Rabu, 16 Juni 2010

Tuhan, Klaim Pepesan Kosong Si Buta Sejak Lahir Yang Menjelaskan Gajah!


Di jaman Sang Buddha, terdapat sejumlah pertapa dan brahmana, pengembara dari berbagai macam aliran, yang hidup di sekitar Savatthi [Sekarang Uttar Pradesh, India Utara dengan batas Utara adalah Nepal]. Mereka mempunyai berbagai pandangan, kepercayaan, pendapat, dan menggantungkan dukungan mereka dari berbagai pandangan mereka itu.

Beberapa brahmana dan pertapa yang memastikan dan berpegang pada pandangan ini:
"Dunia ini kekal; hanya ini yang benar, dan (pandangan) lainnya salah."
Beberapa pertapa dan brahmana yang bersikeras:
"Dunia ini tidak kekal; hanya ini yang benar, (pandangan) lainnya salah."
Beberapa yang bersikeras:
"Dunia ini terbatas;.....
Dunia ini tidak terbatas; .....
Jiwa kehidupan dan tubuh itu sama; .....
Jiwa kehidupan dan tubuh itu berbeda; ....
Sang Tathagata ada di luar jangkauan kematian; .....
Sang Tathagata ada tetapi tidak berada di luar jangkauan kematian; .....
Sang Tathagata ada dan sekaligus tidak ada di luar jangkauan kematian; .....
Sang Tathagata bukannya ada dan bukannya tidak ada di luar jangkauan kematian; hanya ini yang benar, dan (pandangan) lainnya salah."

Dan mereka, hidup bertengkar, penuh perselisihan dan penuh percekcokkan, saling menyakiti dengan ucapan-ucapan kasar, dengan mengatakan: "Dhamma [= Ajaran, Kebenaran] adalah seperti ini, Dhamma tidak seperti itu! Dhamma tidak seperti ini, Dhamma seperti itu!"
    Note:
    "tathāgata" adalah salah satu julukan Sang Buddha (lainnya: ang Bhagava, Jina, dll). berasal dari kata: "tathā" (bahkan, juga, kemudian) + "gata" (pergi, sampai) atau juga "tatha" (benar, nyata) + "a" (tidak) + "gata" (pergi, sampai) yang arti literalnya adalah "Ia yang sudah sampai" atau "Ia yang nyata tidak (lagi) pergi/sampai (tumimbal lahir)"

    Tentang 'Jiwa', Mahavira, Tīrthaṇkara ke-24, [Jina, julukan seorang pemenang/yang tercerahkan dalam Jainisme] berpandangan bahwa: "Jiwa adalah permanen dan juga tidak permanen. Dari sudut pandang substansinya maka Jiwa adalah permanen. Dari sudut pandang perubahannya bergantung dari kelahiran, lapuk/tua dan kehancuran maka jiwa adalah tidak permanen" [Vyākhyāprajסapti/Bhagvatistra, 7:58–59]
Berkenaan dengan hal tersebut, ketika berada di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika, sang Buddha di hadapan para Bikkhu menceritakan satu kisah:

"Dulu, O, para bhikkhu, ada seorang raja di Savatthi ini juga yang memerintahkan seorang pengawal: 'Pengawal yang baik, bawalah semua orang di Savatthi yang buta dari lahir'. "Ya, Yang Mulia," jawab laki-laki itu, dan sesudah menahan semua orang buta di Savatthi, dia mendekati Raja dan berkata, 'Semua orang buta di Savatthi sudah dikumpulkan, Yang Mulia.'"

"Sekarang, tunjukkanlah pada orang-orang buta itu seekor gajah". "Baiklah, Yang Mulia," laki-laki itu menjawab Sang Raja, dan dia membawa seekor gajah ke hadapan orang-orang buta itu, dengan mengatakan, 'Hai, orang-orang buta, ini adalah seekor gajah'

"Pada beberapa orang buta, laki-laki itu memberikan pada bagian kepala Sang Gajah, dan mengatakan, "Ini adalah seekor gajah."
"Pada beberapa lainnya, dia menghadapkan pada bagian telinga gajah.....
..gadingnya.....
..belalainya.....
..tubuhnya.....
..kakinya.....
..bagian belakangnya.....
..ekornya......
"Pada beberapa lainnya, dia menghadapkan pada bagian rambut di ujung ekornya, dan mengatakan, "Ini adalah seekor gajah."

"Kemudian, O, para bhikkhu, sesudah menunjukkan gajah kepada orang-orang buta, laki-laki itu menghadap Sang Raja dan berkata, 'Orang-orang buta itu sudah mengenali gajah, Yang Mulia. Lakukanlah sekarang apa yang Baginda pikir cocok.'

Kemudian Raja mendekati orang-orang buta itu dan berkata, 'Apakah kalian sudah mengenali gajah?'. "Ya Baginda, kami sudah mengenal gajah". "Beritahukan padaku, hai orang-orang buta, seperti apakah gajah itu?"

Orang-orang buta,
  • yang sudah memegang kepala gajah menjawab, 'Baginda, seekor gajah adalah seperti tempayan air'
  • yang sudah memegang telinga gajah menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah persis seperti keranjang penampi'
  • yang memegang gading gajah menjawab, 'Baginda, seekor gajah adalah seperti mata bajak;
  • yang sudah memegang belalainya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah seperti tiang bajak.'
  • yang sudah memegang tubuhnya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah seperti ruangan penyimpan.'
  • yang sudah memegang kakinya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, seperti sebuah tiang.'
  • yang sudah memegang bagian belakangnya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah seperti lesung.'
  • yang sudah memegang ekornya menjawab, 'Baginda, seekor gajah adalah seperti sebuah alat penumbuk.'
  • yang sudah memegang rambut di ujung ekornya menjawab, 'Seekor gajah, baginda, adalah seperti sebuah sapu.'
"Dengan mengatakan, 'Seekor gajah adalah seperti ini, seekor gajah tidak seperti itu! Seekor gajah tidak seperti ini, seekor gajah adalah seperti itu!' Mereka saling berkelahi dengan tinju-tinju mereka. Dan raja itu sangat gembira (melihat pemandangan itu)."

"Demikian pula, O, para bhikkhu, para pengembara dari berbagai aliran itu juga buta, tidak melihat ..... dengan mengatakan: 'Dhamma adalah seperti ini! .... Dhamma adalah seperti itu!'"

Kemudian, Sang Bhagava mengungkapkan kotbah inspirasi ini:
Beberapa pertapa dan brahmana, demikian mereka disebut, Sangat terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri;
Orang yang hanya melihat hal-hal dari satu sisi Terlibat pertengkaran dan perselisihan
[KN, Udana 6.4/Nānātitthiya 1]
    Note:
    Versi Jainisme, di kitab Tattvarthaslokavatika, Vidyanandi [Abad ke-9 M] dan Kitab Syādvādamanjari, Ācārya Mallisena [Abad ke-13 M], yaitu seorang bijak dengan 6 orang buta, tentang anekāntavāda [variasi kendaraan] dan syādvāda [kendaraan dengan syarat]: Kebenaran dan kenyataan punya banyak sudut pandang, tidak ada satu sudut pandangpun yang benar-benar secara utuh dapat menyatakan kebenaran. Kenyataan adalah sesuatu yang kompleks, tidak dapat dinyatakan dalam satu ekspresi tunggal untuk menggambarkan realitas seutuhnya sehingga terminologi "syāt" [mungkin/bisa jadi] seharusnya dipergunakan mendahului suatu pandangan yang memiliki suatu kondisi tertentu. Seorang semi biarawati Jainisme yaitu [Samani] Charitra Pragya, mengatakan, "Bahkan seorang Tirthaṇkara yang memiliki pengetahuan tak terbatas-pun, tidak dapat secara utuh mengekspresikan realita karena terbatasnya bahasa yang merupakan ciptaan manusia"
    Versi Hindu, oleh Ramakrishna Paramahamsa [abad ke-18].
    Versi Islam, oleh para sufi Persia abad ke-11/12 M, yaitu Hakim Abul-Majd Majdūd ibn Ādam Sanā'ī Ghaznavi dan di abad ke-13 M oleh Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī.
Dunia ini dipenuhi orang-orang buta namun berlagak melek dan menjadikan pengikutnya percaya membuta.


Terdapat strategi umum yang digunakan beberapa manusia/kelompok, untuk membentuk agama baru, yaitu, dengan meminjam sejarah religi bangsa lain dan menambahkan satu nama Tuhan baru sebagai Tuhan utama, kemudian penambahnya, mengklaim diri atau diklaim sebagai nabi baru, yang setara besarnya, atau malah lebih besar lagi atau sebagai yang terakhir. Tindakan ini, jika bukan karena motif politik dan kekuasaan, maka tidak ubahnya bak sekumpulan orang buta sejak lahir yang mencoba menjelaskan bentuk gajah.

Tiga agama Abrahamik (Yahudi, Nasrani dan Islam) sama-sama mengklaim Musa sebagai nabi, sama-sama mencatat tentang kehidupannya dan sejarah bangsanya, sama-sama mengakui keberadaan Taurat (Pentateukh = Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan), sama-sama mengklaim bahwa Taurat disusun/ditulis/diciptakan Musa sendiri, ketika ditanya buktinya, jawabannya sama-sama klasik, karena tertulis demikian dalam kitab. Padahal Ibn Ezra, seorang Yahudi abad ke-12 M, komentator TaNaKh (singkatan TAurat, Nevi'im/Nabi-nabi dan Ketuvim/tulisan para rabi) TIDAK YAKIN Taurat ditulis Musa, Ia menunjuk misalnya kalimat "di seberang Sungai Yordan" (Ulangan 1.1) tidak mungkin, karena Musa tidak pernah menyeberangi Sungai Yordan; "Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu" (Kej. 12: 6), mengisyaratkan dituliskan SETELAH orang Kanaan diusir dari Kanaan; Nama Gunung Moriah (Kej 22:14), baru ada di periode kerajaan; deskripsi Og dan tempat tidur besinya (Ul. 3:11), tempat tidur itu di kota Rabbath, TIDAK MUNGKIN diketahui, sebelum kota itu ditaklukkan Daud; Ia katakan yang dituliskan MUSA hanyalah yang ada di loh batu (Ul. 27.1-8) bukan keseluruhan 5 kitab; "Setelah hukum Taurat itu dituliskan Musa" (Ul 31.9) penulis lainnya akan menggunakan penyebutan orang ke-3; "Kemudian naiklah Musa..ke atas gunung Nebo..Lalu matilah Musa..Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini" (Ul 34), Musa tidak pernah turun dari gunung itu menginfo letak kuburnya sendiri, dan dengan keterangan waktu "sampai hari ini", maka jelas bukan Musa yang menuliskannya dan membuktikan bahwa Taurat buatan banyak tangan, baru ada ratusan/ribuan tahun kemudian, ini bisa kita lihat misalnya Abraham (waktu itu namanya masih Abram) mengejar musuh yang menawan anak saudaranya sampai ke DAN (Kej 14.14), sedangkan daerah bernama DAN baru ada HANYA SETELAH tidak lagi ada raja di kerajaan Israel (Hakim 18.1, 29. Hosea adalah raja terakhir di Israel sejaman dengan raja Yehuda Ahaz - Hizkia) dari sini kita tahu berapa lama nama DAN baru tertulis sebagai nama daerah, yaitu sekurangnya 700an tahun lebih pasca Musa, yaitu tahun setelah Yahudi keluar dari Mesir - kuil ke-1 selesai (487 tahun) + kuil ke-1 selesai - tahun ke-14 Hizkiah (297 tahun). [Lihat juga ini dan ini]

Di kitab Kejadian, terdapat kisah Abraham/Ibrahim, yang diklaim 3 Agama sebagai bagian cikal bakal mereka, Ia lahir 640 tahun sebelum Musa. Walaupun tidak dijelaskan kapan Abraham mulai berkemampuan melakukan komunikasi dengan Tuhan, namun di usia ke-75 [Kej 12.4] dan Yahwe merintahkan Abraham (dan Lot) untuk pergi dari rumah bapaknya di Haran ke Mesir [Kej 12.4], Yahweh menampakan diri pada Abraham di Kanaan [Kej 12.7] yang ternyata, Yahwe tersebut terdiri dari 3 Pria, yang Abraham sebut mereka "ADONAY/TUAN", anehnya, Abram percaya saja pengakuan mereka ini, setelah menyembah mereka hingga ke tanah [Kej 18.1-2], menawarkan cuci kaki dan makan berupa roti, dadih, susu dan daging anak lembu [Kej 18.4-8]. Setelahnya, 2 di antaranya pergi ke Sodom dan disebut malaikat, kedua ini juga LOT sembah hingga mukanya ke tanah [Kej 19.1-2], sementara 1 yang sebelumnya juga yang kelak bertemu Musa dan disebut Malaikat Yahwe, berbeda dengan Abraham, Musa tidak pernah melihat rupanya kecuali berbentuk nyala api di semak duri [Kel 3.1-2] dan suaranya [Kel.34]. Dari suara inilah Musa mendapatkan Taurat.

Abraham dalam kisah itu, jelas bukanlah monoteis, 3 pria yang disebutnya tuan itu disembahnya, malah diperjalanan waktu, tuan-nya Abraham menjadi bertambah banyak, yaitu saat Ia bertemu Melkisedek:
    Dan Ia (Melkisedek, raja Salem) memberkati nya (Abram) dan berkata: "Diberkatilah Abram oleh ALLAH (le el), El Yon, QONEH samayim wa eres [Kej 14.19. Melki Sedek = Adoni-Sedek; Melki = Adoni = Tu(h)anku/RajaKu; Malik/Melek = Raja; Salem ; Yerusalem].

    Abram membalas: "Aku mengangkat tanganku pada EL YAHWEH, EL, El YON, QONEH, SAMAYIM WA AERES" [Kej 14.22]
Pada teks Masoretik (abad ke-10 M) di atas, terdapat kata: "EL", "EL YON", "Yahweh", "QONEH", "SHAMAYIM" dan "ERETS", semuanya ini adalah NAMA PARA DEWA KUNO.

Hartmut Gese, seorang Teolog Protestan dan juga profesor Perjanjian Lama di Eberhard Karls University Tübingen, berpikir bahwa ini: "Triad dewa yang terdiri dari, 'El Elyon, El Qone ares dan El Qone Samayim'" ["Dictionary of Deities and Demons in the Bible", Karel van der Toorn,.., Hal.281]. Sementara Robert M. Kerr, seorang pakar bahasa semit, menyatakan: "Sekarang ini kita tahu bahwa pemberian berkat kepada Abraham oleh Melkisedek (Kejadian 14:19) tidak menunjuk pada 1 Tuhan...Sebaliknya, ayat ini mengacu pada 3 Dewa (terjemahan yang lebih tepatnya adalah: “diberkatilah Abraham oleh Elyon, El, [dan El], Pencipta langit dan bumi.”) Hal yang sama berlaku untuk Musa. Tidak mungkin dia menjadi pendiri Monoteisme Israel.." ["Aramaisms in the Quran and their Significance", Robert M Ker, hal.151]

Kemudian, 1576 tahun setelah Musa lahir, muncul seorang Yahudi yang disebut Yesus dan oleh pengikutnya, Ia diklaim sebagai Tuhan [KPR 2.32-36, Wahyu 3.21], seharusnya Yesus kenal baik malaikat YAHWE, namun anehnya, dimenjelang akhir hidupnya, bukan nama YAHWE yang dipanggilnya, tapi:
  • "Ελωι ελωι λαμμᾶ σαβαχθανι" (Eloi, eloi lammá savachtani) [Markus 15:34] atau
  • "Ηλι ηλι λαμὰ σαβαχθανι" (Heli, heli, lamá savachtaní) [Matius 27.46] [semua teks dari TR Scrivener 1894 dan Stephanus 1550].
Siapa HELI ini? Apakah EL/Tuhan? Jika ya, mengapa bukan memanggil YAHWE? Bukankah episode ini diklaim sebagai pemenuhan nubuatan dari lagu tentang Daud?
  • "אֵלִי אֵלִי מְטוּל מַה שְׁבַקְתַּנִי" (éli éli m'tul mah sh'vak-tani) [Aramaic Targum, Mazmur 22.1] atau
  • "אלי אלי למה עזבתני" (eli eli lamah azab-tani) = "Tuhanku, tuhanku mengapa (kau) abaikanku" [Ibrani Mazmur 22.1]
Mereka yang mengklaim ini sebagai pemenuhan nubuatan tampaknya sengaja membuta bahwa ternyata di bagian awal saja, yaitu Mazmur 22.1 telah disebutkan bahwa lagu ini adalah tentang Daud (bukan tentang/untuk lainnya), lagu ini berkisah ketidakberdayaan Daud ketika dikelilingi musuh. Maka siapakah HELI yang dipanggil Yesus ini, apakah maksudnya:
  • Kakeknya dari pihak ibu, yaitu Heli bin Matat [Luk 3.23-24], atau
  • Utusan tuhan yang datang dimenjelang kemunculan Mesias untuk memulihkan keadaan [Mat 17.10-13; Mark 9.11-13] namun sayangnya, kedatangan Elia disyaratkan harus datang bersamaan Musa [Maleakhi 4.4-5, Neverim/Ulangan Rabba, 10.1/ Neverim Rabba 3.17], atau
  • Yohanes pembaptis, yang pernah membaptis Yesus [Luk 3.21]. Yesus menganggapnya sebagai Elia yang sudah datang [Mat 17.10-13; Mark 9.11-13], 3 injil menyatakan Yohanes wafat terlebih dahulu dari Yesus [Mat 14.10-12, Markus 6.27-29, Lukas 9.9]. Sejarahwan Josephus, menyatakan Yesus wafat dikisaran waktu keributan pembangunan Aquaduct [Antiquities 18.3.3] dekat keributan Samaritan disekitaran wafatnya Tiberius [Ch 18.4.1-2]. Kematian Yohanes, terjadi setelah tahun ke-20 Tiberius/thn 35 SM, yaitu setelah Philip saudara Herodes wafat, karena tidak ada turunan, Tiberius mengambil daerah itu. [Ch.18.4.6], saat pasukan Aretas dan Herodes saling berhadapan, Ex orang Philip bergabung bersama Aretas mengalahkan Herodes. Berang atas kekalahan Herodes, Tiberius memerintahkan Vitelius memerangi Aretas [Ch 18.5.1] namun di hari ke-4 sesampainya di Yerusalem, Tiberius wafat [Ch 18.5.3]. Kaum Yahudi berkata kekalahan Herodes, sebagai balasan kematian Yohanes, yang dibunuhnya, karena takut pengaruh Yohanes dapat memicu pemberontakan. [Ch 18.5.2]. Jika catatan Josephus ini akurat, wajar saja dimenjelang wafat, Yesus memanggil orang yang pernah membaptisnya agar tidak meninggalkannya dan para tentara Romawi yang berdiri di sekitar Yesus saat di salib [Lukas 23.36, Matius 27.46], tampaknya familiar dengan nama "Elia" jika merujuk ke Yohanes, yang dipenjara dan kemudian dibunuh Herodes.
Menariknya juga, kalimat yang mengandung HELI di Markus dan Matius terdiri dari bahasa campuran Aramaik dan Ibrani, ini kemudian menjadi pertanyaan, apa sih sebenarnya bahasa keseharian Yesus (dan penduduk Yerusalem) saat itu, apakah:

Aramaik (ref: KPR 1.19, misal "Hakal-Dama", sebagai bahasa mereka sendiri, yang berasal dari Aramaik), ataukah
Ibrani (merujuk kisah Saulus, seorang Yahudi suku Benyamin - Filipi 3.5 dan KPR 22.3 - yang mengaku bertemu roh Yesus dan diajak berbahasa Ibrani - KPR 26.14), juga merujuk maklumat yang tertulis dalam 3 bahasa saat Yesus di Salib yaitu Ibrani, Yunani dan Romawi - Yoh 19.20).

Jika merujuk Mazmur 22.1, seharusnya Ibrani, jadi kalimat seharusnya "lamah azabtani", namun jika merujuk Targum Aramaik, kalimat seharusnya "mtul mah savachtani", tapi Markus dan Matius mencampurkannya dua bahasa itu, menjadi "lamah savaktani".

Demikianlah sample sumbangan Nasrani memperkaya kebingungan tentang Tuhan.

Sekitar 610 tahun setelah Yesus, munculah Muhammad yang ajarannya disebut Islam bahwa yang menurunkan Taurat BUKAN malaikat Yahwe [Misal AQ 3.2-3, 48, 50; AQ 5.44, 46, 110; AQ 9.111; AQ 62.5], bahwa kaum Yahudi dan Nasrani adalah kafir [AQ 98.1,6], BINATANG YANG PALING BURUK [AQ 8.22,25] akan menjadi bahan bakar neraka [AQ 3.10]. Quran juga menyampaikan "ilah" adalah kata umum menyebut TUHAN:
    ("Janganlah kalian ambil/laa tattakhidzuu dua tuhan/ilaahayni itsnayni; hanya Dialah/innamaa huwa Tuhan yang tunggal/ilaahun waahidun", AQ 16.51); ("Ilahukum ilahun wahidan/Tuhan kalian Tuhan yang satu", AQ 16.22; 21.108); (Pada para Ahlu Kitab: "ilahuna wa-ilahukum wahidun/Tuhan kami dan Tuhan kalian satu", AQ 29.46); ("aja'ala/Mengapa ia jadikan tuhan-tuhan itu/al-aalihata Tuhan yang tunggal/ilaahan waahidan?", AQ 38.5 dan dalam 35 ayat lainnya untuk tuhan-tuhan/aalihat)

    Prof. Hitti, seorang kelahiran Kristen Moronit Libanon, Ulama Islam, Profesor literatur Semitik, Ketua Bahasa Oriental, Peneliti, dan Bidang studi Budaya Arab, menyampaikan,
    "..Bagi masyarakat Hijaz, Allah (Allah, Al-Ilah) adalah yang utama, meski bukan satu-satunya dewa di Makkah. Nama ini berusia sangat tua. Muncul di 2 inkripsi, satu dari Minean ditemukan di al-'Ula dan satu lagi Sabian. Namun terbentuk dari "HLH" di inkripsi Lihyan abad ke-5 SM. Dewa kaum Lihyan berasal dari Syria yang merupakan sentra pertama pemujaan dewa ini di Arab. Ia disebut HALLAH di inkripsi Safa, 5 abad sebelum kemunculan Islam dan juga di Inkripsi Arab Kristen pra Islam yang ditemukan di Umm al Jimal, Syria yang berasal dari abad ke-6. Nama ayah Muhammad adalah 'Abd-Allah ('Abdullah, pelayan atau penyembah Allah). Besarnya penghormatan pada Allah di kalangan kaum Mekkah Pra-Isam sebagai Pencipta dan pemberi nikmat dan yang diseru saat musibah tergambar di AQ 31.24, 31, 6.137, 109; 10.23, tertera bahwa Dia-lah dewanya suku Quraish". ["History of The Arabs", hal.126-127 atau hal.90]
Jika ALLAH-nya Muhammad BUKAN malaikat YAHWE tapi apakah ALLAH SWT ini?:
    "dan tuhan kalian (wa-ilaahukum) tuhan yang satu (ilaahun waahidun) tiada tuhan (laa ilaaha) selain dia (illaa huwa) AL-RAHMAN AL-RAHIM (alrrahmaanu alrrahiim)" [AQ 2.163, Al Madaniyah, urutan turun ke-87]
Allah yang jenis itu, TERNYATA TIDAK DIKENAL kaum Arab Mekkah, sample:
    Ibn Sa'd: Riwayat 'Ali Ibn Muhammad - Abu 'Ali al-`Abdi - Muhammad Ibn al-Sa'ib - Abu Salih - Ibn `Abbas: "Para Quraish mengutus Al-Nadr Ibn al-Harith Ibn 'Alqamah dan 'Uqbah Ibn Abi Mu'ayt dan lainnya kepada kaum YAHUDI Yathrib dan berkata dan bertanya pada mereka: Kamu datang kapadamu karena masalah besar muncul diantara kami. Ada seorang Yatim-Piatu biasa yang membuat klaim besar, menganggap dirinya adalah utusan AL-RAHMAN, sementara itu KAMI TIDAK KENAL AL RAHMAN SELAIN RAHMAN dari AL YAMAMAH ..." (Al-Tabaqat Al-Kabir, Ibn Sa'd, vol.1, bagian 1, bab 40.1.37)

    Protes ini mendapat dukungan dari Prof Hitti,
    "..kata Rahman sangat penting karena memiliki padanan pada bahasa Arab Utara, al-Rahman...Meskipun digunakan dalam berbagai tulisan untuk merujuk pada Tuhan orang-orang Kristen, kata itu jelas di pinjam dari nama salah satu dewa tertua di Arab selatan. Al Rahim juga muncul sebagai nama dewa (RHM) dalam tulisan-tulisan pra Islam dan tulisan orang-orang Sabian" ["History of The Arabs", hal.132]
Demikianlah, Tuhan yang disembah 3 Agama ini, TIDAK JELAS siapa, para pendirinya pun (Musa, Yesus dan Muhammad) semasa hidupnya bahkan TIDAK PERNAH melihatNya, demikian pula dengan para pengikut awal mereka, yang menjalani ajarannya, semasa hidup mereka, TIDAK SATUPUN pernah melihatNya.

Walaupun sama-sama mengakui kenabian Musa, tapi TIDAK MENGAKUI Yahwe-nya Yahudi sebagai Tuhan utama, masing-masing menyatakan sesembahan baru merekalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Tuhan kaum Yahudi, Nasrani dan Islam jelas berbeda satu sama lainnya namun yang lahir belakangan selalu mengklaim bahwa Tuhan diajarannyalah Tuhan yang paling asli, bahkan untuk mempertahankan klaim ini, tradisi saling berbaku hantam akrab menyertai 3 ajaran ini.

Begitu pula tentang Surga,
para pendiri 3 agama ini, semasa hidupnya, TIDAK PERNAH ke Surga. Muhammad diklaim pernah ke Surga dengan merujuk surat 17 dan 53, ternyata juga tidak. AQ 17.1 tentang pergi dari Mesjid Haram ke Mesjid Aqsa (arti: terjauh) dan di AQ 53.12-18, disebutkan beliau melihat Jibril turun dekat pohon bidara/Sidratil terujung/Muntahaa yang dekat itu taman/jannatu tempat tinggal/al mawaa. Kisah Muhammad bertemu Jibril ini mirip kisah Abraham ketika bertemu 3 pria yang juga di dekat pohon tarbantin dekat tempat tinggal Abraham di Mamre. Keberadaan Muhammad di kisah tersebut beritanya simpang siur tak jelas, misal:
  • Beliau sedang bermalam di rumah Hindun/Ummu Hani, Putri Abu Talib [Sirah Nabawiyah Ibn Ishaq/Ibn Hisyam, Jilid 1, Bab 74, Hal. 358-364; Tabaqat Al Kabir, Ibn Sa'd Vol.1, Parts 1.56.1; Tanwir al-Miqbas min Tafsar Ibn 'Abbas untuk AQ 17.9, Tabari (w.310), Zamakhshalli (w. 538), Razi (w.606 H)], atau
  • Di rumahnya tidur sendiri [Bukhari 1.8.345, 4.54.429, Tabaqat Al-Kabir", Ibn sa'd vol.1. book 55.1. hal.143], atau
  • Sedang bersama Aisyah [Sirah Nabawiyah, Ibn Ishaq/Hisyham, Guillaume, hal.183], atau
  • Sedang berbaring antara Al-Hatim atau Al-Hijr (Bukhari 5.58.227)
Kisah perjalanan ke Surga ini meragukan, jika benar pernah, pastinya tahu bahwa bumi bukan berbentuk piringan datar di atas punggung ikan paus, Bintang bukan alat pelempar setan (misal AQ 15.16-18), karena besarnya Bintang, tidaklah lebih kecil dari Matahari kita yang hanya 1.2 JUTA KALI besarnya Bumi.

Para pengikut awal 3 agama ini, percaya dan menjalani ajaran mereka, semasa hidupnya, TIDAK SATUPUN pernah ke Surga, tapi percaya dan menjalaninya dengan keyakinan buta.


Pada system pendidikan di India, mereka yang mencari ilmu selalu tinggal bersama gurunya [catuspathiis/pasraman]. Kehidupan pendidikan mereka ditanggung oleh pemerintah yang berkuasa/kepala daerah dan/atau masyarakat umum. Hampir setiap Brahmana mumpuni mempunyai pasraman sendiri dan kemudian berlanjut turun temurun. Rsi-Rsi/Brahmana terkenal dijaman itu di antaranya adalah Atthaka/Astaka, Vamaka, Vamadeva, Vessamitta/Vishvamitra, Yamataggi/Jamadagni, Anggirara/angiras, Bharadvaja Brihaspati, Vasettha/Vasistha, Kassapa/Kasyapa dan Bhagu/Bhrigu. Saat itu tidak ada standarisasi kurikulum, jadi masing-masing Rsi/Brahmana menciptakan kurikulum dan metode pengajarannya sendiri sehingga Murid-murid yang belajar pada brahmana yang berbeda, pengetahuannya-pun berbeda-beda pula. Perbedaan itu kerap menimbulkan pertentangan pendapat antar satu pasraman dengan lainnya. Perbedaan pendapat tersebut menjadi sumbangan keragaman interpretasi kupasan-kupasan Veda dari jaman ke jaman.

Hindu mengenal banyak dewa (dan dewi) yang menjadi objek puja dan sembah sebagai tuhan utama. Dari jaman ke jaman terjadi perubahan peringkat Dewa utama, beberapa dewa tiba-tiba menjadi populer menggantikan dewa sebelumnya, beberapa meningkat statusnya, dari dewa biasa menjadi dewa utama, lambat laun mengerucut juga menjadi 3 nama Dewa utama, yaitu Brahma, Vishnu dan Siva. Sebelum jaman Buddha, Brahma adalah Tuhan tradisi Hinduisme, sedangkan Siva dan Vihnu menjadi Tuhan baru terjadi ratusan tahun setelah wafatnya Buddha Gautama. Teks Buddhisme Devaputtasamyutta [2:12 dan 2:21] menyebutkan Visnu [Vennu/Venhu] dan Siva saat itu, BELUM menjadi Deva yang menonjol, tapi dewa yang baru lahir di alam Indra/Sakka. Kisah-kisah avatar telah ada di teks-teks Brahmana yang berkaitan dengan Veda, beberapa disusun tidak berapa lama sebelum jaman Buddha, legenda para avatara popular dimasyarakat namun Vishnu sebagai avatar tidak ada di legenda saat itu [The Bhagavad Gita, C. Jinarajadasa, From the Proceedings of the Federation of European Sections of the Theosophical Society, Amsterdam 1904, Theosophical Publishing House, Adyar, Madras. India, November 1915]. Dalam Buddhisme, Brahma HANYALAH SEBAGAI SATU dari sekian dewa, bahkan TERDAPAT BANYAK Brahma, namun bagi Hinduisme, Brahma hanya satu dan kemudian beberapa berupaya menyatakan Brahman dan brahma itu berbeda.

Mengutip Ajaran Pokok dalam Upanisad, Sri Srinivasa menyatakan bahwa: "Brahma berasal dari akar kata kerja brh yang artinya ‘tumbuh’ (brhati) dan menyebabkan tumbuh (brhmayati)", misal di Upanisad, "yasmãcca brhati brmhayati ca sarvam tasmãducyate parambrahmeti" ("Itu disebut Brahman karena itu bertumbuh dan menyebabkan tumbuh” [Shandhilya Upanisad 3.2]. Dalam sanskrit, walaupun dibaca Brahman yang ditulis adalah Brahma, contohnya: "ayam ātmā brahma" ("Atma adalah Brahma/Atman adalah Brahman" [Brihadaranyaka Upanishad 4.4.5]. DR. Frank Morales atau yang kemudian dikenal sebagai Sri Dharma Pravartaka Acharya mengatakan bahwa Brahman bukanlah tuhan namun merupakan sikap sebagaimana tercantum di Taittariya Upanishad' II.1: "satyam jnanam anantam brahma", "Brahman adalah dari kebenaran sejati, pengetahuan dan keabadian"

Buddhisme menjelaskan bersatu dengan Brahma[n] adalah dengan pemenuhan kualitas mental tertentu sehingga dari sebab dan kondisi tersebut memungkinkan seseorang mencapai alam Brahma[n], seperti disampaikan dalam Digha Nikaya no.13, Tevijja Sutta/Sutta tiga pengetahuan/tiga veda:


Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berkunjung ke Kosala bersama lima ratus bhikkhu. Beliau datang ke suatu desa Brahmana Kosala yang bernama Manasākaṭa, dan menetap di utara desa itu di sebuah hutan mangga di tepi Sungai Aciravatī. Dan pada saat itu ada banyak Brahmana yang terkenal dan makmur sedang berada di Manasākaṭa, termasuk Canki, Tārukkha, Pokkarasāti, Jāṇussoni, dan Todeyya. Dan Pemuda Vāseṭṭha dan Pemuda Bhāradvāja sedang berjalan-jalan di sepanjang jalan, dan pada saat itu, terjadi perdebatan antara mereka mengenai topik jalan yang benar dan yang salah. Vasettha: 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma (brahmānaṃ sahabyatāya). Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Pokkharasadi'. Sedangkan Bharadvaja: 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma. Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Tarukkho'.

Namun pemuda Vasettha tidak dapat meyakinkan pemuda Bharadvaja, begitu pula pemuda Bharadvaja tidak dapat meyakinkan pemuda Vasettha. Kemudian pemuda Vasettha berkata kepada pemuda Bharadvaja: 'Bharadvaja, Samana Gotama, putra suku Sakya, telah meninggalkan keluarga Sakya menjadi petapa, sekarang ada di Manasakata, tinggal di taman mangga di tepi sungai Aciravati, tepatnya di utara Manasakata. Sehubungan dengan Samana Gotama telah tersebar berita yang baik yaitu: 'Demikianlah Bhagava, maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan serta tidak-tanduknya, sempurna menempuh jalan, pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar dan patut dimuliakan'. Bharadvaja, marilah kita menemui Samana Gotama, bilamana kita telah menemuinya, kita tanyakan persoalan kita ini kepada beliau. Apa yang Samana Gotama uraikan kepada kita, kita perhatikan dengan baik'. (samana = Petapa). 'Baiklah, kawan!' jawab pemuda Bharadvaja menyetujui saran pemuda Vasettha.
    Note:
    Buddhaghosa komentator abad ke-5 M: Vāseṭṭha adalah siswa utama Brahmana Pokkharasāti (Bhāradvāja adalah murid Brahmana Tārukkha), mereka ahli dalam tiga Veda, kunjungan pertama mereka ke Sang Buddha saat Vāseṭṭha Sutta (MN 98/SnP 3.9) diakhirnya, mereka menerima Buddha sebagai guru (masih sebagai umat awam), melakukannya lagi, dikunjungan berikut, di Tevijja Sutta. Setelahnya, mereka menetap bersama para bhikkhu (tidak disebutkan menjadi calon bhikkhu/Samanera), di akhir Aggaña Sutta (DN 27) mereka ditahbiskan menjadi Bhikkhu, dan kemudian mencapai Arahat. Mereka termasuk keluarga yang sangat kaya, ketika meninggalkan duniawi, Vasettha meninggalkan 400 juta, sedangkan Bharadvaja meninggalkan 450 juta (DA.ii.399, 406; cf.iii.860, 872; SNA.ii.463; cf. SN., P.116)
'Selanjutnya, pemuda Vasettha dan pemuda Bharadvaja pergi ke tempat Bhagava berada'. Setelah sampai, mereka memberi hormat kepada Bhagava dan saling menyapa dengan kata-kata santun, lalu duduk di tempat yang telah tersedia. Setelah duduk, pemuda Vasettha berkata kepada Bhagava: 'Gotama, ketika kami sedang berjalan bolak-balik (di tepi sungai) muncul percakapan tentang jalan benar dan jalan salah. Saya berkata : 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan,...Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Pokkharasadi'. Sedangkan pemuda Bharadvaja mengatakan : 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan,...Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Tarukkho'. Gotama, sehubungan dengan masalah ini terjadi perdebatan, pertentangan dan perbedaan pandangan di antara kami'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan: 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan,...Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Pokkharasadi'. Sedangkan Bharadvaja mengatakan: 'Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan,...Hal ini telah dinyatakan oleh Brahmana Tarukkho'. 'Vasettha, karena itu terjadi perdebatan, pertanyaan dan perbedaan pandangan di antara anda berdua?'

Pemuda Vasettha: 'Mengenai jalan benar dan jalan salah, Gotama. Banyak Brahmana mengajar bermacam jalan, seperti para Brahmana Addhariya/Adhavaryu, para Brahmana Tittiriya/Taittiriya, para Brahmana Chandoka/Chandogya, para Brahmana Chandava dan para Brahmana Brahma-cariya. Apakah semua itu adalah jalan-jalan keselamatan? Apakah semua jalan itu dapat membimbing seseorang yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma?' 'Gotama, bagaikan di sekitar desa atau kota banyak dan bermacam jalan, namun semua jalan itu bertemu di desa - demikian pula cara itu bahwa semua macam jalan yang diajarkan para Brahmana,...Apakah semua itu adalah jalan-jalan keselamatan? Apakah semua jalan itu dapat membimbing seseorang yang melaksanakan-nya untuk bersatu dengan Brahma?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan semua jalan ke arah benar'?
Pemuda Vasettha: 'Ke arah benar, Gotama'.

(Pertanyaan diulangi Beliau 3x, juga dijawab yang sama oleh pemuda Vasettha 3x)

Sang Bhagava: 'Bagaimana Vasettha? Apakah ada seorang Brahmana dari para Brahmana yang menguasai tevijja pernah melihat langsung Brahma?' (tevijja = tiga Veda/Pengetahuan: Rg, Sama dan Yajur Veda)
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, atau apakah ada seorang guru dari para Brahmana yang menguasai tevijja pernah melihat langsung Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, atau apakah ada seorang guru di antara guru-guru dari para guru Brahmana yang menguasai tevijja pernah melihat langsung Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, atau apakah ada seorang Brahmana sampai 7 generasi yang menguasai tevijja, pernah melihat langsung Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah, para rsi dari para Brahmana yang lampau, yang telah menguasai tevijja, para penulis mantra-mantra, para pengucap mantra-mantra, yang mantra-mantra kunonya dilafalkan, diucapkan atau disusun, yang oleh para Brahmana masa kini dilafalkan kembali atau berulang-ulang kali; diintonasikan atau lafalkan secara tepat seperti yang telah diintonasikan atau dilafalkan - seperti Atthaka, Vamako, Vamadevo, Vessamitto, Yamataggi, Angiraso, Bharadvajo, Vasettho, Kassapa dan Bhagu - mereka mengucapkan itu dengan berkata: 'Kami mengetahuinya, kami telah melihatnya, di mana Brahma berada, dari mana Brahma atau ke mana Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak ada, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan bahwa tidak ada dari para Brahmana, atau para guru mereka, atau dari murid-murid mereka, sampai 7 generasi yang pernah melihat langsung Brahma. Begitu pula dengan para rsi dari para Brahmana yang lampau, yang telah menguasai tevijja, para penulis mantra-mantra, para pengucap mantra-mantra, yang mantra-mantra kuno-nya dilafalkan, diucapkan atau disusun, yang olah para Brahmana masa kini dilafalkan kembali atau berulang-ulang kali; diintonasikan atau lafalkan secara tepat seperti yang telah diintonasikan atau dilafalkan - seperti Atthaka, Vamako, Vamadevo, Vessamitto, Yamataggi, Angiraso, Bharadvajo, Vasettho, Kassapa dan Bhagu. Mereka tidak mengatakan: 'Kami mengetahuinya, kami telah melihat, di mana Brahma berada, dari mana Brahma atau ke mana Brahma?' Sehingga para Brahmana yang menguasai tevijja dengan benar berkata: 'Apa yang kita tidak tahu, apa yang kita tidak lihat, keadaan bersatu yang jalannya kita ajarkan, dengan berkata: Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan Brahma'.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu? Bila begitu, bukankah cerita mengenai para Brahmana yang walaupun mereka menguasai tevijja, ternyata mereka menyatakan hal yang bodoh?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya demikian bahwa para Brahmana yang menguasai tevijja ternyata menyatakan hal yang bodoh.

Sang Bhagava: 'Vasettha, sebenarnya para Brahmana yang menguasai tevijja dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu dan mereka tidak lihat - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi. '

'Vasettha, bagaikan beberapa orang buta yang saling berdekatan, yang di depan tidak dapat melihat, yang di tengah tidak dapat melihat, begitu pula yang di belakang tidak dapat melihat - Vasettha, saya berpendapat begitu pula dengan para Brahmana yang menguasai tevijja tetapi menceritakan hal yang buta: yang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, begitu pula yang di belakang tidak melihat. Maka uraian dari para Brahmana yang menguasai tevijja ini, ternyata konyol, hanya kata-kata, hampa dan kosong!.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu? Dapatkah para Brahmana yang menguasai tevijja - seperti orang-orang lain yang awam dan biasa - melihat bulan dan matahari lalu mereka sembayang, memuja dan memuji, berputar dengan beranjali ke arah bulan dan matahari terbit maupun terbenam?'
Pemuda Vasettha: 'Tentu mereka dapat, Gotama'.

Sang Bhagava: Vasettha, bagaimana pendapatmu? Para Brahmana yang menguasai tevijja, yang dengan baik - seperti orang-orang lain yang awam dan biasa - melihat bulan dan matahari lalu mereka sembayang, memuja dan memuji, berputar dengan beranjali ke arah bulan dan matahari terbit maupun terbenam - adalah para Brahmana yang menguasai tevijja, dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan bulan dan matahari, dengan berkata: "Ini jalan lurus, ini jalan langsung untuk keselamatan, dan akan membimbing siapa yang melaksanakannya untuk bersatu dengan bulan dan matahari".
Pemuda Vasettha: 'Tentu tidak, Gotama!'

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda berkata bahwa para Brahmana tidak dapat menunjukkan jalan bersatu dengan hal yang telah mereka lihat; lebih lanjut anda mengatakan tidak ada seorang pun dari mereka, atau siswa mereka, atau para pendahulu mereka hingga tujuh generasi yang telah melihat Brahma. Lagi pula anda mengatakan para rsi yang lampau, yang teguh meyakini ucapan mereka, tidak berpura-pura mengetahui atau telah melihat di mana, dari mana atau ke mana Brahma itu. Namun para Brahmana yang menguasai tevijja ini mengatakan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan bersatu, padahal mereka tidak tahu maupun belum melihatnya'. Vasettha, sekarang bagaimana pendapat-mu? Bila demikian, bukankah kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ini adalah omong kosong saja?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ternyata omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Vasettha ternyata, para Brahmana yang menguasai tevijja yang dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu maupun mereka tidak lihat - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaikan seorang pria berkata: 'Betapa saya rindu, betapa saya mencintai wanita tercantik di dunia ini!'

'Orang-orang bertanya kepadanya: 'Baiklah kawan. Wanita tercantik di dunia ini, yang anda rindukan dan cintai, apakah anda mengetahui bahwa wanita cantik itu bangsawan/khattiya, Brahmana, pedagang/vessa atau kalangan bawah/sudda?'
'Ketika ditanya seperti itu, ia menjawab: 'Tidak'.

'Lalu orang-orang berkata kepadanya: 'Jadi, ia yang anda rindukan dan cintai adalah orang yang belum anda tahu dan lihat?'
'Setelah ditanya begitu, ia menjawab: 'Ya'.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu? Bila demikian, bukankah apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, begitu pula, anda berkata bahwa para Brahmana tidak dapat menunjukkan jalan bersatu dengan hal yang telah mereka lihat; lebih lanjut anda mengatakan tidak ada seorang pun dari mereka, atau siswa mereka, atau para pendahulu mereka hingga tujuh generasi yang telah melihat Brahma. Lagi pula anda mengatakan para rsi yang lampau, yang teguh meyakini ucapan mereka, tidak berpura-pura mengetahui atau telah melihat di mana, dari mana atau ke mana Brahma itu. Namun para Brahmana yang menguasai tevijja ini mengatakan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan bersatu, padahal mereka tidak tahu maupun belum melihatnya'.

'Vasettha, sekarang bagaimana pendapatmu? Bila demikian, bukankah kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ini adalah omong kosong saja?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja adalah omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Vasettha ternyata, para Brahmana yang menguasai tevijja yang dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu maupun mereka tidak lihat - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaikan seseorang yang membuat sebuah tangga untuk naik ke istana di suatu tempat di persimpangan jalan. Lalu orang-orang bertanya kepadanya: 'Kawan, baiklah, untuk naik ke istana itu anda buatkan tangga, apakah istana itu di sebelah, timur, selatan, barat atau utara? Apakah istana itu tinggi, rendah atau menengah?'
'Ketika ditanya seperti itu, ia menjawab: 'Tidak'.

'Lalu orang-orang berkata kepadanya: 'Kawan, jadi anda membuat tangga untuk naik ke sesuatu - apakah itu istana - yang anda tidak tahu dan belum lihat?.
'Setelah ditanya begitu, ia menjawab: 'Ya'.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu?. Bila demikian, bukankah apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong?
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka apa yang dikatakan orang itu ternyata omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, begitu pula, anda berkata bahwa para Brahmana tidak dapat menunjukkan jalan bersatu dengan hal yang telah mereka lihat; lebih lanjut anda mengatakan tidak ada seorang pun dari mereka, atau siswa mereka, atau para pendahulu mereka hingga tujuh generasi yang telah melihat Brahma. Lagi pula anda mengatakan para rsi yang lampau, yang teguh meyakini ucapan mereka, tidak berpura-pura mengetahui atau telah melihat di mana, dari mana atau ke mana Brahma itu. Namun para Brahmana yang menguasai tevijja ini mengatakan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan bersatu, padahal mereka tidak tahu maupun belum melihatnya'.

'Vasettha, sekarang bagimana pendapatmu?. Bila demikian, bukankah kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja ini adalah omong kosong saja?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, sesungguhnya, berdasarkan hal itu maka kata-kata para Brahmana yang menguasai tevijja adalah omong kosong'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Vasettha ternyata, para Brahmana yang menguasai tevijja yang dapat menunjukkan jalan untuk bersatu dengan sesuatu yang mereka tidak tahu maupun mereka tidak lihat - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bilamana sungai Aciravati penuh dengan air hingga ke tepi dan meluap, kemudian ada seorang yang mempunyai kegiatan di tepi seberang, mau menyeberang, berusaha ke seberang, datang ke tepi dan ingin menyeberang. Selagi ia berdiri di tepi sini, ia memohon ke tepi sebelah dengan berkata: 'Wahai tepi seberang sana, datang ke sini!, datanglah ke seberang sini!'

'Vasettha bagaimana pendapatmu? Apakah tepi seberang sungai Aciravati, karena permohonan, doa, pujian dan harapan orang itu akan datang ke tepi sebelah sini?'
Pemuda Vasettha: 'Gotama, tentu saja tidak'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, begitulah caranya para Brahmana yang menguasai tevijja - dengan meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana - berkata: 'Kami mohon Inda, kami mohon Soma, kami mohon Varuna, kami mohon Isana, kami mohon Pajapati/pragapati, kami mohon Brahma, kami mohon Mahiddhi, kami mohon Yama. (Inda = Indra; Īsāna adalah nama lama dewa Rudra (Śīva kadang disebut Rudra), Mahiddhi = mungkin Tvaṣṭar/Visvakarma)

'Vasettha, para Brahmana yang menguasai tevijja - meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana - bahwa mereka, berdasarkan pada permohonan, doa, pujian dan harapan, bila mereka meninggal dunia akan menyatu dengan Brahma - maka keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaikan bilamana sungai Aciravati penuh dengan air hingga ke tepi dan meluap, kemudian ada seorang yang mempunyai kegiatan di tepi seberang, mau menyeberang, berusaha ke seberang, datang ke tepi dan ingin menyeberang. Selagi ia di tepi sini, tangannya, punggungnya terikat erat oleh rantai kuat, dan bagaimana pendapatmu, Vasettha, dapatkah orang itu menyeberang ke tepi sana dari sungai Aciravati?
Pemuda Vasettha: 'Gotama, tentu saja tidak'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, dengan cara yang sama, ada lima hal yang mengarah pada nafsu, yang disebut dalam vinaya-ariya sebagi rantai atau ikatan'. (vinaya-aria = latihan disiplin untuk mencapai kesucian). 'Apakah lima hal itu?'

'Pertama adalah bentukan (rupa) yang dilihat mata, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebab-kan kesenangan.
Kedua adalah Suara-suara yang didengar telinga, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebabkan kesenangan.
Ketiga adalah Bebauan yang dicium oleh hidung, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebabkan kesenangan.
Keempat adalah Rasa-rasa yang dikecap oleh lidah, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai menyebabkan kesenangan.
Kelima adalah Sentuhan-sentuhan yang dirasakan oleh tubuh, diinginkan, sesuai, menyenangkan, menarik yang disertai oleh nafsu dan menyebabkan kesenangan.

Lima hal ini berkecenderungan pada nafsu disebut dalam Vinaya ariya sebagai rantai atau ikatan'.

'Vasettha, lima hal berkecenderungan pada nafsu, apakah para Brahmana yang menguasai tevijja terantai, terangsang, terikat pada hal-hal itu, dan mereka tidak melihat bahaya pada hal-hal itu, tidak mengetahui bahwa hal-hal itu tidak dapat dijadikan tumpuan, namun menikmati hal-hal itu'.

'Vasettha, sesungguhnya para Brahmana yang menguasai tevijja dengan meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana - terikat pada hal-hal itu, dan mereka tdlak melihat bahaya pada hal-hal itu, tidak mengetahui bahwa hal-hal itu tidak dapat dijadikan tumpuan, namun menikmati hal-hal itu - bahwa para Brahmana ini setelah meninggal, akan bersatu dengan Brahma - kondisi seperti ini tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaikan bilamana sungai Aciravati penuh dengan air hingga ke tepi dan meluap, kemudian ada seorang yang mempunyai kegiatan di tepi seberang, mau menyeberang, berusaha ke seberang, datang ke tepi dan ingin menyeberang. Selagi ia di tepi sini, ia membungkus dirinya hingga ke kepalanya, ia berbaring untuk tidur. 'Vasettha, bagaimana pendapatmu, dapatkah orang itu menyeberang ke tepi sana dari sungai Aciravati?
Pemuda Vasettha: 'Gotama, tentu saja tidak'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, dengan cara yang sama, ada lima rintangan (nivarana), yang dalam vinaya-ariya disebut perintang, penghalang, pengganggu atau jerat. 'Apakah lima hal itu?'

Pertama 'hasrat indriya/duniawi (abhijjha = kamacchanda = lobha) sebagai perintang'.
Kedua 'memusuhi/kemarahan/menolak karena benci (Byāpādapadosa) sebagai perintang'.
Ketiga 'malas (thina) - lamban/ngantuk (middha) sebagai perintang'.
Keempat 'gelisah (uddhacca) dan cemas (kukkucca) sebagai perintang'.
Kelima 'keragu-raguan (vicikiccha) sebagai perintang'.

‘Vasettha, inilah lima perintang yang dalam vinaya ariya disebut perintang, penghalang, pengganggu atau jerat'.

'Vasettha, sesungguhnya para Brahmana yang menguasai tevijja - dengan meninggalkan pelaksanaan berkualitas yang dapat membuat seseorang menjadi Brahmana, dan melaksanakan hal berkualitas yang dapat membuat orang-orang menjadi non-Brahmana - terintang, terhalang, terganggu dan terjerat oleh lima rintangan ini - bahwa para Brahmana ini setelah meninggal, akan bersatu dengan Brahma - kondisi seperti ini tidak mungkin terjadi!'

'Vasettha, bagaimana pendapatmu dan apakah anda pernah mendengar dari para Brahmana tua dan telah berpengalaman, dan ketika para ahli dan para guru bercakap-cakap bersama?

Apakah Brahma beristri/harta atau tidak?' (sa-pariggaho = bersama/sa kekayaan dan atau istri/pariggaho)
Pemuda Vasettha: 'Tidak, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikirannya diliputi permusuhan/bahaya atau bebas dari permusuhan/bahaya?' (sa+a+vera+citto, vera = bahaya/permusuhan/kemarahan; citta = pikiran)
Pemuda Vasettha: 'Bebas dari bahaya, Gotama'. (averacitto, bho gotama)

Sang Bhagava: 'Apakah pikirannya diliputi kebencian atau bebas dari kebencian? (Sa+byāpajja+citto, bhyapajja = kebencian)
Pemuda Vasettha: 'Bebas dari kebencian, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikirannya diliputi noda atau murni?' (Saṅ+kiliṭṭha+citto, killissati = noda)
Pemuda Vasettha: 'murni, teman Gotama?'

Sang Bhagava: 'Apakah menguasai dirinya atau tidak?' (Vasavattī = disiplin, menguasai, memegang kekuasaan, mendominasi)
Pemuda Vasettha: 'Menguasai dirinya, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, bagaimana pendapatmu, apakah para Brahmana yang menguasai tevijja beristri/harta atau tidak?'
Pemuda Vasettha: 'Memiliki, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah mereka diliputi kemarahan atau bebas dari kemarahan?'
Pemuda Vasettha: 'Diliputi kemarahan, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikiran mereka diliputi kebencian atau bebas dari kebencian?'
Pemuda Vasettha: 'Diliputi kebencian, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikiran mereka murni atau tidak?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak murni, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah mereka menguasai diri mereka atau tidak?'
Pemuda Vasettha: 'Tidak menguasai diri mereka, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan bahwa para Brahmana beristri/harta, namun Brahma tidak. Dapatkah disesuaikan atau disamakan Brahmana yang beristri/harta dengan Brahma yang tidak beristri/harta?'
Pemuda Vasettha: 'Tentu tidak, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Tetapi sesungguhnya para Brahmana yang menguasai tevijja ini, yang hidup dalam perkawinan dan berharta, setelah meninggal dunia akan bersatu dengan Brahma yang tidak beristri/harta - keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi'.

