Dalam sutta dan kitab komentar Riwayat Hidup Buddha Gautama, anda akan temukan bagaimana Sidhartha Gautama kecil melindungi ular yg sedang di pukul kayu oleh seorang anak, menyelamatkan angsa yg di panah oleh Devadatta.
Panah yang menancap pada Angsa tersebut kemudian dilepaskan dan lukanya di obati. Ketika Pangeran Devadatta tiba, Ia menuntut agar unggas itu diserahkan kepadanya, namun Pangeran Siddhattha menolaknya. Akhirnya terjadilah perselisihan dan saling debat. Pangeran Devadatta bersikukuh bahwa angsa itu adalah miliknya karena ia yang memanahnya. Sedangkan Pangeran Siddhattha mengatakan bahwa Ia yang berhak atas angsa itu karena Ia telah menyelamatkan hidupnya, sedangkan si pemanah tidak berhak akan angsa yang masih hidup tersebut.
Akhirnya Pangeran Siddhattha mengusulkan agar permasalahan ini dibawa ke makamah para bijak untuk memperoleh jawaban atas siapa yang berhak atas angsa tersebut. Setelah diajukan ke makamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru,
"Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!"
Kemudian dalam perjalanannya mencari pencerahan, Ia bahkan berjalan sambil menggendong se ekor domba yg terluka hingga sampai di Rajagraha. Di kota itu pula, dengan gagah berani dan mengabaikan keselamatan dirinya sendiri, Ia menghentikan upacara besar kerajaan berupa persembahan korban binatang untuk para Deva yang di pimpin langsung oleh Raja Bimbisara. Melalui nasehatnya pada Raja, akhirnya sang raja berubah pikiran dan bahkan membuat maklumat bahwa sejak saat itu, di kerajaannya, dilarang untuk menumpahkan darah binatang-binatang baik untuk persembahan para Dewa maupun untuk dimakan dagingnya.
Pangeran Sidhartha juga mengetahui bahwa banyak gajah dan kuda dipelihara oleh kerajaan2 di seluruh Jambu Dwipa. Beliau juga mengetahui banyak binatang di pelihara para perumah tangga di seluruh India dan tentunya beliau juga mengetahui banyak pasar yang memperdagangkan binatang.
Walopun Pangeran Sidharta adalah penyayang mahluk hidup namun beliau bukanlah orang gila.
Beliau tidak serta merta melepaskan gajah2, kuda2 kerajaan agar hidup di hutan dengan bebas. Beliau juga tidak mengetuk pintu semua rumah agar melepaskan binatang2 peliharaan itu untuk dapat hidup bebas. Beliau juga tidak mengerahkan pasukan dan menghabiskan UANG KERAJAAN membeli kemudian melepaskan binatang2 itu.
Beliau tahu bahwa itu merupakan tindakan sia2.
Tindakan tersebut malah membahayakan kehidupan binatang2 karena binatang2 peliharaan instingnya menjadi tumpul dalam mencari makan, mereka semakin tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari bahaya2 normal lainnya, bahkan perbuatan itu hanya akan memicu terjadinya PERDAGANGAN ulang mahluk hidup.
Kemudian setelah mencapai pencerahan, terdapat juga kisah dengan Raja pasenadi dari kosala yang semula berniat mengorbankan 500 Banteng, 500 anak sapi jantan, and 400 domba dalam satu upacara, kemudian dengan mengikuti saran Buddha binatang tsb di lepaskan.[Samyutta Nikaya 3.9.23 vol 1. p.74]
Kejadian yang hampir serupa seperti yang dialami Sidhartha kecil dapat ditemukan di Vinaya, yaitu seorang Bhikkhu yang melihat babi dalam perangkap seorang pemburu dan merasa kasihan melihat keadaannya, tanpa sepengetahuan si pemburu, Ia melepaskannya. [karuññena, Vin.III,62]
Contoh2 lainnya dapat ditemukan ketika Buddha menjawab Brahmana Ugatasarira yang berniat mengorbankan binatang [Lihat: Dictionary pali of proper name, G.P Malalasekera], juga ketika menjawab brahmana Ujjaya dan Udayi yang bertanya apakah Buddha mengajarkan bagaimana melakukan upacara pengorbanan binatang dan Buddha bilang, "Ngga, tuh.." [Ibid, hal.343, 376]
Dalam Nipata sutta, BRÂHMANADMAMMIKA SUTTA dikatakan, "Ternak adalah teman2 kita, seperti orang tua dan saudara kita, Kekuatan kita bergantung pada mereka. Meraka memberikan kita makanan, kekuatan, kesegaran dan juga kesenangan. Mengetahui ini, para Brahmana dahulu tidaklah membunuhi ternak". Jelas terlihat bahwa terdapat binatang-binatang tertentu yang dapat dipelihara.
