Rabu, 15 Juli 2009

Pertanyaan Raja Milanda Pada Nagasena [Hancurnya Skeptisme Pada Buddhisme] - Milanda Panha



KATA PENGANTAR
Oleh: Hammalawa Saddhatissa
Milinda Pañha merupakan buku Pali yang ditulis kira-kira pada Abad Pertama Sebelum Masehi. Raja Milinda, seorang raja Bactria [Afganistan Utara] yang memerintah di tenggara India, menemui seorang bhikkhu pandai yang bernama Nagasena. Raja Milinda melontarkan sejumlah pertanyaan mengenai filsafat, psikologi dan etika Buddhisme. Saya menduga debat ini dilakukan dalam bahasa Yunani Bactria tetapi kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Pali dan Sanskerta.

Buku Pali yang terkenal ini -yang disebut Milinda Pañha atau Pertanyaan Raja Milinda- telah dua kali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris: pada tahun 1890 dan pada tahun 1969. Kedua terjemahan itu bersifat sastra, dan banyak bagian yang bersifat harfiah, sehingga banyak dibaca oleh kaum terpelajar. Sebaliknya, buku ini tidak bersifat harfiah, dan merupakan saduran bebas agar lebih singkat dan dapat dibaca oleh pembaca yang lebih suka mengambil jalan pintas -bukan jalan yang panjang- walau yang panjang bisa jadi sangat indah.

Kerangkanya tetap sama seperti yang asli, tetapi di banyak kasus jumlah perumpamaan yang digunakan untuk menerangkan suatu hal telah dikurangi.

Penulisnya, Yang Mulia Pesala, adalah seorang bhikkhu Buddhis yang telah belajar di Burma dan Thailand. Pengetahuan bahasa Palinya membuat beliau mampu memeriksa bagian-bagian yang terjemahannya membingungkan, sehingga karyanya dapat disusun secara khas dan enak di baca di dalam bahasa Inggris yang modern dan anggun, juga pengetahuannya tentang Buddhisme telah membuat beliau mampu menjelaskan beberapa ide yang sulit.

Dengan penyampaian yang tidak serumit buku aslinya, buku ini tentu akan dapat mencapai tujuan yang dimaksud.


Pertanyaan Raja Milanda dalam Milanda Panha ini terdiri dari :
  • Pendahuluan
  • Prolog
  • Bab 1: Jiwa
  • Bab 2: Kelahiran Kembali
  • Bab 3: Permulaan waktu
  • Bab 4: Landasan Indria
  • Bab 5: Sang Buddha
  • Bab 6: Kemelekatan
  • Bab 7: Ingatan
  • Bab 8: Pemecahan Dilema [delapan tempat yang harus dihindari oleh orang yang ingin berdiskusi secara mendalam, delapan jenis orang yang cenderung merusak suatu diskusi, delapan penyebab yang menyebabkan berkembang dan matangnya kebijaksanaan, dua puluh lima tugas seorang guru terhadap muridnya, sepuluh sifat Murid awam, Tentang Penghormatan kepada Sang Buddha, Kemahatahuan Sang Buddha, Pentahbisan Devadatta, Penyebab-penyebab Gempa Bumi, Penyebab-penyebab Gempa Bumi, Pernyataan Kebenaran, Dilema Seputar Kehamilan, Umur Agama, Kemurnian Sang Buddha, Kesempurnaan Sang Buddha, Keseimbangan Sang Buddha]
  • Bab 9 [Peraturan yang Minor dan Tidak Begitu Penting, Ajaran Rahasia, Rasa Takut terhadap Kematian, Perlindungan dari Kematian, Kekuatan Mara, Pengetahuan akan Kelakuan Yang Salah, Sang Buddha Tidak Mempunyai Sifat Ingin Memiliki, Kesatuan Sangha]
  • Bab 10 [Dhamma-lah yang Terbaik, Cinta Kasih Sang Buddha, Kerendahan Hati Sang Buddha, Ucapan Sang Buddha yang Sempurna, Pohon yang Berbicara, Santapan Terakhir, Pemujaan terhadap Relik, Kaki Sang Buddha Terluka, Petapa Sejati, Kesombongan Sang Buddha, Siapakah yang Patut Dihukum?, Mengusir Sangha]
  • Bab 11 [Terbunuhnya Yang Ariya Moggallana, Kerahasiaan Vinaya, Kebohongan yang Disengaja, Penyelidikan Bodhisatta, Bunuh Diri, Perlindungan dari Cinta Kasih, Mengapa Devadatta Makmur?, Kelemahan Wanita, Keberanian Ananda, Perubahan Hati Sang Buddha]
  • Bab 12 [Mengenai Tempat Tinggal, Pengendalian Perut, Manusia yang Terbaik, Jalan Kuno, Kelemahan Sang Bodhisatta, Rasa Hormat Pada Jubah, Kebajikan Si Pembuat Tembikar, Raja atau Brahmana?, Cara Hidup yang Benar, Keengganan Sang Buddha, Guru-guru Sang Buddha]
  • Bab 13 [Dua Buddha Tidak Mungkin Ada Bersamaan, Persembahan bagi Sangha, Manfaat Kehidupan Seorang Petapa, Praktek yang Amat Keras, Kembali pada Kehidupan Awam, Penguasaan Para Arahat, Kejahatan Berat, Yang Tidak Bermoral, Apakah Air Itu Hidup?,
  • Bab 14 [Tanpa Rintangan, Arahat Awam, Pelanggaran Para Arahat, Apa yang Tidak di Dunia, Yang Tanpa Sebab, Cara-cara Menghasilkan, Setan, Menetapkan Peraturan bagi Para Bhikkhu, Panas Matahari, Matahari Musim Dingin]
  • Bab 15 [Pemberian Vessantara [Dana Parami/Paramita, Kesempurnaan tertinggi dari Kemurahan Hati], Latihan yang Amat Keras, Kekuatan Kejahatan, Membagikan Jasa, Mimpi, Kematian Prematur, Mukjizat di Tempat Pemujaan Para Arahat, Dapatkah Semua Memahami Dhamma?, Kebahagiaan Nibbana, Gambaran tentang Nibbana, Perwujudan Nibbana, Di manakah Nibbana?]
  • Bab 16 [Pertanyaan yang Diselesaikan dengan Kesimpulan, Latihan Petapa]
  • Bab 17: perumpamaan
  • Apendiks


PENDAHULUAN
Milinda Pañha merupakan buku Buddhis kuno yang diagungkan serta dianggap bernilai tinggi sehingga oleh orang-orang Burma dimasukkan ke dalam Kitab Suci Pali. Di dalam Kitab Pali dikatakan bahwa percakapan antara Raja Milinda dengan Nagasena terjadi 500 tahun setelah Sang Buddha parinibbana. T.W. Rhys David, penerjemah yang terkemuka untuk kitab-kitab Pali, menganggap buku ini sangat bagus. Beliau mengatakan, "Saya berani mengatakan bahwa 'Pertanyaan Raja Milinda' ini jelas merupakan karya besar prosa India; dan dipandang dari sudut kesusasteraan benar-benar merupakan buku terbaik di kelasnya, terbaik yang pernah dihasilkan di negara mana pun juga."1


Gaya Milinda Pañha sangat mirip dengan dialog Platonik, di mana Nagasena memainkan peran sebagai Socrates dan menang berdebat dengan Raja Milinda di dalam sudut pandang Buddhis, karena penalarannya yang sehat dan perumpamaannya yang pas. Si pengarang memang tidak dikenal, tetapi hampir dapat dipastikan dia dahulu hidup di India barat laut atau di Punjab, karena dia sama sekali tidak menyebutkan daerah pedalaman India di bagian selatan Sungai Gangga.1 Dan ini didukung oleh keterangan yang ada tentang Raja Menander, raja orang-orang Bactria yang dikenal sebagai Milinda.

Banyak yang diketahui tentang Raja Menander. Sejumlah besar mata uangnya telah ditemukan di daerah yang luas di bagian India Utara, sampai sejauh Kabul di sebelah Barat, Mathura di sebelah Timur serta Kashmir di sebelah Utara. Seringkali dia tergambar sebagai seorang laki-laki muda atau kadang-kadang juga laki-laki yang sangat tua. Plutarch mengatakan, "Menander adalah seorang raja yang terkenal amat adil dan sangat dekat dengan rakyatnya. Maka pada waktu dia meninggal -yang terjadi di suatu camp- berbagai kota berebut untuk memiliki abunya. Pertengkaran itu diselesaikan dengan kesepakatan para wakil dari berbagai kota itu untuk membagi reliknya, dan kemudian mereka mendirikan monumen-monumen untuk mengenang Sang Raja".

Suatu penerbitan tentang harta karun Mir Zakah baru-baru ini menegaskan kepemimpinan Menander di Ghazni dan daerah-daerah sakitarnya di lembah Kabul sebelah utara (ada 521 mata uang Menander di dalam harta karun itu). Penemuan Attic Tetradrachm Menander akhirnya menyelesaikan spekulasi itu. Menander pasti telah memerintah di daerah Kabul. Di sebelah utara dia menduduki Hazara dan lembah Swat.2 Jadi Menander adalah satu dari raja-raja Yunani yang tetap berada di Bactria untuk melanjutkan kekuasaan Yunani yang didirikan oleh Alexander Agung, dan Menander adalah salah satu raja terpenting. Mungkin dia bertahta dari kira-kira 150 SM sampai 110 SM (jadi percakapan ini terjadi lebih dari 400 tahun sesudah Sang Buddha parinibbana). Strabo mengingatkan tentang hebatnya kerajaan Bactria yang berekspansi melebihi batas mulanya, dan dia secara kebetulan juga menyebutkan bahwa raja yang terutama bertanggung jawab untuk perluasan itu adalah Demetrius dan Menander ... Tetapi dibanding Demetrius,3 Menander meninggalkan tanda yang jauh lebih mendalam berkenaan dengan tradisi India.

Menander menguasai Delta Indus, jasirah Surastra (Kathiavar), menduduki Mathura di Jumna, menyerbu Madyamika (Nagari dekat Chitor) dan Saketam di selatan Oudh, serta mengancam ibukotanya, Pataliputta. Tetapi penyerbuan itu dipukul mundur dan Menander dipaksa kembali ke negaranya sendiri.4 Karena rakyat Bactria kemudian menjadi Buddhis maka dapat dipastikan bahwa Raja Menander benar-benar adalah Raja Milinda yang diacu di dalam buku itu. Namun ada juga kemungkinan bahwa percakapan itu merupakan alat sastra yang digunakan oleh pengarang untuk menambah daya tarik terhadap apa yang pada mulanya merupakan penjelasan terperinci tentang ajaran Buddhis, dan merupakan sangkalan terhadap pandangan salah yang selama itu telah disebarluaskan oleh mereka yang memusuhi Buddhisme.

Cerita pembukaan dalam Miln. yang berkenaan dengan masa muda Nagasena juga hampir identik dengan cerita tentang Mogaliputta Tissa muda yang diceritakan dalam Mahavamsa, Kitab Suci Ceylon. Mogaliputta Tissa Thera hidup kira-kira 100 tahun sebelum Menander dan disebutkan 2 kali di dalam teks (Miln. hal. 3,71) sehingga mungkin saja cerita inilah yang lebih tua. Tetapi, Mahavamsa ditulis jauh sesudahnya oleh Mahanama pada permulaan abad ke-6 Masehi, sehingga cerita itu mungkin saja telah dipinjam oleh Mahanama dari buku Miln., yang pada waktu itu merupakan kitab suci yang diedit oleh Buddhagosa. (Dalam Milinda Tika, uraian tentang Miln., dinyatakan bahwa beberapa syair dalam prolog dan epilog dalam Miln. dikarang oleh Buddhagosa).

Dari percakapan yang dianggap terjadi antara Milinda dengan Purana Kassapa, Makkhali Gosala dan beberapa petapa lain, jelas terlihat bahwa cerita pembukaan ini hanya karangan belaka, karena petapa-petapa ini sezaman dengan Sang Buddha. Cerita ini didasarkan pada Samañña Phala Sutta dari Digha Nikaya. Tetapi ada satu perbedaan yang patut dicatat. Di dalam Samaññaphala Sutta,5 Pangeran Ajatasattu mengunjungi Sang Buddha tetapi tidak bisa mengenalinya; sementara dalam pendahuluan di Miln., Raja Milinda berkata tentang Nagasena, "Tidak perlu menunjukkan dia kepadaku". Jadi Raja Milinda tampak lebih tinggi daripada Pangeran Ajatasattu.

Bangkitnya Kerajaan Magadha

Di dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha meramalkan bahwa kota Pataliputta, yang dibangun persis sebelum kemangkatannya, akan menjadi kota besar. "Ananda, dari antara kota dan kota besar yang kini merupakan pusat perkumpulan dan perdagangan suku Arya, kota yang baru ini akan menjadi kota terbesar yang disebut Pataliputta, suatu tempat di mana barang-barang dibongkar, dijual dan didistribusikan. Tetapi kota ini akan mengalami bahaya banjir, api dan pertikaian dari dalam".5 Kerajaan Magadha, yang beribukota Pataliputta (Patna modern), lama-kelamaan menjadi kota yang paling kuat di seluruh India.

Di pertengahan abad ke 4 SM seorang Sudra bernama Mahapadma Nanda merampas tahta kerajaan Magadha dan menjadi penguasa kerajaan yang membentang dari sungai Brahmaputra di sebelah timur sampai ke Beas di sebelah Barat. Tetapi di seberang sungai Beas ada beberapa kerajaan kecil.

Pada saat yang bersamaan Alexander Agung menguasai Persia dan menyeberangi Hindu Kush untuk masuk ke Bactria (Afganistan Utara). Dibutuhkan waktu 2 tahun untuk menaklukkan daerah yang tidak ramah ini, tetapi waktu melakukan hal itu, Alexander Agung mendirikan juga beberapa kota yang menembus jauh ke utara sampai ke Samarkand dan Leninabad (dulu: di Uni Soviet). Ada juga kota lain yang telah diidentifikasikan di Charikar (sebelah utara Kabul). Setelah mendengar tentang sungai Indus, Alexander Agung kembali menyeberangi Hindu Kush pada tahun 372 SM dan terus mendesak ke Taxila (Takkasila) di sebelah timur. Tetapi ketika dia sampai di sungai Jhelum, dia dihadang raja Paurava yang mempunyai gajah-gajah perang. Bahkan para veteran Macadonia pun tidak mampu melawan musuh seperti itu. Maka Alexander terpaksa mundur sampai ke sungai Indus untuk kemudian kembali melalui Persia di mana dia meninggal di Babylon pada 323 SM. Walaupun demikian dia telah meninggalkan dasar-dasar kerajaan Bactria dan telah menjelajah sungai Jhelhum dan sungai Indus.

Setelah kematian Alexander, Chandragupta, pendiri dinasti Maurya, dapat mengusir garnisun Yunani dari lembah Indus. Pada tahun 321 SM dia mengalahkan Nanda dan menguasai kerajaan Magadha dengan ibukotanya Pataliputta. Penerus Alexander, Seleukos I Nikator, memimpin suatu ekspedisi melawan orang-orang India pada tahun 311 SM dengan harapan merebut kembali daerah Punjab. Tetapi dia terhalang kekuasaan Chandragupta. Pada tahun 304 SM Seleukos dengan senang hati menandatangani persetujuan dengan Chandragupta, dan memberikan anak perempuannya untuk dinikahi dan bahkan juga memberikan daerah-daerah yang luas, yang sekarang menjadi Baluchistan dan Afganistan, sebagai alat tukar untuk 500 gajah perang. Seleukos mengirimkan duta besarnya, Magasthenes, ke Pataliputta. Dilihat dari peninggalan tulisannya, kita mengetahui tentang besarnya pasukan dan kekuatan pertahanannya di sana. Chandragupta memerintah selama 24 tahun dan putranya Bindusara, sangat sedikit yang kita ketahui tentang dia, memerintah selama 28 tahun sampai kematiannya di tahun 269 SM.

Pada saat kematian Bindusara, putra tertuanya sudah menjadi raja muda di Takkasila, sedangkan putranya yang kecil, Asoka, adalah raja muda di Ujjeni di selatan. Asoka bertempur dengan saudaranya memperebutkan hak untuk bertahta dan saudaranya terbunuh di dalam pertempuran itu. Asoka kemudian menjadi penguasa kerajaan yang besar, dari Bengala sampai ke Afganistan. Walaupun demikian dia tetap masih belum puas. Setelah sembilan tahun bertahta, sesudah pertempuran berdarah merebut Kerajaan Kalinga (Orissa), barulah Asoka meninggalkan peperangan dan menjadi pengikut Buddhisme yang taat. Kaisar Asoka mengirimkan utusan-utusan bhikkhu ke daerah tapal batas kekaisarannya yang luas. Banyak prasasti Asoka yang telah ditemukan di Lembah Kabul yang ditulis di dalam bahasa Yunani dan Aramaik. Di tempat lain, prasastinya menyebutkan bahwa dia telah berhasil menyebarkan Dhamma di Mesir, Siriya, Macadonia, Yunani, Cyprus, Bactria, Kashmir, Gandhara, dsb. Mahavamsa mengatakan bahwa banyak utusan yang dikirimkan ke Kashmir, Gandhara, Bactria, Himalaya, Sindh (Gujarat). Prasasti di dalam wadah relik yang ditemukan di stupa-stupa Sanci mencatat keberhasilan misi itu ke Pegunungan Himalaya. Sayangnya catatan-catatan stupa yang lain telah dirusak. Namun dapat kita pastikan bahwa misi ke Kashmir dan Gandhara itu berhasil, karena bahkan di zaman Sang Buddha pun Takkasila merupakan pusat belajar yang terkenal. Mahavamsa juga mencatat bahwa pada peresmian Stupa Agung di tahun 157 SM, para bhikkhu datang dari Alasanda (Charika) yang terletak di Yona (Bactria).

Bangkitnya Kerajaan Bactria [Afganistan Utara]

Setelah Asoka mangkat pada tahun 227 SM, kekaisaran Maurya mulai terpecah-pecah. Pada tahun 250 SM meletus pemberontakan di dalam kekaisaran yang didirikan oleh Seleukos, di bawah pimpinan gubernurnya, Diodotus I. Kekaisaran itu terus berkembang di bawah penggantinya, Diodotus II dan Euthydemus. Pada permulaan abad 2 SM, para penguasa Yunani dari kerajaan baru Bactria menyeberangi Hindu Kush dan mulai menyerbu India dari barat laut. Di antara raja-raja Yunani yang berkuasa sampai di sebelah selatan Kush, kelihatannya Apollodotus-lah raja yang pertama. Dua kali dia disebutkan berhubungan dengan Menander. Kekuasaan mereka berkembang ke barat daya sampai Ariana (Afganistan selatan) dan ke selatan sampai lembah Indus.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, Menander pasti telah berkuasa di lembah Kabul dan Swat dan pada suatu saat dia juga menguasai lembah Indus. Sagala, kota yang disebutkan di dalam Miln. sebagai tempat di mana percakapan itu terjadi, adalah kota kuno orang-orang Madras yang datang di daerah itu kira-kira pada abad 6 SM. Sekarang kota itu disebut Sialkot, yang terletak di antara sungai Chenab dan Ravi, dekat perbatasan Kashmir. Di buku Miln. halaman 53, disebutkan bahwa Kashmir berjarak 12 yojana (84 mil) dan bahwa Milinda lahir di pulau Alasanda, yang jaraknya kurang 200 yojana dari situ. Ada banyak kota yang didirikan oleh Alexander selama penaklukannya, beberapa di antaranya mungkin merupakan tempat kelahiran Menander. A.K. Narain menduga bahwa kota kelahiran Menander adalah kota yang didirikan di Charikar, tetapi jaraknya kurang dari 200 yojana (1400 mil) dengan perhitungan biasa. Ataukah mungkin itu kota Alexandra yang terletak di Leninabad atau salah satu dari kota-kota Alexandra yang terletak lebih jauh ke barat?

Namun, dari bukti-bukti yang ada dapat kita perkirakan bahwa Menander lahir di Bactria tetapi dibesarkan di Ariana (lembah Kabul), dan bahwa di tahun-tahun pertama pemerintahannya dia mengembangkan kerajaan ayahnya sampai ke lembah Indus dan lebih jauh lagi, dan kemudian mungkin mendirikan ibu kota di Sagala. Tidak seperti Bactria yang banyak sekali dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, daerah-daerah baru ini sudah Buddhis. Pada waktu itu, Menander telah banyak dididik di dalam tradisi Yunani tetapi telah mengenal Buddhisme secara langsung dan tak pelak lagi dia pasti sering menjumpai para bhikkhu yang hidup di kerajaannya. Walaupun demikian, kelihatannya agak tidak mungkin kalau pengetahuannya tentang ajaran Buddhisme cukup untuk dapat mengadakan dialog seperti yang di tulis di dalam Miln. karena Milinda tampaknya memiliki pengetahuan yang luas tentang teks yang ada. Saya berpendapat bahwa pengarang paling tidak telah bertemu sebentar dengan Menander, dan kemungkinan besar dia mendasarkan karyanya ini pada tradisi lisan percakapan itu. Kemudian dia menggunakan pengetahuannya sendiri yang luas untuk mengembangkan dialog itu menjadi karya yang panjang, yang kita miliki sekarang ini. Mungkin dia menggunakan dialog sebagai alat untuk menambah daya tarik pada risalatnya. Dan untuk menyenangkan hati raja Yunani itu, dia membuatnya sebagai salah satu tokoh utama.

Hipotesa ini mendapat dukungan dari terjemahan bahasa China yang hanya terdiri dari tiga bagian pertama yang hampir identik dengan teks Pali mengenai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tetapi cerita pendahuluannya berbeda. Dalam hal ini, kedua-duanya tidak tampak otentik.

Perbandingan dengan Teks China7

Sebagaimana telah ditunjukkan oleh V. Trenchner ketika dia menyalin teks Pali di tahun 1860-an, dapat kita pastikan bahwa Milinda Pañha yang asli ditulis di dalam bahasa Sanskerta karena permulaannya adalah kata-kata "Tam yatha nusuyata" (demikianlah yang telah diturunkan), dan bukannya rumusan Pali "Evam me sutam" (demikianlah yang telah saya dengar). Dan hal ini dipertegas oleh adanya terjemahan teks China yang menunjukkan beberapa perbedaan yang patut dicatat walaupun jelas sumbernya sama.
  1. Di dalam tiga bagian pertama, versi China sama dengan versi Pali, dan ini menunjukkan bahwa empat bagian lain (Dilema, Pertanyaan yang Diselesaikan dengan Kesimpulan, Praktek Petapa dan Perumpamaan) merupakan tambahan kemudian.
  2. Karya bahasa China, Nagasena-Bhikshusutra, mengambil nama sang bhikkhu; sementara karya bahasa Pali, Milinda Pañha, mengambil nama sang raja.
  3. Karya bahasa Pali mempunyai dua belas pertanyaan ekstra.
  4. Cerita-cerita kehidupan lampau Nagasena dan Milinda tidak sama.
  5. Versi China tidak menyebutkan Abhidhamma; sementara hal itu sering disebutkan dalam versi Pali.
  6. Pada klasifikasi Bodhipakkhiya Dhamma yang sangat terkenal, penterjemah China melenceng di dalam beberapa istilah, dan ini menunjukkan bahwa dia tidak terbiasa dengan teks Pali.
  7. Versi Pali mengatakan bahwa binatang mempunyai penalaran tetapi tidak mempunyai kebijaksanaan; versi China mengatakan bahwa binatang mempunyai kebijaksanaan tetapi hatinya berbeda.
Walaupun ada banyak perbedaan kecil di antara dua teks itu, ada hubungan yang erat antara perumpamaan-perumpamaan yang digunakan untuk menerangkan istilah yang didefinisikan serta urutan pertanyaannya. Hal itu membuat kita yakin bahwa keduanya adalah terjemahan karya yang lebih tua (mungkin di dalam bahasa Sanskerta). Tetapi kita harus hati-hati menyimpulkan; yang mana yang lebih otentik. Bhikkhu Thich Mihn Chau, yang berusaha membuktikan keantikan karya asli yang mendasari terjemahan China, menyatakan bahwa karya itu ditulis segera setelah Sang Buddha mangkat. Beliau menunjukkan tidak adanya klasifikasi teks ke dalam Vinaya, Sutta, Abhidhamma dan Nikaya, yang didefinisikan dengan baik baru pada Konsili ketiga, sementara Menander baru lahir lebih dari 100 tahun setelah konsili ini. Jadi, jelas bahwa 'yang asli' tidak dibuat lebih awal dari abad pertama SM. Kesenjangan panjang sebelum terjemahan-terjemahan itu muncul pada sekitar tahun 400 M, merupakan waktu yang cukup lama untuk melakukan berbagai penambahan dan amandemen, atau penghilangan dan pengosongan.

Melihat alasan-alasan yang telah disebutkan di atas dan fakta bahwa percakapan di dalam Miln. dikatakan terjadi kira-kira 500 tahun setelah Sang Buddha mangkat, sementara Menander hidup paling tidak 100 tahun lebih awal, maka kemungkinan besar Miln. dikarang beberapa waktu setelah kematian Menander. Mungkin saja karya itu berdasar pada tradisi lisan dari percakapan yang benar-benar terjadi antara Menander dengan satu atau beberapa bhikkhu.

Penerus Menander, Ratu Agathocleia dan Strato I Soter, melanjutkan tahta kerajaan setidak-tidaknya 40 tahun setelah kematian Menander. Tetapi mereka menyaksikan dinasti baru di India Barat, yaitu dinasti Saka (Scythia) dan Yueh-Chih dari Asia Tengah. Lalu era Bactria Yunani pun berakhir.

Penyusunan Kitab Pali

Epilog mengatakan bahwa kitab itu dibagi menjadi enam bagian dan 22 bab yang berisi 262 pertanyaan, sementara 42 dari pertanyaan itu belum diturunkan, jadi sebenarnya semua berjumlah 304. Tetapi sungguh sulit melihat bagaimana ini dihitung. Ada ketidakcocokan hitungan di dalam berbagai teks yang ada, walaupun hal ini mungkin sudah dapat diduga karena karya itu sudah sangat tua.

Sekarang ini hanya ada 237 pertanyaan. Untuk menomori bab-bab saya mengikuti urutan teks Palinya. Hanya saja saya telah memasukkan 7 bab terakhir ke dalam Bab 17.

Di dalam edisi Milinda Pañha ini, walaupun saya telah mengikuti susunan teks Pali, banyak perumpamaan yang saya hilangkan. Dan perumpamaan yang panjang (walaupun indah) saya singkat, namun saya harap hal ini tidak merusak keindahan karya aslinya. Tujuannya adalah agar buku ini cukup padat dan menarik bagi pembaca dari negara-negara barat yang sibuk. Buku ini adalah suatu ringkasan, bukan terjemahan, dan karena itu di sana-sini saya menggabungkan beberapa alinea menjadi satu agar ringkas. Walaupun demikian saya tetap berusaha menyesuaikan dengan maksud pengarang aslinya, yang merupakan penjelasan tentang ajaran Sang Buddha dan uraian tentang beberapa konsep salah yang mungkin menyesatkan.

Referensi yang diberikan di catatan kaki adalah nomor halaman teks Pali dari Pali Text Society. Dalam terjemahannya nomor-nomor halaman ini diberikan dengan tanda kurung di bagian kiri atas, atau di dalam tubuh teks pada buku Vinaya dan Jataka.

Untuk membantu mereka yang ingin mengetahui kata Pali yang diterjemahkan (yang kadang-kadang berbeda dengan terjemahan Rhys Davids atau Miss Horner), saya sertakan kata-kata Pali di bagian Apendiks bersama dengan terjemahan bahasa Inggrisnya. Saya juga telah menyusun daftar kutipan kitab suci yang diberikan pengarang Miln. dan beberapa bacaan lain yang hanya terdapat di Miln., yang mungkin menarik untuk dipelajari lebih lanjut.

Bagi mereka yang belum terbiasa dengan terminologi Buddhis, saya telah menyertakan Apendiks istilah-istilah Pali dengan penjelasan singkat mengenai maknanya.
Catatan:
  1. T.W. Rhys Davids, pendahuluan QKM.
  2. A.K. Narain, The Indo-Greeks.
  3. Cambridge History of India, Vol. I. Hal 446.
  4. V.A. Smith. The Early History of India.
  5. D. i. 50.
  6. D. ii. 87, 88
  7. Untuk perbandingan lebih detail dan menyeluruh, lihat Milinda Pañha and Nagasenabhikshusutra (A Comparitive Study) Bhikkhu Thich Mihn Chau.

[Kembali]

PERTANYAAN RAJA MILINDA
PROLOG

Di kota Sagala bertahta Raja Milinda, orang yang sangat pandai dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, dengan sifatnya yang sangat ingin tahu. Dia pandai berdebat tetapi selama itu tak seorang pun mampu menghapus keraguannya mengenai persoalan keagamaan. Raja telah menanyai guru-guru terkenal tetapi tak satu pun yang memuaskan hatinya.

Assagutta, salah satu dari sekian banyak Arahat yang hidup di pegunungan Himalaya, dengan kekuatan supra-normalnya mengetahui keraguan raja. Maka dia lalu mengadakan pertemuan untuk bertanya apakah ada orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan raja. Karena tak ada yang sanggup, maka mereka semua naik ke Surga Tiga Puluh Tiga dan memohon pada Dewa Mahasena agar lahir sebagai manusia sehingga agama dapat terlindungi. Salah satu bhikkhu yang bernama Rohana setuju pergi ke Kajangala di mana Mahasena telah lahir kembali dan menungguinya sampai besar. Ayah si anak, Brahmana Sonuttara, menyuruh agar anaknya mempelajari tiga Kitab Veda, tetapi si anak, Nagasena, menyatakan:

"Ketiga kitab Veda ini kosong, dan bagaikan sekam! Di dalamnya tak ada realita, kebenaran yang penting atau berharga."

[Note: Atharva Veda [Veda yang ke 4] merupakan teks India pertama yang menyinggung kata “syama ayas" [Besi hitam]. Para ahli secara konsensus menyatakan bahwa Veda ke-empat ini ada di periode jaman Besi India atau abad ke 12 -10 SM.

Berdasarkan catatan dari duta besar Yunani, Megasthenes, yang tinggal di India pada tahun 311 SM - 302 SM Pada jaman itu [Abad ke-3 SM] pemujaan terhadap Krisna sudah popular dan berjalan seiring kepopulerannya dengan pemujaan terhadap Siva [Barth, Religions of India, Hal. 163 and168]

Atharva Veda hadir setelah jaman Buddha [Lihat pembahasan lengkapnya di sini], sehingga Kalimat tersebut di atas telah ada jauh sebelum Nagasena Hadir!

Uraian ini sejalan dan mendukung dugaan Penulis/pentermah kitab ini yaitu "pengarang paling tidak telah bertemu sebentar dengan Menander [Milanda], dan kemungkinan besar dia mendasarkan karyanya ini pada tradisi lisan percakapan itu. Kemudian dia menggunakan pengetahuannya sendiri yang luas untuk mengembangkan dialog itu menjadi karya yang panjang"]

Menyadari bahwa anak ini telah siap, Rohana lalu muncul. Kedua orang tua Nagasena menyetujui anaknya menjadi samanera. Maka Nagasena mempelajari Abhidhamma. Setelah menguasai dengan sempurna pengetahuan tentang tujuh buku Abhidhamma, Nagasena diizinkan masuk ke Sangha para bhikkhu dan Rohana mengirimnya ke Petapaan Vattaniya untuk belajar dari Assagutta. Sementara menghabiskan musim penghujan di sana, Nagasena diminta berkhotbah pada seorang wanita saleh yang merupakan pendukung Assagutta. Sebagai hasil dari percakapan ini, baik si wanita maupun Nagasena mencapai dhammacakkhu: pengetahuan bahwa apa pun yang mempunyai awal juga pasti bersifat mempunyai akhir. Assagutta kemudian mengirim Nagasena kepada Dhammarakkhita di Taman Asoka di Pataliputta. Di sana, dalam waktu tiga bulan, Nagasena telah menguasai kitab-kitab Tipitaka lainnya. Dhammarakkhita mengingatkan muridnya agar tidak hanya puas dengan pengetahuan dari buku saja. Pada malam hari itu juga, Nagasena -si murid yang rajin itu- mencapai tingkat Arahat. Kemudian dia pergi bergabung dengan para Arahat lainnya yang masih tinggal di Himalaya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Nagasena siap untuk berdebat dengan siapa pun.

Sementara itu, Raja Milinda terus melanjutkan pencaharian spritualnya dengan cara mengunjungi bhikkhu Ayupala di Petapaan Samkheyya dan bertanya mengapa para bhikkhu meninggalkan kehidupan duniawi. Bhikkhu itu menjawab, "Agar dapat hidup dengan benar dan berada dalam ketenangan spiritual." Lalu raja pun bertanya, "Adakah, Yang Mulia, orang awam yang hidup sedemikian itu?" Sang bhikkhu mengakui bahwa banyak orang awam seperti itu. Maka raja pun berkata dengan pedas:
"Kalau begitu, Yang Mulia Ayupala, tidak ada gunanya meninggalkan kehidupan duniawi. Pastilah karena dosa-dosa yang telah dilakukan di dalam kehidupan sebelumnya maka para petapa meninggalkan kehidupan duniawi, dan bahkan menjalani juga praktek-praktek penyiksaan petapa seperti misalnya: hanya mengenakan pakaian dari kain buruk, makan hanya sekali sehari, atau tidak tidur berbaring. Di situ tidak ada nilai-nilai luhur, tidak ada pantangan yang bermanfaat, tidak ada kehidupan yang benar!"

Setelah raja berkata demikian, Bhikkhu Ayupala terdiam dan tidak berkata apa pun. Lalu lima ratus orang Yunani Bactria yang menemani raja berkata: "Sang bhikkhu itu terpelajar tetapi dia tidak berani, jadi dia tidak menjawab." Mendengar ini, raja berseru: "Seluruh India ini kosong, bagai sekam! Tidak ada orang yang mampu berdebat denganku dan mampu mengusir keraguanku!"

Tetapi orang-orang Yunani Bactria masih tidak bergerak, maka raja pun bertanya lagi, "Hai para pengawalku yang setia, adakah orang terpelajar lain yang mampu berdiskusi denganku dan dapat mengusir keraguanku?"

Maka menteri Devamantiya berkata, "Ada, baginda yang agung, seorang bhikkhu bernama Nagasena yang terpelajar, bersifat tenang namun penuh dengan keberanian. Beliau mampu berdiskusi dengan baginda. Sekarang ini beliau tinggal di Petapaan Samkheyya. Baginda harus pergi ke sana dan mengajukan pertanyaan kepadanya." Pada waktu nama 'Nagasena' disebut, raja menjadi gelisah dan bulu romanya berdiri. Kemudian raja mengirimkan utusan ke sana untuk memberitahukan kedatangannya. Diiringi lima ratus orang Yunani Bactria, raja menaiki kereta kencananya dan pergi menuju tempat tinggal Nagasena.

[Kembali]



BAB SATU
JIWA

Raja Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena. Setelah saling mengucapkan salam persahabatan secara sopan, raja duduk dengan hormat di satu sisi. Milinda mulai bertanya:

1. "Apa sebutan Yang Mulia dan siapakah nama Anda?"
"Baginda, saya disebut Nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan umum, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan."
Mendengar itu, Milinda mengundang orang-orang Yunani Bactria serta para bhikkhu untuk menjadi saksi: "Nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat di dalam namanya. Mungkinkah hal seperti itu diterima?" Kemudian dia berbalik kepada Nagasena dan berkata, "Yang Mulia Nagasena, jika hal tersebut benar, lalu siapakah yang memberi Anda jubah, makanan dan tempat tinggal? Siapakah yang menjalani kehidupan dengan benar? Atau juga, siapakah yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan? Jika apa yang Anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan yang bajik atau perbuatan yang tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan tidak ada hasil karma. Yang Mulia, seandainya saja seseorang membunuh Anda, maka tidak akan ada pembunuh. Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru di dalam Sangha Anda. Anda katakan bahwa Anda disebut Nagasena. Nah, apa itu Nagasena? Apakah rambutnya?"
"Saya tidak mengatakan demikian, raja yang agung."
"Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian tubuh lainnya?"
"Tentu saja tidak."
"Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, atau bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya?1 Ataukah gabungan dari itu semua? Ataukah sesuatu di luar semua itu yang disebut Nagasena?"
Masih saja Nagasena menjawab: "Bukan semuanya itu."
"Kalau begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata ini? Yang Mulia telah berdusta."
"Baginda, tuan telah dibesarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan. Bagaimana tadi baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?"
"Naik kereta, Yang Mulia."
"Kalau begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu? Apakah porosnya? Apakah rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta? Ataukah gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu di luar semua itu?"
"Bukan semuanya itu, Yang Mulia."
"Kalau begitu, baginda, kereta ini hanyalah omong kosong. Baginda berdusta ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di India. Siapa yang baginda takuti sehingga baginda berdusta?" Kemudian Nagasena memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: "Raja Milinda ini telah berkata bahwa beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya, 'Apakah kereta itu?' beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?"
Maka secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu berteriak bersama-sama kepada raja, "Jawablah bila baginda bisa!"
"Yang Mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka ia disebut kereta."
"Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar. Demikian pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik2 di dalam tubuh manusia beserta lima unsur makhluklah maka saya disebut Nagasena. Seperti yang telah dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang Agung, 'Seperti halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata 'kereta' digunakan, demikian juga bila ada unsur-unsur makhluk maka kata 'makhluk' digunakan.'"3
"Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit. Seandainya Sang Buddha berada di sini pun Beliau pasti akan menyetujui jawaban Anda."


2. "Berapa musim penghujan (masa vassa) yang telah Anda jalani, Nagasena?"
"Tujuh, baginda."
"Tetapi bagaimana dapat Anda katakan tujuh; apakah Anda yang tujuh atau jumlahnya yang tujuh?"
Lalu Nagasena menjawab, "Bayang-bayang baginda sekarang ada di tanah. Apakah baginda rajanya atau bayang-bayang itu rajanya?"
"Akulah rajanya, Nagasena, tetapi bayang-bayang itu ada karena aku."
"Demikian juga, O baginda, jumlah tahunnya tujuh, saya tidaklah tujuh. Tetapi karena sayalah angka tujuh itu ada dan merupakan milik saya, sama seperti bayang-bayang itu merupakan milik baginda."
"Sungguh hebat, Nagasena, dan sangat luar biasa. Dengan baik teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit."


3. Kemudian raja berkata, "Yang Mulia, maukah Anda berdiskusi denganku lagi?"
"Jika baginda ingin berdiskusi sebagai orang terpelajar, ya; tetapi jika baginda ingin berdiskusi sebagai raja, tidak."
"Bagaimana orang terpelajar berdiskusi?"
"Bila orang terpelajar berdiskusi akan ada kesimpulan, dan ada penyelesaian kekusutan; yang salah ditunjukkan kesalahannya dan dia mengakui kesalahannya tanpa marah."
"Dan bagaimana raja berdiskusi?"
"Bila raja mendiskusikan suatu masalah dan beliau mengemukakan suatu pandangan, jika ada yang berbeda pendapat dengan raja maka raja akan menghukum orang itu."
"Baik, kalau begitu sebagai orang terpelajarlah aku akan berdiskusi. Silakan Yang Mulia berbicara tanpa takut."
"Dengan senang hati, baginda."
"Nagasena, aku akan bertanya", kata raja.
"Bertanyalah, baginda."
"Aku telah bertanya, Yang Mulia."
"Kalau demikian saya telah menjawab."
"Apa yang telah Anda jawab?"
"Apa yang telah baginda tanyakan?"
Raja berpikir, "Bhikkhu ini benar-benar seorang terpelajar yang hebat, dia cukup mampu mendiskusikan apa pun juga denganku." Maka sang raja menyuruh Devamantiya, menterinya, untuk mengundang Nagasena ke istana bersama dengan banyak bhikkhu lain. Raja lalu pergi dengan bergumam: "Nagasena, Nagasena."


4. Maka Devamantiya, Anantakaya dan Mankura pergi ke petapaan Nagasena untuk menjemput para bhikkhu ke istana. Di dalam perjalanan menuju ke istana, Anantakaya berkata kepada Nagasena, "Yang Mulia, bila saya mengatakan 'Nagasena', apakah sebenarnya Nagasena itu?"
"Anda pikir apa Nagasena itu?"
"Jiwa, nafas di dalam yang keluar dan masuk."
"Jika nafas itu, setelah keluar, tidak lagi kembali masuk, apakah orang itu masih akan hidup?"
"Tentu saja tidak."
"Tetapi setelah para peniup trompet, misalnya, meniup trompetnya, apakah nafas mereka kembali pada mereka?"
"Tidak Yang Mulia, tidak."
"Kalau begitu kenapa mereka tidak mati?"
"Saya tidak mampu berbantahan dengan Anda. Tolong jelaskanlah bagaimana."
"Tidak ada jiwa di dalam nafas. Proses menarik dan menghembuskan nafas ini hanyalah tenaga unsur pokok dari kerangka tubuh." Kemudian Nagasena Thera4 berbicara tentang Abhidhamma dan Anantakaya merasa puas dengan penjelasan itu.


5. Setelah para bhikkhu tiba di istana dan selesai makan, sang raja duduk di tempat rendah dan bertanya, "Apa yang akan kita diskusikan?"
"Marilah kita mendiskusikan Dhamma."
Dan raja berkata, "Apa tujuan Yang Mulia meninggalkan kehidupan duniawi, dan apa tujuan akhir yang ingin dicapai?"
"Kami meninggalkan kehidupan duniawi dengan tujuan melenyapkan penderitaan dan tidak ada penderitaan lain yang muncul. Lenyapnya nafsu secara total tanpa sisa adalah tujuan akhir kami."
"Yang Mulia, apakah setiap orang masuk Sangha untuk tujuan yang sangat mulia tersebut?"
'Tidak. Ada yang masuk untuk menghindar dari kekejaman raja, ada yang untuk menghindar dari perampok, ada yang untuk menghindar dari hutangnya, dan ada yang untuk mencari nafkah. Tetapi mereka yang masuk dengan tujuan yang benar melakukannya agar nafsu dapat sepenuhnya padam."


6. Sang raja berkata, "Adakah orang yang tidak terlahir kembali setelah mati?"
"Ya, ada. Orang yang tidak lagi mempunyai kekotoran batin tidak akan terlahir kembali setelah mati; yang masih mempunyai kekotoran batin akan terlahir kembali."
"Apakah Anda akan terlahir kembali?"
"Jika saya mati dengan nafsu keinginan di dalam pikiran, ya; tetapi jika tidak, tidak."


7. "Apakah seseorang yang terbebas dari kelahiran kembali itu bisa terbebas karena kekuatan penalarannya?"
"Dia bisa terbebas karena penalaran dan juga karena kebijaksanaan, keyakinan, moralitas, kewaspadaan, semangat, dan konsentrasi."
"Apakah penalaran sama dengan kebijaksanaan?"
"Tidak. Binatang memiliki penalaran tetapi tidak memiliki kebijaksanaan."


8. "Bhikkhu Nagasena, apa ciri khas penalaran; dan apa ciri khas kebijaksanaan?"
"Memegang adalah ciri penalaran, memotong adalah ciri kebijaksanaan."
"Berikanlah ilustrasi."
"Bagaimana petani gandum memanen gandumnya?"
"Mereka memegang batang-batang gandum dengan tangan kirinya, dan dengan sabit di tangan kanannya mereka memotong gandum tersebut."
"Demikian juga halnya, O baginda, para petapa memegang pikirannya dengan penalaran dan memotong kekotoran batin dengan kebijaksanaan."


9. "Bhikkhu Nagasena, apakah ciri khas moralitas?"
"Menopang, O baginda, karena moralitas merupakan landasan bagi semua sifat yang balk, yakni:
a. Lima kemampuan batin yang mengendalikan dan lima kekuatan moral (Catatan- yakni: keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi, dan kebijaksanaan),
b. Tujuh faktor pencerahan (Catatan- yakni: kewaspadaan, penyelidikan, semangat, sukacita, ketenangan, konsentrasi, dan ketenang-seimbangan),
c. Delapan faktor Jalan Mulia (Catatan- yakni: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, kewaspadaan benar, dan konsentrasi yang benar),
d. Empat landasan kewaspadaan (Catatan- yakni: kewaspadaan pada tubuh, pada perasaan, pada buah-pikir, pada objek pikiran),
e. Empat usaha benar (Catatan- yakni: usaha untuk mencegah dan menghilangkan keadaan yang tidak bajik serta usaha untuk mengembangkan dan mempertahankan keadaan yang bajik),
f. Empat landasan keberhasilan (Catatan- yakni: hasrat, energi, keuletan dan kebijaksanaan),
g. Empat penyerapan (Catatan- yakni: empat tahap pemusatan pikiran atau jhana ),
h. Delapan kebebasan (Catatan- yakni: delapan tingkat pelepasan pikiran oleh konsentrasi yang sangat kuat),
i. Empat metode konsentrasi (Catatan- yakni: meditasi untuk cinta kasih, kasih sayang, sukacita bersimpati, dan ketenang-seimbangan), serta
j. Delapan pencapaian yang agung (Catatan- yakni: empat jhana tanpa-bentuk dan empat jhana berbentuk).

Semua sifat yang baik itu ditopang oleh moralitas. Di dalam diri orang yang mengembangkan batinnya dengan menggunakan moralitas sebagai fondasi, kondisi-kondisi yang baik ini tidak akan berkurang."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya semua bentuk kehidupan hewan dan tumbuhan bergantung pada tanah sebagai penopang, demikian juga seorang petapa -dengan moralitas sebagai penopangnya- mengembangkan lima kemampuan batin yang mengendalikan dan lain sebagainya itu.5 Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:

"Bila orang bijaksana, yang telah kokoh moralitasnya,
Mengembangkan konsentrasi dan permahaman,
Kemudian sebagai bhikkhu, dia gigih dan bijaksana,
Dia berhasil menguraikan kekusutan ini."6


10. "Apakah ciri khas dari keyakinan?"
"Kejernihan dan inspirasi. Ketika keyakinan muncul di dalam pikiran, keyakinan itu menembus cadar lima penghalang. Maka pikiran menjadi terang, tenang dan tidak terganggu. Dengan demikian keyakinan menjadi jernih. Dan inspirasi adalah tanda ketika meditator -karena memahami bagaimana pikiran orang lain telah terbebas- kemudian terinspirasi untuk mencapai apa yang masih belum dapat dicapainya, untuk mengalami apa yang masih belum pernah dirasakannya, dan untuk merealisasikan apa yang masih belum dimengertinya. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:

'Dengan keyakinan dia menyeberangi banjir,
Dengan kewaspadaan melewati samudera kehidupan,
Dengan ketetapan hati semua penderitaan dia tenangkan,
Dengan kebijaksanaan dia dimurnikan'."7


11. "Dan apa, Yang Mulia, ciri khas dari semangat?"
"Penguatan, O baginda, sehingga semua sifat baik yang ditopang oleh semangat tidak menjadi pudar."
"Berikanlah ilustrasi."
"Sama seperti bila bala tentaranya telah dipukul mundur oleh pasukan musuh yang lebih besar, seorang raja akan mengingat-ingat siapa sekutu yang bisa diharapkan untuk menguatkan pasukannya agar dapat mengalahkan musuh yang kuat itu. Begitulah penguatan merupakan ciri dari semangat. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:

'Siswa mulia yang penuh semangat, O bhikkhu,
Menyingkirkan yang tidak bajik dan mengembangkan yang bajik,
Menghindari yang tercela dan mengembangkan yang tak tercela,
Dengan begitu dia menjaga kemurnian pikirannya'."8


12. "Nagasena, apakah ciri khas dari kewaspadaan?"
"Mencatat dan menyimpan di dalam ingatan. Ketika kewaspadaan timbul di dalam pikiran petapa, secara berulang-ulang dia mencatat apa yang bajik dan apa yang tidak bajik, apa yang tak-tercela dan apa yang tercela, apa yang tidak penting dan apa yang penting, sifat-sifat yang gelap dan terang, dan sebagainya. Dia akan berpikir, 'Inilah empat landasan kewaspadaan, inilah empat usaha yang benar, inilah empat landasan keberhasilan, inilah lima kemampuan batin yang mengendalikan, inilah lima kekuatan moral, inilah tujuh faktor pencerahan, inilah delapan faktor Jalan Mulia, inilah ketenangan, inilah kebijaksanaan, inilah pandangan terang, dan inilah kebebasan.'
Demikianlah dia mengembangkan semua sifat yang bajik dan menghindari sifat-sifat yang harus dihindari."
"Berikanlah ilustrasi."
"Sama seperti bendahara raja yang mengingatkan tuannya tentang besarnya pasukan raja dan jumlah kekayaan yang ada."
"Bagaimana 'menyimpan di dalam ingatan' dapat menjadi tanda kewaspadaan?"
"Ketika kewaspadaan muncul di dalam pikiran, orang akan mencari kategori tentang sifat-sifat yang baik dan yang tidak baik. Dia akan berpikir, 'Sifat-sifat yang ini menguntungkan dan yang itu merugikan.' Dengan demikian dia melenyapkan apa yang jelek di dalam dirinya serta mempertahankan apa yang baik."
"Berikanlah ilustrasi."
"Sama seperti perdana menteri raja yang memberikan nasihat tentang tindakan yang benar. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:

'Kunyatakan, O para bhikkhu, kewaspadaan sangatlah membantu di mana pun juga'."9


13. "Dan apa, Nagasena, ciri khas dari konsentrasi?"
"Menjadi pemimpin, O baginda. Semua sifat yang bajik mempunyai konsentrasi sebagai pemimpinnya; sifat-sifat bajik mengarah padanya, dan menuju ke situ."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya kasau rumah miring dan menuju ke suatu titik -yaitu titik tertinggi di atap- demikian juga semua sifat yang baik mengarah dan memusat pada konsentrasi. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:

'Bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi;
seorang bhikkhu yang terkonsentrasi melihat segala
sesuatu sebagaimana adanya'."10


14. Apa, Nagasena, ciri khas dari kebijaksanaan?"
"Menerangi,11 O baginda. Ketika kebijaksanaan muncul di dalam pikiran, kebijaksanaan itu mengusir kegelapan yang dimiliki kebodohan batin, membuat munculnya pancaran pandangan terang, membuat bersinarnya pengetahuan, dan membuat jelasnya Kesunyataan Mulia. Demikianlah meditator dengan kebijaksanaan yang paling terang mencerap ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tidak-adanya-diri di dalam segala bentuk."
"Berikanlah ilustrasi."
"Sama seperti lampu, O baginda, yang berada di ruangan gelap akan menerangi ruangan itu dan membuat objek yang ada menjadi jelas terlihat."


[note:
Kesunyataan mulia adalah 4 kebenaran mutlak [attari Ariya Saccani] adalah kebenaran absolut atau mutlak yang berlaku bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, maupun agama. Karena mengakui atau tidak mengakui, suka atau tidak suka, setiap manusia mengalami dan diliputi oleh hukum kebenaran ini. [yaitu: Duka atau Penderitaan (DUKKHA), Sebab Penderitaan (DUKKHA SAMUDAYA), Berakhirnya Penderitaan (DUKKHA NIRODHA), dan Cara Menghentikan Penderitaan (DUKKHA NIRODHA GAMINIPATIPADA)]

15. Sifat-sifat yang sangat berbeda ini, Nagasena, apakah membuahkan hasil yang sama?"
"Ya, yaitu hancurnya kekotoran di dalam pikiran. Sama seperti berbagai kekuatan pasukan misalnya gajah, kavaleri kereta perang, dan pemanah membuahkan satu hasil, yaitu takluknya tentara musuh."
"Penjelasan yang baik, Nagasena. Anda pandai menjawab."


Catatan:
  1. Lihat catatan pada lima kelompok di Apendiks.
  2. Lihat Apendiks.
  3. S. i. 135.
  4. Thera (sesepuh) biasanya digunakan untuk orang yang menjadi bhikkhu lebih dari 10 musim hujan (vassa), tetapi Nagasena baru 7 vassa. Lihat Pertanyaan no. 2 hal. 7.
  5. Bandingkan dengan S. syair 45.
  6. S. i. 13. 165; Vism (syair pembuka).
  7. S. i. 214; Sn. syair 184.
  8. A iv. 110
  9. Tidak terlacak.
  10. S. iii. 13, syair 414; bandingkan dengan Asl. 162.
  11. Termasuk juga 'memotong' yang telah disebutkan di atas.

[Kembali]


BAB DUA
KELAHIRAN KEMBALI

1. "Orang yang terlahir kembali, Nagasena, apakah dia orang yang sama atau berbeda?"
"Bukan sama namun juga bukan berbeda."
"Berikanlah ilustrasi."
"Sama halnya seperti susu yang pertama-tama berubah menjadi dadih [Yoghurt, susu fermentasi, kefir] lalu menjadi mentega dan kemudian menjadi ghee [minyak samin, biasanya buat menggoreng]. Tidak benar bila dikatakan bahwa ghee, mentega, dan dadih tersebut sama dengan susu, tetapi semuanya itu berasal dari susu. Begitu juga tidaklah benar bila dikatakan bahwa ghee, mentega, dan dadih itu sesuatu yang bukan susu."


2. "Apakah orang yang tidak akan terlahir kembali itu menyadari tentang kenyataan ini?"
"Ya, baginda."
"Bagaimana dia tahu?"
"Dengan lenyapnya semua yang menjadi penyebab atau kondisi dari kelahiran kembali. Seperti halnya seorang petani yang tidak membajak atau menabur atau memanen akan mengetahui bahwa lumbungnya tidak akan terisi."


3. "Nagasena, di dalam diri seseorang di mana pengetahuan (ñana) telah timbul, apakah kebijaksanaan (pañña) juga timbul?"
"Ya, baginda."
"Apakah pengetahuan sama dengan kebijaksanaan?"
"Ya, baginda."
"Kalau begitu, apakah dengan pengetahuan dan kebijaksanaan itu ada kemungkinan dia tidak mengetahui tentang suatu hal?"
"Dia akan tetap berada di dalam ketidaktahuan tentang hal-hal yang belum dipelajarinya. Akan tetapi mengenai hal yang telah dicapai oleh kebijaksanaan -yaitu pemahaman tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tidak-adanya-diri- dia tidak akan tidak tahu."
"Kalau begitu, apa yang terjadi pada pandangan kelirunya tentang hal-hal itu tadi?"
"Pada saat pengetahuan muncul, pada saat itu pula pandangan salahnya lenyap. Seperti ketika sinar datang, maka kegelapan pun hilang."
"Tetapi apa yang terjadi pada kebijaksanaannya?"
"Setelah melakukan tugasnya, kebijaksanaan itu kemudian lenyap; tetapi pengertian orang itu tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tidak-adanya-diri tidak ikut lenyap."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya orang yang ingin menulis surat pada malam hari akan menyalakan lampu dan kemudian menulis surat tersebut. Setelah selesai dia akan memadamkan lampu. Tetapi meskipun lampu telah dipadamkan, suratnya tetap ada."


4. "Apakah orang yang tidak akan terlahir kembali merasakan kesakitan?"
"Mungkin dia merasakan kesakitan fisik, O baginda, tetapi bukan kesakitan mental."
"Jika dia merasakan kesakitan fisik, mengapa dia tidak mati saja dan mencapai keadaan lenyapnya kemelekatan, dan menghentikan penderitaan?"
"Arahat tidak memiliki kesukaan atau kebencian terhadap kehidupan. Dia tidak menggoncangkan pohon agar buahnya yang masih belum matang jatuh, melainkan menanti sehingga buahnya masak. Demikian ini dikatakan oleh Bhante Sariputta, siswa utama Sang Buddha:

'Bukan kematian, atau kelahiran yang kunantikan;
Bagaikan pekerja menantikan upah, aku menantikan waktuku.
Bukan kematian atau kelahiran yang kurindukan,
Dengan waspada dan jelas mengerti,
Begitulah aku menantikan waktuku'."1


5. "Apakah perasaan yang menyenangkan itu bermanfaat, tidak bermanfaat, atau netral?"
"Mungkin salah satu di antara tiga itu."
"Tetapi, Yang Mulia, tentunya jika kondisi yang bermanfaat itu tidak menyakitkan, sedangkan yang menyakitkan itu tidak bermanfaat, maka tidak akan mungkin ada keadaan yang bermanfaat yang sekaligus menyakitkan."2
"Bagaimana pendapat baginda seandainya saja ada orang yang memegang bola besi panas di satu tangannya, dan di tangan lain menggenggam bongkah es, apakah kedua-duanya akan menyakitkan orang itu?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu hipotesa baginda pasti keliru. Jika keduanya tidak sama-sama panas, tetapi rasa panas itu menyakitkan, atau jika keduanya tidak sama-sama dingin, tetapi rasa dingin itu menyakitkan, maka rasa sakit itu tidak datang dari rasa panas atau dingin."
"Aku tidak mampu berbantahan dengan Anda. Tolong jelaskan."
Kemudian Nagasena mengajarkan Abhidhamma:- "Ada enam rasa senang yang berhubungan dengan kehidupan duniawi dan enam yang berhubungan dengan kehidupan orang yang telah meninggalkan keduniawian; enam kesengsaraan di dalam kehidupan duniawi dan enam di dalam kehidupan orang yang telah meninggalkan keduniawian; dan enam perasaan netral pada kedua-duanya. Semuanya ada tiga puluh enam. Kemudian ada tiga puluh enam perasaan pada masa lalu, pada masa kini, dan semuanya ada seratus delapan perasaan."


6. "Apa yang terlahir kembali itu, Nagasena?'
"Batin dan jasmani."
"Apakah batin dan jasmani yang ini juga yang terlahir kembali?"
"Bukan, tetapi oleh batin dan jasmani inilah maka perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itulah maka batin dan jasmani yang lain terlahir kembali. Walaupun demikian, batin dan jasmani itu tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya api yang dinyalakan seseorang. Setelah merasa hangat, mungkin orang itu pergi meninggalkan dalam keadaan menyala. Andaikan saja api tersebut kemudian menjalar dan membakar ladang orang lain, lalu pemilik ladang itu menyeretnya ke hadapan raja serta menuntut orang yang menyalakan api tersebut. Bila dia berkata, 'Baginda yang mulia, saya tidak membakar ladang orang ini. Api yang saya tinggalkan itu berbeda dengan api yang membakar ladang orang ini. Saya tidak bersalah', apakah dia patut dihukum?"
"Tentu saja, karena tak peduli apa pun yang dia katakan, api itu berasal dari api sebelumnya."
"Demikian juga, O baginda, oleh batin dan jasmani ini perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itu maka batin dan jasmani baru akan terlahir kembali; tetapi batin dan jasmani tersebut tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya."


7. "Apakah Anda, Nagasena, akan terlahir kembali?"
"Apa gunanya menanyakan hal itu lagi? Bukankah telah saya katakan bahwa jika saya mati dengan nafsu keinginan di pikiran saya, maka saya akan terlahir kembali? Jika tidak, ya tidak."


8. "Anda tadi baru saja menjelaskan tentang batin dan jasmani. Apakah batin itu, dan apakah jasmani itu?"
"Apa pun yang kasar adalah jasmani (materi). Apa pun yang halus dan pikiran atau keadaan mental, adalah batin (mentalitas)."
"Mengapa jasmani dan batin ini tidak dilahirkan secara terpisah?"
"Kondisi-kondisi ini saling berhubungan seperti halnya kuning telur dan kulitnya. Keduanya selalu timbul bersama dan hubungan ini sudah ada sejak waktu yang lama sekali." 3


9. "Nagasena, ketika Anda mengatakan, 'Waktu yang lama sekali', apakah artinya? Apakah 'waktu' itu ada?"
"Waktu berarti masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Bagi beberapa orang, waktu itu ada; bagi orang lain tidak. Di mana ada makhluk yang akan dilahirkan kembali, bagi mereka waktu itu ada; di mana ada makhluk yang tidak akan terlahir kembali, bagi mereka waktu itu tidak ada."
"Bagus sekali, Nagasena, Anda pandai menjawab."


Catatan:
  1. Thag.1002,1003.
  2. Perbuatan-perbuatan bajik tidak menyakitkan hasilnya, tetapi mungkin kita sulit melakukannya karena kemelekatan dan kebencian kita. Padahal kekotoran batinlah yang menyebabkan kita menderita bukan perbuatan bajik. Perbuatan-perbuatan jahat menyakitkan hasilnya, tetapi mungkin kita senang melakukannya karena kebodohan kita. Kemudian bila hasilnya datang, kita harus menderita.
  3. Rhys Davids, dengan menggunakan Teks Sinhala, membaca kalimat ini sebagai evametam dighamaddhanam sambhavitam tetapi di Teks Burma tertulis: sandhavitam.

[Kembali]


BAB TIGA
PERMULAAN WAKTU

1. "Nagasena, apakah akar dari masa lalu, masa kini, dan masa mendatang itu?"
"Kebodohan batin. Kebodohan batin mengkondisikan bentuk-bentuk pikiran; bentuk-bentuk pikiran mengkondisikan kesadaran yang menghubungkan kembali; kesadaran mengkondisikan batin dan jasmani; batin dan jasmani mengkondisikan enam landasan indera; enam landasan indera mengkondisikan kontak; kontak mengkondisikan perasaan; perasaan mengkondisikan nafsu keinginan; nafsu keinginan mengkondisikan kemelekatan; kemelekatan mengkondisikan dumadi; dumadi mengkondisikan kelahiran; kelahiran mengkondisikan usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kepedihan, kesengsaraan, dan keputusasaan."


2. "Anda katakan bahwa asal mula yang pertama dari segala sesuatu adalah tidak jelas. Berikanlah ilustrasi."
"Sang Buddha berkata, 'Karena adanya landasan indera dan objek indera maka timbullah kontak; karena adanya kontak, timbullah perasaan; karena adanya perasaan, timbullah nafsu keinginan; dan karena adanya nafsu keinginan, timbullah tindakan (karma). Lalu dari tindakan ini sekali lagi landasan indera dihasilkan.' Nah, bisakah ada akhir dari rangkaian ini?"
"Tidak."
"Demikian pula, O baginda, asal mula yang pertama dari segala sesuatu itu tidak dapat dipahami."1


3. Apakah asal mula yang pertama dari segala sesuatu itu tidak diketahui?"
"Sebagian dapat diketahui, sebagian lagi tidak."
"Kalau begitu, manakah yang dapat diketahui dan manakah yang tidak?"
"Kondisi apa pun yang mendahului kelahiran ini, bagi kita tampaknya tidak pernah ada. Berkenaan dengan hal itu, asal mula pertamanya tidaklah diketahui. Namun kondisi yang tadinya belum ada kemudian ada, dan segera sesudah kondisi itu muncul, ia lenyap lagi. Berkenaan dengan hal itu, asal mula pertamanya dapat diketahui."


4. "Apakah ada bentukan-bentukan yang dihasilkan?"
"Tentu saja, O baginda. Di mana ada mata serta bentuk maka ada penglihatan; di mana ada penglihatan maka ada kontak; di mana ada kontak maka ada perasaan; di mana ada perasaan maka ada nafsu keinginan; di mana ada nafsu keinginan maka ada kemelekatan; di mana ada kemelekatan maka ada dumadi; dan di mana ada dumadi maka ada kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kepedihan, kesengsaraan dan keputusasaan. Tetapi bilamana tidak ada mata dan bentuk maka tidak ada penglihatan, tidak ada kontak, tidak ada perasaan, tidak ada nafsu keinginan, tidak ada kemelekatan, tidak ada dumadi; dan bilamana tidak ada dumadi maka tidak akan ada kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kepedihan, kesengsaraan dan keputusasaan."


5. "Apakah ada bentukan-bentukan yang tidak dihasilkan?"
"Tidak ada, O baginda, karena hanya dengan proses dumadilah mereka dihasilkan."
"Berikanlah ilustrasi."
"Apakah rumah yang baginda tempati ini dihasilkan dari proses dumadi?"
"Semuanya, tidak ada yang tidak. Kayu ini dahulu berada di hutan, dan tanah liat ini dahulu ada di tanah. Hanya melalui usaha para pekerjalah rumah ini terwujud."
"Demikian juga, O baginda, tidak ada bentukan-bentukan yang tidak dihasilkan."


6. "Adakah, Nagasena, sesuatu yang disebut 'Sang Yang Mengetahui' (vedagu) ?"2
"Apakah itu?"
"Suatu inti yang hidup di dalam diri, yang dapat melihat, mendengar, mencicip, membau, merasakan dan memahami segala sesuatu; sama seperti halnya kita yang saat ini duduk di sini dapat melihat keluar lewat jendela mana pun yang kita inginkan."
"Jika, O baginda, inti yang hidup di dalam diri itu dapat melihat, mendengar, mencicip, membau dan merasakan benda-benda seperti yang baginda katakan, dapat jugakah ia melihat benda-benda melalui telinga dan sebagainya?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Kalau demikian, baginda, inti yang hidup itu tidak dapat menggunakan indera semaunya sendiri seperti kata baginda. O baginda, hanya karena adanya mata dan bentuklah maka penglihatan dan kondisi-kondisi lainnya muncul, yaitu: kontak, perasaan, pencerapan, niat, pemusatan pikiran, semangat dan perhatian. Secara sekaligus semuanya timbul bersama dengan penyebabnya, dan karena itu 'Sang Yang Mengetahui' tidak dapat ditemukan."


7. "Apakah kesadaran-pikiran muncul setiap kali kesadaran mata muncul?"
"Ya, baginda, bila ada yang satu maka ada juga yang lainnya."
"Yang mana muncul terlebih dahulu?"
"Pertama kesadaran-mata, baru kemudian kesadaran-pikiran."
"Apakah kesadaran-mata mengeluarkan perintah kepada kesadaran-pikiran, atau sebaliknya?"
"Tidak, tidak ada komunikasi di antara keduanya itu."
"Kalau begitu, Nagasena, mengapa kesadaran-pikiran muncul di mana pun ada kesadaran mata?"
"Karena, O baginda, ada kecenderungan, pintu, kebiasaan dan asosiasi."
"Berikanlah ilustrasi."
"Jika kota perbatasan raja memiliki tembok yang kuat tetapi hanya ada satu pintu gerbang dan seseorang akan meninggalkan kota, lewat manakah dia?"
"Melalui pintu gerbang itu."
"Dan jika ada orang lain yang akan pergi, lewat manakah dia?"
"Melalui gerbang yang sama."
"Apakah orang pertama tadi memerintah orang kedua dengan mengatakan, 'Keluarlah dengan cara yang sama denganku', atau apakah orang kedua mengatakan kepada orang pertama, 'Saya akan keluar dengan cara seperti anda'?"
"Tidak Yang Mulia, tidak ada komunikasi di antara mereka berdua."
"Dengan cara seperti itulah kesadaran-pikiran muncul di mana ada kesadaran-mata, namun tidak ada komunikasi di antara mereka."


8. Di mana ada kesadaran-pikiran, Nagasena, apakah selalu ada kontak dan perasaan?"
"Ya, di mana ada kesadaran-pikiran, ada kontak dan perasaan. Juga pencerapan, niat, pikiran pemicu dan pikiran yang bertahan."


9. "Apakah ciri khas dari kontak?"
"Sentuhan."
"Berikanlah ilustrasi."
"Bagaikan dua rusa yang berbenturan kepala; mata adalah bagaikan rusa yang satu, sedangkan objek yang terlihat bagaikan rusa lainnya. Benturan yang terjadi itu adalah kontak."


10. "Apakah ciri khas dari perasaan?"
"Yang dialami, O baginda, dan dinikmati."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya seseorang yang telah melayani rajanya dan diberi kedudukan, dia kemudian akan menikmati keuntungan karena jabatannya."


11. "Apakah ciri khas dari persepsi (pencerapan)?"
"Mengenali3 kebiruan, kekuningan, atau kemerahan."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya bendahara raja mengenali barang-barang milik rajanya dengan cara melihat bentuk dan warnanya."


12. "Apakah ciri khas dari niat?"
"Dikandung, O baginda, dan dipersiapkan."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya seseorang yang menyiapkan racun dan setelah meminumnya dia akan menderita kesakitan, demikian pula seseorang yang memikirkan suatu kejahatan dan kemudian melaksanakannya, dia akan menderita di neraka."


13. "Apakah ciri khas dari kesadaran?"
"Mengetahui, O baginda."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya penjaga di alun-alun kota akan mengetahui orang yang datang dan dari mana arah datangnya; begitu pula ketika seseorang melihat suatu objek, mendengar suatu suara, mencium suatu aroma, mencicipi suatu cita rasa, merasakan suatu sentuhan atau mengetahui sebuah gagasan; dengan kesadaranlah dia mengetahui hal itu."


14. "Apakah ciri khas dari buah-pikir pemicu?"
"Memasang, O baginda."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya tukang kayu memasang kayu yang sudah ditakik dengan cermat ke dalam takik lainnya agar pas demikianlah pemasangan merupakan ciri buah-pikir pemicu"


15. "Apakah ciri khas dari buah-pikir yang bertahan?"
"Memeriksa berulang-ulang."
"Berikanlah ilustrasi."
"Buah-pikir pemicu bagaikan pukulan pada gong; sedangkan buah-pikir yang bertahan bagaikan gaungnya."


16. "Apakah kondisi-kondisi ini dapat dipisahkan dan dikatakan; 'Ini adalah kontak, ini perasaan, ini persepsi, ini niat, ini kesadaran, ini buah-pikir pemicu, dan ini buah-pikir yang bertahan'?"
"Tidak, baginda, hal itu tidak dapat dilakukan. Jika seseorang menyiapkan sup yang berisikan dadih, garam, jahe, biji lada, dia tidak dapat mengeluarkan cita rasa dadih itu dan menunjukkan 'Inilah cita rasa dadih' atau mengeluarkan cita rasa garam dan mengatakan 'Inilah cita rasa garam'. Walaupun demikian, semua cita rasa itu ada di dalam sup dengan ciri-cirinya sendiri."


17. Lalu Bhikkhu Nagasena bertanya, "Apakah garam, O baginda, dapat dikenali oleh mata?"
"Ya, Yang Mulia."
"Berhati-hatilah dengan apa yang baginda katakan."
"Kalau begitu, garam dikenali oleh lidah."
"Ya, itu betul."
"Tetapi, Nagasena, apakah hanya dengan lidah saja setiap jenis garam dapat dikenali?"
"Ya, setiap jenis."
"Kalau demikian, mengapa sapi membawa segerobak penuh garam?"
"Garam itu sendiri tidaklah mungkin dibawa. Sebagai contoh, garam juga mempunyai massa, tetapi orang tidak mungkin dapat menimbang garam. Yang dapat ditimbang hanyalah massanya."
"Nagasena, Anda sungguh lincah di dalam perdebatan."


Catatan:
  1. Mencari asal mula kehidupan di dalam Super Novae atau di dalam D.N.A. adalah pencarian yang sia-sia, karena penyebab akarnya terdapat di dalam pikiran. Sang Buddha berkata:--
    "Selama kelahiran yang tak terhitung banyaknya
    Aku telah mengembara di dalam samsara,
    Aku mencari, tetapi tidak menemukan pembangun rumah ini.
    Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang!
    Pembangun rumah, kini engkau telah terlihat!
    Engkau tak akan membangun rumah lagi.
    Semua kasau [kekotoran batin] telah patah.
    Tiang bubungan [kebodohan] telah hancur berserakan.
    Pikiranku telah pergi ke nibbana.
    Telah tercapai akhir dari nafsu keinginan."

    Dhp. syair 153-154.
  2. Di tempat lain vedagu digunakan sebagai sebutan untuk Sang Buddha yang berarti 'Seseorang yang telah mencapai Pengetahuan'.
  3. Sañña, viññana, dan pañña berturut-turut dapat dibandingkan sebagai seorang anak, seorang dewasa, dan seorang pedagang uang yang melihat koin emas. Si anak kecil mengetahui bahwa koin itu bulat dan bersinar. Hanya itu saja. Si orang dewasa mengetahui bahwa koin itu juga memiliki nilai yang berharga. Si pedagang uang mengetahui segala sesuatu tentang koin itu. Lihat Vism. 437.

[Kembali]


BAB EMPAT
LANDASAN INDERA

1. "Apakah lima landasan indera dihasilkan dari berbagai karma, atau semuanya berasal hanya dari satu karma?"
"Dari berbagai karma, O baginda."
"Berilah ilustrasi."
"Jika kita menanam lima jenis biji-bijian di ladang, maka hasilnya juga akan lima macam."


2 "Nagasena, mengapa orang tidak semuanya serupa; ada yang berumur pendek dan ada yang berumur panjang, ada yang sakit-sakitan dan ada yang sehat, ada yang buruk rupa dan ada yang rupawan, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang lahir di keluarga rendah dan ada yang di keluarga terpandang, ada yang tolol dan ada yang bijaksana?"
"Mengapa tidak semua sayuran serupa?"
"Karena berasal dari bibit yang berbeda."
"Demikian juga, O baginda, karena berbagai karmalah maka makhluk tidak semuanya sama. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha, 'Semua makhluk memiliki karma sebagai harta kekayaannya sendiri. Semua makhluk adalah pewaris dari karmanya sendiri, dilahirkan karena karmanya sendiri, merupakan saudara dari karmanya sendiri, dan memiliki karma sebagai pelindungnya; karma apa pun yang mereka perbuat itulah yang membedakan mereka berada pada tingkatan yang tinggi atau rendah."1


3. "Anda katakan bahwa Anda meninggalkan kehidupan duniawi agar supaya penderitaan dapat dilenyapkan dan tidak ada lagi penderitaan yang muncul. Apakah hal ini dihasilkan oleh usaha sebelumnya, ataukah untuk diperjuangkan sekarang ini, pada saat ini?"
"Usaha sekarang ini berhubungan dengan apa yang masih harus dilakukan, usaha yang dahulu telah menyelesaikan apa yang harus dilakukannya saat itu."
"Berikanlah ilustrasi."
"Apakah baru sesudah musuh menyerang maka baginda memerintahkan para prajurit untuk menggali tempat perlindungan, mendirikan benteng, membangun menara penjagaan, mendirikan kubu, dan mengumpulkan makanan?"
"Tentu saja tidak, Yang Mulia."
"Demikian juga, usaha sekarang ini berhubungan dengan apa yang masih harus dilakukan, usaha yang lalu telah menyelesaikan apa yang harus dilakukannya saat itu."


4. "Anda katakan bahwa api neraka dalam sekejap dapat menghancurkan batu karang sebesar rumah; tetapi Anda juga mengatakan bahwa makhluk apa pun yang terlahir di neraka tidak akan hancur, meskipun terbakar selama ratusan ribu tahun. Bagaimana aku dapat mempercayai hal ini?"
"Meskipun makanan, tulang, dan bahkan batu yang dimakan oleh berbagai makhluk betina dihancurkan di dalam perut mereka, tetapi embrionya tetap tidak hancur. Demikian juga makhluk di neraka tidak dapat hancur karena pengaruh karmanya."


5. "Anda katakan bahwa planet bumi ini terletak di air, air terletak di udara, dan udara terletak di ruang. Hal ini juga aku tidak percaya."
Kemudian bhikkhu Nagasena menerangkan kepada raja tentang daur filter-air yang ditopang oleh tekanan atmosfer dan raja Milinda menjadi yakin.2


6. "Apakah berhentinya nafsu itu nibbana?"
"Ya, O baginda. Semua makhluk yang tolol memanjakan diri dalam kenikmatan indera dan objeknya; mereka menemukan kesenangan di dalamnya dan melekat padanya. Oleh karena itu mereka terhanyut oleh banjir [nafsu] dan tidak terbebas dari kelahiran dan kematian. Siswa bijaksana orang-orang suci tidak akan menyenangi kenikmatan indera dan objeknya. Dan di dalam dirinya nafsu keinginan berhenti, kemelekatan berhenti, dumadi berhenti, kelahiran berhenti, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kepedihan, kesengsaraan dan keputusasaan berhenti clan tidak ada lagi. Dengan demikian, berhentinya nafsu adalah nibbana."


7. "Apakah semua orang mencapai nibbana?"
"Tidak semuanya, O baginda; tetapi siapa pun yang berperilaku benar, mengetahui apa yang seharusnya diketahui, mencerap apa yang seharusnya dicerap, meninggalkan apa yang seharusnya ditinggalkan, mengembangkan apa yang seharusnya dikembangkan, dan merealisasikan apa yang seharusnya diwujudkan, dia mencapai nibbana."


8. "Dapatkah orang yang belum mencapai nibbana mengetahui bahwa nibbana itu benar-benar membahagiakan?"
"Ya tentu saja, O baginda. Seperti halnya orang yang belum pernah merasakan tangan dan kakinya putus dipotong dapat mengetahui betapa sakitnya kondisi itu karena mendengar jeritan kesakitan orang yang kehilangan anggota badannya; demikian juga orang yang belum pernah mengetahui betapa membahagiakannya kondisi itu karena mendengar kata-kata yang penuh sukacita dari mereka yang telah mencapainya."


Catatan:
  1. M. iii. 203. bandingkan dengan A. syair 87, 288.
  2. Lihat catatan tentang gempa bumi di Apendiks.

[Kembali]


BAB LIMA
SANG BUDDHA

1, Pernahkan Anda atau guru-guru Anda melihat Sang Buddha?"
"Belum, baginda."
"Kalau begitu, Nagasena, tidak ada Buddha!"
"Tetapi apakah baginda dan ayah baginda sudah pernah melihat sungai Uha1 di Himalaya?"
"Belum, Yang Mulia."
"Kalau begitu, tepatkah kalau dikatakan bahwa sungai Uha itu tidak ada?"
"Nagasena, Anda sangat cerdik menjawab."


2. "Apakah Sang Buddha tidak ada bandingnya?"
"Betul, Beliau tidak terbandingkan."
"Tetapi bagaimana Anda dapat berkata demikian, jika Anda belum pernah bertemu Beliau?"
"Sama seperti orang yang belum pernah melihat samudera dapat mengetahui betapa luasnya samudera itu karena lima sungai besar mengalir ke dalamnya tetapi permukaan airnya tidak naik; demikian juga saya tahu betapa tidak terbandingkannya Sang Buddha bila saya memikirkan guru-guru besar yang telah saya temui, yang hanya merupakan siswa Sang Buddha."


3. "Apakah orang lain dapat mengetahui bahwa Sang Buddha tidak ada bandingnya?"
"Ya, tentu saja."
"Bagaimana caranya?"
"Di zaman dahulu hidup Tissa Thera,2 seorang yang ahli dalam tulis-menulis. Bagaimana orang dapat mengetahui tentang beliau?"
"Dari tulisannya."
"Demikian pula halnya, baginda, siapa pun yang melihat Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dapat mengetahui betapa tidak terbandingkannya Sang Buddha itu."


4. "Sudahkah Anda, Nagasena, melihat apa kebenaran itu?"
"Kami, para siswa, O baginda, harus menjalani hidup kami sesuai dengan peraturan kebhikkhuan yang telah diberikan oleh Sang Buddha."3


5. "Apakah mungkin ada kelahiran kembali tanpa adanya transmigrasi (perpindahan)?"
"Ya, mungkin saja. Sama seperti orang dapat menyalakan lampu minyaknya dari nyala lampu minyak yang lain tanpa ada yang berpindah dari satu lampu ke lampu yang lain; atau seperti seorang murid dapat menghafal sebuah syair dari gurunya tanpa syair itu berpindah dari guru ke muridnya."


6. Lalu Milinda bertanya lagi, "Apakah ada sesuatu semacam 'Sang Yang Mengetahui' (vedagu)?"
"Tidak dalam arti yang sebenar-benarnya."4


7. "Apakah ada makhluk yang berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain?"
"Tidak, tidak ada."
"Jika begitu, apakah tidak ada cara untuk lolos dari akibat perbuatan jahat?"
"Ya, ada cara untuk lolos seandainya mereka tidak terlahir kembali, tetapi jika terlahir kembali maka tidak akan ada cara untuk lolos. Proses batin dan jasmani ini menghasilkan perbuatan -baik yang suci maupun yang tidak suci- dan karena karma tersebut maka proses batin dan jasmani lainnya terlahir lagi. Karena itulah batin dan jasmani ini tidak terbebas dari perbuatan jahatnya."
"Berikanlah ilustrasi."
"Jika seorang pencuri mencuri mangga orang lain, apakah dia patut dihukum?"
"Tentu saja."
"Tetapi mangga yang dicurinya tidak sama dengan mangga yang dulu ditanam oleh si pemilik; mengapa dia patut dihukum?"
"Karena mangga yang dicuri itu berasal dari mangga yang ditanam orang itu."
"Demikianlah juga, O baginda, proses batin dan jasmani ini melakukan perbuatan -baik yang suci maupun yang tidak suci- dan oleh karena karma tersebut maka proses batin dan jasmani lainnya terlahir lagi. Karena itulah maka batin dan jasmani ini tidak terbebas dari perbuatan jahatnya."


8. "Setelah perbuatan dilakukan oleh satu proses batin dan jasmani, di mana perbuatan itu berada?"
"Perbuatan tersebut mengikuti batin dan jasmani itu, O baginda, seperti bayang-bayang yang tidak pernah pergi. Namun orang tidak dapat menunjuk perbuatan-perbuatan itu dan berkata, 'Perbuatan-perbuatan itu di sini atau di sana', sama seperti buah dari sebatang pohon tidak akan dapat ditunjukkan sebelum buah itu muncul."


9. "Apakah orang yang akan terlahir kembali mengetahui hal ini?"
"Ya, dia tahu. Sama seperti seorang petani yang menanam benih di tanah, setelah melihat bahwa hujan cukup banyak, dia tahu bahwa panen akan tiba."5


10. "Apakah Buddha ada?"
"Ya."
"Apakah Beliau dapat ditunjukkan berada di sini atau di sana?"
"Sang Buddha telah meninggal dunia dan tidak ada yang tersisa untuk membentuk individu lain. Beliau tidak dapat ditunjukkan berada di sini atau di sana, sama seperti nyala api yang telah padam tidak dapat dikatakan berada di sini atau di sana. Tetapi sejarah keberadaannya6 dapat dikenali dari Ajaran7 yang telah dibabarkan oleh-Nya."


Catatan:
  1. Hulu sungai Gangga.
  2. Mungkin mengacu pada Moggalliputta Tissa Thera, pencetus Konsili Ketiga dan pengarang Kitab Kathavatthu, 'Pokok-pokok Kontroversi'.
  3. Ada peraturan latihan (Pacittiya no. 8) bahwa bhikkhu tidak diperkenankan menceritakan tingkat pencapaian spiritualnya.
  4. Ada dua tingkat kebenaran: kebenaran konvensional dan kebenaran tertinggi. Menurut kebenaran konvensional, adalah salah bila dikatakan 'manusia' itu tidak ada. Tetapi menurut kebenaran tertinggi hal itu justru benar. Pada realitasnya, yang ada hanyalah suatu aliran batin dan jasmani yang terus-menerus berubah, namun secara salah kita menganggap proses itu 'manusia'. (Komentar penerjemah)
  5. Bandingkan dengan Pertanyaan no. 2 di hal. 19.
  6. Seperti juga keberadaan para Buddha yang akan datang.
  7. Dhammakaya.

[Kembali]

BAB ENAM
KEMELEKATAN
1. "Apakah tubuh jasmani ini, Nagasena, berharga bagi para petapa?"
"Tidak, baginda."
"Kalau begitu, mengapa para petapa merawat dan memberikan perhatian pada tubuh jasmani?"
"Kami merawat dan menjaga tubuh jasmani ini sama seperti kita merawat luka. Bukan karena luka itu berharga bagi kita, melainkan hanya supaya daging baru dapat tumbuh kembali. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha:

"Tubuh jasmani yang kotor ini berbau busuk
Seperti tinja, seperti kakus;
Tubuh jasmani yang oleh para bijaksana
Dikutuk ini, adalah sumber kesukaan bagi si tolol.

Sebuah tumor di mana sembilan lubang berdiam
Terbungkus di dalam mantel kulit yang berkeringat1
Dan meneteskan kotoran pada tiap sisinya,
Mencemari udara dengan bau busuk ke mana-mana.

Seandainya saja secara kebetulan harus terjadi
Apa yang tersimpan di dalam berada di luar,
Tentu orang akan membutuhkan cambuk
Untuk menghalau anjing dan gagak'."2


2. "Jika Sang Buddha itu mahatahu, mengapa Beliau baru menetapkan peraturan Sangha setelah suatu peristiwa terjadi?"
"Beliau baru menetapkan peraturan ketika dibutuhkan, sama seperti seorang dokter ahli baru menuliskan resep bagi pasiennya ketika dibutuhkan, walaupun dia telah mengetahui semua obat sebelum suatu penyakit menyerang."


3. "Jika Sang Buddha memiliki tiga puluh dua tanda manusia agung,3 mengapa orangtua Beliau tidak memilikinya juga?"
"Sama halnya seperti bunga teratai yang terlahir di lumpur dan menjadi sempurna di air tidak menyerupai lumpur dan air, demikian juga Sang Buddha tidak sama dengan orangtua Beliau."


4. "Apakah Sang Buddha seorang Brahmacari, seorang yang tidak menikah?"
"Ya."
"Kalau begitu Beliau pengikut Brahma!"
"Meskipun suara gajah sama seperti suara bangau, gajah bukanlah pengikut bangau. Katakanlah, baginda, apakah Brahma itu mempunyai kecerdasan (buddhi)?"
"Ya."
"Kalau begitu pastilah dia pengikut Sang Buddha!"


5. "Apakah pentahbisan bhikkhu itu sesuatu yang baik?"
"Ya."
"Tetapi apakah Sang Buddha menjalaninya, atau tidak?"
"Baginda, ketika Sang Buddha mencapai Pencerahan Sempurna di kaki pohon Bodhi, itulah pentahbisan Beliau. Tidak ada penganugerahan pentahbisan bagi Beliau dari orang lain seperti yang Beliau berikan kepada siswa-siswa-Nya."


6. "Bagi siapakah air mata itu merupakan penyembuhan: bagi orang yang menangis karena kematian ibunya, atau bagi orang yang menangis karena cintanya pada kebenaran?"
"Air mata yang pertama, O baginda, ternoda dan panas oleh kemelekatan, tetapi air mata yang kedua itu tidak ternoda serta sejuk. Terdapat penyembuhan di dalam kesejukan dan ketenangan, tetapi di dalam panas dan nafsu tidak akan mungkin ada penyembuhan."


7. "Apakah perbedaan antara orang yang dipenuhi kemelekatan dengan orang yang telah terbebas dari kemelekatan?"
"Yang pertama diperbudak, O baginda, sedangkan yang kedua tidak diperbudak."
"Apa maksudnya?"
"Yang pertama dipenuhi nafsu keinginan, sedangkan yang kedua tidak."
"Tetapi kedua-duanya menyukai makanan yang enak, dan kedua-duanya tidak menyukai makanan yang tidak enak."
"Orang yang melekat, O baginda, makan dengan mengalami cita rasa makanan itu serta mengalami kemelekatan pada cita rasa itu. Tetapi, orang yang tidak melekat mengalami cita rasa makanan itu saja dan tidak mengalami kemelekatan yang timbul dari cita rasa makanan tersebut."


8. "Di manakah kebijaksanaan berdiam?"
"Tidak di mana pun, O baginda."
"Kalau begitu kebijaksanaan itu tidak ada."
"Di manakah angin berdiam?"
"Tidak di mana pun."
"Kalau begitu angin itu tidak ada!"
"Anda sangat cerdik dalam menjawab, Nagasena."


9. "Apa yang dimaksud dengan lingkaran tumimbal lahir (samsara)?"
"Seseorang yang dilahirkan di sini, mati di sini dan dilahirkan di tempat lain. Setelah dilahirkan di sana, dia mati dan dilahirkan di tempat lain."


10. "Dengan apakah kita mengingat perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu?"
"Dengan ingatan (sati)."
"Apakah bukan dengan pikiran (citta) kita mengingat kembali?"
"Apakah baginda ingat sesuatu urusan yang pernah baginda lakukan tetapi kemudian terlupakan?"
"Ya.
"Apakah waktu itu baginda tanpa pikiran?"
"Tidak. Tetapi ingatan saya yang tak mampu."
"Kalau begitu mengapa baginda katakan bahwa dengan pikiran kita mengingat kembali?"


11. "Apakah ingatan selalu timbul dengan sendirinya, ataukah dipengaruhi oleh sugesti dari luar?"
"Kedua-duanya, O baginda."
"Tetapi apakah bukan berarti bahwa pada dasarnya semua ingatan itu bersifat subjektif?"4
"Baginda, seandainya tidak ada bagian ingatan yang ditanamkan maka para ahli tidak perlu berlatih atau bersekolah, dan guru tidak akan ada gunanya. Tetapi keadaan sebaliknyalah yang terjadi."


Catatan:
  1. Hanya dua baris terakhir ini ada di Miln.
  2. Vism. 196. Terjemahan Bhikkhu Ñanamoli.
  3. Ciri fisik yang diramalkan oleh astrologi. Lihat D. ii. 17; M. ii. 136; MilnT. 17.
  4. Bagi saya tidak jelas apa yang dimaksudkan di sini. Mungkin Raja Milinda beranggapan bahwa karena suatu ingatan yang dipancing oleh ingatan lain sesudah itu muncul karena usaha mental orang itu sendiri, maka asal mula ingatan itu bersifat subjektif.

[Kembali]

BAB TUJUH
INGATAN
1. "Dalam berapa cara, Nagasena, ingatan muncul?"
"Tujuh belas cara,1 O baginda, yaitu:

  1. Karena pengalaman pribadi, seperti misalnya ketika Yang Ariya Ananda dapat mengingat kembali kehidupan-kehidupan beliau yang lampau (tanpa perkembangan khusus);
  2. Karena bantuan dari luar, seperti misalnya ketika seseorang mengingatkan temannya yang pelupa;
  3. Karena keagungan suatu peristiwa, seperti misalnya ketika seorang raja mengingat pentahbisannya atau ketika seseorang mengingat saat ia mencapai tingkat Pemenang-Arus;
  4. Karena kesan yang membawa manfaat, seperti misalnya ketika seseorang mengingat hal-hal yang menyenangkan hatinya;
  5. Karena kesan yang merugikan, seperti misalnya ketika seseorang mengingat hal-hal yang menyakitkan;
  6. Karena kemiripan penampilan, seperti misalnya ketika seseorang mengingat ibunya, ayahnya, atau saudaranya setelah melihat orang yang mirip mereka;
  7. Karena ketidakmiripan, seperti misalnya ketika orang mengingat seseorang setelah melihat orang yang sama sekali berbeda dengan orang itu;
  8. Lewat pengetahuan bahasa, seperti misalnya ketika seseorang diingatkan temannya;
  9. Lewat tanda, seperti misalnya ketika seseorang mengenali kereta setelah melihat merknya;
  10. Lewat usaha untuk mengingat, seperti misalnya ketika seseorang berulang-ulang didesak;
  11. Lewat pengetahuan mengeja, seperti misalnya ketika seseorang yang bisa membaca mengingat bahwa huruf ini mengikuti huruf itu;
  12. Lewat ilmu hitung, seperti misalnya ketika akuntan bekerja dengan pengetahuannya tentang angka;
  13. Lewat hafalan, seperti misalnya ketika penghafal kitab suci mengulang di luar kepala;
  14. Lewat meditasi, seperti misalnya ketika bhikkhu mengingat kehidupannya yang lalu;
  15. Lewat referensi buku, seperti misalnya ketika raja mengingat kembali peraturan yang telah dibuat sebelumnya dengan referensi sebuah buku;
  16. Lewat sumpah, seperti misalnya ketika seseorang mengingat -setelah melihat barang-barang yang tersimpan- keadaan ketika disumpah; atau
  17. Lewat hubungan, seperti misalnya ketika seseorang melihat atau mendengar sesuatu kemudian dia teringat akan hal lain yang berhubungan dengannya."
2. "Anda katakan bahwa seseorang yang telah menjalani kehidupan jahat selama seratus tahun, dapat dilahirkan di alam dewa -dengan cara memikirkan Sang Buddha pada saat kematiannya; dan bahwa seseorang yang baik dapat dilahirkan di neraka -karena satu tindakan jahat. Dua hal ini aku tidak percaya."
"Bagaimana pendapat baginda, dapatkah batu kerikil kecil terapung di air tanpa perahu?"
"Tidak."
"Tetapi bahkan batu sekereta penuh pun dapat terapung bila ditaruh di dalam perahu. Demikian juga baginda harus memikirkan perbuatan baik bagaikan perahu."


3. "Apakah kalian, para bhikkhu, berjuang untuk menghapus penderitaan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang?"
"Tidak. Kami berjuang agar penderitaan ini berakhir dan tidak ada penderitaan lain yang muncul."
"Tetapi, Nagasena, apakah di masa sekarang ini terdapat penderitaan di masa mendatang ?"
"Tidak."
"Kalau begitu, para bhikkhu luar biasa pandai bila mampu berjuang untuk menghapusnya !"
"Apakah musuh baginda pernah bergolak untuk menentang baginda?"
"Ya."
"Apakah hanya ketika mereka bergolak saja maka baginda bersiap-siap untuk berperang?"
"Tidak sama sekali. Semua telah dilakukan sebelumnya untuk menangkal bahaya yang mungkin terjadi di masa mendatang."
"Tetapi, O baginda, apakah pada masa sekarang ini terdapat bahaya di masa mendatang?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Kalau begitu, baginda luar biasa pandai bila mampu berjuang untuk menghapusnya!"
"Jawaban yang baik, Nagasena. Anda pandai menjawab."


4. "Seberapa jauhkah alam Brahma itu?"
"Sangat jauh, O baginda; dari alam Brahma sebongkah batu besar membutuhkan waktu empat bulan untuk mencapai bumi meskipun batu itu jatuh 48.000 league (1 league =sekitar7 mil) setiap hari."
"Tetapi bagaimanakah seorang bhikkhu dapat begitu cepat pergi ke sana dengan kekuatan supra-normalnya?"
"Di manakah baginda dilahirkan?"
"Ada sebuah pulau bernama Alasanda; aku dilahirkan di sana."
"Berapa jauhnya dari sini?"
"Sekitar 200 league."
"Dapatkah baginda mengingat apa pun yang telah baginda lakukan di sana?"
"Ya"
"Begitu cepatnya baginda menempuh 200 league. Sama seperti itulah seorang bhikkhu dapat segera mencapai alam Brahma dengan kekuatan supra-normalnya."


5. "Jika seseorang meninggal dunia dan kemudian terlahir di alam Brahma, sementara pada saat yang sama ada orang lain yang meninggal dunia dan kemudian terlahir di Kashmir, siapakah yang akan sampai terlebih dahulu?"
"Berapa jauhkah kota kelahiran baginda dari sini?"
"200 league."
"Dan berapa jauhkah Kashmir?"
"12 league."
"Yang manakah di antaranya yang lebih cepat baginda ingat?"
"Keduanya sama, Yang Mulia."
"Demikian juga, O baginda, orang-orang yang meninggal pada saat yang sama itu akan terlahir pada saat yang sama pula."


6. "Ada berapakah faktor Pencerahan Spiritual itu?"
"Tujuh, O baginda."
"Berapa banyak faktor yang membuat orang terbangkitkan kesadarannya akan kebenaran?"
"Satu, yaitu penyelidikan akan kebenaran, karena tidak ada apa pun yang dapat dimengerti tanpa adanya hal itu."
"Kalau demikian mengapa dikatakan ada tujuh?"
"Dapatkah pedang baginda yang ada di dalam sarungnya memotong apa pun jika tidak digenggam oleh tangan?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Demikian juga, O baginda, tanpa ada faktor-faktor Pencerahan lainnya, penyelidikan akan kebenaran tidak dapat membangkitkan kesadaran akan kebenaran."


7. "Manakah yang lebih hebat, perbuatan bajik ataukah perbuatan tercela?"
"Perbuatan bajik, O baginda. Bila seseorang melakukan kesalahan namun kemudian merasa menyesal dan menyadari kesalahannya, maka perbuatan tercelanya tidak akan bertambah. Tetapi seseorang yang melakukan perbuatan bajik tidak akan merasakan penyesalan; maka timbullah kegembiraan serta suka cita. Karena gembira dia akan merasa tenang, karena tenang dia akan merasa puas, karena puas lalu pikirannya mudah terkonsentrasi, karena terkonsentrasi dia dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Dengan demikian jasa kebajikannya akan bertambah. Jadi perbuatan bajik selalu lebih hebat. Secara relatif, perbuatan tercela tidak bermakna."


8. "Mana yang lebih jelek, perbuatan tercela yang disadari ataukah yang tidak disadari?"
"Perbuatan tercela yang tidak disadari, baginda."2
"Kalau begitu, orang-orang yang melakukan perbuatan tercela tanpa menyadarinya harus dihukum dua kali lebih berat."
"Bagaimana menurut baginda, apakah seseorang akan terbakar lebih parah jika dia menggenggam besi yang merah membara tanpa mengetahui bahwa itu panas, dibandingkan dengan orang yang mengetahuinya?"
"Dia akan terbakar lebih parah jika tidak mengetahui bahwa besi itu panas."
"Demikian juga, O baginda, sama seperti orang yang melakukan perbuatan tercela tanpa menyadarinya."


9. "Apakah ada orang yang secara fisik dapat pergi ke alam Brahma?"
"Ada, baginda. Semudah kita melompati jarak yang pendek dengan tekad di pikiran, 'Saya akan mendarat di sana,' demikian juga seseorang yang telah mengembangkan jhana dapat pergi ke alam Brahma."


10. "Adakah tulang yang panjangnya 100 league?"
"Ya, ikan di samudera yang panjangnya 500 league (kira-kira 3500 mil!) memiliki tulang sepanjang itu." 3


11. "Apakah mungkin pernafasan ditekan?"
"Ya. Sama mungkinnya seperti menghentikan dengkur orang yang pikirannya belum berkembang dengan cara menekuk tubuhnya, demikian pula orang yang pikirannya sudah berkembang baik mungkin saja menekan pernafasannya."


12. "Mengapa samudera dinamakan demikian?"
"Karena ia adalah campuran yang merata dari air dan garam." (Sama = rata, Udda = air, Samudda = samudera).


13. "Mengapa seluruh samudera itu hanya mempunyai satu cita rasa?"
"Karena samudera telah ada sejak amat sangat lama."4


14. "Apakah mungkin untuk memisah-misahkan hal yang sudah sangat halus?"
"Ya, O baginda. Kebijaksanaan mampu memisah-misahkan semua hal yang halus."
"Apa yang dimaksud dengan semua yang halus?"
"Dhamma5 adalah semua yang halus. Tetapi tidak semua dhamma itu halus, beberapa di antaranya kasar. Namun halus dan kasar itu hanyalah konsep. Apa pun yang masih dapat dibagi pasti dapat dipisah-pisahkan oleh kebijaksanaan. Namun tidak ada yang dapat memisah-misahkan kebijaksanaan."


15. Ketiga hal ini, Nagasena, yaitu kesadaran (viññana), kebijaksanaan (pañña) dan jiwa (bhutasmim jivo), apakah berbeda pada intinya atau hanya berbeda sebutannya?"
"Mengetahui, O baginda, merupakan ciri kesadaran sedangkan membeda-bedakan6 merupakan ciri kebijaksanaan. Jiwa tidak dapat ditemukan."


16. Bhikkhu Nagasena berkata, "Sesuatu yang sulit telah dilakukan oleh Sang Buddha; membeda-bedakan semua kondisi mental yang bergantung pada organ indera menunjukkan bahwa ini dan itu adalah kontak, ini adalah perasaan, ini adalah pencerapan, ini adalah niat dan ini adalah pikiran (citta)."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seandainya saja seseorang meraup air dari laut setelah mencicipinya dapat mengatakan, 'Air ini dari Sungai Gangga, yang ini dari Jumna, yang ini dari Gandak, ini dari Sarabhu, dan ini dari Mahi.' Lebih sulit daripada hal itu adalah membedakan semua keadaan mental yang menyertai setiap indera."


17. Karena telah tengah malam, raja memberikan persembahan kepada Nagasena dan kemudian berkata "Bagaikan seekor singa di kandang emas yang merindukan hanya kebebasan, demikian pula aku merindukan kehidupan sebagai bhikkhu. Tetapi aku tidak akan hidup lama, karena banyak musuhku."
Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Raja Milinda, Nagasena kemudian bangkit dari tempat duduknya dan kembali menuju petapaannya. Tidak lama setelah Nagasena pergi, Raja Milinda merenungkan kembali pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban itu dan menyimpulkan, "Semuanya telah aku tanyakan dengan benar dan semuanya telah dijawab dengan baik oleh Nagasena." Di petapaannya, Nagasena pun merenungkan dan menyimpulkan hal yang sama.

Catatan:
  1. Menurut Rhys Davids dan IB. Horner ada enam belas tetapi edisi Teks Burma menyebut 'sattarasa' (17) sehingga di sini dicantumkan 17 cara.
  2. Semua perbuatan salah berakar dari kebodohan batin dan ketidaktahuan. Maka orang yang melakukan perbuatan salah dengan sadar akan merasa menyesal dan dapat memperbaiki dirinya secara lebih cepat dibandingkan dengan orang yang tidak tahu. (Komentar penerjemah)
  3. Yang tidak tertangkap! Bandingkan dengan A. iv. 200.
  4. Bandingkan: sebagaimana samudera memiliki satu cita rasa, yaitu cita rasa asin; demikian pula Dhamma memiliki satu cita rasa yaitu cita rasa kebebasan [dari penderitaan].
  5. Dhamma di sini merupakan istilah teknis yang berarti fenomena atau keadaan. Di tempat lain Dhamma juga dapat berarti kebenaran, hukum, ajaran.
  6. Termasuk juga 'memotong' dan 'menerangi' seperti yang telah diberikan di atas.

[Kembali]

BAB DELAPAN
PEMECAHAN DILEMA

Setelah merenungkan semalaman mengenai diskusinya dengan Nagasena, sang raja membuat delapan sumpah untuk dirinya sendiri: "Selama tujuh hari mendatang ini aku tidak akan memutuskan masalah hukum apa pun juga, aku tidak akan memelihara pikiran yang berisi nafsu keinginan, pikiran yang berisi kebencian atau pikiran yang berisi pandangan keliru. Terhadap semua pelayan dan mereka yang bergantung padaku aku akan bersikap rendah hati. Aku akan memperhatikan dengan seksama setiap perilaku tubuh serta enam inderaku. Aku akan mengisi pikiranku dengan cinta kasih bagi semua makhluk."
Kemudian Raja Milinda bermaksud berbicara kepada Nagasena seorang diri. Raja mengatakan, "Ada delapan tempat yang harus dihindari oleh orang yang ingin berdiskusi secara mendalam:
  1. landasan pikiran yang tidak mantap di mana masalah yang didiskusikan menjadi tercerai-berai, bertele-tele, kabur dan tidak ada hasilnya;
  2. tempat yang tidak aman di mana pikiran menjadi terganggu oleh rasa takut sehingga tidak dapat mencerap maknanya dengan jelas;
  3. tempat yang berangin di mana suara menjadi tidak jelas;
  4. tempat terpencil yang mungkin ada orang yang mencuri dengar;
  5. tempat yang sakral di mana pokok pembicaraan mungkin menjadi terbelok ke situasi sekitarnya yang khidmat;
  6. jalanan di mana pembicaraan mungkin menjadi dangkal;
  7. jembatan di mana pikiran mungkin menjadi tidak stabil dan goyah; dan
  8. tempat mandi umum di mana pembicaraan akan menjadi omongan sehari-hari.
"Juga ada delapan jenis orang, Nagasena, yang cenderung merusak suatu diskusi:
  1. orang yang penuh nafsu,
  2. orang yang pemarah,
  3. orang yang diselimuti pandangan salah,
  4. orang yang sombong,
  5. orang yang iri hati,
  6. orang yang malas,
  7. orang yang hanya punya satu ide (fanatik buta), dan
  8. orang tolol yang patut dikasihani.
Delapan jenis ini adalah perusak perdebatan tingkat tinggi.
"Ada delapan penyebab, Nagasena, yang menyebabkan berkembang dan matangnya kebijaksanaan:
  1. berlalunya waktu,
  2. bertumbuhnya reputasi,
  3. seringnya bertanya,
  4. berhubungan dengan pembimbing spiritual,
  5. penalaran di dalam diri sendiri,
  6. diskusi,
  7. berhubungan dengan orang-orang yang berbudi luhur, dan
  8. berdiam di tempat yang sesuai.
Tidak ada keberatan tentang tempat di sini ini, jadi kita dapat berdiskusi. Aku adalah murid teladan, aku dapat memegang rahasia dan pandangan terangku telah masak.
"Inilah, Nagasena, dua puluh lima tugas seorang guru terhadap muridnya yang baik:
  1. Guru harus selalu melindungi muridnya,
  2. memberitahukan apa yang harus dikembangkan,
  3. memberitahukan apa yang harus dihindari,
  4. memberitahukan apa yang harus ditekuni,
  5. memberitahukan apa yang harus diabaikan.
  6. Guru harus mengajar pentingnya tidur;
  7. mengajar agar muridnya menjaga kesehatan,
  8. mengajar tentang makanan apa yang harus dimakan atau dihindari,
  9. mengajar agar tidak makan berlebihan,
  10. membagi apa yang diperoleh di dalam mangkuknya.
  11. Guru harus membesarkan hati muridnya yang lemah semangat, dan
  12. menasihatinya tentang teman yang cocok,
  13. menasihatinya tentang desa dan vihara mana yang patut dikunjungi.
  14. Guru tidak boleh terseret di dalam canda atau percakapan tolol yang tak keruan dengan muridnya.
  15. Bila guru melihat kelemahan muridnya, dia harus sabar terhadapnya.
  16. Guru harus rajin,
  17. harus hidup sesuai dengan moralitas,
  18. harus patut dihormati, dan
  19. harus berhati lapang.
  20. Guru harus memperlakukan muridnya bagaikan anak kandungnya,
  21. berjuang untuk membuatnya maju,
  22. menguatkannya dalam pengetahuan,
  23. mencintainya dan tidak pernah meninggalkannya saat dibutuhkan,
  24. tidak pernah melalaikan tugas apa pun, dan
  25. membawa muridnya kembali ke jalan yang benar bila dia khilaf."
"O, baginda, untuk murid awam, ada sepuluh sifat ini:
  1. Dia harus berbagi suka dan duka Sangha,
  2. memegang Dhamma sebagai pembimbingnya,
  3. bersukacita di dalam memberi sejauh dia mampu, dan
  4. harus berjuang untuk mengembangkan agamanya jika mulai pudar.
  5. Dia memiliki pandangan benar, dan
  6. setelah terbebas dari kesenangan merayakan pesta,1 dia tidak mengejar guru yang lain sekalipun demi kehidupannya.
  7. Dia terus mengamati pikiran, perkataan dan perbuatannya,
  8. Dia bersukacita di dalam keselarasan, dan
  9. tidak penuh prasangka.
  10. Karena tidak munafik, dia berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
"Semua sifat ini ada di dalam diri baginda. Karena itu, pantas dan sesuailah jika baginda menginginkan agama tumbuh subur setelah melihat kemunduran agama Sang Penakluk ini. Saya izinkan baginda bertanya sesuka Anda."

1. Tentang Penghormatan kepada Sang Buddha

"Yang Mulia Nagasena, para pemimpin sekte lain berkata, 'Jika Sang Buddha setuju akan penghormatan dan persembahan, itu berarti Beliau tidak sepenuhnya terbebas dari dunia. Oleh karenanya, semua pelayanan yang dipersembahkan kepada Beliau menjadi kosong dan tidak ada artinya.' Uraikanlah kekusutan pandangan yang salah ini, pecahkanlah dilema ini, dan berilah pandangan terang bagi siswa Sang Buddha yang akan datang agar dapat membuktikan bahwa lawannya itu berpandangan salah."
"Sang Buddha, O baginda, telah sepenuhnya terbebas dan tidak lagi memiliki kemelekatan, baik pada persembahan maupun pada penghormatan yang diberikan kepada Beliau."
"Nagasena, seorang anak boleh memuji ayahnya, atau seorang ayah boleh memuji anaknya. Tetapi itu bukan dasar yang cukup kuat untuk membungkam orang-orang yang mengkritiknya."
"Sang Buddha sekarang telah mangkat dan tidak dapat dikatakan telah menerima penghormatan dan persembahan yang diberikan kepada Beliau. Akan tetapi, perbuatan baik yang dilakukan di dalam nama Sang Buddha masih berharga dan membuahkan hasil yang besar. Bagaikan angin topan yang dahsyat dan kuat bertiup, begitu juga Sang Buddha telah menyapu dunia dengan cinta kasihnya yang amat melegakan, amat lembut dan amat murni. Bagaikan orang yang tersiksa oleh panas dibuai oleh angin yang sejuk, demikian pula makhluk yang tersiksa oleh panasnya nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan batin telah ditenteramkan oleh ajaran Sang Buddha yang mulia. O baginda yang mulia, meskipun Sang Buddha telah mahaparinibbana, Beliau telah meninggalkan ajaran-Nya, siswa-Nya, dan relik-Nya yang berharga, yang nilainya berasal dari kebajikan luhur, konsentrasi, kebijaksanaan dan kebebasan Beliau. Makhluk yang masih terkena penderitaan karena dumadi pun dapat memperoleh manfaat dari hal-hal ini, seperti halnya orang yang mempunyai kipas masih dapat menikmati angin sepoi meskipun angin tidak lagi bertiup. Dan hal ini telah dilihat sebelumnya oleh Sang Buddha ketika Beliau berkata, 'Mungkin Ananda, beberapa dari kalian akan berpikir, 'Ajaran dari Sang Guru telah berakhir; kita tidak lagi mempunyai guru', tetapi janganlah kalian beranggapan demikian. Dhamma yang telah dibabarkan oleh-Ku dan aturan-aturan yang telah Kugariskan, biarlah mereka menjadi Guru kalian setelah Aku pergi.'2"Dan dengarlah alasan lainnya, O baginda. Apakah baginda pernah mendengar tentang seorang raksasa bernama Nandaka yang berani memukul Bhante Sariputta, dan kemudian tertelan bumi?"
"Ya, Yang Mulia, itu telah menjadi pengetahuan umum."
"Tetapi apakah Bhante Sariputta yang menyebabkannya?"
"Bhante Sariputta tidak akan pernah menyetujui penderitaan apa pun dikenakan pada makhluk hidup, karena beliau telah mencabut semua akar kemarahan."
"Tetapi jika Sariputta tidak menyetujuinya, mengapa Nandaka ditelan bumi?"
"Itu karena kekuatan perbuatan jahatnya."
"Berapa banyak, O baginda, orang yang ditelan bumi?"
"Ada lima, Yang Mulia. Ciñca wanita Brahmana,3 Suppabuddha orang Sakya,4 Devadatta,5 Nandaka sang raksasa,6 dan Nanda si Brahmana.7 Mereka itu semua ditelan bumi."
"Dan, kepada siapakah, O baginda, mereka telah berbuat salah?"
"Sang Buddha atau siswa-siswa Beliau."
"Oleh karena itu, O baginda, suatu tindakan yang ditujukan kepada Sang Tathagata, meskipun Beliau telah meninggal dunia, tetap ada nilainya dan menghasilkan buah."
"Dengan baik pertanyaan yang dalam ini telah dijawab olehmu, Nagasena. Anda telah mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi. Anda telah menguraikan kekusutannya, menebas belukar, meluruskan pandangan yang salah. Anda telah membuat orang-orang yang picik menjadi kebingungan di dalam kegelapan. Anda memang pemimpin terbesar dari segenap pemimpin aliran."


2. Kemahatahuan Sang Buddha

"Nagasena, apakah Sang Buddha mahatahu?"
"O ya, baginda, tetapi pandangan terang untuk pengetahuan tidak selalu ada bersama Beliau. Itu tergantung pada perenungan."
"Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha tidak mungkin mahatahu kalau pengetahuannya diperoleh dari perenungan."
"Saya akan menjelaskan lebih lanjut. Ada tujuh tingkat kekuatan mental. Yang pertama, orang biasa yang penuh dengan nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan batin; mereka tidak terlatih di dalam tindakan, ucapan, dan pikiran; pemikiran mereka berjalan dengan lambat dan sulit.
"Yang kedua, Pemasuk-Arus,8 yang telah mencapai pandangan benar, dan telah mengerti ajaran Sang Guru dengan benar. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan berfungsi dengan mudah, sejauh masih berhubungan dengan tiga belenggu8 yang pertama. Tetapi di luar itu, kekuatan pemikiran mereka berfungsi dengan lambat dan sulit.
"Yang ketiga, Yang-Kembali-Sekali-Lagi.8 Di dalam diri mereka, nafsu dan niat jahat telah melemah. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat dan baik, sejauh masih berhubungan dengan lima belenggu bagian bawah. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.
"Yang keempat, Yang-Tidak-Kembali-Lagi.8 Pada mereka, nafsu dan niat jahat telah lenyap. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat dan baik sejauh masih berhubungan dengan sepuluh belenggu. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.
"Kelima, Arahat.8 Pada mereka, banjir hawa nafsu indera, keinginan untuk kelahiran kembali, kepercayaan adanya diri, dan kebodohan batin telah lenyap. Mereka telah menempuh kehidupan suci dan mencapai tujuan akhir. Kekuatan pemikiran mereka bekerja dengan cepat, sejauh masih dalam lingkup yang dapat dilakukan siswa. Tetapi di luar itu sulit dan lambat.9
"Keenam, Buddha Menyendiri (Pacceka Buddha),8 yang bergantung pada diri mereka sendiri saja dan tidak memerlukan guru. Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat, sejauh masih berhubungan dengan lingkup mereka sendiri. Tetapi di dalam lingkup yang khusus bagi Yang Mencapai Pencerahan Sempurna, pemikiran mereka lambat dan sulit. Seperti halnya seseorang yang tak akan ragu menyeberangi sungai kecil di tanahnya sendiri namun akan ragu menyeberangi samudera luas.
"Dan yang terakhir, Buddha yang Mencapai Pencerahan Sempurna. Mereka memiliki segala pengetahuan, memiliki sepuluh kekuatan,8 empat macam ketidaktakutan,9 dan delapan belas ciri seorang Buddha.9 Kekuatan pemikiran mereka bekerja cepat tanpa ada hambatan di dalam pengetahuan apa pun. Seperti halnya sebatang anak panah tajam yang dibidikkan dari busur yang kuat akan dengan mudah menembus kain yang tipis, demikian pula pengetahuan mereka tidak ada batasnya dan jauh melebihi enam tingkat lainnya. Karena pikiran mereka sangat jernih dan cerdas, maka para Buddha itu dapat melakukan Mukjizat Kembar.10 Dari situ kita hanya dapat membayangkan betapa jernih dan aktifnya kekuatan mereka. Dan melihat semua keajaiban ini, tidak ada alasan lain yang dapat dikemukakan, kecuali karena perenungan."
"Meskipun demikian, Nagasena, perenungan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu hal yang masih belum jelas sebelum perenungan dimulai."
"Seorang yang kaya tidak akan disebut miskin hanya karena tidak ada makanan yang tersedia pada saat seorang kelana tanpa disangka-sangka datang ke rumahnya; tidak juga sebuah pohon yang penuh buah dikatakan mandul hanya karena tak ada buah yang jatuh di tanah. Demikian juga Sang Buddha benar-benar mahatahu meskipun pengetahuannya diperoleh dari perenungan."


3. Pentahbisan Devadatta

"Jika Sang Buddha itu benar-benar mahatahu dan sekaligus penuh dengan welas asih, mengapa Beliau mengizinkan Devadatta masuk Sangha? Karena dengan menyebabkan perpecahan Sangha11 [yang hanya dapat dilakukan oleh bhikkhu] Devadatta akhirnya masuk ke neraka selama kalpa itu.12 Jika Sang Buddha tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Devadatta di kemudian hari, berarti Beliau tidak mahatahu. Sebaliknya, jika Beliau tahu, berarti tidak penuh welas asih."
"Sang Buddha benar-benar mahatahu dan sekaligus welas asih. Justru karena Beliau telah melihat terlebih dahulu bahwa penderitaan Devadatta akan jadi terbatas, maka Beliau mengizinkannya masuk Sangha. Seperti halnya seorang penguasa -yang mempunyai wewenang untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman potong tangan dan kaki- tidak bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan yang tetap harus dirasakan tawanan itu. Atau seperti halnya seorang tabib yang pintar dapat mengurangi penyakit yang kritis menjadi lebih ringan dengan memberikan obat yang keras. Demikian juga Sang Buddha mengurangi penderitaan yang akan datang bagi Devadatta dengan mengizinkannya masuk Sangha. Setelah menjalani pederitaan di neraka selama kalpa itu, Devadata kemudian akan bebas dan menjadi Pacceka Buddha yang bernama Atthissara."
"Sungguh besar anugerah yang diberikan kepada Devadatta oleh Sang Buddha, Nagasena. Sang Tathagata menunjukkan jalan baginya ketika tersesat di rimba belantara. Beliau memberikan tumpuan pijakan yang kokoh ketika Devadatta terjatuh ke jurang. Tetapi alasan dan maksud dari semuanya itu hanya dapat ditunjukkan oleh orang sebijaksana Anda!"


4. Penyebab-penyebab Gempa Bumi

"Sang Buddha berkata, Nagasena, bahwa ada delapan penyebab gempa yang hebat.13 Tetapi kita dapatkan ada sembilan yang disebutkan di dalam teks. Ketika Bodhisatta Vessantara memenuhi kesempurnaan kemurahan hatinya dengan memberikan istri dan anaknya sebagai pelayan, pada saat itu bumi juga bergoncang. Bila pernyataan pertama Sang Buddha itu benar, berarti yang kedua itu salah."
"Kedua pernyataan itu benar, O baginda. Persembahan Vessantara itu tidak disebutkan sebagai penyebab gempa hebat ke sembilan, karena hal itu merupakan suatu kejadian yang amat sangat langka. Seperti halnya sebuah anak sungai kering yang biasanya tidak berair tidak akan disebut sungai, tetapi pada saat-saat hujan yang tak terduga ia menjadi sungai, demikian juga kebesaran hati Vessantara adalah sesuatu yang khas dan luar biasa, dan karenanya dibedakan dari delapan penyebab umum gempa hebat."
"Pernahkah baginda mendengar di dalam sejarah agama kita, tentang suatu tindakan pengabdian yang berbuah pada kehidupan sekarang ini juga?"
"Ya, Yang Mulia Nagasena, ada tujuh macam kasus semacam itu: Sumana, si pembuat karangan bunga,14 Ekasataka sang Brahmana,15 dan Punna si pekerja ladang,16 Mallika sang ratu,17 ratu yang dikenal sebagai ibu dari Gopala,18 Suppiya wanita yang penuh pengabdian,19 dan Punna si budak wanita." 20
"Tetapi sudah pernahkah baginda mendengar bahwa tanah ini bergetar sekali atau dua kali ketika suatu persembahan diberikan?"
"Belum, Yang Mulia, aku belum pernah mendengar hal seperti itu."
"Demikian juga saya, O baginda, meskipun saya telah dengan sungguh-sungguh belajar dan siap untuk belajar, kecuali pada saat persembahan luar biasa yang dilakukan oleh Vessantara. Bukan hanya karena usaha yang biasa saja bumi besar ini dapat bergetar, O baginda. Hanya ketika bumi terbebani oleh kekuatan kebajikan, tidak kuat menahan kekuatan tindakan-tindakan bajik yang terbukti sepenuhnya murni, maka barulah bumi yang luas ini bergoncang dan bergetar, karena tak sanggup menahan beban kekuatan itu. Dan ketika Vessantara memberikan persembahannya, O baginda, dia memberikan segala sesuatunya bukan demi tumimbal lahir yang mulia, bukan demi kekayaan di masa mendatang, bukan demi mengharap imbalan hadiah, dan bukan demi pujian atau keuntungan pribadi lainnya. Hanya demi kebijaksanaan tertinggi maka dia memberikan semuanya itu."


5. Pernyataan Kebenaran

"Raja Sivi memberikan matanya kepada seorang yang memintanya dan kemudian dia mempunyai mata baru yang muncul sebagai gantinya.21 Bagaimana hal ini mungkin?"
"Karena kekuatan kebenaranlah hal itu terjadi. Seperti halnya ahli kebatinan yang mengucapkan kebenaran dapat membuat hujan turun, mengusir api atau menetralkan racun.
"Ketika Asoka, penguasa yang luhur itu suatu hari berdiri di antara penduduk kota Pataliputta, beliau berkata kepada menterinya: 'Adakah orang yang dapat membuat sungai Gangga ini mengalir balik arah dan melawan arus?' Kemudian seorang pelacur yang bernama Bindumati, yang ada di antara kerumunan itu, mempertunjukkan suatu tindakan kebenaran. Pada saat itu juga sungai Gangga yang besar itu bergemuruh dan bergelombang, membalik arah di depan mata semua orang. Lalu Sang Raja yang terperangah mencari wanita yang menyebabkan hal itu terjadi dan bertanya kepadanya 'Tindakan kebenaran apa yang telah kau lakukan untuk dapat melakukan hal ini?' Wanita itu menjawab, 'Siapa pun yang membayar saya, tak peduli apakah dia seorang brahmana, ningrat, pedagang atau pelayan, saya perlakukan mereka semua sama sederajat. Bebas dari kecenderungan saya melayani mereka yang sudah membayar saya. Inilah dasar dari tindakan kebenaran22 yang saya lakukan untuk dapat membalik aliran sungai Gangga.'
"Tidak ada kekuatan biasa yang dapat menyebabkan hal-hal semacam itu terjadi. Kekuatan kebenaran itu sendirilah yang merupakan penyebabnya. Dan tidak ada alasan untuk merealisasikan Empat Kesunyataan Mulia selain dari kekuatan kebenaran itu sendiri."


6. Dilema Seputar Kehamilan
23

"Sang Buddha berkata bahwa kehamilan terjadi di rahim dengan adanya tiga penyebab: persetubuhan yang dilakukan orang tua, kesuburan sang ibu, dan seorang makhluk untuk dilahirkan.24 Tetapi Beliau juga berkata bahwa ketika petapa Dukala menyentuh pusar seorang wanita petapa yang bernama Parika dengan ibu jarinya, bayi Sama terkandung.25 Jika pernyataan yang pertama benar, maka pernyataan yang kedua pasti salah."
"Kedua pernyataan itu benar, O baginda, tetapi baginda jangan berpikir bahwa ada pelanggaran di dalam kasus kedua. Sakka, raja para dewa, setelah melihat terlebih dahulu bahwa para petapa yang luhur tersebut akan menjadi buta, meminta mereka untuk mempunyai anak lelaki. Tetapi kedua petapa itu tidak mau melakukan hubungan seksual sekalipun untuk menyelamatkan jiwa mereka sendiri. Maka Sakka turut campur dengan menyuruh Dukala. Demikianlah Sama terkandung."


7. Umur Agama

"Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha berkata bahwa ajaran yang murni itu hanya akan bertahan selama lima ratus tahun.26 Tetapi kepada Subaddha Beliau berkata,
'Selama para bhikkhu Sangha masih menjalani kehidupan suci yang sempurna maka dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.' Pernyataan-pernyataan ini bertentangan."
"O, baginda, Sang Buddha memang membuat kedua pernyataan itu, tetapi keduanya berbeda di dalam inti dan arti. Yang satu berhubungan dengan umur ajaran yang murni, sedangkan satunya lagi berhubungan dengan praktek dari kehidupan agama. Dan dua hal ini jelas sangat berbeda. Pada saat berkata tentang lima ratus tahun itu Beliau memberikan batasan kepada agama. Akan tetapi ketika berbicara kepada Subaddha Beliau menyatakan tentang apa yang terkandung di dalam agama. Jika murid-murid Sang Buddha terus berusaha sekuat-kuatnya di dalam lima faktor perjuangan,27 mempunyai keinginan murni untuk tiga latihan,28 menyempurnakan diri mereka di dalam tindakan dan nilai-nilai yang luhur; maka Ajaran Sang Penakluk yang mulia itu akan bertahan lama dan akan semakin kuat dan kokoh dengan berjalannya waktu. Ajaran Sang Buddha, O, baginda, berakar pada praktek. Prakteklah intinya, dan ajaran akan tetap bertahan selama praktek tidak kendur.
Suatu ajaran tetap bisa lenyap karena tiga hal:

  1. mundurnya pencapaian pandangan terang menjadi hanya sekadar pemahaman intelektual,
  2. mundurnya praktek perilaku yang berhubungan dengan ajaran itu, dan
  3. mundurnya bentuk luar ajaran itu.
Bila pemahaman intelektual hilang, maka meskipun orang itu telah menjalani hidup dengan benar, dia tidak mempunyai pengertian yang jelas tentang ajaran itu. Dengan mundurnya praktek perilaku, penerapan aturan Vinaya akan hilang dan hanya bentuk luar agama itu saja yang tertinggal. Bila bentuk luar itu lenyap maka tradisi itu terputus dan tidak akan dapat berlanjut.

8. Kemurnian Sang Buddha

"Jika Sang Tathagata telah menghancurkan semua yang tidak baik di dalam diri-Nya saat mencapai kemahatahuan, mengapa Beliau terluka oleh pecahan batu yang dilemparkan oleh Devadatta? Jika Beliau dapat terluka, maka Beliau tidak dapat dikatakan telah terbebas dari segala kejahatan, karena tidak akan ada perasaan tanpa adanya karma. Semua perasaan berakar pada karma dan hanya dengan pengaruh karmalah perasaan timbul."
"Tidak, baginda, tidak semua perasaan mempunyai akar pada karma. Ada delapan penyebab timbulnya perasaan:

  1. angin yang berlebihan;
  2. cairan empedu yang berlebihan;
  3. lendir yang berlebihan;
  4. campuran dari tiga cairan tubuh;
  5. variasi temperatur;
  6. stress lingkungan;
  7. pengaruh luar;
  8. karma.
Siapa pun yang berkata, 'Hanya karma yang mengatur makhluk', berarti dia tidak mengikutsertakan tujuh penyebab lainnya. Dan pernyataannya itu salah.
"Bila unsur angin di dalam diri seseorang terganggu, gangguan itu dapat terjadi karena salah satu dari sepuluh penyebab:

  1. karena dingin;
  2. karena panas;
  3. karena lapar;
  4. karena hawa;
  5. karena terlalu banyak makan;
  6. karena berdiri terlalu lama;
  7. karena pengerahan tenaga yang berlebihan;
  8. karena berlari;
  9. karena pengobatan medis; atau
  10. karena akibat dari karma.
Empedu dapat terganggu karena tiga hal: karena dingin; karena panas; atau karena makanan yang tidak tepat. Lendir dapat terganggu karena tiga hal: karena dingin; karena panas; atau karena makan dan minum. Bila ketiga cairan yang terganggu itu bercampur, terjadi rasa sakit tersendiri. Kemudian ada rasa sakit yang timbul dari variasi temperatur, stress lingkungan, dan pengaruh-pengaruh luar. Dan ada juga rasa sakit yang disebabkan oleh karma.
Jadi rasa sakit yang disebabkan oleh karma jauh lebih sedikit dibandingkan dengan rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyebab-penyebab lainnya. Orang yang salah pandangan sudah keterlaluan bila mengatakan bahwa segala sesuatu yang dialami itu terjadi sebagai buah dari karma. Tanpa pandangan terang dari seorang Buddha, tidak ada yang dapat menentukan jangkauan dari jalannya karma. Dan ketika kaki Sang Buddha terluka oleh pecahan batu, rasa sakitnya berasal dari pengaruh luar. Tetapi meskipun Sang Buddha tidak pernah menderita rasa sakit yang disebabkan oleh karma Beliau sendiri, atau karena stress lingkungan, Beliau tetap menderita rasa sakit yang disebabkan oleh salah satu dari enam penyebab rasa sakit yang lain.29 Dan, O baginda, seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha, "Sivaka, ada beberapa rasa sakit yang timbul di dunia ini, karena humor yang menyakitkan. Dan engkau harus tahu apa humor itu karena hal itu hanya merupakan pengetahuan biasa saja. Para petapa dan Brahmana yang berpendapat dan menyatakan pandangan bahwa semua perasaan yang dialami itu disebabkan oleh tindakan yang lalu, mereka sudah melewati batas kepastian dan pengetahuan, dan karenanya Aku katakan bahwa mereka salah."30


9. Kesempurnaan Sang Buddha

"Jika Sang Tathagata telah mencapai segalanya di bawah pohon bodhi, mengapa Beliau menghabiskan waktu tiga bulan lagi di dalam kesendirian?"31
"O, baginda, meditasi kesendirian mempunyai banyak manfaat. Semua Tathagata mencapai kebuddhaan lewat cara itu dan kemudian mengajarkan hal itu demi manfaat umat manusia. Ada dua puluh delapan manfaat praktek kesendirian:32

  1. meditasi itu melindungi seseorang;
  2. memperpanjang usia kehidupannya;
  3. memberikan semangat;
  4. mengikis kelemahannya;
  5. menghilangkan segala reputasi yang buruk, dan
  6. membawa kemasyhuran;
  7. menghancurkan ketidakpuasan, dan
  8. menumbuhkan kepuasan;
  9. menghapuskan ketakutan, dan
  10. memberikan keyakinan;
  11. menghilangkan kemalasan, dan
  12. memenuhinya dengan semangat;
  13. mengusir nafsu,
  14. mengusir niat jahat, dan
  15. mengusir pandangan salah;
  16. melemahkan kesombongan;
  17. menghalau keraguan, dan
  18. membuat pikiran terpusat;
  19. melembutkan pikiran, dan
  20. membuatnya ringan hati;
  21. membuatnya serius;
  22. membawa banyak keuntungan;
  23. membuatnya patut dihormati;
  24. memberikan sukacita;
  25. mengisinya dengan kegembiraan;
  26. menunjukkan kepadanya sifat sejati semua bentukan;
  27. mengakhiri kelahiran kembali; dan
  28. memberikan kepadanya semua buah dari kehidupan meninggalkan duniawi.
Karena Sang Tathagata mengetahui berbagai keuntungan ini maka Beliau menjalankan praktek kesendirian.
"Dan seluruhnya ada empat alasan mengapa Para Tathagata membaktikan diri pada praktek kesendirian:

  1. agar dapat berdiam di dalam ketenangan;
  2. karena sifat kesendirian yang sama sekali tak tercela;
  3. karena kesendirian merupakan jalan bagi semua yang luhur tanpa kecuali; dan
  4. karena hal itu dipuji dan dimuliakan oleh semua Buddha.
Bukan karena masih ada yang harus dicapai oleh Para Buddha itu, dan bukan pula karena masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan pada apa yang telah Mereka capai, melainkan hanya karena manfaat-manfaat yang luar biasa itulah maka Para Buddha mempraktekkan kesendirian."

10. Keseimbangan Sang Buddha

"Sang Buddha berkata bahwa jika diinginkan, Beliau dapat hidup sampai kalpa33 itu habis. Tetapi Beliau juga mengatakan akan meninggal tiga bulan kemudian.34 Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar semuanya?"
"Kalpa, O, baginda, dalam hal ini adalah jangka waktu lamanya kehidupan seseorang. Dan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha adalah untuk menunjukkan hebatnya kekuatan kesaktian. Sang Buddha sudah terbebas sepenuhnya dari keinginan akan bentuk kehidupan mendatang apa pun. Beliau bahkan mencelanya dan berkata, 'Aku tidak menemukan keindahan sama sekali di dalam bagian terkecil pun dari kehidupan mendatang, sama halnya bahwa bagian terkecil dari kotoran pun tetaplah berbau busuk.'35


Catatan:
  1. Bandingkan A. iii. 206. Salah satu dari 5 sifat yang membuat orang menjadi orang buangan. Dia tidak percaya pada ritual atau pertanda; namun dia percaya pada perbuatan. Maka dia merayakan pesta dengan cara menjalankan delapan sila, dan mempraktekkan meditasi.
  2. D. ii. 154.
  3. DhA. iii. 178, Komentar Dhp. syair 176. Dia dibujuk oleh musuh-musuh Sang Buddha untuk menuduh Beliau sebagai kekasihnya.
  4. DhA. iii. 44 dst., Komentar Dhp. syair 128. Dia adalah ayah dari Yasodhara dan Devadatta. Ketika mabuk, dia berdiri di tengah jalan dan menghalangi Sang Buddha.
  5. DhA. i.147 dst., Komentar Dhp. syair 17. Dia berusaha membunuh Sang Buddha.
  6. Vism. 380. Dia adalah yakkha yang memukul Sariputta di kepalanya.
  7. DhA. ii. 49, Komentar Dhp. 69. Dia adalah pemuda yang memperkosa biarawati Upalavanna yang cantik, yang sudah mencapai tingkat Arahat.
  8. Lihat Apendiks.
  9. Tidak ada yang kurang di dalam kebijaksanaan mereka, tetapi sehubungan dengan pengetahuan tentang kehidupan-kehidupan lampau atau pengetahuan tentang kemampuan spiritual makhluk, kebijaksanaan mereka kurang.
  10. Bukti kekuatan supra-normal yang hebat, di mana api dan air secara bersamaan mengucur keluar dari setiap sisi tubuhnya.
  11. Perpecahan terjadi ketika dua kelompok yang terdiri dari empat bhikkhu atau lebih, yang tinggal di daerah yang sama mengucapkan Patimokkha secara terpisah.
  12. Lihat catatan 33 di hal. 80
  13. D. ii. 107; A. iv. 312: Lihat Apendiks.
  14. DhA. ii. 40 dst, Dhp. syair 68.
  15. DhA. iii. 1, DhP. syair 116.
  16. DhA iii. 302 dst, Dhp. syair 223.
  17. Ja. iii. 405, Dhp. syair 177.
  18. AA. I. 207 dst.
  19. Vin. i. 217-8. Dia berjanji akan mempersembahkan kaldu daging untuk seorang bhikkhu, namun tidak mampu membelinya. Maka dia mengiris daging pahanya sendiri untuk dipersembahkan kepada bhikkhu itu. Ketika Sang Buddha menemuinya, secara ajaib luka tersebut langsung sembuh. Lihat juga hal. 159-160
  20. DhA. iii. 321, Dhp. syair 226.
  21. Ja. No. 499.
  22. Ada banyak contoh dalam Jataka, misalnya Ja. i. 214, 215. Kebenaran tidak perlu dinyatakan agar pantas dipuji. Bandingkan dengan Ja. iv. 31-33.
  23. Lihat Ja. No. 497, 523, 526; dan Vin. iii. 205 dst. Untuk contoh kehamilan tanpa hubungan seksual.
  24. M. i. 265, M. ii. 157.
  25. Ja. No. 540.
  26. Teks Srilanka mencantumkan 5000 tahun.
  27. Padhana - keyakinan, kesehatan, kejujuran, semangat dan kebijaksanaan.
  28. Sila, samadhi, pañña (Moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan).
  29. Ini adalah pokok kontroversi. Ada beberapa acuan tentang Sang Buddha yang mengalami akibat dari karma lampau yang dirangkum di Ap. i. 299 dst. (Komentar penerjemah)
  30. S. iv. 230 dst, Moliya Sivaka Sutta.
  31. Masa di antara Pencerahan Sempurna (Vesakha) dan Khotbah Pertama (Asalha) hanya ada 2 bulan, tetapi ada saat ketika Sang Buddha menghabiskan 3 bulan. Bandingkan dengan Komentar Dhp. syair 6.
  32. Lihat kutipan.
  33. D. ii. 103. -Kalpa biasanya mengacu pada satu periode evolusi atau disolusi dunia, tetapi di sini berarti jangka waktu rata-rata usia manusia yaitu sekitar 100 tahun pada zaman kehidupan Sang Buddha, yang sekarang hanya 75 tahun. Dikatakan bahwa setiap abad berkurang 1 tahun.
  34. D. ii. 119
  35. A. i. 34

[Kembali]

BAB SEMBILAN
11. Peraturan yang Minor dan Tidak Begitu Penting

"Telah dikatakan oleh Sang Buddha, 'O bhikkhu, dari pengetahuan yang lebih tinggilah aku mengajarkan Dhamma.'1 Tetapi Beliau juga berkata:
'Setelah aku tidak ada lagi, Ananda, bila diinginkan oleh Sangha, biarlah Sangha menghapus peraturan yang minor dan tidak begitu penting.'2 Apakah itu berarti bahwa peraturan-peraturan itu ditetapkan secara salah dan tanpa sebab yang tepat?"
"O baginda, ketika Sang Buddha berkata, 'Biarlah Sangha menghapus peraturan yang minor dan tidak begitu penting', itu dikatakan untuk menguji para bhikkhu. Seperti halnya seorang raja ketika akan mangkat akan menguji putra-putranya dengan berkata: 'Daerah-daerah di luar kerajaanku akan terancam bahaya keruntuhan setelah aku mangkat.' Nah, setelah ayahandanya mangkat, apakah para putra raja itu akan mau begitu saja kehilangan daerah-daerah di luar kerajaan?"
"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Para raja mempunyai keinginan menguasai. Karena nafsu akan kekuasaan, para pangeran mungkin justru akan memperluas daerah kekuasaannya dua kali lipat dari apa yang telah mereka miliki. Mereka tidak akan pernah mau begitu saja kehilangan apa yang telah mereka miliki."
"Begitu pula, baginda, karena semangat Dhamma, para siswa Sang Buddha mungkin akan mempertahankan bahkan lebih dari seratus lima puluh peraturan,3 tetapi mereka tidak akan pernah mau begitu saja kehilangan apa yang ditetapkan."
"Yang Mulia Nagasena, ketika Sang Buddha mengacu pada 'Peraturan yang Minor dan Tidak Begitu Penting' orang mungkin merasa ragu-ragu, yang mana peraturan dimaksud itu."
"Tindakan yang berkenaan dengan perbuatan-salah4 merupakan peraturan yang tidak begitu penting, dan ucapan-salah5 mengacu pada peraturan minor. Para sesepuh yang bertemu dalam Konsili Buddhis Pertama juga tidak satu pendapat mengenai hal ini."


12. Ajaran Rahasia

"Sang Buddha berkata kepada Ananda, 'Sehubungan dengan Dhamma, Sang Tathagata bukanlah seorang guru yang merahasiakan sesuatu di dalam genggamannya sendiri.'6 Tetapi ketika Beliau ditanya oleh Malunkyaputta, Beliau tidak menjawab.7 Apakah Beliau tidak menjawab karena ketidaktahuan, ataukah Beliau hendak menyembunyikan sesuatu?"
"O baginda, bukan karena ketidaktahuan dan juga bukan karena ingin menyembunyikan sesuatu maka Beliau tidak menjawab. Suatu pertanyaan dapat dijawab dengan satu dari empat cara:

  1. secara langsung,
  2. dengan analisa,
  3. dengan pertanyaan balik, dan
  4. dengan mengabaikannya.
"Pertanyaan macam apa yang harus dijawab secara langsung?
'Apakah materi itu kekal? Apakah perasaan tubuh itu kekal? Apakah pencerapan itu kekal?' Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab secara langsung.
"Dan apa yang harus dijawab dengan analisa?"
'Apakah yang tidak kekal itu materi?'
"Dan apa yang harus dijawab dengan pertanyaan balik?"
'Apakah mata dapat mencerap segala sesuatu?'
"Dan apa yang harus diabaikan?"
'Apakah dunia itu abadi? Apakah dunia itu tidak abadi? Apakah Sang Tathagata ada setelah kematian? Apakah Sang Tathagata tidak ada setelah kematian? Apakah jiwa sama dengan tubuh? Apakah tubuh itu satu hal dan jiwa itu hal lain?' Pada pertanyaan-pertanyaan demikianlah Sang Buddha tidak menjawab Malunkyaputta. Tidak ada alasan untuk menjawabnya. Para Buddha tidak berbicara tanpa alasan."


13. Rasa Takut terhadap Kematian

"Sang Buddha berkata, 'Semuanya gemetar akan hukuman, semuanya takut akan kematian.'8 Tetapi Beliau juga berkata, 'Arahat telah melewati semua rasa takut.'9 Jadi bagaimana? Apakah para Arahat juga gemetar karena ketakutan akan kematian? Apakah para makhluk di neraka takut akan kematian, padahal lewat kematian itu mereka mungkin akan terbebas dari siksaan?"
"O baginda, tidaklah termasuk para Arahat ketika Sang Buddha berkata,
'Semuanya gemetar akan hukuman, semuanya takut akan, kematian.' Seorang Arahat merupakan perkecualian dari pernyataan itu karena semua penyebab rasa takut telah dihilangkan olehnya. Misalnya saja, O baginda, seorang raja mempunyai empat menteri utama yang setia dan dapat dipercaya; apakah mereka akan merasa takut bila raja mengeluarkan perintah yang mengatakan, 'Semua orang daerahku harus membayar pajak'?"
'Tidak, Nagasena. Mereka tidak akan merasa takut karena pajak tidak berlaku untuk mereka. Mereka berada di luar perpajakan."
"Begitu juga, O baginda, pernyataan, 'Semuanya gemetar akan hukuman, semuanya takut akan kematian', tidak berlaku bagi para Arahat karena mereka berada di luar rasa takut akan kematian. Ada lima cara, O baginda, di mana arti suatu pernyataan harus ditegaskan:

  1. Membandingkannya dengan teks yang dikutip;
  2. Melalui 'selera', yaitu: apakah sesuai dengan teks-teks lain?;
  3. Apakah sesuai dengan ajaran para guru?;
  4. Setelah menimbang pendapatnya sendiri, yaitu apakah sesuai dengan pengalamanku sendiri?;
  5. Dengan gabungan semua cara itu."
"Baiklah, Nagasena, saya menerima bahwa para Arahat merupakan perkecualian bagi pernyataan itu, tetapi tentunya semua makhluk di neraka tak mungkin merasa takut akan kematian karena lewat kematian itu mereka akan terbebas dari siksaan."
"Mereka yang berada di neraka tetap merasa takut akan kematian, O baginda, karena kematian merupakan kondisi di mana mereka yang belum melihat Dhamma merasa takut. Seandainya, O baginda, seorang tawanan yang disekap di ruang bawah tanah harus menghadap raja yang sebenarnya berkehendak akan membebaskannya, apakah tawanan itu merasa takut menghadap raja?"
"Ya, dia akan merasa takut."
"Begitu juga, O baginda, semua makhluk di neraka merasa takut akan kematian walaupun mereka akan terbebas dari siksaan."


14. Perlindungan dari Kematian

"Dikatakan oleh Sang Buddha, 'Tidak di langit, tidak di tengah samudera, tidak di celah gunung yang paling terpencil, tidak di seluruh dunia yang luas ini dapat ditemukan tempat di mana orang dapat lolos dari jerat kematian."10 Tetapi sebaliknya, syair perlindungan (Paritta) diberikan oleh Sang Buddha untuk melindungi mereka yang berada di dalam bahaya. Jika tidak ada jalan untuk menghindari kematian maka upacara Paritta itu tidak ada gunanya."
"Syair-syair Paritta, O baginda, dimaksudkan bagi mereka yang masih mempunyai sisa porsi kehidupan. Tidak ada upacara maupun sarana buatan yang dapat memperpanjang kehidupan seseorang yang jangka waktu kehidupannya telah habis."
"Tetapi, Nagasena, jika orang yang faktor-faktor kehidupannya masih ada akan tetap hidup, dan orang yang tidak rnemiliki faktor-faktor itu tadi akan mati, maka baik obat maupun Paritta sama-sama tidak ada gunanya."
"Apakah baginda telah pernah melihat atau mendengar kasus suatu penyakit yang dapat disembuhkan oleh obat?"
"Ya, ratusan kali."
"Kalau demikian, pernyataan baginda tentang tidak-mujarabnya Paritta dan obat pastilah salah."
"Yang Mulia Nagasena, apakah Paritta merupakan perlindungan bagi setiap orang?"
"Hanya bagi beberapa, bukan bagi setiap orang. Ada tiga alasan di mana Paritta tidak bekerja:

  1. Halangan karena karma masa lalu;
  2. Halangan karena kekotoran batin masa kini, dan
  3. Halangan karena kurangnya keyakinan.
Paritta yang merupakan perlindungan bagi para makhluk akan kehilangan kekuatannya karena cacat mereka sendiri."

15. Kekuatan Mara

"Walaupun Yang Mulia mengatakan bahwa Sang Tathagata selalu mendapat makanan sewaktu mengumpulkan dana makanan11 tetapi ketika memasuki desa Pañcasala Beliau tidak menerima apa-apa karena adanya gangguan Mara.12 Apakah kekuatan Mara lebih besar daripada kekuatan Sang Buddha, ataukah kekuatan perbuatan tercela lebih kuat daripada kekuatan perbuatan bajik?"
"Baginda, walaupun apa yang baginda katakan itu benar adanya, tetapi itu belum cukup kuat untuk menegaskan pernyataan baginda. Misalnya saja ada seorang penjaga gerbang di suatu istana kerajaan. Dia mungkin mencegah orang agar tidak membawakan hadiah untuk raja karena iri hati, tetapi toh sang raja tidak akan menjadi kalah berkuasa dibandingkan dengan penjaga gerbang itu. Ada empat cara untuk menghalangi suatu pemberian:

  1. Menghalangi pemberian yang belum dimaksudkan untuk orang tertentu;
  2. Menghalangi pemberian yang sudah disisihkan untuk orang tertentu;
  3. Menghalangi pemberian yang sudah disiapkan untuk seseorang, dan
  4. Menghalangi rasa gembira yang timbul karena memberi seseorang.
Dalam hal yang baginda sebutkan, pemberian itu bukanlah dimaksudkan khusus untuk Sang Buddha, karena bila memang sudah ditujukan khusus, tak ada seorang pun yang dapat menghalanginya."
"O baginda, sehubungan dengan Sang Tathagata, tak seorang pun mampu menghalangi empat hal ini:

  1. pemberian makanan yang sudah dimaksudkan untuk Beliau;
  2. sinar aura yang mengelilingi Beliau sejauh sedepa;
  3. kemahatahuan Beliau; dan
  4. kehidupan Beliau.
Hal-hal itu terbebas dari cacat, tidak dapat diserang makhluk lain dan tidak dapat diganggu. Ketika Mara menguasai para perumahtangga di desa Pañcasala, hal itu bagaikan perampok-perampok yang mengepung jalan besar sambil bersembunyi di tempat-tempat yang tidak dapat dicapai. Tetapi jika raja melihat mereka, menurut baginda apakah mereka akan selamat?"
"Tidak, Yang Mulia. Raja mungkin menyuruh agar mereka dicincang hancur."
"Begitu pula, O baginda, jika Mara menciptakan penghalang bagi makanan yang telah dikhususkan untuk Sang Buddha, kepalanya akan hancur menjadi ribuan keping."


16. Pengetahuan akan Kelakuan Yang Salah

"Dikatakan oleh Sang Buddha, "Siapa pun yang karena kebodohannya menghilangkan kehidupan makhluk lain, berarti menumpuk perbuatan tercela yang besar.'13 Tetapi di dalam peraturan latihan untuk para bhikkhu tentang pembunuhan makhluk hidup, Beliau mengatakan, 'Tidak ada pelanggaran kalau dia tidak tahu.'14 Bagaimana mungkin kedua pernyataan ini benar?"
"Ada pelanggaran-pelanggaran yang tidak memiliki celah untuk lolos bagi orang yang tidak tahu, dan ada pelanggaran-pelanggaran yang memiliki celah untuk lolos.15 Pelanggaran yang kedualah yang dimaksudkan Sang Buddha ketika Beliau berkata bahwa tidak ada pelanggaran jika dia tidak mengetahuinya."


17. Sang Buddha Tidak Mempunyai Sifat Ingin Memiliki

"Sang Buddha mengatakan, 'Sang Tathagata tidak berpikir bahwa Beliau seharusnya memimpin Sangha atau bahwa Sangha bergantung kepada Beliau.'16 Tetapi mengenai Buddha Metteyya Beliau mengatakan, 'Dia akan menjadi pemimpin suatu Sangha yang terdiri dari beberapa ribu seperti halnya Aku sekarang pemimpin Sangha beberapa ratus'." 17
"Oh, baginda, suatu pengertian kadang-kadang sudah tercakup di satu bagian, sedangkan di bagian yang lain tidak. Bukan Sang Tathagata yang mencari pengikut, tetapi para pengikutlah yang mencari Beliau. 'Ini adalah milikku' hanya merupakan pendapat umum, bukan kebenaran tertinggi. Kecintaan adalah bentuk pikiran yang sudah disingkirkan oleh Sang Tathagata. Beliau telah menyingkirkan sifat memiliki, Beliau telah terbebas dari pandangan salah tentang 'Ini adalah milikku'. Beliau hidup hanya untuk membantu orang lain. Seperti halnya awan besar yang membawa hujan, O baginda; ia mencurahkan hujan dan memberikan makanan kepada rumput dan pohon, kepada ternak dan manusia, dan semua makhluk hidup bergantung kepadanya. Tetapi awan itu tidak mempunyai perasaan rindu akan ide 'Ini adalah milikku'. Begitu juga Sang Tathagata mengajarkan kepada semua makhluk mengenai sifat-sifat bajik dan mempertahankan mereka di dalam kebajikan, dan semua makhluk bergantung kepada Beliau, tetapi Beliau tidak mempunyai konsep kepemilikan karena Beliau telah meninggalkan semua pandangan salah mengenai diri."


18. Kesatuan Sangha

"Anda katakan bahwa Sangha Sang Tathagata tidak akan pernah bisa dipecah-belah.18 Tetapi Devadatta dapat membawa pergi lima ratus orang bhikkhu dari Sang Buddha."19
"Perpecahan itu terjadi karena kekuatan memecah-belah. Seorang ibu pun dapat terpisah dari anaknya bilamana ada orang yang membuat keretakan. Tetapi bahwa Sangha Sang Tathagata tidak dapat dipecahkan itu dikatakan di dalam pengertian khusus. Belum pernah terdengar bahwa pengikut Beliau dapat dipecah-belahkan oleh sesuatu yang dilakukan Sang Tathagata, atau oleh kata yang tidak bajik, tindakan yang salah atau ketidakadilan apa pun dari Sang Tathagata sendiri. Di dalam pengertian itulah pengikut Beliau tidak tergoyahkan."


Catatan:
  1. A. i. 276 bandingkan dengan M. ii. 9
  2. D. ii. 154; Vin. ii. 287.
  3. Ada 152 sila di luar 75 peraturan latihan minor.
  4. Dukkata- pelanggaran terhadap 75 peraturan latihan dan peraturan lain yang relatif minor.
  5. Dubbhasita- ucapan seorang bhikkhu yang berupa omong kosong atau sindiran tajam yang belum sampai pada dusta atau caci maki.
  6. D. ii. 100; S. syair 153.
  7. M. ii. Sta. 63.
  8. Dhp. syair 129.
  9. Bandingkan A. ii. 172.
  10. Dhp. syair 128.
  11. Bandingkan A. ii. 878. - "Aku, para bhikkhu, menikmati cukup banyak dana makanan ketika diundang."
  12. S. i. 113 dst; DhA. iii. 257. Mara, sebagai makhluk yang menjadi personifikasi kejahatan, adalah musuh Sang Buddha dan muncul beberapa kali di dalam kehidupan Beliau untuk menggoda.
  13. Kutipan yang diberikan diambil di luar konteks. Tidak ada perbuatan tercela sama sekali dalam membunuh mahkluk hidup karena tidak tahu (misalnya orang buta yang menginjak semut). Jadi yang dimaksudkan dengan 'karena kebodohannya' adalah dia membunuh tanpa tahu bahwa membunuh itu adalah perbuatan tidak bajik yang menghasilkan akibat jahat. Lihat pertanyaan 8 di atas hal. 54.
  14. Vin. iii. 78; iv. 49, dll.
  15. Bandingkan, misalnya Pacittiya 51- di situ minum minuman keras merupakan pelanggaran walaupun orang tidak mengetahuinya; Pacittiya 62- mempergunakan air yang mengandung makhluk hidup merupakan pelanggaran hanya bila dia telah mengetahui sebelumnya.
  16. D. ii. 100; bandingkan M. i. 459 (MLS. ii. 132).
  17. D. iii. 76.
  18. D. iii. 172.
  19. Vin. ii. 198.

[Kembali]

BAB SEPULUH
19. Dhamma-lah yang Terbaik

"Dikatakan oleh Sang Buddha, 'Dhamma-lah, O Vasettha, yang terbaik di dunia ini.'1 Tetapi Anda mengatakan bahwa seorang umat awam yang saleh yang telah mencapai tingkat Pemasuk-Arus harus menghormat kepada seorang samanera, meskipun samanera itu belum mencapai tingkat spiritual yang sedemikian. Jika memang Dhamma yang terbaik, maka kebiasaan seperti itu tidaklah tepat."
"O baginda, ada alasan di balik kebiasaan itu. Ada dua puluh sifat kepribadian dan dua tanda luar yang membuat seorang samanera patut dihormati:

  1. Dia bersuka cita di dalam Dhamma yang luar biasa,
  2. Dia mempunyai pengendalian diri yang paling tinggi,
  3. Dia mempunyai perilaku yang baik, karena cara hidupnya [mengumpulkan dana makanan],
  4. Dia tidak minum minuman keras,
  5. Dia mengendalikan inderanya,
  6. Dia sabar,
  7. Dia lembut,
  8. Dia hidup sendiri,
  9. Dia menikmati kesendirian,
  10. Dia bersuka cita di dalam meditasi,
  11. Dia memiliki rasa malu berbuat salah,
  12. Dia memiliki rasa takut berbuat salah,
  13. Dia bersemangat,
  14. Dia tekun,
  15. Dia menjalankan peraturan,
  16. Dia mempelajari kitab suci,
  17. Dia menanyakan maknanya kepada yang mengerti,
  18. Dia bersukacita di dalam nilai-nilai luhur,
  19. Dia tidak berumah dan karena itu terbebas dari kemelekatan duniawi,
  20. Dia melaksanakan peraturan.
Dan dia mempunyai dua tanda luar- yaitu kepala yang dicukur dan jubah kuning.2 Di dalam semua praktek dan perkembangan seperti inilah seorang petapa hidup. Dengan berlatih dan mengembangkan nilai-nilai luhur sebagai samanera dia maju menuju tingkat Arahat. Karena itu, ketika melihat samanera yang berkawan dengan mereka yang sangat patut dihormati, maka umat yang saleh berpikir bahwa benar dan pantaslah bila dia menghormat seorang petapa meskipun mungkin petapa itu hanyalah orang biasa yang belum mencapai tingkat kesucian. Apalagi, O baginda, juga karena melihatnya sebagai orang yang mempertahankan tradisi kebiaraan maka umat awam menghormati petapa. Dan jika seorang umat awam mencapai tingkat Arahat, hanya dua tujuan yang menantinya: dia harus masuk Sangha pada hari itu juga, atau dia harus mencapai parinibbana.3 Benar-benar tak tergoyahkan, O baginda, keadaan meninggalkan kehidupan duniawi. Sungguh hebat dan mulia kondisi untuk masuk ke dalam Sangha Sang Buddha."

20. Cinta Kasih Sang Buddha

"Anda mengatakan bahwa Sang Tathagata melindungi makhluk hidup dari bahaya dan memberkati mereka dengan kebaikan.4 Akan tetapi ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu tentang perumpamaan api besar yang menyala-nyala,5 darah panas tersembur dari mulut enam puluh bhikkhu. Dengan pembabaran khotbah itu mereka menjadi celaka dan tidak baik. Jadi pernyataan Anda itu salah."
"Apa yang terjadi pada diri mereka itu disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri."
"Tetapi, Nagasena, seandainya saja Sang Tathagata tidak membabarkan khotbah tersebut, apakah mereka akan muntah darah panas?"
"Tidak. Pada saat mereka menerima secara salah apa yang dibabarkan, maka api menyala di dalam diri mereka."
"Kalau begitu, berarti Sang Tathagata-lah yang menjadi penyebab utama yang menghancurkan mereka. Andaikan ada seekor ular yang masuk ke dalam sarang semut, dan ada orang yang memerlukan tanah datang untuk mengambil tanah. Lalu sebagai akibatnya ular itu mati karena terpendam dan tidak dapat bernafas, tidakkah hal itu berarti bahwa sang ular mati karena ulah orang tersebut?"
"Ya, baginda. Tetapi ketika Sang Tathagata membabarkan suatu khotbah, Beliau tidak melakukannya dengan kebencian. Beliau membabarkan dengan keadaan yang sama sekali terbebas dari kedengkian. Mereka yang berlatih dengan benar akan mencapai penerangan, tetapi mereka yang mempraktekkannya dengan salah akan jatuh. Seperti halnya, O baginda, ketika sebatang pohon mangga digoncang, maka buah yang tangkainya kuat akan tetap bertahan tak terganggu, sedangkan yang tangkainya busuk akan jatuh ke tanah."
"Kalau begitu, tidakkah para bhikkhu tersebut jatuh karena khotbah tersebut?"
"Dapatkah seorang tukang kayu yang hanya membiarkan kayu tergeletak saja tanpa melakukan apa pun mengharapkan kayu tersebut menjadi lurus dan dapat bermanfaat?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Demikian juga, O baginda, dengan hanya mengamati para murid-Nya saja Sang Tathagata tidak dapat membuka mata mereka yang sudah siap untuk melihat. Tetapi dengan menyingkirkan mereka yang salah menangkap Ajaran maka Beliau menyelamatkan mereka yang sudah siap untuk diselamatkan. Dan karena kesalahan diri sendirilah maka mereka yang berpikiran jahat jatuh."


21. Kerendahan Hati Sang Buddha

"Demikian ini juga telah dikatakan oleh Sang Buddha:
'Mengendalikan tubuh adalah baik,
Baik pula mengendalikan ucapan,
Mengendalikan pikiran adalah baik,
Baik pula mengendalikan segala hal.'6

"Tetapi ketika Sang Tathagata duduk di antara empat kelompok [bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, umat awam wanita] Beliau menunjukkan kepada Brahmana Sela sesuatu yang tidak seharusnya dipertontonkan di depan umum, yaitu alat kelamin pria yang tersembunyi di balik selaput tipis.7 Jika Beliau melakukan hal itu, berarti pernyataan yang pertama tersebut salah."
"Sang Buddha memang menunjukkan kepada Sela si Brahmana sesuatu yang tidak seharusnya dipertontonkan di depan umum, tetapi hal itu Beliau lakukan dengan kekuatan supra-normal di dalam bentuk bayangan dan hanya Sela yang dapat melihatnya. Kepada Sela yang masih ragu terhadap Sang Tathagata, Sang Guru menunjukkan gambar alat kelamin pria yang tersembunyi di balik selaput tipis tersebut dengan kekuatan supra-normal untuk menyadarkannya tentang kebenaran. Sang Tathagata, O baginda, sangat terampil di dalam hal sarana. Untuk mencemooh kecantikan jasmani, Sang Guru membawa Yang Mulia Nanda ke alam dewa untuk melihat wanita-wanita cantik yang ada di sana.8 Dan dengan sehelai kain putih Beliau membuat Yang Mulia Culapanthaka tersadar akan kekotoran tubuh."9


22. Ucapan Sang Buddha yang Sempurna

"Yang Mulia Sariputta siswa utama Sang Buddha berkata, 'Sang Tathagata itu sempurna dalam berkata-kata. Tidak ada kesalahan di dalam ucapan Sang Tathagata. Mengenai ucapanNya, Beliau tidak perlu harus berhati-hati dengan tujuan agar orang lain tak akan melihat kesalahannya.'10 Jadi mengapa Sang Buddha menggunakan kata-kata yang kasar dan menyakitkan hati terhadap Sudinna si Kalanda dan menyebutnya orang yang bodoh?" 11
"Itu bukan karena kekasaran, O baginda, melainkan semata-mata untuk menunjukkan kepadanya, dengan cara yang tidak merugikan, tentang perilakunya yang tolol dan rendah. Jika orang di dalam kelahiran ini tidak dapat mencapai pemahaman tentang Empat Kesunyataan Mulia, maka hidupnya sia-sia belaka. Sang Buddha menggunakan kata-kata kebenaran, dan bukannya melebih-lebihkan. Beliau mengingatkan orang lain semata-mata untuk menghancurkan penyakit ketidakbajikan. Kata-kata Beliau, meskipun dengan, nada yang keras, melunakkan kesombongan orang dan membuat mereka rendah hati. Kata-kata Beliau penuh dengan kasih sayang dan dimaksudkan agar bermanfaat. Sama seperti kata-kata seorang ayah kepada anak-anaknya."


23. Pohon yang Berbicara

"Sang Tathagata berkata:
'Brahmana! Mengapa engkau bertanya, pada benda yang tak sadar yang tidak dapat mendengarmu ini, bagaimana keadaannya hari ini? Engkau yang aktif, pandai dan penuh semangat, bagaimana kamu dapat berbicara kepada benda yang tidak mempunyai indera, pada pohon Palasa liar ini?' 12

"Tetapi pada kesempatan lain Sang Tathagata berkata:
'Dan kemudian pohon aspen tersebut menjawab, 'Aku', Bharadvaja, dapat berbicara juga. Dengarkanlah aku.' 13

"Nagasena, jika sebatang pohon merupakan sesuatu yang tidak punya kesadaran, maka pernyataan yang kedua ini pasti salah."
"Ketika Sang Buddha menyebut 'pohon aspen', itu hanyalah cara berbicara konvensional, karena meskipun sebatang pohon adalah sesuatu yang tidak sadar dan tidak bisa berbicara, kata 'pohon' itu ditujukan bagi dewa yang bertempat tinggal di situ. Dan ini adalah suatu konvensi yang sudah banyak dikenal. Seperti halnya, O baginda, sebuah kereta yang penuh jagung disebut 'kereta-jagung' meskipun kereta tersebut terbuat dari kayu, bukan dari jagung. Sang Tathagata, ketika membabarkan Dhamma, menggunakan juga alat bantu cara percakapan sehari-hari."


24. Santapan Terakhir

"Dikatakan oleh para sesepuh yang berkumpul pada Konsili Buddhis Pertama, 'Setelah makan makanan yang dipersembahkan oleh Cunda si tukang besi, demikian yang telah saya dengar, Sang Buddha merasakan kesakitan yang hebat, rasa sakit yang tajam, bahkan sampai wafatnya.'14 Tetapi Sang Buddha juga berkata, 'Dua persembahan makanan ini, Ananda, mempunyai jasa kebajikan yang setara dan jauh melebihi makanan lain: yaitu makanan yang sesudah dimakan kemudian Sang Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna; dan makanan yang sesudah dimakan kemudian Sang Tathagata mencapai parinibbana.' 15
"Tetapi jika rasa sakit yang amat sangat itu menimpanya setelah makan persembahan makanan terakhir itu, maka pernyataan yang terakhir itu pasti salah."
"Persembahan makanan yang terakhir itu besar manfaatnya karena Sang Tathagata lalu mencapai Parinibbana. Bukan karena makanan itu maka Sang Buddha jatuh sakit, melainkan karena tubuhnya sangat lemah dan karena dekat dengan waktu mangkatnya. Dua persembahan makanan ini merupakan jasa yang besar dan tidak tertandingi karena Sang Buddha mencapai sembilan tingkat jhana berturut-turut, dengan urutan maju dan mundur, yang terjadi setelah Sang Tathagata makan makanan tersebut."


25. Pemujaan terhadap Relik

"Sang Buddha berkata, 'Jangan menghalangi dirimu sendiri, Ananda, dengan menghormati apa yang tersisa dari 'Sang Tathagata.'16 Tetapi pada kesempatan lain Beliau berkata, 'Hormatilah relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga.'17 Pernyataan manakah yang benar?"
"Nasehat pertama tidak diberikan kepada semua orang, O baginda, melainkan hanya kepada para siswa Sang Penakluk [para bhikkhu]. Menghormati relik bukanlah tugas mereka. Memahami sifat hakiki semua bentukan, menggunakan penalaran [memperhatikan ketidakkekalan dll.], meditasi pandangan terang, memegang inti objek meditasi, memberikan pengabdian kepada kesejahteraan spiritual, itulah tugas-tugas bhikkhu. Seperti halnya, O baginda, adalah urusan para pangeran untuk belajar seni perang dan hukum wilayah; sedangkan beternak, berdagang dan mengurus ternak merupakan urusan perumah tangga."


26. Kaki Sang Buddha Terluka

"Anda berkata bila Sang Buddha berjalan, maka bumi ini -meskipun tidak memiliki kesadaran- mengisi lubang-lubang; yang kosong dan meratakan tanah yang akan Beliau pijak.18 Akan tetapi Anda mengatakan bahwa ada pecahan batu karang yang melukai kaki-Nya.19 Mengapa pecahan batu tersebut tidak minggir dari kaki-Nya?"
"O baginda, pecahan batu itu tidak jatuh dengan sendirinya. Ada batu karang yang dilemparkan oleh Devadatta. Lalu dua batu karang bersatu untuk menghentikannya, tetapi ada pecahan yang melesat dan melukai kaki Sang Buddha. Sesuatu yang dihentikan dapat dengan mudah melesat, seperti halnya air yang ditampung di dua tangan dapat dengan mudah mengalir melalui jari-jari."


27. Petapa Sejati

"Sang Buddha berkata, 'Orang menjadi petapa dengan cara menghancurkan banjir [nafsu indera, keinginan untuk lahir kembali, kepercayaan adanya diri, dan kebodohan].'20 Tetapi Beliau juga berkata, 'Orang dikenal di dunia sebagai petapa bila mempunyai empat sifat ini: sabar, sederhana di dalam hal makan, bersifat melepas, dan bebas dari kepemilikan.'21 Nah, keempat sifat ini juga terdapat pada orang-orang yang belum sempurna, pada orang-orang yang akar kekotoran batinnya belum seluruhnya tercabut. Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua."
"Kedua pernyataan ini, O baginda, memang dibuat oleh Sang Buddha. Tetapi yang pertama adalah pernyataan dengan pengertian khusus, sedangkan yang kedua dikatakan tentang ciri-ciri petapa secara umum."


28. Kesombongan Sang Buddha

"Sang Buddha berkata, 'Jika ada seseorang yang memuji Aku, ajaranKu atau Sangha, kalian tidak boleh menjadi sangat gembira karena pujian itu.'22 Tetapi, begitu gembiranya Beliau! ketika Sela si Brahmana memujinya sehingga Beliau membesar-besarkan nilai-nilai luhurnya sendiri dan berkata, 'Aku, Sela, adalah seorang raja, raja dengan kebenaran tertinggi. Roda kereta kebenaran yang agung telah kuputar- roda yang tidak akan dapat diputar balik oleh siapa pun.'23 Ini juga, merupakan masalah bersisi dua."
"Kedua pernyataan itu, O baginda, betul adanya. Tetapi pernyataan yang pertama dibuat untuk menegaskan dan menjelaskan dengan pasti sifat hakiki ajaran-Nya. Yang kedua tidak dikatakan untuk memperoleh keuntungan, atau kemasyhuran. Juga tidak diucapkan dengan cara yang tidak objektif, atau untuk memperoleh pengikut. Itu dikatakan dengar penuh welas asih dan merupakan pengetahuan yang menyebabkan tiga ratus brahmana mencapai pengetahuan tentang kebenaran."


29. Siapakah yang Patut Dihukum?

"Sang Buddha berkata, 'Janganlah melukai siapa pun, hiduplah di dunia ini dengan penuh cinta kasih dan kebajikan.' 24 Tetapi Beliau juga berkata, 'Kendalikanlah orang yang patut dikendalikan dan doronglah orang yang patut didorong.'25 Nah, mengendalikan berarti memotong tangan dan kaki memasukkan ke dalam penjara, dan sebagainya. Jika pernyataan yang pertama itu benar, maka yang kedua tidak mungkin benar."
"O baginda, tidak melukai siapa pun adalah ajaran semua Buddha. Akan tetapi, yang kedua ini digunakan secara kiasan. Hal itu berarti mengendalikan pikiran yang resah, menyemangati pikiran yang malas; mengendalikan pikiran yang jahat, mendorong pikiran yang bajik; mengendalikan perenungan yang tidak bijaksana, mendorong perenungan yang bijaksana; mengendalikan latihan yang salah, mendorong latihan yang benar; yang tidak mulia harus dikendalikan, yang mulia harus didorong; si pencuri [bhikkhu yang menginginkan kemasyhuran, pujian dan keuntungan] harus dikendalikan, dan orang yang jujur [bhikkhu yang tulus, yang semata-mata berkeinginan untuk menyingkirkan kegelapan batin] harus didorong:"
"Sekarang Anda telah sampai pada inti permasalahanku. Lalu Nagasena, bagaimana seorang perampok harus diatasi?"
"Begini, O baginda; jika patut dimarahi maka biarlah dia dimarahi; jika patut didenda biarlah dia didenda; jika patut diasingkan maka biariah dia diasingkan; jika patut dihukum mati maka biarlah dia dihukum mati."
"Kalau begitu, Nagasena, apakah hukuman mati para perampok menjadi salah satu bagian dari ajaran yang dibabarkan oleh Sang Tathagata?"
"Tentu saja tidak, O baginda. Siapa pun yang dihukum mati, tidaklah menderita hukuman mati karena pendapat yang telah diberikan oleh Sang Tathagata. Dia menderita karena perbuatan yang telah dilakukannya sendiri."26


30. Mengusir Sangha

'Telah dikatakan oleh Sang Buddha. 'Aku tidak mempunyai kemarahan atau pun kekesalan hati'.27 Tetapi Beliau mengusir Yang Mulia Sariputta dan Yang Mulia Moggallana beserta siswa-siswa mereka.'28 Tidakkah dengan kemarahan Beliau melakukan hal itu?"
"Sang Tathagata memang mengusir para bhikkhu, tetapi tidak dengan kemarahan. Karena perbuatan yang telah mereka lakukan sendirilah maka mereka diusir. Sama halnya seperti bumi ini tidak merasa marah bila ada yang tersandung dan jatuh. Adalah kesalahan orang itu sendiri maka dia jatuh. Demikian juga Sang Buddha tidak memiliki niat jahat apa pun juga. Beliau menyuruh mereka pergi karena mengetahui, 'Itu demi kebaikan, kebahagiaan, pemurnian dan pembebasan mereka dari penderitaan.'"


Catatan:
  1. D. iii. 93.
  2. Lihat Kutipan.
  3. Tidak terlacak, lihat juga Dilema 62.
  4. Tidak terlacak, tetapi bandingkan A. i. 20.
  5. A. iv 128-135
  6. S. i. 73; Dhp. syair 361
  7. M. ii. Sta. 92; Sn. 103. Ini mengacu pada salah satu dari tanda-tanda seorang Buddha yang diramalkan oleh astrologi. Karena tidak dapat melihatnya, Sela tetap dalam keraguan.
  8. Ja. ii. 92-94.
  9. Ja. i. 116 dst.
  10. D. iii. 217.
  11. Vin. iii. 20. Sudinna adalah seorang bhikkhu yang menyebabkan peraturan tentang hubungan seksual diberikan. Dia dibujuk oleh istrinya untuk melanjutkan garis keluarga. Dengan suatu catatan, karena dia adalah pelanggar pertama, dia diizinkan untuk tetap menjadi bhikkhu setelah pelanggaran tersebut.
  12. Ja. iii. 24.
  13. Ja. iv. 210.
  14. D. ii. 128.
  15. D. ii. 135.
  16. D. ii. 141.
  17. Vv. 75 syair 8.
  18. Tidak terlacak, tetapi bandingkan DA. 45.
  19. Vin. ii. 193.
  20. A. ii. 238, Pug. 63.
  21. Ku. 5 hal. 204 Jataka, Teks Burma.
  22. D. i. 3; bandingkan M. i. 140.
  23. M. ii. Sta. 92; Sn. syair 554
  24. Ja. iv. 71 syair 9.
  25. Ja. syair 116.
  26. Hukuman negara adalah norma dan hukuman fisik yang berat juga dipraktekkan pada zaman Sang Buddha.
  27. Sn. syair 19.
  28. M. ii. Sta. 67.

[Kembali]

BAB SEBELAS
31. Terbunuhnya Yang Ariya Moggallana

"Telah dikatakan oleh Sang Buddha, 'Di antara Para siswaku yang mempunyai kekuatan kesaktian, Moggallana adalah yang paling hebat.'1 Akan tetapi beliau dipukuli sampai mati dengan tongkat.2 Mengapa kesaktian beliau tidak berfungsi?"
"Hal itu, O baginda, disebabkan karena pada waktu itu beliau dikuasai kekuatan karma yang lebih hebat. Bahkan di antara hal-hal yang tidak dapat dibayangkan pun, ada satu yang mungkin lebih kuat daripada yang lain. Dan di antara yang tidak dapat dibayangkan itu, karmalah yang terkuat. Tepatnya, akibat karmalah yang mengalahkan dan mengatur hal-hal lainnya. Tidak ada pengaruh lain pada manusia yang dapat menghalangi karma yang telah saatnya berbuah. Ini tidak dapat dihindari. Sama halnya seperti orang yang telah terbukti bersalah karena melakukan tindakan kriminal akan dihukum. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh sanak-saudaranya untuk mencegahnya."


32. Kerahasiaan Vinaya

"Telah dikatakan oleh Sang Buddha, 'Dhamma dan Vinaya yang telah dinyatakan oleh Sang Tathagata bersinar terang kalau ditunjukkan, dan tidak akan bersinar kalau tidak diungkap.'3 Nah, mengapa pembacaan Patimokkha dilakukan hanya di hadapan para bhikkhu,4 dan mengapa Vinaya Pitaka tertutup dan hanya khusus untuk para bhikkhu saja?"5
"O baginda, alasan pertama mengapa Patimokkha hanya terbuka bagi para bhikkhu adalah karena memang demikianlah kebiasaan semua Buddha. Alasan kedua adalah untuk menghormati Vinaya, dan alasan ketiga adalah untuk menghormati para bhikkhu. Seperti halnya, O baginda, tradisi prajurit diajarkan turun-temurun hanya di antara para prajurit, demikian juga tradisi Tathagata adalah bahwa pembacaan Patimokkha harus berada di antara para bhikkhu saja. Vinaya itu patut dihormati dan bersifat sangat mendalam. Mereka yang telah mencapai penguasaan Vinaya mungkin berpesan dengan sungguh-sungguh demikian ini, 'Jangan biarkan Ajaran yang sangat mendalam itu jatuh ke tangan mereka yang tidak bijaksana yang kemudian mungkin akan menghina dan mengutuknya, memperlakukannya dengan tidak tahu malu, mencemoohkannya dan mencari-cari kesalahan di dalamnya.'6 Sama halnya seperti kekayaan raja yang sangat berharga tidak boleh digunakan oleh sembarang orang, demikian juga latihan dan tradisi Sang Buddha adalah kekayaan yang tak ternilai harganya bagi.para bhikkhu. Itulah sebabnya mengapa pembacaan Patimokkha hanya dilakukan di antara para bhikkhu."


33. Kebohongan yang Disengaja

"Telah dikatakan oleh Sang Buddha, 'Kebohongan yang disengaja adalah suatu pelanggaran yang berakibat bhikkhu dikeluarkan secara paksa.7 Tetapi Beliau juga berkata, 'Kebohongan yang disengaja adalah pelanggaran ringan yang harus diakui di hadapan bhikkhu lain.'8 Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar?"
"Jika ada orang yang memukul orang lain dengan tangannya, hukuman apa yang akan baginda berikan padanya?"
"Jika si korban menolak berdamai dalam masalah ini, maka kami akan mendenda si penyerang."
"Tetapi jika ada orang yang memukul baginda, hukuman apa yang akan baginda berikan padanya?"
"Kami akan memotong tangan dan kakinya, membesit kulit kepalanya, menyita seluruh kekayaannya dan menghukum keluarganya sampai tujuh turunan."
"Demikianlah juga, O baginda, pelanggaran bisa ringan atau berat tergantung dari pokok masalahnya. Kebohongan dengan sengaja tentang pencapaian keadaan di luar kamampuan manusia biasa, seperti misalnya pencapaian jhana, kekuatan supra-normal atau pencapaian Sang Jalan, adalah pelanggaran yang berakibat si bhikkhu dikeluarkan dengan paksa. Tetapi kebohongan dengan sengaja tentang masalah-masalah lainnya hanya merupakan pelanggaran yang berakibat harus mengakuinya."


34. Penyelidikan Bodhisatta

"Dikatakan oleh Sang Buddha di dalam khotbah-Nya tentang hukum alam, 'Semenjak dahulu kala, orang tua Bodhisatta, para siswa utama Sang Bodhisatta dan sebagainya, telah ditentukan terlebih dahulu untuk Sang Bodhisatta.'9 Tetapi dikatakan juga, 'Ketika masih di surga Tusita, Sang Bodhisatta melakukan delapan penyelidikan: apakah sudah tiba waktu yang tepat baginya untuk dilahirkan kembali, tentang benuanya, negaranya, keluarganya, ibunya, waktu di dalam rahim, bulan kelahirannya, dan waktu untuk meninggalkan kehidupan duniawi.'10 Jika orang tuanya telah ditentukan sebelumnya, mengapa Beliau perlu mempertimbangkan hal-hal tesebut?"
"Kedua pernyataan itu, O baginda, benar adanya. Berkenaan dengan delapan hal itu, masa mendatang harus diselidiki terlebih dahulu sebelum masa itu datang untuk berlalu. Seorang pedagang harus memeriksa barang sebelum membelinya, seekor gajah harus menjajagi jalan dengan belalainya sebelum melewati jalan itu, seorang sais kereta harus menyelidiki arungan sebelum menyeberanginya, seorang pemandu harus mempelajari daratan yang belum pernah dia lihat sebelumnya, seorang tabib harus menafsirkan sisa usia pasiennya sebelum mulai merawatnya, seorang pengembara harus memeriksa jembatan sebelum berjalan melaluinya, seorang bhikkhu harus tahu waktu sebelum mulai makan, dan seorang Bodhisatta harus menyelidiki keluarganya sebelum dilahirkan."


35. Bunuh Diri

"Telah dikatakan oleh Sang Buddha, 'Seorang bhikkhu. tidak boleh mencoba untuk bunuh diri [terjun dari ngarai]; siapa pun yang melakukan hal seperti itu akan ditindak sesuai dengan aturan yang ada.'11 Tetapi sebaliknya Anda mengatakan bahwa apa pun topik yang dipilih Sang Buddha untuk berbicara kepada para bhikkhu, Beliau selalu menggunakan berbagai perumpamaan untuk mendorong mereka mengusahakan lenyapnya kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Dan kepada siapa pun yang melakukan hal itu, Beliau memberikan pujian yang tinggi."
"O baginda, karena seorang Arahat mempunyai banyak manfaat bagi makhluk hidup, maka Beliau menentukan larangan itu. Orang yang telah mencapai tujuan adalah bagaikan perahu yang dapat membawa penumpang melampaui banjir nafsu indera, bebas dari keinginan untuk dilahirkan kembali, bebas dari kepercayaan adanya diri, dan bebas dari kebodohan batin. Bagaikan awan hujan yang luar biasa, seorang Arahat mengisi pikiran mereka dengan rasa puas, dan dia membimbing orang yang tersesat. Karena kasih sayang terhadap makhluk hiduplah maka Sang Buddha berkata, 'Seorang bhikkhu tidak boleh bunuh diri.' Dan apa alasan Sang Buddha mendorong kita untuk mengakhiri kelahiran, usia tua dan kematian? Karena tidak terbatasnya sifat alami penderitaan yang disebabkan oleh lingkaran tumimbal lahir, maka Sang Buddha -yang begitu besar welas asihnya terhadap makhluk hidup- mendorong mereka, dengan banyak cara dan banyak perumpamaan, agar membebaskan diri dari lingkaran tumimbal lahir."


36. Perlindungan dari Cinta Kasih

"Telah dikatakan oleh Sang Buddha, 'Sebelas manfaat ini boleh diharapkan oleh orang yang mempraktekkan dan mempunyai kebiasaan menyebarkan cinta kasih terhadap semua makhluk:
  1. Dia tidur dengan kedamaian;
  2. Dia bangun dengan kedamaian;
  3. Dia tidak bermimpi buruk;
  4. Dia disayangi oleh sesama manusia;
  5. Dia disayangi oleh makhluk yang bukan manusia;
  6. Dia dilindungi para dewa;
  7. Dia tidak dapat terluka baik oleh api, racun, atau senjata;
  8. Pikirannya mudah terkonsentrasi;
  9. Air mukanya tenang;
  10. Dia mati dalam keadaan tidak bingung;
  11. Dan dia akan terlahir setidak-tidaknya di alam Brahma, jika tidak mencapai yang lebih tinggi lagi.'12
Kalau begitu mengapa si pemuda Sama yang hidup dengan penuh metta terluka oleh panah beracun yang dilepaskan oleh Raja Piliyakkha?"13

"O baginda, sebelas nilai luhur cinta kasih ini bergantung pada cinta kasih itu sendiri, dan bukan pada watak orang yang mempraktekkannya. Pemuda Sama memang senantiasa berlatih meditasi cinta kasih. Akan tetapi ketika dia sedang mengambil air, pikirannya melenceng dari meditasi, dan persis pada saat itulah Raja Piliyakkha memanahnya, sehingga panah itu dapat melukainya."


37. Mengapa Devadatta Makmur?

"Anda mengatakan bahwa perbuatan bajik akan membawa kelahiran di surga atau kelahiran sebagai manusia yang beruntung, serta bahwa perbuatan jahat membawa penderitaan atau kelahiran sebagai manusia yang tidak beruntung. Akan tetapi, Devadatta yang penuh dengan sifat-sifat jahat, sering terlahir dengan kedudukan yang lebih baik dibanding Sang Bodhisatta,14 yang penuh dengan sifat-sifat yang bajik."
"Nagasena, ketika Devadatta menjadi pendeta keluarga Brahmadatta- raja Benares, pada saat itu Sang Bodhisatta adalah kasta yang tersingkir. Ini adalah satu kasus di mana Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta, di dalam kelahiran maupun reputasi.
"Begitu juga, ketika Devadatta menjadi seorang raja besar yang berkuasa di dunia ini, pada waktu itu Sang Bodhisatta menjadi gajah. Di dalam kasus itu juga, lagi-lagi Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta. Demikian juga di banyak kasus lainnya."
"Memang benar apa yang baginda katakan itu."
"Kalau begitu berarti kebajikan dan kejahatan menghasilkan buah yang sama."
"Tidak. Bukan demikian, O baginda. Devadatta dimusuhi oleh siapa saja, tetapi tidak ada yang memusuhi Bodhisatta. Dan ketika menjadi raja, Devadatta melindungi dan melayani rakyatnya serta memberikan persembahan kepada para petapa dan para brahmana sesuai dengan kecenderungannya. Baginda, tak ada seorang pun yang dapat mencapai kemakmuran tanpa kemurahan hati, pengendalian diri, serta mempraktekkan moralitas dan nilai-nilai luhur lainnya. Meskipun demikian, semua makhluk yang terhanyut di dalam arus lingkaran tumimbal lahir yang tak ada hentinya selalu akan bertemu dengan rekan yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sama halnya seperti air yang mengalir di sungai selalu akan menemui benda yang bersih maupun yang tidak bersih. Tetapi perbandingan antara Sang Bodhisatta dan Devadatta harus dipertimbangkan dari sudut pandang panjangnya lingkaran tumimbal lahir yang tak terbayangkan, dan juga harus diingat bahwa Sang Bodhisatta berada di surga selama kurun waktu berkalpa-kalpa, sementara Devadatta mendidih di neraka."


38. Kelemahan Wanita

"Dikatakan bahwa wanita akan selalu berselingkuh bila ia mendapat kekasih yang sesuai.15 Tetapi istri Mahasodha menolak melakukan tindakan yang salah, meskipun dia ditawari seribu keping emas."16
"Amaradevi adalah wanita yang luhur. Dia takut dikecam dunia ini. Dia takut menderita di dalam api neraka. Dia juga mencintai suaminya. Dan dia memandang rendah pelanggaran susila dan menghargai nilai luhur. Karena semua alasan itulah maka baginya kesempatan seperti itu tidak pantas adanya. Dan suaminya, Mahasodha, adalah laki-laki ideal. Maka bagi Amaradevi tidak ada orang yang sebanding dengan Mahasodha. Karena alasan ini pulalah maka Amaradevi tidak melakukan tindakan yang salah."


39. Keberanian Ananda

"Dikatakan oleh Sang Buddha bahwa para Arahat telah menyingkirkan segala rasa takut.17 Akan tetapi ketika Dhanapalaka si gajah mabuk akan menyerang Sang Buddha, lima ratus Arahat, meninggalkan Ananda sendirian untuk melindungi Sang Buddha.18 Jika para Arahat sudah terbebas dari rasa takut, mengapa mereka menyingkir?"
"Mereka tidak menyingkir karena rasa takut, O baginda. Para Arahat sudah terbebas dari rasa takut. Tetapi mereka menyingkir agar pengabdian Ananda pada Sang Buddha dapat terwujud. Mereka menyadari bahwa jikalau mereka tidak minggir, maka gajah itu tidak akan bisa mendekat. Ananda, yang pada waktu itu belum menjadi Arahat, tetap berada di samping Sang Buddha untuk melindungi Beliau. Dengan demikian maka keberanian dan pengabdiannya terlihat. Oleh karena kejadian ini, banyak sekali orang yang terbebas dari belenggu kekotoran batin. Karena sebelumnya telah melihat manfaat-manfaat itulah, maka para Arahat menyingkir."


40 . Perubahan Hati Sang Buddha

"Anda mengatakan bahwa Sang Buddha itu mahatahu. Akan tetapi setelah Sang Buddha menyuruh serombongan bhikkhu yang dipimpin oleh Sariputta dan Moggallana pergi ke tempat lain, orang-orang Sakya dari Catuma dan Brahma Sahampati berusaha meyakinkan Sang Buddha melalui perumpamaan-perumpamaan.19 Apakah Beliau tidak mengetahui tentang perumpamaan tersebut? Jika tahu, mengapa Beliau perlu diyakinkan?"
"Sang Tathagata, O baginda, adalah mahatahu. Akan tetapi Beliau tetap merasa puas oleh perumpamaan-perumpamaan itu. Dengan perumpamaanlah Beliau pertama kali membabarkan ajaran-Nya dan merasa puas karenanya. Dan karena merasa puas maka Beliau menyetujuinya. Seperti halnya, O baginda, ketika seorang samanera melayani gurunya dengan makanan yang diperoleh sang guru sendiri dari mengumpulkan dana makanan, demikianlah dia menyenangkan sang guru dan mengambil hatinya."


Catatan:
  1. A. i. 23.
  2. DhA. iii. 65 dst. Komentar Dhp. syair 137-140.
  3. A. i. 283.
  4. Vin. i. 115, 135.
  5. Tidak ada larangan dalam mengajarkan Vinaya pada umat awam.
  6. T.W. Rhys Davids mengatakan demikian tentang Buddhisme rahasia (hanya dipahami oleh beberapa orang saja); "Kenyataannya adalah bahwa tidak pernah ada ajaran rahasia di dalam Buddhisme, dan bahwa Buddhisme modern yang disebut rahasia bukan rahasia dan juga bukan Buddhisme. Ajaran-ajaran itu, sejauh yang berasal dari India, seluruhnya dapat diakses dan dikenal baik oleh mereka yang ingin mempelajari buku-buku mistik India, dan itu adalah Hindu, bukan Buddhis. Sebenarnya ajaran-ajaran itu sangat bertentangan dengan Buddhisme, yang oleh para pengarang secara salah disebut Buddhisme rahasia, dan sebenarnya mereka pun hanya tahu sedikit tentang hal itu - yang sedikit itu hanya sebagian dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah menjadi landasan umum bagi para guru agama di India. Jika ada satu ajaran, yang khas Buddhisme, itu adalah ajaran yang mengabaikan kepercayaan pada suatu jiwa - yaitu dalam arti kuno, kepercayaan kepada suatu makhluk yang terpisah di dalam tubuh ini, yang terbang keluar dari dalam tubuh ini, bagaikan seekor burung keluar dari sangkarnya, ketika tubuh itu mati. Tetapi saya diberi, tahu, para Theosof yang percaya kepada tujuh jiwa di dalam tubuh manusia (menurut Buddhisme ini lebih buruk daripada tujuh setan), masih tetap menyebut dirinya Buddhis, dan tidak melihat keganjilan posisi mereka.
  7. Vin. iii. 94 dst.
  8. Vin. 59, 66; Vin. iv. 2.
  9. Mahapadhana Sutta, D. ii.17-20.
  10. A. i. 48; DA. 428, (hanya 5 yang disebutkan).
  11. Vin. iii. 74, 82 (pelanggaran dalam hal perbuatan salah).
  12. A. syair 342, Ja. ii. 61; Vism. 311 dst.
  13. Ja. vi. 76.
  14. Bandingkan Ja. No. 122, 474, 514, 516.
  15. Ini berarti bahwa pria juga demikian. Ja syair 435 cerita itu menggambarkan wanita yang tidak luhur.
  16. Ja. vi. 367.
  17. Dhp. syair 351; Sn. 621.
  18. Vin. ii. 194; Ja. syair 333 dst. Gajah yang ganas itu dikenal sebagai Nalagiri tetapi setelah dijinakkan oleh metta Sang Buddha dia merunduk dan menyembah Beliau. Kerumunan orang yang ada sangat gembira melihat perubahan ini dan menumpuk hiasan di punggung gajah itu. Sejak itu dia disebut Dhanapalaka, pembawa kesejahteraan.
  19. M. ii. Sta. 67.

[Kembali]

BAB DUA BELAS
41. Mengenai Tempat Tinggal

"Dikatakan oleh Sang Buddha:
'Rasa takut lahir dari keintiman,
Debu berasal dari rumah yang didirikan.
Tidak berumah, bebas dari keintiman,
Inilah visi orang bijak.' 1

"Tetapi Beliau juga berkata:
Biarkanlah orang bijak membangun tempat tinggal dan menampung orang terpelajar di situ.'2

"Jika pernyataan yang pertama diucapkan oleh Sang Buddha, maka yang kedua pasti salah."
"Kedua pernyataan itu memang diucapkan oleh Sang Tathagata, O baginda, tetapi pernyataan yang pertama mempunyai pengertian khusus berkenaan dengan sifat alami segala hal, dan berkenaan dengan apa yang layaknya diinginkan oleh seorang petapa. Sedangkan pernyataan kedua dikatakan hanya mengenai dua persoalan. Pemberian berupa tempat tinggal telah mendapatkan pujian tinggi dari para Buddha karena mereka yang telah memberikan persembahan semacam itu akan terbebas dari kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Dan yang kedua, jika ada tempat tinggal maka akan lebih mudah bagi mereka yang ingin mendengarkan Dhamma untuk mengunjungi para bhikkhu, dibandingkan jikalau para bhikkhu tinggal di hutan. Tetapi hal ini tidak lalu diikuti oleh kerinduan para bhikkhu untuk mempunyai tempat tinggal."


42. Pengendalian Perut

"Sang Buddha berkata, 'Jangan kehilangan perhatian sewaktu berdiri mengumpulkan dana makanan, milikilah pengendalian terhadap perutmu.'3 Tetapi Beliau juga berkata, 'Adakalanya, Udayi, aku makan semangkuk penuh atau bahkan lebih.'4 Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua."
"Kedua pernyataan ini benar, O baginda, tetapi pernyataan yang pertama mempunyai pengertian khusus dan tidak akan terbukti salah. Orang yang tidak mempunyai pengendalian terhadap perutnya akan membunuh makhluk hidup atau mencuri demi perutnya. Dengan dasar pemikiran seperti inilah Sang Buddha berkata 'Jangan kehilangan perhatian sewaktu berdiri mengumpulkan dana makanan, milikilah pengendalian terhadap perutmu.' Sedangkan orang yang memiliki pengendalian diri mendapat pandangan terang mengenai Empat Kesunyataan Mulia dan memenuhi kehidupan sebagai petapa. Bukankah seekor beo biasa, O baginda, melalui pengendalian terhadap perutnya telah mengguncang Surga Tiga Puluh Tiga dan membuat Sakka turun untuk melayaninya?5 Tetapi ketika Sang Buddha berkata, 'Adakalanya, Udayi, aku makan semangkuk penuh, atau bahkan lebih', hal itu berhubungan dengan diri Beliau sendiri yang telah mencapai apa yang harus dicapai melalui pengendalian diri. Dan bagaikan permata sempurna yang tidak lagi perlu digosok, Beliau tidak memerlukan latihan lagi.


43. Manusia yang Terbaik

"Sang Buddha berkata, 'Para bhikkhu, aku adalah seorang Brahmana, tempat orang meminta pertolongan, yang selalu siap memberi; tubuh yang kutanggung ini adalah yang terakhir. Aku adalah tabib dan dokter tertinggi.'6 Tetapi pada kesempatan lain Beliau berkata, 'Di antara siswaku, Bakkulalah yang paling baik kesehatannya.'7 Telah dikatakan bahwa Sang Buddha beberapa kali terkena penyakit sedangkan Bakkula selalu sehat. Jika pernyataan yang pertama benar, mengapa Sang Buddha kalah sehat dibandingkan Bakkula?"
"Memang benar bahwa Bakkula melebihi Sang Buddha di bidang kesehatan, dan beberapa murid lain juga melebihi Beliau di bidang lain. Akan tetapi Sang Buddha melebihi mereka semua di dalam nilai-nilai kemoralan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Dan mengenai hal-hal inilah Beliau berkata, 'Para bhikkhu, aku adalah seorang Brahmana, tempat orang meminta pertolongan, yang selalu siap memberi; tubuh yang kutanggung ini adalah yang terakhir. Aku adalah tabib dan dokter tertinggi'."
"Sang Buddha, O baginda, tak peduli apakah sedang sakit atau tidak; apakah sedang menjalankan praktek sebagai petapa atau tidak - tak tertandingi oleh makhluk lain. Hal ini, O baginda, dikatakan di dalam Samyutta Nikaya, 'O para bhikkhu, dari semua makhluk; baik yang tidak berkaki atau yang berkaki dua atau empat atau banyak; yang mempunyai bentuk maupun yang tidak; yang sadar, atau yang tidak, atau yang bukan-sadar-pun - bukan-tak-sadar; dari mereka semua itu Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sepenuhnya, dianggap sebagai pemimpin...'."8


44. Jalan Kuno

"Dikatakan oleh Sang Buddha, 'Sang Tathagata adalah penemu jalan yang sebelumnya tidak diketahui.'9 Tetapi Beliau juga berkata, 'Sekarang aku telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh oleh para Buddha sebelumnya.'10 Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua."
"Jalan kuno yang ditunjukkan oleh para Buddha sebelumnya itu telah lama hilang dan tidak diketahui oleh siapa pun, baik manusia maupun dewa. Karena itulah Sang Buddha berkata, 'Sang Tathagata adalah penemu jalan yang sebelumnya tidak diketahui.' Meskipun jalan tersebut telah hancur, tidak lagi dapat dilalui dan hilang dari pandangan- tetapi Sang Tathagata; setelah memperoleh pengetahuan yang mendalam, melihat dengan mata kebijaksanaan-Nya bahwa itulah jalan yang juga telah digunakan oleh para Buddha sebelumnya. Dan karena itulah Sang Buddha berkata, 'Sekarang aku telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh oleh para Buddha sebelumnya.' Sama seperti jika ada orang yang telah membuka hutan dan membebaskan sebidang tanah, tanah itu disebut tanahnya meskipun dia tidak membuat tanah itu."


45. Kelemahan Sang Bodhisatta

"Dikatakan oleh Sang Buddha, 'Di dalam semua kelahiranku sebagai manusia, aku telah memiliki kebiasaan tidak menyakiti makhluk hidup.'11 Tetapi ketika Beliau menjadi seorang petapa yang bernama Lomasa Kassapa, Beliau menyuruh membunuh ratusan binatang untuk dipersembahkan sebagai korban.12 Mengapa waktu itu Beliau tidak penuh welas asih?"
"Persembahan itu, O baginda, dilakukan ketika Lomasa Kassapa kehilangan ingatan karena tergila-gila pada Putri Candavati; pada waktu itu beliau tidak sadar pada apa yang diperbuatnya. Seperti halnya orang gila yang kehilangan akal sehatnya akan menapak di api, atau menangkap ular berbisa, atau berlari-lari telanjang bulat di jalanan, demikian juga Sang Bodhisatta yang sedang hilang ingatan, sehingga Beliau melakukan persembahan korban itu. Nah, suatu kejahatan yang dilakukan orang gila tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran yang serius, begitu juga mengenai buah yang dihasilkan di dalam kehidupannya yang akan datang. Misalkan saja, O baginda, ada orang gila yang bersalah melakukan pelanggaran hukum yang berat, hukuman apakah yang akan baginda jatuhkan kepadanya?"
"Hukuman apa yang patut bagi orang gila? Kami akan memerintahkan agar dia dipukuli dan kemudian dibebaskan, begitu saja."
"Jadi, O baginda, sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh orang gila dapat diampuni.13 Demikian juga dalam kasus Lomasa Kassapa. Setelah sadar kembali, beliau meninggalkan kehidupan duniawi dan kemudian terlahir di alam Brahma."


46. Rasa Hormat Pada Jubah

"Bahkan ketika Sang Bodhisatta terlahir sebagai seekor gajah, Beliau mempunyai rasa hormat pada jubah kuning.14 Tetapi Anda mengatakan bahwa ketika Beliau terlahir sebagai seorang brahmana muda yang bernama Jotipala, meskipun terlahir sebagai manusia dengan tanda-tanda khusus, dia mencerca dan mencaci maki Buddha Kassapa, menyebut Beliau bhikkhu gundul yang tidak berguna.15 Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar adanya?"
"O baginda, kekasaran Sang Bodhisatta ketika menjadi brahmana muda Jotipala itu disebabkan oleh karena kelahiran dan pendidikan beliau. Semua keluarga beliau bukan orang yang memiliki keyakinan pada Dhamma, dan mereka memuja Brahma. Mereka berpikir bahwa kaum Brahmana adalah manusia yang paling tinggi. Seperti halnya, O baginda, air yang sangat dingin pun akan menjadi hangat bila kena api, demikian juga Jotipala. Meskipun penuh dengan nilai-nilai luhur, tetapi karena dilahirkan di dalam keluarga yang tidak percaya beliau seakan-akan buta dan mencerca Sang Tathagata. Walaupun demikian, ketika pergi menghadap Sang Buddha Kassapa, Jotipala menyadari nilai-nilai luhurnya dan menjadi siswa yang setia."


47. Kebajikan Si Pembuat Tembikar

"Dikatakan oleh Sang Buddha, 'Selama tiga bulan penuh, tempat tinggal Ghatikara si pembuat tembikar tetap berada di alam terbuka, tetapi air hujan tidak akan turun di situ.'16 Tetapi air hujan membasahi pondok Buddha Kassapa.17 Mengapa pondok Sang Tathagatha basah? Jika hujan turun di pondok Buddha yang mempunyai banyak kebajikan, maka pastilah bohong jika dikatakan bahwa hujan tidak turun di pondok, Ghatikara karena perbuatan bajiknya yang besar."
"O baginda, Ghatikara adalah orang baik yang penuh dengan nilai-nilai luhur, dan kaya akan kebajikan. Dia merawat orang tuanya yang buta dengan segala kerendahan hati. Ketika Ghatikara sedang pergi, beberapa bhikkhu mengambil sejumlah ilalang dari atap rumahnya untuk memperbaiki pondok Buddha Kassapa, karena yakin akan kemurahan hati Ghatikara. Waktu Ghatikara kembali, dia tidak marah maupun kecewa. Dia bahkan merasa sangat gembira karena telah melakukan kebajikan besar dengan memberikan sesuatu kepada Sang Tathagata. Dia berpikir dengan suka cita, 'Sang Tathagata menaruh kepercayaan yang besar kepadaku.' Begitu besar kebajikannya sehingga buahnya langsung dapat dipetik di dalam kehidupan itu juga. Sebaliknya, Sang Tathagata tidak kekurangan kebajikan karena hujan membasahi pondok Beliau. Sang Tathagata telah mempertimbangkan demikian, 'Biarlah orang-orang tidak mencari-cari kesalahan dengan mengatakan bahwa para Buddha menjalani kehidupan dengan menggunakan kekuatan supra-normal-Nya.' Maka dari itu hujan turun di pondok Beliau, sama seperti di tempat-tempat lain, kecuali pondok Ghatikara "


48. Raja atau Brahmana?

"Sang Buddha berkata, 'Para bhikkhu, aku adalah seorang brahmana, tempat orang minta pertolongan.'18 Tetapi pada kesempatan lain Beliau berkata, 'Sela, aku adalah seorang raja.'19 Nagasena, jika Sang Buddha adalah seorang raja, maka Beliau pasti berbohong ketika mengatakan bahwa diri-Nya adalah seorang brahmana. Kalau bukan seorang Khattiya (prajurit), Beliau pasti brahmana. Tidak mungkin Beliau termasuk di dalam dua golongan kasta."
"Bukan karena kelahiran-Nya maka Beliau menyebut diri-Nya sebagai brahmana, tetapi karena Beliau telah terbebas dari kegelapan batin, dan telah mencapai kepastian pengetahuan, dan karena Beliau-lah yang menjaga tradisi kuno dalam hal mengajar dan belajar di luar kepala, dalam hal pengendalian diri, dan dalam hal disiplin.20 Dan sebagaimana seorang raja mengatur rakyatnya dengan hukum, Sang Buddha mengatur para siswa-Nya dengan mengajarkan Dhamma, membawa sukacita bagi mereka yang hidup dengan benar, serta mencela mereka yang melanggar hukum yang mulia itu. Dan sebagaimana seorang raja yang memerintah dengan adil akan bertahan lama, demikian juga Sang Buddha dengan sifat-sifat kebajikan-Nya yang khusus membuat ajaran-Nya bertahan lama."


49. Cara Hidup yang Benar

"Anda mengatakan bahwa Sang Buddha tidak menerima persembahan makanan yang diberikan karena membacakan paritta.21 Tetapi ketika berkhotbah kepada umat awam, terlebih dahulu Beliau biasanya berbicara tentang manfaat berdana dan Beliau menerima persembahan yang diberikan.22 Jika yang pertama benar, mengapa Beliau menerima persembahan yang diperoleh lewat berkhotbah?"
"Adalah kebiasaan Sang Tathagata untuk terlebih dahulu berkhotbah tentang manfaat berdana, dengan tujuan untuk melembutkan hati orang-orang, sebelum melanjutkan berkhotbah tentang moralitas dan hal-hal yang lebih tinggi. Tetapi bukan karena itu lalu para bhikkhu bisa dituduh memberi isyarat, menginginkan persembahan. Ada isyarat yang tidak layak, dan ada isyarat yang tidak tercela. Dalam hal ini, jika seorang bhikkhu yang mengumpulkan dana makanan berdiri di tempat yang tidak tepat atau memberi isyarat, itu merupakan isyarat yang salah.23 Tetapi jika dia berdiri di tempat yang layak di mana ada orang-orang yang ingin memberi dan dia berjalan terus ketika mereka tidak memberinya, ini tidak salah dan bukan berarti pengisyaratan. Makanan dari si pembajak tanah itu dipersembahkan sebagai usaha membuktikan bahwa masalah mengenai pembacaan paritta itu salah, maka Sang Tathagata menolaknya."


50. Keengganan Sang Buddha

"Anda mengatakan bahwa selama empat maha kalpa dan 100.000 siklus dunia ini Sang Bodhisatta telah melatih kesempurnaan agar mencapai kemahatahuan. Tetapi setelah Beliau mencapai kemahatahuan pikiran-Nya berubah tidak ingin mengajarkan Dhamma.24 Bagaikan seorang pemanah yang telah berlatih berhari-hari lalu ragu-ragu ketika hari peperangan tiba, demikian juga Sang Buddha ragu-ragu untuk mengajarkan Dhamma. Apakah hal itu disebabkan oleh rasa takut, atau kurangnya kejernihan, atau kelemahan, atau karena Beliau tidak mahatahu sehingga keraguan itu timbul."
"Tidak, raja yang agung, hal itu bukan disebabkan oleh alasan-alasan tersebut. Karena sifat Dhamma yang mendalam, dan karena begitu kuatnya kemelekatan serta kegelapan batin para makhluklah maka Sang Buddha menjadi ragu-ragu dan mempertimbangkan kepada siapa Beliau harus mengajarkan Dhamma, serta bagaimana caranya agar mereka dapat mengerti. Seperti halnya, O baginda, ketika seorang raja mengingat-ingat betapa banyaknya orang yang kehidupannya bergantung padanya -para pengawal, anggota istana, pedagang, prajurit, pesuruh, menteri, dan para bangsawan- dia mungkin terbebani oleh pikiran: 'Bagaimana aku dapat mengambil hati mereka semua?' Demikian juga, ketika Tathagata mengingat bagaimana kuatnya kemelekatan dan kegelapan batin para makhluk, maka Beliau cenderung untuk tidak bertindak daripada membabarkan ajaran-Nya. Dan juga memang sudah menjadi aturan alam bahwa Sang Buddha harus membabarkan Dhamma atas permohonan Brahma karena pada saat itu semua orang adalah pemuja Brahma dan sangat bergantung pada Brahma. Maka dari itu, jika dewa yang begitu tinggi dan berkuasa seperti Brahma ingin mendengarkan Dhamma, maka seluruh alam dewa dan manusia cenderung akan begitu juga. Karena alasan itu maka sebelum membabarkan Dhamma, Sang Buddha menunggu agar diminta."


51. Guru-guru Sang Buddha

"Sang Buddha berkata, 'Aku tidak mempunyai guru.' Tidak ada yang seperti aku. Di dunia ini, dengan para dewanya, tak seorang pun yang menyamaiku.'25 Tetapi Beliau juga berkata 'Karena itulah, O para bhikkhu, Alara si Kalama yang menjadi guruku, menempatkan aku, muridnya, pada tingkat yang seperti dirinya dan menghormati aku dengan penghormatan tertinggi.'26 Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua."
"O baginda, ketika Sang Buddha berbicara mengenai Alara si Kalama sebagai guru-Nya, Beliau mengacu pada saat Beliau masih menjadi Bodhisatta dan belum mencapai kebuddhaan. Alara si Kalama semata-mata hanyalah guru untuk kebijaksanaan duniawi. Untuk masalah-masalah yang luar biasa tingginya -seperti pengetahuan tentang Empat Kesunyataan Mulia dan nibbana- Beliau berkata, 'Aku tidak mempunyai guru. Tidak ada yang seperti aku. Di dunia ini, dengan para dewanya, tak seorang pun yang menyamaiku.'"


Catatan:
  1. Sn. syair 207.
  2. Vin. ii. 147; S. i. 100.
  3. Dhp. syair 168. Ketika Sang Buddha kembali ke kota kelahirannya, Beliau pergi mengumpulkan dana makanan setelah sanak saudaranya tidak juga mengundang Beliau untuk makan.
  4. M. ii. 7.
  5. Ja. No. 429.
  6. Iti. 101.
  7. A. i. 24.
  8. S. syair 41.
  9. S. iii. 66; bandingkan S. i. 190.
  10. Yaitu, Jalan menuju nibbana. S. ii. 105.
  11. D. iii. 166.
  12. Ja. iii. 30 dst., 514 dst.: dalam cerita Jataka, Kassapa memerintahkan membantai amat banyak binatang, namun ketika semua binatang telah diikat pada tiang, dia tersadar dan kemudian membebaskan semuanya.
  13. Bandingkan Vin. iii. 32, tidak ada pelanggaran bila pelakunya gila.
  14. Ja. syair 49.
  15. M. ii. 47, Sta. 81.
  16. M. ii. 53.
  17. M. ii. 54.
  18. Iti. 101.
  19. Sn. syair 554.
  20. Lihat Dhp. Brahmanavagga.
  21. S. i. 167, Sn. syair 81.
  22. Bandingkan D. i. Sta. 5.
  23. Vism. 28.
  24. Vin. i. 5; bandingkan S. i. 136.
  25. Vin. i. 8; M. i. 171
  26. M. i. 165.

[Kembali]

BAB TIGA BELAS
52. Dua Buddha Tidak Mungkin Ada Bersama

"Sang Buddha berkata, 'Di dunia ini, dua Buddha -yang telah mencapai Pencerahan Sempurna- tidak mungkin ada bersama.'1 Tetapi, Nagasena, jika semua Tathagata mengajarkan ajaran yang sama, mengapa mereka tidak boleh ada bersama? Jika ada dua Buddha, mereka akan dapat mengajar lebih santai dan dunia ini bahkan akan lebih cerah."
"O baginda, seandainya dua Buddha ada bersama, bumi ini tidak akan mampu menahan beban kebajikan mereka berdua. Bumi akan bergetar, bergoncang, dan hancur.2 Misalnya, O baginda, ada orang yang telah makan begitu banyak sehingga tidak ada lagi tempat yang tersisa di perutnya. Jika harus makan sebanyak itu lagi, apakah dia akan merasa nyaman?" "Tentu saja tidak, Yang Mulia. Jika dia makan lagi, dia akan mati."
"Demikian juga halnya, O baginda, bumi ini tidak akan tahan kalau ada satu Tathagata lagi seperti halnya orang tidak akan tahan kalau harus makan lagi. Dan jika ada dua Buddha, akan timbul persengketaan di antara para pengikut-Nya. Lagipula, pernyataan bahwa Sang Buddha adalah yang utama dan tidak ada bandingnya akan menjadi salah."
"Dengan baik sekali dilema ini telah dijelaskan. Bahkan orang yang tidak pandai pun akan merasa puas, apalagi orang yang bijaksana.3 Bagus sekali, Nagasena, aku menerimanya seperti yang telah Anda katakan."


53. Persembahan bagi Sangha

"Ketika Mahapajapati Gotami mempersembahkan jubah mandi4 kepada Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, 'Berikanlah kepada Sangha, Gotami. Jika kau berikan kepada Sangha, itu juga berarti aku dihormati. Demikian juga Sangha.' Apakah itu karena Sangha lebih penting daripada Sang Buddha?"
"Baginda, bukan berarti bahwa persembahan kepada Sang Buddha tidak akan memberikan buah yang besar, tetapi. dimaksudkan untuk menunjukkan kebesaran Sangha sehingga pada waktunya nanti Sangha akan dijunjung tinggi. Seperti halnya, O baginda, seorang ayah memuji anaknya di pengadilan kerajaan dengan berpikir, 'Jikalau dia mendapat nama baik di sini sekarang, maka dia juga akan dihormati setelah aku tiada.' Atau misalkan, O baginda, seseorang mempersembahkan suatu hadiah kepada raja, dan kemudian raja memberikan hadiah itu pada orang lain - misalnya prajurit atau pesuruh- apakah orang tersebut lalu menjadi lebih tinggi dibandingkan raja?"
"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Orang itu menerima gajinya dari raja, dan rajalah yang menempatkannya pada kedudukan itu."
"Demikian juga, O baginda, Sangha tidak menjadi lebih tinggi dibandingkan Sang Tathagata hanya karena suatu persembahan. Dan tidak ada, O baginda, makhluk apa pun yang lebih pantas menerima persembahan daripada Sang Tathagata.5
Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha sendiri:

'Ada satu makhluk, O para bhikkhu, yang dilahirkan di dunia ini
untuk kebaikan dan manfaat banyak makhluk,
karena rasa welas asihnya pada dunia, serta
demi kebaikan dan manfaat para dewa dan manusia.
Dan siapakah satu makhluk itu?
Seorang Tathagata, seorang Arahat, Buddha Yang Tertinggi'."6


54. Manfaat Kehidupan Seorang Petapa

"Sang Buddha berkata, 'Aku akan memuji umat awam ataupun bhikkhu yang telah berlatih dengan benar dan memperoleh cara yang benar.7 Jika seorang umat awam, yang menikmati kenikmatan indera, hidup dengan istri serta anak-anaknya, menggunakan wewangian serta menerima emas dan perak, dapat mencapai tingkat Arahat, lalu apa gunanya menjadi seorang bhikkhu dengan kepala gundul, makan bergantung pada pemberian umat, menjalankan seratus lima puluh aturan8 dan tiga belas latihan petapa? Tidak ada hasilnya Anda berlatih keras, tidak ada gunanya Anda meninggalkan keduniawian, sia-sia belaka Anda menjalankan peraturan, dan tidak ada pula maknanya Anda mengucapkan tekad tambahan. Apa gunanya menyusahkan diri sendiri dengan berbagai kesulitan, jika dengan kenyamanan pun kebahagiaan dapat dicapai?"
"Memang benar adanya jika dikatakan bahwa orang yang berlatih dengan benar adalah orang yang terbaik, tak peduli apakah dia seorang bhikkhu atau umat awam. Jika seorang petapa berpikir, 'Aku adalah seorang petapa' namun tidak berlatih dengan benar, maka dia jauh dari kehidupan petapa. Apalagi perumah tangga yang mengenakan pakaian umat awam! Walaupun demikian, keuntungan yang diperoleh sebagai seorang petapa itu telalu banyak untuk bisa diukur. Karena hanya mempunyai sedikit keinginan, maka dia mudah puas. Dia menjauhkan diri dari masyarakat. Dengan bersungguh hati dan tidak berumah, dia menjalankan peraturan. Dia teguh dan terampil di dalam latihan untuk menyingkirkan kekotoran batin. Karena itulah dia dapat dengan cepat menyelesaikan tugas yang dijalaninya. Seperti halnya lembing, O baginda, karena halus dan lurus ia dapat dengan cepat mencapai sasaran."


55. Praktek yang Amat Keras

"Ketika Sang Bodhisatta sedang berlatih amat keras dengan usaha yang luar biasa, Beliau tidak dapat mencapai tujuannya. Maka kemudian Beliau meninggalkan praktek tersebut dan berpikir, 'Tak mungkinkah ada jalan lain menuju pembebasan?'9 Tetapi ketika mengajar para siswa-Nya, Beliau berkata:
'Bangunlah, tinggalkan kehidupan duniawi,
Kerahkan diri kalian di dalam ajaranku,
Dan hancurkanlah pasukan kematian,
Bagaikan gajah menghancurkan rumah buluh'."10

"Mengapa Sang Tathagata mengajar para siswa-Nya mengikuti latihan yang oleh Beliau sendiri telah ditinggalkan?
"Karena pada saat itu, O baginda, dan masih sampai saat ini juga, hanya itulah satu-satunya jalan. Dan lewat jalan itulah Sang Bodhisatta mencapai kebuddhaan. Sang Bodhisatta, yang memaksakan diri-Nya dengan amat sangat, mengurangi makanan yang dimakan-Nya sampai kemudian tidak makan sama sekali. Karena kurang makan, Beliau lalu menjadi lemah. Akan tetapi ketika Beliau kemudian mulai makan makanan padat, lewat pemaksaan diri jugalah Beliau mencapai kebuddhaan. Tidak ada yang salah dalam pemaksaan diri itu. Hanya karena kurang makananlah maka pemaksaan diri itu tidak membawa hasil. Ibarat orang yang karena sangat terburu-buru kemudian menjadi sangat lelah, lalu jatuh dan tidak dapat meneruskan perjalanan. Bukan bumi ini yang bersalah sehingga dia terjatuh. Kesalahannya terletak pada pemaksaan dirinya yang keterlaluan. Seperti halnya, O baginda, bila ada orang yang memakai jubah tetapi tidak pernah mencucinya, yang salah bukan airnya, melainkan orang itu. Itulah sebabnya Sang Tathagata mendorong dan memimpin para siswa-Nya di sepanjang Sang Jalan. Karena Sang Jalan itu selalu siap, dan selalu benar."


56. Kembali pada Kehidupan Awam

"Apakah memperbolehkan umat awam masuk ke dalam Sangha sebelum mereka mencapai Jalan Pemenang-Arus itu sudah benar? Jika mereka lalu meninggalkan kehidupan kebhikkhuan, orang-orang mungkin akan berpikir bahwa ajaran Sang Buddha tidak memberikan manfaat."
"Jika, O baginda, ada kolam yang airnya sangat bersih dan ada orang yang pergi ke sana untuk mandi, tetapi kemudian dia berbalik lagi tanpa mandi, apakah orang-orang akan menyalahkan orang itu atau kolamnya?"
"Mereka akan menyalahkan orang itu."
"Demikian juga, O baginda, Sang Tathagata telah membangun kolam yang penuh dengan ajaran Dhamma yang murni. Sang Buddha berpikir, 'Mereka yang mempunyai kekotoran batin tetapi memiliki kepandaian akan dapat menghilangkan kekotoran mereka di sini.' Tetapi jika ada orang yang kembali ke kehidupan awam sebelum kekotoran batinnya lenyap, maka orang-orang akan menyalahkan dia. Tidak ada alasan untuk mencari kesalahan di dalam Ajaran. Sebaliknya, mereka yang kembali pada kehidupan berumahtangga menunjukkan lima sifat khusus Ajaran Sang Penakluk:

Mereka menunjukkan:
  1. betapa mulianya Ajaran itu,
  2. betapa murninya Ajaran itu,
  3. betapa Ajaran itu terbebas dari hubungannya dengan kejahatan,
  4. betapa sulitnya untuk menembus Dhamma, dan
  5. betapa banyaknya pengendalian diri di dalam kehidupan suci.
"Dan bagaimana mereka menunjukkan kemuliaan kehidupan suci itu? Sama halnya, O baginda, dengan orang yang dilahirkan di kelas bawah, miskin dan tidak pandai. Jika dia mendapat kekayaan kerajaan yang agung, tidak lama kemudian dia akan terguling dan tidak lagi memiliki kemuliaan. Demikan juga orang yang tidak mempunyai kebijaksanaan dan hanya mempunyai sedikit kebajikan. Bila dia meninggalkan kehidupan duniawi, dia tidak akan mampu melaksanakan Ajaran Sang Penakluk dan akan kembali ke tingkat yang lebih rendah.
"Dan bagaimana mereka menunjukkan kemurniannya? Seperti halnya, O baginda, bila air jatuh pada bunga teratai, air itu akan bergulir dan tidak menempel pada teratai itu. Demikian juga mereka yang bersifat tidak murni, licik, dan yang berpegang pada pandangan salah. Ketika mereka masuk ke dalam Ajaran Sang Penakluk, tidak lama kemudian mereka akan terlepas dari Ajaran yang murni dan tanpa kesalahan itu, karena mereka tidak dapat menempel padanya.
"Dan bagaimana mereka menunjukkan kebebasannya dari hubungannya dengan kejahatan? Seperti samudera yang tidak mau menerima keberadaan mayat dan dengan cepat menggulungnya ke pantai dan melemparnya ke tanah kering; demikian juga, O baginda, mereka yang berpikiran jahat dan malas tidak akan dapat bertahan di dalam Sangha dan berhubungan dengan para Arahat yang bebas dari noda.
"Dan bagaimana mereka menunjukkan sulitnya menembus Dhamma? Seperti halnya, O baginda, pemanah yang ceroboh dan tidak terampil tidak akan dapat mempertunjukkan keahliannya, atau mungkin malahan meleset dari sasarannya; demikian juga mereka yang dungu dan bodoh yang meninggalkan kehidupan duniawi tidak akan dapat memahami Empat Kesunyataan Mulia Sang Penakluk yang sangat halus. Karena tidak dapat memahaminya, mereka kembali ke tingkat yang lebih rendah.
"Dan bagaimana mereka menunjukkan banyaknya pengendalian diri di dalam kehidupan suci? Seperti halnya, O baginda, seorang pengecut yang pergi ke medan perang. Ketika dikepung oleh musuh dari segala penjuru dia akan berbalik dan lari terbirit-birit karena takut mati; demikian juga siapa pun yang tidak terkendali, tidak tahu malu, tidak sabar dan plin-plan. Ketika meninggalkan kehidupan duniawi, mereka tidak akan mampu melaksanakan berbagai macam peraturan dan akan kembali ke tingkat yang lebih rendah."


57. Penguasaan Para Arahat

"Anda mengatakan bahwa Arahat hanya mempunyai satu jenis perasaan, yaitu perasaan jasmani, bukan perasaan mental.11 Tetapi bagaimana hal ini bisa terjadi? Arahat tetap hidup dengan menggunakan tubuhnya. Apakah itu berarti bahwa dia tidak lagi punya kekuasaan atas tubuhnya? Bahkan burung pun merupakan penguasa sarang yang dipakainya sebagai tempat tinggal."
"O baginda, ada sepuluh kondisi di dalam tubuh yang berada di luar kekuasaan Arahat, yaitu rasa dingin, rasa panas, rasa lapar, rasa haus, buang air besar, kencing, kelelahan, usia tua, sakit dan mati. Seperti halnya semua makhluk yang hidup di dunia ini bergantung padanya tetapi tidak mempunyai kekuasaan terhadapnya, demikian juga Arahat bergantung pada tubuhnya tetapi tidak mempunyai kekuasaan terhadapnya."
"Mengapa, Nagasena, orang biasa merasakan perasaan jasmani dan juga perasaan mental?"
"Karena keadaan pikirannya tidak terlatih. Seperti halnya seekor sapi lapar yang diikat dengan tali rumput yang rapuh akan dengan mudah memutus tali itu dan lepas, demikian juga pikiran orang biasa akan menjadi resah karena rasa sakit, sehingga dia merasakan rasa sakit mental juga. Tetapi pikiran seorang Arahat telah terlatih dengan baik. Maka ketika tubuhnya terserang rasa sakit, dengan teguh dia memusatkan pikirannya pada pengertian ketidak-kekalan. Pikirannya tidak terganggu dan dia tidak merasakan sakit mental, sama seperti batang pohon yang besar tidak akan tergerak oleh angin meskipun cabang-cabangnya mungkin berayun."


58. Kejahatan Berat

"Jika seorang awam telah melakukan kejahatan berat12 sebelum dia memasuki Sangha tetapi tidak menyadarinya, apakah dia akan dapat mencapai tingkat kesucian Pemenang-Arus?"
"Tidak, tidak dapat. Ini disebabkan karena landasan untuk pemahaman Dhamma di dalam dirinya telah hancur."
"Tetapi Anda mengatakan bahwa bila orang menyadari dirinya telah melakukan pelanggaran, akan datang penyesalan yang menyebabkan adanya suatu penghalang di dalam pikirannya. Akibatnya, dia tidak akan dapat memahami kebenaran.13 Tetapi bila orang tidak menyadari dirinya telah melakukan pelanggaran, maka tidak akan ada penyesalan, dan dia akan merasakan kedamaian di dalam pikirannya."
"Jika, O baginda, ada orang yang telah minum racun tetapi dia tidak menyadarinya, apakah dia masih tetap akan mati?"
"Ya, Yang Mulia."
"Demikian juga, O baginda, meskipun seseorang tidak sadar akan pelanggarannya, dia tetap tidak akan dapat memahami kebenaran."
"Nagasena, itu pastilah kata-kata dari Sang Penakluk. Mencari-cari kesalahan di dalam kata-kata itu akan sia-sia belaka. Kebenaran itu pasti seperti yang Anda katakan; dan aku menerimanya demikian."


59. Yang Tidak Bermoral

"Apakah perbedaan antara seorang umat awam yang telah berbuat kesalahan dan seorang bhikkhu yang telah berbuat kesalahan?"
"Ada sepuluh sifat yang membedakan seorang bhikkhu yang mempunyai kebiasaan moral yang lemah dengan seorang umat awam yang mempunyai kebiasaan moral yang lemah.

  1. Seorang bhikkhu penuh hormat pada Buddha,
  2. dia penuh hormat pada Dhamma, dan
  3. dia penuh hormat pada Sangha;
  4. dia membaca kitab suci dan menanyakan artinya;
  5. dia telah banyak mendengar;
  6. dia memasuki kelompok para bhikkhu dengan penuh harga diri karena takut dicela;
  7. dia menjaga badan dan perkataannya;
  8. dia mengarahkan pikirannya untuk terus berusaha;
  9. dia berteman dengan para bhikkhu, dan
  10. jika berbuat salah dia diam-diam saja.
Dan dengan sepuluh cara dia memurnikan persembahan yang diberikan kepadanya karena keyakinan:
  1. dengan mengenakan jubah para Buddha,
  2. dengan kepala yang tercukur dia membawa tanda orang bijak,
  3. dengan berteman dengan para bhikkhu,
  4. dengan berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha,
  5. dengan berdiam di tempat yang sunyi, yang sesuai untuk latihan keras,
  6. dengan menyelidiki kekayaan Dhamma yang tak ternilai,
  7. dengan membabarkan Dhamma yang indah,
  8. karena dia menjadikan Dhamma sebagai pelita pembimbingnya,
  9. karena dia menganggap Sang Buddha sebagai yang tertinggi, dan
  10. dengan mempraktekkan Uposatha.14
Karena semua alasan itulah maka dia patut memperoleh persembahan meskipun dia telah jatuh dari nilai-nilai luhur.
"Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha di dalam Majjhima Nikaya:

'Siapa pun yang luhur dan memberikan kepada yang tidak luhur
Pemberian yang dia peroleh dengan benar, dengan pikiran yang menjadi gembira,
Sepenuhnya percaya pada buah karma yang subur,
Ini merupakan persembahan yang dimurnikan oleh si pemberi'."15

"Alangkah indahnya, Nagasena. Meskipun pertanyaanku hanya sederhana, jawabannya sungguh luar biasa. Bagaikan seorang juru masak ahli yang diberi sepotong daging biasa, dia mengolahnya menjadi makanan yang pantas bagi seorang raja."

60. Apakah Air Itu Hidup?

"Ada beberapa pengikut sekte lain yang berkata bahwa Anda mencelakakan suatu kehidupan bila menggunakan air dingin.16 Bila air dipanaskan di dalam ketel, ia membuat berbagai suara. Apakah itu disebabkan karena air mempunyai jiwa dan hidup?"
"Tidak, baginda, air tidak hidup. Air yang ada di dalam kubangan dangkal akan mengering jika terkena panas matahari dan angin, tanpa ada suara apa pun yang terdengar. Genderang mengeluarkan suara tetapi ia tidak berisikan kehidupan atau pun sesuatu yang hidup."


Catatan:
  1. M. iii. 65; A. i. 27; Vbh. 336.
  2. Pada saat Bodhisatta terlahir, bumi bergetar 7 kali.
  3. Rhys Davids dan IB. Horner keduanya menerjemahkan: kimpana, madiso mahapañño. "...apalagi orang bijaksana seperti aku." Hal ini membuat Milinda tampak sombong dan saya tidak mempunyai alasan untuk menerjemahkannya seperti itu.
  4. Vassikasatikam. Lihat Pacittiya 91.
  5. M. iii. 253. Penulis kelihatannya telah kehilangan poin utama di sini. Bandingkan M. iii. 256: "Tetapi Ananda, ketika aku mengatakan bahwa persembahan kepada Sangha tak terhitung dan tak terukur aku tidak bermaksud mengatakan bahwa tingkat pemberian kepada individual menghasilkan buah yang lebih besar dibandingkan persembahan kepada Sangha."
  6. A. i. 20.
  7. M. ii. 197, A. i. 69.
  8. Di luar 75 peraturan latihan terdapat 152.
  9. M. i. 246.
  10. S. i. 156, Kvu. 203, Thag. 256.
  11. Tidak terlacak.
  12. Di dalam Kitab Pali ada Parajika (Pelanggaran Tanda Kalah), tetapi umat awam tidak bisa melakukan pelanggaran-pelanggaran ini. Yang dimaksud adalah: membunuh ibu, ayah, Arahat, melukai seorang Tathagata atau melakukan kekerasan pada seorang bhikkhuni (Kitab Sinhala juga menuliskan merusak pohon bodhi). Orang yang melanggar ini tidak boleh ditahbiskan. Jika mereka telah ditahbiskan, mereka harus dikeluarkan.
  13. Bandingkan A. iii. 165, "Orang yang melakukan kesalahan merasakan kesedihan dan tidak mengetahui pembebasan pikiran".
  14. Hari ketika bulan purnama dan bulan baru di mana para bhikkhu mengulang peraturan.
  15. M. iii. Sta. 142.
  16. Bandingkan MLS. ii. 41 n 4; D. i. 167.

[Kembali]

BAB EMPAT BELAS
61. Tanpa Rintangan

"Sang Buddha berkata, 'Hiduplah sepenuh hati untuk sesuatu yang tanpa rintangan, dan bergembiralah di dalamnya.'1 Apakah yang tanpa rintangan itu?"
"Empat buah dari Sang Jalan dan nibbana adalah yang tanpa rintangan."
"Tetapi jika demikian, Nagasena, mengapa para bhikkhu merepotkan diri dengan mempelajari ajaran Sang Buddha, dengan membangun apa yang harus diperbaiki dan dengan persembahan pada Sangha?"
"Para bhikkhu yang melakukan hal-hal itu perlu membebaskan pikiran mereka dari rintangan-rintangan sebelum mereka dapat mencapai keempat buah itu. Akan tetapi mereka yang pada dasarnya sudah murni, sebenarnya telah melakukan pekerjaan persiapan itu di dalam kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya. Maka dengan mudah mereka dapat mencapai buah-buah itu tanpa persiapan. Seperti halnya seorang petani di beberapa daerah berhasil menanam tanpa harus membangun pagar, sementara di tempat lain dia harus terlebih dahulu membangun pagar atau tembok sebelum dapat menanam; atau seperti orang yang mempunyai kekuatan supra-normal dapat dengan mudahnya memetik buah yang ada di puncak pohon yang tinggi, sementara orang lain harus terlebih dahulu membuat tangga. Demikian juga, belajar, bertanya, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya itu seperti tangga yang membantu para bhikkhu mencapai buah dari empat pencapaian tersebut. Selama masih dibutuhkan proses belajar dari guru, bahkan bhikkhu seperti Yang Mulia Sariputta pun tidak mampu mencapai tingkat Arahat tanpa bantuan guru, maka pembacaan kitab suci tetap ada gunanya. Dan dengan demikian para siswa akan terbebas dari rintangan dan akan mencapai tingkat Arahat."


62. Arahat Awam

"Anda mengatakan bahwa jika seorang umat awam mencapai tingkat Arahat dia harus memasuki Sangha pada hari itu juga, atau kalau tidak, dia akan mati dan mencapai parinibbana.2 Tetapi jika dia tidak bisa mendapat jubah, mangkok dan penahbis pada saat itu, maka kondisi kearahatan yang mulia itu akan sia-sia karena melibatkan hancurnya suatu kehidupan."
"Kesalahan itu bukan terletak pada kearahatannya, melainkan pada keadaan si umat awam yang terlalu lemah untuk menopang kearahatan itu. Seperti halnya, O baginda, meskipun makanan melindungi kehidupan makhluk, dia juga akan mengambil nyawa orang yang pencernaannya lemah. Demikian juga, jika seorang umat awam mencapai tingkat Arahat, maka karena kelemahan kondisi itulah dia harus memasuki Sangha pada hari itu juga. Kalau tidak, dia akan mati."


63. Pelanggaran Para Arahat

"Anda mengatakan bahwa seorang Arahat tidak mungkin mempunyai kewaspadaan yang kacau.3 Kalau begitu, dapatkah dia melakukan pelanggaran?"
"Dapat, O baginda, sehubungan dengan ukuran kutinya. Dia mungkin saja bertindak sebagai perantara, makan pada waktu yang salah, makan apa yang tidak dipersembahkan, atau mengira dia tidak diundang padahal sebetulnya diundang."
"Tetapi Anda mengatakan bahwa orang yang melakukan pelanggaran itu melakukannya karena kebodohan atau rasa tidak hormat. Jika seorang Arahat dapat jatuh ke dalam pelanggaran dan jika tidak ada rasa hormat di dalam diri Arahat itu, apakah itu berarti ada kekacauan kewaspadaan?"
"Tidak, tidak ada kekacauan kewaspadaan di dalam diri seorang Arahat. Ada dua jenis pelanggaran. Ada hal-hal yang tercela di mata dunia umum seperti misalnya pembunuhan, pencurian, dan sebagainya. Dan ada hal-hal salah yang hanya berlaku bagi para bhikkhu, seperti misalnya: makan pada waktu yang salah, merusak pepohonan dan tumbuhan, atau bermain di air. Dan banyak lagi hal-hal seperti itu, O baginda, yang tidak salah di dunia umum tetapi salah bagi seorang bhikkhu. Seorang Arahat tidak mungkin berbuat kesalahan jenis pertama, tetapi beliau mungkin dapat melakukan kesalahan jenis kedua karena beliau tidak mengetahui segala hal. Seorang Arahat mungkin tidak mengetahui jam berapa atau hari apa saat itu, atau nama keluarga seorang wanita. Akan tetapi setiap Arahat mengetahui tentang kebebasan dari penderitaan."


64. Apa yang Tidak di Dunia

"Ada banyak macam hal yang dapat ditemui di dunia ini, Nagasena, tetapi katakanlah apa yang tidak dapat ditemukan di dunia ini."
"Ada tiga hal, O baginda, yang tidak dapat ditemukan di dunia ini: sesuatu -yang sadar atau pun yang tidak sadar yang tidak lapuk dan lenyap; bentukan (sankhara) atau hal terkondisi yang kekal; dan di dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak ada sesuatu yang disebut makhluk."


65. Yang Tanpa Sebab

"Nagasena, ada hal-hal di dunia ini yang menjadi ada karena karma, ada yang merupakan hasil dari suatu sebab, dan ada yang dihasilkan oleh musim. Terangkanlah, apakah ada yang tidak termasuk di dalam tiga kategori itu?"
"Ada dua hal, O baginda: ruang dan nibbana."
"Yang Mulia Nagasena, janganlah mengubah kata-kata Sang Penakluk, atau menjawab pertanyaan tanpa mengetahui apa yang Anda katakan!"
"Apa yang telah saya katakan, O baginda, sehingga baginda berkata demikian?"
"Yang Mulia, memang betul apa yang Anda katakana tentang ruang. Tetapi dengan ratusan alasan Sang Buddha menyatakan pada siswa-Nya cara menuju perwujudan nibbana. Dan Anda mengatakan bahwa nibbana bukanlah hasil dari suatu sebab."
"Memang benar, O baginda, dengan banyak cara Sang Buddha menunjukkan jalan bagi perwujudan nibbana, tetapi Beliau tidak menunjukkan sebab bagi timbulnya nibbana."
"Di sini, Nagasena, kami melangkah dari kegelapan menuju ke kegelapan yang lebih pekat; dari ketidakpastian menuju ke kebingungan total. Jika ada ayah dari seorang anak maka kami berharap dapat menemukan ayah dari si ayah itu. Demikian juga, jika ada penyebab bagi perwujudan nibbana, maka kami mengharapkan dapat menemukan penyebab bagi timbulnya nibbana itu."
"Nibbana, O baginda, tidak dibentuk, dan karenanya tidak ada sebab yang dapat ditunjuk bagi pembuatannya. Tidak dapat dikatakan bahwa nibbana itu telah timbul atau dapat timbul; bahwa nibbana itu adalah masa lalu, masa kini atau masa mendatang; atau dapat dikenali dengan mata, telinga, hidung, lidah atau tubuh."
"Kalau begitu, Nagasena, nibbana adalah kondisi yang tidak ada!"
"Nibbana itu ada, O baginda, dan dapat dikenali lewat pikiran. Seorang siswa luhur yang pikirannya murni, mulia, tulus, tidak terhalang, dan bebas dari kemelekatan akan dapat mencapai nibbana."
"Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan, apakah nibbana itu?"
"Apakah ada sesuatu yang disebut angin?"
"Ya, ada."
"Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan, apakah angin itu?"
"Tidaklah mungkin dapat menjelaskan apa angin itu dengan menggunakan perumpamaan, tetapi toh angin itu ada."
"Demikian juga, O baginda, nibbana itu ada tetapi tidak mungkin digambarkan."


66. Cara-cara Menghasilkan

"Apa yang dilahirkan oleh karma, apa yang dilahirkan oleh sebab, dan apa yang dilahirkan oleh musim? Dan apa yang bukan semua itu?"
"Semua makhluk, O baginda, dilahirkan oleh karma. Api, dan semua yang bertumbuh dari biji, dilahirkan oleh sebab. Tanah, air dan angin dilahirkan oleh musim. Sedangkan ruang dan nibbana itu ada, tetapi tidak tergantung dari karma, sebab atau musim. Nibbana, tidak dapat dikatakan dapat dikenali oleh panca indera, tetapi dapat dipahami oleh pikiran. Seorang siswa yang pikirannya murni, dan bebas dari rintangan dapat mencerap nibbana."


67. Setan

"Apakah ada sesuatu yang disebut yakkha (setan) di dunia ini?"
"Ya, baginda, ada."
"Kalau begitu, mengapa sisa yakkha yang telah mati tidak terlihat?"
"Sisa yakkha dapat dilihat dalam bentuk serangga, seperti belatung, semut, ngengat, ular, kalajengking, lipan dan binatang-binatang liar lainnya."
"Siapa lagi, Nagasena, yang dapat memecahkan teka teki ini kecuali orang sebijaksana Anda!"


68. Menetapkan Peraturan bagi Para Bhikkhu

"Para dokter yang terkenal mampu menuliskan resep yang sesuai bagi suatu penyakit sebelum penyakit tersebut timbul, meskipun mereka tidaklah mahatahu. Mengapa Sang Tathagata tidak menetapkan peraturan bagi para bhikkhu sebelum ada kejadian, tetapi menunggu sampai terjadi suatu pelanggaran dan terdengar berbagai keributan?"
"Sang Tathagata, O baginda, telah mengetahui sebelumnya bahwa seratus lima puluh4 aturan itu semuanya harus ditetapkan. Namun Beliau berpikir, 'Jika aku menetapkan semua peraturan ini sekaligus maka akan banyak yang takut memasuki Sangha karena melihat begitu banyak peraturan yang harus dijalankan. Karena itu aku akan menetapkan peraturan ketika ada kebutuhan'."5


69. Panas Matahari

"Mengapa panas sinar matahari terkadang menyengat dan terkadang tidak?"
"Terhalang oleh empat hal, O baginda, maka matahari tidak bersinar menyengat: oleh awan badai, oleh kabut, oleh awan debu, atau oleh bulan."6
"Luar biasa, Nagasena, bahwa matahari yang begitu hebat, dan begitu kuat, dapat terhalang. Apalagi makhluk lain."


70. Matahari Musim Dingin

"Mengapa matahari lebih menyengat di musim dingin daripada di musim panas?"7
"Di musim dingin langit cerah, sehingga matahari bersinar dengan menyengat. Tetapi di musim panas debu beterbangan dan awan terkumpul di langit, sehingga sengatan sinar matahari berkurang."


Catatan:
  1. Tidak terlacak, tetapi bandingkan M. i. 65.
  2. Tidak terlacak, tetapi umat awam dapat mencapai tingkat Arahat.
  3. Bandingkan Pts. Contr.114.
  4. Disebutkan juga di Dilema 54. Mungkin 150 peraturan mengacu pada 75 peraturan latihan yang biasanya untuk samanera dan dengan demikian terdapat 152 peraturan khusus untuk para bhikkhu.
  5. Bandingkan Vin. iii. 9, 10
  6. Bandingkan Vin. ii. 295, A. ii. 53, "Terhalang oleh empat hal, O baginda, maka matahari tidak bersinar menyengat: Oleh awan badai, oleh kabut, oleh awan debu, atau oleh gerhana. Demikian pula, terhalang oleh empat hal maka para petapa tidak bersinar: minum minuman yang memabukkan, melakukan hubungan seksual, menerima emas dan perak, serta menjalani kehidupan dengan cara yang tidak benar." Jadi dilema ini tidak salah tempat di sini.
  7. Biasanya kita mengenal tiga musim. Apa yang digambarkan sebagai musim panas itu lebih mirip dengan musim hujan dan bukannya musim yang panas.

[Kembali]

BAB LIMA BELAS
71. Pemberian Vessantara1

"Yang Mulia Nagasena, apakah semua Bodhisatta memberikan istri dan anaknya atau hanya Vessantara saja?"
"Semuanya."
"Tetapi apakah semua isteri dan anaknya setuju?"
"Para isteri menyetujuinya, tetapi anak-anaknya tidak setuju, karena usia mereka yang masih muda."
"Tetapi apakah tindakan itu bajik, karena anak-anaknya ketakutan dan menangis ketika mereka ditinggalkan?"
"Ya. Seperti halnya seseorang yang ingin berbuat kebajikan mungkin akan mengajak orang cacat di dalam keretanya ke mana pun dia pergi sehingga membuat kerbaunya menderita; atau seperti halnya seorang raja mungkin menarik pajak untuk dapat berbuat kebajikan yang besar; demikian juga tindakan memberi. Meskipun hal itu dapat menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi beberapa orang, tetapi akan membawa kelahiran kembali di alam surga. Apakah ada, O baginda, pemberian yang seharusnya tidak diberikan?"
"Ya, Nagasena, ada sepuluh macam pemberian yang seharusnya tidak diberikan, pemberian yang akan menyebabkan kelahiran kembali di alam yang menyedihkan:

  1. pemberian yang dapat membuat mabuk,
  2. pemberian pesta,
  3. pemberian wanita,
  4. pemberian pria,2
  5. pemberian dengan maksud-maksud tertentu,
  6. pemberian senjata,
  7. pemberian racun,
  8. pemberian rantai atau alat penyiksaan,
  9. pemberian unggas dan babi,
  10. pemberian timbangan dan alat ukur palsu."
"Saya tidak bertanya tentang pemberian yang tidak disetujui secara duniawi. Saya bertanya tentang pemberian yang tidak boleh diberikan sewaktu ada orang yang patut menerimanya."
"Kalau begitu, Nagasena, tidak ada pemberian yang tidak seharusnya diberikan. Bilamana keyakinan pada Dhamma telah muncul, beberapa orang memberikan uang sejumlah seratus ribu, atau sebuah kerajaan, atau bahkan kehidupan mereka."
"Kalau begitu, mengapa baginda mengkritik pemberian Vessantara dengan begitu sengitnya? Bukankah terkadang ada kasus di mana seseorang yang terlilit utang mungkin menjual anaknya atau menanggungkannya sebagai agunan? Demikian juga, Vessantara memberikan anaknya sebagai tekad bagi pencapaian kemahatahuannya di masa depan."
"Tetapi mengapa dia tidak memberikan dirinya sendiri saja?"
"Karena bukan itu yang diminta. Menawarkan sesuatu yang lain akan menjadi rendah nilainya. Lagipula, O baginda, Vessantara tahu bahwa Brahmana tersebut tidak akan mampu mempekerjakan anak-anaknya sebagai budak dalam jangka waktu yang lama karena dia telah lanjut usia dan kakek mereka akan menebus mereka kembali."
"Dengan baik sekali, Nagasena, teka-teki ini telah tersingkap dan jaring klenik telah terobek-robek. Betapa indahnya kata-kata kitab suci dipertahankan ketika Anda menjelaskan makna yang tersirat. Demikianlah adanya, dan aku menerimanya seperti kata Anda."


72. Latihan yang Amat Keras

"Apakah semua Bodhisatta berlatih amat keras, atau hanya Bodhisatta Gotama?"
"Hanya Bodhisatta Gotama.3 Ada empat perbedaan di antara para Bodhisatta, yaitu tentang:

  1. keluarga (yaitu kasta ksatria atau kasta brahmana),
  2. lamanya waktu untuk mengembangkan kesempurnaan,
  3. masa hidup, dan
  4. ketinggiannya.
Tetapi tidak ada perbedaan di antara para Buddha dalam hal moralitas atau kebijaksanaan. Untuk membawa pengetahuannya menuju kematanganlah maka beliau harus berlatih amat keras."
"Kalau begitu, Nagasena, mengapa beliau pergi ketika pengetahuannya masih belum matang? Mengapa beliau tidak mematangkan pengetahuannya terlebih dahulu dan kemudian baru meninggalkan kehidupan duniawi?"
"Ketika Bodhisatta, O baginda, melihat wanita di haremnya tidur dengan tidak keruan, beliau merasa muak dan tidak puas. Ketika melihat bahwa pikiran beliau dipenuhi ketidakpuasan, Mara berkata, 'Tujuh hari dari sekarang engkau akan menjadi Bangsawan Penguasa Dunia.' Tetapi Sang Bodhisatta malahan merasa seolah-olah sepotong besi panas masuk ke telinganya, dan beliau dipenuhi kekhawatiran dan ketakutan. Lebih jauh lagi, O baginda, Sang Bodhisatta berpikir, 'Jangan sampai aku dicela oleh para dewa dan manusia karena tidak memiliki pekerjaan atau sarana. Biarlah aku menjadi orang yang mau bertindak dan tetap tulus.' Jadi Sang Bodhisatta menggunakan latihan keras tersebut untuk mematangkan pengetahuannya."
"Yang Mulia Nagasena, ketika Sang Bodhisatta sedang menjalani latihan keras, hal ini muncul di dalam benaknya, 'Tidakkah mungkin ada jalan lain menuju pengetahuan yang lebih tinggi yang dapat dicapai orang mulia?' Apakah kemudian beliau bingung mengenai jalan yang benar itu?"
"Ada dua puluh lima kondisi, O baginda, yang menyebabkan lemahnya pikiran: 1. kemarahan; 2. permusuhan; 3. kemunafikan; 4. kecongkakan; 5. keirihatian; 6. ketamakan; 7. kebohongan; 8. pengkhianatan; 9. kekeraskepalaan;10. suka melawan; 11. kesombongan; 12. suka pujian; 13. pandangan yang berlebihan mengenai kesehatan, kelahiran, kekayaan; 14. ketidakpedulian; 15. keengganan; 16. rasa mengantuk dan malas; 17. teman yang jahat; 18. objek yang terlihat; 19. suara; 20. bau; 21. cita rasa; 22. sensasi sentuhan; 23. rasa lapar; 24. rasa haus; dan 25. ketidakpuasan. Pada saat itu rasa lapar serta rasa hauslah yang menguasai tubuhnya sehingga pikirannya menjadi tidak terarah dengan benar untuk memusnahkan banjir (asava). Sang Bodhisatta telah mencari penembusan Empat Kesunyataan Mulia selama beberapa mahakalpa, jadi bagaimana mungkin dapat muncul kebingungan di dalam pikirannya tentang Sang Jalan? Meskipun demikian, beliau berpikir, 'Tidakkah mungkin ada jalan lain untuk mencapai kebijaksanaan?' Sebelumnya, ketika masih berusia beberapa tahun Sang Bodhisatta telah mencapai empat pencerapan (jhana) ketika sedang bermeditasi di bawah pohon apel-mawar ketika ayahnya sedang membajak."4
"Bagus sekali, Nagasena, aku menerimanya seperti apa yang Anda katakan. Ketika sedang membawa pengetahuannya menuju kematangan itulah Sang Bodhisatta berlatih amat keras."


73. Kekuatan Kejahatan

"Manakah yang lebih kuat, kebajikan atau ketidakbajikan?"5
"Kebajikan lebih kuat, O baginda."
"Hal itu tidak dapat aku percaya. Orang-orang yang melakukan kejahatan sering mengalami hasil perbuatannya pada kehidupan sekarang ini juga ketika mereka dihukum karena kejahatannya.6 Tetapi apakah ada orang yang -karena memberikan persembahan bagi Sangha atau menjalankan Uposatha- menerima manfaatnya pada kehidupan sekarang ini juga?"
"Ada, O baginda, enam7 kasus seperti itu.

  1. Si budak, Punnaka,8 dengan memberikan dana makanan kepada Sariputta, pada hari yang sama diangkat menjadi bendahara.
  2. Kemudian ada juga ibu kandung Gopala, yang menjual rambutnya agar dapat memberikan makanan kepada Maha Kaccayana, dan sebagai hasilnya menjadi permaisuri Raja Udena.
  3. Si wanita saleh Suppiya, yang memotong daging di pahanya untuk memberi makan seorang bhikkhu yang sakit dan keesokan harinya luka di pahanya sembuh.
  4. Mallika -ketika masih menjadi seorang budak wanita memberikan makanannya sendiri kepada Sang Buddha dan pada hari itu juga menjadi permaisuri di Kosala.
  5. Sumana, tukang bunga, yang memberikan delapan ikat bunga melati kepada Sang Buddha, memperoleh kemakmuran yang melimpah.
  6. Ekasataka si Brahmana yang memberikan satu-satunya pakaian luarnya kepada Sang Buddha, dan pada hari itu juga menerima pemberian 'Serba Delapan'."9
"Jadi Nagasena, dari semua penyelidikan Anda, hanya enam kasuskah yang ditemukan?"
"Demikianlah, O baginda."
"Kalau begitu, ketidakbajikan lebih kuat daripada kebajikan. Karena aku telah melihat banyak orang ditusuk dengan senjata tajam sebagai hukuman atas perbuatan jahat mereka. Dan di dalam peperangan yang dipimpin oleh Jenderal Bhaddasala mewakili keluarga kerajaan Nanda melawan Chandagutta ada delapan puluh Tarian Mayat. Dikatakan bahwa ketika terjadi pembantaian besar-besaran, mayat-mayat tanpa kepala tersebut bangkit kembali dan menari di medan perang. Dan semua orang itu hancur sebagai buah dari perbuatan jahat mereka. Tetapi ketika Raja Pasenadi -raja Kosala- memberikan persembahan dana makanan yang tidak tertandingi, apakah di kehidupan itu juga dia menerima kekayaan atau keagungan atau kebahagiaan?"
"Tidak, O baginda, tidak."
"Kalau begitu, Nagasena, tentu saja ketidakbajikan lebih kuat daripada kebajikan."
"Seperti halnya, O baginda, padi yang jelek akan masak dalam waktu satu atau dua bulan, tetapi padi yang baik akan masak baru setelah lima atau enam bulan; demikian juga perbuatan bajik akan berbuah setelah jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi, O baginda, hasil dari perbuatan bajik maupun perbuatan jahat akan dialami di dalam kehidupan yang akan datang; tetapi karena kejahatan itu tercela, maka ditetapkan bahwa mereka yang berbuat jahat akan dihukum sesuai undang-undang. Sebaliknya, mereka yang berbuat bajik tidak mendapat hadiah. Jika seandainya ditetapkan suatu hukum untuk memberikan hadiah kepada pelaku perbuatan bajik, maka perbuatan-perbuatan bajik juga akan menghasilkan buah di dalam kehidupan ini juga."
"Bagus sekali, Nagasena, hanya oleh orang sebijaksana Anda teka-teki semacam ini dapat diselesaikan. Pertanyaan yang kuajukan dari sudut pandang yang biasa telah Anda jelaskan dengan pengertian yang luar biasa."


74. Membagikan Jasa

"Apakah ada kemungkinan bagi keluarga yang telah meninggal untuk ikut menerima jasa dari suatu perbuatan bajik?"
"Tidak. Hanya mereka yang dilahirkan sebagai setan kelaparan yang makanannya adalah perbuatan bajik orang lainlah yang dapat ikut menerima jasa. Mereka yang dilahirkan di neraka, surga, terlahir sebagai binatang, setan kelaparan yang makanannya muntahan, atau setan yang selalu lapar dan haus, atau setan kelaparan yang dipenuhi nafsu keinginan, tidak akan mendapatkan manfaat."
"Kalau begitu, persembahan di dalam kasus-kasus itu tidak ada gunanya, karena mereka yang diberi tidak mendapat manfaat."
"Tidak demikian, O baginda. Persembahan-persembahan itu bukannya tidak berbuah atau tanpa hasil, karena si pemberi sendiri mendapat manfaat darinya."
"Yakinkanlah aku dengan alasan."
"Bila beberapa orang telah menyiapkan hidangan dan mengunjungi sanak saudaranya, tetapi sanak saudara mereka tidak menerima pemberian itu, apakah pemberian tersebut menjadi sia-sia?"
"Tidak, Yang Mulia, si pemilik sendiri dapat memakannya."
"Demikian juga, O baginda, si pemberi persembahan mendapatkan mafaat dari persembahan dana tersebut."
"Kalau begitu, apakah juga mungkin membagikan ketidakbajikan?"
"Ini bukanlah pertanyaan yang patut diajukan, O baginda. Anda kemudian akan bertanya kepada saya mengapa ruang angkasa tidak berbatas dan mengapa manusia dan burung berkaki dua sedangkan rusa berkaki empat!"
"Aku tidak bertanya begitu untuk menjengkelkan Anda, tetapi ada banyak orang di dunia ini yang bertujuan jahat10 atau tidak dapat melihat."11
"Meskipun air dari dalam tangki dapat digunakan untuk membuat tanaman tumbuh dan berbuah, tetapi air laut tidak mungkin digunakan. Perbuatan jahat tidak dapat dibagikan kepada siapa pun yang tidak melakukannya dan tidak menyetujuinya. Orang dapat mengalirkan air ke tempat yang jauh dengan mengunakan pipa tetapi mereka tidak dapat mengalirkan batu yang padat dengan cara yang sama. Ketidakbajikan adalah sesuatu yang jahat, sedangkan kebajikan adalah sesuatu yang luar biasa."
"Berikanlah ilustrasi."
"Jika setetes air jatuh ke tanah, apakah air itu dapat mengalir sepanjang lima puluh atau enam puluh kilometer?"
"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Titik air itu hanya akan mempengaruhi tanah di mana ia jatuh."
"Mengapa demikian?"
"Karena sifat sedikitnya."
"Demikian juga, O baginda, ketidakbajikan adalah sesuatu yang jahat dan karena sifat sedikitnya, ia hanya dapat mempengaruhi si pelaku saja dan tidak dapat dibagikan. Tetapi jika ada hujan badai yang sangat hebat, apakah airnya akan sampai ke mana-mana?"
"Tentu saja, Yang Mulia, bahkan bisa sejauh lima puluh atau enam puluh kilometer."
"Demikian juga, O baginda, kebajikan adalah sesuatu yang hebat dan karena sifat melimpahnya, ia dapat dibagikan baik kepada manusia maupun dewa."
"Yang Mulia Nagasena, mengapa ketidakbajikan begitu terbatas sifatnya, sedangkan kebajikan dapat menjangkau lebih jauh?"
"Siapa pun, O baginda, yang memberikan persembahan, menjalankan moralitas dan mempraktekkan Uposatha, dia akan merasa gembira dan damai. Karena damai, kebajikannya bahkan menjadi makin melimpah. Bagaikan kolam yang segera terisi penuh lagi dari segala arah setelah air mengalir keluar dari satu sisi. Demikian juga, O baginda, jika seseorang mengirimkan kebajikan yang telah dilakukannya kepada orang lain, bahkan selama seratus tahun pun kebajikannya akan semakin bertumbuh. Itulah sebabnya kebajikan begitu hebat. Tetapi dengan perbuatan jahat, O baginda, orang akan dipenuhi oleh penyesalan dan pikirannya tidak akan dapat terlepas dari buah pikir tentang hal itu. Dia akan merasa tertekan dan tidak memperoleh kedamaian, karena merasa sengsara dan putus asa dia menjadi tersia-sia. Seperti halnya, O baginda, setetes air yang jatuh di sungai yang kering tidak akan menambah isi sungai itu melainkan langsung tertelan di tempat itu juga. Itulah sebabnya ketidakbajikan sangat jahat dan mempunyai sifat sedikit."


75. Mimpi

"Apakah sesuatu yang disebut mimpi itu dan siapakah yang bermimpi?"
"Mimpi adalah tanda yang datang melintasi jalur pikiran. Dan ada enam jenis orang yang bermimpi, yaitu orang yang dipengaruhi:

  1. oleh angin;
  2. oleh empedu,
  3. oleh lendir,
  4. oleh dewa,
  5. oleh kebiasaannya sendiri, dan
  6. oleh firasat.
Hanya yang terakhir inilah yang benar, sedang yang lain semuanya tidak benar."
"Ketika orang bermimpi, apakah dia sedang terjaga atau tidur?"
"Tidak kedua-duanya. Dia bermimpi ketika sedang 'tidur-tidur ayam', yaitu keadaan antara tidur dan sadar."


76. Kematian Prematur

"Yang Mulia Nagasena, apakah semua makhluk hidup mati ketika jangka waktu hidup mereka telah berakhir, atau apakah beberapa di antaranya mati prematur?"
"Keduanya, O baginda. Seperti buah di pohon yang terkadang jatuh ketika telah masak dan terkadang sebelum masak karena pengaruh angin, atau serangga, atau tongkat. Demikian juga beberapa makhluk mati ketika jangka waktu hidup mereka telah berakhir, tetapi ada juga yang mati prematur."
"Tetapi Nagasena, semua yang mati sebelum waktunya tersebut, baik yang tua atau muda, telah mencapai akhir dari jangka waktu hidup yang telah ditentukan sebelumnya. Jadi tidak ada yang dinamakan mati prematur."
"O baginda, ada tujuh macam kematian prematur bagi mereka yang mati secara prematur, walaupun mereka itu sebenarnya masih mempunyai sisa waktu hidup:

  1. karena kelaparan,
  2. kehausan,
  3. gigitan ular,
  4. racun,
  5. api,
  6. tenggelam,
  7. senjata.
Dan kematian datang melalui delapan cara:
  1. melalui angin,
  2. empedu,
  3. lendir,
  4. campuran cairan tubuh,
  5. perubahan temperatur,
  6. tekanan keadaan lingkungan,
  7. pengaruh luar, dan
  8. karma.12
Dan dari semua tadi, hanya yang melalui karma saja yang disebut akhir dari jangka waktu hidupnya. Yang lain semuanya prematur."
"Yang Mulia Nagasena, Anda mengatakan ada kematian prematur. Berikanlah alasan lain untuk itu."
"Api besar, O baginda, yang kehabisan tenaga dan mati ketika bahan bakarnya telah habis -bukan sebelumnya karena berbagai penyebab lain- dikatakan telah mati pada waktunya. Demikian juga dengan orang yang mati dalam usia tua -tanpa ada kecelakaan apa pun- dikatakan telah mencapai akhir jangka waktu hidupnya. Tetapi di dalam kasus api yang dipadamkan oleh hujan deras, tidak dapat dikatakan bahwa api itu telah mati pada waktunya. Demikian juga, siapa pun yang mati sebelum waktunya karena penyebab selain karma dikatakan mati prematur."


77. Mukjizat di Tempat Pemujaan Para Arahat

"Apakah ada mukjizat di tempat pemujaan (cetiya) semua Arahat atau hanya pada cetiya beberapa Arahat saja?"
"Hanya pada beberapa. Dengan tekad kemauan keras dari tiga macam individu maka akan terjadi mukjizat:

  1. oleh seorang Arahat ketika beliau masih hidup,
  2. oleh para dewa, atau
  3. oleh seorang siswa bijaksana yang mempunyai keyakinan.
Jika tidak ada tekad kemauan keras maka tidak akan ada mukjizat, sekalipun di tempat pemujaan para Arahat yang mempunyai kekuatan supra-normal. Tetapi meskipun tidak ada mukjizat, orang harus mempunyai keyakinan terhadap mereka setelah mengetahui perilaku mereka yang murni tanpa cela."

78. Dapatkah Semua Memahami Dhamma?

"Apakah semua yang berlatih dengan benar mencapai pandangan terang mengenai Dhamma, atau adakah beberapa yang tidak mencapainya?"
"Tidak akan ada pencapaian pandangan terang bagi mereka yang -meskipun telah berlatih dengan benar- merupakan binatang, setan kelaparan, para penganut pandangan salah, penipu, pembunuh ibu, pembunuh ayah, pembunuh Arahat, pemecah belah Sangha, yang melukai seorang Tathagata, yang memakai jubah dengan mencurinya,13 yang berpindah ke sekte lain, yang bertindak kejam kepada bhikkhuni, menyembunyikan pelanggaran yang menyebabkan perlunya pertemuan Sangha,14 orang kasim atau banci. Demikian juga anak yang berusia di bawah tujuh tahun tidak akan mampu mewujudkan Dhamma."
"Apakah alasannya sehingga anak yang berusia di bawah tujuh tahun tidak dapat mencapai pandangan terang? Bukankah pikiran seorang anak itu murni dan seharusnya siap untuk mewujudkan Dhamma?"
"Jika seandainya saja, baginda, seorang anak di bawah tujuh tahun dapat merasakan nafsu untuk hal-hal yang menyebabkan nafsu, dapat merasakan kebencian untuk hal-hal yang menimbulkan kebencian, dapat dibodohi oleh hal-hal yang menyesatkan dan dapat membedakan antara kebajikan dan ketidakbajikan, maka pandangan terang adalah mungkin baginya. Tetapi, baginda, pikiran anak yang berusia di bawah tujuh tahun masih lemah sedangkan unsur nibbana yang tak-terkondisi itu berat dan dalam. Oleh karenanya, O baginda, meskipun berlatih dengan benar, anak yang berusia di bawah tujuh tahun tidak dapat mewujudkan Dhamma."


79. Kebahagiaan Nibbana

"Apakah nibbana itu sepenuhnya membahagiakan ataukah sebagian menyakitkan?"
"Sepenuhnya membahagiakan."
"Hal itu tidak dapat aku terima. Mereka yang mencarinya harus berlatih amat keras dan berjuang amat keras dengan tubuh dan pikiran, tidak makan kecuali pada saat yang tepat, mengurangi tidur, mengendalikan indera, dan mereka harus meninggalkan kekayaan, keluarga, dan teman-temannya. Mereka yang menikmati kesenangan-kesenangan indera merasa bahagia tetapi Anda mengendalikan diri dan mencegah kenikmatan semacam itu sehingga mengalami ketidaknyamanan dan rasa sakit secara fisik maupun mental."
"O baginda, nibbana tidak mempunyai rasa sakit. Apa yang baginda sebut rasa sakit itu bukanlah nibbana. Memang benar bahwa mereka yang sedang mencari nibbana akan mengalami rasa sakit dan ketidaknyamanan, tetapi sesudah itu mereka akan mengalami kebahagiaan nibbana yang tidak ternoda. Saya akan memberikan alasan untuk itu. Apakah ada, O baginda, suatu kebahagiaan tertentu yang diperoleh karena kedaulatan raja?"
"Ya, ada."
"Apakah hal itu bercampur dengan rasa sakit?"
"Tidak."
"Kalau begitu, O baginda, mengapa bila prajurit daerah-daerah di perbatasan memberontak, raja-raja harus meninggalkan istananya dan menempuh perjalanan di tanah yang tidak rata, menderita akibat gigitan nyamuk dan angin yang panas, dan terlibat pertempuran sengit yang membahayakan nyawa mereka?"
"Itu, Yang Mulia Nagasena, bukanlah kebahagiaan dari kedaulatan raja. Itu hanyalah tahap awal dari pencarian kebahagiaan tersebut. Baru sesudah memenangkan pertempuran maka mereka dapat menikmati kebahagiaan suatu kedaulatan. Dan kebahagiaan itu, Nagasena, tidak bercampur dengan rasa sakit."
"Demikian juga, O baginda, nibbana adalah kebahagiaan yang tidak ternoda, dan tidak ada rasa sakit yang tercampur di dalamnya."


80. Gambaran tentang Nibbana

"Apakah mungkin, Nagasena, menunjukkan ukuran, bentuk, atau jangka waktu nibbana dengan menggunakan perumpamaan?"
"Tidak, hal itu tidak mungkin. Tidak ada hal lain yang menyerupainya."
"Apakah ada sifat nibbana yang terdapat pada hal-hal lain yang dapat ditunjukkan dengan perumpamaan?"
"Ya, itu dapat dilakukan.
"Bagaikan teratai yang tidak basah oleh air, nibbana tidak tercemar oleh kegelapan batin.
"Bagaikan air, nibbana mendinginkan panasnya kegelapan batin dan meredakan nafsu keinginan.
"Bagaikan obat, nibbana melindungi makhluk yang terkena racun kegelapan batin, menyembuhkan penyakit penderitaan, dan memberi gizi seperti nektar.
"Bagaikan samudera yang kosong dari mayat, nibbana sama sekali kosong dari kegelapan batin; seperti samudera yang tidak bertambah walaupun semua air sungai mengalir ke dalamnya, demikian juga nibbana tidak akan bertambah dengan semua makhluk yang mencapainya; nibbana adalah tempat bagi para makhluk agung (para Arahat), dan ia dihiasi oleh gelombang pengetahuan dan kebebasan.
"Bagaikan makanan yang menopang kehidupan, nibbana menyingkirkan usia tua dan kematian; nibbana meningkatkan kekuatan spiritual para makhluk; nibbana memberikan keindahan moralitas, nibbana menghilangkan tekanan kegelapan batin, nibbana menghalau kelelahan semua penderitaan.
"Bagaikan ruang, nibbana tidak dilahirkan, tidak lapuk ataupun hancur, nibbana tidak berlalu di sini dan muncul di tempat lain, nibbana tidak terkalahkan, pencuri tidak dapat mengambilnya, nibbana tidak terikat pada apa pun, nibbana adalah lingkup bagi para Ariya ibarat burung-burung di angkasa, nibbana tidak terhalangi dan tidak terhingga.
"Bagaikan permata yang bisa mengabulkan segala permintaan, nibbana memenuhi semua keinginan, menyebabkan sukacita dan berkilau.
"Bagaikan kayu cendana merah, nibbana sulit didapat, keharumannya tak ada bandingnya dan nibbana dipuji orang-orang bajik.
"Bagaikan ghee yang dikenal karena sifat khasnya, begitu juga nibbana mempunyai sifat khas sendiri; seperti ghee yang beraroma harum, begitu juga nibbana memiliki keharuman moralitas; seperti ghee yang mempunyai cita rasa yang lezat, begitu juga nibbana mempunyai kelezatan cita rasa kebebasan."
"Bagaikan puncak gunung, nibbana sangat tinggi, tidak tergoyahkan, tidak ada jalan masuk bagi kegelapan batin; nibbana tidak mempunyai ruang bagi kegelapan untuk dapat tumbuh, dan nibbana tidak memihak atau berprasangka."


81. Perwujudan Nibbana

"Anda mengatakan, Nagasena, bahwa nibbana itu bukan masa lalu, bukan masa kini, dan bukan masa mendatang, bukan timbul dan bukan pula tidak-timbul, dan tidak dapat dihasilkan.15 Dalam hal itu, apakah orang yang mewujudkan nibbana berarti mewujudkan sesuatu yang telah dihasilkan, atau dia sendiri yang pertama-tama menghasilkannya dan baru kemudian mewujudkannya?"
"Bukan itu semua O baginda, tetapi nibbana itu benar-benar ada."
"Nagasena, janganlah menjawab pertanyaan ini dengan membuatnya semakin kabur. Jelaskanlah dan babarkanlah. Nibbana merupakan titik yang membuat banyak orang menjadi bingung dan tersesat di dalam keraguan. Patahkanlah anak panah ketidakpastian ini."
"Unsur nibbana itu benar-benar ada, O baginda. Bila orang telah berlatih dengan benar dan sungguh-sungguh mengerti bentukan-bentukan menurut apa yang telah diajarkan oleh Sang Penakluk, maka dengan kebijaksanaannya dia mewujudkan nibbana.
"Dan bagaimanakah nibbana ditunjukkan? Dengan terbebasnya dari rasa tertekan dan bahaya, dengan kemurnian dan kesejukan. Seperti halnya seseorang, yang ketakutan dan ngeri karena telah terjatuh ke tangan musuh, akan merasa lega dan sangat berbahagia ketika dia dapat meloloskan diri ke tempat yang aman; atau seperti halnya seseorang yang terjatuh di lubang yang penuh kotoran akan merasa lega dan gembira setelah keluar dari lubang itu dan membersihkan diri; seperti halnya seorang yang terjebak api di hutan akan menjadi tenang dan merasakan kesejukan setelah dia mencapai daerah yang aman. Baginda seharusnya menganggap kecemasan yang timbul terus-menerus karena kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian itu sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Baginda seharusnya menganggap keuntungan, kehormatan dan ketenaran itu sebagai kotoran. Baginda
seharusnya menganggap api berunsur tiga -lobha (keserakahan), dosa (kebencian) dan moha (kegelapan batin)- sebagai sesuatu yang panas dan menusuk.
"Dan bagaimana orang yang berlatih dengan benar dapat mewujudkan nibbana? Dengan benar dia memahami sifat bentukan yang terus berputar dan di sana dia hanya melihat kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian; dia tidak melihat sesuatu yang menyenangkan atau yang serasi di bagian mana pun juga. Karena melihat bahwa tidak ada yang dapat dilekati di sana, bagaikan berada di atas bola besi yang panas membara, pikirannya dipenuhi dengan ketidakpuasan, dan panas menjalar di seluruh tubuhnya; karena merasa putus asa dan tanpa perlindungan, dia menjadi muak dengan kehidupan yang berulang-ulang. Dan bagi orang yang melihat ngerinya rantai kehidupan yang terus berjalan, timbullah pemikiran: 'Roda kehidupan ini berada di atas api dan menyala, penuh dengan penderitaan dan keputusasaan. Jika saja ada akhir dari semua ini, akhir itu akan penuh dengan kedamaian, dan hal itu luar biasa; berhentinya semua bentukan mental, lepasnya kemelekatan, musnahnya keserakahan, hancurnya nafsu keinginan, berhentinya penderitaan, nibbana!
"Dari situ pikirannya melompat ke depan menuju keadaan di mana tidak ada lagi dumadi. Pada saat itulah dia menemukan kedamaian, kemudian dia bersyukur dan bersukacita pada pemikiran: 'Sebuah perlindungan akhirnya ditemukan!' Dia terus berusaha keras di dalam Sang Jalan untuk menghentikan segala bentukan, menemukan caranya, mengembangkannya, dan memanfaatkan sebaik-baiknya. Untuk tujuan itulah dia membangkitkan kewaspadaan, semangat dan sukacitanya; dan dengan berulang-ulang memperhatikan pemikiran itu [muak pada bentukan-bentukan mental], setelah melampaui rantai kehidupan yang terus berjalan, dia dapat memutuskan lingkaran itu. Orang yang telah memutuskan rantai kehidupan yang terus berjalan ini dikatakan telah mewujudkan nibbana."16


82. Di manakah Nibbana?

"Apakah ada tempat, Nagasena, di mana nibbana tersimpan?"
"Tidak, tidak ada, tetapi nibbana itu sungguh-sungguh ada. Seperti halnya tidak ada tempat di mana api disimpan tetapi api dapat dihasilkan dengan menggosokkan dua batang kayu kering."
"Tetapi adakah tempat di mana orang bisa berdiri dan mewujudkan nibbana?"
"Ya, ada; moralitas adalah tempatnya;17 dengan berdiri di atas moralitas, dan dengan penalaran, di mana pun dia berada, bisa di Sychtia atau di Bactria, di China atau Tibet,18 di Kashmir atau Gandhara, di puncak gunung atau surga tertinggi, orang yang berlatih dengan benar dapat mewujudkan nibbana."
"Bagus sekali, Nagasena, Anda telah mengajarkan nibbana, telah menjelaskan tentang perwujudan nibbana, telah memuji kualitas moralitas, menunjukkan cara berlatih yang benar, menjunjung tinggi panji-panji Dhamma, memantapkan Dhamma sebagai prinsip utama. Tidak akan sia-sia atau tanpa buah usaha orang-orang yang mempunyai tujuan yang benar."


Catatan:
  1. Ja. vi. 479 dst.
  2. Usabha, menurut PED, adalah seekor banteng yang menjadi pemimpin kelompok, atau pria yang amat kuat. YM Ledi Sayadaw menggambarkan usabha sebagai banteng amat istimewa yang dapat melindungi seluruh kelompok, bahkan seluruh desa, dari penyakit. Mungkin inilah alasan mengapa dia tidak boleh diberikan. Tetapi dalam konteks di atas, pemberian berupa seorang pria lebih konsisten artinya dengan pemberian berupa seorang wanita, keduanya tidaklah pantas.
  3. M. Sta. 81, Ap. 301 - sebagai akibat mencaci maki Buddha Kassapa di dalam kehidupan yang lampau. Lihat Dilema 46 hal. 123.
  4. M. i. 246, Ja. i. 57.
  5. Bandingkan Pertanyaan No. 7 di atas, hal. 53
  6. Raja menarik kesimpulan dengan berkata bahwa para penjahat mengalami akibat perbuatan jahatnya ketika mereka dihukum. Lihat Dilema 8; "Tanpa penglihatan seorang Buddha, tidak ada orang yang mampu memastikan jangkauan jalannya karma".
  7. Tujuh, termasuk 5 dari 6 ini, diacu sebelumnya dari Dilema 4 hal. 69; tambahannya adalah Punna si pekerja dan Punna si budak wanita. Yang tidak termasuk di atas adalah Punnaka si budak.
  8. Daso dan dasi mengacu pada'budak'; bhatako adalah seseorang yang bekerja dan menerima gaji.
  9. Delapan gajah, 8 kuda, 8000 kahapana, 8 wanita, 8 budak, dan hasil penjualan dari 8 desa.
  10. Vamagamino; papagahino -berpikiran jahat, memiliki pandangan salah.
  11. Vicakkhuka - tak bermata, atau mungkin sekadar 'benar-benar bodoh'.
  12. Lihat Dilema 8, hal. 73.
  13. Vin. i. 86 -mengenakan jubah sendiri dan berpura-pura sebagai bhikkhu.
  14. Anehnya, tidak disebutkan di dalam daftar ini mereka yang bersalah melanggar Parajika, tetapi mereka dapat dianggap penipu.
  15. Tidak terlacak, tetapi bandingkan Dilema 65, hal. 148.
  16. Seluruh bacaan telah diatur ulang untuk membuatnya lebih padat.
  17. Bandingkan Pertanyaan no. 9 hal.11.
  18. Cilata mungkin adalah Tibet. Lihat Geography of Early Buddhism, B.C. Law.

[Kembali]

BAB ENAM BELAS
1. Pertanyaan yang Diselesaikan dengan Kesimpulan

Raja Milinda menemui Nagasena di tempat kediamannya, dan setelah memberi hormat, raja duduk di satu sisi. Karena ingin mengetahui, mendengar dan mengingat di dalam pikiran, serta ingin menghalau kebodohan batinnya, raja mengumpulkan keberanian dan semangatnya, memantapkan pengendalian diri dan kewaspadaannya, dan kemudian berbicara kepada Nagasena:
"Sudah pernahkah Yang Mulia melihat Sang Buddha?"1
"Belum, baginda."
"Sudah pernahkah guru-guru Anda melihat Sang Buddha?"
"Belum, baginda."
"Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha itu tidak ada; tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan Sang Buddha."
"Tapi, apakah para ksatria yang merupakan pendiri garis keturunan raja yang menurunkan baginda itu ada?"
"Tentu saja, Yang Mulia, tidak ada keraguan tentang hal itu."
"Sudah pernahkah baginda melihat mereka?"
"Belum, Yang Mulia."
"Apakah para guru dan menteri negara yang menetapkan undang-undang sudah pernah melihat mereka?"
"Belum, Yang Mulia."
"Kalau begitu, tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan para ksatria di zaman dahulu itu."
"Tetapi Nagasena, lencana kerajaan yang mereka gunakan masih dapat dilihat, dan dari situ kita dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa para ksatria di zaman dahulu itu benar-benar ada."
"Demikian juga, O baginda, kita dapat mengetahui bahwa Sang Buddha pernah hidup dan kita dapat mempercayai Beliau. Lencana kerajaan yang dipakai Sang Buddha masih dapat dilihat. Ada empat landasan kewaspadaan, empat usaha benar, empat landasan keberhasilan, lima kekuatan moral, lima kemampuan yang mengendalikan, tujuh faktor pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dari semua itu kita dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa Sang Buddha benar-benar ada."
"Berikanlah ilustrasi."
"Seperti halnya orang yang melihat kota yang indah dan terencana dengan baik akan mengetahui bahwa kota itu ditata oleh arsitek yang ahli; demikian juga kota kebenaran yang dibangun oleh Sang Buddha dapat dilihat. Kota itu memiliki kewaspadaan yang tak terputus sebagai jalan utamanya, dan di jalan utama itu terdapat kios-kios pasar yang menjual bunga, wangi-wangian, buah, penawar, obat, nektar, permata tak ternilai, dan segala macam barang dagangan. Demikianlah, O baginda, kota kebenaran Sang Buddha direncanakan dengan baik, dibangun dengan kuat dan terlindung dengan baik sehingga kota itu tak dapat ditembus musuh; dan dengan metode menyimpulkan ini baginda dapat mengetahui bahwa Sang Buddha pernah ada."


"Apakah bunga di kota kebenaran itu?"
"Ada beberapa objek meditasi yang diperkenalkan oleh Sang Buddha: persepsi tentang ketidakkekalan, tentang ketidakpuasan, tidak adanya jiwa, sifat yang menjijikkan, bahaya, melepas, hilangnya nafsu, kekecewaan terhadap semua alam kehidupan, ketidakkekalan semua bentukan mental; meditasi dengan memperhatikan napas, persepsi mengenai sembilan macam mayat dalam proses pembusukan yang berlangsung, meditasi cinta kasih, kasih sayang, suka cita dengan simpati dan ketenang-seimbangan batin; serta kewaspadaan terhadap kematian dan kewaspadaan terhadap tiga puluh dua bagian tubuh.2 Siapa pun yang ingin terbebas dari usia tua dan kematian dapat memilih salah satu objek tersebut. Maka dia akan dapat terbebas dari nafsu keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, kesombongan dan pandangan salah. Dia dapat menyeberangi lautan samsara, membendung derasnya aliran nafsu keinginan, dan menghancurkan semua penderitaan. Dia kemudian dapat memasuki kota nibbana di mana terdapat rasa aman, ketenangan dan kebahagiaan."


