Senin, 10 September 2007

BhagawadGita, Bab 1 s/d 3


GitaDhyanam

  1. Arjuna Wisada Yoga, menguraikan keragu-raguan dalam diri Arjuna
  2. Samkhya Yoga, menguraikan ajaran yoga dan samkhya
  3. Karma Yoga, menguraikan pencapaian yoga karena karma, usaha, perbuatan
  4. Jnana Yoga, menguraikan pencapaian yoga karena ilmu pengetahuan suci
  5. Karma Samnyasa Yoga, menguraikan pencapaian yoga karena prihatin
  6. Dhyana Yoga, menguraikan tentang makna dhyana sebaga satu sistem dalam yoga
  7. Jnana Widnyana Yoga, menguraikan pencapaian yoga karena budi
  8. Aksara Brahma Yoga, menguraikan hakikat akan kekekalan Tuhan
  9. Raja Widya Rajaguhya Yoga, hakikat Ketuhanan sebagai raja dari segala ilmu pengetahuan (widya)
  10. Wibhuti Yoga, menguraikan akan sifat hakikat Tuhan yang absolut, tanpa awal, pertengahan dan akhir
  11. Wiswarupa Darsana Yoga, kelanjutan dari Wibhuti Yoga, dijelaskan dengan manifestasi secara nyata
  12. Bhakti Yoga, menguraikan tentang cara yoga dengan bhakti
  13. Ksetra Ksetradnya Yoga, menguraikan hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hubungan dengan purusa dan prakrti
  14. Guna Traya Wibhaga Yoga, membahas Triguna - Sattwam, Rajas dan Tamas
  15. Purusottama Yoga, menguraikan beryoga pada purusa yang Maha Tinggi, Hakikat Ketuhanan
  16. Daiwasura Sampad Wibhaga Yoga, membahas akan hakikat tingkah-laku manusia, baik dan buruk
  17. Sraddha Traya Wibhaga Yoga, menguraikan kepercayaan dan berkeyakinan pada Triguna
  18. Moksa Samnyasa Yoga, merupakan kesimpulan dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan agama yang tertinggi.


Bhagavad Gita - Gita Dhyanam

  1. Wahai Ibu Bhagavad-Gita, sebagai sabda Tuhan (Narayana) sendiri, dalam menejelaskan kepada Partha (Arjuna); yang tercantum dalam kitab Mahabharata, yang terdiri dari 18 bab, susunan Maharsi Vyasa; pencurah nektar Advaita, sebagai penghancur samsara, hamba bersujud kepada-Mu
  2. Wahai Rsi Vyasa yang cerdas, dengan mata bagaikan daun-daun bunga teratai yang sedang mekar, penyulut lampu kebijaksanaan yang penuh dengan minyak Mahabharata; perkenankanlah hamba bersujud kepada-Mu
  3. Sembah sujudku kepada Krsna, pemerah susu nektar Gita; bagaikan pohon Parijata bagi mereka yang berlindung pada-Nya; dan yang menggenggam seikat pohon tebu pada tangan yang satu, sedang tangan yang lainnya melakukan Jnana Mudra
  4. Dengan semua kitab Upanisad sebagai sapi-sapinya dan Arjuna sebagai anak sapinya, serta putra-putra para penggembala sapi sebagai si pemerah susu telah menyarikan susu nektar Gita tertinggi guna kenikmatan manusia yang telah memiliki pemahaman murni.
  5. Hamba bersujud kepada Krsna putra Vasudeva, kesayangan utama Devaki, penghancur raksasa Kamsa dan Canura; yang sesungguhnya adalah Tuhan (sendiri), sebagai jagad guru (guru semesta)


[Kembali]


Bhagavad Gita - Bab I

Prathamo ‘Dhyayah
Bab I

Arjuna Wisada Yogah

1-1

dhritarashtra uvaca
dharma-kshetre kuru-kshetre
samaveta yuyutsavah
mamakah pandavas caiva
kim akurvata sanjaya

“Dhritarashtra said: O Sanjaya, after my sons and the sons of Pandu assembled in the place of pilgrimage at Kurukshetra, desiring to fight, what did they do?”

Dhrtarastra berkata:
Di medan dharma, di padang Kuruksetra, ketika putra-putraku dan putra-putra Pandu telah berkumpul bersama siap untuk bertempur, apakah yang mereka lakukan, wahai Sanjaya?

1-2

sanjaya uvaca
drishtva tu pandavanikam
vyudham duryodhanas tada
acaryam upasangamya
raja vacanam abravit

“Sanjaya said: O King, after looking over the army arranged in military formation by the sons of Pandu, King Duryodhana went to his teacher and spoke the following words.”

Sanjaya berkata:
Kemudian, setelah menyaksikan pasukan para Pandava yang siap siaga dalam formasi tempur, pangeran Duryodhana menghampiri gurunya, acarya agung Drona, seraya berkata:


1-3

pasyaitam pandu-putranam
acarya mahatim camum
vyudham drupada-putrena
tava sisyena dhimata

“O my teacher, behold the great army of the sons of Pandu, so expertly arranged by your intelligent disciple the son of Drupada.”

Saksikanlah, wahai guruku; pasukan putra-putra Pandu yang gagah perkasa itu, yang dipimpin oleh murid paduka yang bijaksana, putra Drupada

1-4

atra sura mahesv-asa
bhimarjuna-sama yudhi
yuyudhano viratas ca
drupadas ca maha-rathah

“Here in this army are many heroic bowmen equal in fighting to Bhima and Arjuna: great fighters like Yuyudhana, Virata and Drupada.”

Disana ada pula para pahlawan pemanah tangguh yang sebanding dengan Bhima dan Arjuna dalam peperangan, seperti Virata, Yuyudhana dan Drupada yang semuanya merupakan perwira-perwira gagah perkasa

1-5

dhrishtaketus cekitanah
kasirajas ca viryavan
purujit kuntibhojas ca
saibyas ca nara-pungavah

“There are also great, heroic, powerful fighters like Dhrishtaketu, Cekitana, Kasiraja, Purujit, Kuntibhoja and Saibya.”

Juga terdapat Dhrstaketu, Cekitana dan raja negeri Kasi yang gagah perkasa; serta Purujit, Kuntibhoja dan Saibya, sebagai manusia-manusia pilihan yang perkasa

1-6

yudhamanyus ca vikranta
uttamaujas ca viryavan
saubhadro draupadeyas ca
sarva eva maha-rathah

“There are the mighty Yudhamanyu, the very powerful Uttamauja, the son of Subhadra and the sons of Draupadi. All these warriors are great chariot fighters.”

Juga ada Yudhamanyu yang kuat kekar; Uttamauja yang gagah berani, serta putra-putra Subhadra dan Draupadi, yang semuanya merupakan pahlawan-pahlawan kereta yang tangguh

1-7

asmakam tu visista ye
tan nibodha dvijottama
nayaka mama sainyasya
samjnartham tan bravimi te

“But for your information, O best of the brahmanas, let me tell you about the captains who are especially qualified to lead my military force.”

Ketahui pulalah, wahai yang terbaik di antara para dvijati (kaum pendeta), semua panglima pasukan kita yang merupakan pimpinan kenamaan, yang akan kusebutkan namanya guna bahan informasi paduka guru

1-8

bhavan bhismas ca karnas ca
kripas ca samitim-jayah
ashvatthama vikarnas ca
saumadattis tathaiva ca

“There are personalities like you, Bhishma, Karna, Kripa, Asvatthama, Vikarna and the son of Somadatta called Bhurisrava, who are always victorious in battle.”

Paduka sendiri, guruku; lalu Bhisma, Karna dan Krpacarya, yang selalu jaya dalam pertempuran; demikian pula Asvatthama, Vikarna dan putra-putra dari raja Somadatta

1-9

anye ca bahavah sura
mad-arthe tyakta-jivitah
nana-shastra-praharanah
sarve yuddha-visaradah

“There are many other heroes who are prepared to lay down their lives for my sake. All of them are well equipped with different kinds of weapons, and all are experienced in military science.”

Dan masih banyak lagi para pahlawan terlatih yang tangguh dalam peperangan, yang diperlengkapi dengan segala macam persenjataan dan siap mempertaruhkan nyawa mereka demi kepentinganku

1-10

aparyaptam tad asmakam
balam bhismabhiraksitam
paryaptam tv idam etesam
balam bhimabhiraksitam

“Our strength is immeasurable, and we are perfectly protected by Grandfather Bhishma, whereas the strength of the Pandavas, carefully protected by Bhima, is limited.”

Kekuatan pasukan kita yang dipimpin oleh Bhisma, secara sempurna tak terbatas jumlahnya; sementara pasukan mereka yang dipimpin oleh Bhima, terbatas jumlahnya.

1-11

ayanesu ca sarveshu
yatha-bhagam avasthitah
bhismam evabhirakshantu
bhavantah sarva eva hi

“All of you must now give full support to Grandfather Bhishma, as you stand at your respective strategic points of entrance into the phalanx of the army.”

Oleh karena itu, semuanya menempati posisimu masing-masing dalam divisimu dan hanya melindungi Bhisma saja, dengan segala cara

1-12

tasya sanjanayan harsam
kuru-vrddhah pitamahah
simha-nadam vinadyoccaih
sankham dadhmau pratapavan

“Then Bhishma, the great valiant grandsire of the Kuru dynasty, the grandfather of the fighters, blew his conchshell very loudly, making a sound like the roar of a lion, giving Duryodhana joy.”

Untuk membangkitkan semangat (Duryodhana), kakek Bhisma yang agung sebagai sesepuh wangsa Kuru, sekarang meniup terompet kerangnya dengan sangat kerasnya, bagaikan raungan seekor singa

1-13

tatah sankhas ca bheryas ca
panavanaka-gomukhah
sahasaivabhyahanyanta
sa shabdas tumulo ’bhavat

“After that, the conchshells, drums, bugles, trumpets and horns were all suddenly sounded, and the combined sound was tumultuous.”

Kemudian dengan serempak secara tiba-tiba dibunyikan terompet-terompet kerang, genderang, tambur dan terompet-terompet tanduk; yang suaranya gegap gempita membahana

1-14

tatah svetair hayair yukte
mahati syandane sthitau
madhavah pandavas caiva
divyau sankhau pradadhmatuh

“On the other side, both Lord Krishna and Arjuna, stationed on a great chariot drawn by white horses, sounded their transcendental conchshells.”

Manakala Krsna dan Arjuna berdiri di atas kereta indah yang ditarik oleh kuda-kuda berwarna putih, mereka juga mulai meniup terompet-terompet kadewatan mereka masing-masing

1-15

pancajanyam hrsikeso
devadattam dhananjayah
paundram dadhmau maha-sankham
bhima-karma vrkodarah

“Lord Krishna blew His conchshell, called Pancajanya; Arjuna blew his, the Devadatta; and Bhima, the voracious eater and performer of herculean tasks, blew his terrific conchshell, called Paundra.”

Hrsikesa (Krsna) meniup terompet Pancajanya-Nya, Arjuna meniup terompet Devadatta-nya; sedangkan Vrkodara (Bhima) yang biasa melaksanakan tugas-tugas berat, meniup terompet kerangnya yang hebat, yang bernama Paundra

1-16, 1-17 & 1-18

anantavijayam raja
kunti-putro yudhisthirah
nakulah sahadevas ca
sughosa-manipuspakau

kasyas ca paramesv-asah
sikhandi ca maha-rathah
dhrishtadyumno viratas ca
satyakis caparajitah

drupado draupadeyas ca
sarvasah prithivi-pate
saubhadras ca maha-bahuh
sankhan dadhmuh prithak prithak

“King Yudhishthira, the son of Kunti, blew his conchshell, the Ananta-vijaya, and Nakula and Sahadeva blew the Sughosa and Manipuspaka. That great archer the King of Kasi, the great fighter Sikhandi, Dhrishtadyumna, Virata, the unconquerable Satyaki, Drupada, the sons of Draupadi, and the others, O King, such as the mighty-armed son of Subhadra, all blew their respective conchshells.”

Putra Kunti, raja Yudhistira, meniup terompet kerangnya yang bernama Anantavijaya; Nakula dan Sahadeva, masing-masing meniup terompet kerangnya yang bernama Sughosa dan Manipuspaka

Dan pemanah perkasa raja dari negeri Kasi, ksatria kereta perang Sikhandi, Dhrstadyumna, Virata dan Satyaki yang sulit dikalahkan itu.

Wahai penguasa bhumi (Dhrtarastra); Drupada dan putra-putra Draupadi serta putra Subhadra (Abhimanyu) yang berlengan perkasa, semuanya juga meniup terompet kerangnya masing-masing

1-19

sa ghoso dhartarastranam
hridayani vyadarayat
nabhas ca prithivim caiva
tumulo ’bhyanunadayan

“The blowing of these different conchshells became uproarious. Vibrating both in the sky and on the earth, it shattered the hearts of the sons of Dhritarashtra.”

Memenuhi angkasa dan bumi dengan gema yang gegap gempita, menggetarkan hati para putra Dhrtarastra

1.20

atha vyavasthitan drishtva
dhartarastran kapi-dhvajah
pravrtte shastra-sampate
dhanur udyamya pandavah
hrishikesham tada vakyam
idam aha mahi-pate

“At that time Arjuna, the son of Pandu, seated in the chariot bearing the flag marked with Hanuman, took up his bow and prepared to shoot his arrows. O King, after looking at the sons of Dhritarashtra drawn in military array, Arjuna then spoke to Lord Krishna these words.”

Kemudian Arjuna yang berdiri di kereta perangnya yang berlambangkan kera (Hanoman) memandang barisan putra-putra Dhrtarastra yang siap dengan senjata-senjatanya, lalu mulai mengangkat busur panahnya

1-21 & 1-22

arjuna uvaca
senayor ubhayor madhye
ratham sthapaya me ’cyuta
yavad etan nirikse ’ham
yoddhu-kaman avasthitan

kair maya saha yoddhavyam
asmin rana-samudyame

“Arjuna said: O infallible one, please draw my chariot between the two armies so that I may see those present here, who desire to fight, and with whom I must contend in this great trial of arms.”

Dan wahai Sang Penguasa bhumi (Dhrtarastra), ia kemudian berkata kepada Hrsikesa (Krsna). Arjuna berkata: Arahkan dan tempatkan keretaku ini di tengah-tengah antara kedua pasukan (yang saling berhadapan) ini, wahai Acyuta (Krsna)

Supaya aku dapat mengetahui mereka yang siap dan bernafsu sekali untuk berperang; yang harus aku hadapi dalam pertempuran yang akan segera terjadi ini

1-23

yotsyamanan avekse ’ham
ya ete ’tra samagatah
dhartarastrasya durbuddher
yuddhe priya-cikirsavah

“Let me see those who have come here to fight, wishing to please the evil-minded son of Dhritarashtra.”

Dan aku ingin sekali melihat sendiri mereka yang berkumpul di sini, yang siap bertempur dan bernafsu sekali untuk mendapatkan apa-apa yang sangat disukai oleh putra Dhrtarastra yang berbudi jahat itu dalam peperangan ini.

1-24

sanjaya uvaca
evam ukto hrsikeso
gudakesena bharata
senayor ubhayor madhye
sthapayitva rathottamam

“Sanjaya said: O descendant of Bharata, having thus been addressed by Arjuna, Lord Krishna drew up the fine chariot in the midst of the armies of both parties.”

Sanjaya berkata:
Wahai Bharata (Dhrtarastra), setelah Gudakesa (Arjuna) berkata kepada Hrsikesa (Krsna), maka Sri Krsna menempatkan kereta perang yang sangat indah itu di tengah-tengah antara kedua pasukan yang saling berhadapan

1-25

bhisma-drona-pramukhatah
sarvesam ca mahi-ksitam
uvaca partha pasyaitan
samavetan kurun iti

“In the presence of Bhishma, Drona and all the other chieftains of the world, the Lord said, Just behold, Partha, all the Kurus assembled here.”

Di hadapan Bhisma, Drona dan semua pimpinan pasukan dan bersabda “Wahai Partha (Arjuna), lihatlah seluruh warga keluarga wangsa Kuru telah berkumpul bersama-sama di sini?

1-26

tatrapasyat sthitan parthah
pitrn atha pitamahan
acaryan matulan bhratrn
putran pautran sakhims tatha
svasuran suhridas caiva
senayor ubhayor api

“There Arjuna could see, within the midst of the armies of both parties, his fathers, grandfathers, teachers, maternal uncles, brothers, sons, grandsons, friends, and also his fathers-in-law and well-wishers.”

Kemudian di sana Partha menyaksikan berdiri dalam kedua barisan itu, para bapak, kakek, guru, paman, saudara sepupu, anak, cucu demikian pula para sekutu.

1-27

tan samiksya sa kaunteyah
sarvan bandhun avasthitan
kripaya parayavisto
visidann idam abravit

“When the son of Kunti, Arjuna, saw all these different grades of friends and relatives, he became overwhelmed with compassion and spoke thus.”

Dan juga para mertua dan teman sejawat pada kedua pasukan tersebut. Dan ketika putra Kunti (Arjuna) menyaksikan seluruh sanak keluarganya berdiri berbaris di sana. Ia diliputi dengan perasaan kasihan dan duka cita yang mendalam, sambil mengucapkan kata-kata ini:

1-28

arjuna uvaca
drstvemam sva-janam krishna
yuyutsum samupasthitam
sidanti mama gatrani
mukham ca parisusyati

“Arjuna said: My dear Krishna, seeing my friends and relatives present before me in such a fighting spirit, I feel the limbs of my body quivering and my mouth drying up.”

Arjuna berkata:
Bila aku menyaksikan orang-orangku sendiri yang berbaris dan bernafsu sekali untuk bertempur, wahai Krsna, anggota badanku terasa lemas, mulutku terasa kering.

1-29

vepathus ca sarire me
roma-harsas ca jayate
gandivam sramsate hastat
tvak caiva paridahyate

“My whole body is trembling, my hair is standing on end, my bow Gandiva is slipping from my hand, and my skin is burning.”

Sekujur tubuhku gemetaran dan bulu romaku merinding. (Busur) Gandiva terlepas dari tanganku dan kulitku terasa terbakar seluruhnya.

1-30

na ca saknomy avasthatum
bhramativa ca me manah
nimittani ca pasyami
viparitani keshava

“I am now unable to stand here any longer. I am forgetting myself, and my mind is reeling. I see only causes of misfortune, O Krishna, killer of the Keshi demon.”

Aku tak mampu untuk berdiri tegak dan pikiranku kacau. Dan aku melihat tanda-tanda buruk, wahai Kesava (Krsna), di mana aku tidak melihat kebaikan sama sekali dengan membunuh sanak keluarga sendiri dalam pertempuran ini.

1-31

na ca sreyo ’nupasyami
hatva sva-janam ahave
na kankse vijayam krishna
na ca rajyam sukhani ca

“I do not see how any good can come from killing my own kinsmen in this battle, nor can I, my dear Krishna, desire any subsequent victory, kingdom, or happiness.”

Aku tidak menginginkan kemenangan lagi, wahai Krsna, ataupun kerajaan maupun kesenangan; wahai Govinda (Krsna), apa gunanya lagi kerajaan ini bagi kita, demikian pula kenikmatan dan kehidupan ini sendiri.

1-32, 1-33, 1-34, & 1-35

kim no rajyena govinda
kim bhogair jivitena va
yesham arthe kanksitam no
rajyam bhogah sukhani ca

ta ime ’vasthita yuddhe
pranams tyaktva dhanani ca
acaryah pitarah putras
tathaiva ca pitamahah

matulah svasurah pautrah
syalah sambandhinas tatha
etan na hantum icchami
ghnato ’pi madhusudana

api trailokya-rajyasya
hetoh kim nu mahi-krte
nihatya dhartarastran nah
ka pritih syaj janardana

“O Govinda, of what avail to us are a kingdom, happiness or even life itself when all those for whom we may desire them are now arrayed on this battlefield? O Madhusudana, when teachers, fathers, sons, grandfathers, maternal uncles, fathers-in-law, grandsons, brothers-in-law and other relatives are ready to give up their lives and properties and are standing before me, why should I wish to kill them, even though they might otherwise kill me? O maintainer of all living entities, I am not prepared to fight with them even in exchange for the three worlds, let alone this earth. What pleasure will we derive from killing the sons of Dhritarashtra?”

