Rabu, 16 Juni 2010

Tuhan, Klaim Pepesan Kosong Si Buta Sejak Lahir Yang Menjelaskan Gajah!


Di jaman Sang Buddha, terdapat sejumlah pertapa dan brahmana, pengembara dari berbagai macam aliran, yang hidup di sekitar Savatthi [Sekarang Uttar Pradesh, India Utara dengan batas Utara adalah Nepal]. Mereka mempunyai berbagai pandangan, kepercayaan, pendapat, dan menggantungkan dukungan mereka dari berbagai pandangan mereka itu.

Beberapa brahmana dan pertapa yang memastikan dan berpegang pada pandangan ini:
"Dunia ini kekal; hanya ini yang benar, dan (pandangan) lainnya salah."
Beberapa pertapa dan brahmana yang bersikeras:
"Dunia ini tidak kekal; hanya ini yang benar, (pandangan) lainnya salah."
Beberapa yang bersikeras:
"Dunia ini terbatas;.....
Dunia ini tidak terbatas; .....
Jiwa kehidupan dan tubuh itu sama; .....
Jiwa kehidupan dan tubuh itu berbeda; ....
Sang Tathagata ada di luar jangkauan kematian; .....
Sang Tathagata ada tetapi tidak berada di luar jangkauan kematian; .....
Sang Tathagata ada dan sekaligus tidak ada di luar jangkauan kematian; .....
Sang Tathagata bukannya ada dan bukannya tidak ada di luar jangkauan kematian; hanya ini yang benar, dan (pandangan) lainnya salah."

Dan mereka, hidup bertengkar, penuh perselisihan dan penuh percekcokkan, saling menyakiti dengan ucapan-ucapan kasar, dengan mengatakan: "Dhamma [= Ajaran, Kebenaran] adalah seperti ini, Dhamma tidak seperti itu! Dhamma tidak seperti ini, Dhamma seperti itu!"
    Note:
    "tathāgata" adalah salah satu julukan Sang Buddha (lainnya: ang Bhagava, Jina, dll). berasal dari kata: "tathā" (bahkan, juga, kemudian) + "gata" (pergi, sampai) atau juga "tatha" (benar, nyata) + "a" (tidak) + "gata" (pergi, sampai) yang arti literalnya adalah "Ia yang sudah sampai" atau "Ia yang nyata tidak (lagi) pergi/sampai (tumimbal lahir)"

    Tentang 'Jiwa', Mahavira, Tīrthaṇkara ke-24, [Jina, julukan seorang pemenang/yang tercerahkan dalam Jainisme] berpandangan bahwa: "Jiwa adalah permanen dan juga tidak permanen. Dari sudut pandang substansinya maka Jiwa adalah permanen. Dari sudut pandang perubahannya bergantung dari kelahiran, lapuk/tua dan kehancuran maka jiwa adalah tidak permanen" [Vyākhyāprajסapti/Bhagvatistra, 7:58–59]
Berkenaan dengan hal tersebut, ketika berada di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika, sang Buddha di hadapan para Bikkhu menceritakan satu kisah:

"Dulu, O, para bhikkhu, ada seorang raja di Savatthi ini juga yang memerintahkan seorang pengawal: 'Pengawal yang baik, bawalah semua orang di Savatthi yang buta dari lahir'. "Ya, Yang Mulia," jawab laki-laki itu, dan sesudah menahan semua orang buta di Savatthi, dia mendekati Raja dan berkata, 'Semua orang buta di Savatthi sudah dikumpulkan, Yang Mulia.'"

"Sekarang, tunjukkanlah pada orang-orang buta itu seekor gajah". "Baiklah, Yang Mulia," laki-laki itu menjawab Sang Raja, dan dia membawa seekor gajah ke hadapan orang-orang buta itu, dengan mengatakan, 'Hai, orang-orang buta, ini adalah seekor gajah'

"Pada beberapa orang buta, laki-laki itu memberikan pada bagian kepala Sang Gajah, dan mengatakan, "Ini adalah seekor gajah."
"Pada beberapa lainnya, dia menghadapkan pada bagian telinga gajah.....
..gadingnya.....
..belalainya.....
..tubuhnya.....
..kakinya.....
..bagian belakangnya.....
..ekornya......
"Pada beberapa lainnya, dia menghadapkan pada bagian rambut di ujung ekornya, dan mengatakan, "Ini adalah seekor gajah."

"Kemudian, O, para bhikkhu, sesudah menunjukkan gajah kepada orang-orang buta, laki-laki itu menghadap Sang Raja dan berkata, 'Orang-orang buta itu sudah mengenali gajah, Yang Mulia. Lakukanlah sekarang apa yang Baginda pikir cocok.'

Kemudian Raja mendekati orang-orang buta itu dan berkata, 'Apakah kalian sudah mengenali gajah?'. "Ya Baginda, kami sudah mengenal gajah". "Beritahukan padaku, hai orang-orang buta, seperti apakah gajah itu?"

Orang-orang buta,
  • yang sudah memegang kepala gajah menjawab, 'Baginda, seekor gajah adalah seperti tempayan air'
  • yang sudah memegang telinga gajah menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah persis seperti keranjang penampi'
  • yang memegang gading gajah menjawab, 'Baginda, seekor gajah adalah seperti mata bajak;
  • yang sudah memegang belalainya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah seperti tiang bajak.'
  • yang sudah memegang tubuhnya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah seperti ruangan penyimpan.'
  • yang sudah memegang kakinya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, seperti sebuah tiang.'
  • yang sudah memegang bagian belakangnya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah seperti lesung.'
  • yang sudah memegang ekornya menjawab, 'Baginda, seekor gajah adalah seperti sebuah alat penumbuk.'
  • yang sudah memegang rambut di ujung ekornya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah seperti sebuah sapu.'
"Dengan mengatakan, 'Seekor gajah adalah seperti ini, seekor gajah tidak seperti itu! Seekor gajah tidak seperti ini, seekor gajah adalah seperti itu!' Mereka saling berkelahi dengan tinju-tinju mereka. Dan raja itu sangat gembira (melihat pemandangan itu)."

"Demikian pula, O, para bhikkhu, para pengembara dari berbagai aliran itu juga buta, tidak melihat ..... dengan mengatakan: 'Dhamma adalah seperti ini! .... Dhamma adalah seperti itu!'"

Kemudian, Sang Bhagava mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Beberapa pertapa dan brahmana, demikian mereka disebut, Sangat terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri;
Orang yang hanya melihat hal-hal dari satu sisi Terlibat pertengkaran dan perselisihan
[KN, Udana 6.4/Nānātitthiya 1]
    Note:
    Versi Jainisme, di kitab Tattvarthaslokavatika, Vidyanandi [Abad ke-9 M] dan Kitab Syādvādamanjari, Ācārya Mallisena [Abad ke-13 M], yaitu seorang bijak dengan 6 orang buta, tentang anekāntavāda [variasi kendaraan] dan syādvāda [kendaraan dengan syarat]: Kebenaran dan kenyataan punya banyak sudut pandang, tidak ada satu sudut pandangpun yang benar-benar secara utuh dapat menyatakan kebenaran. Kenyataan adalah sesuatu yang kompleks, tidak dapat dinyatakan dalam satu ekspresi tunggal untuk menggambarkan realitas seutuhnya sehingga terminologi "syāt" [mungkin/bisa jadi] seharusnya dipergunakan mendahului suatu pandangan yang memiliki suatu kondisi tertentu. Seorang semi biarawati Jainisme yaitu [Samani] Charitra Pragya, mengatakan, "Bahkan seorang Tirthaṇkara yang memiliki pengetahuan tak terbatas-pun, tidak dapat secara utuh mengekspresikan realita karena terbatasnya bahasa yang merupakan ciptaan manusia"
    Versi Hindu, oleh Ramakrishna Paramahamsa [abad ke-18].
    Versi Islam, oleh para sufi Persia abad ke-11/12 M, yaitu Hakim Abul-Majd Majdūd ibn Ādam Sanā'ī Ghaznavi dan di abad ke-13 M oleh Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī.
Dunia ini dipenuhi orang-orang buta namun berlagak melek dan menjadikan pengikutnya percaya membuta.


Terdapat strategi umum yang digunakan beberapa manusia/kelompok, untuk membentuk agama baru, yaitu, dengan meminjam sejarah religi bangsa lain dan menambahkan satu nama Tuhan baru sebagai Tuhan utama, kemudian penambahnya, mengklaim diri atau diklaim sebagai nabi baru, yang setara besarnya, atau malah lebih besar lagi atau sebagai yang terakhir. Tindakan ini, jika bukan karena motif politik dan kekuasaan, maka tidak ubahnya bak sekumpulan orang buta sejak lahir yang mencoba menjelaskan bentuk gajah.

Tiga agama Abrahamik (Yahudi, Nasrani dan Islam) sama-sama mengklaim Musa sebagai nabi, sama-sama mencatat tentang kehidupannya dan sejarah bangsanya, sama-sama mengakui keberadaan Taurat (Pentateukh = Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan), sama-sama mengklaim bahwa Taurat disusun/ditulis/diciptakan Musa sendiri, ketika ditanya buktinya, jawabannya sama-sama klasik, karena tertulis demikian dalam kitab. Padahal Ibn Ezra, seorang Yahudi abad ke-12 M, komentator TaNaKh (singkatan TAurat, Nevi'im/Nabi-nabi dan Ketuvim/tulisan para rabi) TIDAK YAKIN Taurat ditulis Musa, Ia menunjuk misalnya kalimat "di seberang Sungai Yordan" (Ulangan 1.1) tidak mungkin, karena Musa tidak pernah menyeberangi Sungai Yordan; "Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu" (Kej. 12: 6), mengisyaratkan dituliskan SETELAH orang Kanaan diusir dari Kanaan; Nama Gunung Moriah (Kej 22:14), baru ada di periode kerajaan; deskripsi Og dan tempat tidur besinya (Ul. 3:11), tempat tidur itu di kota Rabbath, TIDAK MUNGKIN diketahui, sebelum kota itu ditaklukkan Daud; Ia katakan yang dituliskan MUSA hanyalah yang ada di loh batu (Ul. 27.1-8) bukan keseluruhan 5 kitab; "Setelah hukum Taurat itu dituliskan Musa" (Ul 31.9) penulis lainnya akan menggunakan penyebutan orang ke-3; "Kemudian naiklah Musa..ke atas gunung Nebo..Lalu matilah Musa..Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini" (Ul 34), Musa tidak pernah turun dari gunung itu menginfo letak kuburnya sendiri, dan dengan keterangan waktu "sampai hari ini", maka jelas bukan Musa yang menuliskannya dan membuktikan bahwa Taurat buatan banyak tangan, baru ada ratusan/ribuan tahun kemudian, ini bisa kita lihat misalnya Abraham (waktu itu namanya masih Abram) mengejar musuh yang menawan anak saudaranya sampai ke DAN (Kej 14.14), sedangkan daerah bernama DAN baru ada HANYA SETELAH tidak lagi ada raja di kerajaan Israel (Hakim 18.1, 29. Hosea adalah raja terakhir di Israel sejaman dengan raja Yehuda Ahaz - Hizkia) dari sini kita tahu berapa lama nama DAN baru tertulis sebagai nama daerah, yaitu sekurangnya 700an tahun lebih pasca Musa, yaitu tahun setelah Yahudi keluar dari Mesir - kuil ke-1 selesai (487 tahun) + kuil ke-1 selesai - tahun ke-14 Hizkiah (297 tahun). [Lihat juga ini dan ini]

Di kitab Kejadian, terdapat kisah Abraham/Ibrahim, yang diklaim 3 Agama sebagai bagian cikal bakal mereka, Ia lahir 640 tahun sebelum Musa. Walaupun tidak dijelaskan kapan Abraham mulai berkemampuan melakukan komunikasi dengan Tuhan, namun di usia ke-75 [Kej 12.4] dan Yahwe merintahkan Abraham (dan Lot) untuk pergi dari rumah bapaknya di Haran ke Mesir [Kej 12.4], Yahweh menampakan diri pada Abraham di Kanaan [Kej 12.7] yang ternyata, Yahwe tersebut terdiri dari 3 Pria, yang Abraham sebut mereka "ADONAY/TUAN", anehnya, Abram percaya saja pengakuan mereka ini, setelah menyembah mereka hingga ke tanah [Kej 18.1-2], menawarkan cuci kaki dan makan berupa roti, dadih, susu dan daging anak lembu [Kej 18.4-8]. Setelahnya, 2 di antaranya pergi ke Sodom dan disebut malaikat, kedua ini juga LOT sembah hingga mukanya ke tanah [Kej 19.1-2], sementara 1 yang sebelumnya juga yang kelak bertemu Musa dan disebut Malaikat Yahwe, berbeda dengan Abraham, Musa tidak pernah melihat rupanya kecuali berbentuk nyala api di semak duri [Kel 3.1-2] dan suaranya [Kel.34]. Dari suara inilah Musa mendapatkan Taurat.

Abraham dalam kisah itu, jelas bukanlah monoteis, 3 pria yang disebutnya tuan itu disembahnya, malah diperjalanan waktu, tuan-nya Abraham menjadi bertambah banyak, yaitu saat Ia bertemu Melkisedek:
    Dan Ia (Melkisedek, raja Salem) memberkati nya (Abram) dan berkata: "Diberkatilah Abram oleh ALLAH (le el), El Yon, QONEH samayim wa eres [Kej 14.19. Melki Sedek = Adoni-Sedek; Melki = Adoni = Tu(h)anku/RajaKu; Malik/Melek = Raja; Salem ; Yerusalem].

    Abram membalas: "Aku mengangkat tanganku pada EL YAHWEH, EL, El YON, QONEH, SAMAYIM WA AERES" [Kej 14.22]
Pada teks Masoretik (abad ke-10 M) di atas, terdapat kata: "EL", "EL YON", "Yahweh", "QONEH", "SHAMAYIM" dan "ERETS", semuanya ini adalah NAMA PARA DEWA KUNO.

Hartmut Gese, seorang Teolog Protestan dan juga profesor Perjanjian Lama di Eberhard Karls University Tübingen, berpikir bahwa ini: "Triad dewa yang terdiri dari, 'El Elyon, El Qone ares dan El Qone Samayim'" ["Dictionary of Deities and Demons in the Bible", Karel van der Toorn,.., Hal.281]. Sementara Robert M. Kerr, seorang pakar bahasa semit, menyatakan: "Sekarang ini kita tahu bahwa pemberian berkat kepada Abraham oleh Melkisedek (Kejadian 14:19) tidak menunjuk pada 1 Tuhan...Sebaliknya, ayat ini mengacu pada 3 Dewa (terjemahan yang lebih tepatnya adalah: “diberkatilah Abraham oleh Elyon, El, [dan El], Pencipta langit dan bumi.”) Hal yang sama berlaku untuk Musa. Tidak mungkin dia menjadi pendiri Monoteisme Israel.." ["Aramaisms in the Quran and their Significance", Robert M Ker, hal.151]

Kemudian, 1576 tahun setelah Musa lahir, muncul seorang Yahudi yang disebut Yesus dan oleh pengikutnya, Ia diklaim sebagai Tuhan [KPR 2.32-36, Wahyu 3.21], seharusnya Yesus kenal baik malaikat YAHWE, namun anehnya, dimenjelang akhir hidupnya, bukan nama YAHWE yang dipanggilnya, tapi:
  • "Ελωι ελωι λαμμᾶ σαβαχθανι" (Eloi, eloi lammá savachtani) [Markus 15:34] atau
  • "Ηλι ηλι λαμὰ σαβαχθανι" (Heli, heli, lamá savachtaní) [Matius 27.46] [semua teks dari TR Scrivener 1894 dan Stephanus 1550].
Siapa HELI ini? Apakah EL/Tuhan? Jika ya, mengapa bukan memanggil YAHWE? Bukankah episode ini diklaim sebagai pemenuhan nubuatan dari lagu tentang Daud?
  • "אֵלִי אֵלִי מְטוּל מַה שְׁבַקְתַּנִי" (éli éli m'tul mah sh'vak-tani) [Aramaic Targum, Mazmur 22.1] atau
  • "אלי אלי למה עזבתני" (eli eli lamah azab-tani) = "Tuhanku, tuhanku mengapa (kau) abaikanku" [Ibrani Mazmur 22.1]
Mereka yang mengklaim ini sebagai pemenuhan nubuatan tampaknya sengaja membuta bahwa ternyata di bagian awal saja, yaitu Mazmur 22.1 telah disebutkan bahwa lagu ini adalah tentang Daud (bukan tentang/untuk lainnya), lagu ini berkisah ketidakberdayaan Daud ketika dikelilingi musuh. Maka siapakah HELI yang dipanggil Yesus ini, apakah maksudnya:
  • Kakeknya dari pihak ibu, yaitu Heli bin Matat [Luk 3.23-24], atau
  • Utusan tuhan yang datang dimenjelang kemunculan Mesias untuk memulihkan keadaan [Mat 17.10-13; Mark 9.11-13] namun sayangnya, kedatangan Elia disyaratkan harus datang bersamaan Musa [Maleakhi 4.4-5, Neverim/Ulangan Rabba, 10.1/ Neverim Rabba 3.17], atau
  • Yohanes pembaptis, yang pernah membaptis Yesus [Luk 3.21]. Yesus menganggapnya sebagai Elia yang sudah datang [Mat 17.10-13; Mark 9.11-13], 3 injil menyatakan Yohanes wafat terlebih dahulu dari Yesus [Mat 14.10-12, Markus 6.27-29, Lukas 9.9]. Sejarahwan Josephus, menyatakan Yesus wafat dikisaran waktu keributan pembangunan Aquaduct [Antiquities 18.3.3] dekat keributan Samaritan disekitaran wafatnya Tiberius [Ch 18.4.1-2]. Kematian Yohanes, terjadi setelah tahun ke-20 Tiberius/thn 35 SM, yaitu setelah Philip saudara Herodes wafat, karena tidak ada turunan, Tiberius mengambil daerah itu. [Ch.18.4.6], saat pasukan Aretas dan Herodes saling berhadapan, Ex orang Philip bergabung bersama Aretas mengalahkan Herodes. Berang atas kekalahan Herodes, Tiberius memerintahkan Vitelius memerangi Aretas [Ch 18.5.1] namun di hari ke-4 sesampainya di Yerusalem, Tiberius wafat [Ch 18.5.3]. Kaum Yahudi berkata kekalahan Herodes, sebagai balasan kematian Yohanes, yang dibunuhnya, karena takut pengaruh Yohanes dapat memicu pemberontakan. [Ch 18.5.2]. Jika catatan Josephus ini akurat, wajar saja dimenjelang wafat, Yesus memanggil orang yang pernah membaptisnya agar tidak meninggalkannya dan para tentara Romawi yang berdiri di sekitar Yesus saat di salib [Lukas 23.36, Matius 27.46], tampaknya familiar dengan nama "Elia" jika merujuk ke Yohanes, yang dipenjara dan kemudian dibunuh Herodes.
Menariknya juga, kalimat yang mengandung HELI di Markus dan Matius terdiri dari bahasa campuran Aramaik dan Ibrani, ini kemudian menjadi pertanyaan, apa sih sebenarnya bahasa keseharian Yesus (dan penduduk Yerusalem) saat itu, apakah:

Aramaik (ref: KPR 1.19, misal "Hakal-Dama", sebagai bahasa mereka sendiri, yang berasal dari Aramaik), ataukah
Ibrani (merujuk kisah Saulus, seorang Yahudi suku Benyamin - Filipi 3.5 dan KPR 22.3 - yang mengaku bertemu roh Yesus dan diajak berbahasa Ibrani - KPR 26.14), juga merujuk maklumat yang tertulis dalam 3 bahasa saat Yesus di Salib yaitu Ibrani, Yunani dan Romawi - Yoh 19.20).

Jika merujuk Mazmur 22.1, seharusnya Ibrani, jadi kalimat seharusnya "lamah azabtani", namun jika merujuk Targum Aramaik, kalimat seharusnya "mtul mah savachtani", tapi Markus dan Matius mencampurkannya dua bahasa itu, menjadi "lamah savaktani".

Demikianlah sample sumbangan Nasrani memperkaya kebingungan tentang Tuhan.

Sekitar 610 tahun setelah Yesus, munculah Muhammad yang ajarannya disebut Islam bahwa yang menurunkan Taurat BUKAN malaikat Yahwe [Misal AQ 3.2-3, 48, 50; AQ 5.44, 46, 110; AQ 9.111; AQ 62.5], bahwa kaum Yahudi dan Nasrani adalah kafir [AQ 98.1,6], BINATANG YANG PALING BURUK [AQ 8.22,25] akan menjadi bahan bakar neraka [AQ 3.10]. Quran juga menyampaikan "ilah" adalah kata umum menyebut TUHAN:
    ("Janganlah kalian ambil/laa tattakhidzuu dua tuhan/ilaahayni itsnayni; hanya Dialah/innamaa huwa Tuhan yang tunggal/ilaahun waahidun", AQ 16.51); ("Ilahukum ilahun wahidan/Tuhan kalian Tuhan yang satu", AQ 16.22; 21.108); (Pada para Ahlu Kitab: "ilahuna wa-ilahukum wahidun/Tuhan kami dan Tuhan kalian satu", AQ 29.46); ("aja'ala/Mengapa ia jadikan tuhan-tuhan itu/al-aalihata Tuhan yang tunggal/ilaahan waahidan?", AQ 38.5 dan dalam 35 ayat lainnya untuk tuhan-tuhan/aalihat)

    Prof. Hitti, seorang kelahiran Kristen Moronit Libanon, Ulama Islam, Profesor literatur Semitik, Ketua Bahasa Oriental, Peneliti, dan Bidang studi Budaya Arab, menyampaikan,
    "..Bagi masyarakat Hijaz, Allah (Allah, Al-Ilah) adalah yang utama, meski bukan satu-satunya dewa di Makkah. Nama ini berusia sangat tua. Muncul di 2 inkripsi, satu dari Minean ditemukan di al-'Ula dan satu lagi Sabian. Namun terbentuk dari "HLH" di inkripsi Lihyan abad ke-5 SM. Dewa kaum Lihyan berasal dari Syria yang merupakan sentra pertama pemujaan dewa ini di Arab. Ia disebut HALLAH di inkripsi Safa, 5 abad sebelum kemunculan Islam dan juga di Inkripsi Arab Kristen pra Islam yang ditemukan di Umm al Jimal, Syria yang berasal dari abad ke-6. Nama ayah Muhammad adalah 'Abd-Allah ('Abdullah, pelayan atau penyembah Allah). Besarnya penghormatan pada Allah di kalangan kaum Mekkah Pra-Isam sebagai Pencipta dan pemberi nikmat dan yang diseru saat musibah tergambar di AQ 31.24, 31, 6.137, 109; 10.23, tertera bahwa Dia-lah dewanya suku Quraish". ["History of The Arabs", hal.126-127 atau hal.90]
Jika ALLAH-nya Muhammad BUKAN malaikat YAHWE tapi apakah ALLAH SWT ini?:
    "dan tuhan kalian (wa-ilaahukum) tuhan yang satu (ilaahun waahidun) tiada tuhan (laa ilaaha) selain dia (illaa huwa) AL-RAHMAN AL-RAHIM (alrrahmaanu alrrahiim)" [AQ 2.163, Al Madaniyah, urutan turun ke-87]
Allah yang jenis itu, TERNYATA TIDAK DIKENAL kaum Arab Mekkah, sample:
    Ibn Sa'd: Riwayat 'Ali Ibn Muhammad - Abu 'Ali al-`Abdi - Muhammad Ibn al-Sa'ib - Abu Salih - Ibn `Abbas: "Para Quraish mengutus Al-Nadr Ibn al-Harith Ibn 'Alqamah dan 'Uqbah Ibn Abi Mu'ayt dan lainnya kepada kaum YAHUDI Yathrib dan berkata dan bertanya pada mereka: Kamu datang kapadamu karena masalah besar muncul diantara kami. Ada seorang Yatim-Piatu biasa yang membuat klaim besar, menganggap dirinya adalah utusan AL-RAHMAN, sementara itu KAMI TIDAK KENAL AL RAHMAN SELAIN RAHMAN dari AL YAMAMAH ..." (Al-Tabaqat Al-Kabir, Ibn Sa'd, vol.1, bagian 1, bab 40.1.37)

    Protes ini mendapat dukungan dari Prof Hitti,
    "..kata Rahman sangat penting karena memiliki padanan pada bahasa Arab Utara, al-Rahman...Meskipun digunakan dalam berbagai tulisan untuk merujuk pada Tuhan orang-orang Kristen, kata itu jelas di pinjam dari nama salah satu dewa tertua di Arab selatan. Al Rahim juga muncul sebagai nama dewa (RHM) dalam tulisan-tulisan pra Islam dan tulisan orang-orang Sabian" ["History of The Arabs", hal.132]
Demikianlah, Tuhan yang disembah 3 Agama ini, TIDAK JELAS siapa, para pendirinya pun (Musa, Yesus dan Muhammad) semasa hidupnya bahkan TIDAK PERNAH melihatNya, demikian pula dengan para pengikut awal mereka, yang menjalani ajarannya, semasa hidup mereka, TIDAK SATUPUN pernah melihatNya.

Walaupun sama-sama mengakui kenabian Musa, tapi TIDAK MENGAKUI Yahwe-nya Yahudi sebagai Tuhan utama, masing-masing menyatakan sesembahan baru merekalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Tuhan kaum Yahudi, Nasrani dan Islam jelas berbeda satu sama lainnya namun yang lahir belakangan selalu mengklaim bahwa Tuhan diajarannyalah Tuhan yang paling asli, bahkan untuk mempertahankan klaim ini, tradisi saling berbaku hantam akrab menyertai 3 ajaran ini.

Begitu pula tentang Surga,
para pendiri 3 agama ini, semasa hidupnya, TIDAK PERNAH ke Surga. Muhammad diklaim pernah ke Surga dengan merujuk surat 17 dan 53, ternyata juga tidak. AQ 17.1 tentang pergi dari Mesjid Haram ke Mesjid Aqsa (arti: terjauh) dan di AQ 53.12-18, disebutkan beliau melihat Jibril turun dekat pohon bidara/Sidratil terujung/Muntahaa yang dekat itu taman/jannatu tempat tinggal/al mawaa. Kisah Muhammad bertemu Jibril ini mirip kisah Abraham ketika bertemu 3 pria yang juga di dekat pohon tarbantin dekat tempat tinggal Abraham di Mamre. Keberadaan Muhammad di kisah tersebut beritanya simpang siur tak jelas, misal:
  • Beliau sedang bermalam di rumah Hindun/Ummu Hani, Putri Abu Talib [Sirah Nabawiyah Ibn Ishaq/Ibn Hisyam, Jilid 1, Bab 74, Hal. 358-364; Tabaqat Al Kabir, Ibn Sa'd Vol.1, Parts 1.56.1; Tanwir al-Miqbas min Tafsar Ibn 'Abbas untuk AQ 17.9, Tabari (w.310), Zamakhshalli (w. 538), Razi (w.606 H)], atau
  • Di rumahnya tidur sendiri [Bukhari 1.8.345, 4.54.429, Tabaqat Al-Kabir", Ibn sa'd vol.1. book 55.1. hal.143], atau
  • Sedang bersama Aisyah [Sirah Nabawiyah, Ibn Ishaq/Hisyham, Guillaume, hal.183], atau
  • Sedang berbaring antara Al-Hatim atau Al-Hijr (Bukhari 5.58.227)
Kisah perjalanan ke Surga ini meragukan, jika benar pernah, pastinya tahu bahwa bumi bukan berbentuk piringan datar di atas punggung ikan paus, Bintang bukan alat pelempar setan (misal AQ 15.16-18), karena besarnya Bintang, tidaklah lebih kecil dari Matahari kita yang hanya 1.2 JUTA KALI besarnya Bumi.

Para pengikut awal 3 agama ini, percaya dan menjalani ajaran mereka, semasa hidupnya, TIDAK SATUPUN pernah ke Surga, tapi percaya dan menjalaninya dengan keyakinan buta.


Pada system pendidikan di India, mereka yang mencari ilmu selalu tinggal bersama gurunya [catuspathiis/pasraman]. Kehidupan pendidikan mereka ditanggung oleh pemerintah yang berkuasa/kepala daerah dan/atau masyarakat umum. Hampir setiap Brahmana mumpuni mempunyai pasraman sendiri dan kemudian berlanjut turun temurun. Rsi-Rsi/Brahmana terkenal dijaman itu di antaranya adalah Atthaka/Astaka, Vamaka, Vamadeva, Vessamitta/Vishvamitra, Yamataggi/Jamadagni, Anggirara/angiras, Bharadvaja Brihaspati, Vasettha/Vasistha, Kassapa/Kasyapa dan Bhagu/Bhrigu. Saat itu tidak ada standarisasi kurikulum, jadi masing-masing Rsi/Brahmana menciptakan kurikulum dan metode pengajarannya sendiri sehingga Murid-murid yang belajar pada brahmana yang berbeda, pengetahuannya-pun berbeda-beda pula. Perbedaan itu kerap menimbulkan pertentangan pendapat antar satu pasraman dengan lainnya. Perbedaan pendapat tersebut menjadi sumbangan keragaman interpretasi kupasan-kupasan Veda dari jaman ke jaman.

Hindu mengenal banyak dewa (dan dewi) yang menjadi objek puja dan sembah sebagai tuhan utama. Dari jaman ke jaman terjadi perubahan peringkat Dewa utama, beberapa dewa tiba-tiba menjadi populer menggantikan dewa sebelumnya, beberapa meningkat statusnya, dari dewa biasa menjadi dewa utama, lambat laun mengerucut juga menjadi 3 nama Dewa utama, yaitu Brahma, Vishnu dan Siva. Sebelum jaman Buddha, Brahma adalah Tuhan tradisi Hinduisme, sedangkan Siva dan Vihnu menjadi Tuhan baru terjadi ratusan tahun setelah wafatnya Buddha Gautama. Teks Buddhisme Devaputtasamyutta [2:12 dan 2:21] menyebutkan Visnu [Vennu/Venhu] dan Siva saat itu, BELUM menjadi Deva yang menonjol, tapi dewa yang baru lahir di alam Indra/Sakka. Kisah-kisah avatar telah ada di teks-teks Brahmana yang berkaitan dengan Veda, beberapa disusun tidak berapa lama sebelum jaman Buddha, legenda para avatara popular dimasyarakat namun Vishnu sebagai avatar tidak ada di legenda saat itu [The Bhagavad Gita, C. Jinarajadasa, From the Proceedings of the Federation of European Sections of the Theosophical Society, Amsterdam 1904, Theosophical Publishing House, Adyar, Madras. India, November 1915]. Dalam Buddhisme, Brahma HANYALAH SEBAGAI SATU dari sekian dewa, bahkan TERDAPAT BANYAK Brahma, namun bagi Hinduisme, Brahma hanya satu dan kemudian beberapa berupaya menyatakan Brahman dan brahma itu berbeda.

Mengutip Ajaran Pokok dalam Upanisad, Sri Srinivasa menyatakan bahwa: "Brahma berasal dari akar kata kerja brh yang artinya ‘tumbuh’ (brhati) dan menyebabkan tumbuh (brhmayati)", misal di Upanisad, "yasmãcca brhati brmhayati ca sarvam tasmãducyate parambrahmeti" ("Itu disebut Brahman karena itu bertumbuh dan menyebabkan tumbuh” [Shandhilya Upanisad 3.2]. Dalam sanskrit, walaupun dibaca Brahman yang ditulis adalah Brahma, contohnya: "ayam ātmā brahma" ("Atma adalah Brahma/Atman adalah Brahman" [Brihadaranyaka Upanishad 4.4.5]. DR. Frank Morales atau yang kemudian dikenal sebagai Sri Dharma Pravartaka Acharya mengatakan bahwa Brahman bukanlah tuhan namun merupakan sikap sebagaimana tercantum di Taittariya Upanishad' II.1: "satyam jnanam anantam brahma", "Brahman adalah dari kebenaran sejati, pengetahuan dan keabadian"

Buddhisme menjelaskan bersatu dengan Brahma[n] adalah dengan pemenuhan kualitas mental tertentu sehingga dari sebab dan kondisi tersebut memungkinkan seseorang mencapai alam Brahma[n], seperti disampaikan dalam Digha Nikaya no.13, Tevijja Sutta/Sutta tiga pengetahuan/tiga veda:


Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berkunjung ke Kosala bersama lima ratus bhikkhu. Beliau datang ke suatu desa Brahmana Kosala yang bernama Manasākaṭa, dan menetap di utara desa itu di sebuah hutan mangga di tepi Sungai Aciravatī. Dan pada saat itu ada banyak Brahmana yang terkenal dan makmur sedang berada di Manasākaṭa, termasuk Canki, Tārukkha, Pokkarasāti, Jāṇussoni, dan Todeyya. Dan Pemuda Vāseṭṭha dan Pemuda Bhāradvāja sedang berjalan-jalan di sepanjang jalan, dan pada saat itu, terjadi perdebatan antara mereka mengenai topik jalan yang benar dan yang salah. Vasettha: 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma (brahmānaṃ sahabyatāya). Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Pokkharasadi'. Sedangkan Bharadvaja: 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma. Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Tarukkho'.

Namun pemuda Vasettha tidak dapat meyakinkan pemuda Bharadvaja, begitu pula pemuda Bharadvaja tidak dapat meyakinkan pemuda Vasettha. Kemudian pemuda Vasettha berkata kepada pemuda Bharadvaja: 'Bharadvaja, Samana Gotama, putra suku Sakya, telah meninggalkan keluarga Sakya menjadi petapa, sekarang ada di Manasakata, tinggal di taman mangga di tepi sungai Aciravati, tepatnya di utara Manasakata. Sehubungan dengan Samana Gotama telah tersebar berita yang baik yaitu: 'Demikianlah Bhagava, maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan serta tidak-tanduknya, sempurna menempuh jalan, pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar dan patut dimuliakan'. Bharadvaja, marilah kita menemui Samana Gotama, bilamana kita telah menemuinya, kita tanyakan persoalan kita ini kepada beliau. Apa yang Samana Gotama uraikan kepada kita, kita perhatikan dengan baik'. (samana = Petapa). 'Baiklah, kawan!' jawab pemuda Bharadvaja menyetujui saran pemuda Vasettha.
    Note:
    Buddhaghosa komentator abad ke-5 M: Vāseṭṭha adalah siswa utama Brahmana Pokkharasāti (Bhāradvāja adalah murid Brahmana Tārukkha), mereka ahli dalam tiga Veda, kunjungan pertama mereka ke Sang Buddha saat Vāseṭṭha Sutta (MN 98/SnP 3.9) diakhirnya, mereka menerima Buddha sebagai guru (masih sebagai umat awam), melakukannya lagi, dikunjungan berikut, di Tevijja Sutta. Setelahnya, mereka menetap bersama para bhikkhu (tidak disebutkan menjadi calon bhikkhu/Samanera), di akhir Aggaña Sutta (DN 27) mereka ditahbiskan menjadi Bhikkhu, dan kemudian mencapai Arahat. Mereka termasuk keluarga yang sangat kaya, ketika meninggalkan duniawi, Vasettha meninggalkan 400 juta, sedangkan Bharadvaja meninggalkan 450 juta (DA.ii.399, 406; cf.iii.860, 872; SNA.ii.463; cf. SN., P.116)
'Selanjutnya, pemuda Vasettha dan pemuda Bharadvaja pergi ke tempat Bhagava berada'. Setelah sampai, mereka memberi hormat kepada Bhagava dan saling menyapa dengan kata-kata santun, lalu duduk di tempat yang telah tersedia. Setelah duduk, pemuda Vasettha berkata kepada Bhagava: 'Gotama, ketika kami sedang berjalan bolak-balik (di tepi sungai) muncul percakapan tentang jalan benar dan jalan salah. Saya berkata : 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan,...Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Pokkharasadi'. Sedangkan pemuda Bharadvaja mengatakan : 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan,...Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Tarukkho'. Gotama, sehubungan dengan masalah ini terjadi perdebatan, pertentangan dan perbedaan pandangan di antara kami'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan: 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan,...Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Pokkharasadi'. Sedangkan Bharadvaja mengatakan: 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan,...Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Tarukkho'. 'Vasettha, karena itu terjadi perdebatan, pertanyaan dan perbedaan pandangan di antara anda berdua?'

Pemuda Vasettha: 'Mengenai jalan benar dan jalan salah, Gotama. Banyak Brahmana mengajar bermacam jalan, seperti para Brahmana Addhariya/Adhavaryu, para Brahmana Tittiriya/Taittiriya, para Brahmana Chandoka/Chandogya, para Brahmana Chandava dan para Brahmana Brahma-cariya. Apakah semua itu adalah jalan-jalan keselamatan? Apakah semua jalan itu dapat membimbing seseorang yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma?' 'Gotama, bagaikan di sekitar desa atau kota banyak dan bermacam jalan, namun semua jalan itu bertemu di desa - demikian pula cara itu bahwa semua macam jalan yang diajarkan para Brahmana,...Apakah semua itu adalah jalan-jalan keselamatan? Apakah semua jalan itu dapat membimbing seseorang yang melaksanakan-nya untuk bersatu dengan Brahma?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan semua jalan ke arah benar'?
Pemuda Vasettha: 'Ke arah benar, Gotama'.

(Pertanyaan diulangi Beliau 3x, juga dijawab yang sama oleh pemuda Vasettha 3x)

Sang Bhagava: 'Bagaimana Vasettha? Apakah ada seorang Brahmana dari para Brahmana yang menguasai tevijja pernah melihat langsung Brahma?' (tevijja = tiga Veda/Pengetahuan: Rg, Sama dan Yajur Veda)
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, atau apakah ada seorang guru dari para Brahmana yang menguasai tevijja pernah melihat langsung Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, atau apakah ada seorang guru di antara guru-guru dari para guru Brahmana yang menguasai tevijja pernah melihat langsung Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, atau apakah ada seorang Brahmana sampai 7 generasi yang menguasai tevijja, pernah melihat langsung Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah, para rsi dari para Brahmana yang lampau, yang telah menguasai tevijja, para penulis mantra-mantra, para pengucap mantra-mantra, yang mantra-mantra kunonya dilafalkan, diucapkan atau disusun, yang oleh para Brahmana masa kini dilafalkan kembali atau berulang-ulang kali; diintonasikan atau lafalkan secara tepat seperti yang telah diintonasikan atau dilafalkan - seperti Atthaka, Vamako, Vamadevo, Vessamitto, Yamataggi, Angiraso, Bharadvajo, Vasettho, Kassapa dan Bhagu - mereka mengucapkan itu dengan berkata: 'Kami mengetahuinya, kami telah melihatnya, di mana Brahma berada, dari mana Brahma atau ke mana Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan bahwa tidak ada dari para Brahmana, atau para guru mereka, atau dari murid-murid mereka, sampai 7 generasi yang pernah melihat langsung Brahma. Begitu pula dengan para rsi dari para Brahmana yang lampau, yang telah menguasai tevijja, para penulis mantra-mantra, para pengucap mantra-mantra, yang mantra-mantra kuno-nya dilafalkan, diucapkan atau disusun, yang olah para Brahmana masa kini dilafalkan kembali atau berulang-ulang kali; diintonasikan atau lafalkan secara tepat seperti yang telah diintonasikan atau dilafalkan - seperti Atthaka, Vamako, Vamadevo, Vessamitto, Yamataggi, Angiraso, Bharadvajo, Vasettho, Kassapa dan Bhagu. Mereka tidak mengatakan: 'Kami mengetahuinya, kami telah melihat, di mana Brahma berada, dari mana Brahma atau ke mana Brahma?' Sehingga para Brahmana yang menguasai tevijja dengan benar berkata: 'Apa yang kita tidak tahu, apa yang kita tidak lihat, keadaan bersatu yang jalannya kita ajarkan, dengan berkata: Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma'.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu? Bila begitu, bukankah cerita mengenai para Brahmana yang walaupun mereka menguasai tevijja, ternyata mereka menyatakan hal yang bodoh?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya demikian bahwa para Brahmana yang menguasai tevijja ternyata menyatakan hal yang bodoh.

Sang Bhagava: 'Vasettha, sebenarnya para Brahmana yang menguasai tevijja dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu dan mereka tidak lihat - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi. '

'Vasettha, bagaikan beberapa orang buta yang saling berdekatan, yang di depan tidak dapat melihat, yang di tengah tidak dapat melihat, begitu pula yang di belakang tidak dapat melihat - Vasettha, saya berpendapat begitu pula dengan para Brahmana yang menguasai tevijja tetapi menceritakan hal yang buta: yang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, begitu pula yang di belakang tidak melihat. Maka uraian dari para Brahmana yang menguasai tevijja ini, ternyata konyol, hanya kata-kata, hampa dan kosong!.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu? Dapatkah para Brahmana yang menguasai tevijja - seperti orang-orang lain yang awam dan biasa - melihat bulan dan matahari lalu mereka sembayang, memuja dan memuji, berputar dengan beranjali ke arah bulan dan matahari terbit maupun terbenam?'
Pemuda Vasettha: 'Tentu mereka dapat, Gotama'.

Sang Bhagava: Vasettha, bagaimana pendapatmu? Para Brahmana yang menguasai tevijja, yang dengan baik - seperti orang-orang lain yang awam dan biasa - melihat bulan dan matahari lalu mereka sembayang, memuja dan memuji, berputar dengan beranjali ke arah bulan dan matahari terbit maupun terbenam - adalah para Brahmana yang menguasai tevijja, dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan bulan dan matahari, dengan berkata: "Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan bulan dan matahari".
Pemuda Vasettha: 'Tentu tidak, Gotama!'

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda berkata bahwa para Brahmana tidak dapat menunjukkan jalan bersatu dengan hal yang telah mereka lihat; lebih lanjut anda mengatakan tidak ada seorang pun dari mereka, atau siswa mereka, atau para pendahulu mereka hingga tujuh generasi yang telah melihat Brahma. Lagi pula anda mengatakan para rsi yang lampau, yang teguh meyakini ucapan mereka, tidak berpura-pura mengetahui atau telah melihat di mana, dari mana atau ke mana Brahma itu. Namun para Brahmana yang menguasai tevijja ini mengatakan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan bersatu, padahal mereka tidak tahu maupun belum melihatnya'. Vasettha, sekarang bagaimana pendapat-mu? Bila demikian, bukankah kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ini adalah omong kosong saja?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ternyata omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Vasettha ternyata, para Brahmana yang menguasai tevijja yang dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu maupun mereka tidak lihat - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaikan seorang pria berkata: 'Betapa saya rindu, betapa saya mencintai wanita tercantik di dunia ini!'

'Orang-orang bertanya kepadanya: 'Baiklah kawan. Wanita tercantik di dunia ini, yang anda rindukan dan cintai, apakah anda mengetahui bahwa wanita cantik itu bangsawan/khattiya, Brahmana, pedagang/vessa atau kalangan bawah/sudda?'
'Ketika ditanya seperti itu, ia menjawab: 'Tidak'.

'Lalu orang-orang berkata kepadanya: 'Jadi, ia yang anda rindukan dan cintai adalah orang yang belum anda tahu dan lihat?'
'Setelah ditanya begitu, ia menjawab: 'Ya'.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu? Bila demikian, bukankah apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, begitu pula, anda berkata bahwa para Brahmana tidak dapat menunjukkan jalan bersatu dengan hal yang telah mereka lihat; lebih lanjut anda mengatakan tidak ada seorang pun dari mereka, atau siswa mereka, atau para pendahulu mereka hingga tujuh generasi yang telah melihat Brahma. Lagi pula anda mengatakan para rsi yang lampau, yang teguh meyakini ucapan mereka, tidak berpura-pura mengetahui atau telah melihat di mana, dari mana atau ke mana Brahma itu. Namun para Brahmana yang menguasai tevijja ini mengatakan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan bersatu, padahal mereka tidak tahu maupun belum melihatnya'.

'Vasettha, sekarang bagaimana pendapatmu? Bila demikian, bukankah kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ini adalah omong kosong saja?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja adalah omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Vasettha ternyata, para Brahmana yang menguasai tevijja yang dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu maupun mereka tidak lihat - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaikan seseorang yang membuat sebuah tangga untuk naik ke istana di suatu tempat di persimpangan jalan. Lalu orang-orang bertanya kepadanya: 'Kawan, baiklah, untuk naik ke istana itu anda buatkan tangga, apakah istana itu di sebelah, timur, selatan, barat atau utara? Apakah istana itu tinggi, rendah atau menengah?'
'Ketika ditanya seperti itu, ia menjawab: 'Tidak'.

'Lalu orang-orang berkata kepadanya: 'Kawan, jadi anda membuat tangga untuk naik ke sesuatu - apakah itu istana - yang anda tidak tahu dan belum lihat?.
'Setelah ditanya begitu, ia menjawab: 'Ya'.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu?. Bila demikian, bukankah apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong?
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, begitu pula, anda berkata bahwa para Brahmana tidak dapat menunjukkan jalan bersatu dengan hal yang telah mereka lihat; lebih lanjut anda mengatakan tidak ada seorang pun dari mereka, atau siswa mereka, atau para pendahulu mereka hingga tujuh generasi yang telah melihat Brahma. Lagi pula anda mengatakan para rsi yang lampau, yang teguh meyakini ucapan mereka, tidak berpura-pura mengetahui atau telah melihat di mana, dari mana atau ke mana Brahma itu. Namun para Brahmana yang menguasai tevijja ini mengatakan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan bersatu, padahal mereka tidak tahu maupun belum melihatnya'.

'Vasettha, sekarang bagimana pendapatmu?. Bila demikian, bukankah kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ini adalah omong kosong saja?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja adalah omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Vasettha ternyata, para Brahmana yang menguasai tevijja yang dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu maupun mereka tidak lihat - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bilamana sungai Aciravati penuh dengan air hingga ke tepi dan meluap, kemudian ada seorang yang mempunyai kegiatan di tepi seberang, mau menyeberang, berusaha ke seberang, datang ke tepi dan ingin menyeberang. Selagi ia berdiri di tepi sini, ia memohon ke tepi sebelah dengan berkata: 'Wahai tepi seberang sana, datang ke sini!, datanglah ke seberang sini!'

'Vasettha bagaimana pendapatmu? Apakah tepi seberang sungai Aciravati, karena permohonan, doa, pujian dan harapan orang itu akan datang ke tepi sebelah sini?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, tentu saja tidak'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, begitulah caranya para Brahmana yang menguasai tevijja - dengan meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana - berkata: 'Kami mohon Inda, kami mohon Soma, kami mohon Varuna, kami mohon Isana, kami mohon Pajapati/pragapati, kami mohon Brahma, kami mohon Mahiddhi, kami mohon Yama. (Inda = Indra; Īsāna adalah nama lama dewa Rudra (Śīva kadang disebut Rudra), Mahiddhi = mungkin Tvaṣṭar/Visvakarma)

'Vasettha, para Brahmana yang menguasai tevijja - meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana - bahwa mereka, berdasarkan pada permohonan, doa, pujian dan harapan, bila mereka meninggal dunia akan menyatu dengan Brahma - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaikan bilamana sungai Aciravati penuh dengan air hingga ke tepi dan meluap, kemudian ada seorang yang mempunyai kegiatan di tepi seberang, mau menyeberang, berusaha ke seberang, datang ke tepi dan ingin menyeberang. Selagi ia di tepi sini, tangannya, punggungnya terikat erat oleh rantai kuat, dan bagaimana pendapatmu, Vasettha, dapatkah orang itu menyeberang ke tepi sana dari sungai Aciravati?
Pemuda Vasettha: 'Gotama, tentu saja tidak'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, dengan cara yang sama, ada lima hal yang mengarah pada nafsu, yang disebut dalam vinaya-ariya sebagi rantai atau ikatan'. (vinaya-aria = latihan disiplin untuk mencapai kesucian). 'Apakah lima hal itu?'

'Pertama adalah bentukan (rupa) yang dilihat mata, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebab-kan kesenangan.
Kedua adalah Suara-suara yang didengar telinga, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebabkan kesenangan.
Ketiga adalah Bebauan yang dicium oleh hidung, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebabkan kesenangan.
Keempat adalah Rasa-rasa yang dikecap oleh lidah, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai menyebabkan kesenangan.
Kelima adalah Sentuhan-sentuhan yang dirasakan oleh tubuh, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebabkan kesenangan.

Lima hal ini berkecenderungan pada nafsu disebut dalam Vinaya ariya sebagai rantai atau ikatan'.

'Vasettha, lima hal berkecenderungan pada nafsu, apakah para Brahmana yang menguasai tevijja terantai, terangsang, terikat pada hal-hal itu, dan mereka tidak melihat bahaya pada hal-hal itu, tidak mengetahui bahwa hal-hal itu tidak dapat dijadikan tumpuan, namun menikmati hal-hal itu'.

'Vasettha, sesungguhnya para Brahmana yang menguasai tevijja dengan meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana - terikat pada hal-hal itu, dan mereka tdlak melihat bahaya pada hal-hal itu, tidak mengetahui bahwa hal-hal itu tidak dapat dijadikan tumpuan, namun menikmati hal-hal itu - bahwa para Brahmana ini setelah meninggal, akan bersatu dengan Brahma - kondisi seperti ini tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaikan bilamana sungai Aciravati penuh dengan air hingga ke tepi dan meluap, kemudian ada seorang yang mempunyai kegiatan di tepi seberang, mau menyeberang, berusaha ke seberang, datang ke tepi dan ingin menyeberang. Selagi ia di tepi sini, ia membungkus dirinya hingga ke kepalanya, ia berbaring untuk tidur. 'Vasettha, bagaimana pendapatmu, dapatkah orang itu menyeberang ke tepi sana dari sungai Aciravati?
Pemuda Vasettha: 'Gotama, tentu saja tidak'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, dengan cara yang sama, ada lima rintangan (nivarana), yang dalam vinaya-ariya disebut perintang, penghalang, pengganggu atau jerat. 'Apakah lima hal itu?'

Pertama 'hasrat indriya/duniawi (abhijjha = kamacchanda = lobha) sebagai perintang'.
Kedua 'memusuhi/kemarahan/menolak karena benci (Byāpādapadosa) sebagai perintang'.
Ketiga 'malas (thina) - lamban/ngantuk (middha) sebagai perintang'.
Keempat 'gelisah (uddhacca) dan cemas (kukkucca) sebagai perintang'.
Kelima 'keragu-raguan (vicikiccha) sebagai perintang'.

‘Vasettha, inilah lima perintang yang dalam vinaya ariya disebut perintang, penghalang, pengganggu atau jerat'.

'Vasettha, sesungguhnya para Brahmana yang menguasai tevijja - dengan meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana - terintang, terhalang, terganggu dan terjerat oleh lima rintangan ini - bahwa para Brahmana ini setelah meninggal, akan bersatu dengan Brahma - kondisi seperti ini tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaimana pendapatmu dan apakah anda pernah mendengar dari para Brahmana tua dan telah berpengalaman, dan ketika para ahli dan para guru bercakap-cakap bersama?

Apakah Brahma beristri/harta atau tidak?' (sa-pariggaho = bersama/sa kekayaan dan atau istri/pariggaho)
Pemuda Vasettha: 'Tidak, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikirannya diliputi permusuhan/bahaya atau bebas dari permusuhan/bahaya?' (sa+a+vera+citto, vera = bahaya/permusuhan/kemarahan; citta = pikiran)
Pemuda Vasettha: 'Bebas dari bahaya, Gotama'. (averacitto, bho gotama)

Sang Bhagava: 'Apakah pikirannya diliputi kebencian atau bebas dari kebencian? (Sa+byāpajja+citto, bhyapajja = kebencian)
Pemuda Vasettha: 'Bebas dari kebencian, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikirannya diliputi noda atau murni?' (Saṅ+kiliṭṭha+citto, killissati = noda)
Pemuda Vasettha: 'murni, teman Gotama?'

Sang Bhagava: 'Apakah menguasai dirinya atau tidak?' (Vasavattī = disiplin, menguasai, memegang kekuasaan, mendominasi)
Pemuda Vasettha: 'Menguasai dirinya, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, bagaimana pendapatmu, apakah para Brahmana yang menguasai tevijja beristri/harta atau tidak?'
Pemuda Vasettha: 'Memiliki, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah mereka diliputi kemarahan atau bebas dari kemarahan?'
Pemuda Vasettha: 'Diliputi kemarahan, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikiran mereka diliputi kebencian atau bebas dari kebencian?'
Pemuda Vasettha: 'Diliputi kebencian, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikiran mereka murni atau tidak?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak murni, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah mereka menguasai diri mereka atau tidak?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak menguasai diri mereka, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan bahwa para Brahmana beristri/harta, namun Brahma tidak. Dapatkah disesuaikan atau disamakan Brahmana yang beristri/harta dengan Brahma yang tidak beristri/harta?'
Pemuda Vasettha: 'Tentu tidak, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Tetapi sesungguhnya para Brahmana yang menguasai tevijja ini, yang hidup dalam perkawinan dan berharta, setelah meninggal dunia akan bersatu dengan Brahma yang tidak beristri/harta - keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi'.

'Vasettha, anda mengatakan bahwa para Brahmana diliputi kemarahan, kebencian, ternoda, dan tak menguasai diri; sedangkan Brahma tidak diliputi kemarahan, tidak diliputi kebencian, murni dan menguasai diri. Dapatkah disesuaikan atau disamakan para Brahmana dan para Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tentu tidak, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Bahwa para Brahmana yang menguasai tevijja ini yang masih diliputi kemarahan, kebencian, ternoda dan tidak menguasai diri setelah meninggal dunia akan bersatu dengan Brahma yang bebas dari kemarahan dan kebencian, murni dan menguasai diri - keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi.

Vasettha, demikianlah, walaupun para Brahmana menguasai tevijja, di tepian, menuju tenggelam (āsīditvā/menuju; saṃsīdanti/tenggelam); setelah hanyut tenggelam (saṃsīditvā visāraṃ pāpuṇanti), mereka kira menyeberang, diseberang yang kering (sukkha+taraṃ = diseberang + yang kering maññe/mengira taranti/menyeberang)'. Maka tiga pengetahuan (tevijja) para Brahmana yang menguasai tevijja disebut: gersang (tevijjāiriṇantipi), dalam kebingungan/hutan tanpa jalan (tevijjāvivanantipi); bencana (tevijjābyasanantipi)'.

'Ketika beliau selesai berkata, pemuda Brahmana Vasettha berkata kepada Bhagava: 'Gotama, telah dikatakan kepadaku bahwa Samana Gotama mengetahui jalan untuk bersatu dengan Brahma'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, bagaimana pendapatmu, bukankah Manasakata dekat dan tak jauh dari tempat ini?'
Pemuda Vasettha: 'Begitulah, Gotama. Manasakata dekat, tidak jauh dari tempat ini'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, bagaimana pendapatmu, misalnya ada seseorang yang lahir di Manasakata dan belum pernah meninggalkan Manasakata, lalu orang-orang bertanya kepadanya tentang jalan yang menuju Manasakata. Apakah orang itu yang lahir dan dibesarkan di Manasakata akan ragu-ragu dan mendapat kesulitan untuk menjawab?'

Pemuda Vasettha: 'Tentu tidak Gotama. Mengapa? Jika seseorang lahir dan dibesarkan di Manasakata, maka setiap jalan yang mengarah ke Manasakata diketahuinya dengan baik'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Manasakata mungkin saja ia akan ragu-ragu dan mendapat kesulitan untuk menjawab bila ditanya jalan yang menuju ke Manasakata; tetapi Tathagata, bila ditanya mengenai jalan yang mengarah ke alam Brahma, ia tidak akan ragu-ragu atau mendapat kesulitan untuk menjawab. Vasettha, karena saya tahu Brahma, alam Brahma, dan jalan yang mengarah ke alam Brahma. Ya, saya mengetahui itu karena saya sebagai seorang yang telah memasuki alam Brahma dan telah terlahir di dalamnya'.

'Setelah beliau berkata begitu, pemuda Brahmana Vasettha berkata kepada Bhagava: 'Gotama, begitulah dikatakan kepada saya bahwa samana Gotama mengetahui jalan untuk bersatu dengan Brahma. Itu bagus sekali. Mohon yang mulia Gotama menunjukkan jalan untuk bersatu dengan Brahma, mohon yang mulia Gotama menyelamatkan ras Brahmana'.

Sang Bhagava: ‘Vasettha, perhatikanlah dan dengarkanlah dengan baik, saya akan bicara!' 'Baiklah,' jawab pemuda Brahmana Vasettha menyetujuinya'.

'Kemudian Bhagava berkata: 'Vasettha, ketahuilah di dunia ini muncul seorang Tathagata, arahaṃ (yang padam, telah memotong lingkaran, menjinakan keburukan, bebas dari samsara) sammāsam (dengan benar sempurna/seluruhnya) - Buddho (telah tercerahkan) vijjācaraṇasampanno (sempurna pengetahuan dan prilaku) sugato (baik/su + arah/tujuannya/gato atau bicaranya/gad) lokavidū (pengenal alam) anuttaro purisadammasārathi (penunjuk jalan tiada banding bagi yang patut dijinakkan) satthā devamanussānaṃ (guru para deva dan manusia) buddho bhagavā ti (sang mulia yang telah tercerahkan), setelah mencapainya dengan pengetahuanNya sendiri, beliau menyatakannya kepada dunia ini dengan para dewa, māra dan Brahmā, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan pertapaan/brahma (brahmacariya) yang sempurna dan murni sepenuhnya.

'‘Dhamma ini didengar oleh seorang perumah tangga atau putra perumah tangga, atau seorang yang terlahir dalam suatu keluarga atau lainnya. Setelah mendengar Dhamma ini, ia mendapatkan keyakinan dalam Sang Tathāgata. Setelah mendapatkan keyakinan, ia merenungkan: “Kehidupan rumah tangga adalah tertutup dan kotor, kehidupan tanpa rumah adalah bebas bagaikan udara. Tidaklah mudah, sambil menjalani kehidupan rumah tangga, untuk menjalani kehidupan suci yang sempurna, murni dan mengkilap bagaikan kulit kerang. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, meninggalkan hidup berkeluarga dan menempuh hidup tanpa berkeluarga (pabbajja), tidak lama kemudian ia meninggalkan hartanya, apakah itu besar atau kecil; meninggalkan lingkungan keluarganya, apakah banyak atau sedikit, ia mengenakan jubah kuning, meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi tanpa berkeluarga

'Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan peraturan-peraturan bhikkhu (patimokkha), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia mengingat untuk sepenuhnya mengetahui (sati sampajjana); dan hidup puas'.

'Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu yang sempurna silanya?
  • Vasettha, dalam hal ini seorang bhikkhu menjauhi menyakiti kehidupan (Pāṇātipāta), menahan diri dari menyakiti kehidupan. Setelah membuang alat pemukul dan pedang, berhati-hati/malu berbuat kasar (lajjī), penuh belas kasih (dayāpanno), demi kesejahteraan semua kehidupan dan makhluk hidup (abbapāṇabhūtahitānukampī), inilah sila yang dimilikinya.

  • 'Menjauhi mengambil yang tidak diberikan (adinnādāna), menahan diri mengambil yang tidak diberikan; hanya mengambil yang diberikan; tertuju hanya yang telah diberikan, hidup murni tanpa mencuri. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'menjalankan penghidupan brahma (Brahmacariya); meninggalkan bukan penghidupan brahma, tidak melakukan hubungan kelamin seperti perumahtangga (virato methunā gāmadhammā). Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Menjauhi perkataan tidak benar (Musāvāda), menahan diri dari perkataan tidak benar, ia berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran, jujur dan dapat dipercaya, serta tidak mengingkari kata-katanya sendiri di dunia'. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • ‘Menjauhi perkataan memecah belah (Pisuṇa), menahan diri dari perkataan memecah belah; apa yang didengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sini. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • Menjauhi perkataan kasar (Pharusa), menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar, hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, menyenangkan, berkenan di hati, sopan, indah dan menarik bagi banyak orang. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Menjauhi pembicaraan sia-sia (Samphappalāpa), menahan diri dari pembicaraan sia-sia; berbicara pada saat yang tepat, sesuai kenyataan, berguna, tentang dhamma dan vinaya. Pada saat yang tepat, mengucapkan kata-kata yang berharga untuk didengar, penuh dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian yang jelas dan tidak berbelit-belit. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan tumbuh- tumbuhan. Ia makan sehari sekali, tidak makan setelah tengah hari

  • menahan diri dari :

    • menonton pertunjukkan-pertunjukkan, tari-tarian, nyanyian dan musik.
    • penggunaan alat-alat kosmetik, karangan-karangan bunga, wangi-wangian dan perhiasan-perhiasan.
    • penggunaan tempat tidur yang besar dan mewah.
    • menerima emas dan perak.
    • menerima gandum (padi) yang belum dimasak.
    • menerima daging yang belum dimasak.
    • menerima wanita dan perempuan-perempuan muda.
    • menerima budak belian lelaki dan budak belian perempuan.
    • menerima biri-biri atau kambing,
    • menerima bagi dan unggas,
    • menerima gajah, sapi dan kuda.
    • menerima tanah-tanah pertanian.
    • menipu dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran.
    • perbuatan menyogok, menipu dan penggelapan.
    • perbuatan melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya.

    Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan, seperti: tumbuhan yang berkembang biak dari akar-akaran, tumbuhan yang berkembang biak dari tetangkaian, tumbuhan yang berkembang biak dari ruas- ruas atau tumbuhan yang berkembang biak dari kecambah-kecambahan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan. Inilah sila yang dimilikinya'

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan barang-barang yang ditimbun, simpanan, seperti: bahan makanan simpanan, minuman simpanan, jubah simpanan, perkakas-perkakas simpanan, bumbu makanan simpanan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari menggunakan barang-barang yang ditimbun semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menonton aneka macam pertunjukkan, seperti: tari-tarian, nyanyian-nyanyian musik, pertunjukkan panggung, opera, musik yang diiringi dengan tepuk tangan, pembacaan deklamasi, permainan tambur, drama kesenian, permainan akrobat di atas galah, adu gajah, adu kuda, adu sapi, adu banteng, pertandingan tinju, pertandingan gulat, perang perangan, pawai, inspeksi, parade; namun seorang bhikkhu menahan diri dari menonton aneka macam pertunjukkan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terikat dengan aneka macam permainan dan rekreasi, seperti: permainan catur dengan papan berpetak delapan baris, permainan catur dengan papan berpetak sepuluh baris, permainan dengan membayangkan papan catur tersebut di udara, permainan melangkah satu kali pada diagram yang digariskan di atas tanah, permainan dengan cara memindahkan benda-benda atau orang dari satu tempat ke lain tempat tanpa menggoncangkannya, permainan lempar dadu, permainan memukul kayu pendek dengan menggunakan kayu panjang, permainan mencelup tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, permainan bola, permainan meniup sempritan yang dibuat dari daun palem, permainan meluku dengan bajak mainan, permainan jungkir balik (salto), permainan dengan kitiran yang dibuat dari daun palem, bermain dengan timbangan mainan yang dibuat dari daun palem, bermain dengan kereta perang mainan, bermain dengan panah-panah mainan, menebak tulisan-tulisan yang digoreskan di udara atau pada punggung seseorang, menebak pikiran teman bermain, namun seorang bhikkhu menahan diri dari aneka macam permainan dan rekreasi semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah, seperti: dipan tinggi yang dapat dipindah-pindahkan yang panjangnya enam kaki, dipan dengan tiang-tiang berukiran gambar binatang-binatang seprei dari bulu kambing atau bulu domba yang tebal, seprei dengan bordiran warna warni, selimut putih, seprei dari wol yang disulam dengan motif bunga-bunga, selimut yang diisi dengan kapas dan wol, seprei yang disulam dengan gambar harimau dan singa, seprei dengan bulu binatang pada kedua tepinya, seprei dengan bulu binatang pada salah satu tepinya, seprei dengan sulaman permata, seprei dari sutra, selimut yang dapat dipergunakan oleh enam belas orang, selimut gajah, selimut kuda atau selimut kereta, selimut kulit kijang yang dijahit, selimut dari kulit sebangsa kijang, permadani dengan tutup kepala dan kaki; namun seorang bhikkhu menahan diri untuk tidak mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih memakai perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri seperti: melumuri, mencuci dan menggosok tubuhnya dengan bedak wangi; memukuli tubuhnya dengan tongkat perlahan-lahan seperti ahli gulat; memakai kaca, minyak mata (bukan obat), bunga-bunga, pemerah pipi, kosmetika, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk bergaya), tabung bambu untuk menyimpan obat, pedang, alat penahan sinar matahari, sandal bersulam, sorban, perhiasan dahi, sikat dari ekor binatang yak, jubah putih panjang yang banyak lipatannya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari pemakaian perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam percakapan-percakapan yang rendah, seperti: percakapan tentang raja-raja, percakapan tentang mencuri, percakapan tentang menteri-menteri, percakapan tentang angkatan-angkatan perang, percakapan tentang pembunuhan-pembunuhan, percakapan tentang pertempuran-pertempuran, percakapan tentang makanan, percakapan tentang minuman, percakapan tentang pakaian, percakapan tentang tempat tidur, percakapan tentang karangan-karangan bunga, percakapan tentang wangi-wangian, pembicaraan-pembicaraan tentang keluarga, percakapan tentang kendaraan, percakapan tentang desa, percakapan tentang kampung, percakapan tentang kota, percakapan tentang negara, percapakan tentang wanita, percakapan tentang lelaki, percakapan di sudut-sudut jalanan, percakapan tentang hantu-hantu jaman dahulu, percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan, spekulasi tentang terciptanya lautan, percakapan tentang perwujudan dan bukan perwujudan (eksistensi dan non eksistensi); namun seorang bhikkhu menahan diri dari percakapan-percakapan yang rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.

  • 'Meskipun beberapa petapa Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam kata-kata perdebatan, seperti: 'Bagaimana seharusnya engkau mengerti Dhamma Vinaya ini? 'Engkau menganut pandangan-pandangan keliru, tetapi aku menganut pandangan-pandangan benar. 'Aku berbicara langsung pada pokok persoalan, tetapi engkau berbicara langsung pada pokok persoalan'. Engkau membicarakan di bagian akhir tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian permulaan; dan membicarakan di bagian permulaan tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian akhir. Apa yang lama telah engkau persiapkan untuk dibicarakan, semuanya itu telah usang'. Kata-kata bantahanmu itu ditentang, dan engkau ternyata salah'. 'Berusahalah untuk menjernihkan pandangan-pandanganmu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari kata-kata perdebatan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh dan bertindak sebagai perantara dari raja-raja, menteri-menteri negara, kesatria, Brahmana, orang berkeluarga atau pemuda-pemuda, yang berkata: 'Pergilah ke sana, pergilah ke situ, bawalah ini, ambilkan itu dari sana'; namun seorang bhikkhu menahan diri dari tugas-tugas sebagai pembawa berita, pesuruh dan perantara semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan tindakan-tindakan penipuan dengan cara: merapalkan kata-kata suci, meramal tanda-tanda dan mengusir dengan tujuan memperoleh keuntungan setelah memperlihatkan sedikit kemampuannya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti meramal dengan melihat guratan-guratan tangan, meramal melalui tanda-tanda dan alamat-alamat, menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda langit lainnya, meramal dengan mengartikan mimpi-mimpi, meramal dengan melihat tanda-tanda pada bagian tubuh, meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang digigit tikus, mengadakan korban pada api, mengadakan selamatan yang dituang dari sendok, memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan bekatul untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan mentega untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan minyak untuk dewa, mempersembahkan biji wijen dengan menyemburkannya dari mulut ke api, mengeluarkan darah dari lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa, melihat dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung atau sial; menentukan apakah letak rumah itu baik atau tidak, menasehati cara-cara pengukuran tanah; mengusir setan-setan di kuburan; mengusir hantu, mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mantra untuk kelajengking, mantra tikus, mantra burung, mantra burung gagak, meramal umur, mantra melepas panah, keahlian untuk mengerti bahasa binatang; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-limu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: pengetahuan tentang tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dari benda-benda, yang menyatakan kesehatan atau keberuntungan dari pemiliknya, seperti: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, busur, senjata-senjata lainnya; wanita, laki-laki, anak lelaki, anak perempuan, budak lelaki, budak perempuan, gajah, kuda, kerbau, sapi jantan, sapi betina, burung nasar, kura-kura, dan binatang-binatang lainnya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan akibat: pemimpin akan maju, pemimpin akan mundur, pemimpin kita akan menyerang dan musuh-musuh akan mundur, pemimpin musuh akan menyerang dan pemimpin kita akan mundur, pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah, pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah; jadi kemenangan ada di pihak ini dan kekalahan ada di pihak itu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari atau bulan akan menyimpang dari garis edarnya, matahari atau bulan akan kembali pada garis edarnya, adanya bintang yang menyimpang dari garis edarnya, bintang akan kembali pada garis edarnya, meteor jatuh, hutan terbakar, gempa bumi, halilintar, matahari, bulan dan bintang akan terbit, terbenam, bersinar dan suram; atau meramalkan lima belas gejala tersebut akan terjadi yang akan mengakibatkan sesuatu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan turun hujan yang berlimpah-limpah, turun hujan yang tidak mencukupi, hasil panen yang baik, masa paceklik (kekurangan bahan makanan), keadaan damai, keadaan kacau, akan terjadi wabah sampar, musim baik; meramal dengan menghitung jari, tanpa menghitung jari; ilmu menghitung jumlah besar, menyusun lagu, sajak, nyanyian rakyat yang popular dan ada kebiasaan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dibawa pulang, mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dikirim pergi, menentukan saat baik untuk menentukan perjanjian damai (atau mengikat persaudaraan dengan menggunakan mantra), menentukan saat yang baik untuk meletuskan permusuhan, menentukan saat baik untuk menagih hutang, menentukan saat baik untuk memberi pinjaman, menggunakan mantra untuk membuat orang beruntung, menggunakan mantra untuk membuat orang sial, menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan, menggunakan mantra untuk mendiamkan rahang seseorang, menggunakan mantra untuk membuat orang lain mengangkat tangannya, menggunakan mantra untuk menimbulkan ketulian, mencari jawaban dengan melihat-lihat kaca ajaib, mencari jawaban melalui medium: cermin, gadis perawan, dewa (ādāsapañhaṃ kumārikapañhaṃ devapañhaṃ); memuja matahari, memuja yang tertinggi (ādiccupaṭṭhānaṃ mahatupaṭṭhānaṃ), menghidupkan api (suci) (abbhujjalanaṃ), memanggil Dewi Siri/Sri/Dewi keberuntungan (sirivhāyanaṃ); namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: berjanji akan memberikan persembahan-persembahan kepada para dewa apabila keinginannya terkabul, melaksanakan janji-janji semacam itu, mengucapkan mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menimbulkan kejantanan, membuat pria menjadi impotent, menentukan letak yang tepat untuk membangun rumah, mengucapkan mantra untuk membersihkan tempat, melakukan upacara pembersihan mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban, memberikan obat bersin untuk mengobati sakit kepala, meminyaki telinga orang lain, merawat mata orang, memberikan obat melalui hidung, memberi collyrium di mata, memberikan obat tetes pada mata, menjalankan praktek sebagai okultis, menjalankan praktek sebagai dokter anak-anak, meramu obat-obatan dari bahan-bahan akar-akaran, membuat obat-obatan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.
'Vasettha, selanjutnya seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut manapun sejauh berkenan dengan pengendalian terhadap sila, Vasettha, sama seperti seorang kesatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuh telah di kalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh;

Demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut manapun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukkham). Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki sila sempurna'.

'Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya?
  • Vasettha, bilamana seorang bhikkhu melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya. Ia menjaga indera penglihatannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengelihatannya.

  • Bilamana ia mendengar suara dengan telinganya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pendengarnya. Ia menjaga indera pendengarannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pendengarannya.

  • Bilamana ia mencium bau dengan hidungnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penciumannya. Ia menjaga indera penciumannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera penciumannya.

  • Bilamana ia mengecap rasa lidahnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pengecapannya. Ia menjaga indera pengecapannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengecapannya.

  • Bilamana ia merasakan suatu sentuhan dengan tubuhnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera perabanya. Ia menjaga indera perabanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera perabanya.

  • Bilamana ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk; keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera pikirannya. Ia menjaga indera pikirannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pikirannya.
Dengan memiliki pengendalian diri yang mulia ini terhadap indera-inderanya, ia merasakan suatu kebahagiaan yang tidak dapat diterobos oleh noda apapun. '

'Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki pengendalian atas pintu-pintu inderanya'

'Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu mengingat untuk sepenuhnya mengetahui?
  • Vasettha, dalam hal ini seorang bhikkhu sepenuhnya mengetahui/sampajānakārī sewaktu: maju/ke depan/abhikkante atau mundur/kebelakang/paṭikkante;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu melihat ke: depan/ālokite atau belakang/vilokite;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu menekuk/samiñjite dan meregangkan tubuh/pasārite;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu mengenakan jubah atas/sanghati, jubah luar/civara atau mengambil mangkuk-makan/patta;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu makan/asite, minum/pīte, mengunyah/khāyite atau menelan/sāyite;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu buang air/uccāra atau sewaktu kencing/passāva;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu berjalan/gate, berdiri/ṭhite, duduk/nisinne, berbaring/sutte, tersadar/bangun/jāgarite, berbicara/bhāsite atau diam/ tuṇhībhāve.
Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu yang mengingat untuk sepenuhnya mengetahui'

'Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu merasa puas?

Vasettha, dalam hal ini seorang bhikkhu merasa puas dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Dan kemana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini.

Vasettha, sama seperti seekor burung dengan sayapnya, ke manapun akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa sayapnya. Vasettha, demikian pula seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, ke mana pun ia akan pergi, ia hanya dengan membawa hal-hal ini.

Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu merasa puas'

'Setelah memiliki kelompok sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini, memiliki kemapuan mengingat untuk sepenuhnya mengetahui yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah-kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia Duduk bersila (nisīdati pallaṅkaṃ ābhujitvā), tubuh tegak/lurus (ujuṃ kāyaṃ paṇidhāya), wajah menghadap ke depan, ingatan ditegakkan (parimukhaṃ satiṃ upaṭṭhapetvā)'.
  • 'Dengan meninggalkan kerinduan kegundahan dunia, berdiam dalam pikiran yang bebas dari ketamakan/vigatābhijjhena, memurnikan pikiran dari ketamakan/kerinduan.
  • Dengan menyingkirkan itikad jahat, berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad jahat, dengan pikiran bersahabat pada kesejahteraan semua mahluk dan kehidupan, memurnikan pikiran dari itikad jahat.
  • Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, berdiam dalam keadaan bebas kemalasan dan kelambanan; dengan mengingat untuk sepenuhnya mengetahui pada āloka-saññi (persepsi "yang dilihat" atau yang dihadapinya), ia memurnikan pikiran dari kemalasan dan kelambanan.
  • Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, berdiam bebas dari kekacauan/anuddhato pikirannya tenang ke dalam /ajjhattaṃ vūpasantacitto, memurnikan pikiran dari kegelisahan dan kekhawatiran.
  • Dengan menyingkirkan keragu-raguan, berdiam mengatasi keragu-raguan; tidak lagi meragukan apa yang bermanfaat, memurnikan pikiran dari keragu-raguan'.
'Vasettha, sama halnya seperti seseorang, yang setelah berhutang, ia berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar kembali pinjaman hutangnya, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri. Lalu ia berpikir: "Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja aku dapat membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri".

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega (labhetha pāmojjaṃ, adhigaccheyya somanassaṃ)'.

'Vasettha, sama halnya seperti seorang yang diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna makanannya, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah beberapa waktu ia sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga kekuatannya pulih. Lalu ia berpikir: 'Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam diriku; namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanan sehingga kekuatanku pulih'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'.

'Vasettha, sama halnya seperti seorang yang ditahan dalam rumah penjara, dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya, aman dan sehat, barang-barangnya tidak ada yang dirampas. Lalu ia berpikir: 'Dahulu aku ditahan dalam rumah penjara, dan sekarang aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-barangku tidak ada yang dirampas'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'

'Vasettha, sama halnya seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan bagi dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana ia suka; dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan itu, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas pergi ke mana ia suka. Lalu ia berpikir: 'Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana aku suka; dan sekarang aku telah bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas ke mana aku suka'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'.

'Vasettha, sama halnya seperti seorang yang dengan membawa kekayaan dan barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu ia berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya. Lalu ia berpikir: 'Dahulu, dengan membawa kekayaan dan barang-barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan sekarang aku telah berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'.

'Vasettha, demikianlah selama lima rintangan-mental; (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan dirinya seperti orang yang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir. Vasettha, tetapi setelah lima rintangan mental itu disingkirkan, maka seorang bhikkhu merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang, bebas dari penyakit, keluar dari penjara, bebas dari perbudakan, sampai di tempat yang aman.

Apabila ia tahu (samanupassato) 5 rintangan telah disingkirkannya:
  • memperoleh sukacita (pāmojjaṃ jāyati),
  • lega/sukacita menimbukan girang (pamuditassa pīti jāyati),
  • pikiran girang membuat tubuh nyaman (pītimanassa kāyo passambhati),
  • tubuh nyaman bahagia dirasakan (passaddhakāyo sukhaṃ vedeti),
  • dalam pikiran bahagia pikirannya terpusat (sukhino cittaṃ samādhiyati)
(Bagian dalam kurung ini TIDAK ADA dalam DN 13, yaitu upaya mempertahankan perasaan girang-bahagia: Karena bebas/mampu terlepas dari/vivicceva: (1) kenikmatan indriya/kāmehidan (2) hal yang tak bermanfaat/akusalehi dhammehi, dengan menggenggam/vitakka dan mempertahankan/vicara perasaan girang-bahagia (pīti-sukha) akibat terlepasnya/terbebasnya/vivekajaṃ (terhadap: kāmehi dan akusalehi) Keberadaan jhana ke-1 dicapai. Pīti-sukha yang muncul dari melepas ini memenuhi, menggenangi, meresapi seluruh tubuhnya. Tak ada bagian tubuhnya yang tak diliputi perasaan girang-bahagia akibat kebebasan/keterlepasannya dari kamehi/akusala)

'Kemudian pikiran yang disertai tanpa memusuhi (mettā = abyapada -AN 6.13) berada memancar/meliputi 1 arah, ke: 2 arah, 3 arah, 4 arah, juga ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, ke tempat apapun, ke segala alam tak terkecuali, pikiran yang disertai tanpa memusuhi yang berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut, tanpa halang rintang berada memancar/meliputi
    Mettā = abyāpāda (tanpa memusuhi, bersahabat) = Lenyapnya dukkhindriyaṃ (rasa sakit tubuh/kāyikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman tubuh/kāyikaṃ asātaṃ atau perasaan menyakitkan tidaknyaman dari kontak jasmani - SN 48.38, 40), sehingga kehendak buruk/permusuhan tidak menguasai pikirannya [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar pihak lainnya sejahtera dan baik (hitasukhupanayanakāmatā)
'Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara tanpa kesulitan ke semua arah; begitu pula semua bentukan dan ragam ukuran makhluk, tanpa terkecuali, dengan memperhatikan itu semua dikembangkannya pikiran tanpa memusuhi yang bebas dan penuh'. 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma'.

"Kemudian pikiran yang disertai tanpa kekejaman/tanpa keinginan mencelakai/kesal/sakit hati (karuṇā = avihesā/avihimsa) ... dikembangkannya pikiran tanpa kekejaman/kesal/sakit hati yang bebas dan penuh' ... 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma'.
    Karuṇā = avihiṁsā (tidak ingin mencelakai)/avihesā (tidak ada kesal, sakit hati) = Disamping telah lenyap dukkhindriyaṃ, juga lenyap domanas­sindriyaṃ (rasa sakit mental/cetasikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman mental/cetasikaṃ asātaṃ atau perasan menyakitkan tidak nyaman dari kontak pikiran - SN 48.38, 40), sehingga kekejaman/ingin mencelakai/kesal/sakit hati tidak menguasai pikirannya [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar kesedihan/kemalangan pihak lain hilang (hitasukhupanayanakāmatā)
...dalam kepuasan tanpa membedakan (muditā = rati) ... dikembangkannya pikiran yang disertai dalam kepuasan tanpa membedakan yang bebas dan penuh ' ... 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma'.
    Muditā = rati (tak ada ketidakpuasan, dalam kepuasan tanpa membedakan) = Disamping telah lenyap: dukkhindriyaṃ + domanas­sindriyaṃ, maka akibat lenyapnya pīti, juga lenyap sukhindriyaṃ (rasa senang tubuh/kāyikaṃ sukhaṃ + nyaman tubuh/kāyikaṃ sātaṃ atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak jasmani - SN 48.38, 40), sehingga ketidak-puasan tidak menguasai pikirannya [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar kesejahteraan pihak lainnya tak terdiskriminasi (hitasukhāvippayogakāmatā)
...tenang seimbang/tidak condong ke sukha-dukkha (upekkhā = a-raga/a-patigha) berada memancar/meliputi 1 arah, ke: 2 arah, 3 arah, 4 arah, juga ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, ke tempat apapun, ke segala alam tak terkecuali, pikiran tenang seimbang/tidak condong ke sukha-dukkha yang berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut, tanpa halang rintang berada memancar/meliputi
    Upekkhā = a-rāgo (tanpa warna/tanpa keterikatan/nafsu - AN 6.13)/a-paṭigha (tanpa menolak akibat jijik/benci - MN 62) = Disamping telah lenyap: dukkhindriyaṃ + domanas­sindriyaṃ + sukhindriyaṃ, juga lenyap somanas­sindriyaṃ (rasa bahagia mental/cetasikaṃ sukhaṃ + rasa nyaman mental/cetasikaṃ sātaṃ, atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak pikiran - SN 48.38, 40), sehingga keterikatan/kecondongan tidak menguasai pikirannya [AN 6.13, MN 62]. Komentar SnA 1.73: Seimbang tak goyah dalam suka-duka (..kammenā’’ti sukhadukkhesu ajjhupekkhanatā)
'Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara - tanpa kesulitan - di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran tenang seimbang tidak condong ke sukha-dukkha yang bebas dan penuh'. 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma/brahmānaṃ sahabyatāya.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu, akankah bhikkhu yang hidup seperti itu beristri/kekayaan atau tidak?'
Pemuda Vasettha: 'tidak akan, Gotama'

Sang Bhagava: 'Apakah ia akan dipenuhi kemarahan atau bebas dari kemarahan?'
Pemuda Vasettha: 'akan bebas dari kemarahan, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah akan diliputi kebencian atau bebas dari kebencian?'
Pemuda Vasettha: 'bebas dari kebencian, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikirannya akan ternoda atau murni?'
Pemuda Vasettha: 'Pikirannya akan murni, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah akan menguasai dirinya atau tidak akan?'
Pemuda Vasettha: 'akan menguasai dirinya, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan bahwa bhikkhu itu bebas dari kehidupan berumah tangga dan keduniawian, dan Brahma bebas dari kehidupan berumah tangga dan keduniawian. Apakah ada persesuaian atau persamaan antara bhikkhu dan Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Ya, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Vasettha bila demikian, bhikkhu yang bebas dari kehidupan berumah tangga dan keduniawian, bilamana wafat dapat bersatu dengan Brahma/brahmuno sahabyūpago, karena ada persamaannya - keadaan seperti ini mungkin terjadi'.

'Vasettha, seperti yang anda katakan bahwa bhikkhu adalah bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, pikirannya murnii dan menguasai dirinya; dan Brahma adalah bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, suci dan menguasai dirinya.

Vasettha, dengan demikian sesungguhnya bhikkhu yang bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, pikiran murni dan dapat menguasai dirinya, bilamana wafat dapat bersatu dengan Brahma/brahmuno sahabyūpago, karena ada persamaannya - keadaan seperti ini mungkin terjadi'.

Setelah beliau berkata begitu, kemudian pemuda Brahmana Vasettha dan Bharadvaja berkata kepada Bhagava: 'Mengagumkan kata-kata yang diucapkan Gotama. Menakjubkan! Bagaikan orang yang menegakkan benda yang tergeletak, atau menemukan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan yang benar bagi mereka yang tersesat, atau menerangi tempat yang gelap sehingga orang yang mempunyai mata dapat melihat benda; - begitu pula, Gotama telah membabarkan dhamma kepada kami dalam banyak cara..[..] [DN 13/Tevijja Sutta. Kisah lain yang hampir serupa lihat di Canki Sutta]

51 komentar:

  1. wah...tulisan yang bagus...meskipun ditulis oleh penyembah sapi dan pohon...tapi saya salut, setidaknya anda punya argumen untuk menyangkal yang bisa jadi karena otak anda yang gak sampai kesitu...

    saya acungi jempol bwt anda...karena meski bagi kami anda tersesat dan tdk tahu jalan tetapi masih bisa memiliki argumen untuk mempertahankan kesesatan anda...

    saya ijin baca ato copaz...meski tulisan yang kurang bermutu..toh tetap aja ada manfaat meski tidak sebanyak keburukannya...

    salam kenal

    BalasHapus
  2. Dear Setyo [Mudah2an ini nama asli anda],
    tks atas komentar anda. Silakan anda pelajari perlahan-lahan dan sekalian copas juga yang ini:

    http://wirajhana-eka.blogspot.com/2010/09/hah-musa-bisa-membelah-laut.html

    agar anda mengetahui bahkan musa pun ternyata tokoh fiktif.

    Semuga bahan yang "kurang bermutu" ini dapat membukakan mata anda.

    Salam kenal juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal Pak Wirajhana Eka( selanjutnya saya menyebut Bpk dengan nama singkatan saja "WE" jika berkenan)

      Saya membaca ulasan Anda diatas dan tolong dikoreksi jika saya salah menyimpulkan intisari yg ingin Anda sampaikan melalui tulisan tersebut. 

      1) Anda ingin menyampaikan bahwa Allah orang Israel dan Kristen( sorry, saya tidak menanggapi ajaran lainnya dlm hal ini) hanyalah sebuah dongeng, Allah itu tidak pernah ada( nyata),  merupakan Tuhan( agama) ciptaan manusia belaka?

      2) Nama Allah atau Tuhan bangsa Israel orang Kristen berasal dari nama dewa-dewi suku bangsa pagan(berhala/kafir) yg ada disekitar daerah Timur Tengah, Yunani dan Romawi? Dan bangsa Israel dan orang Kristen meminjam nama2 dewa-dewi bangsa pagan tersebut?

      Jika bukan seperti yg saya simpulkan, tolong Anda berikan kesimpulan yg boleh saya mengerti dengan baik.
      Apabila benar seperti itu ( berdasarkan kesimpulan saya), dasarnya apa Anda berkesimpulan seperti itu? Berdasarkan Alkitab atau kesimpulan dari pendapat orang yg lain? Mohon penjelasan. Thanks


      Salam metta;

      Adrian Nicholas

      Hapus
    2. Adrian Nicholas [AN],
      Utk pertanyaan anda
      Jawaban dari pertanyaan ke-1, ya.
      jawaban dari pertanyaan ke-2, di artikel ketika membicarakan EL, tidak sy tulis dengan kata meminjam. Yg sy simpulkan sudah sy tulis di artikel.

      salam.

      Hapus
  3. Salam kenal Bpk Wirajhana Eka
    saya Andi ingin bertanya kepada anda, Jika anda berkenan

    orang2 Buddha termasuk anda, tidak pernah mempecayai keberadaan Tuhan,
    juga tidak pernah mempercayai ajaran Tuhan adalah pencipta segalanya.

    yang ingin tanyakan :

    Konsekuensi dari doktrin ketidak adaan Tuhan yg maha pencipta, mengharuskan seseorang untuk memahami bahwa segala sesuatu terjadi hanya secara kebetulan (baca :ketidak sengajaan) saja
    tanpa perencanaan,tanpa tujuan,dan tanpa maksud tertentu dari adanya segala sesuatu yg mewujud dari kebetulan,dan kemudian disusul oleh kebetulan-kebetulan yg lain
    apakah menurut agama Buddha kehidupan hanyalah semacam kumpulan dari kebetulan-kebetulan (baca : ketidak sengajaan - ketidak sengajaan) tersebut ?

    Apakah kehidupan yg demikian menjadi bermakna ??


    Terima kasih dan mohon maaf kalo ada kata-kata yg tidak berkenan

    Wasalam

    BalasHapus
  4. Saudara Andi, maaf saya ikut menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada Bapak Wirajhana Eka.
    Saya hanya ingin menerangkan bahwa Buddha tidak pernah mengajarkan segala sesuatu yang terjadi adalah kebetulan melainkan segala sesuatu yang terjadi adalah karena ada sebab.

    Saya minta maaf bila ada kata- kata yang kurang berkenan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas jwaban Sdr Johson Khantasiri, salam kenal untuk anda.

      itulah yang menjadi sebab keheranan saya terhadap ajaran agama Buddha,
      di satu sisi umat buddha diajarkan untuk memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bukan kebetulan melainkan segala sesuatu yang terjadi adalah karena ada sebab.
      disisi yg lain umat Buddha dengan percaya diri mengatakan tidak ada Tuhan yg maha pencipta - yg dipercaya oleh umat beragama lain sebagai asal dari segala sebab.

      secara nalar, mustahil yg namanya makhluk bernyawa seperti manusia, binatang, tumbuhan, dan bahkan makhluk tidak bernyawa seperti atom dan partikel2 yg lebih kecil dari itu menjadi ada tanpa didahului sebab yg menjadikan mereka ada.
      kalo mereka tidak ada, tentu tidak ada siklus kehidupan yg berputar.
      karena itu diperlukan MAHA SEBAB yg mengawali segala keberadaan.

      bukankah seharusnya demikian ?

      bagaimana umat Buddha menyikapi hal seperti ini ?
      mohon penjelasan anda dalam perspektif Buddhist

      Terima kasih, maaf jika ada kata2 yg tidak berkenan.

      Hapus
    2. Sama- sama saudara andi.

      Benar bahwa memang ada sebab dari kelahiran sebab dari mengapa makhluk itu ada. Makhluk lahir karena adanya kondisi tertentu yang didahului oleh kondisi lain. Kondisi- kondisi itu membentuk sebab musabab yang saling bergantungan. Ada halaman di blog ini yang menghadirkan kondisi- kondisi tersebut.

      konsep sebab dan konsep penciptaan hanya memiliki sedikit kolerasi. Suatu sebab tidak harus dari konsep penciptaan, sedangkan penciptaan pasti adalah sebab. Konsep sebab akibat adalah pasti sedangkan konsep pencipta adalah salah satu perpektif tentang sebab yang dipercaya.

      Inilah tanggapan saya tentang pertanyaan saudara. Maaf, bila ada kata- kata yang kurang berkenan.

      Hapus
    3. Terima kasih Sdr Johnson,

      memang benar yg suadara jelaskan, bahwa Suatu sebab tidak harus dari konsep penciptaan, sedangkan penciptaan pasti adalah sebab.

      Umat beragama lain berkeyakinan bahwa Maha Pencipta hanyalah salah satu dari sifat Tuhan,
      selain itu Tuhan juga disifatkan pada Maha Awal yg tidak berawal, Maha Akhir yang tidak pernah berakhir.
      apakah sifat Ketuhanan yg demikian juga ditentang oleh orang2 Buddha, yg tetap bersikukuh bahwa tidak ada Tuhan ?

      dengan penjelasan anda diatas, umat beragama lain dengan mudah menjelaskan bahwa Tuhan adalah sebab yg awal dari segala sebab akibat yg lahir kemudian
      tapi bagaimana orang2 Buddha menjelaskan apa dan bagaimana sebab paling awal yg melahiran sebab akibat - sebab akibat yg terkemudian, jika mereka tidak mengakui keberadan Tuhan ?

      Mohon penjelasan anda, dan mohon maaf bila ada kata2 yg kurang berkenan
      terima kasih

      Hapus
    4. terima kasih atas jawaban anda Sdr Johnson,
      saya ingin me-replay kembali, replay terakhir saya yg terhapus secara misterius.

      saya bisa saja menerima alasan anda, bahwa "Suatu sebab tidak harus dari konsep penciptaan, sedangkan penciptaan pasti adalah sebab"

      bolehlah argumen itu diterima melalui kaca mata kemakhlukan, tapi bila dipahami dalam frame ketuhanan, argumen tersebut tidak akan mungkin diterima.

      Dalam pemahaman Umat beragama yg mempercayai keberadan Tuhan, Maha Pencipta, hanyalah satu dari sifat Tuhan.
      Sifat Awal yg tidak berawal, dan sifat Ahir yg tidak berakhir adalah beberapa sifat2 lain dari Tuhan yg kami yakini.
      karena itu diatas saya katakan, saya bisa saja menerima argumen anda bahwa sebab tidak selalu harus datang dari konsep penciptaan, karena apapun sebab2 pertama yg mengawali lahirnya kehidupan (sebagaimana diyakini oleh orang2 Buddha) tetap saja hakikatnya bepulang kepada eksistensi Tuhan, sebab Dia-lah yg mempunyai sifat Maha Awal dan menjadi tujuan bagi segala sesuatu karena Dia juga bersifat Maha Akhir.

