Jumat, 13 Juni 2008

Mau Kaya raya? Jadilah Pengemis!


Bos Pengemis Tinggal Nikmati Hidup
[ Kamis, 12 Juni 2008 ]

Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya.

---

Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.

Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.

Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.

Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.

***

Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik.

Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.

Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ''Yang penting halal,'' ujarnya mantap.

Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.

Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ''Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,'' ungkapnya.

Karena mengemis di Bangkalan kurang ''menjanjikan'', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.

Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ''bakat'' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat.

Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ''Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,'' ungkapnya bangga.

Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ''Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),'' tegasnya.

Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ''Kami berpencar kalau mengemis,'' jelasnya.

Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.

***

Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.

Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ''Pokoknya sudah enak,'' katanya.

Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,'' kenangnya.

Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.

Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.

Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,'' tegasnya.

Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur.

Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.

Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.

Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan...

***

Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.

Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.

Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,'' ucapnya.

Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,'' katanya.

Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti... (ded/aza)


Sepuluh Persen untuk Komisi Satpam
Tak Mau Pekerjakan Anak-Anak, Makan Bawang untuk Stamina

[ Kamis, 12 Juni 2008 ]


SURABAYA - Cak To punya anak buah 54 pengemis. Tapi, dia mengaku tidak mau asal merekrut anggota. Menurut pria kelahiran 1960 itu, hampir 60 persen anak buahnya masih punya hubungan darah. Kalau bukan, mereka masih berasal dari kampung yang sama di Madura atau sudah menjadi teman lama. ''Kalau dirunut, kami masih sekeluarga. Masih keturunan Bindara Agung,'' katanya.

Cak To menegaskan, dirinya pantang mempekerjakan anak-anak. ''Saya saja ndak ingin anak-anak saya mengikuti jejak saya. Masak mau mempekerjakan anak orang lain?'' ucapnya.

Kalau mau menjadi pengemis di bawah pengawasan Cak To, juga tidak boleh sembarangan. ''Meskipun hanya pengemis, saya maunya mereka menguasai cara yang benar,'' ujarnya.

Para anggota baru mendapatkan materi pelajaran secara komplet. Mulai cara berpakaian, ekspresi wajah, hingga cara menghadapi bentakan calon pemberi atau petugas yang merazia.

Sebelum dilepas, para anggota baru mendapatkan pengawasan khusus. Cak To mengantarkan mereka ke tempat di mana mereka seharusnya mangkal. ''Dalam satu sampai dua bulan terus saya awasi. Setelah itu, baru saya tinggal,'' jelasnya.

Karena punya banyak anggota, Cak To punya aturan main mengenai penempatan pengemis. Dengan demikian, pemasukan bisa maksimal, tidak saling mengambil jatah.

Salah satunya adalah pengaturan ''jam kerja'' dan ''wilayah'' anggota. Pada dasarnya, para pengemis ''bekerja'' pukul 07.00 hingga 18.00. Tapi, kata Cak To, masing-masing pengemisnya punya jadwal. ''Kapan harus ke perumahan A, kapan ke B, sudah ada jadwalnya,'' katanya.

Dalam satu perumahan, bisa terdapat satu atau dua pengemis yang dikoordinasi Cak To. Kalau ada dua, itu dilakukan dengan cara bergiliran. ''Pengemis kedua baru boleh datang setelah selang beberapa jam dari pengemis pertama,'' ungkapnya.

Di perumahan-perumahan, Cak To mengakui adanya kendala petugas keamanan (satpam). Karena itu, pihaknya telah melakukan negosiasi. Kesepakatannya, pengemis boleh ''beroperasi'' di kompleks perumahan itu, lalu sang petugas keamanan mendapat komisi sekitar sepuluh persen dari total penghasilan di kompleks tersebut.

''Per hari bisa ditaksir berapa penghasilannya. Setelah itu tinggal dipotong sepuluh persen,'' katanya.

Untuk persoalan stamina, Cak To punya kiat khusus. Sebab, kalau ditotal, setiap hari seorang pengemis menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer.

Menurut dia, bawang putih adalah kunci untuk menjaga kebugaran. Setiap hari, bawang putih dia makan beserta menu sarapan pagi. ''Bawangnya biasa saya makan dengan petis. Dijadikan lalapan,'' jelasnya.

Selain itu, Cak To pantang makanan berlemak. Dia menghindari makanan yang masuk kategori jeroan. ''Itu makanan tidak bagus. Saya lebih senang makan sayuran,'' tegasnya. (ded)

Sumber:
http://www.jawapos.com/metropolis/


0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar