Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di Savatti. Pada suatu hari, ia menerima seperangkat jubah yang bagus dan merasa sangat senang. Ia bermaksud mengenakan jubah tersebut keesokan harinya. Tetapi pada malam hari ia meninggal dunia.
Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal di dalam lipatan jubah. Karena tidak ada orang yang mewarisi benda miliknya, diputuskan bahwa seperangkat jubah tersebut akan dibagi bersama oleh bhikkhu-bhikkhu yang lain.
Ketika para bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah di antara mereka, si kutu sangat marah dan berteriak, "Mereka sedang merusak jubahku!" Teriakan ini didengar oleh Sang Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka Beliau mengirim seseorang untuk menghentikan para bhikkhu, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk menyelesaaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari. Pada hari ke delapan, seperangkat jubah milik Tissa Thera itu dibagi oleh para bhikkhu.
Kemudian Sang Buddha ditanya oleh para bhikkhu, mengapa Beliau menyuruh mereka menunggu selama tujuh hari sebelum melakukan pembagian jubah Tissa Thera. Kepada mereka, Sang Buddha berkata,
"Murid-murid-Ku, pikiran Tissa melekat pada seperangkat jubah itu pada saat dia meninggal dunia, dan karenanya ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang tinggal dalam lipatan jubah tersebut. Ketika engkau semua bersiap untuk membagi jubah itu, Tissa, si kutu akan merasa sangat membencimu dan ia akan terlahir di alam neraka (niraya). Tetapi sekarang Tissa telah bertumimbal lahir di alam dewa Tusita, dan sebab itu, Aku memperbolehkan engkau mengambil jubah tersebut.”
"Sebenarnya, para bhikkhu, kemelekatan sangatlah berbahaya, seperti karat merusak besi di mana ia terbentuk, begitu pula kemelekatan menghancurkan seseorang dan mengirimnya ke alam neraka (Niraya). Seorang bhikkhu sebaiknya tidak terlalu menuruti kehendak atau melekat dalam pemakaian empat kebutuhan pokok."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 240 berikut :
Bagaikan karat yang timbul dari besi,
bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri,
begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk
akan menjerumuskan pelakunya
ke alam kehidupan yang menyedihkan.
[sumber: Kisah Tissa Terra, Dhammapada, Mala Vagga(Noda-noda)]
Kisah Tissa Thera di atas sungguh merupakan kisah yang mengesankan!
Aku menduga (mungkin lebih tepatnya menuduh!) bahwa Tissa Thera dahulunya bukanlah seorang yang kaya raya! Sebuah baju bagus tidak akan menggerakan seorang seperti Aburizal Bakrie ataupun seorang Bill Gate yang tajir abis itu!
Tidak hanya baju bagus, terkadang baju lama yang biasa-biasa pun dapat menimbulkan rasa sayang yang berlebihan ketika si pemakai merasa nyaman memakainya.
Kemelekatan dan perasaan sayang/menyukai yang berlebihan tidaklah mengenal si kaya atau miskin, berkuasa atau tidak. Buktinya, banyak anggota Dewan terhormat dan pejabat-pejabat negeri ini terkapar di bawah selangkang dan/atau suapan materi yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
Kemelekatan hanya mengenal nafsu keinginan sebagai satu-satunya sahabat karib. Waktu bukanlah sparing partner untuk uji konsistensi dan komitmen. Lamanya waktu untuk mempertahankan konsistensi dan komitmen adalah relative bagi setiap mahluk.
Saat belum menjadi seorang Bikkhu, Tissa Thera mungkin saja merasa bahwa kesempatannya untuk merubah keberuntungan dan kesejahteraan dalam hal materi adalah sangat kecil terjadi di kehidupannya itu. Saat Ia mengenal Buddha dan ajarannya, mungkin saja Ia melihat bahwa menjadi Bikkhu merupakan sesuatu peluang yang menguntungkan baginya.
Toh, selama ini Ia bukanlah seorang yang berpunya jadi apa lagi yang memberatkannya? Ia mungkin saja berharap bahwa tindakan menjadi Bikkhu paling tidak akan mengamankan posisinya kelak dikelahiran kembali, yaitu ketika gagal mencapai Nirwana maka kelahiran berikutnya tidak lebih buruk lagi daripada menjadi seorang Manusia
Namun kecerobohan pikiran sesaat menjelang ajal menjemput membuatnya malah lahir kembali sebagai seekor kutu!
Pertolongan sang Buddha-lah merupakan faktor terpenting yang menyebabkan si kutu tidak jadi masuk Neraka dan malah terlahir kembali di alam Tusita.
Di alam Tusita, panjangnya usia Dewa adalah 576 juta tahun manusia. Di mana 400 tahun manusia (360 hari) adalah setara dengan 1 hari di alam Dewa Tusita, dan Dewa-dewa itu hidup selama 4000 tahun di alam Tusita. [A.i.214; iv.261; A.i.213; iv.253]
Kita mungkin berkata bahwa 7 (tujuh) hari melakukan komitmen adalah sebentar apabila dibandingkan dengan seumur hidup kita (misal: tujuh puluh tahun) tapi bagi seekor kutu seperti pada kisah di atas, maka 7 (tujuh) hari sudah berarti seumur hidup!
Misalkan si kutu di atas mempunyai karma perbuatan yang mengakibatkan ia selalu terlahir kembali sebagai seekor kutu sebanyak 3600 kali maka itu adalah setara dengan Ia dilahirkan kembali sebagai manusia dengan cukup hanya 1 kali saja!
Nah, bandingkan dengan keuntungannya apabila dilahirkan menjadi Dewa alam Tusita! 7 (tujuh) hari bagi mahluk yang berusia 576 juta tahun adalah setara dengan ± 2800 tahun bagi manusia!
Tissa Thera yang akhirnya terlahir menjadi Dewa di alam Tusita setidaknya sudah ’menghemat’ 8.2 juta kali kelahirannya kembali sebagai manusia atau 29.6 milyar kali kelahirannya kembali lagi sebagai kutu!
Saat ini, Sang Buddha sudah tidak ada lagi di dunia, tidak ada lagi pertolongan yang didapat seperti pada kisah Tissa Thera di atas. Namun demikian ucapan sang Buddha masih terekam utuh sampai dengan saat ini. Jadi, kita tidaklah sepenuhnya ditinggalkan sendirian.
Tissa Thera yang sekarang ada di alam Tusita dan juga Kita masih punya kesempatan! Kita-lah yang dapat menolong diri kita sendiri dengan penuh kewaspadaan menjaga konsistensi pikiran dan perbuatan kita!.
Hitung-hitungan waktu ala ‘glodok’ tersebut di atas tidak menyatakan hal lain kecuali keuntungan waktu relative atas buah perbuatan kita sendiri.
Bukan lamanya waktu yang diperlukan namun waktu yang singkat yang diwaspadai.
Tidak ber-preferensi terhadap apapun untuk waktu sejenak dua jenak adalah suatu hal yang mudah, mempertahankan konsisten berprilaku untuk seumur hidup bukanlah hal yang mudah, namun mewaspadai gerak pikiran sungguhlah suatu hal yang sulit!
Ucapan Sang Buddha di kisah Tissa Thera di atas sudah menjelaskan satu petunjuk penting, yaitu pikiran yang melekat saat ajal menjemput!
Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah!