Minggu, 20 April 2008

Kitapun Tengah Berada Dalam Perangkap Monyet!!!


Suatu ketika anak sulungku yang kelas 6 SD ini tiba saatnya untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Sekolah yang Ia tuju ini mensyaratkan nilai minimum 7.5 dari beberapa mata pelajaran dan itupun diambil mulai dari kelas 3 SD!

Saat hendak mendaftarkan ternyata ada satu mata pelajarannya mempunyai nilai 6.5! Jadi walaupun nilai2 lainnya jauh melampaui Ia tetap saja tidak dapat lolos dari saringan administrasi padahal syarat mempunyai 'hak' untuk mengikuti tes penerimaan harus lolos saringan administrasi!

Kecewa? Ya..iyalahh...dan lucunya anakku itu dapat segera menerima kenyataan pahit itu dan memilih mendaftar di sekolah lain, tapi tidak dengan Istriku!

Istriku tidak bisa melupakan itu! Ia terus berupaya bagaimana caranya agar dapat meloloskan anaknya agar bisa ikut tes!

Sialnya justru dari seluruh kemungkinan cara, 'menyuap' petugas justru tidak bisa dilakukan! Petugas2 itu melakukan saringan administrasi dengan sangat fair, by the rule dan transparannya!

Padahal biasanya fair dan Transparan merupakan barang sangat langka di republik ini!

Ya, Istriku menjadi semakin menderita dengan keinginginannya! Ia lupa bahwa yang masuk SMP itu bukan dia melainkan anaknya!

Singkat cerita, dalam suatu perbincangan dengan ibu-ibu lainnya yang juga tengah 'berkeringat dingin' karena menyiapkan anaknya menuju SMP ada satu statement yang sederhana:
    'Tujuan aku menyekolahkan anak hanya agar ia bisa membaca, menulis dan berhitung, sehingga kelak saat ia besar nanti, Ia dapat membedakan mana yang baik dan tidak serta tidak mudah diperdaya oleh orang lain'
Ah!, Statement itu begitu simple dan dasyatnya!
Statement itulah yang akhirnya menyelamatkan istriku dari sebuah 'perangkap monyet'

Perangkap Monyet? Apa itu?
adalah Sebuah perangkap yang digunakan oleh para pemburu untuk menangkap monyet hidup-hidup yang dilakukan oleh para pemburu di hutan-hutan (Afrika, Malaysia, Asia tenggara, India selatan dan Amerika selatan)

Teknik ini digunakan dengan memanfaatkan kelemahan monyet-monyet itu pada nafsu dan keinginan monyet2 itu sendiri!

Para pemburu ini, menggunakan sebuah tempat yang relative berat yang diisi dengan makanan yang disukai oleh monyet tersebut (kacang yang telah diberi pemanis dan aroma). Perangkap itu mempunyai bentuk leher yang memanjang dan sempit namun cukup untuk memasukan tangan kedalamnya.

Perangkap-perangkap itu ada yang diikatkan pada pohon dan ada juga yang ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut tempat dibiarkan terbuka.Kegiatan-kegiatan para pemburu dan aroma makanan kesukaan mereka inilah yang menarik perhatian para monyet yang tengah bergelantungan di pohon2 sekitarnya. Mereka mengamatinya dan menjadi tertarik untuk mendekat, lalu mulai mencium makanan kesukaan mereka, memasukkan tangan mereka kedalam perangkap itu dan menggenggam kacang-kacang yang ada di dalamnya.

Saat menggenggam kacang-kacang itu, monyet-monyet itu jadi tidak bisa menarik keluar tangannya bahkan ketika para pemburu itu tiba lagi yang membuat mereka menjadi gelisah dan panik namun toh juga tidak mengubah ‘kekerasan kepala‘ mereka untuk melepaskan ‘hadiah’ dalam genggamannya! sedangkan perangkap itu terlalu berat untuk digotong kabur!

Monyet-monyet itu tidak mungkin pergi ke mana-mana lagi! dan para pemburu itu tinggal menangkap mereka hidup-hidup tanpa perlu berkeringat!

Dalam hidup ini, banyak dari kita, yang pandai menjadi pemburu dan memasang perangkap monyet untuk lainnya sehingga mendapatkan manfaat dari keadaan itu. namun terlebih banyaknya dari kita justru berada dalam keadaan seperti monyet diatas, terperangkap tidak berdaya atas keinginan dan nafsu kita sendiri.

Yang perlu dijaga cuma satu, jangan sampai dari pemburu malah menjadi monyet yang terperangkap di dalamnya,

Kalau direnungkan, bukankah masing-masing dari kita saat ini tengah berada pada 'perangkap monyet' kita masing-masing? entah itu dalam interaksi sosial, individu, keluarga, karir atau dalam pekerjaan kita sehari-hari.

Seperti yang disampaikan di Dhammapada syair 165, 162, 160 dan 248:
    Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan.
    Oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci.
    Suci atau tidak suci itu tergantung pada diri sendiri.
    Tak seorang pun dapat membuat orang lain suci..

    Orang yang berkelakuan buruk adalah seperti tanaman menjalar maluva yang melilit pohon sala. Ia akan terjerumus sendiri, seperti apa yang diharapkan musuh terhadap dirinya.

    Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri,
    karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya?
    Setelah dapat mengenali dirinya sendiri dengan baik,
    ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.

    Wahai orang baik, ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak mudah mengendalikan hal-hal yang jahat. Tetapi jangan biarkan keserakahan dan kejahatan menyeretmu ke dalam penderitaan yang tak berkesudahan
Nafsu dan keinginan-lah yang merupakan rumah perangkap dari kesengsaraan dan tipuan kebahagian yang menjebak kita pada siklus yang sama atau serupa yang juga tiada habis-habisnya. Sehingga patut pula kita simak apa yang dikatakan oleh Sang Buddha dalam Itivuttaka 3.1; Khunddaka Nikaya:
    ...
    "Wahai para bhikkhu, ada tiga akar kejahatan."
    "Apakah tiga akar itu?"
    "Akar kejahatan keserakahan (lobha (klik!)
      kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu (atau serakah) sehingga membuat pikiran keinginan yang tidak puas dengan apa yang telah dimiliki.
      Sebagai contoh: karena kemelekatan yang sangat terhadap kehidupan mewah, seseorang menginginkan kehidupan yang lebih mewah lagi, maka timbullah keserakahan dan agar keinginannya untuk hidup lebih mewah lagi tercapai, ia melakukan berbagai cara termasuk melakukan tindakan kejahatan.
    ),akar kejahatan kebencian (dosa (klik!)
      Pikiran/keinginan untuk menyakiti, merusak, menghilangkan, mengingkirkan, memusnahkan sesuatu karena adanya rasa tidak suka yang sangat atau benci terhadap sesuatu tersebut. Ibaratkan sebuah titik api yang menyala, bila tidak segera dipadamkan maka akan menjadi kobaran api yang lebih besar, sehingga dapat membuat seseorang menjadi pembunuh.

      Sebagai contoh: karena tidak menyukai seekor lalat, terjadi penolakan yang sangat dan timbul kebencian terhadap lalat tersebut, seseorang menginginkan lalat tersebut tersebut musnah, hilang, menyingkir dari hadapannya, menyakiti, merusak, maka ia melakukan berbagai cara untuk memusnahkan, menghilangkan, menyingkirkannya termasuk dengan melakukan tindakan kejahatan berupa pembunuhan.
    ), dan akar kejahatan kebodohan batin (moha (klik!)
      kebodohan batin/kekeliruan tahu, yaitu tidak dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik.
      Sebagai contoh: karena menganggap satu ajaran lain adalah sesat sehingga melakukan pembunuhan dan menprovokasi untuk melakukan pembunuhan, contoh lainnya adalah melakuan pencurian terhadap seorang hartawan untuk dibagian kepada kaum miskin. Ia menganggap mencuri hanya dari orang kaya adalah hal yang baik dan sah-sah saja sehingga ia melakukan pencurian tanpa merasa bersalah.
    ). Itulah ketiganya."
    Keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, yang muncul dari dalam dirinya, akan merugikan orang yang berpikiran jahat, seperti buah bambu menghancurkan tumbuhnya pohon itu sendiri.
Berikut ini adalah syair Sidharta Gautama ketika mencapai Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi (Dhammapada Syair 153 & 154):
    Dengan melalui banyak kelahiran
    Aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan).
    Terus mencari, namun tidak kutemukan pembuat rumah ini.
    Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini.
    O, pembuat rumah,
    engkau telah Kulihat,engkau tak dapat membangun rumah lagi.
    Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah.
    Sekarang batin-Ku telah mencapai ‘Keadaan Tak Berkondisi (Nibbana)’.
    Pencapaian ini merupakan akhir daripada nafsu keinginan.
_________________

