Sabtu, 10 Mei 2008

Miyamoto Musashi, Buku 7-2 (Tamat)


Cerita Novel Musashi buku 7, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia.
[Lihat: Pengantar] [lihat: Cerita Sebelumnya]


Pikiran Otsu seketika itu juga sudah bulat, tapi ia merasa harus berbicara dahulu dengan istri pencelup. “Petang ini saya akan memberi kabar,” kata­nya.

“Bagus. Kalau nanti Anda putuskan pergi, kita mesti berangkat pagi­-pagi.” Walaupun di latar belakang terdengar debur ombak laut, suara orang itu keras sekali, sedangkan jawaban Otsu yang pelan terdengar agak gemetar.

Ketika Mambei keluar dari pintu gerbang, seorang samurai muda yang selama itu duduk di pantai sambil menggosok-gosok segenggam pasir, ber­diri dan memperhatikannya dengan tajam, seakan-akan hendak membenarkan apa yang terkandung dalam pikirannya tentang laki-laki itu. Samurai itu berpakaian bagus, dan mengenakan topi anyaman jerami yang bentuknya seperti daun gingko, dan tampaknya berumur delapan belas atau sembilan belas tahun. Ketika pedagang rami itu sudah lenyap dari pandangan, ia berbalik dan memperhatikan rumah tukang celup.

Walaupun merasa sangat gembira mendengar kabar dari Mambei, Otsu mengambil juga palunya dan melanjutkan pekerjaannya. Bunyi palu-palu lain yang diiringi nyanyian, mengambang di udara. Tak ada suara keluar dari bibir Otsu ketika ia bekerja, tapi dalam hatinya ia menyanyikan lagu cinta kepada Musashi. Kini diam-diam ia membisikkan sajak koleksi kuno:

Sejak pertemuan pertama kita,

Cintaku lebih dalam

Dari cinta orang-orang lain,

Walau tak sebanding dengan warna-warna

Kain dari Shikama.

Ia yakin bahwa kalau ia mengunjungi Ogin, ia akan tahu di mana Musashi tinggal. Dan Ogin seorang wanita juga. Akan lebih mudah me­nyampaikan perasaannya.

Pukulan palunya makin lama makin lemah, sampai hampir menjarang jaraknya. Ia merasa lebih bahagia sesudah sekian lama. Kini ia paham pe­rasaan penyair itu. Sering laut tampak sendu dan asing, tapi hari itu laut tampak memesona, dan ombak tampak menyemburkan harapan, walaupun lemah.

Ia gantungkan kain itu pada tiang pengering yang tinggi, dengan hati masih menyanyi, kemudian ia berjalan ke luar, lewat pintu gerbang yang tinggal terbuka. Dengan sudut matanya ia dapat melihat samurai muda yang berjalan tenang di sepanjang tepi air. Ia tidak tahu siapa samurai itu, namun samurai itu memikat perhatiannya. Di luar itu, ia tidak melihat apa pun yang lain, tidak juga seekor burung yang melaju bersama angin laut.

Tujuan mereka tidak terlalu jauh; seorang perempuan dapat menempuhnya tanpa susah payah, dengan satu kali singgah. Sekarang hampir tengah hari.

“Saya minta maaf telah menyusahkan Bapak,” kata Otsu.

“Tidak susah. Kaki Anda rupanya kuat berjalan,” kata Mambei.

“Saya biasa jalan.”

“Saya dengar Anda telah pergi ke Edo. Untuk seorang wanita, itu tempat yang cukup jauh juga, kalau ditempuh sendirian.”

“Apa istri tukang celup mengatakannya pada Bapak?”

“Ya. Saya sudah dengar semuanya. Orang Miyamoto membicarakannya juga.”

“Oh, mereka juga!” kata Otsu, sedikit mengerutkan kening. “Sungguh bikin malu.”

“Anda tak perlu merasa malu. Kalau Anda begitu cinta pada seseorang, siapa yang bisa bilang Anda mesti dikasihani atau diberi ucapan selamat? Tapi rupanya Musashi ini sedikit dingin hatinya.”

“Ah, tidak… sama sekali tidak.”

“Anda tidak benci pada kelakuannya?”

“Sayalah yang mestinya disalahkan. Latihan dan disiplin, itu minatnya yang tunggal dalam hidup ini, tapi saya ini tak juga mau mengerti.”

“Oh, menurut saya tak ada salahnya sikap itu.”

“Tapi rasanya sudah banyak saya menimbulkan kesulitan padanya.”

“Hm. Istri saya mestinya mendengar ini. Begitu mestinya sikap wanita.”

“Apa Ogin sudah kawin?” tanya Otsu.

“Ogin? Ah, saya kurang tahu,” kata Mambei, kemudian mengubah pokok pembicaraan. “Oh, itu ada warung teh. Mari kita istirahat sebentar.”

Mereka masuk dan memesan teh untuk teman makan slang. Ketika mereka sedang menyelesaikan makan siang, beberapa tukang kuda dan kuh menegur Mambei dengan nada sudah kenal lama.

“Hei, kenapa kau tidak singgah main di Handa hari ini? Semua orang mengeluh—seluruh uang kami sudah kaubawa kemarin itu.”

Di tengah suasana ribut itu, ia membalas dengan teriakan, seakan-akan tak mengerti maksud mereka. “Aku tak perlu kudamu hari ini.” Kemudian katanya cepat pada Otsu, “Kita terus?”

Ketika mereka meninggalkan warung itu dengan tergesa-gesa, salah seorang tukang kuda berkata, “Tak heran dia menolak kita. Coba lihat gadis itu!”

“Kulaporkan istrimu, Mambei!”

Mereka mendengar lebih banyak lagi komentar senada, tapi mereka ber­jalan terus cepat-cepat. Toko Asaya Mambei di Shikama tentulah tidak ter­golong rumah usaha yang penting di sana. Mambei membeli rami di kampung-kampung yang berdekatan, lalu mengirimkannya kepada para istri dan anak gadis nelayan untuk membuat layar, jaring, dan barang-barang lain. Tapi ia pemilik usahanya sendiri, karena itu hubungannya yang demikian akrab dengan para kuli biasa sangat aneh bagi Otsu.

Seakan-akan untuk menghilangkan keraguan Otsu yang tak terucapkan itu, Mambei berkata, “Apa yang dapat kita lakukan dengan orang-orang urakan macam itu? Hanya karena saya menolong mereka dengan menyuruh mengangkut bahan dari gunung, lalu mereka bersikap akrab macam itu!”

Mereka menginap di Tatsuno, dan ketika berangkat lagi pagi berikutnya, Mambei tetap bersikap baik dan siap menolong, seperti biasa. Sampai di Mikazuki, hari mulai gelap di perbukitan kaki glinting.

“Mambei,” tanya Otsu kuatir, “apa ini bukan Mikazuki? Kalau kita melintasi gunung ini, kita akan sampai di Miyamoto.” Otsu sudah mendengar bahwa Osugi sudah kembali ke Miyamoto lagi.

Mambei berhenti. “Ya, itu di seberang sana. Apa kau rindu pulang?”

Otsu mengangkat mata, memandang punggung pegunungan yang hitam berombak-ombak itu, juga langit petang. Daerah itu terasa sangat sepi, seolah-olah orang-orang yang mestinya ada di sana menghilang semua.

“Sedikit lagi,” kata Mambei sambil berjalan terus. “Apa kau lelah?”

“Oh, tidak. Bapak?”

“Tidak. Saya terbiasa dengan jalan ini. Saya selalu lewat jalan sini.”

“Lalu di mana rumah Ogin?”

“Di sana,” jawab Mambei sambil menunjuk. “Dia pasti sedang menanti kita.”

Mereka berjalan sedikit lebih cepat. Ketika mereka sampai di tempat yang semakin terjal lerengnya, tampak di situ bertebaran rumah-rumah. Itu daerah persinggahan di jalan raya Tatsuno. Tempat itu boleh dikatakan cukup besar untuk dapat disebut kota, tapi di situ ada sebuah tempat makan murah “satu baki” yang dibanggakan, tempat para tukang kuda berkeluyuran, dan ada sejumlah penginapan murah berderet di kedua tepi jalan.

Begitu mereka meninggalkan kampung, Mambei berkata, “Kita mesti sedikit mendaki sekarang.” Ia membelok meninggalkan jalan, dan mulai mendaki tangga batu terjal, menuju kuil setempat.

Seperti seekor burung kecil yang mencicit karena tiba-tiba suhu udara turun tajam, Otsu merasakan sesuatu yang tidak biasa. “Apa Bapak yakin kita tidak salah jalan? Tak ada rumah-rumah di sekitar sini,” katanya.

“Jangan kuatir. Ini tempat sepi, tapi duduklah dan istirahatlah di serambi tempat suci. Aku akan pergi memanggil Ogin.”

“Kenapa begitu?”

“Apa kau lupa? Aku yakin sudah menyebutkannya. Ogin mengatakan kemungkinan ada tamu-tamu, hingga kurang enak kalau kau masuk. Rumahnya di sebelah rumpun ini. Aku akan segera kembali.” Mambei ber­gegas menyusuri jalan setapak yang sempit, melintasi rumpun kriptomeria yang gelap.

Ketika langit petang semakin gelap, Otsu mulai gelisah. Daun-daun kering yang diruntuhkan angin berjatuhan ke pangkuannya. Ia iseng meng­ambil satu, dan menggulungnya membungkus jari-jarinya. Entah ketololan, entah kemurnian yang menjadikannya gambaran sempurna seorang gadis yang masih suci.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dari belakang kuil. Otsu melompat ke tanah.

“Jangan bergerak, Otsu!” perintah sebuah suara serak, menakutkan.

Otsu terengah-engah dan menutupkan tangan ke telinga.

Beberapa sosok bayangan muncul dari belakang kuil, mengepung tubuhnya yang menggeletar. Walaupun matanya tertutup, dengan jelas ia dapat me­lihat satu di antaranya, yang lebih mengerikan dan lebih besar dari yang lain, kuntilanak berambut putih yang sudah sering dilihatnya dalam mimpi­-mimpi buruknya.

“Terima kasih, Mambei,” kata Osugi. “Sekarang sumbat mulutnya, sebelum dia mulai menjerit, dan bawa dia ke Shimonosho. Cepat!” Bicaranya disertai wibawa menakutkan seorang Raja Neraka yang sedang mengutuk seorang pendosa untuk masuk api neraka.

Empat-lima lelaki itu agaknya perusuh-perusuh kampung yang masih ada hubungan dengan klan Osugi. Sambil berteriak setuju, mereka menghampiri Otsu seperti serigala memperebutkan korban, dan mengikatnya hingga tinggal kakinya yang bebas.

“Potong kompas!”

“Jalan!”

Osugi tinggal di belakang untuk mengatur segala sesuatunya bersama Mambei. Ia mengambil uang dari dalam obi-nya, dan katanya, “Baguslah kau sudah membawa dia. Aku takut kau tak bisa melakukannya.” Kemudian tambahnya, “Jangan bilang apa-apa pada siapa pun.”

Dengan pandangan puas, Mambei menyelipkan uang itu ke dalam lengan bajunya. “Ah, itu tidak begitu sulit,” katanya. “Rencana Ibu bagus sekali jalannya.”

“Ah, bagus juga tadi itu kelihatannya. Dia ketakutan, ya?”

“Lari pun dia tak bisa. Cuma berdiri! Ha, ha. Tapi barangkali… sedikit kejam juga kita.”

“Apanya yang kejam? Oh, kalau kau tahu apa yang sudah kualami…”

“Ya, ya, Ibu sudah menceritakannya.”

“Nah, aku tak dapat membuang-buang waktu di sini. Aku mesti ketemu lagi denganmu hari-hari ini. Kunjungi kami di Shimonosho.”

“Hati-hati, Bu, jalan itu tak mudah ditempuh,” seru Mambei sambil menoleh, ketika la mulai menuruni tangga yang panjang gelap itu. Mendengar bunyi terengah, Osugi memutar tubuh, dan serunya, “Mambei! Kaukah itu? Ada apa?”

Tak ada jawaban.

Osugi berlari sampai puncak tangga. Di situ ia memekik kecil, kemudian menahan napas ketika melihat bayangan orang berdiri di samping tubuh yang sudah roboh, dengan pedang terjulur ke bawah, bercucuran darah.

“Si… siapa di situ?”

Tak ada jawaban.

“Siapa kau?” Suara Osugi kering dan tegang. Umur tua tidak meng­hapuskan kepongahan penuh gertakan itu.

Bahu orang itu bergetar sedikit karena tertawa. “Ini aku, kuntilanak tua!”

“Siapa kau?”

“Kau tak kenal aku?”

“Belum pernah aku mendengar suaramu. Perampok, mestinya.”

“Tak ada perampok yang mau mengurusi perempuan semiskin kau.”

“Jadi, kau sudah mengawasi aku, ya?”

“Betul.”

“Aku?”

“Kenapa tanya dua kali? Tidak bakal aku jauh-jauh datang ke Mikazuki, kalau cuma buat membunuh Mambei. Aku datang buat memberimu pelajaran.”

“Eh?” Tenggorokan Osugi seperti mau meletus. “Kau salah sasaran. Tapi siapa kau? Namaku Osugi. Aku janda Keluarga Hon’iden.”

“Oh, senang sekali aku mendengarnya! Ini menghidupkan kembali semua dendamku. Tukang sihir! Apa kau lupa pada Jotaro?”

“Jo-jo-taro?”

“Dalam tiga tahun, bayi yang baru lahir sudah menjadi anak umur tiga tahun. Kau sekarang sudah menjadi sebatang potion tua, sedangkan aku pohon muda. Maaf kalau kukatakan, kau tak bisa lagi memperlakukan aku macam anak ingusan.”

“Betul-betul tak bisa dipercaya. Apa betul kau ini Jotaro?”

“Kau terpaksa membayar atas segala kesusahan yang sudah kautimpakan pada guruku bertahun-tahun lamanya. Dia menghindarimu, cuma karena kau sudah tua, dan dia tak ingin menyakitimu. Kau memanfaatkan hal itu dengan ngeluyur ke mana-mana, bahkan sampai ke Edo, menyebarkan desas-desus jahat tentang dia, dan berbuat seolah kau punya alasan sah membalas dendam kepadanya. Kau malahan bertindak begitu jauh, sampai menghalangi pengangkatannya untuk kedudukan yang baik.”

Osugi terdiam.

“Tapi kejahatanmu bukan cuma sampai di situ. Kau membikin sengsara Otsu dan mencoba melukai dia. Kupikir kau sudah meninggalkan semua itu, dan menetap di Miyamoto. Tapi ternyata kau masih juga sibuk, meng­gunakan Mambei buat melaksanakan rencana terhadap Otsu.”

Osugi masih juga diam.

“Apa kau tak pernah capek membenci? Oh, aku bisa dengan mudah sekali memotongmu jadi dua, tapi untung aku bukan lagi anak samurai yang suka nyeleweng. Ayahku, Aoki Tanzaemon, sudah kembali ke Himeji, dan sejak musim semi lalu mengabdi pada Keluarga Ikeda. Supaya tidak bikin dia malu, aku menahan diri untuk membunuhmu.”

Jotaro mendekat beberapa langkah. Karena tak tahu harus mempercayainya atau tidak, Osugi mundur dan mencari-cari cara meloloskan diri.

Karena dikiranya ia dapat lolos, ia lari kencang ke jalan yang ditempuh orang-orang tadi. Jotaro mengejarnya dengan satu lompatan saja, lalu mencekal lehernya.

Osugi membuka mulut lebar-lebar, berteriak, “Apa ini?” Ia memutar badan dan menarik pedang dengan gerak memutar juga, lalu memukul Jotaro, tapi meleset.

Jotaro mengelak dan mendorongnya keras ke depan. Kepala Osugi mem­bentur keras ke tanah.

“Ya, ya, jadi kau sudah mendapat sedikit ilmu ya?” rintihnya dengan wajah setengah terbenam di rumput. Agaknya ia belum dapat mengubah pikirannya bahwa Jotaro masih anak-anak.

Sambil menggeram, Jotaro menginjakkan satu kakinya ke punggung Osugi yang sangat rapuh itu, dan tanpa kenal kasihan ia pilin satu tangan Osugi ke punggung.

Ia seret perempuan itu ke depan kuil, kemudian ia injak dengan satu kakinya, tapi ia tak dapat memutuskan apa yang akan diperbuatnya.

Ia masih harus memikirkan Otsu. Di mana Otsu sekarang? Ia mengetahui Otsu ada di Shikama secara kebetulan. Sekalipun mungkin itu karena karma mereka saling terkait. Sejalan dengan penerimaan kembali ayahnya, Jotaro memperoleh juga kedudukan. Ketika ia sedang melaksanakan suruhan, terlihat olehnya seorang perempuan mirip Otsu lewat celah pagar. Dua hari lalu ia kembali ke pantai itu, untuk membuktikan kesannya.

Ia berterima kasih kepada dewa-dewa yang telah mempertemukannya dengan Otsu, tapi sementara itu dendamnya terhadap Osugi yang sudah lama terpendam, tersulut kembali, gara-gara cara Osugi mengejar-ngejar Otsu. Kalau perempuan tua itu tidak disingkirkan, takkan mungkin Otsu bisa hidup tenang. Jotaro merasa tergoda untuk bertindak. Tapi membunuh perempuan itu berarti melibatkan ayahnya dalam perselisihan dengan keluarga samurai desa. Mereka itu orang-orang yang paling banyak membuat kesulitan. Kalau tersinggung oleh pengikut langsung seorang daimyo, pasti mereka menimbulkan kesulitan.

Akhirnya ia putuskan bahwa yang terbaik adalah menghukum Osugi dengan cepat, kemudian memfokuskan diri untuk menyelamatkan Otsu.

“Aku tahu tempat yang cocok buatmu,” katanya. “Ayo ikut!”

Osugi bergayut sekuat-kuatnya ke tanah, biarpun Jotaro berusaha me­nyentakkannya. Jotaro lalu menangkap pinggangnya, mengempitnya, dan membawanya ke belakang kuil. Sisi bukit sudah digunduli orang waktu kuil itu dibangun, dan di sana terdapat gua kecil dengan jalan masuk hanya cukup dirangkaki satu orang.

Otsu dapat melihat cahaya satu-satunya di kejauhan. Kalau tidak, segalanya pasti gelap gulita-gunung-gunung, ladang-ladang, sungai-sungai, dan Celah Mikazuki yang baru saja mereka seberangi lewat jalan karang setapak. Kedua orang yang ada di depan menuntunnya dengan tali, seperti biasa dilakukan terhadap seorang penjahat.

Mendekati Sungai Sayo, orang yang di belakang berkata, “Berhenti sebentar. Apa yang terjadi dengan perempuan tua itu? Dia bilang tadi segera menyusul.”

“Ya, mestinya dia sudah sampai sini sekarang.”

“Kita bisa saja berhenti di sini beberapa menit. Atau terus sampai Sayo dan menunggu di warung teh. Orang-orang barangkali sudah tidur semua, tapi kita dapat membangunkan mereka.”

“Mari kita menanti di sana. Kita bisa minum secangkir-dua cangkir sake.”

Mereka mencari tempat dangkal di sepanjang sungai, dan mulai menyeberang, tapi tiba-tiba mereka mendengar suara orang memanggil dari kejauhan. Semenit-dua menit kemudian, suara itu terdengar lagi dari tem­pat yang jauh lebih dekat.

“Apa perempuan tua itu, ya?”

“Tidak, kedengarannya suara lelaki.”

“Tak mungkin dia ada hubungannya dengan kita.”

Air sungai itu sama dinginnya dengan pedang, terutama bagi Otsu. Pada saat mereka mendengar suara kaki berlari, si pengejar sudah sampai.

Disertai percikan air yang riuh, ia berhasil mendahului mereka sampai di seberang sungai, dan langsung menghadang. “Otsu?” panggil Jotaro.

Menggigil karena percikan air yang mengenainya, ketiga orang itu merapat di sekeliling Otsu dan berdiri di tempat.

“Jangan bergerak!” teriak Jotaro dengan tangan direntangkan.

“Siapa kau?”

“Tak perlu tanya. Lepaskan Otsu!”

“Gila, ya? Apa kau tidak pakai otak? Kau bisa mati ikut-ikutan urusan orang lain.”

“Osugi bilang, kalian mesti menyerahkan Otsu padaku.”

“Enak saja bohong.” Ketiga orang itu tertawa.

“Aku tidak bohong. Lihat ini!” Jotaro mengulurkan secarik kertas tisu berisi tulisan Osugi. Isinya singkat, “Keadaan jadi rusak. Kalian tak bias berbuat apa-apa. Serahkan pada Jotaro, lalu kembali jemput aku.”

Dengan kening berkerut, orang-orang itu menatap Jotaro, lalu naik ke darat.

“Apa kalian tak bisa baca?” cela Jotaro.

“Tutup mulut! Kukira kau ini Jotaro.”

“Betul. Namaku Aoki Jotaro.”

Otsu menatap tajam-tajam ke arah Jotaro. Ia gemetar sedikit, karena takut dan sangsi. Tapi karena bingung apa yang hendak diperbuatnya, ia menjerit, terengah-engah, dan terhuyung-huyung.

Orang yang terdekat dengan Jotaro berteriak, “Sumbatannya kendur! Betul­kan!” Kemudian katanya mengancam pada Jotaro, “Tak ragu lagi, ini tulisan perempuan tua itu. Tapi kenapa dia? Apa maksudnya ‘kembali jemput aku’?”

“Dia kusandera,” kata Jotaro angkuh. “Berikan Otsu padaku, nanti ku­sebutkan di mana dia.”

Ketiga orang itu saling pandang. “Oh, kau mencoba melucu, ya?” tanya seseorang. “Apa kau tahu siapa kami ini? Setiap samurai di Himeji mesti kenal Keluarga Hon’iden di Shimonosho, itu kalau kau memang datang dari Himeji.”

“Ya atau tidak—jawab! Kalau Otsu tidak kalian serahkan, kutinggalkan perempuan tua itu di tempatnya, sampai dia mati kelaparan!”

“Bajingan kecil!”

Satu orang mencengkeram Jotaro, yang lain menghunus pedangnya dan memasang jurus. Orang yang pertama menggeram, “Kalau kau terus omong kosong macam itu, kupatahkan lehermu. Di mana Osugi?”

“Kalian berikan Otsu, tidak?”

“Tidak!”

“Kalau begitu, kalian takkan temukan dia. Serahkan Otsu, supaya dapat kita akhiri semua ini tanpa mesti ada yang terluka.”

Orang yang mencengkeram lengan Jotaro menariknya ke depan dan mencoba menjegalnya.

Dengan menggunakan kekuatan lawan, Jotaro melontarkannya lewat bahunya. Tapi sesaat kemudian ia terduduk sambil menggenggam paha kanannya. Orang itu berhasil melecutkan pedangnya, dan memukul dengan gerak menyilang. Untunglah lukanya tidak dalam. Jotaro melompat bangkit bersama penyerangnya. Dua orang lainnya ikut menyerang.

“Jangan bunuh dia. Mesti kita tangkap dia hidup-hidup, kalau kita mau mendapatkan Osugi kembali.”

Segera kemudian, Jotaro tidak lagi ragu terlibat dalam pertumpahan darah. Dalam perkelahian yang kemudian menyusul, ketiga orang itu berhasil menjatuhkannya. Jotaro meraung, menggunakan taktik yang beberapa saat sebelumnya digunakan orang-orang itu terhadapnya. Ia tarik pedang pendeknya, lalu menusuk langsung ke arah perut orang yang akan me­nerkamnya. Separuh lengan Jotaro jadi merah, seakan habis dicelup dalam tong cuka prem. Waktu itu yang terpikir olehnya hanyalah naluri untuk menjaga diri.

Ia berdiri lagi, memekik, dan menebas orang di hadapannya. Pedangnya mengenai tulang bahu, dan belokannya menghasilkan seiris daging sebesar ikan. Orang itu menjerit dan mencekal pedangnya, tapi terlambat.

“Bajingan! Bajingan!” Sambil memekik setiap memukulkan pedangnya, Jotaro mengusir kedua orang yang lain, dan berhasil membuat luka besar pada seorang di antaranya.

Mereka menganggap sudah semestinya mereka lebih unggul daripada Jotaro, tapi sekarang mereka kehilangan kendali diri, dan hanya bisa meng­ayun-ayunkan senjata secara serampangan.

Otsu hilang akal dan berlari berputar-putar, sambil dengan kalut mencoba melepaskan ikatan tangannya. “Hei, tolong! Selamatkan dia!” Tapi kata­-katanya segera lenyap, tenggelam dalam bunyi sungai dan suara angin.

Tiba-tiba ia sadar bahwa seharusnya ia tidak berteriak minta tolong, melainkan mengandalkan kekuatannya sendiri. Sambil memekik-mekik kecil berputus asa, ia merebahkan diri ke tanah dan mulai menggosok-gosokkan tali itu ke sisi batu yang tajam. Berhubung tali itu hanya tali jerami yang longgar pintalannya dan dipungut dari pinggir jalan, segera kemudian ia dapat membebaskan diri.

Ia pungut sejumlah barn, lalu lari langsung ke tempat perkelahian. “Jotaro!” panggilnya, ketika ia melemparkan sebuah batu ke wajah satu orang. “Aku di sini juga. Pasti beres!” Satu batu lagi. “Tahan dulu!” Dan satu batu lagi. Tapi, seperti dua barn sebelumnya, batu itu tidak mengenai sasaran. Ia lari kembali, mengambil batu yang lain.

“Anjing!” Dengan dua lompatan saja, satu orang berhasil melepaskan diri dari Jotaro dan memburu Otsu. Baru saja ia akan memukulkan punggung pedangnya ke punggung Otsu, Jotaro sudah tiba di dekatnya. Jotaro meng­hunjamkan pedang demikian dalam ke belakang pinggang orang itu, hingga hulu pedang menyembul dan pusarnya.

Orang yang lain, dalam keadaan luka dan linglung, mulai menyelinap dan lari sempoyongan.

Jotaro berdiri mengangkangi mayat itu, menarik pedangnya, dan berteriak, “Berhenti!”

Ia mulai mengejar, tapi Otsu menubruknya keras-keras, dan menjerit, “Jangan kejar! Tak boleh menyerang orang luka parah yang sedang lari.”

Hebatnya permohonan Otsu itu mengagetkan Jotaro. Ia tak dapat mem­bayangkan, alasan psikologis apa yang menggerakkan gadis itu untuk bersimpati kepada orang yang baru saja menyiksanya.

Kata Otsu, “Aku ingin tahu, apa yang kaulakukan bertahun-tahun ini. Aku pun punya banyak cerita buatmu. Dan kita mesti keluar dari sini selekas mungkin.”

Jotaro segera menyetujui, karena ia tahu bahwa kalau berita tentang peristiwa itu sampai di Shimonosho, orang-orang Hon’iden akan me­ngerahkan seluruh kampung untuk mengepung mereka.

“Kakak bisa lari?”

“Ya. Jangan kuatir tentang aku.”

Dan mereka pun berlari, terus lari melintasi kegelapan, sampai kehabisan napas. Bagi keduanya, keadaan itu terasa seperti masa lalu, ketika mereka masih seorang gadis remaja dan seorang anak, bepergian bersama.

DI Mikazuki, lampu yang tampak hanyalah yang ada di penginapan. Satu menyala dalam bangunan utama, di mana sekelompok musafir tadi duduk melingkar, bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Mereka terdiri atas se­orang pedagang logam yang, untuk kepentingan usahanya, datang ke tambang-tambang setempat, seorang pedagang benang dari Tajima, dan seorang pendeta pengembara. Kini mereka bertiga sudah berlayar di alam mimpi.

Jotaro dan Otsu duduk bercakap-cakap dekat lampu lain, di sebuah ruangan kecil yang terpisah, di mana ibu pemilik penginapan tinggal ber­sama mesin pintal dan kuali-kuali perebus ulat sutra. Pemilik penginapan sudah menduga pasangan yang diterimanya itu sedang lari, tapi ia menyuruh juga orang menyiapkan ruangan untuk mereka.

Kata Otsu, “Jadi, kau juga tidak melihat Musashi di Edo.” Dan ia me­nyampaikan cerita selama beberapa tahun terakhir itu pada Jotaro.

Jotaro jadi susah bicara, karena sedih mendengar Otsu belum bertemu dengan Musashi sejak peristiwa di jalan raya Kiso itu. Namun menurutnya ia dapat memberikan cahaya harapan pada Otsu.

“Memang tak bisa dijadikan pegangan,” katanya, “tapi kudengar desas­-desus di Himeji, Musashi akan segera datang.”

“Ke Himeji? Apa mungkin?” tanya Otsu, yang ingin sekali menangkap harapan sekecil apa pun.

“Itu cuma kata orang, tapi orang-orang di perdikan kami bilang sepertinya sudah diputuskan. Kata mereka, dia akan lewat dalam perjalanan ke Kokura. Di situ dia berjanji akan melayani tantangan Sasaki Kojiro, salah seorang abdi Yang Dipertuan Hosokawa.”

“Pernah aku mendengar berita macam itu juga, tapi tak dapat aku menemukan orang yang mendengar berita itu dari Musashi sendiri, atau tahu di mana dia berada.”

“Nah, kabar yang beredar sekitar Benteng Himeji itu barangkali dapat dipercaya. Rupanya Hanazono Myoshinji di Kyoto, yang mempunyai hubung­an akrab dengan Keluarga Hosokawa itu, menyampaikan pada Yang Di­pertuan Hosokawa tentang tempat Musashi, dan Nagaoka Sado yang menjadi abdi senior menyampaikan surat tantangan pada Musashi.”

“Apa kira-kira pertarungan akan segera berlangsung?”

“Aku tidak tahu. Rupanya tak ada orang yang tahu pasti, tapi kalau tempatnya di Kokura, dan kalau Musashi ada di Kyoto, dia pasti lewat Himeji.”

“Tapi dia bisa naik perahu.”

Jotaro menggeleng. “Kukira tidak. Daimyo di Himeji dan Okayama, dan lain-lain perdikan sepanjang Laut Pedalaman, akan minta dia singgah semalam-dua malam. Mereka ingin melihat, orang macam apa dia itu, dan mencoba mengetahui pendapatnya, apa dia tertarik pada suatu kedudukan. Yang Dipertuan Ikeda menulis surat pada Takuan. Kemudian dia mencari keterangan di Myoshinji, dan memerintahkan pada para pedagang besar di daerahnya untuk lapor, kalau mereka melihat orang yang cocok dengan gambaran Musashi.”

“Semakin kuat alasan untuk menduga Musashi takkan pergi lewat jalan darat. Dia paling benci keributan. Kalau dia tahu itu, dia akan berusaha keras menghindarinya.” Otsu tampak tertekan, seolah-olah tiba-tiba ia kehilangan harapan. “Bagaimana menurutmu, Jotaro?” tanyanya memohon. “Kalau aku pergi ke Myoshinji, apa menurutmu aku akan mendapat ke­terangan?”

“Yah, barangkali, tapi Kakak mesti ingat, itu cuma kata orang.”

“Tapi tentunya ada alasannya orang berkata begitu. Ya, tidak?”

“Apa Kakak mau ke Kyoto?”

“Oh, ya. Aku mau pergi sekarang juga…. Nah, besoklah.”

“Jangan buru-buru begitu. Itu sebabnya Kakak selalu gagal bertemu Musashi. Begitu mendengar desas-desus, Kakak terima itu sebagai kenyataan, dan langsung terbang. Kalau Kakak mau tahu letak burung bulbul, Kakak mesti lihat tempat di depan sumber suaranya. Kelihatannya Kakak ini selalu membuntuti Musashi, bukan mencegat tempat yang akan didatanginya.”

“Yah, mungkin saja, tapi cinta memang tidak logis.” Karena sebelumnya Otsu tidak memikirkan kata-katanya, ia terkejut melihat wajah Jotaro yang memerah mendengar kata “cinta” itu. Tapi dengan segera ia dapat me­mulihkan perasaannya, dan katanya, “Terima kasih atas nasihat itu. Akan kupikirkan.”

“Ya, pikirkanlah, tapi sementara itu ayo kembali ke Himeji denganku.”

“Baiklah.”

“Kuminta Kakak datang ke rumah kami.” Otsu terdiam.

“Kalau ditilik kata-kata ayahku, kukira dia kenal Kakak cukup baik sebelum Kakak meninggalkan Shippoji…. Aku tidak tahu apa yang dipikir­kannya, tapi dia bilang ingin ketemu Kakak sekali lagi, dan bicara dengan Kakak.”

Lilin hampir habis. Otsu menoleh dan memandang langit dari bawah tepian atap yang sudah compang-camping. “Hujan,” katanya.

“Hujan? Padahal kita mesti jalan ke Himeji besok.”

“Ah, cuma hujan musim gugur. Kita pakai topi hujan.” “Tapi aku lebih suka kalau langit cerah.”

Mereka menutup tirai hujan dari kayu, dan segera kemudian kamar pun menjadi sangat hangat dan lembap. Jotaro sadar benar akan semerbak wangi wanita dari tubuh Otsu.

“Tidurlah,” katanya. “Aku akan tidur di sini.” Ia letakkan bantal kayu di bawah jendela, kemudian ia berbaring miring menghadap dinding.

“Kakak belum tidur?” gumam Jotaro. “Kakak mesti tidur.” Ia tarik seprai tipis itu ke atas kepalanya, tapi masih juga ia berguling dan bergolek beberapa waktu, sebelum akhirnya tidur lelap.

Belas Kasihan Kannon

OTSU duduk mendengarkan tetesan air yang turun dari atap yang bocor. Karena terpaan angin, hujan itu melecut masuk dari bawah ujung atap, dan berkecipak mengenai tirai. Tapi kini musim gugur, karenanya tak dapat diramalkan apakah pagi akan merekah cerah dan jernih.

Kemudian Otsu berpikir akan Osugi. “Apakah dia ada di luar, dalam badai ini, basah dan kedinginan? Dia sudah tua. Mungkin dia takkan hidup sampai pagi. Biarpun tetap hidup, bisa berhari-hari lagi sebelum akhirnya dia ditemukan orang. Dia bisa mati kelaparan.”

“Jotaro,” panggilnya pelan. “Bangun.” Ia kuatir Jotaro melakukan sesuatu yang kejam. Ia mendengar sendiri Jotaro mengatakan kepada para kaki­tangan perempuan tua itu, bahwa ia sedang menghukum perempuan itu, dan sambil lalu anak itu juga menyatakan hal serupa dalam perjalanan ke penginapan.

“Hatinya sebetulnya tidak begitu jahat,” pikir Otsu. “Kalau aku mau terus terang padanya, dia pasti dapat memahami diriku…. Aku mesti me­nemui dia.”

Ia buka daun pintu, sambil pikirnya, “Kalau Jotaro marah, apa boleh buat.” Hujan tampak putih pada latar belakang langit yang hitam. Ia sing­singkan kimononya, lalu dari dinding ia ambil topi anyaman dari kulit bambu, dan ia ikatkan pada kepalanya. Kemudian ia tutupkan mantel besar dari jerami ke bahunya, ia kenakan sandal jerami, dan berangkat menerobos cucuran hujan yang turun dari atap.

Dekat kuil tempat ia ditangkap Mambei, ia lihat tangga barn yang menuju kuil itu telah menjadi air terjun bertingkat banyak. Di puncak tangga, angin jauh lebih kuat, melolong, melintasi rumpun pohon krip­tomeria, seperti kawanan anjing marah.

“Di mana dia kira-kira?” pikirnya sambil mencoba menatap ke dalam tempat suci. Ia berseru ke dalam ruang gelap di bawahnya, tapi tak ada jawaban. Ia menikung ke belakang bangunan, dan berdiri di sana beberapa menit lamanya. Angin yang melolong menerpanya seperti ombak di laut yang menggila. Berangsur-angsur sadarlah ia akan adanya bunyi lain, yang hampir-hampir tak dapat dibedakan dari bunyi badai. Bunyi itu berhenti, lalu mulai lagi.

“Oh-h-h! Dengarkan aku…! Ada orang di situ?… Oh-h-h!”

“Nenek!” seru Otsu. “Nek, di mana Nenek?” Karena boleh dikatakan ia hanya berteriak ke dalam angin, suaranya tidak bisa terdengar jauh.

Tapi, entah bagaimana, perasaan itu membentuk hubungan sendiri. “Oh! Ada orang di sana. Ya, aku tahu… Tolong aku! Aku di sini! Tolong!”

Potongan-potongan bunyi itu sampai ke telinga Otsu, dan ia mendengar nada putus asa di dalamnya.

“Nenek di mana?” jeritnya parau. “Nenek, di mana Nenek?” Ia berlari mengelilingi kuil, berhenti sebentar, kemudian berlari lagi keliling. Secara kebetulan ia melihat semacam gua beruang, sekitar dua puluh langkah jauhnya, dekat dasar jalan terjal yang menanjak ke tempat suci bagian dalam.

Ketika ia semakin mendekat, ia tahu pasti bahwa suara perempuan tua itu datang dari dalam. Sampai di pintu masuk. Ia berhenti dan menatap batu-batu besar yang menghalanginya.

“Siapa itu? Siapa di situ? Jelmaan Kannon, ya? Kupuja dia tiap hari. Kasihanilah aku. Selamatkan perempuan tua malang yang sudah diperangkap musuh!” Permohonan Osugi bernada histeris. Setengah menangis setengah memohon, di celah gelap antara hidup dan mati, ia membayangkan Kannon yang menaruh belas kasihan, dan memanjatkan kepadanya doa berapi-api demi kelangsungan hidupnya.

“Oh, bahagiaku!” teriaknya lupa daratan. “Kannon yang maha pengasih sudah melihat kebaikan hatiku dan kasihan kepadaku. Dia datang me­nyelamatkan diriku! Belas kasihan yang agung! Hiduplah Bodhisatwa Kannon, hiduplah Bodhisatwa Kannon, hiduplah…”

Suara itu terhenti seketika. Barangkali ia merasa sudah cukup, karena sudah sewajarnya bahwa pada waktu ia sangat membutuhkan, Kannon akan datang dalam bentuk tertentu untuk menolongnya. Ia kepala keluarga yang baik, ibu yang baik, dan ia merasa dirinya adalah manusia lurus tanpa cacat. Karena itu, apa pun yang ia lakukan tentu benar menurut akhlak.

Tapi kemudian, karena merasa bahwa orang yang ada di luar gua bukan hantu, melainkan manusia yang nyata dan hidup, ia pun tenang, dan ketika sudah tenang, ia pun pingsan.

Karena tak mengerti kenapa tiba-tiba teriakan Osugi berhenti, Otsu jadi hilang kesabaran. Bagaimanapun, pintu gua itu harus dibersihkan. Ia melipatgandakan usahanya, hingga tali yang mengikat topi anyamannya lepas, dan topi serta jalinan rambutnya yang hitam jadi berkibar-kibar ditiup angin.

Heran juga ia, bagaimana Jotaro bisa meletakkan batu-batuan itu sendirian. Ia dorong dan ia tarik batu-batuan itu dengan seluruh kekuatannya, namun tak satu pun bergerak. Karena kehabisan tenaga, ia merasa jengkel pada Jotaro. Perasaan lega yang semula meliputinya karena menemukan tempat Osugi, kini berubah menjadi rasa gelisah yang pedih. “Tahan dulu, Nek! Sebentar lagi. Akan kukeluarkan Nenek!” teriaknya. Biarpun sudah me­nekankan bibirnya ke dalam celah di antara bebatuan itu, ia tak berhasil memperoleh balasan.

Segera kemudian ia perdengarkan nyanyian lirih dan sayup:

“Pada waktu berjumpa setan-setan pemakan manusia,

Naga berbisa atau iblis,

Jika ia masih ingat akan kekuasaan Kannon,

Maka tak suatu pun berani mencederainya.

Jika pada waktu dikepung binatang jahat,

Dengan taring tajam dan cakar mengerikan,

ia masih ingat akan kekuasaan Kannon…”

Sementara itu, Osugi menyanyikan kitab Sutra tentang Kannon. Hanya suara bodhisatwa yang dapat dipahaminya. Dengan tangan terkatup, kini ia berserah diri dengan air mata menuruni pipi dan bibir bergetar, sementara kata-kata suci meluncur dari mulutnya.

Tiba-tiba merasa ganjil, Osugi berhenti menyanyi dan mengintip dari celah antara bebatuan. “Siapa di sana?” teriaknya. “Aku tanya, siapa kamu?”

Angin sudah menerbangkan mantel Otsu. Dalam keadaan bingung, kehabisan tenaga, dan berlumur lumpur, ia membungkuk dan berseru, “Nenek baik-baik saja? Ini Otsu!”

“Siapa, katamu?” terdengar pertanyaan curiga.

“Otsu!”

“Begitu.” Menyusul kediaman panjang, tapi akhirnya terdengar pertanyaan bernada tak percaya. “Apa maksudmu, Otsu?”

Justru pada waktu itulah gelombang guncangan pertama menimpa Osugi, dan dengan kasar memorakporandakan pikiran-pikiran keagamaannya. “Kkenapa kau datang kemari? Oh, aku tahu. Kau mencari si setan Jotaro itu!”

“Tidak, saya datang buat menyelamatkan Nenek! Saya minta Nenek me­lupakan masa lalu. Saya ingat, Nenek baik sekali pada saya, waktu saya masih gadis kecil. Tapi kemudian Nenek memusuhi saya dan mencoba melukai saya. Saya tidak dendam pada Nenek. Saya akui, saya memang keras kepala.”

“Oh, jadi matamu terbuka sekarang, dan kau bisa melihat buruknya perbuatan-perbuatanmu. Begitu, ya? Maksudmu, apa kau mau kembali pada Keluarga Hon’iden, sebagai istri Matahachi?”

“Oh, tidak, bukan itu,” kata Otsu cepat.

“Nah, kalau begitu, kenapa kau di sini?”

“Saya kasihan pada Nenek, dan saya tidak tahan.”

“Dan sekarang kau ingin aku berutang budi padamu. Itu yang kaucoba lakukan, ya?”

Otsu terlalu terguncang untuk mengatakan sesuatu.

“Siapa yang menyuruhmu datang menyelamatkan aku? Aku tak perlu bantuanmu sekarang. Kalau kau menyangka dengan menolongku kau dapat membuatku tidak membencimu lagi, kau keliru. Aku tak peduli betapa buruknya keadaanku, lebih baik aku mati daripada kehilangan kebanggaan.”

“Tapi, Nek, bagaimana bisa Nenek menyuruhku meninggalkan orang seumur Nenek di tempat mengerikan semacam ini?”

“Begitulah bicaramu, enak dan manis. Kaukira aku tidak tahu, apa yang hendak dilakukan olehmu dan Jotaro? Kalian berdua bersekongkol me­masukkan aku ke dalam gua ini, buat mempermainkan diriku. Kalau nanti aku keluar, aku mesti membalas dendam. Kalian boleh yakin itu.”

“Saya yakin Nenek akan mengerti, bagaimana sesungguhnya perasaan saya. Biar bagaimana, Nenek tak bisa tinggal di sini. Nenek akan sakit.”

“Huh, aku bosan dengan omong kosong ini!”

Otsu berdiri. Tiba-tiba penghalang yang tak dapat digesernya dengan tenaga fisik itu bergerak sendiri, seakan-akan digerakkan oleh air matanya. Sesudah batu teratas berguling ke tanah, mengherankan bahwa ia tidak mengalami kesulitan lagi menggulingkan batu di bawahnya ke samping.

Namun bukan air mata Otsu sendiri yang membuka gua itu, karena Osugi mendorongnya juga dari dalam. Ia pun menyeruduk ke luar, wajahnya merah manyala.

Otsu memperdengarkan teriakan gembira, dan ia masih terhuyung­-huyung karena mengerahkan tenaga, tapi begitu Osugi berada di luar, ia langsung menangkap kerah Otsu. Dari ganasnya serangan itu, seakan-akan tujuan Osugi bertahan hidup adalah untuk menyerang penyelamatnya.

“Oh! Apa yang Nenek lakukan? Ow!”

“Tutup mulut!”

“Ken-napa!”

“Apa maumu?” teriak Osugi sambil menjatuhkan Otsu ke tanah, dengan kemarahan seorang perempuan liar. Otsu terkejut luar biasa.

“Ayo, sekarang kita pergi!” dengus Osugi sambil menyeret gadis itu di tanah basah.

Sambil mengatupkan tangan, kata Otsu, “Saya mohon, Nek. Hukumlah saya, kalau Nenek mau, tapi jangan Nenek tinggal dalam hujan.”

“Pandir! Tak kenal malu, ya? Apa pikirmu kau bisa bikin aku kasihan padamu?”

“Saya takkan lari. Tak akan… Oh! Sakit!”

“Tentu saja sakit.”

“Biarkan saya…!” Tiba-tiba Otsu mengerahkan tenaga untuk meloloskan diri, dan melompat berdiri.

“Tak bakalan!” Seketika itu Osugi memperbarui serangannya dan men­cengkeram segenggam rambut Otsu . Wajah Otsu yang putih tertengadah ke langit, air hujan membasahinya. Ia menutup mata.

“Perempuan sial! Berapa banyak aku menderita bertahun-tahun ini karena kau!”

Setiap kali Otsu membuka mulut untuk berbicara atau berusaha me­loloskan diri, perempuan tua itu menyentakkan rambutnya dengan kejam. Tanpa melepaskan rambut itu, ia banting Otsu ke tanah, ia injak, dan ia tendang.

Kemudian, tiba-tiba pada wajah Osugi muncul sebersit rasa terkejut, dan ia melepaskan rambut itu.

“Oh, apa yang kulakukan?” gagapnya ketakutan. “Otsu?” panggilnya kuatir, memandang sosok lemas yang tergeletak di kakinya.

“Otsu!” Sambil membungkuk ia tatap baik-baik wajah yang basah oleh hujan dan sedingin ikan mati itu. Gadis itu sepertinya sudah tidak ber­napas.

“Dia… dia mati!”

Osugi terperanjat. Walaupun ia tak rela memaafkan Otsu, tak ada mak­sudnya membunuh gadis itu. Maka ia meluruskan badan, merintih sambil mundur.

Berangsur-angsur baru ia tenang, dan tak lama kemudian katanya, “Kukira tak ada yang bisa dilakukan, kecuali pergi mencari pertolongan.” Ia pun berangkat, tapi kemudian ragu-ragu, menoleh, dan kembali. Ia gendong tubuh Otsu yang dingin itu dan ia bawa masuk gua.

Pintu masuk gua itu memang kecil, tapi bagian dalamnya luas. Di dekat dinding terdapat tempat yang dulu dipakai para peziarah yang sedang mencari jalan untuk bersemadi berlama-lama.

Ketika hujan reda, ia pergi ke pintu dan mulai merangkak ke luar, tapi justru waktu itu hujan mulai turun lagi. Air yang membanjiri mulut gua gemerecik hampir sampai ke bagian terdalam gua.

“Tak lama lagi pagi,” pikirnya. Ia berjongkok acuh tak acuh, dan menanti badai reda kembali.

Keadaan gelap gulita. Tubuh Otsu pelan-pelan mulai mempengaruhi pikirannya. Ia merasa wajah yang kelabu dingin itu menatap dirinya dengan nada menuduh. Mula-mula ia menenteramkan dirinya dengan me­ngatakan, “Segalanya sudah ditakdirkan untuk terjadi. Ambillah tempatmu di surga, sebagai Budha yang baru lahir. Jangan simpan dendam terhadapku.” Tapi, tak lama kemudian, rasa takut dan tanggung jawab yang hebat men­dorongnya untuk mencari perlindungan dalam kesalehan. Sambil memejam­kan mata, ia mulai menyanyikan sutra. Beberapa jam berlalu.

Ketika akhirnya bibirnya berhenti bergerak dan ia membuka mata, ia dengar burung-burung mencicit. Udara tenang, hujan sudah berhenti. Lewat mulut gua, matahari keemasan menjenguk kepadanya, mencurahkan cahayanya yang putih ke tanah kasar di dalam.

“Apa pula itu?” tanyanya keras, ketika la bangkit; matanya menatap sebuah prasasti ukiran tangan tak dikenal pada dinding gua.

Ia berdiri di dekat prasasti itu, dan membaca, “Pada tahun 1544, saya kirimkan anak saya yang berumur enam belas tahun, bernama Mori Kinsaku, untuk ikut pertempuran Benteng Tenjinzan di pihak Yang Diper­tuan Uragami. Sejak itu saya tak pernah melihatnya. Karena sedih, saya mengembara ke berbagai tempat suci bagi sang Budha. Sekarang saya tempatkan di gua ini patung Bodhisatwa Kannon. Saya doakan agar perbuatan ini, disertai air mata seorang ibu, akan melindungi hidupnya di masa depan. Kalau di kemudian hari ada orang lewat tempat ini, saya mohon dia menyerukan nama sang Budha. Inilah tahun kedua puluh satu, sejak kematian Kinsaku. Penyumbang: Ibu Kinsaku, Kampung Aita.”

Huruf-huruf yang sudah mengalami pengikisan di beberapa tempat itu sukar dibaca. Hampir tujuh puluh tahun sudah kampung-kampung yang berdekatan, seperti Sanumo, Aita, dan Katsuta, diserang oleh Keluarga Amako, dan Yang Dipertuan Uragami diusir dari bentengnya. Kenangan masa kecil yang takkan terhapus dari pikiran Osugi adalah pembakaran benteng itu. Ia sempat melihat asap hitam melayang ke langit, mayat-mayat manusia dan kuda menyeraki perladangan dan jalan-jalan kecil, berhari-hari sesudahnya. Pertempuran itu hampir mencapai rumah-rumah petani.

Memikirkan ibu-anak itu, termasuk kesedihannya, pengembaraannya, doanya, dan persembahannya, Osugi merasa seperti ditikam. “Tentunya dia sedih sekali,” katanya. Ia berlutut dan mengatupkan tangannya.

“Hiduplah sang Budha Amida. Hiduplah sang Budha Amida…”

Ia tersedu-sedu, air mata jatuh ke tangannya, tapi belum lagi ia puas menangis, pikirannya sudah tersadar kembali akan wajah Otsu yang dingin, tak peka terhadap sinar pagi, di samping lututnya.

“Maafkan aku, Otsu. Sungguh aku kejam! Aku mohon, maafkanlah aku!” Dengan wajah mengungkapkan sesal yang sangat, ia angkat tubuh Otsu disertai pelukan lembut. “Mengerikan… mengerikan. Buta oleh cinta ibu. Gara-gara bakti kepada anak, aku menjadi setan buat perempuan lain. Kau punya ibu juga. Kalau ibu itu mengenalku, pasti dia memandangku sebagai… iblis yang kotor…! Aku yakin diriku benar, tapi buat orang lain aku monster yang jahat.”

Kata-kata itu seperti memenuhi gua, lalu meloncat kembali ke telinganya. Tak ada orang di situ, tak ada mata mengawasi, tak ada telinga mendengar. Gelap malam telah berubah menjadi sinar kebijaksanaan sang Budha.

“Kau sungguh baik selama ini, Otsu. Bertahun-tahun lamanya kau disiksa orang tua bodoh yang mengerikan ini, tapi tak pernah kau mengem­balikan dendamku. Kau datang mencoba menyelamatkan diriku, menantang segalanya… Aku menyadarinya sekarang. Semula aku salah mengerti. Semua kebaikan hatimu kupandang jahat. Kebaikanmu kubalas dengan dendam. Pikiranku kacau, menyeleweng. Oh, maafkan aku, Otsu.”

Ia tekankan wajahnya yang basah ke wajah Otsu. “Alangkah baiknya kalau anakku semanis dan sebaik dirimu… Buka matamu, dan lihat aku memohon maaf padamu. Buka mulutmu, caci diriku. Aku pantas diper­lakukan begitu. Otsu… maafkan aku.”

Sementara ia memandang wajah itu sambil mencucurkan air mata ke­sedihan, di depan matanya melintas gambaran dirinya sendiri. Gambaran itulah yang kelihatan pada pertemuan-pertemuannya yang lalu dengan Otsu. Kesadaran akan betapa kejam dirinya kini mencekam hatinya. Berkali­kali ia berbisik, “Maafkan aku… maafkan aku!” Bahkan terpikir olehnya, apakah tidak lebih baik ia duduk di sana, sampai ia mati bersama gadis itu.

“Tidak!” serunya mantap. “Tak perlu lagi menangis dan merintih! Barang­kali… barangkali dia tidak mati. Kalau kucoba, barangkali aku dapat berusaha supaya dia kembali hidup. Dia masih muda. Hidupnya masih terbentang di depannya.”

Pelan-pelan ia letakkan kembali Otsu ke tanah, lalu ia merangkak keluar dari gua, ke tengah sinar matahari yang menyilaukan. Ia tutup matanya, dan ia corongkan kedua tangannya ke mulut. “Di mana orang-orang? Hei, orang-orang kampung! Sini! Tolong!” Ia berlari ke depan beberapa langkah, sambil terus berseru-seru.

Terlihat gerakan di tengah semak kriptomeria, kemudian terdengar teriak­an, “Dia di sini! Ternyata selamat!”

Sekitar sepuluh orang anggota klan Hon’iden keluar dari semak. Mereka mendengar berita dari orang yang masih selamat dan berlumuran darah akibat perkelahian dengan Jotaro malam sebelumnya, lalu mereka menyusun kelompok pencari yang segera berangkat, walaupun hujan turun membutakan mata. Mereka masih mengenakan mantel hujan, dan tampak basah kuyup.

“Jadi, ibu selamat!” seru orang pertama yang sampai pada Osugi, dengan gembira. Mereka mengerumuni Osugi, wajah mereka mengungkapkan rasa lega luar biasa.

“Jangan kuatirkan diriku,” perintah Osugi. “Cepat lihat sana, apa gadis dalam gua itu masih bisa ditolong. Sudah berjam-jam tak sadar. Kalau tidak kita berikan obat sekarang juga… ” Suaranya pekat.

Seperti hampir kesurupan, ia menunjuk ke arah gua. Barangkali itu air mata kesedihan yang pertama dicurahkannya sesudah kematian Paman Gon.

Pasang-Surut Kehidupan

MUSIM gugur telah lewat. Juga musim dingin.

Pagi-pagi, pada suatu hari di bulan keempat tahun 1612, para penumpang menyiapkan diri di atas dek kapal biasa yang berlayar dari Sakai di Provinsi Izumi ke Shimonoseki di Nagato.

Sesudah mendapat pemberitahuan bahwa kapal siap berangkat, Musashi bangkit dari bangku toko Kobayashi Tarozaemon, dan membungkuk kepada orang-orang yang datang melepas kepergiannya.

“Pertahankan semangat,” dorong mereka, sambil ikut bersamanya menuju dermaga.

Wajah Hon’ami Koetsu terdapat di antara orang-orang yang hadir. Teman karibnya, Haiya Shoyu, tidak bisa datang karena sakit, tapi ia diwakili anaknya, Shoeki. Bersama Shoeki ikut juga istrinya, seorang wanita yang kecantikannya menyilaukan, hingga ke mana saja ia pergi, kepala orang menoleh.

“Itu Yoshino, kan?” seorang laki-laki berbisik sambil menarik lengan baju temannya.

“Dari Yanagimachi?”

“Umm. Yoshino Dayu dari Ogiya.”

Shoeki memperkenalkan wanita itu pada Musashi, tanpa menyebutkan namanya. Wajahnya tentu saja tak dikenal Musashi, karena ia adalah Yoshino Dayu yang kedua. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi dengan Yoshino yang pertama, di mana tinggalnya sekarang, dan apakah sudah menikah atau masih sendiri. Orang banyak sudah lama tak lagi mem­bicarakan kecantikannya yang luar biasa. Bunga berkembang, dan kemudian gugur. Dan di dunia lokalisasi yang serba tak tetap itu, waktu berlalu dengan cepat.

Yoshino Dayu. Nama itu pasti membangkitkan kenangan tentang malam­malam bersaiju, tentang api kayu peoni, dan tentang kecapi yang rusak. “Sudah delapan tahun berlalu, sejak kita pertama bertemu,” kata Koetsu.

“Ya, delapan tahun,” sahut Musashi, yang juga heran, ke mana saja perginya tahun-tahun itu. Ia merasa acara naik kapal hari ini menandai akhir satu tahap hidup baginya.

Matahachi termasuk salah seorang yang ikut mengantar, demikian juga beberapa samurai dari tempat kediaman Hosokawa di Kyoto. Samurai­-samurai lain menyampaikan ucapan selamat dari Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro, dan ada pula satu rombongan, dua sampai tiga puluh pemain pedang, yang karena pergaulan dengan Musashi di Kyoto, menganggap diri mereka pengikut Musashi, sekalipun Musashi memprotes.

Musashi akan pergi ke Kokura di Provinsi Buzen. Di sana ia akan berhadapan dengan Sasaki Kojiro, untuk menguji keterampilan dan ke­matangannya. Atas usaha Nagaoka Sado, konfrontasi yang menentukan dan lama prosesnya itu akhirnya akan berlangsung juga. Perundingan-per­undingannya panjang dan sukar, memerlukan pengiriman banyak kurir dan surat. Bahkan sesudah Sado pada musim gugur lalu memastikan bahwa Musashi ada di rumah Hon’ami Koetsu, penyempurnaan persiapan masih membutuhkan waktu setengah tahun lagi.

Walaupun Musashi tahu pertarungan akan terjadi, tak pernah terbayang olehnya ia akan berangkat sebagai bintang yang dipuja-puja sejumlah besar pengikut dan pengagum. Besarnya jumlah pengantarnya itu membuatnya malu, juga tidak memungkinkan ia berbicara dengan orang-orang tertentu, seperti yang diinginkannya.

Yang paling memukau dari acara pemberangkatan yang hebat ini adalah absurditasnya. Tak ada keinginannya untuk menjadi idola siapa pun. Namun mereka datang untuk mengungkapkan niat baik. Karena itu, tak kuasa ia menghentikan mereka.

Ia merasa sebagian dari mereka dapat memahami dirinya. Ia berterima kasih atas ucapan selamat mereka. Kekaguman mereka menyuntikkan ke dalam dirinya rasa takzim. Bersamaan dengan itu, ia tersapu juga oleh gelombang sentimen dangkal yang namanya popularitas. Reaksinya terhadap hal ini hampir-hampir berupa rasa takut, kalau-kalau pujian berlebihan itu akan membuatnya lupa daratan. Bagaimanapun, ia hanya manusia biasa.

Hal lain yang mengesalkannya adalah proses pendahuluan yang bertele­tele itu. Dapat dikatakan bahwa baik dirinya maupun Kojiro sudah tahu ke mana arah hubungan mereka, tapi sementara itu dapat juga dikatakan bahwa orang banyak telah memaksa mereka berdua untuk saling berhadapan, dan menetapkan bahwa mereka harus mengadakan penentuan akhir, siapa yang lebih baik.

Dimulai dengan omongan orang, “Saya dengar mereka merundingkan itu.” Kemudian, kata mereka, “Ya, mereka sudah pasti akan berhadapan.” Dan kemudian lagi, “Kapan pertarungan itu?”

Akhirnya, hari dan jamnya sekalian disebarkan orang, sebelum mereka sendiri secara resmi memutuskannya.

Musashi tak suka menjadi pujaan khalayak. Dilihat dari perbuatan besar­nya, memang tak dapat dihindari lagi, ia akan dijadikan pahlawan. Tapi ia sendiri tidak mengejar hal itu. Yang diinginkannya adalah kesempatan lebih banyak untuk bersemadi. Ia perlu mengembangkan keselarasan, untuk men­jamin agar gagasan-gagasannya tidak melampaui kemampuannya bertindak. Melalui pengalamannya yang baru dengan Gudo, ia telah maju selangkah lagi di jalan menuju pencerahan. Dan ia mulai merasakan sukarnya mengikuti Jalan itu dengan lebih peka Jalan panjang dalam menempuh hidup.

“Namun…,” pikirnya. Di mana ia akan berada, kalau semua itu bukan demi kebaikan orang-orang Zang mendukungnya? Apakah ia akan tetap hidup? Apakah ia akan mengenakan pakaian? Kimono berlengan pendek hitam yang dikenakannya saat itu khusus dijahit untuknya oleh ibu Koetsu. Sandal barunya, topi anyaman baru yang dipegangnya, dan semua yang dibawanya sekarang, adalah pemberian orang yang menaruh penghargaan kepadanya. Nasi yang ia makan ditanam orang lain. Ia hidup dari karunia kerja orang lain. Bagaimana ia dapat membalas segala yang telah mereka perbuat baginya?

Apabila pikirannya menjurus ke arah ini, kebencian terhadap tuntutan para pendukungnya jadi berkurang. Namun demikian, rasa kuatir akan mengecewakan mereka akan terus terasa.

Tibalah waktunya untuk berlayar. Terdengar doa-doa untuk keselamatan perjalanan, kata-kata terakhir sebagai ucapan selamat jalan. Sementara itu, waktu yang tak kelihatan mulai memisahkan lelaki dan perempuan yang ada di atas dermaga dengan pahlawan mereka yang berangkat.

Tali penambat sudah dilontarkan, kapal bergerak ke taut terbuka, dan layar besar mengembang seperti sayap, berlatar belakang langit biru.

Seorang lelaki berlari ke ujung dermaga, berhenti, dan mengentakkan kaki dengan jengkel. “Terlambat!” geramnya. “Mestinya tadi aku tidak tidur siang.

Koetsu mendekatinya, bertanya, “Apa Anda bukan Muso Gonnosuke?”

“Ya,” jawab yang ditanya sambil mengempit tongkatnya. “Saya pernah ketemu Anda di Kuil Kongoji di Kawachi.”

“Ya, tentu. Anda Hon’ami Koetsu.”

“Saya senang sekali melihat Anda sehat walafiat. Dari apa yang saya dengar, sebetulnya saya tak percaya Anda masih hidup.”

“Dengar dari siapa itu?”

“Musashi.”

“Musashi?”

“Ya, dia tinggal di rumah saya sampai kemarin. Dia menerima beberapa surat dari Kokura. Dalam salah satu surat, Nagaoka Sado mengatakan Anda tertawan di Gunung Kudo. Menurut dugaannya, Anda tentu terluka atau terbunuh.”

“Semua itu salah.”

“Kami mendengar juga bahwa Iori masih hidup di rumah Sado.”

“Oh, jadi dia selamat!” seru Gonnosuke, dan perasaan lega membanjiri wajahnya.

“Ya. Mari kita duduk bercakap-cakap.”

Ia ajak ahli tongkat yang tegap itu ke sebuah warung. Sambil minum teh, Gonnosuke menyampaikan ceritanya. Ia beruntung, karena sesudah melihat sendiri, Sanada Yukimura berkesimpulan bahwa Gonnosuke bukan mata-mata. Ia pun dilepaskan, dan kedua orang itu jadi bersahabat. Yukimura tidak hanya minta maaf atas kekeliruan para anak buahnya, tapi juga mengirimkan sejumlah anak buahnya untuk mencari Iori.

Karena mereka tak berhasil menemukan tubuh anak itu, Gonnosuke menyimpulkan anak itu masih hidup. Sejak itu, ia menghabiskan waktunya untuk melakukan pencarian di provinsi-provinsi berdekatan. Ketika men­dengar bahwa Musashi berada di Kyoto dan pertarungan antara dia dan Kojiro akan berlangsung, Gonnosuke melipatgandakan usahanya. Kemudian, sekembalinya ke Gunung Kudo kemarin, ia mendengar dari Yukimura bahwa Musashi akan berlayar menuju Kokura hari ini. Ia takut bertemu dengan Musashi tanpa Iori di sampingnya, atau tanpa berita apa pun tentang anak itu. Tapi, karena ia tak tahu apakah akan pernah melihat gurunya lagi dalam keadaan hidup, ia memberanikan diri datang. Ia minta maaf pada Koetsu, seakan-akan Koetsu itu korban keteledorannya.

“Tak usah kuatir,” kata Koetsu. “Dalam beberapa hari akan ada kapal lain.”

“Saya betul-betul ingin melakukan perjalanan dengan Musashi.” Ia berhenti di situ, kemudian lanjutnya sungguh-sungguh, “Saya pikir perjalanan ini bisa menjadi titik menentukan dalam hidup Musashi. Dia hidup sangat disiplin. Kemungkinannya dia tak akan kalah dengan Kojiro. Namun dalam pertempuran macam itu, siapa tahu? Di sini ada unsur supramanusia yang ikut terlibat. Semua petarung harus menghadapinya; menang atau kalah, sebagian merupakan soal keberuntungan.”

“Saya pikir Anda tak perlu kuatir. Ketenangan Musashi sungguh sempurna. Dia kelihatan betul-betul yakin.”

“Saya yakin memang demikian, tapi Kojiro punya reputasi tinggi juga. Dan orang bilang, sejak bertugas pada Yang Dipertuan Tadatoshi, dia berlatih dan tetap menjaga kesiapan dirinya.”

“Tapi ini akan menjadi ujian kekuatan antara seorang jenius yang betul-­betul angkuh, dengan seorang biasa yang sudah menggosok bakat-bakatnya sebaik-baiknya, kan?”

“Saya sendiri takkan menyebut Musashi orang biasa.”

“Tapi dia memang orang biasa. Itulah yang luar biasa padanya. Dia tak puas dengan hanya mengandalkan diri pada pemberian alam. Karena tahu dirinya orang biasa, maka dia selalu mencoba meningkatkan diri. Tak se­orang pun menghargai usaha mati-matian yang harus dia lakukan. Tapi sekarang, ketika latihannya yang bertahun-tahun sudah memberikan hasil demikian hebat, tiap orang lalu bicara bahwa dia memiliki ‘bakat pemberian dewa’. Begitulah cara orang yang tidak tekun berlatih menyenangkan diri.”

“Terima kasih atas ucapan itu,” kata Gonnosuke. Ia merasa kata-kata Koetsu ini mungkin ditujukan pada dirinya juga, selain Musashi. Sambil memandang tampang orang tua yang lebar dan menyenangkan itu, pikirnya, “Dia pun begitu.”

Koetsu waktu itu tampak sebagaimana biasanya, sebagai orang yang suka bersenang-senang dan dengan sengaja memisahkan dirinya dari bagian dunia lain. Pada waktu itu matanya tidak memancarkan cahaya yang biasa diperlihatkannya apabila ia sedang memusatkan diri pada cipta seni. Kim mata itu seperti lautan yang lembut, tenang, dan tak terusik, di bawah langit yang jernih terang.

Seorang pemuda menjenguk ke pintu dan berkata pada Koetsu, “Kita kembali sekarang?”

“Ah, Matahachi!” jawab Koetsu bersahabat. Sambil menoleh pada Gonnosuke, katanya, “Rasanya saya terpaksa meninggalkan Anda. Teman­-teman saya rupanya menanti.”

“Apa Anda kembali lewat Osaka?”

“Ya. Kalau kami bisa sampai di sana pada waktunya, saya ingin naik kapal malam ke Kyoto.”

“Oh, kalau begitu saya berjalan bersama Anda saja sampai tempat itu.” Demikianlah Gonnosuke memutuskan melakukan perjalanan darat, bukannya menanti kapal berikutnya.

Ketiga orang itu berjalan berdampingan. Pembicaraan mereka jarang me­nyimpang dari Musashi, tentang statusnya sekarang, dan perbuatan-perbuatan besarnya di masa lalu. Pada suatu saat, Matahachi mengungkapkan kepri­hatinannya, katanya, “Saya berharap Musashi menang, tapi Kojiro itu cerdik. Tekniknya bagus sekali.” Namun dalam suaranya tidak terasa ke­gairahan. Kenangannya tentang pertemuannya dengan Kojiro begitu gam­blang!

Senja hari mereka sampai di jalan Osaka yang ramai. Secara bersamaan, Koetsu dan Gonnosuke tiba-tiba sadar bahwa Matahachi tidak lagi bersama mereka.

“Ke mana perginya dia?” tanya Koetsu.

Ketika mereka menempuh kembali jalan itu, mereka lihat Matahachi sedang berdiri di ujung jembatan, dengan asyik melihat ke arah tepi sungai. Di sana ibu-ibu dari perkampungan gubuk-gubuk reyot yang atapnya hanva selembar itu sedang mencuci alat-alat masak, gabah, dan sayuran.

“Aneh pancaran wajahnya,” kata Gonnosuke. Ia dan Koetsu berdiri di tempat yang agak jauh, dan memperhatikan.

“Dia!” teriak Matahachi. “Akemi!”

Detik pertama Matahachi mengenalinya, ia dikagetkan oleh nasib yang tak terduga-duga. Tapi, beberapa saat kemudian, nasib malah mulai tampak sebaliknya. Takdir tidak memperdayakan dirinya—melainkan sekadar meng­hadapkannya pada masa lalunya. Akemi telah menjadi istrinya tanpa menikah. Karma mereka berdua memang terjalin. Selama mendiami bumi yang sama, mereka ditakdirkan untuk bersatu kembali, cepat atau lambat.

Tadi ia sukar mengenali Akemi. Pesona dan kegenitannya dua tahun lalu sudah hilang. Wajahnya kurus luar biasa, rambutnya tidak dicuci, dan hanya disanggul asal saja di bawah tengkuk. Ia mengenakan kimono katun berlengan bentuk pipa, yang panjangnya sedikit di bawah lutut, pakaian kerja istri kelas rendahan yang tinggal di kota. Beda sekali dengan sutra warna-warni yang dikenakannya ketika menjadi pelacur.

Ia berjongkok dalam posisi yang biasa dilakukan para penjaja, dan ia memegang keranjang yang tampaknya berat. Di dalam keranjang itu ia menjual remis besar, tiram laut, dan lumut laut. Dagangannya masih banyak, menunjukkan bahwa jualannya tidak begitu lancar.

Di punggungnya, ia menggendong bayi berumur sekitar setahun dengan selembar kain kotor.

Yang paling membuat jantung Matahachi berdentam lebih keras adalah anak itu. Ia hitung jumlah bulan, sambil menekankan kedua telapak ta­ngannya ke pipi. Kalau anak itu umurnya jalan dua tahun, pasti terjadinya ketika mereka berdua tinggal di Edo… dan Akemi sedang mengandung ke­tika mereka dicambuk di depan umum dulu.

Sinar matahari petang yang terpantul dari sungai menari-nari di wajah Matahachi, hingga wajah itu seperti bermandikan air mata. Ia sudah tuli terhadap kesibukan lalu lintas di jalan. Akemi berjalan pelan sepanjang sungai. Matahachi menghampirinya sambil melambai-lambaikan tangan dan berteriak-teriak. Koetsu dan Gonnosuke mengikuti.

“Matahachi, mau ke mana?”

Matahachi sudah lupa sama sekali akan dua orang itu. la berhenti, dan menanti mereka menyusulnya. “Maaf,” gumamnya. “Terus terang…” Terus terang? Bagaimana mungkin ia menjelaskan pada mereka, apa yang akan dilakukannya sementara dirinya pun tak dapat menjelaskannya pada diri sendiri? Pada waktu itu ia tidak dapat memilah-milah perasaannya, namun akhirnya terlontar dari mulutnya, “Saya sudah memutuskan untuk tidak menjadi pendeta… dan akan kembali menjalani hidup biasa. Saya belum ditakdirkan untuk itu.”

“Kembali kepada hidup biasa?” seru Koetsu. “Begitu tiba-tiba? Hmm. Kau tampak aneh, Matahachi.”

“Saya tidak bisa menjelaskan sekarang. Kalau saya jelaskan, barangkali akan kedengaran gila. Baru saja saya lihat perempuan yang pernah hidup bersama saya. Dan dia menggendong bayi. Saya pikir, itu pasti anak saya.”

“Kau yakin itu?”

“Ya, yah….”

“Nah, tenangkan hatimu, dan pikirkan. Apa itu betul-betul anakmu?”

“Ya! Saya sudah jadi ayah… Maaf. Saya tidak tahu…. Saya malu. Tak dapat saya membiarkan dia menempuh hidup semacam itu—menjual dagang­an dengan keranjang, macam gelandangan biasa. Saya mesti kerja dan me­nolong anak saya.”

Koetsu dan Gonnosuke saling pandang dengan cemas. Walau tidak yakin benar apakah Matahachi masih lurus otaknya, kata Koetsu, “Kuharap kau sadar, apa yang sedang kauperbuat.”

Matahachi melepaskan jubah pendeta yang menutup kimononya yang biasa, dan menyerahkannya kepada Koetsu, bersama tasbihnya. “Saya minta maaf karena menyusahkan Bapak, tapi apa boleh saya minta tolong me­nyampaikan ini kepada Gudo di Kuil Myoshinji? Saya akan berterima kasih kalau Bapak sudi menyampaikan kepadanya bahwa saya akan tinggal di Osaka ini, mencari pekerjaan dan menjadi ayah yang baik.”

“Kau betul-betul mau melakukan ini? Meninggalkan kependetaan begitu saj a?”

“Ya. Biar bagaimana, Guru mengatakan pada saya, saya dapat kembali pada kehidupan biasa, kapan saja saya mau.”

“Hmm.”

“Beliau mengatakan kita tidak mesti berada dalam kuil untuk mem­praktekkan ajaran keagamaan. Itu lebih sukar, tapi beliau mengatakan, yang lebih terpuji adalah mampu mengendalikan diri dan menjaga iman di tengah kebohongan, kemesuman, dan pertentangan-segala yang buruk di dunia luar itu-daripada di lingkungan kuil yang bersih dan murni.”

“Saya yakin dia benar.”

“Sampai sekarang ini, sudah setahun saya tinggal bersama beliau, tapi beliau belum memberikan nama pendeta pada saya. Beliau selalu menyebut saya Matahachi. Barangkali ada sesuatu yang bakal terjadi di masa depan, yang tidak saya mengerti. Waktu itulah saya akan pergi menemuinya. Boleh saya minta tolong menyampaikan hal itu kepada beliau?”

Dan dengan kata-kata itu, Matahachi pergi.

Kapal Perang

SEGUMPAL awan merah yang tampak seperti pita besar menggantung rendah di atas kaki langit. Di dekat dasar laut yang seperti kaca tak berombak itu ada seekor ikan gurita.

Sekitar tengah hari, sebuah perahu kecil menambatkan diri di muara Sungai Shikama, jauh dari pandangan orang. Kini, ketika senja melarut, asap tipis naik dari anglo tanah liar di atas geladaknya. Seorang perempuan tua mematah-matahkan kayu dan mengumpankannya ke api.

“Kau kedinginan?” tanyanya.

“Tidak,” jawab gadis yang terbaring di dasar perahu, di balik sejenis tikar merah. Ia menggeleng lemah, kemudian mengangkat kepalanya dan memandang perempuan itu. “Jangan repot-repot buat saya, Nek. Nenek sendiri mesti hati-hati. Suara Nenek kedengaran parau.”

Osugi meletakkan kuali nasi di atas anglo, untuk membuat bubur. “Tak apa,” katanya. “Tapi kau sakit. Kau mesti makan baik-baik, supaya merasa sehat waktu kapal datang.”

Otsu menahan air matanya dan memandang ke tengah laut. Di sana ada beberapa perahu yang sedang menangkap gurita, dan beberapa kapal muatan. Kapal dari Sakai tidak kelihatan.

“Sudah sore sekarang,” kata Osugi. “Orang bilang, kapal datang sebelum petang.” Dalam suaranya terasa keluhan.

Berita keberangkatan kapal Musashi itu tersebar cepat. Ketika berita itu terdengar oleh Jotaro di Himeji, ia mengirim pembawa surat untuk me­nyampaikannya kepada Osugi. Pada gilirannya, Osugi bergegas pergi ke Shippoji, di mana Otsu terbaring sakit akibat pukulan-pukulan perempuan tua itu.

Sejak malam itu, begitu seringnya Osugi memohon maaf sambil menangis, hingga Otsu yang mendengarnya merasa terbeban. Otsu tidak menganggap Osugi sebagai penyebab sakitnya. Menurutnya, penyakitnya ini penyakit lama yang kambuh lagi, yang dulu menyebabkan ia terkurung beberapa bulan lamanya di rumah Yang Dipertuan Karasumaru di Kyoto. Pagi hari dan malam hari ia banyak batuk, disertai demam sedikit. Berat badannya turun, membuat wajahnya tampak lebih cantik daripada biasanya, tapi kecantikan itu kecantikan yang sangat lembut, yang membuat sedih orang-­orang yang bertemu dan berbicara dengannya.

Namun matanya masih bersinar. Satu hal, ia merasa senang dengan perubahan yang terjadi pada Osugi. Janda Hon’iden itu akhirnya mengerti bahwa penilaiannya terhadap Otsu dan Musashi tidak benar, dan kini ia seperti orang yang dilahirkan kembali. Sementara itu, Otsu mendapat harapan baru, karena yakin tak lama lagi ia akan bertemu kembali dengan Musashi.

Osugi mengatakan, “Untuk menebus semua kesengsaraan yang telah kutimbulkan bagimu, aku akan menyembah dan memohon pada Musashi untuk meluruskan semuanya. Aku akan membungkuk. Aku akan minta maaf. Aku akan membujuknya.” Ia sampaikan pada seluruh keluarga dan seluruh kampung bahwa pertunangan Matahachi dengan Otsu dibatalkan, lalu ia hancurkan dokumen yang mencatat janji kawin itu. Semenjak itu, ia merasa berkewajiban menyampaikan pada semua orang, bahwa satu-satunya orang yang akan menjadi suami yang baik dan cocok buat Otsu adalah Musashi.

Karena keadaan di kampung sudah berubah, orang yang paling dikenal Otsu di Miyamoto adalah Osugi. Osugi mewajibkan dirinya melayani gadis itu sampai sehat kembali, dan mendatangi Kuil Shippoji pagi dan petang. Pertanyaan keprihatinan yang selalu diajukannya adalah, “Kau sudah ma­kan? Kau sudah makan obat? Bagaimana perasaanmu?”

Suatu hari, ia berkata sambil mencucurkan air mata, “Kalau malam itu kau tidak hidup kembali, aku barangkali mau mati di sana juga.”

Sebelumnya perempuan tua itu tak pernah ragu membengkokkan atau menyampaikan kebohongan besar. Salah satu yang terakhir adalah tentang Ogin di Sayo. Sebetulnya tak seorang pun pernah melihat atau mendengar tentang Ogin bertahun-tahun lamanya. Satu-satunya yang diketahui orang adalah bahwa ia sudah kawin dan pindah ke provinsi lain.

Karena itu, semula Otsu merasa segala pernyataan Osugi itu tak dapat dipercaya. Kendati pun sikap yang ditunjukkannya itu tulus, ada kemung­kinan sesudah beberapa waktu penyesalan itu akan pudar. Tapi hari berganti hari dan minggu berganti minggu, ternyata ia semakin baik dan semakin banyak mencurahkan perhatian pada Otsu

“Tak pernah aku bermimpi, bahwa di dalam hatinya dia orang yang demikian baik,” pikir Otsu akhirnya. Dan karena sikap hangat dan kebaikan yang baru ditemukan Osugi itu diteruskan pada semua orang di sekitarnya, perasaan itu secara luas dirasakan juga oleh keluarga dan orang kampung, sekalipun banyak di antara mereka menyatakan keheranan secara kurang halus, dengan kata-kata seperti, “Menurutmu apa yang sudah masuk dalam kepala perempuan tua jelek itu?”

Osugi sendiri kagum, betapa baik semua orang terhadapnya sekarang. Biasanya, bahkan orang-orang yang terdekat dengannya pun cenderung mengerut apabila melihat dirinya. Kini mereka tersenyum dan bicara hangat. Demikianlah, akhirnya pada umur setua ini, untuk pertama kalinya ia tahu apa arti dicintai dan dihormati orang lain.

Seorang kenalan bertanya terus terang, “Apa yang terjadi denganmu? Wajahmu tampak lebih menarik, tiap kali aku melihatmu.”

“Mungkin demikian,” pikir Osugi pada hari itu juga, ketika ia melihat dirinya di dalam cermin. Masa lalu telah meninggalkan jejaknya. Ketika ia meninggalkan kampung dulu, rambutnya masih campuran hitam dan putih. Sekarang semuanya sudah putih. Tapi la tak peduli, karena ia percaya bahwa setidaknya, di dalam hatinya sekarang ia sudah bebas dari warna hitam.

Kapal yang dinaiki Musashi seperti biasa berhenti untuk bermalam di Shikama, untuk menurunkan dan menaikkan muatan.

Kemarin, sesudah menyampaikan pada Otsu tentang hal ini, Osugi bertanya, “Apa yang akan kaulakukan?”

“Tentu saya akan ke sana.”

“Kalau begitu, aku juga.”

Otsu bangkit dari tempat tidurnya, dan sejam kemudian mereka sudah dalam perjalanan. Sampai larut petang, mereka berjalan ke Himeji. Selama itu Osugi terus mengurusi Otsu, seakan-akan ia anak kecil.

Malam itu, di rumah Aoki Tanzaemon disusun rencana untuk meng­hidangkan makan malam di Benteng Himeji, sebagai tanda ucapan selamat bagi Musashi. Diperkirakan, karena pengalaman masa lalunya di benteng itu, ia akan menganggap suatu kehormatan dipestakan dengan cara itu. Bahkan Jotaro pun berpendapat demikian.

Diputuskan juga sesudah berunding dengan para samurai seangkatan Tanzaemon, bahwa Otsu tak boleh terlihat terang-terangan di depan umum bersama Musashi. Tanzaemon menyampaikan pada Otsu dan Osugi inti persoalan ini, dan menyarankan agar mereka menggunakan perahu saja. Dengan demikian, Otsu dapat hadir tanpa menjadi korban gosip yang me­malukan.

Laut menggelap, dan warna langit memudar. Bintang-bintang mulai berkelip-kelip. Dekat rumah tukang celup tempat Otsu dulu tinggal, sejak selewat sore tadi sudah menanti sekitar dua puluh samurai Himeji, untuk menyambut Musashi.

“Barangkali bukan ini harinya,” ujar seorang dari mereka.

“Tidak, jangan kuatir,” kata yang lain. “Saya sudah kirim satu orang

kepada agen Kobayashi, untuk memastikan.”

“Hei, apa bukan itu?”

“Kelihatannya begitu, jenis layarnya benar.”

Mereka ribut bergerak lebih dekat ke tepi air.

Jotaro meninggalkan mereka, dan berlari ke perahu kecil di muara. “Otsu! Nek! Kapal sudah kelihatan-kapal Musashi!” teriaknya pada kedua perempuan yang bergembira itu.

“Betul kau melihatnya? Di mana?” tanya Otsu. Ia sampai hampir jatuh ke laut, ketika berdiri.

“Hati-hati!” Osugi mengingatkan, sambil mencekalnya dari belakang. Mereka berdiri berdampingan. Mata mereka mencari-cari dalam kegelapan. Berangsur-angsur sebuah titik kecil nun jauh di sana berubah menjadi sebuah layar besar, hitam warnanya dalam cahaya bintang, dan seolah-olah meluncur langsung ke dalam mata mereka.

“Itu dia!” teriak Jotaro.

“Cepat ambil dayung buritan” kata Otsu. “Bawa kami ke kapal itu.”

“Tak perlu buru-buru. Seorang samurai dari pantai akan berdayung ke tengah, mengambil Musashi.”

“Kalau begitu, kita mesti pergi sekarang! Kalau nanti dia bersama orang­orang itu, tak ada kesempatan Otsu bicara dengannya.”

“Tak bisa kita berbuat begitu. Mereka semua akan melihat Otsu.”

“Kalian ini terlalu banyak kuatir dengan pendapat para samurai. Itu sebabnya kita tersingkir di perahu kecil ini. Kalau kalian mau tahu, mestinya kita menanti di rumah tukang celup itu.”

“Tidak. Nenek keliru. Nenek tidak tahu bagaimana omongan orang. Tenang saja. Bapak saya dan saya akan mencari jalan membawa dia kemari.” Di situ la berhenti untuk berpikir. “Kalau nanti dia mendarat, dia akan pergi ke rumah tukang celup untuk istirahat sebentar. Saya akan me­nemuinya, dan mengatur supaya dia datang kemari menemui kalian. Kalian tunggu saja di sini. Sebentar saya kembali.” Ia bergegas ke pantai.

“Usahakan istirahat sedikit,” kata Osugi.

Otsu dengan patuh membaringkan diri, tapi sukar baginya untuk bernapas.

“Terganggu batuk lagi, ya?” tanya Osugi lembut. Ia berlutut dan meng­gosok punggung gadis itu. “Jangan kuatir. Tak lama lagi Musashi sampai di situ.

“Terima kasih, saya baik-baik saja sekarang.” Begitu batuknya reda, Otsu membereskan rambutnya, dan mencoba membuat penampilannya tampak lebih baik.

Tapi ketika waktu terus berlalu dan Musashi tidak juga muncul, Osugi mulai gelisah. Ia tinggalkan Otsu di perahu, dan pergi ke tepi air.

Begitu Osugi hilang dari pandangan, Otsu menyurukkan kasur dan bantalnya ke balik tikar, kemudian mengikatkan kembali obi-nya dan merapikan kimononya. Detak jantungnya sama sekali tak berbeda dengan yang pernah ia alami ketika ia masih berusia tujuh belas atau delapan belas tahun. Cahaya merah rambu laut yang digantungkan di dekat haluan perahu menembus hatinya dengan kehangatan. Ia menjulurkan lengannya yang putih halus ke atas bibir perahu, ia basahi sisirnya, dan ia sisir rambutnya sekali lagi. Kemudian ia kenakan pupur pada pipinya demikian tipis, sehingga hampir tak terlihat. Pikirnya, samurai pun kadang-kadang masuk kamar rias dan memulas wajahnya yang pucat dengan sedikit pemerah, kalau tiba-tiba ia dipanggil menghadap tuannya, di tengah tidur nyenyak.

Yang paling meresahkan dirinya adalah apa yang akan ia katakan nanti kepada Musashi. Ia kuatir akan susah bicara, seperti dialaminya ketika dulu bertemu Musashi. Ia tak ingin mengucapkan sesuatu yang akan menyinggung perasaan Musashi, karena itu ia mesti berhati-hati betul. Musashi sedang dalam perjalanan menghadapi pertarungan. Seluruh negeri membicarakannya.

Pada saat penting dalam hidupnya ini, Otsu tidak yakin Musashi akan kalah dengan Kojiro. Namun juga belum pasti benar bahwa Musashi akan menang. Hal-hal lain bisa saja terjadi. Kalau hari ini ia melakukan sesuatu yang keliru, dan kemudian Musashi terbunuh, ia akan menyesalinya sepanjang hidup. Tak ada lagi yang tersisa baginya kecuali menangis sampai mati, dan seperti kaisar Cina kuno itu, ia berharap dipersatukan dengan kekasihnya di dunia lain.

Ia harus mengucapkan apa yang mesti diucapkannya, tak peduli apa yang akan dikatakan atau dilakukan Musashi. la mengerahkan kekuatannya untuk sampai pada kesimpulan ini. Sekarang pertemuan itu sudah dekat, maka detak nadinya berlomba hebat. Karena demikian banyak yang terpikir olehnya, maka kata-kata yang ingin diucapkannya juga tidak terbentuk.

Osugi tak punya masalah seperti itu. Ia sedang memilih kata-kata yang akan dipergunakannya untuk meminta maaf atas salah pengertian dan den­damnya, untuk menghilangkan beban hatinya, dan untuk mohon peng­ampunan. Sebagai bukti ketulusan hatinya, ia akan mengusahakan agar hidup Otsu dipercayakan pada Musashi.

Kegelapan hanya sekali-sekali terusik oleh pantulan air. Keadaan sunyi, sampai akhirnya terdengar derap lari Jotaro.

“Oh, akhirnya kau datang, ya?” kata Osugi yang waktu itu masih berdiri di tepian. “Di mana Musashi?”

“Maaf, Nek.”

“Maaf? Apa artinya?”

“Coba dengarkan. Akan saya terangkan semuanya.”

“Aku tak butuh penjelasan. Musashi datang atau tidak?”

“Tidak datang.”

“Tidak datang?” Suara itu kosong penuh kekecewaan.

Dengan sangat kikuk, Jotaro menceritakan apa yang telah terjadi. Seorang samurai telah berdayung ke kapal, dan mendapat pemberitahuan bahwa kapal tidak berhenti di sana . Tidak ada penumpang yang hendak turun di Shikama, muatan sudah diangkut sebuah tongkang. Samurai itu minta ber­temu dengan Musashi, dan Musashi datang ke sisi kapal dan bicara dengannya, tapi ia mengatakan tak ada rencana turun. Ia maupun kapten kapal ingin sampai di Kokura selekas-lekasnya.

Ketika samurai itu tiba kembali di pantai dengan membawa berita tersebut, kapal sudah menuju laut lepas.

“Kalian bahkan tak dapat melihatnya lagi,” kata Jotaro kesal. “Sudah memutar hutan pinus di ujung lain pantai ini. Maaf. Tak ada yang mesti disalahkan.”

“Kenapa kau tidak pergi dengan perahu bersama-sama samurai itu?”

“Saya tak menduga…. Yah, tapi tak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Tak ada gunanya membicarakan itu.”

“Kau benar, tapi ini sungguh sayang! Kita mesti bilang apa pada Otsu nanti? Kau yang mesti mengatakannya, Jotaro, aku sendiri tak sampai hati. Kau bisa sampaikan padanya apa yang terjadi… tapi mula-mula kau mesti bikin dia tenang. Kalau tidak, penyakitnya bisa makin parah.”

Ternyata tak perlu lagi Jotaro menjelaskan. Otsu, yang duduk di belakang tirai itu, sudah mendengar segalanya. Pukulan ombak ke lambung perahu agaknya sudah membuatnya pasrah pada penderitaan.

“Kalau malam ini aku gagal bertemu dengannya,” pikirnya, “akan kutemui dia hari lain, di pantai lain.”

Ia merasa dapat memahami, kenapa Musashi memutuskan untuk tidak meninggalkan kapal. Di seluruh Honshu barat dan Kyushu, Sasaki Kojiro diakui sebagai pemain pedang terbesar. Menantang keunggulannya berarti Musashi bertekad bulat untuk menang. Pikirannya pasti cuma tertuju pada soal itu-soal itu saja. “Tapi alangkah dekatnya dia tadi,” keluhnya. Dengan air mata meleleh di pipi, ia tatap layar yang sudah tak kelihatan itu, yang pelan-pelan bergerak berat. Dengan hati sedih ia bersandar pada sandaran perahu.

Kemudian ia sadar akan kekuatan besar yang berkembang bersama air matanya. Walaupun dirinya rapuh, di dalam dirinya bersemayam himpunan tenaga supramanusia. Memang ia tidak menyadarinya, tapi sesungguhnya ia memiliki kemauan gigih yang membuatnya sanggup bertahan terus menempuh tahun-tahun penuh penyakit dan penderitaan. Darah segar mewarnai pipinya, memberikan kepadanya hidup baru.

“Nek! Jotaro!”

Mereka berdua menuruni tepi pantai itu pelan-pelan. Tanya Jotaro, “Ada apa, Otsu?”

“Aku sudah dengar pembicaraan kalian.”

“Oh?”

“Ya. Tapi aku takkan menangisinya lagi. Aku akan pergi ke Kokura. Akan kulihat sendiri pertarungan itu … kita tak dapat begitu saja meng­anggap Musashi pasti menang. Kalau dia kalah, aku ingin mengambil abunya dan membawanya pulang.”

“Tapi kau sedang sakit.”

“Sakit?” Otsu sudah menyingkirkan jauh-jauh pikiran tentang sakit dari kepalanya. Dirinya seolah sudah dipenuhi vitalitas yang mengatasi kelemahan tubuhnya. “Jangan pikirkan soal itu. Aku betul-betul tak apa-apa. Yah, barangkali aku masih sedikit sakit, tapi sebelum aku melihat kesudahan pertarungan itu…”

“Aku sudah bertekad untuk tidak mati.” Itulah kata-kata yang hampir keluar dari bibirnya. Ia tak jadi mengucapkan kata-kata itu, tapi menyibukkan diri membuat persiapan untuk perjalanannya. Setelah siap, ia keluar sendiri dari perahu, walaupun mesti bergayut kuat pada sandaran.

Elang Pemburu dan Perempuan

KETIKA berlangsungnya Pertempuran Sekigahara, Kokura menjadi benteng yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Mori Katsunobu dari Iki. Sejak itu benteng dibangun kembali dan diperbesar, dan memperoleh tuan yang baru. Menara-menara dan dinding-dindingnya yang putih berkilau meng­ungkapkan keperkasaan dan martabat Keluarga Hosokawa yang kini dikepalai Tadatoshi, pengganti ayahnya, Tadaoki.

Dalam waktu singkat sesudah kedatangan Kojiro, Gaya Ganryu yang dikembangkan atas dasar yang ia pelajari dari Toda Seigen dan Kanemaki Jisai telah melanda seluruhKyushu. Orang bahkan datang dari Shikoku untuk belajar di bawah pimpinannya, dengan harapan bahwa sesudah setahun-dua tahun berlatih, mereka akan mendapat sertifikat dan memperoleh persetujuan pulang sebagai guru gaya baru itu.

Kojiro memperoleh penghormatan dari orang-orang di sekitarnya, termasuk Tadatoshi yang kabarnya menyatakan dengan rasa puas, “Saya melihat sendiri, dia pemain pedang yang sangat baik.” Di seluruh penjuru rumah tangga Hosokawa yang luas itu, orang sependapat bahwa Kojiro adalah orang yang “berwatak menonjol”. Apabila berjalan antara rumahnya dan benteng, ia lakukan itu dengan penuh gaya, diiringi tujuh pemain lembing. Orang banyak pun mendekat dan menyatakan hormat.

Sebelum ia datang, Ujiie Magoshiro, pelatih Gaya Shinkage, merupakan instruktur pedang utama bagi klan itu. Bintangnya meredup cepat, bersamaan dengan semakin cemerlangnya bintang Kojiro. Kojiro bicara tentangnya dengan kata-kata muluk. Kepada Yang Dipertuan Tadatoshi ia mengatakan, “Bapak tak perlu melepaskan Ujiie. Gayanya memang tidak mencolok, tapi dia memiliki kematangan tertentu, yang tidak dimiliki orang-orang muda semacam kami.” Ia menyarankan agar dirinya dan Magoshiro memberikan pelajaran di dojo benteng berselang-seling hari, dan usul ini dilaksanakan.

Suatu ketika Tadatoshi berkata, “Kojiro berkata metode Magoshiro tidak menonjol, tapi matang. Magoshiro berkata Kojiro seorang jenius, dan dengannya dia tak dapat beradu pedang. Siapa yang benar? Aku ingin melihat demonstrasinya.”

Kedua orang itu setuju untuk saling berhadapan dengan pedang kayu, yang dihadiri Yang Dipertuan. Pada kesempatan pertama, Kojiro membuang senjatanya. Sambil duduk di kaki lawannya ia menyatakan, “Saya bukan lawan Bapak. Maafkan kelancangan saya.”

“Jangan terlalu merendahkan diri,” jawab Magoshiro, “sayalah yang bukan lawan yang pantas.”

Para saksi mata terbagi dua apakah Kojiro berbuat demikian atas dasar iba, atau atas dasar kepentingan sendiri. Tapi, bagaimanapun, dengan sikap­nya itu reputasinya menjadi lebih tinggi lagi.

Sikap Kojiro terhadap Magoshiro tetap toleran, tapi manakala orang me­nyinggung tentang makin masyhurnya Musashi di Edo dan Kyoto, ia lekas mengoreksinya.

“Musashi?” katanya meremehkan. “Memang dia cukup pintar mencari nama untuk diri sendiri. Saya dengar dia bicara tentang Gaya Dua Pedang. Dia memang punya kecakapan alamiah tertentu. Saya sangsi ada orang di Kyoto atau Osaka yang dapat mengalahkannya.” Kojiro sengaja menampak­kan bahwa ia menahan diri untuk bicara lebih banyak lagi.

Seorang petarung berpengalaman yang bertamu ke rumah Kojiro pada suatu hari mengatakan, “Saya belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi orang bilang Miyamoto Musashi itu pemain pedang terbesar sejak Koizumi dan Tsukahara, tentu saja dengan perkecualian Yagyu Sekishusai. Setiap orang rupanya berpendapat, kalau dia bukan pemain pedang terbesar, setidak-tidaknya sudah mencapai taraf ahli.”

Kojiro tertawa, wajahnya memerah. “Yah, orang-orang itu buta,” katanya dengan tajam. “Saya kira sebagian orang menganggapnya orang besar atau pemain pedang ahli. Ini menjadi bukti bagi Anda, betapa merosotnya sudah Seni Perang dalam hal gaya maupun tingkah laku perorangan. Jadi, pada zaman ini seorang pencari publisitas yang pintar bisa saja menjadi tenar, setidaknya di hadapan orang-orang awam.

“Tak perlu saya nyatakan bahwa saya punya pandangan berbeda dalam hal ini. Saya melihat bagaimana Musashi mencoba menjual diri di Kyoto beberapa tahun lalu. Dia memamerkan kebrutalan dan kepengecutannya dalam pertarungan melawan Perguruan Yoshioka di Ichijoji. Sifat pengecut bukan kata yang cukup hina untuknya. Memang waktu itu dia kalah dalam jumlah, tapi apa yang dilakukannya? Dia angkat kaki seribu, begitu melihat kesempatan. Mengingat masa lalunya dan ambisinya yang luar biasa, saya memandangnya sebagai orang yang diludahi pun cak pantas…. Ha, ha…..­kalau orang yang menghabiskan hidupnya dengan mencoba belajar Seni Perang adalah seorang ahli, saya kira Musashi memang seorang ahli. Tapi ahli pedang? Oh, bukan!”

Jelas Kojiro menganggap pujian kepada Musashi sebagai penghinaan terhadap dirinya. Usahanya untuk mencoba menggiring setiap orang untuk menerima pandangannya itu demikian hebat, hingga para pengagumnya yang paling setia pun mulai bertanya-tanya. Akhirnya beredar cerita bahwa antara Musashi dan Kojiro memang sudah lama berlangsung permusuhan. Dan tak lama kemudian, desas-desus tentang pertarungan pun menyebar.

Atas perintah Yang Dipertuan Tadatoshi, Kojiro akhirnya mengeluarkan tantangan. Beberapa bulan kemudian, seluruh perdikan Hosokawa disibukkan oleh spekulasi tentang kapan perkelahian akan diadakan dan bagaimana kira-kira hasilnya.

Iwama Kakubei yang kini sudah lanjut usia, datang mengunjungi Kojiro pagi dan petang, kapan saja ia dapat menemukan alasan sekecil apa pun. Pada suatu sore di bulan keempat, ketika bunga sakura bermahkota ganda warna merah muda sudah gugur, Kakubei berjalan melintasi halaman depan Kojiro, lewat bunga-bunga azalea merah cemerlang yang berkembang dalam bayangan batu-batu hias. Ia dipersilakan ke kamar dalam, yang hanya diterangi cahaya redup matahari petang.

“Ah, Bapak Guru Iwama, saya senang berjumpa dengan Bapak,” kata Kojiro yang waktu itu berdiri agak di luar, memberi makan elang pemburu yang bertengger di atas tinjunya.

“Aku punya berita buatmu,” kata Kakubei yang masih berdiri. “Dewan klan sudah membicarakan tempat pertarungan hari ini, dihadiri oleh Yang Dipertuan, dan sudah mencapai keputusan.”

“Kami persilakan duduk,” kata seorang abdi dari kamar sebelah.

Dengan gumam terima kasih, Kakubei duduk, dan melanjutkan, “Sejumlah tempat sudah disarankan, di antaranya Kikunonagahama dan tepi Sungai Murasaki, tapi semuanya ditolak, karena tempat-tempat itu terlalu kecil atau terlalu mudah dicapai orang banyak. Memang kita dapat membuat pagar bambu, tapi itu pun takkan mencegah tepi sungai itu dikerumuni orang-orang yang mencari hiburan menggetarkan.”

“Saya paham,” jawab Kojiro. Ia masih memperhatikan mata dan paruh elang pemburu itu.

Kakubei semula berharap beritanya akan diterima dengan napas tertahan, dan kini ia kecewa. Seorang tamu biasanya tidak melakukan hal ini, tapi Kakubei melakukannya, katanya, “Mari masuk. Ini bukan soal yang bisa dibicarakan sambil berdiri di sini.”

“Sebentar,” kata Kojiro sambil lalu. “Mau saya selesaikan dulu memberi makan burung ini.”

“Apa ini elang yang diberikan Yang Dipertuan Tadatoshi sesudah kalian pergi berburu bersama-sama musim gugur lalu?”

“Ya. Namanya Amayumi. Makin saya terbiasa, makin saya suka padanya.” Kojiro membuang sisa makanan, dan sambil memutar tali berumbai merah yang dikenakan pada leher burung itu, ia berkata pada pembantu muda di belakangnya, “Ini, Tatsunosuke… kembalikan ke sangkarnya.”

Burung pun beralih tempat dari kepalan Kojiro ke kepalan si pembantu, dan Tatsunosuke mulai menyeberangi halaman luas. Di sebelah bukit kecil buatan manusia itu terdapat rumpun pinus. Di sisi rumpun dibatasi pagar. Pekarangan itu terletak sepanjang Sungai Itatsu. Banyak pengikut Hosokawa lain tinggal di sekitar tempat itu.

“Maaf, Bapak harus menunggu,” kata Kojiro.

“Sudahlah! Aku ini kan bukan orang luar? Kalau aku datang kemari, itu hampir seperti datang ke rumah anakku sendiri.”

Seorang pelayan berumur sekitar dua puluh tahun masuk, dan dengan anggun menuangkan teh. Sambil melontarkan pandang kepada tamu, ia mempersilakannya minum.

Kakubei menggeleng dengan nada kagum. “Senang sekali melihatmu lagi, Omitsu. Kau masih tetap cantik.”

Omitsu memerah sampai ke bagian leher kimononya. “Dan Bapak selalu membuat saya gembira,” jawabnya sebelum menyelinap cepat keluar ruangan.

Kata Kakubei, “Kaubilang, makin terbiasa dengan elang itu, makin kau suka kepadanya. Bagaimana dengan Omitsu? Apa tidak lebih baik kau didampingi dia, daripada burung pemburu? Sudah lama aku ingin bertanya tentang niatmu terhadap gadis itu.”

“Apa diam-diam dia mengunjungi rumah Bapak?”

“Kuakui, dia memang datang untuk berbicara denganku.”

“Perempuan bodoh! Dia sama sekali tidak bilang soal itu pada saya.” Dan Kojiro melontarkan pandangan marah ke shoji putih itu.

“Tak usah hal itu menjengkelkanmu. Dan tak ada alasan kenapa dia tak boleh datang kepadaku.” Kakubei menanti, sampai menurutnya mata Kojiro melunak sedikit, lalu lanjutnya, “Wajar kalau seorang perempuan merasa kuatir. Menurutku, bukannya dia sangsi akan rasa sayangmu terhadapnya, tapi siapa pun yang berada pada kedudukan macam dia itu akan menguatirkan masa depannya. Maksudku, apa yang bakal terjadi dengan dirinya?”

“Kalau begitu, dia sudah menceritakan segalanya pada Bapak?”

“Kenapa tidak? Itu hal yang biasa sekali terjadi di dunia ini, antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Tak lama lagi kau perlu menikah. Kau punya rumah besar dan banyak pembantu. Kenapa tidak?”

“Apa Bapak tak dapat membayangkan apa kata orang, kalau saya me­ngawini gadis yang sebelumnya bekerja sebagai pelayan di rumah saya?”

“Apa pula bedanya? Kau tentu takkan dapat menyingkirkan dia sekarang. Sekiranya dia bukan calon istri yang cocok buatmu, memang janggal, tapi dia dari keluarga yang baik, bukan? Orang bilang, dia kemenakan Ono Tadaaki.”

“Betul.”

“Dan kau bertemu dengannya waktu kau masuk dojo Tadaaki dan mem­buka matanya bahwa perguruan pedangnya berada dalam keadaan menyedih­kan.”

“Ya. Saya tidak bangga atas hal itu, dan saya tak dapat merahasiakannya dari orang sedekat Bapak. Cepat atau lambat, sudah saya rencanakan untuk menyampaikan seluruh ceritanya pada Bapak… Seperti Bapak katakan, hal itu terjadi sesudah pertarungan saya dengan Tadaaki. Hari sudah gelap waktu saya berangkat pulang, dan Omitsu—dia tinggal dengan pamannya waktu itu—membawa lentera kecil dan menyertai saya turun Lereng Saikachi. Tanpa pikir panjang, saya goda dia sedikit, tapi dia menanggapi dengan serius. Sesudah Tadaaki menghilang, dia datang menemui saya, dan…”

Sekarang giliran Kakubei yang menjadi malu. Ia mengibaskan tangan, sebagai tanda bahwa ia sudah cukup mendengar tentang itu. Padahal baru belakangan ini saja ia tahu bahwa Kojiro sudah memasukkan gadis itu sebelum ia meninggalkan Edo menuju ke Kokura. Ia terkejut, tidak hanya karena kenaifannya sendiri, tapi juga karena menyaksikan kemampuan Kojiro memikat perempuan, bercintaan, dan merahasiakan segalanya.

“Serahkan semua itu padaku,” katanya. “Saartini kurang sesuai buatmu mengumumkan perkawinan. Dahulukan yang penting. Itu bisa dilakukan sesudah pertarungan.” Seperti banyak orang lain, ia merasa yakin bahwa pemantapan terakhir bagi kemasyhuran dan kedudukan Kojiro akan terjadi dalam beberapa hari lagi.

Teringat kembali maksud kedatangannya, ia melanjutkan, “Seperti ku­katakan tadi, dewan sudah memutuskan tempat buat pertarungan. Karena salah satu syaratnya adalah tempat itu harus dalam wilayah Yang Dipertuan Tadatoshi, dan tak dapat dengan mudah didatangi orang banyak, maka disetujui sebuah pulau merupakan tempat ideal. Yang terpilih adalah pulau kecil bernama Funashima, antara Shimonoseki dan Moji.”

Ia tampak merenung sebentar, kemudian katanya, “Terpikir olehku, apa tidak bijaksana kalau kita melihat medan itu sebelum Musashi datang. Itu dapat memberikan keuntungan tertentu padamu.” Alasannya, kalau me­ngetahui letak tanahnya, seorang pemain pedang bisa mendapat gambaran tentang bagaimana ia memanfaatkan medan dan kedudukan matahari. Ia bisa memperoleh gambaran tentang jalannya pertarungan nanti, dan seberapa erat ia harus mengikat tali sandalnya. Setidaknya, Kojiro akan memiliki rasa aman, yang tidak mungkin diperolehnya apabila ia mendatangi tempat itu untuk pertama kali.

Ia sarankan agar mereka menyewa perahu nelayan dan pergi melihat Funashima hari berikutnya.

Kojiro tidak setuju. “Yang terpenting dalam Seni Perang adalah cepat memanfaatkan peluang. Biarpun orang sudah mengambil tindakan berjaga­jaga, sering terjadi lawan sudah bisa menebak lebih dulu, dan mendapat cara untuk mengimbangi. Jauh lebih baik melakukan pendekatan dengan pikiran terbuka, dan bergerak dengan kebebasan sempurna.”

Karena merasa argumentasi Kojiro memang logis, Kakubei tidak menyebut­nyebut lagi soal pergi ke Funashima.

Atas panggilan Kojiro, Omitsu menghidangkan sake untuk mereka, dan kedua orang itu minum-minum dan mengobrol sampai larut malam. Dari cara santai Kakubei dalam menghirup sake, jelas kelihatan ia senang dengan hidupnya, dan bahwa ia merasa usahanya membantu Kojiro telah membawa hasil.

Seperti seorang ayah yang besar hati, Kakubei berkata, “Kupikir ini bisa disampaikan pada Omitsu. Kalau semua ini sudah lewat, kita dapat meng­undang sanak keluarga dan teman-temannya kemari untuk merayakan perkawinan. Memang bagus kalau kau setia kepada pedangmu, tapi kau juga harus punya keluarga, kalau namamu hendak kaulanjutkan. Kalau kau sudah menikah, aku merasa kewajibanku terhadapmu sudah terlaksana.”

Tidak seperti si abdi tua yang bahagia dan sudah bertahun-tahun mengabdi itu, Kojiro tidak memperlihatkan tanda-tanda mabuk. Namun akhir-akhir ini ia memang cenderung berdiam diri. Begitu pertarungan diputuskan, Kakubei menyarankan, dan Tadacoshi menyetujui, untuk membebaskan Kojiro dari kewajiban-kewajibannya. Semula ia dapat menikmati waktu senggang yang tidak biasa itu, tapi ketika harinya semakin dekat dan makin banyak orang datang berkunjung, ia merasa dirinya terpaksa melayani mereka. Belakangan ini waktu istirahatnya semakin sedikit. Namun ia enggan mengurung diri atau menyuruh menolak orang di pintu gerbang. Kalau ia melakukan hal itu, orang banyak akan mengira ia sudah kehilangan kemantapan.

Yang ia inginkan adalah pergi ke pedesaan tiap hari, dengan elang pemburu di tangan. Dalam cuaca bagus, berjalan-jalan di ladang dan gunung bertemankan burung itu bisa meningkatkan semangatnya

Manakala mata elang yang biru waspada itu melihat korban di langit, Kojiro melepaskannya. Kemudian matanya sendiri, yang sama waspadanya, mengikuti burung itu, sampai akhirnya burung itu membubung, dan ke­mudian menukik menerkam buruannya. Sebelum bulu korban bertaburan ke bumi, ia tetap tak bernapas, terpaku, seakan-akan ia sendirilah elang itu.

“Bagus! Begitu mestinya!” serunya apabila elang itu berhasil membunuh. la banyak belajar dari burung pemburu ini, dan sebagai akibat dari acara berburu itu, hari demi hari wajahnya makin menampakkan keyakinan.

Pulang petang hari, ia disambut mata Omitsu yang bengkak karena menangis. Pedih hatinya, melihat Omitsu berusaha menyembunyikan hal itu. Baginya kalah oleh Musashi sungguh tak terpikirkan. Namun terpikir juga olehnya, apa yang akan terjadi dengan gadis itu, sekiranya ia terbunuh.

Ia juga teringat wajah almarhumah ibunya, yang selama bertahun-tahun hampir tak diingatnya. Dan setiap malam, saat ia jatuh tertidur, bayangan mata elang yang biru dan mata Omitsu yang bengkak itu datang me­ngunjunginva, bercampur aduk dengan kenangan selintas tentang wajah ibunya.

Sebelum Tanggal Tiga Belas

SHIMONOSEKI, Moji, kota benteng Kokura-selama beberapa hari terakhir, banyak musafir datang ke situ, dan sedikit saja yang kembali. Penginapan-­penginapan semuanya penuh, dan kuda berderet-deret pada tiang tambatan di luar.

Perintah yang dikeluarkan oleh benteng berbunyi:

Pada tanggal tiga belas bulan ini, pada pukul delapan pagi, di Pulau Funashima di Selat Nagato di Buzen, Sasaki Kojiro Ganryu, seorang samurai dari perdikan ini, atas perintah Yang Dipertuan akan melakukan pertarungan dengan Miyamoto Musashi, seorang ronin dari Provinsi Mimasaka.

Para pendukung kedua pemain pedang dilarang keras membantu atau mengurangi perairan antara daratan dan Pulau Funashima. Sampai pukul sepuluh pagi tanggal empat belas, kapal pesiar, kapal penumpang, atau perahu nelayan tidak diizinkan memasuki selat. Bulan empat (1612).

Pengumuman itu dipasang secara mencolok pada papan-papan pengumum­an di semua persimpangan besar, dermaga-dermaga, dan tempat-tempat berkumpul.

“Tanggal tiga belas? Lusa, ya?”

“Orang dari mana-mana pasti ingin melihat pertarungan itu, supaya mereka dapat pulang dan bercerita.”

“Tentu saja ingin, tapi bagaimana orang bisa melihat perkelahian yang berlangsung di pulau yang jauhnya tiga kilometer dari pantai?”

“Yah, kalau kau pergi ke puncak Gunung Kazashi, akan kaulihat pohon­-pohon pinus di Funashima. Tap, biar bagaimana, orang akan datang walau sekadar menganga melihat perahu-perahu dan orang banyak di Buzen dan Nagato.”

“Saya harap cuaca tetap baik.”

Akibat pembatasan kegiatan pelayaran, orang-orang perahu yang mestinya mendapat keuntungan lumayan jadi merugi. Tapi para musafir dan orang kota menerima suasana itu dengan tenang saja. Mereka sibuk mencari tempat-tempat yang menguntungkan, supaya dapat melihat selintas kesibukan di Funashima itu.

Sekitar tengah hari tanggal sebelas, seorang perempuan yang sedang menyusui bayinya berjalan ke sana kemari di depan kedai makan “satu baki”, tempat masuknya jalan dari Moji ke Kokura.

Bayi yang sudah lelah karena perjalanan itu tak mau berhenti menangis. “Ngantuk? Tidur sebentar sekarang. Nah, nah. Tidur, Nak, tidur.” Akemi mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah dengan berirama. Ia tak berhias. Karena ada bayi yang mesti disusuinya, hidupnya berubah sekali, tapi ia sama sekali tak menyesali keadaannya sekarang.

Matahachi keluar dari warung, mengenakan kimono tak berlengan warna redup. Satu-satunya pengingat masa ia berkeinginan menjadi pendeta adalah bandana yang ia kenakan di kepalanya yang tadinya dicukur.

“Ya ampun, apa pula ini?” katanya. “Masih nangis? Kau mesti tidur sekarang. Sana, Akemi. Biar kubawa dia, sementara kau makan. Makan yang banyak, biar banyak susu.” Sambil menggendong anak itu, ia mulai mendendangkan lagu nina bobo yang lembut.