"Apakah wangi-wangian di kota kebenaran itu?"
"Wangi-wangian itu ada dalam bentuk pelaksanaan pengendalian diri lewat Tiga Perlindungan, lima sila, delapan sila, sepuluh sila, serta Patimokkha bagi para. bhikkhu. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:

'Tak ada keharuman bunga yang dapat melawan arah angin,
Baik itu cendana, sari wewangian, atau bunga melati'.
Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan angin,
Ke segala arah menyebar harumnya nama orang yang bajik.'3


"Apakah buah di kota kebenaran itu?"
"Buah itu adalah buah pemenang-arus, buah yang-kembali-sekali-lagi, buah yang-tidak-kembali-lagi, dan buah Arahat, pencapaian kekosongan, pencapaian keadaan tanpa-tanda dan pencapaian hilangnya nafsu."4


"Apakah obat penawar di kota kebenaran itu?"
"Empat Kesunyataan Mulia adalah penawar bagi racun kegelapan batin. Siapa pun yang merindukan pandangan terang yang tertinggi dan mendengar Ajaran ini akan terbebas dari kelahiran, usia tua, kematian, kesusahan, penderitaan, duka cita, ratap-tangis dan keputusasaan."


"Apakah obat di kota kebenaran itu?"
"Obat-obat tertentu, O baginda, telah diberikan oleh Sang Buddha untuk menyembuhkan para dewa dan manusia. Inilah obat-obat itu: Empat Landasan Kewaspadaan, Empat Usaha Benar, Empat Landasan Keberhasilan, Lima Kemampuan Pengendali, Lima Kekuatan Moral, Tujuh Faktor Pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dengan obat-obat ini Sang Buddha menyembuhkan orang dari pandangan salah, pikiran salah, ucapan salah, tindakan salah, mata pencaharian salah, usaha salah, kewaspadaan salah dan konsentrasi salah. Beliau membebaskan mereka dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, kesombongan, kepercayaan tentang adanya diri, keraguan, kegelisahan, kemalasan dan kelambanan, tidak tahu malu dan kesembronoan serta semua kekotoran batin lainnya."


"Apakah nektar di kota kebenaran itu?"
"Kewaspadaan terhadap tubuh adalah bagaikan nektar, karena semua makhluk yang dipenuhi nektar kewaspadaan terhadap tubuh ini akan terbebas dari segala penderitaan. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:

'Mereka yang memanfaatkan kewaspadaan terhadap tubuh akan menikmati nektar keadaan tanpa-kematian.'5


"Apakah permata tak ternilai di kota kebenaran itu?"
"Moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan visi kebebasan, pengetahuan untuk membedakan, dan faktor-faktor pencerahan adalah permata tak ternilai dari Sang Buddha.
"Dan apakah permata tak ternilai dari moralitas? Yaitu nilai-nilai luhur pengendalian lewat peraturan Patimokkha; nilai-nilai luhur pengendalian kemampuan indera; nilai-nilai luhur mata pencaharian benar; nilai-nilai luhur perenungan terhadap penggunaan empat kebutuhan pokok secara benar, makanan yang dikumpulkan, obat-obatan, jubah, dan tempat tinggal; nilai-nilai luhur pengendalian sesuai dengan peraturan disiplin yang pokok, menengah dan kecil,6 serta nilai-nilai luhur yang sudah menjadi kebiasaan manusia mulia."
"Dan apakah permata tak ternilai dari konsentrasi? Yaitu jhana pertama dengan buah-pikir pemicu dan buah-pikir yang bertahan, jhana kedua tanpa buah-pikir pemicu tetapi dengan buah-pikir yang bertahan, jhana ketiga tanpa buah-pikir pemicu maupun buah-pikir yang bertahan tetapi dengan sukacita yang murni, kebahagiaan dan pemusatan pikiran; dan ini merupakan konsentrasi pada kekosongan, pada keadaan-tanpa-tanda dan pada tiadanya nafsu keinginan. Ketika seorang bhikkhu mengenakan permata konsentrasi ini, maka buah-buah pikir yang jahat dan tidak bermanfaat akan terlepas dari pikirannya bagaikan air di daun teratai.
"Dan apakah permata tak ternilai dari kebijaksanaan? Yaitu pengetahuan tentang apa yang bajik dan apa yang tidak bajik, apa yang tercela dan apa yang terpuji, serta pengetahuan tentang Empat Kesunyataan Mulia.
"Dan apakah permata tak ternilai dari kebebasan? Tingkat Arahat adalah permata dari segala permata, permata tak ternilai dari kebebasan. Jika seorang bhikkhu mengenakannya, dia lebih cemerlang daripada yang lain.
"Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan dan visi kebebasan? Yaitu pengetahuan yang digunakan para Arya untuk meninjau lagi Sang Jalan, buah-buahnya dan nibbana, dan merenungkan kekotoran batin yang telah dapat dihilangkan dan kekotoran batin yang masih ada.
"Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan untuk membedakan? Yaitu pandangan terang analitis terhadap makna, hukum, bahasa dan kecerdasan. Siapa pun yang mengenakan permata ini tidak akan takut menghadapi berbagai macam pertemuan dan percaya diri karena tahu bahwa dia dapat menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepadanya.
"Dan apakah permata tak ternilai dari faktor-faktor pencerahan? Yaitu permata kewaspadaan, penyelidikan akan kebenaran, semangat, sukacita, ketenangan, konsentrasi dan ketenang-seimbangan batin. Jika dihiasi dengan permata-permata ini, seorang bhikkhu akan menerangi dunia dengan keluhurannya."


2. Latihan Petapa

Raja melihat para bhikkhu di hutan, sendirian dan jauh dari orang lain, menjalankan latihan berat sesuai dengan sumpahnya. Raja juga melihat para perumah-tangga di rumah mereka yang memetik buah manis dari Jalan Mulia. Ketika mempertimbangkan kedua hal ini, raja merasakan keraguan yang mendalam. "Jika umat awam juga mewujudkan kebenaran, maka bersumpah seperti itu tentunya sia-sia saja. Baiklah! Akan saya tanyakan pada guru yang terbaik, yang bijaksana dalam tiga kitab suci yang berisi ajaran Sang Buddha, yang terampil menyanggah argumentasi lawannya. Dia akan mampu menghalau keraguanku!"7Milinda mendatangi Nagasena, memberi hormat, duduk di satu sisi dan bertanya: "Yang Mulia Nagasena, apakah ada umat awam yang telah mencapai nibbana?"
"Tidak hanya seratus atau seribu, tetapi lebih dari semilyar8 yang telah mencapai nibbana."
"Nagasena, jika perumah tangga yang hidup di rumahnya, yang menikmati kesenangan-kesenangan indera juga dapat mencapai nibbana, apakah gunanya sumpah tambahan tersebut? Jika musuh dapat dikalahkan hanya dengan tinju, apa gunanya mencari senjata? Jika pohon dapat dipanjat begitu saja, apa gunanya tangga? Jika berbaring di lantai sudah nyaman, apa gunanya ranjang? Demikian juga, jika orang awam sudah dapat mencapai nibbana bahkan sembari hidup di rumah, apa gunanya sumpah tambahan?"
"O baginda, ada dua puluh delapan keluhuran sumpah yang dinilai tinggi oleh para Buddha. Menjaga sumpah adalah:

  1. Suatu cara hidup murni,
  2. Buahnya membahagiakan,
  3. Tidak tercela,
  4. Tidak membawa penderitaan bagi yang lain,
  5. Memberikan rasa yakin,9
  6. Tidak menekan,10
  7. Pasti menyebabkan tumbuhnya sifat-sifat yang baik,
  8. Mencegah kemunduran,
  9. Tidak mengotori batin,
  10. Merupakan perlindungan,
  11. Memenuhi keinginan,
  12. Menjinakkan semua makhluk,
  13. Baik bagi disiplin diri,
  14. Pantas bagi seorang petapa,
  15. Dia mandiri,11
  16. Dia bebas,12
  17. Menghancurkan nafsu,
  18. Menghancurkan kebencian,
  19. Menghancurkan kebodohan batin,
  20. Mengikis kesombongan,
  21. Memutus pikiran yang mengembara dan membuat pikiran terpusat,
  22. Mengatasi keraguan,
  23. Menghalau kelambanan,
  24. Melenyapkan ketidak-puasan,
  25. Membuatnya punya toleransi,
  26. Tak ada bandingnya,
  27. Tak terukur, dan
  28. Mengarah pada hancurnya semua penderitaan.
"Dan siapa pun yang melaksanakan sumpah-sumpah itu akan memperoleh delapan belas sifat yang baik,
  1. Perilakunya murni,
  2. Prakteknya terpenuhi,
  3. Tindakan dan kata-katanya terjaga baik,
  4. Buah-buah pikirnya murni,
  5. Semangatnya bangkit,
  6. Ketakutannya berkurang,
  7. Pandangan tentang diri terhalau,
  8. Kemarahan lenyap dan
  9. Cinta kasih tumbuh,
  10. Dia makan dengan memahami sifat makanan yang menjijikkan,
  11. Dia dihormati oleh semua makhluk,
  12. Dia makan secukupnya,
  13. Dia penuh kewaspadaan,
  14. Dia tak-berumah dan
  15. Dapat berdiam di mana pun yang sesuai baginya,
  16. Dia jijik terhadap kejahatan,
  17. Dia bersuka cita di dalam kesendirian dan
  18. Dia selalu penuh perhatian.
"Dan ada sepuluh macam orang yang pantas mengambil sumpah itu:
  1. Orang yang penuh keyakinan,
  2. Orang yang tahu malu,
  3. Orang yang penuh keberanian,
  4. Orang yang tidak munafik,
  5. Orang yang mengandalkan diri sendiri,
  6. Orang yang tegar,
  7. Orang yang berniat untuk berlatih,
  8. Orang yang bertekad kuat,
  9. Orang yang selalu introspeksi,
  10. Orang yang penuh kasih sayang.
"Dan semua orang awam yang mewujudkan nibbana ketika hidup di rumahnya bisa melakukan hal itu karena telah mempraktekkan sumpah ini di dalam kelahiran mereka sebelumnya. Tidak akan ada perwujudan tujuan tingkat Arahat di dalam kehidupan kali ini tanpa sumpah tersebut. Tingkat Arahat hanya dapat dicapai dengan usaha yang amat sangat keras. Jadi nilai menjaga sumpah tersebut sangat tinggi, dan kuat adanya.
"Dan siapa pun, O baginda, yang mempunyai niat jahat, mengambil sumpah ini dengan tujuan mencari keuntungan materi, akan mendapatkan hukuman ganda: di dunia ini dia akan dipandang rendah dan dicemooh, dan sesudah mati dia akan menderita di neraka.
"Tetapi siapa pun, O baginda, yang perilakunya sesuai dengan kehidupan kebhikkhuan, yang layak menjadi bhikkhu, yang sedikit keinginannya dan berpuas hati, terbiasa dengan kesendirian, penuh semangat, tidak memiliki akal bulus, dan telah meninggalkan keduniawian bukan karena ingin memperoleh keuntungan dan ketenaran melainkan karena memiliki keyakinan terhadap Dhamma, yang menginginkan kebebasan dari usia tua dan kematian, dia pantas mendapat penghormatan ganda karena dia dicintai oleh dewa dan manusia, dan dengan cepat dia memperoleh empat buah, empat jenis kemampuan membedakan,13 visi berunsur-tiga,14 dan pengetahuan berunsur-enam yang lebih tinggi.15"Dan apakah tiga belas sumpah tersebut?

  1. Mengenakan jubah dari potongan-potongan kain,
  2. Menggunakan hanya tiga jubah,
  3. Hidup hanya dengan mengumpulkan dana makanan,
  4. Mengumpulkan dana makanan dari satu rumah ke rumah lain tanpa pilih-pilih,
  5. Makan sekali sehari,
  6. Makan hanya dari mangkuk,
  7. Menolak makanan yang ditawarkan sesudah itu,
  8. Berdiam di hutan,
  9. Berdiam di bawah pohon,
  10. Berdiam di tempat terbuka,
  11. Berdiam di kuburan,
  12. Menggunakan tempat tidur mana pun yang diberikan, dan
  13. Tidak berbaring untuk tidur.16
"Dan dengan menjalankan sumpah-sumpah inilah Upasena dapat mengunjungi Sang Buddha ketika Beliau sedang menyendiri,17 dan karena sumpah yang sama pula Sariputta memiliki keluhuran yang begitu tinggi sehingga dia dinyatakan sebagai orang kedua yang hanya kalah oleh Sang Buddha dalam kemampuannya membabarkan Dhamma."18
"Bagus sekali Nagasena, seluruh Ajaran Sang Buddha, pencapaian adiduniawi dan semua hasil terbaik di dunia ini tercakup di dalam tiga belas latihan pertapa ini."


Catatan:
  1. Bandingkan D. i. Sta. 13.
  2. Lihat Apendiks.
  3. Dhp. syair 54.
  4. Orang dengan tekad besar merenungkan ketidak-kekalan dan mencapai keadaan-tanpa-tanda, orang dengan ketenangan yang besar merenungkan ketidak-puasan dan mencapai keadaan tanpa nafsu keinginan, orang dengan kebijaksanaan yang besar merenungkan tiadanya 'aku' dan mencapai kekosongan.
  5. A. i. 45.
  6. Dijelaskan secara terperinci dalam Samañña Phala Sutta dari Digha Nikaya, ketiga bab ini menjelaskan semua jenis mata pencaharian yang salah bagi para bhikkhu, seperti meramal dan ikut campur dalam urusan perumahtangga, dan kelakuan salah lain seperti misalnya ikut bermain di dalam suatu permainan.
  7. Terjemahan Rhys Davids.
  8. Seperti halnya manusia, banyak dewa yang mencapai nibbana pada waktu mendengarkan Dhamma.
  9. Bebas dari rasa takut terhadap perampok.
  10. Terpaksa demi melindungi hartanya.
  11. Tidak melekat pada keluarga.
  12. Dan bebas pergi kemana pun juga. Vism. 59-83
  13. Diskriminasi terhadap arti, hukum, bahasa dan kecerdasan.
  14. Tevijja -ingatan akan kehidupan lampau, pengetahuan tentang muncul dan lenyapnya makhluk, pengetahuan akan hancurnya banjir (asava).
  15. Abhiññana -kekuatan supra-normal seperti misalnya terbang di angkasa, memiliki telinga dewa yang luar biasa kemampuan dengarnya, penembusan pikiran, ditambah tiga hal di atas.
  16. Lihat Vism. 59 dst, untuk detailnya.
  17. Vin. iii. 230 dst.
  18. A. i. 23, bandingkan S. i. 191.

[Kembali]

BAB TUJUH BELAS
PERUMPAMAAN1

"Yang Mulia Nagasena, apakah sifat-sifat yang harus dimiliki seorang bhikkhu agar dapat mencapai tingkat Arahat?"
1. Keledai
"Seperti halnya, O baginda, seekor keledai, tidak akan beristirahat lama di mana pun ia berbaring; demikian juga seorang bhikkhu yang berniat mencapai tingkat Arahat tidak akan beristirahat lama."


2. Ayam
"Seperti halnya ayam bertengger pada saat yang tepat; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya segera melaksanakan tugas-tugasnya2 setelah mengumpulkan dana makanan dan pergi ketempat yang sunyi untuk bermeditasi.
"Seperti halnya seekor ayam bangun pagi; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya bangun pagi.
"Seperti halnya seekor ayam terus-menerus mengais tanah mencari makan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya terus-menerus merenungkan makanan yang dimakannya dengan berpikir: 'Saya makan bukan untuk kenikmatan dan bukan untuk penampilan, melainkan hanya untuk menepis rasa sakit karena lapar dan agar saya dapat menjalankan kehidupan suci. Dengan demikian saya akan mengakhiri penderitaan'.
"Seperti halnya seekor ayam meskipun mempunyai mata namun buta di waktu malam; demikian juga seorang bhikkhu seolah-olah buta ketika sedang bermeditasi, tidak memperhatikan objek-objek indera yang mungkin akan mengganggu konsentrasinya.
"Dan seperti halnya seekor ayam meskipun diusir dengan tongkat dan batu tidak meninggalkan tempatnya bertengger; demikian juga seorang bhikkhu tidak meninggalkan kewaspadaannya, tidak peduli apakah dia sedang sibuk membuat jubah, membangun, mengajar, mempelajari kitab suci, atau melakukan apa pun.


4. Harimau Kumbang Betina
"Seperti halnya seekor harimau kumbang betina hanya hamil sekali dan tidak akan berpaling lagi pada yang jantan; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu. Karena melihat penderitaan yang menjadi sifat kelahiran ulang, seorang bhikkhu memutuskan untuk tidak memasuki kelahiran yang mana pun di masa mendatang. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha, O baginda, di dalam Dhaniya Sutta di Sutta Nipata:

Setelah mematahkan belenggu-belenggu seperti banteng, dan seperti gajah yang telah mematahkan tanaman-tanaman menjalar, maka tidak akan ada lagi kelahiran bagiku. Jadi, curahkan hujan, O awan, jika engkau mau!'3


7. Pohon Bambu
"Seperti halnya pohon bambu berayun ke mana angin bertiup; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu, fleksibel dan menyesuaikan diri pada ajaran.


10. Monyet
"Seperti halnya seekor monyet tinggal di pohon besar yang rindang dan tertutup rapat oleh dahan-dahan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tinggal dengan guru yang terpelajar, yang patut dihormati dan mampu membimbingnya.


12. Teratai
"Seperti halnya teratai tidak ternoda oleh air di mana ia dilahirkan dan tumbuh; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak ternoda oleh dukungan, persembahan dan penghormatan umatnya.
"Seperti halnya teratai terangkat di atas air; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu berada jauh di atas keduniawian.
"Dan seperti halnya teratai bergetar terkena hembusan angin sepoi; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu gemetar walaupun hanya berpikir ingin melakukan kejahatan, karena melihat adanya bahaya di dalam kesalahan yang sekecil apa pun.


20. Samudera
"Seperti halnya samudera melemparkan mayat ke pantai; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya menyingkirkan kekotoran batin dari pikirannya.
"Seperti halnya samudera meskipun menyimpan banyak kekayaan tidak akan mengangkatnya ke atas; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memiliki permata pencapaian tetapi tidak memamerkannya.
"Seperti halnya samudera berhubungan dengan makhluk-makhluk yang besar; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu berhubungan dengan sesama siswa yang hanya mempunyai sedikit keinginan, yang berbudi luhur, terpelajar dan bijaksana.
"Seperti halnya samudera tidak pernah membanjiri pantainya; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak pernah melanggar moralitas sekalipun demi kehidupannya.
"Dan seperti halnya samudera tidak meluap meskipun semua sungai mengalir ke dalamnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak pernah bosan mendengarkan ajaran dan instruksi Dhamma, Vinaya dan Abhidhamma.


21. Bumi
"Seperti halnya bumi besar ini tidak tergoyahkan oleh benda-benda -yang baik maupun buruk- yang dilemparkan kepadanya; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tetap tidak tergoyahkan bila dipuji atau dicaci, didukung atau diabaikan.
"Seperti halnya bumi besar ini tidak berhias tetapi mempunyai aroma sendiri; demikian juga seorang bhikkhu tidak berhias dengan wangi-wangian tetapi memiliki keharuman moralitasnya.
"Seperti halnya bumi besar ini tidak kenal lelah walaupun ia menanggung banyak hal; demikian juga seorang bhikkhu tidak kenal lelah memberikan petunjuk, peringatan dan dorongan. "Dan seperti halnya bumi besar ini tidak mempunyai rasa benci atau rasa suka; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak mempunyai kedengkian atau kesukaan.


22. Air
"Seperti halnya air secara alami tetap tenang; demikian juga seorang bhikkhu memiliki sifat tidak munafik, tidak suka berkeluh kesah, tidak berbicara dengan maksud untuk memperoleh keuntungan, tidak berperilaku yang tercela, tetap tenang tak terganggu dan murni secara alami.
"Seperti halnya air selalu menyegarkan; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu penuh kasih sayang, selalu mencari yang baik dan bermanfaat bagi semuanya.
"Dan seperti halnya air tidak pernah mencelakakan siapa pun; demikian juga seorang bhikkhu yang sungguh-sungguh berusaha, tidak pernah melakukan kesalahan apa pun yang menyebabkan pertengkaran, atau perselisihan, atau kemarahan, atau ketidakpuasan. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha dalam Kanha Jataka:

'O Sakka, raja seluruh dunia, sebuah pilihan kau nyatakan:
Tidak seharusnya ada makhluk yang dilukai untukku,
O Sakka, di mana pun, Tidak di tubuh tidak pula di pikiran:
ini, Sakka, adalah harapanku.'4


27. Bulan
"Seperti halnya bulan berubah semakin besar dari hari ke hari sampai purnama; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya meningkatkan sifat-sifatnya yang baik dari hari ke hari.


30. Raja Semesta
"Seperti halnya raja semesta disenangi rakyatnya karena empat landasan ketenaran [kemurahan hati, keramah-tamahan, keadilan dan sifatnya yang tidak memihak]; demikian juga seharusnya bhikkhu itu disenangi oleh para bhikkhu dan umat awam.
"Seperti halnya raja semesta tidak mengizinkan para perampok berdiam di daerahnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak mengizinkan pikiran yang jahat, yang bernafsu atau yang kejam berdiam di dalam pikirannya.
"Dan seperti halnya raja semesta berkelana ke seluruh dunia memeriksa yang baik dan jahat; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memeriksa dirinya dengan seksama sehubungan dengan buah-pikirnya, ucapannya, dan perbuatannya.


40. Gajah
"Seperti halnya seekor gajah memutar seluruh tubuh ketika memandang sekeliling; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memutar tubuh ketika memandang sekeliling, tidak memandang sekilas ke sana sini melainkan mengendalikan pandangannya dengan baik.
"Seperti halnya seekor gajah mengangkat kakinya dan melangkah dengan hati-hati; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya selalu waspada dan sepenuhnya menyadari gerak jalannya.


46. Bangau India
"Seperti halnya seekor bangau India memperingatkan orang-orang tentang nasib mereka di masa mendatang dengan suaranya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memperingatkan orang-orang tentang nasib mereka di masa mendatang dengan mengajarkan Dhamma.


47. Kelelawar
"Seperti halnya seekor kelelawar akan segera meninggalkan rumah orang yang terkadang dimasukinya; demikian juga seorang bhikkhu akan segera meninggalkan rumah orang yang memberinya dana makanan.
"Dan seperti halnya seekor kelelawar tidak merugikan bila mengunjungi rumah seseorang; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak merugikan bila mengunjungi rumah seseorang karena mudah dilayani dan memikirkan kesejahteraan mereka.


48. Lintah
"Seperti halnya seekor lintah yang menghisap sepuas-puasnya sebelum melepas; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu kukuh memegang objek meditasinya dan minum sepuas-puasnya nektar kebebasan yang lezat.


50. Ular Batu
"Seperti halnya seekor ular batu dapat bertahan hidup selama beberapa hari tanpa makan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya dapat terus bertahan meskipun dia hanya menerima sedikit makanan. Demikian ini telah dikatakan oleh Yang Mulia Sariputta:

'Tak peduli makanan basah atau kering yang dia makan, tidak pernah dia membiarkan dirinya kekenyangan. Petapa yang baik meninggalkan keduniawian di dalam kekosongan, dan tetap makan secukupnya saja. Jika dia hanya mendapat empat atau lima suap, biarlah dia minum air, karena hal itu bukan masalah bagi orang yang pikirannya terpusat untuk menuju ke tingkat Arahat.'5


60. Tukang Kayu
"Seperti halnya seorang tukang kayu membuang bagian kayu yang lunak dan hanya menggunakan bagian kerasnya saja; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya membuang pandangan-pandangan salah seperti misalnya keabadian, kenihilan, jiwa adalah tubuh, jiwa adalah satu hal sedangkan tubuh adalah hal lain, semua ajaran sama baiknya, yang tidak terkondisi adalah tidak mungkin, tindakan manusia tidak ada gunanya, tidak ada kehidupan suci, ketika satu makhluk mati maka lahirlah satu makhluk baru, ada hal-hal yang terkondisi secara abadi ada, seseorang yang bertindak akan langsung mengalami buah perbuatannya, seseorang bertindak namun orang lainlah yang akan menerima akibatnya, serta segala macam pandangan salah lain mengenai akibat karma (niat) dan kiriya (perbuatan). Setelah membuang berbagai jalan seperti itu, dia harus memahami ide tentang kekosongan yang merupakan sifat sejati dari hal-hal yang terkondisi.6


61. Pot air
"Seperti halnya pot air yang penuh tidak menimbulkan suara; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak banyak mulut meskipun banyak yang dia ketahui. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha:

'Dengarkanlah suara air. Dengarkan air yang mengalir melalui celah jurang dan bebatuan. Sungai yang kecillah yang menimbulkan suara keras. Sungai yang besar mengalir tanpa suara.
Yang kosong bersuara sedangkan yang penuh tenang. Ketololan seperti pot yang setengah berisi; orang bijaksana bagaikan danau yang penuh air.'7

Pada akhir perdebatan antara bhikkhu thera dan raja ini, bumi yang besar ini bergetar enam kali, kilat menyambar di langit dan para dewa menaburkan bunga dari surga. Milinda dipenuhi oleh sukacita di dalam hatinya dan semua kesombongan lenyap dari dalam dirinya. Dia tidak lagi meragukan Tiga Permata dan tidak lagi keras kepala. Bagaikan seekor ular kobra yang tidak lagi memiliki taring, raja kemudian berkata, "Luar biasa, Yang Mulia Nagasena! Teka-teki, yang layaknya dipecahkan oleh seorang Buddha, telah Yang Mulia pecahkan. Tidak ada seorang pun seperti Anda di antara pengikut Sang Buddha, kecuali Yang Mulia Sariputta. Maafkanlah segala kesalahanku, Nagasena. Semoga Yang Mulia sudi menerimaku sebagai pengikut, sebagai orang yang telah menemukan perlindungan selama hidupnya."
Dan raja Milinda, beserta para prajuritnya, menopang bhikkhu thera itu beserta sejumlah besar pengikutnya. Raja membangun tempat tinggal yang diberi nama Vihara Milinda. Kemudian dia menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya. Setelah meninggalkan kehidupan berumah tangga, Milinda mengembangkan pandangan terang dan mencapai tingkat Arahat.


Catatan:
  1. Dalam Kitab Pali 67 perumpamaan diberikan tetapi beberapa diulang-ulang, dan lainnya menggantungkan efektifitasnya pada permainan kata-kata Pali yang sulit untuk diterjemahkan. Jadi saya hanya mencakupkan satu kumpulan di sini.
  2. Suatu hal yang menarik, salah satu tugas yang disebutkan adalah menyapu sekeliling tempat yang menuju cetiya atau pagoda. Di zaman Asoka sekitar 84.000 cetiya atau pagoda dibangun di India tetapi di dalam dilema 25 di atas, menghormat sisa Sang Tathagatha bukanlah tugas para bhikkhu. Di dalam Vinaya Mahayana terdapat banyak peraturan pelatihan minor tambahan yang berhubungan dengan perilaku yang pantas berkenaan dengan cetiya.
  3. Sn. syair 29. Terjemahan Hammalawa Saddhatissa.
  4. Ja. iv. 14. Terjemahan PTS.
  5. Thag. syair 982, 983.
  6. Lihat Kutipan.
  7. Sn. syair 720, 721, terjemahan Hammalawa Saddhatissa. Hanya syair kedua yang dikutip di Miln. Lihat Kutipan.
[Kembali]

APENDIKS
KATA-KATA PALI DAN ISTILAH TEKNIS


Empat Buah Sang Jalan

  1. Pemenang-Arus (sotappana, tingkat kesucian pertama). Ketika mewujudkan nibbana untuk pertama kalinya, pemenang-arus telah menghancurkan tiga belenggu pandangan salah: percaya adanya pribadi, percaya pada tata-cara dan ritual, dan keraguan. Dia tidak mungkin dapat melakukan kejahatan yang keji, dan seandainya melakukan suatu perbuatan jahat, dia tidak dapat menyembunyikannya. Dia terjamin pasti mencapai tingkat Arahat, paling banyak dalam tujuh kali kelahiran.
  2. Yang-Kembali-Sekali-Lagi (sakadagami, tingkat kesucian kedua). Yang-kembali-sekali-lagi ini telah menghilangkan sebagian besar kekuatan belenggu nafsu keinginan dan niat jahat; dia akan dilahirkan di bumi paling banyak hanya satu kali lagi sebelum mencapai tingkat Arahat.
  3. Yang-Tidak-Kembali-Lagi (anagami, tingkat kesucian ketiga). Yang-tidak-kembali-lagi ini telah sepenuhnya mematahkan belenggu-belenggu nafsu keinginan dan niat jahat; dia tidak akan dilahirkan kembali di bumi tetapi akan mencapai tingkat Arahat di alam-alam yang lebih tinggi, di alam dewa atau alam Brahma.
  4. Arahat. Arahat telah menyingkirkan lima sisa belenggu, telah menghancurkan semua kebodohan batin dan nafsu keinginan, serta mengakhiri semua bentuk kelahiran kembali. Dengan demikian dia mencapai tujuan akhir kehidupan suci.
Empat Cara Hidup Tanpa Rasa Takut (vesarajja)
Sang Buddha berkata, "Aku tidak melihat alasan apa pun yang dipakai orang untuk marah terhadapku di dalam hal: 1) telah sepenuhnya tercerahkan, 2) banjir-banjir yang telah sepenuhnya dihancurkan, 3) pengetahuan tentang penghalang kemajuan, 4) pengetahuan Dhamma yang menuju ke penghancuran banjir-banjir itu.


Lima Kelompok Pembentuk Makhluk (khandha)
Ketika kita mengatakan 'makhluk hidup', ini hanyalah suatu cara bicara konvensional. Yang mendasari konvensi ini adalah pandangan salah mengenai kepercayaan akan adanya pribadi, kekekalan dan adanya substansi. Tetapi, apabila kita periksa dengan lebih seksama apakah sebenarnya makhluk hidup atau orang itu, maka yang akan kita temukan hanyalah suatu arus fenomena yang terus menerus berubah. Fenomena-fenomena ini dapat diatur di dalam lima kelompok: tubuh atau fenomena materi, perasaan, persepsi (pencerapan), bentukan-bentukan mental dan kesadaran murni. Ini hanya kategori, dan janganlah menganggap bahwa kelompok-kelompok ini merupakan sesuatu yang stabil.


Lima Penghalang (nivarana)
Nafsu keinginan, keinginan jahat, kelambanan dan kemalasan, keresahan dan penyesalan yang mendalam, serta keraguan. Kekotoran-kekotoran batin ini disebut penghalang karena menghambat perkembangan konsentrasi.


Delapan Penyebab Gempa Bumi

  1. Bumi besar ini, Ananda, tersusun di atas cairan, cairan di atas udara, dan udara di atas ruang. Dan sewaktu, Ananda, gangguan udara yang dahsyat terjadi, cairan menjadi bergoncang. Dengan bergoncangnya cairan, getaran bumi terasa. (Catatan- Air [cairan/perekat] adalah elemen kohesi/ kepaduan atau ketidak-stabilan, udara adalah elemen gerak. Elemen-elemen ini ada sekalipun pada batu karang yang meleleh).
  2. Seorang petapa atau dewa dengan kekuatan yang besar menyebabkan bumi bergoncang lewat kekuatan konsentrasinya.
  3. Ketika Sang Bodhisatta secara sengaja dan sadar meninggal dari surga Tusita, dan terkandung dalam rahim ibunya, bumi besar ini bergoncang.
  4. Ketika Sang Bodhisatta secara sengaja dan sadar keluar dari rahim ibunya, bumi besar ini bergoncang.
  5. Ketika Sang Tathagata mencapai pencerahan tertinggi yang sempurna, bumi besar ini bergoncang.
  6. Ketika Sang Tathagata memutar roda Dhamma, bumi besar ini bergoncang.
  7. Ketika Sang Tathagata secara sengaja dan sadar melepaskan proses mental yang menahan kehidupan, bumi besar ini bergoncang. (Dengan kekuatan kesaktiannya Beliau sebenarnya dapat memperpanjang kehidupannya, tetapi karena tidak diminta, Beliau melepaskan kemungkinan itu dan mengumumkan waktu wafatnya)
  8. Ketika seorang Buddha meninggal dunia dan mencapai Parinibbana, bumi besar ini bergoncang.
Sepuluh Belenggu (samyojana)
Kamachanda (nafsu), byapada (kemauan jahat), mana (kesombongan), sakkaya-ditthi (percaya adanya pribadi), vicikiccha (keraguan), silabattam (kemelekatan pada ritual dan upacara), ruparaga (nafsu akan keberadaan), issa (iri hati), macchariya (ketamakan), avijja (kebodohan batin).


Sepuluh Kesempurnaan (Parami)
Dana (kedermawanan), sila (moralitas), nekkhama (meninggalkan keduniawian), panna (kebijaksanaan), viriya (semangat), khanti (kesabaran), sacca (kejujuran), adhitthana (tekad), metta (cinta-kasih), upekkha (ketenang-seimbangan).


Delapan Belas Sifat Kebuddhaan (Buddhadhamma)
1-3. Melihat segala hal: di masa lalu, kini dan yang akan datang. 4-6. Pantas dalam tindakan, ucapan, dan pikiran. 7-12. Mantapnya hal-hal berikut ini sehingga tidak dapat dicegah oleh yang lain: kehendak, doktrin, hal-hal yang dihasilkan oleh konsentrasi, semangat, pembebasan dan kebijaksanaan. 13-14. Menghindari kesenangan atau apa pun yang dapat mengundang hinaan, serta perselisihan dan pertikaian. 15. Mahatahu.16. Melakukan segala hal dengan kesadaran penuh. 17. Melakukan semua hal dengan tujuan tertentu. 18. Tidak melakukan apa pun dengan memihak secara tidak bijaksana.


Tiga Puluh Dua Bagian Tubuh (untuk perenungan)
Rambut kepala, bulu tubuh, kuku, gigi, kulit; daging, otot, tulang, sumsum tulang, ginjal; jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru; usus besar, usus kecil, isi perut, makanan di dalam perut, tahi; empedu, lendir, nanah, darah, keringat; lemak padat, lemak cair, ludah, ingus, minyak sendi, air kencing, otak.


Abhidhamma- berarti Ajaran yang lebih tinggi. Abhidhamma menggunakan metode analitis. Sementara khotbah-khotbah menggunakan bahasa konvensional manusia atau makhluk, Abhidhamma menggunakan istilah-istilah seperti 'lima khanda makhluk'.

Penyerapan (jhana) - yaitu tahap-tahap konsentrasi mental yang dapat dicapai dengan mengatasi lima rintangan. Hasil dari keadaan-keadaan ini adalah kelahiran kembali di alam Brahma.

Latihan Keras (dukkarakarikam) - Ini adalah latihan-latihan penyiksaan diri yang dijalankan oleh Sang Bodhisatta tetapi harus dibedakan dari latihan-latihan petapa (dhutanga), yang walaupun sulit namun bukannya rendah dan bukan pula tidak menguntungkan.

Arahat - Lihat Empat Buah dari Sang Jalan.

Yunani Bactria (Bactrian Greek) - (Yonaka) Ada beberapa acuan untuk kata yonaka selain yang ada di dalam Milinda Pañha. Sebuah prasasti di gua di Nasik, dekat Bombay, menyebutkan sembilan Yonaka yang merupakan donor, dan Mahavamsa menghubungkannya dengan bhikkhu-bhikkhu dari Yona, seorang Yonadhammarakkhita yang pasti merupakan seorang bhikkhu Yunani Baktria.

Bhikkhu - Biarawan Buddhis yang telah menerima penahbisan yang lebih tinggi.

Bodhisatta - Makhluk yang sepenuhnya mengabdi untuk mencapai pencerahan sempurna seorang Buddha. Untuk itu dia harus mengembangkan kesempurnaan-kesempurnaan (parami) selama berkalpa-kalpa.

Pohon Bodhi - Pohon di mana Sang Bodhisatta menjadi seorang Buddha. Pohon Bodhi Ananda merupakan anak pohon dari pohon aslinya, yang dibawa Ananda ke Savatthi untuk mengingatkan orang-orang pada Sang Buddha jika Beliau sedang pergi. Sebatang anak pohon lain dikirim ke Sri Lanka oleh Raja Asoka dan masih dipuja sampai kini.

Brahma - Seorang dewa atau makhluk agung yang berada di alam kehidupan yang terbebas dari hawa nafsu.

Brahmacari - Orang yang menjalani kehidupan selibat.

Brahmana - Seorang pendeta Hindu atau orang dari kasta itu.

Cara (perilaku yang baik) merupakan penyelesaian tugas-tugas. Pengimbangnya, sila, adalah penahanan diri dari perbuatan salah.

Jasa (puñña) - Perbuatan-perbuatan baik yang merupakan landasan untuk kebahagiaan dan kemakmuran di dalam lingkaran kelahiran kembali.

Peraturan-peraturan yang Minor dan Kurang Penting
Pengarang Milinda Pañha mengatakan bahwa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan minor adalah pelanggaran karena perbuatan salah (dukkata), sedangkan peraturan-peraturan yang kurang penting adalah pelanggaran karena ucapan salah (dubhasita), walaupun dia mengakui bahwa lima ratus bhikkhu thera yang mulia tersebut tidak satu suara mengenai hal ini.


Yang-Tidak-Kembali-Lagi - Lihat Empat Buah Sang Jalan.

Yang-Kembali-Sekali-Lagi - Lihat Empat Buah Sang Jalan.

Parinibbana - Kematian seorang Buddha, Paccekka Buddha, atau Arahat.

Patimokkha - 227 peraturan latihan yang diucapkan lagi oleh para bhikkhu pada upacara hari uposatha, setiap bulan baru dan bulan purnama.

Masa Vassa - Masa tiga bulan, dari Agustus sampai Oktober, di mana para bhikkhu tetap tinggal di satu tempat. Senioritas seorang bhikkhu diukur dari vassa atau jumlah tahun dia menjadi bhikkhu.

Penalaran (Yoniso Manasikara) - Sering diterjemahkan sebagai "perhatian sistematis". Artinya perhatian akan sifat-sifat yang mengikis kekotoran batin dan bukannya sifat-sifat yang meningkatkan kekotoran batin.

Samana - Seorang petapa, tidak harus Buddhis.

Buddha Soliter - Pacceka Buddha atau Buddha yang mencapai pencerahan tanpa bantuan seorang Buddha Mahatahu. Tidak seperti Buddha Mahatahu, Buddha Soliter belum sepenuhnya mengembangkan kemampuan untuk mengajar orang lain.

Pemenang Arus - Lihat Empat Buah Sang Jalan.

Tipitaka - Kumpulan berunsur tiga, yaitu Sutta, Vinaya dan Abhidhamma; yang berupa khotbah, peraturan disiplin dan filsafat - Lihat Kitab Suci Pali.

Vedagu - digunakan di Milinda Pañha dengan pengertian suatu jiwa atau sesuatu yang mengalami, yang melihat, mendengar, membau, mencicipi, merasa atau mengetahui. Ini juga merupakan julukan bagi Sang Buddha yang artinya 'Yang Telah Memperoleh Pengetahuan.'

Vinaya - Enam dari Kitab Suci yang menangani disiplin-disiplin para bhikkhu dan berbagai urusan pengaturan lainnya.

Visuddhimagga - Buku pegangan yang sangat berharga yang ditulis di dalam bahasa Pali pada abad ke-3 M oleh Yang Mulia Buddhaghosa, yang menjelaskan latihan berunsur tiga: moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan.

[Kembali]


[Sumber: Sammagi-Phala cont id: 748 s/d 767 atau dapat dilihat di: Geocities:Tokyo, Garden, Milanda Panha

PERDEBATAN RAJA MILINDA - Ringkasan Milinda Panha
Oleh: BHIKKHU PESALA
ALIH BAHASA: Kaliyani Kumiayi, SE; Dra. Sujata Lanny Anggawati; Dra. Yasodhara Wena Cintiawati
EDITOR: Bhikkhu Uttamo; BIRO PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN
SANGHA THERAVADA INDONESIA; VIHARA SAMANGGI JAYA, JL Slamet Riyadi No. 21. Blitar – 66113; Telp./Fax.: 0342- 82616]




Silakan juga baca: