Minggu, 02 Januari 2011

Menunggangi Samsara: "Aku yang Mulai..Aku yang Mengakhiri.."


Terdapat satu pemikiran umum bahwa segala sesuatu tidak terjadi dengan sendirinya, pasti ada awalannya atau dengan kata lain, ada yang tercipta pertama kalinya. Jika preposisi ini dapat diterima, maka frase “segala sesuatu”, seharusnya juga termasuk tentang Tuhan, karena seharusnya, ada sebab atau awalan untuk keberadaannya, dan seharusnya ada sebab mengapa sampai melakukan penciptaan, bukan?! Cilakanya kitab-kitab pemuja Tuhan, tidak dapat menjelaskan sebab dan alasannya apalagi diajaran Abrahamic, panjangnya masa/tahun kebelakang ternyata tidak lebih dari 50.000 tahun [atau di sini], sementara dalam tradisi India saja, panjang tahun kebelakang bahkan sampai MILIARAN TAHUN tak hingga, malah Buddhisme menyatakan bahwa keyakinan terhadap keberadaan Tuhan sebagai pemikiran keliru:
    Apapun yang dialami seseorang, apakah itu perasaan: menyenangkan, menyakitkan atau perasaan bukan menyenangkan bukan menyakitkan, semua itu:

    1. disebabkan oleh tindakan lampau;
    2. disebabkan oleh kuasa TUHAN
      "Issaranimmānahetū’ ti issaranimmānakāraṇā, issarena nimmitattā paṭisaṁvedetī ti attho" (Disebabkan kuasa tuhan, Karena kuasa TUHAN, Dirinya mengalami sepenuhnya kuasa tuhan);
    3. tanpa penyebab dan tanpa kondisi

    yang jika sepenuhnya disidik/periksa, diteliti dan dibahas, akan berakhir pada suatu doktrin tanpa tindakan, SEKALIPUN SUDAH DITERAPKAN KARENA TRADISI [AN 3.61].
Beliau menyatakan hal tersebut, setelah menyelidiki seluruh masa/waktu kebelakang:
    mengingat ragam kehidupan lampau-Nya: 1 kelahiran, 2, 5, 10, 50, 100, 1000, 100.000, banyak Kappa menyusut/kontraksi, banyak Kappa mengembang, banyak Kappa kontraksi dan mengembang (anekepi saṃvaṭṭakappe anekepi vivaṭṭakappe anekepi saṃvaṭṭavivaṭṭakappe)[..]. Pengetahuan pertama pada malam waktu jaga ke-1 (rattiyā paṭhame yāme: 18.00 s/d 22.00)[..]
    melalui mata dewaNya, melihat mahluk-mahluk wafat dan muncul kembali di ragam alam, terhubung dengan karma mereka sendiri dibedakan menjadi inferior/superior, penampilannya baik/buruk, beruntung/sial;[..]. Pengetahuan ke-2 pada malam waktu jaga ke-2 [rattiyā majjhime yāme: 22.00 s/d 02.00][..]
    pengetahuan penyebab, cara penghancuran noda (asavakkhaya ñãna) dan mengakhir kelahiran kembali [..]. Pengetahuan ke-3 pada malam waktu jaga ke-3 [rattiyā pacchime yāme: 02.00 s/d 06.00] [MN 36/Mahasaccaka]

    Kappāni viceyya kevalāni (Setelah menyelidiki seluruh Kappa);
    Saṁsāraṁ dubhayaṁ cutūpapātaṁ (dua sisi perjalanan kematian-kelahiran);
    Vigatarajamanaṅgaṇaṁ visuddhaṁ (membersihkan debu kekotoran pikiran, memurnikannya);
    Pattaṁ jātikhayaṁ tamāhu buddhan”ti (mencapai berakhirnya kelahiran, itulah tercerahkan) [SnP 3.6/Sabhiya]

    Note:
    Arti "Kappa" (1) "masa/waktu"; (2) "bentukan (pada saṅkhāra/saṅkhata), kehendak (pada sankappa), keinginan dan pandangan", misal di Snp 3.6 yang sama: "..Devamanussesu kappiyesu, Kappaṁ neti tamāhu nhātakoti...Kappaṁ neti tamāhu ariyoti..", arti kappa = bentukan/kehendak. Oleh karenanya, "masa/waktu" adalah juga bentukan. Kata "saṁsāra" = pengembaraan/perjalanan yang tak berkesudahan
Dan syair beliau setelah mencapai kebuddhaan:
    Anekajāti samsāraṃ (Mengembarai ragam kelahiran kembali)
    sandhāvissaṃ anibbisaṃ (perjalanan sia-sia)
    'Gahakāraṃ' gavesanto (mencari 'Pembuat Rumah')
    dukkhā jāti punappunaṃ (menyakitkan, terlahir lagi dan lagi)
    Gahakāraka diṭṭhosi (Pembuat Rumah, telah ditemukan)
    puna gehaṃ na kāhasi (tak lagi dapat membuat rumah)
    sabbā te phāsukā bhaggā (semua sendimu telah hancur)
    gahakūṭaṃ visaṅkhataṃ (atapmu telah roboh)
    visaṅkhāragataṃ cittaṃ (bentukan pikiran telah dilucuti)
    taṇhānaṃ khayamajjhagā (belitan kehausan telah dihancurkan) [Dhammapada syair 153-154]
Ternyata, 'Si Pembuat Rumah' adalah kehausan (taṇhā)
    Anamataggoyaṃ, bhikkhave, saṃsāro (Tak berkesudahan, Para Bhikkhu, samsara/kelahiran kembali). Pubbā koṭi na paññāyati avijjānīvaraṇānaṃ sattānaṃ taṇhāsaṃyojanānaṃ sandhāvataṃ saṃsarataṃ. (Titik awal tak terlihat terhalang ketidaktahuan para makhluk yang terbelenggu kehausan diperjalanan samsara) [SN 15.1, SN 22.9, SN 56.35, dll]

    kehausan (taṇhā) yang disertai ketagihan dan kesenangan (nandirāgasahagatā), mencari kesenangan pada ini-itu (tatratatrābhinandinī) mengarah kepada kelahiran kembali (ponobbhavikā), haus akan: kesenangan indriya, menjadi sesuatu dan tidak menjadi sesuatu (kāmataṇhā, bhavataṇhā, vibhavataṇhā) [SN 56.11/Dhammacakkappavattana, tentang Dukkhasamudaya/Asalmula ketidakpuasan/penderitaan]
Jadi, titik pertama akan dapat dilihat, jika kebodohan akibat belenggu keinginan telah disingkirkan, oleh karenanya, beliau menyarankan skala prioritas, sebagaimana disampaikan kepada Malunkyaputta
    Ini sama seperti ketika seseorang terluka terkena panah beracun. Teman-teman & sahabat-sahabatnya, sanak saudara & kerabat hendak mencabut dan mengobati dirinya namun orang itu berkata,

    "Aku tidak akan mencabut panah ini hingga aku tahu orang yang melukaiku ini apakah Ia seorang ksatria terhormat, pendeta, pedagang atau pekerja..hingga aku tahu namanya dan marga orang yang melukaiku ini..hingga Aku tahu apakah Ia tinggi, sedang atau pendek..hingga aku tahu apakah Ia berkulit hitam, sawo matang atau keemas-emasan..hingga aku tau kampung halamannya, kabupatennya atau kotanya..hingga Aku tau apakah tali busur yang melukaiku ini dari serat, benang bambu, otot, rami, kulit..hingga Aku tahu apakah bulu pada batang anak panah yang melukaiku ini berasal dari burung manyar, bangau, elang, merak atau burung lainnya..hingga aku tahu apakah batang panah yang melukaiku ini dibalut dengan urat sapi, kerbau, lutung atau monyet..hingga aku tahu apakah batang panah ini merupakan panah biasa, panah berlengkung, berduri, bergerigi, mengecil di ujung atau panah oleander"

    Orang itu akan keburu mati dan hal-hal yang hendak diketahuinya akan tetap tak diketahuinya.
Nasehat tersebut patut diperhatikan, karena panjang sekali waktu yang berlalu jika hendak diselidiki. Sang Buddha disebut ‘Pengenal alam semesta'/Lokavidu [MN 95]. Siklus 1 kesatuan dunia adalah dalam maha kappa yang terdiri dari 4 sub kappa yang tak terhitung jumlahnya/lama waktunya (kappassa asaṅkhyeyyāni), yaitu Vivaṭṭati (kappa mulai mengembang), Vivaṭṭo tiṭṭhati (kappa pengembangan), Saṁvaṭṭati (kappa menyusut dan Saṃvaṭṭo tiṭṭhati (kappa penyusutan) [AN 4.156]. Salah satu arti kata "Kappa" adalah "masa/waktu", yaitu definisi waktu yang sangat panjang (note: Jika kata 'kappa' berdiri sendiri, maka yang dimaksudkan adalah Maha Kappa).

Berapa banyak tahun dalam 1 asenkheyya Kappa dan berapa banyak kappa yang telah berlalu?

Sistem ukuran hitung yang digunakan India pada saat itu:
    1 tila/wijen = 1 sāsapa/sarshapa/Mustard = 1 yūka/kutu, dari "Antiquities of India: An Account..", Lionel D. Barnett, hal. 206, 209, 217-218:

    • "...8 liksā = 1 tila/sarshapa, 8 tila/sarshapa = 1 yava, 8 yava = 1 angula, 6 angula = 1 pada, 2 pada = 1 vitasti (12 angula), 2 vitasti = 1 hasta (24 angula), 4 hasta = 1 danda/dhanu (96 angula), 8000 danda = 1 yojana (768,000 angula).." [Gaṇita sāra san̄graha 1.25-31, Mahāvīra, Jain, abad ke-9 M]. Markandeya Purana bab 49 menggunakan yūka bukan tila] (hal.218). Sarngadhara Samhita buku 1, 1.15 (abad ke-14): "8 sarshapa = 1 Yava" (hal.209). Manu Smrti 8.23.131-137: "3 liksā = 1 raja/gaura sarshapa (mustard putih/hitam), 6 gaura sarshapa = 1 yava" (hal.206)

    • "... 8 liksā = 1 yūka, 8 yūka = 1 yava, 8 yava = 1 aṅgula, 12 angula = 1 vistasti, 2 vistasti = 1 hasta/aratni/ratni (24 aṅgula), 4 hasta/aratni = 1 danda/danus (96 angula), 84 angula = 1 vyáma/tinggi badan manusia, 108 aṅgula = 1 garhapatya dhanus/ukuran tinggi yang digunakan tukang bangunan, 1000 dhanus = 1 goruta (suara lenguhan sapi masih dapat terdengar), 4 goruta (= 4000 dhanus) = 1 yojana kecil (384,000 aṅgula)..." [Kautilya Arthashastra, buku 2. ch.20]

    Tinggi (unmāna) orang dikelompokan dalam 3 ukuran angula: 108 (superior), 96 (sedang), atau 84 (inferior) [Brihat samhita 68.105]
    Bhāskarācārya (abad ke-12 M): "..., 8 yava = 1 angula, 1 hasta = 4 x 6 angula, 4 hasta = 1 danda (96 angula), 2000 danda = 1 krosa (192,000 angula), 4 krosa (= 8000 danda) = 1 yojana (768,000 angula); 1 ghanahasta/kubus hasta, hasta3 (Panjang x lebar x tinggi) adalah 1 khari/gerobak Magadha". [Līlāvatī, Bhāskarācārya, John Taylor, M.D, hal.2-3].
    Rhys Davids dalam terjemahan SN: menurut kitab komentar "takaran Kosala untuk 1 patha ke atas 4 x Magadha. '20 khari = 1 kharika, atau sekeranjang tila jenis kecil Magadha'"
    Konversi unit terkecil di Mesir, Mesopotamia, China, Yunani, Jepang dan Romawi, dikisaran: "1.6 - 1.9 cm" ("The Harappan Linear Measurement Unit, in Reports on Field Work Carried out at Mohenjo-Daro", Rottländer 1983, hal.205). Untuk India, ukuran angula ke cm: (1) 12 ukuran inchi Indus (12 x 3.12 inch), yaitu panjang 5 bagian dari cangkang kerang yang ditemukan Mohenjo-daro, jarak dari titik ke lingkaran (2 angula/33.528 mm), di mana tiap bagian, panjangnya 6.7056 mm [12 (6.7056 mm x 5)] = 1.674 cm; (2) 1.763 cm dan (3) 34 ukuran inch Inggris = 1.905 cm. ["New Insights into Harappan Town-Planning, Proportions and Units, with Special Reference to Dholavira", Michel Danino, hal.12].
    1000 dhanu = 1000 x 96 angula (1000 x 96 x 1.674) = 1.609344 km = 1 mil saat ini, Etimologi mil adalah milia "ribuan" plural dari mille "seribu", oleh karenanya, dalam konversi, saya gunakan 1 angula = 1.674 cm. 1 Yojana = 7 mil/11.249 km (8000 x 84 x 1,674 cm) atau 8 mil/12.856 km (8000 x 96 x 1,674 cm) atau 9 mil/14.484 km (8000 x 108 x 1,674 cm), karenanya dalam konversi saya gunakan ukuran 96 angula/8 mil/12.856 km [↓]
Untuk perkiraan lama 1 maha kappa, yang terdiri dari 4 sub kappa yang tak terhitung jumlahnya/lama waktunya (kappassa asaṅkhyeyyāni), Sang Buddha memberikan 2 perumpamaan:
  1. "Batu padat tanpa celah dan lubang, berdimensi 1 yojana³, di setiap akhir 100 tahun, seseorang menggosok batu itu dengan kain kāsi yang sangat halus (kāsikena vatthena) bahkan hingga terkikis habis, ini masih lebih cepat dari berakhirnya 1 Kappa" [SN 15.5]
  2. "kota besi (āyasaṁ nagaraṁ) berdimensi 1 yojana³, setiap 100 tahun diisi 1 biji mustard (sāsapa, bahkan hingga kota besi itu penuh, ini masih lebih cepat dari 1 Kappa" [SN 15.6]
Misalkan usaha setiap 100 tahun menggosok batu dengan kain kāsi yang sangat halus, menghasilkan serbuk seukuran kutu atau biji wijen atau mustard. Metoda hitung India menyatakan: 1 tila/wijen = 1 sāsapa/Mustard = 1 yūka/kutu. Di mana 8 yūka/tila/sāsapa = 1 yava, dan 8 yava = 1 aṅgula, maka: 1 angula = 64 kutu/yūka atau 64 biji mustard/sāsapa (8 yava x 8 yūka/sāsapa)

Jumlah tahun dalam 1 asaṅkhyeyya kappa = (12.856 x 106 mm)³ x 64 kutu/biji mustard x 100 tahun = 1.35997 x 1025 tahun "dan ini masih lebih cepat dari berakhirnya 1 Kappa".
Jumlah 1 siklus kappa (1 maha kappa) = 4 x 1.35997 x 1025 tahun = 5.4399 x 1025 tahun "dan ini masih lebih cepat dari berakhirnya 1 Kappa"

Berapa banyak Kappa yang telah berlalu, Sang Buddha sampaikan dalam 2 perumpamaan:
  1. "Misalkan terdapat 4 bikkhu yang umurnya mencapai umur 100 tahun, setiap harinya ia dapat mengingat 100.000 Kappa, namun bahkan dari seluruh kappa yang mereka ingatpun, lebih banyak lagi kappa yang telah berlalu" [SN 15.7]

    Jumlah Kappa yg diingat dan telah berlalu = 4 x 100 tahun x 365 hari x 100.000 kappa = 14.6 milyard maha kappa dan "lebih banyak lagi kappa yang telah berlalu"

  2. "Jumlah butiran pasir sungai Ganga, dari asal/hulu hingga samudra, namun bahkan dari jumlah pasir itu, lebih banyak lagi kappa yang telah berlalu [SN 15.8]

    Ganga: asumsi Panjang = 2525 km (situasi India saat ini), asumsi lebar di musim hujan = 3 - 6 km (asumsi lebar 3 km). asumsi dalamnya pasir dari permukaan tanah = 1 meter. Volume pasir sungai Ganga = (2525 x 106 mm) x (3 x 106 mm) x (1 x 103 mm) = 7.575 x 1018 mm³ pasir. Diameter butiran pasir berkisar 0.06 mm s.d 2 mm (asumsi digunakan, pasir ukuran besar = 2 mm). Volume 1 butir pasir = 1/6 x 22/7 x 2 mm = 4.19 mm³.

    Jumlah pasir/maha kappa = 7.575 x 1018/4.19 mm³ = 1.8076 x 1018 maha kappa dan "lebih banyak lagi kappa yang telah berlalu"
Jadi,
Ketika sains menyatakan bahwa umur semesta berada di kisaran 5 x 109 tahun, maka besaran angka itu pun masih sangat keliru, apalagi mempercayai bahwa semesta ini baru berumur < 10.000 tahun saja.

Sudah berapa Buddha sebelum Buddha Gotama?

Theravada menyatakan tak terhitung banyaknya Buddha lainnya sebelum dan sesudah Buddha Gautama, Mahayana menyatakan jumlah Buddha yang telah berlalu melebihi pasir di sungai gangga. Buddha-Buddha tersebut, merupakan Pribadi unik, mahluk yang sama sekali berbeda, dan masing-masing mencapai Ke-Buddha-an seperti Buddha Gautama. Menurut komentar Anya (tulisan abad modern dalam pali): Pakiṇṇaka-gantha-saṅgaho: Sīmavisodhanīpāṭha: 3. Nibbānakaṇḍo (bukan kanon Pali), panjang waktu dan jalur menjadi Sammasambuddha, terbagi 3 jenis:
  1. melalui Kebijaksanaan (Paññādhiko Bodhisatta), memerlukan 4 asankheyya dan 100.000 Kappa, salah satunya adalah Buddha Gautama.
  2. melalui Keyakinan (Saddhādhiko Bodhisatta), memerlukan 8 asankheyya dan 100.000 Kappa
  3. melalui Kegigihan/Semangat (Vīriyādhiko Bodhisatta), memerlukan 16 asankheyya dan 100.000 Kappa, salah satunya adalah Buddha Metteya.
Aliran Theravada, mencantumkan 8 nama buddha: 7 nama Buddha dalam DN 14/Mahapadana sutta: Buddha Vipassi (91 Maha kappa yang lalu), Buddha Sikhi (31 Maha Kappa), Buddha Vesabbhu (31 Maha kappa yang lalu), Buddha Kakusandha (Kappa yang sama dengan Buddha Gautama), Buddha Konagama, Buddha Kassapa dan Buddha Gautama. 1 nama Buddha masa depan di DN 26/Cakkavati Sihanada Sutta, yaitu Buddha Metteya, Untuk nama 20 Buddha lainnya, muncul dalam Khuddaka Nikaya yaitu di Buddhavamsa.
    Menurut J.S Walters dan B.M Barua: Cariyapitaka, Buddhavamsa dan Apadana dibuat SETELAH jaman raja asoka. Sementara A.K Warder: Patisambhidamagga dan Buddhavamsa dibuat paling awal pada akhir abad ke-2 SM dan Apadana dibuat paling awal pada abad ke-1 SM ["Journal pali text society", Vol.20, hal.32]. Oleh karena muncul belakangan, maka Dasa Paramita versi aliran Theravada dan tekad Bodhisatta serta konfirmasi dari seorang Buddha, hanya muncul dalam Buddhavamsa dan Cariyapitaka saja, tidak ada di sutta-sutta awal.
Aliran Mahayana kemudian menciptakan jenis dan nama Buddha lain yang tidak dikenal aliran Theravada, diantaranya Amitabha bahwa telah ada pada jaman Buddha Gautama dan masih ada sampai saat ini. Figur Amitabha tidak dikenal literatur awal Buddhisme India dan pada awal abad masehi, Ia menjadi Buddha dari Barat. Pemujaan Amitabha, pengembangan dan bagian praktek awal Mahayana melalui permohonan dan pemujaan pada semua Buddha, berharap agar dapat terlahir di tanah sucinya. Mitos sumpah dan tanah suci ini mirip atau bersaing dengan kepercayaan terhadap Buddha lainnya seperti Aksobhya [Encyclopedia of Buddhism©2004 by Macmillan, hal.15]. Selain Amitabha dan Asobhya, juga terdapat Buddha 5 arah mata angin yang juga dikatakan hidup di jaman Buddha Gautama, yaitu Vairocana, Amoghasiddhi dan Ratnasambhava. Keberadaan Buddha baru aliran Mahayana dan tanah sucinya menjadi bertentangan dengan Theravada, yang menyatakan "Aṭṭhānametaṃ anavakāso yaṃ ekissā lokadhātuyā dve arahanto sammāsambuddhā apubbaṃ acarimaṃ uppajjeyyuṃ/Tidak mungkin ada 2 sammasambuddha muncul bersamaan di satu kesatuan dunia" [DN 19, 28; MN 115; AN 1.277. Juga Vb 16.10.10]. Seluruh alam vertikal dan Horisontal (Neraka, Peta, jambudipa,.., Brahma rupa dan arupa) adalah satu kesatuan struktur dunia (ekissā lokadhātuyā), ketika muncul seorang sammasambuddha, mereka (dewa dan manusia) yang tertarik memadamkan keinginan mencapai arahatta, akan menjadi savaka/murid-Nya, oleh karenanya, selama Sammasambuddha ini ada, tidak akan pernah lagi, muncul arahat lain berjenis Sammasambuddha ataupun pacceka Buddha di suatu tempat lainnya.

Aliran Mahayana juga mengembangkan karir lain dari Bodhisatva yaitu setelah menjadi Bodhisattva, kemudian menjadi Mahasattva, yaitu dengan bersumpah tidak akan mau masuk Nirwana sebelum seluruh mahluk masuk Nirwana. Pandangan ini terjadi karena menganggap Nirwana sebagai alam, akibatnya, masuk nirwana dianggap sebagai bentuk egoisme. Padahal Nirwana/nibbana bukan alam tapi keadaan padam, bebas dari nafsu keinginan, sehingga sumpah tidak mau bebas dari nafsu keinginan, merupakan pandangan salah, Ia lekati pandangannya sendiri setelah mendangkalkan maksud kata metta.

Periode Sidhartha Gautama SEBELUM menjadi BODHISATTA
  1. Di 20 Asankheyya Kappa + 300.000 Kappa (dalam teks pali tertulis 20 AK dan 100.000 kappa), untuk pertama kalinya, Calon Bodhisatta, berpikir dan terinspirasi untuk menjadi SammasamBuddha:
    Calon Boddhisatta terlahir sebagai seorang miskin bernama Matuposaka. Setelah kematian ayahnya, Ia merawat Ibunya, di suatu hari, Ia putuskan mencari penghidupan lebih baik dengan berlayar bersama Ibunya. Kapal yang ditumpanginya tenggelam, selama 3 hari, Ia berenang menggendong ibunya di punggung hingga selamat sampai daratan. Ibunya memberkatinya, "Semoga kelak engkau dapat menyelamatkan para mahluk dari penderitaan". Terinspirasi perkataan ibunya, Ia berpikir, "semoga kelak saya dapat membebaskan semua mahluk dari penderitaan" [buku kuno Sinhalese].

    Di periode juga terdapat beberapa kisah kelahiran lain, diantaranya ketika calon Bodhisatta Gotama terlahir sebagai Brahmana muda/Brahma Kumara, setelah berumur 16 tahun dan selesai pendidikan, Ia menjadi Pertapa dan salah satu muridnya adalah calon Buddha Maitreya. Di suatu kejadian, Ia korbankan diri menjadi santapan singa betina yang kelaparan sehabis melahirkan dan hendak menyantap anak yang baru saja dilahirkannya [Vyāghri-Jātaka, Jataka Mala, Aryasura, 4 Masehi, ada banyak versi, misal, Suvarnabhasottama sutra]

    Menurut komentar Anya (tulisan abad modern dalam pali): Pakiṇṇaka-gantha-saṅgaho: Sīmavisodhanīpāṭha: 2. Kappavināsakaṇḍo, selama massa ini telah ada 512.028 Buddha ("Sambuddhe aṭṭhavīsañca, dvādasañca sahassake; Pañcasatasahassāni")

  2. Periode Citta/Mano-Panidhi (tekad di benak), selama 7 Asankheyya Kappa + 100.000 Kappa:
    Di jaman Buddha BrahmaDeva, calon Bodhisatta terlahir sebagai raja bernama Atideva, Ketika itu, Raja di atas balkon, melihat Buddha BrahmaDeva dan terkesan, lalu bergegas turun, memberikan penghormatan dengan mempersembahkan untaian bunga melati dan untuk pertama kalinya, Ia sampaikan tekad untuk menjadi Buddha dalam benaknya. Sejak itu sampai 125.000 Buddha berikutnya, selama 7 Asankheyya Kappa + 100.000 Kappa, di setiap kelahiran kembali dan bertemu Buddha, Ia ucapkan tekad yang sama dibenaknya [Jinakalamali, Abad ke-16 M (Collected Wheel Publications Volume XXV: Numbers 377–393), atau "Practising The Dhamma With a View To Nibbana", Radhika Abeysekera, hal.37]

  3. Periode Vaci-Panidhi [pengucapan tekad], selama 9 Asankheyya kappa + 100.000 Kappa: Di jaman Buddha Purana Gotama, calon Bodhisatta terlahir sebagai pangeran bernama Sagara dari kota Dhannavati dan di jaman itu, untuk pertama kalinya, tekad untuk menjadi Buddha, diucapkan. [Radhika Abeysekera, hal.38]
[Practising the Dhamma with a View to Nibbana: Radhika Abeysekera; Beyond the Tipitaka: John Bullitt, The life of Buddha (Jinakalamali, Ratanapañña; Thai; abad ke-16), The Four Ways To [Attain] Psychic Power (Iddhi pada): Mahākmmattanacariya Nauyane Ariyadhamma Mahā Thēro, THE BODHISATTA IDEAL: BHIKKHU NARADA THERO]

Peter Skilling dalam "Buddhism and Buddhist Literature of South-East Asia":
    ...Dalam 'The Sambuddhe Verses and Later Theravādin Buddhism' dan 'Praises of the Buddha beyond Praise', Achan Peter menyajikan 2 teks Pali pendek. Dalam kasus yang pertama, teks tersebut tidak jarang, melainkan merupakan teks liturgi yang sangat populer di Thailand dan di Burma yang sebelumnya diabaikan oleh para cendekiawan Buddhisme Pali, Ia tunjukan bait-bait yang tampak lugas yang digunakan kaum awam dan ditahbiskan untuk memuji 512.028, 1.024.055, atau bahkan 2.048.109 Buddha masa lampau.. [Introduction, xviii-xix]

    Dalam Jinakālamālī (tidak memberikan jumlah total) perincian per bab adalah sebagai berikut:
    Manopaṇidhānakathā: 1 (Pūraṇadīpaṃkara, hal.5.24)
    Mahānidānakathā: 125.000 (hlm. 7.3)
    Atidūrenidānakathā: 387.000 (hlm. 9.3)
    Dūrenidānakathā: 27 (3 – tidak termasuk Dīpaṃkara – hal.9.15, plus 24, p.19.32 kassapo catuvīsatimo)
    Jumlah: 512.028

    Cendekiawan India Utara Daśabalaśrīmitra, menulis mungkin pada abad ke-12 atau ke-13, mengutip sumber Theravādin yang belum teridentifikasi, memberikan penjelasan akurat tentang teori ini:
    Ārya Sthāvira menyatakan bahwa "Sakyamuni mencapai kemahatahuan (sabbaññutā) setelah 20 æon besar yang tak terhitung + 100.000 æon tambahan. Di sini, sebagai seorang bodhisatta, Sang Bhagavā melayani 125.000 Buddha selama 7 æon tak terhitung [pertama], mengharapkan pencerahan dengan cara tekad batin saja (bsams pa tsam nyid kyis) Selama 9 æon tak terhitung berikutnya ia melayani 387.000 Buddha, terlibat dalam praktik bodhisatta (bodhisatta-cariya) dan bercita-cita melalui pikiran (citta) dan ucapan (vāc). Selama æon yang tak terhitung ia melayani 12 Buddha, menekuni praktik yang ditujukan untuk pencerahan, dan bercita-cita mencapai pencerahan melalui tubuh (kāya), ucapan, dan pikiran (manas) Selama 100.000 æon Sang Bhagavā, sebagai seorang bodhisatta, melayani 15 Buddha, terlibat dalam praktik seorang Bodhisatta, dan menyelesaikan semua praktik tambahan, melalui tubuh, ucapan, dan pikiran; pada puncak (agga) dari 100.000 æon, Guru mencapai kemahatahuan." [Hal.138]

    ...dalam Dasabodhisattuppattikathā non-kanonik, Sang Buddha mengatakan kepada Sāriputta “ada tak terbatas dan tak terhitung di dunia (anantāparimāṇā) Para mulia yang berhasil dalam kesempurnaan dan mencapai Buddha". Pernyataan serupa di Dasabodhisatta-uddesa, Sang Buddha mengatakan kepada Sāriputta “Buddha yang telah ada tanpa batas (buddhā anantā ahesuṃ): Sebelum saya mencapai akhir hidup saya, belum tercapai jumlah Buddha yang ada”. Ākāravatta-sutta, sebuah Apokrifa (palsu) berbicara bahwa "Buddha sebanyak pasir di sungai Gangga" [hal.140. note: Dasabodhisattuppattikathā, ditenggarai berasal dari abad 14 M]
Periode MENJELANG menjadi Bodhisatta:
Saat itu, pada 1 Kappa yang sama, muncul 4 buddha (Sàramada-kappa), dan Buddha terakhir dari rangkaian itu adalah Buddha Dipankara, berikut ini 3 buddha sebelumnya:
  1. Jaman Buddha Tanhankara, Calon Bodhisatta terlahir sebagai raja bernama Sudassana di kota Surindavati, Ia bertemu Buddha dan menjadi muridnya, Ia ucapkan tekad menjadi Buddha, tidak mendapat konfirmasi dari Buddha Tanhankara.

