Minggu, 13 April 2008

Berbicara Dengan Rasa!!


Minggu ini, ketika membaca beberapa artikel, aku temukan satu artikel menarik dari forum kompas, yaitu cerita mengenai bagaimana cara unik penduduk Solomon menebang pohon dengan menggunakan umpatan dan teriakan! Berikut kutipan artikelnya:

Cerita ini tentang salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan.

Nah, penduduk primitif yang tinggal di sana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon. Untuk apa ? Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak.

Inilah yang mereka lakukan, jadi tujuannya supaya pohon itu mati .Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu.

Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari.

Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya akan mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga akan mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah ditumbangkan.[Sumber: Thread Forum Kompas = 925]

“..menceritakan suatu kisah penduduk asli pulau Solomon yang percaya bahwa meneriaki sebuah pohon selama 30 hari akan menyebabkan kematian pada pohon dan kemudian tumbang...menautkan kisah ini dengan prilaku membentak-bentak keluarga dan teman hanya akan mematikan semangat/energy/daya hidup yang ada di dalam orang tersebut.[Sumber: All I Really need to Know I learned in Kindergarten, Robert Fulghum]

Berbicara mengenai “mengutuk pohon”, aku jadi teringat pada satu kisah perbuatan Yesus yang ada di Alkitab, yaitu matius 21:18-21:

Pada pagi-pagi hari dalam perjalanan-Nya kembali ke kota, Yesus merasa lapar. Dekat jalan Ia melihat pohon ara lalu pergi ke situ, tetapi Ia tidak mendapat apa-apa pada pohon itu selain daun-daun saja. [sebab memang bukan musim buah ara, Markus 11:13]. Kata-Nya kepada pohon itu: "Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya!" ["Jangan lagi seorangpun makan buahmu selama-lamanya!", markus 11:14]. Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu. [Pagi-pagi ketika Yesus dan murid-murid-Nya lewat, mereka melihat pohon ara tadi sudah kering sampai ke akar-akarnya, Markus 11:20]

note:
Biaanya perlu waktu sekitar 1 Bulan, agar buah ara dapat matang. Ada alasan mengapa buah ara tidak matang-matang dan ada juga alasan mengapa pohon ara tidak mau berbuah, yang tentu saja berarti bahwa pohon ara TIDAK-lah mandul karena mereka berkembang biak secara monoecious (hermaphrodit) atau gynodioecious (hermaphrodit dan jenis wanita).

The Smyrna type of fig is a dioecious species, and the male trees are called caprifigs. There are three crops of caprifigs each year, often called by their Neapolitan names: the profkhi (spring crop), nammoni (summer crop), and mamme (winter crop). While the caprifigs are not themselves edible, it is important to have caprifig varieties that produce a continuous succession of large fruit, as the Blastophaga insect (which performs an indispensable function in fertilizing the female fruit of the edible Smyrna varieties) breeds only in the caprifigs. Abreak in the succession of caprifigs may cause the destruction of the Blastophaga and thus the total failure of the Smyrna fig crop.—Editor

Apakah ini kisah di alkitab ini hanya perumpamaan?

Sama sekali tidak. Matius 21:21 mencatat bahwa ini bukan perumpamaan yang diketahui dari jawaban Yesus sendiri: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu percaya dan tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang Kuperbuat dengan pohon ara itu”

Apa yang dapat kita petik dari kisah suku Solomo dan Alkitab di atas?
  • Terdapat satu kesamaan “tindakan dan hasil”, yaitu, pohonnya menjadi mati, karena perlakukan kasar melalui ucapan!
  • Bedanya, suku solomo mendapatkan apa yang dituju sedangkan derita lapar Yesus, tetap tidak terselesaikan.
Apakah benar bahwa tumbuhan bereaksi terhadap suara?

Tahun 1973, Dorothy Retallack, melakukan eksperiment nada pada tiga kelompok tanaman-tanaman di dalam 3 buah kamar biotronik, Di kamar pertama, tanaman-tanaman itu di berikan nada konstan terus menerus selama 8 jam. Pada kamar kedua, nada diberikan selama 3 jam dan sebentar-sebentar. Pada kamar ke 3, tanpa bunyi sama sekali. Hasilnya adalah, pada kamar pertama, tanaman-tanaman itu mati dalam 14 hari. Pada kamar kedua, tanaman-tanaman itu tumbuh subur dan sehat sekali melebihi dari kamar yang ketiga.

Hasil yang diperolehnya adalah sama dengan percobaan yang dilakukan oleh Muzak Corporation di awal tahun 1940-an, yang menguji music latar belakang pada pekerja pabrik. Pekerja menjadi lebih capai dan sedikit produktif, ketika diputarkan music selama selama 8 jam terus menerus, namun ketika music diputarkan hanya beberapa jam dan beberapa kali sehari, mereka lebih sigap, produktif dan lebih perhatian daripada tanpa music sama sekali

Dorothy juga melakukan beberapa eksperimen lainnya masing-masing dengan tanaman segar yang baru.