Kemudian terdapat lima macam perdagangan/perniagaan yang harus di hindari di antaranya adalah berdagang mahluk hidup dan berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup) [Vanijja Sutta, AN 5.177 dan Mahāsatipaṭṭhāna Sutta DN 22]
Konsekuensi dari menghindari perdagangan mahkhluk hidup adalah tidak ikut membeli dan menumbuhkembangkan penangkapan binatang. Dalam Kandara sutta, dinyatakan penjagal, penangkap/pemasang perangkap dan pemburu merupakan para penganiaya mahluk lain. Dalam Jivaka sutta dinyatakan menyakiti mahluk hidup [di sutta dinyatakan mulai dengan kalimat, "ia yang membunuh makhluk hidup untuk Tathagata atau murid Tathagata"] menimbun banyak kamma buruk (apunna) dalam lima hal. Dua pertama adalah ketika berkata: 'Pergi dan tangkap seekor binatang' dan sementara binatang itu ditangkap, binatang ini menderita kesakitan dan tekanan batin.
Sehingga baik di sewaktu sebelum dan bahkan setelah mencapai pencerahannya, beliau konstan dan konsisten menyampaikan untuk tidak menyakiti mahluk hidup.
Kemudian,
Di jaman-jaman berikutnya, terdapat tradisi di PEMELIHARAAN BINATANG jaman raja ASOKA. Beliau melarang pembantaian utk upacara dan bahkan mendirikan rumahsakit untuk perawatan binatang. Raja Asoka juga dikenal sebagai Raja Pelindung Satwa
Di sutra Mahayana, abad ke-5 M, Fanwang jing/Jala Brahma, tertulis, "Semua mahkhluk di 6 Alam kehidupan adalah para orang tuaku. Jika Aku mesti membunuh dan memakan mereka, itu sama saja dengan membunuh orang tuaku...Karena terlahir dari satu alam ke alam adalah hukum yg tak terelakan, kita seharusnya mengajarkan masyarakat untuk "melepaskan" mahkhluk hidup".
Buddhisme menyatakan bahwa kematian dalam keadaan/karena KETAKUTAN [bhaya], KESAKITAN dan KEMARAHAN berpotensi terlahir kebali di alam2 yang rendah. Tindakan membebaskan mereka dalam keadaan ketakutan dinamakan Abhaya dana
ruang lingkup Abhaya dana bukan cuma pada binatang namun mencakup semua mahkluk yang mungkin dapat dibebaskan dari bencana ketakutan misalnya: Gempa, Kebakaran, Tenggelam, Banjir [lihat foto disebelah: Kodok menunggangi Ular sewaktu banjir di Queensland, Brisbane..dan bahkan sang ular-pun mampu untuk ber-Abhaya dana], bahaya keselamatan dari musuh alaminya, dan juga bahaya2 lain yang bukan karena sebab normal [tua] atau juga dalam hal memberikan makanan pada mereka atau dapat dilakukan dengan menyumbang uang pada penangkaran/lembaga yg mengurus penyelamatan ekosistem atau dapat dilakukan dengan langkah yang paling sederhana yang mampu anda lakukan adalah berhentilah menangkap dan menumbuhkembangkan perdagangan! [setidaknya jika burung2 tidak ditangkapi dan di tembaki, wabah ulat tidak akan segalak ini menyerang lingkungan, bukan?!]
Contoh lainnya bentuk praktek Abhaya Dana misalkan melakukan donor darah, ginjal, mata, jantung dan organ tubuh lainnya atau dapat juga dalam bentuk sederhana misalnya melalui perenungan METTA [cinta kasih] yang dipancarkan dalam batin/pikiran kita ke segala arah untuk semua mahluk dengan harapan "semoga seluruh mahkluk hidup berbahagia" atau melakukan perbuatan berdana atas nama leluhur atau anda juga dapat memberikan pencerahan Dhamma agar terlepas manusia dapat melepas Kebencian, Keserakahan dan kebodohan [biasanya disingkat LDM], sehingga tidak ada lagi mahluk2 [terutama manusia] yang mati tersia-sia karena iri dengki, harta, perbedaan ajaran dan paham keagamaan.
Dalam perjalanan waktu,
praktek "melepaskan" binatang secara pribadi mengalami pergeseran menjadi pelepasan sejumlah besar binatang dihadapan umum dalam suatu upacara yang kemudian perlahan-lahan menjadi sebuah tradisi. Orang pertama di daratan china yang mengorganisir kegiatan ini adalah seorang Bhikkhu bernama Chih-I (538 M-597 M). Kemudian di jaman dinasti Tang, raja Suzong [711 M-762M], setelah pemberontakan An Lushan, Ia membangun 81 kolam ikan di seluruh kerajaannya.
Baru kemudian pada jaman dinasti Ming, seorang Bikkhu bernama ZHU HONG [1535–1615], berhasil menumbuhkembangkan tradisi pelepasan ikan secara reguler di masyarakat melalui sebidang tanah yg di bangun menjadi kolam cagar alam perlindungan untuk ikan. Tradisi ini kemudian menyatu sebagai bagian kehidupan "alim" di masyarakat dan membuat semakin banyak vihara menyediakan kolam-kolam pelepasan ikan dan kura-kura, kandang-kandang bagi burung-burung merpati dan padang-an bagi para kambing, sapi dan kuda.
Trend ini menyemarakkan pula bisnis penangkapan dan perdagangan binatang untuk konsumsi ritual "pelepasan". Tradisi membeli binatang yang "terancam" untuk kemudian dilepaskan, dalam tradisi China di kenal dengan istilah Fang sheng [Fang = melepaskan; sheng = mahluk]
Tradisi "membeli-untuk melepas" ini juga berkembang di aliran Buddhisme Tibet, sebagaimana di ajarkan oleh Zopa Rinphoce [lahir 1946], dalam bukunya Teachings from the Vajrasattva Retreat.
Sangat terlihat jelas bahwa Fang sheng TIDAKLAH SAMA dengan Abhaya Dana.
So,
Jika anda MEMBELI MAHLUK di PASAR kemudian melepaskannya dalam suatu upacara, besar potensinya mereka berada pada kondisi LEMAS sehingga perbuatan ini malah MEMBAHAYAKAN HIDUP mereka dan membuat mereka TERSIKSA..itu bukanlah tindakan MENYELAMATKAN namun MENYIKSA
Kemudian,
anda melepaskannya ke sungai namun tidak menghilangkan bahaya di tangkap, dipancing dan dimangsa..atau gara-gara dilepaskan malah menjadi "mahluk baru" yang membahayakan komunitas di ekosistem lain [contoh: melepaskan ular di area yang penuh beburungan] maka yang terjadi bukanlah MENYELAMATKAN.
Kemudian,
Anda juga malah ikut terlibat secara sengaja/tidak dalam menumbuhkembangkan praktek PENANGKAPAN dan PERDAGANGAN Mahluk hidup. Anda ikut BERTANGGUNG JAWAB terhadap BAHAYA yang menimpa binatang2 yang diketahui menjadi komoditas laris di "fang sheng"-kan atau di "sah sheng"-kan pada musimnya oleh sekelompok umat yang mempunyai pandangan "AJAIB" [note: Sah = bunuh]
Note:
Lihat cuplikan koran/artikel dari beberapa negara [Taiwan, Amerika, Singapura, dll], yang malah menyatakan Tradisi Fangsheng adalah bisnis keselamatan semu, menyakiti hewan & membahayakan ekosistem
- Kelirumologi ala Buddhis: Fang Sheng:
Fang sheng atau pelepasan makhluk hidup adalah perbuatan yang bajik. Tetapi sekarang esensi dari fang sheng sepertinya sudah bergeser. Fang sheng seharusnya menyelamatkan makhluk hidup yang sedang menderita menjadi tidak menderita, tetapi nyatanya kini tidak sedikit umat Buddha yang melakukan fang sheng dengan memesan hewan terlebih dahulu, sehingga menyebabkan banyaknya hewan yang ditangkap untuk diberikan kepada pelaksana fang sheng. Alih-alih membuat makhluk hidup menderita menjadi tidak menderita, yang terjadi malah makhluk hidup yang sedang hidup bebas sengaja ditangkap untuk dijual kepada pelaksana fang sheng.[..]
Dhamma musings:
[..]Sadly, today ‘animal release’ practice frequently takes the form of a mere ritual more destructive to life than life-saving. In countries with significant Chinese communities a whole industry of capturing wild birds simply so they can be released has developed. The birds are taken from their natural environment, shipped to the cities and set free in the ‘concrete jungle’ where they often soon die. Temple ponds are commonly so crowded that the fish and tortoises lead diseased and miserable lives. According to environmentalists the two leading threats to the Asian Temple Turtle (Heosemys annandalii, so-called because it is favored by Chinese Buddhists for ‘release’) are the restaurant market and the temple trade. Several of the more progressive temples here in Singapore now try to educate the Buddhist public about the proper way to practice animal release or even prohibit the practice within their premises.
New York "The Sun":
[..]In Asian countries with Buddhist populations, there has of late been a movement to stop the practice altogether.
A resident monk at the Grace Gratitude Buddhist Temple, Ben Kong, said the Buddhists still practicing fangsheng in New York City were ignorant of the harm they cause to the local ecosystem and the turtles.
"It's a sad situation," he said.
He said his temple has been trying to educate some of the congregants. They even came up with a new word, "fangsi," which means "release of death."
This practice, and the fact that other New Yorkers may be getting rid of pet turtles in Central Park, has led to a proliferation of red-eared sliders, according to Maria Hernandez, the gardener in charge of the pond.
"They are basically a problem because there is so many of them," Mr. Hernandez said. "We try and discourage it because it is not a native species."
The head of rehabilitation and education at the New York Turtle and Tortoise Society, Lorri Kramer, said she has long hoped to end the trouble with turtles in Chinatown by getting them banned from sale, but legislation hasn't made it through the Assembly.
"It's actually very cruel to keep them alive, out of water," she said. "They are dehydrated. Their arms and legs are going to be aching the whole time."
Taiwan News dan Chinapost:
In Taiwan, religious groups spend more than NT$200 million (US$6.19 million) annually to engage in "release of life" rituals, which they practice 750 times on average each year, according to the Environment and Animal Society of Taiwan (EAST) Friday.
People usually practice "fangsheng, " or "release of life, " when they fall ill, have a miserable marriage or want to pray for wealth in their next life, the EAST said in a statement on a recent survey on the practice in Taiwan.
Some Buddhism followers believe that setting animals free increases their own merit, which translates into a better rebirth.
This has sparked a new profit-making business in the religious market in Taiwan, the EAST said.
The business is supported by a complete demand and supply system that operates on the "symbiosis" between religious believers and hunters, breeders and vendors, it added. However, this business not only hurts the animals that are hunted or bred for sale to fangsheng adherents, but also causes damage to the ecological system, it added.[..]
Special Global Times, Mercy business:
[..] Mercy release is gaining popularity among Buddhists and non-Buddhists who set animals free, but many fail to realize that although their intentions are good, they might be doing more harm than good.
Some animals require special attention while in captivity and some are released into the wrong environment that could harm the local ecosystem, according to experts and animal protection activists.
[..]Jingxue said they know people who see the practice as an excuse to make money. "We would warn our fellow Buddhists not to trust these people," she said.[..]
Dozens, sometimes hundreds of people participate in mercy release at one time. Some release hundreds or tens of thousands of animals at one time.
Worshippers at the Shengquan Temple in Beijing organized a mercy release on April 16 with over 80 participants who donated some 30,000 yuan to buy sparrows and mynah birds, both protected animals in China.
[..]Zhang Chengshan, who sells aquatic animals at the Dongjiao market in Chaoyang district in Beijing, routinely accepts orders in advance for turtles or fish to release.
..Business was particularly good around the Tomb-Sweeping Day holiday this year and because some people want to save fishes that are pregnant in the spring. "They usually order thousands of kilos or tens of thousands yuan worth of animals," said Zhang.
