Sabtu, 06 Oktober 2007

Biksu Tidak Berpolitik, Sampai Pemuka Agama Turun Ke Jalan, Pertanda Keadaan Sudah Sangat Kelewatan

Peristiwa tewasnya Kenji Nagai seorang wartawan warga negara Jepang akhirnya menggiring seluruh pandangan mata dunia kepada kekejaman Junta Militer Burma terhadap rakyatnya sendiri melalui penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan rakyat sipil serta ratusan Bikkhu. Lihatlah sejenak pada foto mayat bikkhu yang nyaris telanjang akibat keganasan Junta.

Perjuangan kemanusian dilakukan juga oleh para blogger di burma. Dengan caranya mereka berbicara pada dunia ketika local media burma bungkam membisu. Saat ini ribuan pemilik blog dari 45 negara di dunia berada pada satu rasa pedih yang sama menyuarakan kecaman atas tragedi kemanusiaan di Burma. Sedangkan Di Indonesia, rasa pedih itu terlihat jelas salah satunya di situs kepolisian republik Indonesia

Apabila kita mencari di Google, tidak kurang 102.000 artikel muncul yang berkaitan dengan kekejaman junta militer di Myanmar. Salah satunya adalah situs yang ditulis oleh ko-htike, bacalah!! dan pastikan bahwa anda membawa saputangan untuk menyeka air mata anda. Kemudian apabila anda ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang Burma, bukalah myanmarnews dan mohon pastikan sekali lagi bahwa saputangan anda masih cukup kering....ketika membacanya.

Dunia Internasional pun ikut tergugah selain Jepang yang jelas sudah sangat gusar, diantarannya terdapat juga Amnesti Internasional, kemudian Amerika Serikat yang tengah berusaha untuk mencapai resolusi PBB untuk Myanmar, serta Australia. Tidak kurang puluhan organisasi Politik, kepemudaan dan keagamaan di sejumlah negara Asean ikut prihatin dan memberikan kecama dan yang justru menarik adalah tidak reaksi sama sekali dari ASEAN!!

Di Indonesia, seperti biasa SBY tidak melakukan reaksi walaupun sudah mendapat desakan dan tekanan dari berbagai kalangan dalam negeri. Justru Wapres Yusuf Kalla yang sekali lagi membuktikan kejeliannya dalam memanfaatkan peluang dengan menghimbau pemerintah Burma agar tidak mengorbankan rakyat.

Aksi solidaritas dan keprihatinan di Indonesia dilakukan oleh sejumlah pemimpin agama, 50 diplomat di Deplu dengan berpakaian merah mengheningkan cipta selama 10 menit. Para buruh dengan memakai baju merah, Para organisasi kepemudaan dan keagaaman kalangan umat Buddha menggalang aksi di depan Kedubes Burma. Sejumlah partai politik juga terlibat dalam rasa solidaritas yang sama diantaranya adalah Golkar dan PKS

Ikutnya 3000 bikkhu dalam melakukan aksi bisu menentang junta militer di Burma telah mengundang Pro/Kontra di kalangan umat Buddha. Pro-kontra tersebut bahkan berlanjut somasi oleh FKUB DKI Jakarta (Forum Komunikasi Umat Buddha) yang merasa terfitnah atas tudingan Solidaritas Umat Buddha Indonesia bahwa FKUB tidak mendukung aksi solidaritas.

Di situs Umat Buddha, Sammagi-phala, saya temukan 3 artikel (satu pengantar dan dua buah artikel utama) yang sangat informative terutama bagi mereka yang hendak mengetahui bagimana duduk perkaranya sehingga dapat menimbulkan pro/kontra dikalangan umat Buddha.

Kedua karya tulis itu masing-masing disusun oleh seorang umat Buddha dan seorang bhikkhu. Dengan demikian, diharapkan dapat mewakili kedua sudut pandang yang sering saling berhadapan tentang umat Buddha yang telah meninggalkan keduniawian dan hidup dalam vihara sebagai seorang samanera ataupun bhikkhu:

Aksi solidaritas itu sekarang sudah mulai berbuah. Telah terjadi perpecahan di dalam kalangan junta militer, seorang anak buah jendral senior, Than Shwe, melarikan diri ke Thailand dan meminta suaka politik ke Norwegia setelah menolak perintah pembantaian terhadap para biksu dan pengunjuk rasa. Laporan yang diungkapkan pejabat intelijen Thailand, menegaskan indikasi bahwa perpecahan di tubuh elite militer Myanmar telah semakin kuat.

Ya, semoga para petinggi militer itu dibukakan mata hatinya bahwa pemimpin seharusnya memperhatikan kesejahteraan rakyat dan tidak silap atas uang dan kekuasaan yang hanya bersifat sementara.


Semoga para Bikkhu mendapatkan ketenangannya kembali sehingga dapat memusatkan konsentrasinya kearah cita-cita pembebasan diri atas segala godaan.

Semoga Rakyat burma segera keluar dari kesulitan ini dan mendapatkan kesejahteraannya,

Berikut dibawah ini, saya petikan sample pro kontra yang dilakukan dengan sangat menarik di salah satu milis. Percakapan ini hanya merupakan 1 dari ribuan keprihatinan kepada para biksu yang seharusnya tidak berpolitik namun harus turun kejalan menunda kesempurnaan ketika keadaan begitu kelewatannya.

---------------------------------


NGURAH AGUNG:

Saudaraku yang budiman ...
Sehubungan dengan 'tragedi' di Myanmar belakangan ini, saya malah bertanya-tanya dalam hati begini:
  • Mengapa para bhikkhu mau terjebak dalam kemelut politik dan kekuasaan yang --dimanapun di muka bumi ini-- tak pernah benar-benar bebas dari tindak kekerasan, intimidasi, penindasan dan yang sejenisnya itu?
  • Bagaimana peran Sangha disana sehubungan dengan keterlibatan anggotanya di wilayah yang sarat akan ambisi itu?

Menurut pandangan saya, ketika seseorang memutuskan untuk jadi bhikkhu pun bhikkhuni, ybs. telah juga memutuskan untuk menarik diri dari kehidupan duniawi, dari kehidupan profan dan sekuler, walaupunpun bukan berarti lantas jadi anti-sosial.


Gerakan 'lintas wilayah' manapun mengundang resiko tambahan. Itu kita sadari. Tapi ...tapi ....yang membuat saya adalah, kenapa itu bisa menjadi pilihan dari para bhikkhu/bhikkhuni muda itu, dimana seolah-olah para sesepuh Sangha malah merestuinya?


Saya jadi teringat sebuah kisah begini:


Seorang Mentri dititahkan oleh rajanya untuk meminta nasehat kepada Sankaracarya mengatasi carut-marutnya negri itu.


Nasehat Sankara sederhana saja; beliau kurang-lebih berkata: "Bila setiap eksponen masyarakat menempatkan dirinya sesuai bidang profesinya dan fungsinya masing-masing dengan baik, niscaya negri akan baik-baik saja".


Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak-langkah kita.


Semoga Saudara-saudari kita disana secepatnya menemukan apa yang didambakannya.


Sadhu,
NR.
============


HUDOYO:

Maha-Rsi Bisma adalah sesepuh Hastinapura yang sudah makan asam-garam kehidupan dan membaktikan sisa hidup pada usia tuanya guna mencapai kesempurnaan batin di pertapaan Talkanda. Namun ketika dalam perang Bharatayuda, eksistensi bangsanya, bangsa Kuru, terancam oleh serbuan Pandawa dengan senapati Rsi Seta dan kedua adiknya dari negeri Wirata--yang bukan darah Bharata--maka tak urung Maha-Rsi Bisma turun tangan menjadi senapati perang Kurawa sehingga mengorbankan nyawanya sendiri. (Baca tentang Bhisma di Wikipedia,

<http://en.wikipedia .org/wiki/ Bhisma>http://en.wikipedia .org/wiki/ Bhisma)

Para bhiksu Buddha di Tiongkok pada zaman dahulu, untuk mempertahankan eksistensi Buddha Dharma terhadap kekuatan-kekuatan yang ingin menghapuskannya dari bumi Tiongkok, terpaksa harus belajar silat, yang terkenal sampai sekarang: Siauw Liem Sie. (Baca tentang "Shaolin Monastery" di Wikipedia,

<http://en.wikipedia .org/wiki/ Shaolin_Monaster y>http://en.wikipedia .org/wiki/ Shaolin_Monaster y)


Ada ksatria yang berjiwa pandita/brahmana (ksatria-pinandita) --contoh: Maha-Rsi Bisma--dan ada brahmana/pandita yang berjiwa ksatria (pandita-sinatriya) --contoh: Parasurama (Rama Bargawa); tidak bisa ditarik garis pemisah yang tegas di antara keduanya, seperti kasta di India. (Baca tentang Parasurama Barghava di Wikipedia,

<http://en.wikipedia .org/wiki/ Parashurama>http://en.wikipedia .org/wiki/ Parashurama)


Saya melihat, apa yang dilakukan oleh para bhikkhu Theravada di Burma itu sesuai dengan Sumpah Bodhisattva Mahayana, yakni mengorbankan diri demi welas asih terhadap dunia. Salah satu dari Sumpah Tambahan Bodhisattva adalah: "Tidak menghindari perbuatan salah (pelanggaran sila) ketika cinta dan welas asih terhadap sesama mengharuskannya. " (Lihat di bawah ini)


Salam,
Hudoyo

Lihat:

<http://www.berzinar chives.com/ web/en/archives/ practice_ material/ vows/bodhisattva /secondary_ bodhisattva_ pledges.html>http://www.berzinar chives.com/ web/en/archives/ practice_ material/ vows/bodhisattva /secondary_ bodhisattva_ pledges.html


(4) Not committing a destructive action when love and compassion call for it

Occasionally, certain extreme situations arise in which the welfare of others is seriously jeopardized and there is no alternative left to prevent a tragedy other than committing one of the seven destructive physical or verbal actions. These seven are taking a life, taking what has not been given to us, indulging in inappropriate sexual behavior, lying, speaking divisively, using harsh and cruel language, or chattering meaninglessly. If we commit such an action without any disturbing emotion at the time, such as anger, desire, or naivety about cause and effect, but are motivated only by the wish to prevent others' suffering - being totally willing to accept on ourselves whatever negative consequences may come, even hellish pain - we do not damage our far-reaching ethical self-discipline. In fact, we build up a tremendous amount of positive force that speeds us on our spiritual paths.


Refusing to commit these destructive actions when necessity demands is at fault, however, only if we have taken and keep purely bodhisattva vows. Our reticence to exchange our happiness for the welfare of others hampers our perfection of the ethical self-discipline to help others always. There is no fault if we have only superficial compassion and do not keep bodhisattva vows or train in the conduct outlined by them. We realize that since our compassion is weak and unstable, the resulting suffering we would experience from our destructive actions might easily cause us to begrudge bodhisattva conduct. We might even give up the path of working to help others. Like the injunction that bodhisattvas on lower stages of development only damage themselves and their abilities to help others if they attempt practices of bodhisattvas on higher stages - such as feeding their flesh to a hungry tigress - it is better for us to remain cautious and hold back


Since there may be confusion about what circumstances call for such bodhisattva action, let us look at examples taken from the commentary literature. Please keep in mind that these are last resort actions when all other means fail to alleviate or prevent others' suffering. As a budding bodhisattva, we are willing to take the life of someone about to commit a mass murder. We have no hesitation in confiscating medicines intended for relief efforts in a war-torn country that someone has taken to sell on the black market, or taking away a charity's funds from an administrator who is squandering or mismanaging them. We are willing, if male, to with another's wife - or with an unmarried woman whose parents forbid it, or with any other inappropriate partner - when the woman has the strong wish to develop bodhichitta but is overwhelmed with desire for sex with us and who, if she were to die not having had sex with us, would carry the grudge as an instinct into future lives. As a result, she would be extremely hostile toward bodhisattvas and the bodhisattva path.


Bodhisattvas' willingness to engage in inappropriate when all else fails to help prevent someone from developing an extremely negative attitude toward the spiritual path of altruism raises an important point for married couples on the bodhisattva path to consider. Sometimes a couple becomes involved in Dharma and one of them, for instance the woman, wishing to be celibate, stops sexual relations with her husband when he is not of the same mind. He still has attachment to sex and takes her decision as a personal rejection. Sometimes the wife's fanaticism and lack of sensitivity drives her husband to blame his frustration and unhappiness on the Dharma. He leaves the marriage and turns his back on Buddhism with bitter resentment. If there is no other way to avoid his hostile reaction toward the spiritual path and the woman is keeping bodhisattva vows, she would do well to evaluate her compassion to determine if it is strong enough to allow her to have occasional sex with her husband without serious harm to her ability to help others. This is very relevant in terms of the tantric vows concerning chaste behavior.


As budding bodhisattvas, we are willing to lie when it saves others' lives or prevents others from being tortured and maimed. We have no hesitation to speak divisively to separate our children from a wrong crowd of friends - or disciples from misleading teachers - who are exerting negative influences on them and encouraging harmful attitudes and behavior. We do not refrain from using harsh language to rouse our children from negative ways, like not doing their homework, when they will not listen to reason. And when others, interested in Buddhism, are totally addicted to chattering, drinking, partying, singing, dancing, or telling off-color jokes or stories of violence, we are willing to join in if refusal would make these persons feel that bodhisattvas, and Buddhists in general, never have fun and that the spiritual path is not for them.