Kamis, 23 Agustus 2007

Bab 3

PIKIRAN [citta vagga]


(1) Kisah Meghiya Thera
(2) Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu

(3) Kisah Seorang Bhikkhu yang Tidak Puas

(4) Kisah Samgharakkhita Thera

(5) Kisah Cittahattha Thera

(6) Kisah Lima Ratus Bhikkhu

(7) Kisah Putigattatissa Thera

(8) Kisah Nanda, Seorang Pengawas

(9) Kisah Soreyya

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 33 dan 34

(1) Kisah Meghiya Thera

Pada suatu waktu Meghiya Thera menghadap Sang Buddha dan tinggal beberapa waktu di sana. Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah menerima dana makanan, Meghiya Thera tertarik pada suatu hutan mangga yang menyenangkan dan indah.

"Hutan ini demikian indah dan tenang, cocok untuk tempat berlatih meditasi," demikian pikirnya. Setibanya di Vihara, ia segera menghadap Sang Buddha dan meminta ijin agar diperbolehkan segera pergi ke sana.

Mulanya, Sang Buddha meminta dia agar menundanya untuk beberapa waktu, karena dengan hanya menyenangi tempat saja tidak akan menolong memajukan meditasi.

Tetapi Meghiya Thera ingin segera pergi, lalu ia mengulangi dan mengulangi lagi permohonannya. Akhirnya Sang Buddha mengatakan agar melakukan apa yang dia inginkan.

Segera Meghiya Thera pergi ke hutan mangga, duduk di bawah pohon dan berlatih meditasi. Tetapi pikirannya berkeliaran terus, tanpa tujuan, dan sukar berkonsentrasi.

Sore harinya, dia kembali dan melapor kepada Sang Buddha mengapa sepanjang waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat dan pikiran kejam (kama vitakka, byapada vitakka, dan vihimsa vitakka).

Atas pertanyaan itu Sang Buddha kemudian membabarkan syair 33 dan 34 berikut ini :

Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap; pikiran susah dikendalikan dan dikuasai. Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.

Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke atas tanah, pikiran itu selalu menggelepar. Karena itu cengkeraman dari Mara harus ditaklukkan.

Meghiya Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 35

(2) Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu

Suatu ketika, enam puluh bhikkhu, setelah mendapatkan cara bermeditasi dari Sang Buddha, pergi ke desa Matika, di kaki sebuah gunung. Di sana, Matikamata, ibu dari kepala desa, memberikan dana makanan kepada para bhikkhu; Matikamata juga mendirikan sebuah vihara untuk para bhikkhu bertempat tinggal selama musim hujan.

Suatu hari Matikamata bertanya kepada para bhikkhu perihal cara-cara bermeditasi. Bhikkhu-bhikkhu itu mengajarkan kepadanya bagaimana cara bermeditasi dengan tiga puluh dua unsur bagian tubuh untuk menyadari kerapuhan dan kehancuran tubuh. Matikamata melaksanakannya dengan rajin dan mencapai tiga magga dan phala bersamaan dengan pandangan terang analitis dan kemampuan batin luar biasa, sebelum para bhikkhu itu mencapainya.

Dengan munculnya berkah magga dan phala ia dapat melihat dengan mata batin (dibbacakkhu). Ia mengetahui para bhikkhu itu belum mencapai magga. Ia juga tahu bahwa bhikkhu-bhikkhu itu mempunyai cukup potensi untuk mencapai arahat, tetapi mereka memerlukan makanan yang cukup dan penuh gizi, karena tubuh yang lemah akan mempengaruhi pikiran untuk berkonsentrasi.

Maka, Matikamata menyediakan makanan pilihan untuk mereka. Dengan makan makanan yang sesuai dan pengendalian yang benar, para bhikkhu dapat mengembangkan konsentrasinya dengan benar dan akhirnya mencapai arahat.

Akhir musim hujan, para bhikkhu kembali ke vihara Jetavana, tempat bersemayam Sang Buddha. Mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa mereka semua dalam keadaan kesehatan yang baik dan menyenangkan, mereka sudah tidak khawatir perihal makanan. Mereka juga menceritakan Matikamata mengetahui pikiran mereka dan menyediakan serta memberi mereka banyak makanan yang sesuai.

Seorang bhikkhu, yang mendengar pembicaraan mereka tentang Matikamata, memutuskan untuk melakukan hal yang sama pergi ke desa itu. Setelah memperoleh cara-cara meditasi dari Sang Buddha ia tiba di vihara desa. Di sana, ia menemukan bahwa segala yang diharapkannya sudah dikirim oleh Matikamata, umat yang dermawan.

Ketika bhikkhu itu mengharap Matikamata datang, ia datang ke vihara, dengan pilihan banyak makanan. Sesudah makan, bhikkhu itu bertanya kepada Matikamata apakah ia bisa membaca pikiran orang lain. Matikamata mengelak dengan pertanyaan balasan, "Orang yang dapat membaca pikiran orang lain berkelakuan semakin jauh dari ‘Sang Jalan’."

Dengan terkejut bhikkhu itu berpikir, "Mungkinkah saya, berkelakuan seperti perumah tangga yang terikat pikiran tidak suci, dan ia sungguh-sungguh mengetahuinya ?" Bhikkhu itu khawatir terhadap umat dermawan tersebut dan memutuskan kembali ke Vihara Jetavana.

Ia menyampaikan kepada Sang Buddha bahwa ia tidak dapat tinggal di desa Matika karena ia khawatir bahwa umat dermawan yang setia itu mungkin melihat ketidak-sucian pikirannya.

Sang Buddha kemudian berkata kepada bhikkhu itu untuk memperhatikan hanya pada satu hal, yaitu mengawasi pikiran. Beliau juga berkata kepada bhikkhu itu untuk kembali ke vihara desa Matika, tidak memikirkan sesuatu yang lain, tetapi hanya pada obyek meditasinya.

Bhikkhu tersebut kembali ke desa Matika. Umat dermawan itu tetap memberikan dana makanan yang baik kepadanya seperti yang dilakukannya kepada para bhikkhu lain, dan bhikkhu itu melaksanakan meditasi dengan tanpa rasa khawatir lagi. Dalam jangka waktu yang pendek, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat.

Berkenaan dengan bhikkhu itu, Sang Buddha membabarkan syair 35 berikut ini :

Sukar dikendalikan pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya. Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa kebahagiaan.

Para bhikkhu yang berkumpul pada saat itu mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 36

(3) Kisah Seorang Bhikkhu yang Tidak Puas

Ada seorang pemuda anak seorang bankir bertanya kepada seorang bhikkhu yang menghampiri rumahnya untuk berpindapatta, apakah yang harus dilakukan untuk membebaskan diri dari penderitaan dalam kehidupan saat ini.

Bhikkhu itu menyarankan untuk memisahkan tanahnya dalam tiga bagian. Satu bagian untuk mata pencahariannya, satu bagian untuk menyokong keluarga, dan satu bagian lagi untuk berdana.

Ia melakukan semua petunjuk itu, kemudian pemuda itu menanyakan lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Disarankan lebih lanjut; pertama, berlindung kepada Tiratana dan melaksanakan lima sila; kedua, melaksanakan sepuluh sila; dan ketiga, meninggalkan kehidupan keduniawian dan memasuki Pasamuan Sangha. Pemuda itu menyanggupi semua saran dan ia menjadi seorang bhikkhu.

Sebagai seorang bhikkhu, ia mendapat pelajaran Abhidhamma dari seorang guru dan vinaya oleh guru lainnya. Selama mendapat pelajaran ia merasa bahwa Dhamma itu terlalu berat untuk dipelajari, dan peraturan vinaya terlalu keras dan terlalu banyak, sehingga tidak banyak kebebasan, bahkan untuk mengulurkan tangan sekalipun.

Bhikkhu itu berpikir bahwa mungkin lebih baik untuk kembali pada kehidupan berumah tangga. Karena alasan ragu-ragu dan tidak puas, ia menjadi tidak bahagia dan menyia-nyiakan kewajibannya. Dia juga menjadi kurus dan kering.

Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui masalahnya, Beliau berkata, "Jika kamu hanya mengawasi pikiranmu, kamu tidak akan mempunyai apa-apa lagi yang akan diawasi; jadi jagalah pikiranmu sendiri."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 36 berikut :

Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus; pikiran bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.

Bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 37

(4) Kisah Samgharakkhita Thera

Suatu hari, tinggallah di Savatthi, seorang bhikkhu senior yang bernama Samgharakkhita. Ketika kakak perempuannya melahirkan anak laki-laki, ia memberi nama anaknya Samgharakkhita Bhagineyya. Keponakan Samgharakkhita, pada waktu itu, juga memasuki pasamuan Sangha.

Ketika bhikkhu muda tinggal di suatu vihara desa, ia diberi dua buah jubah, dan ia bermaksud memberikan satu jubah kepada pamannya, Samgharakkhita Thera. Akhir masa vassa, bhikkhu muda itu pergi ke pamannya untuk memberi hormat kepadanya dan memberikan jubah. Tetapi pamannya menolak untuk menerima jubah itu, dan berkata bahwa ia sudah mempunyai cukup. Walaupun bhikkhu muda mengulangi lagi permintaannya, pamannya tetap tidak mau. Bhikkhu muda itu merasa sakit hati dan berpikir bahwa sejak saat itu pamannya tidak sudi untuk berbagi kebutuhan dengannya. Akan lebih baik baginya untuk meninggalkan pasamuan Sangha dan hidup sebagai seorang perumah tangga.

Dari masalah itu, pikirannya mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Ia berpikir bahwa setelah meninggalkan pasamuan Sangha, ia akan menjual jubahnya dan membeli seekor kambing betina. Kambing betina itu akan segera melahirkan anak. Anak-anak kambing dijual dan segera ia akan mempunyai uang cukup untuk menikah. Isterinya akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia akan membawa isteri dan anaknya dengan sebuah kereta kecil untuk mengunjungi pamannya di vihara. Dalam perjalanan, ia akan berkata bahwa ia akan menggendong anaknya. Tetapi isterinya berkata kepadanya agar ia mengendarai kereta saja dan jangan mengurusi anak. Ia bersikeras dan merebut anak dari isterinya. Sewaktu terjadi perebutan, anak itu terjatuh dan terlindas roda kereta. Dengan marah ia memukul isterinya dengan cemeti.

Pada saat itu ia membelakangi pamannya dengan memegang kipas daun palem dan ia dengan tidak sengaja memukul kepala pamannya dengan kipasnya. Samgharakkhita tua mengetahui pikiran bhikkhu muda itu dan berkata, "Kamu tidak sanggup menghajar isterimu; mengapa kamu menghajar seorang bhikkhu tua ?" Samgharakkhita muda sangat terkejut dan malu atas kata-kata bhikkhu tua itu. Ia juga menjadi sangat ketakutan dan kemudian melarikan diri. Bhikkhu-bhikkhu muda lainnya dan penjaga vihara mengejarnya dan akhirnya membawanya ke hadapan Sang Buddha.

Ketika membicarakan seluruh kisah bhikkhu muda itu, Sang Buddha berkata bahwa pikiran memiliki kemampuan untuk berpikir pada suatu obyek yang berkepanjangan, dan seseorang seharusnya berusaha keras untuk bebas dari belenggu nafsu keinginan, kebencian, dan kegelapan batin.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 37 berikut ini :

Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati. Mereka yang dapat mengendalikannya, akan bebas dari jeratan Mara.

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 38 dan 39

(5) Kisah Cittahattha Thera

Seorang laki-laki yang berasal dari Savatti, ketika mengetahui lembu jantannya hilang, mencarinya ke dalam hutan. Yang dicari tidak juga diketemukan. Akhirnya ia merasa lelah dan sangat lapar. Ia singgah ke sebuah vihara desa, dengan harapan di situ ia akan mendapatkan sisa dari makanan pagi.

Pada saat makan, terpikir olehnya bahwa ia bekerja sangat keras setiap hari tetapi tidak mendapatkan cukup makanan. Para bhikkhu itu kelihatannya tak pernah bekerja, tetapi selalu mendapat makanan yang cukup. Bahkan berlebih. Maka muncul sebuah ide yang baik untuk menjadi seorang bhikkhu.

Kemudian ia bertanya kepada para bhikkhu untuk memperoleh izin memasuki pasamuan Sangha. Saat di vihara laki-laki itu melakukan tugas-tugasnya sebagai seorang bhikkhu dan di vihara terdapat banyak makanan, sehingga ia segera menjadi gemuk.

Sesudah beberapa waktu, ia bosan berpindapatta dan kembali pada kehidupan berumah tangga.

Beberapa waktu kemudian, ia merasa bahwa kehidupannya di rumah terlalu sibuk dan ia kembali ke vihara untuk diizinkan menjadi seorang bhikkhu untuk kedua kalinya.

Untuk kedua kalinya, ia meninggalkan pasamuan Sangha dan kembali menjadi perumah tangga.

Lagi, ia pergi ke vihara untuk ketiga kalinya dan kemudian lepas jubah lagi.

Proses ini terjadi enam kali, dan karena ia melakukan hanya menuruti kemauannya saja, maka ia dikenal sebagai Citahattha Thera.

Pada saat pulang balik antara rumahnya dan vihara, isterinya hamil. Sebenarnya ia belum siap menjadi bhikkhu, ia memasuki pasamuan bhikkhu hanya karena kesenangannya saja. Jadi, ia tidak pernah berbahagia, baik sebagai perumah tangga, maupun sebagai seorang bhikkhu.

Suatu hari, saat hari terakhir tinggal di rumah, ia masuk ke kamar tidur pada saat isterinya sedang tidur. Isterinya hampir telanjang, memakai pakaian yang sebagian terjulai jatuh. Isterinya juga mengorok dengan suara keras melalui hidung dan dari mulutnya keluar lendir dan ludah. Jadi dengan mulut yang terbuka dan perut yang gembung, ia terlihat hanya seperti mayat. Melihat keadaan isterinya, ia tiba-tiba merasa ketidakkekalan dan ketidakindahan tubuh jasmani, dan ia membayangkan: "Saya telah menjadi seorang bhikkhu beberapa kali dan hal ini hanya dikarenakan perempuan ini, yang menjadikan saya tidak dapat menjadi seorang bhikkhu……"

Kemudian ia mengambil jubah kuningnya, dan pergi meninggalkan rumahnya pergi ke vihara untuk ke tujuh kalinya. Karena ia dalam perjalanan mengulangi kata-kata "tidak kekal" dan "penderitaan" (anicca dan dukkha) dan dapat meresapi artinya, ia mencapai tingkat kesucian sotapatti dalam perjalanan ke vihara.

Setelah tiba di vihara ia berkata kepada para bhikkhu agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha. Para bhikkhu menolak dan berkata, "Kami tidak dapat mengizinkanmu lagi menjadi seorang bhikkhu. Kamu berulangkali mencukur rambut kepalamu sehingga kepalamu seperti sebuah batu yang diasah."

Masih ia memohon dengan amat sangat agar diizinkan diterima dalam pasamuan Sangha sekali ini dan mereka memenuhinya. Dalam beberapa hari bhikkhu Cittahattha mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis.

Bhikkhu lain kagum melihat dia sekarang dapat tetap tinggal dalam jangka waktu lama di vihara. Mereka bertanya apa sebabnya ? Terhadap hal itu, beliau menjawab, "Saya pulang ke rumah ketika saya masih memiliki kemelekatan dalam diri saya, tetapi kemelekatan itu sekarang telah terpotong."

Bhikkhu-bhikkhu yang tidak percaya kepadanya, menghadap Sang Buddha dan melaporkan hal itu. Kepada mereka, Sang Buddha berkata,"Bhikkhu Cittahattha telah berbicara benar; ia berpindah-pindah antara rumah dan vihara karena waktu itu pikirannya tidak mantap dan tidak mengerti Dhamma. Tetapi pada saat ini, Cittahattha telah menjadi seorang arahat; ia telah mengatasi kebaikan dan kejahatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 38 dan 39 berikut ini:

Orang yang pikirannya tidak teguh, yang tidak mengenal ajaran yang benar, yang keyakinannya selalu goyah, orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.

Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah mengatasi keadaan baik dan buruk, di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.

Syair 40

(6) Kisah Lima Ratus Bhikkhu

Lima ratus bhikkhu yang berasal dari Savatthi, setelah memperoleh cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, mengadakan perjalanan sejauh seratus yojana dari Savatthi dan tiba pada sebuah hutan yang besar, suatu tempat yang cocok untuk melaksanakan meditasi. Banyak makhluk halus yang berdiam pada pohon-pohon di hutan tempat para bhikkhu tinggal, para makhluk halus itu merasa tidak sesuai berdiam di pohon bersama-sama mereka.

Para makhluk halus itu kemudian turun dari pohon dan berpikir, "Ah, para bhikkhu itu hanya bermeditasi untuk satu malam saja. Biarlah aku mengalah dan menyingkir dari pohon." Tetapi, sampai dini hari para bhikkhu itu belum pergi juga.

"Celaka, jangan-jangan para bhikkhu itu akan tinggal di sini sampai akhir masa vassa. Maka aku dan keluargaku terpaksa harus tinggal di tanah dalam waktu yang lama." Pikir makhluk-makhluk halus itu lagi. Mereka segera berunding dan memutuskan untuk menakut-nakuti para bhikkhu tersebut pada malam harinya, dengan membuat suara-suara dan hal-hal aneh yang menakutkan. Mereka memperlihatkan tubuh tanpa kepala, kepala tanpa tubuh, kerangka-kerangka yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya.

