Tampilkan postingan dengan label Ragam Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ragam Indonesia. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Februari 2008

Ultah 02 Feb 2008: Banjir Bo!

Tahun ini, satu Februari adalah saat dimana salah satu sesi rapat tanpa ujung berakhir sudah....ya ini adalah sesi rapat yang paling menjemukan!.....dan cilakanya itupun masih belum berakhir!

Hari itu...disela-sela rapat, kita menyimak
bersama-sama berita banjir dan kemacetan yang terjadi, ya! itu terjadi di hampir seantero jakarta.....mmmhhh, dan...itupun termasuk daerah "keramat" Istana Negara...

hahahaha...Istana yang bisa kebanjiran ya cuma terjadi di Indonesia...berikut tumbangnya pohon di Istana negara...ditambah dengan terjebaknya sang penguasa beserta wakil di kemacetan di area kekuasaannya sendiri!...hahahaha...ya! ini cuma terjadi di Indonesia, Bung!

Ya sudahlah!

Akhirnya, mungkin karena menyimak perkembangan itu....maka dengan berat hati, perusahaan memperbolehkan aku memperpanjang hari inapku satu hari lagi hingga tanggal 02 Feb...

Sesi rapat sebelumnya yaitu
di awal tahun 2008, diadakan di Bandung, di Holiday Inn. Saat itu aku bawa keluarga aku untuk ikut dan tinggal-lah kami dalam satu kamar hotel berlima dengan 1 tempat tidur...sementara rekanku tinggal di dalam kamar dengan 2(dua) tempat tidur yang besarrrrrrr....dan itupun hanya sendiri!

Sesi saat ini, diadakan di Mercure Ancol...begitu aku masuk kamar hotel...kulihat segera 2 tempat tidur besarrrrr....yang sangat menggairahkan untuk segera ditiduri...ditambah satu sofa yang mungkin cukup untuk dua orang tidurrrr dengan nyamannya....dan kali ini aku yang sendiri! sementara rekan-rekanku semua membawa keluarga!...
..sungguh suatu ironi, bukan!

Ya....tinggallah aku...dengan kesendirianku...di ulangtahunku tanpa keluarga...

Beberapa saat lewat tengah malam...abis maem mi gelas..bosen nonton tv hotel..aku turun kebawah...hujan!..aku pilih tempat duduk untuk dapat ber-bengong ria di resto...sambil pandangi Laut dan Swimning pool..yang satu bergerak liar mau-maunya dia dan yang satunya beriak mengikuti ujan yang jatuh...

Mmmhhh....ngomong-ngomong soal swimming pool jadi inget tulisan orang...nih aku kutip:

Surat Pembaca Kaskusers [Banjir Feb. 2007]
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=469394
03-02-2007, 03:40 PM

kek di koran² lokal, kalo ada masalah taru aje di surat pembaca.
biasanya soal masalah² yang kurang diperhatiin.
kebetulan masalah gue yang pingin punya kolam renang ada hubungannye sama banjir.
so, this is my surat:

Sejak lama gue selalu mimpi pengan punya swimming pool pribadi.
Bulan Februari ini ternyata terwujud!
Terimakasih ya Bang Yos!!!
Abang emang selalu memperhatikan warganye.
Kaga tanggung², dibikinin swimming pool pribadi buat warga se-Jakarta.
Calon gubernur mendatang pasti ane pilih Bang Yos dah!!!


kiriman dari:
0811******


bijimane dengan warga nyang laen?
ada surat apelagi neh?

*ngondoooy*


Ah...Iya..ya..Si Bang Yos ini bener2 pinter abis...Ia cuma tinggalkan [Tidak] sedikit Pe-eR buat mantan wakilnya yang sekarang jadi Bosnya Jakarta...

Ah..udahlah!.....

Tahun Ini adalah kali ke dua aku tidak bersama keluarga di saat ulang tahun ku...sedih juga sih...dan kelihatannya aku juga sudah mulai terbiasa dengan keadaan tanpa ada orang yang ingat bahwa aku berulang tahun!

Mmmhhhh... aku sih cuma heran dan tidak pernah habis pikir aja....
koq, bisa-bisanya...ada budaya yang menyelameti orang yang berkurang umur!.....dan itu malah dianggap bukan biadab!!

Mmmmhhh...Ini juga kali kedua-ku merayakan Ultah dengan Banjir!...hehehehe....ya dengan Banjir! Mungkin orang-orang pada lupa bahwa Aquarius adalah air...kadang melimpah sampai banjir!

Makan mie gelas lagi ahhhh!....takutnya di hari-hari kedepan aku bakalan susah nyari mie..ato bisa jadi rebutan ama jatah buat para pengungsi!

O, ya....Tahun lalu aku temukan satu foto unik
dari blog orang...foto itu dilakukan ditengah-tengah tragedi banjir....nih aku sisipin:















http://ayabrea.multiply.com/journal/item/97/pic_Lucu_Hikmah_Banjir_Jakarta_Kmaren

* * *

Omelan Orang Rapi
Sabtu, 02 Feb 2008,


Catatan :
Azrul Ananda

Nyangkut belasan jam di bandara sebenarnya bukan kisah istimewa. Nyangkut belasan jam di Bandara Soekarno-Hatta, juga mungkin bukan kisah luar biasa. Hanya saja, 15 jam lebih yang saya habiskan di bandara kemarin membuat ada penumpukan cerita-cerita kecil yang membuat jari-jari saya gatal untuk mengetik.

Mulai hampir kejatuhan air dari plafon, sampai dikira jadi petugas bandara dan berkali-kali ditanya kapan pesawat bakal berangkat.

Semoga keisengan saya untuk menulis ini bisa menjadi bagian dari "sisi lain" bencana banjir di Jakarta kemarin. Toh berita kekacauan bisa Anda dapatkan dari sumber mana saja. Televisi, radio, internet, dan koran-koran lain.

Bagi saya, rekor nyangkut terlama di bandara masih tiga hari yang saya habiskan di Hongkong, saat akan meliput serangan 11 September 2001 di New York. Tiga hari saya mondar-mandir, menunggu pesawat pertama yang terbang ke Big Apple. Nyangkut-nyangkut yang lain terjadi di Chicago karena salju, atau berjam-jam transit di Singapura.

Enaknya, di tempat-tempat itu, waktu bisa lewat tanpa sengsara. Karena banyak toko dan hiburannya.

Kemarin saya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sedikit lewat pukul 07.00 pagi naik Garuda. Bukan untuk ke Jakarta, melainkan untuk transit menuju Palembang, mengikuti pembukaan kompetisi basket SMA, Honda DetEksi Basketball League 2008, di sana.

Karena penerbangan lanjutan masih dijadwalkan pukul 09.30, saya pun santai. Cari-cari majalah, makan nasi padang di Singgalang Jaya seberang Starbucks. Sambil makan nyalakan laptop, internetan.

Sama sekali tidak terbayang hujan superlebat bakal menerpa, apalagi sampai membuat penerbangan se-Indonesia kacau.

Tanda-tanda kacau terjadi setelah makanan saya habis. Sambil baca Yahoo! Sports mengecek skor pertandingan basket NBA terbaru, tiba-tiba ada sedikit kepanikan. Rupanya plafon di jalur masuk tempat makan yang luas ini ambrol. Air tidak turun menetes, tes, tes. Tapi jatuh byur, byur.

Pikir saya waktu itu masih enteng: "Untung saya tidak duduk di meja-meja pinggir itu seperti biasanya. Kalau tidak, bisa basah dan hancur laptop Apple kesayangan saya ini."

Dengan santai, saya lalu berjalan menuju gate penerbangan ke Palembang itu. Hujan deras jelas terlihat. Penerbangan tertunda, kata petugas dengan ramah. Kemungkinan mundur sampai jam 11. Belum ada bayangan bakal ada masalah besar di luar.

Karena masih lama, dan perut saya masih kenyang, saya pinjam saja salah satu kursi petugas itu, duduk mengetik lagi di meja bersama sang petugas. Mungkin karena saya pakai sepatu pantofel hitam dan celana kain hitam, plus polo shirt biru yang dimasukkan rapi, banyak orang mengira saya petugas. Mau tidak mau, ya saya ikutan jawab saja kalau tertunda sampai jam 11.

Penerbangan ke Palembang tertunda lagi. Kali ini sampai jam 12 siang, katanya. Saya mulai pasrah. Kayaknya tidak mungkin bisa ikut pembukaan pertandingan di Palembang nih. Meski penerbangan Jakarta-Palembang tak sampai satu jam, tapi sulit bisa tiba sebelum jam 14.00, saat pertandingan pertama dimulai.