'Vasettha, anda mengatakan bahwa para Brahmana diliputi kemarahan, kebencian, ternoda, dan tak menguasai diri; sedangkan Brahma tidak diliputi kemarahan, tidak diliputi kebencian, murni dan menguasai diri. Dapatkah disesuaikan atau disamakan para Brahmana dan para Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Tentu tidak, Gotama?'

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Bahwa para Brahmana yang menguasai tevijja ini yang masih diliputi kemarahan, kebencian, ternoda dan tidak menguasai diri setelah meninggal dunia akan bersatu dengan Brahma yang bebas dari kemarahan dan kebencian, murni dan menguasai diri - keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi.

Vasettha, demikianlah, walaupun para Brahmana menguasai tevijja, di tepian, menuju tenggelam (āsīditvā/menuju; saṃsīdanti/tenggelam); setelah hanyut tenggelam (saṃsīditvā visāraṃ pāpuṇanti), mereka kira menyeberang, diseberang yang kering (sukkha+taraṃ = diseberang + yang kering maññe/mengira taranti/menyeberang)'. Maka tiga pengetahuan (tevijja) para Brahmana yang menguasai tevijja disebut: gersang (tevijjāiriṇantipi), dalam kebingungan/hutan tanpa jalan (tevijjāvivanantipi); bencana (tevijjābyasanantipi)'.

'Ketika beliau selesai berkata, pemuda Brahmana Vasettha berkata kepada Bhagava: 'Gotama, telah dikatakan kepadaku bahwa Samana Gotama mengetahui jalan untuk bersatu dengan Brahma'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, bagaimana pendapatmu, bukankah Manasakata dekat dan tak jauh dari tempat ini?'
Pemuda Vasettha: 'Begitulah, Gotama. Manasakata dekat, tidak jauh dari tempat ini'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, bagaimana pendapatmu, misalnya ada seseorang yang lahir di Manasakata dan belum pernah meninggalkan Manasakata, lalu orang-orang bertanya kepadanya tentang jalan yang menuju Manasakata. Apakah orang itu yang lahir dan dibesarkan di Manasakata akan ragu-ragu dan mendapat kesulitan untuk menjawab?'

Pemuda Vasettha: 'Tentu tidak Gotama. Mengapa? Jika seseorang lahir dan dibesarkan di Manasakata, maka setiap jalan yang mengarah ke Manasakata diketahuinya dengan baik'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Manasakata mungkin saja ia akan ragu-ragu dan mendapat kesulitan untuk menjawab bila ditanya jalan yang menuju ke Manasakata; tetapi Tathagata, bila ditanya mengenai jalan yang mengarah ke alam Brahma, ia tidak akan ragu-ragu atau mendapat kesulitan untuk menjawab. Vasettha, karena saya tahu Brahma, alam Brahma, dan jalan yang mengarah ke alam Brahma. Ya, saya mengetahui itu karena saya sebagai seorang yang telah memasuki alam Brahma dan telah terlahir di dalamnya'.

'Setelah beliau berkata begitu, pemuda Brahmana Vasettha berkata kepada Bhagava: 'Gotama, begitulah dikatakan kepada saya bahwa samana Gotama mengetahui jalan untuk bersatu dengan Brahma. Itu bagus sekali. Mohon yang mulia Gotama menunjukkan jalan untuk bersatu dengan Brahma, mohon yang mulia Gotama menyelamatkan ras Brahmana'.

Sang Bhagava: ‘Vasettha, perhatikanlah dan dengarkanlah dengan baik, saya akan bicara!' 'Baiklah,' jawab pemuda Brahmana Vasettha menyetujuinya'.

'Kemudian Bhagava berkata: 'Vasettha, ketahuilah di dunia ini muncul seorang Tathagata, arahaṃ (yang padam, telah memotong lingkaran, menjinakan keburukan, bebas dari samsara) sammāsam (dengan benar sempurna/seluruhnya) - Buddho (telah tercerahkan) vijjācaraṇasampanno (sempurna pengetahuan dan prilaku) sugato (baik/su + arah/tujuannya/gato atau bicaranya/gad) lokavidū (pengenal alam) anuttaro purisadammasārathi (penunjuk jalan tiada banding bagi yang patut dijinakkan) satthā devamanussānaṃ (guru para deva dan manusia) buddho bhagavā ti (sang mulia yang telah tercerahkan), setelah mencapainya dengan pengetahuanNya sendiri, beliau menyatakannya kepada dunia ini dengan para dewa, māra dan Brahmā, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan pertapaan/brahma (brahmacariya) yang sempurna dan murni sepenuhnya.

'‘Dhamma ini didengar oleh seorang perumah tangga atau putra perumah tangga, atau seorang yang terlahir dalam suatu keluarga atau lainnya. Setelah mendengar Dhamma ini, ia mendapatkan keyakinan dalam Sang Tathāgata. Setelah mendapatkan keyakinan, ia merenungkan: “Kehidupan rumah tangga adalah tertutup dan kotor, kehidupan tanpa rumah adalah bebas bagaikan udara. Tidaklah mudah, sambil menjalani kehidupan rumah tangga, untuk menjalani kehidupan suci yang sempurna, murni dan mengkilap bagaikan kulit kerang. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, meninggalkan hidup berkeluarga dan menempuh hidup tanpa berkeluarga (pabbajja), tidak lama kemudian ia meninggalkan hartanya, apakah itu besar atau kecil; meninggalkan lingkungan keluarganya, apakah banyak atau sedikit, ia mengenakan jubah kuning, meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi tanpa berkeluarga

'Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan peraturan-peraturan bhikkhu (patimokkha), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia mengingat untuk sepenuhnya mengetahui (sati sampajjana); dan hidup puas'.

'Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu yang sempurna silanya?
  • Vasettha, dalam hal ini seorang bhikkhu menjauhi menyakiti kehidupan (Pāṇātipāta), menahan diri dari menyakiti kehidupan. Setelah membuang alat pemukul dan pedang, berhati-hati/malu berbuat kasar (lajjī), penuh belas kasih (dayāpanno), demi kesejahteraan semua kehidupan dan makhluk hidup (abbapāṇabhūtahitānukampī), inilah sila yang dimilikinya.

  • 'Menjauhi mengambil yang tidak diberikan (adinnādāna), menahan diri mengambil yang tidak diberikan; hanya mengambil yang diberikan; tertuju hanya yang telah diberikan, hidup murni tanpa mencuri. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'menjalankan penghidupan brahma (Brahmacariya); meninggalkan bukan penghidupan brahma, tidak melakukan hubungan kelamin seperti perumahtangga (virato methunā gāmadhammā). Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Menjauhi perkataan tidak benar (Musāvāda), menahan diri dari perkataan tidak benar, ia berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran, jujur dan dapat dipercaya, serta tidak mengingkari kata-katanya sendiri di dunia'. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • ‘Menjauhi perkataan memecah belah (Pisuṇa), menahan diri dari perkataan memecah belah; apa yang didengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sini. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • Menjauhi perkataan kasar (Pharusa), menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar, hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, menyenangkan, berkenan di hati, sopan, indah dan menarik bagi banyak orang. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Menjauhi pembicaraan sia-sia (Samphappalāpa), menahan diri dari pembicaraan sia-sia; berbicara pada saat yang tepat, sesuai kenyataan, berguna, tentang dhamma dan vinaya. Pada saat yang tepat, mengucapkan kata-kata yang berharga untuk didengar, penuh dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian yang jelas dan tidak berbelit-belit. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan tumbuh- tumbuhan. Ia makan sehari sekali, tidak makan setelah tengah hari

  • menahan diri dari :

    • menonton pertunjukkan-pertunjukkan, tari-tarian, nyanyian dan musik.
    • penggunaan alat-alat kosmetik, karangan-karangan bunga, wangi-wangian dan perhiasan-perhiasan.
    • penggunaan tempat tidur yang besar dan mewah.
    • menerima emas dan perak.
    • menerima gandum (padi) yang belum dimasak.
    • menerima daging yang belum dimasak.
    • menerima wanita dan perempuan-perempuan muda.
    • menerima budak belian lelaki dan budak belian perempuan.
    • menerima biri-biri atau kambing,
    • menerima bagi dan unggas,
    • menerima gajah, sapi dan kuda.
    • menerima tanah-tanah pertanian.
    • menipu dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran.
    • perbuatan menyogok, menipu dan penggelapan.
    • perbuatan melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya.

    Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan, seperti: tumbuhan yang berkembang biak dari akar-akaran, tumbuhan yang berkembang biak dari tetangkaian, tumbuhan yang berkembang biak dari ruas- ruas atau tumbuhan yang berkembang biak dari kecambah-kecambahan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan. Inilah sila yang dimilikinya'

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan barang-barang yang ditimbun, simpanan, seperti: bahan makanan simpanan, minuman simpanan, jubah simpanan, perkakas-perkakas simpanan, bumbu makanan simpanan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari menggunakan barang-barang yang ditimbun semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menonton aneka macam pertunjukkan, seperti: tari-tarian, nyanyian-nyanyian musik, pertunjukkan panggung, opera, musik yang diiringi dengan tepuk tangan, pembacaan deklamasi, permainan tambur, drama kesenian, permainan akrobat di atas galah, adu gajah, adu kuda, adu sapi, adu banteng, pertandingan tinju, pertandingan gulat, perang perangan, pawai, inspeksi, parade; namun seorang bhikkhu menahan diri dari menonton aneka macam pertunjukkan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terikat dengan aneka macam permainan dan rekreasi, seperti: permainan catur dengan papan berpetak delapan baris, permainan catur dengan papan berpetak sepuluh baris, permainan dengan membayangkan papan catur tersebut di udara, permainan melangkah satu kali pada diagram yang digariskan di atas tanah, permainan dengan cara memindahkan benda-benda atau orang dari satu tempat ke lain tempat tanpa menggoncangkannya, permainan lempar dadu, permainan memukul kayu pendek dengan menggunakan kayu panjang, permainan mencelup tangan ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, permainan bola, permainan meniup sempritan yang dibuat dari daun palem, permainan meluku dengan bajak mainan, permainan jungkir balik (salto), permainan dengan kitiran yang dibuat dari daun palem, bermain dengan timbangan mainan yang dibuat dari daun palem, bermain dengan kereta perang mainan, bermain dengan panah-panah mainan, menebak tulisan-tulisan yang digoreskan di udara atau pada punggung seseorang, menebak pikiran teman bermain, namun seorang bhikkhu menahan diri dari aneka macam permainan dan rekreasi semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah, seperti: dipan tinggi yang dapat dipindah-pindahkan yang panjangnya enam kaki, dipan dengan tiang-tiang berukiran gambar binatang-binatang seprei dari bulu kambing atau bulu domba yang tebal, seprei dengan bordiran warna warni, selimut putih, seprei dari wol yang disulam dengan motif bunga-bunga, selimut yang diisi dengan kapas dan wol, seprei yang disulam dengan gambar harimau dan singa, seprei dengan bulu binatang pada kedua tepinya, seprei dengan bulu binatang pada salah satu tepinya, seprei dengan sulaman permata, seprei dari sutra, selimut yang dapat dipergunakan oleh enam belas orang, selimut gajah, selimut kuda atau selimut kereta, selimut kulit kijang yang dijahit, selimut dari kulit sebangsa kijang, permadani dengan tutup kepala dan kaki; namun seorang bhikkhu menahan diri untuk tidak mempergunakan aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih memakai perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri seperti: melumuri, mencuci dan menggosok tubuhnya dengan bedak wangi; memukuli tubuhnya dengan tongkat perlahan-lahan seperti ahli gulat; memakai kaca, minyak mata (bukan obat), bunga-bunga, pemerah pipi, kosmetika, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk bergaya), tabung bambu untuk menyimpan obat, pedang, alat penahan sinar matahari, sandal bersulam, sorban, perhiasan dahi, sikat dari ekor binatang yak, jubah putih panjang yang banyak lipatannya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari pemakaian perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam percakapan-percakapan yang rendah, seperti: percakapan tentang raja-raja, percakapan tentang mencuri, percakapan tentang menteri-menteri, percakapan tentang angkatan-angkatan perang, percakapan tentang pembunuhan-pembunuhan, percakapan tentang pertempuran-pertempuran, percakapan tentang makanan, percakapan tentang minuman, percakapan tentang pakaian, percakapan tentang tempat tidur, percakapan tentang karangan-karangan bunga, percakapan tentang wangi-wangian, pembicaraan-pembicaraan tentang keluarga, percakapan tentang kendaraan, percakapan tentang desa, percakapan tentang kampung, percakapan tentang kota, percakapan tentang negara, percapakan tentang wanita, percakapan tentang lelaki, percakapan di sudut-sudut jalanan, percakapan tentang hantu-hantu jaman dahulu, percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan, spekulasi tentang terciptanya lautan, percakapan tentang perwujudan dan bukan perwujudan (eksistensi dan non eksistensi); namun seorang bhikkhu menahan diri dari percakapan-percakapan yang rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.

  • 'Meskipun beberapa petapa Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam kata-kata perdebatan, seperti: 'Bagaimana seharusnya engkau mengerti Dhamma Vinaya ini? 'Engkau menganut pandangan-pandangan keliru, tetapi aku menganut pandangan-pandangan benar. 'Aku berbicara langsung pada pokok persoalan, tetapi engkau berbicara langsung pada pokok persoalan'. Engkau membicarakan di bagian akhir tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian permulaan; dan membicarakan di bagian permulaan tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian akhir. Apa yang lama telah engkau persiapkan untuk dibicarakan, semuanya itu telah usang'. Kata-kata bantahanmu itu ditentang, dan engkau ternyata salah'. 'Berusahalah untuk menjernihkan pandangan-pandanganmu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari kata-kata perdebatan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh dan bertindak sebagai perantara dari raja-raja, menteri-menteri negara, kesatria, Brahmana, orang berkeluarga atau pemuda-pemuda, yang berkata: 'Pergilah ke sana, pergilah ke situ, bawalah ini, ambilkan itu dari sana'; namun seorang bhikkhu menahan diri dari tugas-tugas sebagai pembawa berita, pesuruh dan perantara semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan tindakan-tindakan penipuan dengan cara: merapalkan kata-kata suci, meramal tanda-tanda dan mengusir dengan tujuan memperoleh keuntungan setelah memperlihatkan sedikit kemampuannya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti meramal dengan melihat guratan-guratan tangan, meramal melalui tanda-tanda dan alamat-alamat, menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda langit lainnya, meramal dengan mengartikan mimpi-mimpi, meramal dengan melihat tanda-tanda pada bagian tubuh, meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang digigit tikus, mengadakan korban pada api, mengadakan selamatan yang dituang dari sendok, memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan bekatul untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan mentega untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan minyak untuk dewa, mempersembahkan biji wijen dengan menyemburkannya dari mulut ke api, mengeluarkan darah dari lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa, melihat dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung atau sial; menentukan apakah letak rumah itu baik atau tidak, menasehati cara-cara pengukuran tanah; mengusir setan-setan di kuburan; mengusir hantu, mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mantra untuk kelajengking, mantra tikus, mantra burung, mantra burung gagak, meramal umur, mantra melepas panah, keahlian untuk mengerti bahasa binatang; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-limu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: pengetahuan tentang tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dari benda-benda, yang menyatakan kesehatan atau keberuntungan dari pemiliknya, seperti: batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, busur, senjata-senjata lainnya; wanita, laki-laki, anak lelaki, anak perempuan, budak lelaki, budak perempuan, gajah, kuda, kerbau, sapi jantan, sapi betina, burung nasar, kura-kura, dan binatang-binatang lainnya; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramal dengan akibat: pemimpin akan maju, pemimpin akan mundur, pemimpin kita akan menyerang dan musuh-musuh akan mundur, pemimpin musuh akan menyerang dan pemimpin kita akan mundur, pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah, pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah; jadi kemenangan ada di pihak ini dan kekalahan ada di pihak itu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari atau bulan akan menyimpang dari garis edarnya, matahari atau bulan akan kembali pada garis edarnya, adanya bintang yang menyimpang dari garis edarnya, bintang akan kembali pada garis edarnya, meteor jatuh, hutan terbakar, gempa bumi, halilintar, matahari, bulan dan bintang akan terbit, terbenam, bersinar dan suram; atau meramalkan lima belas gejala tersebut akan terjadi yang akan mengakibatkan sesuatu; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: meramalkan turun hujan yang berlimpah-limpah, turun hujan yang tidak mencukupi, hasil panen yang baik, masa paceklik (kekurangan bahan makanan), keadaan damai, keadaan kacau, akan terjadi wabah sampar, musim baik; meramal dengan menghitung jari, tanpa menghitung jari; ilmu menghitung jumlah besar, menyusun lagu, sajak, nyanyian rakyat yang popular dan ada kebiasaan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dibawa pulang, mengatur hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dikirim pergi, menentukan saat baik untuk menentukan perjanjian damai (atau mengikat persaudaraan dengan menggunakan mantra), menentukan saat yang baik untuk meletuskan permusuhan, menentukan saat baik untuk menagih hutang, menentukan saat baik untuk memberi pinjaman, menggunakan mantra untuk membuat orang beruntung, menggunakan mantra untuk membuat orang sial, menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan, menggunakan mantra untuk mendiamkan rahang seseorang, menggunakan mantra untuk membuat orang lain mengangkat tangannya, menggunakan mantra untuk menimbulkan ketulian, mencari jawaban dengan melihat-lihat kaca ajaib, mencari jawaban melalui medium: cermin, gadis perawan, dewa (ādāsapañhaṃ kumārikapañhaṃ devapañhaṃ); memuja matahari, memuja yang tertinggi (ādiccupaṭṭhānaṃ mahatupaṭṭhānaṃ), menghidupkan api (suci) (abbhujjalanaṃ), memanggil Dewi Siri/Sri/Dewi keberuntungan (sirivhāyanaṃ); namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.

  • 'Meskipun beberapa petapa dan Brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti: berjanji akan memberikan persembahan-persembahan kepada para dewa apabila keinginannya terkabul, melaksanakan janji-janji semacam itu, mengucapkan mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menimbulkan kejantanan, membuat pria menjadi impotent, menentukan letak yang tepat untuk membangun rumah, mengucapkan mantra untuk membersihkan tempat, melakukan upacara pembersihan mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban, memberikan obat bersin untuk mengobati sakit kepala, meminyaki telinga orang lain, merawat mata orang, memberikan obat melalui hidung, memberi collyrium di mata, memberikan obat tetes pada mata, menjalankan praktek sebagai okultis, menjalankan praktek sebagai dokter anak-anak, meramu obat-obatan dari bahan-bahan akar-akaran, membuat obat-obatan; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila yang dimilikinya'.
'Vasettha, selanjutnya seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut manapun sejauh berkenan dengan pengendalian terhadap sila, Vasettha, sama seperti seorang kesatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuh telah di kalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh;

Demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut manapun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukkham). Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki sila sempurna'.

'Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya?
  • Vasettha, bilamana seorang bhikkhu melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya. Ia menjaga indera penglihatannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengelihatannya.

  • Bilamana ia mendengar suara dengan telinganya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pendengarnya. Ia menjaga indera pendengarannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pendengarannya.

  • Bilamana ia mencium bau dengan hidungnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penciumannya. Ia menjaga indera penciumannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera penciumannya.

  • Bilamana ia mengecap rasa lidahnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera pengecapannya. Ia menjaga indera pengecapannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pengecapannya.

  • Bilamana ia merasakan suatu sentuhan dengan tubuhnya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera perabanya. Ia menjaga indera perabanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera perabanya.

  • Bilamana ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk; keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian terhadap indera pikirannya. Ia menjaga indera pikirannya, dan memiliki pengendalian terhadap indera pikirannya.
Dengan memiliki pengendalian diri yang mulia ini terhadap indera-inderanya, ia merasakan suatu kebahagiaan yang tidak dapat diterobos oleh noda apapun. '

'Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki pengendalian atas pintu-pintu inderanya'

'Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu mengingat untuk sepenuhnya mengetahui?
  • Vasettha, dalam hal ini seorang bhikkhu sepenuhnya mengetahui/sampajānakārī sewaktu: maju/ke depan/abhikkante atau mundur/kebelakang/paṭikkante;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu melihat ke: depan/ālokite atau belakang/vilokite;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu menekuk/samiñjite dan meregangkan tubuh/pasārite;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu mengenakan jubah atas/sanghati, jubah luar/civara atau mengambil mangkuk-makan/patta;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu makan/asite, minum/pīte, mengunyah/khāyite atau menelan/sāyite;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu buang air/uccāra atau sewaktu kencing/passāva;
  • sepenuhnya mengetahui sewaktu berjalan/gate, berdiri/ṭhite, duduk/nisinne, berbaring/sutte, tersadar/bangun/jāgarite, berbicara/bhāsite atau diam/ tuṇhībhāve.
Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu yang mengingat untuk sepenuhnya mengetahui'

'Vasettha, bagaimanakah seorang bhikkhu merasa puas?

Vasettha, dalam hal ini seorang bhikkhu merasa puas dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Dan kemana pun ia akan pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini.

Vasettha, sama seperti seekor burung dengan sayapnya, ke manapun akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa sayapnya. Vasettha, demikian pula seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, ke mana pun ia akan pergi, ia hanya dengan membawa hal-hal ini.

Vasettha, demikianlah seorang bhikkhu merasa puas'

'Setelah memiliki kelompok sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini, memiliki kemapuan mengingat untuk sepenuhnya mengetahui yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah-kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia Duduk bersila (nisīdati pallaṅkaṃ ābhujitvā), tubuh tegak/lurus (ujuṃ kāyaṃ paṇidhāya), wajah menghadap ke depan, ingatan ditegakkan (parimukhaṃ satiṃ upaṭṭhapetvā)'.
  • 'Dengan meninggalkan kerinduan kegundahan dunia, berdiam dalam pikiran yang bebas dari ketamakan/vigatābhijjhena, memurnikan pikiran dari ketamakan/kerinduan.
  • Dengan menyingkirkan itikad jahat, berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad jahat, dengan pikiran bersahabat pada kesejahteraan semua mahluk dan kehidupan, memurnikan pikiran dari itikad jahat.
  • Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, berdiam dalam keadaan bebas kemalasan dan kelambanan; dengan mengingat untuk sepenuhnya mengetahui pada āloka-saññi (persepsi "yang dilihat" atau yang dihadapinya), ia memurnikan pikiran dari kemalasan dan kelambanan.
  • Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, berdiam bebas dari kekacauan/anuddhato pikirannya tenang ke dalam /ajjhattaṃ vūpasantacitto, memurnikan pikiran dari kegelisahan dan kekhawatiran.
  • Dengan menyingkirkan keragu-raguan, berdiam mengatasi keragu-raguan; tidak lagi meragukan apa yang bermanfaat, memurnikan pikiran dari keragu-raguan'.
'Vasettha, sama halnya seperti seseorang, yang setelah berhutang, ia berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar kembali pinjaman hutangnya, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri. Lalu ia berpikir: "Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja aku dapat membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang istri".

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega (labhetha pāmojjaṃ, adhigaccheyya somanassaṃ)'.

'Vasettha, sama halnya seperti seorang yang diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna makanannya, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah beberapa waktu ia sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga kekuatannya pulih. Lalu ia berpikir: 'Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam diriku; namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanan sehingga kekuatanku pulih'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'.

'Vasettha, sama halnya seperti seorang yang ditahan dalam rumah penjara, dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya, aman dan sehat, barang-barangnya tidak ada yang dirampas. Lalu ia berpikir: 'Dahulu aku ditahan dalam rumah penjara, dan sekarang aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-barangku tidak ada yang dirampas'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'

'Vasettha, sama halnya seperti seseorang yang menjadi budak, bukan tuan bagi dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana ia suka; dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan itu, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas pergi ke mana ia suka. Lalu ia berpikir: 'Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi ke mana aku suka; dan sekarang aku telah bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas ke mana aku suka'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'.

'Vasettha, sama halnya seperti seorang yang dengan membawa kekayaan dan barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu ia berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya. Lalu ia berpikir: 'Dahulu, dengan membawa kekayaan dan barang-barang, aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan sekarang aku telah berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya'.

Karenanya ia bersukacita, menjadi lega'.

'Vasettha, demikianlah selama lima rintangan-mental; (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan dirinya seperti orang yang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan perjalanan di padang pasir. Vasettha, tetapi setelah lima rintangan mental itu disingkirkan, maka seorang bhikkhu merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang, bebas dari penyakit, keluar dari penjara, bebas dari perbudakan, sampai di tempat yang aman.

Apabila ia tahu (samanupassato) 5 rintangan telah disingkirkannya:
  • memperoleh sukacita (pāmojjaṃ jāyati),
  • lega/sukacita menimbukan girang (pamuditassa pīti jāyati),
  • pikiran girang membuat tubuh nyaman (pītimanassa kāyo passambhati),
  • tubuh nyaman bahagia dirasakan (passaddhakāyo sukhaṃ vedeti),
  • dalam pikiran bahagia pikirannya terpusat (sukhino cittaṃ samādhiyati)
(Bagian dalam kurung ini TIDAK ADA dalam DN 13, yaitu upaya mempertahankan perasaan girang-bahagia: Karena bebas/mampu terlepas dari/vivicceva: (1) kenikmatan indriya/kāmehidan (2) hal yang tak bermanfaat/akusalehi dhammehi, dengan menggenggam/vitakka dan mempertahankan/vicara perasaan girang-bahagia (pīti-sukha) akibat terlepasnya/terbebasnya/vivekajaṃ (terhadap: kāmehi dan akusalehi) Keberadaan jhana ke-1 dicapai. Pīti-sukha yang muncul dari melepas ini memenuhi, menggenangi, meresapi seluruh tubuhnya. Tak ada bagian tubuhnya yang tak diliputi perasaan girang-bahagia akibat kebebasan/keterlepasannya dari kamehi/akusala)

'Kemudian pikiran yang disertai tanpa memusuhi (mettā = abyapada -AN 6.13) berada memancar/meliputi 1 arah, ke: 2 arah, 3 arah, 4 arah, juga ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, ke tempat apapun, ke segala alam tak terkecuali, pikiran yang disertai tanpa memusuhi yang berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut, tanpa halang rintang berada memancar/meliputi
    Mettā = abyāpāda (tanpa memusuhi, bersahabat) = Lenyapnya dukkhindriyaṃ (rasa sakit tubuh/kāyikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman tubuh/kāyikaṃ asātaṃ atau perasaan menyakitkan tidaknyaman dari kontak jasmani - SN 48.38, 40), sehingga kehendak buruk/permusuhan tidak menguasai pikirannya [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar pihak lainnya sejahtera dan baik (hitasukhupanayanakāmatā)
'Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara tanpa kesulitan ke semua arah; begitu pula semua bentukan dan ragam ukuran makhluk, tanpa terkecuali, dengan memperhatikan itu semua dikembangkannya pikiran tanpa memusuhi yang bebas dan penuh'. 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma'.

"Kemudian pikiran yang disertai tanpa kekejaman/tanpa keinginan mencelakai/kesal/sakit hati (karuṇā = avihesā/avihimsa) ... dikembangkannya pikiran tanpa kekejaman/kesal/sakit hati yang bebas dan penuh' ... 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma'.
    Karuṇā = avihiṁsā (tidak ingin mencelakai)/avihesā (tidak ada kesal, sakit hati) = Disamping telah lenyap dukkhindriyaṃ, juga lenyap domanas­sindriyaṃ (rasa sakit mental/cetasikaṃ dukkhaṃ + tidak nyaman mental/cetasikaṃ asātaṃ atau perasan menyakitkan tidak nyaman dari kontak pikiran - SN 48.38, 40), sehingga kekejaman/ingin mencelakai/kesal/sakit hati tidak menguasai pikirannya [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar kesedihan/kemalangan pihak lain hilang (hitasukhupanayanakāmatā)
...dalam kepuasan tanpa membedakan (muditā = rati) ... dikembangkannya pikiran yang disertai dalam kepuasan tanpa membedakan yang bebas dan penuh ' ... 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma'.
    Muditā = rati (tak ada ketidakpuasan, dalam kepuasan tanpa membedakan) = Disamping telah lenyap: dukkhindriyaṃ + domanas­sindriyaṃ, maka akibat lenyapnya pīti, juga lenyap sukhindriyaṃ (rasa senang tubuh/kāyikaṃ sukhaṃ + nyaman tubuh/kāyikaṃ sātaṃ atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak jasmani - SN 48.38, 40), sehingga ketidak-puasan tidak menguasai pikirannya [AN 6.13]. Komentar SnA 1.73: berkehendak agar kesejahteraan pihak lainnya tak terdiskriminasi (hitasukhāvippayogakāmatā)
...tenang seimbang/tidak condong ke sukha-dukkha (upekkhā = a-raga/a-patigha) berada memancar/meliputi 1 arah, ke: 2 arah, 3 arah, 4 arah, juga ke: atas, bawah, bulak-balik, ke mana saja, ke tempat apapun, ke segala alam tak terkecuali, pikiran tenang seimbang/tidak condong ke sukha-dukkha yang berlimpah, luhur, tak berbatas, lembut, tanpa halang rintang berada memancar/meliputi
    Upekkhā = a-rāgo (tanpa warna/tanpa keterikatan/nafsu - AN 6.13)/a-paṭigha (tanpa menolak akibat jijik/benci - MN 62) = Disamping telah lenyap: dukkhindriyaṃ + domanas­sindriyaṃ + sukhindriyaṃ, juga lenyap somanas­sindriyaṃ (rasa bahagia mental/cetasikaṃ sukhaṃ + rasa nyaman mental/cetasikaṃ sātaṃ, atau perasaan menyenangkan nyaman dari kontak pikiran - SN 48.38, 40), sehingga keterikatan/kecondongan tidak menguasai pikirannya [AN 6.13, MN 62]. Komentar SnA 1.73: Seimbang tak goyah dalam suka-duka (..kammenā’’ti sukhadukkhesu ajjhupekkhanatā)
'Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara - tanpa kesulitan - di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran tenang seimbang tidak condong ke sukha-dukkha yang bebas dan penuh'. 'Vasettha, inilah jalan bersatu dengan Brahma/brahmānaṃ sahabyatāya.

'Vasettha, bagaimana pendapatmu, akankah bhikkhu yang hidup seperti itu beristri/kekayaan atau tidak?'
Pemuda Vasettha: 'tidak akan, Gotama'

Sang Bhagava: 'Apakah ia akan dipenuhi kemarahan atau bebas dari kemarahan?'
Pemuda Vasettha: 'akan bebas dari kemarahan, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah akan diliputi kebencian atau bebas dari kebencian?'
Pemuda Vasettha: 'bebas dari kebencian, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah pikirannya akan ternoda atau murni?'
Pemuda Vasettha: 'Pikirannya akan murni, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Apakah akan menguasai dirinya atau tidak akan?'
Pemuda Vasettha: 'akan menguasai dirinya, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, anda mengatakan bahwa bhikkhu itu bebas dari kehidupan berumah tangga dan keduniawian, dan Brahma bebas dari kehidupan berumah tangga dan keduniawian. Apakah ada persesuaian atau persamaan antara bhikkhu dan Brahma?'
Pemuda Vasettha: 'Ya, Gotama'.

Sang Bhagava: 'Vasettha, baiklah. Vasettha bila demikian, bhikkhu yang bebas dari kehidupan berumah tangga dan keduniawian, bilamana wafat dapat bersatu dengan Brahma/brahmuno sahabyūpago, karena ada persamaannya - keadaan seperti ini mungkin terjadi'.

'Vasettha, seperti yang anda katakan bahwa bhikkhu adalah bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, pikirannya murnii dan menguasai dirinya; dan Brahma adalah bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, suci dan menguasai dirinya.

Vasettha, dengan demikian sesungguhnya bhikkhu yang bebas dari kemarahan, bebas dari kebencian, pikiran murni dan dapat menguasai dirinya, bilamana wafat dapat bersatu dengan Brahma/brahmuno sahabyūpago, karena ada persamaannya - keadaan seperti ini mungkin terjadi'.

Setelah beliau berkata begitu, kemudian pemuda Brahmana Vasettha dan Bharadvaja berkata kepada Bhagava: 'Mengagumkan kata-kata yang diucapkan Gotama. Menakjubkan! Bagaikan orang yang menegakkan benda yang tergeletak, atau menemukan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan yang benar bagi mereka yang tersesat, atau menerangi tempat yang gelap sehingga orang yang mempunyai mata dapat melihat benda; - begitu pula, Gotama telah membabarkan dhamma kepada kami dalam banyak cara..[..] [DN 13/Tevijja Sutta. Kisah lain yang hampir serupa lihat di Canki Sutta]