Sabtu, 08 November 2008

Mahabharata


Kisah-kisah pada tradisi India digolongkan menjadi:
  • Kavya (isinya bisa jadi tidak benar namun dituliskan dengan cara yang sungguh Indah),
  • Purana (Cerita-cerita yang tidak sungguh-sungguh terjadi namun memiliki nilai pendidikan, tujuannya agar orang mengerti bahwa dengan berbuat baik akan mendapat pahala baik). Purana adalah naskah yang hadir paling belakang. Ada 18 Purana utama yang disebut Mahapurana dan 18 Purana kecil yang disebut Upapurana. Kebanyakan pemeluk Hindu mendapatkan pengetahuan dari Purana, yang merepresentasikan bentuk populer dari Hinduisme.
  • Itikatha merupakan kejadian-kejadian yang disusun secara kronologis ataupun kejadian-kejadian yang berbeda-beda dan
  • Itihasa berasal dari kata ‘hasati’ = tertawa, merupakan bagian Itikata yang mempunyai nilai pendidikkan, yaitu MahaBharata ((Razmnama versi Persia)) dan Ramayana
Itihasa dan Purana digolongkan kedalam Smerti, sedangkan 4 Veda lainnya [Rig Veda, Yajur Veda, Sama Veda dan Atharva Veda] digolongkan sebagai Sruti. Itihasa [Mahabharata dan Ramayana] dan Purana disebut juga Veda yang ke-5:
    "Dia pergi ke wilayah terakhir. sloka-sloka Rig, Sāma, Yajur dan ketaatan mengikutinya...Dia pergi ke daerah besar. Itihāsa, Purāna, Gāthā dan Nārāsansi mengikutinya [AtharvaVeda 15.6.3-4]

    "O Maitreya, Rg, Yajur, Sama dan AtharvaVeda sama seperti para Itihasa dan Purana semua merupakan manifestasi dari nafas Tuhan" [Madhyandina-sruti, Brhad-aranyaka Upanisad 2.4.10]

    Sebagaimana Rg, Yajur, Sama dan Atharva adalah nama 4 Veda. Para Itihasa dan purana adalah VEDA YANG KE-5" [Kauthumiya Chandogya Upanisad 7.1.4]

    "vedān adhyāpayām āsa mahābhārata pañcamān" (veda-veda disampaikan mahabharata ke-5) [Mahabharata 1.57 dan 12.327]
Veda, Itihasa dan Purana diyakini disusun Byasa/Vyasa, dari keluarga Nelayan yang hidup di suatu tempat antara pertemuan sungai Ganga dan Yamuna dekat Prayaga. Karena warna tanah tempat Vyasa lahir adalah kehitam-hitaman (Sanskrit = Krsna/Pali = Kanha], maka beliau juga disebut Krsna Dwipa. Anak yang lahir ditempat itu disebut Krsna Dwipayana [Pali: Kanha Dipayana]. Purana menjelaskan bahwa Vyasa adalah semacam gelar DAN BUKAN hanya 1 (satu) orang saja:
    "Oh para Bramana, Megetahui bahwa Purana secara perlahan akan dilupakan, disetiap Yuga, Aku akan hadir dalam bentuk Vyasa dan menyusunnya" [Matsya Purana 53.8-9]

    Dalam setiap zaman ketiga (Dwapara), Vishnu, dalam diri Wyasa, untuk menjaga kualitas umat manusia, membagi Veda, yang seharusnya satu, menjadi beberapa bagian. Mengamati terbatasnya ketekunan, energi, dan dengan wujud yang tak kekal, Ia membuat Veda empat bagian, sesuai kapasitasnya; dan raga yang dipakainya, dalam menjalankan tugas untuk mengklasifikasi, dikenal dengan nama VedaVyasa. Di Manuantara saat ini, 28 kali Veda akan di susun oleh Resi-resi besar di Vaivasvata Manuantara..dan akan ada 28 Vyasa yang berlalu; Olehnya di periode tertentu Veda akan dibagi menjadi empat. Yang pertama…Pembagian dilakukan oleh Svayambu [Brahma] sendiri, kedua, penyusun Veda adalah Prajapati (dan seterusnya hingga 28) [Visnu Purana 3.3]
Jadi, arti Vyasa adalah Pembagi/Pembelah/Penyusun BUKAN Pengarang. Pada Literatur Buddhis, Jataka/Kehidupan lampau sang Buddha, setidaknya ada 2 (dua) Kanha-Dipayana/Krisna-Dwipayana berbeda:
  • Jataka no.444, Kanha-Dipayana Jataka, sang Buddha sebagai Pertapa Kanha-Dipayana dan Sariputta sebagai adiknya, yaitu Pertapa Ani-Mandaviya
  • Jataka no.454, Gatha Jataka, tentang kisah tentang 10 saudara, yang tertua bernama Vasudeva [kesava; Kanha = krisna = hitam] dan adik-adinya: Baladeva, Ajjuna, GathaPandita dan 6 lainnya. Sang Buddha saat itu sebagai Gathapandita dan Sariputra sebagai Vasudeva, Raja kerajaan Drawaka yang wafat terkena panah pemburu bernama Jara. Pertapa Kanha-Dipayana yang muncul di jataka ini, bukan kelahiran sebelumnya sang Buddha.
Arti Mahabharata, Bharata = turunan Bharata, bertambah dengan kata Maha, karena berisi seratus ribu sloka, Asvalayana-grihya-sutra menyampaikan dua nama berbeda untuk kisah yang sama, yaitu Bharata dan Mahabharata (AGS 3.4.4), Murid Vyasa menyatakan nama kisah ini adalah Jaya [Mbh 1.62 (Kisari) atau Mbh 1.62.19-20 (Dutt)). Kisah ini tentang moyangnya Maharaja Janamejaya, raja-raja keturunan Yayati, Bharata, dan Kuru.

Astadasaparwa/Mahabharata yang ada di India saja, punya banyak versi, di antaranya (lihat ini):
  1. Versi edisi kritis/versi Puna, hasil kompilasi BORI (Bhandarkar Oriental Research Institute, mulai tahun 1917, selesai tahun 1966). Para pakar di BORI, membandingkan banyak naskah dari wiracarita ini kemudian menerbitkan kompilasi teks kritis dari MahaBharata yang terdiri dari 19 jilid yang diikuti dengan Harivaṃsa dalam 2 jilid dan 6 jilid indeks.
  2. Versi edisi Vulgate (edisi Kalkuta tahun 1836 dan edisi Bombay tahun 1877/1913) dari seorang yang hidup di akhir abad ke-17 bernama Nilakantha Chaturdhara, diterbikan oleh "Clay Sanskrit library". Mahabharata yang ditranlasi Kisari Mohan Ganguli berdasarkan versi Bombay dan yang ditranlasi M.N Dutt Parva: 1-5, 6-11, 12 dan 13-18 berdasarkan versi Kalkuta
  3. Versi edisi lainnya: Edisi Kumbhakonam, translasi dari tamil di tahun 1923; Edisi Grantha dan Telugu (Madras, tahun 1855), dan lainnya.
Mahabharata dibuat secara bertahap, sekurangnya, Buku ke-1.1/Adi Parva sendiri mengakui tahapan itu, yang awalnya hanya 8800 sloka (Mhb 1.1.81-82. Jumlah ini diketahui Ganesha, Suka dan Sanjaya), menjadi 24.000 sloka (Mbh 1.1.101-102 + bab dan indeks sejumlah 150 sloka. ini dinamakan Bharata, diketahui Suka+murid Vyassa) hingga menjadi 100.000 sloka (1.1.105-107, Ini dinamakan Mahabharata) untuk menyelesaikan ini, Vyasa membutuhkan waktu 3 tahun (Mbh 1.62), namun rincian jumlah bab dan jumlah sloka yang disebutkan di AdiParva 1.2 (Tranlasi: Kisari Mohan Ganguli) atau Adiparva 1.2.131-376 (Tranlasi: MN Dutt) dari keseluruhan 18 parwa, total jumlah slokanya, ternyata kurang dari 100.000:
Para ahli sejarah [India dan barat], dari uji analisis menemukan ada perbedaan gaya, bahasa dan tingkat kepelikan di Mahabharata dan menyimpulkan bahwa penyusunan dilakukan pada masa yang berbeda-beda dan oleh tangan-tangan yang bebeda. Misalnya, Adiparwa bab 1 menunjukan banyak episode yang telah ditambahkan. Mahabharata saat ini adalah edisi ke-3 dan telah memperluas inti dari sejarah tersebut. [C. Jinarajadasa, R.G Bhandarkar, L.Von Schroeder]. Adiparva 1.2 Ugrasrava menyebutkan bahwa Harivamsa (atau Harivamsa purana) adalah suplemen/pelengkap/khila-nya Mahabharata, terdiri dari 2 parva yaitu Harivamsa dan Bhavishya, sejumlah 12000 sloka. Ini mengindikasikan pembuatan 18 parva sejaman dengan Harivamsa atau lebih lambat dari Harivamsa atau ada bagian dari keduanya lebih lambat dibuatnya.

Menurut Herman Jacobi, bentuk asli Mahabharata berasal dari sebelum abad ke-6 SM, berkembang dalam 4 tahap sampai masuknya materi didaktik ke bentuk sekarang tidak lebih lambat dari abad ke-2/3 SM. Menurut E Washburn Hopkins, tahun 400 SM, kisah-kisah Bharata dan Pandawa tidak diketahui, kemudian di abad 4-2 SM masuk kisah Krisna dan Pandawa, di abad 3 SM - tahun 100 M, terdapat tambahan episode baru dan interpolasi materi didaktik, penyusunan dilakukan setelah invasi Alexander, Mahabharata menjadi buku keyakinan tentang ketuhanan Krisna di abad ke 1 SM, epik ini hampir lengkap di tahun 200 M. Tidak ada bukti tahun bahwa keseluruhan epik ada di abad ke-2 SM. [The Age of Bharata War, Giriwar Charan Agarwala, 1997, hal 95]

Latar belakang MahaBharata

Pembabar kisah Jaya (baca: Bharata atau Mahabharata) hingga dikenal umum adalah Ugrasrawa, anak Lomaharshana (loma = bulu, Harshana = saat menceritakan, membuat orang merinding), seorang Suta (artinya kusir, turunan kasta kusir atau penyair/pujangga, bisa jadi Ia, penyair sekaligus turunan kasta kusir) karena Lomaharshana berdarah campuran dari ibu brahmani dan bapak ksatria, walaupun demikian, Ia adalah murid Vyasa. SrimadBhagavata (10.78) mengisahkan Murid Vyasa ini tewas oleh Balarama di hutan Naimisha ketika sedang berkumpul dengan para Rsi, karena Lomaharshana sang pembicara, tidak berdiri ketika Balarama datang. Di Adiparwa disampaikan Ugrasrawa telah belajar seluruh Purana dari ayahnya dan mendengarkan langsung kisah Jaya ini, ketika Vaisampayana menyampaikan kepada Maharaja Janamejaya di upacara kurban ular (Mbh 1.1 dan 1.5) [bandingkan dengan Arjuna yang bahkan tidak ingat 1 sloka Bhagavadgita pun (Mbh 14.16), padahal di teks sanskrit besarnya cuma 700/745 sloka saja, sementara Ugrasrawa mengaku ingat SELURUH Purana (Maha+Upa Purana) + Mahabharata, artinya jutaan sloka!], kemudian alasan mengapa Ugrasrawa yang bukan turunan Brahmana murni dapat menyampaikan Veda ke-5 dijelaskan Adiparva bahwa seorang terpelajar dapat mengajari Brahmana tentang sruti (?) dan Kisah Bharata ini (Mbh 1.62.35-37) [bandingkan dengan Karna yang anak angkat dari seorang berkasta kusir yang karena kastanya, tidak boleh bertanding dengan Arjuna]. Di hutan yang sama ini, tempat ayahnya tewas, Ugrasrawa menyampaikan kisah kilas balik turunan Bharata, kepada para rsi yang sedang melakukan upacara kurban 12 tahun guru mereka, Saunaka kulapati:
  • Salah satu dari Rsi, meminta Ugrasrawa menceritakan kisah yang disusun Vyasa, tidak disebutkan Saunaka tidak ada. Ugrasrawa kemudian menyampaikannya termasuk kisah yang dituturkan Rsi Wesampayana kepada Maharaja Janamejaya (Adiparva 1.1), VS
  • Para Rsi dan Ugrasrava menunggu kedatangan Saunaka kulapati. Setelah datang, Saunaka meminta Ugrasrava menceritakan kisah yang disusun Vyasa, Ugrasrawa kemudian menyampaikannya termasuk kisah yang dituturkan Rsi Wesampayana kepada Maharaja Janamejaya (Adiparva 1.4: Pauloma Parva)
Penuturan ini terjadi setelah Maharaja Janamejaya yang mengadakan upacara korban ular (Sarpasatra) digagalkan Astika [Adiparva 1.58], ketika Rsi vyasa yang mendengar Janamejaya melakukan kurban ular, Ia datang bersama muridnya Wesampayana, Di tempat inilah, Janamejaya memohon Vyasa untuk menceritakan kisah moyangnya. Vyasa kemudian menyuruh muridnya Wesampayana menceritakannya [Adiparva 1.60].

Kisah Sang Bharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata, raja legendaris. Sang Bharata lalu menaklukkan daratan India Kuno. Setelah ditaklukkan, wilayah kekuasaanya disebut Bharatawarsha yang berarti wilayah kekuasaan Maharaja Bharata (konon meliputi Asia Selatan). Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas yang disebut Kurukshetra (terletak di negara bagian Haryana, India Utara).

Sang Kuru menurunkan raja-raja Hastinapura, yaitu Pratipa, kemudian Santanu, hasil perkawinan Sentanu-Ganga lahir Bhisma, dari perkawinan Sentanu-Setyawati, lahir Chitrāngada dan Wicitrawirya, karena Bisma bersumpah tidak mau naik tahta. Maka anak Setyawati naik tahta. Wicitrawirya menurunkan Dretarastra, Pandu dan Vidura. Pandu menurunkan Pandawa sedangkan Dretarastra menurunkan Korawa, Setelah perang besar, Yudishtira digantikan cucu Arjuna dari Abimayu, yaitu Parikesit (Parikshita), setelah wafatnya Parikesit karena digigit ular Taksaka, Ia digantikan anaknya, Janamejaya. Kerabat Wangsa Kaurawa (Dinasti Kuru) adalah Wangsa Yadawa, karena kedua Wangsa tersebut berasal dari leluhur yang sama, yakni Maharaja Yayati, seorang kesatria dari Wangsa Chandra atau Dinasti Soma, keturunan Sang Pururawa. Dalam silsilah Wangsa Yadawa, lahirlah Prabu Basudewa, Raja di Kerajaan Surasena, yang kemudian berputera Sang Kresna, yang mendirikan Kerajaan Dwaraka. Sang Kresna dari Wangsa Yadawa bersaudara sepupu dengan Pandawa dan Korawa dari Wangsa Kaurawa.

Pandawa dan Kurawa adalah bangsa Jat (satu dari beberapa bangsa asli India), Persatuan ini mulai digagas dengan perkawinan-perkawinan misalnya Bima menikahi Hidimba, gadis Mongol dari India Timur; Krsna menikahi Rukmini, gadis dari perbatasan timur-laut; Arjuna menikahi Citramgada, gadis Mongol dari negeri Manipura. Sistem kekerabatan yang digunakan di jaman MahaBharata adalah Matrilinier dan Patriliier. Dalam setiap kelompok terdapat seorang wanita yang disebut ‘Goshi Mata’ orang-orang memperkenalkan diri dengan menyebut nama wanita itu. System ini digunakan di daerah India Selatan dan Barat (bengala, Assam dan Kerala) contoh: pandawa lima mengenal diri mereka sebagai Kuntiya, anak-anak kunti.

Beberapa kelompok yang tinggal di bukit tertentu (gotra=penduduk di suatu bukit tertentu), orang memperkenalkan diri dengan menyebut pemimpin gotranya. Sistem ini digunakan di sekitar Delhi dan India barat laut, contoh pemimpinnya Kasyapa maka disebut Kasyapa Gotra. Sistem Perkawinan adalah Poliandri, Poligami, Momogami. Poliandri ada pada bangsa Mongol dan di India Utara (sekarangpun di tibet dan Laddakh), contoh ini ada juga di Mahabharta, yang terkenal adalah Drupadi dengan Pandawa/5 suami, padahal di jaman itu, Drupadi tidak sendirian karena sebelumnya pun demikian, yaitu di garis leluhur pandawa sendiri, misalnya 2 ibu mereka: Kunti punya 4 anak dari 4 suami (Pandu, Arka/Surya/Vivasvat, Dharma/Yama, Vayu/Maruta dan Indra) dan Madri dengan 2 suami (Pandu and dewa kembar Ashwin), juga buyut dari Pandawa dan kurawa, yaitu Satyawati dengan 2 suami (Shantanu dan ayahnya Vyasa) atau Ambika/Ambalika, masing-masing dengan 2 suami (Vichitravirya dan Vyasa). System ini disebut Niyoga Putra dan tidak dipandang buruk pada jaman itu.

Singkatnya, Mahabharata adalah tentang mempersatukan banyak kerajaan kecil di India menjadi satu Bharatavarsa, bermuara dari konflik internal keluarga Bharata memperebutkan tahta Hastinapura antara Pandawa VS Korawa (jumlahnya: 103 orang -Mbh 1.117), hingga terjadi perang saudara/Bharatayuddha di Kurukhshetra selama 18 hari. Karena berisi nilai kepahlawanan, ajaran dan mitologi, kitab ini dianggap suci bagi pemeluk Hindu. Beberapa teks Mahabharata India dituliskan dalam ragam aksara wilayah yang ada di India, teks-teks Mahabharata yang ditemukan di India sendiri tidak seragam dalam Parwanya, jumlah parwa, sub parwa dan isi slokanya, beberapa manuskript tidak berisi parwa tertentu, misalnya Anusasanaparwa, tidak ada di manuskript India Utara atau versi Kashmir. Perkembangan Hindu India, sampai ke Asia juga membawa Mahabarata yang disalin ke bahasa setempat.

Bagaimana dengan Mahabharata di Indonesia?

Kisah Mahabharata digubah menjadi cerita pewayangan adalah dalam upaya agar lebih menarik diterima khalayak umum, tentu saja, terjadi beberapa perbedaan, baik tempat maupun tokohnya. Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru menjadi ke tanah Jawa. Tokoh Pancawala/Pancakumara, dalam sanskrit adalah lima (panca) anak (kumara/wala-ka) dari Drupadi (yaitu: Pratiwindya, Sutasoma, Srutakarma, Satanika, dan Srutasena), tapi di pewayangan Jawa menjadi nama anak Yudistira. Perbedaan tentang Pancawala karena perkembangan agama Islam di Jawa, sehingga Drupadi bersuami satu, padahal di teks sanskrit Adiparwa, sub parwa Vaivahika, Drupadi bersuami 5 Pandawa, dikatakan setiap hari setelah perkawinan sebelumnya, Drupadi kembali perawan [Mbh 1.200], masing-masingnya, memberikan satu anak kepada Drupadi.

Translasi Astabharata ke kawi dimulai jaman raja Medang, Dharmawangsa Teguh (991-1007 M). Di abad ke-11, Mpu Kanwa menuliskan kakawin Arjunawiwaha/perkawinan Arjuna untuk raja Medang, Airlangga (1009-1042 M, menantu Dharmawangsa, ditranlasi oleh Berg). Di abad ke-12, Mpu Triguna menuliskan Kŗşņāyana jaman raja Kediri, Warsajaya (1104 -1135 M, ditranslasi oleh Teeuw), Mpu Sedah (yang memulai) dan Mpu Panuluh (yang merampungkan) menuliskan kakawin Bharatayuddha untuk raja Daha/Kediri, Prabu Jayabhaya (1135-1157 M, ditranlasi oleh Berg), kakawin mulai dari Udyogaparwa pada bagian Krishna Duta ke Hastinapura, kemudian perang bratayuddha sampai tuntas dan berakhir di Yudistira menjadi Raja, sehingga kakawin ini rangkuman dari Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa dan sebagian kecil Santiparwa. Mpu Panuluh pada masa raja Jayabhaya juga menuliskan kakawin Hariwangśa (ditranlasi oleh Teeuw) dan pada jaman raja Kediri, Kertajaya (1194-1222 M) menuliskan Gaţotkacāśraya. Kemudian, dikisaran abad ini, terdapat kakawin Bhomāntaka (Pengarang tidak diketahui, tentang Krisna mengalahkan Raksasa Bhoma, ditranlasi oleh Teeuw). Di abad ke-14, Mpu Tanakung menuliskan Pārthayajña jaman raja Majapahit, Hayam Wuruk. Naskah-naskah kawi ini ditulis dalam lontar dan dilestarikan di Bali. ("Kawi and kekawin", Zoetmulder, 1957, hal.50-52 dan "Kakawin Bhrata-Yudha", Prof R.M Sutjipto Wirjosuparto, hal.10-11).

Di tahun 1849 R.Th. A Friederich mendapatkan naskah sloka aksara Bali kuno (Kawi) yang berisi beberapa parwa Mahabharata. Tahun 1871 Kern menyampaikan bahwa Van de Turk di tahun 1871 mempublikasikan awalan Adiparwa. Kern di tahun 1877, mentralasikan bagian Pausyaparwa (dari Adiparwa) dan kemudian diketahui bahwa teks kawi Astadasaparwa hanya 8 parwa, yaitu 4 parwa awal Astabharata, yang berasal dari abad ke-10 M: (1) Adiparwa, (4) Wirataparwa, (5) Udyogaparwa dan (6) Bismaparwa, serta 4 parwa akhir Astabharata dari abad selanjutnya: (15) Asramawasaparwa, (16) Mausalaparwa, (17) Prastanikaparwa dan (18) Swargarohanaparwa. Juynboll di tahun 1893, mentranslasikan Asramawasaparwa, Mausalaparwa dan Prastanikaparwa, juga pada tahun 1906, 1912 dan 1914 mentranlasikan Adiparwa, Wirataparwa dan Udyogaparwa. Jan Gonda di tahun 1936 mentranslasikan Bhismaparwa (untuk porsi Bhagavad gita pada teks kawi Bhismaparwa, telah dilakukannya di tahun 1935) [A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura: Bibliographical Series 7, 1964, hal.126].

Di kakawin Bharatayudha, Bhagavad gita hanya tercatat dalam 2 sloka saja:
    mulat mara sang arjunasemu kamanusan kasrepan,
    ri tingkah I musuh niran pada kadang taya wwang waneh,
    hana pwa ng anak ing yayah mwang ibu len, uwanggeh paman,
    makadi nrpa salya bhisma sira sang dwijanggeh guru

    (Saat melihat ini, Arjuna sedih, karena musuhnya ini adalah semua kerabatnya tanpa ada orang asing di antaranya. Saudaranya sendiri dari pihak ayah dan ibunya, paman-pamanya; dan di antara mereka raja Salya, Bhisma, dan gurunya sendiri-Drona)

    Ya karana niran pasabda ri nararya krshnateher,
    aminta wurunga ng lagapan awelas tumon korawa,
    kuneng sira janardanasekung akon sarosapranga
    apan hila-hilang ksinatriya surud yan ing paprangan

    (Karenanya, Ia berkata kepada raja Krsna, agar pertempuran ini tidak terjadi, Ia berbelas kasih kepada para Korawa. Tapi Janardana memerintahkannya keras agar bertempur sekuat tenaga. agar tidak melawan tatanan dan adat (Ila-ila), tentang ksatriya mundur dari pertempuran)

    [X, 12-13, Kawi and kekawin, P. Zoetmulder, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 113 (1957), no: 1, Leiden, 50-69 dan di "Kakawin Bhrata-Yudha", Prof R.M Sutjipto Wirjosuparto, 1968, hal.75. Translasi Inggris dari Zoetmulder, saya translasi ke Indonesia]
Di Bhismaparwa teks kawi, porsi sloka untuk Bhagavagita tidak sebanyak versi teks sanskrit (yang hingga 700-745 sloka). Pembicaraan Bhagadgita teks kawi mulai Arjuna menyampaikan kesedihan kepada Kresna karena semua yang dilihatnya adalah keluarganya, bapak, kakek, paman, gurunya, anaknya, cucunya (..manastapa koluyan citta sira, kapënuhan karunya citta mwan mëlas-arëp. matannya r pojar i maharaja Krsna..kapwa kulawarga, bapa kaki paman panajyan guru wwan sanak kaka anak putu parnahnya waneh..) (hal.41), kemudian Krishna membujuk Arjuna agar menenangkan diri dan bertempur, agar tidak kehilangan imbalan surga (hal.42), wejangan berlanjut hingga berakhir pada: Siapapun yang berbakti kepada Ku, tidak mengelak tugas sesuai statusnya dapat mencapai tiga alam, pasti menuju surga (..yan hana wwan bhakti ri nhulun, tatan wyabhicara kasewakanya, yeka wënan malahakën tribhuwana, byakta ya mantuk in swargaloka..) ... Akulah satu-satunya yang dapat membebaskan manusia dari tugas mulyanya, Akulah yang dapat mencegah keburukan. Jangan biarkan kebingungan membuatmu menderita! jangan biarkan pikiranmu sengsara! (kewala nhulun juga karana nika, apan wënan hulun mantasakëna sanke gawenya hala. haywa tasën prapancatura! t ahuwusan prihati! kadiwasa n manastapa!) (hal.65). Kepada Krisna, Arjuna berkata Ia tidak lagi bingung (Sajna haji, maharaja Krsna! hilan ike pungun nin pinakahulun), Aku sadar, seharusnya aku dengar kata-kata bijakmu, karena Kau menyayangiku, pikiranku menjadi kuat; Aku tidak ragu lagi. Aku akan lakukan apa yang Engkau harapkan (mahëli tutur lawan kamedhan, makanimitta sih rahadyan sanhulun. apagëh tambëk ni nhulun mari sandeha. rasa ny ajna rahadyan sanhulun damëlakëna patik haji manke), Demikianlah dialog Kresna dan Arjuna..Dengan perasaan senang, Ia angkat busurnya (Iti, nahan panucap maharaja Krspa lawan san Arjuna..enak de nira rumëgëp capa nira) (hal.65) [Het Oudjavaansche Bhismaparwa, Jan Gonda, 1936, hal.41-65]

Kapan Jaman MahaBharata?

Krishna wafat di usia 125 tahun, 7 Bulan, 6 hari, pada jam 14:27:30 tanggal 18 Februari 3102 SM, di tepi sungai Hiran, Prabahs Patan (Gujarat). Perhitungan ini dinyatakan berdasarkan petunjuk dari kitab-kitab kuno dengan perincian: Visnu Purana dan Bhagavad Gita menyatakan Ia "meninggalkan" Dwaraka 36 tahun setelah perang Mahabharata. Matsya Purana menyatakan ketika perang Mahabharata, Ia berusia 89 tahun [The Times Of India: "Lord Krishna Lived for 125 Years", Wednesday September 08, 2004 10:07:31 PM]:
  • Mahabharata Adiparva bab-2: Perang Kurawa-Pandawa terjadi di interval antara Dwapara Yuga - Kali Yuga. [Jadi pendapat yang mengatakan Kaliyuga mulai ketika Bima menjatuhkan Duryudana di hari ke-18 perang Kurukhshetra adalah tidak valid]
  • Vishnu Purana 4.24 dan 5.38 juga Srimad Bhagavata/Bhagavata Purana 1.18.6 menyatakan bahwa era Kaliyuga mulai bertepatan dengan wafatnya Krisna.
  • Usia Krisna saat perang Kurukhshetra adalah 89 tahun [Yudistira yang saat Perang di kurustra berusia 91 tahun dan Krishna lebih muda 2 tahun dari Yudistira]
  • Stri Parva 11.25: Gandhari, di saat prosesi upacara penyelesaian kematian bangsa kuru setelah perang di Kurukhshetra, menyampaikan kutukan pada Krisna bahwa 36 tahun kemudian bangsa Yadawa akan musnah, tahun ini juga yang akan menjadi akhir kehidupan Krisna.
  • Srimad Bhagavata 11.6.25: Brahma mengatakan telah 125 musim gugur berlalu sejak krisna lahir yang diucapkan di menjelang hancurnya bangsa Yadawa.
Jadi, untuk mengetahui kapan kaliyuga/wafatnya Krisna, maka harus diketahui terlebih dahulu kapan perang di Kurukhshetra terjadi. Dari 18 Parva di Mahabharata hanya 4 Parva (ke-10, 11, 17 dan 18) tidak berisi petunjuk-petunjuk astronomi berupa: Posisi konstalasi bintang, bintang, Matahari, bulan, planet, lintasan komet, gerhana matahari dan/atau gerhana bulan dan posisi/lintasan relatif mereka apakah di area utara/meninggi (rahu) atau selatan/menurun (ketu) yang orang-orang saat itu gunakan dalam penanggalan sejak jaman dulu, misal pada sample percakapan Skanda dan Indra di Vana Parva, menunjukan observasi bergesernya bintang telah dilakukan jauh sejak 23.000 SM-an (dari lama lintasannya).

Dalam melakukan perhitungan kapan terjadinya perang di Kurukhshetra, tidak semua ahli mengikuti petunjuk itu. Diantara yang menggunakan petunjuk itu, beberapa akhirnya mengabaikannya, misal: posisi Shani (Saturnus) di Rohini (Aldebaran); Mangala (Mars) di Jayestha (Antares) di perang 18 hari dengan 2 gerhana kembar (gerhana bulan di Krutika dan gerhana matahari di Jayestha) yang terjadi dalam kurun waktu 13 hari. Diantara yang menghitung dengan petunjuk itu, mereka membatasi observasinya pada interval 600 SM s.d 3500SM dan tidak sebelumnya.

Berikut ini beberapa variasi tahun kapan perang Kurukhshetra terjadi:
  • Prof. I.N. Iyengar yakin perang tersebut terjadi tahun 1478 SM
  • Dr. S. Balakrishna yakin perang tersebut terjadi tahun 2559 SM. [Atau di sini]. Juga disampaikannya bahwa Aryabhatta menyatakan Kaliyuga di mulai pada 3102 SM [Aryabhateeya by Brahmagupta, S.Shukla, New Delhi, INSA 1976]. Kitab Surya Siddhanta [Translation of an Ancient Indian Astronomical Text. Translation by Bapudeva, Varanasi, 1860] menyatakan matahari 54 derajat dari vernal equinox di Ujjain (75deg 47minE, 23deg 15min N) untuk Kaliyuga (yang dalam kalendar Julian: 17/18 February 3102 SM). Varaha Mihira menyatakan 2526 tahun sebelum tahun saka (entah: Shalivahana saka/79 M atau Vikrama Saka/57 SM) [Brihat Samhita]
  • Dr. B.N. Achar yakin perang tersebut terjadi di 22 Nov - 12 Des 3067 SM [Atau di sini].
  • Dr. P.V. Holay yakin perang tersebut terjadi mulai 13 Nov 3143 SM
  • Dr. P.V.Vartak yakin perang tersebut terjadi mulai 6 Okt - 2 Nov 5561 SM
  • Tahun Perang Kurukshetra
Balakrisna (dan banyak lagi) memberikan kita petunjuk bagaimana, darimana/siapa tahun Kaliyuga: 17/18 February 3012 berasal. Bahkan lebih lanjutnya disebutkan pada tengah malam (17/18 February) dan/atau Matahari terbit (18 February) ["Ancient Indian Leaps into Mathematics", B.S. Yadav, Man Mohanref, hal.90 mengutip: "Pancasiddhantika", Varahamihira: 28.XV.20, 29 dan 25. Kemudian, untuk analisa sinkronisasi perbedaan postulat tersebut, lihat: "Critical evidence to fix the native place of Aryabhata-I", HISTORICAL NOTES, CURRENT SCIENCE, VOL. 93, NO. 8, 25 OCTOBER 2007, hal.1184].

Di Aryabhatiya Ch.3.10 ("Aryabhatiya", leiden 10 Juli 1874, H. Kern), Aryabhatta menyampaikan lamanya waktu Kaliyuga yang telah berjalan hingga Ia berusia 23 tahun, ketika menyelesaikan karyanya:


    Perhatikan kata yang di dalam kotak: sasti ("षष्टि", enam puluh), sample terjemahan:

    Sanskrit:
    षष्टि-अब्दानाम् षष्टिस् यदा व्यतीतास् त्रयस् च युग-पादास्/
    त्रि-अधिका विंशतिस् अब्दास् तदा इह मम जन्मनस् अतीतास्//

    [Roman:
    ՙṣaṣṭi-abdānām ՙṣaṣṭis yadā vyatītās trayas ca yuga-pādās
    ՙtri-adʰikā ՙviṃśatis abdās tadā iha mama janmanas atītās
    ]

    [Indonesia:
    Sekarang 60 x 60 tahun dan 3/4 yuga berlalu,
    23 tahun sejak kelahiranku]

    Sehingga,
    3600 tahun - 3101 tahun = 499 Masehi - 23 tahun = 476 masehi. Tahun ini oleh mayoritas para ahli ditetapkan sebagai tahun kehidupan Aryabhatta.

    Kemudian dari Aryabhatiya I.3:

    ka-ahas manavas ՚ḍʰa manu-yugās ՚śkʰa gatās te ca manu-yugās ՚cʰnā ca
    kalpa-ādes yuga-ʰpādās ՚ga ca guru-divasāt ca bʰāratāt pūrvam


    Terjemahan:
    14 Manu dalam 1 Kalpa dan 1 manu berisi 72 yuga.
    Sejak kamis 6 Manu dan 27 ¾ yuga berlalu dari jaman Bhaarata



    Gambar di atas ini berasal dari "The Aryabhatiya of Aryabhata", Walter Eugeune Clark, 1930, hal.12 yang mengutip Brahmagupta bahwa yugapada yang dimaksud adalah kaliyuga. Kemudian, karena 1 yuga = 4.320.000 tahun, maka tahun berlalu sejak permulaan Yuga adalah:

    (6 x 72) x 4.320.000 + (27.75 x 4.320.000) = 1,866,240,000 + 119,880,000 = 1,986,120,000 tahun berlalu.

    Baskarachariya I juga menyampaikan tahun beliau menyelesaikan komenar "Aryabhattiyam" di Ch.I.9:

    Kalpadherabdhnirodhadhayam abdharashiritiritaha:
    khagnyadhriramarkarasavasurandhrenadhavaha: te cangkkairapi 1986123730


    Terjemahan:
    Sejak dimulainya kalpa, tahun yang berlalu adalah: 0, 3, 7, 3, 12, 6, 8, 9, 1 tahun (1986123730 tahun)], atau:

    Kalpadherabdhanirodha gatakalaha:
    khagnyadhriramarkarasavasurandhrenadhavaha: te ca 1986123730


    Terjemahan:
    waktu berlalu dalam tahun, sejak berjalannya kalpa ini adalah: 0, 3, 7, 3, 12, 6, 8, 9, 1 (1986123730)]

    Sehingga,
    1,986,120,000 - 1,986,123,730 = 3730. Kemudian 3730 - 3101 = 629 Masehi. Para ahli modern kemudian menyatakan tahun itu sebagai tahun Bhaskaracharya menuliskan komentarnya.

    Terakhir,
    Sloka dibawah ini memberikan petunjuk jelas bahwa penetapan tahun 3012 SM telah dikenal sejak jaman Aryabhata dan sebelumnya, yaitu berdasarkan tulisan Bhaskaracharya dan juga Lalla mengenai cara mengkonversi tahun Saka:


      "Tahun saka tambahkan dengan 3179 untuk mendapatkan tahun kalender matahari yang berjalan sejak dimulainya Kaliyuga" (Sisyadhivrddhida Tantra, Lalla.I.12)

    Angka 3179 [tahun 3101 SM + 78 Masehi] telah disebutkan jelas untuk mendapatkan jumlah tahun yang berlalu setelah KALIYUGA dan TAHUN SAKA (78 Masehi).
Demikianlah perjalanan asal usul tahun 3102 SM sebagai awal jaman Kaliyuga


18 Parwa/Astadasaparwa (Di Versi Umum Sanskrit):

1. Adiparwa7. Dronaparwa13. Anusasanaparwa
2. Sabhaparwa8. Karnaparwa14. Aswamedhikaparwa
3. Wanaparwa9. Salyaparwa15. Asramawasikaparwa
4. Wirataparwa10. Sauptikaparwa16. Mosalaparwa
5. Udyogaparwa11. Striparwa17. Prasthanikaparwa
6. Bhismaparwa12. Santiparwa18. Swargarohanaparwa


Adiparwa

Adiparwa adalah buku ke-1 astadasaparwa/18 Parwa atau disebut Jaya (samhita) atau Bharata (arti: yang didukung - Mbh 1.95) atau Mahabharata, yaitu kisah keturunan Bharata, berikut isinya:
  • Bagawan Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka dan para muridnya di hutan Nemisa, mereka kemudian ingin mendengarkan Mahabharata, Ugrasrawa mulai dengan kisah penciptaan dunia, bagaimana 18 Parwa ditulis, jumlah bab dan slokanya, tentang pemandian Samantapañcaka dan apa yang dikisahkan oleh Begawan Waisampayana kepada Raja Hastinapura, Janamejaya (anak mendiang prabu Parikesit/Parīkşit, cucu Abimayu, cicit Pandawa) tentang moyangnya, agar sang raja terhibur setelah gagal melaksanakan kurban ular (sarpayajña) untuk menghukum naga Taksaka, yang telah membunuh ayahnya. Kegagalan upacara terjadi karena sang raja Janamejaya pernah dikutuk sang Sarama
  • Tentang Begawan Dhomya dan 3 muridnya, tentang Uttanka cucu murid Dhomya, yang diminta gurunya (Weda) untuk mendapatkan anting istri raja Pausya namun dicuri Naga Taksaka, tentang nasihat dewa kepada Ruru untuk mengikuti jejak Astika, melindungi para ular dan naga dari kurban ular raja Janamejaya, tentang asal usul sang Astika, anak dari Jaratkāru dan Nāgini/naga perempuan, tentang lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya agar dimakan api kurban ular, upaya para naga menghindari kurban ular, kisah para dewa mendapatkan tirta amrta/air kehidupan, asal-usul gerhana matahari dan bulan, tentang kutukan Çrunggī kepada Pariksit, sehingga mati digigit Taksaka dan pelaksanaan kurban ular raja Janamejaya yang digagalkan Astika
  • Tentang asal-usul Kurawa dan Pandawa, dari Daksa sampai ke Santanu yang kemudian berputra Bhîsma/Dewabrata, lahirnya Vyasa, lahirnya Dhrestarastra (ayah Kurawa), Pandu (ayah Pandawa) dan Widura; Kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa, permusuhan diantara mereka sewaktu kecil, kisah Drona, tentang Karna sampai jadi raja Anga; terbakarnya rumah damar akibat persengkokolan Sakuni, Duryodhana, Duhsasana dan Kama, dengan Dhritarashtra (1.144) karena Pandawa dianggap telah mati, Duryodana mendapatkan tahta, tapi Pandawa lolos kebakaran melalui lorong bawah tanah; kisah Bima mengalahkan Hidimba, mengawini Hidimbî/Arimbi, lahirnya Gatutkaca, Pandawa menang sayembara Drupadi, Drupadi mengawini pandawa; dibaginya Hâstina untuk Kurawa dan Pandawa, dimana Pandawa harus membuka Khandavaprastha dan mendirikan kerajaan Indraprasta/Amarawati (1.209), pengasingan Arjuna 12 tahun akibat melanggar pembagian waktu bercengkrama antara Pandawa-Drupadi (1.215. kemudian di Sabha parwa, kelanjutan pembangunan Aula oleh Maya asura), Arjuna ke Drawaka, mendapatkan Subadra, lahirnya Abimanyu, ayah Pariksit, terbakarnya hutan Kandhawa tempat persembunyian naga Taksaka

Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya

Brāhmana Dhomya yang tinggal di Ayodhya punya 3 murid, Sang Aruni dari pancala disuruh menghentikan bobolnya saluran air, karena gagal memperbaiki, ia gunakan dirinya sebagai ganti tanggul, karenanya Ia disebut Uddalaka, dianugarahi Dharmasastra. Upamanyu/Utamanyu disuruh mengembala sapi, tidak boleh meminta-minta tanpa memberikan pada Guru, dan gurunya sengaja mengambil semua hasil itu, Ia pergi meminta ke 2x setelah yang pertama tapi ini dilarang gurunya, Ia minum susu sapi, dilarang karena tidak mendapat persetujuan guru, juga dilarang minum buih sisa anak sapi menyusui. Akhirnya karena lapar dan haus, ia makan daun Arka (waduri) akibatnya matanya buta dan terperosok ke lubang, Ia ditemukan gurunya dalam lubang, Ia dianugerahi kemampuan menyembuhkan penyakit. Sang Weda disuruhnya tinggal dirumah melayaninya, Ia layani pembimbingnya dengan penuh perhatian, seperti lembu dengan beban memanggung panas, dingin, lapar dan haus, tanpa mengeluh, tidak pergi sebelum pembimbingnya puas, karenanya Veda dianugerahi pengetahuan universal. Salah satu murid Weda, Uttanka, setelah selesai pendidikan bertekad membayar jasa guru (gurudaksina), gurunya meminta anting istri raja Pausya, setelah mendapatkanya, anting dicuri Taksaka yang menyamar jadi pengemis, atas bantuan Agni, yang memakan segalanya dengan api, Taksaka ketakutan dan mengembalikan anting tersebut, karenanya, Uttanka jadi memusuhi Taksaka, Ia mendatangi Raja Janamejaya (Kisah ini muncul lagi di buke ke-14, Aswamedhika Parwa, tapi Ia sebagai murid Rsi Gautama), menyarankan Raja melaksanakan sarpayajña/upacara kuban ular

Kisah Sang Winata dan Sang Kadru

Maharsi Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma, diberi Bagawan daksa 14 puteri dan dikawininya, yaitu Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di mereka ini, Winata dan Kadru tidak punya anak, memohon kepada Bagawan Kasyapa, Kadru memohon 1000 anak, sementara Winata hanya memohon 2 anak. Bagawan Kasyapa memberikan Kadru 1000 telur, Winata 2 telur, mereka merawat telurnya dengan baik. Dari 1000 telur Kadru, lahirlah para Naga, diantara yang terkemuka Anantabhoga, Wasuki dan Taksaka, Karena telur Winata belum juga menetas, Ia tidak sabar dan memecahkan telurnya dan terlihat seorang anak baru setengah jadi, tubuh ke atas lengkap, pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah ditetaskan sebelum waktu, ia kutuk Ibunya bahwa akan diperbudak Kadru, tapi saat saudara yang menetas nanti, akan menolongnya dari perbudakan. Anak ini diberi Aruna, karena tidak punya kaki dan paha dan menjadi sais kereta Dewa Surya.

Kisah pemutaran Mandaragiri

Dahulu para Dewa, Datya, dan raksasa berkehendak mencari tirta amerta/air kehidupan, Nārāyana/Wisnu berkata tirta ada di dasar laut Ksira, untuk itu lautan harus diaduk. Naga Wasuki mencabut gunung Mandara di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk, melilitinya, kura-kura/Kurma besar menjadi penyangganya dan Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas. Para Dewa memegang ekor Naga, Para raksasa dan Datya memegang kepalanya, setelah diputar keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani, semuanya di pihak para Dewa. Dhanwantari membawa kendi tempat tirta. Para Raksasa dan Datya mendapatkan tirtanya. Para Dewa berupaya merebutnya, Dewa Wisnu berubah wujud menjadi wanita cantik, mendekati para raksasa dan Datya, mereka terpesona dan memberikan kendi berisi tirta, wanita cantik itu pergi dengan tirta amerta dan kembali menjadi Wisnu. Para Detya yang melihat ini menjadi marah, terjadilah pertempuran antara para Dewa dan Raksasa-Datya. Dewa Wisnu kemudian menggunakan senjata chakra, yang turun dari langit menyambar para raksasa dan Datya, mereka lari, ada karena luka, ada yang menceburkan diri ke laut dan ada yang masuk ke dalam tanah. Para Dewa kemudian membawa Tirta amerta ini ke surga.

Kisah Garuda dan Naga

Kuda Uccaihsrawa dari pemutaran Gunung Mandara. jadi objek taruhan Kadru dan Winata, menurut Winata kuda itu berwarna seluruhnya putih, menurut Kadru ekornya yang berwarna hitam. yang kalah menjadi budak. Ketika Kadru menceritakan kepada anak-anaknya, para Naga dan ular, mereka berkata Ia akan kalah, Kadrupun menjadi cemas, Ia minta mereka memercikkan bisa ke ekor kuda agar jadi berwarna hitam, mereka menolak karena itu tidak pantas. Kadru marah, jika menolak, mereka dikutuk matinya akan ditelan api upacara kurban ular Raja Janamejaya, untuk menghidari kutukan, merekapun memercikkan bisa ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga menjadi berwana hitam, Kadru menang dan Winata menjadi budaknya. Satu telur yang diasuh Winata akhirnya menetas menjadi burung perkasa bernama Garuda, karena tidak bertemu ibunya, Ia mencarinya dan menemukannya sedang diperbudak Kadru untuk mengasuh para naga. Garuda membantu ibunya mengasuh, namun para naga ini sangat lincah sehingga Garuda kepayahan, Ia bertanya cara agar ibunya bebas dari perbudakan. Mereka katakan, jika Garuda membawa tirta amerta, ibunya bebas. Garuda setuju dan pergi ke tempat tirta, di sana, Ia bertemu Dewa Wisnu, yang bersedia memberikan, asal Garuda mau jadi tunggangannya, Garuda setuju, Saat hendak membawanya, Dewa Indra tidak setuju, tirta diberikan kepada para naga. Garuda berkata agar diambil setelah para naga mandi. Ketika garuda bawa tirta, para naga girang dan hendak meminumnya, Garuda berkata agar diminum setelah para naga mandi, ketika selesai mandi, tirta sudah tidak ada karena dibawa kabur Dewa Indra. Para naga kecewa, tapi masih mendapati percikannya di daun ilalang yang menjadi suci akibat percikannya. Para nagapun menjilatinya hingga lidahnya terbelah. Karena telah menebus ibunya, Garuda pergi menuju surga memenuhi janjinya.

Raja Pariksit dan Kutukan Srenggi

Ayah Pariksit adalah Abimayu dan ibunya adalah Uttara,. Abimanyu gugur di Kurukshetra pada hari ke-13, tewas karena dikeroyok dan dihantam senjata ketika hendak bangkit berdiri, ini pelanggaran aturan perang saat itu. Pada hari ke-18, Aswatama bertarung melawan Arjuna, sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra tapi dicegah Resi Byasa, Aswatama dianjurkan mengarahkannya ke objek lain dan Ia arahkan ke kandungan Utara, akibatnya, Parikesit wafat dalam kandungan ketika usia kandungan 6 bulan, namun Kresna menghidupkannya kembali, dan karena lahir dalam ras yang telah punah, Ia dinamai Pariksit (Mbh 1.95, juga buku ke-14, Aswamedhika Parwa), Aswatama dikutuk mengembara di dunia selamanya. Setelah lahir, Pariksit menjadi pemuja setia Visnu, dan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang dilindungi Visnu). Rsi Dhomya meramalkanya akan menjadi pemimpin bijak seperti Ikswaku dan Rama dan akan menjadi panutan seperti kakeknya. Setelah Yudistira turun tahta, Pariksit mejadi raja, Krepa sebagai penasihatnya dan menyelenggarakan Aswameddha Yajña 3x.

Ketika Pariksit berburu kijang di hutan dan kehilangan buruannya, Ia kepayahan dan beristirahat di pertapaan Bagawan Samiti yang sedang menjalankan tapa membisu. Ketika Pariksit bertanya tentang buruannya, Bagawan Samiti hanya diam membisu, karena tidak dijawab, Parikesit marah dan mengalungkan bangkai ular ke leher Bagawan Samiti. Anak sang Bhagawan, Kresa, menceritakan kejadian ini kepada Srenggi yang pemarah, ketika Ia pulang dilihat bangkai ular meliliti leher ayahnya, Ia marah dan mengucapkan kutukan bahwa akibat perbuatannya, Parikesit akan mati 7 hari kemudian karena digigit ular. Bagawan Samiti kecewa pada perbuatan puteranya dan mengutus muridnya disciple Gaurmukha mengejar Pariksit dan menceritakan tentang ini, Pariksit menerimanya. Mentrinya memintanya berlindung di menara yang dijaga ketat prajurit dan para tabib ahli bisa ular. Rencananya, Rsi Kasyapa seorang ahli bisa ular, akan hadir, tapi pikirannya diubah Naga Taksaka dengan menawarinya kekayaan. Di hari ke-7, Taksaka mendatangi Pariksit dalam bentuk ulat buah jambu dan mematuknya. Setelah Pariksit tewas, puteranya, Janamejaya naik tahta, kawin dengan puteri kerajaan Kasi, Vapushtama. Setelah Janamejaya menaklukkan desa Taksila, Uttanka menghadap Raja menyampaikan kebenciannya pada Taksaka, bahwa Taksaka pula yang menyebabkan Rsi Kasyapa tidak jadi datang dan berakhir dengan kematian Pariksit, Ia anjurkan raja mengadakan upacara kurban ular untuk membalasnya, mengetahui ini, Taksaka gelisah dan mengutus Astika untuk menggagalkan upacara. Astika pergi dan memohon agar Raja membatalkan upacara, Janamejaya mengabulkannya dan Astika kembali ke Nagaloka.
    Versi Jawa
    Parikesit anak dari Abimanyu/Angkawijaya, kesatria Plangkawati dan Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia menjadi Yatim sejak dalam kandungan, karena ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha. Parikesit lahir di istana Hastinapura, setelah Pandawa pindah dari Amarta ke Hastinapura. Parikesit naik tahta Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Karimataya/Yudistira, Parikesit punya 5 Isti dan 8 anak, dari Dewi Puyangan, Ramayana dan Pramasata; dari Dewi Gentang, Dewi Tamioyi; dari Dewi Satapi/Dewi Tapen, Yudayana dan Dewi Pramasti; dari Dewi Impun, Dewi Niyedi; dari Dewi Dangan, Ramaprawa dan Basanta

Wesampayana menuturkan kisah Jaya (Bharata/Mahabharata)

Setelah upacara gagal, Janamejaya meminta Vyasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, Vyasa menyuruh muridnya, Wesampayana untuk menuturkannya.

Daksa → Aditi → Vivaswat → Manu → Ha → Pururavas → Ayus → Nahusha → Yayati dari Devayani → Yadu yang menurunkan Yadawa; dan dari Sarmishtha → Puru yang menurunkan dinasti Paurava. Puru → Janamejaya → Prachinwat → Sanyati → Ahayanti → Sarvabhauma → Jayatsena → Avachina → Arihan → Mahabhauma → Ayutanayi → Akrodhana → Devatithi → Arihan → Riksha → Matinara → Tansu → Ilina → Dushwanta/Dushmanta dari Sakuntala → Bharata (artinya yang dibantu) dari Sunanda → Bhumanyu → Suhotra → Hasti, pendiri Hastinapura, dari Yasodhara → Vikunthana → Ajamidha → Samvarana → Kuru, yang mendirikan dinasti kuru/Kourawa → Viduratha → Anaswan → Parikshit → Bhimasena → Pratipa → Santanu (Mbh 1.95)
    Hastinapura, kota dan Nagar Panchayat di distrik Meerut, Uttar Pradesh, negara bagian India. Hastinapura (Hasti = gajah + Pura = kota), masa kini disebut Hastinapur, kota kecil di Uttar Pradesh, 120 km dari Delhi dan 37 km dari Meerut. Di Hastinapur terdapat kuil Jain dan Taman Nasional

Bhisma dan Krishna Dvipayana

Santanu dari Dewi Ganga, melahirkan 8 orang yang merupakan penjelmaan 8 Wasu yang mengalami kutukan akibat mencuri lembu milik Rsi Wasistha.. Setiap putranya lahir, Ibunya pergi ke sungai dan menenggelamkannya dan terjadi sebanyak 7x. Saat putera yang ke-8 lahir (penjelmaan Wasu Prabata), Raja mengikuti dan mencegahnya, Kemudian, Dewi Ganga dan anak ke-8nya menuju surga, meninggalkan Prabu Santanu sendirian selama 36 tahun kemudian, kemudian, Dewi Ganga menyerahkan Bisma kepada ayahnya di hilir sungai Gangga, dinamai Dewabrata dan menjadi pewaris kerajaan.

Perubahan nama Devavrata menjadi Bhisma, terkait perkawinan ayahnya dengan Setyawati. Suatu ketika Raja Chedi, berburu di hutan, tertidur dan bermimpi basah memimpikan istrinya, air maninya dikirim dengan elang ke kerajaannya, namun di udara berkelahi dengan elang lainnya, sebagiannya jatuh ke sungai, ditelan ikan. Ikan ini dulunya bidadari, Adrika yang dikutuk. Ikan ini hamil, seorang nelayan, Dashraj menangkapnya, ketika membelahnya, ada 2 bayi satu laki dan satu perempuan, keduanya diserahkan kepada raja, yang laki dipelihara dan menjadi raja Matsya, yang perempuan dikembalikan, karena berkulit hitam dinamai kali, karena berbau amis disebut Matsya-gandha (yang baunya seperti ikan), Ia menjadi anak angkat dan karena jujur, dinamai Satyavati. Bhagavata purana menceritakan, suatu ketika, Ia mengangkut Rsi Parasara menyeberangi sungai Yamuna, Parasara terpikat, mengubah amis tubuhnya menjadi harum, sehingga disebut Yojanagandha (yang aromanya hingga seyojana) dan harum kesturi (Kasturi-Gandha). Setelah bersenggama dengan Parasara, hari yang sama lahirlah Krishna-Dwipayana atau lebih dikenal sebagai Vyasa yang segera tumbuh remaja, setelah lahir keperawanannya dipulihkan pararsara. Suatu hari Raja Kuru Hastina pura, Sentanu, berburu di hutan dan terpesona aroma kesturi hingga mencapai rumah Satyavati, Ia jatuh cinta padanya dan meminta putrinya, tapi nelayan Dashraj menyatakan putrinya dapat diserahkan asal jika turunannya mewarisi tahta. Karena telah menunjuk Devavrata, Ia tidak dapat mengabulkan, kesedihannya ini diketahui Devavrata dan menuju kepada nelayan tersebut melamar anaknya untuk ayahnya dan besumpah anak mereka akan mewarisi tahta dan Ia akan terus membujang seumur hidup, karena sumpahnya dahsyat/menggetarkan (Bhisma), sejak itu Ia disebut Bhisma (yang sumpahnya menggetarkan), Nelayan ini memberikan Setyawati dan Bhisma mempersembahkan Setyawati kepada Ayahnya, dari sini lahirlah Chitrāngada dan Wicitrawirya

Bisma mempelajari ilmu politik dari Brihaspati (guru para Dewa), ilmu Veda dan Vedanga dari Resi Wasistha, ilmu perang dari Parasurama (Ramaparasu/Rama Bargawa, ksatria legendaris Ciranjīvin (ciran = panjang; jiva = kehidupan, berumur sangat panjang) dari jaman Treta Yuga. Akibatnya, Bisma ditakuti lawan dan dihormati anak-cucunya, tidak hanya karena tua, tapi karena mahir militer dan peperangan sehingga selalu menang. Yudistira berkata tidak ada yang sanggup menaklukkan Bisma, bahkan jika laskar Dewa dan Asura bergabung dipimpin oleh Indra, Sang Dewa Perang sekalipun.
    Ciranjiva lainnya: Markandeya, Vyasa, Vasistha, Maitreya, Narada, Lomasa dan Suka (Mbh 3.31). lainnya: Gālava, Dīptimān, Paraśurāma, Aśvatthāmā, Kṛpācārya, Ṛṣyaśṛṅga dan Vyāsadeva (SB 8.13.15-16). Hanuman yang hidup jaman ramayana bertemu Bhima (Mbh 3.145-146)
Demi meneruskan keturunan untuk Citrānggada dan Wicitrawirya. Ia pergi ke Kasi memenangkan sayembara, membawa pulang: Amba, Ambika, dan Ambalika. Saat Amba dimenangkan Bhisma, hatinya telah memilih Salya, raja Saubala. Raja Salva mencegat Bisma dan bertarung, namun Salya kalah. Amba berkata pada Bisma, ’Oh Putra Gangga, tentunya kau tahu apa kata kitab suci. Hatiku telah memilih Salya sebagai suami namun engkau membawa paksa diriku kemari’. Bisma mengakui kemudian dengan pengawalan yang pantas Ia dikembalikan ke Raja salya. walaupun Amba bersukacita dan menceritakannya kepada Salya, namun Salya tidak mau menerima lagi Amba karena malu dikalahkan Bisma. Amba diminta kembali, Amba kembali ke Hastinapura dan menceritakan apa yang terjadi kepada Bisma. Sementara itu, Citrānggada telah gugur bertempur melawan Raja Gandharva, Ia digantikan adiknya, Wicitrawirya dan mengawini Ambika dan Ambalika.

Bisma membujuk Wicitrawirya agar mengawini Amba juga, namun ditolaknya karena diketahui hati Amba telah diserahkan pada orang lain. Amba mendengar penolakannya dan meminta pertanggungjawaban Bisma agar mengawininya, Bisma menolak karena terikat sumpah tidak kawin seumur hidup dan berjanji mencari cara agar Raja Salya mau menerimanya, awalnya Amba gengsi namun 6 tahun berjalan dalam kesedihan, Ia kembali mencari Raja Salva, namun tetap Ia ditolaknya. Karena nasibnya tak tentu selama bertahun-tahun, Amba merasa bahwa ini adalah gara-gara Bisma sehingga Ia dendam kepada Bisma. Ia kemudian berkeliling keseluruh penjuru mengadukan nasibnya pada para ksatria, meminta bantuan mereka melawan Bisma namun tidak ada yang mau berhadapan dengan Bisma. Ia kemudian mencari perlidungan Dewa yang kemudian memberikan karangan bunga teratai kepadanya bahwa siapapun yang memakai itu akan dapat mengalahkan Bisma. Berbekal itu, sekali lagi Ia keseluruh penjuru mencari Ksatria yang berani melawan Bhisma, tapi tidak ada, Ia kemudian memohon pada Raja Drupada, yang juga gentar, hingga menolaknya. Amba putus asa dan meletakan Karangan bunga di pintu gerbang Istana, masuk menuju hutan, bertemu beberapa pertapa yang menyarankannya agar memohon bantuan Parasurama, gurunya Bhisma. Parasurama menaruh perhatian terhadap masalah Bisma dan Amba dan menemui Bhisma, membujuknya dari halus sampai bertarung, tapi sang gurupun dikalahkan Bhisma, karenanya, Parasurama bersumpah tidak akan lagi menerima murid dari kasta Ksatriya.

Setelah tidak ada manusia yang mampu, Amba menuju Himalaya, melakukan tapabrata keras, memasrahkan persoalannya kepada Siva, yang kemudian memberi restu bahwa dikehidupan mendatang, Ia akan dapat membunuh Bhisma. Senang mendengar ini, tidak sabar menanti saatnya, ia pun membakar diri agar terlahir kembali dan segera dapat membunuh Bhisma dengan tangannya Sendiri. Ia terlahir sebagai anak raja Drupada. Beberapa tahun kemudian, Ia menemukan kembali karangan bunga yang ditinggalkannya di gerbang Istana karena tidak seorangpun yang berani mengambilnya untuk melawan Bisma. Ia kemudian memakainya, Raja Drupada yang melihat itu menjadi merinding dan mengasingkannya di Hutan. Di hutan itu, Ia menggembleng diri, dengan tapabrata, kelaminnya berubah menjadi Laki-laki dan Iapun dikenal denan nama Srikandi. Di Kurukhshetra, Bisma tewas di tangannya.
    Veris Jawa:
    Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga/Dewi Jahnawi. Waktu kecil bernama Raden Dewabrata berarti keturunan Bharata yang luhur, nama lainnya Ganggadata. Ia salah satu tokoh wayang yang tidak menikah, istilahnya Brahmacarin, berdiam di pertapaan Talkanda. Saat Dewabrata lahir, ibunya moksa, ayahnya prabu Santanu mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata dan bertemu Dewi Durgandini/Dewi Satyawati, istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa. Setelah Durgandini bercerai, Ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya. Bhisma seharunya pemilik tahta Astina, tetapi karena keinginannya agar tidak ada perpecahan dalam negara, Ia rela tidak menjadi raja. Ia mewakili raja Hastinapura, mengikuti sayembara untuk mendapatkan Istri bagi kedua adiknya, Ia memboyong 3 Dewi, salah satunya adalah Dewi Amba yang ternyata mencintainya. Bisma menolak cintanya, karena hadir sebagai wakil. Dewi Amba tetap berkeras hanya mau menikahi Bisma, karenanya Bisma menakut-nakutinya dengan senjata saktinya yang akhirnya tidak sengaja membunuh Dewi Amba yang ketika sekarat dipeluk Bisma dan berkata sesungguhnya dirinyapun mencintai Dewi Amba. Ia menyatakan bahwa dia akan menjemput Bisma suatu saat agar bisa bersamanya di alam lain, Bismapun menyangupinya. Roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi. Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, sayang keduanya meninggal berurutan, sehingga tahta Astina dan janda Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan kepada Byasa, putra Durgandini dari suami pertama. Byasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Drestarata, orangtua Pandawa dan Korawa. Demi janjinya membela Astina, Bisma berpihak pada Korawa dan terbunuh ditangan Srikandi pada perang Bharatayuddha. Bisma memiliki kesaktian dapat menentukan sendiri waktu kematiannya.
Krishna Dwipayana bergelar VedaVyasa (arti Vyasa = membagi, membedakan) membagi Weda menjadi empat/Caturweda, menyusun Purana dan Itihasa dan menurunkannya pada muridnya, di antaranya, Pulaha, Jaimini, Samantu, dan Wesampayana.
    “Di setiap zaman ketiga/Dwapara, Wisnu, dalam diri Wyasa, membagi Weda, yang seharusnya satu, menjadi empat bagian, dan raga yang dipakai dalam menjalankannya, dikenal sebagai Wedawyasa.” (Visnu Purana 3.3)
Krishna Dwipayana yang merupakan anak Setyawati, sementaa itu turunan Setyawati dan Sentanu, satu persatu wafat, Citrānggada gugur dalam perang, sedangkan Wicitrawirya wafat karena sakit, terjadi kekosongan tahta Hastinapura. Walaupun Setyawati membujuk Bhisma menduduki tahta, Bhisma tetap menolak karena telah bersumpah ketika memboyong Setyawati agar mau dipersunting Sentanu, oleh karenanya, Satyawati meminta Vyasa agar memberikan keturunan melalui kedua janda Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika. Vyasa menyampaikan kepada Ibunya, jika para perempuan ini mampu bertahan atas kejelekan wajah, bau badan dan pakaiannya, maka anak yang dihasilkan akan luar biasa. (Mbh 1.105)
    Versi Jawa
    Abyasa adalah putra Parasara dan Durgandini, dulu sejak lahir, badan Durgandini berbau amis dan diobati Parasara, di atas perahu sampai sembuh. Keduanya jatuh hati dan melakukan sanggama, lahirlah Abyasa. Parasara kemudian dari perahu, penyakit, dan alat-alat pengobatannya mengubahnya menjadi manusia berjumlah enam, yaitu Setatama, Rekathawati, Bimakinca, Kincaka, Rupakinca, dan Rajamala. Semuanya dipersaudarakan dengan Abyasa. Durgandini kemudian menjadi permaisuri Sentanu raja Hastina dan melahirkan Citranggada dan Citrawirya, yang berturut-turut naik tahta tapi wafat muda, Citranggada meninggal belum menikah, sedang Citrawirya meninggal belum berputra. Durgandini memanggil Abyasa, menikahkannya dengan kedua janda Citrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika.

    Keadaan tubuh Abyasa sangat buruk dan mengerikan sehingga ketika senggama, Ambika memejamkan mata. Abyasa meramalkan putra Ambika akan lahir buta, yaitu Dretarastra. Sementara Ambalika memalingkan muka. Abyasa meramalkan putra Ambalika akan berleher cacad, yaitu Pandu. Abyasa juga menikahi dayang Ambalika bernama Datri yang juga ketakutan dan mencoba lari, Abyasa meramalkan kelak putranya akan berkaki pincang, yaitu Widura. Karena Bisma putra Sentanu dari istri pertama telah bersumpah tidak akan menjadi raja, maka Abyasa naik takhta sampai Pandu dewasa, setelahnya Ia kembali ke pertapaannya di pegunungan Saptaarga. Abyasa pendeta agung yang sangat dihormati di Hastina juga negeri-negeri lainnya. Abyasa wafat sesudah Parikesit cucu Arjuna dilahirkan, atas jasanya didunia, datang kereta emas dari kahyangan menjemput Abyasa yang pergi bersama raganya. Nama Dipayana kemudian diwarisi Parikesit.
Satyawati setelah mendapat persetujuan kedua janda Wicitrawirya Ambika dan Ambalika agar mau memberikan keturunan bagi Bharata dan menyampaikan pesan Vyasa, kemudian, meminta Vyasa mendatangi mereka. Ketika Ambika ditemui Resi Byasa dikamarnya, Ia tidak tahan rupa sang Rsi dan menutup mata. Karena menutup mata, anaknya yaitu Dretarastra terlahir buta. Ambalika juga diminta yang sama, agar bertahan baik, namun setelah melihat sang Rsi, wajahnya menjadi pucat, karena itu, anaknya yaitu Pandu, terlahir pucat. Kemudian, mertuanya meminta janda tertua Vichitravirya kembali melakukannya, namun karena tidak tahan rupa dan bau sang Rsi, Ia mengurimkan seorang pelayan (dari kasta Sudra) untuk hal tersebut, terlahirlah seorang putera, bernama Widura. Pelayan tersebut melayani sang resi dengan baik, Sang resi berkata bahwa kelak anak yang akan dilahirkannya akan berperilaku mulia dan bahwa Ia merupakan penjelmaan Dewa Dharma dan walaupun tidak memiliki ilmu kesaktian apapun tetapi memiliki ilmu kebijaksanaan yang luar biasa terutama bidang ketatanegaraan. (Mbh 1.105)

Pandu (pucat) adalah anak ke-2, tapi karena Kakaknya, Dretarasta buta sejak lahir maka tahta diserahkan kepadanya. Pandu pemanah yang mahir dan ahli peperangan, Ia menaklukkan wilayah Dasarna, Kashi, Anga, Wanga, Kalinga, Magadha, dan lain-lain. Saat berburu di hutan, tanpa sengaja Pandu memanah seorang resi yang sedang menyamar sebagai Rusa bersenggama dengan istrinya. Atas perbuatan tersebut, Sang Resi mengutuk Pandu agar kelak ia meninggal saat bersenggama dengan istrinya. [Mbh 1. 95 dan 1.118]. Pandu kemudian mengembara di hutan sebagai pertapa dan meminta Kunti untuk memiliki keturunan, Kunti kemudian memanggil Dharma/Yama, lahirlah Yudhishthira; memanggil Vayu/Maruta, lahirlah Bhima: memanggil Sakra/Indra, lahirlah Arjuna. Pandu kemudian meminta Kunti mengajari Madri. Madri kemudian memanggil Aswin, lahirlah Nakula dan Sahadewa. Suatu hari Pandu, terpesona pada Madri yang dihiasi perhiasan, keinginannya menyala. Dan, begitu dia menyentuhnya, Ia mati. Madri kemudian melakukan Sati bersama Pandu dan sebelumnya Ia berkata pada Kunti agar merawat anak-anaknya dengan kasih sayang. Beberapa waktu kemudian, Pandawa dibahwa para pertapa hutan ke Hastinapura dan diperkenalkan kepada Bisma dan Widura, setelahnya para petapa ini menghilang, dan bunga-bunga berjatuhan ditempat, genderang surgawi berbunyi dari langit. Pandawa kemudian dibawa Bisma dan dibesarkan di sana [Mbh 1.95].
    Versi Jawa
    Di kalangan Jawa dan Sunda, Pandu berasal dari "Wandu", artinya bukan laki bukan perempuan, tetapi bukan banci. "sajeroning lanang ana wadon, sajeroning wadon ana lanang", manusia yang sudah menemukan jodoh di dirinya sendiri. Gusti Pangeran dan hambanya sudah bersatu dan selalu berjamaah. Pandu naik takhta Hastina menggantikan Byasa diberi bergelar "Prabu Pandu Dewanata" atau "Prabu Gandawakstra". Dalam suatu sayembara, Prabu Pandu berhasil mendapatkan Kunti putri dari Prabu Kuntiboja. Prabu Salya dari kerajaan Madraka yang terlambat datang menantang Pandu untuk mendapatkan Dewi Kunti dengan taruhannya adalah Dewi Madri adiknya, mereka bertanding dan Pandu menang sehingga Madri menjadi istri keduanya (dalam versi lain, justru Pandu yang terlambat datang). Di tengah jalan, Pandu juga berhasil mendapatkan satu puteri lagi bernama Gandari dari negeri Plasajenar, setelah mengalahkan kakaknya yang bernama Prabu Gendara. Putri terakhir ini diserahkan kepada Dretarastra. Dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan lima putra sebagai anak kandungnya yang bukan hasil pemberian dewa. Para dewa hanya dikisahkan membantu kelahiran mereka. Misalnya, Bhatara Dharma membantu kelahiran Yudistira, dan Bhatara Bayu membantu kelahiran Bima. Suatu hari Madri mengidam ingin bertamasya naik Lembu Nandini, wahana Batara Guru. Pandu pun naik ke kahyangan mengajukan permohonan istrinya. Sebagai syarat, ia rela berumur pendek dan masuk neraka. Batara Guru mengabulkan permohonan itu. Pandu dan Madri pun bertamasya di atas punggung Lembu Nandini. Setelah puas, mereka mengembalikan lembu itu kepada Batara Guru. Beberapa bulan kemudian, Madri melahirkan bayi kembar bernama Nakula dan Sadewa. Kelima putra Pandu lahir di Hastina.

    Pandu aktif membantu perkawinan para sepupunya di Mathura. Pandu pernah diminta para dewa untuk menumpas Prabu Nagapaya, raja raksasa yang bisa menjelma menjadi naga dari negeri Goabarong. Setelah berhasil, Pandu diberikan pusaka minyak Tala. Kematian Pandu bukan karena bersenggama dengan Madri, melainkan karena berperang melawan Prabu Tremboko, muridnya sendiri, seorang raja raksasa negeri Pringgadani, yang terjadi akibat hasutan dari Sangkuni. Perang ini dikenal dengan nama Pamoksa. Tremboko gugur terkena anak panah Pandu, namun sempat melukai paha lawannya dengan keris"Kyai Kalanadah". Akibat luka di paha tersebut, Pandu jatuh sakit dan meninggal dunia setelah menurunkan wasiat agar Hastinapura untuk sementara diperintah oleh Dretarastra sampai kelak Pandawa dewasa. Antara putera-puteri Pandu dan Tremboko kelak terjadi perkawinan, yaitu Bima dengan Hidimbi, yang melahirkan Gatotkaca, seorang kesatria berdarah campuran, manusia dan raksasa.

    Istilah Pamoksa berbeda dengan istilah moksa Hindu. Pamoksa nya Pandu musnah bersama seluruh raganya, masuk neraka sesuai perjanjian. Atas perjuangan putera keduanya, Bima, Pandu akhirnya mendapatkan tempat di sorga. Versi lain, Pandu tetap memilih hidup di neraka bersama Madri sesuai janjinya dengan dewa. Baginya, tidak menjadi masalah di neraka, asalkan putera-puteranya berhasil di dunia. Perasaan bahagia melihat dharma bakti para Pandawa membuatnya merasa hidup di sorga.
Kunti nama aslinya Pritha (yang ramah), anak kepala suku Yadawa/Wresni, Sura/surasena (adik Basudewa), tapi kemudian diserahkan kepada keluarganya yang tidak punya anak, Kuntibhoja [Mbh 1.111] saudara Basudewa (ayah dari Baladewa, Kresna dan Subadra), sejak itu Ia bernama Kunti. Setelah Kunti menjadi puterinya, Raja Kuntibhoja dianugerahi anak. Karena Kunti melayani baik para tamu ayahnya, termasuk Resi Durwasa, Ia merasa senang dan karena tahu akan nasib yang akan melanda Pandu, Ia menganugerahi Kunti mantra Adityahredaya, yang mampu memanggil Dewa mana saja dan memberikannya anak. Karena penasaran, Kunti merapalkan mantra memanggil Arka/Surya/Vivaswat, Dewa tersebut datang sehingga Ia terkejut, Ia kemudian memohon ampun karena tujuannya hanya ingin mencoba saja, Dewa Surya memintanya untuk menyingkirkan ketakutan dan agar memeluknya akan berbuah tidak akan tersia-sia. Setelahnya, tanpa perlu mengandung muncul bayi yang kelak dikenal sebagai Karna, sebelum kembali ke Surga, Surya mengembalikan keperawanan Kunti.
    Versi Jawa
    Guru Kunti bernama Resi Druwasa, mengajarkan Aji Punta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan. Yang membantu kelahiran Karna bukan Batara Surya, melainkan Resi Druwasa sendiri membantu Kunti melahirkan "putera Surya" melalui telinga sehingga keperawanannya tetap terjaga.
Salya adalah raja Kerajaan Madra. Raja Kerajaan Madra semula bernama Artayana, yang memiliki dua orang anak bernama Salya dan Madri. Setelah Artayana meninggal, Salya menggantikannya sebagai raja. Merujuk pada nama ayahnya, Salya dalam MahaBharata sering pula disebut Artayani. Salya memiliki dua orang putra bernama Rukmarata dan Rukmanggada. Namun siapa nama istrinya atau ibu dari kedua anak tersebut tidak diketahui dengan jelas.
    Versi Jawa
    Salya muda bernama Narasoma gemar berkelana karena menolak dijodohkan ayahnya. Di tengah jalan bertemu brahmana raksasa, Resi Bagaspati yang ingin menjadikannya sebagai mantu dan menyatakan putrinya, Pujawati bermimpi bertemu Narasoma dan jatuh hati kepadanya. Narasoma menolak lamaran Bagaspati karena yakin Pujawati pasti berparas raksasa. Keduanya bertarung. Narasoma kalah, dibawa Bagaspati ke pertapaan Argabelah, di situ, Narasoma terpesona, karena Pujawati ternyata cantik, Ia bersedia menikahinya tapi jijik punya mertua raksasa. Pujawati menyampaikan itu kepada Bagaspati dan dimita ayahnya memilih antara ayah atau suami, Ia memilih suami, Bagaspati bangga mendengarnya, mengganti nama Pujawati menjadi Setyawati, kemudian Ia sampaikan kepada Narasoma bahwa ayahnya siap mati daripada mengganggu keharmonisan mereka dan asal Setyawati tidak dimadu. Narasoma bersedia, kemudian ketika menusuk Bagaspati tidak mempan, oleh karenanya, Bagaspati wariskan dulu kesaktian Candabirawa kepada Narasoma kemudian menusuk siku Bagaspati, titik kelemahannya dan akhirnya Bagaspati tewas. Narasoma kemudian membawa Setyawati ke Mandaraka.

    Mandrapati gembira menyambut Narasoma dan Setyawati tapi kemudian sedih dan marah mendengar kematian Bagaspati yang merupakan sahabatnya, Ia mengusir Narasoma. Madri yang masih rindu, menyusul kakaknya. mereka tiba di Kerajaan Mandura yang tengah diadakan sayembara untuk mendapatkan putri Kunti. Dengan Candabirawa, Salya berhasil mengalahkan semua pelamar dan memenangkan Kunti. Pandu pangeran Hastina datang terlambat dan memutuskan pulang. Narasoma mencegah dan menantangnya, Pandu tidak melayaninya karena Narasoma sudah ditetapkan sebagai pemenang. Narasoma terus memaksa, bahkan jika Pandu menang, bukan cuma Kunti bahkan Madrim diserahkannya. Pandu terpaksa melayaninya dan sempat terdesak. Atas nasihat Semar, ia pun mengheningkan cipta menyerahkan diri kepada Tuhan, anehnya Candabirawa justru lumpuh dengan sendirinya. Narasoma pun menyerah kalah. Sesuai perjanjian, Kunti dan Madrim diboyong Pandu dan Narasoma kemudian kembali ke Mandaraka dan dikejutkan kematian ayahnya yang bunuh diri karena sedih atas kematian Bagaspati dan merasa telah gagal menjadi ayah. Narasoma menggantikan ayahnya sebagai raja Mandraka dan bergelar Salya.

    Raja Salya, punya 3 putri, awalnya Ia menerima lamaran Duryudana raja Hastina yang ingin menikahi Erawati, putri sulungnya. Namun Erawati diculik dan diselamatkan Baladewa yang menyamar sebagai pendeta muda. Menurut perjanjian, Erawati harusnya diserahkan kepada Baladewa. Namun karena Salya lebih suka bermantukan raja, perjanjiannya ditunda-tundanya. Setelah tahu Baladewa adalah raja Mandura, Erawati pun diserahkan kepadanya. Salya menerima lamaran Duryudana untuk Surtikanti tapi putri keduanya diculik dan dinikahi Karna. Duryudana merelakannya karena Karna berjasa kepadanya dan akhirnya menikahi putri Salya lainnya, Banowati.
Drestarastra, walaupun putera tertua, namun terlahir buta, maka tahta kerajaan diserahkan kepada adiknya, Pandu. Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikannya sebagai raja sementara. Drestarastra menikahi Gandari, puteri Subala, Raja Gandhara (Sekarang: Kandhahar), yang wilayahnya meliputi Pakistan barat daya dan Afghanistan timur. Dari sini asal nama Gandari. Ketika tahu calon suaminya Buta, Gandari mengikuti jejaknya dan menutupi matanya dengan kain, “Kalau suamiku tidak bisa melihat, buat apa ku melihat”. Saat Gandari hamil dalam jangka panjang tanpa tanda akan melahirkan, karena cemburu pada Kunti yang telah memberikan Pandu 3 putera, Ia memukul-mukul kandungannya, sehingga keluarlah gumpalan daging keabu-abuan, berkat pertolongan Byasa, gumpalan daging itu memberikan seratus anak kepada Gandari. Tanda-tanda buruk mengiringnya kemunculan Duryodana, Widura mengatakan bahwa itu pertanda kekerasan akan mengakhiri dinasti tersebut. Widura dan Bisma menyarankan agar Duryodana dibuang, karena masih ada 99 lainnya, namun Dretarastra tidak mampu melakukannya karena rasa cinta dan ikatan emosionalnya pada putera pertamanya itu.

Di Kurukshetra, satu-persatu putera Gandari gugur, hingga tersisa Duryodana, takut akan kehilangannya, Gandari menyuruh Duryodana mandi dan setelahnya, datang kepadanya dalam keadaan telanjang bulat, ketika hendak menjumpai ibunya, Ia bertemu Kresna yang baru saja mengunjungi Gandari. Kresna mencemooh Duryodana tak tahu malu menghadap ibu dalam keadaan telanjang. Oleh karenanya, Duryodana mengambil kain menutupi kemaluan dan pahanya. Ketika Duryodana tiba, Gandari membuka penutup matanya, saat matanya terbuka, sinar ajaib muncul memberi kekuatan kepada Duryodana. Namun ketika Ia lihat puteranya menutupi wilayah paha dan kemaluannya, Gandari berkata bahwa wilayah tersebut tidak akan kebal oleh serangan. Pada saat Duryodana bertarung dengan Bima di hari ke-18, Duryodana gugur karena terluka di pahanya akibat hantaman gada Bima.

Setelah pertempuran besar di Kurukshetra berakhir, Gandari meratapi kematian seratus puteranya dan menyalahkan Kresna karena tidak bisa mencegah peperangan, tidak bisa mendamaikan. Kresna berkata bahwa kewajibannya melindungi kebenaran, bukan mencegah perang. Kemudian Gandari mengutuk Kresna, bahwa keluarga Krena, yaitu Wangsa Wresni, akan musnah saling bantai sesamanya. Kresna menerima kutukan tersebut. 36 tahun kemudian, Wangsa Wresni saling bantai, hanya Kresna, Baladewa, dan para wanita yang hidup, setelahnya, kerajaan Dwaraka, tenggelam ke lautan dan memusnahkan jejak mereka.
    Versi Jawa
    Dretarastra adalah putra kandung Abyasa dari Ambika yang lahir dalam keadaan buta, karena ketika Ibunya berjumpa dengan Abyasa, Ia memejamkan mata. Kedatangan Abyasa ke Hastina ialah atas undangan ibunya, Durgandini untuk menikahi janda-janda Citrawirya. Tujuannya untuk menyambung garis turunan Bharata, karena pewaris sesungguhnya, Bisma, telah bersumpah untuk hidup wahdat. Sewaktu kecil Dretarastra serta kedua adiknya, Pandu dan Widura berguru kepada Bisma tentang ilmu pemerintahan dan kesaktian. Meskipun menyandang tunanetra, Dretarastra menguasai ilmu Lebur Geni yang mampu meremukkan apa saja yang digenggamnya.

    Ketika Pandu pulang dari Mandura dengan membawa Kunti dan Madrim. Di tengah jalan mereka dihadang Gendara raja Plasajenar yang terlambat hadir di sayembara. Pertempuran terjadi dengan kematian Gendara yang berwasiat menitipkan kedua adiknya, yaitu Gendari dan Sengkuni agar dibawa Pandu. Sesampainya di Hastina, Pandu menyerahkan ketiga putri boyongannya agar dipilih satu sebagai istri Dretarastra. Kakaknya itu memilih Gendari yang diramalkannya akan memberinya banyak putra. Perkawinannya memang melahirkan seratus anak, yang dikenal dengan nama Korawa. Karena menyandang cacad fisik, takhta Hastina diserahkan kepada Pandu, kemudian Abyasa yang bertindak sebagai raja sementara kembali ke pertapaannya di Saptaarga. Sementara itu, Dretarastra diangkat sebagai adipati di daerah Gajah Oya, sedangkan Widura di Pagombakan.
Sakuni atau Sangkuni, adalah kakak Gandari, paman para Korawa dari pihak ibu. Mereka berasal dari Kerajaan Gandhara. Ayah Sakuni bernama Suwala. Ketika adik perempuannya, Gandari dilamar sebagai istri Dretarastra, pangeran Hastinapura yang buta, Sangkuni marah atas putusan ayahnya menerima lamaran tersebut, menurutnya, Gandari seharusnya menjadi istri Pandu, adik Dretarastra. Karena semuanya telah terjadi, ia pun mengikuti Gandari dan menetap di Hastinapura. Sakuni dikatakan sebagai reinkarnasi Dwapara sedangkan Duryodana reinkarnasi Kali.
    Versi Jawa
    Sangkuni bukan kakak Gandari, melainkan adiknya dan Gandara bukan nama kerajaan, melainkan nama kakak tertua mereka. Pada mulanya raja kerajaan Plasajenar adalah Suwala. Setelah wafat digantikan Gandara. Suatu hari Gandara dan kedua adiknya, Gandari dan Suman, menuju kerajaan Mandura untuk ikut sayembara memperebutkan Kunti, di tengah jalan, berpapasan dengan Pandu yang kembali ke Hastina dengan Kunti dan Madrim. Pertempuran terjadi, Gandara tewas, Pandu kemudian membawa Gandari dan Suman. Gandari diminta Dretarastra sebagai istri. Gandari sangat marah karena Ia menjadi istri Pandu, Suman berjanji akan membantu kakaknya melampiaskan sakit hatinya dengan menciptakan permusuhan di antara anak-anak Dretarastra dan Pandu.

    Suatu hari, Suman berhasil mengadu domba Pandu dan muridnya, raja Pringgadani, raksasa Tremboko, Pandu mengirim Patihnya yaitu Gandamana dari kerajaan Pancala sebagai duta perdamaian, Suman yang ingin merebut jabatan patih, di tengah jalan, menjebaknya hingga jatuh ke perangkap. Suman kembali ke Hastina melaporkan bahwa Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh. Pandu kemudian mengangkat Suman sebagai patih baru, namun tiba-tiba Gandamana masih hidup dan muncul, Ia seret Suman dan dihajar habis-habisan hingga wujudnya berubah menjadi jelek, sejak itulah Suman disebut Sangkuni, dari kata saka dan uni, yang artinya ucapan, maksudnya cacad buruk rupa karena ucapannya sendiri.

    Setelah Pandu wafat, pusakanya bernama minyak Tala dititipkan kepada Dretarastra untuk Pandawa jika mereka telah dewasa. Pusaka itu hadiah dewata kepada Pandu yang membatu Dewata menumpas Nagapaya. Terjadi perebutan diantara Pandawa dan Korawa. Dretarastra melemparkan jauh-jauh pusaka tersebut beserta cupunya dan mereka segera berpencar untuk menangkapnya. Ketika hendak dilempar, Sangkuni lebih dahulu menyenggol tangan Dretarastra sehingga sebagian minyak Tala tumpah, Ia segera mencopot seluruh pakaiannya, bergulingan di lantai agar kulitnya dibasahi minyak tersebut. Cupu berisi sisa minyak tercebur ke sumur tua. Pandawa dan Korawa tidak mampu mengambilnya, muncul seorang pendeta dekil bernama Drona yang berhasil mengambilnya dengan mudah. Tertarik atas kesaktiannya, Korawa dan Pandawa berguru kepadanya. Sangkuni yang telah bermandikan minyak Tala, mendapati seluruh kulitnya kebal dari segala jenis senjata.
Widura adalah adik tiri Pandu dan Dretarasta dari ibu yang berbeda, yaitu seorang pelayan. Mereka belajar di bawah bimbingan Bisma. Widura paling bijaksana diantara mereka. Karena Dretarastra buta, Pandu menduduki tahta, sedangkan Widura menjadi penasihat. Widura sangat tanggap ketika timbul niat jahat Dretarastra dan Duryodana untuk menyingkirkan Pandawa, sebelum Pandawa ke Waranawata, Widura memperingati Yudistira agar berhati-hati terhadap para Korawa dan ayahnya. Saat keselamatan para Pandawa dan ibunya terancam di Waranawata, berkali-kali Widura mengirimkan pesuruh membantu mereka lolos dari bencana. Widura, selalu berusaha mendamaikan pertentangan Pandawa dan Korawa. Ketika perang di Kurukshetra berkecamuk, Widura tetap tinggal di Hastinapura meskipun tidak memihak Korawa.
    Versi Jawa
    Widura atau Yamawidura adalah adipati Pagombakan, negeri kecil bawahan Hastina. Ia putra ketiga Abyasa karena Durgandini memintanya bersenggama dengan Ambalika sekali lagi namun Ambalika memerintahkan dayangnya, Datri untuk menggantikannya, yang juga ketakutan dan mencoba lari keluar kamar, akibatnya anaknya berkaki pincang. Widura menikah dengan Padmarini, putri Dipacandra dari Pagombakan dan Ia menggantikan kedudukan mertuanya, Dipacandra. Patihnya adalah Jayasemedi. Putra Widura adalah Sanjaya, Ia menjadi penuntun Dretarastra. Sepeninggal Pandu, Pandawa tinggal bersama Widura di Pagombakan. Dalam dunia politik, Widura kerap berlawanan dengan Sangkuni yang memihak ponakannya, Korawa. Ketika Pandawa hendak diserahi takhta, mereka dijebak di Balai Sigala-gala untuk dibakar, namun Widura telah membangun terowongan rahasia di bawahnya, sehingga Pandawa dan ibunya lolos dari maut. Widura berusia panjang. Putranya, Sanjaya gugur di Bharatayuda oleh Karna. Widura wafat saat bertapa di hutan, ketika Pandawa telah menumpas Korawa.
Basudewa beradik dua, yaitu Kunti (Ibu Pandawa) dan Srutadewa/Srutasrawas (Ayah Sisupala, yang menjadi musuh bebuyutan Kresna dan terbunuh Krisna saat upacara Rajasurya di Indraprasta). Mereka adalah anggota wangsa Yadawa (dari Yadu/Surasena, karena ada leluhur mereka yang terkemuka), diantara Yadawa adalah wangsa Wresni, Andhaka, dan Bhoja. Wresni adalah putera sulung Maharaja Madhu, generasi ke-19 Yadu, putera Yayati. Kresna bagian dari Chandrawangsa-Wresni, karenanya Ia juga disebut Warshneya. Rakyat Dwaraka adalah Wangsa Wresni. Ibukotanya Mathura, pimpinan Ugrasena.

Di Bhagawata Purana, dikisahkan seorang raksasa terbang di atas Mathura dan terpesona melihat Padmawati istri Ugrasena yang cantik. Raksasa itu menjelma sebagai Ugrasena dan bersetubuh dengannya, sehingga lahirlah Kamsa. Kamsa punya dua orang kepercayaan yaitu Banasura, yang sering menganjurkan untuk merebut tahta. Canur menyarankan Kamsa menikahi Asti dan Prarpti, puteri Jarasanda raja Magadha, yang juga sahabat Banasura, sehingga Ia menjadi menantu dan sekutu Jarasanda. Pasukan Magadha dikirim Jarasanda untuk mengawal dua putrinya, digunakan Kamsa untuk memaksa Ugrasena turun takhta dan menjebloskannya ke penjara dan Kamsa mewarisi tahtanya.

Sepupu Kamsa adalah Dewaki yang dianggap adik kandungnya sendiri. Dewaki menikahi Basudewa yang telah beristri Rohini. Saat pernikahan Basudewa-Dewaki, terdengar suara dari langit bahwa kelak Kamsa akan mati di tangan anak Dewaki. Karena takut ramalan itu, Ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan setiap Dewaki melahirkan anak, dibunuhnya hingga sejumlah 6 anak. Saat kehamilan ke-7, janinnya secara ajaib berpindah ke Rohini, istri pertama Basudewa, oleh karenanya, Baladewa juga disebut Sankarsana "janin pindahan". Balarama berkulit putih. Di kehamilan ke-8. Para Dewa membuat semua penjaga penjara tertidur, sehingga Basudewa dengan mudah diselundupkan keluar dan dititipkan ke Yasoda dan Nanda/Nadagopa di Gokula, Mahavana. Setelah itu, membawa ganti bayi perempuan Nandagopa kembali ke penjara. Esok paginya, Kamsa datang ke penjara untuk membunuh bayi Dewaki. Ketika melihat bayi tersebut perempuan, Ia pun merasa menang atas ramalan dewata. Krisna artinya "hitam/gelap" karena berkulit gelap bersemu biru langit [Brahma Samhita 5.30]. Setelah Balarama dan Krisna lahir, Rohini punya anak perempuan bernama Subadra dan berkulit Putih. Balarama dan Kresna dibesarkan Nandagopa dan Yasoda di pedesaan. Kamsa akhirnya tahu dan mengundang keduanya ke Mathura untuk perayaan agar dapat membunuh mereka namun dalam perkelahian tersebut, Kresna berhasil membunuh Kamsa.
    Versi Jawa
    Kamsa/Kangsa adalah anak Basudewa, Kerajaan Mandura. Ugrasena bukan mertua Basudewa, tapi adik bungsunya. Basudewa punya 4 istri, yaitu Mahira, Rohini, Dewaki, dan Badraini. Suatu hari Basudewa berburu di hutan, muncul seorang raja raksasa Kerajaan Guargra, Gorawangsa menyamar sebagai dirinya dan bersetubuh dengan Mahira. tapi diketahui Rukma adik Basudewa. Gorawangsa pun dibunuhnya. Mendengar laporan Rukma, Ia membuang Mahira ke hutan. Dengan bantuan Anggawangsa, pendeta raksasa, Mahira melahirkan Kangsa, namun kemudian Mahira wafat dan bayi Kangsa diubahnya dalam sekejap menjadi dewasa. Kangsa kemudian mendatangi Basudewa di Mandura untuk minta diakui sebagai anak. Kebetulan saat itu, Mandura diserang Suratrimantra adik Gorawangsa yang ingin menuntut balas. Kangsa berhasil mengalahkan Suratrimantra dan mendapat pengakuan Basudewa. Basudewa yang cemas atas kesaktian Kangsa, menitipkan anak-anaknya, Baladewa, Kresna, dan Subadra ke pembantunya di desa Widarakandang, bernama Antagopa dan Sagopi. Kangsa diangkat menjadi adipati di Sengkapura. Suratrimantra sebagai patihnya memberi tahu Kangsa bahwa Ia anak kandung Gorawangsa dan Kangsa memutuskan merebut takhta Basudewa.

    Kangsa tahu bahwa anak-anak Basudewa disembunyikan di Widarakandang. Ia mengirim prajurit untuk membunuh mereka, karena tidak ada, Antagopa, ditangkap dan dibawa ke tempat Kangsa. Sedangkan Sagopi dan Subadra berhasil lolos, tetap dikejar prajurit Kangsa dan diselamatkan Arjuna, ponakan Basudewa. Mereka bertemu Baladewa dan Kresna yang baru tamat berguru kesaktian, kemudian bersama-sama menuju tempat Kangsa untuk membebaskan Antagopa. Kangsa menantang Basudewa adu jago, jika jagoan Basudewa kalah, takhta harus diserahkan. Jagon Kangsa adalah Suratrimantra, sementara jago Basudewa adalah Bimasena, kakak Arjuna. Bima berhasil mengalahkan Suratrimantra. Namun begitu melihat Baladewa datang, Suratrimantra berusaha membunuhnya, namun Baladewa dengan cepat membunuhnya. Melihat kematian pamannya, Kangsa menangkap Baladewa. Kresna mencoba menolong tapi tertangkap. Keduanya dicekik sampai lemas. Untuk menolong keduanya, Subadra berdiri di hadapan Kangsa. Kangsa menjadi terpesona dan lengah. Arjuna memanah dadanya, Baladewa dan Kresna terlepas. Pada saat itulah Baladewa dan Kresna menyerang Kangsa dengan senjata masing-masing. Kangsa pun tewas. Peristiwa ini dikenal dengan kisah Kangsa Adu Jago. Kangsa meninggalkan gada Rujakpolo dan tidak ada yang bisa memindahkannya, kecuali Bimasena. Oleh karenanya, gada pusaka itu menjadi milik Bima.
Baladewa/Balarama, disebut juga Balabhadra/Halayudha, kakaknya Kresna. Beberapa aliran Hindu menganggapnya sebagai awatara ke-6 dari Maha Awatara, salah satu dari 25 awatara di Purana, sebagai penjelmaan Sesa, ular suci yang menjadi ranjang Dewa Wisnu. Baladewa dipuja bersama Sri Kresna sebagai Tuhan, yaitu disebut "Krishna-Balarama". Di penitisan Wisnu sebelumnya Rama, maka Baladewa adalah Laksmana. Pada zaman Kali, Ia menitis sebagai Nityananda, sahabat Sri Caitanya. Nanda, Ayah tiri Krisna mengundang Resi Garga, secara rahasia untuk memberikan nama kepada keduanya agar tidak diketahui dan dicurigai Kamsa.
    “Karena Balarama, putera Rohini, mampu menambah pelbagai berkah, namanya Rama, dan karena kekuatannya yang luar biasa, ia dipanggil Baladewa. Ia mampu menarik Wangsa Yadu untuk mengikuti perintahnya, maka dari itu namanya Sankarshana’- [Bhagawatapurana, 10.8.12]
Di waktu kecil, Ia bernama Rama. kekuatannya menakjubkan, maka disebut Balarama (Rama yang kuat)/ Baladewa. Ia dan Krisna menggembala sapi bersama Kresna dan teman-temannya. Ia menikahi Rewati, puteri Raiwata dari Anarta. Baladewa bersenjata bajak dan gada. Ia yang mengajari Bima dan Duryodana menggunakan senjata Gada. Dalam perang di Kurukshetra, Ia bersikap netral, namun ketika Bima hendak membunuh Duryodana, Ia mengancam akan membunuh Bima. Kresna menyadarkan Baladewa bahwa kewajiban Bima membunuh Duryodana untuk memenuhi sumpahnya dan mengingatkan Baladewa, prilaku buruk Duryodana.
    Versi Jawa
    Waktu muda bernama Kakrasana, putra Prabu Basudewa, raja Madura dari Dewi Mahendra/Maekah. lahir kembar bersama adiknya, punya adik bernama Dewi Subadra/Dewi Lara Ireng dari Dewi Badrahini, punya saudara lain bernama Arya Udawa dari Ken Sagupi, swarawati keraton Mandura. Prabu Baladewa pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikahi Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dari Dewi Setyawati/Pujawati dari Mandaraka, putranya bernama Wisata dan Wimuka. Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah, pemaaf dan arif bijaksana, sangat mahir mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa punya dua pusaka sakti, pemberian Brahma yaitu Nangggala dan Alugara, punya kendaraan gajah, kyai Puspadenta. Dalam banyak hal, Baladewa berlawanan dengan Kresna, Ia putih, krisna hitam.

    Di perang Bharatayuddha, Baladewa memihak Korawa, tetapi berkat siasat Kresna, Ia malah bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = air Terjun, wewu = seribu) agar saat Bharatayuddha tidak didengarnya karena tertutup gemuruh air terjun. Kresna berjanji membangunkannya saat Bharatayuddha, padahal esoknya perang Bharatayuddha. Jika Baladewa ikut, Pandawa kalah, karena Baladewa sangatlah sakti, beberapa menyatakan Baladewa titisan naga, lainya menyatakan, titisan Basuki/Dewa keselamatan. Baldewa berumur panjang. Setelah Bharatayudha, Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja Hastinapura setelah mangkatnya Prabu Kalimataya/Puntadewa. Ia bergelar Resi Balarama, wafat moksa setelah punahnya seluruh wangsa Wresni.
Krishna adalah adik Balarama, Nārāyana, sebutannya karena perwujudan Wisnu berlengan empat di Waikuntha. Nama lainnya adalah Achyuta (yang tak pernah gagal), Arisudana (penghancur musuh), Bhagavān (pribadi Yang Esa), Gopāla (Pengembala sapi), Govinda (Pemberi kebahagiaan indria-indria), Hrishikesa (penguasa indria), Janardana (juru selamat), Kesava (berambut indah), Kesinishūdana (pembunuh raksasa Kesin), Mādhava (suami Laksmi), Madhusūdana (penakluk raksasa Madhu), Mahābāhu (berlengan perkasa), Mahāyogi, Purushottama (Manusia utama, awal mula), Varshneya (turunan wangsa Wresni), Vāsudeva (putera Basudewa), Vishnu , Yādava (turunan Yadu), Yogesvara (Penguasa kekuatan batin). Bhagavad gita bagian Bhisma Parwa memuat tentang kemahakiasaan beliau dan juga dialog Krisna dan Arjuna.
    “Dewa Brahma memberitahu para Dewa: Sebelum kami memohon kepada Beliau, Beliau sudah sadar kesengsaraan di bumi. Maka dari itu, Kewajiban Beliau turun ke bumi dengan kekuatan-Nya sendiri sebagai sang waktu, kalian para Dewa akan mendapat bagian menjelma sebagai putera dan cucu wangsa Yadu”.- [Bhagavata Purana 10.1.22]

    Kresna adalah awatara Wisnu ke-8. Wisnu dianggap awal semua reinkarnasi [Bhagavata Purana 10.1.22].
Nanda, ayah angkat Krisna, pemimpin para pengembala sapi, tinggal di Vrindavana. Kamsa yang tahu Kresna telah kabur terus mengirimkan raksasa (misalnya Agasura) untuk membinasakannya yang akhirnya terkalahkan di tangan Kresna dan Baladewa. Beberapa kisah Kresna terdapat permainannya bersama para gopi/pengembala perempuan, termasuk Radha. ini dikenal sebagai Rasa lila. Kresna muda kembali ke Mathura, dan menggulingkan Kamsa dan membunuhnya. Kresna menyerahkan kembali tahta ke Ugrasena. Jarasanda, mertua Kamsa, setelah kematiannya, menyerang Mathura, walaupun Kresna menghancurkan pasukannya, asura lain, Kalayawan, juga mengepung Mathura dengan pasukan lain yang berjumlah tiga juta. Kresna kemudian mengungsi ke Dwaraka.Lokasi Kresna di India Utara (sekarang wilayah Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat). Kerajaan Kuru, tempat Pandawa ada di sisi lain Yamuna.
    Versi Jawa:
    Prabu Kresna (nama kecilnya Narayana) adalah raja Dwarawati, kerajaan para turunan Yadu/Yadawa dan titisan Dewa Wisnu, putera ke-2 Basudewa, raja Mandura. Kakaknya adalah Baladewa/Kakrasana dan adiknya Dewi Subadra, istri Arjuna. Krisna punya 3 istri, Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Ia punya 3 anak, Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari. Di perang Bharatayuddha, Ia menjadi sais/kusir Arjuna, penasehat utama Pandawa. Sebelum perang melawan Karna atau dalam babak Karna Tanding, Ia memberikan wejangan kepada Arjuna yang dikenal sebagai Bhagawadgita. Kresna sangat sakti, berkemampuan meramal, mengubah bentuk menjadi raksasa, memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati, memiliki senjata Cakrabaswara yang mampu menghancurkan dunia dan pusaka lain diantaranya terompet kerang/Sangkala Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan. Setelah kakaknya, Prabu Baladewa/Balarama) meninggal dan musnahnya wangsa Wresni/Yadawa, Prabu Kresna dengan perantara panah pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya, wafat dan moksa. Kresna dianggap titisa Sang Hyang Triwikrama, gelar Bhatara Wisnu yang dapat melangkah di tiga alam sekaligus. sebagai juru selamat umat manusia dan segala sesuatu yang agung.
Istri-istri Krishna yang terkemuka adalah Radha, Rukmini (Putri Bismaka, kerajaan Widarbha), Satyabama, Jambawati, Mitrabinda, Satyabama, dan lain-lain. Ketika Kresna memerintah di Dwaraka, Duryodana menindas para Pandawa di Hastinapura dan berusaha membinasakan mereka. Kresna dan Balarama pergi untuk membantu mereka, dan saat itu Kresna menikahi Kalindi, putera Sang Surya. Setiap istrinya melahirkan sepuluh putera dan seorang puteri. Kisah lainnya, ketika seorang raksasa bernama Bomasura/Narakasura membawa kabur dan menawan ribuan puteri, Kresna megejarnya, membunuhnya dan membebaskan mereka semua. Menurut adat waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak dinikahi, karena tidak mempunyai kehormatan di pandangan masyarakat. Namun Krisna dengan tangan terbuka menyambut mereka sebagai puteri bangsawan kerajaannya dan menjadikan 16.100 Putri itu sebagai istrinya. Di tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan berbagai wujud Laksmi.
    Versi Buddhis: Jataka no.454, Ghata Jataka
    Dahulu kala, seorang raja yang bernama Mahakansa berkuasa di Uttarāpatha, di wilayah Kaṃsa dalam kota Asitañjanā. Ia mempunyai dua anak laki-laki, Kaṃsa dan Upakaṃsa, dan satu anak perempuan yang bernama Devagabbhā. Di hari ulang tahun putrinya, para brahmana meramalkan kejadian masa depannya: “Anak laki-laki yang dilahirkan oleh wanita ini suatu hari akan menghancurkan negeri ini dan garis keturunan Kaṃsa.” Raja sangat menyayangi putrinya sehingga tidak tega untuk membunuhnya, ia membiarkan saudara-saudaranya yang mengatasi masalah ramalan ini, menjalani sisa hidupnya dan kemudian meninggal. Setelah ia meninggal, Kaṃsa menjadi raja dan Upakaṃsa menjadi wakil raja. Mereka berdua berpikir bahwa akan terjadi protes keras bila mereka membunuh saudara perempuannya, jadi mereka memutuskan untuk tidak menikahkan dirinya kepada pemuda manapun, dan agar rencana ini dapat berjalan dan dapat diawasi, mereka membangun sebuah menara untuk ia tinggal.

    Putri tersebut mempunyai seorang pelayan wanita yang bernama Nandagopā, dan suami pelayan wanita tersebut Andhakaveṇhu, yang bertugas menjaganya. Pada waktu itu seorang raja yang bernama Mahāsāgara berkuasa di Upper Madhurā, dan ia mempunyai dua orang putra, Sāgara dan Upasāgara. Setelah ayah mereka meninggal, Sāgara menjadi raja dan Upasāgara menjadi wakil raja. Pemuda ini adalah teman dari Upakaṃsa, besar bersama dengannya dan diajar oleh guru yang sama pula. Akan tetapi ia memiliki hubungan gelap dengan istri abangnya, dan melarikan diri ke wilayah Kaṃsa mencari Upakaṃsa sewaktu hubungannya itu diketahui oleh abangnya.

    Upakaṃsa memperkenalkannya kepada Kaṃsa, dan raja memberikannya kedudukan yang tinggi di sana. Di masa Upasāgara melayani raja, ia mengamati menara tempat Devagabhā. Di saat bertanya siapa gerangan yang tinggal di dalam menara tersebut, ia mengetahui tentang ceritanya dan menjadi jatuh cinta kepada wanita tersebut. Pada suatu hari, Devagabhā melihatnya ketika ia berangkat dengan Upakaṃsa untuk menjumpai raja. Ia bertanya kepada Nandagopā siapa pemuda itu, dan sewaktu diberitahu bahwa itu adalah Upasāgara, putra dari raja agung Sāgara, ia juga menjadi jatuh cinta kepadanya. Upasāgara memberikan sesuatu kepada Nandagopā sambil berkata, “Saudari, Anda dapat mengatur pertemuanku dengan Devagabhā.” Nandagopā berkata, “Cukup mudah,” dan ia pun memberitahukan putri tentang hal ini. Putri yang memang sudah jatuh cinta kepadanya langsung menyetujuinya. Suatu malam Nandagopā mengatur sebuah janji pertemuan, dan membawa Upasāgara masuk ke dalam menara tersebut; di sana ia tinggal berdua dengan Devagabhā.

    Dikarenakan hubungan intim terus menerus yang dilakukan mereka, Devagabhā menjadi hamil. Keadaan ini pun segera diketahui dan kedua saudara laki-lakinya bertanya kepada Nandagopā. Ia membuat mereka berjanji memaafkannya terlebih dahulu, kemudian menceritakan seluk beluk masalah tersebut. Setelah mendengar ceritanya, mereka berpikir, “Kita tidak mungkin membunuh adik. Bila ia melahirkan seorang anak perempuan, kita biarkan ia hidup; tetapi bila ia melahirkan seorang anak laki-laki, kita akan membunuhnya.” Dan mereka pun menjadikan Devagabhā sebagai istri dari Upasāgara. Di saat tiba waktunya, ia melahirkan seorang anak perempuan. Kedua saudara laki-lakinya merasa senang sewaktu mendengar kabar ini, dan memberinya nama Putri Añjanā. Mereka juga memberikan sebuah desa kepada adiknya sebagai tempat tinggal, yang disebut Govaḍḍhamāna. Upasāgara membawa Devagabhā tinggal bersama di desa tersebut. Tidak lama kemudian Devagabhā hamil lagi, dan Nandagopā juga mengandung.

    Di saat waktunya tiba, mereka melahirkan anak pada waktu yang sama, Devagabhā melahirkan seorang putra dan Nandagopā melahirkan seorang putri. Tetapi Devagabhā yang merasa takut anak laki-lakinya itu akan dibunuh, mengirimnya kepada Nandagopā dan mengambil anak perempuan Nandagopā sebagai anaknya. Mereka memberitahukan kedua saudara laki-lakinya tentang kelahiran tersebut. “Putra atau putri?” tanya mereka. “Putri,” jawabnya. “Kalau begitu, besarkanlah anak tersebut,” kata dua saudara itu. Dengan cara yang sama Devagabhā melahirkan sepuluh orang putra dan Nandagopā melahirkan supuluh orang putri. Semua putra tersebut tinggal dengan Nandagopā dan semua putri tersebut tinggal dengan Devagabhā. Tidak ada seorang pun yang mengetahui rahasia ini. Putra sulung Devagabhā diberi nama Vāsu-deva, yang kedua Baladeva, ketiga Canda-deva, keempat Suriya-deva, kelima Aggi-deva, keenam Varuṇa-deva, ketujuh Ajjuna, kedelapan Pajjuna, kesembilan Ghata-paṇḍita, dan yang kesepuluh Aṁkura.

    Mereka terkenal sebagai sepuluh putra dari Andhakaveṇhu si pelayan, Sepuluh Saudara Laki-laki. Seiring berjalannya waktu mereka menjadi tumbuh dewasa, kuat, kejam dan ganas. Mereka berkeliaran merampas barang milik orang lain, mereka bahkan merampas barang yang akan diberikan kepada raja. Orang-orang datang berbondong-bondong ke halaman istana raja sambil mengeluhkan, “Putra-putra Andhakaveṇhu, Sepuluh Saudara Laki-laki merampas seisi desa!” Maka raja menyuruh pengawal untuk membawa Andhakaveṇhu dan mengecamnya karena membiarkan anak-anaknya melakukan perampasan. Tiga atau empat kali dibuat keluhan ini dengan cara yang sama, dan raja mulai mengancam dirinya. Andhakaveṇhu merasa takut kehidupannya yang aman itu akan hilang, memberitahukan rahasianya, bahwasannya mereka itu bukan putra-putranya, melainkan putra-putra dari Upasāgara. Raja menjadi terkejut. “Bagaimana kita dapat melawan mereka?” ia bertanya kepada para menteri di istananya. Mereka menjawab, “Paduka, mereka adalah pegulat. Mari kita adakan sebuah pertandingan gulat di kota, dan ketika mereka masuk ke dalam arena, kita tangkap dan bunuh mereka.” Maka mereka pun memanggil dua orang pegulat Muṭṭhika, dan membuat pengumuman di seluruh kota dengan membunyikan drum, ”bahwasannya akan ada pertandingan gulat di hari ketujuh.”

    Arena pertandingan itu disiapkan di depan istana raja; dibuat pagar untuk pertandingan tersebut, arenanya dihiasi dengan indah, bendera-bendera kemenangan disiapkan. Seluruh isi kota sangat berantusias, baris demi baris tempat duduk penuh, deret demi deret juga. Cānura dan Muṭṭhika masuk ke dalam arena dan berkeliling di dalamnya dengan sombong, melompat-lompat, berteriak, menepuk tangan mereka. Sepuluh Saudara tersebut datang juga. Sebelumnya di dalam perjalanan, mereka merampas pakaian tukang cuci dan mengambil jubah yang berwarna cerah, dan mencuri minyak wangi dari toko, kalung bunga dari toko bunga; dengan tubuh mereka yang telah diberi wewangian, kalung bunga di kepala, anting-anting di telinga, mereka berjalan masuk dengan sombong ke dalam arena, melompat-lompat, berteriak, dan menepuk tangan mereka.

    Pada waktu itu, Cānura jalan mengitari dan menepuk tangannya. Baladeva yang melihatnya, berpikir, “Saya tidak akan menyentuh orang yang ada di sana dengan tanganku!” maka dengan mengambil sabuk dari dalam kandang gajah, sambil melompat dan berteriak, ia melemparkannya di sekeliling perut Cānura dan mengikat kedua ujung sabuk tersebut, memegangnya dengan ketat, kemudian mengangkatnya, memutarnya di atas kepala, dan mencampakkannya ke tanah dengan kuat sampai keluar dari arena. Setelah Cānura mati, raja mengeluarkan Muṭṭhika. Muṭṭhika naik ke dalam arena, melompat-lompat, berteriak dan menepuk tangannya. Baladeva menghantamnya dan menusuk matanya; dan di saat ia berteriak—“Saya bukan seorang pegulat! Saya bukan seorang pegulat!” Baladeva mengunci tangannya sambil berkata, “Pegulat atau bukan, tidak ada bedanya bagiku,” dan dengan kuat mencampakkannya ke tanah, membunuhnya dan melemparnya keluar dari arena.

    Muṭṭhika di saat menjelang kematiannya, mengucapkan sebuah permohonan—“Semoga nantinya saya menjadi yakkha dan memakan dirinya!” Dan ia pun menjadi yakkha di sebuah hutan yang dikenal dengan nama Kāḷamattiya. Raja berkata, “Bawa pergi Sepuluh Saudara tersebut.” Pada saat itu juga, Vāsudeva melemparkan sebuah senjata roda [cakra] yang menjerat putus kepala dari dua bersaudara [Raja dan saudaranya] itu. Kerumunan orang yang melihat ini menjadi ketakutan, berlutut, dan memintanya menjadi pelindung mereka.

    Demikianlah Sepuluh Saudara itu menguasai kota Asitañjanā setelah membunuh kedua paman mereka sendiri, dan membawa orang tuanya pindah ke sana. Kemudian mereka pergi ke luar dari istana dengan tujuan menguasai seluruh India. Tidak berapa lama berjalan, mereka tiba di kota Ayojjhā, tempat kekuasaan raja Kāḷasena. Mereka mengitari kota ini dan menghancurkan pepohonan di sekitarnya, merobohkan dinding dan menawan raja, serta mengambil alih kedaulatan dari tempat itu. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Dvāravatī. Kota ini berbatasan dengan laut di satu sisi dan di sisi yang lain adalah pegunungan. Dikatakan bahwa tempat itu ada yakkha-nya. Sang yakkha berjaga-jaga di sana, dan di saat melihat musuh datang, akan mengubah wujudnya menjadi seekor keledai dan mengeluarkan suara ringkikan keledai.

    Segera, kota itu berada melayang di udara dan menempatkan dirinya di pulau yang ada di tengah laut tersebut dengan kekuatan gaib sang yakkha itu; dan di saat musuh telah pergi, kota itu akan kembali ke tempat semulanya. Kali ini sama seperti biasanya, di saat keledai melihat kedatangan Sepuluh Saudara, ia mengeluarkan suara ringkikan keledai. Kota itupun langsung melayang di udara dan pindah ke pulau di tengah laut itu. Mereka tidak melihat kota apapun dan kembali. Kemudian kota itu kembali ke tempat semulanya. Mereka berbalik kembali—keledai itu juga mengucapkan hal yang sama seperti sebelumnya.

    Kedaulatan di kota Dvāravatī tidak dapat mereka ambil alih. Maka mereka pergi mengunjungi Kaṇha-dipāyana dan berkata: “Tuan, kami gagal mengambil alih kerajaan Dvāravatī. Beritahu kami cara untuk menaklukkannya.”. Ia berkata, “Di dalam saluran air, di dalam sebuah tempat seperti itu, ada seekor keledai yang berjaga. Ia meringkik di saat melihat musuh, dan kota itu dengan cepat akan melayang di udara. Kalian harus bersujud di kakinya, itulah caranya untuk menaklukkannya.” Kemudian mereka pamit kepada petapa tersebut dan pergi menjumpai keledai itu. Dengan bersujud kepadanya, mereka berkata, “Tuan, hanya Anda yang dapat membantu kami! Di saat kami datang untuk mengambil alih kota, mohon Anda jangan mengeluarkan suara ringkikan!”. Keledai itu menjawab, “Saya tidak dapat menahan suara ringkikanku. Akan tetapi, jika empat dari kalian datang dengan membawa bajak besi yang besar dan menggali lubang untuk tempat tonggak besi di keempat pintu gerbang kota kemudian mengaitkan rantai besi yang diikatkan ke bajak tadi pada tiang itu, ia tidak akan dapat melayang di udara.”

    Mereka berterima kasih kepada keledai tersebut; dan ia tidak mengeluarkan suara ringkikan di saat mereka mengambil bajak dan meletakkan tiang di dalam lubang yang dibuat di empat pintu gerbang kota, kemudian ia berdiri sambil menunggu. Tidak lama setelah itu, keledai tersebut meringkik dan kota tersebut mulai melayang. Tetapi mereka yang berdiri di keempat gerbang masing-masing dengan bajak besi yang terikat dengan rantai besi yang dikaitkan ke tiang, membuat kota tersebut tidak dapat melayang di udara. Saat itu juga, Sepuluh Saudara tersebut masuk ke dalam kota, membunuh rajanya dan mengambil alih kerajaan. Demikian caranya mereka menaklukkan seluruh India, dan di tiga ratus enam puluh ribukota mereka membunuh para rajanya dengan senjata cakra.

    Dan akhirnya mereka tinggal di Dvāravatī, dengan membagi kerajaannya menjadi sepuluh bagian, tetapi mereka melupakan adik perempuannya, Putri Añjanā. Maka mereka berkata, “Mari kita membaginya menjadi sebelas bagian.” Tetapi Aṁkura menjawab, “Berikan saja bagianku kepadanya. Saya akan mengerjakan hal yang lain untuk bertahan hidup; hanya saja kalian harus mengirimkan pajak masing-masing dari kerajaan kalian kepadaku.” Mereka menyetujuinya dan memberikan bagiannya kepada adik perempuan mereka. Dan mereka tinggal Dvāravatī bersama dengannya, sembilan raja, sedangkan Aṁkura melakukan usaha perdagangan. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikaruniai dengan putra dan putri. Setelah waktu yang lama berlalu, orang tua mereka pun meninggal. Dikatakan bahwa pada waktu itu, usia seseorang mencapai dua puluh ribu tahun.
Jarasanda, anak Raja Brihadata, Magadha. Awalnya Raja tidak berketurunan dan memutuskan hidup di hutan sebagai petapa, melayani resi Candakosika. Sang resi kasihan padanya lalu memberikan satu buah ajaib untuk dimakan istri Brihadata, Ia tidak tahu bahwa Brihadata beristri dua. Ketika pulang, Brihadata membelahnya dan membaginya ke dua istrinya. Beberapa bulan kemudian, keduanya melahirkan anak dengan badan hanya separuh tanpa tanda-tanda kehidupan. Karena takut, Brihadata membuang bayinya ke hutan. Seorang raksasi bernama Jara memungutnya dan menyatukan tubuhnya dan bayi tersebut hidup dan menangis keras. Sang raksasi yang merasa kasihan, menyerahkan lagi kepada raja dan menjelaskan kejadiannya sehingga anak itu dinamai Jarasanda, "disatukan Jara". Saat Candakosika tiba di istana Brihadata, melihat si bayi, meramalkan Jarasanda akan memperoleh anugerah istimewa, dan akan dikenal sebagai pemuja Siwa. Jarasanda kemudian menjadi raja yang amat kuat, gemar memperluas wilayah, bergelar Maharaja Magadha. Ia tidak memiliki pewaris, atas nasihat sahabatnya, Banasura, Ia persembahkan puterinya, Asti dan Prapti, untuk Kamsa dan meminjamkan pula pasukan kepadanya Kamsa. Ketika Mathura masih dipimpin Ugrasena, Jarasendra berusaha menyerang Mathura namun gagal, karena mendapat dukungan Basudewa, penasihat militer Akrura, ditambah kekuatan Kresna dan Baladewa. Jarasanda tidak juga menyerah hingga menyerang Mathura ke-18x. Dalam serangannya kali ini, Ia dibantu Sisupala, Raja kerajaan Chedi, dan Kalayawana Raja Paschimadesa. Setelah serangan terakhir Jarasanda, Kresna menyarankan Raja Ugrasena dan ayahnya untuk mengungsi dan mendirikan kerajaan baru di Dwaraka.

Pada suatu hari, Kresna menerima pesan dari Magadha, meminta bantuannya untuk membebaskan para raja yang dipenjara Jarasanda di benteng Giribraja. Karena Kresna tahu Jarasanda tidak mudah dikalahkan, Ia pergi ke Indraprastha meminta bantuan Bima dan Arjuna. Mereka kemudian, menuju Jarasanda dengan menyamar sebagai tiga brahmana. Saat Jarasanda menjamu dan bertanya apa yang mereka butuhkan, Mereka meminta Jarasanda membebaskan para raja yang ditawannya, tapi ditolaknya, ketiga brahmana kemudian meminta Jarasanda bertarung dengan salah seorang di antara mereka. Setelah melakukan pertimbangan, Jarasanda memilih Bima. Pertarungan berlangsung 27 hari. Untuk mengakhiri pertarungan, Kresna memberi isyarat kepada Bima. mengambil sehelai daun, menyobeknya dan melemparnya ke arah berlawanan. Bima mengerti isyarat tersebut dan menarik kaki Jarasanda, menyobeknya menjadi dua dan melemparkannya ke arah berlawanan. Setelah kematian Jarasanda, para raja tawanan dibebaskan. Kresna mengangkat putera Jarasanda, Sahadewa menjadi raja. Sifat anak ini berbeda dengan ayahnya, sehingga Magadha menjadi sekutu Indraprastha.

Narakāsura/Bhaumāsura/Bomasura adalah raja raksasa kerajaan Pragjyotisha (sekarang daerah Assam, di India Timur), merupakan putra Pertiwi sehingga disebut Boma (anak Bumi). Ayah Narakasura adalah Waraha (babi hutan), awatara Wisnu ketika berhadapan dengan Hiranyaksa, untuk menolong Bumi yang ditenggelamkannya ke lautan kosmik. Waraha mengunakan kedua taringnya mengembalikan Bumi ke orbitnya dan membunuh Hiranyaksa, setelahnya, Ia menikahi Pertiwi dan lahirlah Naraka asura. Narakasura menjadi raja Pragjyotisha, mengalahkan banyak raja dan menawan putri-putri mereka, bahkan para dewa pun diserangnya. Karena itu, Dewa Indra meminta bantuan Kresna, mereka bertempur Narakasura tewas terkena senjata Cakra Sudarsana dan membebaskan para raja dan putri yang ditawan. Kresna mengangkat putera Narakasura, Bhagadatta sebagai raja Pragjyotisha. Ia memihak Korawa saat perang di Kurukshetra, tewas di tangan Arjuna pada hari ke-12.
    Versi Bhomakawya (Bhomantaka, Abad ke-12)
    Kisah Narakasura dari Bhagawatapurana ditranslasi ke bahasa kawi menjadi Bhomakawya/Kematian Boma, yaitu pada jaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Naraka/Boma digambarkan sebagai raja kejam dari Kerajaan Pragjyotisha yang suka mengganggu para pertapa, memiliki istri cantik bernama Yadnyawati, reinkarnasi bidadari kahyangan. Perkawinan mereka kurang harmonis karena Yadnyawati selalu berusaha menghindari suaminya. Kresna, raja Dwarawati mengirim putra sulungnya, Samba untuk melindungi para pertapa dari serangan prajurit Boma. Dengan bantuan bidadari, Tilottama, Samba berhasil menyusup ke istana Pragjyotisha dan membawa lari Yadnyawati. Boma kemudian mengejar dan menyerang Dwarawati, berhasil menewaskan Samba. Namun Ia sendiri tewas di tangan Kresna. Setelahnya, Kresna menghidupkan kembali Samba dan Menikahkan Yadnyawati kepadanya.

    Versi Jawa lainnya
    Boma Narakasura, putra Batara Wisnu dari Batari Pertiwi. dilahirkan di Kahyangan Ekapratala tempat tinggal Batara Ekawarna, kakeknya dari pihak ibu. nama kecilnya Sitija. adik perempuannya, Sitisundari kelak menjadi istri Abimanyu, putra Arjuna. Setelah dewasa, Sitija diminta para dewa mengalahkan pamannya sendiri, Bomantara karena menyerang kahyangan, Ia berhasil membunuh Bomantara dan roh Bomantara bersatu dengan Sitija sehingga menambah kekuatannya, kemudian Sitija menjadi raja Surateleng bergelar Boma Narakasura, mengganti nama negeri pamannya menjadi Trajutrisna. Ia mendengar bahwa Wisnu, telah terlahir ke dunia sebagai Kresna raja Dwarawati dengan melalui perjuangan, Ia akhirnya mendapat pengakuan sebagai putra sulung Kresna. walaupun Boma sering terlibat persaingan dengan Gatutkaca, putra Bimasena namun dalam Bhomakawya, kematiannya tetap ditangan Kresna, dalam pewayangan, peristiwa ini disebut Gojalisuta/perang ayah melawan anak.

    Istri Boma, Agnyanawati, putri raja Karentagnyana kerajaan Giyantipura, mau melayani Boma jika dibuatkan jalan raya lurus tanpa belok dari Trajutrisna ke Giyantipura. Boma bimbang karena jalan akan menerobos bukit Gandamadana, tempat leluhur Kresna dimakamkan. Atas pertimbangan ibunya, Boma menolak, bahkan bersedia menceraikannya. Ternyata Agnyanawati dilarikan Samba, putra Kresna dari Jembawati, Boma merelakannya dan berencana menikahkan keduanya. Kresna di Dwarawati marah atas perilaku Samba yang menyelingkuhi kakak iparnya. Utusan Boma, Pancadnyana datang meminta Kresna menyerahkan Samba dan Agnyanawati untuk dinikahkan di Trajutrisna. Kresna merestuinya, namun di tengah jalan, Arjuna merebut Samba dan Agnyanawati karena curiga putusan Boma, melukai Pancadnyana dan mengirim tantangan kepada Boma agar merebut Samba dan Agnyanawati melalui pertempuran. Menjawab tantangan, Boma memimpin pasukan menyerbu Dwarawati. Perang terjadi. Boma semakin marah, karena dihasut tunggangannya burung raksasa, Wilmana, Ia membunuh Samba dan Agnyanawati, memotong-motong tubuh mereka. Arjuna kalah dipermalukan, pakaiannya robek diserang Wilmana. Boma juga bertempur melawan Gatutkaca yang memihak Dwarawati. Kresna yang menyesali terjadi perang ini, melepaskan Cakra Sudarsana ke angkasa agar yang sedang berperang tahu dan berhenti bertempur, kilatan senjata menyilaukan burung Wilmana, sehingga terbang tak terkendali dan menabraknya hingga Wilmana dan Boma tewas dengan tubuh hancur. Berbeda dengan Bhomakawya, Kresna tidak menghidupkan kemhali Samba, merelakan kedua putranya tewas sebagai korban Perang Gojalisuta.
Subadra puteri bungsu Basudewa dari Rohini, berkulit putih. Saat Arjuna menjalani masa hukuman karena tanpa sengaja mengganggu giliran Yudistira berrsama Dropadi, karena memenuhi permintaan Brahmana, Ia sampai Dwaraka, menyamar sebagai pertapa mendekati Subadra. Kresna tahu dan membiarkannya, saat itu, Arjuna beristri tiga, yaitu Dropadi, Citrānggadā, dan Ulupi. Krisna tahu Baladewa tidak akan menyetujuinya, oleh karenanya, Ia atur agar Arjuna mendapat simpati Baladewa, Arjuna berdiam di taman Subadra. Krisna berperan menentang mereka dan Baladewa meyakinkan tidak akan terjadi peristiwa buruk. Arjuna tinggal beberapa bulan dan selama itu, Subadra melayani kebutuhannya, ketika Arjuna menyatakan perasaannya dan disambut Subadra, saat itu, kereta telah disiapkan Kresna, mereka pergi ke Indraprastha untuk melangsungkan pernikahan.

Baladewa marah bahwa Subadra dibawa kabur Arjuna, Kresna meyakinkannya bahwa Subadra pergi atas kemauannya, Subadra yang mengemudikan kereta bukan Arjuna dan mengingatkan dulu Ia menolak keduanya tinggal bersama, namun ditentang Baladewa, menghajar Arjuna bukan hanya menghambat rencana Bharatawarsa tapi juga membuat sedih Subadra. Baladewa tahu Krisna turut ‘bermain’, akhirnya Ia menyetujuinya dan mengajak kaum Yadawa ke pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pernikahan, kaum Yadawa pulang ke Dwaraka, namun Kresna tidak. Abimanyu adalah putra mereka. Saat Pandawa kalah main dadu, mereka ikut menjalani masa pembuangan 12 tahun dan penyamaran 1 tahun. Subadra dan Abimanyu tinggal di Dwaraka, sementara Arjuna di hutan. Di India, Subadra menjadi satu dari 3 dewa kuil Jagannath di Puri, bersama Kresna, sebagai Jagannatha dan Baladewa. Dalam Ratha Yatra, sebuah kereta didedikasikan untuknya, Subadra dianggap reinkarnasi YogMaya.
    Yogmaya dan Subadra:
    Srimad Bhagavatam 10.2.6-11: Yogmaya bukanlah Subadra. Yogmaya tidak lahir dari pasangan Vasudeva-Rohini, melainkan dari Nanda-Yasoda. Nama lain Yogmaya adalah Durgâ, Bhadrakâli, Vijaya, Vaishnavî, Kumudâ, Candikâ, Krishnâ, Mâdhavî, Kanyakâ [atau Kanyâ-kumâri], Mâyâ, Nârâyanî, Îs'ânî, S'âradâ dan Ambikâ. Di Harivamsa 1.35.5-6: Pasangan Vasudeva-Rohini, disamping punya putera, juga putri bernama Citra yang dikenal sebagai Subadra. Mahabharata: Pasangan Vasudeva - Rohini melahirkan putri bernama Badra/Subadra [Mbh 1.222]

Pandawa dan Kurawa

Setelah Pandu mangkat dan Rsi Drestarastra melanjutkan pemerintahan sementara, Pandawa (Pandu + vah, yang bersama Pandu) dan Korawa (koura + vah, yang bersama kuru), semasa kecil hidup bersama di Hastinapura, diasuh Bisma dan Kripa, didik Resi Drona. Korawa punya dua arti:
  • Seluruh turunan Kuru (termasuk pandawa, anak-anak dari Dewi Kunti dan Madri),
  • Anak-anak Dretarastra, sebab Ia tertua dari garis Kuru (Pandawa tidak termasuk, hanya Kurawa, anak-anak dari dewi Gandari)
Para Pandawa bukan anak kandung Pandu, tapi anak-anak para Dewa, yang berasal dari mantra Adityahredaya, ilmu memanggil Dewa untuk mendapatkan anak darinya yang dimiliki Kunti dari Resi Durwasa. Mantra ini, diajarkannya pula ke Dewi Madri. Anak-anak kunti: (1) Sebelum kawin dengan Pandu adalah Karna dari Dewa Arka/Surya/Vivaswat. Setelah dengan Pandu: (2) Yudistira dari Dewa Darma/Yama, (3) Bhima dari Dewa Bayu dan (4) Arjuna dari Dewa Indra. Anak-anak Dewi Madri adalah Nakula dan Sadewa dari dewa kembar Aswin. Yang disebut Pandawa adalah hanya yang dari hasil perkawinan bersama Pandu, yaitu Yudistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa

Karna (telinga), karena artinya sehingga dianggap lahir dari telinga. Namun nama ini baru dipakai setelah dewasa, karena merupakan julukannya yang berarti "terampil/pandai" dalam hal memanah dan berperang. Julukan lainnya: Basusena, Radheya, Suryaputra, Sutaputra, Wresa dan Anggaraja. Di pewayangan Jawa, nama lainnya adalah Basukarna, Suryatmaja, Arkasuta, Rawisuta, Pritasuta, Bismantaka, Talidarma dan Anggadipa. Dalam versi Jawa kunti melahirkan "putera Surya" melalui telinga sehingga tetap perawan. Kisah versi Jawa ini mungkin terpengaruh oleh makna harfiah dari Karna, yaitu "telinga". Sementara versi Sanskrit, Kunti melahirkan normal dengan bantuan Surya.

Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan sebelum menikah, membuang "putera Surya" di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu terbawa arus dan ditemukan Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta Drestarasta. Adirata dengan gembira memungutnya sebagai anak. Karena sejak lahir sudah berpakaian perang lengkap dengan anting, kalung dan baju besi pemberian Surya, maka bayi itu diberi nama Basusena. Karena menjadi anak Adirata, sehingga Ia disebut Sutaputra atau "anak kusir". Namun, Ia lebih dikenal sebagai Radheya ("anak Radha"), Radha adalah istri Adirata.

Meskipun tumbuh dalam lingkungan keluarga kusir, Radheya adalah seorang yang percaya diri, tegas, pemberani, kejam terhadap lawan, setia terhadap kawan, dan murah hati kepada kaum miskin. Ia bersita-cita menjadi perwira kerajaan. Adirata mendaftarkannya ke Resi Drona yang saat itu sedang mendidik Pandawa dan Korawa. Drona menolak karena Ia hanya mengajarkan kaum ksatriya. Radheya kemudian belajar diam-diam dengan mengintip cara Drona ketika mengajar murid-muridnya memanah/Danurweda dan kehebatan memanah Radheya melebihi murid-murid Drona, kecuali Arjuna, kemahirannya memanah dan berperangnya setara Arjuna, namun Ia terperangkap dalam status sosial rendah. Kemahirannya inilah membuat Radheya dijuluki sebagai Karna.

Suatu hari Karna bertemu Parasurama, gurunya Drona, yang hidup dari zaman Tretayuga/zaman Ramayana. Parasurama sangat membenci ksatriya, untuk mendekatinya, Karna menyamar sebagai brahmana muda dan berhasil menjadi muridnya. Pada suatu hari, Parasurama ingin beristirahat, Karna menyediakan pangkuannya sebagai bantal. Seekor serangga menggigit paha Karna, namun agar tidak mengganggu tidur gurunya, Karna membiarkan darah mengucur dan tidak bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun, Ia terkejut melihat kaki Karna berlumuran darah. Kemampuan Karna menahan rasa sakit mengherankannya sehingga Ia berkata, ‘Karena engkau sedemikan hebatnya betahan dari rasa sakit, pastilah kau bukan turunan Brahmana’. Karna membenarkan, ‘Ya, hamba terlahir di keluarga kusir kereta’. Merasa ditipu, Parasurama mengutuk Karna, kelak, saat pertarungan hidup dan mati melawan musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap ilmu yang diajarkan Parasurama.

Karna menerima kutukan Parasurama, dengan sedih meninggalkan asrama berjaan tanpa tujuan dan tiba di tepi pantai, termangu-mangu memikirkan jati dirinya, Ia duduk beberapa saat dan pergi. Ketika kembali ke tempat tersebut, Ia melihat sesosok binatang melaju cepat. Karena mengira hewan itu rusa, ia memanahnya. Setelah dekat, barulah Ia tahu hewan yang dibunuhnya ternyata sapi milik brahmana. Karna menemui si pemilik untuk meminta maaf atas kecerobohannya. Brahmana itu tetap marah dan mengutuk Karna, bahwa kelak, Ia akan tewas karena lengah seperti lengah hingga membunuh sapinya. Versi lain: Saat mengendarai kencang keretanya, Ia menewaskan sapi yang sedang menyeberang. Brahmana pemilik sapi marah dan mengutuknya, kelak roda keretanya akan terbenam dalam lumpur saat bertarung melawan musuh terberatnya.

Ketika tiba waktunya, para Pandawa dan Korawa tamat belajar, Drona, di hadapan kaum bangsawan dan rakyat Hastinapura, ibu kota kerajaan Kuru. Setelah berbagai tahap pertandingan, Drona menyatakan Arjuna sebagai murid terbaiknya dalam hal memanah. Tiba-tiba Karna muncul menantang Arjuna. Resi Krepa, pendeta istana meminta Karna menjelaskan asal-usulnya, karena untuk menghadapi Arjuna haruslah yang sederajat. Mendengar itu, Karna tertunduk malu. Duryodana, si Sulung dari Korawa membela Karna, menurutnya keberanian dan kehebatan tidak harus dimiliki kaum ksatriya, namun karena aturannya demikian, Duryodana lalu mendesak ayahnya, Dretarastra raja Hastinapura, agar Karna diberi kedudukan sebagai raja di Angga. Dretarastra tidak mampu menolak permintaannya, saat itu juga, Karna dinobatkan menjadi Raja Angga. Para brahmana membacakan Weda, Duryodana memberinya mahkota, pedang, dan air penobatan. Karna terharu kemurahan hati Duryodana, Ia balas dengan kesetiaan dan persahabatan yang kekal.

Adirata muncul bersuka cita menyambut penobatannya. Akibatnya, semua tahu kalau Karna adalah anak Adirata. Melihat hal itu, Bimasena mengejek Karna sebagai anak kusir sehingga tidak pantas bertanding melawan Arjuna yang dari kaum bangsawan. Duryodana kembali membela Karna, suasana semakin memanas, namun tidak seorang pun yang menyadari bahwa Kunti jatuh pingsan di bangku penonton setelah melihat putra sulung yang Ia buang sejak lahir itu, kini telah dewasa dan saling berhadapan dengan putranya yang lain. Ciri-ciri yang membuat Kunti mengenalinya adalah pakaian perang dan perhiasan pemberian Surya yang selalu dikenakan Karna. Senja pun tiba. Dretarastra membubarkan acara tersebut sehingga pertandingan antara Karna melawan Arjuna tertunda. Namun sejak itu mulailah persahabatan antara Karna dengan Duryodana. Karna adalah kekuatan utama pendukung Korawa dan banyak melakukan penaklukkan terhadap negeri-negeri yang menolak mengakui kedaulatan Duryodana. Berkat kesaktiannya, wilayah Hastinapura semakin luas dan kaya. Karna memiliki putera bernama Wresasena.
    Nama istri Karna versi pewayangan Jawa, Surtikanti, puteri ketiga Prabu Salya, raja kerajaan Madra (Mandaraka), Ia menjalin cinta dengan Karna meski dirinya telah bertunangan dengan Duryudana. Karna yang serba salah akhirnya menculik Surtikanti, tapi tuduhan penculikan jatuh kepada Arjuna yang sedang bertamu ke istana Mandaraka, itu karena wajahnya mirip Karna. Untuk membersihkan nama, Arjuna berjanji akan segera menangkap pelakunya. Arjuna berhasil menemukan persembunyian Karna. Keduanya bertarung seru hingga dipisahkan Batara Narada yang turun dari kahyangan. Narada memberi tahu bahwa keduanya masih bersaudara, sama-sama putera Kunti. Arjuna gembira mengetahuinya, dan berniat membantu Karna agar dapat menikahi Surtikanti. Kebetulan saat itu, Kerajaan Hastina sedang menghadapi pemberontakan dari raja Awangga, Prabu Kalakarna. Pemberontakan berhasil ditumpas Karna dengan bantuan Arjuna. Atas kemenangan itu, Duryudana mengangkat Karna sebagai Raja Awangga dan merelakan Surtikanti untuknya. Duryudana menikah dengan adik Surtikanti, bernama Banowati sehingga hubungan persaudaraannya dengan Karna semakin erat. Dari perkawinan Karna dan Surtikanti lahir dua anak, yaitu Warsasena dan Warsakusuma.
Di versi Sanskrit, pengangkatan Karna sebagai Raja Angga terjadi sewaktu arena pertandingan murid-murid Resi Drona. Di versi Jawa, Karena berhasil menumpas pemberontakan Kalakarna dan Karna tahu Pandawa adalah adik-adiknya berkat pemberitahuan Batara Narada. Di versi Sanskrit: Karna tahu dari Kresna yaitu sesaat menjelang Bharatayuddha, juga, Kunti mendatangi Karna mengatakan bahwa ia adalah ibunya dan menyuruhnya memihak Pandawa. Karna berkata, bahwa ia hanya mengakui Radha sebagai ibu dan tetap memihak Korawa, hanya akan membunuh Arjuna saja tidak Pandawa lainnya.

Dewa Indra yang khawatir jika Arjuna kelak kalah saat menghadapi Karna, merencanakan tipu muslihat untuk merebut pusaka Karna dari Dewa Surya, yaitu baju perang, kalung, dan sepasang anting. Surya yang mengetahui rencana tersebut, memberi tahu Karna bahwa Indra akan menyamar sebagai pendeta dan akan meminta semua pusaka Karna. Mendengar itu, Karna tidak khawatir, Ia dikenal seorang dermawan. Ketika Pendeta samaran Indra muncul, Karna bertanya, ‘Apa yang Paduka inginkan? Uang, pakaian atau apakah?’. Pendeta samaran berata, ‘Tidak, saya tidak memerlukan itu semua,’ Apapun yang ditawarkan Karna, Pendeta itu terus menolak. Pendeta samaran merasakan kedemawanan Karna luarbiasa menjadi tidak tega mengungkapkan keinginan sebenarnya, ‘Saya pergi, jika demikian’. Namun Karna berkata, ’Tuan telah datang padaku, tidak pantas jika aku tidak memberikan sesuatu, lebih-lebih tuan pergi dengan perasaan aku masih Hidup’. Pendeta itu akhirnya berkata bahwa ia menginginkan semua yang melekat di badan Karna. Walaupun Karna tahu pasti apa yang sebenarnya diminta namun tetap ia berikan tanpa rasa sesal, padahal Ia sedang diambang perang besar. Karna segera melepas baju perangnya dengan pisau karena telah melekat di kulitnya sejak bayi hingga kulitnya lecet dan berdarah. Kalung dan anting juga ia berikan semua. Indra berkata: "Putra Surya sebelumnya dikenal dengan nama Basusena, karena memotong baju besi alaminya, akan disebut Karna (pemotong atau pengupas penutupnya sendiri) [Mbh 1.111]

Karna tahu bahwa baju perang dan anting pusakanya, membuat tidak ada satupun yang mampu melukainya. Namun Ia tetap berikan. Indra yang terharu atas ketulusan Karna dan tahu telah berbuat tidak adil terhadap Karna, Ia lepaskan samarannya dan memberi Karna pusaka baru berupa Konta (artinya: tombak), tapi hanya bisa digunakan sekali saja. Karna berterima kasih dan menyediakan Konta itu hanya untuk berhadapan melawan Arjuna kelak.
    Versi Jawa
    Pusaka pemberian Indra bukan Konta melainkan panah Badal Tulak. Adapun senjata Konta versi Jawa, atau Kuntawijayadanu, sudah didapatkan Karna jauh sebelumnya, yaitu ketika kelahiran Gatotkaca, putera Bimasena, yang sampai berusia satu tahun tidak juga terpisah dengan ari-arinya. Tidak ada satu pusaka dapat memotong tali pusarnya. Arjuna kemudian pergi bertapa demi menolong keponakannya. Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk menyerahkan panah Kuntawijayadanu kepada Arjuna. Saat yang sama, Karna juga sedang bertapa. Batara Surya membantunya dengan menutupi cahaya matahari dan menyuruh Karna supaya mengaku sebagai Arjuna saat Narada tiba. Narada tiba di hadapan Karna yang dikiranya Arjuna dan panah Kunta jatuh ke tangan Karna. Menyadari telah tertipu, Narada pergi mencari dan memberitahu Arjuna asli, yang segera mengejar Karna, pertarungan terjadi, Arjuna hanya mampu merebut sarung pembungkus pusaka. Meski demikian, sarung itu dapat digunakan memotong tali pusar bayi Gatotkaca dan ikut masuk ke perut si bayi. Kelak ketika Bharatayuddha terjadi, panah Kunta Karna, dipakai untuk membunuh Gatotkaca.
Yudistira (teguh dalam perang, pandai memerangi nafsu), orang ke-1 Pandawa, anak ke-2 dewi Kunti yang didapat dari Dewa Dharma/Yama (Penguasa Kebenaran). Nama lain Yudistira: Dharmaraja (raja Dharma) karena selalu menegakkan dharma, Ajataśatru (yang tidak punya musuh); Bhārata (turunan Bharata: baik Pandawa maupun Kurawa); Dharmawangsa/Dharmaputra (turunan Dewa Dharma); Kurumukhya (pemuka Kuru); Kurunandana (kesayangan Kuru); Kurupati (raja Kuru); Pandawa (putera Pandu: dipakai 4 adiknya), Partha/Pritha (putera Prita/Kunti: dipakai 2 adiknya). Sifat Yudistira tercermin dari julukannya diantaranya adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran, percaya diri, dan berani berspekulasi. Pandawa dan Korawa, berguru ilmu agama, hukum dan tata negara kepada Resi Krepa dan Yudistira adalah yang terpandai sehingga Krepa sangat mendukung jika tahta Hastinapura diserahkan padanya. berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Arjuna adalah yang terpandai memanah, Sementara itu, Yudistira yang terpandai dalam tombak.
    Versi Jawa
    Julukan lainnya: Puntadewa (derajat luhurnya setara para dewa), Gunatalikrama (pandai bertutur bahasa), Samiaji (menghormati orang lain bagai diri sendiri). Puntadewa adalah anak kandung Pandu, lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma sebagai pemberi restu dan penolong kelahirannya, yang lahir dari ubun-ubun Kunti. Nama Yudistira baru digunakan setelah dewasa dan menjadi raja. Ia berdarah putih karena berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran, Ia menjinakkan hewan-hewan buas di hutan Wanamarta dengan hanya meraba kepala mereka. Pusaka yang dimilik Yudistira: Jamus Kalimasada (kitab), Tunggulnaga (payung), dan Robyong Mustikawarih (kalung dalam kulitnya). Dua pertama adalah pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, yang terakhir adalah pemberian Gandamana (patih kerajaan Hastina pada zaman Pandu), ketika kesabarannya menipus, ia meraba kalungnya dan berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Bima (mengerikan), orang ke-2 dari Pandawa, anak ke-3 dewi Kunti yang didapat dari dewa Bayu/Maruta (penguasa angin), lahir dengan kekuatan luar biasa. Nama lain Bima: Wrekodara (perut serigala), karena gemar makan; Bhimasena (panglima perang). Pada masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, di antara mereka, kekuatan Bima tidak ada tandingannya, Kekuatannya sering digunakan menjahili sepupunya (Korawa) sehingga Duryodana sangat membencinya hingga berniat membunuhnya. Di bidang ilmu perang dari Drona, Ia dan Duryodana adalah yang terpandai menggunakan gada, keduanya juga belajar gada dari Baladewa/Balarama (kakaknya Kresna), namun Baladewa lebih menyayangi Duryodana.

Ketika Pandawa dan Korawa bertamasya ke daerah sungai Gangga, Duryodana menyuguhkan makanan dan minuman yang telah dicampur racun kepada Bima, Ia pun pingsan dan dengan tanaman menjalar, tubuhnya diikat Duryodana dan dengan rakit dihanyutkan ke sungai Gangga. Saat rakit sampai tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai mematuki badan Bima. Bisa ular tersebut menjadi penangkal racun. Menurut Ayurveda ini adalah ‘samah samam shamayati’/racun melawan racun/yang menyebabkan sakit dan yang menyembuhkannya sama. Ketika sadar, Bima segera melepaskan ikatannya, membunuhi ular-ular yang menggigitinya, beberapa menyelamatkan diri melapor kepada Naga Basuki. Mendapat laporan ini, Naga Basuki segera menyambut Bima, memberinya minuman ilahi yang bermangkok-mangkok diminumnya sehingga membuat tubuhnya menjadi sangat kuat. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama 8 hari, Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena Ia masih hidup, sejak itu para Pandawa mulai berhati-hati.
    Versi Jawa
    Nama lainnya: Bratasena, Balawa, Birawa, Dandungwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayusuta, Sena, Wijasena dan Jagal Abilowo. Sifat Bima gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, menganggap semua orang sederajat sehingga Ia tidak pernah berbahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya, kecuali ketika menjadi resi dan ketika bertemu Dewa Ruci. Ia ahli bermain gada, memiliki senjata: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa/kapak besar dan Bargawasta. Ia memiliki ajian: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol. Pakaian yang melambangkan kebesarannya: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Anugerah Dewata yang diterimanya: Kampuh/Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem. Bima tinggal di kadipaten Jodipati, Indraprastha, mempunyai 3 isteri, yaitu ke-1, Dewi Nagagini, darinya lahir Arya Anantareja, ke-2, Dewi Arimbi darinya lahir Gatotkaca dan ke-3, Dewi Urangayu, darinya lahir Anantasena. Menurut versi Banyumas, Bima punya satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, darinya lahir Srenggini.
Arjuna (bersinar terang, putih, bersih, jujur wajah dan pikiran) adalah yang ke-3 dari Pandawa, putra ke-4 dewi Kunti dari dewa Indra (penguasa hujan). Karakter Arjuna: mulia, berjiwa kesatria, beriman kuat, tahan godaan duniawi, gagah berani. Julukan lain Arjuna: Kuruśreṣṭha (keturunan terbaik Kuru), julukan lain Arjuna:
    “Sepuluh namaku adalah: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi dan Dhananjaya. Aku dipanggil Dhananjaya ketika aku menaklukkan seluruh raja pada saat Yadnya Rajasuya dan mengumpulkan harta mereka. Aku selalu bertarung sampai akhir dan aku selalu menang, itulah sebabnya aku dipanggil Wijaya. Kuda yang diberikan Dewa Agni kepadaku berwarna putih, itulah sebabnya aku dipanggil Shwetawāhana. Ayahku Indra memberiku mahkota indah ketika aku bersamanya, itulah sebabnya aku dipanggil Kriti. Aku tidak pernah bertarung dengan curang dalam pertempuran, itulah sebabnya aku dipanggil Wibhatsu. Aku tidak pernah menakuti musuhku dengan keji, aku bisa menggunakan kedua tanganku ketika menembakkan anah panah, itulah sebabnya aku disebut Sawyashachī. Raut wajahku unik bagaikan pohon Arjun, dan namaku adalah "yang tak pernah lapuk", itulah sebabnya aku dipanggil Arjuna. Aku lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang disebut Satsringa pada hari ketika bintang Uttarā Phālgunī berada di atas, itulah sebabnya aku disebut Phālguna. Aku disebut Jishnu karena aku menjadi hebat ketika marah. Ibuku bernama Prithā, sehingga aku disebut juga Pārtha. Aku bersumpah bahwa aku akan menghancurkan setiap orang yang melukai kakakku Yudistira dan menaburkan darahnya di bumi. Aku tak bisa ditaklukkan oleh siapa pun.”
Selain itu, Ia juga disebut Parantapa (penakluk musuh), Kurunandana (putera kesayangan Kuru), Kuruprāwira (kesatria terbaik Kuru) dan di usia mudanya dijuluki Maharathi (kesatria terkemuka). Di antara para Pandawa, Arjuna adalah kesatria pertapa yang paling teguh, segala gangguan dan godaan duniawi tak menggoyahkan hati dan pikirannya.

Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada pohon dan menyuruh seluruh murid membidiknya serta bertanya apa yang mereka lihat, ada yang menjawab pohon, cabang, ranting, atau segala yang disekitar burung tersebut, hanya Arjuna yang menjawab hanya melihat burung saja, tidak melihat benda lainnya. Ketika Drona sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya datang hendak mengigitnya, walaupun akan dengan mudahnya melepaskan dirinya, namun Ia ingin uji keberanian murid-muridnya dan berteriak meminta tolong. Di antara muridnya, hanya Arjuna yang datang menolongnya dengan panah membunuh buaya tersebut. Atas pengabdian Arjuna, Drona memberikannya "Brahmasirsa" dan mengajarkan cara memanggil dan menarik astra tersebut, kegunaannya hanya dapat ditujukan kepada dewa, raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak berbahaya. Dari hasil pertapaannya, Ia mendapatkan anugerah: panah Pasupati (digunakan mengalahkan Karna dalam Bharatayuddha), busur Gandiwa (dari Dewa Baruna ketika hendak membakar hutan Kandawa) dan terompet kerang/sangkala, Dewadatta (anugerah Dewa).
    Versi Jawa
    Julukan Arjuna: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Indrasuta, Danasmara (perayu ulung) dan Margana (suka menolong). Selain berguru pada Resi Drona dari Padepokan Sukalima, juga berguru pada Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Ia gemar bertapa, bergelar Bagawan Ciptaning/Bagawan Mintaraga ketika bertapa di Goa Mintaraga puncak Indrakila untuk mendapatkan senjata sakti dalam perang Bharatayuddha. Menjadi kesatria unggulan para dewa ketika menewaskan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari Manimantaka, setelahnya Ia dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin dan mendapat anugrah pusaka sakti dari para dewa: Gendewa (dari Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera), Panah Cundamanik (dari Bhatara Narada), Keris Kiai Kalanadah (diberikan ke Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa, puteri Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona), Panah lainnya: Candranila, Sirsha, Kiai Sarotama, Pasupati, Naracabala, Ardhadhedhali, Keris: Kiai Baruna, Pulanggeni (diberikan ke Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (dari Bagawan Wilawuk, pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Ajian yang dimilikinya: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Pakaian kebesaran Arjuna: Kampuh/Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dulu milik Prabu Ekalaya, raja Paranggelung).

    Arjuna bersifat cerdik, pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani, pelindung yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna jadi raja di Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna moksa bersama empat saudaranya ketika ke gunung Himalaya. Arjuna punya 15 istri dan 14 anak: dari Dewi Subadra, Raden Abimanyu; dari Dewi Larasati, Raden Sumitra dan Bratalaras; dari Dewi Ulupi/Palupi, Bambang Irawan; dari Dewi Jimambang, Kumaladewa dan Kumalasakti; dari Dewi Ratri, Bambang Wijanarka; dari Dewi Dresanala, Raden Wisanggeni; dari Dewi Wilutama, Bambang Wilugangga; dari Dewi Manuhara, Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati; dari Dewi Supraba, Raden Prabakusuma; dari Dewi Antakawulan, Bambang Antakadewa, dari Dewi Juwitaningrat, Bambang Sumbada; Dewi Maheswara; Dewi Retno Kasimpar; Dewi Dyah Sarimaya; Dewi Srikandi
Nakula dan Sahadewa, adalah yang ke-4 dan ke-5 dari pandawa, dari dewa kembar Aswin yaitu dewa tabib, yang sulung Nakula dan adik kembarannya Sahadewa, mereka pandai dalam merawat kuda dan sapi.

Nakula berparas sangat tampan dan elok. Menurut Drupadi, Nakula adalah suami tertampan di dunia. Nakula adalah nama lain dari Dewa Siwa, dalam sanskrit merujuk warna Ichneumon, sejenis tikus/binatang pengerat dari Mesir. Nakula berarti cerpelai/tikus benggala. Nakula adalah orang yang sangat menghibur hati, teliti dalam bertugas, selalu mengawasi kenakalan kakaknya, Bima, dan terhadap senda gurau yang serius. Nakula mahir senjata pedang.
    Versi Jawa
    Nakula disebut Pinten (tetumbuhan yang daunnya sebagai obat), putera ke-4 Prabu Pandu dewanata, raja Hastinapura dari Dewi Madri, puteri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka, Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa/Sadewa, sebagai titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Nakula mahir menunggangi kuda, pandai senjata panah dan lembing. Nakula tajam ingatannya karena punya Aji Pranawajati (dari Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani), punya cupu berisi "Banyu Panguripan"/Air kehidupan (dari Bhatara Indra). Nakula berwatak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas budi dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula beristeri dua, istri pertama, Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, darinya punya 2 anak, yaitu Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Istri kedua, Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala), darinya lahir seorang putri, Dewi Sritanjung. Dari perkawinan ini, Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik. Setelah selesai perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya, Nakula moksa di gunung Himalaya bersama ke-4 saudaranya.
Sadewa, temuda dari Pandawa, terbijak di antara mereka. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa lebih bijak daripada Brihaspati, guru para dewa. Meski kembar, Nakula lebih tampan daripada Sadewa, sedangkan Sadewa lebih pandai dari Nakula dalam hal perbintangan/astronomi bahkan melebihi murid-murid Resi Drona lainnya. Sadewa mampu mengetahui kejadian yang akan datang, namun jika membocorkannya, kepalanya akan terbelah dua. Sadewa juga mahir dalam peternakan sapi. Setelah kemenangan Arjuna atas sayembara memanah di Kerajaan Pancala, maka semua Pandawa bersama-sama menikah dengan Dropadi, putri negeri tersebut. Dari perkawinan tersebut Sadewa memiliki putra bernama Srutakirti. Selain itu, Sadewa juga menikahi puteri Jarasanda, raja Kerajaan Magadha. Kemudian dari istrinya yang bernama Wijaya, lahir seorang putra bernama Suhotra.
    Sudamala (Di pahatan Candi Sukuh, 1439 masehi)
    Dalam kakawin Sudamala, karya sastra berbahasa Kawi peninggalan Kerajaan Majapahit, dikisahkan Istri Batara Guru bernama Umayi, akibat berselingkuh dengan Batara Brahma, dikutuk menjadi Rakshasi bernama Ra Nini. Wujudnya dapat kembali jika diruwat si bungsu dari Pandawa, akibatnya Sadewa diculik, dipaksa memimpin prosesi ruwatan. Setelah dirasuki Batara Guru, Sadewa mampu menjalankan permintaan Ra Nini, dan karenanya, Sadewa juga dijuluki Sudamala ("Penyembuh penyakit"), setelah Ra Nini kembali menjadi Umayi, Sadewa diminta pergi ke desa Prangalas menikahi putri pertapa Tambrapetra bernama Predapa.

    Versi Jawa
    Sadewa lahir di istana Kerajaan Hastina, bukan di hutan. Kelahirannya bersamaan dengan perang antara Pandu melawan Tremboko, raja raksasa Kerajaan Pringgadani dan keduanya tewas. Madrim ibu Sadewa melakukan bela pati dengan cara terjun ke dalam api pancaka. Versi lainnya: Sadewa sejak lahir sudah kehilangan ibu, karena Madrim wafat setelah melahirkan si kembar. Sewaktu kecil, Sadewa dipanggil Tangsen. Setelah Kerajaan Amarta dibangun, Sadewa tinggal di Kasatrian Baweratalun. Istri Sadewa adalah Perdapa, darinya lahir dua anak, yaitu Niken Sayekti dan Bambang Sabekti. Masing-masingnya menikah dengan anak-anak Nakula yang bernama Pramusinta dan Pramuwati. Versi lain: Sadewa memiliki anak perempuan bernama Rayungwulan, yang muncul jauh setelah Baratayuda berakhir, saat Parikesit cucu Arjuna dilantik menjadi raja Kerajaan Hastina. Rayungwulan menikahi putra Nakula, Widapaksa.

    Tokoh Lain yang bernama Sama
    Di mitologi Hindu India, terdapat beberapa tokoh lain yang bernama Sahadewa, yaitu: putra Jarasanda, raja Kerajaan Magadha, Ia adalah ipar Sahadewa putra Pandu. Salah satu raja dinasti Surya, putera Dharmanandana juga bernama Sahadewa. Nama putra Sudasa (ayah Somaka), raja Kerajaan Pancala. Nama raksasa putera Dumraksa (ayah dari Kresawa). Nama seorang Paman Buddha Gautama. Di legenda Jawa, terdapat Sadewa dari zaman yang lebih tua, cucu Watugunung raja Kerajaan Gilingwesi, seorang homoseksual dan menjadi raja di Kerajaan Medangkamulan bergelar Cingkaradewa dan ingin menguasai seluruh Pulau Jawa, Ia berhasil merebut Kerajaan Gilingwesi peninggalan kakeknya setelah menewaskan rajanya yaitu Parikenan, leluhur Pandawa versi Jawa. Cingkaradewa akhirnya dikalahkan pertapa India, Resi Wisaka (samaran dari Aji Saka), manusia setengah dewa.
Para Korawa (putera dari Dretarastra) dari Gandari jumlah putranya selalu seratus dari 100 potongan daging kandungannya yang lahir yang dibantu Vyasa, ditambah lagi potongannya hingga menjadi putri bernama Dursala/Duççala/Dussala (Mhb 1.116). Dretarastra dari pelayan wanita kasta Weisya punya putra bernama Yuyutsu (Mhb 1.115). Versi jawa: anak Gandari bernama Dursala adalah Dursilawati, sementara itu Dursasana punya putra bernama Dursala. Juga Gandari punya anak lagi selain 100 itu, yaitu Duskampana.

Duryodana/Suyodana (Dur/sulit; Su/Baik; Yodhana/diperangi/ditaklukan). Ia dianggap inkarnasi Kali, sedang Sakuni inkarnasi dari Dwapara (Mbh 1.67). Duryudana adalah yang ke-1 dari 100 Kurawa. Tubuhnya dikatakan terbuat dari petir dihormati adik-adiknya, khususnya Dursasana. Ia belajar Gada dari Drona dan Balarama, kepiawaiannya dalam bermain Gada setara Bima. Istri Duryodana adalah puteri Prabu Salya darinya berputera, Laksmana (Laksmanakumara). karakter Duryodana licik dan kejam, meski jujur, mudah terhasut karena tidak berpikir panjang dan terbiasa dimanja. Sakuni, pamannya, berotak dan berlidah tajam, untuk kepentingan ponakannya, Ia kerap mengajarkan Kurawa sehingga kerap bertengkar dengan Pandawa. Ketika Karna menantang Arjuna bertanding panah, Krepa menyatakan bahwa Karna harus tahu diri karena kastanya, tidak sembarangan menantang yang tidak setara, Duryodana membela Karna dan mengangkatnya menjadi raja di Anga. Semenjak itu, Duryodana bersahabat dengan Karna, walaupun keduanya tidak tahu bahwa Karna sebenarnya merupakan putera Kunti. Karna adalah harapan Duryodana disaat Bharatayuddha, karena hanya karnalah yang setara melawan Arjuna. Di Bharatayuddha, bendera keagungan Duryudana adalah ular kobra. Ia dikalahkan Bima pada pertempuran di hari ke-18 denga paha dipukul gada.
    Pandangan lain
    Duryodana adalah raja kuat dan cakap, memerintah dengan adil, hanya terhadap Pandawa Ia licik dan jahat. Duryodana sangat menghormati orangtuanya, menyayangi ibunya, Gandari. Setiap pagi sebelum berperang, selalu mohon restunya, setiap kali berbuat demikian, ibunya selalu berkata bahwa kemenangan hanya di pihak yang benar. Meski jawaban tersebut mengecilkan hati Duryodana, ia tetap setia mengunjungi ibunya. kuil Poruvazhy Peruviruthy Malanada, Kerala distrik Kollam district, Duryodana dipuja sebagai dewa yang menurut legenda: Duryodana pernah datang ke Kerala untuk mencari Pandawa. Ia haus dan meminta air kepada seorang wanita tua. Secara impulsif, wanita ini memberikannya Tuak Nira yang dibawanya. Kemudian, perempuan ini sadar bahwa Duryodhana dari kasta Kshatriya dan bisa kehilangan kasta dengan meminum tuak nira dari seorang candala. Ketika mengatakan ini, Duryodhana berkata, “Ibu, tidak ada kasta untuk lapar dan haus. Berbahagialah Anda karena menempatkan kepentingan pria yang haus di atas keselamatan Anda sendiri". Di wilayah Kumaon, Uttranchal, Suku Kumaon memihak Duryodana dalam Bharatayuddha dan dipuja sebagai pemimpin yang cakap dan dermawan. Kemudian 13 km dari Sankri, di jalur pegunungan curam ke Har Ki Doon, kuil di Osla, didedikasikan untuk Duryodhana, oeh penduduk Saur. Penduduk perbukitan di lembah sungaidi Ton, Yamuna, Bhagirathi, Balganga dan Bhilganga juga melakukan penyembahan terhadapnya seperti juga penduduk Jakhol, Osla, Gangar dan Datmir. Ketika Korawa dikalahkan dan Duryodhana tewas dalam perang epik Kurukshethra, para pengikutnya menangis deras. Air mata mereka menjadi sungai yang disebut Tamas, yang berarti kesedihan, yang sekarang dikenal sebagai Sungai Ton.
Dursasana/Duhsasana (sulit dikuasai/ditempati), adik dari Duryodana. Yuyutsu, saudara tiri para Korawa, memihak Pandawa saat perang di Kurukshetra dan membuatnya menjadi penerus garis keturunan Drestarastra, setelah Yudistira mengundurkan diri, Yuyutsu diangkat menjadi raja di Indraprasta. Nama-nama lainnya lihat ini

Perseteruan Pandawa dan Kourawa
Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan. Ketika Ia mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira. Irihati Duryodaya berkembang menjadi rencana pembunuhan. Sangkuni-pun memfasilitasinya. Duryodana mengundang Pandawa beserta ibunya berlibur ke tempat di dekat Hutan Waranawata. Di sana terdapat bangunan yang megah yang dinamakan Jatugraha yang dibuat oleh pesuruh Duryodana, yaitu Purocana, Bangunan itu dibuat dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar. Kemudian Sakuni akan membakar Gedung Jatugreha ketika Pandawa dan Ibunya terlelap tidur. Rencana itu sudah dipersiapkan sangat matang oleh Duryodana dan Sakuni namun diketahui dan dibocorkan oleh Widura yang juga merupakan paman dari Pandawa lima. Dalam pewayangan, peristiwa pembakaran ini terkenal dengan nama Balai Sigala-Gala.

Sebelum sampai di tempat peristirahatan tersebut Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Ketika Pandawa dan ibu sampai disana Yudistira dan Bima sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Bima hendak segera pergi, namun atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.

Pada suatu malam, Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang dekat dengan Purocana turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu dan saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan mereka. Oleh karena ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan Arjuna berada di lengannya.

Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri Hastinapura yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak kurang lebih tujuh puluh dua mil.

Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/arimbi yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri. Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang putera yang diberi nama Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.

Setelah melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga brahmana. Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, namun sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan menyerahkan Bima yang nantinya akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira sangsi, namun akhirnya ia setuju.

Pada hari yang telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura. Di sana ia menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang raksasa. Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima, kota Ekacakra tenang kembali.

Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar cerita mengenai Dropadi dari seorang brahmana.

Dropadi/Drupadi atau Krishna Droupadi merupakan anak yang lahir dari hasil Putrakama Yadnya, yaitu ritual untuk memperoleh keturunan. Dalam kitab MahaBharata diceritakan bahwa setelah Drupada dipermalukan oleh Drona, ia pergi ke dalam hutan untuk merencanakan pembalasan dendam. Kemudian ia memutuskan untuk memperoleh seorang putera yang akan membunuh Drona. Atas bantuan dari Resi Jaya dan Upajaya, Drupada melangsungkan Putrakama Yadnya dengan sarana api suci. Drupadi lahir dari api suci tersebut. Pada mulanya, Dropadi diberi nama "Kresna", merujuk kepada warna kulitnya yang kehitam-hitaman [Mahabaratha 1.169.44-46]. Dalam bahasa Sanskerta, kata "Krishna" secara harfiah berarti gelap atau hitam. Lambat laun ia lebih dikenal sebagai "Dropadi", yang secara harfiah berarti "puteri Drupada". Nama "Pañcali" juga diberikan kepadanya, yang secara harfiah berarti "puteri kerajaan Panchala". Karena ia merupakan saudari dari Drestadyumna, maka ia juga disebut "Yadnyaseni"

Tersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Dropadi. Bentuk pertandingannya adalah sebuah boneka ikan dari kayu yang dipasang pada sebuah roda yang berputar di atas arena. Tepat di bawah sasaran tersebut terdapat kolam berisi minyak. Para peserta sayembara harus dapat memanah mata boneka ikan tersebut melalui bayangan di dalam kolam, bukan melihat ke atas secara langsung.

Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri seperti misalnya Karna dan Salya. Para Pandawa berkumpul bersama para kesatria lain di arena, namun mereka tidak berpakaian selayaknya seorang kesatria, melainkan menyamar sebagai brahmana.

Saat sayembara, tidak ada seorang pun yang mampu mengangkat busur berat pusaka negara Panchala, apalagi memanah sasaran sulit tersebut. Karna kemudian maju mewakili Duryodana setelah sahabatnya itu mengalami kegagalan. Dengan penuh penghormatan, ia berhasil mengangkat busur pusaka tersebut dan siap memanah sasaran sayembara. Tiba-tiba Dropadi menyatakan keberatan apabila Karna sampai berhasil memenangkan sayembara, karena dirinya tidak mau menikah dengan anak seorang kusir. Karna sakit hati mendengar penghinaan itu. Ia menyebut Dropadi sebagai wanita sombong dan pasti menjadi perawan tua karena tidak ada lagi peserta yang mampu memenangkan sayembara sulit tersebut selain dirinya.

Ucapan Karna membuat Drupada (ayah Dropadi) merasa cemas. Ia pun membuka pendaftaran baru untuk siapa saja yang ingin menikahi Dropadi tanpa harus berasal dari golongan ksatriya. Arjuna yang saat itu sedang menyamar sebagai brahmana maju mendaftarkan diri.

Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna tampil ke muka dan mencoba memanah sasaran dengan tepat. Panah yang dilepaskannya mampu mengenai sasaran dengan tepat, dan sesuai dengan persyaratan, maka Dewi Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun para peserta lainnya menggerutu karena seorang brahmana mengikuti sayembara sedangkan para peserta ingin agar sayembara tersebut hanya diikuti oleh golongan kesatria. Karena adanya keluhan tersebut maka keributan tak dapat dihindari lagi. Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah Dewi Kunti, ibu mereka. Kresna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Dropadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan Dropadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik.

Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Walaupun Arjuna pun mengikuti sayembara itu dan berhasil memenangkannya, tetapi Bima yang berkata kepada ibunya, "lihat apa yang kami bawa ibu!". Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil sedekah, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri. Karena perkataan ibunya maka Pancali (Dropadi) pun bersuamikan lima orang.

Alasan Mengapa Droupadi bersuamikan diterangkan sekurangnya dalam 3 versi: Versi pertama dari Narada dan Bayu Purana: Draupadi merupakan perwujudan dari sekaligus 5 avatar vdevi yaitu Shimala (Istri dari Deva Dharma), Bharati (Istri dari Deva Bayu), Sachi (Istri deva Indra), Usha (Istri Deva kembar Ashwini) dan Pandawa merupakan hasil dari seluruh Deva itu ketika Kunti dan Madrid meminta mereka Hadir. Versi ke-2: di kelahiran sebelumnya, Dropadi keinginan empat belas kualitas dan Deva Siva memberikan dia anugerah ini, sehingga Ia menikahi Yudhithira karena kebijaksanaan dharma; Bhima karena kekuatannya; Arjuna karena keberaniannya dan Nakula untuk ketampanananya dan Sahadeva untuk alasan kebijaksanaannya. Di versi ke-3: Vyasa Muni menjelaskan bahwa doa Dropadi kepada Tuhan lima kali 'Tuhan, Beri aku suami' (Mahabharata 1.213).

Dikatakan bahwa Droupadi bergiliran hidup dengan masing-masing lima suaminya. Ia memiliki anugerah untuk tetap perawan setiap hari setelah perkawinan sebelumnya [Mahabharata 1.200]. Dari masing-masing Pandawa, Droupadi memiliki lima putera, yakni:
  • Pratiwindhya (dari Yudistira)
  • Sutasoma (dari Bima)
  • Srutakarma (dari Arjuna), Ia yang termuda
  • Satanika (dari Nakula)
  • Srutasena (dari Sahadewa)
Kelima putera Pandawa tersebut disebut Pancawala atau Pancakumara.
    Versi Buddhis tentang Drupadi
    ..Demikian Raja burung kangkok ranting bernama Kunala (dulu lahir sebagai Ajjuna putra Pandu) menyapa Raja burung tekukur bernama Punnamukha, yang baru saja sembuh dari sakitnya, “Teman Punnamukha, telah kulihat Kanhā Dvepitika (krsna Drupadi. Krsna = Hitam, Dvepitika: punya dua ayah: Raja Kosala dan Raja Kasi) dan lima orang suami, dan yang juga memberikan cintanya kepada orang ke-6, yaitu seorang cacat yang tak berkepala.

    Dikatakan pada satu kisah lampau, Kanhā,
    seorang wanita menikah dengan lima orang pangeran,
    masih merasa tidak puas, ia mencari lagi yang lain,
    dan dengan seorang pelayan bungkuk, ia mainkan peran
    seorang pelacur.


    ...
    Dahulu kala, dikatakan bahwa Brahmadatta, Raja Kāsi dengan bala tentaranya menyerang Kerajaan Kosala, membunuh rajanya dan membawa ratunya, yang sedang mengandung, ke Benares dan menjadikannya sebagai permaisuri. Seiring berjalannya waktu, ratu tersebut pun melahirkan seorang putri, dan karena raja tidak memiliki putra maupun putri dari keturunannya sendiri, ia merasa sangat gembira dan berkata, “Ratu, mintalah satu anugerah dariku.” Ia menerima anugerah itu dan menyimpannya. Waktu itu, mereka memberinya nama Kanhā.

    Ketika putrinya ini dewasa, ratu berkata demikian kepadanya, “Putriku, dahulu ayahmu memintaku untuk memohon satu anugerah darinya, yang kemudian kuterima dan kusimpan. Sekarang pilihlah anugerah apa saja yang Anda inginkan.” Dikarenakan nafsunya yang berlebihan dan dengan tak memedulikan lagi rasa malu dan segan untuk berbuat buruknya, ia berkata kepada ibunya, “Tidak ada kekurangan bagi diriku; mintalah ayah menyelenggarakan suatu sayembara untuk memilih seorang suami bagiku.”

    Sang ibu kemudian mengulangi ini kepada raja. Raja berkata, “Biarlah ia mendapatkan apa yang diinginkannya,” dan raja memerintahkan untuk mengadakan suatu sayembara untuk memilih seorang suami.

    Di halaman istana, kerumunan laki-laki berkumpul bersama, berdandankan segala kebesaran mereka. Kanha, yang membawa satu keranjang bunga di tangannya, melihat keluar dari jendela atas, tidak menyukai satu dari mereka semua. Kemudian Ajjuna (putera tertua, kelahiran lampau Siddharta Gautama), Nakula, Bhīmasena, Yudhitthila, Sahadeva, keturunan dari keluarga Pāṇḍu, kelima putra dari Raja Pandu ini, setelah mendapatkan pendidikan dalam segala cabang ilmu pengetahuan di Takkasila dari seorang guru yang terkemuka, yang sedang mengembara untuk menguasai kebudayaan-kebudayaan setempat, tiba di Benares, dan ketika mendengar adanya kegaduhan di kota dan untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan mereka mengenai gerangan apakah kegaduhan itu terjadi, mereka berlima datang dan duduk di satu baris, dengan penampilan layaknya patung patung emas.

    Ketika melihat mereka berdiri di depan, Kanha jatuh cinta kepada mereka berlima semua dan melemparkan untaian bunga ke kepala mereka dan berkata, “Ibu, saya pilih kelima laki-laki ini.” Ratu memberitahukan ini kepada raja. Karena telah berjanji mengabulkan pilihan anugerahnya, raja tidak mengatakan, “Anda tidak boleh melakukan ini,” tetapi hanya merasa amat gusar. Ketika menanyakan asal muasal mereka dan putra siapakah mereka, dan mengetahui bahwa mereka adalah anak-anak dari Raja Pandu, ia pun memberikan hormat kepada mereka dan menikahkan putrinya kepada mereka.

    Dan dengan kekuatan nafsunya, Kanha mendapatkan cinta dari kelima pangeran ini dalam istana tujuh tingkatnya. Kala itu, Kanha memiliki seorang pelayan cacat yang bungkuk, dan setelah mendapatkan cinta dari kelima pangeran tersebut dengan kekuatan nafsunya, di saat mereka pergi dari istana, serasa mendapatkan kesempatan dan terbakar oleh nafsu, Kanha berbuat perbuatan tidak senonoh dengan pelayan bungkuk itu, dan berkata demikian kepadanya, “Tidak ada orang lain yang mengasihiku seperti dirimu; akan kubunuh pangeran-pangeran ini dan membuat kakimu berlumuran darah yang dikeluarkan dari mulut mereka.”

    Dan ketika ia bersama dengan pangeran sulung dari kelima bersaudara tersebut, ia akan berkata, “Anda-lah yang paling mengasihiku dibandingkan dengan keempat saudaramu. Demi dirimu, akan kukorbankan nyawaku sendiri. Setelah ayahku meninggal, takhta kerajaan akan kuberikan kepadamu seorang diri.” Tetapi ketika ia bersama dengan yang lainnya, ia juga akan mengatakan hal yang sama.

    Mereka merasa amat senang dengan dirinya dan masing-masing berpikir, “Ia menyukai diriku dan oleh karenanya, ia akan memberikan kekuasaan atas kerajaan ini kepadaku.” Suatu hari ketika ia sakit, mereka semua berkumpul di sisinya, satu orang mengelus-elus bagian kepala, dan yang lainnya masing-masing pada bagian kaki dan tangan, sedangkan pelayan bungkuk tersebut duduk di kedua kakinya.

    Kepada Ajjuna, pangeran tertua yang mengelus kepalanya, Kanha membuat suatu tanda yang mengisyaratkan, “Tidak ada yang lebih mengasihiku dibandingkan dirimu: seumur hidupku akan kuberikan nyawaku ini untukmu dan sepeninggal ayahku akan kuberikan kerajaan ini kepadamu,” dan demikianlah Kanha mendapatkan hatinya. Kepada yang lainnya juga, Kanha membuat tanda yang mengisyaratkan hal yang sama pula. Kepada pelayan bungkuknya, ia membuat tanda dengan lidahnya yang mengisyaratkan, “Hanya dirimulah yang mengasihiku. Saya hidup hanya demi dirimu.” Disebabkan oleh apa yang telah dikatakan kepada mereka sebelumnya, maka mereka semua mengerti arti dari tanda itu.

    Akan tetapi, ketika melihat gerakan tangan, kaki ataupun lidahnya, Pangeran Ajjuna berpikir, “Seperti halnya dengan diriku dan juga diri yang lainnya, dengan tanda ini pastinya ada isyarat yang diberikan dan tidak diragukan lagi pasti ia memiliki hubungan istimewa dengan orang bungkuk ini,” maka dengan membawa saudara-saudaranya beranjak keluar, ia bertanya, “Apakah tadi kalian melihat wanita yang bersuami lima itu membuat tanda dengan kepalanya kepadaku?” “Ya, kami melihatnya.” “Apakah kalian mengetahui arti dari isyarat itu?” “Kami tidak tahu.” “Arti dari isyarat itu adalah anu.

    Apakah kalian mengetahui arti dari isyarat yang diberikan kepada kalian dengan gerakan tangan dan kaki?” “Ya, kami mengetahuinya.” “Dengan cara yang sama pula, ia memberikan isyarat itu kepadaku. Apakah kalian mengetahui arti dari isyarat yang diberikan kepada si bungkuk dengan gerakan lidahnya?” “Kami tidak tahu.” Kemudian ia memberitahukan mereka, “Ia telah berbuat perbuatan tidak senonoh dengannya.”

    Dan ketika mereka tidak memercayai dirinya, ia memanggil si bungkuk dan menanyakan kepadanya, dan si bungkuk memberitahukan semuanya kepada dirinya. Ketika mereka mendengar apa yang dikatakan oleh si bungkuk, perasaan cinta mereka kepada Kanha seketika itu juga hilang. “Ah! benar-benar,” kata mereka, “wanita adalah makhluk yang keji dan licik. Tanpa memedulikan laki-laki seperti kita, yang berstatus tinggi dan berlimpahkan kekayaan, ia berbuat perbuatan tidak senonoh dengan seorang yang berstatus rendah, menjijikkan, bungkuk seperti ini. Orang bijak manakah yang dapat menemukan kebahagiaan dengan menikahi wanita yang tak tahu malu dan keji seperti ini?”

    Setelah mencela wanita demikian, kelima pangeran tersebut berpikir, “Kami sudah bosan dengan kehidupan rumah tangga,” dan hidup mengasingkan diri di daerah Himalaya. Setelah melaksanakan meditasi pendahuluan Kasina, setelah meninggal, mereka menuai hasil sesuai dengan perbuatan mereka masing-masing. [Jataka no.536/KUNĀLA-JĀTAKA. Jataka dalam kanon pali hanya berisi Syair-syair saja, tidak berisi kisahnya]

      Note:
      Di Mahabharata, Vasudeva/Baladeva dan Arjuna putra ke-3 Pandu yang dengan 4 saudaranya menikahi Drupadi berada di 1 jaman, namun di Jataka (no.536), 5 putra Pandu yang nama-namanya sama dengan yang ada di Mahabharata, yang juga mengawini Drupadi, TIDAK hidup 1 jaman dengan Vasudeva Buddhis.

      Di versi Buddhis untuk Jataka no.454: Vasudeva punya adik 9 orang, no.7 adalah Arjjuna dan no 9 adalah Gatha-Pandita. Vasudeva adalah kelahiran lampaunya Sariputta, murid Buddha Gautama, sedangkan adik no.9, yaitu Ghata-paṇḍita adalah kelahiran lampaunya Siddharta Gautama. Sementara di Jataka no.536, Siddharta Gautama dulunya lahir sebagai Kunala, Kunala dulunya lahir sebagai Arjjuna putera tertua Pandu (Siddharta Gautama = Kunala = Arjjuna)

    Versi Jawa
    Dalam budaya pewayangan Jawa, Dewi Dropadi dinikahi oleh Yudistira saja dan bukan milik kelima Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon Sayembara Gandamana. Dalam lakon tersebut dikisahkan, Yudistira mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja Dropada. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut serta namun ia tidak terjun ke arena sendirian melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan Gandamana dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka Yudistiralah yang menjadi istri Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putera Dropadi dengan Yudistira bernama Raden Pancawala. Pancawala sendiri merupakan sebutan untuk lima putera Pandawa.

    Terjadinya perbedaan cerita antara kitab MahaBharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Setelah kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh, munculah Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat, tidak diberantas ataupun dilarang melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh bersuamikan lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab MahaBharata dianggap menyalahi hukum Islam.
Setelah menikahi Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan memperoleh sambutan luar biasa, kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan Korawa atas tahta Hastinapura kembali terjadi. Setelah melalui perundingan, dan atas saran Bisma, Kerajaan Kuru dibagi dua.

Korawa mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan hutan Kandawaprastha sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah tersebut sangat gersang dan angker, namun para Pandawa mau menerima wilayah tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah wilayah kerajaan Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota kerajaan Kuru yang dulu, sebelum Hastinapura. Atas bantuan dari sepupu Yudistira, yaitu Kresna dan Baladewa, mereka mengubah daerah gersang tersebut menjadi makmur dan megah, dan dikenal sebagai Indraprastha.

Indraprastha adalah sebuah kota besar di India utara pada zaman dahulu kala. Kota ini terletak di tepi sungai Yamuna, lokasinya dekat dengan ibukota India zaman sekarang, Delhi. Sebelum dikenal sebagai Indraprastha, kota ini dikenal sebagai Kandawaprastha yang merupakan ibukota kerajaan besar di India pada zaman dahulu kala, dan diperintah oleh para leluhur Pandawa dan Korawa, seperti misalnya Maharaja Pururawa, Nahusa, dan Yayati. Namun kota tersebut menjadi gersang akibat kutukan para resi, untuk menghukum putera Budha.

Saat diberikan kepada Pandawa, Kandawaprastha merupakan kota gersang. Melihat keadaan itu, Sri Kresna memanggil Indra, pemimpin para Dewa, untuk membantu Yudistira memperbaiki keadaan negeri tersebut. Dewa Indra memunculkan Wiswakarman, arsitek para Dewa yang merancang kota megah. Dengan suatu upacara, Wiswakarman berhasil mengusir segala penyakit di negeri tersebut dan menyuburkan kembali daerah yang gersang. Sesuai janji Kresna, Kandawaprastha akan diberi nama Indraprastha jika Indra mampu mengubah keadaan Kandawaprastha. Perlahan-lahan kota tersebut menjadi kota yang makmur dan berduyun-duyun orang-orang dari negeri tetangga bermigrasi ke negeri baru tersebut. Kota Indraprastha pun menjadi kota besar. Setelah Yudistira naik tahta, kota Indraprastha tetap mendapat pengawasan dari Hastinapura.

Catatan sejarah
Indraprastha diyakini berumur 5.000 tahunan. Legenda mengatakan bahwa Indraprastha terletak di wilayah Purani Choot sekarang ini. Sebuah desa bernama Indraprat ada di Delhi sampai permulaan abad ke-20, kemudian digusur dan kota New Delhi dibangun di atasnya. Penggalian di wilayah perbukitan Indraprastha, ibukota para Pandawa, seperti yang ditunjukkan Purana Qila menemukan bukti bahwa daerah itu pernah didiami selama hampir 2.500 tahun. Indraprastha sempat menjadi kota besar selama berabad-abad, dari zaman Kerajaan Maurya sampai Kerajaan Gupta di India, namun kurang terkenal karena berdirinya kota-kota seperti Pataliputra, di sebelah tenggara daerah aliran sungai, yang menjadi sumber dua kerajaan terkuat di India. Indraprastha diserbu oleh bangsa Hun setelah jatuhnya Kerajaan Gupta. Raja Hindu bernama Dhilon konon membangun kota Delhi Kuno, dekat dengan Indraprastha.
    Versi Jawa
    Indraprastha lebih dikenal sebagai kerajaan Amarta. Hutan yang dibuka Pandawa bukan bernama Kandawaprastha, melainkan bernama Wanamarta. Setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka, Prabu Matsyapati yang bersimpati pada mereka dan menyarankan agar membuka kawasan hutan tak bertuan, Wanamarta menjadi sebuah kerajaan baru. Kisah yang sedikit berbeda ada dalam lakon Babad Alas Wanamarta. Korawa yang merasa berhasil membunuh Pandawa di Bale Sigalagala terkejut ketika tahu Pandawa masih hidup. Prabu Duryudana tidak ingin kerajaan Astina atau Hastina diminta Pandawa, kemudian mencari cara agar bisa membunuh Pandawa. Untuk itu, Pandawa diberi daerah berupa hutan, yaitu Wanamarta (hutan amarta) yang terkenal keangkerannya, "Manusia Datang, Manusia Mati, Hewan Datang, Hewan Mati" (Jalma Mara, Jalma Mati, Sato Mara, Sato Mati). Pandawa kesulitan dalam membuka hutan Wanamarta karena dikuasai lima makhluk halus yang berwajah mirip Pandawa: Yudistira mirip Prabu Puntadewa, Dandungwacana mirip Bima, Dananjaya mirip Arjuna, Nakula dan Sadewa mirip si kembar Pinten dan Tansen (Versi lain: Yudistira, Danduncana, Suparta, Sapujagad, dan Sapulebu) yang tidak sudi diganggu ketenangannya. Arjuna dengan minyak Jayengkaton mengoleskannya ke setiap mata saudaranya agar dapat melihat 5 makluk halus penguasa Wanamarta tersebut, akhirnya 5 mahluk halus itu kalah (versi lainnya hanya melalui suatu percakapan) dan merelakan Wanamarta kepada para Pandawa. Kelima mahluk halus itu menitis ke tubuh Pandawa sehingga Pandawa punya nama yang sama dan seketika itu juga hutan Wanamarta berubah menjadi kerajaan megah luar biasa bernama Indraprastha atau Amarta.

    Setelah menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan negaranya. Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri Kerajaan Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal akan menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri telah memutuskan untuk memiliki seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah lagi demi kemakmuran negara, maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana Slagahima telah berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar Kuntulwinanten. Namun sang puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati suci, dan ia menemukan kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian Kuntulwinanten tiba-tiba musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa. Sebenarnya Kuntulwinanten bukan manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja Slagahima yang asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.

    Sebagai bentuk syukur atas berdirinya kerajaan Indraprastha atau Amarta ini atas petunjuk Sri Batara Kresna maka dilakukan upacara yang disebut dengan Sesaji Raja Surya atau Sesaji Rajasuya.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 1 tahun.

Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Ketika sampai di sungai Gangga, Arjuna bertemu dengan Ulupi, puteri Naga Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil perkawinannya, ia dikaruniai seorang putera yang diberi nama Irawan. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya. Setelah mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke selatan. Ia sampai di sebuah negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut bernama Citrasena. Beliau memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama Citrānggadā. Arjuna jatuh cinta kepada puteri tersebut dan hendak menikahinya, namun Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila puterinya tersebut melahirkan seorang putera, maka anak puterinya tersebut harus menjadi penerus tahta Manipura oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putera. Arjuna menyetujui syarat tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki seorang putera yang diberi nama Babruwahana. Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan Citrānggadā setelah beberapa bulan tinggal di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi ke Hastinapura.

Setelah meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia sampai di lautan yang mengapit Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di pantai Prabasa (Prabasatirta) yang terletak di dekat Dwaraka, yang kini dikenal sebagai Gujarat. Arjuna mampir ke Dwaraka dan disana ia mendapatkan Subadra sebagai istrinya yang ke-empat.

Pada suatu ketika, Arjuna dan Kresna berkemah di tepi sungai Yamuna. Di tepi hutan tersebut terdapat hutan lebat yang bernama Kandawa. Di sana mereka bertemu dengan Agni, Dewa Api. Agni berkata bahwa hutan Kandawa seharusnya telah musnah dilalap api, namun Dewa Indra selalu menurunkan hujannya untuk melindungi temannya yang bernama Taksaka, yang hidup di hutan tersebut. Maka, Agni memohon agar Kresna dan Arjuna bersedia membantunya menghancurkan hutan Kandawa. Kresna dan Arjuna bersedia membantu Agni, namun terlebih dahulu mereka meminta Agni agar menyediakan senjata kuat bagi mereka berdua untuk menghalau gangguan yang akan muncul. Kemudian Agni memanggil Baruna, Dewa Lautan. Baruna memberikan busur suci bernama Gandiwa serta tabung berisi anak panah dengan jumlah tak terbatas kepada Arjuna. Untuk Kresna, Baruna memberikan Cakra Sudarsana. Dengan senjata tersebut, mereka berdua menjaga agar Agni mampu melalap hutan Kandawa sampai habis. []

Sabhaparwa

Sabhaparwa ada diurutan ke-2, tentang alasan mengapa sang Pandawa,mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelahnya harus menyamar selama 1 tahun. Parva ini dimulai dengan lanjutan pembangunan Indraprasata, oleh Maya Danava, berupa ruang pertemuan yang megah, setelah selesai Para resi diundang merayakannya (Mbh 2.1-4), kemudian Rsi Narada datang, memberikan ceramah Arthashastra dan meminta Yudistira melakukan rajasurya (Mbh 2.5-13) kemudian, Yudistira menyelenggarakan Rajasuya, para jendral (patih, saudara, atau ksatria yang masih sekerabat) melakukan kampanye dengan menaklukkan daerah-daerah (kerajaan) di sekitar mereka, sekaligus mengambil upeti dari kerajaan yang berhasil ditaklukkannya. Raja yang kalah/menaklukan diri memberikan upeti dan menghadiri penyelenggaraan upacara. Upacara ini seperti upacara Aswamedha, yang hanya bisa dilakukan oleh seorang Raja yang merasa cukup kuat menjadi rajadiraja. Perbedaan antara Aswamedha vs Rajasuya adalah:
  • Pada upacara Aswamedha, seekor kuda dilepaskan berjalan tanpa terputus ke daerah yang dilaluinya. Para prajurit mengikuti kuda tersebut dan menaklukan daerah yang dilalui kuda tersebut. Upacara ini disebutkan di Rig veda 1.162-163, Yajur veda (Krishna Yajurveda/Taittiriya Sanhita/TS 7.1.11-dst; Sukla Yajurveda/Vajasaneyi Madhyandiniya/VSM 22-25), Ramayana (Balakanda 1.13 dan 1.14), Mahabharata (Santiparva, 12.337), dst (lihat juga: Asvamedha dari Subhash Kak)
  • Sedangkan dalam upacara Rajasuya, kuda tidak diperlukan, penaklukan tetap dilakukan bagi yang membangkang. Upacara seperti ini disebutkan misalnya di: Mahābhārata, sabha Parva 2.14-33, Srimad Bhagavatam, dll.
Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan upacara agung tersebut. (Mbh 2.14-31). Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda. (Mbh 2.20-24)

Setelah Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya di Indraprastha, seluruh kesatria di penjuru Bharatawarsha diundang, yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Hadir pula seorang sekutu Jarasanda bernama Sisupala dan juga Kurawa. Duryodana dan Dursasana terkagum-kagum dengan suasana balairung Istana Indraprastha. Mereka tidak tahu bahwa di tengah-tengah istana ada kolam. Air kolam begitu jernih sehingga dasarnya kelihatan sehingga tidak tampak seperti kolam. Duryodana dan Dursasana tidak mengetahuinya lalu mereka tercebur. Melihat hal itu, Dropadi tertawa terbahak-bahak. Duryodana dan Dursasana sangat malu. Mereka tidak dapat melupakan penghinaan tersebut, apalagi yang menertawai mereka adalah Dropadi yang sangat mereka kagumi kecantikannya.

Ketika tiba waktunya untuk memberikan jamuan kepada para undangan, sudah menjadi tradisi bahwa tamu yang paling dihormati yang pertama kali mendapat jamuan. Atas usul Bisma, Yudistira memberikan jamuan pertama kepada Sri Kresna. Melihat hal itu, Sisupala, saudara sepupu Sri Kresna, menjadi keberatan dan menghina Sri Kresna di depan umum. Penghinaan itu diterima Sri Kresna bertubi-tubi hingga melewati penghinaan ke-100 maka Kemarahan Sri Kresna memuncak. Ia mengeluarkan Cakra Sudarsana dan memenggal kepala Sisupala di depan umum. (Mbh 2.39-44). Pada waktu menarik Cakra, tangan Sri Kresna mengeluarkan darah. Melihat hal tersebut, Dewi Dropadi segera menyobek kain sari-nya untuk membalut luka Sri Kresna. Pertolongan itu tidak dilupakan Sri Kresna.

Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah ia tersinggung oleh ucapan Dropadi dalam sebuah pertemuan. Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Duryodana melihat bangunan yang begitu indah, megah dan artistik itu. Setelah pulang ke Hastinapura ia langsung memanggil arsitek terkemuka untuk membangun pendapa yang tidak kalah indahnya dari pendapa di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni. (Mbh 2.45-73)

Sangkuni berkata, "Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan kelihayanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan". Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.

Pandawa dan Korawa main dadu
Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian. Yudistira berkata, "Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan". Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, "Ma'af paduka Prabu. Saya kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?"

Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni. Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.

Dropadi dihina di muka umum
Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira. Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?", ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.

Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, "Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!". Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?" Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu.

Duryodana menghina Dropadi dengan menyuruh wanita tersebut berbaring di atas pahanya. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya. Dropadi menolak untuk melepaskan pakaiannya, dipaksa oleh Dursasana. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo'a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do'a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, Saat Dursasana menarik pakaian Dropadi dengan paksa, kain sari yang melilit di tubuhnya tidak habis-habis meski terus diulur-ulur. Akhirnya Dursasana merasa lelah dan pakaian Dropadi tidak berhasil dilepas. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.
    Note:
    Drupadi ditelanjangi kainnya tidak seragam muncul dalam teks sanskrit, Di antara yang memuat, ada yang tanpa menuliskan adanya pertolongan Krishna (misalnya versi Critical Editon (BORI), ada yang tanpa menelanjangi kainnya, hanya menyeretnya dengan rambutnya ditarik ke tempat pertemuan dengan sehelai kain menutupi tubuh
Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya dan ia akan memukul paha Duryodana kelak kelak dalam Bharatayuddha. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan srigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi. Dretarastra berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha". Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri.

Main dadu ke-2xnya
Duryodana kecewa, menyalahkan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya, akhirnya Dretarastra mengizinkan rencana anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana, jika dalam penyamaran ketahuan, harus mengulang, mengasingkan diri 12 tahun lagi. Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Harapannya adalah apabila menang, maka ini merupakan pelajaran bagi Kourawa, namun Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. []

Wanaparwa

Wanaparwa ada diurutan ke-3, tentang pengalaman para Pandawa bersama Dropadi di tengah hutan. Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering berselisih paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.

Krisna, Dhrishtadyumna dan para kerabat wangsanya datang menjenguk mereka di hutan Kamyaka. Melihat Krisna, Droupadi menangis dan menceritakan penghinaan yang diterimanya. Saat itulah Krisna bersumpah bahwa siapapun yang terlibat dipenghinaan itu akan menerima ganjarannya secara berdarah-darah dan ia akan membantu Pandawa setiap harinya

Dhrishtadyumna menambahkan,’Aku akan membunuh Drona, Srikandi akan membunuh Bisma, Bhima akan membunuh Duryodana, Dursasana dan adik-adiknya, Arjuna akan membunuh karna si anak kusir itu!’

Pandawa juga bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan ajaran-ajaran Hindu kepada Pandawa dan Dropadi, istri mereka. Atas saran Rsi Byasa, Arjuna bertapa di gunung Himalaya agar memperoleh senjata sakti yang kelak digunakan dalam Bharatayuddha. Kisah Sang Arjuna yang sedang menjalani masa bertapa di gunung Himalaya menjadi inspirasi untuk menulis Kakawin Arjuna Wiwaha.

Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.

Setelah mendapat anugerah dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.

Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta ma'af kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama "Pasupati".

Setelah menerima anugerah tersebut, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk menuju kediaman Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna menghabiskan waktu selama beberapa tahun. Di sana pula Arjuna bertemu dengan bidadari Urwasi. Karena Arjuna tidak mau menikahi bidadari Urwasi, maka Urwasi mengutuk Arjuna agar menjadi banci.

Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan.

Bukan Cuma itu saja, para Brahmana banyak berkunjung dan memberikan wejangan selama 12 tahun ini, ada Brahmana Lomasa, Maitreya, Markandeya dll.

Dikisahkan juga bahwa sejak awal mereka menjalani pembuangan di Hutan, Pandawa mendapat anugerah dari Dewa Surya yaitu kendaraan Akshayapatra yang selalu membawa makanan yang lebih dari cukup untuk mereka dan para tamu mereka di setiap harinya

Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.

Peristiwa lainnya, adalah ketika Droupadi menemukan bunga yang sangat harum dan meminta Bhima untuk mencarikan bunga tersebut untuk ditanam. Bhima pergi mencarinya hingga sampai di kaki suatu gunung dan melihat seekor kera besar bersinar-sinar berbaring tidur menghalangi jalannya. Ia coba mengusirnya dengan berteriak-teriak agar mahluk itu takut. Mahluk itu hanya membuka sebelah matanya dengan malasnya dan berkata, ‘aku lagi kurang nyaman makanya aku tidur disini mengapa engkau membangunkanku, Engkau adalah manusia bijaksana dan aku hanya binatang, seharusnya manusia yang rasional berbelas kasih pada bnatang sepertiku. Aku khawatir engkau ini tidak mengindahkan mana kebenaran dan kejahatan. Siapa kamu? Ngga mungkin engkau melanjutkan perjalanan lebih lanjut lagi, karena ini merupakan jalan dewa2, manusia ngga boleh melewati batas ini. Makan saja buah2 yang ada disini sesukamu dan pergilah dengan damai.

Bhima yang tidak biasa dianggap enteng menjadi marah dan berteriak,’Lho kamu ini siapa, kamu ini hanyalah kera namun sok berbicara tinggi, aku adalah Ksatriya, pahlawan keturuna Kuru dan anak dari Kunti. Aku adalah anak dari Deva Vayu, Ayo menyingkir!’. Mendengar ini, kera itu hanya tertawa dan berkata ‘Saya ini hanya kera, namun engkau akan mengalami kehancuran apabila memaksa jalan terus’. Bima berkata,’ itu bukan urusanmu, menyingkirlah atau aku singkirkan engkau!’. Kera itu berkata,’Aku tidak punya kekuatan untuk berdiri, jika engkau bersikeras untuk terus untuk pergi, lompati saja aku’ Bima berkata,’Ya itu sih mudah, namun kitab suci melarang iu, kecuali aku melompatimu dan gunung dalam satu lompatan seperti yang dilakukan Hanuman menyebrangi lautan. Kera itu berkata,’ Siapa Hanuman yang menyebrangi Lautan itu, ceritakanlah cerita itu padaku’.

Bima berkata ‘Belum pernah dengar Hanuman? Ia adalah kakak-ku, yang dengan loncatanya menyebrangi lautan untuk mencari Sita istri Rama, Aku setara dengannya dalam hal kekuatan dan Kegagahan. Ah sudah cukup berbicara, ayo menyingkirlah dan memberi jalan, jangan memprovokasiku untuk menyakitimu. Kera itu berkata,’ Ah orang gagah, bersabarlah, lembutlah karena engkau kuat, berbelas kasihlah pada yang lemah dan tua. Aku tak berkekuatan untuk berdiri, karena kitab mu melarang untuk melompatiku, ya sudah singkirkan saja ekorku ini agar engkau dapat melanjutkan perjalanan’.

Bangga dengan kekuatannya, Ia pikir dapat dengan mudahnya menarik ekor Kera itu ke sisi jalan, namun ternyata hingga ia menggunakan seluruh kekuatannya ekor itu tidak bergerak sama sekali kemudian dengan malu ia berkata,’Maafkan aku, Apakah engkau adalah orang sakti, Gandharva atau Dewa?’ Hanuman berkata,’ Oh Pandava, Aku adalah kakakmu yang engkau sebut tadi, jika engkau melewati jalan yang merupakan jalan menuju dunia fana dimana Yaksha dan raksasa tinggal, engkau akan menghadapi bahaya dan itulah sebabnya aku menghalangimu. Tidak ada manusia yang dapat melewati jalan ini dan tetap hidup, namun di bawah sana ada aliran sungai dimana engkau akan temukan bunga saugandhika yang engkau cari itu’.

Bima menjawab dengan senangnya,’ Aku termasuk orang yang beruntung bertemu dengan mu, Kakak Ku, Aku memohon dapat melihat wujud-Mu saat engkau melompati lautan itu dan ia bersujud dihadapan hanuman’. Hanuman tersenyum dan mulai membesarkan ukuran tubuhnya yang berdiri kokoh seperti gunung dan terlihat menutupi seluruh area. Bhima gemetar melihat wujud Dewa dari kakaknya itu, tak dapat lagi ia membuka mata, silau oleh radiasi sinar yang menyilaukan dari tubuh kakaknya itu. Hanuman berkata,’dihadapan musuhku, tubuhku dapat membesar lebih dan lebih lagi’. Kemudian ia menyusutkan kembali tubuhnya di ukuran asalnya dan ia dengan lembut merangkul Bhima.

Bhagawan Vyasa berkata,’ Bhima kemudian sepenuhnya segar dan bertambah kuat lagi setelah dirangkul oleh Hanuman’. Hanuman berkata, ‘Orang gagah, kembalilah dan pikiran aku ketika engkau membutuhkan bantuanku, aku sesenangmu ketika aku menyentuh tubuh Sri Rama, Deva-Ku, mintalah sesuatu berkat yang engkau inginkan’. Bhima berkata, ‘berilah berkat pada pandawa agar dapat menaklukan musuh2nya’. Hanuman memberikan berkat dan berkata,’Teriakanmu bagaikan Singa di medan pertempuran, suaraku akan berada di suaramu dan memberikan teror ketakukan di hati setiap musuhmu. Aku akan hadir di bendera yang ada dikereta Arjuna, Engkau akan memperoleh kemenangan. Itu adalah jalur ke sungai terdekat dimana tumbuh bunga Saugandhika’ Bhim segera ingat bahwa Droupadi menunggu kepulangannya dan segera mengambil bunga2 itu untuknya.

Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan 12 tahun, Yudistira dan keempat adiknya membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.

Yudistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah telaga. Muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab pertanyaan sang raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira mempersilakan Sang Raksasa untuk bertanya. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.

Raksasa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa. []

Wirataparwa

Wirataparwa ada diurutan ke-4, tentang penyamaran para Pandawa beserta Dropadi. Sesuai dengan perjanjian yang sah, setelah 12 tahun masa pengasingan, maka pada tahun ke 13 Pandawa mesti tidak diketahui keberadaannya selama 1 tahun penuh, apabila gagal maka pengasingan akan diulangi lagi selama 12 tahun berikutnya. Pandawa kemudian melakukan penyamaran dan menuju ke kerajaan Wirata.

Yudistira menyamar sebagai Brahmana dengan nama Kanka dan menemani raja bermain dadu setiap harinya. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak bernama Valala salah satu kegiatannya adalah menemani Raja bergulat. Arjuna memanfaatkan Kutukan Bidadari Urwasi dengan menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala. Mengajarkan tari dan musik pada Putri Uttara (kakaknya juga bernama Uttara, namun dipewayangan jawa yang perempuan menjadi Utari). Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran "Grantika" atau Dharmagranthi. Sadewa pun memilih peran sebagai seorang gembala sapi bernama Tantripala. Droupadi menyamar sebagai dayang istana bernama Sailandri melayani ratu Sudhesna.

Kichaka adalah kakak dari ratu Suhesna, Pengaruhnya ia di Istana adalah luar biasa, bahkan masyarakan menyatakan bahwa Ia adalah raja yang sebenarnya dari kerajaan Matsya daripada Wirata sendiri. Ia naksir Droupadi. Ia menolak dengan halus dengan menyatakan bahwa Suaminya adalah Gandharwa yang membunuh siapa saja yang bersikap tidak sopan terhadapnya. Kichaka tidak mempercayai itu dan tetap merayu Droupadi.

Droupadi menyatakan berkeberatan dengan tindakan kakak ratu tersebut. Ratu permulaan membelanya, namun kakaknya dengan berbagai cara berbicara dengan adiknya betapa menderitanya Ia karena merindukan Droupadi. Akhirnya mereka membuat rencana untuk menjebak Droupadi. Ia menjebak Droupadi untuk datang kerumah Kinchaka membawakan Minuman dan makanan, Droupadi menolak dan meminta agar dikirim orang lain, Ratu marah sehingga terpaksa droupadi kesana. Benarlah! Kichaka dalam keadaan mabu dan bernafsu memaksanya, mendorongnya, menendangnya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak senonohnya dihadapan yang hadir di rumah Kichaka. Ia melupakan bahaya terbongkarnya penyamaran dan pergi ketempat Bhima menceritakan keadaan itu.

Mereka kemudian melakukan rencana, bahwa malam keesokan harinya Droupadi akan membawa Kichaka ke ruang tari. Disana Bhima sudah menunggunya. Saat itu yang seimbang bertarung gulat dengan Kichaka hanyalah Bhima dan Balarama saja. Perkelahian terjadi dan Kichaka tewas.

Droupadi membangunkan penjaga dan menceritakan gangguan dari Kichaka padahal telah diberitahu bahwa suami Gandharwanya akan menghabisi siapapun yang mengganggunya sambil menunjukan mayat Kichaka yang remuk mengecil yang hanya dapat dilakukan oleh bukan kekuatan manusia biasa. Cerita kematian Kichaka berkembang dimasyarakat kerajaan Matsya dan sangat menakutkan bagi mereka bahwa Droupadi yang begitu cantiknya mempunyai suami Gandarwa yang pencemburu sehingga berpotensi menyakiti siapa saja terutama keluarga kerajaan. Droupadi di minta di usir dari kerajaan Wirata, padahal tinggal 1 bulan saja dari akhir masa pembuangan 12 tahun plus 1 para Pandawa.

Sementara itu mata-mata Duryodana hampir mulai menyerah untuk menemukan Pandawa dan mereka mendengar kabar bahwa Kichaka tewas ditangan Gandharwa yang Istrinya diganggu. Mereka tahu yang dapat membunuh Kichaka adalah Cuma dua orang di muka bumi ini. Salah satunya adalah Bima dan Duryodana juga yakin bahwa istri Gandharwa itu adalah Droupadi.

Akhirnya Duryodana sampai pada rencana untuk menyerang Wirata. Melihat sifat Pandawa, mereka pasti akan menolong kerajaan Wirata sebagai ucapan terima kasih dan apabila Pandawa tidak ada di sana, paling tidak pundi kekayaan Duryodana menjadi meningkat. Raja Trigarta, Susarma juga hadir saat itu dan kerajaan tersebut sudah lama merasa terganggu dengan Kichaka, saat ini Kichaka telah tiada sehingga Wirata dalam keadaan lemah. Diputuskan Raja Susarma akan menyerang dari Selatan dan Hastina dari Utara.

Yudistira, bertindak seperti pikiran Duryodana, kecuali Arjuna mereka semua membatu Kerajaan Matsya beserta seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan terancam oleh serangan pasukan Hastinapura.

Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Brihanala (banci, samaran Arjuna) sebagai kusir. Di medan perang, Uttara sangat ketakutan melihat pasukan Kurawa yang saat itu dlihatkan ada Bhisma, Drona, Kripa, Awatama, karna, Durydana dan ribuan lainnya. Ia membuang busur dan lari, kemudian dikejar oleh Brhidnala kemudian dipaksa masuk Kereta. Sesampainya mereka di dekat sebuah pohon Uttara diminta naik keatas untuk mengambil persenjataan Pandawa yang disembunyikan di sana.

Kemudian Brihanala menyentakan Busur Gendewanya yang bunyinya bergema di seluruh tempat. Bunyi itu sangat menakutkan pasukan Kourawa Kemudian ia meniupkan Terompetnya, Dewadatta yang berkumandang dan makin menggentarkan pasukan Kourawa. Saat itu mereka berteriak-teriak bahwa Pandava datang berkali2. Trompet itu menandakan berakhirnya masa pengasingan yang jatuh tempo satu hari sebelumnya. Bhisma juga memberitahukan pada Duryodana bahwa menurut pengetahuannya dan juga para ahli perbintangan maka tahun ke 13 masa pengasingan telah berakhir kemarin. Duryodana di sarankan untuk segera berdamai, namun ia menolak dan mengatakan tidak akan menyerahkan bahkan satu desapun kepada Pandawa serta memerintahkan mereka untuk segera berperang. Kemudian Duryodana, sang putera Mahkota dillindungi bersama kumpulan sapi2 yang hendak dijadikan hasil kemenangan saat itu.

Arjuna tampil seorang diri melawan seluruh pasukan Korawa. Sebelum mengejar Duryodana Arjuna menyalami para Gurunya dan Bhisma dengan membidik Panah dekat kaki mereka. Saat ia mengejar Duryodana, seluruh pasukan bergerak melindungi Duryodana, Arjuna membuat Karna keluar dari arena, Ia mengalahkan Drona, Kripa, Aswatama dan akhirnya berperang Melawan Bisma. Pertempuran antara Bisma dan Arjuna disaksikan para Dewa. Kemudian Arjuna mengeluarkan sebuah panah yang membuah mereka semua menjadi tak sadarkan diri. Kemudian ia merenggut semua pakaian merka. Kumpulan pakaian itu sebagai tanda kemenangan di hari itu. Pasukan korawa pulang kandang dengan kekalahan memalukan ditangan satu orang, Arjuna. Peristiwa kemenangan Arjuna atas serangan Hastinapura tersebut telah membuat Utara berubah menjadi seorang yang pemberani. Ia ikut terjun dalam perang besar di Kurukshetra membantu pihak Pandawa. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha. Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.

Saat batas waktu penyamaran telah melebih batas waktu, kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan buruk. Wirata merasa bersalah karena telah memperlakukan mereka dengan kurang baik. Ia pun menyerahkan putrinya, Utaraa kepada Arjuna sebagai tanda penyesalan dan minta maaf. Namun Arjuna menolaknya karena ia telah mengajar tarian dan kesenian pada mereka (dua uttara), untuk itu Utaraa (putri) pun diambil sebagai menantu untuk dinikahkan dengan Abimanyu, putranya yang tinggal di Dwaraka. Wirata pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha. Saat itu ada utusan dari Duryodana yang meminta mereka.
    Versi jawa
    Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka.

    Ketika naskah MahaBharata disadur ke dalam bahasa Jawa Kuna, tokoh Utaraa pun diganti namanya menjadi Utari, misalnya dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157. Ketika kisah MahaBharata dipentaskan dalam pewayangan, para dalang lebih suka memakai nama Utari daripada Utaraa.

    Perkawinan Abimanyu dan Utari dalam pewayangan dihiasi dengan tipu muslihat. Ketika keduanya masih pengantin baru, paman Gatutkaca dari pihak ibu yang bernama Kalabendana datang menjemput Abimanyu untuk dibawa pulang karena istri pertamanya, yaitu Sitisundari putri Kresna merindukannya. Mendengar ajakan itu, Abimanyu langsung bersumpah di hadapan Utari bahwa dirinya masih perjaka dan belum pernah menikah. Ia bahkan menyatakan jika ucapannya adalah dusta maka kelak ia akan mati dikeroyok senjata.

    Gatutkaca yang membela Abimanyu memukul Kalabendana. Pukulan tidak sengaja itu justru menewaskan pamannya tersebut. Kelak dalam perang Baratayuda, Abimanyu benar-benar tewas dalam keadaan dikeroyok musuh. Sementara itu, arwah Kalabendana juga datang menjemput keponakannya dengan cara memegang senjata Konta milik Karna dan menusukkannya ke pusar Gatutkaca.
Di saat itu pula, tiba utusan Duryodana yang menyatakan bahwa tindakan Arjuna itu telah membongkar penyamaran mereka dan minta Pandawa untuk mengasingkan diri kembali selama 12 tahun, karena telah terbongkar sebelum waktunya. Yudistira tergelak tertawa, dan melalui utusan tersebut untuk menyampaikan pesan bahwa Yang terhormat kakek Bisma dan Mereka-mereka yang belajar perbintangan sangat mengetahui bahwa 13 tahun itu telah berlalu sebelum Arjuna meniupkan Terompet kerangnya dan menyentilkan tali gendewa yang membuat pasukan kurawa kucar-kacir ketakutan. []

Udyogaparwa

Udyogaparwa ada diurutan ke-5, tentang sikap Duryodana yang tidak mau mengembalikan kerajaan para Pandawa yang telah selesai menjalani masa pengasingan selama 13 tahun berakhir. Pandawa kembali untuk mengambil kembali negeri mereka dari tangan Korawa. Namun pihak Korawa menolak mengembalikan Kerajaan Indraprastha dengan alasan penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah terbongkar.

Pandawa yang selalu bersabar mengirimkan Krisna sebagai duta perdamaian ke pihak Korawa, namun usaha mereka tidak membuahkan perdamaian. Sebagai seorang pangeran, Pandawa merasa wajib dan berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka akhirnya hanya meminta lima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa dihindari. Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.

Dalam kesempatan itu, Kresna menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia menjelaskan bahwa para Pandawa sebenarnya adik seibu Karna. Apabila Karna bergabung dengan Pandawa, maka Yudistira pasti akan merelakan takhta Hastinapura untuknya.

Karna sangat terkejut mendengar jati dirinya terungkap, Dengan penuh pertimbangan ia memutuskan tetap pada pendiriannya yaitu membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan Duryodana yang telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa dahulu. Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap Duryodana yang dianggapnya sebagai saudara sejati.
    Versi jawa
    Kedatangan Kresna bukan untuk membuka jati diri Karna, melainkan hanya untuk penegasan saja. Seperti telah dikisahkan sebelumnya, Karna sudah mengetahui jati dirinya dari Batara Narada menjelang perkawinannya dengan Surtikanti. Jadi, Kresna hanya ingin memastikan sikap Karna membela Korawa atau Pandawa. Jawaban dan alasan Karna pun sama persis dengan versi MahaBharata.

    Kresna dengan kepandaiannya berbicara akhirnya berhasil mengetahui alasan karna yang paling rahasia. Karna mengaku memihak Korawa demi kehancuran angkara murka. Ia sadar kalau Korawa adalah pihak yang salah. Setiap hari ia berusaha menghasut Duryodana supaya tidak takut menghadapi para Pandawa. Karna menjadi tokoh yang paling menginginkan perang terjadi, karena hanya dengan cara itu Korawa dapat mengalami kehancuran. Karna sadar sebagai seorang penghasut, dirinya harus memberi contoh berani dalam menghadapi Pandawa. Ia rela jika dalam perang nanti dirinya harus tewas bersama para Korawa. Ia bersedia mengorbankan jiwa dan raga demi untuk kemenangan para Pandawa dan kebahagiaan adik-adiknya itu. Kresna terharu mendengar rahasia Karna. Ia yakin meskipun selama di dunia Karna hidup bersama Korawa, namun kelak di akhirat pasti berkumpul bersama Pandawa.
Setelah pertemuan dengan Kresna, Karna ganti mengalami pertemuan dengan Kunti, ibu kandungnya. Kunti menemui Karna saat putera sulungnya itu bersembahyang di tepi sungai. Ia merayu Karna supaya mau memanggilnya "ibu" dan sudi bergabung dengan para Pandawa. Karna kembali bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Ia menolak bergabung dengan Pandawa dan tetap menganggap Radha istri Adirata sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian, Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti. Ia bersumpah dalam perang Bharatayuddha kelak, ia tidak akan membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.

Pandawa dan Korawa mempersiapkan kekuatannya dengan mencari bala bantuan dan sekutu ke seluruh pelosok Bharatawarsha (India Kuno). Arjuna dan Duryodana pergi ke Dwaraka untuk memohon bantuan dari Krishna

Duryodana datang terlebih dahulu, kemudian Arjuna. Krishna sedang beristirahat. Mereka masuk kekamarnya. Durodana duduk disisi Krishna, Arjuna berdiri tepat diujung kaki Krisna. Krisna kemudian terbangun dan membuka matanya melihat arjuna terlebih dahulu dan menyapanya Baru kemudian menyapa Duryodana. Ia menanyakan apa yang membuat mereka datang ke Dwaraka. Duryodana berbicara pertama bahwa Perang akan dimulai dan mereka meminta agar Krishna dan pasukannya membantu mereka, Ia juga menyampaikan bahwa Ia darang duluan. Krishna menyatakan bahwa mungkin benar Duryodana datang duluan, namun ia melihat Arjuna terlebih dahulu ketika terbangun, lagi pula adat yang berlaku selalu mempersilakan yang lebih muda untuk duluan. Untuk itu Krishna menyatakan bahwa Ia tidak bersedia bertempur secara pribadi. Sri Kresna mengajukan tawaran kepada Pandawa dan Korawa, bahwa di antara mereka boleh meminta satu pilihan: pasukannya atau tenaganya.

Pandawa yang diwakili Arjuna menginginkan Sri Kresna tanpa senjata Ia memohon Krishna bersedia mengendarai kereta perangnya dan menjadi penasihat Pandawa sedangkan Korawa yang diwakili Duryodana memilih pasukan Sri Kresna. Sri Kresna bersedia mengabulkan permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas terlebih lagi Duryodana merasa pilihan arjuna merupakan suatu kebodohan karena ia tahu ketangguhan dari pasukan Krisna namun setibanya Duryodana dikerajaan dengan gembira ia ceritakan keberuntungannya itu dihadapan Sangkuni. Sangkuni justru memakinya sebagai orang paling Bodoh dan mengatakan 1 orang Krisna tidak dapat dibandingkan dengan ratusan ribu Prajuritnya walaupun sekuat apapun Prajuritnya itu.

Sementara itu Salya disertai sejumlah besar pasukannya dan para putranya sedang dalam perjalanan untuk menemui Pandawa dan Duryodhana mendengar hal tersebut, maka Ia segera bergegas memerintahkan agar di berbagai tempat yang dilewati Salya dan rombongan agar disiapkan tempat hiburan yang berisi banyak artis untuk menghibur para tamu, paviliun-paviliun yang berisi karangan bunga dan makanan-minuman pilihan, yang mampu menyegarkan hati, sehingga setibanya Salya dan rombongan di paviliun-paviliun itu mereka dilayani bagaikan dewa, merasakan hal ini, Salya menganggap dirinya lebih tinggi dari Indra penguasa para dewa, Ia kemudian bertanya kepada para pelayan, 'Di manakah orang-orang Yudhishthira yang telah menyiapkan tempat-tempat penyegaran ini? Aku harus menghadiahi mereka, biarlah menyenangkan putra Kunti!' Para pelayan terkejut dan menyerahkan seluruh permasalahan itu kepada Duryodhana. Dan ketika Salya sangat senang dan siap untuk memberikan nyawa, Duryodhana, yang awalnya sembunyi, maju menunjukkan diri kepada Salya, yang akhirnya paham bahwa Duryodhana-lah yang telah memberikan pelayanan untuknya, sehingga Ia berjanji untuk berada dipihak Duryodana, namun Ia tetap harus mengunjungi Yudistira untuk memberitahu tentang kejadian itu dan sikapnya. Mendengarkan Salya, Yudistira kemudian meminta satu hal, yaitu ketika pertarungan tunggal antara Karna dan Arjuna terjadi, Salya yang bertindak sebagai kusir kereta Karna, agar tetap melindungi Arjuna dengan membuat Karna putus asa. Salya menerima permintaan ini, karena mengingat derita yang dialami Pandawa bersama Draupadi saat permainan dadu, kata-kata kasar Karna.

Salya kemudian menceritakan kisah derita yang dialami Deva Indra dan Istrinya (Sachi) (MB 5.9-18), yang setelah membunuh Vṛtra, Indra menghilang sehingga Tathta Surga menjadi kosong, kemudian, untuk mengisi kekosongan, para Deva mengangkat Nahusha menjadi raja para deva. Ketika Nanusha melihat istri Indra, Sachi, Ia menjadi tergila-gila dan hendak mengambilnya sebagai istri. Sachi kemudian meminta perlindungan Rsi Vrihaspati, putra Angira. Selama mengulur waktu dari permintaan Nanusha, Berjat bantuan Devi keilahian, Sachi akhirnya dapat bertemu Indra, mendengarkan yang melanda Sachi, Indra meminta Sachi menjalankan siasat, yaitu syarat agar dapat meminang Sachi, maka Nanusha harus memiliki tunggangan yang tidak pernah dipunyai para Deva manapun, termasuk Visnu. Nanusha menerima syarat ini dan membuat 7 Resi dan para Rsi lain sebagai pemikul tandu Nanusha dan dalam satu kejadian, kaki Nanusha mengijak kepala Rsi Agastya sehingga Rsi ini mengutuk Nanusha selama 10 ribu tahun dalam wujud ular besar yang berkeliaran di bumi, karena hal inilah, Indra kembali menjadi raja Para Dewa dan Rsi Vrihaspati dianugerahi Indra sebagai Resi bernama Atharvangira dalam Atharva Veda (MB 5.11-18).
    Note:
    Pertempuran Indra melawan Vṛtra, muncul di banyak Parwa Mahabharata, Rig Veda, komentar Brahmana, Upanisad, Ramayana dan Purana, berikut ringkasan kisah yang tercantum di Udyoga Parva (MB 5.9-10), Rg Veda dan Satapatha Brahmana:

    Ketika Indra lahir (Bapak: Vyaṁsa, Ibu: Kusava), Ibunya sekarat, Indra meminum Soma di rumah Tvaṣṭri (RV 4.18.3-5) dan Ibunya menyembunyikannya (RV 4.18.8) karena Vyaṁsa berusaha membunuhnya, dan berakhir dengan terbunuhnya Vyaṁsa oleh Indra (RV 4.18.9).

    Tvaṣṭri/Viśvakarmā (RV 1.13.10) yang merupakan penguasa makhluk dan makhluk surgawi terkemuka, menciptakan seorang putra berkepala tiga, bernama Visvarupa (RV 2.11.19, Satapatha-brahmana 1.6.3 dan 5.5.4) yang sangat menyukai pertapaan keras sehingga membuat Indra cemas kalau-kalau Ia akan menggantikan tempatnya. Untuk mengganggunya, Indra memerintahkan para bidadari untuk menggodanya, namun gagal. Kemudian dengan vajra, Indra membunuh Visvarupa. (RV 2.11.19, SB 1.6.3, 5.5.4, 12.7.1 dan Mahabharata 5.9).

      Note:
      Di Jataka no. 523, Indra/Māgha memerintahkan bidadari Alambusa untuk menggoyahkan petapa Isisiṅga dan berhasil. Di Jataka 523 dan SN 2.3, Māgha/Indra disebut Vatrabhū, menurut kitab komentar Buddhaghosa: disebut Vatrabhū karena menjadi penguasa para deva melalui perilakunya (vattena aññe abhibhavati) atau karena menaklukkan asura bernama Vatra/Vṛtra.

    Mengetahui putranya dibunuh Indra, Tvaṣṭri marah: 'Karena Indra telah membunuh anakku yang sama sekali tidak melakukan pelanggaran, yang selalu dalam pertapaan, penuh belas kasih, berpengendalian diri dan terkendali nafsunya, oleh karenanya, demi kehancuran Indra, aku akan menciptakan Vṛtra', melalui persembahan api, Ia menciptakan Vritra. (MB 5.9). Tvaṣṭri berkata, 'Bertumbuhlah, musuhi Indra (indraśatru)!'. Karena Ia berkembang dengan bergulir ke depan (vṛt), Ia disebut Vṛtra; Karena tanpa kaki, Ia disebut ular/Ahi (SB 1.6.3.9, RV 1.32.5, 1.103.2, 6.20.2, 9.88.4). Karena Danu dan Danāyū menerimanya seperti ibu dan ayah, Ia disebut Dānava (SB 1.6.3.9). Karena Tvaṣṭri berkata, 'Bertumbuhlah, musuhi Indra (indraśatru)!' maka Indra dapat membunuh Vṛtra. Seandainya Tvaṣṭri berkata, 'Bertumbuhlah, bunuh Indra (indraśátru)!', maka Indra yang dibunuh Vṛtra (SB 1.6.3.10). Karena Tvaṣṭri berkata, 'bertumbuhlah', maka Ia tumbuh ke samping, ke depan, ke belakang baik samudra barat maupun timur (SB 1.6.3.11). Karena sampai menutupi (vṛ) semua antara langit dan bumi, maka disebut Vṛtra (SB 1.1.3.4), Vṛtra menghalangi air bagi para Deva dan manusia dengan 99 Bentengnya (RV 1.32.14, 10.104.8).

    Dalam pertarungan melawan Vṛtra (dan pasukannya), Indra dibantu para dewa (SB 2.5.4: Bersama Agni, Soma, Savitṛ, Sarasvatī, Pūṣan; RV 10.113.5: Bersama pasukan besar, Mitra dan Varuna; RV 10.124.6: Bersama Agni, Varuna dan Soma; RV 6.17.11: Bersama Marut, Pusan dan Visnu). Dalam pertempuran, Vṛtra menangkap dan menelan Indra. Demi membebaskan Indra, para dewa menciptakan Jrimbhika (menguap) yang membuat Vṛtra menguap sehingga Indra lolos, pertarungan berlanjut dengan kekalahan Indra dan para Dewa, sehingga merekapun mundur. (MB 5.9). Kemudian, agar dapat mengalahkan Vṛtra, maka Indra, pada Dewa dan para Rsi menghadap Visnu yang memberi tahu cara mengalahkan Vṛtra dengan 'sesuatu yang tidak kering, tidak basah, juga bukan senjata' dan saat itu, Visnu akan ada dalam Vajra milik Indra. Pertempuran pun berlanjut, Indra sambil mengingat Wisnu, melihat lautan segumpal buih sebesar bukit: 'Ini tidak kering, tidak basah, dan juga bukan senjata' dan melemparkan kumpulan buih yang bercampur vajra ke arah Vṛtra. Visnu, yang ada di buih itu, mengakhiri kehidupan Vṛtra. (MB 5.10) dan Indra kemudian membebaskan air dengan menghancurkan 99 benteng milik Vṛtra, sehingga Indra disebut penghancur kota/Purandara (RV 10.104.8) dan karena membunuh Vṛtra, Indra disebut Mahendra (Indra yang agung) (SB 2.5.4.9, 1.6.4.21), maharaja para Dewa.
Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara Kresna, juga janji dari Salya. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa kerajaan pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi, Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan wangsa Yadu dari Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa terdiri dari Raja Pragjyotisha, Anga, Kekaya, Sindhudesa, Mahishmati, Awanti dari Madhyadesa, Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak lagi.

Pihak Pandawa
Melihat tidak ada harapan untuk berdamai, Yudistira, kakak sulung para Pandawa, meminta saudara-saudaranya untuk mengatur pasukan mereka. Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh divisi. Setiap divisi dipimpin oleh Drupada, Wirata, Drestadyumna, Srikandi, Satyaki, Cekitana dan Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. MahaBharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni: Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.

Pihak Korawa
Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan bahwa ketika ia bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para Pandawa. Bisma juga tidak ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan membiarkannya menyerang Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak ingin penyerangan secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa kasta Karna lebih rendah. Bagaimanapun juga, Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya — Duhsasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran Korawa dibantu oleh Rsi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa — Jayadrata, guru Kripa, Kritawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sangkuni, dan masih banyak lagi para ksatria dan Raja gagah perkasa yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun Dretarastra.

Pihak netral
Kerajaan Widarbha dan rajanya, Raja Rukma dan juga kakak Kresna, Baladewa, berada pada pihak yang netral dalam peperangan tersebut. Balacewa netral karena kasih dan perdamaiannya pada duabelah pihak, namun netralnya Raja Rukma bukan karena ia tidak mau memihak, namun justru karena kesal dan merasa terhina oleh duabelah pihak

Kerajaan Widharba dahulunya dipimpin oleh Raja Bhismaka Ia mempunyai lima anak satu diantaranya wanita bernama Rukmini. Ia telah mendengar tentang Krisna dan kemasyurannya dan berharap dapat bersatu dengannya dalam satu perkawinan. Keluarganya menyetujui ide itu kecuali kakak tertuanya Rukma yang lebih mengingikan Rukmini dikawinkan dengan Sisupala raja Chedi. Karena raja semakin tua, Rukma menjadi dominan kehendaknya di kerajaan tersebut Rukmini menjadi takut bahwa ayahnya menjadi tidak berdaya. Kemudian ia mencari jalan mengatasi keadaan yang sulit ini. Ia kemudian meminta saran kepada seorang Brahmana yang kemudian pergi ke Drawaka untuk bertemu Krisna dan menyampaikan surat yang dikirim Rukmini. "Hatiku telah menerimamu sebagai Tuhan dan pemimpin, Aku memintamu untuk datag dan menyelamatkanku dari Sisupala yang akan membawa ku dengan paksa. Hal ini tidak dapat ditunda lagi, datanglah esok. Pasukan Sisupala dan jarasandha akan berusaha menghadangmu sebelum engkau mendapatkanmu. Semoga engkau berkenan menyelamatkan ku. Dan sebagai bagian dari upacara perkawinan Aku akan berada di kuil untuk memuja Parvati (shakti Siva) bersama rombongan. Itu adalah saat yang terbaik untuk datang dan menyelamatkanku. Jika Engkau tidak hadir maka aku akan mengakhiri hidupku dan semoga akau akan bersatu dengan mu di kehidupan mendatang“. Setelah Krisna membaca itu, Ia segera menaiki keretanya menuju Kundinapura, Ibukota Widarbha. Balarama tahu kepergian yang tiba-tiba dan rahasia Krisna dan kemudian ia segera menyiapkan pasukan dan menuju Kundinapura. Di kuil Rukmini berdoa, ‘Oh Dewi, kuserahkan hidupku padamu”. Melangkah keluar kuil. Rukmini melihat Kereta Krisna dan segera berlari melayang bagikan jarum tersedot magnet menuju kereta Krisna. Krisna mengemudikan kereta dibawah pandangan kagum semua yang melihat mereka. Pengawal segera memberitahu Rukma mengenai apa yang terjadi, kemudian berkata ‘Aku tidak akan kembali sebelum membunuhnya!’ dan segera mengejar Krisna dengan pasukan yang besar. Sementara itu Balarama telah tiba dengan pasukannya dan pertempuran pun terjadi. Balarama dan Krisna pulang dengan memperoleh kemenangan. Rukma yang telah kalah malu pulang kandang dan mendirikan kerajaan diantara Dwaraka dan menamakannya menjadi Bhojakata. Ketika Ia mendengar akan diadakan perang Khurkshetra, Rukma datang dengan pasukan besar berpikir untuk memperbaiki hubungannya dengan Krisna (Basudeva) dan menawarkan bantuan pada Pandawa “Oh, Pandawa, Pasukan musuh begitu besarnya. Aku datang untuk menawarkan bantuan padamu. Berikan aku perintah dan aku akan menyerang semua tempat yang engkau perintahkan. Aku punya kekuatan untuk melawan Drona, Kripa dan bahkan Bhisma. Ku berikan kemenangan bagimu, katakanlah kehendakmu” Ujarnya pada Arjuna. Arjuna menoleh pada Basudeva dan tertawa, “Oh penguasa Bhojakata, Kami tidak mengkhawatirkan jumlah musuh. Kami belum memerlukan bantuanmu. Engkau boleh menyingkir atau tetap di sekitar sini sesukamu”, Ujar Arjuna. Rukma yang merasa marah dan malu, pergi ke Duryodana dengan pasukannya, “Pandawa menolak bantuan ku, Pasukanku terserah engkau akan apakan”, katanya pada Duryodana. “Jadi, setelah Pandawa menolakmu bantuanmu makanya engkau datang kemari? Saya tidak setakut itu untuk menerimamu setelah mereka membuangmu’ jawab Duryodana. Rukma merasa terhina oleh duabelah pihak dan ia kembali kekerajaannya tanpa ambil bagian dari perang besar itu.

Dikisahkan juga perjalanan Salya – “Sang Raja Madra” – menuju markas Pandawa karena memihak mereka, Salya membawa pasukan besar menuju Upaplawya untuk menyatakan dukungan terhadap Pandawa menjelang meletusnya perang besar di Kurukshetra atau Baratayuda. Di tengah jalan rombongannya singgah beristirahat dalam sebuah perkemahan lengkap dengan segala jenis hidangan. Salya menikmati jamuan itu karena mengira semuanya berasal dari pihak Pandawa. Tiba-tiba para Korawa yang dipimpin Duryodana muncul dan mengaku sebagai pemilik perkemahan tersebut beserta isinya. Duryodana meminta Salya bergabung dengan pihak Korawa untuk membalas jasa. Sebagai seorang raja yang harus berlaku adil, Salya pun bersedia memenuhi permintaan itu. Salya kemudian menemui para keponakannya, yaitu Pandawa Lima untuk memberi tahu bahwa dalam perang kelak, dirinya harus berada di pihak musuh. Para Pandawa terkejut dan sedih mendengarnya. Namun Salya menghibur dengan memberikan restu kemenangan untuk mereka.

Untuk kesekian kalinya sebelum keputusan berperang, sekali lagi para Pandawa berusaha mencari sekutu dengan mengirimkan surat permohonan kepada para Raja di daratan India Kuno agar mau mengirimkan pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang besar akan terjadi. Begitu juga yang dilakukan oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para Raja di daratan India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa. Sementara itu, Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke Hastinapura untuk mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun Duryodana menolak usul Kresna dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk menangkap Kresna sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa. Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan bentuk rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci: Bisma, Drona, dan Widura. Setelah Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk memberitahu para Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa menyiapkan tentara dan memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi. Perang di Kurukshetra merupakan klimaks dari Mahābhārata, sebuah wiracarita tentang pertikaian Dinasti Kuru sebagai titik sentralnya. Kurukshetra sendiri bermakna "daratan Kuru", yang juga disebut Dharmakshetra atau "daratan keadilan". Lokasi ini dipilih sebagai ajang pertempuran karena merupakan tanah yang dianggap suci. Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat kesucian daerah ini. Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India. []

Bhismaparwa

Bhismaparwa ada diurutan ke-6 dan konon merupakan bagian terpenting MahaBharata karena mengandung kitab Bhagawad Gita. Dalam Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua pasukan, pasukan Korawa dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum Bharatayuddha dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna berada di antara kedua pasukan. Arjuna pun bisa melihat bala tentara Korawa dan para Korawa, sepupunya sendiri. Iapun menjadi sedih karena harus memerangi mereka. Walaupun mereka jahat, tetapi Arjuna teringat bagaimana mereka pernah dididik bersama-sama sewaktu kecil dan sekarang berhadapan satu sama lain sebagai musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan. Wejangannya ini disebut dengan nama Bhagawad Gita atau "Gita Sang Bagawan", artinya adalah nyanyian seorang suci.

Bhismaparwa diakhiri dengan dikalahkannya Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Bisma mempunyai sebuah kesaktian bahwa ia bisa meninggal pada waktu yang ditentukan sendiri. Lalu ia memilih untuk tetap tidur terbentang saja pada "tempat tidur panahnya" (saratalpa) sampai perang Bharatayuddha selesai. Bisma terkena panah banyak sekali sampai ia terjatuh tetapi tubuhnya tidak menyentuh tanah, hanya ujung-ujung panahnya saja.

Divisi pasukan dan persenjataan
Setiap pihak memiliki jumlah pasukan yang besar. Pasukan tersebut dibagi-bagi ke dalam divisi (akshauhini). Setiap divisi berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari:
  • 21.870 pasukan berkereta kuda
  • 21.870 pasukan penunggang gajah
  • 65.610 pasukan penunggang kuda
  • 109.350 tentara biasa
Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan pandawa memiliki 7 divisi, total pasukan=1.530.900 orang. Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, total pasukan=2.405.700 orang. Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang= 3.936.600 orang. Jumlah pasukan yang terlibat dalam perang sangat banyak sebab divisi pasukan kedua belah pihak merupakan gabungan dari divisi pasukan kerajaan lain di seluruh daratan India.

Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra merupakan senjata kuno dan primitif, contohya: panah; tombak; pedang; golok; kapak-perang; gada; dan sebagainya. Para ksatria terkemuka seperti Arjuna, Bisma, Karna, Aswatama, Drona, dan Abimanyu, memilih senjata panah karena sesuai dengan keahlian mereka. Bima dan Duryodana memilih senjata gada untuk bertarung.

Formasi militer
Dalam setiap perang di zaman MahaBharata, formasi militer adalah hal yang penting. Dengan formasi yang baik dan sempurna, maka musuh juga lebih mudah ditaklukkan. Ada beberapa formasi, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Formasi militer tersebut sebagai berikut:
  • Krauncha Vyuha (formasi bangau)
  • Chakra Vyuha (formasi cakram / melingkar)
  • Kurma Vyuha (formasi kura-kura)
  • Makara Vyuha (formasi buaya)
  • Trisula Vyuha (formasi trisula)
  • Sarpa Vyuha (formasi ular)
  • Kamala atau Padma Vyuha (formasi teratai)
Aturan perang
Dua pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak bertemu dan membuat "peraturan tentang perlakuan yang etis"—Dharmayuddha—sebagai aturan perang. Peraturan tersebut sebagai berikut:
  • Pertempuran harus dimulai setelah matahari terbit dan harus segera dihentikan saat matahari terbenam.
  • Pertempuran satu lawan satu; tidak boleh mengeroyok prajurit yang sedang sendirian.
  • Dua ksatria boleh bertempur secara pribadi jika mereka memiliki senjata yang sama atau menaiki kendaraan yang sama (kuda, gajah, atau kereta).
  • Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
  • Seseorang yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang.
  • Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
  • Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
  • Tidak boleh membunuh atau melukai seseorang atau binatang yang tidak ikut berperang.
  • Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
  • Tidak boleh menyerang wanita.
  • Tidak boleh menyerang hewan yang tidak dianggap sebagai ancaman langsung.
  • Peraturan khusus yang dibuat untuk setiap senjata mesti diikuti. Sebagai contoh, dilarang memukul bagian pinggang ke bawah pada saat bertarung menggunakan gada.
  • Bagaimanapun juga, para ksatria tidak boleh berjanji untuk berperang dengan curang.
Kebanyakan peraturan tersebut dilanggar sesekali oleh kedua belah pihak.

Ringkasan Bhismaparwa
Janamejaya bertanya, "Bagaimanakah para pahlawan bangsa Kuru, Pandawa, dan Somaka, beserta para rajanya yang berasal dari berbagai kerajaan itu mengatur pasukannya siap untuk bertempur?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Wesampayana menguraikan dengan detail, kejadian-kejadian yang sedang berlangsung di medan perang Kurukshetra.

Suasana di medan perang, Kurukshetra
Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah pihak sudah memenuhi daratan Kurukshetra. Para Raja terkemuka pada zaman India Kuno seperti misalnya Drupada, Sudakshina Kamboja, Bahlika, Salya, Wirata, Yudhamanyu, Uttamauja, Yuyudhana, Chekitana, Purujit, Kuntibhoja, dan lain-lain turut berpartisipasi dalam pembantaian besar-besaran tersebut. Bisma, Sang sesepuh Wangsa Kuru, mengenakan jubah putih dan bendera putih, bersinar, dan tampak seperti gunung putih. Arjuna menaiki kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda putih dan dikemudikan oleh Kresna, yang mengenakan jubah sutera kuning.

Pasukan Korawa menghadap ke barat, sedangkan pasukan Pandawa menghadap ke timur. Pasukan Korawa terdiri dari 11 divisi, sedangkan pasukan Pandawa terdiri dari 7 divisi. Pandawa mengatur pasukannya membentuk formasi Vajra, formasi yang konon diciptakan Dewa Indra. Pasukan Korawa jumlahnya lebih banyak daripada pasukan Pandawa, dan formasinya lebih menakutkan. Fomasi tersebut disusun oleh Drona, Bisma, Aswatama, Bahlika, dan Kripa yang semuanya ahli dalam peperangan. Pasukan gajah merupakan tubuh formasi, para Raja merupakan kepala dan pasukan berkuda merupakan sayapnya. Yudistira sempat gemetar dan cemas melihat formasi yang kelihatannya sulit ditembus tersebut, namun setelah mendapat penjelasan dari Arjuna, rasa percaya dirinya bangkit.

Setelah sepakat dengan formasi dan strategi masing-masing, pasukan kedua belah pihak berbaris rapi. Para Raja dan ksatria gagah perkasa tampak siap untuk berperang. Duryodana optimis melihat pasukan Korawa memiliki para ksatria tangguh yang setara dengan Bima dan Arjuna. Namun ada tokoh-tokoh lain yang setara dengan mereka seperti Yuyudana, Wirata, dan Drupada yang ia anggap sebagai batu rintangan dalam mencapai kajayaan dalam pertempuran. Ia juga optimis karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu Bisma, Karna, Kritawarma, Wikarna, Burisrawas, dan Kripa, ada di pihaknya. Selain itu Raja agung seperti Yudhamanyu dan Uttamauja yang sangat perkasa juga turut berpartisipasi dalam pertempuran sebagai penghancur bagi musuh-musuhnya. Bisma, dengan diikuti oleh Para Raja dan ksatria dari kedua belah pihak meniup “sangkala” (terompet kerang) mereka tanda pertempuran akan segera dimulai.

Turunnya Bhagawad Gita
Sebelum pertempuran dimulai, terlebih dahulu Bisma meniup terompet kerangnya yang menggemparkan seluruh medan perang, kemudian disusul oleh para Raja dan ksatria, baik dari pihak Korawa maupun Pandawa. Setelah itu, Arjuna meminta Kresna yang menjadi kusir keretanya, agar membawanya ke tengah medan pertempuran, supaya Arjuna bisa melihat siapa yang sudah siap bertarung dan siapa yang harus ia hadapi nanti di medan pertempuran.

Di tengah medan pertempuran, Arjuna melihat kakeknya, gurunya, teman, saudara, ipar, dan kerabatnya berdiri di medan pertempuran, siap untuk bertempur. Tiba-tiba Arjuna menjadi lemas setelah melihat keadaan itu. Ia tidak tega untuk membunuh mereka semua. Ia ingin mengundurkan diri dari medan pertempuran.

Arjuna berkata, "Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putera Dretarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Lakshmi Dewi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?"

Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Kresna mencoba untuk menyadarkan Arjuna. Kresna yang menjadi kusir Arjuna, memberikan wejangan-wejangan suci kepada Arjuna, agar ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kresna juga menguraikan berbagai ajaran Hindu kepada Arjuna, agar segala keraguan di hatinya sirna, sehingga ia mau melanjutkan pertempuran. Selain itu, Kresna memperlihatkan wujud semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa Kresna sebenarnya.

Wejangan suci yang diberikan oleh Kresna kepada Arjuna kemudian disebut Bhagavad Gītā, yang berarti "Nyanyian Tuhan". Ajaran tersebut dirangkum menjadi kitab tersendiri dan menjadi salah satu rujukan umat Hindu karena dianggap merupakan pokok-pokok ajaran dan intisari ajaran Veda.

Note: Klik ini untuk membaca Bhagavad Gita

Setelah Arjuna sadar terhadap kewajibannya dan mau melanjutkan pertarungan karena sudah mendapat wejangan suci dari Kresna, maka pertempuran segera dimulai. Arjuna mengangkat busur panahnya yang bernama Gandiwa, diringi oleh sorak sorai gegap gempita. Pasukan kedua pihak bergemuruh. Mereka meniup sangkala dan terompet tanduk, memukul tambur dan genderang. Para Dewa, Pitara, Rishi, dan penghuni surga lainnya turut menyaksikan pembantaian besar-besaran tersebut.

Pada saat-saat menjelang pertempuran tersebut, tiba-tiba Yudistira melepaskan baju zirahnya, meletakkan senjatanya, dan turun dari keretanya, sambil mencakupkan tangan dan berjalan ke arah pasukan Korawa. Seluruh pihak yang melihat tindakannya tidak percaya. Para Pandawa mengikutinya dari belakang sambil bertanya-tanya, namun Yudistira diam membisu, hanya terus melangkah. Di saat semua pihak terheran-heran, hanya Kresna yang tersenyum karena mengetahui tujuan Yudistira. Pasukan Korawa penasaran dengan tindakan Yudistira. Mereka siap siaga dengan senjata lengkap dan tidak melepaskan pandangan kepada Yudistira. Yudistira berjalan melangkah ke arah Bisma, kemudian dengan rasa bakti yang tulus ia menjatuhkan dirinya dan menyembah kaki Bisma, kakek yang sangat dihormatinya.

Yudistira berkata, “Hamba datang untuk menghormat kepadamu, O paduka nan gagah tak terkalahkan. Kami akan menghadapi paduka dalam pertempuran. Kami mohon perkenan paduka dalam hal ini, dan kami pun memohon do'a restu paduka”.

Bisma menjawab, “Apabila engkau, O Maharaja, dalam menghadapi pertempuran yang akan berlangsung ini engkau tidak datang kepadaku seperti ini, pasti kukutuk dirimu, O keturunan Bharata, agar menderita kekalahan! Aku puas, O putera mulia. Berperanglah dan dapatkan kemenangan, hai putera Pandu! Apa lagi cita-cita yang ingin kaucapai dalam pertempuran ini? Pintalah suatu berkah dan restu, O putera Pritha. Pintalah sesuatu yang kauinginkan! Atas restuku itu pastilah, O Maharaja, kekalahan tidak akan menimpa dirimu. Orang dapat menjadi budak kekayaan, namun kekayaan itu bukanlah budak siapa pun juga. Keadaan ini benar-benar terjadi, O putera bangsa Kuru. Dengan kekayaannya, kaum Korawa telah mengikat diriku...”

Setelah Yudistira mendapat do'a restu dari Bisma, kemudian ia menyembah Drona, Kripa, dan Salya. Semuanya memberikan do'a restu yang sama seperti yang diucapkan Bisma, dan mendo'akan agar kemenangan berpihak kepada Pandawa. Setelah mendapat do'a restu dari mereka semua, Yudistira kembali menuju pasukannya, dan siap untuk memulai pertarungan.

Yuyutsu memihak Pandawa
Setelah tiba di tengah-tengah medan pertempuran, di antara kedua pasukan yang saling berhadapan, Yudistira berseru, “Siapa pun juga yang memilih kami, mereka itulah yang kupilih menjadi sekutu kami!”

Setelah berseru demikian, suasana hening sejenak. Tiba-tiba di antara pasukan Korawa terdengar jawaban yang diserukan oleh Yuyutsu. Dengan pandangan lurus ke arah Pandawa, Yuyutsu berseru, ”Hamba bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi kemenangan paduka sekalian! Hamba akan menghadapi putera Dretarastra, itu pun apabila paduka raja berkenan menerima! Demikianlah, O paduka Raja nan suci!”

Dengan gembira, Yudistira berseru, “Mari, kemarilah! Kami semua ingin bertempur menghadapi saudara-saudaramu yang tolol itu! O Yuyutsu, baik Vāsudewa (Kresna) maupun kami lima bersaudara menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, O pahlawan perkasa, berjuanglah bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan Dharma! Rupanya hanya anda sendirilah yang menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sekaligus melanjutkan pelaksanaan upacara persembahan kepada para leluhur mereka! O putera mahkota nan gagah, terimalah kami yang juga telah menerima dirimu itu! Duryodana yang kejam dan berpengertian cutak itu segera akan menemui ajalnya!”

Setelah mendengar jawaban demikian, Yuyutsu meninggalkan pasukan Korawa dan bergabung dengan para Pandawa. Kedatangannya disambut gembira. Yudistira mengenakan kembali baju zirahnya, kemudian berperang.

Pertempuran dimulai.
Pihak Korawa dipimpin oleh Bisma, selama Bisma memimpin, karna tidak menolak berada di bawah perintah Bhisma. Kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang para ksatria Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu melihat hal tersebut dan menyuruh paman-pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya. Namun usaha para ksatria Pandawa di hari pertama tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan. Putera Raja Wirata, Uttara dan Sweta, gugur oleh Bisma dan Salya di hari pertama. Saudara Utara yang bernama Sweta berusaha keras menyerang Salya. Salya terdesak namun berhasil diselamatkan oleh Kretawarma. Rukmarata putra Salya mencoba melindungi ayahnya. Namun ia segera tumbang tak sadarkan diri terkena senjata Sweta. Sementara itu menurut versi Kakawin Bharatayuddha, Rukmarata tidak sekadar pingsan tetapi tewas di tangan Sweta. Utara dikisahkan tewas di tangan Salya. Namun beberapa dalang mengisahkan pembunuh Utara adalah Bisma. Kekalahan di hari pertama membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.

Hari ke-2,
Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Setyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.

Hari ke-3,
Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna, namun banyak pasukan Korawa yang tak mampu menandingi kekuatan Arjuna. Abimanyu dan Setyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bisma yang terlibat duel sengit dengan Arjuna, masih bertarung dengan setengah hati. Duryodana memarahi Bisma yang masih segan untuk menghabisi Arjuna. Perkataan Duryodana membuat hati Bisma tersinggung, kemudian ia mengubah perasaanya.

Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bhishma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil chakra-nya dan berlari ke arah Bisma. Bisma menyerahkan dirinya kepada Kresna dengan pasrah. Ia merasa beruntung jika gugur di tangan Kresna. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Arjuna memegang kaki Kresna. Pada langkah yang kesepuluh, Kresna berhenti.

Arjuna berkata, “O junjunganku, padamkanlah kemarahan ini. Paduka tempat kami berlindung. Baiklah, hari ini hamba bersumpah, atas nama dan saudara-saudara hamba, bahwa hamba tidak akan menarik diri dari sumpah yang hamba ucapkan. O Kesawa, O adik Dewa Indra, atas perintah paduka, baiklah, hamba yang akan memusnahkan bangsa Kuru!”

Mendengar sumpah tersebut, Kresna puas. Kemarahannya mereda, namun masih tetap memegang senjata chakra. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak pasukan Korawa.

Hari ke-4,
merupakan hari dimana Bima menunjukkan kegagahannya. Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para ksatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana kehilangan banyak saudara-saudaranya.

Hari ke-5,
Malam hari menjelang pertandingan Duryodana datang ke tenda Bhisma dan bertanya mengapa setiap hari kekalahan demi kekalahan yang pihak mereka peroleh. Bisma menjawab bahwa Ia telah melakukan yang terbaik yang dapat ia lakukan, menasehati dan juga berperang untuk kejayaan Hastinapura, Sekarang belum terlambat untuk mencari menawarkan perdamaian dan di muka bumi ini tidak ada yang mungkin menang melawan Pandawa dibawah perlindungan ‘Sang Narayana’ sendiri.

Keesokan harinya pembantaian terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di sampingnya. Melihat Srikandi, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Setyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawas dan kemudian Setyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Setyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.Pertumpahan darah yang sulit dibayangkan terus berlanjut dari hari ke hari selama pertempuran berlangsung.

Hari ke-6,
merupakan hari yang hebat. Pandawa menggunakan formasi Makara (Ikan) sedangkan pihak korawa menggunakan fomasi Burung Bangau. Drona berhasil membunuh banyak prajurit di pihak Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua belah pihak pecah.

Hari ke-7,
tidak berubah, semua berperang sebaik-baiknya, Aswatama menghajar Srikandi namun tidak sampai terbunuh, dan banyak lagi yang terjadi, para ksatria hanya terluka tidak ada yang meninggal kecuali para prajurit banyak yang tewas hari ini.

Hari ke-8,
Korawa memakai Formasi Kura-kura sedangkan Pandawa memakai formasi 3 gigi. Bima membunuh delapan putera Dretarastra. Putera Arjuna—Irawan—terbunuh oleh para Korawa. Gatotkaca mengamuk Duryodana juga demikian takut keselamatan Duryodana terancam semua veteran2 kurawa mengeroyok Gatotkaca, Takut keselamatan Gatotkaca terancam, pasukan pandawa melindungi Gatotkaca. Hari ini 16 Saudara Duryodana terbunuh.

Hari ke-9,
Bisma menyerang pasukan Pandawa. Banyak laskar yang tercerai berai karena serangan Bisma. Banyak yang melarikan diri atau menjauh dari Bisma, pendekar tua nan sakti dari Wangsa Kuru. Kresna memacu kuda-kudanya agar berlari ke arah Bisma. Arjuna dan Bisma terlibat dalam pertarungan sengit, namun Arjuna bertarung dengan setengah hati sementara Bisma menyerangnya dengan bertubi-tubi. Melihat keadaan itu, sekali lagi Kresna menjadi marah. Ia ingin mengakhiri riwayat Bisma dengan tangannya sendiri. Ia meloncat turun dari kereta Arjuna, dengan mata merah menyala tanda kemarahan memuncak, bergerak berjalan menghampiri Bisma. Dengan senjata Chakra di tangan, Kresna membidik Bisma. Bisma dengan pasrah tidak menghindarinya, namun semakin merasa bahagia jika gugur di tangan Kresna. Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya.

Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat itu!...”

Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, tetapi dengan menahan kemarahan ia naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya sampai berakhirnya hari itu.

Malam harinya,
Pandawa dan Kresna mendatangi kemah Bisma dan ia menyambut mereka dengan ramah. Ketika Yudistira menanyakan apa yang bisa diperbuat untuk menaklukkan Bisma yang sangat mereka hormati, Bisma menjawab:

“...ketahuilah pantanganku ini, bahwa aku tidak akan menyerang seseorang yang telah membuang senjata, juga yang terjatuh dari keretanya. Aku juga tidak akan menyerang mereka yang senjatanya terlepas dari tangan, tidak akan menyerang orang yang bendera lambang kebesarannya hancur, orang yang melarikan diri, orang dalam keadaan ketakutan, orang yang takluk dan mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku pun tidak akan menyerang seorang wanita, juga seseorang yang namanya seperti wanita, orang yang lemah dan tak mampu menjaga diri, orang yang hanya memiliki seorang anak lelaki, atau pun orang yang sedang mabuk. Dengan itu semua aku enggan bertarung...”

Bisma juga mengatakan apabila pihak Pandawa ingin mengalahkannya, mereka harus menempatkan seseorang yang membuat Bisma enggan untuk bertarung di depan kereta Arjuna, karena ia yakin hanya Arjuna dan Kresna yang mampu mengalahkannya dalam peperangan. Dengan bersembunyi di belakang orang yang membuat Bisma enggan berperang, Arjuna harus mampu melumpuhkan Bisma dengan panah-panahnya. Berpedoman kepada pernyataan tersebut, Kresna menyadarkan Arjuna akan kewajibannya. Meski Arjuna masih segan, namun ia menuntaskan tugas tersebut.

Hari ke-10,
pasukan Pandawa dipelopori oleh Srikandi di garis depan. Srikandi menyerang Bisma, namun ia tidak dihiraukan. Bisma hanya tertawa kepada Srikandi, karena ia tidak mau menyerang Srikandi yang berkepribadian seperti wanita. Melihat Bisma menghindari Srikandi, Arjuna memanah Bisma berkali-kali. Puluhan panah menancap di tubuh Bisma. Panah-panah tersebut menancap dan menembus baju zirahnya, kemudian Bisma terjatuh dari keretanya, tetapi badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh puluhan panah yang menancap di tubuhnya. Pasukan Pandawa bersorak. Tepat pada hari itu senja hari. Kedua belah pihak menghentikan pertarungannya, mereka mengelilingi Bisma yang berbaring tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah. Bisma menyuruh para ksatria untuk memberikannya bantal, Duryodana memberikan Bantal yang sangat indah namun tidak mau ia terima. Kemudian ia menyuruh Arjuna memberikannya bantal. Arjuna menancapkan tiga anak panah di bawah kepala Bisma sebagai bantal. Bisma merestui tindakan Arjuna. Namun Bisma tidak gugur seketika karena ia boleh menentukan waktu kematiannya sendiri Ia memilih hari kematian ketika garis balik matahari berada di utara.

Srikandi adalah salah satu puteri Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala, Srikandi/Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul". Ia seorang wanita, yang merupakan penitisan Dewi Amba yang merasa tersia-siakan hidupnya oleh Bisma merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.

Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.

Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.
    Versi Jawa
    Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.

    Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.

    Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Bisma. []

Dronaparwa

Dronaparwa ada diurutan ke-7, tentang kisah diangkatnya Bagawan Drona sebagai panglima perang pasukan Korawa di Hari ke-11, setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna dan sejak di hari ke-11, Karna mulai berperang sehingga segera membangkitkan semangat para Korawa. Ia menyarankan agar Duryodana memilih Drona sebagai pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru bagi sebagian besar sekutu Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para sekutu Korawa memperebutkan jabatan panglima dapat dihindari.

Drona atau Dronacharya adalah guru para Korawa dan Pandawa. Ia merupakan ahli mengembangkan seni pertempuran, termasuk dewāstra. Arjuna adalah murid yang disukainya. Kasih sayang Drona terhadap Arjuna adalah yang kedua jika dibandingkan dengan rasa kasih sayang terhadap puteranya, Aswatama.

Drona dilahirkan dalam keluarga brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia merupakan putera dari pendeta Bharadwaja, lahir di kota yang sekarang disebut Dehradun (modifikasi dari kata dehra-dron, guci tanah liat), yang berarti bahwa ia (Drona) berkembang bukan di dalam rahim, namun di luar tubuh manusia, yakni dalam Droon (tong atau guci).

Bharadwaja pergi bersama rombongannya menuju Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta dikuasai nafsu, menyebabkannya mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Ia mengatur supaya air mani tersebut ditampung dalam sebuah pot yang disebut drona, dan dari cairan tersebut Drona lahir kemudian dirawat. Drona kemudian bangga bahwa ia lahir dari Bharadwaja tanpa pernah berada di dalam rahim. Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan, namun belajar agama dan militer bersama-sama dengan pangeran dari Kerajaan Panchala bernama Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi teman dekat dan Drupada, dalam masa kecilnya yang bahagia, berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Drona pada saat menjadi Raja Panchala.

Drona menikahi Krepi, adik Krepa, guru di keraton Hastinapura. Krepi dan Drona memiliki putera bernama Aswatama.

Mengetahui bahwa Parasurama mau memberi pengetahuan yang dimilikinya kepada para brahmana, Drona mendatanginya. Sayangnya pada saat Drona datang, Parasurama telah memberikan segala miliknya kepada brahmana yang lain. Karena tersentuh oleh kesanggupan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu peperangan kepada Drona.

Demi keperluan istri dan puteranya, Drona ingin bebas dari kemiskinan. Teringat kepada janji yang diberikan oleh Drupada, Drona ingin menemuinya untuk meminta bantuan. Tetapi, karena mabuk oleh kekuasaan, Raja Drupada menolak untuk mengakui Drona (sebagai temannya) dan menghinanya dengan mengatakan bahwa ia manusia rendah.

Drupada memberi penjelasan yang panjang dan sombong kepada Drona tentang masalah kenapa ia tidak mau mengakui Drona. Drupada berkata, "Persahabatan, adalah mungkin jika hanya terjadi antara dua orang dengan taraf hidup yang sama". Dia berkata bahwa sebagai anak-anak, adalah hal yang mungkin bagi dirinya untuk berteman dengan Drona, karena pada masa itu mereka sama. Tetapi sekarang Drupada menjadi raja, sementara Drona berada dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti ini, persahabatan adalah hal yang mustahil. Tetapi ia berkata bahwa ia akan memuaskan hati Drona apabila Drona mau meminta sedekah selayaknya para brahmana daripada mengaku sebagai seorang teman. Drupada menasihati Drona supaya tidak memikirkan masalah itu lagi dan ingin ia hidup menurut jalannya sendiri. Drona pergi membisu, namun di dalam hatinya ia bersumpah akan membalas dendam.

Drona pergi ke Hastinapura dengan harapan dapat membuka sekolah seni militer bagi para pangeran muda dengan memohon bantuan Raja Dretarastra. Pada suatu hari, ia melihat banyak anak muda, yaitu para Korawa dan Pandawa yang sedang mengelilingi sumur. Ia bertanya kepada mereka tentang masalah apa yang terjadi, dan Yudistira, si sulung, menjawab bahwa bola mereka jatuh ke dalam sumur dan mereka tidak tahu bagaimana cara mengambilnya kembali.

Drona tertawa, dan menasihati mereka karena tidak berdaya menghadapi masalah yang sepele. Yudistira menjawab bahwa jika Sang Brahmana (Drona) mampu mengambil bola tersebut maka Raja Hastinapura pasti akan memenuhi segala keperluan hidupnya. Pertama Drona melempar cincin kepunyaannya, mengumpulkan beberapa mata pisau, dan merapalkan mantra Weda. Kemudian ia melempar mata pisau ke dalam sumur seperti tombak. Mata pisau pertama menancap pada bola, dan mata pisau kedua menancap pada mata pisau pertama, dan begitu seterusnya, sehingga membentuk sebuah rantai. Perlahan-lahan Drona menarik bola tersebut dengan tali.

Dengan keahliannya yang membuat anak-anak sangat terkesima, Drona merapalkan mantra Weda sekali lagi dan menembakkan mata pisau itu ke dalam sumur. Pisau itu menancap pada bagian tengah cincin yang terapung kemudian ia menariknya ke atas sehingga cincin itu kembali lagi. Karena terpesona, para bocah membawa Drona ke kota dan melaporkan kejadian tersebut kepada Bisma, kakek mereka.

Bisma segera sadar bahwa dia adalah Drona, dan keberaniannya yang memberi contoh, ia kemudian menawarkan agar Drona mau menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan mengajari mereka seni peperangan. Kemudian Drona mendirikan sekolah di dekat kota, dimana para pangeran dari berbagai kerajaan di sekitar negeri datang untuk belajar di bawah bimbingannya.

Satu diantara yang terhebat dan terkemuka adalah Ekalawya, yang merupakan seorang pangeran muda dari suku Nishadha, mereka adalah kaum pemburu. Ekalawya datang mencari Drona karena minta diajari. Drona menolak mengajarinya. Ekalawya kemudian memasuki hutan, dan ia mulai belajar dan berlatih sendirian kemampuan luarbiasanya sehingga setara bahkan melebihi Arjuna.

Ekalawya secara harfiah berarti "ia yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran". Ekalawya Bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke Hastina ingin berguru kepada Bagawan Drona. Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh, menuntun dirinya untuk datang ke Hastina dan berguru langsung pada Drona. Namun niatnya ditolak, Ini dikarenakan Drona melihat kemampuannya yang bisa menandingi Arjuna, padahal keinginan dan janji Drona adalah menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di jagat raya. Ini menggambarkan sisi negatif dari Drona, serta menunjukkan sikap pilih kasih Drona kepada murid-muridnya, dimana Drona sangat menyayangi Arjuna melebihi murid-murid yang lainnya.

Penolakan sang guru tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu keprajuritan, ia kemudian kembali masuk kehutan dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Drona serta memujanya dan menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu pada sang guru. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalawya menjadi seorang prajurit yang gagah dengan kecapakan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu hari, ditengah hutan saat ia sedang berlatih sendiri, ia mendengar suara anjing menggonggong, tanpa melihat Ekalawya melepaskan anak panah yang tepat mengenai mulut anjing tersebut. Saat anjing tersebut ditemukan oleh para Pandawa, mereka bertanya-tanya siapa orang yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna. Kemudian mereka melihat Ekalwya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari Guru Drona.

Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi menjadi seorang prajurit terbaik, ksatria utama. Perasaan gundah Arjuna bisa dibaca oleh Drona, yang juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa hanya Arjuna-lah murid yang terbaik diantara semua muridnya. Kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi Ekalawya. Ekalawya dengan sigap menyembah pada sang guru. Namun ia malahan mendapat amarah atas sikap Ekalawya yang tidak bermoral, mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diangkat murid. Dalam kesempatan itu pula Drona meminta Ekalwya untuk melakukan Dakshina, permintaan guru kepada muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. Drona meminta supaya ia memotong ibu jarinya, yang tanpa ragu dilakukan oleh Ekalawya serta menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, ia akan kehilangan kemampuan dalam ilmu memanah. Ekalawya menghormati sang guru dan menunjukkan "Guru-bhakti". Namun tidak setimpal dengan apa yang didapatkannya yang akhirnya kehilangan kemampuan yang dipelajari dari "Sang Guru". Drona lebih mementingkan dirinya dan rasa ego untuk menjadikan Arjuna sebagai prajurit utama dan tetap yang terbaik.

Kematian Ekalawya termuat dalam Srimad Bhagawatam. Ekalawya bertempur untuk Raja Jarasanda dalam peperangan melawan Sri Kresna dan Balarama, dan terbunuh dalam pertempuran oleh pasukan Yadawa.
    Versi Jawa
    Dalam pewayangan Jawa, Ekalawya atau Ekalaya atau Ekalya (dalam cerita pedalangan dikenal pula dengan nama "Palgunadi") adalah Raja negara Paranggelung. Ekalaya mempunyai isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini, puteri hapsari (bidadari) Warsiki.

    Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya. Ekalaya berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya.

    Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekalaya mendapatkan bisikan ghaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan hanya dimiliki oleh Resi Drona. Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Korawa saja. Dengan kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri dengan cara membuat patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.

    Istri Prabu Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padanya, Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Prabu Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan Arjuna sempat mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna

    Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh 'patung' Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanji akan membalas kematiannya pada Resi Drona.

    Dalam perang Bharatayuddha, kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena, kesatria Panchala, yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya.
Karna yang ingin belajar di bawah bimbingan Drona juga ditolak dengan alasan bahwa Karna tidak berasal dari kasta kesatria. Karena merasa terhina, Karna belajar kepada Parasurama dengan menyamar sebagai brahmana.

Saat para Korawa dan Pandawa menyelesaikan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka menangkap Raja Drupada yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup. Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk menggempur Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala tanpa angkatan perang. Arjuna menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan Drona. Drona mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya lagi dikembalikan kepada Drupada. Dengan dendam membara, Drupada melaksanakan upacara untuk memohon anugerah seorang putera yang akan membunuh Drona dan seorang puteri yang akan menikahi Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, yang kelak diperang Bharatayuddha akan membunuh Drona dan Dropadi yang menikahi Pandawa.
    Versi Jawa
    Resi Drona berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam berperang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).

    Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana, putera Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Beliau adalah guru dari para Korawa dan Pandawa. Murid kesayangannya adalah Arjuna. Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada.

    Dalam perjalanannya mencari Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama.

    Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi raja dan bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun Mahapatih Gandamana (dulu adalah Patih di Hastinapura, saat pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki Aji Bandung Bondowoso (ajian ini diturunkan pada murid tercintanya, Raden Bratasena) yang memiliki kekuatan setara dengan seribu gajah.

    Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak. Namun dia tidak mati dan ditolong oleh Sangkuni yang bernasib sama (baca sempalan MahaBharata yang berjudul Gandamana Luweng). Akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-anak keturunan Bharata (Pandawa dan Korawa).

    Dalam perang Bharatayuddha, Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan formasi perang.
Hari Ke-11,
Duryodana mengangkat Drona sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Karna dan Duryodana berencana untuk menangkap Yudistira hidup-hidup. Drona ingin menangkap Yudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana senang karena membunuh Yudistira di medan laga hanya akan membuat para Pandawa semakin marah, sedangkan dengan adanya Yudistira para Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona membantu Karna dan Duryodana untuk menaklukkan Yudistira, memanah busur Yudistira hingga patah. Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi tawanan perang. Melihat hal itu, Arjuna turun tangan dan menghujani Drona dengan panah dan menggagalkan rencana Duryodana. Usaha tersebut tidak berhasil karena Arjuna selalu melindungi Yudistira. Pasukan yang dikirim oleh Duryodana untuk membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh para ksatria Pandawa seperti Bima dan Satyaki.

Hari Ke-12,
Setelah menerima kegagalan, Drona yakin bahwa rencana untuk menaklukkan Yudistira sulit diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja Trigarta — Susharma — bersama dengan 3 saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk membunuh Arjuna atau sebaliknya, mati di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari kedua belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga gugur satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa.

Untuk menghancurkan mereka, Duryodana mencoba memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha. Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja jahat yang dibunuh oleh Kresna beberapa tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan mammoth, gajah yang berukuran sangat besar sebagai kekuatan pasukannya. Bhagadatta merupakan ksatria terkuat di antara seluruh pasukan penunggang gajah di dunia. Bhagadatta mencoba menyerang Arjuna dengan ribuan gajahnya. Pertempuran terjadi dengan sangat sengit. Pada hari kedua belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan Susharma gugur di tangan Arjuna.

Hari ke-13,
pihak Korawa mengeluarkan tantangan dengan mengeluarkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.

Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut.

Abimanyu adalah putera Arjuna dari istrinya yang bernama Subadra. Abimanyu terdiri dari dua kata abhi (berani) dan man'yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman'yu secara harfiah berarti "ia yang memiliki sifat tak kenal takut" atau "yang bersifat kepahlawanan".

Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. MahaBharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.

Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya. Ditetapkan bahwa Abimanyu-lah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam pertempuran besar di Kurukshetra Ia baru berusia enam belas tahun dan merupakan kesatria termuda dari pihak Pandawa.

Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.

Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.

Di dalam formasi tersebut, Abimanyu bertarung sendirian. Ia dikepung oleh para ksatria Korawa dan terdesak, sementara ksatria-ksatria Pandawa yang ingin menyelamatkan Abimanyu dihadang oleh Jayadrata.

Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.

Arjuna terkejut dan pingsan setelah mendengar kematian Abimanyu. Atas penjelasan para ksatria Pandawa, Abimanyu dikurung dalam formasi Cakrawyuha dan dibunuh dengan serangan serentak. Beberapa ksatria ingin membantu dan menyelamatkan Abimanyu, namun dihadang oleh Jayadrata. Mendengar hal itu, berita kematian Abimanyu membuat Arjuna terkejut dan Pingsan, Ia sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada keesokan harinya sebelum matahari tenggelam. Apabila tidak berhasil maka ia akan membakar diri.

Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.

Putera Abimanyu, yaitu Parikesit dari ibu bernama Uttara, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai kesatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang sudi melepaskan hidupanya saat peperangan dalam usia yang masih sangat muda.
    Versi Jawa
    Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina. Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat "Wahyu Cakraningrat", suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.

    Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa. Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang istri, yaitu:

    • Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi;
    • Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputera Parikesit.

    Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu kesatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai strategi perang hanya tiga orang yakni Bima, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Bima dan Arjuna dipancing oleh kesatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.

    Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur formasi perang, dia maju sendiri ketengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata di tubuhnya. Konon tragedi itu merupakan risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Utari, bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha. Abimanyu berbohong karena ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.

    Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putera mahkota Hastinapura (Laksmanakumara putera Duryodana) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya. Pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu, mereka harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyu pun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.

    Kutipan di bawah ini diambil dari Kakawin Bharatayuddha, yang menceritakan pertempuran terakhir Sang Abimanyu.
    Sloka

    Terjemahan

    Ngkā Sang Dharmasutā təgəg mulati tingkahi gəlarira nātha Korawa, āpan tan hana Sang Wrəkodara Dhanañjaya wənanga rumāmpakang gəlar. Nghing Sang Pārthasutābhimanyu makusāra rumusaka gəlar mahā dwija, manggəh wruh lingirāng rusak mwang umasuk tuhu i wijili rāddha tan tama





    Pada saat itu Yudistira tercengang melihat formasi perang Raja Korawa, sebab Bima dan Arjuna tak ada padahal merekalah yang dapat menghancurkannya. Hanya Putera Arjuna, yaitu Abimanyu yang bersedia merusak formasi yang disusun pendeta Drona itu. Ia berkata bahwa ia yakin dapat menggempur dan memasuki formasi tersebut, hanya saja ia belum tahu bagaimana cara keluar dari formasi tersebut.

    Sāmpun mangkana çighra sāhasa masuk marawaça ri gəlar mahā dwija. Sang Pārthātmaja çūra sāra rumusuk sakəkəsika linañcaran panah, çirṇa ngwyuha lilang təkap Sang Abhimanyu təka ri kahanan Suyodhana. Ḍang Hyang Droṇa Krəpāpulih karaṇa Sang Kurupati malayū marīnusi.





    Setelah demikian, mereka segera membelah dan menyerang formasi pendeta Drona tersebut dengan dahsyat. Sang Abimanyu merupakan kekuatan yang membinasakan formasi tersebut dengan tembakan panah. Sebagai akibat serangan Abimanyu, formasi tersebut hancur sampai ke pertahanan Duryodana. Dengan ini Dona dan Krepa mengadakan serangan balasan, sehingga Duryodana dapat melarikan diri dan tidak dikejar lagi.

    Ṇda tan dwālwang i çatru çakti mangaran Krətasuta sawatək Wrəhadbala. Mwang Satyaçrawa çūra mānta kəna tan panguḍili pinanah linañcaran. Lāwan wīra wiçesha putra Kurunātha mati malara kokalan panah. Kyāti ng Korawa wangça Lakshmanakumāra ngaranika kaish Suyodhana.





    Dengan ini tak dapat dipungkiri lagi musuh yang sakti mulai berkurang seperti Kretasuta dan keluarga Wrehadbala. Juga Satyaswara yang berani dan gila bertarung tertembak sebelum dapat menimbulkan kerusakan sedikit pun karena dihujani panah. Putera Raja Korawa yang berani juga gugur setelah ia tertusuk panah. Putera tersebut sangat terkenal di antara keluarga Korawa, yaitu Laksmanakumara, yang disayangi Suyodhana.

    Ngkā ta krodha sakorawālana manah panahira lawan açwa sarathi. Tan wāktān tang awak tangan suku gigir ḍaḍa wadana linaksha kinrəpan. Mangkin Pārthasutajwalāmurək anyakra makapalaga punggəling laras. Dhīramūk mangusir ỵaçānggətəm atễn pəjaha makiwuling Suyodhana.







    Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah. Dengan ini Abimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama. Dengan hati yang penuh dendam, ia gugur di tangan Suyodhana.

    Ri pati Sang Abhimanyu ring raṇāngga. Tənyuh araras kadi çéwaling tahas mas. Hanana ngaraga kālaning pajang lèk. Çinaçah alindi sahantimun ginintən.



    Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.

Hari ke 14,
Jayadrata adalah seorang raja di Kerajaan Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik perempuan Korawa bersaudara. Raja Sindhu – Jayadrata – memihak Duryodana dalam perang di Kurukshetra. Jayadrata merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu.

Jayadrata menghina Dropadi, istri para Pandawa, karena berusaha menculik dan mengawininya. Setelah Arjuna memburu dan menangkapnya hidup-hidup, nyawanya diselamatkan oleh Yudistira, dan ia dijadikan budak. Kemudian Bima mencukur rambutnya sehingga Jayadrata botak. Karena dendam terhadap perlakuan tersebut, Jayadrata melakukan tapa ke hadapan Siwa. Ia memohon kekuatan untuk menaklukkan Pandawa, namun Siwa mengatakan bahwa itu hal yang mustahil – namun ia menganugerahkan Jayadrata agar mampu mengalahkan seluruh Pandawa bersaudara pada hari pertama – kecuali Arjuna. Maka, akhirnya Arjuna berhasil mengalahkan Jayadrata.

Atas kematian Abimanyu di hari ke 13, Arjuna akan berusaha membalas dendam dan menepati sumpahnya untuk membunuh Jayadrata sebelum matahari terbenam apabila ia tidak berhasil ia akan membakar diri.

Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Jayadrata menjadi lega. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam dan sesuai aturan, mereka segera menghentikan peperangan dan mulai beranjak untuk kembali ke kubu masing-masing padahal saat itu, kereta Arjuna sudah dekat dengan kereta Jayadrata.

Arjuna tertunduk lemas dan bersiap menunaikan sumpahnya sementara Jayadrata semakin gembira dan pongahnya melihat itu semua. Tiba-tiba matahari muncul kembali. Ternyata hari belum malam. Mereka semua terperanjat dan di saat itulah Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata.

Setelah perang berakhir, Arjuna bertarung dengan pasukan Sindhu ketika mereka menolak untuk mengakui Yudistira sebagai Maharaja dunia. Ketika Dursala (satu-satunya anak perempuan Korawa), istri Jayadrata, keluar untuk melindungi puteranya, yaitu raja muda penerus tahta Sindhu, Arjuna menghentikan pertarungan.
    Versi Jawa
    Jayadrata adalah seorang ksatria yang sangat sakti dari pihak Korawa. Misteri menyelubungi asal usulnya. Kisahnya bermula ketika Wrekudara lahir, ari-ari yang membungkusnya dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara kebetulan memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah lelaki, yang tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja tampak jelas kemiripan kekerabatan dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatotkaca.

    Ketika Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangkuni yang cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan Pandawa. Di sana Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan dengan saudara perempuan Duryodana, Dewi Dursilawati. Hal ini mengikatnya dengan kuat pada pihak Kiri. Dalam Perang Bharatayuddha, dialah yang membunuh ksatria muda Abimanyu, dan setelah itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna yang kehilangan anaknya. Karakter Jayadrata adalah jujur, setia, dan terus terang bagaikan Gatotkaca di antara Korawa. Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia diberi pusaka gada bernama Kyai Glinggang.

    Jayadrata nama sesungguhnya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Arya Tirtanata kemudian dinobatkan sebagai raja negara Sindu, dan bergelar Prabu Sinduraja. Karena ingin memperdalam pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan, Prabu Sinduraja pergi ke negara Hastina untuk berguru pada Prabu Pandu Dewanata. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri, ia menukar namanya dengan nama patihnya, Jayadrata. Di negara Hastina Jayadrata bertemu dengan Keluarga Korawa, dan akhirnya diambil menantu Prabu Dretarastra, dikawinkan dengan Dewi Dursilawati dan diangkat sebagai Adipati Buanakeling. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Arya Wirata dan Arya Surata.
Gatotkaca, arti harfiahnya "memiliki kepala seperti kendi" putra Bimasena atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu ghaṭ(tt)am yang berarti "buli-buli" atau "kendi", dan utkacha yang berarti "kepala". Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi. Ibunya yang bernama Hidimbi, seorang Gadis Mongol dari India Timur, ia dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Gatotkaca menikah dengan seorang wanita bernama Ahilawati. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernmama Barbarika. Baik Gatotkaca ataupun Barbarika sama-sama gugur dalam perang besar di Kurukshetra, namun di pihak yang berbeda.

Pada bagian Ghattotkacabadhaparwa. dikisahkan bagaimana Gatotkaca gugur dalam perang di Kurukshetra atau Baratayuda pada malam hari ke-14. Perang besar tersebut adalah perang saudara antara keluarga Pandawa melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di pihak Pandawa.

Gatotkaca dikisahkan sebagai seorang raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada malam hari. Setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya dihentikan untuk sementara karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang pasukan Korawa kembali ke perkemahan mereka.

Pertempuran pun berlanjut. Semakin malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit Korawa semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang sekutu Korawa dari bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajarnya dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan putra Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.

Karna tampil dalam perang sebagai pendamping Drona. Pada hari ke-14 malam, perang tetap terjadi sehingga melanggar aturan yang telah disepakati. Duryodana menderita luka parah saat menghadapi Gatotkaca, putera Bimasena. Duryodana pemimpin Korawa merasa ngeri melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka pemberian Dewa Indra. Semula Karna menolak karena pusaka tersebut hanya akan dipergunakannya untuk membunuh Arjuna saja. Namun karena terus didesak, Karna terpaksa melemparkan pusakanya menembus dada Gatotkaca. Sesuai perjanjian dengan Indra, pusaka Konta pun musnah hanya dalam sekali penggunaan.

Para Pandawa, terutama Bimasena terkejut menyaksikan kekalahan Gatotkaca. Bimasena berteriak menyuruh Gatotkaca memperbesar ukuran tubuhnya, sebagaimana lazimnya ilmu yang dimiliki kaum rakshasa. Dalam keadaan sekarat, Gatotkaca melaksanakan perintah ayahnya. Tubuhnya membesar sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan prajurit Korawa.

Dalam barisan Pandawa hanya Kresna yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia gembira karena Karna telah kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat dikatakan relatif aman.
    Versi Jawa
    Ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa. Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi". Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.

    Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.

    Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.

    Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.

    Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati, Tetuka justru semakin kuat.

    Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya.

    Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa.

    Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.

    Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.

    Dari perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu atau cucu Arjuna.

    Versi lain mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan Jayasumpena.

    Gatotkaca versi Jawa adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.

    Arimba sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.

    Arimbi memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.

    Akibat hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut.

    Setelah peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih Prabakiswa.

    Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda. Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.

    Versi pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama Abimanyu putra Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan Wirata, di mana ia mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan Sitisundari putri Kresna.

    Sitisundari yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi. Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat kerdil tapi berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati dikeroyok musuh.

    Kalabendana kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya itu tewas seketika.

    Ketika perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian putranya itu dengan cara memenggal kepala Jayadrata.

    Duryudana sangat sedih atas kematian Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun hal itu melanggar peraturan perang.

    Mendengar para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.

    Pertempuran malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama Lembusura dan Lembusana.

    Gatotkaca akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.

    Gatotkaca mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.

    Gatotkaca pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.

    Gatotkaca telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Korawa yang berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah mereka yang mati.
Hari ke 15,
Sebelum perang, Begawan Drona pernah berkata, "Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya".

Juga diceritakan tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar Bima membunuh gajah bernama Aswatama. Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan tersebut kepada Yudistira, dan Yudistira berkata bahwa Aswatama mati. Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, "Aswatama mati". Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata, "naro va, kunjaro va" — "entah gajah atau manusia"). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha. Benarlah, setelah mendengar hal tersebut, Drona kehilangan semangat berperang sehingga meletakkan senjatanya. Melihat hal itu, ia dipenggal oleh Drestadyumna. Setelah kematian Drona, Aswatama, putera Bagawan Drona, hendak membalas dendam.
    Versi Jawa
    Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena, putera Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya, raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya kejadian itu disebabkan oleh taktik perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa dengan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang Resi []

Karnaparwa

Karnaparwa ada diurutan ke-8, tentang diangkatnya Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur, Arjuna dan Bima mengamuk. Mereka banyak membantai pasukan Korawa. juga tentang Bima yang berhasil membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk meminum darahnya. Kemudian Bima membawa darah Dursasana kepada Dropadi. Dropadi mengoleskan darah tersebut pada rambutnya, sebagai tanda bahwa dendamnya terbalas. Kemattian Dursasana mengguncang perasaan Duryodana. Ia sangat sedih telah kehilangan saudaranya yang tercinta tersebut. Semenjak itu ia bersumpah akan membunuh Bima.

Untuk mengimbangi Arjuna yang mempunyai Krisna sebagai kusir kereta maka Karna meminta Salya bertindak sebagai kusir keretanya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta Karna. Kemudian terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna.
    Versi Jawa
    Menurut cerita pedalangan Yogyakarta ia tewas dalam kisah Bratayuda babak 5 lakon Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut tradisi Jawa ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya.

    Pertengkaran yang terjadi karena Salya selaku mertua Karna merasa diperlakukan dengan kurang sopan. Namun Karna berhasil menghibur kemarahan mertuanya itu dengan mengatakan bahwa derajat Salya justru disejajarkan dengan Kresna yang menjadi kusir Arjuna. Adapun Kresna merupakan raja agung, titisan Batara Wisnu.
Hari ke-16,
Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun tidak sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian bertanding melawan Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain. Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna.
    Versi Jawa
    Ketika Karna mengincer leher Arjuna menggunakan panah Badal Tulak, diam-diam Salya memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah Badal Tulak meleset hanya mengenai rambut Arjuna.
Pertempuran tersebut akhirnya tertunda oleh terbenamnya matahari.

Hari ke-17,
perang tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama, akhirnya kutukan Parasurama menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap semua ilmu yang diajarkan gurunya tersebut. Kutukan kedua terjadi pula. Salah satu roda kereta Karna tiba-tiba terbenam ke dalam lumpur. Ia pun turun ke tanah untuk mendorong keretanya itu Ia minta Salya membantunya tapi kusir keretanya itu menolak untuk mendorong dan membantunya. Karna turun tangan sendiria untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok.

Arjuna membidiknya menggunakan panah Pasupati. Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Kresna mendesak agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini merupakan satu-satunya kesempatan. Karna meminta Arjuna menaati peraturan karena saat itu dirinya sedang berada di bawah kereta, dan dalam keadaan tanpa senjata.

Kresna membantah kata-kata Karna. Menurutnya, Karna lebih sering berbuat curang daripada Arjuna dalam peperangan, seperti misalnya saat ia ikut serta mengeroyok Abimanyu, ataupun membunuh Gatotkaca pada malam hari. Kresna kembali mendesak Arjuna untuk bertindak dengan cepat. Arjuna pun melepaskan panah Pasupati yang segera melesat memenggal leher Karna. Kutukan ketiga menjadi kenyataan, Karna tewas dalam keadaan lengah tanpa memegang senjata.
    Versi Jawa
    Setelah kematian Karna, keris pusakanya yang bernama Kaladite melesat sendiri menyerang Arjuna. Arjuna menangkisnya menggunakan keris Kalanadah. Kedua pusaka itu pun musnah bersamaan. Arjuna kemudian mendekati mayat Karna untuk memberikan penghormatan terakhir. Surtikanti datang ke medan perang dengan diantar oleh Adirata. Melihat suaminya tewas, Surtikanti melakukan bela pati dengan menikam dadanya sendiri menggunakan keris. Melihat menantunya tewas bunuh diri, Adirata marah dan berteriak menantang Arjuna. Bimasena muncul menghardik Adirata. Adirata ketakutan dan melarikan diri, namun ia terjatuh dan meninggal dunia. []

Salyaparwa

Salyaparwa ada diurutan ke-9, tentang diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Karna yang telah gugur. di tangan Arjuna pada hari ke-17, Salya pun diangkat sebagai panglima baru pihak Korawa. Salya hanya memimpin selama setengah hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka.

Pada hari ke-18,
Ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas terkena tombak Yudistira. Di naskah Bharatayuddha kawi mengisahkan bahwa Salya memakai senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya. Kematian Salya diuraikan pula dalam Kakawin Bharatayuddha. Ketika ia diangkat sebagai panglima, Aswatama yang menjadi saksi kematian Karna mengajukan keberatan karena Salya telah berkhianat, yaitu diam-diam membantu Arjuna. Namun, Duryodana justru menuduh Aswatama bersikap lancang dan segera mengusirnya.

Salya maju perang menggunakan senjata Rudrarohastra. Muncul raksasa-raksasa kerdil namun sangat ganas yang jika dilukai justru bertambah banyak. Kresna mengutus Nakula supaya meminta dibunuh Salya saat itu juga. Nakula pun berangkat dan akhirnya tiba di hadapan Salya. Tentu saja Salya tidak tega membunuh keponakannya tersebut. Ia sadar kalau itu semua hanyalah siasat Kresna. Salya pun dengan jujur mengatakan, Rudrarohastra hanya bisa ditaklukkan dengan jiwa yang suci. Kresna pun meminta Yudistira yang terkenal berhati suci untuk maju menghadapi Salya. Rudrarohastra berhasil dilumpuhkannya. Ia kemudian melepaskan pusaka Kalimahosaddha ke arah Salya. Pusaka berupa kitab itu kemudian berubah menjadi tombak yang melesat menembus dada Salya.

Sementara itu,
menurut versi pewayangan Jawa, Rudrarohastra disebut dengan nama Candabirawa. Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Bahkan, sejak itu Candabirawa justru berbalik mengabdi kepada Yudistira. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas seketika. Baik versi Bharatayuddha ataupun versi pewayangan Jawa mengisahkan setelah Salya tewas, istrinya yaitu Setyawati datang menyusul ke medan pertempuran untuk melakukan bela pati. Setyawati dan pembantunya yang bernama Sugandika kemudian bunuh diri menggunakan keris.

Pada hari ke-18 ini juga Sangkuni bertempur melawan Sahadewa. Dengan mengandalkan ilmu sihirnya, Sangkuni menciptakan banjir besar melanda dataran Kurukshetra. Sadewa dengan susah payah akhirnya berhasil mangalahkan Sangkuni. Tokoh licik itu tewas terkena pedang Sadewa. Menurut versi MahaBharata bagian kedelapan atau Salyaparwa, Sangkuni tewas di tangan Sahadewa, yaitu Pandawa nomor lima. Pertempuran habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18. Sangkuni mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung. Dengan penuh perjuangan, Sahadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sangkuni. Riwayat tokoh licik itu pun berakhir.
    Versi Jawa
    Menurut Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157, Sangkuni bukan mati di tangan Sahadewa, melainkan di tangan Bimasena, Pandawa nomor dua. Sangkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya itu, Bima kemudian memotong-motong tubuh Sangkuni menjadi beberapa bagian.

    Pada hari terakhir Baratayuda, Sangkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima merasa putus asa.

    Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan Sangkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena Minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sangkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.

    Ilmu kebal Sangkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sangkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sangkuni hanya sekarat tetapi tidak mati.

    Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Korawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sangkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati.

    Akibat gigitan itu, Sangkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya, melainkan pamannya yaitu Sangkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai cara untuk membahagiakan para Korawa.
Diceritakan Duryodana yang ditinggal mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia sendirian sebagai Korawa yang menyerang Pandawa. Semenjak seluruh saudaranya gugur demi memihak dirinya, Duryodana menyesali segala perbuatannya dan berencana untuk menghentikan peperangan.

Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Ia pun bersedia untuk menyerahkan kerajaannya kepada para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia fana dengan tenang. Sikap Duryodana tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa. Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus, sikap itu ditunjukan karena Ia tahu bahwa Pandawa tidak akan mungkin secara bersama-sama mengeroyoknya.

Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Yudistira mengajukan tawaran, bahwa ia harus bertarung dengan salah satu Pandawa, dan jika Pandawa itu dikalahkan, maka Yudistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana.

Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana malu mendengarkan pembicaraan kakak dan adik ini. Ia menyadari nasi sudah menjadi bubur dan sekarang saatnya untuk mengakhriri. Meskipun bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani.

Duryodana memilih bertarung dengan senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya memiliki kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut ilmu kepada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi dengan sengit, keduanya sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Khasiat mata sang Ibunda Gandari memanglah hebat tidak ada satupun badan dari Duryodana dapat dilukai Bima. Bima walaupun bertenaga sangat kuat namun ia tidak kunjung dapat melukai Duryodana, Bima mulai kehilangan kepercayaan diri dan kelelahan sementara Duryodana justu semakin meningkat kepercayaan dirinya dan mulai berusaha untuk membunuh Bima. Bima mulai mengalami banyak luka di sekujur tubuhnya, Ia semakin melemah sedangkan hari mendekati senja. Kontras dengan Bima, justru Duryodana semakin bersemangat.

Baladewa hadir juga menyaksikan pertempuran itu sehingga tidak leluasa bagi Krisna untuk memberikan petunjuk secara langsung kepada Bima. Satu kesalahan saja, akan membuat Baladewa memihak Duryodana. Akhirnya Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya (bahwa ia akan mematahkan paha Duryodana karena perbuatannya yang melecehkan Dropadi). Atas petunjuk Kresna, Bima menjadi ingat perbuatan keji Duryodana terhadap Droupadi dan mengingat sumpahnya kembali. Kemarahannya meningkat walaupun ia tidak yakin mampu melukai Duryodana Ia langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana. Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang kesakitan, sebab itulah bagian tubuhnya yang tidak kebal telah dipukul oleh Bima. Keadaan itu terjadi ketika Gandari meminta Duryodana telanjang dihadapannya, namun krisna waktu itu mengejeknya tidak tahu tahu sopan santun karena menghadap ibunda dengan posisi telanjang. Ia kemudian memakai penutup pinggang hingga ke paha.

Saat Bima ingin mengakhiri riwayat Duryodana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah memukul paha Duryodana, karena sangat dilarang untuk memukul bagian itu dalam pertempuran dengan senjata gada.

Kresna kemudian menyadarkan Baladewa, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Duryodana. Duryodana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima. Ia melakukan penyerangan secara curang untuk membunuh Abimanyu. Ia juga telah melakukan berbagai perbuatan curang agar Indraprastha jatuh ke tangannya.

Duryodana gugur dengan perlahan-lahan pada pertempuran di hari kedelapan belas. Hanya tiga ksatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu Aswatama, Krepa, dan Kretawarma. Sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih hidup diangkat menjadi panglima perang. []

Sauptikaparwa

Sauptikaparwa ada diurutan ke-10, tentang kisah tiga ksatria dari pihak Korawa yang melakukan serangan membabi buta pada di malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah Aswatama, Krepa, dan Kritawarma.

Aswatama atau Ashwatthaman adalah putera Drona dengan Kripi, adik Krepa dari Hastinapura. Sebagai putera tunggal, Drona sangat menyayanginya. Saat kecil keluarganya hidup misikin, namun mengalami perubahan setelah Drona diterima sebagai guru di istana Hastinapura. Ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran Kuru, yaitu Korawa dan Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Saat perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kertawarma dan Krepa yang bertahan hidup. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta terhadap lima putera Pandawa namun lima putera Pandawa tidak terselamatkan nyawanya.

Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya, dan berteman dengan Duryodana. Untuk membangkitkan semangat pasukan Korawa setelah dipukul mundur, ia memanggil senjata Narayanastra yang dahsyat. Mengetahui hal tersebut, Kresna membuat sebuah taktik dan karenanya senjata itu berhasil diatasi. Ia juga memanggil senjata Agneyastra untuk menyerang Arjuna, namun berhasil ditumpas dengan senjata Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam Bharatayuddha berakhir secara "skakmat".

Kabar angin yang salah mengenai kematiannya dalam perang di Kurukshetra membuat ayahnya meninggal di tangan pangeran Drestadyumna dari kerajaan Panchala. Aswatama yang menaruh dendam mendapat izin dari Duryodana untuk membunuh Drestadyumna secara brutal setelah perang berakhir secara resmi. Saat akhir peperangan, Aswatama yang didasari motif balas dendam berjanji kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa, Ia menyerang kemah Pandawa saat tengah malam, Aswatama membunuh seluruh pasukan Panchala, Drestadyumna yang membunuh Drona, Srikandi serta kelima putera Pandawa atau Pancawala (anak Pandawa dari Dropadi). Kemudian Aswatama sejenak menyesali perbuatannya lalu pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa.

Pandawa yang marah dengan perbuatan tersebut memburu Aswatama dan akhirnya ia bertarung dengan Arjuna. Saat pertarungan, Aswatama memanggil senjata 'Brahmastra' yang sangat dahsyat, yang dulu ingin ditukar dengan cakra milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Bhagawan Byasa menyuruh agar kedua kesatria tersebut menarik senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama tidak bisa melakukannya dan diberi pilihan agar senjata menyerang target lain untuk dihancurkan. Dengan rasa dendam, Aswatama mengarahkan senjata menuju rahim para wanita di keluarga Pandawa. Di antara mereka adalah Utara, menantu Arjuna.

Setelah Aswatama mengarahkan Brahmastra menuju perut Utara yang sedang mengandung, senjata itu berhasil membakar janin Utara, namun Kresna menghidupkannya lagi dan mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di bumi selama 6.000 tahun sebagai orang buangan tanpa rasa kasih sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk agar terus hidup sampai akhir zaman Kaliyuga. Karena dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta ini menjadikan ia sebagai satu di antara tujuh Chiranjiwin.

Legenda mengatakan bahwa Aswatama pergi mengembara ke daerah yang sekarang dikenal sebagai semenanjung Arab. Ada juga legenda yang mengatakan bahwa Aswatama masih mengembara di dunia dalam wujud badai dan angin topan. Sebuah benteng kuno di dekat Burhanpur, India, yang dikenal dengan Asirgarh memiliki kuil Siwa di puncaknya. Konon setiap subuh, Aswatama mengunjungi kuil tersebut untuk mempersembahkan bunga mawar merah. Masyarakat yang tinggal di sekitar benteng mencoba untuk menyaksikannya namun tidak pernah berhasil. Konon orang yang bisa menyaksikannya akan menjadi buta atau kehilangan suaranya. Di Gujarat, India, ada Taman Nasional Hutan Gir yang dipercaya sebagai tempat Aswatama mengembara dan ia masih hidup.

Menurut legenda, Aswatama menyerahkan batu permata berharga (Mani) yang terletak di dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para Dewa, danawa, dan naga.
    Versi Jawa
    Aswatama adalah putra Bhagawan Drona alias Resi Drona dengan Dewi Kripi, puteri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan bertelapak kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda sembrani, dalam upaya menolong Bambang Kumbayana (Resi Drona) terbang menyeberangi lautan. Aswatama berasal dari padepokan Sokalima dan seperti ayahnya, ia memihak para Korawa saat perang Bharatayuddha. Ketika ayahnya menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Hastinapura, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik.

    Pada perang Bharatayuddha, Drona gugur karena terkena siasat oleh para Pandawa. Mereka berbohong bahwa Aswatama telah gugur, tetapi yang dimaksud bukan Aswatama manusia, melainkan seekor gajah yang bernama Hestitama (Hesti berarti "Gajah") namun terdengar seperti Aswatama. Lalu Drona menjadi putus asa setelah ia menanyakan kebenaran kabar tersebut kepada Yudistira yang dikenal tak pernah berbohong. Aswatama merasa kecewa dengan sikap Duryodana yang terlalu membela Salya yang dituduhnya sebagai penyebab gugurnya Karna. Aswatama memutuskan untuk mundur dari perang Bharatayudha. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta ke Hastinapura, secara bersembunyi Aswatama masuk menyelundup ke dalam istana Hastinapura. Ia berhasil membunuh Drestadyumna (pembunuh ayahnya), Pancawala (putera Puntadewa alias Yudistira), Banowati (Janda Duryodana) dan Srikandi. Diceritakan bahwa akhirnya ia mati oleh Bima, karena badannya hancur dipukul Gada Rujakpala.
Kritavarma adalah salah seorang kepala suku dari wangsa Yadawa, Ia disebut dalam MahaBharata, Vishnu Purana, Bhagavata and the Harivamsa. Ia lahir di wangsa Andhaka yang masih keluarga besar Wangsa Yadawa. Ia yang juga melakukan konspirasi terbunuhnya Mertua Khrisna saat di episode Permata Syamantaka. Diperang ini ia memimpin pasukan Yadawa disisi Kourawa dan membantu Aswathama membantai Prajurit Pancala dan lainnya. Seteah perang besar Ia kembali ke kerajaannya dan kelak terbunuh oleh Satyaki ketika musnahnya wangsa Yadawa di Mausala Parva.
________________________________________

Versi Jawa: Baratayuda
Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah MahaBharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.

Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri.

Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.

Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.

Sebab Peperangan
Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi MahaBharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana.

Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi.

Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.

Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi MahaBharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu.

Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat dihindari lagi.

Kitab Jitabsara
Tidak terdapat dalam versi MahaBharata. Kitab ini bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan.

Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata.

Aturan Peperangan
Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi MahaBharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju.

Sebagai contoh, apabila dalam versi MahaBharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima.

Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri, yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan cermat.

Pembagian babak
Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa.
  • Babak 1: Seta Gugur
  • Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)
  • Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)
  • Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)
  • Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)
  • Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
  • Babak 7: Karna Tanding
  • Babak 8: Rubuhan (Duryudana Gugur)
  • Babak 9: Lahirnya Parikesit
Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama.

Babak pertama
Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti "gunung samudra."

Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika.

Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.

Babak Kedua
Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna (Trustajumena) sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang (Garuda terbang).

Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut, Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi.

Tawur demi kemenangan
Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan diri sebagai korban (Tawur) bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu dengan Korawa. Oleh tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa, namun menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa.

Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha
Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa.

Sloka

Terjemahan

Ri huwusirə pinūjā dé sang wīrə sirə kabèh, ksana rahinə kamantyan mangkat sang Drupada sutə, tka marêpatatingkah byūhānung bhayə bhisamə, ngarani glarirèwêh kyāti wīrə kagəpati

Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani

Drupada pinakə têndas tan len Pārtha sirə patuk, parə Ratu sirə prsta śrī Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikī sang Drstadyumna sahə balə, kiwə pawanə sutā kas kocap Satyaki ri wugat


Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya

Ya tə tiniru tkap Sang śrī Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakə têndas manggêh Śālya sirə patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang Bhīsma Drona panalingə, Kuru pati Sirə prstə dyah Duśśāsana ri wugat

Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor

Ri tlasirə matingkah ngkā ganggā sutə numaso, rumusaki pakekesning byuhē pāndawə pinanah, dinasə gunə tkap Sang Pārthāng laksə mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah


Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan

Karananikə rusāk syuh norā paksə mapuliha, pirə ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati Krpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padhə malajêngumungsir Bhīsma Drona pinakə toh


Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan

Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī Bhīsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebū



Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu

Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih



Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam

Irika nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rākshasa nipunna

Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung []

Striparwa

Striparwa ada diurutan ke-11, tentang kisah ratap tangis para janda yang ditinggal suaminya di medan perang. Dikisahkan pula Dretarastra yang sedih karena kehilangan putera-puteranya di medan perang, semuanya telah dibunuh oleh Pandawa. Yudistira kemudian mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada arwah leluhur. Dalam kitab ini, Kunti menceritakan asal-usul Karna yang selama ini menjadi rahasia pribadinya.
    Versi AnandaMarga (Srii Srii Anandamurti)
    Ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat, semua anak menantu Gandari telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.

    Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.

    Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’

    Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya
Kutukan Gandhari menurut versi Kisari Mohan Ganguli, tr (Bagian ke-25):
    ..."Gandhari berkata, O Krishna, baik ‘Pandawa dan Dhartarashtra, keduanya telah terbakar. keduanya terbasmi, O Janardana, mengapa engkau abaikan mereka? Engkau sangat kompenten mencegah pembantaian ini, Engkau punya sejumlah besar pengikut dan berkekuatan besar. Engkau sangat fasih berbicara, dan engkau punya kekuatan (untuk mewujudkan perdamaian). Karena dengan sengaja, O pembunuh dari Madhu, engkau acuh tak acuh terhadap pembantaian massal ini, oleh karenanya, O Senjata yang paling perkasa, engkau seharusnya menuai buah tindakan ini. Dengan kebaikan kecil yang telah aku dapatkan dari kepatuhanku melaksanakan kewajiban pada suamiku, dengan pahala itu yang begitu sulit diperoleh, aku akan mengutuk engkau, O pemilik cakram dan gada! Karena engkau telah mengabaikan para Kuru dan Pandawa sehingga saling membunuh satu sama lainnya, oleh karenanya, O Govinda, engkau akan menjadi pembunuh sanak-Mu sendiri! Pada tahun ke 36 sejak sekarang, O pembunuh dari Madhu, engkau, setelah menyebabkan pembantaian kerabatMu, teman-temanMu dan anak-anakMu, binasa dengan cara menjijikkan di padang gurun. Para wanita dari ras-Mu, kehilangan anak, sanak saudara, dan teman-teman, akan meratap dan menangis seperti para wanita dari ras Bharata ini!'"

    Vaishampayana melanjutkan, "Mendengar kata-kata ini, Vasudeva Sang Jiwa utama, kepada Gandhari, mengatakan kepadanya kata-kata ini, dengan senyum tipis,"Tidak ada di dunia, yang menyelamatkan diri, yang mampu membasmi bangsa Vrishni. Aku tau ini dengan pasti. Aku akan wujudkan. Dalam mengucapkan kutukan ini, O ini kaulmu yang sangat baik, Engkau telah membantu aku menyelesaikannya. Bangsa Vrishni tidak mampu dibunuh oleh yang lainnya, baik itu para manusia atau dewa atau Danava. Bangsa Yadawa, karenanya akan musnah oleh tangan mereka sendiri." Setelah Ia dari ras Dasharha mengatakan ini, Pandawa menjadi terheran-heran. Dipenuhi dengan kecemasan, mereka semua menjadi hidup tersia-sia! []

Santiparwa

Santiparwa ada diurutan ke-12, tentang kisah berkumpulnya Dretarastra, Gandari, Pandawa, dan Kresna di Kurukshetra. Mereka sangat menyesali segala perbuatan yang telah terjadi dan hari itu adalah hari tangisan.

Pada akhir pertempuran, Dretarastra menahan rasa duka dan kemarahannya atas kematian seratus puteranya. Saat ia bertemu para Pandawa yang meminta restunya karena mereka menjadi pewaris tahta, ia memeluk mereka satu persatu. Ketika tiba giliran Bima, pikiran jahat merasuki Dretarastra dan rasa dendamnya muncul kepada Bima atas kematian putera-puteranya, terutama Duryodana dan Dursasana. Kresna tahu bahwa meskipun Dretarastra buta, ia memiliki kekuatan yang setara dengan seratus gajah. Maka dengan cepat Kresna menggeser Bima dan menggantinya dengan sebuah patung menyerupai Bima. Pada saat itu juga Dretarastra menghancurkan patung tersebut sampai menjadi debu. Akhirnya Bima selamat dan Dretarastra mulai mengubah perasaannya serta memberikan anugerahnya kepada Pandawa.
    Versi jawa
    Setelah Korawa tumpas dalam perang Baratayuda, pihak Pandawa datang ke Hastina untuk mengambil hak mereka atas takhta negeri itu. Dretarastra memanggil Bimasena (Pandawa nomor dua) untuk dipeluknya. Karena curiga, Kresna selaku penasihat Pandawa memberi isyarat agar Bima menyerahkan benda lain sebagai ganti dirinya.

    Bimasena pun menyodorkan pusakanya bernama Gada Rujakpolo untuk dipeluk Dretarastra. Dengan penuh rasa dendam, Dretarastra pun memeluk gada tersebut sampai hancur menggunakan ilmu Lebur Geni. Namun setelah mengetahui kalau dirinya tertipu, ia pun menyesal dan minta maaf.

    Kematian Dretarastra versi pewayangan tidak jauh berbeda dibanding versi aslinya. Ia dikisahkan terbakar sewaktu bertapa bersama Gendari dan Kunti di tengah hutan
Yudistira menghadapi masalah batin karena ia merasa berdosa telah membunuh guru dan saudara sendiri. Kemudian Bhisma yang masih terbujur di atas panah memberikan wejangan kepada Yudistira. Beliau membeberkan ajaran-ajaran Agama Hindu secara panjang lebar kepadanya. Rsi Byasa dan Kresna turut membujuknya. Mereka semua memberikan nasihat tentang ajaran kepemimpinan dan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh Yudistira. []

Anusasanaparwa

Anusasanaparwa ada diurutan ke-13, jumlah slokanya terbesar ke-5 dari 18 Parwa ini, namun kitab ini tidak ada dalam bahasa Jawa kuno/kawi, juga di India Utarapun kitab ini tidak ada. Menurut Dieter Schlingloff, berdasarkan fragment manuskrip yang disebut Spitzer Manuscript, dengan penanggalan karbon merujuk abad ke-2 s.d 3 masehi, TIDAK ADA kitab/parwa anusasana-nya. [Ch 1, hal 90]. Kesimpulan Schlingloff dikritik Alf Hiltebeitel yang menggunakan penelitian Franco, namun di manuskrip-nya Franco sendiri, yaitu fragmen no. 66a, juga TIDAK ADA Anusasanaparwa setelah Santiparwa dan sebelum Aswamedhikaparwa: "(śā)nt[i]parvvaṃ 15 āśvamedhikam 1(6) [hal.91]. Juga di manuskrip dari Kashmir, dengan aksara Śāradā, dari 6 yang ditemukan, Anusasanaparva juga TIDAK ADA [Hal 92] ["How the Brahmins Won: From Alexander to the Guptas", Johannes Bronkhorst].

AnusasanaParwa menceritakan Yudistira berserah pada pengajaran Bhisma dan setelahnya Bhisma mangkat ke surga, juga tentang kutukan Rsi Durvasa kepada Krishna, yaitu suatu ketika Rsi Durvasa yang pemarah ini dijamu Krishna di Drawaka, puas dengan pelayanan Krishna, Rsi Durvawa meminta Krishna melaburi tubuhnya sendiri dengan bekas-bekas makanan yang dikeluarkan dari mulut Rsi Durvasa agar tubuh Krishna tidak mempan terkena apapun. Makanan ini juga hasil persembahan Krisna kepadanya, yaitu berupa bubur kental dari olahan biji-bijian. Walaupun Krishna mematuhinya, tapi tidak mengolesinya ke seluruh tubuh, Ia kecualikan pada bagian kakinya, ini membuat Rsi Durvasa marah dan mengatakan bahwa Krishna akan wafat karena terluka di bagian kakinya. [Visnu purana V.37, menjelaskan ini sebagai alasan mengapa Jara dapat memanah Krishna] []

Aswamedhikaparwa

Aswamedhikaparwa ada diurutan ke-14, berisi 2 sub parwa, yaitu Asvamedhika (Ch 1-15) dan Anugita (Ch 16-92). Sub Parwa Asvamedika mulai dari penyerahan mayat Bisma ke sungai Gangga dan sedihnya Yudistira. Vyasa mengintruksikannya untuk melakukan Rajasurya dan Asvamedika, tapi Ia enggan (Ch 1-3), untuk membujuknya Vyasa menyatakan bahwa harta kerajaan menipis dan menyebutkan tentang emas yang ditinggalkan para Brahmana di Himalaya saat upacara besar oleh raja Marutta dan kemudian menceritakan kisah raja Maruta melakukan upacara tersebut, awalnya meminta brahmana Vrihaspati memimpin upacara tapi ditolak, kemudan Marutta bertemu Rsi Narada dan menyarankannya untuk menemui brahmana Samvarta di kota Varanasi untuk memimpin upacaranya Ia bersedia, upacara terlaksana dan Indra berkenan hadir, Yudistira kemudian mau (Ch 4-10), Krishna melanjutkannya dengan kisah Indra melawan Vritra, tentang 2 penyakit mental dan fisik, tentang triguna, tentang Mryt-yu/kebinasaan dan Sas-wa-ta/Brahman-kekekalan. Setelahnya Vyasa meminta Yudistira, Krishna dan Arjuna ke Himalaya (Ch. 11-14), Sub Parwa diakhiri tentang Krishna, setelah menghibur Arjuna yang disebutnya sebagai Paramtapa (peneror musuh), menyatakan akan kembali ke Drawaka dan meminta Arjuna untuk menyampaikannya ke Yudistira (Ch.15).

Parva Anugita mulai dengan permintaan Arjuna kepada Krisna sebelum kembali ke Drawaka bahwa Ia lupa seluruh ajaran Bhagavad gita yang disampaikan Krisna di Kuruksetra, karena saat itu pikirannya berubah-ubah, dan meminta Krishna mengulanginya lagi, Krishna mencela kebodohannya karena kurang iman dan pemahaman sehingga melupakan semua yang disampaikan dan berkata bahwa MUSTAHIL BAGI KRISNA untuk mengulanginya semua secara detail, karena dahulu sewaktu menyampaikan dilakukannya setelah memusatkan diri pada Yoga-nya, sebagai gantinya, Ia menceritakan 3 kisah: kisah ke-1 tentang seorang Brahmana dari alam Brahman yang mendatangi Krishna, menjawab pertanyaan Krishna tentang pencapaian kebebasan. Brahmana alam Brahman ini menceritakan kisah Brahmana Kasyapa yang ingin menimba ilmu, mendatangi seorang brahmana tertentu, seorang suci yang ditemani para Siddha dan para penyanyi surgawi (ch. 16-19), kisah ke-2 tentang percakapan antara seorang brahmana dan istrinya (ch. 20-34), meliputi kotbah kurban oleh Pandita: 10 hotri (Telinga, kulit, dua mata, lidah, hidung, dua kaki, dua tangan, kelamin, pantat dan ucapan), 7 (Hidung, mata, lidah, kulit, dan telinga, pikiran, dan pemahaman), 5 (Prana, Apana, Udana, Samana dan Vyana), pembicaraan antara Narada dan Rsi Devamata, tentang Chaturhotra (Ch.20-25), namun di Ch 26 terjadi salah penyebutan tidak perlu yaitu kata "O Pritha" yang diucapkan Brahamana ini kepada Istrinya, padahal kata ini harusnya merujuk pada sebutan kepada Arjuna (Ch.26). Kisah ke-3 adalah percakapan antara seorang brahmana (guru) dengan muridnya, (Ch.35-51), setelahnya Krishna kembali ke- Drawaka, (ch 52-53) diperjalanan bertemu Brahmana Utanka (Ch.53-59), Sesampainya di Drawaka, Krisna menceritakan ulang kepada rasnya tentang perjalanannya (Ch.60-92) yaitu, tentang pertempuran Bratayuddha, kesedihan setelah perang, tentang kedatangan Vyasa untuk membujuk Yudistira melakukan upacara Aswamedika (Ch. 60-68), Krishna menghidupkan kembali Pariksit (ch.69-70), berlangsungnya Asmamedha, mulai dengan melepas seekor kuda yang mengembara selama setahun, di ikuti pasukan Pandawa pimpinan Arjuna. Kerajaan-kerajaan yang dilalui kuda tersebut harus tunduk, jika tidak, diperangi, bertarung dengan Arjuna. Ketika sampai Manipura, bertemu Babruwahana, putera Arjuna yang tidak pernah dilihatnya sejak kecil. Babruwahana dan Arjuna bertarung, Arjuna terbunuh. Ketika Babruwahana tahu, ia menyesal, atas bantuan Ulupi dari negeri Naga, Arjuna hidup kembali. Akhirnya, para Raja daratan India mengakui Yudistira sebagai Maharaja. (Ch.71-92).

Kontroversi tentang Anugita, arti anugita adalah anu = pengulangan/kelanjutan, kecil + gita (= bhagavad gita) tapi orientasinya berbeda dari Bhagavad gita, yang jika Gita menitikberatkan pada Bakti dan Karma sebagai jalan, sementara Anugita pada Jnana. Para ahli menganggap Anugita ada di Mahabharata jauh lebih belakangan, misal:
  • KT Telang: Anugita baru disusun paling telat pada abad ke-3 M (hal.207) berselisih 3 atau 4 abad setelah Bhagavad gita (hal.210) ["The Bhagavadgîtâ ; with the Sanatsugâtîya; and the Anugîtâ", Telang, 1882];
  • Arvind Sharma: Anugita berselisih 5 abad setelah Bhagavad gita (hal.262), Gita secara umum baru ada pada abad ke-2 SM (hal 263) ["The Role of the Anugītā in the Understanding of the Bhagavadgītā", Sharma, 1978];
  • Yaroslav Vassilkov: Anugita di kisah ke-1/ch.16-19 mungkin bagian asli, 2 kisah lainnya (kisah ke-2/ch.20-34 dan ke-3/ch.35-50) tambahan belakangan (hal.228). jika Bhagavad gita ada pada abad ke-3/2 SM sampai 2/3 M, maka Anugita baru ada di abad ke-5/6 M (hal.230)) ["The Gita versus the Anugita: Were Samkhya and Yoga ever Really 'One'?] []

Asramawasikaparwa

Asramawasikaparwa ada diurutan ke-15, tentang peristiwa setelah pertempuran besar Kurukshetra berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Indraprastha sekaligus Hastinapura. Meskipun demikian, Yudistira tetap menunjukkan rasa hormatnya kepada Dretarastra dengan menetapkan bahwa tahta Raja Hastinapura masih dipegang oleh Dretarastra.

Akhirnya Dretarastra memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan mengembara di hutan sebagai pertapa bersama Gandari, Widura, Sanjaya, dan Kunti. Di dalam hutan di Himalaya, mereka meninggal ditelan api karena hutan terbakar oleh api suci yang dikeluarkan oleh Dretarastra.

Pandawa sempat mengunjungi pertapaan mereka di tengah hutan. Akhirnya, Batara Narada datang ke hadapan para Pandawa, dan mengatakan bahwa hutan tempat Dretarastra, Gandari, Kunti bertapa terbakar oleh api suci mereka sendiri, sehingga mereka wafat dan langsung menuju surga. []

Mosalaparwa

Mosalaparwa/Mausalaparwa ada diurutan ke-16 yaitu tentang kejadian 36 tahun pasca Perang besar di Kurukhshetra, tentang musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, yang tinggal di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Kresna memerintah. Kisah ini juga tentang wafatnya Kresna dan Baladewa.

Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga/zaman kegelapan. Beliau melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang menjadi sombong, takabur dan senang minum minuman keras sampai mabuk.

Pada suatu hari, Rsi Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota, sampai dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka, salah satunya berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan berpengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan mereka, marah dan berkata, "Orang ini adalah Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Samba melahirkan gada besi. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Baladewa dan Kresna melarang orang minum arak. Serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagai pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu pembeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari perut ikan, yang kemudian ditempanya menjadi anak panah.

Kemudian, datanglah Batara Kala, Dewa Maut dan pertanda lainnya sebagai waktunya terjadi hal buruk. Kresna kemudian memerintahkan para Wresni, Yadawa dan Andhaka untuk melakukan perjalanan suci ke Prabhastirtha, mereka berangkat dan berhenti sejenak, untuk menempatkan para istri di sana, kemudian mereka melanjutkan perjalananan, sesampainya di pinggiran pantai dilangsungkan upacara mandi air laut, Tempat itu menjadi ramai meriah. Dihadapan Krishna, Balarama mulai minum minuman keras, ini kemudian diikuti para Wresni, Andhaka dan Yadawa, mereka minum sampai mabuk dan dalam keadaan mabuk, Yuyudana atau Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Di Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi yang sedang tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut riuh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang telah melepaskan senjata, meninggalkan permusuhan dan duduk di Praya", mendengar ini Krishna memberikan lirikan marah, yang memberikan jalan kemurkaan berlanjut

Setelah saling melontarkan ejekan, Satyaki mengambil pedang dan memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna dan mulai menyerang orang lain yang ada di sana, melihat ini, para Wresni marah dan menyerang Satyaki. Pradyumna, putera Rukmini maju membantu Satyaki namun keduanya tewas di hadapan Kresna. melihat putranya sendiri dan putra Sini tewas dihadapannya, Krishna dengan murka mengambil segenggam rumput Eraka yang tumbuh di sana yang kemudian menjadi sambaran besi mengerikan dengan energi petir. Dengan itu Krishna membunuh semua yang datang sebelum dia. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lainnya, dalam kemarahan, meraih rumput eruka yang tumbuh di sekitarnya yang ketika dicabut menjadi sambaran besi mengerikan dengan energi petir, ketika dilemparkan menembus bahkan hal-hal yang tidak bisa ditembus. Para keturunan Wresni, Bhoja, Saeniya dan Andhaka saling bunuh satu sama lainnya, tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Tak seorang pun berniat melarikan diri dari tempat itu. Keshava yang bersenjata berdiri di sana, mengamati segalanya, berdiri sambil mengangkat gerendel besi yang dibentuknya dari rerumputan (eruka), menyadari semua kerabatnya telah tewas, Ia menjadi penuh amarah, melemparkan Sarnga, cakra dan gada memusnahkan mereka semua yang sedang berkelahi di sana, yang tersisa hanya Vabhru dan Daruka, kemudian mereka mengajak Krishna menuju tempat Balarama pergi.

Sesampainya disana, Krishna duduk, memerintahkan Daruka pergi ke wangsa kuru memberitahu Partha/Arjuna tentang musnahnya wangsa Yadu melalui kutukan para Rsi, agar Arjuna datang secepatnya. Ia memerintah Vabru untuk melindungi para wanita agar para perampok tidak melukai mereka. Vabru yang masih mabuk anggur dan sedih atas terbantai seluruh sanaknya, setelah beristirahat di samping kesava, melangkah pergi, namun tiba-tiba muncul seorang ras Yadawa yang belum mati, dengan besi rumput eruka menempel di palu, ia membunuh Vabru.

Kemudian, Krisha meminta Balarama menunggunya sampai Ia menempatkan para wanita di bawah perawatan keluarga. Setelah memasuki Dwaravati, Janardana/Kesava/Krishna bertemu ayahnya, menitipkan sementara para wanita sampai kedatangan Dhananjaya/Arjuna dan menyatakan, Ia akan ke hutan tempat Balarama menunggunya, setelah Krishna menyentuh dengan kepala kaki ayahnya, Ia pergi, saat pergi, ramai suara ratapan para para wanita dan anak-anak di rumahnya, Krishna berkata bahwa Arjuna akan datang melindungi mereka. Sesampainya di hutan, Kresna melihat kakaknya duduk di bawah pohon dalam posisi yoga, dari mulut Balarama, keluar seekor naga sebesar gunung berwarna putih berkepala seribu, bernama Sesa (Bhagavata Purana 10.2.8. Naga ini juga disebut Anantasesha, di BhagavadGita 10.29, dinyatakan, "anantaś ca asmi nāgānāṁ"/dari seluruh Naga, aku adalah Ananta), kemudian raja Naga ini menuju lautan di mana para naga dan Dewa datang berkumpul menyambutnya. Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Ia berjalan beberapa waktu di hutan, duduk di atas gundukan, (di sebuah batu di bawah pohon di Prabhasa Tirta, di Bhagavata Purana 11.30.27, nama pohon itu adalah Pippala), mengenang peristiwa yang telah lewat, kata-kata Gandhari, kata-kata Durvasa saat tubuhnya diolesi sisa-sisa Payasa, kehancuran para Vrishni dan Andhaka, Ia tahu bahwa sudah saatnya 'kembali’. Kemudian Ia menutup indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra, di bagian bawah kakinya berwarna kemerahan. (Bhagavata Purana 11.30.32: Kaki kanannya berwarna kemerahan, berbentuk rusa).

Saat itu seorang Vyadha/pemburu bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna kemerahan, Ia pikir itu seekor rusa, Ia membidikan panahnya yang berasal dari sepotong besi dari mosala yang telah dihancurkan (Beberapa misal: 1 dan 2, menyatakan panah itu beracun. BP 11.30.33 dan juga Mosala Parwa menyebutkan bagian panah berasal dari besi yang dilahirkan Samba untuk menghancurkan ras Yadawa), panah itu mengenainya. Jara segera menuju ke buruannya dan dilihatnya Krishna yang berjubah kuning sedang melakukan Yoga, kemudian Jara meminta ma'af atas pelanggarannya. Sri Kresna berkata, ‘Kesalahan-kesalahan demikian jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kau tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kau sebelumnya tidak tahu aku berada di tempat ini. Kau tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku telah menyelesaikan hidupku’, kemudian Pemburu itu naik ke surga
    Note:
    Visnu Purana V.37: ...Menghormati kata-kata Brahman, kutukan Durvása, Krishńa duduk merenung, meletakkan kaki di atas lututnya. Kemudian datang pemburu bernama Jará..melihat dari kejauhan kaki Krishńa yang dikiranya bagian tubuh Rusa, Ia lepaskan panahnya dan mengenainya. Ia dekati buruannya dan melihat Krishna, Ia menjatuhkan diri di kakinya berulang memohon ampunan, "Aku melakukan tanpa menyadarinya, aku kira aku sedang membidik rusa! Kasihanilah aku, yang termakan kejahatanku; karena kau mampu menghancurkanku!" Bhagavat menjawab, "Janganlah takut. Pergilah, pemburu, dengan bantuanku, ke surga, ke tempat para dewa.", kemudian sebuah kereta surgawi muncul, membawa Jara ke surga..
    Bhagavata Purana 11.30.34-40 (setelah Jara memanah): Ketika Jarâ melihat, Ia takut melakukan pelanggaran, bersujud dengan kepala di kaki Krishna, memohon maaf atas ketidaktahuannya, perbuatan orang berdosa ini...memohon Krishna membunuhnya agar Ia tidak lagi melakukan pelanggaran kepada orang suci. Krisna berkata agar Jara tidak takut, memintanya bangun, karena yang dilakukan Jara adalah keinginan Krishna, Jara diberikan izin ke Surga, Jara mengelilinginya 3x dan dibawa pergi kendaraan surgawi menuju Surga.
Daruka tiba di Hastinapura menceritakan kemusnahan bangsa Yadawa di Drawaka kepara turunan Kuru dan pesan Krishna agar Arjuna datang untuk melindungi yang tersisa. Arjuna kemudian menuju Dwaraka, setibanya di sana, Ia amati kota tersebut telah sepi, Ia berjumpa para orang tua, anak-anak, para janda yang ditinggalkan mati suami dan para istri Krishna sejumlah 16.000 (Di Bhagavata Purana 10.59.33 dan Visnu Purana 5.29 disebutkan 16.100 atau Bhagavata Purana 10.61.18, yaitu 8 istri utama + 16.100 = 16.108). Dengan diantar Daruka, Arjuna bertemu Basudewa yang sedang lunglai yang berkata padanya bahwa kemusnahan turunan Yadawa sebagai suatu keniscayaan, menitipkan yang tersisa dan Drawaka akan ditelan lautan. Sesuai amanat, Di hadapan yang tersisa, Arjuna menyampaikan agar para Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra, wanita dan turunan Wresni bersama kekayaan mereka, sementara ke Indraprastha, kemudian Vajra (cucu Krishna) akan menjadi Raja mereka di Shakraprastha, karena kota Dwaraka akan ditelan samudra, 7 hari setelah wafatnya Krishna. Kemudian Basudewa mangkat menuju tujuan tertinggi, setelah dilakukan upacara terakhir, Mereka menuju tempat perang saudara untuk upacara terakhir, kemudian mereka meninggalkan Drawaka dan melihat tenggelamnya Drawaka. Sesampainya di negara 5 air, rombongan dihadang ribuan ksatria Abhira yang tahu rombongan ini hanya dikawal Arjuna, sedangkan ksatria Wresni kehilangan energinya, saat mempertahankan rombongan, kekuatan Arjuna tidak berfungsi seperti biasanya, busurnya tidak dapat direntangkan, panah-panah saktinya tidak dapat dikeluarkan. Tidak banyak yang bisa dilakukan ksatria hebat tersebut.

Para penyerang berhasil membawa kabur sebagian besar para wanita dan harta. Akhirnya dengan beberapa harta dan wanita yang berhasil dipertahankan, mereka sampai ke Kurukshetra. Arjuna menempatkan mereka di tempat berbeda, putra Kritavarma dengan sisa-sisa wanita raja Bhoja ke kota Marttikavat, putra Yuyudhana dan sekelompok pria tua, anak-anak dan wanita, ke tepi Sarasvati. mengawal sisanya, ke Indraprastha, aturan Indraprastha diberikan kepada Vajra. Kemudian Rukmini, putri Gandhara, Saivya, Haimavati, dan ratu Jamvabati naik ke tumpukan kayu melakukan Sati (membakar diri), sedangkan Satyabhama dan istri-istri Krsna lainnya memasuki hutan menyepi. Air lautan yang menyerbu Dwaraka, menyapu semua jejak yang ditinggalkan. [Juga Visnu Purana, Section 5; Srimad Bhagavatam Canto 11, Chapter 30, ayat 28-50]
    Versi Buddhis: Jataka no.454, Ghaṭapaṇḍitajātakavaṇṇanā
    ..Demikian caranya mereka menaklukkan seluruh India, tiga ratus enam puluh ribukota mereka bunuh para rajanya dengan senjata cakra dan Akhirnya mereka tinggal di Dvaravati. Nama Kesepuluh bersaudara kandung itu adalah yang sulung Vāsu-deva, yang kedua Baladeva, ketiga Canda-deva, keempat Suriya-deva, kelima Aggi-deva, keenam Varuṇa-deva, ketujuh Ajjuna, kedelapan Pajjuna, kesembilan Ghata-paṇḍita, dan yang kesepuluh Aṁkura.

    Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikaruniai dengan putra dan putri.

    Setelah waktu yang lama berlalu, di saat ia memerintah kerajaannya, putra dari Sepuluh Saudara tersebut berpikir: “Katanya, Kaṇhadīpāyana [Seorang Pertapa sakti] memiliki mata dewa. Mari kita mengujinya.”

    Maka mereka mencari seorang pemuda dan memakaikan pakaian wanita kepadanya dengan mengikat sebuah bantal di perutnya, membuatnya kelihatan seolah-olah seperti ia sedang hamil. Kemudian mereka membawanya ke hadapan Kaṇha dan bertanya kepadanya, “Tuan, kapankah waktunya wanita ini melahirkan?”

    Petapa Itu mengetahui bahwa waktunya telah tiba bagi kehancuran Sepuluh Saudara tersebut; kemudian dengan melihat batas waktu bagi kehidupannya sendiri, ia mengetahui bahwa ia akan meninggal hari itu juga.

    Kemudian ia berkata, “Anak muda, apa hubungan pemuda ini dengan kalian?” “Jawab kami terlebih dahulu,” desak mereka.

    Ia menjawab, “Pemuda ini di hari ketujuh dari sekarang akan mengeluarkan sejenis kayu akasia. Dengan itu, ia akan menghancurkan garis keturunan dari Vāsudeva walaupun kalian mengambil batang kayu itu dan membakarnya serta membuang abunya ke dalam sungai.”

    “Ah, petapa gadungan!” kata mereka, “Seorang laki-laki tidak akan pernah dapat melahirkan anak!” dan mereka melakukan pekerjaan dengan tali dan benang tersebut, mereka membunuhnya dengan segera.

    Raja memanggil keempat pemuda tersebut dan menanyakan mengapa mereka membunuh petapa itu. Ketika mereka mendengar semuanya, mereka menjadi ketakutan. Mereka melakukan penjagaan terhadap pemuda tersebut. Dan di hari ketujuh ketika ia mengeluarkan sejenis kayu akasia dari dalam perutnya, mereka membakarnya dan membuang abunya ke dalam sungai. Abu itu terapung-apung di air sungai dan tersangkut di satu sisi dekat pintu gerbang rahasia; dari sana muncullah tanaman eraka.

    Suatu hari para raja tersebut mengusulkan agar mereka pergi bersenang-senang dan bermain-main dengan air. Maka mereka datang ke pintu gerbang rahasia tersebut, sebelumnya mereka telah menyuruh orang untuk membangun sebuah paviliun yang megah. Di dalam paviliun ini mereka makan dan minum. Kemudian dengan bercanda mereka mulai main tangan dan kaki, dan terbagi menjadi dua kelompok, yang akhirnya menjadi perkelahian.

    Salah satu dari mereka, yang tidak dapat menemukan benda yang lebih baik lagi untuk dijadikan pemukul, mengambil sehelai daun dari tanaman eraka itu, yang sewaktu dicabut langsung berubah menjadi batang kayu akasia di tangannya. Ia kemudian menggunakannya untuk memukul banyak orang. Yang lainnya pun mengikuti tindakan yang satu ini, dan benda itu sewaktu mereka mencabutnya tetap langsung berubah menjadi batang kayu akasia. Dengan kayu itu, mereka saling memukul sampai akhirnya mereka terbunuh.

    Di saat mereka ini sedang menghancurkan satu sama lain, hanya empat yang melarikan diri dengan naik ke dalam kereta kuda—Vāsudeva, Baladeva, adik perempuan mereka Putri Añjanā, dan pendeta kerajaan, yang lain semuanya hancur.

    Keempat orang tersebut melarikan diri dengan kereta itu ke hutan Kāḷamattikā. Di sana pegulat Muṭṭhika telah mengalami tumimbal lahir menjadi yakkha, seperti yang dimintanya. Ketika mengetahui kedatangan Baladeva, ia menciptakan sebuah desa di tempat itu. Kemudian dengan mengubah wujudnya menjadi seorang pegulat, ia berkeliaran di sekitar sana dan melompat- lompat sambil meneriakkan, “Siapa yang mau bertarung denganku?” dan membunyikan jari jemarinya.

    Sewaktu Baladeva melihatnya, ia berkata, “Saudaraku, saya akan mencoba satu pertarungan dengan orang ini.”

    Vāsudeva berusaha dengan segala daya upaya untuk mencegahnya melakukan hal itu, tetapi ia tidak mendengarkannya, turun dari kereta dan mendekati pegulat itu sembari membunyikan jari jemarinya juga. Pegulat itu langsung memiting kepalanya dan kemudian melahapnya seperti memakan lobak. Vāsudeva yang mengetahui bahwa ia telah mati, langsung pergi dengan adik dan pendeta tersebut, sampai matahari terbit mereka tiba di sebuah desa perbatasan.

    Ia kemudian berbaring di semak-semak pepohonan, sementara ia menyuruh adik dan petapa itu masuk ke dalam desa, mencari dan membawa makanan kepadanya. Seorang pemburu (namanya adalah Jarā, atau Usia Tua) melihat semak-semak itu bergoyang.

    “Kemungkinan besar itu adalah babi,” pikirnya.

    Ia melempar tombaknya dan itu menusuk kaki Vāsudeva. “Siapa yang telah melukaiku?” teriak Vāsudeva.

    Pemburu tersebut yang baru mengetahui bahwa ia telah melukai seseorang, langsung berusaha untuk lari karena ketakutan. Raja yang mengetahui siapa pelakunya, bangkit dan memanggil pemburu tersebut, “Paman, kemarilah, jangan takut!”

    Ketika ia kembali. “Anda siapa?” tanya Vāsudeva.

    “Namaku adalah Jāra, Tuan.” Raja berpikir, “Ah, Luka yang disebabkan oleh Usia Tua akan mengakibatkan kematian, demikian yang dikatakan pepatah kuno. Tidak diragukan lagi saya akan meninggal hari ini.”

    Kemudian ia berkata, “Jangan takut, Paman. Mari tutup lukaku ini.”

    Luka tersebut kemudian diikat dan ditutup olehnya dan raja membolehkan ia pergi. Rasa sakit yang amat sangat mulai menyerang dirinya. Ia tidak bisa memakan makanan yang dibawakan oleh kedua orang tersebut. Kemudian Vāsudeva berkata kepada mereka: “Hari ini saya akan meninggal. Kalian adalah makhluk yang lembut dan tidak akan pernah dapat mempelajari apapun untuk bertahan hidup; jadi belajar dariku tentang ilmu pengetahuan alam ini.”

    Setelah berkata demikian, ia mengajarkan ilmu pengetahuan alamnya kepada mereka dan menyuruh mereka pergi. Kemudian ia pun menemui ajalnya. Demikianlah satu per satu dari mereka meninggal, kecuali Putri Añjanā. [Note: Jataka di Khuddaka Nikaya hanya berisi syair, sedangkan narasi berasal dari atthakata] []

Prasthanikaparwa

Prasthanikaparwa ada diurutan ke-17. Setelah Dinasti Yadu musnah, meninggalnya BalaRama dan Krishna serta tenggelamnya kota Dwaraka Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa menceritakan semua yang terjadi. Byasa menyatakan bahwa tugas-tugas mereka telah berjalan dengan baik. Semua ada waktunya dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk menarik diri dari segalanya. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi melakukan perjalanan spritual melepas jiwa dengan Yoga. Mereka menyerahkan tahta kepada Parikesit, satu-satunya keturunan mereka yang selamat dari perang Bharatayuddha. Para Pandawa beserta Dropadi kemudian menjalankan puasa, menyiapkan tekad, menghadap ke timur melakukan Yoga, menutup semua Indera mencapai keheningnan kemudian dengan jiwa mereka melakukan perjalanan suci. Mereka berjalan secara berurutan yang di pimpin oleh Yudistira hingga terakhir Droupadi melesat melewati banyak negara, sungai dan Laut. Ketika melewati di sebuah Hutan, muncul jiwa seekor anjing yang ikut berjalan mengikuti bersama mereka.

Sampailah mereka di laut dengan air berwarna merah. Kemudian mereka dihadang oleh Dewa yang sangat besar, yaitu Agni pemilik 7 Api. Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa beserta tabung anak panahnya yang tak pernah habis dikembalikan kepada Baruna, sebab tugas Nara sebagai Arjuna sudah berakhir di zaman Dwaparayuga tersebut. Dengan berat hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke kediaman Baruna. Setelah itu, Agni lenyap dari hadapannya dan para Pandawa menghadap selatan hingga mencapai pesisir utara laut asin berbelok ke Barat daya melihat kota Dwaraka yang telah ditutupi lautan, berbelok ke Utara mereka melanjutkan perjalanan, menjalankan Yoga mengelilingi seluruh Bumi

Mereka melanjutkan ke utara menuju Himavat, sebuah gunung yang sangat besar, melewati Himawat melewati Gurun pasir dan mereka melihat MahaMeru (Sumeru), Droupadi terlepas mengalami kegagalan berYoga dan jatuh ke Bumi. Dengan memegang Droupadi Bima bertanya kepada Yudistira, ’ Kita berlima masih kuat untuk berjalan, lalu mengapa Drupadi dapat Drupadi Jatuh? Mengapa Ia tidak bisa melnjutkan perjalanan dengan kita?’. Yudistira menjawab, ‘Bima, wanita yang benar-benar suci harusnya tertarik hanya kepada suaminya saja. Ia tidak boleh tertarik pada orang lain. Drupadi mempunyai Lima orang Suami. Seharusnya membagi cintanya kepada suami-suaminya. Kalau ia benarlah sayang kepada semua suaminya, saya yakin ia tidak akan terjatuh demikian. Ia lebih tertarik kepada arjuna, itu sebabnya ia terjatuh’. Arjuna memang sangat terkenal di masyarakat dan sangat menarik. Drupadi sering berpikir,’ Aku ini suami Arjuna padahal ia sebenarnya istri pandawa lima.

Meninggalkan Droupadi, mereka berjalan kembali. Kemudian Sahadewa jatuh, Bima bertanya kepada Yudistira mengapa Ia bisah jatuh, Yudistira menjawab, ‘Ia membanggakan kebijakan dirinya tidak ada orang yang dapat menandingi dirinya, untuk itulah ia gagal dalam perjalanan ini”

Kemudian diperjalanan Nakula terjatuh ke tanah, Bima bertanya kepada Yudistira, "Kakakku, adik kita ini sangat rajin dan penurut. Ia juga sangat tampan dan tidak ada yang menandinginya. Mengapa ia meninggal sampai di sini?". Yudistira yang bijaksana menjawab, "Memang benar bahwa ia sangat rajin dan senang menjalankan perintah kita. Namun ketahuilah, bahwa Nakula sangat membanggakan ketampanan yang dimilikinya, dan tidak mau mengalah. Karena sikapnya tersebut, ia hanya dapat berjalan hingga sampai di sini". Setelah mendengar penjelasan Yudistira, maka Bima dan Arjuna melanjutkan perjalanan mereka.

Kemudian Arjuna Jatuh, Bima bertanya, ‘mengapa Arjuna yang selalu berbicara benar bahkan berolok-olok-pun tidak Ia lakukan namun tak dapat melanjutkan perjalanan bersama kita?’ Yudistira menjawab, ‘Ia pernah mengucapkan akan membasmi seluruh lawan hanya dalam satu hari namun tidak dapat dilakukannya Bukan itu yang membuatnya terjatuh namun Bangga akan tindakannya dan meremehkan orang lainnya’

Kemudian Bima Jatuh, dan Ia bertanya mengapa ia sampai terjatuh. Yudistira menjawab bahwa Ia makan banyak untuk meningkatkan kekuatan, bukan itu yang membuatnya jatuh, namun tidak memperhatikan kebutuhan orang lainnya saat makan itu yang membuatnya jatuh

Yudistira dengan ditemani seekor Anjing melanjutkan perjalanannya. Kemudian Dewa Indra (Sakra), sang pemilik ribuan mata yang membuat langit dipenuhi guruh menghampiri Yudistira dengan kendaraannya mengajaknya untuk naik bersamanya. Yudistira menolak meninggalkan semua Saudaranya untuk mencapai Surga. Sakra kemudian berkata, ’Engkau memang harus ditemani saudaramu di Surga, mereka telah sampai duluan daripadamu. Mereka telah sampai disana tanpa jasad mereka, namun engkau dapat mencapainya bersama dengan jasadmu ini’ .

Yudistira kemudian bertanya, ‘Bagaimana dengan Anjing ini, Ia telah menemaniku dalam perjalanan ini?’ Indra menyatakan agar meninggalkan di sana, namun Yudistira tidak mau meninggalkan Anjing itu demi mendapatkan Surga. Indra mengatakan bahwa Surga adalah bagi mereka yang berpahala dan bukankah Yudistira telah meninggal adik2 dan Istrinya di tengah perjalanan jadi mengapa harus bersikukuh hendak membawa anjing itu dan tidak meninggalkannya. Yudistira menjawab bahwa mereka ditinggalkan karena terjatuh dan Ia tidak dapat membawanya serta, namun anjing ini masih hidup dan bersamaku mencapai tempat ini, itulah mengapa Ia tidak mau meninggalkannya.

Kemudian Anjing itu berubah bentuk menjadi Dewa Dharma yang merasa puas dengan ucapan Yudistira, kemudian mereka bersama Indra dan diiringi semua Dewa-dewa menuju Surga.
    Versi Jawa
    kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi MahaBharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas. []

Swargarohanaparwa

Swargarohanaparwa ada diurutan ke-18, tentang akhir kisah perjalanan suci yang dilakukan Pandawa. Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena tidak menemukan saudara-saudaranya melainkan mendapati bahwa Duryodana beserta sekutunya yang jahat kecuali Karna ada di sana. Sang Dewa mengatakan bahwa mereka bisa berada di surga karena mereka telah melakukan dharma mereka sebagai Kstaria yaitu berperang dan gugur dalam peperangan di Kurukshetra. Lantas Yudistira menanyakan dimana tempat para ksatria-ksatria lainnya yang berada di pihak mereka yang juga melakukan Dharmanya dan gugur di peperangan Kurukshetra. Ia pun menyatakan bahwa Ia ingin segera bertemu mereka.

Dewa kemudian menemani Yudistira menemui mereka. Ia melalui jalan yang buruk, bau, berdarah, bernanah banyak mayat dan banyak yang mengalami siksaan dirajam, ditusuk2 di rebus dalam air yang mendidih yang di iringi oleh teriakan2 kesakitan karena sengsaraan yang dialami sehingga tidak dapat lagi dikenali ragamnya. Karena ingin tahu siapa saja mereka-mereka itu dan mengapa ada disitu ia bertanya, ’Siapa kalian dan mengapa ada di sini?’. Mereka menjawab dari berbagai tempat, ‘Saya Karna!’ ‘Saya Bhimasena!’ ‘Saya Arjuna!’ ‘Saya Nakula!’ ‘Saya Sahadeva!’ ‘Saya Dhrishtadyumna!’ ‘Saya Draupadi!’ ‘Kami anak-anak Draupadi!’

Mendengar itu, Yudistira bertanya dalam hatinya, ‘Inikah akhir takdir? Apa dosa yang dilakukan oleh mereka sehingga pantas mendapatkan ini. Apa prilaku yang dilakukan oleh anak2 Dhristarasta dengan semua dosa yang dilakukan namun justru mendapatkan surga, padahal semua jiwa-jiwa lurus ini melakukan semua tugasnya, mematuhi kebenaran dan apa yang dikatakan Veda, melakukan prilaku Ksatria, berperilaku benar, melakukan kurban, memberikan dana pada para Brahmana. Apakah aku ini sedang bermimpi atau tidak? Apakah aku sedang tersadar atau tidak? Apakah aku mengalami ilusi mental akibat kekacauan pikiran?’. Kemudian ia berkata kepada Dewa yang menemaninya, ‘Kembalilah ke tempatmu, aku akan menetap disini tidak di sana’

belum ada sebentaran Yudistira di sana, Datanglah para Dewa dengan segala kegemerlapannya dan mengubah tempat itu dari tempat yang penuh dengan siksaan itu tiba-tiba berubah tidak ada lagi menjadi gemerlap bersinar dan dipenuhi dengan kebahagian kegemerlapan pula. Indra kemudian berkata pada Yudistira, ‘Kemarilah, Hai manusianya manusia, ilusi ini berakhir sudah, engkau berhasil melewatinya, dengarlah, bahwa kebaikan dan kejahatan itu melimpah. Ia yang akan menikmati surga akan mengalami buah nerakanya terlebih dahulu dan sebaliknya sebaliknya Ia yang akan ditempatkan di Neraka menikmati buah Surganya terlebih dahulu. Itu pula yang terjadi padamu Oh Yudistira, sebagai hukuman ketiak engkau juga ikut menipu Drona mengatakan bahwa anaknya meninggal di pertempuran Kurukshetra sebagai konsekuensi dari tipuan itu engkau pun diperlihatkan keadaan neraka atas kerabatmu dan surga atas lawan2mu di bumi, penderitaan itu telah kau lalui walaupun sebentar saja sebagai balasan atas tipuan yang engkau lakukan. Bima, arjuna dan yang lainnya mengalami keadaan yang diterima akibat perbuatan mereka dan telah dibersihkan pula dosa-dosanya dan telah berada di Surga saat ini.

Ternyata itu juga merupakan test dari Dewa Dharma kepaa Yudistira, yaitu ketika di danau dan diberikan beberapa pertanyaan oleh Yaksa dan diminta untuk menghidupkan salah satu dari 4 saudara2nya dan Ia berhasil menjawab pertanyaa2 Yaksa dan meminta agar Nakula yang di hidupkan, Kemudian yang kedua saat bersama Anjing menuju surga dan yang ketiga ketika lebih memilih neraka dari pada Surga dan tidak meninggalkan saudara2nya yang mengalami siksaan.

Kemudian para Dewa, leluhur, Brahmana mandi bersama mensucikan diri di sungai yang ada di surga yaitu Gangga dan menuju surga melihat semua pahlawan2 suci disana, diantarannya Govinda (krishna) dengan rupa Brahmanya, karna dengan gemerlap sinar Dewa Surya, Bima bersanding bersama Vayu, Nakula sadewa denan Aswin dengan segala kegemerlapannya, Droupadi dengan kegemerlapannya, anak-anaknya yang merupakan penjelmaan Gandharva kembali kewujudnya dengan kegermerlapannya, Dhritarashtra, raja para Gandharvas, Satyaki, anak Subadra bersama Soma, Pandu, bersatu dengan Kunti dan Madri, Bhishma ditengah-tengan para Wasu, Drona dan semua yang berperang telah menerima jasanya.

Janamejaya (anak dari Parikesit) yang diceritakan kisah MahaBharata ini bertanya, "Bhishma, Drona, Dhritarashtra, Drupada, Uttara, anak2 Duryodhana, Sakuni, anak-anak Karna, Jayadratha, Ghatotkaca and semua yang belum disebut berapa lama mereka ada di Surga?”

Vaishampayana berkata, "Bhishma mencapai status Vasu, Drona kembali ke Brihaspati, Kritavarma kembali ke Maruts. Pradyumna kembali ke Sanatkumara. Dhritarashtra, Gandari kembali kepenguasa harta. Pandu, Kunti dan Madri di kediaman Indra. Wirata, Drupada, Raja Dhrishtaketu, Nishatha, Akrura, Samva, Bhanukampa, Viduratha, Bhurishrava, Sala king Bhuri, Kansa, Ugrasena, Vasudeva (ayah Krishna), Uttara, Sankha kembali menjadi dewas. Anak Soma, Varchas yang menjadi Abhimanyu kembali pada Soma. Karna kembali ke Surya. Shakuni kembali ke Dwapara, Dhrishtadyumna kembali ke Agni. Anak-anak Dhritarashtra yang semuanya Rakshasa memperoleh Surga. Yudhishthira kembali ke Dewa Dharma, Baladewa kembali ke Ananta (Naga) kembali ke bawah Bumi menjaga Bumi. Krishna merupakan percikan dari Narayana yang Abadi kembali pada Narayana. 16,000 istrinya nanti pada saatnya kembali ke Saraswati menjadi para bidadari. Ghatotkaca dan lainnya yang berasal dari Yakshas, Indra, varuna, Kuwera.

Sauti berkata ‘Kisah ini merupakan Sejarah yang kemudian dinamakan MahaBharata. Vyasa membuat kompilasi kisah ini sebanyak 3.000.000 di letakan di lingkungan para Deva, 1/2nya dilingkungan para Leluhur, di lingkungan para Yaksha 1.400.000 kompilasi, 1.000.000 di lingkungan para manusia. Narada menceritakan MahaBharata pada para Dewa, Asita-Devala kepada para Leluhur, Suka kepada para Rakshasa, Yaksha, Dan Vaishampayana kepada para manusia.

Mereka yang mendengar dan membawakan kisah ini menerima ganjaran Surga selama 21.000 tahun Dewa lamanya (Jutaan tahun manusia).[]
Pustaka: Kuliah tentang Mahabharara (Shrii Shrii Anandamurti), Kisari Mohan Ganguli (Mahabharata Online, 18 Parwa Mahabharata) dan "A Prose English Translation Of The Mahabharata", Manmatha Nath Dutt (online)

0 KOMENTAR ANDA:

Posting Komentar