Yu Fengqin, a Buddhist who volunteers with a wildlife protection organization, has visited animal and pet markets all over the country. She saw birds tangled up in nets set by hunters in wetlands, and witnessed hunters waiting to capture animals just to sell to people who will release them back into the wild.
On the same day, over 100 people joined the Fozixing group in Shenzhen to release 7,000 kilograms of fish they bought for 76,000 yuan.
...
"We remain concerned that as long as the Buddhist followers continue to purchase animals, there remains an incentive to trap, capture, breed and trade animals for the purpose of mercy release," said Iris Ho, campaign manager Humane Society International (HSI), an animal protection group that works with Buddhist communities with this issue. Things go wrong with a variety of animals.
In August, thousands of snakes came face to face with the public after being released near Changbai Mountain in Jilin Province, and many were killed by traffic.
"Animals may not adapt to the new environment right away, and some non-local species may compete for limited resources with local species, disrupting the ecosystem," said Jia Chenxi, an ecology researcher with the Animal Research Institute at the China Academy of Sciences.
..
Exotic species, such as red-eared turtles and bullfrogs, are even more dangerous as they prey on local species or spread diseases, experts warned.
Red-eared turtles or Brazilian turtles, a non-native species to China, is one of the most invasive, dangerous exotic species. The US, South Korean, and Europe have banned the animal.
National Parks Board, Singapore: Be kind to animals, do not release them into the wild":
[..]Ms Sharon Chan, Assistant Director at NParks, explains, "Most people do not realise that releasing animals means sending them to their deaths. One recent incident I encountered was the release of a few soft-shell terrapins. They were not equipped to survive in the wild, and died on that very day. Should these animals harbour viruses, they will contaminate the water and affect other native wildlife. We want to appeal to everyone to refrain from releasing your pets or animals into the wild."
Mr Chan Chow Teing, PUB's Senior Deputy Director of Catchment and Waterways, adds, "As the fishes and animals may not be able to survive on their own, releasing them not only affects the ecosystem but also the reservoirs' water quality. Although treating the water for drinking water supply is not an issue, it is important to keep the waters clean for aesthetic and recreational reasons, so that everyone can continue to enjoy activities at our reservoirs and parks."
channelnewsasia: "Public urged not to release animals into the wild on Vesak Day":
SINGAPORE : The National Parks Board and national water agency PUB have appealed to the public not to release animals into nature reserves and reservoirs, as such acts may have adverse effects on the ecological balance of Singapore's nature reserves and parks.
They will also affect the water quality of Singapore's reservoirs. The joint statement comes as Vesak Day approaches.
It is a common practice in Singapore to release animals during Vesak Day, which falls on May 9.
The President of the Buddhist Fellowship<, Angie Monksfield, said there is a difference between Buddhism and kindness towards animals.
"Being kind to animals is one of the core practices in Buddhism," she said. "However, freeing animals into the wild, especially those that have been bred in captivity, is not necessarily a kind act as these animals would be easy prey for predators."
The fellowship has taken efforts to remind the public against releasing the animals.
The practice is growing so fast that hunters and sellers are getting into the habit of catching animals to sell to Buddhists. Some sellers put up signs saying "birds/fish for mercy release."
The star Online, "Don’t spur capture of wildlife":
TRAFFIC South-East Asia would like to offer a word of caution to well-meaning people who plan to buy birds, frogs, fishes and turtles and release them into the wild as suggested in your article “Saving animals from the pot” (Star Metro, Oct 29).
While the intention may be good, buying and releasing wildlife in this manner poses several serious problems. As a wildlife trade monitoring network, Traffic has documented sellers in many parts of South-East Asia anticipating this act of kindness and stocking up extra animals solely for the purpose of selling them to those moved by the animal’s plight. This means more are caught from the wild than would be otherwise.
Many of these animals are injured in the process of capture, and many more die in stores where they a re often kept in cramped and cruel conditions.
Take the example of the munias, a group of bird species most commonly sold for release for religious reasons. In Traffic’s five-year survey of the Medan Bird Market – the point from which many of them are exported to Malaysia and Singapore – dealers reported that between 30% and 50% of these birds died in the first 24 hours between capture and sale.
The birds are not sold as pets. The trade in these birds is fuelled solely by the practice of releasing them.
Many of the species released are also not native to this country, and by releasing them we could be introducing potential alien invasive species into our environment that would compete with local wildlife and spread diseases with devastating effects on native species of frogs, fishes and turtles.
Furthermore, many of the animals released are in poor health, largely due to the stress of capture, or are otherwise ill-equipped to survive in their new environment and die shortly after release.
The problem of invasive alien species is a worldwide concern that impacts not just nature but also agriculture, fisheries and many other sectors of the economy, and costs governments millions to solve.
Traffic truly appreciates the concerns of believers who want to alleviate the suffering of these captive animals, but perhaps a better way might be to boycott pet stores, restaurants and businesses that sell wild animals altogether. When there is no demand, there will no longer be any reason for them to continue taking these animals from the wild.
wildsingapore: "Releasing Animals: Good or Bad?:
In Singapore, many people release animals. Here are some facts about this practice.
Many pet shop animals cannot survive in the wild. They no longer have the ability and instinct to find food and shelter, or to run away from predators.
Many animals can only survive in special habitats, such as the rainforest, desert or mangrove swamp. Releasing an animal into the wrong habitata will cause it to suffer and then die.
If we release a foreign animal, it may not survive in our country and climate. For example, a land tortoise from India can only survive well in a seasonal climate.
If we release an animal from a foreign country, it may compete with our local wild animals for food, shelter, nesting areas and living space. These foreign animals may also eat the babies of local animals.
Can we tell if an animal is sick or healthy? If a sick animal is released, it may infect wild animals which have no immunity against certain diseases.
Infect animals may transmit diseases to humans.
When everyone releases animals, the combined quantity will upset the natural balance. The areas of release will not be able to cope with the sudden increase of animals.
We can stop these cruel situations
Do not buy birds and other wild animals for releasing. Do not patronise these shops.
Do not be directly responsible for the capture of wild animals to continue.
Please do not release these animals:
Red-eared terrapin and Chinese soft shell turtle. These turtles can grow large and are more aggressive. They will cause the decrease of Singapore's own rare turtles.
Birds bought from bird shops. Most of the birds that are bought from bird shops get sick when they are captured and imprisoned in a crowded, unhygenic cage.
Aquarium fish. Most of these fishes are forced to share crowded tanks in the fish shop. Diseases spread easily in such poor conditions.
American bullfog. This aggressive, large frog eats up our smaller native frogs.
Pet animals. It is extremely unkind to abandon your pet.
The Law
In Singapore, it is against the law to release any animal into our public parks, reservoirs, nature reserves and many other places.
It is also against the law to catch wild animals. When we buy a wild animal from a shop, we are therefore involved in a crime.
Wise actions
Do your part to truly show compassion for animals
Rescue and care for animals when needed. It can be a baby bird which has dropped out of its nest or a turtle found in the middle of a road; an injured animal or fishes trapped in a drying pond.
Encourage others not to buy wild animals to keep as pets, for consuption or to release.
Encourage pet owners to love and give proper care to their pet animals, and not to abandon them.
Volunteer your help to organisations that care for animals.
Make others aware about the importance of conserving nature and protecting our environment.
Join an animal welfare group to help protect and improve conditions for all animals.
Join a green group to protect our nature areas. These are homes to countless animals.
Life is cheap: Demand=Supply
When we buy animals to release, we are encouraging the shop-owner to catch even more animals from the wild to sell.
For example, thousands of grass birds are captured from the wild for people to buy for release. Bird and pet shops sell these 'cheap' birds at a price of $1.50 or $2.
Many of these birds die when they are caught, and during the journey to the shops.
Since these are 'cheap' birds, they are treated like dirt. Crowded into dirty cages and standing in their own excrement, they are not given any proper care, food and fresh water.
How can we help to protect and conserve endangered species?
Do not buy and keep endangered species as pets or to eat.
Do not buy any products made from endangered speices. For example, jewellery made from sea turtle shell, elephant ivory and fur of wilds animals.
Do not buy 'medicines' made from endangered species. For example, tiger penis, dried seahorses, bear gall, rhinoceros horn, sea turtle meat, etc. Use herbal remedies instead.
You CAN make a difference!
...dan banyak tulisan lain yang membuktikan bahwa praktek fangshen telah menumbuhkembangkan bisnis penangkapan mahluk hidup, membuat binatang itu tersiksa akibat proses PENANGKAPAN dan ketika mereka telah ditangkap dan bahkan setelah dilepaskanpun, bukan saja mereka MENDERITA karena capai, lemas, tak dapat makanan dan di buru serta malah membuat bahaya bagi binatang lainnya dengan penyebaran penyakit dan sebagai "spesies alien" yang memangsa mahluk lain di habitat baru dan menghancurkan ekosistem.
Masih kah anda membuta tuli?!
Semoga semua Mahkluk berbahagia.
Ketika belum ada isu binatang punah atau terancam punah, Raja Asoka di India sudah punya kebijakan sadar lingkungan.
SEJAK berabad-abad silam, kesadaran atas lingkungan tumbuh di India. Catatan-catatan yang tertinggal dalam pilar-pilar dan batu besar di seluruh negeri mengungkap fatwa-fatwa Raja Asoka, yang begitu sering dipuji dalam legenda Budha, tentang perlindungan satwa.
Meski ada beragam versi, para sejarawan umumnya menyebut Asoka lahir sekitar 304 SM. Sebagai putra raja, dia tumbuh sebagai anak yang gesit dan berani, jago berburu, serta pemimpin perang dan negarawan ulung. Dia memimpin beberapa resimen tentara Maurya dan berhasil memenangi sejumlah peperangan. Popularitasnya membuat saudara-saudaranya cemas; takut ayah mereka, Raja Bindusara, memilih Asoka sebagai penerusnya.
Setelah Bindusara mangkat, dan perang suksesi, Asoka menjadi raja ketiga dinasti Maurya. Dia memiliki gelar Devanampiya Piyadasi yang berarti “Kekasih para dewa, dia yang memandang dengan cinta kasih.”
Semasa kekuasaannya, dia menyatukan wilayah yang sangat luas di bawah kekaisarannya, melampaui batas-batas wilayah kedaulatan India saat ini. Dia dikenal sebagai pemimpin yang kejam dan haus darah. Pada 262 SM, delapan tahun setelah penobatannya, tentara Asoka menyerang dan menaklukkan Kalinga. Banyak nyawa melayang akibat perang.
Suatu hari, usai perang, Asoka menjelajahi bekas palagan pasukannya. Dia melihat rumah-rumah yang hangus terbakar dan mayat-mayat bergelimpangan. Mereka yang masih hidup bergulingan di tanah. Hatinya hancur. “Perbuatan mengerikan apa yang kulakukan?“ ujarnya seperti dikutip Ariyakumara dalam Riwayat Hidup Raja Asoka.
Sejak itu, dia bertekad tak akan lagi mengobarkan perang. Kebijakan untuk memperluas kerajaan dia hapus. Asoka pun mulai mendedikasikan sisa hidupnya untuk menerapkan prinsip-prinsip Buddha ke dalam administrasi kerajaan. Dia memainkan peranan penting untuk menyebarkan agama Budha, bahkan hingga ke luar negeri. Dia juga menerapkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan.
“Negara memiliki tanggungjawab bukan hanya untuk melindungi tapi juga meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan satwa-satwa liar,” tulis Ven. S. Dhammika, bhiku asal Australia yang juga direktur spiritual dari Buddha Dhamma Mandala Society di Singapura, dalam “The Edicts of King Ashoka”
Apa yang dilakukan Asoka bukan sekadar kisah legenda, tapi diperkuat penemuan dan penerjemahan tulisan kuno pada pilar dan batu besar. Upaya itu sudah dimulai filolog James Prinsep pada 1837 atas tulisan kuno di pilar batu besar di Delhi. Dalam dekade berikutnya, lebih banyak titah sang raja ditemukan dengan penguraian yang lebih akurat. Titah-titah Asoka dapat ditemukan tersebar di lebih dari 30 tempat di seluruh India, Nepal, Pakistan, dan Afghanistan.
Pada 256 SM, Raja Asoka mengeluarkan titah Tujuh Pilar, yang salah satunya menyatakan:
“26 tahun setelah penobatan saya, berbagai hewan dinyatakan dilindungi –burung kakatua, mainas, angsa merah, itik liar, kelelawar, semut ratu, terrapins, ikan tak bertulang, ikan, kura-kura, landak, tupai, rusa, banteng, keledai liar, merpati liar, merpati piaraan, dan semua makhluk berkaki empat yang tak berguna dan tak bisa dimakan ...“
“Kambing betina, biri-biri betina, dan babi betina yang masih bersama anaknya atau memberikan susu kepada anaknya juga dilindungi. Ayam jantan tak boleh dikebiri, sekam yang di dalamnya bersembunyi makhluk hidup tak boleh dibakar dan hutan tak boleh dibakar tanpa alasan ataupun untuk membunuh
makhluk-makhluk….”
Dalam A history of Indian Buddhism: from Śākyamuni to early Mahāyāna, Akira Hirakawa menulis, Asoka berulangkali mengatakan dalam titah-titahnya tentang pentingnya menghormati kehidupan tiap mahluk. Asoka mencontohkannya dengan perbuatan nyata, bukan sebatas menekankan kepada rakyatnya. Harapan Asoka, rakyatnya akan mengikutinya.
Asoka mendirikan banyak hutan lindung dan suaka bagi satwa-satwa liar. Rumah sakit hewan didirikan. Selain itu, Asoka juga menghentikan kebiasaannya berburu hewan untuk kesenangan. Olahraga berburu menjadi aktivitas terlarang –waktu itu berburu merupakan hiburan favorit para pembesar. Berburu hanya diperbolehkan sebatas untuk makan. “Kekejaman terhadap hewan di ranah domestik maupun terhadap hewan liar juga dia larang,” tulis Dhammika.
Di ranah domestik, Asoka secara bertahap menghentikan penyembelihan - penyembelihan hewan untuk masakan. Awalnya di dapur istananya ratusan ribu hewan disembelih setiap hari. Jumlahnya berkurang drastis dengan hanya tiga hewan yang boleh disembelih: dua burung merak dan seekor rusa. Pada akhirnya tak satu pun hewan yang jadi santapannya. Asoka menjadi seorang vegetarian.
Pengaruhnya terasa hingga di luar wilayah kerajaan. Asoka mengirim beberapa misionaris, termasuk anaknya, Arahat Mahinda, ke Thailand dan Sri Lanka untuk mengajarkan Buddhisme. Di sesela berburu saat kedatangan di Sri Lanka pada 247 SM, “Arahat Mahinda menghentikan Raja Devanampiyatissa dari membunuh rusa dan mengatakan kepada raja bahwa setiap makhluk hidup memiliki hak yang sama untuk hidup," ujar Jawantha Jayewardene, konservasionis gajah dari Sri Lanka, sebagaimana dikutip situsweb Environmental History.
Atas bujukan itu, Raja Devanampiyatissa menjadi Buddha dan menetapkan bahwa tak seorang pun boleh membunuh atau menyakiti makhluk hidup. “Dia memisahkan area luas di sekitar istananya sebagai tempat perlindungan flora dan fauna. Ini disebut Mahamevuna Uyana dan diyakini sebagai cagar alam yang pertama di dunia.”
Arahat Mahinda dan utusan Asoka lainnya juga memperkenalkan perlindungan binatang sebagai fungsi sentral biara di mana pun mereka pergi. Biara-biara Buddha di Thailand dan Sri Lanka hingga hari ini sering berfungsi sebagai tempat perlindungan binatang –meski kemudian terdistorsi menjadi hanya mempertahankan gajah.
Semua upaya itu Asoka lakukan untuk menebus dosa kepada makhluk-makhluk yang telah kehilangan nyawa selama dia memerintah dengan lalim. “Dia menganggap seluruh mahluk hidup adalah anaknya,” tulis Hirakawa.
Pada 232 SM, di usia 72 tahun, Asoka meninggal dunia setelah 38 tahun memerintah. Sayangnya, butuh berabad-abad untuk menyingkap pengetahuan dan kearifannya soal lingkungan hidup. Kini, ketika bumi kian rusak, orang baru menaruh perhatian pada isu lingkungan. Memang tak ada kata terlambat. Dan mungkin apa yang dilakukan Asoka bisa ditiru: membuat kebijakan lingkungan berbasis spiritualitas. [MF MUKTHI, Selasa, 09 November 2010 - 14:56:24 WIB]