      Jika sifat ketuhanan yg beginipun disangkal oleh orang2 Buddha untuk tetap menolak keberadaan Tuhan, lalu bagaimana caranya orang2 Buddha menerangkan apa, mengapa dan bagaimana timbulnya sebab2 awal yg melahirkan alam semesta ini ?

      mohon penjelasannya, dan mohon maaf jika ada kata2 yg tidak berkenan.
      terima kasih.

      Hapus
  5. Tentang sifat ketuhanan, saya menangkap bahwa pernyataan tidak berawal dan tidak berakhir adalah suatu bentuk kekekalan. Tetapi bila intinya adalah pengetahuan tentang awal dan akhir yang ditangkap, maka saya berkomentar demikian, Awal yang tidak berawal dan akhir yang tidak berakhir adalah konteks yang tak bisa didefinisikan secara mutlak tapi diinterpretasikan dengan kesepakatan. Seperti simbol tak terhingga yang disepakati tapi tidak diketahui secara pasti tak terhingga itu. Untuk hal demikian, akal manusia biasa adalah tidak mencapainya dan hanya bisa di bayangkan tentang suatu yang luar biasa. Sama seperti alam semesta adalah bukan berawal atau bukan tidak berawal, bukan berakhir atau tidak berakhir, dan hal ini sulit dibayangkan. Maka saya tidak berkomentar banyak tentang sesuatu yang sulit dipahami

    Hal ini sebenarnya hanya perbedaan pandangan tentang suatu kekekalan, saudara menyebutnya sebagai sifat ketuhanan, saya menyebutnya hanya dengan kekekalan. Saya menyatakan Ajaran Buddha mengatakan ada yang kekal, tak terlahir. Hukum alam ini adalah contohnya. Saya tidak mengerti tentang frame yang saudara sebut, demikian karena pandangan saudara berbeda dengan pandangan saya. Saya melihat segala dari yang tertinggi adalah tak terdefinisikan, sedangkan saudara mengagungkan hal yang berbeda sehingga tak ada konsep lain yang bisa diterima oleh frame tersebut.

    Sebagai seseorang yang hidup dengan Ajaran Buddha, tidaklah tepat mencari awal dan akhir dunia. Itu hanya menimbulkan dogma- dogma dan pendapat- pendapat, perbedaan sehingga menimbulkan konflik. Maka kesimpulan tersebut bahwa kesempurnaan dalam Ajaran Buddha terdapat pada buah terakhir dari Ajaran Buddha. Kekekalan ada pada hukum alam yang berlaku dan buah terakhir dari Ajaran Buddha. Label yang saya tempelkan terhadap sifat itu berbeda dengan label yang saudara tempelkan di sana. Demikianlah komentar saya.

    Maaf bila ada kata- kata yang kurang berkenan.

    BalasHapus
  6. Terima kasih Sdr Johnson,


    Kekekalan adalah suatu konsep waktu yg tidak terdefinisikan dan diluar batas pemahaman manusia.
    Kekekalan bukan ketuhanan, tetapi kekekalan adalah satu sifat dari ketuhanan.
    Dalam hal ini kita jelas berbeda dalam memandang.

    Saya garis bawahi komentar anda yg mengatakan :
    “Sama seperti alam semesta adalah bukan berawal atau bukan tidak berawal, bukan berakhir atau tidak berakhir, dan hal ini sulit dibayangkan. Maka saya tidak berkomentar banyak tentang sesuatu yang sulit dipahami”

    Ungkapan diatas bisa mewakili pendapat orang Buddha ketika mereka menolak keberadaan Tuhan ;
    ketika alam pikiran sulit memahami apakah sejatinya alam semesta berawal atau tidak berawal, berakhir atau tidak berakhir, mengapa kemudian berani berpendapat alam semesta tidak berawal dan tidak berakhir ?
    Bagaimana jika ternyata alam semesta ini ternyata berawal dan berakhir ?
    Apa yg dijadi pijakan untuk memutuskan pendapat alam semesta tidak berawal dan tidak berakhir sedangkan sudah diakui bahwa pikiran tidak mampu memahaminya ??
    Seperti itu analoginya dalam hal penolakan orang Buddha terhadap eksistensi Tuhan.

    Tidak bisa memahami realitas ketuhanan, bukan alasan untuk kemudian menolak eksistensi ketuhanan bukan ?
    Sama seperti tidak bisa membayangkan kekekalan (karena diluar jangkauan pemahaman) tidak berarti harus mengingkari keberadaan kekekalan bukan ?


    Saya setuju komentar anda :
    “Sebagai seseorang yang hidup dengan Ajaran Buddha, tidaklah tepat mencari awal dan akhir dunia. Itu hanya menimbulkan dogma- dogma dan pendapat- pendapat, perbedaan sehingga menimbulkan konflik”


    Itu sama persis dengan dalam ajaran agama kami, bahwa kami dilarang keras untuk memikirkan wujud Tuhan , karena hakikat itu tidak mungkin dijangkau kapasitas daya pikir manusia, kami hanya diperbolehkan untuk merenungkan dan mengkaji sifat2 dan tanda2 kebesaran Tuhan untuk diaplikasikan kedalam amal perbuatan sehari2,
    Karena bukan pengetahuan tentang wujud Tuhan yg akan menyelamatkan dan membuat indah kehidupan di dunia ini, tetapi menjalankan tuntunan Tuhan dengan sebaik2nya dalam kehidupan itulah yg menjadi prioritas utama dalam agama kami.

    Tapi bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi baik jika dia mengingkari Tuhan yg dariNya berasal kebaikan itu ?
    Sama seperti bagaimana seseorang disebut menjalankan ajaran Buddha kalau dia mengingkari keberadaan Sang Buddha ?

    Mohon maaf bila ada kata2 yg kurang berkenan

    BalasHapus
  7. Sama- sama saudara Andi.

    Tentang alam semesta, tidak pernah dijelaskan adalah berawal, berakhir, bukan berawal, dan bukan berakhir, bukan terbatas ataupun bukan tidak terbatas. Hal itu juga tak direnungi karena tidak menuntun ke kebahagiaan. Seperti yang saudara katakan menurut pandangan saudara cara berkehidupan saudara yang menjadi utama. Oleh karena itu dikarenakan hal itu sulit dipikirkan oleh akal manusia biasa dan saya pun tidak mengetahui keberadaan dari hal itu, saya katakan saya tidak berkomentar banyak tentang itu. Pandangan ketuhanan dalam setiap ajaran memiliki perbedaan, maka sangat sulit untuk menyatukan pendapat tentang ketuhanan.

    Dalam hal ini, saya menolak tentang tuhan yang didefinisikan, tapi saya mendukung konsep ketuhanan sebagai sesuatu yang sempurna, tapi tidaklah ada definisi tentang ia melakukan hal- hal yang dilakukan oleh makhluk seperti membuat pengaturan dan lain- lain karena itu adalah hal yang dilakukan makhluk hidup. Sesuatu kebahagiaan tertinggi dan terbaik. Jika saudara berkata bahwa kesempurnaan dan ketuhanan adalah tidak serupa, maka saya berkomentar hal itu hanya kosakata bisa terjadi persamaan dan perbedaan, andaikan dalam bahasa lain, apakah hal itu adalah sama atau berbeda? Bila konsep kesempurnaan yang saya terima boleh disimpulkan kebahagiaan (dalam kosakata yangs sederhana) yang tidak akan ada selama kita masih dikuasai nafsu indriya, dan keburukan lainnya. Saya memandang demikian. Maka tidak bisa bila dikatakan saya menolak suatu bentuk ketuhanan, tetapi adalah pandangan ketuhanan saudara dan saya adalah berbeda.

    Tentang sebuah kebaikan maka saya berkomentar, adakah seseorang yang baik dalam setiap keyakinan, dan adakah seseorang yang buruk dalam setiap keyakinan? Saya berkomentar bahwa seseorang bertindak dan berucap baik didahului oleh pikiran yang baik. Saya melihat kebaikan adalah nurani dari setiap makhluk, sedangkan keburukan adalah noda- noda. Apakah mungkin seseorang yang tidak pernah memuja apapun bertindak baik, dan bila dikatakan kebaikan adalah berasal dan demikian, maka saya berkomentar itu adalah suatu dogma, karena ada berbagai pandangan. Dan saya tekankan bahwa terdapat perbedaan pandangan tentang ketuhanan itu sendiri, yaitu pandangan saudara sama dengan penolakan saya, dan penolakan saya sama dengan pandangan saudara.

    Buddha Gotama mengajari tentang datang, lihat dan buktikan. Buddha Gotama adalah seorang guru, tidaklah dilebih- lebihkan, sesederhana mungkin. Dhamma ajarannya yang bila direnungi, dimengerti, dilaksanakan yang menuntun kepada kebahagiaan tertinggi. Buddha Gotama sebagai yang menemukan kembali Dhamma itu. Maka saya berkomentar seseorang yang yakin akan manfaat kebaikan tentu menjalankan kebaikan. Kesimpulan dari ini adalah tidak terjebak di masa lampau, asal usul, tidak juga terjebak di masa depan, tentang bayangan yang belum terjadi, tapi berlakulah yang patut di waktu ini dan selalu sadar. Oleh karena itu saya tidak berkomentar tentang suatu dogma yang berbagai macam.

    Maaf bila ada kata- kata saya yang kurang berkenan.

    BalasHapus
  8. Terima kasih saudara Johnson atas kesedian anda untuk meluangkan waktu sharing dengan saya tentang keyakinan hingga sejauh ini
    Saya sangat menghargai keberbedaan pendapat / keyakinan anda, namun itu menjadikan saya ingin mengetahui lebih jauh alasan dibalik pendapat anda tsb, semoga anda tidak berkeberatan.

    Setidaknya sekarang ini saya mengetahui bahwa anda masih mengakui satu bentuk eksistensi ketuhanan, namun dalam pemahaman yg berbeda.
    Yang saya ingin penjelasan lebih jauh adalah kalimat anda ini :
    “Dalam hal ini, saya menolak tentang tuhan yang didefinisikan, tapi saya mendukung konsep ketuhanan sebagai sesuatu yang sempurna, tapi tidaklah ada definisi tentang ia melakukan hal- hal yang dilakukan oleh makhluk seperti membuat pengaturan dan lain- lain karena itu adalah hal yang dilakukan makhluk hidup.”

    Yang saya tanyakan :
    1) Apakah maksud anda soal pendefinsian tentang Tuhan ??
    bisakah diberi contoh (dalam pemahaman anda) ttg hal2 apa Tuhan mampu didefiniskan oleh pikiran manusia ?

    2) “Tuhan tidak melakukan hal2 yg dilakukan oleh makhluk” , anda beri contoh “Pengaturan”.
    Apakah anda begitu yakin Tuhan tidak pernah melakukan “Pengaturan” ,
    dengan dasar apa anda menetapkan keyakinan tsb ?

    Jika alasannya : “tidak ada pengaturan tetapi SEBAB AKIBAT ”,
    Yakinkah anda dalam konsep SEBAB AKIBAT landasan utamanya adalah “kebetulan” semata, bukan suatu “pengaturan” ?
    Mengingat SEBAB AKIBAT juga berbentuk ATURAN, dan setiap aturan tidak akan bisa lari dari makna PENGATURAN ?
    Siapa / apa yg membuat aturan spt itu ?

    Anda mendukung kesempurnaan sebagai konsep Ketuhanan anda, saya yakin anda juga meyakini konsep SEBAB AKIBAT berhulu dan bermuara pada kesempurnaan tsb,
    bagaimana anda bisa melihat hal itu bukan sebagai “pengaturan” dari kesempurnaan tsb terhadap segala sesuatu yg keluar dariNya ?
    Apakah hanya sekedar kebetulan, bukan satu bentuk aturan yg telah ditetapkan oleh Sang Kesempurnaan ?
    Atau mungkin anda tidak yakin segala sesuatu (termasuk anda) pernah keluar dan sedang menuju pada kesempurnaan tsb, karena itu anda menolak peran serta pengaturannya terhadap makhluk ?


    Wallahu alam.

    BalasHapus
  9. @Sdr johnson Khantasiri


    Soal Kebaikan,
    Nilai kebaikan memang suatu dogma dari suatu ajaran agama yg diperuntukkan untuk manusia.
    hal itu tidak bisa dibantah.

    Kebaikan memang nilai nurani dasar (fitrah) dari setiap manusia, tetapi untuk mengarahkan nilai2 tsb bernilai kemanusiawian dibutuhkan tuntunan dari Tuhan yg bernama agama yg terikat erat dengan sejarah keberadaan manusia itu sendiri.

    Contoh kasus;
    Pernah ada cerita seorang anak manusia yg sejak bayi dibesarkan oleh sekumpulan srigala. Dalam segala hal dia mengikuti tingkah laku srigala.
    Memang dia lahir dalam fitrah kebaikan sebagai manusia, tetapi karena didikan yg dia kenal adalah berasal dari nilai2 hewani maka fitrah kemanusiannya juga mengikuti pola pendidikan tsb. Nilai kebaikan dan keburukan yg berlaku dlm bangsa srigala jelas berbeda dengan nilai2 yg berlaku di dunia manusia.


    Contoh lain :
    Seorang yg dibesarkan dalam komunitas para penjahat, tidak mengetahui lagi bahwa mengambil barang yg bukan miliknya itu adalah suatu kejahatan. Yang dia tahu tidak merugikan dirinya sendiri adalah kebaikan, memuaskan hasrat diri sendiri dengan segala cara juga suatu kebaikan.
    Orang lain merugikan kepentingannya itu adalah kejahatan, membalas orang tersebut dengan balasan setimpal hingga berlebihan adalah baik-baik saja menurut versinya sendiri.

    Sudah Jelas, tanpa arahan agama (baca : tuntunan Tuhan), nilai kebaikan atau keburukan akan dimaknai sendiri2 oleh setiap orang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.

    Kebaikan mengikuti standart Tuhan dalam ajaran agama, itu bukan dogma, tetapi keniscayaan.

    Orang yg tidak mengakui / tidak menundukkan diri pada aturan Tuhan, tidak ada kebaikan yg ada ada mereka, kecuali kepalsuan yg tidak selaras dengan nilai2 kemanusiaan.



    Dalam Hal Sang Buddha dan pengakuan Tuhan,
    Menurut pengamatan saya, Sang Buddha bukan menolak eksistensi Tuhan, tetapi menolak menambah polemik soal perwujudan Tuhan - Dewa yg saat itu sedang dipertentangkan dengan sengit oleh berbagai sekte dalam agama yg telah ada terlebih dulu, pertentangan ini membuat mereka lalai dari perbaikan moral dan akhlak diri dan masyarakatnya.
    Karena itu Sang Buddha memilih diam membisu dari bahasan Tuhan (karena beliau tahu, bahasan Wujud Tuhan diluar kemampuan akal manusia – sehingga pembahasan kepada hal tsb adalah kesia-sia an dan hanya akan menghasilkan ketertipuan akal), dan memilih mengajarkan perbaikan moral manusia.

    Namun pengikut2 Buddha setelah itu menafsirkan diamnya beliau tentang Tuhan sebagai ajaran penolakan akan eksistensi Tuhan,
    Bahkan sebagain yg lain malah melangkah terlalu jauh dengan mempertuhankan sang Buddha

    Mohon maaf jika ada kata2 yg kurang berkenan.

    BalasHapus
  10. Terima kasih Saudara Andi atas pendapatnya.

    Dari pendapat saya dan pengetahuan saya tentang ajaran Buddha Gotama, bahwa ketuhanan untuk dipuja adalah tidak menuntun ke kebahagiaan.

    Pertanyaan tentang definisi dan berlaku seperti makhluk hidup, bahwa ada yang berkata bahwa ketuhanan merasakan benci, senang, mengutuk, membuka, dll. Tidak patut hal seperti ini didefinisikan dan terdefinisikan bahwa yang sempurna seperti ketuhanan itu berlaku demikian.

    Sebab akibat adalah hukum kekal, dan itu mengatur segala hal di dunia ini. Dalam ajaran Buddha Gotama tidak dikatakan bahwa hukum tersebut adalah tuhan, tetapi hukum kekal itu lepas dari waktu, kekekalan tersebut tidak bisa dimengerti ketika kita masih terjebak dalam pemikiran waktu. Dan saudara cukup sibuk untuk mencari pencipta dari hukum aturan tersebut. hukum yang kekal tidak bisa dibayangkan bahwasanya diciptakan atau tidak diciptakan, keduanya,maupun bukan keduanya. Karena pandangan saudara masih terikat pada waktu, yaitu tercipta dan musnah, dan selang dari tercipta dan musnah, sehingga itu tidak bisa di terima. Saya menolak bahwa ketuhanan bertindak seperti makhluk- makhluk surga dalam keyakinan saya, bahwa mereka mengatur, dan memberitahu. Yang saya yakini adalah hal- hal seperti hukum alam, dan hal diluar alam kehidupan (nibbana) itu adalah ada saat ini. Dan saya tidak pusing tentang awal dan akhir dari hukum tersebut karena hukum itu kekal, tak berubah. Saya mempelajari apa yang telah diajarkan dan berpikir dengan kritis tentang ajaran Buddha Gotama. Buddha Gotama mengajarkan apa yang menuntun ke kebahagiaan, bukan hal yang tidak menuntun ke kebahagiaan. Tetapi menurut pendapat saya pribadi, tidak pelu membayangkan awal yang tidak ada, demikian sebab akibat tidaklah mungkin kebetulan, dan yang kekal, sempurna, menurut saya tidaklah seperti raja yang mengatur rakyatnya dan bisa melanggar peraturannya yang berujung pada hukuman yang dijatuhkan oleh raja.

    Saya tidak memiliki pengetahuan tentang saya yang memiliki awal yang sebenarnya, dan terjebak pada masa lampau bukanlah sesuatu yang baik. Awal yang saya ketahui saat kini adalah ketika kesadaran yang saya miliki adalah baik dan membentuk ingatan. Dalam ajaran Buddha Gotama, untuk mencapai kesempurnaan, tercerahkan,mencapai nibbana, hal itu adalah tujuan akhir dari ajaran Buddha Gotama. Konsep menuju kesempurnaan ini adalah berada ditangan kita sendiri, dimana kita berbuat dengan baik dan benar, mengerti tentang alam ini, maka dengan kebaikan itu kita telah tertuntun menujunya, bahwa hal itu diperoleh. Bukanlah membayangkan hal yang akan dicapai karena kita akan terjebak oleh masa depan yang tidak nyata. Saat kini yang penting, sadar untuk melakukan segala yang patut. Kesimpulannya saya menolak bahwa ketuhanan adalah mengatur dalam bahasa manusia, tidak berpikir tentang membuat hal ini dan itu, tentunya tidak akan merasa tidak puas, sedih, bahkan membenci.

    BalasHapus
  11. Dari contoh saudara, serigala dan manusia memiliki akal yang berbeda, anak itu sebelum akalnya berkembang oleh pengalaman, maka ia murni sebagai serigala, ketika mendapatkan pengalaman, maka ia akan mengerti lebih banyak. Memang benar bila bergaul pada manusia yang buruk tentu menuntun ke keburukan. Suatu penuntunan adalah lebih cepat untuk mengajari suatu kebahagiaan dan lepas dari kebodohan dan ketidak tahuan seperti yang dimiliki oleh serigala dan penjahat. Tetapi versi yang lebih lambatnya adalah pengalaman setiap makhluk. Saya tidak mempermasalahkan awal dari kebaikan tersebut karena bila itu terjadi saya terjebak lagi di waktu. Tidak ada kejadian semua makhluk tanpa kecuali seperti binatang, selalu ada yang tersisa yang cerdas, dan sebaliknya. Menurut pendapat saya, hal saling menuntun ini pun dapat terjadi, tidak harus selalu melalui suatu awal. Mengapa saya mengatakan kebaikan adalah dasar setiap orang, karena setiap makhluk menginginkan kebahagiaan, sedangkan kebaikan itu sendiri yang menuntun ke kebahagiaan. Sedangkan pendapat saudara tentang tuntunan berasal dari siapa, saya tidak terikat oleh itu, kebaikan yang disepakati adalah yang menimbulkan kebahagiaan, tetapi sepatutnya tidak dengan landasan dan niat yang buruk. Seorang penjahat berbuat buruk karena ia tidak peduli dengan akibat buruk karena ia tertutup oleh ketidaktahuan, tertutup oleh nafsu keinginan dan keserakahan. Serigala melakukan pembunuhan karena ia diliputi kebodohan, konsekuensinya sebagai binatang, hal itu adalah instingnya walaupun sebenarnya bisa juga serigala itu tidak memangsa bila ia tidak diliputi oleh nafsunya dan kebodohannya. Ia bisa saja dituntun oleh makhluk yang lebih tinggi pengetahuannya seperti manusia. Tuntunan dari makhluk yang lebih tinggi yang telah mengetahui, tetapi bukanlah suatu kesempurnaan. Itu saya tekankan karena kesempurnaan tidak berlaku seperti makhluk hidup. Saya menolak tentang individu di luar alam kehidupan karena individu hanya didefinisikan di dunia ini, bahkan tidak patut bila individu dibuktikan kepastiannya.

    Hukum alam ini adalah tidak bisa bila kita ingin tidak tunduk kepada hukum ini, kecuali telah tercerahkan. Kebaikan adalah anjuran dari yang bijaksana, yang cocok dengan kesempurnaan, bukanlah sesuatu aturan yang menimbulkan pelanggaran, untuk pendapat yang ini, sebenarnya konsepnya dalah sama, cuma definisi kita adalah berbeda. Kebaikan menurut standart tuhan menurut saudara adalah bagaimana? Saya ingin mengetahuinya. Saya tidak mempermasalahkan kebaikan adalah standard dari siapapun selama kebaikan itu adalah menimbulkan kebaikan dan kebahagiaan, tentunya dilandasi dengan kabikan pula, pikiran yang baik, cinta kasih, belas kasih, simpati, dan bijak. Dogma dan keniscayaan hanya ada diketahui secara luas dan tepat melalui pengisahan. Yang saya tolak adalah definisi 'kebaikan pasti adalah diberikan', yang saya setujui kebaikan di dalam diri kita ditumbuhkan. Sebenarnya dari pendapat saudara tentang kebaikan itu hati nurani itu sudah benar. Kebaikan bisa dicari pula, contohnya, setiap Buddha yang mencapai pencerahan karena usahanya sendiri telah lama sekali dalam usaha memenuhi kebaikan, pencarian tantang kebaikan yang sebenarnya, dan mereka tercerahkan setalah mereka mengerti, dengan dukungan semua hal yang positif. Kemudian Buddha yang mengajar menuntun makhluk untuk tercerahkan, Buddha tidak memberika pencerahan tetapi jalan untuk mencapai pencerahan. Dan dalam dogma, adalah dilarang untuk dibantah, karena ketika dibantah bukanlah sebuah dogma.