“Oh, ini kejutan!” terdengar suara dari belakangnya.

“Hah?” Matahachi menatap orang itu, tapi tak dapat mengenalinya.

“Saya Ichinomiya Gempachi. Kita bertemu beberapa tahun lalu, di hutan pinus dekat Jalan Gojo di Kyoto. Saya kira Anda tak ingat saya.”

Matahachi terus juga menatap kosong kepadanya, lalu Gempachi berkata, “Waktu itu ke mana-mana Anda bilang nama Anda Sasaki Kojiro.”

“Oh!” gagap Matahachi keras. “Pendeta dengan tongkat itu…!”

“Betul. Saya senang ketemu Anda lagi.”

Matahachi bergegas membungkuk, tapi bayinya justru jadi terbangun. “Nah, jangan nangis lagi,” mohonnya.

“Apa Anda bisa tunjukkan, di mana Kojiro tinggal? Saya tahu dia tinggal di sini, di Kokura,” kata Gempachi.

“Maaf, saya tidak tahu sama sekali, saya sendiri baru datang kemari.”

Dua pembantu samurai muncul dari toko, seorang di antaranya berkata kepada Gempachi, “Kalau Bapak mencari rumah Kojiro, itu di dekat Sungai Itatsu. Kalau Bapak mau, kami antar ke sana.”

“Terima kasih. Selamat tinggal, Matahachi. Sampai lain kali.” Samurai itu berangkat, dan Gempachi mengikuti.

Melihat kotoran dan debu yang melekat pada pakaian orang itu, Matahachi berpikir, “Apa dia datang dari Kozuke yang jauh itu?” Sungguh terkesan ia, bahwa berita tentang pertarungan tersebut telah menyebar ke tempat-tempat yang demikian jauh. Kemudian kenangan tentang per­jumpaannya dengan Gempachi tergambar kembali dalam pikirannya. Ia bergidik. Sungguh waktu itu ia sampah, dangkal, tak kenal malu! Bayangkan, waktu itu ia demikian tak kenal malu, berani mencoba mempergunakan sertifikat Perguruan Chujo sebagai sertifikatnya sendiri, untuk kedok se­bagai… Biarpun begitu, untunglah bahwa kini ia dapat melihat, betapa kasar dirinya waktu itu. Setidak-tidaknya, sejak itu ia berubah. “Kukira,” demikian pikirnya, “orang bodoh macam aku pun dapat menjadi baik, asal sadar dan berusaha.”

Mendengar bayinya menangis lagi, Akemi melahap makanannya dan berlari ke luar. “Maaf,” katanya. “Aku bawa dia sekarang.”

Matahachi meletakkan bayi itu ke punggung Akemi, lalu menggantungkan kotak penjaja gula-gula ke bahunya, dan bersiap jalan lagi. Sejumlah orang lewat memandang dengan iri ke arah pasangan yang miskin namun jelas bahagia itu.

Seorang perempuan tua yang tampak sopan datang mendekat, katanya, “Lucu sekali anak ini! Berapa umurnya? Oh, lihat, dia tertawa.”

Seolah-olah diperintah, pembantu pria yang menyertainya pun melongok dan menatap wajah si bayi.

Mereka berjalan bersama sebentar. Kemudian, ketika Matahachi dan Akemi membelok ke jalan kecil untuk mencari penginapan, perempuan itu berkata, “Oh, jadi kalian ke situ?” Ia mengucapkan selamat berpisah, tapi lalu tanyanya, “Kalian rupanya musafir juga, tapi apa barangkali kalian tahu di mana rumah Sasaki Kojiro?”

Matahachi menyampaikan keterangan yang barusan didengarnya dari kedua pembantu samurai tadi. Seraya memandang perempuan itu pergi, gumamnya muram, “Apa kiranya yang sedang dilakukan ibuku hari-hari ini?”

Ya, kini, sesudah ia sendiri memiliki anak, baru ia dapat menghargai perasaan ibunya.

“Ayo kita jalan terus,” kata Akemi.

Matahachi berdiri dan menatap kosong ke arah perempuan tua itu. Orang itu kira-kira seumur Osugi.

Rumah Kojiro penuh dengan tamu.

“Ini kesempatan besar buat dia.”

“Ya, ini akan menentukan reputasinya untuk selamanya.”

“Dia akan dikenal di mana-mana.”

“Benar sekali, tapi kita tak boleh lupa, siapa lawannya. Ganryu harus sangat hati-hati.”

Banyak yang sudah datang malam sebelumnya, dan para pendatang melimpah ke pendopo besar, ke pintu-pintu masuk samping dan gang-gang luar. Sebagian datang dari Kyoto atau Osaka, sebagian lagi dari Honshu barat, dan satu orang dari Kampung Jokyoji di Echizen yang jauh. Karena pembantu rumah tangga Kojiro tidak cukup, Kakubei memanggil sebagian pembantunya untuk membantu. Para samurai yang belajar di bawah pimpinan Kojiro datang dan pergi. Wajah mereka penuh hasrat, menanti pertarungan.

Semua kawan dan semua murid sama dalam satu hal: kenal Musashi atau tidak, ia adalah musuh. Yang paling hebat dendamnya adalah para samurai daerah yang dahulu pernah mempelajari metode-metode Perguruan Yoshioka. Rasa terhina karena kekalahan di Ichijoji masih menggerogoti pikiran dan had mereka. Kecuali itu, tekad tunggal Musashi untuk mengejar karier itu demikian rupa, hingga ia menciptakan banyak musuh. Murid Kojiro sudah dengan sendirinya membencinya pula.

Seorang samurai muda mengantar satu orang yang baru datang dari pendopo ke kamar tamu yang penuh sesak, dan menyatakan, “Orang ini datang dari Kozuke.”

Orang itu berkata, “Nama saya Ichinomiya Gempachi,” lalu dengan rendah hati duduk di antara mereka.

Bisik-bisik menyatakan kagum dan hormat terdengar di seluruh ruangan, karena Kozuke terletak seribu lima ratus kilometer di sebelah timur laut. Gempachi minta agar jimat yang ia bawa dari Gunung Hakuun ditempatkan di altar rumah. Orang pun berbisik-bisik menyatakan setuju.

“Cuaca akan baik pada tanggal tiga belas,” ujar satu orang sambil memandang ke luar, ke bawah tepian atap, ke arah matahari petang yang menyala-nyala. “Hari ini tanggal sebelas, besok dua belas, dan berikutnya…”

Kepada Gempachi, seorang tamu berkata, “Saya kira, kedatangan Anda dari tempat yang begitu jauh untuk menyampaikan doa buat kemenangan Kojiro ini sungguh hebat. Apa Anda ada hubungan dengannya?”

“Saya abdi Keluarga Kusanagi di Shimonida. Almarhumah tuan saya, Kusanagi Tenki, adalah kemenakan Kanemaki Jisai. Tenki mengenal Kojiro ketika Kojiro masih kanak-kanak.”

“Ya, saya sudah dengar Kojiro belajar pada Jisai.”

“Itu benar. Kojiro berasal dari perguruan yang sama dengan Ito Ittosai. Saya dengar Ittosai sering mengatakan bahwa Kojiro petarung cemerlang.” Lalu ia menceritakan bagaimana Kojiro memilih menolak sertifikat dari Jisai, dan menciptakan gayanya sendiri. Ia bercerita juga betapa ulet Kojiro waktu itu, biarpun masih kanak-kanak. Gempachi bercerita terus, melayani pertanyaan-pertanyaan penuh semangat itu dengan memberikan keterangan terperinci.

“Apa Sensei Ganryu tak ada di sini?” tanya seorang pembantu muda, seraya berjalan di antara orang banyak. Karena tidak melihat Kojiro, ia terus berjalan dari ruangan yang satu ke ruangan lain. la menggerutu, tapi akhirnya ia berjumpa dengan Omitsu yang waktu itu sedang membersihkan kamar Kojiro. “Kalau Anda mencari Guru,” kata Omitsu, “dia ada di sangkar elang.”

Kojiro ada di dalam sangkar, memperhatikan mata Amayumi dengan pe­nuh minat. Ia memberi makan burung itu, melepaskan bulu-bulunya yang longgar dengan sikat, membiarkan burung itu bertengger sebentar di atas tinjunya, dan kini menepuk-nepuknya penuh sayang. “Sensei.”

“Ya?”

“Ada seorang wanita yang menyatakan datang dari Iwakuni, ingin menemui Guru. Dia mengatakan Guru akan mengenalnya kalau Guru melihatnya.”

“Hmm. Kemungkinan adik ibuku.”

“Ke ruangan mana mesti saya persilakan?”

“Aku tak ingin ketemu dia. Aku tak ingin ketemu siapa-siapa… Ah, tapi barangkali aku mesti menjumpainya. Dia bibiku. Antar dia ke kamarku.” Orang itu pergi, lalu Kojiro berseru kepadanya dari pintu, “Tatsunosuke.”

“Ya, Pak.” Tatsunosuke masuk sangkar dan berlutut dengan satu kaki di belakang Kojiro. Sebagai murid yang tinggal di rumah Kojiro, ia jarang jauh dari sisi gurunya.

“Tinggal menunggu sebentar lagi, ya?” kata Kojiro.

“Ya, Pak.”

“Besok aku pergi ke benteng, menyatakan hormat kepada Yang Dipertuan Tadatoshi. Akhir-akhir ini aku belum bertemu beliau. Sudah itu, aku ingin malam yang tenang.”

“Tamu begini banyak. Bagaimana kalau Bapak menolak berjumpa dengan mereka, supaya dapat istirahat dengan baik?”

“Itu yang ingin kulakukan.”

“Begini banyak orang di tempat ini. Bisa-bisa Bapak dikalahkan pendukung-­pendukung sendiri.”

“Jangan bicara begitu. Mereka sudah datang dari tempat-tempat jauh dan dekat… Aku menang atau tidak, itu tergantung apa yang bakal terjadi nanti, pada waktu yang sudah ditentukan. Ini tidak sepenuhnya soal nasib, tapi juga… begitulah selalu yang terjadi dengan petarung-kadang menang, kadang kalah. Kalau Ganryu mati, akan kautemukan dua wasiat terakhir di kamar kerja. Berikan yang satu pada Kakubei, dan yang lain pada Omitsu.”

“Bapak sudah menulis wasiat?”

“Ya. Sudah sewajarnya seorang samurai mengambil tindakan berjaga-jaga. Satu soal lagi. Pada hari pertarungan, aku boleh mendapat seorang pembantu. Aku ingin kau ikut denganku. Kau mau?”

“Itu kehormatan yang tak pantas saya terima.”

“Amayumi juga.” Kojiro memandangi burung elang itu. “Dia akan menjadi hiburan buatku, dalam perjalanan dengan perahu.”

“Saya mengerti sepenuhnya.”

“Baik. Aku temui bibiku sekarang.”

Kojiro mendapati wanita itu duduk di kamarnya. Di luar, awan petang menghitam, seperti baja yang sudah mendingin sehabis ditempa. Cahaya putih sebatang lilin menerangi kamar.

“Terima kasih atas kedatangan Bibi,” kata Kojiro sambil duduk dengan sikap penuh takzim. Sesudah ibunya meninggal, bibinya itulah yang mem­besarkannya. Berbeda dengan ibunya, bibinya sama sekali tidak memanja­kannya. Sadar akan kewajiban terhadap kakaknya, ia berusaha dengan tulus ikhlas menempa Kojiro menjadi pengganti yang pantas bagi nama Sasaki, dan menjadi orang terkemuka. Dari semua kerabat Kojiro, wanita itulah satu-satunya yang mencurahkan perhatian terbesar kepada karier dan masa depan Kojiro.

“Kojiro,” kata wanita itu khidmat, “aku mengerti, kau akan menghadapi salah satu dari saat-saat menentukan dalam hidupmu. Setiap orang di daerah kita bicara tentang itu, karena itu aku merasa mesti bertemu de­nganmu, setidak-tidaknya sekali lagi. Aku senang melihatmu sudah mencapai kedudukan sejauh ini.” Diam-diam wanita itu membandingkan samurai yang mulia dan berada di hadapannya itu dengan pemuda yang dahulu meninggalkan rumah hanya dengan pedangnya.

Dengan kepala masih menunduk, jawab Kojiro, “Sepuluh tahun sudah berlalu. Saya harap Bibi memaafkan saya karena saya tidak selalu meng­hubungi Bibi. Saya tidak tahu apakah orang lain memandang saya berhasil atau belum, tapi saya sama sekali belum mencapai semua yang ingin saya capai. Itu sebabnya saya tidak menulis surat.”

“Itu tidak apa-apa. Berita tentang dirimu sering kudengar.”

“Juga di Iwakuni?”

“Tentu. Semua orang di sana memihakmu. Kalau kau kalah dari Musashi, seluruh Keluarga Sasaki—seluruh provinsi—akan merasa terhina. Yang Di­pertuan Katayama Hisayasu dari Hoki, yang tinggal sebagai tamu di perdikan Kikkawa, merencanakan membawa serombongan besar samurai Iwakuni untuk melihat pertarungan ini.”

“Betul?”

“Ya. Kukira mereka akan sangat kecewa, karena ternyata perahu-perahu tidak diizinkan keluar… Oh, ya, aku lupa. Ini, kubawa ini buatmu.” Ia membuka sebuah bungkusan kecil, dan ia keluarkan jubah dalam yang dilipat. Jubah itu terbuat dari katun. Di situ tertulis nama-nama dewa perang dan dewi pelindung yang dipuja para prajurit. Satu kalimat nasib baik dalam bahasa Sansekerta disulamkan pada kedua lengannya oleh seratus perempuan pendukung Kojiro.

Kojiro mengucapkan terima kasih pada bibinya, dan dengan takzim meletakkan pakaian itu di depan dahinya. Kemudian katanya, “Bibi bisa tinggal di kamar ini, dan tidur kapan saja Bibi suka. Sekarang, maafkan saya harus pergi.”

Ia meninggalkan bibinya, dan pergi duduk di kamar lain. Tak lama kemudian, para tamu datang ke kamar itu untuk menghaturkan berbagai hadiah kepadanya-kalimat suci dari Tempat Suci Hachiman di Gunung Otoko, baju rantai, ikan laut yang sangat besar, juga satu tong sake. Tak lama kemudian, sudah hampir tak ada tempat untuk duduk.

Orang-orang yang mengucapkan selamat itu memang mendoakan ke­menangan Kojiro dengan tulus, namun delapan dari sepuluh sesungguhnya sedang menjilat. Mereka berharap dapat memenuhi ambisi-ambisinya sendiri di kemudian hari.

“Apa yang terjadi sekiranya aku hanya seorang ronin?” pikir Kojiro. Sifat menjilat itu menekan dirinya, tapi ia puas juga, bahwa justru dirinya dan bukan orang lain yang menyebabkan para pendukungnya percaya dan menaruh keyakinan kepadanya.

“Aku harus menang. Harus, harus.”

Pemikiran tentang kemenangan itu memberikan beban psikologis ke­padanya. Ia sadar akan hal itu, tapi ia sendiri tak bisa berbuat lain. “Menang, menang, menang.” Seperti ombak yang dihalau angin, perkataan itu terus mendengung-dengung dalam benaknya. Kojiro tak dapat memahami, kenapa dorongan primitif untuk menaklukkan itu demikian hebat memukul-­mukul otaknya.

Malam terus berlalu, tapi sejumlah tamu masih terus tinggal, minum, dan bercakap-cakap. Malam sudah larut ketika berita itu datang.

“Musashi sudah datang hari ini. Dia kelihatan turun dari perahu di Moji, kemudian berjalan kaki menyusuri sebuah jalan di Kokura.”

Reaksi atas berita itu seperti arus listrik, walaupun diucapkan dengan sembunyi-sembunyi, engan bisik-bisik bersemangat.

“Sudah tentu.”

“Apa sebagian dari kita tak perlu ke sana untuk melihat keadaan?”

Di Waktu Fajar

MUSASHI tiba di Shimonoseki beberapa hari sebelumnya. Karena ia tak kenal siapa pun di sana dan tak seorang pun mengenalnya pula, maka ia dapat melewatkan waktunya dengan tenang, tidak terganggu oleh para penjilat dan tukang campur tangan.

Pagi hari tanggal sebelas, ia menyeberangi Selat Kammon ke Moji untuk mengunjungi Nagaoka Sado, dan menegaskan kesepakatannya atas waktu dan tempat pertarungan yang telah ditetapkan.

Seorang samurai menerimanya di pendopo sambil menatapnya tanpa malu-malu, sementara dalam kepalanya terlintas pemikiran, “Jadi, inilah Miyamoto Musashi yang terkenal itu!” Namun yang diucapkan pemuda itu hanyalah, “Tuan saya masih di benteng, tapi sebentar lagi akan datang. Silakan masuk dan menanti.”

“Terima kasih, tapi saya tak punya urusan lain dengan beliau. Kalau Anda tidak keberatan menyampaikan pesan saya…”

“Ah, tapi Anda sudah datang begitu jauh. Beliau akan kecewa sekali, tidak berjumpa dengan Anda. Kalau Anda memang mesti pergi, setidaknya biarkan saya menyampaikan pada yang lain-lain bahwa Anda ada di sini.”

Belum lagi ia menghilang masuk rumah, Iori sudah datang berlari-lari, dan langsung masuk pelukan Musashi.

“Senseil’

Musashi menepuk-nepuk kepalanya. “Apa kau sudah belajar, seperti anak yang baik!”

“Ya, Pak.”

“Sudah jangkung sekali kau!”

“Apa Bapak tahu, saya ada di sini?”

“Ya, Sado mengatakan padaku dalam surat. Aku juga mendengar tentang kau di tempat Kobayashi Tarozaemon di Sakai. Aku senang kau ada di sini. Tinggal di rumah macam ini baik buatmu.” Iori tampak kecewa, tapi tak tapi tak mengatakan apa-apa.

“Ada apa?” tanya Musashi. “Kau tak boleh lupa, Sado sudah bersikap baik sekali padamu.”

“Ya, Pak.”

“Kau mesti belajar lebih banyak selain berlatih seni bela diri. Kau mesti belajar dari buku-buku. Dan biarpun kau mesti jadi orang pertama yang menolong orang jika diperlukan, kau mesti mencoba lebih rendah hati dari anak-anak lain.”

“Ya, Pak.”

“Dan jangan jatuh dalam perangkap rasa kasihan pada diri sendiri. Banyak anak macam kau, yang kehilangan ayah dan ibu, berbuat begitu. Kau tak dapat membayar kebaikan hati orang lain, kecuali jika kau juga hangat dan baik hati.”

“Ya, Pak.”

“Kau memang pandai sekali, Iori, tapi hati-hati. Jangan sampai pendidikan kasar inilah yang menguasaimu. Kendalikan dirimu baik-baik. Kau masih kanak-kanak, di hadapanmu terbentang hidup yang panjang. Jagalah hidup itu baik-baik. Selamatkan dia, sebelum kau dapat mengarahkannya kepada hal yang sungguh-sungguh baik—kepada negerimu, kehormatanmu, kepada Jalan Samurai! Berpeganglah pada hidupmu, dan jadikan hidupmu itu tulus dan berani.”

Iori mendapat kesan berat bahwa ini saat perpisahan, perpisahan terakhir. Gerak hatinya barangkali menyatakan demikian juga kepadanya, bahkan seandainya Musashi tidak bicara tentang hal-hal serius macam itu. Diucapkan­nya kata “hidup” itulah yang menimbulkan kesan tersebut. Begitu Musashi mengatakannya, kepala Iori langsung terbenam dalam dada Musashi. Anak itu tersedu-sedan tanpa dapat dikendalikan lagi.

Musashi kini menyesali khotbahnya, karena dilihatnya Iori terawat baik sekali-rambutnya tersisir dan terikat baik, dan kaus kakinya yang putih tampak bersih sekali. “Jangan menangis,” katanya.

“Tapi bagaimana kalau Bapak…”

“Hentikan tangis itu. Dilihat orang banyak nanti.”

“Pak, Bapak pergi ke Funashima lusa?”

“Ya, mesti.”

“Saya minta Bapak menang. Saya tak mau kalau sampai tidak melihat Bapak lagi.”

“Ha, ha. Kau menangis karena itu, ya?”

“Sebagian orang bilang, Bapak tak bisa mengalahkan Kojiro. Kalau begitu, mestinya Bapak jangan bersedia melawan dia.”

“Aku tidak heran. Orang banyak selalu omong macam itu.”

“Padahal Bapak bisa menang, kan, Sensei?”

“Aku tak mau membuang waktu memikirkan soal itu.”

“Maksudnya, Bapak yakin takkan kalah?”

“Sekalipun kalah, aku berjanji akan bersikap berani.”

“Tapi kalau menurut Bapak akan kalah, kenapa tidak pergi saja ke tempat lain buat sementara waktu?”

“Selalu ada benih kebenaran dalam desas-desus yang seburuk-buruknya, Iori. Aku bisa saja berbuat kekeliruan, tapi sekarang… sesudah perkembangan sekian jauh, lari berarti meninggalkan Jalan Samurai. Itu akan mendatangkan aib tidak hanya bagi diriku, tapi juga bagi orang-orang lain.”

“Tapi Bapak sudah mengatakan, saya mesti berpegang pada hidup saya dan menjaganya baik-baik, kan?”

“Memang betul, dan kalau nanti orang menguburkan aku di Funashima, biarlah itu menjadi pelajaran buatmu. Hindari terlibat perkelahian yang akan berakhir dengan membuang nyawa.” Karena merasa telah berlebihan, Musashi mengubah pokok pembicaraan. “Aku sudah minta salam hormatku disampaikan kepada Nagaoka Sado. Kuminta kau menyampaikannya juga, dan sampaikan pada beliau, aku akan bertemu dengannya di Funashima.”

Pelan-pelan Musashi melepaskan diri dari anak itu. Ia menuju pintu gerbang, dan Iori bergayut pada topi anyaman yang dipegangnya. “Jangan… Tunggu…” Hanya itu yang dapat dikatakannya. Satu tangan lagi ia tutupkan ke wajahnya, dan bahunya berguncang.

Nuinosuke datang lewat pintu di samping pintu gerbang, dan mem­perkenalkan diri pada Musashi.

“Iori rupanya enggan melepaskan Anda, dan saya cenderung bersimpati padanya. Saya yakin Anda punya urusan-urusan lain yang mesti diselesaikan, tapi apa tak bisa Anda menginap semalam saja di sini?”

Musashi membalas bungkukan badan Nuinosuke, katanya. “Terima kasih saya ucapkan atas undangan ini, tapi saya kira saya tak bisa menerimanya. Dalam beberapa hari ini, barangkali saya akan tidur buat selamanya. Saya pikir tidak benar, kalau sekarang saya membebani orang lain. Itu bisa menjadi hal memalukan di belakang hari.”

“Anda sungguh baik budi, tapi saya kuatir tuan saya akan marah sekali pada kami, karena membiarkan Anda pergi.”

“Akan saya kirimkan surat kepada beliau, untuk menjelaskan segalanya. Saya datang hari ini hanya untuk menyatakan hormat. Saya pikir, saya harus pergi sekarang.”

Di luar pintu gerbang, ia membelok ke arah pantai, tapi belum sampai separuh jalan, ia mendengar suara-suara yang memanggilnya dari belakang. Ketika ia menoleh, dilihatnya sejumlah samurai Keluarga Hosokawa yang tampak sudah tua, dua di antaranya berambut putih. Karena tak mengenal orang-orang itu, ia simpulkan mereka menegur orang lain, dan ia berjalan terus.

Sampai di pantai, ia berdiri memandang ke arah laut. Sejumlah perahu nelayan membuang jangkar tidak jauh dari sana, layarnya tampak kelabu dalam cahaya berkabut di awal petang itu. Jauh di sana tampak sosok Pulau Hikojima yang lebih besar. Garis pantai Pulau Funashima hampir tak terlihat.

“Musashi!”

“Anda Miyamoto Musashi, kan?”

Musashi membalik menghadapi mereka. Ia heran, ada urusan apa kiranya antara para prajurit berumur lanjut ini dengannya.

“Anda tak ingat kami, ya? Saya pikir memang tak ingat, karena sudah terlalu lama. Nama saya Utsumi Magobeinojo. Kami berenam ini semua dari Mimasaka. Kami dulu bekerja pada Keluarga Shimmen di Benteng Takeyama.”

“Dan saya Koyama Handayu. Magobeinojo dan saya adalah sahabat dekat ayah Anda.”

Musashi tersenyum lebar. “Wah, kalau begitu, ini kejutan besar!” Cara bicara mereka yang dipanjangkan bunyi-bunyinya itu tidak salah lagi adalah cara bicara kampung halamannya, dan itu membangkitkan kenangannya akan masa kecilnya. Sesudah membungkuk pada masing-masing dari mereka, kata Musashi, “Saya senang bertemu dengan Anda sekalian. Tapi saya ingin tahu, bagaimana kejadiannya maka Anda sekalian sampai di tempat ini, tempat yang begini jauh dari rumah?”

“Seperti Anda ketahui, Keluarga Shimmen bubar sesudah Pertempuran Sekigahara. Kami menjadi ronin, melarikan diri ke Kyushu, dan sampai di Provinsi Buzen ini. Untuk sementara, demi penghidupan, kami menganyam sepatu kuda dari jerami. Kemudian kami mendapat nasib baik.”

“Betul? Terus terang, saya tidak pernah menduga akan bertemu dengan teman-teman ayah saya di Kokura.”

“Dan bagi kami sendiri pun, ini merupakan kegembiraan yang tak ter­duga. Anda sungguh samurai yang tampan, Musashi. Sayang sekali, ayah Anda tak ada di sini untuk melihat Anda.”

Beberapa menit lamanya mereka saling berkomentar tentang ketampanan Musashi. Kemudian Magobeinojo berkata, “Ah, bodoh juga saya ini. Saya lupa tujuan kami mengikuti Anda. Baru saja tadi kami kehilangan jejak Anda di rumah Sado. Rencana kami menemani Anda satu malam saja. Semua ini sudah dipersiapkan bersama Sado.”

Handayu menimpali, “Betul. Sungguh kasar sekali, Anda hanya sampai di pintu depan, dan pergi lagi tanpa bertemu Sado. Anda putra Shimmen Munisai. Soal itu Anda mesti lebih tahu dari kami. Sekarang mari kembali bersama kami.” Agaknya ia merasa, karena ia teman ayah Musashi, ia berkuasa memberi perintah-perintah kepada sang anak. Tanpa menanti jawaban, ia mulai berjalan, dengan harapan Musashi akan mengikuti.

Musashi sebetulnya sudah hampir mengikuti mereka, tapi tidak jadi.

“Maaf,” katanya. “Saya tak bisa pergi. Saya minta maaf telah berlaku demikian kasar, tapi salah kalau saya ikut dengan Anda sekalian.”

Semua orang terkejut. Magobeinojo berkata, “Salah? Apa salahnya? Kami ingin memberikan sambutan layak pada Anda… karena persamaan kampung dan semua yang lain itu.”

“Sado juga mengharapkan bertemu dengan Anda. Anda tak ingin me­nyinggung perasaannya, bukan?”

Magobeinojo menambahkan dengan suara kesal, “Ada apa memangnya? Apa Anda marah karena suatu hal?”

“Saya ingin ke sana,” kata Musashi sopan, “tapi ada hal-hal yang mesti dipertimbangkan. Barangkali ini cuma desas-desus, tapi saya mendengar bahwa pertarungan saya dengan Kojiro ini menjadi sumber perpecahan antara dua abdi tertua dalam Keluarga Hosokawa, Nagaoka Sado dan Iwama Kakubei. Orang bilang, pihak Iwama mendapat dukungan Yang Di­pertuan Tadatoshi, dan Nagaoka mencoba memperkuat pihaknya sendiri dengan menentang Kojiro.”

Kata-kata ini disambut dengan bisik-bisik terkejut.

“Saya yakin,” sambung Musashi, “bahwa ini tak lebih dari spekulasi iseng, namun pembicaraan umum itu berbahaya. Apa pun yang terjadi dengan seorang ronin seperti saya ini sebetulnya tidak banyak artinya, tapi saya takkan melakukan sesuatu untuk mengipasi desas-desus itu dan me­nimbulkan kecurigaan-kecurigaan terhadap Sado ataupun Kakubei. Mereka berdua adalah orang-orang yang berharga di dalam perdikan.”

“Begitu,” kata Magobeinojo.

Musashi tersenyum. “Nah, setidak-tidaknya, itulah alasan saya. Terus terang, karena saya anak kampung, sukar bagi saya mesti duduk dan berlaku sopan sepanjang petang. Lebih baik saya bersantai.”