Note (klik!)
    Monkey Trap, License with John LeCarre, by Michael Poulin, more or less, 11/2001:
    A southeast Asian monkey trap is constructed from a hollow gourd with a single opening just large enough for the monkey's hand to grasp the tempting bait of fruit. Finding the bait, the monkey also finds that it cannot remove both its hand and the fruit. The trap works because the monkey refuses to let go of the fruit even as disaster approcahes.
    _________________

    Monkey's Trap, by: Eric Butterworth, The Universe is Calling:
    An interesting system has been used for capturing monkeys in the jungles of Africa. The goal is to take the monkeys alive and unharmed for shipment to zoos of America. In an extremely humane way, the captors use heavy bottles, with long narrow necks, into which they deposit a handful of sweet-smelling nuts. The bottles are dropped on the jungle floor, and the captors return the next morning to find a monkey trapped next to each bottle.
    _________________

    The South Indian Monkey Trap:
    Robert Pirsig tells an enlightening story about how people in South India used to catch monkeys. I don’t know if it’s true, but it teaches a useful lesson, so I’ll para-phrase it.

    The people of South India, having been pestered by monkeys over the years, developed an ingenious way of trapping them. They would dig a long, narrow hole in the ground and then use an equally long, slender object to widen the bottom of the hole. Then they would pour rice down into the wider portion at the bottom of the hole.
    _________________

    The Malaysian spider monkey lives in the trees of the tropical jungles and in order to catch these wily critters, hunters walk through the jungle and drop heavy containers on the ground. These containers have very a narrow top and a wide bottom. Inside the containers the hunters drop a special kind of nut whose sweetness is particularly attractive to the monkeys.

    Later, the sweet scent of the nut lures the monkeys down from the treetops. They reach in, grab the sweet and thus the trap is sprung — becuase you see, the tops of the containers are so narrow they have a tight squeeze to get their hands inside. Once they grab the sweet at the bottom, they are unable to withdraw it because their clenched fist won’t pass through the narrow opening and . . . (remarkably like humans) they stubbornly refuse to let go of their “prize.” You can get a idea of the trap from the above picture.
    _________________

    Globalization: The Path to Liberty, the Path to Captivity:
    Benjamin Barber offers a most fitting analogy to this struggle:
    Modern aficionados of consumer society seem to resemble those self-deluded monkeys caught in a novel African monkey trap designed to exploit their weaknesses of will when egged on by their desires. The trap consists of a sturdy board well-anchored to the ground, that is drilled with a hole just large enough to permit a relaxed primate hand to reach through it on the way to grabbing a large nut resting in a box on the other side.
    _________________

    The Dreaded Monkey Trap! Are You a Victim? March 3, 2008, Written by annliu:
    Thomas entire article, hope you find it helpful and learn something from it:
    Many of you have heard me talk about the Monkey Trap. It is a great analogy of the human condition. I had read somewhere sometime ago in National Geographic how they caught Spider Monkeys in the Jungles of South America.

    Trappers exploit the greedy nature of the monkey. They hollow out a gourd and make two holes in it. One of the holes is attached to a rope and tied to a tree. The other hole is just big enough for the monkey’s hand to squeeze into it. Then they put the monkeys’ favorite food in the gourd and leave many of these “Monkey Traps”, scattered below the monkey’s favorite trees.


2 komentar:

  1. weleh weleh, dari dulu sudah saya bilang sebaiknya bli Eka menjadi penulis yang luarbiasa dan tentunya kaya raya sehingga ilmunya dibagikan kepda saya dan lainnya ... salam hangat
    Eddy Lenggu

    BalasHapus
  2. Salam hangat juga Pak Eddy Lenggu,
    Kalo bukan bapak yang ngajarin..dan ngga pelit ilmu...maka ngga banyak juga yang saya bisa....

    BalasHapus