Jumat, 14 November 2008

Cape dan Bingung?..Mana Komentar yang Benar?


Beratus, bahkan beribu tahun, ajaran agama diajarkan turun temurun. Padahal, yang mengajarkannya, tidak ada saat ajaran itu diturunkan tapi tetap saja banyak yang memeluknya dan terdoktrinasi baik untuk percaya kebenarannya. Begitupula dengan jurnal sains, pembaca awam non bidangnya ini tidak mengikuti proses pengumpulan, pengujiannya, tapi tetap saja banyak yang terdoktrinasi baik untuk percaya kebenarannya.

Baik, kitab agama dan jurnal sains memberikan informasi kepada khalayak tentang sesuatu kebenaran tertentu, misalnya bentuk BUMI, masing-masingnya menjelaskan dengan rujukan tertentu dan membawa serta reputasi penyampainya bahwa bumi adalah berbentuk anu. Jawaban ini kemudian digenggam erat pengikutnya sebagai suatu keping kebenaran mutlak, yang walaupun mereka TIDAK PERNAH keluar angkasa untuk memembuktikannya sendiri, pokoknya kepunyaannya adalah KECAP no.1 di DUNIA dan lainnya adalah KECAP BUSUK semata, plus kasihan atau keheranan karena lainnya ini masih di pandangan busuk tersebut

Suatu ketika, saya membaca kisah kebingungan sekelompok masyarakat di sebuah kota terhadap beragam doktrin yang disampaikan kepada mereka, doktrin tersebut saling bertentangan satu dengan lainnya, para pembabarnya saling meremehkan, menjelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin lainnya, sehingga timbul keraguan dan kebingungan dalam masyarakat akan mana yang benar dan mana yang bohong di antaranya. Berikut kisahnya:

[Pada abad ke-5 SM, di India, terdapat satu negara bernama Kosala dan di negara itu terdapat sebuah kota bernama Kesaputta [Bihar, Uttar Pradesh, India, lihat: peta] tempat tinggal masyarakat suku Kalama. Kota itu kerap dikunjungi berbagai kelompok petapa dan pengelana]

Pada suatu ketika Sang Buddha yang sedang mengembara di Negara Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu tiba di pemukiman para penduduk Kālāma di Kesaputta. Ketika mengetahui bahwa kota mereka disinggahi Buddha Gotama, penduduk suku Kalama datang menemui Sang Buddha:
  • Beberapa bertukar salam dengan Beliau dan setelah bertegur sapa, duduk di satu sisi;
  • Beberapa dari mereka memberi hormat dan duduk di satu sisi.
  • Beberapa memberikan penghormatan yang tinggi kepada Beliau dan duduk di satu sisi;
  • beberapa tetap diam dan duduk di satu sisi.
Kemudian, Suku Kalama berkata kepada Sang Buddha:
"Guru, ada beberapa petapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan menguraikan doktrin-doktrin mereka sendiri, dan menjelekkan, merendahkan, mencaci, serta mencemarkan doktrin yang lain...

Kemudian beberapa petapa dan brahmana lain datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan menguraikan doktrin mereka sendiri, dan menjelekkan, merendahkan, mencaci, serta mencemarkan doktrin yang lain...

Guru, kami merasa bingung dan ragu. Dari antara petapa-petapa yang baik ini, yang manakah yang berbicara benar dan yang manakah yang berbicara salah?"

Sang Buddha: "Memang pantas bagi kalian untuk bingung, O suku Kalama, memang pantas bagi kalian untuk ragu. Keraguan telah muncul di dalam diri kalian tentang masalah yang membingungkan.

Wahai, suku Kalama..Jangan serta merta mengikuti:
  1. Tradisi: lisan/penyampaian berulang [anussavena/itihitihaṃ = tradisi]
  2. Tradisi: turun-temurun [paramparāya]
  3. Tradisi: kabar angin/gossip/kata orang/desas-desus [itikirāya]
  4. Tradisi: kumpulan teks tertulis [piṭakasampadānena]
  5. Penalaran: berdasarkan kesangsian/logika [takkahetu]
  6. Penalaran: berdasarkan makna/tindak-tanduk [nayahetu]
  7. Penalaran: berdasarkan sifatnya atau lewat analogi [kbbi: persamaan/persesuaian 2 hal yang berlainan/ākāraparivitakkena]
  8. Penalaran: berdasarkan spekulasi pandangan yang disetujui/opini yang dianggap beralasan [diṭṭhinijjhānakkhantiyā]
  9. Pembabarnya: tampak meyakinkan [bhabbarūpatāya], atau
  10. Pembabarnya: Petapa yang tidak lain adalah gurunya [samaṇo no garūti]
Tetapi setelah mengetahui sendiri [attanāva jāneyyātha], bahwa hal-hal ini [dhammā]:
  • tidak bermanfaat [akusalā],
  • tercela [sāvajjā];
  • dihindari para bijaksana [viññugarahitā];
  • jika dilaksanakan/dipraktekkan, menuju pada kerugian dan penderitaan [ahitāya dukkhāya saṃvattantīti]',
maka kalian harus meninggalkannya [pajaheyyātha]

Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Bila keserakahan [lobha], kebencian [dosa] dan kekeliruan tahu [moha] muncul di dalam diri seseorang, apakah hal itu menyebabkan kesejahteraannya [hitāya] atau kerugiannya [ahitāya]?"

Suku Kalama: "Kerugiannya, Guru."

Sang Buddha: "Suku Kalama, orang yang digairahkan, dibanjiri dan tertaklukkan oleh: keserakahan, kebencian dan kekeliruan tahu, pikirannya dikendalikan [pariyādinnacitta] oleh hal-hal itu, akan:
  • menghancurkan kehidupan [pāṇampi hanati],
  • mengambil apa yang tidak diberikan [adinnampi ādiyati],
  • melakukan perilaku seksual dengan istri orang lain [paradārampi gacchati],
  • pembicaraan yang salah [musāpi bhaṇati], dan
  • mendorong orang lain untuk melakukan demikian pula [parampi tathattāya samādapeti].
Apakah hal itu akan menyebabkan kerugian dan penderitaannya untuk masa yang lama?"

Suku Kalama: "Ya, Guru."

Sang Buddha:"Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Apakah hal-hal itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?"

Suku Kalama: "Tidak bermanfaat, Guru"

Sang Buddha: "Tercela atau tidak tercela?"

Suku Kalama: "Tercela, Guru

Sang Buddha: "Dikecam atau dipuji oleh para bijaksana?"

Suku Kalama: "Dikecam, Guru."

Sang Buddha: "Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini menyebabkan kerugian dan penderitaan atau tidak, atau bagaimana?"

Suku Kalama: "Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, hal-hal ini menuju ke kerugian dan penderitaan. Demikian tampaknya hal ini bagi kami."

Sang Buddha: "Untuk alasan inilah, suku Kalama, maka kami mengatakan: Jangan serta merta mengikuti:
  1. Tradisi: lisan/penyampaian berulang [anussavena/itihitihaṃ = tradisi]
  2. Tradisi: turun-temurun [paramparāya]
  3. Tradisi: kabar angin/gossip/kata orang/desas-desus [itikirāya]
  4. Tradisi: kumpulan teks tertulis [piṭakasampadānena]
  5. Penalaran: berdasarkan kesangsian/logika [takkahetu]
  6. Penalaran: berdasarkan makna/tindak-tanduk [nayahetu]
  7. Penalaran: berdasarkan sifatnya atau lewat analogi [kbbi: persamaan/persesuaian 2 hal yang berlainan/ākāraparivitakkena]
  8. Penalaran: berdasarkan spekulasi pandangan yang disetujui/opini yang dianggap beralasan [diṭṭhinijjhānakkhantiyā]
  9. Pembabarnya: tampak meyakinkan [bhabbarūpatāya], atau
  10. Pembabarnya: Petapa yang tidak lain adalah gurunya [samaṇo no garūti]
Tetapi setelah mengetahui sendiri [attanāva jāneyyātha], bahwa hal-hal ini [dhammā]:
  • bermanfaat,
  • tidak dicela;
  • dipujikan para bijaksana;
  • jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan',
maka kalian harus menjalankannya. [upasampajja vihareyyātha]

Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Jika tanpa-keserakahan, tanpa-kebencian dan tanpa-kekeliruan tahu muncul di dalam diri seseorang, apakah itu membawa kesejahteraan atau kerugiannya?"

Suku Kalama: "Kesejahteraannya, Guru."

Sang Buddha: "Suku Kalama, orang yang tanpa keserakahan, tanpa kebencian, tanpa kekeliruan tahu, yang tidak dikuasai oleh keserakahan, kebencian dan kekeliruan tahu, yang pikirannya tidak dikendalikan oleh semua itu, Ia TIDAK AKAN:
  • menghancurkan kehidupan,
  • mengambil apa yang tidak diberikan,
  • melakukan perilaku seksual dengan istri orang lain,
  • pembicaraan yang salah, dan
  • mendorong orang lain untuk melakukan demikian pula.
Maka apakah hal itu menopang kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk masa yang lama?"

Suku Kalama: "Ya, Guru."

Sang Buddha: "Bagaimana pendapatmu, Kalama? Apakah hal-hal itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?"

Suku Kalama: "Bermanfaat, Guru."

Sang Buddha: "Tercela atau tidak tercela?"

Suku Kalama: "Tidak tercela, Guru."

Sang Buddha: "Dikecam atau dipuji oleh para bijaksana?"

Suku Kalama: "Dipuji, Guru."

Sang Buddha: "Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimana?"

Suku Kalama: "Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, hal-hal ini menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikian tampaknya hal ini bagi kami."