Ya sudah, saya duduk di situ, santai ngetik dan telepon-teleponan sama rekan-rekan soal tidak mungkinnya hadir saat pembukaan, sekaligus membicarakan rencana-rencana pengganti acara andai saya tidak hadir tepat waktu.

Orang pun terus berdatangan, dengan nada makin keras, menanyakan kejelasan jadwal penerbangan. Orang-orang lain datang menitipkan tas kepada saya. Mulanya saya ya bilang maaf bukan petugas, tapi lama-lama ya sudah. Makin lama makin banyak tas titipan di sebelah saya duduk.

Karena orang yang bertanya nadanya makin serius, dengan arah makin marah, ketika ada waktu senggang saya ngobrol saja dengan petugas di samping. "Wah, seru ya kalau ada delay begini?" tanya saya iseng.

Dari situ, sesama petugas pun ngobrol tentang kisah komplain paling seru. Kadang, cerita mereka, sampai ada yang naik meja dan merusak layar monitor!

"Penerbangan ke mana yang orang-orangnya paling seram kalau marah?" tanya saya.

"Biasanya penerbangan ke Mxxxx dan Mxxxxxxx. Orangnya keras-keras," jawabnya.

Sekitar jam 13.00, ketika pesawat tak kunjung tiba (pesawat yang seharusnya membawa saya ke Palembang itu dimendaratkan dulu di Semarang), saya pun memutuskan untuk melupakan pertandingan basket di Palembang.

Saya langsung switch tiket saya ke Pekanbaru, karena Sabtu hari ini pertandingan Honda DBL 2008 juga diselenggarakan di Rumbai. Jangan sampai gara-gara saya ke Palembang, rencana ikut pembukaan di Pekanbaru ikut buyar. Meskipun dalam hati berat juga, karena tidak bisa menyaksikan kompetisi basket SMA yang saya bidani sendiri.

Dari situ, saya jalan ke salah satu executive lounge. Maunya ngemil. Saat mau masuk, banyak orang berdandan perlente ngotot bertanya kepada resepsionis lounge. Bertanya kapan pesawat berangkat dan kenapa tidak segera berangkat ketika langit terlihat makin terang.

Kasihan juga resepsionis itu. Tidak ikut mengatur cuaca, diomeli orang-orang berdandan rapi.

Dan kalau dipikir, orang-orang berdandan rapi itu otaknya (atau logikanya) kurang berfungsi juga ya? Wong jelas cuaca buruk. Di televisi sudah kelihatan kalau Presiden SBY saja sampai terjebak kemacetan dan harus ganti mobil. Kalau pun terang, kan tidak ada pesawatnya karena berceceran di Palembang, Semarang, Halim Perdana Kusuma, dan bandara-bandara lain.

Saya sih, masih santai saja. Beli beberapa majalah lagi. Internetan lagi tanpa pusing cari hot spot (terima kasih Globetrotter!).

Sore. Belum ada kabar. Pesawat ke Pekanbaru yang saya naiki dijadwalkan berangkat pukul 15.15. Saya jalan saja masuk ke ruang tunggu di gate. Pertama dengerin iPod, baca-baca majalah. Tamat dan bosan, cari tempat duduk yang enak internetan.

Ada, di belakang televisi di ujung ruang tunggu. Ada banyak colokan setrum, bisa nge-charge handphone dan laptop. Kurang enaknya satu, tidak bisa duduk.

Saya pinjam saja salah satu meja petugas (berikut kursinya) yang terpasang di pintu masuk ruang tunggu. Saya angkut ke belakang televisi. Voila! Jadilah meja kerja. Tulisan MotoGP, Formula 1, dan NBA All-Star yang bisa Anda baca di Halaman Olahraga hari ini saya ketik di belakang televisi ruang tunggu.

Seorang bapak-bapak lantas ikutan menarik kursi. Saya mengetik di ujung meja, dia menggarap pekerjaan di ujung meja lain.

Semua selesai, internetan lagi. Lihat-lihat sepatu baru di situs-situs sepatu. Televisi yang membelakangi saya terus menceritakan kehebohan banjir dan macet Jakarta.