Mereka terkesan sekali oleh pertimbangan Musashi yang mementingkan orang lain itu, namun enggan berpisah dengannya, karena itu mereka ber­kumpul membicarakan keadaan tersebut.

“Hari ini tanggal sebelas bulan empat,” kata Handayu. “Selama sebelas tahun terakhir, kami berenam selalu berkumpul pada tanggal ini. Kami punya aturan keras untuk tidak mengundang orang luar, tapi Anda datang dari kampung yang sama dengan kami, dan Anda anak Munisai, karena itu kami ingin meminta Anda bergabung dengan kami. Bukan sebangsa hiburan yang hendak kami hidangkan, tapi Anda tak perlu kuatir mesti bersikap sopan, dilihat orang, atau dibicarakan orang.”

“Kalau demikian,” kata Musashi, “tak bisa lagi saya menolak.”

Jawaban tersebut sangat menyenangkan samurai tua itu. Mereka berembuk lagi sebentar, lalu diputuskan bahwa Musashi akan menemui seorang dari mereka, yang bernama Kinami Kagashiro, beberapa jam kemudian, di depan warung teh. Lalu mereka berpisah.

Musashi menjumpai Kagashiro pada jam yang telah ditetapkan, dan mereka berjalan sekitar dua kilometer dari pusat kota, ke suatu tempat dekat Jembatan Itatsu. Musashi tidak melihat rumah samurai ataupun restoran. Tak satu pun yang kelihatan, kecuali lampu sebuah warung mi­num, dan sebuah penginapan murah yang terletak beberapa jauh dari sana.

Sebagai orang yang selalu waspada, ia mulai menimbang-nimbang kemungkinan. Sebetulnya tidak ada yang mencurigakan pada cerita mereka; mereka tampak sesuai dengan umurnya, dan dialek mereka cocok dengan yang mereka ceritakan. Tapi kenapa pula pergi ke tempat terpencil begini?

Kagashiro meninggalkannya, pergi ke arah tepi sungai. Kemudian ia panggil Musashi, katanya, “Semua sudah datang. Mari turun sini,” dan mendahului menyusuri jalan sempit di atas tanggul.

“Barangkali pesta di perahu,” pikir Musashi sambil tersenyum memikirkan betapa berlebihan ia berjaga-jaga. Namun tidak kelihatan ada perahu. Sebaliknya, ia dapati mereka duduk di tikar-tikar buluh, dengan gaya resmi.

“Maafkan kami, membawa Anda ke tempat seperti ini,” kata Magobeinojo. “Di sinilah kami biasa mengadakan pertemuan. Kami rasa, nasib baik khususlah yang telah menyatukan Anda dengan kami. Silakan duduk dan istirahat sebentar.” Dengan gaya cukup resmi, yang lebih tepat untuk mem­persilakan seorang tamu terhormat memasuki kamar tamu yang elok, dengan shoji berlapis perak, ia menyorongkan selembar tikar pada Musashi.

Musashi bertanya-tanya dalam hati, inikah gagasan mereka tentang cara mengekang diri yang elegan, atau ada alasan khusus untuk tidak bertemu di tempat yang lebih terbuka? Tapi, sebagai tamu, ia terpaksa berlaku sebagai tamu. Setelah membungkuk, ia duduk rapi di tikar.

“Silakan duduk yang enak,” desak Magobeinojo. “Nanti kita adakan pesta kecil, tapi mula-mula kita mesti melakukan upacara. Takkan makan waktu lama.”

Keenam orang itu mengatur kembali letak duduk mereka secara lebih leluasa, masing-masing mengeluarkan berkas jerami yang mereka bawa, dan mulai menganyam sepatu kuda dari jerami itu. Dengan mulut tertutup rapat, dan mata yang tak pernah berhenti memandang pekerjaan di tangan, mereka tampak khidmat, bahkan saleh. Musashi memperhatikan dengan sikap hormat. Ia merasakan kekuatan dan kegairahan di dalam gerak mereka ketika meludah ke tangan, menjalin, dan menganyamnya di antara kedua telapak tangan.

“Saya kira ini cukup,” kata Handayu sambil meletakkan sepasang sepatu kuda yang telah diselesaikannya, dan memandang kepada yang lain-lain. “Saya juga sudah selesai.”

Mereka semua meletakkan sepatu kuda di hadapan Handayu, mengipas­ngipas dan merapikan pakaian. Handayu menimbun seluruh sepatu kuda di meja kecil di tengah rombongan samurai itu, kemudian Magobeinojo yang tertua berdiri.

“Sekarang ini tahun kedua belas sejak Pertempuran Sekigahara. Hari kekalahan yang tak pernah terhapus dari kenangan kita. Kita semua hidup lebih lama daripada yang dapat kita harapkan. Ini berkat perlindungan dan karunia Yang Dipertuan Hosokawa. Kita harus berusaha, agar anak-anak dan cucu kita ingat akan kebaikan Yang Dipertuan kepada kita ini.”

Bisik-bisik tanda setuju terdengar di antara orang-orang itu. Mereka duduk dengan sikap takzim dan mata tertunduk.

“Kita juga harus senantiasa ingat kemurahan hati kepala-kepala Keluarga Shimmen, sekalipun keluarga besar itu tak ada lagi. Kita pun tak boleh melupakan kesengsaraan dan keputusasaan yang pernah kita alami ketika datang kemari. Untuk mengingatkan diri akan ketiga hal itulah kita mengadakan pertemuan ini tiap tahun. Sekarang marilah kita saling men­doakan kesehatan dan kesejahteraan masing-masing.”

Secara bersamaan orang-orang itu menjawab, “Kebaikan Yang dipertuan Hosokawa, kemurahan hati Keluarga Shimmen, dan karunia surga yang membebaskan kita dari kesengsaraan… sehari pun tak akan kita lupakan.”

“Sekarang bungkukkan badan,” kata Magobeinojo.

Mereka membalikkan badan ke arah dinding putih Benteng Kokura yang kelihatan samar-samar di bentangan langit gelap, dan membungkuk sampai ke tanah. Kemudian mereka menghadap ke Provinsi Mimasaka dan mem­bungkuk lagi. Akhirnya mereka menghadap ke sepatu-sepatu kuda dan membungkuk untuk ketiga kalinya. Setiap gerakan dilakukan dengan ke­sungguhan dan ketulusan yang luar biasa.

Kepada Musashi, Magobeinojo berkata, “Sekarang kami pergi ke tempat suci di atas, untuk memberikan persembahan sepatu kuda. Sesudah itu, pesta dapat kita mulai. Saya persilakan Anda menanti di sini.”

Pemimpin upacara mengangkat meja berisi sepatu-sepatu kuda itu setinggi dahi, dan yang lain mengikuti satu-satu. Mereka ikatkan hasil kerajinan tangan mereka itu ke cabang-cabang sebuah pohon di samping pintu masuk tempat suci. Kemudian, sesudah mengatupkan tangan satu kali ke hadapan para dewa, mereka menggabungkan diri kembali dengan Musashi.

Hidangan yang disajikan itu sangat sederhana—keladi rebus, rebung dengan empleng buncis, dan ikan kering—jenis makanan yang biasa dimakan di rumah-rumah petani setempat. Tapi sake tersedia dalam jumlah banyak, ditambah banyak tawa dan percakapan.

Ketika suasana sudah berubah menjadi ramah-tamah, Musashi berkata, “Sungguh suatu kehormatan mendapat undangan bergabung dengan Anda sekalian, tapi yang menjadi pertanyaan saya adalah upacara Anda sekalian yang sederhana itu. Tentunya upacara itu khusus sekali artinya bagi Anda sekalian.”

“Memang,” kata Magobeinojo. “Ketika kami datang kemari sebagai prajurit-prajurit yang kalah perang, tak ada orang yang dapat kami mintai pertolongan. Lebih baik kami mati daripada mencuri, tapi kami mesti makan. Akhirnya kami mendapat gagasan untuk mendirikan warung di dekat jembatan itu, dan membuat sepatu kuda. Tangan kami sudah mati rasa oleh berlatih lembing, dan karenanya dibutuhkan usaha untuk belajar menganyam jerami. Kami lakukan pekerjaan itu tiga tahun lamanya, dan kami jual basil kerja kami kepada tukang-tukang kuda yang sedang lewat, sekadar untuk dapat tetap hidup.

“Tukang-tukang kuda mulai curiga bahwa menganyam jerami bukan pekerjaan kami yang sebenarnya, dan akhirnya ada yang menyampaikan kepada Yang Dipertuan Hosokawa Sansai tentang kami. Ketika mengetahui bahwa kami bekas pengikut Yang Dipertuan Shimmen, beliau mengirim orang untuk menawarkan kedudukan pada kami.”

Ia berkata, Yang Dipertuan Sansai menawarkan penghasilan kolektif sebesar lima ribu gantang, tapi mereka menolak. Mereka bersedia mengabdi pada beliau secara jujur, tapi mereka merasa hubungan tuan-dengan-pengikut itu mesti ditegakkan atas dasar pribadi-dengan-pribadi. Sansai dapat me­mahami perasaan mereka, dan mengajukan tawaran lain berupa penghasilan perorangan. Beliau dapat memahami ketika para abdinya menyatakan mung­kin keenam ronin itu tidak dapat berpakaian pantas untuk dihadapkan kepada Yang Dipertuan. Namun ketika disarankan pengeluaran khusus untuk pakaian, Sansai menolak, karena hal itu akan menimbulkan rasa malu mereka.

Sesungguhnya kekuatiran itu tidak beralasan, karena berapa pun dalamnya mereka tenggelam, ternyata mereka masih dapat mengenakan pakaian berkanji lengkap dengan dua bilah pedang, ketika mereka menerima pengangkatan.

“Takkan sukar melupakan, betapa berat hidup kami selama melakukan pekerjaan kasar itu. Kalau kami tidak bersatu padu, tak bakal kami sempat hidup, untuk akhirnya dipekerjakan oleh Yang Dipertuan Sansai. Kami tak boleh lupa, bahwa nasib baik telah menyelamatkan kami pada tahun-tahun itu.”

Sambil mengakhiri ceritanya, ia mengangkat mangkuk, dan katanya, “Maafkan saya sudah bicara demikian panjang tentang diri kami. Saya hanya ingin Anda mengetahui bahwa kami adalah orang-orang yang ber­kemauan baik, sekalipun sake kami bukan kualitas kelas satu dan makanan kami tidak terlalu banyak. Kami harap Anda memperlihatkan perjuangan berani besok lusa. Dan jangan kuatir, kalau Anda kalah, kami akan menguburkan tulang-tulang Anda.”

Sambil menerima mangkuk, jawab Musashi, “Saya merasa mendapat kehormatan berada di tengah Anda sekalian. Ini lebih baik daripada minum sake yang paling baik di rumah gedung terindah. Saya hanya berharap, saya semujur Anda sekalian.”

“Jangan berharap demikian! Anda akan terpaksa belajar menganyam sepatu kuda seperti kami.”

Tiba-tiba bunyi tanah yang merosot menghentikan tawa mereka. Mata mereka mengarah ke tanggul. Di sana mereka melihat sosok tubuh orang yang meringkuk seperti kelelawar.

“Siapa di sana?” teriak Kagashiro yang seketika berdiri. Seorang lagi bangkit sambil menghunus pedang, lalu kedua orang itu mendaki tanggul dan menatap kabut.

Sambil tertawa, Kagashiro berseru ke bawah, “Rupanya salah seorang pengikut Kojiro. Barangkali kita dikira pendukung Musashi yang sedang mengadakan sidang strategi rahasia. Dia sudah lari sebelum kita melihatnya baik-baik.”

“Saya bisa mengerti, kalau para pendukung Kojiro melakukan itu,” ujar seorang dari mereka.

Suasana tetap gembira, tapi Musashi kini memutuskan untuk tidak ber­lama-lama tinggal di situ. Hal yang paling tidak diinginkannya adalah menimbulkan kerugian pada orang-orang ini di kemudian hari. la meng­ucapkan terima kasih banyak-banyak atas kebaikan hati mereka, dan me­ninggalkan mereka dalam pesta itu, serta berjalan santai ke dalam kegelap­an.

Setidak-tidaknya, ia kelihatan santai.

Kemarahan terpendam Nagaoka karena orang membiarkan saja Musashi meninggalkan rumahnya itu menimpa beberapa orang, tapi ia menanti sampai pagi hari tanggal dua belas untuk mengirim orang-orangnya mencari Musashi.

Ketika orang-orang itu melaporkan bahwa mereka tak dapat menemukan Musashi—dan tidak tahu di mana kira-kira ia berada—alis Sado yang putih melonjak cemas. “Apa pula yang sudah terjadi dengannya? Mungkinkah…” Sampai di situ, ia tak lagi melanjutkan jalan pikirannya.

Pada tanggal dua belas itu juga, Kojiro berkunjung ke benteng dan diterima dengan hangat oleh Yang Dipertuan Tadatoshi. Mereka minum sake bersama, kemudian Kojiro pulang dengan semangat tinggi, mengendarai kuda muda kesayangannya.

Petang hari, seluruh kota berdengung oleh desas-desus.

“Musashi barangkali ketakutan dan lari.”

“Tak sangsi lagi. Dia menghilang.”

Malam itu Sado tak dapat tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu tak mungkin terjadi—Musashi bukan jenis orang yang akan lari…. Namun bukan tidak pernah terjadi, bahwa orang yang tampaknya dapat diandalkan, tiba-tiba patah semangat karena tekanan batin. Kuatir akan terjadi hal terburuk, Sado sudah membayangkan ia mesti melakukan bunuh diri, satu-satunya pemecahan terhormat kalau Musashi yang telah dire­komendasikannya itu gagal memperlihatkan diri.

Fajar yang terang cemerlang pada tanggal tiga belas menyaksikannya berjalan di kebun bersama Iori, seraya berulang-ulang bertanya pada diri sendiri, “Apa aku keliru? Apa aku salah menilai orang itu?”

“Selamat pagi, Pak.” Wajah Nuinosuke yang lelah muncul di pintu samping.

“Kau menemukan dia?”

“Tidak, Pak. Tak seorang pun pemilik penginapan melihat orang yang mirip dia.”

“Apa kau sudah tanya di kuil-kuil?”

“Kuil, dojo-semua tempat lain yang biasa dikunjungi murid seni bela diri telah kami datangi. Magobeinojo dan rombongannya keluar sepanjang malam dan…”

“Mereka belum datang.” Sado mengernyitkan alis. Lewat dedaunan pohon prem yang segar, kelihatan olehnya laut. Ombak laut seolah meng­empas ke dadanya sendiri. “Sungguh aku tak mengerti!”

“Tak dapat ditemukan di mana pun, Pak?”

Satu demi satu para pencari kembali, lelah dan kecewa. Mereka berkumpul di dekat beranda dan membicarakan hal itu dengan nada marah dan putus asa.

Menurut Kinami Kagashiro yang telah melewati rumah Sasaki Kojiro, beberapa ratus pendukung telah berkumpul di luar pintu gerbang. Pintu masuk dihiasi bendera dengan mahkota bunga gentian khusus untuk pesta, dan tirai emas dipasang langsung di depan pintu yang akan dilewati Kojiro pada waktu keluar. Pada waktu fajar, berkelompok-kelompok pengikut pergi ke tempat suci utama, untuk berdoa bagi kemenangannya.

Kemuraman berat menimpa semua orang di rumah Sado, tapi beban itu terutama dirasakan oleh orang-orang yang mengenal ayah Musashi. Mereka merasa dikhianati. Kalau Musashi berkhianat, mereka akan kehilangan muka di depan para rekan samurai atau dunia pada umumnya.

Ketika Sado menyuruh mereka bubar, Kagashiro bersumpah, “Akan kami temukan bajingan itu. Kalau tidak hari ini, tentu hari lain. Dan kalau kami temukan, kami bunuh dia.”

Sado kembali ke kamarnya sendiri, dan menyalakan setanggi di tempat pembakaran, seperti dilakukannya tiap hari. Nuinosuke melihat kemurungan dalam ketenangan gerak-geriknya. “Dia sedang menyiapkan diri,” pikirnya. Ia sendiri sedih memikirkan perkembangan peristiwa ini.

Justru pada waktu itu Iori yang berdiri di ujung halaman, sedang me­mandangi laut, menoleh dan bertanya, “Apa sudah Bapak coba rumah Kobayashi Tarozaemon?”

Secara naluriah Nuinosuke sadar bahwa kata-kata Iori itu menunjukkan jalan. Tak seorang pun pergi ke tempat perantara kapal itu, padahal itu tempat yang memang mungkin dipilih Musashi untuk menyembunyikan diri dari penglihatan orang.

“Anak itu betul!” ujar Sado, wajahnya menjadi cerah. “Kita semua sungguh bodoh! Pergi ke sana sekarang juga!”

“Saya ikut,” kata Iori.

“Apa boleh dia ikut, Pak?”

“Ya, dia boleh pergi. Cepat sekarang… oh, tunggu sebentar.”

Ia menulis surat dengan cepat, dan menjelaskan pada Nuinosuke tentang isinya: “Sasaki Kojiro akan menyeberang ke Funashima dengan perahu yang disediakan oleh Yang Dipertuan Tadatoshi. Ia akan sampai pukul delapan. Anda masih bisa sampai pada waktu itu. Saya sarankan Anda datang kemari untuk membuat persiapan. Akan saya sediakan perahu yang akan membawa Anda mencapai kemenangan mulia.”

Atas nama Sado, Nuinosuke dan Iori memperoleh perahu cepat dari kepala perahu perdikan. Mereka menjalankan perahu itu ke Shimonoseki secepat-cepatnya, kemudian langsung menuju perusahaan Tarozaemon.

Menjawab pertanyaan mereka, seorang pengawal berkata, “Saya tak tahu seluk-beluknya, tapi kelihatannya ada satu samurai muda yang tinggal di rumah majikan saya itu.”

“Itu dia! Kita temukan.” Nuinosuke dan Iori saling menyeringai, dan cepat-cepat menempuh jarak pendek yang memisahkan perusahaan dengan rumah.

Nuinosuke langsung menghadap Tarozaemon, katanya, “Ini urusan perdikan, dan ini mendesak sekali. Apa Miyamoto Musashi tinggal di sini?”

“Ya.”

“Syukurlah. Majikan saya begitu gelisah. Sekarang cepat sampaikan pada Mushashi, saya ada di sini.”

Tarozaemon masuk rumah, dan muncul kembali sebentar kemudian, sambil berkata, “Dia masih di kamarnya. Masih tidur.”

“Tidur?” Nuinosuke terkejut.

“Dia jaga sampai larut malam tadi, bicara dengan saya sambil minum sake. “

“Ini bukan waktunya tidur. Bangunkan dia. Sekarang juga!”

Pedagang itu tidak mau ditekan, dan mempersilakan Nuinosuke dan Iori masuk kamar tamu. Sebelum pergi, ia membangunkan Musashi. Ketika kemudian Musashi menemui mereka, ia tampak tenang sekali, matanya sejernih mata bayi.

“Selamat pagi,” katanya riang, sambil duduk. “Apa yang bisa saya ban­tu?”

Nuinosuke menjadi kendur semangat mendengar sapaan acuh tak acuh itu, dan tanpa mengatakan sesuatu, ia menyerahkan surat Sado.

“Sungguh baik hati beliau menulis ini,” kata Musashi sambil mengangkat surat itu ke dagu, sebelum melepas materainya dan membukanya. Iori menghunjamkan pandangan pada Musashi, yang waktu itu menunjukkan sikap seolah ia tidak ada di sana. Sesudah membaca surat, ia gulung surat itu, katanya, “Saya mengucapkan terima kasih atas perhatian beliau.” Baru pada waktu itulah ia memandang Iori, hingga anak itu menundukkan kepala untuk menyembunykan air matanya.

Musashi menulis jawaban, dan menyerahkannya pada Nuinosuke. “Sudah saya jelaskan segalanya dalam surat ini,” katanya, “tapi sungguh-sungguh sampaikan terima kasih saya dan ucapan selamat baginya.” Ia menambahkan bahwa mereka tak usah kuatir. Ia akan pergi ke Funashima pada waktu yang tepat baginya.

Tak ada yang dapat mereka perbuat, kecuali meninggalkan tempat itu. Iori tak mengucapkan sepatah kata pun kepada Musashi, demikian pula sebaliknya. Namun keduanya saling bertukar kesetiaan sebagai guru dan murid.

Ketika Sado membaca jawaban Musashi, rasa lega menghiasi wajahnya. Surat itu menyatakan:

Saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas tawaran Bapak, berupa perahu untuk membawa saya ke Funashima. Saya merasa tidak pantas menerima kehormatan itu. Selain itu, saya merasa tidak bisa menerimanya. Saya harap Bapak mempertimbangkan sendiri. Kojiro dan saya saling berhadapan sebagai lawan, dan ia menggunakan perahu yang disediakan oleh Yang Dipertuan Tadatoshi. Kalau saya pergi ke sana dengan perahu Bapak, akan kelihatan Bapak melawan Yang Dipertuan. Saya pikir tidak pada tempatnya kalau Bapak melakukan sesuatu atas nama saya.

Mestinya saya sampaikan hal ini sebelumnya, tapi saya memang menahan diri, karena tahu Bapak akan berkeras membantu saya. Daripada melibatkan Bapak, lebih baik saya tinggal di rumah Tarozaemon. Saya akan menggunakan salah satu perahunya untuk pergi ke Funashima, pada waktu yang menurut saya tepat. Tentang itu Bapak boleh merasa yakin.

Sado begitu terkesan, hingga ia pandangi tulisan itu beberapa waktu lamanya, tanpa berkata-kata. Surat itu nadanya baik, rendah hati, penuh pertimbangan, penuh tenggang rasa, dan kini ia merasa malu, karena pada hari sebelumnya ia demikian gelisah.

“Nuinosuke.”

“Ya, Pak.”

“Bawa surat ini, tunjukkan pada Magobeinojo dan teman-temannya, juga pada orang-orang lain yang berkepentingan.”

Ketika Nuinosuke baru saja berangkat, seorang pembantu datang dan mengatakan, “Kalau urusan Bapak sudah selesai, sebaiknya Bapak bersiap berangkat sekarang.”

“Tentu, tapi masih banyak waktu sekarang,” jawab Sado tenang.

“Sekarang ini tidak terlalu pagi lagi. Kakubei sudah berangkat.”

“Itu urusan dia. Iori, coba kemari sebentar.”

“Ya Pak?”

“Apa kau ini lelaki, Iori?”

“Saya kira begitu.”

“Apa menurutmu kau bisa menahan tangis, apa pun yang terjadi?”

“Ya, Pak.”

“Bagus. Kalau begitu, kau boleh pergi ke Funashima denganku, sebagai pembantuku. Tapi ingat satu hal: ada kemungkinan kita mesti mengambil mayat Musashi dan membawanya pulang. Apa kau tetap bisa menahan tangis?”

“Bisa, Pak. Akan saya tahan, sumpah, akan saya tahan.”

Baru saja Nuinosuke bergegas lewat pintu gerbang, seorang perempuan berpakaian lusuh memanggilnya, “Maaf, Pak, apa Bapak abdi rumah ini?”

Nuinosuke berhenti dan memandangnya curiga. “Apa maumu?”

“Maafkan saya. Dengan tampang macam ini, mestinya saya tidak berdiri di depan pintu gerbang Bapak.”

“Nah, kalau begitu kenapa kaulakukan?”

“Saya ingin bertanya… tentang pertarungan hari ini. Orang bilang, Musashi lari. Apa itu betul?”

“Perempuan bodoh! Beraninya bicara begitu tentang Miyamoto Musashi! Apa menurutmu dia akan melakukan hal macam itu? Tunggu saja sampai jam delapan, dan kau akan lihat. Aku baru saja bertemu Musashi.”

“Bapak bertemu dia?”

“Kau siapa?”

Perempuan itu menundukkan matanya. “Saya kenalan Musashi.”

“Hm. Dan masih juga kau kuatir dengan desas-desus tak berdasar itu? Baiklah-aku tergesa-gesa, tapi akan kutunjukkan padamu surat dari Musashi.” la bacakan keras-keras surat Musashi pada perempuan itu, tanpa memperhatikan seorang lelaki yang ikut melongok dari belakang dengan mata basah. Begitu sadar akan lelaki itu, ia tarik bahunya, dan katanya, “Kau siapa? Apa maksudmu datang kemari?”

Sambil menghapus air mata, orang itu membungkuk takut-takut. “Maaf. Saya bersama perempuan ini.”

“Suaminya?”

“Ya, Pak. Terima kasih sudah ditunjuki surat itu. Saya merasa seperti betul-betul melihat Musashi. Betul tidak, Akemi?”

“Ya, saya merasa jauh lebih tenang sekarang. Mari kita cari tempat buat melihat.”

Kemarahan Nuinosuke menguap. “Kalau kalian pergi ke puncak bukit di dekat pantai sana itu, akan kalian lihat Funashima. Dalam cuaca seterang ini, kalian malahan bisa melihat beting karang.”

“Kami minta maaf sudah merepotkan, padahal Bapak sedang terburu-­buru. Maafkan kami.”

Nuinosuke pun berangkat, tapi katanya, “Tunggu sebentar—siapa nama kalian? Kalau tidak keberatan, aku ingin tahu.”

Mereka berbalik dan membungkuk. “Nama saya Matahachi. Saya lahir di kampung yang sama dengan Musashi.”

“Nama saya Akemi.”

Nuinosuke mengangguk, dan berangkat cepat-cepat.

Beberapa waktu lamanya mereka berdua memperhatikannya, saling pan­dang, kemudian bergegas menuju bukit. Dari sana mereka dapat melihat Funashima menyembul di antara sejumlah pulau lain, juga gunung-gunung di Nagato di kejauhan sana. Mereka tebarkan tikar buluh di tanah, dan duduk. Ombak bergemuruh di bawah mereka, dan satu-dua daun pinus berguguran. Akemi mengambil bayinya dari punggungnya dan mulai me­nyusuinya. Matahachi memandang mantap ke tengah laut, sambil memeluk lutut.

NUINOSUKE semula pergi ke rumah Magobeinojo, memperlihatkansurat itu dan memberikan penjelasan. Segera kemudian ia berangkat lagi, tanpa minum secangkir teh, lalu berhenti sebentar-sebentar di lima rumah lain.

Dari kantor komisioner di tepi laut ia naik ke darat, mengambil tempat di belakang sebuah pohon, dan mengamati orang-orang yang sejak pagi­pagi sekali sudah sibuk. Tujuh rombongan samurai sudah berangkat ke Funashima-juru-juru bersih medan, para saksi, dan pengawal-masing­masing rombongan dalam perahu terpisah. Di pantai ada satu perahu kecil lagi yang sudah siap membawa Kojiro. Tadatoshi memerintahkan membuat­nya khusus untuk peristiwa itu, dari balok baru, lengkap dengan beberapa sapu air baru dan temali rami yang baru pula.

Orang-orang yang melepas keberangkatan Kojiro berjumlah sekitar seratus orang. Nuinosuke dapat mengenali sebagian dari mereka sebagai teman­-teman pemain pedang itu. Banyak lagi yang lain, yang tidak dikenalnya.

Kojiro menghabiskan tehnya, dan keluar dari kantor komisioner dengan disertai para pejabat. Sesudah mempercayakan kuda kesayangannya kepada teman-temannya, ia berjalan melintasi pasir, menuju perahu. Tatsunosuke mengikutinya rapat di belakang. Orang banyak diam-diam menyusun diri dalam dua barisan, dan menyiapkan jalan bagi jagoan mereka. Melihat cara Kojiro berpakaian, banyak di antara mereka membayangkan mereka sendiri yang berangkat menuju pertempuran. Ia mengenakan kimono sutra berlengan sempit warna putih mantap, dengan pola bergambar timbul. Kimono itu ditutupi jubah tanpa lengan, warna merah cemerlang. Hakama-nya terbuat dari kulit warna ungu, dari jenis yang disimpul di bawah lutist, ketat di bagian betis, seperti pembalut kain. Sandal jeraminya tampak dibasahi sedikit, agar tidak licin. Disamping pedang pendek yang selalu dibawanya, ia membawa Galah Pengering yang tidak dipergunakan sejak ia menjadi pejabat pada Keluarga Hosokawa. Wajahnya yang putih dan berpipi penuh tampak tenang dibanding jubahnya yang merah manyala. Hari itu Kojiro tampak megah, hampir-hampir indah.

Nuinosuke bisa melihat bahwa senyum Kojiro tenang dan yakin. Ia menyeringai sekilas-sekilas ke segala jurusan. Ia tampak bahagia dan betul-­betul tenteram.