    BalasHapus
  12. Buddha Gotama tidak berkata tentang ketuhanan,karena itu tidak menuntun ke kebahagiaan, Beliau tidak mengatakan tentang awal dan akhir dunia karena itu tidak menuntun ke kebahagiaan, bahkan itu memungkinkan untuk menimbulkan salah persepsi, perdebatan konyol, bahkan konflik berkepanjangan. Sedangkan tujuan seorang Buddha adalah menuntun semua makhluk menuju kebahagiaan sejati. Tidak ada satu Buddha pun yang saya ketahui mengajarkan hal tersebut. Dan ketuhanan tidak perlu diajarkan karena ketika mekhluk mencapai kebahagiaan sejati, tertinggi, tercerahkan, mencapai nibbana, ia sendiri akan mengerti tentang ketuhanan itu. Yang menjadi pertanyaan saya, tentang tuhan yang dalam keyakinan lain, apakah mereka terbagi menjadi yang memiliki kebaikan dan tidak?Dan apakah dasar saudara mengatakan bahwa kebaikan dari makhluk yang tidak memuja tuhan adalah palsu?

    Saya melihat, tanpa seseorang mengetahui ketuhanan, kebaikan akan selalu ada dihati mereka yang memupuknya, yang mengerti akibat dari kebaikan tersebut.

    Memang selalu ada orang yang tidak mengerti tentang ajaran keyakinan atau diliputi oleh ketidaktahuan. Buddha Gotama adalah guru semua makhluk, bukan tuhan seperti definisi keyakinan lain. Tetapi ada suatu konsep ketuhanan dalam ajaran Buddha Gotama yang berbeda dari kebanyakan definisi ketuhanan. Sebenarnya perbedaan dari pendapat- pendapat ini berakar dari bagaimana memperlakukan ketuhanan. Buddha Gotama mengerti akan hal ini dan tidak mengatakannya. Tetapi konsep dari perilaku tuhan menurut saudara ada sebagian yang merupakan hukum alam di dunia ini, bahkan hukum hanya sebagai label saja, konteks dan pelabelan yang berbeda ini merupakan suatu awal dari diskusi.

    Dari diskusi ini sebenarnya adalah suatu tanya jawab saudara sehingga mengerti tentang ajaran Buddha Gotama, seseorang yang hidup sesuai dengan Dhamma tidak mempermasalahkan hal- hal yang tidak menuntun ke kebahagiaan, ia berlatih untuk berpikir baik, berucap baik, berbuat baik. Esensi itu menuntun ke kebahagiaan, serta bila dengan usaha yang luar biasa telah menebusnya, ia akan mengerti tentang ketuhanan itu sendiri. Lingkaran yang membatasi kebahagiaan dan penderitaan adalah kebaikan dan keburukan itu sendiri. Dalam hal ini suatu keterikatan adalah menembulkan ketidak puasan. Sehingga saya tidak memusingkan segala sesuatu yang menimbulkan keterikatan, hal itu seperti jeratan pandangan- pandangan. Karena bila hal itu ada serta berkondisi, itu adalah ketidak kekalan.

    Terima kasih atas pertanyaan saudara yang sangat kritis dan mohon maaf bila ada kata- kata saya yang kurang berkenan.

    BalasHapus
  13. *"tentang tuhan yang dalam keyakinan lain, apakah mereka terbagi menjadi yang memiliki kebaikan dan tidak?"
    yang saya maksud dari pertanyaan ini adalah tentang orang yang memuja ketuhanan yang berasal dari setiap keyakinan yang berbeda- beda, apakah mereka terbagi menjadi yang memiliki kebaikan dan tidak, atau semua itu adalah bukan kebaikan?

    Terima kasih.

    BalasHapus
  14. Terima kasih Saudara Johnson atas pendapatnya.
    Perkenankan saya menanggapinya,


    PERTAMA
    Anda mengatakan :
    “Dari pendapat saya dan pengetahuan saya tentang ajaran Buddha Gotama, bahwa ketuhanan untuk dipuja adalah tidak menuntun ke kebahagiaan.”

    Komentar saya atas tanggapan anda :
    Pendapat diatas tidak obyektif dengan beberapa alasan, antara lain :

    1) Anda hanya mengenal jalan Buddha dan tidak memahami serta menyelami jalan pemujaan pada Tuhan

    2) Anda menafikan kenyataan begitu banyak (tak terhitung lagi) orang yg menemukan kebahagian sejati ketika mereka tekun dalam pemujaan kepada Tuhan.


    KEDUA
    Anda telah mengatakan :
    “Pertanyaan tentang definisi dan berlaku seperti makhluk hidup, bahwa ada yang berkata bahwa ketuhanan merasakan benci, senang, mengutuk, membuka, dll. Tidak patut hal seperti ini didefinisikan dan terdefinisikan bahwa yang sempurna seperti ketuhanan itu berlaku demikian.”

    Komentar saya atas pendapat ini :
    Kata “DEFINISI” tentang Tuhan tidak tepat (karena itu saya mempertanyakan kepada anda), dengan alasan :

    1) Hakikat ketuhanan itu diluar nalar manusia, karena itu Dia tidak pernah bisa didefinisikan.

    2) “pendefinisian” tentang yg apa2 dilakukan Tuhan, hanyalah sekedar pen-simbolan dalam kata2 agar nalar manusia bisa menangkap penggambaran makna nya.

    3) Memahami “pendefinisian Tuhan” untuk tujuan point 2 diatas sebagai keadaan sebenarnya dari Tuhan jelas merupakan kesalah pengertian yg sangat besar.


    4) Karena segala sesuatu yg ada berasal dari Tuhan, maka segala sifat yg ada menjadi ada karena disifatkan oleh Tuhan.

    5) Kesempurnaan pada Tuhan tidak akan terciderai hanya karena Ia bisa membenci, senang, mengutuk, membuka, dll seperti yg anda kira.

    Mungkin anda bisa lebih menjabarkan pada saya bagaimana sifat benci, senang, mengutuk, membuka, dll bisa menggagalkan sifat kesempurnaan.
    Atau mungkin anda sulit membedakan kesempurnaan dan ketidak acuhan ?

    BalasHapus
  15. KETIGA
    Tentang hukum sebab akibat,
    Pertama saya ingin tegaskan, dalam agama kami, kami tidak disibukkan untuk mencari pencipta dari segala hal. Jawabannya sudah tersedia : Pencipta adalah Tuhan,
    cukup sampai disitu pengetahuannya, tidak perlu diselidiki apa dan bagaimana dzat Tuhan itu, hal itu diluar wilayah akal.

    Yang menarik dari penjelasan anda, disini saya melihat, bahkan seorang Buddhist yg paling anti terhadap dogma2 agama berketuhanan seperti anda, masih saja tidak bisa melepaskan diri dari jeratan doktin / dogma
    Anda meyakini adanya kekekalan dan itulah tujuan kebahagian hidup anda, dan anda berusaha untuk mati2an menempuhnya dengan cara yg sangat berat lewat ajaran Buddha.
    padahal anda sendiri telah mengakui bahwa kekekalan tidak bisa diketahui hal ikhwal tentangnya, dengan kata lain, anda tidak mempunyai ilmu tentangnya.
    Saya melihat satu ironi, bagaimana anda bisa meyakini adanya kekekalan sementara disaat yg sama anda menolak hakikat ketuhanan, sedangkan dua2nya berada diluar jangkauan nalar anda ?
    Kemudian anda masih juga bisa terjebak dogma lanjutannya, bahwa hukum sebab akibat adalah hukum kekal, dan bahwa hukum sebab akibat itu sebagai pengatur segala hal di dunia ini ? Mengenai hal diluar alam kehidupan (nibbana) adalah ada saat ini ? Benarkan saat ini nibbana itu ada ?..... hanya dogma yg mampu menjawabnya bukan ?

    Saya setuju dengan anda bahwa konsep menuju kesempurnaan ada ditangan kita sendiri.
    Memang benar, bahkan Tuhan pun tidak pernah mengobral keselamatan dan kebahagian hakiki kepada mereka yg mengakuiNya semata, tetapi diberikan hanya kepada mereka yg mengakuiNya dan berusaha keras untuk mendapatkan janji keselamatan dan kebahagiaan dariNya, sebanding dengan usaha mereka masing2.

    Pahala – dosa, itu serupa dengan konsep sebab – akibat ataupun karmaphala Hindu, namun kami tidak pernah mengakuinya sebagai satu2nya hukum yg mengatur alam ini.
    Karena jika anda menyebut ketuhanan sebagai suatu ke Maha Sempurnaan, maka anda harus meyadari satu kenyataan, bahwa untuk disebut ke-Sempurna-an, artinya harus tidak ada sesuatu apapun yg membatasinya, termasuk hukum sebab akibat.
    Begitupula dengan hukum yg mengatur alam, ia berada dibawah aturan Sang Ke-Sempurna-an, bukan dibawah kendali hukum sebab akibat, jika yg terjadi sebaliknya, maka ke-Sempurna-an tersebut menjadi Ke-Tidak Sempurna-an, karena Ia dibatasi oleh hukum sebab akibat.

    BalasHapus
  16. Anda bertanya tentang bahasan kebaikan :
    “Dan apakah dasar saudara mengatakan bahwa kebaikan dari makhluk yang tidak memuja tuhan adalah palsu?”

    Komentar saya :
    Saya buat contoh untuk anda :
    Ada seorang brahmana yg mendirikan sekolah bagi orang tidak mampu
    Disaat yg sama ada seorang pengusaha yg demi menjalankan social image bagi perusahaannya ia mendirikan sekolah yg sama dengan yg didirikan oleh brahmana tsb.
    Kebaikannya bagi masyarakat tidak mampu diantara dua orang tsb memang sama,
    tetapi apakah motif kebaikan dari kedua orang itu adalah sama ?

    kasus lain :
    sang brahmana tergerak melakukan itu demi mencapai tujuan nibbana,
    sedangkan ada orang lain yg melakukan hal serupa demi tujuan Sang Maha Sempurna semata
    adakah keadaan keduanya sama ?

    Tentu tidak jawabnya


    Anda juga mengatakan :
    “Saya melihat, tanpa seseorang mengetahui ketuhanan, kebaikan akan selalu ada dihati mereka yang memupuknya, yang mengerti akibat dari kebaikan tersebut.”


    Saya berkomentar :
    Contoh saya diatas sudah cukup menjelaskan, perbedaan niat yg mendasari suatu perbuatan menentukan derajat pencapaian balasan yg diterima masing2 pelaku
    Tidak pernah sama pencapaian orang yg melakukan sesuatu karena terinspirasi pada Tuhan dengan orang terinsiprasi bukan pada Tuhan.
    Yang satu melekat kelangit (keabadian) yg lainnya melekat ke keduniawian.

    BalasHapus
  17. Anda bertanya :
    "tentang tuhan yang dalam keyakinan lain, apakah mereka terbagi menjadi yang memiliki kebaikan dan tidak?"

    Komentar saya :
    Saya harus bertanya pada anda dulu, apa itu definisi kebaikan dan apa itu definisi keburukan dalam pertanyaan anda diatas ?

    Saya gunakan analogi :
    “Seseorang yg lapar memakan sebuah apel”.

    Manakah yg kebaikan dan manakah yg keburukan dari semua yg diciptakan Tuhan dari pernyataan diatas ?
    Semuanya kebaikan ? yg satu kebaikan dan yg satu keburukan ? atau semuanya keburukan ?


    Lebih Spesifik anda bertanya :
    “yang saya maksud dari pertanyaan ini adalah tentang orang yang memuja ketuhanan yang berasal dari setiap keyakinan yang berbeda- beda, apakah mereka terbagi menjadi yang memiliki kebaikan dan tidak, atau semua itu adalah bukan kebaikan?”


    Komentar saya :
    Masing2 orang diuji dengan apa yg diberikan kepada mereka, Tuhan menyuruh mereka berlomba2 dalam berbuat kebajikan, pada akhirnya semua akan kembali pada Tuhan, dan Tuhan jugalah pada akhirnya akan memberitahukan pada mereka tentang apa2 yg mereka perselisihkan.


    Mohon maaf bila ada kata2 yg tidak berkenan.

    BalasHapus
  18. terima kasih atas tanggapan dari saudara andi.
    Tanggapan pertama saya terhadap:
    "1) Anda hanya mengenal jalan Buddha dan tidak memahami serta menyelami jalan pemujaan pada Tuhan
    2) Anda menafikan kenyataan begitu banyak (tak terhitung lagi) orang yg menemukan kebahagian sejati ketika mereka tekun dalam pemujaan kepada Tuhan."

    Setiap orang tentunya meyakini keyakinan sendiri- sendiri. Saudara pun tentunya berlaku demikian. Saudara memiliki pemahaman berbeda terhadap pemahaman saya tentang dunia ini. Tetapi kebahagiaan yang saya maksudkan bukanlah kebahagiaan yang tidak kekal. Lagipula tentunya bahwa bila hanya dilakukan pemujaan, tentunya saudara tahu itu tidaklah menolong tanpa saudara berusaha bekerja dengan baik dan lain-lain.

    Bagaimanakah kebahagiaan sejati itu? Hal itu memiliki definisi yang berbeda- beda. Ada yang bahagia dengan tuhan yang satu, ada yang bahagia dengan tuhan melalui definisi kepercayaan lain, ada yang bahagia dan merasa cocok dengan beberapa tuhan atau dewa. Hal ini tentunya menimbulkan perbedaan, dan kemudian kebahagiaan mereka ditidak benarkan oleh pihak lain, selama ia masih dikuasai kebencian, mereka menimbulkan kekerasan, hal itu tentunya masih diliputi oleh ketidak puasan. Lagipula saya memang berbicara dalam konteks ajaran Buddha Gotama bahwa pemujaan tidak menuntun ke dalam kebahagiaan sejati, yaitu untuk mencapai nibbana. Bila untuk mencapai alam bahagia surga, pemujaan terhadap yang patut dihormati dengan kondisi karma yang sesuai memang bisa, tetapi tentunya kondisi karma yang sesuai bukan hanya dari pemujaan. Bahkan pemujaan dengan pandangan salah adalah tidak baik.

    BalasHapus
  19. Tanggapan saya terhadap:
    "1) Hakikat ketuhanan itu diluar nalar manusia, karena itu Dia tidak pernah bisa didefinisikan.
    2) “pendefinisian” tentang yg apa2 dilakukan Tuhan, hanyalah sekedar pen-simbolan dalam kata2 agar nalar manusia bisa menangkap penggambaran makna nya.
    3) Memahami “pendefinisian Tuhan” untuk tujuan point 2 diatas sebagai keadaan sebenarnya dari Tuhan jelas merupakan kesalah pengertian yg sangat besar.
    4) Karena segala sesuatu yg ada berasal dari Tuhan, maka segala sifat yg ada menjadi ada karena disifatkan oleh Tuhan.
    5) Kesempurnaan pada Tuhan tidak akan terciderai hanya karena Ia bisa membenci, senang, mengutuk, membuka, dll seperti yg anda kira.

    Jadi karena definisi tersebut adalah simbol, jadi hal itu bukanlah yang terjadi sebenarnya? Dalam ajaran Buddha Gotama, bila ada yang mengatur nasib makhluk- makhluk di dunia ini, itu adalah ditolak. Untuk pernyataan no.3 saya mengatakan hal itu adalah cara pendefinisian, tetapi saudara mengatakan dalam poin no. 2,itu hanya adalah simbolis. Apakah simbolis tidak menghadirkan pengertian yang mendekati? Untuk poin no 4, hal itu adalah sebuah pendefinisian. Dalam pengertian itu berarti ketuhanan adalah awal dan akhir, tetapi itu hanya sebuah dogma, dimana bagaimanakah bila segala sesuatu adalah tanpa awal dan tanpa akhir, atau sebuah kombinasi. Bila semua harus berasal, bisa saja tuhan ini berasal dari tuhan itu dan tiada batasnya. Untuk poin no.5 jadi, saudara berpendapat bahwa itu tidak mencederai definisi ketuhanan. Dalam keyakinan saya, ketuhanan telah lepas dari itu semua, kebencian, ketidakpuasan adalah ketidaksempurnaan, dan bila kita masih dikuasai oleh hal itu, berarti kita masih dikuasai oleh mara(definisi menyerupai iblis jahat, atau bahkan sesuatu yang buruk dalam diri kita). Suatu penghinaan bila ternyata ada sifat- sifat noda itu dalam ketuhanan. Ketuhanan yang sebenarnya tidaklah seperti itu. Bila terjadi demikian, tentulah hal itu bukan ketuhanan.

    BalasHapus
  20. Tanggapan saya terhadap tanggapan saudara yang ketiga. Iya bahwa dalam keyakinan saudara adalah tidak mencari- cari bagaimana tuhan itu. Tetapi itu yang saya tangkap dari penekanan saudara, karena saudara memusingkan bahwa yang terjadi haruslah demikian dan tidak mungkin yang lain.

    Bila saya adalah terjebak dalam dogma, maka saudara harus mengakui bahwa saudara juga terjebak dalam dogma. Tetapi saya berkomentar dengan pengetahuan yang saya pelajari bukanlah terjebak pada dogma. Menurut ajaran Buddha Gotama, Nibbana itu adalah benar adanya, seperti menurut saudara keyakinan saudara dan ketuhanan adalah benar. Lagipula tidak adanya berusaha mati- matian dalam berbuat baik. Itu seperti sebuah terjemahan terbalik. Saya tidak terikat tentang hal- hal yang dogmatis. Sedangkan saudara adalah berada dilingkaran tersebut. Mengapa demikian, karena bila saudara keluar dari lingkaran tidak mempercayai, penderitaan menunggu. lingkaran saya adalah pebuatan baik. Saya tidak terikat bahwa dunia harus seperti ini dan itu, meski saya hanya manusia biasa yang tentunya masih berlatih. Sebenarnya saudara patut memikirkan bahwa semua manusia di dunia ini yang berumah tangga adalah tidak memiliki ilmu itu, kekekalan dan lain- lain. Saudara saat ini memiliki niat untuk menciptakan keragu- raguan. Nibbana memang tidak bisa dipahami oleh makhluk- makhluk biasa. Bahkan memang tidak digambarkan. Keyakinan saya karena memang tidak membabi buta, tidak dipaksakan dalam mempercayainya, sehingga bukanlah merupakan dogma. Hal itu tidak menciptakan jerat bagi saya. Nibbana adalah kebebasan, bagaimakah suatu kebebasan menjadi jeratan. Bila saudara berkata dogma yang menjawabnya, maka saudara harus mengakui bahwa keyakinan saudara haruslah sebuah dogma. Mengapa dikatakan hukum alam kekal?Karena ada yang melihatnya. Bahkan bila saudara berkata bahwa hukum haruslah diciptakan, mengapa saudara tidak berkata tuhan haruslah dilahirkan?

    Saya hanya tidak setuju bahwa kebahagiaan adalah ketika kita harus melakukan pengakuan. Ketuhanan seeprti ini adalah tidak sesuai dimana ketuhanan yang seharusnya adalah tanpa pengakuan, karena hal itu menimbulkan pemujaan berlebihan yang bukan jalan keluar yang sebenarnya. Kebahagiaan diperoleh oleh setiap orang yang berbuat kebajikan. Tentang kesempurnaan, itu adalah diluar dari hukum sebab akibat dan itu benar menurut ajaran para Buddha. Tetapi saya tekankan sekali lagi saudara telah memusingkan tentang mengatur dunia ini, dan saya tidak memusingkannya. Lagipula bila saudara selalu menekanan tuhan dengan pribadi. Ketuhanan itu bukanlah pribadi, dan ketuhanan yang seharusnya tidak menerima pujaan. Hukum sebab akibat adalah salah satu corak alam semesta ini, dengan corak- corak lainnya, seperti hukum pikiran dan lain- lain. Dan Nibbana adalah diluar dari corak tersebut. Sedangkan saudara selalu melakukan leveling antara hukum dengan pribadi tuhan. Maka seperti pertanyaan telur dan ayam. Ya, bisa saja ada yang mengakui dirinya sebagai tuhan tanpa mengerti bahwa ia masih diliputi hukum. Hal yang menjadi dogmatis bila dipaksakan. Maka bagaimakah bila tuhan dalam pandangan saudara itu adalah sebenarnya dilahirkan?

    BalasHapus
  21. Tentang perumpamaan ini:
    "Kebaikannya bagi masyarakat tidak mampu diantara dua orang tsb memang sama,
    tetapi apakah motif kebaikan dari kedua orang itu adalah sama ?"
    "sang brahmana tergerak melakukan itu demi mencapai tujuan nibbana,
    sedangkan ada orang lain yg melakukan hal serupa demi tujuan Sang Maha Sempurna semata"

    Perumpamaan ini tidaklah relevan, perumpamaan yang dipaksakan kebenarannya, tidak memuaskan bagi semua makhluk. Lagipula Brahmana adalah sebuah kasta hindu, san mengapa dijadikan pilihan perumpamaan.

    Hal itu terlihat berbeda karena saudara berpikir bahwa saudara membedakan ketuhanan dan Nibbana. Saudara berpikir bahwa hal itu ada dan harus melakukan hal yang demikian, maka saya katakan bagi yang mempermasalahkan perbedaan dengan melakukan tingkatan demikianlah menimbulakan pernderitaan. Ada beberapa orang yang berkata hal yang diyakininya adalah terbaik, yang lain berkata bahwa tuhannya adalah yang sebenarnya terbaik. Dogma tidaklah bisa ditumpuk, maka saya katakan perumpamaan saudara tidak berdasar. Dan dalam perumpamaan pertama, seharusnya bukan pebisnis dan brahmana hindu. Seharusnya saudara mengganti pebisnis itu dengan pemuka agama lainnya. Doktrin saudara mengatakan kebaikan haruslah ketuhanan, maka saudara sepatutnya mengakui setiap keyakinan teis adalah benar, tetapi tentu tidak demikian bukan? Saudara demi membenarkan sesuatu tidak melihat kebaikan ada disetiap orang, dalam keyakinan apapun. Keyakinan menuntun mereka, tetapi sebenarnya alami dari manusia yang menginginkan kebahagiaan. Saya menegaskan saya tidak menanggapi hal- hal dogmatis yang seperti itu. Alami dari manusia akan menjawab itu semua.

    Yang saya tanyakan adalah apakah saudara berkata kata tuhan- tuhan yang lain adalah sama, benar, atau tidak benar?Dan apakah pengikut mereka memiliki kebaikan?

    Bila yang saudara katakan seseorang harus mempercayai adanya makhluk yang lebih mulia, saya mengatakan bahwa makhluk surga lebih mulia dalam karma mereka, tetapi tidak lebih baik dari makhluk suci meskipn makhluk tersebut adalah manusia. Dan makhluk surga adalah tidak kekal. Itu tidak dogmatis karena tidak memaksa saudara untuk memepercayainya, dan tidak menciptakan lingkaran bahwa tidak mempercayai hal tersebut, maka penderitaan yang didapatkan, menurut saya itu adalah sebuah ketidakailan. Bahwa ada banyak orang memiliki pikiran cinta kasih, tetapi pengertian mereka terhadap dunia ini adalah berbeda, maka yang patut dilihat bukan pengertian mereka tetapi pikiran cinta kasih mereka, umpamanya seperti orang yang pergi ke utara dengan kompas, tetapi menjalani jalur yang berbeda. Selama mereka tidak berjalan ke selatan, mereka adalah benar menuju utara.

    Saya meminta maaf bila ada kata yang kurang berkenan.