Bhikkhu-bhikkhu sangat terganggu dengan tingkah laku mereka dan akhirnya meninggalkan tempat itu, kembali menghadap Sang Buddha, serta menceritakan segala yang terjadi.

Setelah mendengarkan laporan mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu terjadi karena mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Mereka harus kembali ke hutan itu dengan membawa sesuatu yang sesuai (cinta kasih). Kemudian Sang Buddha mengajarkan ‘Metta Sutta’ (Sutta Pengembangan Cinta Kasih) kepada mereka, diawali dengan syair berikut :

Karaniyamattha kusalena
Yanta santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suhuju ca
Hal-hal inilah yang perlu dilakukan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan dan bermanfaat mencapai ketenangan sempurna (Nibbana).
Ia harus tepat guna, jujur, sungguh jujur, rendah hati, lemah lembut, tiada sombong, dst.

Bhikkhu-bhikkhu diharapkan untuk mengulang kembali sutta itu pada saat mereka tiba di pinggir hutan dan berada di vihara.

Para bhikkhu pergi kembali ke hutan dan melakukan pesan Sang Buddha. Makhluk halus penunggu pohon mendapat pancaran cinta kasih dari bhikkhu-bhikkhu.

Mengetahui bahwa para bhikkhu sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka, para makhluk halus membalas dengan menyambut selamat datang dan tidak mengganggu lagi. Di hutan itu tidak ada lagi suara-suara dan penglihatan-penglihatan yang aneh. Dalam suasana damai bhikkhu-bhikkhu bermeditasi dengan obyek tubuh jasmani, dan mereka memperoleh perealisasian bahwa tubuh ini rapuh dan tidak kekal keberadaannya.

Dari Vihara Jetavana, Sang Buddha, dengan kekuatan batinnya, mengetahui kemajuan batin bhikkhu-bhikkhu itu dan mengirimkan cahaya agar membuat mereka merasakan kehadiran Beliau.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seperti apa yang kalian telah realisasikan, tubuh ini sungguh-sungguh tidak kekal dan rapuh seperti sebuah tempayan tanah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 40 berikut :

Dengan mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan. Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya, dan hidup tanpa ikatan lagi.

Lima ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 41

(7) Kisah Putigattatissa Thera

Sesudah mendapatkan cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, Tissa Thera rajin melaksanakan meditasi dalam keadaan menderita suatu penyakit. Bisul-bisul kecil nampak di seluruh tubuh dan bisul itu berkembang menjadi luka yang besar. Ketika luka ini pecah, jubah atas dan bawahnya menjadi lengket, dicemari nanah dan darah, seluruh tubuhnya berbau busuk. Karena hal itu, beliau dikenal dengan sebutan Putigattatissa, Tissa yang tubuhnya berbau.

Pada saat Sang Buddha memandang alam semesta dengan penglihatan batin sempurna, Tissa Thera nampak dalam penglihatannya. Beliau melihat kesedihan Tissa Thera, yang telah ditinggal sendirian oleh murid-muridnya karena tubuhnya berbau. Dalam waktu yang sama, Sang Buddha mengetahui bahwa Tissa dapat segera mencapai tingkat kesucian arahat.

Sang Buddha mengeluarkan pancaran api di dekat tempat tinggal Tissa. Di tempat itu, Sang Buddha mendidihkan air, kemudian Beliau datang ke tempat Tissa berbaring, memegang tepi dipan.

Hal ini membuat murid-murid Tissa Thera berkumpul mengelilingi gurunya. Sesuai petunjuk Sang Buddha, mereka mengangkat Tissa Thera mendekati tempat pancaran api. Di tempat tersebut Tissa Thera dibasuh dan dimandikan. Ketika ia masih dimandikan, jubah atas dan bawahnya dicuci dan dikeringkan. Sesudah mandi, tubuh dan pikiran Tissa Thera menjadi segar. Segera batinnya berkembang mencapai satu titik konsentrasi.

Berdiri pada kepala dipan, Sang Buddha berkata kepadanya bahwa dalam tubuh ini tidak ada inti seperti sebatang kayu yang terbujur di atas tanah.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 41 berikut:

Aduh, tak lama lagi tubuh ini akan terbujur di atas tanah, dibiarkan saja, tanpa kesadaran, bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna.

Tissa Thera mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pencapaian pandangan terang analitis setelah khotbah Dhamma itu berakhir, kemudian beliau meninggal dunia. Sang Buddha kemudian menyuruh murid-murid Tissa Thera untuk segera mengkremasikan tubuh gurunya.

Atas pertanyaan mengapa Tissa tubuhnya berbau, Sang Buddha menerangkan bahwa Tissa, pada salah satu kehidupannya yang lampau adalah penangkap unggas yang kejam. Setelah tertangkap, tulang kaki dan tulang sayap burung itu selalu dipatahkannya, agar tak bisa melarikan diri. Akibat perbuatan kejamnya itu, Tissa terlahir kembali dengan tubuh berbau.

Syair 42

(8) Kisah Nanda, Seorang Pengawas

Nanda adalah seorang pengawas yang bertugas mengurus sapi-sapi milik Anathapindika. Meskipun ia hanya seorang pengawas, tetapi ia telah bertindak seperti pemiliknya.

Pada kesempatan-kesempatan tertentu, ia pergi ke rumah Anathapindika dan di sana ia kadang-kadang bertemu Sang Buddha dan mendengarkan khotbah-Nya. Nanda memohon Sang Buddha untuk berkunjung ke rumahnya. Tetapi Sang Buddha menolaknya dengan alasan bahwa saatnya belum tepat.

Setelah beberapa waktu, ketika mengadakan perjalanan dengan pengikutNya, Sang Buddha akhirnya pergi mengunjungi Nanda. Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi Nanda untuk mendapatkan ajaran sebagaimana mestinya.

Nanda dengan hormat menerima Sang Buddha dan para pengikutNya. Ia menjamu para tamu dengan susu, produk susu, dan pilihan menu makanan lainnya selama tujuh hari. Pada hari terakhir, setelah mendengarkan khotbah yang diberikan Sang Buddha, Nanda mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kemudian Sang Buddha mohon diri pada hari itu. Nanda membawakan mangkuk Sang Buddha, mengikuti Sang Buddha sampai dengan jarak tertentu, lalu menghormat Sang Buddha dan pulang kembali ke rumah.

Pada saat itu, seorang pemburu yang merupakan musuh lama Nanda, memanahnya. Bhikkhu-bhikkhu, yang mengikuti Sang Buddha, melihat Nanda mati terjatuh. Mereka melaporkan hal itu kepada Sang Buddha: "Bhante, karena kedatangan Bhante, Nanda yang telah memberikan banyak persembahan dan menyertai Bhante pulang telah dibunuh pada saat ia pulang kembali ke rumahnya."

Kepada mereka Sang Buddha menjelaskan,"Para bhikkhu, apakah saya datang kemari atau tidak, ia tidak dapat melarikan diri dari kematian, akibat dari kamma lampaunya. Seperti halnya pikiran yang diarahkan secara keliru akan menjadikan seseorang jauh lebih berat terluka daripada luka yang dibuat oleh musuh ataupun pencuri. Pikiran yang diarahkan secara benar, adalah satu-satunya jaminan bagi seseorang untuk menjauhkan diri dari bahaya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 42 berikut :

Luka dan kesakitan macam apapun dapat dibuat oleh orang yang saling bermusuhan atau saling membenci. Namun pikiran yang diarahkan secara salah akan melukai seseorang jauh lebih berat.

Syair 43

(9) Kisah Soreyya

Suatu hari Soreyya beserta seorang teman dan beberapa pembantu pergi dengan sebuah kereta yang mewah untuk membersihkan diri (mandi). Pada saat itu, Mahakaccayana Thera sedang mengatur jubahnya di pinggir luar kota, karena ia akan memasuki kota Soreyya untuk berpindapatta. Pemuda Soreyya, melihat sinar keemasan dari Mahakaccayana Thera, berpikir: "Bagaimana apabila Mahakaccayana Thera menjadi isteriku, atau bagaimana apabila warna kulit isteriku seperti itu." Karena muncul keinginan seperti itu, kelaminnya berubah menjadi seorang wanita.

Dengan sangat malu, ia turun dari kereta dan berlari, pada jalan menuju ke arah Taxila. Pembantunya kehilangan dia, mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya.

Soreyya, sekarang seorang wanita, memberikan cincinnya sebagai ongkos kepada beberapa orang yang bepergian ke Taxila, dengan harapan agar ia diizinkan ikut dalam kereta mereka. Setelah tiba di Taxila, teman-teman Soreyya berkata kepada seorang pemuda kaya di Taxila tentang perempuan yang datang bersama mereka. Pemuda kaya itu melihat Soreyya yang begitu cantik dan seumur dengannya, menikahi Soreyya.

Perkawinan itu membuahkan dua anak laki-laki; dan ada juga dua anak laki-laki dari perkawinan Soreyya pada waktu masih sebagai pria.

Suatu hari, seorang anak orang kaya dari kota Soreyya datang di Taxila dengan lima ratus kereta. Perempuan Soreyya mengenalinya sebagai seseorang yang telah diutus oleh teman lamanya. Laki-laki dari kota Soreyya itu merasa senang bahwa ia diundang oleh seorang perempuan yang tidak dikenalnya. Ia berbicara dengan Soreyya bahwa ia tidak mengenalnya, dan bertanya kepada Soreyya apakah Soreyya mengetahui dirinya. Soreyya menjawab bahwa ia tahu tentang dirinya dan menanyakan kesehatan keluarganya dan beberapa orang-orang di kota Soreyya. Laki-laki dari kota Soreyya berbicara tentang anak orang kaya yang hilang secara misterius ketika pergi ke luar kota untuk mandi. Soreyya mengungkapkan identitas dirinya dan menghubungkan semua apa yang telah terjadi, tentang pikiran salahnya kepada Mahakaccayana Thera, tentang perubahan kelamin, dan perkawinannya dengan orang kaya di Taxila.

Laki-laki dari kota Soreyya menasehatinya untuk meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera diundang ke rumah perempuan Soreyya dan menerima dana makanan darinya. Sesudah bersantap, perempuan Soreyya dibawa menghadap Mahakaccayana Thera, dan laki-laki dari kota Soreyya berbicara kepada Mahakaccayana Thera bahwa perempuan ini pada waktu dulu adalah seorang anak laki-laki orang kaya di kota Soreyya. Ia kemudian menjelaskan kepada Mahakaccayana Thera bagaimana Soreyya menjadi perempuan karena berpikiran jelek pada saat menghormati Mahakaccayana Thera. Perempuan Soreyya dengan hormat meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera berkata,"Bangunlah, saya memaafkanmu." Segera setelah kata-kata itu diucapkan, perempuan tersebut berubah kelamin menjadi seorang laki-laki. Soreyya kemudian merenungkan bagaimana dengan satu keberadaan diri dan dengan satu keberadaan tubuh jasmani ia telah berubah kelamin, bagaimana anak-anak telah dilahirkannya. Merasa sangat cemas dan jijik terhadap segala hal itu, ia memutuskan untuk meninggalkan hidup berumahtangga dan memasuki Pasamuan Sangha di bawah bimbingan Mahakaccayana Thera.

Sesudah itu ia sering ditanya,"Siapa yang kamu cintai, dua anak laki-laki pada saat ia sebagai seorang laki-laki atau dua anak lain pada saat ia sebagai seorang isteri ?" Terhadap hal itu ia menjawab bahwa cinta kepada mereka yang dilahirkan dari rahimnya adalah lebih besar. Pertanyaan ini sering kali muncul, ia merasa sangat terganggu dan malu. Kemudian ia menyendiri dan dengan rajin, merenungkan penghancuran dan proses tubuh jasmani.

Tidak terlalu lama kemudian, ia mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis. Ketika pertanyaan lama ditanyakan kepadanya, ia menjawab bahwa ia telah tidak mempunyai lagi kesayangan pada sesuatu yang khusus. Bhikkhu-bhikkhu lain yang mendengarnya berpikir bahwa ia pasti berkata tidak benar.

Pada saat dilapori dua jawaban berbeda Soreyya itu, Sang Buddha berkata, "Anak-Ku berkata benar, ia telah berbicara benar. Jawabannya sekarang lain karena ia sekarang telah mencapai tingkat kesucian arahat sehingga ia tidak lagi menyayangi sesuatu yang khusus. Dengan pikiran terarah benar anak-Ku telah membuat dirinya berada pada suatu kehidupan baik, yang bukan diberikan oleh ayah maupun ibu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 43 berikut :

Bukan dengan pertolongan ibu, ayah, ataupun sanak keluarga; namun pikiran yang diarahkan dengan baik yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang.

Banyak bhikkhu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb3.htm


Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada

Menunggangi Keledai

Suatu ketika seorang laki-laki beserta anaknya membawa seekor keledai ke pasar. Di tengah jalan, beberapa orang melihat mereka dan menyengir,

"Lihatlah orang-orang dungu itu. Mengapa mereka tidak naik ke atas keledai itu?"

Laki-laki itu mendengar perkataan tersebut. Ia lalu meminta anaknya naik ke atas keledai. Seorang perempuan tua melihat mereka,

"Sudah terbalik dunia ini! Sungguh anak tak tahu diri! Ia tenang-tenang di atas keledai sedangkan ayahnya yang tua dibiarkanberjalan."

Kali ini anak itu turun dari punggung keledai dan ayahnya yang naik. Beberapa saat kemudian mereka berpapasan dengan seorang gadis muda.

"Mengapa kalian berdua tidak menaiki keledai itu bersama-sama?"

Mereka menuruti nasehat gadis muda itu. Tidak lama kemudian sekelompok orang lewat.

"Binatang malang...., ia menanggung beban dua orang gemuk tak berguna. Kadang-kadang orang memang bisa sangat kejam!"

Sampai di sini, ayah dan anak itu sudah muak. Mereka memutuskan untuk memanggul keledai itu. Melihat kejadian itu, orang-orang tertawa terpingkal-pingkal,

"Lihat, manusia keledai memanggul keledai!" sorak mereka.

Jika anda berusaha menyenangkan semua orang, bisa jadi anda tak akan dapat menyenangkan siapa pun.

-Anonim-

Pengalaman Seram Seorang Photografer

Karena asik memotret sunset dan mengeksplorasi wilayah yang baru pertama kali dia kunjungi, seorang travel photografer baru menyadari bahwa dia sudah tersesat dan ditinggal oleh rombongannya.

Tanpa disangka-sangka, hujan badai turun! Spontan fotografer merasa sangat sial!!!... sudah tertinggal oleh rombongan, tersesat, gelap dan hujan lebat pula... Tapi akhirnya timbul harapan... setelah di ujung jalan dia melihat lampu mobil perlahan-lahan mendekat.

Tidak mau kehilangan kesempatan, dia melambaikan tangannya untuk meminta tumpangan. Ketika mobil tersebut mendekat, tanpa mau membuang waktu menunggu mobil berhenti..sang fotografer langsung naik ke mobil, duduk. Setelah duduk ia kemudian menjadi kaget dan berkeringat dingin!!!.

bahwa mobil yang berjalan pelan tersebut ternyata tidak ada yang mengemudikan!!!!!

Namun diluar hujan lebat sekali dengan petir yang sambung-menyambung sehingga fotografer tersebut memilih tetap bertahan di dalam mobil...ia pun tidak putusnya berdoa mohon keselamatan selama perjalanan itu.

Satu hal yang ia sadari dengan baik bahwa mobil tersebut berjalan sangat pelan...namun pasti... dan walaupun tanpa orang yang menyetir...mobil tersebut selalu dapat mengelak bencana.

Ketika mobil sepertinya akan menabrak pohon atau jatuh ke jurang....tiba-tiba sebuah tangan muncul dari arah jendela pengemudi lalu mengendalikan setir agar mobil tidak menabrak atau jatuh. Hal tersebut terjadi berulang-ulang kalinya.

Akhirnya, mobil tersebut mencapai daerah hunian penduduk dan bergerak mendekati sebuah warung kopi. Melihat hal itu, fotografer tersebut segera membuka pintu dan karena yakin mobil tersebut tidak akan pernah berhenti berjalan...maka ia buru2 loncat turun. Sesampainya di warung kopi, ia memesan secangkir kopi...ia minum perlahan dengan gemetar...karena ketakutan dan kemudian menangis terisak-isak.

Kejadian itu menarik perhatian pemilik warung dan para pengunjung diwarung tersebut dan dengan simpatik mereka mencoba menenangkan Fotografer tersebut serta menanyakan apa yang ia alami. Fotografer tersebut dengan terisak-isak dan gemetar menceritakan kejadian seram yang baru saja dia alami. Karena kelelahan dan menahan rasa takut yang teramat sangat..maka tidak berapa lama kemudian fotografer tersebut pingsan.

Mendadak, dua orang berpakaian kotor dan basah kuyup masuk ke dalam warung kopi dan melihat sang fotografer yang sedang pingsan. Spontan salah satu dari mereka berkata,

"Itu dia Orangnya!!!!!"

"Itu Si kampret bangsat yang numpang di mobil kita yang lagi kita dorong!!!!"

Kiriman dari: Lulu Syarifudin
http://groups.yahoo.com/group/87s-sman8bdg/message/1564
-----------------------------------------------------------------------------------------
Senang dan Susah, Surga dan Seraka, Tuhan dan Hantu semua ada karena pikiran

Cara Menghidari/Mencegah Flu Burung!

Tips Menghindari/Mencegah Flu Burung:

1. Jangan memain-mainkan Burung
2. Jangan memasukan Burung kedalam Mulut
3. Pastikan dan masukan burung kedalam sangkarnya

Kecanggihan Teknologi Informasi

Tiga orang pria sedang duduk diruangan sauna, Seorang Amerika, Jepang dan saudara kita orang Indonesia……

Keheningan didalam ruangan sauna dipecahkan oleh bunyi, ..bip,...bip, ....bip.. .... Orang Amerika membuka telapak tangan kirinya, dan membaca tulisan yang tertulis ditelapak tangannya itu. Dua rekan se "sauna"nya dengan kagum melihat tulisan yang muncul ditelapak tangan orang Amerika tersebut.

Oh, telapak tangan saya telah ditanamkan chips, saya dapat langsung menerima pesan SMS tanpa alat , tertulis ditelapak tangan saya,...ujar si Amerika.

Sesaat kemudian terdengar dering telepon, orang Jepang mengangkat tangan kanannya, jempol didekatkan ke telinga sedangkan jari kelingking kebibirnya, Oh maaf, saya terima telepon dulu, tangan saya sudah berisi chips, saya dapat menerima dan berbicara melalui 2 jari saya tanpa menggunakan HP kata si Jepang.

Melihat semua itu, sahabat kita dari Indonesia mulai gugup, Apa yang bisa saya tunjukkan untuk mengalahkan orang orang ini? pikirnya. Karena stress, keinginannya untuk buang air besar tidak tertahankan lagi.

Usai buang air, dia kembali lagi ke ruang sauna, tetapi karena tidak biasa membasuh bokongnya dengan kertas toilet, seuntai kertas toilet masih berjuntai di belahan bokongnya.

Dengan keheranan dan jijik orang Jepang dan orang Amerika menunjuk ke untaian kertas "sisa" tsb dan berkata: Kertas apa itu yang tergantung dibokong anda...?

Oh maaf, saya baru terima Fax..!

From : Lulu Syarifudin

Out Of The Box!

Kutu anjing adalah binatang yang mampu melompat 300 kali tinggi tubuhnya. Namun, apa yang terjadi bila ia dimasukan ke dalam sebuah kotak korek api kosong lalu dibiarkan disana selama satu hingga dua minggu? Hasilnya, kutu itu sekarang hanya mampu melompat setinggi kotak korek api saja!

Kemampuannya melompat 300 kali tinggi tubuhnya tiba-tiba hilang.

Ini yang terjadi. Ketika kutu itu berada di dalam kotak korek api ia mencoba melompat tinggi. Tapi ia terbentur dinding kotak korek api. Ia mencoba lagi dan terbentur lagi. Terus begitu sehingga ia mulai ragu akan kemampuannya sendiri.

Ia mulai berpikir, "Sepertinya kemampuan saya melompat memang hanya segini." Kemudian loncatannya disesuaikan dengan tinggi kotak korek api. Aman. Dia tidak membentur. Saat itulah dia menjadi sangat yakin, "Nah benar kan? Kemampuan saya memang cuma segini. Inilah saya!"

Ketika kutu itu sudah dikeluarkan dari kotak korek api, dia masih terus merasa bahwa batas kemampuan lompatnya hanya setinggi kotak korek api. Sang kutu pun hidup seperti itu hingga akhir hayat. Kemampuan yang sesungguhnya tidak tampak. Kehidupannya telah dibatasi oleh lingkungannya.

Sesungguhnya di dalam diri kita juga banyak kotak korek api. Misalnya anda memiliki atasan yang tidak memiliki kepemimpinan memadai. Dia tipe orang yang selalu takut tersaingi bawahannya, sehingga dia sengaja menghambat perkembangan karir kita. Ketika anda mencoba melompat tinggi, dia tidak pernah memuji, bahkan justru tersinggung. Dia adalah contoh kotak korek api yang bisa mengkerdilkan anda.

Teman kerja juga bisa jadi kotak korek api. Coba ingat, ketika dia bicara begini, "Ngapain sih kamu kerja keras seperti itu, kamu nggak bakalan dipromosikan, kok."

Ingat! Mereka adalah kotak korek api. Mereka bisa menghambat perkembangan potensi diri Anda.

Korek api juga bisa berbentuk kondisi tubuh yang kurang sempurna, tingkat pendidikan yang rendah, kemiskinan, usia dan lain sebagianya. Bila semua itu menjadi kotak korek api maka akan menghambat prestasi dan kemampuan anda yang sesungguhnya tidak tercermin dalam aktivitas sehari-hari. Bila potensi anda yang sesungguhnya ingin muncul, anda harus take action untuk menembus kotak korek api itu. Lihatlah Ucok Baba, dengan tinggi tubuh yang di bawah rata-rata ia mampu menjadi presenter di televisi. Andapun pasti kenal Helen Keller. Dengan mata yang buta, tuli dan "gagu" dia mampu lulus dari Harvard University. Bill Gates tidak menyelesaikan pendidikan sarjananya, namun mampu menjadi "raja" komputer. Andre Wongso, tidak menamatkan sekolah dasar namun mampu menjadi motivator nomor satu di Indonesia.

Contoh lain Meneg BUMN, Bapak Sugiharto, yang pernah menjadi seorang pengasong, tukang parkir dan kuli di Pelabuhan. Kemiskinan tidak menghambatnya untuk terus maju. Bahkan sebelum menjadi menteri beliau pernah menjadi eksekutif di salah satu perusahaan ternama.

Begitu pula dengan Nelson Mandela. Ia menjadi presiden Afrika Selatan setelah usianya lewat 65 tahun.

Kolonel Sanders sukses membangun jaringan restoran fast food ketika usianya sudah lebih dari 62 tahun.

Nah, bila anda masih terkungkung dengan kotak korek api, pada hakekatnya anda masih terjajah. Orang-orang seperti Ucok Baba, Helen Keller, Andre Wongso, Sugiharto, Bill Gates dan Nelson Mandela adalah orang yang mampu menembus kungkungan kotak korek api. Merekalah contoh sosok orang yang merdeka, sehingga mampu menembus berbagai keterbatasan.

Kiriman: "Ida S"

Skandal seorang Dokter!

Seorang lelaki yang kebetulan seorang dokter muda, merasa sangat tidak enak dengan apa yang telah terjadi. Ia pulang ke rumah dengan wajah suntuk. Setibanya di rumah, ia merebahkan diri di ranjang dan pikirannya kacau.

Lalu ia mendengar suara dalam kepalanya berkata, "Sudahlah, nggak usah terlalu dipikirkan. Skandal dokter berhubungan intim dengan pasiennya terjadi di mana-mana. Jadi kamu nggak usah kuatir."

Lelaki tersebut mencoba untuk setuju, tapi apa yang telah terjadi pagi itu terbayang kembali dan perasaan tidak enak muncul lagi.

Ia membalikkan badan dan mendengar lagi suara dalam kepalanya, "Nggak usah kuatir, orang sudah mulai terbiasa dengan skandal hubungan seksual antara dokter dan pasiennya."
Lelaki itu mulai rileks dan perasaannya berangsur-angsur membaik................

Tiba-tiba dia terbelalak dan terjatuh ketika tiba-tiba suara lain dalam kepalanya berkata, "Tapi masalahnya kamu kan dokter hewan..."

From : Bondet

Salah Persepsi

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama.

Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja.

"Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju.

Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.

Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"

"Hai, Jack." Tanpa senyum.

"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah."

"Oh ya?" Tampaknya Bob agak ragu.

Nah, bagus kalau begitu. "Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."

"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini."

O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.

"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala." ... Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

"Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu."

Dengan ketus Jack menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela.

Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.

Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela.

Tapi, hei apa ini. Ternyata SIM-nya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa?

Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

"Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah.

(Salam, Bob)."

Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.

Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

-----------------------------------------------------------------------

* Jika anda mengirimkan kembali cerita-cerita ini pada orang-orang yg anda kasihi dan pedulikan, tolong kirimkan dengan seutuhnya.

Siapakah ibunya?

Selesai berlibur dari kampung, saya harus kembali ke kota. Mengingat jalan tol yang juga padat, saya menyusuri jalan lama. Terasa mengantuk, saya singgah sebentar di sebuah restoran. Begitu memesan makanan, seorang anak lelaki berusia lebih kurang 12 tahun muncul di depan.

"Abang mau beli kue?" Katanya sambil tersenyum. Tangangnya segera menyelak daun pisang yang menjadi penutup bakul kue jajaannya.

"Tidak dik....abang sudah pesan makanan," jawab saya ringkas. dia berlalu. Begitu pesanan tiba, saya terus menikmatinya. Lebih kurang 20 menit kemudian saya melihat anak tadi menghampiri pelanggan lain, sepasang suami istri sepertinya. Mereka juga menolak, dia berlalu begitu saja.

"Abang sudang makan , tak mau beli kue saya?" katanya tenang ketika menghampiri meja saya.

"Abang baru selesai makan di, masih kenyang nih," kata saya sambil menepuk-nepuk perut. Dia pergi, tapi cuma disekita restoran. Sampai di situ dia meletakkan bakulnya yang masih penuh. Setiap yang lalu ditanya....

"Tak mau beli kue saya bang..pak.kakak atau ibu." Molek budi bahasanya.

Pemilik rstoran itu pun tak melarang dia keluar masuk ke restorannya menemui pelanggan. Sambil memeperhatikan, terbersit rasa kagum dan kasihan di hati saya melihat betapa gigihnya dia berusaha. Tidak nampak keluh kesah atau tanda-tanda putus asa dalam dirinya, sekalipun orang yang ditemuinya enggan membeli kuenya.

Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus pergi ke mobil. Anak itu saya lihat berada agak jauh di deretan kedai yang sama. Saya buka pintu, membetulkan duduk dan menututp pintu. Belum sempat saya menghidupkan mesin, anak tadi berdiri di tepi mobil. Dia menghadiahkan sebuah senyuman. Saya turunkan cermin. Membalas senyumannya.

"Abang sudah kenyang, tapi mungkin abang perlukan kue saya untuk adik-adik abang, ibu atau ayah abang," katanya sopan sekali sambil tersenyum. Sekali lagi dia memamerkan kue dalam bakul dengan menyelak daun pisang penutupnya. Saya tatap wajahnya, berssih dan bersahaja. Terpantul perasaan kasihan di hati. Lantas saya buka dompet, dan mngulurkan selembar uang Rp 20.000,- saya ulurkan padanya.

"Ambil ini dik! Abang sedekah ....tak usah abang beli kue itu." saya berkata ikhlas karena perasaan kasihan meningkat mendadak. Anak itu menerima uang tersebut, lantas mengucapkan terima kasih terus berjalan kembali ke kaki lima deretan kedai. Saya gembira dapat membantunya.

Setelah mesin mobil saya hidupkan. Saya memundurkan. Alangkah terperanjatnya saya melihat anak itu mengulurkan Rp 20.000,- pemberian
saya itu kepada seorang pengemis yang buta kedua-dua matanya. Saya terkejut saya hentikan mobil, memanggil anak itu.

"Kenapa bang mau beli kue kah?" tanyannya.

"Kenapa adik berikan duit abang tadi pada pengemis itu? Duit itu abang berikan adik!" kata saya tanpa menjawab pertanyaannya.

"Bang saya tak bisa ambil duit itu. Emak marah kalau dia tahu saya mengemis. Kata emak kita mesti bekerja mencari nafkah karena Allah. Kalau dia tahu saya bawa duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan masih banyak, mak pasti marah. Kata mak mengemis kerja orang yang tak berupaya, saya masih kuat bang!" katanya begitu lancar. Saya heran sekaligus kagum dengan pegangan hidup anak itu. Tanpa banyak soal saya terus bertanya berapa harga semua kue dalam bakul itu.

"Abang mau beli semua kah?" dia bertanya dan saya cuma mengangguk. Lidah saya kelu mau berkata. "Rp 25.000,- saja bang....." Selepas dia memasukkan satu persatu kuenya ke dalam plastik, saya ulurkan Rp 25.000,-. Dia mengucapkan terima kasih dan terus pergi. Saya perhatikan dia hingga hilang dari pandangan.

Dalam perjalanan, baru saya terfikir untuk bertanya statusnya. Anak yatim kah? Siapakah wanita berhati mulia yang melahirkan dan mendidiknya? Terus terang saya katakan, saya beli kuenya bukan lagi atas dasa kasihan, tetapi rasa kagum dengan sikapnya yang dapat menjadikan kerjanya suatu penghormatan. Sesungguhnya saya kagum dengan sikap anak itu.

Dia menyadarkan saya, siapa kita sebenarnya

kiriman: Abadi Purwadaksina [mailto:abadi@...]

Kamus Nama bagus

Pandai menanam bunga, diberi nama Rosman.
Pandai membaiki mobil, diberi nama Karman.
Pandai main golf, Parman.
Pandai dalam korespondensi, Suratman.
Gagah perkasa, Suparman.
Kuat dalam berjalan, Wakiman.
Berani bertanya, Asman.
Ahli membuat kue, Paiman.
Pandai berdagang, Saliman.
Pandai melukis, Saniman.
Agar jadi orang kaya, Sugiman.
Agar besar nanti padai cari muka, Yasman
Suka begituan, Pakman
Suka makan toge goreng, Togiman
Selalu ketagihan, Tuman
Suka telanjang, Nudiman
Selalu sibuk terus, Bisiman
Biar pinter main game .... Giman
Biar bisa sering cuti .... Sutiman
Biar jadi juragan sate .... Satiman
Biar jadi juragan trasi .... Tarsiman
Biar pinter memecahkan problem .... Sukarman
Biar kalau ujian ndak usah mengulang .... Herman
Biar pinter bikin jus .... Yusman
Biar jadi orang yang berwibawa .... Jaiman
Biar jadi pemain musik .... Basman
Biar awet muda .... Boiman
Biar pinter berperang .... Warman
Biar jadi orang Bali .... Nyoman
Biar jadi orang Sunda .... Maman
Biar lincah seperti monyet .... Hanoman
Biar bisa bikin obat.... Kuman
Biar tetep tinggal di Jogja .... Sleman
Biar jadi tukang sepatu handal .... Soleman
Biar tetep bisa jalan walau ndak pake mesin ….Delman

kiriman:
Yosep Ilham <yosep.ilham@yahoo.com>

Batu Kecil

Seorang pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi, kemudian dia menemukan banyak sekali uang logam dan serpihan emas di tempat itu. Ia kemudian berfikir untuk membagi hal yang berbahagia ini kepada teman kerjanya yang ada di bawahnya.

Pekerja itu berteriak-teriak berulangkali, namun teman tersebut tidak dapat mendengarnya karena suara bising dari mesin-mesin dan orang-orang yang bekerja disekitarnya, oleh karena itu untuk menarik perhatiannya, Pekerja itu melemparkan uang logam tepat di depan temannya. Temannya berhenti bekerja, mengambil uang itu lalu bekerja kembali. Pekerja itu
mencoba lagi, tetapi usahanya yang keduapun memperoleh hasil yang sama.

Lalu pekerja itu mengubah cara, diambilnya batu kecil lalu melemparkannya ke arah temannya, batu itu tepat mengenai kepala temannya, karena merasa sakit, temannya tersebut mengumpat sebentar dan kembali bekerja.

Untuk kedua kalinya pekerja itu melempar batu dan kembali tepat mengenai kepalanya, karena sakit, dicarilah sebab mengapa kepalanya menjadi sasaran lemparan batu kecil, menengadahlah ia ke atas dan terlihatlah pekerja itu melambaikan tangannya dan mengajaknya untuk naik keatas.

Terlalu Sering Tuhan melimpahi kita dengan rahmat, namun terkadang itu tidak cukup untuk membuat kita menengadah kepadaNya, Pada cobaan-cobaan ringan, cepat sekali kita menengadah kepadaNya.

Mungkin karena itu, agar kita selalu mengingat kepadaNya, Tuhan sering menjatuhkan "batu kecil" kepada kita.

Sumber:unknown

Wait, until you see the idiots I put in the

Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan-Nya.

Malaikat pun bertanya, "Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?"

"Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi," kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon.

Tuhan melanjutkan, "Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang".

Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang.

Tuhanpun bersemangat menerangkan banyak daerah hingga kemudian para malaikat menunjuk di sebuah kepulauan sambil berseru, "Lalu daerah apakah itu Tuhan?"

"O, itu," kata Tuhan,---berhenti sejenak--- lalu Tuhan melanjutkan ucapannya, "Itu Indonesia, negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah,suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni."

Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, "Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? "

Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, "Wait, until you see the idiots I put in the government."

From: ELFIRA ROSA

Tentang Jalan Tol....

Peresmian Jalan Tol
Saat peresmian jalan tol layang cililitan - tanjungpriok, Mbak.Tutut mendampingin bokapnya alias Pak.Harto doong ! lah wong do'i sebagai kontraktornya dengan bendera kalo ga salah seh...bernama "PT.Citra Nushapala Persada"

Saat mobil RI-1 masuk pintu tol plumpang, eh...gimana datang dan caranya, tiba-tiba ada nenek-nenek pengemis ngedor-ngedorin pintu mobil RI-1, karuan saja para anggota PASWALPRES, dulu namanya demikian singkatan dari "Pasukan Pengawal Presiden" kalang-kabut ga karuan dibuatnya.

Melihat hal itu entah gimana Pak.Harto hatinya trenyuh, mungkin karena do'i anak n'deso kale ya....? sayangnya dikemudian hari beliau menjadi keblinger, sadis, dll dll dll ....
Singkat cerita Pak.Harto mencegah anggota PASWALPRES mengusir itu pengemis dan secara repleks menengok ke Mbak.Tutut sembari berkata : "Kasi khen Tut....."

Buru-buru Mbak.Tutut merogoh tas tangannya sehingga tanpa dia sadari yang do'i ambil adalah beberapa lembar US $ bernominal 100 $.

Setelah mobil RI-1 berlalu....tinggall lah penjaga pintu tol beserta si pengemis terbengon sembari menggumam : "Gile bener...! Kentutnya aja segini ! Gimana Tokai nya ya ?"

From: Suhaimi warehouse@...


SOEHARTO ANAKNYA SIAPA?
Pada suatu hari Tutut, anaknya Soeharto, lewat di jalan tol di Jakarta.

Penjaga Tol: "3000 rupiah".

Bu Tutut yang emangnya ngak punya uang seribuan mengeluarkan uang 50 ribu
rupiah langsung saja menyodorkan tuch uang.

Penjaga Tol: "Ini Bu, kembaliannya. "

Bu Tutut: "Sudah...simpan saja buat keluarga anda."

Penjaga tol merasa senang karena menerima 47 ribu rupiah dan langsung
berterima kasih kepada Tutut.

Setelah beberapa jam Tommy dateng melewati jalan tol tersebut. Karena mereka tuch anaknya Soeharto, ngak punya uang receh, Tommy mengeluarkan uang 20 ribuan.

Penjaga Tol: "Ini Pak, kembaliannya 17 ribu."

Tommy: "Sudahlah, simpan aja buat sekolah anak anda."

Penjaga langsung memasukan kembalian itu ke kantongnya dan berterima kasih banyak ke Tommy.

Setelah beberapa jam Soeharto dengan mobilnya lewat jalan tol.

Soeharto mengeluarkan uang 5000 rupiah dan disodorkan ke penjaga tol.

Soeharto menunggu uang kembaliannya itu dan setelah menunggu 5 menit, ditanyanya kepada penjaga tol.

Soeharto: "Lho, mana uang kembalian saya ?"

Penjaga Tol: "Ah Bapak, masa uang 2000 rupiah aja dibalikin. Tadi bu Tutut dan pak Tommy lewat kembaliannya 47 ribu dan 17 ribu aja diberikan ke saya, masa Bapak yang 2000 aja minta kembalian?? "

Soeharto: "Tunggu dulu mas !! Anda tau sapa Tutut dan Tommy??"

Penjaga Tol dengan cekatan menjawab: "Yach tahu Pak! Pertanyaan gampang tho, jelas Tutut dan Tommy tuh Anaknya Presiden."

Soeharto: "Pinter kamu, tahu mereka anak Presiden. Nah sedangkan saya kan cuma Anak Petani !! Sekarang, mana kembalian saya??"

Penjaga Tol : "!@$@!$!%!^$@ ^"#$%^&*&!!!!!"

From: Satrio Arismunandar

Memperbaiki Kesalahan Raja Dengan Kelurusan, Tanpa Ego Melayani Rakyat

Oleh Zhi Zhen

(Erabaru.or.id) – Yan Zi adalah Perdana Menteri Negeri Qi semasa Periode Musim Semi dan Gugur dan peperangan antarnegara (tahun 476 – 221 Sebelum Masehi). Membantu raja dan para bangsawan Negeri Qi selama belasan tahun, Yan Zi tidak ragu untuk mengkritik raja secara jujur, serta menjalankan administrasi negara dengan kejujuran, kebenaran dan tidak mementingkan diri. Bebas dari korupsi, ia meninggalkan banyak kisah menyentuh dan penuh inspirasi bagi generasi berikut.

Suatu hari, Raja Jinggong dari Negeri Qi mengadakan jamuan makan dan mengundang banyak kawan dan pejabat-pejabatnya. Sambil minum dengan gembira, ia berkata, “Silakan minum sepuasnya. Jangan memandang tata krama sedemikian penting.”

Yan Zi dengan cepat menjawab, “Tata krama membedakan manusia dari hewan. Sekarang seorang bocah setinggi 5 kaki di Negeri Qi dapat saja lebih kuat dari anda dan saya, tetapi karena tata krama mereka tidak berani mengacau. Hewan menganggap yang terkuat sebagai pemimpin mereka dan yang kuat memangsa yang lemah. Sebagai akibatnya, hewan senantiasa menukar pemimpinnya. Jika para pejabat tidak menghargai tata krama, negara kita tentu akan kacau dan raja dapat diganti. Jika hal tersebut terjadi, bagaimana anda akan menanganinya? Karena itu, rakyat tidak dapat hidup tanpa tata krama dan aturan.”

Mendengar kritikan Yan Zi, Raja Jinggong sangat tidak gembira dan segera membalikkan badan tanpa memperhatikannya lagi. Segera Raja Jinggong harus pergi. Setiap orang kecuali Yan Zi berdiri dan melepas kepergian raja. Ketika Raja Jinggong balik, Yan Zi tidak berdiri maupun menyambutnya. Raja Jinggong meminta setiap orang agar bergembira, tetapi Yan Zi tidak mendengarnya, hanya duduk diam, minum sendirian.

Menyaksikan sikap Yan Zi yang buruk, Raja Jinggong menjadi marah. “Anda bilang betapa pentingnya tata krama dan aturan, tetapi sekarang anda sendiri mengabaikannya!”

Yan Zi segera bangun dari tempat duduk dan membungkuk, “Baginda. Mohon jangan marah. Hamba tidak berani bertindak sembrono. Semua yang saya baru saja lakukan adalah mendemonstrasikan apa akibatnya bila kekurangan tata krama. Jika baginda tidak menganggap penting tata krama, semuanya akan begini.”

Raja Jinggong segera tersadarkan, “Jelas ini kesalahan saya. Silakan duduk, saya akan mendengarkan nasehat anda.”

Sejak itu, Raja Jinggong menyempurnakan tata krama dan mengkonsolidasi aturan-aturan untuk menjalankan pemerintahan di Kerajaan Qi. Seluruh pejabat kerajaan mengikuti tata krama dan rakyat mematuhi peraturan.

Mengetahui Raja Jinggong suka hidup mewah, Yan Zi menggunakan kesederhanaannya sendiri untuk mempengaruhi Raja Jinggong. Sebagai perdana menteri, Yan Zi tinggal di dekat pusat kota di sebuah rumah tua yang ia peroleh dari leluhurnya. Ketika Raja Jinggong mencoba memindahkannya ke sebuah rumah yang lebih besar dan megah, Yan Zi menolak,

“Leluhur saya biasa hidup di sini. Ini saja sudah terlalu besar bagi saya, karena saya tidak memberi kontribusi kepada negara sebesar mereka, tidak pantas jika saya tinggal di sebuah rumah yang lebih megah. Seseorang tidak seharusnya mengejar kemewahan. Disamping itu, di sini cukup menyenangkan untuk berbelanja. Hal ini membuat saya juga memahami kehidupan rakyat sehari-hari.”

Belakangan, ketika Yan Zi sedang berkunjung ke Negeri Jin, Raja Jinggong mengambil kesempatan tersebut untuk memindahkan para tetangga Yan Zi dan mendirikan bangunan megah di tempat yang sama. Saat perjalanan pulang, Yan Zi telah mendengar tentang hal ini, sehingga ia memarkir kereta kudanya di luar kota dan mengirimkan bawahannya untuk memohon Raja Jinggong untuk merubuhkan rumah baru tersebut, membangun kembali rumah-rumah tetangganya, dan meminta mereka untuk pindah kembali. Setelah beberapa kali permohonan, Raja Jinggong akhirnya mengabulkan, kemudian Yan Zi baru kembali ke kota.

Sementara Yan Zi berhasil membangun kemakmuran bagi Negeri Qi, ia sendiri hidup secara sederhana. Suatu hari, sebelum Yan Zi duduk makan siang, seorang pejabat kerajaan datang untuk membicarakan tugas dengannya. Mendengar pejabat tersebut belum makan siang, Yan Zi menawarkan untuk berbagi semangkuk nasi dengannya. Pada akhirnya, pejabat tersebut batal makan, begitu pula Yan Zi. Ketika pejabat tersebut melaporkan hal ini kepada Raja Jinggong, raja merasa sangat heran,

“Saya tidak pernah tahu perdana menteri saya sedemikian miskin. Ini kesalahan saya.”