Demi untuk siapakah kita serta mereka yang berdiri di sini berperang dengan mengorbankan nyawa dan harta benda, menginginkan kerajaan, kenikmatan dan kesenangan ini? Para guru, ayah, putra-putra dan juga para kakek, paman, mertua, cucu, ipar dan kaum kerabat (lainnya). Wahai Madhusudana (Krsna), aku tak ingin membunuh mereka, walaupun mereka membunuhku; kendatipun akan memerintah di ketiga dunia ini, apalagi hanya untuk dunia ini saja? Kesenangan apakah yang akan kita peroleh setelah membunuh putra-putra Dhrtarastra ini, wahai Janardana (Krsna)? Yang pasti hanyalah dosa bagi kita bila membunuh si durjana ini.

1-36

papam evasrayed asman
hatvaitan atatayinah
tasman narha vayam hantum
dhartarastran sa-bandhavan
sva-janam hi katham hatva
sukhinah syama madhava

“Sin will overcome us if we slay such aggressors. Therefore it is not proper for us to kill the sons of Dhritarashtra and our friends. What should we gain, O Krishna, husband of the goddess of fortune, and how could we be happy by killing our own kinsmen?”

Karena itu, tidak patut kita membunuh kaum kerabat kita sendiri, putra-putra Dhrtarastra itu. Sesungguhnya, bagaimana mungkin kita dapat bahagia, wahai Madhava (Krsna), apabila kita membunuh keluarga sendiri?

1-37 &-38

yady apy ete na pasyanti
lobhopahata-cetasah
kula-ksaya-kritam dosam
mitra-drohe ca patakam

katham na jneyam asmabhih
papad asman nivartitum
kula-ksaya-kritam dosam
prapasyadbhir janardana

“O Janardana, although these men, their hearts overtaken by greed, see no fault in killing one’s family or quarreling with friends, why should we, who can see the crime in destroying a family, engage in these acts of sin?”

Walaupun bagi mereka yang pikirannya dikuasai oleh ketamakan, tidak melihat kesalahan dalam pemusnahan keluarga dan tidak merasa berbuat jahat dalam membasmi kawan. Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk berpaling dari dosa semacam ini, wahai Janardana (Krsna); kita yang melihat kesalahan dalam memusnahkan sanak keluarga ini?

1-39

kula-ksaye pranasyanti
kula-dharmah sanatanah
dharme naste kulam krtsnam
adharmo ’bhibhavaty uta

“With the destruction of dynasty, the eternal family tradition is vanquished, and thus the rest of the family becomes involved in irreligion.”

Dalam hancurnya keluarga, hukum-hukum tradisinya juga musnah; dan apabila hukum-hukum itu lenyap, maka keseluruhan keluarga juga akan berakibat menjadi tanpa dasar hukum

1-40

adharmabhibhavat krishna
pradusyanti kula-striyah
strisu dustasu varsneya
jayate varna-sankarah

“When irreligion is prominent in the family, O Krishna, the women of the family become polluted, and from the degradation of womanhood, O descendant of Vrishni, comes unwanted progeny.”

Dan apabila tirani merajalela, wahai Varsneya (Krsna), para kaum wanita dari keluarga akan menjadi ternoda dan bila para wanita telah ternoda, tatanan warna asrama menjadi kacau tidak karuan

1-41

sankaro narakayaiva
kula-ghnanam kulasya ca
patanti pitaro hy esam
lupta-pindodaka-kriyah

“An increase of unwanted population certainly causes hellish life both for the family and for those who destroy the family tradition. The ancestors of such corrupt families fall down, because the performances for offering them food and water are entirely stopped.”

Kekacauan moral ini akan membawa keluarga itu sendiri ke dalam neraka, demikian pula para pembunuhnya. Karenanya, roh-roh para leluhur akan jatuh karena ketiadaan persembahan nasi dan air bagi mereka

1-42

dosair etaih kula-ghnanam
varna-sankara-karakaih
utsadyante jati-dharmah
kula-dharmas ca sasvatah

“By the evil deeds of those who destroy the family tradition and thus give rise to unwanted children, all kinds of community projects and family welfare activities are devastated.”

Oleh perbuatan keliru yang dilakukan para penghancur keluarga tersebut dan yang mengacaukan keberadaan varna asrama, hukum-hukum kasta yang sudah lama berlalu dan juga keluarga itupun akan hancur

1-43

utsanna-kula-dharmanam
manushyanam janardana
narake niyatam vaso
bhavatity anususruma

“O Krishna, maintainer of the people, I have heard by disciplic succession that those who destroy family traditions dwell always in hell.”

Dan kita semua telah mendengar, wahai Janardana (Krsna) bahwa orang-orang dari keluarga-keluarga yang hukum-hukum tradisinya termusnahkan, pasti akan dicampakkan di neraka

1-44

aho bata mahat papam
kartum vyavasita vayam
yad rajya-sukha-lobhena
hantum sva-janam udyatah

“Alas, how strange it is that we are preparing to commit greatly sinful acts. Driven by the desire to enjoy royal happiness, we are intent on killing our own kinsmen.”

Aduh, betapa besar dosa yang kita tanggung dalam usaha kita membunuh orang-orang (keluarga) kita sendiri, akibat dari perasaan tamak akan kenikmatan memiliki kerajaan

1-45

yadi mam apratikaram
ashastram shastra-panayah
dhartarastra rane hanyus
tan me kshemataram bhavet

“Better for me if the sons of Dhritarashtra, weapons in hand, were to kill me unarmed and unresisting on the battlefield.”

Jauh lebih baik bagiku, apabila putra-putra Dhrtarastra dengan senjata di tangan membunuhku dalam pertempuran, sementara aku tetap tak melawan dan tanpa senjata

1-46

sanjaya uvaca
evam uktvarjunah sankhye
rathopastha upavisat
visrjya sa-saram capam
soka-samvigna-manasah

“Sanjaya said: Arjuna, having thus spoken on the battlefield, cast aside his bow and arrows and sat down on the chariot, his mind overwhelmed with grief.”

Sanjaya berkata:
Setelah berkata demikian, di medan pertempuran itu, Arjuna duduk terhenyak di keretanya, membuang busur dan anak-anak panahnya, dengan semangat yang diliputi oleh kedukaan

Dalam Upanisad dari Bhagavadgita, ilmu pengetahuan Yang Mutlak, sastra Yoga dan percakapan antara Sri Krsna dan Arjuna, ini merupakan bab pertama yang berjudul ‘Keragu-raguan Arjuna’.

[Kembali]


Bhagavad Gita - Bab II

Atha Dwitiyo ‘Dhyayah
Bab II

Samkhya Yoga

2-1

sanjaya uvaca
tam tatha kripayavistam
asru-purnakuleksanam
visidantam idam vakyam
uvaca madhusudanah

“Sanjaya said: Seeing Arjuna full of compassion, his mind depressed, his eyes full of tears, Madhusudana, Krishna, spoke the following words.”

Sanjaya berkata:
Kepada (yang) diliputi dengan perasaan belas kasihan; yang pelupuk matanya dipenuhi dengan air mata dan kesedihan yang mendalam serta tertekan dalam pikirannya, Madhusudana (Krsna) berkata sebagai berikut:

2-2

sri-bhagavan uvaca
kutas tva kasmalam idam
visame samupasthitam
anarya-justam asvargyam
akirti-karam arjuna

“The Supreme Personality of Godhead said: My dear Arjuna, how have these impurities come upon you? They are not at all befitting a man who knows the value of life. They lead not to higher planets but to infamy.”

Sri Bhagavan (Krsna) bersabda:
Dari manakah datangnya kedukaan dan patah semangat di saat yang kritis ini? (Sifat yang demikian) itu tak dikenal oleh orang-orang mulia (tidak diperkenankan oleh orang-orang Aryan); ia tak akan membawa(mu) menuju surga (dan di bumi ini) itu akan menyebabkan dipermalukan (orang), wahai Arjuna


2-3

klaibyam ma sma gamah partha
naitat tvayy upapadyate
ksudram hridaya-daurbalyam
tyaktvottistha parantapa

“O son of Pritha, do not yield to this degrading impotence. It does not become you. Give up such petty weakness of heart and arise, O chastiser of the enemy.”

Jangan biarkan kelemahan itu, wahai Partha (Arjuna), karena hal ini bukan sifatmu. Buanglah sikap pengecut yang tidak ada artinya ini dan bangkitlah, wahai Parantapa (penakluk musuh-musuh; Arjuna)

2-4

arjuna uvaca
katham bhismam aham sankhye
dronam ca madhusudana
isubhih pratiyotsyami
pujarhav ari-sudana

“Arjuna said: O killer of enemies, O killer of Madhu, how can I counterattack with arrows in battle men like Bhishma and Drona, who are worthy of my worship?”

Arjuna berkata:
Bagaimana (mungkin) aku mampu menyerang kakek Bhisma dan guru Drona, yang patut kuhormati itu, wahai Madhusudana (Krsna), dengan menggunakan anak-anak panah dalam pertempuran ini, wahai Arisudana (pembantai musuh-musuh; Krsna)

2-5

gurun ahatva hi mahanubhavan
sreyo bhoktum bhaiksyam apiha loke
hatvartha-kamams tu gurun ihaiva
bhunjiya bhogan rudhira-pradigdhan

“It would be better to live in this world by begging than to live at the cost of the lives of great souls who are my teachers. Even though desiring worldly gain, they are superiors. If they are killed, everything we enjoy will be tainted with blood.”

Di dunia ini lebih baik menjadi pengemis peminta-minta dari pada membunuh para guru mulia ini. Walaupun mereka mabuk duniawi, mereka tetap sebagai guruku; dan dengan membunuhnya, aku hanya akan menikmati kesenangan duniawi ini dengan lumuran darah.

2-6

na caitad vidmah kataran no gariyo
yad va jayema yadi va no jayeyuh
yan eva hatva na jijivisamas
te ’vasthitah pramukhe dhartarastrah

“Nor do we know which is better—conquering them or being conquered by them. If we killed the sons of Dhritarashtra, we should not care to live. Yet they are now standing before us on the battlefield.”

Kita tidak tahu pasti yang manakah yang lebih baik; apakah kita menumpas mereka ataukah mereka menumpas kita. Putra-putra Dhrtarastra yang apabila kita bunuh dan tidak memperdulikan kehidupannya, semuanya berdiri di depan kita dalam formasi siap tempur.

2-7

karpanya-dosopahata-svabhavah
prcchami tvam dharma-sammudha-cetah
yac chreyah syan niscitam bruhi tan me
shishyas te ’ham sadhi mam tvam prapannam

“Now I am confused about my duty and have lost all composure because of miserly weakness. In this condition I am asking You to tell me for certain what is best for me. Now I am Your disciple, and a soul surrendered unto You. Please instruct me.”

Keadaanku merasa terpukul oleh kelemahan akan rasa iba (sentimental) dan pikiranku bingung tentang tugas kewajibanku. Aku bertanya kepada-Mu, jelaskanlah secara pasti, manakah yang lebih baik. Aku adalah murid-Mu, jelaskanlah padaku, yang berlindung pada-Mu.

2-8

na hi prapasyami mamapanudyad
yac chokam ucchosanam indriyanam
avapya bhumav asapatnam rddham
rajyam suranam api cadhipatyam

“I can find no means to drive away this grief which is drying up my senses. I will not be able to dispel it even if I win a prosperous, unrivaled kingdom on earth with sovereignty like the demigods in heaven.”

Aku tidak melihat apa yang akan menyingkirkan kesedihan yang menghentikan indra-indraku ini, walaupun aku menjadi kaya dan mendapatkan kerajaan yang tak tertandingi di bumi ini, ataupun penguasaan atas para dewa

2-9

sanjaya uvaca
evam uktva hrishikesham
gudakeshah parantapah
na yotsya iti govindam
uktva tusnim babhuva ha

“Sanjaya said: Having spoken thus, Arjuna, chastiser of enemies, told Krishna, “Govinda, I shall not fight,” and fell silent.”

Sanjaya berkata:
Setelah mengutarakan keluhannya kepada Hrsikesa (Krsna), Gudakesa (Arjuna) yang perkasa berkta kepada Govinda (Krsna): “Aku tak mau bertempur”, dan diam terhenyak.

2-10

tam uvaca hrishikeshah
prahasann iva bharata
senayor ubhayor madhye
visidantam idam vacah

“O descendant of Bharata, at that time Krishna, smiling, in the midst of both the armies, spoke the following words to the grief-stricken Arjuna.”

Kepada yang tertimpa perasaan tertekan di tengah-tengah kedua pasukan itu, wahai Bharata (Dhrtarastra), sambil tersenyum Hrsikesa (Krsna) menyampaikan kata-kata ini:

2-11

sri-bhagavan uvaca
asocyan anvasocas tvam
prajna-vadams ca bhasase
gatasun agatasums ca
nanusocanti panditah

“The Supreme Personality of Godhead said: While speaking learned words, you are mourning for what is not worthy of grief. Those who are wise lament neither for the living nor for the dead.”

Sri Bhagava (Krsna) bersabda:
Engkau bersedih terhadap mereka yang tak patut kamu sedihi, namun kamu berbicara tentang kebijaksanaan. Orang bijaksana tak akan bersedih baik terhadap mereka yang hidup maupun yang mati

2-12

na tv evaham jatu nasam
na tvam neme janadhipah
na caiva na bhavisyamah
sarve vayam atah param

“Never was there a time when I did not exist, nor you, nor al these kings; nor in the future shall any of us cease to be.”

Tak pernah ada saat-saat dimana Aku, engkau dan para raja manusia tak pernah ada, ataupan akan senantiasa ada nantinya, manakala kita semua berhenti adanya

2-13

dehino ’smin yatha dehe
kaumaram yauvanam jara
tatha dehantara-praptir
dhiras tatra na muhyati

“As the embodied soul continuously passes, in this body, from boyhood to youth to old age, the soul similarly passes into another body at death. A sober person is not bewildered by such a change.”

Seperti halnya sang roh yang melewatkan waktunya dalam badan ini dari masa kanak-kanak, remaja dan usia tua, demikian juga bila ia berpindah ke badan yang lainnya. Orang bijaksana tak akan terbingungkan oleh hal ini.

2-14

matra-sparshas tu kaunteya
sitosna-sukha-duhkha-dah
agamapayino ’nityas
tams titiksasva bharata

“O son of Kunti, the nonpermanent appearance of happiness and distress, and their disappearance in due course, are like the appearance and disappearance of winter and summer seasons. They arise from sense perception, O scion of Bharata, and one must learn to tolerate them without being disturbed.”

Hubungannya dengan obyek-obyek indranya, wahai Kaunteya (putra Kunti; Arjuna), menimbulkan panas dan dingin, suka dan duka. Semuanya muncul dan lenyap, tak abadi, (karenanya belajarlah untuk menanggungnya, wahai Bharata (Arjuna)

2-15

yam hi na vyathayanty ete
purusham purusharsabha
sama-duhkha-sukham dhiram
so ’mrtatvaya kalpate

“O best among men [Arjuna], the person who is not disturbed by happiness and distress and is steady in both is certainly eligible for liberation.”

Orang yang tak tergoyahkan oleh hal-hal ini, wahai pemimpin di antara manusia (Arjuna), yang tegap (menganggap) sama dalam menerima kedukaan dan kesenangan, yang bijaksana menjadikan dirinya layak untuk hidup abadi.

2-16

nasato vidyate bhavo
nabhavo vidyate satah
ubhayor api drsto ’ntas
tv anayos tattva-darshibhih

“Those who are seers of the truth have concluded that of the nonexistent [the material body] there is no endurance and of the eternal [the soul] there is no change. This they have concluded by studying the nature of both.”

Yang bukan keberadaan, tak akan pernah ada; dari keberadaan ini tak akan berhenti adanya. Kedua hal ini telah dipahami oleh para pengamat kebenaran.

2-17

avinasi tu tad viddhi
yena sarvam idam tatam
vinasam avyayasyasya
na kascit kartum arhati

“That which pervades the entire body you should know to be indestructible. No one is able to destroy that imperishable soul.”

Ketahuilah bahwa yang meliputi semuanya ini tak dapat dimusnahkan. Terhadap keberadaan yang abadi ini, tak seorangpun dapat memusnahkannya.

2-18

antavanta ime deha
nityasyoktah saririnah
anasino ’prameyasya
tasmad yudhyasva bharata

“The material body of the indestructible, immeasurable and eternal living entity is sure to come to an end; therefore, fight, O descendant of Bharata.”

Dikatakan bahwa badan dari perwujudan (roh) abadi yang tak termusnahkan dan yang tak terpahami ini akan berakhir juga. Oleh karena itu bertempurlan, wahai Bharata (Arjuna).

2-19

ya enam vetti hantaram
yas cainam manyate hatam
ubhau tau na vijanito
nayam hanti na hanyate

“Neither he who thinks the living entity the slayer nor he who thinks it slain is in knowledge, for the self slays not nor is slain.”

Ia yang berpikir bahwa Ia membunuh dan ia yang berpikir bahwa Ia terbunuh; keduanya gagal untuk memahami kebenaran; (karena) Dia tak membunuh maupun terbunuh.

2-20

na jayate mriyate va kadacin
nayam bhutva bhavita va na bhuyah
ajo nityah sasvato ’yam purano
na hanyate hanyamane sarire

“For the soul there is neither birth nor death at any time. He has not come into being, does not come into being, and will not come into being. He is unborn, eternal, ever-existing and primeval. He is not slain when the body is slain.”

Dia tak pernah lahir ataupun mati kapanpun juga, demikian pula setelah ada tak akan berhenti untuk tetap ada. Dia tak terlahirkan, kekal, abadi dan dari jaman dahulu tetap demikian selamanya. Dia tak akan terbunuh manakala badan terbunuh.

2-21

vedavinasinam nityam
ya enam ajam avyayam
katham sa purushah partha
kam ghatayati hanti kam

“O Partha, how can a person who knows that the soul is indestructible, eternal, unborn and immutable kill anyone or cause anyone to kill?”

Ia yang mengetahui bahwa Dia tak termusnahkan dan abadi, tak terciptakan dan kekal, bagaimana pribadi semacam itu dapat membunuh seseorang, waha Partha (Arjuna), ataupun menyebabkan seseorang untuk membunuh?

2-22

vasamsi jirnani yatha vihaya
navani grhnati naro ’parani
tatha sarirani vihaya jirnany
anyani samyati navani dehi

“As a person puts on new garments, giving up old ones, the soul similarly accepts new material bodies, giving up the old and useless ones.”

Bagaikan seseorang yang menanggalkan pakaian usang dan mengenakan pakaian lain yang baru, demikianlah roh yang berwujud mencampakkan badan lama yang telah usang dan mengenakan badan jasmani yang baru.

2-23

nainam chindanti shastrani
nainam dahati pavakah
na cainam kledayanty apo
na sosayati marutah

“The soul can never be cut to pieces by any weapon, nor burned by fire, nor moistened by water, nor withered by the wind.”

Senjata tak dapat melukai sang diri ini; api tak dapat membakar-Nya; air tak dapat membasahi-Nya dan anginpun tak dapat mengeringkan-Nya.

2-24

acchedyo ’yam adahyo ’yam
akledyo ’sosya eva ca
nityah sarva-gatah sthanur
acalo ’yam sanatanah

“This individual soul is unbreakable and insoluble, and can be neither burned nor dried. He is everlasting, present everywhere, unchangeable, immovable and eternally the same.”

Dia tak dapat dilukai ataupun dibakar; Dia juga tak terbasahi ataupun terkeringkan. Dia bersifat abadi, meliputi segalanya, tak berubah dan tak bergerak; dan tetap sama selamanya.

2-25

avyakto ’yam acintyo ’yam
avikaryo ’yam ucyate
tasmad evam viditvainam
nanusocitum arhasi

“It is said that the soul is invisible, inconceivable and immutable. Knowing this, you should not grieve for the body.”

Dia dikatakan tak termanifestasikan, tak terpikirkan dan tak berubah-ubah. Oleh karena itu, ketahuilah Dia sebagaimana adanya, engkau hendaknya jangan berduka.

2-26

atha cainam nitya-jatam
nityam va manyase mrtam
tathapi tvam maha-baho
nainam socitum arhasi

“If, however, you think that the soul [or the symptoms of life] is always born and dies forever, you still have no reason to lament, O mighty-armed.”

Walaupun seandainya engkau berpikir bahwa sang diri itu terus menerus lahir dan mati, namun, wahai yang berlengan perkasa (Arjuna), janganlah engkau bersedih

2-27

jatasya hi dhruvo mrityur
dhruvam janma mrtasya ca
tasmad apariharye ’rthe
na tvam socitum arhasi

“One who has taken his birth is sure to die, and after death one is sure to take birth again. Therefore, in the unavoidable discharge of your duty, you should not lament.”

Bagi seseorang yang lahir, kematian sudahlah pasti dan pasti ada kelahiran bagi mereka yang mati; sehingga terhadap hal yang tak terelakkan ini, janganlah engkau berduka.

2-28

avyaktadini bhutani
vyakta-madhyani bharata
avyakta-nidhanany eva
tatra ka paridevana

“All created beings are unmanifest in their beginning, manifest in their interim state, and unmanifest again when annihilated. So what need is there for lamentation?”

Makhluk-makhluk pada awalnya tak berwujud, berwujud di tengah-tengah dan tak berwujud kembali pada akhirnya, wahai Bharata (Arjuna). Apa yang mesti diratapi?

2-29

ascarya-vat pasyati kascid enam
ascarya-vad vadati tathaiva canyah
ascarya-vac cainam anyah srnoti
srutvapy enam veda na caiva kascit

“Some look on the soul as amazing, some describe him as amazing, and some hear of him as amazing, while others, even after hearing about him, cannot understand him at all.”

Seseorang memandang-Nya sebagai mengherankan, yang lain membicarakan tentang Dia sebagai suatu yang mengherankan; yang lainnya lagi mendengar tentang Dia sebagai sesuatu yang mengherankan; namun setelah mendengarkan ini, tak seorangpun dapat memahami-Nya.

2-30

dehi nityam avadhyo ’yam
dehe sarvasya bharata
tasmat sarvani bhutani
na tvam socitum arhasi

“O descendant of Bharata, he who dwells in the body can never be slain. Therefore you need not grieve for any living being.”

Penghuni badan setiap orang, wahai Bharata (Arjuna), semuanya abadi dan tak pernah dapat dibunuh. Karenanya, engkau tak perlu bersedih atas kematian makhluk apapun.

2-31

sva-dharmam api caveksya
na vikampitum arhasi
dharmyad dhi yuddhac chreyo ’nyat
kshatriyasya na vidyate

“Considering your specific duty as a kshatriya, you should know that there is no better engagement for you than fighting on religious principles; and so there is no need for hesitation.”

Selanjutnya, setelah menyadari akan tugas kewajibanmu, engkau hendaknya jangan gentar; karena di sana tak ada kebaikan yang lebih besar bagi seorang Ksatriya dibandingkan dengan pertempuran yang dibarengi dengan kewajiban untuk melakukan hal itu.

2-32

yadrcchaya copapannam
svarga-dvaram apavrtam
sukhinah kshatriyah partha
labhante yuddham idrsam

“O Partha, happy are the kshatriyas to whom such fighting opportunities come unsought, opening for them the doors of the heavenly planets.”

Berbahagialah para Ksatriya, wahai Partha (Arjuna), yang mendapat kesempatan berperang seperti itu, karena tanpa harus berusaha keras, pintu surga telah terbuka baginya.

2-33

atha cet tvam imam dharmyam
sangramam na karishyasi
tatah sva-dharmam kirtim ca
hitva papam avapsyasi

“If, however, you do not perform your religious duty of fighting, then you will certainly incur sins for neglecting your duties and thus lose your reputation as a fighter.”

Tetapi, apabila engkau tidak melakukan perang menegakkan keadilan ini, lalu engkau akan melaksanakan kewajiban dan kehilangan kehormatanmu serta tertimpa oleh dosa-dosa.

2-34

akirtim capi bhutani
kathayisyanti te ’vyayam
sambhavitasya cakirtir
maranad atiricyate

“People will always speak of your infamy, and for a respectable person, dishonor is worse than death.”

Di samping itu, orang akan terus membicarakan nama burukmu dan bagi seseorang yang terhormat, mendapat nama buruk itu lebih menyakitkan dari pada kematian..

2-35

bhayad ranad uparatam
mamsyante tvam maha-rathah
yesham ca tvam bahu-mato
bhutva yasyasi laghavam

“The great generals who have highly esteemed your name and fame will think that you have left the battlefield out of fear only, and thus they will consider you insignificant.”

Para pahlawan agung akan mengira bahwa engkau telah mengundurkan diri dari pertempuran karena takut (pengecut) dan mereka yang pernah memujamu akan menganggapmu hina dan mencemooh dirimu

2-36

avacya-vadams ca bahun
vadisyanti tavahitah
nindantas tava samarthyam
tato duhkhataram nu kim

“Your enemies will describe you in many unkind words and scorn your ability. What could be more painful for you?”

Banyak caci makin dilontarkan kepadamu oleh musuh-musuhmu, dengan meremehkan serta merendahkan kekuatannmu. Adakah yang lebih menyedihkan dari hal itu?

2-37

hato va prapsyasi svargam
jitva va bhoksyase mahim
tasmad uttistha kaunteya
yuddhaya krta-niscayah

“O son of Kunti, either you will be killed on the battlefield and attain the heavenly planets, or you will conquer and enjoy the earthly kingdom. Therefore get up and fight with determination.”

Andaikatapun engkau tewas, engkau akan pergi ke surga, atau kalau engkau menang, engkau akan menikmati dunia ini; oleh karena itu bangkitlah, wahai putra Kunti (Arjuna), maju bertempur.

2-38

sukha-duhkhe same kritva
labhalabhau jayajayau
tato yuddhaya yujyasva
naivam papam avapsyasi

“Do thou fight for the sake of fighting, without considering happiness or distress, loss or gain, victory or defeat—and by so doing you shall never incur sin.”

Dengan tidak memandang senang dan menderita, laba dan rugi, menang dan kalah, bersiaplah hanya untuk bertempur. Dengan demikian engkau tidak melakukan dosa.

2-39

esa te ’bhihita sankhye
buddhir yoge tv imam shrinu
buddhya yukto yaya partha
karma-bandham prahasyasi

“Thus far I have described this knowledge to you through analytical study. Now listen as I explain it in terms of working without fruitive results. O son of Pritha, when you act in such knowledge you can free yourself from the bondage of works.”

Inilah kebijaksanaan Samkhya yang kuberikan padamu, wahai Partha (Arjuna). Sekarang dengarkan kebijaksanaan Yoga dan apabila kecerdasanmu mampu memahaminya, engkau akan mampu melepaskan ikatan karma.

2-40

nehabhikrama-naso ’sti
pratyavayo na vidyate
sv-alpam apy asya dharmasya
trayate mahato bhayat

“In this endeavor there is no loss or diminution, and a little advancement on this path can protect one from the most dangerous type of fear.”

Di jalan ini, tak ada usaha yang sia-sia dan tak ada rintangan yang tak teratasi; bahkan walaupun sedikit dari dharma ini sudah cukup untuk membebaskan dari ketakutan yang mengerikan.

2-41

vyavasayatmika buddhir
ekeha kuru-nandana
bahu-sakha hy anantas ca
buddhayo ’vyavasayinam

“Those who are on this path are resolute in purpose, and their aim is one. O beloved child of the Kurus, the intelligence of those who are irresolute is many-branched.”

Dalam hal ini, wahai Kurunandana (Arjuna), yang pikirannya sudah bulat, pemahamannya menyatu; sedangkan yang pikirannya masih ragu-ragu, pemahamannya bercabang dan tak ada habis-habisnya.

2-42 & 2-43

yam imam puspitam vacam
pravadanty avipascitah
veda-vada-ratah partha
nanyad astiti vadinah
kamatmanah svarga-para
janma-karma-phala-pradam
kriya-visesa-bahulam
bhogaisvarya-gatim prati

“Men of small knowledge are very much attached to the flowery words of the Vedas, which recommend various fruitive activities for elevation to heavenly planets, resultant good birth, power, and so forth. Being desirous of sense gratification and opulent life, they say that there is nothing more than this.”

Orang-orang munafik, yang hanya mempercayai apa yang tersurat dalam kita Veda yang menyatakan bahwa tak ada hal lainnya lagi, wahai Partha, sifatnya hanya berdasarkan pada keinginan dan nafsu untuk mencapai surga dan mereka menyatakan kata-kata yang muluk-muluk bahwa kelahiran kembali merupakan hasil dari kegiatan kerja; dan untuk mendapatkan kenikmatan dan kekuasan mereka mengajarkan berbagai macam upacara ritual khusus.

2-44

bhogaisvarya-prasaktanam
tayapahrta-cetasam
vyavasayatmika buddhih
samadhau na vidhiyate

“In the minds of those who are too attached to sense enjoyment and material opulence, and who are bewildered by such things, the resolute determination for devotional service to the Supreme Lord does not take place.”

Kecerdasan yang membedakan antara benar dan salah dari mereka yang terikat dengan kenikmatan dan kekuasaan serta mereka yang pikirannya terpengaruhi oleh kata-kata (Veda) yang semacam itu tak akan dapat berkonsentrasi pada sang Diri.

2-45

trai-gunya-visaya veda
nistrai-gunyo bhavarjuna
nirdvandvo nitya-sattva-stho
niryoga-ksema atmavan

“The Vedas deal mainly with the subject of the three modes of material nature. O Arjuna, become transcendental to these three modes. Be free from all dualities and from all anxieties for gain and safety, and be established in the self.”

Kegiatan dari triguna (tiga sifat alam) aadlah masalah pokok dari kitab Veda, tetapi engkau hendaknya membebaskan dirimu dari padanya, wahai Arjuna, bebaskan pula dirimu dari dualitas (pasangan yang saling bertentangan) dan mantapkan pikiranmu pada kemurnian, jangan memperdulikan tentang masalah duniawi dan berkonsentrasi pada sang Diri.

2-46

yavan artha udapane
sarvatah samplutodake
tavan sarveshu vedesu
brahmanasya vijanatah

“All purposes served by a small well can at once be served by a great reservoir of water. Similarly, all the purposes of the Vedas can be served to one who knows the purpose behind them.”

Seperti kegunaan sebuah kolam di daerah banjir, dengan air yang melimpah di mana-mana, demikian pula kitab Veda bagi para Brahmana yang bijaksana.

2-47

karmany evadhikaras te
ma phalesu kadacana
ma karma-phala-hetur bhur
ma te sango ’stv akarmani

“You have a right to perform your prescribed duty, but you are not entitled to the fruits of action. Never consider yourself the cause of the results of your activities, and never be attached to not doing your duty.”

Tugasmu kini hanyalah berbuat dan jangan sekali-kali mengharap akan hasilnya; jangan sekali-kali hasil yang menjadi motifmu ataupun sama sekali terikat dengan tanpa kegiatan

2-48

yoga-sthah kuru karmani
sangam tyaktva dhananjaya
siddhy-asiddhyoh samo bhutva
samatvam yoga ucyate

“Perform your duty equipoised, O Arjuna, abandoning all attachment to success or failure. Such equanimity is called yoga.”

Mantapkanlah dalam Yoga dan lakukanlah kegiatanmu, wahai Dananjaya (Arjuna), lepaskan keterikatan dan tetap teguh baik dalam keberhasilan maupun kegagalan, karena ketenangan pikiran itu disebut sebagai Yoga

2-49

durena hy avaram karma
buddhi-yogad dhananjaya
buddhau saranam anviccha
kripanah phala-hetavah

“O Dhananjaya, keep all abominable activities far distant by devotional service, and in that consciousness surrender unto the Lord. Those who want to enjoy the fruits of their work are misers.”

Sungguh sangat rendah derajat mereka yang hanya bekerja tanpa pendisiplinan kecerdasan (buddhiyoga), wahai Dhananjaya (Arjuna), berlindunglah pada kecerdasan. Kasihan mereka yang mengharapkan hasil dari kegiatan kerja.

2-50

buddhi-yukto jahatiha
ubhe sukrita-duskrte
tasmad yogaya yujyasva
yogah karmasu kausalam

“A man engaged in devotional service rids himself of both good and bad actions even in this life. Therefore strive for yoga, which is the art of all work.”

Orang yang telah mempersatukan kecerdasannya dengan yang bersifat Ilahi, bahkan telah melepaskan yang baik maupun yang buruk. Karenanya, usahakanlah untuk melakukan yoga, sebab yoga merupakan ketrampilan dalam kegiatan kerja

2-51

karma-jam buddhi-yukta hi
phalam tyaktva manisinah
janma-bandha-vinirmuktah
padam gacchanty anamayam

“By thus engaging in devotional service to the Lord, great sages or devotees free themselves from the results of work in the material world. In this way they become free from the cycle of birth and death and attain the state beyond all miseries [by going back to Godhead].”

Orang bijaksana yang telah menyatukan kecerdasannya (dengan yang bersifat Ilahi), dengan melepaskan hasil dari kegiatan yang dilakukannya dan terbebas dari belenggu kelahiran kembali serta mencapai keadaan yang tanpa penderitaan lagi.

2-52

yada te moha-kalilam
buddhir vyatitarisyati
tada gantasi nirvedam
srotavyasya srutasya ca

“When your intelligence has passed out of the dense forest of delusion, you shall become indifferent to all that has been heard and all that is to be heard.”

Apabila kecerdasanmu telah melampaui kekeruhan khayalan, lalu engkau bersikap sama dan netral terhadap apa yang telah didengar maupun yang akan didengar.

2-53

shruti-vipratipanna te
yada sthasyati niscala
samadhav acala buddhis
tada yogam avapsyasi

“When your mind is no longer disturbed by the flowery language of the Vedas, and when it remains fixed in the trance of self-realization, then you will have attained the divine consciousness.”

Apabila kecerdasanmu, yang dikacaukan oleh naskah-naskah Veda telah mantap tak tergoyahkan lagi dan tetap stabil dalam samadhi, maka engkau dikatakan telah mencapai penglihatan batin (yoga)

2-54

arjuna uvaca
sthita-prajnasya ka bhasa
samadhi-sthasya keshava
sthita-dhih kim prabhaseta
kim asita vrajeta kim

“Arjuna said: O Krishna, what are the symptoms of one whose consciousness is thus merged in transcendence? How does he speak, and what is his language? How does he sit, and how does he walk?”

Arjuna bertanya:
Apakah tanda-tanda orang yang memiliki kebijaksanaan yang mantap, yang teguh dalam melakukan samadhi, wahai Kesava (Krsna)? Bagaimanakah orang yang kecerdasannya telah mantap itu berbicara, duduk dan cara berjalannya?

2-55

sri-bhagavan uvaca
prajahati yada kaman
sarvan partha mano-gatan
atmany evatmana tustah
sthita-prajnas tadocyate

“The Supreme Personality of Godhead said: O Partha, when a man gives up all varieties of desire for sense gratification, which arise from mental concoction, and when his mind, thus purified, finds satisfaction in the self alone, then he is said to be in pure transcendental consciousness.”

Sri Bhagavan bersabda:
Bilamana seseorang telah dapat menyingkirkan segala keinginannya, wahai Partha (Arjuna), dan manakala jiwanya telah merasa terpuaskan pada dirinya sendiri, maka mereka itulah yang disebut sebagai orang yang kecerdasannya stabil.

2-56

duhkhesv anudvigna-manah
sukhesu vigata-sprhah
vita-raga-bhaya-krodhah
sthita-dhir munir ucyate

“One who is not disturbed in mind even amidst the threefold miseries or elated when there is happiness, and who is free from attachment, fear and anger, is called a sage of steady mind.”

Ia yang pikirannya tak terusik di tengah-tengah kesenangan; yang nafsu, rasa takut dan kemarahannya telah lenyap, ia disebut seseorang Muni yang teguh iman.

2-57

yah sarvatranabhisnehas
tat tat prapya subhasubham
nabhinandati na dvesti
tasya prajna pratisthita

“In the material world, one who is unaffected by whatever good or evil he may obtain, neither praising it nor despising it, is firmly fixed in perfect knowledge.”

Ia yang tanpa rasa keterikatan lagi, yang tiada bersenang hati maupun bersedih dalam perolehan yang baik maupun yang buruk dikatakan berada dalam kecerdasan yang mantap

2-58

yada samharate cayam
kurmo ’nganiva sarvasah
indriyanindriyarthebhyas
tasya prajna pratisthita

“One who is able to withdraw his senses from sense objects, as the tortoise draws its limbs within the shell, is firmly fixed in perfect consciousness.”

Ia yang menarik semua indra dari obyek-obyeknya, seperti kura-kura yang menarik anggota badannya masuk ke dalam cangkangnya, demikianlah orang yang kecerdasannya seimbang dalam suka maupun duka.

2-59

visaya vinivartante
niraharasya dehinah
rasa-varjam raso ’py asya
param drishtva nivartate

“The embodied soul may be restricted from sense enjoyment, though the taste for sense objects remains. But, ceasing such engagements by experiencing a higher taste, he is fixed in consciousness.”

Obyek-obyek indra akan lenyap dari pikiran orang yang menjalani pengekangan diri, tetapi selera ke arah sana masih tetap ada Namun hal inipun akan lenyap pula apabila Yang Tertinggi telah dapat dihayati.

2-60

yatato hy api kaunteya
purushasya vipascitah
indriyani pramathini
haranti prasabham manah

“The senses are so strong and impetuous, O Arjuna, that they forcibly carry away the mind even of a man of discrimination who is endeavoring to control them.”

Walauppun seseorang senantiasa berusaha keras untuk mencapai kesempurnaan, wahai putra Kunti (Arjuna), indra-indranya yang liar akan berusaha untuk menyeret pikirannya dengan paksa.

2-61

tani sarvani samyamya
yukta asita mat-parah
vase hi yasyendriyani
tasya prajna pratisthita

“One who restrains his senses, keeping them under full control, and fixes his consciousness upon Me, is known as a man of steady intelligence.”

Setelah mengendalikan semua indranya, ia hendaknya tetap mantap dalam melaksanakan yoga yang intensif kepada-Ku; karena ia yang indra-indranya terkendalikan, kecerdasannya juga akan turut termantapkan

2-62

dhyayato visayan pumsah
sangas tesupajayate
sangat sanjayate kamah
kamat krodho ’bhijayate

“While contemplating the objects of the senses, a person develops attachment for them, and from such attachment lust develops, and from lust anger arises.”

Bila orang selalu memikirkan obyek-obyek indra, akan timbul keterikatan terhadapnya. Dari sana muncul keinginan dan dari keinginan timbullah kemarahan.

2-63

krodhad bhavati sammohah
sammohat smriti-vibhramah
smriti-bhramsad buddhi-naso
buddhi-nasat pranasyati

“From anger, complete delusion arises, and from delusion bewilderment of memory. When memory is bewildered, intelligence is lost, and when intelligence is lost one falls down again into the material pool.”

Dari kemarahan timbullah kebingungan, dari kebingungan hilangnya ingatan dan dari hilangnya ingatan, kecerdasan terhancurkan. Dari hancurnya kecerdasan membawanya pada kemusnahan.

2-64

raga-dvesa-vimuktais tu
visayan indriyais caran
atma-vasyair vidheyatma
prasadam adhigacchati

“But a person free from all attachment and aversion and able to control his senses through regulative principles of freedom can obtain the complete mercy of the Lord.”

Tetapi orang yang pikirannya mantap, yang hidup di tengah-tengah obyek-obyek indra, dengan indra-indra yang terkendalikan sempurna, bebas dari keterikatan dan kebencian, mencapai kemurnian jiwa

2-65

prasade sarva-duhkhanam
hanir asyopajayate
prasanna-cetaso hy asu
buddhih paryavatisthate

“For one thus satisfied [in Krishna consciousness], the threefold miseries of material existence exist no longer; in such satisfied consciousness, one’s intelligence is soon well established.”

Dan dalam jiwa yang murni segala penderitaan musnah dan kecerdasan dari rang semacam itu akan segera dapat dimantapkan

2-66

nasti buddhir ayuktasya
na cayuktasya bhavana
na cabhavayatah shantir
asantasya kutah sukham

“One who is not connected with the Supreme [in Krishna consciousness] can have neither transcendental intelligence nor a steady mind, without which there is no possibility of peace. And how can there be any happiness without peace?”

Bagi mereka yang pikirannya tak terkendalikan, kecerdasannya juga lenyap; demikian juga bagi pikiran yang tak terkendalikan kekuatan konsentrasinya pun lenyap. Tanpa konsentrasi tak mungkin adanya kedamaian dan ketiadaan kedamaian mana mungkin ada kebahagiaan, bukan?

2-67

indriyanam hi caratam
yan mano ’nuvidhiyate
tad asya harati prajnam
vayur navam ivambhasi

“As a strong wind sweeps away a boat on the water, even one of the roaming senses on which the mind focuses can carry away a man’s intelligence.”

Bila pkiran masih tetap mengejari indra-indra yang mengembara ia akan membawa serta kemampuan pemahaman (kecerdasan), ibarat angin yang menghanyutkan perahu di samudera luas

2-68

tasmad yasya maha-baho
nigrhitani sarvasah
indriyanindriyarthebhyas
tasya prajna pratisthita

“Therefore, O mighty-armed, one whose senses are restrained from their objects is certainly of steady intelligence.”

Oleh karena itu, wahai Yang berlengan perkasa (Arjuna), mereka yang mampu menarik indra-indra dari obyek-obyeknya, kecerdasannya pun akan termantapkan.

2-69

ya nisa sarva-bhutanam
tasyam jagarti samyami
yasyam jagrati bhutani
sa nisa pasyato muneh

“What is night for all beings is the time of awakening for the self-controlled; and the time of awakening for all beings is night for the introspective sage.”

Apa yang merupakan malam hari bagi semua makhluk, merupakan saat terjaga bagi yang berjiwa mantap; dan apa yang merupakan siang hari bagi semua makhluk, merupakan saat malam bagi jiwa yang tercerahi

2-70

apuryamanam acala-pratishtham
samudram apah pravishanti yadvat
tadvat kama yam pravishanti sarve
sa shantim apnoti na kama-kami

“A person who is not disturbed by the incessant flow of desires—that enter like rivers into the ocean, which is ever being filled but is always still—can alone achieve peace, and not the man who strives to satisfy such desires.”

Seperti semua air sungai yang mengalir menuju lautan, yang tetap tenang, demikianlah segala keinginan yang memasuki jiwa orang yang bijaksana, mencapai kedamaian dan bukan bagi mereka yang senantiasa melepaskan nafsu keinginannya.

2-71

vihaya kaman yah sarvan
pumams carati nihsprhah
nirmamo nirahankarah
sa shantim adhigacchati

“A person who has given up all desires for sense gratification, who lives free from desires, who has given up all sense of proprietorship and is devoid of false ego—he alone can attain real peace.”

Ia yang mencampakkan segala keinginannya dan bertindak bebas tanpa keinginan, tanpa perasaan “kemilikan” dan “keakuan”, akan mencapai kedamaian dalam jiwanya.

2-72

esa brahmi sthitih partha
nainam prapya vimuhyati
sthitvasyam anta-kale ’pi
brahma-nirvanam rcchati

“That is the way of the spiritual and godly life, after attaining which a man is not bewildered. If one is thus situated even at the hour of death, one can enter into the kingdom of God.”

Ini merupakan kondisi ilahi (brahmisthiti), wahai Partha, dan mereka yang telah mencapai tingkatan ini tak lagi terbingungkan; bahkan saat ajal tiba ia tetap termantapkan dalam kondisi tersebut dan mencapai kebahagian Brahman (brahmanirwana)

Di sini berakhir bab kedua dari Upanisad Bhagawadgita, ajaran tentang Brahmawidya dan yogasastra, berupa percakapan antara Sri Krsna dan Arjuna, yang berjudul ‘SAMKHYA YOGA’

[Kembali]


Bhagavad Gita - Bab III

Tritiyo’dhyayah
Bab III

Karma Yogah

3-1

arjuna uvaca
jyayasi cet karmanas te
mata buddhir janardana
tat kim karmani ghore mam
niyojayasi keshava

“Arjuna said: O Janardana, O Keshava, why do You want to engage me in this ghastly warfare, if You think that intelligence is better than fruitive work?”

Arjuna bertanya:
Bila Engkau beranggapan bahwa jalan ilmu pengetahuan lebih mulia dari pada jalan kegiatan, wahai Janardana (Krsna), lalu mengapa Engkau menyuruhku untuk melakukan kegiatan yang kejam ini, wahai Kesava?

3-2

vyamisreneva vakyena
buddhim mohayashiva me
tad ekam vada niscitya
yena sreyo ’ham apnuyam

“My intelligence is bewildered by Your equivocal instructions. Therefore, please tell me decisively which will be most beneficial for me.”

Dengan uraian-Mu yang membingungkan pikiranku itu, katakanlah dengan pasti satu-satunya jalan yang dapat aku jalani untuk mencapai kebahagiaan tertinggi itu.


3-3

sri-bhagavan uvaca
loke ’smin dvi-vidha nistha
pura prokta mayanagha
jnana-yogena sankhyanam
karma-yogena yoginam

“The Supreme Personality of Godhead said: O sinless Arjuna, I have already explained that there are two classes of men who try to realize the self. Some are inclined to understand it by empirical, philosophical speculation, and others by devotional service.”

Sri Bhagavan bersabda:
Wahai Anagha (Arjuna), di dunia ini sejak dahulu telah Ku-ajarkan dua macam jalan dalam kehidupan ini, yaitu: jalan pengetahuan bagi mereka yang suka melakukan perenungan dan jalan kegiatan kerja bagi mreka yang bersemangat untuk bekerja

3-4

na karmanam anarambhan
naishkarmyam purusho ’snute
na ca sannyasanad eva
siddhim samadhigacchati

“Not by merely abstaining from work can one achieve freedom from reaction, nor by renunciation alone can one attain perfection.”

Bukan dengan tidak bekerja orang mencapai kesempurnaan, ataupun hanya dengan penyangkalan kegiatan kerja orang mencapai kesempurnaan.

3-5

na hi kascit ksanam api
jatu tisthaty akarma-krt
karyate hy avasah karma
sarvah prakriti-jair gunaih

“Everyone is forced to act helplessly according to the qualities he has acquired from the modes of material nature; therefore no one can refrain from doing something, not even for a moment.”

Tak seorangpun dapat tetap tanpa melakukan kegiatan kerja walau sesaaat saja, karena setiap orang dibuat tak berdaya oleh kecenderungan-kecenderungan alam untuk melakukan kegiatan kerja

3-6

karmendriyani samyamya
ya aste manasa smaran
indriyarthan vimudhatma
mithyacarah sa ucyate

“One who restrains the senses of action but whose mind dwells on sense objects certainly deludes himself and is called a pretender.”

Mereka yang menahan organ-organ kegiatannya, namun masih tetap membayangkan segala kenikmatan indra-indranya dalam pikirannya, yang terbingungkan seperti itu dikatakan sebagai orang munafik

3-7

yas tv indriyani manasa
niyamyarabhate ’rjuna
karmendriyaih karma-yogam
asaktah sa visisyate

“On the other hand, if a sincere person tries to control the active senses by the mind and begins karma-yoga [in Krishna consciousness] without attachment, he is by far superior.”

Tetapi, orang yang dapat mengendalikan indra-indranya dengan pikiran, wahai Arjuna, dan tanpa keterikatan dengan terlibatnya organ-organ kegiatan di jalan kerja, ia adalah orang yang utama

3-8

niyatam kuru karma tvam
karma jyayo hy akarmanah
sarira-yatrapi ca te
na prasiddhyed akarmanah

“Perform your prescribed duty, for doing so is better than not working. One cannot even maintain one’s physical body without work.”

Lakukanlah kegiatan yang diperuntukkan bagimu, karena kegiatan kerja lebih baik dari pada tanpa kegiatan; dan memelihara kehidupan fisik sekalipun tak dapat dilakukan tanpa kegiatan kerja.

3-9

yajnarthat karmano ’nyatra
loko ’yam karma-bandhanah
tad-artham karma kaunteya
mukta-sangah samacara

“Work done as a sacrifice for Vishnu has to be performed, otherwise work causes bondage in this material world. Therefore, O son of Kunti, perform your prescribed duties for His satisfaction, and in that way you will always remain free from bondage.”

Kecuali kerja yang dilakukan sebagai dan untuk tujuan pengorbanan, dunia ini terbelenggu oleh kegiatan kerja. Oleh karena itu, wahai putra Kunti (Arjuna), lakukanlah kegiatanmu sebagai pengorbanan itu dan jangan terikat dengan hasilnya.

3-10

saha-yajnah prajah srstva
purovaca prajapatih
anena prasavisyadhvam
esa vo ’stv ista-kama-dhuk

“In the beginning of creation, the Lord of all creatures sent forth generations of men and demigods, along with sacrifices for Vishnu, and blessed them by saying, “Be thou happy by this yajna [sacrifice] because its performance will bestow upon you everything desirable for living happily and achieving liberation.””

Dahulu kala, Prajapati menciptakan manusia bersama-sama dengan pengorbanan dan berkata: “Dengan ini semoga engkau akan berkembang biak dan biarlah ini menjadi sapi perahan.

3-11

devan bhavayatanena
te deva bhavayantu vah
parasparam bhavayantah
sreyah param avapsyatha

“The demigods, being pleased by sacrifices, will also please you, and thus, by cooperation between men and demigods, prosperity will reign for all.”

Dengan melakukan ini engkau memelihara kelangsungan para dewa; semoga para dewata juga memberkahimu; dengan saling menghormati seperti itu, engkau akan mencapai kebajikan tertinggi.

3-12

istan bhogan hi vo deva
dasyante yajna-bhavitah
tair dattan apradayaibhyo
yo bhunkte stena eva sah

“In charge of the various necessities of life, the demigods, being satisfied by the performance of yajna [sacrifice], will supply all necessities to you. But he who enjoys such gifts without offering them to the demigods in return is certainly a thief.”

Dihormati dengan pengorbanan seperti itu, para dewa akan memberkahi kesenangan yang kamu inginkan. Ia yang menikmati pemberian ini tanpa memberi balasan kepada mereka sesungguhnya adalah seorang pencuri.

3-13

yajna-sistasinah santo
mucyante sarva-kilbisaih
bhunjate te tv agham papa
ye pacanty atma-karanat

“The devotees of the Lord are released from all kinds of sins because they eat food which is offered first for sacrifice. Others, who prepare food for personal sense enjoyment, verily eat only sin.”

Orang-orang baik yang makan sisa persembahan kurban akan terlepas dari segala dosa, tetapi orang-orang jahat yang mempersiapkan makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya mereka itu makan dosa.

3-14

annad bhavanti bhutani
parjanyad anna-sambhavah
yajnad bhavati parjanyo
yajnah karma-samudbhavah

“All living bodies subsist on food grains, which are produced from rains. Rains are produced by performance of yajna [sacrifice], and yajna is born of prescribed duties.”

Dari makananlah munculnya makhluk-makhluk ini; dan makanan muncul dari air hujan; dan air hujan terjadi karena adanya pengorbanan dan pengorbanan datangnya dari kegiatan kerja.

3-15

karma brahmodbhavam viddhi
brahmakshara-samudbhavam
tasmat sarva-gatam brahma
nityam yajne pratisthitam

“Regulated activities are prescribed in the Vedas, and the Vedas are directly manifested from the Supreme Personality of Godhead. Consequently the all-pervading Transcendence is eternally situated in acts of sacrifice.”

Ketahuilah bahwa asal mula dari kegiatan kerja itu dari kitab-kitab Veda dan Veda sendiri berasal dari Yang Abadi. Oleh karena itu, Veda yang maha luas itu senantiasa berkisar di antara pengorbanan.

3-16

evam pravartitam cakram
nanuvartayatiha yah
aghayur indriyaramo
mogham partha sa jivati

“My dear Arjuna, one who does not follow in human life the cycle of sacrifice thus established by the Vedas certainly leads a life full of sin. Living only for the satisfaction of the senses, such a person lives in vain.”

Di dunia ini, mereka yang tidak ikut membantu memutar roda kehidupan ini, pada dasarnya bersifat jahat, memperturutkan nafsu semata dan mengalami penderitaan, wahai Partha

3-17

yas tv atma-ratir eva syad
atma-trptas ca manavah
atmany eva ca santustas
tasya karyam na vidyate

“But for one who takes pleasure in the self, whose human life is one of self-realization, and who is satisfied in the self only, fully satiated—for him there is no duty.”

Tetapi, orang yang selalu bersenang hati pada sang Diri, yang selalu puas dengan sang Diri, yang selalu yakin dengan sang Diri, baginya tak ada lagi kegiatan kerja yang harus dilakukannya.

3-18

naiva tasya krtenartho
nakrteneha kascana
na casya sarva-bhutesu
kascid artha-vyapasrayah

“A self-realized man has no purpose to fulfill in the discharge of his prescribed duties, nor has he any reason not to perform such work. Nor has he any need to depend on any other living being.”

Di samping itu, di dunia ini ia telah tidak berniat lagi untuk mendapatkan apapun dari kegiatan yang dilakukannya dan juga tidak merasa rugi apapun dengan tidak bekerja. Ia tidak bergantung pada semua orang dengan harapan apapun juga.

3-19

tasmad asaktah satatam
karyam karma samacara
asakto hy acaran karma
param apnoti purushah

“Therefore, without being attached to the fruits of activities, one should act as a matter of duty, for by working without attachment one attains the Supreme.”

Oleh karena itu, tanpa keterikatan, lakukanlah selalu kegiatan kerja yang harus dilakukan, karena dengan melakukan kerja tanpa pamrih seperti itu membuat manusia mencapai tingkatan tertinggi.

3-20

karmanaiva hi samsiddhim
asthita janakadayah
loka-sangraham evapi
sampasyan kartum arhasi

“Kings such as Janaka attained perfection solely by performance of prescribed duties. Therefore, just for the sake of educating the people in general, you should perform your work.”

Bahkan dengan cara bekerja demikian itu Raja Janaka dan yang lainnya mencapai kesempurnaan. Engkau juga hendaknya melakukan kegiatan kerja dengan pandangan untuk memelihara dunia ini.

3-21

yad yad acarati sresthas
tat tad evetaro janah
sa yat pramanam kurute
lokas tad anuvartate

“Whatever action a great man performs, common men follow. And whatever standards he sets by exemplary acts, all the world pursues.”

Apapun yang dilakukan orang besar, orang lain pun melakukan hal yang sama. Contoh apapun yang diberikannya, seluruh dunia mengikutinya.

3-22

na me parthasti kartavyam
trisu lokesu kincana
nanavaptam avaptavyam
varta eva ca karmani

“O son of Pritha, there is no work prescribed for Me within all the three planetary systems. Nor am I in want of anything, nor have I a need to obtain anything—and yet I am engaged in prescribed duties.”

Bagiku di ketiga dunia ini tak ada sesuatupun yang harus Ku-lakukan ataupun yang harus dicapai, wahai Partha (Arjuna); namun aku tetap sibuk terlibat dalam kegiatan kerja.

3-23

yadi hy aham na varteyam
jatu karmany atandritah
mama vartmanuvartante
manushyah partha sarvasah

“For if I ever failed to engage in carefully performing prescribed duties, O Partha, certainly all men would follow My path.”

Karena, apabila Aku tidak selalu bekerja tanpa jemu-jemunya, wahai Partha (Arjuna), manusia dalam segala hal akan mengikuti jalan-Ku

3-24

utsideyur ime loka
na kuryam karma ced aham
sankarasya ca karta syam
upahanyam imah prajah

“If I did not perform prescribed duties, all these worlds would be put to ruination. I would be the cause of creating unwanted population, and I would thereby destroy the peace of all living beings.”

Bila Aku berhenti bekerja, dunia ini akan mengalami kehancuran dan Aku akan menjadi pencipta kehidupan yang kacau balau dan menghancurkan penghuni dunia ini.

3-25

saktah karmany avidvamso
yatha kurvanti bharata
kuryad vidvams tathasaktas
cikirsur loka-sangraham

“As the ignorant perform their duties with attachment to results, the learned may similarly act, but without attachment, for the sake of leading people on the right path.”

Seperti orang bodoh yang bekerja karena pamrih dari kegiatan kerjanya, demikian pula hendaknya orang terpelajar bekerja, wahai Bharata (Arjuna), tetapi tanpa pamrih dan semata-mata dengan keinginan untuk memelihara kesejahteraan tatanan dunia ini saja.

3-26

na buddhi-bhedam janayed
ajnanam karma-sanginam
josayet sarva-karmani
vidvan yuktah samacaran

“So as not to disrupt the minds of ignorant men attached to the fruitive results of prescribed duties, a learned person should not induce them to stop work. Rather, by working in the spirit of devotion, he should engage them in all sorts of activities [for the gradual development of Krishna consciousness].”

Para jnanin hendaknya jangan membingungkan pikiran orang-orang bodoh yang terikat melakukan kegiatannya. Mereka yang tercerahi melakukan segala kegiatan kerja dalam semangat yoga untuk memberi contoh yang lainnya.

3-27

prakriteh kriyamanani
gunaih karmani sarvasah
ahankara-vimudhatma
kartaham iti manyate

“The spirit soul bewildered by the influence of false ego thinks himself the doer of activities that are in actuality carried out by the three modes of material nature.”

Sementara segala jenis kegiatan kerja dilakukan oleh guna (sifat) dari prakrti, ia yang dibingungkan oleh rasa keakuannya berpendapat bahwa “Akulah si pelakunya.”

3-28

tattva-vit tu maha-baho
guna-karma-vibhagayoh
guna gunesu vartanta
iti matva na sajjate

“One who is in knowledge of the Absolute Truth, O mighty-armed, does not engage himself in the senses and sense gratification, knowing well the differences between work in devotion and work for fruitive results.”

Tetapi, mereka yang mengetahui karakter sebenarnya dari perbedaan antara guna dan kegiatan kerja mereka, wahai yang berlengan perkasa (Arjuna), akan dapat memahami bahwa guna hanya mempengaruhi guna sebagai obyek, dan tak akan terikat dengannya.

3-29

prakriter guna-sammudhah
sajjante guna-karmasu
tan akrtsna-vido mandan
krtsna-vin na vicalayet

“Bewildered by the modes of material nature, the ignorant fully engage themselves in material activities and become attached. But the wise should not unsettle them, although these duties are inferior due to the performers’ lack of knowledge.”

Mereka yang ditipu oleh guna dari prakrti terikat pada kegiatan kerja yang dihasilkannya. Tetapi bagi mereka yang mengetahuinya janganlah membingungkan pikiran orang-orang bodoh yang hanya mengetahui sebagian kecil saja.

3-30

mayi sarvani karmani
sannyasyadhyatma-cetasa
nirasir nirmamo bhutva
yudhyasva vigata-jvarah

“Therefore, O Arjuna, surrendering all your works unto Me, with full knowledge of Me, without desires for profit, with no claims to proprietorship, and free from lethargy, fight.”

Dengan memasrahkan segala kegiatan kerja kepada-Ku, dengan kesadaran yang termantapkan pada sang Diri, terbebas dari keinginan dan keakuan, berjuanglah kamu, bebaskan dirimu dari gejolak mental.

3-31

ye me matam idam nityam
anutishthanti manavah
shraddhavanto ’nasuyanto
mucyante te ’pi karmabhih

“Those persons who execute their duties according to My injunctions and who follow this teaching faithfully, without envy, become free from the bondage of fruitive actions.”

Mereka yang penuh keyakinan dan bebas dari hal-hal yang remeh secara konstan mengikuti ajaran-Ku ini juga terbebaskan dari belenggu kegiatan kerja.

3-32

ye tv etad abhyasuyanto
nanutishthanti me matam
sarva-jnana-vimudhams tan
viddhi nastan acetasah

“But those who, out of envy, disregard these teachings and do not follow them are to be considered bereft of all knowledge, befooled, and ruined in their endeavors for perfection.”

Tetapi, mereka yang mencela ajaran-Ku dan tidak mengikutinya, ketahuilah bahwa mereka itu buta terhadap segala kebijaksanaan, tersesat dan tanpa perasaan.

3-33

sadrsam cestate svasyah
prakriter jnanavan api
prakritim yanti bhutani
nigrahah kim karishyati

“Even a man of knowledge acts according to his own nature, for everyone follows the nature he has acquired from the three modes. What can repression accomplish?”

Bahkan orang-orang yang berpengetahuan juga berbuat sesuai dengan sifatnya. Semua makhluk bertindak mengikuti sifat-sifatnya. Apa yang dapat diselesaikan dengan menekannya?

3-34

indriyasyendriyasyarthe
raga-dvesau vyavasthitau
tayor na vasam agacchet
tau hy asya paripanthinau

“There are principles to regulate attachment and aversion pertaining to the senses and their objects. One should not come under the control of such attachment and aversion, because they are stumbling blocks on the path of self-realization.”

Karena, setiap keterikatan dan kebencian dimantapkan pada obyek-obyek indra tersebut. Jangan ada yang menyerah terhadap pengaruhnya, karena keduanya itu merupakan halangan saja.

3-35

sreyan sva-dharmo vigunah
para-dharmat sv-anusthitat
sva-dharme nidhanam sreyah
para-dharmo bhayavahah

“It is far better to discharge one’s prescribed duties, even though faultily, than another’s duties perfectly. Destruction in the course of performing one’s own duty is better than engaging in another’s duties, for to follow another’s path is dangerous.”

Lebih baik melakukan dharmanya sendiri walaupun tidak sempurna dari pada melaksanakan dharma orang lain walaupun dikerjakan dengan sempurna. Lebih baik mati dalam menyelesaikan dharmanya sendiri dari pada mengikuti dharma orang lain yang berbahaya.

3-36

arjuna uvaca
atha kena prayukto ’yam
papam carati purushah
anicchann api varsneya
balad iva niyojitah

“Arjuna said: O descendant of Vrishni, by what is one impelled to sinful acts, even unwillingly, as if engaged by force?”

Arjuna bertanya:
Tetapi dengan apakah seseorang didorong untuk berbuat dosa, wahai Warsneya (Krsna), seakan-akan dipaksa, walaupun bertentangan dengan kehendaknya sendiri?

3-37

sri-bhagavan uvaca
kama esa krodha esa
rajo-guna-samudbhavah
mahasano maha-papma
viddhy enam iha vairinam

“The Supreme Personality of Godhead said: It is lust only, Arjuna, which is born of contact with the material mode of passion and later transformed into wrath, and which is the all-devouring sinful enemy of this world.”

Sri Bhagavan bersabda:
Itulah kemarahan, nafsu yang berasal dari guna rajas yang sangat merusak dan sangat berdosa. Ketahuilah bahwa itu adalah musuh.

3-38

dhumenavriyate vahnir
yathadarso malena ca
yatholbenavrto garbhas
tatha tenedam avrtam

“As fire is covered by smoke, as a mirror is covered by dust, or as the embryo is covered by the womb, the living entity is similarly covered by different degrees of this lust.”

Seperti api yang diselimuti asap, seperti cermin yang diselimuti debu, seperti janin yang terbungkus dalam kandungan, demikianlah hal ini diselubungi oleh (sifat rajas) itu.

3-39

avrtam jnanam etena
jnanino nitya-vairina
kama-rupena kaunteya
duspurenanalena ca

“Thus the wise living entity’s pure consciousness becomes covered by his eternal enemy in the form of lust, which is never satisfied and which burns like fire.”

Wahai putra Kunti (Arjuna), kecerdasan ini ditutupi oleh api keinginan yang tak pernah puas ini, yang merupakan musuh utama bagi para bijak

3-40

indriyani mano buddhir
asyadhisthanam ucyate
etair vimohayaty esa
jnanam avrtya dehinam

“The senses, the mind and the intelligence are the sitting places of this lust. Through them lust covers the real knowledge of the living entity and bewilders him.”

Indra-indra, pikiran dan kecerdasan dikatakan sebagai tempat kedudukannya. Dengan terselubunginya kebijaksanaan oleh ini, ia mengelirukan sang roh (penghuni badan) ini.

3-41

tasmat tvam indriyany adau
niyamya bharatarsabha
papmanam prajahi hy enam
jnana-vijnana-nasanam

“Therefore, O Arjuna, best of the Bharatas, in the very beginning curb this great symbol of sin [lust] by regulating the senses, and slay this destroyer of knowledge and self-realization.”

Oleh karena itu, wahai yang terbaik dari wangsa Bharata (Arjuna), kendalikanlah indra-indramu sejak awal dan musnahkanlah perusak kebijaksanaan dan kemampuan pembeda, yang penuh dosa itu.

3-42

indriyani parany ahur
indriyebhyah param manah
manasas tu para buddhir
yo buddheh paratas tu sah

“The working senses are superior to dull matter; mind is higher than the senses; intelligence is still higher than the mind; and he [the soul] is even higher than the intelligence.”

Orang mengatakan bahwa indra-indra itu besar; lebih besar dari pada indra adalah pikiran; lebih besar dari pada pikiran adalah kecerdasan; tetapi lebih besar dari pada kecerdasan itu adalah Dia.

3-43

evam buddheh param buddhva
samstabhyatmanam atmana
jahi satrum maha-baho
kama-rupam durasadam

“Thus knowing oneself to be transcendental to the material senses, mind and intelligence, O mighty-armed Arjuna, one should steady the mind by deliberate spiritual intelligence [Krishna consciousness] and thus—by spiritual strength—conquer this insatiable enemy known as lust.”

Jadi, dengan mengetahuinya, yang melampaui kecerdasan itu, dengan mengendalikan sang diri (yang lebih rendah) dengan Diri yang lebih tinggi, wahai Yang berlenganperkasa (Arjuna), musnahkanlah musuh-musuh yang berwujud keinginan itu, yang sulit untuk diatasi.

Inilah akhir dari bab ketiga yang berjudul KARMA YOGA

[Kembali]


Sumber: Pustaka Hindu

The purpose of life

Life is lived in the tension of want and inadequacy. You may think someone else is happy because he has comforts. This is because you have set a value for what he has. Nobody is really happy. The only difference between the "haves" and "have-nots" is that the "haves" are unhappy with comforts and the "have-nots" are unhappy without comforts. Everyone wants to be different from what he or she is. This is a problem common to every human being.

Solving this problem is the purpose of life. One cannot be indifferent to it. The experiences of life make one think. "What I want is not all these things. I want to be at ease with myself. How can I discover that?" When the problem is thus identified, one knows exactly what one should look for, and life becomes purposeful. Then alone it is worth living.

-- Swami Dayanand, The teaching of the Bhagavad Gita
http://www.supremecourtcaselaw.com/thoughts.htm

Minggu, 09 September 2007

Tiket Kereta

Ini adalah sebuah kisah nyata dari rektor Universitas Ji Nan yang bernama Li Jia Tong.

Semenjak kecil, saya takut untuk memperingati hari ibu karena tak berapa lama setelah saya lahir, saya dibuang oleh ibu saya.

Setiap kali peringatan hari ibu, saya selalu merasa tidak leluasa karena selama peringatan hari ibu semua acara televisi menayangkan lagu tentang kasih ibu, begitu juga dengan radio dan bahkan iklan biskuit pun juga menggunakan lagu tentang hari ibu.

Saya tidak bisa meresapi lagu-lagu seperti itu. Setelah sebulan lebih saya dilahirkan, saya ditemukan oleh seseorang di stasiun kereta api Xin Zhu. Para polisi yang berada di sekitar stasiun itu kebinggungan untuk menyusui saya. Tapi pada akhirnya, mereka bisa menemukan seorang ibu yang bisa menyusui saya. Kalau bukan karena dia, saya pasti sudah menanggis dan sakit. Setelah saya selesai disusui dan tertidur dengan tenang, para polisi pelan-pelan membawa saya ke De Lan Center di kecamatan Bao Shan kabupaten Xin Zhu. Hal ini membuat para biarawati yang sepanjang hari tertawa ria akhirnya pusing tujuh keliling.

Saya tidak pernah melihat ibu saya. Semasa kecil saya hanya tahu kalau saya dibesarkan oleh para biarawati. Pada malam hari, di saat anak-anak yang lain sedang belajar, saya yang tidak ada kerjaan hanya bisa menggangu para biarawati. Pada saat mereka masuk ke altar untuk mengikuti kelas malam, saya juga akan ikut masuk kedalam.

Terkadang saya bermain di bawah meja altar, mengganggu biarawati yang sedang berdoa dengan membuat wajah-wajah yang aneh. Dan lebih sering lagi ketiduran sambil bersandar di samping biarawati. Biarawati yang baik hati itu tidak menunggu kelas berakhir terlebih dahulu, tetapi dia langsung menggendong saya naik untuk tidur. Saya curiga apakah mereka menyukai saya karena mereka bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk keluar dari altar.

Walaupun kami adalah anak-anak yang terbuang, tetapi sebagian besar dari kami masih memiliki keluarga. Pada saat tahun baru ataupun hari raya, banyak sanak saudara yang datang menjemput. Sedangkan saya, dimana rumah saya pun saya tidak tahu.

Juga karena inilah para biarawati sangat memperhatikan anak-anak yang tidak memiliki sanak saudara sehingga mereka tidak memperbolehkan anak-anak lain menggangu kami. Sejak kecil prestasi saya cukup bagus dan para biarawati mencarikan banyak pekerja sosial untuk menjadi guru saya. Kalau dihitung-hitung sudah cukup banyak yang menjadi pengajar saya. Mereka adalah lulusan dan dosen dari universitas Jiao dan universitas Qing, lembaga penelitian, dan insinyur. Guru yang mengajarkan saya IPA pada tahun sebelumnya adalah seorang mahasiswa dan sekarang dia telah menjadi asisten dosen. Guru yang mengajari saya Bahasa Inggris adalah seorang yang jenius. Tidak heran sejak kecil kemampuan saya dalam berbahasa Inggris sudah bagus.

Para biarawati juga memaksa saya untuk belajar piano. Semenjak kelas 4 SD, saya telah menjadi pianis di gereja dan pada saat misa saya yang bertanggung jawab untuk bermain piano. Karena didikan yang saya dapatkan di gereja, kemampuan berbicara saya pun juga bagus. Di sekolah saya sering mengikuti lomba berpidato, pernah juga menjadi perwakilan alumni untuk mengikuti debat.

Tetapi saya sama sekali tidak pernah mendapatkan peran yang penting dalam acara peringatan hari ibu..

Walaupun saya suka memainkan piano tetapi saya mempunyai satu prinsip. Saya tidak akan memainkan lagu-lagu yang berhubungan dengan hari ibu, kecuali jika ada orang yang memaksa saya. Tetapi tetap saja saya tidak akan memainkan lagu-lagu tersebut atas dasar keinginan saya sendiri.

Terkadang saya pernah berpikir, siapakah ibu saya? Saat membaca novel, saya menebak bahwa saya adalah anak haram, ayah meninggalkan ibu dan ibu yang masih muda akhirnya membuang saya.

Mungkin karena kepintaran saya yang cukup bagus, ditambah lagi dengan adanya bantuan dari pengajar yang sepenuh hati membantu, saya dengan lancar bisa lolos ujian masuk jurusan arsitektur di Universitas Xin Zhu. Saya menyelesaikan kuliah sambil bekerja sambilan. Biarawati Sun yang membesarkan saya terkadang datang mengunjungi saya. Jika teman-teman kuliah saya yang bandel-bandel itu melihat biarawati Sun, mereka akan langsung berubah menjadi kalem. Banyak teman-teman saya yang setelah mengetahui latar belakang saya, datang menghibur saya. Mereka juga mengakui, bahwa saya mempunyai pembawaan yang baik, dikarenakan saya dibesarkan oleh para biarawati

Saat wisuda, orang tua dari mahasiswa lain semua berdatangan, sedangkan keluarga saya satu-satunya yang hadir hanya biarawati Sun.

Kepala jurusan saya bahkan meminta biarawati Sun untuk foto bersama.

Di masa wajib militer, saya kembali ke De Lan Center. Tiba-tiba saja di hari itu biarawati Sun ingin membicarakan hal yang serius dengan saya. Dia mengambil sebuah amplop surat dari raknya dan dia mempersilahkan saya untuk melihat isi-isi dari amplop surat itu.

Di dalam amplop surat itu, terdapat dua lembar tiket kereta.

Biarawati Sun berkata pada saya bahwa pada saat polisi mengantar saya ke tempat ini, dalam baju saya terselip dua lembar tiket perjalanan dari tempat tinggal asal ibu saya menuju stasiun Xin Zhu.

Tiket pertama adalah tiket bus dari salah satu tempat di bagian selatan menuju ke Ping Dong. Dan tiket yang satunya lagi adalah tiket kereta api dari Ping Dong ke Xin Zhu. Ini adalah tiket kereta api yang lambat. Dari situ saya baru tahu bahwa ibu kandung saya bukanlah orang yang berada.

Biarawati Sun mengatakan pada saya bahwa mereka biasanya tidak suka mencari latar belakang dari bayi-bayi yang telah ditinggalkan. Oleh karena itu, mereka menyimpan dua tiket kereta ini dan memutuskan untuk memberikannya pada saat saya sudah dewasa.

Mereka telah lama mengamati saya dan pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa saya adalah orang yang rasional. Jadi seharusnya saya mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah ini. Mereka pernah pergi ke kota kecil ini dan menemukan bahwa jumlah penduduk kota kecil itu tidak banyak. Jadi jika saya benar-benar ingin mencari keluarga saya, seharusnya saya tidak akan menemui kesulitan.

Saya selalu terpikir untuk bertemu dengan orang tua saya. Tetapi setelah memegang dua tiket ini, mulai timbul keraguan dalam hati saya. Saya sekarang hidup dengan baik, mempunyai ijazah lulusan S1, dan bahkan memiliki seorang teman wanita akan menjadi teman hidup saya. Mengapa saya harus melihat ke masa lalu? Mencari masa lalu yang benar-benar asing bagi saya. Lagi pula besar kemungkinan kenyataan yang didapatkan adalah hal yang tidak menyenangkan.

Biarawati Sun justru mendukung saya untuk pergi ke kota asal ibu saya. Dia menggangap kalau saya akan memiliki masa depan yang cerah.

Jika teka-teki tentang asal-usul kelahiran saya tidak dijadikan alasan sebagai bayangan gelap dalam diri saya, dia terus membujuk diri saya untuk memikirkan kemungkinan terburuk yang akan saya hadapi, yang seharusnya tidak akan menggoyahkan kepercayaan diri saya terhadap masa depan saya.

Saya akhirnya berangkat ke kota yang berada di daerah pegunungan, yang bahkan tidak pernah saya dengar namanya. Dari kota Ping Dong saya harus naik kereta api selama satu jam lebih untuk tiba di sana.

Saat musim dingin, walaupun berada di daerah selatan, di kota ini hanya terdapat satu kantor polisi, satu pos kota, satu Sekolah Dasar, dan satu Sekolah Menengah Pertama, selain itu tidak ada lagi gedung yang lainnya.

Saya bolak-balik ke kantor polisi dan pos kota untuk mencari data kelahiran saya. Akhirnya saya menemukan dua dokumen yang berhubungan dengan diri saya. Dokumen pertama adalah data mengenai kelahiran seorang anak laki-laki. Dokumen kedua adalah data laporan kehilangan anak. Hilangnya anak itu adalah di saat hari kedua saya dibuang satu bulan lebih setelah saya dilahirkan. Menurut keterangan dari biarawati, saya ditemukan di stasiun Xin Zhu. Sepertinya saya sudah menemukan data-data kelahiran saya.

Sekarang masalahnya adalah ayah saya telah meninggal dunia dan ibu saya juga telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu. Saya mempunyai seorang kakak laki-laki. Kakak saya telah meninggalkan kota dan tidak tahu ke mana perginya. Karena ini adalah kota kecil, maka semua orang saling mengenal.

Seorang polisi tua di kantor polisi memberitahu saya, bahwa ibu saya selalu bekerja di SMP. Dia lalu membawa saya menemui kepala SMP itu.

Kepala sekolah itu adalah seorang wanita dan beliau menyambut saya dengan ramah. Dia membenarkan bahwa ibu saya pernah bekerja di sini.

Dan beliau sangat baik hati, sedangkan ayah saya adalah orang yang sangat malas. Saat pria yang lain pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, hanya ayah yang tidak mau pergi. Di kota kecil, ayah hanya bekerja sebagai pekerja musiman. Padahal di dalam kota sama sekali tidak ada pekerjaan yang bisa dia kerjakan.

Oleh karena itu, seumur hidup dia hanya mengandalkan ibu saya yang bekerja sebagai pekerja kasar. Karena tidak memiliki pekerjaan, suasana hatinya menjadi sangat tidak baik. Jadi seringkali dia mabuk- mabukan. Dan setelah mabuk, terkadang ayah memukul ibu atau kakak saya. Walaupun setelah itu ayah merasa menyesal, kebiasaan buruk ini sangat susah untuk diubah. Ibu dan saudara saya terusik seumur hidup olehnya. Pada saat kakak duduk di kelas dua SMP, dia kabur dari rumah dan semenjak saat itu ayah tidak pernah kembali lagi.

Sepengetahuan ibu kepala sekolah, ibu itu memiliki anak kedua. Namun setelah berumur satu bulan lebih, secara misterius anak itu menghilang begitu saja. Saat ibu kepala sekolah tahu bahwa saya dibesarkan di sebuah panti asuhan di daerah utara, beliau mulai menanyakan banyak hal kepada saya dan saya menjelaskannya satu per satu.

Beliau mulai tergerak hatinya dan kemudian mengeluarkan selembar amplop surat. Amplop ini ditinggalkan ibu saya sebelum ibu meninggal dan ditemukan di samping bantalnya. Kepala sekolah berpikir bahwa di dalamnya pasti terdapat barang-barang yang bermakna. Oleh karena itu, dia menyimpannya dan menunggu sampai ada keluarganya yang datang mengambil.

Dengan tangan yang gemetar, saya membuka amplop itu. Dalam amplop itu berisi tiket kereta api. Semua itu adalah tiket-tiket perjalanan dari kota kecil di bagian selatan ini menuju kecamatan Bao Shan kabupaten Xin Zhu, dan semuanya disimpan dengan baik. Kepala sekolah memberitahu saya bahwa setiap setengah tahun sekali, ibu saya pergi ke daerah di bagian utara untuk menemui salah satu saudaranya.

Namun, tidak ada satu orangpun yang mengenal siapa saudara itu.

Mereka hanya merasa bahwa setiap ibu saya kembali dari sana, suasana hatinya menjadi sangat baik.

Ibu saya menganut agama Budha di hari tuanya. Hal yang paling membanggakan baginya adalah ia berhasil membujuk beberapa orang kaya beragama Budha untuk mengumpulkan dana sebesar NT 1.000.000 yang disumbangkan ke panti asuhan yang dikelola oleh agama Katolik. Pada hari penyerahan dana, ibu saya juga ikut hadir.

Saya merasa merinding seketika. Pada suatu kali, ada satu bus pariwisata yang membawa para penganut agama Budha yang berasal dari daerah selatan. Mereka membawa selembar cek bernilai NT 1.000.000 untuk disumbangkan ke De Lan Center.

Para biarawati sangat berterimakasih dan mereka mengumpulkan semua anak-anak untuk berfoto bersama para penyumbang. Pada saat itu, saya yang sedang bermain basket. Saya juga ikut dipanggil dan dengan tidak rela, saya pun ikut berfoto bersama mereka. Sekarang saya menemukan foto itu di dalam amplop ini. Saya meminta orang untuk menunjukkan yang mana ibu saya. Saya tersentak seketika. Yang lebih membuat saya terharu adalah di dalamnya terdapat foto kenangan-kenangan wisuda saya yang telah difotokopi. Foto itu adalah foto saya bersama teman-teman saya yang sedang mengenakan topi toga. Saya juga termasuk di dalam foto itu. Ibu saya, walaupun telah membuang saya, tetap datang mengunjungi saya. Mungkin saja dia juga menghadiri acara wisuda saya.

Dengan suara tenang, kepala sekolah berkata, "Kamu seharusnya berterima kasih pada ibumu.

Dia membuangmu demi mencarikanmu lingkungan hidup yang lebih baik. Jika kamu tetap tinggal di sini, bisa-bisa kamu hanya lulus SMP, lalu pergi ke kotamencari kerja. Di sini hampir tidak ada orang yang mengecap pendidikan SMU. Lebih gawatnya lagi, jika kamu tidak tahan terhadap pukulan dan amarah ayahmu setiap hari, bisa-bisa kamu seperti kakakmu yang kabur dari rumah dan tidak pernah kembali lagi." Kepala sekolah kemudian memanggil guru yang lain untuk menceritakan hal-hal tentang saya.

Semuanya mengucapkan selamat karena saya bisa lulus dari Universitas Guo Li. Ada seorang guru yang berkata, bahwa di sini belum ada murid yang berhasil masuk ke Universitas Guo Li.

Saya tiba-tiba tergerak untuk melakukan sesuatu. Saya bertanya kepada kepala sekolah apakah di dalam sekolah ada piano. Beliau berkata bahwa pianonya bukan piano yang cukup bagus, tetapi terdapat organ yang masih baru. Saya membuka tutup piano dan menghadap matahari di luar jendela dan saya memainkan satu per satu lagu tentang ibu. Saya ingin orang-orang tahu, walaupun saya dibesarkan di panti asuhan tetapi saya bukanlah yatim piatu karena saya memiliki para biarawati yang baik hati dan senantiasa mendidik saya.

Mereka bagaikan ibu yang membesarkan saya, mengapa saya tidak bisa menganggap mereka selayaknya ibu saya sendiri? Dan juga ibu saya selalu memperhatikan saya. Ketegasan dan pengorbanannya lah yang membuat saya memiliki lingkungan hidup yang baik dan masa depan yang gemilang.

Prinsip yang saya tetapkan telah dilenyapkan. Saya bukan saja bisa memainkan lagu peringatan hari ibu, tetapi saya juga bisa menyanyikannya. Kepala sekolah dan para guru juga ikut bernyanyi. Suara piano juga tersebar ke seluruh sekolah dan suara piano saya pasti berkumandang sampai ke lembah. Di senja hari ini, penduduk- penduduk di kota kecil akan bertanya, "Kenapa ada orang yang memainkan lagu tentang ibu?" Bagi saya hari ini adalah hari ibu. Sebuah amplop yang dipenuhi tiket kereta api membuat saya untuk selamanya tidak takut untuk memperingati hari ibu.

-----

"Berterima kasihlah kepada mereka yang telah membesarkan dan membimbing kita, hingga kita dewasa dan mencapai sebuah kesuksesan. Sekalipun mereka bukanlah ibu atau ayah kandung yang telah membesarkan kita. Tetapi ingatlah selalu budi yang telah diberikan kepada kita, hingga kita bisa seperti sekarang ini".

kiriman: yuni yuni

Nasionalisme Ala Geger

Oleh : Anton

Seorang Revolusioner adalah seorang yang harus memihak – ada kawan ada lawan. Revolusi adalah permusuhan. Ia menghendaki kekerasan sikap karena orang harus bergulat. Ia menghendaki penyempitan pandang, karena orang harus membidik.
(Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir Tempo 4 Juli 1981)

Goenawan Mohammad adalah manusia kontemplatif, dia orang Batang yang punya alam pikiran Barat baginya Revolusi adalah bagaimana memilih posisi dan posisi paling tragis adalah ketika Hatta dan Liu Shaoqi mundur dari sejarahnya atau Bani Sadr dan Bazargan menjadi habis karena tidak memilih berpihak. Tapi bagaimanapun cita-cita besar harus memihak bukan?

Amerika Serikat tak akan sebesar sekarang bila tidak ada George Washington yang kepala batu, Putin tidak akan mendapat keagungan sejarah Russia bila tidak ada Lenin, Stalin sampai Breznev. Russia kini menjadi harapan besar bagi negara-negara yang sudah sebal lihat kelakuan buas Bush cs. Jepang tidak akan semodern sekarang bila Kaisar Meiji tidak bertindak tegas terhadap masa lalu dimana kultur `Samurai' dihabisi diganti kultur barat yang rasionil, RRC tidak akan semegah sekarang bila tidak sikap dari Mao yang banyak dikutuki oleh pembenci-nya dan Vietnam tidak akan berlari kencang secepat cheetah bila tidak ada keteguhan Paman Ho dan jutaan
gerilyawan yang mati bertempur lawan Perancis di Dien Bien Phu, dan menghancurkan Amerika di Saigon. Apakah Indonesia akan ada tanpa kenekatan dari anak-anak PETA dan pemimpin yang berani mati model Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka atau Amir Sjarifudin?

Memang pada akhirnya keteguhan melihat tujuan kadang-kadang digoda oleh kegenitan intelektual atas nama kemanusiaan, atas nama humanisme. Tapi tak jarang kegenitan itu mengundang kabut yang menghalangi visi. Dan membuka lowong bagi kekuatan jahat yang mengkhianati tujuan negara. Dan itulah yang terjadi di Indonesia.

Seperti yang diberitakan oleh Geger Hariyanto pada artikelnya di Kompas (Sabtu, 8/9/07) tentang Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang menjadi eksil di tanah seberang karena tak sepaham dengan garis politik Sukarno. Apakah Geger tak melihat apa yang dilakukan STA, Des Alwi, Soemitro Djojohadikusumo dan banyak pelarian politik lainnya justru menabur benih orang-orang macam Oejeng Soewargana? Apakah STA, Des Alwi, Soemitro Djojohadikusumo sama dengan Munir yang pahlawan kemanusiaan itu..oh tidak, mereka berpihak pada politik yang diyakininya mereka bukan membela kemanusiaan hanya semata-mata pada kemanusiaan. Justru yang jauh lebih terhormat adalah kesadaran Hatta dan Sjahrir dalam menerima realitas politik dibanding pelarian politik jaman Bung Karno yang memang sudah memberontak dan melakukan subversi secara terang-terangan (PRRI 1958). Apa yang dikatakan Hatta adalah perasaan Nasionalisme- nya yang maha besar "Saya akan memberi kesempatan pada Sukarno" atau pesan Sjahrir pada kadernya Soebadio Sastrosatomo "Kalau Sukarno perlu kamu, bantulah dia.." padahal Sjahrir sedang dalam posisi sulit di jaman Bung Karno. Kemudian Sjahrir berkata `Bagaimanapun Bung Karno telah berjasa besar menyatukan bangsa ini" inilah nasionalisme yang sebenar-benarnya mereka tidak melawan walaupun tidak berpihak, tidak lari ke luar negeri dan membangun konspirasi. Karena mereka tahu apa yang dilakukan Bung Karno adalah untuk kebesaran bangsa Indonesia. Pelacur-pelacur Intelektual di jaman Orde Baru sering menyebutkan bahwa Sukarno bergelimang kekuasaan tapi mereka tidak pernah menggambarkan sedikit pun beban tanggung jawab yang maha besar dari seorang Sukarno untuk membesarkan bangsa.

Keberanian melawan kekuasaan jangan dianugerahi pada segerombolan pengecut yang lari ke luar negeri dan mengkhianati tujuan besar bangsa Indonesia, tapi pada pemberani-pemberani yang menentang kekuasaan yang tidak benar dan menempuh jalan mati dengan sikap tenang. Pledoi Sudisman adalah bentuk keteguhan hati, keberanian Amir Biki menantang tentara di Tanjung Priok atau Wiji Thukul seorang tukang becak sederhana atau Munir dengan kerongkongannya yang bersimbah arsenik. Pramoedya Ananta Toer itulah yang layak dijadikan role model rasa cintanya pada nasionalisme bangsa walaupun bangsanya menyakitinya, teman-temannya mengutuki hanya untuk cari selamat sambil diam melihat pesta pora Orde Baru. Apakah anak-anak mantan menteri perikanan dan kelautan Rokhmin Dahuri yang ingin mencabut kewarganegaraan Indonesia dan berniat beralih menjadi warga negara Kanada karena kecewa dengan pengadilan Indonesia bisa disebut Nasionalis? Betapa manja benar mereka, apakah Geger misalnya melawan pemerintah otoriter lalu atas nama humanisme menjadi warga negara Kanada dan melupakan Indonesia? Apa anda tidak malu dengan anak-anak yang bapak ibunya dibantai karena tuduhan terlibat G 30 S, tapi dia tetap mencintai Indonesia dengan sangat bekerja di ladang-ladang rakyat tanpa pamrih. Dokter Ribka Tjiptoning tetap melayani masyarakat kecil dengan segala kesulitan hidup tapi ia tidak mendendam pada Indonesia yang dilawannya adalah kekuasaan dengan semua kepentingan- kepentingan yang melekat. Atau Ibarurri Aidit yang sangat mencintai Indonesia walau nggak jelas Bapaknya diapain oleh tentara? Bagaimanapun ke Indonesia-an membutuhkan sakralitas yang secara implisit diremehkan oleh Geger atas nama Humanisme, Nasionalisme Manusia yang pada titik lemahnya kemudian menjerembabkan negara ketangan orang-orang yang tidak benar.

Amerika Serikat, Inggris, Perancis atau Jerman sedemokrasi apapun sistem politik mereka pasti memiliki tangan negara yang sangat kuat demi kepentingan mereka sendiri. AS boleh teriak sampai serak tentang demokrasi liberal tapi ketika kepentingan negara mereka terganggu mereka lantas hajar habis itu negara. Begitu juga dengan negara-negara yang maju, mereka butuh pemerintahan kuat dan nasionalisme yang menggelegar. Mantan Presiden Perancis Jacques Chirac bahkan meninggalkan sebuah pertemuan karena mendengar salah seorang menterinya bicara pakai bahasa Inggris, sementara orang Indonesia merasa lebih pintar bila berbicara campur-campur Indonglish, Indonesia-English, bahasa Inggris dianggap bahasa Dewa. Humanisme yang genit dan diselubungi rasa inferior adalah lawan dari tujuan besar bangsa, cita-cita besar bersama. Humanis yang genit dan membutakan realitas malah melahirkan sebuah generasi baru yang dungu seperti Orde Baru.

Dan menciptakan belantara konspirasi seperti Oejeng Soewargana. Apa yang dilakukan Oejeng? Beginilah Rosihan Anwar menceritakannya dalam buku Sejarah Kecil Indonesia (Le Petite Histoire) yang mengutip dari buku Oltmans `Mijn Vriend Soekarno' di hal. 147 Oltmans mengatakan :

"Pak Oejeng yang ramah itu seorang pengkhianat kelas satu, kacung pembawa pesan Jenderal Nasution untuk dinas intel Amerika CIA di Washington". Rosihan kemudian melanjutkan narasinya tentang cerita Oltmans. Oltmans menulis tentang tahun 1964 di New York ketika dia berkenalan dengan penyair WS Rendra, dan cukup banyak orang Indonesia menginap di rumahnya. Oejeng adalah tamu tetap Oltmans. Dia berjumpa secara kebetulan di Toko Swalayan Macy. Pada kesempatan lain Oltmans sedang sibuk mengetik di kantor atase pertahanan KBRI di Washington, Mayjen Surjo Sularso. Oejeng menggunakan fasilitas pemerintah Sukarno untuk bersama CIA melakukan konspirasi terhadap pemerintah yang sah di Jakarta. Saat itu Oejeng mengeluarkan ucapan yang ternyata akan terwujud antara tahun 1967 dan meninggalnya Sukarno tanggal 21 Juni 1970. Oejeng berkata, "Kami akan kucilkan (Isoleren) Soekarno dan membiarkannya mati bagaikan sebuah bunga yang tak lagi memperoleh air" Ini memang persis sekali dengan perlakuan yang diberikan rezim Soeharto kepada Soekarno".

Dan Goenawan Mohamad melanjutkan kontemplasinya pada catatan pinggirnya. "Revolusi toh sudah sering dikhianati"

---------------------<<>
Wirajhana:

Terima kasih atas tulisannya..

malam paling menjemukan ini akhirnya saya mengalami "cuci darah" kembali..

cilakanya darah ku dicuci tentang kisah kucuran pengorbanan tanpa henti...

cilakanya, saat hendak berpikir:

"ah, masih ada koq nasionalisme yang tidak geger"...malah jadi terbungkam teler

terbungkam oleh bayangan semua yang merangkak naik kecuali kesejahteraan rakyat dan harga diri bangsa..

terbungkam betapa stabilnya kesejahteraan rakyat dan harga diri bangsa merangkak loyo, ngesot dan perlahan menjadi merayap.

ngomong2 rayap...jadi terbayang bahwa mereka "makan" dari dalam menggerogoti pelan2 hingga terang2an membuat rapuh dan mati...

ngomong2 ngesot jadi terbayang fungsi yang salah kaprah bahwa yang seharusnya membuat "adem" karena ia hadir untuk merawat menjadi kalang kabut membuat derita kesusahan..

ngomong2 merangkak loyo...jadi miris mengingat eforia harapan saat pesta koar-koar mengusung slogan "berilah kami kempatan", rupanya sudah berubah menjadi menjepit kami yang memberi...

yah sudahlah...melayani itu ternyata tidak pernah mengalami revolusi ia hanya bermutasi dari satu jaman ke jaman dengan model ilmu katak yang sama!

berenang keatas dengan menghentakan kaki kebawah...mencari celah keatas dengan meninjak apapun..

Toh, mungkin sekarang bukan cuma revolusi yang sudah dikhianati..
nasionalisme-pun juga sudah dikhianati, ketika penguasa lebih memilih penguasa, ketika kawan karena kepentingan, ketika kekerasan sikap hanya untuk membela kawan pat gulipat, ketika menyempitkan pandangan hanya untuk membidik tahun setelah 2009.

Apakah Indonesia masih ada? ataukah sudah berubah menjadi Indon di asia?

Melek Finansial, Melek Kapital dan Melek Sosial

Oleh : ANTON

Kejadian yang wajar banget bila mahasiswa bingung apa beda Reksa Dana dengan Danareksa karena secara bahasa-nya juga aneh. Saya tidak tahu bahasa sanskrit menggunakan kaidah DM apa MD tapi kata Reksa Dana dan Danareksa kalau dalam makna bahasa Indonesia artinya sama-sama menjaga uang, Reksa=menjaga (sing mbaurekso) Dana = Harta. Jadi menjaga harta tapi kalau orang yang hidup di jaman Gajah Mada pasti heran karena Reksadana dan Danareksa jadi dua arti yang berbeda. Yang satu `Jaga dana' yang lain `dana Jaga' jadi mana yang benar?

Danareksa yang berdiri tahun 1977 dan kemendannya JA Sereh, jago tua Pasar Modal itu yang awalnya ngendon di bangunan tua Kebon Sirih samping kantor Gubernuran Jakarta Dulu kata orang Danareksa didirikan untuk bikin Reksadana Saham sebagai counterpart dari pendirian Bursa Efek yang kantornya berbentuk gedung dengan tiang bulet-bulet ngikutin gaya Bursa Efek di Taiwan, -(tapi sekarang malah sok jadi bangunan gaya Gothik). Dikemudian hari Danareksa menjadi gurita besar Pasar Modal Indonesia bidang kerjanya banyak banget, dari Brokerin saham sampai ngasih kredit utangan (katanya sekarang nggak lagi), dari IPO sampe bikin produk Reksadana. (Komisaris Danareksa sekarang aneh Dino Patti Djalal - ngerti apa
dia dengan Pasar Modal? – apa cuman alat SBY untuk ngangkangi Danareksa saja, setelah Lin Chen Wei terdepak...) . Daripada Dino kenapa nggak ngangkat Jojon sekalian aja biar tambah lucu.

Beda lagi dengan Reksa Dana, nah instrumen ini sebenernya bukan barang baru sudah dikenalkan sejak tahun 70-an dan mulai beredar di tahun 80-an. Tapi baru booming setelah tahun 1997 gara-gara Tito Sulistio sama Titiek Prabowo rajin kampanye Pasar Modal dan Reksa
Dana. Tapi tahun 1998 bangkrut lagi tuh perputaran uang di Reksa Dana kemudian sesuai siklus ekonomi Indonesia yang baik terjadi booming Reksa Dana terutama yang berkonten Obligasi. Bahkan banyak Manajer Investasi yang bermain di Indonesia berpendapat Nilai Aktiva Bersih Obligasi selalu bertumbuh jadi variabel resiko habis dan masuk dalam wilayah return free market di titik itu mereka koar-koar ke investor awam...sampai disini semua orang masih terbahak-bahak banyak Investor datang dan menggelembungkan pundi-pundinya. Tapi pertukulan reksadana (tukul=tumbuh) kayak balon gas yang meledak di UI dan melukai banyak pelari pagi, amblas. Bank Global untung besar gara-gara ngeluarin Reksa Dana bodong, Reksa Dana BNI juga bermasalah. Kehancuran total itu disebabkan oleh ketidaktahuan dari
orang-orang MI sendiri tentang faktor resiko sehingga resiko penurunan nilai dikelabui dari pikiran publik, dan publik kadung menganggap Reksa Dana mirip-mirip Deposito yang dananya dijamin oleh negara, padahal orang yang belajar tentang hukum Kapital mana-mana juga ngerti semangkin tinggi ekspektasi return, semangkin tinggi daripada resiko. Kalo ndak percaya tanya sama tukang kredit panci sana....Hancurnya obligasi ditahun 2005 akhir lalu itu benar-benar bikin ngakak investor asing, dan investor kecil yang nangis bombay banyak banget.