Pikir hati saya: Untung saya bukan orang Jakarta. Orang kok umurnya habis kena macet dan masalah…

Untung Surabaya yang saya cintai belum sampai seperti Jakarta. Tolong Pak Bambang DH (wali kota), Pak Arif Afandi (wakil wali kota), Bu Risma (Tri Rismaharini, kepala Bapeko), jangan biarkan Surabaya jadi seperti Jakarta ya? Quality of life di Surabaya itu termasuk T-O-P. Ayo pertahankan dan tingkatkan.

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 18.00. Pesawat belum berangkat. Begitu pula pesawat "asli" saya yang ke Palembang, yang seharusnya sudah berangkat sejak pukul 09.30 pagi.

Alamak! Sinyal telepon hilang. Wah, internetan bisa, telepon gak bisa. Untung anak-anak DetEksi Jawa Pos di Palembang mengirim tulisan pembukaan Honda DBL di sana pakai email. Jadi saya bisa mengikuti perkembangan lewat email meski sulit telepon.

Ketika di toilet, saya bertemu dengan orang yang sedang ganti baju. Basah semua. Katanya, jalan tol menuju bandara banjir abis. "Sampai setengah bodi mobil Kijang Innova. Ada Mercy baru gres tenggelam sampai ke atap. Saya naik ojek tapi berdiri di atas jok," tuturnya bersemangat, sambil menunjukkan rekaman video di handphone-nya (viva citizen journalism!).

Ada perkembangan baru. Pesawat saya dijadwalkan berangkat jam 19.00. Sejam kemudian, dijadwalkan berangkat jam 20.35. Untung telepon sudah "menyala" pukul 20.00-an. Saya ngobrol dengan para redaktur pelaksana Jawa Pos di Surabaya. Tulisan ini saya buat kemudian. Ketika paragraf ini diketik jam menunjukkan pukul 21.13. Pesawat saya ke Pekanbaru belum berangkat. Begitu pula pesawat "asli" saya yang seharusnya berangkat pukul 09.30 ke Palembang.

Dalam hati, saya pun menyanyikan penggalan lagu nasional populer: "Itulah Indonesiaaaaa…." (*)
---------------------
Sumber:
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=9948

* * *

SMS dikala Banjir

tulilulit…. sms masuk… reading…
hua…ha…ha…. messnya kebanjiran…..!

reply…
ngungsiiiii!!! ngungsiiii!!!!

send…

tulilulit…. sms masuk… reading…
biar masuk tipi ngga usah ngungsi…. biar dievakuasi dgn perahu karet dan masuk tipi…

reply…
yo wes karepmu! (artinya : ya udah terserah!)

send…

tulilulit… sms masuk… reading…
hua… airnya masuk kamar…. 1 mata kaki… terus piye ki? (artinya : trus gimana nih???)

reply…
Woo… lha gimana? Disuruh ngungsi ga mau… Pulsa aku habis ni!
send…

nunggu…
ga ada reply lagi…
apa benar-benar klelep (tenggelam) ya…?? :(
hp dilock lagi…

Kalau yang ini dari :
http://carratri.wordpress.com/2008/02/01/sms-dikala-banjir/
---------------------

Selasa, 14 Agustus 2007

Bravo Mr. Frans Magnis Suseno!!!!

Tangis penguasa hanya untuk rakyat,
Tangis penguasa hanya untuk kekuasaan.

Keberpihakan penguasa hanya untuk pengusaha
Keberpihakan Pengusaha hanya untuk penguasa

Bencana lumpur panas lapindo adalah kejahatan kekuasaan oleh, karena dan untuk kekuasaan..

For the sake of year 2009...

Sinetron berikutnya dalam episode:

Pemilu Sudah Dekat!!!!
-------------------------------------<<<<

From: Agus Hamonangan
Achmad Bakrie Award 2007 Tak Terkait Lumpur Panas

http://www.kompas. co.id/kompas- cetak/0708/ 14/humaniora/ 3762031.htm

============ ========= =


Jakarta, Kompas - Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng, Senin (13/8), memastikan Franz Magnis-Suseno menolak penghargaan Achmad Bakrie 2007 untuk bidang pemikiran sosial. Namun, penghargaan tetap akan disampaikan Selasa malam ini di Jakarta.


Selain Franz Magnis, beberapa tokoh lain yang akan mendapatkan penghargaan Achmad Bakrie 2007, yakni Putu Wijaya (bidang kesusastraan) ; Jorga Ibrahim, dosen ITB Bandung (bidang sains); Sangkot Marzuki, ilmuwan dan Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta (bidang kedokteran); dan lembaga Balai Besar Padi
Sukamandi (bidang teknologi).


Beberapa tokoh lintas agama dan intelektual, kemarin, juga menggelar konferensi pers terpisah. Mereka mendukung langkah yang ditempuh Franz Magnis sebagai sikap moral yang obyektif.


Ini mengingat, pemberi penghargaan Achmad Bakrie 2007 terkait korporasi Lapindo Brantas Inc yang dinilai menimbulkan musibah lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sejak beberapa tahun lalu. Hingga kini masalah lumpur panas tersebut dianggap tidak ada penyelesaian secara bermartabat.


"Sikap moral paling obyektif ditempuh Romo Magnis-Suseno," kata Moeslim Abdurrahman sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dalam konferensi pers di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Senin (13/8) kemarin.


Tokoh lain yang angkat bicara untuk mendukung penolakan Magnis, antara lain Natan Setiabudi, Chalid Muhammad, Rieke Dyah Pitaloka, Tjuk Kasturi Sukiadi, Bondan Gunawan, Fajroel Rachman, dan Benny Susetyo.


Benny mengatakan, dukungan atas penolakan Franz Magnis juga didasarkan pada lima hal yang dirumuskan pada pertemuan itu. Kelima hal itu meliputi,


pertama, bencana lumpur panas di Porong merupakan kejahatan kemanusiaan.


Kedua, masyarakat intelektual harus memihak rakyat, bukan kaum pemodal yang menginjak harkat dan martabat kemanusiaan.


Ketiga, masalah lumpur panas adalah masalah negara yang absen atau membiarkan masyarakat tertindas.


Keempat, untuk penyelesaian masalah lumpur panas ada pelanggaran konstitusional.


Kelima, kaum intelektual bersama rakyat harus melawan pelanggaran ini dengan menyampaikan mosi tidak percaya terhadap pemerintah.


Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengungkapkan, saat ini sedang terjadi transaksi melalui akta jual-beli tanah dan bangunan korban lumpur panas. Namun, ia melihat ada ketidakpastian hukum ketika dalam nota transaksi disebutkan, pihak yang membayar bukan PT Lapindo Brantas.


Secara terpisah, Rizal Mallarangeng dalam konferensi pers kemarin menyatakan, penolakan Franz Magnis tetap dihormati. Namun, penghargaan terhadap Franz Magnis-Suseno di bidang pemikiran sosial tahun 2007 tetap tak dapat digugurkan. "Penghargaan Achmad Bakrie 2007 yang disampaikan Freedom Institute tidak terkait dengan masalah lumpur panas di Sidoarjo," kata Rizal.


Achmad Bakrie Award

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Sangkot Marzuki menyatakan akan menerima Penghargaan Achmad Bakrie 2007 untuk bidang kedokteran dari Freedom Institute.


Menurut Sangkot, tidak banyak lembaga yang memberi penghargaan untuk bidang kedokteran. Di Indonesia baru Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta Yayasan Sumber Daya Manusia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Habibie Center, kemudian Freedom Institute yang memikirkannya "Penghargaan itu bertujuan baik dan perlu dilihat secara terpisah dari persoalan yang belakangan ini terkait dengan perusahaan keluarga Bakrie."

Tahun 2003, penghargaan diterima Ignas Kleden (pemikiran sosial) dan Sapardi Djoko Damono (sastra). Tahun 2004 penerimanya Nurcholis Madjid (pemikiran sosial) dan Goenawan Mohamad (sastra). Penerima penghargaan tahun 2005 Sartono Kartodirdjo (pemikiran sosial), Budi Darma (sastra) dan Sri Oemijati (kedokteran) . Tahun 2006 penerimanya Arief Budiman (pemikiran sosial), Rendra (sastra), dan Iskandar Wahidiyat
(kedokteran) . (ATK/NAW)

Dirgahayu Indonesiaku!; Cukup-lah Sudah Kita Menangis!!!

Suami Vivekanda!
Suatu nama yang besar

Beliau adalah seorang dari mereka, yang banyak memberi inspirasi bagi ku, inspirasi untuk menjadi teguh, inspirasi untuk menjadi hamba Tuhan, inspirasi untuk mengabdi pada tanah airku, inspirasi untuk menjadi pelayan bagi yang miskin, inspirasi untuk menjadi pelayan bagi kemanusiaan.

Beliau-lah yang pernah berkata:

”Telah cukup lama kita menangis; jangan lagi menangis tapi berdikari-lah dan menjadi manusia sejati!”

(Soekarno, 04 Oktober 1963, Jakarta)

(From: Suara Vivekanda, Yogamurti Sow Tjiang Poh, Bandung, Hanuman sakti 1993, hal.1)

Dirgahayu Indonesia-ku!!
..saatnya berdikari menjadi manusia sejati!!


Senin, 13 Agustus 2007

Masyarakat Adat: Target Lama, Baju Baru Pasar Konversi agama!

Masyarakat Adat Masih Terpinggirkan

Kompas/Reinhard Nainggolan
Warga adat Kajang tengah istirahat sepulang dari ladang.
Jakarta, Kamis--Meski keberadaan dan haknya diakui dalam undang-undang dasar dan jumlahnya cukup banyak namun komunitas masyarakat adat hingga saat ini masih terpinggirkan.

"Populasi masyarakat adat di Indonesia berkisar antara 40 juta sampai 50 jutaan jiwa dan sebagian besar belum bisa menikmati hak yang seharusnya mereka dapat sebagai warga negara," kata Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Adon Nababan pada peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan beberapa kebijakan sektoral pemerintah tak berdampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat adat dan justru membuat masyarakat adat secara perlahan kehilangan identitas dan sebagian habitat hidup mereka.

Pemaksaan penerapan sistem kolonisasi dengan membentuk desa mengacu pada struktur pemerintahan di Jawa membuat kekuatan sistem adat di daerah lain meluntur, ujarnya.

"Beberapa aturan perundangan seperti undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang kehutanan, undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan dan undang-undang investasi yang baru juga justru membuat mereka kehilangan hak atas wilayah adatnya," jelas Adon.

Kebijakan sektoral pemerintah, katanya, membuat wilayah-wilayah adat dimasuki dan dieksploitasi secara paksa oleh berbagai proyek, pertambangan, dan berbagai keperluan tanpa musyawarah dengan masyarakat adat yang bersangkutan.

"Sekarang wilayah adat kami sebagian besar dikelola pemegang HPH sehingga kami tidak bisa lagi hidup dengan mengandalkan hutan dan tidak bisa minum dari sungai kami. Kami bingung sebenarnya kami ini bagian dari negara ini atau bukan," kata Selester, anggota suku Mentawai di Sumatera Barat.

Rasyid Tumonga (42), warga Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, juga mengatakan bahwa hingga kini masyarakat adat di wilayah tempat tinggalnya belum bisa melepaskan diri dari isolasi geografis karena infrastruktur jalan dan jembatan belum banyak terbangun.

"Kalau mau beli keperluan ke kota kita harus jalan kaki selama tiga hari. Syukur belakangan ada jalan sudah diperbaiki sehingga motor bisa lewat, tapi sayangnya belum semua bagus sehingga kadang bukannya kita yang naik motor tapi motor yang naik kita," ujar bapak dari tiga anak itu.

Ia menjelaskan, dari daerah yang berada pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut itu sampai ibukota kabupaten warga paling tidak harus mengeluarkan biaya Rp400 ribu untuk membayar ojek.

Tak hanya isolasi yang belum terbuka, komunitas masyarakat adat yang masih menganut kepercayaan nenek moyang mereka, juga masih mengalami kesulitan untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Fatmawati misalnya. Perempuan dari suku Dayak di Kalimantan yang menganut kepercayaan Kaharingan itu kesulitan mengurus KTP karena agama yang dia peluk tidak termasuk agama yang diakui pemerintah.

"Karena susah akhirnya saya minta dicantumkan sebagai pemeluk agama katholik dalam KTP. Padahal saya pemeluk agama Kaharingan dan tidak tahu apa-apa tentang agama katholik," katanya.

Masyarakat adat yang memeluk agama atau kepercayaan yang tidak diakui oleh pemerintah, menurut Adon, juga mengalami kesulitan yang sama dengan Fatmawati.

"Mereka dipaksa mengikuti satu nilai yang ditetapkan pemerintah dan hanya memeluk agama yang diakui saja," demikian Adon.

Sumber: Antara
Penulis: jodhi