Sang Buddha: "Untuk alasan inilah, suku Kalama, maka kami mengatakan: Jangan serta merta mengikuti:
  1. Tradisi: lisan/penyampaian berulang [anussavena/itihitihaṃ = tradisi]
  2. Tradisi: turun-temurun [paramparāya]
  3. Tradisi: kabar angin/gossip/kata orang/desas-desus [itikirāya]
  4. Tradisi: kumpulan teks tertulis [piṭakasampadānena]
  5. Penalaran: berdasarkan kesangsian/logika [takkahetu]
  6. Penalaran: berdasarkan makna/tindak-tanduk [nayahetu]
  7. Penalaran: berdasarkan sifatnya atau lewat analogi [kbbi: persamaan/persesuaian 2 hal yang berlainan/ākāraparivitakkena]
  8. Penalaran: berdasarkan spekulasi pandangan yang disetujui/opini yang dianggap beralasan [diṭṭhinijjhānakkhantiyā]
  9. Pembabarnya: tampak meyakinkan [bhabbarūpatāya], atau
  10. Pembabarnya: Petapa yang tidak lain adalah gurunya [samaṇo no garūti]
Tetapi setelah mengetahui sendiri [attanāva jāneyyātha], bahwa hal-hal ini [dhammā]:
  • bermanfaat,
  • tidak dicela;
  • dipujikan para bijaksana;
  • jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan',
maka kalian harus menjalankannya. Adalah karena alasan inilah maka hal ini dikatakan.

Maka, suku Kalama, pengikut yang mulia yang meninggalkan ketamakan (vigatābhijjho), meninggalkan itikad buruk (vigatabyāpādo), tanpa kebingungan (asammūḷho), memahami sepenuhnya kemunculan-berlangsung-berakhirnya perasan, awal pemikiran dan persepsi (sampajāno) mengingat jelas hal-hal yang yang telah dilakukan dan dikatakannya (patissato)
  1. Pikiran Metta (tanpa memusuhi, berkehendak pihak lain sejahtera) berada memancar/meliputi 1 arah, ke: 2 arah, 3 arah, 4 arah, juga ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, ke tempat apapun, ke segala alam tak terkecuali, pikiran yang disertai tanpa memusuhi yang berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut, tanpa halang rintang berada memancar/meliputi
  2. Pikiran Karuna [tak ingin mencelakai, berkehendak agar kesedihan/kemalangan pihak lain hilang]...
  3. Pikiran Mudita [Tidak ada rasa tidak puas/keadaan puas tanpa membeda-bedakan]...
  4. Pikiran Upekkha [seimbang/tanpa berkecondongan] berada memancar/meliputi 1 arah, ke: 2 arah, 3 arah, 4 arah, juga ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, ke tempat apapun, ke segala alam tak terkecuali, pikiran yang disertai seimbang/tanpa berkecondongan yang berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut, tanpa halang rintang berada memancar/meliputi
Suku Kalama, pengikut yang mulia yang pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, maka Ia memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini juga.
  1. Inilah jaminan pertama yang dimenangkannya: 'Seandainya ada alam lain, dan seandainya perilaku yang baik dan buruk memang memberikan buah dan menghasilkan akibat, maka ada kemungkinan ketika tubuh hancur, setelah kematian, aku akan muncul di tempat yang baik, di suatu alam surgawi.'
  2. Inilah jaminan kedua yang dimenangkannya: 'Seandainya TIDAK ada alam lain, dan seandainya tindakan baik dan buruk memang tidak memberikan buah dan menghasilkan akibat, tetap saja di sini, di dalam kehidupan ini juga, aku hidup dengan bahagia, bebas dari rasa permusuhan dan niat jahat.'
  3. Inilah jaminan ketiga yang dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan, maka karena aku TIDAK berniat jahat kepada siapapun, bagaimana mungkin penderitaan menyerangku, orang yang tidak melakukan kejahatan?'
  4. Inilah jaminan keempat yang dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan tidak menimpa pelaku kejahatan, maka di sini juga aku melihat diriku sendiri termurnikan di dalam dua hal [tidak melakukan kejahatan dan tidak ada kejahatan menimpanya]'
Suku Kalama, pengikut yang mulia yang pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, maka Ia memenangkan empat jaminan ini di dalam kehidupan ini juga."

Mendengar uraian tersebut, Suku Kalama menjawab dengan kegembiraan:

"Ya demikianlah (evametaṃ), Yang Terberkati! Ya demikianlah, Yang Sempurna! Pengikut yang mulia yang pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, maka Ia memenangkan empat jaminan ini di kehidupan ini juga

Luar biasa, Guru! ... Biarlah Yang Terberkati menerima kami sebagai pengikut awam yang telah pergi untuk berlindung sejak hari ini sampai akhir hayat."

[AN 3.65/Kesamutti sutta atau KALAMA SUTTA; Sutta lain yang memiliki isi yang kurang lebih sama di antaranya: AN 3.66/Sāḷha sutta; AN 4.193/Bhaddiya sutta. Pada MAHANIDESA (Tuvaṭakasuttaniddesa) dan CULLA NIDESA (Mettagūmāṇavapucchāniddesa), kata: "anussavena" di ganti kata: "itihitihaṃ" yang artinya kurang lebih sama, namun tidak semua listing saran "jangan serta merta mengikuti" ada]


Artikel tentang ada/tidaknya: kehidupan kembali setelah kematian dan ada/tidaknya akibat dari perbuatan, baca: PAYASI SUTTA