadanya.” Huber, J. As., Nov. – Des., 1913, tidak mencoba menerjemahkan. Path of Purity i. 76 menyebutnya “makanan berikutnya setelah penerimaan makanan sebelumnya”. Makanan jenis ini tidak boleh diterima oleh piṇḍapātika, orang yang mengumpulkan derma makanan.
Sang Buddha bersama Ananda mendatangi seorang perumah tangga,..orang-orang memberikan makanan kepada Bhagawan dan Ananda. Ananda menolak makan di tempat itu, karena telah menerima undangan makan ditempat lain, sang buddha: Setelah memberikan (undangan itu ke bhikkhu lainnya), agar menerima makanan ini. Aturan: "Diizinkan, setelah memberikan (undangan makan ke bhikkhu lain), makan makanan di luar giliran (tidak makan ditempat undangan)" [hal. 367]
Bukan pelanggaran jika pada waktu layak; Ia makan, SETELAH memberikan (undangan makan ke bhikkhu lain); jika ada 2/3 undangan makan sekaligus (VA. 817, 2 atau 3 keluarga mengundangnya, dan ia memasukkan makanan itu ke dalam 1 patta, memakannya di satu tempat) [hal. 368-369]
Kāṇamātusikkhāpadaṃ/Tentang ibu Kana: Ibu Kana memberikan kue kepada 1 bhikkhu (membawa mangkok/patta), bhikkhu tersebut memberitahukan kepada yang ke-2 (bawa patta), yang ke-2 memberitahukan kepada yang ke-3 (bawa patta); Seorang umat sedang membawa karavan dagang, Seorang Bhikkhu (bawa patta) mendatanganinya, Upasaka ini memberikannya sattu/makanan terbuat dari tepung (barli), bhikkhu tersebut memberitahukan kepada yang ke-2 (bawa Patta), yang ke-2 kepada yang ke-3 (bawa Patta), yang ke-3 kepada yang ke-4 (bawa patta). Aturannya: Jika seorang bhikkhu, setelah mendatangi sebuah keluarga, setelah diundang untuk menerima kue/bubu, boleh menerima sampai sejumlah 2 atau 3 patta penuh (Setelah menerima 2 atau 3 patta, kembali dari sana, kepada bhikkhu lain agar diberitahukan, ‘2/ 3 patta diterima dari tempat itu, janganlah ke sana lagi’, Apabila menerima lebih dari itu, pelanggaran pacittiya. Setelah menerima 2/3 patta, kembali dari sana, harus dibagikan ke para bhikkhu (VA. 820: dari 2/3 patta, 1 bagian untuk dirinya, 1 atau 2 bagian diberikan ke Sangha). Inilah cara yang benar” [hal.369 - 375]
Paṭhamapavāraṇāsikkhāpadaṃ/setelah cukup makan: Para Bhikkhu menerima undangan makan dari seorang Brahmana, setelah makan mereka menyatakan cukup, beberapanya pergi makan ke tempat lain, beberapa lainnya berpindapata ke tempat lain. Aturan: Bhikkhu manapun, setelah makan, setelah puas dengan makan, apabila makan atau ikut menikmati makanan utama/pendamping (ditempat lainnya), pelanggaran pacittiya. [hal.375 - 376].
Beberapa bhikkhu pulang ke arama dengan makanan (setelah cukup makan, membawa yang sejauh jangkauan tangannya) untuk para bhikkhu sakit. Para bhikkhu sakit makan sedikit, sisanya dibuang. Aturan: Bhikkhu manapun, setelah cukup makan, apabila makan/ikut menikmati makanan utama/pendamping yang tidak disisakan (oleh bhikkhu sakit atau tidak sakit: makanan itu tidak diizinkan/tidak diterima/tidak terserahkan; tidak dalam jangkauan tangan; tidak disisakan bhikkhu yang belum makan/telah makan, telah bangkit duduk tapi tidak berkata, ‘Ini cukup,’), pelanggaran pacittiya. Bukan pelanggaran jika makan apa yang sisa (dari bhikkhu sakit/tidak sakit: dari yang dibawanya pulang; makanan itu diizinkan/diterima/diserahkan; dalam jangkauan tangan; disisakan bhikkhu yang telah makan/belum bangkit duduk dan berkata ‘Ini cukup,’) [hal. 376 - 382]
Dutiyapavāraṇāsikkhāpadaṃ/Setelah cukup makan II: 2 bhikkhu bepergian ke Savatthi, Bhikkhu ke-1 berperilaku tidak baik; bhikkhu ke-2 menasehatinya, bhikkhu ke-1 menggerutu padanya. Keduanya tiba dan makan di tempat makanan untuk Sangha yang disiapkan paguyuban di sana, Bhikkhu ke-2, sudah makan, sudah dipuaskan (dengan makanan). Bhikkhu ke-1, setelah mendatangi kerabatnya (mungkin kerabatnya juga anggota paguyuban), membawa makanan derma, menghampiri bhikkhu ke-2: “Makanlah, Awuso.” Bhikkhu ke-2: “Tidak perlu, saya sudah kenyang, Awuso.” Bhikkhu ke-1: “Awuso, makanan ini lezat, makanlah.” Bhikkhu ke-2 karena dipaksa Bhikkhu ke-1 memakannya. Bhikkhu ke-1: “Awuso, Anda berpikir saya harus dinasihati, sedangkan Anda, setelah makan, setelah dipuaskan, makan makanan utama yang tidak disisakan?” Bhikkhu ke-2: “Awuso, bukankah hal ini seharusnya diberitahukan sebelumnya?..seharusnya ditanyakan sebelumnya?” Lalu bhikkhu ke-2 melaporkan kejadian kepada para bhikkhu. Para bhikkhu yang bersahaja... mengajukan protes, “Mengapa seorang bhikkhu (bhikhhu ke-1), menawarkan seorang bhikkhu (ke-2) yang telah makan, yang telah dipuaskan, menawarinya makanan utama yang tidak disisakan?” ...Dilaporkan ke sang Buddha, Bhikkhu ke-1 dikecam. Aturan: Bhikkhu manapun, menawarkan seorang bhikkhu yang telah makan, yang telah dipuaskan (dengan makanan), apabila menawarinya makanan pendamping/utama yang belum disisakan, sambil berkata, “Mari, bhikkhu, makanlah/ikutlah menikmati,’ (Ia) mengetahui (tahu sendiri, atau orang lain atau yang ditawari memberitahukan), hendak mencari kesalahan karena makan, pelanggaran pacittiya. Bukan pelanggaran jika (bhikhu yang menawari) berpikir bahwa yang ditawari, belum dipuaskan, (tidak tahu ternyata) yang ditawari telah dipuaskan. Bhikkhu yang menawari menyebabkan makanan disisakan dan memberikannya, berkata makanlah atau bawa kepada lainnya, atau memberikan pada bhikkhu yang sakit [hal.382-386]
Vikālabhojanasikkhāpadaṃ/Makan di luar waktu layak: Kelompok 17 bhikkhu diberi derma makanan oleh sekelompok orang, setelahnya diberikan makanan pendamping. Ini dibawa pulang ke arama dan ditawarkan ke kelompok 6 bhikkhu. Kelompok 17 Bhikkhu akui bahwa mereka makan di luar waktu layak. Aturan: Bhikkhu manapun apabila makan/ikut makan makanan pendamping/utama di luar waktu layak, pelanggaran pacittiya [hal.386-388]
Sannidhikārakasikkhāpadaṃ/makanan yang disimpan: YM Belatthasisa, Upajjhaya bhikkhu Ananda, menetap di hutan, setelah pindapatta, membawa nasi ke arama, mengeringkan dan menyimpannya, saat membutuhkannya, Ia basahi air dan dimakan, setelah beberapa lama, Ia ke dusun untuk mengumpulkan derma makanan. Ketika ditanya para bhikkhu mengapa lama baru ke dusun, YM Belatthasisa menceritakan dan akui bahwa Ia makan makanan yang disimpan. Aturan: Bhikkhu manapun apabila makan/ikut menikmati makanan pendamping/utama yang disimpan, pelanggaran pacittiya. Bukan pelanggaran: Jika menyimpan sementara dan dimakan pada waktu itu, jika menyimpan untuk dimakan saat yāmakālikaṃ (penggal akhir malam/belum fajar meskipun sudah pagi, lawannya yāvakālika: lewat tengah hari sedikit tapi belum batas 2 jari), disimpan selama 7 hari dan memakannya dalam 7 hari, jika ada alasan memakannya selama hidup, jika pelakunya tidak waras atau jika pelakunya adalah yang pertama yang melakukan kesalahan [hal. 388-391]
Paṇītabhojanasikkhāpadaṃ/Makanan mewah: Kelompok 6 bhikkhu, setelah meminta makanan mewah untuk diri mereka (atthāya viññāpetvā), memakannya. Aturan: Makanan mewah apa saja, ghee, mentega segar, minyak, madu, sari tebu/air gula, ikan, daging, susu, dadih susu—Bhikkhu manapun, yang tidak sakit, yang meminta dan makan makanan mewah ini untuk diri sendiri, pelanggaran pacittiya.” [hal 391-394]
Dantaponasikkhāpadaṃ/Sikat gigi: seorang bhikkhu, menetap di pekuburan, tidak mau menerima derma dari orang-orang, tapi mengambil makanan yang diletakan untuk yang meninggal di pekuburan, kaki pohon, ambang pintu. Aturan: Bhikkhu manapun apabila makan makanan yang tidak diberikan, kecuali air dan pembersih/tusuk gigi (udakadantapona), pelanggaran pacittiya.” [hal 395 - 398]
spertinya, ini perlu dikirimkan ke email si BS, sukur2 klo nyadar.. walopun sebenernya pesimis juga sih..
BalasHapusmaap.. numpang comment doank :D