Kojiro melangkah masuk perahu. Tatsunosuke mengikuti. Ada dua awak perahu, seorang di haluan, dan seorang lagi memainkan dayung buritan. Amayumi bertengger di tinju Tatsunosuke.

Begitu meninggalkan pantai, pendayung menggerakkan kedua tangannya dengan tarikan-tarikan sangat pelan, dan perahu kecil itu meluncur pelan ke depan.

Elang pemburu mengepak-ngepakkan sayapnya, terkejut oleh teriakan­-teriakan orang-orang yang mengucapkan selamat.

Orang banyak menyebar dalam kelompok-kelmpok kecil, dan pelan­pelan bubar sambil mengagumi sikap tenang Kojiro. Mereka berdoa semoga ia memenangkan pertempuran hebat itu.

“Aku harus kembali,” pikir Nuinosuke, ketika teringat tanggung jawab untuk mengatur agar Sado berangkat pada waktunya. Ketika ia meninggalkan tempat itu, terlihat olehnya seorang gadis. Tubuh Omitsu tertempel erat ke sebatang pohon, dan ia sedang menangis.

Karena merasa kurang sopan melihatnya, Nuinosuke menghindari pe­mandangan itu, dan menyelinap diam-diam. Setelah berada di jalan kembali, ia lontarkan pandangan terakhir pada perahu Kojiro, kemudian pada Omitsu. “Tiap orang memiliki kehidupan umum dan kehidupan pribadi,” pikirnya. “Di balik segala ingar-bingar itu, seorang perempuan berdiri menangis sehabis-habisnya.”

Di perahu, Kojiro meminta elangnya dari Tatsunosuke dan mengulurkan tangan kirinya. Tatsunosuke memindahkan Amayumi ke tinju Kojiro, dan dengan sikap hormat mengundurkan diri.

Pasang air mengalun deras. Hari sungguh sempurna—langit cerah, air jernih—tapi ombak agak tinggi. Setiap kali air berkecipak di atas tepian perahu, elang menggeleparkan bulunya dalam semangat tempur.

Ketika mereka sudah sekitar setengah jalan ke pulau, Kojiro melepaskan ikatan kaki burung dan melontarkannya ke udara, katanya, “Kembali ke benteng.”

Seakan sedang berburu seperti biasa, Amayumi menyerang seekor burung laut yang sedang melarikan diri, dan hujan bulu putih pun turun. Tapi, ketika tuannya tidak memanggilnya kembali, burung itu menukik turun ke atas kepulauan, kemudian mengangkasa dan menghilang.

Sesudah melepaskan elang itu, Kojiro mulai melepaskan dirinya dari segala jimat dan tulisan keberuntungan Budha maupun Shinto yang di­taburkan kepadanya oleh para pendukungnya, dan membuang semua itu satu per satu ke luar perahu—bahkan juga jubah dalam dari katun ber­sulam pepatah Sansekerta yang diberikan oleh bibinya.

“Sekarang aku bisa santai,” katanya pelan. Menghadapi situasi hidup atau mati itu, ia tak ingin diganggu oleh kenangan ataupun pribadi-pribadi. Ingatan akan semua orang yang berdoa untuk kemenangannya itu merupakan beban. Harapan-harapan baik mereka kini lebih merupakan penghalang daripada bantuan, betapapun tulusnya harapan itu. Yang penting sekarang adalah dirinya sendiri.

Angin asin membelai wajahnya yang diam. Matanya tertuju pada pohon­pohon pinus hijau di Funashima.

Di Shimonoseki, Tarozaemon berjalan melewati barisan gubuk tepi pantai, dan masuk ke dalam tokonya. “Sasuke,” panggilnya. “Apa tak ada yang melihat Sasuke?” Sasuke adalah salah seorang pegawai termuda di antara banyak pegawainya, tapi juga yang paling cerdas. Disamping dihargai sebagai pembantu rumah tangga, ia sekali-sekali membantu di toko.

“Selamat pagi,” kata manajer Tarozaemon yang muncul dari posnya di kantor pembukuan. “Beberapa menit lalu, Sasuke ada di sini.” Dan sambil menoleh pada seorang pembantu muda, katanya, “Cari Sasuke. Cepat!”

Manajer itu mulai melaporkan perkembangan soal-soal usaha pada Tarozaemon, tapi pedagang itu menghentikannya seketika sambil menggeleng-­gelengkan kepala, seakan-akan seekor nyamuk sedang mengejarnya. “Yang ingin kuketahui adalah apa ada orang datang kemari mencari Musashi.”

“Memang benar, ada orang datang kemari tadi pagi.”

“Suruhan dari Nagaoka Sado? Yang itu aku tahu. Ada lagi yang lain?”

Manajer itu menggosok dagunya. “Saya tidak melihatnya sendiri, tapi katanya tadi malam datang satu orang yang tampak kotor dan tajam matanya. Dia pakai tongkat kayu ek panjang, dan minta bertemu ‘Sensei Musashi’. Orang-orang mengalami kesulitan mengusir orang itu.”

“Ada yang banyak omong! Padahal sudah kukatakan pada mereka, mesti tutup mulut tentang adanya Musashi di sini.”

“Saya tahu, dan saya pun mengatakan pada mereka dengan cukup jelas. Tapi memang kita tak bisa berbuat sesuatu dengan anak-anak muda itu. Adanya Musashi di tempat ini membuat mereka merasa penting.”

“Bagaimana kalian mengusir orang itu?”

“Sobei mengatakan padanya, dia keliru, karena Musashi tak pernah ada di sini. Akhirnya orang itu pergi, entah percaya atau tidak. Sobei melihat ada dua atau tiga orang menantikan orang itu di luar, seorang di antaranya perempuan.”

Sasuke datang berlari-lari dari dermaga. “Bapak memanggil saya?”

“Ya. Aku ingin tahu, apa kau sudah siap. Kau tahu, ini penting sekali.”

“Saya tahu, Pak. Saya sudah bangun sejak sebelum matahari terbit. Saya sudah mandi dengan air dingin, dan pakai cawat putih yang baru.”

“Bagus. Apa perahu sudah siap, seperti kusebutkan tadi malam?”

“Ya, tak banyak lagi yang mesti dilakukan. Sudah saya pilih yang ter­cepat dan paling bersih di antara perahu-perahu itu, sudah saya taburkan garam di bagian luar-dalam. Saya siap berangkat, kapan saja Musashi siap.”

“Di mana perahu itu?”

“Di pantai, bersama yang lain-lain.”

Tarozaemon berpikir, “Lebih baik kita jalankan sekarang. Terlalu banyak orang akan melihat saat Musashi berangkat. Dia tak suka itu. Bawa perahu ke pohon besar pinus Heike itu. Hampir tak ada orang lewat sana.”

“Baik, Pak.”

Toko yang biasanya amat sibuk itu hampir-hampir sepi. Bingung dan cemas, Tarozaemon keluar ke jalan. Baik di situ maupun di Moji, di pantai seberang, orang-orang libur-mereka yang tampaknya samurai dari beberapa perdikan berdekatan, para ronin, sarjana Kong-Hu-Cu, pandai besi, pandai senjata, pembuat lak, pendeta, macam-macam penduduk kota, dan sejumlah petani dari pedesaan sekitar. Para wanita berbau wangi, mengenakan kerudung dan topi perjalanan lebar. Istri-istri para nelayan menggendong atau meng­gandeng anak-anaknya. Mereka semua bergerak ke arah yang sama, sia-sia mencoba lebih mendekati pulau itu, sekalipun tak ada tempat yang meng­untungkan. Benda paling kecil yang bisa terlihat tak lebih dari sebatang pohon.

“Aku tahu maksud Musashi,” pikir Tarozaemon. Tentunya ia tidak tahan ditonton gerombolan pelancong yang hanya menganggap perkelahian itu sebagai tontonan.

Sampai di rumah kembali, ia dapati seluruh tempat itu sudah bersih sekali. Dalam kamar yang menghadap ke pantai, pola-pola ombak berkelap­-kelip di langit-langit.

“Ayah dari mana? Sudah lama kucari-cari.” Otsuru datang membawa teh.

“Tidak dari mana-mana.” Tarozaemon mengangkat cangkir tehnya, dan memandang ke dalamnya sambil merenung.

Otsuru datang kemari untuk tinggal bersama ayah yang dicintainya. Kebetulan, dalam perjalanan dari Sakai, ia berada satu kapal dengan Musashi. Lalu ia tahu mereka berdua sama-sama punya hubungan dengan Iori. Ketika Musashi datang untuk menyatakan hormat kepada Tarozaemon dan mengucapkan terima kasih atas perawatan anak itu, pedagang itu mendesak Musashi tinggal di rumahnya dan memerintahkan Otsuru me­layaninya.

Malam sebelum itu, ketika Musashi bercakap-cakap dengan tuan rumah, Otsuru duduk di kamar sebelah, menjahit cawat baru dan kain perut yang menurut Musashi dibutuhkannya pada hari pertarungan. Otsuru sudah menyiapkan pula kimono baru warna hitam. Begitu diperlukan, jelujuran yang dipergunakan melipat lengan dan rok kimono itu dapat segera dilepas.

Terlintas dalam pikiran Tarozaemon, bisa jadi Otsuru jatuh cinta pada Musashi. Tampak pandangan mata anak itu gelisah. Dalam pikirannya tentu ada sesuatu yang serius.

“Otsuru, di mana Musashi? Apa sudah kausediakan makan pagi?”

“Ya. Sudah lama. Tapi, sesudah itu, dia menutup pintu kamarnya.”

“Bersiap-siap kukira.”

“Tidak, belum.”

“Apa yang dia lakukan?”

“Rupanya sedang melukis.”

“Sekarang ini?”

“Ya.”

“Hmm. Memang kami membicarakan lukisan, dan aku tanya, apa dia mau membuatkan lukisan buatku. Mestinya tak usah aku minta.”

“Dia bilang, akan dia siapkan lukisan itu sebelum pergi. Dia juga bikin satu lukisan buat Sasuke.”

“Sasuke?” ulang Tarozaemon tak percaya. Ia jadi semakin gelisah. “Apa dia tidak tahu, sekarang sudah terlambat? Kaulihat sendiri itu, semua orang berduyun-duyun di jalan-jalan.”

“Kalau melihat wajahnya, kita bisa menduga dia sudah lupa pertarungan itu.”

“Sekarang ini bukan waktunya melukis. Katakan sana padanya. Kau mesti tetap sopan, tapi sampaikan padanya, melukis itu dapat dilakukan nanti.”

“Tapi kenapa saya? Saya tak bisa…”

“Kenapa tidak?” Dan, kecurigaannya bahwa anaknya telah jatuh cinta jadi lebih kuat. Ayah dan anak berkomunikasi secara diam, namun sempurna. Sambil mengomel dengan nada sayang, “Anak konyol. Kenapa menangis?” ia berdiri, lalu pergi ke kamar Musashi.

Musashi berlutut diam, seakan bersemadi. Di sampingnya terletak kuas, kotak tinta, dan tabung kuas. Satu lukisan sudah diselesaikannya-seekor burung bangau di bawah pohon dedalu. Kertas di hadapannya kini masih kosong. Ia sedang menimbang-nimbang, apa yang akan dilukiskannya. Atau lebih tepat, diam-diam ia sedang mencoba menempatkan diri dalam kerangka pikiran yang benar. Ini penting, sebelum ia dapat membayangkan lukisan itu, atau mengetahui teknik yang akan dipergunakan.

Ia pandang kertas putih itu sebagai alam semesta kehampaan. Satu guratan saja akan menampilkan kehadiran di dalamnya. Sebetulnya ia dapat membangkitkan hujan atau angin sekehendaknya, tapi apa pun yang di­gambarnya, hatinya akan tertinggal dalam lukisan itu. Jika hatinya ternoda, lukisan akan ternoda pula; kalau hatinya lesu, demikian jugalah jadinya lukisan itu. Kalau ia mencoba memamerkan keterampilan semata, maka niatnya itu takkan dapat disembunyikan. Tubuh manusia melayu, tapi tinta hidup terus. Gambaran hatinya akan terus bernapas, sesudah ia sendiri tiada. Ia sadar bahwa pikirannya menghambat. la hampir memasuki dunia kehampaan, membiarkan hatinya berbicara sendiri, bebas dari egonya, merdeka dari sentuhan pribadi tangannya. Ia mencoba membuat dirinya kosong, dan menanti suasana mulia, saat hatinya dapat berbicara dalam kesatuan dengan alam semesta, tidak mementingkan diri sendiri dan tidak pula terhalangi.

Bunyi-bunyian dari jalan tidak sampai ke kamarnya. Pertarungan hari itu agaknya terpisah sama sekali dari dirinya. Yang ia rasakan hanyalah gerak getar pohon bambu di kebun dalam.

“Boleh saya mengganggu?” Shoji di belakang dirinya terbuka tanpa bunyi, dan Tarozaemon melongok ke dalam. Menyerobot masuk itu terasa salah, hampir-hampir jahat, tapi ia memberanikan diri, katanya, “Saya minta maaf telah mengganggu, padahal kelihatannya Anda demikian me­nikmati kerja Anda.”

“Ah, silakan masuk.”

“Sekarang sudah hampir waktunya berangkat.”

“Saya tahu.”

“Segalanya sudah siap. Semua barang yang Anda butuhkan ada di kamar sebelah.”

“Oh, terima kasih banyak.”

“Saya minta Anda tidak terlalu mementingkan lukisan itu. Anda dapat menyelesaikannya, bila nanti kembali dari Funashima.”

“Ah, tak apa. Saya merasa segar sekali pagi ini. Ini waktu yang baik buat melukis.”

“Tapi Anda mesti memikirkan waktu.”

“Ya, saya tahu.”

“Kapan Anda mau melakukan persiapan, panggil saja. Kami menanti buat membantu.”

“Terima kasih banyak.”

Tarozaemon hendak meninggalkan tempat itu, tapi Musashi bertanya,

“Jam berapa pasang naik?”

“Pada musim ini, paling rendah antara jam enam dan jam delapan pagi. Mestinya kira-kira sekarang ini naik lagi.”

“Terima kasih,” kata Musashi sambil lalu, lalu kembali memusatkan perhatian pada kertas putih itu.

Tanpa suara, Tarozaemon menutup shoji dan kembali ke kamar tamu. Ia bermaksud duduk dan menunggu dengan tenang, tapi belum lama ia mulai gelisah lagi. Ia bangkit dan pergi ke beranda. Dari sana kelihatan olehnya arus mengalir melewati selat. Air mulai naik ke darat.

“Ayah.”

“Ada apa?”

“Sudah waktunya pergi. Saya taruh sandalnya di pintu masuk halaman.”

“Dia belum siap.”

“Masih melukis?­

“Ya.”

“Saya kira tadi Ayah menyuruhnya berhenti dan bersiap-siap.”

“Dia tahu jam berapa sekarang.”

Sebuah perahu kecil berhenti di pantai, tak jauh dari tempat itu, dan Tarozaemon mendengar namanya dipanggil orang. Nuinosuke yang bertanya, “Apa Musashi belum berangkat?” Ketika Tarozaemon menjawab belum, Nuinosuke cepat mengatakan, “Tolong sampaikan padanya supaya siap dan berangkat secepat-cepatnya. Kojiro sudah berangkat, juga Yang Dipertuan Hosokawa. Majikan saya berangkat dari Kokura sekarang inn.”

“Akan saya usahakan.”

“Tolonglah! Barangkali kedengarannya seperti kata-kata perempuan, tapi kami ingin kepastian bahwa dia tidak terlambat. Memalukan sekali kalau sampai mendatangkan aib pada diri sendiri sekarang ini.” Ia lekas-lekas berdayung pergi, meninggalkan perantara kapal dan anak perempuannya itu marah-marah sendiri di beranda. Mereka menghitung detik demi detik, sambil terus-menerus melayangkan pandang ke arah kamar kecil di belakang, yang tidak memperdengarkan bunyi sedikit pun.

Segera kemudian, perahu lain datang membawa seorang utusan dari Funashima, untuk meminta Musashi lekas datang.

Musashi membuka mata ketika mendengar bunyi shoji dibuka. Tak perlu lagi Otsuru minta izin masuk. Ketika ia sampaikan pada Musashi kedatangan perahu dari Funashima itu, Musashi mengangguk dan tersenyum ramah. “Begitu,” katanya, lalu meninggalkan kamar.

Otsuru memandang lantai yang tadi diduduki Musashi. Lembar kertas itu sekarang sudah penuh noda tinta. Semula gambar itu tampak seperti awan yang tidak jelas bentuknya, tapi segera kemudian ia lihat lukisan itu merupakan pemandangan jenis “Tinta patah”. Lukisan itu masih basah.

“Tolong berikan lukisan itu pada ayahmu,” seru Musashi, mengatasi bunyi kecipak air. “Dan yang lain buat Sasuke.”

“Terima kasih. Mestinya tak usah Anda lakukan itu.”

“Saya minta maaf, tak ada barang yang lebih baik yang dapat saya sampaikan, sesudah Anda sekalian begitu repot, tapi saya harap ayahmu menerimanya sebagai wasiat.”

Otsuru menjawab penuh arti, “Malam nanti, bagaimanapun juga pulang­lah, dan duduk dekat api dengan Ayah, seperti tadi malam.”

Mendengar gemeresik pakaian di kamar sebelah, Otsuru merasa senang. Akhirnya Musashi berpakaian! Kemudian tidak terdengar apa-apa, dan hal berikut yang ia ketahui adalah Musashi sedang bicara dengan ayahnya. Percakapan itu singkat sekali, hanya beberapa patah kata pendek. Ketika melewati kamar sebelah, ia lihat Musashi sudah melipat rapi pakaian lamanya dan menyimpannya di kotak sudut. Suatu kesepian tak terlukiskan mencekamnya. Ia membungkuk dan membenamkan wajahnya ke kimono yang masih hangat itu.

“Otsuru!” panggil ayahnya. “Apa kerjamu? Dia berangkat!”

“Ya, Ayah.” Ia menghapuskan jari-jarinya ke pipi dan kelopak mata, dan berlari ikut ayahnya.

Musashi sudah berada di gerbang halaman yang sengaja ia pilih untuk menghindari pandangan orang. Ayah, anak perempuannya, dan empat atau lima orang lain dari rumah dan toko mengantar hanya sampai gerbang. Otsuru terlalu gugup, hingga tak dapat mengucapkan kata-kata. Ketika mata Musashi tertuju kepadanya, ia membungkuk seperti yang lain-lain.

“Selamat berpisah,” kata Musashi. Ia lewati gerbang rendah dari rumput anyam itu, ia tutup, dan katanya, “Jaga diri Anda sekalian.” Ketika mereka mengangkat kepala, tampak Musashi sedang berjalan cepat menjauh.

Mereka mengikutinya dengan pandangan mata, tapi Musashi tidak menoleh.

“Saya kira memang begitu mestinya sikap samurai,” gumam seseorang. “Dia berangkat begitu saja; tanpa pidato, tanpa ucapan selamat berpisah yang rumit, tanpa apa-apa.”

Otsuru segera menghilang. Beberapa detik kemudian, ayahnya meng­undurkan diri juga masuk rumah.

Pinus Heike berdiri kokoh pada jarak sekitar dua ratus meter dari pantai. Musashi berjalan ke sana dengan pikiran tenang sepenuhnya. Seluruh pikirannya telah ia tumpahkan ke tinta hitam dalam lukisan pemandangan itu. Ia merasa senang telah melukis tadi, dan ia anggap usahanya berhasil.

Sekarang ke Funashima. Ia berangkat dengan tenang, seakan-akan per­jalanan ini sama dengan perjalanan lain. Ia tidak tahu apakah akan pernah kembali, tapi ia sudah tak lagi memikirkan hal itu. Bertahun-tahun lalu, ketika pada umur dua puluh dua ia menghampiri pinus lebar di Ichijoji, ia merasa sangat bersemangat, karena dibayangi perasaan akan terjadinya tragedi. Waktu itu ia mencengkeram pedangnya dengan penuh tekad. Sekarang ini ia tidak merasakan apa-apa.

Bukannya musuh hari ini tidak begitu menakutkan dibanding seratus orang yang ia hadapi waktu itu. Jauh dari itu. Kojiro, yang berkelahi sen­dirian, merupakan lawan yang lebih hebat daripada pasukan apa pun yang dapat disusun Perguruan Yoshioka untuk melawannya. Tak ada keraguan sedikit pun dalam pikiran Musashi, bahwa ia sedang menghadapi perkelahian demi hidupnya.

“Sensei.”

“Musashi!”

Pikiran Musashi jadi terlengah oleh suara-suara itu, dan oleh dua orang yang berlari-lari ke arahnya. Sekejap ia terperangah.

“Gonnosuke!” serunya. “Dan Nenek! Bagaimana kalian berdua bisa ada di sini?”

Kedua orang yang sangat kotor badannya karena perjalanan itu, berlutut di pasir di depannya.

“Kami mesti datang,” kata Gonnosuke.

“Kami datang buat melepas kepergianmu,” kata Osugi. “Dan aku datang untuk minta maaf padamu.”

“Maaf? Pada saya?”

“Ya. Atas segalanya. Aku harus minta kau memaafkan diriku.”

Musashi memandang wajah Osugi, penuh tanda tanya. Kata-kata itu terdengar mustahil olehnya. “Kenapa begitu, Nek? Apa yang terjadi?”

Osugi berdiri dengan tangan terkatup, memohon, “Apa yang dapat kukatakan? Aku sudah melakukan begitu banyak hal yang jahat, sampai aku tak bisa berharap minta maaf atas semuanya itu. Semua itu… semua itu kekeliruanku yang mengerikan. Aku dibikin buta oleh cinta kepada anakku, tapi sekarang aku tahu mana yang benar. Maafkan aku.”

Musashi memandang Osugi sebentar, kemudian berlutut dan memegang tangan Osugi. Ia tak berani mengangkat mata, takut air mata menggenangi matanya. Melihat perempuan tua itu demikian menyesal, ia pun merasa bersalah. Tapi ia merasa berterima kasih juga. Tangan Osugi gemetar, bahkan tangan Musashi sendiri bergetar sedikit.

Musashi butuh waktu sejenak untuk memulihkan dirinya kembali. “Saya percaya, Nek. Saya mengucapkan terima kasih atas kedatangan Nenek. Sekarang saya dapat menghadapi maut tanpa penyesalan, dan terjun dalam pertarungan dengan semangat yang bebas dan hati tak terusik.”

“Jadi, kau memaafkan aku?”

“Tentu saya memaafkan, kalau Nenek mau memaafkan saya atas semua kesulitan yang pernah saya perbuat ketika kecil.”

“Tentu, tapi cukuplah denganku. Ada orang lain yang membutuhkan pertolonganmu. Orang yang amat sedih.” Ia menoleh, mengajak Musashi melihat.

Di bawah pinus Heike berdiri Otsu yang memandang malu ke arah mereka, wajahnya pucat dan basah karena menantikan perjumpaan.

“Otsu!” pekik Musashi. Dalam sedetik ia sudah langsung berada di depan Otsu. Ia sendiri tak tahu bagaimana kakinya telah membawanya ke sana. Gonnosuke dan Osugi berdiri di tempat. Mereka ingin sekali menghilang tak tahu rimbanya, dan meninggalkan pantai pada kedua pasangan itu saja.

“Otsu, kau datang.”

Tidak ada kata-kata yang dapat menjembatani jurang pemisah yang bertahun-tahun lamanya itu, untuk mengungkapkan dunia perasaan yang membludak di dalam diri Musashi.

“Kau kelihatan tidak sehat. Apa kau sakit?” Musashi menggumamkan kata-kata itu, seperti satu baris terpisah dalam sajak yang panjang.

“Sedikit.” Dengan mata ditundukkan, Otsu berjuang untuk tetap tenang, agar tidak kehilangan akal. Saar yang barangkali merupakan saat terakhir ini tidak boleh ternoda ataupun tersia-sia.

“Apa cuma masuk angin?” tanya Musashi. “Atau penyakitmu parah? Apa yang sakit? Di mana kau berada beberapa bulan terakhir ini?”

“Aku kembali ke Shippoji musim gugur lalu.”

“Pulang?”

“Ya.” Otsu langsung memandang Musashi. Matanya jadi sejernih ke­dalaman samudra, mata yang berjuang menahan air mata. “Tapi sebetulnya tak ada rumah sejati buat seorang yatim-piatu macam aku. Yang ada cuma rumah dalam diriku.”

“Jangan bicara macam itu. Lihat itu, Osugi pun kelihatan sudah membuka hatinya untukmu. Aku jadi sangat bahagia. Kau mesti sembuh dari sakitmu dan belajar merasa bahagia. Untukku.”

“Aku bahagia sekarang.”

“Kau bahagia? Kalau betul, aku juga bahagia… Otsu…” Musashi mem­bungkuk ke arah Otsu. Otsu berdiri kaku, karena sadar akan hadirnya Osugi dan Gonnosuke. Tapi Musashi sudah melupakan mereka. Dipeluknya Otsu dan digosokkannya pipinya ke pipi Otsu.

“Kau begini kurus… begini kurus.” Musashi sadar benar bahwa napas Otsu bercampur demam. “Otsu, maafkan aku. Barangkali aku kelihatan tak berhati, tapi sebetulnya tidak, terutama yang menyangkut dirimu.”

“Aku… aku tahu.”

“Betul? Sungguh?”

“Ya, tapi kumohon ucapkan satu patah kata padaku. Satu patah saja. Katakan, aku istrimu.”

“Akan merusak segalanya kalau aku mengatakan apa yang sudah kau­ketahui.”

“Tapi… tapi…” Otsu tersedu-sedu dengan sekujur tubuhnya, tapi dengan ledakan kekuatannya ia tangkap tangan Musashi, dan teriaknya, “Katakan! Katakan aku istrimu sepanjang hidup ini!”

Musashi mengangguk, pelan-pelan, tanpa kata-kata. Kemudian satu-satu ia melepaskan jemari Otsu yang lembut dari tangannya, dan berdiri tegak. “Istri samurai tak boleh menangis dan lemah ketika suaminya pergi ber­perang. Tertawalah untukku, Otsu. Lepaskan aku dengan senyum. Ini barangkali keberangkatan terakhir suamimu.”

Keduanya tahu bahwa saatnya sudah tiba. Untuk sesaat Musashi meman­dang Otsu dan tersenyum. Kemudian katanya, “Sampai nanti.”

“Ya. Sampai nanti.” Otsu ingin membalas senyum Musashi, namun hanya berhasil menahan air mata.

“Selamat tinggal.” Musashi membalik, dan dengan langkah mantap berjalan menuju tepi air. Sepatah kata perpisahan naik ke tenggorokan Otsu, tapi menolak diucapkan. Air mata menggelegak tak tertahan. Ia tak dapat lagi melihat Musashi.

Angin kencang dan asin mempermainkan cambang Musashi. Kimononya mengepak-ngepak ribut.

“Sasuke! Bawa lebih dekat perahu itu.”

Walau sudah menanti lebih dari dua jam, dan tahu Musashi ada di pantai, namun Sasuke dengan hati-hati terus memalingkan pandangan. Sekarang ia memandang Musashi, katanya, “Siap, Pak.”

Dengan gerakan kuat dan cepat ia galahkan perahu untuk mendekat. Ketika perahu sudah menyentuh pantai, Musashi melompat ringan ke haluan, dan berangkatlah mereka ke tengah laut.

“Otsu! Berhenti!” Teriakan itu diserukan oleh Jotaro. Otsu berlari langsung ke arah laut, dan Jotaro berlomba mengejarnya. Gonnosuke dan Osugi terkejut dan ikut mengejar.

“Otsu, berhenti! Apa yang kaulakukan?”

“Jangan bodoh begitu.”

Mereka berhasil mengejarnya secara bersamaan. Mereka memeluk Otsu, dan menahannya.

“Tidak, tidak!” protes Otsu, menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. “Kalian tak mengerti.”

“A-apa yang mau kaulakukan?”

“Biarkan aku duduk, sendiri.” Suara Otsu tenang.

Mereka melepaskannya, dan dengan anggun Otsu berjalan ke suatu tempat, beberapa meter jauhnya. Di situ ia berlutut ke pasir, kelihatannya kehabisan tenaga. Namun ia telah menemukan kekuatannya. Ia tegakkan kerahnya. Ia luruskan rambut, lalu membungkuk ke arah perahu kecil Musashi.

“Pergilah tanpa penyesalan.”

Osugi berlutut dan membungkuk. Kemudian Gonnosuke. Dan Jotaro. Walau datang dari Himeji yang begitu jauh, Jotaro tak berhasil sempat bicara dengan Musashi, padahal besar sekali hasratnya untuk mengucapkan kata perpisahan. Tapi kekecewaannya terobati, karena ia tahu telah mem­berikan jatah waktunya kepada Otsu.

PADA waktu pasang sedang setinggi-tingginya, air mengalir lewat selat, seperti sungai pegunungan yang sedang banjir di lembah yang sempit. Angin buritan bertiup, dan perahu bergerak cepat di atas ombak. Sasuke tampak bangga. Ia ingin dipuji atas dayungannya hari itu.

Musashi duduk di tengah perahu, lututnya terbuka lebar. “Apa makan waktu lama kesana?” tanyanya.

“Tidak terlalu lama dengan air pasang ini, tapi kita terlambat.”

“Mm.”

“Sekarang jam delapan lebih.”

“Ya, kukira begitu. Menurutmu, jam berapa sampai di sana?”

“Barangkali jam sepuluh atau lewat sedikit.”

“Tepat sekali.”

Langit yang dilihat Musashi hari itu—langit yang juga dilihat Ganryu­berwarna biru dalam. Salju yang menutup punggung Pegunungan Nagato tampak seperti pita yang berkibar-kibar di langit tak berawan. Rumah­-rumah di kota Mojigasaki dan lipatan-lipatan serta celah-celah Gunung Kazashi kelihatan terang. Di lereng-lereng gunung itu, rombongan-rombongan orang melayangkan pandang ke arah pulau-pulau.

“Sasuke, boleh aku ambil ini?”

“Apa itu?”

“Dayung rusak di dasar perahu ini.”

“Saya tak butuh itu. Buat apa?”

“Hampir tepat ukurannya,” kata Musashi tak jelas. Ia pegang dayung yang sudah sedikit tercelup air itu dengan satu tangan, lalu ia picingkan matanya untuk melihat kelurusannya. Salah satu ujungnya rompal.

Ia letakkan dayung itu di atas lutut, dan ia mulai asyik mengukirnya dengan pedang pendek. Beberapa kali Sasuke melontarkan pandang ke belakang, ke arah Shimonoseki, tapi Musashi kelihatan sudah lupa akan orang-orang yang ditinggalkannya. Beginikah cara samurai menghadapi pertempuran mati-matian? Bagi orang kota seperti Sasuke, kelihatannya dingin dan tawar.

Musashi selesai mengukir, lalu mengibaskan remah-remah kayu dari hakama-nya. “Ada sesuatu yang bisa kupakai sebagai selimut?” tanyanya.

“Apa Bapak kedinginan?”

“Tidak, tapi air ini memercik.”

“Mestinya ada jas lapis di bawah tempat duduk itu.”

Musashi mengambil pakaian itu, dan menutupkannya ke bahunya. Ke­mudian ia mengambil kertas dari dalam kimononya, ia gulung, dan ia pilin setiap lembarnya menjadi tali, ia pilin semuanya sambung-menyambung menjadi dua utas tali, yang kemudian ia pintal menjadi tasuki, pita yang biasa dipakai mengikat lengan baju waktu orang berkelahi. Sasuke sudah pernah mendengar bahwa membuat tasuki dari kertas adalah seni rahasia yang diturunkan dari angkatan satu ke angkatan yang lain, tapi Musashi kelihatan gampang saja membuatnya. Dengan penuh kekaguman Sasuke memperhatikan kecekatan jari-jarinya, dan keanggunan cara Musashi meng­gelincirkan tasuki itu di atas lengannya.

“Apa itu Funashima?” tanya Musashi sambil menuding.

“Bukan. Itu Hikojima, satu dari kelompok Hahajima. Funashima sekitar 1.000 meter ke timur laut. Pulau itu mudah dikenal, karena datar dan tampak seperti gosong. Di antara Hikojima dan Izaki ada Selat Ondo. Anda barangkali sudah pernah mendengarnya.”

“Kalau begitu, di barat itu mestinya Dairinoura di Provinsi Buzen.”

“Betul.”

“Aku ingat sekarang. Ceruk-ceruk dan pulau-pulau sekitar daerah ini tempat menangnya Yoshitsune dalam pertempuran terakhir melawan Heike.”

Setiap kali mendayung, Sasuke bertambah gelisah. Keringat dingin mem­basahi tubuhnya, dan jantungnya berdebar-debar. Rasanya ngeri bicara tentang hal-hal yang tak ada pertaliannya. Bagaimana mungkin orang pergi bertempur demikian tenang?

Ini perkelahian sampai mati. Soal itu tak disangsikan lagi. Apakah nanti ia akan membawa pulang penumpang ke daratan? Ataukah mayat yang sudah terpuntung-puntung dengan kejam? Tak mungkin mengetahui hal itu sekarang. Musashi, menurut pendapat Sasuke, seperti awan putih yang mengapung di langit.

Tapi itu bukanlah lagak yang dibuat-buat, karena sesungguhnya Musashi sendiri sama sekali tidak sedang memikirkan sesuatu. Bahkan boleh dikatakan ia sudah sedikit bosan.

Ia memandang ke sisi perahu, ke air biru yang berkisaran. Tempat itu dalam, dalam tak terbatas, dan penuh dengan kegiatan yang tampak seperti hidup abadi. Tapi air tidak memiliki bentuk tertentu, bentuk yang pasti. Apakah karena manusia memiliki bentuk tertentu, yang pasti, maka ia tidak dapat memiliki hidup kekal? Tidakkah hidup sebenarnya baru dimulai ketika bentuk nyata hilang?

Di mata Musashi, hidup dan maut kelihatan mirip sekali dengan buih. Bulu romanya terasa tegak, namun bukan karena air yang dingin, melainkan karena tubuhnya merasakan pertanda. Walau pikirannya telah membubung di atas hidup dan mati, namun tubuh dan pikiran itu belum bersesuaian. Apabila setiap pori dalam tubuh maupun pikirannya sudah lena, tak adalah yang tertinggal di alam dirinya, kecuali air dan awan.

Mereka melewati Ceruk Teshimachi di Pulau Hikojima. Mereka tak melihat bahwa ada sekitar empat puluh samurai yang berjaga di pantai. Semuanya pendukung Ganryu, dan kebanyakan mengabdi pada Keluarga Hosokawa. Mereka melanggar perintah Tadatoshi dan menyeberang ke Funashima dua hari lalu. Apabila Ganryu menderita kekalahan, mereka sudah siap membalas dendam.

Pagi itu, ketika Nagaoka Sado, Iwama Kakubei, dan orang-orang lain yang ditugaskan berjaga tiba di Funashima, mereka temukan rombongan samurai itu. Mereka kecam para samurai itu habis-habisan, dan mereka perintahkan pergi ke Hikojima. Tapi karena kebanyakan pejabat bersimpati pada mereka, maka mereka dapat pergi tanpa hukuman. Begitu mereka lepas dari Funashima, apa yang mereka lakukan bukan tanggung jawab pejabat lagi.

“Kau yakin itu Musashi?” seorang dari mereka bertanya. “Mestinya.”

“Dia sendirian.”

“Kelihatannya. Dia pakai jubah, atau entah apa itu, buat menutup bahu.”

“Barangkali pakai zirah ringan yang mau disembunyikannya.”

“Ayo!”

Dengan keinginan yang amat sangat untuk bertempur, mereka berduyun­-duyun masuk perahu masing-masing, untuk berjaga-jaga. Semuanya ber­senjatakan pedang, tapi di dasar masing-masing perahu tersimpan sebilah lembing panjang.

“Musashi datang!”

Teriakan itu terdengar sekitar Funashima beberapa saat kemudian.

Bunyi ombak, suara pohon-pohon pinus, dan gemeresik rumpun bambu bercampur lembut menjadi satu. Semenjak pagi, pulau kecil itu bersuasana sepi, walaupun sejumlah pejabat hadir di sana. Segumpal awan putih naik dari arah Nagato, menyerempet matahari, menggelapkan dedaunan pohon dan bambu. Sesudah awan lewat, suasana kembali terang.

Funashima pulau yang sangat kecil. Di ujung utara terdapat bukit rendah yang ditumbuhi pohon-pohon pinus. Di selatan, tanahnya datar pada ketinggian sekitar setengah bukit, sampai akhirnya pulau itu menurun menjadi beting.

Sebuah tirai digantungkan di antara beberapa pohon, tidak seberapa jauh dari pantai. Para pejabat dan pembantu mereka menanti dengan tenang dan tidak mencolok, karena tak ingin menimbulkan kesan pada Musashi bahwa mereka mencoba menaikkan martabat jagoan setempat.

Sekarang, dua jam sesudah waktu yang ditentukan, mereka mulai mem­perlihatkan kekuatiran dan kejengkelan. Dua kali mereka mengirimkan perahu cepat untuk meminta Musashi bergegas.

Pengintai dari batu karang berlari mendapatkan para pejabat, dan me­ngatakan, “Itu dia! Tak salah lagi.”

“Betul-betul dia datang?” tanya Kakubei sambil bangkit tanpa disengaja. Dengan perbuatan itu, ia melakukan pelanggaran besar terhadap sopan santun. Sebagai saksi resmi, seharusnya ia tetap bersikap tenang dan me­nahan diri. Namun kegembiraannya itu wajar sekali, dan orang-orang lain di dalam rombongannya pun ikut berdiri.

Sadar akan kesalahannya, Kakubei mulai mengendalikan diri dan men­dekati yang lain-lain untuk duduk kembali. Penting sekali bagi mereka untuk tidak memperlihatkan sikap pribadi lebih menyukai Ganryu untuk mewarnai tindakan atau keputusan mereka bersama. Kakubei memandang daerah tunggu Ganryu. Tatsunosuke telah menggantungkan tirai dengan hiasan bunga gentian di sebelah tirai terdapat ember kayu baru, dengan ciduk bergagang bambu. Ganryu, yang sudah tak sabar karena lama menanti, minta minum air, dan sekarang beristirahat dalam bayangan tirai.

Tempat Nagaoka Sado ada di sebelah Ganryu, sedikit lebih tinggi. la dikelilingi para pengawal dan pembantu, sedangkan Iori ada di sampingnya. Ketika pengintai datang membawa berita tersebut, wajah anak itu—bahkan juga bibirnya-berubah pucat. Sado duduk dalam sikap resmi, tetap tanpa gerak. Ketopongnya bergeser sedikit ke kanan, seakan-akan ia sedang me­mandang lengan kimononya. Dengan suara rendah ia panggil nama Iori.

“Ya, Pak.” Iori membungkuk ke tanah, sebelum menengadah ke ketopong Sado. Karena tak dapat mengendalikan kegembiraannya, sekujur tubuhnya menggeletar.

“Iori,” kata Sado, memandang langsung anak itu. “Perhatikan semua yang terjadi. Jangan lewatkan satu pun. Ingat-ingat, Musashi mempertaruhkan hidupnya buat mengajarkan padamu apa yang akan kausaksikan sendiri.”

Iori mengangguk. Matanya meletikkan nyala, ketika ia menetapkan pandangan ke batu karang. Cipratan ombak putih yang mengempas ke batu karang itu menyilaukan matanya. Tempat itu sekitar dua ratus meter jauhnya, karena itu tak mungkin la melihat gerak-gerak kecil dan napas para petarung. Namun bukan segi-segi teknis yang diminta Sado untuk di­perhatikannya, melainkan saat dramatis ketika seorang samurai memasuki perjuangan hidup dan mati. Inilah yang akan terus hidup di dalam pikir­annya, dan mempengaruhinya sepanjang hidup.

Rumput bergoyang naik dan turun. Serangga-serangga kehijauan melejit ke sana kemari. Seekor kupu-kupu kecil yang lembut bergerak dari lembar rumput yang satu ke lembar lain, kemudian tak kelihatan lagi. “Dia hampir sampai,” gagap Iori.

Perahu Musashi menghampiri batu karang pelan-pelan. Hampir tepat jam sepuluh waktu itu.

Ganryu berdiri dan berjalan tenang menuruni bukit kecil di belakang pos penantian. Ia membungkuk kepada para pejabat di sebelah kanan dan kirinya, lalu berjalan diam melintasi rumput, ke pantai.

Jalan masuk pulau itu mirip sebuah teluk kecil. Di situ gelombang berubah menjadi ombak-ombak kecil, kemudian menjadi riak-riak air semata. Musashi dapat melihat dasarnya lewat air yang biru jernih.

“Di mana mesti mendarat?” tanya Sasuke yang melembutkan gerak dayungnya, dan meninjau pantai dengan matanya.

“Lurus saja.” Musashi melontarkan mantel lapisnya.

Haluan perahu maju dengan sangat perlahan. Sasuke tak dapat memaksa diri mendayung dengan kuat. Kedua tangannya hanya sedikit bergerak, dan ia hanya sedikit mengerahkan tenaga. Bunyi burung bulbul terdengar di udara.

“Sasuke.”

“Ya, Pak.”

“Cukup dangkal di sini. Tak perlu terlalu masuk. Tak perlu merusakkan perahu. Dan lagi, sudah waktunya pasang balik.”

Diam-diam Sasuke memusatkan pandangan pada pohon pinus yang tinggi kurus dan tegak sendirian. Di bawahnya angin memainkan sebuah jubah merah cemerlang.

Sasuke hendak menunjuk, tapi kemudian sadar bahwa Musashi sudah melihat lawannya. Sambil terus menatap Ganryu, Musashi mengambil sapu­tangan warna cokelat muda dari dalam obi-nya, melipatnya dua kali mem­bujur, kemudian mengikatkan ke rambutnya yang tertiup angin. Lalu ia pindahkan pedang panjangnya, ia letakkan ke dasar perahu, dan ia tutupi dengan tikar buluh. Dengan tangan kanan ia genggam pedang kayu yang ia buat dari dayung rusak tadi.

“Ini cukup jauh,” katanya pada Sasuke.

Di hadapan mereka, air masih hampir enam puluh meter lebarnya. Sasuke membuat beberapa tarikan panjang dayung buritan. Perahu men­dompak dan mendarat ke beting, hingga lunasnya bergetar.

Waktu itulah Musashi melompat ringan ke dalam laut, dengan hakama terkait tinggi di kedua sisinya. Ia mendarat begitu ringan, hingga air hampir tidak berkecipak. Lalu ia melangkah cepat ke garis air, sementara pedang kayunya memotong cipratan air.

Lima langkah. Sepuluh langkah. Sasuke sudah lupa akan dayungnya. Ia memperhatikan dengan terpesona, tak sadar di mana ia berada, dan apa yang sedang ia lakukan.

Ganryu meluncur meninggalkan pohon pinus, seperti sehelai pita merah. Sarung pedangnya yang disemir, berkilau oleh sinar matahari.

Sasuke teringat akan ekor rubah perak. “Cepat!” perkataan itu melintas dalam pikirannya, tapi waktu itu juga Ganryu sudah sampai di tepian air. Yakin bahwa Musashi pasti tewas, ia tak tahan melihat. Ia jatuh dengan wajah telungkup ke perahu, tubuhnya dingin gemetar. la sembunyikan wajahnya, seakan-akan ia sendirilah yang setiap saat akan terbelah menjadi dua.

“Musashi!”

Ganryu menancapkan kaki dengan mantap di pasir, tak hendak mundur satu inci pun.

Musashi berhenti dan berdiri diam, menjadi permainan air dan angin. Wajahnya tampak menyeringai.

“Kojiro,” katanya tenang. Matanya memancarkan keganasan yang me­nakutkan, mata dengan kekuatan yang dapat menyeret demikian dahsyat, hingga mengancam dan menghela Kojiro tanpa dapat ditawar-tawar lagi ke dalam bencana dan kehancuran. Ombak membasahi pedang kayunya.

Mata Ganryu menembakkan api. Nyala haus darah berkobar di dalam bola matanya, seperti pelangi pekat padat yang menggertak dan melemaskan.

“Musashi!”

Tak ada jawaban.

“Musashi!”

Laut berdebur penuh pertanda di kejauhan; air pasang berdesir dan berbisik di kaki kedua orang itu.

“Kau terlambat lagi, ya? Apa itu strategimu? Menurutku, itu cara pengecut! Sekarang ini dua jam lewat waktu yang ditentukan. Aku datang jam delapan, tepat seperti kujanjikan. Aku menanti!”

Musashi tak menjawab.

“Kau pernah melakukan ini di Ichijoji, dan sebelum itu di Rengeoin. Rupanya kau sengaja ingin menjatuhkan lawan dengan memaksanya me­nunggu. Akal macam itu takkan membawamu ke mana-mana, kalau lawanmu Ganryu. Sekarang siapkan dirimu dan maju dengan berani, supaya angkatan kemudian takkan menertawakanmu. Ayo maju dan bertempur, Musashi!” Ujung sarung pedangnya mencuat tinggi di belakangnya, ketika ia menarik Galah Pengering yang besar itu. Dengan tangan kiri ia loloskan sarung pedang itu, dan ia lemparkan ke air.

Sesudah menanti cukup lama, sampai ombak mengempas ke batu karang dan surut kembali ke laut, Musashi tiba-tiba berkata dengan suara tenang, “Kau kalah, Kojiro!”

“Apa?” Ganryu kaget setengah mati.

“Pertarungan sudah selesai. Kau kalah, kataku.”

“Kau bicara apa?”

“Kalau kau bakal menang, kau takkan membuang sarung pedangmu. Kau telah membuang masa depanmu, hidupmu.”

“Kata-kata saja! Omong kosong!”

“Sayang sekali, Kojiro. Sudah siap jatuh? Kau mau cepat?”

”Ayo… ayo maju, bajingan!”

“Ho-o-o!” Teriakan Musashi dan bunyi air bergabung membubung menjadi satu.

Ganryu melangkah ke dalam air, Galah Pengering diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Ia hadapi Musashi langsung. Garis buih putih melintas di permukaan laut, ketika Musashi berlari naik pantai ke sisi kiri Ganryu. Ganryu mengejar.

Begitu kaki Musashi meninggalkan air dan menyentuh pasir, hampir pada saat itu juga pedang dan seluruh tubuh Ganryu melontar kepadanya, seperti ikan terbang. Musashi merasa Galah Pengering mengarah kepadanya, padahal tubuhnya masih berada pada akhir gerak yang tadi membawanya keluar dari air, dan sedang condong sedikit ke depan.

Ia pegang pedang kayunya dengan kedua tangan, terjulur ke kanan, ke arah belakang tubuh, sedikit tersembunyi. Puas dengan kedudukannya, ia setengah bergumam dengan suara hampir tak berbunyi, mengembus ke depan wajah Ganryu. Galah Pengering kelihatannya sudah hampir turun menebas, namun pedang itu bergetar sedikit, kemudian berhenti. Tiga meter dari Musashi, Ganryu mengubah arah dengan melompat cekatan ke kanan.

Kedua orang itu saling pandang. Musashi, yang berada dua-tiga langkah dari air, membelakangi laut. Ganryu menghadapinya dengan pedang teracung tinggi dalam kedua tangan.

Hidup mereka berdua sama-sama terserap ke dalam pertarungan memati­kan itu, dan keduanya sama-sama kosong dari pikiran sadar.

Adegan pertempuran itu terhenti sempurna. Tapi di pos-pos penantian dan di atas bunyi ombak, tak terhitung jumlahnya orang menahan napas. Di atas Ganryu melayang-layang doa dan harapan orang-orang yang percaya kepadanya dan menginginkannya hidup terus, sedangkan di atas

Musashi doa dan harapan dari orang-orang lain lagi. Dari Sado dan Iori yang ada di pulau itu. Dari Otsu, Osugi, dan Gonnosuke di pantai Shimonoseki. Dari Akemi dan Matahachi di bukit mereka di Kokura. Seluruh doa mereka tertuju ke surga.

Di sini harapan, doa, dan dewa-dewa tak mampu membantu, tidak juga kesempatan. Yang ada hanya kekosongan tidak berpribadi dan sepenuhnya tidak memihak.

Apakah kekosongan ini, yang demikian sukar dicapai oleh orang hidup, merupakan ekspresi jiwa yang sempurna, yang telah berhasil mengatasi pikiran dan gagasan-gagasan yang lebih mulia?

Kedua orang itu bicara tanpa membuka suara. Kemudian masing-masing, tanpa sadar, menyadari kehadiran pihak lainnya. Pori-pori mereka menonjol seperti jarum-jarum yang terarah pada lawan.

Otot, daging, kuku, rambut, bahkan alis-semua unsur tubuh yang mengambil bagian dalam hidup ini-bergabung menjadi satu kekuatan tunggal melawan musuh, mempertahankan organisme hidup yang menjadi induknya. Hanya jiwa itu sendiri yang bersatu dengan alam semesta, jernih dan tenteram, seperti pantulan bulan di atas air kolam, di tengah topan yang mengamuk. Bisa mencapai kediaman yang luhur lm merupakan pen­capaian yang sungguh luar biasa.

Jeda itu serasa berlangsung beribu tahun, padahal sesungguhnya singkat saja, sepanjang waktu yang dibutuhkan oleh ombak untuk datang dan me­narik diri setengah lusin kali.

Kemudian satu pekik dahsyat—yang bukan sekadar suara, dan berasal dari dalam lubuk makhluk hidup-memorakporandakan detik penuh ke­tegangan tersebut. Pekik itu datang dari Ganryu, yang segera disusul pekikan Musashi.

Kedua orang itu berteriak seperti ombak yang marah melecut pantai karang, melambungkan semangat mereka ke langit. Pedang si penantang terangkat sedemikian tinggi, hingga seakan mengancam matahari dan mem­belah udara seperti pelangi.

Musashi mendorong bahu kirinya ke depan, menarik kaki kanannya ke belakang, dan mengubah letak tubuh bagian atas pada kedudukan setengah menghadap lawan. Pedang kayu yang dipegangnya dengan dua tangan, menyapu menembus udara, dan serentak dengan itu, ujung Galah Pengering turun langsung di depan hidungnya.

Napas kedua orang yang sedang berlaga itu terdengar lebih keras dari bunyi ombak. Sekarang pedang kayu dijulurkan pada ketinggian mata, sedangkan Galah Pengering jauh di atas pembawanya. Ganryu meloncat sekitar sepuluh langkah, dan laut kini ada di sisinya. Walaupun tak berhasil melukai Musashi dengan serangan pertama, ia berhasil meletakkan dirinya pada kedudukan yang lebih baik. Sekiranya ia tinggal pada kedudukan semula, dengan pantulan sinar matahari di air yang menerjang matanya, pandangannya pasti akan segera goyah, kemudian juga semangatnya, dan ia akan jatuh dalam kekuasaan Musashi.

Dengan keyakinan yang sudah diperbarui, Ganryu mulai beringsut ke depan dan terus menajamkan pandangan, mencari peluang dalam pertahanan Musashi. Ia membajakan semangatnya sendiri, untuk melakukan gerakan yang menentukan.

Sementara itu, Musashi membuat gerakan tak terduga. Ia bukannya maju pelan-pelan dan hati-hati, tapi melangkah tegap ke arah Ganryu, pedangnya terulur di depan, siap dihunjamkan ke mata Ganryu. Kesederhanaan caranya itu membuat Ganryu tertegun. Ia hampir kehilangan pandangan atas Musashi.

Pedang kayu Musashi terangkat lurus di udara. Dengan satu tolakan besar, Musashi melompat tinggi, dan sambil melipat kaki ia mengecilkan tubuhnya yang tingginya 180 senti itu menjadi 120 senti atau kurang.

“Y a-a-ah!” Pedang Ganryu menjerit membelah ruang di atasnya. Pukul­annya tak mengena, tapi ujung Galah Pengering menetak ikat kepala Musashi, hingga ikat kepala itu terbang ke udara.

Ganryu mengira ikat kepala itu kepala lawan, dan seulas senyum meletik singkat di wajahnya. Tapi detik berikutnya batok kepalanya pecah seperti kerikil, terkena pukulan pedang Musashi.

Ganryu terbaring di batas antara pasir dan rumput. Di wajahnya tak terlihat kesadaran akan kekalahan. Darah mengalir dari mulutnya, tapi bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan.

“Oh, tidak!”

“Ganryu!”

Lupa akan dirinya, Iwama Kakubei meloncat dengan wajah terguncang, begitu pula semua pengiringnya. Kemudian terlihat olehnya Nagaoka Sado dan Iori yang duduk tenang dan sabar di bangku mereka. Merasa malu, mereka menahan diri untuk tidak lari ke depan. Sedapatnya mereka mencoba memperoleh kembali ketenangan, namun kesedihan dan kekecewaan tak dapat disembunyikan. Beberapa orang sukar menelan ludah, dan tak hendak mempercayai apa yang mereka lihat. Otak mereka jadi kosong.

Dalam sesaat, pulau itu senyap dan diam, seperti sebelumnya.

Hanya gemeresik pohon pinus dan rumput yang berayun-ayun mengejek kerapuhan dan kefanaan umat manusia.

Musashi memperhatikan segumpal awan kecil di langit. Ketika itulah jiwanya kembali ke tubuhnya, dan baru waktu itulah ia melihat beda antara awan dan dirinya, antara tubuhnya dan alam semesta.

Sasaki Kojiro Ganryu tidak kembali ke dunia orang hidup. Ia terbaring tertelungkup dengan tangan masih mencengkeram pedang. Ketangguhan masih tampak pada sosoknya. Pada wajahnya tak ada tanda-tanda pen­deritaan. Tiada lain kecuali kepuasan, karena telah menjalani perkelahian yang baik, dan tak ada sedikit pun bayangan penyesalan.

Melihat ikat kepalanya sendiri tergeletak di tanah, Musashi jadi menggigil. Takkan pernah lagi dalam hidupnya ia menjumpai lawan seperti ini, demikian pikirnya. Gelombang rasa kagum dan hormat melandanya. Ia berterima kasih pada Kojiro atas apa yang telah diberikan kepadanya. Dalam hal kekuatan, dalam hal tekad tempur, Kojiro setingkat lebih tinggi dari Musashi. Justru karena itulah Musashi terpaksa mesti meningkatkan kemampuan dirinya sendiri, hingga bisa lebih hebat lagi dari Kojiro.

Apa gerangan yang memungkinkan Musashi mengalahkan Kojiro? Ke­terampilannya? Bantuan para dewa? Musashi tahu bahwa bukan itu jawabannya, namun ia tak pernah dapat mengungkapkan alasan itu dalam kata-kata. Sudah pasti alasan itu sesuatu yang lebih penting daripada ke­kuatan ataupun pertolongan dewa.

Kojiro meletakkan keyakinannya pada pedang kekuatan dan keterampilan. Musashi mempercayakannya pada pedang semangat. Itulah satu-satunya beda di antara mereka.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Musashi berjalan menempuh sepuluh langkah yang memisahkan dirinya dari Kojiro, dan berlutut di sampingnya. Ia letakkan tangan kirinya ke dekat lubang hidung Kojiro, dan ia rasakan masih ada jejak napas. “Dengan perawatan yang tepat, dia masih bisa pulih,” kata Musashi pada diri sendiri. Ia ingin mempercayai kata-kata­nya itu, dan ia ingin mempercayai juga, bahwa orang yang paling gagah berani di antara semua lawannya itu akan diselamatkan.

Tapi pertempuran sudah usai. Sudah waktunya ia pergi.

“Selamat tinggal,” katanya pada Kojiro, kemudian kepada para pejabat yang duduk di bangku.

la bersujud satu kali ke bumi, kemudian lari ke batu karang, dan melompat ke dalam perahu. Tidak setetes darah pun menodai pedang kayunya.

Perahu kecil itu melaut. Siapa yang tahu, ke mana arahnya? Tak ada catatan, apakah para pendukung Ganryu di Pulau Hikojima mencoba membalas dendam.

Manusia tak pernah meninggalkan rasa cinta dan benci selama hidupnya. Gelombang perasaan datang dan pergi, bersama seiring dengan waktu. Sepanjang hidup Musashi, ada saja orang-orang yang membenci kemenang­annya dan mengecam tingkah lakunya pada hari itu. Dikatakan, ia bergegas pergi karena takut akan pembalasan. Ia bingung. Ia bahkan lalai memberikan pukulan untuk mengakhiri derita Kojiro.

Dunia ini selalu penuh dengan bunyi gelombang.

Ikan-ikan kecil menyerahkan diri mereka kepada gelombang, menari, menyanyi, dan bermain, tapi siapa yang bisa mengenal hati laut tiga puluh meter di bawahnya? Siapa yang kenal akan kedalamannya?

(TAMAT)


Cerita Novel Musashi buku 7, karangan Eiji Yoshikawa, terbitan gramedia, di kutip dari Website:
http://topmdi.com/ceritawp/?cat=74