Jadi bila nanya apa beda Reksa Dana dengan Danareksa sama mahasiswa yang mau bikin skripsi wajar aja kalo nggak tahu, lha Manajer Investasi-Manajer Investasi kita juga masih bingung apa yang dimaksud Reksadana. Liat aja buat ngindarin pajak setiap lima tahun mereka bubarkan produk reksadana dan bikin yang baru, atau untuk ngindarin pembelian pajak keuntungan obligasi para dedengkot kapital bikin reksadana supaya nggak kena 20% pajak final. Reksadana tidak dijadikan alat pertumbuhan nilai sejati sesuai kaidah-kaidah keuangan.

Kalau mau bicara melek finansial kita harus bicara melek spectacle. Spectacle secara harafiah diartikan sebagai `tontonan' dan merupakan bentuk pendangkalan dari pemaknaan. Misalnya saya pakai peci putih, baju koko maka sontak saya menjadi alim dan bisa mendiktekan norma-norma kebenaran saya, kalau saya ingin dianggap pemberontak cukup pakai baju gambar Che Guevara yang dominan warna merahnya, kalau saya ingin dikatakan seperti kyai pujaan dan banyak penggemar cukup cantumkan kata A'a di depan nama saya sukur-sukur
bisa memperistri artis kemudian masuk TV dan mendakwahkan pemahaman agama saya, kalau saya ingin dibilang kaya tidak usah saya punya uang milyaran di Bank atau portofolio saham-saham bagus di Pasar Modal, cukup kredit mobil baru dan pakai baju bermerk maka saya sudah kaya. Budaya Spectacle merupakan budaya yang menghilangkan pendalaman dan melebih-lebihkan penampilan. Akar dari budaya tontonan ini adalah pengelembungan kapital yang fantastik. Semakin memiliki kadar nilai tukar tinggi semakin fantastik nilainya tanpa diikuti utilitas nilai guna. Jadi ketika saya naik Mercedes maka secara nilai tukar saya lebih tinggi daripada saya naik Honda atau Toyota, karena penggelembungan nama Mercedes –penganut kapitalis menyebutnya Branded – Jadi komoditi yang pada dasarnya berbentuk realitas kemudian secara holahop berubah ke dalam alam gaib dan mempengaruhi naluri.

Spectacle juga mempengaruhi relasi-relasi antara manusia dengan lingkungannya, ketika saya memakai berambut panjang maka saya direlasikan sebagai penggemar musik Metal lalu tatkala saya menggunakan asesoris anak dugem maka saya sontak menjadi bagian dari kaum Dugem. Kalau saya pakai baju merah dan ada gambar banteng gemuknya, maka saya bagian dari `wong cilik' kalau saya pakai baju kuning dan ada gambar `Ringin Kurungnya' maka saya adalah pecinta status quo, minimal anak bekas pejabat Orde Baru. Dan ketika baju saya ada gambar Palu Arit...maka tahu sendiri akibatnya

Relasi-relasi yang kemudian dipengaruhi oleh spectacle ini kemudian membentuk niat awalnya, yaitu : Modal.

Modal-lah yang kemudian menciptakan spectacle-spectacle dan bertransformasi menjadi alam realitas, menjadi sebuah keharusan supaya kita menjadi bagian dari komunitas. Misalnya seorang anak dikabarkan gantung diri karena orang tuanya tidak membelikannya handphone, disini HP bagi si anak bukan lagi merupakan alat fungsional dimana tanpa HP ia tidak bisa berkomunikasi, tapi lebih merupakan spectacle bagi dirinya, dengan HP secara dangkal ia mendapatkan eksistensinya, dengan HP dia menemukan jati dirinya di tengah pergaulan. Ketika realitasnya orang tuanya tidak membelikan HP maka hancurlah eksistensinya, dan penghancuran eksistensi itu merupakan kiamat bagi pembentukan esensi kemanusiaannya maka tak ada lagi bagi pikirannya kecuali menempuh jalan mati.

Begitu juga seorang wanita kenapa mereka bisa banyak dikibuli oleh laki-laki, karena penampilan, karena spectacle yang kemudian menciptakan romantika di dalam pikirannya, setelah menikah barulah ia mendapati kesejatian sang laki-laki pujaannya yang ternyata bias-
nya jauh sekali dari jalur romantika yang dia impikan. Dunia kaum wanita adalah dunia paling rentan untuk dirasuki budaya spectacle. Karena sejak dulu wanita adalah objek bagi kepentingan alam pikiran laki-laki, budaya agraris mengenal wanita sebagai alat reproduksi
juga tampilan erotis maka muncullah Dewi Sri atau Ronggeng Sri Kanthil, dalam budaya feodal wanita ditampilkan sebagai penambah nilai untuk legitimasi kekuasaan, disini wanita harus ditampilkan sebagai `yang agung' atau `yang suci' dan bisa memancarkan `wahyu kedaton dan wahyu cakraningrat' maka dari dalam betis Ken Dedes muncul sinar wahyu kedaton dalam alam pikiran Ken Arok, maka memperistri Pembayun adalah sebuah bentuk pengakuan kekuasaan dari Ki Ageng Mangir Wonoboyo terhadap Panembahan Senopati. Atau ageman Ibu Tien Suharto yang masih kerabat Mangkunegaran bagi Suharto yang hanya anak ulu-ulu.

Dalam spectacle ciptaan Kapitalis wanita dikonstruksikan lebih dahsyat lagi. Apa yang ada pada diri wanita harus memenuhi kaidah-kaidah penambahan kapital bagi pencipta komoditi dan perangkai imaji dimana tujuan mereka adalah mereproduksi Kapital. Kaum wanita mau tidak mau diasingkan dari kewanitaannya dan hanya menjadi objek tampilan pada dunia – yang disangka wanita korban spectacle itu adalah kehendak laki-laki dan aturan tak tertulis- . Apa yang menjadi kiamat bagi kaum wanita urban Indonesia saat ini adalah ketika ia tidak lagi memenuhi kaidah-kaidah tampilan kapitalis. Kaum Kapital merekonstruksi kecantikan sesuai dengan imaji yang diciptakan. Saat ini di Indonesia kecantikan selalu diartikan: keturunan Indo-Eropa, Berambut pirang, tinggi diatas 165 cm, berdada sedang dan memiliki kaki jenjang diatas semuanya adalah : kulit putih bersih ala Eropa. Hal ini selain merupakan bagian inferior compleks orang Indonesia yang selalu memandang barat di atas segalanya, juga adalah produksi imaji yang diciptakan oleh kaum produsen komoditi kecantikan yang memang berpusat di Eropa. Kecantikan dimulai dari sana. Citra kecantikan bukan lagi pada Gusti Nuril bangsawan puteri Mangkunegaran yang dulu terkenal cantik jelita tapi pada Nadine Chandrawinata yang sudah sempurna memenuhi kecantikan-kecantik an ala barat.

Ketika Spectacle itu sudah menjadi bagian dari kehidupan terpenting dan merupakan prakondisi bagi terciptanya eksistensi kemanusiaan seseorang maka dibentuklah permainan finansial dimana korbannya adalah memang orang yang sudah terjajah oleh aturan-aturan yang dihidupkan oleh kaum Kapitalisme.

Melek Finansial hanya mengajarkan bagaimana kita bisa mengatur keuangan dan menjaga nilai uang kita atau kalau bisa menumbuhkannya. Tapi tidak mengajari bagaimana memahami lebih jauh spectacle yang merupakan tuntutan kebudayaan. Seorang yang biasa bergaul ketika
pulang kerja di cafe-cafe dan meminum minuman yang harganya 40 kali lebih mahal dari seharusnya, jika tidak mengikuti acara minum-minum maka dia akan tersisih secara sosial dan diisolir kemampuannya berbudaya dimana komunitas nongkrong di kafe merupakan bagian dari
budaya urban. Saat ini profesional yang berusia 25-29 tahun katakanlah memiliki gaji 15-25 juta sebulan, namun di akhir bulan uang yang tersisa hanyalah sekitar 600 ribu, atau malah hutang.
Banyak profesional sekarang setiap bulan harus membacai lembar- lembar kartu kredit, karena Bank-Bank sebagai komprador Kapitalis itu melemparkan candu-nya berupa utang lalu dengan pesona-pesona spectacle mereka menggunakan titik-titik tipuannya seakan-akan utang itu adalah bagian dari asset mereka, bagian dari penghasilan mereka dan kemudian oleh nilai-nilai fantastik yang dijual di mall-mall mewah para korban spectacle kartu kredit menggadaikan nilai masa depan penghasilan mereka untuk mendapatkan barang-barang yang tidak dibutuhkan bahkan tidak punya nilai guna sama sekali naluri-lah yang membuat mereka membeli barang itu. Melek Finansial hanya tahu bagaimana aliran uang berjalan, rasio-rasio antara utang dan asset, pertumbuhan nilai uang dan pemanfaatan dari pertumbuhan tersebut. Dari semuanya melek Finansial adalah cara terbaik bagaimana menciptakan egoisme.

Melek Kapital adalah tahap lebih lanjut dari Melek Finansial. Melek Kapital ini biasanya sangat dekat dengan budaya dan merupakan pemenang dari pertarungan dunia kapital saat ini. Di kebudayaan Indonesia kelompok yang sudah menyadari melek Kapital adalah keturunan Cina, Kelompok yang sudah terpengaruh kapital barat (ningrat-ningrat pribumi yang paham bagaimana modal bekerja dan menguasai kemanusiaan) dan kaum pedagang yang sudah tau susahnya bagaimana memutar uang. Dulu engkong-engkong Cina yang ngerti gimana caranya ngumpulin modal selalu nyaranin buat cucu-cucunya "kalo lu belum kaya, lu jangan makan nasi...makan bubur" beda dengan priyayi Jawa "dadi wong aja nganti nduwe ati saudagar, ora ilok" (jadi orang jangan punya hati saudagar tidak baik). Jadilah peranakan Cina mengakumulasi modalnya sedemikian rupa apalagi yang sudah mendapatkan keuntungan dari siklus politik. Namun sekarang melek kapital bukan hanya milik peranakan Cina thok tapi juga milik pribumi seperti : anak turun Ahmad Bakrie atau keluarga Kalla, yang dapat prestise politiknya, dapat pula gengsi modalnya, perkara kasus Lapindo belum beres, thoh dengan kekuatan spectacle dia bisa buat Universitas Bakrie untuk melambungkan popularitas wajah humanisme-nya (termasuk Bakrie Award) dengan langkah awalnya memberikan beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu, tapi cuek pada anak- anak yang tidur di los-los pasar gara-gara lumpur sialan itu. Itulah kekuatan modal membentuk spectacle.

Orang yang melek Kapital biasanya tidak memperdulikan spectacle bagi dirinya, dia hanya peduli bagaimana Kapital ini bisa tumbuh secara ajaib. Misalnya bagaimana bisa membeli saham-saham kinclong model BUMI atau TMPI yang naiknya ribuan persen cuman dalam waktu kurang dari 1 tahun. Orang seperti ini mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan mempertaruhkan dananya dengan lambungan luar biasa. Ia tidak mau menjadi analis portofolio yang pengecut - (yang bisanya hanya bicara sok ilmiah dengan model-model keuangan yang rumit tapi tingkat pengembalian portofolio investasinya sama ibu-ibu yang doyan nongkrong di Gallery Sekuritas aja kalah) -, Ia anti Diversifikasi jargon "Don't put all your eggs in one basket" adalah kata-kata pendosa dimata penumpuk Kapital, Ia lebih memilih konsentrasi modal untuk itu dengan nalurinya ia bisa memilih instrumen investasi yang tepat. Kemudian memegang kendali dunia. Orang jenis ini adalah Peter Lynch, Mario Gabbeli atau George Soros. Soros sendiri punya uang trilyunan tapi lebih memilih naik trem daripada naek taksi, karena ia tahu lebih praktis naek trem listrik ketimbang naek taksi di Budapest. Beda dengan orang-orang yang sok kaya di Sudirman, biar utangnya bejibun dia tidak mau naik busway tapi lebih memilih naik taksi atau mobil pribadi untuk jarak kurang dari satu kilometer. Karena ia tidak membutuhkan nilai praktisnya tapi lebih pada nilai spectacle-nya. Atau naik bus bersimbah keringat tapi limaratus meter dari kantornya dia naik taksi supaya dibukakan pintu oleh satpam. Disinilah Spectacle mendapat lambungan nilai tukar alias harga. Orang yang melek Kapital adalah orang yang paham bagaimana memperbudak kemanusiaan untuk kepentingan lambungan nilai tukar Kapitalnya.

Melek sosial, orang yang paham melek sosial ini juga paham bagaimana rangkaian modal bekerja dan membelenggu masyarakat. Mereka tidak lagi bermain di tataran keshalihan sosial hanya untuk spectacle, tapi mencari akarnya kenapa masyarakat menjadi manusia terbelenggu yang jauh dari kemanusiaannya? . Ada yang menemukan akarnya itu dari sistem Kapitalis, ia membedah sistem kapitalistik sampai pada tingkatan atomistik lalu eureka! Mereka menemukan intinya. Orang jenis ini adalah Hatta, M. Yunus dan Hernando De Soto.

Hatta dengan landasan Marxian menyatakan bahwa untuk menghindari adanya kesulitan akses bagi borjuis-borjuis menengah-kecil maka dibentuklah koperasi sebagai kapal penyelamat dari bisnis yang dijalankan para borjuis itu. M. Yunus lebih dalam lagi daripada Hatta, ia membalikkan alur gerak kapitalis dari mencari modal menjadi mendapat modal. Menurut Yunus konsep alur kapitalis konvensional merugikan bagi orang yang tidak berpunya maka untuk menyelamatkan kehidupan manusia ia memberikan modal dan memancing kaum tak berpunya itu menjalankan bisnisnya. Kalau Hernando De Soto, ditengah-tengah antara Hatta dan M. Yunus. Bagi De Soto yang layak diberi modal adalah pengusaha kecil yang sudah berjalan layak tapi tidak memiliki akses modal untuk memperbesar usaha, disinilah perlunya legalisasi kemajuan usaha sebagai jaminan kemajuan bisnis. Ketiga-tiganya berusaha mengenalkan prinsip Kapitalisme kepada akar rumput.

Melek Sosial bagi penolak apapun yang berbau Kapital adalah Karl Marx sampai orang-orang Post Marxism. Intinya mereka menolak segala bentuk transformasi nilai tukar yang kemudian memperbudak kemanusiaan, kerja bukan lagi dimaknai sebagai bentuk praksis tapi ditipu oleh kaum kapitalis sebagai bentuk fantastik yang pada gilirannya membelenggu kemanusiaan. Dan kaum sosialis anti Kapital menolak bentuk penipuan seperti itu.

Bagaimanapun konsep-konsep ekonomi datang dan pergi sejarah masyarakat terus bergerak....

yang nulis: anton_djakarta

Kamis, 06 September 2007

Memelihara Kesempatan

Seekor burung Canada memutuskan bahwa terlalu repotlah kalau ia harus terbang jauh-jauh ke selatan menghadapi musim dingin. Katanya kepada diri sendiri,

"Aku yakin bisa menghadapi musim dingin. Toh banyak hewan lain yang juga menghadapinya. Tidak mungkin seburuk itu."

Maka sementara semua burung lainnya berbondong-bondong terbang menuju Amerika selatan yang hangat,ia tetap tinggal menantikan musim dingin. Menjelang akhir november, ia sudah menyesal.Tidak pernah ia merasa kedinginan seperti itu, dan ia tidak berhasil menemukan makanan. Akhirnya ia sadar bahwa kalau ia tidak pergi dari sana, ia tidak akan tahan. Maka ia pun mulai terbang sendirian ke arah selatan.

Setelah berapa lama, turunlah hujan. Dan tahu-tahu, air hujannya membeku pada sayap-sayapnya. Ia pun sadar bahwa ia tidak mungkin terbang lebih lama lagi. Ia tahu ia akan segera mati, maka ia pun meluncur turun dan mendarat di dekat sebuah kandang hewan.

Sementara ia tergeletak, lewatlah seekor sapi, melangkahinya dan membuang hajat persis di atasnya. Ia benar-benar jijik.

"Ya ampun", katanya dalam hati, "kedinginan setengah mati. Sudah mau mati aku. Eh...Begini lagi! Benar-benar cara mati yang menyedihkan" gumamnya lirih penuh kepedihan

Maka sang burung pun menahan napasnya dan bersiap-siap mati. Tetapi setelah beberapa saat kemudian, ia temukan telah terjadi perubahan; Tubuhnya justru mulai hangat. Es pada sayap-sayapnya mulai meleleh. Otot- ototnya tidak lagi membeku. Darahnya kembali mengalir. Ia sadar bahwa ia ternyata tidak akan mati. Ia demikian kegirangan sehingga ia mulai bernyanyi.

Saat yang bersamaan seokor kucing tua yang sedang berbaring di tumpukan jerami di kandang itu, mendengarnya bernyanyi. Ia sungguh tidak mengangkanya; sudah berbulan-bulan ia tidak mendengarkan suara burung, maka ia pun berkata dalam hati,

"Apakah itu burung ? Kukira mereka semua telah terbang ke selatan."

Ia pun ke luar dari kandang,dan ternyata benar, dilihatnya seekor burung. Maka ia pun menghampirinya, mengeluarkannya dari kotoran sapi itu, membersihkannya -- Lalu memakannya.

---------------
Tidak semua orang yang "mengotori" Anda adalah musuh.
Saat ia mengotori anda, terkadang merupakan saat memperbaiki diri.
Kesempatan lebih berguna dengan memelihara mulut
Dan tidak semua orang yang membersihkan kotoran itu adalah teman.
---------------
Kiriman: felix thioris

Jangan ajak Supir taksi Ngobrol..Berbahaya!!

Dalam sebuah taksi:
Setelah berjalan sekian lama tanpa percakapan,penumpan g menepuk pundak supir taksi untuk menanyakan sesuatu.

Reaksinya sungguh tak terduga.

Supir taksi begitu terkejutnya sampai tak sengaja menginjak gas lebih dalam dan hampir saja menabrak mobil lain. Akhirnya ia bisa menguasai kemudian menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

"Tolong, jangan sekali-kali melakukan itu lagi!" kata supir taksi dengan wajah pucat dan menahan marah.

"Maaf, saya tidak bermaksud mengejutkan. Saya tidak mengira kalau menyentuh pundak saja bisa begitu mengejutkan Bapak."

"Persoalannya begini, ini hari pertama saya jadi supir taksi. Bapak juga merupakan penumpang pertama."

"Ohh begitu? Terus kok bisa kaget begitu?"

"Sebelumnya saya adalah supir mobil jenasah", jelas si supir.

Kiriman: Satrio Arismunandar

Selasa, 04 September 2007

Tes Urine...

Entah kenapa, Darto, selalu merasa tidak bersemangat setiap kali harus melakukan pemeriksaan kesehatan padahal ia tahu betul manfaatnya. Bagian yang sangat tidak menyenangkan baginya justru bukan saat pengambilan sampel darah dimana ujung jari tangannya harus ditusuk jarum namun justru saat tes urine(air seni/kencing) dimana Ia harus memaksa dirinya buang air kecil padahal ia sedang tidak ingin atau tidak bisa

Hari itu, Darto terpaksa untuk meingikuti jadwal pemeriksaan kesehatannya..Ia masuk kedalam satu ruangan..dan seorang suster telah menunggu disana..

Melihat suster itu, Darto langsung terpana, "Ahhhh, Seksi sekali suster itu!!...andai saja pacarku secantik dia..", gumamnya.

Suster itu mempersilahkan Darto duduk lalu berkata dengan suara yang sangat renyah bahwa ia bertugas untuk melakukan pengambilan sample darah dan urine..

Darto kemudian bertanya apakah bisa tidak dilakukan tes urine untuknya..ia berargumentasi panjang lebar mulai dari ia baru buang air kecil, hari sudah sore sampai dengan jadwal rapat setengah jam lagi...ah, pokoknya banyak sekali alasan Darto untuk menghindari test urine tersebut..

Suster cantik itu mendengarkan dengan sabar sambil tersenyum kemudian bertanya," Umur bapak berapa?"

Darto mejnawab," September besok usia saya....29 tahun, Suster"

Kemudian suster cantik itu membalik-balikan catatan kesehatan Darto untuk beberapa saat lamanya kemudian berkata,

"Baiklah pak Darto, sampel urine saya ambil dan kita lakukan tes pemeriksaan darah saja"

"Wah, suster.....terima kasih", Darto menjawab peneuh dengan kelegaan..

Darto, kemudian memberikan tangannya, jari telunjuk tangan kanannya ditusuk jarum dan diambil sampel darahnya. Namun karena terkejut oleh tusukan jarum, Darto terkejut dan menyenggol pinggiran meja..semua kapas dan perban berjatuhan dilantai..namun itu belumlah selesai....robekan tusukan jarum itu berdarah dan tidak kunjung berhenti..

"Waduh, bagaimana ini Suster...", teriak Darto ketakutan

Suster cantik itu kebingungan sejenak karena tidak menemukan tisue atau perban yang steril kemudian ia berinisiatif dengan memasukan jari tangan Darto yang terluka itu kedalam mulutnya selama beberapa saat sampai akhirnya luka itu tidak mengucurkan darah lagi...

Baik suster dan Pak Darto merasa lega atas kejadian itu...kemudian pak darto memandang suster itu lewat matanya dan berkata,

"Suster...tindakan suster tadi....sungguh...sungguh hebat, saya merasa sangat berterima kasih....dan...mmmhhh..bagaimana kalau suster lanjutkan dengan tes urine???"

Senin, 03 September 2007

Surat nikah Pengantin Baru

Sepasang suami istri baru, terus-terusan bertengkar selama beberapa waktu.

Setelah hati dan kepala mulai dingin, si istri menghampiri suaminya yang sedang melihat-lihat surat kawin mereka,

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

Mendengar istrinya tersebut, si suami mencoba menyembunyikan dokumen yang ada di tangannya dan berkata,

"Aku tidak melakukan apa-apa."

Namun si istri yang telah melihat dokumen itu, sangat kecewa mendengarkan jawaban suaminya dan menjawab dengan nada jengkel,

"Tidak melakukan apa-apa?! Aku melihatmu membaca surat kawin kita. Mengapa kamu berbohong! Kamu sudah mengamati surat kawin itu, dari atas sampai bawah, dibolak-balik lagi! Lalu untuk apa kamu lakukan itu?"

Merasa kesal, si suami berkata,

"Baiklah jika kamu benar-benar ingin tahu! Dari tadi….aku sedang kebingungan mencari di mana tanggal kadaluarsa surat kawin ini!”


Dikirim: jimmy.okberto@suzuki.co.id
Sunting:Wirajhana

Sabtu, 01 September 2007

Muhammad dan Kaum Cerdik Pandai Kristen

Kepribadian dan pengetahuan Muhammad dibentuk oleh lingkungannya. Leluhurnya dikenal menaati prosedur dan ajaran kenabian. Salah satu lingkungannya adalah kaum cerdik pandai Kristen.

Jauh sebelum kenabian Muhammad telah ada anasir-anasir kenabian dan ketauhidan (monoteisme) yang merujuk pada peran dua komunitas teologis di Mekkah, yang warganya dikenal sebagai penyembah berhala. Yang pertama ialah pengikut al-hanîfiyah yang mendaku sebagai ahli waris ajaran Ibrahim. Abdul Muthalib yang adalah kakek Muhammad dan ketua Bani Hasyim merupakan tokoh terpenting dalam aliran ini. Tercatat pula nama Zaid bin Amru, paman Umar bin Khathab, yang memiliki syair-syair kepasrahan. Salah satu baitnya, aslamtu wajhi liman uslimat, lahu al-ardlu tahmilu shakhran tsiqâla, ’aku pasrahkan diriku pada Dia, seperti kepasrahan bumi yang membawa batu karang yang berat’.

Yang kedua adalah komunitas Ahli Kitab. Ini sebutan bagi pemeluk agama Yahudi dan Kristen. Orang Kristen di kalangan Islam disebut sebagai Nasrani yang dinisbatkan pada al-Nâshirah atau Nazaret, asal Isa al-Masih. Namun, bagi orang Kristen mayoritas, Nasrani di Jazirah Arab adalah sebuah sekte. Berbeda dengan bangsa Arab yang mandul dari kenabian, bangsa Yahudi subur dengan kenabian. Dua komunitas itu punya satu misi. Sama-sama memusuhi kaum pagan. Pada masa itu mereka tersebar luas di Jazirah Arab. Orang Yahudi bermukim di Yastrib (Madinah), orang Kristen menunjukkan pengaruhnya di Mekkah.

Menurut Al-Ya’qubî dalam Tarîkh: orang Quraisy yang memeluk Kristen dari Bani Asad antara lain adalah Utsman bin al-Huwairits dan Waraqah bin Naufal. Khadijah yang istri Muhammad berasal dari bani ini. Informasi yang lebih menarik datang dari Muhammad bin Abdillah al-Azraqi dalam Akhbâr Makkah (Kabar-kabar Mekkah), tentang gambar dan arca Isa (Yesus) bersama ibunya, Maryam (Maria), di Kabah. Ketika berhasil menaklukkan Mekkah dari pemeluk pagan, Muhammad membersihkan Kabah dari segala perupaan, kecuali Isa dan Maryam. Arca tersebut baru hancur bersama puing-puing Kabah akibat perang di era Yazid bin Muawiyah.

Mengakui

Alquran (al-Ma’idah: 82) menegaskan kedekatan orang Kristen dengan Muhammad yang berbeda dari orang Yahudi dan kaum pagan Mekkah yang bersikap memusuhi. Orang Kristen mencintai Muhammad dan pengikutnya "karena di antara mereka ada pendeta-pendeta (qissîsîn) dan rahib-rahib (ruhbân) dan mereka tidak menyombongkan diri". Maksudnya, mereka mengakui kenabian Muhammad, tetapi tidak mengikutinya.

Yang terkenal adalah Waraqah bin Naufal, kakak sepupu Khadijah. Dia memberi kesaksian terhadap wahyu pertama yang diterima Muhammad dan disebut dalam riwayat al-Bukhari hadis nomor tiga sebagai "seorang yang memeluk Kristen pada zaman Jahiliah, menulis kitab dalam Ibrani, dan mampu menyalin dari Injil Ibrani".

Kependetaan Waraqah ditegaskan Muhammad dalam Sîrah (biografi Muhammad) karya Ibn Ishaq (1999: 203): "Sungguh aku telah melihat Pendeta (Waraqah) berada di surga dengan memakai pakaian dari sutra." Dalam versi riwayat lain hadis tadi adalah respons ketika nasib Waraqah di akhirat dipertanyakan karena tetap setia memeluk Kristen sampai akhir hayatnya meski ia menyaksikan kenabian Muhammad.

Para penyair Kristen dan al-hanîfiyah melantunkan syair-syair keagamaan mereka di pasar-pasar Mekkah, khususnya di Ukadz. Alquran (al-Furqan: 7) menyebut kebiasaan Muhammad menjelajahi pasar-pasar bukan bertujuan berbelanja, melainkan menyimak dan mengamati seluruh kegiatan pasar yang berfungsi pula sebagai "festival kebudayaan".

Dua jilid karya Luis Syaikhu, Târîkh al-Nashrâniyah wa Adâbuhâ Bayna ’Arab al-Jâhiliyah (Sejarah dan Sastra Arab Kristen di Era Arab Jahiliah) terbitan Dar al-Masyriq, Lebanon, tahun 1989, menjelaskan peran nyata kaum cerdik pandai Kristen terhadap kebudayaan Arab. Syaikhu menyebut peran Umayyah bin Abdillah bin Abi Shalat, penyair Kristen era Jahiliah yang memiliki syair-syair keagamaan. Syair-syair Umayyah telah mengenalkan nama-nama lain Allah yang disebut al-asmâ’ al-husnâ (nama-nama terbaik). Demikian juga nama malaikat Jibril, Izrail, dan Israfil; tingkatan surga dan neraka; tujuh lapis langit dan bumi; asal-usul penciptaan alam; kisah Adam-Hawa dan dua anaknya; air bah Nuh; Yunus (Yunan) yang ditelan dan bisa hidup di perut ikan; serta kisah-kisah para nabi lainnya hingga kisah Ashabul Kahfi yang masyhur di kalangan orang suci Kristen sebagai les Sept Dormants (Tujuh Orang yang Tertidur) yang merujuk pada masa pertengahan abad ke-3 Masehi.

Demikian pula dua kawasan yang menjadi tujuan utama kafilah niaga Kabilah Quraisy: Yaman dan Syam. Keduanya merupakan pusat kekristenan. Yaman dikuasai oleh dinasti Kristen Habsyah (Etiopia) yang mengikuti aliran monofisit-koptik, sedangkan Syam diperintah oleh dinasti Ghassan yang mengikuti aliran monofisit-yakobis. Muhammad telah mengunjungi dua kawasan itu ketika masih remaja bersama kafilah pamannya, dan saat jadi buruh niaga Khadijah. Pusat kekristenan lain di al-Hira diperintah oleh dinasti Kristen Lakhm yang mengikuti aliran monofisit-nestorian.

Khadijah

Khadijah menurut informasi sejarah adalah istri Muhammad yang berasal dari keluarga Kristen di Mekkah (Bani Asad). Sumber sejarah Islam tak ada yang secara tegas menyebut agama Khadijah sebelum Islam. Namun, ada fakta menarik mengenai keteguhan Muhammad tetap setia monogami dan tidak menikah lagi, kecuali setelah Khadijah wafat. Monogami dan perceraian atas dasar kematian adalah tradisi kekristenan kuno yang berbeda dari tradisi poligami bangsa Arab.

Khadijah berjuluk al-Thâhirah (Perempuan Suci). Ini simbol teologis. Perempuan terhormat biasanya cukup disebut al-Syarîfah atau al-Karîmah. Perempuan suci dalam Kristen disebut santa. Diakah Santa Khadijah? Julukannya yang lain Sayyidah Nisâ’ Quraisy (Puan dari Seluruh Perempuan Quraish) yang memperlihatkan Khadijah sebagai "perempuan suci dan pilihan".

Gelar dan pengakuan terhadap Khadijah ini bisa disamakan dengan pengakuan Alquran terhadap Santa Maria, Bunda Yesus, dalam Surat Ali Imran Ayat 42 yang menyatakannya sebagai "perempuan pilihan dan suci".

Khadijah bisa dibilang "ibu" Muhammad karena perbedaan umur mereka yang terpaut 25 tahun. Dalam Ansâb al-Asyrâf (Nasab-nasab Orang Mulia) karya al-Baradzari, Muhammad menikah pada usia hampir 21 tahun—merujuk pula pada kebiasaan pemuda Arab waktu itu yang menikah pada umur 20 tahun—sedangkan Khadijah berusia 46 tahun. Menurut Bint Syathi’, penulis buku Nisâ’ al-Nabî (Istri-istri Nabi), peran Khadijah sebagai istri sekaligus ibu bagi Muhammad tak hanya bersumber dari perbedaan usia, tetapi juga tersebab Muhammad anak yatim piatu yang kehilangan kasih sayang ibunya.

Bagi Khalil Abdul Karim, penulis Fatrah Takwîn fi Hayâti al-Shâdiq al-Amîn (Periode Kreatif dalam Kehidupan Muhammad) terbitan Dar Mishr al-Mahrusah, Cairo, tahun 2004, Khadijah adalah "arsitek" kenabian yang dibantu oleh "komunitas inteligensia Kristen". Mereka adalah Waraqah bin Naufal dan adiknya, Qatilah, seorang rahibah, serta saudara sepupu mereka, Ustman bin al-Huwairits, yang mengikuti aliran Kekristenan Bizantium (Melkitis) hingga diangkat menjadi kardinal. Khadijah memiliki dua budak Kristen: Nashih yang jauh- jauh hari meminta tuannya menikah dengan Muhammad, dan Maisarah yang bertugas mengamati Muhammad dalam perniagaan ke Syam. Selain dengan anggota keluarganya, Khadijah juga membangun korespondensi dengan beberapa pendeta: Adas di Taif, Buhaira di Bushra, Syam, dan Sirgius di Mekkah. Buku Khalil tadi merujuk pada sumber-sumber primer Sîrah Muhammad yang jarang disentuh, seperti Sîrah Ibn Ishaq, Ibn Sayyidi al-Nas, al-Halabiyah, al-Syamiyah, Târîkh al-Thabari, dan al-Ya’qubi.

Khadijah dan timnya telah mengamati Muhammad sejak lama. Dalam Sirah Ibn Katsir diriwayatkan Khadijah sudah dikabari oleh Nashih, budaknya, dan Pendeta Buhaira di Syam untuk menikah dengan Muhammad. Dikisahkan juga bahwa Qatilah telah menawarkan diri kepada Abdullah, ayah Muhammad, untuk dijadikan istri karena Abdullah memiliki "cahaya kenabian". Buhaira telah melihat Muhammad dua kali sebelum penetapan kenabian. Informasi ini menunjukkan bahwa komunitas itu mengamati keluarga Muhammad secara saksama.

Khadijah mengangkat Muhammad sebagai buruhnya saat berusia 18 tahun agar bisa mengamatinya dari dekat. Sebelum menikah, Muhammad telah melakukan dua perjalanan niaga Khadijah ke Habsyah dan ke Syam. Niaga ke Habsyah hampir tidak disebut dalam versi umum biografi Muhammad, tetapi kisah itu dituturkan oleh sejarawan klasik, seperti al-Thabari, al-Suhayli, dan al-Maqrizi.

Sementara dalam perniagaan ke Syam, Khadijah perlu menyertakan seorang hambanya bernama Maisarah yang kenal baik dengan Pendeta Buhaira untuk mengamati gerak-gerik Muhammad, khususnya pertemuannya dengan Buhaira.

Setelah yakin bahwa Muhammad adalah sosok tepat dari beberapa pertimbangan (keluarganya yang menjalankan prosedur kenabian, nasihat-nasihat anggota komunitasnya, serta pengamatannya secara langsung), barulah Khadijah melamar Muhammad tak hanya sebagai suami, tetapi lebih itu dari sebab—dalam kata-kata Khadijah sendiri—"aku sangat ingin agar kamu (Muhammad) menjadi nabi bagi umatmu."

Dalam proses pernikahan mereka, tampak kegembiraan Abu Thalib dan antusiasme Waraqah dari pembacaan khotbah nikah mewakili pihak keluarga Khadijah. Sedangkan wali Khadijah—bapaknya, al-Khuwailid atau pamannya, Amru—tidak terlalu antusias dengan pernikahan itu. Bagi mereka, Muhammad tetap dipandang sebagai anak yatim yang berasal dari keluarga miskin. Adapun Khadijah dan Waraqah memiliki tujuan lain dengan pernikahan itu.

Nubuat kenabian

Pernikahan Muhammad yang berasal dari keluarga al-hanîfiyah (Bani Hasyim) dengan Khadijah yang berasal dari keluarga Kristen (Bani Asad) adalah koalisi kelompok ketauhidan melawan kelompok pagan.

Dua komunitas tersebut telah membangun suasana-suasana kenabian. Nubuat kenabian dari jalur Abdul Muthalib telah dikabarkan jauh sebelum Muhammad lahir. Abdul Muthalib dengan sadar telah mempraktikkan kembali semacam prosedur-prosedur kenabian. Posisinya seperti Ibrahim yang memusuhi berhala dan menyembelih anaknya sebagai kurban bagi Allah. Abdul Muthalib telah menyerukan ajaran Ibrahim itu dan bernazar menyembelih putranya, Abdullah, ayah Muhammad.

Masa pernikahan hingga pewahyuan yang terentang kira-kira 20 tahun—Muhammad menerima wahyu berumur 40 tahun—adalah "tahun-tahun yang hilang" dari kehidupan Muhammad yang disebut oleh Khalil Abdul Karim sebagai fatrah al-takwîn (periode kreatif). Muhammad adalah seorang ummî (buta huruf), maka di masa-masa itulah Khadijah, Waraqah, dan kaum cerdik pandai Kristen memiliki andil dalam menyiapkan proses kenabian Muhammad. Di siang hari Muhammad menjelajahi pasar-pasar di Mekkah yang membuatnya mengetahui segala kisah dan perkembangan masyarakatnya. Di malam hari Muhammad akan menghabiskan waktu berbincang-bincang dengan Khadijah.

Adalah hal biasa bila Waraqah sering berkunjung untuk menceritakan hal-hal yang ia ketahui dari kitab-kitab yang ia salin. Kita bisa membayangkan betapa marak aktivitas-aktivitas dalam rumah Khadijah yang dipenuhi kaum intelektual yang memiliki ambisi kenabian itu.

Khadijah bersama Waraqah telah membimbing Muhammad menelusuri tangga-tangga spiritualitas hingga mencapai puncak kenabian. Perkembangan Muhammad diamati secara saksama oleh Khadijah, baik dengan mengantarnya ke Gua Hira untuk menyendiri—tradisi yang telah dilaksanakan pengikut al-hanîfiyah termasuk kakeknya, Abdul Muthalib—maupun ketika Muhammad mulai didatangi "suara- suara" yang mengaku sebagai utusan Tuhan. Khadijah-lah yang menguji kualitas "suara" itu apakah berasal dari malaikat atau setan. Menurut Sîrah al- Halabiyah, dalam menguji suara itu Khadijah di bawah bimbingan Waraqah, yang pakar masalah kenabian dan pewahyuan.

Tak hanya itu. Ketika Muhammad memperoleh wahyu pertama, Khadijah yang memiliki inisiatif mendatangi anggota kaum cerdik pandai itu satu per satu, dimulai dari Waraqah dan Sirgius di Mekkah, Adas di Thaif, hingga Buhaira di Syam. Tujuannya tak hanya meminta konfirmasi tentang kebenaran pewahyuan itu, tetapi juga mengumumkan bahwa seorang nabi telah datang.

Jadi, kita bisa melihat bahwa Muhammad bukanlah nabi yang datang dari dunia antah berantah. Kepribadian dan pengetahuannya telah dibentuk oleh lingkungannya. Leluhurnya dikenal menaati prosedur dan ajaran kenabian. Khadijah bersama komunitas memiliki pengaruh yang tak bisa disanggah. Kenabian dan pewahyuan itu adalah hasil dari eksperimentasi kolektif setelah melalui proses kreatif yang sangat panjang.

MOHAMAD GUNTUR ROMLI Aktivis Jaringan Islam Liberal
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/01/Bentara/3800195.htm


Jumat, 31 Agustus 2007

Tuhan Selalu Mengabulkan Permintaan Dengan Caranya..


Seorang lelaki berdoa: “Oh Tuhan ... ijinkanlah aku untuk mendengar-Mu”

Tiba-tiba guntur mengggelegar namun ia tak mendengarnya dan terus khusuk berdoa.

“Oh Tuhan ... ijinkanlah aku untuk melihat-Mu” demikian ia berdoa kembali.

Sekuntum mawarpun mekar tepat di hadapannya, saking khusuknya ia berdoa sampai tertunduk dan iapun tidak melihatnya.

“Oh Tuhan ... ijinkanlah aku untuk menyentuh-Mu”; doanya kian memelas sembari mengibas seekor kupu-kupu cantik yang hinggap di lengannya.


Diterjemahkan oleh Gung Dé dari Spiritual Jokes (Buddhist and Theosophist)
*********************************************
Kalau Anda bisa mengerti, Anda bisa memaklumi.
Kalau Anda bisa memaklumi, Anda bisa bersabar.

~anonymous 211106 -05.
*********************************************
http://groups.yahoo.com/group/BeCeKa/message/2899
from: NGestOE RAHardjo
Sunting: Wirajhana