  2. Jaman Buddha Medhankara, Calon Bodhisatta terlahir sebagai Pertapa Somanassa dan menjadi muridNya, Ia ucapkan tekad untuk menjadi Buddha, namun tidak mendapatkan konfirmasi.

  3. Jaman Buddha Saranankara, Calon Bodhisatta terlahir sebagai Pertapa Yasavanta, dan menjadi muridNya, Ia ucapkan tekad untuk menjadi Buddha, namun tidak mendapat konfirmasi. [Lihat juga: Dreamland And Somnambulism]
BuddhaVamsa 27.1, hanya menyampaikan seperti ini: "Di kurun waktu lalu yang tak dapat dihitung terdapat empat pembimbing: Para penakluk ini adalah Tanhankara, Medhankara, Saranankara dan Dipankara yang telah tersadar di 1 Kappa yang sama"

Periode sebagai Boddhisatta/Calon Buddha (Khudakka Nikaya: Buddhavamsa):
  1. Di 4 Asankheyya + 100.000 Kappa: Buddha Dipankara, calon Boddhisatta terlahir sebagai Pemuda Sumedha, Ia ucapkan tekad untuk menjadi Buddha ketika berbaring di kubangan lumpur, agar punggungnya dapat dilalui Buddha Dipankara tanpa terkena lumpur. Ia ucapkan tekad untuk menjadi Budddha dan MENDAPAT konfirmasi untuk kali pertamanya dari seorang Buddha. Karena Buddha Dipankhara yang pertama memberikan konfirmasi, Ia dalam silsilah Buddha lampau periode Buddha Gotama diletakan dalam urutan ke-1. Sejak itu, disetiap Buddha berikutnya, Ia ucapkan tekad dan mendapatkan konfirmasi. Buddha Dipankara adalah Buddha terakhir dari rangkaian 4 Buddha di 1 Kappa yang sama. Setelahnya terjadi kekosongan Buddha (dan Pacceka Buddha) selama 1 Asankheyya Kappa

  2. (Sàra-kappa, 1 Buddha dalam 1 Kappa): Buddha Kondanna, Bodhisatta terlahir sebagai raja Cakkavati bernama Vijitàvin dan memberikan persembahan dana yang tidak tertandingi. Setelahnya terjadi kekosongan Buddha selama 1 Asankheyya Kappa

  3. (Sàramada-kappa, 4 Buddha dalam 1 Kappa): Buddha Mangala, Bodhisatta terlahir sebagai Brahmin Suruci, mempersembahkan kepada Buddha dan sangha wewangian, kalung bunga, gavapana dan memberikan seluruh kekayaannya

  4. Buddha Sumana, Bodhisatta terlahir sebagai Raja Naga sakti bernama Atula. Ia bersama sanak dan teman-temannya, keluar dari kediaman, berdana makanan, minuman dan memainkan musik surgawi sebagai penghormatan kepada Buddha dan 100,000 crore bhikkhu, juga berdana seperangkat jubah kepada tiap bhikkhu, kemudian menyatakan berlindung kepada Ti-Ratana/Tiga Perlidungan

  5. Buddha Revata, Bodhisatta terlahir sebagai Brahmin Atideva, memberikan jubah luarnya dan menyatakan berlindung pada Ti-Ratana

  6. Buddha Sobhita, Bodhisatta terlahir sebagai Brahmin Sujàta/Ajita, mempersembahkan Makana, minduman kepada Buddha dan Sangha. Setelahnya terjadi kekosongan Buddha selama 1 Asankheyya Kappa

  7. (Vara-kappa, 3 Buddha dalam 1 Kappa, periode di 1 Asankheyya dan 100.000 Kappa): Buddha Anomadassi, Bodhisatta terlahir di alam Asura sebagai Jenderal Yakkha, mempersembahkan kepada Buddha dan sangha, aula besar berhiaskan berbagai permata, makanan, minuman, dan lain-lain selama tujuh hari.

  8. Buddha Paduma, Bodhisatta terlahir sebagai raja singa, menyaksikan Buddha dalam Nirodhasamàpatti, dengan penuh hormat dan gembira mengelilingi Buddha, mengaum tiga x, tetap di sana selama 7 tujuh hari tanpa kehilangan kebahagiaan akibat melihat Buddha, tanpa pergi mencari makan. Setelah keluar dari Nirodhasamàpatti, Buddha Paduma mendatangkan para anggota Saÿgha di dekat Singa tersebut.

  9. Buddha Narada, Bodhisatta terlahir sebagai Pertapa berambut liar dari Himalaya. Buddha Nàrada mengunjungnya bersama Sangha dan umat awam yang semuanya sekurangnya mencapai kesucian Anàgami. Ia mempersembahkan tempat tinggal, makanan dan minuman untuk Buddha dan pengikut-Nya selama 7 hari dan memberi hormat kepada Buddha dengan kayu cendana merah. Setelahnya terjadi kekosongan Buddha selama 1 Asankheyya Kappa

  10. (Sàra-kappa, 1 Buddha dalam 1 Kappa): Buddha Padumuttara, Bodhisatta terlahir sebagai Gubenur daerah bernama Jatila, Ia mempersembahkan makanan dan jubahdussa, kepada Buddha dan Persamuhan-Nya (Ini periode 100.000 Maha Kappa). Setelahnya terjadi kekosongan selama 70.000 Maha Kappa

  11. (Manda-kappa, 2 Buddha dalam 1 Kappa, periode di 30.000 Kappa): Buddha Sumedha, Bodhisatta terlahir sebagai Brahmin muda bernama Uttara, Ia mempersembahkan kepada Buddha dan sangha harta kekayaan-Nya sejumlah 80 crore.

  12. Buddha Sujata, Bodhisatta terlahir sebagai Raja Chakkavatti, Ia persembahkan kerajaan, 7 harta dan meninggalkan kerajaan menjadi Bhikkhu.

  13. (Vara-kappa, 3 Buddha dalam 1 Kappa, periode di 1800 Kappa/BV 14.12, 27.12): Buddha Piyadassi, Bodhisatta terlahir sebagai Brahmin Kassapa, mempersembahkan taman senilai 100.000 crore kepada Buddha dan sangha

  14. Buddha Atthadassi, Bodhisatta terlahir sebagai Pertapa Susima, mempersembahkan bunga-bunga surgawi

  15. Buddha Dhammadassi, Bodhisatta terlahir raja Alam 33 Deva, yaitu Sakka, mempersembahkan wewangian, kalung bunga, dan musik dewa

  16. (Sàra-kappa, 1 Buddha dalam 1 Kappa, periode di 94 Kappa): Buddha Siddhatta, Bodhisatta terlahir sebagai Brahmin yang menjadi Petapa bernama Mangala, mempersembahkan buah dari pohon Jambu

  17. (Manda-kappa, 2 Buddha dalam 1 Kappa, periode di 92 Kappa): Buddha Tissa, Bodhisatta terlahir sebagai Ksatria yang menjadi pertapa bernama Sujata, mempersembahkan tiga bunga alam dewa dan memegangnya di atas kepala Buddha

  18. Buddha Phussa, Bodhisatta terlahir sebagai ksatria bernama Vijitàvin, mempesembahkan kerajaannya, menjadi petapa dan berlindung pada Ti-ratana

  19. (Sàra-kappa, 1 Buddha dalam 1 Kappa, periode di 91 Kappa): Buddha Vipassi, Boddhisata terlahir sebagai Raja naga Atula, memainkan alat musik dewa; memberikan sebuah tempat duduk dari emas

  20. (Manda-kappa, 2 Buddha dalam 1 Kappa, periode di 31 Kappa): Buddha Sikhi, Bodhisatta terlahir sebagai raja Arindama, mempersembahkan mkanan, minuman, jubah

  21. Buddha Vessabhu, Bodhisatta terlahir sebagai Raja Sudassana

  22. (Bhadda-kappa, 5 Buddha dalam 1 Kappa, periode Kappa sekarang): Buddha Kakusandha, Bodhisatta terlahir sebagai raja Sema

  23. Buddha Konagamana, Bodhisatta terlahir sebagai Raja Pabbata

  24. Buddha Kassapa, Bodhisatta terlahir sebagai Brahmin Jotipala

  25. Buddha Gautama, Bodhisatta terlahir sebagai Sidharta Gautama anak Raja kaphilavastu
Buddha berikut SETELAH Buddha Gotama:
  1. (Buddha terakhir di Bhadda Kappa ini): Buddha Metteya, Diawali kemunculan Raja Cakkavati Daḷhanemi dan turunannya yang menjadi raja, Umur mereka lebih dari 80,000an tahun. Turunan ke-7 memecahkan tradisi, turun tahta sebelum waktu dan menjadi śamaṇa tapi tidak mewariskan tuntunan moralitas kepemimpinan, akibatnya kemiskinan meningkat, pencurian mulai, institusi hukuman menjadi ada, pembunuhan dan kejahatan merajalela sehingga umur manusia merosot dari 80,000an → 100 tahun dan akibat di tiap generasinya terus terjadi peningkatan kejahatan dan kemerosotan moral, umur merosot hingga tidak lebih dari 10 tahun dan menikah di usia 5 tahun; makanan lebih buruk; Moralitas akan tidak dikenali. Orang keji dan tidak bermoral akan menjadi pemimpin. Perkawinan antar saudara kandung merajalela. Di antara yang berumur 10 tahun, tidak ada yang dianggap ibu atau bibi, saudara ibu, istri guru, atau istri ayah dan lain-lain, semua dianggap sama. Permusuhan, kebencian hebat, kemarahan besar dan pikiran membunuh, antara ayah- ibu, ibu - anak, ayah - anak, sesama saudara pria dan wanita. Kemudian perang besar terjadi, Yang kurang agresif akan bersembunyi di hutan dan di beberapa tempat. Di akhir perang, yang selamat keluar dari persembunyian, menyesali perbuatan, mulai berkelakuan baik, seiring moralitas meningkat, umur, kesehatan dan kesejahteraan meningkat, usia meningkat dari 10 tahun → 80.000an tahun. Ketika manusia kembali berumur lebih dari 80.000 tahun, di Ketumati, akan muncul raja Cakkavati bernama Saṅkha dan juga seorang Buddha bernama Metteyya (DN.26)

  2. Buddha Gautama dan/atau para Arahat lainnya, TIDAK menyatakan bahwa Buddha Metteyya akan muncul setelah 1 antara kappa berikutnya atau di antara kappa terakhir Maha kappa ini. Bisa jadi, kemunculannya lebih lama dari 4 Buddha sebelumnya, karena dalam DN 16, seusai pembagian relik Buddha Gautama, para sepuh konsili ke-1 menyatakan, "Di ratusan kappa belum tentu ada seorang Buddha (Buddho have kappasatehi dullabhoti)". Setelahnya, yaitu menurut Anagatavamsa (oleh Mahākassapa dari Cola, abadk ke-12) dan juga dalam Dasabodhisattuppattikathā (abad ke-14 M), disebutkan beberapa nama, yang dianggap akan menjadi calon buddha setelah Buddha Metteyya: Uttama, Raja Rama, Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala, Deva bernama Abhibhu, Asura: Dighasoni, Brahmana Candani, Pemuda: Subha, Brahmana Todeyya, Gajah: Nalagiri, Gajah: Palaleya [Anagatavamsa, MSS. (Journal of the Pali Text Society, 1886, p. 37); Untuk situs: ini, ini dan ini; Malalasekera, G. P. [1899 - 1973]: Dictionary of Pāli proper names. -- Nachdruck der Ausgabe 1938. -- London : Pali Text Society, 1974. -- 2 vol. -- 1163, 1370 S. -- ISBN 0860132692. -- s.v.]

    Dalam Sotatthakī-mahānidāna disebutkan 510 bodhisatta yang akan menjadi Buddha berikutnya. Dalam Dasabodhisattuppatti-kathā, Sang Buddha mengatakan kepada Sāriputta bahwa makhluk yang akan menjadi Buddha di masa depan tidak terbatas dan tak terhitung jumlahnya (anantparimhees) Ia sendiri tidak dapat menghitung jumlah Buddha masa depan. ["Buddhism and Buddhist Literature of South-East Asia": Peter Skilling, hal. 147. Note: Sotatthakī-mahānidāna, menurut Derris, Karen Anne, berada di periode medieval Theravādin]
Tentang tinggi tubuh dan umur dari 4 Buddha terakhir yang muncul dalam 1 Kappa yang sama (KN, Buddhavamsa):
  1. Kakusandha, 40 Ratana (Cattālīsaratana), usia 40 ribu tahun
  2. Konàgamana, 30 hattha (tiṁsahattha), usia 30 ribu tahun
  3. Kassapa, 20 ratana (vīsatiratana), 20 ribu tahun
  4. Gotama 16 hattha (soḷasahattha)
I.B. Horner ketika menterjemahkan Buddhavamsa, di hal 26 menyatakan: "Mengenai ukuran-ukuran yang diberikan untuk ketinggian atau tinggi para Buddha, dua kata digunakan, yang maknanya tampaknya bisa saling dipertukarkan: hattha dan ratana". Biasanya kata hattha diartikan sebagai ukuran dari ujung jari sampai siku tangan (hasta), yaitu 2 jengkal (1 jengkal = 8.5 inch s/d 9 inch. 1 Inch = 2.54 CM. 1 Jengkal = 21.59 CM - 22.86 CM, jadi 2 jengkal = 43.18 CM - 45.72 CM), jika ya, maka tinggi badan Buddha Gotama akan menjadi 6.9 M - 7.3 M. Ukuran ini tidak tepat, disamping karena rata-rata tinggi badan manusia pada abad kehidupan sang Buddha (6 SM - 5 SM) dan abad ini masih sebanding, juga tercatat bahwa penampilan Buddha Gotama seperti Bhikkhu lainnya, misalnya Pangeran Ajasattu TIDAK MENGENALI Buddha Gotama dalam kumpulan Bhikkhu yang sedang bersila [DN.2/Samaññaphala Sutta]; Penjaga taman hutan bambu taman rusa TIDAK MENGENALI Buddha Gotama [MN 128/Upakkilesa Sutta] dan Pukkhusati, raja kerajaan Gandhara yang menjadi Bhikkhu dan hendak bertemu Buddha Gotama, namun ketika telah bertemu, TIDAK MENGENALINYA [MN 140/Dhatu Vibhangga sutta] → Ini mengindikasikan perawakan Buddha Gotama, tidak berbeda dengan bhikkhu lainnya dan dengan kebanyakan manusia saat itu, sehingga kata hattha tidak harus selalu berarti ukuran jari tangan ke siku, misalnya dalam 32 ciri Buddha: "(5) Tangan-kaki lembut-lentur/mudutalunahatthapāda ... (6) Tangan-kaki rapat/jālahatthapāda" [DN.14; DN.30; MN.91], jadi hattha juga berarti telapak tangan = 4 inchi/10.16cm dan 16 hattha = 162.56cm. Ukuran ini sebanding dengan ukuran rata-rata tubuh manusia pada jaman itu dan pada abad ini.

Masih 32 ciri Buddha: "(19) lingkar imbang pohon beringin/nigrodhaparimaṇḍalo, tubuh sepanjang bentangan (lengan)/yāvatakvassa kāyo tāvatakvassa byāmo, bentangan (lengan) sepanjang tubuh/yāvatakvassa byāmo tāvatakvassa kāyo" [DN.14; DN.30; MN.91]. Brahamanda Purana/Vayu Purana Ch.32.8-9: "Manusia ukurannya 8 jengkal jari tangannya sendiri". Oleh karenanya, 8 jengkal = 16 hattha.

Jika lengan ditekuk, ujung jari bertemu di depan dada, panjang = 4 x SIKU-UJUNG JARI. Dimana, SIKU-UJUNG JARI = 2 JENGKAL sendiri/vadatthi, jadi totalnya = 8 JENGKAL. "PUSER - UBUN KEPALA "= 3 JENGKAL, "PUSER - TAPAK KAKI" = 5 JENGKAL. Jika duduk bersila: "LANTAI - UBUN KEPALA" = 4 JENGKAL sendiri. Karena Ajasattu tidak mengenali Buddha Gotama diantara kumpulan bhikkhu yang duduk bersila, maka 8 Jengkal Buddha Gotama TIDAK JAUH BEDA dengan rata-rata manusia.

1 Jengkal/vidatthi = 8½ inch s/d 9 inch ["On The Ancient Coins And Measures Of Ceylon", T. W. Rhys Davids, 1877, hal.15; atau di "The Mahavamsa", Wilhelm Geiger, 1912, Bab 15, hal.109, cat kaki no.4] atau = 12 angula (1 angula = ¾ English inch = 9 inch) ["Kautilya's Arthashastra, R. Shamasastry, 1915, Book II, Ch. 20, hal.149]. 1 Inchi = 2.54cm. 1 Jengkal = 21.59 - 22.86cm. Jadi, 8 Jengkal = 172.72 - 182.88cm. Ukuran ini juga sebanding dengan ukuran rata-rata tubuh manusia pada jaman itu dan pada abad ini. Oleh karenanya, perkiraan tinggi Buddha Gotama = 162.56 - 182.88cm (jika kita gunakan ukuran dari cangkang kerang yang ditemukan di Mohenjo-Daro, dimana 1 angula = 1.674 cm, dan brihat samhita 68.105 menyatakan pembagian tinggi tubuh sebagai superior (108 angula), medium (96 angula) dan pendek (84 angula), maka angka tinggi tubuh superior adalah: 180.79 cm)

Karena hattha dan ratana sinonim, maka ukuran tinggi tubuh Buddha lain di 1 kappa yang sama, yang hidup di bumi yang sama ini, dalam rentang tahun masa lampau yang tidak terhitung banyaknya: Buddha Kakusandha = 4.06 - 4.57m; Buddha Konagamana = 3.05 - 3.43m dan Buddha Kassapa = 2.03 - 2.29m. Kemudian, di antara 24 Buddha lainnya, di sepanjang kurun waktu 4 Asankheyya Kappa (jumlah kappa yang tak terhitung banyaknya) + 100.000 Kappa kebelakang yang artinya bukan di bumi yang sekarang ini, maka ukuran tubuh tertinggi adalah Buddha Sumana, 90 hattha (navutihattha) atau 9.14 - 10.29m.

12 komentar:

  1. Salam Pak,

    akhirnya ada artikel ini, padahal mau bertanya lebih lanjut melanjutkan pertanyaan saya yang lalu tapi sudah dijelaskan di artikel ini, :D

    trims pak saya baca-baca dulu dan mencoba memahaminya :)

    shanti....

    BalasHapus
  2. ada 1 yg kurang
    berdana dengan motivasi untuk menjadi Buddha, dan membebaskan semua makhluk, bukan hanya diri sendiri dari samsara.
    Inilah yg motivasi tertinggi
    dari Mahayana sih

    BalasHapus
  3. Pak: Ari dan WG, tks utk mampir.

    Utk WG, baca aja NidhikandaSutta, dah tercantum tuh..

    Bicara utk membebaskan diri sendiri, maka jika anda baca artikel saya diatas..kuncinya cuma ada 2 hal, yaitu:

    1. Diri sendiri dan
    2. Parami yang dikumpulkan.

    Jika benar dapat membebaskan semua mahluk tanpa perlu usaha dari mahluk yg mo dibebaskan itu sendiri dan juga kecukupan parami..maka bukankah di versi Mahayana, terdapat milyaran Buddha masa lampau, sedang dan akan ada di dunia ini dan dunia2 lain [termasuk yg ada di surga ttt di dunia ini?]

    tapi koq milyaran manusia + milyaran binatang milyaran mahluk lain masih juga mati dan terlahir kembali tanpa bisa nibanna?

    Menurut anda problemnya dimana kalo dikaitkan dengan statement anda diatas?

    salam

    BalasHapus
  4. Dan cukup bermodalkan pertapaan di bawah pohon jengkol saya bisa menjadi buddha! buset gampang amat!

    BalasHapus
  5. STT,
    Kalo kamu mampu tanpa bergerak apapun selama 1 jam dibawah pohon jengkol..baru pantas komentar..jangan membual banyak..nama aslimu saja kamu ngga berani kamu tonjolkan..belaga mengerti benar salah lagi..

    BalasHapus
  6. nah budha uda brapa kali reinkarnasi tuh?
    lo dlu jadi apa bung WE?
    klo gw kayanya dulu jadi NAGA trus jadi andi lau di film 2 fast 4 curious deh hahaha

    BalasHapus
  7. ...mas.bang.mbak butuh pemahaman dan pengertian,,bukan kebodohan batin kyk anda (dba38.....)
    comment anda memberi jawaban atas pertanyaan sndiri kan.... belum dipahami,,ataau baca udah nanya yg aneh2... kamu bertanya , tanyakan pada pertanyaanmu itu sendiri,,

    BalasHapus
  8. koreksi bli, sumber sutta soal dana itu Nidhikanda Sutta, yang tertulis disitu---> [Khuddaka Nikaya Sutta, Khuddakapatha.8]
    trims.

    BalasHapus
  9. Salam Bapak Wirajhana
    Mohon waktu anda kiranya untuk saya ajak diskusi sejenak (baca:saya ingin belajar) .
    Terlepas dari frame claiming ajaran karma phala, diantara Hindu dan Budha konsep ini sudah sangat melekat dalam ajarannya. Namun jika dikaitkan dgn artikel diatas, perbedaan yang saya tangkap adalah tentang awal mula (asal muasal). Budha tdk mendeskripsikan awal mula ini, sedangkan ajaran Hindu memilih dengan menjelaskan tentang Teologi.
    Ketertarikan saya muncul ketika anda baik secara langsung/tidak langsung menyampaikan tidak ada keterkaitan antara Karma Phala dan Tuhan (sesuai judul artikel). Hal ini menggelitik dan saya pun mencoba mempertanyakan hal ini pada perspektif Hindu (umat Hindu), “Ketika anda menanam bibit padi disawah dan saat panen pun tiba, apakah hasil itu karna Karma anda atau karena anugerah Tuhan?” (begitu kiranya pertanyaan saya). Mengesampingkan jawaban bingung, kecenderungan jawaban adalah : Keduanya.
    Ketika saya coba gali lagi, di Candogya Upanisad menyebutkan Tat Twam Asi (itu adalah kamu) dan sering di asumsikan (benar atau tidak?) menjadi Aku adalah kamu. Siapa kah “AKU” ? “siapakah “Kamu”? Brahd Aranyaka Upanisad menyatakan “Aham Brahma Asmi”. Hal ini coba saya kaitkan dengan konsep Tri Sarira (tiga lapis pembungkus badan manusia) : Badan Kasar, Badan Halus, Badan Penyebab (Atma?)
    Jawaban “keduanya” (Karma dan Tuhan) saya asumsikan korelasinya pada Aku adalah Atma adalah Brahman. Maka bisakah kita katakan bahwa aku yang berkarma itu tidak terlepas dari unsur aku yang menyebabkan (lebih dalam lg memandang “Aku”; perspektif Hindu), sehingga jawaban “KEDUANYA” itu bisa dimengerti?
    Mohon tanggapannya.
    Trims.

    BalasHapus
  10. note: saya juga kesulitan memahami dan membedakan konsep Tri Sarira tersebut. Ada "aku" yg dibungkus 3 lapisan ? lalu faktor lapisan mana yang berkarma?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam,
      Saya menemukan sekurangnya 3 model penjelasan dalam hinduism:
      Ide dasarnya adalah Atman Kembali ke Brahman. Untuk kembali ternyata ada jarak diantaranya. Jarak itu, ada yang menamakan itu unsur, lapisan, ketidaktahuan/Awidya selubung atma, selubung Maya dan masih banyak lagi [Brhadaranyaka Upanishad IV.4.vi, Brhadaranyaka Upanishad,, IV.iii.9, Chandogya Upanisad, Taittiriya Upanisad, Bhagawad Gita, dll].

      Yang menghalangi Atman kembali ke Brahman adalah ketidaktahuan/Awidya sebagai selubung atma/selubung Maya, contoh penjelasannya:
      Zat Padat/Tanah, Zat cairan/perekat, Panas/api, Gerak/angin, angkasa/ruang, pikiran, kecerdasan dan keakuan palsu. Keseluruhan delapan unsur ini merupakan tenaga material yang terpisah dariku.-[Bhagavad Gita 7.4, Lima pertama disebut badan materi/ panca mahaButa/Stula sarira dan tiga terakhir disebut tripremana sebagai badan halus/sukma sarira, yaitu manah/pikiran, budhi/kecerdasan dan ahangkara/keakuan palsu. Tripremana-lah yang menyertai roh mengembara dari satu tubuh ke tubuh yang lain]

      Model penjelasan lain:
      mahluk itu terdiri dari 3 Lapisan: badan Materi disebut Stula Sarira, kemudian badan jiwa disebut sukma Sarira dan bagian di antaranya disebut Antakharana-Çarira (Lapisan badan Penyebab). Lapisan badan penyebab atau Antakharana-Çarira, inilah yang sebagai pembawa dari Karma (Karma-Wasana) makhluk sejak berbagai kelahirannya yang lampau.

      Model penjelasan lain:
      Adanya panca Maya kosa (lima selubung yang membelenggu atman):

      1. Annamaya Kosa = unsur dari sari makanan;
      2. Pranamaya Kosa = unsur dari sari nafas;
      3. Manomaya Kosa = unsur dari sari pikiran;
      4. Wijnanamaya Kosa = unsur dari sari pengetahuan;
      5. Anandamaya Kosa = unsur dari kebahagiaan.

      Nomor 3, 4, dan 5 yang dibawa Atman menuju pada kelahiran kembali. Lapisan belenggu/pembungkus yang paling didalam dan yang paling sulit dibuang adalah yang bernama Anandamaya, sehingga atman yang masih terbungkus oleh Anandamaya disebut sebagai Anandamaya atma. Anandamaya adalah kebahagian atau kesenangan hidup yang dialami ketika atman masih mempunyai stula sarira (tubuh) yakni ketika masih hidup di dunia ini contohnya: ketika masih hidup di dunia. Jadi kebahagian dan kesenangan itu sifatnya keduniawian yang dinikmati dari Panca Indria yaitu: pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah, dan rasa kulit (termasuk sex).

      Kelahiran kembali (Punarbhawa/Reinkarnasi) terjadi karena Ia harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu (karma) [Sisanya lihat di: From Hero To Zero: Pengakuan Sain, Agama Langit dan Bumi terhadap Kelahiran Kembali/Reinkarnasi!]

      Namun,
      apapun penjelasan itu, ada satu lagi penghalangnya, yaitu KEPUTUSAN TUHAN, jadi, walaupun telah melakukan perbuatan baik, namun jika tuhan berkehendak ia terlahir, maka ia (jiwa) tetap saja akan menjelma kembali (anda bisa lihat di pembukaan Mahabharata, ketika Wisnu hendak melakukan lila, ia meminta para deva/devi turun kedunia untuk ikut bermain).

      Dalam konsep karmaphala, perbuatan manusia itu sendiri yang akan membawanya terlahir kembali/tidak tidak memerlukan campurtangan pihak lain. Sementara dalam konsep ketuhanan, apapun perbuatan itu, tuhan sendiri yang punya kehendak, hendak dibawa ke mana jiwa itu.

      Jadi menurut saya,
      konsep karmaphala dan konsep ketuhanan menjadi tidak cocok untuk berjalan bersama. Konsep ketuhanan mengganggu jalannya konsep karmaphala atau dengan kata lain, konsep karmaphala tidak memerlukan kehadiran tuhan. Dalam konsep ketuhanan, kemauan tuhanlah yang utama dan tidak penting lagi hasil perbuatan itu baik atau buruknya semuanya tuhan yang punya keputusan.

      Salam.

      Hapus
    2. Terima kasih tanggapannya Bapak Wirajhana.
      Dari paparan anda setidaknya memberikan sudut pandang yang baru buat saya. Memang pada awalnya saya pun berfikir bahwa kedua konsep ini (Karma Phala dan Tuhan) nampaknya terpisah, namun sampai saya bertemu dengan konsep "kembali ke asal" dalam Hinduism yg membuat saya kembali ingin menggali.

      Yang dapat saya tangkap dari uraian anda diatas, anda mencoba split ttg bagaimana konsep menyatunya Atman dengan Brahman (Hinduism); dan penyebab reinkarnasi (Budhism), dan saya sependapat (jika benar ini maksud anda).

      Saya juga sependapat bahwa reinkarnasi ada karena perbuatan manusia itu sendiri, saya juga tidak jarang mendengar istilah 'Karma Wesana'. Persamaan yang pasti dalam Hinduism dan Budhism tentang konsep karma phala sebagai penyebab punarbhawa adalah sama-sama memperhatikan karma kita agar terhindar dari punarbhawa/tidak lagi memiliki phala (anda sependapat?) . Konsep Budhism yg mengajarkan dengan bergerak kearah padamnya keinginan (Nibbana), dan konsep Hinduism yang mengajarkan lepas dari ikatan/Moksa (namun disini ditambahkan unsur Tuhan).

      Memang benar bahwa bahkan jika berbuat baik sekalipun akan tetap reinkarnasi (dalam Hinduism), karna (sejauh yang saya tau) untuk mencapai tujuan tertinggi (tdk reinkarnasi) tidak cukup hanya berbuat baik saja, namun benar2 bermanfaat positif bagi semua dan tidak terikat akan perbuatan itu. jadi memang betul kedua konsep itu (Karma Phala dan Tuhan) tidak cocok berjalan bersama karena berkarma untuk ber-phala bukanlah TUJUAN yang tertinggi.

      Conclusion (saya): Kita semua yang menentukan arah TUJUAN kita sendiri.

      Mohon tambahan (koreksi) jika terdapat kekeliruan dlm frame berfikir saya. Terima Kasih

      Salam,-


      Hapus