    BalasHapus
  22. Salam kenal Pak Johnson Kantasiri;

    Boleh Bapak menjelaskan kesaya arti dalam Dhammapada 277 yg mengatakan " Segala sesuatu yang berkondisi (sankhara / samskara) adalah tidak kekal (anicca / anitya). " dikaitan dengan pernyataan Bapak yg menyatakan "segala sesuatu yg tidak memiliki awal maupun akhir dalam pemahaman Buddhis? Bukankah itu kontradiksi?

    Dalam pengertian saya segala sesuatu yg "berkondisi" tentu memiliki awal dan akhir. Jika segala sesuatu memiliki awal, tentu ada yg mengawali, segala sesuatu memiliki permulaan tentu ada yg memulainya. Nah, dalam hal ini "apa" atau "siapa" yang memulai?


    BalasHapus
    Balasan
    1. AN,
      Sy tertarik utk ikutan dalam pertanyaan anda,
      terutama di kalimat yg anda sampaikan, "segala sesuatu yg tidak memiliki awal maupun akhir dalam pemahaman buddhis"?

      bolehkah disampaikan tepatnya kalimatnya spt apa + sumbernya?
      Tks yah.

      Hapus
    2. yang kekal, ya yang tidak berkondisi, yang berkondisilah yang tidak kekal, itulah yang saya pahami dari dhammapada itu. Saya tidak tertarik terhadap siapa yang memanah saya, saya hanya tertarik dengan bagaimana cara untuk menyembuhkan luka saya. Terima kasih.

      Hapus
  23. Terima kasih Sdr Johnson Khantasiri,
    Mohon maaf cukup lama tidak online.
    Saya akan mencoba menanggapi pendapat anda,

    Anda berpendapat :
    “Lagipula saya memang berbicara dalam konteks ajaran Buddha Gotama bahwa pemujaan tidak menuntun ke dalam kebahagiaan sejati, yaitu untuk mencapai nibbana.”

    Tanggapan saya :
    Mohon maaf, tetapi saya melihat kekeliruan cara berfikir anda dalam pernyataan tsb.
    Justru berawal dari pemujaanlah seseorang tertuntun kearah yg menurutnya benar, atau ke arah yg memang sejatinya benar.
    Contoh, seorang Buddhist yg tekun (seperti anda), tidak pernah lepas dari sikap pemujaan (yg sayangnya bahkan cenderung berlebihan) terhadap sosok Buddha.
    Jika anda tidak memuja Buddha, apakah anda masih mau bersusah payah untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran2 nya ? tentu tidak mungkin !
    Kalau anda tidak punya perhatian pada sosok Buddha, untuk apa anda menjalankan ajaran2nya ?
    Apakah sama keadaan seorang biksu yg siang malam memuja buddha di vihara dengan seorang buddhist awam yg mengunjungi vihara hanya dalam acara2 seromonial belaka ? Pasti tidak sama bukan ?
    Tanpa berusaha mengenal dan mengidolakan Buddha, bagaimana ke-buddhist-an seseorang menurut anda ? apakah bisa selevel dengan biksu kepala vihara ?

    Menurut pendapat saya, Kebaikan berbanding lurus dengan pemujaan seseorang pada apa yg diidolakannya. Dengan pemujaan menimbulkan kecintaan, dengan kecintaan seseorang secara suka rela mempelajari dan mengamalkan setiap perintah atau larangan dari apa yg dipujanya. Padahal inti dari setiap ajaran agama apapun menuntun pelakunya pada perbuatan kebaikan dan menjauhi keburukan, kalau seseorang dengan kecintaan dan pemujaannya pada Tuhan seperti itu dengan kesadaran dan keikhlasan semata melakukan perintah2 Tuhannya demi Tuhan semata (bukan demi lain2), bagaimana mungkin anda bisa katakan : “dalam konteks ajaran Buddha Gotama bahwa pemujaan tidak menuntun ke dalam kebahagiaan sejati, yaitu untuk mencapai nibbana.”

    Justru saya harus balik bertanya kepada anda, mohon dijelaskan hubungannya, tanpa pemujaan sedikitpun dalam agama, bagaimana seseorang bisa tertuntun kepada kebaikan sejati ?

    Begitu pulalah yg terjadi pada umat2 beragama lain, tingkat kebaikan mereka dipupuk dan ditumbuh suburkan oleh besarnya kecintaan dan pemujaan mereka pada idola mereka, yaitu Tuhannya.
    Jika ada keburukan yg dilakukan oleh seorang pemuja Tuhan, sudah pasti itu bukan karena sebab pemujaan yg dilakukannya, tetapi karena kesalahan persepsinya sendiri dalam memahami ajaran2 Tuhan.
    Karena itu dalam ajaran agama kami, selalu disebutkan, kebaikan itu berasal dari Tuhan, sedangkan kesalahan berasal dari manusia. Maka tidak ada alasan sedikitpun bagi kami untuk mensifatkan keburukan itu berasal dari Tuhan sebagaimana pemahaman anda dalam tanggapan2 anda diatas.

    Wajar menurut saya jika anda masih mensifatkan sifat kejelekan pada Tuhan, karena dari awalnya anda memang merasa tidak perlu memusingkan diri untuk memahami masalah ketuhanan. Sehingga anda menjadi lupa bahwa sifat kemaha sempurnaan dan kesucian yg dimiliki Tuhan, menutup sama sekali celah sekecil apapun dari masuknya sifat ketidak sempurnaan dan keburukan pada diri Nya.

    BalasHapus
  24. Pernyataan anda :
    “Dalam ajaran Buddha Gotama, bila ada yang mengatur nasib makhluk- makhluk di dunia ini, itu adalah ditolak.”


    Tanggapan saya :


    Sebenarnya pernyataan diatas sangat tidak obyektif,
    Buddha Gotama tidak pernah sama sekali membahas awal dari segala sesuatu (baca : awal penciptaan), sebagaimana yg dibahas dalam agama2 lain.
    Tidak ada alasan untuk menolak pengaturan nasib makhluk2 di dunia oleh Sang Maha Pengatur, karena pengajaran sang Buddha sama sekali tidak pernah menyentuh ke dalam substansi tsb.
    Bagiamana pendapat anda terhadap Seseorang yg memvonis terhadap sesuatu, sedangkan dia tidak punya pengetahuan terhadap sesuatu tsb ? Apakah vonis tersebut benar pada tempatnya ?

    Sang Buddha Gotama sendiri, sebagai seorang manusia, tentulah tidak maha tahu tentang segalanya, ada keterbatasan yg tidak mampu ditembus oleh kecerahan rohani beliau, semisal awal keberadaan segala sesuatu.
    Bagi beliau, awal itu pasti selalu ada, tidak mungkin tidak ada. Sebagaimana beliau telah mengajarkan ada sesuatu yg tidak dilahirkan, dimana tanpa keberadaan sesuatu tsb tidak mungkin ada segala yg ada ini (mohon lupa saya lupa ayatnya). Tapi sesuatu tsb tidak perlu diajarkan karena tidak mungkin dijabarkan pada pemikiran manusia, sebagaimana angin yg keberadaannya telah pasti dan dapat dirasakan, meskipun sulit dibuktikan bagaimana bentuk atau keadaannya.
    Kecuali ada usaha dari anda untuk menempatkan beliau dalam posisi maha tahu segalanya, maha sempurna diatas segalanya, sehingga akan terlihat jelas usaha anda untuk menempatkan seorang manusia ke posisi ketuhanan dalam pemahaman anda yg khas.
    Sehingga anda sendiri yg harus menjawab pertanyaan anda pada saya : “Maka bagaimakah bila tuhan dalam pandangan saudara itu adalah sebenarnya dilahirkan?”


    Dalam pengertian saya, yg dimaksud penolakan sang Buddha terhadap takdir / pengaturan nasib setiap makhluk adalah sekedar penolakan terhadap faham keliru sebagian orang di jaman beliau, yg dengan mudah mengatakan sesuatu itu telah ditakdirkan dengan meninggalkan usaha untuk merubah keadaan mereka.
    Pesan Buddha dalam hal ini adalah : teruslah berusaha, karena kita sebenarnya tidak tahu apa takdir kita.

    BalasHapus
  25. Pendapat anda :
    “Tetapi saya berkomentar dengan pengetahuan yang saya pelajari bukanlah terjebak pada dogma. Menurut ajaran Buddha Gotama, Nibbana itu adalah benar adanya, seperti menurut saudara keyakinan saudara dan ketuhanan adalah benar. Lagipula tidak adanya berusaha mati- matian dalam berbuat baik. Itu seperti sebuah terjemahan terbalik. Saya tidak terikat tentang hal- hal yang dogmatis. Sedangkan saudara adalah berada dilingkaran tersebut.”

    Pendapat saya :
    Pengetahuan yg anda pelajari itu, semisal Nibbana, tidak lain juga sekedar dogma, karena tidak ada bukti empiris terhadap masalah itu. Saudara tidak perlu malu untuk mengakui masih terjebak dalam dogma baik sedikit maupun banyak, karena dogma atau keimanan adalah ciri utama dari suatu agama manapun, bahkan termasuk agama Buddha. Agama bukan sains yg mendasari dirinya dengan bukti2 empiris.
    Nibbana, kekekalan, kebahagian sejati, dll seperti itu, tidak pernah bisa dibuktikan oleh manusia yg masih hidup, hal2 tsb hanya bersumber dari ajaran para Buddha dimasa yg telah lampau.
    Segala pengingkaran kebutuhan hidup di dunia yg dilakukan secara ekstrim seperti dilakukan saat ini atau di masa lalu oleh para Buddhist taat seperti yg kita semua ketahui sebenarnya (mau diakui atau tidak) tidak lebih dari keyakinan membabi buta demi meraih apa (yg hanya) diajarkan oleh para Buddha yg sebenarnya belum bisa dibuktikan oleh kemampuan normal manusia.
    Mohon maaf, dalam kehidupan faktual yg saya lihat justru keadaan yg bertentangan dengan pendapat anda, bahwa “Keyakinan saya karena memang tidak membabi buta, tidak dipaksakan dalam mempercayainya, sehingga bukanlah merupakan dogma.”
    Mau dipaksakan atau tidak, mau dipercaya atau tidak, dogma nya dalam agama Buddha tidak akan berubah, samsara menghalangi sesorang dari nibbana bukan ?



    Pendapat anda :
    “Saya hanya tidak setuju bahwa kebahagiaan adalah ketika kita harus melakukan pengakuan. Ketuhanan seperti ini adalah tidak sesuai dimana ketuhanan yang seharusnya adalah tanpa pengakuan, karena hal itu menimbulkan pemujaan berlebihan yang bukan jalan keluar yang sebenarnya.”

    Pendapat saya :
    Saya melihat kesalah pahaman anda memahami ajaran agama lain, ketika membuat pernyataan diatas.
    Pengakuan atas ketuhanan tidak otomatis melahirkan kebahagian pada yg bersangkutan tanpa pernah diimbangi dengan amal2 kebajikan. Orang yg mengaku berTuhan tetapi tidak beramal kebajikan tidak lebih dari seorang pembohong besar. Dalam agama kami orang2 seperti itu disebut munafik.

    Sedangkan pembuat kebajikan tanpa disertai pengakuan pada Tuhan, tidak lebih seperti pengembara yg tidak tahu arah dan tujuan perjalanan mereka. Bisa jadi mereka akan mati merana di tengah perjalanan tanpa sempat tahu apa tujuan dari perjalanan mereka.

    Juga perlu anda ketahui, pemujaan pada Tuhan tidak pernah diartikan Tuhan membutuhkan pemujaan dari makhluk2, tetapi efek dari pemujaan itulah yg berguna bagi kepentingan para makhluk itu sendiri.

    Diibaratkan, pabrikan mobil mengeluarkan petunjuk manual yg berisi ritual2 perawatan kendaraan bagi para konsumennya sama sekali tidak bertujuan untuk kepentingan pabrikan tsb, tetapi demi kepuasan konsumen sendiri terhadap keawetan produk kendaraan yg telah mereka beli.

    BalasHapus
  26. Anda membuat pernyataan :
    Ketuhanan itu bukanlah pribadi, dan ketuhanan yang seharusnya tidak menerima pujaan. Hukum sebab akibat adalah salah satu corak alam semesta ini, dengan corak- corak lainnya, seperti hukum pikiran dan lain- lain. Dan Nibbana adalah diluar dari corak tersebut. Sedangkan saudara selalu melakukan leveling antara hukum dengan pribadi tuhan. Maka seperti pertanyaan telur dan ayam.
    Ya, bisa saja ada yang mengakui dirinya sebagai tuhan tanpa mengerti bahwa ia masih diliputi hukum. Hal yang menjadi dogmatis bila dipaksakan. Maka bagaimakah bila tuhan dalam pandangan saudara itu adalah sebenarnya dilahirkan?


    Tanggapan saya :
    Tidak benar sama sekali bila kami melakukan levelling antara hukum dengan pribadi Tuhan.
    Dalam keimanan kami, hukum berlaku bagi makhluk, bukan bagi Tuhan.
    Hukum sebab akibat berlaku untuk mengatur kehidupan manusia, tetapi bila Tuhan menghendaki hukum tersebut bisa saja tidak berlaku.
    Hukum Kamma menyatakan orang berbuat salah akan dihukum, tetapi bagi kami tidak harus demikian bila Tuhan menghendaki.

    Soal penolakan anda terhadap pribadi Tuhan,
    Saya melihat ketidak jelasan dari alasan penolakan anda itu, karena bahkan hingga saat inipun anda tidak mempunyai pengetahuan tentang apa dan siapa Tuhan
    Yg saya ketahui selama diskusi ini hanyalah konsep anda tentang Tuhan adalah seperti kesempurnaan, ketidak terbatasan, dll yg tidak pernah jelas hakikatnya seperti apa.

    BalasHapus
  27. Pendapat anda :
    “Perumpamaan ini tidaklah relevan, perumpamaan yang dipaksakan kebenarannya, tidak memuaskan bagi semua makhluk. Lagipula Brahmana adalah sebuah kasta hindu, san mengapa dijadikan pilihan perumpamaan.
    .............................
    .............................
    Bahwa ada banyak orang memiliki pikiran cinta kasih, tetapi pengertian mereka terhadap dunia ini adalah berbeda, maka yang patut dilihat bukan pengertian mereka tetapi pikiran cinta kasih mereka, umpamanya seperti orang yang pergi ke utara dengan kompas, tetapi menjalani jalur yang berbeda. Selama mereka tidak berjalan ke selatan, mereka adalah benar menuju utara”

    Pendapat saya :
    Ya, maaf saya salah memaksudkan Biksu Buddha dengan Brahmana orang Hindu.
    Tetapi apapaun tokoh agama yg dijadikan perumpamaan sebenarnya tidak ada masalah sama sekali,
    perumpamaan saya tetap relevan dengan kenyataan dikehidupan sehari2 kita, dan relevan juga apa yg kita diskusikan, dimana anda mempertanyakan apakah orang yg tidak berTuhan sama keadaannya dengan orang berTuhan dalam hal sama2 berbuat kebajikan.
    Namun sayangnya anda tidak menjawab perumpamaan saya tersebut.

    Dalam ajaran agama saya, segala sesuatu dikembalikan kepada niatnya, dan yg bersangkutan akan mendapat balasan sesuai apa yg diniatkannya tsb.
    Orang yg melakukan suatu kebaikan dengan niat mencari keredhaan Tuhan, maka dia akan mendapatkannya, balasan kebahagiannya ada di akhirat, tempatnya ada di kekekalan / keabadian dalam pemahaman anda.
    Bila dia mendapatkan juga balasan kebaikan di dunia, maka itu bonus dari kemurahan Tuhan.
    Sedangkan seseorang yg melakukan kebaikan dengan niat mencari keuntungan duniawi, dia pasti akan mendapat apa yg dia niatkan didunia ini sebanding dengan usahanya, sementara diakhirat tidak ada sedikitpun yg akan dia peroleh, karena pada dasarnya dia memang tidak mencari untuk bagian itu.
    Sistem yg berkeadilan bukan ? Tidak ada satupun yg merasa dirugikan.
    Orang tsb tidak merasa rugi tidak mendapat bagian kebahagian di akherat, karena dia sepenuhnya sadar tidak pernah mencari untuk itu. Tidak ada alasan untuk menyalahkan Tuhan.
    Orang yg tahu tidak mencari untuk satu bagian, tetapi menuntut untuk diberi bagian yg tidak dicarinya tersebut adalah orang yg kurang ajar bukan ?

    Karena itulah saya selalu berpendapat, kebaikan yg dilakukan oleh seseorang yg mengingkari Tuhan tidak akan pernah menuai kebahagian sejati di kekekalan / keabadian. Yg dia peroleh hanyalah kebahagian di dunia semata, sedangkan kebahagian duniawi bukankah kebahagian sejati.
    Bagaimana pendapat anda, masihkan orang yg tidak mengakui Tuhan akan mendapat kebahagian sejati yg kekal ? Bagaimana mekanismenya kalau dia berhak mendapatkannya juga ? Mungkin anda bisa menjelaskan kepada saya dengan lebih jelas dan masuk akal, terlepas dari segala dogma.

    Jika menurut anda yg dilihat adalah pikiran cinta kasihnya semata, maka bagaimanakah menurut anda pikiran cinta kasih yg dimiliki oleh seorang aktivis HAM yg kebetulan juga seorang pembela hak2 kaum homoseksual (yg berusaha memperjuangkan legalisasi perkawinan sejenis) dengan pikiran cinta kasih yg dimiliki oleh seorang biksu Buddha yg menyendiri di kuil di puncak gunung sepi ? Apakah buah pikiran cinta kasih mereka berdua mendapat derajat yg sama dalam standart nibbana ?

    BalasHapus
  28. Anda menanyakan :
    “Yang saya tanyakan adalah apakah saudara berkata kata tuhan- tuhan yang lain adalah sama, benar, atau tidak benar?Dan apakah pengikut mereka memiliki kebaikan?”

    Jawaban saya :
    Yang bisa saya katakan adalah semua agama mengajarkan kebaikan, tetapi tidak semua agama mengajarkan kebenaran.
    Silahkan anda pahami sendiri maknanya.

    Mohon maaf sebesar-besarnya jika ada kata2 yg tidak berkenan di hati anda.
    Terima kasih

    BalasHapus
  29. Ada sedikit tambahan pertanyaan dari saya Sdr Johnson,

    Dengan sisa kepercayaan anda terhadap ketuhanan (terlepas perbedaan pandangan antara kita dalam hal ini), saya ingin bertanya bagaimana pendapat anda :

    1) Apakah ketuhanan itu berlepas sama sekali dari campur tangan dengan urusan makhluk, atau malah harus meliputi semua urusan makhluk ?


    2) Jika jawaban no 1 adalah, ketuhanan berlepas dari urusan makhluk, maka apa fungsi ketuhanan yg seperti itu ?


    3) Sebagai orang yg diajarkan untuk selalu berterima kasih dan mensyukuri pemberian orang lain kepada anda, apakah anda merasa perlu untuk mensyukuri dan berterima kasih terhadap segala kenikmatan yg anda terima dari ketuhanan, atau anda tidak merasa perlu melakukan itu karena menurut anda segala nikmat kehidupan ini bukan berasal dari ketuhanan, melainkan dari alam dan atas usaha anda sendiri ?

    4) Kalau anda merasa perlu berterima kasih dalam point dua diatas, bagaimana bentuk rasa syukur dan terima kasih tsb ?

    Mohon penjelasannya.

    Terima kasih
    Mohon maaf kalau ada kata2 yg tidak berkenan

    BalasHapus
  30. Terima kasih atas tanggapannya.

    Saya sedikit berkomentar lagi tentang hal- hal ketuhanan, karena di sini saya melihat saudara adalah berada di dalam lingkaran harus ada tuhan. Saudara tidak menerima bahwa tuhan yang dipercayai di dunia ini adalah makhluk yang masih dilingkupan alam kehidupan dan di bawah hukum kamma. Saudara berkomentar dengan apa yang saudara pahami dan saya berkomentar dengan apa yang saya pahami. Selama ada kebencian, pandangan salah, apalagi menyebabkan terjadinya pembunuhan, makhluk itu tidak lebih baik dari manusia yang telah mencapai kesucian batin. Saudara sendiri tidak mengerti Dhamma tetapi berkata tentang bhikkhu yang melakukan hal pemujaan. Saudara berkomentar tentang mencapai Nibanna. Seorang bhikkhu yang sepatutnya hidup dengan baik dan berlatih dalam moral, dan kesadaran. Pemujaan hanya untuk mengingatkan sifat- sifat Buddha Gotama.

    Pemujaan bukanlah kunci untuk mencapai kebahagiaan, tetapi adalah suatu cara yang bisa diterapkan seperti memuja idola yang baik (bila yang buruk yang terjadi adalah kebalikannya). Tetapi bagi yang telah mengetahui kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati, ia berjalan lurus tanpa berbelok- belok. Buddha ada untuk mengajar, semua makhluk. Pemujaan dalam hukum karma yang saya pahami, lebih cocok dikatakan penghormatan. Seperti seseorang yang menghormati orang lain yang memiliki derajat lebih tinggi, dan orang lain itu berbahagia. Seperti inilah perbuatan baik yang dilakukan seseorang yang menghormati makhluk yang lebih tinggi. Tetapi yang memutuskan akar- akar ketidak kekalan dan ketidakpuasan dalam diri manusia tidak bisa dicapai dengan hal demikian. Ia harus menembus karma yang bukan baik maupun bukan buruk.

    Bagaikan segelas air putih dengan kadar garam rendah, sedikit- dikitnya kejelekan itu, tak akan bisa tertutupi, kecuali airnya dibuang.

    BalasHapus
  31. Saudara telah memvonis tentang sesuatu yang anda tidak tahu yang dogmatis, saya hanya mengatakan tentang apa yang saya yakini. Dhamma ajaran Para Buddha adalah universal. Itu bukanlah sebuah ekslusivitas keyakinan, Dhamma adalah bagi para makhluk dewa, makhluk pencipta, makhluk raksasa, dan makhluk lainnya. Dhamma adalah apa yang telah ditemukan di dunia ini, tidak dikuasai ruang dan waktu. Seorang buddha yang mengajar adalah pengetahu segenap alam. Ia bahkan mengetahui kehidupan dari makhluk brahma, makhluk pencipta, yang karena ketidaktahuannya mengira ia adalah kekal dan maha berkuasa, dan akhirnya mengerti ketika ia teringat masa lampaunya dan menegrti bahwa ia masih diliputi belenggu. Seorang Buddha terlahir sebagai manusia, tetapi kebenarannya ia adalah seorang suci. Ia telah mencapai Nibanna dengan kemampuannya sendiri dan mengajar di dunia. Ia terlihat mulia bukan karena ia berkata bahwa ia adalah pencipta, tapi ia mendapat kemuliaan tersebut karena apa yang telah dilakukannya.

    Saudara harus mulai berpikir bila ada tuhan di atas tuhan. Saya tidak memperoleh pengetahuan tuhan dalam Dhamma ajaran Buddha Gotama, tetapi dalam setiap hal yang saya pahami, saya hanya melakukan yang terbaik, oleh karena itu dalam perdebatan demikianlah bagaikan seseorang yang ahli dalam bahasa inggris dan seseorang lain yang ahli dalam berbahasa indonesia. Mereka berdebat tentang kosakata yang benar!

    Seseorang terikat, lahir oleh, berkerabat dengan karmanya sendiri. Tidak ada takdir melainkan karma kita sendiri.

    BalasHapus
  32. Ya, bila nibbana dipaksakan kebenarannya tentu adalah dogma, tetapi ajaran Buddha Gotama tidak pernah dipaksakan, melainkan diuji. Saya memang tidak mencium nibbana tapi saya mencium manfaat dari Dhamma yang menuntun terhadapnya. Tetapi, toh dalam dogma yang anda percayai, meski anda tidak mencium manfaat dari ajaran dogmatis itu dan saudara meninggalkannya karena ketidakcocokan, maka itu menimbulkan kutukan. Hal yang tidak universal tersebut membuat saya ragu. Semungkinnya seseorang makhluk yang maha mengajarkan suatu kebaikan, tetapi manusia yang menerimanya menambahkan bahwa penciptaan dan hal- hal lainnya. Demikianlah manusianya yang salah, bukanlah makhluk yang mengajarlah yang salah, demikianlah pemahaman saya. Seseorang yang dapat mencapai nibbana adalah orang yang bahkan telah melepas konsep nibbana itu sendiri. Manusia bisa membuktikan Dhamma itu sendiri, sebagai mana ketika mereka lepas dari kekotoran batin, mereka melihat jelas Dhamma, hal itu dibuktikan.

    BalasHapus
  33. Jika spare part mobil itu tanpa petunjuk manual, maka spare partnya tidak akan laku dijual dan pabrikan itu akan kalah bersaing. Demikianlah suatu pemahaman bagi yang membutuhkan pemujaan.

    Semua ajaran di dunia ini, menghadirkan hasil didikan yang baik dan yang buruk, itu saya akui. Tetapi bagaimanakah ketika seseorang yang baik dari pihak yang satu bertengkar dengan orang baik yang lain, itulah yang salah. Makanya yang bijaksana tidak akan mengatakan tuhan ini dan tuhan itu yang hanya menimbulkan pertumpahan darah dari pemujaan yang berlebihan itu. Dhamma itu sendiri jarang dimengerti oleh yang belum bila terlepas dari belenggu.

    "Hukum Kamma menyatakan orang berbuat salah akan dihukum, tetapi bagi kami tidak harus demikian bila Tuhan menghendaki." Dari pernyataan ini, bahwa tuhan maha adil harus dihapuskan. Sedangkan Hukum Kamma itu adalah adil.

    BalasHapus
  34. Anda menyatakan apa yang saudara pahami sebagai relevan, singkat kata, bila yang saya katakan tidak sesuai dengan kitab suci saudara, maka hal itu tidak relevan. Hal itu tidak terjadi dalam Dhamma.

    Lagipula apa alasannya saudara berkata bahwa bila tidak ada kebajikan tanpa tuhan. Kitab suci adalah pegangan saudara? Bagi seseorang yang memahami Dhamma, panduan yang sebenarnya ada di sekitar kita tak ada sela waktu. Bagaima kebenarannya kitab suci saudara bisa diuji? Sebagaimananya sekelompok orang yang memenangkan pertarungan dan mengataka ia benar, apakah ia tentu benar? Apakah saudara menguji hal yang paling dasar sekali terlepas dari pegangan itu, dan bila telah teruji, oh ternyata memang benar demikian. Toh, saudara pasti menentang proses kloning karena itu menentang eksklusivitas tuhan saudara, tetapi buktinya ada kok, dan berarti tuhan saudara mengijinkan kloning tersebut, bila memang segala hal adalah kehendak tuhan saudara.

    Sistem yang ada dalam Dhamma adalah apa yang dilakukan kini, dan apa hasilnya nanti, apa yang kita dapatkan kini dan apa penyebabnya. Tidak ada akhirat, yang ada kehidupan lampau, kini, dan akan datang.

    BalasHapus
  35. Saya tidak mengerti dengan standart Nibbana yang saudara maksud, saudara berpikir bahwa Nibanna adalah standar tertentu, Nibbana adalah tak perlu didefinisikan oleh para makhluk. Pikiran cinta kasihnya bisa saja sama, apa yang berbeda?kebijaksaannya. Dhamma tidak bisa dilanggar, dalam kepercayaan saudara, itu melanggar tuhan saudara. Dalam Dhamma, hal itu terjadi karena mereka memiliki gangguan seksual dan psikologis. Mereka tidak seperti mayoritas dari manusia. Itu boleh dikatakan karma buruk mereka. Demikianlah Dhamma itu tidak pernah dilanggar.

    Saya bisa memahami maknanya tanpa mengatakan saya adalah paling benar, dan ketika hal itu terjadi, saya telah menghindarkan manusia- manusia dari pertikaian. Tapi saya tidak tahu apakah makna yang saudara pahami dari kebenaran tersebut menimbulkan sesuatu yang negatif atau sebaliknya. Dalam hal yang universal, Dhamma tidak eksklusif, semua makhluk para hantu, para raksasa, jin, dewa, hewan, makhluk brahma, dan manusia memiliknya sebagai pelindung mereka. Karena ketika Dhamma dilaksanakan siapapun mereka, mereka akan mendapat manfaatnya.

    BalasHapus
  36. Ketuhanan sebagai kosakata yang mewakili Nibbana dalam hal ini, maka saya tidak mendefinisikan ketuhanan tetapi Nibbana. Nibbana adalah yang telah dicapai oleh para Buddha, lepas dari ketidakkekalan dan ketidakpuasan. Lebih dari itu, definisi lebih lanjut sepatutnya saya belum membuktikannya.

    Dalam Dhamma, tidak ada definisi tuhan yang mencipta dan mengatur, mengapa ekspetasi tentang tuhan ada? Ada makhluk- makhluk brahma (makhluk yang dapat mencipta, bahkan sebuah kehidupan, tetapi sebenarnya hal itu bergantung pada karma baik mereka)karena terlalu lama hidup sebagai brahma,jutaan siklus kehidupan manusia dilihatnya, karena lamanya kehidupan, ia mulai lupa awal dari ia, ia berpikir bahwa tidak ada lagi yang lebih jauh dari ini, demikianlah ia mengatakan ia adalah Maha dari segalanya. Kemudian ada pula makhluk brahma yang muncul di alam yang sama dengan yang pertama,ia memiliki hidup lebih pendek, ia muncul terakhir dan meninggal lebih dulu, ketika ia terlahir manusia, dan karena ia dapat mengingat 1 kehidupan lampaunya, ia berkata ada yang Maha.

    Nibbana bukanlah seorang raja yang membagikan hasil bumi pada rakyatnya. Nibbana tidak saya definisikan, karena bila saya definisikan, saya hanya terikat padanya padahal saya harus melepasnya, sebagaimana seseorang bermeditasi, berpikir Nibanna adalah bagaimana bukanlah solusi. Saya hanya menjadi manusia yang sewajarnya. Ya saya bersyukur atas semua kebahagiaan yang saya peroleh, tidak perlu jauh- jauh, bersyukurlah pada yang melahirkan anda, membesarkan anda, kepada yang mengajari anda ilmu, bagi semua hal yang menyebabkan anda sekarang. Tidak ada ceritanya saya berterima kasih kepada Nibbana, karena Nibbana tidak bisa didefinisikan dengan paham saudara tentang tuhan.

    Pada dasarnya yang maha sempurna yang bijaksana tidak akan berkata tentang tuhan ini dan itu, tentang harus disini dan disitu, karena ia telah bisa melihat jauh, hal itu hanya menyebabkan konflik tanpa kemajuan moral yang berarti, sedangkan Buddha Gotama ia hanya mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang ada di dunia ini. Ia tidak berkata yang membawa pada penderitaan, tetapi berkata tentang yang bermanfaat. Demikianlah sutta- sutta diuji. Demikianlah kebenaran diuji, dan memang tahan untuk diuji, tidak perlu kepercayaan dogmatis belaka.

    BalasHapus
  37. Terima kasih atas sharing saudara sampai saat kini, saya minta maaf bila ada kata- kata yang kurang berkenan, untuk selanjutnya perlu disederhanakan menjadi tanya jawab, karena saya merasa tidak efektif bila ada banyak post sekaligus, mari persempit kepada poin- poin penting yang ingin saudara diskusikan.

    BalasHapus
  38. Terima kasih Sdr Johnson Khantasiri

    Saya setuju dengan usul anda untuk menyederhanakan hal2 yg perlu dipertanyakan saja.
    Saya akan memulai dengan pertanyaan yg sangat mendasar.

    Dalam sejarahnya, sang Buddha Gautama terlahir dan terdidik dalam budaya masyarakat yg telah mengenal sebuah agama, mungkin Hindu, karena saya pernah membaca banyak brahmana yg mengajarkan Veda kepada sang pangeran Gautama. Juga banyak bergaul dengan Brahmana dan para pertapa dalam pencarian spiritual beliau, sehingga tidak heran jika banyak ajaran2nya yg bersingungan langusng dengan agama Hindu tsb.

    Salah satunya adalah ajaran tentang Tuhan dan makhluk2 pencipta.
    Saya pernah baca bahwa dalam Hindu, Dewa Brahma dianggap sebagai tuhan sang pencipta,
    Namun Brahma masih terikat dengan siklus kala, intinya Brahma pun bisa lahir dan binasa.
    Begitu pula dengan tuhan (baca : dewa2) yg lainnya, padahal dewa2 tsb bersinggungan langsung dengan nasib2 manusia di bumi, karena itu mereka semua perlu dipuja2 dan diberi persembahan agar memberikan nasib baik pada para pemujanya. Padahal para dewa tsb juga bukan makhluk yg kekal. Intinya kurang lebih begitu.

    Dalam konteks demikian, saya bisa memahami alasan dibalik penolakan Buddha terhadap “tuhan” pencipta dan pemujaan pada “tuhan” pengatur nasib manusia.
    Ajaran demikian bukan saja ditentang oleh sang Buddha, bahkan ditentang juga oleh ajaran agama2 yg berasal dari rumpun keluarga nabi Ibrahim.

    Saya juga mengetahui, ternyata sang Buddha sejatinya tidak menolak sebuah konsep ketuhanan yg kekal, seperti ada dalam kutipan dari kitab suci anda ini :


    "Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."


    Makna dari ucapan sang Buddha diatas, lebih mirip dengan penjelasan sederhana dan lebih singkat yg diberikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika diminta seseorang untuk menjelasakan hakikat Tuhan :


    1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
    2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
    3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
    4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia
    (QS Al Ikhlas 1-4)


    Pertanyan saya :


    1) bagaimanakah penafsiran anda tentang ucapan sang Buddha dalam kutipan diatas ? Apa yg sedang dijelaskan oleh beliau ?


    2) Benarkah Sang Buddha juga menentang ketuhanan dalam konteks agama2 rumpun nabi Ibrahim, sama dengan penentangannya terhadap konsep ketuhanan Hindu ?


    3) Ucapan sang Buddha diatas, soal : “ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak” bagaimana hubungannya dengan segala sesuatu sehingga bisa membebaskan mereka semua dari “kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."


    Demikian dulu pertanyaan saya
    Mohon penjelasan, dan mohon dimaafkan sebesar2nya jika ada kata2 yg salah dan menyinggung perasaan.

    Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal.

      Saya bersyukur ada yang mau diskusi dengan damai. Sedikit saran buat semua yang bertanya. Sebaiknya bertanyalah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan pengetahuan. Dibaca dan dimengerti dengan sudut pandang netral. Setelah itu diperbandingkan dengan konsep yang anda bawa dan baru kemudian diambil kesimpulan mana yang lebih baik. Bila sesuai dengan anda silahkan dijadikan pegangan bila tidak silahkan dilepaskan. Atau bila ada yg masih tidak jelas dilanjutkan dengan pertanyaan lain.

      Ikutan nunggu jawaban saudara jhonson. Bookmark dlu.

      Hapus
    2. Terima kasih atas pertanyaannya saudara Andi. Terima kasih telah bertanya dalam satu post sehingga menjadi lebih efektif.

      1. Buddha Gotama menjelaskan tentang Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Mengacu Tipitaka, inilah Nibbana. Mengacu intisari ajaran Para Buddha, Nibbanalah yang tertinggi. Hal itu terdapat pada Dhammapada 183, 184, 185. Maka dari itu bila terdapat dalam buku pelajaran Agama Buddha di Indonesia, kutipan ini masuk dalam bagian ketuhanan. Nibbana tidak dijelaskan sebagai apapun, karena hal itu dapat memicu spekulasi. Nibbana adalah bukanlah 31 alam kehidupan yang memiliki corak selalu berubah (tidak kekal) dan dikuasai ketidakpuasan.

      2. Buddha Gotama tidak berkata tentang ada yang mencipta dunia dan hidup. Buddha Gotama hanya mengajarkan tentang "mencabut panah dari tubuh kita dan menyembuhkan luka kita", bukan tentang "mencari si pemanah yang memanah kita" karena mencari pemanah yang memanah kita adalah kurang bermanfaat. Menurut saya lebih penting menyembuhkan luka dahulu dan tak usah mencari pemanah tersebut juga ok. Dalam Konteks Buddha Dhamma, tidak ada apapun yang menciptakan semua ini. Semua makhlukpun, tidak akan pernah melihat titik terjauh sebelum kehidupan ini, apalagi dengan batin yang terselimuti kekotoran batin. Maka daripada mencari pemanah yang belum tentu ada(mungkin saja panah dari perangkap), apa yang diajarkan Buddha Gotama mengacu pada kesembuhan luka ini. Tidak sesuai dengan Buddha Dhamma bila ada yang mencipta dunia ini beserta kehidupannya. Kita hidup bergantung pada karma kita sendiri. Bila Nibbana ditranlasikan sebagai ketuhanan, demikianlah ketuhanan dalam Buddha Dhamma. Dan tidak sesuai dalam pandangan Buddhisme belum tentu harus ditentang keras, karena bahasa menentang syarat dengan konflik, yang tidak dianjurkan dalam Dhamma.

      3. Karena adanya Nibbana yang tidak menjelma, dll. Demikianlah karena ada kondisi demikian (eksis), kita dapat mencapai kondisi demikian pula, Nibbana. Yang tidak menjelma, dll, boleh digambarkan sebagai, demikianlah ada contohnya, jadi kita bisa mencapainya. Bila tidak ada yang tidak menjelma, dll, maka hal itu tidak eksis, kalau tidak eksis bagaimana untuk mencapainya. Bila tidak ada Nibbana, para Buddha (konteks Buddha disini adalah Buddha Gotama, Buddha- Buddha yang mengajar yang terdahulu, Buddha yang tidak mengajar, Buddha yang mencapai pencerahan dengan bantuan dari Buddha yang mengajar, contoh siswa- siswi Buddha Gotama yang mencapai arahat) tidak akan mencapai Nibbana akhir (Parinibbana), tetapi karena ada Nibbana, Para Buddha dapat mencapainya, lepas dari ketidakpuasan dan ketidak kekalan.

      Demikianlah sekiranya jawaban dari saya, bila ada konteks yang kurang dimengerti bisa langsung ditanyakan dalam satu post. Saya setuju bila diskusi ini menuntun untuk mengembangkan kebijaksanaan dan pengetahuan sesuai dengan komentar saudara Pannadipo. Maaf bila ada kata saya yang kurang berkenan terima kasih.

      Hapus
  39. Terima kasih saudara Johnson atas penjelasannya,

    Terlalu dini untuk mengatakan ajaran agama lain tentang ketuhanan tidak sesuai dengan ajaran Buddha, hanya karena secara tekstual ajaran anda tidak mengajarkan tentang asal mula penciptaan kehidupan, padahal Sang Buddha sendiri tercatat pernah menyinggung sekilas eksistensi ketuhanan yg mutlak, yg kemudian anda maknai sebagai nibbana.

    Tafsir QS al Ikhlas : 1-4 yg saya berikan diatas sangat mirip dengan diskripsi Sang Buddha ketika menjelaskan eksistensi sesuatu yg mutlak tsb.

    1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
    2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
    3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
    4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia


    Allah itu Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan sama maknanya dengan penjelasan sang Buddha, “tidak dilahirkan” oleh sesuatu, yg juga bermakna “tidak diciptakan” oleh sesuatu,
    Tidak ada seorangpun yg setara dengan Allah semakna dengan penjelasan sang Buddha Dia itu “Yang Mutlak”, tidak ada sesuatupun yg mampu melebihi-Nya dalam segala hal, baik dalam Wujud maupun Sifat-Nya.
    Wujud-Nya tidak sama dengan segala sesuatu, karena itu Dia disebut sang Buddha “tidak menjelma” (dalam artian makhuk / ciptaan), meskipun hakikatnya dia Wujud / eksis, bukan tidak menjelma karena nihil / tidak eksis.
    Ucapan sang Buddha : “ Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu" , sebanding dengan penjelasan Al Quran surah al ikhlas ayat 2 diatas bahwa Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
    Tanpa eksistensi Allah, bukan saja tidak mungkin ada pembebasan dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan dari segala sesuatu, bahkan segala sesuatu itu sendiri tidak akan pernah ada. Dengan eksistensi Allah ada kemungkinan bagi segala sesuatu untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan, yg kami sebut Rahmat Allah diatas upaya yg dilakukan oleh makhluk.

    Seperti itulah apa yg dapat saya tafsirkan dari pernyataan Sang Buddha diatas, sesuai dengan iman yg saya miliki.

    nibbana bukan sekedar contoh seperti penjelasan point 3 anda diatas.


    Pertanyaan saya berikutnya :

    1) Anda berkata diatas, “Mengacu intisari ajaran Para Buddha, Nibbanalah yang tertinggi”
    Apa maksudnya yg tertinggi itu ?
    Kenapa jadi yg tertinggi ?


    2) Dalam jawaban point ke-2 anda berkata :
    “Dalam Konteks Buddha Dhamma, tidak ada apapun yang menciptakan semua ini. Semua makhlukpun, tidak akan pernah melihat titik terjauh sebelum kehidupan ini, apalagi dengan batin yang terselimuti kekotoran batin.”

    Kalimat diatas tidak bisa diterima nalar logis,
    jika “semua makhlukpun tidak akan pernah melihat titik terjauh sebelum kehidupan ini”, bagaimana bisa anda terima begitu saja jika kemudian ada seorang makhluk berani menyimpulkan : “Dalam Konteks Buddha Dhamma, tidak ada apapun yang menciptakan semua ini”.

    Siapa yg telah berhasil melihat titik terjauh sebelum kehidupan ini, sehingga dia berhasil mendapati kondisi tidak ada penciptaan awal kehidupan ?

    Bagaimana penjelasan anda ?


    3) Menurut anda Nibbana itu berupa pribadi atau hanya kondisi ?


    Demikian dulu pendapat dan pertanyaan saya, mohon bisa dijelaskan lebih jauh.
    Mohon dimaafkan jika ada kata2 yg kurang berkenan di hati.

    Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut saya memang ada konsep ketuhanan keyakinan lain yang berbeda dengan konsep ketuhanan buddhis. Bahwa yang dimaksud dengan konsep ketuhanan dalam Buddhisme adalah suatu yang kekal, mutlak, tidak ada karakteristik atau kepribadian. Penafsiran yang sepatutnya tentang nibbana adalah sebagai berikut.
      tidak dilahirkan, tidak diciptakan berarti tidak memiliki awal. tidak menjelma, mutlak berarti kekal dan tidak mengalami perubahan, tidak ada yang namanya proses. Demikianlah saya memahami Nibbana. Bukan karena Nibbana manusia terlahir, bukan karena nibbana terdapat ruang dan waktu, bukan karena Nibbana ada alam- alam kehidupan. Untuk mencapai Nibbana pun yang diperlukan adalah usaha sendiri.
      1. Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, menurut pandangan saya, Nibbana adalah kondisi termulia dimana, kekotoran batin tidak ada lagi dalam seseorang. Nibbana adalah pencapaian tertinggi, tidak ada yang lebih jauh lagi dari itu. Nibbana adalah suatu yang kekal mutlak, bukanlah 31 alam kehidupan yang tidak kekal dan selalu berubah.
      2.Menurut pandangan saya, Para Buddha mengerti titik terjauh itu. Titik itu tidak bisa dimengerti oleh para makhluk dengan kekotoran batin. Para makhluk dengan kekotoran batin mungkin melihat dengan debu menempel di mata mereka, apa yang dilihat tentu bukanlah kenyataannya bila terdapat debu di mata yang melihat. Makhluk apapun bahkan dengan kekuatan yang besar pun tidak bisa melihatnya karena ada debu di mata mereka, hanya para buddha yang melihatnya. Bila saya renungi,tidak ada awal dari ketidakkekalan yang dijalani kini, yang hanya adalah akhir dari ketidakkekalan yang satu adalah awal dari ketidakkekalan yang lain. Demikianlah kekekalan tidak memiliki awal, bahkan kekal itu tidak ada hubungannya dengan waktu, kerena itu kekal. Bahkan sangat sulit untuk menemukan seseorang yang tidak pernah menjadi ibu kita. Demikian lamanya kehidupan kita di dunia ini yang selalu berputar.
      3.Saya tekankan bahwa Nibbana bukanlah sebuah pribadi, Nibbana bukanlah raja yang memerintah. Menurut saya lebih cocok bila Nibbana adalah kondisi termulia dan tertinggi. Nibbana tidak memerintah, dll. Nibbana adalah tujuan akhir para makhluk di dunia ini. Nibbana adalah kondisi tidak terlahir lagi, kebahagiaan, tersungguh kekal.

      Demikianlah penjelasan saya, mohon maaf bila ada kata-kata yang berkenan. Terima kasih.

      Hapus
  40. Kebenaran Al Quran itu begitu nyata, bagi mereka yang berpikir. tak mungkin www.KeajaibanALQURAN.com ayat-ayat yang seperti itu buatan manusia, adalah jelas asli firman tuhan. Hindu itu penyembah jin iblis sama seperti agama kafir lainnya, budha justru sebenarnya atheis, mereka mengira diri mereka adalah tuhan. Hanya saja di Indonesia mereka mengesankan diri sebagai bertuhan budha supaya bisa masuk dan diterima di Indonesia yang berlandaskan Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Hidup manusia di dunia yang hanya sekali ini mereka kira mereka akan bisa hidup berulangkali di dunia ini, akibat mengira jin qarin pendamping manusia sebagai roh manusia yang sudah mati, salah sangka, akibat kebodohan mereka sendiri.

    Mereka mengira tuhan tidak ada hanya karena mereka tak mampu melihatNya, mereka tidak sadar bahwa sebagai mahluk, sebagai manusia, ciptaan Tuhan, kemampuan mata juga telinga dan segala indra tubuh manusia itu sangat terbatas, bahkan otak pikiran mereka itu pun sangat terbatas.

    Mereka bahkan lebih bodoh dan kurang dari manusia buta. Manusia buta itu tak mampu melihat, apalagi melihat tuhan, melihat gunung pun orang buta itu tak mampu, tapi mereka percaya, bahwa Tuhan juga gunung itu ada. dan jika mereka tinggal di dekat gunung berapi yang akan segera mengeluarkan lahar, maka orang buta itupun mau mengungsi supaya tidak konyol menjadi korban bencana gunung meletus. Jadi jangan dikira karena atheis tak percaya tuhan lantas tuhan itu tidak ada, dan mereka bisa bebas dari hukum Tuhan, No, semua manusia itu tak bisa lepas dari ketentuan hukum Allah. Sebagaimana juga jika taheis itu mengira dan tak percaya gunung itu ada, kalau gunung itu meletus dan mereka tak patuh perintah untuk mengungsi, maka mereka pun tak akan lepas dari bencana gubung meletus itu, karena gunung itu memang ada secara nyata, meski mereka pikir gunung itu tak ada.

    THINK.

    BalasHapus