Selasa, 07 Desember 2010

Adakah Roh/Jiwa? [PAYASI Sutta, VINA Sutta, VAJIRA sutta, MILANDA PANHA]


Payasi Sutta (DN.23)[1]:
DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Yang Mulia Kumāra-Kassapa[2] sedang berkunjung ke Kosala bersama 500 bhikkhu, dan ia menetap di sebuah kota yang disebut Setavyā. Ia menetap di utara Setavyā, di dalam Hutan Siṁsapā. Pada saat itu, Pangeran Pāyāsi[3] menetap di Setavyā, tempat yang ramai, banyak rumput, kayu, air, dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala sebagai anugerah kerajaan lengkap dengan kekuasaan kerajaan.

Dan Pangeran Pāyāsi mengembangkan pandangan salah berikut ini:
  • ‘Tak ada alam lain (natthi paro loko),
  • tak ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan (natthi sattā opapātikā),
  • tak ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau buruk (natthi sukatadukkaṭānaṃ kammānaṃ phalaṃ vipāko).’
Sementara, para Brāhmaṇa dan perumah tangga Setavyā mendengar berita: ‘Petapa Kumāra-Kassapa, seorang siswa Petapa Gotama, sedang berkunjung ke Kosala bersama lima ratus bhikkhu; ia telah tiba di Setavyā dan menetap di utara Setavya, di Hutan Siṁsapā; dan sehubungan dengan Yang Mulia Kassapa, suatu berita baik telah beredar: “Ia terpelajar, berpengalaman, bijaksana, berpengetahuan, pembabar yang baik, mampu memberikan jawaban yang benar, terhormat, seorang Arahant.” Dan adalah baik menemui para Arahant demikian.’ Dan demikianlah para Brāhmaṇa dan perumah tangga Setavyā, meninggalkan Setavyā melalui gerbang utara dalam jumlah besar, menuju Hutan Siṁsapā.

Dan pada saat itu, Pangeran Pāyāsi naik ke teras atas istananya untuk istirahat siang. Melihat para Brāhmaṇa dan perumah tangga berjalan menuju Hutan Siṁsapā, ia bertanya kepada pelayannya mengapa. Sang pelayan berkata: ‘Tuan, ini karena Petapa Kumāra-Kassapa, seorang siswa Petapa Gotama, ... dan sehubungannya telah beredar berita baik ... itulah sebabnya, mereka pergi menemuinya.’

‘Baiklah, pelayan, engkau pergilah kepada para Brāhmaṇa dan perumah tangga Setavyā itu dan katakan: “Tuan-tuan, Pangeran Pāyāsi berkata: ‘Mohon tunggu, Sang Pangeran akan pergi menemui Petapa Kumāra-Kassapa ini.’” Petapa Kumāra-Kassapa ini telah mengajarkan kepada para Brāhmaṇa dan perumah tangga Setavyā yang dungu ini bahwa ada alam lain, ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, dan bahwa ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk. Tetapi sebenarnya tidak ada hal-hal demikian.’

‘Baiklah, Tuan,’ jawab si pelayan, dan menyampaikan pesan itu.

Kemudian Pangeran Pāyāsi, disertai dengan para Brāhmaṇa dan perumah tangga Setavyā, pergi ke Hutan Siṁsapā di mana Yang Mulia Kumāra-Kassapa berada. Setelah saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Kumāra Kassapa, ia duduk di satu sisi. Dan beberapa Brāhmaṇa dan perumah tangga memberi hormat kepada Yang Mulia Kumāra-Kassapa dan duduk di satu sisi, sementara beberapa lainnya pertama-tama bertukar sapa dengannya dan kemudian duduk di satu sisi, beberapa memberi hormat kepadanya dengan merangkapkan tangan, beberapa menyebutkan nama dan suku mereka, dan beberapa hanya berdiam diri duduk di satu sisi.

Kemudian Pangeran Pāyāsi berkata kepada Yang Mulia Kumāra-Kassapa: ‘Yang Mulia Kassapa, aku menganut ajaran dan pandangan ini:
  • Tak ada alam lain (natthi paro loko, hanya alam ini saja yang nyata),
  • tak ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan (natthi sattā opapātikā, termasuk pengertian tidak ada kelahiran kembali),
  • tak ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau buruk (natthi sukatadukkaṭānaṃ kammānaṃ phalaṃ vipāko).
Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku tidak pernah melihat atau mendengar ajaran atau pandangan demikian seperti yang engkau nyatakan. Dan karena itu, Pangeran, aku akan bertanya kepadamu tentang persoalan ini, dan engkau boleh menjawab apa pun yang engkau anggap benar.[4]

Perumpamaan Matahari dan Bulan (Chandimasūriya-upamā)
Kumara Kassapa: Bagaimanakah menurutmu, Pangeran? Adakah matahari dan bulan di dunia ini atau dunia lain, apakah itu dewa-dewa atau manusia? (devā vā te manussā vā)’

Payasi: ‘Yang Mulia Kassapa, semua itu ada di dunia lain, dan itu adalah para dewa, bukan manusia.’[5]

Kumara Kassapa: ‘Demikian juga, Pangeran (Imināpi kho te, rājañña), adalah beralasan (pariyāyena evaṃ hotu): “Ada alam lain, ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk.”’

Payasi: ‘Apa pun yang engkau katakan tentang persoalan ini, Yang Mulia Kassapa, aku masih menganggap tidak ada alam lain ....’

Kumara Kassapa: ‘Apakah engkau memiliki alasan atas pernyataan ini?’

Payasi: 'Aku memiliki alasan, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Apakah itu, Pangeran?’

Payasi: ‘Yang Mulia Kassapa, aku memiliki teman-teman, rekan kerja dan sanak saudara sedarah yang:
  1. menyakiti kehidupan (pāṇātipātī),
  2. mengambil apa yang tidak diberikan (adinnādāyī),
  3. berperilaku salah dalam kenikmatan indria (kāmesumicchācārī),
  4. menyatakan yang tidak benar/berbohong (musāvādī),
  5. ucapan memecah belah/fitnah (pisuṇavācā),
  6. berkata kasar/menghina (pharusavācā)
  7. berucap tidak penting/bergosip (samphappalāpī),
  8. serakah (abhijjhālū),
  9. penuh kebencian/dengki (byāpannacittā) dan
  10. berpandangan salah (micchādiṭṭhī).
Akhirnya mereka jatuh sakit, menderita, diserang penyakit. Dan ketika aku yakin bahwa mereka tidak akan sembuh, aku mendatangi mereka dan berkata: “Ada para petapa dan Brāhmaṇa yang menyatakan dan percaya bahwa mereka yang menyakiti kehidupan, ... menganut pandangan salah, setelah kematian saat hancurnya jasmani, akan terlahir di alam sengsara, di tempat buruk, di tempat hukuman, di neraka. Sekarang engkau telah melakukan hal-hal ini, dan jika apa yang dikatakan para petapa dan Brāhmaṇa itu benar, maka ke sanalah kalian akan pergi. Sekarang jika, setelah kematian, kalian pergi ke alam sengsara, ... datanglah kepadaku dan katakan bahwa ada alam lain, ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk. Kalian, tuan-tuan, bisa dipercaya dan bisa diandalkan, dan apa yang kalian lihat akan menjadi seolah-olah aku melihatnya sendiri, maka demikianlah adanya.” Tetapi meskipun mereka setuju, mereka tidak pernah datang memberitahukan kepadaku, juga tidak mengirim utusan.

Itu, Yang Mulia Kassapa, adalah alasanku mempertahankan: “Tidak ada alam lain, tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, tidak ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk.”’

Kumara Kassapa: ‘Sehubungan dengan hal ini, Pangeran, aku akan mengajukan pertanyaan tentang hal ini, dan engkau boleh menjawab apa pun yang engkau anggap benar.

Perumpamaan pencuri (Cora-upamā)
Kumara Kassapa: Bagaimanakah menurutmu, Pangeran? Seandainya mereka membawa seorang maling yang tertangkap basah, dan berkata: “Orang ini, Tuanku, adalah seorang maling yang tertangkap basah. Hukumlah ia seperti yang engkau inginkan.” Dan engkau akan berkata: “Ikat kedua tangannya di belakang dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan giring ia dengan tabuhan genderang melalui jalan-jalan dan lapangan dan keluar melalui gerbang selatan, dan di sana penggal kepalanya.” Dan mereka, menjawab: “Baik, Tuanku” dan mereka ... menggiringnya melalui gerbang selatan, dan di sana memenggal kepalanya. Sekarang, jika maling itu berkata kepada para algojo: “Algojo yang baik, di kota dan desa ini, aku memiliki teman-teman, rekan kerja, sanak saudara sedarah, mohon tunggulah sampai aku mengunjungi mereka semuanya,” apakah ia akan mendapatkan keinginannya? Atau apakah mereka akan langsung memenggal kepala si maling yang banyak bicara itu?’

Payasi: ‘Ia tidak akan mendapatkan apa yang ia inginkan, Yang Mulia Kassapa. Mereka akan langsung memenggal kepalanya.’

Kumara Kassapa: ‘Demikian pula, Pangeran, maling ini bahkan tidak mendapatkan dari algojo manusia agar mereka menunggu sementara ia mengunjungi teman-teman dan sanak-saudaranya. Demikian pula, bagaimana teman-teman, rekan kerja dan sanak saudara sedarahmu yang telah melakukan semua kejahatan ini, setelah kematian dan pergi ke alam sengsara, dapat membujuk penjaga neraka, dengan mengatakan: “Penjaga neraka yang baik, mohon tunggulah sementara kami melaporkan kepada Pangeran Pāyāsi bahwa ada alam lain, ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk?” ‘Demikian juga, Pangeran (Imināpi kho te, rājañña), adalah beralasan (pariyāyena evaṃ hotu): ada alam lain,...’

Payasi: ‘Apa pun yang engkau katakan tentang persoalan ini, Yang Mulia Kassapa, aku masih menganggap tidak ada alam lain ....’

Kumara Kassapa: ‘Apakah engkau memiliki alasan atas pernyataan ini?’

Payasi: ‘Aku memiliki alasan, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Apakah itu, Pangeran?’

Payasi: ‘Yang Mulia Kassapa, aku memiliki teman-teman ... yang menghindari menyakiti kehidupan; menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; menghindari berperilaku salah dalam kenikmatan indria; menghindari menyatakan yang tidak benar/berbohong; menghindari ucapan memecah belah/fitnah; menghindari berkata kasar/menghina; menghindari berucap tidak penting/bergosip; serakah; penuh kebencian/dengki dan; berpandangan benar. Akhirnya mereka jatuh sakit .... Dan ketika aku yakin bahwa mereka tidak akan sembuh, aku mendatangi mereka dan berkata: “Ada para petapa dan Brāhmaṇa yang menyatakan dan percaya bahwa mereka yang menghindari menyakiti kehidupan ... menganut pandangan benar, setelah kematian saat hancurnya jasmani, akan terlahir di alam bahagia, di alam surga. Sekarang engkau telah melakukan hal-hal ini, dan jika apa yang dikatakan para petapa dan Brāhmaṇa itu benar, maka ke sanalah kalian akan pergi. Sekarang jika, setelah kematian, kalian pergi ke alam bahagia, alam surga, datanglah kepadaku dan katakan bahwa ada alam lain .... Kalian, Tuan-tuan, bisa dipercaya dan bisa diandalkan, dan apa yang kalian lihat akan menjadi seolah-olah aku melihatnya sendiri, maka demikianlah adanya.” Tetapi meskipun mereka setuju, mereka tidak pernah datang memberitahukan kepadaku, juga tidak mengirim utusan. Itu, Yang Mulia Kassapa, adalah alasanku mempertahankan: “Tidak ada alam lain ....”’

Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku akan memberikan satu perumpamaan, karena beberapa orang bijaksana akan memahami apa yang disampaikan melalui perumpamaan.

Perumpamaan Orang yang terjatuh di Lubang Kotoran (Gūthakūpapurisa-upamā)
Kumara Kassapa: ‘Seandainya ada seseorang yang terjatuh ke dalam lubang kotoran dengan kepala jatuh terlebih dulu, dan engkau mengatakan kepada para pelayanmu: “Angkat orang itu keluar dari lubang itu!” dan mereka menjawab: “Baiklah,” dan melakukan hal itu. Kemudian engkau akan mengatakan kepada mereka agar membersihkan badan orang itu dari kotoran dengan pengerik dari bambu, dan kemudian membersihkan kepalanya dengan pencuci rambut tiga kali dengan pasir kuning. Kemudian engkau mengatakan kepada mereka untuk mengoleskan minyak ke badan orang itu dan kemudian memandikannya tiga kali dengan bubuk sabun yang baik. Kemudian engkau mengatakan kepada mereka untuk mencukur rambut dan janggutnya, dan menghiasnya dengan karangan bunga harum, salep, dan pakaian. Akhirnya engkau mengatakan kepada mereka untuk membawanya ke istanamu dan membiarkan ia menikmati kenikmatan lima indria, dan mereka melakukan semua hal itu. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Apakah orang itu, setelah mandi bersih, dengan rambut dan janggut tercukur rapi, dihias dengan karangan bunga, berpakaian putih, dan dibawa ke istana, menikmati dan bergembira dalam kenikmatan lima indria, ingin pergi ke lubang kotoran itu lagi?’

Payasi: ‘Tidak, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Mengapa tidak?’

Payasi: ‘Karena lubang kotoran itu kotor dan dianggap demikian, bau, mengerikan, menjijikkan, dan biasanya dianggap demikian.’

Kumara Kassapa: ‘Demikianlah, Pangeran, manusia adalah kotor, berbau, mengerikan, menjijikkan, dan biasanya dianggap demikian oleh para dewa. Jadi mengapakah teman-temanmu ... yang tidak melakukan pelanggaran ..., dan yang telah, setelah kematian terlahir kembali di alam bahagia, alam surga, datang kembali dan mengatakan: “Ada alam lain, ... ada buah dari perbuatan baik dan buruk?” ‘Demikian juga, Pangeran (Imināpi kho te, rājañña), adalah beralasan (pariyāyena evaṃ hotu): ada alam lain,...’

Payasi: ‘Apa pun yang engkau katakan tentang persoalan ini, Yang Mulia Kassapa, aku masih menganggap tidak ada alam lain ....’

Kumara Kassapa: ‘Apakah engkau memiliki alasan atas pernyataan ini?’

Payasi: ‘Aku memiliki alasan, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Apakah itu, Pangeran?’

Payasi: ‘Yang Mulia Kassapa, aku memiliki teman-teman yang menghindari menyakiti kehidupan ... mengucapkan yang tidak benar, mengkonsumsi asupan yang melemahkan kesadaran/perhatian (surāmerayamajjapamādaṭṭhānā). Akhirnya mereka jatuh sakit ... “Ada para petapa dan Brāhmaṇa tertentu yang menyatakan dan percaya bahwa mereka yang menghindari menyakiti kehidupan ... dan mengkonsumsi asupan yang melemahkan kesadaran/perhatian akan ... terlahir di alam bahagia, di alam surga, di tengah-tengah Tiga-Puluh-Tiga Dewa ...” Tetapi meskipun mereka setuju, mereka tidak pernah datang memberitahukan kepadaku, juga tidak mengirim utusan. Itu, Yang Mulia Kassapa, adalah alasanku mempertahankan: “Tidak ada alam lain ....”’

Kumara Kassapa:‘Sehubungan dengan hal ini, Pangeran, aku akan mengajukan pertanyaan tentang hal ini, dan engkau boleh menjawab apa pun yang engkau anggap benar.

Perumpamaan Alam 33 Deva (Tāvatiṃsadeva-upamā)
Kumara Kassapa: Yang bagi manusia, Pangeran, 100 tahun (vassa+sata), adalah satu hari satu malam bagi alam 33 Dewa. 30 hari = 1 bulan, 12 bulan = satu tahun, dan umur kehidupan di alam 33 Dewa adalah 1000 tahun (vassa+sahassa) demikian. Sekarang, seandainya mereka berpikir: “Setelah kita menikmati kenikmatan lima indria selama dua atau tiga hari, kita akan mendatangi Pāyāsi dan mengatakan kepadanya bahwa ada alam lain, ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk,” apakah mereka dapat melakukan hal itu?’

Payasi: ‘Tidak, Yang Mulia Kassapa, karena kita akan telah lama meninggal dunia. Tetapi, Yang Mulia Kassapa, siapakah yang mengatakan kepadamu bahwa 33 Dewa itu ada, dan bahwa mereka berumur demikian panjang? Aku tidak percaya 33 Dewa itu ada dan berumur begitu panjang.’

Perumpamaan seorang yang buta sejak lahir(Jaccandha-upamā)
Kumara Kassapa: ‘Pangeran, bayangkan seorang yang buta sejak lahir dan tidak dapat melihat objek-objek yang terang atau gelap, atau objek berwarna biru, kuning, merah, atau merah tua, tidak dapat melihat yang kasar dan yang halus, tidak dapat melihat bintang-bintang dan bulan. Ia akan berkata: “Tidak ada objek-objek yang terang dan gelap dan tidak ada yang dapat melihatnya, ... tidak ada matahari dan bulan, dan tidak ada yang dapat melihatnya. Aku tidak merasakan objek-objek ini, dan oleh karena itu, objek-objek ini tidak ada.” Apakah ia berkata benar, Pangeran?’

Payasi: ‘Tidak, Yang Mulia Kassapa. Ada objek-objek yang terang dan gelap ..., ada matahari dan bulan, dan siapa pun yang mengatakan: “Aku tidak merasakan objek-objek ini, aku tidak dapat melihatnya, dan karena itu, objek-objek itu tidak ada,” pasti tidak berkata benar.”’

Kumara Kassapa: ‘Pangeran, jawabanmu adalah seperti orang buta itu ketika engkau menanyakan bagaimana aku tahu mengenai 33 Dewa dan umur mereka yang panjang. Pangeran, alam lain tidak dapat dilihat dengan cara yang engkau pikirkan, dengan mata fisik. Pangeran, para petapa dan Brāhmaṇa yang mencari di hutan-hutan belantara dan mengasingkan diri ke dalam hutan sebagai tempat istirahat yang tenang, dengan sedikit kebisingan – mereka hidup tanpa merasa lelah, tekun, terkendali, memurnikan mata-dewa (Ye kho te rājañña samaṇabrāhmaṇā araññavanapatthāni pantāni senāsanāni paṭisevanti, te tattha appamattā ātāpino pahitattā viharantā dibbacakkhuṃ visodhenti) dan dengan mata-dewa itu yang melampaui penglihatan manusia, mereka melihat alam ini dan alam lain, dan makhluk-makhluk yang terlahir spontan (Te dibbena cakkhunā visuddhena atikkantamānusakena imaṃ ceva lokaṃ passanti parañca satte ca opapātike). Itu, Pangeran, adalah bagaimana alam lain dapat dilihat, dan bukan seperti yang engkau pikirkan dengan mata fisik. ‘Demikian juga, Pangeran (Imināpi kho te, rājañña), adalah beralasan (pariyāyena evaṃ hotu): ada alam lain,...’

Payasi:‘Apa pun yang engkau katakan tentang persoalan ini, Yang Mulia Kassapa, aku masih menganggap tidak ada alam lain ....’

Kumara Kassapa: ‘Apakah engkau memiliki alasan atas pernyataan ini?’

Payasi: ‘Aku memiliki alasan, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Apakah itu, Pangeran?’

Payasi: ‘Yang Mulia Kassapa, aku melihat beberapa petapa dan Brāhmaṇa yang melaksanakan moralitas dan berperilaku baik, yang ingin hidup, tidak ingin mati, yang menginginkan kenyamanan dan membenci penderitaan. Dan aku menyadari bahwa jika para petapa dan Brāhmaṇa baik ini mengetahui bahwa setelah kematian mereka akan menjadi lebih bahagia, maka orang-orang baik ini sebaiknya mengambil racun, mengambil pisau dan bunuh diri, gantung diri, atau melompat ke jurang. Tetapi meskipun mereka memiliki pengetahuan itu, mereka tetap ingin hidup, tidak ingin mati, menginginkan kenyamanan dan membenci penderitaan. Dan itu, Yang Mulia Kassapa, adalah alasanku mempertahankan: “Tidak ada alam lain ....”’

Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku akan memberikan satu perumpamaan, karena beberapa orang bijaksana akan memahami apa yang disampaikan melalui perumpamaan.

Perumpamaan Perempuan hamil (Gabbhini-upamā)
Kumara Kassapa: 'Suatu ketika, Pangeran, seorang Brāhmaṇa memiliki dua istri. Salah satunya memiliki seorang putra berusia 10 atau 12 tahun, sementara yang lainnya dalam keadaan hamil dan menjelang melahirkan saat Sang Brāhmaṇa meninggal dunia. Kemudian anak muda itu berkata kepada ibu tirinya: “Nyonya, apa pun kekayaan yang ada, perak atau emas, semuanya milikku. Ayahku telah menunjukku sebagai pewarisnya.” Dan sang nyonya Brāhmaṇa itu berkata kepada si anak muda: “Tunggulah, anak muda, sampai aku melahirkan. Jika anak ini laki-laki, maka sebagian adalah miliknya, dan jika perempuan, maka ia akan menjadi pelayanmu.” Anak muda itu mengulangi kata-katanya untuk ke dua kali, dan menerima jawaban yang sama. Ketika ia mengulangi untuk ke tiga kalinya, sang nyonya mengambil pisau, dan masuk ke ruang dalam, membelah perutnya, berpikir: “Seandainya aku tahu apakah anak ini laki-laki atau perempuan!” Dan demikianlah ia menghancurkan dirinya sendiri dan janinnya, dan kekayaannya juga, bagaikan si dungu yang mencari warisannya dengan tidak bijaksana, tidak menyadari bahaya tersembunyi.’

‘Demikianlah engkau, Pangeran, bagaikan si dungu memasuki bahaya tersembunyi dengan cara tidak bijaksana mencari alam lain, seperti si nyonya Brāhmaṇa yang mencari warisannya. Tetapi, Pangeran, para petapa dan Brāhmaṇa yang melaksanakan moralitas dan berperilaku baik tidak mencari cara untuk mempercepat kematangan apa yang belum matang, tetapi dengan bijaksana menunggu kematangannya. Kehidupan adalah menguntungkan bagi para petapa dan Brāhmaṇa itu, karena semakin lama para petapa dan Brāhmaṇa bermoral dan berperilaku baik itu hidup, semakin besar jasa yang mereka hasilkan; mereka berlatih demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan terhadap dunia, demi keuntungan dan manfaat para dewa dan manusia. ‘Demikian juga, Pangeran (Imināpi kho te, rājañña), adalah beralasan (pariyāyena evaṃ hotu): ada alam lain,...’

Payasi: ‘Apa pun yang engkau katakan tentang persoalan ini, Yang Mulia Kassapa, aku masih menganggap tidak ada alam lain ....’

Kumara Kassapa: ‘Apakah engkau memiliki alasan atas pernyataan ini?’

Payasi: ‘Aku memiliki alasan, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Apakah itu, Pangeran?’

Payasi: ‘Yang Mulia Kassapa, ambil kasus yang mana mereka membawa seorang maling ke hadapanku, tertangkap basah dan berkata: “Ini, Tuanku, adalah maling yang tertangkap basah, hukumlah dia sesuai keinginanmu.” Dan aku berkata: “bawa orang ini dan masukkan ke dalam tabung. Tutup mulutnya dengan kulit basah, oleskan dengan lapisan tanah basah, masukkan ke dalam tungku dan nyalakan api.” Dan mereka melakukan hal itu. Ketika dipastikan bahwa orang itu telah mati, kami membuka tabung, memecahkan lapisan tanah, membuka mulutnya, dan melihat dengan saksama: “Mungkin kita dapat melihat jiwanya [jivam] keluar.” Tetapi kami tidak melihat jiwa apa pun yang keluar[6], dan itulah mengapa, Yang Mulia Kassapa, aku percaya tidak ada alam lain ...’

Kumara Kassapa: ‘Sehubungan dengan hal ini, Pangeran, aku akan mengajukan pertanyaan tentang hal ini, dan engkau boleh menjawab apa pun yang engkau anggap benar.

Perumpamaan mimpi (Supinaka-upamā)
Kumara Kassapa: 'Apakah engkau mengakui bahwa ketika engkau naik untuk beristirahat siang, engkau melihat pemandangan-pemandangan menyenangkan, taman-taman, hutan, desa-desa yang indah, dan kolam-kolam teratai?’

Payasi: ‘Ya, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Dan pada saat itu, apakah engkau dilihat oleh orang-orang bungkuk, orang-orang pendek, gadis-gadis muda, dan para perawan?’

Payasi: ‘Ya, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Dan apakah mereka melihat jiwamu masuk dan keluar dari tubuhmu?’

Payasi: ‘Tidak, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Jadi, mereka tidak melihat jiwamu masuk dan keluar dari tubuhmu bahkan selagi engkau masih hidup. Karena itu, bagaimana engkau dapat melihat jiwa dari orang yang telah mati masuk dan keluar dari tubuhnya?[6] ‘Demikian juga, Pangeran (Imināpi kho te, rājañña), adalah beralasan (pariyāyena evaṃ hotu): ada alam lain,...’

Payasi: ‘Apa pun yang engkau katakan tentang persoalan ini, Yang Mulia Kassapa, aku masih menganggap tidak ada alam lain ....’

Kumara Kassapa: ‘Apakah engkau memiliki alasan atas pernyataan ini?’

Payasi: ‘Aku memiliki alasan, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Apakah itu, Pangeran?’

Payasi: ‘Yang Mulia Kassapa, ambil kasus yang mana mereka membawa seorang maling ke hadapanku ... dan aku berkata: “Timbang orang ini dalam keadaan hidup, kemudian cekik dia, dan timbang lagi.” Dan mereka melakukan hal itu. Sewaktu ia masih hidup, ia lebih ringan, lebih lunak, dan lebih lentur, tetapi ketika ia telah mati, ia lebih berat, lebih kaku, dan tidak lentur[7]. Dan itu, Yang Mulia Kassapa, adalah alasanku mempertahankan bahwa tidak ada alam lain ....’

Perumpamaan Bola Besi Yang Dipanaskan (Santatta-ayoguna-upamā)
Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku akan memberikan sebuah perumpamaan ....Seandainya seseorang menimbang sebuah bola besi yang telah dipanaskan sepanjang hari, membara, terbakar hebat, bersinar. Dan seandainya setelah beberapa saat, ketika telah menjadi dingin dan padam, ia menimbangnya lagi. Pada saat yang manakah bola besi itu lebih ringan, lunak, dan lebih lentur: saat panas, terbakar, bersinar, atau saat dingin dan padam?’

Payasi: ‘Yang Mulia, saat bola besi itu panas, terbakar, dan bersinar, ada unsur Tejo (Panas/Gelombang partikel/Umur/Habis/Api) dan Vayo (Tekanan/Getar/Gerak/Udara/Angin), maka bola besi itu lebih ringan, lebih lunak dan lebih lentur[8]. Ketika tanpa unsur-unsur ini? Bola besi itu menjadi dingin dan padam.’

Kumara Kassapa: ‘Maka, Pangeran, sama dengan jasmani ini. Ketika masih memiliki unsur kehidupan (Ayu), panas (Usma), dan kesadaran (Vinnana), maka jasmani ini lebih ringan, lebih lunak, dan lebih lentur. Tetapi ketika dipisahkan dari unsur kehidupan, panas dan kesadaran, jasmani ini menjadi lebih berat, lebih kaku, dan lebih tidak lentur[7]. ‘Demikian juga, Pangeran (Imināpi kho te, rājañña), adalah beralasan (pariyāyena evaṃ hotu): ada alam lain,...’

Payasi: ‘Apa pun yang engkau katakan tentang persoalan ini, Yang Mulia Kassapa, aku masih menganggap tidak ada alam lain ....’

Kumara Kassapa: ‘Apakah engkau memiliki alasan atas pernyataan ini?’

Payasi: ‘Aku memiliki alasan, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Apakah itu, Pangeran?’

Payasi: ‘Yang Mulia Kassapa, ambil kasus yang mana mereka membawa seorang maling ke hadapanku ... dan aku berkata: “Bunuh orang ini tanpa melukai kulit luar, kulit dalam, daging, urat, tulang atau sumsum”, dan mereka melakukan hal itu. Ketika ia hampir mati, aku berkata: “Sekarang baringkan orang ini menghadap ke atas, dan mungkin kita dapat melihat jiwanya keluar.” Mereka melakukan hal itu, tetapi kami tidak melihat jiwanya keluar. Kemudian aku berkata: Balikkan ia dengan wajahnya di bawah, ... ke samping, ... ke arah sebaliknya, ... berdirikan, ... berdirikan dengan kepala di bawah, pukul dia dengan tinjumu, ... lempar dia dengan batu, ... pukul dengan tongkat, ... tusuk dengan pedang, ... guncang dia begini dan begitu, dan mungkin kita dapat melihat jiwanya keluar.” Dan mereka melakukan semua hal ini, tetapi walaupun ia mempunyai mata, ia tidak melihat objek-objek atau landasannya, walaupun ia mempunyai telinga, ia tidak mendengar suara-suara ..., walaupun ia mempunyai hidung, ia tidak mencium bau-bauan ..., walaupun ia mempunyai lidah, ia tidak merasakan kecapan ..., walaupun ia mempunyai badan, ia tidak merasakan sentuhan objek-objek atau sekelilingnya. Dan itulah mengapa, Yang Mulia Kassapa, aku percaya tidak ada alam lain ....’

Perumpamaan Peniup Terompet (Saṇkhadhama-upamā)
Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku akan memberikan sebuah perumpamaan .... Suatu ketika, ada seorang peniup trompet yang membawa trompetnya dan pergi ke perbatasan. Sesampainya di sebuah desa, ia berdiri di tengah desa, meniup trompetnya tiga kali dan kemudian, meletakkan trompet itu di atas tanah, dan duduk di satu sisi. Kemudian, Pangeran, para penduduk perbatasan berpikir: “Dari manakah suara itu datang, begitu indah, begitu merdu, begitu memabukkan, begitu merangsang, begitu memikat?” Mereka bertanya kepada si peniup trompet mengenai hal ini. “Teman-teman, suara indah itu berasal dari trompet ini.” Maka kemudian, mereka meletakkan trompet itu dan berteriak: “Bicaralah, tuan trompet, bicaralah!” Tetapi trompet itu tidak bersuara. Kemudian mereka membalikkannya menghadap ke bawah ... ke samping, ... ke arah sebaliknya, ... memberdirikannya, ... memberdirikan dengan kepala di bawah, ... memukul dengan tinju mereka, ... melemparnya dengan batu, ... memukulnya dengan tongkat, ... menusuknya dengan pedang, ... mengguncangnya begini dan begitu, dan mereka berteriak: “Bicaralah, tuan trompet, bicaralah!” Tetapi trompet itu tidak bersuara. Si peniup trompet berpikir: “Betapa dungunya para penduduk perbatasan ini! Betapa bodohnya mereka mencari suara dari trompet ini!” Dan selagi mereka memerhatikan, ia mengambil trompet itu, meniupnya tiga kali dan pergi. Dan para penduduk perbatasan itu berpikir: “Sepertinya ketika trompet itu disertai oleh seseorang, dengan usaha dan dengan angin, maka ia akan bersuara. Tetapi ketika tidak disertai oleh seseorang, dengan usaha dan dengan angin, maka ia tidak bersuara.”’

‘Demikian pula, Pangeran, ketika jasmani ini memiliki kehidupan, panas dan kesadaran, maka jasmani ini berjalan ke sana kemari, berdiri dan duduk, dan berbaring, melihat objek-objek dengan matanya, mendengar suara-suara dengan telinganya, mencium bau-bauan dengan hidungnya, mengecap rasa dengan lidahnya, merasakan sentuhan dengan badannya, dan mengenali objek-objek pikiran dengan pikirannya. Tetapi ketika tidak memiliki kehidupan, panas atau kesadaran, maka tidak ada hal-hal ini. ‘Demikian juga, Pangeran (Imināpi kho te, rājañña), adalah beralasan (pariyāyena evaṃ hotu): ada alam lain,...’

Payasi: ‘Apa pun yang engkau katakan tentang persoalan ini, Yang Mulia Kassapa, aku masih menganggap tidak ada alam lain ....’

Kumara Kassapa: ‘Apakah engkau memiliki alasan atas pernyataan ini?’

Payasi: ‘Aku memiliki alasan, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Apakah itu, Pangeran?’

Payasi: ‘Yang Mulia Kassapa, ambil kasus yang mana mereka membawa seorang maling ke hadapanku ... dan aku berkata: “Kuliti kulit luar orang ini, dan mungkin kita dapat melihat jiwanya keluar.” Kemudian aku berkata kepada mereka agar menguliti kulit dalamnya, dagingnya, uratnya, tulang, sumsum ... tetapi kami tetap tidak melihat jiwanya keluar, dan itulah mengapa, Yang Mulia Kassapa, aku percaya tidak ada alam lain ....’

Perumpamaan Pemuja Api (Aggikajila-upamā)
Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku akan memberikan sebuah perumpamaan .... Suatu ketika, ada seorang pemuja api berambut kusut yang tinggal di hutan, di gubuk daun. Dan sekelompok suku sedang melakukan perjalanan, dan pemimpinnya menetap selama satu malam di dekat tempat tinggal si pemuja api, dan kemudian pergi. Maka si pemuja api berpikir untuk pergi ke tempat itu untuk mencari sesuatu yang dapat ia gunakan. Ia bangun pagi dan pergi ke tempat itu, dan di sana ia melihat seorang bayi laki-laki kecil dan lembut terbaring. Melihat pemandangan itu, ia berpikir: “Tidaklah benar jika aku melihat dan membiarkan manusia mati. Lebih baik aku membawa anak ini ke pertapaanku, merawatnya, memberinya makan dan membesarkannya.” Maka ia melakukan hal itu. Ketika anak itu berusia 10 atau 12 tahun, petapa itu harus pergi ke desa untuk suatu urusan.

Maka ia berkata kepada anak itu: “Aku akan pergi ke desa, anakku. Engkau jagalah api ini dan jangan sampai padam. Jika hampir padam, ini kapak, ini beberapa tongkat, ini beberapa kayu api, agar engkau dapat menyalakan kembali api ini dan menjaganya.” Setelah memberikan instruksi kepada anak itu, si petapa pergi ke desa. Namun anak itu, tenggelam dalam permainannya, membiarkan api itu padam. Kemudian ia berpikir: “Ayah berkata: ‘ ... ini kapak ... agar engkau dapat menyalakan kembali api ini dan menjaganya.’ Sekarang aku sebaiknya berbuat demikian!”

Maka ia membelah kayu-api itu menggunakan kapak, berpikir: “Aku harap aku akan mendapatkan api dengan cara ini.” Tetapi ia tidak mendapatkan api. Ia memotong kayu api itu menjadi dua, menjadi tiga, menjadi empat, sepuluh, seratus potong, membuatnya menjadi serpihan, ia menumbuknya menjadi bubuk, menampinya di angin, berpikir: “Aku harap aku akan mendapatkan api dengan cara ini.” Tetapi ia tidak mendapatkan api, dan ketika si petapa pulang, setelah menyelesaikan urusannya, ia berkata: “Anakku, mengapa engkau membiarkan api itu padam?” dan anak itu memberitahukan apa yang telah terjadi. Petapa itu berpikir: “Betapa dungunya anak ini, betapa bodohnya! Cara yang tidak masuk akal untuk mendapatkan api!” Maka, selagi anak itu memerhatikan, ia mengambil kayu-api, dan menyalakan kembali api itu, berkata: “Anakku, beginilah cara untuk menyalakan kembali api, bukan cara dungu, bodoh, dan tidak masuk akal seperti yang engkau lakukan!”’

‘Demikian pula, Pangeran, engkau mencari-cari alam lain secara dungu, bodoh dan tidak logis. Pangeran, lepaskanlah pandangan salahmu itu, lepaskanlah! Jangan biarkan pandangan itu menyebabkan kemalangan dan penderitaan bagimu untuk waktu yang lama!’

Payasi: ‘Walaupun engkau mengatakan hal ini, Yang Mulia Kassapa, aku tetap tidak dapat melepaskan pandangan salah ini. Raja Pasenadi dari Kosala mengetahui pendapatku, dan demikian pula raja-raja di luar negeri. Jika aku melepaskan pandangan ini, mereka akan berkata: “Betapa dungunya Pangeran Pāyāsi, betapa bodohnya ia mencengkeram pandangan salah!” Aku akan mempertahankan pandangan ini meskipun mendapatkan kemarahan, hinaan dan siksaan.’

Perumpamaan para pemimpin Caravan (Dvesatthavāha-upamā)
Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku akan memberikan sebuah perumpamaan .... Suatu ketika, Pangeran, ada sekelompok besar pedagang terdiri dari 1000 kereta sedang melakukan perjalanan dari timur ke barat. Dan ke mana pun mereka pergi, mereka dengan cepat menghabiskan semua rumput, kayu, dan tumbuh-tumbuhan. Kelompok ini memiliki dua pemimpin, masing-masing bertanggung jawab atas 500 kereta. Dan mereka berpikir: “Ini adalah kelompok besar terdiri dari 1000 kereta. Ke mana pun kami pergi, kami menghabiskan semua perbekalan. Mungkin sebaiknya kami membagi kelompok ini menjadi dua, masing-masing lima ratus”, dan mereka melakukannya.

Kemudian salah satu pemimpin itu mengumpulkan cukup rumput, kayu dan air, dan berangkat. Setelah 2 atau 3 hari perjalanan, ia melihat seorang berkulit gelap dan bermata merah datang ke arahnya membawa kantung anak panah dan rangkaian bunga lili, dengan baju dan rambutnya basah, mengendarai kereta keledai yang rodanya berlumpur. Melihat orang itu, si pemimpin berkata, “Dari manakah engkau, Tuan?” “Dari sana.” “Dan ke manakah tujuanmu?” “Ke sana.” “Apakah telah turun hujan deras di hutan di depan sana?” “Oh ya, Tuan, telah turun hujan deras di hutan di depan kalian, jalan dibanjiri air dan ada banyak rumput, kayu dan air, buanglah rumput, kayu dan air yang kalian bawa, Tuan! Kalian akan berjalan lebih cepat dengan kereta bermuatan ringan, jangan melelahkan sapi-sapi penarik kalian!”

Pemimpin kelompok itu memberitahu para kusir apa yang dikatakan orang itu: “Buang semua rumput, kayu dan air ....” dan mereka melakukannya. Tetapi di tempat perhentian pertama, mereka tidak menemukan rumput, kayu dan air, juga tidak di tempat ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima, ke enam, atau ke tujuh. Dan mereka semuanya, manusia dan sapi dilahap oleh yakkha (Semacam Mahluk dari alam Deva, ada yang baik dan tidak),dan hanya tulang-belulang mereka yang tersisa.’

‘Dan ketika pemimpin kelompok kedua yakin bahwa kelompok pertama telah pergi cukup jauh, ia mengumpulkan cukup rumput, kayu dan air. Setelah 2 atau 3 hari perjalanan, ia melihat seorang berkulit gelap dan bermata merah datang ke arahnya ... yang menyarankan kepadanya untuk membuang perbekalan rumput, kayu dan air. Kemudian si pemimpin berkata kepada para kusir: “Orang ini memberitahukan agar kita membuang rumput, kayu dan air yang kita miliki. Tetapi dia bukan teman atau saudara kita, jadi mengapa kita harus memercayainya? Jadi, jangan buang rumput, kayu dan air yang kita miliki; biarkan kelompok ini melanjutkan perjalanan dengan barang-barang yang telah kita bawa, dan jangan membuangnya!”

Para kusir setuju dan melakukan sesuai perintah. Dan di tempat perhentian pertama, mereka tidak menemukan rumput, kayu dan air, juga tidak di tempat ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6 atau ke-7, tetapi di sana mereka melihat puing-puing dari kelompok pertama, dan mereka melihat tulang-belulang dari manusia dan sapi yang telah dilahap oleh yakkha. Kemudian pemimpin kelompok itu berkata kepada para kusir: “Kelompok itu mengalami kehancuran karena kebodohan pemimpinnya. Jadi sekarang, mari kita meninggalkan barang-barang kita yang kurang berharga, dan mengambil barang-barang yang lebih berharga dari kelompok itu.” Dan mereka melakukan hal itu. Dan dengan pemimpin yang bijaksana itu, mereka melewati hutan itu dengan selamat.’

‘Demikian pula engkau, Pangeran, akan mengalami kehancuran jika engkau secara dungu dan tidak bijaksana mencari alam lain dengan cara yang salah. Mereka yang berpikir bahwa mereka dapat memercayai segala sesuatu yang mereka dengar akan mengalami kehancuran seperti kelompok pedagang itu. Pangeran, lepaskanlah pandangan salahmu itu, lepaskanlah! Jangan biarkan pandangan itu menyebabkan kemalangan dan penderitaan bagimu untuk waktu yang lama!’

Payasi: ‘Walaupun engkau mengatakan hal ini, Yang Mulia Kassapa, aku tetap tidak dapat melepaskan pandangan salah ini .... Jika aku melepaskan pandangan ini, mereka akan berkata: “Betapa dungunya Pangeran Pāyāsi ....”’

Perumpamaan Pengumpul kotoran (Gthabhrika-upamā)
Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku akan memberikan sebuah perumpamaan .. Suatu ketika, ada seorang peternak babi yang pergi dari desanya ke desa lain. Di sana ia melihat tumpukan kotoran kering yang dibuang, dan ia berpikir: “Ada banyak kotoran yang dibuang, itu dapat menjadi makanan babi-babiku. Aku akan mengambilnya. Dan ia menghamparkan jubahnya, mengumpulkan kotoran, membungkusnya dan memikulnya di atas kepalanya, dan pergi. Namun dalam perjalanan pulang itu, turun hujan deras yang bukan pada musimnya, dan ia melanjutkan perjalanannya dengan kotoran mengalir, menetes hingga ke ujung jarinya, dan ia masih tetap membawa beban kotoran itu. Mereka yang melihatnya berkata: “Engkau pasti gila! Mengapa engkau bepergian membawa beban kotoran yang mengalir dan menetes hingga ke ujung jarimu?” “Engkaulah yang gila! Ini adalah makanan untuk babi-babiku.” Pangeran, engkau berbicara seperti si pembawa kotoran dalam perumpamaanku itu. Pangeran, lepaskanlah pandangan salahmu itu, lepaskanlah! Jangan biarkan pandangan itu menyebabkan kemalangan dan penderitaan bagimu untuk waktu yang lama!’

Payasi: ‘Walaupun engkau mengatakan hal ini, Yang Mulia Kassapa, aku tetap tidak dapat melepaskan pandangan salah ini .... Jika aku melepaskan pandangan ini, mereka akan berkata: “Betapa dungunya Pangeran Pāyāsi ....”’

Perumpamaan Penjudi (Akkadhuttaka-upamā)
Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku akan memberikan sebuah perumpamaan .... Suatu ketika, ada dua orang penjudi yang menggunakan kacang sebagai dadu. Salah satu dari mereka, saat kalah, menelan dadu kacang itu. Yang lain melihat apa yang ia lakukan, dan berkata: “Baiklah, Temanku, engkau adalah pemenangnya! Berikan dadu itu dan aku akan memberikan persembahan.” “Baiklah,” jawab yang pertama, dan memberikan dadu itu kepadanya. Kemudian yang lain mengisi dadu itu dengan racun, dan kemudian berkata: “Mari, ayo bermain!” yang lain setuju, mereka bermain lagi, dan sekali lagi salah satu pemain itu, saat kalah, menelan dadu itu. Orang ke dua melihatnya melakukan hal itu, dan mengucapkan syair berikut:

Dadu telah dilumuri dengan zat yang membakar, Walaupun yang menelan tidak mengetahuinya. Menelan, menipu, dan menelan dengan baik – Pahitnya terasa seperti neraka!

Pangeran, engkau berbicara seperti penjudi dalam perumpamaanku itu. Pangeran, lepaskanlah pandangan salahmu itu, lepaskanlah! Jangan biarkan pandangan itu menyebabkan kemalangan dan penderitaan bagimu untuk waktu yang lama!’

Payasi: ‘Walaupun engkau mengatakan hal ini, Yang Mulia Kassapa, aku tetap tidak dapat melepaskan pandangan salah ini .... Jika aku melepaskan pandangan ini, mereka akan berkata: “Betapa dungunya Pangeran Pāyāsi ....”’

Perumpamaan Pengumpul Rami (Sāṇabhāruka-upamā)
Kumara Kassapa: ‘Pangeran, aku akan memberikan sebuah perumpamaan .... Suatu ketika, beberapa penduduk dari suatu daerah pergi merantau. Dan seseorang berkata kepada temannya: “Ayo, mari kita pergi ke desa itu, kita mungkin menemukan sesuatu yang berharga!” temannya setuju, maka mereka pergi ke daerah itu, dan sampai ke jalan desa. Dan di sana mereka melihat tumpukan rami yang telah dibuang, dan salah seorang berkata: “Ini adalah tumpukan rami. Engkau buat seikat, aku buat seikat, dan kita berdua akan membawanya.” Yang lainnya setuju, dan mereka melakukan hal itu. Kemudian, mereka sampai ke jalan desa yang lain, mereka menemukan tumpukan benang rami, dan salah satu dari mereka berkata: “Tumpukan benang rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari rami ini. Mari kita buang rami yang kita bawa, dan kita melanjutkan perjalanan dengan membawa beban benang rami ini.” “Aku telah membawa rami ini menempuh perjalanan yang jauh dan rami ini sudah terikat dengan baik. Ini cukup buatku – engkau lakukanlah apa yang engkau suka!” Maka temannya membuang rami itu dan mengambil benang rami.’

‘“Sampai di jalan desa lainnya, mereka menemukan beberapa kain rami, dan salah seorang dari mereka berkata: “Tumpukan kain rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari rami atau benang rami ini. Engkau buanglah beban rami itu dan aku akan membuang beban benang rami ini, dan kita melanjutkan perjalanan dengan membawa beban kain rami ini.” Tetapi yang lainnya menjawab seperti sebelumnya, maka temannya membuang benang rami itu dan mengambil kain rami. Di desa lainnya, mereka melihat tumpukan batang linen ..., di desa lain, benang linen ..., di desa lain, kain linen ..., di desa lain, kapas ..., di desa lain, benang katun ..., di desa lain, kain katun ..., di desa lain, besi ..., di desa lain, tembaga ..., di desa lain, timah ..., di desa lain, timah hitam ..., di desa lain, perak ..., di desa lain, emas. Kemudian salah seorang berkata: “Tumpukan emas ini adalah apa yang kita butuhkan dari rami, benang rami, kain rami, batang linen, benang linen, kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, timah, timah hitam, perak ini. Engkau buanglah beban rami itu dan aku akan membuang beban perak ini, dan kita melanjutkan perjalanan dengan membawa beban emas ini.” “Aku telah membawa rami ini menempuh perjalanan yang jauh dan rami ini sudah terikat dengan baik. Ini cukup buatku – engkau lakukanlah apa yang engkau suka!” Maka temannya membuang beban perak itu dan mengambil emas.’

‘Kemudian mereka pulang ke desa mereka. Dan di sana, ia yang membawa beban rami tidak memberikan kesenangan kepada orang tua, istri dan anak-anaknya, dan ia bahkan tidak mendapatkan kesenangan atau kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Tetapi ia yang pulang membawa emas memberikan kesenangan bagi orang tua, istri dan anak-anaknya, teman dan rekan-rekannya, dan ia mendapatkan kegembiraan dan kebahagiaan untuk dirinya sendiri juga.’

‘Pangeran, engkau berbicara seperti si pembawa rami dalam perumpamaanku. Pangeran, lepaskanlah pandangan salahmu itu, lepaskanlah! Jangan biarkan pandangan itu menyebabkan kemalangan dan penderitaan bagimu untuk waktu yang lama!’

Payasi: ‘Aku senang dan gembira dengan perumpamaan pertama dari Yang Mulia Kassapa, dan aku ingin mendengarkan jawaban cerdasnya atas pertanyaan-pertanyaan, karena aku merasa bahwa ia adalah seorang lawan bicara yang berharga. Sungguh indah, Yang Mulia Kassapa, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Mulia Kassapa telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Dan aku, Yang Mulia Kassapa, berlindung kepada Sang Bhagavā, Dhamma, dan Sangha. Sudilah Yang Mulia Kassapa menerimaku sejak hari ini sebagai seorang siswa awam sampai akhir hidupku! Dan, Yang Mulia Kassapa, aku ingin menyelenggarakan pengorbanan besar. Nasihatilah aku, Yang Mulia Kassapa, bagaimana melakukan hal ini demi manfaat dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.’

Kumara Kassapa: ‘Pangeran, jika pengorbanan dilakukan dengan menyembelih sapi, kambing, unggas, atau babi, atau berbagai makhluk dibunuh, dan para pesertanya memiliki pandangan salah, pikiran salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah, maka pengorbanan itu tidak akan menghasilkan buah atau manfaat, tidak cemerlang dan tidak bersinar. Bagaikan, Pangeran, seorang petani pergi ke hutan membawa bajak dan benih, dan di sana, di tanah tanpa humus yang belum diolah yang mana tunggul-tunggul belum dicabut, ia menanam benih yang telah rusak, layu, hancur terkena angin dan panas, basi, dan tidak ditanam dengan baik di tanah, dan dewa hujan tidak menurunkan hujan pada waktunya – akankah benih ini bertunas, tumbuh dan berkembang, dan akankah petani itu mendapatkan panen yang berlimpah?’

Payasi: ‘Tidak, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Pangeran, sama halnya dengan pengorbanan yang dilakukan dengan menyembelih sapi, ... dan para pesertanya memiliki pandangan salah, ..., konsentrasi salah. Tetapi jika tidak ada makhluk yang dibunuh dan para pesertanya memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar, maka pengorbanan itu akan menghasilkan buah dan manfaat besar, cemerlang dan bersinar. Bagaikan, Pangeran, seorang petani pergi ke hutan membawa bajak dan benih, dan di sana, di tanah berhumus yang telah diolah yang mana tunggul-tunggul telah dicabut, ia menanam benih yang tidak rusak, layu, hancur terkena angin dan panas, basi, dan ditanam dengan baik di tanah, dan dewa hujan menurunkan hujan pada waktunya – akankah benih ini bertunas, tumbuh dan berkembang, dan akankah petani itu mendapatkan panen yang berlimpah?’

Payasi: ‘Ia akan mendapatkannya, Yang Mulia Kassapa.’

Kumara Kassapa: ‘Demikian pula, Pangeran, pada pengorbanan di mana tidak ada sapi yang disembelih, ... dan para pesertanya memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar, maka pengorbanan itu akan menghasilkan buah dan manfaat besar, cemerlang dan bersinar.’

Kemudian Pangeran Pāyāsi memberikan persembahan kepada para petapa dan Brāhmaṇa, para pengemis dan kaum miskin. Dan di sana makanan yang diberikan adalah dari beras berkualitas rendah dengan bubur yang asam, dan juga pakaian kasar berlubang-lubang. Dan seorang Brāhmaṇa muda bernama Uttara bertanggung jawab dalam hal pembagian persembahan. Merujuk pada hal ini, ia berkata: ‘Melalui persembahan ini, aku bergabung dengan Pangeran Pāyāsi di dunia ini, tetapi tidak di dunia berikutnya.’ Dan Pangeran Pāyāsi mendengar kata-katanya, maka ia memanggilnya dan bertanya apakah ia memang mengatakan hal itu. ’

Brāhmaṇa muda Uttara: ‘Ya, Tuanku.’

Payasi: ‘Tetapi mengapa engkau mengatakan hal itu, Sahabat Uttara? Tidakkah kita yang ingin memperoleh jasa mengharapkan imbalan atas persembahan kita?’

Brāhmaṇa muda Uttara: ‘Tetapi, Tuanku, makanan yang engkau berikan – beras kualitas rendah dengan bubur asam – engkau tidak akan sudi menyentuhnya dengan kakimu, apalagi memakannya! Dan pakaian kasar berlubang-lubang – engkau tidak akan sudi menginjakkan kakimu di atasnya, apalagi memakainya! Tuanku, engkau baik dan lembut kepada kami, jadi bagaimana kami dapat menggabungkan kebaikan dan kelembutan dengan keburukan dan kekasaran?’

Payasi: ‘Baiklah, Uttara, engkau aturlah persembahan makanan seperti yang kumakan dan pakaian seperti yang kupakai.’

Brāhmaṇa muda Uttara: ‘Baiklah, Tuanku,’ jawab Uttara, dan ia melakukan hal itu.

Dan Pangeran Pāyāsi, karena ia telah menyelenggarakan persembahan dengan enggan, tidak dengan kedua tangannya, dan tanpa perhatian yang selayaknya, seperti membuang sesuatu, setelah kematiannya, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di tengah-tengah Empat Raja Dewa, di dalam istana kosong Serīsaka. Tetapi Uttara yang telah menyelenggarakan persembahan tidak dengan enggan, dengan kedua tangannya, dan dengan perhatian yang selayaknya, tidak seperti membuang sesuatu, setelah kematiannya, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di alam bahagia, di alam surga, di tengah-tengah Tiga-Puluh-Tiga Dewa.

Pada saat itu, Yang Mulia Gavampati biasa mengunjungi istana kosong Serīsaka untuk beristirahat siang. Dan Dewa Pāyāsi menjumpai Yang Mulia Gavampati, memberi hormat kepadanya, dan berdiri di satu sisi. Dan Yang Mulia Gavampati berkata kepadanya, selagi ia berdiri di sana: ‘Siapakah engkau, teman?’

Payasi: ‘Yang Mulia, aku adalah Pangeran Pāyāsi.’

Yang Mulia Gavampati: ‘Teman, bukankah engkau adalah orang yang mengatakan: “Tidak ada alam lain, tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik atau buruk”?’

Payasi: ‘Ya, Yang Mulia, aku adalah orang yang mengatakan hal itu, tetapi aku telah berubah dari pandangan salah itu oleh Yang Mulia Kumāra-Kassapa.’

Yang Mulia Gavampati: ‘Dan di manakah Brāhmaṇa muda Uttara yang bertanggung jawab dalam pembagian persembahanmu itu, terlahir kembali?’

Payasi: ‘Yang Mulia, ia yang memberikan persembahan dengan tidak merasa enggan ... terlahir kembali di antara Tiga-Puluh-Tiga Dewa, tetapi, aku, yang memberikan dengan enggan, ... terlahir kembali di sini di istana Serīsaka yang kosong. Yang Mulia, mohon, saat engkau kembali ke bumi, katakan kepada orang-orang untuk memberi tanpa enggan ... dan beritahukan mereka tentang bagaimana Pangeran Pāyāsi dan Brāhmaṇa muda Uttara terlahir kembali.’

Dan demikianlah Yang Mulia Gavampati, setelah kembali ke bumi, menyatakan: ‘Engkau harus memberi tanpa enggan, dengan kedua tanganmu sendiri, dengan perhatian yang selayaknya, tidak dengan sembrono. Pangeran Pāyāsi tidak melakukan hal ini, dan setelah meninggal dunia, saat hancurnya jasmani, ia terlahir kembali di tengah-tengah Empat Raja Dewa di dalam istana Serīsaka yang kosong, sedangkan pelaksana persembahannya, Brāhmaṇa muda Uttara, yang memberi tanpa enggan, dengan kedua tangannya, dengan perhatian yang selayaknya dan tidak dengan sembrono, terlahir kembali di tengah-tengah Tiga-Puluh-Tiga Dewa.’
-------------------

Note:
[1] DN = Digha Nikaya (Digha = Panjang; Nikaya = Kumpulan. Sinonim Nikaya = Agama dalam Sanskrit). DN 23 satu dari sutta-sutta dalam Tipitaka-Pali, kumpulan Sabda Sang Buddha dan para Arahat lainnya. Untuk versi aliran jainnya juga ada yaitu Rajaprasniya [Upangga] dari aliran Shvethambara, kisah ini menggambarkan dialog murid Parsva yaitu Kesi menjelaskan pada raja Pardesi. Pada kitab Jain ini tergambar seni yang ada di jaman Kusana [paruh kedua abad ke 2 s/d 3 Masehi].

Terjemahan di atas (Maurice O'Connell Walshe) ditranslasi ke bahasa Indonesia oleh Dhammacitta, beberapa kata/kalimat terjemahan saya ubah sendiri (saya lampirkan asli palinya dalam kurung. Untuk Sutta dalam pali, lihat di sini). Pengumpulan dan penyatuan Sutta-sutta Buddha lamanya 50 tahun setelah wafatnya Sang Buddha. Kapan sutta ini di babarkan, silakan lihat di catatan kaki no.2 [↑]


[2] Ibu YM Kumara Kassapa adalah putri seorang kaya (seth) dari Rajagaha, yang berniat menjadi Bhikkhuni namun tidak mendapatkan ijin orang tuanya dan dinikahkan. Setelah menikah, Ia meminta ijin suami untuk menjadi Bhikkhuni dan diijinkan. Ibu YM Kumara Kassapa diantar suaminya kekumpulan bhikkhu (sangha) pimpinan Devadatta, di Rajagaha dan ditahbiskan di sana. Ketika itu, ia tidak tahu jika dirinya tengah hamil, lama setelahnya kehamilannya diketahui rekan sesama Bhikkuni, mereka melaporkan ini ke Devadatta yang kemudian memutuskan bahwa Ia tidak lagi bhikkhuni dan juga di usir.

Bhikkhuni muda ini kemudian meminta diantar ke vihara Jetavana (Savatthi, perjalanan sejauh 45 yojana) untuk menetap di sana. Permasalahan ini kemudian dilaporkan ke sang Buddha. Walaupun Sang Buddha tahu kehamilan Bhikkhuni ini terjadi saat menjadi umat awam, namun untuk mencegah kontroversi dan gunjingan lanjutan, beliau mengundang Raja Pasenadi dari Kosala, Anathapindika, Visakha dan lainnya.

Dihadapan mereka, Sang Buddha menunjuk YM Upali untuk menyidik dan mengambil keputusan mengenai ini. Visakha dan para perempuan Savatthi menyelidiki kapan mulainya kehamilan Bhikkhuni ini dan hasilnya diketahui bahwa ini terjadi sebelum Ia ditahbiskan. Hasil ini dilaporkan ke YM Upali dan diputuskan bahwa tidak ada aturan parajika yang dilanggar Bhikkhuni ini dan Ia dinyatakan tidak bersalah.
    note:
    Penahbisan bhikkuni menggunakan aturan AtthaGarudhamma (8 Aturan penting), yaitu pada aturan no.6, "selagi menjalani masa percobaan, ia telah berlatih dalam 6 sila selama 2 tahun, maka ia harus memohon penahbisan dari kedua Saṅgha. Peraturan ini juga harus dihormati … seumur hidupnya.". Jika syarat aturan "menjalankan 6 sila selama 2 tahun" dipatuhi sangha pimpinan Devadatta, maka TIDAK AKAN terjadi salah putusan yang berakibat pengusiran ini, bukan?. Di jaman Sang Buddha, yaitu setelah penetapan Atthagarudhamma, terjadi 3x pelanggaran aturan menjalankan 6 sila sebelum penahbisan, yang karena inilah maka muncul aturan pacittiya Bhikkhuni no.63, 66 dan 72
Ketika anak itu lahir raja Pasenadi dari Kosala memeliharannya, Ia diberi nama: Kassapa. Pada usia 7 tahun dikirim ke vihara ditahbiskan menjadi SAMANERA dan ketika ia membawa hidangan kecil seperti buah kepada Sang Buddha, Ia mendapat tambahan nama kumara, sejak itu disebut Kumara Kassapa. Arti kata kumara adalah anak atau pangeran.

Kumara Kassapa diupasampada/ditahbiskan jadi Bhikkhu pada usia 20 tahun, umur dihitung sejak di kandungan ibunya. [rincian lain, lihat: J. i.148 (No.12: Nigrodhamiga-Jataka), Penanganan Upali terhadap kasus ini memenangkan pujian khusus Sang Buddha, lihat, misalnya, AA. i.172. Juga di "Riwayat Agung Para Buddha", Mingun Sayadaw, buku ke-3, cetakan ke-1, May 2008, hal 2699-2710)]

Vammikka Sutta disampaikan ketika Kumāra Kassapa bermeditasi di Andhavana (Selatan Savatthi). Seorang Brahma deva alam Sudhavasa yang telah mencapai Anagami, salah satu dari 5 temannya di jaman Buddha Kassapa. [Pukkusāti/Anagami, Bahiya Dārucīriya/Arahat, Dabba Mallaputta/di tahbiskan jadi bhikkhu umur 7 tahun dan jadi Arahat di saat rambutnya di cukur dan Sabhiya/Arahat. Sang Brahmadeva Anagami ini dahulunya bernama Anuthera], hadir dihadapannya dan menanyakan 15 pertanyaan yang hanya seorang Buddha dapat menjawabnya dan disampaikan kepada Sang Buddha. Inilah kemudian menjadi Vammika sutta. Saat itu ia adalah seorang Bhikkhu dan di sutta tersebut ia disebut Yang Mulia. Panggilan ini mencirikan bahwa saat itu beliau telah mencapai kesucian. Kitab komentar Angutara menyatakan pada saat sutta ini dibabarkan ia masih seorang sekha; ia mencapai Kearahatan dengan menggunakan sutta ini sebagai subyek meditasinya.

Terdapat dua pendapat mengenai KEJADIAN pertemuan antara Payasi dan YM Kumara kassapa:
  • Dhammapala, Komentator abad ke-5 Masehi, di Vimana Vathu hal.297 menyampaikan bahwa kotbah ini disampaikan setelah wafatnya sang Buddha dan pendirian stupa relik sang Buddha.
  • Komentar Anguttara (i.159) abad ke-5 Masehi, oleh Buddhaghosa, Menyatakan Sang Buddha memberinya gelar cittakathikānam (trampil dalam menyampaikan pembicaraan) yang dikaitkan dengan pembicaraan Kumara kassapa dengan Pāyāsi, dalam Pāyāsi sutta (Dictionary of Pāli Proper Names karangan Malasekara menyatakan Komentator Anguttara ini keliru menyatakan demikian).
Payasi Sutta menceritakan mangkatnya Payasi yang terlahir kembali di alam Catumaharajika dan juga mangkatnya Brahmin muda Uttara di alam Tavamtisa. Ketika YM Gavampati sedang beristirahat di alam Catumaharajika, Deva muda Payasi datang menghampirinya, memberi hormat, berbincang dengan beliau dan memohon pada YM Gavampati untuk menyampaikan pada manusia bagaimana Pangeran Pāyāsi dan Brāhmaṇa muda Uttara terlahir kembali. Permohonan Payasi dipenuhi YM Gavampati ketika beliau kembali ke alam Manusia.

YM Gavampati wafat sebelum berlangsungnya konsili ke-1 (di selenggarakan 3 bulan setelah wafatnya sang Buddha).

Di UPOSATHA SUTTA disebutkan bahwa 1 hari di alam TAVATIMSA = 100 tahun di alam Manusia; 1 hari di alam CATUMAHARAJIKA = 50 tahun tahun di alam manusia, Sehingga jika dihitung kurang lebih hasilanya menjadi seperti ini:

1 detik di alam tavatimsa = 10 JAM di alam manusia
1 detik di alam catumaharajika = 5 jam di alam manusia
I jam alam Tavatimsa = 4 tahunan di alam manusia
1 jam alam Catumaharajika = 2 tahunan di alam manusia

Dari keterangan di atas, kita coba susun kronologis penyampaian Payasi sutta:
Sangha Bhikkhuni terbentuk di atas tahun ke-20/21. Ibu Kumara kassapa menjadi bhikkhuni adalah di atas tahun ke-20/21. Kumara kassapa ditahbiskan menjadi bhikkhu di usia 20 (tahun ke-41 masa Kebuddhaan Gotama). Vammika sutta dibabarkan setelah Ia menjadi Bhikkhu, masih Sekkha namun belum Arahat. Dengan objek dari Vammika sutta, Ia menjadi Arahat dan kemudian di satu waktu, Ia di beri gelar cittakathikānam oleh Sang Buddha. Sang Buddha wafat di tahun ke-45 dan 3 bulan kemudian diadakan konsili ke-1 yang tidak dihadiri oleh YM Gavampati. Lebih dari 2 tahun sebelum wafatnya sang Buddha, YM Kumara Kassapa bertemu dengan Payasi. Sebelum wafatnya sang Buddha, Payasi dan Brahmin Uttara wafat.

Reka ulang di atas ini tampaknya mendukung pendapat dari kitab komentarnya Buddhaghosa. [↑]

[3] Payasi tinggal di Setavyā (dekat Ukkattha), sebuah tempat/area/kota di kerajaan Kosala. Raja Kosala, Pasenadi memberikan kota ini kepada payasi. Terdapat 3 hutan bernama Simsapa, yaitu di Alavi, Kosambi (Simsapa sutta) dan di area Utara Kosala (Payasi Sutta) tempat ia bertemu Kumara Kasappa adalah bukan tempat Sisampa sutta disampaikan. Payasi di gelari Rajanna, dapat diartikan pangeran atau pengelola daerah (ajjhāvasati). [↑]


[4] Pernyataan Kumara Kassapa "engkau boleh menjawab apa pun yang engkau anggap benar" yang terus muncul setelah pertanyaannya menunjukan bahwa beliau ini benar-benar telah mempersiapkan jawabannya dan telah mengantisipasi jawaban Payasi. [↑]


[5] Ada dua konteks kemungkinan dalam perumpamaan yang diberikan ini:
Konteks ke-1: Deva berasal dari kata div yang berarti sinar/cahaya, nyata diketahui indriya siapapun, sedangkan manussa berasal dari kata mana yang berarti pikiran/pandangan/dugaan/khayalan, produk pikiran, yang tidak dapat diketahui orang lain) sehingga kalimat ini dapat diartikan nyata vs khayalan. Ketika Payasi dengan pengetahuannya menyatakan Matahari dan Bulan terdapat di dunia ini dan dunia lainnya, maka menanggapi jawaban Payasi, Kumara Kassapa menegaskan bahwa patut pula dipertimbangkan adanya...
Konteks ke-2: Di jaman itu mempunyai anggapan bahwa Bulan dan Matahari adalah Deva atau kendaraan deva atau tempat Deva. maka menanggapi jawaban dari Payasi, Kumara Kassapa menegaskan bahwa patut pula dipertimbangkan adanya... [↑]


[6] Pernyataan Payasi dengan eksperimentnya untuk membuktikan ada/tidaknya jiwa VS jawaban dari Kumara Kassapa mempunyai sudut pandang yang berlainan.

Pernyataan payasi,
memberikan argument dari pembuktian empiris yang membantah pandangan umum saat itu mengenai adanya jiwa,

Jawaban Kumara Kassapa,
melalui perumpamaan tidurnya, TIDAK memberikan DUKUNGAN maupun BANTAHAN terhadap eksperiman payasi dan juga pandangan umum adanya JIWA. Fokus dari Kumara Kassapa berfokus adalah memberikan fakta sederhana pada Payasi yaitu bahkan ketika payasi masih hiduppun, payasi tidak punya kualifikasi untuk dapat melihat sesuatu yang tidak tampak.

PENOLAKAN pada pandangan umum adanya jiwa, YM Kumara sampaikan di perumpamaan berikutnya yaitu bola besi membara. Kumara Kassapa menjelaskan mengenai bauran unsur dan tidak ada inti.

Buddhism tidak memegang pandangan adanya Jiwa/roh di dalam makluk hidup:
    Cuplikan VINA SUTTA, Samyutta Nikaya 35.205/246:

    [..] Misalkan ada seorang raja atau menteri kerajaan yang belum pernah mendengar suara musik kecapi. Kemudian pada suatu hari ia mendengarkannya dan berkata,"Orang baik beritahukanlah kepadaku , suara apakah itu, yang begitu mempesona, begitu menyenangkan, begitu memabukkan, begitu menggairahkan, dengan kekuatan yang begitu mengikat?"

    Lalu mereka berkata kepadanya,"Paduka, itu adalah suara musik kecapi."

    Maka ia berkata,"Pergilah, bawakan aku kecapi itu!"

    Lalu mereka membawakan kecapi itu kepadanya tetapi ia berkata,"Cukup sudah dengan kecapi ini. Bawakan saja aku musiknya!"

    Mereka lalu berujar,"Paduka, kecapi ini terdiri dari berbagai dan banyak bagian: perut, kulit, tangkai, kerangka, senar, kuda-kuda, dan upaya pemain. Dan kecapi itu bersuara karena mereka. Kecapi itu bersuara karena banyak bagian".

    Lalu raja tersebut memecahkan kecapi itu menjadi ratusan bagian, memecah dan memecahnya lagi, membakarnya, menaruh abunya dalam sebuah timbunan, dan menampinya dalam sebuah tong atau mencucinya dengan air agar dapat menemukan suara musiknya.

    Setelah melakukan hal ini, ia berkata, "Kecapi merupakan benda yang sungguh jelek; apapun gerangan sebuah kecapi itu, dunia telah terbawa sesat oleh benda itu".

    Demikian pula, seseorang menyelidiki JASMANI sejauh berlangsungnya JASMANI, menyelidiki PERASAAN..., menyelidiki PERSEPSI..., menyelidiki BENTUK-BENTUK KEHENDAK..., menyelidiki KESADARAN sejauh berlangsungnya KESADARAN. Ketika Ia menyelidiki JASMANI sejauh berlangsungnya JASMANI,.., menyelidiki KESADARAN sejauh berlangsungnya KESADARAN, maka ‘aku’ (ahanti) atau ‘milikku’ (mamanti) atau ‘diriku’ (asmīt) yang muncul dalam dirinya, tidak lagi ada”.


    Cuplikan Vajira Sutta, Samyuta Nikaya 5.10:

    [Di Sāvatthi, Mara si penggoda mendatangi Bhikkhunī Vajirā dan berkata]
    Siapa pembuat ‘makhluk’? (Kenāyaṃ pakato satto)
    Dimanakah si pencipta ‘makhluk’? (kuvaṃ sattassa kārako)
    Dimanakah ‘makhluk’ muncul? (Kuvaṃ satto samuppanno)
    Dimanakah ‘makhluk’ lenyap? (kuvaṃ satto nirujjhatī)

    Bhikkhunī Vajirā:
    Apa (sesosok) ‘makhluk’? (Kiṃ nu sattoti paccesi)
    Māra pandangan ini usang (māra diṭṭhigataṃ nu te)
    Ini hanyalah kumpulan perpaduan (Suddhasaṅkhārapuñjoyaṃ)
    Tidak ada di sini ‘makhluk’ (nayidha sattupalabbhati)

    Sebagaimana rangkaian bagian (Yathā hi aṅgasambhārā)
    Itu disebut sebagai ‘kereta’ (hoti saddo ratho iti)
    Demikianlah kelompok (kehidupan) yang ada (Evaṃ khandhesu santesu)
    Secara umum disepakati sebagai ‘makhluk’ (hoti sattoti sammuti)

    Dukkhalah yang muncul (Dukkhameva hi sambhoti),
    Dukkhalah yang berlangsung dan lenyap (dukkhaṃ tiṭṭhati veti ca)
    Tiada lain dukkhalah yang muncul (Nāññatra dukkhā sambhoti)
    Tiada lain dukkhalah yang lenyap (nāññaṃ dukkhā nirujjhatī)

    note:
    Mara pāpimā, kerap di terjemahkan Mara 'the evil one' dan diterjemahkan ke Indonesia Mara "si jahat". Saya ubah menjadi Mara si penggoda dengan alasan arti Papima diterjemahkan malicious [jahat, dendam, dengki]. Kata ini sulit di artikan dan bisa jadi berasal dari kata papma mrtyuh [Salah satu brahmana (penjelasan utk Veda), lihat cat kaki no.2 atau di sini]. Kemudian, papau [no.523], di mana penterjemahan beberapa kata selalu berhubungan dengan "mabuk". Ia berasal dari kata "papa" [misery (kesengsaraan), calamity (kesusahan); ketidakberuntungan, dll]. Poinnya adalah Mara selalu berusaha menyeret mahluk menuju kelahiran kembali sehingga menurut saya, lebih tepat diterjemahkan sebagai si penggoda.


    Cuplikan Milanda Panha, bab I

    Milinda Pañha merupakan buku Pali yang ditulis kira-kira pada Abad Pertama Sebelum Masehi. Raja Milinda, seorang raja Bactria [Afganistan Utara] yang memerintah di tenggara India, menemui seorang bhikkhu pandai yang bernama Nagasena. Raja Milinda melontarkan sejumlah pertanyaan mengenai filsafat, psikologi dan etika Buddhisme.

    [..]

    Raja Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena. Setelah saling mengucapkan salam persahabatan secara sopan, raja duduk dengan hormat di satu sisi. Milinda mulai bertanya:

    "Apa sebutan Yang Mulia dan siapakah nama Anda?"

    "Baginda, saya disebut Nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan umum, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan."

    Mendengar itu, Milinda mengundang orang-orang Yunani Bactria serta para bhikkhu untuk menjadi saksi: "Nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat di dalam namanya. Mungkinkah hal seperti itu diterima?"

    Kemudian dia berbalik kepada Nagasena dan berkata, "Yang Mulia Nagasena, jika hal tersebut benar, lalu siapakah yang memberi Anda jubah, makanan dan tempat tinggal? Siapakah yang menjalani kehidupan dengan benar? Atau juga, siapakah yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan? Jika apa yang Anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan yang bajik atau perbuatan yang tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan tidak ada hasil karma. Yang Mulia, seandainya saja seseorang membunuh Anda, maka tidak akan ada pembunuh. Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru di dalam Sangha anda [sangha = kumpulan para Bikkhu]. Anda katakan bahwa Anda disebut Nagasena. Nah, apa itu Nagasena? Apakah rambutnya?"

    "Saya tidak mengatakan demikian, raja yang agung."

    "Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian tubuh lainnya?"

    "Tentu saja tidak."

    "Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, atau bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya?1 Ataukah gabungan dari itu semua? Ataukah sesuatu di luar semua itu yang disebut Nagasena?"

    Masih saja Nagasena menjawab: "Bukan semuanya itu."

    "Kalau begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata ini? Yang Mulia telah berdusta."

    "Baginda, tuan telah dibesarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan. Bagaimana tadi baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?"

    "Naik kereta, Yang Mulia."

    "Kalau begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu? Apakah porosnya? Apakah rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta? Ataukah gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu di luar semua itu?"

    "Bukan semuanya itu, Yang Mulia."

    "Kalau begitu, baginda, kereta ini hanyalah omong kosong. Baginda berdusta ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di India. Siapa yang baginda takuti sehingga baginda berdusta?"

    Kemudian Nagasena memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: "Raja Milinda ini telah berkata bahwa beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya, 'Apakah kereta itu?' beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?"

    Maka secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu berteriak bersama-sama kepada raja, "Jawablah bila baginda bisa!"

    "Yang Mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka ia disebut kereta."

    "Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar. Demikian pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik2 di dalam tubuh manusia beserta lima unsur makhluklah maka saya disebut Nagasena. Seperti yang telah dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang Agung, 'Seperti halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata 'kereta' digunakan, demikian juga bila ada unsur-unsur makhluk maka kata 'makhluk' digunakan.'"3

    "Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit. Seandainya Sang Buddha berada di sini pun Beliau pasti akan menyetujui jawaban Anda."

    [..]

    Penolakan Nagasena bahwa roh (jiwa] ada di dalam pernafasan.
    Penolakan ini diungkapkan oleh beliau kepada seorang menteri utusan Raja Milinda yang bernama Anantakâya. "Siapa sih gerangan Nâgasena itu," tanya Anantakâya untuk memancing perdebatan.

    Nâgasena Thera tidak menjawab pertanyaan ini secara langsung, tetapi justru balik bertanya: "Dalam pengertian Anda, siapakah Nâgasena itu?"

    Mulailah Anantakâya menyajikan pandangan sesatnya, "Roh, pernafasan masuk dan keluar, itulah yang saya maksud sebagai Nâgasena."

    Nâgasena bertanya lebih lanjut: "Bagaimana seandainya nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali; apakah orang itu akan mati atau masih hidup?"

    Anantakâya menjawab, "Jika nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali, orang itu niscaya akan mati."

    Nâgasena Thera menyanggah pendapat ini dengan membuat suatu perumpamaan yang gamblang: "Para peniup sangkalala atau terompet –yang sewaktu meniup sangkalala atau terompet, nafas yang terhembuskan tidak masuk kembali ke dalam tubuh–; mengapa mereka tidak mati?"

    Anantakâya berdiam diri karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Nâgasena Thera kemudian mewejangkan:

    "Tidak ada roh dalam pernafasan. Nafas keluar dan nafas masuk semata-mata hanyalah salah satu bagian dari kegiatan jasmaniah (kâyasaõkhâra). Pernafasan adalah unsur udara (vâyodhâtu) yang menghidupi tubuh jasmaniah; bukan kehidupan itu sendiri. Kehidupan itu terdiri atas lima kelompok, yakni: materi/bentuk, perasaan, ingatan, corak-corak batiniah, dan kesadaran. Pernafasan hanyalah salah satu bagian dari materi/bentuk (rûpa)."
Jadi, mahluk hidup menurut Buddhism adalah Pancakhanda atau Namarupa.
  • Pancakhanda (Vinnana/Kesadaran; Vedana/perasaan; Sanna/persepsi, ingatan, sumber, gagasan; Sankhara/bentukan-bentukan; Rupa/Materi.
  • Nama rupa (Vedana/perasaan, Sanna/persepsi, Cetana/kehendak, Phasa/kontak, Manosikaro/bentuk pikiran dan Rupa/materi/bentukan).
Vinnana yang tidak disebutkan dalam nama rupa ada di phassa (kontak).

Dengan 6 Indriya [mata, telinga,.., pikiran] dan objek-objeknya [bentukan, suara,.., (ingatan, sumber, persepsi, gagasan)] sebagai kondisi, muncul kesadaran [mata, teling,..]. Pertemuan ketiganya disebut Kontak.
→ [juga dapat seperti ini: "MentalMateri mengondisikan kesadaran dan kesadaran mengondisikan MentalMateri, MentalMateri mengondisikan kontak" [DN 15/Mahānidāna Sutta];

Dengan kontak sebagai kondisi, muncul perasaan[vedana];
→ [perasaan itu ada 3: Dukkha, Sukkha, a-dukkham a-sukkam; atau dengan kata lain: SUKACITA [somanassaṭṭhāniyaṁ], DUKACITA [domanassaṭṭhāniyaṁ], NETRAL [upekkhaṭṭhāniyaṁ]; ato kata lain lagi: menyenangkan [manāpaṃ], tidak menyenangkan [amanāpaṃ], menyenangkan dan tidak menyenangkan [manāpāmanāpaṃ] → masing-masing dari 3 perasaan dibagi menjadi 2 lagi yaitu perasaan: "tertentu" dan "yang lain" (MN.70/Kīṭāgiri Sutta] maksudnya perasaan-perasan yang menambah kusala/hal bermanfaat = "yang lain"; yang menambah akusala/hal tidak bermafaat = "tertentu". Penangan pada muncul perasaan-perasan jenis "yang lain" → ‘Masuk dan berdiamlah dalam perasaan itu', jika muncul perasaan jenis "tertentu" → ‘Tinggalkan perasaan itu']

Apa yang dirasakan, itulah yang dikenali [sañjānāti];
Apa yang dikenali, itulah yang dipikirkan [vitakketi];
Apa yang dipikirkan, itulah yang dikembangbiakkan [papañceti] pikiran;
Dengan apa yang dikembangbiakkan dipikirannya sebagai: sumber, persepsi dan gagasan [papañca-saññā-saṅkhā], melanda seseorang melalui objek-objek [bentukan, suara,..] masa: lalu, sekarang dan depan yang dikenali 6 Indriya [mata, telinga,.., pikiran]. [MN 18/Madhupiṇḍikasutta]

Materi (rupa) membentuk Indriya, yang merupakan kontak dan juga tempat kesadaran. Saat kontak ada persaan dan persepsi serta pikiran dan bentukan-bentukan pikiran. Inilah mengapa kesadaran tersebut ada di seluruh bagian mahluk hidup.

"Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman - kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya. Karena apa yang seseorang rasakan, itulah yang ia persepsikan; dan apa yang ia persepsikan, itulah yang ia sadari. Itulah mengapa kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya." [MN.43, Mahāvedalla Sutta]

"Saññā ca vedanā ca cetasikā ete dhammā cittapaṭibaddhā. Tasmā saññā ca vedanā ca cittasaṅkhāroti" (Persepsi dan perasaan adalah fenomena mental, kondisi-kondisi ini terikat dengan pikiran; itulah sebabnya mengapa persepsi dan perasaan adalah juga bentukan pikiran)[MN.44, Cūḷavedalla Sutta]

Itulah sebabnya Buddhism mengatakan tidak ada jiwa (an-atta), yang ada adalah bauran dari hal tersebut di atas. Detail lainnya lihat di "Ringkasan Ajaran Buddha" [↑] [↑]


[7] Statement Payasi dan Kumara Kasapa: Sewaktu ia masih hidup, ia lebih ringan, lebih lunak, dan lebih lentur, tetapi ketika ia telah mati, ia lebih berat, lebih kaku, dan tidak lentur."

Definisi mati ada dua, yaitu somatik [mati seluruh tubuh, namun masih bisa dipaksa hidup dengan bantuan mesin] dan dilanjutkan dengan kematian seluler [tidak dapat melakukan metabolisme]. Umumnya orang [termasuk dokter] memastikan kematian di tingkat somatik. Tingkat kematian di tingkat seluler, dari yang sensitif [otak] hingga yang paling akhir [kuku dan rambut] [Library thinkquest.org]. Kematian somatik menghentikan supply darah dan oksigen, sebagai penggantinya otot melakukan pelepasan ATP dari simpanan gycogen..inilah yang membantu untuk tetap melakukan metabolisme sampai Ia menjadi kaku sama sekali [abc.net.au/science]

Lama waktu mayat menjadi kaku dan tidak lentur:
    Mayat menjadi kaku terjadi di 30 menit dan 3 jam setelah kematian. Proses ini disebut rigor mortis dan terjadi karena otot dalam tubuh mulai kaku akibat kekurangan darah dan oksigen. Rigor mortis pertama menjadi jelas di kelopak mata dan rahang dan menyebar ke seluruh tubuh di sekitar 6 s.d 12 jam, sebelum surut kembali di 6 s.d 12 jam berikutnya. Kadang-kadang, kakunya tubuh bahkan mungkin tidak terjadi jika suhu sekitarnya sangat rendah, sementara proses terjadinya jauh lebih cepat pada otot yang cukup aktif di sebelum kematian. [Ilmu forensik: "Time Since Death"]
Dr. Duncan MacDougall dari Haverhill, Massachusetts, mengobservasi perubahan berat di sebelum, selama dan setelah kematian dengan menggunakan sample 6 subjek yang wafat karena TBC (4), Diabetes (1) dan tidak jelas (1).
    Dari 6 subyek, 2 harus di buang, 1 subyek menunjukkan penurunan berat seketika (dan tidak lebih -> 0.75 ounces = 21 gram), 2 menunjukkan penurunan berat badan yang meningkat dengan berlalunya waktu, dan 1 menunjukkan penurunan berat yang langsung dalam berbalik pulih kembali. Hasil ini tidak dapat diterima karena kesalahan eksperimen sangat tinggi, terutama karena MacDougall dan rekan-rekannya sering kesulitan dalam menentukan saat yang tepat kematian, salah satu faktor kunci dalam percobaan mereka. Pada pengujian 15 ekor anjing, tidak ditemukan penurunan berat [Soul Man].
Lewis E Hollander, Jr, mengobservasi perubahan berat pada 12 binatang dan menyampaikan hasil:
    "Tak ada perubahan berat jangka panjang, di saat kematian, pada hewan yang di uji, dalam batas peralatan dan prosedur yang digunakan. Namun, dalam 5 detik, tambahan berat sementara dari 18 hingga 780 gram teramati..Walaupun perubahan sementara berat secara spontan teramati pada manusia, sejauh ini belum lagi dilakukan. Sebaliknya, semua domba menunjukan peningkatan sementara berat saat kematian.." [Journal of Scientific Exploration, Vol. 15, No. 4, pp. 495–500, 2001, "Unexplained Weight Gain Transients at the Moment of Death"]
Setelah kematian seseorang/hewan, terdapat peningkatan berat badan.
    Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh akan hilang, bakteri yang secara normal dihambat oleh jaringan tubuh akan segera masuk ke jaringan tubuh melalui pembuluh darah..Bakteri ini menyebabkan hemolisa, pencairan bekuan darah yang terjadi sebelum dan sesudah mati, pencairan trombus atau emboli, perusakan jaringan-jaringan dan pembentukan gas pembusukan..Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam pasca mati..Bakteri ini memproduksi gas-gas pembusukan yang mengisi pembuluh darah yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah superfisial tanpa merusak dinding pembuluh darahnya..Secara mikroskopis bakteri dapat dilihat menggumpal pada rongga-rongga jaringan dimana bakteri tersebut banyak memproduksi gelembung gas. Ukuran gelembung gas yang tadinya kecil dapat cepat membesar menyerupai tampilan sisiran madu..Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-gelembung udara mengisi hampir seluruh jaringan subkutan..Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam sikap pugilistic attitude..Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah mati.[Dekomposisi pasca mati]
Menjadi mayat pun kuku masih terus tumbuh! Rata-rata pertumbuhan kuku manusia normal:
  • Tumbuh lebih cepat di musim panas daripada musim dingin,
  • Pertumbuhannya tergantung pada hormon dan umur
  • Kuku Pria tumbuh lebih cepat dari kuku wanita, kecuali saat hamil dan usia tua,
  • Kuku tangan tumbuh lebih cepat dari kuku kaki [kuku kaki = 1/3-1/4 x tangan]
[American academy of Dermatology: 2-3 mm/bulan; Nail Growth as a Natural Clock: 1-2 mm/minggu; Definition of Toenail: 1 mm/hari; Wikipedia]

Johnny Carson:
"For three days after death, hair and fingernails continue to grow… but phone calls taper off. (Selama 3 hari pasca kematian, rambut dan kuku jari terus tumbuh... tapi bunyi telpon makin meruncing)" - [Pesulap, pelawak, entertainer, pernah membawakan "the Tonight Show" NBC, meninggal 2005]

Pernyataan mendiang Carson bahwa selama 3 hari setelah mati, kuku dan rambut akan terus tumbuh tidak didukung [link di atas dan di bawah] yang justru menyatakan bahwa kuku mayat tidak akan bertambah panjang. Panjangnya kuku mayat, karena mayat itu yang menyusut, ini merupakan tipuan tampilan [Snope: Coffin nails; Newscientist: Life after death dan Straightdope: Do hair and nails continue to grow after death?]

Namun demikian, ucapan Dr Trisha Macnair berikut ini memberikan arti lain:

When someone's heart stops pumping blood around their body, the tissues and cells are deprived of oxygen and rapidly begin to die. But different cells die at different rates.
So, for example, brain cells die within three to seven minutes, while skin cells can be taken from a dead body for up to 24 hours after death and still grow normally in a laboratory culture.
But contrary to folklore, this doesn't mean that hair and nails continue to grow after death, although shrinkage of the skin can make it seem this way.

(Ketika jantung seseorang berhenti memompa darah ke seluruh tubuh, jaringan dan sel kekurangan oksigen dengan cepat dan mulai mati. Tapi laju kematian sel-sel berbeda.
Sebagai contoh, sel-sel otak akan mati dalam 3 atau 7 menit, sementara sel-sel kulit dari tubuh yang mati sampai dengan 24 jam setelah mati dan tetap tumbuh normal dalam lingkungan labolatorium.
Berlawanan dengan kepercayaan rakyat, tidak berarti rambut dan kuku terus tumbuh setelah kematian, walaupun penyusutan kulit membuatnya tampak seperti itu) - [bbc: Decomposition after death]

Dr. Macnair memang menyatakan "tidak berarti" kuku dan rumbut tetap tumbuh setelah meninggal namun Ia juga menyatakan bahwa sel kulit mayat dalam kondisi tertentu dapat terus tumbuh hingga 24 jam lagi (kulit tidak segera menyusut). Proses bio kimia tidak langsung stop seketika, masih ada proses dari nutrisi tersisa/tersedia hingga benar-benar berhenti. Kuku masih bisa terus tumbuh hingga beberapa waktu kemudian.

Selama hidup, darah juga mengedarkan obat-obatan dan racun dan itu kemudian masuk ke dalam kuku dan rambut. Ada beberapa makan/obat-obatan yang terbukti dapat menumbuhkan jaringan kuku dan rambut, yaitu Methionine [terdapat pada bahan obat untuk hepatitis, ini adalah asam essensial [juga dari casein dan putih telor], mensintesa protein (paling banyak terdapat di kuku, keratin). Tubuh memerlukan protein untuk memproduksi sel baru. [Sumber: Alergy-book.blogspot: Protein for your body; Peta.org; Hepatitis-Central: Glossary,M; brazoria-county.com: after death; perugiamurderfile: postmortem changes and time of death; etd.library.pitt.edu]

Jadi, wajarlah ada mayat yang mempunyai kuku lebih pajang, disamping karena menyusutnya mayat juga karena karena proses tubuh yang tersisa. [↑] [↑]


[8] Statement Payasi: "Yang Mulia, saat bola besi itu panas, terbakar, dan bersinar, ada unsur api dan angin, maka bola besi itu lebih ringan, lebih lunak dan lebih lentur."



Percobaan di atas berasal dari "Heating a Crucible to Constant Weight" memang tidak menggunakan bola besi melainkan wadah padat tertentu (crucible). Namun esensinya sama, benda SOLID yang dipanaskan, partikel molekul di dalamnya bergetar, terjadi pemuaian (volume) dan perubahan densitas, terjadi perbedaan tekanan, terjadi gaya aksi-reaksi molekul, reaksi perbedaan panas dan perubahan panas, terjadi perubahan energi panas menjadi energi kinetik, Inilah yang membuatnya menjadi lebih ringan sedikit.



Setelah mendingin, besi yang bakar menjadi besi oksida, terdapat penambahan massa yang berasal dari oksigen. [↑]


Artikel lainnya:
1. Cape dan Bingung?..Mana Komentar yang Benar?
2. Bhara Sutta: Menghabisi Hidup dan Membuang Beban!!
3. Kelahiran kembali