Percobaan dilakukan dengan menggunakan dua kamar yang berisi radio yang memutarkan musik berbeda dari dua station, yaitu station musik rock dan station musik lembut. Hasilnya selama 16 hari kemudian adalah ruangan dengan music rock, tanamannya berada pada tahap akhir menuju kematian dan berada pada posisi menjauhi radio, sedangkan ruangan dengan music lembut tanamannya tumbuh subur, tumbuh rata dan membengkok mendekati radio.

Pada eskperimen lainnya ia gunakan 3 kamar dan 3 jenis music berbeda, yaitu musik tradisional India Utara, sitar dan table [semacam perkusi, sepasang drum kecil]. Di kamar kedua music dengan bach organ. Di kamar ke 3, tidak ada musik. Hasilnya adalah tanaman-tanaman itu lebih menyukai musik India, tumbuh lebih condong kearah speaker daripada kamar yang ada bach organnya.[Sumber: The Plant Experiments, juga lihat di: Gandharva Veda: Research Findings ]

Ahli botani jaman dulu cenderung menyatakan bahwa tanaman hanya merupakan organisma sederhana yang tidak memiliki kecerdasan namun saat ini semakin banyak ahli botani yang merubah pandangannya, yaitu tanaman juga memiliki kecerdasan, namun kecerdasan itu tidak termasuk pada bagian besanya yaitu kesadaran diri.[Sumber: New research opens a window on the minds of plants]

Trewavas (2002) menyatakan, sesuai dengan definisi kecerdasan dari Webster; tanaman adalah cerdas karena mereka dapat menyesuaikan perubahan prilaku. Trewavas (1999) menyatakan bahwa tanaman dapat belajar, seperti kecerdasan yang dimaksud pada definisi kamus. [Sumber: Plants Are Indeed Intelligent]

The Secret Life of Plants oleh Peter Tompkins dan Christopher Bird, (Tomkins, Peter. Dan Burung. Christopher: The Secret Life of Plants. New York. Harper & Row. 1973.) Percobaan-percobaan menunjukkan bahwa tanaman memberikan respon yang kurang baik pada kemarahan, kebencian dan kutukan namun tidak ada respon apapun jika emosi tersebut hanya dibuat-buat. Terdapat energi gelombang elektromagnetik memancar dari perasaan manusia dan emosi merambah pada jarak tertentu mempengaruhi struktur oraganisme mahluk hidup lain. [Sumber: The Electromagnetic Nature Of Life: Magnatherm, Plant Perception (paranormal), Psychic Aspects of Plants dan Plants Have Souls—and Gifts for Humans ]

Oke, Kembali pada cerita mengenai penduduk Solomon, terdapat beberapa hal yang hendak disampaikan oleh penulis artikel thread Forum kompas tersebut:

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup tertentu seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan daya hidupnya. Akibatnya, dalam waktu panjang, makhluk hidup itu akan mati.

Nah, sekarang, apakah yang bisa kita pelajari dari kebiasaan penduduk primitif di kepulauan Solomon ini ? O, sangat berharga sekali! Yang jelas, ingatlah baik-baik bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan daya hidupnya/ritme energynya.

Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda?
Ayo cepat !
Dasar lelet!
Bego banget sih!
Hitungan mudah begitu aja nggak bisa dikerjakan?
Ayo, jangan main-main disini!
Berisik !

Atau, mungkin Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati?
Cuih! Saya nyesal kawin dengan orang seperti kamu tahu nggak!
Iii! Bodoh banget jadi laki nggak bisa apa-apa!
Aduh. Perempuan kampungan banget sih?!

Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya?
E, tolol. Soal mudah begitu aja nggak bisa. Kapan kamu mulai akan jadi pinter?

Atau seorang atasan berteriak pada bawahannya saat merasa kesal?
E tahu nggak ? Karyawan kayak kamu tuh kalo pergi aku kagak bakal nyesel. Ada banyak yang bisa gantiin kamu!
Sial! Kerja gini nggak becus? Ngapain gue gaji elu?

Ingatlah! Setiap kali Anda berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini. Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan daya hidup/melumpuhkan semangat orang yang kita cintai.

Kita juga mematikan ritme energy yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi-emosi kita perlahan-lahan, pada akhirnya akan membunuh ritme energy yang telah melekatkan hubungan kita. Jadi, ketika masih ada kesempatan untuk berbicara baik-baik, cobalah untukmendiskusikan mengenai apa yang Anda harapkan.

Coba kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Teriakan, hanya kita berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, bukan ?

Nah, tahukah Anda mengapa orang yang marah dan emosional, mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka hanya beberapa belas centimeter.

Mudah menjelaskannya. Pada realitanya, meskipun secara fisik mereka dekat tapi sebenarnya hati mereka begitu jauh. Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak! Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan energy/semangat orang yang dimarahi hanya karena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki.

Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas. Jadi mulai sekarang ingatlah selalu. Jika kita tetap ingin energy/semangat pada orang yang kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan.

Tapi, sebaliknya apabila Anda ingin segera menguras dan menghabiskan gelombang energy orang lain ataupun ritme energy hubungan Anda, selalulah berteriak.

Hanya ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan semakin dijauhi. Ataupun Anda akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya.

Saatnya sekarang, kita coba ciptakan kehidupan yang damai, tanpa harus berteriak-teriak untuk mencapai tujuan kita.

[Note: kata 'roh' saya ganti dengan 'daya hidup/ritme energi' karena umpatan, teriakan, kutukan bentakan dan cacian secara psikologi membuat orang tertekan dan menghambat pengeluaran enzim/hormon yang berguna bagi kelangsungan hidup suatu mahluk]

Berbicara tentang berkomunikasi dengan hati, terdapat satu fakta yang juga menarik. Coba ingat-ingat saat ketika baru berpacaran! Terkadang tidak banyak kata terucap namun dapat saling memahami!

Atau bahkan ketika berada pada satu situasi, di mana secara fisik anda dan pasangan berada pada jarak yang berjauhan sehingga anda hanya dapat berbisik atau bahkan hanya menggerakan mulut tanpa mengeluarkan suara namun ternyata Ia menangkap apa yang hendak anda sampaikan!

Saat itu, anda berada jauh namun hati dan perasaan justru sangat dekatnya, sementara pada contoh sebelumnya, Anda berada dekat namun hati dan perasaan justru sangat jauhnya!

Jadi, ketika anda butuh untuk didengar, yang diperlukan bukanlah kedekatan jarak fisik namun justru kedekatan hati atau rasa!

Mmmhhh, sebagai penutup, ada satu artikel yang juga memakai teknik “Umpatan dan teriakan” kepada pepohonan, namun kali ini ada bedanya, yang rugi malah si pengumpat sendiri:

Pria Telanjang ditangkap karena meneriaki pepohonan

Seorang warga Jerman ditangkap setelah konselor perkawinan menyarankannya untuk lari telanjang berkeliling sambil berteriak pada pepohonan

Dieter Braun, 43, berasal dari Recklinghausen menyatakan teknik melepas stress tersebut sangat manjur buatnya sampai ia ditangkap

Kepada polisi ia katakan bahwa metode pelepasan marahnya kepada pepohonan telah membuatnya berhenti membentak istrinya

"Jika aku tidak pergi ke hutan dan berteriak ke pepohonan maka perkawinanku kemungkinan besar akan berakhir. " ujarnya.

Ia tambahkan bahwa membuka semua bajunya pada saat bersamaan membuatnya merasa lebih relaks lagi.

"Buatku, itu bentuk theraphy relaksasi. Rasa dingin yang menerpa tubuh telanjang-ku benar-benar membuatku reda"

Tapi polisi lokal menyatakan bahwa para pengunjung hutan tidak melihat kelakuannya sebagai relaksasi dan kini dakwaan untuknya adalah mengganggu ketertiban umum.

Kembali pada kisah di Alkitab di atas, sebagai seorang Tuhan, tentunya tiada yang tak mungkin bagiNya. Andai saja saat itu, Yesus mampu untuk mengendalikan rasa kecewa dan marahnya, memilih untuk mendekatkan hati daripada mengutuk, maka mungkin saja pohon Ara itu dapat terbujuk untuk segera berbuah! sehingga penderitaan lapar yang dialami Yesuspun dapat segera terobati.

Seperti yang disampaikan Buddha, ketika menjawab pertanyaan Dewa (Dhamma Bagi Pemula, oleh Y.M. Phra Rajavaracariya]:

“Pedang apakah yang paling tajam? Racun apakah yang sangat menjijikan? Api apakah yang berkobar? Kegelapan apakah yang sangat kelam?”.

Jawaban Buddha: “Ucapan yang sangat kasar adalah pedang yang sangat tajam. Keserakahan dan nafsu keinginan adalah racun yang sangat menjijikan. Kebencian adalah Api yang berkobar-kobar. Kebodohan adalah Kegelapan yang sangat kelam”.

Dhamapada Syair 232 dan 234:

Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan ucapan, hendaklah ia mengendalikan ucapannya. Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan, hendaklah ia giat melakukan perbuatan-perbuatan baik melalui ucapan.

Para bijaksana terkendali perbuatan, ucapan, dan pikirannya. Sesungguhnya mereka itu benar-benar telah dapat menguasai diri.