Segera Raja Jinggong mengirimkan utusan untuk membawakan seribu keping emas dan seribu bal beras ke rumah Yan Zi, yang ditolak Yan Zi. Utusan mencoba tiga kali, tetapi Yan Zi selalu menolaknya dengan sopan.

Akhirnya, Yan Zi pergi berterima kasih kepada Raja Jinggong. Raja menjawab, “Saya tidak tahu anda sedemikian miskin. Sementara kerajaan kita sedemikian makmur, tawaran dan hadiah kecil ini sungguh tidak berarti apa-apa.”

Yan Zi menjawab, “Baginda, terima kasih atas perhatian anda. Sesungguhnya saya tidak memiliki penderitaan apa pun. Dalam pemahaman saya, jika saya menghamburkan hadiah anda, ini adalah perbuatan mengelabui baginda untuk menyenangkan orang lain. Sebagai pejabat yang jujur, saya tidak dapat lakukan hal itu. Jika saya memperoleh begitu banyak hadiah mewah dan hanya menyimpannya untuk diri sendiri, saya bukanlah orang yang bermoral. Lagipula mengapa saya memerlukan sedemikian banyak uang dan benda? Seperti pepatah mengatakan, bawahan mengikuti apa yang atasan lakukan. Anda meminta saya mengawasi para pejabat sehingga saya sendiri harus bebas korupsi demi kerajaan. Dengan demikian saya dapat menjadi panutan bagi para pejabat lainnya. Di samping itu, jika saya mengejar kemewahan, semua pejabat akan mencontoh saya. Bagaimana saya dapat mengarahkan mereka?”

Raja Jinggong menganggukkan kepalanya. Setelah kejadian tersebut, raja hidup secara lebih sederhana.

Raja Jinggong suka hidup bersenang-senang. Suatu hari ia telah minum hingga larut malam di istana. Karena ia tidak ingin berhenti minum, dengan pelayannya ia pergi berkunjung ke rumah Yan Zi untuk minum bersama. Bergegas keluar menyambut raja, Yan Zi bertanya, “Baginda, apakah ada yang mendesak yang membuat anda mengunjungi saya selarut ini?”

“Anggur enak dan kemilau emas. Saya hanya ingin menikmati keindahan malam dengan perdana menteri saya,” jawab raja. Biasanya bila raja datang secara pribadi ke rumah seorang pejabat untuk minum bersama, itu merupakan satu kehormatan besar.

Tetapi Yan Zi malahan tidak bergembira. Ia menjawab dengan serius, “Begitu banyak orang di sekitar baginda yang dapat minum bersama anda. Ini bukanlah tugas saya untuk melakukannya. Saya tidak berani mengikuti perintah anda.”

Raja Jinggong kemudian mengunjungi seorang pejabat favorit lainnya, Tian Rangju. Ketika raja tiba, Tian segera mengenakan seragam perangnya lengkap dengan pedang, menyambut raja. Ia dengan penuh ingin tahu bertanya, “Apakah ada negeri yang menyerang kita? Apakah ada kerusuhan?”

Dengan tersenyum, raja menjawab, “Tidak ada apa-apa.”

Berpura-pura bingung, Jenderal Tian melanjutkan, “Lalu mengapa baginda harus datang sendiri malam begini?”

“Tidak apa-apa, saya hanya ingin minum dengan jenderal saya atas kerjanya yang tidak mengenal lelah,” jawab raja.

Seperti juga Yan Zi, Tian menjawab, “Ada begitu banyak orang di sekitar anda yang dapat menemani anda minum. Ini bukanlah tugas saya. Saya tidak berani mengikuti perintah baginda.”

Terkejut dengan penolakan dari pejabat-pejabat andalannya, raja amat tidak gembira. Akhirnya ia pergi ke rumah Liang Qiuju, dimana Liang dengan gembira menyambutnya. Dengan gembira, Raja Jinggong memukul genderang dan memainkan musik sendiri. “Apakah orang-orang bermoral juga suka hal ini?” ia bertanya pada Liang. “Dengan mata dan telinga yang sama, mengapa tidak?” Mereka menikmati malam itu minum sepuasnya.

Belakangan Raja Jinggong hendak mempromosikan Liang sehingga raja sengaja memuji-mujinya di depan Yan Zi, “Sementara beberapa orang tidak siap dengan kesukaan saya, Liang senantiasa siap bagi saya. Karena kesetiaannya, kapan saja saya memerlukannya, ia langsung muncul. Sehingga saya tahu ia peduli terhadap saya.”

Yan Zi menjawab, “Jika seorang pejabat menyita seluruh waktu raja, ia tidaklah setia; jika seorang anak menyita seluruh waktu ayahnya, ia putra yang tidak berbakti. Sebagai menteri utama, kesetiaan adalah membimbing raja untuk memperlakukan para pejabatnya dengan hormat, mengasihi rakyatnya, dapat dipercaya bagi para gubernurnya sehingga setiap orang akan balik setia pada raja dan mencintai raja. Sekarang di antara semua menteri dan orang di kerajaan, hanya Liang yang ‘setia’ pada baginda. Apa yang terjadi? Adalah bijaksana menentukan kriteria hukuman dan penghargaan berdasarkan kebaikan atau keburukan yang ditimbulkan bagi kerajaan.” Raja Jinggong mengerti dan memutuskan untuk tidak mempromosikan Liang.

Suatu ketika Yan Zi sedang menemani Raja Jinggong mengunjungi Mai Qiu ketika seorang pria lansia menghampirinya. Dia berkata, “Panjang umur baginda. Saya harap anda tidak menyinggung rakyat anda.”

Raja Jinggong berkata dengan bingung, “Adalah mungkin jika rakyat dituntut karena menyinggung rajanya. Saya tidak pernah dengar ada raja yang menyinggung rakyatnya.” Yan Zi bertanya: “Apakah Jie (Kaisar terakhri Dinasti Xia) dan Zhou (Kaisar terakhir Dinasti Shang) menyinggung para raja atau rakyatnya? Apakah mereka dibunuh oleh para raja atau rakyat jelata?”

Tiba-tiba sadar, Raja Jinggong menghadiahkan pria lansia itu dengan sebidang tanah, berterima kasih kepadanya atas nasehat dan kebijaksanaannya.

Menghadapi kritikan jujur Yan Zi, Raja Jinggong kadangkala merasa dipermalukan sehingga ia terkadang mencoba menghukum Yan Zi dengan keras. Namun ia mengetahui apa yang Yan Zi katakan, adalah masuk akal tidak peduli bagaimana itu membuat merah telinganya. Karenanya, Raja Jinggong diam-diam sering menghormati Yan Zi atas keberaniannya dalam ‘menyinggung’ raja demi kepentingan kerajaan dan rakyatnya.

Akhirnya Yan Zi meninggal dunia. Raja Jinggong mendengar berita duka tersebut ketika sedang melancong. Ia mendesak pelayannya untuk bergegas pulang. Mengeluh kudanya berlari terlalu lamban, Raja Jinggong turun dari kereta dan berlari. Tentu saja ia tidak secepat kudanya sehingga ia kembali naik ke kereta kuda. Dengan cara ini ia mencoba empat kali untuk memaksa kudanya berlari lebih cepat.

Akhirnya ia sambil berlari dan menangis, berkata: “Tuan Yan Zi senantiasa menasehati saya siang dan malam, mendesak saya bahkan untuk detail kecil. Namun saya hanya larut bersenang-senang sepanjang waktu. Kemalangan malahan menimpanya. Kerajaan Qi dalam bahaya. Tanpa Yan Zi, kemana rakyat dapat mengadu?”

Senantiasa memandang penting rakyat, Yan Zi memfokuskan pada kepentingan rakyat biasa dalam berbagai kritikan jujurnya kepada raja, bagaimana memerintah negara dan dalam perbuatannya sendiri. Dengan kebaikan hatinya, kebijaksanaannya, perbuatan baiknya kepada rakyat, ia senantiasa dikenang oleh rakyat biasa sepanjang jaman.

Chinese: http://www.minghui.ca/mh/articles/2007/6/27/157439.html
English:
http://www.clearwisdom.net/emh/articles/2007/7/19/87830.html

CINTAILAH SYAITAN!

Dalam Kitab tertulis, maafkanlah musuhmu, maka Aku akan memaafkanmu!

Maaf adalah wujud dari cinta kasih, karena itu gantilah kata maaf dengan kata cinta.

Cintailah musuhmu, maka Aku akan mencintaimu!

Siapakah musuhmu?

Syaitan.

Karena itu gantilah kata musuhmu dengan kata syaitan.

Cintailah syaitan, maka Aku akan mencintaimu.

***
Kiriman: "Henry Dharsono"
petikan dari http://groups.yahoo.com/group/semedi/message/13485, by anatta-gotama@yahoogroups.com